Tata Cara Penyediaan, Penghitungan, Pembayaran, dan Pertanggungjawaban Subsidi Listrik
Relevan terhadap
Besaran Subsidi Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) didasarkan pada harga minyak mentah Indonesia, nilai tukar rupiah, inflasi, dan Parameter Subsidi Listrik.
Parameter Subsidi Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa Volume Penjualan, pertumbuhan penjualan, Bauran Energi, harga energi primer, tarif tenaga listrik, margin, jumlah pelanggan, Golongan Tarif, volume bahan bakar, SFC, Susut Jaringan, dan biaya nonbahan bakar.
Dalam hal terdapat penambahan Parameter Subsidi Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral menyampaikan penambahan tersebut kepada Menteri Keuangan.
Untuk pelaksanaan Subsidi Listrik, PT PLN (Persero) melakukan pengendalian terhadap Parameter Subsidi Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi Volume Penjualan, pertumbuhan penjualan, Bauran Energi, volume bahan bakar, SFC, dan Susut Jaringan yang digunakan dalam perhitungan Subsidi Listrik dalam APBN dan/atau perubahan APBN.
Pelaksanaan pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dituangkan dalam laporan realisasi Volume Penjualan, pertumbuhan penjualan, Bauran Energi, volume bahan bakar, SFC, serta Susut Jaringan dan disampaikan oleh PT PLN (Persero) kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral melalui Direktur Jenderal Ketenagalistrikan dengan tembusan kepada KPA BUN Subsidi Listrik.
Dalam laporan realisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) juga disampaikan perkiraan realisasi sampai dengan akhir tahun berjalan atas Volume Penjualan, pertumbuhan penjualan, Bauran Energi, volume bahan bakar, SFC, dan Susut Jaringan.
Laporan realisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disampaikan secara triwulanan dan paling lambat 45 (empat puluh lima) hari kalender setelah triwulan yang bersangkutan berakhir.
Dengan mengacu pada laporan realisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5), PT PLN (Persero) dapat menyampaikan usulan perubahan besaran Parameter Subsidi Listrik dan besaran Subsidi Listrik kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral untuk memperoleh persetujuan dari Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral.
Berdasarkan persetujuan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, perubahan besaran Parameter Subsidi Listrik dan besaran Subsidi Listrik tahun berjalan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dapat diusulkan kepada Kementerian Keuangan.
Menteri Keuangan dapat mempertimbangkan usulan perubahan besaran Parameter Subsidi Listrik dan besaran Subsidi Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (9) sebagai pertimbangan untuk merevisi DIPA BUN dengan memperhatikan kemampuan keuangan negara dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pendanaan Peningkatan Manfaat Jaminan Kesehatan bagi Pimpinan Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri beserta Keluarga ...
Relevan terhadap
Menteri Keuangan dapat melakukan peninjauan terhadap besaran Iuran Jaminan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
Peninjauan besaran Iuran Jaminan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan minimal 1 (satu) kali dalam 2 (dua) tahun.
Peninjauan besaran Iuran Jaminan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan usulan Badan Penyelenggara yang disampaikan kepada Menteri Keuangan dengan tembusan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang luar negeri.
Peninjauan besaran Iuran Jaminan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menggunakan standar praktik aktuaria yang lazim dan berlaku umum dengan paling sedikit memperhatikan:
inflasi;
biaya kebutuhan peningkatan manfaat jaminan kesehatan bagi Pimpinan Perwakilan beserta keluarga; dan
kemampuan keuangan negara.
Dalam melakukan peninjauan besaran Iuran Jaminan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kementerian Keuangan berkoordinasi dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang luar negeri.
Dalam hal berdasarkan peninjauan besaran Iuran Jaminan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipandang perlu untuk dilakukan penyesuaian terhadap besaran Iuran Jaminan Kesehatan, perubahan Iuran Jaminan Kesehatan dimaksud ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
Dana Insentif Daerah untuk Penghargaan Kinerja Tahun Berjalan Periode Kedua pada Tahun 2022
Relevan terhadap 1 lainnya
Kategori kinerja daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) didasarkan pada penghitungan nilai kinerja daerah terhadap tiap-tiap kategori, terdiri atas:
kategori penggunaan PDN didasarkan pada:
rasio RUP PDN melalui penyedia; dan
rasio transaksi RUP PDN melalui penyedia;
kategori percepatan belanja daerah didasarkan pada rasio realisasi belanja daerah;
kategori dukungan belanja daerah terhadap penurunan kemiskinan, pengangguran, dan stunting didasarkan pada:
rasio realisasi belanja daerah fungsi ekonomi dan tingkat pengangguran terbuka;
rasio realisasi belanja daerah fungsi perlindungan sosial dan tingkat kemiskinan; dan
rasio realisasi Tagging Stunting dan prevalensi __ stunting ; dan
kategori penurunan inflasi daerah didasarkan pada selisih atas nilai inflasi bulan Oktober tahun 2022 dengan nilai inflasi bulan Agustus tahun 2022 per daerah dan nasional.
Penghitungan nilai kinerja kategori penggunaan PDN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan sebagai berikut:
rasio RUP PDN melalui penyedia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 1 dihitung dengan menggunakan rumus: RUP PDN melalui penyedia anggaran belanja barang dan jasa + anggaran belanja modal b. rasio transaksi RUP PDN melalui penyedia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 2 dihitung dengan menggunakan rumus: transaksi RUP PDN melalui penyedia anggaran belanja barang dan jasa + anggaran belanja modal c. rasio transaksi RUP PDN melalui penyedia sebagaimana dimaksud dalam huruf b hanya dihitung untuk daerah yang mempunyai nilai rasio RUP PDN melalui penyedia sebagaimana dimaksud dalam huruf a paling sedikit 40% (empat puluh persen).
Penghitungan nilai kinerja kategori percepatan belanja daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dihitung dengan menggunakan rumus: realisasi belanja daerah hingga bulan Oktober anggaran belanja daerah (4) Rasio realisasi belanja daerah fungsi ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 1 dihitung dengan menggunakan rumus: realisasi belanja daerah fungsi ekonomi hingga bulan Oktober anggaran belanja daerah (5) Rasio realisasi belanja daerah fungsi perlindungan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 2 dihitung dengan menggunakan rumus: realisasi belanja daerah fungsi perlindungan sosial hingga bulan Oktober anggaran belanja daerah (6) Rasio realisasi Tagging Stunting sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 3 dihitung dengan menggunakan rumus: realisasi Tagging Stunting hingga bulan Oktober tahun 2022 anggaran belanja daerah (7) Rasio realisasi belanja daerah fungsi ekonomi dan tingkat pengangguran terbuka sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 1 dibagi menjadi 4 (empat) kuadran sebagai berikut:
kuadran I merupakan daerah-daerah dengan:
rasio realisasi belanja daerah fungsi ekonomi lebih besar dari median rasio realisasi belanja daerah fungsi ekonomi; dan
tingkat pengangguran terbuka lebih besar dari atau sama dengan median tingkat pengangguran terbuka.
kuadran II merupakan daerah-daerah dengan:
rasio realisasi belanja daerah fungsi ekonomi lebih kecil dari atau sama dengan median rasio realisasi belanja daerah fungsi ekonomi; dan
tingkat pengangguran terbuka lebih besar dari atau sama dengan median tingkat pengangguran terbuka.
kuadran III merupakan daerah-daerah dengan:
rasio realisasi belanja daerah fungsi ekonomi lebih kecil dari atau sama dengan median rasio realisasi belanja daerah fungsi ekonomi; dan
tingkat pengangguran terbuka lebih kecil dari median tingkat pengangguran terbuka.
kuadran IV merupakan daerah-daerah dengan:
rasio realisasi belanja daerah fungsi ekonomi lebih besar dari median rasio realisasi belanja daerah fungsi ekonomi; dan
tingkat pengangguran terbuka lebih kecil dari median tingkat pengangguran terbuka.
Rasio realisasi belanja daerah fungsi perlindungan sosial dan tingkat kemiskinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 2 dibagi menjadi 4 (empat) kuadran sebagai berikut:
kuadran I merupakan daerah-daerah dengan:
rasio realisasi belanja daerah fungsi perlindungan sosial lebih besar dari median rasio realisasi belanja daerah fungsi perlindungan sosial; dan
tingkat kemiskinan lebih besar dari atau sama dengan median tingkat kemiskinan.
kuadran II merupakan daerah-daerah dengan:
rasio realisasi belanja daerah fungsi perlindungan sosial lebih kecil dari atau sama dengan median rasio realisasi belanja daerah fungsi perlindungan sosial; dan
tingkat kemiskinan lebih besar dari atau sama dengan median tingkat kemiskinan.
kuadran III merupakan daerah-daerah dengan:
rasio realisasi belanja daerah fungsi perlindungan sosial lebih kecil dari atau sama dengan median rasio realisasi belanja daerah fungsi perlindungan sosial; dan
tingkat kemiskinan lebih kecil dari median tingkat kemiskinan.
kuadran IV merupakan daerah-daerah dengan:
rasio realisasi belanja daerah fungsi perlindungan sosial lebih besar dari median rasio realisasi belanja daerah fungsi perlindungan sosial; dan
tingkat kemiskinan lebih kecil dari median tingkat kemiskinan.
Rasio realisasi Tagging Stunting dan prevalensi stunting sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 3 dibagi menjadi 4 (empat) kuadran sebagai berikut:
kuadran I merupakan daerah-daerah dengan:
rasio realisasi Tagging Stunting lebih besar dari median rasio realisasi Tagging Stunting ; dan
prevalensi stunting lebih besar dari atau sama dengan median prevalensi stunting .
kuadran II merupakan daerah-daerah dengan:
rasio realisasi Tagging Stunting lebih kecil dari atau sama dengan median rasio realisasi Tagging Stunting ; dan
prevalensi stunting lebih besar dari atau sama dengan median prevalensi stunting .
kuadran III merupakan daerah-daerah dengan:
rasio realisasi Tagging Stunting lebih kecil dari atau sama dengan median rasio realisasi Tagging Stunting ; dan
prevalensi stunting lebih kecil dari median prevalensi stunting .
kuadran IV merupakan daerah-daerah dengan:
rasio realisasi Tagging Stunting lebih besar dari median rasio realisasi Tagging Stunting ; dan
prevalensi stunting lebih kecil dari median prevalensi stunting .
Daerah yang dilakukan penilaian kinerja untuk penghitungan kategori dukungan belanja daerah terhadap penurunan kemiskinan, pengangguran, dan stunting merupakan daerah yang berada di kuadran IV sebagaimana dimaksud pada ayat (7), ayat (8), dan ayat (9).
Nilai kinerja kategori dukungan belanja daerah terhadap penurunan kemiskinan, pengangguran, dan stunting merupakan penjumlahan atas nilai kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (10) dihitung dengan menggunakan rumus: nilai kinerja rasio realisasi belanja daerah fungsi ekonomi + nilai kinerja rasio realisasi belanja daerah fungsi perlindungan sosial + nilai kinerja rasio realisasi Tagging Stunting (12) Penghitungan nilai kinerja kategori penurunan inflasi daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan sebagai berikut:
nilai selisih inflasi nasional dihitung berdasarkan pengurangan nilai inflasi bulan Oktober terhadap nilai inflasi bulan Agustus;
nilai selisih inflasi per daerah dihitung berdasarkan pengurangan nilai inflasi bulan Oktober terhadap nilai inflasi bulan Agustus;
daerah yang diperhitungkan dalam alokasi DID Kinerja Tahun Berjalan Periode Kedua untuk kategori penurunan inflasi daerah merupakan daerah yang memiliki nilai selisih per daerah sebagaimana dimaksud dalam huruf b lebih kecil dibandingkan dengan nilai selisih inflasi nasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a; dan
daerah-daerah yang memiliki nilai selisih inflasi lebih kecil dibandingkan dengan nilai selisih inflasi nasional sebagaimana dimaksud dalam huruf c, dilakukan standardisasi nilai dengan menggunakan rumus: nilai selisih inflasi daerah ke- i – nilai selisih inflasi tertinggi nilai selisih inflasi terendah – nilai selisih inflasi tertinggi (13) Kinerja daerah yang diperhitungkan dalam alokasi DID Kinerja Tahun Berjalan Periode Kedua merupakan:
daerah yang memiliki nilai kinerja 10 (sepuluh) terbaik pemerintah provinsi, 10 (sepuluh) terbaik pemerintah kota, dan 10 (sepuluh) terbaik pemerintah kabupaten untuk tiap kategori kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (11); dan
daerah yang memiliki nilai kinerja 10 (sepuluh) terbaik pemerintah provinsi, 15 (lima belas) terbaik pemerintah kota, dan 15 (lima belas) terbaik pemerintah kabupaten untuk kategori kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (12).
Nilai kinerja daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (13) dilakukan standardisasi per daerah provinsi/kabupaten/kota dengan menggunakan rumus: nilai daerah ke- i – nilai terendah provinsi/kabupaten/kota __ X 0,05 + 1 __ nilai tertinggi provinsi/kabupaten/kota __ – __ nilai terendah provinsi/kabupaten/kota __
Pengalokasian DID Kinerja Tahun Berjalan Periode Kedua sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dihitung berdasarkan kinerja daerah.
Kinerja daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan kategori:
penggunaan PDN;
percepatan belanja daerah;
dukungan belanja daerah terhadap penurunan kemiskinan, pengangguran, dan stunting ; dan
penurunan inflasi daerah.
Kategori penggunaan PDN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a, berdasarkan data:
anggaran belanja barang dan jasa dalam APBD Tahun Anggaran 2022;
anggaran belanja modal dalam APBD Tahun Anggaran 2022;
RUP PDN melalui penyedia per bulan Oktober tahun 2022; dan
transaksi RUP PDN melalui penyedia periode bulan Januari sampai dengan minggu kedua bulan Oktober tahun 2022.
Kategori percepatan belanja daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b, berdasarkan data:
anggaran belanja daerah dalam APBD Tahun Anggaran 2022; dan
realisasi belanja daerah periode bulan Januari sampai dengan bulan Oktober tahun 2022.
Kategori dukungan belanja daerah terhadap penurunan kemiskinan, pengangguran, dan stunting sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf c, berdasarkan data:
tingkat pengangguran terbuka;
tingkat kemiskinan;
prevalensi stunting ;
realisasi belanja daerah fungsi ekonomi;
realisasi belanja daerah fungsi perlindungan sosial; dan
realisasi Tagging Stunting .
Kategori penurunan inflasi daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf d, berdasarkan data inflasi bulan Agustus tahun 2022 dan bulan Oktober tahun 2022 per provinsi dan per kabupaten/kota.
Data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b, ayat (2), dan ayat (3) huruf d, huruf e, dan huruf f, bersumber dari Kementerian Keuangan.
Data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan huruf d bersumber dari Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah.
Data sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c merupakan data tahun 2021 yang bersumber dari Kementerian Kesehatan.
Data sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf b, dan ayat (4) merupakan data tahun 2021 yang bersumber dari Badan Pusat Statistik.
Penjualan dan Pembelian Kembali Surat Berharga Syariah Negara dalam Valuta Asing di Pasar Internasional ...
Relevan terhadap
Pelaksanaan negosiasi imbalan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf h dilakukan kepada Lembaga Jasa Keuangan atau konsultan hukum yang terpilih berdasarkan pemeringkatan hasil klarifikasi teknis.
Pelaksanaan negosiasi imbalan jasa dilakukan oleh panitia pengadaan dan berpedoman pada harga perkiraan sendiri yang telah ditetapkan oleh PPK.
Kriteria penyusunan harga perkiraan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan paling sedikit mempertimbangkan:
ruang lingkup pekerjaan (scope of works);
imbalan jasa dalam penerbitan sebelumnya; dan/atau c. tingkat inflasi.
Dana Insentif Daerah untuk Penghargaan Kinerja Tahun Berjalan pada Tahun 2022 dan Penggunaan Sisa Dana Insentif Daerah Tahun Anggaran 2020, Sisa Dana ...
Relevan terhadap 1 lainnya
Kategori kinerja daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) didasarkan pada penghitungan nilai kinerja daerah terhadap tiap-tiap kategori, terdiri atas:
kategori penggunaan PDN didasarkan pada:
rasio RUP PDN melalui penyedia; dan
rasio transaksi RUP PDN melalui penyedia.
kategori percepatan belanja daerah didasarkan pada rasio realisasi belanja daerah;
kategori percepatan pelaksanaan vaksinasi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) didasarkan pada rasio realisasi vaksinasi tahap I, tahap II, dan booster berdasarkan lokasi penyelenggaraan; dan
kategori dukungan belanja daerah terhadap penurunan kemiskinan, pengangguran, dan stunting didasarkan pada:
rasio realisasi belanja daerah fungsi ekonomi dan tingkat pengangguran terbuka;
rasio realisasi belanja daerah fungsi perlindungan sosial dan tingkat kemiskinan; dan
rasio realisasi Tagging Stunting dan prevalensi stunting.
kategori penurunan inflasi daerah didasarkan pada selisih atas nilai inflasi bulan Agustus tahun 2022 dengan nilai inflasi bulan Mei tahun 2022 per daerah dan nasional.
Penghitungan nilai kinerja kategori penggunaan PDN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan sebagai berikut:
rasio RUP PDN melalui penyedia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 1 dihitung dengan menggunakan rumus: RUP PDN melalui penyedia anggaran belanja barang dan jasa + anggaran belanja modal b. rasio transaksi RUP PDN melalui penyedia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 2 dihitung dengan menggunakan rumus: transaksi RUP PDN melalui penyedia anggaran belanja barang dan jasa + anggaran belanja modal c. rasio transaksi RUP PDN melalui penyedia sebagaimana dimaksud dalam huruf b hanya dihitung untuk daerah yang mempunyai nilai rasio RUP PDN melalui penyedia sebagaimana dimaksud dalam huruf a paling sedikit 40% (empat puluh persen).
Penghitungan nilai kinerja kategori percepatan belanja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dihitung dengan menggunakan rumus: realisasi belanja daerah hingga bulan Agustus anggaran belanja daerah (4) Penghitungan nilai kinerja kategori percepatan pelaksanaan vaksinasi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) berdasarkan lokasi penyelenggaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dihitung dengan menggunakan rumus: __ (5) Rasio realisasi belanja daerah fungsi ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d angka 1 dihitung dengan menggunakan rumus: realisasi belanja daerah fungsi ekonomi hingga bulan Agustus anggaran belanja daerah (6) Rasio realisasi belanja daerah fungsi perlindungan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d angka 2 dihitung dengan menggunakan rumus: realisasi belanja daerah fungsi perlindungan sosial hingga bulan Agustus anggaran belanja daerah (7) Rasio realisasi Tagging Stunting sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d angka 3 dihitung dengan menggunakan rumus: realisasi Tagging Stunting hingga bulan Agustus anggaran belanja daerah (8) Rasio realisasi belanja daerah fungsi ekonomi dan tingkat pengangguran terbuka sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d angka 1 dibagi menjadi 4 (empat) kuadran sebagai berikut:
kuadran I merupakan daerah-daerah dengan:
rasio realisasi belanja daerah fungsi ekonomi lebih besar dari median rasio realisasi belanja daerah fungsi ekonomi; dan
tingkat pengangguran terbuka lebih besar dari atau sama dengan median tingkat pengangguran terbuka.
kuadran II merupakan daerah-daerah dengan:
rasio realisasi belanja daerah fungsi ekonomi lebih kecil dari atau sama dengan median rasio realisasi belanja daerah fungsi ekonomi; dan
tingkat pengangguran terbuka lebih besar dari atau sama dengan median tingkat pengangguran terbuka. realisasi vaksinasi I berdasarkan lokasi penyelenggaraan + realisasi vaksinasi II berdasarkan lokasi penyelenggaraan + realisasi vaksinasi booster berdasarkan lokasi penyelenggaraan target vaksinasi I target vaksinasi II target vaksinasi booster 3 c. kuadran III merupakan daerah-daerah dengan:
rasio realisasi belanja daerah fungsi ekonomi lebih kecil dari atau sama dengan median rasio realisasi belanja daerah fungsi ekonomi; dan
tingkat pengangguran terbuka lebih kecil dari median tingkat pengangguran terbuka.
kuadran IV merupakan daerah-daerah dengan:
rasio realisasi belanja daerah fungsi ekonomi lebih besar dari median rasio realisasi belanja daerah fungsi ekonomi; dan
tingkat pengangguran terbuka lebih kecil dari median tingkat pengangguran terbuka.
Rasio realisasi belanja daerah fungsi perlindungan sosial dan tingkat kemiskinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d angka 2 dibagi menjadi 4 (empat) kuadran sebagai berikut:
kuadran I merupakan daerah-daerah dengan:
rasio realisasi belanja daerah fungsi perlindungan sosial lebih besar dari median rasio realisasi belanja daerah fungsi perlindungan sosial; dan
tingkat kemiskinan lebih besar dari atau sama dengan median tingkat kemiskinan.
kuadran II merupakan daerah-daerah dengan:
rasio realisasi belanja daerah fungsi perlindungan sosial lebih kecil dari atau sama dengan median rasio realisasi belanja daerah fungsi perlindungan sosial; dan
tingkat kemiskinan lebih besar dari atau sama dengan median tingkat kemiskinan.
kuadran III merupakan daerah-daerah dengan:
rasio realisasi belanja daerah fungsi perlindungan sosial lebih kecil dari atau sama dengan median rasio realisasi belanja daerah fungsi perlindungan sosial; dan
tingkat kemiskinan lebih kecil dari median tingkat kemiskinan.
kuadran IV merupakan daerah-daerah dengan:
rasio realisasi belanja daerah fungsi perlindungan sosial lebih besar dari median rasio realisasi belanja daerah fungsi perlindungan sosial; dan
tingkat kemiskinan lebih kecil dari median tingkat kemiskinan.
Rasio realisasi Tagging Stunting dan prevalensi stunting sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d angka 3 dibagi menjadi 4 (empat) kuadran sebagai berikut:
kuadran I merupakan daerah-daerah dengan:
rasio realisasi Tagging Stunting lebih besar dari median rasio realisasi Tagging Stunting; dan
prevalensi stunting lebih besar dari atau sama dengan median prevalensi stunting.
kuadran II merupakan daerah-daerah dengan:
rasio realisasi Tagging Stunting lebih kecil dari atau sama dengan median rasio realisasi Tagging Stunting; dan
prevalensi stunting lebih besar dari atau sama dengan median prevalensi stunting.
kuadran III merupakan daerah-daerah dengan:
rasio realisasi Tagging Stunting lebih kecil dari atau sama dengan median rasio realisasi Tagging Stunting dan 2. prevalensi stunting lebih kecil dari median prevalensi stunting.
kuadran IV merupakan daerah-daerah dengan:
rasio realisasi Tagging Stunting lebih besar dari median rasio realisasi Tagging Stunting; dan
prevalensi stunting lebih kecil dari median prevalensi stunting.
Daerah yang dilakukan penilaian kinerja untuk penghitungan kategori dukungan belanja daerah terhadap penurunan kemiskinan, pengangguran, dan stunting merupakan daerah yang berada di kuadran IV sebagaimana dimaksud pada ayat (8), ayat (9), dan ayat (10).
Nilai kinerja kategori dukungan belanja daerah terhadap penurunan kemiskinan, pengangguran, dan stunting merupakan penjumlahan atas nilai kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (11) dihitung dengan menggunakan rumus: nilai kinerja rasio realisasi belanja daerah fungsi ekonomi + nilai kinerja rasio realisasi belanja daerah fungsi perlindungan sosial + nilai kinerja rasio realisasi Tagging Stunting (13) Penghitungan nilai kinerja kategori pengendalian inflasi daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dilakukan sebagai berikut:
nilai selisih inflasi nasional dihitung berdasarkan pengurangan nilai inflasi bulan Agustus terhadap nilai inflasi bulan Mei;
nilai selisih inflasi per daerah dihitung berdasarkan pengurangan nilai inflasi bulan Agustus terhadap nilai inflasi bulan Mei;
daerah yang diperhitungkan dalam alokasi DID Kinerja Tahun Berjalan untuk kategori penurunan inflasi daerah merupakan daerah yang memiliki nilai selisih per daerah sebagaimana dimaksud pada huruf b lebih kecil dibandingkan dengan nilai selisih inflasi nasional sebagaimana dimaksud pada huruf a; dan
daerah-daerah yang memiliki nilai selisih inflasi lebih kecil dibandingkan dengan nilai selisih inflasi nasional sebagaimana dimaksud pada huruf c, dilakukan standardisasi nilai dengan menggunakan rumus: nilai selisih inflasi daerah ke- i – nilai selisih inflasi tertinggi nilai selisih inflasi terendah – nilai selisih inflasi tertinggi (14) Kinerja daerah yang diperhitungkan dalam alokasi DID Kinerja Tahun Berjalan merupakan:
daerah yang memiliki nilai kinerja 10 (sepuluh) terbaik pemerintah provinsi, 10 (sepuluh) terbaik pemerintah kota, dan 10 (sepuluh) terbaik pemerintah kabupaten untuk tiap kategori kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (11); dan
daerah yang memiliki nilai kinerja 10 (sepuluh) terbaik pemerintah provinsi, 15 (lima belas) terbaik pemerintah kota, dan 15 (lima belas) terbaik pemerintah kabupaten untuk kategori kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (13).
Nilai kinerja daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (14) dilakukan standardisasi per daerah provinsi/kabupaten/kota dengan menggunakan rumus: nilai daerah ke- i – nilai terendah provinsi/kabupaten/kota __ X 0,05 + 1 nilai tertinggi provinsi/kabupaten/kota – nilai terendah provinsi/kabupaten/kota __
Pengalokasian DID Kinerja Tahun Berjalan periode pertama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a dihitung berdasarkan kinerja daerah.
Kinerja daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan kategori:
penggunaan PDN;
percepatan belanja daerah;
percepatan pelaksanaan vaksinasi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19);
dukungan belanja daerah terhadap penurunan kemiskinan, pengangguran, dan stunting; dan
penurunan inflasi daerah.
Kategori penggunaan PDN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a, berdasarkan data:
anggaran belanja barang dan jasa dalam APBD Tahun Anggaran 2022;
anggaran belanja modal dalam APBD Tahun Anggaran 2022;
RUP PDN melalui penyedia per bulan Juni tahun 2022; dan
transaksi RUP PDN melalui penyedia periode bulan Januari sampai dengan bulan Juni tahun 2022.
Kategori percepatan belanja daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b, berdasarkan data:
anggaran belanja daerah dalam APBD Tahun Anggaran 2022; dan
realisasi belanja daerah periode bulan Januari sampai dengan bulan Agustus tahun 2022.
Kategori percepatan pelaksanaan vaksinasi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf c, berdasarkan data:
target sasaran vaksinasi meliputi tahap I, tahap II, dan booster ; dan
capaian vaksinasi meliputi tahap I, tahap II, dan booster berdasarkan lokasi pelaksanaan vaksinasi sampai dengan bulan Juni tahun 2022.
Kategori dukungan belanja daerah terhadap penurunan kemiskinan, pengangguran, dan stunting sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf d, berdasarkan data:
tingkat pengangguran terbuka;
tingkat kemiskinan;
prevalensi stunting;
realisasi belanja daerah fungsi ekonomi;
realisasi belanja daerah fungsi perlindungan sosial; dan
realisasi Tagging Stunting.
Kategori penurunan inflasi daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf e, berdasarkan data inflasi bulan Mei tahun 2022 dan bulan Agustus tahun 2022 per provinsi dan per kabupaten/kota.
Data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b, ayat (2), dan ayat (4) huruf d, huruf e, dan huruf f, bersumber dari Kementerian Keuangan.
Data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan huruf d bersumber dari Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah.
Data sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) huruf c bersumber dari Kementerian Kesehatan.
Data sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a dan huruf b, dan ayat (5) bersumber dari Badan Pusat Statistik.
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang ...
Relevan terhadap 1 lainnya
Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88C ayat (1) dan ayat (2) dihitung dengan menggunakan formula penghitungan Upah m1n1m um.
Formula penghitungan Upah mm1mum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempertimbangkan variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu.
Ketentuan lebih lanjut mengena1 formula penghitungan Upah mm1mum diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Angka 3 Ayat (1) Formula sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini merupakan pola perhitungan untuk menetapkan besaran tarif. Formula tarif terdiri atas formula tarif awal dan formula tarif perubahan. Dalam menetapkan formula tarif awal, yang harus diperhatikan adalah komponen biaya, sedangkan untuk menetapkan formula besaran tarif perubahan diperhatikan juga antara lain faktor inflasi, kemampuan masyarakat, dan kesinambungan pembangunan Telekomunikasi. Ayat (2) Cukup jelas.
Penilaian Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan
Relevan terhadap
akan dinilai, dalam hal ini per JPB minimal diambil 5 model Bangunan dengan jumlah lantai yang bervariasi.
(2) Penyesuaian terhadap faktor waktu dilakukan dengan mengacu pada faktor yang mempengaruhi fluktuasi nilai properti dalam kurun waktu yang dianalisis, seperti keadaan pasar properti, keadaan ekonomi, tingkat inflasi, tingkat suku bunga dan faktor lain yang berpengaruh. Perubahan nilai tanah dapat disesuaikan dengan perkembangan wilayahnya.
Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan
Relevan terhadap
Yang dimaksud dengan "stabilitas nilai rupiah" adalah kestabilan harga barang dan jasa serta nilai tukar rupiah. Perkembangan harga barang dan jasa secara umum diukur dari inflasi yang rendah dan stabil. Sementara itu, kestabilan nilai tukar rupiah diukur dari kestabilan nilai rupiah terhadap mata uang negara lain. Kestabilan nilai rupiah dalam artian inflasi yang rendah, dan stabil, serta kestabilan nilai tukar rupiah sangat penting bagi tercapainya pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Kestabilan nilai tukar rupiah diperlukan dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya untuk mendukung tercapainya inflasi yang rendah dan stabil. Yang dimaksud dengan "stabilitas Sistem Pembayaran" adalah kestabilan sistem yang mencakup seperangkat aturan, lembaga, dan mekanisme, yang digunakan untuk melaksanakan pemindahan dana guna memenuhi suatu kewajiban yang timbul dari suatu kegiatan ekonomi. Stabilitas Sistem Pembayaran tercermin dari penyelenggaraan Sistem Pembayaran yang cepat, mudah, murah, aman, dan andal, serta ketersediaan uang rupiah yang berkualitas dan terpercaya, dengan tetap memerhatikan perluasan akses dan Pelindungan Konsumen. Stabilitas Sistem Pembayaran sangat penting dalam mendukung stabilitas rupiah dan sistem keuangan serta mendorong inklusi ekonomi dan keuangan dalam rangka mencapai pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. SK Nol63591A jdih.kemenkeu.go.id Dalam menjaga Stabilitas Sistem Keuangan tersebut, Bank Indonesia bersinergi dan berkoordinasi dengan otoritas keuangan lainnya dalam mewujudkan sistem keuangan nasional yang mampu bertahan terhadap gejolak internal dan eksternal, sehingga dapat menjalankan fungsi intermediasi dan layanan jasa keuangan lainnya secara efektif untuk berkontribusi pada pertumbuhan perekonomian nasional. Yang dimaksud dengan "pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan" adalah perekonomian yang tumbuh sesuai dengan kapasitasnya dan inklusif sehingga terjaga stabil, seimbang, dan berdaya tahan terhadap gejolak, baik yang bersumber dari global maupun dalam negeri. Angka 3
Ayat (1) Pengelolaan likuiditas ditujukan untuk menjaga keseimbangan antara penawaran dan permintaan likuiditas sesuai dengan kapasitas perekonomian. Pengelolaan likuiditas dilakukan dengan menambah atau mengurangi likuiditas di sektor keuangan pada saat kondisi ekonomi mengalami kontraksi atau ekspansi, sehingga mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "surat berharga berkualitas lainnya" adalah surat berharga yang memiliki rating tinggi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan yang ditetapkan Bank Indonesia. Pembelian atau penjualan surat berharga negara dan/atau surat berharga yang berkualitas lainnya di pasar sekunder dilakukan secara jual putus (outright) dan/atau repo (repurchase agreement) untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Penempatan dana pada lembaga keuangan dalam rangka pengembangan Pasar Uang dilakukan dalam bentuk penyertaan modal Bank Indonesia pada lembaga keuangan yang dibentuk oleh Pemerintah dalam rangka sekuritisasi aset untuk memperluas akses terhadap sumber pembiayaan bagi perekonomian. Pengaturan giro wajib minimum Bank dan pengaturan kredit atau pembiayaan ditujukan untuk mengelola likuiditas agar sesuai dengan kebutuhan perekonomian. Bauran kebijakan moneter dan makroprudensial dilakukan sebagai upaya pengelolaan likuiditas untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan melalui peningkatan fungsi intermediasi yang seimbang dan berkualitas, penjagaan ketahanan Sistem Keuangan, dan peningkatan inklusi ekonomi dan lnklusi Keuangan. REPUBUK INDONESIA Ayat (3) Yang dimaksud dengan "kondisi makro ekonomi" adalah kondisi perekonomian secara keseluruhan atau agregat yang tercermin pada perkembangan indikator ekonomi, di antaranya mencakup inflasi, nilai tukar Rupiah, harga aset, pertumbuhan kredit, pertumbuhan ekonomi, ketenagakerjaan, dan neraca pembayaran. Instrumen ini dimaksudkan sebagai upaya mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dalam kondisi Sistem Keuangan normal. Ayat (4) Cukup jelas. Angka 8
Bank Indonesia menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a dengan mengacu pada sasaran inflasi yang ditetapkan oleh Pemerintah berkoordinasi dengan Bank Indonesia.
Dalam menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a, Bank Indonesia berwenang:
mengelola suku bunga;
mengelola nilai tukar;
mengelola likuiditas;
mengelola lalu lintas devisa;
mengelola cadangan devisa negara;
(4) (5) (6) (7) f.
mengatur, mengawasi, dan mengembangkan Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing; dan menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter lainnya. Dalam rangka melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bank Indonesia melakukan:
pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan pengenaan sanksi;
komunikasi kebijakan secara akuntabel dan transparan; dan
koordinasi kebijakan dengan Pemerintah, otoritas, dan pemangku kepentingan terkait. Dalam mengelola suku bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, Bank Indonesia:
menetapkan suku bunga kebijakan, suku bunga penempatan dana pada Bank Indonesia dan penyediaan dana oleh Bank Indonesia, serta suku bunga transaksi lainnya dengan Bank Indonesia; dan
memengaruhi suku bunga pasar. Dalam mengelola nilai tukar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, Bank Indonesia melaksanakan kewenangannya berdasarkan sistem nilai tukar yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam mengelola likuiditas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, Bank Indonesia menjaga kecukupan likuiditas di Pasar Uang, Pasar Valuta Asing, Perbankan, dan perekonomian untuk mendukung pengelolaan suku bunga dan nilai tukar. Dalam rangka mengelola suku bunga, nilai tukar, dan likuiditas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf c, Bank Indonesia melakukan pengendalian moneter dengan menggunakan cara di antaranya:
operasi moneter di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing; dan
pengaturan giro wajib minimum dalam Rupiah dan valuta asing.
Cara pengendalian moneter sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dapat juga dilaksanakan berdasarkan Prinsip Syariah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengendalian moneter sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan ayat (8) diatur dalam Peraturan Bank Indonesia.
Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 62 Tahun 2023 tentang Perencanaan Anggaran, Pelaksanaan Anggaran, serta Akuntansi dan Pelaporan Keuang ...
Relevan terhadap
dilaksanakan dengan cara menghitung kebutuhan pendanaan yang efisien untuk menyelenggarakan layanan/produk PNBP/kegiatan lain yang diijinkan sesuai ketentuan perundang-undangan. Sebagai ilustrasi, pada pertengahan tahun sebelumnya diterbitkan Peraturan Pemerintah tentang Jenis dan Tarif atas Jenis PNBP yang berlaku pada Kementerian/Lembaga yang mengatur adanya jenis baru berupa pengujian alat Teknik khusus. Jenis layanan pengujian tersebut selama ini belum pernah diberikan oleh unit yang bersangkutan. Perhitungan kebutuhan biaya untuk layanan pengujian alat teknis khusus tersebut dapat mengacu ( benchmarking ) pada pengujian alat teknik lain yang sudah ada pada unit tersebut atau pada unit lain. Dalam hal tidak terdapat benchmark , unit pengusul dapat menggunakan perhitungan kebutuhan biaya yang digunakan pada saat mengusulkan PP tentang Jenis dan Tarif atas Jenis PNBP dengan penyesuaian faktor inflasi dan faktor-faktor relevan lainnya; (e) Penyusunan Keluaran yang dibiayai dari PNBP untuk mendukung layanan/produk PNBP yang selama ini belum pernah direncanakan oleh unit yang bersangkutan dilaksanakan dengan mengacu pada kebutuhan biaya untuk penyelenggaraan layanan/produk PNBP dimaksud. Sebagai ilustrasi Satker A pada tahun yang direncanakan akan menyelenggarakan layanan PNBP berupa penelitian sungai yang selama ini belum pernah dilaksanakan. Dalam menyusun Angka Dasar untuk kebutuhan biaya layanan tersebut, Satker A mengacu pada perhitungan kebutuhan biaya yang digunakan Satker B yang selama ini telah menyelenggarakan penelitian sungai di wilayahnya dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang relevan; (f) Pemutakhiran komponen yang dibiayai dari PNBP untuk mendukung layanan/produk PNBP sebagai akibat adanya persetujuan penggunaan PNBP baru dari Menteri Keuangan dilaksanakan dengan menyesuaikan dengan peruntukan penggunaan dan besaran maksimal persetujuan penggunaan PNBP (termasuk dalam hal persetujuan penggunaan PNBP diperuntukkan untuk unit di luar unit penghasil). Sebagai ilustrasi, Satker X pada tahun sebelumnya mendapatkan persetujuan penggunaan PNBP yang baru dari semula 60% menjadi 70% dan peruntukannya dari semula tiga jenis layanan PNBP menjadi 5 jenis layanan PNBP. Satker X harus memutakhirkan komponen yang dibiayai dari PNBP pada tahun yang direncanakan dengan mempertimbangkan perubahan persetujuan dimaksud. Setelah langkah a) sampai dengan langkah c) selesai dilakukan, Biro Perencanaan/Unit Perencana Kementerian/Lembaga melakukan konfirmasi ke Satker-Satker lingkup Kementerian/Lembaga yang bersangkutan, sebelum lanjut ke langkah perbaikan Angka Dasar.
Cipta Kerja
Relevan terhadap
Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88C ayat (1) dan ayat (2) dihitung dengan menggunakan formula penghitungan Upah m1n1m um.
Formula penghitungan Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempertimbangkan variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu.
Ketentuan lebih lanjut mengena1 formula penghitungan Upah minimum diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Angka 3 Ayat (1) Formula sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini merupakan pola perhitungan untuk menetapkan besaran tarif. Formula tarif terdiri atas formula tarif awal dan formula tarif perubahan. Dalam menetapkan formula tarif awal, yang harus diperhatikan adalah komponen biaya, sedangkan untuk menetapkan formula besaran tarif perubahan diperhatikan juga antara lain faktor inflasi, kemampuan masyarakat, dan kesinambungan pembangunan Telekomunikasi. Ayat (2) Cukup jelas.