Pedoman Teknis Penyusunan Rencana Bisnis dan Anggaran Badan Layanan Umum
Relevan terhadap
Kementerian Keuangan c . q Direktorat Jenderal Perbendaharaan melakukan analisis terhadap RBA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 .
Analisis RBA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempertimbangkan aspek paling sedikit meliputi : a . produktivitas , paling sedikit meliputi perbandingan antara hasil yang dicapai ( output ) dengan sumber daya yang digunakan ( input ) , peningkatan kualitas dan kuantitas layanan , target pendapatan , serta rasio sumber daya manusia ; b . efisiensi , paling sedikit meliputi kebijakan untuk mengoptimalkan belanja dibandingkan dengan output layanan , proporsi pendapatan operasional dan belanja operasional , serta proporsi per jenis belanja ; c . inovasi , paling sedikit meliputi adanya ide / gagasan untuk meningkatkan layanan utama dan penunjang , optimalisasi aset , penggunaan teknologi informasi , serta modernisasi BLU ; dan d . keselarasan / kesesuaian , paling sedikit meliputi kesesuaian dengan RSB , kesesuaian dengan indikator kinerja ( Key Performance Indicator ) BLU , dan prioritas pembangunan .
Dalam melakukan analisis RBA , Direktorat Jenderal Perbendaharaan dapat melibatkan Direktorat Jenderal Anggaran , Kementerian Negara / Lembaga , dan BLU . Hasil analisis RBA memuat paling sedikit meliputi : a . besaran target penerimaan negara bukan pajak BLU ; b . besaran rencana belanja ; dan c . informasi kesesuaian indikator kinerja ( Key Performance Indicator ) BLU dengan RSB dan prioritas pembangunan .
Hasil analisis RBA sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada Direktorat Jenderal Anggaran , Kementerian Negara / Lembaga , dan BLU .
Hasil analisis RBA sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dijadikan sebagai dasar penyusunan alokasi anggaran (4) Of BLU termasuk penentuan target penerimaan negara bukan pajak BLU .
Tata Cara Penggunaan Barang Milik Negara
Relevan terhadap
Penetapan status Penggunaan BMN untuk dioperasikan oleh Pihak Lain tidak dimaksudkan untuk mendapatkan penerimaan negara bukan pajak.
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pengguna Barang dapat mengenakan kompensasi terhadap pengoperasian BMN oleh Pihak Lain berupa penerimaan negara bukan pajak sepanjang:
terdapat mekanisme dan tarif pengenaan penerimaan negara bukan pajak pada Kementerian/Lembaga yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan;
berdasarkan hasil kajian aspek finansial, aspek legal, aspek fisik, dan/atau aspek lain, yang menyatakan perlu untuk mengenakan kompensasi terhadap pengoperasian BMN oleh Pihak Lain; atau
bukan merupakan kegiatan:
penyelenggaraan pelayanan umum dan/atau urusan pemerintahan/negara berdasarkan peraturan perundang-undangan, untuk Pihak Lain berbentuk: a) pemerintah negara lain; b) organisasi internasional; c) lembaga negara independen yang bukan pengguna anggaran/Pengguna Barang; d) organisasi independen yang dibentuk dengan atau berdasarkan undang-undang; atau e) lembaga yang dibentuk dengan atau berdasarkan undang-undang, yang bukan pengguna anggaran/Pengguna Barang;
penyelenggaraan pendidikan yang terjangkau masyarakat, kegiatan penelitian dan pengembangan, pendidikan dan pelatihan, dan/atau religi dan budaya oleh Pihak Lain berbentuk: a) perguruan tinggi negeri badan hukum; atau b) badan hukum lain yang menyelenggarakan pendidikan tinggi, baik negeri atau swasta, berdasarkan usulan dari Pengguna Barang.
Pengenaan kompensasi terhadap pengoperasian BMN oleh Pihak Lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan terhadap:
Pihak Lain yang ditetapkan sebagai mitra instansi penerimaan negara bukan pajak atau mitra lainnya, sesuai mekanisme dan tarif yang ditetapkan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; atau
Pihak Lain selain huruf a, sesuai mekanisme dan tarif yang ditetapkan oleh Pengelola Barang.
Mekanisme dan tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b berupa:
pengenaan tarif tertentu; atau
penyetoran seluruh keuntungan ke rekening Kas Umum Negara sebagai penerimaan negara bukan pajak sesuai perjanjian, dalam hal terdapat keuntungan bagi Pihak Lain yang mengoperasikan BMN yang berasal dari pendapatan yang diperoleh setelah dikurangi biaya, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan.
Pengguna Barang melakukan pengawasan dan pengendalian atas pemenuhan kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) oleh Pihak Lain.
Dalam hal diperlukan, Pengguna Barang dapat meminta bantuan aparat pengawasan intern pemerintah atau auditor independen dalam melakukan pengawasan dan pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
Bukti setoran pembayaran atas kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Pengguna Barang dan ditembuskan kepada Pengelola Barang.
Penggunaan BMN untuk dioperasikan oleh Pihak Lain berakhir dalam hal:
berakhirnya jangka waktu Penggunaan BMN untuk dioperasikan oleh Pihak Lain, sebagaimana tertuang dalam perjanjian;
pengakhiran perjanjian secara sepihak oleh Pengguna Barang;
ketentuan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pengakhiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dilakukan dalam hal:
Pihak Lain yang mengoperasikan BMN tidak memenuhi kewajibannya yang tertuang dalam perjanjian dan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri ini; atau
terdapat kondisi yang mengakibatkan pengakhiran Penggunaan BMN untuk dioperasikan oleh Pihak Lain sebagaimana dituangkan dalam perjanjian.
Dalam melakukan pengakhiran yang didasarkan pada kondisi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), terhadap pengakhiran pengoperasian BMN oleh pemerintah negara lain atau organisasi internasional, Pengguna Barang meminta pertimbangan Pengelola Barang.
Pada saat berakhirnya pengoperasian BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
seluruh biaya, beban, dan kewajiban yang timbul sebagai akibat dari pelaksanaan pengoperasian BMN menjadi beban Pihak Lain, kecuali diatur lain dalam perjanjian;
seluruh pendapatan, penerimaan, dan hak lainnya yang timbul sebagai akibat dari pelaksanaan pengoperasian BMN dan masih tertunda pada saat berakhirnya pengoperasian BMN menjadi hak Pihak Lain, setelah diperhitungkan dengan:
seluruh biaya, beban, dan kewajiban sebagaimana dimaksud pada huruf a, termasuk pajak yang masih harus dibayar; dan
seluruh kompensasi dan piutang yang menjadi hak pemerintah dan masih tersisa pada saat berakhirnya masa pengoperasian BMN oleh Pihak Lain.
BMN berupa tanah dan/atau bangunan, beserta barang lainnya yang melekat, yang sedang digunakan untuk dioperasikan oleh Pihak Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dapat dilakukan pemanfaatan setelah mendapat persetujuan Pengelola Barang.
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemanfaatan BMN yang sedang digunakan untuk dioperasikan oleh Pihak Lain tidak memerlukan persetujuan Pengelola Barang sepanjang pemanfaatan dilakukan terhadap bangunan milik Pihak Lain yang berada di atas BMN berupa tanah yang dioperasikan oleh Pihak Lain.
Pemanfaatan BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak termasuk mekanisme pinjam pakai.
Pihak Lain yang mengoperasikan BMN menyampaikan permohonan pemanfaatan BMN kepada Pengguna Barang untuk ditindaklanjuti sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang pemanfaatan BMN.
Hasil pemanfaatan BMN yang sedang digunakan untuk dioperasikan oleh Pihak Lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperhitungkan sebagai penerimaan negara bukan pajak.
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), dalam hal Pihak Lain yang mengoperasikan BMN berupa perguruan tinggi negeri badan hukum, hasil pemanfaatan BMN merupakan pendapatan perguruan tinggi negeri badan hukum sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pemanfaatan atas BMN berupa tanah dan/atau bangunan yang sedang dioperasikan oleh Pihak Lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan ketentuan:
tidak mengganggu pelaksanaan Penggunaan BMN yang sedang dioperasikan oleh Pihak Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) atau pelaksanaan ketentuan peraturan perundang- undangan;
biaya persiapan pemanfaatan atas BMN yang sedang dioperasikan oleh Pihak Lain mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pemanfaatan BMN;
tidak mengubah status BMN untuk dioperasikan oleh Pihak Lain yang telah ditetapkan sebelumnya;
BMN yang menjadi objek pemanfaatan tidak dapat dijaminkan, dipindahtangankan, dimusnahkan atau dihapuskan; dan
tidak melebihi jangka waktu pengoperasian oleh Pihak Lain.
Bea Masuk Ditanggung Pemerintah atas Impor Barang dan Bahan untuk Memproduksi Barang dan/atau Jasa oleh Industri Sektor Tertentu yang Terdampak Pandem ...
Relevan terhadap
bahwa pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) telah menimbulkan kerugian material yang semakin besar yang berdampak pada perlambatan pertumbuhan ekonomi, penurunan penerimaan negara, dan mempengaruhi stabilitas ekonomi nasional;
bahwa untuk mengantisipasi dampak dari pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) terhadap produktivitas sektor industri tertentu, ketersediaan bahan baku industri di dalam negeri, serta penyerapan tenaga kerja, perlu memberikan insentif fiskal atas impor barang dan bahan untuk proses produksi barang jadi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan penerimaan negara, serta menjaga stabilitas ekonomi;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID- 19) dan/atau dalam rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan menjadi Undang-Undang dan ketentuan Pasal 11 Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Bea Masuk Ditanggung Pemerintah atas Impor Barang dan Bahan untuk Memproduksi Barang dan/atau Jasa oleh Industri Sektor Industri Tertentu yang Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19);
Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan
Relevan terhadap
Seksi Analisis Ekonomi Makro mempunyai tugas melakukan analisis kebijakan clan prospek perkembangan ekonomi makro, analisis sensitivitas dampak ekonomi makro terhadap Anggaran Pendapatan clan Belanja Negara, clan pengelolaan data dan model dampak ekonomi makro dalam penyusunan dokumen-dokumen Anggaran Pendapatan clan Belanja Negara dan Rancangan Undang- Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Seksi Analisis Penerimaan Perpajakan dan Hibah mempunyai tugas melakukan analisis kebijakan, perkembangan realisasi, sasaran penerimaan perpajakan, hibah, sensitivitas perpajakan, pemantauan, evaluasi, clan pengelolaan data dan model penerimaan perpajakan clan hibah dalam penyusunan dokumen-dokumen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Rancangan Undang- Undang Anggaran Pendapatan clan Belanja Negara.
Seksi Analisis Penerimaan Negara Bukan Pajak mempunyai tugas melakukan analisis kebijakan, perkembangan realisasi, sasaran Penerimaan Negara Bukan Pajak, sensitivitas Penerimaan Negara Bukan Pajak, serta pemantauan, evaluasi, clan pengelolaan data clan model Penerimaan Negara Bukan Pajak dalam penyusunan dokumen-dokumen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan clan Belanja Negara.
Seksi Analisis clan Konsolidasi Penyusunan Postur Anggaran Pendapatan clan Belanja Negara mempunyai tugas melakukan analisis perkembangan kondisi fiskal clan kerangka Anggaran Pendapatan clan Belanja Negara (postur Anggaran Pendapatan clan Belanja Negara), pemantauan clan evaluasi atau pemantauan dini Anggaran Pendapatan clan Belanja Negara, dan koordinasi pengolahan data Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara clan data fiskal lainnya dalam Proyeksi Postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk keperluan penyusunan dokumen-dokumen Anggaran Pendapatan clan Belanja Negara clan Rancangan Undang- Undang Anggaran Pendapatan clan Belanja Negara.
Subdirektorat Analisis Ekonomi Makro dan Pendapatan Negara mempunyai tugas melaksanakan penyiapan penyusunan proyeksi, asumsi makro dan pendapatan negara dan hibah, kerangka penganggaran jangka menengah, analisis perkembangan dan prospek perekonomian dalam negeri dan internasional, analisis asumsi dasar dan kerangka ekonomi makro, analisis dampak Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara terhadap perekonomian, analisis sensitivitas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara akibat perubahan indikator ekonomi makro dan langkah-langkah kebijakan fiskal, serta analisis kebijakan dan perkembangan realisasi dan sasaran pendapatan negara dan hibah.
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 246, Subdirektorat Analisis Ekonomi Makro dan Pendapatan Negara menyelenggarakan fungsi:
penyiapan bahan penyusunan outline konsep Nata Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Laporan Semester I pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Prognosis Semester II Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, serta Nata Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara-Perubahan di bidang kerangka ekonomi makro, kebijakan fiskal, pendapatan negara, dan kerangka penganggaran jangka menengah;
penyiapan bahan penyusunan konsep Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara clan Anggaran Pendapatan clan Belanja Negara- Perubahan di bidang ekonomi makro serta pendapatan negara clan hibah;
penyiapan bahan pengelolaan data clan pengembangan model fiskal serta kerangka ekonomi makro;
penyiapan bahan penyusunan analisis perkembangan clan prospek perekonomian dalam negeri clan internasional, asumsi dasar clan kerangka ekonomi makro, pendapatan negara, serta pokok-pokok kebijakan fiskal clan kerangka Anggaran Pendapatan clan Belanja Negara-Perubahan;
penyiapan bahan penyusunan analisis sensitivitas Anggaran Pendapatan clan Belanja Negara akibat perubahan indikator ekonomi makro clan langkah-langkah kebijakan fiskal;
penyiapan bahan penyusunan analisis langkah kebijakan clan langkah administratif pendapatan negara clan hibah, serta analisis perkembangan realisasi clan sasaran pendapatan negara clan hibah;
penyiapan bahan pengelolaan data ekonomi makro clan penyusunan analisis dampak Anggaran Pendapatan clan Belanja Negara terhadap ekonomi makro;
penyiapan bahan konsoliclasi clan penggabungan proyeksi perkembangan kondisi fiskal clan kerangka Anggaran Pendapatan clan Belanja Negara clalam bentuk ketersediaan anggaran clan Pagu Inclikatif, Pagu Sementara, Rancangan Anggaran Penclapatan clan Belanja Negara, Rancangan Unclang-Unclang Anggaran Pendapatan clan Belanja Negara, Laporan Semester I clan Prognosis Anggaran Pendapatan clan Belanja Negara Semester II, Rancangan Anggaran Penclapatan clan Belanja Negara-Perubahan, Rancangan Unclang-Unclang Anggaran Penclapatan clan Belanja Negara-Perubahan, serta pemantauan realisasi clan perkiraan realisasi Anggaran Pendapatan clan Belanja Negara tahunan; clan 1. peny1apan bahan pemantauan clan evaluasi perkembangan ekonomi makro clan realisasi anggaran pendapatan clan belanja negara.
Petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional di Bidang Keuangan Negara
Relevan terhadap
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN DAN PETUNJUK TEKNIS JABATAN FUNGSIONAL DI BIDANG KEUANGAN NEGARA. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disingkat ASN adalah profesi bagi pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang bekerja pada instansi pemerintah. 2. Pegawai ASN adalah pegawai negeri sipil clan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang diangkat oleh pejabat pembina kepegawaian dan diserahi tugas dalam suatu jabatan pemerintahan atau diserahi tugas negara lainnya dan digaji berdasarkan peraturan perundang- undangan. 3. Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat PNS adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, diangkat sebagai Pegawai ASN secara tetap oleh Pejabat Pembina Kepegawaian untuk menduduki jabatan pemerintahan. jdih.kemenkeu.go.id 4. Jabatan Fungsional yang selanjutnya disingkat JF adalah sekelompok jabatan yang berisi fungsi clan tugas berkaitan dengan pelayanan fungsional yang berdasarkan pada keahlian clan keterampilan tertentu. 5. Jabatan Fungsional di Bidang Keuangan Negara yang selanjutnya disingkat JF di Bidang Keuangan Negara adalah sekelompok Jabatan Fungsional yang mempunyai tugas clan ruang lingkup kegiatan pengelolaan keuangan negara. 6. Jabatan Fungsional Analis Keuangan Negara yang selanjutnya disingkat JF AKN adalah jabatan yang mempunyai tugas clan ruang lingkup kegiatan untuk melakukan kegiatan analisis keuangan negara yang meliputi fiskal clan sektor keuangan, perencanaan clan penganggaran, pajak, kepabeanan clan cukai, penerimaan negara bukan pajak, perbendaharaan, kekayaan negara, penilaian, lelang, hubungan keuangan pusat clan daerah, pembiayaan clan risiko keuangan, pembinaan profesi keuangan, atau investasi pemerintah clan pengelolaan dana. 7. Jabatan Fungsional Pengawas Keuangan Negara yang selanjutnya disingkat JF PKN adalah jabatan yang mempunyai tugas clan ruang lingkup kegiatan untuk melakukan kegiatan pelayanan, pengawasan, clan/ a tau pemeriksaan di bidang pajak, kepabeanan clan cukai, perbendaharaan, kekayaan negara, hubungan keuangan pusat clan daerah, pembiayaan, pengawasan pengelolaan bagian anggaran bendahara umum negara serta badan usaha milik negara clan lembaga nonbadan usaha milik negara, atau advokasi clan penyuluhan di bidang keuangan negara. 8. Jabatan Fungsional Penilai yang selanjutnya disingkat JF Penilai adalah jabatan yang mempunyai tugas clan ruang lingkup kegiatan untuk melakukan kegiatan penilaian clan/ atau pemetaan kekayaan negara clan pajak sebagaimana diatur dalam peraturan perundang- undangan. 9. Jabatan Fungsional Pelelang yang selanjutnya disingkat JF Pelelang adalah jabatan yang mempunyai tugas clan ruang lingkup kegiatan untuk melakukan kegiatan lelang clan penggalian potensi lelang. 10. Pejabat Fungsional Analis Keuangan Negara yang selanjutnya disebut AKN adalah PNS yang diberikan tugas clan ruang lingkup kegiatan untuk melakukan kegiatan analisis keuangan negara yang meliputi fiskal clan sektor keuangan, perencanaan clan penganggaran, pajak, kepabeanan clan cukai, penerimaan negara bukan pajak, perbendaharaan, kekayaan negara, penilaian, lelang, hubungan keuangan pusat clan daerah, pembiayaan clan risiko keuangan, pembinaan profesi keuangan, atau investasi pemerintah clan pengelolaan dana. 11. Pejabat Fungsional Pengawas Keuangan Negara yang selanjutnya disebut PKN adalah PNS yang diberikan tugas clan ruang lingkup kegiatan untuk melakukan kegiatan pelayanan, pengawasan, clan/ atau pemeriksaan di bidang pajak, kepabeanan clan cukai, perbendaharaan, kekayaan jdih.kemenkeu.go.id negara, hubungan keuangan pusat dan daerah, pembiayaan, pengawasan pengelolaan bagian anggaran bendahara umum negara serta badan usaha milik negara dan lembaga nonbadan usaha milik negara, atau advokasi dan penyuluhan di bidang keuangan negara. 12. Pejabat Fungsional Penilai yang selanjutnya disebut Penilai adalah PNS yang diberikan tugas dan ruang lingkup kegiatan untuk melakukan kegiatan penilaian dan/ a tau pemetaan kekayaan negara, dan pajak sebagaimana diatur dalam peraturan perundang- undangan. 13. Pejabat Fungsional Pelelang yang selanjutnya disebut Pelelang adalah PNS yang diberikan tugas dan ruang lingkup kegiatan untuk melakukan kegiatan lelang dan penggalian potensi lelang. 14. Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. 15. Pejabat yang Berwenang yang selanjutnya disingkat PyB adalah pejabat yang mempunyai kewenangan melaksanakan proses pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian Pegawai ASN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 16. Pejabat Pembina Kepegawaian yang selanjutnya disingkat PPK adalah pejabat yang mempunyai kewenangan menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian Pegawai ASN dan pembinaan manajemen ASN di instansi pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 1 7. Instansi Pemerintah adalah instansi pusat dan instansi daerah. 18. Instansi Pusat adalah kementerian, lembaga pemerintah non kementerian, kesekretariatan lembaga negara, dan kesekretariatan lembaga nonstruktural. 19. Instansi Daerah adalah perangkat daerah provinsi dan perangkat daerah kabupaten/kota yang meliputi sekretariat daerah, sekretariat dewan perwakilan rakyat daerah, dinas daerah, dan lembaga teknis daerah. 20. Unit Organisasi adalah bagian dari struktur organisasi yang dapat dipimpin oleh pejabat pimpinan tinggi madya, pejabat pimpinan tinggi pratama, pejabat administrator, pejabat pengawas, atau pejabat fungsional yang diangkat untuk memimpin suatu unit kerja mandiri berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. 21. Sasaran Kinerja Pegawai yang selanjutnya disingkat SKP adalah adalah ekspektasi kinerja yang akan dicapai oleh Pegawai setiap tahun. 22. Ekspektasi Kinerja yang selanjutnya disebut Ekspektasi adalah harapan atas hasil kerja dan perilaku kerja Pegawai ASN. 23. Angka Kredit adalah nilai kuantitatif dari hasil kerja AKN, PKN, Penilai, dan Pelelang. jdih.kemenkeu.go.id 24. Angka Kredit Kumulatif adalah akumulasi nilai Angka Kredit yang harus dicapai oleh AKN, PKN, Penilai, dan Pelelang sebagai salah satu syarat kenaikan pangkat dan jabatan. 25. Tim Penilai Kinerja PNS adalah tim yang dibentuk oleh PyB untuk memberikan pertimbangan kepada PPK atas usulan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian dalam jabatan, pengembangan kompetensi, serta pemberian penghargaan bagi PNS. 26. Kebutuhan JF AKN, JF PKN, JF Penilai, dan JF Pelelang yang selanjutnya disebut KJF AKN, KJF PKN, KJF Penilai, dan KJF Pelelang adalah jumlah dan susunan JF AKN, JF PKN, JF Penilai, dan JF Pelelang yang diperlukan oleh Instansi Pusat dan Instansi Daerah untuk dapat melaksanakan tugas pokok di bidang pengelolaan Keuangan Negara dengan baik, efektif, dan efisien dalam jangka waktu lima tahun. 27. Kompetensi adalah karakteristik dan kemampuan kerja yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan, dan sikap/perilaku yang dapat diamati, diukur, dan dikembangkan sesuai tugas dan/ a tau fungsi jabatan. 28. Kompetensi Teknis adalah pengetahuan, keterampilan, dan sikap/perilaku yang dapat diamati, diukur, dikembangkan yang spesifik berkaitan dengan bidang teknis jabatan. 29. Kompetensi Manajerial adalah pengetahuan, keterampilan, dan sikap/perilaku yang dapat diamati, diukur, dan dikembangkan untuk memimpin dan/atau mengelola unit organisasi. 30. Kompetensi Sosial Kultural adalah pengetahuan, keterampilan dan sikap/perilaku yang dapat diamati, diukur, dan dikembangkan terkait dengan pengalaman berinteraksi dengan masyarakat majemuk dalam hal agama, suku dan budaya, perilaku, wawasan kebangsaan, etika, nilai-nilai, moral, emosi dan prinsip, yang harus dipenuhi oleh setiap pemegang jabatan untuk memperoleh hasil kerja sesuai dengan peran, fungsi, dan jabatan. 31. Standar Kompetensi JF AKN, JF PKN, JF Penilai, dan JF Pelelang yang selanjutnya disebut SKJ AKN, SKJ PKN, SKJ Penilai, dan SKJ Pelelang adalah deskripsi Kompetensi yang diperlukan dalam melaksanakan tugas AKN, PKN, Penilai, dan Pelelang yang meliputi Kompetensi Teknis, Kompetensi Manajerial, dan Kompetensi Sosial Kultural. 32. Uji Kompetensi AKN, PKN, Penilai, dan Pelelang yang selanjutnya disebut Uji Kompetensi adalah proses pengujian dan penilaian terhadap Kompetensi Teknis, Kompetensi Manajerial, dan Kompetensi Sosial Kultural dari seorang ASN untuk pemenuhan Standar Kompetensi pada setiap jenjang JF AKN, JF PKN, JF Penilai, dan JF Pelelang. 33. Analisis Jabatan Fungsional di Bidang Keuangan Negara yang selanjutnya disebut Analisis Jabatan Fungsional adalah proses pengumpulan, pencatatan, pengolahan dan penyusunan data JF di Bidang Keuangan Negara. jdih.kemenkeu.go.id 34. Uraian Jabatan adalah uraian terperinci dan lengkap terkait jabatan. 35. Instansi Pembina JF di Bidang Keuangan Negara yang selanjutnya disebut Instansi Pembina adalah kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Keuangan Negara. 36. Instansi Pengguna JF di Bidang Keuangan Negara yang selanjutnya disebut Instansi Pengguna adalah Instansi Pusat dan Instansi Daerah yang menggunakan JF AKN, JF PKN, dan JF Penilai. BAB II JENIS, KATEGORI, JENJANG, KARAKTERISTIK, KEDUDUKAN, DAN TANGGUNG JAWAB Bagian Kesatu Jenis Pasal 2 JF di Bidang Keuangan Negara terdiri atas:
JF AKN;
JF PKN;
JF Penilai; dan
JF Pelelang. Bagian Kedua Kategori Pasal 3 JF AKN, JF PKN, JF Penilai, dan JF Pelelang merupakan JF kategori keahlian dan keterampilan. Bagian Ketiga Jenjang Pasal 4 (1) Jenjang JF AKN, JF PKN, JF Penilai, dan JF Pelelang kategori keahlian dan keterampilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 terdiri atas:
kategori keterampilan:
Jenjang Terampil;
Jenjang Mahir; dan
Jenjang Penyelia; dan
kategori keahlian:
Jenjang Ahli Pertama;
Jenjang Ahli Muda;
Jenjang Ahli Madya; dan
Jenjang Ahli Utama. (2) Jenjang pada JF AKN, JF PKN, JF Penilai dan JF Pelelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan bidang tugas dalam Lampiran huruf A, hurufB, dan huruf C yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. jdih.kemenkeu.go.id Bagian Keempat Karakteristik Pasal 5 (1) Karakteristik JF di Bidang Keuangan Negara terdiri atas:
terbuka, untuk bidang tugas tertentu dapat berkedudukan pada Instansi Pembina clan/ atau Instansi Pengguna; clan b. tertutup, hanya berkedudukan pada lingkup Instansi Pembina. (2) JF di Bidang Keuangan Negara dengan karakteristik terbuka sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas:
JF AKN;
JF PKN; clan c. JF Penilai. (3) JF di Bidang Keuangan Negara dengan karakteristik tertutup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, yaitu JF Pelelang. Bagian Kelima Kedudukan clan Tanggung Jawab Pasal 6 (1) Kedudukan AKN, PKN, clan Penilai sebagai pelaksana teknis di Bidang Keuangan Negara pada Instansi Pembina clan/ atau Instansi Pengguna. (2) Kedudukan Pelelang sebagai pelaksana teknis di Bidang Keuangan Negara pada Instansi Pembina. (3) AKN, PKN, clan Penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) clan Pelelang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berkedudukan di bawah clan bertanggung jawab secara langsung kepada pejabat pimpinan tinggi madya, pejabat pimpinan tinggi pratama, pejabat administrator, atau pejabat pengawas yang memiliki keterkaitan dengan pelaksanaan tugas JF di Bidang Keuangan Negara. (4) Dalam hal Unit Organisasi dipimpin oleh pejabat fungsional maka AKN, PKN, Penilai, clan Pelelang dapat berkedudukan di bawah clan bertanggung jawab secara langsung kepada pejabat fungsional yang memimpin Unit Organisasi. (5) Pemetaan kedudukan pejabat fungsional mempertimbangkan kesesuaian tugas clan fungsi serta kesetaraan kelas jabatan antara atasan AKN, PKN, Penilai, clan Pelelang dengan AKN, PKN, Penilai, clan Pelelang berkedudukan. (6) Kedudukan AKN, PKN, Penilai, clan Pelelang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dalam peta jabatan berdasarkan analisis jabatan clan analisis beban kerja yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (7) JF AKN, JF PKN, JF Penilai, clan JF Pelelang merupakan jabatan karier PNS. jdih.kemenkeu.go.id BAB III BIDANG TUGAS, RUANG LINGKUP KEGIATAN, DAN CAKUPAN KEGIATAN Pasal 7 (1) Bidang tugas merupakan tugas yang dapat dilaksanakan oleh pejabat fungsional di Bidang Keuangan Negara berdasarkan fungsi dan peran pengelolaan Keuangan Negara. (2) Ruang lingkup kegiatan merupakan penjelasan rinci dari bidang tugas JF di Bidang Keuangan Negara. (3) Ruang lingkup merupakan penjelasan kompleksitas ruang lingkup kegiatan dari masing-masing jenjang jabatan. (4) Cakupan kegiatan merupakan penjelasan lebih lanjut dari ruang lingkup JF di Bidang Keuangan Negara. (5) Rincian bidang tugas, ruang lingkup kegiatan, ruang lingkup, dan cakupan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) yaitu:
untuk unit kerja di lingkungan Instansi Pembina yang menjalankan fungsi bendahara umum negara sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf A;
untuk unit kerja di lingkungan Instansi Pengguna pada Instansi Pusat sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf B; dan
untuk unit kerja di lingkungan Instansi Pengguna pada Instansi Daerah sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf C, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (6) Perluasan cakupan kegiatan yang akan dijadikan rujukan dalam penyusunan SKP untuk mencapai tujuan organisasi, dapat dilakukan oleh pimpinan unit kerja JF di Bidang Keuangan Negara berkedudukan dengan memperhatikan kesesuaian bidang tugas dan kompetensi JF. (7) Perluasan cakupan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) ditetapkan paling rendah oleh pejabat pimpinan tinggi pratama. (8) Penggunaan bidang tugas JF pada Instansi Pengguna selain yang tercantum dalam Lampiran hurufB dan huruf C dapat dilakukan oleh pejabat pimpinan tinggi madya yang membidangi kesekretariatan pada Instansi Pengguna dengan terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari pejabat pimpinan tinggi madya yang membidangi kesekretariatan pada Instansi Pembina. (9) Instansi Pembina dapat melakukan perluasan/penyesuaian ruang lingkup kegiatan dan ruang lingkup setiap jenjang jabatan dengan mempertimbangkan dinamika pengelolaan Keuangan Negara. (10) Dalam hal terdapat tugas fungsi baru di bidang pengelolaan Keuangan Negara yang tidak tercakup dalam salah satu bidang tugas pada JF AKN, JF PKN, JF Penilai, dan JF Pelelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), jdih.kemenkeu.go.id Instansi Pembina dapat melakukan penyesuaian tanpa membentuk JF baru. (11) Penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (10) dilakukan dengan terlebih dahulu mengajukan izin kepada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendayagunaan aparatur negara dan reformasi birokrasi. BAB IV PENGELOLAAN KINERJA PEJABAT FUNGSIONAL Pasal 8 (1) Pengelolaan kinerja pejabat fungsional terdiri atas:
perencanaan kinerja yang meliputi penetapan dan klarifikasi Ekspektasi;
pelaksanaan, pemantauan, dan pembinaan kinerja yang meliputi pendokumentasian kinerja, pemberian umpan balik berkelanjutan, dan pengembangan kinerja pejabat fungsional;
penilaian kinerja pejabat fungsional yang meliputi evaluasi kinerja pejabat fungsional; dan
tindak lanjut hasil evaluasi kinerja pejabat fungsional yang meliputi pemberian penghargaan dan sanksi. (2) Pengelolaan kinerja pejabat fungsional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berorientasi pada:
pengembangan kinerja pejabat fungsional;
pemenuhan Ekspektasi pimpinan;
dialog kinerja yang intens antara p1mp1nan dan pejabat fungsional;
pencapaian kinerja organisasi; dan
hasil kerja dan perilaku kerja pejabat fungsional. (3) Pengelolaan kinerja pejabat fungsional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengelolaan kinerja Pegawai ASN. Pasal 9 (1) Evaluasi kinerja pejabat fungsional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf c dilaksanakan secara periodik maupun tahunan. (2) Evaluasi kinerja periodik pejabat fungsional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan minimal 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun dan ditetapkan dalam predikat kinerja periodik pejabat fungsional. (3) Evaluasi kinerja tahunan pejabat fungsional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam predikat kinerja tahunan pejabat fungsional. (4) Predikat kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) terdiri atas:
sangat baik;
baik;
cukup/butuh perbaikan;
kurang; atau
sangat kurang. (5) Penetapan predikat kinerja dilakukan oleh pejabat penilai kinerja. jdih.kemenkeu.go.id Pasal 10 (1) Predikat kinerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dikonversikan ke dalam perolehan Angka Kredit tahunan dengan ketentuan sebagai berikut:
sangat baik, ditetapkan nilai kuantitatif sebesar 150% (seratus lima puluh persen) dari koefisien Angka Kredit tahunan sesuai dengan jenjang JF;
baik, ditetapkan nilai kuantitatif sebesar 100% (seratus persen) dari koefisien Angka Kredit tahunan sesuai dengan jenjang JF;
cukup/butuh perbaikan, ditetapkan nilai kuantitatif sebesar 75% (tujuh puluh lima persen) dari koefisien Angka Kredit tahunan sesuai dengan jenjang JF;
kurang, ditetapkan nilai kuantitatif sebesar 50% (lima puluh persen) dari koefisien Angka Kredit tahunan sesuai dengan jenjang JF; dan
sangat kurang, ditetapkan nilai kuantitatif sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari koefisien Angka Kredit tahunan sesuai dengan jenjang JF. (2) Dalam hal pejabat fungsional memperoleh ijazah pendidikan formal yang lebih tinggi dan telah diakui secara kedinasan, diberikan tambahan Angka Kredit sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari Angka Kredit Kumulatif kenaikan pangkat sesuai jenjangnya untuk 1 (satu) kali penilaian. (3) Selama pejabat fungsional melaksanakan tugas di daerah terpencil, berbahaya, rawan, dan/ a tau konflik, dapat diberikan tambahan Angka Kredit sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari Angka Kredit Kumulatif kenaikan pangkat sesuai jenjangnya untuk setiap kenaikan pangkat. (4) Penetapan daerah terpencil, berbahaya, rawan, dan/atau konflik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. (5) Tambahan Angka Kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) hanya diberikan bagi pejabat fungsional dengan predikat kinerja paling rendah baik. (6) Dalam hal predikat kinerja diperoleh melalui evaluasi kinerja yang dilaksanakan secara periodik maupun tahunan, konversi predikat kinerja ke dalam Angka Kredit dapat dihitung secara proporsional berdasarkan periode penilaian yang berjalan sepanjang terpenuhi Ekspektasi. (7) Konversi predikat kinerja ke dalam Angka Kredit dan penetapan Angka Kredit dilakukan oleh pejabat penilai kinerja dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 11 (1) Penetapan Angka Kredit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (7) bagi JF AKN, JF PKN, JF Penilai, dan JF Pelelang dilakukan berdasarkan konversi predikat kinerja yang diperoleh secara kumulatif pada satu periode kenaikan pangkat dan/atau jenjang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. jdih.kemenkeu.go.id (2) Dalam hal terdapat kebutuhan tertentu, penetapan Angka Kredit bagi JF AKN, JF PKN, JF Penilai, dan JF Pelelang dapat dilakukan di luar periode kenaikan pangkat dan/atau jenjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 12 (1) Angka Kredit hasil konversi predikat kinerja ditetapkan oleh atasan langsung atau pejabat lain yang diberikan pendelegasian kewenangan. (2) Dalam ha! atasan langsung selaku pejabat penilai kinerja berhalangan tetap, maka penetapan Angka Kredit hasil konversi predikat kinerja dilakukan oleh atasan dari pejabat penilai kinerja secara berjenjang. (3) Atasan dari pejabat penilai kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat mendelegasikan kewenangan evaluasi kinerja pegawai kepada pelaksana tugas atau pelaksana harian. BABV SERTIFIKASI, KEBUTUHAN JABATAN FUNGSIONAL, PENGANGKATAN, KENAIKAN PANGKAT, KENAIKAN JENJANG, PEMBERHENTIAN DAN PENGANGKATAN KEMBALI, TIM PENILAI KINERJA PNS SERTA PELANTIKAN DAN PENGAMBILAN SUMPAH/JANJI Bagian Kesatu Sertifikasi Pasal 13 Dalam hal pelaksanaan tugas JF di Bidang Keuangan Negara mensyaratkan adanya sertifikat dan/ a tau surat keputusan dari PyB, sertifikasi dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagian Kedua Kebutuhan Jabatan Fungsional Pasal 14 (1) KJF AKN, KJF PKN, KJF Penilai, dan KJF Pelelang ditetapkan berdasarkan jenis JF pada Unit Organisasi Instansi Pembina dan/atau Instansi Pengguna. (2) Perhitungan, pengusulan, dan penetapan KJF sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagian Ketiga Pengangkatan Pasal 15 (1) Pengangkatan PNS dalam JF AKN, JF PKN, JF Penilai, dan JF Pelelang dilakukan melalui:
pengangkatan pertama;
perpindahan dari jabatan lain;
penyesuaian; dan
promos1. jdih.kemenkeu.go.id (2) Pengangkatan PNS ke dalam JF sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, serta mempertimbangkan kebutuhan organisasi dan ketersediaan anggaran. (3) Perpindahan dari kategori keterampilan ke kategori keahlian dalam JF yang sama, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Perpindahan antar kelompok JF dari JF di luar JF AKN, JF PKN, JF Penilai, dan JF Pelelang ke dalam JF AKN, JF PKN, JF Penilai, dan JF Pelelang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengangkatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c ditetapkan oleh pejabat pimpinan tinggi madya yang membidangi kesekretariatan pada Instansi Pembina untuk dan atas nama Menteri Keuangan. Pasal 16 (1) Perpindahan dalam JF di Bidang Keuangan Negara, terdiri atas:
perpindahan antar JF AKN, JF PKN, JF Penilai, dan JF Pelelang dalam bidang tugas yang sama;
perpindahan antar JF AKN, JF PKN, JF Penilai, dan JF Pelelang dalam bidang tugas yang berbeda; dan
perpindahan antar bidang tugas dalam satu JF yang sama. (2) Perpindahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam keputusan PyB. (3) Perpindahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dan memperhatikan ketentuan terkait pola karir dan mutasi yang berlaku pada masing- masing Instansi Pembina dan/ a tau Instansi Pengguna. Bagian Keempat Kenaikan Pangkat Pasal 17 (1) Kenaikan pangkat bagi AKN, PKN, Penilai, dan Pelelang dapat dipertimbangkan apabila capaian Angka Kredit telah memenuhi Angka Kredit Kumulatif yang dipersyaratkan. (2) Dalam ha! AKN, PKN, Penilai, dan Pelelang telah memenuhi Angka Kredit Kumulatif untuk kenaikan pangkat bersamaan dengan kenaikan jenjang, namun belum tersedia lowongan KJF AKN, KJF PKN, KJF Penilai, dan KJF Pelelang pada jenjang jabatan yang akan diduduki, AKN, PKN, Penilai, dan Pelelang dapat diberikan kenaikan pangkat satu tingkat lebih tinggi setelah mengikuti dan lulus Uji Kompetensi. (3) Ketersediaan lowongan KJF sebagaimana dimaksud pada ayat (2), merupakan KJF AKN, KJF PKN, KJF Penilai, dan KJF Pelelang pada 1 (satu) Instansi Pembina dan/atau Instansi Pengguna. jdih.kemenkeu.go.id Bagian Kelima Kenaikan Jenjang Pasal 18 (1) Kenaikan jenjang JF AKN, JF PKN, JF Penilai, dan JF Pelelang dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Kenaikanjenjang JF sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian dari promosi jabatan. Bagian Keenam Pemberhentian dan Pengangkatan Kembali Pasal 19 Pemberhentian dan pengangkatan kembali dalam JF AKN, JF PKN, JF Penilai, dan JF Pelelang dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagian Ketujuh Tim Penilai Kinerja Pegawai Negeri Sipil Pasal 20 (1) Untuk membantu pelaksanaan tugas PyB, dibentuk Tim Penilai Kinerja PNS. (2) Tim Penilai Kinerja PNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berbentuk forum koordinasi/pembahasan rencana jabatan target. (3) Ketentuan terkait Tim Penilai Kinerja PNS sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagian Kedelapan Pelantikan dan Pengambilan Sumpah/Janji Pasal 21 (1) Setiap PNS yang diangkat menjadi AKN, PKN, Penilai, dan Pelelang wajib dilantik dan diambil sumpah/janji menurut agama atau kepercayaannya kepada Tuhan Yang MahaEsa. (2) Sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB VI ANALISIS JABATAN FUNGSIONAL Pasal 22 (1) Untuk keperluan Analisis Jabatan Fungsional, Instansi Pengguna dapat menyusun uraian jabatan dengan merujuk kepada ruang lingkup kegiatan maupun cakupan kegiatan JF berkenaan sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf B dan huruf C yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (2) Analisis Jabatan Fungsional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. jdih.kemenkeu.go.id BAB VII UJI KOMPETENSI Pasal 23 (1) Uji Kompetensi terdiri atas:
Manajerial;
Sosial kultural; dan
Teknis. (2) Uji Kompetensi bertujuan untuk menilai kesesuaian kompetensi yang dimiliki pegawai dengan kompetensi jabatan yang dipersyaratkan. (3) Uji Kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk pengangkatan JF melalui perpindahan dari jabatan lain dan promosi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Uji Kompetensi Teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan untuk pengangkatan JF melalui perpindahan dalam JF di Bidang Keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf a dan huruf b dilaksanakan paling sedikit melalui penilaian portofolio oleh Instansi Pengguna, dengan mempertimbangkan kebutuhan organisasi. (5) Pengangkatan JF melalui perpindahan dalam JF di Bidang Keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf c dilakukan tanpa Uji Kompetensi. Pasal 24 (1) Penyelenggaraan Uji Kompetensi Teknis pengangkatan JF melalui:
promos1; untuk b. perpindahan antar kelompok JF dari JF di luar JF di Bidang Keuangan Negara ke dalam JF di Bidang Keuangan Negara; dan
perpindahan dari jabatan pimpinan tinggi dan/atau jabatan administrasi ke dalam JF di Bidang Keuangan Negara, dikoordinasikan oleh unit organisasi pada Instansi Pembina yang ditunjuk menjalankan fungsi pembinaan teknis JF dan pengembangan kompetensi JF di Bidang Keuangan Negara. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata kelola penyelenggaraan Uji Kompetensi Teknis JF di Bidang Keuangan Negara ditetapkan oleh pejabat pimpinan tinggi madya yang membidangi fungsi pembinaan teknis JF dan pengembangan kompetensi JF di Bidang Keuangan Negara untuk dan atas nama Menteri Keuangan. BAB VIII PENGELOLAAN DAN PEMBINAAN JABATAN FUNGSIONAL Pasal 25 Fungsi pengelolaan dan pembinaan JF di Bidang Keuangan Negara minimal terdiri atas:
perencanaan JF;
pembinaan JF; dan
pemantauan dan evaluasi JF. jdih.kemenkeu.go.id Pasal 26 (1) Perencanaan JF sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf a merupakan kegiatan analisis kebutuhan penggunaan JF di Bidang Keuangan Negara dalam suatu Unit Organisasi dengan mempertimbangkan arah pengembangan organisasi dan kesesuaian ruang lingkup tugas JF di Bidang Keuangan Negara dengan tugas dan fungsi Unit Organisasi. (2) Pembinaan JF sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf b merupakan kegiatan untuk menjamin terwujudnya standar kualitas dan profesionalitas JF di Bidang Keuangan Negara, serta mengoptimalkan kualitas pengelolaan JF di Bidang Keuangan Negara, yang dilaksanakan oleh:
unit yang melaksanakan fungsi koordinasi pembinaan JF di Bidang Keuangan Negara;
unit yang melaksanakan fungsi pembinaan teknis JF dan pengembangan kompetensi JF di Bidang Keuangan Negara;
unit yang melaksanakan fungsi pembinaan kepegawaian JF; dan
unit yang melaksanakan fungsi konsultansi teknis berdasarkan kepakaran (subject matter expert) dalam pelaksanaan tugas JF di Bidang Keuangan Negara, di lingkungan Kementerian Keuangan. (3) Pemantauan dan evaluasi JF sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf c merupakan kegiatan terpadu yang dilakukan secara berkala dalam rangka memastikan bahwa implementasi JF di Bidang Keuangan Negara dan pelaksanaan tugas pembinaan JF di Bidang Keuangan Negara telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 27 Dalam melaksanakan pengelolaan dan pembinaan JF di Bidang Keuangan Negara di lingkungan Instansi Pengguna, Instansi Pengguna dapat berkoordinasi dengan unit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2). Pasal 28 Ketentuan mengenai pengelolaan dan pembinaan JF di Bidang Keuangan Negara di lingkungan Instansi Pembina ditetapkan oleh pejabat pimpinan tinggi madya yang membidangi kesekretariatan untuk dan atas nama Menteri Keuangan. BAB IX KETENTUAN PERALIHAN Pasal 29 Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
PPK melakukan penyesuaian nomenklatur JF dengan ketentuan sebagai berikut:
JF AKN Ahli Pertama untuk PNS yang menduduki JF: a) Analis Anggaran Ahli Pertama; b) Pemeriksa Pajak Ahli Pertama; c) Penilai Pajak Ahli Pertama; jdih.kemenkeu.go.id d) Pemeriksa Bea dan Cukai Ahli Pertama; e) Analis Perbendaharaan Negara Ahli Pertama; f) Penilai Pemerintah Ahli Pertama; g) Pelelang Ahli Pertama; h) Analis Keuangan Pusat dan Daerah Ahli Pertama; i) Analis Pembiayaan dan Risiko Keuangan Ahli Pertama; dan j) Pembina Profesi Keuangan Ahli Pertama;
JF AKN Ahli Muda untuk PNS yang menduduki JF: a) Analis Anggaran Ahli Muda; b) Pemeriksa Pajak Ahli Muda; c) Penilai Pajak Ahli Muda; d) Pemeriksa Bea dan Cukai Ahli Muda; e) Analis Perbendaharaan Negara Ahli Muda; f) Penilai Pemerintah Ahli Muda; g) Pelelang Ahli Muda; h) Analis Keuangan Pusat dan Daerah Ahli Muda; i) Analis Pembiayaan dan Risiko Keuangan Ahli Muda; dan j) Pembina Profesi Keuangan Ahli Muda;
JF AKN Ahli Madya untuk PNS yang menduduki JF: a) Analis Anggaran Ahli Madya; b) Pemeriksa Pajak Ahli Madya; c) Penilai Pajak Ahli Madya; d) Pemeriksa Bea dan Cukai Ahli Madya; e) Analis Perbendaharaan Negara Ahli Madya; f) Penilai Pemerintah Ahli Madya; g) Pelelang Ahli Madya; h) Analis Keuangan Pusat dan Daerah Ahli Madya; i) Analis Pembiayaan dan Risiko Keuangan Ahli Madya; dan j) Pembina Profesi Keuangan Ahli Madya;
JF AKN Ahli Utama untuk PNS yang menduduki JF: a) Analis Anggaran Ahli Utama; b) Pemeriksa Pajak Ahli Utama; c) Pemeriksa Bea dan Cukai Ahli Utama; d) Analis Perbendaharaan Negara Ahli Utama; e) Penilai Pemerintah Ahli Utama; f) Analis Keuangan Pusat dan Daerah Ahli Utama; g) Analis Pembiayaan dan Risiko Keuangan Ahli Utama; dan h) Pembina Profesi Keuangan Ahli Utama;
JF PKN Ahli Pertama untuk PNS yang menduduki JF: a) Pemeriksa Pajak Ahli Pertama; b) Penyuluh Pajak Ahli Pertama; c) Pemeriksa Bea dan Cukai Ahli Pertama; d) Analis Perbendaharaan Negara Ahli Pertama; dan e) Analis Pengelola Keuangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Ahli Pertama;
JF PKN Ahli Muda untuk PNS yang menduduki JF: a) Pemeriksa Pajak Ahli Muda; b) Penyuluh Pajak Ahli Muda; c) Pemeriksa Bea dan Cukai Ahli Muda; d) Analis Perbendaharaan Negara Ahli Muda; dan e) Analis Pengelola Keuangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Ahli Muda; jdih.kemenkeu.go.id 7. JF PKN Ahli Madya untuk PNS yang menduduki JF: a) Pemeriksa Pajak Ahli Madya; b) Penyuluh Pajak Ahli Madya; c) Pemeriksa Bea dan Cukai Ahli Madya; d) Analis Perbendaharaan Negara Ahli Madya; dan e) Analis Pengelola Keuangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Ahli Madya;
JF Penilai Ahli Pertama untuk PNS yang menduduki JF: a) Penilai Pajak Ahli Pertama; dan b) Penilai Pemerintah Ahli Pertama;
JF Penilai Ahli Muda untuk PNS yang menduduki JF: a) Penilai Pajak Ahli Muda; dan b) Penilai Pemerintah Ahli Muda;
JF Penilai Ahli Madya untuk PNS yang menduduki JF: a) Penilai Pajak Ahli Madya; dan b) Penilai Pemerintah Ahli Madya;
JF Penilai Ahli Utama untuk PNS yang menduduki JF Penilai Pemerintah Ahli Utama;
JF AKN Terampil untuk PNS yang menduduki JF: a) Asisten Pemeriksa Pajak Terampil/Pemeriksa Pajak Terampil; dan b) Asisten Pembina Profesi Keuangan Terampil;
JF AKN Mahir untuk PNS yang menduduki JF: a) Asisten Pemeriksa Pajak Mahir/Pemeriksa Pajak Mahir; dan b) Asisten Pembina Profesi Keuangan Mahir;
JF AKN Penyelia untuk PNS yang menduduki JF: a) Asisten Pemeriksa Pajak Penyelia/Pemeriksa Pajak Penyelia; dan b) Asisten Pembina Profesi Keuangan Penyelia;
JF PKN Terampil untuk PNS yang menduduki JF: a) Asisten Pemeriksa Pajak Terampil/Pemeriksa Pajak Terampil; b) Asisten Penyuluh Pajak Terampil; c) Asisten Pemeriksa Bea dan Cukai Terampil/Pemeriksa Bea dan Cukai Terampil; d) Pembina Teknis Perbendaharaan Negara Terampil; e) Pranata Keuangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Terampil; dan f) Penata Laksana Barang Terampil;
JF PKN Mahir untuk PNS yang menduduki JF: a) Asisten Pemeriksa Pajak Mahir/Pemeriksa Pajak Mahir; b) Asisten Penyuluh Pajak Mahir; c) Asisten Pemeriksa Bea dan Cukai Mahir / Pemeriksa Bea dan Cukai Mahir; d) Pembina Teknis Perbendaharaan Negara Mahir; e) Pranata Keuangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Mahir; dan f) Penata Laksana Barang Mahir;
JF PKN Penyelia untuk PNS yang menduduki JF: a) Asisten Pemeriksa Pajak Penyelia/Pemeriksa Pajak Penyelia; b) Asisten Penyuluh Pajak Penyelia; jdih.kemenkeu.go.id c) Asisten Pemeriksa Bea clan Cukai Penyelia/ Pemeriksa Bea clan Cukai Penyelia; d) Pembina Teknis Perbendaharaan Negara Penyelia; e) Pranata Keuangan Anggaran Pendapatan clan Belanja Negara Penyelia; clan f) Penata Laksana Barang Penyelia;
JF Penilai Terampil untuk PNS yang menduduki JF Asisten Penilai Pajak Terampil;
JF Penilai Mahir untuk PNS yang menduduki JF Asisten Penilai Pajak Mahir; clan 20. JF Penilai Penyelia untuk PNS yang menduduki JF Asisten Penilai Pajak Penyelia, paling lambat tanggal 7 Agustus 2025;
dalam hal terdapat kebutuhan Instansi Pengguna untuk melakukan perubahan nomenklatur selain sebagaimana ditentukan pada huruf a, pejabat pimpinan tinggi madya yang membidangi kesekretariatan pada Instansi Pengguna mengajukan pengusulan perubahan nomenklatur dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf D yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini;
pengusulan sebagaimana dimaksud dalam huruf b wajib mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari pejabat pimpinan tinggi madya yang membidangi kesekretariatan pada Instansi Pembina;
pelaksanaan penyesuaian nomenklatur baru JF di Bidang Keuangan Negara sebagaimana dimaksud pada huruf a ditetapkan dengan keputusan pengangkatan dengan mencantumkan Angka Kredit yang telah diperoleh dari JF sebelumnya;
Instansi Pengguna yang telah melaksanakan penyesuaian nomenklatur sebagaimana dimaksud pada huruf d harus menyampaikan laporan hasil penyesuaian nomenklatur dengan melampirkan surat keputusan pengangkatan ke dalam JF di Bidang Keuangan Negara kepada Instansi Pembina paling lambat 1 (satu) bulan sejak dilakukan penyesuaian nomenklatur;
dalam ha! Instansi Pembina dan/atau Instansi Pengguna telah memiliki persetujuan kebutuhan dengan nomenklatur JF Analis Anggaran, JF Analis Keuangan Pusat clan Daerah, JF Analis Pembiayaan clan Risiko Keuangan, JF Analis Pengelola Keuangan Anggaran Pendapatan clan Belanja Negara, JF Pranata Keuangan Anggaran Pendapatan clan Belanja Negara, JF Penata Laksana Barang, JF Penilai Pemerintah, JF Penilai Pajak, JF Asisten Penilai Pajak, JF Penyuluh Pajak, JF Asisten Penyuluh Pajak, JF Pelelang, JF Pemeriksa Pajak, JF Asisten Pemeriksa Pajak/Pemeriksa Pajak kategori keterampilan, JF Pemeriksa Bea clan Cukai, JF Asisten Pemeriksa Bea clan Cukai/ Pemeriksa Bea clan Cukai kategori keterampilan, JF Analis Perbendaharaan Negara, JF Pembina Teknis Perbendaharaan, JF Pembina Profesi Keuangan, clan JF Asisten Pembina Profesi Keuangan, maka Instansi Pembina clan/ a tau Instansi Pengguna tetap dapat melaksanakan pengangkatan dalam JF sesuai dengan nomenklatur berdasarkan persetujuan yang telah jdih.kemenkeu.go.id diberikan, dengan mekanisme sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan paling lambat tanggal 7 Agustus 2025;
kebutuhan JF Analis Anggaran, JF Analis Keuangan Pusat dan Daerah, JF Analis Pembiayaan dan Risiko Keuangan, JF Analis Pengelola Keuangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, JF Pranata Keuangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, JF Penata Laksana Barang, JF Penilai Pemerintah, JF Penilai Pajak, JF sisten Penilai Pajak, JF Penyuluh Pajak, JF Asisten Penyuluh Pajak, JF Pelelang, JF Pemeriksa Pajak, JF Asisten Pemeriksa Pajak/Pemeriksa Pajak kategori keterampilan, Jabatan Fungsional Pemeriksa Bea dan Cukai, JF Asisten Pemeriksa Bea dan Cukai/ Pemeriksa Bea dan Cukai kategori keterampilan, JF Analis Perbendaharaan Negara, JF Pembina Teknis Perbendaharaan, JF Pembina Profesi Keuangan, dan JF Asisten Pembina Profesi Keuangan yang telah mendapatkan persetujuan dari menteri yang membidangi urusan pemerintahan di bidang pendayagunaan aparatur negara dan reformasi birokrasi, dinyatakan tetap berlaku paling lambat tanggal 7 Agustus 2025;
kebutuhan JF sebagaimana dimaksud pada huruf g ditetapkan sebagai KJF AKN, KJF PKN, KJF Penilai, dan KJF Pelelang oleh menteri yang membidangi urusan pemerintahan di bidang pendayagunaan aparatur negara dan reformasi birokrasi dengan terlebih dahulu mengajukan permohonan rekomendasi kepada Instansi Pembina;
Uji Kompetensi dapat dilaksanakan dengan mengacu kepada standar kompetensi JF Analis Anggaran, JF Analis Keuangan Pusat dan Daerah, JF Analis Pembiayaan dan Risiko Keuangan, JF Analis Pengelola Keuangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, JF Pranata Keuangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, JF Penata Laksana Barang, JF Penilai Pemerintah, JF Penilai Pajak, JF Asisten Penilai Pajak, JF Penyuluh Pajak, JF Asisten Penyuluh Pajak, JF Pelelang, JF Pemeriksa Pajak, JF Asisten Pemeriksa Pajak/Pemeriksa Pajak kategori keterampilan, JF Pemeriksa Bea dan Cukai, JF Asisten Pemeriksa Bea dan Cukai/ Pemeriksa Bea dan Cukai kategori keterampilan, JF Analis Perbendaharaan Negara, JF Pembina Teknis Perbendaharaan, JF Pembina Profesi Keuangan, dan JF Asisten Pembina Profesi Keuangan yang telah ditetapkan sebelumnya, paling lambat tanggal 7 Agustus 2025; J- dalam hal terdapat PNS yang telah melaksanakan Uji Kompetensi dan/ a tau telah mendapatkan rekomendasi hasil Uji Kompetensi dengan nomenklatur JF Analis Anggaran, JF Analis Keuangan Pusat dan Daerah JF Analis Pembiayaan dan Risiko Keuangan, JF Analis Pengelola Keuangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, JF Pranata Keuangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, JF Penata Laksana Barang, JF Penilai Pemerintah, JF Penilai Pajak, JF Asisten Penilai Pajak, JF Penyuluh Pajak, JF Asisten Penyuluh Pajak, JF Pelelang, jdih.kemenkeu.go.id JF Pemeriksa Pajak, JF Asisten Pemeriksa Pajak/Pemeriksa Pajak kategori keterampilan, JF Pemeriksa Bea dan Cukai, JF Asisten Pemeriksa Bea dan Cukai/Pemeriksa Bea clan Cukai kategori keterampilan, JF Analis Perbendaharaan Negara, JF Pembina Teknis Perbendaharaan, JF Pembina Profesi Keuangan, clan JF Asisten Pembina Profesi Keuangan, tetap dapat dilakukan pengangkatan berdasarkan nomenklatur JF sesua1 rekomendasi basil Uji Kompetensi;
PNS yang menduduki JF sebagaimana dimaksud dalam huruf a dengan pendidikan di bawah kualifikasi pendidikan yang dipersyaratkan tetap dapat melaksanakan tugas JF yang diduduki sesuai jenjang jabatannya; I. PNS sebagaimana dimaksud dalam huruf k harus memiliki kualifikasi pendidikan sesuai dengan syarat jabatan paling lama tanggal 7 Agustus 2027; clan m. dalam ha! PNS sebagaimana dimaksud dalam huruf k tidak memenuhi kualifikasi pendidikan sampai dengan batas waktu yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam huruf I, PNS terse but diberhentikan dari JF. BABX KETENTUAN PENUTUP Pasal 30 Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 27 /PMK.01/2014 tentang Pedoman Pembentukan clan Penggunaan Jabatan Fungsional Tertentu di Lingkungan Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 172);
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 38/PMK.06/2017 tentang Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Pelelang (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 375) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 4/PMK.06/2020 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 38/PMK.06/2017 tentang Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Pelelang (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 8);
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 61/PMK.02/2017 tentang Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Analis Anggaran (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 688);
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 37/PMK.07/2019 Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Analis Keuangan Pusat clan Daerah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 369);
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 55/PMK.06/2019 Tahun 2019 tentang Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Penata Laksana Barang (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 498);
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147 /PMK.03/2019 tentang Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Penilai Pajak jdih.kemenkeu.go.id dan Asisten Penilai Pajak (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 1250);
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 148/PMK.05/2019 tentang Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Pembina Teknis Perbendaharaan Negara (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 1225);
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 149/PMK.05/2019 tentang Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Analis Perbendaharaan Negara (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 1226);
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 150/PMK.05/2019 tentang Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Analis Pengelolaan Keuangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 1227) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.05/2022 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 150/PMK.05/2019 tentang Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Analis Pengelolaan Keuangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 1142); J. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 151/PMK.05/2019 tentang Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Pranata Keuangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 1228) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 162/PMK.05/2022 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 151/PMK.05/2019 tentang Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Pranata Keuangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 1140);
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 58/PMK.03/2021 tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Penyuluh Pajak (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 639);
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 59/PMK.03/2021 tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Asisten Penyuluh Pajak (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 640);
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 195/PMK.06/2021 ten tang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Penilai Pemerintah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 1394);
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 131/PMK.03/2022 tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Pemeriksa Pajak (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 898); dan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 132/PMK.03/2022 tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Asisten Pemeriksa Pajak (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 899), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. jdih.kemenkeu.go.id Pasal 31 Peraturan Menteri m1 mulai berlaku pada tanggal diundangkan. jdih.kemenkeu.go.id
Tata Cara Pemungutan, Pemotongan, dan Penyetoran Pajak Rokok
Relevan terhadap
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PEMUNGUTAN, PEMOTONGAN, DAN PENYETORAN PAJAK ROKOK. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Pajak Rokok adalah pungutan atas cukai rokok yang dipungut oleh pemerintah pusat. 2. Rokok adalah hasil tembakau yang meliputi sigaret, cerutu, rokok daun, dan bentuk rokok lainnya yang dikenai cukai rokok. 3. Cukai Rokok adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap Rokok. 4. Surat Pemberitahuan Pajak Rokok yang selanjutnya disingkat SPPR adalah surat yang digunakan oleh wajib Pajak Rokok untuk melaporkan penghitungan dan/atau dasar pembayaran Pajak Rokok. 5. Permohonan Pemesanan Pita Cukai Hasil Tembakau yang selanjutnya disebut CK-1 adalah dokumen cukai yang digunakan oleh wajib Pajak Rokok untuk mengajukan permohonan pemesanan pita cukai hasil tembakau. 6. Wajib Pajak Rokok adalah pengusaha pabrik Rokok/produsen dan importir Rokok yang memiliki ijin berupa nomor pokok pengusaha barang kena cukai. 7. Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai yang selanjutnya disingkat NPPBKC adalah izin untuk menjalankan kegiatan sebagai pengusaha pabrik, pengusaha tempat penyimpanan, importir barang kena cukai, penyalur, atau pengusaha tempat penjualan eceran di bidang cukai. 8. Rekening Kas Umum Negara yang selanjutnya disingkat RKUN adalah rekening tempat penyimpanan uang negara yang ditentukan oleh Menteri Keuangan selaku bendahara umum negara untuk menampung seluruh penerimaan I jdih.kemenkeu.go.id negara dan membayar seluruh pengeluaran negara pada bank sen tral. 9. Rekening Kas Umum Daerah Provinsi yang selanjutnya disingkat RKUD Provinsi adalah rekening tempat penyimpanan uang daerah yang ditentukan oleh gubernur untuk menampung seluruh penerimaan daerah dan membayar seluruh pengeluaran daerah pada bank yang ditetapkan. 10. Kantor Bea dan Cukai adalah kantor pelayanan utama bea dan cukai atau kantor pengawasan dan pelayanan bea dan cukai di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. 11. Pejabat Bea dan Cukai adalah pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang ditunjuk dalam jabatan tertentu untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan undang- undang mengenai cukai. 12. Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disingkat KPPN adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan. 13. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. 14. Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat PA adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran kementerian negara/lembaga. 15. Pembantu Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat PPA BUN adalah unit eselon 1 di lingkungan Kementerian Keuangan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan bertanggung jawab atas pengelolaan anggaran yang berasal dari bagian anggaran bendahara umum negara. 16. Kuasa PenggunaAnggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat KPA BUN adalah pejabat pada satuan kerja dari masing-masing PPA BUN baik di kantor pusat maupun kantor daerah atau satuan kerja di kementerian/lembaga nonkementerian yang memperoleh penugasan dari Menteri Keuangan untuk melaksanakan kewenangan dan tanggung jawab pengelolaan anggaran yang berasal dari bagian anggaran bendahara umum negara. 17. Pejabat Pembuat Komitmen yang selanjutnya disingkat PPK adalah pejabat yang melaksanakan kewenangan PA/kuasa PA untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan yang dapat mengakibatkan pengeluaran atas beban APBN. 18. Pejabat Pendanda Tangan Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat PPSPM adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh PA/kuasa PA untuk melakukan pengujian atas permintaan pembayaran dan menerbitkan perintah pembayaran. 19. Surat Ketetapan Penyetoran Pajak Rokokyang selanjutnya disingkat SKP-PR adalah dokumen sebagai dasar jdih.kemenkeu.go.id penyetoran Pajak Rokok yang memuat rincian jumlah Pajak Rokok per provinsi dalam periode tertentu. 20. Surat Permintaan Pembayaran yang selanjutnya disingkat SPP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPK, yang berisi permintaan pembayaran tagihan kepada negara. 21. Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat SPM adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPSPM untuk mencairkan dana yang bersumber dari daftar isian pelaksanaan anggaran. 22. Surat Perintah Pencairan Dana yang selanjutnya disingkat SP2D adalah surat perintah yang diterbitkan oleh KPPN selaku kuasa bendahara umum negara untuk pelaksanaan pengeluaran atas beban APBN berdasarkan SPM. 23. Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat BUN adalah pejabat yang diberi tugas untuk melaksanakan fungsi BUN. 24. Kuasa Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disebut Kuasa BUN adalah pejabat yang diangkat oleh BUN untuk melaksanakan tug as ke bendaharaan dalam rangka pelaksanaan APBN dalam wilayah kerja yang ditetapkan. 25. Collecting Agent adalah agen penerimaan yang meliputi bank persepsi, pos persepsi, bank persepsi valuta asing (Valas), lembaga persepsi lainnya, atau lembaga persepsi lainnya Valas yang ditunjuk oleh Kuasa BUN Pusat untuk menerima setoran penerimaan negara. 26. Bukti Penerimaan Negara yang selanjutnya disingkat BPN adalah dokumen yang diterbitkan oleh Collecting Agent atas transaksi penerimaan negara yang mencantumkan nomor transaksi penerimaan negara dan nomor transaksi bank/ nomor transaksi pos / nomor transaksi lembaga persepsi lainnya se bagai sarana administrasi lain yang kedudukannya disamakan dengan surat setoran. 27. Arsip Data Komputer yang selanjutnya disingkat ADK adalah arsip data dalam bentuk softcopy yang disimpan dalam media penyimpanan digital. 28. Surat Keterangan Telah Dibukukan yang selanjutnya disingkat SKTB adalah surat keterangan yang diterbitkan oleh KPPN atas penerimaan Pajak Rokok yang telah dibukukan KPPN. 29. Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak Rokok yang selanjutnya disingkat SKP-KP2R adalah surat keputusan sebagai dasar untuk menerbitkan SPM pengembalian penerimaan. 30. Jaminan Kesehatan adalah jaminan berupa perlindungan kesehatan agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran Jaminan Kesehatan atau iuran Jaminan Kesehatannya dibayar oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, atau pihak lain atas nama peserta. 31. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan yang selanjutnya disebut BPJS Kesehatan adalah badan hukum jdih.kemenkeu.go.id yang dibentuk untuk menyelenggarakan program J aminan Kesehatan. 32. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. BAB II TATA CARA PEMUNGUTAN PAJAK ROKOK Bagian Kesatu Pemungutan Pasal 2 (1) Dasar pengenaan Pajak Rokok adalah cukai yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat terhadap Rokok. (2) Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk Rokok elektrik. (3) Tarif Pajak Rokok ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen) dari Cukai Rokok. (4) Besaran pokok Pajak Rokok yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan tarif Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (3). (5) Pemungutan Pajak Rokok dilakukan oleh Kantor Bea dan Cukai bersamaan dengan pemungutan Cukai Rokok. (6) Pelaksanaan pemungutan Pajak Rokok dilakukan dengan berpedoman pada petunjuk teknis pemungutan Pajak Rokok. (7) Petunjuk teknis pemungutan Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tercantum dalam huruf A dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Bagian Kedua Pembayaran Pajak Rokok Pasal 3 (1) Wajib Pajak Rokok menghitung sendiri Pajak Rokok yang dituangkan dalam SPPR. (2) Wajib Pajak Rokok menyampaikan SPPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Kepala Kantor Bea dan Cukai bersamaan dengan dokumen CK-1. (3) SPPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan melalui sistem aplikasi di bidang cukai. (4) Dalam hal sistem aplikasi di bidang cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mengalami gangguan, SPPR disampaikan secara tertulis melalui Kantor Bea dan Cukai. (5) SPPR yang disampaikan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibuat sesuai dengan contoh format dalam huruf B yang tercantum dalam Lampiran jdih.kemenkeu.go.id yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 4 (1) Pejabat Bea dan Cukai melakukan penelitian terhadap SPPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) atau ayat (4). (2) Penelitian terhadap SPPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
kelengkapan dan kebenaran pengisian SPPR;
kesesuaian antara dokumen SPPR dengan dokumen CK-1; dan
kebenaran penghitungan Pajak Rokok. (3) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) SPPR dinyatakan telah lengkap, sesuai, dan benar, Pejabat Bea dan Cukai memberikan nomor pendaftaran pada Wajib Pajak Rokok. (4) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) SPPR dinyatakan tidak lengkap, tidak sesuai, dan tidak benar, Pejabat Bea dan Cukai menerbitkan nota penolakan. (5) Wajib Pajak Rokok yang menerima nota penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat menyampaikan kembali SPPR. (6) Nota penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibuat sesuai dengan contoh format huruf C yang tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 5 (1) Wajib Pajak Rokok yang telah memperoleh nomor pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) melakukan pembayaran Pajak Rokok bersamaan dengan pembayaran Cukai Rokok ke RKUN. (2) Pembayaran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan kode Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara Pengelolaan Transaksi Khusus (BA 999.99) dengan akun penerimaan non anggaran. (3) Pembayaran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui Collecting Agent dengan menggunakan kode billing. (4) Kode billing sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai melalui portal biller. (5) Terhadap pembayaran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan BPN. (6) Wajib Pajak Rokok menyampaikan BPN sebagaimana pada ayat (5) kepada Pejabat Bea dan Cukai. (7) Dalam hal Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dibayarkan, pelayanan atas pemesanan pita cukai tidak dilaksanakan. (8) Tata cara pembayaran Pajak Rokok oleh Wajib Pajak Rokok melalui Collecting Agent dilaksanakan sesuai jdih.kemenkeu.go.id dengan Peraturan Menteri Keuangan mengena1 sistem penerimaan negara secara elektronik. Pasal 6 (1) Pejabat Bea dan Cukai melakukan penelitian atas pembayaran Pajak Rokok. (2) Penelitian atas pembayaran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
kelengkapan dan kebenaran BPN;
kesesuaian data antara SPPR dengan BPN; dan
kebenaran penghitungan dan kesesuaian jumlah Pajak Rokok yang tertuang pada SPPR dengan jumlah uang yang disetorkan. (3) Dalam hal hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdapat ketidaklengkapan, ketidaksesuaian, dan/atau ketidakbenaran yang menyebabkan terjadinya kekura.ngan pembayaran Pajak Rokok, Pejabat Bea dan Cukai:
menunda pelayanan Pita Cukai Rokok sampai dengan dilunasinya pembayaran Pajak Rokok untuk pembayaran Cukai Rokok secara tunai; atau
tidak melayani CK-1 berikutnya sampai dengan dilunasinya pembayaran Pajak Rokok untuk pembayaran Cukai Rokok yang mendapatkan penundaan pembayaran cukai. (4) Dalam hal Pajak Rokok belum dilunasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), permohonan penyediaan pita cukai untuk kebutuhan bulan berikutnya tidak dilayani. (5) Dalam hal hasil penelitian atas SPPR dengan BPN telah sesuai, Pejabat Bea dan Cukai melanjutkan proses pelayanan CK-1. Bagian Ketiga Rekapitulasi Penerimaan Pajak Rokok Pasal 7 (1) Direktorat teknis yang memiliki tugas dan fungsi menangani penerimaan Pajak Rokok pada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai melakukan rekapitulasi penerimaan Pajak Rokok bulan sebelumnya. (2) Rekapitulasi penerimaan Pajak Rokok bulan sebelumnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dalam daftar realisasi penerimaan Pajak Rokok. (3) Direktorat teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyampaikan daftar realisasi penerimaan Pajak Rokok kepada Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan c.q. Direktorat Pajak Daerah dan Retribusi Daerah pada Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja bulan berikutnya. (4) Daftar realisasi penerimaan Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan dalam bentuk ADK. jdih.kemenkeu.go.id Bagian Keempat Penagihan Kekurangan Pembayaran Pajak Rokok Pasal 8 (1) Dalam hal ditemukan adanya kekurangan cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) yang menyebabkan kurangnya pembayaran Pajak Rokok atau tidak dilunasinya pembayaran Pajak Rokok, Kepala Kantor Bea clan Cukai menyampaikan surat pemberitahuan kekurangan pembayaran Pajak Rokok kepada Wajib Pajak Rokok. (2) Surat pemberitahuan kekurangan pembayaran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi sebagai surat ketetapan pajak daerah kurang bayar yang merupakan dasar penagihan Pajak Rokok. (3) Surat pemberitahuan kekurangan pembayaran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) hari kerja setelah ditemukannya kekurangan Pajak Rokok. (4) Surat pemberitahuan kekurangan pembayaran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan:
secara langsung;
melalui pos, perusahaan jasa ekspedisi, a tau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat; atau
media elektronik atau melalui sistem aplikasi di bidang cukai. (5) Penyampaian surat pemberitahuan kekurangan pembayaran Pajak melalui sistem aplikasi di bidang cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c dilakukan dalam hal sistem aplikasi di bidang cukai sudah tersedia. (6) Surat pemberitahuan kekurangan pembayaran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat sesuai dengan contoh format dalam huruf D yang tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 9 (1) Wajib Pajak Rokok wajib melunasi kekurangan pembayaran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak terhitung sejak Wajib Pajak Rokok menerima surat pemberitahuan kekurangan pembayaran Pajak Rokok. (2) Dalam hal Wajib Pajak Rokok tidak melunasi kekurangan pembayaran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Kantor Bea clan Cukai menyampaikan surat penyerahan kepada Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan c.q. Direktur Pajak Daerah clan Retribusi Daerah dengan melampirkan surat pemberitahuan kekurangan pembayaran Pajak Rokok. (3) Tanggal diterimanya surat pemberitahuan kekurangan pembayaran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan:
tanggal pada saat surat pemberitahuan kekurangan pembayaran Pajak Rokok diterima secara langsung, dalam hal surat pemberitahuan kekurangan jdih.kemenkeu.go.id pembayaran Pajak Rokok disampaikan secara langsung;
tanggal stempel pos, perusahaan jasa ekspedisi, atau jasa kurir, dalam hal pengiriman dilakukan melalui pos, perusahaan jasa ekspedisi, atau jasa kurir; atau
tanggal yang tertera pada media elektronik, dalam hal pengiriman dilakukan dengan media elektronik. (4) Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan menyampaikan surat pemberitahuan kekurangan pembayaran Pajak Rokok berdasarkan surat penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada gubernur tempat Wajib Pajak Rokok berada. (5) Gubernur menindaklanjuti surat pemberitahuan kekurangan pembayaran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dengan melakukan penagihan kekurangan pembayaran Pajak Rokok sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai penagihan pajak daerah. (6) Berdasarkan penagihan kekurangan pembayaran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Wajib Pajak Rokok melakukan pelunasan atas kekurangan Pajak Rokok melalui RKUN. BAB III PENYETORAN PAJAK ROKOK Bagian Kesatu Pejabat Perbendaharaan Pasal 10 (1) Dalam rangka penyetoran Pajak Rokok, Menteri Keuangan selaku BUN yang merupakan PA penerimaan, pemotongan, dan penyetoran Pajak Rokok menetapkan:
Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan sebagai pemimpin PPA BUN penerimaan, pemotongan, dan penyetoran Pajak Rokok;
Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagai KPA BUN penerimaan dan pemotongan Pajak Rokok; dan
Direktur Sistem Informasi dan Pelaksanaan Transfer sebagai KPA BUN penyetoran Pajak Rokok. (2) Dalam hal Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan/atau Direktur Si stem Informasi dan Pelaksanaan Tran sf er se bagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c berhalangan, Menteri Keuangan menunjuk Sekretaris Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan sebagai pelaksana tugas KPA BUN penerimaan dan pemotongan Pajak Rokok dan/atau pelaksana tugas KPA BUN penyetoran Pajak Rokok. (3) Keadaan berhalangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan suatu keadaan yang menyebabkan pejabat definitif yang ditetapkan sebagai KPA BUN penerimaan jdih.kemenkeu.go.id dan pemotongan Pajak Rokok dan/atau KPA BUN penyetoran Pajak Rokok:
tidak terisi dan menimbulkan lowongan jabatan; dan/atau
masih terisi namun pejabat definitif yang ditetapkan sebagai KPA BUN penerimaan dan pemotongan Pajak Rokok dan/atau KPA BUN penyetoran Pajak Rokok tidak dapat melaksanakan tugas melebihi 45 (empat puluh lima) hari kerja. (4) Pejabat pelaksana tugas KPA BUN penerimaan dan pemotongan Pajak Rokok dan/atau pejabat pelaksana tugas KPA BUN penyetoran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memiliki kewenangan dan tanggung jawab yang sama dengan KPA BUN penerimaan dan pemotongan Pajak Rokok dan/atau KPA BUN penyetoran Pajak Rokok definitif. (5) Penunjukan:
Sekretaris Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan sebagai pelaksana tugas KPA BUN penerimaan dan pemotongan Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (2); dan/atau
Sekretaris Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan sebagai pelaksana tugas KPA BUN penyetoran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (2), berakhir dalam hal Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan/atau Direktur Sistem Informasi dan Pelaksanaan Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c telah terisi kembali oleh pejabat definitif dan/ a tau dapat melaksanakan tugas kembali sebagai KPA BUN. (6) Pemimpin PPA BUN penerimaan, pemotongan, dan penyetoran Pajak Rokok dapat mengusulkan penggantian KPA BUN penerimaan dan pemotongan Pajak Rokok dan/atau KPA BUN penyetoran Pajak Rokok kepada Menteri Keuangan. (7) Penggantian KPA BUN penerimaan dan pemotongan Pajak Rokok dan/atau KPA BUN penyetoran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (6) ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan. Pasal 11 (1) KPA BUN Penerimaan dan Pemotongan Pajak Rokok bertanggungjawab atas pelaksanaan kegiatan penerimaan dan pemotongan Pajak Rokok. (2) KPA BUN Penerimaan dan Pemotongan Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai tugas dan fungsi sebagai berikut:
menerbitkan SKP-PR;
menerbitkan SKP-KP2R;
menyampaikan rekomendasi penyetoran Pajak Rokok kepada KPA BUN Penyetoran Pajak Rokok; jdih.kemenkeu.go.id d. menyampaikan pemberitahuan penyetoran Pajak Rokok kepada gubernur dan kepala BPJS Kesehatan; dan
menyampaikan pemberitahuan penyetoran atas pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Rokok kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Pasal 12 (1) KPA BUN Penyetoran Pajak Rokok bertanggungjawab atas pelaksanaan kegiatan penyetoran Pajak Rokok. (2) KPA BUN Penyetoran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai tugas dan fungsi sebagai berikut:
menetapkan staf pengelola keuangan, PPK, dan PPSPM;
melaksanakan pemotongan penyetoran, penundaan penyetoran, penghentian penyetoran, dan penyetoran kembali pajak rokok;
mengawasi penatausahaan dokumen dan transaksi yang berkaitan dengan pelaksanaan kegiatan dan anggaran; dan
menyusun dan menyampaikan laporan keuangan atas penerimaan dan penyetoran pajak rokok kepada Pembantu Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara penerimaan, pemotongan, dan penyetoran Pajak Rokok dalam rangka pertanggungjawaban pengelolaan Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara Pengelolaan Transaksi Khusus (BA 999.99). (3) Tugas, wewenang, dan tanggung jawab KPA BUN Penyetoran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan tugas, wewenang, dan tanggung jawab kuasa pengguna anggaran sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai perencanaan anggaran, pelaksanaan anggaran, serta akuntansi dan pelaporan keuangan. Pasal 13 (1) Penetapan PPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) huruf a dilakukan dalam rangka mengajukan permintaan pembayaran untuk penyetoran Pajak Rokok, penyetoran pembayaran pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Rokok, dan penyetoran pembayaran atas hasil pemotongan Pajak Rokok sebagai kontribusi dukungan program Jaminan Kesehatan. (2) Penetapan PPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) huruf a tidak terikat tahun anggaran. (3) Tugas, wewenang, dan pertanggungjawaban PPK dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara pencairan anggaran pendapatan dan belanja negara bagian atas beban anggaran bendahara umum negara pada kantor pelayanan perbendaharaan negara. jdih.kemenkeu.go.id Pasal 14 (1) Penetapan PPS PM se bagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) huruf a dilakukan dalam rangka melakukan pengujian permintaan pembayaran, pembebanan, dan penerbitan perintah pembayaran atas penyetoran Pajak Rokok, penyetoran pembayaran pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Rokok, dan penyetoran pembayaran atas hasil pemotongan Pajak Rokok sebagai kontribusi dukungan program Jaminan Kesehatan. (2) Penetapan PPSPM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terikat tahun anggaran. (3) Tugas, wewenang, dan pertanggungjawaban PPSPM dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara pencairan anggaran pendapatan dan belanja negara bagian atas beban anggaran bendahara umum negara pada kantor pelayanan perbendaharaan negara. Bagian Kedua Penyetoran Pajak Rokok Pasal 15 (1) Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan menetapkan proporsi dan estimasi penerimaan Pajak Rokok untuk masing-masing provinsi sebagai dasar penyusunan anggaran pendapatan dan belanja daerah tahun anggaran berikutnya untuk masing-masing provinsi. (2) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setiap tahun paling lambat pada bulan November tahun anggaran sebelumnya. (3) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan rasio jumlah penduduk provinsi terhadap jumlah penduduk nasional dan target penerimaan Cukai Rokok pada Undang-Undang mengenai anggaran pendapatan dan belanja negara. (4) Rasio jumlah penduduk sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan berdasarkan data jumlah penduduk yang digunakan untuk penghitungan dana alokasi umum untuk tahun anggaran berikutnya. (5) Berdasarkan penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), gubernur menetapkan alokasi bagi hasil Pajak Rokok untuk masing-masing kabupaten/kota sebagai dasar penyusunan anggaran pendapatan dan belanja daerah kabupaten/kota. (6) Alokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditetapkan paling lambat bulan November tahun anggaran sebelumnya. Pasal 16 (1) Berdasarkan realisasi penerimaan Pajak Rokok, Direktorat J endcral Perbendaharaan menyampaikan data realisasi penerimaan Pajak Rokok kepada Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan. jdih.kemenkeu.go.id (2) Penyampaian data realisasi penerimaan Pajak Rokok se bagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setiap triwulanan pada minggu pertama triwulan berikutnya. (3) Penyampaian data realisasi penerimaan Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk triwulan keempat dilakukan pada minggu pertama bulan Desember berdasarkan realisasi penerimaan Pajak Rokok sampai dengan tanggal 30 November tahun berkenaan. (4) Penyampaian data realisasi penerimaan Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan akhir tahun anggaran dilakukan paling lambat pada bulan Januari tahun anggaran berikutnya. Pasal 17 (1) Berdasarkan realisasi penerimaan Pajak Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) dan penetapan proporsi dan estimasi penerimaan Pajak Rokok untuk masing-masing provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, KPA BUN Penerimaan dan Pemotongan Pajak Rokok menerbitkan SKP-PR. (2) SKP-PR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan rangkap 3 (tiga) dengan peruntukan sebagai berikut:
(2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) a. Lembar ke-1 untuk KPPN Jakarta II;
Lembar ke-2 untuk PPK; dan
Lembar ke-3 untuk pertinggal. Pasal 18 KPA BUN Penerimaan dan Pemotongan Pajak Rokok menyampaikan SKP-PR kepada KPA BUN Penyetoran Pajak Rokok. Berdasarkan SKP-PR sebagaimana dimaksud ayat (1), PPK menerbitkan SPP untuk penyetoran Pajak Rokok. PPK menyampaikan SPP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan dilampiri SKP-PR kepada PPSPM. PPSPM melakukan pemeriksaan dan pengujian SPP yang dilampiri SKP-PR sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Pemeriksaan dan pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara pencairan anggaran, pendapatan dan belanja negara atas beban bagian anggaran bendahara umum negara pada kantor perbendaharaan negara. Dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan dan pengujian SPP dinyatakan telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), PPSPM menerbitkan SPM. Dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan dan pengujian SPP dinyatakan tidak sesua1 dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), PPSPM mengembalikan SPP kepada PPK untuk diperbaiki atau dilengkapi. PPSPM menyampaikan SPM sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan dilampiri SKP-PR kepada KPPN Jakarta II. Tata cara penerbitan SPM sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan tata cara penyampaian SPM sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dilaksanakan sesuai dengan jdih.kemenkeu.go.id ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara pencairan anggaran, pendapatan dan belanja negara atas beban bagian anggaran bendahara umum negara pada kantor perbendaharaan negara. Pasal 19 (1) KPPN Jakarta II menerbitkan SP2D berdasarkan SPM dan SKP-PR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Berdasarkan SP2D sebagaimana dimaksud pada ayat (1) KPA BUN Penerimaan dan Pemotongan menyampaikan surat pemberitahuan penyetoran Pajak Rokok kepada gubernur paling lama 2 (dua) hari kerja terhitung sejak SP2D penyetoran Pajak Rokok diterbitkan. (3) Penyampaian surat pemberitahuan penyetoran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui media elektronik atau melalui sistem aplikasi pelaporan Pajak Rokok. Pasal 20 (1) Penyetoran penerimaan Pajak Rokok ke masing-masing RKUD Provinsi dilakukan sesuai dengan realisasi penerimaan Pajak Rokok dan proporsi untuk masing-...masmg prov1ns1. (2) Penyetoran penerimaan Pajak Rokok ke RKUD Provinsi dilaksanakan setiap triwulanan pada bulan pertama triwulan berikutnya. (3) Penyetoran penerimaan Pajak Rokok ke RKUD Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk penerimaan bulan Oktober dan November dilaksanakan pada bulan Desember. (4) Penyetoran penerimaan Pajak Rokok ke RKUD Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk penerimaan sampai dengan bulan Desember tahun berkenaan yang masih terdapat di RKUN dilaksanakan bersamaan dengan penyetoran triwulan I tahun anggaran berikutnya. (5) Penyetoran penerimaan Pajak Rokok ke RKUD Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan setelah:
gubernur menyalurkan seluruh bagi hasil Pajak Rokok kepada kabupaten/kota atas realisasi Pajak Rokok yang diterima oleh provinsi pada triwulan sebelumnya; dan
gubernur menyampaikan laporan realisasi penyaluran bagi hasil Pajak Rokok kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan. Pasal 21 Dalam hal terdapat selisih antara penerimaan dengan penyetoran Pajak Rokok ke RKUD Provinsi berdasarkan hasil pemeriksaan laporan keuangan Pemerintah Pusat, selisih tersebut diperhitungkan pada penyetoran Pajak Rokok tahun berikutnya. jdih.kemenkeu.go.id BAB IV PENYALURAN BAGI HASIL PAJAK ROKOK Pasal 22 (1) Gubernur menetapkan jumlah bagi hasil Pajak Rokok kabupaten/kota setelah Pajak Rokok diterima di RKUD Provinsi. (2) Penetapan jumlah bagi hasil Pajak Rokok kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan Keputusan Gubernur. (3) Berdasarkan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), gubernur menyalurkan bagi hasil Pajak Rokok kepada kabupaten/kota dalamjangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak diterimanya Pajak Rokok di RKUD Provinsi. (4) Penyaluran bagi hasil Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan sesuai dengan realisasi penerimaan Pajak Rokok pada RKUD Provinsi. (5) Dalam hal realisasi penerimaan Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (4) lebih besar atau lebih kecil dari yang telah dianggarkan di anggaran pendapatan dan belanja daerah Provinsi, penyaluran bagi hasil Pajak Rokok tetap dilaksanakan sesuai dengan realisasi penerimaan Pajak Rokok pada RKUD Provinsi. (6) Dalam hal penyaluran bagi hasil Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (3) belum dianggarkan dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah atau anggaran pendapatan clan belanja daerah perubahan, penyaluran tetap clilakukan sesuai clengan realisasi penerimaan Pajak Rokok pada RKUD Provinsi. Pasal 23 (1) Ketentuan mengenai bagi hasil Pajak Rokok kepada kabupaten/kota clan variabel yang digunakan dalam penghitungan bagi hasil Pajak Rokok climaksucl cliatur dalam peraturan daerah provinsi. (2) Ketentuan mengenai formula penghitungan bagi hasil Pajak Rokok dan tata cara penyaluran bagi hasil Pajak Rokok cliatur dalam peraturan gubernur. (3) Peraturan gubernur sebagaimana climaksucl pacla ayat (2), clapat mengatur pendelegasian wewenang penetapan alokasi bagi hasil Pajak Rokok yang clibagihasilkan kepada kabupaten/kota kepacla kepala perangkat daerah yang menangani pendapatan dan/atau keuangan daerah. BABV PEMOTONGAN PAJAK ROKOK SEBAGAI KONTRIBUSI DUKUNGAN PROGRAM JAMINAN KESEHATAN Pasal 24 (1) Pemerintah claerah provinsi atau kabupaten/kota wajib mendukung penyelenggaraan program Jaminan Kesehatan. jdih.kemenkeu.go.id (2) Kewajiban mendukung penyelenggaraan program Jaminan Kesehatan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) merupakan dukungan penyelenggaraan program Jaminan Kesehatan yang dilaksanakan melalui kontribusi penerimaan yang bersumber dari Pajak Rokok bagian hak masing-masing pemerintah daerah provinsi atau kabupaten/kota. (3) Kontribusi Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan sebcsar 75% (tujuh puluh lima persen) dari 50% (lima puluh persen) atau ekuivalen sebesar 37,5% (tiga puluh tujuh koma lima persen) dari realisasi penerimaan yang bersumber dari Pajak Rokok masing- masing provinsi atau kabupaten/kota. (4) Dalam hal pemerintah daerah provms1 atau kabupaten/kota tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pemerintah daerah provinsi atau kabupaten/kota dikenai sanksi pemotongan Pajak Rokok sejumlah selisih 37 ,5% (tiga puluh tujuh koma lima persen) dari rencana penerimaan dan/ a tau realisasi penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3). Pasal 25 (1) Pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota merencanakan dan menganggarkan kontribusi untuk mendukung program Jaminan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah setiap tahun. (2) Besaran anggaran kontribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memperhitungkan Jaminan Kesehatan Daerah yang diintegrasikan ke dalam program Jaminan Kesehatan yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan. Pasal 26 (1) Untuk mengetahui kecukupan perencanaan dan penganggaran kontribusi program Jaminan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1), pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota melakukan rekonsiliasi data dengan BPJS Kesehatan. (2) Hasil kesepakatan atas rekonsiliasi data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam berita acara kesepakatan yang memuat data:
rencana penerimaan Pajak Rokok; dan
rencana anggaran Jaminan Kesehatan daerah yang diintegrasikan ke BPJS Kesehatan, (3) Berita acara kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat sesuai dengan format dalam huruf E yang tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (4) Dalam hal berdasarkan hasil rekonsiliasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), terdapat selisih kurang anggaran Jaminan Kesehatan Daerah yang terintegrasi dengan BPJS Kesehatan, selisih kurang tersebut dituangkan dalam berita acara kesepakatan. jdih.kemenkeu.go.id (5) Berita acara kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditandatangani oleh kepala daerah dan pejabat BPJS Kesehatan. (6) Dalam menandatangani berita acara kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), kepala daerah dapat mendelegasikan kewenangannya kepada pejabat yang ditunjuk. (7) Berita acara kesepakatan yang telah ditandatangani oleh kepala daerah atau pejabat yang ditunjuk dan pejabat BPJS kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) disampaikan kepada gubernur. (8) Pemcrintah daerah provinsi dan kabupaten/kota melakukan rekonsiliasi pelaksanaan program J aminan Kesehatan dengan BPJS Kesehatan yang hasilnya dituangkan dalam Berita Acara Rekonsiliasi dengan format dalam huruf F yang tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Men teri ini. (9) Dalam hal berdasarkan hasil rekonsiliasi sebagaimana dimaksud pada ayat (8) terdapat selisih kurang realisasi Jaminan Kesehatan Daerah yang terintegrasi dengan BPJS Kcsehatan, selisih kurang tersebut diperhitungkan dalam berita acara kesepakatan tahun berikutnya. (10) Dalam hal hasil rekonsiliasi menunjukkan jumlah realisasi jaminan kesehatan daerah termasuk di dalamnya pemotongan Pajak Rokok melebihi realisasi kontribusi penerimaan Pajak Rokok, BPJS Kesehatan dan pemerintah daerah dapat melakukan kesepakatan untuk:
menambah jumlah kepesertaan dalam program jaminan kesehatan dimaksud; dan
memperhitungkan sebagai jaminan kesehatan tahun berikutnya tanpa mengurangi jumlah kontribusi minimal 37,5% (tiga puluh tujuh koma lima persen). Pasal 27 (1) Gubernur membuat kompilasi berita acara kesepakatan atas berita acara kesepakatan yang telah ditandatangani oleh kcpala daerah atau pejabat yang ditunjuk dan pejabat BPJS kcsehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26. (2) Kompilasi berita acara kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh gubernur dan pejabat BPJS Kesehatan. (3) Dalam menandatangani kompilasi berita acara kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), gubernur dapat mendelegasikan kewenangannya kepada pejabat yang ditunjuk. (4) Gubernur menyampaikan kompilasi berita acara kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada Menteri Keuangan melalui Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan c.q. Direktorat Pajak Daerah dan Retribusi Daerah paling lambat pada tanggal 31 Maret setiap tahun. (5) Kompilasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan secara elektronik dan/atau dokumen fisik. jdih.kemenkeu.go.id (6) Dalam hal tanggal 31 Maret sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bertepatan dengan hari libur atau hari yang diliburkan, batas waktu penyampaian kompilasi berita acara kesepakatan dilakukan pada hari kerja berikutnya. (7) Dalam hal pemerintah daerah prov1ns1 dan kabupaten/kota mengalami keadaan:
bencana alam;
bencana nonalam; dan/atau
bencana sosial, Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan dapat menetapkan perpanjangan batas waktu penyampaian kompilasi berita acara kesepakatan. (8) Perpanjangan batas waktu penyampaian kompilasi berita acara kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditetapkan dengan keputusan Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan. (9) Kompilasi berita acara kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat sesuai dengan contoh format dalam huruf G yang tercantum dalam Lampiran yang mcrupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 28 (1) Sanksi pemotongan Pajak Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (4) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
dalam hal anggaran dan/atau realisasi kontribusi Jaminan Kesehatan pemerintah daerah provinsi atau kabupaten/kota yang tercantum dalam kompilasi berita acara kesepakatan sebesar 37,5% (tiga puluh tujuh koma lima persen) atau lebih, tidak dilakukan pcmotongan Pajak Rokok; atau
dalam hal anggaran dan/atau realisasi kontribusi Jaminan Kesehatan pemerintah daerah provinsi atau kabupaten/kota yang tercantum dalam kompilasi bcrita acara kesepakatan kurang dari 37,5% (tiga puluh tujuh koma lima persen), pemotongan Pajak Rokok dilakukan sebesar selisih kurang dari 37,5% (tiga puluh tujuh koma lima persen); atau
dalam hal pemerintah daerah provinsi tidak menyampaikan kompilasi berita acara kesepakatan, dikenakan pemotongan Pajak Rokok sebesar 37 ,5% (tiga puluh tujuh koma lima persen). (2) Hasil pcmotongan penerimaan Pajak Rokok yang telah disetorkan ke rekening BPJS Kesehatan diperhitungkan untuk pemenuhan kewajiban Jaminan Kesehatan untuk pemerintah daerah yang bersangkutan. jdih.kemenkeu.go.id BAB VI PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK ROKOK Pasal 29 (l) Dalam hal terdapat kelebihan pembayaran Pajak Rokok, Wajib Pajak Rokok dapat mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Rokok kepada Kepala Kantor Bea dan Cukai. (2) Pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Rokok se bagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan:
kelebihan pembayaran Pajak Rokok karena kesalahan penghi tungan;
pengembalian Cukai Rokok; atau
Pajak Rokok yang telah dibayar oleh Wajib Pajak yang bukan merupakan objek Pajak Rokok yang terutang atau yang seharusnya tidak terutang. (3) Dalam hal pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Rokok karena terdapat pengembalian Cukai Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hurufb, permohonan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Rokok dapat diajukan sepanjang tanda bukti perusakan pita cukai dan/atau tanda bukti pengembalian pita cukai tidak melebihi batas waktu 12 (dua belas) bulan sejak tanggal penerbitannya. (4) Kelebihan pembayaran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikembalikan dalam hal Pajak Rokok telah dibayar yang dibuktikan dengan BPN. (5) Atas kelebihan pembayaran Pajak Rokok, Kepala Kantor Bea dan Cukai menerbitkan Tanda Bukti Kelebihan Pembayaran Pajak Rokok. (6) Tanda Bukti Kelebihan Pembayaran Pajak Rokok dapat digunakan sebagai dasar pengembalian Pajak Rokok dengan ketentuan tidak melebihi jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak tanggal penerbitannya. (7) Tanda Bukti Kelebihan Pembayaran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dibuat sesuai dengan contoh format dalam huruf H yang tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 30 (1) Pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) huruf a dan huruf c dilakukan secara tunai. (2) Pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) huruf b dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
dalam hal pengembalian Cukai Rokok diperhitungkan pada pembayaran Cukai Rokok berikutnya, pcngembalian Pajak Rokok diperhitungkan atas pembayaran Pajak Rokok berikutnya; atau jdih.kemenkeu.go.id b. dalam hal pengembalian Cukai Rokok dilakukan secara tunai, pengembalian Pajak Rokok dilakukan secara tunai. (3) Dalam hal pengembalian Cukai Rokok diperhitungkan pada pembayaran Cukai Rokok berikutnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, Wajib Pajak Rokok melampirkan Tanda Bukti Kelebihan Pembayaran Pajak Rokok pada saat mengajukan SPPR berikutnya. (4) Berdasarkan Tanda Bukti Kelebihan Pembayaran Pajak Rokok, Kantor Bea dan Cukai memperhitungkan pengembalian Pajak Rokok dengan pembayaran Pajak Rokok berikutnya. (5) Dalam hal pengembalian cukai dilakukan secara tunai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) huruf b, Wajib Pajak Rokok mengajukan permohonan pengembalian Pajak Rokok secara tertulis kepada Kepala Kantor Bea dan Cukai dengan melampirkan Tanda Bukti Kelebihan Pembayaran Pajak Rokok. (6) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disampaikan dalamjangka waktu paling lama 11 (sebelas) bulan terhitung sejak tanggal ditetapkannya Tanda Bukti Kelebihan Pembayaran Pajak Rokok. (7) Atas pcrmohonan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Kepala Kantor Bea dan Cukai melakukan penelitian kelengkapan berkas permohonan dan memeriksa jangka waktu berlakunya Tanda Bukti Kelebihan Pembayaran Pajak Rokok. (8) Dalam hal hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (7) telah sesuai, Kepala Kantor Bea dan Cukai menyampaikan surat permintaan kepada Kepala KPPN untuk menerbitkan SKTB dilampiri BPN. (9) Dalam hal hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (7) terdapat ketidaksesuaian, Kepala Kantor Bea dan Cukai menyampaikan surat penolakan kepada Wajib Pajak Rokok. Pasal 31 (1) Berdasarkan surat permintaan yang disampaikan oleh Kepala Kantor Bea dan Cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (8), Kepala KPPN menerbitkan SKTB. (2) SKTB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat sesuai dengan format dalam huruf I yang tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (3) Berdasarkan SKTB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Kepala Kantor Bea dan Cukai menyampaikan surat rekomcndasi pengcmbalian kelebihan pembayaran Pajak Rokok kcpada Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan dengan dilampiri:
dokumen pcrmohonan dari Wajib Pajak Rokok;
tanda bukti kelebihan pembayaran Pajak Rokok; dan
SKTB. jdih.kemenkeu.go.id (4) Berdasarkan surat rekomendasi pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (3), KPA BUN Penerimaan dan Pemotongan Pajak Rokok menerbitkan SKP-KP2R dalam rangkap 2 (dua) dengan peruntukan sebagai berikut:
Lcmbar ke-1 untuk KPPN Jakarta II; dan
Lcmbar ke-2 sebagai pertinggal. (5) KPA BUN Penerimaan dan Pemotongan Pajak Rokok menyampaikan SKP-KP2R sebagaimana dimaksud pada ayat (4) kepada KPA BUN Penyetoran Pajak Rokok. (6) Berdasarkan SKP-KP2R sebagaimana dimaksud pada ayat (4), PPK menerbitkan SPP atas pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Rokok. (7) SPP scbagaimana dimaksud pada ayat (6) disampaikan kepada PPSPM dilampiri SKP-KP2R. (8) Berdasarkan SPP sebagaimana dimaksud pada ayat (6), PPSPM melakukan pemeriksaan dan pengujian SPP pengembalian kelcbihan pembayaran Pajak Rokok. (9) Dalam hal pemcriksaan dan pengujian SPP sebagaimana dimaksud pada ayat (8) memenuhi ketentuan, PPSPM mencrbitkan SPM dalam rangkap 3 (tiga) dengan peruntukan sebagai berikut:
Lcmbar ke-l dan ke-2 untuk KPPN Jakarta II; dan
Lcmbar ke-3 scbagai pertinggal. (10) SPM sc bagaimana dimaksud pada ayat (9) diterbitkan dengan menggunakan Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara Pcngclolaan Transaksi Khusus (BA 999.99) kode akun kontrapos akun Penerimaan Non Anggaran. (11) PPSPM menyampaikan SPM sebagaimana dimaksud pada ayat (9) kepada KPPN Jakarta II dilampiri dengan lembar ke-1 SKP-KP2R. (12) Berdasarkan SPM scbagaimana dimaksud pada ayat (9) dan SKP-KP2R scbagaimana dimaksud pada ayat (4), KPPN .Jakarta II menerbitkan SP2D sesuai dengan ketcntuan peraturan perundang-undangan. BAB VII PELAPORAN, PEMANTAUAN, DAN REKONSILIASI Pasal 32 (1) Gubernur menyampaikan laporan realisasi penyaluran bagi hasil Pajak Rokok dari provinsi ke kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3) kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan secara elektronik dan/atau dokumen fisik. (2) Laporan realisasi sc bagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah pelaksanaan penyaluran bagi hasil. (3) Laporan realisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat sesuai dcngan contoh format dalam huruf J yang tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Pcraturan Menteri ini. jdih.kemenkeu.go.id Pasal 33 (1) Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan menyampaikan laporan atas penerimaan dan penyetoran Pajak Rokok kepada Menteri Kcuangan. (2) Penyampaian laporan atas penerimaan dan penyetoran Pajak Rokok scbagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lambat pada bulan Januari tahun anggaran berikutnya. Pasal 34 (1) Direktorat ,Jendcral Perimbangan Keuangan melakukan pemantauan atas:
pcnetapan alokasi Pajak Rokok, termasuk bagi hasil Pajak Rokok;
pcnetapan alokasi penggunaan Pajak Rokok untuk mcndanai pelayanan kesehatan untuk masyarakat dan penegakan hukum; dan
pcnyaluran bagi hasil Pajak Rokok oleh gubernur. (2) Gubernur melakukan pemantauan atas penggunaan Pajak Rokok, termasuk bagi hasil Pajak Rokok, untuk pelayanan kesehatan untuk masyarakat dan penegakan hukum di provinsi dan kabupaten/kota di wilayahnya.
Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 62 Tahun 2023 tentang Perencanaan Anggaran, Pelaksanaan Anggaran, serta Akuntansi dan Pelaporan Keuang ...
Relevan terhadap
8 ) Pengelolaan anggaran pada Otoritas Jasa Keuangan Pengelolaan anggaran pada Otoritas Jasa Keuangan merupakan pengelolaan anggaran yang bersumber dari APBN pada Otoritas Jasa Keuangan. Dari transaksi-transaksi BUN yang ada, tidak tertutup kemungkinan terjadinya perubahan transaksi, misalnya adanya tambahan baru kebutuhan transaksi khusus atau transaksi yang selama ini ada kemudian dihilangkan karena sudah tidak dibutuhkan lagi. Transaksi khusus tersebut termasuk transaksi khusus pendapatan, antara lain Perhitungan Fihak Ketiga (PFK) Pegawai, Perhitungan Fihak Ketiga (PFK) Pajak Rokok, aset yang berasal dari pengelolaan DJKN, dan penerimaan PNBP yang dikelola DJA. Ruang lingkup BA BUN dapat berubah sesuai dengan kebijakan Pemerintah dan Kementerian Keuangan.
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Perencanaan Anggaran adalah serangkaian proses penganggaran meliputi tinjau ulang Angka Dasar, penyiapan rancangan Rencana Kerja dan Anggaran, penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran, penelitian dan reviu Rencana Kerja dan Anggaran, penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran, penyusunan dan pengesahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran, serta perubahan anggaran dalam pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Rencana Kerja dan Anggaran yang selanjutnya disingkat RKA adalah dokumen rencana keuangan tahunan yang mencakup rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga, rencana kerja dan anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara, dan rencana kerja dan anggaran bendahara umum negara.
Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga yang selanjutnya disingkat RKA-K/L adalah dokumen rencana keuangan tahunan yang memuat rincian kegiatan, anggaran, dan target kinerja dari masing- masing kementerian negara/lembaga, yang disusun menurut bagian anggaran kementerian negara/lembaga.
Rencana Kerja dan Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat RKA-BUN adalah dokumen rencana keuangan tahunan dari bendahara umum negara yang memuat rincian kegiatan, anggaran, dan target kinerja dari pembantu pengguna anggaran bendahara umum negara, yang disusun menurut bagian anggaran bendahara umum negara.
Kinerja adalah prestasi kerja berupa keluaran dari suatu kegiatan atau hasil dari suatu program dengan kuantitas dan kualitas terukur.
Standar Biaya adalah satuan biaya yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan selaku pengelola fiskal ( chief financial officer ) yang digunakan sebagai acuan perhitungan kebutuhan anggaran dalam penyusunan RKA dan pelaksanaan anggaran.
Bagian Anggaran adalah kelompok anggaran negara menurut nomenklatur kementerian negara/lembaga dan bendahara umum negara dalam menjalankan fungsi belanja Pemerintah Pusat, transfer ke daerah, dan pembiayaan.
Bagian Anggaran Kementerian/Lembaga yang selanjutnya disingkat BA K/L adalah Bagian Anggaran yang menampung belanja Pemerintah Pusat yang pagu anggarannya dialokasikan pada kementerian negara/lembaga.
Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat BA BUN adalah Bagian Anggaran yang tidak dikelompokkan dalam Bagian Anggaran kementerian negara/lembaga.
Belanja Negara adalah kewajiban Pemerintah Pusat yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih yang terdiri atas belanja Pemerintah Pusat dan transfer ke daerah.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
Klasifikasi Organisasi adalah pengelompokkan alokasi sesuai dengan struktur organisasi kementerian negara/lembaga dan bendahara umum negara.
Klasifikasi Fungsi adalah pengelompokkan alokasi sesuai fungsi kepemerintahan yang dilaksanakan untuk mencapai tujuan pembangunan nasional sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang keuangan negara.
Klasifikasi Jenis Belanja adalah pengelompokkan Belanja Negara berdasarkan jenis belanja dan transfer ke daerah.
Klasifikasi Pembiayaan adalah pengelompokkan pengeluaran pembiayaan berdasarkan jenis pengeluaran pembiayaan.
Belanja Pegawai adalah kompensasi terhadap pegawai, baik dalam bentuk uang atau barang, yang harus dibayarkan kepada pegawai pemerintah dalam maupun luar negeri baik kepada pejabat negara, pegawai negeri sipil, dan pegawai yang dipekerjakan oleh Pemerintah yang belum berstatus pegawai negeri sipil sebagai imbalan atas pekerjaan yang telah dilaksanakan dalam rangka untuk mendukung tugas fungsi unit organisasi pemerintah selama periode tertentu, kecuali pekerjaan yang berkaitan dengan pembentukan modal.
Belanja Barang dan Jasa adalah pengeluaran untuk menampung pembelian barang dan jasa yang habis pakai untuk memproduksi barang dan jasa yang dipasarkan maupun yang tidak dipasarkan serta pengadaan barang yang dimaksudkan untuk diserahkan atau dijual kepada masyarakat dan belanja perjalanan.
Belanja Modal adalah pengeluaran anggaran dalam rangka memperoleh atau menambah aset tetap dan/atau aset lainnya yang memberi manfaat ekonomis lebih dari satu periode akuntansi (12 (dua belas) bulan) serta melebihi batasan nilai minimum kapitalisasi aset tetap atau aset lainnya yang ditetapkan Pemerintah.
Belanja Bantuan Sosial adalah pengeluaran berupa transfer uang, barang atau jasa yang diberikan oleh Pemerintah kepada masyarakat miskin atau tidak mampu guna melindungi masyarakat dari kemungkinan terjadinya risiko sosial, meningkatkan kemampuan ekonomi dan/atau kesejahteraan masyarakat.
Pemberian Pinjaman adalah pinjaman Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah, badan usaha milik negara, lembaga, pemerintah asing, lembaga asing, dan/atau badan lainnya yang harus dibayar kembali dengan ketentuan dan persyaratan tertentu.
Menteri/Pimpinan Lembaga adalah pejabat yang bertanggung jawab atas pengelolaan keuangan pada kementerian negara/lembaga yang bersangkutan.
Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat BUN adalah pejabat yang diberi tugas untuk melaksanakan fungsi bendahara umum negara.
Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat PA adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran kementerian negara/lembaga.
Pembantu Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat PPA BUN adalah unit eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan bertanggung jawab atas pengelolaan anggaran yang berasal dari Bagian Anggaran BUN.
Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat KPA adalah pejabat yang memperoleh kuasa dari PA untuk melaksanakan sebagian kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran pada kementerian negara/lembaga yang bersangkutan.
Kementerian Negara yang selanjutnya disebut Kementerian adalah perangkat Pemerintah yang membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.
Lembaga adalah organisasi nonkementerian negara dan instansi lain pengguna anggaran yang dibentuk untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau peraturan perundang-undangan lainnya.
Direktorat Anggaran Bidang adalah unit eselon II di lingkungan Direktorat Jenderal Anggaran yang terdiri dari Direktorat Anggaran Bidang Perekonomian dan Kemaritiman, Direktorat Anggaran Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, dan/atau Direktorat Anggaran Bidang Politik, Hukum, Pertahanan dan Keamanan, dan Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara.
Satuan Kerja yang selanjutnya disebut Satker adalah unit organisasi lini Kementerian/Lembaga atau unit organisasi Pemerintah Daerah yang melaksanakan kegiatan Kementerian/Lembaga dan memiliki kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran.
Satuan Kerja Bagian Anggaran BUN yang selanjutnya disebut Satker BUN adalah unit organisasi lini BUN yang melaksanakan kegiatan BUN dan memiliki kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran BUN.
Program RKA-K/L dan RKA-BUN yang selanjutnya disebut Program adalah penjabaran kebijakan beserta rencana penerapannya yang dimiliki Kementerian/Lembaga dan BUN untuk mengatasi suatu masalah strategis dalam mencapai hasil ( outcome ) tertentu sesuai dengan tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga dan fungsi BUN dimaksud serta visi dan misi Presiden.
Kegiatan RKA-K/L dan RKA-BUN yang selanjutnya disebut Kegiatan adalah suatu aktivitas yang dilaksanakan untuk menghasilkan keluaran dalam mendukung terwujudnya sasaran Program.
Keluaran adalah barang atau jasa yang merupakan hasil akhir dari pelaksanaan Kegiatan dalam mendukung pencapaian sasaran Pembangunan nasional.
Klasifikasi Rincian Output yang selanjutnya disingkat KRO adalah kumpulan atas rincian output yang disusun dengan mengelompokkan muatan rincian output yang sejenis atau serumpun berdasarkan sektor/bidang/jenis tertentu secara sistematis.
Rincian Output yang selanjutnya disingkat RO merupakan Keluaran riil yang dihasilkan oleh unit kerja Kementerian/Lembaga yang berfokus pada isu tertentu serta berkaitan langsung dengan tugas dan fungsi unit kerja tersebut dalam mendukung pencapaian sasaran Kegiatan yang telah ditetapkan.
Sistem Informasi adalah sistem yang dibangun, dikelola, dan/atau dikembangkan oleh Kementerian Keuangan guna memfasilitasi proses penganggaran, pelaksanaan, pelaporan dan pertanggungjawaban, dan/atau monitoring dan evaluasi anggaran yang merupakan bagian dari sistem pengelolaan keuangan negara.
Belanja Berkualitas adalah belanja yang direncanakan dan dilaksanakan dengan prinsip efisiensi, efektivitas, prioritas, transparansi, dan akuntabilitas.
Aparat Pengawasan Intern Pemerintah Kementerian/ Lembaga yang selanjutnya disingkat APIP K/L adalah Inspektorat Jenderal/Inspektorat Utama/Inspektorat atau nama lain yang secara fungsional melaksanakan pengawasan intern yang bertanggung jawab langsung kepada Menteri/Pimpinan Lembaga.
Pinjaman Luar Negeri yang selanjutnya disingkat PLN adalah setiap pembiayaan melalui utang yang diperoleh Pemerintah dari pemberi pinjaman luar negeri yang diikat oleh suatu perjanjian pinjaman dan tidak berbentuk surat berharga negara, yang harus dibayar kembali dengan persyaratan tertentu.
Pinjaman Dalam Negeri yang selanjutnya disingkat PDN adalah setiap pinjaman oleh Pemerintah yang diperoleh dari pemberi pinjaman dalam negeri yang harus dibayar kembali dengan persyaratan tertentu sesuai dengan masa berlakunya.
Hibah Pemerintah yang selanjutnya disebut Hibah adalah setiap penerimaan negara dalam bentuk devisa, devisa yang dirupiahkan, rupiah, barang, jasa dan/atau surat berharga yang diperoleh dari pemberi hibah yang tidak perlu dibayar kembali, yang berasal dari dalam negeri atau luar negeri.
Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disingkat SBSN atau dapat disebut Sukuk Negara, adalah surat berharga negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap aset SBSN, baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing.
Penerimaan Negara Bukan Pajak yang selanjutnya disingkat PNBP adalah pungutan yang dibayar oleh orang pribadi atau badan dengan memperoleh manfaat langsung maupun tidak langsung atas layanan atau pemanfaatan sumber daya dan hak yang diperoleh negara, berdasarkan peraturan perundang-undangan, yang menjadi penerimaan Pemerintah Pusat di luar penerimaan perpajakan dan hibah dan dikelola dalam mekanisme APBN.
Rupiah Murni Pendamping yang selanjutnya disingkat RMP adalah dana rupiah murni yang harus disediakan Pemerintah untuk mendampingi pinjaman dan/atau hibah luar negeri.
Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disingkat KPPN adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan.
Badan Layanan Umum yang selanjutnya disingkat BLU adalah instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas.
Rencana Pembangunan Tahunan Kementerian/ Lembaga atau Rencana Kerja Kementerian/Lembaga yang selanjutnya disebut Renja K/L adalah dokumen perencanaan Kementerian/Lembaga untuk periode 1 (satu) tahun.
Indikasi Kebutuhan Dana Pengeluaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disebut Indikasi Kebutuhan Dana BUN adalah indikasi dana dalam rangka untuk pemenuhan kewajiban Pemerintah yang penganggarannya hanya ditampung pada BA BUN.
Transfer ke Daerah yang selanjutnya disingkat TKD adalah dana yang bersumber dari APBN dan merupakan bagian dari Belanja Negara yang dialokasikan dan disalurkan kepada daerah untuk dikelola oleh daerah dalam rangka mendanai penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah.
Dana Alokasi Khusus yang selanjutnya disingkat DAK adalah bagian dari TKD yang dialokasikan dengan tujuan untuk mendanai program, kegiatan, dan/atau kebijakan tertentu yang menjadi prioritas nasional dan membantu operasionalisasi layanan publik, yang penggunaannya telah ditentukan oleh Pemerintah.
Dana Alokasi Khusus Fisik yang selanjutnya disebut DAK Fisik adalah bagian dari TKD yang dialokasikan untuk mendukung pembangunan/pengadaan sarana dan prasarana layanan publik daerah dalam rangka mencapai prioritas nasional, mempercepat pembangunan daerah, mengurangi kesenjangan layanan publik, dan/atau mendorong pertumbuhan perekonomian daerah.
Dana Alokasi Khusus Nonfisik yang selanjutnya disebut DAK Nonfisik adalah DAK yang dialokasikan untuk membantu operasionalisasi layanan publik Daerah yang penggunaannya telah ditentukan oleh Pemerintah.
Urusan Pemerintahan adalah kekuasaan pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden yang pelaksanaannya dilakukan oleh Kementerian dan penyelenggara pemerintahan daerah untuk melindungi, melayani, memberdayakan dan menyejahterakan masyarakat.
Dekonsentrasi Kepada Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Dekonsentrasi Kepada GWPP adalah pelimpahan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.
Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat yang selanjutnya disingkat GWPP adalah penyelenggara Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat di daerah berdasarkan asas dekonsentrasi dan dalam rangka pelaksanaan tugas dan wewenang GWPP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Tugas Pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah Pusat kepada daerah otonom untuk melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat atau dari Pemerintah Daerah provinsi kepada daerah kabupaten/kota untuk melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah provinsi.
Bantuan Pemerintah adalah bantuan yang tidak memenuhi kriteria bantuan sosial yang diberikan oleh Pemerintah kepada perseorangan, kelompok masyarakat atau lembaga pemerintah/ nonpemerintah.
Pegawai Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disebut Pegawai ASN adalah pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang diangkat oleh pejabat pembina kepegawaian dan diserahi tugas dalam suatu jabatan pemerintahan atau diserahi tugas negara lainnya dan digaji berdasarkan peraturan perundang- undangan.
Standar Biaya Masukan yang selanjutnya disingkat SBM adalah standar biaya yang digunakan sebagai masukan ( input ) untuk menyusun rincian biaya dalam suatu Keluaran.
Standar Biaya Keluaran yang selanjutnya disingkat SBK adalah indeks biaya yang ditetapkan untuk menghasilkan 1 (satu) volume keluaran.
Standar Struktur Biaya yang selanjutnya disingkat SSB adalah batasan besaran atau persentase komposisi biaya dalam 1 (satu) Keluaran.
Non-Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disebut Non-ASN adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, melaksanakan tugas dan fungsi instansi pemerintah, diangkat oleh pejabat yang berwenang sebagai pegawai pada instansi pemerintah berdasarkan surat keputusan/perjanjian kerja/kontrak kerja untuk jangka waktu tertentu dan dibiayai dari APBN.
Rencana Bisnis dan Anggaran BLU yang selanjutnya disebut RBA adalah dokumen perencanaan bisnis dan penganggaran yang berisi program, kegiatan, target kinerja, dan anggaran suatu BLU.
Standar Biaya Keluaran Umum yang selanjutnya disingkat SBKU adalah SBK yang berlaku untuk beberapa/seluruh Kementerian/Lembaga.
Standar Biaya Keluaran Khusus yang selanjutnya disingkat SBKK adalah SBK yang berlaku untuk 1 (satu) Kementerian/Lembaga.
Arah Kebijakan adalah penjabaran urusan pemerintahan dan/atau prioritas pembangunan sesuai dengan visi dan misi Presiden yang rumusannya mencerminkan bidang urusan tertentu dalam pemerintahan yang menjadi tanggung jawab Kementerian/Lembaga, berisi satu atau beberapa program untuk mencapai sasaran strategis penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dengan indikator kinerja yang terukur.
Prakiraan Maju adalah perhitungan kebutuhan dana untuk tahun anggaran berikutnya dari tahun yang direncanakan guna memastikan kesinambungan Program dan Kegiatan yang telah disetujui dan menjadi dasar penyusunan anggaran tahun berikutnya.
Angka Dasar adalah indikasi pagu Prakiraan Maju dari Kegiatan-Kegiatan yang berulang dan/atau Kegiatan- Kegiatan tahun jamak berdasarkan kebijakan yang telah ditetapkan dan menjadi acuan penyusunan pagu indikatif dari tahun anggaran yang direncanakan.
Rencana Strategis Kementerian/Lembaga yang selanjutnya disebut Renstra K/L adalah dokumen perencanaan Kementerian/Lembaga untuk periode 5 (lima) tahun.
Pagu Indikatif Kementerian/Lembaga yang selanjutnya disebut Pagu Indikatif K/L adalah indikasi pagu anggaran yang akan dialokasikan kepada Kementerian/Lembaga sebagai pedoman dalam penyusunan Renja K/L.
Pagu Anggaran Kementerian/Lembaga yang selanjutnya disebut Pagu Anggaran K/L adalah batas tertinggi anggaran yang dialokasikan kepada Kementerian/Lembaga untuk penyusunan RKA-K/L.
Kerangka Anggaran Jangka Menengah yang selanjutnya disingkat KAJM adalah rencana APBN jangka menengah yang memuat kerangka pendapatan, belanja, dan pembiayaan untuk menjaga kesinambungan dan disiplin fiskal Pemerintah.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional yang selanjutnya disingkat RPJMN adalah dokumen perencanaan pembangunan nasional untuk periode 5 (lima) tahun.
Alokasi Anggaran Kementerian/Lembaga yang selanjutnya disebut Alokasi Anggaran K/L adalah batas tertinggi anggaran pengeluaran yang dialokasikan kepada Kementerian/Lembaga berdasarkan hasil pembahasan rancangan APBN yang dituangkan dalam hasil kesepakatan pembahasan rancangan APBN antara Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran yang selanjutnya disingkat DIPA adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang digunakan sebagai acuan pengguna anggaran dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan sebagai pelaksanaan APBN.
DIPA Petikan adalah DIPA per Satker yang dicetak secara otomatis melalui sistem, yang berisi mengenai informasi Kinerja, rincian pengeluaran, rencana penarikan dana dan perkiraan penerimaan, dan catatan, yang berfungsi sebagai dasar dalam pelaksanaan kegiatan Satker.
Petunjuk Operasional Kegiatan yang selanjutnya disingkat POK adalah dokumen yang memuat uraian rencana kerja dan biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan kegiatan, disusun oleh KPA sebagai penjabaran lebih lanjut dari DIPA.
Kuasa Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disebut Kuasa BUN adalah pejabat yang diangkat oleh BUN untuk melaksanakan tugas kebendaharaan dalam rangka pelaksanaan APBN dalam wilayah kerja yang ditetapkan.
Pagu Indikatif Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disebut Pagu Indikatif BUN adalah indikasi dana yang akan dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan BUN.
Pagu Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disebut Pagu Anggaran BUN adalah batas tertinggi anggaran yang dialokasikan kepada BUN sebagai dasar penyusunan RKA-BUN.
Alokasi Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disebut Alokasi Anggaran BUN adalah batas tertinggi anggaran pengeluaran yang dialokasikan kepada Menteri Keuangan sebagai BUN berdasarkan hasil pembahasan rancangan APBN yang dituangkan dalam hasil kesepakatan pembahasan rancangan APBN antara Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Kuasa Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat KPA BUN adalah pejabat pada Satker dari masing-masing PPA BUN baik di kantor pusat maupun kantor daerah atau Satker di Kementerian/Lembaga yang memperoleh penugasan dari Menteri Keuangan untuk melaksanakan kewenangan dan tanggung jawab pengelolaan anggaran yang berasal dari BA BUN.
Rencana Kerja dan Anggaran Satuan Kerja Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disebut RKA Satker BUN adalah dokumen perencanaan anggaran BA BUN yang memuat rincian kebutuhan dana baik yang berbentuk anggaran belanja maupun pembiayaan dalam rangka pemenuhan kewajiban Pemerintah Pusat dan TKD tahunan yang disusun oleh KPA BUN.
Pemimpin Pembantu Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disebut Pemimpin PPA BUN adalah pejabat eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan yang bertanggung jawab atas program BA BUN dan bertindak untuk menandatangani daftar isian pelaksanaan anggaran BUN.
Daftar Hasil Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat DHP RKA-BUN adalah dokumen hasil penelaahan RKA-BUN yang memuat alokasi anggaran menurut unit organisasi, fungsi, dan Program yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Anggaran atau pejabat yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Anggaran.
Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat DIPA BUN adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang disusun oleh KPA BUN.
Tunggakan adalah tagihan atas pekerjaan/penugasan yang telah diselesaikan dan telah tersedia alokasi anggarannya tetapi belum dibayarkan sampai dengan berakhirnya tahun anggaran berkenaan.
Surat Penetapan Pergeseran Anggaran Belanja Antarsubbagian Anggaran pada Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat SPP BA BUN adalah dokumen alokasi anggaran yang ditetapkan dalam rangka pergeseran anggaran belanja antarsubbagian anggaran pada BA BUN untuk suatu kegiatan.
Surat Penetapan Satuan Anggaran Bagian Anggaran yang selanjutnya disingkat SP SABA adalah dokumen alokasi anggaran yang ditetapkan untuk suatu kegiatan, yang dilakukan pergeseran anggaran belanjanya dari BA BUN Belanja Lainnya ke BA K/L.
Mitra Pembantu Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disebut Mitra PPA BUN adalah Direktorat Anggaran Bidang Politik, Hukum, Pertahanan dan Keamanan, dan Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara selaku unit eselon II di lingkungan Direktorat Jenderal Anggaran yang bertugas sebagai mitra penganggaran PPA BUN.
Penyesuaian Belanja Negara adalah melakukan pengutamaan penggunaan anggaran yang disesuaikan secara otomatis ( automatic adjustment), realokasi anggaran, pemotongan anggaran belanja negara, dan/atau pergeseran anggaran antar- Program.
Revisi Anggaran adalah perubahan RKA berupa penyesuaian rincian anggaran dan/atau informasi Kinerja yang telah ditetapkan berdasarkan Undang- Undang mengenai APBN, termasuk revisi atas DIPA yang telah disahkan pada tahun anggaran berkenaan.
Laporan Hasil Reviu yang selanjutnya disingkat LHR adalah laporan yang disusun pada tingkatan unit akuntansi tertentu sebagai gabungan dari catatan hasil reviu dan ikhtisar hasil reviu unit akuntansi di bawahnya.
Unit Pendukung PPA BUN Belanja Lainnya adalah Direktorat Anggaran Bidang Politik, Hukum, Pertahanan dan Keamanan, dan Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara selaku unit eselon II di lingkungan Direktorat Jenderal Anggaran yang bertugas sebagai unit Pembantu Pemimpin PPA BUN Belanja Lainnya.
Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan.
Lanjutan Pelaksanaan Kegiatan/Proyek Pinjaman Luar Negeri dan/atau Pinjaman Dalam Negeri yang selanjutnya disebut Lanjutan Pelaksanaan Kegiatan Pinjaman adalah penggunaan kembali sisa pagu anggaran satu tahun anggaran sebelumnya yang bersumber dari PLN dan/atau PDN sepanjang masih terdapat sisa alokasi komitmen PLN dan/atau PDN serta masih dalam masa penarikan.
Percepatan Pelaksanaan Kegiatan/Proyek Pinjaman Luar Negeri dan/atau Pinjaman Dalam Negeri yang selanjutnya disebut Percepatan Pelaksanaan Kegiatan Pinjaman adalah tambahan pagu anggaran yang berasal dari sisa komitmen PLN dan/atau PDN yang belum ditarik untuk memenuhi kebutuhan pendanaan kegiatan untuk percepatan penyelesaian pekerjaan dan/atau memenuhi kebutuhan anggaran yang belum tersedia pada tahun anggaran berkenaan.
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang selanjutnya disebut dengan Pengadaan Barang/Jasa adalah kegiatan untuk memperoleh barang/jasa oleh Kementerian/Lembaga/Satker Perangkat Daerah/Institusi yang prosesnya dimulai dari perencanaan kebutuhan sampai diselesaikannya seluruh kegiatan untuk memperoleh barang/jasa.
Penerusan Hibah adalah hibah yang diterima oleh Pemerintah yang diterushibahkan atau diterus pinjamkan kepada Pemerintah Daerah atau dipinjamkan kepada Badan Usaha Milik Negara sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah mengenai tata cara penerimaan hibah sepanjang diatur dalam perjanjian hibah.
Lanjutan Pelaksanaan Kegiatan/Proyek Hibah Luar Negeri dan/atau Hibah Dalam Negeri yang selanjutnya disebut Lanjutan Pelaksanaan Kegiatan Hibah adalah penggunaan kembali sisa pagu anggaran satu tahun anggaran sebelumnya yang bersumber dari hibah luar negeri dan/atau hibah dalam negeri sepanjang masih terdapat sisa alokasi komitmen hibah luar negeri dan/atau hibah dalam negeri serta masih dalam masa penarikan.
Percepatan Pelaksanaan Kegiatan/Proyek Hibah Luar Negeri dan/atau Hibah Dalam Negeri yang selanjutnya disebut Percepatan Pelaksanaan Kegiatan Hibah adalah tambahan pagu anggaran yang berasal dari sisa komitmen hibah luar negeri dan/atau hibah dalam negeri yang belum ditarik untuk memenuhi kebutuhan pendanaan kegiatan untuk percepatan penyelesaian pekerjaan dan/atau memenuhi kebutuhan anggaran yang belum tersedia pada tahun anggaran berkenaan.
Pemberi Hibah adalah pihak yang berasal dari dalam negeri atau luar negeri yang memberikan Hibah kepada Pemerintah.
Sisa Anggaran Kontraktual adalah selisih lebih antara alokasi anggaran rincian Keluaran ( output ) yang tercantum dalam DIPA dengan nilai kontrak Pengadaan Barang/Jasa untuk menghasilkan rincian Keluaran ( output ) sesuai dengan volume rincian Keluaran ( output ) yang ditetapkan dalam DIPA.
Belanja Operasional adalah anggaran yang dibutuhkan untuk penyelenggaraan sebuah Satker dalam melaksanakan tugas dan fungsinya berupa belanja pegawai operasional dan belanja barang operasional.
Swakelola adalah cara memperoleh barang/jasa yang dikerjakan sendiri oleh Kementerian/Lembaga/ Perangkat Daerah, Kementerian/Lembaga/Perangkat Daerah lain, organisasi kemasyarakatan, atau kelompok masyarakat.
Rumusan Informasi Kinerja adalah rumusan yang ditetapkan sebagai acuan dalam pelaksanaan Program dan Kegiatan termasuk sasaran Kinerja yang akan dicapai serta indikator sebagai alat ukur pencapaian kinerja meliputi rumusan Program, hasil ( outcome ), Kegiatan, Keluaran ( output ), indikator Kinerja utama, dan indikator Kinerja kegiatan.
Pejabat Pembuat Komitmen yang selanjutnya disingkat PPK adalah pejabat yang melaksanakan kewenangan PA/KPA untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan yang dapat mengakibatkan pengeluaran atas beban APBN.
Pejabat Penanda Tangan Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat PPSPM adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh PA/KPA untuk melakukan pengujian atas permintaan pembayaran dan menerbitkan perintah pembayaran.
Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat PNS adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, diangkat sebagai Pegawai ASN secara tetap oleh pejabat pembina kepegawaian untuk menduduki jabatan pemerintahan.
Bendahara Pengeluaran adalah orang yang ditunjuk untuk menerima, menyimpan, membayarkan, menatausahakan, dan mempertanggungjawabkan uang untuk keperluan Belanja Negara dalam pelaksanaan APBN pada kantor/Satker Kementerian/Lembaga.
Surat Perintah Membayar Langsung yang selanjutnya disingkat SPM-LS adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPSPM untuk mencairkan dana yang bersumber dari DIPA dalam rangka pembayaran tagihan kepada penerima hak/Bendahara Pengeluaran.
Surat Permintaan Pembayaran yang selanjutnya disingkat SPP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPK, yang berisi permintaan pembayaran tagihan kepada negara.
Pengelola Basis Data Kepegawaian yang selanjutnya disingkat PBDK adalah pejabat atau pegawai yang ditunjuk oleh kepala Satker untuk diberi tugas dan tanggung jawab dalam mengelola data kepegawaian pada aplikasi kepegawaian Satker.
Petugas Pengelolaan Administrasi Belanja Pegawai yang selanjutnya disingkat PPABP adalah pembantu KPA yang diberi tugas dan tanggung jawab untuk melaksanakan pengelolaan administrasi Belanja Pegawai.
Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat SPM adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPSPM untuk mencairkan dana yang bersumber dari DIPA.
Surat Perintah Pencairan Dana yang selanjutnya disingkat SP2D adalah surat perintah yang diterbitkan oleh KPPN selaku Kuasa BUN untuk pelaksanaan pengeluaran atas beban APBN berdasarkan SPM.
Kontrak Pengadaan Barang/Jasa yang selanjutnya disebut Kontrak adalah perjanjian tertulis antara PA/KPA/PPK dengan Penyedia Barang/Jasa atau pelaksana Swakelola.
Kas Negara adalah tempat penyimpanan uang negara yang ditentukan oleh Menteri Keuangan selaku BUN untuk menampung seluruh penerimaan negara dan membayar seluruh pengeluaran negara.
Penyedia Barang/Jasa Pemerintah yang selanjutnya disebut Penyedia adalah pelaku usaha yang menyediakan barang/jasa berdasarkan Kontrak.
Uang Makan adalah uang yang diberikan kepada Pegawai ASN berdasarkan tarif dan dihitung secara harian untuk keperluan makan Pegawai ASN.
Pembayaran Langsung yang selanjutnya disebut Pembayaran LS adalah pembayaran yang dilakukan langsung kepada Bendahara Pengeluaran/penerima hak lainnya atas dasar perjanjian kerja, surat keputusan, surat tugas atau surat perintah kerja lainnya melalui penerbitan SPM-LS.
Bank/Pos Penyalur adalah bank/pos mitra kerja sebagai tempat dibukanya rekening atas nama Satker untuk menampung dana Belanja Bantuan Sosial/Bantuan Pemerintah yang akan disalurkan kepada penerima bantuan sosial/Bantuan Pemerintah.
Uang Persediaan yang selanjutnya disingkat UP adalah uang muka kerja dalam jumlah tertentu yang diberikan kepada Bendahara Pengeluaran untuk membiayai kegiatan operasional sehari-hari Satker atau membiayai pengeluaran yang menurut sifat dan tujuannya tidak mungkin dilakukan melalui mekanisme Pembayaran LS.
Surat Perintah Membayar Uang Persediaan yang selanjutnya disingkat SPM-UP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPSPM untuk mencairkan UP.
Tambahan Uang Persediaan yang selanjutnya disingkat TUP adalah uang muka yang diberikan kepada Bendahara Pengeluaran untuk kebutuhan yang sangat mendesak dalam 1 (satu) bulan melebihi UP yang telah ditetapkan.
Surat Permintaan Pembayaran Langsung yang selanjutnya disingkat SPP-LS adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPK dalam rangka pembayaran tagihan kepada penerima hak/Bendahara Pengeluaran.
Surat Permintaan Pembayaran Uang Persediaan yang selanjutnya disingkat SPP-UP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPK, yang berisi permintaan pembayaran UP.
Surat Permintaan Pembayaran Tambahan Uang Persediaan yang selanjutnya disingkat SPP-TUP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPK, yang berisi permintaan pembayaran TUP.
Surat Permintaan Pembayaran Penggantian Uang Persediaan yang selanjutnya disingkat SPP-GUP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPK, yang berisi pertanggungjawaban dan permintaan kembali pembayaran UP.
Surat Permintaan Pembayaran Penggantian Uang Persediaan Nihil yang selanjutnya disebut SPP-GUP Nihil adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPK, yang berisi pertanggungjawaban UP.
Surat Permintaan Pembayaran Pertanggungjawaban Tambahan Uang Persediaan yang selanjutnya disingkat SPP-PTUP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPK, yang berisi permintaan pertanggungjawaban atas TUP.
Surat Perintah Pembayaran yang selanjutnya disingkat SPBy adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPK atas nama KPA yang berguna untuk mengeluarkan uang persediaan yang dikelola oleh Bendahara Pengeluaran kepada pihak yang dituju.
Tanda Tangan Elektronik adalah tanda tangan yang terdiri atas informasi elektronik yang dilekatkan, terasosiasi, atau terkait dengan informasi elektronik lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi dan autentikasi.
Surat Perintah Membayar Penggantian Uang Persediaan yang selanjutnya disingkat SPM-GUP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPSPM dengan membebani DIPA, yang dananya dipergunakan untuk menggantikan UP yang telah dipakai.
Surat Perintah Membayar Penggantian Uang Persediaan Nihil yang selanjutnya disebut SPM-GUP Nihil adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPSPM sebagai pertanggungjawaban UP yang membebani DIPA.
Surat Perintah Membayar Tambahan Uang Persediaan yang selanjutnya disingkat SPM-TUP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPSPM untuk mencairkan TUP.
Surat Perintah Membayar Pertanggungjawaban Tambahan Uang Persediaan yang selanjutnya disingkat SPM-PTUP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPSPM sebagai pertanggungjawaban atas TUP yang membebani DIPA.
Rencana Kerja Pemerintah yang selanjutnya disingkat RKP adalah dokumen perencanaan pembangunan nasional untuk periode 1 (satu) tahun yang dimulai pada tanggal 1 Januari dan berakhir pada tanggal 3l Desember.
Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 129/PMK.05/2020 tentang Pedoman Pengelolaan Badan Layanan Umum ...
Relevan terhadap
Bonus atas prestasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 273 ayat (1) huruf e merupakan imbalan kerja bersifat tambahan pendapatan di luar Gaji, Tunjangan Tetap, Insentif, dan Honorarium, yang diterima oleh Pejabat Pengelola, Pegawai, Dewan Pengawas, Sekretaris Dewan Pengawas, anggota Komite Audit, dan anggota Sekretariat Dewan Pengawas atas prestasi kerja BLU yang dapat diberikan 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun anggaran setelah BLU memenuhi syarat-syarat tertentu.
Bonus atas prestasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari penerimaan negara bukan pajak BLU.
Bonus atas prestasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan mempertimbangkan keberlanjutan layanan dan upaya peningkatan layanan.
Bonus atas prestasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan apabila BLU memenuhi syarat- syarat sebagai berikut:
telah menerapkan remunerasi sesuai dengan ketentuan remunerasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan;
hasil capaian kontrak kinerja Pemimpin BLU tahun dasar perhitungan bonus atas prestasi paling rendah 110% (seratus sepuluh persen) sesuai dengan hasil perhitungan yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan;
hasil penilaian tata kelola pada BLU tahun dasar pemberian bonus atas prestasi paling rendah dikategorikan “Baik” sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan;
opini audit terhadap laporan keuangan BLU tahun dasar perhitungan bonus atas prestasi Wajar Tanpa Pengecualian, berdasarkan laporan hasil audit yang dikeluarkan oleh pemeriksa ekstern;
Realisasi target penerimaan negara bukan pajak BLU tahun dasar perhitungan bonus atas prestasi tercapai, dan realisasi penerimaan negara bukan pajak BLU berdasarkan laporan realisasi anggaran yang disahkan oleh BUN tahun dasar perhitungan bonus atas prestasi mengalami peningkatan selama dua tahun berturut-turut;
persentase realisasi belanja yang bersumber dari penerimaan negara bukan pajak BLU terhadap realisasi belanja keseluruhan BLU paling rendah 80% (delapan puluh persen) pada tahun dasar perhitungan bonus atas prestasi, kecuali dalam hal terdapat penugasan khusus yang mengakibatkan perubahan proporsi belanja; dan
terdapat surplus pada tahun dasar perhitungan bonus yang memungkinkan untuk dibagikan dengan mempertimbangkan kewajaran.
Surplus sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf g merupakan selisih lebih antara pendapatan BLU yang bersumber dari penerimaan negara bukan pajak BLU dengan belanja penerimaan negara bukan pajak BLU.
Tidak termasuk dalam perhitungan pendapatan BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (5) yaitu:
hibah; dan
pendapatan yang bersumber dari optimalisasi kas untuk BLU bidang layanan pengelola dana kecuali atas pengelolaan dana abadi.
Besaran bonus yang diterima kepada masing-masing penerima paling tinggi sebesar persentase tertentu dari remunerasi sebagaimana diatur dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Remunerasi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) merupakan remunerasi dari komponen:
Gaji dan Insentif kepada Pejabat Pengelola dan Pegawai; dan
Honorarium dan Insentif kepada Dewan Pengawas, Sekretaris Dewan Pengawas, anggota Komite Audit, dan anggota Sekretariat Dewan Pengawas.
Ketentuan ayat (1) dan ayat (3) Pasal 286 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Perbendaharaan melakukan analisis terhadap RBA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47A.
Analisis RBA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempertimbangkan aspek paling sedikit meliputi:
produktivitas meliputi perbandingan antara keluaran yang dicapai ( output ) dengan sumber daya yang digunakan ( input ), peningkatan kualitas dan kuantitas layanan, target pendapatan, serta rasio sumber daya manusia;
efisiensi meliputi kebijakan untuk mengoptimalkan belanja dibandingkan dengan keluaran ( output ) layanan, proporsi pendapatan operasional dan belanja operasional, serta proporsi per jenis belanja;
inovasi meliputi adanya ide/gagasan untuk meningkatkan layanan utama dan penunjang, optimalisasi aset, penggunaan teknologi informasi, serta modernisasi BLU; dan
keselarasan/kesesuaian meliputi kesesuaian dengan RSB, kesesuaian dengan indikator kinerja ( key performance indicators ) BLU, dan prioritas pembangunan.
Dalam melakukan analisis RBA, Direktorat Jenderal Perbendaharaan melibatkan Direktorat Jenderal Anggaran serta dapat melibatkan Kementerian Negara/Lembaga dan/atau BLU.
Hasil analisis RBA memuat paling sedikit meliputi:
besaran target penerimaan negara bukan pajak BLU;
besaran rencana belanja; dan
informasi kesesuaian indikator kinerja ( key performance indicators ) BLU dengan RSB dan prioritas pembangunan.
Hasil analisis RBA sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada Direktorat Jenderal Anggaran, Kementerian Negara/Lembaga, dan BLU, serta dijadikan sebagai dasar penyusunan alokasi anggaran BLU termasuk penentuan target penerimaan negara bukan pajak BLU.
Ketentuan ayat (1) Pasal 48 diubah dan ketentuan ayat (2) Pasal 48 dihapus, sehingga Pasal 48 berbunyi sebagai berikut:
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Badan Layanan Umum yang selanjutnya disingkat BLU adalah instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas.
Praktik Bisnis yang Sehat adalah penyelenggaraan fungsi organisasi berdasarkan kaidah-kaidah manajemen yang baik dalam rangka pemberian layanan yang bermutu dan berkesinambungan.
Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum yang selanjutnya disingkat PPK-BLU adalah pola pengelolaan keuangan yang memberikan fleksibilitas berupa keleluasaan untuk menerapkan Praktik Bisnis yang Sehat untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah mengenai pengelolaan keuangan BLU, sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan keuangan negara pada umumnya.
Pemerintah adalah pemerintah pusat.
Menteri/Pimpinan Lembaga adalah pejabat yang bertanggung jawab atas bidang tugas BLU yang bersangkutan.
Kementerian Negara/Lembaga adalah kementerian negara/lembaga Pemerintah yang dipimpin oleh Menteri/Pimpinan Lembaga yang bertanggung jawab atas bidang tugas yang diemban oleh suatu BLU.
Satuan Kerja Instansi Pemerintah yang selanjutnya disebut Satker adalah setiap kantor atau satuan kerja di lingkungan Pemerintah yang berkedudukan sebagai pengguna anggaran/barang atau kuasa pengguna anggaran/barang.
Pejabat Pengelola BLU yang selanjutnya disebut Pejabat Pengelola adalah pegawai negeri sipil dan/atau tenaga profesional nonpegawai negeri sipil yang bertanggung jawab terhadap kinerja operasional dan keuangan BLU, yang terdiri dari pemimpin, pejabat keuangan, dan pejabat teknis, yang sebutannya dapat disesuaikan dengan nomenklatur yang berlaku pada BLU yang bersangkutan.
Dewan Pengawas BLU yang selanjutnya disebut Dewan Pengawas adalah organ BLU yang bertugas melakukan pengawasan dan memberikan nasihat kepada Pejabat Pengelola dalam menjalankan pengelolaan BLU dengan didukung oleh Sekretaris Dewan Pengawas yang dapat dibantu oleh Sekretariat Dewan Pengawas, dan dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya dapat dibantu oleh Komite Audit.
Pemimpin BLU adalah Pejabat Pengelola yang bertugas sebagai penanggung jawab umum operasional dan keuangan BLU.
Pejabat Keuangan BLU yang selanjutnya disebut Pejabat Keuangan adalah Pejabat Pengelola yang berfungsi sebagai penanggung jawab keuangan BLU.
Pejabat Teknis BLU yang selanjutnya disebut Pejabat Teknis adalah Pejabat Pengelola yang berfungsi sebagai penanggung jawab teknis di bidang masing- masing pada BLU.
Sekretaris Dewan Pengawas BLU yang selanjutnya disebut Sekretaris Dewan Pengawas adalah orang perseorangan yang diangkat untuk mendukung penyelenggaraan tugas Dewan Pengawas.
Komite Audit adalah komite yang dibentuk oleh dan bertanggung jawab kepada Dewan Pengawas untuk membantu pelaksanaan tugas dan fungsi Dewan Pengawas. 14A. Sekretariat Dewan Pengawas BLU yang selanjutnya disebut Sekretariat Dewan Pengawas adalah orang perseorangan dan/atau tim yang diangkat untuk membantu Sekretaris Dewan Pengawas dalam penyelenggaraan tugas teknis dan administratif kesekretariatan Dewan Pengawas.
Pegawai BLU yang selanjutnya disebut Pegawai adalah pegawai negeri sipil dan/atau tenaga profesional nonpegawai negeri sipil yang mendukung kinerja BLU sesuai dengan kebutuhan BLU.
Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga yang selanjutnya disingkat RKA-K/L adalah dokumen rencana keuangan tahunan Kementerian Negara/Lembaga yang disusun menurut Bagian Anggaran Kementerian Negara/Lembaga.
Rencana Strategis Bisnis BLU yang selanjutnya disingkat RSB adalah dokumen perencanaan lima tahunan yang disusun oleh Pemimpin BLU dengan mengacu kepada rencana strategis Kementerian Negara/Lembaga.
Rencana Bisnis dan Anggaran BLU yang selanjutnya disingkat RBA adalah dokumen perencanaan bisnis dan penganggaran yang berisi program, kegiatan, target kinerja, dan anggaran suatu BLU.
RBA Definitif adalah RBA yang telah disesuaikan dengan RKA-K/L dan Peraturan Presiden mengenai rincian anggaran pendapatan dan belanja negara yang telah disahkan oleh Menteri/Pimpinan Lembaga.
Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Petikan BLU yang selanjutnya disebut DIPA Petikan BLU adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang disusun oleh pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran per Satker BLU yang dicetak secara otomatis melalui sistem, yang berisi mengenai informasi kinerja, rincian pengeluaran, rencana penarikan dana dan perkiraan penerimaan, dan catatan, yang berfungsi sebagai dasar dalam pelaksanaan kegiatan Satker BLU.
Pola Anggaran Fleksibel adalah pola anggaran yang belanjanya dapat bertambah atau berkurang dari yang dianggarkan sepanjang pendapatan terkait bertambah atau berkurang setidaknya proporsional.
Persentase Ambang Batas adalah besaran persentase realisasi belanja yang diperkenankan melampaui anggaran dalam DIPA Petikan BLU.
Ikhtisar RBA adalah ringkasan RBA yang berisikan program, kegiatan dan sumber pendapatan, dan jenis belanja serta pembiayaan sesuai dengan format RKA-K/L dan format DIPA Petikan BLU.
Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan/atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
Rekening Operasional BLU adalah rekening lainnya dalam bentuk giro milik BLU yang dipergunakan untuk menampung seluruh penerimaan atau membayar seluruh pengeluaran BLU yang dananya bersumber dari penerimaan negara bukan pajak BLU pada Bank Umum.
Rekening Operasional Penerimaan BLU adalah Rekening Operasional BLU yang dipergunakan untuk menampung seluruh penerimaan BLU yang dananya bersumber dari penerimaan negara bukan pajak BLU pada Bank Umum.
Rekening Operasional Pengeluaran BLU adalah Rekening Operasional BLU yang dipergunakan untuk membayar seluruh pengeluaran BLU yang dananya bersumber dari penerimaan negara bukan pajak BLU pada Bank Umum.
Rekening Pengelolaan Kas BLU adalah rekening lainnya milik BLU yang dapat berbentuk deposito pada Bank Umum dan/atau rekening pada bank kustodian untuk penempatan idle cash yang terkait dengan pengelolaan kas BLU.
Rekening Dana Kelolaan BLU adalah rekening lainnya dalam bentuk giro milik BLU yang dipergunakan untuk menampung dana yang tidak dapat dimasukkan ke dalam Rekening Operasional BLU dan Rekening Pengelolaan Kas BLU pada Bank Umum, untuk menampung dana yang dapat berasal dari alokasi bagian anggaran bendahara umum negara, salah satunya dana bergulir dan/atau dana yang belum menjadi hak BLU.
Beauty Contest adalah metode pemilihan penyedia jasa lainnya dengan mengundang seseorang/pelaku usaha untuk melakukan peragaan/pemaparan profil perusahaan yang dilakukan karena alasan efektivitas dan efisiensi dengan berpedoman pada aturan yang ditetapkan oleh Pemimpin BLU.
Piutang Negara adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada Pemerintah dan/atau hak Pemerintah yang dapat dinilai dengan uang sebagai akibat perjanjian atau akibat lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau akibat lainnya yang sah.
Piutang BLU adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada BLU dan/atau hak BLU yang dapat dinilai dengan uang sebagai akibat perjanjian atau akibat lainnya berdasarkan peraturan perundang- undangan yang berlaku atau akibat lainnya yang sah.
Panitia Urusan Piutang Negara yang selanjutnya disingkat PUPN adalah panitia yang bersifat interdepartemental dan bertugas mengurus Piutang Negara sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960.
Penanggung Utang kepada BLU yang selanjutnya disebut Penanggung Utang adalah badan atau orang yang berutang kepada BLU menurut peraturan, perjanjian atau sebab apapun termasuk badan atau orang yang menjamin seluruh penyelesaian utang penanggung utang.
PSBDT adalah Piutang Negara Sementara Belum Dapat Ditagih.
Pinjaman BLU yang selanjutnya disebut Pinjaman adalah semua transaksi yang mengakibatkan BLU menerima sejumlah uang atau menerima manfaat yang bernilai uang dari pihak lain sehingga BLU tersebut dibebani kewajiban untuk membayar kembali.
Perjanjian Pinjaman adalah naskah perjanjian atau naskah lain yang dipersamakan yang memuat kesepakatan mengenai Pinjaman antara BLU dengan pemberi Pinjaman.
Aset BLU adalah sumber daya ekonomi yang dikuasai dan/atau dimiliki oleh BLU sebagai akibat dari peristiwa masa lalu dan dari mana manfaat ekonomi dan/atau sosial di masa depan diharapkan dapat diperoleh serta dapat diukur dalam satuan uang, dan sumber-sumber daya yang dipelihara karena alasan sejarah dan budaya.
Aset Lancar BLU adalah Aset BLU yang diperkirakan akan direalisasi atau dimiliki untuk dijual atau digunakan dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dimiliki untuk diperdagangkan atau untuk tujuan jangka pendek yang diharapkan akan direalisasi dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan dari tanggal neraca, dan/atau berupa kas atau setara kas yang penggunaannya tidak dibatasi, meliputi kas dan setara kas, investasi jangka pendek, piutang usaha, piutang lain-lain, persediaan, uang muka, dan biaya dibayar di muka.
Aset Tetap BLU adalah Aset BLU yang berwujud dan mempunyai masa manfaat lebih dari 12 (dua belas) bulan untuk digunakan, atau dimaksudkan untuk digunakan, dalam kegiatan Pemerintah atau dimanfaatkan oleh masyarakat umum.
Aset Lainnya BLU adalah Aset BLU selain Aset Lancar BLU, investasi jangka panjang BLU, dan Aset Tetap BLU.
Pemanfaatan Aset adalah pendayagunaan Aset BLU dan/atau aset milik pihak lain untuk kegiatan yang terkait atau dalam rangka mendukung pelaksanaan Tugas dan Fungsi BLU, melalui kerja sama antara BLU dengan pihak lain yang dituangkan dalam naskah perjanjian dengan tidak mengubah status kepemilikan.
Kerja Sama Sumber Daya Manusia dan/atau Manajemen yang selanjutnya disebut KSM adalah pendayagunaan Aset BLU dan/atau aset milik pihak lain dengan mengikutsertakan sumber daya manusia dan/atau kemampuan manajerial dari BLU dan/atau pihak lain, dalam rangka mengembangkan kapasitas layanan dan meningkatkan daya guna, nilai tambah, dan manfaat ekonomi dari Aset BLU.
Mitra Pemanfaatan Aset atau KSM yang selanjutnya disebut Mitra adalah pihak lain yang melakukan perikatan dengan BLU dalam rangka Pemanfaatan Aset atau KSM.
Tugas dan Fungsi BLU adalah kegiatan/aktivitas yang dilaksanakan oleh Pejabat Pengelola dan/atau Pegawai pada BLU dalam rangka memberikan dan/atau meningkatkan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan struktur organisasi dan tata kerja pada BLU yang telah ditetapkan Menteri/Pimpinan Lembaga.
Pemanfaatan Aset Tanah dan Bangunan adalah pendayagunaan atas tanah dan/atau gedung dan bangunan milik BLU untuk digunakan BLU dan/atau Mitra, sesuai dengan perjanjian.
Pemanfaatan Aset Selain Tanah dan/atau Bangunan adalah pendayagunaan atas aset selain tanah dan/atau bangunan yang dikuasai atau dimiliki oleh BLU untuk digunakan BLU dan/atau Mitra, sesuai dengan perjanjian.
Kas Negara adalah tempat menyimpan uang negara yang ditentukan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara untuk menampung seluruh penerimaan negara dan membayar seluruh pengeluaran negara.
Dana Kelolaan adalah dana yang dikelola oleh BLU yang bersumber dari bagian anggaran bendahara umum negara pengelolaan investasi Pemerintah.
Surat Perintah Pencairan Dana yang selanjutnya disingkat SP2D adalah surat perintah yang diterbitkan oleh kantor pelayanan perbendaharaan negara selaku kuasa bendahara umum negara untuk pelaksanaan pengeluaran atas beban anggaran pendapatan dan belanja negara berdasarkan surat perintah membayar.
Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disingkat KPPN adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang memperoleh kuasa dari bendahara umum negara untuk melaksanakan sebagian fungsi kuasa bendahara umum negara.
Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat KPA adalah pejabat yang memperoleh kuasa dari pengguna anggaran untuk melaksanakan sebagian kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran pada Kementerian Negara/Lembaga yang bersangkutan.
Surat Keterangan Telah Dibukukan yang selanjutnya disingkat SKTB adalah surat keterangan yang diterbitkan oleh KPPN yang menyatakan bahwa surplus anggaran dan/atau Dana Kelolaan telah disetor dan dibukukan KPPN.
Tata Kelola yang Baik pada BLU yang selanjutnya disebut Tata Kelola yang Baik adalah suatu sistem yang dirancang untuk mengarahkan pengelolaan BLU berdasarkan prinsip-prinsip transparansi, kemandirian, akuntabilitas, pertanggungjawaban, dan kewajaran, untuk pencapaian penyelenggaraan kegiatan BLU yang memperhatikan kepentingan setiap pihak yang terkait dalam penyelenggaraan kegiatan BLU, berlandaskan peraturan perundang- undangan dan Praktik Bisnis yang Sehat. 54A. Penilaian Tata Kelola dan Kinerja BLU adalah suatu cara dalam menilai pengelolaan BLU dengan menggunakan basis hasil dan proses pada aspek dan indikator yang selaras dan ekuivalen untuk seluruh BLU berdasarkan prinsip dasar penilaian maturitas yang terdiri atas 5 (lima) tingkatan utama.
Nilai Omzet adalah jumlah seluruh pendapatan operasional yang diterima oleh BLU yang berasal dari jasa layanan yang diberikan kepada masyarakat, hasil kerja sama BLU dengan pihak lain dan/atau hasil usaha lainnya, dalam satu tahun anggaran.
Nilai Aset adalah jumlah aset yang tercantum dalam neraca BLU pada akhir suatu tahun buku tertentu.
Sistem Pengendalian Intern adalah proses yang integral pada tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara terus menerus oleh pimpinan dan seluruh Pegawai untuk memberikan keyakinan memadai atas tercapainya tujuan organisasi melalui kegiatan yang efektif dan efisien, keandalan pelaporan keuangan, pengamanan aset negara, dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan.
Pengawasan Intern adalah suatu kegiatan pemberian keyakinan dan konsultasi yang bersifat independen dan objektif, dengan tujuan untuk meningkatkan nilai dan memperbaiki operasional BLU, melalui pendekatan yang sistematis, dengan cara mengevaluasi dan meningkatkan efektivitas manajemen risiko, pengendalian, dan proses tata kelola BLU.
Satuan Pengawasan Intern BLU yang selanjutnya disingkat SPI adalah unit kerja BLU yang menjalankan fungsi pengawasan intern.
Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat PNS adalah pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.
Gaji adalah imbalan kerja berupa uang yang bersifat tetap yang diterima oleh Pejabat Pengelola dan Pegawai setiap bulan.
Honorarium adalah imbalan kerja berupa uang yang bersifat tetap, yang diterima oleh Dewan Pengawas, Sekretaris Dewan Pengawas, anggota Komite Audit, dan anggota Sekretariat Dewan Pengawas setiap bulan.
Tunjangan Tetap adalah imbalan kerja berupa uang yang bersifat tambahan pendapatan di luar Gaji, yang diterima oleh pimpinan BLU setiap bulan.
Insentif adalah imbalan kerja berupa uang yang bersifat tambahan pendapatan di luar Gaji/Honorarium, yang diterima oleh Pejabat Pengelola, Pegawai, Dewan Pengawas, Sekretaris Dewan Pengawas, anggota Komite Audit, dan anggota Sekretariat Dewan Pengawas.
Hari Raya adalah Hari Raya Idul Fitri.
Setelah ketentuan ayat (10) Pasal 4 ditambahkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (11) sehingga Pasal 4 berbunyi sebagai berikut:
Perlakuan Perpajakan Untuk Mendukung Kemudahan Berusaha
Tata Cara Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan
Relevan terhadap
Terhadap Pemeriksaan Bukti Permulaan yang ditindaklanjuti dengan Penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) huruf a atau Pasal 24 ayat (7) huruf a Pemeriksa Bukti Permulaan mengungkapkan informasi harta kekayaan orang pribadi atau badan dalam Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan.
Berdasarkan Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pejabat yang berwenang menyusun Laporan Kejadian.
Dalam hal Pemeriksaan Bukti Permulaan ditindaklanjuti dengan Penyidikan dan Wajib Pajak telah mengungkapkan ketidakbenaran perbuatan tetapi tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) huruf a angka 2, pembayaran atas pengungkapan ketidakbenaran perbuatan diperhitungkan sebagai pengurang nilai kerugian pada pendapatan negara pada saat dilakukan Penyidikan.
Penghitungan pembayaran atas pengungkapan ketidakbenaran perbuatan sebagai pengurang nilai kerugian pada pendapatan negara dalam Penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan ketentuan pembayaran dimaksud merupakan bagian pembayaran atas pelunasan pajak yang kurang dibayar dan ditambahkan sanksi administratif berupa denda sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar.
Pembayaran atas pengungkapan ketidakbenaran perbuatan sebagaimana dimaksud ayat (3) tidak dapat dipindahbukukan atau dimintakan pengembalian kelebihan pajak oleh Wajib Pajak.
Jumlah yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang nilai kerugian pada pendapatan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yaitu sebesar 1/2 (satu per dua) bagian dari jumlah pembayaran dalam rangka pengungkapan ketidakbenaran perbuatannya.
Cara menghitung jumlah yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang nilai kerugian pada pendapatan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (4) sesuai dengan contoh penghitungan sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf J yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dilakukan secara:
terbuka; atau
tertutup.
Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka atau tertutup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap dugaan Peristiwa Pidana yang ditentukan dalam Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan.
Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a didahului dengan penyampaian surat pemberitahuan Pemeriksaan Bukti Permulaan kepada orang pribadi atau badan yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan.
Pemeriksaan Bukti Permulaan secara tertutup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan tidak dengan surat pemberitahuan Pemeriksaan Bukti Permulaan kepada orang pribadi atau badan yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan.
Direktur Jenderal Pajak dapat menghentikan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara tertutup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dengan pertimbangan risiko perolehan Bahan Bukti dan/atau pemulihan kerugian pada pendapatan negara dan selanjutnya dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka.
Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:
Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan adalah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994.
Undang-Undang Bea Meterai adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2020 tentang Bea Meterai.
Undang-Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa adalah Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000.
Undang-Undang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan adalah Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan Menjadi Undang-Undang.
Tindak Pidana di Bidang Perpajakan adalah perbuatan yang diancam dengan sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan, Undang-Undang Bea Meterai, Undang-Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa, dan Undang-Undang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan.
Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Bukti Permulaan adalah keadaan, perbuatan, dan/atau bukti berupa keterangan, tulisan, atau benda yang dapat memberikan petunjuk adanya dugaan kuat bahwa sedang atau telah terjadi suatu Tindak Pidana di Bidang Perpajakan yang dilakukan oleh siapa saja yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.
Pemeriksaan Bukti Permulaan adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk mendapatkan Bukti Permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi Tindak Pidana di Bidang Perpajakan.
Pemeriksa Bukti Permulaan adalah pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang diberi wewenang untuk melakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan yang selanjutnya disebut Penyidikan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh Penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang Tindak Pidana di Bidang Perpajakan yang terjadi serta menemukan tersangkanya.
Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Informasi adalah keterangan yang disampaikan secara lisan atau tertulis, baik dalam bentuk elektronik maupun bukan elektronik, yang dapat dikembangkan dan dianalisis untuk mengetahui ada tidaknya Bukti Permulaan.
Data adalah kumpulan angka, huruf, kata, atau citra yang bentuknya dapat berupa surat, dokumen, buku, atau catatan, baik dalam bentuk elektronik maupun bukan elektronik, yang dapat dikembangkan dan dianalisis untuk mengetahui ada tidaknya Bukti Permulaan.
Data Elektronik adalah data berbentuk elektronik yang tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik ( electronic mail ), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode Akses, simbol, atau perforasi.
Laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh orang atau institusi karena hak dan/atau kewajiban berdasarkan peraturan perundang-undangan kepada pejabat yang berwenang, baik dalam bentuk elektronik maupun bukan elektronik, mengenai dugaan telah atau sedang atau akan terjadinya Tindak Pidana di Bidang Perpajakan.
Pengaduan adalah pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang, baik dalam bentuk elektronik maupun bukan elektronik, untuk menindak menurut hukum orang pribadi atau badan yang diduga telah melakukan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan.
Peristiwa Pidana adalah peristiwa yang mengandung Tindak Pidana di Bidang Perpajakan.
Bahan Bukti adalah buku, catatan, dokumen, keterangan, informasi, data, dan/atau benda lainnya, yang dapat digunakan untuk menemukan Bukti Permulaan.
Unit Pelaksana Penegakan Hukum adalah unit kerja di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang mempunyai wewenang melaksanakan tugas dan fungsi penegakan hukum terhadap Tindak Pidana di Bidang Perpajakan yang menjadi kewenangan Direktorat Jenderal Pajak.
Surat Pemberitahuan adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan adalah surat perintah untuk melakukan pemeriksaan dalam rangka mendapatkan Bukti Permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi Tindak Pidana di Bidang Perpajakan.
Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan Perubahan adalah perubahan atas Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan yang telah diterbitkan.
Penyegelan adalah tindakan menempatkan tanda segel pada tempat atau ruangan tertentu serta barang bergerak dan/atau tidak bergerak termasuk media penyimpan data dan akses data yang dikelola secara elektronik dan benda lain yang digunakan atau patut diduga digunakan sebagai tempat atau alat untuk menyimpan Bahan Bukti.
Kertas Kerja Pemeriksaan Bukti Permulaan adalah dokumentasi yang dibuat oleh Pemeriksa Bukti Permulaan mengenai prosedur Pemeriksaan Bukti Permulaan yang ditempuh, Bahan Bukti yang dikumpulkan, analisis Tindak Pidana di Bidang Perpajakan, dan simpulan yang diambil sehubungan dengan pelaksanaan Pemeriksaan Bukti Permulaan.
Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan adalah laporan yang disusun oleh Pemeriksa Bukti Permulaan yang mengungkapkan tentang pelaksanaan, simpulan, dan tindak lanjut Pemeriksaan Bukti Permulaan.
Laporan Kejadian adalah laporan tertulis tentang adanya Peristiwa Pidana yang terdapat Bukti Permulaan sebagai dasar dilakukan Penyidikan.
Surat Setoran Pajak adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas negara melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Menteri.
Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan Bukti Permulaan adalah informasi yang memuat hasil Pemeriksaan Bukti Permulaan yang disampaikan kepada orang pribadi atau badan yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan.
Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.