Pendidikan Tinggi.
Relevan terhadap
PTN wajib mencari dan menjaring calon Mahasiswa yang memiliki potensi akademik tinggi, tetapi kurang mampu secara ekonomi dan calon Mahasiswa dari daerah terdepan, terluar, dan tertinggal untuk diterima paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari seluruh Mahasiswa baru yang diterima dan tersebar pada semua Program Studi.
Program Studi yang menerima calon Mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memperoleh bantuan biaya Pendidikan dari Pemerintah, Pemerintah Daerah, Perguruan Tinggi, dan/atau Masyarakat.
Pangkalan Data Pendidikan Tinggi merupakan kumpulan data penyelenggaraan Pendidikan Tinggi seluruh Perguruan Tinggi yang terintegrasi secara nasional.
Pangkalan Data Pendidikan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi sebagai sumber informasi bagi:
lembaga akreditasi, untuk melakukan akreditasi Program Studi dan Perguruan Tinggi;
Pemerintah, untuk melakukan pengaturan, perencanaan, pengawasan, pemantauan, dan evaluasi serta pembinaan dan koordinasi Program Studi dan Perguruan Tinggi; dan
Masyarakat, untuk mengetahui kinerja Program Studi dan Perguruan Tinggi.
Pangkalan Data Pendidikan Tinggi dikembangkan dan dikelola oleh Kementerian atau dikelola oleh lembaga yang ditunjuk oleh Kementerian. (4) Penyelenggara Perguruan Tinggi wajib menyampaikan data dan informasi penyelenggaraan Perguruan Tinggi serta memastikan kebenaran dan ketepatannya.
Penyelenggaraan otonomi Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 dapat diberikan secara selektif berdasarkan evaluasi kinerja oleh Menteri kepada PTN dengan menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum atau dengan membentuk PTN badan hukum untuk menghasilkan Pendidikan Tinggi bermutu.
PTN yang menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki tata kelola dan kewenangan pengelolaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
PTN badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki:
kekayaan awal berupa kekayaan negara yang dipisahkan kecuali tanah;
tata kelola dan pengambilan keputusan secara mandiri;
unit yang melaksanakan fungsi akuntabilitas dan transparansi;
hak mengelola dana secara mandiri, transparan, dan akuntabel;
wewenang mengangkat dan memberhentikan sendiri Dosen dan tenaga kependidikan;
wewenang mendirikan badan usaha dan mengembangkan dana abadi; dan
wewenang untuk membuka, menyelenggarakan, dan menutup Program Studi.
Pemerintah memberikan penugasan kepada PTN badan hukum untuk menyelenggarakan fungsi Pendidikan Tinggi yang terjangkau oleh Masyarakat.
Ketentuan mengenai penyelenggaraan otonomi PTN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2019
Relevan terhadap
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Pendapatan Negara adalah hak Pemerintah Pusat yang diakui sebagai penambah kekayaan bersih yang terdiri atas Penerimaan Perpajakan, Penerimaan Negara Bukan Pajak, dan Penerimaan Hibah. Penerimaan Perpajakan adalah semua penerimaan negara yang terdiri atas Pendapatan Pajak Dalam Negeri dan Pendapatan Pajak Perdagangan Internasional. Pendapatan Pajak Dalam Negeri adalah semua penerimaan negara yang berasal dari pendapatan pajak penghasilan, pendapatan pajak pertambahan nilai barang dan jasa dan pajak penjualan atas barang mewah, pendapatan pajak bumi dan bangunan, pendapatan cukai, dan pendapatan pajak lainnya. Pendapatan Pajak Perdagangarr Internasional adalah semua penerimaan negara yang berasal dari pendapatan bea masuk dan pendapatan bea keluar. 1 2 3 4 5 6. Penerimaan .
Penerimaan Negara Bukan Pajak yang selanjutnya disingkat PNBP adalah semua ^penerimaan Pemerintah Pusat yang diterima dalam bentuk pendapatan Sumber Daya Alam, pendapatan dari Kekayaan Negara Dipisahkan, pendapatan PNBP lainnya, dan ^pendapatan Badan Layanan Umum. 7. Penerimaan Hibah adalah semua penerimaan negara baik dalam bentuk devisa dan/atau devisa yang dirupiahkan, rupiah, jasa, dan/atau surat berharga yang diperoleh dari pemberi hibah yang tidak perlu dibayar kembali dan yang tidak mengikat, baik yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri. 8. Belanja Negara adalah kewajiban Pemerintah Pusat ^yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih yang terdiri atas belanja Pemerintah Pusat dan Transfer ke Daerah dan Dana Desa. 9. Belanja Pemerintah Pusat Menurut Fungsi adalah belanja Pemerintah Pusat yang digunakan untuk menjalankan fungsi pelayanan umum, fungsi pertahanan, fungsi ketertiban dan keamanan, fungsi ekonomi, fungsi perlindungan lingkungan hidup, fungsi perumahan dan fasilitas umum, fungsi kesehatan, fungsi pariwisata, fungsi agama, fungsi pendidikan, dan fungsi perlindungan sosial. 10. Belanja Pemerintah Pusat Menurut Organisasi adalah belanja Pemerintah Pusat yang dialokasikan kepada kementerian negara/lembaga dan Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara. 11. Belanja Pemerintah Pusat Menurut Program adalah belanja Pemerintah Pusat yang dialokasikan untuk mencapai hasil (outcomel tertentu pada Bagian Anggaran kementerian negara/lembaga dan Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara. 12. Program Pengelolaan Subsidi adalah pemberian dukungan dalam bentuk pengalokasian anggaran kepada perusahaan negara, lembaga pemerintah, atau pihak ketiga berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk menyediakan barang atau ^jasa yang bersifat strategis atau menguasai hajat hidup orang banyak sesuai kemampuan keuangan negara. PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -5- 13. Transfer ke Daerah adalah bagian dari Belanja ^Negara dalam rangka mendanai pelaksanaan desentralisasi fiskal berupa Dana Perimbangan, Dana Insentif Daerah, Dana Otonomi Khusus, dan Dana Keistimewaan Daerah Istimewa Yoryakarta. 14. Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari APBN kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi yang terdiri atas Dana Transfer Umum dan Dana Transfer Khusus. 15. Dana Transfer Umum adalah dana yang bersumber dari APBN kepada daerah untuk digunakan sesuai dengan kewenangan daerah guna mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. 16. Dana Bagi Hasil yang selanjutnya disingkat DBH adalah dana yang bersumber dari APBN kepada daerah berdasarkan angka persentase tertentu dari pendapatan negara untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. 17. Dana Alokasi Umum yang selanjutnya disingkat DAU adalah dana yang bersumber dari dalam APBN kepada daerah dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antardaerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. 18. Dana Transfer Khusus adalah dana yang bersumber dari APBN kepada daerah dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus, baik fisik maupun nonfisik yang merupakan urusan daerah. 19. Dana Alokasi Khusus yang selanjutnya disingkat DAK adalah dana yang bersumber dari APBN kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. 20. Dana Insentif Daerah yang selanjutnya disingkat DID adalah dana yang bersumber dari APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu berdasarkan kriteria/kategori tertentu dengan tujuan untuk memberikan penghargaan atas perbaikan dan/atau pencapaian kinerja tertentu di bidang tata kelola keuangan daerah, pelayanan umum pemerintahan, pelayanan dasar publik, dan kesejahteraan masyarakat.
Dana 21. Dana Otonomi Khusus adalah dana ^yang bersumber ^dari APBN untuk membiayai pelaksanaan otonomi khusus suatu daerah, sebagaimana ditetapkan dalam Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2OOB tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2OOl tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua menjadi Undang-Undang, dan Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. 22. Dana Tambahan Infrastruktur Dalam Rangka Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat yang selanjutnya disebut DTI adalah dana tambahan yang besarnya ditetapkan antara Pemerintah dengan Dewan Perwakilan Ralryat berdasarkan usulan Provinsi pada setiap tahun anggaran, yeng terutama ditujukan untuk ^pembiayaan pembangunan infrastruktur. 23. Dana Keistimewaan Daerah Istimewa Yograkarta adalah dana yang bersumber dari APBN untuk penyelenggaraan urusan keistimewaan Daerah Istimewa Yograkarta, sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2Ol2 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yograkarta. 24. Dana Desa adalah dana yang bersumber dari APBN yang diperuntukkan bagi desa yang ditransfer melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten/kota dan digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat. 25. Pembiayaan Anggaran adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali, penerimaan kembali atas pengeluaran tahun-tahun anggaran sebelumnya, pengeluaran kembali atas penerimaan tahun-tahun anggaran sebelumnya, penggunaan saldo anggaran lebih, dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun tahun- tahun anggaran berikutnya.
Sisa 26. Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran yang selanjutnya disebut SiLPA adalah selisih lebih realisasi pembiayaan anggaran atas realisasi defisit anggaran yang terjadi dalam satu periode pelaporan. 27. Saldo Anggaran Lebih yang selanjutnya disingkat SAL adalah akumulasi neto dari SiLPA dan Sisa Kurang Pembiayaan Anggaran tahun-tahun anggaran yang lalu dan tahun anggaran yang bersangkutan setelah ditutup, ditambah/dikurangi dengan koreksi pembukuan. 28. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disingkat SBN meliputi surat utang negara dan surat berharga syariah negara. 29. Surat Utang Negara yang selanjutnya disingkat SUN adalah surat berharga berupa surat pengakuan utang dalam mata uang rupiah maupun valuta asing yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia sesuai dengan masa berlakunya. 30. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disingkat SBSN atau dapat disebut sukuk negara adalah SBN yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap aset SBSN, baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing. 31. Bantuan Pemerintah Yang Belum Ditetapkan Statusnya yang selanjutnya disingkat BPYBDS adalah bantuan Pemerintah berupa BMN yang berasal dari APBN, yang telah dioperasikan dan/atau digunakan oleh Badan Usaha Milik Negara berdasarkan Berita Acara Serah Terima dan sampai saat ini tercatat pada laporan keuangan kementerian negara/lembaga atau pada Badan Usaha Milik Negara. 32. Penyertaan Modal Negara yang selanjutnya disingkat PMN adalah pemisahan kekayaan negara dari APBN untuk dijadikan sebagai modal Perusahaan Negara dan/atau Perseroan Terbatas lainnya serta lembaga/badan lainnya, yang pengelolaannya dilakukan secara korporasi.
Barang 33. Barang Milik Negara yang selanjutnya disingkat BMN adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau berasal dari perolehan lainnya yang sah. 34. Dana Bergulir adalah dana yang dikelola oleh Badan Layanan Umum tertentu untuk dipinjamkan dan digulirkan kepada masyarakat/lembaga dengan tujuan untuk meningkatkan ekonomi ralryat dan tujuan lainnya. 35. Pinjaman Dalam Negeri adalah setiap pinjaman oleh Pemerintah yang diperoleh dari pemberi pinjaman dalam negeri yang harus dibayar kembali dengan persyaratan tertentu, sesuai dengan masa berlakunya. 36. Kewajiban Penjaminan adalah kewajiban yang menjadi beban Pemerintah akibat pemberian ^jaminan kepada kementerian negara/lembaga, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, dan Badan Usaha Milik Daerah dalam hal kementerian negaraf lembaga, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, dan Badan Usaha Milik Daerah dimaksud tidak dapat memenuhi kewajibannya kepada kreditur dan/atau badan usaha sesuai perjanjian pinjaman atau perjanjian kerja sama. 37. Pinjaman Luar Negeri Neto adalah semua pembiayaan yang berasal dari penarikan pinjaman luar negeri yang terdiri atas pinjaman tunai dan pinjaman kegiatan dikurangi dengan pembayaran cicilan pokok pinjaman luar negeri. 38. Pinjaman T\rnai adalah pinjaman luar negeri dalam bentuk devisa dan/atau rupiah yang digunakan untuk pembiayaan defisit APBN dan pengelolaan portofolio utang. 39. Pinjaman Kegiatan adalah pinjaman luar negeri yang digunakan untuk pembiayaan kegiatan tertentu kementerian negara/lembaga, pinjaman yang diteruspinjamkan kepada pemerintah daerah dan/atau Badan Usaha Milik Negara, dan pinjaman yang diterushibahkan kepada pemerintah daerah. PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -9 - 40. Pemberian Pinjaman adalah pinjaman Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, lembaga, dan/atau badan lainnya yang harus dibayar kembali dengan ketentuan dan persyaratan tertentu. 41. Anggaran Pendidikan adalah alokasi anggaran pendidikan melalui kementerian negaraf lembaga dan BA BUN, alokasi anggaran pendidikan melalui transfer ke daerah dan dana desa, dan alokasi anggaran pendidikan melalui pengeluaran pembiayaan, termasuk gaji pendidik, tetapi tidak termasuk anggaran pendidikan kedinasan, untuk membiayai penyelenggaraan pendidikan yang menjadi tanggung lawab Pemerintah. 42. Persentase Anggaran Pendidikan adalah perbandingan alokasi anggaran pendidikan, terhadap total anggaran belanja negara. 43. Tahun Anggaran 2Ol9 adalah masa 1 (satu) tahun terhitung mulai dari tanggal l Januari sampai dengan tanggal 31 Desember 2019.
Dana Perimbangan sebagaimana dimaksud dalam ^Pasal ^9 ayat (21 huruf a direncanakan sebesar Rp724.592.59O.224.000,00 (tujuh ratus dua ^puluh empat triliun lima ratus sembilan puluh dua miliar lima ^ratus sembilan puluh ^juta dua ratus dua puluh empat ribu ^rupiah), yang terdiri atas:
Dana Transfer Umum; dan
Dana Transfer Khusus. Pasal 1 1 (1) Dana Transfer Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf a direncanakan sebesar Rp524.223.746.621.000,00 (lima ratus dua puluh empat triliun dua ratus dua puluh tiga miliar tujuh ratus empat puluh enam juta enam ratus dua puluh satu ribu rupiah), yang terdiri atas:
DBH; dan
DBH; dan
DAU. (2) DBH sebagaimana dimaksud ^pada ^ayat ^(1) ^huruf ^a direncanakan sebesar ^Rp ^106.35O.163.929.000,00 ^(seratus enam triliun tiga ratus lima ^puluh miliar ^seratus ^enam puluh tiga juta sembilan ratus dua ^puluh ^sembilan ^ribu rupiah), yang terdiri atas:
DBH Pajak sebesar ^Rp52.438.615.165.000,00 ^(lima puluh dua triliun empat ratus tiga ^puluh ^delapan miliar enam ratus lima belas ^juta ^seratus ^enam ^puluh lima ribu rupiah); dan
DBH Sumber DaYa Alam sebesar Rp53.911.548.764.000,00 (lima ^puluh tiga ^triliun sembilan ratus sebelas miliar lima ratus ^empat ^puluh delapan ^juta tujuh ratus enam ^puluh ^empat ^ribu rupiah). (3) DBH Pajak sebagaimana dimaksud ^pada ^ayat ^(21 ^huruf ^a terdiri atas:
Pajak Bumi dan Bangunan;
Pajak Penghasilan Pasal 21, ^Pasal 25, ^dan ^Pasal ^29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam ^Negeri; ^dan c. Cukai Hasil Tembakau.
DBH Sumber Daya Alam sebagaimana dimaksud ^pada ayat (21huruf b terdiri atas:
minyak bumi dan ^gas burni;
mineral dan batubara;
kehutanan;
perikanan; dan
panas bumi. (5) Penyaluran DBH sebagaimana dimaksud ^pada ayat ^(21 untuk triwrrlan IV diprioritaskan untuk ^penyelesaian kurang bayar DBH sampai derigan Tahun ^Anggaran ^2Ol8 dengan memperhitungkan lebih bayar ^tahun-tahun sebelumnya.
Dalam hal masih tersedia ^pagu anggaran ^DBH ^setelah digunakan untuk ^penyelesaian ^kurang ^bayar ^sebagaimana dimaksud pada ayat (5), sisa ^pagu ^anggaran ^tersebut dapat digunakan untuk ^penyaluran ^sebagian ^DBH triwulan IV tahun berjalan.
Ketentuan tebih lanjut mengenai tata cara ^penyaluran DBH triwulan IV untuk penyelesaian kurang ^bayar ^DBH sampai dengan tahun anggaran 2018 ^sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat ^(6) ^diatur ^dengan Peraturan Menteri Keuangan.
DBH Kehutanan sebagaimana dimaksud ^pada ayat ^(4) huruf c, khusus Dana Reboisasi ^yang ^sebelumnya disalurkan ke kabupaten/kota ^penghasil, ^mulai ^Tahun Anggaran 2Ol7 disalurkan ke ^provinsi ^penghasil ^dan digunakan untuk membiayai kegiatan rehabilitasi ^hutan dan lahan yang meliputi:
perencanaan;
pelaksanaan;
monitoring;
evaluasi; dan
kegiatan pendukungnya. (9) Kegiatan pendukung rehabilitasi hutan dan lahan sebagaimana dimaksud pada ayat ^(8) meliputi:
perlindungan dan pengamanan hutan;
teknologi rehabilitasi hutan dan lahan;
pencegahan dan penanggulangan kebakaran ^hutan dan lahan;
pengembangan perbenihan;
penelitian dan pengembangan, pendidikan dan pelatihan, pen5ruluhan serta pemberdayaan masyarakat setempat dalam kegiatan rehabilitasi hutan;
pembinaan; dan/atau
pengawasan dan pengendalian.
^penggunaan DBH Cukai Hasil ^Tembakau ^sebagaimana dimaksud pada ayat ^(3) huruf ^c, ^DBH Minyak ^Bumi ^dan Gas Bumi sebagaimana dimaksud ^pada ^ayat ^(4) ^huruf ^a dan DBH Kehutanan sebagaimana ^dimaksud ^pada ^ayat ^(4) huruf c, diatur sebagai berikut:
Penerimaan DBH Cukai ^Hasil ^Tembakau, ^baik ^bagian provinsi maupun bagian kabupaten/kota ^dialokasikan untuk mendanai program sebagaimana ^yang ^diatur dalam peraturan perundang-undangan ^mengenai cukai, dengan prioritas ^pada bidang ^kesehatan ^untuk mendukung program ^jaminan kesehatan ^nasional. b. Penerimaan DBH Minyak Bumi dan ^Gas ^Bumi, ^baik bagian provinsi maupun bagian ^kabupatenlkota digunakan sesuai kebutuhan dan ^prioritas ^daerah, kecuali tambahan DBH Minyak Bumi dan ^Gas Bumi untuk Provinsi Papua Barat dan ^Provinsi ^Aceh digunakan sesuai dengan ketentuan ^peraturan perundang-undangan. c. DBH Kehutanan dari Dana Reboisasi ^yang ^merupakan bagian kabupatenfkota, baik ^yang disalurkan ^pada tahun 2016 maupun tahun-tahun ^sebelumnya ^yang masih terdapat di kas daerah dapat ^digunakan ^oleh organisasi perangkat daerah ^yang ditunjuk ^oleh bupati/wali kota untuk:
pengelolaan taman hutan raYa;
pencegahan dan penanggulangan ^kebakaran hutan; dan/atau
penanaman pohon pada daerah aliran ^sungai ^kritis, penanaman bambu pada kanan kiri sungai, ^dan pengadaan bangunan konservasi tanah dan ^air.
Dalam hal realisasi penerimaan negara ^yang dibagihasilkan melebihi pagu ^penerimaan ^yang dianggarkan dalam tahun 2019, Pemerintah ^menyalurkan DBH berdasarkan realisasi ^penerimaan tersebut ^sesuai dengan kondisi keuangan negara.
DAU . (t2) (13) (14) (1s) DAU sebagaimana dimaksud ^pada ayat ^(1) ^huruf ^b, dialokasikan sebesar 28,05% ^(dua ^puluh ^delapan koma nol lima persen) dari Pendapatan Dalam ^Negeri ^neto ^atau direncanakan sebesar Rp417.873.582.692.000,00 ^(empat ratus tujuh belas triliun delapan ratus tujuh ^puluh ^tiga miliar lima ratus delapan puluh dua ^juta ^enam ^ratus sembilan puluh dua ribu rupiah), ^yang ^terdiri ^atas:
DAU yang dialokasikan berdasarkan formula ^sebesar Rp414.873.582.692.000,00 (empat ratus ^empat ^belas triliun delapan ratus tujuh ^puluh tiga ^miliar ^lima ratus delapan puluh dua ^juta enam ratus ^sembilan ^puluh dua ribu rupiah); dan
DAU tambahan sebesar Rp3.000.000.000.000,00 ^(tiga triliun rupiah). Pendapatan Dalam Negeri neto sebagaimana ^dimaksud pada ayat (12) dihitung berdasarkan penjumlahan antara Penerimaan Perpajakan dan PNBP, dikurangi ^dengan pendapatan negara yang di-earmark dan Transfer ^Ke Daerah dan Dana Desa selain DAU. Proporsi DAU antara provinsi dan kabupatenlkota ditetapkan dengan imbangan l4,lo/o ^(empat ^belas ^koma satu persen) dan 85,9o/o (delapan puluh lima ^koma sembilan persen). Dalam rangka memperbaiki pemerataan ^kemampuan fiskal atau keuangan antar daerah, dilakukan ^penyesuaian alokasi DAU per daerah untuk ^provinsi ^dan kabupaten/kota sebagai berikut:
penyesuaian ke atas untuk ^provinsi ^dan kabupaten/kota agar semua daerah mendapatkan kenaikan minimal alokasi DAU sebesar kenaikan ^gaji pokok; dan
penyesuaian ke bawah untuk provinsi ^dan kabupaten/kota yang mengalami kenaikan alokasi DAU melebihi kenaikan minimal alokasi DAU sebesar kenaikan gaji pokok sehingga alokasi antardaerah lebih merata dan kisaran kenaikan alokasi antardaerah tidak terlalu ^jauh.
DAU PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -2t- (16) DAU sebagaimana dimaksud pada ayat ^(12) huruf ^a ^telah memperhitungkan kenaikan gaji, formasi CPNSD, ^gaji ^ke- 13 (ketiga belas) dan tunjangan hari raya. (17) DAU tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat ^(l2l huruf b merupakan dukungan ^pendanaan bagi ^kelurahan di kabupaten/kota untuk kegiatan ^pembangunan ^sarana dan prasarana kelurahan dan kegiatan ^pemberdayaan masyarakat kelurahan. (18) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (I7) diatur dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri.
Alokasi Dana Transfer Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sesuai dengan kebutuhan dan prioritas daerah. (20) Dana Transfer Umum diarahkan penggunaannya, yaitu paling sedikit 25% (dua puluh lima persen) untuk belanja infrastruktur daerah yang langsung terkait dengan percepatan pembangunan fasilitas pelayanan publik dan ekonomi dalam rangka meningkatkan kesempatan kerja, mengurangi kemiskinan, dan mengurangi kesenjangan penyediaan layanan publik antardaerah. (21) Pedoman teknis atas penggunaan DBH Kehutanan dari Dana Reboisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dan penggunaan sisa DBH Kehutarran dari Dana Reboisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1O) huruf c diatur lebih lanjut dengan Peraturan IVlenteri Keuangan setelah berkoordinasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (22) Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan DBH Cukai Hasil Tembakau sebagaimana dimaksud pada ayat ^(10) huruf a dan penyaluran DAU tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (12) huruf b diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 11/PMK.02/2018 tentang Tata Cara Revisi Anggaran Tahun Anggaran 2018 ...
Strategi Pembiayaan Tahunan Melalui Utang Tahun 2Ol9
Relevan terhadap
KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PENGELOLAAN PEMBIAYAAN DAN RISIKO TENTANG STRATEGI PEMBIAYAAN TAHUNAN MELALUI UTANG TAHUN 20t9. Dalam Keputusan Direktur Jenderal ini, yang dimaksud dengan:
Surat Berharga Negara yang selanjutnya disingkat SBN meliputi Surat Utang Negara dan Surat Berharga Syariah Negara;
Surat Utang Negara yang selanjutnya disingkat SUN adalah surat berharga yang berupa surat pengakuan utang dalam mata uang rupiah maupun valuta asing yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia, sesuai dengan masa berlakunya;
Obligasi Negara yang selanjutnya disingkat ON adalah SUN yang berjangka waktu lebih dari L2 (dua belas) bulan dengan kupon dan/atau dengan pembayaran bunga secara diskonto;
Surat Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disingkat SPN adalah SUN yang berjangka waktu sampai dengan 12 (dua belas) bulan dengan pembayaran bunga secara diskonto;
Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disingkat SBSN, atau dapat disebut Sukuk Negara, adalah SBN yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap aset SBSN, baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing;
SBSN Jangka Panjang adalah SBSN berjangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan dengan pembayaran imbalan berupa kupon dan/atau secara diskonto;
SBSN Jangka Pendek atau Menetapkan PERTAMA disebut Surat +t KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Perbendaharaan Negara Syariah yang selanjutnya disingkat SPNS adalah SBSN yang berjangka waktu sampai dengan 12 (dua belas) bulan dengan pembayaran imbalan secara diskonto;
Pinjaman meliputi Pinjaman Dalam Negeri dan Pinjaman Luar Negeri;
Pinjaman Dalam Negeri yang selanjutnya disingkat PDN adalah setiap pinjaman oleh Pemerintah yang diperoleh dari Pemberi Pinjaman Dalam Negeri yang harus dibayar kembali dengan persyaratan tertentu, sesuai dengan masa berlakunya;
Pinjaman Luar Negeri yang selanjutnya disingkat PLN adalah setiap pembiayaan melalui utang yang diperoleh Pemerintah dari Pemberi Pinjaman Luar Negeri yang diikat oleh suatu perjanjian pinjaman dan tidak berbentuk SBN, yang harus dibayar kembali dengan persyaratan tertentu;
ll.Pinjaman Kegiatan adalah PLN yang digunakan untuk membiayai kegiatan tertentu;
Pinjaman T\rnai adalah PLN dalam bentuk devisa dan/atau rupiah yang digunakan untuk pembiayaan defisit APBN dan pengelolaan portofolio utang. KEDUA : Strategi Pembiayaan Tahunan Melalui Utang tahun 2Ol9 yang selanjutnya disebut SPTMU memuat:
T\rjuan;
Kebijakan umum;
Pembiayaan melalui utang;
Sumber pembiayaan melalui utang;
Pengelolaan portofolio utang;
Indikator risiko pembiayaan utang; dan
Outstanding utang di akhir tahun 2019. KETIGA T\rjuan sebagaimana dimaksud dalam Diktum KEDUA angka 1 sebagai berikut:
Memenuhi kebutuhan pembiayaan APBN melalui utang tahun 2Ol9 dan membiayai kembali utang jatuh tempo dengan biaya yang minimal dan risiko yang terkendali;
Mendukung terbentuknya pasar SBN domestik yang dalam, aktif, dan likuid untuk meningkatkan efisiensi pengelolaan utang dalam ^jangka panjang; dan
Meningkatkan akuntabilitas publik sebagai bagian dari pengelolaan utang Pemerintah yang transparan dalam rangka mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik. Kebijakan umum sebagaimana dimaksud dalam Diktum KEDUA angka 2 sebagai berikut:
Mengendalikan rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada level yang aman dengan mempertimbangkan kemampuan Ir KEEMPAT KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA membayar kembali;
Meningkatkan optimalisasi biaya utang untuk mendukung kesinambungan fiskal melalui optimalisasi pinjaman tunai dan peningkatan kinerja kegiatan yang dibiayai dengan utang;
Mengoptimalkan potensi pendanaan utang dari sumber dalam negeri dan memanfaatkan sumber utang luar negeri sebagai pelengkap;
Mengoptimalkan peran serta masyarakat dalam rangka pemenuhan kebutuhan pembiayaan dan melakukan pendalaman pasar SBN domestik;
Melakukan upaya lengthening duration untuk mengendalikan utang ^jatuh tempo ^jangka pendek- menengah melalui pelaksanaan penerbitan SBN dan pengelolaan portofolio utang secara aktif untuk mengendalikan biaya dan risiko utang;
Meningkatkan koordinasi pengelolaan likuiditas dengan para pemangku kepentingan dalam kerangka Assef Liabilitg Management (ALMI;
Mengarahkan pemanfaatan utang untuk kegiatan produktif antara lain melalui pengadaan pinjaman kegiatan dan penerbitan SBN berbasis proyek yang mendukung program pembangunan nasional;
Mengoptimalkan pemanfaatan pinjaman tunai untuk meningkatkan fleksibilitas pemenuhan pembiayaan melalui utang dengan mempertimbangkan kapasitas pemberi pinjaman dan biaya serta risiko pinjaman;
Memperkuat dan mengoptimalkan peran hubungan investor dan kelembagaan, optimalisasi strategi komunikasi dengan para pemangku kepentingan dalam kerangka perluasan basis investor untuk menciptakan gambaran dan pengetahuan positif mengenai SBN;
Meningkatkan pendalaman pasar domestik dengan mengoptimalkan penerbitan SBN ritel secara dalam ^jaringan (online); 1 1. Meningkatkan kreativitas dan inovasi dalam pengembangan instrumen pembiayaan untuk mendukung pendalaman pasar domestik; dan
Melaksanakan sosialisasi dan pemasaran SBN dalam negeri sebagai strategi untuk meningkatkan investor domestik dan mendorong penambahan investor usia muda. Pembiayaan melalui utang sebagaimana dimaksud dalam Diktum KEDUA angka 3 sebesar Rp432.390,6 miliar (empat ratus tiga puluh dua ribu tiga ratus sembilan puluh koma enam miliar rupiah) yang terdiri atas SBN neto sebesar Rp439.031,2 miliar (empat ratus tiga puluh sembilan ribu tiga puluh satu koma dua miliar rupiah) dan Pinjaman neto sebesar negatif Rp6.640,6 miliar (enam ribu enam ratus empat puluh l'3 KELIMA KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK ^INDONESIA KEENAM KETUJUH KEDELAPAN koma enam miliar rupiah). Dengan memperhatikan outlook defisit ^APBN ^tahun anggaran 2019, pembiayaan ^non-utang, ^dan ^utang jatuh tempo, maka kebutuhan pembiayaan melalui utang ditetapkan sebesar Rp929.933,6 ^miliar (sembilan ratus dua puluh sembilan ribu sembilan ratus tiga puluh tiga koma enam miliar ^rupiah) dengan rincian sebagaimana tercantum ^dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak ^terpisahkan dari Keputusan Direktur Jenderal ^ini. Sumber pembiayaan melalui utang ^sebagaimana dimaksud dalam Diktum KEDUA angka ^4 terdiri ^atas:
Pembiayaan melalui penerbitan SBN sebesar ^Rp 848.939,9 miliar (delapan ratus empat ^puluh delapan ribu sembilan ratus tiga puluh sembilan koma sembilan miliar rupiah). Pembiayaan melalui penerbitan SBN dimaksud tidak termasuk penerbitan SPN dan SPNS ^yang akan jatuh tempo pada tahun 2Ol9 ^sebesar Rp47.590,0 miliar (empat puluh tujuh ribu lima ratus sembilan puluh koma nol miliar rupiah), sehingga penerbitan SBN bruto sebesar Rp896.529,9 miliar (delapan ratus sembilan ^puluh enam ribu lima ratus dua puluh sembilan ^koma sembilan miliar rupiah) dan dapat disesuaikan apabila terdapat perubahan atas utang ^jatuh tempo pada tahun 2019 dan/atau kebutuhan pembiayaan defisit dan non-utang (neto). 2. Pembiayaan melalui penarikan Pinjaman sebesar Rp80.993,7 miliar (delapan puluh ribu sembilan ratus sembilan puluh tiga koma tujuh miliar rupiah). Penerbitan SBN bruto sebagaimana dimaksud dalam Diktum KETUJUH angka 1 sebesar Rp896 .529,9 miliar (delapan ratus sembilan puluh enam ribu lima ratus dua puluh sembilan koma sembilan miliar rupiah) terdiri atas:
Penerbitan SBN Rupiah sebesar Rp747.897,9 miliar (tujuh ratus empat puluh tujuh ribu delapan ratus sembilan puluh tujuh koma sembilan miliar rupiah); dan
Penerbitan SBN dalam valuta asing sebesar Rp148.632,0 miliar (seratus empat puluh delapan ribu enam ratus tiga puluh dua koma nol miliar rupiah), dan dapat dioptimalkan hingga sebesar 18,Oo/o (delapan belas koma nol persen) dari pembiayaan melalui SBN. Rincian lebih lanjut atas penerbitan SBN bruto tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Keputusan Direktur Jenderal ini. Penerbitan SBN Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Diktum KEDELAPAN angka 1 dilaksanakan melalui metode lelang dan non-lelang. l7 KESEMBILAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA KESEPULUH KESEBELAS : Penerbitan SBN Rupiah melalui lelang sebagaimana dimaksud dalam Diktum KESEMBILAN dilaksanakan sebagai berikut:
Lelang SBN direncanakan sebanyak 48 ^(empat puluh delapan) kali dengan rincian lelang SUN sebanyak 24 (dua puluh empat) kali dan lelang SBSN sebanyak 24 (dua puluh empat) kali. 2. Jenis instrumen, target per lelang dan target total ditetapkan sebagai berikut:
SPN dengan tenor 3 (tiga) bulan dengan target indikatif sebesar Rp 41.79O,O miliar (empat puluh satu ribu tujuh ratus sembilan puluh koma nol miliar rupiah);
SPNS dengan tenor 6 (enam) bulan danlatau 12 (dua belas) bulan dengan target indikatif sebesar Rp37.760,0 miliar (tiga puluh tujuh ribu tujuh ratus enam puluh koma nol miliar rupiah);
SPN dengan tenor 9 (sembilan) bulan dan/atau 12 (dua belas) bulan dengan target indikatif sebesar Rp51.750,0 miliar (lima puluh satu ribu tujuh ratus lima puluh koma nol miliar rupiah);
ON dengan target indikatif sebesar Rp405.216,1 miliar (empat ratus lima ribu dua ratus enam belas koma satu miliar rupiah); dan
SBSN Jangka Panjang dengan target indikatif sebesar Rp159. L63,9 miliar (seratus lima puluh sembilan ribu seratus enam puluh tiga koma sembilan miliar rupiah);
Target outstanding SPN dan SPNS pada akhir tahun 2Ol9 sebesar Rp83.710,0 miliar (delapan puluh tiga ribu tujuh ratus sepuluh koma nol miliar rupiah);
Target indikatif penerbitan per instrumen dan frekuensi lelang dapat diubah sesuai dengan perkembangan kebutuhan pembiayaan dan kondisi pasar dengan tetap mempertimbangkan target bia5ra dan risiko utang;
Jadwal pelaksanaan lelang serta indikasi target penerbitan akan diumumkan kepada para pihak secara periodik dan terbuka, termasuk bila terdapat perubahan dalam rencana penerbitan. Penerbitan SBN Rupiah melalui non-lelang sebagaimana dimaksud dalam Diktum KESEMBILAN dilaksanakan dengan metode bookbuilding dan piuate placement. Penerbitan SBN dengan metode bookbuilding sebagaimana dimaksud dalam Diktum KESEBELAS dilakukan untuk penerbitan SBN ritel dengan target indikatif sebesar Rp45.000,0 miliar (empat puluh lima ribu koma nol miliar rupiah) sampai dengan Rp65.OOO,O (enam puluh lima ribu koma nol miliar rupiah) dalam 10 (sepuluh) kali penerbitan dan dapat diubah dengan tetap mempertimbangkan target biaya it t- KEDUABELAS KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA KETIGABELAS KEEMPATBELAS KELIMABELAS dan risiko utang. : Penerbitan SBN dengan metode priuate placement sebagaimana dimaksud dalam Diktum KESEBELAS dilakukan secara terkoordinasi dengan mempertimbangkan:
Kebutuhan kas;
Hasil pelaksanaan lelang SBN apabila tidak mencapai target dan/atau memiliki biaya yang tinggi;
Kebutuhan untuk pengembangan pasar SBN, termasuk pelaksanaan priuate placemenf secara selektif khususnya bagi investor institusi yang tidak bisa membeli instrumen keuangan lain selain SBN dan investor institusi yang mempunyai kewajiban untuk memiliki portofolio SBN dengan jumlah atau persentase tertentu; dan
Penerbitan dalam rangka konversi dana transfer daerah;
Penerbitan SBN untuk tujuan khusus yang diperkenankan dengan tetap memperhatikan biaya dan risiko, diantaranya dalam menampung dana repatriasi. Penerbitan SBN dalam valuta asing sebagaimana dimaksud dalam Diktum KEDELAPAN angka 2 terdiri atas penerbitan SUN dalam valuta asing sebesar Rpl19.I14,4 miliar (seratus sembilan belas ribu seratus empat belas koma empat miliar rupiah) dan penerbitan SBSN dalam valuta asing sebesar Rp29.517 ,6 miliar (dua puluh sembilan ribu lima ratus tujuh belas koma enam miliar rupiah). Penerbitan SBN dalam valuta asing sebagaimana dimaksud dalam Diktum KEEMPATBELAS dilakukan dalam mata uang kuat (hard currencg) yaitu USD, EUR, JPY, dan/atau mata uang lain dengan tujuan untuk:
Memenuhi kebutuhan pembiayaan APBN, refinancing utang, dan sebagai pelengkap atas penerbitan SBN Rupiah;
Melakukan diversifikasi instrumen pembiayaan dalam rangka mengelola biaya dan risiko pembiayaan;
Memberikan ruang kepada institusi non- pemerintah untuk memperoleh pembiayaan dari pasar keuangan domestik;
Membantu mewujudkan stabilitas moneter dan turut menjaga cadangan devisa;
Menyediakan acuan bagi korporasi dalam penerbitan obligasi dalam valuta asing; dan
Menyediakan instrumen valas di pasar keuangan domestik untuk tujuan khusus yang diperkenankan dengan tetap memperhatikan biaya dan risiko, diantaranya dalam menampung dana repatriasi. It KEENAMBELAS KETUJUHBELAS KEDELAPANBELAS KESEMBILANBELAS KEDUAPULUH KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Dalam rangka menjamin ketersediaan anggaran di awal tahun anggaran 2OL9, Pemerintah dapat melakukan penerbitan SBN pada triwulan keempat tahun 2018, dengan memperhatikan:
Kebutuhan pembiayaan pada bulan Januari 2Ol9;
Besaran target pembiayaan utang tahun 2Ol9; dan
Kondisi perekonomian dan pasar keuangan. Pembiayaan melalui penarikan Pinjaman sebagaimana dimaksud Diktum KETUJUH angka 2 terdiri atas penarikan PDN dan penarikan PLN. Penarikan PDN sebagaimana dimaksud dalam Diktum KETUJUHBELAS ditetapkan sebesar Rp2.345,4 miliar (dua ribu tiga ratus empat puluh lima koma empat miliar rupiah) dengan mempertimbangkan:
Penyelesaian dan percepatan kegiatan-kegiatan prioritas yang telah terkontrak;
Percepatan penyelesaian kontrak atas kegiatan- kegiatan prioritas yang telah ditetapkan pada tahun-tahun sebelumnya;
Kapasitas Kementerian/Lembaga pelaksana kegiatan dalam menentukan jenis dan menyelesaikan kegiatan;
Kapasitas industri dalam negeri terkait dengan penyediaan barang dan jasa;
Kapasitas pemberi PDN; dan
Biaya dan risiko pinjaman. Penarikan PLN sebagaimana dimaksud dalam Diktum KETUJUHBELAS ditetapkan sebesar Rp78.648,3 miliar (tujuh puluh delapan ribu enam ratus empat puluh delapan koma tiga miliar rupiah) yang terdiri atas penarikan Pinjaman Tunai sebesar Rp44.L64,O miliar (empat puluh empat ribu seratus enam puluh empat koma nol miliar rupiah) dan penarikan Pinjaman Kegiatan sebesar Rp34.484,3 miliar (tiga puluh empat ribu empat ratus delapan puluh empat koma tiga miliar rupiah). Penarikan PLN sebagaimana dimaksud dalam Diktum KESEMBILANBELAS dilakukan dengan kebijakan:
Mengutamakan pinjaman tingkat bunga tetap (fixed rate) dengan tetap mempertimbangkan biaya dan risiko utang;
Meningkatkan kinerja realisasi penarikan PLN untuk menghindari tambahan biaya utang dan memberikan dampak pengganda (multiplier effect) yang optimal;
Meningkatkan kinerja realisasi penarikan PLN melalui peningkatkan kualitas penganggaran serta optimalisasi fungsi monitoring dan evaluasi sebagai upaya menghindari tambahan biaya pinjaman dan untuk mempercepat penyelesaian output dalam rangka pencapaian target pembangunan nasional; 47 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA KEDUAPULUHSATU 4. Mengutamakan Pinjaman T\rnai yang bersumber dari pemberi pinjaman multilateral dan bilateral, dengan memperhatikan kapasitas pemberi pinjaman dan ketersediaan program baik kebijakan maupun kegiatan yang menjadi basis pinjaman tunai; dan
Mengadakan pinjaman tunai komersial sebagai alternatif terakhir dengan tetap mempertimbangkan biaya dan risiko utang. Dalam rangka mengantisipasi potensi tambahan pembiayaan utang dalam tahun anggaran berjalan, dapat dilakukan penjajakan terhadap sumber-sumber pembiayaan, yang dapat digunakan untuk memenuhi tambahan kebutuhan pembiayaan utang dan/atau dalam rangka fleksibilitas pembiayaan utang. Pengelolaan portofolio utang sebagaimana dimaksud dalam Diktum KEDUA angka 5 dilakukan untuk mendukung pencapaian portofolio utang yang optimal, mengendalikan pembayaran bunga utang dan pengembangan pasar SBN domestik melalui program penukaran utang (debt switch), pembelian kembali utang secara tunai (cash bugback), dan penataan profil utang (reprofiling). Indikator risiko pembiayaan utang sebagaimana dimaksud dalam Diktum KEDUA angka 6 yang menjadi target terdiri atas:
Risiko tingkat bunga (interest rate risk);
Risiko pembiayaan kembali (refinancing risk); dan
Risiko nilai tukar (exchange rate risk). KEDUAPULUHEMPAT : Dalam rangka pengendalian risiko tingkat bunga sebagaimana dimaksud dalam Diktum KEDUAPULUHTIGA angka 1, pengadaan utang mengutamakan tingkat bunga tetap ^(fixed rate) dengan tetap membuka ruang pengadaan utang tingkat bunga mengamb ang (uaiable rate) maksimal sebesar 2O,Oo/o (dua puluh koma nol persen) dari kebutuhan pembiayaan melalui utang. : Risiko pembiayaan kembali sebagaimana dimaksud dalam Diktum KEDUAPULUHTIGA angka 2 ditargetkan dengan indikator:
Rata-rata utang jatuh tempo (Auerage Time to Maturitg) penerbitan SBN sebesar 8,4 (delapan koma empat) sampai dengan 9,4 (sembilan koma empat) tahun, pengadaan Pinjaman sebesar 9,O (sembilan koma nol) sampai dengan 10,O (sepuluh koma nol) tahun, dan pengadaan utang sebesar 8,5 (delapan koma lima) sampai dengan 9,5 (sembilan koma lima) tahun; dan Porsi utang yang jatuh tempo dalam 1 (satu) tahun maksimal I2,Oo/o (dua belas koma nol persen) dari kebutuhan pembiayaan melalui utang. KEDUAPULUHDUA KEDUAPULUHTIGA KEDUAPULUHLIMA {r 2. KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA KEDUAPULUHENAM KEDUAPULUHTUJUH KEDUAPULUHDELAPAN KEDUAPULUHSEMBILAN KETIGAPULUH KETIGAPULUHSATU KETIGAPULUHDUA Dalam rangka pengendalian risiko nilai tukar sebagaimana dimaksud dalam Diktum KEDUAPULUHTIGA angka 3, indikator ^yang ditargetkan sebagai berikut:
Penerbitan SBN dalam valuta asing dibatasi maksimal sebesar t9,Oo/o (delapan belas koma ^nol persen) dari pembiayaan melalui SBN;
lJtang dalam valuta asing sebesar maksimal2S,Oo/o (dua puluh lima koma nol persen) dari kebutuhan pembiayaan melalui utang. Jumlah outstanding utang di akhir tahun 2Ol9 sebagaimana dimaksud dalam Diktum KEDUA angka 7, diperkirakan sebesar Rp4.812.411,9 miliar (empat juta delapan ratus dua belas ribu empat ratus sebelas koma sembilan miliar rupiah) atau sebesar 29,9o/o (dua puluh sembilan koma sembilan persen) dari PDB, dengan indikator risiko portofolio utang sebagaimana tercantum dalam Lampiran III ^yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Keputusan Direktur Jenderal ini. Evaluasi terhadap SPTMU dilakukan secara berkala dengan tujuan untuk memantau kesesuaian target dan realisasinya, serta untuk menyajikan prognosis pembiayaan utang hingga akhir tahun anggaran. Penlrusunan SPTMU menggunakan asumsi dan data masukan per tanggal 30 September 2Ol9 dan apabila terdapat perubahan signifikan akan dilakukan perubahan. Dalam rangka optimalisasi penggunaan dana Sisa Anggaran Lebih pada rekening Kas Negara, target pengadaan utang dapat disesuaikan dengan tetap memperhatikan kebutuhan kas untuk pembiayaan awal tahun 2O2O. Pada saat Keputusan Direktur Jenderal ini mulai berlaku, Keputusan Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Nomor 47 lPRl2019 tentang Strategi Pembiayaan Tahunan Melalui Utang Tahun 2Ol9 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Keputusan Direktur Jenderal ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dan berlaku surut sejak tanggal 17 Oktober 2OL9. Salinan Keputusan Direktur Jenderal ini disampaikan kepada:
Menteri Keuangan;
Wakil Menteri Keuangan;
Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan;
Inspektur Jenderal Kementerian Keuangan;
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan;
Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan;
Direktur Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan; ,lt t" t KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 8. Sekretaris Direktorat Jenderal dan Direktur di lingkungan Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal Z5 Oktober 20tg DIREKTUR JENDERAL LAAN PEMBIAYAAN DAN RISIKO, /VLUKY ^ALFIRMA. ^q t I KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA LAMPIRAN I KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PENGELOLAAN PEMBIAYAAN DAN ^RISIKO NOMOR 53 lPRl2Ote ^TENTANG STRATEGI PEMBIAYAAN ^TAHUNAN MELALUI UTANG TAHUN 2019 Kebutuhan Pembiayaan APBN Melalui Utang Tahun 2Ol9 dalam miliar R Uraian Nominal 1 Pembiayaan Defisit 2 Pembiayaan Non-Utang (netf a. Pembiayaan Investasi b. Pemberian Pinjaman c. Kewajiban Penjaminan d. Pembayaan Lainnya 3 Utang Jatuh Tempo a. Surat Berharga Negara b. Pinjaman 37O.739,7 61.650,9 74.39L,6 2.281,3 (15.022,0) 497.5'43,0 4a9.908,7 87.634,3 Total Kebutuhan Pembiayaan 929.933,6 DIREKTUR JENDERAL PEN.GELO LAAN PEMBIAYAAN DAN RISIKO, LTuuxvALFIRMA" {2- t- I Komposisi Penerbitan Surat Berharga Negara Tahun 2Ol9 (dalam miliar Rp) KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA LAMPIRAN II KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PENGELOLAAN PEMBIAYAAN DAN RISIKO NOMOR 53 lPRl2Ot9 ^TENTANG STRATEGI PEMBIAYAAN TAHUNAN MELALUI UTANG TAHUN 2019 DIREKTUR JENDERAL PENGELOLAAN PEMBIAYAAN DAN RISIKO, l-y"un ^ALFIRMA.47- fl- I Instrumen Nominal Surat Utang Negara a Surat Utang Negara Rupiah i Obligasi Negara ii Surat Perbendaharaan Negara iii Surat Utang Negara Ritel b Surat Utang Negara dalam Valuta Asing 639.247,O 520.L32,7 405.2L6,t 93.540,0 2L.376,6 L19.1L4,4 Surat Berharga Syariah Negara a Surat Berharga Syariah Negara Rupiah i Surat Berharga Syariah Negara Jangka Panjang ii Surat Perbendaharaan Negara Syariah iii Surat Berharga Syariah Negara Ritel b Surat Berharga Syariah Negara dalam Valuta Asing 257.282,8 227.765,2 159.163,9 37.760,0 30.841,3 29.5L7.6 Total Penerbitan Surat Berharga Negara (bnuto) 896.529,9 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA LAMPIRAN III KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PENGELOLAAN PEMBIAYAAN DAN RISIKO NOMOR 53 lPRl2Ot9 ^TENTANG STRATEGI PEMBIAYAAN TAHUNAN MELALUI UTANG TAHUN 2019 Ekspektasi Portofolio Utang Akhir Tahun 2OL9 Outstanding (dalam miliar rupiah) SBN Pinjaman Utang 4.026.397,9 786.O14,O 4.812.4L1,9 lndikator Risiko Portofolio Utang Risiko Tingkat Bunga Porsi Utang Tingkat Bunga Tetap 90,5yo Risiko Pembiayaan Kembali Rata-Rata Utang Jatuh Tempo (tahun) 8,4 Porsi Utang Jatuh Tempo Dalam 1 Tahun 8,2o/o Risiko Nilai Tukar Porsi Utang Dalam Valuta Asing 38,5o/o Rasio Utang terhadap PDB PDB (dalam miliar rupiah) Rasio Utang terhadap PDB 16.093.100,0 29,90/o Asumsl Kurs USD t4.200 DIREKTUR JENDERAL PENGELO LAAN PEMBIAYAAN DAN RISIKO, L1LUKY ^ALFTRMAN ^fL_ f {
Strategi Pembiayaan Tahunan Melalui Utang Tahun 2019
Relevan terhadap
Keputusan Presiden 2017;
Peraturan Menteri KEPUTUSAN PEMBIAYAAN PEMBIAYAAN 2019. Nomor l4l ITPA Tahun Keuangan Nomor DIREKTUR JENDERAL PENGELOLAAN DAN RISIKO TENTANG STRATEGI TAHUNAN MELALUI UTANG TAHUN Menetapkan ?l KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA PERTAMA : Dalam Keputusan Direktur Jenderal ini, ^yang dimaksud dengan:
Surat Berharga Negara yang selanjutnya disingkat SBN meliputi Surat Utang Negara dan Surat Berharga Syariah Negara;
Surat Utang Negara yang selanjutnya disingkat SUN adalah surat berharga yang berupa surat pengakuan utang dalam mata uang rupiah maupun valuta asing yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia, sesuai dengan masa berlakunya;
Obligasi Negara yang selanjutnya disingkat ON adalah SUN yang berjangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan dengan kupon dan/atau dengan pembayaran bunga secara diskonto;
Surat Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disingkat SPN adalah SUN yang berjangka waktu sampai dengan 12 (dua belas) bulan dengan pembayaran bunga secara diskonto;
Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disingkat SBSN, atau dapat disebut Sukuk Negara, adalah SBN yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap aset SBSN, baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing;
SBSN Jangka Panjang adalah SBSN berjangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan dengan pembayaran imbalan berupa kupon dan/atau secara diskonto;
SBSN Jangka Pendek atau disebut Surat Perbendaharaan Negara Syariah yang selanjutnya disingkat SPNS adalah SBSN yang berjangka waktu sampai dengan 12 (dua belas) bulan dengan pembayaran imbalan secara diskonto;
Pinjaman meliputi Pinjaman Dalam Negeri dan Pinjaman Luar Negeri;
Pinjaman Dalam Negeri yang selanjutnya disingkat PDN adalah setiap pinjaman oleh Pemerintah yang diperoleh dari Pemberi Pinjaman Dalam Negeri yang harus dibayar kembali dengan persyaratan tertentu, sesuai dengan masa berlakunya;
Pinjaman Luar Negeri yang selanjutnya disingkat PLN adalah setiap pembiayaan melalui utang yang diperoleh Pemerintah dari Pemberi Pinjaman Luar Negeri yang diikat oleh suatu perjanjian pinjaman dan tidak berbentuk SBN, yang harus dibayar kembali dengan persyaratan tertentu;
Pinjaman Kegiatan adalah PLN yang digunakan untuk membiayai kegiatan tertentu;
Pinjaman T\rnai adalah PLN dalam bentuk devisa dan/atau rupiah yang digunakan untuk pembiayaan defisit APBN dan pengelolaan portofolio utang. -u, ^L d1' KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA KEDUA KETIGA KEEMPAT Strategi Pembiayaan Tahunan Melalui Utang tahun 2OI9 yang selanjutnya disebut SPTMU memuat:
Tujuan;
Kebijakan umum;
Pembiayaan melalui utang;
Sumber pembiayaan melalui utang;
Pengelolaan portofolio utang;
Indikator risiko pembiayaan utang; dan
Outstanding utang di akhir tahun 2Ot9. Tujuan sebagaimana dimaksud dalam Diktum KEDUA angka 1 sebagai berikut:
Memenuhi kebutuhan pembiayaan APBN melalui utang tahun 2Ol9 dan membiayai kembali utang jatuh tempo dengan biaya yang minimal dan risiko yang terkendali;
Mendukung terbentuknya pasar SBN domestik yang dalam, aktif, dan likuid untuk meningkatkan efisiensi pengelolaan utang dalam ^jangka panjang; dan
Meningkatkan akuntabilitas publik sebagai bagian dari pengelolaan utang Pemerintah yang transparan dalam rangka mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik. Kebijakan umum sebagaimana dimaksud dalam Diktum KEDUA angka 2 sebagai berikut:
Mengendalikan rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada level yang aman dengan mempertimbangkan kemampuan membayar kembali; Meningkatkan optimalisasi biaya utang untuk mendukung kesinambungan fiskal melalui optimalisasi pinjaman tunai, dan peningkatan kinerja kegiatan yang dibiayai dengan utang; Mengoptimalkan potensi pendanaan utang dari sumber dalam negeri dan memanfaatkan sumber utang luar negeri sebagai pelengkap; Mengoptimalkan peran serta masyarakat dalam rangka pemenuhan kebutuhan pembi ayaan dan melakukan pendalaman pasar SBN domestik; Melakukan upaya lengthening duration untuk mengendalikan utang jatuh tempo ^jangka pendek- menengah melalui pelaksanaan penerbitan SBN dan pengelolaan portofolio utang secara aktif untuk mengendalikan biaya dan risiko utang; Meningkatkan koordinasi pengelolaan likuiditas dengan para pemangku kepentingan dalam kerangka Asse/ Liabilitg Management (ALM); Mengarahkan pemanfaatan utang untuk kegiatan produktif antara lain melalui pengadaan pinjaman kegiatan dan penerbitan SBN berbasis proyek yang mendukung program pembangunan nasional; 2t r 2_ 3.
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA KELIMA KEBNAM KETUJUH 8. Mengoptimalkan pinjaman tunai untuk meningkatkan fleksibilitas pemenuhan pembiayaan melalui utang dengan mempertimbangkan kapasitas pemberi pinjaman dan biaya serta risiko pinjaman;
Memperkuat dan mengoptimalkan ^peran hubungan investor dan kelembagaan, optimalisasi strategi komunikasi dengan para pemangku kepentingan dalam kerangka perluasan basis investor untuk menciptakan gambaran dan pengetahuan positif mengenai SBN;
Meningkatkan pendalaman pasar domestik dengan mengoptimalkan penerbitan SBN ritel secara dalam ^jaringan (online);
Meningkatkan kreativitas dan inovasi dalam pengembangan instrumen pembiayaan untuk mendukung pendalaman pasar domestik; dan
Melaksanakan sosialisasi dan pemasaran SBN dalam negeri sebagai strategi untuk meningkatkan investor domestik dan mendorong penambahan investor usia muda. Pembiayaan melalui utang sebagaimana dimaksud dalam Diktum KEDUA angka 3 sebesar Rp373.882,0 miliar (tiga ratus tujuh puluh tiga ribu delapan ratus delapan puluh dua koma nol miliar rupiah) yang terdiri atas SBN neto sebesar Rp381.833,9 miliar (tiga ratus delapan puluh satu ribu delapan ratus tiga puluh tiga koma sembilan miliar rupiah) dan Pinjaman neto sebesar negatif Rp7.951,8 miliar (tujuh ribu sembilan ratus lima puluh satu koma delapan miliar rupiah). Dengan memperhatikan outlook defisit APBN tahun anggaran 2019, pembiayaan non-utang, dan utang jatuh tempo, maka kebutuhan pembiayaan melalui utang ditetapkan sebesar Rp87 L463,8 miliar (delapan ratus tujuh puluh satu ribu empat ratus enam puluh tiga koma delapan miliar rupiah) dengan rincian sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Keputusan Direktur Jenderal ini. Sumber pembiayaan melalui utang sebagaimana dimaksud dalam Diktum KEDUA angka 4 terdiri atas:
Pembiayaan melalui penerbitan SBN sebesar Rp791.781,3 miliar (tujuh ratus sembilan puluh satu ribu tujuh ratus delapan puluh satu koma tiga miliar rupiah). Pembiayaan melalui penerbitan SBN dimaksud tidak termasuk penerbitan SPN dan SPNS yang akan jatuh tempo pada tahun 2Ol9 sebesar Rp50.000,0 miliar (lima puluh ribu koma nol miliar rupiah), sehingga penerbitan SBN bruto sebesar Rp841.781,3 miliar (delapan ratus empat puluh satu ribu tujuh ratus delapan puluh satu koma tiga miliar rupiah) dan dapat disesuaik; ,t KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA KEDELAPAN KESEMBILAN KESEPULUH apabila terdapat perubahan atas utang jatuh tempo pada tahun 2Ol9 dan/atau kebutuhan pembiayaan defisit dan non-utang (neto). 2. Pembiayaan melalui penarikan Pinjaman sebesar Rp79.682,5 miliar (tujuh puluh sembilan ribu enam ratus delapan puluh dua koma lima miliar rupiah). Penerbitan SBN bruto sebagaimana dimaksud dalam Diktum KETUJUH angka 1 sebesar Rp841.781,3 miliar (delapan ratus empat puluh satu ribu tujuh ratus delapan puluh satu koma tiga miliar rupiah) terdiri atas:
Penerbitan SBN Rupiah sebesar Rp722.849,3 miliar (tujuh ratus dua puluh dua ribu delapan ratus empat puluh sembilan koma tiga miliar rupiah); dan
Penerbitan SBN dalam valuta asing sebesar Rp118.932,0 miliar (seratus delapan belas ribu sembilan ratus tiga puluh dua koma nol miliar rupiah), dan dapat dioptimalkan hingga sebesar 17,Oo/o (tujuh belas koma nol persen) dari pembiayaan melalui SBN. Rincian lebih lanjut atas penerbitan SBN bruto tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Keputusan Direktur Jenderal ini. Penerbitan SBN Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Diktum KEDELAPAN angka 1 dilaksanakan melalui metode lelang dan non-lelang. Penerbitan SBN Rupiah melalui lelang sebagaimana dimaksud dalam Diktum KESEMBILAN dilaksanakan sebagai berikut:
Lelang SBN direncanakan sebanyak 48 (empat puluh delapan) kali dengan rincian lelang SUN sebanyak 24 (dua puluh empat) kali dan lelang SBSN sebanyak 24 (dua puluh empat) kali. 2. Jenis instrumen, target per lelang dan target total ditetapkan sebagai berikut:
SPN dengan tenor 3 (tiga) bulan dengan target indikatif sebesar Rp42.2OO,O miliar (empat puluh dua ribu dua ratus koma nol miliar rupiah);
SPNS dengan tenor 6 (enam) bulan danlatau 12 (dua belas) bulan dengan target indikatif sebesar Rp39.960,0 miliar (tiga puluh sembilan ribu sembilan ratus enam puluh koma nol miliar rupiah);
SPN dengan tenor 9 (sembilan) bulan dan/atau L2 (dua belas) bulan dengan target indikatif sebesar Rp48.550,0 miliar (empat puluh delapan ribu lima ratus lima puluh koma nol miliar rupiah);
ON dengan target indikatif sebesar Rp386.853,0 miliar (tiga ratus delapan puluh enam ribu I ? KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA KESEBELAS KEDUABELAS KETIGABELAS delapan ratus lima puluh tiga koma nol miliar rupiah); dan
SBSN Jangka Panjang dengan target indikatif sebesar Rp144.926,6 miliar (seratus empat puluh empat ribu sembilan ratus dua puluh enam koma enam miliar rupiah);
Target outstanding SPN dan SPNS pada akhir tahun 2OL9 sebesar Rp8O.71O,O miliar (delapan puluh ribu tujuh ratus sepuluh koma nol miliar rupiah);
Target indikatif penerbitan per instrumen dan frekuensi lelang dapat diubah sesuai dengan perkembangan kebutuhan pembiayaan dan kondisi pasar dengan tetap mempertimbangkan target biaya dan risiko utang;
Jadwal pelaksanaan lelang serta indikasi target penerbitan akan diumumkan kepada para pihak secara periodik dan terbuka, termasuk bila terdapat perubahan dalam rencana penerbitan. Penerbitan SBN Rupiah melalui non-lelang sebagaimana dimaksud dalam Diktum KESEMBILAN dilaksanakan dengan metode bookbuilding dan priuate placement. Penerbitan SBN dengan metode bookbuilding sebagaimana dimaksud dalam Diktum KESEBELAS dilakukan untuk penerbitan SBN ritel dengan target indikatif sebesar Rp50.000,0 miliar (lima puluh ribu koma nol miliar rupiah) sampai dengan Rp70.000,0 (tujuh puluh ribu koma nol miliar rupiah) dalam 10 (sepuluh) kali penerbitan dan dapat diubah dengan tetap mempertimbangkan target biaya dan risiko utang. Penerbitan SBN dengan metode priuate placement sebagaimana dimaksud dalam Diktum KESEBELAS dilakukan secara terkoordinasi dengan mempertimbangkan:
Kebutuhan kas;
Hasil pelaksanaan lelang SBN apabila tidak mencapai target dan/atau memiliki biaya yang tinggi; Kebutuhan untuk pengembangan pasar SBN, termasuk pelaksanaan priuate placement secara selektif khususnya bagi investor institusi yang tidak bisa membeli instrumen keuangan lain selain SBN dan investor institusi yang mempunyai kewajiban untuk memiliki portofolio SBN dengan jumlah atau persentase tertentu; dan Penerbitan dalam rangka konversi dana transfer daerah; Penerbitan SBN untuk tujuan khusus yang diperkenankan dengan tetap memperhatikan biaya dan risiko, diantaranya dalam menampung dana repatriasi. ?N 3.
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA KEEMPATBELAS KELIMABELAS KEENAMBELAS KETUJUHBELAS KEDELAPANBELAS Penerbitan SBN dalam valuta asing sebagaimana dimaksud dalam Diktum KEDELAPAN angka 2 terdiri atas penerbitan SUN dalam valuta asing sebesar Rp89.414,4 miliar (delapan puluh sembilan ribu empat ratus empat belas koma empat miliar rupiah) dan penerbitan SBSN dalam valuta asing sebesar Rp29.517 ,6 miliar (dua puluh sembilan ribu lima ratus tujuh belas koma enam miliar rupiah). Penerbitan SBN dalam valuta asing sebagaimana dimaksud dalam Diktum KEEMPATBELAS dilakukan dalam mata uang kuat (hard currency) yaitu USD, EUR, JPY, dan latau mata uang lain dengan tujuan untuk:
Memenuhi kebutuhan pembiayaan APBN, refinancing utang, dan sebagai pelengkap atas penerbitan SBN Rupiah;
Melakukan diversifikasi instrumen pembiayaan dalam rangka mengelola biaya dan risiko pembiayaan;
Memberikan ruang kepada institusi non- pemerintah untuk memperoleh pembiayaan dari pasar keuangan domestik;
Membantu mewujudkan stabilitas moneter dan turut menjaga cadangan devisa;
Menyediakan acuan bagi korporasi dalam penerbitan obligasi dalam valuta asing; dan
Menyediakan instrumen valas di pasar keuangan domestik untuk tujuan khusus yang diperkenankan dengan tetap memperhatikan biaya dan risiko, diantaranya dalam menampung dana repatriasi. Dalam rangka menjamin ketersediaan anggaran di awal tahun anggaran 2019, Pemerintah dapat melakukan penerbitan SBN pada triwulan keempat tahun 2OL8, dengan memperhatikan:
Kebutuhan pembiayaan pada bulan Januari 2Ol9;
Besaran target pembiayaan utang tahun 2019; dan
Kondisi perekonomian dan pasar keuangan. Pembiayaan melalui penarikan Pinjaman sebagaimana dimaksud Diktum KETUJUH angka 2 terdiri atas penarikan PDN dan penarikan PLN. Penarikan PDN sebagaimana dimaksud dalam Diktum KETUJUHBELAS ditetapkan sebesar Rpl .373,4 miliar (seribu tiga ratus tujuh puluh tiga koma empat miliar rupiah) dengan mempertimbangkan:
Penyelesaian dan percepatan kegiatan-kegiatan prioritas yang telah terkontrak;
Percepatan penyelesaian kontrak atas kegiatan- kegiatan prioritas yang telah ditetapkan pada tahun-tahun sebelumnya;
Kapasitas Kementerian/Lembaga pelaksana kegiatan dalam menentukan jenis dan t KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA KESEMBILANBELAS KEDUAPULUH KEDUAPULUHSATU menyelesaikan kegiatan;
Kapasitas industri dalam negeri terkait dengan penyediaan barang dan jasa;
Kapasitas pemberi PDN; dan
Biaya dan risiko pinjaman. Penarikan PLN sebagaimana dimaksud dalam Diktum KETUJUHBELAS ditetapkan sebesar Rp78.3O9,O miliar (tujuh puluh delapan ribu tiga ratus sembilan koma nol miliar rupiah) yang terdiri atas penarikan Pinjaman T\rnai sebesar Rp44.I64,O miliar (empat puluh empat ribu seratus enam puluh empat koma nol miliar rupiah) dan penarikan Pinjaman Kegiatan sebesar Rp34.145,0 miliar (tiga puluh empat ribu seratus empat puluh lima koma nol miliar rupiah). Penarikan PLN sebagaimana dimaksud dalam Diktum KESEMBILANBELAS dilakukan dengan kebdakan:
Mengutamakan pinjaman tingkat bunga tetap (fixed rate) dengan tetap mempertimbangkan biaya dan risiko utang;
Meningkatkan kinerja realisasi penarikan PLN untuk menghindari tambahan biaya utang dan memberikan dampak pengganda (multiplier effect) yang optimal;
Meningkatkan kinerja realisasi penarikan PLN melalui peningkatan kualitas penganggaran serta optimalisasi fungsi monitoring dan evaluasi sebagai upaya menghindari tambahan biaya pinjaman dan untuk mempercepat penyelesaian output dalam rangka pencapaian target pembangunan nasional;
Mengutamakan Pinjaman T: nai yar: g bersumber dari pemberi pinjaman multilateral dan bilateral, dengan memperhatikan kapasitas pemberi pinjaman dan ketersediaan program baik kebijakan maupun kegiatan yang menjadi basis pinjaman tunai; dan
Mengadakan pinjaman tunai komersial sebagai alternatif terakhir dengan tetap mempertimbangkan biaya dan risiko utang. Dalam rangka mengantisipasi potensi tambahan pembiayaan utang dalam tahun anggaran berjalan, dapat dilakukan penjajakan terhadap sumber-sumber pembiayaan, yang dapat digunakan untuk memenuhi tambahan kebutuhan pembiayaan utang dan/atau dalam rangka fleksibilitas pembiayaan utang. Pengelolaan portofolio utang sebagaimana dimaksud dalam Diktum KEDUA angka 5 dilakukan untuk mendukung pencapaian portofolio utang yang optimal, mengendalikan pembayaran bunga utang dan pengembangan pasar SBN domestik melalui program penukaran utang (debt stuitch), pembelian kembali utang secara tunai (cash bugback), dan penataan profil utang (reprofiling). ? KEDUAPULUHDUA KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA KEDUAPULUHTIGA KEDUAPULUHEMPAT KEDUAPULUHLIMA KEDUAPULUHENAM KEDUAPULUHTUJUH Indikator risiko pembiayaan utang sebagaimana dimaksud dalam Diktum KEDUA angka 6 yang menjadi target terdiri atas:
Risiko tingkat bunga (interest rate risk);
Risiko pembiayaan kembali (refinancing risk); dan
Risiko nilai tukar (exchange rate risk). Dalam rangka pengendalian risiko tingkat bunga sebagaimana dimaksud dalam Diktum KEDUAPULUHTIGA angka 1, pengadaan utang mengutamakan tingkat bunga tetap (frx"d rate) dengan tetap membuka ruang pengadaan utang tingkat bunga mengambang (uariable rate) maksimal sebesar 2O,Oo/o (dua puluh koma nol persen) dari kebutuhan pembiayaan melalui utang. Risiko pembiayaan kembali sebagaimana dimaksud dalam Diktum KEDUAPULUHTIGA angka 2 ditargetkan dengan indikator:
Rata-rata utang jatuh tempo (Auerage Time to Matuity) penerbitan SBN sebesar 8,9 (delapan koma sembilan) sampai dengan 9,9 (sembilan koma sembilan) tahun, pengadaan Pinjaman sebesar 9,8 (sembilan koma delapan) sampai dengan 1O,8 (sepuluh koma delapan) tahun, dan pengadaan utang sebesar 9,O (sembilan koma nol) sampai dengan 10,0 (sepuluh koma nol) tahun; dan
Porsi utang yang jatuh tempo dalam 1 (satu) tahun maksimal l2,Oo/o (dua belas koma nol persen) dari kebutuhan pembiayaan melalui utang. Dalam rangka pengendalian risiko nilai tukar sebagaimana dimaksud dalam Diktum KEDUAPULUHTIGA angka 3, indikator yang ditargetkan sebagai berikut:
Penerbitan SBN dalam valuta asing dibatasi maksimal sebesar l7,Oo/o (tujuh belas koma nol persen) dari pembiayaan melalui SBN;
Utang dalam valuta asing sebesar maksimal2S,Oo/o (dua puluh lima koma nol persen) dari kebutuhan pembiayaan melalui utang. Jumlah outstanding utang di akhir tahun 2Ol9 sebagaimana dimaksud dalam Diktum KEDUA angka 7, diperkirakan sebesar Rp4.754,0 triliun (empat ribu tujuh ratus lima puluh empat koma nol triliun rupiah) atau sebesar 29,5o/o (dua puluh sembilan koma lima persen) dari PDB, dengan indikator risiko portofolio utang sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Keputusan Direktur Jenderal ini. Evaluasi terhadap SPTMU dilakukan secara berkala dengan tujuan untuk memantau kesesuaian target dan realisasinya, serta untuk menyajikan prognosis pembiayaan utang hingga akhir tahun anggaran. KEDUAPULUHDELAPAN ?l KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA KEDUAPULUHSEMBILAN : Pen5rusunan SPTMU menggunakan asumsi dan data KETIGAPULUH masukan per tanggal 30 Juni 2Ol9 dan apabila terdapat perubahan signifikan akan dilakukan perubahan. : Pada saat Keputusan Direktur Jenderal ini mulai berlaku, Keputusan Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Nomor 69lPRl2O18 tentang Strategi Pembiayaan Tahunan Melalui Utang Tahun 2OI9 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. KETIGAPULUHSATU : Keputusan Direktur Jenderal ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dan berlaku surut sejak tanggal 1 Juli 2019. Salinan Keputusan Direktur Jenderal ini disampaikan kepada:
Menteri Keuangan;
Wakil Menteri Keuangan;
Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan;
Inspektur Jenderal Kementerian Keuangan;
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan;
Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan;
Direktur Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan;
Sekretaris Direktorat Jenderal dan Direktur di lingkungan Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 20 Agustus 2019 DIREKTUR JENDERAL '"ffLAAN PEMBIAYAAN DAN RISIKO, { ^Z ^LUKY ^ALFTRMAN ^@ /c t, KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA LAMPIRAN I KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PENGELOLAAN PEMBIAYAAN DAN RISIKO NOMOR 47 lPRl2Otg ^TENTANG STRATEGI PEMBIAYAAN TAHUNAN MELALUI UTANG TAHUN 2019 Kebutuhan Pembiayaan APBN Melalui Utang Tahun 2Ol9 (dalam miliar Rp) Uraian 1 Pembiayaan Defisit 2 Pembiayaan Non-Utang (neto) a. Pembi ayaar: - Investasi b. Pemberian Pinjaman c. Kewajiban Penjaminan d. Pembiayaan Lainnya 3 Utang Jatuh Tempo a. Surat Berharga Negara b. Pinjaman Total Kebutuhan Pembiayaan Nominal 310.8L2,4 63.069,6 75.799,3 2.281,3 ( 15.000,0) 497 .581,7 409.947 ,4 87.634,3 871.463,8 DIREKTUR JENDERAL PENGELOLAAN PEMBIAYAAN DAN RISIKO, fi n UC- t"J& ^LUKY ALFTRMAN ^4-L t KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA LAMPIRAN II KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PENGELOLAAN PEMBIAYAAN DAN RISIKO NOMOR 4l lPRl2Or8 ^TENTANG STRATEGI PEMBIAYAAN TAHUNAN MELALUI UTANG TAHUN 2019 Komposisi Penerbitan Surat Berharga Negara Tahun 2Ol9 (dalam miliar Rp) Instrumen Nominal Surat Utang Negara a Surat Utang Negara Rupiah i Obligasi Negara ii Surat Perbendaharaan Negara iii Surat Utang Negara Ritel b Surat Utang Negara dalam Valuta Asing 594.498,5 505.084,1 386.853,0 90.750,0 27.481,1 89.414,4 Surat Berharga Syariah Negara a Surat Berharga Syariah Negara Rupiah i Surat Berharga Syariah Negara Jangka Panjang ii Surat Perbendaharaan Negara Syariah iii Surat Berharga Syariah Negara Ritel b Surat Berharga Syariah Negara dalam Valuta Asing 247.282,8 217.765,2 144.926,6 39.960,0 32.878,7 29.517,6 Total Penerbitan Surat Berharga Negara (bruto) 841.781,3 DIREKTUR JENDERAL PENNELOLAAN PEMBIAYAAN DAN RISIKO, t, \r- { t LUKY ALFTRMAN4L-L { KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA LAMPIRAN III KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PENGELOLAAN PEMBIAYAAN DAN RISIKO NOMOR ^41 /PR/2O18 ^TENTANG STRATEGI PEMBIAYAAN TAHUNAN MELALUI UTANG TAHUN 2019 Ekspektasi Portofolio Utang Akhir Tahun 2OI9 DIREKTUR JENDERAL PENGELOLAAN PEMBIAYAAN DAN RISIKO, * ^t ^LUKY ^ALFIRMAN ^a_r Outstanding (dalam miliar rupiah) SBN Pinjaman Utang 3.974.r43,t 779.860,3 4.754.OO3,4 Indikator Risiko Portofolio Utang Risiko Tingkat Bunga Porsi Utang Tingkat Bunga Tetap 89,9o/o Risiko Pembiayaan Kembali Rata-Rata Utang Jatuh Tempo (tahun) 8,7 Porsi Utang Jatuh Tempo Dalam 1 Tahun 8,2o/o Risiko Nilai T\rkar Porsi Utang Dalam Valuta Asing 38,3o/o Rasio Utang terhadap PDB PDB (dalam miliar rupiah) Rasio Utang terhadap PDB 16.108.384,9 29,5o/o Asumsi Kurs USD 14.250 rl
Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 146/PMK.010/2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau ...
Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga dan Pengesahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran. ...
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
Kementerian Negara yang selanjutnya disebut Kementerian adalah perangkat Pemerintah yang membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.
Lembaga adalah organisasi non Kementerian dan instansi lain pengguna anggaran yang dibentuk untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau peraturan perundang-undangan lainnya.
Menteri/Pimpinan Lembaga adalah pejabat yang bertanggungjawab atas pengelolaan keuangan pada Kementerian/Lembaga yang bersangkutan.
Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat PA adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran Kementerian/Lembaga.
Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat KPA adalah pejabat yang memperoleh kuasa dari PA untuk melaksanakan sebagian kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran pada Kementerian/Lembaga yang bersangkutan.
Aparat Pengawasan Intern Pemerintah Kementerian Negara/Lembaga yang selanjutnya disingkat APIP K/L adalah Inspektorat Jenderal/Inspektorat Utama/ Inspektorat atau nama lain yang secara fungsional melaksanakan pengawasan intern yang bertanggung jawab langsung kepada Menteri/Pimpinan Lembaga.
Rencana Pembangunan Tahunan Kementerian/Lembaga yang selanjutnya disebut Rencana Kerja Kementerian/ Lembaga (Renja K/L) adalah dokumen perencanaan Kementerian/Lembaga untuk periode 1 (satu) tahun.
Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga yang selanjutnya disingkat RKA-K/L adalah dokumen rencana keuangan tahunan Kementerian/Lembaga yang disusun menurut bagian anggaran Kementerian/Lembaga.
Pagu Indikatif adalah ancar-ancar anggaran yang diberikan kepada Kementerian/Lembaga sebagai pedoman dalam penyusunan Renja K/L.
Pagu Anggaran Kementerian/Lembaga yang selanjutnya disebut Pagu Anggaran K/L adalah batas tertinggi anggaran yang dialokasikan kepada Kementerian/ Lembaga dalam rangka penyusunan RKA-K/L.
Alokasi Anggaran Kementerian/Lembaga yang selanjutnya disebut Alokasi Anggaran K/L adalah batas tertinggi anggaran pengeluaran yang dialokasikan kepada Kementerian/Lembaga berdasarkan hasil pembahasan Rancangan APBN yang dituangkan dalam berita acara hasil kesepakatan pembahasan rancangan APBN antara Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Kinerja adalah prestasi kerja berupa keluaran dari suatu kegiatan atau hasil dari suatu program dengan kuantitas dan kualitas terukur.
Sasaran Strategis Kementerian/Lembaga adalah kondisi yang akan dicapai oleh Kementerian/Lembaga baik berupa hasil atau dampak ( impact ) dalam rangka pencapaian sasaran pembangunan nasional.
Sasaran Program adalah kondisi yang akan dicapai dari suatu program dalam rangka pencapaian Sasaran Strategis Kementerian/Lembaga yang mencerminkan berfungsinya keluaran ( output ) program.
Sasaran Kegiatan adalah kondisi yang akan dicapai dari suatu kegiatan dalam rangka pencapaian Sasaran Program yang mencerminkan berfungsinya keluaran ( output ) kegiatan.
Keluaran ( Output ) Program adalah barang/jasa yang dihasilkan oleh level eselon I yang dilaksanakan untuk mencapai Sasaran Program.
Keluaran ( Output ) Kegiatan adalah produk akhir berupa barang/jasa yang dihasilkan oleh level eselon II/satuan kerja yang dilaksanakan untuk mencapai Sasaran Kegiatan.
Program Prioritas adalah program yang bersifat signifikan dan strategis untuk mencapai prioritas nasional.
Prakiraan Maju adalah proyeksi indikasi kebutuhan dana untuk mencapai tingkat Kinerja yang ditargetkan dalam jangka menengah.
Angka Dasar adalah indikasi pagu Prakiraan Maju dari kegiatan-kegiatan yang berulang dan/atau kegiatan- kegiatan tahun jamak berdasarkan kebijakan yang telah ditetapkan dan menjadi acuan penyusunan Pagu Indikatif dari tahun anggaran yang direncanakan.
Inisiatif Baru adalah usulan tambahan rencana Kinerja selain yang telah dicantumkan dalam Prakiraan Maju yang berupa program, kegiatan, Keluaran ( Output ) Program/Keluaran ( Output ) Kegiatan, dan/atau komponen.
Kelayakan Anggaran adalah penghitungan besaran kebutuhan anggaran untuk menghasilkan sebuah Keluaran dengan mempertimbangkan satuan biaya yang paling ekonomis dan spesifikasi yang memadai pada tahap perencanaan.
Kesesuaian adalah keterkaitan atau relevansi antara objek dengan instrumen yang digunakan.
Daftar Hasil Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga yang selanjutnya disingkat DHP RKA-K/L adalah dokumen yang berisi rangkuman RKA-K/L per unit eselon I dan program dalam suatu Kementerian/Lembaga yang ditetapkan berdasarkan hasil penelaahan.
Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran yang selanjutnya disingkat DIPA adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang disusun oleh PA/KPA.
DIPA Induk adalah akumulasi dari DIPA per satuan kerja yang disusun oleh PA menurut unit eselon I Kementerian/Lembaga yang memiliki alokasi anggaran (portofolio).
DIPA Petikan adalah DIPA per satuan kerja yang dicetak secara otomatis melalui sistem, yang berisi mengenai informasi Kinerja, rincian pengeluaran, rencana penarikan dana dan perkiraan penerimaan, dan catatan, yang berfungsi sebagai dasar dalam pelaksanaan kegiatan satuan kerja.
Penyusunan, Penyampaian dan Pengubahan Rencana Jangka Panjang dan Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan Perseroan (Persero)Di Bawah Pembinaan dan Peng ...