Strategi Pembiayaan Tahunan Melalui Utang Tahun 2016
Relevan terhadap
KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PENGELOLAAN PEMBIAYAAN DAN RISIKO TENTANG STRATEGI PEMBIAYAAN TAHUNAN MELALUI UTANG TAHUN 2016. Menetapkan Strategi Pembiayaan Tahunan Melalui Utang Tahun 2016 sebagaimana tercantum dalam Lampiran ^yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Keputusan Direktur Jenderal ini. Strategi Pembiayaan Tahunan Melalui Utang Tahun 2016 sebagaimana dimaksud dalam Diktum PERTAMA, digunakan sebagai pedoman operasional dalam pemenuhan target pembiayaan melalui utang dan pengelolaan portofolio utang tahun anggaran 2016. lfu C.
o.
KETIGA KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Keputusan Direktur Jenderal ini mulai ^pada ^tanggal ditetapkan dan berlaku surut sejak tanggal ^25 ^November 2015. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 18 Desember 2015 DIREKTUR JENDERAL PENGELOLAAN PEMBIAYAAN DAN RISIKO, z.a hROBERTPAKPAHAN ^I LAMPIRAN KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL ^PENGELOLAAN PEMBTAYAAN DAN RISIKO NOMOR 7 3 /PR/2O15 TENTANG STRATEGI PEMBIAYAAN ^TAHUNAN MELALUI UTANG TAHUN 2016 STRATEGI PEMBIAYAAN TAHUNAN MELALUI ^UTAITG TAHUN 2OL6 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PENGELOLAAN PEMBIAYAAN ^DAN ^RISIKO STRATEGI PEMBIAYAAN TAHUNAN MELALUI UTANG TAHUN 2OL6 KATA PENGANTAR Dengan mengucapkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha ^Esa, ^atas perkenan-Nya pen5rusunan Strategi Pembiayaan Tahunan melalui Utang ^Tahun 2016 dapat diselesaikan. Pemenuhan pembiayaan APBN tahun ^2016 dihadapkan pada tantangan atas kondisi pasar keuangan dan perekonomian, baik ^global maupun domestik. Kondisi pasar keuangan global diperkirakan ^masih diliputi ketidakpastian, terutama terkait dengan potensi ^peningkatan Fed ^Fund ^Rate. ^lsu relevan lainnya yang menjadi perhatian dalam pengelolaan utang ^adalah perlambatan perekonomian Tiongkok, lambatnya pemulihan ^perekonomian ^di Eropa pasca krisis utang, serta harga-harga komoditas ^yang diperkirakan ^masih akan tertekan. Tidak berbeda dengan kondisi global, perekonomian domestik ^juga ^sedang mengalami tekanan. Pertumbuhan ekonomi mengalami penurunan dari ^rata-rata sebesar 67o untuk tahun 2010-2013 menjadi 5% di tahun 2014. Namun, ^realisasi pertumbuhan ekonomi pada kuartal III tahun 2Ol5 sebesar 4,73o/o diyakini sebagai titik balik menuju prospek perekonomian yang lebih baik. Kondisi ^pasar keuangan juga kurang menguntungkan, dimana terjadi pelemahan nilai tukar rupiah dan peningkatan tingkat imbat hasil (yield) SBN yang berdampak langsung pada pengelolaan utang negara serta pembiayaan melalui utang. Pelemahan nilai tukar rupiah dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah defisit neraca pembayaran yang dipicu oleh tingginya kebutuhan valas untuk transaksi dan pembiayaan utang dan pelemahan harga komoditas yang mengakibatkan penurunan ekspor. Strategi ini merupakan pedoman pelaksanaan bagi pengelola utang dalam ^rangka memenuhi target pembiayaan melalui utang tahun 2016. Strategi ini ^juga sebagai pedoman dalam pembiayaan kembali utang jatuh tempo dan pedoman untuk pengelolaan portofolio utang agar tercapai portofolio utang yang optimal dengan biaya yang efisien dan risiko yang terkendali. Untuk memenuhi aspek transparansi pengelolaan utang, strategi ini dapat diakses oteh publik melalui uebsite Kementerian Keuangan. Publikasi ini ^juga untuk memenuhi amanat Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Dengan publikasi ini diharapkan pengelolaan utang ^pemerintah dapat memenuhi aspek-aspek tata pemerintahan yang baik ^(good ^gouemancel, transparansi dan akuntabilitas yang tinggi dengan didukung oleh ^peran aktif masyarakat. Jakarta, 1g Desember 2015 DIREKTUR JENDERAL PENGELOLAAN PEMBIAYAAN DAN RISIKO, 1a ROBERT PAKPAHAN DAFTAR ISI Daftar Isi ............ Daftar Gambar Daftar Tabel Latar Belakang Tujuan Strategi.... Kebijakau Umum Pembiayaan Tahunan Kebutuhan Pembiayaan APBN 2016 ....... Strategi Pembiayaan Utang Tunai 1. Pembiayaan Rupiah 2. Pembiayaan Valas 3. Pengelolaan Portofolio 4. Fleksibilitas dan Potensi Tambahan Pembiayaan Utang Strategi Pembiayaan Kegiatan/ Proyek.... 1. Pinjaman Luar Negeri ............... 2. Pinjaman Dalam Negeri 3. Pembiayaan Proyek melalui SBSN Indikator Risiko Pembiayaan Utang 1, Risiko Tingkat Bunga (Interest Rate Risk) 2. Risiko Pembiayaan Kembali (Refinancing Risk) ........ 3. Risiko Nilai T-rkar (Exchange Rate Risk) Ekspektasi Portofolio Utang di Akhir Tahun 2016 ........ Penutup Lampiran: Lampiran 1 : Rencana Penarikan Pinjaman Luar Negeri . .............. Lampiran 2 : Rencana Penarikan Pinjaman Dalam Negeri Lampiran 3 : 9 10 10 Gambar 1 Gambar 2 DAFTAR GAMBAR Pembiayaan Utang Tahun 2016 Ekspektasi Indikator Risiko Portofolio Utang Akhir Tahun 2016 ........ DAFTAR TABEL 8 Tabel Tabel Tabel 1 2 J Rincian Pembiayaan melalui Utang Tahun 2016 Range Penerbitan SBN Domestik Melalui Lelang Target Indikator Pembiayaan Utang Tahun 2O16 3 4 7 STRATEGI PEMBIAYAAN TAHUNAN MELALUI UTANG TAHUN 2016 LATAR BELAI{ANG Salah satu arah kebijakan dalam Anggaran Pendapatan dan ^Belanja ^Negara (APBN) tahun 2016 adalah memberikan stimulus pada perekonomian untuk memacu pertumbuhan ekonomi. Untuk mendukung ^pencapaian ^target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3o , Pemerintah menempuh kebijakan ^fiskal ekspansif dengan besaran defisit yang direncanakan sebesar Rp273.178,9 ^miliar atau 2,15% dari PDB sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang ^Nomor ^14 Tahun 2015 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara ^Tahun ^Anggaran 2016 (UU No. 14l2015). Pemenuhan pembiayaan APBN tahun 2O16 dihadapkan ^pada tantangan ^atas kondisi pasar keuangan dan perekonomian baik global maupun domestik. ^Kondisi pasar keuangan global diperkirakan masih diliputi ketidakpastian, terutama terkait dengan potensi peningkatan Fed Fund Rate seiring ^tanda-tanda kebangkitan ekonomi Amerika Serikat. Isu relevan lainnya ^yang menjadi ^perhatian dalam pengelolaan utang adalah perlambatan perekonomian Tiongkok, ^lambatnya pemulihan perekonomian di Eropa pasca krisis utang, serta harga-harga komoditas yang diperkirakan masih akan tertekan. Tidak berbeda dengan kondisi global, perekonomian domestik ^juga ^sedang mengalami tekanan. Pertumbuhan ekonomi mengalami penurunan dari ^rata-rata sebesar 6% untuk tahun 2010-2013 menjadi 5% di tahun 2014. Namun, ^realisasi pertumbuhan ekonomi pada kuartal III tahun 2O15 sebesar 4,73oh diyakini sebagai titik balik menuju prospek perekonomian yang lebih baik. Kondisi ^pasar keuangan juga kurang menguntungkan, dimana terjadi pelemahan nilai tukar rupiah dan peningkatan tingkat imbal hasil SBN yang berdampak langsung pada ^pengelolaan utang negara serta pembiayaan melalui utang. Pelemahan nilai tukar ^rupiah dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah defisit neraca ^pembayaran yang dipicu oleh tingginya kebutuhan valas untuk transaksi dan pembiayaan utang dan pelemahan harga komoditas yang mengakibatkan ^penurunan ^ekspor. Dengan memperhatikan hat-hal tersebut di atas, maka pengelolaan utang tahun 2O16 memerlukan adanya arahan kebijakan agar target pembiayaan utang ^dapat dipenuhi dengan biaya yang efisien dan risiko yang terkendali. Arahan kebijakan tersebut akan dituangkan dalam Strategi Pembiayaan Tahunan melalui Utang Tahun 2016, yang memuat kebutuhan pembiayaan utang, komposisi ^pemenuhan pembiayaan utang, arah kebijakan pengelolaan utang setiap instrumen, dan beberapa kebijakan khusus yang diperlukan untuk mengelola utang ^yang akuntabel dan transparan. TUJUAN STRATDGI Trrjuan Strategi Pembiayaan Tahunan melalui Utang Tahun 2016 adalah untuk:
Memenuhi kebutuhan pembiayaan melalui utang tahun 2016 dan membiayai kembali utang jatuh tempo dengan biaya yang efisien dan risiko ^yang terkendali;
Mendukung pengembangan pasar SBN domestik untuk meningkatkan elisiensi pengelolaan utang dalam jangka panjang;
Meningkatkan akuntabilitas publik sebagai bagian dari ^pengelolaan utang Pemerintah yang transparan dalam rangka mewr-rjudkan tata kelola pemerintahan yang baik. t KEBIJAKAIiI UMUM PEMBIAYAAI{ TNIUNAN Kebijakan umum yang digunakan dalam ^pen1rusunan ^strategi ^pembiayaan tahunan sebagai berikut:
Mengendalikan rasio utang terhadap PDB ^pada level ^yang aman ^dengan mempertimbangkan kemampuan membayar kembali;
Mengoptimalkan penerbitan SBN di pasar domestik ^untuk ^memenuhi pembiayaan APBN, sedangkan penerbitan SBN valas dilakukan ^sebagai komplementer;
Mengoptimalkan peran serta masyarakat dalam rangka ^pemenuhan ^kebutuhan pembiayaan dan melakukan pendalaman pasar SBN domestik;
Melakukan pengelolaan portofolio utang secara aktif antara ^lain ^melalui bugback dan debt suitch untuk meningkatkan likuiditas ^dan stabilitas ^pasar serta implementasi Asse/ Liabilitig Managemenl ^(ALM) ^dalam upaya untuk menjaga keseimbangan makro;
Mengarahkan pemanfaatan utang untuk kegiatan ^produktif ^antara ^lain ^melalui pengadaan pinjaman kegiatan dan penerbitan sukuk yang berbasis ^proyek dengan tetap mempertimbangkan kebutuhan pendanaan ^pembangunan dalam jangka menengah;
Mengoptimalkan penggunaan pinjaman luar negeri dan ^pinjaman ^dalam ^negeri untuk mendukung pembiayaan belanja modal APBN dan ^pemanfaatan fasilitas pinjaman sebagai alternatif instrumen pembiayaan;
Memperkuat fungsi Inuestor Relation [Jnit, antara lain melalui ^diseminasi informasi secara proaktif, respon yang cepat dan efektif, dan ^komunikasi ^yang efektif dengan investor dan stqkeholder lainnya. KEBUTUHAI{ PEMBIAYAAN MELALUI UTANG TAIIUN 2OL6 Dalam rangka memenuhi kebutuhan pembiayaan APBN tahun 2016 ^sesual dengan UU No. 14 12015, kebutuhan penerbitan/pengadaan ^utang ^(utang ^bruto) tahun 2016 direncanakan sebesar Rp6O5.218,6 miliar atau ^4,76oh ^dari ^PDB, dengan utang neto sebesar Rp33O.884,8 miliar atau 2,6Ooh dari ^PDB, sebagaimana pada Gambar 1. Gambar 1 Pembiayaan Utang Tahun 2O16 latuh Tempo Utang Rp274.333,8 miliar Utang Gross Rp505.218,5 miliar / Pembiayaan Non UtanS Rp57.705,9 miliar Pembiayaan oefisit Rp273.178,9 miliar (dalam mitiar rupiah) Utang Neto 330.884,8 SBN Neto 1 327.774,4 Penerbitan Jatuh Tempo ^+ Cash Management Pengelolaan Portofotio Utang 532.376,4 1202.102,0 (3.000,0 PLN Neto 398,2 Penarikan Jatuh Tempo 69.182,2 (68.784,0 PDN Neto 3.262,2 Penarikan Jatuh Ternpo 3.710,0 (447,81 z7 Kebutuhan penerbitan/pengadaan utang sebesar ^Rp605.218,6 ^miliar ^akan dipenuhi melalui (a) penerbitan/penarikan utang tunai ^sebesar ^Rp555.484,2 ^rniliar yang terdiri dari penerbitan SBN dan pengadaan/penarikan ^pinjaman ^tunai, ^dan (b) pembiayaan kegiatan/proyek sebesar Rp49.734,4 miliar ^yang ^terdiri ^dari penarikan pinjaman proyek (baik pinjaman dalam negeri maupun ^pinjaman luar negeri) dan penerbitan SBSN untuk Pembiayaan Proyek. Tabel 1 Rincian Pembiayaan Melalui Utang Tahun 2016 Penerbitan SBN belum Rp13.677 ,2 miliar dan management. termasuk target penerbitan SBSN untuk ^Pembiayaan ^Proyek ^sebesar akan disesuaikan dengan ^pengelolaan portofolio utang dan ^SPN cash STRATEGI PEMBIAYAAN UTANG TTINAI 1. Pembiayaan Rupiah Utang tunai dalam mata uang rupiah bersumber dari penerbitan SBN ^Rupiah di dalam negeri (SBN domestik), yang dilakukan melalui lelang ^(auctionl, bookbuilding maupun priuate placement. Selain untuk memenuhi pembiayaan APBN, ^penerbitan SBN domestik ^juga diarahkan untuk memenuhi kebutuhan instrumen ^dalam rangka pengembangan pasar SBN, mendorong terciptanya inuestment-oiented societA, mendukung pengelolaan likuiditas rupiah melalui ^penggunaan ^instrumen SBN sebagai alat Operasi Pasar Terbuka oleh Bank Indonesia, dan ^mengendalikan risiko nilai tukar portofolio utang Pemerintah. Dalam tahun 2016, ^lelang penerbitan SBN domestik dilakukan dengan batasan ^jenis instrumen dan tenor, dengan rincian sebagaimana pada Tabel 2. Selain melalui lelang, salah satu instrumen yang memiliki ^potensi besar ^adalah SBN ritel, mengingat ^jumlah penduduk Indonesia yang besar dan saat ^ini instrumen investasi di masyarakat masih terbatas. Pada tahun 2016, ^penerbitan SBN ritel ditargetkan sebesar Rp55.000,0 miliar, yang dilakukan melalui ^Sukuk Ritel, Sauing Bond Ritel, Sukuk Tabungan, dan Obligasi Negara Ritel. Pada tahun 2016, Pemerintah berencana melakukan konversi ^penyaluran dana transfer ke daerah dalam bentuk SBN non-fradable bagi daerah ^yang ^memiliki uang kas dan/atau simpanan di bank dalam ^jumlah yang cukup besar. ^Realisasi terhadap rencana ini dapat berdampak pada besaran SBN bruto ^yang ^akan diterbitkan sehingga diperlukan koordinasi antar unit terkait. (dalam miliar rupiah) P emblayaan Utang Ttrnai Penerbitan SBN SBN Domestik Lelang Non Lelang SBN Va-las Pinjaman Program Pembiayaan Kegiatan/ Proyek PinJaman Luar Negeri Penerusan Pinjaman Luar Negeri Pinjaman Dalam Negeri Penerbitan SBSN untuk P 555.484,2 5t8.649,2 388.684,2 75% 333.684,2 55.000,0 129 .965,0 25o/o 36.835,O 49.734.4 38.2s68 15.909,71 3.710,O ,t Tabel2 Range Penerbitan SBN Domestik Melalui Lelang 2. Pembiayaan Valas a. Penerbitan SBN Valas Penerbitan SBN valas dilakukan dengan tujuan sebagai berikut:
Memenuhi kebutuhan pembiayaan APBN, refiruancing utang, dan sebagai komplementer terhadap penerbitan SBN Rupiah;
Sebagai upaya diversifikasi instrumen pembiayaan dalam rangka ^mengelola tingkat biaya dan risiko pembiayaan;
Memberikan ruang yang lebih lebar kepada institusi non-pemerintah ^untuk memperoleh pembiayaan dari pasar keuangan domestik. Penerbitan SBN valas dapat dilakukan di pasar keuangan domestik maupun ^pasar keuangan global dalam mata uang yang sesuai dengan kebutuhan ^pembiayaan APBN dan kas negara. Pada tahun 2016 penerbitan SBN valas direncanakan dalam mata uang kwat (hard atrrencg) yaitu USD, EUR, dan JPY, sesuai dengan kebutuhan belanja dan pengeluaran pembiayaan APBN. Pemerintah ^juga sedang mengkaji kemungkinan penerbitan SBN dalam mata uang lainnya seperti Renminbi, Singapore Dollar, dan Ringgit Malaysia dengan tetap mempertimbangkan pengelolaan risiko dan pengelolaan cadangan devisa. Target penerbitan SBN valas direncanakan sebesar ekuivalen USD9,35 miliar atau sebesar 24ok dari total penerbitan SBN bruto. Jumlah tersebut dapat dimaksimalkan hingga 3Oo/o dari target penerbitan SBN bruto dengan tetap mempertimbangkan kebutuhan pembiayaan, kondisi pasar keuangan, dan/atau minat investor. b. Penarikan Pinjaman Program/Tunai Kebijakan pinjaman program/tunai pada tahun 2016 diarahkan untuk ^menopang pembiayaan APBN, mengingat kebutuhan pembiayaan APBN yang tinggi dan keterbatasan sumber pembiayaan melalui SBN. Selain itu, pinjaman ^program merupakan salah satu sumber pembiayaan yang memiliki biaya ^yang relatif lebih kompetitif. Target penarikan pinjaman program/tunai pada tahun 2016 adalah sebesar Rp36.835,0 miliar ekuivalen USD2.65O juta. Pemerintah akan mengoptimalkan pembiayaan dari deuelopment partners, termasuk mengupayakan pencarian sumber pembiayaan pinjaman program baru dan/atau melakukan up-size atas pinjaman program yang telah direncanakan. Di samping itu, Pemerintah ^juga membuka kemungkinan pemanfaatan pinjaman tunai komersial dengan mempertimbangkan biaya dan risiko utang. SPN 3 Bulan SPN 12 Bulan Benchmark (tenor 5, l-0, 15, 20 tahun) Non Benchmark (termasuk Piuate Pla cement) SPN-S PBS 2o/o - 60/o llo/o - l5o/o 560/o - 600/o 2ok - 60/o 3o/o - 7o/o 75o/o - 19o/o 12 kali 23 kaii 23 kaJi sesuai kebutuhan 23 kali 23 kali ort 3. Pengelolaan Portofolio Dalam rangka mendukung pencapaian portofolio utang yang optimal ^dan pengembangan pasar SBN domestik, Pemerintah dapat menggunakan mekanisme debt stuitching dan buyback. Program debt switching dilakukan untuk mengurangi refinancing ^nsk, meningkatkan likuiditas pasar SBN, serta mengembangkan ^pasar SBN. ^Dalam rangka mengurangi refrnancing isk, debt stuitching dilakukan dengan ^menukar seri-seri SBN yang akan jatuh tempo dalam 5 tahun dengan seri-seri ^SBN benchmark atau seri lain yang direncanakan akan menjadi benchmark ^Untuk meningkatkan likuiditas pasar, bugback dilakukan dengan menarik off ^the ^run seies dan menggantikannya dengan on the run seies. Cara ini ^juga ^dilakukan untuk mendukung pengembangan pasar SBN. Program buyback dilakukan dengan 3 (tiga) tujuan, yaitu: meningkatkan likuiditas pasar dengan membeli seri yang tidak likuid, stabilisasi pasar sebagai langkah untuk mengurangi volatilitas harga, dan portofolio manajemen dalam rangka mengurangi refinancing risk serta salah satu langkah memanfaatkan idle cash. 4. Fleksibilitas dan Potensi Tambahan Pembiayaan Utang Ketidakpastian dalam perekonomian global di tahun 2016 diperkirakan masih terus berlanjut. Hal ini ditandai oleh belum optimisnya prospek ^pemulihan perekonomian globai, potensi gejolak di pasar keuangan sebagai dampak dari antisipasi pasar terhadap rencana kenaikan suku bunga di Amerika Serikat dan melambatnya ekonomi Tiongkok, serta berlanjutnya penurunan harga komoditas. Dinamika global lainnya yang perlu diantisipasi termasuk divergensi kebijakan moneter dalam upaya untuk mendongkrak kinerja perekonomian dan mendorong daya saing melalui mata uang. Guna merespons dinamika perekonomian dimaksud, UU Nomor 14 Tahun 2015 memberikan keleluasaan bagi Pemerintah untuk menentukan komposisi serta timing penerbitan/pengadaan utang. Terkait komposisi, dalam rangka menjamin pemenuhan target pembiayaan APBN, Pemerintah dapat melakukan switching dari satu ^jenis pembiayaan tunai ke pembiayaan tunai lainnya dengan memperhatikan biaya/risiko dan ketersediaan instrumen. Sementara itu, terkait timing pengadaan utang, Pemerintah dapat merealisasikan sebagian kebutuhan pembiayaan tahun 2016 di akhir tahun 2O15 @refundirug). Prefunding diharapkan dapat menjamin ketersedian anggaran di awal tahun, khususnya untuk mengantisipasi lonjakan kebutuhan awal tahun dalam rangka percepatan realisasi belanja infrastruktur. Besaran prefunding optimal untuk kebutuhan awal tahun ditentukan melalui koordinasi dengan unit-unit terkait, utamanya unit pengelola kas. Koordinasi ^juga dilakukan untuk mencari sumber- sumber alternatif pendanaan awal tahun di luar utang. Sebagai bagian dari front- loading strategg, prefunding akan dilakukan melalui penerbitan SBN pada kisaran 10% s.d. 15% dari target SBN bruto dengan tetap memperhatikan kondisi pasar, biaya dan risiko utang. Selain fleksibilitas tersebut, Pemerintah dapat menggunakan dana ^SAL, melakukan penarikan pinjaman, dan/atau penerbitan SBN sebagai tambahan pembiayaan dalam hal anggaran diperkirakan defisit melampaui target yang ditetapkan dalam APBN. Tambahan pembiayaan dimaksud tetap memperhitungkan adanya batasan maksimal defisit anggaran yang ditetapkan dalam UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yaitu sebesar 3o/o dari PDB. Untuk mengantisipasi potensi tambahan pembiayaan melalui utang, Pemerintah akan terus melakukan penjajakan atas potensi pembiayaan, baik ^yang bersumber dari dalam maupun luar negeri. Potensi dimaksud dapat digunakan sebagai alternatif pembiayaan dengan mempertimbangkan biaya dan risiko ^yang tfi lebih menguntungkan bagi Pemerintah dan/atau searah dengan upaya pengembangan pasar SBN dalam negeri. STRATEGI PTMBIAYAAN KEGIATAN/ PROYEK Pembiayaan kegiatan/proyek melalui utang pada tahun 2016 dilakukan dengan menggunakan 3 (tiga) instrumen, yaitu: (i) Pinjaman Luar Negeri (PLN) yang bersumber dari lembaga multilateral, bilateral, dan kredit ekspor/komersial, (ii) Pinjaman Dalam Negeri (PDN) yang bersumber dari perbankan dalam negeri, dan (iii) Pembiayaan Proyek melalui SBSN.
Pinjaman Luar Negeri Rencana penarikan pinjaman proyek luar negeri tahun 2016 adalah sebesar Rp38.256,9 miliar yang terdiri dari pinjaman proyek pemerintah pusat sebesar Rp29.942,9 miliar, penerusan pinjaman (on-lendingl ke pemerintah daerah dan BUMN sebesar Rp5.909,7 miliar, dan pinjaman yang diterushibahkan ke pemerintah daerah (oru-granting) sebesar Rp2.4O4,3 miliar. Dalam pelaksanaannya, realisasi penarikan pinjaman disesuaikan dengan progress pelaksanaan proyek dan nilai tukar rupiah. Untuk memberikan dampak pengganda (multiplier effectl yang optimal, koordinasi antar-unit terkait perlu ditingkatkan agar pelaksanaan kegiatan dapat berjalan sesuai rencana, salah satunya meningkatkan kualitas penganggaran serta optimalisasi fungsi monitoring dan evaluasi. Upaya ini juga dilakukan untuk meningkatkan kinerja realisasi pinjaman luar negeri dan untuk menghindari tambahan biaya utang.
Pinjaman Dalam Negeri Rencana penarikan PDN untuk tahun 2O16 ditetapkan sebesar Rp3.710,O miliar. Dalam lima tahun terakhir penarikan PDN belum dapat memenuhi target yang ditetapkan APBN/P. Untuk itu langkah-langkah proaktif dalam menangani slou disbursement dari PDN perlu ditingkatkan., di antaranya adalah K/L perlu memastikan terpenuhinya kriteria kesiapan (readiness criteial kegiatan serta koordinasi alltara Bappenas, Kemenkeu, dan K/L perlu ditingkatkan. Selain itu, perencanaan kegiatan harus dilakukan secara selektif dan hati-hati dengan didukung oleh perencanaan yang lebih komprehensif dan sudah terkoordinasi dengan para pihak yang terlibat.
Pembiayaan Proyek melalui SBSN Pembiayaan proyek melalui SBSN direncanakan sebesar Rp13.677,2 miliar untuk pembiayaan proyek di 3 (tiga) kementerian, yaitu Kementerian Perhubungan sebesar Rp4.983,0 miliar, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat sebesar Rp7.226,3 miliar, dan Kementerian Agama sebesar Rp1.467,9 miliar. Waktu penerbitan SBSN tersebut akan disesuaikan dengan kebutuhan (realisasi pelaksanaan kegiatan dari proyek yang dibiayai) dan kondisi pasar keuangan khususnya pasar SBN dalam negeri. INDII(ATOR RISIKO PEMBIAYAAI{ UTANG Secara umum, indikator risiko dalam pemenuhan pembiayaan APBN melalui utang adalah sebagai berikut:
Risiko Tingkat Bunga llnterest Rorte Rislcf Untuk mengendalikan risiko tingkat bunga, penerbitan SBN dan pengadaan pinjaman tahun 2016 dilakukan dengan mengutamakan tingkat bunga tetap (fixed U^l ratel. Namun demikian, utang dengan tingkat bunga mengambang ^masih diperlukan sebagai penyeimbang portofolio. Dengan ^pertimbangan ^tersebut penerbitan SBN dengan tingkat bunga mengambang dan penarikan pinjaman dengan tingkat bunga mengambang masih dimungkinkan bergantung ^pada kebutuhan portofolio dan/atau hasil negosiasi antara pemerintah dengan ^pemberi pinjaman. Porsi utang dengan tingkat bunga mengambang terhadap total outstanding utang diupayakan berada pada tingkat yang aman yaitu di bawah ^2Oo/o dari total outstandirug utang. Indikator risiko tingkat bunga yang lain yaitu refixing rate yang merupakan waktu portofolio utang disesuaikan tingkat bunganya. Indikator ini dikendalikan dengan membatasi utang yang jatuh tempo dalam 1 tahun dan mengendalikan utang dengan tingkat bunga mengambang. Untuk itu, tahun 2016 SBN ^jatuh tempo dalam 1 tahun dibatasi maksimal sebesar 2loh dari penerbitan SBN bruto. 2. Risiko Pembiayaan Kembali lRefinancing Rislcl Risiko pembiayaan kembali dilihat dari indikator Auerage Time to Maturity ^(ATM) dan utang yang jatuh tempo dalam 1 tahun. Pembiayaan utang tahun 2016 ditargetkan memiliki ATM di kisaran 11 tahun dengan range ^+1 tahun dimana ATM untuk penerbitan SBN ditargetkan sekitar 10,4 tahun dengan rincian ATM penerbitan SBN domestik 9,8 tahun dan SBN valas 15,1 tahun. Porsi pembiayaan utang yang akan ^jatuh tempo dalam 1 tahun sebesar ^19%o, dimana untuk penerbitan SBN diperkirakan sebesar 2lo/o dai penerbitan SBN bruto. Sedangkan untuk penarikan pinjaman baru tahun 2015 diperkirakan tidak akan memengaruhi utang yang jatuh tempo dalam 1 tahun mengingat rata-rata utang dalam pinjaman memiliki grace period lebih dari 1 tahun. 3. Risiko Nilai Tukar lExchange Rate Risk) Untuk mengendalikan risiko nilai tukar, porsi penerbitan/penarikan utang valas terhadap total pembiayaan utang tahun 2016 dibatasi maksimrm 4Oo/o. Dari sisi pinjaman, penarikan pinjaman luar negeri lebih dominan dibandingkan dengan pinjaman dalam negeri, sedangkan dari sisi penerbitan SBN pemerintah tetap mengutamakan penerbitan SBN domestik dan membatasi penerbitan SBN valas maksimum 3O%o dari total penerbitan SBN. Tabel S Target Indikator Pembiayaan Utang Tahun 2O16 t2% - t4% Oo/o - 2o/o I Maks 100% 1o,o-12,0 I 9,0-11,0 | 11,0-13,0 Maks. 19% I Maks.21% I - Maks.40% I Maks.30% I Maks.98% thd Utang thd SBN gross I thd Pinjaman Interest Rate Risk VR proporlion Refinancing Risk ATM (tatwn) Mattre in 1 gear Exchange Rate Risk FX proporlion ,7 TKSPEKTASI PORTOFOLIO UTANG DI AKTIIR TATIUN 2016 Berdasarkan rencana pembiayaan APBN melalui utang tahun 2016, portofolio utang pada akhir tahun 2016 diperkirakan menjadi sebesar Rp3.4 13.629,1 miliar yang terdiri dari outstanding SBN sebesar Rp2.666.421,6 miliar dan outstanding pinjaman sebesar Rp747.2O7,5 miliar. Indikator risiko portofolio utang akhir tahun 2016 diproyeksikan sebagaimana pada Gambar 2. Gambar 2 Ekspektasi Indikator Risiko Portofolio Utang Akhir Tahun 2O16 Rasio Utang Jatuh Tempo Dalam 3 Tahun terhadap Total Utang (%) Rasio Utang Tingkat Bunga etap terhadap Total Utang (%) Rasio Utang Valas terhadap Total Utang (%) o% ' Proyeksi Akhir Tahun 2016 r SPUN 2014-201 7 200/o 400k 600/0 80% 1000/0 . Proyeksi Akhir Tahun 2015 Catatan:
Proyeksi akhir tahun 2016 berdasarkan pembiayaan APBN 2016 dan asumsi kurs Rp13.900/USD 1. 2) Proyeksi akhir tahun 2015 berdasa-rkan realisasi pembiayaan APBN 20 15 per akhir November 2015. PENUTUP Strategi ini disusun berdasarkan data pengelolaan utang, pembiayaan utang tahun anggaran 2015, dan kondisi pasar keuangan pada bulan November 2015. Untuk itu, Pemerintah akan memantau secara seksama pelaksanaan strategi ini dalam tahun anggaran berjalan. DIREKTUR JENDERAL PENGELOLAAN PEMBIAYAAN DAN RISIKO, Average Time to Maturity (thn) Proyeksi Akhir Tahun 2016 Proyeksi Akhir Tahun 2015 SPUN 2014-201 7 ROBERT PAKPAHAN 8.d Lampiran 1: Rencana Penarikan Pinjaman Luar Negeri a. Indikasi Pinjaman Program/Ttrnai 530 130 400 400 400 200 200 1.520 *) Masih dilakukan pembahasan dengan beberapa deuelopment portners. Sebagian rencana penarikan pinjaman program/tunai dapat ^dipenuhi dari pinjaman program tahun 2015 yang di-cang ouer ke tahun 2016 dan/atau memanfaatkan pinjaman tunai komersial (less commercial tenn).
Pinjaman Kegiatan/ Proyek dalam miliar Ru 5.909,66 4.091,88 1.618,10 144,73 t4,95 2.4O4,33 2.404,33 World Bank Loca-I Gove rnme n t al d De cen tralization Proj e ct-II Revenue Collection Program Stepping Up Investment for Growth Acceleration Program KIUI Stepping Up Investment for Growth Acceleration Program B. 1 2 3 4 Rencana Penarlkan Piajaman yq'"g Diteruapinlmkan lOn'lendttrg I PT PLN PT Pe rtamina Ke me nte rian Keuan gan c. q. Ditj e n Pe rbendaharaan PI PII Rencana Penarikaa Pinjamaa yaag Diterushlbahkan ^(Oa4ra ^n{: lng I c. 1 x Kementerian Keuansan c.q. DJPK Lampiran 2: Rencana Penarikan Pinjaman Dalam Negeri (dalam miliar Rupiah) rnarikan (gross) 3.710 1 Kementerian Pertahanan 3.000 2 Kepolisian RI 7lO Pembayaran Cicilan Pokok (448) 3.262 Lampiran 3: Rencana Pembiayaan Proyek melalui Penerbitan ^SBSN dalam miliar Ru Kementerian Agama 1.467,9O Revitalisasi Asrama Hajr Peningkatan Sarana Prasarana Perguruan Tinggi Agama Negeri Pembangunan Gedung Balai Nikah dan Manasik Haji 885,00 400,00 182,90 Kementerian Perhubungan 4.983,OO Pembalgunan Fasilitas Perke retaapian untuk Manggarai s/ d Jatine ^gara Modernisasi Fasilitas Perkeretaapian untuk Jatinegara s/d Bekasi Pe mban gu nan ^j alur ganda an tara M artapu ra-Baturaj a Pembangunan Jalan KA Layang di Perkotaan Medan Pembangunan Jalur Ganda KA antara Purwokerto-Kroya Pembangunan Jalur Ganda Lintas S olo-Surabaya anta-ra Madiun-Jombang t.220,oo 530,00 523,t4 1.430,00 689,09 590,77 Kementerian PUPR 7.226,30 Pemban gunan / Revitalasr Pemban gu nan / Revi talasi Pemban gunan / Revitalasi Pemban gunan / Revitalasi Pemban gunan / Revitalasi Pemban gunan / Revitalasi Pemban gunan / Re vitalasi Ja-lan dan Jalan dan Jalan dal Jalan darr Ja-lan dan Ja]an darr .Ialan dal Jembatan Jembatan Jembatan Jembatan Jembatan Jembatan Jembatan Wilayah Wilayah Wilayah Wilayah Wilayah Wilayah Wilayah Sumatera Jawa Kalimantan Nusa Tenggara Sulawesi Maluku Papua i.540,93 1.o50,77 1.040,39 584,47 953,93 840,57 7.2t5,25 Total Pembiayaaa SBSN Project t3.677,2O ,o ,y
Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2012 dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2012 te ...
Relevan terhadap
“Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya” Bahwa dalam konsepsi hak asasi manusia dikenal dua rumpun, pertama hak asasi manusia yang dapat dikesampingkan, dan yang kedua adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikesampingkan. Salah satu hak asasi manusia yang tidak bisa dikesampingkan (non derogable right) __ adalah hak untuk hidup yang dijamin di dalam Pasal 28A Undang-Undang Dasar 1945. Pemenuhan dan perlindungan terhadap hak untuk hidup ini sepenuhnya menjadi kewajiban dan tanggung jawab negara (state obligation). Bahwa Undang-Undang Kesehatan yang telah menganggarkan alokasi 5% untuk dana kesehatan dapat dipandang sebagai upaya pemerintah di dalam memenuhi (fulfill) dan melindungi (protect) hak untuk hidup warga negara. Dengan demikian jelaslah bahwa Undang-Undang a quo yang mensyaratkan 3.4% sebagai anggaran untuk kesehatan merupakan pengingkaran terhadap hak untuk hidup sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28A Undang- Undang Dasar 1945. 6.2 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2012 terkait Anggaran Kesehatan Bertentangan Dengan Pasal 28H ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28H ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 menyatakan: “Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.” Bahwa yang dimaksud dengan jaminan sosial adalah salah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak. Adapun salah satu komponen dari jaminan sosial bisa diwujudkan dalam program jaminan kesehatan. Bahwa fakta di lapangan menunjukkan tidak berjalannya program jaminan kesehatan dikarenakan ketidakcukupan anggaran. Sebagai contoh kasus, anggaran jaminan kesehatan daerah (Jamkesda) Kabupaten Majalengka tidak mencukupi sehingga mengakibatkan masyarakat miskin tidak tercover dalam program Jamkesda. Bahwa kondisi ini merupakan dampak dari minimnya anggaran kesehatan yang dialokasikan dalam Undang-Undang a quo . Sehingga jelaslah bahwa
Pengujian UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah terhadap UUD Negara RI Tahun 1945 ...
Relevan terhadap
Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. [3.11] Menimbang bahwa untuk mendukung dalil permohonannya Pemohon mengajukan bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P- 6, yang telah disahkan dalam persidangan tanggal 25 Agustus 2014; [3.12] Menimbang bahwa untuk memperkuat dalil permohonannya Pemohon mengajukan seorang ahli, Dr. Moh. Khusaini, S.E., M.SI., M.A., yang didengarkan keterangannya di persidangan Mahkamah pada tanggal 2 Oktober 2014; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 60 [3.13] Menimbang bahwa Mahkamah telah mendengar keterangan Presiden yang pada pokoknya menerangkan bahwa Penjelasan Pasal 124 UU 28/2009 memberikan kepastian hukum, karena dengan adanya penetapan tarif maksimum 2% dari NJOP PBB justru memberikan kejelasan terhadap seluruh rakyat Indonesia, sehingga memudahkan dalam penghitungan bagi masyarakat, dan memudahkan untuk menetapkan tarif dalam batasan maksimum bagi pemerintahan daerah. Selain itu Presiden juga mengajukan seorang ahli, Drs. Budi Sitepu, M.A., yang didengarkan keterangannya pada persidangan Mahkamah tanggal 2 Oktober 2014; [3.14] Menimbang bahwa Mahkamah telah menerima keterangan tertulis dari Dewan Perwakilan Rakyat, yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 11 November 2014, yang pada pokoknya menerangkan bahwa Penjelasan Pasal 124 dimaksudkan untuk memberikan kemudahan penghitungan dengan tidak mengabaikan ketentuan bahwa penghitungan retribusi terhadap pengendalian menara telekomunikasi harus dikaitkan dengan biaya pengawasan dan pengendalian; [3.15] Menimbang bahwa setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama permohonan Pemohon, keterangan dari Presiden, keterangan Dewan Perwakilan Rakyat, bukti-bukti surat/tulisan dan ahli yang diajukan oleh Pemohon dan Presiden, serta kesimpulan tertulis Pemohon dan Presiden sebagaimana selengkapnya termuat pada bagian Duduk Perkara, Mahkamah berpendapat sebagai berikut: Pendapat Mahkamah [3.16] Menimbang bahwa Pasal 23A UUD 1945 menentukan bahwa, “ Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang ”. Ketentuan a quo mensyaratkan pengaturan mengenai pengenaan pajak haruslah berbentuk Undang-Undang, yaitu jenis peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden, sehingga negara dalam mengenakan pungutan kepada rakyatnya tidak dapat sewenang-wenang, namun harus melibatkan wakil rakyat. Dengan demikian, undang-undang perpajakan merupakan kesepakatan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 61 antara negara dan rakyat terkait dengan pengenaan pajak. Selanjutnya Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 juga mengakui adanya hak milik pribadi yang tidak boleh diambil dengan cara sewenang-wenang oleh siapapun. Dengan adanya ketentuan Pasal 23A dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945, pajak dan pungutan yang bersifat memaksa seharusnya tidak hanya dipandang sebagai kewajiban kenegaraan saja tetapi juga dipandang sebagai pengambilan sebagian harta milik rakyat oleh negara yang tidak boleh dilakukan secara sewenang-wenang. Agar tidak terjadi kesewenang-wenangan, pemungutan pajak harus berdasarkan prinsip pemungutan pajak ( fiscal justice ) yang meliputi kepastian hukum ( certainty ), keadilan ( equality ), kemudahan ( convenience ), dan efisien ( eficiency ); [3.17] Menimbang bahwa pajak dan pungutan lainnya adalah sumber penerimaan negara yang sangat besar yang digunakan untuk membiayai pembangunan, serta mewujudkan tujuan negara untuk mensejahterakan rakyatnya. Untuk mencapai tujuan pajak yang lebih merata dan berkeadilan, maka semangat otonomi daerah sebagaimana diamanatkan Pasal 18 UUD 1945 telah melimpahkan kewenangan memungut pajak kepada daerah. Tujuannya agar masing-masing daerah dapat mengoptimalkan pendapatan asli daerahnya sesuai karakteristik di setiap daerah. Dalam hal-hal tertentu, pelaksanaan otonomi daerah telah mengubah sistem administrasi pemerintahan dan perpajakan yang semula bersifat sentralisasi menjadi desentralisasi. Oleh karena itu, penerapan kebijakan otonomi daerah yang diiringi dengan kebijakan desentralisasi perpajakan diharapkan akan dapat membantu pemerintah dalam melaksanakan pembangunan di daerah; Salah satu kewenangan yang telah dilimpahkan kepada daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi perpajakan di antaranya berkaitan dengan kewenangan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah. Pengenaan pajak daerah dan retribusi daerah merupakan langkah strategis dalam upaya memberikan kewenangan yang lebih luas dan bertanggung jawab kepada daerah di bidang perpajakan daerah ( local taxing empowerment ), tujuannya untuk mewujudkan kemandirian daerah di segala segi kehidupan; Salah satu sumber pendapatan daerah yang berasal dari pendapatan asli daerah adalah dari retribusi. Retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 62 badan (vide Pasal 1 angka 64 UU 28/2009). Dengan ditetapkannya UU 28/2009 terdapat perluasan objek pajak daerah dan retribusi daerah dalam rangka meningkatkan pendapatan asli daerah yang tujuannya untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat sekaligus meningkatkan kemandirian daerah. Perluasan objek retribusi daerah dilakukan dengan menambah jenis retribusi baru bagi kabupaten/kota, salah satunya adalah retribusi pengendalian menara telekomunikasi; [3.18] Menimbang bahwa komunikasi adalah kebutuhan yang sangat penting bagi manusia sebagai bentuk interaksi terhadap sesama dalam menjalankan kehidupan. Terhadap kebutuhan komunikasi ini, Pasal 28F UUD 1945 telah menjamin hak setiap orang untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta untuk mencari, memperoleh, memilliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang ada. Dengan demikian, menurut Mahkamah, hak untuk berkomunikasi adalah hak konstitusional yang dimiliki setiap orang. Teknologi komunikasi yang berkembang saat ini memberikan kemudahan kepada masyarakat untuk saling terhubung satu sama lain, dan saling berkomunikasi meskipun dari jarak yang berjauhan. Telekomunikasi menjadi kebutuhan yang sangat penting bagi masyarakat, bahkan mempengaruhi segi kehidupan sosial, ekonomi, politik, budaya, bahkan juga hukum; Menara telekomunikasi merupakan infrastruktur pendukung yang utama dalam penyelenggaraan telekomunikasi, yang keberadaannya memerlukan ketersediaan lahan, bangunan, dan ruang udara. Menurut Mahkamah, keberadaan menara telekomunikasi di sisi lain juga dapat memberikan dampak negatif bagi lingkungan sekitar menara telekomunikasi. Dampak negatif yang potensial terjadi akibat tidak terkendalinya pembangunan menara telekomunikasi adalah menara telekomunikasi secara signifikan dapat menimbulkan gangguan keamanaan lingkungan, mengancam kesehatan masyarakat akibat paparan radiasi gelombang, dan merusak estetika lingkungan di sekitar menara. Mahkamah berpendapat bahwa untuk meminimalisasi dampak negatif dari tidak terkendalinya pembangunan menara telekomunikasi, langkah pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan pengendalian menara telekomunikasi adalah tepat. Salah satu caranya adalah dengan memperluas objek retribusi daerah hingga mencakup pengawasan dan pengendaliannya; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 63 Retribusi sebagaimana juga pajak dan pungutan lainnya dapat memiliki fungsi budgeter dan fungsi reguleren . Retribusi berfungsi budgeter akan memberikan pemasukan bagi kas daerah untuk membiayai pemerintahan dan pembangunan daerah. Di sisi lain, retribusi berfungsi reguleren dapat menjadi alat pengatur masyarakat, salah satunya untuk meminimalisasi dampak negatif yang muncul, yang dalam skala lebih luas dapat menimbulkan eksternalitas negatif bagi sekitarnya, dalam hal ini retribusi sebagaimana pajak dan pungutan lainnya dapat dijadikan sebagai instrumen untuk mencapai tujuan tertentu, seperti mengurangi dampak buruk dari rokok dengan meningkatkan cukai rokok, mengurangi tingkat polusi kendaraan dengan pajak kendaraan bermotor, melindungi petani dalam negeri dengan pajak impor atau bea masuk. Retribusi pengendalian menara telekomunikasi memiliki fungsi reguleren untuk mengendalikan jumlah menara telekomunikasi yang semakin banyak, dan meminimalisasi dampak negatif baik bagi kesehatan masyarakat sekitar, keamanan lingkungan, dan tata ruang perkotaan; [3.19] Menimbang bahwa retribusi adalah pungutan yang dilakukan oleh pemerintah daerah karena adanya fasilitas atau pelayanan yang nyata diberikan oleh pemerintah daerah. Dalam hal retribusi pengendalian menara telekomunikasi, objek retribusinya adalah pemanfaatan ruang untuk menara telekomunikasi dengan memperhatikan aspek tata ruang, keamanan, dan kepentingan umum (vide Pasal 124 UU 28/2009), sehingga Wajib Retribusi yang membayar retribusi akan mendapatkan layanan atas pemanfaatan ruang untuk menara telekomunikasi. Untuk itu, dilakukan pengendalian dan pengawasan agar tetap sesuai dengan tata ruang, tidak mengganggu keamanan lingkungan, dan tidak memberikan dampak buruk bagi kepentingan umum yang lebih luas. Dengan kalimat lain, ada layanan yang diberikan oleh pemerintah daerah yang dinikmati oleh Wajib Retribusi; Menurut Mahkamah, sebagaimana hakikat retribusi, maka retribusi haruslah dapat diperhitungkan, memiliki ukuran yang jelas atas tarif yang akan dikenakan. Jika perhitungan retribusi tidak jelas maka beban retribusi bisa jadi akan dialihkan kepada konsumen. Hal demikian menurut Mahkamah akan menimbulkan ketidakpastian hukum, apalagi jika dikaitkan dengan tujuan retribusi untuk mengendalikan pembangunan menara telekomunikasi. Dengan pengalihan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 64 beban retribusi maka pengenaan retribusi pengendalian menara telekomunikasi tidak akan membuat pembangunan menara telekomunikasi terkendali; Terhadap keberatan Pemohon atas penetapan tarif retribusi pengendalian menara telekomunikasi maksimal 2% dari NJOP, Mahkamah memahami bahwa di satu sisi penetapan tarif maksimal bertujuan agar tarif retribusi pengendalian menara telekomunikasi tidak berlebihan dan memberatkan penyedia menara dan penyelenggara telekomunikasi, namun di sisi lain, jika penerapannya di setiap daerah adalah sama, tanpa memperhatikan frekuensi pengawasan dan pengendalian, maka akan menimbulkan ketidakadilan. Ketentuan batas maksimal 2% dari NJOP yang menyebabkan pemerintah daerah mematok harga tertinggi yaitu 2% dari NJOP tanpa perhitungan yang jelas merupakan ketentuan yang tidak memenuhi rasa keadilan. Karena akibat patokan harga maksimal yang menyebabkan hampir di setiap daerah menggunakan batas maksimal untuk memberlakukan pengenaan tarif yaitu 2% bagi setiap daerah dengan karakteristik yang sesungguhnya berbeda adalah hal yang tidak adil. Karena memperlakukan dengan sama terhadap hal yang berbeda adalah diskriminatif, sebagaimana juga memperlakukan secara berbeda terhadap hal yang sama; Batas maksimal 2% bukan hanya ditujukan agar besaran retribusi tidak terlalu tinggi, namun memang diakui karena adanya kesulitan penghitungan. Dalam pengenaan pajak, hal yang tidak bisa dihitung, dan penerapannya akan sulit seharusnya tidak menjadi sebuah objek pungutan, karena akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Sebagai konsekuensi dari kebijakan yang telah diambil, Pemerintah seharusnya dapat menemukan formula yang tepat untuk menetapkan tarif retribusi. Formula demikian dapat diatur dalam peraturan yang lebih teknis. Adanya kesulitan dalam menghitung besaran retribusi yang mengakibatkan ketidakjelasan dalam penentuan tarif menjadikan penetapan tarif maksimal hanya bertujuan untuk mengambil jalan pintas, menurut Mahkamah adalah tindakan yang tidak adil; Meskipun menurut Mahkamah penetapan besaran tarif retribusi baik dalam bentuk presentase ataupun jumlah rupiah merupakan kebijakan yang terbuka bagi pemerintah untuk menentukannya ( open public policy ), namun kepastian hukum yang adil tetap harus diperhatikan. Karena pengenaan pungutan baik retribusi, pajak atau pungutan lainnya harus memperhatikan prinsip Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 65 pemungutan pajak ( fiscal justice ) yang meliputi kepastian hukum, keadilan, kemudahan, dan efisiensi. Pengenaan tarif retribusi yang memberikan batas maksimal 2% dari NJOP tanpa disertai dengan sistem penghitungan yang jelas justru tidak memberikan kepastian hukum yang akan menyebabkan ketidakadilan dalam penerapannya. Kepastian hukum dalam mengenakan pungutan yang bersifat memaksa seharusnya meliputi kepastian subjek, objek, besarnya tarif, dan waktu pembayarannya. Penjelasan Pasal 124 UU 28/2009 menegaskan bahwa tingkat penggunaan jasa pelayanan yang bersifat pengawasan dan pengendalian sulit ditentukan penghitungannya, karena itulah ditentukan presentase 2% sebagai batas maksimal penetapan tarif retribusi pengendalian menara telekomunikasi. Menurut Mahkamah, penjelasan demikian menggambarkan tidak terpenuhinya prinsip pemungutan pajak baik prinsip kepastian hukum, keadilan, kemudahan, dan efisiensi, padahal Pemerintah dalam memperluas objek baik pajak maupun retribusi seharusnya mempertimbangkan prinsip-prinsip pemungutan pajak, sehingga dalam pelaksanaannya tidak menimbulkan ketidakjelasan dalam penghitungan dan kesulitan penentuan tarif. Dengan demikian menurut Mahkamah Penjelasan Pasal 124 UU 28/2009 telah menimbulkan ketidakpastian hukum dan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. [3.20] Menimbang bahwa, dari sisi pembentukan peraturan perundang- undangan yang baik, penjelasan pasal seharusnya tidak memuat norma, karena penjelasan berfungsi sebagai tafsir resmi pembentuk Peraturan Perundang- undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh. Oleh karena itu, penjelasan hanya memuat uraian terhadap kata, frasa, kalimat atau padanan kata/istilah asing dalam norma yang dapat disertai dengan contoh. Penjelasan sebagai sarana untuk memperjelas norma dalam batang tubuh tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan dari norma yang dimaksud. Penjelasan Pasal 124 UU 28/2009 justru mengatur norma yang menentukan tarif retribusi pengendalian menara telekomunikasi yaitu “paling tinggi 2% dari NJOP”. Selain itu, norma yang terkandung dalam Penjelasan Pasal 124 UU 28/2009 justru membuat ketidakjelasan norma yang terkandung dalam Pasal 124 UU 28/2009, sebagian besar pemerintah daerah justru mematok tarif 2% dari NJOP, tanpa menghitung dengan jelas berapa sesungguhnya tarif retribusi yang layak dikenakan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 66 masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut [vide Pasal 152 UU 28/2009]. Dengan demikian menurut Mahkamah Penjelasan Pasal 124 UU 28/2009 tidak bersesuaian dengan pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. [3.21] Menimbang bahwa oleh karena penetapan tarif maksimal retribusi pengendalian menara telekomunikasi bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak bersesuaian dengan pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, maka Pemerintah harus segera membuat formulasi/rumus penghitungan yang jelas terhadap tarif retribusi pengendalian menara telekomunikasi yang sesuai dengan layanan atas pemanfaatan ruang untuk menara telekomunikasi yang telah diterima oleh wajib retribusi, juga dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut, sehingga tujuan pengendalian menara telekomunikasi untuk meminimalisasi eksternalitas negatif dapat tercapai. Sebagaimana telah diatur dalam Pasal 151 ayat (3) dan ayat (4) UU 28/2009, apabila tingkat penggunaan jasa sulit diukur maka tingkat penggunaan jasa dapat ditaksir berdasarkan rumus yang dibuat oleh Pemerintah Daerah, dan rumus dimaksud harus mencerminkan beban yang dipikul oleh Pemerintah Daerah dalam menyelenggarakan jasa tersebut; [3.22] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah Penjelasan Pasal 124 UU 28/2009 telah bertentangan dengan pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, serta menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan, sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian permohonan Pemohon beralasan menurut hukum.
KONKLUSI Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan: [4.1] Mahkamah berwenang mengadili permohonan _a quo; _ [4.2] Pemohon mempunyai kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan permohonan a quo ; [4.3] Pokok permohonan Pemohon beralasan menurut hukum; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 67 Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), dan Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076);
AMAR PUTUSAN Mengadili, Menyatakan:
Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh tujuh Hakim Konstitusi yaitu Arief Hidayat, selaku Ketua merangkap Anggota, Wahiduddin Adams, Maria Farida Indrati, Aswanto, Anwar Usman, Muhammad Alim, dan Ahmad Fadlil Sumadi, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Senin, tanggal tujuh belas, bulan November, tahun dua ribu empat belas, yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Selasa, tanggal dua puluh enam , bulan Mei, tahun dua ribu lima belas , Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 68 selesai diucapkan pukul 12.42 WIB , oleh sembilan Hakim Konstitusi, yaitu Arief Hidayat selaku Ketua merangkap Anggota, Anwar Usman, Wahiduddin Adams, Maria Farida Indrati, Aswanto, Patrialis Akbar, Suhartoyo, I Dewa Gede Palguna, dan Manahan M.P Sitompul, masing-masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Yunita Rhamadani sebagai Panitera Pengganti, dihadiri oleh Pemohon, Presiden/yang mewakili, dan Dewan Perwakilan Rakyat/yang mewakili. KETUA, ttd. Arief Hidayat ANGGOTA-ANGGOTA, ttd. Anwar Usman ttd. Wahiduddin Adams ttd. Maria Farida Indrati ttd. Aswanto ttd. Patrialis Akbar ttd. Suhartoyo ttd. I Dewa Gede Palguna ttd. Manahan M.P Sitompul PANITERA PENGGANTI, ttd. Yunita Rhamadani Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
(1) Pemanfaatan dari penerimaan masing-masing jenis Retribusi diutamakan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan pelayanan yang bersangkutan. (2) Ketentuan mengenai alokasi pemanfaatan penerimaan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Dari ketentuan Pasal 151, Pasal 152 dan Pasal 161 dapat ditegaskan bahwa penetapan tarif retribusi jasa umum harus didasarkan pada biaya penyediaan jasa dalam hal biaya operasional, pemeliharaan, bunga dan biaya modal. Dan biaya tersebut hanya untuk menutupi sebagian biaya saja. Lebih jauh daripada itu, penetapan tarif juga harus didasarkan pada kemampuan masyarakat (jika tarif retribusi dikenakan kepada masyarakat), aspek keadilan dan efektifitas pengendalian atas layanan retribusi. Penerimaan retribusi diutamakan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan pelayanan retribusi. Bahwa dengan mengacu pada ketentuan Pasal 151, Pasal 152 dan Pasal 161 teranglah sudah bahwa penetapan tarif retribusi pengendalian menara telekomunikasi seharusnya didasarkan pada biaya jasa pengawasan dalam rangka pengawasan dan pengendalian menara agar tetap sesuai dengan tata ruang, keamanan.dan kepentingan umum (Pasal 124). Biaya-biaya itu khususnya menyangkut biaya operasional dengan catatan bahwa penetapan tarif tidak untuk menutupi semua biaya pengawasan yang terkait dengan penyediaan jasa pengawasan dan pengendalian menara, tetapi hanya untuk sebagian biaya saja. Penerimaan retribusi pengendalian menara tersebut nantinya akan digunakan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 31 untuk mendanai kegiatan pengawasan dan pengendalian yang akan dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah. Bahwa dalam praktiknya, penetapan tarif retribusi pengendalian menara telekomunikasi ternyata tidak didasarkan pada ketentuan yang diatur di dalam Pasal 151, Pasal 152 dan Pasal 161 karena terbentur oleh penafsiran yang diberikan di dalam Penjelasan Pasal 124, yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut: "Mengingat tingkat penggunaan jasa pelayanan yang bersifat pengawasan dan pengendalian sulit ditentukan serta untuk kemudahan penghitungan, tarif retribusi ditetapkan paling tinggi 2% (dua persen) dari niiai jual objek pajak yang digunakan sebagai dasar penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan menara telekomunikasi, yang besarnya retribusi dikaitkan dengan frekuensi pengawasan dan pengendalian menara telekomunikasi tersebut." Di dalam Penjelasan Pasal 124 tersebut secara terang-terangan dinyatakan bahwa penetapan tarif retribusi pengendalian menara telekomunikasi sulit ditentukan karena bersifat pengawasan dan pengendalian, sehingga dengan alasan untuk memudahkan penghitungan dalam menetapkan tarif digunakanlah batasan paling tinggi 2% dari NJOP; oleh karena itu Penjelasan Pasal 124 tersebut bertentangan dengan ketentuan yang ada dalam Pasal 151, Pasal 152 dan Pasal 161. Seharusnya besarnya retribusi pengendalian menara telekomunikasi tetap berdasarkan pada biaya atas jasa pengawasan dan pengendalian yang dilakukan oleh pemerintah daerah, dan seharusnya dapat dihitung berdasarkan pada rumus dan kriteria tertentu. (misalnya, menghitung besarnya retribusi pada IMB walaupun agak sulit tetapi dapat dilakukan, tetapi mengapa untuk retribusi Pengendalian menara tidak dilakukan). Disamping itu, Penjelasan Pasal 124 tersebut di atas bertentangan dengan syarat dan prisip retribusi yakni bersifat bukan pajak. Karena dengan menggunakan formula 2% dari NJOP tersebut menyebabkan retibusi Pengendalian menara bersifat seperti pajak, berapapun biaya pelayanan yang diberikan tetap harus membayar 2% dari NJOP (artinya besarnya retribusi tidak terkait dengan pelayanan yang diberikan). Oleh karena itu seharusnya ketentuan yang ada dalam Penjelasan Pasal 124 tersebut menjelaskan tentang bagaimana pemerintah daerah melakukan pengawasan dan pengendalian atas menara telekomunikasi sehingga dapat di taksir besarnya biaya yang akan dikeluarkan oleh pemerintah daerah sehingga bermanfaat bagi masyarakat dan tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi ( high-cost economy ). Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 32 [2.3] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon, Presiden menyampaikan keterangan dalam persidangan tanggal 15 September 2014 dan telah menyampaikan keterangan tertulis yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 8 Oktober 2014, yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: I. POKOK PERMOHONAN 1. Bahwa Pemohon adalah penyedia jasa di bidang telekomunikasi yang menganggap Penjelasan Pasal 124 UU PDRD mengandung ketidakjelasan norma dan justru mengaburkan bahkan bertentangan dengan norma-norma yang menjadi pedoman penetapan tarif retribusi yang terkandung dalam Pasal 151, Pasal 152, dan Pasal 161 UU PDRD.
Bahwa menurut Pemohon, dampak dari Penjelasan Pasal 124 UU PDRD membuat ketentuan penetapan tarif Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi tidak lagi didasarkan pada biaya-biaya pengawasan dan pengendalian sebagaimana diatur dalam Pasal 151, 152, dan Pasal 161 UU PDRD, karena dalam praktiknya pemerintah daerah melalui peraturan daerah mengenai penetapan tarif Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi langsung menetapkan tarif sebesar 2% (dua persen) dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) menara telekomunikasi.
Bahwa Pemohon menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan dengan keberlakuan Penjelasan Pasal 124 UU PDRD, karena ketentuan a quo telah menimbulkan ketidakpastian hukum dan menghambat penyedia menara untuk melaksanakan prinsip-prinsip kepentingan umum dalam rangka menyediakan sarana telekomunikasi demi terpenuhinya hak-hak rakyat atas komunikasi sebagaimana dijamin oleh konstitusi. Akibatnya retribusi menara telekomunikasi secara tidak langsung telah merugikan hak-hak rakyat atas komunikasi sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28F UUD 1945. II. TENTANG KEDUDUKAN HUKUM ( LEGAL STANDING ) PEMOHON Sesuai dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011, menyatakan bahwa Pemohon adalah Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 33 pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang, yaitu:
perorangan warga negara Indonesia;
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
badan hukum publik atau privat; atau
lembaga negara. Ketentuan di atas dipertegas dalam penjelasannya, bahwa yang dimaksud dengan “hak konstitusional” adalah hak-hak yang diatur dalam UUD 1945. Dengan demikian, agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai Pemohon yang memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) dalam permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945, maka terlebih dahulu Pemohon harus menjelaskan dan membuktikan:
Kualifikasi dalam permohonan a quo sebagaimana diatur dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011;
Hak dan/atau kewajiban konstitusionalnya dalam kualifikasi dimaksud yang dianggap telah dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang diuji;
Kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon sebagai akibat berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian. Lebih lanjut Mahkamah Konstitusi RI sejak Putusan Nomor 006/PUU- III/2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007, serta putusan-putusan selanjutnya, telah memberikan pengertian dan batasan secara kumulatif tentang kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu Undang-Undang menurut Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 harus memenuhi 5 (lima) syarat yaitu:
Adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
Hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu Undang-Undang yang diuji; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 34 3. Kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
Adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji;
Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Sehubungan dengan kedudukan hukum ( legal standing) Pemohon, Pemerintah menyampaikan hal-hal sebagai berikut:
Menurut Pemerintah, Pemohon yang mendalilkan hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan atas berlakunya Penjelasan Pasal 124 UU PDRD adalah tidak berdasar sama sekali , karena pokok permasalahan yang diajukan untuk diuji dalam permohonan constitutional review saat ini adalah merupakan keberatan Pemohon terhadap pengenaan tarif retribusi yang ditetapkan oleh pemerintah daerah melalui peraturan daerah, sehingga hal ini bukan merupakan isu konstitusionalitas dari keberlakukan norma;
Bahwa terhadap keberatan Pemohon tersebut, UU PDRD memberikan kesempatan bagi Pemohon agar dapat mengajukan keberatan kepada Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk atas Surat Ketetapan Retribusi Daerah (SKRD) atau dokumen lain yang dipersamakan, sebagaimana tertuang dalam Pasal 162 UU PDRD;
Bahwa terhadap keberatan Pemohon atas penerapan tarif retribusi menara telekomunikasi yang menurut Pemohon secara serta merta ditetapkan oleh beberapa peraturan daerah sebesar 2% (dua persen) dari NJOP PBB menara telekomunikasi, Pemerintah berpendapat bahwa ketentuan norma ini sama sekali tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28 F UUD 1945 yang digunakan sebagai batu uji constitutional review saat ini. Berdasarkan hal tersebut di atas, Pemerintah perlu mempertanyakan kepentingan Pemohon apakah sudah tepat sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya ketentuan Penjelasan Pasal 124 UU PDRD. Selain itu, apakah terdapat kerugian konstitusional Pemohon yang bersifat spesifik (khusus) dan aktual Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 35 atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi, dan apakah ada hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji. Menurut Pemerintah, dalil-dalil kerugian yang disampaikan Pemohon lebih bersifat spekulatif, prematur, dan tidak relevan. Sementara Mahkamah Konstitusi telah memutuskan bahwa jika kerugian yang didalilkan bersifat potensial, maka kerugian tersebut harus dipastikan akan terjadi berdasarkan penalaran yang wajar. Oleh karena itu, Pemerintah berpendapat Pemohon dalam permohonan ini tidak memenuhi kualifikasi sebagai pihak yang memiliki kedudukan hukum (legal standing ) dan adalah tepat jika Mahkamah Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima ( niet ontvankelijke verklaard ). Namun demikian, Pemerintah menyerahkan sepenuhnya kepada Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilainya apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) atau tidak, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011, maupun berdasarkan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu (vide Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007). III. KETERANGAN PEMERINTAH TERHADAP MATERI YANG DIMOHONKAN OLEH PEMOHON Sebelum Pemerintah menyampaikan keterangan terkait norma materi muatan yang dimohonkan untuk diuji oleh Pemohon, Pemerintah terlebih dahulu menyampaikan landasan filosofis mengenai materi pajak daerah dan retribusi daerah sebagaimana dimaksud dalam UU PDRD, sebagai berikut: Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara hukum yang menjunjung tinggi hak dan kewajiban warga negara telah menempatkan perpajakan sebagai salah satu perwujudan kewajiban kenegaraan bagi para warganya sebagai sarana untuk ikut serta dalam pembiayaan penyelenggaraan negara dan pembangunan nasional. UUD 1945 telah menempatkan perpajakan sebagai salah satu perwujudan kehidupan bernegara. Hal ini ditegaskan dengan diaturnya perpajakan dalam konstitusi, Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 36 yaitu Pasal 23A UUD 1945 yang berbunyi, “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang”. Dalam penyusunan undang-undang bidang perpajakan sebagaimana amanat Pasal 23A UUD 1945, pembuat Undang-Undang juga mempertimbangkan sistem penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia yang menganut asas otonom dan tugas pembantuan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 18 UUD 1945. Dalam kaitannya dengan pelaksanaan otonomi daerah, pemerintah daerah memerlukan sumber dana yang cukup besar untuk menyelenggarakan pemerintahannya dan pelayanan kepada masyarakat. Sumber dana dimaksud memegang peranan penting guna mendukung kelangsungan pemerintahan dan masyarakat itu sendiri. Sumber dana tersebut dapat diperoleh melalui peran serta masyarakat secara bersama dalam berbagai bentuk diantaranya adalah pajak dan retribusi. Penerapan kebijakan otonomi daerah yang diiringi dengan kebijakan desentralisasi fiskal diharapkan akan dapat membantu Pemerintah dalam melaksanakan pembangunan di daerah. Kebijakan desentralisasi fiskal yang dilaksanakan melalui perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah bertujuan untuk mendukung pembiayaan berbagai urusan dan kewenangan yang dilimpahkan kepada daerah, di antaranya berkaitan dengan kewenangan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah. Sebagaimana diketahui bahwa pajak daerah dan retribusi daerah merupakan komponen utama Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sebagai sumber utama PAD, Pemerintah dalam mendorong peningkatan penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah, melakukan penyempurnaan peraturan perundang-undangan di bidang pajak daerah dan retribusi daerah sesuai dengan perkembangan keadaan. Untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah dan membangun hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang lebih ideal, kebijakan pajak daerah dan retribusi daerah diarahkan untuk lebih memberikan kepastian hukum, penguatan local taxing power , peningkatan efektifitas pengawasan, dan perbaikan pengelolaan pendapatan pajak daerah dan retribusi daerah. Sebagai salah satu bagian dari upaya perbaikan terus menerus, UU PDRD paling tidak memperbaiki 3 (tiga) hal pokok, yaitu penyempurnaan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 37 sistem pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah, pemberian kewenangan yang lebih besar kepada daerah di bidang perpajakan ( local taxing empowerment ) dan retribusi daerah, serta peningkatan efektivitas pengawasan. Ketiga hal tersebut berjalan secara bersamaan, sehingga upaya peningkatan PAD dilakukan dengan konsisten terhadap prinsip-prinsip perpajakan dan retribusi yang baik dan tepat. Retribusi daerah merupakan salah satu jenis pungutan yang dikenakan pemerintah daerah kepada masyarakat di samping pajak. Retribusi bersama- sama dengan pajak digunakan oleh pemerintah daerah untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat. Retribusi daerah dikelompokkan ke dalam 3 (tiga) golongan retribusi yaitu Retribusi Jasa Umum, Retribusi Jasa Usaha, dan Retribusi Perizinan Tertentu. Penggolongan retribusi tersebut dimaksudkan agar tercipta ketertiban dalam pelaksanaannya, sehingga dapat memberikan kepastian bagi masyarakat dan disesuaikan dengan kebutuhan nyata daerah. Objek Retribusi Jasa Umum adalah pelayanan yang diberikan pemerintah daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan. Salah satu jenis Retribusi Jasa Umum adalah Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi. Sehubungan dengan anggapan Pemohon dalam permohonannya, Pemerintah memberikan keterangannya sebagai berikut:
Terhadap dalil Pemohon yang menyatakan bahwa Penjelasan Pasal 124 UU PDRD mengandung ketidakjelasan norma dan justru mengaburkan bahkan bertentangan dengan norma-norma yang menjadi pedoman penetapan tarif retribusi yang terkandung dalam Pasal 151, Pasal 152, dan Pasal 161 UU PDRD, Pemerintah berpendapat: Bahwa dalam hal penetapan tarif Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi yang termasuk dalam kelompok retribusi jasa umum, penetapan tarif Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi harus sejalan dengan prinsip dan sasaran penetapan tarif yang diatur dalam Pasal 152 UU PDRD, yang didasarkan pada kebijakan daerah dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut. Untuk mencapai sasaran dimaksud, penerapan tarif retribusi jasa Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 38 umum dimaksudkan untuk menutup sebagian atau sama dengan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan. Tarif retribusi juga ditetapkan dalam rangka meningkatkan akuntabilitas penyelenggaraan otonomi daerah. Oleh karena itu, pemerintah daerah diberi diskresi penetapan tarif yang dituangkan dalam peraturan daerah mengenai pungutan Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi, namun harus tetap sesuai dengan tata cara penghitungan retribusi yang diatur dalam ketentuan Pasal 151 UU PDRD. Dengan demikian apabila Penjelasan Pasal 124 UU PDRD diubah sebagaimana petitum permohonan Pemohon, dikhawatirkan Pemerintah dianggap telah memberi ruang yang berlebih bagi pemerintah daerah dalam menetapkan tarif retribusi, sehingga Pemerintah memandang perlu mengatur batas maksimum tarif Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi yang ditetapkan pemerintah daerah dalam peraturan daerah.
Selanjutnya terhadap dalil Pemohon, yang menganggap dampak dari Penjelasan Pasal 124 UU PDRD membuat ketentuan penetapan tarif Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi tidak lagi didasarkan pada biaya-biaya pengawasan dan pengendalian sebagaimana diatur dalam Pasal 151, Pasal 152, dan Pasal 161 UU PDRD, karena dalam praktiknya pemerintah daerah melalui peraturan daerah mengenai penetapan tarif Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi langsung menetapkan tarif sebesar 2% (dua persen) dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) menara telekomunikasi, Pemerintah berpendapat: Dalam rangka untuk melindungi masyarakat dari beban yang berlebihan perlu diatur batasan maksimum tarif Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi paling tinggi 2% (dua persen) dari NJOP PBB menara telekomunikasi. Apabila batasan maksimum 2% (dua persen) yang diatur dalam Penjelasan Pasal 124 UU PDRD dihapus sebagaimana permohonan Pemohon, maka tidak akan ada lagi batasan bagi pemerintah daerah dalam menetapkan tarif. Hal tersebut dapat berdampak munculnya kesewenang-wenangan pemerintah daerah dalam menentukan tarif yang justru dapat merugikan masyarakat. __ Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 39 Pada prinsipnya pelayanan yang diberikan oleh pemerintah daerah kepada Wajib Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi adalah pelayanan yang bersifat pengawasan dan pengendalian. Namun pada praktiknya, penghitungan biaya yang dibutuhkan untuk pelaksanaan pengawasan dan pengendalian dimaksud sulit ditentukan. Untuk itu, demi kepastian hukum dan guna mempermudah penghitungan, UU PDRD mengatur bahwa besaran tarif Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi yang dapat ditetapkan oleh pemerintah daerah adalah paling tinggi 2% (dua persen) dari NJOP PBB menara telekomunikasi. Dengan demikian, Pemerintah berpendapat bahwa permasalahan penetapan tarif paling tinggi 2% (dua persen) dari NJOP PBB menara telekomunikasi bukan terletak pada Penjelasan Pasal 124 UU PDRD, namun terkait dengan implementasi norma oleh pemerintah daerah yang dituangkan dalam peraturan daerah masing-masing. Oleh karena itu, terhadap anggapan Pemohon yang mendalilkan hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan atas berlakunya Penjelasan Pasal 124 UU PDRD tersebut adalah tidak berdasar sama sekali , karena pokok permasalahan yang diajukan untuk diuji dalam permohonan constitutional review saat ini adalah merupakan keberatan Pemohon terhadap pengenaan tarif retribusi yang ditetapkan oleh pemerintah daerah melalui peraturan daerah, sehingga hal ini bukan merupakan isu konstitusionalitas dari keberlakukan norma. Bahwa terhadap keberatan Pemohon tersebut, UU PDRD memberikan kesempatan bagi Pemohon agar dapat mengajukan keberatan kepada Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk atas Surat Ketetapan Retribusi Daerah (SKRD) atau dokumen lain yang dipersamakan, sebagaimana tertuang dalam Pasal 162 UU PDRD.
Terhadap dalil Pemohon yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan dengan keberlakuan Penjelasan Pasal 124 UU PDRD, karena ketentuan a quo telah menimbulkan ketidakpastian hukum dan menghambat penyedia menara untuk melaksanakan prinsip-prinsip kepentingan umum dalam rangka menyediakan sarana telekomunikasi demi terpenuhinya hak-hak rakyat atas komunikasi sebagaimana dijamin oleh konstitusi. Akibatnya retribusi menara telekomunikasi secara tidak Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 40 langsung telah merugikan hak-hak rakyat atas komunikasi sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28F UUD 1945, Pemerintah berpendapat: Bahwa ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang dijadikan sebagai batu uji dalam permohonan a quo oleh Pemohon pada hakekatnya memberikan suatu hak konstitusional bagi setiap orang yang berupa hak pengakuan di hadapan hukum, hak jaminan di hadapan hukum, hak perlindungan hukum, hak kepastian hukum, serta hak perlakuan yang sama di hadapan hukum. Pemerintah berpendapat, bahwa dengan adanya Penjelasan Pasal 124 UU PDRD mengenai Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi justru memberikan kejelasan tentang adanya kepastian hukum terhadap seluruh rakyat Indonesia, karena dengan penetapan tarif maksimum 2% (dua persen) dari NJOP PBB menara telekomunikasi mempermudah penghitungan bagi masyarakat dan memberikan batasan kewenangan bagi pemerintah daerah untuk menetapkan tarif dalam batas maksimum. Pemerintah juga berpendapat bahwa Penjelasan Pasal 124 UU PDRD tidak bertentangan dengan Pasal 28F UUD 1945, karena Pemohon tidak dapat membuktikan bahwa dengan penerapan Penjelasan Pasal 124 UU PDRD tersebut hak konstitusional Pemohon dan masyarakat untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi telah dirugikan. Justru dengan penerapan tarif maksimum 2% (dua persen) dari NJOP PBB menara telekomunikasi tersebut, hak warga negara untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi tidak dirugikan. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Pemerintah menyimpulkan bahwa Pemohon telah keliru dalam memahami Penjelasan Pasal 124 UU PDRD. Sejalan dengan hal tersebut, maka petitum permohonan Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum, karena Penjelasan Pasal 124 UU PDRD justru memperjelas tentang adanya kepastian hukum. Oleh karena itu, Pemerintah menyatakan tidak ada alasan untuk meragukan konstitusionalitas dari Penjelasan Pasal 124 UU PDRD, karena terbukti tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28F UUD 1945. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 41 IV. PETITUM Berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan pengujian ( constitutional review ) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dapat memberikan putusan sebagai berikut:
Menyatakan bahwa Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum ( legal standing );
Menolak permohonan pengujian Pemohon ( void ) seluruhnya atau setidak- tidaknya menyatakan permohonan pengujian Pemohon tidak dapat diterima ( niet ontvankelijke verklaard );
Menerima Keterangan Presiden secara keseluruhan; dan
Menyatakan Penjelasan Pasal 124 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28F Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Namun demikian, apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya ( ex aequo et bono ). Selain itu, Presiden mengajukan seorang Ahli bernama Drs. Budi Sitepu M.A., yang didengarkan keterangannya di persidangan Mahkamah pada tanggal 2 Oktober 2014 yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: A. PRINSIP UMUM RETRIBUSI DAERAH 1. Pengertian Pengertian mengenai retribusi daerah diatur dalam Pasal 1 angka 64 UU Nomor 28 Tahun 2009 yang berbunyi sebagai berikut: “ Retribusi Daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa ataupemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau Badan. ” Berdasarkan pengertian tersebut, terdapat beberapa unsur penting yang harus dipahami dalam suatu retribusi daerah, yaitu:
Retribusi daerah dipungut berdasarkan Undang-Undang (sesuai Pasal Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 42 23A UUD 1945) yang pelaksanaannya di daerah diatur dengan peraturan daerah.
Pembayar retribusi daerah mendapat imbalan langsung berupa pelayanan yang menyebabkan fasilitas atau kemanfaatan lainnya dapat dinikmati oleh orang atau pribadi atau badan.
Penerimaan retribusi daerah digunakan oleh pemerintah daerah untuk membiayai kegiatan penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat.
Prinsip dan Kriteria Retribusi Daerah a. Suatu retribusi daerah harus memenuhi beberapa prinsip umum seperti keadilan ( equity ), kepastian ( certainty ), kemudahan ( convenience ), dan efisiensi ( efficiency ).
Penetapan suatu jenis retribusi daerah (yang masuk dalam kelompok retribusi jasa umum) perlu memperhatikan beberapa kriteria, antara lain: • bersifat bukan pajak. • jasa tersebut merupakan kewenangan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. • Jasa memberi manfaat khusus bagi pembayar retribusi daerah, di samping untuk melayani kepentingan dan kemanfaatan umum. • jasa hanya diberikan kepada pembayar retribusi. • tidak bertentangan dengan kebijakan nasional mengenai penyelenggaraannya. • dapat dipungut secara efektif dan efisien, serta merupakan salah satu pendapatan daerah yang potensial. • pemungutan retribusi memungkinkan penyediaan jasa tersebut dengan tingkat dan/atau kualitas pelayanan yang lebih baik.
Tarif Retribusi Daerah Retribusi daerah dibagi dalam 3 (tiga) kelompok, yaitu retribusi jasa umum, retribusi jasa usaha, dan retribusi perizinan tertentu. Prinsip dan sasaran penetapan tarif untuk masing-masing kelompok retribusi tersebut berbeda satu dengan lainnya, yaitu:
Prinsip dan sasaran penetapan tarif retribusi jasa umum ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut. Apabila suatu daerah memiliki kemampuan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 43 fiskal yang memadai, penyediaan jasa untuk jenis Iayanan tertentu dapat tidak dikenakan retribusi.
Prinsip dan sasaran penetapan tarif retribusi jasa usaha didasarkan pada tujuan untuk meperoleh keuntungan yang Iayak. Dalam hal ini, jasa yang disediakan oleh pemerintah daerah pada dasarnya dapat juga disediakan oleh pihak swasta, sehingga penetapan tarif jasa yang disediakan pemerintah daerah akan bersaing dengan harga jasa yang sama yang disediakan oleh pihak swasta.
Prinsip dan sasaran penetapan tarif retribusi perizinan tertentu didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian atau seiuruh biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan. Untuk jenis Iayanan ini, penetapan tarif ditujukan untuk menutup biaya-biaya yang dikeluarkan dalam penyediaan jasa yang bersangkutan ( cost-recovery ) termasuk biaya pengawasannya. Penetapan besarnya tarif untuk masing-masing jenis retribusi daerah sepenuhnya merupakan kewenangan pemerintahan daerah dengan mengacu pada prinsip dan sasaran penetapan tarif di atas dan diatur dalam peraturan daerah. Dalam hal ini, pemerintahan daerah mempunyai kewenangan untuk menetapkan tarif retribusi daerah sesuai kebijakan daerah, seperti untuk menutup sebagian atau seluruh biaya penyediaan jasa yang bersangkutan dan membantu golongan masyarakat kurang mampu sesuai dengan jenis pelayanan yang diberikan. Dengan demikian, prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif retribusi dapat berbeda menurut jenis pelayanan jasa yang bersangkutan dan golongan pengguna jasa. B. RETRIBUSI PENGENDALIAN MENARA TELEKOMUNIKASI DAN PENETAPAN TARIFNYA 1. Pendahuluan Gagasan penetapan retribusi pengendalian menara telekomunikasi muncul ketika berbagai pihak menyampaikan pandangan dan usulannya kepada DPR terkait dengan pembahasan Rancangan Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagai pengganti dari UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 44 Dinamika yang berkembang saat pembahasan RUU tersebut di DPR adalah adanya keluhan dari industri telekomunikasi atas terjadinya berbagai pungutan di daerah terhadap keberadaan menara telekomunikasiyang dipandang tidak memiliki dasar hukum jelas. Berdasarkan UU Nomor 34 Tahun 2000, sejumlah Perda bermasalah masih ditemui di daerah karena prinsip yang dianut dalam Undang-Undang tersebut bersifat “ open-list ”, artinya daerah dapat menetapkan Perda tentang retribusi daerah tanpa menunggu persetujuan dari Pemerintah. Dalam rangka menertibkan berbagai pungutan daerah, Pemerintah dan DPR sepakat untuk mengubah prinsip pemungutan retribusi daerah dari yang bersifat 'open-list' menjadi 'closed-list . Dengan prinsip 'closed-list' , daerah hanya boleh memungut retribusi daerah sesuai jenis retribusi yang tercantum dalam Undang-Undang. Langkah ini dipandang dapat mengoptimalkan peran pemerintah daerah dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat dan sekaligus memberikan kepastian bagi masyarakat mengenai pungutan daerah yang menjadi kewajibannya.
Kondisi yang dihadapi Seiring dengan pertumbuhan industri telekomunikasi di Indonesia, pembangunan menara telekomunikasi oleh perusahaan berkembang pesat guna mendukung kelancaran komunikasi. Pendirian menara telekomunikasi tersebut tidak dapat dikendalikan oleh daerah karena kewenangan perijinan serta pemungutan pajak dan bukan pajak dilakukan oleh pusat. Dari segi estetika, tumbuhnya menara telekomunikasi yang tidak sesuai ketentuan tata ruang telah menimbulkan kerusakan lingkungan di daerah mana menara tersebut didirikan. Berbagai pendapatan dan reaksi muncul atas kondisi tersebut, antara lain:
Sebagian masyarakat di daerah memandang bahwa keberadaan menara telekomunikasi hanya menimbulkan kerusakan lingkungan dan tidak memberikan manfaat, sehingga acapkali terjadi gangguan keamanan terhadap keberadaan menara.
Sebagian Pemerintah daerah juga memandang bahwa tumbuhnya industri telekomunikasi tidak memberikan kontribusi bagi pembangunan di daerah. Keberadaan menara justru dianggap merusak lingkungan, Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 45 sementara daerah tidak mendapatkan bagian dari keuntungan perusahaan telekomunikasi (yang acapkali dipublikasikan mendapatkan keuntungan cukup besar). Hampir semua pungutan yang terkait dengan operasi telekomunikasi dilakukan oleh pusat, baik dalam bentuk pajak penghasilan, pajak pertambahan niiai, maupun penerimaan negara bukan pajak. Pemerintah daerah menuntut agar sebagian dari pungutan tersebut diberikan kepada daerah, baik dalam bentuk bagi hasil ataupun dengan menambah jenis pungutan daerah yang baru.
Pelaku bisnis telekomunikasi memandang bahwa mereka telah memenuhi semua kewajiban finansial atas operasional telekomunikasi kepada pemerintah. Pelaku bisnis menuntut agar pemerintah turut serta dalam mengamankan aset-aset yang mereka gunakan di daerah dalam operasional telekomunikasi (seperti menara telekomunikasi) agar mereka tidak mengalami kerugian, yang pada akhimya akan mengurangi pembayaran pajak dan bukan pajak. Mereka juga memandang bahwa keberadaan menara telekomunikasi turut memberikan kontribusi bagi pembangunan daerah karena komunikasi antar masyarakat di daerah dan antar daerah menjadi lebih lancar.
Para akademisi melihat bahwa pertumbuhan industri telekomunikasi memberikan kontribusi yang signifikan bagi pembangunan daerah. Namun, kepada daerah perlu dialokasikan sejumlah dana yang diperoleh dari industri telekomunikasi untuk digunakan membiayai pelayanan terhadap keberadaan menara telekomunikasi di daerah seperti: pengaturan ruang untuk pendirian menara telekomunikasi, pengendalian dan pengamanan menara telekomunikasi dari potensi gangguan kamtibmas, serta menata pembangunan menara telekomunikasi yang sesuai dengan kondisi daerah.
Para anggota DPR juga memandang bahwa keberadaan menara telekomunikasi perlu dikendalikan oleh pemerintah daerah agar keberadaannya tidak merusak lingkungan. Guna menjamin kelancaran komunikasi, keberadaan menara telekomunikasi perlu diatur dan diamankan dari gangguan kamtibmas. Berbagai opsi dapat dipertimbangkan untuk membantu daerah membiayai fungsi pelayanan tersebut seperti bagi hasil pungutan pusat, menambah jenis pajak daerah Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 46 baru (pajak telepon), retribusi daerah baru, atau piggy-bank dari jenis pajak pusat.
Pemerintah pada dasarnya sependapat dan mendukung upaya pengamanan menara telekomunikasi dalam rangka meningkatkan kualitas komunikasi masyarakat, termasuk perlunya pengendalian pembangunan menara telekomunikasi untuk mencegah kerusakan lingkungan. Oleh karena itu, berbagai opsi yang ada dikaji dengan melibatkan berbagai pihak, seperti akademisi (antara Iain yang tergabung dalam Tim Asistensi Menteri Keuangan bidang Desentralisasi Fiskal- TADF), Asosiasi Telekomunikasi Seiuruh Indonesia (ATSI), pemerintah daerah, dan instansi pusat terkait.
Solusi Yang Diambil Dari diskusi yang dilakukan atas kajian terhadap berbagai opsi yang ada, Panitia Kerja RUU PDRD menyepakati hal-hal sebagai berikut:
Kepada daerah perlu diberikan tambahan jenis pungutan daerah yang hasilnya digunakan untuk membiayai pelayanan pengendalian menara telekomunikasi. Tambahan jenis retribusi daerah yang baru merupakan pilihan yang lebih baik dibanding dengan timbulnya kerawanan terhadap keberadaan menara telekomunikasi atau timbulnya berbagai jenis pungutan daerah yang tidak didasarkan pada peraturan perundang- undangan.
Pemungutan retribusi daerah harus disertai pelayanan kepada pembayar retribusi daerah, antara lain dengan mengoptimalkan pengawasan dan pengendalian atas menara telekomunikasi yang ada di daerah.
Untuk kepastian hukum, Perda pungutan daerah harus mengikuti ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang, baik menyangkut objek, subyek, maupun tarifnya. Hal ini diselaraskan dengan karakteristik UU PDRD yang sedang dirumuskan, yang bersifat closed-list .
Perumusan Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi Berdasarkan kesepakatan tersebut, dirumuskan suatu retribusi daerah tambahan dengan penjelasan sebagai berikut:
Jenis pungutan baru tersebut diberi nama "Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi" dan digolongkan kedalam kelompok "retribusi jasa umum" (Pasal 110 dan Pasal 124 UU 28/2009) Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 47 b. Sebagaimana halnya dengan jenis retribusi daerah lainnya, penetapan tarif reribusi daerah diserahkan sepenuhnya kepada kebijaksanaan daerah yang diatur dalam Perda. Namun, untuk memberikan kepastian hukum serta untuk mencegah terjadinya pungutan retribusi yang berlebihan, maka dalam Undang-Undang ditetapkan secara spesifik tarif maksimum retribusi pengendalian menara telekomunikasi yang dapat dipungut oleh daerah, yaitu 2% dari NJOP PBB-P2 menara telekomunikasi (Penjelasan Pasal 124 UU 28/2009).
Penetapan tarif maksimum ditujukan untuk menghindarkan pengenaan retribusi daerah yang memberatkan masyarakat, mengingat cara penghitungan biaya penyediaan jasa, pengendalian, dan pengawasan yang menjadi dasar penetapan tariff retribusi sulit diketahui kewajarannya.
Batas maksimum tarif retribusi sebesar 2% dari NJOP didasarkan atas estimasi besaran pungutan yang selama ini dibayar oleh industri telekomunikasi kepada daerah (pungutan berdasarkan Perda atau Sumbangan Pihak Ketiga atau bentuk pungutan lainnya). Nilai ini dengan mudah dapat diketahuimelalui data pungutan PBB-P2 atas menara telekomunikasi yang dilakukan oleh daerah. Hal ini dilakukan untuk memenuhi salah prinsip-prinsip retribusi daerah, berupa kepastian, kemudahan, dan efisiensi. Kesimpulan dan Pendapat: Berdasarkan prinsip-prinsip retribusi daerah, mekanisme perumusan jenis dan tarif retribusi, serta keselarasan dengan karakteristik Undang-Undang pajak daerah dan retribusi daerah, kami menyimpulkan bahwa pengaturan tarif Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasiyang ditetapkan dalam Penjelasan Pasal 124 UU Nomor 28 Tahun 2009 tidak bertentangan dengan ketentuan umum di bidang retribusi daerah. Kami berpendapat bahwa rumusan yang terdapat dalam Penjelasan Pasal 124 UU tersebut sudah baik dan tidak perlu diubah. Adapun pertimbangan atas pendapat ini adalah:
Sesuai dengan prinsip-prinsip retribusi daerah. Rumusan dalam Penjelasan Pasal 124 UU 28/2009 memberikan kepastian, kemudahan, dan efisiensi: Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 48 a) Dengan adanya tarif maksimum, terdapat kepastian mengenai jumlah retribusi menara telekomunikasi yang harus dibayar oleh masyarakat. Pemerintahan daerah tidak dapat dengan sewenang-wenang menetapkan tarif retribusi dengan menggunakan formula yang sulit dimengerti oleh masyarakat. Data mengenai NJOP mudah diperoleh, yakni menggunakan pembayaran PBB-P2 menara telekomunikasi sebagai referensi. b) Formula penghitungan tarif yang sederhana (2% dari NJOP) akan meningkatkan efisiensi pemungutan retribusi pengendalian menara telekomunikasi. Dalam hal ini, daerah dapat secara langsung menerapkan tarif maksimum dengan mencantumkannya dalam Perda mengenai retribusi daerah.
Meningkatkan partisipasi masyarakat. Dengan referensi yang mudah diperoleh dan cara penghitungan yang sederhana maka masyarakat dapat menghitung sendiri tarif retribusi yang harus dibayar.
Memberikan hak masyarakat. Melalui kemudahan penghitungan, masyarakat memiliki peluang untuk mengajukan keberatan apabila retribusi yang dipungut melampaui tarif maksimum. Pasal 162 UU Nomor 28 Tahun 2009 memberikan kesempatan bagi wajib retribusi untuk mengajukan keberatan kepada Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk atas suatu Surat Ketetapan Retribusi Daerah (SKRD). [2.4] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon, Dewan Perwaiklan Rakyat menyampaikan keterangan keterangan tertulis yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 11 November 2014, yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: A. KETENTUAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945.
Pengujian Materiil Pemohon dalam permohonannya mengajukan pengujian atas Penjelasan Pasal 124 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 49 Penjelasan Pasal 124 secara keseluruhan berbunyi: “Mengingat tingkat penggunaan jasa pelayanan yang bersifat pengawasan dan pengendalian sulit ditentukan serta untuk kemudahan penghitungan, tariff retribusi ditetapkan paling tinggi 2% (dua persen) dari nilai jual objek pajak yang digunakan sebagai dasar penghitungan Pajak dan Bangunan menara telekomunikasi, yang besarnya retribusi dikaitkan dengan frekuensi pengawasan dan pengenda/ian menara telekomunikasi tersebut" Pemohon beranggapan ketentuan Penjelasan Pasal 124 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) juncto Pasal 28 I ayat (2) dan Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; B. HAK DAN/ATAU KEWENANGAN KONSTITUSIONAL YANG DIANGGAP PEMOHON TELAH DIRUGIKAN OLEH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH Pemohon dalam permohonan a quo mengemukakan bahwa hak konstitusionalnya telah dirugikan dan dilanggar atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran wajar dapat dipastikan terjadi kerugian oleh berlakunya Penjelasan Pasal 124 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah pada pokoknya sebagai berikut:
Bahwa ketidakjelasan norma yang terkandung pada Penjelasan Pasal 124 telah mengakibatkan beban ekonomi tinggi sehingga pelaksanaan Pasal 124 menjadi inkonstitusional karena bertentangan dengan hak-hak atas komunikasi sebagai hak dasar sebagaimana yang diatur di Pasal 28F UUD NRI 1945 dan bertentangan dengan hak-hak Pemohon untuk mendapatkan keadilan dan kepastian hukum sebagaimana yang diatur Pasal 28D UUD NRI 1945;
Bahwa agar Penjelasan Pasal 124 memberikan kejelasan norma sehingga penetapan tarif retribusi pengendalian menara benar-benar menggunakan pendekatan biaya yang didasarkan pada kebutuhan biaya dan frekuensi pengawasan dan pengendalian sebagaimana yang diatur pada Pasal 152 dan Pasal 161 (ketentuan pasal yang mengatur mengenai pedoman penetapan tarif retribusi), maka yang awalnya Penjelasan Pasal 124 Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 50 berbunyi: “Mengingat tingkat pengunaan jasa pelayanan yang bersifat pengawasan dan pengendalian sulit ditentukan serta untuk kemudahan penghitungan, tarif retribusi ditetapkan paling tinggi 2% (dua persen) dari nilai jual objek pajak yang digunakan sebagai dasar penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan menara telekomunikasi yang besamya retribusi dikaitkan dengan frekuensi pengawasan dan pengendalian menara telekomunikasi tersebut.” Harus diubah sebagai berikut: “ Penetapan tarif retribusi didasarkan pada biaya pengawasan dan pengendalian menara telekomunikasi ” 3. Bahwa dengan diubahnya Penjelasan Pasal 124 dengan perubahan sebagaimana yang Pemohon sampaikan semata-mata agar Pasal 124 memiliki tafsir resmi yang bersifat konstitusional, tidak lagi melanggar hak- hak dasar rakyat di bidang komunikasi sebagaimana yang diatur di Pasal 28F UUD NRI 1945 dan juga tidak melanggar hak-hak Pemohon dalam mendapatkan keadilan dan kepastian hukum sebagaimana yang diatur di Pasal 28D UUD NRI 1945; C. KETERANGAN DPR RI Terhadap dalil Pemhon sebagaimana diuraikan dalam permohonan a quo, DPR menyampaikan keterangan sebagai berikut:
Kedudukan hukum ( legal standing ) Para Pemohon Kualifikasi yang harus dipenuhi oleh Para Pemohon sebagai Pihak telah diatur dalam ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disingkat UU Mahkamah Konstitusi), yang menyatakan bahwa, “ Para Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya _dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu: _ _a. perorangan warga negara Indonesia; _ b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik _Indonesia yang diatur dalam undang-undang; _ _c. badan hukum publik atau privat; atau _ d. lembaga negara. ” Hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dimaksud ketentuan Pasal 51 ayat (1) tersebut, dipertegas dalam penjelasannya, bahwa yang dimaksud dengan "hak konstitusional" adalah hak-hak yang diatur dalam Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 51 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Ketentuan Penjelasan Pasal 51 ayat (1) ini menegaskan, bahwa hanya hak-hak yang secara eksplisit diatur dalam UUD Tahun 1945 saja yang termasuk "hak konstitusional". Oleh karena itu, menurut UU Mahkamah Konstitusi, agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai Pemohon yang memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) dalam permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD Tahun 1945, maka terlebih dahulu harus menjelaskan dan membuktikan :
Kualifikasinya sebagai Pemohon dalam permohonan a quo sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;
Hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dimaksud dalam “Penjelasan Pasal 51 ayat (1)” dianggap telah dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang. Mengenai parameter kerugian konstitusional, Mahkamah Konstitusi telah memberikan pengertian dan batasan tentang kerugian konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu Undang-Undang harus memenuhi 5 (lima) syarat (vide Putusan Perkara Nomor 006/PUU-111/2005 dan Perkara Nomor 011/PUU-V/2007) yaitu sebagai berikut:
adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD Tahun 1945;
bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu Undang-Undang yang diuji;
bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 52 Apabila kelima syarat tersebut tidak dipenuhi oleh Pemohon dalam perkara pengujian UU a quo , maka Pemohon tidak memiliki kualifikasi kedudukan hukum ( legal standing ) sebagai Pihak Pemohon. Menanggapi permohonan Pemohon a quo , DPR berpandangan bahwa Pemohon harus dapat membuktikan terlebih dahulu apakah benar para Pemohon sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan atas berlakunya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji, khususnya dalam mengkonstruksikan adanya kerugian terhadap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagai dampak dari diberlakukannya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji. Terhadap kedudukan hukum ( legal standing ) tersebut, DPR menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilai apakah para Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) atau tidak sebagaimana yang diatur oleh Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi dan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 006/PUU- 111/2005 dan Perkara Nomor 011/PUU-V/2007.
Pengujian atas Penjelasan Pasal 124 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Terhadap permohonan pengujian Pasal 124 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, DPR menyampaikan keterangan sebagai berikut:
Bahwa tujuan pengaturan sebagaimana dimaksud dalam Penjelasan Pasal 124 adalah dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan kemandirian daerah sebagimana tergambar dalam konsiderans menimbang Undang-Undang a quo bahwa pajak daerah dan retribusi daerah merupakan salah satu sumber pendapatan daerah yang penting guna membiayai pelaksanaan pemerintahan daerah. Guna meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan kemandirian daerah, perlu dilakukan perluasan objek pajak daerah dan retribusi daerah dan pemberian diskresi dalam penetapan tarif. Kebijakan pajak daerah dan retribusi daerah dilaksanakan berdasarkan prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan, peran serta masyarakat, dan akuntabilitas dengan memperhatikan potensi daerah. Tiap-tiap daerah mempunyai hak dan kewajiban untuk mengatur Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 53 dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya. Untuk menyelenggarakan pemerintahan tersebut daerah berhak mengenakan pungutan kepada masyarakat sepanjang memenuhi ketentuan yang diatur dalam undang- undang;
Bahwa untuk meningkatkan akuntabilitas penyelenggaraan otonomi daerah, Pemerintah Daerah diberi kewenangan yang lebih besar dalam perpajakan dan retribusi. Berkaitan dengan pemberian kewenangan tersebut sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, perluasan kewenangan perpajakan dan retribusi tersebut dilakukan dengan memperluas basis pajak Daerah dan memberikan kewenangan kepada Daerah dalam penetapan tarif. Perluasan basis pajak tersebut dilakukan sesuai dengan prinsip pajak yang baik. Pajak dan Retribusi tidak menyebabkan ekonomi biaya tinggi dan/atau menghambat mobilitas penduduk, lalu lintas barang dan jasa antar daerah dan kegiatan ekspor- impor. Berdasarkan pertimbangan tersebut perluasan basis pajak Daerah dilakukan dengan memperluas basis pajak yang sudah ada, mendaerahkan pajak pusat dan menambah jenis Pajak baru.
Bahwa Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah mendukung reformasi desentralisasi. Dengan ciri-ciri bahwa memberdayakan Pemerintah Daerah melalui penelitian otonomi daerah dengan akuntabilitas yang tinggi. Dalam UndangUndang ini, dianut openlis menjadi closelis. Artinya, selain diberikan diskresi, daerah juga dibatasi di dalam memungut daerah yang hanya boleh dipungut berdasarkan yang tercantum di undang-undang tersebut. Undang-Undang a quo memberikan ruang untuk menggali sumbersumber pendapatan daerah yang memenuhi kriteria-kriteria yang ditentukan.
Bahwa retribusi pengendalian menara telekomunikasi merupakan salah satu objek retribusi jasa umum. Berdasarkan Pasal 108 Undang-Undang a quo , objek retribusi jasa terbagi menjadi tiga bagian, yakni retribusi jasa umum, retribusi jasa usaha dan perizinan tertentu. Selanjutnya menurut Pasal 109 Undang-Undang a quo , objek Retribusi Jasa Umum merupakan pelayanan yang disediakan atau diberikan Pemerintah Daerah untuk tujuan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 54 kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Sadan. Meskipun demikian, Undang Undang a quo membuka kemungkinan bahwa 14 (empat belas) jenis Retribusi Jasa Umum dapat tidak dipungut apabila potensi penerimaannya kecil dan/atau atas kebijakan nasional/daerah untuk memberikan pelayanan tersebut secara cuma-cuma.
Bahwa menurut Pasal 124 Undang-Undang a quo , objek retribusi pengendalian menara telekomunikasi adalah pemanfaatan ruang untuk menara telekomunikasi dengan memperhatikan aspek tata ruang, keamanan, dan kepentingan umum.
Bahwa penjelasan Pasal 124 Undang-Undang a quo yang selengkapnya berbunyi: “ Mengingat tingkat penggunaan jasa pelayanan yang bersifat pengawasan dan pengendalian sulit ditentukan serta untuk kemudahan penghitungan, tarif retribusi ditetapkan paling tinggi 2% (dua persen) dari nilai jual objek pajak yang digunakan sebagai dasar penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan menara telekomunikasi, yang besarnya retribusi dikaitkan dengan frekuensi pengawasan dan pengendalian menara telekomunikasi tersebut ”, dimaksudkan guna menjelaskan bahwa pada kenyataannya terdapat kesulitan untuk menentukan tingkat penggunaan jasa yang bersifat pengawasan dan pengendalian sehingga untuk melindungi subjek dan/atau wajib retribusi jasa umum dit tapkan angka maksimal dalam pengenaan tarif retribusi, agar pihak Pemerintah Daerah sebagai penyedia layanan tidak semena-mena menetapkan tarif retribusi jasa umum tersebut.
Bahwa berdasarkan penjelasan Pasal 124 Undang-Undang a quo , nilai jual objek pajak yang digunakan sebagai dasar penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan menara telekomunikasi pada dasarnya merupakan jalan keluar agar kesulitan sebagaimana dimaksud pada huruf f dapat diatasi. Penetapan angka maksimal 2% (dua persen) dari nilai jual objek pajak yang digunakan sebagai dasar penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan menara telekomunikasi tetap harus dikaitkan dengan frekuensi pengawasan dan pengendalian menara telekomunikasi tersebut, sehingga Pemerintah Daerah seharusnya tetap memperhatikan penghitungan riil biaya frekuensi pengawasan dan pengendalian menara telekomunikasi dan tidak langsung mengenakan tarif maksimal atau 2% (dua persen) tanpa dasar Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 55 penghitungan.
Berdasarkan hal-hal tersebut, DPR berpendapat bahwa penjelasan Pasal 124 dimaksUdkan guna memberikan kemudahan penghitungan dengan tidak mengabaikan ketentuan bahwa penghitungan retribusi terhadap pengendalian menara telekomunikasi harus dikaitkan dengan biaya pengawasan dan pengendalian, namun dalam penetapannya tidak boleh melebihi 2% dari nilai jual objek pajak agar melindungi para subjek dan/atau wajib retribusi dari pengenaan tarif yang semena-mena. Demikian keterangan DPR RI kami sampaikan untuk menjadi bahan pertimbangan bagi Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, memutus, dan mengadili Perkara a quo dan dapat memberikan putusan sebagai berikut:
Menerima Keterangan DPR RI secara keseluruhan;
Menyatakan Penjelasan Pasal 124 Undang-Undang a quo tidak bertentangan dengan Pasal 28D UUD NRI Tahun 1945;
Menyatakan Penjelasan Pasal 124 Undang-Undang a quo tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat. [2.5] Menimbang bahwa Mahkamah telah menerima kesimpulan yang disampaikan oleh Pemohon yang diterima Kepaniteraan tanggal 9 Oktober 2014 dan Presiden yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 15 Oktober 2014 yang pada pokoknya tetap pada pendiriannya; [2.6] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, segala sesuatu yang terjadi di persidangan merujuk berita acara persidangan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini;
PERTIMBANGAN HUKUM [3.1] Menimbang bahwa pokok permohonan Pemohon adalah pengujian konstitusionalitas Penjelasan Pasal 124 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049, selanjutnya disebut UU 28/2009) terhadap Pasal 28D dan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 56 Pasal 28F Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945); [3.2] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan, Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) terlebih dahulu akan mempertimbangkan hal-hal berikut:
kewenangan Mahkamah untuk mengadili permohonan a quo ;
kedudukan hukum ( legal standing ) para Pemohon untuk mengajukan permohonan a quo . Terhadap kedua hal tersebut, Mahkamah berpendapat sebagai berikut: Kewenangan Mahkamah [3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya disebut UU MK) dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076, selanjutnya disebut UU 48/2009), salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945; [3.4] Menimbang bahwa permohonan Pemohon __ adalah untuk menguji konstitusionalitas Undang-Undang, in casu Penjelasan Pasal 124 UU 28/2009 terhadap UUD 1945, sehingga oleh karenanya Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo ; Kedudukan Hukum ( Legal Standing ) Pemohon [3.5] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 57 konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu Undang-Undang, yaitu:
perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama);
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
badan hukum publik atau privat; atau
lembaga negara; Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu:
kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK;
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian; [3.6] Menimbang bahwa Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 bertanggal 20 September 2007 serta putusan-putusan selanjutnya telah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi lima syarat, yaitu:
adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut harus bersifat spesifik dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional dimaksud dengan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 58 e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; [3.7] Menimbang bahwa Pemohon adalah badan hukum privat berbentuk perseroan terbatas yang berdasarkan akta pendiriannya (vide bukti P-2) bergerak di bidang telekomunikasi dan informasi. Pemohon mendalilkan bahwa ketentuan Penjelasan Pasal 124 UU 28/2009 potensial akan menimbulkan kerugian konstitusional bagi Pemohon pada khususnya, dan rakyat Indonesia pada umumnya, karena telah menimbulkan ketidakpastian hukum sehingga menghambat penyedia menara telekomunikasi untuk melaksanakan prinsip-prinsip kepentingan umum dalam rangka menyediakan sarana telekomunikasi demi terpenuhinya hak-hak rakyat atas komunikasi sebagaimana yang dijamin oleh konstitusi (Pasal 28F UUD 1945). Akibatnya, retribusi menara telekomunikasi secara tidak langsung telah merugikan hak-hak rakyat atas komunikasi sebagaimana yang dijamin Pasal 28F UUD 1945; [3.8] Menimbang bahwa dengan mendasarkan pada Pasal 51 ayat (1) UU MK, dan putusan-putusan Mahkamah mengenai kedudukan hukum, serta dalil Pemohon yang merasa dirugikan akibat ketidakpastian hukum dalam penentuan tarif retribusi pengendalian menara telekomunikasi yang ditimbulkan oleh Penjelasan Pasal 124 UU 28/2009, menurut Mahkamah, prima facie Pemohon mempunyai hak konstitusional karena dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian. Kerugian tersebut bersifat potensial, dan terdapat hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian dimaksud dengan berlakunya norma Undang-Undang yang dimohonkan pengujian, sehingga terdapat kemungkinan apabila permohonan dikabulkan maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan terjadi. Dengan demikian, menurut Mahkamah Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan permohonan a quo ; [3.9] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili permohonan Pemohon __ dan Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan permohonan a quo , selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 59 Pokok Permohonan [3.10] Menimbang bahwa pokok permohonan sebagaimana dimaksud oleh Pemohon adalah pengujian konstitusionalitas Penjelasan Pasal 124 UU 28/2009 yang selengkapnya menyatakan, "Mengingat tingkat penggunaan jasa pelayanan yang bersifat pengawasan dan pengendalian sulit ditentukan serta untuk kemudahan penghitungan, tarif retribusi ditetapkan paling tinggi 2% (dua persen) dari nilai jual objek pajak yang digunakan sebagai dasar penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan menara telekomunikasi, yang besarnya retribusi dikaitkan dengan frekuensi pengawasan dan pengendalian menara telekomunikasi tersebut." yang menurut Pemohon penjelasan tersebut bertentangan dengan Pasal 28D dan Pasal 28F UUD 1945 yang menyatakan:
PUU Nomor 11/2011 tentang Perubahan Atas UU 10/2010 tentang APBN TA 2011
Relevan terhadap
negeri maupun dalam negeri dalam APBN yang meningkat setiap tahunnya. Perlu Pemerintah sampaikan bahwa dalam melaksanakan pembangunan untuk mencapai kemakmuran bagi rakyat, Pemerintah selalu berusaha untuk meningkatkan pendapatan baik dari sektor pajak maupun bukan pajak. Pemerintah juga berupaya untuk meningkatkan perekonomian rakyat sehingga ketergantungan atas pembiayaan dari luar maupun dalam negeri akan berkurang. Selain melakukan peningkatan pendapatan, Pemerintah juga selalu berusaha untuk mengoptimalkan belanja Pemerintah teutama belanja modal untuk dapat meningkatkan produktifitas masyarakat sehingga dengan sendirinya dapat mengurangi pembiayaan yang berasal dari pinjaman luar maupun dalam negeri. 3. HENRY THOMAS SIMARMATA Sehubungan dengan pernyataan Ahli Henry Thomas Simarmata yang pada pokoknya menyatakan bahwa kesehatan merupakan hal yang penting dalam konteks Human Rights, Pemerintah sependapat terhadap hal tersebut, oleh karena itu Pemerintah sangat concern terhadap permasalahan kesehatan masyarakat, hal tersebut dapat terlihat dari berbagai upaya yang telah dilakukan oleh Pemerintah selama ini, seperti semakin ditingkatkannya alokasi anggaran terhadap sektor kesehatan yang semakin bertambah setiap tahunnya. Berbagai upaya Pemerintah tersebut pun tercermin dari beberapa indikator peningkatan kesehatan masyarakat, sebagaimana telah Pemerintah sampaikan sebelumnya di atas. 4. DR. DIAN SIMATUPANG Pemerintah sependapat dengan keterangan Ahli Dr. Dian Simatupang yang menyatakan bahwa UU APBN sebesar-besar kemakmuran rakyat untuk mencapai tujuan bernegara hakikatnya tercermin dalam prioritas belanja negara yang mendorong terpenuhinya kebutuhan sosial masyarakat atau social needs dan keadilan sosial atau social equality. Bahwa berdasarkan hal tersebut maka Pemerintah dalam menyusun dan menetapkan APBN 2011 mengacu pada RKP 2011 yang menetapkan pada sebelas prioritas pembangunan nasional, sebagai berikut; (1) Reformasi Birokrasi dan Tata Kelola, (2) Pendidikan, (3) Kesehatan dan Kependudukan,
Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 219/PMK.05/2013 tentang Kebijakan Akuntansi Pemerintah Pusat. ...
Uji Materiil atas Pasal 160 ayat (2) huruf c UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemda, Pasal 11 ayat (2) huruf c UU No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keua ...
Relevan terhadap 8 lainnya
menetapkan dan memperluas basis pajak daerah serta kewenangan pengelolaan administrasi perpajakan termasuk dalam penetapan dan penyesuaian besarnya tarif pajak. Perluasan kewenangan pemajakan pemerintah daerah tersebut dapat meliputi, perluasan pajak daerah (own taxes) maupun melalui pemberian hak untuk memungut pajak yang tumpang tindih dengan basis pajak pusat (overlapping taxes) yang sering juga disebut dengan "piggyback taxes", dimana pemerintah pusat dan daerah mengenakan pajak atas basis pajak yang sama namun masing-masing memiliki kewenangan untuk menetapkan besarnya tarif yang akan dikenakan terhadap basis pajak tersebut. 18. Seperti disebutkan sebelumnya, selama ini upaya yang dilakukan untuk memperbaiki pendapatan Daerah lebih fokus kepada menambah jenis-jenis pajak yang boleh dipungut. Persoalannya adalah berbagai jenis pajak yang potensial sudah menjadi pajak Pusat. Sehingga penambahan jenis pajak Daerah untuk peningkatan kapasitas fiskal Pemerintah Daerah tersebut malah bisa mendistorsi keuangan negara dan perekonomian secara keseluruhan. Oleh karena itu, pemikiran yang cermat mesti dilakukan untuk mencari jenis- jenis pajak yang dapat diterapkan untuk memperkuat kapasitas fiskal daerah. Selain itu, mesti ditekankan pula pentingnya sinkronisasi perpajakan Pemerintah Pusat dengan Daerah. 19. Dalam rangka mencari tabu dan menyusun sumber-sumber penerimaan yang layak, cocok dan sinkron untuk setiap tingkatan pemerintahan di Indonesia, perlu dipahami dulu teori dan berbagai konsep yang lazim dikenal serta digunakan dalam tax assignment. Pengalaman negara-negara lain juga seyogyanya dijadikan acuan. 20. Musgrave (1983) menggunakan kriteria equity (konsistensi antara sumber- sumber penerimaan dengan kebutuhan pengeluaran) dan efficiency (biaya yang sekecil mungkin) sebagai landasan untuk mengembangkan prinsip- prinsip tax assignment sebagai berikut: (i) pajak-pajak yang sifatnya progresif dan redistributif seyogianya menjadi pajak nasional/pusat; (ii) pajak-pajak yang cocok dan dapat digunakan untuk stabilisasi ekonomi seyogianya menjadi pajak nasional/pusat; (iii) pajak-pajak yang basisnya tidak merata antar daerah seyogianya menjadi pajak nasional/pusat; (iv) pajak atas faktor-faktor produksi atau objek yang mobil seyogianya menjadi pajak nasional/pusat; (v) pajak-
sepeserpun tidak di bagihasilkan untuk KSB sebagai kabupaten penghasil. 2. Bahwa begitu juga dengan Kabupaten Mimika (Pemohon II) mengalami persoalan yang hampir sama dengan Pemohon I . Meskipun Kabupaten Mimika memperoleh Dana Bagi Hasil (DBH) dari pengelolaan sumber daya alam namun Kontribusi Pendapatan Asli Daerah (PAD) tersebut pada APBD Kabupaten Mimika ternyata hanya sekitar 5 %(lima persen). Hal ini sudah barang tentu tidak sejalan dengan tujuan dan esensi pelaksanaan otonomi daerah pada umumnya, atau otonomi khusus pada khususnya, di Indonesia. Melalui kebijakan otonomi daerah, diharapkan ketergantungan daerah terhadap subsidi pemerintah pusat bisa ditekan serendah-rendahnya. Pada saat yang sama, istilah “subsidi pusat” untuk kasus Kabupaten Mimika sebenarnya tidak tepat karena dana yang diperoleh pemerintah pusat dari kegiatan perekonomian di Kabupaten Mimika Provinsi Papua, khususnya yang berasal dari eksplorasi sumber daya alam, sangat signifikan jumlahnya. Keberadaan PT. Freeport Indonesia dari sisi pendapatan daerah bagi Kabupaten Mimika tidak memberikan kontribusi yang sebanding dengan dampak yang ditimbulkannya, dengan penjelasan sebagai berikut: a. PT. Freeport Indonesia di Kabupaten Mimika menyetor pajak-pajak dan peneriman negara bukan pajak (PNBP) ke Pemerintah Pusat untuk periode tahun 2005 s.d. 2010 adalah sebesar Rp. 81.989.921.580.526 (delapan puluh satu triliun sembilan ratus delapan puluh sembilan miliar sembilan ratus dua puluh satu juta lima ratus delapan puluh ribu lima ratus enam belas rupiah). b. Dari total setoran Pajak maupun PNBP ke Pemerintah Pusat sebesar Rp. 81.989.921.580.526 (delapan puluh satu triliun sembilan ratus delapan puluh sembilan miliar sembilan ratus dua puluh satu juta lima ratus delapan puluh ribu lima ratus enam belas 2010 Dana Bagi Hasil Pajak dan bukan Pajak yang diterima Kabupaten Mimika pada APBD melalui mekanisme bagi hasil sesuai Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang
pajak yang basisnya "menetap" (residence-based) seyogianya menjadi pajak daerah (utamanya: provinsi); (vi) pajak atas faktor-faktor atau objek yang tidak mobil sama sekali seyogianya menjadi pajak daerah (utamanya: kota/kabupaten); dan (vii) pajak atas manfaat yang diberikan (benefit taxes) dan retribusi (user charges) dapat dikenakan oleh setiap tingkatan pemerintah. 21. Landasan lain yang dapat digunakan untuk tax assignment dan sejalan atau tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Musgrave di atas, adalah dua kriteria berikut: (i) Efisiensi dalam Administrasi Perpajakan. Tingkat pemerintahan yang memiliki informasi terbaik dan terlengkap atas suatu objek pajak adalah yang berwenang/bertanggung jawab atas pajak tersebut. Sebagai misal, untuk PPh perusahaan, Pusat lah yang paling mungkin memiliki informasi akurat menyangkut pendapatan perusahaan dari berbagai sumber dalam dan luar negeri. Di lain pihak, untuk pajak properti, pemerintah daerah relatif memiliki keunggulan dibanding pusat untuk melakukan penilaian maupun evaluasi properti di daerahnya; dan (ii) Kebutuhan Fiskal. Berdasarkan kriteria ini, sumber dan instrumen penerimaan seyogianya sepadan dan sedekat mungkin dengan kebutuhan penerimaan. Jadi, instrumen penerimaan perpajakan yang digunakan untuk mendorong pencapaian suatu kebijakan seyogianya diserahkan kepada tingkat pemerintahan yang bertanggungjawab melaksanakan kebijakan tersebut. Pajak-pajak yang bersifat progresif redistributif, yang bisa sebagai alat stabilisasi, dan yang terkait sumber daya alam, lebih cocok di tangan pemerintah pusat. Sementara tol antar kota seyogyanya menjadi kewenangan provinsi. 22. Selama pelaksanaan otonomi daerah sejak 2001, tidak dapat dimungkiri bahwa persoalan ketimpangan fiskal vertikal (pusat-daerah) tidak mengalami perubahan yang berarti. Dengan fokus pemerintahan kabupaten/kota, maka porsi PAD terhadap total penerimaan daerah hanya meningkat sedikit dari sekitar 5% pada awal 2001 menjadi sekitar 10% pada 2010. Artinya, sebagian besar daerah masih sangat bergantung pada transfer pemerintah pusat meskipun sudah 10 tahun lebih melaksanakan otonomi daerah. 24. Oleh karena itu, upaya penguatan local taxing autonomy mesti terus-menerus dilakukan. Upaya yang terkini adalah diterbitkannya UU Nomor 28 Tahun 2009 sebagai revisi dari UU Nomor 34 Tahun 2000 tentang pajak dan retribusi daerah.
Tata Cara Revisi Anggaran Tahun Anggaran 2020
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
Revisi Anggaran adalah perubahan rincian anggaran yang telah ditetapkan berdasarkan APBN Tahun Anggaran 2020 dan disahkan dalam Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Tahun Anggaran 2020.
Kementerian Negara yang selanjutnya disebut Kementerian adalah perangkat Pemerintah yang membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.
Lembaga adalah organisasi non Kementerian dan instansi lain pengguna anggaran yang dibentuk untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau peraturan perundang-undangan lainnya.
Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat BA BUN adalah bagian anggaran yang tidak dikelompokkan dalam bagian anggaran Kementerian/ Lembaga.
Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat PA adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran Kementerian/ Lembaga.
Pembantu Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat PPA BUN adalah unit organisasi di lingkungan Kementerian Keuangan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan bertanggungjawab atas pengelolaan anggaran yang berasal dari BA BUN.
Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat KPA adalah pejabat yang memperoleh kuasa dari PA untuk melaksanakan se bagian kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran pada Kementerian/Lembaga yang bersangkutan.
Kuasa Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat KPA BUN adalah pejabat pada satuan kerja dari masing-masing PPA BUN baikdi kantor pusat maupun kantor daerah atau satuan kerja di Kementerian/Lembaga yang memperoleh penugasan dari Menteri Keuangan untuk melaksanakan kewenangan dan tanggung jawab pengelolaan anggaran yang berasal dari BA BUN.
Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran yang selanjutnya disebut DIPA adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang disusun oleh PA/KPA atau PPA/KPA BUN.
DIPA Petikan adalah DIPA per satuan kerja yang dicetak secara otomatis melalui sistem, yang berisi mengenai informasi kinerja, rincian pengeluaran, rencana penarikan dana dan perkiraan penerimaan, dan catatan, yang berfungsi sebagai dasar dalam pelaksanaan kegiatan satuan kerja.
Pagu Anggaran adalah alokasi anggaran yang ditetapkan dalam DIPA untuk mendanai belanja pemerintah pusat dan/atau pembiayaan anggaran dalam APBN Tahun Anggaran 2020.
Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga yang selanjutnya disingkat RKA-K/L adalah dokumen rencana keuangan tahunan Kementerian/Lembaga yang disusun menurut bagian anggaran Kementerian/Lembaga.
Rencana Kerja dan Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat RKA BUN adalah dokumen perencanaan anggaran BA BUN yang memuat rmc1an kebutuhan dana baik yang berbentuk anggaran belanja maupun pembiayaan untuk pemenuhan kewajiban pemerintah pusat dan transfer ke daerah dan dana desa tahunan yang disusun oleh KPA BUN.
Satuan Kerja yang selanjutnya disebut Satker adalah bagian dari suatu unit orgamsas1 pada Kementerian/Lembaga yang melaksanakan 1 (satu) atau beberapa programjkegiatan dan membebani dana APBN.
Penelaahan Revisi Anggaran adalah forum antara Kementerian Keuangan dan Kementerian/ Lembaga untuk memastikan kesesuaian usulan perubahan anggaran dengan pencapaian target-target yang telah ditetapkan dalam dokumen rencana kerja pemerintah, rencana kerja KementerianjLembaga, dan RKA-K/L DIPA beserta alokasi anggarannya.
Kesesuaian adalah keterkaitan a tau relevansi an tara objek dengan instrumen yang digunakan.
Daftar Hasil Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga yang selanjutnya disingkat DHP RKA-K/L adalah dokumen yang berisi rangkuman RKA-K/L per unit eselon I dan program dalam suatu Kementerian/Lembaga yang ditetapkan berdasarkan hasil penelaahan.
Daftar Hasil Penelaahan Rencana Dana Pengeluaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat DHP RDP BUN adalah dokumen hasil penelaahan RDP BUN yang memuat alokasi anggaran menurut unit organisasi, fungsi, dan program yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Anggaran atau pejabat yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Anggaran.
Rumusan Kinerja adalah rumusan yang ditetapkan se bagai acuan dalam pelaksanaan program dan kegiatan termasuk sasaran kinerja yang akan dicapai serta indikator sebagai alat ukur pencapaian kinerja meliputi rumusan program, hasil (outcome), kegiatan, keluaran (output), indikator kinerja utama, dan indikator kinerja kegiatan.
Program adalah penjabaran kebijakan sesuai dengan visi dan m1s1 Kementerian/Lembaga yang rumusannya mencerminkan tugas dan fungsi unit eselon I atau unit Kementerian/Lembaga yang berisi kegiatan untuk mencapai hasil (outcome) dengan indikator kinerja yang terukur.
Prioritas Pembangunan adalah serangkaian kebijakan yang dilaksanakan melalui prioritas nasional, program prioritas, kegiatan prioritas, dan proyek prioritas.
Prioritas Nasional adalah programjkegiatanjproyek untuk pencapman Sasaran Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional dan kebijakan Presiden lainnya.
Program Prioritas adalah Program yang bersifat signifikan dan strategis untuk mencapai Prioritas Nasional.
Kegiatan adalah penjabaran dari Program yang rumusannya mencerminkan tugas dan fungsi Satker atau penugasan tertentu Kementerian/Lembaga yang berisi komponen kegiatan untuk mencapai keluaran (output) dengan indikator kinerja yang terukur.
Kegiatan Prioritas adalah Kegiatan yang bersifat signifikan dan strategis untuk mencapai Program Prioritas.
Kebijakan Prioritas Pemerintah Yang Telah Ditetapkan adalah Program/Kegiatanjkeluaran (output) yang ditetapkan oleh Pemerintah setelah rencana kerja pemerintah ditetapkan dan/atau ditetapkan pada Tahun Anggaran 2020.
Proyek Prioritas adalah proyek yang dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan/atau badan usaha yang memiliki sifat strategis dan jangka waktu tertentu untuk mendukung pencapman Prioritas Pembangunan.
Belanja Operasional adalah anggaran yang dibutuhkan untuk penyelenggaraan sebuah Satker dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sesum dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai petunjuk penyusunan dan penelaahan RKA-K/L dan pengesahan DIPA, dan Peraturan Menteri Keuangan mengenai klasifikasi anggaran.
Pemberian Pinjaman adalah pinjaman Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, Lembaga, dan/atau badan lainnya yang harus dibayar kembali dengan ketentuan dan persyaratan tertentu.
Lanjutan Pinjaman/Hibah Luar Negeri atau Pinjaman/Hibah Dalam Negeri adalah penggunaan kembali sisa alokasi anggaran yang bersumber dari pinjaman/hibah luar negeri atau pinjamanjhibah dalam negeri yang tidak terserapjtidak digunakan pada Tahun Anggaran 2019, termasuk lanjutan untuk pelaksanaan Kegiatan pemberian hibah dan Pemberian Pinjaman sepanJang masih terdapat s1sa alokasi komitmen pinjamanjhibah luar negeri atau pinjaman/hibah dalam negen.
Percepatan Penarikan Pinjaman/Hibah Luar Negeri atau Pinjaman/Hibah Dalam Negeri adalah tambahan alokasi anggaran yang berasal dari sisa komitmen pinjaman/ hibah luar negeri atau pinjamanjhibah dalam negeri yang belum ditarik untuk memenuhi kebutuhan pendanaan Kegiatan untuk percepatan penyelesaian pekerjaan dan/atau memenuhi kebutuhan anggaran yang belum tersedia pada Tahun Anggaran 2020, termasuk percepatan untuk pelaksanaan Kegiatan pemberian hibah dan Pemberian Pinjaman.
Pengeluaran yang tidak diperkenankan (Ineligible Expenditure) adalah pengeluaran-pengeluaran yang tidak diperkenankan dibiayai dari dana pinjamanjhibah luar negeri karena tidak sesuai dengan naskah perJanJian pinjaman dan/atau hibah luar negeri.
Subsidi Energi adalah subsidi dalam bentuk subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) Jenis BBM Tertentu (JBT) dan bahan bakar gas cair (Liquefied Petroleum Gas/LPG) tabung 3 (tiga) kilogram untuk konsumsi rumah tangga dan usaha mikro, dan subsidi listrik.
Transfer ke Daerah adalah bagian dari belanja negara dalam rangka mendanai pelaksanaan desentralisasi fiskal berupa Dana Perimbangan, Dana Insentif Daerah, Dana Otonomi Khusus, dan Dana Keistimewaan Daerah Istimewa Y ogyakarta.
Dana Desa adalah dana yang bersumber dari APBN yang diperuntukkan bagi desa yang ditransfer melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kabupatenjkota dan digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat.
Penyertaan Modal Negara yang selanjutnya disingkat PMN adalah pemisahan kekayaan negara dari APBN untuk dijadikan sebagai modal Perusahaan Negara dan/atau Perseroan Terbatas lainnya serta lembagajbadan lainnya, yang pengelolaannya dilakukan secara korporasi.
Sekretaris Jenderal/Sekretaris Utama/Sekretaris/Pejabat Eselon I Kementerian/Lembaga adalah pejabat eselon I selaku penanggung jawab Program yang memiliki alokasi anggaran (portofolio) pad a bagian anggaran Kementerian I Lembaga.
Aparat Pengawasan Intern Pemerintah Kementerian Negara/Lembaga yang selanjutnya disingkat APIP K/L adalah Inspektorat Jenderal/Inspektorat Utama/ Inspektorat atau nama lain yang secara fungsional melaksanakan pengawasan intern yang bertanggung jawab langsung kepada menterijpimpinan lembaga.
Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disingkat SBSN atau dapat disebut sukuk negara adalah Surat Berharga Negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap aset SBSN, baik dalam mata uang rupiah maupun val uta as1ng.
Sistem Aplikasi adalah sistem informasi atau aplikasi yang dibangun oleh Kementerian Keuangan untuk mendukung proses penyusunan dan penelaahan anggaran, pengesahan DIPA, dan perubahan DIPA.
Sisa Anggaran Kontraktual adalah selisih lebih antara alokasi anggaran keluaran (output) yang tercantum dalam DIPA dengan nilai kontrak pengadaan barangjjasa untuk menghasilkan keluaran (output) sesuai dengan volume keluaran (output) yang ditetapkan dalam DIPA.
Sisa Anggaran Swakelola adalah selisih lebih antara alokasi anggaran keluaran (output) yang tercantum dalam DIPA dengan realisasi anggaran untuk mencapai volume keluaran (output) yang sudah selesai dilaksanakan.
Penerimaan Negara Bukan Pajak yang selanjutnya disingkat PNBP adalah pungutan yang dibayar oleh orang pribadi atau badan dengan memperoleh manfaat langsung maupun tidak langsung atas layanan atau pemanfaatan sumber daya dan hak yang diperoleh negara, berdasarkan peraturan perundang-undangan, yang menjadi penenmaan Pemerintah Pusat di luar penenmaan perpajakan dan hibah dan dikelola dalam mekanisme APBN.
PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2003 TENTANG KEUANGAN NEGARA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PEMERIKSA KEUANGAN TERHADAP UN ...
Relevan terhadap
www.mahkamahkonstitusi.go.id adalah pengelolaan sektor keuangan tersebut kadangkala dijadikan alat politik untuk mengamankan kekuasaan dalam kondisi yang tetap dan stabil. 3. Bahwa dalam konsep manajemen keuangan yang baik, ruang lingkup keuangan negara sebagaimana diatur dalam Pasal 2 huruf g dan huruf i UU Nomor 17 Tahun 2003 menimbulkan paradoks rasionalitas dalam tiga hal, yaitu tata kelola, pengaturan, dan risiko. Dengan demikian, ada kemungkinan terjadinya penyelundupan hukum yang justru akan bersifat manipulatif karena bergantung pada penafsiran sektoral masing-masing. 4. Bahwa apabila hal yang diuraikan sebelumnya dikaitkan dengan Permohonan ini, adanya Pasal 2 huruf g dan huruf i UU Nomor 17 Tahun 2003 membawa dampak terhadap kinerja keuangan pemerintah itu sendiri, khususnya dilihat pada tiga aspek yang berkaitan, yaitu (1) tujuan keuangan negara yang belum tercapai, (2) perencanaan yang tidak sinkron dengan penganggaran, dan (3) latar belakang keputusan keuangan negara dalam APBN kurang memiliki latar belakang rasionalitas yang dipertanggungjawabkan legitimasinya. Banyaknya permohonan pengujian UU APBN terhadap UUD 1945 merupakan bukti warga negara yang memahami rasionalitas penganggaran yang masih jauh dari upaya mencapai tujuan bernegara. 5. Bahwa selanjutnya Pasal 23 ayat (1) UUD 1945, menegaskan bahwa: ”Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan Undang-Undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”, yang kemudian dijabarkan kembali dalam ketentuan Pasal 2 UU Nomor 17 Tahun 2003, khususnya huruf g dan huruf i, seharusnya sinkron tidak menjadikan keuangan di luar wujud APBN sebagai bagian dari ruang lingkup keuangan negara. 6. Bahwa perlindungan hukum bagi perusahaan negara/daerah dan badan hukum yang mendapatkan fasilitas melalui penghormatan prinsip badan hukum tidaklah mungkin dapat diwujudkan secara baik apabila ternyata Pasal 2 huruf g dan huruf i UU Nomor 17 Tahun 2003 menjadikannya sebagai alat (instrumen) untuk memperluas kekuasaan negara tanpa hak. 7. Bahwa berdasarkan seluruh argumentasi di atas, sangat tepat apabila Mahkamah Konstitusi menyatakan Ketentuan Pasal 2 huruf g dan huruf i UU Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
www.mahkamahkonstitusi.go.id menyetujui Undang-Undang dan anggaran negara yang dikumpulkan melalui pajak sebagai biaya negara. Hal demikian menunjukkan anggaran negara juga identik dengan pajak yang dimasukkan dalam anggaran negara (APBN), dan bukan keuangan lainnya. Tugas pemberian persetujuan parlemen atas anggaran negara merupakan pembagian kekuasaan (fungsi). Diserahkannya parlemen untuk memberikan persetujuan atas pajak dan anggaran menurut Montesquieu bertujuan agar kekuasaan pemerintah tidak mutlak, bahkan dengan memaksa pengenaan pajak kepada masyarakat, sehingga pajak membutuhkan persetujuan parlemen. Esensinya berarti persetujuan parlemen dalam anggaran negara bertujuan agar keuangan negara (termasuk pengenaan pajak) tidak menjadi suatu alat kekuatan ( machtsapparaat ), tetapi menjadi suatu alat hukum ( rechtsapparaat ). 3. Bahwa anggaran negara sebagai wujud keuangan negara adalah dasar hukum negara untuk mencapai tujuan bernegara, dan bukan tujuan kekuasaan pada waktu tertentu, dan bukan ditujukan untuk memperluas makna keuangan negara, sehingga negara tidak fokus mencapai tujuan bernegara melalui penggunaan keuangannya. 4. Bahwa menjadikan APBN sebagai wujud keuangan negara, dan bukan keuangan lainnya secara meluas, secara hukum memberikan kemudahan kepada DPR untuk melakukan pengawasan terhadap pemerintah. Di sisi lain, persetujuan DPR sebagai wujud hak budget harus dipandang sebagai realisasi kedaulatan rakyat untuk menjaga agar penyusunan APBN yang dilakukan pemerintah menimbulkan beban bagi rakyat. - Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara Sebagai Undang-Undang Organik Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 dan Berbagai Peraturan Perundangan serta Perangkat Peraturan Pelaksanaan yang terkait dengan Keuangan Negara, Tidak Menciptakan Pengakuan, Jaminan, dan Kemampuan untuk Menciptakan Kepastian Hukum yang Adil dan Persamaan di Hadapan Hukum 1. Bahwa Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 mengatur: 1) Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan Negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggungjawab untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
www.mahkamahkonstitusi.go.id mungkin diwujudkan. Perlindungan kepada segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia memerlukan keterlibatan aktif dari seluruh bangsa Indonesia, dan khusus untuk pemerintah karena diberi amanah dan amanat untuk memerintah, maka wajib melakukan perlindungan semaksimal mungkin terhadap segenap bangsa Indonesia. Perlindungan terhadap rakyat Indonesia tidak boleh mengalami diskriminasi, tidak boleh dibedakan atas dasar ras, warna kulit dan atau pun alasan kaya dan miskin serta alasan apapun. - Salah satu upaya untuk menciptakan kesejahteraan rakyat adalah meningkatkan kinerja BUMN/D dalam peranannya sebagai “agent of development” terutama melalui penyerapan tenaga kerja, kontribusi pada produksi dan jasa nasional, kontribusi pada pendapatan Negara dalam bentuk dividen dan pajak Negara (PPH, PPN, Bea Masuk, Cukai, Bea Meterai) dan pajak daerah antara lain PBB, BPHTB, PKB, dan BBN-KB. Untuk itu, beberapa BUMN/D harus didorong menjadi perusahaan kelas dunia, dengan tugas utama adalah memberikan kontribusi yang optimal dalam upaya mensejahterakan rakyat. - Sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945, BUMN/D merupakan salah satu penggerak utama perekonomian nasional. Dengan berbagai kondisi yang melekat padanya, BUMN/D memiliki potensi yang sangat besar untuk berkembang yang sampai dengan saat ini belum termanfaatkan secara optimal. Potensi- potensi tersebut antara lain: (a) keberadaan BUMN/D di hampir semua sektor usaha, (b) kepemilikan aset yang besar, (c) brand image BUMN/D, (d) pengalaman usaha BUMN/D, dan (e) profesionalisme SDM. Berbagai upaya yang harus dilakukan Pemerintah dalam rangka meningkatkan peranan BUMN/D dalam menciptakan kesejahteraan masyarakat terutama melalui peningkatan kontribusi BUMN/D terhadap ekonomi nasional, peningkatan nilai BUMN/D, peningkatan transparansi, akuntabilitas, dan independensi, peningkatan belanja modal BUMN/D dan peningkatan efisiensi dan efektivitas pengelolaan BUMN/D. - Tidak berjalannya konsolidasi BUMN/D lebih disebabkan oleh kurang kuatnya komitmen dari stakeholder BUMN/D, khususnya Pemerintah. Bahkan, sejumlah stakeholder justru belum memiliki pemahaman utuh tentang apa, bagaimana, dan urgensi konsolidasi BUMN/D ini. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
Pengujian UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang perbendaharaan negara terhadap UUD Negara RI 1945
Relevan terhadap
Hak tagih mengenai utang atas beban negara/daerah kedaluwarsa setelah 5 (lima) tahun sejak utang tersebut jatuh tempo, kecuali ditetapkan lain oleh undang-undang.
Kedaluwarsaa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertunda apabila pihak yang berpiutang mengajukan tagihan kepada negara/daerah sebelum berakhirnya masa kedaluwarsa (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk pembayaran kewajiban bunga dan pokok pinjaman negara/daerah. Penjelasan Pasal 40 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Kedaluwarsa sebagaimana dimaksud ayat ini dihitung sejak tanggal 1 Januari tahun berikutnya. Ayat (3) Cukup jelas. Sehubungan dengan permohonan Pemohon tersebut, ahli menyampaikan keterangan/pendapat hukum sebagai berikut:
Bahwa guna menentukan status seseorang sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang merupakan unsur Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam hukum kepegawaian dipergunakan 2 (dua) kriteria, yaitu:
berdasarkan adanya hubungan dinas publik, yaitu manakala seseorang mengikatkan diri untuk tunduk pada pemerintah dan melakukan tugas jabatan tertentu; dan
berdasarkan pengangkatan ( aanstelling ), yaitu diangkat melalui surat keputusan ( beschikking ) guna ditetapkan secara sah sebagai pegawai negeri. Jika dikaitkan dengan teori penentuan status seseorang sebagai PNS tersebut, UU Nomor 8 Tahun 1974 tentang Kepegawaian sebagaimana telah diubah oleh UU Nomor 43 Tahun 1999 dan kini diganti dengan UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara cenderung menggunakan kedua kriteria tersebut sekaligus dalam menentukan status kedudukan seseorang sebagai pegawai negeri. Hal ini sebagai terlihat dari definisi PNS yang disebutkan secara stipulatif dalam Pasal 1 angka 3 UU Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 64 Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara bahwa PNS adalah Warga Negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, diangkat sebagai pegawai ASN secara tetap oleh pejabat Pembina kepegawaian untuk menduduki jabatan pemerintahan. Rumusan ketentuan tentang pengertian PNS tersebut berakar pada ketentuan yang pernah terdapat dalam Ambtenaren Wet Nederland yang pernah menguraikan definisi dari pegawai negeri sebagai berikut: ambtenaren is degene die is aangesteld om in openbare dienst werkzaam te zijn, met uitzondering van degene met wie een arbeidsovereenkomst naar burgerlijk recht is gesloten .” Makna dari uraian ini adalah bahwa untuk bisa mendapatkan status sebagai PNS harus ada inisiatif dari kedua pihak, yaitu warga masyarakat yang dapat memenuhi syarat untuk bisa ditetapkan sebagai PNS sesuai dengan permohonan/lamaran yang diajukannya kepada pemerintah dalam seleksi penerimaan CPNS dan selanjutnya ditetapkan melalui Surat Keputusan pengangkatan PNS ( aanstelling ) oleh pejabat yang berwenang untuk mengangkat.
Pola yang sama dengan penentuan kedudukan seseorang sebagai PNS kiranya juga berlaku dalam proses pensiun seseorang sebagai PNS serta pengurusan jaminan pensiun sebagaimana pengertian dari pensiun adalah jaminan hari tua dan sebagai balas jasa terhadap Pegawai Negeri yang telah bertahun-tahun mengabdikan dirinya kepada negara. Artinya, pemerintan/negara menetapkan sejumlah persyaratan untuk pensiun dan mendapatkan jaminan pensiun melalui berbagai peraturan perundang- undangan maupun peraturan kebijaksanaan yang berlaku dan seseorang PNS yang telah memenuhi persyaratan pensiun tersebut harus mengikuti serangkaian prosedur yang ditentukan bagi terpenuhinya sejumlah persyaratan untuk mendapatkan jaminan pensiun sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku maupun kebijakan pemerintah. Pemerintah memiliki kewenangan untuk mengatur secara normatif maupun administratif terpenuhinya hak pensiun bagi seorang PNS.
Sehubungan dengan permohonan dari pemohon yang mengaitkan kerugian konstitusional Pemohon akibat tidak bisa menerima kekurangan jaminan pensiun selama 16 (enam belas) bulan dari PT Taspen yang disebabkan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 65 hak tagih pemohon dianggap kadaluarsa karena melampaui tenggang waktu 5 (lima tahun) sebagaimana diatur pada Pasal 40 ayat (1) UU PN merupakan isu legalitas (bukan isu konstitusionalitas) yang jika mengacu pada norma hukum sebagai dirumuskan pada Pasal 40 UU Nomor 1 Tahun 2004 terjadi karena penerapan norma yang terdapat pada Pasal 40 UU Nomor 1 Tahun 2004 yang dimaksud sebagai sebuah norma pengaturan mengenai hak tagih mengenai utang atas beban negara/daerah yang kedaluwarsa ke dalam sebuah kasus konkrit yang bermula dari proses administrasi pengurusan jaminan hari tua dan membutukan pengaturan lebih rinci melalui peraturan pelaksanaan maupun peraturan operasional ( policy rules, beleidsregel ) yang mampu menjembatani kebutuhan pengaturan antara norma dan fakta sesuai dengan kewenangan administratif pemerintah.
Dalam teori hukum administrasi negara, dikenal adanya 3 (tiga) tingkat uji materi yaitu pertama , pengujian norma hukum yang bersifat penetapan terhadap peraturan dasar/peraturan perundang-undangan yang mendasarinya; kedua , pengujian norma hukum yang bersifat pengaturan sebagai pelaksanaan sebuah Undang-Undang terhadap Undang-Undang; dan ketiga , pengujian norma hukum yang diatur dalam undang-undang terhadap UUD. Ketiganya bertitiktolak dari 3 (tiga) titik pijakan yang berbeda, yaitu beschikkingsnorm untuk kategori yang pertama, regelende norm untuk kategori yang kedua dan wettelijke norm untuk kategori yang ketiga. Kategori yang pertama dan kedua berada dalam isu legalitas ( rehtsmatigheid ), sedangkan untuk kategori yang ketiga berada dalam bingkai isu konstitusionalitas. Hal itu menurut pendapat ahli perlu dikaitkan dengan subjek yang menerapkan sebuah norma, objek yang terhadapnya sebuah norma diterapkan dan sasaran/jangkauan dari pemberlakuan sebuah norma serta karakter dari norma itu sendiri. Tentunya, jika dikaitkan dengan fondasi pengujiannya juga perlu dikategorikan menjadi wettelijke atau regelende basis (untuk kategori norma yang pertama dan kedua) serta grondwetelijke bahkan staatsfundamentalnorm basis (untuk kategori yang ketiga). Sesuai dengan kategorisasi tersebut, ahli berpendapat bahwa pokok permohonan dari pemohon sebagaimana telah disebutkan di atas Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 66 pada prinsipnya adalah menyangkut tingkat pertama dan kedua uji yang harus ditujukan kepada Peradilan Tata Usaha Negara/Ombudsman atau hak inspraak yang diajukan kepada pemerintah dari penerapan norma hukum akibat pelaksanaan Undang Undang (vide Pasal 40 UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara) yang bertitik tolak dari regelende basis atau wettelijke basis namun bukan bertitik tolak dari grondwetelijke atau staatsfundamentalnorm basis. (5) Pembatalan norma hukum sebagaimana dirumuskan pada Pasal 40 UU Nomor 1 Tahun 2004 yang jika dikaitkan dengan isu hukum yang diangkat dalam permohonan pemohon yang sesungguhnya bertitik tolak dari titik pijak persoalan belum adanya sebuah pengaturan operasional mengenai syarat, kriteria dan prosedur penerapan norma yang dimasudkan untuk mengatur daluarsa hak tagih utang atas beban negara/daerah yang bersifat umum/komprehensif (artinya tidak secara khusus hanya untuk persoalan daluarsa bagi permohonan jaminan pensiun bagi PNS) berdasarkan asas- asas hukum keuangan negara (sebagai asas-asas hukum administrasi sektoral) dan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (sebagai asas- asas hukum administrasi umum). Salah satunya terkait dengan kewenangan negara mengatur masa daluarsa hak tagih utang atas beban negara/daerah yang bersifat umum/komprehensif adalah keharusan negara mengatur penerapan asas kepastian hukum dan asas ketertiban penyelenggaraan negara agar terdapat kepastian atas penguasaan negara terhadap keuangan negara sebagaimana dirumuskan pada Pasal 1 angka 1 UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Pada prinsipnya, selalu ditekankan oleh berbagai undangundang yang terkait dengan pengelolaan keuangan negara agar demi kepentingan pembiayaan program/kegiatan untuk memberikan pelayanan kepada rakyat selalu dihindarkan terjadinya kerugian negara. Oleh karena itu pengertian dari Utang Negara yang dirumuskan sebagai jumlah uang yang wajib dibayar Pemerintah Pusat dan/atau kewajiban Pemerintah Pusat yang dapat dinilai dengan uang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, perjanjian, atau berdasarkan sebab lainnya yang sah. (vide Pasal 1 angka 8 UU PN) dan pengertian Utang Daerah yang dirumuskan sebagai jumlah uang yang wajib Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 67 dibayar Pemerintah Daerah dan/atau kewajiban Pemerintah Daerah yang dapat dinilai dengan uang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, perjanjian, atau berdasarkan sebab lainnya yang sah (Pasal 1 angka 9 UU PN) yang memiliki karakter pengaturan sebagai norma umum tetap harus dikaitkan dengan sasaran dari pengaturan itu untuk mengatur pengamanan atas Perbendaharaan Negara yaitu pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara, termasuk investasi dan kekayaan yang dipisahkan, yang ditetapkan dalam APBN dan APBD (vide Pasal 1 angka 1 UU PN). Penerapan norma hukum yang berkarakter umum untuk melaksanakan tugas sektoral pemerintah (cq melayani pengaturan di bidang kepegawaian khususnya daluarsa pensiun) memerlukan adanya tindakan hukum pengaturan ( regelendehandeling ) maupun kebijakan operasional melalui peraturan kebijakan (beleidsregel) seperti pedoman, juklak/juknis ( richtlijn ), Surat Edaran, dan lain-lain yang bertujuan menampakkan keluar kebijakan yang bersifat tertulis ( naar buiten gebraak schriftelijke beleid) yang berada di ranah kegiatan pemerintahan ( besturen ) dalam rangka memenuhi 3 (tiga) fungsi Hukum Administrasi Negara, yaitu: norma ( norm ), sarana ( instrument ) dan jaminan ( waarborg ).
Mengaitkan kerugian konstitusional dengan berlakunya sebuah norma hukum sebagaimana disebutkan dalam permohonan dari pemohon kiranya perlu dikaitkan dengan konsep mengenai tiga tingkat uji materi dan basis keberlakuan suatu norma tersebut serta dampak dari pemberlakuan/ pencabutan sebuah norma hukum, terlebih yang diatur dalam sebuah undangundang (khususnya Pasal 40 UU PN). Pembatalan norma hukum sebagaima yang diatur pada Pasal 40 UU PN cq . ketentuan yang mengatur masalah daluarsa hak tagih utang negara/daerah jika ditarik ke atas dengan mengacu pada UUD 1945 justru bisa bertentangan dengan prinsip negara hukum yang menjadi landasan kepastian hukum dan ketertiban penyelenggaraan negara dalam pengelolaan APBN yang diatur pada Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 yang mengatur bahwa Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan Undang-Undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 68 rakyat anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang- undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menegaskan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Berdasarkan norma konstitusional itulah diderivasikan asas-asas hukum keuangan negara yang terdiri dari asas-asas: akuntabilitas berorientasi pada hasil, profesionalitas, proporsionalitas, keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara dan pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa keuangan yang bebas dan mandiri beserta asas-asas klasik yang juga masih berlaku yang meliputi asas-asas: asas kelengkapan ( volledigheid , universilitas), asas spesialitas/spesifikasi (spesialitas kualitatif, spesialitas kuantitatif dan spesialitas menurut urutan waktu), asas berkala (periodisitas), asas formil (bentuk tertentu) dan asas publisitas (keterbukaan). Karena norma konstitusional merupakan sebuah unsur dari sistem norma konstitusional yang saling berkaitan, maka norma konstitusional yang terkandung dalam Pasal 23 ayat (1) dan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 juga bertujuan untuk terwujudnya norma-norma konstitusional lainnya, termasuk norma-norma dalam UUD 1945 yang disebutkan dalam permohonan Pemohon.
Dikaitkan dengan ketentuan sebagaimana dirumuskan pada Pasal 40 ayat (1) UU PN yang mengatur bahwa “Hak tagih mengenai utang atas beban negara/daerah kedaluwarsa setelah 5 (lima) tahun sejak utang tersebut jatuh tempo, kecuali ditetapkan lain oleh undang-undang” mengandung beberapa elemen norma pokok, yang terdiri atas: siapa yang berwenang menetapkan masa kedaluarsa 5 (lima) tahun sejak utang tersebut jatuh tempo, kriteria penerapan utang atas beban negara/daerah, prosedur penetapan daluarsa hak tagih dan pengecualian berlakunya norma hukum itu melalui undang-undang. Elemen-elemen dari norma hukum itu memenuhi 3 (tiga) landasan Hukum Administrasi Negara, yaitu: wewenang ( bevoegdheid ), prosedur dan substansi. Dengan demikian, diperlukan adanya pengaturan operasional untuk memenuhi elemen-elemen pokok dari norma hukum tersebut agar permohonan Pemohon dapat dipenuhi dalam pelaksanaan norma hukum itu yang berada di ranah pelaksanaan fungsi Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 69 pemerintahan ( sturende functie ) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang mengatur fungsi pemerintahan yang meliputi fungsi pengaturan, fungsi pelayanan, fungsi pembangunan, fungsi pemberdayaan dan fungsi perlindungan, namun tentunya bukan justru dengan cara membatalkan keberlakuan norma hukum tersebut yang akan berpotensi masifnya tuntutan pembayaran utang atas beban negara/daerah kepada pemerintah yang melampaui maksud permohonan dan tuntutan permohonan dari pemohon yang hanya menyangkut jaminan pensiun dan mengganggu terwujudnya asas kepastian hukum dan tertib penyelenggaraan negara yang juga bersumber dari nilai-nilai konstitusional sebagaimana terkandung dalam UUD 1945. Kondisi kekosongan norma hukum ( leemten in het recht ) mengenai daluarsa hak tagih mengenai utang atas beban negara/daerah bisa berdampak terjadinya kekacauan ( chaos ) perbendaharaan negara yang dalam skala yang kian meluas bisa berujung pada terjadinya kerugian negara yang masif yang justru “dilegalisasi” oleh pembatalan norma yang terdapat pada Pasal 40 UU Nomor 1 Tahun 2004.
Sehubungan dengan uraian ahli di atas, ahli berpendapat bahwa permohonan dari Pemohon merupakan isu legalitas penerapan suatu norma hukumdalam undang-undang (vide Pasal 40 UU PN), namun, tak memadai untuk digunakan sebagai argumentasi untuk menjadikannya sebagai isu konstitusionalitas berlakunya sebuah norma hukum dalam Undang-Undang (vide Pasal 40 UU PN). Dengan demikian, ahli memperkuat permohonan dari jawaban Presiden pada persidangan di Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor 18/PUU-XV/2017 agar permohonan dari pemohon ditolak seluruhnya. [2.4] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon, Pihak Terkait PT Taspen memberi keterangan pada persidangan tanggal 31 Juli 2017, sebagai berikut: I. Badan Hukum 1. PT Taspen adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) berbentuk Persero, didirikan pada tanggal 17 April 1963 berdasarkan Peraturan Pemerintah Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 70 Nomor 15 Tahun 1963 dan terakhir diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1981 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Umum Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri menjadi Perusahaan Perseroan (Persero). Selanjutnya sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1981 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2013, mendapatkan tugas atau amanat dari Pemerintah untuk menyelenggarakan Asuransi Sosial Pegawai Negeri Sipil, meliputi program pensiun dan program tabungan hari tua. Di samping itu sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2015, terhitung 1 Juli 2015, diberikan amanat untuk menyelenggarakan Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM) Bagi Pegawai Aparatur Sipil Negara dan Pejabat Negara.
Visi, Misi dan Nilai-Nilai 1) Visi: Menjadi Pengelola Dana Pensiun Dan Tabungan Hari Tua (THT) Serta Jaminan Sosial Lainnya Yang Terpercaya 2) Misi: Mewujudkan Manfaat Dan Pelayanan Yang Semakin Baik Bagi Peserta Dan Stakeholder Lainnya Secara Profesional Dan Akuntabel, Berlandaskan Integritas Dan Etika Yang Tinggi 3) Nilai-nilai: Integritas, Profesional, Kempetitif, Inovatif dan Tumbuh. II. Kepesertaan __ 1. Seluruh pegawai negeri sipil termasuk Pemohon adalah peserta asuransi sosial pegawai negeri, hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1981 yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2013 menyatakan, “ Semua pegawai negeri sipil kecuali pegawai negeri sipil di lingkungan Departemen Pertahanan Keamanan adalah peserta dari asuransi sosial .” Dengan demikian, kepersertaan PNS termasuk Pemohon dalam peran tersebut adalah bersifat wajib atau mandatory . PP Nomor 25 Tahun 1981 merupakan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1969. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 71 2. Kewajiban PNS selaku peserta termasuk Pemohon adalah membayar iuran sebesar 8% (delapan persen) dari gaji pokok dan tunjangan keluarga setiap bulannya. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1981 yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2013 menyatakan, Iuran sejumlah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) peruntukannya ditentukan sebagai _berikut:
_ 4 3/4% (empat tiga per empat persen) untuk pensiun dan b. 3 1/4% (tiga satu per empat persen) untuk tabungan hari tua .
Iuran pensiun sebesar 4 3/4% (empat tiga per empat persen) tersebut sejak tahun 1985 berdasarkan surat Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor S-244/MK/.011/1985, tanggal 21 Februari 1985 yang juga merupakan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1981 dialihkan ke PT Taspen Persero untuk dikelola dan dikembangkan dalam rangka pembentukan dana pensiun PNS sebagaimana amanat Undang- Undang Nomor 11 Tahun 1969, Pasal 2 huruf a. Khusus untuk program tabungan hari tua yang telah dikelola oleh PT Taspen (Persero) sejak tahun 1961 sepenuhnya telah fully funded dengan kata lain pembayaran klaim THT beserta pengembangannya dibiayai oleh dana THT tersebut. III. Pengadministrasian dan Tatakelola Dana Iuran Pensiun/Akumulasi Iuran Pensiun.
Bahwa sebagai tindak lanjut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1969 tentang Pensiun Pegawai, Dan Janda/Duda Pegawai, Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1981 tentang Asuransi Sosial Pegawai Negeri Sipil, dan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1981 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Umum Dan Dana Tabungan Dan Asuransi Pegawai Negeri, Menjadi Perusahaan Perseroan (Persero). PT Taspen Persero melakukan pengelolaan Dana Iuran Pensiun untuk dikembangkan dalam rangka pemupukan Dana Iuran Pensiun secara fully funded . Hal ini diatur dalam Pasal 2 huruf a Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1969 sebagai berikut:
Bagi pegawai negeri/bekas pegawai negeri, atau meninggal dunia berhak menerima gaji atas beban Anggaran Pendapatan Dan Belanja Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 72 Negara menjelang pembentukan dan penyelenggaraan suatu dana pensiun yang akan diatur dengan peraturan pemerintah, dibiayai sepenuhnya oleh negara , sedangkan pengeluaran-pengeluaran untuk pembiayaan itu dibebankan atas anggaran dimaksud .
Sejalan dengan hal tersebut, serta dalam rangka meningkatkan efisiensi, efektifitas, pengawasan, dan akuntabilitas tatakelola Dana Iuran Pensiun, Menteri Keuangan telah menetapkan kebijakan yang tertuang dalam peraturan Menteri Keuangan Nomor 20/PMK.1/2007, tanggal 22 Februari 2007 tentang Pengadministrasian, Pelaporan, dan Pengawasan, Penitipan Dana Iuran Pensiun Pegawai Negeri Sipil dan Pejabat Negara. Selanjutnya, PT Taspen (Persero) sebagai pelaksana pengadministrasian dana iuran pensiun tersebut, secara berkala, berkewajiban untuk melaporkan perkembangan portofolio Dana Iuran Pensiun kepada Menteri Keuangan. Dana Iuran Pensiun dimaksud dengan ditempatkan dalam bank pemerintah dengan akun rekening atas nama PT Taspen (Persero) qq . Menteri Keuangan, DPPNS (Dana Pensiun Pegawai Negeri Sipil) .
Pengelolaan Dana Iuran Pensiun yang bersumber dari iuran peserta sebesar 4 3/4% (empat tiga per empat persen) telah diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 201/PMK.02/2015, tanggal 11 November 2015, sebagaimana diubah dengan Nomor 23/PMK.02/2016, tanggal 19 Februari 2016, tentang Pengelolaan Akumulasi Iuran Pensiun Pegawai Negeri Sipil, sedangkan tata kelola pembayaran manfaat pensiun beban APBN, diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 82/PMK.02/2015, tanggal 23 April 2015. Mekanisme tata kelola penggunaan pengembangan Dana Iuran Pensiun dilakukan secara maksimal, dan optimal dengan mempertimbangkan aspek-aspek: likuiditas, soal probabilitas kehati-hatiaan, keamanan dana, dan hasil yang memadai, serta memperhatikan prinsip-prinsip tata kelola korporasi yang baik ( good corporate governance) , yaitu Transparansi, Akuntabilitas, Responsibilitas, Independen, Fairness . Dengan tata kelola tersebut, diharapkan dapat mempercepat pembentukan Dana Pensiun menuju fully funded sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1969. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 73 4. Perlu Pihak Terkait sampaikan bahwa apabila pegawai negeri sipil (PNS) diberhentikan tanpa hak pensiun, baik dengan hormat atau tidak dengan hormat, berhak atas nilai tunai yang merupakan bagian dari iuran pensiun dan pengembangannya. Ketentuan tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 71/MK.02/2008, tanggal 8 Mei 2008, dan untuk realisasi pembayaran nilai tunai iuran pensiun tersebut dibebankan sepenuhnya pada dana iuran pensiun yang bersumber dari iuran peserta sebesar 4 3/4% (empat tiga per empat persen) dan tidak mengenal kedaluwarsa. Sedangkan untuk pengembalian nilai tunai tabungaan hari tua (THT) yang iurannya sebesar 3 1/4% (tiga satu per empat persen) , sepenuhnya dibebankan atau ditanggung oleh PT Taspen Persero. IV. Dalil Pemohon 1. Pemohon pada pokoknya mendalilkan bahwa Pasal 40 ayat (1) Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, dikarenakan Pemohon berdasarkan surat keputusan Kepada Badan Kepegawaian Negara diberikan hak pensiun terhitung mulai tanggal pensiun 01 Julu 2010, dengan hak pensiun selama 76 (tujuh puluh enam) bulan, hanya dibayarkan selama 60 (enam puluh) bulan. Dengan berlakunya ketentuan tersebut menimbulkan kerugian materiil bagi Pemohon yang nilainya sebesar 16 (enam belas) bulan hak pensiun.
Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004, menyatakan:
Hak tagih mengenai utang atas beban negara/daerah kedaluwarsa setelah 5 (lima) tahun sejak jatuh tempo, kecuali ditetapkan lain oleh undang-undang. V. Pembayaran Pensiun Beban Anggaran Pendapatan Belanja APBN.
Skema pembayaran dan pembayaran Pensiun Pegawai Sipil (PNS), termasuk kepada Pemohon, sampai saat ini menggunakan skema manfaat pasti dengan pola pendanaan pay as you go . Hal ini dikarenakan mekanisme pembayaran dan skema pendanaan pensiun seluruhnya atau sepenuhnya dibebankan atau dibiayai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), bukan dibiayai dari Dana Iuran Pensiun yang akumulasi iuran 4 3/4% (empat tiga per empat persen). Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 74 2. Ketentuan tersebut diatur jelas dalam Pasal 2 huruf a Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1969, yang pada pokok menyatakan, “ Pensiun pegawai, pensiun janda/duda, dan tunjangan-tunjangan, serta bantuan-bantuan di _atas pensiun yang dapat diberikan berdasarkan dalam undang-undang ini: _ a. bagi pegawai negeri, bekas pegawai negeri, atau meninggal dunia, berhak menerima gaji atau beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, menjelang pembentukan dan penyelenggaraan suatu Dana Pensiun yang akan diatur dengan Peraturan Pemerintah, dibiayai sepenuhnya oleh Negara, sedangkan pengeluran-pengeluaran untuk pembiayaan itu dibebankan atas anggaran dimaksud ”.
Ketentuan tersebut di atas juga dipertegas Pasal 7 ayat (2) huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1981 yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2013 menyatakan, Dengan mendasarkan pada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf a, Pemerintah tetap menanggung beban sebagai berikut:
Pembayaran pensiun dari seluruh penerima pensiun yang telah ada pada saat peraturan pemerintah ini diundangkan. Selanjutnya, pemerintah mengatur tentang cara perhitungan, penyediaan, pencairan, dan pertanggungjawaban dana belanja pensiun yang dilakukan oleh PT Taspen (Persero) dan PT Asabri (Persero) melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 82 PMK.02/2015, tanggal 23 April 2015, secara lebih teknis dikeluarkan tata cara pencairan dan pertanggungjawaban dana belanja pensiun yang dilaksanakan oleh PT Taspen (Persero) dan PT Asabri (Persero) melalui Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Negara Nomor PER-19/PB/2015, tanggal 19 Agustus 2015.
Selanjutnya, terkait dengan dalil Pemohon , pada pokoknya menyatakan pemberlakukan Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Perbendaharaan Negara mengakibatkan atau menimbulkan kerugian bagi Pemohon, karena Pemohon hanya menerima pensiun selama 60 (enam puluh) bulan dan tidak bisa menerima kekurangan jaminan pensiun selama 16 (enam belas) bulan, atas hal-hal tersebut, Pihak Terkait menjelaskan sebagai berikut. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 75 1) bahwa Pemohon berdasarkan Surat Keputusan Badan Kepegawaian Negara Nomor 05087/KEP/AV13016/10, tanggal 14 Oktober 2010, terhitung mulai tanggal Pensiun 01 Juli 2010 diberikan hak pensiun dan pada tanggal 6 Oktober 2016 baru melengkapi surat keterangan penghentian pembayaran (SKPP). Selanjutnya atas hal tersebut, PT Taspen (Persero) telah membayarkan pensiun selama 60 (enam puluh) bulan, terhitung mulai tanggal 1 November 2011 sampai dengan 1 Oktober 2016, dan pensiun ke-13 kepada Pemohon melalui transfer bank.
bahwa sesuai Pasal 238 Peraturan Direksi Nomor PD 12/Dir/2012, yang terakhir diubah dengan Peraturan Direksi Nomor PD 19/Dir/2016, persyaratan pembayaran pensiun pertama antara lain adalah surat keterangan penghentian pembayaran dan ternyata SKPP Pemohon baru diterbitkan pada tanggal 13 September 2016, dan disahkan pada tanggal 22 September 2016, sebagaimana Surat Pengantar Nomor SP-9261/WPB.12/KP.0321/2016, tanggal 22 September 2016.
bahwa untuk hal pensiun selama 16 bulan, yaitu mulai 1 Juli 2010 sampai dengan 1 Oktober 2011, belum atau tidak dapat dibayarkan karena kedaluwarsa atau karena belum ada peraturan perundang- undangan di bawah undang-undang yang mengatur tentang kedaluwarsa sebagai tindak lanjut dari UU Perbendaharaan Negara.
bahwa Pasal 1 angka 8 UU Perbendaharaan Negara menyatakan, Utang negara adalah jumlah uang yang wajib dibayar Pemerintah Pusat dan/atau kewajiban Pemerintah Pusat yang dapat dinilai dengan uang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, perjanjian, atau berdasarkan sebab lain yang sah.
Bahwa pengaturan kedaluwarsa amat penting hal ini dimaksudkan guna adanya kepastian hukum dalam tata kelola keuangan negara karena ketentuan Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Perbendaharaan Negara berlaku bagi Pemohon .
Pembayaran pensiun kepada Pemohon dilakukan dengan skema pay as you go , dimana semua pembayaran pensiun PNS bersumber seluruhnya dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 76 bukan bersumber dari akumulasi dana iuran pensiun sebesar 4 3/4% (empat tiga per empat persen) yang dipungut dari Pemohon . Hal ini dikarenakan akumulasi iuran pensiun PNS belum dapat membiayai pembayaran pensiun, sebagai contoh, disampaikan dalam lampiran, dalam keterangan ini akumulasi iuran pensiun dari Pemohon , sejak Pemohon diangkat sebagai PNS, sehingga dinyatakan memasuki masa pensiun.
Atas dasar tersebut, menurut hemat Pihak Terkait, ketentuan Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Perbendaharaan Negara tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana yang didalikan oleh Pemohon .
Bahwa sebagai informasi tambahan, sesuai laporan keuangan audited consolidated per 31 Desember 2006, akumulasi iuran pensiun (dana iuran pension) PNS sebesar Rp102.693.565.000.026,00 (seratus dua triliun enam ratus sembilan puluh tiga miliar lima ratus enam puluh lima juta rupiah koma dua puluh enam sen) dan pembayaran pensiun per tahun sebesar Rp76.032.000.128.038,00 (tujuh puluh enam triliun tiga puluh dua miliar seratus dua puluh delapan juta rupiah koma tiga puluh delapan sen) 6. Bahwa hakikat mendasar atau filosofi jaminan pensiun atau hak pensiun yang diberikan kepada pegawai negeri sipil termasuk kepada Pemohon adalah sebagai perlindungan kesinambungan penghasilan hari tua, jaminan hari tua sebagai hak dan sebagai penghargaan atas jasa-jasa, serta pengabdian Pegawai Negeri Sipil (PNS) selama bertahun-tahun bekerja atau mengabdi dalam dinas pemerintah.
Bahwa sejalan dengan hal tersebut, maka PT Taspen (Persero) yang diberikan amanat atau ditugasi oleh pemerintah untuk melakukan pembayaran pensiun kepada seluruh pegawai negeri sipil termasuk Pemohon, dalam pelaksanaan pembayaran jaminan hak pensiun, secara prinsip, sepenuhnya merujuk atau mengikuti kebijakan dan ketentuan yang ditentukan oleh Pemerintah selaku pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara/APBN. Oleh karenanya guna memberikan perlindungan dan kepastian hukum serta untuk menghindari timbulnya permasalahan atau menghindari kesalahan penerapan ketentuan kedaluwarsa khususnya Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 77 terhadap jaminan pensiun, diperlukan ketentuan atau regulasi yang bersifat teknis sebagai tindak lanjut dari ketentuan Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Perbendaharaan Negara dimaksud, baik dalam bentuk peraturan pemerintah (PP), atau peraturan presiden (Perpres), atau Peraturan Menteri Keuangan, atau peraturan perundangan di bawahnya.
Bahwa mengingat serta memperhatikan sampai selama ini belum ada ketentuan, atau regulasi, atau petunjuk teknis sebagai tindak lanjut ketentuan kedaluwarsa, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Perbendaharaan Negara. Oleh karenanya memperhatikan Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara secara yuridis verbal, menteri keuangan selaku pengelola fiskal atau bendaharawan umum negara serta regulator berwenang menetapkan atau mengatur terhadap ketentuan atau regulasi yang merupakan ketentuan lebih lanjut yang mengatur secara teknis atas pelaksanaan Undang-Undang Perbendaharaan Negara, Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur lebih lanjut tentang ketentuan kedaluwarsa atas Undang-Undang Perbendaharaan Negara, sangat diperlukan dengan pertimbangan antara lain:
keuangan Negara/APBN harus dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.
belum ada regulasi atau ketentuan yang mengatur tentang kedaluwarsa atas jaminan/hak pensiun atas beban APBN.
untuk menghindari adanya multitafsir atas ketentuan Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Perbendaharaan Negara.
untuk kepastian hukum dan tertib administrasi pengelolaan keuangan Negara/APBN.
untuk memberikan landasan hukum apakah jaminan pension/hak pensiun yang bersumber APBN, tunduk pada ketentuan UU Perbendaharaan Negara.
untuk kepastian hukum, serta memberikan rasa keadilan atas tata kelola jaminan pensiun serta memberikan perlindungan jaminan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 78 pensiun yang merupakan hak, kesinambungan dan penghargaan PNS atas pengabdiannya. [2.5] Menimbang bahwa untuk menguatkan keterangannya, Pihak Terkait PT Taspen mengajukan alat bukti yang diberi tandan bukti PT-1 sampai dengan PT-19, sebagai berikut: 1 Bukti PT - 1 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1969 tentang Pensiun Pegawai dan Janda/Duda Pegawai 2 Bukti PT - 2 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara 3 Bukti PT - 3 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara 4 Bukti PT - 4 : Fotokopi Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1963 tentang Pendirian Perusahaan Negara Dana Tabungan Dan Asuransi Pegawai Negeri dan terakhir diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1981 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Umum Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri menjadi Perusahaan Perseroan (PERSERO) 5 Bukti PT - 5 : Fotokopi Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1981 yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2013 tentang Auransi Sosial Pegawai Negeri Sipil. 6 Bukti PT - 6 : Fotokopi Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2015 tentang Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM) Bagi Pegawai Aparatur Sipil Negara dan Pejabat Negara. 7 Bukti PT - 7 : Fotokopi Peraturan Menteri Keuangan Nomor 20/PMK.01/ 2007 tentang Pengadministrasian, Pelaporan Dan Pengawasan Penitipan Dana Iuran Pensiun Pegawai Negeri Sipil Dan Pejabat Negara. 8 Bukti PT - 8 : Fotokopi Peraturan Menteri Keuangan Nomor 71/PMK.02/ 2008 tentang Pengembalian Nilai Tunai Iuran Pensiun Pegawai Negeri Sipil Yang Diberhentikan Tanpa Hak Pensiun. 9 Bukti PT - 9 Fotokopi Peraturan Menteri Keuangan Nomor 82/PMK.02/ 2015 tentang Tata Cara Perhitungan, Penyediaan, Pencairan Dan Pertanggungjawaban Dana Belanja Pensiun Yang Dilakasanakan Oleh PT TASPEN (PERSERO) Dan PT ASABRI Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 79 (PERSERO). 10 Bukti PT - 10 Fotokopi Peraturan Menteri Keuangan Nomor 201/PMK.02/ 2015 sebagaimana diubah dengan Nomor 23/ PMK.02/2016 tentang Pengelolaan Akumulasi Iuran Pensiun Pegawai Negeri Sipil. 11 Bukti PT - 11 Fotokopi Peraturan Menteri Keuangan Nomor 128/PMK.02/ 2016 tentang Persyaratan dan Besar Manfaat Tabungan Hari Tua Bagi Pegawai Negeri Sipil. 12 Bukti PT - 12 Fotokopi Peraturan Menteri Keuangan Nomor 241/PMK.02/ 2016 tentang Tata Cara Pengelolaan Iuran dan Pelaporan Penyelenggaraan Program Tabungan Hari Tua Pegawai Negeri Sipil dan Program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian Aparatur Sipil Negara. 13 Bukti PT - 13 : Fotokopi Keputusan Menteri Keuangan Nomor 500/KMK.06/ 2004 tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 478/KMK.06/2002 tentang Persyaratan dan Besaran Manfaat Tabungan Hari Tua Bagi Pegawai Negeri Sipil. 14 Bukti PT - 14 : Fotokopi Surat Menteri Keuangan Nomor S- 244/MK.011/ 1985 tanggal 21 Februari 1985 perihal Penempatan Dana Pensiun Pegawai Negeri Sipil pada P.T. (Persero) Taspen 15 Bukti PT - 15 : Fotokopi Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor PER-19/PB/2015 tentang Tata Cara Pencairan dan Pertanggungjawaban dan Belanja Pensiun Yang Dilaksanakan oleh PT Taspen (Persero) dan PT Asabri (Persero). 16 Bukti PT - 16 : Fotokopi Surat Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor S-6622/PB/2017 tanggal 27 Juli 2017 perihal Penegasan tentang Kedaluwarsa Dalam Pembayaran Pensiun 17 Bukti PT – 17 : Fotokopi Peraturan Direksi Nomor PD- 19/DIR/2016 tentang Perubahan Kelima Peraturan Direksi Nomor PD-12/DIR/2012 tentang Pedoman Pelaksanaan Pelayanan Program Tabungan Hari Tua. Program Pensiun, dan Manajemen Data Peserta. 18 Bukti PT – 18 : Fotokopi SOP Penyelesaian SPP Klaim Program Asuransi dan Pensiun Nomor TSP/PLY/PK/05 dengan Instruksi Kerja Nomor TSP/PLY/IK/05/01B 19 Bukti PT – 19 : Fotokopi Surat Dekan Fakultas Teknik Universitas Indonesia Nomor 220/UN2.F4.D/SDM.04/2017 Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 80 tanggal 28 Juli 2017 perihal Permohonan Usulan selisih pembayaran SKPP a.n sdr. Ir. Sri Bintang Pamungkas, M.Si, SE,PH.D periode Juli 2015 – September 2016 dan Voucher Klim Program Pensiun Uang Kekurangan Pensiun Nomor Voucher 012710-2017 dengan tanggal rencana bayar 31 Juli 2017. [2.6] Menimbang bahwa Pemohon dan Pemerintah telah mengajukan kesimpulan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 8 Agustus 2017 yang pada pokoknya tetap pada pendiriannya; [2.7] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian Putusan ini, segala sesuatu yang terjadi di persidangan ditunjuk dalam Berita Acara Persidangan, dan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dengan Putusan;
PERTIMBANGAN HUKUM Kewenangan Mahkamah [3.1] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya disebut UU MK), dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076), salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar; [3.2] Menimbang bahwa karena yang dimohonkan Pemohon adalah pengujian konstitusionalitas Undang-Undang in casu Pasal 40 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 81 Indonesia Nomor 4355, selanjutnya disebut UU Perbendaharaan Negara) terhadap UUD 1945, maka Mahkamah berwenang mengadili permohonan _a quo; _ Kedudukan hukum ( legal standing ) Pemohon [3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, Pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap Undang- Undang Dasar adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian, yaitu:
perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama);
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
badan hukum publik atau privat; atau
lembaga negara; Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu:
kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK;
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian, dalam kedudukannya sebagaimana dimaksud pada huruf a; [3.4] Menimbang pula bahwa mengenai kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK, Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005, tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007, tanggal 20 September 2007 serta putusan selanjutnya telah berpendirian adanya 5 (lima) syarat yang harus dipenuhi, yaitu:
adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 82 c. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional dimaksud dengan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; [3.5] Menimbang bahwa mengenai kedudukan hukum ( legal standing ), Pemohon mendalilkan yang pada pokoknya sebagai berikut:
Bahwa menurut Pemohon Pasal 40 UU Perbendaharaan Negara, perlu diuji secara materiil karena bertentangan dengan UUD 1945. Sebagai akibat dari diberlakukannya ketentuan itu, Pemohon menderita kerugian materiil yang nilainya sebesar 16 bulan pensiun, nilai mana seharusnya diterima oleh Pemohon.
Bahwa sebagai warga negara Indonesia, Pemohon mempunyai hak dan/atau kewenangan konstitusionil sebagaimana diatur dalam UUD 1945, yang meliputi: a) Bidang hukum khususnya, seperti perlindungan hukum, serta jaminan atas perlakuan hukum yang adil dan jaminan atas kepastian hukum. b) Bidang-bidang lain, seperti sosial, ekonomi, politik, budaya, pertahanan dan keamanan.
Hak memperoleh Pensiun dan Jaminan Hari Tua mana diulang lagi melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara pada Pasal 21 butir c.; dan pada Pasal 91 ayat (3) yang berbunyi: Jaminan Pensiun PNS dan Jaminan Hari Tua PNS diberikan sebagai perlindungan kesinambungan penghasilan hari tua, sebagai hak dan sebagai penghargaan atas pengabdian PNS . Oleh sebab itu, pemberlakuan Pasal 40 UU Perbendaharaan Negara terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 juga merupakan pelanggaran terhadap hak dan/atau kewenangan Pemohon untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 83 4. Kerugian ekonomi yang sifatnya materiil adalah yang paling segera dirasakan Pemohon, yaitu ketika mendengar:
Bahwa selama 66 (enam puluh enam) bulan sejak pensiun, Pemohon tidak pernah mendapatkan pembayaran bulanan uang pensiunnya.
Sebagai akibat diterapkannya Pasal 40 UU Perbendaharaan Negara tersebut, pembayaran Rapel Pensiun selama lebih-kurang 66 (enam puluh enam) bulan yang seharusnya diterima Pemohon itu ternyata dipotong 16 (enam belas) bulan, atau identik dengan 60-an juta rupiah.
Kerugian secara materiil tersebut berdampak segera pada hal-hal yang berkaitan dengan pengeluaran Pemohon dan keluarganya untuk kehidupan sehari-hari, dan lain-lain pengeluaran dalam rangka mewujudkan tujuan penyelenggaraan program pensiun dan jaminan hari tuanya. [3.6] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan pada paragraf [3.3] sampai dengan paragraf [3.5] di atas, Mahkamah berpendapat bahwa Pemohon memiliki hak konstitusional yang dijamin oleh UUD 1945, hak konstitusional tersebut dirugikan oleh berlakunya Pasal 40 UU Perbendaharaan Negara dan kerugian tesebut bersifat spesifik dan aktual yang memiliki hubungan sebab akibat antara kerugian hak konstitusional dengan berlakunya pasal yang dimohonkan pengujian, sehingga apabila permohonan Pemohon dikabulkan maka kerugian hak konstitusional Pemohon tidak lagi terjadi. Dengan demikian, menurut Mahkamah Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo ; [3.7] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili permohonan Pemohon dan Pemohon memiliki kedudukan hukum ( Iegal standing ) untuk mengajukan permohonan a quo, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan; Pokok Permohonan [3.8] Menimbang bahwa pokok permohonan Pemohon adalah mempersoalkan konstitusionalitas Pasal 40 UU Perbendaharaan Negara, khususnya diberlakukannya ketentuan kedaluwarsa terhadap pembayaran pensiun bagi PNS, dan terhadap Pasal 40 UU Perbendaharaan Negara, khususnya Pasal 40 ayat (1), telah pernah diuji dan diputus oleh Mahkamah sebagaimana tertuang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 84 dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XIV/2016, bertanggal 28 September 2017. [3.9] Menimbang bahwa dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XIV/2016, amarnya pada angka 2 menyatakan, 1. ... 2. Menyatakan Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004, Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai diberlakukan terhadap jaminan pensiun dan jaminan hari tua;
...;
... Oleh karena itu, terhadap permohonan Pemohon yang pada hakikatnya objeknya sama yaitu mempersoalkan konstitusionalitas berlakunya ketentuan kedaluwarsa terhadap pembayaran Pensiun bagi PNS, sebagaimana diatur dalam Pasal 40 ayat (1) UU Perbendaharaan Negara, menjadi kehilangan objek; [3.10] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon berkenaan dengan konstitusionalitas Pasal 40 ayat (2) UU Perbendaharaan Negara, Mahkamah berpendapat oleh karena ketentuan tentang kedaluwarsa yang dimaksud dalam norma a quo adalah karena berkenaan dengan persoalan utang negara, sementara jaminan pensiun dan jaminan hari tua telah dinyatakan bukan sebagai utang negara tetapi merupakan kewajiban negara, sehingga tidak tunduk pada ketentuan kedaluwarsa, sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XIV/2016, maka norma Pasal 40 ayat (2) a quo tidak berlaku terhadap jaminan pensiun dan jaminan hari tua. Dengan demikian, permohonan Pemohon sepanjang berkenaan dengan inkonstitusionalitas Pasal 40 ayat (2) UU Perbendaharaan Negara adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian. [3.11] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon berkenaan dengan konstitusionalitas Pasal 40 ayat (3) UU Perbendaharaan Negara, karena ketentuan a quo menyangkut soal pembayaran kewajiban bunga dan pokok pinjaman negara/daerah, Mahkamah berpendapat tidak terdapat persoalan konstitusionalitas dalam rumusan norma a quo. Sebaliknya, keberadaan norma a quo justru sangat Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 85 diperlukan guna memberi kepastian hukum terhadap pembayaran kewajiban bunga dan pokok pinjaman negara/daerah. Dengan demikian dalil Pemohon sepanjang berkenaan dengan Pasal 40 ayat (3) UU Perbendaharaan Negara tidak beralasan menurut hukum. [3.12] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, Mahkamah berpendapat permohonan Pemohon sebagian telah kehilangan objek, sebagian beralasan menurut hukum, dan selebihnya tidak beralasan menurut hukum.
KONKLUSI Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan: [4.1] Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan _a quo; _ [4.2] Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan _a quo; _ [4.3] Permohonan Pemohon:
sepanjang berkenaan dengan Pasal 40 ayat (1) UU Perbendaharaan Negara kehilangan objek;
sepanjang berkenaan dengan Pasal 40 ayat (2) UU Perbendaharaan Negara beralasan menurut hukum untuk sebagian;
sepanjang berkenaan dengan Pasal 40 ayat (3) UU Perbendaharaan Negara tidak beralasan menurut hukum. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negera Republik Indonesia Nomor 5226), serta Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indoensia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negera Republik Indonesia Nomor 5076); Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 86 5. AMAR PUTUSAN Mengadili, 1. Menyatakan permohonan Pemohon sepanjang berkenaan dengan Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004, Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355) tidak dapat diterima;
a. Mengabulkan permohonan Pemohon sepanjang berkenaan dengan Pasal 40 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004, Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355) untuk sebagian;
Menyatakan Pasal 40 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004, Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang dimaknai berlaku terhadap jaminan pensiun dan jaminan hari tua;
Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya;
Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu, Arief Hidayat selaku Ketua merangkap Anggota, Anwar Usman, Aswanto, Suhartoyo, Maria Farida Indrati, Wahiduddin Adams, I Dewa Gede Palguna, Manahan MP. Sitompul, dan Saldi Isra, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Selasa, tanggal dua puluh enam, bulan September, tahun dua ribu tujuh belas , dan diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Kamis, tanggal dua puluh delapan, bulan September, tahun dua ribu tujuh belas , selesai diucapkan pukul 09.37 WIB , oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu, Arief Hidayat selaku Ketua merangkap Anggota, Anwar Usman, Aswanto, Suhartoyo, Maria Farida Indrati, Wahiduddin Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 87 Adams, I Dewa Gede Palguna, Manahan MP. Sitompul, dan Saldi Isra, masing- masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Cholidin Nasir sebagai Panitera Pengganti, dihadiri oleh Pemohon atau kuasanya, Pemerintah atau yang mewakili, Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili, dan Pihak Terkait. KETUA, ttd Arief Hidayat ANGGOTA-ANGGOTA, ttd. Anwar Usman ttd. Aswanto ttd. Suhartoyo ttd. Maria Farida Indrati ttd. Wahiduddin Adams ttd. I Dewa Gede Palguna ttd. Manahan M.P Sitompul ttd. Saldi Isra PANITERA PENGGANTI, ttd. Cholidin Nasir Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id