Pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuanga ...
Relevan terhadap
ayat (1) huruf b angka (1); Pasal 20 ayat (1) huruf b angka (3); Pasal 20 ayat (1) huruf c; Pasal 22 ayat (1); Pasal 23 ayat (1) huruf a; Pasal 24 ayat (1); Pasal 25; Pasal 26 ayat (1); Pasal 27; Pasal 28 dan Pasal 29 Lampiran UU 2/2020 yang berketentuan sebagai berikut: Judul Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang. Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 1 ayat (5) (3) Untuk melaksanakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) _sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dalam rangka: _ a. _penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID- 191; _ dan/atau b. menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan, perlu __ menetapkan kebijakan keuangan negara dan kebijakan stabilitas sistem keuangan (5) Kebijakan stabilitas sistem keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi kebijakan untuk penanganan permasalahan lembaga keuangan yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Pasal 2 (1) Dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara sebagaimana _dimaksud dalam Pasal 1 ayat (4), Pemerintah berwenang untuk: _ a. menetapkan batasan defisit anggaran, dengan ketentuan sebagai _berikut: _ 1. melampaui 3% (tiga persen) dari Produk Domestik Bruto (PDB) selama masa penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID- 19) dan/atau untuk menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan paling _lama sampai dengan berakhirnya Tahun Anggaran 2022; _ 2. sejak Tahun Anggaran 2023 besaran defisit akan kembali menjadi paling tinggi sebesar 3% (tiga persen) dari Produk Domestik Bruto _(PDB); dan
penyesuaian besaran defisit sebagaimana dimaksud_ 102 pada angka 1 menjadi sebagaimana dimaksud pada angka 2 dilakukan secara bertahap. 3. Penyesuaian besaran defisit sebagaimana dimaksud pada angka 1 menjadi sebagaimana dimakud pada angka 2 dilakukan secara bertahap. b. melakukan penyesuaian besaran belanja wajib (mandatory spending) sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang- _undangan terkait; _ c. melakukan pergeseran anggaran antar unit organisasi, antarfungsi, _dan/atau antarprogram; _ d. melakukan tindakan yang berakibat pengeluaran atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yang anggaran untuk membiayai pengeluaran tersebut belum tersedia atau tidak cukup tersedia, serta menentukan proses dan metode pengadaan _barang/jasa; _ _e. menggunakan anggaran yang bersumber dari: _ _1. Sisa Anggaran Lebih (SAL); _ _2. dana abadi dan akumulasi dana abadipendidikan; _ _3. dana yang dikuasai negara dengan kriteriatertentu; _ _4. dana yang dikelola oleh Badan Layanan Umum; dan/atau _ 5. dana yang berasal dari pengurangan PenyertaanModal Negara _pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN); _ f. menerbitkan Surat Utang Negara dan/atau Surat Berharga Syariah Negara dengan tujuan tertentu khususnya dalam rangka pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-l9) untuk dapat dibeli oleh Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), investor korporasi, _dan/atau investor ritel; _ g. menetapkan sumber-sumber pembiayaan Anggaran yang berasal _dari dalarn dan/atau luar negeri; _ _h. memberikan pinjaman kepada Lembaga PenjaminSimpanan; _ i. melakukan pengutamaan penggunaan alokasi anggaran untuk kegiatan tertentu (refoansing), penyesuaian alokasi, dan/atau pemotongan/penundaan penyaluran anggaran Transfer ke Daerah _dan Dana Desa, dengan kriteria tertentu; _ _j. memberikan hibah kepada Pemerintah Daerah; dan/atau _ k. melakukan penyederhanaan mekanisme dan simplifikasi dokumen di bidang keuangan negara (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kebijakan keuangan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. Pasal 3 ayat (2) Ketentuan mengenai pengutamaan penggunaan alokasi anggaran untuk kegiatan tertentu (refocusing), perubahan alokasi, dan penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri. __ __ __ 103 Pasal 4 ayat (1) huruf a dan huruf d (1) Kebijakan di bidang perpajakan sebagaimana dimaksuddalam Pasal 1 _ayat (4) meliputi: _ a. penyesuaian tarif Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan dalam negeri _dan bentuk usaha tetap; _ b. _…; _ c. _…; _ d. pemberian kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk memberikan fasilitas kepabeanan berupapembebasan atau keringanan bea masuk dalam rangka penanganan kondisi darurat serta pemulihan dan penguatan ekonomi nasional. Pasal 4 ayat (2) (2) Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan perdagangan yang transaksinya dilakukan melalui serangkaian perangkat dan prosedur elektronik. Pasal 5 ayat (1) huruf a dan huruf b (1) Penyesuaian tarif Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap sebagaimanadimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a berupa penurunan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf b Undang-Undang _mengenai Pajak Penghasilan menjadi: _ a. sebesar 22% (dua puluh dua persen) yang berlaku pada Tahun Pajak _2020 dan Tahun Pajak 2021; dan _ b. sebesar 20% (dua puluh persen) yang mulai berlaku pada Tahun Pajak 2022. Pasal 6 (1) Perlakuan perpajakan dalam kegiatan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) _huruf b berupa: _ a. pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean melalui _PerdaganganMelalui Sistem Elektronik (PMSE); dan _ b. pengenaan Pajak Penghasilan atau pajak transaksi elektronik atas kegiatan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) yang dilakukan oleh subjek pajak luar negeri yang memenuhi ketentuan kehadiran ekonomi signifikan (2) Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a mengikuti ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. (3) Pajak Pertambahan Nilai yang dikenakan atas pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujuddan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean didalam Daerah Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipungut, disetorkan, dan dilaporkan oleh pedagang luar negeri, 104 penyedia jasa luar negeri, Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) luar negeri, dan/atau Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) dalamnegeri, yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan. (4) Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan pelaku usaha penyedia sarana komunikasi elektronik yang digunakan untuk transaksi perdagangan. (5) Pedagang luar negeri atau penyedia jasa luar negerisebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan orangpribadi atau badan yang bertempat tinggal ataubertempat kedudukan di luar Daerah Pabean yangmelakukan transaksi dengan pembeli barang ataupenerima jasa di dalam Daerah Pabean melalui system elektronik. (6) Pedagang luar negeri, penyedia jasa luar negeri, dan/atau Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) luar negeri yang memenuhi ketentuan kehadiran ekonomi signifikan dapat diperlakukan sebagai bentuk usaha tetap dan dikenakan Pajak Penghasilan. (7) Ketentuan kehadiran ekonomi signifikan sebagaimana dimaksud pada _ayat (6) berupa: _ a. peredaran bruto konsolidasi grup usaha sampai dengan jumlah _tertentu; _ _b. penjualan di Indonesia sampai dengan jumlah tertentu; dan/atau _ c. pengguna aktif media digital di Indonesia sampaidengan jumlah tertentu. (8) Dalam hal penetapan sebagai bentuk usaha tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tidak dapat dilakukan karena penerapan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak, pedagang luar negeri, penyedia jasa luar negeri, dan/atau Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) luar negeri yang memenuhi ketentuan kehadiran ekonomi signifikan, dikenakan pajak transaksi elektronik. (9) Pajak transaksi elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dikenakan atas transaksi penjualan barangdan/atau jasa dari luar Indonesia melalui PerdaganganMelalui Sistem Elektronik (PMSE) kepada pembeli atau pengguna di Indonesia yang dilakukan oleh subjekpajak luar negeri, baik secara langsung maupun melalui Penyelenggara Perdagangan Melalui SistemElektronik (PPMSE) luar negeri. (10) Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) atau pajak transaksi elektronik sebagaimana dimaksudpada ayat (8) dibayar dan dilaporkan oleh pedagang luar negeri, penyedia jasa luar negeri, dan/atau Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) luar negeri. (11) Pedagang luar negeri, penyedia jasa luar negeri,dan/atau Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) luar negeri sebagaimana dimaksudpada ayat (3) dan ayat (10), dapat menunjuk perwakilan yang berkedudukan di Indonesia untuk memungut, menyetorkan, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilaiyang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan/atau 105 untuk memenuhi kewajiban Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) atau pajak transaksi elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (8). (12) Besarnya tarif, dasar pengenaan, dan tata cara penghitungan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan pajak transaksi elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (8) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. _(13) Ketentuan lebih lanjut mengenai: _ a. tata cara penunjukan, pemungutan, danpenyetoran, serta pelaporan _Pajak PertambahanNilai sebagaimana dimaksud pada ayat (3); _ b. kehadiran ekonomi signifikan sebagaimanadimaksud pada ayat (7), tata cara pembayaran dan pelaporan Pajak Penghasilan atau pajak _transaksielektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (10); dan _ c. tata cara penunjukan perwakilan sebagaimanadimaksud pada ayat (11), diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. Pasal 7 (1) Pedagang luar negeri, penyedia jasa luar negeri,Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) luar negeri, dan/atau PenyelenggaraPerdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) dalam negeri yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimanadimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) dan pedagang luar negeri, penyedia jasa luar negeri, dan/atau Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) luar negeri yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (10), dikenai sanksi administratif sesuai dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009. (2) Ketentuan mengenai penetapan, penagihan, dan upayahukum atas pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean didalam Daerah Pabean melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) serta pengenaan Pajak Penghasilan atau pajak transaksi elektronik atas subjekpajak luar negeri yang memenuhi ketentuan kehadiran ekonomi signifikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, dilaksanakan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 76 Tahun 2009. (3) Terhadap pelaku kegiatan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), selain dikenai sanksi administratif juga dikenai sanksi berupa pemutusan akses setelah diberi teguran. (4) Pemutusan akses sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) atau Pasal 6 ayat (10) tidak dipenuhi sampai dengan batas waktu yang ditentukan dalam teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (3). (5) Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika berwenang untuk melakukan pemutusan akses berdasarkan permintaan Menteri Keuangan. 106 (6) Ketentuan mengenai tata cara pemutusan akses sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang informasi dan transaksi elektronik. (7) _Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara: _ a. _pemberian teguran sebagaimana dimaksud padaayat (3); dan _ b. permintaan pemutusan akses sebagaimana dimaksud pada ayat (5), diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan Pasal 9 Menteri Keuangan memiliki kewenangan untuk memberikan fasilitas kepabeanan berupa pembebasan atau keringanan bea masuk dalam _rangka: _ _a. penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19); dan/atau _ b. menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan Pasal 10 (1) Perubahan atas barang impor yang diberikan pembebasan bea masuk berdasarkan tujuan pemakaiannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995, diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. (2) Perubahan atas barang impor yang dapat diberikan pembebasan atau keringanan bea masuk berdasarkan tujuan pemakaiannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995, diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. Pasal 11 ayat (3) Program pemulihan ekonomi nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat dilaksanakan melalui Penyertaan Modal Negara, penempatan dana dan/atau investasi Pemerintah, dan/atau kegiatan penjaminan dengan skema yang ditetapkan oleh Pemerintah. Pasal 12 (1) Pelaksanaan kebijakan keuangan negara dan langkah-langkah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 11 dilakukan dengan tetap memperhatikan tata kelola yang baik. (2) Perubahan postur dan/atau rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara dan langkah-langkah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 11 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden. Pasal 14 Dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan ditengah-tengah kondisi terjadinya pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau untuk 107 menghadapi ancaman krisis ekonomi dan/atau stabilitas sistem keuangan, perlu menetapkan kebijakan stabilitas sistem keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (5). Pasal 16 ayat (1) huruf c (1) Untuk mendukung pelaksanaan kewenangan KSSK dalam rangka penanganan permasalahan stabilitas sistem keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1), Bank Indonesia diberikan _kewenangan untuk: _ c. membeli Surat Utang Negara dan/atau Surat Berharga Syariah Negara berjangka panjang dipasar perdana untuk penanganan permasalahan sistem keuangan yang membahayakan perekonomian nasional, termasuk Surat Utang Negara dan/atau Surat Berharga Syariah Negara yang diterbitkan dengan tujuan tertentu khususnya _dalam rangka pandemi Corona Virus Disease 2019 (covid- 19); _ Pasal 19 (1) Bank Indonesia dapat membeli Surat Utang Negara dan/atau Surat Berharga Syariah Negara berjangka panjang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf c di pasar perdana yang diperuntukkan sebagai sumber pendanaan bagi Pemerintah. (2) Sumber pendanaan bagi Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipergunakan dalam rangka pemulihan ekonomi nasional termasuk menjaga kesinambungan pengelolaan keuangan negara, memberikan pinjaman dan penambahan modal kepada Lembaga Penjamin Simpanan, serta pendanaan untuk restrukturisasi perbankan pada saat krisis. Pasal 20 ayat (1) huruf b angka (1) dan angka (3) dan Pasal 20 ayat (1) huruf c (1) Untuk mendukung pelaksanaan kewenangan KSSK dalam rangka penanganan permasalahan stabilitas sistem keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1), Lembaga Penjamin Simpanan _diberikan kewenangan untuk: _ b. _melakukan tindakan: _ 1. penjualan/repo Surat Berharga Negara yang dimiliki kepada Bank _Indonesia; _ _ _3. pinjaman kepada pihak lain; dan/atau _ 4..... dalam hal Lembaga Penjamin Simpanan diperkirakan akan mengalami kesulitan likuiditas untuk penanganan bank gagal. c. melakukan pengambilan keputusan untuk melakukan atau tidak melakukan penyelamatan bank selain Bank Sistemik yang dinyatakan sebagai bank gagal dengan mempertimbangkan antara lain kondisi perekonomian, kompleksitas permasalahan bank, kebutuhan waktu penanganan, ketersediaan investor, dan/atau efektivitas penanganan permasalahan bank serta tidak hanya mempertimbangkan perkiraan _biaya yang paling rendah (least cost test); _ 108 Pasal 22 ayat (1) (1) Untuk mencegah krisis sistem keuangan yang membahayakan perekonomian nasional, Pemerintah dapat menyelenggarakan program penjaminan di luar program penjaminan simpanan sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang mengenai lembaga penjamin simpanan. Pasal 23 ayat (1) huruf a (1) Untuk mendukung pelaksanaan kewenangan KSSK dalam rangka penanganan permasalahan stabilitas sistem keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan diberikan _kewenangan untuk: _ a. memberikan perintah tertulis kepada lembaga jasa keuangan untuk melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, integrasi dan/atau konversi Pasal 24 ayat (1) (1) Untuk mendukung pelaksanaan kewenangan KSSK dalam rangka penanganan permasalahan stabilitas sistem keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1), Pemerintah diberikan kewenangan untuk memberikan pinjaman kepada Lembaga Penjamin Simpanan. Pasal 25 Pemberian pinjaman oleh Pemerintah kepada Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dilakukan dalam hal Lembaga Penjamin Simpanan mengaiami kesulitan likuiditas yang membahayakan perekonomian dan sistem keuangan sebagai dampak pandemi Corona Virus Disease (COVID-19). Pasal 26 ayat (1) (1) Setiap orang yang dengan sengaja mengabaikan, tidak memenuhi, tidak melaksanakan atau menghambat pelaksanaan kewenangan Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf a, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) atau pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 300.000.000.000,00 (tiga ratus miliar rupiah). Pasal 27 1. Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan dibidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara. 2. Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti 109 Undang-Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 3. Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara. Pasal 28 Pada saat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini mulai _berlaku: _ 1. ketentuan jangka waktu yang diatur dalam Pasal 1 1 ayat (2), Pasal l7B ayat (1), Pasal 25 ayat (3), Pasal 26 ayat (1), dan Pasal 36 ayat (1c) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran _Negara Republik Indonesia Nomor 4999); _ 2. Pasal 55 ayat (4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik _Indonesia Nomor 4962); _ 3. Pasal 12 ayat (3) beserta penjelasannya, Pasal 15 ayat (5), Pasal 22 ayat (3), Pasal 23 ayat (1), Pasal 27 ayat (3), dan Pasal 28 ayal (3) dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan _Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286); _ 4. Pasal 3 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor _4355); _ 5. Pasal 22 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4420) sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik _Indonesia Nomor 4963); _ 110 6. Pasal 27 ayat (1) beserta penjelasannya, Pasal 36, Pasal 83, dan Pasal 107 ayat (2) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, _Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438); _ 7. Pasal 171 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, _Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063); _ 8. Pasal 72 ayat (2) beserta penjelasannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 _Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5495); _ 9. Pasal 316 dan Pasal 317 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan _Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679); _ 10. Pasal 177 huruf c angka 2, Pasal 180 ayat (6), dan Pasal 182 Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Ralryat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 181, Tambahan Lembaran _Negara Republik Indonesia Nomor 6396); _ 11. Pasal 20 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 70, Tambahan _Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5872); dan _ 12. Pasal 11 ayat (22), Pasal 40, Pasal 42, dan Pasal 46 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2019 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 198, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6410), dinyatakan tidak berlaku sepanjang berkaitan dengan kebijakan keuangan negara untuk penanganan penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID- 19) dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini. Pasal 29 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. 111 Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Bahwa pasal-pasal UUD NRI Tahun 1945 yang dijadikan batu uji adalah Pasal 1, Pasal 4 ayat (1), Pasal 5 ayat (2), Pasal 18 ayat (2) dan (3), Pasal 20A, Pasal 20A ayat (1), Pasal 22, Pasal 22 ayat (1), Pasal 22D ayat (2), Pasal 23, Pasal 23A, Pasal 23C, Pasal 23D, Pasal 23E, Pasal 24, Pasal 24A ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan (2), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28H ayat (1), Pasal 28I ayat (2) dan Pasal 31 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. II. Keterangan DPR RI Dengan ini DPR RI menyampaikan keterangan terhadap permohonan pengujian materiil UU 2/2020 terhadap UUD NRI Tahun 1945 dalam Perkara nomor 37, 42, 43, 45, 47, 49 dan 75/PUU-XVIII/2020 sebagai berikut: A. Kedudukan Hukum ( Legal Standing ) Para Pemohon 1. Kedudukan Hukum (Legal Standing) Para Pemohon dalam Pengujian Secara Formil Terkait kedudukan hukum (legal standing) Para Pemohon dalam pengujian undang-undang secara formil, DPR RI memberikan pandangan dengan berdasarkan 2 (dua) batasan kerugian konstitusional yang disimpulkan dari Pertimbangan Hukum dalam Putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 27/PUU-VII/2009, yaitu:
Para Pemohon merupakan perorangan yang telah melaksanakan hak pilih sebagai pemegang kedaulatan yang telah memberikan kepercayaan dan mandat kepada wakil sebagai fiduciary duty dalam pemilihan umum;
Berdasarkan uraian kedudukannya, Pemohon Badan Hukum Perkara 37 dan Para Pemohon Badan Hukum Perkara 75 yang merupakan Badan Hukum tentunya tidak memiliki hak dan/atau kewenangan untuk turut serta dalam pemilihan umum.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 34 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, Pemilih adalah Warga Negara Indonesia yang sudah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih, sudah kawin, atau sudah pernah kawin. Oleh karena itu, Pemohon Badan 112 Hukum Perkara 37 dan Para Pemohon Badan Hukum Perkara 75 telah jelas tidak dapat membuktikan bahwa telah memberikan kepercayaan dan mandat kepada anggota DPR RI masa keanggotaan periode tahun 2014-2019 karena Pemohon Badan Hukum Perkara 37 dan Para Pemohon Badan Hukum Perkara 75 bukanlah perorangan yang telah melaksanakan hak pilih sebagai pemegang kedaulatan yang telah memberikan kepercayaan dan mandat kepada wakil sebagai fiduciary duty dalam pemilihan umum.
Para Pemohon Perorangan Perkara 37, Para Pemohon Perkara 43, dan Para Pemohon Perorangan Perkara 75 dalam perbaikan permohonannya tidak memberikan uraian argumentasi sebagai perorangan yang telah melaksanakan hak pilih sebagai pemegang kedaulatan dalam Pemilihan Umum. Selain itu, Para Pemohon tersebut diatas juga tidak melampirkan bukti-bukti keikutsertaannya dalam Pemilihan Umum dan menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan anggota DPR RI sebagai bentuk pemberian mandat kepada wakil sebagai fiduciary duty . Hal ini menunjukkan bahwa Para Pemohon tersebut tidak memahami kedudukan hukumnya sebagai perseorangan warga negara yang memiliki hak konstitusional sebagai pemberi mandat dalam Pemilihan Umum dan tidak memperhatikan ketentuan dalam pengujian undang-undang secara formil.
Para Pemohon mempunyai hubungan pertautan yang langsung dengan Undang-Undang yang dimohonkan.
Bahwa terkait dengan pengajuan pengujian UU a quo secara formil, Para Pemohon secara keseluruhan tidak menguraikan pertautannya. Namun dapat dipahami dalam uraian dalil-dalilnya, Para Pemohon hanya menyatakan bahwa UU a quo telah menimbulkan ketidakpastian hukum, melahirkan penafsiran yang ambigu, tidak jelas dan multi tafsir serta berpotensi menghambat pemenuhan hak-hak konstitusional Para Pemohon dan warga negara pada umumnya.
Meskipun demikian, Para Pemohon tidak memberikan uraian yang berkaitan dengan pertautannya secara langsung terhadap UU a quo 113 yang dimohonkan pengujiannya secara formil. Dengan demikian telah jelas, tidak terdapat keterkaitan secara langsung antara Para Pemohon Perkara 37, Para Pemohon Perkara 43, dan Para Pemohon Perkara 75 dengan UU a quo, sehingga Para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) dalam pengujian formil UU a quo terhadap UUD NRI Tahun 1945. Terhadap kedudukan hukum ( legal standing ) Para Pemohon Perkara 37, Para Pemohon Perkara 43, dan Para Pemohon Perkara 75 dalam pengujian formil, DPR RI memohon kepada Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi agar benar-benar menilai apakah Para Pemohon tersebut memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) dalam pengajuan Permohonan perkara-perkara a quo sesuai dengan parameter kerugian hak dan/atau kerugian konstitusional dalam pengajuan permohonan pengujian formil undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945 sebagaimana disebutkan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dalam Pertimbangan Hukum pada Putusan Nomor 27/PUU-VII/2009.
Kedudukan Hukum ( Legal Standing ) Para Pemohon dalam Pengujian Secara Materiil Terkait kedudukan hukum ( legal standing ) Para Pemohon dalam pengujian undang-undang secara materiil, DPR RI memberikan pandangan dengan berdasarkan 5 (lima) batasan kerugian konstitusional yang tercantum dalam __ Putusan Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Perkara Nomor 011/PUU-V/2007 sebagai berikut:
Perkara Nomor 37/PUU-XVIII/2020 Bahwa Para Pemohon Perkara 37 mendalilkan memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diatur dalam ketentuan Pasal 23 ayat (1), Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Terhadap hal tersebut, DPR RI menerangkan bahwa ketentuan Pasal 23 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 mengatur mengenai APBN yang jelas-jelas tidak mengatur mengenai hak dan/atau kewenangan Warga Negara. Sehingga ketentuan ini tidak memiliki pertautan hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon Perkara 37. Bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon Perkara 37 sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 28C ayat (2) UUD NRI 114 Tahun 1945 tidak terciderai dengan berlakunya ketentuan pasal-pasal yang dimohonkan pengujiannya karena Para Pemohon Perkara 37 tetap dapat memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya. Terkait dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, Para Pemohon Perkara 37 juga tetap mendapatkan haknya atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Bahwa Para Pemohon Perkara 37 mendalilkan diri sebagai pembayar pajak ( tax payer ), oleh karenanya DPR RI mengutip pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 40/PUU- XVI/2018 pada Paragraf [3.7] sebagai berikut: …menurut Mahkamah, para Pemohon sebagai pembayar pajak (tax payer) tidak serta merta memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam mengajukan setiap permohonan pengujian undang-undang. Para Pemohon dapat memiliki kedudukan hukum (legal standing) apabila para Pemohon dapat menjelaskan adanya keterkaitan logis dan causal verband bahwa pelanggaran hak konstitusional atas berlakunya undang-undang yang diuji adalah dalam kaitannya dengan status para Pemohon sebagai pembayar pajak (tax payer) memang menunjukkan kerugian yang nyata . Dalam permohonan a quo , Para Pemohon Perkara 37 dituntut bukan hanya sekedar menyatakan dirinya sebagai pembayar pajak ( tax payer ), tetapi terkait statusnya sebagai pembayar pajak harus dijelaskan adanya keterkaitannya secara logis dengan kerugian konstitusional Para Pemohon Perkara 37 yang diakibatkan dengan berlakunya pasal-pasal a quo . Terkait dengan ketentuan UUD NRI Tahun 1945 yang oleh Para Pemohon Perkara 37 dipertentangkan dengan ketentuan dalam UU a quo , Para Pemohon Perkara 37 tidak mengurai pertautan antara keduanya demikian pula terkait dengan pertautannya dengan Para Pemohon Perkara 37. Maka semakin tidak jelas adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon terkait dengan pasal-pasal yang dimohonkan pengujian dan keberadaan hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara dalil kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon Perkara 37 dengan ketentuan pasal-pasal a quo yang dimohonkan pengujiannya. 115 b. Perkara Nomor 42/PUU-XVIII/2020 Bahwa Para Pemohon Perkara 42 tidak konsisten dalam menyebutkan batu uji yang digunakan dalam pengujian pasal-pasal a quo dalam uraian kedudukan hukumnya dengan ketentuan UUD NRI Tahun 1945 yang tertulis dalam bagian Pokok Permasalahan. Lebih lanjut, dalam uraian permohonannya, Para Pemohon Perkara 42 mempertentangkan ketentuan pasal-pasal a quo dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 23 ayat (1), (2), (3), dan Pasal 23A UUD NRI Tahun 1945 yang sama sekali tidak mengatur mengenai hak dan/atau kewenangan konstitusional warga negara. Terkait dengan kerugian hak konstitusionalnya yang dijamin dalam ketentuan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, Para Pemohon Perkara 42 tidak menguraikan bentuk konkret (aktual) maupun potensial atas kerugian konstitusional yang didalilkan tersebut dengan diri Para Pemohon Perkara 42 dan justru Para Pemohon Perkara 42 banyak menyampaikan asumsi-asumsi dan kekhawatirannya atas pemberlakuan pasal-pasal a quo terhadap negara yang jelas sangat mengada-ada. Selain itu, Para Pemohon Perkara 42 tidak dapat menunjukkan adanya pertautan secara langsung dengan ketentuan pasal-pasal a quo sehingga tidak jelas sebab akibat atas dalil kerugian konstitusional yang didalilkan Para Pemohon Perkara 42 dengan berlakunya ketentuan pasal-pasal a quo .
Perkara Nomor Perkara 43/PUU-XVIII/2020 Bahwa Para Pemohon Perkara 43 tersebut masing-masing tidak berdiri dalam posisi yang jelas atas kepentingan siapakah Para Pemohon Perkara 43 hendak mengemukakan kerugian konstitusionalnya. Selain itu, Para Pemohon Perkara 43 dalam permohonannya tidak mampu menjelaskan secara spesifik dalam hal apa Para Pemohon Perkara 43 dirugikan dengan keberlakuan pasal UU a quo tersebut terhadap diri Para Pemohon Perkara 43 maupun terhadap profesi Para Pemohon Perkara 43. Bahwa Para Pemohon Perkara 43 dalam permohonannya tidak mampu menjelaskan secara spesifik dalam hal apa Para Pemohon Perkara 43 dirugikan dengan keberlakuan pasal a quo tersebut 116 terhadap diri Para Pemohon Perkara 43 maupun terhadap profesi Para Pemohon Perkara 43 sehingga tidak jelas pula hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian konstitusional yang didalilkan oleh Para Pemohon Perkara 43 dengan pasal-pasal a quo yang dimohonkan pengujiannya terhadap UUD NRI Tahun 1945.
Perkara Nomor Perkara 45/PUU-XVIII/2020 Bahwa ketentuan Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 4 ayat (1), Pasal 5 ayat (2), Pasal 20 ayat (1), Pasal 20A ayat (1),Pasal 23, Pasal 23E, Pasal 24, Pasal 24A ayat (1) dan Pasal 27 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang dijadikan batu uji oleh Pemohon Perkara 45 tidak mengatur mengenai hak konstitusional warga negara, melainkan mengatur mengenai bentuk dan kedaulatan negara, kekuasaan pemerintah, tugas dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat, hal keuangan negara, kelembagaan BPK, Kekuasaan Kehakiman, tanggung jawab negara dalam mengelola keuangan negara yang ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang untuk dapat dilaksanakan secara terbuka dan untuk kemakmuran rakyat, dan kewajiban warga negara untuk menjunjung hukum dan pemerintahan tanpa terkecuali. Oleh karena itu tidaklah relevan untuk dijadikan sebagai batu uji dalam Permohonan a quo . Bahwa dalam Permohonan a quo , Pemohon Perkara 45 tidak menguraikan kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon Perkara 45 yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi. Pemohon Perkara 45 hanya menyatakan hak Pemohon sebagai rakyat dalam memantau Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat dan Kekuasaan Kehakiman dapat menjalankan tugas dan fungsinya, tanpa menjelaskan kerugian spesifik apa yang ditimbulkan dari berlakunya ketentuan pasal-pasal a quo . Sehingga jelas kerugian yang didalilkan oleh Pemohon Perkara 45 hanya merupakan asumsi tanpa adanya pertautan dengan hak konstitusional Pemohon Perkara 45. 117 e. Perkara Nomor Perkara 47/PUU-XVIII/2020 Bahwa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 telah ditetapkan menjadi undang-undang yakni UU a quo , artinya substansi di dalamnya telah dibahas dan disetujui antara Pemerintah bersama dengan DPR dan telah dilakukan sesuai dengan ketentuan Pasal 23 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Bahwa ketentuan Pasal 23 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 tidak mengatur mengenai hak dan/atau kewenangan konstitusional melainkan mengatur mengenai penetapan, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban APBN. Salah satu fungsi yang dimiliki oleh DPR adalah fungsi anggaran dengan tugas dan wewenang berupa pemberian persetujuan atas RUU tentang APBN yang diajukan oleh Presiden. UU APBN tersebut kemudian dilaksanakan secara terbuka oleh Pemerintah untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat. Para Pemohon Perkara 47 mendalilkan dengan berlakunya pasal a quo , berpotensi dana desa dihentikan, dengan demikian jelas kerugian yang didalilkan tersebut hanya asumsi Para Pemohon Perkara 47, karena kenyataannya dana desa tetap ada meskipun selama penanganan pandemi Covid-19 ini besarannya dikurangi karena adanya kebijakan pengalihan mandatory expenses yang diamanatkan oleh UU Desa.
Perkara Nomor Perkara 49/PUU-XVIII/2020 Bahwa Pemohon Perkara 49 menyatakan memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diatur dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1), (2) dan (3) serta Pasal 23 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 namun dalam uraian Positanya, Pemohon Perkara 49 mendalilkan ketentuan pasal a quo bertentangan dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Meskipun demikian, DPR menerangkan bahwa ketentuan Pasal 1 ayat (1), (2) dan (3) serta Pasal 23 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 tidak mengatur mengenai hak dan/atau kewenangan konstitusional warga Negara. Ketentuan Pasal 1 ayat (1), (2) dan (3) serta Pasal 23 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 mengatur mengenai Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik, kedaulatan berada di tangan rakyat, Indonesia adalah Negara hukum 118 dan APBN sebagai wujud dari pengelolaan keuangan Negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Bahwa Pemohon Perkara 49 dalam perbaikan permohonannya menguraikan memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (1), (2) dan (3) serta Pasal 23 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang jelas-jelas tidak mengatur mengenai hak dan/atau kewenangan warga Negara. Selain itu, Pemohon Perkara 49 tidak menguraikan kerugian konsitusionalnya berdasarkan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 dan hanya mendalilkan pasal a quo bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Pemohon Perkara 49 juga sama sekali tidak menyampaikan argumentasi tentang pertentangan antara pasal yang dimohonkan pengujian dengan pasal-pasal yang menjadi dasar pengujian dalam UUD NRI Tahun 1945. Oleh karena itu, telah sangat jelas Pemohon Perkara 49 tidak memiliki hak dan/atau kewenangan kontitusional yang dirugikan dengan berlakunya UU 2/2020. Bahwa Pemohon Perkara 49 dan banyak menguraikan mengenai asumsi-asumsinya atas pengaturan yang terdapat dalam pasal a quo , maka DPR RI menerangkan tidak terdapat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon Perkara 49 yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi pada Pemohon Perkara 49, maka jelas tidak terdapat hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian dan berlakunya undang- undang yang dimohonkan pengujian.
Perkara Nomor Perkara 75/PUU-XVIII/2020 Bahwa mayoritas Para Pemohon Perkara 75 mengajukan kembali Permohonan 51/PUU-XVIII/2020 yang telah ditarik kembali pada tanggal 19 Agustus 2020 dan Mahkamah Konstitusi sudah menerbitkan Ketetapan Putusan Nomor 51/PUU-XVIII/2020 yang diucapkan pada tanggal 27 Agustus 2020. Para Pemohon Perkara 75 berdalil bahwa dapat mengajukan kembali permohonan yang telah 119 ditarik sebelumnya tersebut karena sudah dilakukan perubahan dalam isi materi permohonan sehingga tidak mempunyai kesamaan dalam permohonan sebelumnya baik dalam permohonan pengujian formil maupun materiil yang diajukan sehingga Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memeriksa dan mengadilinya. Terhadap dalil tersebut, DPR RI memberikan pandangan bahwa berdasarkan ketentuan dalam Pasal 35 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan: ayat (1) “Pemohon dapat menarik kembali Permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan”. ayat (1a) “Dalam hal pemohon menarik kembali Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Panitera Mahkamah Konstitusi menerbitkan Akta Pembatalan Registrasi Permohonan dan memberitahukan kepada Pemohon disertai dengan pengembalian berkas Permohonan”. ayat (2) “Penarikan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan Permohonan tidak dapat diajukan kembali”. Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa Permohonan yang sudah ditarik kembali dan sudah diputus tidak dapat diajukan kembali. Selain itu, setelah melihat isi dari permohonan Para Pemohon Perkara 75, baik dari segi formil maupun materiil memiliki materi permohonan yang sama dengan permohonan sebelumnya yang sudah ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi untuk mengabulkan penarikan kembali permohonan perkara 51/PUU- XVIII/2020 tersebut oleh Para Pemohon perkara 51/PUU-XVIII/2020, yang merupakan mayoritas Para Pemohon Perkara 75. Walaupun Para Pemohon Perkara 75 memberikan tambahan batu uji Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), dan Pasal 27 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 namun batu uji Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 tersebut tidak mengatur mengenai hak konstitusional warga negara. Begitupun halnya dengan tambahan batu uji Pasal 27 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, ketentuan yang ada pada UU a quo tidak menghalangi Para Pemohon Perkara 75 untuk mendapatkan hak 120 konstitusionalnya berupa pekerjaan dan penghidupan yang layak. Sehingga tidaklah tepat jika Para Pemohon Perkara 75 masih mengajukan permohonan yang sama dengan permohonan yang sudah ditarik kembali dan ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi. Bahwa Para Pemohon Perkara 75 juga mendalilkan diri sebagai pembayar pajak ( tax payer ), oleh karenanya DPR RI mengutip pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 40/PUU-XVI/2018 pada Paragraf [3.7] sebagai berikut: …menurut Mahkamah, para Pemohon sebagai pembayar pajak (tax payer) tidak serta merta memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam mengajukan setiap permohonan pengujian undang-undang. Para Pemohon dapat memiliki kedudukan hukum (legal standing) apabila para Pemohon dapat menjelaskan adanya keterkaitan logis dan causal verband bahwa pelanggaran hak konstitusional atas berlakunya undang-undang yang diuji adalah dalam kaitannya dengan status para Pemohon sebagai pembayar pajak (tax payer) memang menunjukkan kerugian yang nyata . Dalam permohonan a quo , Para Pemohon Perkara 75 dituntut bukan hanya sekedar menyatakan dirinya sebagai pembayar pajak ( tax payer ), tetapi terkait statusnya sebagai pembayar pajak harus dijelaskan adanya keterkaitannya secara logis dengan kerugian konstitusional Para Pemohon Perkara 75 yang diakibatkan dengan berlakunya pasal-pasal a quo . Bahwa terkait dengan kedudukan hukum ( legal standing ) Para Pemohon, DPR RI memberikan pandangan selaras dengan Putusan MK Nomor 22/PUU-XIV/2016 yang diucapkan dalam sidang Pleno MK terbuka untuk umum pada tanggal 15 Juni 2016, yang pada pertimbangan hukum [3.5.2] MK menyatakan bahwa menurut Mahkamah: ... dalam asas hukum dikenal ketentuan umum bahwa tiada kepentingan maka tiada gugatan yang dalam bahasa Perancis dikenal dengan point d’ interest point d’ action dan dalam bahasa Belanda dikenal dengan zonder belang geen rechtsingang. Hal tersebut sama dengan prinsip yang terdapat dalam Reglement op de Rechtsvordering (RV) khususnya Pasal 102 yang menganut ketentuan bahwa “ tiada gugatan tanpa hubungan hukum” ( no action without legal connection ). Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, terhadap kedudukan hukum ( legal standing ) Para Pemohon secara materiil, DPR RI menyerahkan sepenuhnya kepada Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi untuk 121 mempertimbangkan dan menilai apakah Para Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi dan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan perkara Nomor 011/PUU-V/2007 mengenai parameter kerugian konstitusional. B. Pandangan Umum DPR 1. Penyebaran COVID-19 terus meluas di seluruh dunia yang didorong oleh mobilitas manusia. Hingga akhir Februari 2020, penyebaran COVID-19 secara global telah mencapai 86.000 kasus dengan jumlah kematian hampir 3.000 orang. Pandemi COVID-19 yang menyebar secara cepat dan mengancam kesehatan publik, mendorong negara-negara untuk mengambil berbagai langkah pencegahan yang ekstrim. Salah satu langkah kebijakan yang diambil hampir semua negara adalah pelarangan atau pembatasan perjalanan ( travel ban/restriction ), penutupan perbatasan, serta memperketat lalu lintas manusia antar wilayah/negara. Di dalam skala domestik, beberapa negara memberlakukan lockdown yakni penutupan wilayah dan penghentian segala aktivitas publik kecuali yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan pangan dan medis. Physical distancing serta karantina mandiri termasuk dengan memindahkan aktivitas kantor, belajar, dan beribadah di rumah juga diimplementasikan di berbagai negara, termasuk Indonesia. Berbagai kegiatan yang bersifat pengumpulan massa dikurangi atau bahkan dilarang dengan pengawasan ketat dari aparat hukum. Di Indonesia, Pemerintah memberlakukan status Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dan menetapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sejak tanggal 31 Maret 2020. Sebelumnya, Pemerintah juga telah memberlakukan larangan penerbangan termasuk dari dan ke Tiongkok, membentuk Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, memberlakukan kebijakan physical distancing , serta menetapkan status keadaan darurat bencana COVID-19. Berbagai himbauan termasuk menganjurkan dan bahkan melarang masyarakat untuk tidak melakukan pulang kampung termasuk dalam rangka mudik Hari Raya Idul Fitri 1441 Hijriah telah dilakukan. Anjuran untuk meningkatkan pola hidup bersih dan 122 sehat juga terus digencarkan. Penyebaran COVID-19 yang terjadi secara cepat dan eksponensial dikhawatirkan juga tidak dapat diimbangi dengan ketersediaan fasilitas kesehatan serta tenaga medis yang ada, sehingga bisa berujung pada krisis kesehatan. Langkah-langkah tersebut diimplementasikan dengan dasar bahwa kesehatan dan keselamatan masyarakat adalah prioritas. Namun demikian, langkah-langkah tersebut menimbulkan penurunan aktivitas ekonomi yang cukup signifikan.
Bentuk perlindungan yang diberikan oleh negara tidak sebatas perlindungan dari ancaman fisik namun juga perlindungan terhadap keseluruhan aspek kehidupan dan keselamatan 269 juta jiwa penduduk Indonesia. Negara harus mampu menjaga ketahanan seluruh elemen bangsa dari segala ancaman yang membahayakan negara dan masyarakat. Dengan segala sumber daya yang ada, kita harus mewujudkan ketahanan negara yang kokoh dari segala ancaman, termasuk ancaman terhadap perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan yang menimbulkan implikasi pada aspek sosial, ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat.
Bahwa penyebaran pandemi COVID-19 yang memberikan dampak dan mengancam pertumbuhan ekonomi Indonesia antara lain karena menurunnya penerimaan negara serta ketidakpastian ekonomi global, memerlukan kebijakan dan langkah-langkah luar biasa di bidang keuangan negara termasuk di bidang perpajakan dan keuangan daerah, dan sektor keuangan, yang harus segera diambil Pemerintah dan lembaga-lembaga terkait guna mengatasi kondisi mendesak tersebut dalam rangka penyelamatan kesehatan, perekonomian nasional, dengan fokus pada belanja kesehatan, jaring pengaman sosial (social safety net), serta pemulihan dunia usaha yang terdampak. Oleh karena itu, diperlukan perangkat hukum yang memadai untuk memberikan landasan yang kuat bagi Pemerintah dan lembaga-lembaga terkait untuk pengambilan kebijakan dan langkah-langkah dimaksud.
Bahwa berdasarkan ketentuan dalam Pasal 22 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan: “ Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang ”. 123 Mengacu pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009, parameter kegentingan yang memaksa dalam rangka penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang antara lain: - karena adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan _masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang; _ - Undang-Undang yang dibutuhkan belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau tidak memadainya Undang-Undang yang _saat ini ada; dan _ - Kondisi kekosongan hukum yang tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa yang memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan. 5. Bahwa Perppu 1/2020 telah dikeluarkan oleh Presiden pada tanggal 31 Maret 2020 karena keadaan genting dan kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat dan untuk menyelamatkan perekonomian dari krisis yang diprediksi akan terjadi. Bahwa dalam keadaan mendesak tersebut diperlukan pemberian kewenangan bagi Pemerintah diantaranya agar dapat melakukan realokasi dan refocussing anggaran yang sebelumnya telah dialokasikan dalam APBN tahun 2020. Melalui realokasi dan refocussing yang bersifat segera diharapkan dapat segera memulihkan ekonomi dalam rangka mendukung Program Pemulihan Ekonomi Nasional sebagai akibat dari Pandemi Covid-19. 6. Bahwa oleh karenanya ketentuan dalam UU 2/2020 diharapkan dapat memberi fondasi hukum bagi pemerintah terhadap otoritas perbankan dan otoritas keuangan untuk mengambil langkah luar biasa guna menjamin kesehatan masyarakat, menyelamatkan perekonomian nasional, dan stabilitas sistem keuangan sebagaimana diatur UU a quo yang perlu menetapkan kebijakan keuangan negara dan kebijakan stabilitas sistem keuangan diantaranya dengan menetapkan batasan defisit anggaran, melakukan penyesuaian besaran belanja wajib ( mandatory spending ), dan melakukan pergeseran anggaran antarunit organisasi, antarfungsi, dan/atau antarprogram.
Bahwa urgensi sebagai dasar dibentuknya Perppu 1/2020 merupakan pertimbangan subjektif dari Presiden sebagai pihak yang berhak membentuk suatu perppu. Pertimbangan subjektif tersebut perlu untuk dinilai secara objektif oleh rakyat yang direpresentasikan oleh wakilnya, yaitu DPR, sebagaimana yang telah diamanatkan dalam Pasal 22 ayat (2) 124 UUD NRI Tahun 1945. Dengan disahkannya Perppu 1/2020 menjadi UU 2/2020, maka DPR sebagai wakil rakyat telah menilai urgensi tersebut merupakan hal yang nyata dan mendesak sehingga perlu memberikan persetujuan atas Perppu 1/2020 untuk menjadi undang-undang sehingga dapat digunakan Pemerintah sebagai dasar hukum yang lebih kuat untuk bereaksi secara cepat menghadap situasi Pandemi Covid-19. C. Keterangan DPR Terhadap Pengujian Formil UU 2/2020 Berdasarkan kewenangan MK yang diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, maka batu uji yang digunakan oleh MK untuk melakukan pengujian formil haruslah berdasarkan Pasal 20 UUD NRI Tahun 1945, terutama Pasal 20 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “ Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama” . Frasa “ persetujuan bersama” dalam ketentuan tersebut merupakan esensi berlakunya __ asas legalitas sehingga frase “ persetujuan bersama ” merupakan norma yang sangat fundamental sebagai dasar terbentuknya undang- undang. Jika proses pembentukan undang-undang telah memenuhi unsur legalitas, yakni telah adanya “ persetujuan bersama ”, dan tidak adanya kegagalan dalam mendapatkan “ persetujuan bersama ” DPR dan Presiden, maka secara konstitusional undang-undang tersebut menjadi sah secara formil. Sesuai landasan konstitusional kewenangan MK menguji undang- undang terhadap UUD NRI Tahun 1945, maka pengujian undang-undang secara formil hanya dapat dinyatakan cacat prosedur jika telah bertentangan dengan ketentuan Pasal 20 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Namun demikian, jika Yang Mulia Hakim Konstitusi berpendapat lain, maka mohon pertimbangan yang seadil-adilnya, dan DPR tetap bersikap kooperatif dengan menerangkan lebih lanjut hal-hal yang dipermasalahkan oleh Para Pemohon dalam pengujian formil. 125 1. Tanggapan DPR terhadap dalil Para Pemohon Perkara 75 mengenai batasan waktu 45 hari dalam pengujian formil undang-undang harus dikesampingkan karena tidak berdasarkan pada UUD NRI Tahun 1945. a) Bahwa Mahkamah Konstitusi dalam konteks ketatanegaraan Indonesia dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi ( the guardian of constitution ) dan sebagai pengawal demokrasi ( the guardian of democracy ) yang diberikan kewenangan oleh UUD NRI Tahun 1945 untuk dapat menguji undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945. Kewenangan ini diberikan sebagai fungsi Mahkamah Konstitusi dalam menegakkan keadilan konstitusional di tengah kehidupan masyarakat. Namun di sisi lain, Mahkamah Konstitusi juga bertugas mendorong dan menjamin agar konstitusi dihormati dan dilaksanakan oleh semua komponen negara secara konsisten dan bertanggungjawab. b) Bahwa undang-undang bersifat mengikat dan memaksa bagi semua warga negara, sehingga agar dapat dilaksanakan harus diundangkan dalam Lembaran Negara agar setiap orang dianggap mengetahui atas undang-undang tersebut. Hal ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum kepada masyarakat atas keberlakuan suatu undang- undang. c) Bahwa untuk menjamin kepastian hukum, pengujian undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945 diperlukan pembatasan waktu untuk dapat diuji secara formil. Pembatasan waktu ini tidak boleh terlalu lama dari waktu diundangkannya suatu undang-undang dalam Lembaran Negara, karena karakteristik pengujian formil berbeda dengan pengujian materiil yang hanya menguji kata, frasa, ayat dan/atau pasal saja dalam undang-undang atas dasar kerugian konstitusional pemohon. Sedangkan pengujian formil didasarkan atas undang- undang yang merugikan konstitusi yang proses pembentukannya tidak sesuai dengan ketentuan dalam UUD NRI Tahun 1945, sehingga dapat membatalkan keseluruhan undang-undang. d) Bahwa Mahkamah Konstitusi dalam menjaga hal tersebut harus berhati-hati dalam menguji formalitas suatu undang-undang, karena yang menjadi fokus pengujian formil bukanlah atas dasar dalil kerugian 126 pemohon, namun Mahkamah Konstitusi harus mengutamakan keadilan dan kebenaran konstitusional. Mahkamah Konstitusi harus memahami ruh, ide, landasan filosofis, dan suasana kebatinan yang terjadi selama penyusunan undang-undang sehingga dapat memahami urgensi suatu undang-undang harus segera ditetapkan. e) Bahwa Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal konstitusi ( the guardian of constitution ) dan sebagai pengawal demokrasi ( the guardian of democracy ) telah tepat memberikan pembatasan waktu pengujian formil 45 hari setelah suatu undang-undang diundangkan dalam Lembaran Negara dalam menjaga kepastian hukum. Pembatasan ini sebagaimana Putusan Nomor 27/PUU-VII/2009 Paragraf [3.34] yang menyatakan, “ Menimbang bahwa terlepas dari putusan dalam pokok permohonan a quo Mahkamah memandang perlu untuk memberikan batasan waktu atau tenggat suatu Undang-Undang dapat diuji secara formil. Pertimbangan pembatasan tenggat ini diperlukan mengingat karakteristik dari pengujian formil berbeda dengan pengujian materiil. Sebuah Undang-Undang yang dibentuk tidak berdasarkan tata cara sebagaimana ditentukan oleh UUD 1945 akan dapat mudah diketahui dibandingkan dengan Undang-Undang yang substansinya bertentangan dengan UUD 1945. Untuk kepastian hukum , sebuah Undang- Undang perlu dapat lebih cepat diketahui statusnya apakah telah dibuat secara sah atau tidak, sebab pengujian secara formil akan menyebabkan Undang-Undang batal sejak awal. Mahkamah memandang bahwa tenggat 45 (empat puluh lima) hari setelah Undang-Undang dimuat dalam Lembaran Negara sebagai waktu yang cukup untuk mengajukan pengujian formil terhadap Undang-Undang; ” f) Bahwa terkait hukum acara pembatasan waktu 45 hari dalam mengajukan pengujian formil di Mahkamah Konstitusi merupakan materi yang seharusnya diatur dalam undang-undang oleh pembentuk undang-undang, namun selama belum diatur dalam undang-undang Mahkamah Konstitusi dapat mengatur hukum acara yang bersifat teknis untuk mengisi kekosongan hukum. Dalam hal ini, UUD NRI Tahun 1945 sebagai Konstitusi tidak mungkin mengatur secara rinci mengenai hal teknis batasan hari seperti yang didalilkan oleh Para Pemohon, karena dibutuhkan Undang-Undang lain untuk mengatur mengenai hal tersebut. Sehingga Mahkamah Konstitusi memiliki 127 kewenangan untuk mengatur sendiri hukum acara yang bersifat teknis dalam sidang pengadilan selama belum diatur dalam Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi. g) Bahwa terhadap pengujian perkara nomor 75/PUU-XVIII/2020 yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi pada tanggal 9 September 2020 sesungguhnya telah melewati batas waktu pengujian formil 45 hari sejak diundangkannya UU a quo , yakni pada tanggal 18 Mei 2020 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6516. Oleh karenanya berdasarkan fakta hukum tersebut DPR berpandangan permohonan Perkara nomor 75/PUU-XVIII/2020 tidak memenuhi ketentuan batas waktu 45 hari yang ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi, sehingga sepatutnya Mahkamah Konstitusi menyatakan Permohonan 75/PUU-XVIII/2020 tidak dapat diterima.
Tanggapan DPR terhadap dalil Para Pemohon Perkara 37 dan Perkara 75 mengenai prosedur konstitusional pengesahan telah disimpangi dengan tidak adanya keterlibatan DPD. Bahwa Para Pemohon Perkara 37 dan Perkara 75 dalam perbaikan permohonannya mendalilkan tidak adanya keterlibatan DPD dalam pembahasan Perppu yang telah ditetapkan menjadi UU dengan UU 2/2020 bertentangan dengan prinsip negara hukum, prinsip kedaulatan rakyat dan kewenangan legislasi DPD. Terhadap dalil tersebut DPR menerangkan sebagai berikut: a) Bahwa berdasarkan Pasal 20 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 ditentukan kewenangan untuk membentuk undang-undang ada pada DPR. Adapun terkait UUD NRI Tahun 1945 menghendaki bahwa setiap RUU dibahas antara DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama (Pasal 20 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945). b) Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 22D ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 mengatur bahwa Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang- undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya _ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; _ 128 serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama. c) Bahwa keikutsertaan DPD dalam pembahasan RUU hanya sebatas yang berkaitan dengan _otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; _ pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Hal ini juga sesuai dengan Pasal 65 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 15 Tahun 2019 (selanjutnya disebut UU 12/2011). d) Bahwa Perppu 1/2020 pada intinya secara garis besar mengatur mengenai kebijakan keuangan negara, apabila dalam pelaksanaannya memiliki dampak terhadap alokasi perimbangan keuangan pemerintah pusat dan pemerintahan daerah, hal itu merupakan konsekuensi bahwa keuangan daerah merupakan bagian dari keuangan negara. Sehingga telah jelas bahwa Perppu tersebut tidak mengatur secara khusus mengenai _otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; _ pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah . Selain itu UU 2/2020 yang dipermasalahkan oleh Para Pemohon merupakan pengesahan Perppu 1/2020 sehingga pembentuk undang-undang tidak berkewajiban untuk mengikutsertakan DPD dalam pembahasan RUU penetapan Perppu 1/2020 menjadi undang-undang. e) Berdasarkan Pasal 71 huruf d dan Pasal 249 ayat (1) huruf b Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2019 (UU MD3) bahwa DPD ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan _daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; _ pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah . RUU Penetapan Perppu 1/2020 menjadi UU tidak memiliki pertautan dengan bidang 129 yang mengharuskan keikutsertaan DPD dalam pembahasannya melainkan mengenai DPR memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan, sehingga DPD tidak memiliki kewenangan untuk ikut membahas RUU tersebut.
Tanggapan DPR terhadap dalil Para Pemohon Perkara 37, Para Pemohon Perkara 43 dan Para Pemohon Perkara 75 mengenai rapat virtual yang berpotensi dihadiri tidak secara konkret karena kuorum rapat dibuktikan dengan tandatangan sebelum menghadiri rapat. a) Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, Perppu 1/2020 dibentuk pada intinya untuk melakukan penyelamatan kesehatan dan perekonomian nasional yang terdampak dari Pandemi Covid-19 . Bahwa pada saat Perppu 1/2020 tersebut diajukan oleh Pemerintah kepada DPR untuk menjadi undang-undang, negara dalam kondisi darurat bencana yang menimbulkan kepanikan di masyarakat. b) Dalam kondisi demikian, maka DPR sebagai wakil rakyat harus tetap melaksanakan tugasnya untuk membahas Perppu 1/2020 bersama dengan Pemerintah. Bahwa pada saat itu peraturan perundang- undangan yang menjadi dasar hukum pembentuk undang-undang melaksanakan tugasnya masih belum menjangkau penggunaan sarana informasi dan teknologi dalam pembahasan dan pengesahan undang-undang. Hal tersebut disebabkan tidak terprediksinya kondisi yang diakibatkan dari penyebaran Pandemi Covid-19 yang begitu masif dan berdampak pada timbulnya korban jiwa. Adapun pada saat munculnya kasus pertama penyebaran Covid-19 di Indonesia hingga saat ini, Pemerintah telah membuat kebijakan mengenai salah satu upaya penanggulangan penyebaran Pandemi Covid-19 adalah dengan melakukan pembatasan sosial berskala besar dengan mengharuskan tiap orang menjaga jarak. c) Adapun salah satu kebijakan Pemerintah dalam upaya penanggulangan penyebaran pandemi Covid-19 adalah dengan melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang dilaksanakan di beberapa daerah di Indonesia. Sebagai lembaga yang berkedudukan di DKI Jakarta yang juga menerapkan PSBB, maka DPR dan Presiden juga harus mengikuti kebijakan yang telah ditetapkan 130 Pemerintah Daerah tersebut. Meskipun demikian, tugas pokok dan fungsi sebagai lembaga tetap harus berjalan, sehingga sebagai alternatif pelaksanaan rapat dan koordinasi supaya tugas dan fungsi DPR dan Presiden tetap berjalan adalah dengan menggunakan sarana informasi dan teknologi berupa video meeting atau virtual meeting. d) Pada saat kondisi demikian agar tugas pembentukan undang-undang tidak terbengkalai, DPR perlu melakukan terobosan hukum, yaitu dengan menetapkan Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib (Tatib DPR 2020) yang mulai berlaku pada tanggal 2 April 2020. Berdasarkan Tatib DPR 2020 tersebut di dalam ketentuan Pasal 254 ayat (4) dinyatakan bahwa: “ Semua jenis rapat DPR dihadiri oleh Anggota, kecuali dalam keadaan tertentu, yakni keadaan bahaya, kegentingan yang memaksa, keadaan luar biasa, keadaan konflik, bencana alam, dan keadaan tertentu lain yang memastikan adanya urgensi nasional, rapat dapat dilaksanakan secara virtual dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi. ” Dengan menggunakan dasar hukum tersebut, maka DPR melalui Badan Anggaran bersama Pemerintah melakukan Pembahasan Tingkat I UU a quo pada tanggal 4 Mei 2020 dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi melalui rapat virtual. Begitu pun halnya dengan Pembahasan Tingkat II yang menyetujui Perppu 1/2020 menjadi UU pada Rapat Paripurna tanggal 12 Mei 2020 dilaksanakan dengan menggunakan rapat kombinasi secara fisik maupun dengan teknologi informasi dan komunikasi melalui rapat virtual . e) Menanggapi dalil Para Pemohon Perkara 37, Para Pemohon Perkara 43 dan Para Pemohon Perkara 75 tersebut, DPR menerangkan bahwa pelaksanaan rapat yang dihadiri secara virtual telah diatur secara jelas dalam Pasal 279 ayat (6) Tatib DPR 2020 yang menyatakan bahwa: “ Dalam hal penandatanganan daftar hadir Anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak dapat dilakukan dan disebabkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 254 ayat (4), kehadiran Anggota dalam semua jenis rapat DPR dilakukan berdasarkan kehadiran secara virtual. ” Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 279 ayat (7) Tatib DPR 2020 menyatakan bahwa: 131 “ Bukti kehadiran secara virtual sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat dikonfirmasi dan diverifikasi keabsahannya melalui Sekretariat Jenderal DPR. ” Oleh karena itu berdasarkan dokumen sebagaimana terlampir dalam Lampiran I, maka Pembahasan Tingkat II yang menyetujui Perppu 1/2020 menjadi UU pada Rapat Paripurna tanggal 12 Mei 2020 yang dilakukan secara virtual tersebut, maka kehadiran pembentuk undang- undang telah memenuhi ketentuan perundang-undangan. f) Oleh karena itu dalil Para Pemohon Perkara 37, Para Pemohon Perkara 43 dan Para Pemohon Perkara 75 tersebut hanya merupakan asumsi karena jelas bahwa pembahasan dan pengesahan undang- undang dengan menggunakan sarana teknologi dan informasi telah memiliki dasar hukum melalui Tatib DPR 2020. Selain itu berdasarkan risalah Rapat Paripurna bahwa dengan Pimpinan DPR memberikan keputusan penetapan Perppu 1/2020 menjadi undang-undang artinya memberikan persetujuan dan juga mengikat anggota yang hadir baik secara fisik dan virtual (non fisik) (Lampiran II) 4. Tanggapan DPR terhadap dalil Para Pemohon Perkara 43 mengenai UU 2/2020 tidak memenuhi syarat Pasal 22 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 dan Pasal 52 ayat (1) UU 12/2011 terkait frasa “ persidangan yang berikut ”. a) Bahwa di dalam Rapat Kerja Badan Anggaran DPR RI bersama Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Bank Indonesia, dan Lembaga Penjamin Simpanan tertanggal 4 Mei 2020 bahwa pada saat itu terdapat 9 (sembilan) fraksi yang menyetujui Perppu 1/2020 untuk ditetapkan menjadi undang-undang, hanya fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) yang belum menyatakan persetujuannya. Berdasarkan rapat pada saat itu, DPR RI menerangkan bahwa UU a quo disetujui untuk ditetapkan menjadi undang-undang, dari titik tolak pemikiran bahwa Alinea keempat Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 dinyatakan bahwa tujuan dibentuknya Pemerintahan Negara Indonesia adalah untuk melindungi segenap rakyat Indonesia. Dengan demikian asas keselamatan rakyat Indonesia adalah yang diutamakan, untuk memberikan keyakinan bahwa Perppu 1/2020 tersebut harus dibahas 132 segera dan secepatnya untuk memenuhi asas keselamatan rakyat yang diamanatkan di dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 tersebut. b) Bahwa Perppu 1/2020 merupakan kewenangan yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam kondisi darurat yang bersifat fundamental dan krusial yang berdampak pada stabilitas perekonomian nasional jangka panjang, maka pengaturan hal tersebut perlu untuk diberikan dasar legalitas yang lebih kuat dalam bentuk undang-undang. c) Bahwa DPR selain memiliki fungsi legislasi sebagai pembentuk undang-undang berdasarkan Pasal 20A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, juga memiliki fungsi anggaran. Berkaitan dengan Perppu 1/2020 sebagai peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh pemerintah yang berfokus pada penataan ulang anggaran hingga beberapa tahun ke depan yang tentu saja memiliki dampak terhadap APBN, dimana sesuai dengan UUD NRI Tahun 1945 pembahasan dan pengesahan dalam Perppu 1/2020 menjadi UU sangat memerlukan peran DPR dalam melaksanakan fungsi anggaran sebagai kerangka representasi rakyat. Oleh karena itu, penting bagi DPR untuk segera membahas dan menetapkan Perppu 1/2020 menjadi UU dalam waktu yang cepat karena adanya kebutuhan mendesak yang dapat berdampak terhadap stabilitas perekonomian nasional. d) Dengan adanya situasi pandemi Covid-19 tersebut yang memiliki dampak bukan hanya terhadap kesehatan dan keselamatan rakyat, tetapi juga memiliki dampak terhadap perekonomian negara dalam jangka panjang, oleh karenanya proses penetapan Perppu 1/2020 menjadi UU yang harus dilakukan secepatnya oleh DPR merupakan langkah cepat DPR dalam menghadapi keadaan darurat negara. Keadaan darurat tersebut tetap harus dipahami dalam pandangan yang sesuai dengan alas fakta yang terjadi pada saat keadaan darurat, dan tidak menggunakan parameter dan indikator keadaan normal. Oleh sebab itu, keputusan DPR yang secara cepat mengesahkan Perppu 1/2020 menjadi UU merupakan langkah yang tepat dan mencerminkan asas prosesual bahwa penundaan yang tidak beralasan ( undue delay ) 133 harus dihindarkan, hal ini adalah demi kepentingan negara dan kepentingan umum yang harus dilindungi. e) Hal tersebut menunjukkan bahwa DPR memiliki kesamaan pandangan dengan Pemerintah mengenai adanya kegentingan memaksa dan perlunya kebijakan serta tindakan yang harus segera dilakukan dalam menghadapi pandemi Covid-19. Persetujuan DPR dimaksud menjadikan norma tersebut memenuhi amanat UUD NRI Tahun 1945 dan memberikan kepastian hukum bagi keberlanjutan langkah-langkah Pemerintah dalam penanganan situasi extraordinary pandemi Covid- 19, yang telah secara nyata menimbulkan pemburukan ekonomi dan ancaman krisis apabila tidak segera ditangani. Dengan adanya legitimasi tersebut, Pemerintah memiliki fleksibilitas melakukan recovery terhadap situasi dan kondisi perekonomian. Semakin mampu Pemerintah menangani dampak yang ditimbulkan oleh pandemi Covid- 19 seiring dengan perkembangan/perlambatan penyebaran virus ( flattening the curve ), semakin mempercepat negara keluar dari pemburukan ekonomi. D. Keterangan DPR Terhadap Pengujian Materiil UU 2/2020 1. Pandangan DPR RI terhadap pengujian judul UU 2/2020:
Berdasarkan metode penafsiran secara gramatikal yaitu metode penafsiran melalui pendekatan tatabahasa yang ada pada rumusan UU, dalam memahami UU, tanda baca, diksi, dan pola susunan kalimat sedemikan rupa benar benar diperhatikan. Berdasarkan metode penafsiran tersebut judul Lampiran UU 2/2020 sudah jelas, tidak ambigu, memang yang diatur dalam Lampiran UU 2/2020 ini adalah langkah Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Keuangan dikarenakan adanya pandemi Covid 19 yang saat ini terjadi. Bukan mengatur tentang langkah tindakan Pemerintah untuk menangani Covid 19. Yang menjadi subyek dari judul ini adalah Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Covid-19. Dua subyek tersebut adalah dua hal yang berbeda namun satu kesatuan yang diatur dalam Lampiran UU 2/2020 ini.
Judul dan materi muatan sudah sesuai, materi muatan terdiri atas 6 bab yang hampir semuanya mengatur mengenai langkah-langkah 134 kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan yang akan dijalankan pemerintah, dan tidak mengatur mengenai langkah-langkah untuk menangani pandemi Covid-19.
Berdasarkan Ketentuan dalam UU 12/2011 Lampiran II Bagian A mengatur bahwa: ● Judul Peraturan Perundang–undangan memuat keterangan mengenai jenis, nomor, tahun pengundangan atau penetapan, dan nama Peraturan Perundang–undangan; ● Judul Peraturan Perundang-undangan ditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang diletakkan di tengah marjin tanpa diakhiri tanda baca; ● Pada nama Peraturan Pemerintah Pengganti Undang–Undang (Perpu) yang ditetapkan menjadi Undang–Undang, ditambahkan kata penetapan di depan judul Peraturan Perundang–undangan yang ditetapkan dan diakhiri dengan frasa menjadi Undang-Undang; Berdasarkan ketentuan tersebut, judul yang tertulis pada UU 2/2020 maupun Perppu 1/2020 yang merupakan lampiran dari UU 2/2020 telah sesuai dengan ketentuan dalam UU 12/2011.
Pandangan DPR terhadap materi muatan kebijakan pelebaran defisit anggaran sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UU a quo . __ a. Bahwa sesuai amanat konstitusi, APBN digunakan untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat, namun ketika keadaan darurat karena Covid-19 yang telah secara nyata memberikan dampak pada perekonomian negara seperti saat ini maka penggunaan APBN dapat disesuaikan untuk kepentingan yang lebih besar yaitu menyelamatkan perekonomian negara yang mana hal ini justru untuk menciptakan manfaat yang lebih besar.
Implikasi pandemi Covid-19 telah berdampak pula terhadap ancaman semakin memburuknya sistem keuangan yang berisiko pada ketidakstabilan makro ekonomi dan sistem keuangan yang perlu dimitigasi bersama oleh Pemerintah dan lembaga terkait dengan melakukan tindakan antisipasi guna menjaga stabilitas sektor keuangan. Bahwa kedalaman implikasi Covid-19 terhadap perekonomian sulit diukur karena puncak pandemi Covid-19 belum dapat dipastikan 135 waktunya. Implikasi ekonomi yang ditimbulkan oleh Covid-19 terhadap perekonomian sangat dalam sehingga semua skenario perlu disiapkan untuk menghadapi situasi yang paling buruk, bahkan dalam bentuk “ worst case scenario ”. Maka pemerintah dan lembaga terkait perlu mengambil langkah luar biasa dalam rangka penyelamatan perekonomian nasional dengan berbagai kebijakan relaksasi yang berkaitan dengan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dengan melakukan peningkatan belanja untuk kesehatan, jaring pengaman sosial dan pemulihan perekonomian, serta memperkuat kewenangan berbagai lembaga dalam sektor keuangan.
Bahwa Para Pemohon Perkara 37 dan Pemohon Perkara 45 mendalilkan UU a quo melampaui dari ruang lingkup yang diatur di dalam Pasal 1 karenanya senyatanya Pasal 2 ayat (1) huruf a justru mengatur dalam jangka waktu sampai dengan 2022 bahkan sampai 2023. Selain itu, negara-negara lain, pemerintahnya tidak diberi kewenangan khusus dalam bidang anggaran selama bertahun-tahun. Terhadap dalil tersebut, DPR berpandangan sebagai berikut:
Dalam Lampiran UU 2/2020 tetap terdapat pembatasan- pembatasan yaitu: Pertama, kewenangan menetapkan defisit melampaui 3% dari PDB hanya berlaku paling lama sampai dengan berakhirnya Tahun Anggaran 2022 (dalam jangka waktu kurang lebih 2 tahun atau bisa kurang dari waktu tersebut jika recovery ekonomi dapat berjalan lebih cepat); dan penyesuaian besaran defisit tersebut dilakukan secara bertahap. Sebagai perbandingan dengan negara lain, Amerika Serikat, Australia, Singapura, dan Malaysia telah mengeluarkan stimulus fiskal yang mencapai lebih dari 10% PDB-nya. Amerika Serikat hanya dalam waktu kurang dari 3 bulan menambah utang dengan 3 Triliun US$ yang jumlah tersebut sama dengan jumlah 3 kali PDB Indonesia. (Lampiran II). Kedua , pelebaran defisit tersebut tetap dalam koridor jumlah pinjaman yang dapat dilakukan dalam rangka pelaksanaan pelebaran defisit tersebut yaitu di batasi maksimal 60% (enam puluh persen) dari PDB sesuai UU Keuangan Negara 136 2) Bahwa defisit anggaran yang tidak dapat dihindari tersebut tentunya butuh penanganan sehingga meningkatnya besaran utang negara adalah suatu hal yang pasti terjadi. Solusi ini adalah satu diantara upaya-upaya yang dilakukan oleh Pemerintah selain melakukan penyesuaian besaran belanja wajib, pergeseran anggaran antar unit organisasi, antar fungsi dan/atau antar program dan lain sebagainya sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 2 Lampiran UU 2/2020.
Bahwa konsekuensi dari pelebaran defisit tersebut tentunya berdampak pada tahun-tahun berikutnya. Sehingga penentuan atau pembatasan APBN sampai tahun anggaran 2022 merupakan pilihan kebijakan yang logis. Oleh karena itu, Pemerintah memberikan prediksi dengan menetapkan batasan defisit anggaran melampaui 3% dari PDB sampai dengan tahun anggaran 2022. Sedangkan pada tahun anggaran 2023, Pemerintah optimis besaran defisit anggaran akan kembali menjadi paling tinggi sebesar 3% dari PDB. Hal ini merupakan optimisme Pemerintah dalam mengupayakan perbaikan kondisi perekonomian dan keuangan nasional. Hal ini harus dipahami oleh Para Pemohon a quo mengingat kondisi dan kemampuan setiap negara berikut kebijakan-kebijakan yang diambil tidak dapat disamaratakan karena karakteristik dan tren pertumbuhan perekonomiannya yang juga tidak sama.
Bahwa APBN Tahun Anggaran 2021 dan Tahun 2022 dalam lampiran UU 2/2020 ini tidak diatur karena UU APBN Tahun Anggaran 2021 dan Tahun Anggaran 2022 belum disusun dan diundangkan ketika pengundangan UU 2/2020. Dalam penyusunan APBN Tahun Anggaran 2021 dan Tahun Anggaran 2022 tetap diberlakukan mekanisme penyusunan APBN sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan sehingga esensi Pasal 23 UUD NRI Tahun 1945 tetap terjaga.
DPR menerangkan pembentukan Perppu merupakan kewenangan konstitusional Presiden sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 22 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Baru selanjutnya diberlakukan 137 ketentuan Pasal 22 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang merupakan kewenangan konstitusional DPR RI untuk memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan atas Perppu yang dibentuk oleh Presiden pada masa sidang yang berikutnya. Karakter hukum UU APBN yang merupakan undang-undang penetapan, berbeda dengan undang-undang pengaturan pada umumnya. Karena sifat hukumnya tersebut, UU APBN sebenarnya merupakan domain pemerintah dalam perumusan dan perencanaannya, yang kemudian membutuhkan hak budget DPR untuk menyetujui atau tidak. Dalam hal kondisi kedaruratan, persetujuan tidak ditempatkan di awal, melainkan sekalian di akhir pelaksanaan dengan maksud terjadinya perubahan konsep hak budget DPR yang sebelumnya menguji pengeluaran negara untuk kebutuhan di tahun berjalan, menjadi menguji pengeluaran negara untuk kemanfataan di tahun berjalan. Keduanya sama-sama tetap menggunakan dan menjalankan hak budget DPR, di mana hak budget keadaan normal, alokasi yang tidak disetujui DPR karena belum menjadi kebutuhan akan dicoret atau ditarik. Sedangkan dalam keadaan darurat, alokasi yang tidak disetujui karena tidak sesuai kemanfaatannya harus dipertanggungjawabkan pemerintah dalam berbagai bentuk, yaitu meminta Badan Pemeriksa Keuangan melakukan pemeriksaan dan melaporkannya kepada DPR, meminta pemerintah melakukan koreksi dan pengembalian sesuai dengan rekomendasi pemeriksaan BPK, atau DPR dapat menggunakan hak yang dimilikinya dalam mengawasi penggunaan APBN keadaan darurat.
Selain itu terkait keinginan Pemohon Perkara 45 agar RUU APBN Tahun 2021 dibahas Pemerintah dengan DPR RI senyatanya sudah disampaikan Pemerintah dalam rangkaian rapat paripurna tertanggal 12 Mei 2020, 14 Juli 2020, dan 14 Agustus 2020 (Lampiran II, Lampiran III dan lampiran IV). Sebagai tambahan informasi, pada 25 September 2020, Kemenkeu selaku yang mewakili Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyepakati Rancangan Undang-Undang (RUU) Anggaran 138 Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2021 di Banggar dan Pemerintah bersama DPR telah menyetujui defisit anggaran sebesar 5,7% dari PDB pada Rapat Paripurna DPR tanggal 29 September 2020. Semua fraksi DPR juga menyampaikan bahwa kondisi Covid-19 masih belum memberikan kepastian pada tahun 2021, sehingga Pemerintah dengan pimpinan Banggar dan para anggota Banggar bersama-sama memformulasikan RUU APBN 2021 yang disatu sisi memberikan signal kepada masyarakat, dunia usaha bahwa pemerintah terus melakukan support agar mereka bisa pulih dan bangkit kembali, namun di sisi lain juga memberikan sinyal kehati-hatian, sinyal prudent atau kebijakan dalam menjaga keseluruhan dan keberlangsungan APBN.
Oleh karenanya dalil bahwa kewenangan penetapan UU APBN oleh DPR menjadi nihil, (dalam hal ini dalil tersebut juga disampaikan oleh Para Pemohon Perkara 42) adalah anggapan yang salah. Hal ini disebabkan perubahan mekanismenya saja, yang sebelumnya Hak Budget DPR dilakukan di awal menjadi di akhir setelah diterbitkannya LKPP. Selain itu, dalam memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap penetapan Perppu 1/2020 menjadi undang-undang tersebut, tentunya DPR mengkaji terlebih dahulu urgensi dan implikasi pemberlakuan ketentuan dalam Perppu tersebut sebagai undang-undang sebelum dilakukan penetapan Perppu tersebut sebagai undang-undang. Pengaturan dalam Perppu ini tidak berarti menghilangkan mekanisme persetujuan DPR dalam penetapan UU APBN mengingat UU APBN Tahun Anggaran 2020 telah ditetapkan, dan UU APBN Tahun Anggaran 2021 telah dibahas oleh DPR dan Pemerintah, dan UU APBN Tahun Anggaran 2022 masih belum disusun dan belum diajukan oleh Pemerintah kepada DPR RI.
Pandangan DPR terkait penggunaan dana yang bersumber dari Dana Abadi Pendidikan untuk penanganan Pandemi Covid-19, DPR.
Akumulasi dana abadi pendidikan yang dimaksud dalam Pasal a quo adalah akumulasi dana abadi dari tahun-tahun sebelumnya dan tidak 139 termasuk porsi dana abadi pendidikan yang dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun berjalan ( vide Penjelasan Pasal 2 ayat (1) huruf e UU a quo ).
Anggaran dana pendidikan yang sudah dialokasikan dalam UU APBN tahun berjalan tidak termasuk dalam objek yang diatur dalam ketentuan Pasal a quo sehingga kewajiban Pemerintah untuk memenuhi mandatory spending dana pendidikan sebesar 20% tetap dilaksanakan. Oleh karena itu yang dapat digunakan oleh Pemerintah dalam realokasi penggunaan dana abadi pendidikan dan akumulasi dana pendidikan untuk penanganan Pandemi Covid-19 tidak mengganggu alokasi dana pendidikan yang sudah ditetapkan dalam UU APBN sebesar 20%.
Bahwa penggunaan dana abadi sebagai sumber pembiayaan APBN tahun berjalan merupakan salah satu opsi yang dipersiapkan pemerintah dalam penanganan pandemi Covid-19. Opsi tersebut hanya akan dipergunakan apabila seluruh pembiayaan lain yang tersedia tidak memenuhi kebutuhan pembiayaan pemerintah dalam penanganan pandemi Covid-19. Namun demikian, pemanfaatannya akan tetap memperhitungkan efektivitas dan ketepatan dibandingkan dengan surnber-sumber lain yang ada.
Pandangan DPR terkait kewenangan Pemerintah untuk menerbitkan Surat Utang Negara dan/atau Surat Berharga Syariah Negara dengan tujuan tertentu dan independensi Bank Indonesia a. Bahwa dasar hukum penerbitan SUN adalah Pasal 55 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (selanjutnya di sebut UU BI), yang berketentuan: ( 1) Dalam hal Pemerintah akan menerbitkan surat-surat utang negara, Pemerintah wajib terlebih dahulu berkonsultasi dengan Bank Indonesia. (2) Sebelum menerbitkan surat utang negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah wajib berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat. (3 ) Bank Indonesia dapat membantu penerbitan surat-surat utang negara yang diterbitkan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Dalam penerbitan Surat Utang Negara tersebut, terdapat peran DPR dalam mekanisme penerbitan surat utang negara berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (1) dan ayat (3) UU Nomor 24 Tahun 2002 140 tentang Surat Utang Negara (UU SUN) yang mengatur bahwa Penerbitan Surat Utang Negara harus terlebih dahulu mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat yang diberikan pada saat pengesahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Mekanisme ini harus tetap dilakukan oleh Pemerintah.
Dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (UU SBSN) diatur bahwa SBSN diterbitkan dengan tujuan untuk membiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara termasuk membiayai pembangunan proyek. Kewenangan menerbitkan SBSN berada pada Pemerintah dilaksanakan oleh Menteri dapat dilaksanakan secara langsung oleh Pemerintah atau melalui Perusahaan Penerbit SBSN. Dalam hal akan dilakukan penerbitan SBSN untuk tujuan membiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara termasuk membiayai pembangunan proyek, Menteri terlebih dahulu berkoordinasi dengan Bank Indonesia.
Ketentuan Pasal 8 UU SBSN mengatur bahwa Penerbitan SBSN harus terlebih dahulu mendapat persetujuan DPR pada saat pengesahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diperhitungkan sebagai bagian dari Nilai Bersih Maksimal Surat Berharga Negara yang akan diterbitkan oleh Pemerintah dalam satu tahun anggaran. Dalam rangka kedaruratan penanganan Covid-19 dan implikasinya terhadap kondisi perekonomian nasional, hal ini juga menjadi pertimbangan Presiden dalam penyusunan Perppu 1/2020 dan penetapannya sebagai undang-undang oleh DPR melalui UU 2/2020. Ketentuan Pasal 8 UU SBSN ini tidak disebutkan dalam ketentuan Pasal 28 lampiran UU 2/2020, sehingga masih berlaku dan harus dilaksanakan oleh Pemerintah.
Pasal 2 ayat (1) huruf f, Pasal 16 ayat (1) huruf c, dan Pasal 19 ayat (3) Lampiran UU 2/2020 mengatur bahwa Bl dapat membeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana atau primer. Pengaturan tersebut melengkapi ketentuan Pasal 55 ayat (4) UU Bl yang memberikan kewenangan Bl untuk membeli SUN di pasar primer atau perdana berjangka pendek yang diperlukan oleh Bl untuk operasi pengendalian moneter. Pengaturan pada Pasal 55 ayat (4) UU Bl dimaksudkan untuk 141 menjalankan tugas Bl dalam kondisi normal. Sementara saat ini, Presiden telah memutuskan kondisi kegentingan yang memaksa serta kekosongan hukum karena pandemi Covid-19 sehingga diterbitkan Perppu 1/2020. Dalarn mengatasi kondisi tersebut, diperlukan stimulus fiskal yang dapat berimplikasi pada pelebaran defisit APBN. Oleh karena itu, peran Bl perlu diperluas sehingga Bl dapat melakukan pembelian SUN dan/atau SBSN jangka panjang di pasar perdana khususnya dalam rangka penanganan permasalahan sistem keuangan yang membahayakan perekonomian nasional, termasuk SUN dan/atau SBSN yang diterbitkan dengan tujuan tertentu khususnya dalam rangka pandemi Covid-19.
Ketentuan dalam Pasal 16 ayat (1) hurut c Lampiran UU 2/2020 dimaksudkan untuk memberikan kelengkapan payung hukum bagi Bl untuk menetapkan dan melaksanakan kebijakan pembelian SUN dan/atau SBSN berjangka panjang di pasar perdana untuk penanganan permasalahan sistem keuangan yang membahayakan perekonomian nasional, termasuk SUN dan/atau SBSN yang diterbitkan dengan tujuan tertentu khususnya dalam rangka pandemi Covid-19. Dengan adanya ketentuan-ketentuan dalam Lampiran UU 2/2020, terbuka ruang baru bagi Bl dalam rnerumuskan dan rnelaksanakan kebijakan moneter melalui pembelian SUN di pasar primer atau perdana, baik yang berjangka pendek maupun panjang, untuk digunakan dalam operasi pengendalian moneter maupun yang diperlukan untuk pemulihan ekonomi nasional.
Pembelian SUN dan/atau SBSN oleh Bl di pasar perdana dilakukan untuk membantu pemerintah dalam pemenuhan pembiayaan APBN dan pembiayaan pelaksanaan pemulihan ekonomi nasional termasuk menjaga stabilitas sistem keuangan nasional yang menjadi peran Bl sebagai otoritas moneter dan bukan mengintervensi Bl dalam pelaksanaan tugasnya. Proses untuk membeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana merupakan mandat yang diberikan oleh UU 2/2020 sehingga sama sekali tidak ada intervensi terhadap independensi Bl.
Perlu dicermati pula bahwa SUN dan/atau SBSN yang diterbitkan oleh Pemerintah tidak wajib untuk dibeli oleh Bl. Rumusan-rumusan 142 ketentuan dalam Lampiran UU 2/2020 terkait kewenangan Bl untuk membeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana memuat kata "dapat". Penggunaan frasa "dapat" dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) huruf f dan Pasal 19 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 dimaknai bahwa tidak ada unsur kewajiban bagi Bl yang dapat menghilangkan independensi Bl sebagai bank sentral untuk memutuskan pembelian SUN dan/atau SBSN di pasar perdana. Pembelian SUN dan/atau SBSN didasarkan sesuai pertimbangan Bl dalam menjalankan tugasnya.
Kewenangan Bl untuk membeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana sebagaimana diatur dalam Lampiran UU 2/2020 dilaksanakan dengan tetap menjaga independensi Bl. Pasal 23D UUD NRI Tahun 1945 jo. Pasal 4 ayat (2) UU Bl telah mengatur bahwa Bl merupakan lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pemerintah dan/atau pihak lain. Pelaksanaan tugas dan wewenang Bl akan tetap berjalan secara efektif dengan berlakunya ketentuan dalam Lampiran UU 2/2020.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (3) UU a quo , kewenangan tersebut harus memenuhi skema dan mekanisme pembelian yang diatur bersama antara Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia dengan Keputusan Bersama Menteri Keuangan dan Gubernur Bl Nomor 190/KMK.08/2020 dan Nomor 22/4/KEP.GBl/2020 tanggal 16 April 2020 dengan menerapkan prinsip:
mengutamakan mekanisme pasar;
mempertimbangkan dampaknya terhadap inflasi secara terukur;
SUN dan/atau SBSN yang dapat dibeli oleh Bl bersifat tradable dan marketable ; dan
Bl sebagai pembeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana merupakan last resort dalam hal kapasitas pasar tidak mampu menyerap dan/atau menyebabkan kenaikan yield yang terlalu tinggi. 143 5. Pandangan DPR terkait penetapan sumber-sumber pembiayaan Anggaran yang berasal dari dalam dan/atau luar negeri dan pengaturan perubahan postur APBN melalui Peraturan Presiden sebagaimana diatur dalam UU a quo a. Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. Kekuasaan tersebut meliputi kewenangan yang bersifat umum dan kewenangan yang bersifat khusus. Untuk membantu Presiden dalam penyelenggaraan kekuasaan dimaksud, sebagian dari kekuasaan tersebut dikuasakan kepada Menteri Keuangan selaku Pengelola Fiskal dan Wakil Pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan, serta kepada Menteri/Pimpinan Lembaga selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya. Menteri Keuangan sebagai pembantu Presiden dalam bidang keuangan pada hakekatnya adalah Chief Financial Officer (CFO) Pemerintah Republik Indonesia, sementara setiap menteri/pimpinan lembaga pada hakekatnya adalah Chief Operational Officer (COO) untuk suatu bidang tertentu pemerintahan. Prinsip ini perlu dilaksanakan secara konsisten agar terdapat kejelasan dalam pembagian wewenang dan tanggung jawab, terlaksananya mekanisme checks and balances serta untuk mendorong upaya peningkatan profesionalisme dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan. Sub bidang pengelolaan fiskal meliputi fungsi-fungsi pengelolaan kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro, penganggaran, administrasi perpajakan, administrasi kepabeanan, perbendaharaan, dan pengawasan keuangan.
Pengecualian Pelaksanaan Kebijakan Keuangan Negara dalam Perppu ini sebagaimana diatur dalam Pasal 12 ayat (2) lampiran UU 2/2020 a quo : “ Perubahan postur dan/atau rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara dan langkah-langkah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 11 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden.” 144 Ketentuan tersebut hanya berlaku sepanjang berkaitan dengan kebijakan keuangan negara untuk penanganan penyebaran Covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan berdasarkan Perppu ini ( Vide Pasal 28 lampiran UU 2/2020). Dalam kondisi kembali normal semua ketentuan dalam UU MD3 berlaku seperti semula termasuk dalam hal mekanisme pembahasan APBN dan APBNP yang harus tetap mendapatkan persetujuan DPR. Selain itu meskipun APBN Perubahan ditetapkan dengan Peraturan Presiden karena situasi yang mendesak berdasarkan Perppu 1/2020 yang selanjutnya menjadi lampiran UU 2/2020, tetapi pertanggungjawaban APBN tetap kepada DPR.
Bahwa terkait dengan sumber-sumber pembiayaan negara, Pasal 12 ayat (3) UU Keuangan Negara mengatur bahwa dalam hal anggaran diperkirakan defisit, ditetapkan sumber-sumber pembiayaan untuk menutup defisit tersebut dalam Undang-undang tentang APBN. Dan penjelasan Pasal 12 ayat (3) UU Keuangan Negara tersebut mengatur bahwa jumlah pinjaman dibatasi maksimal 60% dari Produk Domestik Bruto. Ketentuan dalam penjelasan ini juga menjadi bagian yang dinyatakan tidak berlaku dalam Pasal 28 angka 3 lampiran UU 2/2020. Namun pada dasarnya, penetapan sumber-sumber pembiayaan tersebut diperbolehkan hanya saja batasan yang ada dalam penjelasan pasal tersebut tidak diberlakukan selama penanganan Covid-19 ini atau hingga tahun 2021. Selain itu, persebaran Covid-19 yang masif dan cepat ini membutuhkan penanganan cepat namun yang tidak dapat dilaksanakan melalui mekanisme APBN, sehingga telah jelas tidak ada pelanggaran prinsip pengelolaan keuangan negara dan tetap sejalan dengan prinsip negara hukum sebagaimana diatur oleh Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945.
Ketentuan Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 sama sekali tidak menghilangkan peran dan fungsi DPR, karena dengan telah disetujui dan ditetapkannya Perppu1/2020 menjadi UU 2/2020, telah menunjukkan bahwa perubahan postur dan/atau rincian APBN dengan Peraturan Presiden yang diatur dalam ketentuan Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 145 2/2020 tersebut telah mendapat persetujuan DPR. Selain itu, dalam pembentukan Peraturan Presiden tentang perubahan postur dan/atau rincian APBN, Pemerintah selalu mengkomunikasikannya dan melakukan pembahasan bersama dengan DPR. DPR dapat memberikan masukan dan rekomendasi kepada Pemerintah terkait postur dan/atau rincian APBN tersebut. Oleh karena itu, Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 __ yang mengatur bahwa perubahan postur dan/atau rincian APBN dilakukan dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden, sama sekali tidak menghilangkan peran dan fungsi DPR. Pengaturan perubahan postur dan/atau rincian APBN dalam ketentuan Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 telah diselaraskan dengan dicabutnya ketentuan Pasal 27 ayat (3) UU Keuangan Negara, Pasal 177 huruf c angka 2 dan Pasal 182 UU MD3, serta Pasal 40 UU APBN 2020 (vide ketentuan Pasal 28 angka 3, 10, dan 12 Lampiran UU 2/2020). Pencabutan berbagai ketentuan yang diatur dalam Pasal 28 angka 3, 10, dan 12 Lampiran UU 2/2020 tersebut, merupakan upaya harmonisasi agar tidak ada dualisme aturan atas satu permasalahan. Dengan demikian, ketentuan Pasal 28 angka 3, 10, dan 12 Lampiran UU 2/2020 telah memberikan kepastian hukum atas pelaksanaan ketentuan Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020, yaitu bahwa perubahan postur dan/atau rincian APBN dilakukan dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden.
Pandangan DPR Terhadap Kebijakan Di Bidang Keuangan Daerah sebagaimana diatur dalam UU a quo a. Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945, Pemerintah Daerah telah diberikan kewenangan untuk mengatur dan mengurus sendi r i urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda). Penjelasan umum UU Pemda menyatakan bahwa pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah dilaksanakan berdasarkan prinsip negara kesatuan. Dalam negara kesatuan, kedaulatan hanya ada pada pemerintahan negara atau pemerintahan nasional dan tidak terdapat kedaulatan pada pemerintahan daerah. Oleh karena itu, seluas apapun otonomi yang 146 diberikan kepada daerah, tanggung jawab akhir penyelenggaraan pemerintahan daerah akan tetap ada di tangan pemerintah pusat. Untuk itu pemerintahan daerah pada negara kesatuan merupakan satu kesatuan dengan pemerintahan nasional.
Kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan oleh daerah merupakan bagian integral dari kebijakan nasional. Pembedanya, terletak pada bagaimana memanfaatkan kearifan, potensi, inovasi, daya saing, dan kreativitas daerah untuk mencapai tujuan nasional tersebut di tingkat lokal yang pada gilirannya akan mendukung pencapaian tujuan nasional secara keseluruhan. Pada kondisi pandemi Covid-19, hal yang perlu diperhatikan dalarn pelaksanaan kebijakan keuangan di daerah adalah kecepatan dan ketepatan untuk menyesuaikan anggaran sehingga tepat sasaran. Lebih lanjut, berdasarkan dengan Pasa l 6 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (UU Keuangan Negara), kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan, telah diserahkan kepada kepada gubernur/bupati/wali kota untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili Pemerintah Daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan.
Namun demikian, dalam pelaksanaannya, penyelenggaraan pemerintahan daerah, termasuk keuangan daerah, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam UU Pemda sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015. Dalam ketentuan Pasal 9 ayat (2) UU Pemda disebutkan urusan absolut adalah urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat. Lebih Ianjut dalam ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf e UU Pemda disebutkan jika salah satu urusan pemerintahan absolut tersebut adalah urusan moneter dan fiskal nasional. Dalam menangani pandemi Covid-19 dan menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan, kebijakan yang diterapkan di bidang keuangan negara yang memberikan relaksasi untuk refocusing APBN, sudah seharusnya juga diterapkan pada pemerintahan daerah, khususnya dalam hal relaksasi untuk refocusing APBD. Oleh karena itu, kebersarnaan dan gotong royong oleh 147 pemerintah pusat dan Pemerintah Daerah dapat menuntaskan permasalahan kesehatan dan ekonomi dampak Covid-19.
Sesuai ketentuan Pasal 8 UU Pemda, telah diatur bahwa pembinaan dan pengawasan terhadap urusan penyelenggaraan pemerintahan oleh daerah dikoordinasikan oleh Menteri Dalam Negeri. Hal tersebut dapat menjadi landasan Kementerian Dalam Negeri untuk memberikan petunjuk/pedoman tentang keuangan daerah kepada Pemerintah Daerah agar penggunaan realokasil refocusing seragam dan terarah bagi seluruh daerah. Sebagaimana telah diatur dalam Pasal 280 UU Pemda, dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang diserahkan dan/atau ditugaskan, penyelenggara pemerintahan daerah memiliki kewajiban dalam pengelolaan keuangan daerah antara lain meliputi sinkronisasi pencapaian sasaran program daerah dalam APBD dengan program pemerintah pusat.
Sejalan dengan hal tersebut, guna mencapai penanganan yang bersifat holistik dan terpadu atas pandemi Covid-19 dan dampaknya, maka diperlukan pula peran daerah melalui APBD. Untuk itu, Pemerintah Daerah diberikan kewenangan untuk melakukan refocusing, perubahan alokasi dan penggunaan APBD. Dalam rangka memberikan pedoman/guidance kepada Pemerintah Daerah, maka Kemendagri telah menerbitkan Permendagri Nomor 39 Tahun 2020 tentang Pengutamaan Penggunaan Alokasi Anggaran Untuk Kegiatan Tertentu, Perubahan Alokasi dan Penggunaan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah yang mengatur ketentuan umum dan teknis pelaksanaan refocusing, perubahan alokasi, dan penggunaan APBD untuk penanganan pandemi Covid-19 beserta dampaknya di daerah. Dengan demikian, Permendagri tersebut tidak akan mendikte Pemerintah Daerah dalam melakukan refocusing, perubahan alokasi dan penggunaan APBD, melainkan sebatas memberikan petunjuk dan menciptakan keseragaman tindak lanjut kedaruratan dalam melakukan refocusing guna mencapai tujuan nasional. Selain itu, dengan tidak diajukannya pengujian ketentuan Pasal 3 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 oleh Pemohon, maka Pemohon telah menyadari dan rnernahami bahwa pemberian kewenangan kepada daerah untuk melakukan refocusing, perubahan alokasi, dan 148 penggunaan APBD, merupakan kebijakan yang penting dan diperlukan Pemerintah Daerah dalam penanganan dampak Covid-19.
Pandangan DPR Terhadap Materi Muatan mengenai “Kebijakan Di Bidang Perpajakan dan Kepabeanan” sebagaimana diatur dalam UU a quo a. Terkait dengan perpajakan, Kementerian keuangan telah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 34/PMK.04/2020 tentang Pemberian Fasilitas Kepabeanan Dan/Atau Cukai Serta Perpajakan Atas Impor Barang Untuk Keperluan Penanganan pandemi Covid-19 sebagaimana telah diubah dengan PMK 83/PMK.04/2020 dengan pertimbangan untuk percepatan pelayanan dalam pemberian fasilitas fiskal atas impor barang yang diperlukan dalarn penanganan pandemi Covid-19, perlu mengatur ketentuan mengenai perlakuan kepabeanan dan/atau cukai serta perpajakan atas impor barang yang diperlukan dalam penanganan pandemi Covid-19. Dalam PMK tersebut diatur Atas impor barang untuk keperluan penanganan pandemi Covid-19 diberikan fasilitas kepabeanan dan/atau cukai serta perpajakan berupa: a) pembebasan bea masuk dan/atau cukai; b) tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah; dan c) dibebaskan dari pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22. terhadap jenis barang yang tercantum dalam Lampiran Huruf A PMK tersebut yang dapat dilakukan melalui pusat logistik berikat.
Pengaturan Pasal 10 lampiran UU 2/2020 ini tidak bertentangan dengan Pasal 25 dan Pasal 26 UU Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan yang telah diubah dengan UU Nomor 17 Tahun 2006 (UU Kepabeanan). Pengaturan perubahan ketentuan Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26 ayat (1) UU Kepabeanan tersebut dalam rangka penanganan Covid-19 ini tentukan diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan tentu tidak dapat serta merta dianggap kesalahan karena anggapan Para Pemohon bahwa ketentuan dalam UU tidak dapat diubah melalui peraturan perundang-undangan yang tidak setara. Hal ini dilakukan karena apa yang terjadi dan butuh penanganan cepat tidak sesuai dan tidak termasuk dalam pengaturan dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26 ayat 149 (1) UU Kepabeanan. Barang-barang tersebut tidak termasuk barang yang dipergunakan untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak termasuk obat-obatan yang pengadaannya menggunakan anggaran keuangan negara.
Perubahan ketentuan Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26 ayat (1) UU Kepabeanan tersebut dengan UU perubahan tentu akan memerlukan waktu yang lama mengingat prosedur penyusunan UU beserta tahapan- tahapannya tidak dapat dilakukan dalam waktu singkat. Penentuan ini juga tentunya memperhatikan pengaturan yang ada dalam Pasal 25 ayat (3) UU Kepabeanan yang menyatakan “ Ketentuan tentang pembebasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri ” dan Pasal 26 ayat (3) UU Kepabeanan yang menyatakan “ Ketentuan mengenai pembebasan atau keringanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan Menteri”. Sejalan dengan adanya amanat pengaturan peraturan pelaksanaan UU sebagaimana dalam Pasal 25 ayat (3) dan Pasal 26 ayat (3) UU Kepabeanan, maka hal ini jelas ditujukan untuk simplifikasi proses dalam kondisi yang genting, yang sudah jelas tidak berarti bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 sebagaimana yang telah didalilkan oleh Para Pemohon Perkara 37.
Tidak adanya pernyataan Presiden bahwa negara dalam kondisi krisis sehingga tidak diperlukan adanya program stabilitasi perekonomian dan keuangan nasional termasuk pengurangan pajak dan bea masuk barang impor sebagaimana yang dinyatakan Para Pemohon Perkara 42, hal tersebut tidaklah benar. Dalam berbagai pidatonya, Presiden, DPR dan Menteri keuangan berulang kali menyampaikan kondisi perekonomian nasional dan kekhawatiran apabila tidak dilakukan upaya penanganan segera tanpa perlu menyatakan “Indonesia dalam keadaan krisis” pun keadaan tersebut dirasakan oleh masyarakat secara luas khususnya setelah adanya pandemi Covid-19. Pengurangan pajak dilakukan karena pajak dipungut dari warga negara dan kondisi perekonomian nasional sedang tidak dalam keadaan baik. Hal ini justru akan membebani masyarakat apabila tidak dilakukan pengurangan pajak. Selain itu, 150 kebijakan terkait bea masuk barang impor tidak diberlakukan pada seluruh objek bea masuk melainkan pada alat-alat kesehatan dan obat- obatan yang dibutuhkan oleh masyarakat dalam rangka penanganan pandemi Covid-19. Oleh karenanya, pengaturan dan pengawasan pengelolaan keuangan negara selama masa pandemi Covid-19 ini terlapor secara jelas kepada DPR dan dilaksanakan sesuai dengan asas- asas pengelolaan keuangan negara dan asas-asas umum penyelenggaraan pemerintahan yang baik.
Bahwa terkait dalil Para Pemohon Perkara 37 yang menyatakan bahwa pemberian keringanan pajak tanpa dibarengi dengan adanya larangan PHK tidaklah tepat. DPR menerangkan bahwa pelarangan PHK tidak dapat diberlakukan oleh Pemerintah mengingat kondisi keuangan setiap perusahaan tidak sama satu sama lain berikut besar skalanya. Keringanan pajak tersebut diberikan dengan harapan mampu menstimulus perkembangan perusahaan sehingga besarnyapun tidak akan sama bagi setiap perusahaan tergantung pada skala perusahaan dan bidang usaha perusahaan tersebut. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) mengatur bahwa Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan perintah. Dalam UU Ketenagakerjaan tersebut telah diatur mengenai pemutusan hubungan kerja dan adanya perjanjian kerja. Selain itu, ketenagakerjaan merupakan hubungan perdata antara pekerja dan pemberi kerja/pengusaha.
Bahwa terkait dalil Para Pemohon Perkara 37 mengenai pajak untuk perdagangan melalui sistem elektronik tidak memenuhi unsur kegentingan yang memaksa dan seharusnya diatur dalam undang- undang, DPR menerangkan bahwa:
Langkah-langkah pencegahan yang relatif ketat untuk membatasi meluasnya penyebaran pandemi Covid-19 menyebabkan turunnya permintaan atas produk nasional. Dampak selanjutnya, banyak perusahaan yang mengalami kesulitan cash flow sehingga menurunkan kemampuan dalam membayar pajak. Akibatnya, penerimaan perpajakan seperti PPh Badan mengalami penurunan 151 secara signifikan. Berkurangnya aktivitas perdagangan internasional secara signifikan juga mengakibatkan turunnya penerimaan pajak dari impor dan bea masuk. Selain itu, penerimaan perpajakan juga mengalami tekanan dari turunnya harga minyak dunia, bahan mineral, dan CPO yang merupakan komponen penting dalam menghitung PPh migas dan bea keluar. Kinerja penerimaan perpajakan diperkirakan akan melemah pada tahun 2020 dengan tax ratio berpotensi berada di bawah 9 persen, terendah dalam dua dekade terakhir.
Menghadapi kondisi perekonomian dan pandemi Covid-19, kebijakan dan strategi perpajakan jangka menengah ditujukan untuk mendorong percepatan pemulihan ekonomi nasional pasca pandemi Covid-19 dan meningkatkan pendapatan negara. Di tengah ketidakpastian akan akhir dari pandemi Covid-19, dukungan terhadap dunia usaha mutlak diperlukan dalam rangka memitigasi dampak ekonomi yang timbul dan mendorong percepatan pemulihan ekonomi nasional. Untuk itu, langkah reformasi perpajakan yang pertama dilakukan adalah dengan memberikan relaksasi perpajakan kepada dunia usaha. Relaksasi perpajakan tersebut dimaksudkan untuk mengurangi beban kegiatan usaha dan membantu meningkatkan kondisi cash flow perusahaan, khususnya selama dan pasca pendemi Covid-19. Perusahaan dapat menggunakan pengurangan atau pembebasan pajak untuk menutupi kenaikan harga bahan input maupun penurunan penjualan sehingga tetap beroperasi secara normal. Efek selanjutnya adalah perusahaan diharapkan tidak melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sehingga karyawan mempunyai gaji untuk memenuhi kebutuhan hidup. Pada gilirannya hal tersebut akan kembali menggairahkan perekonomian nasional, baik dari sisi produksi maupun sisi konsumsi. Melalui penurunan tarif PPh badan, pembebasan PPh impor dan bea masuk sektor tertentu, serta berbagai fasilitas perpajakan lainnya, Pemerintah juga bermaksud meningkatkan daya saing guna mendorong aktivitas investasi sehingga dapat memacu pertumbuhan ekonomi nasional. 152 3) Dalam rangka meningkatkan pendapatan negara, khususnya penerimaan perpajakan, Pemerintah melakukan upaya perluasan basis pemajakan dan perbaikan administrasi perpajakan. Penambahan objek pajak baru yang dipungut oleh Negara sangat diperlukan dalam rangka meningkatkan tax ratio . Sebagai tahap awal, Pemerintah akan memungut pajak atas Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) atau yang lebih popular dengan sebutan e-commerce . Dalam beberapa tahun terakhir, transaksi online berkembang begitu cepat dan berpotensi menggantikan pasar konvensional. Selain menjadi sumber pendapatan Negara, pemungutan pajak terhadap sektor PMSE juga dimaksudkan untuk memastikan terpenuhinya prinsip pemajakan yang berkeadilan ( fairness) antara semua pelaku usaha dan menciptakan level of playing field yang sama bagi pengusaha di dalam negeri untuk bertahan dan meningkatkan daya saingnya di tengah pandemi Covid-19. Selama ini, pelaku usaha ekonomi digital luar negeri mendapatkan penghasilan secara signifikan dari Indonesia tanpa perlu membayar pajak di Indonesia. Untuk itu, pemajakan atas PMSE diharapkan mampu menjadi sumber penting pendapatan negara mengingat nilai transaksinya yang besar di masa yang akan datang. Dengan demikian pengaturan obyek pajak baru dan mekanisme mekanisme peningkatan efektifitas pajak menjadi hal yang harus dilakukan untuk memenuhi kebutuhan belanja negara yang semakin tinggi dengan kondisi pemasukan negara yang tidak mencukupi.
Apabila pemajakan terhadap PMSE tidak segera diterapkan di Indonesia maka terjadi kekosongan hukum dan menjadi loopholes untuk penghindaran dan pengelakan pajak yang menyebabkan hilangnya potensi penerimaan pajak. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa akan memerlukan waktu yang cukup lama, apalagi di tengah pandemi Covid-19. Dengan demikian, kebijakan pemajakan PMSE dalam Lampiran UU 2/2020 sangat diperlukan sebagai dasar legal formal pemajakan atas PMSE. Dalam 153 pelaksanaan PMSE tersebut, Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 48/PMK.03/2020 tentang Tata Cara Penunjukan Pemungut, Pemungutan, Dan Penyetoran, Serta Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai Atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud Dan/Atau Jasa Kena Pajak Dari Luar Daerah Pabean Di Dalam Daerah Pabean Melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik. Peraturan tersebut tentunya tidak lepas dari pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009. Maka dengan diaturnya PSME dalam Perppu 1/2020 yang keberlakuannya setara dengan Undang-Undang dan telah ditetapkan sebagai Undang-Undang melalui UU 2/2020, maka dalil Para Pemohon Perkara 37 mengenai PSME harus diatur dalam undang-undang menjadi tidak beralasan menurut hukum.
Pandangan DPR Terhadap Keterbukaan Pemerintah Terhadap Pelaksanaan Kebijakan Keuangan Negara Sebagaimana Diatur dalam Ketentuan UU a quo .
Setiap penyelenggara negara wajib mengelola keuangan negara secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Pengelolaan dimaksud dalam UU Keuangan Negara mencakup keseluruhan kegiatan perencanaan, penguasaan, penggunaan, pengawasan, dan pertanggung-jawaban. Oleh karenanya, APBN, perubahan APBN, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN setiap tahun ditetapkan dengan undang-undang. Sedangkan APBD, perubahan APBD, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD setiap tahun ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Dengan ditetapkannya APBN, Perubahan APBN berikut pertanggungjawaban pelaksanaan APBN dalam Undang-Undang dan 154 APBD, perubahan APBD berikut pertangungjawaban pelaksanaan APBD dalam Peraturan daerah, maka berlakulah fiksi hukum dalam masyarakat. Asas Fiksi Hukum beranggapan bahwa ketika suatu peraturan perundang- undangan telah diundangkan maka pada saat itu setiap orang dianggap tahu ( presumption iures de iure ) dan ketentuan tersebut berlaku mengikat sehingga ketidaktahuan seseorang akan hukum tidak dapat membebaskan/memaafkannya dari tuntutan hukum ( ignorantia jurist non excusat ). Keberadaan asas fiksi hukum, telah dinormakan di dalam penjelasan Pasal 81 ketentuan UU 12/2011 yakni " Dengan diundangkannya Peraturan Perundang-undangan dalam lembaran resmi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini, setiap orang dianggap telah mengetahuinya ". Adapun lembaran resmi yang dimaksud di dalam ketentuan Pasal 81 terdiri dari 7 jenis yakni a. Lembaran Negara Republik Indonesia, b.Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, c.Berita Negara Republik Indonesia, d. Tambahan Berita Negara Republik Indonesia, e.Lembaran Daerah, f. Tambahan Lembaran Daerah, atau g. Berita Daerah.
Dalam rangka akuntabilitas pengelolaan keuangan negara menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota selaku pengguna anggaran/pengguna barang bertanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan yang ditetapkan dalam Undang-undang tentang APBN/Peraturan Daerah tentang APBD, dari segi manfaat/hasil ( outcome ). Sedangkan Pimpinan unit organisasi kementerian negara/lembaga bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan yang ditetapkan dalam undang-undang tentang APBN, demikian pula Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah tentang APBD, dari segi barang dan/atau jasa yang disediakan ( output ).
Oleh karena itu, dalam UU Perbendaharaan Negara diatur sanksi yang berlaku bagi menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota, serta Pimpinan unit organisasi kementerian negara/lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah yang terbukti melakukan penyimpangan kebijakan/kegiatan yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang tentang APBN/Peraturan Daerah tentang APBD. Ketentuan sanksi tersebut 155 dimaksudkan sebagai upaya preventif dan represif, serta berfungsi sebagai jaminan atas ditaatinya Undang-undang tentang APBN/Peraturan Daerah tentang APBD yang bersangkutan. Selain itu perlu ditegaskan prinsip yang berlaku universal bahwa barang siapa yang diberi wewenang untuk menerima, menyimpan dan membayar atau menyerahkan uang, surat berharga atau barang milik negara bertanggungjawab secara pribadi atas semua kekurangan yang terjadi dalam pengurusannya. Kewajiban untuk mengganti kerugian keuangan negara oleh para pengelola keuangan negara dimaksud merupakan unsur pengendalian intern yang andal.
Anggapan Para Pemohon Perkara 42 dan Para Pemohon Perkara 43 atas tidak terjadinya krisis perekonomian karena tidak adanya pernyataan dari Presiden terkait kondisi tersebut, hal ini sungguh tidak beralasan menurut hukum dan justru menunjukkan sikap ketidakpedulian Para Pemohon Perkara 42 dan Para Pemohon Perkara 43 atas kondisi negara dan kondisi yang ada dalam masyarakat secara umum. Dengan perkembangan teknologi dan akses berita yang mudah dan luas sekarang ini, informasi mengenai keuangan negara dapat diakses dengan mudah. Hal ini merupakan wujud transparansi pengelolaan keuangan negara karena keuangan negara menyangkut kepentingan publik.
Dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dijelaskan bahwa Informasi Publik adalah informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan/atau diterima oleh suatu badan publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara dan/atau penyelenggara dan penyelenggaraan badan publik lainnya yang sesuai dengan Undang-Undang ini serta informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan publik. Salah satu asas dalam UU tersebut adalah bahwa setiap Informasi Publik bersifat terbuka dan dapat diakses oleh setiap Pengguna Informasi Publik, kecuali terdapat ketentuan pengecualiannya. Informasi Publik yang dikecualikan bersifat rahasia sesuai dengan undang-undang, kepatutan, dan kepentingan umum didasarkan pada pengujian tentang konsekuensi yang timbul apabila suatu informasi diberikan kepada masyarakat serta setelah dipertimbangkan dengan saksama bahwa menutup Informasi Publik dapat melindungi 156 kepentingan yang lebih besar daripada membukanya atau sebaliknya. Dalam hal ini, keuangan negara merupakan informasi yang tidak dikecualikan dan dengan jelas diatur adanya mekanisme-mekanisme penyampaian informasi keuangan negara dalam UU Keuangan Negara.
Pandangan DPR terkait penambahan kewenangan terhadap OJK sebagaimana diatur dalam UU a quo a. Setidaknya terdapat tiga kewenangan OJK dalam UU a quo . Salah satu amanat dari UU 2/2020 seperti yang tercantum dalam Pasal 23 ayat (1) yaitu memberi kewenangan dan pelaksanaan kebijakan OJK untuk memberikan perintah tertulis kepada lembaga jasa keuangan melakukan penggabungan , peleburan, pengambilalihan, integrasi dan/atau konversi . Langkah tersebut dapat dilakukan apabila diperlukan untuk mengantisipasi krisis jasa keuangan yang dapat membahayakan perekonomian nasional. Dalam menghadapi kondisi penuh risiko saat ini akibat Covid-19 maka daya tahan lembaga jasa keuangan sangat dibutuhkan khususnya dari sisi permodalan. Sehingga, salah satu cara untuk memperkuat daya tahan lembaga jasa keuangan tersebut dilakukan dengan cara penggabungan atau merger. Aksi merger tersebut diperlukan karena terdapat risiko besar akibat Covid-19 yang mengganggu kemampuan pembayaran perusahaan jasa keuangan khususnya perbankan, meskipun saat ini perbankan tetap masih membayarkan bunga deposito kepada nasabah tepat waktu. Di sisi lain, kemampuan membayar debitur atau peminjam dalam kondisi tidak stabil karena perlambatan ekonomi di berbagai sektor. Sehingga, aksi merger tersebut diharapkan dapat memperkuat daya tahan perusahaan jasa keuangan.
Otoritas Jasa Keuangan mengeluarkan berbagai kebijakan stimulus untuk mengantisipasi dampak pandemi Covid-19 di bidang lembaga jasa keuangan. Sejauh ini, setidaknya OJK telah menerbitkan lima Peraturan OJK (POJK) pada 21 April 2020 sebagai tindak lanjut kewenangan OJK dalam pelaksanaan UU 2/2020 Kebijakan stimulus ini salah satunya adalah Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Corona Virus Disease 2019. 157 c. Kekhawatiran Para Pemohon Perkara 37 dan Para Pemohon Perkara 42 terkait potensi kesewenang-wenangan OJK dalam melaksanakan kewenangannya yang diberikan oleh UU 2/2020 tentunya telah diantisipasi oleh Pemerintah dan OJK dengan adanya pedoman pelaksanaan kewenangan-kewenangan tersebut. Selain itu, bagi OJK selaku pelaksana kewenangan yang diberikan oleh UU 2/2020 juga berlaku ketentuan Asas- Asas Umum Pemerintahan yang Baik sebagaimana diatur dalam UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dan UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
Pandangan DPR terkait pinjaman kepada LPS sebagaimana diatur dalam UU a quo a. Ketentuan Pasal 2 ayat (3) UU LPS, LPS merupakan lembaga yang independen. Sesuai ketentuan tersebut, telah jelas bahwa kedudukan LPS merupakan lembaga independen, bukan merupakan lembaga yang berada di bawah pemerintah. Pemberian kewenangan kepada LPS sebagaimana yang tercantum dalam Lampiran UU 2/2020, pada prinsipnya merupakan kewenangan yang telah diberikan oleh UU LPS, UU OJK , dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (UU PPKSK). Kewenangan yang diberikan kepada LPS sesuai Pasal 20 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 sifatnya lebih mempertegas guna mendukung pelaksanaan fungsi LPS dalam kondisi adanya pandemi Covid-19 dan/atau adanya ancaman perekonomian dan/atau stabilitas sistem keuangan. Kewenangan tersebut sudah jelas melekat dan seharusnya diberikan kepada LPS untuk dapat melaksanakan fungsi LPS sebagaimana diatur dalam UU LPS, yaitu menjamin simpanan nasabah penyimpan dan menjaga stabilitas sistem perbankan. Pemberian kewenangan bagi LPS untuk melaksanakan langkah-langkah penanganan permasalahan stabilitas sistem keuangan juga diiringi dengan wewenang bagi Pemerintah untuk mengatur lebih lanjut pelaksanaan kewenangan tersebut dalam Peraturan Pemerintah (vide Pasal 20 ayat (2) Lampira n UU 2/2020). Adanya atribusi dan mandat untuk melakukan pengaturan dalam peraturan perundang- undangan di bawah undang-undang dimaksudkan untuk memberikan koridor dalam pelaksanaan kewenangan LPS. Hal tersebut dimaksudkan 158 selain untuk memberikan kepastian hukum, juga untuk menghindari LPS menginterpretasikan kewenangan yang diberikan dalam Lampiran UU 2/2020 secara luas yang dapat mengakibatkan penyalahgunaan wewenang.
Berdasarkan UU LPS, fungsi LPS adalah menjamin simpanan nasabah di bank dan turut aktif memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai kewenangannya. Berdasaran ketentuan dalam Pasal 85 ayat (1) UU LPS, dalam hal modal LPS menjadi kurang dari modal awal, Pemerintah dengan persetujuan DPR menutup kekurangan tersebut. Modal awal LPS ditetapkan sekurang-kurangnya Rp 4 triliun dan sebesar-besarnya Rp 8 triliun.
UU 2/2020 memberikan kewenangan kepada LPS yang di antaranya adalah melakukan pemeriksaan penanganan dan peningkatan intensitas persiapan Penanganan Bank bersama OJK dan melakukan pemilihan cara penanganan Bank Selain Bank Sistemik yang dinyatakan sebagai Bank Gagal dengan tidak hanya mempertimbangkan perkiraan biaya yang paling rendah ( least cost test ), tetapi juga mempertimbangkan kondisi perekonomian, kompleksitas permasalahan perbankan, kebutuhan waktu penanganan, ketersediaan investor, dan/atau efektivitas penanganan permasalahan Bank.
Sehubungan dengan kewenangan tersebut, UU 2/2020 mendelegasikan pengaturan kewenangan dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kewenangan LPS dalam Rangka Melaksanakan Langkah-Langkah Penanganan Permasalahan Stabilitas Sistem Keuangan. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah tersebut, LPS melakukan pemeriksaan bersama dalam rangka persiapan Penanganan Bank dan peningkatan intensitas persiapan Penanganan Bank serta melakukan pemilihan cara penanganan Bank Selain Bank Sistemik yang dinyatakan sebagai Bank Gagal.
Berdasarkan kewenangan dimaksud, dalam hal terdapat Bank yang mengalami permasalahan solvabilitas, LPS melakukan pemeriksaan bersama dengan OJK untuk penanganan permasalahan solvabilitas Bank. Disamping itu, selama pemulihan ekonomi sebagai akibat pandemi Covid-19, LPS dapat melakukan penempatan dana pada Bank untuk 159 mengelola dan/atau meningkatkan likuiditas LPS dan/atau mengantisipasi dan/atau melakukan penanganan permasalahan Stabilitas Sistem Keuangan yang dapat menyebabkan terjadinya kegagalan Bank sebagai bagian dari tindakan antisipasi ( forward looking ) LPS untuk menjaga Stabilitas Sistem Keuangan.
Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan Nomor 3 Tahun 2020 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kewenangan Lembaga Penjamin Simpanan Dalam Rangka Melaksanakan Langkah-Langkah Penanganan Permasalahan Stabilitas Sistem Keuangan, juga mengatur bahwa untuk penanganan pandemi Covid-19 untuk mengelola dan/atau meningkatkan likuiditas LPS dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan, LPS dalam rangka pengambilan keputusan untuk melakukan penanganan Bank Selain Bank Sistemik yang dinyatakan sebagai Bank Gagal oleh OJK, tidak hanya mempertimbangkan perkiraan biaya yang paling rendah ( least cost test ) tetapi juga dengan mempertimbangkan kondisi perekonomian, kompleksitas permasalahan bank, kebutuhan waktu penanganan, ketersediaan investor, dan/atau efektivitas dalam rangka penanganan permasalahan bank.
Berdasarkan ketentuan dalam lampiran UU 2/2020, LPS dapat menaikkan nilai penjaminan simpanan dari saat ini Rp 2 miliar per rekening untuk menjamin adanya kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan. LPS juga bisa menambah pembiayaan dengan menerbitkan surat utang. Penambahan pendanaan ini bertujuan untuk membantu LPS apabila mengalami kesulitan likuiditas dalam menangani bank gagal. Pembiayaan dari surat utang merupakan salah satu opsi yang dapat dilakukan LPS untuk menjalankan fungsi penjaminan simpanan maupun penanganan bank berdampak sistemik. Selama ini, LPS mendapatkan pembiayaan dari premi yang dibayarkan dari bank sebesar 0,2 persen per tahun dari rata-rata simpanan. LPS juga bisa mendapatkan biaya dari penanganan bank gagal serta memperoleh pinjaman dari pemerintah apabila modal sudah berada di bawah Rp 4 triliun. 160 h. Risiko pembiayaan yang dikeluarkan untuk stabilitas kondisi perekonomian dan keuangan nasional salah satunya adalah kewajiban kontinjensi pemerintah pusat. Kewajiban kontinjensi merupakan kewajiban potensial bagi Pemerintah yang timbul akibat adanya peristiwa masa lalu dan keberadaannya menjadi pasti dengan terjadinya atau tidak terjadinya suatu peristiwa ( event ), yang tidak sepenuhnya. berada dalam kendali Pemerintah. Kewajiban kontinjensi bersumber dari pemberian dukungan dan/atau jaminan pemerintah atas proyek-proyek infrastruktur; program jaminan sosial nasional; kewajiban Pemerintah untuk menambahkan modal jika modal lembaga keuangan, yaitu Bank Indonesia (BI), Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), dan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI), di bawah jumlah yang diatur dalam Undang-Undang; dan tuntutan hukum kepada Pemerintah.
Berbagai opsi pendanaan tambahan ini diperlukan untuk memberikan kepercayaan kepada masyarakat sehingga persoalan solvabilitas bank dapat selesai dengan baik. Oleh karenanya, LPS harus menentramkan masyarakat bahwa dana mereka aman dan mampu memulihkan fungsi intermediasi perbankan. Dengan demikian, kekhawatiran yang didalilkan Para Pemohon Perkara 42 dalam permohonannya menjadi hal yang tidak benar karena dalam pelaksanaan pemberian pinjaman terhadap LPS jelas akan dikonsultasikan dengan DPR dan keberadaan pengaturan tersebut adalah salah satu upaya yang terbuka bagi pemerintah apabila kondisi perbankan nasional memburuk.
Pengaturan dalam pasal 20 ayat (1) huruf b UU 2/2020 yang menyatakan bahwa LPS diberikan kewenangan untuk melakukan tindakan (i) penjualan/repo SBN yang dimiliki kepada Bank Indonesia; (ii) penerbitan surat utang; (iii) pinjaman kepada pihak lain; dan/atau (iv) pinjaman kepada Pemerintah, dalam hal LPS diperkirakan akan mengalami kesulitan likuiditas untuk penanganan Bank Gagal, selain memberikan alternatif sumber pendanaan bagi LPS yang berlaku, baik untuk Bank Sistemik dan Bank Selain Bank Sistemik juga diharapkan dapat memberikan waktu yang cukup bagi LPS dalam mempersiapkan sumber dana tersebut sebelum terdapat Bank Gagal. Transaksi antara LPS dengan Bl sebagai salah satu langkah untuk pemenuhan likuiditas LPS 161 yang diperluas sehingga LPS selain dapat melakukan penjualan SBN miliknya, juga dapat melakukan transaksi Repo. Selain penjualan dan/atau repo kepada Bl, LPS juga mempunyai alternatif pendanaan berupa pinjaman kepada pihak lain yang dimaksudkan untuk menjaring pihak-pihak (dalam dan/atau luar negeri) yang mempunyai kemampuan pendanaan sehingga tersedia alternatif pendanaan yang lebih luas bagi LPS. Pinjaman LPS dari pihak lain merupakan salah satu opsi untuk menjaga likuiditas sehingga pemanfaatan dana tersebut untuk melaksanakan tugas dan fungsi LPS sebagai lembaga resolusi perbankan dalam hal terdapat Bank Gagal sesuai tata kelola yang diatur dalarn UU LPS.
Pandangan DPR terkait dalil Para Pemohon mengenai adanya hak imunitas bagi pelaksana kebijakan keuangan dan kerugian yang timbul dari pelaksanaan UU a quo bukan merupakan kerugian negara berdasarkan UU a quo adalah sebagai berikut a. Bahwa dukungan pembiayaan anggaran untuk penanganan Covid-19 yang besar adalah dalam rangka mendukung Program Pemulihan Ekonomi Nasional. Rincian kebutuhan anggaran ini berdampak pada sisi belanja dan juga pendapatan negara dalam APBN 2020. Biaya yang dikeluarkan pemerintah ini adalah biaya ekonomi yang bertujuan untuk penyelamatan negara dari krisis dan tidak bisa dianggap sebagai merupakan kerugian negara. APBN sebagai alat untuk mencapai tujuan negara, digunakan sepenuhnya untuk kepentingan rakyat. Ketika keadaan mendesak dan darurat, maka APBN sebagai alat tersebut dapat disesuaikan penggunaannya untuk menjadi penolong keselamatan negara. Biaya yang dikeluarkan ini disadari tidak akan sepenuhnya kembali dan juga hilangnya potensi penerimaan negara, namun di sisi lain telah timbul manfaat yang lebih besar yaitu pulihnya perekonomian dan dunia usaha sehingga dapat menyelamatkan ekonomi Indonesia. Sehingga biaya yang dikeluarkan tidak bisa disebut sebagai kerugian negara.
Biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah ini adalah biaya ekonomi yang bertujuan untuk penyelamatan negara dari krisis dan tidak bisa dianggap sebagai merupakan kerugian negara. APBN sebagai alat untuk mencapai 162 tujuan negara, digunakan sepenuhnya untuk kepentingan rakyat. Ketika keadaan mendesak dan darurat, maka APBN sebagai alat tersebut dapat disesuaikan penggunaanya untuk menjadi penolong keselamatan negara. Biaya yang dikeluarkan ini disadari tidak akan sepenuhnya kembali dan juga hilangnya penerimaan negara, namun di sisi lain telah menimbulkan manfaat yang lebih besar yaitu pulihnya perekonomian dan dunia usaha sehingga dapat menyelamatkan ekonomi Indonesia. Sehingga biaya yang dikeluarkan tidak bisa disebut sebagai kerugian negara. Penggunaan biaya ekonomi ini lah yang disebutkan dalam Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 yang dimaksudkan untuk penyelamatan perekonomian dari krisis sehingga bukan merupakan kerugian negara.
Mengutip Pendapat Dr. Dian Puji Nugraha Simatupang dalam tulisannya yang berjudul “ Ekuilibrium Kebijakan Keuangan Negara Menghadapi Keadaan Negara Darurat Akibat Penyebaran Covid-19 Dalam Peraturan _Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020”: _ “Biaya yang telah dialokasikan UU APBN dan/atau realisasi keuangan pemerintah untuk keadaan darurat tidaklah dapat dikategorikan sebagai kerugian negara dengan alasan: Pertama, biaya tersebut dialokasikan dalam UU APBN dan/atau laporan realisasi anggaran sebagai dasar hukum pengeluaran uang sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 2004 j.o. Pasal 27 ayat (4) UU Nomor 17 Tahun 2003; Kedua, biaya tersebut dikeluarkan untuk memenuhi kewajiban pemerintah untuk melindungi segenap tumpah darah rakyat Indonesia atau memenuhi asas kemanfaatan umum (doelmatigheid), dan untuk menghindari situasi dan keadaan yang lebih membahayakan keuangan negara dan perekonomian secara keseluruhan; Ketiga, biaya tersebut tetap diukur dalam satuan yang dikendalikan dan ditetapkan pedomannya oleh pemerintah dengan memperhatikan masukan dari lembaga terkait yang relevan untuk melakukan pengawasan intern. Menyangkut norma dalam Pasal 27 ayat (1) Perpu Nomor 1 Tahun 2020 hakikatnya dimaknai sebagai biaya sebagai sebab terjadinya keadaan darurat uang mempengaruhi stabilitas keuangan negara dan perekonomian nasional. Dalam hukum keuangan publik, hal demikian merupakan biaya resiko yang harus dibebankan ke dalam UU APBN untuk maksud mewujudkan tujuan negara, yaitu melindungi segenap tumpah darah Indonesia. Biaya dalam keadaan darurat merupakan konsekuensi logis dalam upaya mewujudkan tindakan kepemerintahan yang cepat dan luar biasa diperlukan dalam kondisi yang tidak sempurna. Kecepatan dan ketepatan pemerintahan dalam penanganan keadaan darurat Covid- 19 tidak dapat menggunakan parameter dan indikator yang biasa karena justru tidak prosesual atau tidak memenuhi ekuilibrium kebijakan keuangan publik jika suatu alas fakta yang berbeda menggunakan syarat prosedur yang normal atau kondisi yang 163 sempurna, padahal alas fakta jelas terdapat perbedaan dan situasi yang darurat.” d. Bahwa dalam memaknai ketentuan Pasal 27 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) Lampiran UU 2/2020 tidak dapat dimaknai secara parsial melainkan harus dimaknai sebagai satu kesatuan. Adanya suatu kerugian keuangan negara, penyalah gunaan kewenangan melalui suatu kebijakan maupun produk hukum lain yang dikeluarkan dalam rangka pelaksanaan UU 2/2020 tetap harus dibuktikan secara hukum dengan parameter yang tentunya tidak bisa disamakan dengan apa yang ada dalam keadaan normal. Adanya frasa “iktikad baik” dan “sesuai peraturan perundang- undangan” merupakan batasan koridor pelaksanaan kewenangan dalam penggunaan keuangan negara dan mengeluarkan suatu produk hukum dalam rangka pelaksanaan UU 2/2020.
Bahwa dalam perspektif hukum keuangan publik, kerugian negara adalah “ kekurangan uang, surat berharga, dan barang yang nyata dan pasti sebagai akibat perbuatan melawan hukum atau kelalaian ,” berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 22 UU Perbendaharaan Negara. Artinya disini kerugian Negara tersebut harus dibuktikan sebagai akibat dari suatu perbuatan yang melawan hukum atau karena kelalaian. Biaya yang telah dialokasikan UU APBN dan/atau realisasi keuangan pemerintah untuk keadaan darurat tidaklah dapat dikatagorikan sebagai kerugian negara dengan alasan: a) biaya tersebut dialokasikan dalam UU APBN dan/atau laporan realisasi anggaran sebagai dasar hukum pengeluaran uang sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) UU Perbendaharaan Negara jo . Pasal 27 ayat (4) UU Keuangan Negara; b) biaya tersebut dikeluarkan untuk memenuhi kewajiban pemerintah untuk melindungi segenap tumpah rakyat Indonesia atau memenuhi asas kemanfaatan umum ( doelmatigheid ), dan untuk menghindari situasi dan keadaan yang lebih membahayakan keuangan negara dan perekonomian nasional secara keseluruhan; c) biaya tersebut tetap diukur dalam satuan yang dikendalikan dan ditetapkan pedomannya oleh pemerintah dengan memperhatikan 164 masukan dari lembaga terkait yang relevan untuk melakukan pengawasan intern;
Bahwa di samping itu, makna kerugian negara juga berkaitan dengan administrasi pemerintahan karena dengan adanya Pasal 20 Undang- undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016, kerugian negara juga mempunyai relevansi dengan persoalan hukum administrasi negara dalam hal terjadinya kesalahan administrasi. Bahwa biaya dalam keadaan darurat merupakan konsekuensi logis dalam upaya mewujudkan tindakan kepemerintahan yang cepat dan luar biasa diperlukan dalam kondisi yang tidak sempurna. Kecepatan dan ketepatan pemerintahan dalam penanganan keadaan darurat akibat Covid-19 tidak dapat menggunakan parameter dan indikator yang biasa karena tidak justru tidak prosesual atau tidak memenuhi ekuilibrium kebijakan keuangan publik jika suatu alas fakta yang berbeda menggunakan syarat prosedur yang normal atau kondisi yang sempurna, padahal alas fakta jelas terdapat perbedaan dan situasi yang darurat. Di samping itu, biaya tersebut juga akan sampai pada muaranya untuk diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan juga hasilnya disampaikan kepada DPR untuk memperoleh persetujuan berkaitan dengan manfaatnya dalam LKPP. Dengan demikian, proses dan sistem pembiayaan tersebut tetap akuntabel dan memenuhi asas umum pemerintahan yang baik dalam suatu syarat prosedur yang darurat.
Bahwa kewenangan BPK sudah sangat tegas diatur dalam Pasal 23E ayat (1) UUD NRI 1945. Dalam ketentuan peraturan perundang-undangan maka BPK juga diatur dalam UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK sesuai dengan fungsi dan kewenangannya serta dikaitkan pula dengan Bab VIII UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang mengatur bahwa pelaksanaan APBN dan APBD diperiksa oleh BPK sebelum akhirnya Presiden/Kepala Daerah menyampaikan RUU/Perda tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBN/APBD kepada DPR/DPRD. Di samping itu, dalam UU a quo harus dipahami dan dicermati bahwa tidak ada satu pun pasal dalam UU a quo yang 165 mengecualikan atau menghalang-halangi fungsi BPK untuk melakukan audit.
Bahwa hal demikian kemudian dilaksanakan dengan iktikad baik bagi pejabat administrasi pemerintahan. Dalam hukum administrasi negara, iktikad baik lebih tepat menggunakan istilah asas-asas umum pemerintahan yang baik. Dalam hal ini pejabat administrasi pemerintahan menjalankan tugas dan wewenangnya sesuai dengan alas hukum dan alas fakta secara memadai, serta keputusan dan kebijakan ditetapkan dengan motivasi untuk melindungi kepentingan umum ( bestuurzorg ). Dengan kondisi demikian, tepat pelaksanaan tindakan kepemerintahan tersebut tidak menjadi objek keputusan tata usaha negara karena peraturan dasarnya telah berubah, tidak pada peraturan dalam keadaan negara normal. Dengan demikian, keputusan tersebut dikecualikan sebagai objek pengadilan tata usaha negara karena validitasnya didasarkan pada peraturan dasar tersendiri yang dibentuk dalam keadaan darurat.
Dalam hal masyarakat atau pihak lain mengajukan keberatan dalam keputusan administrasi pemerintahan dalam masa darurat, dapat menggunakan instrumen administrasi pemerintahan itu sendiri, yang kemudian dapat dilakukan penyelesaian menurut Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2016 tentang Pengenaan Sanksi Administrasi bagi Pejabat Administrasi Pemerintahan dan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2016 tentang Pengenaan Ganti Kerugian oleh Pejabat Bukan Bendahara. Dalam hal keberatan tersebut juga masih ada warga masyarakat dapat mengajukan pengaduan ke DPR dalam rangka pengawasan, sehingga DPR dapat menggunakan seluruh hak yang dimilikinya dalam rangka pengawasan eksternal terhadap tindakan administrasi pemerintahan.
Konsep iktikad baik tetap meletakkan pada aspek pengambilan keputusan dan kebijakan tidak mengandung unsur suap, paksaan/ancaman, dan tipuan guna menguntungkan secara melawan hukum. Akan tetapi, jika pengambilan keputusan dan kebijakan disebabkan adanya kesalahan administrasi, tuntutan pidana tidak dapat dilakukan. Konsep iktikad baik dalam konsep hukum administrasi negara menurut Safri Nugraha 166 dimaknai sebagai wujud asas umum pemerintahan yang baik di mana pelaksanaan pemerintahan dijalankan dengan prinsip akuntabilitas dan transparansi yang mendorong sistem pemerintahan berjalan dengan sistem yang jelas dan terukur. Dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik, pengelolaan dan pertanggungjawaban wewenang pemerintahan akan sejalan motivasinya yang layak. Hal ini sejalan dengan ketentuan dalam Pasal 50 KUHP disebutkan bahwa: “Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dipidana" Selain itu dalam pasal 51 ayat 1 KUHP disebutkan bahwa: “barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana”. k. Mengutip Pendapat Dr. Dian Puji Nugraha Simatupang dalam tulisannya yang berjudul “ Ekuilibrium Kebijakan Keuangan Negara Menghadapi __ Keadaan Negara Darurat Akibat Penyebaran Covid-19 Dalam Peraturan _Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020”: _ “ Adanya norma mengesampingkan tuntutan pidana, gugatan perdata, dan tata usaha negara harus dimaknai secara lengkap adanya syarat itikad baik atau asas-asas umum pemerintahan yang baik dalam hukum administrasi negara. Dengan demikian, ada kejelasan mengenai konsep hukum perdata, hukum administrasi, dan hukum pidana dalam konsep pelaksanaan pengambilan keputusan dan kebijakan dalam kondisi darurat agar pejabat administrasi pemerintahan tidak ragu, cepat, tepat, dan akuntabel untuk melindungi segenap tumpah darah Indonesia.” l. Bahwa ketentuan Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 juga bukan merupakan kekebalan absolut karena dalam ketentuan tersebut mereka terdapat parameter “dengan iktikad tidak baik” dan “tidak sesuai peraturan perundang-undangan”. Asas iktikad baik awalnya adalah suatu asas yang berlaku dibidang hukum perjanjian yang kini telah berkembang dan diterima sebagai asas di bidang-bidang atau cabang-cabang hukum yang lain, baik yang sesama keluarga hukum privat maupun yang merupakan bidang hukum publik. Dalam perkembangan hukum, terdapat prinsip- prinsip umum ataupun asas-asas umum yang dijadikan sebagai sumber hukum sekaligus asas yang mendasari pelaksanaan hukum itu sendiri. Oleh karenanya asas iktikad baik yang tadinya merupakan suatu asas 167 hukum khusus kini telah berkembang menjadi suatu asas hukum umum. Selain asas iktikad baik, juga ada frasa “tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Ini adalah 2 parameter yang bersifat kumulatif. Artinya semua pejabat pemerintah yang menjalankan ketentuan pasal tersebut harus berdasarkan 2 kriteria ini secara kumulatif.
Dalam hukum dikenal suatu adagium yang berbunyi “tiada hukum tanpa pengecualian“ atau dalam bahasa belanda dikenal dengan istilah “ geen recht zonder uit zondering ”. Pengecualian dapat dilakukan sepanjang tidak merugikan pihak-pihak yang terkena aturan tersebut karena hukum ditujukan untuk mengayomi dan mensejahterakan masyarakat ( Rosjidi Ranggawidjaja, Ilmu Perundang-undangan, CV Mandar Maju ). Dalam kaitannya dengan hak Presiden untuk mengeluarkan Perpu yang berisi langkah-langkah yang luar biasa dalam keadaan yang memang tidak normal maka meskipun dalam suatu Perpu ada materi-materi yang dipandang tidak lazim, mengenyampingkan, atau memberlakukan ketentuan bersifat pengecualian dari apa yang telah diatur maka pengecualian itu dapat saja diberlakukan atau dapat diadakan pengecualian sepanjang diatur batasannya dalam Perpu itu sendiri.
Adapun frasa “iktikad baik” adalah apabila dalam melaksanakan tugasnya tidak untuk mencari keuntungan bagi diri sendiri, keluarga, kelompok, dan/atau tindakan lain yang berindikasi korupsi, kolusi, dan/atau nepotisme. Bahwa apabila nantinya terbukti iktikad baik tersebut dilanggar maka sudah jelas konsekuensinya yaitu mereka harus ditempuh prosedur hukum karena tindakan tersebut mengatur unsur mens rea (adanya niat jahat atau iktikad tidak baik) dan actus reus (perbuatan yang melanggar). Dengan demikian asas equality before the law dan asas kepastian hukum dalam Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945 tetap terjamin.
UU 2/2020 tidak melindungi pejabat negara atau tidak memberikan imunitas kepada pejabat negara. Pasal a quo diperlukan karena para pihak tersebut merupakan orang-orang yang mengambil keputusan penting. Mengutip pandangan Misbakhun selaku Anggota Komisi XI DPR RI dalam program Indonesia Lawyers Club (ILC) 21 April 2020: “ Penanganan Covid -19 melalui physical distancing merupakan pukulan yang paling berat bagi masyarakat karena tidak dapat melakukan interaksi sosial dan merupakan pukulan berat bagi 168 perekonomian. Dampak dari pandemi Covid-19 yaitu faktor produksi tidak jalan sedangkan permintaan (demand) tetap ada. Kedalaman implikasi Covid-19 terhadap perekonomian sulit diukur karena puncak pandemi Covid-19 belum bisa dipastikan waktunya. Implikasi ekonomi yang ditimbulkan oleh Covid-19 terhadap perekonomian sangat dalam sehingga semua skenario perlu disiapkan untuk menghadapi situasi yang paling buruk. Sebelum pandemi Covid-19 ini terjadi struktur perekonomian Indonesia tidak dalam kondisi yang sehat. Hal ini karena perekonomian Indonesia sedang menghadapi dampak perang dagang antara China dengan Amerika. Permasalahannya dalam situasi seperti ini, negara dalam keadaan yang tidak normal. Dalam keadaan yang tidak normal tersebut jangan berhadap statistik ekonomi menjadi bagus. Sehingga menghadapi keadaan yang tidak normal tersebut juga harus diselesaikan dengan cara yang tidak normal. Pihak yang paling terdampak oleh pandemi Covid-19 adalah pekerja harian/pekerja lepas (informal) yang pemenuhan biaya hidupnya ditentukan oleh aktivitas harian. Jika tidak keluar maka mereka tidak dapat makan. Pihak yang terdampak selanjutnya adalah para pelaku UMKM dan kelompok kelas menengah. Kehadiran negara dibutuhkan baik oleh rakyat jelata, pelaku UMKM, masyarakat kelas menengah, maupun masyarakat kelas atas sehingga negara tidak boleh membeda-bedakan. Aktivitas sektor produksi yang menjadi berhenti mengakibatkan permintaan menjadi terbatas. Pemerintah harus memanfaatkan ruang ketatanegaraan yang tersedia untuk mengatasi situasi ini karena UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara mempunyai keterbatasan. Untuk memulihkan perekonomian akibat Covid-19, Pemerintah perlu dana untuk membiayai program- program pemerintah. Satu-satunya cara Pemerintah harus berhutang jika SAL dan dana lainnya tidak mencukupi. Hutang bukan tujuan, tetapi hanya sebagai cara agar dapat keluar dari masalah ini. Negara lain juga menggunakan cara yang sama. Anggaran yang disediakan Pemerintah untuk menangani pandemi Covid-19 sebesar 405 Triliun atau sekitar 2,75% dari PDB. Hal yang utama bukan negara berhutang tetapi hutang tersebut dimanfaatkan seperti menolong rakyat jelata.” p. Keberadaan Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 dimaksudkan untuk memberikan confidence bagi pihak yang dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya sesuai Lampiran UU 2/2020 telah didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal ini sejalan dengan prinsip hukum imunitas terbatas bagi negara dan/atau perwakilannya, bukan imunitas absolut sehingga melanggar asas keadilan dan kesamaan dalam hukum dan pemerintahan sebagaimana pemahaman Para Pemohon. Dari perspektif teori imunitas, perlindungan hukum yang diberikan dalam Pasal 27 ayat (2) termasuk kategori imunitas terbatas. Teori imunitas terbatas ini memberikan perlindungan/imunitas kepada negara dan perwakilannya terhadap upaya hukum pihak lain baik 169 secara pidana ataupun perdata, sepanjang tindakan yang dilakukan memenuhi syarat dalam hal ini harus beriktikad baik dan menjalankan kewenangan serta kebijakannya sesuai peraturan perundang-undangan. Secara a contrario , imunitas tersebut gugur apabila perbuatan yang dilakukan didasarkan atau terdapat niat jahat ( mens rea ) dan perbuatannya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Sampai dengan saat ini sudah ada UU lain yang mengatur perlindungan hukum kepada otoritas yang berwenang dalam pengambilan kebijakan, contohnya: ● Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan. Dalam Pasal 48 ayat (1) UU disebutkan bahwa kecuali terdapat unsur penyalahgunaan wewenang, anggota KSSK dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, BI, OJK dan LPS tidak dapat dituntut, baik secara perdata maupun pidana atas pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang berdasarkan Undang-Undang PPSK. Hal ini untuk melindungi secara hukum kebijakan yang diambil dalam kondisi krisis yang tentu saja tidak bias disamakan dengan kondisi normal. ● Pasal 22 UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak menyebutkan bahwa Menteri, Wakil Menteri, pegawai Kementerian Keuangan, dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengampunan Pajak, tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut, baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Adapun itikad baik dijelaskan apabila dalam melaksanakan tugasnya tidak untuk mencari keuntungan bagi diri sendiri, keluarga, kelompok, dan/atau tindakan lain yang berindikasi korupsi, kolusi, dan/atau nepotisme. ● UU Bank Indonesia disebutkan dalam Pasal 45 yang berbunyi “Gubernur, Deputi Gubernur, dan/atau pejabat Bank Indonesia tidak dapat dihukum karena telah mengambil keputusan atau kebijakan yang sejalan dengan tugas dan wewenangnya sebagaimana 170 dimaksud dalam undang-undang ini sepanjang dilakukan dengan iktikad baik”. ● UU Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman dalam Pasal 10 menyatakan bahwa “Dalam rangka pelaksanaan tugas dan wewenangnya, Ombudsman tidak dapat ditangkap, ditahan, diinterogasi, dituntut, atau digugat di muka pengadilan”. ● UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat dalam Pasal 16 menyatakan bahwa Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien dalam sidang pengadilan. ● UU MD3 Perlindungan hukum bagi anggota DPR disebutkan dalam Pasal 224 UU ayat (1) yaitu: Anggota DPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis di dalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPR. Oleh karena itu pengaturan dalam UU mengenai perlindungan hukum bagi pihak yang menjalankan UU bukanlah hal yang baru, dan dapat dibenarkan selama ada pengaturan mengenai batasan atau kriteria tertentu.
Dengan demikian, perlindungan hukum dalam ketentuan Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 diperlukan untuk memberikan kepastian hukum kepada para pengambil kebijakan bahwa tindakan dan keputusan yang diambil dengan iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan akan dilindungi oleh hukum. Dengan demikian tidak ada hak warga negara yang ditangguhkan dalam ketentuan Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020. Bahkan Pasal 49 UU PTUN telah memberikan imunitas atau perlindungan hukum dari sengketa di peradilan tata usaha negara atas tindakan dan/atau keputusan pejabat tata usaha negara yang dilakukan dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan Pasal 49 UU PTUN ini menjadi landasan untuk diadopsi dalam Pasal 27 ayat (3) UU 2/2020. Sebagaimana Majelis Hakim maklumi, ketentuan perlindungan hukum pernah beberapa kali dilakukan pengujian 171 konstitusionalitasnya di Mahkamah Konstitusi (UU Advokat dan UU Pengampunan Pajak). Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi terdapat pertimbangan sebagai berikut: “ pihak-pihak yang disebut dalam ketentuan a quo memang sudah seharusnya tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut, baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada itikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” Sebagai best practices , standar internasional yang ditetapkan oleh lembaga keuangan internasional ( Financial Stability Board, Basel Committee on Banking Supervision , dan IMF) juga menetapkan adanya pengaturan perlindungan hukum bagi pengambil dan pelaksana kebijakan di bidang sektor keuangan.
Pandangan DPR terkait ketentuan UU yang dinyatakan tidak berlaku sepanjang keterkaitan dengan kebijakan keuangan negara untuk penanganan penyebaran Covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan berdasarkan Perppu sebagaimana dimaksud dalam UU a quo .
Bahwa pengaturan Pasal 28 lampiran UU 2/2020, telah sesuai dengan ketentuan Lampiran 137 UU 12/2011 yang mengatur bahwa pada umumnya Ketentuan Penutup memuat ketentuan mengenai:
penunjukan organ atau alat kelengkapan yang melaksanakan Peraturan Perundang-undangan;
nama singkat Peraturan Perundang-undangan;
status Peraturan Perundang-undangan yang sudah ada; dan
saat mulai berlaku Peraturan Perundang-undangan.
Bahwa memang benar bahwa sudah ada beberapa undang-undang yang mungkin dapat menjadi payung hukum penyelesaian masalah yang timbul akibat COVID-19. Hanya saja tidak pula dapat disalahkan, apabila dalam pandangan subjektif Presiden, undang-undang yang telah ada tersebut dianggap belum mampu menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi. Kondisi serupa juga pernah terjadi ketika Presiden menerbitkan beberapa Perppu yang lahir karena tidak memadainya Peraturan Peundang- undangan yang ada, yang kemudian menyimpangi/menyatakan tidak berlaku sebagian materi dari beberapa undang-undang misalnya Perppu 172 Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan menyatakan beberapa ketentuan dalam UU tentang Perbankan dan Perpajakan tidak berlaku sepanjang berkaitan dengan pelaksanaan akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan berdasarkan Perppu tersebut.
Bahwa dalam beberapa undang-undang yang ada tersebut memang telah mengatur berbagai dasar kebijakan keuangan negara materi muatan undang-undang yang sudah ada belum mengatur mengenai kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan untuk penanganan pandemi Covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Selain itu, beberapa ketentuan yang terdapat dalam undang- undang tersebut hanya dapat diberlakukan jika negara dalam keadaan normal, bukan dalam kegentingan/keadaan yang memaksa. Oleh karena itu, Pasal 28 lampiran UU 2/2020 ini tidak memberlakukan beberapa ketentuan dalam undang-undang tersebut sepanjang berkaitan dengan kebijakan keuangan negara untuk penanganan penyebaran Covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan berdasarkan UU 2/2020.
Bahwa tidak diberlakukannya ketentuan undang-undang yang disebutkan dalam Pasal 28 lampiran UU 2/2020 selama pemberlakuan UU 2/2020 dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaan peraturan perundang-undangan dan tidak terjadi disharmoni pengaturan karena adanya dua pengaturan yang berbeda yang mengatur hal yang sama.
Pandangan DPR terkait penyesuaian mandatory spending dana desa a. Bahwa terkait dengan permasalahan dana desa yang disampaikan oleh Para Pemohon Perkara 47, ketentuan Pasal 1 ayat (4) huruf b Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020 (PP 72/2020) tetap menetapkan adanya anggaran Transfer ke Daerah dan Dana Desa sebesar Rp763.925.645.050.000 (tujuh ratus enam puluh tiga 173 triliun sembilan ratus dua puluh lima miliar enam ratus empat puluh lima juta lima puluh ribu rupiah), termasuk tambahan belanja untuk penanganan pandemi Covid-19 sebesar Rp5.000.000.000.000 (lima triliun rupiah). Ketentuan Pasal 3 ayat (4) PP 72/2020 menyatakan bahwa rincian anggaran transfer ke daerah dan dana desa tersebut tercantum dalam Lampiran VI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari PP 72/2020. Dalam Lampiran VI.15 mengenai Rincian Dana Desa Menurut Provinsi/Kabupaten/Kota Tahun Anggaran 2020 menyatakan bahwa seluruh daerah kabupaten Para Pemohon Perkara 47 tetap mendapatkan alokasi dana desa. Berdasarkan ketentuan tersebut maka kekhawatiran Para Pemohon Perkara 47 tidak beralasan menurut hukum karena ketentuan Pasal a quo tidak menyebabkan dana desa dihentikan dan desa Para Pemohon tetap mendapatkan alokasi dari anggaran belanja negara.
Bahwa alokasi dari APBN merupakan salah satu sumber pendapatan desa. Berdasarkan ketentuan Pasal 72 ayat (1) UU Desa pendapatan desa bersumber dari pendapatan asli desa, alokasi APBN, bagian dari hasil pajak daerah dan retribusi daerah kabupaten/kota, alokasi dana desa yang merupakan bagian dari dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota, bantuan keuangan dari APBD Provinsi dan APBD Kabupaten/Kota, hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga, dan lain-lain pendapatan desa yang sah. Dengan banyak sumber pendapatan desa tersebut, maka Para Pemohon tidak hanya mengandalkan APBN dan memaksimalkan sumber-sumber pendapatan desa lainnya. Dengan upaya yang maksimal tersebut maka pembangunan yang sudah dicanangkan oleh para Pemohon dan perangkat desa dalam musrenbangdes dan RPJM desa untuk kesejahteraan dan kemakmuran warga desa Para Pemohon tetap dapat terealisasikan.
Bahwa pemohon perkara 47 telah salah dalam mengartikan Pasal 28 angka 8 UU 2/2020, karena Dana Desa tidak dihentikan paska disahkannya UU 2/2020, hal ini tercantum dalam Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2020 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 174 2020 (Permendes 7/2020), yang pada bagian menimbangnya menyatakan: “bahwa berdasarkan Undang–Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang–Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disesase 2019 (COVID-19) dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan menjadi Undang–Undang, penggunaan Dana Desa dapat digunakan untuk bantuan langsung tunai kepada miskin di Desa” Pada Pasal 8A ayat (1) Permendes 7/2020 disebutkan bahwa “Bencana Non-alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf d merupakan bencana yang terjadi sebagai akibat kejadian luar biasa berupa penyebaran penyakit yang mengancam dan/atau menimpa warga _masyarakat secara luas atau skala besar, meliputi:
Pandemi Corona_ Virus Diseases 2019” dan pada Pasal 8A ayat (2) Permendes 7/2020 disebutkan bahwa “Penanganan dampak Pandemi Corona Virus Diseases 2019 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat berupa BLT Dana Desa kepada keluarga miskin di Desa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang–undangan. d. Bahwa ketentuan Pasal 28 angka 8 Lampiran UU 2/2020 dimaksudkan untuk menyatakan tidak berlakunya ketentuan mandatory spending alokasi Dana Desa sebesar 10% dari belanja pemerintah pusat, sebagaimana yang disebutkan dalam Penjelasan Pasal 72 ayat (2) UU Desa. Ketidakberlakuan ketentuan mandatory spending dana desa bersifat temporer. Dengan adanya penyesuaian mandatory spending dana desa, Pemerintah dapat memiliki fleksibilitas dalam melakukan refocusing belanja untuk mencegah, menangani, dan memulihkan dampak pandemi Covid-19. Dengan adanya mandat ini maka untuk menjamin fleksibilitas penggunaan dana desa dalam rangka sepanjang masih terdapat kebutuhan untuk penanganan Covid-19 di daerah/desa maka Pasal 72 ayat (2) harus dinyatakan tidak berlaku sehingga tidak terdapat dualisme aturan. Penyesuaian mandatory spending Dana Desa tersebut dimaksudkan agar pelaksanaan program Pemerintah dapat dilakukan lebih efektif, efisien, dan tepat sasaran mengingat penyebaran dampak pandemi Covid-19 bersifat masif di seluruh wilayah Indonesia. 175 Dengan demikian Dana Desa tidak dihentikan namun dialihkan dalam bentuk Bantuan Langsung Tunai dan program–program Dana Desa dibuat skala prioritas yang bertujuan untuk kesejahteraan dan kemakmuran warga desa bukan untuk pembangunan infrastuktur saja. E. Keterangan Tambahan Terkait dengan pertanyaan Yang Mulia Hakim Mahkamah Konstitusi mengenai mekanisme pembahasan perppu untuk mencapai persetujuan atau pencabutan Perppu, DPR RI menerangkan sebagai berikut:
Bahwa sebagaimana disampaikan oleh Presiden yang diwakili oleh Menteri Keuangan, pembahasan penetapan Perppu menjadi Undang- Undang/pencabutan perppu Pasal 71 UU 12/2011 diatur: (1) Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dilaksanakan melalui mekanisme yang sama dengan pembahasan Rancangan Undang-Undang. (2) Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang dilaksanakan melalui mekanisme khusus yang dikecualikan dari mekanisme pembahasan Rancangan Undang-Undang. (3) Ketentuan mengenai mekanisme khusus sebagaimana dimaksud _pada ayat (2) dilaksanakan dengan tata cara sebagai berikut: _ a. Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang diajukan oleh DPR atau _Presiden; _ b. Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan sebagaimana dimaksud dalam huruf a diajukan pada saat Rapat Paripurna DPR tidak memberikan persetujuan atas Peraturan Pemerintah _Pengganti Undang-Undang yang diajukan oleh Presiden; dan _ c. Pengambilan keputusan persetujuan terhadap Rancangan Undang- Undang tentang Pencabutan sebagaimana dimaksud dalam huruf b dilaksanakan dalam Rapat Paripurna DPR yang sama dengan rapat paripurna penetapan tidak memberikan persetujuan atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut. 2. Bahwa berdasarkan ketentuan tersebut diatas, pembahasan suatu rancangan Undang-Undang dilakukan melalui 2 (dua) tingkat pembicaraan (vide Pasal 66 UU 12/2011) yang dilakukan oleh DPR bersama Presiden atau menteri yang ditugasi (vide Pasal 65 ayat (1) UU 12/2011) yang diuraikan lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 67 - Pasal 70 UU 12/2011). 176 3. Bahwa pembicaraan tingkat I dilakukan dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat Badan Legislasi, rapat Badan Anggaran, atau rapat Panitia Khusus dengan kegiatan pengantar musyawarah, pembahasan daftar inventarisasi masalah, dan penyampaian pendapat mini.
Bahwa dalam pembahasan tingkat I tersebut Pemerintah selaku pihak yang mengajukan RUU Penetapan Perppu menjadi Undang-Undang dan juga pihak yang mengeluarkan Perppu tersebut harus menjelaskan kepada DPR RI dalam rapat pembahasan tingkat I yang pelaksanaannya telah dijelaskan oleh DPR RI dalam keterangan ini. Penjelasan tersebutlah yang menjadi pertimbangan DPR RI untuk menyetujui atau tidak menyetujui Perppu tersebut menjadi Undang-Undang.
Bahwa sebagaimana telah disampaikan, Berdasarkan Pasal 71 huruf d dan Pasal 249 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 (UU MD3) bahwa DPD ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. RUU Penetapan Perppu 1/2020 menjadi UU tidak memiliki pertautan dengan bidang yang mengharuskan keikutsertaan DPD dalam pembahasannya melainkan mengenai DPR memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan, sehingga DPD tidak memiliki kewenangan untuk ikut membahas RUU tersebut.
Bahwa hal ini juga telah jelas sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang mengatur bahwa Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan yang berikut. Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut. Dalam ketentuan tersebut, tidak diatur bahwa dalam hal penetapan Perppu menjadi Undang-Undang dapat atau bahkan harus mengikutsertakan DPD dalam pembahasannya. Sebaliknya, mengikutsertakan DPD justru menjadi suatu hal yang tidak 177 sesuai dengan apa yang diatur dalam UUD NRI Tahun 1945, UU 12/2011 dan UU MD3. Terkait dengan pertanyaan Yang Mulia Hakim Mahkamah Konstitusi mengenai penetapan Perppu bukan pada “masa sidang yang berikut”, DPR RI menerangkan sebagai berikut: Bahwa sejauh ini DPR belum pernah melakukan penetapan perppu yang dalam masa sidang yang sama atau bukan pada “masa sidang yang berikut”. Setelah dikeluarkannya Perppu 1/2020, Presiden juga telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang yang disahkan pada 4 Mei 2020 dan ditetapkan sebagai Undang-Undang melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang- Undang menjadi Undang-Undang yang disahkan dan diundangkan pada 11 Agustus 2020 pada masa sidang ketiga tahun 2020 yang terhitung pada 15 Juni 2020 hingga 13 Agustus 2020. Sehingga penetapan Perppu 1/2020 menjadi Undang-Undang adalah yang pertama kali dilakukan dengan tidak memenuhi ketentuan “masa sidang yang berikut” mengingat urgensi penetapannya yang harus dilakukan dengan segera. Terkait dengan pertanyaan Yang Mulia Hakim Mahkamah Konstitusi mengenai pembahasan RAPBN 2021 yang kemudian disepakati dalam paripurna pada 29 September 2020, DPR RI menerangkan:
Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 13 ayat (1) UU Keuangan Negara, Pemerintah Pusat menyampaikan pokok-pokok kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro tahun anggaran berikutnya kepada Dewan Perwakilan Rakyat selambat-lambatnya pertengahan bulan Mei tahun berjalan. Pasal 15 ayat (1) UU keuangan Negara mengatur bahwa 178 Pemerintah Pusat mengajukan Rancangan Undang-undang tentang APBN, disertai nota keuangan dan dokumen-dokumen pendukungnya kepada Dewan Perwakilan Rakyat pada bulan Agustus tahun sebelumnya. Dan pada ketentuan Pasal 15 ayat (4) dan ayat (6) UU keuangan Negara diatur Pengambilan keputusan oleh Dewan Perwakilan Rakyat mengenai Rancangan Undangundang tentang APBN dilakukan selambat-lambatnya 2 (dua) bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan dilaksanakan dan apabila DPR tidak menyetujui Rancangan Undang-undang tersebut, Pemerintah Pusat dapat melakukan pengeluaran setinggi-tingginya sebesar angka APBN tahun anggaran sebelumnya.
Bahwa penyampaian pokok-pokok kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro tahun anggaran tahun 2021 telah disampaikan oleh pemerintah dalam rapat paripurna DPR RI pada dalam rangkaian rapat paripurna tertanggal 12 Mei 2020, 14 Juli 2020, dan 14 Agustus 2020 (Lampiran II, Lampiran III dan Lampiran IV). Sebagai tambahan informasi, pada 25 September 2020, Kemenkeu selaku yang mewakili Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyepakati Rancangan Undang- Undang (RUU) Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2021 di Banggar dan Pemerintah bersama DPR telah menyetujui defisit anggaran sebesar 5,7% dari PDB pada Rapat Paripurna DPR tanggal 29 September 2020.
Pembahasan RUU APBN 2021 dilakukan di banggar yang pelaksanaannya disampaikan risalahnya (lampiran V, lampiran VI, lampiran VII) F. Risalah Pembahasan UU 2/2020 Risalah Pembahasan UU 2/2020 ini terlampir berbagai dokumen pendukung mengenai pembahasan UU 2/2020 sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Keterangan DPR ini. III. Petitum DPR Bahwa berdasarkan dalil-dalil tersebut di atas, DPR memohon agar kiranya Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Konstitusi memberikan amar putusan sebagai berikut: 179 1. Menyatakan bahwa Para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) sehingga permohonan a quo harus dinyatakan tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard );
Menolak permohonan a quo untuk seluruhnya;
Menerima keterangan DPR RI secara keseluruhan;
Menyatakan bahwa proses pembentukan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134; Tambahan Lembaran Negara Republlik Indonesia Nomor 6516) telah sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan telah memenuhi ketentuan pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana yang diatur dalam Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 183, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6398);
Menyatakan Judul, Pasal 1 ayat (3); Pasal 1 ayat (5); Pasal 2; Pasal 3 ayat (2); Pasal 4 ayat (1) huruf a; Pasal 4 ayat (1) huruf d; Pasal 4 ayat (2); Pasal 5 ayat (1) huruf a; Pasal 5 ayat (1) huruf b; Pasal 6; Pasal 7; Pasal 9; Pasal 10 ayat (1); Pasal 10 ayat (2); Pasal 11 ayat (3); Pasal 12 ayat (1);
Pengujian Materiil dan Formil Lampiran Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2 ...
Relevan terhadap
ayat (1) huruf b angka (1); Pasal 20 ayat (1) huruf b angka (3); Pasal 20 ayat (1) huruf c; Pasal 22 ayat (1); Pasal 23 ayat (1) huruf a; Pasal 24 ayat (1); Pasal 25; Pasal 26 ayat (1); Pasal 27; Pasal 28 dan Pasal 29 Lampiran UU 2/2020 yang berketentuan sebagai berikut: Judul Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang. Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 1 ayat (5) (3) Untuk melaksanakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) _sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dalam rangka: _ a. _penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID- 191; _ dan/atau b. menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan, perlu __ menetapkan kebijakan keuangan negara dan kebijakan stabilitas sistem keuangan (5) Kebijakan stabilitas sistem keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi kebijakan untuk penanganan permasalahan lembaga keuangan yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Pasal 2 (1) Dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara sebagaimana _dimaksud dalam Pasal 1 ayat (4), Pemerintah berwenang untuk: _ a. menetapkan batasan defisit anggaran, dengan ketentuan sebagai _berikut: _ 1. melampaui 3% (tiga persen) dari Produk Domestik Bruto (PDB) selama masa penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID- 19) dan/atau untuk menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan paling _lama sampai dengan berakhirnya Tahun Anggaran 2022; _ 2. sejak Tahun Anggaran 2023 besaran defisit akan kembali menjadi paling tinggi sebesar 3% (tiga persen) dari Produk Domestik Bruto _(PDB); dan
penyesuaian besaran defisit sebagaimana dimaksud_ pada angka 1 menjadi sebagaimana dimaksud pada angka 2 dilakukan secara bertahap. 3. Penyesuaian besaran defisit sebagaimana dimaksud pada angka 1 menjadi sebagaimana dimakud pada angka 2 dilakukan secara bertahap. b. melakukan penyesuaian besaran belanja wajib (mandatory spending) sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang- _undangan terkait; _ 20 c. melakukan pergeseran anggaran antar unit organisasi, antarfungsi, _dan/atau antarprogram; _ d. melakukan tindakan yang berakibat pengeluaran atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yang anggaran untuk membiayai pengeluaran tersebut belum tersedia atau tidak cukup tersedia, serta menentukan proses dan metode pengadaan _barang/jasa; _ _e. menggunakan anggaran yang bersumber dari: _ _1. Sisa Anggaran Lebih (SAL); _ _2. dana abadi dan akumulasi dana abadipendidikan; _ _3. dana yang dikuasai negara dengan kriteriatertentu; _ _4. dana yang dikelola oleh Badan Layanan Umum; dan/atau _ 5. dana yang berasal dari pengurangan PenyertaanModal Negara _pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN); _ f. menerbitkan Surat Utang Negara dan/atau Surat Berharga Syariah Negara dengan tujuan tertentu khususnya dalam rangka pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-l9) untuk dapat dibeli oleh Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), investor korporasi, _dan/atau investor ritel; _ g. menetapkan sumber-sumber pembiayaan Anggaran yang berasal _dari dalarn dan/atau luar negeri; _ _h. memberikan pinjaman kepada Lembaga PenjaminSimpanan; _ i. melakukan pengutamaan penggunaan alokasi anggaran untuk kegiatan tertentu (refoansing), penyesuaian alokasi, dan/atau pemotongan/penundaan penyaluran anggaran Transfer ke Daerah _dan Dana Desa, dengan kriteria tertentu; _ _j. memberikan hibah kepada Pemerintah Daerah; dan/atau _ k. melakukan penyederhanaan mekanisme dan simplifikasi dokumen di bidang keuangan negara (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kebijakan keuangan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. Pasal 3 ayat (2) Ketentuan mengenai pengutamaan penggunaan alokasi anggaran untuk kegiatan tertentu (refocusing), perubahan alokasi, dan penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri. Pasal 4 ayat (1) huruf a dan huruf d (1) Kebijakan di bidang perpajakan sebagaimana dimaksuddalam Pasal 1 _ayat (4) meliputi: _ a. penyesuaian tarif Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan dalam negeri _dan bentuk usaha tetap; _ b. _…; _ c. _…; _ d. pemberian kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk memberikan fasilitas kepabeanan berupapembebasan atau keringanan bea masuk dalam rangka penanganan kondisi darurat serta pemulihan dan penguatan ekonomi nasional. 21 Pasal 4 ayat (2) (2) Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan perdagangan yang transaksinya dilakukan melalui serangkaian perangkat dan prosedur elektronik. Pasal 5 ayat (1) huruf a dan huruf b (1) Penyesuaian tarif Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap sebagaimanadimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a berupa penurunan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf b Undang-Undang _mengenai Pajak Penghasilan menjadi: _ a. sebesar 22% (dua puluh dua persen) yang berlaku pada Tahun Pajak _2020 dan Tahun Pajak 2021; dan _ b. sebesar 20% (dua puluh persen) yang mulai berlaku pada Tahun Pajak 2022. Pasal 6 (1) Perlakuan perpajakan dalam kegiatan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) _huruf b berupa: _ a. pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean melalui _PerdaganganMelalui Sistem Elektronik (PMSE); dan _ b. pengenaan Pajak Penghasilan atau pajak transaksi elektronik atas kegiatan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) yang dilakukan oleh subjek pajak luar negeri yang memenuhi ketentuan kehadiran ekonomi signifikan (2) Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a mengikuti ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. (3) Pajak Pertambahan Nilai yang dikenakan atas pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujuddan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean didalam Daerah Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipungut, disetorkan, dan dilaporkan oleh pedagang luar negeri, penyedia jasa luar negeri, Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) luar negeri, dan/atau Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) dalamnegeri, yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan. (4) Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan pelaku usaha penyedia sarana komunikasi elektronik yang digunakan untuk transaksi perdagangan. (5) Pedagang luar negeri atau penyedia jasa luar negerisebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan orangpribadi atau badan yang bertempat tinggal ataubertempat kedudukan di luar Daerah Pabean 22 yangmelakukan transaksi dengan pembeli barang ataupenerima jasa di dalam Daerah Pabean melalui system elektronik. (6) Pedagang luar negeri, penyedia jasa luar negeri, dan/atau Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) luar negeri yang memenuhi ketentuan kehadiran ekonomi signifikan dapat diperlakukan sebagai bentuk usaha tetap dan dikenakan Pajak Penghasilan. (7) Ketentuan kehadiran ekonomi signifikan sebagaimana dimaksud pada _ayat (6) berupa: _ a. peredaran bruto konsolidasi grup usaha sampai dengan jumlah _tertentu; _ _b. penjualan di Indonesia sampai dengan jumlah tertentu; dan/atau _ c. pengguna aktif media digital di Indonesia sampaidengan jumlah tertentu. (8) Dalam hal penetapan sebagai bentuk usaha tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tidak dapat dilakukan karena penerapan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak, pedagang luar negeri, penyedia jasa luar negeri, dan/atau Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) luar negeri yang memenuhi ketentuan kehadiran ekonomi signifikan, dikenakan pajak transaksi elektronik. (9) Pajak transaksi elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dikenakan atas transaksi penjualan barangdan/atau jasa dari luar Indonesia melalui PerdaganganMelalui Sistem Elektronik (PMSE) kepada pembeli atau pengguna di Indonesia yang dilakukan oleh subjekpajak luar negeri, baik secara langsung maupun melalui Penyelenggara Perdagangan Melalui SistemElektronik (PPMSE) luar negeri. (10) Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) atau pajak transaksi elektronik sebagaimana dimaksudpada ayat (8) dibayar dan dilaporkan oleh pedagang luar negeri, penyedia jasa luar negeri, dan/atau Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) luar negeri. (11) Pedagang luar negeri, penyedia jasa luar negeri,dan/atau Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) luar negeri sebagaimana dimaksudpada ayat (3) dan ayat (10), dapat menunjuk perwakilan yang berkedudukan di Indonesia untuk memungut, menyetorkan, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilaiyang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan/atau untuk memenuhi kewajiban Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) atau pajak transaksi elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (8). (12) Besarnya tarif, dasar pengenaan, dan tata cara penghitungan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan pajak transaksi elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (8) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. _(13) Ketentuan lebih lanjut mengenai: _ a. tata cara penunjukan, pemungutan, danpenyetoran, serta pelaporan _Pajak PertambahanNilai sebagaimana dimaksud pada ayat (3); _ 23 b. kehadiran ekonomi signifikan sebagaimanadimaksud pada ayat (7), tata cara pembayaran dan pelaporan Pajak Penghasilan atau pajak _transaksielektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (10); dan _ c. tata cara penunjukan perwakilan sebagaimanadimaksud pada ayat (11), diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. Pasal 7 (1) Pedagang luar negeri, penyedia jasa luar negeri,Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) luar negeri, dan/atau PenyelenggaraPerdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) dalam negeri yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimanadimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) dan pedagang luar negeri, penyedia jasa luar negeri, dan/atau Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) luar negeri yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (10), dikenai sanksi administratif sesuai dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009. (2) Ketentuan mengenai penetapan, penagihan, dan upayahukum atas pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean didalam Daerah Pabean melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) serta pengenaan Pajak Penghasilan atau pajak transaksi elektronik atas subjekpajak luar negeri yang memenuhi ketentuan kehadiran ekonomi signifikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, dilaksanakan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 76 Tahun 2009. (3) Terhadap pelaku kegiatan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), selain dikenai sanksi administratif juga dikenai sanksi berupa pemutusan akses setelah diberi teguran. (4) Pemutusan akses sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) atau Pasal 6 ayat (10) tidak dipenuhi sampai dengan batas waktu yang ditentukan dalam teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (3). (5) Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika berwenang untuk melakukan pemutusan akses berdasarkan permintaan Menteri Keuangan. (6) Ketentuan mengenai tata cara pemutusan akses sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang informasi dan transaksi elektronik. (7) _Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara: _ a. _pemberian teguran sebagaimana dimaksud padaayat (3); dan _ b. permintaan pemutusan akses sebagaimana dimaksud pada ayat (5), diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan __ 24 Pasal 9 Menteri Keuangan memiliki kewenangan untuk memberikan fasilitas kepabeanan berupa pembebasan atau keringanan bea masuk dalam _rangka: _ _a. penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19); dan/atau _ b. menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan Pasal 10 (1) Perubahan atas barang impor yang diberikan pembebasan bea masuk berdasarkan tujuan pemakaiannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995, diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. (2) Perubahan atas barang impor yang dapat diberikan pembebasan atau keringanan bea masuk berdasarkan tujuan pemakaiannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995, diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. Pasal 11 ayat (3) Program pemulihan ekonomi nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat dilaksanakan melalui Penyertaan Modal Negara, penempatan dana dan/atau investasi Pemerintah, dan/atau kegiatan penjaminan dengan skema yang ditetapkan oleh Pemerintah. Pasal 12 (1) Pelaksanaan kebijakan keuangan negara dan langkah-langkah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 11 dilakukan dengan tetap memperhatikan tata kelola yang baik. (2) Perubahan postur dan/atau rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara dan langkah-langkah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 11 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden. Pasal 14 Dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan ditengah-tengah kondisi terjadinya pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau untuk menghadapi ancaman krisis ekonomi dan/atau stabilitas sistem keuangan, perlu menetapkan kebijakan stabilitas sistem keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (5). Pasal 16 ayat (1) huruf c (1) Untuk mendukung pelaksanaan kewenangan KSSK dalam rangka penanganan permasalahan stabilitas sistem keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1), Bank Indonesia diberikan _kewenangan untuk: _ 25 c. membeli Surat Utang Negara dan/atau Surat Berharga Syariah Negara berjangka panjang dipasar perdana untuk penanganan permasalahan sistem keuangan yang membahayakan perekonomian nasional, termasuk Surat Utang Negara dan/atau Surat Berharga Syariah Negara yang diterbitkan dengan tujuan tertentu khususnya _dalam rangka pandemi Corona Virus Disease 2019 (covid- 19); _ Pasal 19 (1) Bank Indonesia dapat membeli Surat Utang Negara dan/atau Surat Berharga Syariah Negara berjangka panjang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf c di pasar perdana yang diperuntukkan sebagai sumber pendanaan bagi Pemerintah. (2) Sumber pendanaan bagi Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipergunakan dalam rangka pemulihan ekonomi nasional termasuk menjaga kesinambungan pengelolaan keuangan negara, memberikan pinjaman dan penambahan modal kepada Lembaga Penjamin Simpanan, serta pendanaan untuk restrukturisasi perbankan pada saat krisis. Pasal 20 ayat (1) huruf b angka (1) dan angka (3) dan Pasal 20 ayat (1) huruf c (1) Untuk mendukung pelaksanaan kewenangan KSSK dalam rangka penanganan permasalahan stabilitas sistem keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1), Lembaga Penjamin Simpanan _diberikan kewenangan untuk: _ b. _melakukan tindakan: _ 1. penjualan/repo Surat Berharga Negara yang dimiliki kepada Bank _Indonesia; _ _2....; _ _3. pinjaman kepada pihak lain; dan/atau _ 4..... dalam hal Lembaga Penjamin Simpanan diperkirakan akan mengalami kesulitan likuiditas untuk penanganan bank gagal. c. melakukan pengambilan keputusan untuk melakukan atau tidak melakukan penyelamatan bank selain Bank Sistemik yang dinyatakan sebagai bank gagal dengan mempertimbangkan antara lain kondisi perekonomian, kompleksitas permasalahan bank, kebutuhan waktu penanganan, ketersediaan investor, dan/atau efektivitas penanganan permasalahan bank serta tidak hanya mempertimbangkan perkiraan _biaya yang paling rendah (least cost test); _ Pasal 22 ayat (1) (1) Untuk mencegah krisis sistem keuangan yang membahayakan perekonomian nasional, Pemerintah dapat menyelenggarakan program penjaminan di luar program penjaminan simpanan sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang mengenai lembaga penjamin simpanan. __ 26 Pasal 23 ayat (1) huruf a (1) Untuk mendukung pelaksanaan kewenangan KSSK dalam rangka penanganan permasalahan stabilitas sistem keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan diberikan _kewenangan untuk: _ a. memberikan perintah tertulis kepada lembaga jasa keuangan untuk melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, integrasi dan/atau konversi Pasal 24 ayat (1) (1) Untuk mendukung pelaksanaan kewenangan KSSK dalam rangka penanganan permasalahan stabilitas sistem keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1), Pemerintah diberikan kewenangan untuk memberikan pinjaman kepada Lembaga Penjamin Simpanan. Pasal 25 Pemberian pinjaman oleh Pemerintah kepada Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dilakukan dalam hal Lembaga Penjamin Simpanan mengaiami kesulitan likuiditas yang membahayakan perekonomian dan sistem keuangan sebagai dampak pandemi Corona Virus Disease (COVID-19). Pasal 26 ayat (1) (1) Setiap orang yang dengan sengaja mengabaikan, tidak memenuhi, tidak melaksanakan atau menghambat pelaksanaan kewenangan Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf a, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) atau pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 300.000.000.000,00 (tiga ratus miliar rupiah). Pasal 27 1. Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan dibidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara. 2. Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 3. Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara. 27 Pasal 28 Pada saat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini mulai _berlaku: _ 1. ketentuan jangka waktu yang diatur dalam Pasal 1 1 ayat (2), Pasal l7B ayat (1), Pasal 25 ayat (3), Pasal 26 ayat (1), dan Pasal 36 ayat (1c) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran _Negara Republik Indonesia Nomor 4999); _ 2. Pasal 55 ayat (4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik _Indonesia Nomor 4962); _ 3. Pasal 12 ayat (3) beserta penjelasannya, Pasal 15 ayat (5), Pasal 22 ayat (3), Pasal 23 ayat (1), Pasal 27 ayat (3), dan Pasal 28 ayal (3) dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan _Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286); _ 4. Pasal 3 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor _4355); _ 5. Pasal 22 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4420) sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik _Indonesia Nomor 4963); _ 6. Pasal 27 ayat (1) beserta penjelasannya, Pasal 36, Pasal 83, dan Pasal 107 ayat (2) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, _Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438); _ 28 7. Pasal 171 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, _Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063); _ 8. Pasal 72 ayat (2) beserta penjelasannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 _Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5495); _ 9. Pasal 316 dan Pasal 317 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan _Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679); _ 10. Pasal 177 huruf c angka 2, Pasal 180 ayat (6), dan Pasal 182 Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Ralryat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 181, Tambahan Lembaran _Negara Republik Indonesia Nomor 6396); _ 11. Pasal 20 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 70, Tambahan _Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5872); dan _ 12. Pasal 11 ayat (22), Pasal 40, Pasal 42, dan Pasal 46 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2019 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 198, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6410), dinyatakan tidak berlaku sepanjang berkaitan dengan kebijakan keuangan negara untuk penanganan penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID- 19) dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini. Pasal 29 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Bahwa pasal-pasal UUD NRI Tahun 1945 yang dijadikan batu uji adalah Pasal 1, Pasal 4 ayat (1), Pasal 5 ayat (2), Pasal 18 ayat (2) dan (3), Pasal 20A, Pasal 29 20A ayat (1), Pasal 22, Pasal 22 ayat (1), Pasal 22D ayat (2), Pasal 23, Pasal 23A, Pasal 23C, Pasal 23D, Pasal 23E, Pasal 24, Pasal 24A ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan (2), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28H ayat (1), Pasal 28I ayat (2) dan Pasal 31 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. II. Keterangan DPR RI Dengan ini DPR RI menyampaikan keterangan terhadap permohonan pengujian materiil UU 2/2020 terhadap UUD NRI Tahun 1945 dalam Perkara nomor 37, 42, 43, 45, 47, 49 dan 75/PUU-XVIII/2020 sebagai berikut: A. Kedudukan Hukum ( Legal Standing ) Para Pemohon 1. Kedudukan Hukum (Legal Standing) Para Pemohon dalam Pengujian Secara Formil Terkait kedudukan hukum (legal standing) Para Pemohon dalam pengujian undang-undang secara formil, DPR RI memberikan pandangan dengan berdasarkan 2 (dua) batasan kerugian konstitusional yang disimpulkan dari Pertimbangan Hukum dalam Putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 27/PUU-VII/2009, yaitu:
Para Pemohon merupakan perorangan yang telah melaksanakan hak pilih sebagai pemegang kedaulatan yang telah memberikan kepercayaan dan mandat kepada wakil sebagai fiduciary duty dalam pemilihan umum;
Berdasarkan uraian kedudukannya, Pemohon Badan Hukum Perkara 37 dan Para Pemohon Badan Hukum Perkara 75 yang merupakan Badan Hukum tentunya tidak memiliki hak dan/atau kewenangan untuk turut serta dalam pemilihan umum.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 34 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, Pemilih adalah Warga Negara Indonesia yang sudah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih, sudah kawin, atau sudah pernah kawin. Oleh karena itu, Pemohon Badan Hukum Perkara 37 dan Para Pemohon Badan Hukum Perkara 75 telah jelas tidak dapat membuktikan bahwa telah memberikan kepercayaan dan mandat kepada anggota DPR RI masa keanggotaan periode tahun 2014-2019 karena Pemohon Badan Hukum Perkara 37 dan Para Pemohon Badan Hukum Perkara 75 30 bukanlah perorangan yang telah melaksanakan hak pilih sebagai pemegang kedaulatan yang telah memberikan kepercayaan dan mandat kepada wakil sebagai fiduciary duty dalam pemilihan umum.
Para Pemohon Perorangan Perkara 37, Para Pemohon Perkara 43, dan Para Pemohon Perorangan Perkara 75 dalam perbaikan permohonannya tidak memberikan uraian argumentasi sebagai perorangan yang telah melaksanakan hak pilih sebagai pemegang kedaulatan dalam Pemilihan Umum. Selain itu, Para Pemohon tersebut diatas juga tidak melampirkan bukti-bukti keikutsertaannya dalam Pemilihan Umum dan menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan anggota DPR RI sebagai bentuk pemberian mandat kepada wakil sebagai fiduciary duty . Hal ini menunjukkan bahwa Para Pemohon tersebut tidak memahami kedudukan hukumnya sebagai perseorangan warga negara yang memiliki hak konstitusional sebagai pemberi mandat dalam Pemilihan Umum dan tidak memperhatikan ketentuan dalam pengujian undang-undang secara formil.
Para Pemohon mempunyai hubungan pertautan yang langsung dengan Undang-Undang yang dimohonkan.
Bahwa terkait dengan pengajuan pengujian UU a quo secara formil, Para Pemohon secara keseluruhan tidak menguraikan pertautannya. Namun dapat dipahami dalam uraian dalil-dalilnya, Para Pemohon hanya menyatakan bahwa UU a quo telah menimbulkan ketidakpastian hukum, melahirkan penafsiran yang ambigu, tidak jelas dan multi tafsir serta berpotensi menghambat pemenuhan hak-hak konstitusional Para Pemohon dan warga negara pada umumnya.
Meskipun demikian, Para Pemohon tidak memberikan uraian yang berkaitan dengan pertautannya secara langsung terhadap UU a quo yang dimohonkan pengujiannya secara formil. Dengan demikian telah jelas, tidak terdapat keterkaitan secara langsung antara Para Pemohon Perkara 37, Para Pemohon Perkara 43, dan Para Pemohon Perkara 75 dengan UU a quo, sehingga Para Pemohon 31 tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) dalam pengujian formil UU a quo terhadap UUD NRI Tahun 1945. Terhadap kedudukan hukum ( legal standing ) Para Pemohon Perkara 37, Para Pemohon Perkara 43, dan Para Pemohon Perkara 75 dalam pengujian formil, DPR RI memohon kepada Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi agar benar-benar menilai apakah Para Pemohon tersebut memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) dalam pengajuan Permohonan perkara-perkara a quo sesuai dengan parameter kerugian hak dan/atau kerugian konstitusional dalam pengajuan permohonan pengujian formil undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945 sebagaimana disebutkan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dalam Pertimbangan Hukum pada Putusan Nomor 27/PUU-VII/2009.
Kedudukan Hukum ( Legal Standing ) Para Pemohon dalam Pengujian Secara Materiil Terkait kedudukan hukum ( legal standing ) Para Pemohon dalam pengujian undang-undang secara materiil, DPR RI memberikan pandangan dengan berdasarkan 5 (lima) batasan kerugian konstitusional yang tercantum dalam __ Putusan Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Perkara Nomor 011/PUU-V/2007 sebagai berikut:
Perkara Nomor 37/PUU-XVIII/2020 Bahwa Para Pemohon Perkara 37 mendalilkan memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diatur dalam ketentuan Pasal 23 ayat (1), Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Terhadap hal tersebut, DPR RI menerangkan bahwa ketentuan Pasal 23 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 mengatur mengenai APBN yang jelas-jelas tidak mengatur mengenai hak dan/atau kewenangan Warga Negara. Sehingga ketentuan ini tidak memiliki pertautan hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon Perkara 37. Bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon Perkara 37 sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 28C ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 tidak terciderai dengan berlakunya ketentuan pasal-pasal yang dimohonkan pengujiannya karena Para Pemohon Perkara 37 tetap dapat memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan 32 negaranya. Terkait dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, Para Pemohon Perkara 37 juga tetap mendapatkan haknya atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Bahwa Para Pemohon Perkara 37 mendalilkan diri sebagai pembayar pajak ( tax payer ), oleh karenanya DPR RI mengutip pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 40/PUU- XVI/2018 pada Paragraf [3.7] sebagai berikut: …menurut Mahkamah, para Pemohon sebagai pembayar pajak (tax payer) tidak serta merta memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam mengajukan setiap permohonan pengujian undang-undang. Para Pemohon dapat memiliki kedudukan hukum (legal standing) apabila para Pemohon dapat menjelaskan adanya keterkaitan logis dan causal verband bahwa pelanggaran hak konstitusional atas berlakunya undang-undang yang diuji adalah dalam kaitannya dengan status para Pemohon sebagai pembayar pajak (tax payer) memang menunjukkan kerugian yang nyata . Dalam permohonan a quo , Para Pemohon Perkara 37 dituntut bukan hanya sekedar menyatakan dirinya sebagai pembayar pajak ( tax payer ), tetapi terkait statusnya sebagai pembayar pajak harus dijelaskan adanya keterkaitannya secara logis dengan kerugian konstitusional Para Pemohon Perkara 37 yang diakibatkan dengan berlakunya pasal-pasal a quo . Terkait dengan ketentuan UUD NRI Tahun 1945 yang oleh Para Pemohon Perkara 37 dipertentangkan dengan ketentuan dalam UU a quo , Para Pemohon Perkara 37 tidak mengurai pertautan antara keduanya demikian pula terkait dengan pertautannya dengan Para Pemohon Perkara 37. Maka semakin tidak jelas adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon terkait dengan pasal-pasal yang dimohonkan pengujian dan keberadaan hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara dalil kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon Perkara 37 dengan ketentuan pasal-pasal a quo yang dimohonkan pengujiannya.
Perkara Nomor 42/PUU-XVIII/2020 Bahwa Para Pemohon Perkara 42 tidak konsisten dalam menyebutkan batu uji yang digunakan dalam pengujian pasal-pasal a quo dalam uraian kedudukan hukumnya dengan ketentuan UUD NRI Tahun 1945 33 yang tertulis dalam bagian Pokok Permasalahan. Lebih lanjut, dalam uraian permohonannya, Para Pemohon Perkara 42 mempertentangkan ketentuan pasal-pasal a quo dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 23 ayat (1), (2), (3), dan Pasal 23A UUD NRI Tahun 1945 yang sama sekali tidak mengatur mengenai hak dan/atau kewenangan konstitusional warga negara. Terkait dengan kerugian hak konstitusionalnya yang dijamin dalam ketentuan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, Para Pemohon Perkara 42 tidak menguraikan bentuk konkret (aktual) maupun potensial atas kerugian konstitusional yang didalilkan tersebut dengan diri Para Pemohon Perkara 42 dan justru Para Pemohon Perkara 42 banyak menyampaikan asumsi-asumsi dan kekhawatirannya atas pemberlakuan pasal-pasal a quo terhadap negara yang jelas sangat mengada-ada. Selain itu, Para Pemohon Perkara 42 tidak dapat menunjukkan adanya pertautan secara langsung dengan ketentuan pasal-pasal a quo sehingga tidak jelas sebab akibat atas dalil kerugian konstitusional yang didalilkan Para Pemohon Perkara 42 dengan berlakunya ketentuan pasal-pasal a quo .
Perkara Nomor Perkara 43/PUU-XVIII/2020 Bahwa Para Pemohon Perkara 43 tersebut masing-masing tidak berdiri dalam posisi yang jelas atas kepentingan siapakah Para Pemohon Perkara 43 hendak mengemukakan kerugian konstitusionalnya. Selain itu, Para Pemohon Perkara 43 dalam permohonannya tidak mampu menjelaskan secara spesifik dalam hal apa Para Pemohon Perkara 43 dirugikan dengan keberlakuan pasal UU a quo tersebut terhadap diri Para Pemohon Perkara 43 maupun terhadap profesi Para Pemohon Perkara 43. Bahwa Para Pemohon Perkara 43 dalam permohonannya tidak mampu menjelaskan secara spesifik dalam hal apa Para Pemohon Perkara 43 dirugikan dengan keberlakuan pasal a quo tersebut terhadap diri Para Pemohon Perkara 43 maupun terhadap profesi Para Pemohon Perkara 43 sehingga tidak jelas pula hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian konstitusional yang didalilkan 34 oleh Para Pemohon Perkara 43 dengan pasal-pasal a quo yang dimohonkan pengujiannya terhadap UUD NRI Tahun 1945.
Perkara Nomor Perkara 45/PUU-XVIII/2020 Bahwa ketentuan Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 4 ayat (1), Pasal 5 ayat (2), Pasal 20 ayat (1), Pasal 20A ayat (1),Pasal 23, Pasal 23E, Pasal 24, Pasal 24A ayat (1) dan Pasal 27 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang dijadikan batu uji oleh Pemohon Perkara 45 tidak mengatur mengenai hak konstitusional warga negara, melainkan mengatur mengenai bentuk dan kedaulatan negara, kekuasaan pemerintah, tugas dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat, hal keuangan negara, kelembagaan BPK, Kekuasaan Kehakiman, tanggung jawab negara dalam mengelola keuangan negara yang ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang untuk dapat dilaksanakan secara terbuka dan untuk kemakmuran rakyat, dan kewajiban warga negara untuk menjunjung hukum dan pemerintahan tanpa terkecuali. Oleh karena itu tidaklah relevan untuk dijadikan sebagai batu uji dalam Permohonan a quo . Bahwa dalam Permohonan a quo , Pemohon Perkara 45 tidak menguraikan kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon Perkara 45 yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi. Pemohon Perkara 45 hanya menyatakan hak Pemohon sebagai rakyat dalam memantau Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat dan Kekuasaan Kehakiman dapat menjalankan tugas dan fungsinya, tanpa menjelaskan kerugian spesifik apa yang ditimbulkan dari berlakunya ketentuan pasal-pasal a quo . Sehingga jelas kerugian yang didalilkan oleh Pemohon Perkara 45 hanya merupakan asumsi tanpa adanya pertautan dengan hak konstitusional Pemohon Perkara 45.
Perkara Nomor Perkara 47/PUU-XVIII/2020 Bahwa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 telah ditetapkan menjadi undang-undang yakni UU a quo , artinya substansi di dalamnya telah dibahas dan disetujui antara Pemerintah bersama dengan DPR dan telah dilakukan sesuai dengan 35 ketentuan Pasal 23 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Bahwa ketentuan Pasal 23 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 tidak mengatur mengenai hak dan/atau kewenangan konstitusional melainkan mengatur mengenai penetapan, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban APBN. Salah satu fungsi yang dimiliki oleh DPR adalah fungsi anggaran dengan tugas dan wewenang berupa pemberian persetujuan atas RUU tentang APBN yang diajukan oleh Presiden. UU APBN tersebut kemudian dilaksanakan secara terbuka oleh Pemerintah untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat. Para Pemohon Perkara 47 mendalilkan dengan berlakunya pasal a quo , berpotensi dana desa dihentikan, dengan demikian jelas kerugian yang didalilkan tersebut hanya asumsi Para Pemohon Perkara 47, karena kenyataannya dana desa tetap ada meskipun selama penanganan pandemi Covid-19 ini besarannya dikurangi karena adanya kebijakan pengalihan mandatory expenses yang diamanatkan oleh UU Desa.
Perkara Nomor Perkara 49/PUU-XVIII/2020 Bahwa Pemohon Perkara 49 menyatakan memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diatur dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1), (2) dan (3) serta Pasal 23 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 namun dalam uraian Positanya, Pemohon Perkara 49 mendalilkan ketentuan pasal a quo bertentangan dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Meskipun demikian, DPR menerangkan bahwa ketentuan Pasal 1 ayat (1), (2) dan (3) serta Pasal 23 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 tidak mengatur mengenai hak dan/atau kewenangan konstitusional warga Negara. Ketentuan Pasal 1 ayat (1), (2) dan (3) serta Pasal 23 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 mengatur mengenai Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik, kedaulatan berada di tangan rakyat, Indonesia adalah Negara hukum dan APBN sebagai wujud dari pengelolaan keuangan Negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 36 Bahwa Pemohon Perkara 49 dalam perbaikan permohonannya menguraikan memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (1), (2) dan (3) serta Pasal 23 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang jelas-jelas tidak mengatur mengenai hak dan/atau kewenangan warga Negara. Selain itu, Pemohon Perkara 49 tidak menguraikan kerugian konsitusionalnya berdasarkan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 dan hanya mendalilkan pasal a quo bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Pemohon Perkara 49 juga sama sekali tidak menyampaikan argumentasi tentang pertentangan antara pasal yang dimohonkan pengujian dengan pasal-pasal yang menjadi dasar pengujian dalam UUD NRI Tahun 1945. Oleh karena itu, telah sangat jelas Pemohon Perkara 49 tidak memiliki hak dan/atau kewenangan kontitusional yang dirugikan dengan berlakunya UU 2/2020. Bahwa Pemohon Perkara 49 dan banyak menguraikan mengenai asumsi-asumsinya atas pengaturan yang terdapat dalam pasal a quo , maka DPR RI menerangkan tidak terdapat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon Perkara 49 yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi pada Pemohon Perkara 49, maka jelas tidak terdapat hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian dan berlakunya undang- undang yang dimohonkan pengujian.
Perkara Nomor Perkara 75/PUU-XVIII/2020 Bahwa mayoritas Para Pemohon Perkara 75 mengajukan kembali Permohonan 51/PUU-XVIII/2020 yang telah ditarik kembali pada tanggal 19 Agustus 2020 dan Mahkamah Konstitusi sudah menerbitkan Ketetapan Putusan Nomor 51/PUU-XVIII/2020 yang diucapkan pada tanggal 27 Agustus 2020. Para Pemohon Perkara 75 berdalil bahwa dapat mengajukan kembali permohonan yang telah ditarik sebelumnya tersebut karena sudah dilakukan perubahan dalam isi materi permohonan sehingga tidak mempunyai kesamaan dalam permohonan sebelumnya baik dalam permohonan pengujian formil maupun materiil yang diajukan sehingga Mahkamah Konstitusi 37 berwenang untuk memeriksa dan mengadilinya. Terhadap dalil tersebut, DPR RI memberikan pandangan bahwa berdasarkan ketentuan dalam Pasal 35 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan: ayat (1) “Pemohon dapat menarik kembali Permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan”. ayat (1a) “Dalam hal pemohon menarik kembali Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Panitera Mahkamah Konstitusi menerbitkan Akta Pembatalan Registrasi Permohonan dan memberitahukan kepada Pemohon disertai dengan pengembalian berkas Permohonan”. ayat (2) “Penarikan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan Permohonan tidak dapat diajukan kembali”. Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa Permohonan yang sudah ditarik kembali dan sudah diputus tidak dapat diajukan kembali. Selain itu, setelah melihat isi dari permohonan Para Pemohon Perkara 75, baik dari segi formil maupun materiil memiliki materi permohonan yang sama dengan permohonan sebelumnya yang sudah ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi untuk mengabulkan penarikan kembali permohonan perkara 51/PUU- XVIII/2020 tersebut oleh Para Pemohon perkara 51/PUU-XVIII/2020, yang merupakan mayoritas Para Pemohon Perkara 75. Walaupun Para Pemohon Perkara 75 memberikan tambahan batu uji Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), dan Pasal 27 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 namun batu uji Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 tersebut tidak mengatur mengenai hak konstitusional warga negara. Begitupun halnya dengan tambahan batu uji Pasal 27 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, ketentuan yang ada pada UU a quo tidak menghalangi Para Pemohon Perkara 75 untuk mendapatkan hak konstitusionalnya berupa pekerjaan dan penghidupan yang layak. Sehingga tidaklah tepat jika Para Pemohon Perkara 75 masih mengajukan permohonan yang sama dengan permohonan yang sudah ditarik kembali dan ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi. 38 Bahwa Para Pemohon Perkara 75 juga mendalilkan diri sebagai pembayar pajak ( tax payer ), oleh karenanya DPR RI mengutip pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 40/PUU-XVI/2018 pada Paragraf [3.7] sebagai berikut: …menurut Mahkamah, para Pemohon sebagai pembayar pajak (tax payer) tidak serta merta memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam mengajukan setiap permohonan pengujian undang-undang. Para Pemohon dapat memiliki kedudukan hukum (legal standing) apabila para Pemohon dapat menjelaskan adanya keterkaitan logis dan causal verband bahwa pelanggaran hak konstitusional atas berlakunya undang-undang yang diuji adalah dalam kaitannya dengan status para Pemohon sebagai pembayar pajak (tax payer) memang menunjukkan kerugian yang nyata . Dalam permohonan a quo , Para Pemohon Perkara 75 dituntut bukan hanya sekedar menyatakan dirinya sebagai pembayar pajak ( tax payer ), tetapi terkait statusnya sebagai pembayar pajak harus dijelaskan adanya keterkaitannya secara logis dengan kerugian konstitusional Para Pemohon Perkara 75 yang diakibatkan dengan berlakunya pasal-pasal a quo . Bahwa terkait dengan kedudukan hukum ( legal standing ) Para Pemohon, DPR RI memberikan pandangan selaras dengan Putusan MK Nomor 22/PUU-XIV/2016 yang diucapkan dalam sidang Pleno MK terbuka untuk umum pada tanggal 15 Juni 2016, yang pada pertimbangan hukum [3.5.2] MK menyatakan bahwa menurut Mahkamah: ... dalam asas hukum dikenal ketentuan umum bahwa tiada kepentingan maka tiada gugatan yang dalam bahasa Perancis dikenal dengan point d’ interest point d’ action dan dalam bahasa Belanda dikenal dengan zonder belang geen rechtsingang. Hal tersebut sama dengan prinsip yang terdapat dalam Reglement op de Rechtsvordering (RV) khususnya Pasal 102 yang menganut ketentuan bahwa “ tiada gugatan tanpa hubungan hukum” ( no action without legal connection ). Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, terhadap kedudukan hukum ( legal standing ) Para Pemohon secara materiil, DPR RI menyerahkan sepenuhnya kepada Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilai apakah Para Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi dan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan 39 perkara Nomor 011/PUU-V/2007 mengenai parameter kerugian konstitusional. B. Pandangan Umum DPR 1. Penyebaran COVID-19 terus meluas di seluruh dunia yang didorong oleh mobilitas manusia. Hingga akhir Februari 2020, penyebaran COVID-19 secara global telah mencapai 86.000 kasus dengan jumlah kematian hampir 3.000 orang. Pandemi COVID-19 yang menyebar secara cepat dan mengancam kesehatan publik, mendorong negara-negara untuk mengambil berbagai langkah pencegahan yang ekstrim. Salah satu langkah kebijakan yang diambil hampir semua negara adalah pelarangan atau pembatasan perjalanan ( travel ban/restriction ), penutupan perbatasan, serta memperketat lalu lintas manusia antar wilayah/negara. Di dalam skala domestik, beberapa negara memberlakukan lockdown yakni penutupan wilayah dan penghentian segala aktivitas publik kecuali yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan pangan dan medis. Physical distancing serta karantina mandiri termasuk dengan memindahkan aktivitas kantor, belajar, dan beribadah di rumah juga diimplementasikan di berbagai negara, termasuk Indonesia. Berbagai kegiatan yang bersifat pengumpulan massa dikurangi atau bahkan dilarang dengan pengawasan ketat dari aparat hukum. Di Indonesia, Pemerintah memberlakukan status Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dan menetapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sejak tanggal 31 Maret 2020. Sebelumnya, Pemerintah juga telah memberlakukan larangan penerbangan termasuk dari dan ke Tiongkok, membentuk Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, memberlakukan kebijakan physical distancing , serta menetapkan status keadaan darurat bencana COVID-19. Berbagai himbauan termasuk menganjurkan dan bahkan melarang masyarakat untuk tidak melakukan pulang kampung termasuk dalam rangka mudik Hari Raya Idul Fitri 1441 Hijriah telah dilakukan. Anjuran untuk meningkatkan pola hidup bersih dan sehat juga terus digencarkan. Penyebaran COVID-19 yang terjadi secara cepat dan eksponensial dikhawatirkan juga tidak dapat diimbangi dengan ketersediaan fasilitas kesehatan serta tenaga medis yang ada, sehingga bisa berujung pada krisis kesehatan. Langkah-langkah tersebut 40 diimplementasikan dengan dasar bahwa kesehatan dan keselamatan masyarakat adalah prioritas. Namun demikian, langkah-langkah tersebut menimbulkan penurunan aktivitas ekonomi yang cukup signifikan.
Bentuk perlindungan yang diberikan oleh negara tidak sebatas perlindungan dari ancaman fisik namun juga perlindungan terhadap keseluruhan aspek kehidupan dan keselamatan 269 juta jiwa penduduk Indonesia. Negara harus mampu menjaga ketahanan seluruh elemen bangsa dari segala ancaman yang membahayakan negara dan masyarakat. Dengan segala sumber daya yang ada, kita harus mewujudkan ketahanan negara yang kokoh dari segala ancaman, termasuk ancaman terhadap perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan yang menimbulkan implikasi pada aspek sosial, ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat.
Bahwa penyebaran pandemi COVID-19 yang memberikan dampak dan mengancam pertumbuhan ekonomi Indonesia antara lain karena menurunnya penerimaan negara serta ketidakpastian ekonomi global, memerlukan kebijakan dan langkah-langkah luar biasa di bidang keuangan negara termasuk di bidang perpajakan dan keuangan daerah, dan sektor keuangan, yang harus segera diambil Pemerintah dan lembaga-lembaga terkait guna mengatasi kondisi mendesak tersebut dalam rangka penyelamatan kesehatan, perekonomian nasional, dengan fokus pada belanja kesehatan, jaring pengaman sosial (social safety net), serta pemulihan dunia usaha yang terdampak. Oleh karena itu, diperlukan perangkat hukum yang memadai untuk memberikan landasan yang kuat bagi Pemerintah dan lembaga-lembaga terkait untuk pengambilan kebijakan dan langkah-langkah dimaksud.
Bahwa berdasarkan ketentuan dalam Pasal 22 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan: “ Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang ”. Mengacu pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009, parameter kegentingan yang memaksa dalam rangka penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang antara lain: 41 - karena adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan _masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang; _ - Undang-Undang yang dibutuhkan belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau tidak memadainya Undang-Undang yang _saat ini ada; dan _ - Kondisi kekosongan hukum yang tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa yang memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan. 5. Bahwa Perppu 1/2020 telah dikeluarkan oleh Presiden pada tanggal 31 Maret 2020 karena keadaan genting dan kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat dan untuk menyelamatkan perekonomian dari krisis yang diprediksi akan terjadi. Bahwa dalam keadaan mendesak tersebut diperlukan pemberian kewenangan bagi Pemerintah diantaranya agar dapat melakukan realokasi dan refocussing anggaran yang sebelumnya telah dialokasikan dalam APBN tahun 2020. Melalui realokasi dan refocussing yang bersifat segera diharapkan dapat segera memulihkan ekonomi dalam rangka mendukung Program Pemulihan Ekonomi Nasional sebagai akibat dari Pandemi Covid-19. 6. Bahwa oleh karenanya ketentuan dalam UU 2/2020 diharapkan dapat memberi fondasi hukum bagi pemerintah terhadap otoritas perbankan dan otoritas keuangan untuk mengambil langkah luar biasa guna menjamin kesehatan masyarakat, menyelamatkan perekonomian nasional, dan stabilitas sistem keuangan sebagaimana diatur UU a quo yang perlu menetapkan kebijakan keuangan negara dan kebijakan stabilitas sistem keuangan diantaranya dengan menetapkan batasan defisit anggaran, melakukan penyesuaian besaran belanja wajib ( mandatory spending ), dan melakukan pergeseran anggaran antarunit organisasi, antarfungsi, dan/atau antarprogram.
Bahwa urgensi sebagai dasar dibentuknya Perppu 1/2020 merupakan pertimbangan subjektif dari Presiden sebagai pihak yang berhak membentuk suatu perppu. Pertimbangan subjektif tersebut perlu untuk dinilai secara objektif oleh rakyat yang direpresentasikan oleh wakilnya, yaitu DPR, sebagaimana yang telah diamanatkan dalam Pasal 22 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Dengan disahkannya Perppu 1/2020 menjadi UU 2/2020, maka DPR sebagai wakil rakyat telah menilai urgensi tersebut merupakan hal yang nyata dan mendesak sehingga perlu memberikan 42 persetujuan atas Perppu 1/2020 untuk menjadi undang-undang sehingga dapat digunakan Pemerintah sebagai dasar hukum yang lebih kuat untuk bereaksi secara cepat menghadap situasi Pandemi Covid-19. C. Keterangan DPR Terhadap Pengujian Formil UU 2/2020 Berdasarkan kewenangan MK yang diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, maka batu uji yang digunakan oleh MK untuk melakukan pengujian formil haruslah berdasarkan Pasal 20 UUD NRI Tahun 1945, terutama Pasal 20 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “ Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama” . Frasa “ persetujuan bersama” dalam ketentuan tersebut merupakan esensi berlakunya __ asas legalitas sehingga frase “ persetujuan bersama ” merupakan norma yang sangat fundamental sebagai dasar terbentuknya undang- undang. Jika proses pembentukan undang-undang telah memenuhi unsur legalitas, yakni telah adanya “ persetujuan bersama ”, dan tidak adanya kegagalan dalam mendapatkan “ persetujuan bersama ” DPR dan Presiden, maka secara konstitusional undang-undang tersebut menjadi sah secara formil. Sesuai landasan konstitusional kewenangan MK menguji undang- undang terhadap UUD NRI Tahun 1945, maka pengujian undang-undang secara formil hanya dapat dinyatakan cacat prosedur jika telah bertentangan dengan ketentuan Pasal 20 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Namun demikian, jika Yang Mulia Hakim Konstitusi berpendapat lain, maka mohon pertimbangan yang seadil-adilnya, dan DPR tetap bersikap kooperatif dengan menerangkan lebih lanjut hal-hal yang dipermasalahkan oleh Para Pemohon dalam pengujian formil.
Tanggapan DPR terhadap dalil Para Pemohon Perkara 75 mengenai batasan waktu 45 hari dalam pengujian formil undang-undang harus dikesampingkan karena tidak berdasarkan pada UUD NRI Tahun 1945. a) Bahwa Mahkamah Konstitusi dalam konteks ketatanegaraan Indonesia dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi ( the guardian of constitution ) dan sebagai pengawal demokrasi ( the guardian of 43 democracy ) yang diberikan kewenangan oleh UUD NRI Tahun 1945 untuk dapat menguji undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945. Kewenangan ini diberikan sebagai fungsi Mahkamah Konstitusi dalam menegakkan keadilan konstitusional di tengah kehidupan masyarakat. Namun di sisi lain, Mahkamah Konstitusi juga bertugas mendorong dan menjamin agar konstitusi dihormati dan dilaksanakan oleh semua komponen negara secara konsisten dan bertanggungjawab. b) Bahwa undang-undang bersifat mengikat dan memaksa bagi semua warga negara, sehingga agar dapat dilaksanakan harus diundangkan dalam Lembaran Negara agar setiap orang dianggap mengetahui atas undang-undang tersebut. Hal ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum kepada masyarakat atas keberlakuan suatu undang- undang. c) Bahwa untuk menjamin kepastian hukum, pengujian undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945 diperlukan pembatasan waktu untuk dapat diuji secara formil. Pembatasan waktu ini tidak boleh terlalu lama dari waktu diundangkannya suatu undang-undang dalam Lembaran Negara, karena karakteristik pengujian formil berbeda dengan pengujian materiil yang hanya menguji kata, frasa, ayat dan/atau pasal saja dalam undang-undang atas dasar kerugian konstitusional pemohon. Sedangkan pengujian formil didasarkan atas undang- undang yang merugikan konstitusi yang proses pembentukannya tidak sesuai dengan ketentuan dalam UUD NRI Tahun 1945, sehingga dapat membatalkan keseluruhan undang-undang. d) Bahwa Mahkamah Konstitusi dalam menjaga hal tersebut harus berhati-hati dalam menguji formalitas suatu undang-undang, karena yang menjadi fokus pengujian formil bukanlah atas dasar dalil kerugian pemohon, namun Mahkamah Konstitusi harus mengutamakan keadilan dan kebenaran konstitusional. Mahkamah Konstitusi harus memahami ruh, ide, landasan filosofis, dan suasana kebatinan yang terjadi selama penyusunan undang-undang sehingga dapat memahami urgensi suatu undang-undang harus segera ditetapkan. e) Bahwa Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal konstitusi ( the guardian of constitution ) dan sebagai pengawal demokrasi ( the 44 guardian of democracy ) telah tepat memberikan pembatasan waktu pengujian formil 45 hari setelah suatu undang-undang diundangkan dalam Lembaran Negara dalam menjaga kepastian hukum. Pembatasan ini sebagaimana Putusan Nomor 27/PUU-VII/2009 Paragraf [3.34] yang menyatakan, “ Menimbang bahwa terlepas dari putusan dalam pokok permohonan a quo Mahkamah memandang perlu untuk memberikan batasan waktu atau tenggat suatu Undang-Undang dapat diuji secara formil. Pertimbangan pembatasan tenggat ini diperlukan mengingat karakteristik dari pengujian formil berbeda dengan pengujian materiil. Sebuah Undang-Undang yang dibentuk tidak berdasarkan tata cara sebagaimana ditentukan oleh UUD 1945 akan dapat mudah diketahui dibandingkan dengan Undang-Undang yang substansinya bertentangan dengan UUD 1945. Untuk kepastian hukum , sebuah Undang- Undang perlu dapat lebih cepat diketahui statusnya apakah telah dibuat secara sah atau tidak, sebab pengujian secara formil akan menyebabkan Undang-Undang batal sejak awal. Mahkamah memandang bahwa tenggat 45 (empat puluh lima) hari setelah Undang-Undang dimuat dalam Lembaran Negara sebagai waktu yang cukup untuk mengajukan pengujian formil terhadap Undang-Undang; ” f) Bahwa terkait hukum acara pembatasan waktu 45 hari dalam mengajukan pengujian formil di Mahkamah Konstitusi merupakan materi yang seharusnya diatur dalam undang-undang oleh pembentuk undang-undang, namun selama belum diatur dalam undang-undang Mahkamah Konstitusi dapat mengatur hukum acara yang bersifat teknis untuk mengisi kekosongan hukum. Dalam hal ini, UUD NRI Tahun 1945 sebagai Konstitusi tidak mungkin mengatur secara rinci mengenai hal teknis batasan hari seperti yang didalilkan oleh Para Pemohon, karena dibutuhkan Undang-Undang lain untuk mengatur mengenai hal tersebut. Sehingga Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan untuk mengatur sendiri hukum acara yang bersifat teknis dalam sidang pengadilan selama belum diatur dalam Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi. g) Bahwa terhadap pengujian perkara nomor 75/PUU-XVIII/2020 yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi pada tanggal 9 September 2020 sesungguhnya telah melewati batas waktu pengujian formil 45 hari sejak diundangkannya UU a quo , yakni pada tanggal 18 Mei 2020 45 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6516. Oleh karenanya berdasarkan fakta hukum tersebut DPR berpandangan permohonan Perkara nomor 75/PUU-XVIII/2020 tidak memenuhi ketentuan batas waktu 45 hari yang ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi, sehingga sepatutnya Mahkamah Konstitusi menyatakan Permohonan 75/PUU-XVIII/2020 tidak dapat diterima.
Tanggapan DPR terhadap dalil Para Pemohon Perkara 37 dan Perkara 75 mengenai prosedur konstitusional pengesahan telah disimpangi dengan tidak adanya keterlibatan DPD. Bahwa Para Pemohon Perkara 37 dan Perkara 75 dalam perbaikan permohonannya mendalilkan tidak adanya keterlibatan DPD dalam pembahasan Perppu yang telah ditetapkan menjadi UU dengan UU 2/2020 bertentangan dengan prinsip negara hukum, prinsip kedaulatan rakyat dan kewenangan legislasi DPD. Terhadap dalil tersebut DPR menerangkan sebagai berikut: a) Bahwa berdasarkan Pasal 20 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 ditentukan kewenangan untuk membentuk undang-undang ada pada DPR. Adapun terkait UUD NRI Tahun 1945 menghendaki bahwa setiap RUU dibahas antara DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama (Pasal 20 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945). b) Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 22D ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 mengatur bahwa Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang- undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya _ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; _ serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama. c) Bahwa keikutsertaan DPD dalam pembahasan RUU hanya sebatas yang berkaitan dengan _otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; _ pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta 46 perimbangan keuangan pusat dan daerah. Hal ini juga sesuai dengan Pasal 65 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 15 Tahun 2019 (selanjutnya disebut UU 12/2011). d) Bahwa Perppu 1/2020 pada intinya secara garis besar mengatur mengenai kebijakan keuangan negara, apabila dalam pelaksanaannya memiliki dampak terhadap alokasi perimbangan keuangan pemerintah pusat dan pemerintahan daerah, hal itu merupakan konsekuensi bahwa keuangan daerah merupakan bagian dari keuangan negara. Sehingga telah jelas bahwa Perppu tersebut tidak mengatur secara khusus mengenai _otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; _ pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah . Selain itu UU 2/2020 yang dipermasalahkan oleh Para Pemohon merupakan pengesahan Perppu 1/2020 sehingga pembentuk undang-undang tidak berkewajiban untuk mengikutsertakan DPD dalam pembahasan RUU penetapan Perppu 1/2020 menjadi undang-undang. e) Berdasarkan Pasal 71 huruf d dan Pasal 249 ayat (1) huruf b Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2019 (UU MD3) bahwa DPD ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan _daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; _ pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah . RUU Penetapan Perppu 1/2020 menjadi UU tidak memiliki pertautan dengan bidang yang mengharuskan keikutsertaan DPD dalam pembahasannya melainkan mengenai DPR memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan, sehingga DPD tidak memiliki kewenangan untuk ikut membahas RUU tersebut. 47 3. Tanggapan DPR terhadap dalil Para Pemohon Perkara 37, Para Pemohon Perkara 43 dan Para Pemohon Perkara 75 mengenai rapat virtual yang berpotensi dihadiri tidak secara konkret karena kuorum rapat dibuktikan dengan tandatangan sebelum menghadiri rapat. a) Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, Perppu 1/2020 dibentuk pada intinya untuk melakukan penyelamatan kesehatan dan perekonomian nasional yang terdampak dari Pandemi Covid-19 . Bahwa pada saat Perppu 1/2020 tersebut diajukan oleh Pemerintah kepada DPR untuk menjadi undang-undang, negara dalam kondisi darurat bencana yang menimbulkan kepanikan di masyarakat. b) Dalam kondisi demikian, maka DPR sebagai wakil rakyat harus tetap melaksanakan tugasnya untuk membahas Perppu 1/2020 bersama dengan Pemerintah. Bahwa pada saat itu peraturan perundang- undangan yang menjadi dasar hukum pembentuk undang-undang melaksanakan tugasnya masih belum menjangkau penggunaan sarana informasi dan teknologi dalam pembahasan dan pengesahan undang-undang. Hal tersebut disebabkan tidak terprediksinya kondisi yang diakibatkan dari penyebaran Pandemi Covid-19 yang begitu masif dan berdampak pada timbulnya korban jiwa. Adapun pada saat munculnya kasus pertama penyebaran Covid-19 di Indonesia hingga saat ini, Pemerintah telah membuat kebijakan mengenai salah satu upaya penanggulangan penyebaran Pandemi Covid-19 adalah dengan melakukan pembatasan sosial berskala besar dengan mengharuskan tiap orang menjaga jarak. c) Adapun salah satu kebijakan Pemerintah dalam upaya penanggulangan penyebaran pandemi Covid-19 adalah dengan melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang dilaksanakan di beberapa daerah di Indonesia. Sebagai lembaga yang berkedudukan di DKI Jakarta yang juga menerapkan PSBB, maka DPR dan Presiden juga harus mengikuti kebijakan yang telah ditetapkan Pemerintah Daerah tersebut. Meskipun demikian, tugas pokok dan fungsi sebagai lembaga tetap harus berjalan, sehingga sebagai alternatif pelaksanaan rapat dan koordinasi supaya tugas dan fungsi 48 DPR dan Presiden tetap berjalan adalah dengan menggunakan sarana informasi dan teknologi berupa video meeting atau virtual meeting. d) Pada saat kondisi demikian agar tugas pembentukan undang-undang tidak terbengkalai, DPR perlu melakukan terobosan hukum, yaitu dengan menetapkan Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib (Tatib DPR 2020) yang mulai berlaku pada tanggal 2 April 2020. Berdasarkan Tatib DPR 2020 tersebut di dalam ketentuan Pasal 254 ayat (4) dinyatakan bahwa: “ Semua jenis rapat DPR dihadiri oleh Anggota, kecuali dalam keadaan tertentu, yakni keadaan bahaya, kegentingan yang memaksa, keadaan luar biasa, keadaan konflik, bencana alam, dan keadaan tertentu lain yang memastikan adanya urgensi nasional, rapat dapat dilaksanakan secara virtual dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi. ” Dengan menggunakan dasar hukum tersebut, maka DPR melalui Badan Anggaran bersama Pemerintah melakukan Pembahasan Tingkat I UU a quo pada tanggal 4 Mei 2020 dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi melalui rapat virtual. Begitu pun halnya dengan Pembahasan Tingkat II yang menyetujui Perppu 1/2020 menjadi UU pada Rapat Paripurna tanggal 12 Mei 2020 dilaksanakan dengan menggunakan rapat kombinasi secara fisik maupun dengan teknologi informasi dan komunikasi melalui rapat virtual . e) Menanggapi dalil Para Pemohon Perkara 37, Para Pemohon Perkara 43 dan Para Pemohon Perkara 75 tersebut, DPR menerangkan bahwa pelaksanaan rapat yang dihadiri secara virtual telah diatur secara jelas dalam Pasal 279 ayat (6) Tatib DPR 2020 yang menyatakan bahwa: “ Dalam hal penandatanganan daftar hadir Anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak dapat dilakukan dan disebabkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 254 ayat (4), kehadiran Anggota dalam semua jenis rapat DPR dilakukan berdasarkan kehadiran secara virtual. ” Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 279 ayat (7) Tatib DPR 2020 menyatakan bahwa: “ Bukti kehadiran secara virtual sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat dikonfirmasi dan diverifikasi keabsahannya melalui Sekretariat Jenderal DPR. ” 49 Oleh karena itu berdasarkan dokumen sebagaimana terlampir dalam Lampiran I, maka Pembahasan Tingkat II yang menyetujui Perppu 1/2020 menjadi UU pada Rapat Paripurna tanggal 12 Mei 2020 yang dilakukan secara virtual tersebut, maka kehadiran pembentuk undang- undang telah memenuhi ketentuan perundang-undangan. f) Oleh karena itu dalil Para Pemohon Perkara 37, Para Pemohon Perkara 43 dan Para Pemohon Perkara 75 tersebut hanya merupakan asumsi karena jelas bahwa pembahasan dan pengesahan undang- undang dengan menggunakan sarana teknologi dan informasi telah memiliki dasar hukum melalui Tatib DPR 2020. Selain itu berdasarkan risalah Rapat Paripurna bahwa dengan Pimpinan DPR memberikan keputusan penetapan Perppu 1/2020 menjadi undang-undang artinya memberikan persetujuan dan juga mengikat anggota yang hadir baik secara fisik dan virtual (non fisik) (Lampiran II) 4. Tanggapan DPR terhadap dalil Para Pemohon Perkara 43 mengenai UU 2/2020 tidak memenuhi syarat Pasal 22 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 dan Pasal 52 ayat (1) UU 12/2011 terkait frasa “ persidangan yang berikut ”. a) Bahwa di dalam Rapat Kerja Badan Anggaran DPR RI bersama Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Bank Indonesia, dan Lembaga Penjamin Simpanan tertanggal 4 Mei 2020 bahwa pada saat itu terdapat 9 (sembilan) fraksi yang menyetujui Perppu 1/2020 untuk ditetapkan menjadi undang-undang, hanya fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) yang belum menyatakan persetujuannya. Berdasarkan rapat pada saat itu, DPR RI menerangkan bahwa UU a quo disetujui untuk ditetapkan menjadi undang-undang, dari titik tolak pemikiran bahwa Alinea keempat Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 dinyatakan bahwa tujuan dibentuknya Pemerintahan Negara Indonesia adalah untuk melindungi segenap rakyat Indonesia. Dengan demikian asas keselamatan rakyat Indonesia adalah yang diutamakan, untuk memberikan keyakinan bahwa Perppu 1/2020 tersebut harus dibahas segera dan secepatnya untuk memenuhi asas keselamatan rakyat yang diamanatkan di dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 tersebut. 50 b) Bahwa Perppu 1/2020 merupakan kewenangan yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam kondisi darurat yang bersifat fundamental dan krusial yang berdampak pada stabilitas perekonomian nasional jangka panjang, maka pengaturan hal tersebut perlu untuk diberikan dasar legalitas yang lebih kuat dalam bentuk undang-undang. c) Bahwa DPR selain memiliki fungsi legislasi sebagai pembentuk undang-undang berdasarkan Pasal 20A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, juga memiliki fungsi anggaran. Berkaitan dengan Perppu 1/2020 sebagai peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh pemerintah yang berfokus pada penataan ulang anggaran hingga beberapa tahun ke depan yang tentu saja memiliki dampak terhadap APBN, dimana sesuai dengan UUD NRI Tahun 1945 pembahasan dan pengesahan dalam Perppu 1/2020 menjadi UU sangat memerlukan peran DPR dalam melaksanakan fungsi anggaran sebagai kerangka representasi rakyat. Oleh karena itu, penting bagi DPR untuk segera membahas dan menetapkan Perppu 1/2020 menjadi UU dalam waktu yang cepat karena adanya kebutuhan mendesak yang dapat berdampak terhadap stabilitas perekonomian nasional. d) Dengan adanya situasi pandemi Covid-19 tersebut yang memiliki dampak bukan hanya terhadap kesehatan dan keselamatan rakyat, tetapi juga memiliki dampak terhadap perekonomian negara dalam jangka panjang, oleh karenanya proses penetapan Perppu 1/2020 menjadi UU yang harus dilakukan secepatnya oleh DPR merupakan langkah cepat DPR dalam menghadapi keadaan darurat negara. Keadaan darurat tersebut tetap harus dipahami dalam pandangan yang sesuai dengan alas fakta yang terjadi pada saat keadaan darurat, dan tidak menggunakan parameter dan indikator keadaan normal. Oleh sebab itu, keputusan DPR yang secara cepat mengesahkan Perppu 1/2020 menjadi UU merupakan langkah yang tepat dan mencerminkan asas prosesual bahwa penundaan yang tidak beralasan ( undue delay ) harus dihindarkan, hal ini adalah demi kepentingan negara dan kepentingan umum yang harus dilindungi. e) Hal tersebut menunjukkan bahwa DPR memiliki kesamaan pandangan dengan Pemerintah mengenai adanya kegentingan memaksa dan 51 perlunya kebijakan serta tindakan yang harus segera dilakukan dalam menghadapi pandemi Covid-19. Persetujuan DPR dimaksud menjadikan norma tersebut memenuhi amanat UUD NRI Tahun 1945 dan memberikan kepastian hukum bagi keberlanjutan langkah-langkah Pemerintah dalam penanganan situasi extraordinary pandemi Covid- 19, yang telah secara nyata menimbulkan pemburukan ekonomi dan ancaman krisis apabila tidak segera ditangani. Dengan adanya legitimasi tersebut, Pemerintah memiliki fleksibilitas melakukan recovery terhadap situasi dan kondisi perekonomian. Semakin mampu Pemerintah menangani dampak yang ditimbulkan oleh pandemi Covid- 19 seiring dengan perkembangan/perlambatan penyebaran virus ( flattening the curve ), semakin mempercepat negara keluar dari pemburukan ekonomi. D. Keterangan DPR Terhadap Pengujian Materiil UU 2/2020 5. Pandangan DPR RI terhadap pengujian judul UU 2/2020:
Berdasarkan metode penafsiran secara gramatikal yaitu metode penafsiran melalui pendekatan tatabahasa yang ada pada rumusan UU, dalam memahami UU, tanda baca, diksi, dan pola susunan kalimat sedemikan rupa benar benar diperhatikan. Berdasarkan metode penafsiran tersebut judul Lampiran UU 2/2020 sudah jelas, tidak ambigu, memang yang diatur dalam Lampiran UU 2/2020 ini adalah langkah Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Keuangan dikarenakan adanya pandemi Covid 19 yang saat ini terjadi. Bukan mengatur tentang langkah tindakan Pemerintah untuk menangani Covid 19. Yang menjadi subyek dari judul ini adalah Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Covid-19. Dua subyek tersebut adalah dua hal yang berbeda namun satu kesatuan yang diatur dalam Lampiran UU 2/2020 ini.
Judul dan materi muatan sudah sesuai, materi muatan terdiri atas 6 bab yang hampir semuanya mengatur mengenai langkah-langkah kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan yang akan dijalankan pemerintah, dan tidak mengatur mengenai langkah-langkah untuk menangani pandemi Covid-19. 52 c. Berdasarkan Ketentuan dalam UU 12/2011 Lampiran II Bagian A mengatur bahwa: ● Judul Peraturan Perundang–undangan memuat keterangan mengenai jenis, nomor, tahun pengundangan atau penetapan, dan nama Peraturan Perundang–undangan; ● Judul Peraturan Perundang-undangan ditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang diletakkan di tengah marjin tanpa diakhiri tanda baca; ● Pada nama Peraturan Pemerintah Pengganti Undang–Undang (Perpu) yang ditetapkan menjadi Undang–Undang, ditambahkan kata penetapan di depan judul Peraturan Perundang–undangan yang ditetapkan dan diakhiri dengan frasa menjadi Undang-Undang; Berdasarkan ketentuan tersebut, judul yang tertulis pada UU 2/2020 maupun Perppu 1/2020 yang merupakan lampiran dari UU 2/2020 telah sesuai dengan ketentuan dalam UU 12/2011.
Pandangan DPR terhadap materi muatan kebijakan pelebaran defisit anggaran sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UU a quo . __ a. Bahwa sesuai amanat konstitusi, APBN digunakan untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat, namun ketika keadaan darurat karena Covid-19 yang telah secara nyata memberikan dampak pada perekonomian negara seperti saat ini maka penggunaan APBN dapat disesuaikan untuk kepentingan yang lebih besar yaitu menyelamatkan perekonomian negara yang mana hal ini justru untuk menciptakan manfaat yang lebih besar.
Implikasi pandemi Covid-19 telah berdampak pula terhadap ancaman semakin memburuknya sistem keuangan yang berisiko pada ketidakstabilan makro ekonomi dan sistem keuangan yang perlu dimitigasi bersama oleh Pemerintah dan lembaga terkait dengan melakukan tindakan antisipasi guna menjaga stabilitas sektor keuangan. Bahwa kedalaman implikasi Covid-19 terhadap perekonomian sulit diukur karena puncak pandemi Covid-19 belum dapat dipastikan waktunya. Implikasi ekonomi yang ditimbulkan oleh Covid-19 terhadap perekonomian sangat dalam sehingga semua skenario perlu disiapkan untuk menghadapi situasi yang paling buruk, bahkan dalam bentuk 53 “ worst case scenario ”. Maka pemerintah dan lembaga terkait perlu mengambil langkah luar biasa dalam rangka penyelamatan perekonomian nasional dengan berbagai kebijakan relaksasi yang berkaitan dengan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dengan melakukan peningkatan belanja untuk kesehatan, jaring pengaman sosial dan pemulihan perekonomian, serta memperkuat kewenangan berbagai lembaga dalam sektor keuangan.
Bahwa Para Pemohon Perkara 37 dan Pemohon Perkara 45 mendalilkan UU a quo melampaui dari ruang lingkup yang diatur di dalam Pasal 1 karenanya senyatanya Pasal 2 ayat (1) huruf a justru mengatur dalam jangka waktu sampai dengan 2022 bahkan sampai 2023. Selain itu, negara-negara lain, pemerintahnya tidak diberi kewenangan khusus dalam bidang anggaran selama bertahun-tahun. Terhadap dalil tersebut, DPR berpandangan sebagai berikut:
Dalam Lampiran UU 2/2020 tetap terdapat pembatasan- pembatasan yaitu: Pertama, kewenangan menetapkan defisit melampaui 3% dari PDB hanya berlaku paling lama sampai dengan berakhirnya Tahun Anggaran 2022 (dalam jangka waktu kurang lebih 2 tahun atau bisa kurang dari waktu tersebut jika recovery ekonomi dapat berjalan lebih cepat); dan penyesuaian besaran defisit tersebut dilakukan secara bertahap. Sebagai perbandingan dengan negara lain, Amerika Serikat, Australia, Singapura, dan Malaysia telah mengeluarkan stimulus fiskal yang mencapai lebih dari 10% PDB-nya. Amerika Serikat hanya dalam waktu kurang dari 3 bulan menambah utang dengan 3 Triliun US$ yang jumlah tersebut sama dengan jumlah 3 kali PDB Indonesia. (Lampiran II). Kedua , pelebaran defisit tersebut tetap dalam koridor jumlah pinjaman yang dapat dilakukan dalam rangka pelaksanaan pelebaran defisit tersebut yaitu di batasi maksimal 60% (enam puluh persen) dari PDB sesuai UU Keuangan Negara 2) Bahwa defisit anggaran yang tidak dapat dihindari tersebut tentunya butuh penanganan sehingga meningkatnya besaran utang negara adalah suatu hal yang pasti terjadi. Solusi ini adalah satu diantara upaya-upaya yang dilakukan oleh Pemerintah selain 54 melakukan penyesuaian besaran belanja wajib, pergeseran anggaran antar unit organisasi, antar fungsi dan/atau antar program dan lain sebagainya sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 2 Lampiran UU 2/2020.
Bahwa konsekuensi dari pelebaran defisit tersebut tentunya berdampak pada tahun-tahun berikutnya. Sehingga penentuan atau pembatasan APBN sampai tahun anggaran 2022 merupakan pilihan kebijakan yang logis. Oleh karena itu, Pemerintah memberikan prediksi dengan menetapkan batasan defisit anggaran melampaui 3% dari PDB sampai dengan tahun anggaran 2022. Sedangkan pada tahun anggaran 2023, Pemerintah optimis besaran defisit anggaran akan kembali menjadi paling tinggi sebesar 3% dari PDB. Hal ini merupakan optimisme Pemerintah dalam mengupayakan perbaikan kondisi perekonomian dan keuangan nasional. Hal ini harus dipahami oleh Para Pemohon a quo mengingat kondisi dan kemampuan setiap negara berikut kebijakan-kebijakan yang diambil tidak dapat disamaratakan karena karakteristik dan tren pertumbuhan perekonomiannya yang juga tidak sama.
Bahwa APBN Tahun Anggaran 2021 dan Tahun 2022 dalam lampiran UU 2/2020 ini tidak diatur karena UU APBN Tahun Anggaran 2021 dan Tahun Anggaran 2022 belum disusun dan diundangkan ketika pengundangan UU 2/2020. Dalam penyusunan APBN Tahun Anggaran 2021 dan Tahun Anggaran 2022 tetap diberlakukan mekanisme penyusunan APBN sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan sehingga esensi Pasal 23 UUD NRI Tahun 1945 tetap terjaga.
DPR menerangkan pembentukan Perppu merupakan kewenangan konstitusional Presiden sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 22 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Baru selanjutnya diberlakukan ketentuan Pasal 22 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang merupakan kewenangan konstitusional DPR RI untuk memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan atas Perppu yang dibentuk oleh Presiden pada masa sidang yang berikutnya. 55 Karakter hukum UU APBN yang merupakan undang-undang penetapan, berbeda dengan undang-undang pengaturan pada umumnya. Karena sifat hukumnya tersebut, UU APBN sebenarnya merupakan domain pemerintah dalam perumusan dan perencanaannya, yang kemudian membutuhkan hak budget DPR untuk menyetujui atau tidak. Dalam hal kondisi kedaruratan, persetujuan tidak ditempatkan di awal, melainkan sekalian di akhir pelaksanaan dengan maksud terjadinya perubahan konsep hak budget DPR yang sebelumnya menguji pengeluaran negara untuk kebutuhan di tahun berjalan, menjadi menguji pengeluaran negara untuk kemanfataan di tahun berjalan. Keduanya sama-sama tetap menggunakan dan menjalankan hak budget DPR, di mana hak budget keadaan normal, alokasi yang tidak disetujui DPR karena belum menjadi kebutuhan akan dicoret atau ditarik. Sedangkan dalam keadaan darurat, alokasi yang tidak disetujui karena tidak sesuai kemanfaatannya harus dipertanggungjawabkan pemerintah dalam berbagai bentuk, yaitu meminta Badan Pemeriksa Keuangan melakukan pemeriksaan dan melaporkannya kepada DPR, meminta pemerintah melakukan koreksi dan pengembalian sesuai dengan rekomendasi pemeriksaan BPK, atau DPR dapat menggunakan hak yang dimilikinya dalam mengawasi penggunaan APBN keadaan darurat.
Selain itu terkait keinginan Pemohon Perkara 45 agar RUU APBN Tahun 2021 dibahas Pemerintah dengan DPR RI senyatanya sudah disampaikan Pemerintah dalam rangkaian rapat paripurna tertanggal 12 Mei 2020, 14 Juli 2020, dan 14 Agustus 2020 (Lampiran II, Lampiran III dan lampiran IV). Sebagai tambahan informasi, pada 25 September 2020, Kemenkeu selaku yang mewakili Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyepakati Rancangan Undang-Undang (RUU) Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2021 di Banggar dan Pemerintah bersama DPR telah menyetujui defisit anggaran sebesar 5,7% dari PDB pada Rapat Paripurna DPR tanggal 29 September 2020. Semua fraksi DPR juga 56 menyampaikan bahwa kondisi Covid-19 masih belum memberikan kepastian pada tahun 2021, sehingga Pemerintah dengan pimpinan Banggar dan para anggota Banggar bersama-sama memformulasikan RUU APBN 2021 yang disatu sisi memberikan signal kepada masyarakat, dunia usaha bahwa pemerintah terus melakukan support agar mereka bisa pulih dan bangkit kembali, namun di sisi lain juga memberikan sinyal kehati-hatian, sinyal prudent atau kebijakan dalam menjaga keseluruhan dan keberlangsungan APBN.
Oleh karenanya dalil bahwa kewenangan penetapan UU APBN oleh DPR menjadi nihil, (dalam hal ini dalil tersebut juga disampaikan oleh Para Pemohon Perkara 42) adalah anggapan yang salah. Hal ini disebabkan perubahan mekanismenya saja, yang sebelumnya Hak Budget DPR dilakukan di awal menjadi di akhir setelah diterbitkannya LKPP. Selain itu, dalam memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap penetapan Perppu 1/2020 menjadi undang-undang tersebut, tentunya DPR mengkaji terlebih dahulu urgensi dan implikasi pemberlakuan ketentuan dalam Perppu tersebut sebagai undang-undang sebelum dilakukan penetapan Perppu tersebut sebagai undang-undang. Pengaturan dalam Perppu ini tidak berarti menghilangkan mekanisme persetujuan DPR dalam penetapan UU APBN mengingat UU APBN Tahun Anggaran 2020 telah ditetapkan, dan UU APBN Tahun Anggaran 2021 telah dibahas oleh DPR dan Pemerintah, dan UU APBN Tahun Anggaran 2022 masih belum disusun dan belum diajukan oleh Pemerintah kepada DPR RI.
Pandangan DPR terkait penggunaan dana yang bersumber dari Dana Abadi Pendidikan untuk penanganan Pandemi Covid-19, DPR.
Akumulasi dana abadi pendidikan yang dimaksud dalam Pasal a quo adalah akumulasi dana abadi dari tahun-tahun sebelumnya dan tidak termasuk porsi dana abadi pendidikan yang dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun berjalan ( vide Penjelasan Pasal 2 ayat (1) huruf e UU a quo ). 57 b. Anggaran dana pendidikan yang sudah dialokasikan dalam UU APBN tahun berjalan tidak termasuk dalam objek yang diatur dalam ketentuan Pasal a quo sehingga kewajiban Pemerintah untuk memenuhi mandatory spending dana pendidikan sebesar 20% tetap dilaksanakan. Oleh karena itu yang dapat digunakan oleh Pemerintah dalam realokasi penggunaan dana abadi pendidikan dan akumulasi dana pendidikan untuk penanganan Pandemi Covid-19 tidak mengganggu alokasi dana pendidikan yang sudah ditetapkan dalam UU APBN sebesar 20%.
Bahwa penggunaan dana abadi sebagai sumber pembiayaan APBN tahun berjalan merupakan salah satu opsi yang dipersiapkan pemerintah dalam penanganan pandemi Covid-19. Opsi tersebut hanya akan dipergunakan apabila seluruh pembiayaan lain yang tersedia tidak memenuhi kebutuhan pembiayaan pemerintah dalam penanganan pandemi Covid-19. Namun demikian, pemanfaatannya akan tetap memperhitungkan efektivitas dan ketepatan dibandingkan dengan surnber-sumber lain yang ada.
Pandangan DPR terkait kewenangan Pemerintah untuk menerbitkan Surat Utang Negara dan/atau Surat Berharga Syariah Negara dengan tujuan tertentu dan independensi Bank Indonesia a. Bahwa dasar hukum penerbitan SUN adalah Pasal 55 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (selanjutnya di sebut UU BI), yang berketentuan: ( 1) Dalam hal Pemerintah akan menerbitkan surat-surat utang negara, Pemerintah wajib terlebih dahulu berkonsultasi dengan Bank Indonesia. (2) Sebelum menerbitkan surat utang negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah wajib berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat. (3 ) Bank Indonesia dapat membantu penerbitan surat-surat utang negara yang diterbitkan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (4).... Dalam penerbitan Surat Utang Negara tersebut, terdapat peran DPR dalam mekanisme penerbitan surat utang negara berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (1) dan ayat (3) UU Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara (UU SUN) yang mengatur bahwa Penerbitan Surat Utang Negara harus terlebih dahulu mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat yang diberikan pada saat 58 pengesahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Mekanisme ini harus tetap dilakukan oleh Pemerintah.
Dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (UU SBSN) diatur bahwa SBSN diterbitkan dengan tujuan untuk membiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara termasuk membiayai pembangunan proyek. Kewenangan menerbitkan SBSN berada pada Pemerintah dilaksanakan oleh Menteri dapat dilaksanakan secara langsung oleh Pemerintah atau melalui Perusahaan Penerbit SBSN. Dalam hal akan dilakukan penerbitan SBSN untuk tujuan membiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara termasuk membiayai pembangunan proyek, Menteri terlebih dahulu berkoordinasi dengan Bank Indonesia.
Ketentuan Pasal 8 UU SBSN mengatur bahwa Penerbitan SBSN harus terlebih dahulu mendapat persetujuan DPR pada saat pengesahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diperhitungkan sebagai bagian dari Nilai Bersih Maksimal Surat Berharga Negara yang akan diterbitkan oleh Pemerintah dalam satu tahun anggaran. Dalam rangka kedaruratan penanganan Covid-19 dan implikasinya terhadap kondisi perekonomian nasional, hal ini juga menjadi pertimbangan Presiden dalam penyusunan Perppu 1/2020 dan penetapannya sebagai undang-undang oleh DPR melalui UU 2/2020. Ketentuan Pasal 8 UU SBSN ini tidak disebutkan dalam ketentuan Pasal 28 lampiran UU 2/2020, sehingga masih berlaku dan harus dilaksanakan oleh Pemerintah.
Pasal 2 ayat (1) huruf f, Pasal 16 ayat (1) huruf c, dan Pasal 19 ayat (3) Lampiran UU 2/2020 mengatur bahwa Bl dapat membeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana atau primer. Pengaturan tersebut melengkapi ketentuan Pasal 55 ayat (4) UU Bl yang memberikan kewenangan Bl untuk membeli SUN di pasar primer atau perdana berjangka pendek yang diperlukan oleh Bl untuk operasi pengendalian moneter. Pengaturan pada Pasal 55 ayat (4) UU Bl dimaksudkan untuk menjalankan tugas Bl dalam kondisi normal. Sementara saat ini, Presiden telah memutuskan kondisi kegentingan yang memaksa serta kekosongan hukum karena pandemi Covid-19 sehingga diterbitkan 59 Perppu 1/2020. Dalarn mengatasi kondisi tersebut, diperlukan stimulus fiskal yang dapat berimplikasi pada pelebaran defisit APBN. Oleh karena itu, peran Bl perlu diperluas sehingga Bl dapat melakukan pembelian SUN dan/atau SBSN jangka panjang di pasar perdana khususnya dalam rangka penanganan permasalahan sistem keuangan yang membahayakan perekonomian nasional, termasuk SUN dan/atau SBSN yang diterbitkan dengan tujuan tertentu khususnya dalam rangka pandemi Covid-19.
Ketentuan dalam Pasal 16 ayat (1) hurut c Lampiran UU 2/2020 dimaksudkan untuk memberikan kelengkapan payung hukum bagi Bl untuk menetapkan dan melaksanakan kebijakan pembelian SUN dan/atau SBSN berjangka panjang di pasar perdana untuk penanganan permasalahan sistem keuangan yang membahayakan perekonomian nasional, termasuk SUN dan/atau SBSN yang diterbitkan dengan tujuan tertentu khususnya dalam rangka pandemi Covid-19. Dengan adanya ketentuan-ketentuan dalam Lampiran UU 2/2020, terbuka ruang baru bagi Bl dalam rnerumuskan dan rnelaksanakan kebijakan moneter melalui pembelian SUN di pasar primer atau perdana, baik yang berjangka pendek maupun panjang, untuk digunakan dalam operasi pengendalian moneter maupun yang diperlukan untuk pemulihan ekonomi nasional.
Pembelian SUN dan/atau SBSN oleh Bl di pasar perdana dilakukan untuk membantu pemerintah dalam pemenuhan pembiayaan APBN dan pembiayaan pelaksanaan pemulihan ekonomi nasional termasuk menjaga stabilitas sistem keuangan nasional yang menjadi peran Bl sebagai otoritas moneter dan bukan mengintervensi Bl dalam pelaksanaan tugasnya. Proses untuk membeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana merupakan mandat yang diberikan oleh UU 2/2020 sehingga sama sekali tidak ada intervensi terhadap independensi Bl.
Perlu dicermati pula bahwa SUN dan/atau SBSN yang diterbitkan oleh Pemerintah tidak wajib untuk dibeli oleh Bl. Rumusan-rumusan ketentuan dalam Lampiran UU 2/2020 terkait kewenangan Bl untuk membeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana memuat kata "dapat". Penggunaan frasa "dapat" dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) huruf f dan 60 Pasal 19 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 dimaknai bahwa tidak ada unsur kewajiban bagi Bl yang dapat menghilangkan independensi Bl sebagai bank sentral untuk memutuskan pembelian SUN dan/atau SBSN di pasar perdana. Pembelian SUN dan/atau SBSN didasarkan sesuai pertimbangan Bl dalam menjalankan tugasnya.
Kewenangan Bl untuk membeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana sebagaimana diatur dalam Lampiran UU 2/2020 dilaksanakan dengan tetap menjaga independensi Bl. Pasal 23D UUD NRI Tahun 1945 jo. Pasal 4 ayat (2) UU Bl telah mengatur bahwa Bl merupakan lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pemerintah dan/atau pihak lain. Pelaksanaan tugas dan wewenang Bl akan tetap berjalan secara efektif dengan berlakunya ketentuan dalam Lampiran UU 2/2020.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (3) UU a quo , kewenangan tersebut harus memenuhi skema dan mekanisme pembelian yang diatur bersama antara Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia dengan Keputusan Bersama Menteri Keuangan dan Gubernur Bl Nomor 190/KMK.08/2020 dan Nomor 22/4/KEP.GBl/2020 tanggal 16 April 2020 dengan menerapkan prinsip:
mengutamakan mekanisme pasar;
mempertimbangkan dampaknya terhadap inflasi secara terukur;
SUN dan/atau SBSN yang dapat dibeli oleh Bl bersifat tradable dan marketable ; dan
Bl sebagai pembeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana merupakan last resort dalam hal kapasitas pasar tidak mampu menyerap dan/atau menyebabkan kenaikan yield yang terlalu tinggi.
Pandangan DPR terkait penetapan sumber-sumber pembiayaan Anggaran yang berasal dari dalam dan/atau luar negeri dan pengaturan perubahan postur APBN melalui Peraturan Presiden sebagaimana diatur dalam UU a quo a. Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. Kekuasaan tersebut meliputi kewenangan yang bersifat 61 umum dan kewenangan yang bersifat khusus. Untuk membantu Presiden dalam penyelenggaraan kekuasaan dimaksud, sebagian dari kekuasaan tersebut dikuasakan kepada Menteri Keuangan selaku Pengelola Fiskal dan Wakil Pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan, serta kepada Menteri/Pimpinan Lembaga selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya. Menteri Keuangan sebagai pembantu Presiden dalam bidang keuangan pada hakekatnya adalah Chief Financial Officer (CFO) Pemerintah Republik Indonesia, sementara setiap menteri/pimpinan lembaga pada hakekatnya adalah Chief Operational Officer (COO) untuk suatu bidang tertentu pemerintahan. Prinsip ini perlu dilaksanakan secara konsisten agar terdapat kejelasan dalam pembagian wewenang dan tanggung jawab, terlaksananya mekanisme checks and balances serta untuk mendorong upaya peningkatan profesionalisme dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan. Sub bidang pengelolaan fiskal meliputi fungsi-fungsi pengelolaan kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro, penganggaran, administrasi perpajakan, administrasi kepabeanan, perbendaharaan, dan pengawasan keuangan.
Pengecualian Pelaksanaan Kebijakan Keuangan Negara dalam Perppu ini sebagaimana diatur dalam Pasal 12 ayat (2) lampiran UU 2/2020 a quo : “ Perubahan postur dan/atau rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara dan langkah-langkah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 11 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden.” Ketentuan tersebut hanya berlaku sepanjang berkaitan dengan kebijakan keuangan negara untuk penanganan penyebaran Covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan berdasarkan Perppu ini ( Vide Pasal 28 lampiran UU 2/2020). Dalam kondisi kembali normal semua ketentuan dalam UU MD3 berlaku seperti semula termasuk dalam hal mekanisme pembahasan APBN dan APBNP yang harus tetap mendapatkan persetujuan DPR. Selain itu meskipun APBN 62 Perubahan ditetapkan dengan Peraturan Presiden karena situasi yang mendesak berdasarkan Perppu 1/2020 yang selanjutnya menjadi lampiran UU 2/2020, tetapi pertanggungjawaban APBN tetap kepada DPR.
Bahwa terkait dengan sumber-sumber pembiayaan negara, Pasal 12 ayat (3) UU Keuangan Negara mengatur bahwa dalam hal anggaran diperkirakan defisit, ditetapkan sumber-sumber pembiayaan untuk menutup defisit tersebut dalam Undang-undang tentang APBN. Dan penjelasan Pasal 12 ayat (3) UU Keuangan Negara tersebut mengatur bahwa jumlah pinjaman dibatasi maksimal 60% dari Produk Domestik Bruto. Ketentuan dalam penjelasan ini juga menjadi bagian yang dinyatakan tidak berlaku dalam Pasal 28 angka 3 lampiran UU 2/2020. Namun pada dasarnya, penetapan sumber-sumber pembiayaan tersebut diperbolehkan hanya saja batasan yang ada dalam penjelasan pasal tersebut tidak diberlakukan selama penanganan Covid-19 ini atau hingga tahun 2021. Selain itu, persebaran Covid-19 yang masif dan cepat ini membutuhkan penanganan cepat namun yang tidak dapat dilaksanakan melalui mekanisme APBN, sehingga telah jelas tidak ada pelanggaran prinsip pengelolaan keuangan negara dan tetap sejalan dengan prinsip negara hukum sebagaimana diatur oleh Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945.
Ketentuan Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 sama sekali tidak menghilangkan peran dan fungsi DPR, karena dengan telah disetujui dan ditetapkannya Perppu1/2020 menjadi UU 2/2020, telah menunjukkan bahwa perubahan postur dan/atau rincian APBN dengan Peraturan Presiden yang diatur dalam ketentuan Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 tersebut telah mendapat persetujuan DPR. Selain itu, dalam pembentukan Peraturan Presiden tentang perubahan postur dan/atau rincian APBN, Pemerintah selalu mengkomunikasikannya dan melakukan pembahasan bersama dengan DPR. DPR dapat memberikan masukan dan rekomendasi kepada Pemerintah terkait postur dan/atau rincian APBN tersebut. Oleh karena itu, Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 __ yang mengatur bahwa perubahan postur dan/atau rincian APBN dilakukan dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden, sama sekali 63 tidak menghilangkan peran dan fungsi DPR. Pengaturan perubahan postur dan/atau rincian APBN dalam ketentuan Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 telah diselaraskan dengan dicabutnya ketentuan Pasal 27 ayat (3) UU Keuangan Negara, Pasal 177 huruf c angka 2 dan Pasal 182 UU MD3, serta Pasal 40 UU APBN 2020 (vide ketentuan Pasal 28 angka 3, 10, dan 12 Lampiran UU 2/2020). Pencabutan berbagai ketentuan yang diatur dalam Pasal 28 angka 3, 10, dan 12 Lampiran UU 2/2020 tersebut, merupakan upaya harmonisasi agar tidak ada dualisme aturan atas satu permasalahan. Dengan demikian, ketentuan Pasal 28 angka 3, 10, dan 12 Lampiran UU 2/2020 telah memberikan kepastian hukum atas pelaksanaan ketentuan Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020, yaitu bahwa perubahan postur dan/atau rincian APBN dilakukan dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden.
Pandangan DPR Terhadap Kebijakan Di Bidang Keuangan Daerah sebagaimana diatur dalam UU a quo a. Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945, Pemerintah Daerah telah diberikan kewenangan untuk mengatur dan mengurus sendi r i urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda). Penjelasan umum UU Pemda menyatakan bahwa pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah dilaksanakan berdasarkan prinsip negara kesatuan. Dalam negara kesatuan, kedaulatan hanya ada pada pemerintahan negara atau pemerintahan nasional dan tidak terdapat kedaulatan pada pemerintahan daerah. Oleh karena itu, seluas apapun otonomi yang diberikan kepada daerah, tanggung jawab akhir penyelenggaraan pemerintahan daerah akan tetap ada di tangan pemerintah pusat. Untuk itu pemerintahan daerah pada negara kesatuan merupakan satu kesatuan dengan pemerintahan nasional.
Kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan oleh daerah merupakan bagian integral dari kebijakan nasional. Pembedanya, terletak pada bagaimana memanfaatkan kearifan, potensi, inovasi, daya saing, dan kreativitas daerah untuk mencapai tujuan nasional tersebut di tingkat lokal yang 64 pada gilirannya akan mendukung pencapaian tujuan nasional secara keseluruhan. Pada kondisi pandemi Covid-19, hal yang perlu diperhatikan dalarn pelaksanaan kebijakan keuangan di daerah adalah kecepatan dan ketepatan untuk menyesuaikan anggaran sehingga tepat sasaran. Lebih lanjut, berdasarkan dengan Pasa l 6 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (UU Keuangan Negara), kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan, telah diserahkan kepada kepada gubernur/bupati/wali kota untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili Pemerintah Daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan.
Namun demikian, dalam pelaksanaannya, penyelenggaraan pemerintahan daerah, termasuk keuangan daerah, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam UU Pemda sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015. Dalam ketentuan Pasal 9 ayat (2) UU Pemda disebutkan urusan absolut adalah urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat. Lebih Ianjut dalam ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf e UU Pemda disebutkan jika salah satu urusan pemerintahan absolut tersebut adalah urusan moneter dan fiskal nasional. Dalam menangani pandemi Covid-19 dan menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan, kebijakan yang diterapkan di bidang keuangan negara yang memberikan relaksasi untuk refocusing APBN, sudah seharusnya juga diterapkan pada pemerintahan daerah, khususnya dalam hal relaksasi untuk refocusing APBD. Oleh karena itu, kebersarnaan dan gotong royong oleh pemerintah pusat dan Pemerintah Daerah dapat menuntaskan permasalahan kesehatan dan ekonomi dampak Covid-19.
Sesuai ketentuan Pasal 8 UU Pemda, telah diatur bahwa pembinaan dan pengawasan terhadap urusan penyelenggaraan pemerintahan oleh daerah dikoordinasikan oleh Menteri Dalam Negeri. Hal tersebut dapat menjadi landasan Kementerian Dalam Negeri untuk memberikan petunjuk/pedoman tentang keuangan daerah kepada Pemerintah Daerah agar penggunaan realokasil refocusing seragam dan terarah 65 bagi seluruh daerah. Sebagaimana telah diatur dalam Pasal 280 UU Pemda, dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang diserahkan dan/atau ditugaskan, penyelenggara pemerintahan daerah memiliki kewajiban dalam pengelolaan keuangan daerah antara lain meliputi sinkronisasi pencapaian sasaran program daerah dalam APBD dengan program pemerintah pusat.
Sejalan dengan hal tersebut, guna mencapai penanganan yang bersifat holistik dan terpadu atas pandemi Covid-19 dan dampaknya, maka diperlukan pula peran daerah melalui APBD. Untuk itu, Pemerintah Daerah diberikan kewenangan untuk melakukan refocusing, perubahan alokasi dan penggunaan APBD. Dalam rangka memberikan pedoman/guidance kepada Pemerintah Daerah, maka Kemendagri telah menerbitkan Permendagri Nomor 39 Tahun 2020 tentang Pengutamaan Penggunaan Alokasi Anggaran Untuk Kegiatan Tertentu, Perubahan Alokasi dan Penggunaan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah yang mengatur ketentuan umum dan teknis pelaksanaan refocusing, perubahan alokasi, dan penggunaan APBD untuk penanganan pandemi Covid-19 beserta dampaknya di daerah. Dengan demikian, Permendagri tersebut tidak akan mendikte Pemerintah Daerah dalam melakukan refocusing, perubahan alokasi dan penggunaan APBD, melainkan sebatas memberikan petunjuk dan menciptakan keseragaman tindak lanjut kedaruratan dalam melakukan refocusing guna mencapai tujuan nasional. Selain itu, dengan tidak diajukannya pengujian ketentuan Pasal 3 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 oleh Pemohon, maka Pemohon telah menyadari dan rnernahami bahwa pemberian kewenangan kepada daerah untuk melakukan refocusing, perubahan alokasi, dan penggunaan APBD, merupakan kebijakan yang penting dan diperlukan Pemerintah Daerah dalam penanganan dampak Covid-19.
Pandangan DPR Terhadap Materi Muatan mengenai “Kebijakan Di Bidang Perpajakan dan Kepabeanan” sebagaimana diatur dalam UU a quo a. Terkait dengan perpajakan, Kementerian keuangan telah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 34/PMK.04/2020 tentang Pemberian Fasilitas Kepabeanan Dan/Atau Cukai Serta Perpajakan Atas 66 Impor Barang Untuk Keperluan Penanganan pandemi Covid-19 sebagaimana telah diubah dengan PMK 83/PMK.04/2020 dengan pertimbangan untuk percepatan pelayanan dalam pemberian fasilitas fiskal atas impor barang yang diperlukan dalarn penanganan pandemi Covid-19, perlu mengatur ketentuan mengenai perlakuan kepabeanan dan/atau cukai serta perpajakan atas impor barang yang diperlukan dalam penanganan pandemi Covid-19. Dalam PMK tersebut diatur Atas impor barang untuk keperluan penanganan pandemi Covid-19 diberikan fasilitas kepabeanan dan/atau cukai serta perpajakan berupa: a) pembebasan bea masuk dan/atau cukai; b) tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah; dan c) dibebaskan dari pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22. terhadap jenis barang yang tercantum dalam Lampiran Huruf A PMK tersebut yang dapat dilakukan melalui pusat logistik berikat.
Pengaturan Pasal 10 lampiran UU 2/2020 ini tidak bertentangan dengan Pasal 25 dan Pasal 26 UU Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan yang telah diubah dengan UU Nomor 17 Tahun 2006 (UU Kepabeanan). Pengaturan perubahan ketentuan Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26 ayat (1) UU Kepabeanan tersebut dalam rangka penanganan Covid-19 ini tentukan diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan tentu tidak dapat serta merta dianggap kesalahan karena anggapan Para Pemohon bahwa ketentuan dalam UU tidak dapat diubah melalui peraturan perundang-undangan yang tidak setara. Hal ini dilakukan karena apa yang terjadi dan butuh penanganan cepat tidak sesuai dan tidak termasuk dalam pengaturan dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26 ayat (1) UU Kepabeanan. Barang-barang tersebut tidak termasuk barang yang dipergunakan untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak termasuk obat-obatan yang pengadaannya menggunakan anggaran keuangan negara.
Perubahan ketentuan Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26 ayat (1) UU Kepabeanan tersebut dengan UU perubahan tentu akan memerlukan waktu yang lama mengingat prosedur penyusunan UU beserta tahapan- tahapannya tidak dapat dilakukan dalam waktu singkat. Penentuan ini 67 juga tentunya memperhatikan pengaturan yang ada dalam Pasal 25 ayat (3) UU Kepabeanan yang menyatakan “ Ketentuan tentang pembebasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri ” dan Pasal 26 ayat (3) UU Kepabeanan yang menyatakan “ Ketentuan mengenai pembebasan atau keringanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan Menteri”. Sejalan dengan adanya amanat pengaturan peraturan pelaksanaan UU sebagaimana dalam Pasal 25 ayat (3) dan Pasal 26 ayat (3) UU Kepabeanan, maka hal ini jelas ditujukan untuk simplifikasi proses dalam kondisi yang genting, yang sudah jelas tidak berarti bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 sebagaimana yang telah didalilkan oleh Para Pemohon Perkara 37.
Tidak adanya pernyataan Presiden bahwa negara dalam kondisi krisis sehingga tidak diperlukan adanya program stabilitasi perekonomian dan keuangan nasional termasuk pengurangan pajak dan bea masuk barang impor sebagaimana yang dinyatakan Para Pemohon Perkara 42, hal tersebut tidaklah benar. Dalam berbagai pidatonya, Presiden, DPR dan Menteri keuangan berulang kali menyampaikan kondisi perekonomian nasional dan kekhawatiran apabila tidak dilakukan upaya penanganan segera tanpa perlu menyatakan “Indonesia dalam keadaan krisis” pun keadaan tersebut dirasakan oleh masyarakat secara luas khususnya setelah adanya pandemi Covid-19. Pengurangan pajak dilakukan karena pajak dipungut dari warga negara dan kondisi perekonomian nasional sedang tidak dalam keadaan baik. Hal ini justru akan membebani masyarakat apabila tidak dilakukan pengurangan pajak. Selain itu, kebijakan terkait bea masuk barang impor tidak diberlakukan pada seluruh objek bea masuk melainkan pada alat-alat kesehatan dan obat- obatan yang dibutuhkan oleh masyarakat dalam rangka penanganan pandemi Covid-19. Oleh karenanya, pengaturan dan pengawasan pengelolaan keuangan negara selama masa pandemi Covid-19 ini terlapor secara jelas kepada DPR dan dilaksanakan sesuai dengan asas- asas pengelolaan keuangan negara dan asas-asas umum penyelenggaraan pemerintahan yang baik. 68 e. Bahwa terkait dalil Para Pemohon Perkara 37 yang menyatakan bahwa pemberian keringanan pajak tanpa dibarengi dengan adanya larangan PHK tidaklah tepat. DPR menerangkan bahwa pelarangan PHK tidak dapat diberlakukan oleh Pemerintah mengingat kondisi keuangan setiap perusahaan tidak sama satu sama lain berikut besar skalanya. Keringanan pajak tersebut diberikan dengan harapan mampu menstimulus perkembangan perusahaan sehingga besarnyapun tidak akan sama bagi setiap perusahaan tergantung pada skala perusahaan dan bidang usaha perusahaan tersebut. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) mengatur bahwa Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan perintah. Dalam UU Ketenagakerjaan tersebut telah diatur mengenai pemutusan hubungan kerja dan adanya perjanjian kerja. Selain itu, ketenagakerjaan merupakan hubungan perdata antara pekerja dan pemberi kerja/pengusaha.
Bahwa terkait dalil Para Pemohon Perkara 37 mengenai pajak untuk perdagangan melalui sistem elektronik tidak memenuhi unsur kegentingan yang memaksa dan seharusnya diatur dalam undang- undang, DPR menerangkan bahwa:
Langkah-langkah pencegahan yang relatif ketat untuk membatasi meluasnya penyebaran pandemi Covid-19 menyebabkan turunnya permintaan atas produk nasional. Dampak selanjutnya, banyak perusahaan yang mengalami kesulitan cash flow sehingga menurunkan kemampuan dalam membayar pajak. Akibatnya, penerimaan perpajakan seperti PPh Badan mengalami penurunan secara signifikan. Berkurangnya aktivitas perdagangan internasional secara signifikan juga mengakibatkan turunnya penerimaan pajak dari impor dan bea masuk. Selain itu, penerimaan perpajakan juga mengalami tekanan dari turunnya harga minyak dunia, bahan mineral, dan CPO yang merupakan komponen penting dalam menghitung PPh migas dan bea keluar. Kinerja penerimaan perpajakan diperkirakan akan melemah pada 69 tahun 2020 dengan tax ratio berpotensi berada di bawah 9 persen, terendah dalam dua dekade terakhir.
Menghadapi kondisi perekonomian dan pandemi Covid-19, kebijakan dan strategi perpajakan jangka menengah ditujukan untuk mendorong percepatan pemulihan ekonomi nasional pasca pandemi Covid-19 dan meningkatkan pendapatan negara. Di tengah ketidakpastian akan akhir dari pandemi Covid-19, dukungan terhadap dunia usaha mutlak diperlukan dalam rangka memitigasi dampak ekonomi yang timbul dan mendorong percepatan pemulihan ekonomi nasional. Untuk itu, langkah reformasi perpajakan yang pertama dilakukan adalah dengan memberikan relaksasi perpajakan kepada dunia usaha. Relaksasi perpajakan tersebut dimaksudkan untuk mengurangi beban kegiatan usaha dan membantu meningkatkan kondisi cash flow perusahaan, khususnya selama dan pasca pendemi Covid-19. Perusahaan dapat menggunakan pengurangan atau pembebasan pajak untuk menutupi kenaikan harga bahan input maupun penurunan penjualan sehingga tetap beroperasi secara normal. Efek selanjutnya adalah perusahaan diharapkan tidak melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sehingga karyawan mempunyai gaji untuk memenuhi kebutuhan hidup. Pada gilirannya hal tersebut akan kembali menggairahkan perekonomian nasional, baik dari sisi produksi maupun sisi konsumsi. Melalui penurunan tarif PPh badan, pembebasan PPh impor dan bea masuk sektor tertentu, serta berbagai fasilitas perpajakan lainnya, Pemerintah juga bermaksud meningkatkan daya saing guna mendorong aktivitas investasi sehingga dapat memacu pertumbuhan ekonomi nasional.
Dalam rangka meningkatkan pendapatan negara, khususnya penerimaan perpajakan, Pemerintah melakukan upaya perluasan basis pemajakan dan perbaikan administrasi perpajakan. Penambahan objek pajak baru yang dipungut oleh Negara sangat diperlukan dalam rangka meningkatkan tax ratio . Sebagai tahap awal, Pemerintah akan memungut pajak atas Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) atau yang lebih popular dengan sebutan 70 e-commerce . Dalam beberapa tahun terakhir, transaksi online berkembang begitu cepat dan berpotensi menggantikan pasar konvensional. Selain menjadi sumber pendapatan Negara, pemungutan pajak terhadap sektor PMSE juga dimaksudkan untuk memastikan terpenuhinya prinsip pemajakan yang berkeadilan ( fairness) antara semua pelaku usaha dan menciptakan level of playing field yang sama bagi pengusaha di dalam negeri untuk bertahan dan meningkatkan daya saingnya di tengah pandemi Covid-19. Selama ini, pelaku usaha ekonomi digital luar negeri mendapatkan penghasilan secara signifikan dari Indonesia tanpa perlu membayar pajak di Indonesia. Untuk itu, pemajakan atas PMSE diharapkan mampu menjadi sumber penting pendapatan negara mengingat nilai transaksinya yang besar di masa yang akan datang. Dengan demikian pengaturan obyek pajak baru dan mekanisme mekanisme peningkatan efektifitas pajak menjadi hal yang harus dilakukan untuk memenuhi kebutuhan belanja negara yang semakin tinggi dengan kondisi pemasukan negara yang tidak mencukupi.
Apabila pemajakan terhadap PMSE tidak segera diterapkan di Indonesia maka terjadi kekosongan hukum dan menjadi loopholes untuk penghindaran dan pengelakan pajak yang menyebabkan hilangnya potensi penerimaan pajak. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa akan memerlukan waktu yang cukup lama, apalagi di tengah pandemi Covid-19. Dengan demikian, kebijakan pemajakan PMSE dalam Lampiran UU 2/2020 sangat diperlukan sebagai dasar legal formal pemajakan atas PMSE. Dalam pelaksanaan PMSE tersebut, Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 48/PMK.03/2020 tentang Tata Cara Penunjukan Pemungut, Pemungutan, Dan Penyetoran, Serta Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai Atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud Dan/Atau Jasa Kena Pajak Dari Luar Daerah Pabean Di Dalam Daerah Pabean Melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik. Peraturan tersebut tentunya tidak lepas 71 dari pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009. Maka dengan diaturnya PSME dalam Perppu 1/2020 yang keberlakuannya setara dengan Undang-Undang dan telah ditetapkan sebagai Undang-Undang melalui UU 2/2020, maka dalil Para Pemohon Perkara 37 mengenai PSME harus diatur dalam undang-undang menjadi tidak beralasan menurut hukum.
Pandangan DPR Terhadap Keterbukaan Pemerintah Terhadap Pelaksanaan Kebijakan Keuangan Negara Sebagaimana Diatur dalam Ketentuan UU a quo .
Setiap penyelenggara negara wajib mengelola keuangan negara secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Pengelolaan dimaksud dalam UU Keuangan Negara mencakup keseluruhan kegiatan perencanaan, penguasaan, penggunaan, pengawasan, dan pertanggung-jawaban. Oleh karenanya, APBN, perubahan APBN, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN setiap tahun ditetapkan dengan undang-undang. Sedangkan APBD, perubahan APBD, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD setiap tahun ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Dengan ditetapkannya APBN, Perubahan APBN berikut pertanggungjawaban pelaksanaan APBN dalam Undang-Undang dan APBD, perubahan APBD berikut pertangungjawaban pelaksanaan APBD dalam Peraturan daerah, maka berlakulah fiksi hukum dalam masyarakat. Asas Fiksi Hukum beranggapan bahwa ketika suatu peraturan perundang- undangan telah diundangkan maka pada saat itu setiap orang dianggap tahu ( presumption iures de iure ) dan ketentuan tersebut berlaku mengikat sehingga ketidaktahuan seseorang akan hukum tidak dapat membebaskan/memaafkannya dari tuntutan hukum ( ignorantia jurist non 72 excusat ). Keberadaan asas fiksi hukum, telah dinormakan di dalam penjelasan Pasal 81 ketentuan UU 12/2011 yakni " Dengan diundangkannya Peraturan Perundang-undangan dalam lembaran resmi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini, setiap orang dianggap telah mengetahuinya ". Adapun lembaran resmi yang dimaksud di dalam ketentuan Pasal 81 terdiri dari 7 jenis yakni a. Lembaran Negara Republik Indonesia, b.Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, c.Berita Negara Republik Indonesia, d. Tambahan Berita Negara Republik Indonesia, e.Lembaran Daerah, f. Tambahan Lembaran Daerah, atau g. Berita Daerah.
Dalam rangka akuntabilitas pengelolaan keuangan negara menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota selaku pengguna anggaran/pengguna barang bertanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan yang ditetapkan dalam Undang-undang tentang APBN/Peraturan Daerah tentang APBD, dari segi manfaat/hasil ( outcome ). Sedangkan Pimpinan unit organisasi kementerian negara/lembaga bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan yang ditetapkan dalam undang-undang tentang APBN, demikian pula Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah tentang APBD, dari segi barang dan/atau jasa yang disediakan ( output ).
Oleh karena itu, dalam UU Perbendaharaan Negara diatur sanksi yang berlaku bagi menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota, serta Pimpinan unit organisasi kementerian negara/lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah yang terbukti melakukan penyimpangan kebijakan/kegiatan yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang tentang APBN/Peraturan Daerah tentang APBD. Ketentuan sanksi tersebut dimaksudkan sebagai upaya preventif dan represif, serta berfungsi sebagai jaminan atas ditaatinya Undang-undang tentang APBN/Peraturan Daerah tentang APBD yang bersangkutan. Selain itu perlu ditegaskan prinsip yang berlaku universal bahwa barang siapa yang diberi wewenang untuk menerima, menyimpan dan membayar atau menyerahkan uang, surat berharga atau barang milik negara bertanggungjawab secara pribadi atas semua kekurangan yang terjadi dalam pengurusannya. Kewajiban 73 untuk mengganti kerugian keuangan negara oleh para pengelola keuangan negara dimaksud merupakan unsur pengendalian intern yang andal.
Anggapan Para Pemohon Perkara 42 dan Para Pemohon Perkara 43 atas tidak terjadinya krisis perekonomian karena tidak adanya pernyataan dari Presiden terkait kondisi tersebut, hal ini sungguh tidak beralasan menurut hukum dan justru menunjukkan sikap ketidakpedulian Para Pemohon Perkara 42 dan Para Pemohon Perkara 43 atas kondisi negara dan kondisi yang ada dalam masyarakat secara umum. Dengan perkembangan teknologi dan akses berita yang mudah dan luas sekarang ini, informasi mengenai keuangan negara dapat diakses dengan mudah. Hal ini merupakan wujud transparansi pengelolaan keuangan negara karena keuangan negara menyangkut kepentingan publik.
Dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dijelaskan bahwa Informasi Publik adalah informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan/atau diterima oleh suatu badan publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara dan/atau penyelenggara dan penyelenggaraan badan publik lainnya yang sesuai dengan Undang-Undang ini serta informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan publik. Salah satu asas dalam UU tersebut adalah bahwa setiap Informasi Publik bersifat terbuka dan dapat diakses oleh setiap Pengguna Informasi Publik, kecuali terdapat ketentuan pengecualiannya. Informasi Publik yang dikecualikan bersifat rahasia sesuai dengan undang-undang, kepatutan, dan kepentingan umum didasarkan pada pengujian tentang konsekuensi yang timbul apabila suatu informasi diberikan kepada masyarakat serta setelah dipertimbangkan dengan saksama bahwa menutup Informasi Publik dapat melindungi kepentingan yang lebih besar daripada membukanya atau sebaliknya. Dalam hal ini, keuangan negara merupakan informasi yang tidak dikecualikan dan dengan jelas diatur adanya mekanisme-mekanisme penyampaian informasi keuangan negara dalam UU Keuangan Negara. 74 13. Pandangan DPR terkait penambahan kewenangan terhadap OJK sebagaimana diatur dalam UU a quo a. Setidaknya terdapat tiga kewenangan OJK dalam UU a quo . Salah satu amanat dari UU 2/2020 seperti yang tercantum dalam Pasal 23 ayat (1) yaitu memberi kewenangan dan pelaksanaan kebijakan OJK untuk memberikan perintah tertulis kepada lembaga jasa keuangan melakukan penggabungan , peleburan, pengambilalihan, integrasi dan/atau konversi . Langkah tersebut dapat dilakukan apabila diperlukan untuk mengantisipasi krisis jasa keuangan yang dapat membahayakan perekonomian nasional. Dalam menghadapi kondisi penuh risiko saat ini akibat Covid-19 maka daya tahan lembaga jasa keuangan sangat dibutuhkan khususnya dari sisi permodalan. Sehingga, salah satu cara untuk memperkuat daya tahan lembaga jasa keuangan tersebut dilakukan dengan cara penggabungan atau merger. Aksi merger tersebut diperlukan karena terdapat risiko besar akibat Covid-19 yang mengganggu kemampuan pembayaran perusahaan jasa keuangan khususnya perbankan, meskipun saat ini perbankan tetap masih membayarkan bunga deposito kepada nasabah tepat waktu. Di sisi lain, kemampuan membayar debitur atau peminjam dalam kondisi tidak stabil karena perlambatan ekonomi di berbagai sektor. Sehingga, aksi merger tersebut diharapkan dapat memperkuat daya tahan perusahaan jasa keuangan.
Otoritas Jasa Keuangan mengeluarkan berbagai kebijakan stimulus untuk mengantisipasi dampak pandemi Covid-19 di bidang lembaga jasa keuangan. Sejauh ini, setidaknya OJK telah menerbitkan lima Peraturan OJK (POJK) pada 21 April 2020 sebagai tindak lanjut kewenangan OJK dalam pelaksanaan UU 2/2020 Kebijakan stimulus ini salah satunya adalah Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Corona Virus Disease 2019.
Kekhawatiran Para Pemohon Perkara 37 dan Para Pemohon Perkara 42 terkait potensi kesewenang-wenangan OJK dalam melaksanakan kewenangannya yang diberikan oleh UU 2/2020 tentunya telah diantisipasi oleh Pemerintah dan OJK dengan adanya pedoman pelaksanaan kewenangan-kewenangan tersebut. Selain itu, bagi OJK selaku pelaksana 75 kewenangan yang diberikan oleh UU 2/2020 juga berlaku ketentuan Asas- Asas Umum Pemerintahan yang Baik sebagaimana diatur dalam UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dan UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
Pandangan DPR terkait pinjaman kepada LPS sebagaimana diatur dalam UU a quo a. Ketentuan Pasal 2 ayat (3) UU LPS, LPS merupakan lembaga yang independen. Sesuai ketentuan tersebut, telah jelas bahwa kedudukan LPS merupakan lembaga independen, bukan merupakan lembaga yang berada di bawah pemerintah. Pemberian kewenangan kepada LPS sebagaimana yang tercantum dalam Lampiran UU 2/2020, pada prinsipnya merupakan kewenangan yang telah diberikan oleh UU LPS, UU OJK , dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (UU PPKSK). Kewenangan yang diberikan kepada LPS sesuai Pasal 20 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 sifatnya lebih mempertegas guna mendukung pelaksanaan fungsi LPS dalam kondisi adanya pandemi Covid-19 dan/atau adanya ancaman perekonomian dan/atau stabilitas sistem keuangan. Kewenangan tersebut sudah jelas melekat dan seharusnya diberikan kepada LPS untuk dapat melaksanakan fungsi LPS sebagaimana diatur dalam UU LPS, yaitu menjamin simpanan nasabah penyimpan dan menjaga stabilitas sistem perbankan. Pemberian kewenangan bagi LPS untuk melaksanakan langkah-langkah penanganan permasalahan stabilitas sistem keuangan juga diiringi dengan wewenang bagi Pemerintah untuk mengatur lebih lanjut pelaksanaan kewenangan tersebut dalam Peraturan Pemerintah (vide Pasal 20 ayat (2) Lampira n UU 2/2020). Adanya atribusi dan mandat untuk melakukan pengaturan dalam peraturan perundang- undangan di bawah undang-undang dimaksudkan untuk memberikan koridor dalam pelaksanaan kewenangan LPS. Hal tersebut dimaksudkan selain untuk memberikan kepastian hukum, juga untuk menghindari LPS menginterpretasikan kewenangan yang diberikan dalam Lampiran UU 2/2020 secara luas yang dapat mengakibatkan penyalahgunaan wewenang. 76 b. Berdasarkan UU LPS, fungsi LPS adalah menjamin simpanan nasabah di bank dan turut aktif memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai kewenangannya. Berdasaran ketentuan dalam Pasal 85 ayat (1) UU LPS, dalam hal modal LPS menjadi kurang dari modal awal, Pemerintah dengan persetujuan DPR menutup kekurangan tersebut. Modal awal LPS ditetapkan sekurang-kurangnya Rp 4 triliun dan sebesar-besarnya Rp 8 triliun.
UU 2/2020 memberikan kewenangan kepada LPS yang di antaranya adalah melakukan pemeriksaan penanganan dan peningkatan intensitas persiapan Penanganan Bank bersama OJK dan melakukan pemilihan cara penanganan Bank Selain Bank Sistemik yang dinyatakan sebagai Bank Gagal dengan tidak hanya mempertimbangkan perkiraan biaya yang paling rendah ( least cost test ), tetapi juga mempertimbangkan kondisi perekonomian, kompleksitas permasalahan perbankan, kebutuhan waktu penanganan, ketersediaan investor, dan/atau efektivitas penanganan permasalahan Bank.
Sehubungan dengan kewenangan tersebut, UU 2/2020 mendelegasikan pengaturan kewenangan dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kewenangan LPS dalam Rangka Melaksanakan Langkah-Langkah Penanganan Permasalahan Stabilitas Sistem Keuangan. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah tersebut, LPS melakukan pemeriksaan bersama dalam rangka persiapan Penanganan Bank dan peningkatan intensitas persiapan Penanganan Bank serta melakukan pemilihan cara penanganan Bank Selain Bank Sistemik yang dinyatakan sebagai Bank Gagal.
Berdasarkan kewenangan dimaksud, dalam hal terdapat Bank yang mengalami permasalahan solvabilitas, LPS melakukan pemeriksaan bersama dengan OJK untuk penanganan permasalahan solvabilitas Bank. Disamping itu, selama pemulihan ekonomi sebagai akibat pandemi Covid-19, LPS dapat melakukan penempatan dana pada Bank untuk mengelola dan/atau meningkatkan likuiditas LPS dan/atau mengantisipasi dan/atau melakukan penanganan permasalahan Stabilitas Sistem Keuangan yang dapat menyebabkan terjadinya kegagalan Bank sebagai 77 bagian dari tindakan antisipasi ( forward looking ) LPS untuk menjaga Stabilitas Sistem Keuangan.
Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan Nomor 3 Tahun 2020 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kewenangan Lembaga Penjamin Simpanan Dalam Rangka Melaksanakan Langkah-Langkah Penanganan Permasalahan Stabilitas Sistem Keuangan, juga mengatur bahwa untuk penanganan pandemi Covid-19 untuk mengelola dan/atau meningkatkan likuiditas LPS dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan, LPS dalam rangka pengambilan keputusan untuk melakukan penanganan Bank Selain Bank Sistemik yang dinyatakan sebagai Bank Gagal oleh OJK, tidak hanya mempertimbangkan perkiraan biaya yang paling rendah ( least cost test ) tetapi juga dengan mempertimbangkan kondisi perekonomian, kompleksitas permasalahan bank, kebutuhan waktu penanganan, ketersediaan investor, dan/atau efektivitas dalam rangka penanganan permasalahan bank.
Berdasarkan ketentuan dalam lampiran UU 2/2020, LPS dapat menaikkan nilai penjaminan simpanan dari saat ini Rp 2 miliar per rekening untuk menjamin adanya kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan. LPS juga bisa menambah pembiayaan dengan menerbitkan surat utang. Penambahan pendanaan ini bertujuan untuk membantu LPS apabila mengalami kesulitan likuiditas dalam menangani bank gagal. Pembiayaan dari surat utang merupakan salah satu opsi yang dapat dilakukan LPS untuk menjalankan fungsi penjaminan simpanan maupun penanganan bank berdampak sistemik. Selama ini, LPS mendapatkan pembiayaan dari premi yang dibayarkan dari bank sebesar 0,2 persen per tahun dari rata-rata simpanan. LPS juga bisa mendapatkan biaya dari penanganan bank gagal serta memperoleh pinjaman dari pemerintah apabila modal sudah berada di bawah Rp 4 triliun.
Risiko pembiayaan yang dikeluarkan untuk stabilitas kondisi perekonomian dan keuangan nasional salah satunya adalah kewajiban kontinjensi pemerintah pusat. Kewajiban kontinjensi merupakan kewajiban potensial bagi Pemerintah yang timbul akibat adanya peristiwa 78 masa lalu dan keberadaannya menjadi pasti dengan terjadinya atau tidak terjadinya suatu peristiwa ( event ), yang tidak sepenuhnya. berada dalam kendali Pemerintah. Kewajiban kontinjensi bersumber dari pemberian dukungan dan/atau jaminan pemerintah atas proyek-proyek infrastruktur; program jaminan sosial nasional; kewajiban Pemerintah untuk menambahkan modal jika modal lembaga keuangan, yaitu Bank Indonesia (BI), Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), dan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI), di bawah jumlah yang diatur dalam Undang-Undang; dan tuntutan hukum kepada Pemerintah.
Berbagai opsi pendanaan tambahan ini diperlukan untuk memberikan kepercayaan kepada masyarakat sehingga persoalan solvabilitas bank dapat selesai dengan baik. Oleh karenanya, LPS harus menentramkan masyarakat bahwa dana mereka aman dan mampu memulihkan fungsi intermediasi perbankan. Dengan demikian, kekhawatiran yang didalilkan Para Pemohon Perkara 42 dalam permohonannya menjadi hal yang tidak benar karena dalam pelaksanaan pemberian pinjaman terhadap LPS jelas akan dikonsultasikan dengan DPR dan keberadaan pengaturan tersebut adalah salah satu upaya yang terbuka bagi pemerintah apabila kondisi perbankan nasional memburuk.
Pengaturan dalam pasal 20 ayat (1) huruf b UU 2/2020 yang menyatakan bahwa LPS diberikan kewenangan untuk melakukan tindakan (i) penjualan/repo SBN yang dimiliki kepada Bank Indonesia; (ii) penerbitan surat utang; (iii) pinjaman kepada pihak lain; dan/atau (iv) pinjaman kepada Pemerintah, dalam hal LPS diperkirakan akan mengalami kesulitan likuiditas untuk penanganan Bank Gagal, selain memberikan alternatif sumber pendanaan bagi LPS yang berlaku, baik untuk Bank Sistemik dan Bank Selain Bank Sistemik juga diharapkan dapat memberikan waktu yang cukup bagi LPS dalam mempersiapkan sumber dana tersebut sebelum terdapat Bank Gagal. Transaksi antara LPS dengan Bl sebagai salah satu langkah untuk pemenuhan likuiditas LPS yang diperluas sehingga LPS selain dapat melakukan penjualan SBN miliknya, juga dapat melakukan transaksi Repo. Selain penjualan dan/atau repo kepada Bl, LPS juga mempunyai alternatif pendanaan berupa pinjaman kepada pihak lain yang dimaksudkan untuk menjaring 79 pihak-pihak (dalam dan/atau luar negeri) yang mempunyai kemampuan pendanaan sehingga tersedia alternatif pendanaan yang lebih luas bagi LPS. Pinjaman LPS dari pihak lain merupakan salah satu opsi untuk menjaga likuiditas sehingga pemanfaatan dana tersebut untuk melaksanakan tugas dan fungsi LPS sebagai lembaga resolusi perbankan dalam hal terdapat Bank Gagal sesuai tata kelola yang diatur dalarn UU LPS.
Pandangan DPR terkait dalil Para Pemohon mengenai adanya hak imunitas bagi pelaksana kebijakan keuangan dan kerugian yang timbul dari pelaksanaan UU a quo bukan merupakan kerugian negara berdasarkan UU a quo adalah sebagai berikut a. Bahwa dukungan pembiayaan anggaran untuk penanganan Covid-19 yang besar adalah dalam rangka mendukung Program Pemulihan Ekonomi Nasional. Rincian kebutuhan anggaran ini berdampak pada sisi belanja dan juga pendapatan negara dalam APBN 2020. Biaya yang dikeluarkan pemerintah ini adalah biaya ekonomi yang bertujuan untuk penyelamatan negara dari krisis dan tidak bisa dianggap sebagai merupakan kerugian negara. APBN sebagai alat untuk mencapai tujuan negara, digunakan sepenuhnya untuk kepentingan rakyat. Ketika keadaan mendesak dan darurat, maka APBN sebagai alat tersebut dapat disesuaikan penggunaannya untuk menjadi penolong keselamatan negara. Biaya yang dikeluarkan ini disadari tidak akan sepenuhnya kembali dan juga hilangnya potensi penerimaan negara, namun di sisi lain telah timbul manfaat yang lebih besar yaitu pulihnya perekonomian dan dunia usaha sehingga dapat menyelamatkan ekonomi Indonesia. Sehingga biaya yang dikeluarkan tidak bisa disebut sebagai kerugian negara.
Biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah ini adalah biaya ekonomi yang bertujuan untuk penyelamatan negara dari krisis dan tidak bisa dianggap sebagai merupakan kerugian negara. APBN sebagai alat untuk mencapai tujuan negara, digunakan sepenuhnya untuk kepentingan rakyat. Ketika keadaan mendesak dan darurat, maka APBN sebagai alat tersebut dapat disesuaikan penggunaanya untuk menjadi penolong keselamatan negara. Biaya yang dikeluarkan ini disadari tidak akan sepenuhnya kembali dan 80 juga hilangnya penerimaan negara, namun di sisi lain telah menimbulkan manfaat yang lebih besar yaitu pulihnya perekonomian dan dunia usaha sehingga dapat menyelamatkan ekonomi Indonesia. Sehingga biaya yang dikeluarkan tidak bisa disebut sebagai kerugian negara. Penggunaan biaya ekonomi ini lah yang disebutkan dalam Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 yang dimaksudkan untuk penyelamatan perekonomian dari krisis sehingga bukan merupakan kerugian negara.
Mengutip Pendapat Dr. Dian Puji Nugraha Simatupang dalam tulisannya yang berjudul “ Ekuilibrium Kebijakan Keuangan Negara Menghadapi Keadaan Negara Darurat Akibat Penyebaran Covid-19 Dalam Peraturan _Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020”: _ “Biaya yang telah dialokasikan UU APBN dan/atau realisasi keuangan pemerintah untuk keadaan darurat tidaklah dapat dikategorikan sebagai kerugian negara dengan alasan: Pertama, biaya tersebut dialokasikan dalam UU APBN dan/atau laporan realisasi anggaran sebagai dasar hukum pengeluaran uang sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 2004 j.o. Pasal 27 ayat (4) UU Nomor 17 Tahun 2003; Kedua, biaya tersebut dikeluarkan untuk memenuhi kewajiban pemerintah untuk melindungi segenap tumpah darah rakyat Indonesia atau memenuhi asas kemanfaatan umum (doelmatigheid), dan untuk menghindari situasi dan keadaan yang lebih membahayakan keuangan negara dan perekonomian secara keseluruhan; Ketiga, biaya tersebut tetap diukur dalam satuan yang dikendalikan dan ditetapkan pedomannya oleh pemerintah dengan memperhatikan masukan dari lembaga terkait yang relevan untuk melakukan pengawasan intern. Menyangkut norma dalam Pasal 27 ayat (1) Perpu Nomor 1 Tahun 2020 hakikatnya dimaknai sebagai biaya sebagai sebab terjadinya keadaan darurat uang mempengaruhi stabilitas keuangan negara dan perekonomian nasional. Dalam hukum keuangan publik, hal demikian merupakan biaya resiko yang harus dibebankan ke dalam UU APBN untuk maksud mewujudkan tujuan negara, yaitu melindungi segenap tumpah darah Indonesia. Biaya dalam keadaan darurat merupakan konsekuensi logis dalam upaya mewujudkan tindakan kepemerintahan yang cepat dan luar biasa diperlukan dalam kondisi yang tidak sempurna. Kecepatan dan ketepatan pemerintahan dalam penanganan keadaan darurat Covid- 19 tidak dapat menggunakan parameter dan indikator yang biasa karena justru tidak prosesual atau tidak memenuhi ekuilibrium kebijakan keuangan publik jika suatu alas fakta yang berbeda menggunakan syarat prosedur yang normal atau kondisi yang sempurna, padahal alas fakta jelas terdapat perbedaan dan situasi yang darurat.” d. Bahwa dalam memaknai ketentuan Pasal 27 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) Lampiran UU 2/2020 tidak dapat dimaknai secara parsial melainkan 81 harus dimaknai sebagai satu kesatuan. Adanya suatu kerugian keuangan negara, penyalah gunaan kewenangan melalui suatu kebijakan maupun produk hukum lain yang dikeluarkan dalam rangka pelaksanaan UU 2/2020 tetap harus dibuktikan secara hukum dengan parameter yang tentunya tidak bisa disamakan dengan apa yang ada dalam keadaan normal. Adanya frasa “iktikad baik” dan “sesuai peraturan perundang- undangan” merupakan batasan koridor pelaksanaan kewenangan dalam penggunaan keuangan negara dan mengeluarkan suatu produk hukum dalam rangka pelaksanaan UU 2/2020.
Bahwa dalam perspektif hukum keuangan publik, kerugian negara adalah “ kekurangan uang, surat berharga, dan barang yang nyata dan pasti sebagai akibat perbuatan melawan hukum atau kelalaian ,” berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 22 UU Perbendaharaan Negara. Artinya disini kerugian Negara tersebut harus dibuktikan sebagai akibat dari suatu perbuatan yang melawan hukum atau karena kelalaian. Biaya yang telah dialokasikan UU APBN dan/atau realisasi keuangan pemerintah untuk keadaan darurat tidaklah dapat dikatagorikan sebagai kerugian negara dengan alasan: a) biaya tersebut dialokasikan dalam UU APBN dan/atau laporan realisasi anggaran sebagai dasar hukum pengeluaran uang sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) UU Perbendaharaan Negara jo . Pasal 27 ayat (4) UU Keuangan Negara; b) biaya tersebut dikeluarkan untuk memenuhi kewajiban pemerintah untuk melindungi segenap tumpah rakyat Indonesia atau memenuhi asas kemanfaatan umum ( doelmatigheid ), dan untuk menghindari situasi dan keadaan yang lebih membahayakan keuangan negara dan perekonomian nasional secara keseluruhan; c) biaya tersebut tetap diukur dalam satuan yang dikendalikan dan ditetapkan pedomannya oleh pemerintah dengan memperhatikan masukan dari lembaga terkait yang relevan untuk melakukan pengawasan intern;
Bahwa di samping itu, makna kerugian negara juga berkaitan dengan administrasi pemerintahan karena dengan adanya Pasal 20 Undang- 82 undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016, kerugian negara juga mempunyai relevansi dengan persoalan hukum administrasi negara dalam hal terjadinya kesalahan administrasi. Bahwa biaya dalam keadaan darurat merupakan konsekuensi logis dalam upaya mewujudkan tindakan kepemerintahan yang cepat dan luar biasa diperlukan dalam kondisi yang tidak sempurna. Kecepatan dan ketepatan pemerintahan dalam penanganan keadaan darurat akibat Covid-19 tidak dapat menggunakan parameter dan indikator yang biasa karena tidak justru tidak prosesual atau tidak memenuhi ekuilibrium kebijakan keuangan publik jika suatu alas fakta yang berbeda menggunakan syarat prosedur yang normal atau kondisi yang sempurna, padahal alas fakta jelas terdapat perbedaan dan situasi yang darurat. Di samping itu, biaya tersebut juga akan sampai pada muaranya untuk diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan juga hasilnya disampaikan kepada DPR untuk memperoleh persetujuan berkaitan dengan manfaatnya dalam LKPP. Dengan demikian, proses dan sistem pembiayaan tersebut tetap akuntabel dan memenuhi asas umum pemerintahan yang baik dalam suatu syarat prosedur yang darurat.
Bahwa kewenangan BPK sudah sangat tegas diatur dalam Pasal 23E ayat (1) UUD NRI 1945. Dalam ketentuan peraturan perundang-undangan maka BPK juga diatur dalam UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK sesuai dengan fungsi dan kewenangannya serta dikaitkan pula dengan Bab VIII UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang mengatur bahwa pelaksanaan APBN dan APBD diperiksa oleh BPK sebelum akhirnya Presiden/Kepala Daerah menyampaikan RUU/Perda tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBN/APBD kepada DPR/DPRD. Di samping itu, dalam UU a quo harus dipahami dan dicermati bahwa tidak ada satu pun pasal dalam UU a quo yang mengecualikan atau menghalang-halangi fungsi BPK untuk melakukan audit.
Bahwa hal demikian kemudian dilaksanakan dengan iktikad baik bagi pejabat administrasi pemerintahan. Dalam hukum administrasi negara, iktikad baik lebih tepat menggunakan istilah asas-asas umum 83 pemerintahan yang baik. Dalam hal ini pejabat administrasi pemerintahan menjalankan tugas dan wewenangnya sesuai dengan alas hukum dan alas fakta secara memadai, serta keputusan dan kebijakan ditetapkan dengan motivasi untuk melindungi kepentingan umum ( bestuurzorg ). Dengan kondisi demikian, tepat pelaksanaan tindakan kepemerintahan tersebut tidak menjadi objek keputusan tata usaha negara karena peraturan dasarnya telah berubah, tidak pada peraturan dalam keadaan negara normal. Dengan demikian, keputusan tersebut dikecualikan sebagai objek pengadilan tata usaha negara karena validitasnya didasarkan pada peraturan dasar tersendiri yang dibentuk dalam keadaan darurat.
Dalam hal masyarakat atau pihak lain mengajukan keberatan dalam keputusan administrasi pemerintahan dalam masa darurat, dapat menggunakan instrumen administrasi pemerintahan itu sendiri, yang kemudian dapat dilakukan penyelesaian menurut Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2016 tentang Pengenaan Sanksi Administrasi bagi Pejabat Administrasi Pemerintahan dan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2016 tentang Pengenaan Ganti Kerugian oleh Pejabat Bukan Bendahara. Dalam hal keberatan tersebut juga masih ada warga masyarakat dapat mengajukan pengaduan ke DPR dalam rangka pengawasan, sehingga DPR dapat menggunakan seluruh hak yang dimilikinya dalam rangka pengawasan eksternal terhadap tindakan administrasi pemerintahan.
Konsep iktikad baik tetap meletakkan pada aspek pengambilan keputusan dan kebijakan tidak mengandung unsur suap, paksaan/ancaman, dan tipuan guna menguntungkan secara melawan hukum. Akan tetapi, jika pengambilan keputusan dan kebijakan disebabkan adanya kesalahan administrasi, tuntutan pidana tidak dapat dilakukan. Konsep iktikad baik dalam konsep hukum administrasi negara menurut Safri Nugraha dimaknai sebagai wujud asas umum pemerintahan yang baik di mana pelaksanaan pemerintahan dijalankan dengan prinsip akuntabilitas dan transparansi yang mendorong sistem pemerintahan berjalan dengan sistem yang jelas dan terukur. Dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik, pengelolaan dan pertanggungjawaban wewenang 84 pemerintahan akan sejalan motivasinya yang layak. Hal ini sejalan dengan ketentuan dalam Pasal 50 KUHP disebutkan bahwa: “Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dipidana" Selain itu dalam pasal 51 ayat 1 KUHP disebutkan bahwa: “barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana”. k. Mengutip Pendapat Dr. Dian Puji Nugraha Simatupang dalam tulisannya yang berjudul “ Ekuilibrium Kebijakan Keuangan Negara Menghadapi __ Keadaan Negara Darurat Akibat Penyebaran Covid-19 Dalam Peraturan _Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020”: _ “ Adanya norma mengesampingkan tuntutan pidana, gugatan perdata, dan tata usaha negara harus dimaknai secara lengkap adanya syarat itikad baik atau asas-asas umum pemerintahan yang baik dalam hukum administrasi negara. Dengan demikian, ada kejelasan mengenai konsep hukum perdata, hukum administrasi, dan hukum pidana dalam konsep pelaksanaan pengambilan keputusan dan kebijakan dalam kondisi darurat agar pejabat administrasi pemerintahan tidak ragu, cepat, tepat, dan akuntabel untuk melindungi segenap tumpah darah Indonesia.” l. Bahwa ketentuan Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 juga bukan merupakan kekebalan absolut karena dalam ketentuan tersebut mereka terdapat parameter “dengan iktikad tidak baik” dan “tidak sesuai peraturan perundang-undangan”. Asas iktikad baik awalnya adalah suatu asas yang berlaku dibidang hukum perjanjian yang kini telah berkembang dan diterima sebagai asas di bidang-bidang atau cabang-cabang hukum yang lain, baik yang sesama keluarga hukum privat maupun yang merupakan bidang hukum publik. Dalam perkembangan hukum, terdapat prinsip- prinsip umum ataupun asas-asas umum yang dijadikan sebagai sumber hukum sekaligus asas yang mendasari pelaksanaan hukum itu sendiri. Oleh karenanya asas iktikad baik yang tadinya merupakan suatu asas hukum khusus kini telah berkembang menjadi suatu asas hukum umum. Selain asas iktikad baik, juga ada frasa “tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Ini adalah 2 parameter yang bersifat kumulatif. Artinya semua pejabat pemerintah yang menjalankan ketentuan pasal tersebut harus berdasarkan 2 kriteria ini secara kumulatif. 85 m. Dalam hukum dikenal suatu adagium yang berbunyi “tiada hukum tanpa pengecualian“ atau dalam bahasa belanda dikenal dengan istilah “ geen recht zonder uit zondering ”. Pengecualian dapat dilakukan sepanjang tidak merugikan pihak-pihak yang terkena aturan tersebut karena hukum ditujukan untuk mengayomi dan mensejahterakan masyarakat ( Rosjidi Ranggawidjaja, Ilmu Perundang-undangan, CV Mandar Maju ). Dalam kaitannya dengan hak Presiden untuk mengeluarkan Perpu yang berisi langkah-langkah yang luar biasa dalam keadaan yang memang tidak normal maka meskipun dalam suatu Perpu ada materi-materi yang dipandang tidak lazim, mengenyampingkan, atau memberlakukan ketentuan bersifat pengecualian dari apa yang telah diatur maka pengecualian itu dapat saja diberlakukan atau dapat diadakan pengecualian sepanjang diatur batasannya dalam Perpu itu sendiri.
Adapun frasa “iktikad baik” adalah apabila dalam melaksanakan tugasnya tidak untuk mencari keuntungan bagi diri sendiri, keluarga, kelompok, dan/atau tindakan lain yang berindikasi korupsi, kolusi, dan/atau nepotisme. Bahwa apabila nantinya terbukti iktikad baik tersebut dilanggar maka sudah jelas konsekuensinya yaitu mereka harus ditempuh prosedur hukum karena tindakan tersebut mengatur unsur mens rea (adanya niat jahat atau iktikad tidak baik) dan actus reus (perbuatan yang melanggar). Dengan demikian asas equality before the law dan asas kepastian hukum dalam Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945 tetap terjamin.
UU 2/2020 tidak melindungi pejabat negara atau tidak memberikan imunitas kepada pejabat negara. Pasal a quo diperlukan karena para pihak tersebut merupakan orang-orang yang mengambil keputusan penting. Mengutip pandangan Misbakhun selaku Anggota Komisi XI DPR RI dalam program Indonesia Lawyers Club (ILC) 21 April 2020: “ Penanganan Covid -19 melalui physical distancing merupakan pukulan yang paling berat bagi masyarakat karena tidak dapat melakukan interaksi sosial dan merupakan pukulan berat bagi perekonomian. Dampak dari pandemi Covid-19 yaitu faktor produksi tidak jalan sedangkan permintaan (demand) tetap ada. Kedalaman implikasi Covid-19 terhadap perekonomian sulit diukur karena puncak pandemi Covid-19 belum bisa dipastikan waktunya. Implikasi ekonomi yang ditimbulkan oleh Covid-19 terhadap perekonomian sangat dalam sehingga semua skenario perlu disiapkan untuk menghadapi situasi yang paling buruk. Sebelum pandemi Covid-19 ini terjadi struktur perekonomian Indonesia tidak dalam kondisi yang sehat. Hal ini 86 karena perekonomian Indonesia sedang menghadapi dampak perang dagang antara China dengan Amerika. Permasalahannya dalam situasi seperti ini, negara dalam keadaan yang tidak normal. Dalam keadaan yang tidak normal tersebut jangan berhadap statistik ekonomi menjadi bagus. Sehingga menghadapi keadaan yang tidak normal tersebut juga harus diselesaikan dengan cara yang tidak normal. Pihak yang paling terdampak oleh pandemi Covid-19 adalah pekerja harian/pekerja lepas (informal) yang pemenuhan biaya hidupnya ditentukan oleh aktivitas harian. Jika tidak keluar maka mereka tidak dapat makan. Pihak yang terdampak selanjutnya adalah para pelaku UMKM dan kelompok kelas menengah. Kehadiran negara dibutuhkan baik oleh rakyat jelata, pelaku UMKM, masyarakat kelas menengah, maupun masyarakat kelas atas sehingga negara tidak boleh membeda-bedakan. Aktivitas sektor produksi yang menjadi berhenti mengakibatkan permintaan menjadi terbatas. Pemerintah harus memanfaatkan ruang ketatanegaraan yang tersedia untuk mengatasi situasi ini karena UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara mempunyai keterbatasan. Untuk memulihkan perekonomian akibat Covid-19, Pemerintah perlu dana untuk membiayai program- program pemerintah. Satu-satunya cara Pemerintah harus berhutang jika SAL dan dana lainnya tidak mencukupi. Hutang bukan tujuan, tetapi hanya sebagai cara agar dapat keluar dari masalah ini. Negara lain juga menggunakan cara yang sama. Anggaran yang disediakan Pemerintah untuk menangani pandemi Covid-19 sebesar 405 Triliun atau sekitar 2,75% dari PDB. Hal yang utama bukan negara berhutang tetapi hutang tersebut dimanfaatkan seperti menolong rakyat jelata.” p. Keberadaan Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 dimaksudkan untuk memberikan confidence bagi pihak yang dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya sesuai Lampiran UU 2/2020 telah didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal ini sejalan dengan prinsip hukum imunitas terbatas bagi negara dan/atau perwakilannya, bukan imunitas absolut sehingga melanggar asas keadilan dan kesamaan dalam hukum dan pemerintahan sebagaimana pemahaman Para Pemohon. Dari perspektif teori imunitas, perlindungan hukum yang diberikan dalam Pasal 27 ayat (2) termasuk kategori imunitas terbatas. Teori imunitas terbatas ini memberikan perlindungan/imunitas kepada negara dan perwakilannya terhadap upaya hukum pihak lain baik secara pidana ataupun perdata, sepanjang tindakan yang dilakukan memenuhi syarat dalam hal ini harus beriktikad baik dan menjalankan kewenangan serta kebijakannya sesuai peraturan perundang-undangan. Secara a contrario , imunitas tersebut gugur apabila perbuatan yang 87 dilakukan didasarkan atau terdapat niat jahat ( mens rea ) dan perbuatannya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Sampai dengan saat ini sudah ada UU lain yang mengatur perlindungan hukum kepada otoritas yang berwenang dalam pengambilan kebijakan, contohnya: ● Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan. Dalam Pasal 48 ayat (1) UU disebutkan bahwa kecuali terdapat unsur penyalahgunaan wewenang, anggota KSSK dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, BI, OJK dan LPS tidak dapat dituntut, baik secara perdata maupun pidana atas pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang berdasarkan Undang-Undang PPSK. Hal ini untuk melindungi secara hukum kebijakan yang diambil dalam kondisi krisis yang tentu saja tidak bias disamakan dengan kondisi normal. ● Pasal 22 UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak menyebutkan bahwa Menteri, Wakil Menteri, pegawai Kementerian Keuangan, dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengampunan Pajak, tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut, baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Adapun itikad baik dijelaskan apabila dalam melaksanakan tugasnya tidak untuk mencari keuntungan bagi diri sendiri, keluarga, kelompok, dan/atau tindakan lain yang berindikasi korupsi, kolusi, dan/atau nepotisme. ● UU Bank Indonesia disebutkan dalam Pasal 45 yang berbunyi “Gubernur, Deputi Gubernur, dan/atau pejabat Bank Indonesia tidak dapat dihukum karena telah mengambil keputusan atau kebijakan yang sejalan dengan tugas dan wewenangnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini sepanjang dilakukan dengan iktikad baik”. ● UU Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman dalam Pasal 10 menyatakan bahwa “Dalam rangka pelaksanaan tugas dan 88 wewenangnya, Ombudsman tidak dapat ditangkap, ditahan, diinterogasi, dituntut, atau digugat di muka pengadilan”. ● UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat dalam Pasal 16 menyatakan bahwa Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien dalam sidang pengadilan. ● UU MD3 Perlindungan hukum bagi anggota DPR disebutkan dalam Pasal 224 UU ayat (1) yaitu: Anggota DPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis di dalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPR. Oleh karena itu pengaturan dalam UU mengenai perlindungan hukum bagi pihak yang menjalankan UU bukanlah hal yang baru, dan dapat dibenarkan selama ada pengaturan mengenai batasan atau kriteria tertentu.
Dengan demikian, perlindungan hukum dalam ketentuan Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 diperlukan untuk memberikan kepastian hukum kepada para pengambil kebijakan bahwa tindakan dan keputusan yang diambil dengan iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan akan dilindungi oleh hukum. Dengan demikian tidak ada hak warga negara yang ditangguhkan dalam ketentuan Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020. Bahkan Pasal 49 UU PTUN telah memberikan imunitas atau perlindungan hukum dari sengketa di peradilan tata usaha negara atas tindakan dan/atau keputusan pejabat tata usaha negara yang dilakukan dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan Pasal 49 UU PTUN ini menjadi landasan untuk diadopsi dalam Pasal 27 ayat (3) UU 2/2020. Sebagaimana Majelis Hakim maklumi, ketentuan perlindungan hukum pernah beberapa kali dilakukan pengujian konstitusionalitasnya di Mahkamah Konstitusi (UU Advokat dan UU Pengampunan Pajak). Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi terdapat pertimbangan sebagai berikut: “ pihak-pihak yang disebut dalam ketentuan a quo memang sudah seharusnya tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, 89 dilakukan penyidikan, atau dituntut, baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada itikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” Sebagai best practices , standar internasional yang ditetapkan oleh lembaga keuangan internasional ( Financial Stability Board, Basel Committee on Banking Supervision , dan IMF) juga menetapkan adanya pengaturan perlindungan hukum bagi pengambil dan pelaksana kebijakan di bidang sektor keuangan.
Pandangan DPR terkait ketentuan UU yang dinyatakan tidak berlaku sepanjang keterkaitan dengan kebijakan keuangan negara untuk penanganan penyebaran Covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan berdasarkan Perppu sebagaimana dimaksud dalam UU a quo .
Bahwa pengaturan Pasal 28 lampiran UU 2/2020, telah sesuai dengan ketentuan Lampiran 137 UU 12/2011 yang mengatur bahwa pada umumnya Ketentuan Penutup memuat ketentuan mengenai:
penunjukan organ atau alat kelengkapan yang melaksanakan Peraturan Perundang-undangan;
nama singkat Peraturan Perundang-undangan;
status Peraturan Perundang-undangan yang sudah ada; dan
saat mulai berlaku Peraturan Perundang-undangan.
Bahwa memang benar bahwa sudah ada beberapa undang-undang yang mungkin dapat menjadi payung hukum penyelesaian masalah yang timbul akibat COVID-19. Hanya saja tidak pula dapat disalahkan, apabila dalam pandangan subjektif Presiden, undang-undang yang telah ada tersebut dianggap belum mampu menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi. Kondisi serupa juga pernah terjadi ketika Presiden menerbitkan beberapa Perppu yang lahir karena tidak memadainya Peraturan Peundang- undangan yang ada, yang kemudian menyimpangi/menyatakan tidak berlaku sebagian materi dari beberapa undang-undang misalnya Perppu Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan menyatakan beberapa ketentuan dalam UU tentang Perbankan dan Perpajakan tidak berlaku sepanjang berkaitan 90 dengan pelaksanaan akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan berdasarkan Perppu tersebut.
Bahwa dalam beberapa undang-undang yang ada tersebut memang telah mengatur berbagai dasar kebijakan keuangan negara materi muatan undang-undang yang sudah ada belum mengatur mengenai kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan untuk penanganan pandemi Covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Selain itu, beberapa ketentuan yang terdapat dalam undang- undang tersebut hanya dapat diberlakukan jika negara dalam keadaan normal, bukan dalam kegentingan/keadaan yang memaksa. Oleh karena itu, Pasal 28 lampiran UU 2/2020 ini tidak memberlakukan beberapa ketentuan dalam undang-undang tersebut sepanjang berkaitan dengan kebijakan keuangan negara untuk penanganan penyebaran Covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan berdasarkan UU 2/2020.
Bahwa tidak diberlakukannya ketentuan undang-undang yang disebutkan dalam Pasal 28 lampiran UU 2/2020 selama pemberlakuan UU 2/2020 dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaan peraturan perundang-undangan dan tidak terjadi disharmoni pengaturan karena adanya dua pengaturan yang berbeda yang mengatur hal yang sama.
Pandangan DPR terkait penyesuaian mandatory spending dana desa a. Bahwa terkait dengan permasalahan dana desa yang disampaikan oleh Para Pemohon Perkara 47, ketentuan Pasal 1 ayat (4) huruf b Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020 (PP 72/2020) tetap menetapkan adanya anggaran Transfer ke Daerah dan Dana Desa sebesar Rp763.925.645.050.000 (tujuh ratus enam puluh tiga triliun sembilan ratus dua puluh lima miliar enam ratus empat puluh lima juta lima puluh ribu rupiah), termasuk tambahan belanja untuk penanganan pandemi Covid-19 sebesar Rp5.000.000.000.000 (lima 91 triliun rupiah). Ketentuan Pasal 3 ayat (4) PP 72/2020 menyatakan bahwa rincian anggaran transfer ke daerah dan dana desa tersebut tercantum dalam Lampiran VI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari PP 72/2020. Dalam Lampiran VI.15 mengenai Rincian Dana Desa Menurut Provinsi/Kabupaten/Kota Tahun Anggaran 2020 menyatakan bahwa seluruh daerah kabupaten Para Pemohon Perkara 47 tetap mendapatkan alokasi dana desa. Berdasarkan ketentuan tersebut maka kekhawatiran Para Pemohon Perkara 47 tidak beralasan menurut hukum karena ketentuan Pasal a quo tidak menyebabkan dana desa dihentikan dan desa Para Pemohon tetap mendapatkan alokasi dari anggaran belanja negara.
Bahwa alokasi dari APBN merupakan salah satu sumber pendapatan desa. Berdasarkan ketentuan Pasal 72 ayat (1) UU Desa pendapatan desa bersumber dari pendapatan asli desa, alokasi APBN, bagian dari hasil pajak daerah dan retribusi daerah kabupaten/kota, alokasi dana desa yang merupakan bagian dari dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota, bantuan keuangan dari APBD Provinsi dan APBD Kabupaten/Kota, hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga, dan lain-lain pendapatan desa yang sah. Dengan banyak sumber pendapatan desa tersebut, maka Para Pemohon tidak hanya mengandalkan APBN dan memaksimalkan sumber-sumber pendapatan desa lainnya. Dengan upaya yang maksimal tersebut maka pembangunan yang sudah dicanangkan oleh para Pemohon dan perangkat desa dalam musrenbangdes dan RPJM desa untuk kesejahteraan dan kemakmuran warga desa Para Pemohon tetap dapat terealisasikan.
Bahwa pemohon perkara 47 telah salah dalam mengartikan Pasal 28 angka 8 UU 2/2020, karena Dana Desa tidak dihentikan paska disahkannya UU 2/2020, hal ini tercantum dalam Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2020 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2020 (Permendes 7/2020), yang pada bagian menimbangnya menyatakan: “bahwa berdasarkan Undang–Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang–Undang Nomor 92 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disesase 2019 (COVID-19) dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan menjadi Undang–Undang, penggunaan Dana Desa dapat digunakan untuk bantuan langsung tunai kepada miskin di Desa” Pada Pasal 8A ayat (1) Permendes 7/2020 disebutkan bahwa “Bencana Non-alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf d merupakan bencana yang terjadi sebagai akibat kejadian luar biasa berupa penyebaran penyakit yang mengancam dan/atau menimpa warga _masyarakat secara luas atau skala besar, meliputi:
Pandemi Corona_ Virus Diseases 2019” dan pada Pasal 8A ayat (2) Permendes 7/2020 disebutkan bahwa “Penanganan dampak Pandemi Corona Virus Diseases 2019 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat berupa BLT Dana Desa kepada keluarga miskin di Desa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang–undangan. d. Bahwa ketentuan Pasal 28 angka 8 Lampiran UU 2/2020 dimaksudkan untuk menyatakan tidak berlakunya ketentuan mandatory spending alokasi Dana Desa sebesar 10% dari belanja pemerintah pusat, sebagaimana yang disebutkan dalam Penjelasan Pasal 72 ayat (2) UU Desa. Ketidakberlakuan ketentuan mandatory spending dana desa bersifat temporer. Dengan adanya penyesuaian mandatory spending dana desa, Pemerintah dapat memiliki fleksibilitas dalam melakukan refocusing belanja untuk mencegah, menangani, dan memulihkan dampak pandemi Covid-19. Dengan adanya mandat ini maka untuk menjamin fleksibilitas penggunaan dana desa dalam rangka sepanjang masih terdapat kebutuhan untuk penanganan Covid-19 di daerah/desa maka Pasal 72 ayat (2) harus dinyatakan tidak berlaku sehingga tidak terdapat dualisme aturan. Penyesuaian mandatory spending Dana Desa tersebut dimaksudkan agar pelaksanaan program Pemerintah dapat dilakukan lebih efektif, efisien, dan tepat sasaran mengingat penyebaran dampak pandemi Covid-19 bersifat masif di seluruh wilayah Indonesia. Dengan demikian Dana Desa tidak dihentikan namun dialihkan dalam bentuk Bantuan Langsung Tunai dan program–program Dana Desa 93 dibuat skala prioritas yang bertujuan untuk kesejahteraan dan kemakmuran warga desa bukan untuk pembangunan infrastuktur saja. E. Keterangan Tambahan Terkait dengan pertanyaan Yang Mulia Hakim Mahkamah Konstitusi mengenai mekanisme pembahasan perppu untuk mencapai persetujuan atau pencabutan Perppu, DPR RI menerangkan sebagai berikut:
Bahwa sebagaimana disampaikan oleh Presiden yang diwakili oleh Menteri Keuangan, pembahasan penetapan Perppu menjadi Undang- Undang/pencabutan perppu Pasal 71 UU 12/2011 diatur: (1) Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dilaksanakan melalui mekanisme yang sama dengan pembahasan Rancangan Undang-Undang. (2) Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang dilaksanakan melalui mekanisme khusus yang dikecualikan dari mekanisme pembahasan Rancangan Undang-Undang. (3) Ketentuan mengenai mekanisme khusus sebagaimana dimaksud _pada ayat (2) dilaksanakan dengan tata cara sebagai berikut: _ a. Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang diajukan oleh DPR atau _Presiden; _ b. Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan sebagaimana dimaksud dalam huruf a diajukan pada saat Rapat Paripurna DPR tidak memberikan persetujuan atas Peraturan Pemerintah _Pengganti Undang-Undang yang diajukan oleh Presiden; dan _ c. Pengambilan keputusan persetujuan terhadap Rancangan Undang- Undang tentang Pencabutan sebagaimana dimaksud dalam huruf b dilaksanakan dalam Rapat Paripurna DPR yang sama dengan rapat paripurna penetapan tidak memberikan persetujuan atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut. 2. Bahwa berdasarkan ketentuan tersebut diatas, pembahasan suatu rancangan Undang-Undang dilakukan melalui 2 (dua) tingkat pembicaraan (vide Pasal 66 UU 12/2011) yang dilakukan oleh DPR bersama Presiden atau menteri yang ditugasi (vide Pasal 65 ayat (1) UU 12/2011) yang diuraikan lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 67 - Pasal 70 UU 12/2011).
Bahwa pembicaraan tingkat I dilakukan dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat Badan Legislasi, rapat Badan Anggaran, atau 94 rapat Panitia Khusus dengan kegiatan pengantar musyawarah, pembahasan daftar inventarisasi masalah, dan penyampaian pendapat mini.
Bahwa dalam pembahasan tingkat I tersebut Pemerintah selaku pihak yang mengajukan RUU Penetapan Perppu menjadi Undang-Undang dan juga pihak yang mengeluarkan Perppu tersebut harus menjelaskan kepada DPR RI dalam rapat pembahasan tingkat I yang pelaksanaannya telah dijelaskan oleh DPR RI dalam keterangan ini. Penjelasan tersebutlah yang menjadi pertimbangan DPR RI untuk menyetujui atau tidak menyetujui Perppu tersebut menjadi Undang-Undang.
Bahwa sebagaimana telah disampaikan, Berdasarkan Pasal 71 huruf d dan Pasal 249 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 (UU MD3) bahwa DPD ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. RUU Penetapan Perppu 1/2020 menjadi UU tidak memiliki pertautan dengan bidang yang mengharuskan keikutsertaan DPD dalam pembahasannya melainkan mengenai DPR memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan, sehingga DPD tidak memiliki kewenangan untuk ikut membahas RUU tersebut.
Bahwa hal ini juga telah jelas sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang mengatur bahwa Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan yang berikut. Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut. Dalam ketentuan tersebut, tidak diatur bahwa dalam hal penetapan Perppu menjadi Undang-Undang dapat atau bahkan harus mengikutsertakan DPD dalam pembahasannya. Sebaliknya, mengikutsertakan DPD justru menjadi suatu hal yang tidak sesuai dengan apa yang diatur dalam UUD NRI Tahun 1945, UU 12/2011 dan UU MD3. 95 Terkait dengan pertanyaan Yang Mulia Hakim Mahkamah Konstitusi mengenai penetapan Perppu bukan pada “masa sidang yang berikut”, DPR RI menerangkan sebagai berikut: Bahwa sejauh ini DPR belum pernah melakukan penetapan perppu yang dalam masa sidang yang sama atau bukan pada “masa sidang yang berikut”. Setelah dikeluarkannya Perppu 1/2020, Presiden juga telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang yang disahkan pada 4 Mei 2020 dan ditetapkan sebagai Undang-Undang melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang- Undang menjadi Undang-Undang yang disahkan dan diundangkan pada 11 Agustus 2020 pada masa sidang ketiga tahun 2020 yang terhitung pada 15 Juni 2020 hingga 13 Agustus 2020. Sehingga penetapan Perppu 1/2020 menjadi Undang-Undang adalah yang pertama kali dilakukan dengan tidak memenuhi ketentuan “masa sidang yang berikut” mengingat urgensi penetapannya yang harus dilakukan dengan segera. Terkait dengan pertanyaan Yang Mulia Hakim Mahkamah Konstitusi mengenai pembahasan RAPBN 2021 yang kemudian disepakati dalam paripurna pada 29 September 2020, DPR RI menerangkan:
Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 13 ayat (1) UU Keuangan Negara, Pemerintah Pusat menyampaikan pokok-pokok kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro tahun anggaran berikutnya kepada Dewan Perwakilan Rakyat selambat-lambatnya pertengahan bulan Mei tahun berjalan. Pasal 15 ayat (1) UU keuangan Negara mengatur bahwa Pemerintah Pusat mengajukan Rancangan Undang-undang tentang APBN, disertai nota keuangan dan dokumen-dokumen pendukungnya kepada Dewan Perwakilan Rakyat pada bulan Agustus tahun 96 sebelumnya. Dan pada ketentuan Pasal 15 ayat (4) dan ayat (6) UU keuangan Negara diatur Pengambilan keputusan oleh Dewan Perwakilan Rakyat mengenai Rancangan Undangundang tentang APBN dilakukan selambat-lambatnya 2 (dua) bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan dilaksanakan dan apabila DPR tidak menyetujui Rancangan Undang-undang tersebut, Pemerintah Pusat dapat melakukan pengeluaran setinggi-tingginya sebesar angka APBN tahun anggaran sebelumnya.
Bahwa penyampaian pokok-pokok kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro tahun anggaran tahun 2021 telah disampaikan oleh pemerintah dalam rapat paripurna DPR RI pada dalam rangkaian rapat paripurna tertanggal 12 Mei 2020, 14 Juli 2020, dan 14 Agustus 2020 (Lampiran II, Lampiran III dan Lampiran IV). Sebagai tambahan informasi, pada 25 September 2020, Kemenkeu selaku yang mewakili Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyepakati Rancangan Undang- Undang (RUU) Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2021 di Banggar dan Pemerintah bersama DPR telah menyetujui defisit anggaran sebesar 5,7% dari PDB pada Rapat Paripurna DPR tanggal 29 September 2020.
Pembahasan RUU APBN 2021 dilakukan di banggar yang pelaksanaannya disampaikan risalahnya (lampiran V, lampiran VI, lampiran VII) F. Risalah Pembahasan UU 2/2020 Risalah Pembahasan UU 2/2020 ini terlampir berbagai dokumen pendukung mengenai pembahasan UU 2/2020 sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Keterangan DPR ini. III. Petitum DPR Bahwa berdasarkan dalil-dalil tersebut di atas, DPR memohon agar kiranya Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Konstitusi memberikan amar putusan sebagai berikut:
Menyatakan bahwa Para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) sehingga permohonan a quo harus dinyatakan tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard ); 97 2. Menolak permohonan a quo untuk seluruhnya;
Menerima keterangan DPR RI secara keseluruhan;
Menyatakan bahwa proses pembentukan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134; Tambahan Lembaran Negara Republlik Indonesia Nomor 6516) telah sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan telah memenuhi ketentuan pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana yang diatur dalam Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 183, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6398);
Menyatakan Judul, Pasal 1 ayat (3); Pasal 1 ayat (5); Pasal 2; Pasal 3 ayat (2); Pasal 4 ayat (1) huruf a; Pasal 4 ayat (1) huruf d; Pasal 4 ayat (2); Pasal 5 ayat (1) huruf a; Pasal 5 ayat (1) huruf b; Pasal 6; Pasal 7; Pasal 9; Pasal 10 ayat (1); Pasal 10 ayat (2); Pasal 11 ayat (3); Pasal 12 ayat (1);
Uji Materi Pasal 2, Pasal 12 ayat (2), Pasal 27 dan Pasal 28 angka 3 dan 10 Lampiran UU Nomor 2 tahun 2020 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 ...
Pengujian Formil dan Materiil (Pasal 2 ayat (1), Pasal 6 ayat (12), Pasal 27 dan Pasal 28 Lampiran Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan ...
Relevan terhadap
Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang- undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat;
Rancangan anggaran undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah;
Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara yang diusulkan oleh Presiden, Pemerintah menjalankan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun yang lalu.
Bahwa sudah menjadi communis opinion doctorum , hakikat atau falsafah Keuangan Publik/Anggaran Negara adalah kedaulatan. Pandangan yang demikian di antaranya dikemukakan oleh Rene Stroum, ‘The constitutional right which a nation possesses to authotixe public revenue and expenditures does not originates from the fact that the members of the nation contribute the payments. This right is based on a loftier idea. The idea of sovereignty’ . Pandangan ini menerangkan bahwa kewenangan negara untuk menetapkan anggaran pendapatan dan belanja bukan semata-mata berangkat dari fakta bahwa masyarakat memiliki kontribusi dengan melakukan pembayaran pajak kepada negara, melainkan berangkat dari hal/idea yang lebih tinggi, yang disebut kedaulatan. Pandangan demikian juga diamini dan dirujuk oleh Prof. Arifin P. Soeria Atmadja, yang mengemukakan bahwa hakikat public revenue 29 and expenditure APBN adalah kedaulatan, bukan yang lain. Apabila yang berdaulat adalah raja, maka rajalah yang berhak sepenuhnya untuk menetapkan APBN, sebaliknya jika rakyat yang berdaulat, maka rakyatlah yang berhak menetapkan APBN;
Bahwa sejak negara Indonesia didirikan oleh para pendiri bangsa dan memiliki sebuah konstitusi, sejak itu pula kita mengakui bahwa yang berdaulat adalah rakyat, menurut Pasal (1) ayat (2) UUD 1945 sebelum amandemen. Hal ini bahkan semakin dipertegas dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 setelah amandemen yang menentukan ‘ Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar’. Ketentuan ini merupakan penegasan tentang kedaulatan rakyat dan sekaligus menjadi salah satu asas fundamental dalam hukum tata negara. Jika dalam lapangan politik kedaulatan rakyat sering didengungkan dengan adagium ‘ dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat’, maka dalam konteks anggaran negara, kedaulatan rakyat itu dapat juga didengungkan dengan adagium ‘dari mana sumber uang (pendapatan) dan untuk apa uang digunakan (belanja) harus dilakukan dengan persetujuan rakyat’;
Bahwa kedaulatan rakyat terhadap anggaran negara ini selengkapnya dirumuskan dalam Pasal 23 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, sebagaimana telah dikutip dalam uraian angka ‘4’ di atas. Dalam Pasal a quo, kedaulatan rakyat terhadap anggaran negara ini dikonstruksikan menjadi 3 (tiga) bentuk: Pertama, APBN harus ditetapkan dengan undang-undang, bukan jenis Peraturan Perundang-Undangan yang lain; Kedua, APBN harus mendapatkan persetujuan DPR; Kedua, Undang-Undang APBN bersifat periodik (ditetapkan setiap satu tahun);
Bahwa Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, huruf ‘a’ angka 2, dan huruf ‘a’ angka 3 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk menetapkan batas defisit dengan dua ketentuan: Pertama, membuka batasan defisit di atas 3% dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB) tanpa batas maksimal; dan , Kedua, pemberlakukan batas defisi di atas 3% dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB) sampai dengan tahun anggaran 2022;
Bahwa sekilas materi muatan dalam Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, huruf ‘a’ angka 2, dan huruf ‘a’ angka 3 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 tidak 30 mengatur tentang APBN secara langsung. Akan tetapi jika diselami lebih dalam, pengaturan yang demikian sejatinya telah menjangkau ‘jantungnya’ APBN, karena defisit itu sendiri merupakan selisih kurang dari akumulasi seluruh rencana Pendapatan ( revenue ) dan rencana Pengeluaran ( expenditure );
Bahwa pentingnya pos defisit tidak bisa dilepaskan dari perkembangan format postur Undang-Undang APBN, khususnya setelah pengalaman krisis di penghujung tahun 90-an. Sejak APBN Tahun Anggaran 2000, format postur APBN dari yang sebelumnya disusun dalam bentuk T-account diubah menjadi format I-account . Format ini diterapkan untuk menggantikan dan sekaligus sebagai kritik terhadap berbagai kelemahan dari format dan prinsip APBN pada masa Orde Baru. Sebagaimana diketahui, format postur APBN pada masa Orde Baru hanya terdiri dari ‘Rencana Penerimaan/Pendapatan’ dan ‘Rencana Pengeluaran/Belanja’, yang dalam penyusunannya menekankan prinsip ‘berimbang’. Dengan format dan prinsip demikian, penyusunan APBN diupayakan untuk menyeimbangkan antara pos penerimaan dan pos pengeluaran. Mengingat orientasi kebijakan Orde Baru yang menekankan pada konsep pembangunan ( developmentalism ), sering kali penerimaan dalam negeri tidak mencukupi pengeluaran negara/pengeluaran negara lebih besar dari seluruh penerimaan dalam negeri. Maka, dengan prinsip ‘berimbang’, selisih kurang antara penerimaan dan pengeluaran negara tersebut, kemudian dibuat berimbang (sama) melalui ‘pinjaman luar ngeri’. Artinya, prinsip ‘berimbang’ menjadi dasar bagi pemerintah untuk melakukan pinjaman luar negeri, dengan tujuan menyeimbangkan jumlah antara penerimaan dan pengeluaran;
Bahwa format dan prinsip yang demikian ternyata dalam sejarah APBN di Indonesia, justru menjadi sumber rentannya APBN terhadap terpaan krisis, khususnya pengalaman krisis ekonomi Indonesia di penghujung kekuasaan Orde Baru. Hal ini dikarenakan format dan prinsip APBN tersebut mengandalkan penerimaan pembangunan yang berasal dari luar negeri. Konsekuensi yang terjadi pada APBN adalah meleburnya pinjaman yang digunakan untuk menutup defisit dalam pos penerimaan, sehingga menjadi tidak jelas, mana sumber daya dan dana yang serta-merta menjadi hak milik negara dan mana sumber dana yang harus dikembalikan. Yang dapat 31 diketahui dari format dan prinsip APBN yang demikian, adalah setiap tahun APBN harus mengeluarkan sejumlah dana untuk membayar cicilan utang luar negeri, baik pokok pinjaman maupun bunganya;
Bahwa pengalaman APBN dengan format dan prinsip pada masa Orde Baru, mendorong format/postur APBN kemudian diubah, tepatnya dalam RAPBN tahun anggaran 2000/2001, dari yang sebelumnya menggunakan format T- account menjadi format I-account . Dengan format I-account , postur APBN mengalami pengelompokkan kembali (reklasifikasi) pos-pos pendapatan dan belanja, termasuk pemisahan secara tegas terhadap beberapa komponen pembiayaan anggaran yang selama ini dimasukan kedalam pos-pos pendapatan dan belanja negara. Maka jika dalam format postur APBN masa Orde Baru APBN hanya terdiri dari pos ‘penerimaan’ dan ‘pengeluaran, maka format postur APBN yang terbaru terdiri atas:
Pendapatan;
Belanja;
Keseimbangan Primer;
Surplu/Defisit Anggaran; dan , (5) Pembiayaan;
Bahwa format I-account menjadikan APBN berbasis kinerja, yang konsekuensinya adalah anggaran dapat disusun secara defisit atau surplus, bukan disusun untuk mencapai keseimbangan antara penerimaan dan pengeluaran sebagaimana dalam format T-account . Dengan format yang baru, dimaksudkan untuk meningkatkan akuntabilitas, efisiensi, dan transparansi dalam penyusunan dan pelaksanaan APBN. Hal ini menjadi demikian penting, terutama ketika APBN disusun secara defisit. Pos defisit/surplus menceminkan selisih antara akumulasi pendapatan dan belanja. Manakala dalam penyusunan APBN total pendapatan lebih besar dari pada total pos belanja, maka yang terjadi adalah surplus anggaran. Sebaliknya, jika dalam penyusunan APBN total pos pendapatan lebih kecil dari pada total pos belanja, maka yang terjadi adalah anggaran defisit. Ketika anggaran defisit, maka disinilah fungsi pos pembiayaan untuk menutup defisit anggaran tersebut;
Bahwa pos defisit dalam APBN memiliki posisi yang penting, sebagai alat untuk mengendalikan agar selisih kurang antara total pendapatan dan belanja tidak terlalu besar. Untuk menghindari telalu besarnya selisih kurang antara total pendapatan dan belanja, maka ditentukan bahwa batas maksimal defisit adalah 3% terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Hal ini sebagaimana ditentukan dalam penjelasan Pasal 12 ayat (3) Undang- 32 Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara: “Defisit anggaran dimaksud dibatasi maksimal 3% dari Produk Domestik Bruto. Jumlah pinjaman dibatasi maksimal 60% dari Produk Domestik Bruto.” __ Artinya, walaupun Pemerintah dimungkinkan untuk menyusun anggaran secara defisit, akan tetapi besaran defisit tersebut tidak bisa dibuat terlalu besar, tetapi ada batasannya, yakni maksimal 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Batasan ini ditentukan agar pos pembiayaan yang akan digunakan dalam menutupi defisit juga tidak semakin membesar, baik yang bersumber dari dalam negeri maupun luar negeri;
Bahwa uraian di atas menunjukkan pos defisit yang dibatasi maksimal 3% PDB, sejatinya memiliki posisi yang sama penting dengan pos pendapatan dan pos belanja dalam APBN dengan format I-account . Kedaulatan rakyat terhadap anggaran Negara memiliki nilai yang sama dalam seluruh pos APBN, baik dalam Pos Pendapatan, Pos Belanja, Pos Keseimbangan Primer, Pos Surplu/Defisit Anggaran, dan Pos Pembiayaan. Dalam UU APBN dengan format I-account , pos defisit memiliki posisi yang sangat penting karena beberapa alas an: Pertama, pos defisit mencerminkan selisih kurang antara total seluruh pendapatan dan total seluruh belanja belanja. Sehingga, setiap perubahan pada pos defisit secara langsung seluruh pos dalam APBN, baik Pendapatan, Belanja, Keseimbangan Primer, pos defisit itu sendiri, termasuk pos pembiayaan; Kedua, pos defisit menjadi alat kendali agar selisih kurang antara total seluruh pendapatan dan total seluruh belanja tidak terlalu besar. Apabila selisih kurang antara total seluruh pendapatan dan total seluruh belanja tidak terlalu besar, maka pos pembiayaan juga tidak akan membengkak, terutama pembiayaan terutama yang berasal dari luar negeri. yang dikemudian hari akan menjadi beban bagi APBN di tahun-tahun selanjutnya;
Bahwa berdasarkan alasan tentang pentingnya posisi pos defisit dalam sebuah UU APBN dalam format I-account , maka menjadi jelas bahwa norma dalam Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, huruf ‘a’ angka 2, dan huruf ‘a’ angka 3 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020, telah melegitimasi sebuah Perppu untuk mengatur materi muatan APBN yang seharusnya diatur dalam sebuah Undang-Undang, sebagaimana amanat Pasal 23 ayat (1) UUD 1945; 33 16. Dibukanya keran defisit di atas 3% dalam Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, huruf ‘a’ angka 2, dan huruf ‘a’ angka 3 PERPPU Nomor 1 Tahun 2020, akan berimplikasi pada berubahnya hampir seluruh Pos dalam Undang-Undang APBN Tahun Anggaran 2020, terutama Pos Belanja, Pos Keseimbangan Primer, Pos Defisit itu sendiri, dan yang terpenting adalah Pos Pembiayaan. Terlebih ketentuan tentang batas defisit ini tidak hanya mengingat UU APBN Tahun Anggaran 2020, melainkan menjangkau UU APBN Tahun Anggaran 2021 dan UU APBN Tahun Anggaran 2022;
Bahwa terhadap UU APBN Tahun Anggaran 2021 dan UU APBN Tahun Anggaran 2022, walaupun produk hukumnya belum ditetapkan, akan tetapi berdasarkan Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, huruf ‘a’ angka 2, dan huruf ‘a’ angka 3 UU Nomor 2 Tahun 2020, maka dapat dipastikan bahwa seluruh Pos dalam APBN Tahun Anggaran dua tahun kedepan dengan sendirinya terikat pada ketentuan tentang batasan defisit di atas 3% yang tanpa batas maksimal itu;
Bahwa hal ini secara terang menjelaskan bahwa norma dalam Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, huruf ‘a’ angka 2, dan huruf ‘a’ angka 3 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 secara langsung telah menyusup masuk kedalam materi muatan Undang-Undang APBN, setidaknya untuk 3 (tiga) Tahun Anggaran, dan karenanya adalah jells dan nyata bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 yang mengharuskan APBN ditetapkan dalam sebuah Undang-Undang, bukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
Bahwa disamping APBN harus ditetapkan dalam sebuah Undang-Undang dan bukan PERPPU yang kemudian disahkan menjadi Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020, APBN menurut Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 harus mendapatkan persetujuan DPR, sebagai bentuk kedaualatan rakyat terhadap setiap rupiah yang ada dalam APBN. Persetujuan DPR bersifat mutlak dan tidak bisa dikesampingkan dengan alasan apapun;
Bahwa demikian pentingnya persetujuan DPR, disebabkan hak anggaran ( budget ) itu sendiri merupakan milik DPR. Itulah sebabnya, dalam penyusunan UU APBN, posisi DPR adalah lebih kuat dan lebih menentukan dari pada Pemerintah. Lebih kuatnya posisi DPR, bahkan ditegaskan dalam Pasal 23 ayat (3) UUD 1945, bahwa apabila DPR tidak menyetujuan Ranncangan Undang-Undang tentang APBN yang diajukan oleh Pemerintah, 34 maka Pemerintah tidak punya pilihan lain, selain menggunakan UU APBN tahun sebelumnya. Hal ini merupakan konsekuensi dari prinsip kedaulatan rakyat yang sejak awal telah ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945;
Bahwa dalam ilmu hukum tata negara, persetujuan DPR terhadap UU APBN merupakan sebuah otorisasi (kuasa) yang diberikan kepada pemerintah untuk melakukan pembelanjaan sejumlah uang yang ditentukan dalam UU APBN, serta mencari pendapatan untuk melakukan belanja tersebut. Persetujuan DPR sebagai sebuah otorisasi (kuasa) juga dikemukakan oleh Molenaar, bahwa sebagian besar sarjana hukum di Perancis dan Jerman mengatakan bahwa peretujuan DPR adalah kuasa. Dalam sejarah ketatanegaraan RI, ada keterangan rsmi dari pemerintah yang menyatakan bahwa persetujuan DPR dianggap sebagai ‘kuasa’;
Persetujuan DPR terhadap UU APBN merupakan sebuah otorisasi (kuasa) menurut Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, perlu didudukan dalam kaitannya dengan pelaksanaan APBN. Dalam hal ini dipahami bahwa sebagai sebuah otorisasi (kuasa), maka pemerintah memiliki kewajiban untuk memberikan pertanggungjawaban terhadap pelaksanaan UU APBN itu sendiri;
Bahwa norma dalam Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, huruf ‘a’ angka 2, dan huruf ‘a’ angka 3 Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 telah menjadikan Persetujuan DPR yang menurut Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 bersifat mutlak , berubah menjadi bersifat relatif . Hal ini disebabkan beberapa alasan:
Pasal 2 ayat (1) Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 dirumuskan dengan menggunakan frasa ‘Dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), Pemerintah berwenang’ . Digunakannya frasa ‘pemerintah berwenang’, bermakna bahwa kekuasaan untuk menetapkan batasan defisit anggaran sebagai salah satu pos anggaran yang esensial dalam sisitem APBN dengan format I-account , telah diambil alih menjadi kewenangan eksekutif. Hal ini secara jelas telah mengambil hak mutlak milik DPR oleh cabang kekuasaan eksekutif;
Terhadap UU APBN Tahun Anggaran 2020. Bahwa UU APBN TA 2020 yang telah ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2019 35 tentang Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020 dan telah disetujui oleh DPR justru dimentahkan. Sebagaimana telah dikemukakan pada point ‘17’ alasan permohonan, bahwa dibukanya batas defisit di atas 3% berdasarkan Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, huruf ‘a’ angka 2, dan huruf ‘a’ angka 3 Lampiran UU No. 2 Tahun 2020, akan berimplikasi pada berubahnya hampir seluruh Pos dalam Undang- Undang APBN Tahun Anggaran 2020, terutama Pos Belanja, Pos Keseimbangan Primer, Pos Defisit itu sendiri, dan Pos Pembiayaan. Artinya, dengan berlakunya Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, huruf ‘a’ angka 2, dan huruf ‘a’ angka 3 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020, secara terang dan jelas bertentangan dengan Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3), karena telah merubah arti penting persetujuan DPR terhadap UU APBN yang bersifat ‘mutak’ menjadi bersifat ‘relatif’;
Terhadap UU APBN Tahun Anggaran 2021 dan UU APBN Tahun Anggaran 2022. Sebagaimana diketahui, bahwa kedua UU APBN Anggaran 2021 dan 2022 belum ada prodak hukumnya. Akan tetapi berdasarkan Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, huruf ‘a’ angka 2, dan huruf ‘a’ angka 3 UU Nomor 2 Tahun 2020, kedua UU APBN yang masih berstatus ius constituendum , dalam penyusunannya dikemudian hari akan terikat pada norma Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, huruf ‘a’ angka 2, dan huruf ‘a’ angka 3 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020, yang secara langsung mempengaruhi seluruh pos anggaran pada APBN. Dengan demikian, persetujuan DPR yang dimaksudkan bersifat ‘mutlak’ menurut Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, jelas dilanggar dan dicederai oleh Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, huruf ‘a’ angka 2, dan huruf ‘a’ angka 3 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020.
Bahwa seluruh uraian di atas secara terang dan jelas menunjukkan bahwa norma dalam Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, huruf ‘a’ angka 2, dan huruf ‘a’ angka 3 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 adalah bertentangan dengan Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, dan karenanya adalah beralasan hukum untuk dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi;
Bahwa disamping harus ditetapkan dengan sebuah Undang-Undang dan mendaptakan persetujuan DPR, berdasarkan Pasal 23 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945 meneguhkan bahwa UU APBN memiliki karakter atau 36 ‘periodik’, sebuah hal yang membedakannya dengan undang-undang lain pada umumnya. Dalam kaitanya dengan hal tersebut, Goedhart mendefiniskan anggaran negara sebagai; ‘keseluruhan undang-undang yang ditetapkan secara periodik, yang memberikan kekuasaan eksekutif untuk melaksanakan pengeluaran mengenai periode tertentu dan menunjukkan alat pembiayaan yang diperlukan untuk menutup pengeluaran tersebut’. Pandangan Goedhart di atas, menegaskan bahwa unsur periodik merupakan unsur yang terdapat pada seluruh anggaran Negara;
Bahwa unsur periodik dimaksud terkandung dalam keseluruhan Pasal 23 ayat (1), (2), dan ayat (3) UUD 1945. Dalam ayat (1) ditentukan bahwa APBN ditetapkan setiap tahun (periodik) dengan undang-undang, artinya ada sifat periodik. Selanjutnya dalam ayat (2) dan ayat (3) secara berturut-turut menentukan bahwa UU APBN harus mendapatkan persetujuan DPR, dan apabila terjadi kondisi di mana DPR tidak menyetujui UU APBN, maka pemerintah harus menggunakan UU APBN tahun sebelumnya. Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 ini semakin meneguhkan unsur ‘periodi’ dalam UU APBN, dimana ada masa berlaku APBN setiap satu tahun;
Bahwa norma dalam Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, huruf ‘a’ angka 2, dan huruf ‘a’ angka 3 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 secara jelas menggugurkan karakter periodik dari UU APBN yang diamanatkan oleh Pasal 23 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945. Hal ini dikarenakan dibukanya batasan defisit di atas 3% terhadap PDB, dalam Pasal a quo , adalah diberlakukan terhadap 3 (tiga) tahun anggaran sekaligus, artinya mengikat dan menjangkau tiga Undang-Undang APBN sekaligus. Hal yang demikian jelas menihilkan arti penting unsur periodik Undang-Undang APBN yang harus ditetapkan setiap satu tahun;
Bahwa berasarkan uraian di atas, adalah jelas bahwa norma dalam Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, huruf ‘a’ angka 2, dan huruf ‘a’ angka 3 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 adalah bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945 karena3 (tiga) alasan utama yang telah diuraikan sebelumnya, yakni: Pertama, APBN harus ditetapkan dalam jenis peraturan perundang-undangn yang bernama undang-undang, bukan yang lain, termasuk bukan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; Kedua, Undang-Undang APBN harus mendapatkan persetujuan DPR, dan 37 persetujuan DPR bersifat mutlak sebagai pengenjawantahan kedaulatan rakyat terhadap anggaran negara; dan , ketiga, Undang-Undang APBN memiliki unsur periodik, yakni harus ditetapkan setiap satu tahun;
Bahwa mengacu pada tiga kriteria dari Undang-Undang APBN sebagai amanat Pasal 23 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945 ini, maka menjadi jelas dan terang bahwa pemberian kewenangan bagi pemerintah untuk menetapkan batas defisit anggaran di atas 3% terhadap PDB berdasarkan;
Bahwa disamping bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945, Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, huruf ‘a’ angka 2, dan huruf ‘a’ angka 3 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 berkenaan dengan Kebijakan Keuangan Negara tidak memiliki urgensi dan alasan hukum yang kuat, karena Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara telah mengatur mekanisme pelaksanan APBN dalam keadaan tidak normal atau darurat, tanpa perlu mengeluarkan PERPPU yang memang sama sekali tidak dikenal dalam rezim penyusunan Anggaran Negara/Keuangan Publik yang kemudian dikebut untuk disetujui menjadi UU Nomor 2 Tahun 2020. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang menentukan:
Penyesuaian APBN dengan perkembangan dan/atau perubahan keadaan dibahas bersama DPR dengan Pemerintah Pusat dalam rangka penyusunan prakiraan perubahan atas APBN tahun anggaran yang bersangkutan apabila terjadi:
Perkembangan ekonomi makro yang tidak sesuai dengan asusmsi yang digunakan dalam APBN;
Perubahan pokok-pokok kebijakan fiskal;
Keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran antar unit, organisasi, antar kegiatan, dan antar jenis belanjan;
Keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya harus digunakan untuk pembiayaan anggaran yang berjalan;
Dalam keadaan darurat Pemerintah dapat melakukan pengeluaran yang belum tersedia anggarannya, yang selanjutnya diusulkan dalam rencana perubahan APBN dan/atau disampaikan dalam Laporan Realisasi Anggaran; 38 31. Bahwa berdasarkan ketentuan di atas, rezim perundang-undangan di bidang Keuangan Negara telah menyediakan 2 (dua) mekanisme luar biasa dalam pelaksanaan APBN dengan tetap memperhatikan prinsip kedaulatan rakyat yang menjadi esensi Anggaran Negara/Keuangan Publik. Mekanisme atau skema tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, adalah melalui skema Undang-Undang APBNP (Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Perubahan) manakala terjadi keadaan sebagaimana disebutkan dalam huruf ‘a’ sampai dengan huruf ‘d’ Pasal 27 ayat (3) UU Keuangan Negara. Skema ini memberikan jalan bagi Pemerintah untuk melakukan Perubahan UU APBN dalam periode yang sama, denga ketentuan bahwa setiap perubahan harus terlebidahulu mendapatkan Persetujuan DPR sebelum dilaksanakan, artinya pemerintah diberikan peluang untuk melakukan perubahan dalam tahun anggaran berjalan, tanpa mengesampingkan kedaulatan sebagai esensi anggaran negara yang diamanatkan oleh Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, dan sifat periodik (setiap tahun) UU APBN yang diatur dalam Pasal 23 ayat (1) UUD 1945; Kedua, adalah skema yang digunakan dalam keadaan darurat. Dalam skema ini Pemerintah dalam melakukan pergeseran anggaran, termasuk melakukan Belanja (Pengeluaran) untuk keperluan yang tidak ada pagu anggarannya dalam UU APBN periode yang sedang berjalan. Belanja (Pengeluaran) dalam skema darurat ini dapat dilakukan tanpa perlu mendapat persetujuan DPR terlebih dahulu, dengan ketentuan dipersyaratkan adanya keadaan darurat yang mengancam keselamatan jiwa atau keutuhan negara, seperti darurat kesehatan akibat virus Covid-19 yang saat ini dihadapi Indonesia. Persetujuan DPR dapat dimintakan setelah realisasi anggaran dilakukan, untuk kemudian dituangkan dalam UU APBN Perubahan dan/atau dilaporkan dalam Laporan Realisasi Anggaran.
Kedua skema Pelaksanaan APBN dalam UU Keuangan Negara ini sejatinya dapat menjadi pilihan pemerintah dalam menghadapi kemungkinan permasalahan perekonomian sebagai akibat dari wabah virus Covid-19. Terlebih berbagai kebijakan keuangan negara yang diatur dalam Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 seperti pergeseran anggaran antar unit, antar organisasi, antar kegiatan, dan antar jenis belanja, serta penggunaan saldo 39 anggaran lebih tahun sebelumnya untuk pembiayaan anggaran yang berjalan, telah diakomodasi oleh UU Keuangan Negara;
Satu-satunya yang tidak diakomodir dalam skema ini adalah tentang membuka kemungkinan defisit yang tinggi. Hal ini patut dicurigai sebagai agenda politik anggaran yang disusupkan, agar Pemerintah mendapatkan legitimasi hukum untuk berakrobat dalam menyusun anggaran negara sampai 3 tahun kedepan, khususnya sebagai legitimasi untuk menambah jumlah pinjaman luar negeri yang dianggap sebagai jalan paling rasional untuk melakukan pemulihan ekonomi pasca wabah Covid-19, dengan konsekuensi APBN kita dimasa yang akan datang semakin tergerus dan terbebani untuk melunasi pinjaman luar negeri Indonesia yang semakin membengkak. Terlebih dalam Pasal 27 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 memuat ketentuan yang seolah menciptakan pelindung atau imunitas bagi pelaksanaan Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 untuk kebal dari segala perbuatan melanggara hukum, dan tidak dapat dituntut, baik secara Perdata, Pidana, bahkan tidak bisa diperkarakan di PTUN;
Bahwa dari uraian poin sebelumnya menunjukan bahwa dari tiga hal tersebut tidak terpenuhi dengan keluarnya Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020. Sebab yang dibahas dalam Perppu itu adalah tentang masalah keuangan dan anggaran negara. Sementara Anggaran Negara sudah ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Undang-Undang APBN tidak boleh di Perppu, bukan hanya tidak boleh, tetapi haram, dan hanya boleh direvisi dengan melalui APBN Perubahan apalagi kemudian disahkan menjadi UU melalui UU Nomor 2 Tahun 2020. Sehingga alasan Covid-19 menjadi alasan kekosongan hukum karena tidak ada prosedur hukum, juga tidak terpenuhi. Hadirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan yang sangat jelas dan terang untuk dijadikan sebagai dasar hukum dalam mengambil kebijakan penanganan wabah covid-19. Alasan mendesak pun tidak terpenuhi dalam Perppu ini, sebab DPR masih bersidang dan belum memasuki masa reses, bahkan sampai hari ini masih membahas Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja dan pemindahan ibukota negara. Artinya Pemegang Kekuasaan pembentuk undang-undang masih berfungsi dalam menjalankan tugasnya; 40 35. Bahwa berdasarkan uraian di atas, maka disimpulkan bahwa ketentuan dalam Pasal 1 dan Pasal 2 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020, disamping secara terang dan jelas bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945. B.4. Pasal 6 ayat (12) Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 Bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945.
Bahwa Pasal 23A UUD 1945 menegaskan bahwa, “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang- undang”. Ketentuan dalam Pasal 23A UUD 1945 secara eksplisit dinyatakan secara tegas bahwa pengaturan tentang pajak dan pungutan-pungutan lain yang sifatnya memaksa dan digunakan untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang. Dengan demikian maka produk hokum yang digunakan untuk mengatur pajak dan pungutan-pungutan lain harus menggunakan undang-undang, dan tidak dalam bentuk lainnya.
Bahwa pajak yang sifatnya memaksa tidak bisa diatur dan ditentukan oleh satu lembaga negara saja, melainkan perlu melibatkan lembaga lainnya dalam hal ini adalah DPR dan DPD sebagai representasi dari rakyat. Bila pengaturan pajak yang sifatnya memaksa dan tidak melibatkan lembaga yang merepresentasikan rakyat, maka dapat dipastikan pungutan pajak tersebut bukan atas kehendak rakyat, melainkan lebih pada penggunaan kesewenangan pemerintah.
Bahwa setiap penetapan kebijakan pajak dan pungutan lainnya harus melibatkan DPR dan Pemerintah, serta DPD dalam pembahasannya, sedangkan dalam penetapan keputusan atas kebijakan tersebut, merupakan kewenangan DPR dan Pemerintah, dalam hal ini Presiden. Dengan demikian, kebijakan penetapan pajak dan pungutan lain tidak dibenarkan dalam bentuk selain undang-undang;
Bahwa dalam ketentuan Pasal 6 ayat (12) Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 menyatakan “Besarnya tarif, dasar pengenaan, dan tata cara penghitungan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan pajak transaksi elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (8) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah”. Ketentuan a quo mengatur mengenai pajak yaitu pajak penghasilan dalam hal besarnya tarif, dasar pengenaan, dan tata cara penghitunganya yang diatur dengan atau berdasarkan 41 Peraturan Pemerintah. Produk hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (12) Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 tentu menyalahi ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 23A UUD 1945, karena pengaturan mengenai pajak dan pungutan-pungutan lainnya dinyatakan secara tegas dalam Pasal 23A UUD 1945 harus menggunakan undang-undang yang disetujui oleh DPR, sedangkan di dalam pengaturan Pasal 6 ayat (12) Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 dinyatakan pengaturan pajak diatur dengan Peraturan Pemerintah. B.5.Pasal 6 ayat (12) Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 Bertentangan dengan Pasal 22D ayat (2) UUD 1945.
Bahwa ketentuan Pasal 22D ayat (2) UUD 1945 menentukan “Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama.” Dalam ketentuan Pasal 22D ayat (2) UUD 1945 tersebut diantaranya mengandung makna bahwa DPD diberikan hak dan/atau kewenangan memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak. __ 2. Bahwa dalam ketentuan Pasal 6 ayat (12) Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 yang mengatur perihal pajak ditentukan agar diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. Ketentuan a quo yang merumuskan kebijaan perihal pajak ditentukan agar diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah secara tersirat telah menghilangkan hak dan/atau kewenangan DPD dalam memberikan pertimbangan yang berkaitan dengan pajak.
Bahwa oleh karena DPD sebagai lembaga negara yang berfungsi sebagai pengakomodir aspirasi daerah dan/atau kepentingan daerah, maka dalam hal membahas suatu rancangan undang-undang dapat membawa aspirasi daerah dan/atau kepentingan daerah untuk dijadikan sebagai masukan dalam menyusun suatu rancangan undang-undang dengan cara mengikuti pembahasan suatu rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, 42 dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama.
Bahwa Pemohon I sampai dengan Pemohon LVII merupakan masyarakat yang juga berkepentingan untuk memajukan daerah mengharapkan agar setiap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan daerah, termasuk perihal pajak, pendidikan dan agama, __ DPD dapat menyuarakannya. Namun demikian ketentuan Pasal 6 ayat (12) Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 telah menutup DPD sebagai representasi dari kepentingan daerah untuk turutserta membahasnya, padahal secara tegas dinyatakan dalam Pasal 22D ayat (2) UUD 1945, DPD hal-hal yang diantaranya berkaitan dengan pajak. Dengan demikian, maka ketentuan Pasal 6 ayat (12) Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 tidak selaras dengan ketentuan Pasal 22D ayat (2) UUD 1945. __ B.6. Pasal 27 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 Bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 23, Pasal 23A, Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
Bahwa Pasal 27 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 pada pokoknya mengatur imunitas antara lain sebagai berikut (1) Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara.
Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perrrndang-undangan.
Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara.
Bahwa merujuk kepada Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa “Indonesia adalah negara hukum”. salah satu aspek makna negara hukum 43 adalah adanya pembatasan kekuasaan. Adanya pembatasan kekuasaan Negara dan organ-organ Negara dilakukan dengan cara menerapkan prinsip pembagian kekuasaan secara vertikal atau pemisahan kekuasaan secara horizontal. Sesuai dengan hukum besi kekuasaan, setiap kekuasaan pasti memiliki kecenderungan untuk berkembang menjadi sewenang-wenang, seperti dikemukakan oleh Lord Acton: “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely” . Karena itu, kekuasaan selalu harus dibatasi dengan cara memisah-misahkan kekuasaan ke dalam cabang-cabang yang bersifat ‘checks and balances’ dalam kedudukan yang sederajat dan saling mengimbangi dan mengendalikan satu sama lain. Pembatasan kekuasaan juga dilakukan dengan membagi-bagi kekuasaan ke dalam beberapa organ yang tersusun secara vertical. Dengan begitu, kekuasaan tidak tersentralisasi dan terkonsentrasi dalam satu organ atau satu tangan yang memungkinkan terjadinya kesewenang-wenangan.
Bahwa Pasal 27 pada pokoknya mengatur mengenai hak imunnitas. Hak imunitas atau yang dikenal sebagai Sovereign Immunity merupakan turunan dari asumsi kekuasaan klasik di era common law yaitu raja tidak dapat salah (King can do no wrong). Prinsip klasik ini sudah muncul sejak Raja Edward I, yang berbunyi bahwa The Crown of England has not been sueable unless it has specifically consented to suit . Prinsip ini bertentangan dengan maxim utama dalam negara hukum yaitu: no one, not even the government, is above the law . Konsep Imunitas sendiri bahkan menurut Erwin Chemerinsky dalam karyanya yang berjudul “Against Sovereign Immunity” (Stanford Law Review, Vol 53 No 1201, 2001) dinyatakan olehnya bukan merupakan prinsip yang sesuai dengan konstitusionalisme. Bahkan menurutnya, konsep imunitas harus dianggap bukan sebagai prinsip hukum. hal ini sesungguhnya bersesuaian dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, Pasal 27 dan Pasal 28D (1) UUD 1945 yang menentukan bahwa kedudukan setiap orang sama dihadapan hukum. berdasarkan communis opinio doctorum mengenai konsep immunitas yang tidak memiliki basis konstitusional yang jelas dan bertentangan dengan prinsip-prinsip konstitusionalisme maka Pasal 27 UU No. 2 Tahun 2020 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, Pasal 27 dan Pasal 28D (1) UUD 1945.
Bahwa Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 yang memungkinkan terjadinya potensi tindak pidana korupsi. Karena dalam pasal itu 44 disebutkan biaya yang dikeluarkan pemerintah selama penanganan pandemi Covid-19 termasuk di dalamnya kebijakan bidang perpajakan keuangan daerah dan pemulihan ekonomi nasional bukan merupakan kerugian negara. Ketentuan ini juga bertentangan dengan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang menyatakan: ‘Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.
000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)’. ayat (2) disebutkan ‘Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan’. Selanjutnya, dalam ayat (2) dijelaskan “yang dimaksud dengan ‘keadaan tertentu’ dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku , pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter. ” Ketentuan ini menunjukan bahwa tindak pidana korupsi dalam keadaan bahaya justru mengalami pemberatan bahkan hukuman mati, namun Pasal 27 Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 justru mengeyampingkan dan mengimunitaskan pejabat- pejabat tertentu.
Bahwa dalam upaya penagakkan hukum, terdapat maxim Lucius Calpurnius Piso Caesoninus (43 SM) yang nenyatakan bahwa “Fiat justitia ruat coelum” yang artinya tegakkan keadilan walaupun langit akan runtuh. Adagium tersebut dapat dimaknai bahwa dalam kondisi apapun hukum harus menjunjung tinggi kebenaran yang bernalar (orthos logos) dan keadilan, sehingga tidak ada kejadian atau kondisi apapun yang mentolerir ketidakadilan ada dalam rongga- rongga hukum. Ketentuan Pasal 27 Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 memuat suatu rumusan norma yang menjadikan penegakkan hukum tidaklah adil. Sebab di dalam ketentuan Pasal 27 Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 mengandung rumusan norma yang memberikan perlindungan bagi mereka yang berlaku tidak 45 adil atau melakukan sesuatu yang dapat merugikan bangsa dan Negara. Konstruksi yang demikian ini jelas Pasal 27 Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, Pasal 27 dan Pasal 28D (1) UUD 1945.
Bahwa apabila merujuk kepada pasal 23E ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan ”Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri”; selain itua apabila merujuk kepada Pasal 23E ayat (2) UUD 1945 yang menentukan “hasil pemeriksaan keuangan negara diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sesuai dengan kewenangannya” maka apabila merujuk kepada Pasal 27 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 menujukan bahwa Badan Pemeriksa Kekuangan (BPK) yang diberi amanat oleh UUD untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara tidak dapat melakukan melaksanakan pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara dan secara otomatis DPR tidak dapat mengawasi penggunaan anggaran tersebut. Oleh karena itu jelas Pasal 27 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 ini selain melahirkan kebijakan yang berpotensi merugikan negara juga berpotensi melahirkan kebijakan ekonomi yang otoriter, sehingga Pasal 27 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 bertentangan dengan Pasal 23E ayat (2) UUD 1945.
Bahwa Pasal 27 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 memiliki isi dan makna yang serupa dengan Pasal 29 Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan yang berbunyi “Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, dan/atau pihak yang melaksanakan tugas sesuai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini tidak dapat dihukum karena telah mengambil keputusan atau kebijakan yang sejalan dengan tugas dan wewenangnya sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini”. Pada saat yang sama Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan juga dianggap memberi wewenang di sangat luar batas kepada Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) dalam menetapkan status bank bermasalah dan penanganannya. KSSK hanya terdiri dari Menteri Keuangan sebagai ketua dan Gubernur BI sebagai anggota. Selain itu, kekuasaan yang sangat mutlak ada pada Menteri Keuangan. Karena kalau terjadi selisih pendapat antara Menteri 46 Keuangan sebagai ketua KSSK dengan anggota KSSK yang lain, maka Menteri Keuangan dapat menetapkan keputusan sendiri. Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan juga dianggap memberi wewenang absolut kepada KSSK untuk menghilangkan fungsi dan wewenang DPR terkait keuangan negara. Karena Menteri Keuangan dapat mengeluarkan uang negara atas nama krisis tanpa minta persetujuan DPR. Padahal kewenangan DPR itu telah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945. Akhirnya dari 10 fraksi yang mengikuti Rapat Paripurna Pada Desember 2008, hanya 4 fraksi yang menyetujui RUU JPSK jadi UU. Fraksi itu adalah Fraksi Demokrat, Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (FPPP), Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) dan Fraksi Partai Damai Sejahtera (FPDS). Sisanya, Fraksi Partai Golongkan Karya (F-Golkar), Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDIP), Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB), Fraksi Partai Amanat nasional (FPAN), Fraksi Bintang Pelopor Demokrasi (FBPD) dan Fraksi Bintang Reformasi (FBR), menolak RUU tersebut menjadi UU. Sekarang terbukti keputusan DPR ketika itu ternyata tepat. Dana pinjaman likuiditas yang diberikan kepada Bank Century ternyata bermasalah. Merugikan keuangan negara. Karena Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan tidak disahkan, maka tidak ada pihak yang kebal hukum. Beberapa pihak yang terlibat merugikan keuangan negara diproses secara hukum. Pengadilan menyatakan mereka bersalah, baik dari Bank Century maupun Bank Indonesia.
Bahwa sebagaimana terurai di atas bahwa pemberian hak imunitas sebagaimana dalam Pasal 29 Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan yang kemudian kembali diadopsi dalam Pasal 27 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 berpotensi terjadinya penyalahgunaan wewenang. Selain kasus century yang pernah terjadi, maka kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia pada masa krisis ekonomi tahun 1998 merupakan contoh kelam dari penyalahgunaan keadaan darurat. Ketika itu, Bank Indonesia dikuras untuk menyehatkan perbankan yang katanya mengalami rush tetapi kenyataannya cuma modus dari para pemilik bank untuk mendapatkan dana segar untuk menyelamatkan grup usahanya. Berdasarkan hal tersebut maka Konstruksi yang demikian ini jelas Pasal 27 Lampiran UU 47 Nomor 2 Tahun 2020 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, Pasal 27 dan Pasal 28D (1) UUD 1945.
Bahwa berdasarkan uraian di atas, maka disimpulkan bahwa ketentuan dalam Pasal 27 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, Pasal 27 dan Pasal 28D (1) UUD 1945. B.7. Pasal 28 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Bahwa Pasal 28 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 memuat ketentuan yang menyatakan tidak berlakunya 12 undang-undang sepanjang terkait dengan kebijakan yang ditentukan dalam UU Nomor 2 Tahun 2020 tersebut. Ke-12 undang-undang tersebut masih tetap ada dan berlaku, namun sebagian ketentuan pasal-pasal yang terdapat di dalamnya dinyatakan tidak berlaku sepanjang berkaitan dengan kebijakan keuangan negara untuk penanganan penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-I9) dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang ini. Artinya, dengan Perppu ini, ketentuan pasal-pasal yang tersebut dalam ke-12 undang-undang itu ditangguhkan atau dikesampingkan berlakunya untuk sementara waktu, hingga tujuan tercapai atau krisis Covid-9 dinyatakan sudah berakhir.
Bahwa 12 ketentuan itu antara lain:
ketentuan jangka waktu yang diatur dalam Pasal 11 ayat (21), Pasal 17b ayat (1), Pasal 25 ayat (3), Pasal 26 ayat (1), dan Pasal 36 ayat (1c) Undang- Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 32621 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 49991); 48 b. Pasal 55 ayat (4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Lndonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan undang-undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun l999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 49621;
Pasal 12 ayat (3) beserta penjelasannya, Pasal 15 ayat (5), Pasal 22 ayat (3), Pasal 23 ayat (1), Pasal 27 ayat (3), dan Pasal 28 ayat (3) dalam Undang- Undang Nomor 17 Thun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 4286);
Pasal 3 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355);
Pasal 22 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2004 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 44201 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 49631;
Pasal 27 ayat (1) beserta Penjelasannya, Pasal 36, Pasal 83, dan Pasal 107 ayat (2) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438;
Pasal 171 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063); 49 h. Pasal 72 ayat (2) beserta penjelasannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5495);
Pasal 316 dan Pasal 317 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679;
Pasal 177 huruf c angka 2, pasal 180 ayat (6), dan Pasal 182 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 181, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6396);
Pasal 20 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5872); dan
Pasal 11 ayat (22), Pasal 40, Pasal 42, dan Pasal 46 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2019 tentang Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 nomor 198, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 6410).
Bahwa apabila merujuk kepada pengenyampingan yang ke-12 yaitu penangguhan untuk UU APBN, maka ketentuan ini identik dengan perubahan anggaran, yang menyangkut kewenangan DPR untuk menyatakan setuju atau tidaknya. Presiden tidak boleh secara sepihak menentukan sendiri perubahan 50 anggaran itu, hanya karena ada keadaan kegentingan yang memaksa yang ditafsirkan sendiri secara sepihak oleh Presiden. Pasal 28 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 menyatakan menangguhkan berlakunya 11 undang-undang untuk sementara waktu keadaan darurat Covid-19, dan sekaligus mengubah 1 undang-undang, yaitu undang-undang tentang APBN Tahun Anggaran 2020. Ketentuan ini jelas bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), (2), dan ayat (3) UUD 1945.
Bahwa Pasal 28 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 jelas menerapkan prinsip metode Omnibus. Apabila merujuk kepada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU- VII/2009 tidak memenuhi tiga unsur dan khususnya unsur “Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai”; UU yang telah ada saat ini sudah mumpuni untuk menyelesaikan persoalan darurat yang dihadapi UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan, UU Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, dan UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Hal ini sesungguhnya sejalan dengan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Darurat Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 ( Covid-19 ). Maka apabila lahirnya Pasal 28 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 yang justru menentukan pengeyampingan (tidak berlakunya) UU tertentu, jelas bertentangan dengan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 juncto Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU- VII/2009.
Bahwa apabila merujuk kepada prinsip hukum Islam mengenai masalah batasan darurat yang memperbolehkan sesuatu yang diharamkan ini dikalangan para ulama ahli fiqh dan beberapa pendapat yang maknanya tidak jauh berbeda antara satu dan lainnya diantaranya sebagai berikut:
Menurut ulama dari mazhab Hanafi, makna darurat yang menyangkut rasa lapar ialah seandainya seseorang tidak mau mengkonsumsi barang yang diharamkan dikhawatirkan ia bisa meninggal dunia atau setidaknya ada anggota tubuh yang menjadi cacat. Seseorang yang dipaksa akan di bunuh atau dipotong salah satu anggota tubuhnya apabila ia tidak mau memakan atau meminum sesuatu yang diharamkan, itu berarti ia sedang dalam keadaan darurat yang memperbolehkan ia memakan bangkai, karena ia mengkhawatirkan nyawanya atau salah satu anggota tubuhnya. (Abdul 51 Rosyad Sidiq, Fiqh Darurat, Jakarta, Pustaka Azzam, 2001. hal. 31). Dan berdasarkan syariat ia berdosa kalau memang ia tahu bahwa hal itu sebenarnya bisa menggugurkan keharaman. Tetapi kalau memang ia tidak tahu bahwa hal itu merupakan keringanan baginya, ia masih bisa diharapkan tidak berdosa soalnya ia bermaksud menegakkan kebenaran syariat dengan cara tetap menjaga diri untuk tidak mau melanggar keharaman menurut anggapannya. Keharaman menjadi gugur kalau memang pemaksaannya disertai dengan ancaman yang berisiko sangat menyakitkan tetapi kalau ancamanannya tidak terlalu berat seperti hanya akan ditahan selama setahun atau dihukum dengan di ikat namun masih tetap diberi jatah makan dan minum itu berarti ia masih punya pilihan artinya ia tidak sedang dalam keadaan darurat. Firman Allah Swt dalam surat al-Baqarah: 173, Maka barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya serta tidak melampaui batas maka tiada dosa baginya. Melihat ayat di atas, tidak semua keterpaksaan itu membolehkan yang haram, namun keterpaksaan itu dibatasi dengan keterpaksaan yang benar-benar tiada jalan lain kecuali hanya melakukan itu dalam kondisi ini maka semua haram dapat diperbolehkan memakainya, misalkan seorang dihutan tiada makanan sama sekali kecuali ada babi hutan dan bila ia tidak makan menjadi mati, maka babi hutan itu boleh dimakan sebatas keperluannya.
Menurut ulama dari mazhab Maliki, darurat yang memperbolehkan mengkonsumsi sesuatu yang diharamkan ialah rasa takut akan keselamatan nyawa baik berdasarkan keyakinan atau sekedar dugaan namun ada juga yang berpendapat darurat ialah menjaga jiwa dari kematian atau dari bahaya yang sangat berat, menurut pendapat di atas hal itu tidak disyaratkan harus menunggu sampai benar-benar menjelang kematian, atau sudah dalam keadaan sakaratul maut , karena makan dalam keadaan seperti itu sudah tidak ada gunanya lagi.
Menurut ulama mazhab Syafi’i, sesungguhnya rasa lapar yang teramat sangat itu tidak cukup hanya di atasi dengan memakan bangkai dan sebagainya, seperti halnya ulama-ulama mazhab lain mereka semua sepakat tidak wajib harus menunggu sampai kematian itu sebentar lagi datang. Karena pada saat-saat kritis seperti itu tidak ada gunanya makan bahkan pada sampai batas seperti itu tidak dihalalkan makan karena ia memang tidak 52 ada gunanya. Mereka juga sepakat bahwa seseorang diperbolehkan makan kalau ia mengkhawatirkan dirinya bisa kelaparan, atau tidak kuat berjalan, atau kuat naik kendaraan atau terpisah dari rombongannya atau tersesat dan lain sebagainya, kalau sampai ia tidak makan kekhawatiran seseorang terhadap munculnya penyakit yang menakutkan adalah sama seperti kekhawatiran datangnya kematian, sekalipun ia merasa takut selama sakit.
Menurut para ulama dari mazhab Hambali, darurat yang memperbolehkan seseorang memakan sesuatu yang diharamkan adalah yang membuatnya merasa khawatir dan akan mati kalau sampai ia tidak memakannya. Sedangkan menurut Imam Ahmad, apabila seseorang hanya karena tidak mau makan barang yang haram merasa khawatir dirinya bisa kelaparan atau takut tidak kuat berjalan sehingga terpisah dari rombongannya atau tidak kuat naik kendaraan maka ia harus memakannya tanpa dibatasi waktu tertentu. (Abdul Rosyad Sidiq, Fiqh Darurat, Jakarta, Pustaka Azzam, 2001. hal.
Tiada keharaman bagi darurat dan tiada kemakmuran bagi kebutuhan . __ (Abdul Rosyad Sidiq, Fiqh Darurat, Jakarta, Pustaka Azzam, 2001. hal. 35). Apabila dua mafsadat bertentangan, maka perhatikan mana yang lebih besar madaratnya dengan memilih yang lebih ringan madaratnya . __ Dari pendapat di atas yang menerangkan tentang batasan atau kriteria darurat yang memperbolehkan seseorang memakan sesuatu yang haram mempunyai pengertian yang mirip. Jadi seperti yang dikatakan oleh Imam Hambali, dharurat ialahlah posisi seseorang yang sudah berada dalam batasan maksimal dan tidak ada alternatif lain jika ia tidak mau mengkonsumsi yang dilarang agama ia bisa mati atau hampir mati. (Muhlis Usman, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, Jakarta, Raja Grafindo Persada, cet. Ke-4, 2002, hal. 134). Atau dikhawatirkan salah satu anggota tubuhnya bisa celaka. Pada dasarnya hal itu karena sesuatu yang diharamkan itu tidak boleh dilakukan dan diterjang kecuali karena ada alasan darurat. Darurat itu pun punya standar sendiri apabila seseorang sampai pada batas yang apabila ia tidak mau mengkonsumsi sesuatu yang diharamkan oleh agama ia bisa mati atau hampir mati. Maka itu artinya ia sudah berada pada batas puncak darurat yang berarti ia boleh memakan sesuatu yang diharamkan. 53 Bahwa apabila merujuk lahirnya Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 khususnya berkenaan dengan lahirnya Pasal 28 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 yang mengeyampingkan 12 undang-undang sekaligus tidak memenuhi keadaan darurat karena diterbitkan melalui Perppu Nomor 1 Tahun 2020 sebelum kemudian disahkan menjadi UU Nomor 2 Tahun 2020. Terlepas dari telah berubahnya Perpu tersebut menjadi UU akan tetapi proses pembentukannya bukan UU yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 juncto Pasal 20 UUD 1945. Oleh sebab itu, adanya Pasal 28 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 justru seolah menyatakan tidak ada instrumen hukum sebagai tidak ada alternatif lain dan dalam kondisi maksimal. Padahal instrumen __ hukum yang ada UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan, UU Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, dan UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana serta Pasal 27 ayat (3) UU Nomor 17 Tahun 2003 telah mengakomodir segala kehendak yang dimaksud dalam UU Nomor 2 Tahun 2020.
Bahwa berdasarkan uraian di atas jelas telah Pasal 28 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 berpotensi melahirkan kekuasaan presiden berlebihan yang berpotensi berkembang menjadi kekuasaan absolut dan sewenang-wenang namun berlindung dari kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945. Potensi constitutional dictactorship dalam bentuknya yang negatif akan lebih muncul apabila bentuk pengabaian prinsip-prinsip negara hukum disampingkan dibandingkan merespon keadaan darurat kesehatan dengan mengunakan instrumen hukum yang telah ada yaitu UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan, UU Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, dan UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana serta Pasal 27 ayat (3) UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Bahwa berdasarkan uraian di atas, para Pemohon beranggapan pola constitutional dictactorship dapat dihindari apabila beranggapan Pasal 28 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 22 ayat (1) __ dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. PETITUM Berdasarkan uraian-uraian sebagaimana disebutkan di atas, izinkanlah para Pemohon meminta kepada yang mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang 54 memeriksa dan mengadili permohonan ini untuk memutuskan hal-hal sebagai berikut:
Mengabulkan Permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;
Menyatakan Pembentukan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang terhadap UUD 1945 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6516) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
Menyatakan Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1, huruf a angka 2, dan huruf a angka 3, Pasal 6 ayat (12), Pasal 27 dan Pasal 28 Lampiran Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional da/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang terhadap UUD 1945 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6516), bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya Atau Jika Majelis Hakim Konstitusi Republik Indonesia mempunyai keputusan lain, mohon putusan yang seadil-adilnya, ex aequo et bono. [2.2] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalilnya, Pemohon telah mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-70 sebagai berikut:
Bukti P-1 : Fotokopi KTP M. Sirajuddin Syamsuddin; 55 2. Bukti P-2 : Fotokopi KTP dan NPWP Prof. Dr. Sri Edi Swasono;
Bukti P-3 : Fotokopi KTP dan NPWP Prof. Dr. HM. Amien Rais, MA;
Bukti P-4 : Fotokopi KTP dan NPWP Marwan Batubara;
Bukti P-5 : Fotokopi KTP dan NPWP M. Hatta Taliwang;
Bukti P-6 : Fotokopi KTP dan NPWP Prof. Dr. Daniel M. Rosyid;
Bukti P-7 : Fotokopi KTP dan NPWP Dr. Syamsul Balda, SE., MM., MBA;
Bukti P-8 : Fotokopi KTP dan NPWP Dr. Abdullah Hehamahua;
Bukti P-9 : Fotokopi KTP dan NPWP Dr. H. MS. Kaban, SE., MSI;
Bukti P-10 : Fotokopi KTP dan NPWP Adhie M. Masardi;
Bukti P-11 : Fotokopi KTP dan NPWP Dr. Ahmad Redi, SH., MH;
Bukti P-12 : Fotokopi KTP dan NPWP Dr. Masri Sitanggang, IR., MP;
Bukti P-13 : Fotokopi KTP dan NPWP Ir. Sayuti Asyathri;
Bukti P-14 : Fotokopi KTP dan NPWP Roosalina Berlian;
Bukti P-15 : Fotokopi KTP dan NPWP Ir. Gunawan Adji MSC;
Bukti P-16 : Fotokopi KTP dan NPWP Djoko Edhi Soetjipto;
Bukti P-17 : Fotokopi KTP dan NPWP Ir. H. Ansufri Id Sambo;
Bukti P-18 : Fotokopi KTP dan NPWP Ir. Bambang Tri Puspito;
Bukti P-19 : Fotokopi KTP dan NPWP Slamet Ma’arif;
Bukti P-20 : Fotokopi KTP dan NPWP Dr. Imam Addaruqurni MA;
Bukti P-21 : Fotokopi KTP dan NPWP Agus Solachul Aam;
Bukti P-22 : Fotokopi KTP dan NPWP Auliya Khasanofa;
Bukti P-23 : Fotokopi KTP dan NPWP Abdurrahman Syebubakar;
Bukti P-24 : Fotokopi KTP dan NPWP M. Ramli Kamidin;
Bukti P-25 : Fotokopi KTP Darmayanto;
Bukti P-26 : Fotokopi KTP Indra Wardhana;
Bukti P-27 : Fotokopi KTP Agus Muhammad Mahsum;
Bukti P-28 : Fotokopi KTP Dr. Ma’mun Murod;
Bukti P-29 : Fotokopi KTP dan NPWP Ir. Indra Adil;
Bukti P-30 : Fotokopi KTP dan NPWP Muslim Arbi;
Bukti P-31 : Fotokopi KTP dan NPWP Taufan Maulamin;
Bukti P-32 : Fotokopi KTP Bambang Sutedjo;
Bukti P-33 : Fotokopi KTP dan NPWP Agung Mozin;
Bukti P-34 : Fotokopi KTP dan NPWP Nur Aini;
Bukti P-35 : Fotokopi KTP dan NPWP Edy Mulyadi;
Bukti P-36 : Fotokopi KTP Abdurrahman Tardjo SH; 56 37. Bukti P-37 : Fotokopi KTP dan NPWP Anhar Nasution SE;
Bukti P-38 : Fotokopi KTP dan NPWP Ir. Abdullah Sodik;
Bukti P-39 : Fotokopi KTP H. Moh Ismail;
Bukti P-40 : Fotokopi KTP dan NPWP Hersubeno Arief;
Bukti P-41 : Fotokopi KTP dan NPWP Ir. Irwansyah;
Bukti P-42 : Fotokopi KTP Furqan Jurdi;
Bukti P-43 : Fotokopi KTP dan NPWP Ibnu Tadji H. Nurwendo;
Bukti P-44 : Fotokopi KTP dan NPWP Kisman Latumakulita;
Bukti P-45 : Fotokopi KTP Djudju Purwantoro;
Bukti P-46 : Fotokopi KTP dan NPWP Burhanuddin;
Bukti P-47 : Fotokopi KTP dan NPWP Rina Triningsih;
Bukti P-48 : Fotokopi KTP Yogi Yogaswara;
Bukti P-49 : Fotokopi KTP Atum SH;
Bukti P-50 : Fotokopi KTP dan NPWP M. Mossadeq Nahri;
Bukti P-51 : Fotokopi KTP dan NPWP M. Asri Anas;
Bukti P-52 : Fotokopi KTP dan NPWP Rukminiwati;
Bukti P-53 : Fotokopi KTP dan NPWP Dr. Muh. Mu’inudinillah;
Bukti P-54 : Fotokopi KTP dan NPWP Ratna Ningsih Fatimah;
Bukti P-55 : Fotokopi KTP dan NPWP Mustaris SH;
Bukti P-56 : Fotokopi KTP dan NPWP Narliswandi;
Bukti P-57 : Fotokopi KTP Arief Agus Djunarjanto;
Bukti P-58 : Fotokopi SK Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor AHU-000252.AH.01.08.TAHUN 2015 tentang Persetujuan Perubahan Badan Hukum Perkumpulan Perkumpulan Persatuan Islam; Fotokopi SK Pimpinan Pusat Persatuan Islam Nomor 0001/B.1-C.1/PP/2015 perihal Tasykil Pimpinan Pusat Persatuan Islam (PP. PERSIS) Masa Jihad 2015-2020;
Bukti P-59 : Fotokopi SK Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor AHU-0009540.AH.01.07.TAHUN 2017 tentang Pengesahan Badan Hukum dan Pengurus Wanita Al- Irsyad; Fotokopi SK Pengurus Besar Wanita Al- Irsyad Nomor 025-SK-PBW-1440 tentang Pengesahan dan Pengangkatan Susunan Personalia Pengurus Besar Wanita Al- Irsyad Masa Bakti 1439-1444H/2017-2022M;
Bukti P-60 : Fotokopi SK Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor AHU-234.AH.01.08.Tahun 2013 tentang Persetujuan Perubahan Anngaran Dasar; 57 Fotokopi SK Pengurus Besar Pemuda Al- Irsyad Nomor 025/SK/PB/2020 tentang Perubahan Susunan Dan Personalia Pengurus Besar Pemuda Al-Irsyad Masa Bakti 1439-1444 H/ 2017-2022 M;
Bukti P-61 : Fotokopi Surat Keterangan Nomor 01-00-00/089/ D.IV.1/IX/2016 Terdaftar Dewan Pimpinan Nasional Amanat Kejujuran Untuk Rakyat (AKURAT INDONESIA);
Bukti P-62 : Fotokopi AD/ART Yayasan LBH Catur Bhakti;
Bukti P-63 : Fotokopi SK Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor AHU-0000372.AH.01.08.TAHUN 2020 tentang Persetujuan Perubahan Badan Hukum Perkumpulan Perkumpulan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia; Fotokopi SK Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia Nmor 01/SK/KU.i/KAMMI/II2020 tentang Struktur Pengurus Pusat Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (PP KAMMI) Periode 2019-2021;
Bukti P-64 : Fotokopi SK Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor AHU-0013162.AH.01.07.TAHUN 2018 tentang Pengesahan Pengesahan Badan Hukum Perkumpulan Wanita Islam; Fotokopi SK Pengurus Pusat Wanita Islam Nomor 015/PP/SKEP/SEK/IV/2018 tentang Penyempurnaan Pengurus Pusat Wanita Islam Periode 2016-2021;
Bukti P-65 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional da/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang- Undang terhadap UUD 1945 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6485);
Bukti P-66 : Fotokopi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Bukti P-67 : Fotokopi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 23/PUU- XVIII/2020;
Bukti P-68 : Fotokopi Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib;
Bukti P-69 : Fotokopi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU- VII/2009;
Bukti P-70 : Fotokopi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 004/PUU-I/2003. 58 Selain itu, para Pemohon juga mengajukan 2 (dua) orang ahli yang didengar keterangannya di bawah sumpah dalam persidangan secara daring tanggal 7 Desember 2020 yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut.
Dr. Ir. H. Muhammad Said Didu, M.Si, IPU Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan disahkan menjadi UU pada Sidang Paripurna DPR pada 12 Mei 2020. Perppu Nomor 2/2020 telah ditandatangani dengan segera oleh Presiden Jokowi menjadi UU Nomor 2/2020 pada 16 Mei 2020. Menurut pemerintah UU Nomor 2/2020 atau UU Korona bertujuan merelaksasi sejumlah peraturan yang berlaku saat ini guna menghadapi Covid-19 dan menjaga stabilitas sistem keuangan. Menkeu Sri Mulyani mengatakan UU korona menjadi landasan hukum agar pemerintah dan otoritas terkait dapat mengambil langkah–langkah luar biasa secara cepat dan akuntabel guna menangani pandemi korona. Ditambahkan, upaya tersebut diperlukan mengingat pandemi Covid-19 bukan hanya masalah kesehatan, tetapi juga masalah kemanusiaan yang berdampak pada aspek sosial, ekonomi, dan mempengaruhi fundamental perekonomian nasional (14/4/2020). Kami menganggap pandemi Covid-19 memang masalah serius menyangkut berbagai aspek kehidupan manusia yang dihadapi bukan saja oleh Indonesia tetapi seluruh negara di dunia. Namun, terlepas dari serius dan mendesaknya mangatasi berbagai permasalahan, kami menilai penanganannya harus tetap dilakukan dalam koridor hukum yang berlaku. Untuk itu, penyelenggara negara, terutama pihak eksekutif yang berada dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) harus tetap tunduk kepada konstitusi dan undang-undang berlaku saat ini. Faktanya, berbagai kalangan telah menanggapi dan menganggap bahwa sejumlah ketentuan dan UU Korona melanggar konstitusi dan bertentangan dengan beberapa undang-undang yang berlaku saat ini. Bahkan Pasal 27 UU No.2/2020 memberi hak impunitas kepada eksekutif dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan terkait Covid-19. Oleh sebab itu, tak heran jika sejumlah kalangan pun 59 telah mengajukan judicial review terhadap UU Korona ke Mahkamah Konstitusi (MK), termasuk Koalisi Masyarakat Penegak Kedaulatan (KMPK). Sejalan dengan hal di atas, kami pun telah diminta oleh KMPK untuk menjadi Saksi Ahli atas gugatan judicial review tersebut. Tujuannya adalah untuk menunjukkan bahwa dalam UU Korona terdapat berbagai hal yang dianggap bermasalah dan bertentangan dengan konstitusi, sehingga UU tersebut seharusnya dibatalkan oleh MK. Terlepas dari banyaknya hal -hal lain yang kami anggap bermasalah dan inskonstitusional dalam UU Nomor 2/2020, sebagian dari permasalahan tersebut kami diuraikan berikut ini.
Pembentukan Perppu tidak memenuhi kaidah kegentingan memaksa Pembentukan Perppu/UU Nomor 2/2020 boleh dilakukan saat negara menghadapi kegentingan memaksa. Namun kegentingan memaksa dimaksud, harus memenuhi kaidah dan asas yang diatur dalam UU Nomor 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (P3). Selain itu Perppu tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945, TAP MPR, dan UU lain yang berlaku. Faktanya dasar kegentingan memaksa Perppu Nomor 1/2020 tidak jelas dan tidak memenuhi kaidah UU P3, sehingga seharusnya secara formil UU Korona batal demi hukum.
Tidak terdapat uraian jelas bagaimana pendemi Covid-19 diatasi Dalam butir menimbang UU Korona dinyatakan pandemi korona merupakan penyebab ancaman bahaya perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan. Namun dalam isi Perppu berupa kebijakan dan aturan, tidak ditemukan ketentuan jelas bagaimana pandemi diatasi. Perppu/UU Korona justru sangat dominan membahas ketentuan terkait perekonomian dan stabilitas sistem keuangan yang dinilai sarat kepentingan oligarki yang berada di belakang pemerintah.
Perppu Nomor 1/2020 melanggar batas defisit dan membuat utang naik tak terkendali. Pasal 23 UUD 1945 tentang hak budget DPR berbunyi: 1) APBN sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan UU dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab _untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; _ 2) Rancangan UU APBN diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama DPR _dengan memperhatikan pertimbangan DPD; _ 3) Apabila DPR tidak menyetujui R-APBN yang diusulkan Presiden, Pemerintah menjalankan APBN tahun yang lalu. 60 Ternyata, Pasal 2 Perppu Nomor 1/2020 memberi kewenangan bagi pemerintah menentukan batas defisit anggaran di atas 3% untuk UU APBN sampai 2022. Kewenangan ini jelas bertentangan dengan sifat dan pola ‘priodik’ UU APBN sesuai Pasal 23 ayat (1) UUD 1945, karena: • Pertama, Pasal 2 Perppu tidak menentukan batas maksimal persentase defisit , sehingga membuka peluang Pemerintah menentukan presentase defisit tanpa batas. Hal ini dapat berimplikasi pada membengkaknya Pos Pembiayaan APBN, termasuk meningkatkan jumlah utang negara yang akan menjadi beban rakyat yang sudah sangat tinggi; • Kedua, persentase PDB tanpa batas berlaku sampai 2022. Artinya ketentuan ini beraku dan mengikat 3 (tiga) UU APBN sekaligus, yakni UU APBN TA 2020, UU APBN TA 2021, dan UU APBN TA 2022. Hal ini secara nyata bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945, yang menentukan bahwa APBN ditetapkan setiap tahun. Bahkan UU APBN 2021 dan 2022 belum ada produk hukumnya, sehingga penetapan APBN setiap tahun sesuai konstitusi menjadi tidak bermakna.
Perppu Nomor 1/2020 mengeliminasi Hak DPR menetapkan APBN dan Defisit APBN Pasal 2 Perppu di atas juga bertentangan dengan Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, karena membuka peluang defisit anggaran diatas 3% tanpa batas maksimal dan mengikat. Hal ini secara langsung membatasi kewenangan DPR memberikan persetujuan APBN, khususnya berkenaan dengan defisit anggaran harusnya maksimum 3% PDB. DPR tidak leluasa menggunakan hak, tetapi dipatok dengan batas minimal 3% PBD, tanpa ada batas maksimal. Kewenangan konstitusional DPR dalam menetapkan budget sangat besar dan menentukan seperti tercermin dalam ayat (3) Pasal 23 UUD 1945. Bahkan jika DPR tidak menyetujui suatu RUU APBN, maka Pemerintah harus menggunakan UU APBN tahun sebelumnya. Bagaimana bisa pemerintah melalui Pasal 2 Perppu Nomor 1/2020 melawan konstitusi dan seenaknya menihilkan hak DPR dalam penetapan APBN? Implementasi UU Nomor 2/2020 pro-oligarki kekuasaan adalah terbitnya Perpres Nomor 54/2020 dan Perpres Nomor 72/2020. Kedua Perpres ini berfungsi sebagai APBN-P yang berubah hanya dalam waktu 2 bulan dan telah ditetapkan 61 secara sepihak oleh pemerintah tanpa partisipasi DPR sebagai pemegang hak konstitusional budgeting dan sebagai wakil rakyat untuk memperoleh keadilan dalam pemanfaatan uang negara di APBN. Persetujuan DPR atas APBN sebagai pemegang hak budget dalam konstitusi sangat vital, karena merupakan cermin kedaulatan rakyat. Jika hak budget DPR dieliminasi Perppu Nomor 1/2020, berarti hak dan kedaulatan rakyat pun ikut dihilangkan. Perppu/UU Nomor 2/2020 memang bernuansa oligarkis karena sejak semula direkayasa dan diusulkan pemerintah yang pro oligarki. Artinya pemerintah memilih melindungi oligarki dibanding membela dan melindungi rakyat (lihat Lampiran 1: Melawan Pelumpuhan Hak Budget DPR).
Membuka peluang terjadinya moral hazard dan ketidakadilan sesame anak bangsa. Pasal 11 UU Korona tidak mengatur program pemulihan ekonomi melalui pembiayaan investasi pemerintah berupa modal negara (PMN), penempatan dana investasi dan penjaminan secara rinci , sehingga membuka peluang terjadinya moral hazard. Dalam hal ini antara lain diperlukan kejelasan objek, sektor, parameter, mekanisme, lembaga pelaksana, penjaminan dan sasaran strategisnya. Model pemulihan yang tidak jelas dan terbuka seperti ini membuka peluang moral hazard yang tinggi, sehingga dana penjaminan justru potensial dinikmati sejumlah pihak bagian dari oligarki. Peluang moral hazard juga terbuka karena UU Nomor 2/2020 memuat ketentuan (Pasal 22) di mana guna mencegah krisis sistem keuangan, pemerintah dapat membuat program penjaminan di luar program penjaminan simpanan seperti diatur UU LPS. Karena kriteria tak jelas, yang akan dibantu LPS secara full garanteee justru bisa saja bank dan para pengusaha yang kesulitan likuiditas bukan karena pandemi korona. Hal ini akan membuka peluang moral hazard yang kelak akan menjadi beban keuangan negara. Moral hazard pun potensial terjadi karena dihapusnya berbagai ketentuan dalam “ 12 UU yang berlaku saat ini”, seperti ditetapkan dalam Pasal 28 UU Korona. Dengan begitu, banyak peraturan perundangan yang disusun puluhan tahun oleh sejumlah pemerintahan dan DPR sebelumnya, termasuk yang menjadi amanat reformasi, dinyatakan tidak berlaku! Hal ini akan menimbulkan dampak negatif terhadap sistem otorisasi dan tata kelola APBN, keuangan negara dan 62 moneter. Kondisi ini menjadikan kewenangan Presiden sangat besar dan berpotensi menimbulkan abuse of power . Mengingat peran DPR dihilangkan dan pembentukan dan pelaksanaan UU No.2/2020 berada di tangan segelintir orang dalam oligarki kekukasaan yang cenderung pro-pengusaha dan pro-kapitalis, maka ke depan ekonomi dan kehidupan ratusan juta rakyat berada dalam kondisi ketidakadilan dan jauh dari rasa kebersamaan. Indonesia akan berada dalam cengkeraman segelinitr orang dalam oligarki kekuasaan dan para pemilik modal. Pada gilrannya, hal ini akan mengancam kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara Indonesia. Dengan ketentuan Pasal 2 dan Pasal 28 UU Nomor 2/2020 yang inkonstitusional, maka bukannya terhindar atau bebas moral hazard, UU No.2/2020 justru membuka peluang terjadinya moral hazard dalam pelaksanaan berbagai kebijakan dan program yang berpangkal pada UU tersebut. Dalam hal ini dapat dikatakan pemerintah telah mengawali penanganan pandemi Covid-19 dan dampaknya terhadap permasalahan sosial, keuangan dan perekonomian nasional dengan membuat peraturan yang justru sarat moral hazard! Ternyata saat ini peran oligarki penguasa-pengusaha tetap ada, dan bahkan semakin exist dibanding masa lalu. Atas nama Covid-19, APBN ditetapkan dengan jumlah belanja yang semakin besar karena kebutuhan mengamankan kepentingan para pengusaha. Belanja APBN yang besar ditutup dengan utang yang semakin besar dan tanpa kendali. Dalam hal ini, peran pengusaha dalam oligarki kekuasaan bernuansa moral hazard terasa cukup dominan. Ke depan pola kekuasaan bernauansa moral hazard ini akan berdampak pada kehidupan rakyat yang semakin jauh dari rasa keadilan dan kebersamaan yang diamanatkan Pancasila. Ironi dan nestapa tersebut dapat dicegah jika Mahakamah Konstitusi bisa bekerja bebas “intervensi” memutus gugatan judicial review sejumlah elemen publik terhadap UU Nomor 2/2020, fungsi budget DPR dipulihkan, peran BI dan LPS dijalankan sesuai UU, dan krisis diatasi secara berkeadilan sesuai perintah UU PPKSK, serta pengaruh moral hazard dan dominasi pengusaha dalam oligarki kekuasaan dihilangkan.
Kerugian negara ratusan triliun Rp menangani krisis keuangan 1997-1998 akan terulang. 63 Belajar dari krisis keuangan 1997-1998 dan krisis ekonomi 2008, Pemerintah dan DPR telah melakukan perbaikan dan membangun sistem keuangan yang siap menghadapi krisis sistem keuangan. Upaya perbaikan meliputi penataan kelembagaan, pembentukan dan amendemen UU Nomor 23/1999 tentang BI, pendirian Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sesuai UU Nomor 24/2004 dan pendirian Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sesuai UU Nomor 21/2011. Dibentuk pula UU Nomor 9/2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK). UU ini dipersiapkan dalam rangka memenuhi kebutuhan payung hukum untuk mengatur upaya pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan. Jika dicermati, UU BI dibentuk dan dirubah agar BI dapat menjadi lembaga otonom, independen, dan bebas dari campur tangan pemerintah dan pihak-pihak lain, sehingga pengendalian moneter dapat dilakukan efektif dan efisien. Begitu juga dengan UU-UU tentang LPS, OJK dan PPKSK yang dibentuk dalam upaya mewujudkan stabilitas sistem keuangan yang kuat mencegah dan menangani krisis sistem keuangan, termasuk mencegah moral hazard. UU PPKSK Nomor 9/2016 secara spesifik mengatur prinsip-prinsip dalam pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan yang tidak diatur sebelumnya. UU PPKSK mengatur skema bail-in dalam penanganan bank sistemik dengan mengoptimalkan kemampuan bank baik melalui penambahan modal maupun pengubahan utang atau investasi menjadi penyertaan. Saling keterkaitan sektor jasa keuangan menuntut kebijakan makroprudensial yang bersifat melengkapi kebijakan mikroprudensial dan pengawasan sektor keuangan terintegrasi. Ternyata, meskipun berbagai perangkat dan peraturan mengantisipasi dan menangani krisis ekonomi dan keuangan telah tersedia, pemerintahan Jokowi tidak menggubris dan justru dengan sengaja mengeliminasinya! Secara khusus, pemerintah sengaja mengeliminasi peran UU PPKSK dalam Pasal 28 (poin 11) UU Nomor 2/2020. Padahal, berbagai perangkat tersebut disusun setelah belajar dari dampak negatif penanganan krisis eknomi dan keuangan masa lalu. Saat itu penanganan krisis sangat merugikan keuangan negara, dan penyebab utamanya adalah prilaku moral hazard penyelenggara negara dan para pengusaha. Prilaku pemerintah seperti di atas jelas menunjukkan sikap yang lebih berpihak kepada pengusaha yang menjadi bagian oligarki kekuasaan. Karena itu, tak heran jika UU Nomor 2/2020 lebih banyak memuat ketentuan menangani 64 kepentingan pengusaha dan penyelamatan sistem keuangan dan perbankan. Segelintir pengusaha memperoleh bagian yang besar, termasuk insentif fiskal dan pemotongan pajak, sedang ratusan juta rakyat justru tidak mendapat bagian dan penanganan memadai serta berkeadilan dalam hal keselamatan dan jaring pengaman sosial. Kita telah melihat dan merasakan prilaku moral hazard telah mewaranai dan sangat menentukan kehidupan rakyat di masa lalu dengan perekonomian dan beban utang yang sangat besar. Megaskandal BLBI telah meninggalkan utang negara Rp 640 triliun dan akan menjadi beban APBN dan beban rakyat hingga tahun 2033, itu pun jika pokok utang dilunasi. Megaskandal ini tidak dapat dituntaskan meskipun telah ditangani oleh 4 periode pemerintahan, terutama karena kuatnya pengaruh oligarki pengidap moral hazard (lihat Lampiran 2: UU Korona Nomor 2/2020: Melanjutkan Ketidakadilan Modus Megaskandal BLBI). Lampiran 1 Melawan Pelumpuhan DPR Dalam UU Korona Nomor 2/2020! UU Nomor 2/2020 adalah tentang Penetapan Perppu Nomor 1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan. UU Nomor 2/2020 diyakini melanggar konstitusi karena bertentangan dengan konstitusi. Salah satu pelanggaran terfatal, dilumpuhkannya hak budget DPR dalam Pasal 23 UUD 1945:
APBN sebagai wujud pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan UU dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat;
RUU APBN diajukan Presiden untuk dibahas bersama DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD;
Apabila DPR tidak menyetujui R-APBN yang diusulkan Presiden, Pemerintah menjalankan APBN tahun lalu. Tulisan ini membahas ketentuan UU Nomor 2/2020 yang melanggar konstitusi. Dibahas juga motif yang diyakini ada di balik pelanggaran, terutama Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 12 ayat (2). Pertama , pada Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 2/2020 disebutkan pemerintah berwenang menetapkan batasan defisit:
melampaui 3% dari PDB selama masa penanganan COVID-19 dan/atau untuk menghadapi ancaman membahayakan perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan paling lama sampai 2022;
sejak 2023 besaran defisit akan kembali menjadi paling tinggi sebesar 3% dari PDB; dan, 3) penyesuaian besaran defisit dilakukan bertahap. 65 Pasal 2 UU Nomor 2/2020 bertentangan dengan Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, karena meskipun defisit APBN perlu dinaikkan melebihi 3% dari PDB, DPR sama sekali tidak dilibatkan menentukan batas defisit tersebut. Padahal, persetujuan DPR atas APBN sebagai pemegang hak konstitusional budgeting merupakan cermin kedaulatan rakyat. Jika hak budegt dieliminasi, maka kedaulatan rakyat menentukan APBN pun hilang! Dengan hilangnya hak DPR menentukan defisit, maka nilai maksimum defisit menjadi terbuka tanpa batas. Nilai belanja APBN yang hanya terpusat di tangan pemerintah pun akan ditetapkan nyaris tanpa kontrol. Sehingga, APBN dapat dialokasikan pada program-program pro pengusaha, pro oligarki, tidak prioritas, dan berpotensi moral hazard. Atas nama korona, stabilitas ekonomi dan keuangan, APBN yang sebagian besar ditutup dengan menambah beban utang rakyat, berpotensi diselewengkan dan dikorupsi! Kedua, pada Pasal 12 ayat 2 UU Nomor 2/2020 dinyatakan perubahan postur dan/atau rincian APBN dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara hanya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres). Ini mempertegas niat buruk pemerintah menetapkan APBN secara tunggal, sekaligus menjadi alat menyingkirkan DPR ikut membahas APBN. Pemerintah telah bertindak inskonstitusional dan menghalalkan segala cara. Padahal pada Pasal 23 UUD 1945 disebutkan kedudukan dan status APBN adalah UU yang ditetapkan setiap tahun. RAPBN harus diajukan Presiden untuk dibahas dan disetujui DPR. Dengan pembahasan, terjadi proses check and balances dan APBN dapat pula dialokasikan sesuai prioritas. Ironis, DPR malah menyambut baik UU Korona yang telah melucuti haknya. Terlepas partisipasi DPR dan DPD dalam menetapkan budget mungkin dapat mengurangi kecepatan mengambil keputusan, konstitusi telah menjamin bahwa kedua lembaga memiliki hak ikut membahas dan menetapkan APBN dan APBN-P setiap tahun. Kondisi memaksa yang dipakai melegalkan eliminasi hak DPR seperti diatur Pasal 2 dan Pasal 12 UU Nomor 2/2020 merupakan perbuatan illegal sarat moral hazad. Menurut logika, tidak mungkin konstitusi dibuat sedemikian rupa sehingga ketentuan di dalamnya conflicting satu sama lain, atau bisa saling meniadakan hanya karena adanya satu sebab, seperti kegentingan memaksa Pasal 22 UUD 66 1945. Karena itu banyak kalangan telah menggugat UU Nomor 2/2020 ke Mahkamah Konstitusi, termasuk KMPK. Faktanya, dengan telah ditetapkannya Perppu Nomor 2020 menjadi UU Nomor 2/2020 pada 16 Mei 2020, pemerintah telah menerbitkan Perpres tentang Perubahan UU APBN 2020, yang selama ini dikenal sebagai UU APBN-P sebanyak dua kali, yaitu Perpres Nomor 54/2020 pada 3 April 2020 dan Perpres Nomor 72/2020 pada 24 Juni 2020. Kedua Perpres diterbitkan sewenang-wenang oleh pemerintah dalam kurun waktu tidak sampai 3 bulan, tanpa keterlibatan DPR. Dari kedua Perpres diperoleh biaya penanganan pendemi korona naik dari Rp 405 triliun menjadi Rp 695 triliun. Dana dukuangan bidang usaha (Rp 430T) lebih besar dibanding kesehatan dan jaring pengaman sosial (Rp 291T). Sedangkan defisit APBN naik dari Rp 852 triliun (3,07%) jadi Rp 1039 triliun (6,34%). Karena pandemi, penerimaan negara turun cukup besar dan belanja naik signifikan, sehingga defisit ditutup dengan utang, Rp 1220 triliun. Dalam kondisi keuangan negara yang demikian memprihatinkan, dan mestinya dibahas seluruh lembaga terkait, keputusan justru diambil oleh hanya segelintir pejabat pemerintah. Patut diduga sejumlah lembaga non pemerintah, pengusaha dan konglomerat ikut terlibat mempengaruhi Perpres guna mengamankan kepentingan. DPR sengaja dilumpuhkan agar agenda oligarki yang diduga sarat moral hazard berlangsung mulus. Jika dicermati lebih lanjut, beberapa skandal yang muncul belakangan ini dapat mengkonfirmasi kuatnya peran oligarki dan nuansa moral hazard dalam penyusunan Perpres Nomor 54/2020 atau Nomor 72/2020. Salah satu contoh adalah tentang Program Kartu Prakerja, yang semula mendapat alokasi anggaran berdasar Perpres Nomor 36/2020. Karena banyak protes publik dan temuan penyelewengan KPK, landasan hukum berubah jadi Perpres Nomor 76/2020. Padahal, menjadikan Perpres sebagai landasan legal tanpa adanya rujukan UU merupakan pelanggaran hukum serius. Terjadi rekayasa busuk: uang yang seharusnya diberikan secara utuh kepada rakyat, sebagian malah diberikan tanpa lelang pada 8 provider mitra penyedia pelatihan dengan anggaran Rp1 juta per orang, untuk 5,6 juta orang. Empat di antara provider adalah PMA. Melalui Perpres Nomor 76/2020, pemerintah memaksakan agar sebagian anggaran program dapat dinikmati mitra pelatihan yang sebagian berlatar belakang oligarki! 67 Artinya, program yang berkedok merakyat sebetulnya ditunggangi kepentingan oligarki berburu rente. Padahal modul pelatihan dapat diakses cuma- cuma di internet atau lembaga milik pemerintah. Jika ada empati terhadap penderitaan rakyat terdampak pandemi dan temuan KPK diperhatikan, maka tanpa dituntut program wajar berhenti. Namun karena matinya empati, niat korupsi dan status kebal hukum UU Nomor 2/2020, maka program tetap dilanjutkan. Kasus lain adalah tentang perubahan peran LPS yang wewenangnya ditingkatkan sepihak sesuai PP Nomor 33/2020 melebihi ketentuan dalam UU Nomor 4/2004 tentang LPS. Dengan itu, LPS dapat dimanfaatkan membail-out bank-bank atau perusahaan bermasalah. Pemanfaatan ini akan berjalan lancar karena minimnya prosedur/syarat rujukan dan transparansi. Cara ini mirip megaskandal BLBI, negara menolong bank dan bisnis para pengusaha bermasalah melalui proses yang sarat moral hazard, sehingga mewariskan beban utang besar pada rakyat. Berikutnya adalah pemanfaatan APBN untuk membantu pengusaha melalui dana yang dialokasikan sebagai bantuan UMKM sebesar Rp 123,46 triliun sesuai PP No.23/2020 tentang Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Dana telah diserahkan secara simbolis Rp 1 triliun oleh Presiden Jokowi pada 23 Juli 2020 di Istana Negara. Hal yang dikhawatirkan adalah siapa dan bagaimana cara, syarat serta prosedur bantuan dijalankan, yang minim pengawasan. Konsultasi dan pengawasan oleh DPR tidak optimal, sedangkan dasar kebijakan, peraturan operasional dan syarat pelaksanaan belum tersedia komprehensif dan berpotensi moral hazard. Sehingga, sebagian dana bantuan UMKM dapat berfungsi menjadi dana talangan bagi bank atau kredit macet, termasuk sektor propeti dan kredit lainnya. Padahal kredit macet timbul bukan karena pandemi, tetapi akibat pelanggaran aturan, ignorance, penyimpangan, kegiatan spekulatif, dll. Besarnya dana talangan dapat membesar karena motif untuk luar UMKM. Dalam PP Nomor 23/2020 disebutkan bank peserta meenyediakan dana penyangga liquiditas bagi bank pelaksana yakni bank umum konvensional dan bank syariah. Selain itu bank peserta dapat bertindak sebagai bank pelaksana berfungsi merestrukturisasi kredit dan pembiayaan. Mekanisme seperti ini dapat dianggap sebagai pola talangan atau bailout bank atas nama bantuan UMKM. Bantuan ini 68 tidak mengacu persyaratan kondisi darurat tetapi pada kondisi normal, sehingga bank lebih leluasa mengeruk dana UMKM. Akhirnya, dana bantuan UMKM dapat lebih banyak dinikmati pengusaha besar oligarkis dibanding UMKM. Uraian di atas telah memperlihatkan bagaimana UU Nomor 2/2020 disusun untuk membuka jalan bagi penggunaan APBN pro oligarki yang bernuansa moral hazard. Praktek seperti ini sudah biasa dilakukan para pengusaha berpengalaman dalam berbagai kasus, terutama megaskandal BLBI. Para veteran perampok BLBI ini sangat berpengaruh dan berhasil mengintervensi penguasa untuk menerbitkan Inpres Nomor 8/2002, tentang release and discharge. Dalam buku Skandal BLBI (2008) mantan Menko Ekuin Kwik Kian Gie menceritakan pengalaman betapa kuatnya pengaruh para konglomerat bersama menteri pro-oligarki membahas penyelesaian kasus BLBI pada November- Desember 2002: Ada seorang menteri yang mengatakan supaya jangan main-main dengan para pengusaha pengutang BLBI itu, karena mereka para konglomerat yang sudah bermain di Hongkong dan Singapura dengan jaringannya yang luas. Jadi, mereka sudah merupakan perusahaan multinasional. Akhirnya para konglomerat perampok BLBI memang mendapat status bebas pidana korupsi dari pemerintah yang pro pengusaha melalui Inpres Nomor 8/2002. Mereka ini sekarang tetap berkibar sebagai bagian dari oligarki kekuasaan dan bahkan tumbuh lebih besar. Saat ini, ikatan oligarki penguasa-pengusaha jauh lebih erat dan menentukan dibanding Era Megawati. Buktinya, karpet merah kebijakan dan peraturan bahkan sudah dipersiapkan sejak awal untuk memuluskan agenda para konglomerat, sebelum adanya program! Pada Era Jokowi yang mengusung UU Nomor 2/2020, segalanya mudah bagi oligarki, termasuk melumpuhkan DPR. Bahkan yang dilumpuhkan pun malah senang. Rakyat tak perlu buang waktu untuk heran. Mari bangkit untuk melawan. Lampiran 2 UU Korona Nomor 2/2020: Melanjutkan Ketidakadilan Modus Megaskandal BLBI Salah satu ketentuan yang berpotensi merugikan rakyat dalam UU Korona No.2/2020 adalah tentang perubahan kewenangan Bank Indonesia (BI). Pasal 16 69 (1) UU Korona antara lain memberi BI kewenangan untuk: (a) memberikan pinjaman likuiditas jangka pendek atau pembiayaan likuiditas jangka pendek berdasarkan prinsip syariah kepada Bank Sistemik atau bank selain Bank Sistemik; (b) memberikan Pinjaman Likuiditas Khusus kepada Bank Sistemik yang mengalami kesulitan likuiditas dan tidak memenuhi persyaratan pemberian pinjaman likuiditas jangka pendek atau pembiayaan likuiditas jangka pendek berdasarkan prinsip syariah yang dijamin oleh Pemerintah dan diberikan berdasarkan Keputusan KSSK; dan (d) membeli/repo surat berharga negara yang dimiliki Lembaga Penjamin Simpanan untuk biaya penanganan permasalahan solvabilitas Bank Sistemik dan bank selain Bank Sistemik. Ketentuan Pasal 16 (1) UU Korona membuka peluang terjadinya penyelamatan sektor keuangan melalui skema pemberian dana talangan atau bail- out oleh negara. Kebijakan seperti ini tentu tidak adil bagi seluruh rakyat. Segelintir orang atau pemilik bank memperoleh bantuan khusus negara atas nama penyelamatan sektor keuangan dalam kondisi mayoritas rakyat sedang menderita, yang justru jauh lebih layak memperoleh bantuan. Apalagi jika bank-bank tersebut bermasalah akibat berbagai pelanggaran aturan dan prilaku moral hazard para pemilik. Di sisi lain, guna menyelamatkan sektor keuangan yang diakui dapat berdampak sistemik, tersedia mekanisme lebih adil, yaitu melalui skema bail-in. Dalam skema bail-in, pemegang saham atau group bisnis dalam suatu konglomerasi dapat saling bantu menyelamatkan sektor bisnis yang bermasalah. Ketentuan tentang mekanisme bail-in ini pun telah diatur dalam UU No. 9/2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK). Para pemilik pemilik bank umumnya konglomerat yang berbisnis dibanyak sektor, sehingga akan mampu dan berkeadilan menerapkan skema bail-in . Namun langkah ini diabaikan. Skema bail-out berpotensi melahirkan skandal penyimpangan kekuasaan keuangan negara atas penanganan krisis yang menimbulkan biaya sangat besar bagi negara. Megaskandal BLBI akibat krisis ekonomi 1997-1998 telah membuat negara menanggung beban Rp640.9 triliun, terdiri dari BLBI Rp144,5 triliun, program penjaminan Rp53,8 triliun, penjaminan Bank Exim Rp 20 triliun dan obligasi rekap perbankan Rp422,6 triliun. Beban negara ini harus ditanggung rakyat secara keseluruhan melalui beban pajak dan inflasi yang berkelanjutan hingga sekarang. 70 Ternyata sebagian besar pengusaha dan konglomerat penikmat kebijakan zolim fasilitas BLBI (termasuk obligasi rekap) saat ini bukan saja survive tetapi bahkan tumbuh jauh lebih besar. Posisi mereka sebagai bagian dari oligarki kekuasaan tetap memperoleh berbabagi fasilitas dan hak istimewa dari pemerintah seperti terjadi sebelumnya, sehingga mereka dapat menguasai dan mencengkeram berbagai sektor ekonomi dan keuangan nasional. Bahkan sebagian konglomerat telah merambah sektor sosial dan politik, sehingga dapat mempengaruhi pembuatan aneka kebijakan, undang-undang dan peraturan pro oligarki, seperti UU No. 2/2020. Kombinasi sejumlah ketentuan dalam UU Korona No. 2/2020, yakni Pasal 16 terkait bail-out, Pasal 20 tentang peran LPS, Pasal 22 tentang penjaminan dan Pasal 28 terkait eliminasi ketentuan dalam 12 UU berlaku, akan berpotensi lahirnya kebijakan penjaminan penuh simpanan nasabah kaya ( blanket guarantee ). Di samping tidak adil, berbagai ketentuan tersebut berpotensi memunculkan moral hazard , termasuk oleh pejabat negara, sehingga dapat menimbulkan terulangnya megaskandal BLBI. Pada Pasal 20 UU No. 2/2020 LPS diberikan kewenangan merumuskan dan melaksanakan kebijakan penjaminan simpanan untuk kelompok nasabah dengan mempertimbangkan sumber dana dan/atau peruntukkan simpanan serta besaran nilai yang dijamin bagi kelompok nasabah tersebut yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pada pasal 22 disebutkan guna mencegah krisis sistem keuangan, pemerintah dapat menyelenggarakan program penjaminan di luar program penjaminan simpanan yang diatur dalam UU tentang LPS. Dengan skema penjaminan penuh ( full guarantee ) maka simpanan konglomerat di perbankan seluruhnya dijamin pemerintah yang berpotensi moral hazard . Menurut BPK tindakan moral hazard penguasa, pengusaha dan konglomerat yang mengkorupsi uang negara pada megaskandal BLBI dilakukan dalam berbagai modus. Laporan BPK No. 06/VII/2000 menyimpulkan terjadi berbagai tindak pidana, sehingga para pelakunya harus diproses secara hukum sebagai berikut: • Penggunaan BLBI di luar kepentingan yang telah ditentukan (yaitu untuk pembayaran dana nasabah), seperti untuk melunasi pinjaman dan kewajiban pembayaran yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya, membayar utang kepada kelompok usahanya sendiri, transaksi surat berharga, melunasi dana 71 pihak ketiga yang melanggar ketentuan, membiayai kontrak derivatif baru, membiayai ekspansi kredit, membiayai investasi dalam bentuk aktiva tetap, dan membiayai overhead (biaya operasional bank). Total penyimpangan yang terjadi adalah senilai R84,84 triliun) atau 58,70% dari jumlah BLBI yang dikucurkan per 29 Januari 1999 (sebesar Rp144,5 triliun); • Pelanggaran BMPK (Batas Maksimum Pemberian Kredit), yaitu nilai maksimum kredit yang dapat dikucurkan perbankan pada kelompok usaha sendiri. Pelanggaran BMPK sesuai dengan Pasal 49 ayat (2) jo Pasal 50 juncto Pasal 50 A UU Nomor 10 Tahun 1998, merupakan tindak pidana yang harus diproses hukum; • Pemberian fasilitas oleh BI yang mengizinkan perbankan untuk tetap mengikuti proses kliring walaupun rekening gironya di BI telah bersaldo negatif; • Penggelembungan nilai aset oleh para obligor BLBI untuk menutupi kewajiban yang harus dilunasi dalam skema pola Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham. Salim Group , misalnya, menyatakan nilai seluruh aset yang diserahkan pada 1998 adalah Rp 52 triliun (hal ini diterima oleh konsultan BPPN, yakni Lehman Brothers, PT Danareksa, dan PT Bahana tanpa financial due diligence lebih dulu). Namun, audit PricewaterhouseCoopers pada 2000 ternyata menemukan nilai aset Salim hanya berkisar Rp12 triliun-Rp20 triliun. Temuan BPK di atas menunjukkan tindakan moral hazard dalam megaskandal BLBI, di samping oleh para konglomerat, juga dilakukan pejabat negara baik di BI maupun lembaga terkait lain. BPK juga menemukan berbagai pelanggaran oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) sebagai berikut: • Mengonversi BLBI bank-bank take-over (BTO) menjadi penyertaan modal sementara (PMS); • Mengalihkan utang ke bank pemegang saham pengendali melalui pola penyelesaian kewajiban pemegang saham pengendali (PKPS), dengan menandatangani APU; • Memerankan diri sebagai agen dari pihak penerima bantuan dari pada sebagai wakil pemerintah yang berhak menarik bantuan likuiditas yang telah diberikan; • Aset yang dibayarkan berdasar pengakuan penerima BLBI jauh di atas nilai berlaku. Salah satu contoh, aset tambak udang Dipasena, Lampung milik 72 Sjamsul Nursalim diserahkan kepada BPPN dengan nilai Rp20 triliun. Padahal menurut perhitungan Menko Ekiun masa itu, Kwik Kian Gie, nilai pasar tambak Dipasena hanya Rp 2 triliun • Dalam menjual aset yang dibayarkan penerima bantuan dalam rangka mengonversi aktiva tetap menjadi uang kas kerap jauh di bawah nilai pasar. Kasus BLBI merupakan megaskandal karena menyangkut jumlah dana sangat besar, Rp 640 triliun. Para konglomerat penerima BLBI masa orde baru menguasai perekonomian nasional dari hulu sampai hilir. Ternyata saat ini, dominasi mereka bukan hanya pada sektor ekonomi dan keuangan, tetapi juga merambah hampir seluruh aspek kehidupan. Kalau dulu mereka berhasil mempengaruhi pemerintahan Megawati menerbitkan Inpres No. 8/2002 agar bebas pidana, maka pada pemerintahan Jokowi, cengekraman mereka semakin kuat, sehingga mampu berperan dalam pembentukan UU No. 2/2020 yang berpotensi lebih menyengsarakan rakyat. Akibat megaskandal BLBI yang membuat besarnya beban utang negara, maka guna membayar bunga utang, setiap tahun pemerintah harus mengurangi beberapa pos anggaran untuk sektor-sektor mendasar kehidupan rakyat, termasuk untuk pendidikan dan kesehatan. Akibatnya program pos pelayanan terpadu menghilang, biaya berobat naik, atau biaya pendidikan naik dan harga-harga barang/jasa pun naik. Meskipun mungkin terdapat perdebatan atas terjadinya penurunan anggaran kesejahteraan publik di tingkat makro, namun kian beratnya beban hidup menjadikan puluhan juta rakyat tetap hidup susah dan miskin. Salah satu cara untuk mengurangi kemiskinan adalah menegakkan hukum dan keadilan terhadap para koruptor BLBI. Minimal sebagian aset mereka harus disita untuk didistribusikan kepada rakyat melalui mekanisme APBN. Namun, dengan ditetapkannya UU Korona No. 2/2020, kebijakan dan aturan tersebut bukan saja mengulang kesalahan dan kejahatan sarat moral hazard masa lalu yang semakin memihak konglomerat, tetapi malah akan menambah kesengsaraan rakyat dan jumlah orang miskin itu sendiri. Menurut CORE, pada kuartal-2 2020, akibat pendemi korona penduduk miskin Indonesia akan bertambah sesuai skenario moderat 5,1 juta hingga sangat berat 12,2 juta jiwa. Artinya, akhir 2020 jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan menjadi 37,9 juta jiwa (14,35%). Situasi akan semakin parah jika anggaran 73 perlindungan sosial lebih rendah dibanding anggaran pemulihan ekonomi yang ditengarai pro pengusaha, seperti pada megaskandal BLBI. Rakyat pun harus bangkit menolak UU Korona pro oligarki tersebut.
Prof. Anthony Budiawan, M.Sc., CMA. PENDAHULUAN Pandemi Corona Virus Disease (Covid-19) menyebabkan pertumbuhan ekonomi turun, baik ekonomi dunia maupun ekonomi Indonesia. Dampak pandemi Covid-19 terhadap ekonomi bisa sangat serius. Pertumbuhan ekonomi bahkan bisa terkontraksi, artinya pertumbuhan negatif atau minus. Dalam krisis pandemi Covid-19, ada dua peristiwa yang terjadi di mana peristiwa satu menyebabkan peristiwa lainnya. Artinya, dalam hal ini, ada hubungan sebab dan akibat yang sangat jelas. Pandemi Covid-19 adalah penyebab, dan penurunan pertumbuhan ekonomi adalah akibat. Bukan sebaliknya. Artinya, peristiwa pandemi Covid-19 menyebabkan peristiwa pertumbuhan ekonomi turun. Oleh karena itu, berapa besar penurunan pertumbuhan ekonomi sangat tergantung dari berapa parah dan berapa lama penyebaran pandemi Covid-19 berlangsung. Semakin lama peristiwa pandemi Covid-19 berlangsung maka semakin dalam penurunan pertumbuhan ekonomi yang terjadi. Sebaliknya, apabila penyebaran pandemi Covid-19 dapat segera teratasi, maka penurunan pertumbuhan ekonomi akan lebih ringan. Artinya, penurunan pertumbuhan ekonomi akan terjadi secara gradual seiring berlangsungnya waktu penyebaran dan penanganan pandemi Covid-19. Hubungan sebab-akibat ini juga dinyatakan secara tegas dalam pertimbangan penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem, selanjutnya disebut Perppu No 1/2020, yang ditetapkan pada 31 Maret 2020. Butir Menimbang pada Perppu No 1/2020 menyatakan:
bahwa penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) yang dinyatakan oleh Organisasi Kesehatan Dunia ( World Health Organization ) sebagai pandemi pada sebagian besar negara-negara di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, menunjukkan peningkatan dari waktu ke waktu dan telah menimbulkan korban jiwa, dan kerugian material yang semakin besar, sehingga berimplikasi pada aspek sosial, ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat; 74 b. bahwa implikasi pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) telah berdampak antara lain terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional, penurunan penerimaan negara, dan peningkatan belanja negara dan pembiayaan, sehingga diperlukan berbagai upaya Pemerintah untuk melakukan penyelamatan kesehatan dan perekonomian nasional, dengan fokus pada belanja untuk kesehatan, jaring pengaman sosial (social safety net), serta pemulihan perekonomian termasuk untuk dunia usaha dan masyarakat yang terdampak; Butir Menimbang ini menegaskan bahwa penyebaran Covid-19 merupakan sebab dari perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional. Sedangkan salah satu maksud dan tujuan Perppu Nomor 1/2020 yang tersurat dari judulnya adalah untuk penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Apa yang dimaksud dengan “untuk penanganan pandemi Covid-19” tidak jelas dan tidak diatur sama sekali di dalam Perppu Nomor 1/2020. Tidak ada satu Bab dan Pasal di dalam Perppu Nomor 1/2020 yang mengatur bagaimana menangani Covid-19 yang menjadi sumber permasalahan. Perppu Nomor 1/2020 hanya mengatur tentang penanganan dampak Covid-19 terhadap perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan. Bahwa telah terjadi pandemi Covid-19 yang menimbulkan korban jiwa serta berdampak negatif pada pertumbuhan ekonomi nasional dan kesejahteraan masyarakat adalah sebuah fakta yang tidak terbantahkan. Tetapi, apakah ada hal ihwal kegentingan yang memaksa sehingga Presiden harus menetapkan Perppu Nomor 1/2020 perlu disikapi dan diuji secara lebih hati-hati. Pertama kali diketahui ada pasien terinfeksi Covid-19 di Indonesia pada 2 Maret 2020. Sedangkan pemerintah menetapkan Perppu Nomor 1/2020 pada 31 Maret 2020. Dalam waktu satu bulan, pemerintah menetapkan ada hal ihwal kegentingan yang memaksa sehubungan dengan Covid-19 yang dapat mengancam stabilitas sistem keuangan dan/atau membahayakan perekonomian nasional. Mengingat dampak krisis ekonomi terhadap penurunan ekonomi berlangsung secara gradual, pemerintah seharusnya mempunyai cukup waktu untuk membahas perubahan undang-undang yang perlu diubah bersama DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), misalnya terkait perubahan postur pada anggaran pendapat dan belanja negara, melalui proses normal, melalui pengajuan Rancangan Undang-Undang (RUU). Perlu digaris bawahi, DPR pada tanggal 30 Maret 2020 sudah mulai masuk masa sidang. Menurut pengalaman sebelumnya, pembahasan APBN-P untuk tahun 75 anggaran 2017 hanya memerlukan 24 hari kalender sejak Rancangan APBN-P diterima DPR sampai disetujui, dari 3 Juli 2020 sampai 27 Juli 2007. PANDANGAN UMUM Identifikasi Permasalahan Presiden dapat menetapkan Perppu apabila merasa ada hal ihwal kegentingan yang memaksa atas hal tertentu yang belum ada undang-undangnya, atau ada undang- undangnya tetapi tidak cukup. Dalam hal ini, hal tertentu tersebut adalah kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan nasional. Kemudian, Perppu yang ditetapkan harus disahkan DPR pada masa persidangan berikutnya. Artinya, penetapan Perppu hanya bersifat sementara waktu, yaitu dari tanggal penetapan Perppu sampai tanggal sidang DPR berikutnya. Dalam hal ini, sejak 31 Maret 2020 hingga 12 Mei 2020. Pemerintah khawatir, dalam periode tersebut terjadi permasalahan ekonomi yang tidak bisa ditangani oleh UU yang berlaku, sehingga terdorong menetapkan Perppu. Hal ihwal kegentingan yang memaksa di sini melibatkan dua unsur. Pertama, unsur subjektif Presiden dalam menilai bahwa saat ini tidak ada undang-undang, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai, tentang kebijakan keuangaan negara dan stabilitas sistem keuangan untuk menangani dampak pandemi Covid-19 terhadap perlambatan perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan. Kedua, unsur waktu dan Jumlah di mana dampak pandemi Covid-19 terhadap penurunan pertumbuhan ekonomi dikhawatirkan terjadi dalam waktu cepat, sehingga Presiden tidak bisa menunggu mengubah undang-undang yang dirasa tidak memadai melalui prosedur normal dengan cara mengusulkan Rancangan Undang-Undang kepada DPR untuk dibahas bersama. Krisis Ekonomi Berlangsung Bertahap Perjalanan krisis ekonomi di dunia menunjukkan bahwa krisis ekonomi tidak terjadi secara mendadak bagaikan bencana alam yang bisa mengakibatkan kerusakan seketika. Krisis ekonomi umumnya berlangsung secara bertahap dari waktu ke waktu. Berikut ini diberikan contoh beberapa kasus krisis ekonomi yang dialami Indonesia. Krisis Moneter Asia 1997/1998 krisis moneter Asia berawal dari Thailand pada awal Juli 1997 melalui serangan spekulatif terhadap mata uang baht Thailand, yang kemudian menyebar 76 ke Indonesia, Korea Selatan, Malaysia dan Philipina. Kurs rupiah yang ketika itu menggunakan sistem kurs tetap mendapat serangan spekulatif yang membuat kurs rupiah terdepresiasi tajam. Kurs rupiah terhadap dolar AS pada triwulan III-1997, triwulan IV-1997 dan triwulan I-1998 masing-masing turun 34,5 persen, 69,7 persen dan 56,8 persen: dari Rp 2.431,5 per dolar AS pada 30 Juni 1997 turun menjadi Rp 3.270 per dolar AS pada 30 September 1997, Rp5.550 per dolar AS pada 31 Desember 1997, dan Rp8.000 per dolar AS pada 31 Maret 1998. Krisis sektor finansial berdampak pada perekonomian nasional. Kurs rupiah yang turun tajam membuat banyak perusahaan yang mempunyai utang dalam dolar mengalami gagal bayar dan bangkrut, dan akhirnya menyeret sektor perbankan. Krisis valuta akhirnya menjadi krisis sektor finansial dan krisis ekonomi secara gradual. Pertumbuhan ekonomi pada triwulan III-1997, triwulan IV-1997 dan Triwulan I-1998 masing-masing 5,2 persen, 1,4 persen dan minus 4,9 persen. Indonesia tidak bisa keluar dari krisis valuta ketika itu karena fundamental ekonomi Indonesia sangat lemah. Neraca transaksi berjalan mengalami defisit sangat besar bertahun-tahun lamanya. Dalam kondisi seperti ini, kurs rupiah akan tertekan dan terdepresiasi. Kurs rupiah hanya bisa menguat kalau ada aliran dana (modal atau investasi) asing masuk ke Indonesia untuk membiayai defisit neraca transaksi berjalan tersebut. Aliran dana (modal atau investasi) asing bisa dalam bentuk utang kepada asing (utang luar negeri), penanaman modal asing, atau investasi asing di pasar modal (pasar saham dan pasar surat berharga). Kondisi seperti ini berlangsung cukup lama sehingga uang asing di Indonesia ketika itu terakumulasi sangat besar. Akibatnya, ketika investor dan kreditor asing menarik uangnya kembali secara tiba-tiba maka kurs rupiah terdepresiasi tajam. Dan ini berlanjut terus sampai kondisi cadangan devisa terkuras. Indonesia akhirnya harus mengajukan pinjaman kepada IMF (International Monetary Fund) dan negara asing (bilateral) untuk menutupi keperluan devisa yang ditarik keluar negeri. 77 Krisis Finansial Global 2007/2008 Awal krisis finansial global mulai berkembang sejak April 2007 di sektor kredit perumahan di Amerika Serikat, yang kemudian berkembang menjadi krisis finansial global, meluas ke Eropa dan belahan dunia lainnya pada tahun berikutnya. Pertumbuhan ekonomi dunia mengalami koreksi tajam dari 4,32 persen pada 2007 menjadi 1,85 persen pada 2008 dan minus 1,68 persen pada 2009. Pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat turun tajam dari positif 1,88 persen pada 2007 menjadi minus 0,14 persen pada 2008 dan minus 2,54 persen pada 2009. Pertumbuhan ekonomi Inggris juga turun dari 2,43 persen pada 2007 menjadi minus 0,28 persen pada 2008 dan minus 4,25 persen pada 2009. Pertumbuhan ekonomi Indonesia juga melemah dari 6,35 persen pada 2007 menjadi 6,01 persen pada 2008, dan kemudian menjadi 4,63 persen pada 2009. Tidak terlalu buruk. Meskipun demikian, pemerintah Indonesia menetapkan tiga Perppu hampir bersamaan waktunya untuk mengantisipasi ancaman stabilitas sektor keuangan. Antara lain menetapkan Perppu No 4 tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) pada 15 Oktober 2008, sebagai payung hukum untuk menyelamatkan sektor keuangan dari ancaman krisis keuangan. Penetapan Perppu No 4/2008 sulit dimengerti mengingat waktu penetapan dan sidang DPR berikutnya sangat berdekatan, hanya selisih 2 bulan. Tidak lama setelah penetapan Perppu, Bank Indonesia memberi pinjaman likuiditas kepada Bank Century yang mempunyai masalah likuiditas, dan dianggap sebagai Bank Sistemik. Artinya, permasalahan Bank Century dapat merembet ke bank lainnya yang bisa mengancam stabilitas sistem keuangan, sehingga harus diselamatkan. Tetapi, ternyata penyelamatan Bank Century merugikan keuangan negara, dan pihak yang bersalah dihukum. Perppu Nomor 4/2008 tidak disetujui oleh DPR dalam pembahasan di sidang Paripurna pada 18 Desember 2008. Sepanjang tahun 2009, sektor keuangan Indonesia baik-baik saja. Pertumbuhan ekonomi 2009 juga cukup tinggi, sebesar 4,63 persen. Keputusan DPR tidak mengesahkan Perppu Nomor 4/2008 menjadi UU ternyata tepat. Dua unsur Kegentingan yang memaksa tidak terpenuhi. Ancaman krisis finansial global secara substansi tidak terbukti membuat sektor keuangan Indonesia 78 runtuh dalam waktu singkat. Dalam hal ini dari sejak tanggal penetapan Perppu Nomor 4/2008 pada 15 Oktober 2008 hingga sidang DPR berikutnya pada 18 Desember 2008. Oleh karena itu, pemerintah seharusnya mengajukan Rancangan Undang-Undang untuk mengisi kekosongan undang-undang atau memperbaiki undang-undang yang ada yang dirasakan kurang memadai. Singkatnya, hal ihwal kegentingan yang memaksa tidak terbukti pada krisis finansial global 2007/2008, dan pendapat subyektif Presiden harus disikapi secara hati-hati. Apalagi di dalam Perppu Nomor 4/2008 dimuat pasal-pasal yang mengatur imunitas atau kekebalan hukum para pejabat pemerintah pelaksana Perppu. Pasal imunitas ini seharusnya menjadi bukti ada iktikad tidak baik dalam melaksanakan Perppu tersebut. Hal ini diperkuat dalam kasus penyelamatan Bank Century ternyata terbukti merugikan keuangan negara. PERMASALAHAN HUKUM DALAM PENETAPAN PERPPU NOMOR 1 TAHUN 2020 Kronologis kasus dan penetapan status Covid-19 di Indonesia. Pada 2 Maret 2020 pemerintah mengumumkan ada dua pasien terinfeksi Covid-19. Pada 17 Maret 2020 Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menetapkan Covid-19 sebagai keadaan tertentu darurat bencana wabah penyakit akibat virus Corona dengan durasi sampai 29 Mei 2020. Nampaknya ada perbedaan penetapan status antara Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dengan pemerintah Indonesia. WHO pada 13 Maret 2020 menetapkan Covid-19 sebagai pandemi global. Sedangkan pemerintah Indonesia belum menetapkan status darurat nasional, sebagai tindak lanjut status pandemi global. Pada 31 Maret 2020 pemerintah menetapkan Perppu Nomor 1/2020. Penetapan Perppu Nomor 1/2020 hanya dalam waktu satu bulan setelah kasus pertama Covid-19 diumumkan cukup mengejutkan banyak pihak. Karena sebelumnya pemerintah selalu mengatakan kondisi Indonesia baik-baik saja, dan Indonesia siap menghadapi Covid-19. Mengejutkan karena DPR juga sudah masuk masa persidangan pada 30 Maret 2020 sehingga proses perubahan undang-undang melalui prosedur normal dapat dilakukan. Penetapan Perppu Nomor 1/2020 dirasakan tidak tepat dengan alasan-alasan berikut ini. 79 Covid-19 sebagai Bukan Darurat Nasional Pemerintah tidak pernah menyatakan bahwa Covid-19 merupakan darurat nasional. Oleh karena itu, Covid-19 bukan merupakan bagian dari kegentingan yang memaksa yang menjadi alasan penetapan Perppu Nomor 1/2020. Hal ini diperkuat dengan fakta bahwa tidak ada satu pasal pun di dalam Perppu Nomor 1/2020 yang mengatur penanganan Covid-19. Penetapan Perppu Nomor 1/2020 menjadi tidak tepat karena tanpa ada upaya penanganan Covid-19 secara benar dan secepat-cepatnya sehingga dampak Covid-19 terhadap ekonomi berpotensi semakin memburuk. Akibatnya, biaya untuk menyelamatkan stabilitas sistem keuangan dan perekonomian nasional menjadi tidak menentu. Semakin lama penanganan Covid-19 berlangsung, semakin tinggi biaya krisis ekonomi yang harus ditanggung. Oleh karena itu, pemerintah harus mengintegrasikan kebijakan penanganan Covid- 19 dengan kebijakan ekonomi dengan tujuan memotong mata rantai penyebaran secepat-cepatnya. Ancaman Stabilitas Sistem Keuangan dan Perekonomian Nasional Tidak Tepat sebagai Faktor Kegentingan yang Memaksa Pertama, dalam keadaan mendesak yang mengancam stabilitas sistem keuangan dan perekonomian nasional, pemerintah sudah mempunyai perangkat hukum untuk mengatasi itu, sehingga tidak tepat hal ini dijadikan hal ihwal kegentingan yang memaksa untuk menetapkan Perppu Nomor 1/2020. Untuk mengatasi ancaman stabilitas sistem keuangan dan perekonomian nasional, pemerintah mempunyai undang-undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (UU Nomor 9/2016) yang diundangkan pada 15 April 2016. UU Nomor 9/2016 relatif masih baru untuk dapat menjawab tantangan sistem keuangan terkini. UU Nomor 9/2016 khusus dibuat untuk pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan yang mencakup bidang fiskal, moneter, makroprudensial dan mikroprudensial jasa keuangan, pasar keuangan, infrastruktur keuangan, termasuk sistem pembayaran dan penjaminan simpanan, dan resolusi bank [Pasal 3 ayat (2) UU Nomor 9/2016]. Sesuai Penjelasan atas UU Nomor 9/2016, UU ini dibuat untuk memperbaiki dan membangun sistem keuangan yang tangguh dan siap menghadapi krisis sistem 80 keuangan, berdasarkan pengalaman krisis keuangan 1997-1998 dan krisis keuangan global 2008. Selanjutnya, seperti dikutip dari Penjelasan: “Titik berat Undang-Undang ini terletak pada pencegahan dan penanganan permasalahan bank sistemik sebagai bagian penting dari sistem keuangan. Meskipun demikian, pemantauan, pemeliharaan, dan penanganan permasalahan sistem keuangan dilakukan juga terhadap bidang fiskal, moneter, lembaga jasa keuangan, pasar keuangan, dan infrastruktur keuangan, termasuk sistem pembayaran. Hal ini didasarkan pada dua pertimbangan utama. Pertama, permasalahan bank sistemik dapat menyebabkan gagalnya sistem pembayaran yang mengakibatkan tidak berfungsinya sistem keuangan secara efektif dan berdampak langsung pada jalannya roda perekonomian. Kedua, sebagian besar dana masyarakat saat ini dikelola oleh sektor perbankan, khususnya bank sistemik, dan perlu dijaga keamanannya dari kemungkinan kegagalan bank. Pencegahan dan penanganan permasalahan pasar keuangan dan lembaga jasa keuangan lain dilaksanakan oleh lembaga sesuai dengan wewenang yang diatur dalam Undang-Undang mengenai perbankan, perasuransian, pasar modal, surat utang negara, Lembaga Penjamin Simpanan, Otoritas Jasa Keuangan, dan Bank Indonesia.” Oleh karena itu, pemerintah lebih tepat menggunakan UU Nomor 9/2016 untuk mencegah dan menangani krisis sistem keuangan, sehingga Perppu Nomor 1/2020 tidak tepat untuk menangani ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan. Pasal 6 huruf c UU Nomor 9/2016 menjelaskan bahwa KSSK (Komite Stabilitas Sistem Keuangan) berwenang menetapkan kriteria dan indikator untuk penilaian kondisi Stabilitas Sistem Keuangan. Artinya, pemerintah senantiasa memantau kondisi Stabilitas Sistem Keuangan sehingga dapat mendeteksi kondisi Stabilitas Sistem Keuangan sejak awal dan menyiapkan solusi penanganan yang tepat. Dengan demikian, tidak ada unsur keterdesakan yang dapat dikategorikan kegentingan yang memaksa yang membuat pemerintah menetapkan Perppu Nomor 1/2020. Hingga Perppu Nomor 1/2020 ditetapkan pada 31 Maret 2020, masyarakat tidak mendengar stabilitas sistem keuangan dalam kondisi krisis. Sehingga seharusnya Perppu Nomor 1/2020 tidak memenuhi persyaratan kegentingan yang memaksa. 81 Hal ini diperkuat dengan pernyataan Kepala Eksekutif LPS, salah satu anggota KSSK, pada 20 Maret di media dengan judul Ada Corona, LPS Pastikan Likuiditas Sektor Keuangan RI Aman . ( https: //www.cnbcindonesia.com/market/ ri-aman ). Kemudian, Bank Indonesia, juga sebagai salah satu anggota KSSK, pada 20 Maret 2020 menyatakan Stabilitas sistem keuangan tetap terjaga, meskipun fungsi intermediasi perbankan terus menjadi perhatian . Oleh karena itu, penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 bertentangan dengan pernyataan dua anggota KSSK bahwa stabilitas sistem keuangan dan perekonomian Indonesia masih terjaga dan aman. Dengan kata lain, tidak ada kegentingan memaksa. Penyesuaian Fiskal dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tidak Tepat sebagai Faktor Kegentingan yang Memaksa Kedua, Covid-19 membuat asumsi dasar dan postur APBN 2020 melenceng. Realisasi APBN 2020 diperkirakan akan menyimpang dari target. Oleh karena itu, pemerintah merasa perlu melakukan perubahan APBN untuk tahun anggaran (TA) 2020. Sehubungan dengan Covid-19, pemerintah memilih melakukan perubahan postur APBN (APBN-P) tahun anggaran 2020 melalui penetapan Perppu No 1/2020. Sebenarnya sudah ada mekanisme UU yang mengatur perubahan APBN. Pasal 27 ayat (3) UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (UU Nomor 17/2003) membolehkan pemerintah melakukan penyesuaian APBN dengan kondisi perekonomian terkini. Pasal 27 ayat (4) mengatur kondisi darurat: dalam keadaan darurat pemerintah dapat melakukan pengeluaran yang belum tersedia anggarannya, yang selanjutnya diusulkan dalam rancangan perubahan APBN dan/atau disampaikan dalam Laporan Realisasi Anggaran. UU Nomor 20 Tahun 2019 tentang APBN Tahun Anggaran 2020 (UU Nomor 20/2019) juga memuat mekanisme penyesuaian APBN TA 2020 secara lebih detil, yang harus disampaikan dalam Rancangan Undang-Undang mengenai Perubahan atas UU APBN Tahun Anggaran 2020. Pasal 41 UU Nomor 20/2019 mengatur mekanisme perubahan anggaran dalam keadaan darurat, di mana, dalam hal ini, DPR harus memberikan persetujuan dalam waktu 1 kali 24 jam setelah disampaikan pemerintah. 82 Oleh karena itu, dari unsur waktu, tidak ada alasan yang memadai untuk menetapkan Perppu Nomor 1/2020. Perppu ditetapkan ketika ada kondisi kegentingan yang memaksa, atau darurat. Sedangkan kondisi darurat ini sudah diatur dalam undang-undang tentang Keuangan Negara, khususnya UU Nomor 20/2019, termasuk persetujuan dari DPR yang harus diberikan dalam waktu 1 kali 24 jam. Selanjutnya, pembahasan perubahan APBN juga dapat dilakukan cukup cepat sehingga tidak diperlukan Perppu untuk melakukan perubahan APBN. Hal ini terbukti pada pembahasan Perubahan APBN Tahun Anggaran 2017 yang hanya memerlukan waktu 24 hari kalender. RUU Perubahan APBN diajukan presiden pada 3 Juli 2017 dan disahkan DPR pada 27 Juli 2017. http: //www.anggaran. kemenkeu.go.id/dja/edef-konten-view.asp?id=1291 Untuk dimensi jumlah, alasan kegentingan yang memaksa juga tidak terpenuhi. Target defisit anggaran pada APBN 2020 ditetapkan Rp 307 triliun, atau setara 1,8 persen dari PDB. Menurut UU Keuangan Negara, defisit anggaran boleh mencapai 3 persen dari PDB. Artinya, defisit anggaran pada APBN 2020 bisa ditingkatkan menjadi Rp513 triliun. Jumlah ini seharusnya cukup untuk membiayai APBN hingga RUU Perubahan APBN disahkan melalui prosedur normal. Hal ini juga terbukti, defisit anggaran sampai akhir Juni 2020 hanya Rp257,8 triliun. Jauh lebih rendah dari target defisit anggaran APBN 2020 (Rp307 triliun) maupun target defisit anggaran yang dibolehkan oleh UU (Rp513 triliun). Adapun defisit anggaran sampai Juli dan Agustus 2020 masing-masing Rp330,2 triliun dan Rp500,5 triliun. Masih dalam jangkauan batasan defisit yang dibolehkan menurut UU Keuangan Negara. Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan tidak ada hal ihwal kegentingan yang memaksa yang menjadi prasyarat penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2020. Sebagai konsekuensi, Perppu bisa cacat hukum karena melanggar prasyarat Pasal 22 ayat (1) UUD NRI: Tidak ada kebutuhan mendesak; Tidak ada kekosongan hukum (kecuali batas defisit anggaran 3 persen dari PDB); Kekosongan hukum batas defisit anggaran ini dapat diatasi dengan membuat UU melalui prosedur normal. Bahaya Penetapan Perppu Nomor 1/2020 Terhadap Perekonomian Nasional dan Stabilitas Sistem Keuangan Perubahan APBN 2020 dilakukan melalui penetapan Perppu Nomor 1/2020 untuk tujuan tertentu. Pertama untuk menaikkan batas defisit anggaran maksimal 3 persen dari PDB seperti diatur di dalam UU Nomor 17/2003 tentang Keuangan Negara 83 menjadi defisit anggaran tidak terbatas selama 3 tahun masing-masing untuk anggaran 2020, 2021 dan 2022. Kedua, Perppu Nomor 1/2020 menghapus beberapa pasal dari UU lain seperti tercantum pada pasal 28 butir 1 hingga butir 12. Sedangkan Perppu Nomor 1/2020 akan berlaku permanen setelah disahkan menjadi UU nomor 2 Tahun 2020. Sebagai contoh, • Bank Indonesia boleh seterusnya membeli surat berharga negara di pasar primer akibat Pasal 55 ayat (4) UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang melarang pembelian tersebut dihapus. • APBN tidak perlu lagi terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan dan jenis belanja karena Pasal 15 ayat (5) UU Nomor 17/2003 yang mengharuskan rincian APBN dihapus. • Pemerintah dapat memberikan pinjaman dan/atau hibah kepada pemerintah daerah dan pemerintah/lembaga asing tanpa mendapat persetujuan DPR, karena pasal yang mengatur persetujuan sudah dihapus. • Dan masih banyak lainnya. Begitu juga dengan Pasal 27 Perppu Nomor 1/2020 akan berlaku permanen. Mengakibatkan para pejabat KSSK dan pengguna anggaran APBN tidak bisa dituntut secara perdata maupun pidana serta tidak bisa digugat di peradilan tata usaha negara, dan semua biaya yang telah dikeluarkan dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara. Implikasi Pasal 28 Perppu Nomor 1/2020 Perppu Nomor 1/2020 menghapus banyak pasal-pasal dari berbagai undang- undang lainnya seperti tercantum pada Pasal 28 Perppu Nomor 1/2020. Penghapusan pasal-pasal tersebut mempunyai implikasi bahwa Perppu Nomor 1/2020 berpotensi melanggar undang-undang yang mempunyai hierarki lebih tinggi dari Perppu secara umum, yaitu Undang-Undang Dasar dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR), karena pasal-pasal yang dihapus tersebut sebenarnya penjabaran atau pelaksanaan dari Undang-Undang Dasar atau TAP MPR. 84 Penghapusan pasal-pasal tersebut juga membahayakan perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan. Karena Perppu Nomor 1 Tahun 2020 bukan mengisi kekosongan hukum. Melainkan menghapus peraturan (pasal) terkait ekonomi dan keuangan yang awalnya harmonis menjadi disharmonis. Karena penghapusan peraturan (pasal) tersebut bersifat permanen. PEMBAHASAN PASAL-PASAL PADA PERPPU NOMOR 1 TAHUN 2020 Sehubungan dengan Covid-19, pemerintah perlu menetapkan kebijakan keuangan negara dan kebijakan stabilitas sistem keuangan, yang tertuang dalam Perppu Nomor 1/2020. Di bawah ini membahas pasal-pasal sehubungan dengan kedua kebijakan tersebut dan potensi bertentangan dengan UUD, TAP MPR atau dengan UU lainnya.
Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1 Perppu Nomor 1/2020 Pemerintah berwenang menetapkan batasan defisit anggaran melampaui 3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB)...… paling lama sampai dengan berakhirnya Tahun Anggaran 2022. Pendapat Defist anggaran melampaui 3% dari PDB berarti boleh melampaui tanpa batas. Defisit anggaran tanpa batas bisa membahayakan perekonomian nasional dan keuangan negara. Defisit anggaran berarti pemerintah harus menarik utang baru. Utang pemerintah saat ini sudah sangat besar. Pembayaran bunga pinjaman sangat membebani belanja negara, sehingga rakyat dirugikan karena anggaran belanja untuk kepentingan rakyat jauh berkurang. Hal ini bisa bertentangan dengan Pasal 23 UUD NRI agar pemerintah mengelola keuangan negara untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat . Rasio beban bunga terhadap penerimaan pajak tahun 2019 mencapai 17,9 persen. Rasio ini jauh lebih besar dari rasio menurut prinsip kehati-hatian berdasarkan patokan IMF ( International Monetary Fund ) sebesar 10 persen. Kalau penambahan utang pemerintah melonjak tinggi akibat batas defisit dibuat tanpa batas, rasio beban bunga pinjaman terhadap penerimaan pajak akan naik pesat, sehingga dapat membahayakan ketersediaan anggaran belanja negara untuk kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, defisit anggaran boleh melampaui 3 persen dari PDB tidak bisa diterima karena tanpa ada batasan yang jelas yang dapat membahayakan keuangan negara dan perekonomian nasional. 85 Terkait unsur waktu, batasan defisit anggaran dalam persentase tertentu seharusnya hanya terbatas untuk tahun 2020 saja, mengingat kegentingan yang memaksa yang menjadi dasar penetapan Perppu Nomor 1/2020, yaitu Pasal 22 ayat (1) UUD NRI, harus diatasi secepatnya sesuai persyaratan penetapan Perppu. Artinya, Covid-19 seharusnya sudah dapat diatasi dalam tahun ini, sehingga kondisi kegentingan yang memaksa menjadi tidak relevan lagi pada tahun depan, dan oleh karena itu kondisi fiskal APBN bisa menjadi normal kembali. Sementara itu, untuk tahun-tahun berikutnya, pemerintah bisa menempuh cara wajar dalam pembentukan undang-undang sesuai yang diatur Pasal 20 UUD NRI dengan mengajukan rancangan undang-undang apabila merasa perlu mengubah peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini karena masih banyak waktu untuk membuat perubahan undang-undang yang dapat digunakan mulai tahun 2021. Kesimpulan:
Defisit anggaran melampaui 3 persen dari PDB selama tiga tahun bertentangan dengan Pasal 22 ayat (1) UUD NRI di mana unsur kegentingan yang memaksa, khususnya dimensi waktu, tidak terpenuhi.
Defisit anggaran melampaui 3 persen dari PDB selama tiga tahun tanpa perlu mendapat persetujan DPR bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) UUD NRI di mana APBN harus ditetapkan setiap tahun dengan persetujuan DPR. Penetapan APBN tanpa persetujuan DPR termasuk praktek pengelolaan keuangan negara yang dapat membahayakan perekonomian nasional sehingga unsur untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat tidak terpenuhi seperti dimaksud Pasal 23 ayat (1).
Penetapan defisit anggaran tanpa persetujuan DPR melanggar Pasal 20A UUD NRI karena memangkas wewenang DPR yang diberikan UUD: Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. 2. Pasal 2 ayat (1) huruf c Perppu Nomor 1/2020 Pengelolaan anggaran dan keuangan negara sepatutnya harus terinci sampai unit organisasi, fungsi, dan program seperti berulang kali ditegaskan dalam undang- undang lainnya, seperti Pasal 180 ayat (6) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD, Pasal 14 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 86 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2019 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020. Penghapusan pasal-pasal tersebut di atas yang mewajibkan anggaran disusun sampai unit organisasi, fungsi, dan program pada hakekatnya menghalangi peran dan fungsi BPK sebagai pemeriksa keuangan negara yang ditugaskan oleh UUD NRI. Pasal 9 ayat (1) huruf b menyatakan bahwa dalam melaksanakan tugasnya, BPK berwenang meminta keterangan dan/atau dokumen yang wajib diberikan oleh setiap orang, unit organisasi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara; Dengan tidak ada rincian anggaran sampai unit organisasi, fungsi dan program, maka BPK tidak bisa memeriksa setiap pihak yang mengelola keuangan negara, sehingga BPK tidak bisa menjalankan fungsi dan tugasnya sesuai perintah UU BPK dan UUD NRI. __ Di lain pihak, Pasal 11 ayat (5) UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara mewajibkan belanja negara dirinci menurut organisasi, fungsi dan jenis belanja. Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2019 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020 juga mewajibkan Anggaran Belanja Pemerintah Pusat dikelompokkan menurut fungsi, organisasi, dan program. Kedua pasal ini masih berlaku karena tidak dihapus di dalam Perppu Nomor 1/2020. Sebagai tindak lanjut Perppu Nomor 1/2020, pemerintah sudah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020 (Perpres Nomor 54/2020) beserta Lampirannya. Di dalam Postur Perubahan APBN 2020 tersebut, tidak ada rincian anggaran sampai organisasi, fungsi, dan program. Dalam hal ini, pemerintah melalui menteri keuangan mendapat wewenang yang sangat besar sekali, bahkan dapat dikatakan wewenang absolut, dalam menggunakan anggaran. • Hal ini tersurat di dalam Perpres Nomor 54/2020 di mana Menteri Keuangan dapat menetapkan perubahan atas rincian Perubahan Postur APBN TA 2020 (Pasal 3 ayat (2)) secara sepihak, tanpa perlu mendapat persetujuan DPR. Perubahan atas rincian Perubahan Postur APBN TA 2020 tidak sampai unit 87 organisasi, fungsi, dan program mengakibatkan BPK tidak dapat menjalankan fungsi dan tugasnya sebagaimana perintah UUD. Berdasarkan peraturan perundang-undangan, dalam kondisi apapun, pemerintah tidak bisa menghilangkan fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan DPR serta tidak bisa menghilangkan fungsi dan tugas BPK, seperti yang diamanatkan UUD NRI. Kesimpulan:
Penghapusan rincian anggaran sampai unit organisasi, fungsi, dan program bertentangan dengan Pasal 20A ayat (1) dan Pasal 23E ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI karena membuat BPK tidak bisa melaksanakan tugasnya sesuai Pasal 9 ayat (3) UU Nomor 15/2006 tentang BPK.
Pasal 2 ayat (1) huruf d melakukan tindakan yang berakibat pengeluaran atas beban APBN, yang anggaran untuk membiayai pengeluaran tersebut belum tersedia atau tidak cukup tersedia, serta menentukan proses dan metode pengadaan barang/jasa. Penentuan proses dan metode pengadaan barang dan jasa harus sesuai, dan tidak boleh bertentangan, dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Terkait hal ini, kasus Kartu Prakerja sudah menuai kontroversi dan keresahan di masyarakat. Kartu Prakerja adalah bantuan nontunai dari pemerintah kepada para pihak yang tidak bekerja, atau kepada pihak yang tertarik, untuk digunakan mengikuti pelatihan dengan tujuan meningkatkan kompetensi. Untuk melaksanakan tugas ini, pemerintah bekerja sama dengan rekanan atau mitra untuk pelatihan online (Platform Digital). Kontroversi dan keresahan disebabkan pertama, dari mana sumber anggaran untuk membiayai Kartu Prakerja tersebut. Karena tidak ada rincian anggaran sampai unit organisasi, fungsi dan program akibat dihapus di Perppu Nomor 1/2020, maka BPK akan kesulitan melaksanakan pemeriksaan sampai ke pengelola anggaran sesuai standar pemeriksaan keuangan negara. Kedua, proses pemilihan rekanan atau mitra kerjasama pemerintah dengan 8 platform digital mengandung kontroversi dan tercium aroma KKN yang dilarang di dalam TAP MPR. Kalau pemberian bantuan nontunai adalah hak penerima sesuai kriteria yang ditetapkan, maka pemerintah tidak ada hak lagi untuk mengatur bagaimana penerima atau pemilik nontunai membelanjakan bantuan nontunai 88 tersebut. Terlebih, pemerintah tidak bisa menjalin kerjasama dengan mitra 8 platform dengan mengatasnamakan pihak penerima bantuan nontunai. Perjanjian seperti ini tidak ada dasar hukumnya dan menjadi tidak sah. Kecuali pemerintah mengatakan bantuan nontunai adalah dalam bentuk barang/jasa. Dalam hal ini, pemerintah bisa mengadakan perjanjian kerjasama dengan mitra pemilik 8 platform digital. Sebagai konsekuensi, biaya Kartu Prakerja dan pemilihan mitra dapat diperiksa oleh BPK dan dapat dinilai apakah ada kerugian negara dalam pelaksanaan kerjasama tersebut. Dalam hal ini, mitra juga bisa diperiksa apakah terjadi mark-up yang merugikan keuangan negara. Implikasi Pasal 2 ayat (1) huruf d adalah pemberian wewenang yang sangat besar kepada pemerintah karena dapat melakukan pengeluaran meskipun anggarannya belum cukup tersedia atau tidak tersedia, bahkan dapat menentukan proses dan metode pengadaan barang/jasa. Wewenang yang tidak terkontrol ini bertentangan dengan fungsi DPR seperti tercantum di Pasal 20A ayat (1) UUD NRI dan BPK seperti tercantum di Pasal 23E ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI.
Pasal 2 ayat (1) huruf f Pemerintah berwenang menerbitkan Surat Utang Negara dan/atau Surat Berharga Syariah Negara dengan tujuan tertentu khususnya dalam rangka pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) untuk dapat dibeli oleh Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), investor korporasi, dan/atau investor ritel; Di dalam PERPPU 1/2020 harus dijelaskan tujuan tertentu yang di maksud dalam “penerbitan surat utang negara/surat berharga syariah negara dengan tujuan tertentu khususnya dalam rangka pandemi Covid-19”, sehingga tujuan tertentu tersebut tidak berkembang menjadi banyak tujuan tertentu. Pertama, menurut Pasal 55 ayat (4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (UU 23/1999), yang dihapus bersamaan dengan terbitnya PERPPU 1/2020, Bank Indonesia dilarang membeli surat-surat utang negara untuk diri sendiri di pasar primer, kecuali surat utang negara berjangka pendek yang diperlukan oleh Bank Indonesia untuk operasi pengendalian moneter. Pelarangan pembelian surat- surat utang negara oleh BI di pasar primer sangat penting untuk menjaga independensi BI sesuai perintah Pasal 9 Ketetapan MPR Nomor XVI/MPR/1998 (TAP MPR XVI/MPR/1998) dan Pasal 23D UUD NRI. 89 Pasal 9 TAP MPR XVI/1998 berbunyi: Dalam rangka pengelolaan ekonomi keuangan nasional yang sehat. Bank Indonesia sebagai Bank Sentral harus mandiri, bebas dari campur tangan pemerintah dan pihak luar lainnya dan kinerjanya dapat diawasi dan dipertanggungjawabkan. Pasal 23D UUD NRI berbunyi: Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan undang-undang. Pelaksanaan kedua pasal di atas menghasilkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang mandiri, bebas dari campur tangan pemerintah, dan independen. Nilai-nilai tersebut dicapai melalui Pasal 55 ayat (4) UU Nomor 23/1999 tersebut. Yaitu, Bank Indonesia dilarang membeli untuk diri sendiri surat- surat utang negara kecuali di pasar sekunder. Independensi Bank Indonesia dicapai antara lain melalui pemisahan kebijakan moneter dari kebijakan fiskal yang menjadi tujuan utama Pasal 55 ayat (4) UU 23/1999. Penghapusan Pasal 55 ayat (4) di dalam Perppu Nomor 1/2020 membuat BI boleh membeli surat-surat utang negara secara langsung untuk diri sendiri di pasar primer membuat BI menjadi tidak independen lagi. Pembelian surat utang negara di pasar sekunder oleh BI merupakan bagian dari pelaksanaan tugas dalam menjalankan kebijakan moneter. Kalau BI boleh, dan dipaksa, membeli surat utang negara di pasar primer maka BI kehilangan independensi yang dapat membahayakan kebijakan moneter nasional. Pada hakekatnya, penerbitan surat utang negara oleh pemerintah adalah domein kebijakan fiskal. Sedangkan pembelian surat-surat utang negara oleh BI merupakan domein kebijakan moneter. Pembelian surat utang negara oleh BI secara langsung dari pemerintah di pasar primer berarti BI tidak independen lagi dalam menjalankan kebijakan moneternya. Terlebih lagi bahwa batasan defisit anggaran dalam Perppu Nomor 1/2020 dibuat tanpa batas ( melampaui 3% artinya bisa sebesar-besarnya) sehingga membahayakan perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan. Kebijakan moneter yang tidak independen berdampak negatif terhadap perekonomian nasional. 90 Alasan BI hanya boleh beli surat berharga negara di pasar sekunder agar BI dapat membeli surat berharga negara tersebut sesuai kebutuhan dalam melaksanakan kebijakan moneter yang menjadi tanggung jawabnya. Dengan kata lain, sesuai mandat TAP MPR XVI/MPR/1998 dan UUD NRI. Sebagai konsekuensi, Pasal 2 ayat (1) butir f Perppu Nomor 1/2020 merupakan kemunduran luar biasa pada sektor keuangan pasca krisis 1998, dan mengantar kembali ke sistem moneter era Orde Baru yang turut menjadi penyebab utama terjadinya krisis ekonomi 1997/1998 dan timbulnya kasus bermasalah BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia). Peru digaris bawahi, Perppu Nomor 1/2020 memberi dampak BI boleh membeli surat utang negara di pasar primer untuk jangka waktu tidak terbatas, sehingga kebijakan dan peraturan undang-undang ini menjadi permanen. Mengingat Perppu Nomor 1/2020 diterbitkan karena ada kegentingan yang memaksa, maka implikasi kebijakan menjadi permanen bertentangan dengan alasan diterbitkannya Perppu Nomor 1/2020 yang bersifat sementara. Oleh karena itu, Pasal 2 ayat (1) huruf f Perppu No 1/2020 bertentangan dengan Pasal 9 TAP MPR XVI/MPR/1998 dan Pasal 23D UUD NRI.
Pasal 2 ayat (1) huruf g Pemerintah berwenang menetapkan sumber-sumber pembiayaan Anggaran yang berasal dari dalam dan/atau luar negeri. Sumber pembiayaan terkait penanganan Covid-19 harusnya diperoleh dari dalam negeri, mengingat utang luar negeri pemerintah khususnya, dan utang luar negeri Indonesia secara keseluruhan, sudah dalam tingkat mengkhawatirkan, dan memberi kontribusi besar terhadap instabilitas sistem keuangan dan moneter dewasa ini. Menurut pedoman IMF, batas utang luar negeri yang aman tidak melebihi 30 persen dari PDB. Rasio utang luar negeri Indonesia meningkat terus, mencapai 36,13 persen dari PDB pada akhir 2019. Rasio utang luar negeri terhadap ekspor juga dalam kondisi mengkhawatirkan, mencapai sekitar 242 persen pada akhir 2019. Yang lebih mengkhawatirkan, rasio ini meningkat tajam dalam satu tahun terakhir, dari 210 persen pada 2018 menjadi 242 persen pada 2019. Peningkatan rasio ini menunjukkan kemampuan Indonesia dalam memenuhi kebutuhan mata uang asing untuk membayar utang luar negeri semakin lemah, dan dapat memicu krisis valuta dan mengakibatkan nilai tukar rupiah terdepresiasi tajam, seperti yang terjadi pada 91 awal April 2020 yang lalu di mana kurs rupiah sempat tembus Rp17.000 per dolar AS, yang merupakan kurs terendah sepanjang masa. Anjloknya kurs rupiah membuat harga impor untuk bahan baku, bahan setengah jadi dan barang modal naik. Oleh karena itu, pembatasan utang luar negeri menjadi sangat penting untuk menyelamatkan perekonomian nasional dan stabilitas moneter di waktu yang akan datang, sesuai BAB IV Butir A angka 2 huruf g TAP MPR X/MPR/1998 dan Pasal 10 TAP MPR XVI/MPR/1998. BAB IV Butir A angka 2 huruf g TAP MPR X/MPR/1998 Membentuk sistem pengawasan dan pemantauan utang luar negeri baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun dunia usaha. Pasal 10 TAP MPR XVI/MPR/1998 Seluruh pinjaman luar negeri Pemerintah harus memperkuat perekonomian nasional dilaksanakan oleh Pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dan dimasukan kedalam rencana anggaran tahunan. Oleh karena itu, pembiayaan anggaran seharusnya dari dalam negeri. Sumber pembiayaan dari luar negeri harus sepertujuan DPR sesuai TAP MPR tersebut di atas. Artinya, Pasal 2 ayat (1) huruf g bertentangan dengan TAP MPR di atas. Belum lama berselang, pemerintah sudah menerbitkan surat utang senilai 4,3 miliar dolar AS pada 7 April 2020. Selain itu, Bank Indonesia sudah mengikat perjanjian fasilitas repo (repurchase agreement Line) dengan lembaga asing the Federal Reserve, Bank Sentral Amerika Serikat, senilai 60 miliar dolar AS. Fasilitas repo adalah semacam fasilitas kredit beragunan jangka pendek. Kedua peristiwa tersebut sudah melanggar kedua TAP MPR di atas serta Pasal 11 ayat (2) UUD NRI, karena harus mendapat persetujuan DPR terlebih dahulu.
Pasal 11 Inti Pasal 11 Perpu Nomor 1/2020 adalah pemerintah menjalankan program pemulihan ekonomi nasional, dapat dilaksanakan melalui Penyertaan Modal Negara (PMN), penempatan dana dan/atau investasi Pemerintah, dan/atau kegiatan penjaminan dengan skema yang ditetapkan oleh Pemerintah. PMN dilakukan melalui BUMN yang ditunjuk. Penempatan dana dan/atau investasi Pemerintah dapat dilakukan langsung oleh Pemerintah dan/atau melalui lembaga keuangan, manajer investasi, dan/atau lembaga lain yang ditunjuk. 92 Pasal 24 ayat (7) UU Nomor 17/2003 sudah mengatur, untuk penyelamatan perekonomian nasional, Pemerintah (Pusat) dapat memberikan pinjaman dan/atau melakukan penyertaan modal kepada perusahaan swasta setelah mendapat persetujuan DPR . Oleh karena itu, penyertaan modal atau pinjaman kepada perusahaan swasta tanpa mendapat persetujuan DPR seperti di maksud Pasal 11 Perppu Nomor 1/2020 bertentangan dengan UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Pasal 20A ayat (21) UUD NRI mengenai fungsi pengawasan DPR.
Pasal 12 ayat (1) Pelaksanaan kebijakan keuangan negara dan langkah-langkah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 11 dilakukan dengan tetap memperhatikan tata kelola yang baik. “Memperhatikan tata kelola yang baik” tidak berarti dapat menghilangkan tugas pengawasan dan pemeriksaan dari badan yang berwenang sesuai UUD NRI, yaitu DPR RI dan BPK RI. Sebaliknya, Pasal 27 Perppu Nomor 1/2020 yang memberi kekebalan (imunitas) hukum kepada semua pihak yang disebut dalam pasal tersebut jelas menunjukkan intensi tata kelola keuangan yang tidak baik , dan bertentangan dengan muatan materi pasal 12 ayat (1).
Pasal 13 Penggunaan anggaran dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara dan langkah-langkah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 12 dilaporkan Pemerintah dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat. Berdasarkan UUD NRI, BPK wajib memeriksa Laporan Keuangan Pemerintah Pusat, serta menyatakan apakah ada kerugian negara akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara. Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 15/2006 tentang BPK BPK menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara. 93 Pasal ini merupakan penjabaran dari Pasal 23E UUD NRI mengenai fungsi dan wewenang BPK sehingga pelanggaran atas Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 15/2006 tentang BPK juga akan melanggar Pasal 23E UUD NRI.
Pasal 16 ayat (1) huruf a Bank Indonesia diberikan kewenangan untuk memberikan pinjaman likuiditas jangka pendek atau pembiayaan likuiditas jangka pendek berdasarkan prinsip syariah kepada Bank Sistemik atau bank selain Bank Sistemik. Penyelamatan bank yang mempunyai masalah likuiditas maupun solvabilitas seharusnya menggunakan UU Nomor 9/2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan. Tetapi, Bank Indonesia kemudian memainkan peran lebih aktif terkait pencegahan dan Penanganan krisis sistem keuangan menimbulkan banyak tanda tanya. Tetapi, praktek pemberian pinjaman dan pembiayaan likuiditas seperti dimaksud dalam Perppu Nomor 1/2020 ini bertentangan dengan status independensi Bank Indonesia sesuai amanat Pasal 23D UUD NRI (dan TAP MPR XVI/MPR/1998). Selain itu, praktek pemberian pinjaman dan pembiayaan likuiditas seperti dimaksud dalam Perppu Nomor 1/2020 juga merupakan langkah mundur dalam pengelolaan sektor moneter dan keuangan Indonesia, dan membawa kembali ke dalam praktek Orde Baru di mana Bank Indonesia bisa langsung memberi pinjaman atau pembiayaan likuiditas kepada bank (sistemik atau selain sistemik), yang kemudian berakhir dengan penyalahgunaan BLBI tahun 1998 sebesar Rp138 triliun dari total pinjaman BLBI Rp144,5 triliun. Untuk menjaga agar peristiwa ini tidak terulang, maka dibentuk Lembaga Penjamin Simpanan sebagai lembaga independen untuk menilai dan memutuskan mekanisme pemberian pinjaman kepada bank sistemik maupun tidak sistemik (dan membebankan kepada APBN). Praktek Bank Indonesia kembali ke Orde Baru dapat membahayakan sistem moneter dan keuangan Indonesia sehingga melanggar Pasal 23 ayat (1) UUD NRI.
Pasal 16 ayat (1) huruf b Bank Indonesia diberikan kewenangan memberikan Pinjaman Likuiditas Khusus kepada Bank Sistemik yang mengalami kesulitan likuiditas dan tidak memenuhi persyaratan pemberian pinjaman likuiditas jangka pendek atau pembiayaan 94 likuiditas jangka pendek berdasarkan prinsip syariah yang dijamin oleh Pemerintah dan diberikan berdasarkan Keputusan KSSK. Pasal ini mengatur BI dapat memberi pinjaman kepada bank yang pada prinsipnya mempunyai masalah solvabilitas, yaitu keadaan (mendekati) bangkrut . Wewenang ini sangat rawan disalahgunakan seperti peristiwa BLBI 1998 dan Bank Century 2008. Bank Century ketika itu menghadapi masalah solvabilitas tetapi akhirnya dipaksakan untuk diselamatkan dengan mengubah berbagai peraturan. Seperti diketahui bersama, pinjaman likuiditas ini ternyata disalahgunakan dan merugikan keuangan negara. Atas pembelajaran kasus Bank Century 2008 dan kasus BLBI 1998, maka dibuat Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan. Tetapi, UU yang masih relatif baru tersebut tidak digunakan dalam menghadapi ancaman stabilitas sistem keuangan. Hal ini mengundang tanda tanya, dan seharusnya pemerintah konsistem menerapkan UU Nomor 9/2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan. Penyelamatan bank adalah domein kebijakan fiskal, sehingga BI seharusnya tidak ikut campur untuk mempertahankan independensinya. Bank Indonesia hanya dapat memberi pinjaman likuiditas kepada Bank bermasalah dengan membeli surat berharga bank bersangkutan. Pemerintah dapat memberi pinjaman kepada Bank bermasalah melalui penerbitan surat berharga setelah mendapat persetujuan DPR. Bank bermasalah dapat menjual surat berharga negara tersebut kepada Bank Indonesia. Oleh karena itu, Pasal 16 ayat (1) huruf a dan huruf b bertentangan dengan UU yang mewajibkan Bank Indonesia sebagai bank sentral yang independen sesuai amanat Pasal 23D UUD NRI. Untuk menghadapi kondisi krisis perbankan, hal tersebut diatur Pasal 33 UU BI dan UU Nomor 9/2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan.
Pasal 16 ayat (1) huruf c Bank Indonesia diberikan kewenangan membeli Surat Utang Negara dan/atau Surat Berharga Syariah Negara berjangka panjang di pasar perdana untuk penanganan permasalahan sistem keuangan yang membahayakan perekonomian nasional, 95 termasuk Surat Utang Negara dan/atau Surat Berharga Syariah Negara yang diterbitkan dengan tujuan tertentu khususnya dalam rangka pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Lihat penjelasan butir 4 di atas untuk Pasal 2 ayat (1) huruf f. Sebenarnya, Pasal 16 ayat (1) huruf c ini juga bertentangan dengan pasal 4 ayat (2) UU Nomor 23/1999 tentang Bank Indonesia yang menjelaskan bahwa Bank Indonesia harus bebas independen dan bebas dari campur tangan pemerintah atau pihak lain. Pasal 4 ayat (2) UU Nomor 23 Tahun 1999 Bank Indonesia adalah lembaga negara yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan Pemerintah dan/atau pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam Undang-undang ini. Berdasarkan uraian diatas, pasal 16 ayat (1) huruf c bertentangan dengan Pasal 4 ayat (2) UU Nomor 23/1999, bertentangan dengan Pasal 9 TAP MPR XVI/MPR/1998 serta bertentangan dengan Pasal 23D UUD NRI, untuk membangun Bank Indonesia yang independen dan bebas campur tangan pemerintah dan/atau pihak lain.
Pasal 19 ayat (1) Lihat penjelasan pada butir 9 (Pasal 16 ayat (1) huruf a), butir 10 [Pasal 16 ayat (1) huruf b, butir 11 (Pasal 16 ayat (1) huruf c)] di atas.
Pasal 20 ayat (1) huruf b angka 2 dan angka 3 Pasal 20 ayat (1) huruf b angka 2 dan angka 3 yang memberi wewenang LPS untuk menerbitkan surat utang dan meminjam kepada pihak lain bertentangan dengan Pasal 85 UU Nomor 24/2004 tentang LPS yang mengatur: • Dalam hal LPS mengalami kesulitan likuiditas, LPS dapat memperoleh pinjaman dari Pemerintah. • Dalam hal modal LPS kurang dari modal awal, Pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menutup kekurangan tersebut. Pasal 20 ayat (1) huruf b angka 2 dan angka 3 berpotensi menghilangkan wewenang DPR sehingga bertentangan dengan Pasal 20A UUD NRI. 96 Pasal 85 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2004 Dalam hal modal LPS kurang dari modal awal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (1), Pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menutup kekurangan tersebut. Pasal 85 ayat (2) UU Nomor 24 Tahun 2004 Dalam hal LPS mengalami kesulitan likuiditas, LPS dapat memperoleh pinjaman dari Pemerintah.
Pasal 27 ayat (1) Pasal 27 ayat (1) Perppu 1/2020 menyatakan bahwa semua biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara. Berdasarkan Pasal 23E ayat (1) UUD NRI, BPK ditugaskan oleh konstitusi untuk memeriksa pengelolaan keuangan negara secara bebas dan mandiri, dalam kondisi apapun termasuk pengelolaan keuangan negara ketika ada bencana alam seperti bencana alam tsunami Aceh atau bencana gempa-tsunami Sulawesi Tengah. Kemudian, BPK harus dapat memberi penilaian dan/atau penetapan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh semua pihak penyelenggara pengelolaan keuangan negara. Hasil pemeriksaan BPK atas pengelolaan keuangan negara harus diserahkan kepada DPR, salah satu alasan karena DPR harus melaksanakan fungsi pengawasan sesuai Pasal 20A ayat (1) UUD NRI. Oleh karena itu, pasal 27 ayat (1) Perppu Nomor 1/2020 bertentangan dengan Pasal 23E dan Pasal 20A UUD NRI. Pasal ini juga bertentangan dengan TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang penyelenggara negara yang bersih dan bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme, khususnya Pasal 3 ayat (3) bahwa upaya pemberantasan tindak pidana korupsi dilakukan secara tegas dengan melaksanakan secara konsisten undang-undang tindak pidana korupsi, dan Pasal 4 yang menegaskan bahwa upaya pemberantasan 97 korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga, dan kroninya maupun pihak swasta/konglomerat, dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak-hak asasi manusia. Pasal 27 ayat (1) bertentangan dengan UU No 31/1999, Pasal 3 ayat (3) dan Pasal 4 TAP MPR XI/MPR 1998, dan Pasal 23E UUD NRI. Pasal 7A UUD NRI secara tegas menyatakan bahkan Presiden dan Wakil Presiden dapat diberhentikan dari jabatannya apabila, antara lain, terlibat korupsi. Artinya pengelolaan keuangan negara harus bersih dan bebas korupsi, sehingga semua biaya harus dapat dipertanggung jawabkan, dan diperiksa oleh BPK.
Pasal 27 ayat (2) KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kasus BLBI 1998 dan Bank Century 2008 dapat menjadi pelajaran bahwa di dalam krisis justru pengawasan pengelolaan keuangan negara harus diperketat karena kondisi krisis dapat dimanfaatkan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Pasal 27 ayat (2) terkait erat dengan pasal 27 ayat (1). Kalau Pasal 27 ayat (1) gugur dan BPK dapat melakukan pemeriksaan terhadap semua pihak pengelola anggaran negara, dan BPK dapat menilai atau menetapkan kerugian negara apabila ada, maka Pasal 27 ayat (2) secara otomatis akan gugur juga. Pasal 27 ayat (2) Perppu 1/2020 di atas bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD NRI: Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Pasal ini juga bertentangan dengan Pasal 28D UUD NRI: Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. 98 Pasal ini juga bertentangan dengan UU 31/1999 yang memuat materi bahwa setiap orang , termasuk pegawai negeri dan korporasi, yang melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan. Selanjutnya, moral kekuasaan tidak boleh diserahkan pada niat, itikad ataupun sifat- sifat pribadi seseorang yang kebetulan sedang memegangnya. Iktikad baik tidak bisa membuat seseorang mendapat keistimewaan hukum dan kebal hukum baik secara perdata maupun pidana. Iktikad baik hanya bisa menjadi pertimbangan dalam menetapkan tingkat hukuman.
Pasal 27 ayat (3) ….
Pasal 28 Pasal 28 angka 1 sampai dengan 12 memuat daftar pasal-pasal yang dihapus di 12 undang-undang lainnya. Penghapusan pasal-pasal di 12 undang-undang tersebut membuat Perppu Nomor 1/2020 bertentangan dengan UUD NRI. Karena undang- undang tersebut merupakan penjabaran atau pelaksanaan dari UUD NRI, baik secara langsung maupun tidak langsung. Sedangkan materi muatan pada pasal- pasal yang dihapus merupakan inti dari penjabaran dan pelaksanaan UUD dimaksud. Misalnya, undang-undang tentang Bank Indonesia merupakan pelaksanaan perintah secara langsung dari Pasal 23D UUD NRI. Undang-Undang tentang Bank Sentral yang kemudian dinamakan Bank Indonesia tidak boleh bertentangan dengan Pasl 23D UUD NRI tersebut. Artinya, Bank Indonesia harus independen, yang independensinya diatur di dalam undang-undang tentang Bank Indonesia (bank sentral) tersebut. 99 Pasal 28 angka 2: Dampak Penghapusan Pasal pada UU Lainnya Penghapuasan Pasal 55 ayat (4) UU Nomor 23/1999 Pasal yang mengatur independensi Bank Indonesia terletak di Pasal 55 ayat (4) dan ayat (5) UU Nomor 23/1999 tentang Bank Indonesia. Yaitu:
Bank Indonesia dilarang membeli untuk diri sendiri surat-surat utang negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kecuali di pasar sekunder.
Perbuatan hukum Bank Indonesia membeli surat utang negara untuk diri sendiri tidak di pasar sekunder sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dinyatakan batal demi hukum. Independensi Bank Indonesia dicapai melalui pemisahan kebijakan moneter dan kebijakan fiskal. Penerbitan surat utang negara (di pasar primer) oleh pemerintah merupakan bagian dari kebijakan fiskal. Sedangkan pembelian surat utang negara di pasar sekunder oleh BI merupakan bagian dari kebijakan moneter Bank Indonesia. Surat utang negara yang beredar di pasar sekunder sudah tidak terkait lagi dengan kebijakan fiskal, tetapi bisa berpengaruh terhadap tingkat suku bunga. Oleh karena itu Bank Indonesia berwenang melakukan pembelian surat utang negara di pasar sekunder untuk memberi pengaruh antara lain terhadap tingkat suku bunga. Penghapusan pasal 55 ayat (4) UU Nomor 23/1999 ini membuat Bank Indonesia tidak independen lagi, karena fungsi moneter Bank Indonesia menjadi bagian dari instrumen kebijakan fiskal pemerintah karena BI dalam kondisi tertentu “dipaksa” membeli surat utang negara di pasar primer (perdana). Oleh karena itu, penghapusan Pasal 55 ayat (4) UU Nomor 23/1999 bertentangan dengan Pasal 23D UUD NRI. Dampak Bank Indonesia boleh seterusnya membeli surat berharga negara di pasar primer akibat Pasal 55 ayat (4) UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang melarang pembelian tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi. Pasal 28 butir 3: Penghapusan Pasal 15 ayat (5), Pasal 22 ayat (3), Pasal 23 ayat (1), Pasal 27 ayat (3), dan Pasal 28 ayat (3) dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 100 Pasal 15 ayat (5) dihapus: APBN yang disetujui oleh DPR terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja. Penghapusan pasal ini mengakibatkan APBN tidak perlu terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja. Sedangkan pengelola anggaran ada di satuan detil sampai unit organisasi, fungsi, program, kegiatan dan jenis belanja. Prosedur pengelolaan anggaran negara juga ada di stauan detil tersebut. Penghapusan pasal ini membuat BPK tidak bisa melaksanakan tugasnya secara bebas dan mandiri sesuai perintah Pasal 23E ayat (1) UUD NRI. Akibatnya, BPK tidak bisa menyerahkan hasil pemeriksaan pengelolaan keuangan negara kepada DPR, DPD atau DPRD, sesuai Pasal 23E ayat (2) UUD NRI. Akibatnya, DPR tidak bisa melakukan fungsi pengawasan yang menjadi tugasnya sesuai Pasal 20A ayat (1) UUD NRI. [2.3] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon, Dewan Perwakilan Rakyat menyampaikan keterangan dalam persidangan secara daring tanggal 15 Oktober 2020 dan menyerahkan keterangan tertulis yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 10 Desember 2020 yang pada pokoknya mengemukakan hal-hal sebagai berikut: A. KEDUDUKAN HUKUM ( LEGAL STANDING ) PARA PEMOHON 1. Kedudukan Hukum ( Legal Standing ) para Pemohon dalam Pengujian Secara Formil Terkait kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon dalam pengujian undang-undang secara formil, DPR RI memberikan pandangan dengan berdasarkan 2 (dua) batasan kerugian konstitusional yang disimpulkan dari Pertimbangan Hukum dalam Putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 27/PUU- VII/2009, yaitu:
Para Pemohon merupakan perorangan yang telah melaksanakan hak pilih sebagai pemegang kedaulatan yang telah memberikan kepercayaan dan mandat kepada wakil sebagai fiduciary duty dalam pemilihan umum;
Berdasarkan uraian kedudukannya, Pemohon Badan Hukum Perkara 37 dan para Pemohon Badan Hukum Perkara 75 yang merupakan Badan Hukum tentunya tidak memiliki hak dan/atau kewenangan untuk turut serta dalam pemilihan umum. 101 2) Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 34 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, Pemilih adalah Warga Negara Indonesia yang sudah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih, sudah kawin, atau sudah pernah kawin. Oleh karena itu, Pemohon Badan Hukum Perkara 37 dan para Pemohon Badan Hukum Perkara 75 telah jelas tidak dapat membuktikan bahwa telah memberikan kepercayaan dan mandat kepada anggota DPR RI masa keanggotaan periode tahun 2014-2019 karena Pemohon Badan Hukum Perkara 37 dan para Pemohon Badan Hukum Perkara 75 bukanlah perorangan yang telah melaksanakan hak pilih sebagai pemegang kedaulatan yang telah memberikan kepercayaan dan mandat kepada wakil sebagai fiduciary duty dalam pemilihan umum 3) Para Pemohon Perorangan Perkara 37, para Pemohon Perkara 43, dan para Pemohon Perorangan Perkara 75 dalam perbaikan permohonannya tidak memberikan uraian argumentasi sebagai perorangan yang telah melaksanakan hak pilih sebagai pemegang kedaulatan dalam Pemilihan Umum. Selain itu, para Pemohon tersebut diatas juga tidak melampirkan bukti-bukti keikutsertaannya dalam Pemilihan Umum dan menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan anggota DPR RI sebagai bentuk pemberian mandat kepada wakil sebagai fiduciary duty . Hal ini menunjukkan bahwa para Pemohon tersebut tidak memahami kedudukan hukumnya sebagai perseorangan warga negara yang memiliki hak konstitusional sebagai pemberi mandat dalam Pemilihan Umum dan tidak memperhatikan ketentuan dalam pengujian undang-undang secara formil.
Para Pemohon mempunyai hubungan pertautan yang langsung dengan Undang-Undang yang dimohonkan 1) Bahwa terkait dengan pengajuan pengujian UU a quo secara formil, para Pemohon secara keseluruhan tidak menguraikan pertautannya. Namun dapat dipahami dalam uraian dalil-dalilnya, para Pemohon hanya menyatakan bahwa UU a quo telah menimbulkan ketidakpastian hukum, melahirkan penafsiran yang ambigu, tidak jelas dan multitafsir serta berpotensi menghambat pemenuhan hak-hak konstitusional para Pemohon dan warga negara pada umumnya. 102 2) Meskipun demikian, para Pemohon tidak memberikan uraian yang berkaitan dengan pertautannya secara langsung terhadap UU a quo yang dimohonkan pengujiannya secara formil. Dengan demikian telah jelas, tidak terdapat keterkaitan secara langsung antara Para Pemohon Perkara 37, para Pemohon Perkara 43, dan para Pemohon Perkara 75 dengan UU a quo, sehingga para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) dalam pengujian formil UU a quo terhadap UUD NRI Tahun 1945. Terhadap kedudukan hukum ( legal standing ) para Pemohon Perkara 37, para Pemohon Perkara 43, dan para Pemohon Perkara 75 dalam pengujian formil, DPR RI memohon kepada Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi agar benar-benar menilai apakah Para Pemohon tersebut memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) dalam pengajuan Permohonan perkara-perkara a quo sesuai dengan parameter kerugian hak dan/atau kerugian konstitusional dalam pengajuan permohonan pengujian formil undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945 sebagaimana disebutkan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dalam Pertimbangan Hukum pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-VII/2009.
Kedudukan Hukum ( Legal Standing ) para Pemohon dalam Pengujian Secara Materiil Terkait kedudukan hukum ( legal standing ) para Pemohon dalam pengujian undang-undang secara materiil, DPR RI memberikan pandangan dengan berdasarkan 5 (lima) batasan kerugian konstitusional yang tercantum dalam __ Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011/PUU-V/2007 sebagai berikut:
Perkara Nomor 37/PUU-XVIII/2020 Bahwa para Pemohon Perkara 37 mendalilkan memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diatur dalam ketentuan Pasal 23 ayat (1), Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Terhadap hal tersebut, DPR RI menerangkan bahwa ketentuan Pasal 23 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 mengatur mengenai APBN yang jelas-jelas tidak mengatur mengenai hak dan/atau kewenangan Warga Negara. Sehingga ketentuan ini tidak memiliki pertautan hak dan/atau 103 kewenangan konstitusional para Pemohon Perkara 37. Bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon Perkara 37 sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 28C ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 tidak terciderai dengan berlakunya ketentuan pasal-pasal yang dimohonkan pengujiannya karena para Pemohon Perkara 37 tetap dapat memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya. Terkait dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, para Pemohon Perkara 37 juga tetap mendapatkan haknya atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Bahwa Para Pemohon Perkara 37 mendalilkan diri sebagai pembayar pajak ( tax payer ), oleh karenanya DPR RI mengutip pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 40/PUU-XVI/2018 pada paragraf [3.7] sebagai berikut: …menurut Mahkamah, para Pemohon sebagai pembayar pajak (tax payer) tidak serta merta memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam mengajukan setiap permohonan pengujian undang-undang. Para Pemohon dapat memiliki kedudukan hukum (legal standing) apabila para Pemohon dapat menjelaskan adanya keterkaitan logis dan causal verband bahwa pelanggaran hak konstitusional atas berlakunya undang-undang yang diuji adalah dalam kaitannya dengan status para Pemohon sebagai pembayar pajak (tax payer) memang menunjukkan kerugian yang nyata . Dalam permohonan a quo , para Pemohon perkara 37 dituntut bukan hanya sekedar menyatakan dirinya sebagai pembayar pajak ( tax payer ), tetapi terkait statusnya sebagai pembayar pajak harus dijelaskan adanya keterkaitannya secara logis dengan kerugian konstitusional para Pemohon Perkara 37 yang diakibatkan dengan berlakunya pasal-pasal a quo . Terkait dengan ketentuan UUD NRI Tahun 1945 yang oleh para Pemohon perkara 37 dipertentangkan dengan ketentuan dalam UU a quo , para Pemohon perkara 37 tidak mengurai pertautan antara keduanya demikian pula terkait dengan pertautannya dengan para Pemohon perkara 37. Maka semakin tidak jelas adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon terkait dengan pasal-pasal yang dimohonkan pengujian dan keberadaan hubungan sebab akibat ( causal 104 verband ) antara dalil kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon perkara 37 dengan ketentuan pasal-pasal a quo yang dimohonkan pengujiannya.
Perkara Nomor 42/PUU-XVIII/2020 Bahwa para Pemohon perkara 42 tidak konsisten dalam menyebutkan batu uji yang digunakan dalam pengujian pasal-pasal a quo dalam uraian kedudukan hukumnya dengan ketentuan UUD NRI Tahun 1945 yang tertulis dalam bagian Pokok Permasalahan. Lebih lanjut, dalam uraian permohonannya, para Pemohon perkara 42 mempertentangkan ketentuan pasal-pasal a quo dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 23 ayat (1), (2), (3), dan Pasal 23A UUD NRI Tahun 1945 yang sama sekali tidak mengatur mengenai hak dan/atau kewenangan konstitusional warga negara. Terkait dengan kerugian hak konstitusionalnya yang dijamin dalam ketentuan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, para Pemohon perkara 42 tidak menguraikan bentuk konkrit (aktual) maupun potensial atas kerugian konstitusional yang didalilkan tersebut dengan diri para Pemohon perkara 42 dan justru para Pemohon Perkara 42 banyak menyampaikan asumsi-asumsi dan kekhawatirannya atas pemberlakuan pasal-pasal a quo terhadap negara yang jelas sangat mengada-ada. Selain itu, para Pemohon perkara 42 tidak dapat menunjukkan adanya pertautan secara langsung dengan ketentuan pasal-pasal a quo sehingga tidak jelas sebab akibat atas dalil kerugian konstitusional yang didalilkan para Pemohon perkara 42 dengan berlakunya ketentuan pasal-pasal a quo .
Perkara Nomor 43/PUU-XVIII/2020 Bahwa para Pemohon perkara 43 tersebut masing-masing tidak berdiri dalam posisi yang jelas atas kepentingan siapakah para Pemohon perkara 43 hendak mengemukakan kerugian konstitusionalnya. Selain itu, para Pemohon perkara 43 dalam permohonannya tidak mampu menjelaskan secara spesifik dalam hal apa para Pemohon perkara 43 dirugikan dengan keberlakuan pasal UU a quo tersebut terhadap diri para Pemohon perkara 43 maupun terhadap profesi para Pemohon perkara 43. Bahwa para Pemohon perkara 43 dalam permohonannya tidak mampu menjelaskan secara spesifik dalam hal apa para Pemohon perkara 43 105 dirugikan dengan keberlakuan pasal a quo tersebut terhadap diri para Pemohon perkara 43 maupun terhadap profesi para Pemohon perkara 43 sehingga tidak jelas pula hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian konstitusional yang didalilkan oleh para Pemohon perkara 43 dengan pasal-pasal a quo yang dimohonkan pengujiannya terhadap UUD NRI Tahun 1945.
Perkara Nomor 45/PUU-XVIII/2020 Bahwa ketentuan Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 4 ayat (1), Pasal 5 ayat (2), Pasal 20 ayat (1), Pasal 20A ayat (1),Pasal 23, Pasal 23E, Pasal 24, Pasal 24A ayat (1) dan Pasal 27 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang dijadikan batu uji oleh Pemohon perkara 45 tidak mengatur mengenai hak konstitusional warga negara, melainkan mengatur mengenai bentuk dan kedaulatan negara, kekuasaan pemerintah, tugas dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat, hal keuangan negara, kelembagaan BPK, Kekuasaan Kehakiman, tanggung jawab negara dalam mengelola keuangan negara yang ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang untuk dapat dilaksanakan secara terbuka dan untuk kemakmuran rakyat, dan kewajiban warga negara untuk menjunjung hukum dan pemerintahan tanpa terkecuali. Oleh karena itu, tidaklah relevan untuk dijadikan sebagai batu uji dalam Permohonan a quo . Bahwa dalam Permohonan a quo , Pemohon perkara 45 tidak menguraikan kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon perkara 45 yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi. Pemohon perkara 45 hanya menyatakan hak Pemohon sebagai rakyat dalam memantau Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat dan Kekuasaan Kehakiman dapat menjalankan tugas dan fungsinya, tanpa menjelaskan kerugian spesifik apa yang ditimbulkan dari berlakunya ketentuan pasal-pasal a quo . Sehingga jelas kerugian yang didalilkan oleh Pemohon perkara 45 hanya merupakan asumsi tanpa adanya pertautan dengan hak konstitusional Pemohon perkara 45.
Perkara Nomor 47/PUU-XVIII/2020 Bahwa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 telah ditetapkan menjadi undang-undang yakni UU a quo , artinya 106 substansi di dalamnya telah dibahas dan disetujui antara Pemerintah bersama dengan DPR dan telah dilakukan sesuai dengan ketentuan Pasal 23 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Bahwa ketentuan Pasal 23 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 tidak mengatur mengenai hak dan/atau kewenangan konstitusional melainkan mengatur mengenai penetapan, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban APBN. Salah satu fungsi yang dimiliki oleh DPR adalah fungsi anggaran dengan tugas dan wewenang berupa pemberian persetujuan atas RUU tentang APBN yang diajukan oleh Presiden. UU APBN tersebut kemudian dilaksanakan secara terbuka oleh Pemerintah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Para Pemohon perkara 47 mendalilkan dengan berlakunya pasal a quo , berpotensi dana desa dihentikan, dengan demikian jelas kerugian yang didalilkan tersebut hanya asumsi para Pemohon perkara 47, karena kenyataannya dana desa tetap ada meskipun selama penanganan pandemi Covid-19 ini besarannya dikurangi karena adanya kebijakan pengalihan mandatory expenses yang diamanatkan oleh UU Desa.
Perkara Nomor 49/PUU-XVIII/2020 Bahwa Pemohon Perkara 49 menyatakan memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diatur dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1), (2) dan (3) serta Pasal 23 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 namun dalam uraian Positanya, Pemohon perkara 49 mendalilkan ketentuan pasal a quo bertentangan dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Meskipun demikian, DPR menerangkan bahwa ketentuan Pasal 1 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) serta Pasal 23 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 tidak mengatur mengenai hak dan/atau kewenangan konstitusional warga Negara. Ketentuan Pasal 1 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) serta Pasal 23 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 mengatur mengenai Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik, kedaulatan berada di tangan rakyat, Indonesia adalah Negara hukum dan APBN sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Bahwa Pemohon perkara 49 dalam perbaikan permohonannya menguraikan memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional 107 berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) serta Pasal 23 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang jelas-jelas tidak mengatur mengenai hak dan/atau kewenangan warga negara. Selain itu, Pemohon perkara 49 tidak menguraikan kerugian konsitusionalnya berdasarkan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 dan hanya mendalilkan pasal a quo bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Pemohon perkara 49 juga sama sekali tidak menyampaikan argumentasi tentang pertentangan antara pasal yang dimohonkan pengujian dengan pasal-pasal yang menjadi dasar pengujian dalam UUD NRI Tahun 1945. Oleh karena itu, telah sangat jelas Pemohon perkara 49 tidak memiliki hak dan/atau kewenangan kontitusional yang dirugikan dengan berlakunya UU 2/2020. Bahwa Pemohon perkara 49 dan banyak menguraikan mengenai asumsi- asumsinya atas pengaturan yang terdapat dalam pasal a quo , maka DPR RI menerangkan tidak terdapat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon perkara 49 yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi pada Pemohon perkara 49, maka jelas tidak terdapat hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian.
Perkara Nomor 75/PUU-XVIII/2020 Bahwa mayoritas para Pemohon perkara 75 mengajukan kembali Permohonan 51/PUU-XVIII/2020 yang telah ditarik kembali pada tanggal 19 Agustus 2020 dan Mahkamah Konstitusi sudah menerbitkan Ketetapan Putusan Nomor 51/PUU-XVIII/2020 yang diucapkan pada tanggal 27 Agustus 2020. Para Pemohon perkara 75 berdalil bahwa dapat mengajukan kembali permohonan yang telah ditarik sebelumnya tersebut karena sudah dilakukan perubahan dalam isi materi permohonan sehingga tidak mempunyai kesamaan dalam permohonan sebelumnya baik dalam permohonan pengujian formil maupun materiil yang diajukan sehingga Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memeriksa dan mengadilinya. Terhadap dalil tersebut, DPR RI memberikan pandangan bahwa berdasarkan ketentuan dalam Pasal 35 Undang- 108 Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan: ayat (1) “Pemohon dapat menarik kembali Permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan”. ayat (1a) “Dalam hal pemohon menarik kembali Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Panitera Mahkamah Konstitusi menerbitkan Akta Pembatalan Registrasi Permohonan dan memberitahukan kepada Pemohon disertai dengan pengembalian berkas Permohonan”. ayat (2) “Penarikan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan Permohonan tidak dapat diajukan kembali”. Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa Permohonan yang sudah ditarik kembali dan sudah diputus tidak dapat diajukan kembali. Selain itu, setelah melihat isi dari permohonan para Pemohon Perkara 75, baik dari segi formil maupun materiil memiliki materi permohonan yang sama dengan permohonan sebelumnya yang sudah ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi untuk mengabulkan penarikan kembali permohonan perkara Nomor 51/PUU-XVIII/2020 tersebut oleh para Pemohon perkara Nomor 51/PUU-XVIII/2020, yang merupakan mayoritas para Pemohon perkara 75. Walaupun para Pemohon perkara 75 memberikan tambahan batu uji Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), dan Pasal 27 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 namun batu uji Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 tersebut tidak mengatur mengenai hak konstitusional warga negara. Begitupun halnya dengan tambahan batu uji Pasal 27 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, ketentuan yang ada pada UU __ a quo tidak menghalangi para Pemohon perkara 75 untuk mendapatkan hak konstitusionalnya berupa pekerjaan dan penghidupan yang layak. Sehingga tidaklah tepat jika para Pemohon perkara 75 masih mengajukan permohonan yang sama dengan permohonan yang sudah ditarik kembali dan ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi. Bahwa para Pemohon perkara 75 juga mendalilkan diri sebagai pembayar pajak ( tax payer ), oleh karenanya DPR RI mengutip pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 40/PUU-XVI/2018 pada paragraf [3.7] sebagai berikut: 109 …menurut Mahkamah, para Pemohon sebagai pembayar pajak (tax payer) tidak serta merta memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam mengajukan setiap permohonan pengujian undang-undang. Para Pemohon dapat memiliki kedudukan hukum (legal standing) apabila para Pemohon dapat menjelaskan adanya keterkaitan logis dan causal verband bahwa pelanggaran hak konstitusional atas berlakunya undang-undang yang diuji adalah dalam kaitannya dengan status para Pemohon sebagai pembayar pajak (tax payer) memang menunjukkan kerugian yang nyata . Dalam permohonan a quo , para Pemohon perkara 75 dituntut bukan hanya sekedar menyatakan dirinya sebagai pembayar pajak ( tax payer ), tetapi terkait statusnya sebagai pembayar pajak harus dijelaskan adanya keterkaitannya secara logis dengan kerugian konstitusional para Pemohon perkara 75 yang diakibatkan dengan berlakunya pasal-pasal a quo . Bahwa terkait dengan kedudukan hukum ( legal standing ) para Pemohon, DPR RI memberikan pandangan selaras dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XIV/2016 yang diucapkan dalam sidang Pleno MK terbuka untuk umum pada tanggal 15 Juni 2016, yang pada pertimbangan hukum [3.5.2] MK menyatakan bahwa menurut Mahkamah: ... dalam asas hukum dikenal ketentuan umum bahwa tiada kepentingan maka tiada gugatan yang dalam bahasa Perancis dikenal dengan point d’ interest point d’ action dan dalam bahasa Belanda dikenal dengan zonder belang geen rechtsingang. Hal tersebut sama dengan prinsip yang terdapat dalam Reglement op de Rechtsvordering (RV) khususnya Pasal 102 yang menganut ketentuan bahwa “ tiada gugatan tanpa hubungan hukum” ( no action without legal connection ). Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, terhadap kedudukan hukum ( legal standing ) para Pemohon secara materiil, DPR RI menyerahkan sepenuhnya kepada Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilai apakah para Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011/PUU-V/2007 mengenai parameter kerugian konstitusional. 110 B. PANDANGAN UMUM DPR 1. Penyebaran Covid-19 terus meluas di seluruh dunia yang didorong oleh mobilitas manusia. Hingga akhir Februari 2020, penyebaran Covid-19 secara global telah mencapai 86.000 kasus dengan jumlah kematian hampir 3.000 orang. Pandemi Covid-19 yang menyebar secara cepat dan mengancam kesehatan publik, mendorong negara-negara untuk mengambil berbagai langkah pencegahan yang ekstrim. Salah satu langkah kebijakan yang diambil hampir semua negara adalah pelarangan atau pembatasan perjalanan ( travel ban/restriction ), penutupan perbatasan, serta memperketat lalu lintas manusia antar wilayah/negara. Di dalam skala domestik, beberapa negara memberlakukan lockdown yakni penutupan wilayah dan penghentian segala aktivitas publik kecuali yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan pangan dan medis. Physical distancing serta karantina mandiri termasuk dengan memindahkan aktivitas kantor, belajar, dan beribadah di rumah juga diimplementasikan di berbagai negara, termasuk Indonesia. Berbagai kegiatan yang bersifat pengumpulan massa dikurangi atau bahkan dilarang dengan pengawasan ketat dari aparat hukum. Di Indonesia, Pemerintah memberlakukan status Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dan menetapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sejak tanggal 31 Maret 2020. Sebelumnya, Pemerintah juga telah memberlakukan larangan penerbangan termasuk dari dan ke Tiongkok, membentuk Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, memberlakukan kebijakan physical distancing , serta menetapkan status keadaan darurat bencana Covid-19. Berbagai himbauan termasuk menganjurkan dan bahkan melarang masyarakat untuk tidak melakukan pulang kampung termasuk dalam rangka mudik Hari Raya Idul Fitri 1441 Hijriah telah dilakukan. Anjuran untuk meningkatkan pola hidup bersih dan sehat juga terus digencarkan. Penyebaran Covid-19 yang terjadi secara cepat dan eksponensial dikhawatirkan juga tidak dapat diimbangi dengan ketersediaan fasilitas kesehatan serta tenaga medis yang ada, sehingga bisa berujung pada krisis kesehatan. Langkah-langkah tersebut diimplementasikan dengan dasar bahwa kesehatan dan keselamatan masyarakat adalah prioritas. Namun demikian, langkah-langkah 111 tersebut menimbulkan penurunan aktivitas ekonomi yang cukup signifikan.
Bentuk perlindungan yang diberikan oleh negara tidak sebatas perlindungan dari ancaman fisik namun juga perlindungan terhadap keseluruhan aspek kehidupan dan keselamatan 269 juta jiwa penduduk Indonesia. Negara harus mampu menjaga ketahanan seluruh elemen bangsa dari segala ancaman yang membahayakan negara dan masyarakat. Dengan segala sumber daya yang ada, kita harus mewujudkan ketahanan negara yang kokoh dari segala ancaman, termasuk ancaman terhadap perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan yang menimbulkan implikasi pada aspek sosial, ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat.
Bahwa penyebaran pandemi Covid-19 yang memberikan dampak dan mengancam pertumbuhan ekonomi Indonesia antara lain karena menurunnya penerimaan negara serta ketidakpastian ekonomi global, memerlukan kebijakan dan langkah-langkah luar biasa di bidang keuangan negara termasuk di bidang perpajakan dan keuangan daerah, dan sektor keuangan, yang harus segera diambil Pemerintah dan lembaga-lembaga terkait guna mengatasi kondisi mendesak tersebut dalam rangka penyelamatan kesehatan, perekonomian nasional, dengan fokus pada belanja kesehatan, jaring pengaman sosial (social safety net), serta pemulihan dunia usaha yang terdampak. Oleh karena itu, diperlukan perangkat hukum yang memadai untuk memberikan landasan yang kuat bagi Pemerintah dan lembaga-lembaga terkait untuk pengambilan kebijakan dan langkah-langkah dimaksud.
Bahwa berdasarkan ketentuan dalam Pasal 22 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan: “ Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang ”. Mengacu pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009, parameter kegentingan yang memaksa dalam rangka penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang antara lain: - karena adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan _masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang; _ 112 - Undang-Undang yang dibutuhkan belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau tidak memadainya Undang-Undang _yang saat ini ada; dan _ - Kondisi kekosongan hukum yang tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa yang memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan. 5. Bahwa Perppu 1/2020 telah dikeluarkan oleh Presiden pada tanggal 31 Maret 2020 karena keadaan genting dan kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat dan untuk menyelamatkan perekonomian dari krisis yang diprediksi akan terjadi. Bahwa dalam keadaan mendesak tersebut diperlukan pemberian kewenangan bagi Pemerintah diantaranya agar dapat melakukan realokasi dan refocussing anggaran yang sebelumnya telah dialokasikan dalam APBN tahun 2020. Melalui realokasi dan refocussing yang bersifat segera diharapkan dapat segera memulihkan ekonomi dalam rangka mendukung Program Pemulihan Ekonomi Nasional sebagai akibat dari Pandemi Covid-19. 6. Bahwa oleh karenanya ketentuan dalam UU 2/2020 diharapkan dapat memberi fondasi hukum bagi pemerintah terhadap otoritas perbankan dan otoritas keuangan untuk mengambil langkah luar biasa guna menjamin kesehatan masyarakat, menyelamatkan perekonomian nasional, dan stabilitas sistem keuangan sebagaimana diatur UU a quo yang perlu menetapkan kebijakan keuangan negara dan kebijakan stabilitas sistem keuangan diantaranya dengan menetapkan batasan defisit anggaran, melakukan penyesuaian besaran belanja wajib ( mandatory spending ), dan melakukan pergeseran anggaran antarunit organisasi, antarfungsi, dan/atau antar program.
Bahwa urgensi sebagai dasar dibentuknya Perppu 1/2020 merupakan pertimbangan subjektif dari Presiden sebagai pihak yang berhak membentuk suatu perppu. Pertimbangan subjektif tersebut perlu untuk dinilai secara objektif oleh rakyat yang direpresentasikan oleh wakilnya, yaitu DPR, sebagaimana yang telah diamanatkan dalam Pasal 22 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Dengan disahkannya Perppu 1/2020 menjadi UU 2/2020, maka DPR sebagai wakil rakyat telah menilai urgensi tersebut merupakan hal yang nyata dan mendesak sehingga perlu 113 memberikan persetujuan atas Perppu 1/2020 untuk menjadi undang- undang sehingga dapat digunakan Pemerintah sebagai dasar hukum yang lebih kuat untuk bereaksi secara cepat menghadap situasi Pandemi Covid-19. C. KETERANGAN DPR TERHADAP PENGUJIAN FORMIL UU 2/2020 Berdasarkan kewenangan MK yang diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, maka batu uji yang digunakan oleh MK untuk melakukan pengujian formil haruslah berdasarkan Pasal 20 UUD NRI Tahun 1945, terutama Pasal 20 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama”. Frasa “ persetujuan bersama” dalam ketentuan tersebut merupakan esensi berlakunya __ asas legalitas sehingga frase “persetujuan bersama” merupakan norma yang sangat fundamental sebagai dasar terbentuknya undang- undang. Jika proses pembentukan undang-undang telah memenuhi unsur legalitas, yakni telah adanya “persetujuan bersama”, dan tidak adanya kegagalan dalam mendapatkan “persetujuan bersama” DPR dan Presiden, maka secara konstitusional undang-undang tersebut menjadi sah secara formil. Sesuai landasan konstitusional kewenangan MK menguji undang- undang terhadap UUD NRI Tahun 1945, maka pengujian undang-undang secara formil hanya dapat dinyatakan cacat prosedur jika telah bertentangan dengan ketentuan Pasal 20 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Namun demikian, jika Yang Mulia Hakim Konstitusi berpendapat lain, maka mohon pertimbangan yang seadil-adilnya, dan DPR tetap bersikap kooperatif dengan menerangkan lebih lanjut hal-hal yang dipermasalahkan oleh para Pemohon dalam pengujian formil.
Tanggapan DPR terhadap dalil Para Pemohon Perkara 75 mengenai batasan waktu 45 hari dalam pengujian formil undang-undang harus dikesampingkan karena tidak berdasarkan pada UUD NRI Tahun 1945. a) Bahwa Mahkamah Konstitusi dalam konteks ketatanegaraan Indonesia dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi ( the guardian of constitution ) dan sebagai pengawal demokrasi ( the guardian of 114 democracy ) yang diberikan kewenangan oleh UUD NRI Tahun 1945 untuk dapat menguji undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945. Kewenangan ini diberikan sebagai fungsi Mahkamah Konstitusi dalam menegakkan keadilan konstitusional di tengah kehidupan masyarakat. Namun di sisi lain, Mahkamah Konstitusi juga bertugas mendorong dan menjamin agar konstitusi dihormati dan dilaksanakan oleh semua komponen negara secara konsisten dan bertanggungjawab. b) Bahwa undang-undang bersifat mengikat dan memaksa bagi semua warga negara, sehingga agar dapat dilaksanakan harus diundangkan dalam Lembaran Negara agar setiap orang dianggap mengetahui atas undang-undang tersebut. Hal ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum kepada masyarakat atas keberlakuan suatu undang- undang. c) Bahwa untuk menjamin kepastian hukum, pengujian undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945 diperlukan pembatasan waktu untuk dapat diuji secara formil. Pembatasan waktu ini tidak boleh terlalu lama dari waktu diundangkannya suatu undang-undang dalam Lembaran Negara, karena karakteristik pengujian formil berbeda dengan pengujian materiil yang hanya menguji kata, frasa, ayat dan/atau pasal saja dalam undang-undang atas dasar kerugian konstitusional pemohon. Sedangkan pengujian formil didasarkan atas undang- undang yang merugikan konstitusi yang proses pembentukannya tidak sesuai dengan ketentuan dalam UUD NRI Tahun 1945, sehingga dapat membatalkan keseluruhan undang-undang. d) Bahwa Mahkamah Konstitusi dalam menjaga hal tersebut harus berhati-hati dalam menguji formalitas suatu undang-undang, karena yang menjadi fokus pengujian formil bukanlah atas dasar dalil kerugian pemohon, namun Mahkamah Konstitusi harus mengutamakan keadilan dan kebenaran konstitusional. Mahkamah Konstitusi harus memahami ruh, ide, landasan filosofis, dan suasana kebatinan yang terjadi selama penyusunan undang-undang sehingga dapat memahami urgensi suatu undang-undang harus segera ditetapkan. e) Bahwa Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal konstitusi ( the guardian of constitution ) dan sebagai pengawal demokrasi ( the 115 guardian of democracy ) telah tepat memberikan pembatasan waktu pengujian formil 45 hari setelah suatu undang-undang diundangkan dalam Lembaran Negara dalam menjaga kepastian hukum. Pembatasan ini sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-VII/2009 poin [3.34] yang menyatakan, “Menimbang bahwa terlepas dari putusan dalam pokok permohonan a quo Mahkamah memandang perlu untuk memberikan batasan waktu atau tenggat suatu Undang-Undang dapat diuji secara formil. Pertimbangan pembatasan tenggat ini diperlukan mengingat karakteristik dari pengujian formil berbeda dengan pengujian materiil. Sebuah Undang-Undang yang dibentuk tidak berdasarkan tata cara sebagaimana ditentukan oleh UUD 1945 akan dapat mudah diketahui dibandingkan dengan Undang-Undang yang substansinya bertentangan dengan UUD 1945. Untuk kepastian hukum , sebuah Undang-Undang perlu dapat lebih cepat diketahui statusnya apakah telah dibuat secara sah atau tidak, sebab pengujian secara formil akan menyebabkan Undang-Undang batal sejak awal. Mahkamah memandang bahwa tenggat 45 (empat puluh lima) hari setelah Undang-Undang dimuat dalam Lembaran Negara sebagai waktu yang cukup untuk mengajukan pengujian formil terhadap Undang-Undang; ” f) Bahwa terkait hukum acara pembatasan waktu 45 hari dalam mengajukan pengujian formil di Mahkamah Konstitusi merupakan materi yang seharusnya diatur dalam undang-undang oleh pembentuk undang-undang, namun selama belum diatur dalam undang-undang Mahkamah Konstitusi dapat mengatur hukum acara yang bersifat teknis untuk mengisi kekosongan hukum. Dalam hal ini, UUD NRI Tahun 1945 sebagai Konstitusi tidak mungkin mengatur secara rinci mengenai hal teknis batasan hari seperti yang didalilkan oleh para Pemohon, karena dibutuhkan Undang-Undang lain untuk mengatur mengenai hal tersebut. Sehingga Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan untuk mengatur sendiri hukum acara yang bersifat teknis dalam sidang pengadilan selama belum diatur dalam Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi. g) Bahwa terhadap pengujian perkara Nomor 75/PUU-XVIII/2020 yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi pada tanggal 9 September 2020 sesungguhnya telah melewati batas waktu pengujian formil 45 hari sejak diundangkannya UU a quo , yakni pada tanggal 18 Mei 2020 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134 116 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6516. Oleh karenanya berdasarkan fakta hukum tersebut DPR berpandangan permohonan perkara Nomor 75/PUU-XVIII/2020 tidak memenuhi ketentuan batas waktu 45 hari yang ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi, sehingga sepatutnya Mahkamah Konstitusi menyatakan Permohonan perkara Nomor 75/PUU-XVIII/2020 tidak dapat diterima.
Tanggapan DPR terhadap dalil para Pemohon Perkara 37 dan Perkara 75 mengenai prosedur konstitusional pengesahan telah disimpangi dengan tidak adanya keterlibatan DPD. Bahwa para Pemohon perkara 37 dan perkara 75 dalam perbaikan permohonannya mendalilkan tidak adanya keterlibatan DPD dalam pembahasan Perppu yang telah ditetapkan menjadi UU dengan UU 2/2020 bertentangan dengan prinsip negara hukum, prinsip kedaulatan rakyat dan kewenangan legislasi DPD. Terhadap dalil tersebut DPR menerangkan sebagai berikut: a) Bahwa berdasarkan Pasal 20 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 ditentukan kewenangan untuk membentuk undang-undang ada pada DPR. Adapun terkait UUD NRI Tahun 1945 menghendaki bahwa setiap RUU dibahas antara DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama [Pasal 20 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945]. b) Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 22D ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 mengatur bahwa Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang- undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan _daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; _ pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama. c) Bahwa keikutsertaan DPD dalam pembahasan RUU hanya sebatas yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah . Hal ini juga sesuai dengan Pasal 65 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan 117 Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 15 Tahun 2019 (selanjutnya disebut UU 12/2011). d) Bahwa Perppu 1/2020 pada intinya secara garis besar mengatur mengenai kebijakan keuangan negara, apabila dalam pelaksanaannya memiliki dampak terhadap alokasi perimbangan keuangan pemerintah pusat dan pemerintahan daerah, hal itu merupakan konsekuensi bahwa keuangan daerah merupakan bagian dari keuangan negara. Sehingga telah jelas bahwa Perppu tersebut tidak mengatur secara khusus mengenai otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Selain itu UU 2/2020 yang dipermasalahkan oleh Para Pemohon merupakan pengesahan Perppu 1/2020 sehingga pembentuk undang-undang tidak berkewajiban untuk mengikutsertakan DPD dalam pembahasan RUU penetapan Perppu 1/2020 menjadi undang-undang. e) Berdasarkan Pasal 71 huruf d dan Pasal 249 ayat (1) huruf b Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2019 (UU MD3) bahwa DPD ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. RUU Penetapan Perppu 1/2020 menjadi UU tidak memiliki pertautan dengan bidang yang mengharuskan keikutsertaan DPD dalam pembahasannya melainkan mengenai DPR memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan, sehingga DPD tidak memiliki kewenangan untuk ikut membahas RUU tersebut.
Tanggapan DPR terhadap dalil para Pemohon perkara 37, para Pemohon perkara 43 dan para Pemohon perkara 75 mengenai rapat virtual yang berpotensi dihadiri tidak secara konkret karena kuorum rapat dibuktikan dengan tandatangan sebelum menghadiri rapat. a) Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, Perppu 1/2020 dibentuk pada intinya untuk melakukan penyelamatan kesehatan dan 118 perekonomian nasional yang terdampak dari Pandemi Covid-19. Bahwa pada saat Perppu 1/2020 tersebut diajukan oleh Pemerintah kepada DPR untuk menjadi undang-undang, negara dalam kondisi darurat bencana yang menimbulkan kepanikan di masyarakat. b) Dalam kondisi demikian, maka DPR sebagai wakil rakyat harus tetap melaksanakan tugasnya untuk membahas Perppu 1/2020 bersama dengan Pemerintah. Bahwa pada saat itu peraturan perundang- undangan yang menjadi dasar hukum pembentuk undang-undang melaksanakan tugasnya masih belum menjangkau penggunaan sarana informasi dan teknologi dalam pembahasan dan pengesahan undang- undang. Hal tersebut disebabkan tidak terprediksinya kondisi yang diakibatkan dari penyebaran Pandemi Covid-19 yang begitu masif dan berdampak pada timbulnya korban jiwa. Adapun pada saat munculnya kasus pertama penyebaran Covid-19 di Indonesia hingga saat ini, Pemerintah telah membuat kebijakan mengenai salah satu upaya penanggulangan penyebaran Pandemi Covid-19 adalah dengan melakukan pembatasan sosial berskala besar dengan mengharuskan tiap orang menjaga jarak. c) Adapun salah satu kebijakan Pemerintah dalam upaya penanggulangan penyebaran pandemi Covid-19 adalah dengan melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang dilaksanakan di beberapa daerah di Indonesia. Sebagai lembaga yang berkedudukan di DKI Jakarta yang juga menerapkan PSBB, maka DPR dan Presiden juga harus mengikuti kebijakan yang telah ditetapkan Pemerintah Daerah tersebut. Meskipun demikian, tugas pokok dan fungsi sebagai lembaga tetap harus berjalan, sehingga sebagai alternatif pelaksanaan rapat dan koordinasi supaya tugas dan fungsi DPR dan Presiden tetap berjalan adalah dengan menggunakan sarana informasi dan teknologi berupa video meeting atau virtual meeting. d) Pada saat kondisi demikian agar tugas pembentukan undang-undang tidak terbengkalai, DPR perlu melakukan terobosan hukum, yaitu dengan menetapkan Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib (Tatib DPR 2020) yang mulai berlaku pada tanggal 2 April 2020. 119 Berdasarkan Tatib DPR 2020 tersebut di dalam ketentuan Pasal 254 ayat (4) dinyatakan bahwa: “ Semua jenis rapat DPR dihadiri oleh Anggota, kecuali dalam keadaan tertentu, yakni keadaan bahaya, kegentingan yang memaksa, keadaan luar biasa, keadaan konflik, bencana alam, dan keadaan tertentu lain yang memastikan adanya urgensi nasional, rapat dapat dilaksanakan secara virtual dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi. ” Dengan menggunakan dasar hukum tersebut, maka DPR melalui Badan Anggaran bersama Pemerintah melakukan Pembahasan Tingkat I UU a quo pada tanggal 4 Mei 2020 dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi melalui rapat virtual. Begitu pun halnya dengan Pembahasan Tingkat II yang menyetujui Perppu 1/2020 menjadi UU pada Rapat Paripurna tanggal 12 Mei 2020 dilaksanakan dengan menggunakan rapat kombinasi secara fisik maupun dengan teknologi informasi dan komunikasi melalui rapat virtual . e) Menanggapi dalil para Pemohon perkara 37, para Pemohon perkara 43 dan para Pemohon perkara 75 tersebut, DPR menerangkan bahwa pelaksanaan rapat yang dihadiri secara virtual telah diatur secara jelas dalam Pasal 279 ayat (6) Tatib DPR 2020 yang menyatakan bahwa: “Dalam hal penandatanganan daftar hadir Anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak dapat dilakukan dan disebabkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 254 ayat (4), kehadiran Anggota dalam semua jenis rapat DPR dilakukan berdasarkan kehadiran secara virtual.” Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 279 ayat (7) Tatib DPR 2020 menyatakan bahwa: “Bukti kehadiran secara virtual sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat dikonfirmasi dan diverifikasi keabsahannya melalui Sekretariat Jenderal DPR.” Oleh karena itu berdasarkan dokumen sebagaimana terlampir dalam Lampiran I, maka Pembahasan Tingkat II yang menyetujui Perppu 1/2020 menjadi UU pada Rapat Paripurna tanggal 12 Mei 2020 yang dilakukan secara virtual tersebut, maka kehadiran pembentuk undang- undang telah memenuhi ketentuan perundang-undangan. f) Oleh karena itu dalil para Pemohon perkara 37, para Pemohon perkara 43 dan para Pemohon perkara 75 tersebut hanya merupakan asumsi karena jelas bahwa pembahasan dan pengesahan undang-undang 120 dengan menggunakan sarana teknologi dan informasi telah memiliki dasar hukum melalui Tatib DPR 2020. Selain itu berdasarkan risalah Rapat Paripurna bahwa dengan Pimpinan DPR memberikan keputusan penetapan Perppu 1/2020 menjadi undang-undang artinya memberikan persetujuan dan juga mengikat anggota yang hadir baik secara fisik dan virtual (non fisik) (Lampiran II) 4. Tanggapan DPR terhadap dalil para Pemohon Perkara 43 mengenai UU 2/2020 tidak memenuhi syarat Pasal 22 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 dan Pasal 52 ayat (1) UU 12/2011 terkait frasa “ persidangan yang berikut ”. a) Bahwa di dalam Rapat Kerja Badan Anggaran DPR RI bersama Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Bank Indonesia, dan Lembaga Penjamin Simpanan tertanggal 4 Mei 2020 bahwa pada saat itu terdapat 9 (sembilan) fraksi yang menyetujui Perppu 1/2020 untuk ditetapkan menjadi undang-undang, hanya fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) yang belum menyatakan persetujuannya. Berdasarkan rapat pada saat itu, DPR RI menerangkan bahwa UU a quo disetujui untuk ditetapkan menjadi undang-undang, dari titik tolak pemikiran bahwa Alinea keempat Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 dinyatakan bahwa tujuan dibentuknya Pemerintahan Negara Indonesia adalah untuk melindungi segenap rakyat Indonesia. Dengan demikian asas keselamatan rakyat Indonesia adalah yang diutamakan, untuk memberikan keyakinan bahwa Perppu 1/2020 tersebut harus dibahas segera dan secepatnya untuk memenuhi asas keselamatan rakyat yang diamanatkan di dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 tersebut. b) Bahwa Perppu 1/2020 merupakan kewenangan yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam kondisi darurat yang bersifat fundamental dan krusial yang berdampak pada stabilitas perekonomian nasional jangka panjang, maka pengaturan hal tersebut perlu untuk diberikan dasar legalitas yang lebih kuat dalam bentuk undang-undang. c) Bahwa DPR selain memiliki fungsi legislasi sebagai pembentuk undang- undang berdasarkan Pasal 20A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, juga memiliki fungsi anggaran. Berkaitan dengan Perppu 1/2020 sebagai peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh pemerintah yang 121 berfokus pada penataan ulang anggaran hingga beberapa tahun ke depan yang tentu saja memiliki dampak terhadap APBN, dimana sesuai dengan UUD NRI Tahun 1945 pembahasan dan pengesahan dalam Perppu 1/2020 menjadi UU sangat memerlukan peran DPR dalam melaksanakan fungsi anggaran sebagai kerangka representasi rakyat. Oleh karena itu, penting bagi DPR untuk segera membahas dan menetapkan Perppu 1/2020 menjadi UU dalam waktu yang cepat karena adanya kebutuhan mendesak yang dapat berdampak terhadap stabilitas perekonomian nasional. d) Dengan adanya situasi pandemi Covid-19 tersebut yang memiliki dampak bukan hanya terhadap kesehatan dan keselamatan rakyat, tetapi juga memiliki dampak terhadap perekonomian negara dalam jangka panjang, oleh karenanya proses penetapan Perppu 1/2020 menjadi UU yang harus dilakukan secepatnya oleh DPR merupakan langkah cepat DPR dalam menghadapi keadaan darurat negara. Keadaan darurat tersebut tetap harus dipahami dalam pandangan yang sesuai dengan alas fakta yang terjadi pada saat keadaan darurat, dan tidak menggunakan parameter dan indikator keadaan normal. Oleh sebab itu, keputusan DPR yang secara cepat mengesahkan Perppu 1/2020 menjadi UU merupakan langkah yang tepat dan mencerminkan asas prosesual bahwa penundaan yang tidak beralasan ( undue delay ) harus dihindarkan, hal ini adalah demi kepentingan negara dan kepentingan umum yang harus dilindungi. e) Hal tersebut menunjukkan bahwa DPR memiliki kesamaan pandangan dengan Pemerintah mengenai adanya kegentingan memaksa dan perlunya kebijakan serta tindakan yang harus segera dilakukan dalam menghadapi pandemi Covid-19. Persetujuan DPR dimaksud menjadikan norma tersebut memenuhi amanat UUD NRI Tahun 1945 dan memberikan kepastian hukum bagi keberlanjutan langkah-langkah Pemerintah dalam penanganan situasi extraordinary pandemi Covid-19, yang telah secara nyata menimbulkan pemburukan ekonomi dan ancaman krisis apabila tidak segera ditangani. Dengan adanya legitimasi tersebut, Pemerintah memiliki fleksibilitas melakukan recovery terhadap situasi dan kondisi perekonomian. Semakin mampu 122 Pemerintah menangani dampak yang ditimbulkan oleh pandemi Covid- 19 seiring dengan perkembangan/perlambatan penyebaran virus ( flattening the curve ), semakin mempercepat negara keluar dari pemburukan ekonomi. D. KETERANGAN DPR TERHADAP PENGUJIAN MATERIIL UU 2/2020 1. Pandangan DPR RI terhadap pengujian judul UU 2/2020:
Berdasarkan metode penafsiran secara gramatikal yaitu metode penafsiran melalui pendekatan tatabahasa yang ada pada rumusan UU, dalam memahami UU, tanda baca, diksi, dan pola susunan kalimat sedemikan rupa benar benar diperhatikan. Berdasarkan metode penafsiran tersebut judul Lampiran UU 2/2020 sudah jelas, tidak ambigu, memang yang diatur dalam Lampiran UU 2/2020 ini adalah langkah Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Keuangan dikarenakan adanya pandemi Covid-19 yang saat ini terjadi. Bukan mengatur tentang langkah tindakan Pemerintah untuk menangani Covid-19. Yang menjadi subyek dari judul ini adalah Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Covid-19. Dua subyek tersebut adalah dua hal yang berbeda namun satu kesatuan yang diatur dalam Lampiran UU 2/2020 ini.
Judul dan materi muatan sudah sesuai, materi muatan terdiri atas 6 bab yang hampir semuanya mengatur mengenai langkah-langkah kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan yang akan dijalankan pemerintah, dan tidak mengatur mengenai langkah-langkah untuk menangani pandemi Covid-19.
Berdasarkan Ketentuan dalam UU 12/2011 Lampiran II Bagian A mengatur bahwa: ● Judul Peraturan Perundang–undangan memuat keterangan mengenai jenis, nomor, tahun pengundangan atau penetapan, dan nama Peraturan Perundang–undangan; ● Judul Peraturan Perundang-undangan ditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang diletakkan di tengah marjin tanpa diakhiri tanda baca; ● Pada nama Peraturan Pemerintah Pengganti Undang–Undang (Perpu) yang ditetapkan menjadi Undang–Undang, ditambahkan 123 kata penetapan di depan judul Peraturan Perundang–undangan yang ditetapkan dan diakhiri dengan frasa menjadi Undang-Undang; Berdasarkan ketentuan tersebut, judul yang tertulis pada UU 2/2020 maupun Perppu 1/2020 yang merupakan lampiran dari UU 2/2020 telah sesuai dengan ketentuan dalam UU 12/2011.
Pandangan DPR terhadap materi muatan kebijakan pelebaran defisit anggaran sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UU a quo . __ a. Bahwa sesuai amanat konstitusi, APBN digunakan untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat, namun ketika keadaan darurat karena Covid-19 yang telah secara nyata memberikan dampak pada perekonomian negara seperti saat ini maka penggunaan APBN dapat disesuaikan untuk kepentingan yang lebih besar yaitu menyelamatkan perekonomian negara yang mana hal ini justru untuk menciptakan manfaat yang lebih besar.
Implikasi pandemi Covid-19 telah berdampak pula terhadap ancaman semakin memburuknya sistem keuangan yang berisiko pada ketidakstabilan makro ekonomi dan sistem keuangan yang perlu dimitigasi bersama oleh Pemerintah dan lembaga terkait dengan melakukan tindakan antisipasi guna menjaga stabilitas sektor keuangan. Bahwa kedalaman implikasi Covid-19 terhadap perekonomian sulit diukur karena puncak pandemi Covid-19 belum dapat dipastikan waktunya. Implikasi ekonomi yang ditimbulkan oleh Covid-19 terhadap perekonomian sangat dalam sehingga semua skenario perlu disiapkan untuk menghadapi situasi yang paling buruk, bahkan dalam bentuk “ worst case scenario ”. Maka pemerintah dan lembaga terkait perlu mengambil langkah luar biasa dalam rangka penyelamatan perekonomian nasional dengan berbagai kebijakan relaksasi yang berkaitan dengan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dengan melakukan peningkatan belanja untuk kesehatan, jaring pengaman sosial dan pemulihan perekonomian, serta memperkuat kewenangan berbagai lembaga dalam sektor keuangan.
Bahwa para Pemohon perkara 37 dan Pemohon perkara 45 mendalilkan UU a quo melampaui dari ruang lingkup yang diatur di dalam Pasal 1 karenanya senyatanya Pasal 2 ayat (1) huruf a justru mengatur dalam 124 jangka waktu sampai dengan 2022 bahkan sampai 2023. Selain itu, negara-negara lain, pemerintahnya tidak diberi kewenangan khusus dalam bidang anggaran selama bertahun-tahun. Terhadap dalil tersebut, DPR berpandangan sebagai berikut:
Dalam Lampiran UU 2/2020 tetap terdapat pembatasan-pembatasan yaitu: Pertama, kewenangan menetapkan defisit melampaui 3% dari PDB hanya berlaku paling lama sampai dengan berakhirnya Tahun Anggaran 2022 (dalam jangka waktu kurang lebih 2 tahun atau bisa kurang dari waktu tersebut jika recovery ekonomi dapat berjalan lebih cepat); dan penyesuaian besaran defisit tersebut dilakukan secara bertahap. Sebagai perbandingan dengan negara lain, Amerika Serikat, Australia, Singapura, dan Malaysia telah mengeluarkan stimulus fiskal yang mencapai lebih dari 10% PDB-nya. Amerika Serikat hanya dalam waktu kurang dari 3 bulan menambah utang dengan 3 Triliun US$ yang jumlah tersebut sama dengan jumlah 3 kali PDB Indonesia. ( Lampiran II ). Kedua, pelebaran defisit tersebut tetap dalam koridor jumlah pinjaman yang dapat dilakukan dalam rangka pelaksanaan pelebaran defisit tersebut yaitu di batasi maksimal 60% (enam puluh persen) dari PDB sesuai UU Keuangan Negara 2) Bahwa defisit anggaran yang tidak dapat dihindari tersebut tentunya butuh penanganan sehingga meningkatnya besaran utang negara adalah suatu hal yang pasti terjadi. Solusi ini adalah satu diantara upaya-upaya yang dilakukan oleh Pemerintah selain melakukan penyesuaian besaran belanja wajib, pergeseran anggaran antar unit organisasi, antar fungsi dan/atau antar program dan lain sebagainya sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 2 Lampiran UU 2/2020.
Bahwa konsekuensi dari pelebaran defisit tersebut tentunya berdampak pada tahun-tahun berikutnya. Sehingga penentuan atau pembatasan APBN sampai tahun anggaran 2022 merupakan pilihan kebijakan yang logis. Oleh karena itu Pemerintah memberikan prediksi dengan menetapkan batasan defisit anggaran melampaui 3% dari PDB sampai dengan tahun anggaran 2022. Sedangkan pada tahun anggaran 2023, Pemerintah optimis besaran defisit anggaran 125 akan kembali menjadi paling tinggi sebesar 3% dari PDB. Hal ini merupakan optimisme Pemerintah dalam mengupayakan perbaikan kondisi perekonomian dan keuangan nasional. Hal ini harus dipahami oleh para Pemohon a quo mengingat kondisi dan kemampuan setiap negara berikut kebijakan-kebijakan yang diambil tidak dapat disamaratakan karena karakteristik dan tren pertumbuhan perekonomiannya yang juga tidak sama.
Bahwa APBN Tahun Anggaran 2021 dan Tahun 2022 dalam lampiran UU 2/2020 ini tidak diatur karena UU APBN Tahun Anggaran 2021 dan Tahun Anggaran 2022 belum disusun dan diundangkan ketika pengundangan UU 2/2020. Dalam penyusunan APBN Tahun Anggaran 2021 dan Tahun Anggaran 2022 tetap diberlakukan mekanisme penyusunan APBN sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan sehingga esensi Pasal 23 UUD NRI Tahun 1945 tetap terjaga.
DPR menerangkan pembentukan Perppu merupakan kewenangan konstitusional Presiden sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 22 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Baru selanjutnya diberlakukan ketentuan Pasal 22 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang merupakan kewenangan konstitusional DPR RI untuk memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan atas Perppu yang dibentuk oleh Presiden pada masa sidang yang berikutnya. Karakter hukum UU APBN yang merupakan undang-undang penetapan, berbeda dengan undang-undang pengaturan pada umumnya. Karena sifat hukumnya tersebut, UU APBN sebenarnya merupakan domain pemerintah dalam perumusan dan perencanaannya, yang kemudian membutuhkan hak budget DPR untuk menyetujui atau tidak. Dalam hal kondisi kedaruratan, persetujuan tidak ditempatkan di awal, melainkan sekalian di akhir pelaksanaan dengan maksud terjadinya perubahan konsep hak budget DPR yang sebelumnya menguji pengeluaran negara untuk kebutuhan di tahun berjalan, menjadi menguji pengeluaran negara untuk kemanfataan di tahun berjalan. Keduanya sama-sama tetap menggunakan dan menjalankan hak budget DPR, di mana hak budget keadaan normal, alokasi yang tidak 126 disetujui DPR karena belum menjadi kebutuhan akan dicoret atau ditarik. Sedangkan dalam keadaan darurat, alokasi yang tidak disetujui karena tidak sesuai kemanfaatannya harus dipertanggungjawabkan pemerintah dalam berbagai bentuk, yaitu meminta Badan Pemeriksa Keuangan melakukan pemeriksaan dan melaporkannya kepada DPR, meminta pemerintah melakukan koreksi dan pengembalian sesuai dengan rekomendasi pemeriksaan BPK, atau DPR dapat menggunakan hak yang dimilikinya dalam mengawasi penggunaan APBN keadaan darurat.
Selain itu terkait keinginan Pemohon perkara 45 agar RUU APBN Tahun 2021 dibahas Pemerintah dengan DPR RI senyatanya sudah disampaikan Pemerintah dalam rangkaian rapat paripurna tertanggal 12 Mei 2020, 14 Juli 2020, dan 14 Agustus 2020 (Lampiran II, Lampiran III dan lampiran IV). Sebagai tambahan informasi, pada 25 September 2020, Kemenkeu selaku yang mewakili Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyepakati Rancangan Undang-Undang (RUU) Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2021 di Banggar dan Pemerintah bersama DPR telah menyetujui defisit anggaran sebesar 5,7% dari PDB pada Rapat Paripurna DPR tanggal 29 September 2020. Semua fraksi DPR juga menyampaikan bahwa kondisi Covid-19 masih belum memberikan kepastian pada tahun 2021, sehingga Pemerintah dengan pimpinan Banggar dan para anggota Banggar bersama-sama memformulasikan RUU APBN 2021 yang disatu sisi memberikan signal kepada masyarakat, dunia usaha bahwa pemerintah terus melakukan support agar mereka bisa pulih dan bangkit kembali, namun di sisi lain juga memberikan sinyal kehati-hatian, sinyal prudent atau kebijakan dalam menjaga keseluruhan dan keberlangsungan APBN.
Oleh karenanya dalil bahwa kewenangan penetapan UU APBN oleh DPR menjadi nihil, (dalam hal ini dalil tersebut juga disampaikan oleh para Pemohon perkara 42) adalah anggapan yang salah. Hal ini disebabkan perubahan mekanismenya saja, yang sebelumnya Hak Budget DPR dilakukan di awal menjadi di akhir setelah diterbitkannya 127 LKPP. Selain itu, dalam memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap penetapan Perppu 1/2020 menjadi undang-undang tersebut, tentunya DPR mengkaji terlebih dahulu urgensi dan implikasi pemberlakuan ketentuan dalam Perppu tersebut sebagai undang-undang sebelum dilakukan penetapan Perppu tersebut sebagai undang-undang. Pengaturan dalam Perppu ini tidak berarti menghilangkan mekanisme persetujuan DPR dalam penetapan UU APBN mengingat UU APBN Tahun Anggaran 2020 telah ditetapkan, dan UU APBN Tahun Anggaran 2021 telah dibahas oleh DPR dan Pemerintah, dan UU APBN Tahun Anggaran 2022 masih belum disusun dan belum diajukan oleh Pemerintah kepada DPR RI.
Pandangan DPR terkait penggunaan dana yang bersumber dari Dana Abadi Pendidikan untuk penanganan Pandemi Covid-19, DPR.
Akumulasi dana abadi pendidikan yang dimaksud dalam Pasal a quo adalah akumulasi dana abadi dari tahun-tahun sebelumnya dan tidak termasuk porsi dana abadi pendidikan yang dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun berjalan [vide Penjelasan Pasal 2 ayat (1) huruf e UU a quo ].
Anggaran dana pendidikan yang sudah dialokasikan dalam UU APBN tahun berjalan tidak termasuk dalam objek yang diatur dalam ketentuan Pasal a quo sehingga kewajiban Pemerintah untuk memenuhi mandatory spending dana pendidikan sebesar 20% tetap dilaksanakan. Oleh karena itu, yang dapat digunakan oleh Pemerintah dalam realokasi penggunaan dana abadi pendidikan dan akumulasi dana pendidikan untuk penanganan Pandemi Covid-19 tidak mengganggu alokasi dana pendidikan yang sudah ditetapkan dalam UU APBN sebesar 20%.
Bahwa penggunaan dana abadi sebagai sumber pembiayaan APBN tahun berjalan merupakan salah satu opsi yang dipersiapkan pemerintah dalam penanganan pandemi Covid-19. Opsi tersebut hanya akan dipergunakan apabila seluruh pembiayaan lain yang tersedia tidak memenuhi kebutuhan pembiayaan pemerintah dalam penanganan pandemi Covid-19. Namun demikian, pemanfaatannya akan tetap memperhitungkan efektivitas dan ketepatan dibandingkan dengan surnber-sumber lain yang ada. 128 4. Pandangan DPR terkait kewenangan Pemerintah untuk menerbitkan Surat Utang Negara dan/atau Surat Berharga Syariah Negara dengan tujuan tertentu dan independensi Bank Indonesia a. Bahwa dasar hukum penerbitan SUN adalah Pasal 55 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (selanjutnya di sebut UU BI), yang berketentuan:
Dalam hal Pemerintah akan menerbitkan surat-surat utang negara, Pemerintah wajib terlebih dahulu berkonsultasi dengan Bank Indonesia.
Sebelum menerbitkan surat utang negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah wajib berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat.
Bank Indonesia dapat membantu penerbitan surat-surat utang negara yang diterbitkan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
.... Dalam penerbitan Surat Utang Negara tersebut, terdapat peran DPR dalam mekanisme penerbitan surat utang negara berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (1) dan ayat (3) UU Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara (UU SUN) yang mengatur bahwa Penerbitan Surat Utang Negara harus terlebih dahulu mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat yang diberikan pada saat pengesahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Mekanisme ini harus tetap dilakukan oleh Pemerintah.
Dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (UU SBSN) diatur bahwa SBSN diterbitkan dengan tujuan untuk membiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara termasuk membiayai pembangunan proyek. Kewenangan menerbitkan SBSN berada pada Pemerintah dilaksanakan oleh Menteri dapat dilaksanakan secara langsung oleh Pemerintah atau melalui Perusahaan Penerbit SBSN. Dalam hal akan dilakukan penerbitan SBSN untuk tujuan membiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara termasuk membiayai pembangunan proyek, Menteri terlebih dahulu berkoordinasi dengan Bank Indonesia.
Ketentuan Pasal 8 UU SBSN mengatur bahwa Penerbitan SBSN harus terlebih dahulu mendapat persetujuan DPR pada saat pengesahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diperhitungkan 129 sebagai bagian dari Nilai Bersih Maksimal Surat Berharga Negara yang akan diterbitkan oleh Pemerintah dalam satu tahun anggaran. Dalam rangka kedaruratan penanganan Covid-19 dan implikasinya terhadap kondisi perekonomian nasional, hal ini juga menjadi pertimbangan Presiden dalam penyusunan Perppu 1/2020 dan penetapannya sebagai undang-undang oleh DPR melalui UU 2/2020. Ketentuan Pasal 8 UU SBSN ini tidak disebutkan dalam ketentuan Pasal 28 lampiran UU 2/2020, sehingga masih berlaku dan harus dilaksanakan oleh Pemerintah.
Pasal 2 ayat (1) huruf f, Pasal 16 ayat (1) huruf c, dan Pasal 19 ayat (3) Lampiran UU 2/2020 mengatur bahwa Bl dapat membeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana atau primer. Pengaturan tersebut melengkapi ketentuan Pasal 55 ayat (4) UU Bl yang memberikan kewenangan Bl untuk membeli SUN di pasar primer atau perdana berjangka pendek yang diperlukan oleh Bl untuk operasi pengendalian moneter. Pengaturan pada Pasal 55 ayat (4) UU Bl dimaksudkan untuk menjalankan tugas Bl dalam kondisi normal. Sementara saat ini, Presiden telah memutuskan kondisi kegentingan yang memaksa serta kekosongan hukum karena pandemi Covid-19 sehingga diterbitkan Perppu 1/2020. Dalam mengatasi kondisi tersebut, diperlukan stimulus fiskal yang dapat berimplikasi pada pelebaran defisit APBN. Oleh karena itu, peran Bl perlu diperluas sehingga Bl dapat melakukan pembelian SUN dan/atau SBSN jangka panjang di pasar perdana khususnya dalam rangka penanganan permasalahan sistem keuangan yang membahayakan perekonomian nasional, termasuk SUN dan/atau SBSN yang diterbitkan dengan tujuan tertentu khususnya dalam rangka pandemi Covid-19.
Ketentuan dalam Pasal 16 ayat (1) hurut c Lampiran UU 2/2020 dimaksudkan untuk memberikan kelengkapan payung hukum bagi Bl untuk menetapkan dan melaksanakan kebijakan pembelian SUN dan/atau SBSN berjangka panjang di pasar perdana untuk penanganan permasalahan sistem keuangan yang membahayakan perekonomian nasional, termasuk SUN dan/atau SBSN yang diterbitkan dengan tujuan tertentu khususnya dalam rangka pandemi Covid-19. Dengan 130 adanya ketentuan-ketentuan dalam Lampiran UU 2/2020, terbuka ruang baru bagi Bl dalam rnerumuskan dan rnelaksanakan kebijakan moneter melalui pembelian SUN di pasar primer atau perdana, baik yang berjangka pendek maupun panjang, untuk digunakan dalam operasi pengendalian moneter maupun yang diperlukan untuk pemulihan ekonomi nasional.
Pembelian SUN dan/atau SBSN oleh Bl di pasar perdana dilakukan untuk membantu pemerintah dalam pemenuhan pembiayaan APBN dan pembiayaan pelaksanaan pemulihan ekonomi nasional termasuk menjaga stabilitas sistem keuangan nasional yang menjadi peran Bl sebagai otoritas moneter dan bukan mengintervensi Bl dalam pelaksanaan tugasnya. Proses untuk membeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana merupakan mandat yang diberikan oleh UU 2/2020 sehingga sama sekali tidak ada intervensi terhadap independensi Bl.
Perlu dicermati pula bahwa SUN dan/atau SBSN yang diterbitkan oleh Pemerintah tidak wajib untuk dibeli oleh Bl. Rumusan-rumusan ketentuan dalam Lampiran UU 2/2020 terkait kewenangan Bl untuk membeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana memuat kata "dapat". Penggunaan frasa "dapat" dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) huruf f dan Pasal 19 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 dimaknai bahwa tidak ada unsur kewajiban bagi Bl yang dapat menghilangkan independensi Bl sebagai bank sentral untuk memutuskan pembelian SUN dan/atau SBSN di pasar perdana. Pembelian SUN dan/atau SBSN didasarkan sesuai pertimbangan Bl dalam menjalankan tugasnya.
Kewenangan Bl untuk membeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana sebagaimana diatur dalam Lampiran UU 2/2020 dilaksanakan dengan tetap menjaga independensi Bl . Pasal 23D UUD NRI Tahun 1945 juncto Pasal 4 ayat (2) UU Bl telah mengatur bahwa Bl merupakan lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pemerintah dan/atau pihak lain. Pelaksanaan tugas dan wewenang Bl akan tetap berjalan secara efektif dengan berlakunya ketentuan dalam Lampiran UU 2/2020. 131 i. Sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (3) UU a quo , kewenangan tersebut harus memenuhi skema dan mekanisme pembelian yang diatur bersama antara Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia dengan Keputusan Bersama Menteri Keuangan dan Gubernur Bl Nomor 190/KMK.08/2020 dan Nomor 22/4/KEP.GBl/2020 tanggal 16 April 2020 dengan menerapkan prinsip:
mengutamakan mekanisme pasar;
mempertimbangkan dampaknya terhadap inflasi secara terukur;
SUN dan/atau SBSN yang dapat dibeli oleh Bl bersifat tradable dan marketable ; dan
Bl sebagai pembeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana merupakan last resort dalam hal kapasitas pasar tidak mampu menyerap dan/atau menyebabkan kenaikan yield yang terlalu tinggi.
Pandangan DPR terkait penetapan sumber-sumber pembiayaan Anggaran yang berasal dari dalam dan/atau luar negeri dan pengaturan perubahan postur APBN melalui Peraturan Presiden sebagaimana diatur dalam UU a quo a. Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. Kekuasaan tersebut meliputi kewenangan yang bersifat umum dan kewenangan yang bersifat khusus. Untuk membantu Presiden dalam penyelenggaraan kekuasaan dimaksud, sebagian dari kekuasaan tersebut dikuasakan kepada Menteri Keuangan selaku Pengelola Fiskal dan Wakil Pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan, serta kepada Menteri/Pimpinan Lembaga selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya. Menteri Keuangan sebagai pembantu Presiden dalam bidang keuangan pada hakekatnya adalah Chief Financial Officer (CFO) Pemerintah Republik Indonesia, sementara setiap menteri/pimpinan lembaga pada hakekatnya adalah Chief Operational Officer (COO) untuk suatu bidang tertentu pemerintahan. Prinsip ini perlu dilaksanakan secara konsisten agar terdapat kejelasan dalam pembagian wewenang dan tanggung jawab, terlaksananya mekanisme checks and balances 132 serta untuk mendorong upaya peningkatan profesionalisme dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan. Sub bidang pengelolaan fiskal meliputi fungsi-fungsi pengelolaan kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro, penganggaran, administrasi perpajakan, administrasi kepabeanan, perbendaharaan, dan pengawasan keuangan.
Pengecualian Pelaksanaan Kebijakan Keuangan Negara dalam Perppu ini sebagaimana diatur dalam Pasal 12 ayat (2) lampiran UU 2/2020 a quo : “Perubahan postur dan/atau rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara dan langkah-langkah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 11 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden.” Ketentuan tersebut hanya berlaku sepanjang berkaitan dengan kebijakan keuangan negara untuk penanganan penyebaran Covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan berdasarkan Perppu ini (vide Pasal 28 lampiran UU 2/2020). Dalam kondisi kembali normal semua ketentuan dalam UU MD3 berlaku seperti semula termasuk dalam hal mekanisme pembahasan APBN dan APBNP yang harus tetap mendapatkan persetujuan DPR. Selain itu meskipun APBN Perubahan ditetapkan dengan Peraturan Presiden karena situasi yang mendesak berdasarkan Perppu 1/2020 yang selanjutnya menjadi lampiran UU 2/2020, tetapi pertanggungjawaban APBN tetap kepada DPR.
Bahwa terkait dengan sumber-sumber pembiayaan negara, Pasal 12 ayat (3) UU Keuangan Negara mengatur bahwa dalam hal anggaran diperkirakan defisit, ditetapkan sumber-sumber pembiayaan untuk menutup defisit tersebut dalam Undang-undang tentang APBN. Dan penjelasan Pasal 12 ayat (3) UU Keuangan Negara tersebut mengatur bahwa jumlah pinjaman dibatasi maksimal 60% dari Produk Domestik Bruto. Ketentuan dalam penjelasan ini juga menjadi bagian yang dinyatakan tidak berlaku dalam Pasal 28 angka 3 lampiran UU 2/2020. Namun pada dasarnya, penetapan sumber-sumber pembiayaan tersebut diperbolehkan hanya saja batasan yang ada dalam 133 penjelasan pasal tersebut tidak diberlakukan selama penanganan Covid-19 ini atau hingga tahun 2021. Selain itu, persebaran Covid-19 yang masif dan cepat ini membutuhkan penanganan cepat namun yang tidak dapat dilaksanakan melalui mekanisme APBN, sehingga telah jelas tidak ada pelanggaran prinsip pengelolaan keuangan negara dan tetap sejalan dengan prinsip negara hukum sebagaimana diatur oleh Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945.
Ketentuan Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 sama sekali tidak menghilangkan peran dan fungsi DPR, karena dengan telah disetujui dan ditetapkannya Perppu 1/2020 menjadi UU 2/2020, telah menunjukkan bahwa perubahan postur dan/atau rincian APBN dengan Peraturan Presiden yang diatur dalam ketentuan Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 tersebut telah mendapat persetujuan DPR. Selain itu, dalam pembentukan Peraturan Presiden tentang perubahan postur dan/atau rincian APBN, Pemerintah selalu mengkomunikasikannya dan melakukan pembahasan bersama dengan DPR. DPR dapat memberikan masukan dan rekomendasi kepada Pemerintah terkait postur dan/atau rincian APBN tersebut. Oleh karena itu, Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 __ yang mengatur bahwa perubahan postur dan/atau rincian APBN dilakukan dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden, sama sekali tidak menghilangkan peran dan fungsi DPR. Pengaturan perubahan postur dan/atau rincian APBN dalam ketentuan Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 telah diselaraskan dengan dicabutnya ketentuan Pasal 27 ayat (3) UU Keuangan Negara, Pasal 177 huruf c angka 2 dan Pasal 182 UU MD3, serta Pasal 40 UU APBN 2020 ( vide __ ketentuan Pasal 28 angka 3, 10, dan 12 Lampiran UU 2/2020). Pencabutan berbagai ketentuan yang diatur dalam Pasal 28 angka 3, 10, dan 12 Lampiran UU 2/2020 tersebut, merupakan upaya harmonisasi agar tidak ada dualisme aturan atas satu permasalahan. Dengan demikian, ketentuan Pasal 28 angka 3, 10, dan 12 Lampiran UU 2/2020 telah memberikan kepastian hukum atas pelaksanaan ketentuan Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020, yaitu bahwa perubahan postur dan/atau rincian APBN dilakukan dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden. 134 6. Pandangan DPR Terhadap Kebijakan Di Bidang Keuangan Daerah sebagaimana diatur dalam UU a quo a. Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945, Pemerintah Daerah telah diberikan kewenangan untuk mengatur dan mengurus sendi r i urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda). Penjelasan umum UU Pemda menyatakan bahwa pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah dilaksanakan berdasarkan prinsip negara kesatuan. Dalam negara kesatuan, kedaulatan hanya ada pada pemerintahan negara atau pemerintahan nasional dan tidak terdapat kedaulatan pada pemerintahan daerah. Oleh karena itu, seluas apapun otonomi yang diberikan kepada daerah, tanggung jawab akhir penyelenggaraan pemerintahan daerah akan tetap ada di tangan pemerintah pusat. Untuk itu pemerintahan daerah pada negara kesatuan merupakan satu kesatuan dengan pemerintahan nasional.
Kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan oleh daerah merupakan bagian integral dari kebijakan nasional. Pembedanya, terletak pada bagaimana memanfaatkan kearifan, potensi, inovasi, daya saing, dan kreativitas daerah untuk mencapai tujuan nasional tersebut di tingkat lokal yang pada gilirannya akan mendukung pencapaian tujuan nasional secara keseluruhan. Pada kondisi pandemi Covid-19, hal yang perlu diperhatikan dalarn pelaksanaan kebijakan keuangan di daerah adalah kecepatan dan ketepatan untuk menyesuaikan anggaran sehingga tepat sasaran. Lebih lanjut, berdasarkan dengan Pasa l 6 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (UU Keuangan Negara), kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan, telah diserahkan kepada kepada gubernur/ bupati/wali kota untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili Pemerintah Daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan.
Namun demikian, dalam pelaksanaannya, penyelenggaraan pemerintahan daerah, termasuk keuangan daerah, dilaksanakan sesuai 135 dengan ketentuan dalam UU Pemda sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015. Dalam ketentuan Pasal 9 ayat (2) UU Pemda disebutkan urusan absolut adalah urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat. Lebih Ianjut dalam ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf e UU Pemda disebutkan jika salah satu urusan pemerintahan absolut tersebut adalah urusan moneter dan fiskal nasional. Dalam menangani pandemi Covid-19 dan menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan, kebijakan yang diterapkan di bidang keuangan negara yang memberikan relaksasi untuk refocusing APBN, sudah seharusnya juga diterapkan pada pemerintahan daerah, khususnya dalam hal relaksasi untuk refocusing APBD. Oleh karena itu, kebersarnaan dan gotong royong oleh pemerintah pusat dan Pemerintah Daerah dapat menuntaskan permasalahan kesehatan dan ekonomi dampak Covid-19.
Sesuai ketentuan Pasal 8 UU Pemda, telah diatur bahwa pembinaan dan pengawasan terhadap urusan penyelenggaraan pemerintahan oleh daerah dikoordinasikan oleh Menteri Dalam Negeri. Hal tersebut dapat menjadi landasan Kementerian Dalam Negeri untuk memberikan petunjuk/pedoman tentang keuangan daerah kepada Pemerintah Daerah agar penggunaan realokasil refocusing seragam dan terarah bagi seluruh daerah. Sebagaimana telah diatur dalam Pasal 280 UU Pemda, dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang diserahkan dan/atau ditugaskan, penyelenggara pemerintahan daerah memiliki kewajiban dalam pengelolaan keuangan daerah antara lain meliputi sinkronisasi pencapaian sasaran program daerah dalam APBD dengan program pemerintah pusat.
Sejalan dengan hal tersebut, guna mencapai penanganan yang bersifat holistik dan terpadu atas pandemi Covid-19 dan dampaknya, maka diperlukan pula peran daerah melalui APBD. Untuk itu, Pemerintah Daerah diberikan kewenangan untuk melakukan refocusing, perubahan alokasi dan penggunaan APBD. Dalam rangka memberikan pedoman/ guidance kepada Pemerintah Daerah, maka Kemendagri telah menerbitkan Permendagri Nomor 39 Tahun 2020 tentang Pengutamaan 136 Penggunaan Alokasi Anggaran Untuk Kegiatan Tertentu, Perubahan Alokasi dan Penggunaan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah yang mengatur ketentuan umum dan teknis pelaksanaan refocusing, perubahan alokasi, dan penggunaan APBD untuk penanganan pandemi Covid-19 beserta dampaknya di daerah. Dengan demikian, Permendagri tersebut tidak akan mendikte Pemerintah Daerah dalam melakukan refocusing, perubahan alokasi dan penggunaan APBD, melainkan sebatas memberikan petunjuk dan menciptakan keseragaman tindak lanjut kedaruratan dalam melakukan refocusing guna mencapai tujuan nasional. Selain itu, dengan tidak diajukannya pengujian ketentuan Pasal 3 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 oleh Pemohon, maka Pemohon telah menyadari dan rnernahami bahwa pemberian kewenangan kepada daerah untuk melakukan refocusing, perubahan alokasi, dan penggunaan APBD, merupakan kebijakan yang penting dan diperlukan Pemerintah Daerah dalam penanganan dampak Covid-19.
Pandangan DPR Terhadap Materi Muatan mengenai “Kebijakan Di Bidang Perpajakan dan Kepabeanan” sebagaimana diatur dalam UU a quo a. Terkait dengan perpajakan, Kementerian keuangan telah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 34/PMK.04/2020 tentang Pemberian Fasilitas Kepabeanan Dan/Atau Cukai Serta Perpajakan Atas Impor Barang Untuk Keperluan Penanganan pandemi Covid-19 sebagaimana telah diubah dengan PMK 83/PMK.04/2020 dengan pertimbangan untuk percepatan pelayanan dalam pemberian fasilitas fiskal atas impor barang yang diperlukan dalarn penanganan pandemi Covid-19, perlu mengatur ketentuan mengenai perlakuan kepabeanan dan/atau cukai serta perpajakan atas impor barang yang diperlukan dalam penanganan pandemi Covid-19. Dalam PMK tersebut diatur atas impor barang untuk keperluan penanganan pandemi Covid-19 diberikan fasilitas kepabeanan dan/atau cukai serta perpajakan berupa: a) pembebasan bea masuk dan/atau cukai; b) tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah; dan c) dibebaskan dari pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22. 137 terhadap jenis barang yang tercantum dalam Lampiran Huruf A PMK tersebut yang dapat dilakukan melalui pusat logistik berikat.
Pengaturan Pasal 10 lampiran UU 2/2020 ini tidak bertentangan dengan Pasal 25 dan Pasal 26 UU Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan yang telah diubah dengan UU Nomor 17 Tahun 2006 (UU Kepabeanan). Pengaturan perubahan ketentuan Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26 ayat (1) UU Kepabeanan tersebut dalam rangka penanganan Covid-19 ini tentukan diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan tentu tidak dapat serta merta dianggap kesalahan karena anggapan para Pemohon bahwa ketentuan dalam UU tidak dapat diubah melalui peraturan perundang-undangan yang tidak setara. Hal ini dilakukan karena apa yang terjadi dan butuh penanganan cepat tidak sesuai dan tidak termasuk dalam pengaturan dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26 ayat (1) UU Kepabeanan. Barang- barang tersebut tidak termasuk barang yang dipergunakan untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak termasuk obat-obatan yang pengadaannya menggunakan anggaran keuangan negara.
Perubahan ketentuan Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26 ayat (1) UU Kepabeanan tersebut dengan UU perubahan tentu akan memerlukan waktu yang lama mengingat prosedur penyusunan UU beserta tahapan- tahapannya tidak dapat dilakukan dalam waktu singkat. Penentuan ini juga tentunya memperhatikan pengaturan yang ada dalam Pasal 25 ayat (3) UU Kepabeanan yang menyatakan “Ketentuan tentang pembebasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri” dan Pasal 26 ayat (3) UU Kepabeanan yang menyatakan “Ketentuan mengenai pembebasan atau keringanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan Menteri”. Sejalan dengan adanya amanat pengaturan peraturan pelaksanaan UU sebagaimana dalam Pasal 25 ayat (3) dan Pasal 26 ayat (3) UU Kepabeanan, maka hal ini jelas ditujukan untuk simplifikasi proses dalam kondisi yang genting, yang sudah jelas tidak berarti bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 sebagaimana yang telah didalilkan oleh para Pemohon perkara 37. 138 d. Tidak adanya pernyataan Presiden bahwa negara dalam kondisi krisis sehingga tidak diperlukan adanya program stabilitasi perekonomian dan keuangan nasional termasuk pengurangan pajak dan bea masuk barang impor sebagaimana yang dinyatakan para Pemohon perkara 42, hal tersebut tidaklah benar. Dalam berbagai pidatonya, Presiden, DPR dan Menteri keuangan berulang kali menyampaikan kondisi perekonomian nasional dan kekhawatiran apabila tidak dilakukan upaya penanganan segera tanpa perlu menyatakan “Indonesia dalam keadaan krisis” pun keadaan tersebut dirasakan oleh masyarakat secara luas khususnya setelah adanya pandemi Covid-19. Pengurangan pajak dilakukan karena pajak dipungut dari warga negara dan kondisi perekonomian nasional sedang tidak dalam keadaan baik. Hal ini justru akan membebani masyarakat apabila tidak dilakukan pengurangan pajak. Selain itu, kebijakan terkait bea masuk barang impor tidak diberlakukan pada seluruh objek bea masuk melainkan pada alat-alat kesehatan dan obat-obatan yang dibutuhkan oleh masyarakat dalam rangka penanganan pandemi Covid-19. Oleh karenanya, pengaturan dan pengawasan pengelolaan keuangan negara selama masa pandemi Covid-19 ini terlapor secara jelas kepada DPR dan dilaksanakan sesuai dengan asas-asas pengelolaan keuangan negara dan asas-asas umum penyelenggaraan pemerintahan yang baik.
Bahwa terkait dalil para Pemohon perkara 37 yang menyatakan bahwa pemberian keringanan pajak tanpa dibarengi dengan adanya larangan PHK tidaklah tepat. DPR menerangkan bahwa pelarangan PHK tidak dapat diberlakukan oleh Pemerintah mengingat kondisi keuangan setiap perusahaan tidak sama satu sama lain berikut besar skalanya. Keringanan pajak tersebut diberikan dengan harapan mampu menstimulus perkembangan perusahaan sehingga besarnyapun tidak akan sama bagi setiap perusahaan tergantung pada skala perusahaan dan bidang usaha perusahaan tersebut. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) mengatur bahwa Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan perintah. Dalam UU Ketenagakerjaan tersebut telah diatur mengenai pemutusan 139 hubungan kerja dan adanya perjanjian kerja. Selain itu, ketenagakerjaan merupakan hubungan perdata antara pekerja dan pemberi kerja/pengusaha.
Bahwa terkait dalil para Pemohon perkara 37 mengenai pajak untuk perdagangan melalui sistem elektronik tidak memenuhi unsur kegentingan yang memaksa dan seharusnya diatur dalam undang-undang, DPR menerangkan bahwa:
Langkah-langkah pencegahan yang relatif ketat untuk membatasi meluasnya penyebaran pandemi Covid-19 menyebabkan turunnya permintaan atas produk nasional. Dampak selanjutnya, banyak perusahaan yang mengalami kesulitan cash flow sehingga menurunkan kemampuan dalam membayar pajak. Akibatnya, penerimaan perpajakan seperti PPh Badan mengalami penurunan secara signifikan. Berkurangnya aktivitas perdagangan internasional secara signifikan juga mengakibatkan turunnya penerimaan pajak dari impor dan bea masuk. Selain itu, penerimaan perpajakan juga mengalami tekanan dari turunnya harga minyak dunia, bahan mineral, dan CPO yang merupakan komponen penting dalam menghitung PPh migas dan bea keluar. Kinerja penerimaan perpajakan diperkirakan akan melemah pada tahun 2020 dengan tax ratio berpotensi berada di bawah 9 persen, terendah dalam dua dekade terakhir.
Menghadapi kondisi perekonomian dan pandemi Covid-19, kebijakan dan strategi perpajakan jangka menengah ditujukan untuk mendorong percepatan pemulihan ekonomi nasional pasca pandemi Covid-19 dan meningkatkan pendapatan negara. Di tengah ketidakpastian akan akhir dari pandemi Covid-19, dukungan terhadap dunia usaha mutlak diperlukan dalam rangka memitigasi dampak ekonomi yang timbul dan mendorong percepatan pemulihan ekonomi nasional. Untuk itu, langkah reformasi perpajakan yang pertama dilakukan adalah dengan memberikan relaksasi perpajakan kepada dunia usaha. Relaksasi perpajakan tersebut dimaksudkan untuk mengurangi beban kegiatan usaha dan membantu meningkatkan kondisi cash flow perusahaan, khususnya selama dan pasca pendemi Covid-19. Perusahaan dapat menggunakan pengurangan atau pembebasan pajak untuk menutupi 140 kenaikan harga bahan input maupun penurunan penjualan sehingga tetap beroperasi secara normal. Efek selanjutnya adalah perusahaan diharapkan tidak melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sehingga karyawan mempunyai gaji untuk memenuhi kebutuhan hidup. Pada gilirannya hal tersebut akan kembali menggairahkan perekonomian nasional, baik dari sisi produksi maupun sisi konsumsi. Melalui penurunan tarif PPh badan, pembebasan PPh impor dan bea masuk sektor tertentu, serta berbagai fasilitas perpajakan lainnya, Pemerintah juga bermaksud meningkatkan daya saing guna mendorong aktivitas investasi sehingga dapat memacu pertumbuhan ekonomi nasional.
Dalam rangka meningkatkan pendapatan negara, khususnya penerimaan perpajakan, Pemerintah melakukan upaya perluasan basis pemajakan dan perbaikan administrasi perpajakan. Penambahan objek pajak baru yang dipungut oleh Negara sangat diperlukan dalam rangka meningkatkan tax ratio . Sebagai tahap awal, Pemerintah akan memungut pajak atas Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) atau yang lebih popular dengan sebutan e-commerce . Dalam beberapa tahun terakhir, transaksi online berkembang begitu cepat dan berpotensi menggantikan pasar konvensional. Selain menjadi sumber pendapatan Negara, pemungutan pajak terhadap sektor PMSE juga dimaksudkan untuk memastikan terpenuhinya prinsip pemajakan yang berkeadilan ( fairness) antara semua pelaku usaha dan menciptakan level of playing field yang sama bagi pengusaha di dalam negeri untuk bertahan dan meningkatkan daya saingnya di tengah pandemi Covid-19. Selama ini, pelaku usaha ekonomi digital luar negeri mendapatkan penghasilan secara signifikan dari Indonesia tanpa perlu membayar pajak di Indonesia. Untuk itu, pemajakan atas PMSE diharapkan mampu menjadi sumber penting pendapatan negara mengingat nilai transaksinya yang besar di masa yang akan datang. Dengan demikian, pengaturan objek pajak baru dan mekanisme mekanisme peningkatan efektivitas pajak menjadi hal yang harus dilakukan untuk memenuhi kebutuhan belanja negara yang semakin tinggi dengan kondisi pemasukan negara yang tidak mencukupi. 141 4) Apabila pemajakan terhadap PMSE tidak segera diterapkan di Indonesia maka terjadi kekosongan hukum dan menjadi loopholes untuk penghindaran dan pengelakan pajak yang menyebabkan hilangnya potensi penerimaan pajak. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa akan memerlukan waktu yang cukup lama, apalagi di tengah pandemi Covid-19. Dengan demikian, kebijakan pemajakan PMSE dalam Lampiran UU 2/2020 sangat diperlukan sebagai dasar legal formal pemajakan atas PMSE. Dalam pelaksanaan PMSE tersebut, Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 48/PMK.03/2020 tentang Tata Cara Penunjukan Pemungut, Pemungutan, Dan Penyetoran, Serta Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai Atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud Dan/Atau Jasa Kena Pajak Dari Luar Daerah Pabean Di Dalam Daerah Pabean Melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik. Peraturan tersebut tentunya tidak lepas dari pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2009 dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009. Maka dengan diaturnya PSME dalam Perppu 1/2020 yang keberlakuannya setara dengan Undang-Undang dan telah ditetapkan sebagai Undang- Undang melalui UU 2/2020, maka dalil para Pemohon Perkara 37 mengenai PSME harus diatur dalam undang-undang menjadi tidak beralasan menurut hukum.
Pandangan DPR Terhadap Keterbukaan Pemerintah Terhadap Pelaksanaan Kebijakan Keuangan Negara Sebagaimana Diatur dalam Ketentuan UU a quo .
Setiap penyelenggara negara wajib mengelola keuangan negara secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Pengelolaan dimaksud dalam UU Keuangan Negara 142 mencakup keseluruhan kegiatan perencanaan, penguasaan, penggunaan, pengawasan, dan pertanggung-jawaban. Oleh karenanya, APBN, perubahan APBN, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN setiap tahun ditetapkan dengan undang-undang. Sedangkan APBD, perubahan APBD, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD setiap tahun ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Dengan ditetapkannya APBN, Perubahan APBN berikut pertanggungjawaban pelaksanaan APBN dalam Undang-Undang dan APBD, perubahan APBD berikut pertangungjawaban pelaksanaan APBD dalam Peraturan daerah, maka berlakulah fiksi hukum dalam masyarakat. Asas Fiksi Hukum beranggapan bahwa ketika suatu peraturan perundang- undangan telah diundangkan maka pada saat itu setiap orang dianggap tahu ( presumption iures de iure ) dan ketentuan tersebut berlaku mengikat sehingga ketidaktahuan seseorang akan hukum tidak dapat membebaskan/memaafkannya dari tuntutan hukum ( ignorantia jurist non excusat ). Keberadaan asas fiksi hukum, telah dinormakan di dalam Penjelasan Pasal 81 ketentuan UU 12/2011 yakni "Dengan diundangkannya Peraturan Perundang-undangan dalam lembaran resmi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini, setiap orang dianggap telah mengetahuinya". Adapun lembaran resmi yang dimaksud di dalam ketentuan Pasal 81 terdiri dari 7 jenis yakni a. Lembaran Negara Republik Indonesia, b.Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, c.Berita Negara Republik Indonesia, d. Tambahan Berita Negara Republik Indonesia, e.Lembaran Daerah, f. Tambahan Lembaran Daerah, atau g. Berita Daerah.
Dalam rangka akuntabilitas pengelolaan keuangan negara menteri/ pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota selaku pengguna anggaran/ pengguna barang bertanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan yang ditetapkan dalam Undang-undang tentang APBN/Peraturan Daerah tentang APBD, dari segi manfaat/hasil ( outcome ). Sedangkan Pimpinan unit organisasi kementerian negara/lembaga bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan yang ditetapkan dalam undang-undang tentang APBN, demikian pula Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan yang ditetapkan dalam Peraturan 143 Daerah tentang APBD, dari segi barang dan/atau jasa yang disediakan ( output ).
Oleh karena itu, dalam UU Perbendaharaan Negara diatur sanksi yang berlaku bagi menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota, serta Pimpinan unit organisasi kementerian negara/lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah yang terbukti melakukan penyimpangan kebijakan/kegiatan yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang tentang APBN/Peraturan Daerah tentang APBD. Ketentuan sanksi tersebut dimaksudkan sebagai upaya preventif dan represif, serta berfungsi sebagai jaminan atas ditaatinya Undang-undang tentang APBN/Peraturan Daerah tentang APBD yang bersangkutan. Selain itu perlu ditegaskan prinsip yang berlaku universal bahwa barang siapa yang diberi wewenang untuk menerima, menyimpan dan membayar atau menyerahkan uang, surat berharga atau barang milik negara bertanggungjawab secara pribadi atas semua kekurangan yang terjadi dalam pengurusannya. Kewajiban untuk mengganti kerugian keuangan negara oleh para pengelola keuangan negara dimaksud merupakan unsur pengendalian intern yang andal.
Anggapan para Pemohon perkara 42 dan para Pemohon perkara 43 atas tidak terjadinya krisis perekonomian karena tidak adanya pernyataan dari Presiden terkait kondisi tersebut, hal ini sungguh tidak beralasan menurut hukum dan justru menunjukkan sikap ketidakpedulian para Pemohon perkara 42 dan para Pemohon perkara 43 atas kondisi negara dan kondisi yang ada dalam masyarakat secara umum. Dengan perkembangan teknologi dan akses berita yang mudah dan luas sekarang ini, informasi mengenai keuangan negara dapat diakses dengan mudah. Hal ini merupakan wujud transparansi pengelolaan keuangan negara karena keuangan negara menyangkut kepentingan publik.
Dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dijelaskan bahwa Informasi Publik adalah informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan/atau diterima oleh suatu badan publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara dan/atau penyelenggara dan penyelenggaraan badan publik lainnya yang sesuai dengan Undang-Undang ini serta informasi lain yang 144 berkaitan dengan kepentingan publik. Salah satu asas dalam UU tersebut adalah bahwa setiap Informasi Publik bersifat terbuka dan dapat diakses oleh setiap Pengguna Informasi Publik, kecuali terdapat ketentuan pengecualiannya. Informasi Publik yang dikecualikan bersifat rahasia sesuai dengan undang-undang, kepatutan, dan kepentingan umum didasarkan pada pengujian tentang konsekuensi yang timbul apabila suatu informasi diberikan kepada masyarakat serta setelah dipertimbangkan dengan saksama bahwa menutup Informasi Publik dapat melindungi kepentingan yang lebih besar daripada membukanya atau sebaliknya. Dalam hal ini, keuangan negara merupakan informasi yang tidak dikecualikan dan dengan jelas diatur adanya mekanisme-mekanisme penyampaian informasi keuangan negara dalam UU Keuangan Negara.
Pandangan DPR terkait penambahan kewenangan terhadap OJK sebagaimana diatur dalam UU a quo a. Setidaknya terdapat tiga kewenangan OJK dalam UU a quo . Salah satu amanat dari UU 2/2020 seperti yang tercantum dalam Pasal 23 ayat (1) yaitu memberi kewenangan dan pelaksanaan kebijakan OJK untuk memberikan perintah tertulis kepada lembaga jasa keuangan melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, integrasi dan/atau konversi. Langkah tersebut dapat dilakukan apabila diperlukan untuk mengantisipasi krisis jasa keuangan yang dapat membahayakan perekonomian nasional. Dalam menghadapi kondisi penuh risiko saat ini akibat Covid-19 maka daya tahan lembaga jasa keuangan sangat dibutuhkan khususnya dari sisi permodalan. Sehingga, salah satu cara untuk memperkuat daya tahan lembaga jasa keuangan tersebut dilakukan dengan cara penggabungan atau merger. Aksi merger tersebut diperlukan karena terdapat risiko besar akibat Covid-19 yang mengganggu kemampuan pembayaran perusahaan jasa keuangan khususnya perbankan, meskipun saat ini perbankan tetap masih membayarkan bunga deposito kepada nasabah tepat waktu. Di sisi lain, kemampuan membayar debitur atau peminjam dalam kondisi tidak stabil karena perlambatan ekonomi di berbagai sektor. Sehingga, aksi merger tersebut diharapkan dapat memperkuat daya tahan perusahaan jasa keuangan. 145 b. Otoritas Jasa Keuangan mengeluarkan berbagai kebijakan stimulus untuk mengantisipasi dampak pandemi Covid-19 di bidang lembaga jasa keuangan. Sejauh ini, setidaknya OJK telah menerbitkan lima Peraturan OJK (POJK) pada 21 April 2020 sebagai tindak lanjut kewenangan OJK dalam pelaksanaan UU 2/2020 Kebijakan stimulus ini salah satunya adalah Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Corona Virus Disease 2019.
Kekhawatiran para Pemohon perkara 37 dan para Pemohon perkara 42 terkait potensi kesewenang-wenangan OJK dalam melaksanakan kewenangannya yang diberikan oleh UU 2/2020 tentunya telah diantisipasi oleh Pemerintah dan OJK dengan adanya pedoman pelaksanaan kewenangan-kewenangan tersebut. Selain itu, bagi OJK selaku pelaksana kewenangan yang diberikan oleh UU 2/2020 juga berlaku ketentuan Asas- Asas Umum Pemerintahan yang Baik sebagaimana diatur dalam UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dan UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
Pandangan DPR terkait pinjaman kepada LPS sebagaimana diatur dalam UU a quo a. Ketentuan Pasal 2 ayat (3) UU LPS, LPS merupakan lembaga yang independen. Sesuai ketentuan tersebut, telah jelas bahwa kedudukan LPS merupakan lembaga independen, bukan merupakan lembaga yang berada di bawah pemerintah. Pemberian kewenangan kepada LPS sebagaimana yang tercantum dalam Lampiran UU 2/2020, pada prinsipnya merupakan kewenangan yang telah diberikan oleh UU LPS, UU OJK , dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (UU PPKSK). Kewenangan yang diberikan kepada LPS sesuai Pasal 20 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 sifatnya lebih mempertegas guna mendukung pelaksanaan fungsi LPS dalam kondisi adanya pandemi Covid-19 dan/atau adanya ancaman perekonomian dan/atau stabilitas sistem keuangan. Kewenangan tersebut sudah jelas melekat dan seharusnya diberikan kepada LPS untuk dapat melaksanakan fungsi LPS sebagaimana diatur dalam UU LPS, yaitu menjamin simpanan nasabah penyimpan dan menjaga stabilitas sistem 146 perbankan. Pemberian kewenangan bagi LPS untuk melaksanakan langkah-langkah penanganan permasalahan stabilitas sistem keuangan juga diiringi dengan wewenang bagi Pemerintah untuk mengatur lebih lanjut pelaksanaan kewenangan tersebut dalam Peraturan Pemerintah [vide Pasal 20 ayat (2) Lampira n UU 2/2020]. Adanya atribusi dan mandat untuk melakukan pengaturan dalam peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dimaksudkan untuk memberikan koridor dalam pelaksanaan kewenangan LPS. Hal tersebut dimaksudkan selain untuk memberikan kepastian hukum, juga untuk menghindari LPS menginterpretasikan kewenangan yang diberikan dalam Lampiran UU 2/2020 secara luas yang dapat mengakibatkan penyalahgunaan wewenang.
Berdasarkan UU LPS, fungsi LPS adalah menjamin simpanan nasabah di bank dan turut aktif memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai kewenangannya. Berdasaran ketentuan dalam Pasal 85 ayat (1) UU LPS, dalam hal modal LPS menjadi kurang dari modal awal, Pemerintah dengan persetujuan DPR menutup kekurangan tersebut. Modal awal LPS ditetapkan sekurang-kurangnya Rp 4 triliun dan sebesar-besarnya Rp 8 triliun.
UU 2/2020 memberikan kewenangan kepada LPS yang di antaranya adalah melakukan pemeriksaan penanganan dan peningkatan intensitas persiapan Penanganan Bank bersama OJK dan melakukan pemilihan cara penanganan Bank Selain Bank Sistemik yang dinyatakan sebagai Bank Gagal dengan tidak hanya mempertimbangkan perkiraan biaya yang paling rendah ( least cost test ), tetapi juga mempertimbangkan kondisi perekonomian, kompleksitas permasalahan perbankan, kebutuhan waktu penanganan, ketersediaan investor, dan/atau efektivitas penanganan permasalahan Bank.
Sehubungan dengan kewenangan tersebut, UU 2/2020 mendelegasikan pengaturan kewenangan dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kewenangan LPS dalam Rangka Melaksanakan Langkah-Langkah Penanganan Permasalahan Stabilitas Sistem Keuangan. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah tersebut, LPS melakukan pemeriksaan bersama dalam rangka persiapan Penanganan 147 Bank dan peningkatan intensitas persiapan Penanganan Bank serta melakukan pemilihan cara penanganan Bank Selain Bank Sistemik yang dinyatakan sebagai Bank Gagal.
Berdasarkan kewenangan dimaksud, dalam hal terdapat Bank yang mengalami permasalahan solvabilitas, LPS melakukan pemeriksaan bersama dengan OJK untuk penanganan permasalahan solvabilitas Bank. Disamping itu, selama pemulihan ekonomi sebagai akibat pandemi Covid-19, LPS dapat melakukan penempatan dana pada Bank untuk mengelola dan/atau meningkatkan likuiditas LPS dan/atau mengantisipasi dan/atau melakukan penanganan permasalahan Stabilitas Sistem Keuangan yang dapat menyebabkan terjadinya kegagalan Bank sebagai bagian dari tindakan antisipasi ( forward looking ) LPS untuk menjaga Stabilitas Sistem Keuangan.
Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan Nomor 3 Tahun 2020 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kewenangan Lembaga Penjamin Simpanan Dalam Rangka Melaksanakan Langkah-Langkah Penanganan Permasalahan Stabilitas Sistem Keuangan, juga mengatur bahwa untuk penanganan pandemi Covid-19 untuk mengelola dan/atau meningkatkan likuiditas LPS dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan, LPS dalam rangka pengambilan keputusan untuk melakukan penanganan Bank Selain Bank Sistemik yang dinyatakan sebagai Bank Gagal oleh OJK, tidak hanya mempertimbangkan perkiraan biaya yang paling rendah ( least cost test ) tetapi juga dengan mempertimbangkan kondisi perekonomian, kompleksitas permasalahan bank, kebutuhan waktu penanganan, ketersediaan investor, dan/atau efektivitas dalam rangka penanganan permasalahan bank.
Berdasarkan ketentuan dalam lampiran UU 2/2020, LPS dapat menaikkan nilai penjaminan simpanan dari saat ini Rp2 miliar per rekening untuk menjamin adanya kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan. LPS juga bisa menambah pembiayaan dengan menerbitkan surat utang. Penambahan pendanaan ini bertujuan untuk membantu LPS apabila mengalami kesulitan likuiditas dalam menangani bank gagal. 148 Pembiayaan dari surat utang merupakan salah satu opsi yang dapat dilakukan LPS untuk menjalankan fungsi penjaminan simpanan maupun penanganan bank berdampak sistemik. Selama ini, LPS mendapatkan pembiayaan dari premi yang dibayarkan dari bank sebesar 0,2 persen per tahun dari rata-rata simpanan. LPS juga bisa mendapatkan biaya dari penanganan bank gagal serta memperoleh pinjaman dari pemerintah apabila modal sudah berada di bawah Rp4 triliun.
Resiko pembiayaan yang dikeluarkan untuk stabilitas kondisi perekonomian dan keuangan nasional salah satunya adalah kewajiban kontinjensi pemerintah pusat. Kewajiban kontinjensi merupakan kewajiban potensial bagi Pemerintah yang timbul akibat adanya peristiwa masa lalu dan keberadaannya menjadi pasti dengan terjadinya atau tidak terjadinya suatu peristiwa ( event ), yang tidak sepenuhnya. berada dalam kendali Pemerintah. Kewajiban kontinjensi bersumber dari pemberian dukungan dan/atau jaminan pemerintah atas proyek-proyek infrastruktur; program jaminan sosial nasional; kewajiban Pemerintah untuk menambahkan modal jika modal lembaga keuangan, yaitu Bank Indonesia (BI), Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), dan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI), di bawah jumlah yang diatur dalam Undang-Undang; dan tuntutan hukum kepada Pemerintah.
Berbagai opsi pendanaan tambahan ini diperlukan untuk memberikan kepercayaan kepada masyarakat sehingga persoalan solvabilitas bank dapat selesai dengan baik. Oleh karenanya, LPS harus menentramkan masyarakat bahwa dana mereka aman dan mampu memulihkan fungsi intermediasi perbankan. Dengan demikian, kekhawatiran yang didalilkan para Pemohon perkara 42 dalam permohonannya menjadi hal yang tidak benar karena dalam pelaksanaan pemberian pinjaman terhadap LPS jelas akan dikonsultasikan dengan DPR dan keberadaan pengaturan tersebut adalah salah satu upaya yang terbuka bagi pemerintah apabila kondisi perbankan nasional memburuk.
Pengaturan dalam Pasal 20 ayat (1) huruf b UU 2/2020 yang menyatakan bahwa LPS diberikan kewenangan untuk melakukan tindakan (i) penjualan/repo SBN yang dimiliki kepada Bank Indonesia; (ii) penerbitan surat utang; (iii) pinjaman kepada pihak lain; dan/atau (iv) pinjaman 149 kepada Pemerintah, dalam hal LPS diperkirakan akan mengalami kesulitan likuiditas untuk penanganan Bank Gagal, selain memberikan alternatif sumber pendanaan bagi LPS yang berlaku, baik untuk Bank Sistemik dan Bank Selain Bank Sistemik juga diharapkan dapat memberikan waktu yang cukup bagi LPS dalam mempersiapkan sumber dana tersebut sebelum terdapat Bank Gagal. Transaksi antara LPS dengan Bl sebagai salah satu langkah untuk pemenuhan likuiditas LPS yang diperluas sehingga LPS selain dapat melakukan penjualan SBN miliknya, juga dapat melakukan transaksi Repo. Selain penjualan dan/atau repo kepada Bl, LPS juga mempunyai alternatif pendanaan berupa pinjaman kepada pihak lain yang dimaksudkan untuk menjaring pihak-pihak (dalam dan/atau luar negeri) yang mempunyai kemampuan pendanaan sehingga tersedia alternatif pendanaan yang lebih luas bagi LPS. Pinjaman LPS dari pihak lain merupakan salah satu opsi untuk menjaga likuiditas sehingga pemanfaatan dana tersebut untuk melaksanakan tugas dan fungsi LPS sebagai lembaga resolusi perbankan dalam hal terdapat Bank Gagal sesuai tata kelola yang diatur dalarn UU LPS.
Pandangan DPR terkait dalil para Pemohon mengenai adanya hak imunitas bagi pelaksana kebijakan keuangan dan kerugian yang timbul dari pelaksanaan UU a quo bukan merupakan kerugian negara berdasarkan UU a quo adalah sebagai berikut a. Bahwa dukungan pembiayaan anggaran untuk penanganan Covid-19 yang besar adalah dalam rangka mendukung Program Pemulihan Ekonomi Nasional. Rincian kebutuhan anggaran ini berdampak pada sisi belanja dan juga pendapatan negara dalam APBN 2020. Biaya yang dikeluarkan pemerintah ini adalah biaya ekonomi yang bertujuan untuk penyelamatan negara dari krisis dan tidak bisa dianggap sebagai merupakan kerugian negara. APBN sebagai alat untuk mencapai tujuan negara, digunakan sepenuhnya untuk kepentingan rakyat. Ketika keadaan mendesak dan darurat, maka APBN sebagai alat tersebut dapat disesuaikan penggunaannya untuk menjadi penolong keselamatan negara. Biaya yang dikeluarkan ini disadari tidak akan sepenuhnya kembali dan juga hilangnya potensi penerimaan negara, namun di sisi lain 150 telah timbul manfaat yang lebih besar yaitu pulihnya perekonomian dan dunia usaha sehingga dapat menyelamatkan ekonomi Indonesia. Sehingga biaya yang dikeluarkan tidak bisa disebut sebagai kerugian negara.
Biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah ini adalah biaya ekonomi yang bertujuan untuk penyelamatan negara dari krisis dan tidak bisa dianggap sebagai merupakan kerugian negara. APBN sebagai alat untuk mencapai tujuan negara, digunakan sepenuhnya untuk kepentingan rakyat. Ketika keadaan mendesak dan darurat, maka APBN sebagai alat tersebut dapat disesuaikan penggunaanya untuk menjadi penolong keselamatan negara. Biaya yang dikeluarkan ini disadari tidak akan sepenuhnya kembali dan juga hilangnya penerimaan negara, namun di sisi lain telah menimbulkan manfaat yang lebih besar yaitu pulihnya perekonomian dan dunia usaha sehingga dapat menyelamatkan ekonomi Indonesia. Sehingga biaya yang dikeluarkan tidak bisa disebut sebagai kerugian negara. Penggunaan biaya ekonomi ini lah yang disebutkan dalam Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 yang dimaksudkan untuk penyelamatan perekonomian dari krisis sehingga bukan merupakan kerugian negara.
Mengutip Pendapat Dr. Dian Puji Nugraha Simatupang dalam tulisannya yang berjudul “Ekuilibrium Kebijakan Keuangan Negara Menghadapi Keadaan Negara Darurat Akibat Penyebaran Covid-19 Dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020”: “Biaya yang telah dialokasikan UU APBN dan/atau realisasi keuangan pemerintah untuk keadaan darurat tidaklah dapat dikategorikan sebagai kerugian negara dengan alasan : Pertama, biaya tersebut dialokasikan dalam UU APBN dan/atau laporan realisasi anggaran sebagai dasar hukum pengeluaran uang sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 2004 j.o. Pasal 27 ayat (4) UU Nomor 17 Tahun 2003; Kedua, biaya tersebut dikeluarkan untuk memenuhi kewajiban pemerintah untuk melindungi segenap tumpah darah rakyat Indonesia atau memenuhi asas kemanfaatan umum (doelmatigheid), dan untuk menghindari situasi dan keadaan yang lebih membahayakan keuangan negara dan perekonomian secara keseluruhan; Ketiga , biaya tersebut tetap diukur dalam satuan yang dikendalikan dan ditetapkan pedomannya oleh pemerintah dengan memperhatikan masukan dari lembaga terkait yang relevan untuk melakukan pengawasan intern. Menyangkut norma dalam Pasal 27 ayat (1) Perpu Nomor 1 Tahun 2020 hakikatnya dimaknai sebagai biaya sebagai sebab terjadinya keadaan darurat uang mempengaruhi stabilitas keuangan negara dan perekonomian nasional. Dalam 151 hukum keuangan publik, hal demikian merupakan biaya resiko yang harus dibebankan ke dalam UU APBN untuk maksud mewujudkan tujuan negara, yaitu melindungi segenap tumpah darah Indonesia. Biaya dalam keadaan darurat merupakan konsekuensi logis dalam upaya mewujudkan tindakan kepemerintahan yang cepat dan luar biasa diperlukan dalam kondisi yang tidak sempurna. Kecepatan dan ketepatan pemerintahan dalam penanganan keadaan darurat Covid-19 tidak dapat menggunakan parameter dan indikator yang biasa karena justru tidak prosesual atau tidak memenuhi ekuilibrium kebijakan keuangan publik jika suatu alas fakta yang berbeda menggunakan syarat prosedur yang normal atau kondisi yang sempurna, padahal alas fakta jelas terdapat perbedaan dan situasi yang darurat.” d. Bahwa dalam memaknai ketentuan Pasal 27 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) Lampiran UU 2/2020 tidak dapat dimaknai secara parsial melainkan harus dimaknai sebagai satu kesatuan. Adanya suatu kerugian keuangan negara, penyalah gunaan kewenangan melalui suatu kebijakan maupun produk hukum lain yang dikeluarkan dalam rangka pelaksanaan UU 2/2020 tetap harus dibuktikan secara hukum dengan parameter yang tentunya tidak bisa disamakan dengan apa yang ada dalam keadaan normal. Adanya frasa “iktikad baik” dan “sesuai peraturan perundang- undangan” merupakan batasan koridor pelaksanaan kewenangan dalam penggunaan keuangan negara dan mengeluarkan suatu produk hukum dalam rangka pelaksanaan UU 2/2020.
Bahwa dalam perspektif hukum keuangan publik, kerugian negara adalah “kekurangan uang, surat berharga, dan barang yang nyata dan pasti sebagai akibat perbuatan melawan hukum atau kelalaian,” berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 22 UU Perbendaharaan Negara. Artinya disini kerugian Negara tersebut harus dibuktikan sebagai akibat dari suatu perbuatan yang melawan hukum atau karena kelalaian. Biaya yang telah dialokasikan UU APBN dan/atau realisasi keuangan pemerintah untuk keadaan darurat tidaklah dapat dikatagorikan sebagai kerugian negara dengan alasan: a) biaya tersebut dialokasikan dalam UU APBN dan/atau laporan realisasi anggaran sebagai dasar hukum pengeluaran uang sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) UU Perbendaharaan Negara jo. Pasal 27 ayat (4) UU Keuangan Negara; 152 b) biaya tersebut dikeluarkan untuk memenuhi kewajiban pemerintah untuk melindungi segenap tumpah rakyat Indonesia atau memenuhi asas kemanfaatan umum ( doelmatigheid ), dan untuk menghindari situasi dan keadaan yang lebih membahayakan keuangan negara dan perekonomian nasional secara keseluruhan; c) biaya tersebut tetap diukur dalam satuan yang dikendalikan dan ditetapkan pedomannya oleh pemerintah dengan memperhatikan masukan dari lembaga terkait yang relevan untuk melakukan pengawasan intern;
Bahwa di samping itu, makna kerugian negara juga berkaitan dengan administrasi pemerintahan karena dengan adanya Pasal 20 Undang- undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016, kerugian negara juga mempunyai relevansi dengan persoalan hukum administrasi negara dalam hal terjadinya kesalahan administrasi. Bahwa biaya dalam keadaan darurat merupakan konsekuensi logis dalam upaya mewujudkan tindakan kepemerintahan yang cepat dan luar biasa diperlukan dalam kondisi yang tidak sempurna. Kecepatan dan ketepatan pemerintahan dalam penanganan keadaan darurat akibat Covid-19 tidak dapat menggunakan parameter dan indikator yang biasa karena tidak justru tidak prosesual atau tidak memenuhi ekuilibrium kebijakan keuangan publik jika suatu alas fakta yang berbeda menggunakan syarat prosedur yang normal atau kondisi yang sempurna, padahal alas fakta jelas terdapat perbedaan dan situasi yang darurat. Di samping itu, biaya tersebut juga akan sampai pada muaranya untuk diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan juga hasilnya disampaikan kepada DPR untuk memperoleh persetujuan berkaitan dengan manfaatnya dalam LKPP. Dengan demikian, proses dan sistem pembiayaan tersebut tetap akuntabel dan memenuhi asas umum pemerintahan yang baik dalam suatu syarat prosedur yang darurat.
Bahwa kewenangan BPK sudah sangat tegas diatur dalam Pasal 23E ayat (1) UUD NRI 1945. Dalam ketentuan peraturan perundang-undangan maka BPK juga diatur dalam UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK sesuai dengan fungsi dan kewenangannya serta dikaitkan pula dengan Bab VIII UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang 153 mengatur bahwa pelaksanaan APBN dan APBD diperiksa oleh BPK sebelum akhirnya Presiden/Kepala Daerah menyampaikan RUU/Perda tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBN/APBD kepada DPR/DPRD. Di samping itu, dalam UU a quo harus dipahami dan dicermati bahwa tidak ada satu pun pasal dalam UU a quo yang mengecualikan atau menghalang-halangi fungsi BPK untuk melakukan audit.
Bahwa hal demikian kemudian dilaksanakan dengan iktikad baik bagi pejabat administrasi pemerintahan. Dalam hukum administrasi negara, iktikad baik lebih tepat menggunakan istilah asas-asas umum pemerintahan yang baik. Dalam hal ini pejabat administrasi pemerintahan menjalankan tugas dan wewenangnya sesuai dengan alas hukum dan alas fakta secara memadai, serta keputusan dan kebijakan ditetapkan dengan motivasi untuk melindungi kepentingan umum (bestuurzorg). Dengan kondisi demikian, tepat pelaksanaan tindakan kepemerintahan tersebut tidak menjadi objek keputusan tata usaha negara karena peraturan dasarnya telah berubah, tidak pada peraturan dalam keadaan negara normal. Dengan demikian, keputusan tersebut dikecualikan sebagai objek pengadilan tata usaha negara karena validitasnya didasarkan pada peraturan dasar tersendiri yang dibentuk dalam keadaan darurat.
Dalam hal masyarakat atau pihak lain mengajukan keberatan dalam keputusan administrasi pemerintahan dalam masa darurat, dapat menggunakan instrumen administrasi pemerintahan itu sendiri, yang kemudian dapat dilakukan penyelesaian menurut Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2016 tentang Pengenaan Sanksi Administrasi bagi Pejabat Administrasi Pemerintahan dan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2016 tentang Pengenaan Ganti Kerugian oleh Pejabat Bukan Bendahara. Dalam hal keberatan tersebut juga masih ada warga masyarakat dapat mengajukan pengaduan ke DPR dalam rangka pengawasan, sehingga DPR dapat menggunakan seluruh hak yang dimilikinya dalam rangka pengawasan eksternal terhadap tindakan administrasi pemerintahan.
Konsep iktikad baik tetap meletakkan pada aspek pengambilan keputusan dan kebijakan tidak mengandung unsur suap, paksaan/ancaman, dan tipuan guna menguntungkan secara melawan hukum. Akan tetapi, jika 154 pengambilan keputusan dan kebijakan disebabkan adanya kesalahan administrasi, tuntutan pidana tidak dapat dilakukan. Konsep iktikad baik dalam konsep hukum administrasi negara menurut Safri Nugraha dimaknai sebagai wujud asas umum pemerintahan yang baik di mana pelaksanaan pemerintahan dijalankan dengan prinsip akuntabilitas dan transparansi yang mendorong sistem pemerintahan berjalan dengan sistem yang jelas dan terukur. Dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik, pengelolaan dan pertanggungjawaban wewenang pemerintahan akan sejalan motivasinya yang layak. Hal ini sejalan dengan ketentuan dalam Pasal 50 KUHP disebutkan bahwa: “Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dipidana" Selain itu dalam Pasal 51 ayat (1) KUHP disebutkan bahwa: “Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana”.
Mengutip Pendapat Dr. Dian Puji Nugraha Simatupang dalam tulisannya yang berjudul “Ekuilibrium Kebijakan Keuangan Negara Menghadapi Keadaan Negara Darurat Akibat Penyebaran Covid-19 __ Dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020”: “Adanya norma mengesampingkan tuntutan pidana, gugatan perdata, dan tata usaha negara harus dimaknai secara lengkap adanya syarat itikad baik atau asas-asas umum pemerintahan yang baik dalam hukum administrasi negara. Dengan demikian, ada kejelasan mengenai konsep hukum perdata, hukum administrasi, dan hukum pidana dalam konsep pelaksanaan pengambilan keputusan dan kebijakan dalam kondisi darurat agar pejabat administrasi pemerintahan tidak ragu, cepat, tepat, dan akuntabel untuk melindungi segenap tumpah darah Indonesia ” l. Bahwa ketentuan Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 juga bukan merupakan kekebalan absolut karena dalam ketentuan tersebut mereka terdapat parameter “dengan iktikad tidak baik” dan “tidak sesuai peraturan perundang-undangan”. Asas iktikad baik awalnya adalah suatu asas yang berlaku dibidang hukum perjanjian yang kini telah berkembang dan diterima sebagai asas di bidang-bidang atau cabang- cabang hukum yang lain, baik yang sesama keluarga hukum privat maupun yang merupakan bidang hukum publik. Dalam perkembangan hukum, terdapat prinsip-prinsip umum ataupun asas-asas umum yang 155 dijadikan sebagai sumber hukum sekaligus asas yang mendasari pelaksanaan hukum itu sendiri. Oleh karenanya asas iktikad baik yang tadinya merupakan suatu asas hukum khusus kini telah berkembang menjadi suatu asas hukum umum. Selain asas iktikad baik, juga ada frasa “ tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Ini adalah 2 parameter yang bersifat kumulatif. Artinya semua pejabat pemerintah yang menjalankan ketentuan pasal tersebut harus berdasarkan 2 kriteria ini secara kumulatif.
Dalam hukum dikenal suatu adagium yang berbunyi “tiada hukum tanpa pengecualian“ atau dalam bahasa belanda dikenal dengan istilah “ geen recht zonder uit zondering ”. Pengecualian dapat dilakukan sepanjang tidak merugikan pihak-pihak yang terkena aturan tersebut karena hukum ditujukan untuk mengayomi dan mensejahterakan masyarakat (Rosjidi Ranggawidjaja, Ilmu Perundang-undangan, CV Mandar Maju). Dalam kaitannya dengan hak Presiden untuk mengeluarkan Perpu yang berisi langkah-langkah yang luar biasa dalam keadaan yang memang tidak normal maka meskipun dalam suatu Perppu ada materi-materi yang dipandang tidak lazim, mengenyampingkan, atau memberlakukan ketentuan bersifat pengecualian dari apa yang telah diatur maka pengecualian itu dapat saja diberlakukan atau dapat diadakan pengecualian sepanjang diatur batasannya dalam Perppu itu sendiri.
Adapun frasa “iktikad baik” adalah apabila dalam melaksanakan tugasnya tidak untuk mencari keuntungan bagi diri sendiri, keluarga, kelompok , dan/atau tindakan lain yang berindikasi korupsi, kolusi, dan/atau nepotisme. Bahwa apabila nantinya terbukti itikad baik tersebut dilanggar maka sudah jelas konsekuensinya yaitu mereka harus ditempuh prosedur hukum karena tindakan tersebut mengatur unsur mens rea (adanya niat jahat atau iktikad tidak baik) dan actus reus (perbuatan yang melanggar). Dengan demikian asas equality before the law dan asas kepastian hukum dalam Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945 tetap terjamin.
UU 2/2020 tidak melindungi pejabat negara atau tidak memberikan imunitas kepada pejabat negara. Pasal a quo diperlukan karena para pihak tersebut merupakan orang-orang yang mengambil keputusan 156 penting. Mengutip pandangan Misbakhun selaku Anggota Komisi XI DPR RI dalam program Indonesia Lawyers Club (ILC) 21 April 2020: “Penanganan Covid -19 melalui physical distancing merupakan pukulan yang paling berat bagi masyarakat karena tidak dapat melakukan interaksi sosial dan merupakan pukulan berat bagi perekonomian. Dampak dari pandemi Covid-19 yaitu faktor produksi tidak jalan sedangkan permintaan (demand) tetap ada. Kedalaman implikasi Covid-19 terhadap perekonomian sulit diukur karena puncak pandemi Covid-19 belum bisa dipastikan waktunya. Implikasi ekonomi yang ditimbulkan oleh Covid-19 terhadap perekonomian sangat dalam sehingga semua skenario perlu disiapkan untuk menghadapi situasi yang paling buruk. Sebelum pandemi Covid-19 ini terjadi struktur perekonomian Indonesia tidak dalam kondisi yang sehat. Hal ini karena perekonomian Indonesia sedang menghadapi dampak perang dagang antara China dengan Amerika. Permasalahannya dalam situasi seperti ini, negara dalam keadaan yang tidak normal. Dalam keadaan yang tidak normal tersebut jangan berhadap statistik ekonomi menjadi bagus. Sehingga menghadapi keadaan yang tidak normal tersebut juga harus diselesaikan dengan cara yang tidak normal . Pihak yang paling terdampak oleh pandemi Covid-19 adalah pekerja harian/pekerja lepas (informal) yang pemenuhan biaya hidupnya ditentukan oleh aktivitas harian. Jika tidak keluar maka mereka tidak dapat makan. Pihak yang terdampak selanjutnya adalah para pelaku UMKM dan kelompok kelas menengah. Kehadiran negara dibutuhkan baik oleh rakyat jelata, pelaku UMKM, masyarakat kelas menengah, maupun masyarakat kelas atas sehingga negara tidak boleh membeda-bedakan. Aktivitas sektor produksi yang menjadi berhenti mengakibatkan permintaan menjadi terbatas. Pemerintah harus memanfaatkan ruang ketatanegaraan yang tersedia untuk mengatasi situasi ini karena UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara mempunyai keterbatasan. Untuk memulihkan perekonomian akibat Covid-19, Pemerintah perlu dana untuk membiayai program-program pemerintah. Satu-satunya cara Pemerintah harus berhutang jika SAL dan dana lainnya tidak mencukupi. Hutang bukan tujuan, tetapi hanya sebagai cara agar dapat keluar dari masalah ini. Negara lain juga menggunakan cara yang sama. Anggaran yang disediakan Pemerintah untuk menangani pandemi Covid-19 sebesar 405 Triliun atau sekitar 2,75% dari PDB. Hal yang utama bukan negara berhutang tetapi hutang tersebut dimanfaatkan seperti menolong rakyat jelata .” p. Keberadaan Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 dimaksudkan untuk memberikan confidence bagi pihak yang dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya sesuai Lampiran UU 2/2020 telah didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal ini sejalan dengan prinsip hukum imunitas terbatas bagi negara dan/atau perwakilannya, bukan imunitas absolut sehingga melanggar asas keadilan 157 dan kesamaan dalam hukum dan pemerintahan sebagaimana pemahaman para Pemohon. Dari perspektif teori imunitas, perlindungan hukum yang diberikan dalam Pasal 27 ayat (2) termasuk kategori imunitas terbatas. Teori imunitas terbatas ini memberikan perlindungan/imunitas kepada negara dan perwakilannya terhadap upaya hukum pihak lain baik secara pidana ataupun perdata, sepanjang tindakan yang dilakukan memenuhi syarat dalam hal ini harus beriktikad baik dan menjalankan kewenangan serta kebijakannya sesuai peraturan perundang-undangan. Secara a contrario , imunitas tersebut gugur apabila perbuatan yang dilakukan didasarkan atau terdapat niat jahat ( mens rea ) dan perbuatannya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Sampai dengan saat ini sudah ada UU lain yang mengatur perlindungan hukum kepada otoritas yang berwenang dalam pengambilan kebijakan, contohnya: ● Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan. Dalam Pasal 48 ayat (1) UU disebutkan bahwa kecuali terdapat unsur penyalahgunaan wewenang, anggota KSSK dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, BI, OJK dan LPS tidak dapat dituntut, baik secara perdata maupun pidana atas pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang berdasarkan Undang- Undang PPSK. Hal ini untuk melindungi secara hukum kebijakan yang diambil dalam kondisi krisis yang tentu saja tidak bias disamakan dengan kondisi normal. ● Pasal 22 UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak menyebutkan bahwa Menteri, Wakil Menteri, pegawai Kementerian Keuangan, dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengampunan Pajak, tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut, baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Adapun itikad baik dijelaskan apabila dalam melaksanakan tugasnya tidak untuk mencari keuntungan bagi diri sendiri, keluarga, kelompok, dan/atau tindakan lain yang berindikasi korupsi, kolusi, dan/atau nepotisme. 158 ● UU Bank Indonesia disebutkan dalam Pasal 45 yang berbunyi “Gubernur, Deputi Gubernur, dan/atau pejabat Bank Indonesia tidak dapat dihukum karena telah mengambil keputusan atau kebijakan yang sejalan dengan tugas dan wewenangnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini sepanjang dilakukan dengan iktikad baik”. ● UU Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman dalam Pasal 10 menyatakan bahwa “Dalam rangka pelaksanaan tugas dan wewenangnya, Ombudsman tidak dapat ditangkap, ditahan, diinterogasi, dituntut, atau digugat di muka pengadilan”. ● UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat dalam Pasal 16 menyatakan bahwa Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien dalam sidang pengadilan. ● UU MD3 Perlindungan hukum bagi anggota DPR disebutkan dalam Pasal 224 UU ayat (1) yaitu: Anggota DPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis di dalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPR. Oleh karena itu, pengaturan dalam UU mengenai perlindungan hukum bagi pihak yang menjalankan UU bukanlah hal yang baru, dan dapat dibenarkan selama ada pengaturan mengenai batasan atau kriteria tertentu.
Dengan demikian, perlindungan hukum dalam ketentuan Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 diperlukan untuk memberikan kepastian hukum kepada para pengambil kebijakan bahwa tindakan dan keputusan yang diambil dengan iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan akan dilindungi oleh hukum. Dengan demikian tidak ada hak warga negara yang ditangguhkan dalam ketentuan Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020. Bahkan Pasal 49 UU PTUN telah memberikan imunitas atau perlindungan hukum dari sengketa di peradilan tata usaha negara atas tindakan dan/atau keputusan pejabat tata usaha negara yang dilakukan dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan 159 Pasal 49 UU PTUN ini menjadi landasan untuk diadopsi dalam Pasal 27 ayat (3) UU 2/2020. Sebagaimana Majelis Hakim maklumi, ketentuan perlindungan hukum pernah beberapa kali dilakukan pengujian konstitusionalitasnya di Mahkamah Konstitusi (UU Advokat dan UU Pengampunan Pajak). Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi terdapat pertimbangan sebagai berikut: “pihak-pihak yang disebut dalam ketentuan a quo memang sudah seharusnya tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut, baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada itikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” Sebagai best practices , standar internasional yang ditetapkan oleh lembaga keuangan internasional ( Financial Stability Board, Basel Committee on Banking Supervision , dan IMF) juga menetapkan adanya pengaturan perlindungan hukum bagi pengambil dan pelaksana kebijakan di bidang sektor keuangan.
Pandangan DPR terkait ketentuan UU yang dinyatakan tidak berlaku sepanjang keterkaitan dengan kebijakan keuangan negara untuk penanganan penyebaran Covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan berdasarkan Perppu sebagaimana dimaksud dalam UU a quo .
Bahwa pengaturan Pasal 28 lampiran UU 2/2020, telah sesuai dengan ketentuan Lampiran 137 UU 12/2011 yang mengatur bahwa pada umumnya Ketentuan Penutup memuat ketentuan mengenai:
penunjukan organ atau alat kelengkapan yang melaksanakan Peraturan Perundang-undangan;
nama singkat Peraturan Perundang- undangan;
status Peraturan Perundang-undangan yang sudah ada; dan d. saat mulai berlaku Peraturan Perundang-undangan.
Bahwa memang benar bahwa sudah ada beberapa undang-undang yang mungkin dapat menjadi payung hukum penyelesaian masalah yang timbul akibat Covid-19. Hanya saja tidak pula dapat disalahkan, apabila dalam pandangan subjektif Presiden, undang-undang yang telah ada tersebut dianggap belum mampu menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi. Kondisi serupa juga pernah terjadi ketika Presiden menerbitkan beberapa 160 Perppu yang lahir karena tidak memadainya Peraturan Perundang- undangan yang ada, yang kemudian menyimpangi/menyatakan tidak berlaku sebagian materi dari beberapa undang-undang misalnya Perppu Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan menyatakan beberapa ketentuan dalam UU tentang Perbankan dan Perpajakan tidak berlaku sepanjang berkaitan dengan pelaksanaan akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan berdasarkan Perppu tersebut.
Bahwa dalam beberapa undang-undang yang ada tersebut memang telah mengatur berbagai dasar kebijakan keuangan negara materi muatan undang-undang yang sudah ada belum mengatur mengenai kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan untuk penanganan pandemi Covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Selain itu, beberapa ketentuan yang terdapat dalam undang- undang tersebut hanya dapat diberlakukan jika negara dalam keadaan normal, bukan dalam kegentingan/keadaan yang memaksa. Oleh karena itu, Pasal 28 Lampiran UU 2/2020 ini tidak memberlakukan beberapa ketentuan dalam undang-undang tersebut sepanjang berkaitan dengan kebijakan keuangan negara untuk penanganan penyebaran Covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan berdasarkan UU 2/2020.
Bahwa tidak diberlakukannya ketentuan undang-undang yang disebutkan dalam Pasal 28 Lampiran UU 2/2020 selama pemberlakuan UU 2/2020 dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaan peraturan perundang-undangan dan tidak terjadi disharmoni pengaturan karena adanya dua pengaturan yang berbeda yang mengatur hal yang sama.
Pandangan DPR terkait penyesuaian mandatory spending dana desa a. Bahwa terkait dengan permasalahan dana desa yang disampaikan oleh para Pemohon perkara 47, ketentuan Pasal 1 ayat (4) huruf b Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Rincian 161 Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020 (PP 72/2020) tetap menetapkan adanya anggaran Transfer ke Daerah dan Dana Desa sebesar Rp763.925.645.050.000 (tujuh ratus enam puluh tiga triliun sembilan ratus dua puluh lima miliar enam ratus empat puluh lima juta lima puluh ribu rupiah), termasuk tambahan belanja untuk penanganan pandemi Covid-19 sebesar Rp5.000.000.000.000 (lima triliun rupiah). Ketentuan Pasal 3 ayat (4) PP 72/2020 menyatakan bahwa rincian anggaran transfer ke daerah dan dana desa tersebut tercantum dalam Lampiran VI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari PP 72/2020. Dalam Lampiran VI.15 mengenai Rincian Dana Desa Menurut Provinsi/ Kabupaten/Kota Tahun Anggaran 2020 menyatakan bahwa seluruh daerah kabupaten Para Pemohon perkara 47 tetap mendapatkan alokasi dana desa . Berdasarkan ketentuan tersebut maka kekhawatiran para Pemohon perkara 47 tidak beralasan menurut hukum karena ketentuan Pasal a quo tidak menyebabkan dana desa dihentikan dan desa Para Pemohon tetap mendapatkan alokasi dari anggaran belanja negara .
Bahwa alokasi dari APBN merupakan salah satu sumber pendapatan desa. Berdasarkan ketentuan Pasal 72 ayat (1) UU Desa pendapatan desa bersumber dari pendapatan asli desa, alokasi APBN, bagian dari hasil pajak daerah dan retribusi daerah kabupaten/kota, alokasi dana desa yang merupakan bagian dari dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota, bantuan keuangan dari APBD Provinsi dan APBD Kabupaten/Kota, hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga, dan lain-lain pendapatan desa yang sah. Dengan banyak sumber pendapatan desa tersebut, maka para Pemohon tidak hanya mengandalkan APBN dan memaksimalkan sumber-sumber pendapatan desa lainnya. Dengan upaya yang maksimal tersebut maka pembangunan yang sudah dicanangkan oleh para Pemohon dan perangkat desa dalam musrenbangdes dan RPJM desa untuk kesejahteraan dan kemakmuran warga desa para Pemohon tetap dapat terealisasikan.
Bahwa Pemohon perkara 47 telah salah dalam mengartikan Pasal 28 angka 8 UU 2/2020, karena Dana Desa tidak dihentikan paska disahkannya UU 2/2020, hal ini tercantum dalam Peraturan Menteri Desa, 162 Pembangunan Daerah Tertinggal, Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2020 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2020 (Permendes 7/2020), yang pada bagian menimbangnya menyatakan: “bahwa berdasarkan Undang–Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang–Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disesase 2019 (COVID-19) dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan menjadi Undang–Undang, penggunaan Dana Desa dapat digunakan untuk bantuan langsung tunai kepada miskin di Desa” Pada Pasal 8A ayat (1) Permendes 7/2020 disebutkan bahwa “ Bencana Non-alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf d merupakan bencana yang terjadi sebagai akibat kejadian luar biasa berupa penyebaran penyakit yang mengancam dan/atau menimpa warga masyarakat secara luas atau skala besar, meliputi:
Pandemi Corona Virus Diseases 2019” dan pada Pasal 8A ayat (2) Permendes 7/2020 disebutkan bahwa “Penanganan dampak Pandemi Corona Virus Diseases 2019 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat berupa BLT Dana Desa kepada keluarga miskin di Desa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang–undangan . d. Bahwa ketentuan Pasal 28 angka 8 Lampiran UU 2/2020 dimaksudkan untuk menyatakan tidak berlakunya ketentuan mandatory spending alokasi Dana Desa sebesar 10% dari belanja pemerintah pusat, sebagaimana yang disebutkan dalam Penjelasan Pasal 72 ayat (2) UU Desa. Ketidakberlakuan ketentuan mandatory spending dana desa bersifat temporer. Dengan adanya penyesuaian mandatory spending dana desa, Pemerintah dapat memiliki fleksibilitas dalam melakukan refocusing belanja untuk mencegah, menangani, dan memulihkan dampak pandemi Covid-19. Dengan adanya mandat ini maka untuk menjamin fleksibilitas penggunaan dana desa dalam rangka sepanjang masih terdapat kebutuhan untuk penanganan Covid-19 di daerah/desa maka Pasal 72 ayat (2) harus dinyatakan tidak berlaku sehingga tidak terdapat dualisme aturan. Penyesuaian mandatory spending Dana Desa tersebut dimaksudkan agar pelaksanaan program Pemerintah dapat dilakukan lebih 163 efektif, efisien, dan tepat sasaran mengingat penyebaran dampak pandemi Covid-19 bersifat masif di seluruh wilayah Indonesia. Dengan demikian, Dana Desa tidak dihentikan namun dialihkan dalam bentuk Bantuan Langsung Tunai dan program-program Dana Desa dibuat skala prioritas yang bertujuan untuk kesejahteraan dan kemakmuran warga desa bukan untuk pembangunan infrastuktur saja. E. KETERANGAN TAMBAHAN Terkait dengan pertanyaan Yang Mulia Hakim Mahkamah Konstitusi mengenai mekanisme pembahasan Perppu untuk mencapai persetujuan atau pencabutan perppu, DPR RI menerangkan sebagai berikut:
Bahwa sebagaimana disampaikan oleh Presiden yang diwakili oleh Menteri Keuangan, pembahasan penetapan perppu menjadi Undang- Undang/pencabutan Perppu Pasal 71 UU 12/2011 diatur:
Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dilaksanakan melalui mekanisme yang sama dengan pembahasan Rancangan Undang-Undang.
Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang dilaksanakan melalui mekanisme khusus yang dikecualikan dari mekanisme pembahasan Rancangan Undang-Undang.
Ketentuan mengenai mekanisme khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dengan tata cara sebagai berikut:
Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang diajukan oleh DPR atau Presiden;
Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan sebagaimana dimaksud dalam huruf a diajukan pada saat Rapat Paripurna DPR tidak memberikan persetujuan atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang diajukan oleh Presiden; dan c. Pengambilan keputusan persetujuan terhadap Rancangan Undang- Undang tentang Pencabutan sebagaimana dimaksud dalam huruf b dilaksanakan dalam Rapat Paripurna DPR yang sama dengan rapat paripurna penetapan tidak memberikan persetujuan atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut. __ 2. Bahwa berdasarkan ketentuan tersebut diatas, pembahasan suatu rancangan Undang-Undang dilakukan melalui 2 (dua) tingkat pembicaraan (vide Pasal 66 UU 12/2011) yang dilakukan oleh DPR bersama Presiden atau menteri yang ditugasi [vide Pasal 65 ayat (1) UU 164 12/2011] yang diuraikan lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 67-Pasal 70 UU 12/2011.
Bahwa pembicaraan tingkat I dilakukan dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat Badan Legislasi, rapat Badan Anggaran, atau rapat Panitia Khusus dengan kegiatan pengantar musyawarah, pembahasan daftar inventarisasi masalah, dan penyampaian pendapat mini.
Bahwa dalam pembahasan tingkat I tersebut Pemerintah selaku pihak yang mengajukan RUU Penetapan Perppu menjadi Undang-Undang dan juga pihak yang mengeluarkan Perppu tersebut harus menjelaskan kepada DPR RI dalam rapat pembahasan tingkat I yang pelaksanaannya telah dijelaskan oleh DPR RI dalam keterangan ini. Penjelasan tersebutlah yang menjadi pertimbangan DPR RI untuk menyetujui atau tidak menyetujui Perppu tersebut menjadi Undang-Undang.
Bahwa sebagaimana telah disampaikan, Berdasarkan Pasal 71 huruf d dan Pasal 249 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 (UU MD3) bahwa DPD ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. RUU Penetapan Perppu 1/2020 menjadi UU tidak memiliki pertautan dengan bidang yang mengharuskan keikutsertaan DPD dalam pembahasannya melainkan mengenai DPR memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan, sehingga DPD tidak memiliki kewenangan untuk ikut membahas RUU tersebut.
Bahwa hal ini juga telah jelas sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang mengatur bahwa Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan yang berikut. Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut. Dalam ketentuan tersebut, tidak diatur bahwa dalam hal penetapan Perppu menjadi Undang-Undang dapat atau bahkan harus mengikutsertakan DPD dalam pembahasannya. 165 Sebaliknya, mengikutsertakan DPD justru menjadi suatu hal yang tidak sesuai dengan apa yang diatur dalam UUD NRI Tahun 1945, UU 12/2011 dan UU MD3. Terkait dengan pertanyaan Yang Mulia Hakim Mahkamah Konstitusi mengenai penetapan Perppu bukan pada “masa sidang yang berikut”, DPR RI menerangkan sebagai berikut: Bahwa sejauh ini DPR belum pernah melakukan penetapan perppu yang dalam masa sidang yang sama atau bukan pada “masa sidang yang berikut”. Setelah dikeluarkannya Perppu 1/2020, Presiden juga telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang yang disahkan pada 4 Mei 2020 dan ditetapkan sebagai Undang-Undang melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang- Undang menjadi Undang-Undang yang disahkan dan diundangkan pada 11 Agustus 2020 pada masa sidang ketiga tahun 2020 yang terhitung pada 15 Juni 2020 hingga 13 Agustus 2020. Sehingga penetapan Perppu 1/2020 menjadi Undang-Undang adalah yang pertama kali dilakukan dengan tidak memenuhi ketentuan “masa sidang yang berikut” mengingat urgensi penetapannya yang harus dilakukan dengan segera. Terkait dengan pertanyaan Yang Mulia Hakim Mahkamah Konstitusi mengenai pembahasan RAPBN 2021 yang kemudian disepakati dalam paripurna pada 29 September 2020, DPR RI menerangkan:
Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 13 ayat (1) UU Keuangan Negara, Pemerintah Pusat menyampaikan pokok-pokok kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro tahun anggaran berikutnya kepada Dewan Perwakilan Rakyat selambat-lambatnya pertengahan bulan Mei tahun berjalan. Pasal 15 ayat (1) UU keuangan Negara mengatur bahwa 166 Pemerintah Pusat mengajukan Rancangan Undang-undang tentang APBN, disertai nota keuangan dan dokumen-dokumen pendukungnya kepada Dewan Perwakilan Rakyat pada bulan Agustus tahun sebelumnya. Dan pada ketentuan Pasal 15 ayat (4) dan ayat (6) UU keuangan Negara diatur Pengambilan keputusan oleh Dewan Perwakilan Rakyat mengenai Rancangan Undangundang tentang APBN dilakukan selambat-lambatnya 2 (dua) bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan dilaksanakan dan apabila DPR tidak menyetujui Rancangan Undang-undang tersebut, Pemerintah Pusat dapat melakukan pengeluaran setinggi-tingginya sebesar angka APBN tahun anggaran sebelumnya.
Bahwa penyampaian pokok-pokok kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro tahun anggaran tahun 2021 telah disampaikan oleh pemerintah dalam rapat paripurna DPR RI pada dalam rangkaian rapat paripurna tertanggal 12 Mei 2020, 14 Juli 2020, dan 14 Agustus 2020 (Lampiran II, Lampiran III dan Lampiran IV). Sebagai tambahan informasi, pada 25 September 2020, Kemenkeu selaku yang mewakili Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyepakati Rancangan Undang- Undang (RUU) Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2021 di Banggar dan Pemerintah bersama DPR telah menyetujui defisit anggaran sebesar 5,7% dari PDB pada Rapat Paripurna DPR tanggal 29 September 2020.
Pembahasan RUU APBN 2021 dilakukan di banggar yang pelaksanaannya disampaikan risalahnya (lampiran V, lampiran VI, lampiran VII) F. RISALAH PEMBAHASAN UU 2/2020 Risalah Pembahasan UU 2/2020 ini terlampir berbagai dokumen pendukung mengenai pembahasan UU 2/2020 sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Keterangan DPR ini. I. PETITUM DPR Bahwa berdasarkan dalil-dalil tersebut di atas, DPR memohon agar kiranya Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Konstitusi memberikan amar putusan sebagai berikut: 167 1. Menyatakan bahwa para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) sehingga permohonan a quo harus dinyatakan tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard );
Menolak permohonan a quo untuk seluruhnya;
Menerima keterangan DPR RI secara keseluruhan;
Menyatakan bahwa proses pembentukan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Dan/Atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134; Tambahan Lembaran Negara Republlik Indonesia Nomor 6516) telah sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan telah memenuhi ketentuan pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana yang diatur dalam Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 183, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6398);
Menyatakan Judul, Pasal 1 ayat (3); Pasal 1 ayat (5); Pasal 2; Pasal 3 ayat (2); Pasal 4 ayat (1) huruf a; Pasal 4 ayat (1) huruf d; Pasal 4 ayat (2); Pasal 5 ayat (1) huruf a; Pasal 5 ayat (1) huruf b; Pasal 6; Pasal 7; Pasal 9; Pasal 10 ayat (1); Pasal 10 ayat (2); Pasal 11 ayat (3); Pasal 12 ayat (1);
Pengujian Formil dan Pengujian Materiil Lampiran UU 2/2020 tentang Penetapan Peraturan Perpu 1/2020 Menjadi Undang-Undang [Ps 1, Ps 2 ayat (1) huruf ...
Uji Materi Pasal 27 Perppu 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Diseas ...
Relevan terhadap
USAHA-USAHA - Untuk mencapai maksud dan tujuan tersebut, maka Perkumpulan ini menjadikan segala usaha dan kegiatan yang diperbolehkan Undang- Undang dan tidak bertentangan dengan peraturan yang berlaku antara lain:
Melakukan Pendampingan Masyarakat terkait dengan penegakan hukum publik secara profesional;
Memberikan Layanan Masyarakat di bidang hukum secara profesional;
Memberikan pengetahuan hukum pada masyarakat terkait dengan kebijakan pemerintah dalam lingkup formal maupun informal untuk menumbuhkan kesadaran hukum masyarakat dalam bentuk presentasi, seminar, diskusi, penyuluhan, simulasi dan dalam bentuk lain terkait aturan-aturan yang berlaku yang merupakan realitas baku dan nyata dalam hukum.
Mengajukan upaya hukum Pra Peradilan, Judicial Review , Gugatan Perdata, Gugatan Tata Usaha Negara dan upaya hukum lainnya terkait dengan hal-hal yang menjadi sengketa dalam masyarakat melalui jalur Pengadilan terkait dengan perkara-perkara yang bertajuk pada kepentingan Publik dalam hal penegakan hukum dan hal lain terkait dengan kebijakan Pemerintah secara mandiri dalam kedudukannya sebagai Pihak Ketiga yang berkepentingan berkaitan dengan maksud dan tujuan Lembaga.
Usaha-usaha lain yang tidak mengikat dan tidak bertentangan dengan yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia. - Dalam melaksanakan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sampai dengan ayat (5), Pekumpulan ini dapat melakukan 17 kerjasama dengan Perkumpulan dan badan usaha lainnya, baik didalam maupun di luar wilayah Republik Indonesia. - Perkumpulan ini harus menyusun Rencana Kerja Jangka Panjang (business plan) dan Rencana Kerja Jangka Pendek (tahunan) serta disahkan oleh Rapat Anggota;
Bahwa PARA PEMOHON selama ini aktif dalam upaya Penegakan Hukum, Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi serta memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan sebagaimana bukti telah mengajukan permohonan praperadilan perkara TPPU Korupsi Jiwasraya yang tercatat dalam register putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor: 15/Pid.Prap/2020/PN.Jkt.Sel (masuk dalam daftar bukti); - https: //news.detik.com/berita/d-4967361/maki-ajukan-praperadilan- minta-kejagung-usut-tppu-jiwasraya 17. Bahwa PARA PEMOHON selama ini aktif dalam upaya Penegakan Hukum, Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi serta memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan tergabung dalam Organisasi Masyarakat yang telah dan akan dirugikan hak-hak konstitusionalnya dengan berlakunya Pasal 27 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (PERPPU) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan di mana Pasal 27 Perppu a quo menjadikan penguasa kebal hukum, tidak bisa dituntut secara hukum perdata, pidana maupun PTUN;
Bahwa PARA PEMOHON sebagai badan hukum juga menyandang hak dan kewajiban dalam sistem hukum NKRI, sama halnya dengan orang, demikian juga halnya dalam perkara permohonan pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik lndonesia Tahun 1945, mungkin saja badan hukum baik yang bersifat privat maupun publik mengalami kerugian yang mempengaruhi hak konstitusionalnya karena berlakunya atau diundangkannya suatu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang a quo ; 18 19. Bahwa hal ini sejalan dengan Yurisprudensi Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-I/2003 yang diajukan oleh beberapa organisasi yang bergerak di bidang radio dan televisi maupun organisasi wartawan dalam mengajukan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, di antaranya Asosiasi Televisi Siaran Indonesia (ATVSI) dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) yang mengklaim diri sebagai badan hukum serta dalam hal ini Mahkamah Konstitusi mengakuinya dan mempunyai legal standing sebagai Badan Hukum. Juga hal ini termasuk Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap kasus keabsahan Wakil Menteri yang diajukan Gerakan Nasional Pemberantasan Korupsi (GNPK) ( PUTUSAN NOMOR 79/PUU- IX/2011). Berdasarkan hal tersebut di atas maka terbukti bahwa PARA PEMOHON dibentuk dengan tujuan untuk memperjuangkan kepentingan umum (Public interest advocacy) dibidang pencegahan dan pemberantasan korupsi, penegakan hukum atas dasar persamaan dihadapan hukum, dan memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan rakyat sehingga PARA PEMOHON sudah tepat untuk menguji Pasal 27 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (PERPPU) No. 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6485) yang belum sepenuhnya menjamin tegaknya hukum dan keadilan sebagaimana amanat UUD 1945. Dengan demikian PARA PEMOHON sebagai Badan Hukum mempunyai legal standing dalam mengajukan permohonan a quo ke Mahkamah Konstitusi, hal ini diatur dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. III. KERUGIAN PARA PEMOHON 1. Bahwa pokok permasalahan dalam Permohonan ini adalah PARA PEMOHON telah dirugikan oleh berlakunya dalam hal ini bunyi Pasal 27 Perppu Nomor 1 Tahun 2020 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 19 2020 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6485):
Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara.
Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara.
Bahwa dengan berlakunya Pasal 27 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6485) di mana Pasal 27 Perppu a quo menjadikan penguasa atau pejabat yang disebut seperti KKSK akan menjadi kebal hukum, tidak bisa dituntut secara hukum perdata, pidana maupun PTUN dengan dalih itikad baik dan bukan merupakan kerugian negara sehingga ketentuan a quo akan menjadikan penguasa/pejabat menjadi manusia 20 setengah dewa, otoriter, tidak demokratis dan dijamin tidak khilaf atau salah padahal apapun manusia tidak ada yang sempurna, tidak lepas khilaf dan salah dan untuk memastikan tidak ada penyimpangan dan korupsi maka semua tindakan harus dapat diuji melalui persidangan yang terbuka dan fair sehingga kekebalan ini akan mencederai rasa keadilan terhadap seluruh rakyat termasuk PARA PEMOHON;
Bahwa hak-hak Para Pemohon yang dijamin UUD 1945 menjadi hilang dengan berlakunya Pasal 27 Perppu Nomor 1 Tahun 2020 dan akan pulih apabila uji materi a quo dikabulkan adalah: - Hak Para Pemohon atas hidup dalam suatu bentuk negara yang berdasar hukum menjadi hilang dikarenakan Perppu Corona menjadikan negara berdasar kekuasaan yang mengarah otoriter dan totaliter. Jika ini dibiarkan maka yakinlah negara akan dibawa dalam kekuasaan tunggal dan langgeng serta nantinya akan memaksakan jabatan presiden menjadi seumur hidup demi melanggengkan kekuasaan dan tidak mau dikoreksi oleh pejabat penggantinya (Pasal 1 ayat (3) UUD 1945); - Hak Persamaan Hukum menjadi hilang dengan berlakunya Perppu karena pejabat menjadi kebal dan tidak bisa dituntut secara hukum meskipun telah salah dan merugikan rakyatnya (Pasal 27 dan Pasal 28 UUD 1945); - Hak kontrol Para Pemohon melalui DPR menjadi hilang karena penguasa menjadi superpower dan tidak bisa dikontrol, padahal sekelas Presiden dapat dijatuhkan apabila melanggar UU dan UUD 1945 (Pasal 7A UUD 1945); - Hak menikmati keuangan secara adil dan sejahtera menjadi hilang karena keuangan negara tidak dapat diaudit oleh BPK serta orang yang merugikan keuangan negara menjadi tidak bisa dituntut akibat hilangnya fungsi BPK (Pasal 23E UUD 1945); - Hak untuk memperoleh keadilan berdasar proses hukum yang adil, independen dan terbuka serta berdasar ketentuan yang berlaku menjadi hilang dengan berlakunya Perppu dikarenakan Pejabat menjadi tidak bisa dituntut secara pidana, perdata dan PTUN meskipun pejabat telah melakukan perbuatan melawan hukum dan merugikan rakyatnya (Pasal 24 ayat (1) UUD 1945); 21 IV. NORMA-NORMA YANG DIAJUKAN UNTUK DIUJI:
NORMA MATERIIL Berlakunya Pasal 27 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (PERPPU) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6485), berbunyi:
Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara.
Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara.
NORMA UNDANG-UNDANG DASAR TAHUN 1945 YANG MENJADI PENGUJI, YAITU:
Pasal 1 ayat (3) berbunyi: “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”; Prinsip dan azas negara hukum adalah semua berdasar hukum, hukum untuk mencapai keadilan, sehingga semua proses hukum adalah terciptanya keadilan di masyarakat. Dengan demikian Pasal 27 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (PERPPU) 22 Nomor 1 Tahun 2020 yang mengandung kekebalan tidak bisa dituntut dengan dalih itikad baik dan bukan kerugian negara bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945;
Pasal 7A “Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.” Hal ini selaras dengan penjelasan kekuasaan Presiden tidak tak terbatas, artinya jika melakukan pelanggaran hukum, korupsi, penyuapan maka dapat diminta pertanggungjawaban dalam bentuk diberhentikan ( impeach ). Presiden saja tidak kebal, namun Pejabat Keuangan malah kebal yaitu pemberlakuan Pasal 27 Perppu Nomor 1 tahun 2020 jelas-jelas memberikan kekebalan terhadap pejabat keuangan termasuk tidak dapat dituntut dan tidak dapat diberhentikan karena keputusannya bukan obyek Tata Usaha Negara. Dalam keadaan normal, seorang pejabat dapat dituntut pemecatan jika melakukan pelanggaran dengan pola negatif positif yaitu seseorang atau badan hukum dapat meminta pejabat atasan memecat pejabat bawahan yang melakukan kesalahan, jika pejabat atasan membuat keputusan menolak pemecatan maka keputusan penolakan pemecatan tersebut dapat digugat melalui mekanisme Pengadilan Tata Usaha Negara.
Pasal 23E yang berbunyi: “(1) __ Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri.” (2) Hasil pemeriksaan keuangan negara diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sesuai dengan kewenangannya. 23 (3) Hasil pemeriksaan tersebut ditindaklanjuti oleh lembaga perwakilan dan/atau badan sesuai dengan undang-undang.” BPK ditugaskan oleh konstitusi untuk memeriksa pengelolaan keuangan negara secara bebas dan mandiri, dalam kondisi apapun termasuk pengelolaan keuangan negara ketika ada bencana alam seperti bencana alam tsunami Aceh atau bencana gempa-tsunami Sulawesi Tengah. Kemudian, BPK harus dapat memberi penilaian dan/atau penetapan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh semua pihak penyelenggara pengelolaan keuangan negara. Hasil pemeriksaan BPK atas pengelolaan keuangan negara harus diserahkan kepada DPR, salah satu alasan karena DPR harus melaksanakan fungsi pengawasan sesuai Pasal 20A ayat (1) UUD NRI.
Pasal 24 ayat (1) yang berbunyi: “(1) Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 mengandung arti bahwa sebagai konsekuensi dari pilihan Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum, maka kekuasaan lembaga kehakiman adalah tempat ditegakkannya hukum dan keadilan terhadap rakyat dan penguasa secara sama dan sederajad. Dengan demikian kita harus yakin dan patuh sistem peradilan yang meliputi keseluruhan proses integrated justice system yang dimulai sejak penyelidikan, penyidikan, penuntutan, proses persidangan, sampai penjatuhan dan pelaksanaan hukuman untuk mempertanggungjawabkan semua perbuatan dalam bermasyarakat dan bernegara sehingga rakyat dan penguasa tidak boleh kebal hukum dan dapat dimintai pertanggungjawaban jika melakukan penyimpangan; e. Pasal 27 ayat (1) yang berbunyi: __ “(1) Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” 24 Pasal 27 ayat 1 UUD 1945 mengandung makna bahwa semua warga negara Indonesia memiliki kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama dalam hukum, pasal tersebut juga mengandung makna bahwa adanya kepedulian dan persamaan kedudukan tentang hak asasi manusia dalam bidang hukum dan politik. f. Pasal 28D ayat (1) berbunyi: __ “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”; Pasal 28D ayat (1) jelas menyatakan perlakuan yang sama di hadapan hukum sehingga kekebalan yang termuat dalam Pasal 27 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (PERPPU) Nomor 1 Tahun 2020 jelas-jelas bertentangan dengan konstitusi, akan mencederai perlindungan, pemberian jaminan dan pengakuan perlakuan yang sama di hadapan hukum. Kekebalan hukum tidak memberikan sumbangan apa-apa bagi kesejahteraan umat manusia karena akan cenderung korup dan anti kritik. V. ALASAN-ALASAN PARA PEMOHON DENGAN BERLAKUNYA PASAL 27 PERPPU NOMOR 1 TAHUN 2020 BERTENTANGAN DENGAN UNDANG- UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945: A. Pasal 27 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (PERPPUU) Nomor 1 Tahun 2020 (secara umum):
Bahwa Pasal 27 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (PERPPU) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6485) adalah pasal yang superbody yang memberikan kekebalan absolut bagi Penguasa. Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara bukan merupakan kerugian negara padahal sumber keuangan berasal dari negara dan memberikan 25 imunitas kepada aparat pemerintahan untuk tidak bisa dituntut atau dikoreksi melalui lembaga pengadilan sehingga pasal 27 Perppu Nomor 1 Tahun 2020 jelas bertentangan dengan UUD 1945 yang menyatakan Indonesia adalah negara hukum sehingga semestinya semua penyelenggaraan pemerintahan dapat diuji atau dikontrol oleh hukum baik secara pidana, perdata dan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Bahwa untuk memahami maksud dan tujuan sebuah produk perundang-undangan termasuk Perppu maka dapat dibaca dari konsideran, pengaturan umum dan penjelasan ( Memorie van Toelichting ), namun hal ini sulit ditemukan pada Perppu Nomor 1 Tahun 2020 dikarenakan tidak adanya Bab/Pasal awal yang memuat ketentuan umum dan kenyataannya langsung mengatur ruang lingkup. Demikian juga untuk memahami frasa “iktikad baik” menjadi sangat sulit dikarenakan tidak adanya Penjelasan Pasal 27 Perppu a quo . Ibarat kata langsung melamar seorang wanita tanpa ta’aruf atau pacaran terlebih dahulu namun juga tidak ada perjanjian pernikahan dan talaq takliq . Kami menyadari legal drafting Perppu a quo sangat buruk sehingga menyulitkan para Pemohon untuk menyusun uji materi a quo secara runut, teoritis dan logis;
Bahwa Perppu a quo adalah bukan untuk penyelamatan bangsa, namun untuk penyelamatan bank (stabilitas sistem keuangan) akibat adanya corona . Penguasa berpegang pada teori jika perusahaan jasa keuangan (bank, asuransi dan lain-lain) hancur maka perekonomian rakyat akan hancur dan Pemerintah tidak peduli atas keselamatan dan kesehatan jasmani dan rohani dari seluruh rakyat Indonesia. Fokus pemerintah adalah semata-mata penyelamatan sistem keuangan dengan pembahasan awal adalah defisit anggaran, utang negara dan penyelamatan pajak serta menambah kewenangan lembaga keuangan (KSSK, OJK, BI dan LPS) termasuk satu-satunya pasal yang mengatur pidana hanya tindak pidana menghalangi tugas OJK. Semua fokus kemudian diwujudkan dalam belanja tambahan dengan total sebesar Rp 405,1 triliun, yang terdiri dari:
Rp 75 triliun untuk intervensi penanggulangan Covid-19 berupa tambahan belanja kesehatan, pemberian insentif tenaga kesehatan, 26 dan pemberian alat kesehatan termasuk Alat Pelindung Diri (APD) bagi seluruh 132 rumah sakit rujukan.
Rp 110 Triliun untuk memperkuat jaring pengaman sosial. Program tersebut antara lain kenaikan anggaran Keluarga Harapan (PKH), perluasan Program kartu sembako, peningkatan Kartu Pra Kerja sebanyak 2 kali lipat untuk masyarakat yang terkena PHK, pembebasan tagihan listrik selama 3 (tiga) bulan untuk 24 juta pelanggan 450VA, dan pemberian diskon 50 persen selama 3 bulan untuk 7 juta pelanggan 900VA bersubsidi. Juga diberikan Dukungan logistik sembako dan kebutuhan pokok bagi daerah yang mengalami pembatasan sosial luas atau karantina.
Rp 70,1 triliun dukungan insentif dan relaksasi perpajakan bagi sektor dunia usaha yang terdampak dan termasuk penundaan pembayaran cicilan Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan Ultra Mikro dan Penundaan pembayaran pinjaman terutama untuk Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dan pelaku ekonomi kecil lainnya. Pemerintah juga melakukan penurunan tarif PPh badan dari 25 persen menjadi 22 persen.
Dukungan pembiayaan anggaran untuk penanganan Covid-19 sebesar Rp150 triliun dalam rangka mendukung Program Pemulihan Ekonomi Nasional (https: //money.kompas.com/read/2020/04/13/060600326/perppu- nomor-1-tahun-2020-tak-membuat-penyelenggara-negara-kebal- hukum?page=all.) 4. Bahwa kita sebagai manusia yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, akan mempertanggungjawabkan perbuatan baik dan buruk kelak di akherat dan tidak akan pernah bisa membela diri semua perbuatan adalah atas dasar niat baik yang karenanya semua menuntut pahala. Klaim sepihak niat baik, tidak dapat dituntut dan tidak merugikan keuangan negara jelas bertentangan dengan Sila Pertama dari Pancasila;
Bahwa alasan imunitas oleh pejabat keuangan yang diatur Perppu Nomor 1 Tahun 2020 adalah pejabat yang bersangkutan takut dikriminalisasi, hal ini jelas contoh buruk bagi rakyat karena tidak percaya dengan proses hukum yang berlaku di Negara Republik 27 Indonesia. Alasan-alasan takut kriminalisasi dikumukakan oleh Yustinus Prastowo (Staff Khusus Menkeu) yang menekankan, poin tersebut akan menjadi landasan yang bagus agar pejabat berani membuat keputusan terbaik, terutama di tengah tekanan pandemi Covid-19 saat ini. "Agar mereka tidak takut kriminalisasi atau hal-hal lain yang akan berpotensi merugikan dirinya di masa mendatang," katanya ketika dihubungi Republika.co.id, Selasa (28/4).sebagaimana link berita berikut: - https: //republika.co.id/berita/q9hl0l370/stafsus-pasal-27-perppu- covid-bukan-tentang-imunitas-hukum - https: //www.news.lentera.co.id/perppu-covid-bukan-imunitas- hukum/ 6. Bahwa program Kartu Prakerja adalah contoh kasus dari carut marutnya pengelolaan keuangan negara disaat pandemi corona yang menjadi dasar terbitnya Perppu 1 Tahun 2020 (Corona), proyek kartu prakerja hanya menguntungkan pengusaha dan saat ini telah ditelaah oleh KPK atas dasar laporan dari Pemohon I ( MAKI): - https: //www.cnnindonesia.com/nasional/20200505134331-12- 500241/kpk-telaah-laporan-maki-soal-dugaan-korupsi-kartu- prakerja - https: //nasional.kompas.com/read/2020/05/05/16140831/kpk- dalami-laporan-maki-soal-dugaan-korupsi-kartu-prakerja - https: //news.detik.com/berita/d-5002969/diminta-maki-kawal- program-kartu-pra-kerja-ini-respons-kpk - https: //www.cnnindonesia.com/ekonomi/20200422140133-92- 496105/indef-untung-8-platform-kerja-sama-kartu-prakerja-rp37-t - https: //katadata.co.id/telaah/2020/04/30/sengkarut-kartu-prakerja- sebelum-lahir-hingga-lari-di-tengah-pandemi 7. Bahwa tidak ditemukan satu negarapun yang menggunakan pola membuat UU baru bersifat darurat khusus untuk sektor keuangan. Malaysia tetap menggunakan Undang-Undang lama tahun 1988 (Akta 343 Pencegahan dan Pengawalan Penyakit Berjangkit) dan Filipina hanya sekedar mengancam akan menggunakan Darurat Militer berdasar UU yang sudah ada. 28 - https: //internasional.kontan.co.id/news/banyak-yang-langgar- lockdown-duterte-ancam-terapkan-darurat-militer - https: //fajar.co.id/2020/03/27/lockdown-hingga-14-april-wni-di- malaysia-terancam-kelaparan/ 8. Bahwa imunitas tidak layak diberikan kepada BI, OJK, LPS dan pejabat Kemenkeu karena selama ini kinerja buruk dan banyak skandal (BLBI, Century, Korupsi TPPI Honggo Wendratno dan Korupsi Jiwasraya akibat teledornya pengawasan OJK terhadap Jiwasraya);
Bahwa jika mengacu kedudukan Presiden Republik Indonesia adalah tetap manusia biasa yan mungkin saja tidak luput salah dan khilaf sehingga terdapat sarana pemakzulan ( impeach ) apabila diduga telah melanggar ketentuan UU atau UUD sehingga sekelas Presiden tidak kebal termasuk tetap dapat dituntut hukum apabila melanggar hukum baik dalam keadaan normal maupun bencana, hal ini jelas berbeda dengan kekebalan para pejabat keuangan yang tidak dapat dituntut hukum sebagaimana diatur oleh Pasal 27 Perppu Nomor 1 tahun 2020;
Bahwa pada jaman pemerintahan Presiden SBY tahun 2008 pernah menerbitkan Perppu yang sejenis namun ditolak oleh DPR (Perppu Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan) sehingga semestinya tidak pernah ada lagi Perppu yang memberikan kekebalan penyelenggara pemerintahan terkait keuangan negara.
Bahwa kekebalan hukum bertentangan dengan azas universal sebagaimana ketentuan Pasal 14 (1) ICCPR yang telah diratifikasi Pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Konvensi Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik menyebutkan: All persons shall be equal before the courts and tribunals. In the determination of any criminal charge againts him, or of his rights and obligations in a suit at law, everyone shall be entitled to a fair and public hearing by a competent, independent and impartial tribunal established _ 12. Bahwa kekebalan hukum bertentangan dengan pengertian independent of judiciary menurut Basic Principles on the Independence of the Judiciary ( Adopted by the Seventh United Nations Congress on the 29 Prevention of Crime and the Treatment of Offenders held at Milan from 26 August to 6 September 1985 and endorsed by General Assembly resolutions 40/32 of 29 November 1985 and 40/146 of 13 December 1985) di antaranya meliputi sebagai berikut: 1) The independence of the judiciary shall be guaranteed by the State and enshrined in the Constitution or the law of the country. It is the duty of all governmental and other institutions to respect and _observe the independence of the judiciary; _ 2) The judiciary shall decide matters before them impartially, on the basis of facts and in accordance with the law, without any restrictions, improper influences, inducements, pressures, threats or interferences, direct or indirect, from any quarter or for any reason. 13. Kekebalan tidak bisa dituntut dengan alasan itikad baik yang tidak melalui proses persidangan yang terbuka dan fair jelas bertentangan dengan Prinsip Equality Before the Law . Bahwa UUD 1945 telah mengadopsi prinsip-prinsip equality before the law atau persamaan di depan hukum, sebagaimana diatur di dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945; Bahwa Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 berbunyi, "Segala Warga Negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya"; Bahwa Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 berbunyi, "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum "; Bahwa baik Pasal 27 ayat (1) maupun Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 adalah sejalan dengan prinsip equality before the law yang sudah diakui secara universal, sebagaimana dipikirkan oleh para filusof mulai abad pencerahan hingga abad 18 dan juga telah dipraktikkan di negara-negara lain; Bahwa pengertian equality before the law menurut The Free Dictionary by Farlex adalah the right to equal protection of the laws ;
Bahwa kekebalan hukum bertentangan dengan pengertian equality before the law menurut The Free Dictionary by Farlex adalah “the right to equal protection of the laws” ; 30 15. Bahwa kekebalan hukum bertentangan dengan prinsip equality before the law menurut Russel Madden yaitu “ that each citizen should receive equal treatment by the legal system of this country enjoys a long tradition of respect The notion that no one is to be dealt with in either a preferential or prejudiced manner by the police, courts, or other governmental agencies is enshrined in both the Declaration of Independence and the Constitution” ;
Bahwa kekebalan hukum bertentangan dengan filosofi Thomas Jefferson yang berpendapat bahwa " that all men are created equal" in terms of their basic societal rights ;
Bahwa kekebalan hukum bertentangan dengan The Fourteenth Amendment of the U.S. Constitution adalah states that all people will have "the equal protection of the laws" ;
Bahwa kekebalan hukum bertentangan dengan tujuan dari perjuangan equality before the law yaitu untuk menjamin masyarakat yang lemah agar mendapatkan kedudukan dan perlakuan yang sama dengan masyarakat yang kuat, di depan hukum.
Bahwa setiap orang berhak atas persamaan di depan hukum dan tidak kekebalan bagi siapapun termasuk penguasa sehingga mengandung arti bahwa hukum tidak boleh diskriminasi dan aparat penegak hukum tidak boleh bertindak diskriminatif di dalam penegakan hukum. (Putusan Komite HAM PBB di dalam perkara hukum Zwan de-Vries v. the Netherlands, Broeks v. The Netherlands ). Hal ini diperkuat oleh Pasal 7 Deklarasi Hak Asasi Manusia (HAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 26 ICCPR sebagaimana diratifikasi oleh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang mengakui hak setiap orang atas persamaan di depan hukum;
Bahwa kekebalan hukum bertentangan dengan Pasal 7 Deklarasi HAM PBB "Semua orang sama di depan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi semua berhak atas perlindungan yang sama terhadap setiap bentuk diskriminasi yang bertentangan dengan Deklarasi ini, dan terhadap segala hasutan yang mengarah pada diskriminasi semacam ini" 31 21. Bahwa kekebalan hukum bertentangan dengan pengaturan non diskriminasi diatur dalam General Comment Nomor 18 ICCPR, yang berbunyi: Non-discrimination, together with equality before the law and equal protection of the law without any discrimination, constitute a basic and general principle relating to the protection of human rights. Thus, article 2, paragraph 1, of the International Covenant on Civil and Political Rights obligates each State party to respect and ensure to all persons within its territory and subject to its jurisdiction the rights recognized in the Covenant without distinction of any kind, such as race, colour, sex, language, religion, political or other opinion, national or social origin, property, birth or other status. Article 26 not only entities all persons to equality before the law as well as equal protection of the law but also prohibits any discrimination under the law and guarantees to all persons equal and effective protection against discrimination on any ground such as race, colour, sex, language, religion, political or other opinion, national or social origin, property, birth or other status” .
Bahwa Komite HAM PBB menegaskan di dalam persamaan di depan hukum berlaku prinsip bahwa di dalam kondisi yang setara maka harus diperlakukan setara, dan sebaliknya di dalam kondisi yang tidak setara maka harus diperlakukan tidak setara ( in an equal condition must be treated equally, in an unqual conditon must be acted unequally ). Jika hal tersebut dilanggar, maka akan terjadi diskriminasi. Hal mana dilarang menurut Pasal 7 Deklarasi HAM PBB, Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 26 ICCPR; Bahwa di dalam perkara hukum, Zwaan de-Vries v. The Netherlands dan Broeks V. The Netherlands , di mana Pasal 13 ayat 1 bagian ke 1 Undang- Undang Jaminan Untuk Pengangguran di Belanda ( Unemployment Benefit Act ) mensyaratkan bahwa seorang perempuan untuk memperoleh jaminan yang sama denga laki-laki”; Secara sosial harus membuktikan bahwa dia adalah seorang pencari nafkah di keluarganya ( the breadwinner ). Namun demikian, aturan ini tidak diterapkan terhadap laki-laki. PARA PEMOHON, yang merupakan perempuan, mengganggap diskriminatif terhadap perempuan. Komite HAM PBB memutuskan bahwa Pasal 13 ayat 1 bagian ke 1 Undang- Undang Jaminan Untuk Pengangguran di Belanda bertentangan 32 dengan prinsip persamaan di depan hukum. Lebih jauh, Komite HAM PBB menjelasakan bahwa di dalam perkara ini Undang-Undang Jaminan Untuk Pengangguran telah menempatkan perempuan di dalam posisi yang tidak menguntungkan dibandingkan dengan laki-laki. Perbedaan perlakuan antara perempuan dan laki-laki tersebut adalah tidak layak ( unreasonable ) menurut Pasal 26 Kovenan Intemasional Hak Sipil dan Politik (UU 12/2005); Bahwa di dalam sebuah negara hukum (t he rule of law ), negara harus mengakui perlindungan HAM setiap individu, sehingga semua orang memiliki hak untuk diperlakukan sama di depan hukum. Persamaan di depan hukum harus diartikan secara dinamis dan tidak statis, artinya kalau ada persamaan hukum maka harus diimbangi juga dengan persamaan perlakuan ( equal treatment ) (Frans Hendra Winarta, Hak Konstitusional Fakir Miskin Untuk Memperoleh Bantuan Hukum Dalam Rangka Pembangunan Hukum Nasional 1:
;
Bahwa klaim bukan merupakan kerugian negara dan itikad baik yang tidak bisa dituntut hukum (pidana, perdata dan PTUN) tidak hanya menimbulkan kekebalan hukum tapi bisa saja menimbulkan kekebalan politik sehingga wakil rakyat (DPR) juga tidak akan bisa melakukan kontrol, check and balance terhadap penguasa keuangan berdasar Perppu No. 1 Tahun 2020 sehingga Perppu a quo perlu dibatalkan demi menjaga eksistensi NKRI harga mati; B. Pasal 27 ayat (1) Perppu Nomor 1 Tahun 2020:
Bahwa umur Perppu Corona belum seumur jagung namun sudah lahir kontroversi program KARTU PRAKERJA sehingga dalam setiap program pemerintah selalu ada peluang salah dan penyimpangan tahap perencanaan, pelaksanaan dan pertanggungjawaban sehingga dalil biaya yang dikeluarkan bukan merupakan kerugian negara adalah sesuatu yang keliru dan bertentangan dengan prinsip bahwa semua uang yang berasal atau milik rakyat harus dipertanggungjawabkan penggunaannya setiap rupiahnya. Bisa jadi biaya yang dikeluarkan adalah salah perencanaan sehingga tidak efisien dan tidak tepat sasaran, salah pelaksanaan sehingga terjadi mark up (pemahalan) atau 33 salah pertanggungjawaban karena sengaja dicuri atau adanya suap sehingga merugikan negara dan keuangan negara;
Bahwa biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara jika dilakukan secara melawan hukum dan penyalahgunaan wewenang dalam kategori korupsi/rasuah/menggelapkan/mencuri uang negara maka sudah pasti merugikan keuangan negara. Frasa “bukan merupakan kerugian negara” derajatnya sama dengan ayat-ayat kitab suci yang tidak bisa diganggu gugat. Frasa “bukan merupakan kerugian negara” jelas-jelas kedudukannya diatas konstitusi sehingga sudah seharusnya dibatalkan karean tidak cocok dalam negara hukum dan demokrasi yang selalu membutuhkan kontrol, check and balance ;
Bahwa kita semua tidak ingin terulang skandal BLBI dan Century. Dalil BLBI dan Century selalu disandarkan dengan istilah kebijakan yang tidak bisa dituntut meskipun telah merugikan keuangan negara. Kami yang selalu mengawal BLBI dan Century dalam bentuk pernah menang praperadilan kasus BLBI dan Century tidak ingin terulang skandal BLBI dan Century yang merugikan keuangan negara ratusan trilyun.
Bahwa dalam perkara korupsi Bank Century, Mahkamah Agung dalam pertimbangan putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor 861 K/Pid.Sus/2015 pada halaman 826 dengan jelas menolak alasan Kasasi yang diajukan Budi Mulya dalil “kebijakan tidak dapat dituntut”. Mahkamah Agung telah memberikan alasan berupa “perbuatan terdakwa yang menyetujui penetapan Bank Century sebagai bank Gagal Berdampak Sistemik yang mengakibatkan kerugian keuangan Negara merupakan tindak pidana Korupsi”. Dengan demikian kebijakan yang diambil Dewan Gubernur Bank Indonesia dalam melakukan penyelamatan Bank Century telah dinyatakan penyalahgunaan wewenang , itikad tidak baik dan merugikan negara (vide Putusan Nomor 21/PID.SUS/TPK/2014/PN.JKT.PST);
Pasal 27 ayat (1) PERPPU 1/2020 menyatakan bahwa semua biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk 34 kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara.
Berdasarkan Pasal 23E ayat (1) UUD NRI, BPK ditugaskan oleh konstitusi untuk memeriksa pengelolaan keuangan negara secara bebas dan mandiri, dalam kondisi apapun termasuk pengelolaan keuangan negara ketika ada bencana alam seperti bencana alam tsunami Aceh atau bencana gempa-tsunami Sulawesi Tengah. Kemudian, BPK harus dapat memberi penilaian dan/atau penetapan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh semua pihak penyelenggara pengelolaan keuangan negara. Hasil pemeriksaan BPK atas pengelolaan keuangan negara harus diserahkan kepada DPR, salah satu alasan karena DPR harus melaksanakan fungsi pengawasan sesuai Pasal 20A ayat (1) UUD NRI. Oleh karena itu, Pasal 27 Ayat (1) Perppu Nomor 1/2020 bertentangan dengan Pasal 23E dan Pasal 20A UUD NRI.
Bahwa Pasal 27 Ayat (1) ini juga bertentangan dengan TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang penyelenggara negara yang bersih dan bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme, khususnya Pasal 3 ayat (3) bahwa upaya pemberantasan tindak pidana korupsi dilakukan secara tegas dengan melaksanakan secara konsisten undang-undang tindak pidana korupsi, dan Pasal 4 yang menegaskan bahwa upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga, dan kroninya maupun pihak swasta/konglomerat, dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak-hak asasi manusia.
Bahwa Pasal 7A UUD 1945 secara tegas menyatakan bahkan Presiden dan Wakil Presiden dapat diberhentikan dari jabatannya apabila, antara lain, terlibat korupsi. Artinya pengelolaan keuangan negara harus bersih dan bebas korupsi, sehingga semua biaya harus dapat dipertanggung jawabkan, dan diperiksa oleh BPK; 35 32. Bahwa Pasal 27 ayat (1) bertentangan dengan UU No 31/1999, Pasal 3 ayat (3) dan Pasal 4 TAP MPR XI/MPR 1998, dan Pasal 23E UUD 1945. C. Pasal 27 Ayat (2) Perppu Nomor 1 Tahun 2020 33. Bahwa dalil kebijakan dengan itikad baik dan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku harus diuji melalui proses hukum yang fair dan terbuka, tidak boleh ada istilah itikad baik berdasar penilaian subyektif oleh pelaku penyelenggara pemerintahan sendiri. Bisa saja ternyata klaim itikad baik ternyata kemudian terbukti itikad buruk sehingga tetap harus bisa dituntut hukum dalam sebuah proses Penyidikan dan Penuntutan dalam sebuah persidangan yang terbuka untuk membuktikan itikad baik atau itikad buruk dalam setiap kebijakan atau tindakan penguasa dalam mengelola keuangan negara baik dalam keadaan normal maupun dalam keadaan bencana seperti bencana virus Covid-19 saat ini;
Bahwa itikad Baik bukanlah istilah atau unsur yang dikenal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia (Selanjutnya akan disebut KUHP), Untuk menggambarkan adanya kesengajaan dalam suatu delik, KUHP lebih sering menggunakan istilah-istilah selain itikad baik, antara lain: “dengan sengaja”, “mengetahui bahwa”, “tahu tentang”, dan “dengan maksud”. Mengenai “itikad baik” dikenal dalam tindak pidana yang tersebar di luar KUHP dan dalam Kitab Undang- Undang Hukum Perdata (Selanjutnya akan disebut KUHPer). Mengenai itikad baik dalam KUHPer Pasal 1338 ayat 3dinyatakan bahwa: "… Suatu perjanjian hanya dilaksanakan dengan itikad baik", selain tentang itikad baik dalam Pasal 531 KUHPer dinyatakan sebagai berikut: “Kedudukan itu beritikad baik, manakala si yang memegangnya memperoleh kebendaan tadi dengan cara memperoleh hak milik, dalam mana tak tahulah dia akan cacat cela yang terkandung dalamnya”. Dalam perjanjian dikenal asas itikad baik, yang artinya setiap orang yang membuat perjanjian harus dilakukan dengan itikad baik. Dinyatakan oleh Muhammaad Faiz bahwa [1]: "Itikad baik adalah suatu pengertian yang abstrak dan sulit untuk dirumuskan, sehingga orang lebih banyak merumuskannya melalui peristiwa-peristiwa di pengadilan. 36 Itikad baik dalam pelaksanaan perjanjian berkaitan dengan masalah kepatutan dan kepantasan". Kesulitan dalam perumusan mengenai definisi itikad baik tersebut tidak menjadikan itikad baik sebagi suatu istilah yang asing, melainkan hanya terlihat pada perbedaan definisi yang diberikan oleh beberapa ahli, termasuk dalam Black's Law Dictionary . Itikad baik menurut M.L Wry adalah: “Perbuatan tanpa tipu daya, tanpa tipu muslihat, tanpa cilat-cilat, akal-akal, tanpa mengganggu pihak lain, tidak dengan melihat kepentingan sendiri saja, tetapi juga dengan melihat kepentingan orang lain”. Dalam Black’s Law Dictionary Itikad baik didefenisikan sebagai: “ In or with good faith, honestly, openly and sincerely, without deceit or fraud truly, actually, without simulation or pretense .”[3]. Selanjutnya, Sutan Remy Sjahdeini secara umum menggambarkan itikad baik sebagai berikut [4]: "Itikad baik adalah niat dari pihak yang satu dalam suatu perjanjian untuk tidak merugikan mitra janjinya maupun tidak merugikan kepentingan umum". Mengenai pembagian asas itikad baik, diuraikan oleh Muliadi Nur sebagai berikut: Asas itikad baik ini dapat dibedakan atas itikad baik yang subjektif dan itikad baik yang objektif. Itikad baik dalam pengertian yang subjektif dapat diartikan sebagai kejujuran seseorang atas dalam melakukan suatu perbuatan hukum, yaitu apa yang terletak pada sikap batin seseorang pada saat diadakan suatu perbuatan hukum. Sedang itikad baik dalam pengertian yang objektif dimaksudkan adalah pelaksanaan suatu perjanjian yang harus didasarkan pada norma kepatutan atau apa yang dirasakan patut dalam suatu masyarakat. Itikad baik secara subjektif menunjuk pada sikap batin atau unsur yang ada dalam diri pembuat, sedangkan itikad baik dalam arti objektif lebih pada hal-hal diluar diri pelaku. Mengenai pengertian itikad baik secara subyektif dan obyektif, dinyatakn oleh Muhamad Faiz bahwa [6]: " Itikad baik subjektif, yaitu apakah yang bersangkutan sendiri menyadari bahwa tindakannya bertentangan dengan itikad baik, sedangkan itikad baik objektif adalah kalau pendapat umum menganggap tindakan yang demikian adalah bertentangan dengan itikad baik". 37 Itikad baik dalam sebuah penjanjian harus ada sejak perjanjian baru akan disepakati, artinya itikad baik ada pada saat negosiasi prakesepakatan perjanjian, dinyatakan oleh Ridwan Khairandy bahwa [7]: " Itikad baik sudah harus ada sejak fase prakontrak dimana para pihak mulai melakukan negosiasi hingga mencapai kesepakatan dan fase pelaksanaan kontrak". Itikad baik seharusnya dimiliki oleh setiap individu sebagai bagian dari makhluk sosial yang tidak dapat saling melepaskan diri dari ketergantungan sosial terhadap individu lain untuk saling bekerjasama, saling menghormati dan menciptakan suasana tenteram bersama- sama. Melepaskan diri dari keharusan adanya itikad baik dalam setiap hubungan dengan masyarakat adalah pengingkaran dari kebutuhannya sendiri; kebutuhan akan hidup bersama, saling menghormati dan saling memenuhi kebutuhan pribadi dan sosial. Keberadaan itikad baik dalam setiap hubungan dengan masyarakat memberi arti penting bagi ketertiban masyarakat, itikad baik sebagai sikap batin untuk tidak melukai hak orang lain menjadi jaminan bagi hubungan masyarakat yang lebih tertib. Ketiadaan itikad baik dalam hubungan masyarakat mengarah pada perbuatan yang secara umum dicela oleh masyarakat, celaan datang dari sikap batin pembuat yang tidak memiliki itikad baik, sikap batin di sini mengarah pada ‘kesengajaan sebagai bentuk kesalahan’ pembuat yang secara psikologis menyadari perbuatannya serta akibat yang melekat atau mungkin timbul dari pada perbuatan tersebut. - (http: //lbh-madani.blogspot.com/2013/02/itikad-baik-menurut- hukum.html) 35. Bahwa itikad baik atau sebaliknya itikad buruk hanya bisa dinilai oleh orang luar dan dalam sistem negara hukum kita hanya bisa dinilai oleh majelis hakim mulai tingkat pertama, banding, kasasi dan upaya hukum luar biasa (Peninjauan Kembali), sehingga dengan demikian itikad baik tidak boleh berdasarkan penilaian subyektif oleh diri sendiri apalagi oleh penguasa yang selalu dimungkinkan terjadi penyalahgunaan wewenang atau perbuatan melawan hukum. Rakyat tidak mungkin melakukan penyalahgunaan wewenang; 38 36. Bahwa dalam sistem hukum dikenal istilah Mens Rea (sikap batin pelaku) yang biasanya dikaitkan dengan niat jahat. Jika ada niat jahat maka ada sebaliknya niat baik. Kita semua pasti sulit menakar kedalaman niat baik dan juga sebaliknya niat jahat ini, sehingga niat jahat ini menjadi bagian yang diperdebatkan, terkait apakah merupakan unsur dari tindak pidana atau urusan “wakil” Tuhan untuk membuktikannya di pengadilan. Niat jahat menjadi satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dengan tindakan seseorang. Dalam mewujudkan suatu tindakan, ada kalanya tindakan tersebut dilakukan dengan niat jahat adakalanya juga dengan tanpa niat jahat. Namun siapa yang tahu niat seseorang hanyalah pelaku dan Tuhan (dalam sistem hukum adalah Hakim sebagai wakil Tuhan) sehingga dalam sistem negara hukum niat baik atau sebaliknya niat jahat tidak mungkin diputuskan oleh diri pelaku, pasti harus melalui proses hukum yaitu majelis hakim;
Bahwa dalam Literatur hukum pidana Indonesia tidak banyak mengulas mengenai niat jahat, namun yang lebih banyak dibahas adalah ajaran kesalahan. Meski demikian, niat jahat ini dapat diidentikkan dengan ajaran kesalahan. Kesalahan sendiri diartikan sebagai sikap batin seseorang yang diwujudkan dalam bentuk kelakuan, dan kelakuan tersebut mendapat celaan. Dalam konteks ini sikap batin tersebut selalu diwujudkan dalam bentuk kelakuan, karena sangat sulit menakar sikap batin yang jahat tersebut. Kesalahan sebagai sikap batin yang buruk, diartikan sebagai kemampuan untuk menduga akibat yang terlarang. Seseorang sudah dapat menduga bahwa akibat terlarang dari perbuatan tersebut akan muncul, tetapi dia tidak mencegah perbuatan tersebut. Kesalahan juga diartikan sebagai maksud atau keinginan untuk melakukan kejahatan. Maksud atau keinginan dapat diwujudkan dalam perbuatan, artinya maksud atau keinginan melakukan kejahatan ini tidak akan pernah kelihatan jika kejahatan tersebut tidak pernah diwujukan. Ada juga ahli yang mengatakan kesalahan ini sebagai sikap kurang hati-hati atau sembrono sehingga merugikan orang lain. (AHMAD SOFIAN - https: //business-law.binus.ac.id/2016/04/18/niat- jahat/) 39 38. Bahwa pejabat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan jelas-jelas berbanding terbalik dengan track record pejabat keuangan yang tidak bersih dan berselimutkan skandal, misal BLBI, Century dan yang terbaru kasus Jiwasraya akibat teledornya pengawasan dari OJK.
Bahwa kasus BLBI 1998 dan Bank Century 2008 dapat menjadi pelajaran bahwa di dalam krisis justru pengawasan pengelolaan keuangan negara harus diperketat karena kondisi krisis dapat dimanfaatkan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab untuk kepentingan pribadi atau kelompok;
Bahwa Pasal 27 ayat (2) terkait erat dengan pasal 27 ayat (1). Kalau Pasal 27 ayat (1) gugur dan BPK dapat melakukan pemeriksaan terhadap semua pihak pengelola anggaran negara, dan BPK dapat menilai atau menetapkan kerugian negara apabila ada, maka Pasal 27 ayat (2) secara otomatis akan gugur juga atau setidaknya batal secara bersyarat dengan pemaknaan yang rigid dan tidak multitafsir.
Bahwa Pasal 27 ayat (2) Perppu 1/2020 bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD NRI: Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Pasal ini juga bertentangan dengan Pasal 28D UUD NRI: Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.
Bahwa Pasal ini juga bertentangan dengan UU 31/1999 tentang Pemberantasan Korupsi yang memuat materi bahwa setiap orang, termasuk pegawai negeri dan korporasi, yang melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup 40 atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan;
Bahwa Perbuatan Melawan Hukum ( onrechtmatige daad ) dalam konteks perdata diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau Burgerlijk Wetboek (“BW”), dalam Buku III BW, pada bagian “Tentang perikatan-perikatan yang dilahirkan demi Undang- Undang”, yang berbunyi: “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.” Menurut Rosa Agustina, dalam bukunya Perbuatan Melawan Hukum, terbitan Pasca Sarjana FH Universitas Indonesia (2003), hal. 117, dalam menentukan suatu perbuatan dapat dikualifisir sebagai melawan hukum, diperlukan 4 syarat:
Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku 2. Bertentangan dengan hak subjektif orang lain 3. Bertentangan dengan kesusilaan 4. Bertentangan dengan kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian.
Bahwa kekebalan pejabat secara perdata tidak hanya sekedar melanggar perundan-undangan yang berlaku, namun termasuk juga melanggar kepatutan, kesusilaan, dan agama sehingga tidak bisa dituntutnya pejabat keuangan secara perdata haruslah dimaknai termasuk tidak melanggar Norma kepatutan, kesusilaan, dan agama;
Bahwa Mahkamah Agung telah menerbitkan Perma Nomor 2 tahun 2019 yang memberikan arahan kepada Pengadilan ditingkat bawahnya untuk cermat merumuskan perbuatan melawan hukum oleh penguasa, namun hal ini tidak membatasi Pengadilan untuk memeriksa gugatan perdata dengan dalil perbuatan melawan hukum oleh penguasa yang merugikan secara materiel atau materiel secara mandiri atau berdasar putusan PTUN; 41 46. Bahwa imunitas pejabat sebagaimana dirumuskan pasal 27 Ayat 2 Perppu jelas bertentangan dengan prinsip Hakim mengadili berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa dan prinsip Hakim memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Prinsip ini juga dirumuskan dalam: Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (“UU 48/2009”) yang berbunyi: “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.” Pasal 5 ayat (1) UU 48/2009 yang berbunyi: “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.” 47. Bahwa moral kekuasaan tidak boleh diserahkan pada niat, iktikad ataupun sifat -sifat pribadi seseorang yang kebetulan sedang memegangnya. Iktikad baik tidak bisa membuat seseorang mendapat keistimewaan hukum dan kebal hukum baik secara perdata maupun pidana. Iktikad baik hanya bisa menjadi pertimbangan dalam menetapkan tingkat hukuman.
Bahwa hak imunitas pejabat atau profesi terdapat dalam beberapa peraturan yaitu UU Kejaksaan, UU Advokat, UU MD3 DPR/MPR, Undang-undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPSK), UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, namun imunitas yang diatur terdapat filter berupa ijin atasan atau ijin pihak lain, adanya kode etik, atau terdapat pemaknaan menyangkut itikad baik berdasar UU yang berlaku. Hal ini jelas berbeda dengan Pasal 27 ayat (2) Perppu dikarenakan menyebut kebal terhadap gugatan perdata dan pidana, tidak adanya filter dan dewan etik sehingga haruslah dibatasi dengan penafsiran yang jelas dan rigid mencegah penyalahgunaan dan multi tafsir ;
Bahwa Pasal 22 UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak telah memberikan makna iktikad baik dalam penjelasannya 42 “Dalam melaksanakan tugasnya didasarkan pada iktikad baik jika Menteri, Wakil Menteri, pegawai Kementerian Keuangan, dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengampunan Pajak, dalam melaksanakan tugasnya tidak untuk mencari keuntungan bagi diri sendiri, keluarga, kelompok, dan/atau tindakan lain yang berindikasi korupsi, kolusi, dan/atau nepotisme” sehingga hal ini dapat dijadikan acuan dalam uji materi batal secara bersyarat Pasal 27 ayat (2) Perppu a quo ;
Bahwa pasal 22 UU Nomor 11 Tahun 2016 disebutkan bahwa Menteri, Wakil Menteri, pegawai Kementerian Keuangan, dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengampunan Pajak, tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut, baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Adapun itikad baik dimaknai dalam Penjelasan Pasal 22 UU No. 11 tahun 2016 yaitu “apabila dalam melaksanakan tugasnya tidak untuk mencari keuntungan bagi diri sendiri, keluarga, kelompok, dan/atau tindakan lain yang berindikasi korupsi, kolusi, dan/atau nepotisme”. Penjelasan ini setidaknya dapat dipakai dalam pemaknaan Pasal 27 ayat (2) Perpuu No. 1 Tahun 2020 sehingga tidak akan ambigu dan multi tafsir;
Bahwa Presiden/Pemerintah dapat berdalih Pasal 27 ayat (2) Perppu a quo telah menyisipkan frasa “jika” untuk mengelak dari tuduhan kebal hukum, namun frasa “jika” __ akan multi tafsir dan pasti pejabat/pelaku akan berlindung frasa __ “itikad baik” untuk menjadi tameng dan dalil lepas dari tuntutan hukum dikarenakan penilaian subjektif dari pelaku/pejabat tentang itikad baik. Apapun dalih itikad baik yang berpotensi itikad buruk dalam mengambil kebijakan tetap harus diuji oleh lembaga peradilan dan tidak boleh menjadi monopoli pejabat untuk menafsirkannya. Dengan demikian demi keadilan, persamaan hukum, demokrasi dan kesejahteraan, Pasal 27 Perppu a quo harus dibatalkan secara bersyarat untuk dimaknai secara tegas dalam rangka menghindarkan ambigu dan multi tafsir; 43 52. Bahwa Pasal 27 ayat (2) Perppu Nomor 1 Tahun 2020 frasa “iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan“ untuk menghindari ambigu dan multi tafsir serta bertentangan dengan UUD 1945 haruslah dimaknai “ apabila dalam melaksanakan tugasnya tidak untuk mencari keuntungan bagi diri sendiri, keluarga, kelompok, dan/atau tindakan lain yang berindikasi korupsi, kolusi, dan/atau nepotisme” , dan terdapat pemaknaan terhadap tidak dapat digugat perdata selain tidak melanggar Undang- Undang haruslah termasuk tidak melanggar kepatutan, susila dan agama sehingga ditambah pemaknaan secara satu nafas dengan iktikad baik yaitu “ tidak melanggar norma kepatutan, norma susila dan norma agama” serta frasa “itikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” tidak boleh dimaknai sepihak penguasa sehingga menghalangi ranah pembuktian dalam proses penegakan hukum;
Bahwa itikad baik penguasa dengan maksud tidak menguntungkan diri sendiri namun dalam prakteknya menguntungkan orang lain dan merugikan negara terdapat contoh sesorang selama ini dianggap tidak melakukan korupsi untuk dirinya namun senyatanya tetap korupsi yaitu: - Pada saat jadi Pengusaha telah memakai uang pinjaman dari Bank milik UKM , semestinya UKM menjadi binaan Pengusaha tersebut tapi senyatanya uang hak UKM dipakai kepentingan pribadi si Pengusaha; - Pada saat menjabat kepala daerah telah memberikan tanah dan bangunan milik negara kepada tim suksesnya tanpa melalui prosedur dan kemudian menguntungkan tim suksesnya; - Pada saat menjabat kepala daerah telah membentuk ULP untuk menampung bantuan luar negeri proyek urbant development dengan menunjuk tim suksesnya untuk mengelola, namun kenyataannya uang bantuan dipakai untuk kepentingan pribadi pengelola tanpa bisa dicegah oleh kepala daerah; - Pada saat menjabat kepala daerah lebih tinggi telah salah melakukan perencanaan dalam pengadaan angkutan masal namun 44 keliru hendak memberikan kendaraan kepada swasta dan telah menimbulkan kerugian negara atas pembayaran uang muka 20%; - Pada maju kontestasi jabatan yang lebih tinggi, orang yang dianggap tidak pernah korupsi tersebut ternyata menerima uang sumbangan kampanye yang berasal dari hasil korupsi penyumbangnya; D. Pasal 27 ayat (3) Perppu Nomor 1 Tahun 2020 54. Bahwa demi persamaan hukum dan pemerintahan (Pasal 27 dan 28 UUD 1045) maka semua keputusan penguasa (pejabat pemerintah) harus dapat diuji di Pengadilan Tata Usaha Negara yang merupakan cabang kekuasaan kehakiman turunan Pasal 24 UUD 1945, sehingga ketentuan Pasal 27 ayat (3) Perppu Nomor 1 Tahun 2020 jelas bertentangan dengan UUD 1945 dan harus dibatalkan;
Bahwa berdasarkan Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, diskresi adalah keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang- undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan. Dasar diterbitkannya keputusan diskresi adalah adanya “keadaan mendesak”, dan pengujian terhadap keputusan diskresi oleh Pengadilan Tata Usaha Negara dilakukan tidak dengan menggunakan peraturan perundang-undangan yang berlaku, melainkan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB) kemudian, produk hukum dari badan/pejabat pemerintahan yang dapat dijadikan objek segketa dan diuji pada pengadilan Tata Usaha Negara berupa keputusan ( beschikking );
Sebagai negara yang bertujuan untuk memajukan kesejahteraan umum, melekatnya fungsi memajukan kesejahteraan umum dalam welfare state (negara kesejahteraan) menimbulkan beberapa konsekuensi terhadap penyelenggaraan pemerintahan yaitu pemerintah harus berperan aktif mencampuri bidang kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Untuk itu kepada pemerintah dilimpahkan bestuurszorg 45 atau public service agar servis publik dapat dilaksanakan dan mencapai hasil maksimal, kepada administrasi negara diberikan suatu kemerdekaan tertentu untuk bertindak atas inisiatif sendiri menyelesaikan berbagai permasalahan pelik yang membutuhkan penanganan secara cepat, sementara terhadap permasalahan itu tidak ada, atau masih belum dibentuk suatu dasar hukum penyelesaiannya oleh lembaga legislatif (Patuan Sinaga, 2001) yang kemudian dalam hukum administrasi negara diberikan kewenangan bebas berupa diskresi;
Bahwa dengan adanya tambahan kewenangan untuk menguji perkara-perkara yang berkaitan dengan tindakan badan atau pejabat pemerintahan dan atau badan hukum lainnya yang menimbulkan kerugian material maupun immaterial, maka semakin lengkap fungsi Pengadilan Tata Usaha Negara sebagai fungsi kontrol yuridis terhadap pemerintah sehingga tidak semestinya dihapuskan atau dikecualikan oleh Pasal 27 ayat (3) Perppu Nomor 1 Tahun 2020. Lintong Oloan Siahaan (2006) mengatakan bahwa Pemerintah sebagai pelayan ( public service ) mempunyai kekuasaan ( power ) untuk melaksanakan tugas pelayanannya tadi, yang apabila disalahgunakan akan menjadi fatal akibatnya dari segi hukum. Untuk itu perlu adanya kontrol, yang dengan demikian kemungkinan akan adanya penyalahgunaan kekuasaan, kesewenang-wenangan dan lain-lain dapat dihindari atau diperkecil kemungkinan. Di dalam literatur yang lain beliau menyebutkan bahwa kontrol yuridis merupakan bagian dari kontrol lain-lainnya terhadap pemerintah seperti kontrol politis, kontrol melalui tromol-tromol pos, kontrol intern administrasi, kontrol ekstern organisasi/lembaga baik yang struktural maupun non struktural (Lintong Oloan Siahaan, 2005). Selanjutnya sebagai dasar untuk melakukan pengujian terhadap keputusan diskresi, Pengadilan Tata Usaha Negara yang akan diamanatkan oleh pasal 1 angka 10 Undang- undang Peradilan Tata Usaha Negara, pasal 1 angka 18 dan Pasal 87 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang menyebutkan keputusan dan/atau tindakan Pejabat Pemerintah dan atau Badan Hukum lainnya yang menggunakan 46 diskresi dapat diuji melalui gugatan di Peradilan Tata Usaha Negara. Selanjutnya mengenai dasar pengujian Pengadilan Tata Usaha Negara dalam memeriksa suatu perkara termasuk di dalamnya adalah terhadap keputusan yang berupa keputusan diskresi adalah pertama-tama dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 1 angka 12 Undang- Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang menyebutkan bahwa Tergugat adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya, yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata;
Bahwa imunitas pejabat tidak dapat digugat melalui PTUN sebagaimana dirumuskan pasal 27 ayat (3) Perppu jelas bertentangan dengan prinsip Hakim mengadili berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa dan prinsip Hakim memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Prinsip ini juga dirumuskan dalam: Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (“UU 48/2009”) yang berbunyi: “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.” Pasal 5 ayat (1) UU 48/2009 yang berbunyi: “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.” 59. Bahwa dengan demikian, berdasarkan alasan-alasan Permohonan tersebut, PARA PEMOHON memohon kepada Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi agar menyatakan Pasal 27 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (PERPPU) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID- 19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan bertentangan dengan konstitusi UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; 47 Berdasarkan uraian-uraian PEMOHON diatas kiranya Yang Mulia Ketua/Wakil Ketua dan Anggota Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Rl berkenan untuk menetapkan dan memutuskan: PETITUM 1. Menerima permohonan PARA PEMOHON seluruhnya;
Menyatakan Pasal 27 ayat (1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6485) bertentangan dengan Undang Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
Menyatakan Pasal 27 ayat (2) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6485) bertentangan dengan Undang Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “ iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan “tidak dimaknai “apabila dalam melaksanakan tugasnya tidak untuk mencari keuntungan bagi diri sendiri, keluarga, kelompok, dan/atau tindakan lain yang berindikasi korupsi, kolusi, dan/atau nepotisme, serta tidak melanggar norma kepatutan , norma susila dan norma agama” 4. Menyatakan Pasal 27 ayat (3) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 87, 48 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6485) bertentangan dengan Undang Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya; _ATAU; _ Apabila Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, _mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono); _ __ [2.2] Menimbang bahwa untuk membuktikan permohonannya, para Pemohon telah mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-29 sebagai berikut:
Bukti P-1 : Fotokopi Akta pendirian Notaris Ikke Lucky A, SH Nomor: 175 tanggal 30 April 2007;
Bukti P-2 : Fotokopi Kartu Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) Ormas Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI):
424.324.7- 532.000 tgl 25-11-2011;
Bukti P-3 : Fotokopi Surat Keterangan Terdaftar (SKT) Kemendagri No: 01-00-00/0115/D.III.4/XI/2012 tgl 9 November 2012;
Bukti P-4 : Fotokopi Akta Pendirian Yayasan Mega Bintang Solo Indonesia 1997, No. 19, tanggal 22 Februari 2014, yang dibuat oleh Eret Hartanto, S.H., Notaris di Kota Surakarta;
Bukti P-5 : Fotokopi Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor: AHU-1158.AH.01.04.TAHUN 2014, tertanggal 04 Maret 2014;
Bukti P-6 : Fotokopi Akta Pendirian Lembaga Kerukunan Masayarakat Abdi Keadilan Indonesia (KEMAKI) Nomor 31, tanggal 30 Desember 2019, dibuat oleh Eret Hartanto, S.H., Notaris di Kota Surakarta;
Bukti P-7 : Fotokopi Akta Pendirian LP3HI Nomor 01, Tanggal 6 September 2014 dibuat oleh Hafid, S.H., Notaris di Kota Surakarta;
Bukti P-8 : Fotokopi Surat Keterangan Terdaftar Nomor: 01-00- 00/001/I/2020, tanggal 6 Januari 2020; 49 9. Bukti P-9 : Fotokopi Akta Pendirian PEKA No. 02, Tanggal 25 Oktober 2016 yang dibuat oleh Hafid, S.H., Notaris di Kota Surakarta;
Bukti P-10 : Fotokopi Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor: AHU-0077592.AH.01.07.TAHUN 2016, tertanggal 04 November 2016;
Bukti P-11 : Fotokopi KTP Boyamin;
Bukti P-12 : Fotokopi KTP Komaryono;
Bukti P-13 : Fotokopi KTP Arif Sahudi;
Bukti P-14 : Fotokopi KTP Marselinus Edwin Hardian, S.H.;
Bukti P-15 : Fotokopi KTP Roberto Bellarmino Raynaldy Hardian;
Bukti P-16 : Fotokopi KTP Sapto Dumadi Ragil Raharjo, S.H.;
Bukti P-17 : Fotokopi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan;
Bukti P-18 : Fotokopi Putusan Kasasi Mahkamah Agung No. 861 K/Pid.Sus/2015 pada halaman 826;
Bukti P-19 : Fotokopi KTP Abdul Rochim;
Bukti P-20 : Fotokopi KTP Prijatno;
Bukti P-21 : Fotokopi KTP Emilia Sulistiawati;
Bukti P-22 : Fotokopi SIM A Kurniawan Adi Nugroho, S.H.;
Bukti P-23 : Fotokopi KTP Utomo Kurniawan;
Bukti P-24 : Fotokopi KTP Dwi Nurdiansyah Santoso;
Bukti P-25 : Fotokopi KTP Imron Supomo, S.H.;
Bukti P-26 : Fotokopi Salinan Putusan Praperadilan Nomor 15/Pid.Pra/2020/PN.Jkt.Sel. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan;
Bukti P-27 : Fotokopi Salinan Putusan Praperadilan Nomor 24/Pid.Pra/2018/PN.Jkt.Sel. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan; 50 28. Bukti P-28 : Fotokopi Putusan Praperadilan Nomor 04/Pid.Prap/2008/PN.Jkt.Sel. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan;
Bukti P-29 : Fotokopi Putusan Nomor 2042/Pid.B/2001/PN.Jkt.Pst. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, atas nama Terpidana Paul Soetopo Tjokronegoro, S.E., M.E., M.PE. [2.3] Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon, Presiden menyampaikan keterangan dalam persidangan tanggal 20 Mei 2020, yang pada pokoknya mengemukakan hal-hal sebagai berikut: Bahwa Dewan Perwakilan Rakyat dalam Rapat Paripurna pada tanggal 12 Mei 2020 telah menyetujui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan. Selanjutnya Presiden pada tanggal 16 Mei 2020 telah mengesahkan Perpu tersebut menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6516, selanjutnya disebut UU 2/2020). Untuk mendukung keterangannya, Presiden/Pemerintah menyerahkan dokumen berupa surat dari Kementerian Sekretariat Negara Republik Indonesia Nomor B-184/Kemensetneg/D-1/HK.00.02/05/2020, bertanggal 18 Mei 2020. perihal “Permohonan Pengundangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia”, yang ditujukan kepada Menteri Hukum dan HAM up Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM. [2.4] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, segala sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam Berita Acara 51 Persidangan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini.
PERTIMBANGAN HUKUM Kewenangan Mahkamah [3.1] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya disebut UU MK), dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076), Mahkamah berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945; [3.2] Menimbang bahwa oleh karena permohonan para Pemohon adalah pengujian konstitusionalitas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan (selanjutnya disebut Perpu 1/2020) terhadap UUD 1945 maka Mahkamah perlu mengutip kembali Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009, bertanggal 8 Februari 2010, sebagaimana telah dipertimbangkan pula dalam Putusan Nomor 1-2/PUU-XII/2014, bertanggal 13 Februari 2014. Mahkamah dalam Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009 yang dalam pertimbangannya, antara lain, pada Paragraf [3.13] menyatakan, “...Perpu melahirkan norma hukum dan sebagai norma hukum baru akan dapat menimbulkan: (a) status hukum baru, (b) hubungan hukum baru, dan (c) akibat hukum baru. Norma hukum tersebut lahir sejak Perpu disahkan dan nasib dari norma hukum tersebut tergantung kepada persetujuan DPR untuk menerima atau menolak norma hukum Perpu, namun demikian sebelum adanya pendapat DPR 52 untuk menolak atau menyetujui Perpu, norma hukum tersebut adalah sah dan berlaku seperti Undang-Undang. Oleh karena dapat menimbulkan norma hukum yang kekuatan mengikatnya sama dengan Undang-Undang maka terhadap norma yang terdapat dalam Perpu tersebut Mahkamah dapat menguji apakah bertentangan secara materiil dengan UUD 1945. Dengan demikian Mahkamah berwenang untuk menguji Perpu terhadap UUD 1945 sebelum adanya penolakan atau persetujuan oleh DPR, dan setelah adanya persetujuan DPR karena Perpu tersebut telah menjadi Undang-Undang”. [3.3] Menimbang bahwa oleh karena permohonan yang diajukan dalam permohonan a quo adalah pengujian konstitusionalitas Perpu 1/2020 yang pada saat pengajuan permohonan dan pada sidang pertama Mahkamah dengan agenda pemeriksaan pendahuluan, Perpu 1/2020 belum disetujui atau tidak disetujui oleh DPR maka Mahkamah berwenang untuk menguji Perpu 1/2020. Kedudukan Hukum para Pemohon [3.4] Menimbang bahwa berkenaan dengan pengujian konstitusionalitas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu), oleh karena Mahkamah telah berpendapat bahwa Mahkamah berwenang menguji konstitusionalitas Perpu maka ketentuan tentang kedudukan hukum para Pemohon dalam pengujian konstitusionalitas undang-undang juga berlaku dalam pengujian konstitusionalitas Perpu; [3.5] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu Undang-Undang, yaitu:
perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama);
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
badan hukum publik atau privat;
lembaga negara; 53 Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian Undang-Undang, in casu Perpu, terhadap UUD 1945 harus menjelaskan terlebih dahulu:
kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK;
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian; [3.6] Menimbang pula bahwa Mahkamah sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007 bertanggal 20 September 2007, serta putusan- putusan selanjutnya berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi lima syarat, yaitu:
adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab-akibat ( causal verband ) antara kerugian dimaksud dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; [3.7] Menimbang bahwa berdasarkan uraian sebagaimana tersebut pada Paragraf [3.5] dan Paragraf [3.6] di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan mengenai kedudukan hukum para Pemohon sebagai berikut: [3.7.1] Bahwa Pemohon I, Perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), adalah organisasi masyarakat berbadan hukum berbentuk perkumpulan sebagaimana dibuktikan dengan Akta Pendirian Perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia yang dibuat dihadapan Notaris Ikke Lucky A, S.H. Nomor 175 tanggal 30 April 2007 dan telah didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Sukoharjo Nomor 8/2007/PN.SKH. tanggal 3 Mei 2007 yang berdasarkan Pasal 4 54 Akta Pendirian memiliki maksud dan tujuan membantu Pemerintah dan Negara dalam bidang pemberdayaan masyarakat untuk menegakkan hukum, keadilan, dan hak asasi manusia serta mencegah dan memberantas segala bentuk korupsi, kolusi, dan nepotisme [bukti P-1]. Pemohon I juga memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak/NPWP [bukti P-2] dan terdaftar sebagai Organisasi Masyarakat di Kementerian Dalam Negeri [bukti P-3]. Pemohon I dalam permohonan ini diwakili oleh Boyamin Bin Saiman selaku Koordinator dan Pendiri, Komaryono, S.H. selaku Deputi, dan Abdul Rochim selaku Bendahara, kesemuanya adalah badan pengurus perkumpulan yang berdasarkan Pasal 12 Akta Pendirian adalah sah dan berwenang bertindak untuk dan atas nama Perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) selaku Pemohon dalam permohonan a quo ; [3.7.2] Bahwa Pemohon II, Yayasan Mega Bintang Solo Indonesia 1997, adalah yayasan berbadan hukum sebagaimana dibuktikan dengan Akta Pendirian Yayasan Mega Bintang Solo Indonesia 1997 yang dibuat dihadapan Notaris Eret Hartanto, S.H., Nomor 19, tanggal 22 Februari 2014 yang berdasarkan Pasal 2 dan Pasal 3 Akta Pendirian mempunyai maksud, tujuan, dan kegiatan di bidang sosial dan kemanusian [bukti P-4]. Akta pendirian tersebut kemudian disahkan oleh Kementerian Hukum dan HAM berdasarkan Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor AHU-1158.AH.01.04.TAHUN 2014, tertanggal 04 Maret 2014 [bukti P-5]. Pemohon II dalam permohonan ini diwakili oleh Boyamin Bin Saiman selaku Ketua, Arif Sahudi, S.H., M.H. selaku Sekretaris, dan Prijatno selaku Bendahara, kesemuanya adalah pengurus yang berdasarkan Pasal 16 Akta Pendirian adalah sah dan berwenang bertindak untuk dan atas nama Yayasan Mega Bintang Solo Indonesia 1997 selaku Pemohon dalam permohonan a quo ; [3.7.3] Bahwa Pemohon III, Lembaga Kerukunan Masyarakat Abdi Keadilan Indonesia (KEMAKI), adalah organisasi masyarakat berbadan hukum sebagaimana dibuktikan dengan Akta Lembaga Kemasyarakatan Kerukunan Masyarakat Abdi Keadilan Indonesia yang dibuat dihadapan Notaris Eret Hartanto, S.H., Nomor 31, tanggal 30 Desember 2019, yang berdasarkan Pasal 4 Akta Lembaga mempunyai maksud dan tujuan membantu pemerintah dan Negara Republik Indonesia dalam bidang pemberdayaan masyarakat untuk bersama- sama secara rukun untuk menegakkan keadilan hukum dan pelayanan pemerintahan dengan prinsip mengabdi pemenuhan hak asasi manusia guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat [bukti P-6]. Pemohon III dalam 55 permohonan ini diwakili oleh Marselinus Edwin Hardian, S.H. selaku Ketua, Roberto Bellarmino Raynaldy Hardian selaku Sekretaris, dan Emilia Sulistiawati selaku Bendahara, kesemuanya adalah termasuk pengurus yang berdasarkan Pasal 7 Akta Lembaga adalah sah dan berwenang bertindak untuk dan atas nama Lembaga Kemasyarakatan Kerukunan Masyarakat Abdi Keadilan Indonesia (KEMAKI) selaku Pemohon dalam permohonan a quo ; [3.7.4] Bahwa Pemohon IV, Lembaga Pengawasan, Pengawalan, dan Penegakan Hukum Indonesia (LP3HI), adalah organisasi kemasyarakatan berbadan hukum sebagaimana dibuktikan dengan Akta Lembaga Pengawasan, Pengawalan, dan Penegakan Hukum Indonesia yang dibuat dihadapan Notaris Hafid, S.H., M.H., Nomor 01, tanggal 06 September 2014, yang berdasarkan Pasal 3 Akta Lembaga memiliki maksud dan tujuan salah satunya mengawasi/memantau/mengontrol pelaksanaan Penegakan Hukum yang dilakukan oleh Pejabat yang berwenang [bukti P-7]. Pemohon IV juga telah terdaftar sebagai Organisasi Kemasyarakatan di Kementerian Dalam Negeri [bukti P-8]. Pemohon IV dalam permohonan ini diwakili oleh Arif Sahudi, S.H., M.H. selaku Ketua, Kurniawan Adi Nugroho, S.H. selaku Wakil Ketua, Utomo Kurniawan selaku Sekretaris, dan Dwi Nurdiansyah Santoso selaku Bendahara, kesemuanya adalah badan pengurus yang berdasarkan Pasal 10 Akta Lembaga adalah sah dan berwenang bertindak untuk dan atas nama Lembaga Pengawasan, Pengawalan, dan Penegakan Hukum Indonesia (LP3HI) selaku Pemohon dalam permohonan a quo ; [3.7.5] Bahwa Pemohon V, Perkumpulan Bantuan Hukum Peduli Keadilan (PEKA), adalah organisasi masyarakat berbadan hukum berbentuk perkumpulan sebagaimana dibuktikan dengan Akta Pendirian Perkumpulan Bantuan Hukum Peduli Keadilan yang dibuat dihadapan Hafid, S.H., M.H., Nomor 02 tanggal 25 Oktober 2016 yang berdasarkan Pasal 8 Akta Pendirian memiliki maksud dan tujuan sebagai wadah bagi mereka yang peduli terhadap nilai-nilai negara hukum dan martabat serta hak-hak asasi manusia pada umumnya dan meninggikan kesadaran hukum dalam masyarakat pada khususnya, baik kepada pejabat maupun warga negara biasa, agar supaya mereka sadar akan hak-hak dan kewajiban-kewajiban sebagai subjek hukum [bukti P-9]. Akta pendirian tersebut kemudian disahkan oleh Kementerian Hukum dan HAM berdasarkan Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor AHU- 56 0077592.AH.01.07.TAHUN 2016, tertanggal 04 November 2016 [bukti P-10]. Pemohon V dalam permohonan ini diwakili oleh Arif Sahudi, S.H., M.H. selaku Ketua, Sapto Dumadi Ragil Raharjo, S.H. selaku Sekretaris, dan Imron Supomo, S.H. selaku Bendahara, kesemuanya adalah pengurus yang berdasarkan Pasal 26 Akta Pendirian adalah sah dan berwenang bertindak untuk dan atas nama Perkumpulan Bantuan Hukum Peduli Keadilan (PEKA) selaku Pemohon dalam permohonan a quo ; [3.7.6] Bahwa berdasarkan uraian pada paragraf [3.7.1] sampai dengan paragraf [3.7.5] di atas telah ternyata keseluruhan Pemohon adalah badan hukum (untuk selanjutnya disebut para Pemohon); [3.7.7] Bahwa dalam menjelaskan anggapannya perihal kerugian hak konstitusionalnya yang disebabkan oleh berlakunya ketentuan atau norma Perpu 1/2020 yang dimohonkan pengujian, yaitu hak-hak sebagaimana tertera dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 7A, Pasal 23E, Pasal 24 ayat (1), Pasal 27, dan Pasal 28 UUD 1945 yang disebabkan oleh norma Pasal 27 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Perpu 1/2020, para Pemohon menerangkan sebagai berikut:
menurut para Pemohon, berlakunya Pasal 27 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Perpu 1/2020 yang menjadikan penguasa atau pejabat yang disebut KKSK [sic!] akan menjadi kebal hukum, tidak dapat dituntut secara hukum baik perdata, pidana maupun PTUN dengan dalih itikad baik dan bukan kerugian negara, sehingga kekebalan tersebut menciderai rasa keadilan seluruh rakyat termasuk para Pemohon;
menurut para Pemohon, hak-hak konstitusionalnya yang dirugikan akibat berlakunya Pasal 27 Perpu 1/2020 tidak akan terjadi dengan dikabulkannya permohonan yakni hak para Pemohon atas hidup dalam suatu bentuk negara yang berdasar hukum, hak persamaan hukum, hak kontrol para Pemohon melalui DPR, hak menikmati keuangan secara adil dan sejahtera, dan hak memperoleh keadilan berdasar proses hukum yang adil, independen dan terbuka; Berdasarkan uraian para Pemohon dalam menerangkan kedudukan hukumnya di atas, Mahkamah berpendapat bahwa, terlepas dari terbukti atau tidaknya dalil para Pemohon mengenai inkonstitusionalitas norma Pasal 27 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Perpu 1/2020 yang dimohonkan pengujian, bahwa para 57 Pemohon telah secara spesifik menjelaskan hak konstitusionalnya yang oleh para Pemohon dianggap dirugikan karena berlakunya Pasal 27 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Perpu 1/2020, di mana telah terlihat pula kausalitas anggapan para Pemohon perihal potensi kerugian hak konstitusional dimaksud dengan norma Pasal 27 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Perpu 1/2020 yang dimohonkan pengujian sehingga jika permohonan dikabulkan, kerugian demikian tidak akan terjadi. Dengan demikian, para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian Pasal 27 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Perpu 1/2020. [3.8] Menimbang bahwa meskipun para Pemohon mempunyai kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo , namun sebelum mempertimbangkan pokok permohonan para Pemohon, Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan fakta hukum baru terkait permohonan pengujian Pasal 27 Perpu 1/2020 a quo . Fakta hukum baru demikian berupa adanya perubahan status hukum Perpu 1/2020; [3.9] Menimbang bahwa dalam persidangan pemeriksaan pada tanggal 20 Mei 2020 Mahkamah mengagendakan untuk meminta keterangan kepada Presiden dan DPR perihal persetujuan Perpu 1/2020 menjadi undang-undang. Dalam sidang pemeriksaan tersebut kuasa hukum Presiden menerangkan Perpu 1/2020 telah disetujui oleh DPR menjadi undang-undang. Bahwa, menurut kuasa hukum Presiden, Perpu 1/2020 yang mendapat persetujuan DPR untuk menjadi undang-undang dan kemudian telah disahkan oleh Presiden pada tanggal 16 Mei 2020. Selanjutnya, diundangkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia pada tanggal 18 Mei 2020 menjadi Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6516, selanjutnya disebut UU 2/2020). Untuk mendukung keterangan tersebut, kuasa hukum Presiden telah menyerahkan dokumen berupa surat dari Kementerian 58 Sekretariat Negara Republik Indonesia Nomor B-184/Kemensetneg/D- 1/HK.00.02/05/2020, bertanggal 18 Mei 2020, perihal “Permohonan Pengundangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia”, yang ditujukan kepada Menteri Hukum dan HAM up Direktur Jenderal Peraturan Perundang- undangan Kementerian Hukum dan HAM. Oleh karena itu, berdasarkan fakta hukum tersebut di atas Mahkamah meyakini bahwa Perpu 1/2020 telah menjadi UU 2/2020; [3.10] Menimbang bahwa dengan diundangkannya UU 2/2020 maka Perpu 1/2020 sudah tidak lagi ada secara hukum. Hal demikian berakibat permohonan para Pemohon yang diajukan untuk pengujian konstitusionalitas Perpu 1/2020 telah kehilangan objek; [3.11] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo dan para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo , namun disebabkan permohonan para Pemohon telah kehilangan objek, maka Mahkamah tidak akan mempertimbangkan pokok permohonan para Pemohon dan hal-hal lain yang terkait dengan permohonan tidak pula dipertimbangkan.
KONKLUSI Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan: [4.1] Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo ; [4.2] Para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo ; [4.3] Permohonan para Pemohon kehilangan objek; [4.4] Pokok permohonan para Pemohon dan hal-hal lain tidak dipertimbangkan. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang 59 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), serta Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5076).
AMAR PUTUSAN Mengadili , Menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima. Demikian diputus dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi, yaitu Anwar Usman, selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto, Wahiduddin Adams, Daniel Yusmic P. Foekh, Arief Hidayat, Enny Nurbaningsih, Manahan M.P. Sitompul, Saldi Isra, dan Suhartoyo, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Senin, tanggal lima belas, bulan Juni, tahun dua ribu dua puluh , yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Selasa, tanggal dua puluh tiga, bulan Juni, tahun dua ribu dua puluh , selesai diucapkan pukul 11.57 WIB , oleh sembilan Hakim Konstitusi, yaitu Anwar Usman, selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto, Wahiduddin Adams, Daniel Yusmic P. Foekh, Arief Hidayat, Enny Nurbaningsih, Manahan M.P. Sitompul, Saldi Isra, dan Suhartoyo, masing-masing sebagai Anggota, dibantu oleh Syukri Asy’ari sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh para Pemohon/kuasanya, Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili, dan Presiden atau yang mewakili. KETUA, ttd. Anwar Usman ANGGOTA-ANGGOTA, 60 ttd. Aswanto ttd. Wahiduddin Adams ttd. Daniel Yusmic P. Foekh ttd. Arief Hidayat ttd. Enny Nurbaningsih ttd. Manahan M.P. Sitompul ttd. Saldi Isra ttd. Suhartoyo PANITERA PENGGANTI, ttd. Syukri Asy’ari
Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 33/PMK.02/2016 tentang Standar Biaya Masukan Tahun Anggaran 2017. ...
Relevan terhadap
Peraturan Menteri m1 rnulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap . · orang mengetahuinya, memerin tahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Diundangkan di Jakarta pada tanggal 15 Juni 201 7 Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 14 Juni 2017 MENTERIKEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, ttd. SRI MULYANI INDRAWATI DIREKTUR JENDERAL PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. WIDODO EKATJAHJANA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 854 I ARIF BI@AR 0 YUWON fP 912199703100 / NO.
HONORARIUM TIM PENYUSUNAN JURNAL/BULETIN/MAJALAH/PENGELOLA WEBSITE 1.9. 1 H o no ra .r i u m Tim Penyusun.an .Jurnal a. Penanggung Jawab b. Reclaktur c. Penyunting/Editor cl. Desain Grafis e. Fotografer f. Sekret.ariat g ^. Pembuat artikel 19.2 Honorarium Tim Pcnyusunan Buletin/Majalah a. Pena.nggung Jawa.b b. R.cdak t u r c. Penyunting/Editor d. Desain Grafis e. Fot o graf e r f. Sekreta.ria.t.
Pembuat art. i ke l 19.3 H o no ra .r i u m Tim Pengelola Website a. Penanggung Jawab b. Redaktur c. Editor cl. WebAdmin e. Web Developer f. Pem bua.t. Art.i.kel 20. HONORARIUM PENYELENGGARA SlDANG/KONFEIĭENSJ lNTERNASIONAL/KONFERENSl TINGKAT MENTER!, SENIOR OFFICIAL MEETING (BlLATERAL/REGlONAL/MULTlLATERAL), WORKSHOP/ SEMINAR/ SOSIALISASI/ SARASEHAN BERSKALA INTERNASIONAL 20 . .1. Honorarium Penyelenggara Sidang/Konfercnsi lntcrnasional/Konferensi Tingkat M en te ri , Senior Official Meeting (Bilateral/Regional/Multilateral) a. Pengara.h b. Penanggung ,Jawab c. Ke t. u a /W a k i l Ket.ua.
Kctua Delegasi e. Tim Asistcnsi f. Anggota D el ega si Republik fndonesia g. Koordinator h. K e t ua Bidang i. Sekretaris j. Anggota Panitia.
Liaison Officer (LO) l. Staf Pendukung S A T U A N B ES AR A N (3) (4) OB Rp2 . .l00.000 OB Rp2.400.000 OB Rp2.600.000 OB Rp2.800.000 OB R p 3 20 . 00 0 OB Rp400.000 OB R p 4 80 . 0 00 OK Rp400.000 OB Rp2.500.000 OB Rp2.250.000 OB Rp2.000.000 OB Rpl.750.000 OB Rp l .500.000 OB Rpl.500.000 OB Rpl.500.000 OB Rpl.250.000 OB Rpl..000.000 OB Rp850.000 OB Rp750.000 OB Rp750.000 OB Rp750.000 OB Rp700.000 OB Rp650.000 OB R p 6 00 . 0 0 0 OB RpS00.000 OB Rp500.000 OB Rp500.000 OB Rp450.000 OB Rp400.000 OB Rp350.000 OB Rp300.000 OB R p 3 00. 0 00 OB Rp500.000 OB Rp450.000 OB R p 2 5 0. 0 00 OB R p 220. 0 00 Oter Rp500.000 Oter Rp400.000 Oter Rp300.000 Oter Rpl80.000 Oter Rpl.80.000 O te r Rpl.50.000 Halaman Rp200.000 Oter Rp400.000 Oter Rp300.000 Oter Hp250.000 Oter Rp180.000 Ote1· Rp180.000 Of.er RplS0.000 Hal a.man Rpl00.000 OB RpS00.000 OB Rp450.000 OB Rp400.000 OB Rp350.000 OB Rp300.000 Hal am an RpI00.000 OK Rp2.600.000 O K Rp2.400.000 OK Rp2.200.000 OK Rp2.200.000 OK Rp2.200.000 OK Rp2.000.000 OK Rp2.000.000 OK Rpl .600.000 OK Rpl.600.000 O K Rp 1.400.000 OK Rpl.400.000 O K Rnl..200.000 URAIAN SATUAN BESARAN (2) (3) (4) 20.2 Honorarium Penyelenggara Worksh o p / Seminar/ Sosialisasi/ Sarasehan Berskala Internasional a. Pengarah OK Rp 1 . 1 00.000 b. Penanggung Jawab OK Rp l .000.000 c. Ketua/Wakil Ketua OK Rp900.000 d. Ketua Delegasi OK Rp900.000 e. Tim Asistensi OK Rp900.000 f. Anggota Delegasi Republik Indonesia OK RpB00.000 g. Koordinator OK Rp800.000 h. Ketua Bidang OK Rp600.000 i. Sekretaris OK Rp600.000 j. Anggota Panitia OK Rp500.000 k. Liaison Officer (LO) OK Rp500.000 1. Staf Pendukung OK Rp400.000 2 1 . HONORARIUM PENYELENGGARA UJIAN DAN VAKASI 2 1 . 1 Tingkat Pendidikan Dasar a. Penyusunan/pembuatan bahan ujian Naskah / Pelaj aran Rp 1 50.000 b. Pengawas ujian OH Rp240.000 c. Pemeriksaan hasil ujian Siswa/Mata Ujian Rp5.000 2 1 .2 Tingkat Pendidikan Menengah a. Penyusunan/pembuatan bahan u jian Naskah/Pelajaran Rpl90.000 b. Pengawas ujian OH Rp270.000 c. Pemeriksaan hasil u jian Siswa/Mata Ujian Rp7.500 2 1 .3 Tingkat Pendidikan Tinggi a. Diploma I/II/III/IV dan Strata 1 (Sl) 1) Penyusunan/pembuatan bahan u jian Naskah/Pelajaran Rp250.000 2) Pengawas ujian OH Rp290.000 3) Pemeriksaan Hasil U jian Mahasiswa/Mata Ujian Rp l0.000 4) Penguji Tugas Akhir/Skripsi Orang/Mahasiswa Rp250.000 5) Pengawas Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri Orang/Mata Uji Rp290.000 6) Penguji Ujian Keterampilan pada Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri Peserta Rp75.000 b. Strata 2 {S2) 1) Penyusunan/pembuatan bahan ujian Naskah/Pela jaran Rp260.000 2) Pengawas ujian OH Rp300.000 3) Pemeriksaan Hasil Uiian Mahasiswa/Mata Ujian Rp 1 5.000 4) Penguji Tesis Orang/Mahasiswa Rp350.000 c. Strata 3 (S3) 1) Penyusunan/pembuatan bahan ujian Naskah/Pela jaran Rp280.000 2) Pengawas ujian OH Rp300.000 3) Pemeriksaan Hasil Ujian Mahasiswa/Mata U jian Rp20.000 4) Penguji Disertasi Orang/Mahasiswa Rp500.000 22. HONORARIUM PENULISAN BUTIR SOAL TINGKAT NASIONAL 22. 1 Honorarium Penyusunan Butir Soal Tingkat Nasional Per Butir Soal Rpl 00.000 22.2 Honorarium Telaah Butir Soal Tingkat Nasional a. Telaah Materi Soal Per Butir Soal Rp45.000 b. Telaah Bahasa Soal Per Butir Soal Rp20.000 23. HONORARIUM PENYELENGGARAAN KEGIATAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN (DIKLAT) 23. 1 Honorarium Penceramah OJP Rp 1 .000.000 23.2 Honorarium Pengajar yang berasal dari luar satuan kerja penyelenggara OJP Rp300.000 23.3 Honorarium Pengajar yang berasal dari dalam satuan ker ja penyelenggara OJP Rp200.000 23.4 Honorarium Penyusunan Modul Dildat Per Modul Rp5.000.000 23.5 Honorarium Panitia Penyelenggara Kegiatan Diklat a. Lama Diklat s.d. 5 hari: l) Penanggung Jawab OK Rp450.000 2) Ketua/Wakil ketua OK Rp400.000 3) Sekretaris OK Rp300.000 4) Anggota OK Rp300.000 b. Lama Diklat 6 s.d. 30 hari:
Penanggung Jawab OK Rp675.000 2) Ketua/Wakil ketua OK Rp600.000 3) Sekretaris OK Rp450.000 4) Anggota OK Rp450.000 c. Lama Diklat lebih dari 30 hari: l) Penanggung Jawab OK Rp900.000 2) Ketua/Wakil ketua OK RpB00.000 3) Sekretaris OK Rp600.000 4) Anggota OK Rp600.000 24. ^SATUAN BIA YA UANG MAKAN BAGI PEGAWAI APARATUR SIPIL NEGARA 24. 1 Golongan I dan II OH Rp35.000 24.2 Golongan III OH Rp37.000 24.3 Golongan IV OH Rp41 .000 25. ^SATUAN BIA YA UANG LEMBUR DAN UANG MAKAN LEMBUR BAGI PEGAWAI APARATUR SIPIL NEGARA 25. 1 Uang Lembur a. Golongan I OJ Rp l3.000 b. Golongan II OJ Rp l7.000 c. Golongan III OJ Rp20.000 d. Golongan IV OJ Rp25.000 f.1#1,/ NO. URA I A N SA TUAN BESA RAN f ^l) (2) (:
(4) 25.2 Ua.ng Ma.kan Lemlmr a. Golongan I clan II OH Rp35.000 b. Golongan ill OH Rp37.000 c. Golongan N OH Rp4 1 .000 26. SATUAN BlAYA UANG LEMBUR DAN UANG MAKAN LEMBUR BAGI PEGAWAI NON APARATUR SlP I L NEGARA, SATPAM, PENGEMUDI, PETUGAS KEBERSIHAN, DAN PRAMUBAKTI 26. l Pegawai Non Apani.tur Sipil Negara a. Uang Lembur O.J Rp20.000 b. Uang Makan Lembur OH Rp3 1 .000 26.2 Satpam, Pengemudi, Petugas Kebersihan, dan Pramubakti a. Uan g L e m b u r OJ Rpl.3.000 b. (Jang Makan Lembur OH Rp30.000 27. SATUAN BlAYA UANG SAKU RAPAT DI DALAM KANTOR 27. 1 Golongan l clan 11 Orang/Kali Rp300.000 27.2 Golongan lII Orang/Kali Rp350.000 27.3 Golongan IV Orang/Kali Rp400.000 28. SATUAN BIA YA UJ\NG SAKU PEMERIKSA DALAM LOKASI PERKANTORi\N YA N G SAMA OH Rp2 1 0.000 29. SATUAN BIAYA PENGEPAKAN DAN ANGKUTAN BARANG PERJALANAN DINAS PINDAH DALAM NEGERI 29. 1 Kereta api a. Pengepakan dan Penggudangan m ^a Rp75.000 b. Angkutan k m / m 3 Sesuai tarif berlaku 29.2 Truk a. Pengepakan clan Penggudangan m ^·l Rp60.000 b. Angkuta.r1 krn/m ^3 Rp•lOO 29.3 Angkutan Laut/Sungai a. Pengepakan dan Penggudangan 11 ^1·1 Rp60.000 b. Angkutan km/m ^3 Rp400 c. Angkutan Laut/Sungai m ^: i Sesuai tarif berlaku 30. SATUAN BIAYA BANTUAN BfAYA PENDID!KAN ANAK ( B B P A ) PADA PERWAKILAN REPUBLIK INDONESIA DI LUAR NEGERI 30.1 Sekolah Dasar Per Tahun $ 8,580 30.2 Sekolah Menengah Pert.ama Per Tahun $ 1 0,940 30.3 Sekolah Menengah Atas Per Tahun $ 13,560 30.4 Pcrguruan Ti n ggi Per Tahun $ 1 4 840 ¨· www.jdih.kemenkeu.go.id 3 1 . HONORARIUM SATPAM, PENGEMUDI, PETUGAS KEBERSIHAN, DAN PRAMUBAKTI NO. PROVINSI (1) (2) 1 . ACEH 2 . SUMATERA UTARA 3. R I A U 4. KEPULAUAN RIAU 5. J A M B I 6. SUMATERA BARAT 7. SUMATERA SELATAN 8 . LAMPUNG 9 . BENGKULU 1 0 . BANGI<A BELITUNG 1 1 . B A N T E N SATUAN ( ^3 ) SATPAM DAN PENGEMUDT (4) PETUGAS KEBERSIHAN DAN PRAMUBAKTI ( ^5 ) 0 B.... ...... .. ................ .. . ...........8P.. 1 . . :
4.?..9..:
9..9..Q........ ... . ........ ....... .. 8P.?..:
J.7..9..:
9.Q.Q. OB Rp2 . 2 1 6.000 Rp2.014.000 OB Rp2.340.000 Rp2. 130.000 OB OB OB OB OB Rp2.39 1 .000 Rp2. 170.000 Rp2.040.000 Rp2.427 .000 Rp2.000.000 Rp2 . 1 73.000 Rpl .970.000 Rp l .850.000 Rp2.206.000 Rp l .820.000 OB Rp l .900.000 Rp l .730.000 OB Rp2.568 .000 Rp2.334.000 OB Rp2.340.000 Rp2. 130.000 ,._ .......... ___ .... _ .•.. -.................. ...... -.... ··-······-··--··--········--··----··· ---··--··----··-··-··--··----··--··-··-.. ----·····-------··--- ....................... ...................... ---··--····-··-····-··---····----····-··-······················-.. ·· 12. JAWA BARAT 13. D.K.I. JAKARTA 14. JAWA TENGAH 1 5. D.I. YOGYAKARTA 1 6. JAWA TIMUR 17. B A L I 1 8. NUSA TENGGARA BARAT 19. NUSA TENGGARA TIMUR 20. KALIMANTAN BA.RAT 2 1 . KALIMANTAN TENGAH 22. KAL.l.MANTAN S.ELATAN 23. KALIMANTAN TIMUR 24. KALIMANTAN UTA.RA 25. SULAWESI UTARA 26. GORONTALO 27. SULAWESI BA.RAT.... ... . ........................... . ...... 28. SULAWESI SELATAN 29. SULAWESI TENGAH 30. SULAWESI TENGGARA 3 1. MALUKU 32. MALUKU UTARA 33. P A P U A OB OB OB OB OB OB OB OB OB OB OB OB OB OB OB OB OB OB OB OB OB OB Rp3.220.000 Rp3.390.000 Rp2.063.000 Rp 1 .870.000 Rp3.308.000 ····················-·····-······ Rp2. 100.000 Rp l . 870.000 Rp l . 870.000 Rp 1 .984.000 Rp2. 5 1 l .000 Rp2.35 1 .000 Rp2.483.000 Rp2.700.000 Rp2.62 6.000 Rp l .978.000 Rp2.090.000 Rp2.451 .000 Rp2 . 1 40.000 Rp2.03 1 .000 Rp2.028.000 Rp2 . 1 50.000 Rp2.650.000 Rp2.930.000 Rp3.080.000 Rp l .875.000 Rp l .700.000 Rp3.007.000 Rp l .9 1 0.000 Rp 1.700.000 Rp l . 700.000 Rp 1 .803.000 Rp2.282.000 Rp2. 137.000 Rp2.257.000 Rp2.450.000 Rp2.387.000 Rp l .798.000 Rp l .900.000 Rp2.228.000 Rp 1. .940.000 Rp l .846.000 Rp l .843.000 Rp l .950.000 Rp2.400.000 P(j; vl 32. SATUAN BIAYA UANG H ARIAN PERJALANAN DI.NAS DALAM NEGERI DAN UANG REPRESENTASI 32. 1 Uang Harian Pe1jalanan Dinas Dalam Negeri DALAM KOTA NO. PRO VIN SI SA TUAN LUAR KOTA LEBIH DARI 8 DlKLAT (1) 8. LAMPUNG 9. BENGKULU 10. BANGKA BELITUNG 11. B A N T E N 12. JAWA BARAT 13. D.K.I. JAKARTA 14. JAWA TENGAH 1 5. D.I. YOGYAKARTA 16. JAWA TIMUR 17. B A L I . .. ......... ··························· · ············································-····· (2) 18. NUSA TENGGARA BARAT 19. NUSA TENGGARA TIMUR 20. KALIMANTAN BARAT 21. KALIMANTAN TENGAH 22. KALIMANTAN SELATAN 23. KALIMANTAN TIMUR NO.
l.
2 Ua.ng Representa.si URAIAN (2) PEJABAT NEGARA , .......... . ........ . ..... 2. PEJABAT ESELON I 3. PEJABAT ESELON II (DELAPAN) JAM (3) (4) (5) OH Rp370.000 OH Rp370.000 OH Rp380.000 OH Rp380.000 OH Rp380.000 OH Rp380.000 OH Rp410.000 OH Rp370.000 ····················· ·······- OH Rp430.000 OH Rp530.000 OH Rp370.000.... ................. . ........... ..... w .... OH Rp420.000 OH Rp410.000 OH Rp480.000 ·········-········-·-···-····- ······-··-··· ·············· ··-·····-······-·-··--··-····-·--·····-······· - OH Rp440.000 OH OH OH OH OH OH OH ................................. OH OH OH OH SATUAN . . Rp430.000 Rp380.000 Rp360.000 ............ ............... ӂ .... Rp380.000 Rp430.000 Rp370.000 Rp380.000 ..................... Ӂ ...... ... Rp380.000 Rp430.000 Rp580.000 ............. '········· .. .. Rp480.000 LUAR KOTA Rp170.000 Rpl50.000 Rp150.000 Rp150.000 Rp170.000 Rp230.000 Rp190.000 DALAM KOTA LEBIH DARI 8 (DELAPAN) JAM (3) (4) ( ^5) OH Rp250.000 Rp.1.25.000 OH Rp200.000 Rp l00.000 OH Rpl50.000 Rp75.000 (6) 33. SATUAN BIAYA UANG HARIAN PERJALANAN DINAS LUAR NEGERI NO. NEGARA (l) (2) AMERTKA UTARA ··-.. ·-··· A; : ; ; erTkᑭ .. sᑬ .. rii<a: t ·---.. ·····-.. ··-·· .. -·.--.. - kan: ada.... . ....... . .. · ........... µ··········""••¶········· ......············ A M E Rfi{i\ ··· s · E L A1 · A: N . ^........ . ···· 3: ·· A1 ¸ ge . 1 1 ti !i · a ····· .. · ····· 4 · : ·· ve11e: Z1ie.Ia .... . · !f . . ^. l3ra: Z'i: C .. · ^··· 6 ^· : ^·· ^·c11i: ff .. . . · ·· ·i ··· KoIOffi: l)ia .............. . ···· s · : ·· : reiu ····················· · ·· · 9. s1iil 1 a : n 1 e ·········· ·· ·· icf ·· E1U1 · a: a 0 1 : ····· - ···· · ....... Ӏ"'"" ................. . .. " . . /\ l\Hi' DllE A , TENGAH .. ff: ^. . Mexico · -: 1 2 · ·· Kuba ') : '' . : ' . · I P a nam a · Tf . . Xlisfria...... ·· · is · : ·· 13 · e; 1 g : ia: ······ · ·· · i <.; : · : reia: r1 · d 3 ········· ···· · · :
+r· · : r: ; ----i.:
r.!: i-:
JP.: "# ........ .. .... fSf" ·s·wi'SS.......... . . ^....... . ^. ·····--·········n·········· E. ^R ^0: ^P ^A ^.\ ^J ^1 ^' ^A ^R ^A ^'·········· . .. · · 2 cf · : 6 enma: rk ··· ·· ···· ·· ··· 2 · f.. F i 11 ia 11 dia: ····· ..... . . · 2 C Norwegia ··· 2 '3 ·· swedi'a. . . ················ ·· · 24. . . . 1.: J. . i: l: !.3:
. . ຆ.1.:
1?1?.r..i.*.3...... . ················· 'iil of>A' . . s'JfaATArᑸf....... . · ·· 2 · 5 · : ··· t.% ^Q .ri.i.'. ^: : H.i: iiY.Ei : : ^: : : ^: : : : : : : : ············ .. · ^·· 26: ·· 15..ᑮ:
ᑯ§l.ᑰᑯ ........27. Spanyol ··· i tL .. \Tun: a 11 c ····· · · . . 29 .. : ·· iiaiia ······· 30. Portugal ··· ff:
.. serbla ··············· ···· · EROPATIMUR · ^·· 3 ( 5 · : · · Ruma.nia · j · 7 · : ·· Rusia ... 33 · : · · siovaida: ·· · ·· · ··· · · · ... 3 · 9 · : ··· i5 1; : ; ; 1 n: ·a ·········· ···· ,..... . ............... ... . . AF'RIKA TIMUR ·· 42 · : ·· i.t..!.i.9. id .. -. . ^.. : ·· : -. : : ····· -. ··· : : · ··· 4 · i ^. ^. ^. . I.ᑱᑲ1.?Y.ᑳ . ^... . ^.. . . 44. Mᑴ:
g9.: ᑵ.ᑶᑳ1.ᑷ .... ^. . ··· 45 · : · . . Tanzania ··· 4<f . zi'mhabw · e ···· · · · · · ··· 4 · ; T . . iVi ( ; · a: ill bi· k ······· · ·· · ········ ................ AF RiKA ··· s ELATA f f .... ...... . · 48: ·· NailliGia ....... ·· 4 · 9 · : ·· 1\r d k a.... s . eia . ta · n: · ········· SATUAN A B (3) (4) (5) OH 578 OH 447 OH 534 OH 557 OH 4 ^36 OH 4 1 5 OH 436 OH 4 ^59 OH 398 OH 385 OH 493 OH 4 ^()6 OH 414 OH 504 OH 466 OH 5 1 2 OH 447 OH 463 OH 636 . .... ...... . .... .. .........ri .... OH 567 OH 453 OH 621 OH 466 OH 792 OH 456 OH 555 OH 457 GO LONGAN c (6) 513 440 404 368 402 351 388 344 341 291 3 16 270 323 276 347 320 295 252 273 242 366 324 305 26 1 342 306 453 3 18 4 1 9 282 464 382 4 1 5 285 4 16 272 570 403 491 343 409 354 559 389 436 342 774 583 420 334 506 406 413 287 (dalam US$) D (7) 382 307 349 343 241 222 254 276 207 24f' 323 22 1 27 1 317 281 381 285 271 401 301 3 3 386 341 582 333 405 286 OH . ...... ························· 4 fa .. ······································· 3 79 ·· ······················· ··········· 24?f l ······························································ I 241 OH ················· 7 · 6'.: f ' OH 425 OH 417 OH 406 OH 618 OH 485 OH 461 OH 416 OH 556 OH 437 OH 485 OH 361 OH 384 ··················· 6 fr .. ···································· · ·· 446 ··· 382 242 375 326 367 320 526 447 438 390 415 360 381 313 512 407 394 341 436 375 313 292 317 237 . . ········ ···· 08 ················· . ···············' 3 · 5 · 3 ·........ . ················' 29 '5 221 427 241 288 284 367 345 019 : r1 4( )6 ƫ\1)3 Β j 1 291 231 193 OH ·············· 3 g 4 ·· ................. . .. .. .. .............. . 3'1'7 . . , ......................................... 2 .'' .. 3 " .... 7 ., ... , ............................................... , .............. 1 225 181 218 OH 296 ......... .. 24 · 4 ·.. 182 . ··············· 0 1 !"··· .. ········ . .. ················ ························ ·3 ^5 ^()"' · ^···················· 29 ^0 .. ·· I ··· .........•.......•..•..•.............. 2 ····· 4 ···· 4 ········ l ········································· .. ··············:
:
... I OH ················· fa · s · ................... .................. 2 ^. sT · 248 247 · · ············ oi! ......... · .............. 3 ^99 ^·.. ·· ·········" 329..., .......................................... 2 ..... 6 ; . 5 264 OH 405 334 268 233 OH 380 313 253 251 NO. NEGARA 11\ (2) IAFRIKA UTARA ... 50: ^·· 1A11aza.ir ···5·f·· Mesir . ^. 52: ^·· Ma.roko --53·: · Tunisia ···54: ·· Sudan : : : .§.»$: ຂ L ^ibva f\s ^iX··: s·f\ii·; f"·· : : : ɾ.ɯ: ^:
^· -_ Ai.·i.FHʆ·l.i. ·: : : : : : : : : ···· . 57. Bahrain ····ss·ɰ·· t1ak........ · ······················ ............ ,.... . ...... . .. 5 ^. ɼ ^f· \T 0r: <l ^· ɱ1n: 1a:
k ^li: w· a ^: it: ^····· ··6··r Liha: n: c; ·il········ 62. ^oa: t: a: ; : : ··· · ... 6.; f· A: 1: a: b··s·t: [riah..... . .....64. ^Turid·····...^. . ^....65. r>; ; ; L ^· ·A: : r ^·ʀ1b·· E ^n.; ra: E ^···· · 66. ^Yaillɻ1····· · ···61: ·· »$: ɿ.: <lTXrabiɲ: : : : : ····· 68. .ŷŸesultana!.1...9..man 13. ^k01: ea: ··u: 1: a: : r·a: ·· ........... . ... . ... . . 1\s ^' I ^l\···sit1/\TAN ....... . ·· ··· ^:
. ·Ź I: ^· : : _.n : : ź d ^: : ii 1 ^.: · a ^·Ż ż J Ž ƀ· ^·--ž··: : . ^·: ·: · ^· . . ···· . ... 7K ..
.... , : F r F>aidsian ^· · ^··· ... 7·3·: ··· s·: rii anka ...... · ... 79 ^· : ^· ^Ii.an........ · ...... As'iX"r"iNGAlf···· 80. ·02he"ld8·t: a: ·;
.... . 81. k ^W: a: kh8·t: a: n: ··...... ^........ . ... . .............. . .. .
. ....... Xsi"kf>Xsifrik ..... . 92. A ^li.s"t"i: a: iia: ··· ... ···93·ɳ·· ·3·; ; ; ia: i1·2f1a: ··I3·a: r: t_1·········· ···9·4·: · "K; ,1fe.2fr»ilE"8ai: {l······ ·· ... 9ɽr_-_ .?ɷP.ii.. ·:
. r. ɴ E i . fi fɹ i..":
^-.· : ^····· : ^·· ^· ^·· ..... 96. [Fſii - 22 - (dalam US$) GOLONGAN SATUAN A B c D (3) (4) (5) (6) (7) 308 287 303 235 251 192 241 187 282 2.10 254 189 OH ....... 4.9..?. . .. ... . ...... . . ^. .
....
...... . .... .. .................. . ........ . .. 4$.: '.J.:
.. . .. . .. . ........ . .. .
. .......... . .... . ........ . .... . ........ . ...... . ກ .. $}3. . . 1 ........... . .. . . ^.. ^. ^. ^. ^.. ^.. .. ^. ^. . ^.. ^. ^. ^.. ^. ^. ^.. ^. ^. ^.. ^... ^3 .: : ... 6: : .4 . . :
... 1 OH 416 294...................................'..2 .'.2..?... 214 OH ·······················4·47··· .......... ·····················°3·2·5.. 253 1......... . ........... .. ....... ^. ...... . .. ...... 2 ... ^. . 3 ...... l ·····i OH . .. .................. .. . 406 ^. ..... ................ ... 292 ^··· 236 225 OH ·456··· . .. 325 296 ^i .............. . ...... . ............... . ...... : 2 : : : .: ):
4 .: : : .. . .. i . ^. .. 9.: ᑨ . .............. . .. . , ., . .......................... )357 ^" .. ^. ^. ^. ^. ^. ^...... ^.. ^. ^.. ^. ^. ^. ^. ^. ^. ^.. ^..... 267 207 l 6 OH.................. . . 38.6.... . ........ .. ........ . ······ʁ2'76.. . .... ········: : ···: ·:
. : ·: · . . : : : : ·: ຄx: i ...................... .. ... ...... .. . .. ...... .. 1: : .. 9 : : .6 .: : ...i OH 358 257 200 196 0 H ··· ·+5.-·.- . . ^. ................. ^... . ^. ....... ʄfr ^· 4 ^·· . ^............ ^...... '.?. . ᑩ ^?.... 1 ... . ^. ^.. ^. . ^..... .. ^. ^. ^.... ^. ^.... . ^. . .. ^. ^.. ^. ^. ^.. ^. . ^..... 2 ... ^.. 5 :
... 3 ·' ^·· ·· I OH . ...... . .. ..... . ...... . .. ...... ........... . ...... '..i:
ᑫ.2... 323 302 .............................................. 3 ..... 0 ...... 1 ..... • ................... 6}: (..... ............... 35,3 241 197 196 ....... ····················0: r: r····· 4so ········"33T .................................. 259 ^···i .............................................. 2 ···· : ^· 5 '··· . ··1 ·······I OH ·············4iɺf ... . ........ ............. '.: 2 ^° 9 ^· '.: f ^. .................. .......... 2 ^· 4 ^· 9 ^.. 247 . ..................... 68 ... .. ·················aff ............................ 68 ..... . ·· ····················aif ... · · ········ ········air··· ' ..................... Oif'" OH OH 378 ^. 472 42 49< . . ......., .... , .......................... , .. ,., .................. 1 ·····················ɵfas .. ·············· ... ·· · · · ······ ·····261 ... · . .. , .................... -: 3 ^. 26 ^. .............. '., .. ............. 287 ^. 303 ^. ^. ^. ^. ^. ^. ^. , ...... ....................... '.fo ^. 2 ^"'.......................... -: : 3 ^. 26 ^" ... ^. ^.. ^. ^. ^.. ^. ^. ^. ^. ^.. ^. ^. ^. ^. ^... ^. ^. ^. ^. ^. ^. ^.. ^... ^. ^.. ^.. ^. : i9T ^. 321 300 ' ............... , .. , ...... 385 ^··· 226 173 172 ' ........................ jj ^. g ^"· .. ^. ^"' 196 ^.... ^.. ^. ^. ^. ^. ^. ^... ..... ^. ^. ^. ^..... ^. ^..... ^. ^.. ^. i6 ^. 7 ^'"I················· .. ·································.·· 6 ·····6 ····· .. I .. ·············4: : : E i ^............................. 329 ^·· . ......... . ................ 327 ^· : 2s .... ·······················j· 4 3··· . .. ...................... 26 ^" 3 ^'" 182 i . .. ........ . .. ........ ...... . ... . ..... . .. . ... .. ... ҿ . ^. ^: 8 ^: : : , .. : 1 ^:
....i 380 ' ......................... 242 ^··· ............. . ················ 20 ' 9" .99 421 ' ' ................. ,."3i2" .............. ,., ..................... 2 ^· 43 ^···l···························"""'············· : ^······· 1 ··.·· 7 ·······I 392 352 287 254 456 420 334 333 ···-68 ···············-·-·······-···4 i ^" 2 ^" ···-········-·····-····-··-·····- · ·ilif ^. ······2·22.. . .................. "2.ᑪfi ... ········0i1 ··············-· -··-······ ···--···-···-·······-ɶfao.. ······-···--·--3·6x· ········---····--··-·-···· ·27·9.. ········216··· ..... ...................... cm 394 ·2·62··· ·············· ·····2i9" ··········2Tɸf ············oif ·· ·············-···--·······-·········-··- 392 ··ʅi1·s··· · 211 · ............... 2oi .. ... . ...... ·········off'...... 368 ·····················2·s0'.. .. 197 ............... i9K....... ··········oH ...................................... ..... j ^.ʂfr).. . 262............ . .. 2 ^. 62 ^·· ... . ................... ......... i96 .. ......... ........... 68'"" ......············383·· " . ' ..... ············2·65·· .......... , . ... ··················2·04·· . .................. i9 ^. 6 ^"' OH . .. . ....... . ......... . ... . .. OH OH ................. oif ... · ^· ········· ·········O'}i····· ......... .................... ow .. ····· ·······08 ......... . . OH ............... j74 ^··· .. . .. ···························25K·......... f9 ^· 7 ^... . 196 ' ^················ 296 ^·· .............. ············"'2·23·" 197 1 96 392 ··················j·5·if . ... , .......... 22 ^· Æ ^f .. ' .................. i96 ^". 636 ^·········· ^. ^.. ^. ^.. ^. ^. ^. ^. ^........ ^. ^. ^.. ^. ^. ^. s ^i 3s ^·· .................................... 394 .. · 451 ^· ········ ·············3·6s ... · · ······· .. ··2·7·3·· ·· ................................................. 4 ··· . ^·· 2 ···· . · s ·······•· · · .......................... 387 ^: ·· · ^............ 2 ^. 76 ... ........ ·· · .. 520 . ......... . .. . ... . .... . .. . ^. .. . 47K ^. ... 319 363 329 221 ' ........... j ^. gj ^"' · ·········276" . ............. 2 ^· 24 ^··· ·······25Æf 179 34. SATUAN BIAYA PENGINAPAN PERJALANAN DINAS DALAM NEGER.I NO. PROVlNSI (1) (2) 1 . ACEH 2. SUMATERA UTARA 3. R I A U 4. KEPULAUAN RIAU 5. J A B I ........ , .. _, ........... -....... , ...... '?..:
.... . ǃ ^UMATERA BARAT 7. SUMATERA SELATAN 8. LAMPUNG................................ - ........ . 9. BENGKULU 1 0. BANGKA BELITUNG ll. B A N T E N 12. JAWA BARAT 13. D.K.I. JAKARTA 14. JAWA TENGAH 1 5. D.I. YOGYAKARTA I······"·'"''""' ''''' '' 16. JAWA TIMUR 1 7. B A L I 18. NUSA TENGGARA BARAT 19. NUSA TENGGARA TIMUR 20. KALIMANTAN BARAT 21 . KALIMANTAN TENGAH 22. KALIMANTAN SELATAN , .... 2ᑤi . ^. 'i(ALIMANTAN TIMUR , . . ^. . 2 · 4 · :
.. . KALIMANTAN UTARA "''25'ᑣ" SULAWESI UTARA 26. GORONTALO 27. SULAWESI BARAT 28. SULAWESI SELATAN ,, . .... .. .......... . ...... 29. SULAWESI TENGAH 30. SULAWESI TEN OGARA 31 . MALUKU 32. MALUKU UTARA 33. P A P U A 34. PAPD'A.... B'iij · AT ...... . '!'ARIF HOTEL PEJABAT PEJABAT PEJABAT NEGARA/ NEGARA ESELON III PEJABAT GOLONGAN . LAINNYA/ ESELON IV/ PEJABAT PEJABAT /GO LONGAN GOLONGAN III I/II ESELON I ESELON II IV SATUAN (3) (4 ^) (5 ^) (6) ( ^7) (8) OH . .. .............. . . B: P.'.: i:
:
'.: i: ?..9.:
9.9.9. .......... 1.3P.ᑟ.:
. ?.ᑞ.?..:
9.9.Q . .. ..... 13: P. .. 1. .. :
9.??..:
9.90 ... .......... 1.3P?...?.:
9.9..9 . .. ........ 1.3P?...?..:
9.9..9.. OH..... . .... . . gP.'i.: Ï.?._9.:
QQQ . ...... _ .. 8P...1. . . :
?. .. ! .. IJ.:
.9. .Q. . Rp87 . .. . .... .. .. .... J3: P.?.!.9..:
9.9..Q . .............. 8.P.?..!.9.:
9.Q.Q 0 H.... .. .. . gP. . . :
??..9 .:
9.9.9. ...... . B.PL.?..9.9.:
99.Q. 1.... .. .. . ϓ.ϔl: '..: ϕ . . :
9 '.. . '.: '. . : '. . :
........... ................ R P . ?. 9. . :
?. .?.. !?. :
9..9.9. ......... gP} . . :
.?.?.:
9.9.Q. .. . ..... J.3. P.. ?..1.:
9..:
9..9 .9. . ... ........... : J3: P?..-.?. .. :
9.9..9.... . .........gP?..-.?..:
9.9..9.. 0 H .... . . 1.3P..:
9..9 .9..: Q.QQ_ .......... B: P...1. .. :
?..Q9..:
9..9. .Q . ................. 8-Pᑠ.ᑡ.? .. : Q.<?.9..._ .. . .. . . ^....J.3: 1?.?Q.9..:
9..9..9.. .. ............. g l?.§.Q-9.:
9..9.Q OH........ . .....gP.§..:
'.??..?..:
9..9.Q.... . . 8PL?.?..9.:
9.9.9............13: 1? .. 1. . . :
.1.J.?..:
9..9.Q........ . ...... . 81?.?.'.?.9.:
.99..9 . .. ........ 1.31?.?.'.?..9.:
9.9..9.. OH................ 8P±.:
?..?..9.:
9..9............. R.: P...1. . . :
?..?.?..:
9..9 .9. . ................ gP.?.. ?..?.:
9..9.. 9 . .............. 8.P.!.Q.9.:
9..99. .. ......... 8.P.!.9..9 .:
9.9..9. OH....... .. 8.P.?. . . :
?. .. <5. .9. :
9.. Q.9. .......... 8£.!.:
?.8.?..:
Q_Q .... 8 1?..? .?. ?..:
9..9 .Q . ................ RP±.Q.9.:
9.9...Q ... RP±_Q.9..:
99.9. OH..... .... . ..... .RPÐ.: }.9.9..:
9.9..9 . ............... J3P.. 2.?.?..:
9..9.Q ................ 8PÏ.9.9.:
9.9.Q ............ gP . ?..?..9 . :
9 9 9. _........ . .. 8.P .?..<?.9. :
9 9 9. OH.......... . 8.P'.3..:
Ĺ.-.? .. :
9.9..9......... . 13P..J. .. . :
?.?.?..:
9.9..Q .......... 81?) .. :
9.?.-.:
9 .9. Q . .. ....... . . 13 .P. '.: 1:
. Q . :
?.?..?..:
9..9.Q...... .. . . 8P.L.?.. ?..?.:
9.Q9.. .. ........ 8P...1. . . :
9.9.9..:
9..9 .Q "" .......... 8P.?... 1. . . ?. .. :
99..9. " ........... RP.?...1. .. ?.:
9.9..9.. OH ....... . .. . .... . . BP?..:
.?..9.9..:
9.9..Q........ . l3P...1. . . :
?.. ?.9.. :
9..9 .9......... . .....8P.?..9.9..:
9.9.Q .............. B: P. ?. .?..9. . :
9 .9 .Q 0 H . ........... 8.P.?..:
!.?..9..:
9.9.Q ......... 8P.!.:
ij?..9.:
9.QQ. .. ............... 13: 1?.?..s.>.8.:
9.9.Q . ............... 8P?...1. .9. .. :
9.9..9.. ... .. ...... 8P.?...1...Q.:
9.9..Q . OH .. . ... . .... . RP±.:
. .?..9..:
99.9. . .......... gP...1. . . :
±.?9..:
9..9. .9. . ................. g_PĶ.±.?. .. :
9.9.Q . . 8.P.'.: 1: §.9.:
9.9.9. . ........... gP.±.?.. 9.:
9..9.9 OH..... B: P..:
?.9..9. .:
9..9.Q ......... BPL.?..?..?..:
9.9.Q . ......... 8.P..1. .. :
9..!.?.:
9..9. ^. 9. ................ RP?.?..?. .. :
99..9. ............. R P .?.. ?..?. . :
99..9.. OH.... . .... . 13.P.'.: i:
:
9...9. :
9..9.9. ......... 8P} .. : _?..?. 9.:
9.9.9. . ....... J.SP.}:
:
.9.£?.9..:
9..9..Q . .. . . 8P!?..?.?..:
9..9. Q .. ...... 8P!?.?..;
.:
9.9...9. o H .. . ... .....8P.:
?..?..9..:
.9.. .. ....... J3P...1. .. &.9.. :
9..9 9............. ... . ^. 1.SP.?..?.9.:
99.. 9.. .. ............. g_P.Ï).9.:
9..9.Q ............... 13P.ÏJ.9.:
9..9.9. OH Ro3.SOO.O.O.Q.... ... BP.!.:
Ï.Ï.±.:
99.Q . .......... J3: P. . . 1. .. :
9..9 .Q ................8 P. ?. .? 9. . . :
99..9. . OH oo........ l3P. .. L:
9..9. .Q ................. 1.3P?..-.?.:
99..Q . ................ B: P.? !?.. 9 . :
9 . 9 Q 0 H.... 8.P.?. .. :
'-1:
9.: 3-.?. .. ĴQQ.9. ... .. ....... RP?..-.?. .. :
9.9..9..... . . RP..1. .. :
9..99..... .. ...... .. . 8.P.§ .. !J. . 9. .:
9..9..Q . .. ......... ?..r.: i:
.. . ...... . .....8P.:
.9......... 1.3.P.?.. :
1:
.9. .9. :
9..9. .Q...... .. ... . . 8P?..9.:
9.9.Q ........... . . 13.P..§..9.:
.9.9.. o H.......g.P.± .. :
9..9 .:
. !.?..?.:
9.9.Q.... . .. . .. . 8P. . . 1. . . :
9..9 .9. ............... 1.3P.?..?.?. .. :
9.9..9 . ... .. ...... 8P.?..?.?.:
9.9..9.. OH ................ . 81?..:
Q9.Q ............... 8.J?.. ?..9..9.. : OH ...... ....... 8.P. ?. . . :
9..9. .Q .......... 1.3.P.!.:
?J..?..9.:
9..9..Q. ................ 13: P.. ?. . ?. ?. . :
9.9. .9............. . .. . 8P ?. . ?. .9. . :
9.9..9..... .... .. .. 1.SP ?. .?. .9. . :
?..?..9.:
99..Q .......... RP .. 1. . . :
9.<?.Q . ............... B: P.'.: i:
?.. ?. . :
9.9..9. ... ...... R P.9..9.. :
9..9. .Q .... .... .. g P . ?. .9. . :
9.9 . Q.... . 8 P?.. ?. .9. :
9.9..9. OH ...... : J3: P.. 8.:
9.9..9.......... 13P...1. . . :
9..9. .Q .. ..... 1.SP..! .. :
9.9..9. ..............ᑜ P . ? . ?. . 9 . :
9.. Q .Q 0 H.... ... . .. 8.P. . . :
9..9..9.. . .. ... BP.!.:
.9..9. Q ............... l.3:
9..9 ........... 8P.} . . :
'.?. . ?. . ᑝ . :
9..99.. .......... . 13: P . ?. ?. ?.. :
9..99. . ..... 8PL.?..Ò.9.:
9.9.9 . ................. 8P..?..?.9. .:
9..9..Q .. ...... . ...... . l.SP..?.9. .. :
9.9..9.. OH.... ... . . gPÒ.:
?..Ñ.9. .. '..9.Q.Q..........8P.ᑦ.:
9..ᑧ?.:
9.9.9. . ... . ... . ... . gP.§..?..9. .:
9..99. OH Rp2.750.000 Rpl .863.000 Rp950.000 Rp600.000 Rp600.000 35. SATUAN BIAYA RAPAT/PERTEMUAN DI LUAR KANTOR 35. 1 Paket Kegiatan Rapat/Pertemuan di Luar Kantor a. Mented dan Setingkat Menteri NO. PROVINSI (1) (2) 1. ACEH ·····2:
^.. ·sUtviAi'ERA··· ^ut A: RA··· . 3 . ^... ^. "1f ^f A ^·u · ^······ ·· ^· ···· ^4 ·: ^.... RE" ^f5tJ L ^AD AN ...... R ^IAlT"······ ······K .. .. SA""ivftfc···· . ·····rr···· ·suMATERA·····BARAT ....... ^. ········; f"""" ·suMATERA"····sELATAN········· ·······s·:
... LA: M?DN'cf ..... 9 . ^. ^. ^. ^. "!3ttN'dkDLU ................................................... . ..... iO": ···· "i3A: 'N.cfkA"····13"f.i: Lfi'DNcf········· ^. 1 1 . . i3 . . A .. N ^···r··E··· N ^"····· ......................... .
JAWA····BARAT····· . ......... . ........... .. . ... J?..:
. . . ^fi: -I<"I: ····JAkAR: i'iC .... .
^JAWA···i'Ei'-idAH ......... .. . ···T=c·· ·D": t: ··vooY: Ai<: i\R: t(···· ···· .. "iEC. JAWA····ri"MDif ....... . . ^. . ^. ii ^": ··· ^!fA""LT·· ···· .................... ............ .. """'is·:
N'tfsA "'f'ENd'CiJ\RA"'""'Eif\Rfi.: t""""" . """"i9·: ···· f,fiJsA"""f'E'N'd'df\RA"""""i'ftvfUR: """""" .. ····: 2'0':
. · · KAf.I 'MA: N'tl\N' · ···· B A: RA.'f" ............ 2T . RAIItviAffr: ; t;
If "°fEN.dA: H .......... ƄEi·:
kA: L't'MAI'Ytl\ff····sftLA'i'A"i'f ..... . SATUAN HALF DAY FULLDAY FULL BOARD {3) (4) 15) (6\ OP Rp340.000 Rp465.000 Rpl . 19 1.000 ................... ......................... oP····· ... : : : : : : : : .: : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : gP.3: ?: ƃL99: 9 : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : Ji?Ź+.§: : 9: 99: : : : : : : : : : : : : : : : : : : 8P.I?.: §.9.:
: 9:
.. ..... ........................ Q ^p···· · Rp265.000.... .. .. .... . .......... .. f.3: P.: 1:
Q9..:
9..9.Q. .. Rp930.000 · ^· · ^. . ^. . ^.. . ^.. . ^. . ^... . ^.. . ^. · ·······or. ^.... ·: : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : gP.3f9: : : 99:
..... .. ................. . 8P.. : I:
}.?..:
9..9.9. . .. . :
. :
:
^. : : : : : : : : : : : : ƅP.ź: ?9.:
9:
^9........... .......................... Qp...... . ......... ........................ gP.9.?.:
9..9. .9. ......... ............. I.3: P.. : 1: }.?..:
9..9..9............... I.3: PŊ.?..9.:
9..9. .Q . ... . ^. ·· ^···· · ^··· · ^·· ......... "Q'p"'""" ............ ........... ^. ............ gP.. ^9 .?.'..QQ.9. .......................... 8P.. ;
.7.?:
9.99. . .................... 8P.?.l.s.'.9..:
9..9..Q .. .............. ......................... O ^r...... . ........ ........................ ^g PŐ.?..7..:
9..9 .Q .......................... 8P.. ?.±;
.:
9.9..9. .. . ........... RP.l.:
:
. !.A±:
9.9..9.. ... .......................... Qp.......
........ - ·---··---·· · ·· g EŻ .?..9:
.9. .. Q.Q.... . ............ . .....ᑛP.. 4:
9..9.:
9-9..9. ........... . .. ...... ᑛP ?. . ᑧ .9. . :
9.9..9................ ·-··-····-·-·op .................... .......................... 8.P.7..9.. .:
9.9..9 ........ . .............. ŋP.; 3-9..9 .:
9.9.Q .................. .B.P.}:
:
9.4:
?..:
9.9.. .9. : ^· . . ·: ··:
:
i: ż·······-·· .. : gP..: 3,. ᑚ.?..:
9.9.Q . .......... . .... ^. .. .. ..... RP.?..Q.9.:
.9.9.. .9. . ................. .B.P}:
:
.?..9. .?..:
.9. 9..9 OP........ ...... ............. . .. . .. . ...... ... . : gP: t:
4:
?.:
.9.9..9. ........................ RP?..!..1.:
:
9..99. . .................. RP}:
:
9.. 4:
.:
.9.9..Q OP ........ .............. . .................... .8.P?..A.?..:
9..9.9. ....................... 8P.: 1:
?.?..:
9.9.9. . ................ 8.P}:
: }f>.9..:
.9 .9.Q . OP . .................... . ..................... : R: P.?.A.: 3, .. :
9.9..9. .......................... RP.Ō.4: X.:
9..99.. .. ............... RP?..J.9.. 9.:
.9 .99.. OP........ .. . ..... .. . . 8-Pō?..9.:
Q.9.9. ......................... RP.;
.?.?..:
.9.9................... RP.!.:
9.. Y9.:
9.9..9.
........................ ........................ Qp............. ...... ........................."3: P?..?..9..:
9..9 .9. ..... ..... ........ 8P: 1:
?.?..:
9.Q9. . ................ I.3:
PL.1..'.?.?.:
.9.99. .......... ........................ or····· ...... RPŽ.?.?..:
9.9..9. Rp470'.000 R p l.625 . 000 · · · · ·········· ^. ^. . ^. ^. ^...... ^. ^. . ^. ^. . ^. ^. ^. ^.. oF>······: : .:
.......... . ................ ..... I.3: P.?.}.9.:
9.9.Q · . . · . . :
· . . · . . · . . :
· . . · . . · . . · . ^. · . ^. :
· . · . . :
^· . . · . . · . . · . . · . . · . . · . . · . . · . . :
· _ R R : __ · · . . ·.·_P P . . ^. ^: · . ^. ·. · ƿ - ǀ - - . · : 9 s _ . _ . _ · ^· _ 0 5 : __ · ·. · . ^· .. '. ^. ^:
0 0 · _ . : _ · ^· _ ^. 0 0 . · . .
. :
0 0 · _ · _ · _ · · . . : ^: : : : ^: ^: : : .: : ^: ^: : : J ^P. I ^: ?z: ^q ^: ^: ^: 9 ^CJ.: ^9 . .............. ()p""'.... . ................... .. . ...... 8P.ǂ.7.9..:
9.9..9. .., R p l.090.000 ···· ·················· ^· ····o ^f5 .. ^. .. ·· Rp29o.ooo Rp45o.ooo : : : : : : : : : : : : : : : : : .: žP.LI3+: : 9.: 9:
. .. ............ ........................ O ^IJ"" .. ·.:
... ... .. . .................. . . ^..... . :
: ^gP.ſ §: 9: : : 9: ¢9 . . · . . · . . · . · . · . · . . :
· . · . _ : _ · . . · . :
· . · . . : _ ^: _ · . . ·._: _· . .
.
. .
. .
: _ ·...^§...
...
.
. . P P _.: ·.... ^..
ǁ _: _: _ · . . : 9 _7 _ ^: _: .- g _ ^: _ . ..
^.. .
.
:
·_g _ .
. . .
...^.. g _ .. _ .. _ ^.: g _ . . : _ ^· ^. .
.... ^. . ^. ^.. ^. ^..... ^. ^. ^. ^. ^.. 8P.<: l . §. .9.. . :
9.. .9.9. . .... ........................ Qi)"" ^" "' .............. .......................... R: ^P.Y .<;
9 ^.:
9 .9..9. .......................... 8P.2?.9..:
9.9..9 . .. .............. .......................... ()15'.....
.......... .......................... RP..??..:
9.9.Q ........................ "3: P1Y.?..:
9.9..Q ................... 8P..l. .. :
. 1..9..9. .:
9.9..9. . 23 . ^. kALIMAf: ff)\ ff"""'irfiVi ^u R· ^· ··· ^" ". . ^.... 2·4·:
kA: i: t'MAN.i'Aff.... t f f A R A ...... . 25 . . "suLAWEs'i"""'utJ\RA"'"'""""""'"" .............. . ........................ o: p·····................... ........ . .. ...... ... .. . 8P.: ?,.1..9.:
9.9..9 .......................... .8P1X.9..:
9.9..9. .. ....................... RP.A'.: !.9..:
99.9.. .. . ... . ... ·· ^· · ^· · ^· ·· ^· ·: : ···: : ·: : : : : : : : : : : : : : .. : : : : : : : : : : : : : ¢.>.!=>.: : : : : ·.... ........ .. ..................... }ŏp: ?,.Q.9.:
9.9..9 ........................ gP1X.9..:
9.9..9. .. .. ............... 8P.2?..9.:
99.9 . . ^.... '.2'6·: ··· d6R.'6"N'T'ALO .. ^.. . 27. ^suLAWitsf"""BARAt••••• ... ·····2·3·: · .. SULAWEsf""'skIAtAI'f""""' ..... 2·9·:
suLAWEsf""fE'N'dJ.Jf""""""'"' ... """""3'()': ^. "sULAWtt sr··TENGGARA' ^" '" ^" ... Xi':
MAW'Kff' ..... . ... "3·2·:
.. MA: LD'KU"...UfARA ........... · ····: fa . . :
i5 . . A...i3 .. 't ^T A . ^... ... ^. 34 .
i'>A ^r D ^A ... . "I3A ^RAY .... . OP...^..... ...... ....... ... . . ^..... ...... . . RP...9.:
9.9..9 . .......................... 8-P.1.1..?.'..9.Q.Q .................. 8P..1. .. :
. 1...9.:
99.9.............. . ......... OP ^....... .. ........................ RP?..?..?..:
9.9.9. . ......................... 8P.'.l:
9.9.:
9..9.9 .............. Rr.J .. : ^.9.?.. 9.:
9.QQ..... ^. .. ^. . . ^.. . ^....... . .... . ....... op ^···· ^. .. . .............. . .... . ...... ... . ...... . RP?..?..9 .:
9.QQ . ... .................. "3: P1?..Q.:
9.9.9 ...................... 81?..2.1..9.:
99..Q. . ................... ....................... OP ^.......
.. RP..9.:
9.99. .......................... "3: P1?..9.. .:
9.9..9. R p l . 453.000 ... ·: · ... : ^·· : : .. : ^· : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : ¢.>.?: : : : : : .... ................................ I.3:
9.99. .......................... "3: P.1?..9 .. :
9.9..9.. : : : : ·: : : ^· : : : : : : : : : ƀP.I: Ɓ3: $.: Ƃ:
9.9.9.. · . · . ·.·.·. ·.·.· . . ··.·.· . . ··.·.·.·.·.·.· . · .....· . . · . R R . ^· . ^· . ^· . · _ PP . ^..... 4 4 . ^· . · . ^- ^. . ; _ .. ·. ^· . ^5 . ^· . ^· . ^· . ^· . :
. .g .. _· . · . o . ^o . ^· . ^· . ^· . ^̨ . ^· . · . ^· . · Rp9,7,o.'..ooo .. . .......... ......................... OP ^..... . ........... .......................... I.3: P: ?,..1..9.:
9.9.9.. .: : : .: : .: : : : : : : : : : : JP.:
99.9:
........ ^. ............ OP ^··· : : : : : : ...... ........................... . ...... ^. 8P.. : ?,.?..9.:
9.9.Q .......................... 8.P.?...?.:
9.9..9. ... ^. ............... 1.SP..1. .. :
9.9..Q.... .... ....... . ....... OP..... ..... .. ........................ 8P.. ;
.}.9.:
9.9Q ....................... gP±?.9.:
99..9. ................. "P ^. .1. . . :
4:
99..9.. OP Rp31 0.000 Rn450.000 Rnl .275.000 b. Pᑹjabat Eselon I dan II NO. PROVINS! (1) (2) 1. ACEH ...... '.i: '" . ·: : 'fuMATERA····urARA······· .. · ^· ····"3 ^: ···· ^· · ^R: T ^A · ^u · ^· ··· ^. ·······4:
... kitfitJLAuAN'······RiAff···· ... ...... s·: ···· sA·"Ivf"Ifr··········· "ts·: ··· . ·sUMATERA·····BARA'f ········?": ······ sUKii' krERA·····s"EtATAN ...... ·······s·:
. ···· LAM: P0: Ncf··· . ······ɉ»: ······ .BENGK0Lff··· 1 o. ^.i3A: NdKA·····sitLIT0NG ......
..... U . ^: ^·i.3-·A·N···; 'fjfff····· 12 . ^.. J'A\VK····sARA: t······ .. : : : : : II ^. . t5J<: : r ^···· J'Ak ^AkT: i\ .......... . 14 . ^.. J ' ^AwA .... TENG"f"f'C ... ^. .... "i"S":
. t5: I .. V6d'YAI<AkfA" ........... . ······1K .... JAwA····fiMUR ...... 17 . ^. . ^tfAT: ·1··· ..... """"is·: ···· "i'msA"."fENGGARA"""8ARAT·······"·· ..... i9'ᑙ . 'i'HJSA·····rENGGARA'••··rnvraR ··················-·····-······-······ 20 . ^.. I< ^A.LfMA.NTAN······spJAT...... .. ···········-····-·······-·-·· ·····: : ff . .. kALfiVfANTAN .... 't'it"NdAff" .......... . 22. ^kALi'.M'Ai\iT.AN······s"i': tI'A'tA: i'f" ....... . 23. ^.KA Lf ^MANTAN····TI"rvftfif " ^•• " 24. K ^A Lf'.M ^'AN T ^A f ^f··u f ^A Ri ^f···· """2!5': " . ·suLAWE·scutARA····· ... . ····2"6":
d6R6NfAL6 ....... . .... ; 2/i:
SULAW'itsr··BAAAT······ .. .... ; i8': ^. SULAW'itsr···s: EIAiA ^f f"•• ·· .. 2 ^· 9 ^· : · suLAWitsr ^· ·,nrnaA1r ^· ·· . ^. · ^···· 3 ^· 0': ^. stJLA\VitsT"YE: : NddAfA" ^·· ·....... Xi": ^. iVfA: WRff ... - 25 - SATUAN HALFDAY FULLDA Y FULLBOARD OP Rp300.000 Rp400.000 Rpl.075.000 .. ········: : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : g¦: : : : .. . ···· : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : . :
:
ȶ R :
:
:
:
: . PP ȷ . :
2 . 2 2 :
:
:
: _ i 3 :
:
: _ :
:
ȸ o s _ : : . :
: _ :
:
:
:
g o : _ : _ : _ : _g o·. :
. :
: _ : _ g o :
:
:
:
. : . :
..
. . · . . · . . · : _ :
.
· .
· : : : : : : : : : : : : : ȹȺȻ: ɋȼ: : : §§§ : : : : : : : : : : : : : : : : : ·: : .:
ɏȽ: §§'.§§§ · · ········ ......................... 6r>...... . .. . .. . :
^. : ^: : ^: : ^: : : : : ^gI?.j: k 0 ^: : .uBi 9 ^: : : ........... : : : ^: : : ^: : ^: : E1?t.: l: cr: 0 ^:
C?.Q.Q ......... ^. . ............ 8P .. Ĉ.t?.Q:
9.99.. _ .......... .l.ĉP?.. ?.Q.:
9.9..Q .6P .... .. . .................. . ... . ... . .. .. . ......1.3-P.-.?.Ċ .. :
9.Q.9 .......................... 8P.?.!.9.:
Q.Q.9. o P................ . ...................... 3-P.-.ċ.?. .. :
9.9.9. OP .. ... ............. .. .. . .. . .. .. ...... .. .. l.3: P-.?..?.:
9..99..... ........ ·························6:
9.Q.9.... . .. . ... . .. . ........... RP?.??.:
9.99..... .. ....... . ...... . .... . RP§..7.; : i.:
Q.9.9. .. ^. .. ^. .. ^. ... ^. . ^.. .. ^. .. ^. .... ^. . ^. . ^.. . ^.. .. 6P ^.. . ............. .......................... l.3: P.?..9.?.:
9..9.9. 0 P.... . ... . ...... ............. .. ..... .. . .. l.3: P.?..?..?.:
9.Q.9 ......................... 8Pt: l: §.:
9..9.Q. ....... . ........ 8P?..§?.:
9.Q.Q .......................... 8P:
'.?Q.:
9..9.Q..... ................... . . I.SPm.'.?.Q.:
. 9.99.. . ......................................... 6P ^....... Rp433. ooo ... . .. ...... . .. . .........8P§..!.Q.:
.9 .99.. . ................................ 6fi ^···· .. : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : t,§; , n: ^j : o: : : 99: 9 . ..................... 8P?..9.m.:
. 9..9.9.. . ........ ........................ 6P.... ... . .. .... ... . ...... . .. . .......... ......... l.3: P?....9:
.9.Q.9......... .RP:
9..9.Q ....................... 8P9..?.?.:
99..9 ... ................... I.3P.:
9.9.Q ....................... RP.9..?.?.:
.9 .9.9. . . ^............................................... 6P ^...... . ........ ......................... l.3: : i . . : ^. 9 ^9..9. . ^........ I.3P.:
9..9..9. .................. RP..1.:
:
..9Q.:
9..99................. ·························6P....... .. ....... ··-···-················l.3: P .. ?..?.9.:
9..9. .9. ... . ..... I.3P...?..9. .:
9.9..9. . ................ I.3P..1.:
:
:
9..99.. . ^..... . ^... 6P ···- ^- · ... ^.. .. ^....... .. . ^.. _ .. vgP2?..9.:
9.9.9.. ................. RP..1.:
:
9..9 .9 . ................... : ·: Ⱦ ^· : ^· : ·ȿ¸: : : ·¸: ·9..P. . ....... . ...... .. .... . ....... . .. . .. .. ....... . ... l.3: P?..? ^. .9.. ^:
9.9.9.. OP . ....... . ........... . ... . ............. . ...... . l.3: P-.?.. .:
9.Q.9 .......................... 8P.i.9Ď.:
99.9. OP .. . .. .. ... . .. . .. ............. .. .. .. . J3: P.;
9Q.9 .......................... RP.?.?Q.:
9.9.9. ........................ BP.9..?.9.:
9.. 9. ^. 9.. OP.... . ... .. ........^... ^. ^.. ^. ^. ^. ^. ^. ^. ^. ^... : B.: P?..?.?.:
9..9.Q ........................ RP?.?.?.:
.9.9 9. . .............. : ^: ·· : : : : ^: : : ^: ··: : : ^· : ^·····: ·: : '3?.}=>. ^: : : : ^: ·: · .B: P?..?..9.. :
.9.Q.9 ....................... RP.. ?.?.9.:
.9.9 9.. OP . . 1.<: Pp.!.?.:
9.99.. . .......... gP?..5.()'..Q().Q Rp870 . 000 ....... OP Rp215 . 000 ɀp315.000 : ·· : : -.·· : : : : : 8P.t: 9Ɏ: §: : : 99.9 . ............ .............. : : : : : : : : : : : g¡ . . : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : Ɂ R : : : : ; ǎ ; 2 : : : ^: 4 +.ɂ s : : : : : . ^. : g o ^_ : : : : Ƀ o : : : g o : : : : ^·: Ʉ ^: : : ^: : : .. . :
: : : : : : : : : : : ¢£: ¤: g: : g¥: g· ^··· · ^· ······ ^··· · ^· ·R: !fɅɆ ^· ɇ ^· : ^· §gg . · ^· · ····· ·: ·: ^· ···: : ·: ····: ··: : : : : <>.Ɉ: : : : ·: ·fJ ........... . .. : : : : : : : : qr.rs: $.:
: 99: 9 ^· : ^: : : : ^: : ^: : : ^: : ^: : ^: : : : 8P. ^: : Ɍ: : : : 9x: ^: : 99: 9 ^:
.................. . ................ ..<?.!>....... : : : : : : : : : : ·: : : : ........ .. .. .. ... . ...... . . I.3: P.. p: : z: : : 99g· : : : : : : .................... 3-P.?..?..9.:
9.Q.9 . ....... . .. . .. . .. . .. 8P..§.Q.9.:
99..Q . OP ..........1.3:
9.Q.9........... ... .....RP..1. . . :
99..9. . ... "3"ɊX:
MJi.: WRff ... tffA R: A..... .. .... ɍ3"3·:
P".A . ^.. tt u ··A····· ... . 3 ^4 . ^. ^pfi: -J: iiJ: A: ᑘ.... . B A R ^. A T ........... ^. .. .... . ................... ^....o:
9.9.Q ......................... 3-P.4.?..9.: : .99..Q . ............. : : ^·· : : : ^···· : : : : : : : : : : : : : : : : : : : ^: : : ^···· : : : : : ^· ·: ^· : : : : : : <>.?.: : : ^:
9.Q .................. RP .. 1. .. :
9.?.. ? . :
9 9..Q OP Rp254.000 Ro385.000 Rn l .063.000 c. Pej abat Eselon III Kebawah NO. P ^RO VIN SI (1) (2\ SATUAN HALF DAY FULLDA Y FULLBOARD (3\ 1 ^4 \ (5) (6\ 1. ACEH OP Rp300.000 Rp330.000 Rp750.000 ······2:
... stfM'ATERA .... UTARA'·····........... . .. .. . . ^.
........^..................... . .. . . b'P . .. . .. ..... . ....... ^. .... ... .............. Rpf7·irooo ....................... Rp2 ^'7s · ^: · ^ooo .............. . ^. R ^p 5 ^.tfoj5 66 ...... 3' ^:
R ^TA ^.. U ^........ . .............. ......................... O ^P .... . · ^· ·············· ...................... Riii8'5':
666 .... ^. .................. R ^J) 2 ^4 5j' ^5 66 · ^· ·········· ^· ····· ^· ···R ^ps . ^ˢ 3 ^3: 666 ·······ʾ· : · . . : : : . : ¥.: : : Y.: A ..... kfAff.... ....... .. .. . .................... g ^. ʿ······· : : : : ƙƙ: : ƙ ·-·------˫P}.ˀ.ˁ:
... : : : : : : ˂: ˃˄ô: : : : : : : : ôˬ˥Ji˦: t - : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : g: : .g: gg ·······tc ·· ·su!VlA.tERA··-·i3A: RA'f ···········-····-·-···-·····- ········--·······-···--···-·--··--····--· .. ·op-·-···- Rpl73 ^.ooo Rp24o.ooo ···· · ··········-··-···· k iJ .. 6·63·: 060 ······ .. ; : ; -: ····· ·su!VlA.r'.ERA·····sktA1':
'.f'r·.... · · · ·· ·· ^·· · ^·· ··· ^· · · ^·· · ^·· · ^···· · · ^·6r ······················ ···················· ^· ·· ^· ·Rii2is·: 66o · . ^. :
· . ^. · . ^. · . . :
. ^. :
: ^_· .
· . ^. :
· . ^. · . ^. :
· .. · .
:
· . ^. · .
· . ^. · .
· . ^. :
· . ^. · .
RR : ^_· . ^. : _ ^:
^r P · ^· . ^. · .
:
^2 2 . ^. · . . · . . · . ^. · .
17 · . ^. . ^: · . ^. :
0 0 · .. · . ^.- . . ^. . ^. :
^. _ ^:
^00. : _:
·.-.. 0 0 : ^· . ^.-_ .-_.-.00 :
·.-.-.· : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : RP.,: : rn: ; 9: 99 ...... 3·: ·· . LA: !Viru: Ncf···.... . .. ........................ or· ..................... ........................ R ^j) 2 ^i 6 ^:
... ....... . ........... . 1.3P.?..'±9..:
9.9.9 . ....... sf .. . trn: -r·GKDLff··· ............... : ·····: ·: : : : : : ·: ·: : : : : ···: : : : : ·: : : : : : ·: ··: : : ˪?.: ? ........................................ Rp'i9'4 .. 666 Rp260 000 Rp775 000 .... i6:
... . BA: Nd'KA ... 'IfEiITUNG........ OP : : : : : : ^· : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : gpõ˅: §.: : : 99: 9 : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : 8P.º: : rn: \̧: ^9. ̬5.: ^. ^. ^. ^. ^.... ^.. ^. ^. ^. ^..
^...
. . ^.. Rp7'3ˆ{666 .. ^. ii .. ·13·'1"ffifjfff ^. . ^............................. ....................... OP . . .. . ..... . ....... . ..................... . . 8P#.?.. ? . :
99..9........... . .. . ........ . .. . F.P.G.'.?.9..:
9.9.9. : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : 8P.7.: $.9:
: 99: ·····i2·: ·· JAwx····sARA: t . .....· .......... . ............... ..... . ......... ...................... ........ . : ·: ···: ·: : : : ·: : : ····: · : : : ··: : ··: ·: ···: : : ·· . . 3sy:
...... ....... . ... . ............. . .. . ....... gPH.G.9..:
99..9 Rp29 ^o.ooo ......... . ............. .. l.3P?..'.?. 9.:
9..9. 9 . ..... i ^3·:
. fi': KL . ^.. ^. Ji\kARTA ^.. . ^.. OP Rp30o.ooo .......................... R1); : f66j)'66 Rp764.000 .... i4·: ···· JAwx····r1fi·d'Afr ......... · · · · · ··· ···· ·························op.... ·.......... .. . .. ... ............. ....... .. kiJTS·1: 060 ··························R: µ2·63·: ·600 ......................... R: ])6·1·5: ·6a6 .... i'S':
. t5T."V6GYAKARTA..... .. . ............ ....................... o'J: i .. . . ·: : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : ·: : : : : : : : : ˇˈ; : ˉ: : : : gg: g : : ········"······•"••"R: l)3i6: ·6oo ················ . ^. . . ^. ^. ^. ^. Rp7'56: 6oo ·····ˊ·˩·: ···:
«75f.[.: : : frfyiutf....... ···· .: : ·.: : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : g : ¬: : : : : . . ............................... RiJ: faO': ·oO'o ··· ············: ·: : : : : : g: : : g: gg : : : : : : : : : ·: : : : : : : : ˋ·˭ˌ: ˡˣ: : : §: gg ·····is·: · ^· ·· ^· Nus·x····11t'NGGARA .. 'BA.RAT ^.. . ^. . ^.... . ................ ......................... 6F.>.: : : ^· : : .:
..... ^. ......... ··- : ^: : : : : : : ˍ: : : ) R : : < : : : P P.: 2 õ : 4 ˎ : 09ˏ. ·: 09_ 00 ) 0 : : : : ... Rp426: ·6a6 .................. R: p7'55': 'Cfoo ·····i9·: ·· wusii· ····11rn88ARA·····rtiV1UR oP ··R: µ326: ·606 ^...... . ^.......... . ^.. Fi: r7·26: ·006 20 ^. ^·· R ^A.It'MANrAN····fixkf\r···············- ^·······································-······ op ···R: iJ2.s6ː6oo ·········-·-···-···-·R: : p2·66: -606' ···Fi: µ6·2<5:
. 006 ·····2i:
... RAU'MANTAN"'.ftt'Nt}Aff "'............. : : ·: : ·: ··: : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : ··: ·····9: ?: : : : : : ··: : .................... .....
...
. :
. ·.- .. :
ö _ .. .: _ ·.- _p P : : . ·.-.. :
2 _ 1 .
. . .. . ..
̦ . .
.. . ..
· ˑ . .. ...... . .. . :
.. . g......
..
..
g .: · . .. . .. .. g . .. . ·. : _· ........................... Rp3.46': ·ofo ········· .. ···········Fi'f)i7·s·: 6'66 ..... 22·: ··· RALi'MANTAN···'SELAfAN.......... OP .............................. -... : : : : : ^: : : : : : : : : : : : ^· : : : : : Jfr).˒§$.385.9 : : : : : : : : : : ····: : : : : : : : : : : Riiz: 99: : : 9: 99:
... 23 ^· : ^··· kALIMANTAN·····TfMU ^R. . ^.. . ^.. . .................. : ^· : : : ^: : ^: : : : ^: : ^: : ^: : ^· : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : 9.)3.: : : : : .......... . ......................... . .....gPH.9.9.:
99.9 ........................ ..8P;
.9.9.:
9.. QQ ......................... BP?..!?.9..:
9..9.9. .... 2 4·: ·· kALiMANTAN"•'UfARA····· OP..... .. . ... . .....^.... ^. ^. ^. ^... ^. ^.. ^.... ^. gP}.?..9.:
99.9. ... .................. RP.'.?.?.9.:
9.9.9 ........................ l.3P: ?..?.9..:
9.9.Q . .... 25·:
. sULAWifsftJ'tARA....... ................... . .. .... ..... 6P...... Rp183. ^ooo Rp ^2 7 ^o . ^ooo Rp737. ^ooo : : : : : : : .: ©&&WIf. ¯: RAt . .....·· .: : . .-: : .: : : : : : : : : : : : : : : : : : : : .g˓· .. . .. .... . : : : : : : : : ·: : ·: : : : : : : : : : : : : : : : Ib: : : §g§ : : : : : : : : : : : : : : : : : ·: : : : : : ˔˕ˤ: ˖: g: : : gg§ : : : : : : : : : ·: : : ·: -.: : : : ·: : : I]g§ : : : : ˗l··: g: t1: l: : : : ³´1£JC : : ......
....... : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : 0 §.rr: : : : · : · : · . ··· · · : : · · · .- · ·· . · .·.:
: : .. : : _:
. : : _ :
.
. : : .. :
. · .: _ .. . · . : : .·: · : ·· · : : .. :
. · .: : .. :
. . : : . . :
. . :
:
: : .. . : : .. . : ö R : : .. :
: _:
. · P˘ . :
. · .:
: 2 _·1 1 · ... :
. : : _. ˙9 · .• :
. :
.. . :
2 s 5 . :
· . :
. : : : .. g o .. : : _ : ···g o : : .. :
. -.: : o g .:
. : : ·· · · . : · . : ·_: : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : ˚ R : : : : : P g: ˛ 2 : : : s s. : : : : 0o ÷: : .: : o ÷0ot : o t : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : R R ˜r ˝ : ˞ 6 : : : : ˟ s : : : : ˠ s : : : : : : .: : 0ot g o : : : : go : : : : : ..... : fo: ^. 'S ^UtA\VEsT"·; i' E ^Nd.dARA . ^. .. ^................ . . ····3i':
MAIDRiT..................... ........... or: > Rp253.ooo ····················Rp3-˨fo: o66 ·······················Ri).769·: ·666 ..... 32·:
MALDkff··u'rARA.""' ... . ......... ···············0: r······ : : .. : : : : : : : . : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : 8i?.I$..: : : . 9: Q9 .................. Ri)2'2K: '66o ··························Rp'66·9·: ·066' ···'3· ^3' : ··· ^t" A·· ^p ·· ^·a ·· ^x ··· ^· · ^· · ^· · ···· ·· ... · ................ ail ^······ Rp225. ooo : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : fi.: P.?.: º:
3B5.:
^. ^. ^.. ^.. ^. ^. ^. ^. ^.. ^.. ^...... ^. ^. ^.... ^kii ' ^if f ^i. 066 3 ^4 . r ^Aru: : a: or ·············· ·························'R]J˧fft'G566 Ro320.ooo ·········· ·············R: 1; ·75·0·: ·060 NO. 3 5.2 Uang Harian Kegiatan Rapat/Pertemuan di Luar Kantor PROVINS I SATUAN FULLBOARD DI LUAR KOTA FU LLBOARD DI DALAM KOTA FULLDAY / H ALFDAY DI DALAM KOTA (1) (2) ( ^3 ) ( ^4 ) (5) (6) 1. ACEH OH ......................... .. . gP .. ᑕ . . V .9.. :
.9..9.9.. .. ................... gP..W.9.9..:
.9..9.9.. Rp85. 000 .......... b · ^'$'tXM: AtÃM"'.'.'.I J. T.A... ... ^. ........................... ^.......... OH Rp130 000 RpllO 000 ............. ................... R ^p'9L : " ''666 ......... ?., .. ..
RIA.Y................................................. . .. . oH Rp1so̥ooo Rp100: 000 : : : = : JXJlYKg ... : : : : : : : : ; : ....... f ^Aň ·[ǓN ......R.IAU........... .. .. ........... gǁ .
...: : .: : .. : : : : : .. : : · : ·: : : : .: : : R ơ p Ƣ: : 1 f 2 ƣ: 0Ƥ:
ƥ ·o Ʀ: o g oƧ: · ................. ·: : .: ·: ƹ·{}g: : ggg. Rp95 ooo .......... '5....§.Y.M.ATJ.?.9 ...... J?. ARA: T.............. oH ·.....................R: r; Io6': ·6o6 ....................... . ..... . . R: r; ·ss· : ·66o · : : ^: : : : ^: { ^. ^2 ^X ^tf t v NJ : ^:
.... ?ᑾ. ^ᑗATAN............ g....'.' . ^. .'.'.'.'.'.'.'.'.'.':
: ^· : : ^: : : : : ·: ƴ.'.f§.'§.' ƶ.§§.§ ....................... _.ƿ{ǖ·'§.':
'.§ §§ •.•.•.• . ^.. . ^.. . ^. . ^. . ^:
. :
. •.•. :
. :
. ^.. . ^.
. :
. ^..
^.. . ^.
^. . .
. ^. . ^. . :
. ^•. :
. :
. ^. . ^. . . ^. . ^. . ^.. :
. :
. '.R R R .• - . ^.. .. ^. .. ^. •.: ƨ P · ····: ^· . ^: Ʃ9 · ^· ······: · . . ƪ s •.•.• . ^.. . :
. '....^... : ^o . o o : ^· ·· ^· : ····· · ·g o ·.···-· ^· ····· ^g o · . ^" · ·· ^· : · ··· ^· .......... 9..:
...... I3. . ᑖN Q.KY. 1 Y...... . ... . .. . ^. . ^....... .. 6if.... . . ^..... . .............. . . RiJI3· ^6 : · ^o t.8? .... .. .. .. . ......... . .. . .. .. .. . .. ... .. . .. 8 P.II.9. ·. :
·9.9·9_ ..... J.9.:
... . . BAN.9:
K.A ...... l?..ᑖ.J.'.f.Y.N.Q........... . OH . .......... .. ...... g.P .. [.?..9..:
.9.9. .9. .. RP}J..9..:
.99..9. Rp95.000 ...... J . . L.... I.?....h....N . . I...l.?....N........ .. .................................................... ... ................. Qtf.._ .. . ........ ,,_ .. . ....... . _ ....... RP.X.Y.9. .. :
.9..9-Q. __ , .. , .......... RP..!..9..9 .. :
.9.9 .9.. : '"'.... ... ...... . Rp·s·Ƶ: ro 6 6 it Z: i I iiir W·.... : g; : =: l!tig\·§ : : = l!U§: §E§ : : : : \l!HI&ii .... J.? . . :
..... ]) :
L .. .YQQY.AKAR.T.A......... . .. .. . ............... .9.: E: i ................ ........................ 8P } :
.4:
. . :
9..99 .. . .... . .............. ^. . 8P} ^. J.?. . . :
9..99. Rp 100. 000 ...... I6:
... JAWA. ... TIMY..R............ OH Rp140.000 Rpll5.000 : : : : : : : : : : .:
: : : .: : : : : .: : .: : .: 8P.Iq: 9: : : 9: 9: 9: 1 7. B A L.J . ................................... . .. .............. ..................... ^OH . ................ . .. . RpI6'6': 'C566 ........................ Rp'f3'5' : ·6o6 Rp 115. 000 ........ t.lj . . :
.... Ǐ.tt$.A"":
. .f ¢.·Nj.§.njAǍ . .... . .. . : !f&QI . .. . .. . .... . .
....
. ....
...: : ·"" " .:
: : ·: " : ": ": g .. ǀ . . """": ·:
. : : : : : .. : : .: : ·:
: : . . :
:
: : : : : : ·ķJ. 4:
: : .ggg .: : .... ·: : : : : : : .:
·: : : ·ƷJJ.$.: : ·ggg .. .. . ".: · · " · .. · " · "· ..... . .... .. . ·.": ·: ··· : ·· "· ··· : ·:
. :
.. :
. : · .
.. .. :
. · ." · "· ·ƫ ·· · " · " · "·" · R .Ƭ .· .. ·· ·: · ··: · .P J .. :
. · . .. · . o9 o .. · .. .. :
: ··· "o s s .· . : ·_ ": ··· "· - ƭ.· . . · . . oo o . . :
. · . .. .. :
. · . g o ·. ":
. · ."· . . :
. g o .·." · " · "·": · ... b. ^o · ^.. ^.. KA1IM.AN: T.AN ...... I.?.ARAT.. ........ . .. ... ..Qt!..... ....................... . ...... BP.E3.9.:
.9. 9..9. ...... b .. L.... .. KA.!M.A.:
.9.9. .9. Rp85.000 Ji !LllMNOf !PQ ^· -·· ·- ··V-[B W; ·-·: R-SiTtiUf llK -- ^· ƲƳ i!t! !: =: ": #$!%i&'() ....... ᑔ .. '? . . :
..... Q.QR.Q.NT.!.\19.................. .............. .9.!.i................. . .. ....... BP.! . . Z.9.:
.9..9..9 . ............ ...... gP.U..9.:
9..9.9 Rp9 5. 000 : _t:
. • i*U!Uti!i :
.... ·: : !=·: : ,=·: ·ii tlf! ·-·ltf : ; *; 11[+ ..9..9 .9.. Rp85.000 ....... ; ?.,2. MAI.: -.Y..I.<l.T. ...... Y..'.IAB!.. OH Rp 130.000 Rp 110.000 ......... . " " ........... Rp'9"fro60 ....... !: ®: Pcif iARAT .. .........g.......... . ... . .. .................... . ƮƯf ^· ư.g.: Ʊ·§g.... .. : : : : : : : : : : : : : : : RS: g: T: : : g: g§" ........................... RSH·T: : : §"g§" 36. SATUAN BIAYA TIKET PERJALANAN Dl.NAS PINDAH LUAR NEGERI (ONE W AY) NO. PERWAKILAN SATUAN (1) (2) (3\ JAKARTA - PERWAKILAN Pu.blished .Bu.si ness (4) (5) First (6\ fdalam US$ PERWAKILAN - JAKARTA Pu.blL c; hed .Busi ness (7) (8) First (9) , .......... 1..... ·.... . ... . , .. A..... . b...u.... ·.... . . n ..... h . ... .. . a . .... b ...... i .. .. .... . ........ ................ . .. . ............. .............. . . ,9E¥!.1..!.¦'.'l: §i..... . ........... .....J>. . . ᐴ.?.9.. .................. ?. . . ᐹ.9. ?..9. 3,790 ............ J:
. ?.ļg............. . ... .. . ?...?..?..Q . ...... . .. . .. . ....... ?.:
?..?..Q. 2.... . . !.?ÂJ.¥........ . .. 9!.¨1.!.l.¦¨1.©........ 3 '4.2.2 · · ·- ............. ᐶ . .. . .'±.2..... ... ?. .. . '±.!.2..... .. ? . .'...2 . ................ . ... . ?. .. ᑁ.?..?. . ..................... ?. ... '± .. .2. 3. Ad dis Ababa........9.. Š1: 1: ?..Ū/.D1: 1:
:
..... ....... ........... Ũ.ũ.4-} .. ..................... .'.9. . . ?9............. ...... . .. '±.ĵ .. ?.?9. ................... J.!.?.?9.......... . ........... .!.?.?9. . ... ...... ...... '±.&?.9..
_ ...... 4.... · .. .. .. ..... _ .. 111 . .: : . A .... ;
:
l:
. ϑ . . 12: ϒ .....e :
. . : : . . r · ..... .
. ..
...
.. . · .. ·· ._ .. _ -......... .... . _ .. _ .. __________ .... __ 1_9.!.ᇏJ. !S.ᑇ1.!__ ··--- -L'!__Q . ·-- .. .. -'!LᑆQQ _ .. . .. . .. __ (: iL<!_ᑅ..?. ------ ?. . §.J:
Q..... . _ ....._ .. . ±1.?.?..9..... ........... __ (:
?.?7..§_ 5. Amman...... 9!.¨J?:
f.¦¥1.®......................... 1. . .. . ?.'±.9 . ........ . ...... .. . ... ?...?..?..2.............. . .. . b>..?..?....... ........... . . J....?.?..?. .................... Q>..?..0..9 . ...... .. . ...... ᑂ.>.2.?. .. . 6. 7. 8. , .. A.... . m.......s..... . t . . e . ... .. r . .. . <l.... a .. ... m .............. . ........... ... . ........................ . ....... . ..... . . 1.9.TūŴ?.g/.D51..i.... . ..................... .'.9..<?.9......... . ...... . . '±.>.?..7.9. .......... ....... ?..>..?.?9. . ....... ... . ......... ?....'.!. .?.9. .................... '±.'..!. .?.9. . ................... ?.* . .?..1..'±. Ankara ....... .9..!.:
: ?.. l.!.R1.L ... .................. .J.1.?. .. ?9................. ?..1.?9.9.. .............. .>.?9.9. .................. .J.&?.9. ..................... ?..&'?.9. . .................... .?.. Q.9.. Antananarivo ...... 9.!.¨!,1.g/¦¨1.©..................... . .... 5 .. . ?...9........ . ........ ?...?. . .9. . ...... . .. 7..!: ?.?..9. ..................... b.!.?. . . .9......... ........... . .. ?>.?.0..9.......... .. .. ... 7.. ! . ?. .? .9. , .......... 9.......·........ . ,A ...... s.... t.... an . .. .. . .. . a ........ . .. ........... .. . .. . .. .. . ........... . ........................................,.9.E.?..o/.!S.1.i...... . .. .. .... . ...... ... 7Lc . . '?.9. . .................. '±..?..?9. ................. ?.<??.9. . ..................... l: )?Q.......... . ...... . . '± . .. 1.. . .................. ?.?.?.9.. , ..... }.9. .. '...... f.._thena .... . .Q:
: 5?..g/.!S.51..i. .... . ..................... .' 8.'.?.9. . .............. . .. . '±.'.??9. ...................... ?..7J.Q9. ...................... ?..'.?..?9. . ...... .............. . .'J .. '?..9..................... +.?..L.9. . .... ..:
..:
. .:
......1?..ᐼ1.?..9.ᐼ1.ᐽ ... ᐾ-ᐿᑀ . . : 1?..<:
µ´: ¶´: 1: : 1 :
................9.E!.1.g./.¦º:
L.... 540 663 969 530 657 957 12. Baghdad ..... 9.!.¥1,!.g./.¦ª.1.©............... .........1. .. !7..9.. . .. . .. . ... .........}_,ggg . ................ ᑂ...?.?.9. . ............... J. .• ?. . ?.. ?. . ..................... ?!.9..9..9. . .............. . . 7>..?..0..9. , ..... ii.... . . si................. . 9. Ì 13.!:
g / . D i 1.i. ... .. ................. }.ᑌ.?..'±?.... . ..... . ... . ... . .'J..9.? . .. ...... .. .. '± .. }.?? ..................... ?.!.??.? .................... 6.!.'±Q.'±........ ... ...... . . '±.?.} .. ?.? .
.... ...1..'.±.:
... 1?..ᑍ?..gᑎᑏ?..ᑐ...... ........ 1. . . ?.:
..... .f.:
.c: _ij_i.?..L.......... 9£¥1: : 1: g/¦«¬........ 660 924 . . ...... .. . . } ·?.9.. 550 730........ ....... . } . .. . ᑃ.?.. ?. ...... 9.E.c; t,?g.f.¦ª-1.©......... . ......... . . c . . 9.+. - ................. ... +.+.?...... .. . .......... ?.!.9.?.. ? . .............. ..... 1. .... 2.'±.9..... . .......... . . ... +. .'±................ ?.! .. . ?. .9.. ..... J.?. . . :
..... ?ᑓiru.t.................................................... .9!.: i 1. :
. + / . 1.S 1. L ..... ..................... ..1.¥..'± .?9...... 2,890.... . ...... ... . !?. . .. 3..? .. 3. .. .. . .1.: LL?.Q ..................... . .. } . .Q.Q ......... '± . >. . ? .9..9. .. ....... E . . '..... ?4.?.6l3.:
...... . ...... .Q:
: R?.g/_1.Ķ.R1..i. ..... .................... 6.1.9..<2.? ..................... '±.1.?..?.?. ............... ..?.. 1 .. ?.?.1................. .......1 . . ?.?.? .................... '±1.?..?. '±............. ...... ?. . .. . . . ?.'.± 1.... . ... 1.... . s.... . · .......... B ..... e ...... r.... u..... n.... .. . .. .......... .. . ..... ...... .. . .. . .. ...... ....... ...... .... . ...... .... . ... ...... .. . . , 9.E¥£1.!.¦«®........ . . :
............... ?. . .. . ?. .. ?.9 . ..................... 7 . . 1.,.?..9 . ..................... 7..1.,.9.9. . ..................... 3. .. . ?..?..9. . ..................... ?_,.9.?..9...................... . ?. .> . ᑃ . .9. , ....... 1.... . . 9 .....·.... . . 1.B ...... e..... r . .. n ............................................................................................. 1 Q :
: A ? . $. / .D ᑍ 1. . G ..... ................. ?..?.3.9.9. ................... '±.? .. ?.?.Q . ............ . ... . ?..>.±.?9. .................... 6.'..?.?.9. .................. 5 . .. . ?.?.Q . .................. ?.!.'±.?.<?.. 2 o.... !.?.?..S.?..j.i---···........ . 9.lik1..g/.!S.'3.:
L .. .................... ?,.9.?..1. . ............... }}.'..?..4 .. ? . ........... . ...!..'±,?.?.? .. ........ .......... . . ?..1..9.?.?. .............. }.9, __ ?.?.Q . ............. . J .'± . .. . ?..?.1. ..
...... 3.: !.:
..... . 1?. E as ili a ....... 2..3.:
..... . I.?.1³atislava 23. Brussel 24. Bucharest 25.... . 1?.?²¥p³´.µ ..... , ....... ?..?..:
..... .J.3.uenos Aires 27. Cairo 28. Canberra............. .............. . ...... 29 . .. . Cape Town 30. Caracas 31.... _s;
¶!·.¼g.?. ..... ..
....... 7..:
. .. C<?.lombo , ...... . .:
.....P.alrnr ...... 9.E¹!.1.g./.!,»¨1.1........................... .... . . .9. . .................... 7. .. ..1.:
?..?.. .. ...... ...1..9..>.?.. .i. . ................... ? ... ?..?..?.. . ................ Ŭ.9..1.?. .'±. . .............. ..!..! .. !. .'±.?. .... 9.E¨?g/¦¨U 3..?..9..?.. . ..... ;
.. 1.!?.. .?. . .. ............... ?...7..9.9.. ................... ?..!.9.. 7..?. ... . .. . ...... . ......?.!.?.ᐰ?.......... ...... ?....7..9. .9.. ...... . 9.!ŭ13.: ?..g/.ů.5!.i... .. ..................... .1.?7.9.. . .. .............. ?..1.?'.±.'?.. .. ................... !..'.?.9. ...................... .'..?.<29.................... ?. ... ?'.±.?. ..................... ?. .... ?..1. . . 3. . ...... 9.E¥£1.g./.¦'.'1:
i....... . ................... 3. . .. . ,.? . . . . .................... i>.. .?..Q. .. . .............. ?.?..?..?..9.. ..................... 3..&.?.9.. ..................... ?...!. ?.9. .. . ............... .?..!.?..?..9.. ... 9!.¨?..!.¦½1.® . . 1..?..?..?9.. . .. ±.ᑊ.i.2. . ...... ?.:
.?..?..9.. . .. ····-··· .....3. . .. . ?..?..9. ...... . ........... ?.1.š9.9.. .!..!.0..?..9.. ....... .9.E.c.1: ?..+!..1.S.c.: l}................ . .........'...?..9..9. . ... ...... . ...........?.. ! . . ?.. 9. .9............... J.<2...?..9. 9..................... ?.ᑄ.?..9.9....................... 7..1.?..9.9............ J.?., .. § .9. .9 .9.!.l3.: ?..€.; /. !S1; 1:
L... . ................. ?.,?!...... ......i?.± .. ? ···- ...... .. '± ... . ?±.!....... ........... ?. . .. . Q..9 9. .............. ?.. 1.?.T?...... ........ '±.1 .. ?.9..Q ..... 9..£¥£1.g./¦«®.... . .. ................... 3. .... -.,.9. .. ............. 3. .. . ?. .. Ů.'±...... ..... ?. . . !.'±.?.9. . .................. ...1. .!.?..?.9...................... ? .. . ?.. .?.. ........ . .. . ........ . ?.?. . .?.. ?. . .9.:
: AJ1..B/.I.'3.:
L....................... '± . .. }.Ţ- .. .............. i.?.:
2.9............. ?..'.?.'±? ......... ........... .. ?.?? ..................... '± .. } .. ?} ............... . .. . ?. . .. . ?..?'± .... .9.:
: i?..g/.!S.i1.i.......................... '±....9. ..?.3....... ...... . ....... . .7..1.?. .. ?..ţ .................. 1. . . i.&.9..9...................... i.1.'±.1. . . ?. . .. ............ 1..9..?..1. . . ?.3.. . .............. .:
. . 4.1:
... ? 9. .Q ...... 9.E¨!.1.g.f.!¨1.®..... . .................... ?. . .. . '.!..?. . . !.. .............. ?. . .. . ?..'±.?.................... ?.>..ķ.'±.?.. .. ................... ?.2.?..6.?.. . .................... ?.>.?. . . .?.................. ?. ... ?. . ?. .9. .. .. 9..¯.£.l?,g/¦ª.1.®.... . .. . .......... J.?..9.?..9.......... . .. . ... . J.?..?.?..9.. .. . ...... 4 . .' . ?. . ?. .9 . .. 880 ..... . ............... L.?..9........ . ...... . . J. . . >.?....9_ ..... . 9.:
: 5?..$./.!S.'3.:
L........................ .'.Ű.?. . .<?..... .............. ?..'..?'±9. .................. .. . . ?.'..?.<?. ...................... ... .Q?.9. . ..................... ?..&?.9..................... ?. . .. . ?..<?..
....... ?'.±.:
..... .1.?¯·!llascus ...... 9E º : !.1.g/¦¥1.1........ ................. J . .. . !..i.9. .. . ........... ?..?...1.:
?.9.......... . .......... ..'±.>..1.:
?.9 . ....... . ...... . .. . . J . . 1.?...1. :
$./.ÎÏ!i. ...... ..................... 1..... P.?.... . .... . .....J.'.7.9.? .. .............. ?. . & ? . ? ... ... 971......... . .. . ...... . . . .. . ?9..... ............. 8.!..9 .. ?} .. , ....... 3.... . 1 .....· ....... . , .. D..... . a .... v .. .. . .. a.... o.... . ......... l . . t .. Y " . .......... ... . .. ................ . ...................... ...........,9.E¥?.: g/¦«i....... . 890 ....... ... . ......J. ... '±ű.9. .,700 860 . ....... .. . .....J. .. . . ?..?..9.. .. ... ....... J..!.?..?..9. ,. ..... ??.:
.... .P.ᐸ?. .. !.i.13.:
'3.: &........... . ..... 9.Eª.J?.:
/.¦¨g..... . .. .............. . .. .Q.?..9.. .. .. . ..... . ...... . ± .. . ?.. .2..... .. . ..........?..1.?..?..9. ..................... Ľ.!. ?.. ?..9. . ........ . ..... b .. - - - .9.......... . .. . .... !. ...?. . ± 39. D h a k a ...... . Q:
: AH?.$./.1.S:
1:
.G..... . . 830 ...... . . J...3. .. l.?..... .. . ...... . . J.ĸ .. ?. ? 9. 770 ................ . . J.'.3..:
.. ? . ................... J.>.'±.?..?. .
....... 4..... . . o.... . ·.... ..
. .
1 •• 6 ... . .. .. .
... . .
..................... . .. · . . · .. · . ................ . ...................... . ....... ...... .......... . .. .. ........... . ,.9.:
: '3.: ?.Jà/.!S.Ï1.L.... . ................. ?.,±3...9 .. ..................??..9. .................... .>J.Ų..9..... ............. .. ?..>.?.?.9. .................... ?.. &99...... .......... ... 9.9..9. . ...... 9.!.¨£1.&!.¦¨1.®..... . ....... ......... }.?..'±.?..9 . . 3' 131......... . .. . ±.!.?.?.9 . .. ............... 1. . .. . '±.?..9. . ................... .?.!.9. .. . ........... ?.!.?..?. .. . 41. Doha .• . n.... . .. u ...... b ...... a .. . . i.... . .............. .. . .......... . ....................... .. . ........... .. ............. . ,.9l: : J:
m1..g/.q.: : J:
L... . .. ....... . .... J..?..9. . .. ... ... ...... ະiji6...
............. ?.,±?..9. .. ............. ...1.,±?..9.. . .................. Ť.,.?.. ?.Q............ . ?.'..?.+ .. ?. . ..... .9.T.u: i:
g/..'3.:
L.... . .................... ?.$.?.±9.. . .................... ?.1.?.?..9. ...... . ...... .?..'?.?..9. ..................... ?.?.?.?..9....................... '±.1.?. .. ?.9.. . .. ................ ? ... ᑃ . . 1..9. 42. 43. Frankfurt ....... '.±.'±.:
..... .9.: i:
c.1: ?..+/1.:
?..0 ...... . 4.Ļ.... . . -¸¨¾¿?ÁE.g ...... 46. Hanoi ...... 9E¨r.: i:
/.!.¨1.1...... 990 .......... ......... } . .. .?.. ?.9 . .. ................ 3. .. . ?..9.9.. .. . .. ............... . ᐵ . .. .9.?.9.. . ................ L!.?. .?. .. . ..... 3. ... . ?..9. . ..... 9.!.¨1.!.g./¦ª.1.L... .. ................ ± . .. .:
. . 9.?. ...... . ... .... ? ... .?..?........... . .... .. . ?.!.? .. (-) . .................... ± .. . ?.?..?. . .................. ?.'. .?.?........... .... ?. .. ! . ?. . ?.. ?. . .. .... . 9..-,?..+!..!S.1.L..... . .. . .. 880 . .. ..................:
.. "?.?.?. . .......... ..... }.'.ᐺᐻ?....... 870 950 .................. ...1.:
.. 3. . ? 9. . , ........ 4 .. . . 7.... . . · ....... . . H ....... a.... r .....a . .. ... r . . e.... ...... . ................... ........... .. . .. . ...................... .............. . , 9.E¨r.: i:
/.¦¨1.L....................... ?. . . !.9 .. ?.9....... .. ...... ?. .. ?.9.9...... ............ ?.! 1. ?. .9. .................... 3..1.?..?.9...... ............. ?...?. ?..9. ........ . ...... <?..1.?...1.:
.?..?..9.. . ... 7. ... !.9..9........ ? .. . ?..9..9.. . .. 6,55 2 . ...............?. .. !.9..9.. , ....... ť.?..:
... . . ±.².lsinki ....... . 9.ľf3.: : 1:
./.1.S: RĹi. ...... ................... ?..> . . ?. ?...9 . ... .. . ......... '±.!.!..' ±.?.. .. . ............ .?..!..1. . . ?9....................... ? .... ?.:
..9. ..................... .!..?9.9. . ... ............ :
?. ... .:
..99.
........ 5 .....o.... . ·........ . . H ...... o.......c ... . . h ...... i . .. .. . . M..... . i .. n ...... h............. ............... . ............. . ................ . . ,S?.:
: i?..€.J.np-iI.i... ... 590 750 . ............... .:
.>. c . . ?9.. 660 840 . .............. .9. . ! ..9. . ,. ...... ?.! . . :
..... . ᑑ?..J: !.gᑒ?..1.!.&....... ······ 9..£¨1?: &.!.¦«©..... . 980.......J . . :
'± .. .9.... . ...........J . . !.?..6.9. . . 890.... ...... .. . .....J . . :
?..9..9. . ................. 3?. . . .?..9.. , ........ s .... 2.......· . .. . .. . .. H ...... o . .. . . u.... . s.... t .. . o ..... n.... .. . ...... ..... . .......... . ...... . .............. . .......... . .......... .....,.9..: 1: AJ1..B/.CA1..i.. ..... .................... @...9..1..9. .................... ' . ᑿ.9.. ± 9. . .. 8,530 ....... ...... .. . .. . J.>.?..?.9................... ?.>..1..?...9......... . ..... ?..'J . . ?.Q.
Islamabad .Q:
:
: ?..S./J..1.L... ..± . . 1.?.±9. ................ ?.>.??9.. ...... 3,070 ............. ....... J.1.??9. ...................... ?.1.7.Ŀ..9. . ....... ......... .?-..9..Q. 54. Istanbul .. . .. . 9.E¨!.1.&.!.!¨1.!........ .............. J.•?..?..? . .... ........... 4 . . !.?.?..'±. .. ........... 4. .. 1'1"4 .. ........... . .. . . J ... ?..: 1:
?. . ................. Ŧ.!. .?.9..................5.:
. . ?. . 9 . 5 5.... . .. r·: ·ii·--i..........
. .. .9.E¨?gL¦° l±- . .. . ___.... _ !2?.9 . ....... _ .. ___ ĺ?2.9. --Ҿ ....... .. ᑈ'±.? ᑉ °-· .. . ... -...... _J .... ?..0..9.. .. ............ -... 2.2.?.ZQ...--.. .. _...'± ... L?Q 56. Jenewa 57. Johor B a . hr u 58. Kaboul 59. Karachi ....... .9.E'3.: ?..g /.!S.ir.i... ... . ..... ?..' . . 1. . . '?.7..... . ... .. ........ 0. . .. 7.±9. .. ................ ?.....9?.9..... .. . ........... .. ... 1..7.Q . .................... 0. . .. . ?±.9.. ...... ........ ?.. .. 9..1...Q. ...... 9.E'.'l: !.1...l.: TS1: i:
!....... . . 326 628........ . l .... ?..i.?. . . 521 640 1 .718 ...... 9E¥?g/¦¨1.©...... . .................... 3. . . 1.ᑋ.?..9.. .. ............... 4 .... ?. .9.. ........... ?.!. ?..?.. .. ................... ... ?..'±.?...................... 3. .. !.?..9..9..... ............. ? . .....?..?.. ...... Q¢c.1!:
g/.£¤1..i.. .... ............... .J.1.3..?9.. ....... .. ....... ¡.'.'±7..9. . .. . ............ ?. ... 7.: , ........ 6.... o ...... . · .. . .....Kh...........a .....r ..... t.· . . o .... u ..... m ................................. ......................... .................,9.£¥J: 0 rang/ Kali.............. .....3. . . !.?.?...... . ...... ? . . !.i.?..+. .. . .. ............. ? .. . '±.?..?.. ..................... ?. .. !.?..9..?.. . ................... ? ... ?..9.. ?.. .. . ............ ?..!.ŧ.9.?. 61. Kiev 62. Kopenha!!en o-; ·; ; ·i'Kii"" 2,060 3,635 8,275 1.,980 4,599 6,720 NO. PERWAKILAN SATUAN 11) (2) 13) JAKARTA - PERWAKILAN Published Business 14) (5) First 16) ldalam US$ PERWAKILAN - JAKARTA PubUshed Business (7) 18) First (9) 63. Kota Kinabalu . ...... . ...... 9.ÒÐlil: ?..g/.æ.13.: !L.. 450 684 828 420 684 948 ...... ?. .. 1.: _ !u ᑽ.'.3.:
..J.: 1: : : !.!: 1P1: : 1r ...... ... .. _ .. . ... ..... .. .........._ 9._ᒇ: !: ᒘlᐢ.liJ:
l.i... _. ·----·----- J · () _ <?. . 527.... .... ...... ......... . .. . '? .. ?..'?.. .................. 450 527 686 65.... . . ᒉ: l:
1: ᐧ?.ᐨ1: ?.K............ .9.!.Ç1: ?.&.f.:
<.: ÈÉ........ .. 530 890.... . ........... . .. .. . .. . ?. .9. .9.. ^. . 470 770................. .. } .. ! . . ?. .?.. 66. Ku wait . .. ............ . 9.:
Ïê1..g/..1.s.'3.:
.i... ......................... ..1..1 .. ??..9......... . ....... .. . ?..1.: ?'.9.. 3, 1 10 ....................... 1.:
:
.... ^Ēima ... ................ . 9.ÑÏ?.$/.1.5.Ï!L .. ...................... .?.?.?.?.. . .. .. .. ......... ?..1.T' .. ?.............. . . I . . ?..!.: ?} . . ?........ .......... . . 5.&?..?......... .............. I.?..9..?..9.............. . J.?..&.?. .
....... ?.?..:
... . . ^ėis ab on . ... . ...........<: ?.!.Ç1: ?.&./.:
<.: Çg .......... . ^. . ^. .. ...... . ..J . .. . !...9. . ........... ....... ?).?..?..9. .................... ?.? .. ! .. !........ .. . .. . .......} .... ?. . ^ᐗ .9............. .. . ..... ?. . > . .! . ?. .?.. .................. .. . ?. . ? . ?. . . ! . 69. London 9.á'3.: ?.&/.ä.'3.: ÞL.. . ............... .'.?.?..9. .................... ?..!.} .. ??............ 1 ^. .. 9..?.JJ.9. ............... ?..?..9..?.9. ................... '±.?..?..?..9. . .................... ?.?..9..K.9.. , ...... 7.9 .. :
.... ?..͚ ... !.\1:
1.g..1.͛.͚............................ . 9.Ñ'3.: ?.g/.é.l3.: ÞL.... .............. . } . . 1 . .?.. ? .?. . .................. !.§.?..?. ................ 5 . .. i: ?.? .................. ...! . .. §: ?.?.... . ........ .. . . . .. . ?.?..?......... .... . 1 ?} . ' . 71 . Mad.rid...... ...... .<?.!.Ç1: : 1: &/ÊÇ1.Ë..... .. ................. ? . . !.?..9..?.. .. .................. ' .. &1.:
'±...................... ?..f.'±..1.:
'±..... ...... . ........... ? . !.9. ?..9. , ....... ?..?..:
......r.vranama.... ..........<?.!.Ç!1.&./.:
<.: Ç1.Ë ...................... . } . .. .7..7.. 7.. .. . ... . ... .. ...... . ? . .. . ?..9..?. . ................... ?..>.?..?..?. . ................... 2 .. ?.. .?. ..................... : ?tK.9.. ?. ..................... ?. . q . ?. ?. . ?. . 7 ^3. Manila .9.Ò: Ï.g/.å.'3.: íi...... 670 1 ,240........ .......... . . J.1 .. ?: ?.9.. .. . 650.................. . J .. : ?.9.9. . .. .............. J.?.?.?..9.. I·.... . ?.: 1:
:
.... .!:
¯: P..1!.·?.. ......... ............. ?!.Ç?g/..J.<.: i=.':
Ë . ... . ................. ?..'..! .. !...................... s.>7'64..... . .......... ?..'.?..?..?...... ..... •.... ?.!..?..?.................. . cd.?..!.?.. .. ..... ... .... '?..!.'±.?.!. 7 5. Marseille................. .<'.?.!.'.3.:
g./.:
<.: '.3.:
Ë............. .. . .. . ...... : ?>. .. |.9..9 .................... i.x.9..?..?......... .............. ?.. >.7.9.9 . ..................... ?2.?..?..9 . ..................... i.x.9.?..?. . ................... ?. >. . ?. . ?. .9. 7 6. Melbourne .9.:
ÏÓÔ.g/.f.S: Ï1..i. .. ... .................... J . .. ?.?..9.. . .. ....... ?..1.?...9. .9. .. .................. .... .. ?.: ? .................... J.&?..9....................?..&:
.. :
.................... .' . . :
. . ?..?. .
..... .!.. ?...'..... ᐞᐟ.ᐠ!.ᐡ9....ᐥᐦ.f: Y............ .................. 9.Ñ13.: ?.€.; /1.5.Ï.i............................ ?.1.?.9.9.. .. . ...... ?..1.2 .. ?9. . .. ............... I.1 . . ??.?. . ............. .... L1: 1:
?..9. .................. ?..!.: 1: ?.9. ................. ?..1.: 1:
?.?.. 78. Moskow .. . .. .. . .. .<'.?.!.'.3.: 1?: &./.:
<.: ÈÉ......... . .................. . ? . . !. . . !..9................. . .. . .i ... ?..?..9.............. . ?.!.?..9..9. . ..................... ? . .. . ?..?..9. . ..................... i.?.?..9.9. . ...................... ?. ?. . ?. . ?. .9. ...... !.?. . . :
... D.r.?.. ?..AY.. ..... . .... ................ . 9.£'3.: Õ1..Ö/.1.Sc.1:
L. .. .. ................ ...1. ."?..9..9. ............. . ?..... ?..9..9. ... .............. 0..:
.?..9..9..... .......... .... ğ.!..?..9..9................. ?. .... ?. .9. .9............... . :
. ?. .9. .9. . 8 0. Muscat....................................... .. ..... . <: ?.£Ï?..gL.!S.1..i. ............. } . . ?.?..?9...... .......... .?.1.±.?...9..... .. .. .. '±1?...9. . ... ....... . _.... . ?..1. 9. .. ?..9...... ............... .1 .. J..9..................... . '± . .. . ?.?...9. .
....... ?: : .. :
..... . ᐝ. ^a iro b ^i . ...... . ...... ...... .9.EÇi:
1.&./.:
<.: Ç1.Ë.... . ........... .........}.>..?..?.9. . ..................... i?..?..9..9. . ...................... ?....}.?..?. . ..................... ?..... . !..9.. .................. 5 .> ..1.:
?. .9..................... . ?. .> . ?. .9. .9.
New Delhi .<?.!.ÇJ?: g/;
<.: Ç1.i..... . ........... . .. .. . 9 . . !.?.9..9. . ................... ᐍ . ...?. 9..9..... . .... . .......... . ? .. ?.9..9....... . ........ . J. .. ?.9..9. . ........ ... . 3. .. . ?..9..9. .. ............. ? . >. ?. .9. .9.. , ....... ?.. . . :
.... . ᐌ ew Yor ^k . .. .. . . 9.Ò: Ï.g/..1.Sl3.:
.i. . ....................... ?..1 . . ? ^Ė: ? . 7, 19 5 ............... . .. . ?..1..QT .. . ................. .?..:
i: ?.?. .. . .......... ...... . . ! . .. : ?.?.. ?................ . .. . . ?..!.} . . ?..?.
Noumea . ......... .<?.. Ó: 1: : .g./.1.Si=.':
i....................... ..J .. !.?..?..9..... ........... ' . . &9.?.. .. ................ 5.>.?...?.................... ..J . . !.?..?.?..................... ?.&9..?.. .. .................. ±.>.?. . . L.?.. 8 5 . Osaka. . ..... ................................ ... .. .... .<?.!.'.3.:
.g/;
<.: '.3.:
É....................... . .>.?..?.9.................... ᐍ . .>.9..±.9............ ? . .>.?.. ?..9.. .. ....... J . . !} . . ?.. 9.. 2, 1 49 .......... . . ᐍ .... ?. ?. . ?. . 86. Oslo 9.E×.g/.Î'3.: !i. .. . .. ....... . .. . .. . ....... .1.3.?.?. . ................... ?..& .. ? . ................ .....?. . .. . ?.TQ.................} .. ?: ?.9..... . .. . .. . .. . .. . . ?..&L? .................... ?. . :
&./.:
<.: Ç1.É........ . ...... . .........?.!.?..?. . . !.......... ...... ...... ?. ... .±.?......... . .. .. . . J.9. .. . .9..7.. . .. . ...... .. ..........?. . . !..?..?. . .............. .J..9..?.?..±.?. . .. . .......... . .J..w.x.?..?..: 1:
8 9 . Paramaribo.............9.:
Ï1.?..Ö/.1.13.:
L... .. ................... ?. . .. ' . . ?9. ..................... ?.1 . . ?.?..?............ ..1. . . ?..'..?.±.9. ..................... ?..:
?..? .?. ..................... !.?..?..?. .. ?. .. ............ J.?..'.3..?.9.. 9 0. Paris .................. . .. . 9.ÑÏ?.€.; /.1.5.Ï1.L.... . .....................?..1J .. ?..?. .................... .1.: ?.?..9..... ............ !.1.±.ᐋ .. ?......... ........... .. .?..?...: ?.?. . ..................... '±.r..9.7.. 9 . ..................... ?.r.'.3.. , ...... ?.} .. :
..... . : F.'.Ì.ÛÇ!:
Í........... 9E.E.l: 1?: &./.:
<.: Èi.... ... 460 613 7 ^34 436 613 734 92. Perth QÑ×.&./.1.s.Ø1.L...... 790...J. .. }..9.9. . ............. . .. ŷ ?.. ?. . ?.} 970 . .. . ......... ... . ..1 ^. .?.''.7.} . ...... .......... . . ᐤ.:
.?..?.9.. 93. Phnom Penh........ . .. .. <: ?.El3.: ?.gL.!5.Ï1.L... . 730 .. ................ J. . . J.?.9. ................ J.1.?.i.9.. 800............. .. J . .. 3..9.? . ................. J ?. i . ? .9 . 9 4.....?.?.1.:
!:
. D.?.1.:
EF?Y...... . .. ................. .<?.!.Ô: ?gl.: µ Ç1.i.......... .................... . . '.?..9..9. .................... : ?.>.'±..1.:
!. ..................... 3..,.?..?..!. .. .................. } . . .'±.?.?.. .. ................... 3 . . !.?..Ġ:
!................. . ?. . ! .9. . '±.9. 9 5. Praha .<?.!.Î&./.ÊÇ1.Ë..... . ................ ᐐ . .. . ?..9..9............. . ...... . .. §. . .. ±.9..9...... .J.? .. . ?..?..7. ................... ?. .. .9..±.?. . ........... .. ģ.2.?..!. ............. J .. ' >. . ?..9.. ᐤ . 9 6. Pretoria............ . . <: ?.Ò: Ï.€.; /.ÎÏ1..i.. ... . .................. ?. .. .?.' !... ?.................. . . ±.1.: ?.?..9. . .................... ?. ... : ?.?..?. ..................... ?..1.7.9.Ĥ........ . ...... .....5?.} .. ? }........ . .. .......... . ?. !. } ..9 ' .
...... ?..!..:
... . .l?Y.?.1.1.: â.Ø?.&....... . ... . ........ 2.1.: Ç?ll; /;
<.: Ç1.i....... .. .................. . .. . ?..?..9............... : ?.?.?..?..9. ................... i.1.9.±.9.. . .................... y.?..9..9.. . ............. .... ?.L.9.. ?. Q. ...... .............i . x ?..9. 9 . ....... ?.ᐘ.:
..... .9.: i: : t .i.ᐮ?............................. 2!.Ç1.Ö/.;
<.: Çg""" ...................... ?:
.9..?.': 1:
.. . ............ ?.!.?..3.9. . ............... J.ᐔ . .. . ': 1:
?..9 . ..................... ? :
.9.': 1:
9 . .................... ?.z.': 1:
': 1:
9.. 99. Rabat........ .<: ?.:
Ï1.Ô.g/.1 ^. S: Ï1..i. ..... ...................... ?..&?.9 ..................... .... ?3..9 ..................... ?. . .. 3..?..?...................... . ?..:
.?.}..9......... ........... . . ~.?..?.?.9 . ..................... ?..&?.9. 1 0 0. . . ƑY. 13.: x ? ......... . ................. 9.EÏ?.€.; /.: ES.Ï1..i........ . ...................... 1. . .1..?. ?..9 .................... ?..1.: 1:
?..9..... . ................ . ?. . .. ?.?..9. . ................. ... . . 1. .. 1.?.J.9. ................... ?..1..9 .?..9. .................... ?. . 1 . ?. ?. .9. . 1 0 1 . Roma......... ... . .9.!.Ç1: ?.&./.:
<.: '.3.:
É................ ...... . . ? . . !.?..9..9. . ..................... ?..,.9..9..9............. . ?. . . ,.?..Q.9. .................... ? .. ! . ?. .9. .9. .......... . .. . ...... .. ?. .>.9..9. .9...... . .. ........... . . ? .> . ?..9. .9.. 1 02. San Francisco 9.Ù.Ïê1..&./.Î'3.:
.i...... .. ................. ...1.:
1.§.±?.. .. . ......... .' . . ?.?.? . ..................... ?.>.?. .. ?.M.......................e.:
?.?.9. . ................... '± . .. : ?.?} .. .................... ?.:
.?.. . . ?. 1 03. . ^s c: tri. . l3.: '. . Ç .............. <: ?.:
ÏÒ:
f?./.1.S.l3.: !i ......... ................. J.&?.9 ....... 9-.! . .9..?.9 1.?. . .9 ........ ...1. .?..?. . . .9................ .. .. . .?.2.?.±.9 ...................... . r. ? i .9. . .. ...1.:
9.± . . :
.. . ?..Õ?.: !ËÇg.Ï)........ . .. ............ 9.!.Ç?g./.ÊÇ1.i...... . ................. '?..?..9..9. . ................... ?. .>.?..9..9. . ..................... !..'.9..!.9....................... .?.?.?..9. ..................... ?. ?..9..?..9. .... .............. ?..'.?..?..9. .
...!. .9.?. .. :
.. . ?.%aj$Y.?............. ....... .<?.!.Î&.!.:
<.: Ð.Y........ .............. . . b . . !?..±.9. . .................. ?....?..9..9..... .......... . ?. . .. ?..9..9. . .................. ?. .. !.7..9.9....... ........... ?2.9..?.. .. . ..... ᐏ ... ?. . ?. .9. 1 06. Seoul .9.EÏ?..g /.!S.c.i:
L ...... ....... ............1. .1..Q?.9.. ............. 1. .. •.?.?.± . .. ................ !....?.i?. . . 860.... . .. . .......... .J . .. ±.?.9................... J .... ? . ? .9. . l ^07. . ^? 1.:
Ç?!l;
!:
Ñ!...... . ............. .<?.!.Ç?&.!.:
<.: Ñ:
Ë ....... ................... } . .' .. Ħ.?..?.. .. .. .. ...... J . . ,.?.'±.±................... ? . . x.9. . . .?......... .. . ...... . J . .'.9 .. 1.:
9.. . ... ...... . ...... . . } .. !.?..'±.?.. .. .. .......... : ?.&ĥ.?.. 1 08. SinēapĔ!.ĕ........... .<?.!.ÇÒ1.f./.:
<.: '.3.:
i........ 322 5 ?. . . ·--·-·-··...-........ ?..=1-7 .......... ?.SO 534 647 1 og. ^· s ; · fiŶ ^· · gÒÌÏ?.g!.Îc.i: !i.......................... ...1. .1.??.9. .. .. ............ ?. . .. ?: i:
9.. .. .. ........ ?. . .. : ?}..9. ..................... ! ... ?..?.9. ............... . .!.i.?.9 . ........... .. ?. ... ġ . ?. . ? . ........ 1-..Q:
. .. .. ᐎ .. <: ?.ᐛ g ᐜ h .. I' ......... . - ....... .. -. .. ....... _ .. . ...... ...... .... . .... .9.!.ᐙ - ᐚs..L.!5.i . .... .. __ .. ______..... . ?2.. 12 .... -........ }.!.. 12 .. ! .. 9. .. . ... __ . ...1. . 1 . ᐑ - w .9 ____ . __ . .. . .. . . ᐯoo !.!.9..ᐯ.9 .......... _ . ... .! . . z.ᐑ .. 9..9 .. .. ...1. ..1. . .!. ^:
... ? ^t()ckholm . ...... .<?.!.'.3.: 1: ?.&./.:
<.: Ç1.É ... ............ . .. .. .. . .. . . ? .. !.?..±.9. . .. ............... i.!.'±.9.............. . . ?. . . !.?..7..9. . ..................... ?. . .>..?..9................... '.>.ħ.9.. . .................... ?.>.?..?..?.. 1 1 ^2. Suva........ 9.ÚÏë1..€.; /.1.Sc.i:
.i... . ...................... . . ?..'.?..?.9 ................... ±.'.!....9........ .. . .........?..'.9..?..9 ................ ?'.±.?.9. ...................... ±.'.?...9 .9. .. ................. ? . !. . ?± .9. . .. JJ.?.:
... .?.Y.1.͛Y... .... . .. . ......... . 9.ÑÏ?.t?.1.1.5.Ï1..i.. ................. ...1. . .. . ?.i.9. .. . .............. ?..' . . ?..?..9...... ........... ?..? .. ?.?..9 ...................... !.1: 1: ..9. . .. .................. ?..r.?.?. .. ? . .. . ................?..1.?....! .. . ....!. ..!.ᐗ . . :
. ^. }ashkent ............ .?.!.Ç1?: &.l.:
<.: Ç1.i......... ......... . ...... . . Á . . !.?..?.?................... .?..,.?..).9. . ....... ........ (.>.?..9..9. . .................... ' .. !.8.?..9. .. ................ ?. . .. . ?..?.):
... ......... . ?..2 .. ! .9. 1 1 5. Tawau ..?.ÑØ.1-1:
&/.1.s.Ø1.i..... 450 890 1 ,370 420 940 ................ ! .:
±. ?.9. . 1 1 6. Teheran......... .......... . <: ?.Û.Ï.g/.ã.Ï1.L.......... .... ..1. .. 1.?.9..9.................. . . L...?...9. .9 . ................. '±.1.3..9.9. .................... !..&9.9 ................... .!..?.9..9 .................... '±."±.9.9. l l 7. I.?.1.sY..?........... . ...................................... .. ........................ 2!.Õ!.1: Ù./.ÊÇ1.!............ , ... _.... '1..z.9.!.9.. . .......... _ .. .. .. (1.1..? .. !.9.. .. ... -........... ? . .>..1.:
9.. .. ....... '1. . .>..1.:
?..9. . .................... ?..?...1.:
'±.9. . .. .............. : ? . .. ?. .. ᐓ.Q. 1 18. Toronto .<?.EÎ&./.:
<.: ×ØÉ ... .. .................... J.>..?..'.!..9....................?.!...?. . .. ................ ?. .. . ?..7..9. . .. .............. .J . . !.?..?..9...... . .. . ...... .. . .. . ?.'.?..?..9. . .................... .7. 2. ': 1:
9.. 1 19 . . Ú1.): iP?.JÉ........... .. .......... . 9.ÒÜÏ.S./.ì13.: Ý.i. .... .. ................... ?.1.??..9................... ?..": ??..9.. .. .. ......... ?..&?9.......... ...... ...... . ?....i.?9. . ................. ..? . .. . ? . . 7.. 9................... .. .. . .. : 1: ±.9.. 12 0. Tunis 2!.Ç?&/}Èi. ...... .. ................ ?. . .>.9..?..?...... . ... ...... . ... M.N?..9.9. . .................... M.L.O.?..9.. ................... ?.. ! .9 . ?. .?.................. . ?. . ! .9 . . L . ?..... .......... . ... ?. . > . ?. . ? .9. , . . J . ?. .L'....Y.. ancouver .. .......... 2!.'.3.: !1.g/:
<.: '.3.:
É... ... .. ............... .J . . ,.?..?..9....... .......... : ?.!.'±.?..9..... .............. ± .. . ?. .. !..9.. .. ................ J .... ?..?..9. ................... ?..>.?..9.9. .................... '.! . . !.?.?.. . 1 22. V a nimo ... . <: ?.1.:
ÏÓ!.g/.f.S: Ï1..i... ... .. .............. 1.: ?...... . .. . .. ...... ?..1 .. ?.?.i . ................... ...1.:
1.?..9.: 1: ?. .. . .......... ?..&?c. , ... J.:
..^Y. 8: ^tican . .... . . 9.Ñ13.: ?.€.; /.: , .. }.?.᎙:
...^Yientiane ..........<?.!.ÇJ?: g/:
<.: Ç1.L...... 900.... .. . .....J . .>.?..?..9.................J).?..?..Q. ... 920...................J ... .9..?..!. .. ...... . .J. .! .?. .9. .9.. 1 25. Warsawa Orang/Kali ...... . .. . . 0.Ģ.i.9.?................. . .. . ..3..9..9 ..................... . .. . ?.9..9................... . .. . J..9..... .. . ...... . .. . . '.7 . .. .9.: J: N........ .. /!.} .. ?. 1 26. Washington 6; ͜;
.. 2,436 6,090 9,020 2,3 1 0 6, 143 7 ^,8 75 NO . PERWAKILAN SATUAN (1.) (2) (3) JAKARTA - PERWAKILAN Published Business (4) (5) First (6) ldalam US$ PERWAKILAN - JAKARTA Published Business (7) (8) First (9) 1 2 7 . . JKL.1.M?.. NO?..1?.:
...... . ........... ....... . 9.Í: §l: ?._gl.î(: l: ßi........ 2' 130............. ....... 9.?.: ?..9. ........ .......... ?..?.7..7..9. . .. . ........ . ........ . ͝.' . . ?..?..9.. ········........ .. . ?..!.: 1:
?..9. .......... ......... ?.!.?..?..9.. 128. JPe..13-: ___ ·-····---·--·---·-·---- . ..... . ..... . ...... . ... . _ ^9ra E.ts .. L.1.S. ᒖi. ___ -·-·---Q.J.R .. 2-Q........ . _ 3. ^,2 QQ . . ________ .?..1 .. S_TQ. ---·---··-U.! .. ᑅ . . .9.. ·-·-·--·-·· .;
!..?..<.9.. .. . ... 5,92 . .9. . 1 2 9. Windhoek....<?.!.'.3.: ᐇ./.!.S'.3.:
ᐈ...... . .... ............... =.?.?..!?..?.. ...... . ......... ?..?.?. . . ͝.9.. . ... .. . .... ?.?.2.?..?.. . .................. =.?.;
?..>. . ..................... ?..?.; -@.2.................... ?..2.'.!?.. 1 3 o...Xᐉ!.!: ᐊ.?..?..10:
........... . ..... ....... Q1.1'1:
.+/.2i3.:
.i........ .. . 15o 9 50.......... ....... . . J.ᐆ .. ᐵ.9.9..... .. 150 9 50 . .......... ...... ...1.:
?.}.9.9.. 131. Z a gr e b Orang/Kali 4,344 6,750 7, 125 4,802 8,82 1 8,004 3 ^7. ^SATUAN BIAYA OPERASIONAL KHUSUS KEPALA PERWAKILAN REPUBLIK INDONESIA DI LUARNEGERI NO. PERWAKILAN RI (l) ᐅ) AMERI.Ƹ UT !..Rf.\ D..A: N. ... J'N..G.A.H.. ....... . 1 . New York (Konsulat Jenderal Republik Indonesia 2 . Ottawa 3. New York (Perutusan Tetap Republik Indonesia) 4. San Fransisco.... .... . ...... ........... . ...................... . ..... . ........... . ... ..... .
................. 5..... . · ...............• : ".Y'.3.:
21.:
: !gg!?..1.?.:
............. .
................ 6.... .. ·...············ • *?.+ ... !\ 1.?.: g % · · ¼ · ᐃ ········ .. .
................ 1 . .... . ·......... . ....... . q?..<: 3-: g?. ..... . 8. Houston 9. Toronto • ····································· • 10. Vancouver 1 1 . Mexico lty AMERIKA SELATAN DAN KARIBIA 1 2 . Buoenos Aires 1 3 .
. . ..... !Paramaribo 1 4. Brazilia 1 5 . I Caracas 1 6. Havana 1 7. ?..?. g?.!p .... . ... .. . . 1 8. . ....... "9.:
1: ?:
#$§l: g?. .... ͙.¼ ... s=.:
?. . ¼ ········· .......... . 19. Lima 20. ········ oຯT ··········· 2 1 . Panama ··············-······..... . EROPA TENGAH DAN TIMUR 22. .J?.¼gg§l:
͙ ....... . 23. Bucharest 2 4. . ....... . ?..: t?.: 9: &P%.?..' .......... . 25. Moskow 26. IPraha 27. Sofia 28. Wa.rsawa 29. 1i.K .. . ... i ... e ..... v ......................................................................................................................................................................... 1 3 ^0 . Bratislava 3 ^1 . ........ . 3.6g !: : 7.1?. ..... . 3 2....... . . & ຩJ. Y. ?. ..... . EROPABARAT 33. Stockholm 34. Helsinski 3 ^5. Roma 3 ^6. Vatikan 3 7. Frankurt 3 ^8. Bern 3 ^9. Berlin 40. Brussels 4 1 . .P. .. ᐄ1.?.:
.. !i.6§l: K .. . ... . ........... . 42. !Geneva SA TUAN (3 ^) OT OT OT OT OT OT OT OT OT OT OT OT OT OT OT OT OT OT OT OT OT OT OT OT OT OT OT OT OT OT OT OT fdalam US$) BE SARAN (4) 60,000 . ........... o9.,..99..9.. 60,000 ..................... '±.§.,..Q.9..9..
. .............. ?.9.?..99..9. ................. ?.9.?.. 9. .9.Q ............. '±?..i.. 9. .9.Q. ............ : 1:
?..?.. 9. .9.9.. .... .......... 5.?..?.9.9.. 9. .
............................................................... '±?..,.Q.9.9. . .. .. .. . n.9.?..9..9.Q ... ............... o.9.?..9.9.9..
. . ... ............ ........... ...1.:
. ?..?.. 9. .99.. ................... o.9.?.. 9. .99.. 15,000 1 ., 100 . . ............... o.9.?.. 9. .9.9.. .............. J.?..?.. 9. .9.9....... . .. J .. ?..?..9.9.9.. 1 5,000 · ····· ············ is".'(5 . 00 ' ., 10 .................. Ƙ.?..?..9..99..... .. ...... .....J§?..9.QQ.
. .. . ... . . .9..1..9..99.. 17, 100 1 ., 10 .. ............. .'.?..:
.9.9 .9..
......... . ....... m.9.>..9.9. .9.
. ............... l .. § . ^, ..Q. 9 .9..
......... . ......... ... l .. ?. . .. 9...9.9.. . ............ .. ?..,..9.9 .9. OT ............. m .Q . , . 9.9 .9. . OT ................... . . m.Q'...9.9 .9. OT.... . .. . .... . ......... '±.§., . .9..Q.9. OT......... . . J.<.,. . Q.9..9. OT ................. '±.§.,..Q..9.9. OT ......................................... m .Q .' .9..9. .9. . OT............. ?..Q., . .9..Q.9.. OT....... ....... ?..9 ... 9.. 9..Q OT 60,000 oT · ·............ . ··· · ·· ioo · : oo6 ··--···-··--··-·--·---··--···---·-·---·· • ······-·-·-·-··-.. --·······--···-··--···-····-··"··· ........ . .. .. . ..... . ....... . ....................... .......... . .......... . . :
..... . ............, 43. !i.61.??: !?4.5K.............................. OT ·5,000 44. London 45 .
. . .... . !Paris 46. Vienna 4 7. . .... . S2.?.P¼.1: ?:
0.: §l: B.. ?. ................... . · ······ 4 · 3 · ··· Madrid OT OT OT OT OT . . ........... ?9.i..9.9.9 ................. .. ?9..?..9.Q.Q ............ ?9..?..9..9.9.. . ...... p..9.?..9..9.9. 3 ^0,000 NO.
Tananaravie 59. Dakkar 60. Nairobi 6 1 . Harare 62. Windhoek 63. Pretoria 64. Cape Town 6 5. .M..6P.1: : : 1: !.<?. ...... . ASIA SELATAN DAN TENGAH • ····································• 66. Mumbai 67. Colombo 68. Dhaka 69 . Islamabad 70. Kaboul 7 1 . Karachi 72. New Delhi 73. Teheran...................... . - . .....7 4. Tashkent 7 5.
....... 'ii ̣ ^1; ; : · ····· .... .
Astana ASIA TIMUR DAN PASIFIK 77. . !i? !Y?; ̤?.̭: : g ···· · ·· · .... . . 78. Osaka 79 · ........ . RY?..1.?: K.Y-!.1.: K ............ .. . 80. Seoul 8 1........ . ^!Tokyo 82. Phnom Penh.... . .. . .. . .......... . ..................83. p'-?.\·i·· (·gg ................................................................................................................................................ I •............ ^8 ...... 4 . . .. . .. · ............ • .9.: 1: : 1:
<: l: g๔ຶ?.๕................ . ...... 85. Canberra - 32 - SATUAN (3) OT OT OT ··········· ········· --0 r - · ·· OT OT OT OT OT OT OT OT OT OT OT OT OT OT OT OT OT OT OT OT OT . ............... .. .............. . .. . .. . .. . .................. -.... . OT OT OT (dalam US$) BESARAN (4) .. ................. Z.9.!..9.9. .9.. .................. }.9}.9.9..9..
....... Ɨ.! . .'.99. .9.......... Z.9..1..9. .9.9. ............... X.9.,,.9..99. .. ........... Y.9.?..99.9.. .
....... J.?.?..9..9.9...... ...... . l . . ?...i .99..9. ...... . ............. ?..9..๘.9.9.9..
.......... J.?.?.9.9..Q . ................. J .. ?.. ?. 9.9..9. ..
........................ ?..9..?..999.. . .................... 1-.?..,,.Q.9.9. ..
. ........... 1. .. ?. 2 .9. .9. . 9................ ?..9.?..9.. 9. ^. 9. ............. Y.9.?..9.9.Q . . ....... 1. ... ?. . ? _ 9. . Q .Q . ....... . ...... ?..9 ?..9.9.9.......... . .. .. . ...................... . .....1- . . !?..?..9.Q.9.. . ............. L?..?..9.9. ^. 9..
. .. . .............. . ?..9..?..9..9..9..
........... .J.?..?..9 . 9..Q ........๖ .9.. ?..9.9 9.. .
............ ͘.9.. ?.9.9.9.. . ...... ͘.9.. ?.9.9..9. . ........... ๗.9.. ?..9..9.9.
. . .......... . } .. ?. ?..9. . Q .Q . .. . .. . . . 1 .?. 9 . Q .Q OT ..... ..... - 2 § ,..Q Q Q. OT............. . .. . .. §.9..;
.Q.9. Q. OT........ . J . . ?...'.Q.9. 9. OT .. ............ : J: ?. . -'..Q.9. 9. OT . ...... . §.9._1..Q.Q Q. OT . ...... -.Q.,..Q.99 . OT.......... .. . . : 1:
§..1..Q.Q Q. OT ............ ?. .9. . 1..Q Q .9. OT ............... § .9. . 1.9. 9 9 . 86. Noumea OT . .......... J . ?. 1..9.9. .9. . 8 7. . ..... . )Y9:
1.?:
*Y....... . . OT.... . . §.9.. .1..Q.Q .9.. 88. . .. . '.Y..*g+.1.?: g!?..1.?:
..................OT ....... - .9.. . 1..Q.Q .9. . 8 9 · .R.<?.E! ... M..<?.T ,.+.1?.Y..................... OT.......-.9.. .1..9.9. .9.. 90. Darwin ................... .. .......................... ^OT .......................................... ...... . .............. .. ... . .... . .................. . =1:
?._1..9. 9..9. . 9 1 . Melbourne OT......... =1:
?i..9.. 9.9. 92. Vanimo OT ......... . . J.H.1.. 9.9.. 9.. 93. !Perth OT 45,000 9 ^4 . ········ 1 ^Dnu · · · ················· or -··· · ··· ·········· · 36 : : : . .9.
........ 1.?..๚ຉ!: g๛?.: 97 ^. ^........ .P..Y.§1: ?. .... g,!Y.................. ... OT......... 1. . . ?.?..Q.Q.9.. 98. Hanoi OT........ . ...1. .?.?..99.9.. . 99. Kota Kinabalu OT ............... Ð .9. . ?. 9 .9. .9.. 1 00 . .. . .. ๒ 1: : : 1: §l!§.l . .. .: £: : i?.: ຫP.P.1: : : 1: ............... OT ........... ? .9. ?. .9. .9. .Q . 1 0 1 . Manila OT . ....... . : ': 1: : .?..?..9..9..9.. 1 02. Penamr OT 30,000 NO. PERWAKILAN RI (1) 1 03. "" ' :
๑1.!.g๏!: J:
...... . 1 0 ^4 . ..... . ?..์.; : i.gc: ,t: pํ£๎ ...... ... . """ 1 05. Vientiane 1 06. "" ' .1.?.่้๊็.<: ': !.:
. . . !- .. 1.?.§l: g/ §l: !1........... . 1 0 ^7 . Ho Chi Minh (dalam US$) SATUAN BESARAN (3) (4) OT . ............ ......... . ........ .. ................... . ....... .. . ...... .. . .. . .. .......... ...... . <.9..1..9.9 .9. OT . ... . .... . .. . .. . ..... . .. ?.Q.1..Q Q.9.. OT .. ..................................... . .. .......................................................... ..... J . ?.1..9..Q . 9 . OT .............. ........... ...... . ......... . .................. ............... ....................... . . : 1:
? . .. .9.9.9.
. . ....... ·········-······ ······· ·· .. ··-·· · ·················-··· ···········-······-·-·····-···-·-··- ···························--·······-··········- ·-··-·-······--· ^OT.... . . ___ ... ..... .. . __ .. .......... ...... ... . .... .. . ...... -...... . ......... .. ......... ?..9._1..9.9.9 . 1 08. " " .?.gJ: ?.: gຌ-๐-§1:
.....1 09. Johor Bahru 1 1 O . .. .. .1.9: : 1:
<; h: i!.1.: K . .. . .. 1 1 1..... . ?..l.?:
§-:
?:
gl.1.:
§lL... . 1 1 2 . .Tawau TIMUR TENGAH 1 13. Khartoum 1 1 ^4.... . . !._1.gi.-T+....... . 1 1 5. Tunisia 1 1 6 . Rabbat 1 1 7. .....IT.i.: P.?..!:
.. ..... " " 1 1 8. .J.?§: gJ:
:
9:
๋9:
..... 1 1 9. Cairo OT _..... . ............................ . ... . ...... . ...... . ............... . .. . ..... . .. . .......... . .. . ..... . .. . ..... . ......?..9.1..Q.Q.9. OT ..................... . . ?.9..1.9.9.9. OT . .................. .. ...... .. ...... ...... : 1:
?2..Q .Q.9.
. ...................................... . .. .................................. o.......^T ...................................... . .................... : t:
?2..Q .Q.9. OT 30,000 ----------------------------.. ------- 1 ................ --. ...... . ....... .. , ____ ,, .. . ,........... . .............. . ..................... . ... . ....... . ....... . . , . .. .. .. ............. .< ...... . ... . ........ . OT ........ . ..........J .. ?..?..9.99. OT . .. . ... . .. . ......... .J.?..?..9.9.9.. OT . ....... ..... ................... ..................... .. .. .... ............. ........ .. .......... =.?..i..9.9.9. OT ....... ........ .1.:
?..?..9.9..9.. OT . ............ ....... . . Ƙ .. ?..?..9.9.9.. OT.... . ...... .. ... . .. Ƙ .. ?..?..9.9.9.
... ................................................. ............ ........... .. .......................................................... .... .................... ........ OT . ....... . .............. . t: J:
?..'-.9.9.9.
Damascus 1 2 1 . Jeddah 122. Sana'a 123. Kuwait 1 2 ^4 . Abu Dhabi 1 25. Amman .. ^. ..... Ei6 · ᐁ · .. ^8iY§l: _g ີ- ..... . ......... Ez-7·ᐂ. ^. Beirut ...... T2'Ef...... . Doha 1 29. Dubai ........ i ' 3 · 6 ' :
....... Muscat 1 3 1 . Manama OT.... . ..... . ..... . ... . .................. . ................... .................... . ....... . ............... .. . .. . .. }..9.,..Q.Q_Q OT _......... ......... . .. .. . .. . .. . .............. . .. . .. . .. . ...................... . ................... . .. . .. ......... . ?..Q.?..Q. Q.Q. OT .. ..J . . ?..1..Q .Q.9. .......... ......... ......................... ..Q ^T .......... ............... . ....... ..... .............. . ........... ... . ; ?..91..QQQ OT ..... . . ?. . .9.1.Q.Q . 9.. OT ........ .. ......... B.92.Q.Q.9. OT ....i.?19..9.Q OT .................. . . J.?..1..9..9.Q . ... .QI...................... . ........ -.......................... . .......................................... .. ;
.9_1_QQQ_ OT ?9.19.QQ OT .. . ............. . }.92.QQ.Q. OT ........ . ... . ... . ... ........ . ...... . .. .. .................. ^.... . ... . .. . ...... . _ .......... ...... . ........ . .. . .. . ...... ... ; .- " www.jdih.kemenkeu.go.id 38. SATUAN BIAYA MAKANAN PENAMBAH DAYA TAHAN TUBUH NO. P ^R O ^VINS! (1) (2) 1 . ACEH 2. SUMATERA UTARA 3. R I A U 4. KEPULAUAN RIAU :
........... ..................5. J A M B I 6. SUMATERA BARAT 7. SUMATERA SELATAN 8. LAMPUNG . ............ . ....... .. . .......... . ...... . 9. BENGKULU 10. BANGKA BELITUNG ...... . ................. . ....... 1 1 . B A N T E N 12. JAWA BARAT 13. D.K.I. JAKARTA ..... .................. . ,........14. JAWA TENGAH 1 5. D.I. YOGYAKARTA 1 6. JAWA TIMUR 17. B A L I 1 8. NUSA TENGGARA BARAT 1 9. NUSA TENGGARA TIMUR SATUAN BE SARAN (3) (4) OH ... .. .......... . .. .. . ................ . ...... .. ....... . .. . ................................. 8.P..7.8 .. :
. 9.9.9.. OH .. ...... ...... ...... . .. . ....... ...... . .......... .. ...... ............................ ........... 1.31?...K.?..:
9.. .9..9.. 0 H . ....... ...... . ................... .. . ...... .. . .... . ...... . ...... ....... ..... ... . .. . .........1.31?...K.L .. :
9.9..Q OH..................... .. ................ .. .................. 8.1.?..7 .. ?.:
.9.9.. Q 0 H .............. ....... .......... ... . .......... .............. . .. . . 1.31?...K .. ?..:
99..9 . 0 H ...... ........................................ . .. .. . .. . ................ .. .. .................... . 8.1.?..7 .. ?..:
.9.9.Q. •...................................... o ....... . ^H . . ................. . .................... . ... ^. ^................... . .. . ............. . .. .. .. ...... ...... .. .....1.3P..! .. ?..:
99..Q. ·····-·····--····--·-····- ···-·-·-··-····--······-··-·· 2 . !i . . _..... . .. . .. . . -.... . ............................................... 8.P..7 .. ?..:
.9.9.9. OH ..... . .......... . ....... . .... . ...... ... . ... . ........... .. . .......... . ... . .... . ... . ...........OP..K . . ไ . . :
9.9.9.. o ^H.... .. . ........... . ...... . ...... .. . .. ....... . ...... )SP...K .. ?..:
9..9..9 OH...................... . ............. . .............. . ...... 8.1.?.}: ?.:
.9.9.Q. OH .......... ... . ....... .. . ........................ ...... . .. . .......... . .......... . .......... . .. OP} . . L .. :
9.9..9. 0 H ...... . ...... . ... ...... . .................... . .. .... .. ..........8.1.?..7.?..:
.9.9.. Q. OH ..... ................... . .. ......... . ..... . ... . ... . .... . . 1.3P..! .. L.:
9.9..Q. OH ................ .......... ....... .. .. . .. .............. .. .. ........... ................... . ... .. . 8.1.?..7 .. ?.:
.9.9.Q. 0 H ....... ...... .. .............. . ...... . ...... ... . .............. MP..K .. ?. .. :
9.. .9..Q. OH .. . ... . ....... . ... .................. . .... . ............... .................. .......... . .. . .. . . 8.P..7.8 .. :
.9.9.9. 0 H......... .. . .......... ............................ . .............. . .............. .............8.P..7.: --:
.9.9.Q. OH . ..... . .... ..... ........................... -.. ·······----··-·--·······---·-·-····--·-·-·---··--·---··-·-·-·--···- -··--···-·····--····--·······-··-·-·--····-·-··-·- ........................................... 1.3 1?.. .K.-L . . :
9.9.9.. 2 0. KALIMANTAN BARA T OH . .. . .. ............................................... .. . ...... . ...... .. ...... .............. . . 8.P..7.?..:
.9.9.9.. 2 1 . KALIMANTAN TENGAH OH ......... ............ . ...... .... . .......... . .. . .. .................... ....... . ........... . .. 1.31?...! .. ?. . . :
9.9.. .Q . ..... 3.3.:
... -ƉLIMANTAN SELATAN OH.... .. . ... .. . ... . .. ....... ........ . ........ .. . .. . .................. . ...... . .. . ...............8.1.?.L?.:
.9.9.Q . 23. KALIMANTAN TIMUR 24. KALIMANTAN UTARA 25. SULAWESI UTARA 26. GORONTALO •...................................... o........ ^H ............................................ •............................................................. 1.3P..K .. L .. :
9.9..9.. OH..... . .... . .. . ........ ..... .. . ...... .......... ....... . 8.P.} .. ?.:
.9.9.. Q. 0 H.... . ........... . .... . ... .. ... . ...... ...... . ...... ....... . 8.P..7.?..:
.9.9.9.. OH ................ . ..... . ....... ...... . ....... .. .. ......... . . MPLL.:
9..9 .9 .. 27. SULAWESI BARAT OH . ........... . ........... . .. . .......... . ....... .. .. . .......................................... 8.P..7 .. ?..:
.9.9.9.. . ๅๆ . . '. ... ^_?. ^ULAWESI SELATAN OH ...... . .. ...... ............. .............. ...... . ...... ............... . .. ...... ................ MP.. .! . . ?.1. .. :
9..9..9 . 29. SULAWESI TENGAH OH . . ....... . ........ .. . ...... .. . ...... ........................... .. . ........................... ;
P.} . . ? .. :
.9.9.9. 30. SULAWESI TENGGARA OH.... ... .. .......... . ... ........... . ...................... . .. ...... .. . ...... .. . .. . . MP...! .. L .. :
9..9. .9.. 3 1 . MALUKU OH..... . ......... ........ . .......... . ................ ... . 8.P.<..9 .:
.9.9.9.. 1 .... . . 3 . . .. 2 . .....· ······ ,M ....... A ....... L ..... . u . .. .... . K . ...... u ............... u.... . .. T ..... A ........ RA ....................................................................................................................................................................... . ...................................... o . .... . . H ..................... . .. . .. . .. ...... .............. . ................................ 8.P.9.9 .. :
.9.9.9.. 33. P A P U A OH ...... ................... ............ .. .. .. ... . .. .. . .. .. . .................. . ............. . . MP.. N.? .. :
9.. .9..Q. 34. PAPUA BARAT OH Rp25.000 Ai . (h]- www.jdih.kemenkeu.go.id 39. SATUAN BIAYA SEWA KENDARAAN 39. 1 Sewa Kendaraan ^P elaksanaan Kegiatan Ins ^i dent ^i l NO. PROVINS! SA TUAN RODA 4 RODA 6/BUS SEDANG RODA 6/BUS BES AR 1 1) l'J.I 13\ f4\ (5) (6\ , ......... 1..... .... . . 11 . . A..... ^c ... . ... E ....... H ................................................................................................................................................ , ....................... P ..... e ..... r ........ h .... a ...... r .... i ..... ...... . .. . .. ...................... . .. 13.P!.?..?.:
9.9.9. . .............. 13.P.'.?. .:
?.?..?. .. :
9.9.9. .............. 13: P.?..:
. ?.7..9..:
9.9.9. 2. SUMATERA UTARA 3. R I A U 4. KE ^P ULAUAN RIAU 1 ......................5. J A M B I 6. SUMATERA BARAT 7. SUMATERA SELATAN 8. LAM ^P UNG Per hari .. ... . .. . ................... . .. . 81?.. ?.?..?..:
9..9.9 . ............. 13: P.Õ.:
?..?..9 .:
9.9.Q .. . ....... . 13P'.?. .. '..?.'.?..9 .. :
9..9..9. Per hari .. . .. . ............................. . .. . . 13: P.?..7..?..:
.9.9.9. . .......... 13: Pf.:
; ?.?..f.:
9.9.9 . .............. 8P; ?..:
g.?..?..:
9.9..9. Per hari.... . ........ . ............ .. . .. . . 13 .P?..89..:
9.9.Q ............ 13 .P?.. :
..1. .. §.9.:
9..9.9. . ...... .. . .. 13: P..:
?..?.9.:
9.9..9. Per hari . . .. ... . ................. .. . ......... . . 13.P?... Õ.9..:
9.9.Q . ............. 13.P?..:
. '±.Ô.?. .. :
9..9. Q .. . ..... . ..... J.3P . È.:
. '.?. . ?. .9 . :
.9 .9..9.. ........ -........ ฿-เแ . . hari .... !3: P.!..9. 9. _:
. :
?.9..9..:
. 9..Q.9 . ............. 13.P.. Ô . . :
9 .. ?.9..:
9.9..9. Per hari........ . .............. . .. . ... 13: P.?..?.. ?..:
9.9..9.. . ............ . 8PL.?..?..?.:
:
9..9.9 . .............. !3: PÂ .. :
7.. 9..9..:
9.9..9. Per hari .................. . ..................... 13.P.!.9.9..:
9.9..9. . .. ........ B.: P.?..:
?..9.9..:
9..9.9.. .. ........... :
3: P.?..:
. l?..?..9.. :
.9 .9..9. i .... . .. ^9 ...... ·.... .. . .. B ...... E ...... N ....... G ........ K .. . ... u.... . . ^L . .... . u..... . .. . .............. . ......... . ...... . .............. . ...... ............... ........... . ....................... ...... , ....................... P ...... e .... r ...... h ....... a ...... ri......................... 1 .... . ............. 8P T 1. . 9. . :
9 9..9............... 8 P ?. .. : . Â . . ?.:
9.9.9. .......... J3PÔ.:
!7.? .. :
9..9. 9. 1 . .... . ^1 ..... 0.... ^· . .......B ....... A .. .. . N .... . . u.... . .. KA .................. B ...... E ... . . 1 . .. .. . . 1 . ^T ...... u .... . .. ^N.... .. u..... ... . ....... ...... .. . ...... . ........... . ..... . ........... .. ........ ... . ...... ............... . .... .. .. . . ^P ...... e .... r ...... h ...... a ...... r .. i .. . .. . .......... .. . ..... . , ................... 8P?..'.?..?.:
.9.9.9. .............. 8Pf.:
9..?..9.:
9..9.9 . .............. 13: P?..}.?9..:
9.9..9. i .. . .. ^1 ..... 1 . . ... · .... i ,. ^B ......... A .......... N ....... T ......... E ......... N ................................................................................................................................................. P ..... e ..... r ....... h .... a ...... ri .. . ...... . ................. . .. ..... . .. . ..... .. 13.P.7..9.9..:
9.9.9.. .. ........... 13 ^. P?..:
.9.9.. ?>. .. :
9..9. Q ... ...... :
3: P..0. . :
.9 }..9 . :
.9 . 9 .9. 12 :
.. . ใ!: '! ! J : · . .. . - ^A R}\ !......... ... -.............. .. ............ -................... .. .................... ິ- . . ື: โ--- . . - ...... -·---...-.. !3: P _?.. .. '±.:
.9..QQ_.... -....... 1.3.P?...:
.?.9.. :
. 9..9.9 .. ......... .. 1.3P.?. . :
.9 . '.?.9.. :
9 .9 . Q 13. D.K.I. JAKARTA 14. JAWA TENGA ^H 1 5. D.I. YOGYAKARTA 1 6. JAWA TIMUR 1 7. B A L I 18. NUSA TENGGARA BARAT 19. NUSA TENGGARA TIMUR 1 ................... ......20. KALIMANTAN BARAT P ^e r ^hari ........ . ................ . .... . . 13: P.?..1...9. .:
.9.9.9. ...... . ...... 13: P . . 1. .. :
? . ?. .9. :
9.9..9 . Per hari . ................. . .. 8P.?.:
9.9.:
9.9..9. .............. 13: PL.?9..9.:
9.9.9.. .. .......... 1.3.P ? .. :
?? 9. :
9.9..9 . Per hari........ .......... ...... . ... . ... . . 1-3:
P.7.?..?.:
9.99. ............. 13P. .. Ã.:
?..?..9..:
9..9.Q . .......... . .. :
3: P.?..:
.. 1. . . ?..9..:
9.9..9. Per hari .. . .. . ..... . ......................... . .. . 13: P.?..9.9 .. :
9.9.9....... . .. . .. .. 13:
12.1. . . :
?..?..'±.:
. 9.9.9. ............. 1.3.Pf.:
h.f.9.:
9..99.. Per hari ......... ..... ... 13: PT?..9.:
.9.9.9. ............. 8P.f.:
?..79..:
.9.9.9. . ............ 13: 1?.?. .. :
9..9. Q . Per hari ............ _.... JP..'.!?.9..:
9.9..9........ . .. .. . .8P.'.?..:
. '.?..7.. 9. .. :
9.. 9..9..... .. .. .. . ... : I.3: P.. ?..:
.9. Ö.9 :
. 9 .9.9. Per hari .. . .......... ....... ............. 8PÅ.9.9..:
9.9.Q .............. g P.?.. :
?..?.9. .. :
9 .9. Q........ ... . 13: P..?. . :
f. . '± . 9 . :
9.9 .9. Per hari . ... .. ................... :
3: P.7.?..?.:
.9.9.9. . ............. 13: Pf.:
.!.9..9.:
9..9.9. . ............ 13 P. ?. .. :
;
.Ù.9..:
9.9.Q.
... ^2 ...... 1...... · ... 1 _ ^KA ........... L.... . 1 ... . M ....... A ...... N ...... T . .....A ..... . N ........... T ...... E ..... N ...... G ..... A ....... H ............................................ . ........ . ...... . ^.... . 1.... ....... . ...... . ... ^P ..... e ..... r . .....11 .. .....^a ..... r .... i ......... .......... 1 ...... ............. :
3: P?. . : i:
. :
.9.9. Q..... . . g P 9 . :
f §. .9 . :
.9 .9 Q........ . _ gp ?. . : 9.9 .:
9.9. .Q 22. KALIMANTAN SELATAN 23. KALIMANTAN TIMUR 1 ............. , . ... ., •••• . • • 24. KALIMANTAN UTARA 25. SULAWESI UTARA Per hari ....... .. . ..........gP.Tl..9..:
9.9..9 . ............. gP.×.:
.?.!?..9 .. :
9.9. ............ :
3: P.?..:
.. 1. .. ? .9. :
.9 .9 .9.. Per hari ......... . 13: P..1.:
:
.9.!.:
? .. :
9..9..9. .......... 8 P . ᏽ . :
f.9 .9 . :
.9 .9.9............. . . 13. P ; ?. :
?. . ?. . 9. . :
.9 ..1. . . Ô.:
.9 .9..9. . ...... ...... . 8Pf.:
. 1. . . ?.9.:
.9.9.9 . .............. 8.P.. ?. .. :
?. .. '?.9..:
9.9..9.. Per hari ........ ...................... 13.P ?..9 9..:
9.9.9. . ... ......... g .P? . :
9 . ?. .9. .. :
9..9..9. .......... . ... 13: P.Ô.:
: 1: '?..9.:
9.9.9.
... ^2 ...... 6 ...... · . .. . . ^G ..... . . ^o . ...... R . .....o ... . .. ^N ...... T ..... A ...... L .. .. . . o .. . ..... . .. .. ... . .... . ............ . ... . ............... . .. . ...... . .... ....... .. ......................... . .. . .. . .... . , ........................ P ..... e .... r ...._ .. h _ .... a ...... r ^i .. . ...... . .............. . . , .... ............... !3: P?.. :
.9.:
9..99..... . ... . .....13 P . . ᏻ.:
?..§.9 .. :
9..9.9. .......... . . : I.3: P..Ô.:
9..Ö.9..:
.9 .9..9. 27.
SULAWESI BARAT Per hari .................. ...................... 8P7 .. 1. .. Q.:
9.9..9. . ............ GPH.:
'.?.?..?..:
9..9.9 . ...... . ...... . 1.3.P ?. .. :
Q.'.?.9..:
9.9..9. SULAWESI SELATAN Per hari .... . ... . ... . ....... . 13P.7.9.9..:
9.9..9. ..........gP.?..:
}99 . . :
.9 . '.?..9 :
.9 .9. 9 1 ................................................................................................................................................................... . 1 ....................................................................... ..... .
SULAWESI TENGA ^H 1 .. . ........ . ... 11.................. . ............................... . ... .................. . .. . .................. ... . ........................ . ........ . ......... . ........ . .. . .. . .. . , ....................... P ..... e .... r ...... h ...... a ^r ......... i .......... . .......... . , .............. . .. 8P.7.79..:
9.9..9 . .............. gP.Ä.:
?..?..9..:
9.9.Q .. . ..... 13: P.È.:
..1. .?..9.:
.9.9.9. 30. SULAWESI TENGGARA 3 1 . MALUKU 32. MALUKU UTARA 33. ^P A ^P U A 34. PAPUA BARAT Per hari ... . ......... ...................... l3: P. ?.. 7.9. :
.9.9. 9. .... . ...... . .. : I.3:
9..?.9.:
.9.9.9. ........... : gp; ?.J . . ?. .9.: Per hari......................... 13: P..?..?..9.. :
.9 .9.9............ . .. 8P.f.:
T9..9.:
Q.9.9. .. ............ 8P?. . . :
9.9..9. Per had ...... .......... ...................... !3:
.Æ .. 1..9. . . :
9 .9..9. ............ 13: P .Ô . :
. ?. . ?. .9 . :
.9 .9 .9. Per hari Per hari .... 1.3.P...! .:
9.Ç.?.:
9.9.Q ...... .. . ... 1.3.PÔ.:
9..9..9. ... ....... ÚP.: i:
:
9.9..9. Rp980.000 Rp3.240.000 Rp4.2 10.000 39.2 Sewa Kendaraan Operasional Pejabat NO. PRO VIN SI SATUAN BE SARAN (1) (2) (3) (4) 39.2. 1 PEJABAT ESELON I Per bulan Rp l 7.660.000 39.2.2 PEJABAT ESELON II 39.2.2. 1 ACEH Per bulan Rp14. 180.000 39.2.2.2 SUMATERA UTARA Per bulan Rpl3.880.000 39.2.2.3 R I A U Per bulan '.p 13. 730.000 39.2.2.4 KEPULAUAN RIAU Per bulan '.p 15.000.000 39.2.2.5 J A M B I Per bulan Ñp13.500.000 39.2.2.6 SUMATERA BARAT Per bulan .pl3.650.000 39.2.2.7 SUMATERA SELATAN Per bulan .p13.500.000 39.2.2.8 LAMPUNG Per bulan Rpl3.430.000 39.2.2.9 BENGKULU Per bulan Rpl3.500.000 39.2.2. 10 ^BANGKA BELITUNG Per bulan Rpl2.750.000 39.2.2. 1 1 ^. B A N T E N Per bulan Rpl3.950.000 39.2.2. 12 ^JAWA BARAT Per bulan Rp 13. 950.000 39.2.2. 13 ^D.K.I. JAKARTA Per bulan Rp13.250.000 39.2.2. 14 ^JAWA TENGAH Per bulan Rp 13. 950.000 39.2.2. 15 ^DJ. YOGYAKARTA Per bulan Rpl4.030.000 39.2.2. 16 ^JAWA TIMUR Per bulan Rp13.430.000 39.2.2. 17 ^B A L I Per bulan Rpl3.500.000 39.2.2. 18 ^NUSA TENGGARA BARAT Per bulan Rp13.650.000 39.2.2. 19 ^NUSA TENGGARA TIMUR Per bulan Òp14.850.000 39.2.2.20 ^KALIMANTAN BARAT Per bulan Rpl4.030.000 39.2.2.21 ^KALIMANTAN TENGAH Per bulan Rpl4. 140.000 39.2.2.22 ^KALIMANTAN SELATAN Per bulan Rp14.030.000 39.2.2.23 ^KALIMANTAN TIMUR Per bulan Rpl4.030.000 39.2.2.24 ^KALIMANTAN UTARA Per bulan Rp14.030.000 39.2.2.25 ^SULAWESI UTARA Per bulan Rp 5.000.000 39.2.2.26 ^GORONTALO Per bulan Óp 5.000.000 39.2.2.27 ^SULAWESI BARAT Per bulan Rpl3.580.000 39.2.2.28 ^SULAWESI SELATAN Per bulan Rpl3.580.000 39.2.2.29 ^SULAWESI TENGAH Per bulan Rp14.400.000 39.2.2.30 ^SULAWESI TENGGARA Per bulan Rpl4.030.000 39.2.2.31 ^MALUKU Per bulan Rp14.480.000 39.2.2.32 ^MALUKU UTARA Per bulan Rp14.400.000 39.2.2.33 ^P A P U A Per bulan Rp 14.850.000 39.2.2.34 ^PAPUA BARAT Per bulan Rp14.780.000 39.3 Sewa Kendaraan Operasional Kantor dan/atau Lapangan NO. P ^R O VIN SI 1 . ACEH 2 . SUMATERA UTARA 3. R I A U . .. .. . .. . ..........................
KEPULAUAN RIAU 5. J A M B I 6. SUMATERA BARAT . . ........ . ........ . ....... . . 7. SUMATERA SELATAN 8. LAMPUNG 9. BENGKULU 1 0. BANGKA BELITUNG 1 1 . B A N T E N 1 2. JAWA BARAT 13. D.K.I. JAKARTA 14. JAWA TENGAH SATUAN PICK UP M IN IBUS (31 (41 15) DOU BLE GARD AN Per bulan . .. ...... .. . . 1.3.P.?.:
. µ.9.2 .. :
.9.2.9. .. ..... 1.3.P.?. .. :
. ?..1.9..:
.2.9.. 9...... . !: 3P... ²...?. . . :
. ¨.?..2 .. :
.9.2.2 .. Per bulan.... . . J.3: P.'?. .. :
9.. ?. . 9 .. :
2..9 .9.... . 1.3.P} .. ?. . . :
2.?..9.:
9..9. .9. Per bulan .... . ....... . 1.3.P.? .. :
. ©.?..9.. .:
.9.2.2 ...... .....8.P .. ?..:
.2.9. 9.. .:
.9 .9..9. ...... 8P.}...? . . :
.9.9..9.. .:
.9.9..9.. Per bulan.... . .. ....... J.3: P.?. .. : J.?..9.:
9.. .9.2 ............ J.3: P . ?. .. :
.. ?.2.:
9.. .9.9 . .. . ... 8P . . F . . '?..:
. ª .. «.9.:
9.. .9.9. Per bulan ........ 1.3.P.?. .. :
. ?..?..9.. .:
.9.2.9........ .. . 1.3.P.?. .. :
. .?..9..:
.9.2.9 ......J.3P.J .. '±.:
. ?.. ?. .9. .:
.9. 9. 9 . . Per bulan . ...... J.3: P.?..:
¼.?..9.:
9...9 .9 ............ J.3: P.'?..:
. . ª .. ?..2.:
.2..9 .9.... ... I.3.P .. F . . ̖.:
.?. . . ?.9.:
.9..9. .9 . Per bulan ............ 1.3.P. : ?. .. :
. ?..?.9. .. :
.2.9.9.. . .... ...... 1.3.P .. ?.:
. ?.?.9..:
.9.9..9 ...... !3P... ².'±.:
?..?..9. .:
.2.9.9.. Per bulan......... .. . . 8P.?..:
7.?...2. :
9...9 .Q .... . . 8P.?..:
?. .. ?.2.:
9...9 .9. ^Rp 14. 780.000 Per bulan .. .... . .. .. . . : l3: P .. ? .. :
. ©.?..9. . . :
. 9.9.9.. ............ : l3: P..? . . :
. อ.?..9.. .:
.9.9.9.. .. ... 8P.} .. '±.:
. ?..?..9. .. :
.9.9.9.. Per bulan . ...... 8P.?..:
³.?..9.:
9.. .9.Q ... 8P.'?. . . · . . ·.?..2.:
9...9 .9. .. .... : l3: P .. F . . ?.: J . . ?.9 .. :
9.. .9.9. Per bulan.......... 8.P. : ?. .. :
. L.9..9. .. :
.9.2.9.. ........... 1.3.P.: ?. .. :
. '?..?..9.. .:
.9.9..9. ...... 8P. . . ² .. '±.:
. L.?..9. .. :
.9.0 0 Per bulan............ J.3: P.?..:
'±.9.9..:
9...9 .2 .. ..... J.3: P.?.:
. ?.?..9..:
9..9 .9..... . . 1.3.P . . F .. L . :
'±.? .9 . :
9.. .9 .2. Per bulan ....... . ....... 8.P.?. . . :
. ?..?...9 .:
.9. 2.9.......... 1.3.P .?. .:
. ?..?..2 .. :
.9.9.9.. . . J.3PJ .. '±.:
. ?..?...9 :
.9.9.. 9.. Per bulan........ 8P.?..:
??..2.:
9...9 .2. ........ J.3P.?. . . :
? .. ?.2.:
9..9 .9 ... . . 1.3: P..¶.º.:
. ?. . . ¨.2.:
2..9 .9 . ..... ̙.?.:
.. . ?. . ^I . ^Y OG YAKART A ... . . R.E . . ี ึ!.§1: 1: : 1............... 1.3.P.: ?. . . :
. '?..?..2 .. :
.9.2.9...... ...... . 8.P.: ?. . . :
?.?.9.. .:
.2.2.9.. .... !3P.².'±.:
?..³.9.. :
.2.9.9. --̘ .. ̗:
. .. !.!: : '!.!:
.... .. !.̚.̛̜̝-------------- .. ........ .. ... ........ . .... . .. . .......... . ..... . .. !CລE.... !? .. สห .. Ᏽ .. .. .......... . . ຮP..: ?..:
. ?ิ9.. :
.9 .. 9.9.. ..... .. ...... 812.?.: §. . . ะ..Q.:
.2..QQ.......8P.J.'± .. :
. ´¸.2 .. :
9.9..Q .. 1 7. B A L I ......... .. . ...... . ........ . ..... 1 8. NUSA TENGGARA BARAT 19. NUSA TENGGARA TIMUR 20. KALIMANTAN BARAT 2 1 . KALIMANTAN TENGAH 22 . KALIMANTAN SELATAN 23. KALIMANTAN TIMUR 24. KALIMANTAN UTARA 25. SULAWESI UTARA 26. GORONTALO 27. SULAWESI BARAT 28. SULAWESI SELATAN 29. SULAWESI TENGAH 30. SULAWESI TENGGARA 3 1 . MALUKU 32. MALUKU UTARA 33. P A P U A 1 ...................... .... . 34. PAPUA BARAT .Rฮฯ . .. 1?.ู!ฺ. .. .... ....... 8P.?. . . :
L . . ·.9.:
9...9 .9 ........ 8P.'?..:
9...9 .9.:
9...9 9 .... . 'P . . F.า .. :
».·9.:
9.. .9.9. Per bulan .. .... ....... I.3.P . . ?.:
.9 . . ?...9. :
.9 .9..9 ... ....... 1.3.P . . ?..:
³.?...9.:
9.9..9...... . 1.3.P . . ª .. ? .:
.9.9 ..9 . . :
.9 .9...9 Per bulan.... .... 8P.?...J .?...9 . . :
9...9.9 . .. ...... . . J.3: P.7..:
?. .. ?..9. :
9...9.9 .. . ... 1.3.P ... F . . '?..:
. ª.?..9 .. :
9...9 . 9 . ... !'.!- 1?..!.......... . ..... ®P.?.:
?. .. 29..:
.9 .9.9.. ... .. ....... 1.3.P. .. ?.:
§.?..9.. :
.9 .9.9. ....... 8P.J...?. .. :
. ¨ . ?.. 9.. . :
.9.9. 9.. . Per bulan....... . ..... . J.3: P.?..:
?. .. ?.9.:
.9. .. Q.Q..... ...... . J.3: P.'?. . . '..?.?.9.:
9...9 .9 .. . .... 1.3.P .. F .. ?..:
. ?. .. «.9 .. :
9 .. 9.9. Per bulan ......... ..... 1.3.P.?.:
.2.9..9. ......... I.3.P.?. .. :
.9.9.9... ^Rp 1 5.380.000 .?..?...9. :
9..99 . .. ... gP. ?. .:
M..99.:
9.9.9 .... ... gP.ื .. ?.:
ุ.; ?..9 . . :
9.. 9..9. Per bulan . .. .. ...... 1.3: P. .. ?.. :
.9 .9..9. ........... . 1.3: P.7.:
. ³.9..9. .:
.9.9.9. . .. .. .. 1.3: P.J .. ? . . :
. ³.·..9.:
.9. 9..9.. Per bulan..............J.3:
?. .. ?.9.:
9..99 . ........... J.3:
. ?..99.:
9..9.9 ....... 1.3: .?..9 . . '..9.. .9.9. Per bulan .. . ...... . ..... : l3: P..7.:
. ?.?..9. .. :
.9 .9.9.. . Rp 7.43 0. 00 0.... . . 8 P... N.?. .. :
. ?.?. .9.. .: Per bulan . .. . .. . J.3: P.?. .. : J .. ?..9.:
.9...9 .9 ........... J.3: P.?. . . :
?.. ?..9.:
..99.9 . ...... 1.3: P. . . F .. ? .. :
.9 9. .9 Per bulan........... .. . 1.3.P.. ?.:
. ษ . . ?..9. .:
.9.9.9.. .... .... 1.3.P.?.:
??...9:
.9.?. .9. . . :
.9. 9..9 Per bulan . ....... ......J.3:
7.?.9.:
9...9 .2 ............ J.3:
?..?..9.:
9..9. 9.... . . 1.3.P.¹ .. ?. .. :
?.?.9.:
9...9 9. Per bulan..... ...... 1.3.P.. . . ?.:
. (.9..9 .:
.?.. ?..9. .:
.9.9..9....... 1.3: P.L?.:
. ¬.9..9. .:
?.. ;
ั . . ?.9. .. :
.9.9.9. Per bulan ........ ... .. . 1.3:
P..7.:
. ?..?..9. .. :
. 9.9 .9... Rp 6. 83 0. 00 0 .. . ... !3P. ^} .. ?.:
. ?..?. ^. 9. .. :
??.9.:
..9.9.:
9...9 .9.......1.3.P . . E.:
?.?..2.: Per bulan Rp8.480.000 Rp7. 130.000 Rpl 7.330.000 /ศ' 40. SATUAN BIAYA PENGADAAN KENDARAAN DINAS NO.
........ ·-·········· ··· · ········-··-····"····-······- ················--·· . . ··---······-····· . ........ ·--··-······-·· SULAWESI TENGGARA MALUKU MALUKU UT ARA ·--·---·-··-·-··--o .. p--··-q----·--·--r·--··-··--·--··-·------··----··-·-··----·s·-· . . ---[----·--·-- P ^A P ^U A P ^A P ^UA BARAT SATUAN (3) Unit Unit Unit Unit Unit Unit Unit Unit Unit Unit Unit Unit Unit Unit Unit -·····-- ·······-··-·······-·-·-··--·····-··-···--· Unit Unit Unit Unit . ........ _ ..... ............ . ,......... ...... . .. ...... ... . ...... ....... . Unit Unit Unit Unit Unit Unit Unit Unit Unit Unit Unit ···-"-··· .... ·--··- ················-···· ..... Unit Unit Unit .,_,,. __________ ·t·-··--·-------·--u- Unit Unit BE SARAN (4) .......................... )P?..9.*.:
. ?.'..?..9. :
9..9..9. Rp5 1 5.263.000 Rp5 13.709.000 Rp450. 790.000 Rp484.095.000 Rp47 1 .6 1 5.000 Rp482.074.000 Rp5 1 5.263.000 Rp500. 494. 000 Rp482.96 1 .000 Rp482.286.000 Rp462.063.000 Rp49 1 .745.000 Rp503.860.000 Rp444.496.000 ·-·-·······- ···-··-······-··-··-·-··········-···········-···-········-··-······· Rp488.645.000 Rp4 72.468. 000 Rp48 l .803.000 Rp488. 1 69.000 Rp5 19.889.000 Rp475.9 1 7.000 Rp526.588.000 Rp486.306.000 Rp523. 750.000 Rp523. 750.000 Rp478.289.000 Rp5 1 6.850.000 Rp428.632.000 Rp5 1 3.850.000 Rp526.400.000 ·····-········-................ . . _...,.... Rp48 1 .3 1 6.000 Rp449. 526.000 Rp449 . 526.000 ,, __ ,, __ ,.,,,]•••••"--·•-""''"'"'">'••••-•-•^•••""''"-"°'""'"'''""''-"'•-••»•., Rp537.9 13.000 Rp535.075.000 40.2 Kendaraan Operasional Kantor dan/atau Lapangan Roda 4 (Empat) NO. PROVINS I SATUAN (1) (2) (3) PICK U P M I N IBUS (4) (5) DOU BLE G ARD AN (6) 1 . ACEH Unit . ... . .................. 13P?.?.?..:
?..7..?.. :
9.99. .......... 131?..9.7.} .. :
?..?3. .. '.9.9.Q . .... .....BP.!?. .. 1. .. ?. .. :
?.9.?.:
9.9..9. 2. S UMATERA UTARA Unit.... . ........... . ...... . . J.3: P.?.<?..!.:
.??.?..:
9..9. .Q.... . ...... ZP?..9. ?..:
9.. ?.9.:
9..9.9. . .......... : 13P: : : 1 : ?.. ?..:
.'?.9.:
9..9..9.
R I A u...... ................... . .......... . . Y. ^ni t .. .. 13P?.?..2.:
. U.?.:
?.99. ... # J ? .?.<?.T'.) . . ᑢL.9.99........... 1.3: 1?.. .?.. . . :
?3..9. .. '..99..9.. KEPULAUAN RIAU Unit . ...... .. . .. .. ....... . . J.3: P.??..? .. '..?..3..9. .:
9..9. .Q........... : 13P.Ꮺi.Ꮻ:
. 9..2.?..:
9..9.Q ... .... : 13P: 1:
?..:
ļ.?..9.:
9.9.Q. s. J.· .. 1:
. .. . ฤ .. ฦ--ว ............. - ... -.............. _........ . . - . .......... . ... . _____ ... ...... ·-·· · ·--·-··---· ·---··-··Y..ĽľĿ·-·- .. ___ .B.P.. ? _ ŀ.9.: !:
.Q.9.Q . .. . _ . .. . B.P.?..?..Ꮹ .. :
Ꮳ .. Ꮲ . .9.:
.9.9.Q .......... 131?..'.'.!.7..?.: '.?.Q:
.92.9.. , _ .. ล .. :
.... . Ł. ร ł .1:
._1. ࢇ - -- ย:
:
ม ·· · ·-- . . --·- .. ...... .. .. . .... -·-·---·-·----- --..._____ ._ .. . __ g2: Ʃt ... . . ... ._}3EᏲJ.Ᏻ _: §Q6..:
QOO .. . _: 13P._3. . . 3..?.:
i?..! . .: Q.9 _ Q . .. _ .. J3P: t- . . ?..Ᏸ:
±7..Ᏹ:
9..9 .Q ........ 7.... . · . .... . . s .....u ...... M .. ^...... A . ^.. . T ...... E . ^..... RA .............. . s . .. . . E ... .. . 1 . .. _ . . A _ ... T ..... A ....... N ............................................ .. ....................................................... . .... ............ Y.!.1.!! ^. . ^. . ........... 13P.'.?). ?..'. ?.?. :
9..9.9. . .. P.: ?,?.?.:
?..3..9.:
9.. 9..9.... . .. : 13 P. . '.1: ?.. ?.: ? . 3..9. .:
9 . 9Q 8. LAMPUNG Unit........................ J3P?J..?.. :
. C>..?..?..:
99.Q ........... J3P9?) .. :
. 1..Q9.: QQ.Q. ......... J3P.Ꮵ .?.. Ꮶ . . :
?.: ?,.Q.:
.9.9..9. . 9. BEN GKULU Un i . ! ...... ....... ........... !3.P.'.?.??..:
.. 1. J.?:
. ?..9.Q .$P?..?.9..:
?.??.:
9..9. 9......... 8J?: J-.!.?.:
?.9.9: Q.9.Q.
... . 1.... o .....· .....^. ^. . s .. . . ^A . ^. .... N ...... G ...... K ....... A .. ^. ...... B . .. ... E ..... 1 .. .. . . n.......u ....... N . .. . G .....' ............................................................................. ^. ........................... , .. ............ .Y..1.+.t........................... 8P?.9.?.:
ǡ.9.'.1:
:
9..9.9 . ...... . ... 13P9.9.9.:
??.9.:
.9.QQ ......... 13P'.'.!. 7.. .:
?.: ?,9..:
.99.Q 1 1. B A N T E N 12. JAWA BARAT 13. D.K.I. ,JAKARTA .14. JAWA TENGAH 15. D.I. YOGYAKARTA 1 6. JAWA TIMUR 17. B A L I 18. NUSA TENGGARA BARAT 19. NUSA TENGGARA TIMUR 20. KALIMANTAN BARAT 2 1. KALIMANTAN TENGAH 22. KALJMANTAN SE LAT AN 23. KALIMANTAN TIMUR 24. KALIMANTAN UTARA 25. SULAWESI UTARA 26. GO RO NT ALO 27. SULAWESI BARAT 28. SULAWESI SELATAN ..................... ···················-··········· 29. SULAWESI TENGAH 30. SULAWESI TENGGARA 3 1. MALUKU 32. MALUKU UTARA . ... . .. .. ........... . . 33. P A P U A 34. PAPUA BARAT 40.3 Kendaraan Operasional. Bus NO un ^i t.............. ........... !3.P.?..9..?.:
..?.?.. :
9..9. .9 .......... !3P?..?.!..:
} J .. .:
9.9.9 ....... !3P..Ᏼ6..9.: }.!..9.: 5?.9..9.. Unit...... .. ........ 13P?.?.?.:
?.?..? :
?.9.9. ............ 13P9.?..?..:
?.'.1: ?..:
9.9.2. .. ......... 13P.?..3.. :
. 1..?.2 .. :
9..9.9. un ^i t ................... . .. . BP.?...9.. :
3.. ?..'.'.!:
:
9..9 .9 . .......... !3P?.. 3.?.:
. ?..'.'.!..: 5?.9.9. ......... 8P.: 7: T!..:
'.'.!:
?..?..:
9.9.9. Unit............. . ... . 13P.?.9..?..:
? . . 1. . . ?.:
9..9.9. ........ BP.. ?.1..9.:
7..3. ? .. :
9.9.2 . ..... .. 13P.?.?..:
?.3..9. :
.9.9.9.. u ^ni t...... .. . ......... .P.. ?..1. .. ?:
.1.9..:
9.9.9. . ......... gP..3. T!.. :
?..?..9.: 5?.9..9 ......... 8P..?'.'.!:
?.:
?..?..7.. :
9.9..9 Unit.... . .. ...... . ......... 1.3: P? .. 1..?: ?..9.?..:
9..9..9. ........... 13P9 .. 1. . . 3..:
7.?.) .. :
99.Q. .......... 13P?..?.: ?..3.9..:
.99.9.. Unit.............. .. .. . .... J3P.?..9?..:
.. ?.9.. :
9.9.9 . .......... gP?.. ?5?.:
.'.'.!:
?.:
9.9.Q .......... : f3: P.'.±.7..?.:
3..?..9.:
9.9.Q. Unit . ........ .... . .......... 1.3: P?.?.?..:
.. 1. . . ?. .. :
9.<.?9. ............ 13P.. ?..9..?..:
Ń . . ?9.:
.Q9.9. . ......... 13P.'.'.1:
'.!..0. :
.?..?9..'..Q9.9. Unit.................. ... . .. . . . P.?.?.L.ǧ?.?. :
9..9 .9.... .. .....ŊP..0..?..?..:
9..?.?.:
9.9.9 .......... l.3: 1?.±?.. ?..:
0.0..9..:
9.9.9.. Unit..... ........ . .......... 1.3: P?.?.9..:
9..? ^. Q.:
9..<.?9. ............ 13 .P.. 9..'.'.1:
9 . . :
99.9.. .:
9..9. . ... . .. . ... 13 . P.. . ? Ꮽ .. :
?. .1. .9.. . :
9.9 . Un ^i t ......... . ...............13.P.'.?3..0. .. : iᏬ.?..:
9..9..Q ............ .f3: P3..Ꮷ?..:
! .. ?. . . 1. . . :
9.9.9 ......... P.± ?.l.. :
?. . !..9.:
9..9..9 Unit . .................... . .. 1.3: P.?.?.9.:
9.?.9.:
9.9.Q........ .. .. 13.P.. ?..'.'.1:
?.:
9..99..:
99..9. .......... 13.P.. '.'.1:
?.9 .. :
?..!:
9..'..99.9.. Unit.... . .. . .. .. ........... ... 13P.? ..9. :
9..?.9:
9.9..Q..... ...... .£3: 1?..3. .?.:
9..9 .9.:
9.9.9 .......... 1.3: 1?.: 7: ?..?.:
?..: ń . .9.:
9..9.Q. Unit . .. . .................... 1.3: P.?.'.?.9.:
9.?..Q.:
9.C?Q ............ 13.P.?..'.'.1: Ǥ .. :
9.'?.9.:
.Q.9.9........... . . Ꮾ.P.Ꮿ.?Ꮽ .. :
?..!:
9..'..9.9.9.. Un ^i t ...... . .......... ......... 13P.?.?..?. .. :
?.?.?.:
9..9. .9 ........... 1.3: P.0...Ǣ.:
?.?.?..:
9.9.9.... ...... 1.3:
P.±?..ᑡ.:
. ?. .. 1..9.:
9.9.Q. Unit ....... ..... . .......... 1.3: P.?.?.'.'.1:
:
9.?.9..:
9.9..9 ............ 13.P.?.?..?.:
?..7..?. :
.9..99. . .......... 13.P.[.?.±.:
?. .. ?9 .. '..9.. 9.Q. ··················-······ ··-···- ..... 1: !: !?:
Ņt····-····-· ...... -... .13.P.?.±: _ ņ_±L..Q. 9.9 . .. ...... .. .: !3J2.Ꮸ.?.?..:
. Ꮸ.?..? .:
9.9.-9 . ...... }sP.±?..?..:
?..?..9.:
9.99.. Unit ........... ····-······1.3: P?_!?.?Ň.?..ň.'!.:
.9.QQ .. -....... 13.P.?..7-7_:
?!?.9.. .:
9.9..Q. ........... 13 . P.'.± ?. ?. . :
?...9.. :
.9..9.9. . u n ^.i t .. . ....... . .......... .13.P.?.?.9..:
.9..9.ʼn.:
9..9.9............. 13 .P. Ꮴ . . ?..?.:
ǣ.?...:
9..9 .Q ........... Ō.P.: 7: ?..[.:
?..?..9 .:
9..9.9. Unit ............ . .......... 1.3: P?.1..?.:
·ǥ .. ?..?.. :
9.9.. Q. . .......... 8.P.?..'!: : : 1:
:
?.?9...:
9.. 9.9. ......... .13.P.'.'.1:
?.'i:
. :
?.?. 9 . :
9.. 9 . 9 . Unit . ............. . ... .... ... 13J?..?±?..:
9.?.?..:
9..9.Q . ........... 13P..0..!5..?..:
ŋ?.9.:
9..9.Q ......... ZP..?.9. ?..:
?.?..9.:
9..9 ^. Q unit.... . ........ . .......... 13 P?..:
:
:
?..9.?.:
.9..99. ............ 8.P.?.?.'.1:
:
?.'.1: ?.. .:
99..9. ........... 13.P!?.9.Ǧ .. :
?.0..9. .:
9.9.. Q . Unit .. . ....... ...... . ........ 13.P.. ?..<?.'.±.:
.0..?.. ?..:
9..9. Q ............ 1: 3: P.0. .. ?.?.. :
?...9.:
9.9Q .......... 1: 3: P?.?..'.'.1:
: }.?.1.9.:
9.9.9. Un ^i t Rp266.027.000 Rp386. 1 0 1 .000 Rp560.900.000 URAIAN SATUAN BESARAN (2) (3) (4) •............................. u .. .. .. n.... . i .. . t ..............................• ·········Rp.3.66ᐷ942: l566 •............................. u .. .. . n .. ... i...t...................... . .. . .. . . · ··· ··· · · ·R: iJ7is · : · ; is·: ; L·C5aO , .............. ^. .............. u . . :
.. n ___ ,_i __ t _, . .... . .. .......... .. . ...... . 1 · ภ-...P.I) . '. ຑ.-.'.:
?.?.§; '.B.'.C>.
4 Kendaraan Operasional Kantor dan/atau Lapangan Roda 2 (Dua) NO. PROVINS! f l ) (2) 1 . ACEH 2. SUMATERA UTARA 3 . R I A U 4. KEPULAUAN RIAU . .......... ..... .. ... . .... .. . .. .. ,_, 5. J A M B I SA TUAN OPERASIONAL LAPAN GAN (3) (4) (5) Unit .. .. . .. . ........ . ... . ... ... . .. . ...... . .. 8P.Ꮰ.?:
;
.?.Q.:
.9.9Q . .. . ... . .. 8 PᏟ.?. .. :
Ꮯ.?. . . :
9.9..9.. Unit........ . ............... 13: Pฟ.?..:
77.?. . . :
9..9.9. .. . ......... 13: P.?..?.:
?..9.9..:
9..9..9. Unit............ . .. . ...... ...... . . gP.'.?..?..:
. ?..?.9.:
.9 .9.9 . ...... . ... . .. gP.¨.; ?..:
. :
.ã.9.:
.9.9..9.
. ··········.... ..... ························-··- ·········.... ......... .. Y.: E.!!..... . .. gP.©.ª.:
. ?. . . ä.; 3-.:
9.9..9. ... . ...... _gpé-ê.:
.9 .9.1. .. :
.9.9..9 . Unit . ........ . ...... ............. . ..... . .. 13: P®.?.:
¨ .. ?..9.. .:
9..9.9. .......... 13: P.?.?.:
?; ?..9.. .:
9..9..9. •········ ^6 ······ ··· ....•.. s.... . u ........ M ········· ^A ······ ^T ······ ^E ······ ^RA ·················· ^B ······· ^A ······ ^RA ············ ^T ·······································································································································l····························u ······ ^n ······· ^i ···· ^t ····························I.... ...... ......gP?..?.:
?..7.?..:
.9 9.9. . ....... .. ... gP.?..?..:
. ?.9.9.:
9..9.9. 7. SUMATE.RA SELATAN Unit.......... . .................. gP.© .. ?..:
. ?..?.9.:
.9.9...9 . ............. gp; ?.; ?:
.:
.ã.9.:
.9.9. .9. 8. LAMPUNG ···········-········-·--·····-···--·-·······--··-.... ...... . ....... ... . . -.. Y..? J! .. . . -................. ................... 13: P..å..!5-.:
æ§.9 .. :
9.. .9.Q ............... 13: P..ë-ç-.: ã4:
'2.: '2.9.9 . . 9 . BENGKULU Unit ...... ................... 13: P.°.!?.:
¨ . . ?.9..:
9..9.9.. .............. 13: P.;
.?.:
?..å.?.:
9..9.9. , .. J.?..:
.. ^_ ^1.3 ^ANGKA BELITUNG Unit............. . .. . ...... . ....... : RP.Ꮰ.?:
;
. . ?.9:
.9.9.Q .. ...... .... . : RP.Ꮱ.;
.. :
ã'.i.:
9..:
9.9..9. •..... 1 ...... 1..... · .... j l· ^B ········· ^A ·········· ^N ········· ^T ········ ^E ·········· ^N ··········································································································································································· 1····························u ······· ^n ······· 1 · .. t .............................•................... 8 Pè.ã.:
9..1.:
9.:
9..9..9 .............. 13: P.?.J .. :
è.?..9.:
9..9.9. . . 1. ^· . . ป :
... -!_ J: '!!.. 12 . ... . . f!>.f: พ..T.. ..... . ........................... .................................................... ......................................... Unit ... 13: P.บ:
.:
. Q . . 1. .. ¨ . . :
9.9.Q .13: P.?. .. ä.:
è.?. . 9..:
9 . 9.9.. 13. D.K.I. JAKARTA 14. JAWA TENGAH 1 5. D.I. YOGYAKARTA 1 6. JAWA TIMUR 17. B A L I 1 8. NUSA TENGGARA BARAT 19. NUSA TENGGARA TIMUR 20. KA.LIMANTAN BARAT 2 1 . KALIMANTAN TENGAH 22. KALIMANTAN SELATAN 23. KALIMANTAN TIMUR 24. KALIMANTAN UTARA . ... . .. . .. . .... . .... . .. . ............ . .. . .. ............ 25. SULAWESI UTARA.... . .......... . .. .. . . - .. . .....26. GORONTALO 27. SULAWESI BARAT 28. SULAWESI SELATAN 29. SULAWESI TENGAH 30. SULAWESI TENGGARA 3 1 . MALUKU 32. MALUKU UTARA 33. P A P U A 34. PAPUA BARAT Unit . ... .. . ............. gP.'.?.ª.:
. 9 .. 1..?..:
.9 .9..9 . ............ : RP.;
.?.:
.. 1..9..9.:
.9 .9.9. Unit...____ ..}3J?.? _ Ꮮ.:
. ?...!:
? .. :
9.9. .9 . ... _ ..... . . 8P.?.ธ..: น§ . .9..:
9_Q.Q. Unit ......... . .. .. . . 13: P.®.'.7..:
?..1 ^. . . ?. . . :
9..9.9. ............... 13: P.?..?..:
: i: ?... 1. .. :
:
. ?. .. 1..?..:
.9 9.9. . ........... gP.ฝ.?..:
. ?. 9 ?. . :
.9..9 .9. . Unit............... . .............. gP..© .. ?..:
.?..7.?..:
.9..9..9. . ............. gP.. ; ?.?..:
.?..9..9.:
.9. .9.. .9. Unit . ................ ............ Rp25.775.000 . .......... . ... J3: P..7.:
. 1. . . å.: ?.:
9..9.9.. Unit......... . .. gP.. Ꮰ.?.: ?.7..?. .:
.9 .9.9. .......... . gP.?.?..:
.?.?..:
.:
.9.9. .9. Unit ... .. .. . .... . ......... gP.© .. ?..:
. ?.è.?.:
.9 .9.9........... !3P.;
.'?..:
.?..7..9.:
.9 .9.9. Unit ........... . ............... . . gP.®.¯.:
?..©.¨ . . :
9..9.9.. .... Rp37.750.000 Unit Unit Unit Unit Unit ........ ................ _gpè?.:
?..å.? .. :
9.9.Q ............... 13: P.;
.?.:
?7.9..:
9..9.Q ................. gP.«.?..:
. ?«.?..:
.9..9.9 . ... ........ ¬P.¨ .. ?..:
.?..7.9. .:
.9..9.9.
............... 13: P.?. .. : ?è.?. .. :
9..9.9 ........... 13: P.?..?.:
?..?..9.. .:
9.9.9.
3: P..å.?.:
?..å.?. .. :
9..9..9.. ............... 13: P.?..?.:
?..7..'2.: ••••••••••••••• • • •• •••••••• !3P. « .7.. :
. ?.?..9:
.9 .9..9.. • H• •O g p ;
7.. :
.7. .: ?.9 . :
.9. 9. .9 Unit ............... J3: P®.¯.:
?.!: .:
9..9..9.. .... ...... 1.3P.?.}.: ?.??.© . . : Unit...... ...... . J3: P..'.i.:
:
?. .. ᏻ.ᏼ . . :
9..9.Q .............. J3: P.¨.«.:
4:
.9..9.9. .........g P. ;
.7. .:
.?.. ?.9.:
.9 .9..9. Unit . ........ . ...... .8P.Ꮰ7. .. :
?. . . ?..9:
.9. .9.... . ... . . 1.3: P.?..'.!. . . :
7.. : ?.9.: Unit..................... . ...... 8Pè.7.. :
?...9 .9.. .:
9..9.9. ............. 13: P.;
.?. .. :
?.?..9.: Unit . .................. . ... . 13: P.'.?..T:
?..9.9.:
.9..9...9..... . ....... gP.;
. ?..ì..9. :
. 9.9.9 . ... ........ gP.:
.©.:
9 . .7...9. .:
9..9.Q. Unit Rp28.388.000 Rp39.9 1 0.000 41. SATUAN BIAYA PENGADAAN PAKAIAN DINAS PAKAJAN D.!NAS SATUAN PAKAIAN DINAS PEGAWA1/ DOKTER PERA WAT NO. PROVINSl I l l (2) 131 ( ^4) (5) PAKAIAN SERAGAM MAHASISWA/ TAR UNA f6l PAKAIAN KERJA PENGEMUDI /PETUGAS KEBERS!HAN/ PRAMUBAKTI (7) PAKAIAN KERJA SATPAM (8) 1. ACEH Stel ....... ................. J.3P!..E.J .?..:
9.9..9. . ...... ........... J.3P?.?..9..:
9.9.9. ................... .. 8P?..9..:
9.9.9. . ..................... J.3P.f>..9..:
9..9. 9. ........... 8P..1. . . :
. ž.ſ..:
9..9..9.. 2. SUMATERA UTARA.... ..................... . §. Ώ.y !................ ..........JP.§.P.:
9.9..Q . .................. J<.P.!J..?..?..:
9.9.Q . ..... ......... ..J<.P..!:
9.:
9.9.Q ................. J<.P..9.:
9.9.Q . .. ....... . gP. .??.:
.9.9.
......3 . .. .. · ......1H.......1 ... . . A ·······U ··································································································i········· .?.t.i: !.1... ..................... 8P.?..1..?.:
9.9..9. ..................... BP.§.9.9..:
9.9..9. ...................... gP..?.?.:
9.9.9. ....................... ƎP..?.:
9..9. ....... J<P.1.:
?..ƀ.9..:
9.9.Q 4. KEPULAUAN RIAU . .................. ... .................... ............ §.!.<: !..... . ........ P .. ?..!.?..:
9.9..9.. ..P..6. .. ?.:
9..9. .9 . ....................... P.!5..f:
?..:
9.9..9..... .. . ............... . !3: P.§J.?..:
9.9.9. . ............ P..1. .. :
!.?.!5..:
9.9..9.
,J A M B I........ . ........ §.t./.J.. .......... .. .............. gP.?. .. 1..?.:
9.9.. 9. ....................... g.l?..?..?.!J..:
9.9..9. ....................... gP.§.?.?.:
9.9..9. ....................... gP.: : i.?..?.:
9.9..9. ............. gP .. 1..:
.1. ?..!'.i.:
9.9.Q.
SUMAT.ERA BA RAT . ..... . ....... . ...... . +!,!.... .... ............. .... !3: P..!..'.7. .?..:
9.9..9..................... 8P.0..?..?..:
99.9 ..................... 8P.0.'.?.?..:
9.. 9Q . .................. PP.0..1. .. p.:
9.99 ............. 8P..1. . . :
Ą.?..?..:
9..9.9. , ...... ?..:
... . . Ꮤ ^UMATERA SE LAT AN ............ .. . ...... : ':
),.L . ........................ . 8P..?§.9..:
9.9..9. . .... . ............ . .....8P..§.'.2.. ?..:
9..9..9......... . ........... 8P.?..??.:
9.9..9. . ....................... 8P.§.9..'.2.. .:
9..9..9...... . ...... . . 8P. . . l..:
9.9.9..:
99..9.
LAMPUNG Stel........... .. . .. . .. . . : ƁP.?.§9..:
9.9..9.. ............. f.SP!J..f:
?..:
9..9.9 . .. ................... !3: P: ?..f:
?..:
9.9.9. ............... !3P.§: '.3.f: i:
99.Q ... ... ƂPl ^. .:
ƃ}}.:
9..9..
... . . 9 . .. . . •.... . 1.B ..... E . . ' .. N . .. . .. o...' .. K . .. . . v .. · . .. . L .....u.................... .. .. . .......... . .............. . ...... ...... . .. ............ . . , ........... l?.!.yl....... . .. ..... J*P§.!.?..:
9.9..9 . .. ......... .. J+P?.?..?.:
9.9.9. . ......... .. . J*P.: ?.?.?..:
.9. .Q ... . .......... . . JP.'.1: ?..9. :
9.99......... . . J*P.t . . 1..'.2..!5..:
9.9.9.
BANG KA BELITUNG......... ..................§.t.i: !.l.... ...... . .. ....... . .........8 P.?..9.: ?..:
9.9.9. .. ............. BP..?..? . . ?..:
9.9.9. .. . ... . .. . ............ . 8P..§§?.:
9.9..9..... . .................BP..?. .. 1..?.:
:
.9.9. . .......... 8P..1..:
?..!:
9.:
9..9. 9.. 1 1 . B A N T E N . . ^...... . ^............ §.-: <: !..... . .... .. ......... PP.f:
f:
?..:
9.9..Q . .. . ............... . 8P?..?..?..:
9.9..9 . .. ....... ...... Ε1?.1 . .T§.:
9.9..Q ....................... 8.J?.1 .. !:
9.:
9..9.9.. . ........ P.}:
:
9.9..9. .:
9.9.Q 1 2 . JA WA BARAT.... . ...... . §.tΓ.l.. ...... . .............. ....... gP.§.?.: ?..:
9.9 . 9. . ........... . ... . .. . . gp_§.9.9.:
9.9.9. .. .. . ........ gP..?.§.:
9.9.9. ....................... g P..'.2.. ?. . :
.9 .9 . .. . ............. . .. R P.?J.7. !'.i . :
..... 1 . . ?..:
.. ^_D.K.I. JAKARTA .. . ............... ?!..!........ .................. 8P.f>.Ƅ.?.. :
9.9..Q ....................... PP.0.7..9. .:
99.Q ..................... 8P.0.0.9.:
9.9Q .. ................... RP.§.2.9..:
9..9. Q .. ......... 8P..l. . . :
?.9.9..:
9.9..9.
JAWA TENGAH...............§.*<: : .1.... . .. ..... ... ........ 8.P..§.9.9..:
9..9..9. . ....................... 13P.'.i:
?..?..:
9..9..9........ ....... ....... . gP...?..: ?.:
.9.9..9. . ... . ...................gP..?..?..?..:
.9.9. . ................. . . RP.?.9..9.:
9.9..9.. 1 .... . 1...s .....· . .. l·D ········r. ······y ·····o ·····G ····'··y ····A ·····KA ··········R ····T ·····A ··························································J...........ΐ!.yΑ......... . .. .... ..... l.SP.: ?..?..9..:
9.9..9 . ....................... l.SP.?..!.?..:
9.9.9 . ...................... !3Pq.?..:
9.9..9.... . .. ....... . .. ...!3P.9.:
9...<?.9..C>........ . . !: P..?..§.: ?..:
9.9..9. l 6. J A WA TIMUR............ . . ?!.!..... . .......... !3: P.!..? .?..:
9.9..9. . .............. . .. .....RP.'.±.?.9..:
9..9. .9..1 •••••••••••••• • ••••• R P. 9. .9. :
9.9.9. . ............ ,P.1. .. :
9..+? . . :
.9..Q 17. B A L I . ........... ........... ?.t..1... .... . ........ 8P.?...1. .9. .. Ί9.9.9..... . ... 13.P..':
?.9..ƅ().9.Q................. gP.'.i:
9.9..:
9..9.9. . .. ··········--··8.P..'.?.2 .9. .. · . . 0..9.9. . ..........gP. . . 1..:
9..f:
; i_:
9..9. 9.. 1 8 . NUSA TENGGARA BARAT ................ ... . ......... §.!: !!. !........................ RP?.L?..:
9.9.Q ....................... RP.: ?..9.9.. :
9.9..9 . ...................... RP.?..9..:
9.9.9. . ....................... RPi.9.:
9..9. 9..... . ...... . . ĆP} .. J.?..: ?..:
.9.9. l·····l ····9 ···· ·····l·N ·····l ···J ···S ····A ········T ·····E ······N ·····G ·····G ·····A ·····R ·····A ········T ·····r . . M . .. . ... l . . m.... . .. ·..................... . .. . 1 ^. ^. ^. ^. ^. ^.. ^. ^. ^.. §.+,!l...................... J3P.!d: '1:
:
9.9.9. ....................... 13.P.?..d?..:
9..9..Q .................... J3P..?..?.?..: Q.9.. Q ...................... 13P.'1..9. .:
.9.9. ......... gP.}Jf.?..:
9.9Q.
KALIMANTAN BARAT ...... ... . .. . +!..!................ .. . .. . .. . .. . gP.?..!}.:
9.9..9. . ..................... RP.0.q.?..:
9.9.Q ....................... RP.?..6..?..:
9.9.9. . ....................... 8P.: ?..!.9..:
9..9. 9. . .......... gP..1. .. }. ? . ?. . :
.:
9.9..9.... . ........... . ... . . gP.?..?. ?. .:
.9..9. . .. ................. J3P..?..!5..:
9..9..Q ....................... J3P...': 1: Q.:
.9..9.. . ............... RP?.?..?..:
9.99.. ,._ ?. . Ꮣ .: , ᒝ.L.!Ꮪ.Ꮫ: T'.'.': Ꮬ ......Ã.ÇÈ!: Ä-·-··--·-···· ........... §..!.. ··- ....... ____ 8r..?..l"Ό.:
.0.9. .9. . . ... .. .. .... . .. ^. . . 8P.6 ^2 S.QQ .. Q --···-··-·······!5E§.?.9-:
9..9Q ··--···· .. ····ÅBE?..§.9.Æ0..9.9.. ...... . _.... 8P.l.:
. I.±.§.:
.._ ^KALIMANTAN TIMUR............ .. . . §.!/! ..... . .. ................ PP.?..!.?..:
9.9..9 . .. .................. RP..?..Ɔ.?..:
9.9.9. ............ ........ RP.!5..?.Ƈ.:
9.9.9. . ............... ....... !S: P.: '1: ?..p.:
9.9.Q .............. ąP.1 ^. .J?..!5..:
9.9.9.
... 2.... 4..... · .... i.K.... A.... . . L ... 1....rv.... . 1 . . A ······N ······T ·····A ······ N ·········U ······T ····A ·····RA ··················································l···········§.t.i: !.1...... . ................. 8P..?. . . 1..?.:
9.9..9......... ........... . . J3P..?..?.!5..:
9..9.9. .. . ... . .......... . . 8P.§.?.?.:
9.9.9. . ....................... gP.. .?..ƈ.:
9.9..9.. ........ .......... RP.29..9.:
9.9.9..
SULAWl.SI UTARA.... .. . ...... . ?0: f!.l ........ ...... ...... .........81?.TƉ}.:
9.Q.9. . ... ................ .RP.!5..T?..:
9.9.Q . ....................... RP.§.§..9..:
9.9..9. ....................... J.3P§q.?..:
9.99 . .. . ..... RP} .. J.?..9. .:
.9.9. , .... Ꮦ.?.:
. _ (_} ^ORONTALO.... .......... . §.1: ,:
1....... . ................. 8P.?..1..0.:
9..9..9. ....................... 8P.§..1..?..:
.9.9. .................... gP.. .§.9..:
9..9.9.. ....................... J3P..ć.9..:
.9.9. . ............ 8P).J'.??.:
9.9Q. 2 7. S ULAWESI BARA T........... . .............§Ꮭ.9.1........................ gP.!..<.?..:
9.9.9. . .. . .............. 8P.'.±.f:
?..:
9..9. .Q . .. ................ RP.: '1:
9..9..:
99.9. . ...................... 812.;
.;
9..:
9..9. 9..... .. ...... 8P.. l. . . :
9..?..1.:
9..9.Q .9..9.9. . .......... . . 13P..?..'.! :
9.9..9. ................ 13P..Ꮧ.?.. §:
9.9..9. .............. ... J3P..?.?..9 :
9..9..9. . ... ......... I.SeƋ.Ɗ}.:
S ULAWESI TENGAH................ . .. . . §t.i: !l........... ....... . f.5.P.. !.1..§.:
9..9.. Q ...................... gP...?.?.:
.9.9................... 13.P....9.:
9..YΎ.:
SULAWESI TENGGARA Ste!.... ......P.?..!.9.:
9.9. . .9............. . RP.:
9..9..9. ·-··- ... .. . ...... RP.: '1:
.9..9.:
9..9. . .9.......... RP?.5.J..9.: 3 1 . MALUKU.... . ............... . . §.t.0.f:
9.9.9. ....................... g P.. ?.. § .:
... 3.... 2..... . ·...I ·M ····· ^· ·A ····.L ·····u ······K ······u ·········u ·····T ······ A .. ·...R ······A ····························································I . ..... . ... ?.!i:
9.9.9 ... ....... RP.1. .. : ?..9.9. :
.9..9. 33. P A P U A.......... . ... . §.)-.l...... . .......... .13.P.2.;
9.Q.9. . ...... . .. ...... f.5.P.§..1.. ;
.:
9.9..9. . ... .... f.5.P.}.:
9.. 99.. 34. PAPUA BAR A T Ste! I<p875.000 I<p775.000 Rp603.000 I<p553. 000 Rp l .625.000 PENJELASAN STANDAR BIAYA MASUKAN TAHUN ANGGARAN 2017 YANG BERFUNGSI SEBAGAI BATAS TERTINGGI 1. Honorarium Penanggung Jawab Pengelola Keuangan Honorarium diberikan kepada Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Pejabat Penguji Tagihan dan Penandatangan Surat Perintah Membayar, Bendahara Pengeluaran, dan Staf Pengelola Keuangan/Bendahara Pengeluaran Pembantu/Petugas Pengelola Administrasi Belanja Pegawai (PPABP) selaku penanggung jawab pengelola keuangan. Honorarium Penanggung Jawab Pengelola Keuangan pada setiap satuan kerja, diberikan berdasarkan besaran pagu yang dikelola Penanggung Jawab Pengelola Keuangan untuk setiap Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA), dengan ketentuan sebagai berikut:
Kepada Penanggungjawab Pengelola Keuangan yang mengelola lebih dari 1 (satu) DIPA, dapat diberikan honorarium dimaksud sesuai dengan jumlah DIPA yang dikelola dengan besaran didasarkan pagu dana yang dikelola pada masing-masing DIPA. Alokasi honorarium tersebut dibebankan pada masing-masing DIPA.
Untuk membantu PPK dalam pelaksanaan administrasi belanja pegawai di lingkungan satuan kerja, KPA dapat menunjuk PPABP. Besaran honorarium PPABP diberikan mengacu pada honorarium Staf Pengelola Keuangan sesuai dengan pagu belanja pegawai yang dikelolanya.
Ketentuan Jumlah Staf Pengelola Keuangan (SPK) diatur sebagai berikut: 1 ) Jumlah SPK yang membantu KPA: a) KPA yang merangkap sebagai PPK dan tan pa dibantu oleh PPK lainnya, jumlah SPK paling banyak 6 (enam) orang, termasuk PPABP. b) KPA yang dibantu oleh satu atau beberapa PPK, jumlah SPK paling banyak 3 (tiga) orang termasuk PPABP.
Jumlah Keseluruhan SPK yang membantu PPK dalam 1 (satu) KPA tidak melebihi 2 (dua) kali dari jumlah PPK.
Jumlah SPK untuk PPK yang digabungkan diatur sebagai berikut: a) jumlah SPK tidak boleh melampaui sebelum penggabungan; b) besaran honorarium SPK didasarkan pada jumlah pagu yang dikelola SPK; dan c) dalam hal penggabungan PPK dilaksanakan tahun anggaran sebelumnya, maka jumlah SPK paling banyak sejumlah SPK tahun sebelumnya.
Jumlah keseluruhan alokasi dana untuk honorarium penanggung jawab pengelola keuangan dalam 1 (satu) tahun anggaran paling banyak 1 0% ( sepuluh persen) dari pagu yang dikelola.
Dalam hal Bendahara Pengeluaran telah diberikan tunjangan fungsional bendahara, maka yang bersangkutan tidak diberikan honorarium dimaksud. Cata tan: Honorarium penanggung jawab pengelola keuangan dapat diberikan kepada pengelola kegiatan yang secara langsung mengelola dan melaksanakan kegiatan yang anggarannya bersumber dari Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara (BA BUN) dengan ketentuan alokasi honorarium dimaksud berasal dari pagu Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga (RKA-K/L) berkenaan.
Honorarium Penanggung Jawab Pengelola Keuangan pada Satuan Kerja yang Khusus Mengelola Belanja Pegawai Honorarium yang diberikan kepada Pegawai Aparatur Sipil Negara/ Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) /Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang ditunjuk untuk melakukan pengelolaan belanja pegawai pada Kementerian Negara/Lembaga/ satuan kerja sesuai surat keputusan pejabat yang berwenang. 3 . Honorarium Pengadaan Barang/Jasa a. Honorarium Pejabat Pengadaan Barang/Jasa Honorarium diberikan kepada seseorang yang diangkat oleh Pengguna Anggaran (PA)/Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) sebagai Pejabat Pengadaan Barang/Jasa untuk melaksanakan pemilihan penyedia barang/jasa melalui penunjukkan langsung/pengadaan langsung sesuai dengan ketentuan yang berlaku. b . Honorarium Panitia Pengadaan Barang/Jasa clan Kelompok Kerja Unit Layanan Pengadaan (ULP) Honorarium diberikan kepada seseorang yang diangkat oleh PA/ KPA menjadi Panitia Pengadaan Barang/Jasa atau Kelompok Kerja ULP untuk melaksanakan pemilihan penyedia barang/jasa sesuai dengan ketentuan yang berlaku. c . Honorarium Pengguna Anggaran Honorarium diberikan kepada Pengguna Anggaran dalam hal: 1 ) melakukan penetapan pemenang atas pelelangan atau penyedia pada penunjukkan langsung untuk paket pengadaan barang/ konstruksi/jasa lainnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku; a tau 2) menetapkan pemenang pada seleksi atau penyedia pada penunjukkan langsung untuk paket pengadaan jasa konsultansi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Catatan: Dalam hal Pejabat Pengadaan Barang/Jasa atau anggota Panitia Pengadaan Barang/Jasa dan Kelompok Kerja ULP telah menerima tunjangan fungsional pengelola pengadaan barang/jasa, maka tidak diberikan honorarium dimaksud. 4 . Honorarium Perangkat Unit Layanan Pengadaan (ULP) Honorarium diberikan kepada Pegawai Aparatur Sipil Negara/ Anggota Polri/TNI yang berdasarkan surat keputusan pejabat yang berwenang diberi tugas tambahan sebagai perangkat pada ULP. Yang dimaksud dengan ULP adalah unit yang struktur organ1sasmya dilekatkan pada unit organisasi yang sudah ada. Dalam hal ULP sudah merupakan struktur organisasi tersendiri dan perangkat ULP telah diberikan remunerasi sesuai ketentuan yang berlaku, maka perangkat ULP tidak diberikan honorarium.
Honorarium Penerima Hasil Pekerjaan Honorarium diberikan kepada panitia/ pejabat yang ditetapkan oleh PA/KPA yang bertugas memeriksa dan menerima hasil pekerjaan.
Honorarium Pengelola Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Honorarium diberikan kepada Pegawai Aparatur Sipil Negara/ Anggota Polri/TNI yang diberi tugas oleh pejabat yang berwenang untuk mengelola PNBP fungsional dengari ketentuan sebagai berikut:
Jumlah petugas penerima PNBP atau anggota paling banyak 5 (lima) orang;
Jumlah alokasi dana untuk honorarium Pengelola PNBP dalam 1 (satu) tahun paling tinggi sebesar 1 0% (sepuluh persen) dari target pagu penerimaan PNBP fungsional; clan c. Dalam hal bendahara penerimaan telah menenma tunjangan fungsional bendahara, maka yang bersangkutan tidak diberikan honorarium dimaksud. 7 . Honorarium Pengelola Sistem Akuntansi Instansi (SAI) Honorarium diberikan kepada Pegawai Aparatur Sipil Negara/ Anggota Polri/TNI yang diberi tugas melakukan pengumpulan data, pencatatan, pengikhtisaran sampai dengan pelaporan posisi keuangan dan operasi keuangan pada Kementerian Negara/Lembaga sesuai dengan unit akuntansi masing-masing, baik yang dikelola secara prosedur manual maupun terkomputerisasi. SAI terdiri dari Sistem Akuntansi Keuangan (SAK) dan SIMAK-BMN (Sistem Informasi Manajemen dan Akuntansi Barang Milik Negara) . Ketentuan mengenai jumlah pengelola SAI adalah sebagai berikut:
ditetapkan atas dasar Keputusan Menteri, paling banyak 7 (tujuh) orang; dan b . ditetapkan bukan atas dasar Keputusan Menteri, paling banyak 6 (enam) orang. Cata tan: Kementerian Negara/ Lembaga tidak diperkenankan memberlakukan satuan biaya Honorarium Tim Pelaksana Kegiatan dalam pengelolaan SAL 8 . Honorarium Pengurus/ Penyimpan Barang Milik Negara Honorarium diberikan kepada Pegawai Aparatur Sipil Negara/ Anggota Polri/TNI di lingkungan Pengguna Barang dan Kuasa Pengguna Barang yang melaksanakan tugas rutin selaku pengurus/ penyimpan barang berdasarkan surat keputusan Pengguna Barang. Jumlah pejabat/pegawai yang dapat diberikan honorarium selaku pengurus/ penyimpan barang milik negara paling banyak 4 (empat) orang pada tingkat Pengguna Barang dan 2 (dua) orang pada tingkat Kuasa Pengguna Barang. 9 . Honorarium Kelebihan Jam Perekayasaan Honorarium atas kelebihan jam kerja yang diberikan kepada fungsional perekayasa yang diberi tugas berdasarkan surat perintah dari pejabat yang berwenang melakukan perekayasaan, paling banyak 4 (empat) jam sehari, dengan tidak diberikan uang lembur dan uang makan lembur. 1 0. Honorarium Penunjang Penelitian/ Perekayasaan Honorarium diberikan kepada seseorang yang diberi tugas untuk menunjang kegiatan penelitian/perekayasaan yang dilakukan oleh fungsional peneliti/ perekayasa sebagai pembantu peneliti/ perekayasa, koordinator peneliti/ perekayasa, sekretariat peneliti/ perekayasa, pengolah data, petugas survei, pembantu lapangan berdasarkan surat perintah pejabat yang berwenang. Dalam hal pembantu peneliti/perekayasa berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil, maka peneliti/perekayasa dimaksud tidak diberikan uang lembur dan uang makan lembur. Cata tan:
Dalam hal penelitian/ perekayasaan dilakukan bersama-sama dengan Pegawai Negeri Sipil (non fungsional peneliti/ perekayasa) , kepada Pegawai Negeri Sipil (non fungsional peneliti/ perekayasa) atas penugasan penelitian yang dilakukan di luar jam kerja normal diberikan honorarium paling tinggi sebesar 85% (delapan puluh lima persen) dari honorarium kelebihan jam perekayasaan untuk perekayasa pertama serta tidak diberikan uang lembur dan uang makan lembur.
Khusus honorarium pembantu lapangan, dalam hal ketentuan mengenai upah harian minimum di suatu wilayah lebih tinggi daripada satuan biaya dalam Peraturan Menteri ini, maka satuan biaya ini dapat dilampaui mengacu pada ketentuan tersebut. 3 . Honorarium penunJang penelitian/perekayasaan diberikan secara selektif dengan mempertimbangkan prinsip efisiensi dan efektifitas. 1 1 . Honorarium Komite Penilaian dan/atau Reviewer Proposal dan Komite Penilaian dan/atau Reviewer Keluaran Penelitian Honorarium diberikan kepada Komite Penilaian dan/atau Reviewer Proposal dan Komite Penilaian dan/atau Reviewer Keluaran Penelitian yang dibentuk dan ditetapkan oleh Penyelenggara Penelitian sebelum tahapan pelaksanaan penilaian penelitian. Komite Penilaian dan/atau Reviewer Proposal dan Komite Penilaian dan/atau Reviewer Keluaran Peneli tian memiliki mas a kerj a terten tu un tuk mem berikan penilaian pada penelitian yang bersifat khusus/penugasan dan/atau penelitian kompetisi. Cata tan: Ketentuan lebih lanjut terkait dengan Komite Penilaian dan/atau Reviewer Proposal dan Ko mite Penilaian dan / a tau Reviewer Keluaran Penelitian berpedoman pada Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi mengenai Pedoman Pembentukan Komite Penilaian dan/atau Reviewer dan Tata Cara Pelaksanaan Penilaian Penelitian dengan Menggunakan Standar Biaya Keluaran. 1 2 . Honorarium N arasum ber / Pem bah as/ Moderator/ Pem ba wa Acara/ Panitia 1 2 . 1 Honorarium Narasumber / Pembahas Honorarium yang diberikan kepada Pejabat Negara/ Pegawai Aparatur Sipil Negara/ Anggota Polri/TNI yang memberikan informasi/pengetahuan dalam kegiatan Seminar/ Rapat/ Sosialisasi/ Diseminasi/Bimbingan Teknis/ Workshop/ Sarasehan/ Simposium/ Lokakarya/ Focus Group Discussion/Kegiatan Sejenis yang dilaksanakan baik di dalam negeri maupun di luar negeri, tidak termasuk untuk kegiatan diklat/ pelatihan. Cata tan: 1 . Satuan Jam yang digunakan dalam pemberian honorarium narasumber/pembahas adalah 60 (enam puluh) menit baik dilakukan secara panel maupun individual. 2 . Honorarium narasumber/pembahas dapat diberikan dengan ketentuan:
narasumber / pembahas berasal dari luar unit organ1sas1 eselon I penyelenggara; dan/atau b . narasumber / pembahas berasal dari dalam unit organisasi eselon I penyelenggara sepanjang peserta yang menjadi sasaran utama kegiatan berasal dari luar unit organisasi eselon I penyelenggara/ masyarakat. 1 2 .2 Honorarium Moderator Honorarium yang diberikan kepada Pegawai Aparatur Sipil Negara/ Anggota Polri/TNI yang ditunjuk oleh pejabat yang berwenang untuk melaksanakan tugas sebagai moderator pada kegiatan Seminar/ Ra pat/ Sosialisasi/ Diseminasi/ Bimbingan Teknis/ Workshop/ Sarasehan/ Simposium/ Lokakarya/ Focus Group Discussion/Kegiatan Sejenis yang dilaksanakan baik di dalam negeri maupun di luar negeri, tidak termasuk untuk kegiatan diklat/ pelatihan. Cata tan: Honorarium Moderator dapat diberikan dengan ketentuan: 1 . moderator berasal dari luar unit organ1sas1 eselon I penyelenggara; dan/atau 2 . moderator berasal dari dalam unit organisasi eselon I penyelenggara sepanjang peserta yang menjadi sasaran utama kegiatan berasal dari luar unit organ1sas1 eselon I penyelenggara/ masyarakat. 1 2 . 3 Honorarium Pembawa Acara Honorarium yang diberikan kepada Pegawai Aparatur Sipil Negara/ Anggota Polri/TNI yang ditunjuk oleh pejabat yang berwenang untuk melaksanakan tugas memandu acara dalam kegiatan Seminar/ Ra pat/ Sosialisasi/ Diseminasi/ Bimbingan Teknis / Workshop/ Sarasehan / Simposium/ Lokakarya/ Focus Group Discussion/Kegiatan Sejenis yang dihadiri oleh Menteri/ Pejabat Setingkat dengan peserta kegiatan minimal 300 (tiga ratus) orang clan sepanJang dihadiri lintas unit eselon I /Kementerian Negara/Lembaga lainnya/ masyarakat. 1 2.4 Honorarium Panitia Honorarium yang diberikan kepada Pegawai Aparatur Sipil Negara/ Anggota Polri/TNI yang diberi tugas oleh pejabat yang berwenang sebagai panitia atas pelaksanaan kegiatan Seminar/ Ra pat/ Sosialisasi/ Diseminasi/ Bimbingan Teknis / Workshop/ Sarasehan/ Simposium/ Lokakarya/ Focus Group Discussion/ Kegiatan Sejenis sepanjang peserta yang menjadi sasaran utama kegiatan berasal dari luar lingkup unit eselon I penyelenggara / Kernen terian Negara/Lembaga lainnya/ masyarakat. Dalam hal pelaksanaan kegiatan Seminar / Rapat/ Sosialisasi/ Diseminasi/ Bimbingan Teknis / Workshop/ Sarasehan/ Simposium/ Lokakarya/ Focus Group Discussion/Kegiatan Sejenis memerlukan tambahan panitia yang berasal dari non Pegawai Aparatur Sipil Negara harus dilakukan secara selektif dengan mempertimbangkan urgensi, dengan besaran honorarium mengacu pada besaran honorarium untuk anggota panitia. Jumlah panitia yang dapat diberikan honorarium maksimal 1 0% (sepuluh persen) dari jumlah peserta dengan mempertimbangkan efisiensi dan efektivitas. Dalam hal jumlah peserta kurang dari 40 (empat puluh) orang, jumlah panitia yang dapat diberikan honorarium paling banyak 4 (empat) orang. 1 3 . Honorarium Pemberi Keterangan Ahli/ Saksi Ahli dan Beracara a. Honorarium Pemberi Keterangan Ahli/ Saksi Ahli Honorarium diberikan kepada Pejabat Negara/Pegawai Aparatur Sipil Negara/ Anggota Polri/TNI yang diberi tugas menghadiri dan memberikan informasi/ keterangan sesuai dengan keahlian di bidang tugasnya yang diperlukan dalam tingkat penyidikan dan/atau persidangan di pengadilan. Dalam hal instansi yang mengundang/ memanggil pemberi keterangan ahli/ saksi ahli tidak memberikan honorarium dimaksud, instansi peng1nm pemberi keterangan ahli/ saksi ahli dapat memberikan honorarium dimaksud.
Honorarium Beracara Honorarium diberikan kepada Pejabat Negara/ Pegawai Aparatur Sipil Negara/ Anggota Polri/TNI yang diberi tugas untuk beracara mewakili instansi pemerin tah dalam persidangan pengadilan sepan j ang merupakan tugas tambahan dan tidak duplikasi dengan pemberian gaji dan tunjangan kinerja. 1 4 . Honorarium Penyelenggaraan Kegiatan Pendidikan Pada Lingkup Pendidikan Tinggi Honorarium yang diberikan untuk pelaksanaan tugas tambahan/ tugas khusus tertentu, penyelenggara kegiatan akademik dan kemahasiswaan serta penugasan lain dalam rangka penyelenggaraan kegiatan pendidikan pada lingkup pendidikan tinggi. Penerapan pemberian honorarium dimaksud harus berpedoman pada ketentuan sebagai berikut:
Sumber pembiayaan satuan biaya Kegiatan Pendidikan pada Perguruan Tinggi berasal dari PNBP.
Dalam hal terdapat kekhususan maka untuk keperluan dimaksud dapat menggunakan sumber pendanaan lain sesuai ketentuan yang berlaku.
Besaran satuan biaya dimaksud harus ditetapkan oleh Menteri/ Pimpinan Lembaga/ Pimpinan Perguruan Tinggi sesuai kemampuan keuangan perguruan tinggi bersangkutan.
Terhadap satuan biaya honorarium dosen/ pegawai yang diberi tugas tambahan/ tugas khusus tertentu sebagaimana dimaksud pada poin 14. 1 , jabatan dimaksud harus telah ditetapkan dalam struktur organisasi dan tata kerja oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendayagunaan aparatur negara sesuai ketentuan yang berlaku.
Dalam hal fakultas tidak memiliki jurusan, maka standar honorarium ketua dan sekretaris prodi dapat menggunakan standar honorarium ketua dan sekretaris jurusan sebagaimana dimaksud f. Terhadap satuan biaya honorarium dosen yang menyelenggarakan kegiatan akademik dan kemahasiswaan sebagaimana dimaksud pada poin 14.2, berlaku untuk penugasan yang melampaui perhitungan Beban Kerja Dosen (BKD) yang menjadi tugas wajib dosen tetap pada perguruan tinggi yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Terhadap satuan biaya lain-lain sebagaimana dimaksud pada poin 1 4 . 3 . a sampai dengan 14.3.f, berlaku bagi dosen dari luar perguruan tinggi yang bersangkutan atau non dosen.
HonorÚrium Pengembangan Bahan Ajar pada poin 14.3.p diberikan kepada Penyusun Rancangan Mata Kuliah dan Bahan Ajar serta Penelaah Bahan Ajar baik yang berbahasa Indonesia maupun yang berbahasa asing pada perguruan tinggi negeri yang hanya menyelenggarakan pendidikan tinggi jarak jauh modus tunggal (sing le mode) . i . Khusus untuk Honorarium Penyusunan Rancangan Mata Kuliah dan Bahan Ajar pada poin 14.3 .p. 1 ) dan 14.3.p.2) di atas diperuntukkan bagi penyusunan rancangan mata kuliah baru atau penyempurnaan rancangan mata kuliah lama dengan persentase penyempurnaan substansi paling sedikit 20% ( dua puluh persen) . J . Honorarium Pengembangan dan Pelaksanaan Tutorial pada pom 14.3.q diberikan kepada penyusun/ penulis Garis Besar Program Media (GBPM) Tutorial, Naskah Tutorial melalui Media, dan Kit Tutorial Tatap Muka serta Tutor pada perguruan tinggi negeri yang hanya menyelenggarakan pendidikan tinggi jarak jauh modus tunggal (single mode) .
Honorarium Pengembangan Bahan Ujian dan Pelaksanaan Ujian pada poin 14.3.r diberikan kepada penyusun/ penulis Kisi-Kisi Soal, Soal Objektif dan Uraian Input Bank Soal, dan Soal Ujian Komprehensif (Tugas Akhir Program) , serta pelaksana ujian yang terdiri dari Pengawas Tempat Ujian Luar Negeri dan Penguji Tugas Akhir Program Magister pada perguruan tinggi negeri yang hanya menyelenggarakan pendidikan tinggi jarak jauh modus tunggal (sing le mode) .
Untuk pegajar non dosen, penyetaraannya diatur oleh masmg masing perguruan tinggi.
Penerapan satuan biaya dimaksud tidak diperkenankan adanya duplikasi dengan pembayaran gaji dan tunjangan kinerja sesuai dengan peraturan perundang-undangan berlaku.
Penerapan satuan biaya Kegiatan Pendidikan pada Perguruan Tinggi harus tetap mempertimbangkan prinsip-prinsip pengelolaan keuangan negara, yaitu tertib, taat pada peraturan perundang undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. 1 5. Honorarium Penyuluh Non Pegawai Negeri Sipil Honorarium diberikan sebagai pengganti upah kerja kepada Non Pegawai Negeri Sipil yang diangkat untuk melakukan penyuluhan berdasarkan surat keputusan pejabat yang berwenang. Dalam hal ketentuan mengenai upah minimum di suatu wilayah lebih tinggi dari pada satuan biaya dalam Peraturan Menteri ini, satuan biaya ini dapat dilampaui dan mengacu pada peraturan yang mengatur tentang Upah Minimum Provinsi (UMP) dengan ketentuan:
Lulusan SLTA diberikan setinggi-tingginya sesuai UMP setempat.
Sarjana Muda/DI/DII/ DIII diberikan setinggi-tingginya 1 14% (seratus empat belas persen) dari UMP setempat.
Sarjana diberikan setinggi-tingginya 1 24% (seratus dua puluh empat persen) dari UMP setempat.
Master (82) diberikan setinggi-tingginya 1 33% (seratus tiga puluh tiga persen) dari UMP setempat. 1 6 . Satuan Biaya Operasional Penyuluh Biaya Operasional Penyuluh (BOP) adalah satuan biaya yang digunakan untuk perencanaan kebutuhan biaya bantuan transportasi bagi para Pegawai Aparatur Sipil Negara sebagai penyuluh dalam rangka mengunjungi daerah binaannya sebagaimana dimaksud pada Undang Undang Nomor 1 6 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan. 1 7 . Honorarium Rohaniwan Honorarium yang diberikan kepada seseorang yang ditugaskan oleh pejabat yang berwenang sebagai rohaniwan dalam pengambilan sumpah jabatan.
Honorarium Tim Pelaksana Kegiatan dan Sekretariat Tim Pelaksana Kegiatan 18.1 Honorarium Tim Pelaksana Kegiatan Honorarium yang diberikan kepada seseorang yang berdasarkan Surat Keputusan Presiden/ Menteri/ Pejabat Setingkat Menteri/ Pejabat Eselon I/KPA diangkat dalam suatu tim pelaksana kegiatan untuk melaksanakan suatu tugas tertentu. Ketentuan pembentukan tim yang dapat diberikan honorarium adalah sebagai berikut:
mempunyai keluaran (out put) jelas dan terukur;
bersifat koordinatif yang mengharuskan untuk mengikutsertakan Eselon I/Kementerian Negara/Lembaga/ Instansi Pemerin tah lainnya;
bersifat temporer, pelaksanaannya perlu diprioritaskan;
merupakan perangkapan fu ^ri gsi atau tugas tertentu kepada pejabat negara/pegawai Aparatur Sipil Negara di samping tugas pokoknya sehari-hari; dan
dilakukan secara selektif, ef ektif, dan efisien. Terhadap tim pelaksana kegiatan yang dibentuk berdasarkan keputusan Gubernur dalam kedudukannya sebagai wakil pemerintah pusat di daerah dan sumber pendanaan dari APBN maka besaran honorarium yang diberikan disetarakan dengan honorarium tim pelaksanaan kegiatan yang ditetapkan oleh Menteri/ Pejabat Setingkat Menteri.
2 Honorarium Sekretariat Tim Pelaksana Kegiatan Honorarium yang diberikan kepada seseorang yang diberi tugas melaksanakan kegiatan administratif untuk menunjang kegiatan tim pelaksana kegiatan. Sekretariat Tim Pelaksana Kegiatan merupakan bagian tidak terpisahkan dari tim pelaksana kegiatan. Sekretariat tim pelaksana kegiatan hanya dapat dibentuk untuk menunjang tim pelaksana kegiatan yang ditetapkan oleh Presiden/ Menteri. Jumlah sekretariat tim pelaksana kegiatan diatur sebagai berikut:
paling banyak 1 0 (sepuluh) orang untuk tim pelaksana kegiatan yang ditetapkan oleh Presiden; atau
paling banyak 7 (tujuh) orang untuk tim pelaksana kegiatan yang ditetapkan oleh Menteri/ Pejabat Setingkat Menteri. Cata tan: 1 . Dalam hal tim pelaksana kegiatan telah terbentuk selama 3 (tiga) tahun berturut-turut, Kementerian Negara/ Lembaga melakukan evaluasi terhadap urgensi dan efektifitas keberadaan tim dimaksud untuk dipertimbangkan menjadi tugas dan fungsi suatu unit organisasi.
Kementerian Negara/ Lembaga dalam hal melaksanakan ketentuan Standar Biaya Masukan agar melakukan langkah langkah efisiensi anggaran dengan melakukan pembatasan dan pengendalian pemberian honorarium tim pelaksana kegiatan, dengan ketentuan sebagai berikut:
Tim yang keanggotaannya berasal dari lin tas eselon I dalam 1 (satu) Kementerian Negara/Lembaga. Pengaturan batasan jumlah tim yang dapat diberikan honorarium bagi Pejabat Negara, Pejabat Eselon I, Pejabat Eselon II, Pejabat Eselon III, Pejabat Eselon IV, pelaksana, dan pejabat fungsional pada tim dimaksud dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut: Klasifikasi No Jabatan I II III 1 . Pejabat Negara, Eselon I, 2 3 4 dan Eselon II 2 . Pejabat Eselon III 3 4 5 3 . Pejabat Eselon IV, pelaksana, dan pejabat 5 6 7 fungsional Keterangan: Penjelasan mengenai klasifikasi pengaturan jumlah honorarium yang diterima sebagaimana dimaksud di atas adalah se bagai beriku t: Klasifikasi I Kementerian Negara/ Lembaga yang telah menenma tunjangan kinerja sesuai dengan peraturan perundang undangan mengenai tunjangan kinerja dengan tunjangan kinerja pada kelas jabatan tertinggi lebih besar atau sama dengan Rp40 .000.000 (empat puluh juta rupiah) . Klasifikasi II Klasifikasi III Kementerian Negara/ Lembaga yang telah menenma tunjangan kinerja sesuai dengan peraturan perundang undangan mengenai tunjangan kinerja dengan tunjangan kinerja pada kelas j abatan tertinggi le bih besar a tau sama dengan Rp25.000.000 (dua puluh lima juta rupiah) Rp40 . 000. 000 rupiah) . dan (em pat kurang puluh dari ju ta Kementerian Negara/Lembaga yang telah menenma tunjangan kinerja sesuai dengan peraturan perundang undangan mengenai tunjangan kinerja dengan tunjangan kinerja pada kelas jabatan tertinggi kurang dari Rp25.000.000 (dua puluh lima juta rupiah) a tau belum menenma tunjangan kinerja.
Tim yang keanggotaannya berasal dari lintas Kementerian Negara/Lembaga. 1 ) Tim yang keanggotaannya berasal dari lintas Kementerian Negara/ Lembaga yang ditetapkan oleh Pejabat Eselon I atau KPA. Pengaturan batasan jumlah tim yang dapat diberikan honorarium bagi Pejabat Negara, Pejabat Eselon I, Pejabat Eselon II, Pejabat Eselon III, Pejabat Eselon IV, pelaksana, clan pejabat fungsional pada tim dimaksud mengacu pada butir 2 . a. di atas.
Tim yang keanggotaannya berasal dari lintas Kementerian Negara/ Lembaga yang ditetapkan oleh Presiden, Menteri/ Pimpinan Lembaga atau pejabat yang diberikan kewenangan oleh Menteri/ Pimpinan Lembaga. Penetapan tim oleh pejabat yang diberikan kewenangan oleh Menteri/ Pimpinan Lembaga dilaksanakan setelah pembentukan tim tersebut mendapat persetujuan Menteri/ Pimpinan Lembaga. Pemberian honorarium bagi tim yang ditetapkan oleh Presiden, Menteri/ Pimpinan Lembaga atau pejabat yang diberikan kewenangan oleh Menteri/ Pimpinan Lembaga dikecualikan dari ketentuan butir 2.a. di atas. 1 9 . Honorarium Tim Penyusunan Jurnal/Buletin/Majalah/ Pengelola Website 1 9 . 1 Honorarium Tim Penyusunan Jurnal Honorarium tim penyusunan jurnal dapat diberikan kepada Pegawai Aparatur Sipil Negara/ Anggota Polri/TNI clan Pegawai Non Aparatur Sipil Negara yang diberi tugas untuk menyusun dan menerbitkan jurnal berdasarkan surat keputusan pejabat yang berwenang. Unsur sekretariat adalah pembantu umum, pelaksana clan yang sejenis, clan tidak berupa struktur organisasi tersendiri. Dalam hal diperlukan, dalam menyusun jurnal nasional/ internasional dapat diberikan honorarium kepada mitra bestari (peer review) sebesar Rp l .500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah) . 1 9 . 2 Honorarium Tim Penyusunan Buletin/ Majalah Honorarium tim penyusunan buletin/ majalah dapat diberikan kepada Pegawai Aparatur Sipil Negara/ Anggota Polri/TNI yang diberi tugas untuk menyusun dan menerbitkan buletin/majalah, berdasarkan surat keputusan pejabat yang berwenang. Majalah adalah terbitan berkala yang isinya berbagai liputan jurnalistik, pandangan tentang topik aktual yang patut diketahui pembaca. Buletin adalah media cetak berupa selebaran atau majalah berisi warta singkat atau pernyataan tertulis yang diterbitkan secara periodik yang ditujukan untuk lembaga atau kelompok profesi tertentu. 1 9 . 3 Honorarium Tim Pengelola Website Honorarium tim pengelola website dapat diberikan kepada Pegawai Aparatur Sipil Negara/ Anggota Polri/TNI yang diberi tugas untuk mengelola website, berdasarkan surat keputusan pejabat yang berwenang. Website yang dimaksud disini adalah yang dikelola oleh unit eselon I/ setara. Dalam hal website yang dikelola oleh unit vertikal setingkat eselon II di daerah maka kepada pengelola website tersebut dapat diberikan honorarium tim pengelola website.
Honorarium Penyelenggara Sidang/ Konferensi Internasional/ Konferensi Tingkat Menteri, Senior Of ficial Meeting (Bilateral/ Regional/ Multilateral), Berskala In ternasional Workshop/ Seminar/ Sosialisasi/ Sarasehan 20. 1 Honorarium Penyelenggara Konferensi Tingkat Menteri, Regional/ Multilateral) Sidang/ Konferensi Internasional/ Senior O f ficial Meeting (Bilateral/ Honorarium penyelenggara sidang/ko ^ri ferensi internasional, konferensi tingkat menteri, senwr of ficial meeting (bilateral/ regional/ multilateral) dapat diberikan kepada Pejabat Negara/Pegawai Aparatur Sipil Negara/ Anggota Polri/TNI penyelenggara kegiatan sidang/konferensi yang dihadiri/ pesertanya pejabat setingkat menteri atau senwr of ficial berdasarkan surat keputusan pejabat berwenang.
2 Honorarium Penyelenggara Workshop/ Seminar/ Sosialisasi/ Sarasehan Berskala Internasional Honorarium penyelenggara workshop/ seminar/ sosialisasi/ sarasehan berskala internasional dapat diberikan kepada Pejabat Negara/ Pegawai Aparatur Sipil Negara/ Anggota Polri/TNI penyelenggara kegiatan workshop/ seminar/ sosialisasi/ sarasehan berskala internasional, berdasarkan surat keputusan dari pejabat berwenang. Cata tan: Kepada panitia/ penyelenggara dapat diberikan uang harian perjalanan dinas dan/atau uang harian paket meeting sesuai surat perintah perjalanan dinas yang diterbitkan pejabat yang berwenang. 2 1 . Honorarium Penyelenggara Ujian dan Vakasi Honorarium Penyelenggaraan Ujian dan Vakasi merupakan imbalan bagi penyusun naskah ujian, pengawas ujian, penguji atau pemeriksa hasil ujian pada pendidikan tingkat dasar, menengah, dan tinggi. Satuan biaya pengawas ujian sudah termasuk uang transpor. Pemberian honorarium penyusun naskah ujian, penguji atau pemeriksa hasil ujian kepada guru/ dosen diberikan atas kelebihan be ban kerja guru/ dosen dalam penyusunan naskah UJian, pengujian atau pemeriksaan hasil ujian yang ditetapkan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Pada tingkat pendidikan dasar dan menengah, honorarium pemeriksaan hasil ujian tidak diberikan untuk penyelenggaraan ujian yang bersifat latihan dan ujian lokal. Sementara untuk tingkat pendidikan tinggi, honorarium pemeriksaan hasil ujian dapat diberikan untuk ujian masuk penerimaan mahasiswa baru, ujian tengah semester, ujian akhir semester, dan ujian akhir baik untuk ujian yang bersifat tertulis maupun praktik.
Honorarium Penulisan Butir Soal Tingkat Nasional 22. 1 Honorarium Penyusunan Butir Soal Tingkat Nasional Honorarium yang diberikan kepada guru, dosen atau pakar sesuai bidang yang dibutuhkan dengan kepakarannya (baik Pegawai Negeri Sipil maupun Non Pegawai Negeri Sipil) untuk proses penyusunan soal yang digunakan pada penilaian tingkat nasional, meliputi soal yang bersifat penilaian akademik, seperti soal ujian berstandar nasional, soal ujian nasional, soal yang mengukur literasi untuk survei nasional, soal tes kompetensi akademik guru, soal Calon Pegawai Negeri Sipil, dan soal untuk penilaian non akademik seperti soal tes bakat, tes minat, soal yang mengukur kecenderungan perilaku, soal tes kompetensi guru yang non akademik, soal tes asesmen pegawai, soal kompetensi managerial kepala sekolah. Honorarium Penyusunan Butir Soal Tingkat Nasional diberikan berdasarkan penugasan oleh unit kerja yang mempunyai tugas atau fungsi untuk melakukan penulisan soal tingkat nasional sesuai dengan peraturan yang berlaku.
2 Honorarium Telaah Butir Soal Tingkat Nasional Honorarium yang diberikan kepada guru, dosen atau pakar sesuai bidang yang dibutuhkan dengan kepakarannya (baik Pegawai Negeri Sipil maupun Non Pegawai Negeri Sipil) untuk proses telaah soal yang digunakan pada penilaian tingkat nasional, meliputi soal yang bersifat penilaian akademik, seperti soal ujian berstandar nasional, soal ujian nasional, soal yang mengukur literasi untuk survei nasional, soal tes kompetensi akademik guru, soal akademik Calon Pegawai Negeri Sipil, dan soal untuk penilaian non akademik seperti soal tes bakat, tes minat, soal yang mengukur kecenderungan perilaku, soal tes kompetensi guru yang non akademik, soal tes asesmen pegawai, soal kompetensi managerial kepala sekolah, soal non akademik Calon Pegawai Negeri Sipil. Honorarium Telaah Butir Soal Tingkat Nasional diberikan berdasarkan penugasan oleh unit kerja yang mempunyai tugas atau fungsi untuk melakukan telaah soal tingkat nasional sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Honorarium Penyelenggaraan Kegiatan Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) 23. 1 Honorarium Penceramah Honorarium penceramah dapat diberikan kepada Pejabat Negara/ Pegawai Aparatur Sipil Negara/ Anggota Polri/TNI yang memberikan wawasan pengetahuan dan/atau sharing ex perience sesuai dengan keahliannya kepada peserta diklat pada kegiatan pendidikan dan pelatihan dengan ketentuan sebagai berikut:
berasal dari luar unit organisasi eselon I penyelenggara;
berasal dari dalam organisasi eselon I penyelenggara sepanjang peserta diklat yang menjadi sasaran utama kegiatan berasal dari luar unit organisasi eselon I penyelenggara/masyarakat; dan c. khusus untuk Pegawai Aparatur Sipil Negara/ Anggota Polri/TNI, honorarium tersebut digunakan untuk kegiatan pengajaran diklat yang materi diklatnya diampu oleh Pejabat Eselon II ke atas / setara.
2 Honorarium Pengajar yang berasal dari luar satuan kerja penyelenggara Honorarium dapat diberikan kepada pengajar yang berasal dari luar satuan kerja penyelenggara sepanjang kebutuhan penga J ar tidak terpenuhi dari satuan kerja penyelenggara. 23 . 3 Honorarium Pengajar yang berasal dari dalam satuan kerja penyelenggara Honorarium dapat diberikan kepada pengajar yang berasal dari dalam satuan kerja penyelenggara baik widyaiswara maupun pegawai lainnya. Bagi widyaiswara, honorarium diberikan atas kelebihan jumlah minimal jam tatap muka. Ketentuan jumlah minimal tatap muka mengacu pada ketentuan yang berlaku.
4 Honorarium Penyusunan Modul Diklat Honorarium penyusunan Modul Diklat dapat diberikan kepada Pegawai Aparatur Sipil Negara/ Anggota Polri/TNI yang diberi tugas untuk menyusun modul untuk pelaksanaan diklat berdasarkan surat keputusan pejabat yang berwenang. Pemberian honorarium dimaksud berpedoman pada ketentuan sebagai berikut:
Bagi widyaiswara, honorarium dimaksud diberikan atas kelebihan beban kerja wajib widyaiswara sesuai ketentuan yang berlaku.
Satuan biaya ini cliperuntukkan bagi penyusunan moclul cliklat baru atau penyempurnaan moclul cliklat lama clengan persentase penyempurnaan substansi moclul cliklat paling seclikit 20% (clua puluh persen) .
5 Honorarium Panitia Penyelenggaraan Kegiatan Diklat Honorarium clapat cliberikan kepacla panitia penyelenggara cliklat yang melaksanakan fungsi tata usaha cliklat, evaluator, clan fasilitator kunjungan serta hal-hal lain yang menunJang penyelenggaraan cliklat berjalan clengan baik clengan ketentuan sebagai berikut:
merupakan tugas tambahan/ perangkapan fungsi bagi yang bersangkutan;
clilakukan secara selektif clengan mempertimbangkan urgensinya; clan c. jumlah panitia yang clapat cliberikan honorarium maksimal 1 0% ( sepuluh persen) clari jumlah peserta clengan mempertimbangkan efisiensi clan efektivitas pelaksanaan. Dalam hal jumlah peserta kurang clari 40 (empat puluh) orang, maka jumlah panitia yang clapat cliberikan honorarium paling banyak 4 (empat) orang. Catatan: Jam pelajaran yang cligunakan untuk kegiatan penyelenggaraan cliklat aclalah 45 (em pat puluh lima) menit.
Satuan Biaya Uang Makan Bagi Pegawai Aparatur Sipil Negara Satuan biaya uang makan Pegawai Aparatur Sipil Negara merupakan satuan biaya yang cligunakan untuk perencanaan kebutuhan uang makan pegawai yang clihitung berclasarkan jumlah hari kerja.
Satuan Biaya Uang Lembur clan Uang Makan Lembur bagi Pegawai Aparatur Sipil Negara a. Uang Lembur Uang lembur merupakan kompensasi bagi Pegawai Aparatur Sipil Negara yang melakukan kerja lembur berclasarkan surat perintah clari pejabat yang berwenang.
Uang Makan Lembur Uang makan lembur diperuntukan bagi Pegawai Aparatur Sipil Negara setelah bekerja lembur paling kurang 2 (dua) jam secara berturut-turut dan diberikan maksimal 1 (satu) kali per hari.
Satuan Biaya Uang Lembur dan Uang Makan Lembur bagi Pegawai Non Aparatur Sipil Negara, Satpam, Pengemudi, Petugas Kebersihan, dan Pramubakti a. Uang Lembur Uang lembur merupakan kompensasi bagi Pegawai Non Aparatur Sipil Negara yang melaksanakan tugas rutin kementerian negara/ lembaga, Satpam, Pengemudi, Petugas Kebersihan, dan Pramubakti yang melakukan kerja lembur berdasarkan surat perintah dari pejabat yang berwenang.
Uang Makan Lembur Uang makan lembur diperuntukan bagi Pegawai Non Aparatur Sipil Negara yang melaksanakan tugas rutin kementerian negara/lembaga, Satpam, Pengemudi, Petugas Kebersihan, dan Pramubakti setelah bekerja lembur paling kurang 2 (dua) jam secara berturut-turut dan diberikan maksimal 1 (satu) kali per hari. Cata tan: Satuan Pengaman, Pengemudi, Petugas Kebersihan, dan Pramubakti sebagaimana dimaksud tidak termasuk Satuan Pengaman, Pengemudi, Petugas Kebersihan, dan Pramubakti yang melakukan perjanjian kerja/ kontrak dengan pihak penyedia tenaga alih daya (outsourcing) .
Satuan Biaya Uang Saku Rapat Di Dalam Kantor Uang saku rapat di dalam kantor merupakan kompensasi bagi seseorang yang melakukan kegiatan ,rapat yang dilaksanakan di dalam kantor di luar jam kerja pada hari kerja. Uang saku rapat di dalam kantor dapat dibayarkan sepanjang rapat di dalam kantor memenuhi ketentuan se bagai beriku t:
dihadiri peserta dari eselon II lainnya/ eselon I lainnya/ Kementerian Negara/ Lembaga lainnya/Instansi Pemerintah/ masyarakat; dan
dilaksanakan minimal 3 (tiga) jam di luar jam kerja pada hari kerja. Cata tan: 1 . Satuan biaya uang saku rapat di dalam kantor belum termasuk konsumsi rapat. 2 . Terhadap peserta rapat tidak diberikan uang lembur clan uang makan lembur. 3 . Bagi peserta yang berasal dari luar unit penyelenggara dapat diberikan uang transpor sepanjang kriteria pemberian uang transpor terpenuhi.
Satuan Biaya Uang Saku Pemeriksa Dalam Lokasi Perkantoran Yang Sama Satuan biaya uang saku pemeriksa dalam lokasi perkantoran yang sama merupakan satuan biaya yang digunakan untuk perencanaan kebutuhan biaya kompensasi kepada aparat fungsional pemeriksa (auditor) berdasarkan surat perintah pejabat yang berwenang yang diberi tugas untuk melakukan pengawasan internal dalam lokasi perkantoran yang sama clan dilaksanakan lebih dari 8 (delapan) jam. Terhadap aparat fungsional pemeriksa (auditor) tersebut tidak diberikan uang makan, uang lembur clan uang makan lembur. 29 . Satuan Biaya Pengepakan dan Angkutan Barang Perjalanan Dinas Pindah Dalam Negeri Satuan biaya pengepakan clan angkutan barang perjalanan dinas pindah dalam negeri merupakan satuan biaya yang digunakan untuk perencanaan kebutuhan biaya pengepakan clan angkutan barang pindahan yang diberikan kepada pejabat negara/pegawai Aparatur Sipil Negara yang dipindahtugaskan berdasarkan Surat Keputusan pejabat yang berwenang. Satuan biaya ini merupakan bantuan yang diberikan pemerintah kepada pejabat negara/ pegawai Aparatur Sipil Negara yang berkenaan. Satuan biaya ini sudah termasuk ongkos tukang, pengadaan bahan-bahan, biaya bongkar muat, clan biaya angkutan barang dari tempat asal sampai dengan tujuan.
Satuan Biaya Bantuan Biaya Pendidikan Anak (BBPA) pada Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri Satuan Biaya Bantuan Biaya Pendidikan Anak (BBPA) pada Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri adalah satuan biaya untuk bantuan biaya pendidikan anak-anak Pejabat Dinas Luar Negeri/ Home Staf f / Atase Teknis/ Atase Pertahanan yang bekerja pada Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri. Pemberian Bantuan Biaya Pendidikan Anak (BBPA) pada Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri dilaksanakan dengan ketentuan se bagai beriku t: 1 . BBPA digunakan untuk membiayai biaya pendidikan formal mulai sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi dan tidak termasuk program pasca sarJana. 2 . Diberikan untuk anak-anak Pejabat Dinas Luar Negeri/ Home Sta f f / Atase Teknis/ Atase Pertahanan yang bekerja pada Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri, yang bersekolah pada pendidikan formal mulai sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi dan tidak termasuk program pasca sarjana. 3 . Diberikan untuk anak-anak yang termasuk dalam tunjangan keluarga dan bersekolah di lokasi yang sama dengan tempat bekerja orang tuanya (negara akreditasi-lokasi perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri tempat orang tuanya bertugas) .
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 3 (tiga) dikecualikan bagi:
anak-anak Pejabat Dinas Luar Negeri/ Home Sta f f / Atase Teknis/ Atase Pertahanan yang bekerja pada Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri pada negara yang termasuk dalam perwakilan rawan dan/atau berbahaya; dan
anak-anak dari Pejabat Dinas Luar Negeri/ Home Sta f f / Atase Teknis/ Atase Pertahanan yang dimutasikan antar perwakilan (cross posting) . 5 . Perwakilan Republik Indonesia yang termasuk dalam daerah rawan dan/atau berbahaya dan Pejabat Dinas Luar Negeri/ Home Sta f f / Atase Teknis / Atase Pertahanan yang dimutasikan an tar perwakilan (cross posting) sebagaimana dimaksud pada angka 4 ditetapkan oleh Menteri Luar Negeri. 6 . Alokasi anggaran untuk BBPA sudah termasuk dalam pagu anggaran Kementerian Negara/ Lembaga. 7 . Penggunaan Satuan Biaya BBPA mengikuti ketentuan yang ditetapkan oleh Menteri Luar Negeri. 8 . Pemberian BBPA dilakukan dengan menerapkan pnns1p efisien, efektif, transparan, dan bertanggung jawab. 3 1 . Honorarium Satpam, Pengemudi, Petugas Kebersihan, dan Pramubakti Honorarium yang diberikan hanya kepada non pegawai Aparatur Sipil Negara yang ditunjuk untuk melakukan kegiatan sesuai dengan tugas dan fungsinya sebagai satpam, pengemudi, petugas kebersihan, dan pramubakti, berdasarkan surat keputusan pejabat yang berwenang/ kon trak kerj a. Cata tan: 1 . untuk satpam, pengemudi, petugas kebersihan, dan pramubakti dengan melalui jasa pihak ketiga/ diborongkan alokasi honorarium dapat ditambah paling banyak sebesar 1 5% (lima belas persen) dari satuan biaya, besaran tersebut tidak termasuk seragam dan perlengkapan.
dalam satu tahun anggaran, dapat dialokasikan tambahan honorarium sebanyak 1 (satu) bulan sebagai tunjangan hari raya keagamaan. 3 . dalam hal ketentuan mengenai upah minimum di suatu wilayah lebih tinggi dari pada satuan biaya dalam Peraturan Menteri ini, maka satuan biaya ini dapat dilampaui mengacu pada ketentuan tersebut.
Satuan Biaya Uang Harian Perjalanan Dinas Dalam Negeri dan Uang Represen tasi Satuan biaya uang harian perjalanan dinas dalam negeri merupakan penggantian biaya keperluan sehari-hari Pejabat Negara/Pegawai Aparatur Sipil Negara/ Anggota Polri/TNI/ Pihak Lain dalam menjalankan perintah perjalanan dinas di dalam negeri. Uang representasi hanya diberikan kepada pejabat negara (ketua/wakil ketua dan anggota lembaga tinggi negara, Menteri serta setingkat Menteri), pejabat eselon I dan pejabat eselon II yang melaksanakan perjalanan dinas jabatan dalam rangka pelaksanaan tugas dan fungsi yang rnelekat pada jabatan sebagairnana diatur dalarn Peraturan Menteri Keuangan rnengenai perjalanan dinas dalarn negeri bagi pejabat negara, pegawai negeri, dan pegawai tidak tetap. Uang harian diklat diberikan kepada Pegawai Aparatur Sipil Negara/ Anggota Polri/TNI yang diberikan tugas untuk rnengikuti kegiatan pendidikan dan pelatihan yang diselenggarakan di dalarn kota yang rnelebihi 8 (delapan) jarn atau diselenggarakan di luar kota.
Satuan Biaya Uang Harian Perjalanan Dinas Luar Negeri Satuan Biaya Uang Perjalanan Dinas Luar Negeri rnerupakan penggantian biaya keperluan sehari-hari Pejabat Negara/ Pegawai Aparatur Sipil Negara/ Anggota Polri/TNI/ Pihak Lain dalarn rnenjalankan perintah perjalanan dinas di luar negeri yang dapat digunakan untuk uang rnakan, transpor lokal, uang saku, dan uang penginapan. Besaran uang harian untuk negara yang tidak tercanturn dalarn Larnpiran Peraturan Menteri ini, rnerujuk pada besaran uang harian pada negara dirnana Perwakilan Republik Indonesia bersangkutan berkedudukan. Contoh: Uang harian bagi pejabat/pegawai yang rnelaksanakan perjalanan dinas ke negara Uganda, besarannya rnerujuk pada uang harian negara Kenya.
Satuan Biaya Penginapan Perjalanan Dinas Dalam Negeri Satuan biaya penginapan perjalanan dinas dalarn negeri merupakan satuan biaya yang digunakan untuk perencanaan kebutuhan biaya menginap dalarn rangka pelaksanaan perj alanan dinas dalarn negeri. Dalarn pelaksanaannya, rnekanisrne pertanggungjawaban disesuaikan dengan bukti pengeluaran yang sah.
Satuan Biaya Rapat/Perternuan di Luar Kantor 35. l Paket Kegiatan Rapat/ Perternuan di Luar Kantor Satuan biaya paket kegiatan rapat/ pertemuan di luar kantor merupakan satuan biaya yang digunakan untuk perencanaan kebutuhan biaya kegiatan rapat/pertemuan yang diselenggarakan di luar kantor dalarn rangka penyelesaian pekerjaan yang perlu dilakukan secara intensif dan bersifat koordinatif yang sekurang kurangnya melibatkan peserta dari eselon I lainnya/ masyarakat. Satuan biaya paket kegiatan rapat/ pertemuan di luar kantor menurut pesertanya terbagi dalam 3 (tiga) jenis, yaitu:
Kegiatan rapat/pertemuan di luar kantor pejabat Menteri/ setingkat Menteri adalah kegiatan rapat/ pertemuan yang melibatkan pejabat Menteri/ setingkat Menteri;
Kegiatan rapat/ pertemuan di luar kantor pejabat eselon I / eselon II adalah kegiatan rapat/ pertemuan yang melibatkan pejabat eselon I / eselon II/yang disetarakan;
Kegiatan rapat/ pertemuan di luar kantor pejabat eselon III adalah kegiatan rapat/pertemuan yang melibatkan pejabat eselon III/yang disetarakan. Satuan biaya paket kegiatan rapat/ pertemuan di luar kantor menurut lama penyelenggaraan terbagi dalam 3 (tiga) jenis yaitu:
Paket Fullboard Satuan biaya paket fullboard disediakan untuk paket kegiatan rapat/ pertemuan yang diselenggarakan di luar kantor sehari penuh dan menginap.
Paket Fullday Satuan biaya paket fullday disediakan untuk paket kegiatan rapat/pertemuan yang diselenggarakan di luar kantor minimal 8 (delapan) jam tanpa menginap.
Paket Half day Satuan biaya paket halfday disediakan untuk paket kegiatan rapat/pertemuan yang diselenggarakan di luar kantor minimal 5 (lima) jam tanpa menginap. Cata tan: 1 . Akomodasi paket fullboard diatur sebagai berikut:
Untuk pejabat eselon II ke atas, akomodasi 1 (satu) kamar untuk 1 (satu) orang.
Untuk pejabat eselon III ke bawah, akomodasi 1 (satu) kamar untuk 2 (dua) orang. 2 . Satuan biaya paket fullboard m1 digunakan untuk penghitungan biaya paket rapat fullboard per peserta dengan akomodasi 1 (satu) kamar untuk 2 (dua) orang. Sedangkan besaran indeks satuan biaya paket fullboard untuk pejabat Eselon II ke atas sebagaimana dimaksud pada butir l .a) dapat diberikan sebesar 1 ,5 (satu setengah) kali dari satuan biaya paket fullboard sebagaimana tercantum dalam Peraturan Men teri ini. 3 . Kegiatan rapat/pertemuan di luar kantor dalam rangka penyelesaian pekerj aan yang dilakukan secara in tens if harus menggunakan satuan biaya ini.
Dalam rangka efisiensi anggaran untuk kegiatan rapat, PA/ KPA agar selektif dalam melaksanakan rapat/pertemuan di luar kantor (fullboard, fullday, dan half day) dan mengutamakan penggunaan fasilitas milik negara.
2 Uang Harian Kegiatan Rapat/ Pertemuan di Luar Kantor Uang Harian Kegiatan Rapat/Pertemuan di Luar Kantor merupakan satuan biaya yang digunakan untuk pengalokasian uang harian kegiatan fullboard di luar kota, kegiatan fullboard dan kegiatan fullday / half day di dalam kota kepada peserta dan panitia kegiatan rapat/ pertemuan yang diselenggarakan di luar kantor. Cata tan: Kepada pani tia (karena faktor transportasi dan / ata u guna mempersiapkan pelaksanaan kegiatan dan penyelesaian pertanggungjawaban) dan kepada peserta (karena faktor transportasi) yang memerlukan waktu tambahan untuk berangkat/ pulang di luar waktu pelaksanaan kegiatan, dapat dialokasikan biaya penginapan dan uang harian perjalanan dinas sesuai ketentuan yang berlaku, untuk 1 (satu) hari sebelum dan/atau 1 (satu) hari sesudah pelaksanaan kegiatan.
Satuan Biaya Tiket Perjalanan Dinas Pindah Luar Negeri (One Way) Satuan biaya tiket perjalanan dinas pindah luar negeri merupakan satuan biaya yang digunakan untuk perencanaan kebutuhan biaya pembelian tiket pesawat udara perjalanan dinas pindah dan diberikan untuk satu kali jalan (one way) . Satuan biaya tiket termasuk biaya asuransi, tidak termasuk air port tax serta biaya retribusi lainnya. Satuan biaya ini diberikan kepada Pejabat Negara/Pegawai Aparatur Sipil Negara/ Anggota Polri/TNI dan keluarga yang sah berdasarkan surat keputusan pindah dari pejabat yang berwenang sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang digunakan untuk melaksanakan perintah pindah dari perwakilan Republik Indonesia di luar negeri atau se baliknya. Catatan: Un tuk biaya tiket perj alanan dinas pindah an tar perwakilan (cross-posting) mengikuti ketentuan sebagai berikut: 1 . besaran biaya tiket perjalanan dinas pindah antar perwakilan (cross-posting) dapat dilakukan sesuai dengan informasi yang diperoleh dari perusahaan travel dan ditetapkan oleh KPA/PPK; 2 . penetapan be saran biaya tiket perj alanan dinas pindah an tar perwakilan (cross-posting) tersebut agar tetap memperhatikan prinsip-prinsip efisiensi, efektifitas, dan kewajaran serta kemampuan keuangan negara.
Satuan Biaya Operasional Khusus Kepala Perwakilan Republik Indonesia Di Luar Negeri Satuan Biaya Operasional Khusus Kepala Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri adalah dana operasional yang digunakan untuk menunjang pelaksanaan m1s1 khusus Kepala Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri dan bukan merupakan tambahan penghasilan.
Satuan Biaya Makanan Penambah Daya Tahan Tubuh Satuan biaya makanan penambah daya tahan tubuh merupakan satuan biaya yang digunakan untuk perencanaan kebutuhan biaya pengadaan makanan/ minuman bergizi yang dapat menambah/ meningkatkan/ mempertahankan daya tahan tubuh Pegawai Aparatur Sipil Negara yang diberi tugas melaksanakan pekerjaan tugas dan fungsi kantor yang dapat memberikan dampak buruk bagi kesehatan pegawai dimaksud. 39 . Satuan Biaya Sewa Kendaraan a. Sewa Kendaraan Pelaksanaan Kegiatan Insidentil Satuan biaya sewa kendaraan pelaksanaan kegiatan insidentil merupakan satuan biaya yang digunakan untuk perencanaan kebutuhan biaya sewa kendaraan roda 4 (empat) , roda 6 (enam) /bus sedang, clan roda 6 (enam) /bus besar untuk kegiatan yang sifatnya insidentil (tidak bersifat terus - menerus) . Satuan biaya ini diperuntukan bagi: 1 ) Pejabat Negara yang melakukan perjalanan dinas dalam negeri di tempat tujuan; atau
Pelaksanaan kegiatan yang membutuhkan mobilitas tinggi, berskala besar, clan tidak tersedia kendaraan dinas serta dilakukan secara selektif clan efisien. Satuan biaya sewa kendaraan sudah termasuk bahan bakar clan pengemudi.
Sewa Kendaraan Operasional Pejabat/ Operasional Kantor dan/atau Lapangan Satuan biaya sewa kendaraan operasional pejabat/ operasional kantor clan/ atau lapangan merupakan satuan biaya yang digunakan untuk perencanaan kebutuhan biaya sewa kendaraan roda 4 (empat) yang difungsikan sebagai kendaraan dinas kantor sebagai pengganti pengadaan kendaraan melalui pembelian. Dalam pelaksanaannya, sebelum melakukan perjanjian sewa, satuan kerja penyewa wajib melakukan pemeriksaan bahwa penyedia barang menjamin bahwa kondisi kendaraan yang disewa selalu siap pakai (termasuk pemeliharaan rutin clan menyediakan pengganti apabila kendaraan tidak berfungsi se bagaimana mestinya) , oleh karenanya atas kendaraan dimaksud tidak dapat dialokasikan biaya pemeliharaan. Cata tan: 1 . Penggunaan satuan biaya sewa kendaraan operasional pejabat/ operasional kantor clan/ atau lapangan ini dimaksudkan sebagai upaya untuk melakukan langkah-langkah efektifitas penggunaan anggaran, sehingga fungsinya sebagai pengganti atas pengadaan kendaraan melalui pembelian, dengan tetap menjadi bagian dari rencana kebutuhan untuk penyecliaan pengaclaan kenclaraan pejabat/ operasional kantor.
Satuan biaya sewa kenclaraan operasional pejabat/ operasional kantor clan/ atau lapangan clapat cliperuntukan bagi satuan kerja yang belum memiliki kenclaraan pejabat/ operasional kantor clalam rangka menunjang pelaksanaan tugas fungsi.
Mekanisme sewa kenclaraan operasional pejabat/ operasional kantor clan/ atau lapangan mengikuti ketentuan pengaclaan barang/jasa yang berlaku.
Satuan Biaya Pengaclaan Kenclaraan Dinas Satuan biaya pengaclaan kenclaraan clinas merupakan satuan biaya yang cligunakan untuk perencanaan kebutuhan biaya pengaclaan kenclaraan operasional bagi pejabat, operasional kantor, clan/ atau lapangan serta bus melalui pembelian guna menunjang pelaksanaan tugas clan fungsi Kementerian Negara/Lembaga. Bagi satuan kerja baru yang suclah acla ketetapan dari Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, pengadaan kenclaraan clinasnya clilakukan secara bertahap sesuai dana yang terseclia. Dalam hal kebutuhan kenclaraan operasional telah dipenuhi melalui mekanisme sewa kendaraan, maka pengadaan melalui pembelian tidak di per kenankan lagi. 4 1 . Satuan Biaya Pengaclaan Pakaian Dinas Satuan biaya pengaclaan pakaian clinas merupakan satuan biaya yang digunakan untuk perencanaan kebutuhan biaya pengadaan pakaian dinas termasuk ongkos jahit yang meliputi:
Satuan Biaya Pakaian Dinas Dokter Satuan biaya pakaian clinas dokter diperuntukan bagi dokter yang bekerja di instansi pemerintah dan diberikan paling banyak 1 ( satu) potong jas per tahun yang penyediaannya dilaksanakan secara selektif.
Satuan Biaya Pakaian Dinas Perawat Satuan biaya pakaian dinas perawat diperuntukan bagi perawat yang bekerja di instansi pemerintah dan diberikan paling banyak 2 (dua) stel pakaian per tahun yang penyediaannya dilaksanakan secara selektif.
Satuan Biaya Pakaian Dinas Pegawai Satuan biaya pakaian dinas pegawai diperuntukan bagi pegawai dan diberikan paling banyak 2 (dua) stel per tahun yang penyediaannya dilaksanakan secara selektif, dengan ketentuan sebagai berikut: 1 ) harus ada ketentuan yang ditetapkan oleh Presiden pada awal pembentukan satuan kerja mengenai kewa jiban penggunaan pakaian dinas pegawai; dan
dalam hal satuan kerja yang pada awal pembentukannya tidak terdapat ketentuan yang mewajibkan penggunaan pakaian dinas pegawai, biaya pakaian dinas pegawai dapat dialokasikan setelah memiliki ijin prinsip dari Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.
Satuan Biaya Pakaian Seragam Mahasiswa/Taruna Satuan biaya pakaian seragam mahasiswa/taruna diperuntukan bagi mahasiswa/ taruna pada pendidikan kedinasan di bawah Kementerian Negara/ Lembaga tertentu dan diberikan paling banyak 2 (dua) stel per tahun yang penyediaannya dilaksanakan secara selektif, dengan ketentuan sebagai berikut: 1 ) harus ada ketentuan yang ditetapkan oleh Presiden pada awal pembentukan satuan kerja mengenai kewajiban penggunaan pakaian seragam mahasiswa/ taruna; dan
dalam hal satuan kerja yang pada awal pembentukannya tidak terdapat ketentuan yang mewajibkan penggunaan pakaian seragam mahasiswa/ taruna, biaya pakaian seragam mahasiswa/ taruna dapat dialokasikan setelah memiliki IJm prinsip dari Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.
Satuan Biaya Pakaian Kerja Pengemudi, Petugas Kebersihan, dan Pramubakti Satuan biaya pakaian kerja pengemudi, petugas kebersihan, dan pramubakti diperuntukan bagi pengemudi, petugas kebersihan, dan pramubakti yang diangkat berdasarkan surat keputusan KPA, dan dapat diberikan paling banyak 2 (dua) stel per tahun.
Satuan Biaya Pakaian Kerja Satpam Satuan biaya pakaian kerja satpam diperuntukan bagi satpam, sudah termasuk perlengkapannya (sepatu, baju PDL, kopel, ikat pinggang, tali kurt dan peluit, kaos kaki, topi, kaos security, dan atribut lainnya) dan dapat diberikan paling banyak 2 (dua) stel per tahun. MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, ttd. SRI MULYANI INDRAWATI LAMPIRAN II PERATURAN MENTER! KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 / PMK.02 / 20 1 7 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTER! KEUANGAN NOMOR 33/ PMK.02 / 20 1 6 TENTANG STANDAR BIAYA MASUKAN TAHUN ANGGARAN 20 1 7 STANDAR BIAYA MASUKAN TAHUN ANGGARAN 20 1 7 YANG BERFUNGSI SEBAGAI ESTIMASI 1 . SATUAN BIAYA TRANSPORTASI DARAT DARI IBUKOTA PROVINS! KE KOTA/ KABUPATEN DALAM PROVINSI YANG SAMA (ONE W AY) NO. IBUKOTA PROVINSI KOTA/KABUPATEN TUJUAN SA TUAN BE SARAN ACEH 1 Banda Aceh Kab. Aceh Barat Orang/Kali Rp275.000 2 Banda Aceh Kab. Aceh Barat Daya Orang/Kali Rp298.000 3 Banda Aceh Kab. Aceh Besar Orang/Kali Rp 183.000 4 Banda Aceh Kab. Aceh Jaya Orang/Kali Rp238.000 5 Banda Aceh Kab. Aceh Selatan Orang/Kali Rp325.000 6 Banda Aceh Kab. Aceh Singkil Orang/Kali Rp420.000 7 Banda Aceh Kab. Aceh Tamiang Orang/Kali Rp3 1 5.000 8 Banda Aceh Kab. Aceh Tengah Orang/Kali Rp293.000 9 Banda Aceh Kab. Aceh Tenggara Orang/Kali Rp460.000 1 0 Banda Aceh Kab. Aceh Timur Orang/Kali Rp289.000 1 1 Banda Aceh Kab. Aceh Utara Orang/Kali Rp270.000 12 Banda Aceh Kab. Bener Meriah OrangLKali Rp278.000 13 Banda Aceh Kab. Bireuen Orang/Kali Rp220.000 14 Banda Aceh Kab. Gayo Lues Orang/Kali Rp370.000 1 5 Banda Aceh Kab. Nagan Raya Orang/Kali Rp275.000 1 6 Banda Aceh Kab. Pidie Orang/Kali Rp 190.000 1 7 Banda Aceh Kab. Pi die J aya Orang/Kali Rp205.000 1 8 Banda Aceh Kota Langsa Orang/Kali Rp30 1 .000 19 Banda Aceh Kota Lhokseumawe Orang/Kali Rp240.000 20 Banda Aceh Kota Subulussalam OrangLKali Rp400.000 SUMATERA UTARA 2 1 l l\Jf ,,rl a..-. Kab. Asahan OrangLKali Rp259.000 22 l l\Jf,,, rlqn Kab. Batubara · Orang/ Kali Rp225.000 23 1 1\Jfprl a..-. Kab. Dairi OrangLKali Rp270.000 24 1 1!fprl a..-. Kab. Deli Serdang · Orang/ Kali Rp 186.000 25 1 1!f.: >rlqn Kab. Humbang Hasundutan OrangLKali Rp300.000 26 1 1\Jf,,, rlqn Kab. Karo Orang/Kali Rp200.000 27 1\Jf ,,,.: i .,. ..., Kab. Labuhan Batu Orang/Kali Rp287.000 28 l\Jfprl a ..-. Kab. Labuhan Batu Selatan Orang/Kali Rp360.000 29 l\Jfprla..-. Kab. Labuhan Batu Utara OrangLKali Rp300.000 30 1\Jf <>rla..-. Kab. Langkat Orang/Kali Rp 186.000 3 1 l\Jfprla..-. Kab. Mandailing Orang/Kali Rp420.000 32 Medan Kab. Mandailing Natal Orang/Kali Rp420.000 33 Medan Kab. Padang Lawas Orang/Kali Rp420.000 34 Medan Kab. Padang Lawas Utara Orane: /Kali Rp420.000 NO. IBUKOTA PROVINSI KOTA/KABUPATEN TUJUAN SATUAN BE SARAN 3 ^5 Medan ··········3K······· MedϷa: n: ······· 37 ^····· ·Ѝx; ; cia: n················· 3 8 · ···· ·11"ecia: 11······· · 3 9 ······ ·rvredϸa11····· ··· · 40 ······ ·rvrc; a·an······· 41 ······ M: edail···· 42 Medan 43 Medan 44 Medan 45 ······ rvre.c: l"a11··········· 46 ······ Me.da: 11······ .......... '.47 . Medan • ............................•. -8.J..A ... V. ...... . 48 .P.13<.?.: P.:
l: : > .2.fl: : l:
........... . 49 Pekanbaru s ^o .: P.<: : .k?.: P.. 9..f3 ^. .JJ: J.:
.... 51 Pekanbaru 52 Pekanbaru · . · : : : .: : .. $ϓ: : : : : : : · :
P.ϼk.ϔD.ϕfii.}i": : · : ····· . 54 P... B.: §1: : 1:
.l.?.?.:
: : Y. ..... . ··········5·5 .......P.B.:
:
Ꮞ?:
l.?.?.!..l.:
.... . ··········5·6 ..... .P<: '!.i.f?.J.:
J: P.9.: J.J: ! ..... . Kab. Pakpak Bharat ····································-····-····.... . .. . .. ...... .. .9.F. J: : 1. g/.J.: <.:
1.L . . _ Rp300.000 ············· : Kah: ····saffio.si"r·- . . ···························........ . ............. .. . ...... ...... ........ . ....... .9.: t:
T . ^. !.1. ^g. l.. ^^. 13.: E · ·················· ········ ················R: µ33o-: -<5o"i5 · ············· " K a 1J ·····s·; ; r: a: a: n·; ; : ···13ecia·; ; : ai··········· . ^. . ^. ............. . ^..... ........... .9E ^.13.:
J: : i. g ^f . ^^.'3.: g_ ^········· ··············· · · · ···················: rʄJ? ·2·60ς·6ao ................. · .. · ... · . · . ^· . · .. · . ·· . · . · . ·:
-ƴik: ---ƵƶƷ Ƹ =ƹ ƺ 1 ƻ - Ƽ =; ƽ - ƾ ""."." . .. ."........ Orang/Kali ^........ ···········································Rp·2·6·4·: ·066 . ........................ ................................ ................................................................ . ... :
: : : .: : : gtǗ): ƲƳf .: : . :
:
. . :
: : : .: : .. : : .:
. : : : : : .: : .:
: : .... : : .. : : : : : : σp p · .: : τυ: ϳ: φ: ggg ... . ......· . ^· . · . · . ^·χ . · . · . ^· . · . ^· . ·:
. · . ^· . ^·· . ^ψ . · . ^· . ^· . ·· .. ·:
· . · . · . ·ω. · . ^r..... ·:
· . ^· . · . ·P P . . · . ^· . ·:
...... . n . ^i __ } __ ·. ·ϊ. · . ^·· . ^· .. ·.ϋ . ^· ^.. ...... ' . ^u _r _ ^. . · . ^· . ·e .. i .. n .a.r . · .. ·· .. g ... a . ·_a _ ^. _ ^· . ^·· · ^h · ^·· . ^· . . ·. ··········· .......... . ····· . · : : : : : : : .: 9 : ό:
ii./.Ϻ.ϻff . · · .. . · : · . · ._: __ :
: __ : _ .: __ · _: _:
_ · . · : _: _ .. _ ... __ : _.:
__ : _:
.. .. ..: _. __ . _.: __ : .: .: _: R R . _ .: _...P P . . _: _.33 . _: .: 3 0 ·.·. ·.· · .o o ..: .:
_.: .: o o .. . . · _ : _o o .·· .. : : _oo .: _: _:
Kab. Toba Samosir ..... . ......... . ........ . ...........9 ^. : t:
U ^. 1Vg.f: f5: aj ^i .. : !S.?.!.<3.:
..: 1:
. /.!..1.J 0.i........... ············-····-·····-······ ...... . ............ 923@!..1- .'ef?./..45!6 ......... ............................................ 8P. }:
!3...9 .:
.9.9.9.. Kota Pematang Siantar Orang/Kali Rp225.000 · ····· ··· ········································ I<oia: ···siba"ilia················································ ·· : : : ··· .: : : : : · : : : : : : : : : : : : ···· :
: : : : : : : : @: : 9_ABg/CAK: : ····· ······ ································_Rf>34"S": ·o"0 " 6 ....... :
.. _:
: _: : _: : _: .:
: _: _:
· . _: _: _: _: _: _: _: _ · _- _K K: _: : _ · .: _: _ · o o _: _:
: _: _t t . · . . : _ · a · .a .: _: _: _ · . . : _ · T ._1' _ . _: _: _: _e a : _ · .: _b:
ύ _: _: _ · _: 1 ._i .1 : _ώ _1 :
: i . . g i.1 _ · .: _T g _ · _ · _ · _ : _: _1 · _: _ s n . . · . . : _ : _: _: _ Ϗ _ :
g tϐ _ - 1 · . ϑ · . · · · i · : · . · . · . · . · . · . · . ·· . · . ········ . ....... .. .. .. . .................. ............ .9.: t:
?. ·!.1._g/Ѐ.9.:
ϒ .... .... : · .. · : : · : ·· .: ·······························Rj)28"S": "C56"6" - ϐ -............... . ...... .. . .. .9.i.()!.1. M . . : £5:
:
ᏉᏊ-.... . .. ··············· : ·····: : : : · : : : : 1.3P.: ϴ: ¢I: · 9 · 99 . .............. K?.-1?..:
.. . !.r.:
4.r.?.:
gi.ri..B.ili.r........ . ...................................... .............. .9.F. P:
gf. 1.i......... . .......... . .. ....... . .. : : ·· : : · : · : · : ·· }{i?.ϖ?·gj?.: 9·9:
.. ........................ : !S.'3.: ?..:
.. . 1..!..1. xŸżgŹi. .. . 1.: i1:
Ꮢ1:
.............. . ........... ..9<5B:
&./..!<.: ?: 7L.... Rp3 l 5. 000 .. ... .. .. ........... K.9.: 1?..:
.. K?..1.P. P.?.T.... . ..................... ......... .9.F. P: g/J.: <.:
li. ..... .. · : ·· : ·· : · : : : : : · : ··· : : : : ·· : · : · : : : : : · : · : · : : : ·· ϗi?.Ў·99: : : 99: 9 · : !S9:
:
.JS1: : 1 .# ; 9?. ... ?..i.!£s..i.!.1.ฏ..... . .. ··············· ... ... . ... .?.Ɩf:
ฐ?: ฑ/I<.ฒ!i... Rp300. 000 ...................... K?.:
? . . '. . .PᏏ.1§1:
,?.: '>Y.?.: P., ... . .... . ........ .. .9E!.1.gf..?: W.i..... ···· ·········· ····· .......... ···· ······ ··Rr)22·5·: ·006 . ........................ K?.:
? .. :
. B9.k?.:
.. tI.m.r... ........ . ...... .9.E.?:
/ g/: £5: ?:
1.! ... ^···· · .. · :
:
^· :
:
:
. :
... :
· : : ^· : : : : : : : : .: : .R J3 p P.: 3 Ϙ : 2 $: 29: _ :
o9: o § o q .... Kf: 1: P.:
. .R.9k: ?.!! .. .tI.Y.: !.1: : l _ ....._______________________ ..... . ..... ______ .9.!: ?:
J: : 1. g/.J.: <.: â-!.i. .. . .......... .. ···················- I<.?.: P.:
...§J.Ꮕ ·······-·····-·-···-···-·····-··-·-·-···-···- __ _.9._i: _² g/.J.: <.: ?.: ã.L . ············································Rp356: ·oo" c i .... ................... K2.t.?:
. P..g_i.: g_?: L. . .. ..................... ...9..: t:
?: !.1._g/..^.9.: !i........ . . ·······························: -· - _ ·: : .: · .··: -P..4.9.9.:
: : .9.ЌiQ. . • .............................•. li..P.. Y.ᏍA.V.A.N.... . RI..A.Y .......... . 57 Tanjung Pinang •·K ······a · ^····b ········· ···B ······ ^. i ···n ·······t···a ·····n ··········································································································l·············O ······· ^r ···a ·····n ······ g ····· ^/ ····· ^K ······a ····h ·········· ·········•··············· . .... . .... . .... 8.P.A.?.?..:
.9.9.9. J A M B I 58..... . "Jan1EC""""'""""" ... . .. ..... J5: ?.:
?.:
... ?.?:
6.?:
P:
gh.?: F.7...... ... . ..... . .... ... .9.. r..?:
8gl.!?.: 1-L . .... .... . ............. . ..... . ........ ..... Rpi7"S"": ·c i' o6 59 ...... "Jaill : i; r ^·. . ........... JS.c.i: P.:
. 1.?..XEJ ^. g<?. ^.. ... ^.......... ..O o......r r .. . a a .. ..J n ^Jg g / / . . . K K ..... a a } l .1 1 :
.... . ... ............................ :
. · :
. · .----- ^ _ R R ..... Pp ) 3 ^_. _ _"1 2 :
: : ^·0 5 .. · .ϙ .
. . oo _" ._o o . ··o o :
:
. . ...... 60 ······ Ja.mbi""·· ·· Kab. Kerinci 61 . .. Jaffib"C: · . .-.-.: · ............................ ····· .. .......... .. .. . .... .. . .. . - :
: · :
: · : : .: · .: : · .: · . · .-.-.-.: · · .I.5.E:
· _)0.. Є: iit.1. gb.: ϵ ················--·····-·--···-···-·········- . .. ............... .. . ........... "Orang/KaIC" ..... . ...... . .. . . Rp26i5: "666 62 Jambi Kab. Muaro Jambi ... . ...... .. . .. :
. : : : : : : : 9.: ຺ູ ?iZ: ถทH......... Rpl 70.o ^" OO 63 Jambi · · ·········· K ab····s· a: r 0 1 an: g: u: n····· · Orang/Kali.... . ... .................. ........ . ... Rp ^· 2 ^· ; : fr ^· 606 : : : : : : J: ưƱr: : : . :
· . ··· . · . · _: · _ · '.'.: _: _: _ · _: : _: : : _ . . K: K U a _: _ : _ : : b b Ζ : _ _ : _ :
_ : _ :
_ : _ , T T _: r _ . _: _ : __ : e ' _ :
_ : _ : _ : b n . 1 . '. 1 _ : _ : __ Ϛ 0 · . : _ . u _ u _:
_: _ :
_ :
_: 1 _ ϛ Љ_3Њ--k.: : : _ : ʐtF:
· _- _-····· . ··· .. · Ϝ-ϝ-: _: .: : : __ .. : _ : _: : _: _: _:
. : _: : : : §.t.: Ͼ-- Ђ: Ϟϟf :
. : _: · : · : _ · ·············· .. .... ·.: : .. : : : .. : · : ʎ I·Ϡ: : : : gg: ϶: ······ ··; s6 .... ·· Jaັnbi"" . ···· · . ....... . .... . .. .. . .... . .9t.9.: Pg ^l i<:
?.:
1t.. ·· ·: : .: : gP.: ?.: $І?.: : : 9.<i9 ........ ?.?.. .. . J ^_ ϯpϹl?.ϡ...... .. . ................................ l.S.<?.Ꮖ.?: -YZ-]g?.: [ .P.f: : ! !.VX ^. h ^. ... .............. .9..r.. .1.Ꮠ_g./: £5: §:
Ꮡ................... ............ .. . 8.P.?..9..?. . . '..9..9..9. 68 ?.99.: 9?..<....... . . 69 ͕ą-͖ą.?..ณ . .... . 70 ... . ͕ą - ͖ -- < ········ 7 1 ...... ?.'3.:
9:
'3.:
!.:
' ........ . . 72 ...... :
=>.'3.:
9 .'3.:
: Ϣ····· 73.......ź§l:
c.1: !.1..Ż ........ . 7 4 .'3.:
(.): 12$.. .. ....... . 75 Padang 76 tฌญฎl.i"i"."" . """" _" 77 Padang 78 : : : : : : i.=>.4.l.?i: : : .:
........ . 79..... P.?.: 9: ?.: P: K ..... . 8 ^0 Padang 81 : : : .: : · RļϣļЃ: ; : ; .: : : : : · : · : : : : ········ .. . 8 ^2 ..... . ?.?:
g ^_ §t.pg········ 8 ^3.......P13.:
<:
?:
K ......... . ......... ?1. . ......?§.9.?.: ᏇK .... .
................ Kab. Agam . ........ .9.: : .'3.: ?.ຎ.!.!S.'3.:
1.ช ...................... 8.1?..?..?..Ì.:
9..9.Q . .......... 1.1.: >. .. .?..1.: 1:
i: i: Ɩ:
i:
ą.ดƖາxi: i:
........... ........ . ........... .?.:
Ϥ_.: ,: _g; /..!S.i: i: !L. ..... ............... .................... 8.r..?..Ì.9.. .'..9..9.Q Kab. Lima Puluh Kota..... . ............... .9.E.ϰ: 1: _g; /.. !S.Ł ϱ---······ ........ . 8.P..? .?.§.:
9..9.Q ............... 4'.3.: !?..:
... P.585!1.> .. P.59: 5:
Il: 5!..1- . ................... . ·················· .. . ....... 9.. <=.1:
1..'ef?./..45!6............... . .... .......... 8.P.?.9.B.:
.99..9 Kab. Pasaman . .. . .............. . .?.E5!.1..'ef?.D5;
i......... . .. . ................. . .... . ...... ......... . 8.P.?.?..9.:
.9.9.9. Kab. Pasaman Barat......... .9E.1.1.: ຏ.!..ซ.1'!: : 1.i..... . ...... . ...... . .. ............... . .. . ...... . . 8.P..?..?..9. .. '..9.9..9. Kab Pesisir Selatan..... . .. ..9<5!1..'ef?./..45!6 . ...... . ....... . ....... . ........ . ...... . .. . . 8.J?.?..9 .?..:
. 9.9.9. Kab. Sijunjung Orang/Kali "Rp225.000 ·· · ·· Kah": ··s010i<···················· ··· · · · · · · · · ····· ········· ··· ··· ··· ··· ··· .... _ _ ..._. _. _. . ... · .: : ··: ··: : 9.:
ϥЁ.iZRL: ···· · · .................. .... .. . ..._ϦP.-?.I.9.:
. 9.9.9. Kab. Solok Selatan.......... . ... .9.1: : .4?,: g; /K:
498 Rp250.000 ···· · ················· kabϧ··ra:
f1.ai1.t5atar······ ·............. . ...... .................. .. ................. .. ^.9. E.?.: !.1.. g.f...'3.: !t. ^..... . ···· ············· ········RiJ·2: : fo·: 600 · ······················ : · : · : : : : : R9·tϲ: : i:
Ϩ1ff :
fogiic : ··· : ········ ···................ . .. .. .9..r..?:
^g f.I.S?: Ji. . . · · · · ·· : ·· :
3P.: ?I$: · : : ϽЋg9 Kota Padang Panjang............. .9.E9?.B./..!S.'3.: =L.... Rp210.000 · ······ ····· ko.ta .. r>.aria: m: ·a: n·· ................ . ...... ... . .... . ....... · o /Kal. ············ R ···2"0"6 .. 666 · · ································· ·k0"t"a: "I; · a: : Y a ^kli ffi ^1Jli"t1 ······· · ^· · · · ^·· · ^··· · ^·· · ^······· · ^······ ·· ^·· · ^··············-··· ·············· ^..r.. ?: !.g ···· ... . ....... . i. ········· ·························· · ············· · P ...... . ...... '. .............. · ................ ............... .. ... ................... .9.1.: §1:
1: g/.I,<:
ϩF ^_ .... ... . .......... .. .................... R .13: p l?.2Ϫ 2 1 ^····· 5 Ì .. :
0 9..0 Q.O Q ·············· 1<: aia sawahiu.nto . ··· .......... .. . ... . .. . .......... .. . 9.F. J: : 1. g/. 1.L. ·············· I<0ia:
. ·s010k········ .. . ......... .... . ......... . .... ...9.E?: !.1..g.l..(.13.: JL... ... ················ ·········· . . _. : : : : : : .: : ตv..I9.:
: : .9."9..9.:
...... ...... .......... ...... ........... . ...... .. . .................... . ................... . .. . .. . ............ . .. . .. ...... .. . SUMATERA SELATAN .. : : : : : : : · :
· . . : _: _.: : : : ..: _: _: 0 9 _: .: _: _r r : .: _ a a ϫ _: _: _: _: n_n : _ · _: _: _: _g g . "/ / : _ : . . _ K: K. . : .: _._a. a : .: _:
_ 1 1 ._: _ 1 1 ; _: _: _ : . : _: _ ...... · · ······ ······ · · ·························RpЈXcfaϬ666 ····· ········ · · ······· ···········Rr; sis·: ·000 ··········s·s ······ : Paieffihan: g ···················· ········································ I<a: h: ···13a: n: : y u·asi·i1·························· iV •••• i - : !=: =====-: ; : i!H "# $ % g: ===: == ........... . ^. .. .. ^. ......... .9E.?.: !.1.J?;
/. ).<3.: !L.. . ............ Ri)2.56: 666 ............ ..9T?.: !.g.!.!\13.:
i.. . .... Rp·2·3K.660 ........ 89.......P..Gl:
1.f: : : .1.1.?: 1?..?:
K.................... ............. ?.:
. M: i: : t. (i. . . l.3..13.:
1.?:
": l: : : >.i.!.1.:
... .. . 9 ^0 . ...... ?.?: lA!.!.1..1?.BCK....... Kah,.... MY.: (å---æa': Y.§1: (........... . ......... QF.§1:
: i: g/. 1.L................... ······. ··· .. ·· . · . ··. · . · . · . · .·. · . · .· · .-- . ·ϭ ··· · · · · . · . · ·P P . .. 3_2 .-.· _ - 2 3 _ .. _ . . _...... Ϯ .---· · . · . · .. .:
." _g _: _ · . .. _b _ .. _: • . .. g _ . . _ . . ..·.... .. ........................... .9.F. äg/. 1..L .. 9 1 Palembang Kab. Musi Rawas Utara Orang/Kali Rp325.000 NO. IBUKOTA PROVINS! 92 Palembang 93 ! PalPmh: : : in e; 94 Palembang 95 Palembang 96 Palembang 97 Palembang 98 Palembang 99 Palembang LAMPUNG 1 00 Bandar LamEung 1 0 1 Bandar Lampung 1 02 Bandar Lam2ung 1 03 Bandar Lampung 1 04 Bandar Lampung 1 05 Bandar Lam2ung 1 06 Bandar Lam2ung 1 07 Bandar Lam12ung 1 08 Bandar Lampung 1 09 Bandar LamEung 1 10 Bandar Lam2ung 1 1 1 Bandar Lampung 1 12 Bandar Lam12ung 1 13 Bandar Lam2ung IBENGKULU 1 14 ! Ro"' aln 1h 1 1 1 5 i Rpn rrln 1l11 1 16 ! Rpn aln 1l 1 17 ·. . 1 - 1 18 r-. )JϏ 1 1 1 1 1 1 9 Bengkulu 120 r-. Έ!.. 1 1 1 1 - 1 2 1 D Ή-1<. : h1 122 ,--. ; ; -l,.- , h 1 BANGKA BELITUNG 123 Pangkalpinang 124 Pangkalpinang 125 Pangkal2inang 126 Pangkalpinang BANTEN 127 erang 128 Serang 129 Serang 130 Serang 1 3 1 Serang 132 Serang !JAWA BARAT 133 Bandung 134 Bandung 135 Bandung 136 Bandung 137 Bandung 138 Bandung 139 Bandung 140 . ,.... . : : : . 141 ! R: : : in rl11 n P' 142 Bandung 143 Ran rl1 1 n a 144 R a n rl1 1 n a 145 Bandung 146 B <> n r h 1 n p- 147 Bandung - 76 - KOTA/KABUPATEN TUJUAN Kab. 0 gan Ilir Kab. Ogan Komering Ulu Kab. Ogan Komering Ulu Selatan Kab. Ogan Komering Ulu Timur Kab. Pali Kota Lubuk Linggau Kota •agar Alam Kota Prabumulih Kab. LamEung Barat Kab. LamEung Selatan Kab. Lampung Tengah Kab. LamEung Timur Kab. Lampung Utara Kab. Mesuji Kab. Pesawaran Kab. Pesisir Barat Kab. Pringsewu Kab. Tanggamus Kab. Tulang Bawang Kab. Tulang Bawang Barat Kab. Way Kanan Kota Metro Kab. Bengkulu Selatan Kab. Bengkulu Tengah Kab. ^Rpn nlr11l1 1 Utara Kah. Kaur Kab l<pn: : : ih i: : : in a Kab. Lebong Kab. Mukomuko Kab. Rejang Lebong Kab. Seluma Kab. ^Ra n _: : : lra Kab. Bangka Barat Kab. Bangka Sela tan Kab. Bangka Tengah Kab. Lebak Kab. Fì 1 1 Cf - - Kab. ì - - Kota Cilegon Kota Tangerang Kota Tangerang Selatan Kab. Bandung Kab. Bandung Barat Kab. Ciamis Kab. Cianjur Kab. Garut Kab. Indramayu Kab. Karawang Kab KllnlT c<>n Kab. Majalengka Kab. Pangadaran Kab Purwakarta Kab. Subang Kab. Sukabumi Kab. Sumedang Kab. Tasikmalaya SA TUAN BE SARAN Orang/Kali Rp205.000 Orang/Kali Rp248.000 Orang/Kali Rp250.000 Orang/Kali Rp245.000 · Orang/ Kali Rp265.000 Orang/Kali Rp290.000 Orang/Kali Rp280.000 Orang/Kali Rp205.000 Orang/Kali Rp270.000 Orang/Kali Rp234.000 Orang[ Kali Rp246.000 Orang[ Kali Rp246.000 Orang/Kali Rp252.000 Orang/Kali Rp276.000 Orang/Kali Rp2 16.000 Orang/Kali Rp200.000 Orang/Kali Rp222.000 Orang/Kali Rp240.000 Orang[ Kali Rp252.000 Orang/Kali Rp267.000 Orang/Kali Rp270.000 Orang/Kali Rp234.000 Orang/Kali Rp275 .000 Orang/Kali Rp 185 000 Orang/Kali Rp250.000 . Orang/ Kali Rp308.000 Orang/Kali Rp238.000 Orang/Kali Rp300.000 Orang/Kali Rp338.000 Orang/Kali Rp250.000 Orang/Kali Rp225.000 Orang/Kali Rp250.000 Orang/Kali Rp275.000 Orang/Kali Rp275.000 Orang/Kali Rp250.000 Orang/Kali Rp 190.000 Orang/Kali Rp l 75.000 Orang/Kali Rp 180.000 Orang/Kali Rp l 70.000 Orang/Kali Rp2 1 5.000 Orang/Kali Rp230.000 Orang/Kali Rp 1 83.000 Orang/Kali Rp 1 83.000 . Orang/ Kali Rp245.000 Orang/Kali Rp2 15.000 Orang/Kali Rp243.000 Orang/Kali Rp275.000 Orang/Kali Rp248.000 Orang/Kali Rp275.000 Orang/Kali Rp235.000 Orang/Kali Rp283.000 Orang/Kali Rp2 18.000 Orang/Kali Rp208.000 Orang/Kali Rp245.000 Orang/Kali Rp230.000 Orang/Kali Rp245.000 NO. IBUKOTA PROVINSI KOTA/KABUPATEN TUJUAN SATUAN BESARAN 14 ^8.... 1.?.9!.1..9: 1: : !?: g ...... . 149 .. . J.:
3..Ꮘr..1 .9:
i: : t. !.l: K ........ . 1 5 ^0 . .. . 1.?..': '.!.l:
9.\1.1.?K ... . 1 5 ^1..... E.3..Ꮒ.1!.9: \1.!?:
K .... . 1 5 ^2...Ç.': l:
1.àÈá.!.1.K .... . 1 5 ^3.... . !: ?.ƕ1.:
.9.: 1: : .1.?: ..... . 1 54.... !: ?.Æ!.1..?.:
É?: g_ ..... . 1 55 ^Semarang 1 56 .?.)?.: 1:
: : : : : 1:
?: , ........ . 15 7 ... . ? . !?. Æ !. : : 1: !.1......... . : ·: : : x§·s ... . ?.*!.!1.?.: !.+.i.: : K. .. . 1 59.... §`!.?: atbl?JL. 1 6 ^0 .... . ?. c . : t?.. ad. <=l: g····· 1 6 1 . .. . . ?..c.: t? ^. .ad.'3.: !.: 1K ... . 1 6 ^2 .?.): l!l: !: : : : : 1:
: 1:
, ..... . 1 6 ^3 ?..c.: t?..ad.c.i:
:
: g ...... . 1 64 . .. . . ?.Ꮌ.1.!1.ᎽE?.: : J: : l. g ........ . 1 65 .... - Ꮌ . 1.!.:
. E.'3.: : J: : l .g . .. .....1 66 ... ?.!.?.!.!.1.L . . 1 67 l?._m-ng 1 6 ^8...f?.*gi.,: r: : §l: -K. ... . 1 69.... . ?..: ?.: 1:
'3.: : 1:
;
?:
€L .. . 1 70 .§.c.!.1:
: eE.b.1.?: g ...... . . 1 71 ... .?..?.!..!!:
........ . .. ""__"""f.7..2.... §.$.1.!.1.?.: T.: : l: %?:
K ... . 1 7 3 .?.;
1.:
1..<:
1=>?.. ? .. ... . 1 7 4 .. . ?...1.?: ?: j!.8-: !?: g ..... . 175 .?.!.!.1: !: : 1.?:
........ . 176.... ?..: ?.: 1:
E; !l: >L ... . 1 77 ?.: 1!.1.T?. .... . . 1 7 ^8.... ?.: ?.?: §: : 1:
;
?: K .. . 1 79 ... . ?.. Ë!.1:
: a E Æ J:
JL . . 1 ^80 ?.. Ì!!.1..13.: : 1:
Æ1.?:
Ê ....... . 1 ^8 1 ^S e ^maxang .... .......... .. Ï?.t..Æ...f.?..t3.: !?: JᎺ.. Orang/Kali Rp283.000 . ... ........... .................... ........... .9.. !§:
..1.?.. 4!7.'3.:
i. . .............. ·······--·········-··-·····-······--·-····· : : ...... : : .. Η · Θ:
.. 9.:
i.fi.ZRL:
.............. ·· ·········...· .P.-?§$."3?.9.9................... /?..!.. .. J.:
3.?g?.E.. . .......... ................ . ......................... ......... .9.E'!.l: g/J.: <.: (1.&........ . .......... ............... }3P..?..?..?.:
.9..9. Kata ^C imahi . .............. .. . 9!.: §l: !.Sf.1.: \§l.Ꮅi.............................. ...... . ......... !3: P.].?.^.:
9..9.9. , .. K . ...... a.... . t ... a.......c.... . . i ... r .... e .... b.... . 0.... . 11.... . .. ....... ... ..................... .. ...... . .. . .. .. . .......................................... ...... . .. . , .......... ..9!.ãJ?:
!.Ïå-Ñ-Ð ............................................ .8.P?.7.. 9.:
9..9..9 : : : : .: · .:
: : · Ko ta Depok ............ ..2!.8-: : ΙΚ: g / Kag1. ............ ··········-···········- ...... .. .. .. .. dP..?.?..e . . '..9.9..9. . Kata Sukabumi . ........ ........... ..2E. ě Λ.?: g ./..χ-i.............. ............................... ...... . gP..'.?. .'.?..?. . . '..9.9.Q Kab. Banjarnegara Orang/ Kali........ 1.3P..'.?. .?.9..'..9.9.9.. ...................... ບ.i3.:
?..:
..l.:
3.: : 1: !!.Y.. Μ1.?.dΝ-······....... . .... ......... ..91.: : Æ1.: 1:
Ê/.ÏÆ!.i............................ .................. !3: 1?.'.?.?..?..:
9..9..9. Kab. Batang.... .. 9.. EÆ?.gDÆÑi. Rp240.000 ······························ kah: ··13i0ra············................. . ........ . 9E§.l.i.: : g/F. :
·· : ·· : · : · : : · : ·.·· : : · .:
· : : ···· : ·· : · : ···: : : : : r.ii Ξ?..93?.: 9:
....................... !SÆl.?..:
.. I.?..'?.Y?..1.Æ!L...... . . 9Tbk1.:
s.!.!Sc.i: : h1.. . ....... ᒊJ?.Ꮉ'.+.9.:
9..9.9.
^K ...... a ..... b.... . . · . .. .. B.... .. r . .. . e .... b ..... e ..... s..... . ................... .......... ........... . ........................................... . ..............^..... . ...... 9E.c.1: jkg/.1.S.ii................ !3: P.'.?..?.?. .. :
9 . 9 .9. ................ IKab Cilacao ·-··-··-..<?.E.c.i:
:
:
/.. 1.S.Ě-······· ........ gP. :
?. . ?. .9. . :
9 .9. 9. Kab. Demak . .... ......... ..9£Æ1.?:
&/.ÏÆ!: Ò..... . ................ : P.¢.£.9..:
9.9..9. . ............... -Ïç?..:
..9.E.?.?.?.g_d1.?:
............. .......... ..9E.l3.: ?.g./.. 1.S.i...... . ......... 13P..?... . .. ..9.9.Q . . ··············· .1-: \.1?..:
. . Ꮏ?.P.ᏀE...... . ... ............ .9.Ο.?.:
?: g/.1.S.13.: }Ě.......... . ... . ............... gP..?.'.+..9.. .'..9.9.9. . ............. 1.S?.:
1: ?.:
... /0E?.:
J: ?:
.J: ?: Y.. .E.......... . ............ . .......... 9.E<: l: ?.f$../.. <: l: }Ꮑ.... . ....... gP'.?..e.9.'..9.9.9. , . ^K ...... a ..... b . .....·.... . ^K ...... e ..... b ..... u . .....^n . ... 1...e.... . 1 . . 1 . ... .. . ........... ...... . .. . ........... ...................................... .. . .............. . . , .......... ..9ÓÆ1?: Þ/.Ïä}Ô.. . .. ......... ...................... 1312'.?.?..9.:
9.9..Q. Kab. Kendal Orang/Kali Rp230.000 1 1 _ K :
:
^a = 1 _b : : .. ·:
.... K : : .: : .:
^a =_ ^t : : .e : : .. n : : .:
................................... . ...... . ...... ......................................... . .... .... .. . . 1 . .. . ... . .. . . :
9i.·.iigZKL · .: · ··-· ··········· _ -··: ·:
Er_""$."9-ĺ_-9 ·9_9_ . ··········· Kab. Kudus .............9.. : 1:
¨: t?:
8.J.¤¨1.¥ . ......... ..................... . ................ 81?.'.?.?. .. ?. . :
9.9 .9 . ... ·················· ¸δ: Χ .. :
. :
v.1.. e : g Ꮄ . 1. Æ ?.g.... . Kab. Pati . ..... . . 9.. E.?.: J: ?:
/..bc_L.. .. . .131?..?. .'.+.9.. .:
9.9.9....... ........... 9.£Æ1?:
Ê/.ÏÆÑÕ.... Rp240. 000 . ........ .. ··········-·--··------_ ---·-· i.5̆_-: , ·5: >Π.J.. ƫ. fori.iP.." : ·· .· . . ··_-······· .......... . 9..Ꮋ?.: : r.: ig/J.S JL. . . · . ···"") Ρ P. + $. . . :
99·9_ . ..................... ຍ-.1?..:
... !!1.-1.: : ...................... ..2.C>?.. l.1.: D1..... . ..... . ... 1.3P¢.?..9.:
.9..9..9 .. ·············· ෴1.S.ມ1?. .. :
.. ?.t:
1.!!i?. .. &!3.:
.... . . ·-··---·······-·---·--·--······-······-··-··-· ····-···-.9.El3.: ς?: !./..1.SƢ ....... g P.'.?. . ?..9. . :
9 .9. Q........................... ÏÆ-1?.:
...?.J?.......... ...... ........ ..9.. !.ÆJ?:
&!.ÏÆ!L. . ......... . 8P.?.?..9:
9..9.Q ....... ..... .I.\f: l: ?.:
. !3: ß!?.?Æ!! ^. .&... . .... .. . ... . ........ ..9.. .ÖÆ: i: : _gf.!S: : : i: ×L..... 1.3: P.. ¢?..9.:
9 ^. 9.9 . ................ !S'.'1: ?.:
. . F;
1.?.:
G:
HI?? . ......... . ··········........ .?- -!!!S.1" . .................... . ... !3: P. ` ¦ .9 :
9..9. . 9 . ................. ... -<=?..:
?!.;
J: ?:
..... .......... . ... 9. : r: : ; Ζ:
g f . 1. L . ........................... . !3: P ¢ ?..9 :
9 .9..9................... ÏÆ?.:
... ?.ฉ.1.จ?.!:
.l3.: !.J?.......... ............. ......... ..9.. .1.*): i: : .g/J.: <.: c: i:
+............. 13 .P.'.? .. ?..9 :
9.9.9 .i: K .:
... ·.a ...... b . .. .. •.... . T ... . . e ... :
υg"" al ···················································································································•···········..9.. Σd!.1,g/.¸dαL.. . ...................... . ............... 8Pd .. ?.9.:
9..9.9. ··: ·: · 5·_·?·. ·: ·: · . · . ^$·π-i.-i.-!i..... . _ ^. _ ·: : : · ^············· ......................... -d?..:
... !).: t?..*.J: ?: S+1.!..g.................. ............ .9E.l3.: ?.BJ..1.S.ΤL.......... . ............. gP..'.?..: 1:
9..:
9.9..9. ........ ..... !SÆ?.:
.. !Y.. ?.?.?..gÝE!....... ........... . ..... g>@: r:
g!.A?-µ........ 13 .P§ .. ?. .9. . :
9.9. .9 . . }.?..... ?..`!.1:
:
ad.c.i: ?.g ..... . 1 ^8 4 .. . ?..c.f?:
: : : : 1 :
'3.: ?.JL. 1 ^8 5 ?.. !.?.!.1?: .. 1 ^8 6 ?.Ë!.1:
: Æ1.ÍÆ!.1..S. ....... . 1 ^8 7 . .. . ?.t: !1.?: : : l : Ꮎc.1: : 1?: S. .... . . 1 ^88 .?.; ?J.@: ALB ...... . Kab. Wonosobo.....................9.. !.6.1: 1?.:
/..1.Sbgi,............ ............................. !3: P.'.?..f9..:
99..9 . ..... ... 1.S?..Ꮈ: : : l:
. . Υěgγ!. c.i:
:
: tL..... .... . ...... ........... .9E.c.i:
:
: g ./..¸βΦ-········ . ....... . . 13P.?.. '.+..9. .:
9..9..9............... .... !S?.ØÆ ?..1.&1.?:
.......... . ............... .. ..9.. !.ÆJ?: _gDÆ!i.... . ....... 13.P`a?..:
9..9.9 . ...... .. . Ù.?!Æ ... ?.ÚÆ!æ.gÆ ....... . ........ 9.. !ÍÆ!J:
g/.Ïc: i: !L.. . ....... 131?.§.¦.?.:
9.9..9. ,. ^K.......^o.... ^t .... a..... . . s.... . i.:
..ff.......a.... . k.... . a .....r.... t .. . . a.... . .... . .............. . .......... .. ............... .. . . -................................. 1 . . •... .. 9..tb:
i1.S./.1.Sb:
h1..... . .. .... . ...... gJ?..'.?.'.+..?.:
99..9 Ko ta : gal . .?: 1'-1: K:
B/!SE.i............ !3: P § . ?. 9 :
9.9.9 . 19 ^0.... .X?.g: yÆÑÎÆ: r: : !Æ .... . ............ ..... . :
ri.d1?. . . :
. S:
â.J: : 1.: 1: : 1. J?: K.ÏÛÈ: 1: : 1. Ü........ . ..... .9.E.8-: !1._g./...c.i: !i. . ^............... . .............. hP.. .. !..9.:
9.99. 191.... Y..?. .l'.?.Y.. ຟ1.<.. :
:
t..c..t ............... ...... .... . ············· : Æ.1?..:
... 1: : 1: : !?..12 P. !: ?..g_<: }_ Orang/Kali . ........... 13.P.. eJ.9..:
9..9.9. 1 9 ^2 y ?͔͔.!: : i:
..... .. . 1_ ^K ······ ^a ····· ^b ··········...s.... . . 1 . .. e . .. . m . .....^· .. _ ^a ····· ^n ··················································'·······················································•·········...?..ฆ.<: 1: ພ1.: ง./.!': l!.L........ ................. hJ?..'.?. .9..!. . . '..9.9..9. Si\wA···r..tJ0.98.: : : : : : .:
: : : : ··----··--_-··············· . 19 ^3...§.Ꮓ.r..?.: P. .?.: Y ^Ꮔ .......... ················ kah: ····13·an: gf8Ii·11······· ..... "i94 ···· .$..t: : ᏄP.9.-Y".l . ....... . · · ^.. .":
: : ·""".": ·.-.-.-.: · · K Ψ · a ^f.. b Ω-Ϊ . ^'.: · :
" B $.o §.: njj}ri.: d _ ^. .. o ."jw _"iio .Ϋs .il o _"ii. ..... ... . 19 5 ?..i: : t. E: t?.ïY.. 13.:
......... . ..... "i9·6······ Surabaya · ·····"i97 ··· ·su·1: ·a: ha: Ya····· ··· :
: : ..: t:
: -- : : . : IJ tŸ ǟǠ: : : : · ··:
···· .. ..... · ··· ·· ·············· icaiJΰ··a: ; esiiζ·· · · ············· K: ah: ···J"embe·1: ······ · ..... :
. :
-:
: : · : : . : · : : : : : : : · - : : : : : t.- : ii . . : : · : : --: : : · ·: · · ·· . : ·· .. ········ . 200 .....?..i: : i: : r.: à1.?.ñY.<; l;
......... . ·············· : IS,Ꮘ1?...'. ... ᒈ: 1:
?:
: ᒆ5!3.:
0.: 8 ......... . .. . 20 1. Surabaya ·······ηfr52····· ·su: ά: ·a: ha: y: a: ········· · ....... .-.. Ưg: r:
· : _ : : : : : : : : g t ; ƫ Ƭ: f ƭ : ; l. F ·: : · · .
........ ...... ......_--····: ·.-: ··: : . .-.-.-.-.-.-.-- Ʈǐ8 - rggg orang/ Kali ·······································Rii"2.'.: is·: "Oo6 - R : iSTi[I!: - . ......... · . . ·· . · · •---!!!1- ggg . ....... 9..i: : .<3.:
1.1.: g/.J.: <.: aj_t__........ Rr2"t5T.666 . ..... ............ 9. : r: : §l . . Ά ? .. g f.: §l .. !L...... ........... ·······........ . .......... Rpฅis"3··: "6 66 .. ..9.i.: : gg/.J.: <.: JL ....... . . ·················· ··· · ···················Rr; 24·5·: ·00"0 Orang/Kali ···············Rp2"5°: : f o66 ···: ··: · : : : : ·: ·: : : : : : ·: : : : ·0 0: ·: : : : : r r : έa a : : : : n n : : : : . ή : / : z: K ga a ί: : . 1 ·f.1 1 : ; : : · : : · ··· · ·········································Rp-ρ2°8"5:
666 '!=.
........ . ....... .. R ^ili"43j566 NO. IBUKOTA PROVINSI KOTA ^/ KABUPATEN TUJUAN SA TUAN BE SARAN 206 .... ?.ЛМт1.?.: : 1: Y.. у...... Kab. Pasurnan .............. . .... . .................... ...... ....... . ........ . .......... . ...... . .. . .. .9..ෲ: 1෯ຖ./..T.s. ෮:
........ Rp228.000 207 ... . ?. : i: : t E.E.l: ?..l: l: Y.,.................................... .I:
<: i: ?..:
. f..<?. !.1.<?.E<?. g<_: >................. . .................. ............. Q ^r.: ѐ.J?: g f.I. ^lL ... . _ ^, ^. ^. ^............... ^. ^.... ^.
............. Rp.'..i s's'Нci66 208 Surabaya Kab. Sampang Orang/Kali ....................................... Rp2:
=f?5': '6cfr5 ....... 209· :
·$.i.fr.' b..ђY..: -.:
·· · ....... · ... . .................. . .... . ...... . .... . ............... . .. kah: ···s1d0·ru: JO· ·....... ._ .....·.-.....
.. ._ .......... . '.'.'.
.. '..'.:
· . · . -.-. .. . . :
. ·:
·.·:
: : ·: ·:
... : : .·.: : .·: : .·: ·: : -.·:
·:
. ......-.-:
-:
ࢊ.i /෦ajL'.'........ ......................... ....... . .... : Rµ2їrn-: -c5a'6 ...... 2 i6 ... §ăr.: §1: 1: ??.J.?.:
. .... ·...^· ...... ......... · ......... kat·: ··sit: uhoilcio.... .. ........ ............ ^. 9E?.: !.1.gf.F.?.:
L . .......... . .................... .
^.... ^. ^. ^.. : Rp'.is·s·: O'oo ..... О ^· П ^· ч ^.... ^·²··: : : ... . ^· ..... · . ^. .. ·:
: : : .: : . : : ^· : : : ǘt: : : : ǔr.J: Ǜǜ .: : . . : . · : ^· .. ·· ... . ...... . ......... giР: С·kТl · · · ·· ^· ..
.
... ^.
.
.
.....
.
.
. ..
.
.
.
. .. ..
........
Ʃƪ·; Ǖ·.:
g·gg ...... ᒒff 3 : ·: ·§: ii: УÉ: Ź : цY ....... Kab. Tub an ......................................................... ....... : ·: : ·: ·: ·: : : : · : : .. : ·: : .. :
. 9iŸg/Фif .·. : · : · : ·: · · · : · " · ·· · · · ··: · : ·: · · · ··: · · · ·· · ·· · · ·· · : · : ···· · · : ·: · : · ··: · : ·· · : · ···· · · : · · · : ·· · · · · ·: · ······ · · · · R R ". · ·· · ·· ·P P ..
:
:
2 2 . . · . · .:
: 4 4 : · · · : ·: · : ·s 5 ··· ·• · ·· · .. :
:
· 0 o · : · : ·: · · · a 0 · ·: · · · · · : · 0 0 · .
.
•. · 214 .... . ХăT1: 'l.l.?.?.W.?.:
..... . .......................... . !s.1: 'l.1?..'. . . T.ᎭJ\l:
1.1_gᎩᎬ!.1K .. .. .. .... . .................. ....... . ............ . .. ^..... . ... ..... .. . 9.: t:
13-.1.: l g/JS.Ꮜl ^.Ꮚ 2 15...e: i: : t t.: §1:
?ᒑY....... Kota Batu........ ........9J: : .?.: PM.ᒙl: ll ! ... . .. . ...... ............. . ...... . .. . .. .. ..... ᎥP?ᎦᎧ.'..9.9..9. 21 6 ... . ?: i: : t.!:
<: l: ?. .l: l: Y....... Kota Blitar ............................................ ....... . ...... ... ..... ........... ..9T?.: P: ^gf . ^I ј}.i..... Rp255.000 21 7 ... . ?.: i: : tE.13.:
l? .13.: Y....... . .......... : ^· : : : ^· : : : : : ^· : : : : : : ^· : : : : : : : : ^· : : : ^· : : . K J.{0 ?._t i.: a É: : : SK : : : : : : e gj d ; : 9 1 ^.: r Ÿ ^1 : : Цgfrg Orang/ Kali .... .......................................... Rpżiѕii5': ' 660 21 s . .. . . §ю'.r.: .l.?.?.: Y.?.:
...... ·....... . ... . .. . .. ...... 'Orani/: KaiC ^. ^. ^.. ........ ^. ^. ^. ^. ^..... ^. ^. ^. ^. ^... ^. ^. ^.... ^. ^.......... : R r; 23· 5·: ·006 219 .... . §ăr.: §1: 1?.ыY....... . ·.... . ..... . ..... . ... . ........... . .. . ·k0ta .. M: adhiil ^.. . : ^· . ^· : : ... . .. : ^. : : : : : .: : ^· : : ^· : : ^: : : : : : ^: : : ^·: : .: : : : .: : : : . ^:
. ·: : : : ·:
.. ·:
... : : : : : .. : : : : : : : : : : : : : : ^· : : : : : : : : S?'i.: ·P.: iz: Rtr ^:
: · · ........ : RiJ ^· 24·5·: ·66 ^0 220 Surabaya ...... 'K: 0ta .. M ^a i ^a ng ^..... orang/Kali ·· ^.......................................... Rp.'.i żi s ^. : ^6 66 ... . 22 1 :
.' $µ ^· i.ÉFєi·: : ·· ^· ........... ^. .. . .. . ........ . .... . .. . .................. . ... . ... . : : .: : ^· :
?%i.:
M.?J?Js.&i.'2.: : : ............. . ...... .. .. . .....^. .. . ....................
. ............... : : .:
:
:
:
:
¢>.i.Ч·g/Ш0.C.:
... .. .......... ... . ...... .. . ·. ^· .·. · . .. . ·. ^· .·. · . ...... .. . · . ·.· .. · . .. . ^. :
:
. .. . :
.. : Щ · · · : · · ^·· · ·· · P f> . '.: · 2 · 2 · · · · · · · · · ; · · · · · : · Ъ ·· ·:
. .. : : . ^· .. g... · . :
·· · g · ^: · · . ^· . ^· . g . : : . ^. . :
. 222 . .. . ?*t+.1?.§l: Yt=.l............. ................................... ^Y .<?.Z§l .. P.: t:
9.l??.1.Ы!.1.-gg2. ............................................................................. . . ^.... .. ^9 1.: 1.?: £/.1.: <.: 1.L . B A L I 223....P.. DE1.P.?.:
E.c.1T..... ............. . ...... . ........ ·----:
-.-. · --:
-. ·gO'_:
'.' .' ?... R.ii.iJ;
s. · .. .. . .............. . ...................... . ... ....... . .. .. .... ........
....... .
'.'...'.' ....... Q:
: ͏J?:
gf.; £.͏.Y.
. ......... : Ri)is·s .. : ·666 224 . P.D.1.1.: P?.:
E.a.:
r.:
. .... . Kab. Bangli ... ................................................ ..................... ............ .91.: §l: : r.i: g/Êaj. ^Ь ......... ......................................... Rp ^ѓi'.is ·: ·oo ^6 ..... ·225 ... P..ф!.3: P..i: >.Э..... ... · ..................... . .... ........... . .. . .... .. ... . . :
. : : · _' 1 Ю 5a a · :
· :
·.b · Ź : : · '.·: : .B 0 ·: : ·.'.t 1-; i a ·. ) n Я1 Y .. а a ·: б r i i·: : : ·: : · . .. .. . ................................................................ ........... 9..r.: в:
: ig/ш.§1:
i . ......... ......................................... Rp26·s: ·oo6 226 .... P.&!3:
I?.<: : 1 : ?..(...... . .. ...... ............ 9t.?.: : r.:
g.f..Ꮛ.?.:
1.Ꮚ ^. ^. ^. ^. ^... ^. ^.... .. ^. ^. ^..... . ^. ^.. ^. .. ....... . ^.... j: p'.i: iёS: -66 ^6 221.... P..ᎰPP.£.l: : 3.Ꮁ:
:
..... · ^.. .............................. kab ' ^:
. 'Jeill 'h1: ·a: na:
........... .................... ..... ... ................ . ...... . ^c?.:
:
i: !Ꭾgl . ^Ꭿ§lJ! ^........ ^. ^. ^. ^... ^. ^... ^. ^.. ^. ^. ^. ^.... ^. ^. ^. ^.. ^. ^.. ^. ^.. ^. ^.... ^.. ^. : R ^r; 2·1 · ^0: e500 228 .. . PD.FP?.:
E.13.:
G........
. .... ...... .. .... : ^·:
: : .: : : : .:
.. :
: : : .: : : : : : : . љb. ^: : .: : .Ri.Érigњ ^· гi.!i ......................................... ^. . ... ................ ............. Qr.: §1:
?: g ^/ J.: <.: ^aj L: : ^· · .... .. . .. ... . ..... ... . . Rp263': oob' ...... '.?.'.?..?.>. ... P.DP.: P.?.:
13..13.:
: : . ....... ... . ....... .. . ... .. ...... ........... ................. .. . ... . .. . .. ... . .. .. . . , ^Ka b ^. Ta b ^anan .. . .. . .................... .... .............. ..... .... Q:
: .!1: g/. ^Ê ?.: 1L . .. .... : : ^· : ·: ^·· : : ... ^........ : : : ^· :
.. :
. : ^· : ^· дpźź ^· $.: ^· 99·9 ^· NUSA TENGGARA BARAT "' "........... . ....... . .... . 230 M_ata..1: §.l.!!1.. ............... . .. . .... .......... .. . Kab. Lombok Ba.rat.... . ^. . ^. ... . ......... ^. . .. . ^.. .. . .. .. _ .. . .. .. ......... ..9E.§.l_!?: g/.I,.-.i...J.3: P.'..?.9 .9.:
9.9.9.. 231 Mataram .. ..... :
. : : ^· :
. : : : ͓: : : : : : : : ෳ: : : : : ͓ : 1 е ^· a жb b ·: : : : .: : : : : L з o?, . i,n 1n : : : : : t b ·:
: : 0 ?.·и k <. : : : T ' f.'1 й m:
1.i . g u ^ r jj Orang ^/ Kali Rp2 10. 000 ...... '.2'3 ^2..... Mataram " - ...... . ....................... . .. _' ......... .. .. ..
.. .... . .......... 9..iෛນ.i.J.'J: {i .. . .. ..... . .... .... . .... ^..
. ...... . ........ ...... . .... : ^· : ^· : ^· : ^· : : : ·: ^· : f; J?..4.9.'_: _'.9.: ¢ _'¢ NUSA TENGGARA TIMUR , ........ 2 ..... 3 ..... 3 .
..
^.... ^.
.1: : 1. P.?.$........ .. . .. . ........ .. . .... ........... .. . [ . . K ..... a ..... b ........... B ..... e ....... l ^. u .................................................................................................................... .
. . ^·.: ·: : . ^: : «?iLMi./.NL!L:
^.. . ^..... 234 m'.L.=l.P..l!1.qL. .. . ..... .... ..... . mn.1?. . . :
.. ᒟ.Pᏺ: l?:
K...... . ................... ............. 9.E3g./..7.1/ ....... .. 235 .1.So.P.l1?: &..... Kab. Timor Tengah Selatan .. .. . ............... . ......... .9..6'.3-: ?.:
/..9./ ..... .. 236 ./ P._!: J:
....................... . . :
·.·.·.· .. . . ^........·.·.·:
·.·.·.· .. .. . .. . '.:
^'i<: t; .. . TiOP·Q ^· . . Tො·gෝh ... ut·ᎳᎲᎳ.. ............ . ......... .9.pl1?: q/.1.l!r ....... ..
1.: : 1. M.1.: \ .. Ꭰ Ꭱ I f.: ! Ꭲ L .. !?.-: L .. . _____ ., .....
..... _ ...... . -.... · .. -· . . ·-·---·-·-............ ·-----· ··-·-·-----к---·-·-·- .. ·· ---·-··· .............. -...... ...... . ... .. . ...... .. ..
... . ... ¯J?; ?.?.?.:
9.9..9............ !3P.. .. ?. . . :
9..9..9................. ᎥP.}.§ .. :
9..9.Q.... .............. J.3: P?7..?. .:
9..9. . 237 Pontianak .................. . !S.1?..'. . . ?.Ꭺ1.1.: gᎫ§l: YᎩ.!lK...... ....... . .. . ................ . .. ....... . ........... . .... . . 9.E.13.: !.˶.8./. щ.§:
.... Rp270.000 23 8 .c.: : .c: : . .. .. ...... .. . .. ......... . .... ... ...... .......... . .. .. ....... . ....... ... .. . ^....,. ^Ê <: : 1: 1?.:
.. 1.: <.:
?.: P: L.)?.I: (. J: : l .1:
.... . ................. ........ ..9r.: EIg./.H.1:
1.i.... . ... ...... · .............. · · . ^.. . ^.......... Rpss ^· 6л·666 239 Y.c.i: P..:
.. . Ꭳ.ᒐY9..J: ?K.Y. Ꭴ .c.i: : r.: ?.:
...... .... . ...... .................. . ................. . ... . .. . ......... . ... ..9:
: i: : i: 1: i: g /ÊF .... ..... ..................................... iir; ·ss·ci': cioo 240 Pontianak . ... . ......... ....... .. J.?.: !?..:
... 15&).?.: P§l:
1.1.: K....... .. ......... ............ Q ^E ^ьэ g/. ^J.: <.: ?.:
i .... ^···· .......... · .... ............. R p55(5: 'oo ^6 241 Pontianak Kab. Landak Orang/Kali .... .. .................................. Rp27cfo66 242 ^.... ·F>0·nt'i ^a n ^· a: 1< ^.......... · · · .......... ·kab .. :
^. ·rvieia; ; c ^... ··· ·........ . ... . .. a .. · ^: a: il i / ka: tc· .. ........................................ : Rp·4·3'6 ^': ·6 ^00 243 ^.... Pont'i ^a n ^. ai( ^..... .. Kab. Mempawah .. :
^· : : : ^:
. . : : : : : : : : : : ·.9. fa . !ig.Z: RX.L : : · · · · · ^.......... . : RJ).'.2'36: 666 244 ^... ·P'0 ^il ti'at1 ^a i( ^...... · · · ............................. kah: · ·saffita·s..... .... ...... orang/ Kali . . · .. ................. ................ . : Ri)3oojfo6 245 ^... : P011d'an ^a k ^.......... Kab. sanggau .... ........................... .... ...... ._ ^. : ·: : ·: : .:
. ·: ^: : ^· · ._ .. _.
.. . ..._..9i.എ g/K.. aif............................ : Ri): fo ^: foo'ci . ^..... 24 ^· 5 ^... ^. : P01i: ti ^a nak ^... . ............................. I<aiJ·: ··sei{aciali ...... .. . ............ .9.t: : ?.: : r.: ig l.G.1: 1:
n...... · .. ............ Rp34·3·: 000 24 7 Pontianak ............................................... . !s.?.: 1?:
.. §i.P.: м1.?: K............... ... ^. .. ...... . ^. 9..t.:
?.:
CDg/ F.?.Ji. . ^......... Rp·3 ^· 9'2·: ·60'6 248 Pontianak........... . ...... . .. . .. . ......I:
f9.. Z?.:
.. §Ż. ^· н?: gо?.: Y.1.. §l:
0.K.... .. ......... .Q:
: .пi. ^. g/.!5.§.lŻ .. . .. ......... .. ......... . .. . .. . ...... ... .. . .. . .. .. .... . .
.... .. . · . . : : ... 1.3.P ^· Q .. ේຸ{_'Q.Q.Q. KALIMANTAN TENGAH 249 . .. . 1.: >.(.1.)1: ?:
1.)*4Y3................ Kab. Barito Selatan.... . .. .. .. .........9.pl!.': 250 .: t=.'l1..s!.:
.1.<.: llY.l..... .. Kab. Barito Timur . .. . .. . .... . ............... . ..9.E8.:
45gf.1.s.aj/.... . .. .. : I.3: P.. Ą.Ą.Ą .. :
9..9. 251.... . 1.: >.t: : 1: ?:
uvlpw'.3-:
.......... . . Kab. Bari to Utara .......... .9.!: : l!.l: Z./.1-Sxy:
...... ... .. .. .. .................... 1.3: P.?.:
9.9..Q 2 52 . .. . : t=.'l1..13.: ? .1.<.: l:
".8.: : Y l..... ......... .. .................. . 1.s.lz.:
.. 9:
1.:
{!1..u ... ෩.8.:
෪.............. ............ .9..r..c.i:
r.J.1..1.S.c.i: !L...................... ෞP.Ą9.9. . . : 253 . .. . 1.: >.; ; :
!'.(1.)SY.+... . ... . +)l: : > .:
... : CS.13.:
P ^/ ; ; :
0......... . .. ......... Qpl!.':
l$./.r.<.:
l1.r................ 1.312. ͎ . ! . ? : , ... ?..?.4 Palangkaraya Kab. Katingan .. . ..................... . ... .. .9.El3:
1?: ъ./..IS'3.:
. i .. Rp250.000 2 55.... 1.: >.ข!: : 1: E1..l$.ฃƕกคƕ......... . .. . ...................... !.13.:
l: : > .:
... 1.s.?!.| ".:
l}i.?.: ~!.1?:
. . 1.?.l!.l..................... ..9l!1.q!.ml1.!.................. 1.3P.෧෨.?.:
9.?..9.. 256 ... 1.: >.'3.: !'.(*+:
,x.c.i:
... !S.?.!.'3.: ,):
-?./0 . . !.l!:
'?.: E...... ...... ............... ............ -9pl1?: &!.m.1..i......................................... &r.. !.".?.:
9.. .?.. 9. . 257 Palangkaraya Kab. Lamandau . ......... . . ?.1.: ෫͑1: : 1:
i?./.͒͑෬෭..... Rp525.000 258 12.i: l:
125!3.:
r; ; : : Y ).... . .... .................... 1 Ka.......1/23!5. ... ෟ.13:
. .. . .......... ......... 9..r.. 2/JS.aj/.... .. ...... P.. .͐.:
9..?..9 259 Palangkaraya Kab. Pulau Pisau .. . 9.рCl: я.Is./.r<.: х1с. . ' ^Rp250.000 260 ?..'3.:
1.'.(*+:
'."1X.'3.:
..... ........ .. ........ ............... +)l: : > .:
... F; E'?.: Y.. '3.:
1: ?:
................ ......... ..9pl!.1: Z./.1.Sl1..i. ......... ........................... ...... !<: P?..ෙ .. # .:
9.. .?..9.. , ........ 2..... . 6 . ... . 1 ............ p..... ai....... a .... n ...... g ..... k ..... a .. . .. 1...·.a .... . Y ...... a ..................................................................... ,Kab. Sukamara..... . ^. . .... . .. . .. ..?.: 1: ?..(/..r,<,: i:
.i....... . Rp525.000 NO. IBUKOTA PROVINS! KOTA/KABUPATEN TUJUAN SA TUAN BE SARAN KALIMANTAN SELATAN 262 J?jr.P...?..1.1 ....... ··················································· 1<:
iJ·: ·· l3aiailgan ··········orai1g/Kaic· ..... .........."iiJ? .2.3.o_·: -c5g_·o.· ....... .'?..!........ I.?E1.!.JEFi.P..?.:
?G.1?:
................................... :
. : : .:
:
. :
:
:
: : : .: : : : : : : : : . . JAI.: ; .: : J. .HJDi: : : : : : : : : .: : : : : : .: : ...................................... ............................................. ........... ..9E.'3.: P..gi. .. t<ສK.: : ........ . ...... . .. . ...... .. . ............ . ........ : 12} . . 7.9. .. :
_ .... .... - -.................... _ .... .. .. _.... ᐢ.c:
i: !=> ..:
. .E3ᒛrtᐣ.<? . .. ᒜᑺ!_.................. ....... .. -·-···-·--·--···· . .. . _ .... Qᎌ l3.: : l ᎍ glᎎᎏ . . L.... .. .. . .. ........ ,. ..................... RJ2.2.9.9..'.2().9. 2 65 . λ.?.:
1:
: J§.lE.1?: ?:
9.:
¹.ip ___ .. . .. . ......... ................. ................. K8: P.:
... :
I.: t:
1.1: J.: --ᎊᎋ1: ?.g'3.:
i . .. >.ç.1.?è§l:
1?:
..... . ............... C?..r.i.: i: g/K§ll.L........................ . ............ . I{P.2.9.0.:
.9..0.. 266 !3..?.:
1:
1: P.: J:
89j_p __ ............ .... . .................... J?: P.:
. f: I11: 1 . . S1: J.:
1.1.: gξ.T.ĜP.:
g13.: b:
......... . ......9!'a.J: lg/.; K,: §l!i..................... .........RP¶.1.2.:
0.90 ...... ..?.......I3.?.: !1l§T!!.1.El:
?4.1:
-. .......... ... . .. .. ...... ........... ......... ....... : I\El:
1.J. .. '. .. :
I.: U.\l . . >i:
t.1?: g§l} . ... Y..!f:
1᎖᎗-?.:
..... ................ .9Ea11g./. .13.-1.i ......... ................................. __ Rp2, 1_8 __ : _()Q_O ....... *.§.?..... .. . . J.?6p.j§!E!!.l.§.l: ?i..1.1.:
............................... . K§.l:
? .. '. .. .T.13.: P.13.: [9..1.1.: K... . .. ............ .9.t.13.:
J: l g/0.a.)i ........... ................................... .P.?./.: t .. '..9.9.9. 2.<5.9. ...... . J?..º.1.1.JτT.1?: ?.§l:
¹.i.!J:
-:
l?..:
. .IEl:
!:
. §1:
...I.?..: t:
᎑ bu.... ... ............. . .. . ... ................ ........ .. ...... .. . .. . .....9.:
: §.l.1.1.:
gf.!5.?.!.L...B.: P.;
.99.:
9.9.9 . ... . ¶.79. ...... ᎘.f: : l .1.:
i.ᑼ.1.:
P.:
13.: §liP....... . ..................... :
r5.8.l?..:
...!1: ?: ?!:
... I.:
aut ....... . ...........Q.r./g/.: !<,0!L. ......... ......................................... 1.3.P2.9..0..:
9.9..9 . ........ ᏽ.?...!. ........ . 1.?5J6.!.1.!:
?.:
: : J}.1.1.:
............................. ....... . 1.5.?.:
?....T..?.: P᐀!l...... . ..... 9E?.-P.g/..?.:
1i..... .... . ... . .. . .......... .. ..................... . .. . . ·l?...1. ?.?. .. :
9 . 9 .9.. '.2.7.'.?....... I.?61.!.l671.!:
?: ?.}.J: ?:
..... .. .. .. .. ... .......... .K9..t.?:
. l.?..?:
J?...i.?:
i: : .l?.».r.ĝ........ . .. ...... . ........... 9.1.:
?:
J?..g.f. +.?:
1.i................................................. 1.3P.?..?..?..:
.9.9.9. Kf..(i.MANtA.i.f:
ti.MːJ.: g: : : : : ···:
.. . kah: ···" K11t·ʱ ··Bara: E···· ······ · ··························· ····· · ··········: ·····: : : ·: : : : : : : : : ·: : : ·: : : ·C?i.ABfi/CA1L : : ·: : : : : ··: ·: : ··: : ····: : : ·: : ·: : ·: : : ·: : ˓wp: : ·: ·ʲgg: : g.gg 273 Samarinda 214 ··· ·saill ·aa11·d.·a·· ·· 21 s ·· · ·saffiad; 1<lʰ····· 276 Samarinda 211 ·· ·sa: ffia: 1: 111a·a: ·········· ........................ . K.1.?.. - -.t.i. .. §l: : t.:
9.: !.1..g.i: : .................................................. ........... ..9.r.9.:
ng./.If.1.i . .........Kab. Kutai Timur Orang/Kali ············ ······ ·········R····i : ·3g(f(i66 21 s ··· ·s·ail1a: 1: 1n: ·C: fa: ····· · · 2fi9 ···· s·a:
a: riiicia: ····· ·· ············· ˕!·: ····˟-aill···Pas·e·r···utar·a: ··············· · ........ · ..... .' ... .'.:
. · · : : · : : : · : · : : · : ·: · : g 0 : : : .. _. :
r r !: a a " n # : θ g .' j 1 : ·· .. k K . .. $ a a % t 1 : : 1 ; : ··· :
. .-.. . . ······················ ············· 3 ʳ-; g·: ·§g.g. ................................... ·.·.·.· ... ·.·.·. ·.·.·.·.·.·.·.·.··: 1<:
.!_ ·:
·13.˛Hii iJ_.P.-.g_... .. ............. ·························· · · ········· ············ ······ ······ ···············Rr.; s·so-: ·066 .................... . Kg.t.?.:
.. I.?..᎒!.1..᎓9.:
1.: K...........: : : : .:
: : .: 9: £iiii.ປ.# :
:
: : : : . . : : : .-.. : ·:
.... : ·:
: : . . :
·: : ·:
: : .:
·: : .:
'.P.: @: 99: : : AiQ.9. -·-······---.... ...... . ...... -...... ........... ....... .. .......... . .... ... ..... . _ .. ___________ ----· -·--------- ----·--···-·-------------·---· -·---- ----··----.............................. ... ,.... .... . ................. . ............. .. .. .. . .. . ... . ................ . . _ .. ___ , SULAWESI UTARA 2so ManοC: io . . ...... .......... . ......... I.5.a.:
ᎉ.:
. B.()l.86!1K.1.'1.Q!lgQ1: ?:
c.I«: >.:
............. . ................... : : : .: : .:
:
:
i.9.: Bg/}<Ai{·: -_ ·· ··· ······ ··················Ri)25o.cib"O" i . &: ·: ·.· ··· ........... ···························· -¸ˠʴ···ʵ-ʶ-˚: -¹--ʷ; -¹ʸʹʺʻ-; ···ˎf; -1:
:
....... :
. : : : .: : : : : : : .8.:
: : : g Ƨ.ƨ: : i1: : : .: : : : : .. · : : .. : : · :
. : : : : ._.: : : . . : · : · · : : : : : _. : : ·:
: : : . : .. : : : R · P P ¸: 3 l . o $: ·o ¹:
:
o º·o Á: o » 283 ··· Ma.ilact0········ · ···· ·--ʼ- --Д- ි-ී.'.$.'?.Iέ. ii.i._._I1..?i. i..ii..?..'.'.'.i lf.i·:
-:
............ C?. :
: 0 1.1.: gl . !5.ᒁ.:
i . 284 ··· ivian.acfO········ Kab. Minahasa orang/Kali ········· ··········································R"{)is6·: ·o66 285 ··· ·11 a: 1ˍa·C: l0······ ·········· kah: ····i\ii fi1ahasa··se.iata: : n···· ············0: rang/kaii ······ ···································: Rp.isO": oo6 286 ··· rv1a: ·11a: Ci0····· ···· · ····· ··········· ··········· ···· 1<: a: i: ; : ···: Mii1aEa·s·a: · i'e.ngg·a: : ra···· : : : -. .:
. : · .· .·.-: : .··: : .:
: : ·: : : : ·: : .:
: : .: : .: : 0 0 .. : : : r r . : : a a : : . : n 1 : · 1 __ : g g . / / K K . : : .: : a al _ j 1 1 : ; : : ·:
· · ·· · ·· · · · ····· ·· ·· · ····· ··· · ·R.iJ-ibo: ·o-00 2s1 ··· !iaila<la......... · ·························· K: ahʽ···11i; iaha·s·a·"lTtara················· ··· ......................................... R: i)Tis··: «5oo 288 · · M: an·a·cia····· · ·· ····: ····:
:
: · : ··.: : : !{: g ! . : : K.? .i Iil 9. #: !g" _ :
:
:
: : : · ·· · · ............ :
:
: : .. : : · .. :
.Éig/_¸?.: I.C:
.....· · · ··· ···· ·· · · ·· · ···Rp2 50 : ·ooo 2s9 ··· 11a: n·a: <l0············ !<ot.» .. .!9..1.!1.2!19..1.!...... . ........... 9.. .r.J?: g/J<.: <:
tl.i.. ··········: RiJI?g·: : 99·9_ .. ...................... ·G°oR°ONii\i6···· . . 2 90 ···· d·0: r0·nt.aio······ .. ·Ka.b. Boalemo. ····· .............................. ·-·······--·····-····-······........... ........... .9.T?.1.1.: g/ I.?.!i.
. . .. . ··· ··· ..................... ··············R: r4Iˑf666 ······29·T · "Gorontaio····· Kab. Gorontalo orang/Kali ···········································Rp.T9c fcio6 · ··· -˙2"92······ "G0·; 0n: tai0········ · ................................................................... 1.1 .<ab : ····r>ai1uwat: 0··········· ···· ··· ··· ···· · ······ ·· · ··· ·· ·········· ········ ·· ·· · · · · . ... ... .. ...9..¹ºJig/i.S. » 1. ( .. . . .... ·· . ....... . .ෑP. .6..1..$ _ : · _ 0 9.9 .. ... .... ·suL,1\wEsC .. i3A: Ri\T"····· . . 293 .M?.: ᎐.: i:
tJ': : 1 ...... . ................................... • . .13.: P.:
... M.î:
Je.!1..ì.... . ....... .9r.9.:
: ig/ I<.§l:
li. ........... R: j; )'.i4o: 606 ˝z-94······ .M§l!.P: 1: 1J\1......... Kab. Mamasa........Or.aJ?:
gf.K.?.:
i.... . .... :
. ··.·: ··: : ·.·:
: ·: : ·ʾP P ·:
ʿgS· : ·ˀˁg 29 5 .....M-.º.1Iι: σJ\1:
...... . .... ... . !5.E! - .1.? .. '. ... : M.º.l!:
: t: ljĝ .. T.íéêgh....................... .9.r.§l: ng . f..?-1.i ... . 296 Mamuju Kab. Mamuju utara Orang/Kali ············Rpi76": ·66o 291 ..._. · .TY: fo!P..i:
f . ..._ ......_..... ····· · .............. . . _..... _. -.?.;
-: ··· ?·0 1·ewaii···rvran<l.ar ............................................... ............ .... . ... _ ....¢.fr.¼_½_g/t<Jf_... _ ... _ ._ ................................._. _ .. _. ...) 3 .ii?. .. . §. . 9.: . 9._9..9 . SULAWESI SELATAN : Ƣ: : ƣƤƥ: $.: : Ʀ:
©: : : "E==: : =: : : ·: =: : : : : : : : : : : ===: : ==: R;
t: !#ii %=: : : : : : ==: : : ==: =: : : =: : : : : : ==: : : =: : =: =: : : : ='t.!: : 1: 2 ( : : : : : · : =: : : : : : : ·: : : : : =: : : : : .. ƞƟ: : x: Ơ; : ¢: 6-ơ ..... ..3.9.9 Mal<:
:
¹.κ_ar. ... . .................... i.<:
al?.:
:
9 . . ½.91 ···· ·Makassar ··· · . . .......... . .......... ..... . . : K.?:
1: >.:
. . I3: i:
!: i: kt: !.1.1.: !? ?.:
......... . .. ............... ... .. . ................... ........... .9r.. f:
J: ?: g/ l:
i: Iᎈ.......... .. RP¶.¼9.:
99 302 ··· ·Makas·s·a: r·· ··· . . ......... . .. -.1.?.:
. ᎔.r: : i .i: : .. Js?.: ᎕K.......... . .......... ..Qt.?.: !.1.g.f... c.i: E............ .................................. . 1.3P.¾5o. ooo 303 Makas.μ».r.................. . Kab. Gowa ................................................. Orang/Kali Rp 175.000 304 Maka ssar . ...... .... . .. . §I: ?.:
} ຐ.-ຜ.P.<?.1.1.:
t.?...... ...... . ......... . ....... .. .. . Qු-͍_g/i<͍.i.{ ຒ.... ..... .. . ........... .... · ................... ) .. ˂ p ·˞·· o.-: · 9-_9· 9 305 ···· Makas.sai: ······· ·· Kab. Luwu orang/Kali Rp35o.ooo 306 ··· ·11 a: 1<a8·˃·˔········· · ················ : Ka-s·: ··Lu˗1··riffi˘1: r· ··· ·········· orang/Kai1···· ·········R:
; 3is·: oo6 ... :
1g : r : : .· - /: : i: : )* : : : .: · · -¸˄i; -˅---ˢˣ;
Y..!.ˆra :
. .. ·: : : · ·: : ··: : ·: : .: : g: trt˒f 4r : : : ··: : · ········ ······ · ··: : : ·: ··: ··: : : : .. : : · : : : · 5 : f-: + : ˇ: : : g¢ˋ 309 Malrnssar................... §l:
1: >.:
. . .l?.i!J.FE!-.PK............ ...... ....... .. ................... .9.r.l: : li.1g /: K.ë.L. . ...... _Rp2_3<?.: 0()0 3J o ··· ·Makas·s·a: r········......... . .................§1:
1: >.:
--659.:
11.r..7J?..K.8.?.: PP?.: J?: K.... . ............. ............ 9.. i.: : ?.: J?: g/.¿?.:
1i. ......... ................ ........ ....... R.r.'.2.3.0.:
9.o.o. 3 1 1 ··· lViai<as·s·ar····· · ...... . . K.1.?.:
. . . S'.i.!.1..i. f: l: L. . .. ......... ............. 9!.?:
ng./.K:
i:
i.......... . .. R.: P..¾.3..5.:
9.9.9. 312 Makassar Kab. Soppeng Orang/Kali Rp235.000 3 13 ··· .M.aka·s-sar ···-·- ·i<a: s .. :
. ·-rai<a: 1a: r, ·-······-···--·-······ . . .....¾....¿... . ..._ÀÁ-Â.-.-.-Ã:
-·gi?.X$·9-: _-9.- 9:
C5. 314 ··· ·Makas·s·a: 1: ····· Kab. Tanatoraja Orang/Kali Rp35o.ooo ······ˈ·i·ˉ _ . .. -- : : 0: -( ···· · ˡ: ---: · · .. ..... ......... ._. g. 1 : , - ;
. ˏ: n·:
-.-.--.·. -·· . ......................... ....... ..... .... . ....... . .. .. .. .. . ...... ƙƚ-ƛ-Ɯg-.: -Ɲ g-g : ·: H$% i.: : : ---.... _ ................. . .. . : : : : : : : : ·: : : : : : : : . ·g9"f.ˌ)=?.J-P. ·o.: : : ·: : : : ·: : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : ·: : : ·: : : : : .... . -........................ ....... : : QiriiZ: ຳC . ........ ...... ...... ... . . · . . :
.. ···: ·: : ·.P.-3.}:
ˊ: QQ.(5 3_18 Malrnssar Kota ParĜ: : -.J?..νre.... .. . ......... 9.. .r.1.?: g/:
<<:
tl.L . .1.3P.1.'.??.: NO. IBUKOTA PROVINSI KOTA ^/ KABUPATEN TUJUAN SA TUAN BE SARAN SULAWESI TENGAH .·:
·:
·.·· Ƙ· · . :
·: ··· .
. ...
. . .
...l u .. u ..
. . . ..
..
. . ..
..
..
..
....
.
..
.
.
. . . . ..
. . . ...
..
.
..
.....
.....
.
. . ..
. .....
. . ..
.
..
..
...
. ...
.
; ; : : .": e : ! .. : : : : ............................. ...... .............. .......... ........... ........ . . : : : : : : : : . . : : : : : : : : : .. : : : · : · : : : : : '§. tg: : i: : : ; {f : : : .: · : : : : .«»»«»»««««» .
.
: : : : ... : : : : ... :
. :
: : : .. : : : : : . . : : ǝǞ.r Ǒ: ǒ:
...... 3 ^. 2"1" . . Pa ^l u -!J ...:
}4.2!.: ': : : §l: IL . _____ . ____________________ ___ ..Q!.. gL፻.ᒔi.. .... _. --------- ... ....... ... .. }3J?.፼_QQQ5? --- 3 .. 22·- Palu 38.l?..:
. . M..<?.t.: <?.bc.i. ... Y.l.<: i: T.......... .91.: §1:
?: g/.35L........... . ... .. ....... ......... 8.P.;
.?9..:
9..9.9. 323 ^... Palu l.P.:
... !'. ?.?: : gLM..<: >.: i: -!9.J: ?:
... ..9.d§.l: gg/.e?.JL.... . ..
^. ^.. . ^. ^. ^. ^. ^. ^.. ^. ^. ^. ^. ^. ^. ^. . .
. . . . .. . . 8.P. Ꭸ . . ?9..:
.99..9 . .. .. 3.24 .. . .
. Palu Kab. Poso...... ....... .9.!:
:
: ig/J: f?.:
Ž .
^. ^. ^. ^. ^. ^. ^. ^. ^. ^. ^. ^. ^. ^. ^. ^. .
. . ............
.. ...... .. . .. . . : 8P..: Z. .?..9..:
99.Q 325 ^.... Pa ^l u .ál'.l:
? . . '. ... §JgL...... Orang ^/ Kali Rp219.000 3 2 6 .... Palu .?.: P.:
..T.qi.<?..ᎁ.1?.?..: Y.:
.ᎀ . .. ...... .............. .................. ...... .. .
^. ^. ^.. ^. ^. ^. ^..
ƞƟ-Ơ·: : ơ: ·: : : «.'.'.'Ƣ:
'9.i ƣ.: Ƥ. g /i.?.H.'.': : ··-:
:
: : ·:
·: ^:
«·: : «: : : ^: : : : .. ^. :
. : : : . ^: ··········· ^Rp·3 ·4·()'ƥ· ^6 6p 327 ^... Palu Kab. Toli-To ^l i.........
............... Qdfgg/.e§.IE.... .. .............. ᒅ.P.'.2J . . ©.:
9..9.9. SULAWESI TENGGARA 328 Kendari ·· ......................................... .....kab'፺...8offii; ^a : 11 ^a :
... . 329 ^. . ^. ·: K'eiid'a.ri..... · ^... ...... ......... ..... ka: h:
. ^. . I< ^0 1 ^a : 1<: a: · 330 ^. ^. ^. i< e ilCi' ^a ·1: c· ^- -. ^.......................................................... ka: h: --·'Koiaka .. r ^i ffi ^: ur· . ........... .. . .. . .... . ..
.. .. .
.
.... .
.... .
.
.
....... . ..............
. . . 331 Kendari Kab. Kolaka Utara 332 Kendari...Kab. Konawe · . ^. ^. ^. ^.. ^. ^. ^. ^. ^. ^. ^. ^.. ^. ^. ^. ^. ^. ^. .
.. . .. ... . .. . ......
^. ^. ^. ^. ^. ^. ^. ^.. ^. ^. ^. ^. ^.. ^. ^...... . ....... 6rang/kaff·.... . .....
. Rp·3·s ^- sj566 .
. :
. : : : <><>«: <>:
. : ^<>: : . : ^: : ^. : ^: : .Qi.#g/k.aj{ . . ^.
. .
.
. . .
. . . . . . . . ..
...
. . .
.....
.
.... Rp371fo66 ......................................... .... .. ..9.d§l: gg ^f .e?.U . . ^.. ^.. ·: : : · ..................................... Rf)3ckf666 . ^. ............... ........... 9.i: : . :
: ig/I: f .?.: Jt... ^. ........................... .... Rr42s: ·oo6 333.... . keil<lari"" ...
. 334 ^. ^. ^. keilᒕiarf' ....· . ^. orang ^/ Kali · · "R: J).366: 666 · ...................... 'Ka: t; ·: ·--k0n: aƦe--·s·Ƨia·t·a·n ......... .... · · · ·· · · : : : : : : : : : : ·: : : : : .:
«: : . « ·: : : : . « ·: _ 9 .ii!J:
i. ZI <ƨ} I ... : : : .·: ---- ......................................... Rr·3·0K'660 .. . ............ .9!.f!.1.g/.ef1.L . ^... . ........................... : ·:
^. : ^- -: : : : : : 8.P.Ʃ9.¢.: : : 99 ^: 9: Kab. Konawe Utara M: 'AiUi{U .Tir/'i: A.. .
·B: : ·.C?.G$FE: : .. ƪ9ft.Kƫ: ·: · : ·: ^· : ·=-·: · : · : · Ƭ: ·=ƭ=ƾ Ʈ: ^· : : =·= = Kij; )i! !ii.h. i i3ilii £= == Ư = = +~ += ǀ=ƿ9i_ifi: ZœI : ·ư+: Ʊ =: ~: ·Ʋ: ·Ƴƴ+ +ƵƶƷ: ·Ƹ: : : : jf?: $EU2: 9ǁQ· 336 Sofifi .
^. ^. ^. ^. ^. ^. ^. ^. ^. ^. ^... .
..... . .
. .13.: P.:
. . . : Ei.ᎂᎃ.J: !l.?..1.?:
ᎄE.ᎂ .
.T4.J: ?: g§l.h................... ............ Q!.?.1,?: g/.ecL..... . ...... .......... .... .......... .. .. . 8.P..ª .. :
9.9.9..:
9..9.9. 33 7 Sofifi I.P:
. . : Ei?.J.!1.1.: §l.h:
er.ᎅ...'.U.J: !l----.... .. . ....... ............................... ^. .. .. ......... .9d?.P,g/.I.<,: ?.: F.......... . . ^.......... .
. . . . .. . .....
.
.
. 8.P.! . . :
¢.«.9.:
9..9.9. 338 Sofif ^i Kab. Halmahera Utara .. ... . .
... . .. . ....... . .. . .9E.:
: ig/..J:
?.: JL ....... ..................... ............... ¬P.. ®.9.9.:
.9.9..9. P A P U A................ .
..... . . 339 . .. ᎆ.ᎂYᎇP: t: : t Eᎂ ..... . 340 Ꮆ: §lY.'3.: P.: 1: : Ꮇ!. §l .... .. . 341.... '.: !?.Y..?.: P: µr.: ?. .... . PAPUA . . Eii\ R/\T ... ...
342 ^. ^.
·Ma: n: ·01a: d ... ^. 343 .
. i.1.t: an01; ; ; a: rr .. 344 Manokwari ... ^· .. .. . ... kቾ: -t; : . . · ^reiui .. ri ^·i 11f11·ilc.. . ................... : »: : : : ·: : : : ·: : ·: : : : : : : : : : : : : : : ^: Qi. !"iizg!n. ^: : : : : . . :
.. .. ... · · · ............... : ^· : : ^· : : .: : : : ·8.222: 9: : : 2: 9: 9· · . ^. · ^· . ^. .. ^. ..... ^. ...... I<a: h:
... M ^an: 0 ^: k: w a:
c ^s · e 1a· f ail.. ^.
. .......... ........... .9.*.:
: igf. I:
?.: J.L.. .. . Rp7 so. ooo ······: ·: : ·: ·: : : : : : : : : : : ·!'; : .: J.· gg!ii./ii.t.":
: : : #..... . .....-............................ ............. 9E.. ^g l.ћ-1.Ž : : : : .: : : : : : : : ·: ·: : : : : : : .: : J.P.-.D: @: $.:
: : : 9: §9..
SATUAN BIAYA TRANSPORTASI DARI DKI JAKARTA KE KOTA ^/ KABUPATEN SEKI.TAR NO. IBUKOTA PROVINS! KOTA ^/ KABUPATEN TUJUAN SATUAN BESARAN 1 Jakarta Kota Bekasi . ...... .9E..1.1.: g/..ᒂ.?J.. L Rp284.000 2 Jakarta . .. ................. .?.: PP§: !.P.:
..?..+.,?.: -L.... ...... . ................. ^. ..... ......... .9!.?.g: i: g/ecL.....^. . ^. R: p·2·s·4·: ·066 3 Jakarta...........
... I.?.: PP§l: !.: t?:
..?.9.g<?.!......... . ....... . ... ^. .. ^. .. ^. .. ^.. ............ 9d ^?.:
^i.: i: g ^f .e ^?.:
.L...
.....
....
......... .
..
. . .. . . Rp366: ·oo6 4 Jakarta Kot.a Bogor Orang/Kali ....
... R1): : fo6: ·006 . ^.............. 5 . ^.............. . ^. J.... . a .....1 . . <:
... a ...... r . .. . t .. a ...... .
^. ^.. ^. ^. ^. ^.. ^. ^.. ^. ^. ^. ^. ^. ^. ^. ^. ^. ^. ^. ^.
. • : C?.:
$: : . . ......... _............................. : : : ƹ:
i ƺrifi.Z: ƻƽH: : : : : · . ^. · ^: : .. .................................. Rp·: : i7 ^' 5Ƽ666 6 3ai<art ^a : ^. . ^. .. Ko ta Tangerang Orang ^/ Kali · . ^... . Rp.'.2"8'6": ·666 9 J'akarta Kepulauan Seribu Orang ^/ Ka ^l i Rp428.000 NO. URAIAN SATUAN B E S A R AN (ll (2) (3) (4) 3 . SATUAN B IA Y A TRAN SPOR KE G I A TA N DALAM KABUPATEN/KOTA PERGJ PULANG (PP) Orang/Kali RplS0.000 4. SATUAN BlAYA PEMELIHARAAN SAlzANA KANTOR 4. 1 Inventaris Kantor Pegawai/Tahun Rp80.000 4.2 Personal Com puter / Notebook Unit/Tahun Rp730.000 4.3 Printer U n i t / T a hu n Rp690.000 4.4 AC S plit U ni t /T a hu n Rp61 0.000 4.5 Genset lebih kecil dari SO KV A Unit/Tahun .Rp7. l 90.000 4.6 Genset 75 KVA Uni t /T ahu n Rp8.640.000 4 . 7 Gens et 1 0 0 K V A Unit/Tahun Rpl0. 150.000 4.8 Genset 125 KVA Unit/Tahun Hp l 0 . 7 8 0 . 000 4.9 Genset 1 50 KVA Unit/Tahun Rp 1 3.260.000 4. 1 0 Genset 175 KVA Unit/Tahun Rp 14.81 0.000 4. 1 1 Genset 200 KVA U n i t / T ah u n Rp l S.850.000 4 . 1 2 Genset 250 KV A Unit/Tahun Rp 1 6.790.000 4. 1 3 Genset 275 KVA Unit/Ta.bun Rp l7.760.000 4. 1 4 Genset 300 KV A Unit/Ta.bun Rp20.960.000 4 . 1 5 Genset 3 5 0 KVA Unit/Tahun Rp22 .960.000 4. 1 6 Gensel 450 KVA Unit/Tahun Rp25.620.000 4. 1 7 Gensel 5 0 0 KVA Unit/Tahun Rp3 l. 770.000 5. SATUAN BIAYA PENERJEMAHAN DAN PENGETIKAN 5. 1 Dari Bahasa Asing ke Bahasa Indonesia atau Sebaliknya a. Bahasa fng gris Halaman .Jadi Rp l 52.000 b. Bahasa Jepang Halaman Jadi Rp238.000 c. Bahasa Mandarin HaJaman ,fa.di Rp238.000 d. Bahasa Belanda Halaman Jadi Rp238.000 e. Bahasa Francis Halaman Jadi Rp l 76.000 f. Bahasa Jerman Halaman Jadi Hp 1 76.000 g. Bahasa Asing Lainnya Halaman Jadi Rp238.000 5.2 Dari Bahasa Indonesia ke Bahasa Daerah/Bahasa Lokal atau Sebaliknya Halaman Jadi Rp l 20.000 6. SATUAN BlAYA BANTUAN BEASISWA PROGRAM GELAR/NON GELAR DALAM NEGERf 6. 1 Program Diploma I, Ill, dan Diploma IV/Strata l a. Biaya Hidu p dan Biaya Opcrasional - Diploma I dan Diploma Ill OT Rp 1 6.070. 000 - Diploma IV dan Strata 1 OT Rp l 7.0 1 0.000 b. U a n g Buku cl a n Referensi - Diploma I OT Rp 1 .330.000 - Diploma III OT Rp l . 590.000 - Diploma IV dan Strata l OT Rp l .850.000 6.2 Program Strata 2/SP- 1 dan Strata 3/SP-2 a. Biaya Hidup dan Biaya Operasional - Strata 2 dan Spesialis 1 OT Rp20.690.000 - Strata 3 dan S p e sia li s 2 OT Rp2 1 .320.000 b. Uang Buku dan R eferen s i - Strata 2 dan S p es i alis 1 OT Rp2 . 120.000 - Strata 3 dan Spesialis 2 OT Rp2.380.000 7. SATUAN BIAYA SEWA MESIN FOTOKOPI 7. 1 Mesin Fotokopi Analog Unit/ Bulan Rp3.800.000 7.2 Mcsin Fotokopi Digital U n it / Bul a n RpS.000.000 8. HONORARAmUM NARASUMBER/PEMBAHAS PAKAR/PRAKTISI/PROFESIONAL 8. 1 Kegiatan Di Dalam Negeri OJ Rp 1 . 700.000 8.2 Kegiatan Di Luar Negerl a. ^Narasumber Kelas A OH $ 330 b. ^Narasumber ^Kelas ^B OH $ 275 c. ^Narasumber Kelas ^C OH $ 220 9. SATUAN BIAYA PENGADAAN BAHAN MAKANAN 9. 1 Pengadaan Bahan Makanan untuk Narapidana NO. PRO VIN SI ( ^1 ) ( ^2 ) RAYON I 1 B A N T E N ................... ¼f.. W ^A BARAT 3 D.K.l. JAKARTA ..... ፸ .. . .. . . ¼J:
v-f A TENGAH ........ ?. ...... . p.I. YOGYAKARTA 6 JAWA TIMUR ,. .... .?. . .... . . ŭ.J.\ ^MPUNG DAERAH KHUSUS RAYON I RAYON II 8 ACEH 9 SUMATERA UTARA 1 0 _ R I A U 1 l. KEPULAUAN RIAU 1 2 . I J A M B I .. ^. J} ......?..Y.MATERA BARA T 1 4 SUMATERA SELATAN 1 5 BENGKULU 1 6 BANGI<A BELITUNG 1 7 . B A L I 1 8 NUSA TENGGARA BARAT 19 NUSA TENGGARA TIMUR 20 KALIMANTAN BARAT 2 1 KALIMANTAN TENGAH 22 I<ALIMANTAN SELATAN 23 KALIMANTAN TIMUR ... '..?. . ^ᐗ .... ^!<ALIMANTAN UTARA DAERAH KHUSUS RAYON II RAYON III 25 GORONTALO 26 SULAW.: ESI .lJ'.fAR.:
i:
... ... . 27 SULAWESI BARAT 28 SULAWESI SELATAN 29 SULAWESI TENGAH , ..... ; ?..9. . ^. ^.. ^§.YLAWESI TENGGARA 3 1 MALUKU 32 MALUKU UTARA 33 .. P A P U A 34 PAPUA BARAT........................ ^. . . DAERAH KHUSUS RAYON III SATUAN BESARAN (3) (4) OH Rp14.000 0 H .. . ...... ............... . . 8.P..± .. '!..:
99..Q . 0 H . .. .. ................... . ..... ............. . .............. .J3: P..! .'!..:
9..9.Q. OH...... . .. ..... . . !3: P..µ.'.±.:
9.9.Q .
........................................... 0 . .. . 1 •• H..................... ... ............... .. .....^.......... . .. ...... ...... . .. . .. . .. , .................................... ' ................. 8.P..1. . . '.± .. :
99..9 . OH ....... .. .. . 8.P..µ'!..:
9..Q OH.... ....... . ... ......... ........... ..... .............................. .. .. . ......... ... . ............... 8.P..µ.'!..:
99..9. OH........ . .....g.P..² .. ?..:
.9 .9.Q OH........... 8.P²?..:
9.9. , ........................................... 0 .. .. 1 . . H ............................................... ............ .. ................ ......... ..... .. 8.P..± .. ³.:
9.9..Q OH ... . .... !3: P..± .. ?. . . :
9.9..Q . . ............... ............... .. ·•······································-· O ····· iH ·················································• .. . .. . . !3: P .. ± .. § .. :
99..Q. OH........ .J3: P..1 ^. .?.:
9.9..9. OH . .......... ................ !3: P..± .. ?. .. :
9.9Q . OH ....... . ......... .. . 8P.².?:
9..9.9. 0 H ... . .. .. .. . . 8.P.´.?. .. :
9.9..Q.
..... ............................ • .. ... .. .. ....... . .............. ......... . ... o .....H ................................................. . ..................................... . ... . ........... ........... 8PJ.?..:
.9.9..9. OH ......... .....8.P.µ.?..:
9..9. .9. OH .8.P.µ.?. .. :
9..9. Q OH . .. .. gP.².?..:
9.9.9. 0 H .......... ............... . . gPJ .. ?..:
9.9.9. OH........ .... . g.P}-..?..:
.9 .9..9. . OH . ...... JSPJ . . ?..:
.9.9.9. OH . ...... . ....... . ...... ........ ..........g.PJ .. ?..:
.9.9.9. OH ...... .... 1.3: P.².?..:
.9 .9..9. OH.................... . 1-3:
P.²¶.:
9.9..9. OH OH OH .............................................................................. o..... . ^H ............................................... .. OH OH OH OH OH H OH . . .1.3: P. . . µ.7.. .:
9..9.9 ... .. . gp_².7..:
.9.9.9.
.... ' ' ....... g.P.}:
7..:
.9.9.
........... g.P.. .1:
.?. :
.9.99. ' . .. 8.P..1.:
7.:
9.9.9.
...... g.P.E.: ' ........ 13.P.፹.?.:
.......... . ............ .1.3:
... .......... . .......... Rp l 7.000 .. ............ g.P..E.:
9..9.9. Rp22.000 9.2 Pengadaan Bahan Makanan untuk Operasi Pasukan/Latihan Pra Tugas/Latihan Pasukan Lainnya Bagi Anggota Polri/TNI, Dikma/Taruna/Karbol/Kadet Bagi Anggota Polri/TNI, Diklat Lainnya Bagi Kemhan/ Anggota Polri/TN!, Anggota yang Sakit Bagi Kemhan/ Anggota Polri/TNI, Tahanan Anggota Polri/TNI, dan Jaga Kawa! Bagi Kemhan/ Anggota Polri/TNI NO. PROVINS! (2) 1. ACEH 2. SUMATERA UTARA 3. R I A U SA TUAN OH OPERAS! PASUICAN/LATIHAN PRA TUGAS/ LATIHAN PASUKAN LAINNYA Rp83.000 DIKMA TARUNA/ DIKLAT LAINNYA ANGGOTA TAHANAN JAGA KAWAL KARBOL/ YANG SAKIT !CADET 7 Rp83.000 Rp87.000 Rp32.000 NO.
3 . 4 .
-- 6.
-- 8. -- 9 . 1 0. 1 1 .
1 5 . 1 6 .
1 8.
20 . 2 1 .
3 1 .
33 .
3 4. 5 . 6 .
8 . 9 . 1 0 . 1 1 . 1 2 . 1 3 .
1 5 . 1 6. 1 7 1 8 . 1 9 . 2 0 . 2 1 .
3 1 .
1 .
6 Pengadaan Bahan Makanan untuk Mahasiswa/Siswa Sipil dan Mahasiswa Militer/ Semi Militer di Lingkup Sekolah Kedinasan PRO VIN SI ( ^2) ACEH SATUAN ( ^3) MAHASISWA/ SISWA SIPIL DI LINGKUP MAHASISWA MILITER/ SEMI MILITER DI SEKOLAH LINGKUP SEKOLAH KEDINASAN KEDINASAN (4) 15) 0 H ...... . ....... . ............................ . ......... 8.P...:
.9..9. .9...... . ......... . ..... . ...................... 8.P.?.7.:
.9..9. .Q. 2 . SUMATERA UTARA •·····················• ··································································································································· ····································································•·························· Q ······· H ·······························t ·· . ....... . ................. . 8P.9.. .. :
9..9..9._ ............................................. 8P..7..:
9..9..9. 3 . IR I A U , .................................................................. . .................... . ........... . ................................................................................................... , .. . ........................ o ... . . > . . ^H ... . .. ................ . ........ , .................................... 8P.?. .. :
9..9.Q . .................................................. 8P.. ?.7..:
KEPULAUAN RIAU . • ^........................................................................................................................................................................................................... , ........................... 0 ....... H .... .. . ... . ........ . .......... . . , ...... . ..... .......... .8P.Ú'..?.:
.9.9..9. ............................... ...... ...... J3: P: '?.7.:
9..9..9. 5 . J A M B I 6. SUMATERA BARAT 7. SUMATERA SELATAN 8. LAMPUNG 9. BENGKULU 1 0. BANGKA BELITUNG 1 1 . B A N T E N 1 2 . JAWA BARAT OH ... . .. ...... .... . ...................... ...... .8P.Ú.Û:
.9.9 .9. ........................................... à.P..7..:
.9.9 .9.. 0 H .. .. ....... ...... . .... . ... . ....... 8P.?. .. :
9..9..9. ............................................... 8P.?7..:
9..9.9.. OH . . ............ ................................. .81?..Ú.'..?.:
.9..9.Q ... ... ............... ............ .8P: '?..7..:
9..9.9. 0 H . ............... . ............. . .. .81?..ÚÛ.:
.9..9.9. . .............................. .............. .8P?..7..:
.9.9. .9.. 0 H ....... . .. . .... ................................. 8P.?. .. :
9..9.9.. .............................................. 8P.. ?7...:
9.9..9. 0 ^H ... . .... ........... . .............................8P.Ú?..:
.9..9.9. ....................................... . . 0.P/.7..:
.9..9 .9.. 0 H . . .. .. .. ...... . ... ....... . .......... : P.Ú.9.:
.9..9..9. ... . ........ .8P.Ú.=1:
:
. 9.. .9.9. 0 H .. .. . .. . .... . ...... . .. . .. 8P.?.9.. .:
.9.9..9.. . .......... .................... . .......... . ...... . . 8P. . . ± . . :
9.9.9.. 1 3 . D . K.I. JAKARTA • ...... ....... . ..... . . ^. ....... ...... . .. ............................ . .... ... ...... .................................. . ...... . .......... . .......... . ........ . ..... . ... . ..... . .... . .. .. . ... . .... . ........ . ..................... . ... .. 1.... ........... . .. . .... . .... 0 . . .. . .. H .. .. .. ... . ............ . .... . .. . 1 ... . .. ... ........... .... .. . .... 13: P. Þ..9 :
99..9 .........ᒍP . =1: : .9. .9 .9. . 14 . JAWA TENGAH 1 5. D.I. YOGYAKARTA 1 6. JAWA TIMUR 1 7 . B A L I 1 8 . NUSA TENGGARA BARAT 1 9 . NUSA TENGGARA TIMUR 20. KALIMANTAN BARAT 2 1 . KALIMANTAN TENGAH 0 H . ............ . .. . .. . ....... . .8P.Ú..9.:
.9..9...9. ........................................ .. . .8P. / . =1:
:
.9..9 .9. . 0 H ...... .... . .. . .. . ...... ... . . 8P.?9.:
.9.9.9.. .. . ...... . ............ . ... . ... . ............... . . 8P.?.±:
..9.9.. .9. 0 H ..... .......... ... ........8P.Ú..9.:
.99...9 . ... ... . ................... ....... .81?.. '!:
9..9.Q 0 H . ... . .. . .. . ...................... .8P.Ú.?..:
99..9.... . ...... . ... . ···········.... . .. . .... .8P.'.±.Û.:
.9.9 .9. 0 H............... ............ 8P.9..?..:
.99.9. . ................................ ............... 8P.±Û .. :
9.9..9. . ....... g͌............. . ...................... 8P.. ? .:
.9.9.9 .... . ........ . ... .. . .............. ... . 8.P'.±.Û:
.99..9 o H................. ............ .8P.Ú.?..:
.9.9..9 . ............................. ............... .8P.'.±.L..9..9.9.. . 0 H ..... ... . ... . ....... . ...... .. . 8P.9.?..:
.9.9.9.. .. ................................. ....... 8P.± . . ! . . :
9.9.9.. 22. KALIMANTAN SELATAN 1 ................. . . 11 . ........ . .. ............. ... .. .. . . --···· .. -···-- .. ····-·-····-·············-· ···· .... ·-······ ... -· ......................................... ........... , ................... ැ͌ ----·····---···· ... .. .... . .. .. ... _ ............ .. 81?..Ú .. f?..:
.9.9.Q Rp 1 . 000 23 . KALIMANTAN TIMUR . . ............. . .. ... . . ^.. .. . o ........ H ..... ............ . .. . .. ....... .. . ......... . ....... . .. ...... .. ...... .8P.Ú.?..:
.9.. 9..9. ... . ........ .8P'.±.} .. :
.9.9 .9.. . 24. KALIMANTAN UTARA . . ............. ....................... ......................... ා . ຊ- --·········..... . ...... .. . ......... 81?.9..?..:
.9.9.9.. ............ .. . .. . ... . ..................... . .. 8P± . . ! .. :
9.9..9. 25. SULAWESI UTARA OH .. . ............. ....... 8P??. :
9.9.9.. Rp4 1 .000 1 . .. • ......•. 11 . .. ............ . .. . .. . ..................... . ..... . .. . ....... . ..................... . .... .... .... .. ...... . .... . ..... . .. . ........... . ........ . .. .... . .................................. . .. . .................. . ... . ...... .......... . ........ ..................................
GORONTALO 27. SULAWESI BARAT 28. SULAWESI SELATAN 29. SULAWESI TENGAH 30. SULAWESI TENGGARA 3 1 . MALUKU 32. MALUKU UTARA 33. P A P U A 34. PAPUA BARAT · ·····················-··· .. ···- ........... ,_ ....... . ...... . OH OH OH OH OH OH OH OH ·····-···········-··--·-··--······-·-···-·-·-·· OH . . ..... ... .. ..... .8P.Ú?..:
.9..9.9. .. . ....... .8PÝ ^. L..9..9. 9..
................... B.P.?.? .. :
.9.9.9.. ... .. ........ 8P.. ± .. ! . . :
9.9...9.
..... 8P.?.?:
9..9.9..1 . ..... . .. . ............................ . ....... . . R .. . .. ΅. ,,, P...^4 ....... 1 .... . ·...^0 ..... 0 ....... 0 .....• . . .............................. 81?..Ú .. ?..:
.9.9...9. . .... ....................... ........... .8P.±L..9.9.9.
................ 81?...? .?..:
.9.9.9.. . .. . ............................. ..... 8P± .. !.:
.9.9..9 .
............... ............... 8P?.?.:
9.9..9.. ....... ... ......... . .......... 8P±. .. :
9.9.. .9 ..9.9..9. . .. Rp<!..'.±.: _000 Rp44.000 .......... .8PÝ ^. Û.:
.9.9. 9.. .
....... ............ B.P±.?. .. :
9.9.9. Rp48.000 NO .
9.7 Pengadaan Bahan Makanan untuk Rescue Team PRO VIN SI SATUAN ( ^2 ) (3) BE SARAN (4) 1 . ACEH OH .......... . ... . ...... . ...... . .. .............. . ....... . ... . ... . .. . ......... . ... . .. . .. . .. . 8P.?.7..:
9..9.9. 2 . SUMATERA UTARA OH Rp37.000 --- ̐ - ̑ .. :
..... 8. ... . ... .. .. _ .. ...... .. . _ .. ___ ^_ ____ ········-····--···---·····-· .. _ ___ _ .. . ... . .. .... .. ..... -·-·-···-.. ·---······ ··-···-··-·-- ......... . ...... .. ........._. . ........... ·-·····-·····QH .... -·-····-···-···-··· :
... : · .. · _:
. ·· - ̒ - · .. : : : ..... :
· ... .. ̓.̔--̕---.. -.... :
. Ų r · $ :
ų t.Ŵ.Q.Q . . Q 4. KEPULAUAN RIAU OH . .. . ........ . ........................... . .... . ... ... . gP.? . .7.. :
.9.9 .9..
SUMATERA SELATAN OH...... . ... . .. . ... . .. . .......... ·········································· ............... gP.?..7. .. :
.9.9..Q 8. LAMPUNG 0 H ······························· ................... . .................. . .. . ............ . .. . ... 81??.7..:
.9..9..9. 9. BENGKULU 0 H ............ . .... . .. . ............. . ......... . .................. . ... . .. ... .. . ...... . ...... .. gP.? . . 7.. .:
9.9..9.. 0 H ······························· ........ . .................... .. . ... . ........ . .......... . . _gl?..!..:
9..9.9. 1 0 . BANGKA BELITUNG ,....... . ...... . ... . ........ ....... q---uv-------------------------------------r----- O _ H _______ ΄ __ ______ .. gpi:
9.Q 1 1 . B A N T E N 1 2 . 1 3 . 1 4. 1 5. 1 6. JAWA BARAT 1····································································································································································································································· ····· i····································O ········H ············································i························································· _gP.?.'±:
.9..9.. D.K.I. JAKARTA JAWA TENGAH D.I. YOGYAKARTA JAWA TIMUR 0 H .. . ..... . ....... . ........ . .. . ................ . ....... . .... . .............. . ........... . gP .. S.±:
9..9..9.. 0 H ... . .......... ... . ..... . ............. . ................. gP.? .. '± . . :
9..9..Q. 0 H . ..... . ... . ... . ............. . .. ...... .. ... .. . ............... . ......... . ......... ... ..... ... gP.?.±.:
9.9..9.. 0 H . ...................... . ........ .. .............. . ..... . ... gP. ? .'± . . :
9.9.. 9 l ^·········· · ^······ · ^·· ll ^······························· · ^························· · ^········································· · ^················· · ^····················· · ^·········· · ^················· · ^··················· · ^·········································· r ^······ · ^······················· · ^·· · ^··· · ^········· · ^···················· · ^················ 1 17. , . ...... .. . .. .. . ..... . .. .. 18. 1 9. B A L I '"'" . NUSA TENGGARA BARAT NUSA TENGGARA TIMUR 0 H ..... .. .. . .......................... . ... . ..... . ........ . ................. . ... . ......... . gP.±.T .. :
9.9..9.. 0 H ................................ ............................................................. gP. ± s . . :
9..9.Q. 1 ••••••••••••••••••••• 11 ........................................................................................................................................................................................................................................................................................................................ ... .
KALIMANTAN BARAT 2 1 . KALIMANTAN TENGAH 22 . KALIMANTAN SELATAN OH tp4 1 .000 0 H ........... . ..... . .. . ......... . .......................................................... gP.± .. .. . :
.9..9..9. OH ............ . ... . .. . ...... . .............. ...... . .. . . gl?±.W .. :
99..9. ••.•••.•••••••••••••••• 11 ........................................................................................................................................................................................................................................ . .............................................................................. .. , i ............... . ... . ..... 11................ . ..... . ....... . ................ . .. . .. . .. . ........... . .. . .............. . ............... . .. . ......... . ............. .. ..... . .............................................................................. . ...... . ·········t·····································O ········H ········································1 . ............ ... .... .............. . .. . gP.± .. !...:
.9..9.Q 23. KALIMANTAN TIMUR •·······················I'················································································································································································································································ • ····································O ········H ·································· . ...... , ... ... .. ... ... ............. . ...... gP..'± .. W.:
9..9..9.. 24. KALIMANTAN UTARA 25. SULAWESI UTARA 0 H ·························· ..... ..... . ............. . .......... . ................... . .. . ...... ຘ.P.±. . . :
9.9..9.. 0 H . .. . .............. . ........ . ... ... . .. . ................... . .................... . ..... . .. . ... gP.± .. W.:
9.9..9.. 26. GO RO NT ALO : .............. . .. . .......... . 27. SULAWESI BARAT OH . ....... . ......... . ......... . ............ . .. . .. . _gP.±.!.:
9..9..9. l ^-··································································· · ^········ · ^···································································· · ^·················································································· ·11· ··· ········· .. ······················································· ·····1 28. SULAWESI SELATAN 29. SULAWESI TENGAH OH Rp4 1 .000 0 H . ............ . ................... . ............... . .. . ......... . .. . ........ . ... . .. .. ........8P.± .. W .. :
9..9.9.. 30. SULAWESI TENGGARA •················································································································································································································································1t····································O ·········H ··········································1 . .... . .......... . ..... . ............... . .. . ... .. . gP.± .. ! ... :
.9..9..9. 3 1 . MALUKU 0 H .... . ....... . ..... . ...... . ................... . ........... . ... . ...... .. ................. . .... gP.±.X .. : i ...................... 11.............................................................................................................................................................................................................................. ·1·····································0 ·········H ······························· · 1 ·•··•·••·••·•··•························ ................. gP. ± . :
9.9. .9. 32. MALUKU UTARA 0 H ................ .......... . .... ........................ . .. .. ........ . .. . .. . .. .. .. . ......... . gl?.'±.?.. :
.9.. .Q.9.. 33. P A P U A 1 .......................... ..... 34. PAPUA BARAT OH Rp48.000 Mfwf 10. SATUAN BIAYA KONSUMSI TAHANAN/DETENI NO. P ^R O ^VINS! (1) (2) 1 . ACEH 2. SUMATERA UTARA SATUAN BE SARAN (3) (4) OH ........... . ............ . .. ... ............... . .. . ...... . . 8.P±.; ?.:
.9. 9..9.. 0 ^H...... . .................. . ........ ... . ....... .......... .... . ...... . 8.P±} .. :
. 9.9..9. 3. R I A U.................. ... . ...... .. ..... . .. . .. . ....... . ... . ............. . . _ ...... ...... ....... ....... . .. .. . ... .................. .......... .. .. ....... .. . .. . . ̌.̍ .... .......... . ............... .. .......... . .. ... . ............... .. ... .. .................... 8.P?. .. ?.:
.9 .9..9. 0 ^H . ........... . .. . .. . ..... . ...... .. . ......... ........ ............ ......... . .....8.P? ^. .. ?..:
.9 .9..9. 4. KEPULAUAN RIAU I•·• .................... .... . . 5. J A M B I ...................................... ......................... 0 ^H .. .. ..... . .. . .......... ................... .. ......................................... 8.P.; ?.; ?.:
.9 .9.9.
....... ^6 ....... · ......... ^ . . s ......u ....... . M ......... A ..... T ....... E ....... RA ...................... B ........ A ........ RA ............. T .................. .................... . .... . ...... ............ ....... . .... . .... . .... ...... . ........ . ... . .. . ....... . .. ................. . ......... . ... . .. . .. . . ,, ............................... o ...... . . ^H . .... . ........... . ................ . I . ........ ................ .......... . ······· · ·· · . .P.?.?.:
9...9..9 ..
^........ B....... · . .. . .... ^. . .. L ..... A ........ M .......... P .. .. .... u ....... N...... . . G ........................................................................................................................................................................................................... .
................................ o.......H ... . ..................... . ........... .. ........ ...... ....... . ............ . ............ . ............. . .. 8.P: ?. .. ?. .. :
9.9..9.
........ 9...... · .. . .... . ^. ^B ........ E ....... N ........ G ........ K . ... . .. . u . ...... ^L ... . .. u..................... . ..... . .... . .. . .. . ... .. .................................................. . ........................ . .... . ............ . ................... . ..................... . ...... . ...... ... . . , ................................ o ....... ^H ....... . ..... . ..... . ................. , ................................. ............... ...... .P.?.? .. :
9...9.9. ..
BANGKA BELITUNG OH......... . ... . ...... . ... . ....... . ...... . ............. . .... . . l<: P.9.?..:
9...9. .Q 1 1 . B A N T E N ................................. o........ ^H . .. . ... . ....... . .. . ..... . ............ . ......... . ... . .......... . ..... . .. . ............ . ........... ... 8.P.; ?.?.:
.9..9.9. 12. JAWA BARAT , ................................ o.... .... H .. .. .. . ... . ..... . ..... ............. . ....... . ..... . ........... . ................ ........ . .......... 8.P±.9.:
9.9.9.. 13. D.K.I. JAKARTA OH ............ ... .......... ..... . ........... . ........... . ...... .. . ...... ............ ........ 8.P±; ? .. :
.9.9.9.. 14. JAWA TENGAH OH ............. . ............. ............................ ........ . . 8.P.?. .. ?. :
. 9 . 9 9. . 15. D.I. YOGYAKARTA OH .... ............... . ............... .. ... .P.?./.:
.් . . :
9..9.9 ..
B A L I OH . .......... . .. . .... . .. . .... . ... . ................... . .. .. ..................... RP.9..? .. :
.9. . 9.9.. 1 8. NUSA TENGGARA B.A ̩!. ...... ................................ . ........................... ... ..................... -̎.̏............................ .. ............................ l<:
P; ?. ?... :
.9..9 .9. ..
..... ^1 ..... 9...... ·..... ^1 .. ^N . . ..... u ....... s ... . .. ^A .............. T ...... E ...... N ......... G ....... G ........ A ...... RA ..................... T ..... r .. . .. M...... . . u.... .....^R ....... . ...... . ......................... . ........ . .. . ...... ...... .. ... . ... . ............................ .. ....................... . .... . .. . .. . .. . ..... . .... o .......... ^H ........... . .. ................ . .. . ... . ... . .. . ............. ....... . .............. . ....... ... QE?.?...:
.9..9.9 20. KALIMANTAN BARAT OH .................. . ..... ....................... ....... . .. . .. . .. . .. . ..... . . 8.P.?. . . ?..:
.9..9..9. 2 1 . KALIMANTAN TENGAH OH . . .. . ... . ..................... .. . .... ... . ... ....... . ....... 8.P?..?.:
9.9..9.. 1........ ...... . 11 .. ...... ........ . ... . .. . ............ . ................. . ....... . .. . ...... . .. .. ....... . ..... . ............. ........... ...... . .. . .......... . ................ . .. . .. . .. . ... . ............... .. . ...... ................. . .. . . ll .... . ................................ ... .............. . .....
KALIMANTAN SELATAN OH ..... . ..... .. . .. ..... .......... . ... ...... ........ .. ................... J.3: P±.9.:
9.9.Q. 23. KALIMANTAN TIMUR OH . .. . .......... . .. . .. . ............ . ............................... 8.P.?..?..:
9.Q.9.. 24. KALIMANTAN UTARA OH ... . .... . ...... .. P.P?. ?. .. :
9..9.9. 25. SULAWESI UTARA ....... . ........ ................. . . 26. GORONTALO 27. SULAWESI BARAT 28. SULAWESI SELATAN 29. SULAWESI TENGAH 30. SULAWESI TENGGARA 3 1 . MALUKU 32. MALUKU UTARA 33. P A P U A 1- ...................... •••• ••••• 34. PAPUA BARAT OH Rp39.000 1............ .... . .. . ...... . .....0 .. ....... H . . ...... . .. . .. . ..... . ...............1......... .. .. . ......... ..................... ........ PE?..? .. :
.9..9.9. 0 ^H.... ........... . ....... . .... . ......... . .......... .. . ... .. . .. . .. .P.: J:
?. .. :
9..9. .. Q. OH ...... .. ............ . 8.P.?..9. .:
.9.9.9.. OH OH OH OH OH OH ..... .......................... 8.P. n .. ?. . :
. . .. ........ ........... 8.P?.. ?:
... ...................... 8.P±; ?.:
. .. .. ................... 8.P.o.o.:
.... ......... . ............................................. .E0.?. .. :
9.9..9. . Rp56.000 1 1 . SATUAN BIAYA KONSUMSI RAPAT· NO. PROVINS! (1) (2) 1 1 . 1 RAPAT KOORDINASI TINGKAT MENTERI/ESELON I/SETARA 1 1 .2 RAPAT BIASA 1 1 ACEH 1 1 .2.2 SUMATERA UTARA 1 1 .2.3 R I A U 1 1 .2.4 KEPULAUAN RIAU 1 1 .2.5 J A M B I 1 1 .2.6 SUMATERA BARAT 1 1 .2.7 SUMATERA SELATAN 1 1 .2.8 LAMPUNG 1 1 .2.9 BENGKULU 1 1 .2. 1 0 ^BANGKA BELITUNG 1 1 . 2. 1 1 ^B A N T E N 1 1 .2. 1 2 ^JAWA BARAT 1 1 . 2. 1 3 ^D.K.I. JAKARTA 1 1 .2. 14 ^JAWA' TENGAH 1 1 .2. 1 5 ^D.I. YOGYAKARTA 1 1 .2. 1 6 ^JAWA TIMUR 1 1 .2. 1 7 ^B A L I 1 1 .2. 1 8 ^NUSA TENGGARA BARAT 1 1 .2. 19 ^NUSA TENGGARA TIMUR 1 1 .2.20 ^KALIMANTAN BARAT 1 1 .2 . 2 1 ^KALIMANTAN TENGAH 1 1 .2.22 ^KALIMANTAN SELATAN 1 1 .2.23 ^KALIMANTAN TIMUR 1 1 .2.24 ^KALIMANTAN UTARA 1 1 .2.25 ^SULAWESI UTARA 1 1 .2.26 ^GO RO NT ALO 1 1 .2.27 ^SULAWESI BARAT 1 1 .2.28 ^SULAWESI SELATAN 1 1 .2.29 ^SULAWESI TENGAH 1 1 .2.30 ^SULAWESI TENGGARA 1 1 .2.3 1 ^MALUKU 1 1 .2.32 ^MALUKU UTARA 1 1 .2.33 ^P A P U A 1 1 .2.34 ^PAPUA BARAT - 90 - SATUAN MAKAN KUDAPAN (SNACK) (3) (4) (5) Orang/Kali Rp l l0.000 Rp49.000 Orang/Kali Rp48.000 Rp l 5.000 Orang/Kali Rp46.000 Rp l3.000 Orang/Kali Rp40.000 Rp l 5.000 Orang/Kali Rp4 1 .000 Rp25.000 Orang/Kali Rp39.000 Rp 17.000 Orang/Kali Rp44.000 Rp 1 6.000 Orang/Kali Rp46.000 Rp l 7.000 Orang/Kali Rp40.000 Rp20.000 Orang/Kali Rp44.000 Rp l 6.000 Orang/Kali Rp40.000 Rp l8.000 Orang/Kali Rp48.000 Rp 19.000 Orang/Kali Rp45.000 Rp 18.000 Orang/Kali Rp47.000 Ro2 1 .000 Orang/Kali Rp38.000 Rp l 5.000 Orang/Kali Rp36.000 Rp l4.000 Orang/Kali Rp44.000 Rp l8.000 Orang/Kali Rp44.000 Rp l7.000 Orang/Kali Rp4 1 . 000 Rp l 7.000 Orang/Kali Rp4 1 .000 Rp2 1 .000 Orang/Kali Rp42.000 Rp l 6.000 Orang/Kali Rp40.000 Rp lS.000 Orang/Kali Rp45.000 Rp 1 5.000 Orang/Kali Rp42.000 Rp20.000 Orang/Kali Rp42.000 Rp 1 6.000 Orang/Kali Rp44.000 Rp2 1 .000 Orang/Kali Rp44.000 Rp 14.000 Orang/Kali Rp47.000 Rp20.000 Orang/Kali Rp48.000 Rp l9.000 Orang/Kali Rp4 1 .000 Rp l 7.000 Orang/Kali Rp42.000 Rp20.000 Orang/Kali Rp47.000 Rp l 9.000 Orang/Kali Rp63.000 Rp23.000 Orang/Kali Rp60.000 Rp3 1 . 000 Orang/Kali Rp62.000 Rp25.000 12. SATUAN BIAYA KEPERLUAN SEHARI-HARI PERKANTORAN DI DALAM NEGERI NO. PROVINS I !I 1. ACEH 2. SUMATERA UTARA 3. R I A U 4. KEPULAUAN RIAU 5. J A M B I 6. SUMATERA BARAT 7. SUMATERA SELA.TAN 8. LAMPUNG 9. BENGKULU 10. BANGKA BELITUNG 1 1 . B A N T E N 12. JAWA BARAT . ............ ......... .
D.K.l. JAKARTA MEMILIKI SAMPAI DENGAN 40 PEGAWAI SATUAN BESARAN (3) (4) Satker/Tahun Rp60.870.000 SatŽe¯/Tahun. .. ............. : R.: P?..9 .:
'.?..9.. :
.9..9..9. Satker /Tahun .. ... . ...... . .. . .. .....: R.: P .. ?..9.:
9.9.9..... හළ.ຨJ.!ah1:
ෆ: 1:
... .. . ............. . gP.f?.." : ?}.9.:
Satker /Ta.hun ... ....................... g.P.?..?..:
. ?..9.9.:
9.9..Q Satker /Ta ^h un . ....... ......... . ...... . .. : R.: P.?9..:
9.'.?..9. .. :
9..9.9. Satker/Tahun ........ ... . .. gP.. ?..9.:
9..u.9.:
9.9..9.......Satker /Tahun .. .......... .. . ...... . 13: P.?.?.} .. ?.Q.:
9.9.9. Satker /Ta ^h un.......... . .. .. . : R.: P?.9. .. :
9.'.?..9. :
9.9.9. Satker/Tahun........... . J.3: P.?..?. . . :
?.9.9.:
9 .9.. Q ... ž.y®.r ^. !.T.ſ. ^h un . ......................13:
P..f?..9..:
. ?..7..9.:
9...9. .. 9.. Satker /Tahun ....................... . . : R.: P?.9..:
: : !. '.± .Q.:
9.9..9.. Satker/Tahun............ . .. ..... . . 13: P.§.9..:
'.±'.±.9.:
9.9.9. . .. . 14. JAWA TENGAH Satker/Tahun.... . ....... .......... J3: P.f?..9.:
?..7.. Q.:
9.9.Q . . 15. D.I. YOGYAKARTA Satker/Tahun .. .
....... . ......... ......£3.P?.9..:
: ±.: ±.9. .. :
9..9..9 . ..
. ... ! .. ?. . :
..^!.ƀWA TIMUR Satker /Tahun............ . .. . ... ...... 1.3: P.§9.:
'.±.'.1:
Q.:
9.9.Q . .. , ...... 1 .. 7 ...... ·.... ,. ^B ,. ...... A ......... L . .....1 ....................................................................... ........................................................... 1 ...... ^?. Ƌ ^ƌy -Ɓ.J: ^/! Ɖ ^ƍ Ǝ?. ........... ........... . . 1.3: P .. f?..!.:
፶፷..Q: -99..Q 18. NUSA TENGGARA BARAT Satker/Tahun ...... . .. . ......... ..... J.: 3: P?9..:
'.±.'.±.9. .. :
9..9.Q 19. NUSA TENGGARA TIMUR Satker/Tahun........ .. . ...... . ...... 13:
P.§.9.: '.±.y. Q .:
9.9.Q . .. 20. KALIMANTAN BARAT Satker /Tahun.... ......... . J.: 3: P?.9.: : ±'.±9. . . :
9..9.Q ... ?..ස:
:
... ^: ƊƂ - ^ƃ : ^!ƈA . ^NTAN TENGAH .. ....................... . ........... . ^Ƅ -Ɛ!: ^ƒ ƅ¯ ^/! Ɣ ^Ə Ɔ-n.... ....... .. ... ... . ....... J.: 3: P.?..s.1..:
. ? ..9.. Q .:
9.9.Q 22. KALIMANTAN SELATAN 23. KALIMANTAN TIMUR 24. KALIMANTAN UTARA 25. SULAWESI UTARA 26. GORONTALO 27. SULAWESI BARAT 28. SULAWESI SELATAN 29. SULAWESI TENGAH 30. 3: 0if\w ^lisT"; rENGGAI{A"""' 31. MALUKU 32. MALUKU UTARA Satker /Tahun........ . ........... . .. 13: J?..?.9..:
9.?..9..:
9.9..Q ... Satker /Tahun.... .... . .... . ..........: R.: P?.9..: : : .1:
: ± .9 .. :
9..9.9.. .. Satker /Tahun.... . .. . ..............1: 3: P?9..:
: : !.: ±9..:
9.9. Satker /Tahun . ............... .. . .. . g ^. P.?.v. :
.1.:
. Ľ.9.:
9..9. .9...... Satker /Tahun ...................... . .. .1: 3: P?.9.:
.?..?.. 9. .. :
9..9.9.... . . Satker/Tahun........ .. . ....... gP.ľ.7. :
9.. ?. .9. .. :
9.9.9. . .. ... . Satker /Ta.hun.................... . ... . g.P.. ?..9. :
. ?..?..9..:
.9. .9.. .Q Satker /Tahun.......... .. .. . ...... : R.: P?.9.:
9.. '.?..9.. :
.9..9..9.. Satker/Tahun . ... . ........ . . gP.?..9.. :
'.±.'.1:
9..:
9.9.Q . .. .............................. ..... S..Ƈy®.:
.f.T.Ɠun .... g.P.f?.: !.:
'± .?...9 .:
9.9..Q Satker /Tahun ......... . ... . .... . ..... . : R.: Pf?.'±.:
: ±?.9. .. :
9..9..9.. MEMILIKI LEBIH DARI 40 PEGAWAI SATUAN BESARAN 151 r6l OT Rpl.530.000 OT ............. . . gP..1. .. :
. ?.x . .9.:
99.Q OT........... . ... . ...... . ..... . ............. . 1.3: P. . . Ä.:
. ? .. 1 ^. ..9..:
.9 9.Q OT . ..... .....gp!..:
??.9:
9..9. Q OT .. . ...... ....... J.: 3: P..1.:
. :
: : .1:
፲.9. . . :
9.9.Q. OT . ................ . J3: E.1. . . :
. ? .. 1...9.. .:
99.9. . . OT............... . .. .. . ........... .1: 3: P1. ·?.J.9.:
9.9..Q OT............... : R.: P.= .. :
'.±.?.9. . . :
9..9. .9.. OT.... .. ...... . gP}.:
. ? x ..9:
9.9.Q OT............. J.: 3: E.1..:
ᐐ.?.9:
9..9.9.
..... QI.......................................... .8P .. L?..?..9. .. :
9.9.9.. OT.... . .. .... . ... . .f3: J?.} .. :
. ?.?.. 9 .:
9.9..Q. OT.... . .. . ... . ..........................1: 3: PL.?..'.?..9.:
9.9.9.. OT . .......... .... ...... . ..... gP}.: ?.;
.9 . . :
9..9..9.. OT...... gP..1. .. :
. ?.?..9.:
.9.. 9..Q OT.... . ........... . ...............f3: P.".:
?..'.?..9. .. :
9..9..9.. OT t.9ŀ99..Q. OT......... . ..... J3: P.. 1. .. :
. ?.v.9.:
9.9..Q OT ........ ........ ....... . ............ .. .8P.= .. :
?..፵.9 .. :
9..9. Q . OT .. ............ gp} :
99.9.. OT.... .. . g.l?. . . Ä.:
.9.9.Q OT .. . ........... . .... .. ................ .f3: PJ. .. :
?.} . .9. .. : OT.............. .. . .. . ...... . .. gP.} .. :
?.u.9.:
9.9.Q OT....... .. ...... g.P.1 ^. .:
. ?Ń.9.:
9.9.Q OT ... .. . .. .. .. . .. ................ ፱: PJ. . . :
?..? .9. .. :
?.ń ^. 9.:
9...9. .Q. OT.... . .. .. . ........... ............ . J3: P} :
. '.1:
w.9.: OT.... ....... . ..... . J.: 3: P . . 1. . . :
. f?.9..9. .. :
. ?.1... 9 .:
9.9.Q. OT........ .. . .. . : R.: PL:
?.'.?..9. :
9.9.9.. OT.... ................ ....... . ....... J3P.= .. :
?..'.?..9. .. : OT ....... . .. . .. . gJ?.):
. ?..?..9.:
9.99.. 33. P A P U A Satker /Tahun . .. ................. J.: 3: P.7.'.. w:
Ŀ.7..9. .:
9..9.. .Q,.... . ............ ...... .... . ^. o.... .. T.... .......... ................ . 1 . ........ . ... . J.: 3: P.= .. :
?..?..9. .. :
9..9.9. 34. PAPUA BARAT Satker /Tahun Rp67.630.000 OT Rp 1. 700.000 1 3 . SATUAN BIAYA PENGGANTIAN INVENTARIS LAMA DAN/ATAU PEMBELIAN INVENTARIS UNTUK PEGAWAI BARU NO . PRO VIN SI SATUAN BE SARAN (1) (2) (3) (4) 1 . ACEH Pegawai/Tahun Rp l . 7 5 5 . 00 0 2 . SUMATERA UTARA Pegawai/Tahun Rp l . 66 0 . 000 3 . R I A U Pegawai/Tahun RJ2 1 . 67 1 . 00 0 4 . KEPULAUAN RIAU Pegawai/Tahun Rp l . 65 0 . 000 5 . J A M B I Pegawai/Tahun Rp l . 702 . 000 6. SUMATERA BARAT Pegawai/Tahun Rp l . 692. 000 7 . SUMATERA SELATAN Pegawai/Tahun Rp l . 67 1 . 00 0 8 . LAM PUNG Pegawai/Tahun Rp l . 67 1 . 00 0 -- 9 . BENGKULU Pegawai/Tahun Rp l . 66 0 . 000 1 0 . BANGKA BELITUNG Pegawai/Tahun Rp l . 63 9 . 000 1 1 . B A N T E N Pegawai/Tahun Rp l . 67 1 . 00 0 1 2 . JAWA BARAT Pegawai/Tahun Rp 1 . 6 6 0 . 000 -- 1 3 . D . K. I . JAKARTA Pegawai/Tahun Rp l . 692 . 00 0 1 4 . JAWA TENGAH Pegawai/Tahun Rp l . 75 5 . 000 1 5 . D .I . YOGYAKARTA Pegawai/Tahun Rp l . 745 . 000 1 6 . JAWA TIMUR Pegawai/Tahun Rp l . 67 1 . 000 1 7. B A L I Pegawai/Tahun Rp l . 755 . 000 1 8 . NUSA TENGGARA BARAT Pegawai/Tahun Rp l . 692 . 000 1 9 . NUSA TENGGARA TIMUR Pegawai/Tahun Rp l . 6 1 8 . 00 0 2 0 . KALIMANTAN BARAT Pegawai/Tahun Rp l . 65 0 . 00 0 2 1 . KALIMANTAN TENGAH Pegawai/Tahun Rp l . 734. 000 22 . KALIMANTAN SELATAN Pegawai/Tahun Rp l . 660. 000 23 . KALIMANTAN TIMUR Pegawai/Tahun Rp l . 63 9 . 000 24. KALIMANTAN UTARA Pegawai/Tahun Rp 1 . 639 . 000 2 5 . SULAWESI UTARA Pegawai/Tahun Rp l . 62 8 . 00 0 2 6 . G O RO NT ALO Pegawai/Tahun Rp l . 607. 000 27. SULAWESI BARAT Pegawai/Tahun Rp l . 565 . 00 0 2 8 . SULAWESI SELATAN Pegawai/Tahun Rp l . 702 . 000 29. SULAWESI TENGAH Pegawai/Tahun Rp l . 62 8 . 000 30. SULAWESI TENGGARA Pegawai/Tahun Rp l . 724. 000 3 1 . MALUKU Pegawai/Tahun Rp l . 798 . 00 0 3 2 . MALUKU UTARA Pegawai/Tahun Rp l . 85 0 . 000 33. P A P U A Pegawai/Tahun Rp2 . 072 . 00 0 34. PAPUA BARAT Pegawai/Tahun Rp l . 9 5 6 . 00 0 14. SATUAN BIAYA PEMELIHARAAN DAN OPERASIONAL KENDARAAN DINAS 14. 1 Kendaraan Dinas Pejabat NO P ^R O VIN SI SATUAN BE SARAN (1) (2) (3) (4) .... 1 ...... 4 ....... ^. .... 1 .......· .. ^1 ............................. , P ^EJABAT NE G ^ARA .... . .... .. .. .......... . .. ... . ........................... . .... . ..... . 1!..1.:
: _!./..!_1hu, n .. . ............ . ... . ... . . J.3. P.͗.ำ.:
?..9...9. .:
9..9...9. .
... 1 ...... 4 ...... . · .. . i . .. . .. ... .. 2 .................................. P ...... EJ . ........... A .... . ... B ....... A ....... T .......... E ....... s ..... . . E ........ L . . .... o ....... N .......... . . r .... . .. . .......... .. ... . ......... .. ....... . ... . ....... ..... . ................ . .... . ........ .. ... . ............................L1.:
: Q.Y!M1.:
?.!1 ....... ................... . .......... !3E=1:
.9..9..9 .. :
.9.. 9..9.. 14. 1 .3 P ^EJABAT ESEL O ^N II , .... 1 .... 4 ...... .. · . . ^1 . ......... 3 ... . .... ·...1 .. . .. . .
..
......
. .
.
...
. , 1 . ^A ............... Ƈ ^E ........ H.... . .. . ...... . ........ . .. . .............. . ... . ... . .. . ... . .. . .......... . .. . .. . ............ . ................. . .. ................. . ............... . ... . .... .. .... ........... . .............. .. .. , ............ Y..t../. T.. ව.hශෂ....... . : : : : ·: ···: : ·: : ·.:
: : : ·: : : : ·: : : .: : : .: ··"P.#·$: : '.?: §: 9: : .9: 9: 9:
.... 1 .... 4 ....... ^. ... 1 . ........... 3 .. . ... · .. ^2 .. ......................s ....... u....... . M ......... A ........ T ....... E ........ RA.................... u.... . .. . T ..... A ......... RA ..... . ..................... . ............. .. ....... . .. . .... .. . ..... . ............ . .. . ............... . ........................ . ........ . ..... . . Y . .!.?:
R.Y!Tl11: : 11. ...... . ....... ......................... . .. .. . gP. ? .? .. :
L . . 9. . . :
.9..99.
.... 1 .... 4 ....... · . .. . i . ......... 3 ....... · .. ^3 ......................... R . ........r ....... ^A .. ..... . .. . . u............. . .......... . ......... . ............. . ............ . ..... . .... . ... .. .... . ... .. .. . .. ...... . .. ............. . ....... .. . ...... . ... . ........... .. .. . ............. . ... . .... . ........ .. ..... . . !: !.!.?: N.Y!M1:
: S!1 ............. ..................... ...... 1.31?.?.? ^. :
. !?.?.9. .. :
.9..9..9.. 14. 1 . 3. 4 KE P ^U LAU AN RIA U .. . ............ 1!..1.:
: c ( ! Ā hun.... ........ . .............. . ........... . gP. .. ?..:
; ?.. .9 .. :
9...9. .9.. 14. 1 . 3. 5 J A M B I .. . ......... . ............ .. ........... !: !.!.1.: Y!.hun .............. ............................ 8P .. ? . :
; ?. . ͗ .9 . :
9...9.9. .
.... 1 .... 4 .. . ..... · ... i . ... . .. .. .. ^3 . .. . ... ·.... ^6 ......................s ....... u ..... .. M ......... A ......... T ........ E ...... RA .................... B ........ A ........ RA ............ T .... . ...... . ............ . .. . ....... . ....... .. ....... . ....... .. . .. . .......... .. . ................ . ........ . .. . .... . .................Y..1.:
: ±.Y!²1.2°³1.:
... ............................ J.3P.?.?. .. :
.. .2.9 .. :
.9..9.9..
.... 1 .... 4 ....... ^. ... 1 . .......... 3 . . .....· .. 1.... ........ . ........... s ...... . u....... ^M ......... A ....... T ....... E ........ RA ............. . ... . ... s ...... ^E ..... . .. L ..... A ....... T ...... A ......... N .. . ...... . ........... . ............... . ... . ............. . ... . .... . ...................... .. ................... .. . ... . . Y..1.:
: ®.Y!¯1.:
ª?. .............. ................. .... ..... l.3P. ? .? .. :
. ?.?..9.. .:
.9.. 9..9..
.... 1 .... 4 ...... · ... . . i . ... .. .. ^3..... . . · . .. s .. .. . .......... .. ....... L ..... A ........ M ......... P ... . . u . ........ N ....... G.... .......... .. . .................. ...... . .. . ........ . ... . .................. . ........ ....... ........ . .. . ... . ........... . .... . ............ . .. .. ................ .......... ... . .... L?.PY!MJ: i:
i? ............. . ....... ... . .. . 1.3P?«. 6 7 0. 000 .... 1 ...... 4 . . .....· ... ^1 ..... . . · .. 3 . . .... . · . . 9 ........................ B ....... E ....... N ......... G ...... K........u . .. . ..... L ..... u .... . .. . ... .. . .. . .. ........ . ... . .. ................ . ...... . ........... . .... . ....... . ......... . .. . .................. . .... . ................ . ...... .................... .............. !: !..1.:
: _YTf.g.1.:
:
....... . ................................. gP; ?. . . ?..:
?..9..:
9..9.. 9. .
... 1 ..... 4 .. . ... . . · ... ^1 . ... . .. · .. 3 ....... ^. .... 1 ..... 0 ................. B ....... A ....... N ....... G ......... K ^A ..................... B ......... E ........ L .. .. . . n ..... . .. .. u........ ^N ........ G ................................................................................................................ , . ... ....... lJ1.:
: ƈ!/.!.Āh ^un . ........ ................ . ............. . 1.3.P..1 .. ?. . : ? ?..9. . :
9..9...9. . 14 . 1 . 3 . 1 1 B A N T E N.......... ...................... ...... ..Y..1.:
:
®Y.!´1.:
ª³1.:
... .. ....... ............. 1.3P.9..? .. :
.'±.ฬ..9. . . :
.9..9..9..
... 1 ..... 4 ....... · ..... i . ....... 3 . ...... · ... . ^1 ..... 2 ................ J ...... A ..... . . w ... . ....... A .............. B ....... A ...... RA ................ T ... . .... . ... . ........... . ........ . ..................................... .. . ............................ . .. . ........ . ........... .. ....... . ....... . , ............ Y.. !.1:
PU/.!MV?,!.1:
.. . ....... . ......... .. ....... .. . .. gl?.?.?.:
. ??.9. .. :
.9.. 9..9..
.. 1 ...... 4 ....... ^. ... 1 . ........ 3 ...... . · . .. . . 1 .... 3.... ............ n......... · . ... K ............ L.......... . .. J . .... . A ....... KA ............. R ....... T ........ A . .. . ..... . .. . .................. .......... ...... . .. . .............. .... . ........... ... . ...... . ........ . .... . ...... . ........... . .. . ..... , . ........ ... !: !.1.?.: dY.!..'.":
:
.1.:
:
. . .. ...................... ..... .. . ..... . . gP.; ?..?._]}9..:
9.9...9. 14. 1 .3. 14 JAWA TENGAH . ........... . .......... ... ....... . .............. ... . ... . ... .. . .......... .. . .......... .... . ...... . ..... !: !..1.:
: _!/!.`?:
1.:
:
............ .............................. gP.1.?.:
. ?..?.9.. .:
. 9. .9...9. . • .. ^1 ..... 4 ....... · .. .. 1 ....... ^. ... 3 .... . .. ·..... 1 ...... s..... . ...... . .. D ........ .I ....... · . ... . . Y ... . .. .. o ....... ^G ........ Y ....... A....... KA .. . ... . .... . ... R ...... T ...... A ................................................................................................................................ ........... lJ re_! !.!.`h UJ:
....... ..... . .. ... . 1.3P.; ?. . . ?.:
?. .. ?..9..:
9..9.. 9.
1 .3 . 1 6 JAWA TIMUR . _un..¬.!/!¯hun ............. . .......................... gP.? ? .. :
. ?.}..9. :
.9..9..9. 14. 1 .3 . 17 B A L I . . .. ...... Y. !.1:
̊. ! .!. ! ` h. ?.?. . ...... . ............................... 1.3:
P..?.?. .. :
. ?..?..9 .. :
.9. 9..9.. ..... ...... !: !..r.:
_Y!..fh?.............. gp; ?.?.:
.9.. .9:
9.9...9............ ................................................ .................................................................................................................................................................................................................. . , 14. 1 .3. 1 8 NUSA TENGGARA BARAT ... 1 ...... 4 ........... 1 ...... · . . 3 ............. 1 .... 9 ................. N ....... u . ...... . . s . .. .. .. A ............ T ....... E ....... N ......... G ....... G ......... A ..... RA ..................... T ....... I ... M .......... u.... ..... R ............ . ... .. .. . ........................ . ...... . ... . .. . ..... . .. . ...... .. . ... . .. . .. ..... . !: !..r.:
_Y!.`i.1.:
:
...... . ......... .......... gP.; ?. .. 7..:
.?.?..9..:
.9..9.. .9.
1 .3.20 KALIMANTAN BARAT Uni!JT13.hun ............................. . 1.3.p38.750.000 ..... 1 ..... 4 ....... · .. ^1 ....... · .. ^3 .. . .. . . · . . 2 ......... 1 ................ KA ............. L ....... 1 .. ^M ......... A ........ N ....... T ...... A ....... N ............... T ...... E ........ N ........ G ....... A ......... H ..... . .......... .. ...... . .... . .......................................... . ..... . .......... . ....... , . ............ L!.?:
i..!/.!M?.: ?.!.1-:
.......... .. .. ......... ............ 1.31?.; ?..?.:
. ?..?..9. .. :
.9. .9.9.. 14. 1 . 3 .2 2 KALIMANT AN SELA TAN ...... "lJ.1?: ර. /.!Ɔh ^u J: ?:
.............. ..................... ... gl?.?.?.:
¦ .. ?..9. .. :
.9..9.9.. .. 1 ̇ .. :
.. ̈ . . . . ̉ .:
:
.... .. . ... .................. ...... . .. . ... . .... J.3.P..?. . . ?..:
. ?. . . f?...9. . :
.9.9..9. .
1 . 3. 24 KALIMANT AN UT ARA.... . ...... . !: !.?._!./.!.`f-.1.:
:
.. .. .... .. .. . gP.?. .. ?.:
.?.?. . .9.:
.9. . .9.Q.... .................. . ............................ . .. . ............... .... .. .. . ............... . ... . ............... . .................. . .... . .. . ...... . .............. . .. . ..... . ....... . .......... . ........ . ............. .. ............. .................. .... .. ........ . . , ..... 1 ..... 4 ..... . · ... ^1 ...... · .. . . 3 ....... · . . 2 ...... . s .... . .. . ........ s . .... u .. . .....^L ....... A ....... w ........ . . E .. . ... s ....... ^I . .. . ...... u ........ T ...... A ........ RA . . .. . .. ... . ... . ............. .............. . ......... ........................... . ...... .............. . .. ............ . .............. .... . ... L?.. i..!./!M1.:
?.!.1-:
................................. !31?.?.?.: '±.? ^. 9.. .:
.9..9..9.. 14. 1 .3.26 GO ^R O ^NTAL O ...... : cJ..!.?:
i.Y. !§ª!.1.:
...... ................................ 1.31?.9.?.:
.. ?..9 .. :
.9..9.Q. 14. 1 .3.27 SULAWESI BARAT ..... "lJ1.:
:
N.O/..!M9.: 1'.1: !.1.:
................ ..... J3: P.?7. .. :
. .?.9. .. :
1 .3.28 SULAWESI SELATAN....... . ...... ... .............. . . !: !..1.?.: _!./.!.`fh.1.:
:
.... ................. ............. J.3P?. .. ?.:
?.. ; ?...9. :
9..9.. .9. 14. 1 .3.29 SULAWESI TENGAH.... . ....... .... ....... . ....... . ... . ....... . ..... . . !: !.!.1.: _.Y.!.`.1.2.1.:
:
......... . .. ... ........... I3: P. .. ?.:
. 9...9. .9.. 14. 1 .3.30 SULAWESI TENGGARA ..... .. . : cJ.!.?:
P!/.!M1.:
?.!.1.:
..... .. . ....................... !31?.?.¨ .. :
. ?. . '± .9. .. :
1 . 3 . 3 1 MALUKU . . Y 1.:
:
i.Y .!M1.:
?.!.?:
©.'±.9. .. :
.9..9.9.. 14. 1 .3.32 MALUKU .UTARA Un . N !J ^T M h ^u J: l . ........... .................. ... . !3:
.?.?.9. . . :
9..9.9.. 14. 1 . 3. 3 3 p A p u A .... . ............ ............. !: !..1.:
: _Y!..ab.1.?.:
.9.9..9. . 14. 1 .3.34 P ^A P ^UA BARAT Unit/Tahun Rp38.840.000 14.2 Kendaraan Dinas Operasional NO. PROVINS I (1) (2) 13. D.K.I. JAKARTA 1 4. JAWA TENGAH 15. D.I. YOGYAKARTA 1 6. JAWA TIMUR 19. NUSA TENGGARA TIMUR 2 1. KALIMANTAN TENGAH 22. KALIMANTAN SELATAN 23. KALIMANTAN TIMUR t ········ ............ .......24. KALIMANTAN UTARA 25. SULAWESI UTARA 26. GORONTALO 27. SULAWESI BARAT [ ... ... .. . ....... .... .. , ... ,.,,,..... ............... . · ···········-····.... . . -...... .. ..... . . ,...,. .. ,, .. ........ .. 28. SULAWESI SELA TAN 29. SULAWESI TENGAH 30. SULAWESI TENGGARA 3 1 . MALUKU 32. MALUKU UTARA 33. P A P U A . .. . ................ . . ,, . . , .......... . 34. PAPUA BARAT - 94 - SATUAN RODA EMPAT (3) (4) DOU BLE GARD AN (5) RODA DUA (6) 1.4.3 Operasional dalam Lingkungan Kantor, Roda 6, Roda 6 Khusus Tahanan Kejaksaan, dan S peed Boat NO. URAIAN SA TUAN BES ARAN (1) (2) (3) (4) , ....... L...... 0r..?. : : .4.0.i.?.: : 1..l: l: 5 .... 6.45-71.? . .. : 8-1.1.: ; 1.1: : : : : : ¥f.c; l: ?....͒.f: l: ?..!?:
... .... . ....... . ............................... ......... Y..%".!f.T#J: : .$.3: ?:
..... . .... ... gP.?. :
.?..§.9.:
9.9.9.. •...... : 2 . .... . · .... . .. 1.R ....... o . ... ct .... . a ... . · .... 6 ............................................................................................................................................................................................................................................................................................... , ....... . Y. ].!YT.<: 1: !1:
a!:
..... ...... _ g p Ô _ T :
. !.፰.9..:
99.9. I .... . .. 3 : : .. : · ...... . i:
1 R ... :
o .Ų .. ct.... :
:
..... 6 ..•..... K:
. :
.. h ..... u...... . s .. . . u . .. .. . . s .. ' .......... = ... . . · .. J. ··· a. ····· u ······ a. · .• · . . u . ·.- ....... v ፯ .. . e . . 1 · 1 __ 1: '.8.=_ : s . . ᒗl-ᒋL . . 1:
..... . .............. ..... . .................... .. ................................. . .. . .... . .... . ............................................. . ... . .... . ........... 1 . .. . Y.].i.^./T._!.1:
9.9.9.. 4. Speed Boat Unit/Tahun Rp20.240.000 NO.
1 4.4 Kendaraan Dinas Operasional Patroli Jalan Raya (PJR) PRO VIN SI SA TUAN (2) (3) PJR RODA EMPAT ^PJR RODA DUA PJR RODA DUA (s 250 CC) (፤ 750 CC) (4) (5) (6) l . I A CEH .......... Y..1:
:
!./.!.u?. 1: : 1. .1:
:
. ......................... 8P.?.?. .. '..?.?.. Q.:
9.. 9.Q .......... :
P..!.9 .. :
?..?..9.: 9-.9..9.. . ......... 8P.: '±.?.:
9.. ?..9. :
.9.9.9. , ....... ፦.:
..... _ ?, UMATERA UTARA ................... . .. . .. . ................. . .. . ........... . ...................... .. . .. : r!.ƛ?.ƖY!.ƜƝ?.: i: 1: !.1. ......... .................... 8P!..? .:
'.?.9.. .'..Q.Q.Q . ......... gP.! .. ?..:
. ፡ . . ?9..:
9.9.9. . ........ !3: 1?..: 't..;
.:
.?..: 't..9..:
9..9.9. , ...... ?.:
.....13. ^I A U ... . ........ . ........ . ... . .............. . ...... . ......... . ... . .. . ........................ . ... : r!.?..i.Y.!i?..1: : 1. q?. ....... .. . ........... . 8P. .?..?..:
9.. 9.9.. .:
9.9..9 . ...... 8P..1. .. ?..:
?.?.9.:
9..9.9. ........ ƨ.P.: 't...:
.: : 5. . . 1...9.:
9.9..9 4. KEPULAUAN RIAU Unit/Tahun .. . ........... ...... .. .. J3P.!..?.:
?. ?..9. .'..Q.Q.Q . .......... 8P.! .. ?..:
. ?..?..9..:
9.9.9. . ...... .. . . 8.P.L.9.:
.?.. ?..9.:
9..9. .Q , ....... ?.:
. .. .. : ! .. ^A M B ^I .. . ....... . .. .. . ...... . ... .. ... ....... . .......... . ............ . .. . ............... ................. . .............. . .. . : r!.1:
: !%/.T&: i: : t .1:
:
.... ................... 8: P. ?. 7.:
' . .9 . :
999 R 19.3 10.000.... ^gP: '± . ^'±:
^¬} .9 ^..:
9..9.9 6. SUMATERA BARAT ........ . : r!..1:
:
w./.!.u-1: : 1. ... .. .......... ........ x.P'.!.7.:
.'.?.?.9.:
999.. 0.000.... . ... . . J3: P.'±.f?..:
?.?..9..:
9.9.Q 7. SUMATERA SELATAN .....Y..?.i..Y!.x1: : 1. ?. ..... ... ... . . !3: P ?. ? . :
! . r .9 . :
9.. 9 Q 80.000.... . ... :
P..©.ª:
±?.9.. .:
9.9.Q 8. LAMPUN G .... ....... ......... ................ ........... ............. .... ...... ......... : r!.!.1.jn/.!.?..1: : 1. !.1............... ........... . .. J3P !.. '?. .:
;
.: 't..9. .. :
9.9.Q . ...... . ... 8.P..J.. .. ?. :
? ?9 . :
9 .9.9...... . ..... 8P. : '! . . :
. .9 .9 . :
9..9. 9 9. BEN G KULU..... .. .. : r!.!.1.j!f.!.: i: 1:
?:
..... ........... . ... . ...... 8P?..?..J.?.9.:
.9.9.9..... ...... 8P..1. .. ?. . :
?..9. 9.. :
9 . 9 .9. . .. . ......1.3 P.± . ᑻ. :
. ? .?..Q . :
9..9. 9. 1.0. BANG KA BELITUNG.... ............ ... . ......... . .. ........................ .. . .......... . .. . .. ...... . : Y..1: 1v-wl.!.u:
: '..1.: 1:
..... ... ... _!3: P.7.?..:
?..v.9.:
9..9. .Q .........}P..!.?. .. :
7..9.9.:
.9.9.Q. -···-····8P.: '±.! .. :
'.±.'.?.9..:
9.9.9. 1 1 . B A N T E N........ . . Y..1: : 1 .i..Y!.u 1: : 1. .1: : 1. ..... ................... . 8.P'.!.?..:
.?.. a.9.:
9..9. 9. . .......... :
P..! .. ?.:
?..?..9.:
.9 .9..9. . ... ..... 8P.: '±.9..:
?...9..:
9.9.9 .
^. . }.፨.:
.. ! AW A BARA T................... . ...... . ......... . .. . .. .................... . ..... .. ...... . ... . .... ... . .. : r!.k?.j!f.!.ir?.1: : 1. k?. ..... ............ .... 8P!..?.:
?..?..9.:
9.9.9. . .......... 8P..1..?.:
??..9.:
9..9..9. ......... !3: P.L.9...:
?.'±.9..:
9..9.Q 13. D. K.I. JAKARTA .... . .. . : r!.!.1.j!/!.i?..1:
!.1. ...... . ... . ..... . .... . .. . . 8P!..'?..:
?9.. 9.:
9.9..9....... 8P..1. .. ?..:
?..9.9.:
9..9..9. . ..... ¯.P. : '! . . :
.9. . ?. . 9 :
9..9. .Q . 14. JAWA TENGAH ........ l.: t?.i.!nom?1.?:
..... .............. .8P.!..?. : =}. 9. .'..Q.Q.Q ...... J.3P.1..=.: !.?.9..:
9..9..9. .... .. 13P. '.± ?.. :
?!°5. .9 :
99 .Q 15. D .I. ^YOGYAKART A .. . .. ....... . ..... . ......... .. .... . .. . ..... . .............. . ... . .. ........ : r!..1.:
v..f.!: : 3.: x-1:
:
....... ............... . .. . . ƤP.?..?..:
: '±a.9..:
9.9..9. .. . ....... 13.PJ.?. .. :
?..1 ^. . .9..:
.9 .9..Q .......... J3: P: '±.?..:
?..9.. 9.:
9.9..9. 1 6. JAW A TIM UR .........Y..1:
:
i..Y!.u.1: : 1. ..... .................... !3: P.7..?..:
. ! .. .9.:
9..9. Q ....... . . !3: P..!.?..:
?..9..9..:
.9 .9..Q . .........8P.: '±.ƞ.:
9.?..9. .:
9.9.9. 1 ^7. B A L I . ....... . . : r!.!.1.ය: !: !..! 13.:
1?..1: : 1. !.1. .................... . .. . .. 8P.?..:
?..9..9. .:
9.9.9. . .......... 8.P.ơ.9.:
.. ? .9. . :
9..9. .9. . 18. NU SA TEN GGARA BARA T........ .. .. ...... .......... : r!.?.j!/!.i?.?1.?:
....... . .................... .J3P7..'.!.. :
. !.?. .9. .. :
9.9.9 . .......... 8P..1....:
.9.9..9. .......... : f3: P.L.?..:
...9.:
9..9. Q. 1 9. NUSA TENGGARA TIMUR . .... .. : Y.1: : 1.!(.f.!&)-1:
:
.... . ..... . .. . .. . .. . .. J.3: P.7.?.:
.'.?..J.. .Q.:
9.. 9Q ......... 8P..!? . . :
?. . . !.9.. :
.9.99........... gP.'±..J...: ?.'...f?. Q.:
9.9.9. 20. KALIMANTAN BARAT . ....... . : Y..1:
vY.!ux~-1: : 1 . ........ ..................... ᒄ.P?..?...'..፴.፳.9.:
9.. 9.9 ......... ᒌP.}?.l . . :
. 1 ^. .. ±.9.:
.9 .9.9. . .. ...... 8.P: '±: '±.:
?.?..9. .:
9.9.9.. 2 1 . KALIMANTAN TENG AH ..... . Y..y: 1-Y.Tux: i: : t z{---··· .. ......I3: P.s.9.:
?..t.9.:
9.. 9.9. ...... !3: P.w.9.. :
r.7..9.:
9.. .9.9 ...... l3: P.፭.፮.:
9.?..9.. :
9.9.Q 22. KALIMANTAN SELA TAN . . .. .. . .. . : r!.!.1.jn/.!.i1.:
.1: : 1. !.1. .. ...... . ... . .. . ..... . ...... J3P.?!..:
?.. : 't..9. .:
9..9.9 . .......... !3.P..1:
. ?..:
« .. ?9..:
9..9..9 . .. . .. . .. . . !3.P..: '!.?..:
.?..?..9..:
9..9.9. . 23. KALIMANT AN TIMUR .. . ...... : c: !.?.jY!.?.?1.?:
..... .. . ... . ........ . ..... 8P7.7..:
9.?..9.:
.9.9.9 . ......... 8P.! . . ?..:
?..?.Q:
.9.9.9. ........ I3: P.'.±.፧.:
. ?...9.:
9..9.Q. ···-Ɵ-Ɨ.:
... ƥƦ1\Ƙ.IƧ-ƣ!.'1.T.Ƣ---···Ʃ: LT.ƙ RA.... .. .. ·······················-·······- .: Y..|i..tf..T.u1.: 1~?....... ···················-·13: P.. 7.?..:
. ። . .!.. 9.:
9..9. .9......... _.8P..!.?. .. :
7...9.:
.9 .9..9. . ........ .8P.±.'.?.: ƚ?.. 9. .. :
9.9..9. 25. SULAWESI UTARA....... ..: r!.1: : 1.i. .Y.!.ux~-1:
:
..... ..................... 8.P.7.. ?..:
.?...9..:
9..9. 9......... !3: P..!.?..:
?..?..9.:
.9..9.Q . ....... . .J3P: '±.Ơ .. :
9 .. l?.9. .. :
9..9..9.. 2 6. GO RO NT ALO.......: r!.k?.j!./.!.is: 1: : 1 .t?................ . ...... .8.P!..? :
?.?.9.. .:
9..9.Q . ....... .8.P.! .. ?..:
?.?...9 :
9..9.9.. . ..... . . !3: P.L.;
.. :
'.??..9..:
9.. 9.Q. 2 7. SULAWESI BARA T .. . ..... : r!.!.1.j!/!.i?..1: : 1. ?........ . .................. 8P .'.!.. :
?.. ?..9..:
9..9..9. . ....... 8P..1. . .7..:
?!..9.:
9.9.9. ......... 13: P.?. ?. . '. . ?.?. .9 :
9..Q.Q ... . .8p}?..:
.7..7..9.:
9...9 .Q. 13:
P.: 1}.:
?.?..Q .:
9..9.9. , .... ፦.?..:
... - ᐾ ULA WESI TEN GAH.... ..... .. . : Y..1:
v.w./.!ux-1:
:
....... ...................... ®.P.7..?..:
.9.9.9.:
9.. 99. ........... 13.P.} . . ?.l .. :
'.± .. ፣ . .9..:
9..9..9. . ........ J3: P: '±.?..:
: 't ^. .'.?.9.. .:
9..9..9.. ፥.9:
? . 1J LA WESI TENGGARA........... . ......... . .. . Y . .1: : 1 .i..Y!.ux1: : 1. .y} ..... ..................... 8P.?.. ?.:
a; ?..Q.:
9..9. .Q ......... .8P.!.?. .. :
?..1..9.:
9..9..9. ......... 8P.: J:
?..:
'.?..9. .9. .. '..9..9..9. 3 1 . MALUKU....... .......... : r!.!.1.pYT.13.: h?..1: : 1. !.1.. .. . .. . .................... l3: P .?.?. .:
.9..9..:
9.9.9. . ......... : 1:
P . . 1. . . ?..:
?.. .!.9..:
9.9.9. . ......... 13: P.. '.±.?...'. .9..?..9..:
9.9..9. 32. MALUKU UT ARA ...... . .. . .. .......... : r!.?.j!f.!.l3.: J.:
: i: 1: !.1.......... . ........ . ...... . 8P.7..?..:
?. .. 1..9.:
.9.9.9. . ........ 8.P.! . . ?..:
. ! .. ?.9..:
9..9..9. ......... .8P.±.?..:
..±.9.:
9.. .9.Q 33. p A p u A ...... .. . : r!..J?: vYT.ux1: : 1. .1.?..... . .... . ............ . B1J..?..?. .:
. ?.2.9.:
9..9.9. ......... 8P..1..?. .. :
2.9.9.:
.9..9..9...... .....8.P: '±.?.:
9.. 9.9.. .:
9..9..9. 34. PAPUA BARAT Unit/Tahun Rp77.690.000 Rp l 9.640.000 Rp46.680.000 14.5 Operasional Kendaraan Dinas Untuk Pengadaan Dari Sewa NO. URAIAN SATUAN BES ARAN (1) (2) (3) (4) i.... . .. . 1 : : .: · ...... . , I P ...... e .. j: : '.. a ...... b .... . a ..... t ..... E ...... s . .. .. e ... . 1...0 . ... n ........ r .......................................................................................................................................................................................................................................................... 1 . ........ Y..!.1..፩!/T፫፪!.1.............. . ... gP.?.9.. :
9.. .9..9. 2. ^_ _ I Pejabat Eselon II ....... . .. Y!.1.i!IT1'1: !?: ፬1.!.1......... .. . ... I3: P..?.:
.9.9.9.:
9.. .99. 3. Operasional Kantor dan/atau Lapangan Unit/Tahun Rp25.000.000 15. SATUAN BIAYA PEMELIHARAAN GEDUNG / BANGUNAN DALAM NEGERI HALAMAN NO. PROV.INS.I SA TUAN GED UNG GEDUNG TIDAK GEDUNG / BERTINGKAT BERTINGKAT BANGUNAN KANTO.R (1) (2) (3) (4) ( ^5 ) (6) .......... 1 ... . . · .......•. A ........ c ...... ^E .. . ^.... H .............................. ^. .................................................... ^......................................................................... • ^m 2 /tah ^un ................... 8P .. 1. . .7.9..:
9..9..9............. .......... ~P. .. 1. . . ! . .. 1..:
.9 .?.9. . .... .. ......... ..... i.:
P.. . . 1...9...:
9..9. .?.. . .. ······· ······ . ················ ·---"/.! ¸-¹ -:
..................... +P..,.7..? .. :
9..9.9.. ........ ...... . .. . 1.3.P|.}?. .. :
9..9..9. .. .... . ' .. ....... 1.3P.. |.9..:
9.9..9. . 2. SUMATERA UTARA 3. R I A U ·· ^·· ·· ^·· · ^· ·······-·--······ ^· ·· m2 ^/tahun .. . ........... .... . .. . . !3: 1?.. .፟.፠.?..:
9.9.9.....1.31.2..|.=1:
9.. .:
9..9.?. ' ^.p 1 .000 •........ 4.... . . · ........•. K ....... E . ^..... P ... . . u.......^L ...... A..... . . u.... .... A ....... N . . .......... . ^R . ...... 1 ... . ^A . ... .. . u .......... . ...... .............. ......... .. .. .. . ....... . .. .......... . .. .... .. .... . .. . ...... ^· . ^· . ^· . ^· .·.- ... · .• ··; ?/"t̪--.... ....... .. ...... 8P.~.9.. .:
. 9.99. . .......................... P..1 ^. . . ?.?..:
9.9..?.. ........... ~P. . .. | .. :
.9.9. .Q . ........................ +.P.}_Q . . :
9..Q .. C2 : p 1 .000 ................... 1.3P..ෘJ.͎ .. :
.9.9................. 1.3P...|.9.:
9.9..2 . .. ........................ 13.P..ම?..:
.9..9..?.. . ......... E. . .9..:
9..?..9.. . Àp 1 5.000 Rp 1 .000 ........ ...... ..................................... 1-3.E_l:
๓.?.:
2.9..9.. Rp 0. 000 JAWA BARAT . ....... ...... ...... . ...... 1.3Pඹ.?..:
.9..9.Q . ............................ ~P.. ...9. .:
9.. .9..9_ 13. D.K.I. JAKARTA ... .. .......................................... ..13.P..|-.?. .. :
9..9..9._ . ....... 13P. . . |J.:
.9..9..Q. 14. JAWA TENGAH . ....... ··; ̄27t: ; h̰........ Rp 15-s.6"6o Rp87.000 Rp l0.000 -: - Q · · _`: o a: RTA -· : : ===-=-=: == · - = m D 1 ; 1t t ¤ : a = J h = u & : 1 : 1 · : = · =: = K - Ɨ R = P P L i 1 . . M 7 7 N = 3 7 = - . - - 6 0 = 0 o O 0 o °: : =: : I : ----]^- l= > 1 7. B A L I............ . ... .... 1.3P . . 1.. .. | . . :
.9. 2..?...... ........... ~P.. ...9. .:
9..9..9..
iE: bc: N FX: Y Z · : : : : : : : m C I B / ^: t ^A ru a ^@ h ? ^P u >: n ^= < . : : = ; = R ^: ; P · 9 2 f Ɩ 0 ^8 4 ^7 : : .0 ° i 0 ° i6 o · •: • · ; : : J: GHI .••.
: : `^la 2 1. KALIMANTAN TENGAH Rp134.0.9.0 . .......... .... . J.3P.. .|.L.9..Q_?._ 22. KALIMANTAN SELA TAN . . ^. ^.. . ^. ^. ^. ^. ^.. . ^. 1 m · ^: ¥¦ -/ /t t · ^: : a §h h ·: ·_: ·u u : : : : ··n· ¨-- ··: ·····: ·: ·: ···: -.-.··8P.i"7: ©-.·Q·Q: Q . ....... . ......:
. 1.3.P. ..9..: _9._9.Q : : J ^. 0 1 . . 0 0 0 0 0 0 23. KALIMANTAN TIMUR.......... .............8P..1..?.:
.Q.Q.Q .............. ....... P.. ..!..7. :
9.. 9. ^. 9. .•.............................. ' .... .. ' .. P ..................................... • 24. KALIMANTAN UTARA ·························· ··; 2/t=lf; ·.......... . ...... . .. . .. :
3: 1?...,.§.?. .. :
99.9. . ................ . ....... 1.3.P.. .| . .!..!..:
.9._?..... . ..... ..... . ........ . . J.3P... 1...Q.:
9..9.9.. · ^···2 · ^5 ·· ^: · ^· · ^· ^.S U LAWESI UT ARA ... ^. ... ^. .. · · ຢ; ; · 2/t ඳh : ; ; . ............. : .P .. ፝ . . '.!7.:
.9..99. . ...... . ...... ... . .. . ...... J.3P...1. .. | . . ?..:
.9.. 9..?. . ............................. P....9. .:
9..9..9..
GORONTALO ....... . ··; 2/t¶ª; ·· . .
........... . 8P..ᏸ.?.ᏹ.:
.9.9..Q. Rp 1 1.000 ........ ...... පP.ඵ.බ.:
9.. .9._9. 27 ^. SULAWESI BA R AT ·; ; ; 2/t=h̃¹ . .
.... ........... :
3: P./.. 9.?..:
.9..9.9.. ........ . .. . ......... . .. : J3P..?..?..:
9..9.Q Rp1 1..000 28. SULAWESI SELA TAN ··; ·2"/t; h®« ^- ........... .. . ... . .. . .8P..1..?.፞.:
.9.9 .Q . .. ........... .. . .......... J.3P..1. .. | .. ?..:
.9. 9..Q..... ......... ອP. . . .9.. .:
9.. .9..9._ , .... 2 ^. s»: ^· ·· ^· ·suiA WESI TENG AH . . .... ··; 2; -t: ·¬hª; · ..... . ... .. . ...... . : 8: P..1..... --. - -:
9..9.9. . ...... . ........... PJ.ූ.?.:
9.. .9..9.. ...... .......... 1.3P.. L| .. :
.9 .9..Q. ·· ^···fr)·: ··· ^. ^S ^ULAWESI TEN GGARA . ^. ..... ···· ^· ···· ^· · ^··· ·· ^· · ·-̆2/t; h-̅-............. ....... . :
3: P..භ.?J:
9.9..9. . .. .. .. ........... . .....1.3.P.J..?:
9.9._?........... . J.3PJ..Q.:
. 9.?.9. 3 1. • MAL U KU ·; ; ; 2"/t iµ®; ; ^..................... 8P..9.. . :
.9 .9 9 ... ................ P...1....1.-.. :
.9. 2..9................... i.:
P..1.:
͐ . . :
?.9..9_ , . ^.. . ^. 3 .2°:
... . MA LUKU UTARA ···························· ··; 2/t=hf¹ ....... .... . .....: I.3: P.1.. 9.. .. :
9.9.9. . .. . ................ . 1.3.P. .. | .. }.7..:
9..9..9.. ......... J.3P... |..:
9..9..9. . l····3·i A ^p u A . . ii?-¯/i.°±²-i³. ^· :
............. J3.P.!.".2.:
.9.9 .9..... .. . ....... . ...... . . 1.3P....?.:
.9.9. 9. .............. ~E.1. . .7... :
9..9.9.. 34. PAPUA BARAT m ´ /tahun Rp514.000 Rp38 l.OOO Rp23.000 1 6. SATUAN BIAYA SEWA GEDUNG PERTEMUAN NO. PROVINS! (1) (2) SATUAN BESARAN (3) (4) ............ 1 ..... · .. . .....^. . . A .. . ... c ....... ^E ........ H ................................................................................... ^. ..................................................................................................................................................... P ..... e ..... r ....... h ........ a .... r ..... i ................ ....... . .. . ^. .......... . ................ . ... . ...... . . MP..N .. ?.: ?.ඪ?'.9..99.. 2. SUMA TERA UT ARA Per hari ... . ........................... . ..... . ........... .. . ....... . ... .. . .. .. ]P.e.f .. :
7..?.9.:
999 3. R I A U Per hari Rp9 . 1 18.000 .......... 4 ......· ..... . ... ^. ^ . . K.... .. . E..... . ... P . .... u........ . L ..... A ...... . u..... . . ^A ...... N ................ R ....... I ... A ..... . . u.... . ...... . ...... . .. . ... . ..... . ... . ..................... ...... .. .. . ...... ...... .. ...... . ........ . .. . ...... . ........................... . .. ^. f . ^....... . ^. . ^. . ^..... . . ^. . ^. ^. ^.. ^P ...... e ..... r ......... h ..... a ...... r ..... i ....... . ...... ...... . ..... ^. . ...... ... . ... . .. ........... .. ......... .. .. . ....... . ... . . ]P ?. .:
. ?=1:
g. :
9.9..9.. 5 . J A M B I Per hari Rp 1 .250.000 6. ථ.Y.ද.ງ!.ධ.න .. 13.!.\ຈ!................................................................................... ............................ .. .. ?.˿̀·-·́̂ .. .. .. .... ....... . ............... ...... . .. . ..... . ............... ... . .. .. . E.!. .. 7.. :
. ?..?.9. .. :
9..9. .. 9. .
......... 1 . ....... · ....... . .. s ....... u.... ... ^M ........ A ....... T ....... E ...... RA . ...... . ... . ..... . ... s .... . .. E ....... L ...... A ..... T ....... A ....... N .......................................................................................................................... ll""""""'""""""'' ^p "'"' ^e """ r .. . ... . . h ...... ar ......... i ................ ........... . .......... . ................... . .......... . .......... . ຬP.J .. O:
?..O.?.:
9..99.. , ... _ .. s _ . _ 9 . .. L _ A _ M P _ U __ N G ______ ... ___________________ ... ______ ώ _____ P __ er __ h _ a _ r _ i __ ...... _ : ----- .. . ----.. ɺɻo.þ9þ.000 9. BENGKULU Per hari.... ....... ............ . .. . .. . .. . .. . ......... . .. . .... . ͊P.?. .. :
Ɠ . . ?.9.:
9.9..Q. . ... ... ඩ.9. .. :
.... . 1.:
3..ඬ!.'!.0..ත .....1-?...!.: ජ.!.Y.ඣ.0.......................... ................. .. ...................... ........................ ^Per hari.... . ........... .......... .... ]P.?. .. : } .. ඨ .. ?..:
.?..9..^ 1 1 . B A N T E N 1 2. JAWA BARAT 13. D.K.I. JAKARTA 14. JAWA TENGAH Per hari : p l 0.450.000 Per hari . ....... .. . ...... ........... ...... . ............... . ... . ........... . .. . .... . !3.P.. O.?..:
P.?..L.:
9..9.9. Per hari . .. . .. ......................... . .. . ..... . ............... . MP..Q.?..:
?..P.S.:
9..9..9. Per hari . . ...... . ........ ........ .... . .................. ..................... .. ]P . . Ɣ.ට .. :
.. Ɣ . Ɠ . ?. . :
9 .9.? . 1 5 . D J . YOGYAKARTA , ............................................................................................................................................................................................................................................................ , ........................... P ....... e .... r ......... h ...... a ...... r .... i . ................ . .. . ...... , .................................................... ]P. .. ඥ.?.. :
. ?.=1:
?.. :
9.9..?.. 1 6. JAWA TIMUR Per hari Rp l2.625.000 ......................... ............................................................................................................................................................................................................................................................................................................................. . ............................................ " ' ' ' . .... . ... . ............ .. ................ . 17. B A L I 1 8 . NUSA TENGGARA BARAT 19. NUSA TENGGARA TIMUR 20 . KALIMANTAN BARAT . ... . .. . ... . ....... . ..... ..... 2 1 . KALIMANTAN TENGAH 22. KALIMANTAN SELATAN 23. KALIMANTAN TIMUR 24 . KALIMANTAN UTARA Per hari ɼp 5.000.000 Per hari ...... .. . .... . ............... . ..... ...... .. .................. ........ . ...... ... I.3.P?..:
O.?.9. . . :
9.9.. 9.. Per hari . .. ... . .................. . ................... . ..........]P.?..:
. ?..9.?..:
9.9..9.. Per hari .. . ............... ...... ........... . ... . ........................ . ... ͊P.ඦ.9.. .:
. ?..?. . . ?..:
.?. ?..9.. Per hari . ........ . ........... . .. . ........... . ......... .. . ...... ... . ..... . ]P?..: ?. . .?.. ?.. :
99.9.. Per hari ...... .... ...... . .. .. ................................................. I.3.P..!...9.:
?. . . !. .. 9..:
9..9 9.. Per hari........ . ................ . .......................... . . ວE.!. . .9..:
?..?..R .. '.ggg Per hari Rp9.625.000 . ...... .. ...... . ......... . .. . ......... . ......... . .......... . .. .. ........... . ........ . .......... . ................. . ..... .. ....... . .. . .............. . .................................. . .. . ........... . ......... . .... . .. . ... . ....... . .............................. . ............ . ....... . .... . .............. . ....... . ........... . ... . ........... . .. . .. . , . ....... . ................... .... . .. . ..... .. ... .. . .... . .. ........ . .. . ... . ... . ....... . ............ . ........... . .. . . 25. SULAWESI UTARA Per hari . .... ............ . ........... . ......... ............ . .... . ........ ]P .. Ɣ . . ?. .. :
. _.9.?..:
.?..9..9.. 26. GORONTALO , ........................ , ......................................................................................................................................................... ^. ............................................................................ , ........................... P ....... e.... ^r .. . ... . .. . h ..... a ...... r ..... i .. .. .... ... . ...... . .. . .... , .......................................................... `P.?. .. :
. Ɠ.?. .. ?. :
.9 .9..9..
SULAWESI BARAT 28. SULAWESI SELATAN .. ,,......... . ............... . 29. SULAWESI TENGAH • .... . ...... .. ............ .. P ... ^. .... e ... r . ........ h ..... ar .......... i ... .. .. . ....... . ............... ......... .. .. .. ... . ............... . ................. . .. . TET:
. ?.9.. 9. .. :
.9..9.. Per hari .. . ...... .. .... . ........ . .. . ... . .................. . UP.!...9.:
L9. .. ඤ . . :
.9.9.. Per hari .. .. . .. . .. . .. . .. . .. ....... .... ........ aP.bc-.. c=1: =1:
:
9.9.?.
SULAWESI TENGGARA Per hari ɽp 1 .2 50.000 3 1 . MA ඡ: L.1. . චY. ............ .. .. .. ........................... ................................... .. .. ...................... }Cණ!. .. . ຝ._ ^ri ....... . ...... . .. .. . .. . ....... . ... . .. . ........ ...... .. .. .. . .... . .................. ]P.d_:
99.9 .. :
. 9..9..9. .
...... 3 ....... 2 ... . ... · .... . ^ ... M ....... A ........ L ..... u ..... . .. . K.... . . u .............. u.......^T ...... A ........ RA ........................... ^. ............................................................................................................................... , ............................. P ....... e .... ^r ....... h ...... ar .......... i .. .. .... . ... . ............... , ........................................................ TEL.:
9..9..9. .. :
9.. 9..9.. 33. P A P U A 34. PAPUA BARAT .9..9..9. .. :
9.9..?. Per hari Rp 18.350.000 1 7 . SATUAN BIAYA TAKSI PERJALANAN DINAS DALAM NEGERI NO. PROVINSI SATUAN BE SARAN (1) (2) 1 . ACEH 2 . SUMATERA UTARA (3) (4) .......... .2.; <!1.. g./..=.!.> ....... .. ........................................................ '.; ; ; P..... . ^1 ... ^. .. 2..... . .. 3.... . . · .. .. .. ^0 ...... 0 ........ 0 ...... .
................... ....... 01.: ?.:
$. ^/ Kali Rp232 . 000 1.......... .. 3 .. .
.... · . ........ . ^. . . R . ^......
.... r . ... . .. . A...... ...... u . ^.... ................ ^. ....... ^. ... ^.. ............ ^. .. ^... .... ^. ........... ^. . ^. ....... ^. ... ^. ....... ^....... ... ^......... .... ^.. .................... ^.................... ........ ^. .. ^. ........ ^.. .. ^. ... ^.................. .... 1 .... .. .... ^.Q E ^§l: <g/..F.?:
. . .... . ^. . .....
..
. . .. ^.
....... .. .. ... .
. ...... .......... ^81?. . ^? .=. ^'. ..9..Q.Q 4 . KEPULAUAN RIAU 5 . J A M B I 6. SUMATERA BARAT ................................................ ............................................. .. ..... 9.E?: Rg./...P[-!Q ... . .. ................ ....... . : gP...!}.!..:
9.9..9.
................... ^. .. ......... .«2. ^= E-<g/..?.?:
.> ^..... .. .. ...... . .. .......... .. . .. . ........ . .. 8 1?.
. 2 .. =.?... :
.9.9.Q ..................... ............ .2E><g./... =!.?.... . .. .................. . .. . ................. .. . . 3.P. .. 2 . . ?. . 9. .. '.. . 9. . 9..9.. 7. SUMATERA SELATAN ...................... ............. 9.. A-><.€.l.B.?: !L.... .. . .............................................. . 3E.2 .. ?. . ?. . '. ..9. 9 .9. . 8 . LAMPUNG 9 . BENGKULU 1 0 . BANGKA BELITUNG ···············-·············· · ..................... .............. «2E9: Rg[P?.: !Q ..... . .. . ...... . ......... . ...... . .. . ............. . .. . . 8P . . ! . . ?..!.:
9.9..9. .
............. 9.E><-g/..B.=!.?........ . ................ 3E.4..9.?. . . :
.9.9..Q. .......................................................................................... ... ...... 2E§: Rg.!._S_TJ .. i...... -.. ... .. .............................. 8P..1 .9 . . :
Q . Q.Q .. · ... ^.. .. ^. . 1 ........ 1 ...... • ...... 1 ^_ _ ^B .... ^. .. ^. ... A .. ^. .. ^. .. ^.. ... N .. ^. ... ^. ..... T .... ^.. ..... E ... .. ... . .. . N .. ^.
.
. ....
. . .
.
. . . . . ..
..
...
. . ..
.....
.. . .
. ..
..
..
. . . .
.....
.
..
. ......
.
..
. ^. ..
. . . . .... . .
.
..
. . ...
. . ...
.
.....
..
. . . ..
. . .......
....
.. . .
. . . .. ..
...
...
....
.. ...Q=9: <g/..?9:
. ... . ........... ˾E?.?.?.'.Q9Q.
........ 1 ....... 2 ..... . · ...... . 1 .. J..... . A.... ... w .. . .. . .. . .. ^A ................. B ......... A ........ RA .............. T.................. . .............. .. ........... . .. . ........ . .............. . ..... . .... . ... . ... .. ........ . .. . .. . ............. . .. . ... . ...... . ............ . .. ...... . ........ .. .. .....QE.9: Rg/K?.: !U ..... . ..................... .. .. ...... .... 8P...! .. 4: Q.:
9.Q.Q. 1 ......... . 1.... . 3......... · .. . ... ^1...D.... ...... · . . K.... . ... .r.... . .. . . ·........ . . J.... . A ......... KA ................. R ....... T ...... A............. . ... . ..... ................ . ..... . ......... . ... . ......... . .......... . ...... . .............. ......... ....................... . ....... .. ..... . . 1 ...... . ..... QE.9: <g/..??:
1..>.....
.............. +E?.}.?.:
. 9.9..9. 1 4 . JAWA TENGAH . ....... . .. QE.9: <g/..?:
. ^. . ... . .......... .. . ............ ...... . .... ...... . 8P..7.?..:
.9..Q.Q_ 1 5 . D . I . YOG YAKART A . ... . ......... ... . ...... ......... Qt.?.: P.: g/.K.?.JL..... . .. ............ 8..P.JJ.? . . :
. 9.9.9. 1 6. JAW A TIMUR..... . ........ . ............... . 2T>!.:
.8../.. =! L ,.... . ........ .... 1-3:
P...2 . . ?..?. . . '...Q.Q.Q. 1 7 . 1 . . B ............ A ............. L........ . . r ................ . ................ ........................... . ...... . .. . .. . ................................ . ....... . ............ ^. .......................... ............ . .......... . .. .. ..... . ..... . ^...... . 1 ...... . ... . .. 9.E<.1.?:
8../..?E!.@ ...... ......... . ........... ............. . ...... . . 'P....˺ . .. !? . . ˹ . . ˻.9..9..9. .. 1 8 . NUSA TENGGARA BARAT....... . .... QE<: r?:
g./..=_lG......... .. .............. (P..) .. *+ . . '.. _9._9 ^0 ......... 1.......9.... . .. . . ·.......
. ^N .......... u ......... s.... . . A ................ T ....... E ......... N .. . ..... a .......... a........ ^A ......... RA ........................ T........ r . .. . M .... . .....u ....... . . ^R............ . ... . .......... .. . ... . ..... . ............. . ............... . .. . ..................... . ...... ..2E9: Ag./..?EBC ...... .......................... . .............. 3P....5 9. .. 9 . :
. !}}...:
9.9.Q.
..... ^. .. 2 ....... 1.... .. . · ..........KA ................ L ...... . r .. . M ............ A ........ N . .. . .. . r . ......^A ........ N ................. T ...... E ........ N .......... a.... . .. . A ........ H.... ............... . .............................. ..................... ......... ......... ...... . ^.............. ^..... . . QE<: r?:
g[=_ID...... .......................... . .......... 'P...*.9,.'.. ggg 2 2 . KALIMANTAN SELA TAN............... . .............. . ...9TVRg./..K?:
1.L.... .. ............... 8. P... ! .. ?. . . ˸ . . :
9.9..9. l ........ 2 .... ^. .. 3..... . ·..........^KA ................. L . .... . 1.... M......... . . A........N .. ...... T ...... A . ....... . . N ..... . .. . .. .. . T.... . .. . . 1 .. . . M ........... u .. ... . .. .. . R.... . . ^......... . ....... .................. . ....... . ....... . .. .................. .. . ........ .. . .... . ...... .. . .. . .. . .. .. .. . . 1 . .. .. . ... . Q!.: §: !.?: g/W§:
!X ................................... ....... - P!.34. 000 24 . KALIMANTAN UTARA .2.!:
F!l.: _g./..??:
!@......... . ^...... . .... . .................... ^.
. . J3J?.?.˼.:
Q.Q.Q 2 5 . SULAWESI UT ARA ...... . .... QE.§: Rg./.. .PT1.Y........ . ... ..... : gP. __ !} . . ?. .. :
9.Q..9.
........ 2 ....... 6 .. . ... ·........ .. a ......... o ...... . .. R........ o ...... ... N ......... T ...... A . ........ L .. . .. . . o.... . ^. .. .. .. . ...... ....... ..... .. .. ....... . .................. . ............ ... . ..... . ...... .............. .. . ... ..................... . .. . ... . .. . ...... ................ ....... 1......... 2E<: r?:
g.!..=.!.D............ . .. ...... . .................... . (P..).og'.. gqo 1 ...... ^2........ 1 . ...... · .. . .... ^1 . . . s . .... . u......... . L ...... A .. .. .. . ... w .. .. ...... . E . .... . .. s........ 1.... . .. . .. . B ......... A ......... RA ................. T . .... . ........... .. .. . .. . .......... . ..... . ...... . .... ... . .. . ....... ........... .. . ... .. ... . ...... . ... . ................. . ....... . .. . ................ ...9t.§: Rg.l.PZ!Y .......... . ............ . .. . ...... . ....... . ... 8P?.?..?..:
9.9.Q. 1 . ....... 2...... . s.......· ......... . s.... ... u....... . . L ...... A ... . ......w.... . .....^E . .. . ...... s.... . . r . ... . ...... . s......... E ......... L ....... A ...... . . r..... . ^A ......... N............................................ . ............ . .. . ... . ............. . .. ....... . .. . ..... . ...... . ................. . ... ..9.E.<g/..F.@1..>......... . .............. >E.?.=.?. .. :
.9..9.Q. 1 ..... . . ^2 .. . .. . .. 9.... .....·........ . s........ u ........ 1 .... . . ^A........ . . w . .... . ... . E .... . .. . .. s.... . . 1 . ........... T ........ E ........ N . .... .. .. . o.... . . ^. .. A ........ H ... . .. . ..... . .. . .. . .. . ... . ................. .. . .............. . .. . ....... ..... . ................... .......... . ................. . ^........... . . 2E>!.:
.8.l.=!.?........ . ..................... 1-3:
P.?..˽.:
9.9..9.
....... 3 ....... . o .. . .....· .........s . ...... . u.......... 1.... . . A........ w............ ^E........ s.... . .. . 1 . ...... .. . .. . T ........ E ....... N.... .. . .. o .......... o........A ........ RA .......... ...... . .. ................ ... . .......... . ...................... ..... . .. . ............................... . ...... .. .......9E?:
<gl.?:
.A....... . ............ . 8.P. . . ! . . ?.? . . :
9.9.9. 3 1 . MAL UKU......... . . 9.E.>!.:
g/.@?:
.? ..... ...................... ....... @.1.?.?..=.9 . . :
.9. . 9..Q 3 2 . MALUKU UTARA ... . ...... . ......... .............9.E.V.: t?:
/..KTg........ .. .............. 8P ... ! .. . ?. .. ?. . . :
^...... 3 ......... 3 .. . .. .. ·.... ...... P .......... A ........... P . .. . ....... . u......... ... A........ ............. . .. . ........... . ....................... ^.
... . ........ . ..... . . ^........... .. .. ....... . ... .. .......... .. .. . .. .. .. . .... . ..... ..Q.BC<g/.D?:
.A ..... .............................. ... . .. 8.P..'.± }}:
PAPUA BARAT Orang/Kali Rp 1 82 . 000 18. SATUAN BIAYA TIKET PESAWAT PERJALANAN DINAS DALAM NEGERI PERGI PULANG (PP) KOTA SATUAN BIAYA TIKET N0. 1-- ASAL TU JUAN BISNIS EKONOMI (1) (2) (3) (4) (5) 1 . JAKARTA AMBON........ ...... ...... . .......... .. . .RPI.; ?. .. '..; ?.?.?.:
.9.Q...... . ........................ . RP7..:
9?.L.QQQ 2 . JAKARTA BALIKPAPAN . .......... BP.7:
ඟJ..:
99.Q........................8.PÕ:
7..9.7..:
.9.9.Q 3. JAKARTA BANDA ACEH................. gP'.!..:
.?.!-.:
9.9.Q . ..............................gP1.:
49.ඞ.:
.9 . 9.Q 4. JAKARTA ... ... ............ ..... .J?ANDAR LAMPUNG Rp2.407. () 00 ............................... R. P ^l ^ :
?. } . :
9.9. Q 5 . JAKARTA B.ANJAR.MA.SIN .
.
.. · . . :
.. ·:
R.p: $: ; ·j.$..j.J?.:
Q . .............................BP.'.?..:
.99..?. .. :
9 .9. Q . 6. JAKARTA BA TAM . .. . .. .. .......... 8.P.4.:
.§.§.7...:
9.9.. Q.... . .......... . ............... .. . . 8.P; ? .. :
§.§.§.:
.9.9.9. 7 . JAKARTA BENGKULU.... .. . .. ... . ... . .RP.1 .. : }.§.'! .. :
9.9.Q.................. . .. ........... BPî .. :
. f: ?./.L..Q.9.9.
JAKARTA BIAK ............................... . ...... ..................................... .. ........ ...... . R: PX4:
.?..:
9.9.Q . .. . ........... ...... . ........... .. RP.7..:
.?..19.:
.9.9.9. 9. JAKARTA DENPASAR............. ............... .. .........................RP.?..: ; ?..9.?..:
9.9.9..... .. ........... .. . .......... . RP?. . . : / .. '?a . . :
.99.. Q 1 O . JAKARTA .............
. . . G6R.Oi\i,TA˶Q.... .............................. . .................. .. . ..........R.P.7...:
×.0.J.:
9.9.9. .................................. RP1J3.. '.?.4.:
.9.9Q 1 1 .
......... JAKARTA... ............ . :
!h..M l?..L........................ . ......................... .............. ............... BP.4.:
.99..!=? .. :
.9.9.9 . .. . ............ ...... ....... BP.Ö.:
19.9.:
.9.9.Q. 1 2 . JAKARTA JAYAPURA.... ........... . .. . ...... .. .
. ...... . ..............BP.H .. :
. ?. . 9. . ? . :
.9 . 9 . 9..................... . .. . ...... RP. ? . :
J.. 9. ; ?. . :
JAKARTA YOGYAKAʅTA........ . ...... .. . ....... ..........................RE'! .. JQ.7..:
.9.9.Q............. . .....................BP.'.? .. :
'.? .. §? .. :
.9.9.9. 14. JAKARTA KENDARI . .................. . .. . .......... . .............. .. . . B.P7..:
?..?..§:
.9 .9Q ............................... 8.P.'!.:
. % . . §Ɨ.:
9..9.Q 1 5 . JAKARTA KU PANG.......BP9. .. :
. 4J}.:
.9.9.Q . .............. .. . ...... . ...... . . B.P.?..:
.9.§ .. LQ.9.9. 1 6. JAKARTA MAKASSAR . .............. . ... ........... . ...... .. . .. .....B.P.7.:
.1.'!.'! .. :
9.9.Q. .............. ............. !3:
P?. . . :
? .. '.?.9. .. :
.9.9.9. 1 7. JAKARTA MALANG........ ............... ...... . ............ .. RP.'!.'. .. ?.9.. 9.. :
9..9.Q ........................... . .....BP.'.?.:
. 9.2?..:
. 9 . 9 .9 . 1 8 . JAKARTA MA ^MU ʃ.Y........ .. ........... BP.7.. .:
. '.? .. 2.?..:
. 9.9.9 . ... ......................... ..RP.1.:
.?.?.7.:
9.9.Q. 1 9 . JAKARTA MANADO..... . ...... . .. ........................ .. . .. . B.P..! .. 9:
. ?.Ɨ.1 . . :
9.9.Q ................................. RP. § . . J .9. ,. :
^. 9 .9.9 . .. . / 9.:
.... :
: : : : : ˷.J.: f.'i{ARTA...... . . MANOJS..Y.!.A.RL ....................................... ... Rp !. 6. 22 6 .g9_o.... ...... BP. ... !.9 .. :
. ?. . . '.?.1..:
.9.9 ^. 9. 2 .1 . JAKARTA MATARAM........................ . ...... .......... ..RP.?.: }J..9.:
.9 .9.9 . .............................. 8P.; ?. .. '..; ?.; ?..9 .. '..9.QQ 22. JAKARTA............. ........ M.: E: P.h.N................. . ....................... ...... ...... . ... ... BP7:
'.? .. ?..Ø.:
. 9.9.9................. . .. . . BP; ?.:
. §.9.$..:
9.9.9 23. JAKARTA PADANG................ ..................... B.P.?..:
?}.9 .. :
9.9 ^. 9................. .. . .... ....... . . RP; ? . . :
. 9..?. . . '.?.:
.9.9.9.
JAKARTA PALANG KARA YA........ . ....................... . .....................8P4.:
2.? .. 4.:
.9 .9.9. ... .. . ...... ........ 8.P.'.?..:
.9..?.4.:
9.9.9 2 5. JAKARTA PALEM..b.N:
Q.......-......................... . ............................... B: P .. i . . :
. ?§J .. :
.9 .9.9.................. . ..... . .... 8.P.'.?. :
. ×.§.$. .. '. . 9. Q . 9 . 2 6. JAKARTA PALU.... .. BP.9..:
; ?..1.?.:
9.9.9. .......... ... .............. 8 .P?.J J .. i.:
.9.9.Q ...... '.?.?..:
. . ... . .. _...:
J. ^AKARTA............ . ... _ .. .................. _ . .. · ^· · ^·- · ·- . .. . .. . J!: .N.Q .- . . : P!R'!Atr.9 ___ . .. . . -. ····----····--·-·- .R P.. ; ? .=. 1.J..( _ :
9.Q ·-· · ···· · ·· · ·- · ·····--- R P ; ? . :
..J..;
. . 2.:
.9.9.9. 2 8. JAKARTA PEKANBARU . .. ...... BP.?.:
. ?..?.?..:
.9 .9.9. ...... ... _......... . 8.P.; ?..:
.9J..§.:
9.9.9. 29. . ....... 'JAKARTA"""".... .. . .. PONTIANAK ............ B.P'!.:
0..?..0. .. '..9.9.9. ............... .. . .. . ...... . BP./ .. :
.7...§ .L..9.9..9. 30. JAKARTA SEMARANG Rp3.86 1 .000 Rp2 . 1 82 .000 3 1 . JAKARTA . .... .................... ....... ........ ... . ^SOLO ........................ .......... ^. ..... ^. . ^. ..... ._ ..... . RP .. . ˳_- ˴ -.f{§ . .. f':
·c>.̱i.9 '' .-.-...- .. · . .-.. --..- . .............. . RP.+-_-; · ) -. 4* . . 35·9·).
JAKARTA SURABAYA Rp5.466.000 Rp2.674.000 3 3 .
......... . JAKARTA............ . . TERNATE............ .......... .. . ...... : : .. :
: ˵P..El. .. 3?.9I: : k: ik: i 9 . .............................. :
8P.§.: : : : §..§4..: : .n?: 9: 9 34. JAKARTA TIMIKA Rp l3.830.000 Rp7.487. 000 35. AMBON DENPASAK.. ... . ..... . ....... . .. .. ·· ^· : ^· : : : : : : .: : _RP.?.: _: 9: l:
Ji9: 9:
^: : ^· .· ^: ^· ^: : . ^: : : · : : : : · : · : : .. _: : ·: : : : 8.P.{ . 4fI; : 9: 9: 9: 3 6. AMBO N JAYAPURA................ .8.P.'!..:
±; ?..'!.:
9.9.9..................... ...... .. BP.1 . . J . . 9.ඝ . . :
.9.9.9. 37. AMBON KENDARI.....RP4:
?'.?.4.:
.9 .9Q ......... .. . ... 81?'.?..:
?..?.§.:
9.9.9. 3 8. AM BON MAKA § .. §.A.R..... . ........... RP.9..:
.9.'.?..'.?..:
.9. 9.9. ... ..... . ........ ..8.P.0.. :
.'!.? .. ? . . :
9.9.9. 39. AMBON MANOKW.f!3:
... ....... ...... B.P.?..J..7. 7..:
9.9.Q.... ........... R.P0. .. :
9 .. '.?.7:
.9.9.Q.
AMBON ...................................^PALU.... . . R.P§.'. .. 1..'!. 9:
9.9.9..... . .. . .. . .. . ................. BPï.:
. ?...9 ?.:
.9.9.9. 4 1 . AMBO N SORO N..G:
....... ..... ..RP?. . . :
. 9..; ?.7.:
. 9.9.Q. ......... ....................... B.P. '.?. . :
. '.?.? .7.. :
. 9 . 9 . Q 42. AMBON SURABAYA RpS.803.000 Rp4.845.000 : : ±Er°APAN""" ^. ^.
.
. . fusxTfc · E}f ······ . . · ^- · ^·""" . . .. . ...... . . _. .. . :
: : .·ǂǃDŽ{Dž: _.: : .dž:
LJ:
Lj . . ƕ . ^.
)-*: §. : : : ...... :
...... : : ..... :
:
. : : : : : : .+.,---: : .±.../:
: '..:
§.§ ...
BALIKPJ.\PAN. .. . BATAM ........ ...... RPJ9.:
; ?.?..4:
.9 .9.9. .......... . ........ R: P?. :
?. 9 . § '.. Q .9. Q 46. BALI KP APAN D ENPASAR..... . .... BP.J..9 .:
7..; ?._2 . . '..9.9 ^. 9 .. .... .. . ................... RP? .. :
. §.±§ .. :
.9.9.Q. 47. BALIKPAPAN JAYAPURA Rp l9.07 1 .000 Rp l 0.086.000 48. BALIKPAPAN _ .... . .....X.9.QY.A.Kl\B: T.A.. . .. ^. .. ^. .... ^... .. ^. .. . ^....... ..... ^. : ·: : : : .. : : : : : RP2.m:
§: §: 2: : .: 9:
:
: : : .: : : : : .: : : : : : : : _: : : 'f.{p{: z: 4: 2: ; : 9: 9: 9:
BALIKPAPAN MAKASSAR.... . ........ B.P..! . . '.?. . . '..2.2.'! .. :
9.9.9............ ........... !3:
P§.J ... ?..9.:
.9.9.9. 50. BALIKPAPAN .............................. MANADQ.................. ......... RPJ..§:
79.b.:
99...... .8.P.7.:
/.9.?:
.9.9.Q 5 1 . BALIKf.'.J.\PAN............. ....... MEDAN........ . .................. ....... . 8.PJ.a.:
. 1.2.; ?.:
.9.9.9................ .................. ..R.P.§.J .. ±.9.:
9.9.9. 52. BALIKPAPAN PADANG..... .......... B.P..J.9 .. :
9..1'.? . . :
9.9.Q..... .. ..... !3:
P.? . . : }.§.2 .. :
^. 9.9 ^. 9. 53. BALII.<.; : P!.\PAN........... .... .... PALEMBAN.9.......B.P.9. . . :
'!'!.§ . . :
9.9.9........................ .....R.P±.:
7.'!.9. .. :
.9.9.Q 54. BALIK. f> !,\PAN... . ........... . . PEKANBARY..... . ...... . RPJ . ..9.:
. 9. .. 2.2.:
. 9.9.Q............. .. . .........BP?.:
'.?; ?..:
.9.9.9. 55. BAL{?.APA.: N.......... ......... SEMARANG.... . .. BP.2.:
±.4§:
.9 .9.. .9 .. . ................ .. 8.P.4 :
§.7.4: : .9. 9 9 . 5 6. BALI KP AP AN SO LO . ..................... . ... .. .................... B.P..9..'..'!.±.? . . :
9.9.9. ...... .......... . ... RP±.:
?J; ?. .. :
.9.9 ^. 9. 5 7. BALI KP AP AN .. ........ ........... §.Y.RA)?._AY.1-. _........ .. . ....... . .. . .... . .... .. . .. . ...... . ............ BP J .QJ? .. ?.9..:
. 9.9.9. ..RP.?.:
JJ . . ; ?._ .. ..9.9.9. 58. BALIKPAPAN.... TIMIKA.... ...... . BPf. .. $:
. 4.9.?..:
. 9.9.9................. . ...... BP.9..:
±?.:
.9.9.Q. 59. BAN.. P..A...AG$B............ . .. . .. . DENPASAR............. . ............... ............. .. B P.J..9.:
§.; ?..? .. :
9.9.9. ...... . ..................BP.? .. :
. '.?.7.2 .. :
.9.9.9. 60. BANDA ACEH JAYAPURA Rp l9. 1 67.000 Rp l 0.7 1 7.000 6 1 . BANDA ACEH '"' ' ' 'Y o ' GYAKARTA' "" ' "' ' " . ............ . ................ .............'io'9: "76s·: ·ooo .. . ............ . ...... ...... . .. Rp · 5: · 33 '()" 666 KOTA SATUAN BIAYA TIKET NO. 1-- TU JUAN BISNIS EKONOMI ASAL (1) (2) (3) (4) (5) 62. BANDA ACEH MAKASSAR................ .. ............ ............ ... B.: PL . . :
. 7.§.9.:
.9.9.9. ... .. ......... BP.'?..:
.7.? .. % . . :
.9.9.9. 63. BA N P.. A...A.9ƒ!.: I... ............. MAN ADO . ................. ......... ............ B P L ?. . :
. 7 . 2 . ? . :
.9 . 9 . 9 . .......... . R.P. 7 . :
. ?.1. . ` . ? . : 99 . 9 . .... 9.4...:
.... . .. 1?.AN.P..A...A.G.ග.H............... PQ NT.JAN.AK...... .. " .R.P.9..:
.9..9..9:
9.9. ... .. ....... B P?..:
§.4..9:
9.9.9 65. BANDA ACEH SEMARANG.... RP.9. .. :
. ?.?.9:
9.9.9 ........ ...... .. . . 'P?.: (9?.:
99.9. 66. BANDA ACEH SOLO.......BP. 2 .. :
. ?.0..9.:
.9 .9.9. ... . ...... .B.P.?..:
.4.4.4.:
.9.9.Q. 67. BANDA ACEH SURABAYA Rp l 0.985.000...........BP.?. .. :
7.4.4..:
.9.9.9. 68. BANDA ACEH TIMIKA ·: : ... . ·: : . .. : : ·: : .. : ·: · :
-: : . .. . :
:
. : ·: : : : : "fiJ?.: : =: : § .. : ·$.: >?.: 4: : .'Q.Q.<i' · : ..
......
..... ..R.P.J.9:
9.7..9 . . :
9..9.9 ..
BANDAR LAMPUNG BALIKPAPAN........ . R: P.?.:
J'.?..2.:
. 9.9.9...........
.... . ...... . ..........8.P.4.:
. . L'.? . ?.J. . :
. '""" "iiA: i\iD'A'rfi: : A'J\1 'ii u f: : fo '""" BANDA ACEH .
....B.P.? . . :
5.5?..:
9..9.9 ............ BP.1:
7.<?..9.:
.9.9.9 7 1 . BANDAR LAMPUNG BANJARMASIN.... .. . ..8.P.? . . : J.9..?. .. :
9.9. ..... . .. .......... 8 .P; ?..:
. : l J . . '.? . . :
.9.9.9. 72. BANDAR LAMP..Y.. N.9........ . . BATAM..... .BP. ?. .. :
. §.4..9.:
. 9.9.9..... . ........ .BP.?..:
. 0...f:
. ?.:
9.9.9. 73. BANDAR LAMP,Y.N.9.:
...... . BIAK . ...... ...... . ............... .. ..........BP .. HJ...ፚ . . 9. . . :
. 9.9.9.... . ......... BP.7.:
. 4 . § 7 . :
.9. Q. 74. BANDAR LAMf>.Q.N..9.:
...... DENPASAR ....... B.P.?.:
.?.?..9 . . :
9..9..9. .. .................... .......... .BP; ?. .. :
. ?.4.7 .. :
.9.9.9. 7 5 . BANDAR LAM PUNG JAYAPURA.......................... . ................. . . BPJ.4..:
. ?. .. ?. . ? . :
.9 .9.9................B.P. ? . :
.9. 9. . 7 . :
. 9.9. Q. 7 6............ . BANIS ' ; ,\R .. 'LAM,:
f,'.Qf.{Q.: : : : Y Q.Q.YA.,RTA. . ........ . .. . ...... ...... ...... ... . _.... . . _.... . ..... F.: P.?. . . J . . ?.?.:
.9.9.9 ....... .. ........... B.P.: ?..:
.7. ?.9.:
.9.9..9. .
. .
...
. . · -; : ; ; ; · 7 · ····· · 7 8 ..
.
.
· . . · · . · . · . . · . . .
· . · . · .
.......BANDAR LAMP.TJ..N..9.:
.......... KENDARI........RP.§.:
.?..§.4 .. :
9..9.9.. .. .....BP.4 .. :
4.§.'.? .. :
.9.9.Q · r , BANDAR LAM,P,V,,NQ .... . MAKASSAR .. . .. . B.: P.§.J§J.:
9..99..... .. ......... 8 .P.1 J . . ?..L .. 9 QQ 79 . BANDAR LAMPUNG MALANG.......BP.?. .. :
. ?.2.4.:
.9 .9.9. ... .. ......... 8.P.0..:
L; ?..4.:
.9.. 99. 80 . .......... . . BANiil'i .... L AM·P·uN 'G ............... .. ... MAN ADO.... ......................... . ... ...... ...... . .R: PJJ . . J . . 9..9. .. :
.9..9.9 .... .. .. ...... .BP.?. .. :
?...9.?. .. :
. 9..9.9. 8 1 . BANDAR LAMPUNG MATABA.M __ ._ ... _... .. .... . ...... ....................... Rp6.246.000 . .. . BP; ?. .. :
. ?. .. '.? .. ?..:
.9.9.9. 8 2............ BANfiAR"'i=1\MPD'Nd""'" MEDAN ..... ·: j5 { P. .. 7:
3˫-79' '3?..99' ' .ˬ:
....... . .BP.4J .. ?..9.:
.9.9.9. 83. BANDAR LAMPUNG PADANG Rp6.439.000........ 8.P? . . }.(3,.Q.-. .9.9.9. 84.......... EfAN'iSAR.LA.MPUN.G .............. PALANGKARA YA ....
............ ... . .... . ...... . . : : : : .: : .tfrJ..$' 3J..4 . zj?.: Q.Q. :
:
. . · . . ....... .BP.$ .. :
4..9.L .. 9..9.9.
BANDAR LAMPUNG PALEMBANG . ...... . BP1 .. :
. 9 . . ?. . .. L.9.9.9. ... .. ....... .BP.`.:
.7.<?..9.:
.9.9.9. 86. BANDAR LAMPUNG PEKANBARU..... . .BP.?..:
. 1 .?. .. :
.9.9.9. ... . ...... . .B .P. 0. . :
. 4 . ; ?. . ; ?. . :
.9. .9.9. 8 7. BANDAR LAMPU..N.9.:
. ..... . . PO_l'fl'J.A.NA.1.5.......... ..... B.P.?..:
.; 3,.§9 .. :
9.. 9.9.. ......... . ....... BP.$.:
. '.?. .'.?...9 .:
. 9.9.9 88. BANDAR LAMPUNG SEMARANG ......BP4.:
?.t.9.9.9. .......... RP.:
.?.§.$.:
.9.9.9. 89 . .. .. .... . . BAND ' AR . 'LAMPUN 'd ' "" " ' SOLO.... . RP.1 . . :
. 9 .. ? . . LQ.9.9........ . ...... . ... ...... . ...... . .R.P. a .. :
. ?.`4.:
9.9.9. 9 0. BAND AR LAMPY..N..9.:
.............. .. ..... 2-.V . .R.!..!?. .A.Y..A. ............... . . ..................................... 8.P.§.: ; 3,4§:
9.9..9...... .. . BP.; 3, . . : J.... ;
. . :
.9..9 .9. 9 1 . BANDAR LAMPUNG TIMIKA . ............................ .. ....... . ..B.: PJ.9. . . :
99 .. ? .. :
9.9 . . 9..... . .... .. ....... BP.7..:
4..?..?..:
.9.9.9 92. BANDUNG BATAM ....... .. R: P.?..:
. ă .. ?.2.:
. 9.9.9.................. . . BP . 9. . :
? . ? . ?. .. :
9.. 9. .9. 93. BANDUNG DENPASAR . .. . . B.P.?..:
?.59.:
9..9. .9 .. . ......... RP; ?..:
.. ?.ĝ.:
.9.9.9 94. BANDUNG JAKARTA ...... . . R: P.` . . :
9.. 9.1 .. :
9..9. 9.. ... . ........ .BP.L.4.7..? .:
.9.9.9. 9 5. BANDUNG J AMBI .. ....... . ............................. .. . ....... ...R. P.?..:
.9.9.'?..:
. 9.9.9.............B.P. ` . :
1.'?..2 . :
. J
. 2 : 9 . 9 9 . 97. BANDUNG PADANG...... . .R.P.§.J .. 5.9. .. :.9.9.9.. ... .. ........ BP.; ?. .. :
. ?...9 §.:
. 9.9.9 98. BANDUNG PALEMBANG Rp4.385.000 Rp2. 63 l .OOO 99. BANDUNG PAN.Q.ÿ.1' .. . P.I.NA_tf..Q_ ................. .... - .............. .. Rf.)4: ˭9·9:
....... ...... RJ?.: ˰.z: ˱: $.: ˲9: ̮?.: ¢J.: 1 00. BANDUNG PEKANBARU.........8.P.§.: §.?.§ .. :
9.9..9.. . ...... ......... .8.P.;
. . :
.7..9.1.. . . :
.9.9.9. 1 O 1 . BAND UNG SEMARANG........... .B.: P.9. .. :
9.?.7.:
9.9.9..... ........ BPL9 .. ?..7 . :
.9 .9...9 . 1 02 . BANDUNG SOLO........BP?. .. :
. §.4..7..:
.9.9.9...... ......... BP; ? ... :
: ?.. 9. . ? . :
9 . 9 .9.. 1 03. BANDUNG SURABAYA..... .. B.P.4.:
?.5.1.:
9.9..9. .... .. . .... .RP.; ?.:
?. .. ?..?.:
.9.9.9. 1 04. BANDUNG . . T.!.: \N.Y.. ඛ9...PA..12!.: ... ...RP.1 . . :
1.9..9. . . :
9.. 9. ........ ..RP .. :
. ?. .. ?..?. . . :
.9.9.9. 105. BANJARMASIN BANDA ACEH............ . ....................... . ... . . BP .. 1... 9.:
.7.9..Ġ.:
. 9.99. ......... .. .. . .B.P.'?..:
9..
.:
.9.. 9.9. 1 06. BANJARMASIN . . BATAM . Rp8.407.000..... -.-........ BP.1.:
. ?. . 7. ?.:
. 9. 9 . Q . 1 07.......... BANJAR'iVI".Asi'N ' " __.... .,. __ , __ --B'IA K . . -·-·-·--·--....................... -... .
.
... ..
.. :
-.-.= .. .....
_: -..-..-6:
-.-.7.8.8.l?I§:
:
: §.?'9r.-9.-9: 9·.... ........ .BP.? .. :
7.4.9. . . :
9.9.9 . .. 'i'bEL.... .....BANJARMASIN .. DENPASAR..... . .BP.?.:
. 7.9. .:
.9. 9.9. ..............B.P. 4 .:
2 . ` . 9 . :
9.9.9. 1 09. BANJARMASIN.. JAYAPURA .. . ...... . .. . ...... . ....................... . .BP.E.:
. . ፚ . . ?.?.:
. 9.9.9. ... .. .......... .R..P.2.:
. ? . ?. 9. . :
9 .9.. 9.. 1 1 0. BANJARMASIN YOGYA.: £<!.R.I.!..............B.P.7.:
.7.`? . . :
9..99..... .. .. ....... .BP.1.:
9.'.?. .. '.?..:
.9.9.9. 1 1 1 . BANJARMASIN MEDAN Rp l0.546.000 .. . .. . . BP.?.:
'! J ..'.?..:
9.9..9.. 1 12. . . B A NJA RMASIN PADANG ...... .. ....... ...... ........ ............ .. .......... ................ Rp9.: 66t: L666 ...... . .. ......... B.P.1.:
?.1.'.?.:
.9.9.9. 1 1 3. BANJARMASiff"" . . PAijirJi'BANG .... . .. . .... . :
8.P..'?.> +.. 9. . . $. . .. : : ·9: 9'?.'. ...... ....... .BP.4.:
9 .. .. . . :
. 9.9 .. 9 .. 1 14. BANJ ARMA SUɾ.......... PEKAJ{l3!..R.Y.......... . ...... ...B.: P. 2 .. :
4.9. .. :
9.9.9. ...... .. .... .BP.1 .. :
. §.9.f?.:
9.9.9. 1 1 6. BANJARMASi1\f' .. SOLO . .. _ ....'8p_?':
. 4 ^· ɿ·§ ^· _ : '9'g · Q. · ....... ........ .BP1.:
. ?..§ .. ?. . . : 1 1 8 . BANJARMAS I N . .. . .... . -. .... : ---_· .. TIMIKA . .. .......... . ........ . .. . ................... . .... gJ?.I:
§..ˮ_ '_4°.Z: _' _-: : .9: 9 .9:
...... ....... B.P.?.:
.. E.:
9.9.9. 1 19. BATAM BANDA ACEH .......... . .......... . .. ...... . ............ .BP.) .. .9 .. :
4.Ğ.9 .. :
2.?..§ . . :
. 9.9.Q. 1 2 1 . BA TAM . . JAYAPURA . .............. .............. .. ........... . . gp· I_ g?.'_: _'7.' § .. ˯': : .·9·99.· ... ... .. . ......... .R.P.9.:
.9.9..9.. 12 2. BAT AM.......................................... ........ . Y.Q.9.: Y.A. , .R. T.A..... ... .. ............... _..... . ... . ... ... ...... . ....... . . BP . . ? .. :
. ?. .. 7.9 .. :
. 2 . ; ?. . ?. . :
. 9 .9..9.. 1 2 3 . BATAM ... MAKAE)Sf..R........ ...... .. ................... ........................ .B.PJ .. 9.:
.:
9.9.. 9........................8.P.?.:
ğ}.7 . . :
.9.9.9. 1 24. BATAM MANADO Rp 13.4 13 .000.... .BP?.:
1 . . § . '..?. :
.9 .9.9 .
BATAM MEDAN .......... . .................. ...... . .. ........ RoT6f'i9': : Rn5.3 1 6.000 KOTA SATUAN BIA YA TIKET N0. 1-- TU JUAN BISNIS EKONOMI ASAL (1) (2) (3) (4) (5) 126. BATAM PADANG......................... ...... ......................... .. .. .. . .......... . BP.§.:
. 9..?.?.:
.9 .9.Q.... . .......... . ...... ........ ...... .RP.1.: §.1.9.:
9.9.9.. 1 27. BATAM PALEMBANG ....... ... . .......... ...................... ......BP!.. .J .. 1.!?..:
.9.9.9 . ................................. .R.P.?.:
. 9..; ?..9.:
9.9.9.. 1 28. BATAM.... PƒIY\Nl.?.!..8Y....................... ... . .. . ........... . .. . .. ....... . .. . .. .RP.§].9.. 7..:
9.. 99.... .................... . BP.4:
. !?.9.. 2 .. :
.9.9.9 1 29 . BATAM PONTIANAK ........ BP?.:
. ?9.1:
999 .............................. .RP.1.: ; 3..?J..f?.:
9.9.9 130. BATAM SEMARANG................. . ............ ................... . ...... ......8P7... J . . 1.?.:
.9 .9Q . ...... ...........................8P.0 .. :
. ?.3..9 . . L.9.9.9.
J.; ?.J .. :
. ..... . BATAM SO LO......... ... ........... ............... R.P.7.:
. 1.1.? .. :
9.9.9. ................................. BP1 .. :
.9.9.9..:
.9.9..9. 1 3 2 . BAT AM S. URAJ?.A.Y.A... ......... ..................... .. ...... ... ... .RP.?.3. .. :
9.9.9.:
.99..9 ................................. .8.P.4.: ?...9 9.:
.9.9.9 13 3. BAT AM TI.JVIIM........... ............................................ ........................... .8P..1 . . ?.:
.. 1.J..9. . . :
.9 .9Q .. . ....... .. ........ .... . .........RP.?.:
?.; ?J...'..9.9..9.. 1 34. BENGKULU PALEMBANG ................................. ........................... RP:
§99. .. :
.99.Q ................................. BP.ı . . :
?.9.; ?. .. :
.9 .9.9. 1 3 5 . BIAK BALIKPAPAN............. . .. .. . .................. .........................RPI.?.3. .. :
?... .. :
.99.Q ................................. .8.P9. .. :
.9. .9.9 . 136. BIAK BANDA ACEH.............................................. .. . .8P.J§.:
.7.J..§..:
.9 .9.9.... ........... ..............B.P..1...9. : J:
.9. t9.9.Q 1 37. BIAK · · · · · · · - · · ···.... BATAM.... ....... ................................ .......... .. ..................... .BP. .. 1. .. ?.:
. ? .? : ?.: 9 .9 . 9.... .. ... . ...................... . .8 P . ? & 9 . 1 :
9.. 9. Q 13 8 . BIAK D ENPASAR.... . .. . ...... .. . .. .... .......... ... . .............. ............... BEJ.? .. :
7.. ; ?.9. .. :
9.99................... ............ .. .. BP.? .. :
. 9. .. 9. . . !?..:
.9..9.9. 1 3 9 . BIAK JAYAPURA................. .................... .....BP; ?. . . :
. ?. . . 1. . . ?..:
.9.9.9 . ................... .......... . .BP..: ?..L.9.9.9. 140. BIAK ..Y.Q.QY.A.M.13-T.A................ . ...... .R: PL !?. .. : _9..1.§..:
.9.9.9. .RP.§.: J . .9.L9.9.. Q 1 4 1 . BIAK MANADO.... .. ............... . .. ............ ...... . . RE.! ... ! . . :
7.}1.:
9.9..9. ............................... .R.P.?..: }.!?.}.:
.9.9.Q 1 4 2. BIAK MEDAN..................... .. . ........ . .......... . . RPJ..?. .. :
1.7.. ; ?.:
.99.Q. ......... ................. .BP.9..:
4..9..? .. :
.9.9.Q 1 43 . BIAK PADANG . .. . ........... ...... . ...... . .......... .. . .8P.1 .. ?.:
. 9. .?.'.?..:
.9 9Q . ................................. .8.P.?..:
.7.§.:
9.9.9. 144. BIAK PALEMBANG Rp l S.424.000..... . ............. . ...... ...... ... .R: P.? .. :
.. 1. . .9..§.:
.9..9.9. 145. BIJ!.f....................................... .. . . PE Kf.\ . N . 1.? . A .R. Q ... .......... . .....: : . : : : : : : : : : : : : : : : . : : : : : . : : : : . : : . :
: : : : : . .-: · · · : : : : : 8J?.I{: L §. }3.j.{i9:
........ . .........................BP.§ . . :
7 . . ፘU . . :
.9.9.9.. 146. BIAK PONTIANAK.... . .. . ....... . .... .......... .... ..........BP..L!?..:
. ?..7..? :
Q................. .. ........... ... . RP.§.:
. ?.?..?..:
9.9.9. 1 4 7. BIAK SURABAYA Rp 12. 7 82. 000 ...... . .. . ....... ...... B: P.7..:
.9..?..L..9.Q.9. 148. BIAK TI.MIR.A......· . . : : ··: : : : : : .-: : : : ·: : : .:
. . :
: : .:
.. : : : : : : : .. : : : : : .-.: : .:
. 8J?.: ?L§.: ¢J.. §:
. : QQ.Q . ......................... . .BP.9 .. :
4.4.4..:
.9..9.9. 149 . DENPASAR JAYAPURA..................... ...... .. . .. . . BP .. 1..L . . §§.9.:
99.9 ................................. R.P.?.:
?.1.9 .. :
9.9.9. 1 50. DENPASAR KUPANG . .............. . .... . . BP?.:
.9..2.L.9.9.9 . .... ......... .......... .B.P..:
2.?. .. :
9.99. 1 5 1 . DENPASAR MAKASSAR...
.............................. .......... .. . .R.P.'.±.: J..§; ? .. :
.99..9......... . ................. .BP.F .. :
. ?.'.?. ... LQQQ. 1 52 . DENPASAR MANADO . ...... . ........... . .. ...... . .. . BP!.. .:
.??..1..:
9.9.Q . ................................ .-8.P.1: ??:
9.9.Q. 1 53. DENPASAR MATARAM...... . .. .. .f.SP .. L.?4..9.:
.9.9.9 . ................................. B.P.1...:
.; ?..9..9.:
9.9.9. 1 54. D ENPAS!.\R ..... .... .................. .. .. . ..................... . .M.ƒP.AJ\t..._ . ... . .... . .. . .... . ............. .BEJ.9.:
§.2.:
9..99. . .8.P?. .. :
. ?.!?. .. §.:
.9.9.9 1 5 5 . D ENPASAR PADANG......... ... . .. . ....... ...................... . ..RP.9..:
9.1.2 .. :
9.9..9...................... . ......... .BP.'.± .. :
. ?.? .. ?.:
.9.9.9. 1 5 6. D ENP ASAR PALAN G KA.RAY f.\ .. . ........ .. . ........................ . ...... ....... .8P.§..:
. ?.?..7 . :
.9.9.9 . ............................. BP.1.:
9..9.9..:
9.9.9. 1 5 7. D ENP ASAR PALEMBANG............. ... . ...... . .. ........ . J.SP.7..: §1J..:
9..9 9............. . ........ ...... . BP.4..:
. '.?.7 § :
.9..9.Q 1 5 8. D ENPASAR PEKANBARU........ .R P .9..:
9.9..; ?.:
9.9.Q. .. .. ...................... .BP.1 .. :
9.. 4..'.? .. :
.9.9.9. 1 5 9 . D E N.: PA.§.AR-...... .... .... . PQN'I'.I.. A: N: AK....... . ................. ........................... BP.'.L.9..9..9.:
.9.9.9 . .... ............................. R P. 1:
7.. ; ? .? . :
9.9.9. 1 60. DENPASAR TIMIKA ...... . ...................BP .. 1...9.:
..1.49:
.9.9.9 . ..... .................. .BP.§J . . .9. . . :
9.9.9. 1 6 1 . JAMBI BALIÿ: P!..RAN................ ........... R.P.7..:
7.; ?..9 . . :
9..9.9. . .... ..................... .BP.1.:
4.9.7... :
.9.9.9 1 62 . JAMBI BANJARMASIN.... ....... .. .......... . .............BP.7.:
. ?.9..9.:
.9.9.Q ..... .......... .......... BP'!.: J.9.; ?..:
9.9.9. 1 63. J AMBI D EN f'. A §. A. 8....... -............. . ................ .............................. .BP.7... :
.7.?. .. ?. .. :
.9.9.9. . ....... BP.1.:
1.; ?..9..:
9.9.9. 1 64. JAMBI YOGYAKARTA ........ .....BP.?..:
?..§.9. . . :
.99.Q .... ......................... B: P.9. .. :
. !?. . . ?. . .. 1...:
.9.QQ. 1 6 5. ... ʀ!.\MJ.?L. KUPAN G............ . .RPJJ..:
; ?.1 .. :
.999..........................8.P.9 .. :
.9.7..?.:
.9..9.9. 1 66. JAMBI MAKASSAR.... ....... .. .. l.3:
P.9..:
. ?..?..9. .. :
.9..9 . 9. ... . ....... BP.1.:
9..?..:
9.9.9. 1 6 7. J AMBI MALAN G ............ .B.P.7..:
9.9.J .. :
9..9 9.. ... . ... ................ B: P.; ?. .. :
.9.9.Q 1 68. JAMBI MANADO.........RPI. .. :
7.9. 7..:
9.9.9......... . BP.9 .. :
9..9..7.. :
.9.9.9. 169. JAMBI PALANGKARAY.: !.. ... . ... .. . ....... 8.. P.7... :
11.1:
999......... .............R: P.1.J..9..; ?..:
9.9.Q 1 70. JAMBI PONTIANAK ···-····-· . . -·········l --" · -··--· · B . E §. ..: §. 7. . ̯LQ 9 . 9 . -···"·-- · ··...........RP.: J: '.9.J..t.9.Q-9.
. .. i · 7 - 1 · · ˪ ^, ·-·- . .. . ʁiAʄ/iBI __ . . .,, . .....,. __ .,,···-,,··- .. -····· m .. -- SEMAAA· N·G N--n--o· ....... . ... . . R.P.?..IJ.ij..--Ĵ.9.9.9.. . .............. ................. . . 8.-P.Ñ .. :
i.7..9 . . ύ . .9..9.Q. 172. JAMBI SOLO............ . . BP?.:
4..'.? . . § . . : ?.:
9.9.9. 1 73. JAMBI SURABAYA........ . ... . .. . . BP.7.. .:
. § .. § . . ?.:
. 99.9 . ....... ......... BP.; ?:
.9.J.. ? .. :
9.9.Q 1 74....J: !.\Y.APY.J3A........ ................ . .. .. ..... . YOG YAK.A.RT!................ . .. . ..... BPJ.; ?.:
.7.1.:
9......... . ...... . ...........RP.7.:
9.9...9.:
.9.9.9 1 75 . JAYAPURA MANADO............BP'.?.$.:
J.9.9.:
.9 .9.9 . ... .................... RP} ".: #.E?.?.:
. 9..?. .. ă . . :
.9.9.9. ... . .......... .R.P..1... 9:
9.9 . 9. 1 77. JAY AP URA PADANG......... ...RP.I.7.:
; ?..§J.:
9.9.Q................ .......... ...... . .8.P?.J. . . :
. ?. .. ă . .7.. :
.9 .9.9. 1 78. JAYAPURA P A%.MJ.?.AN.9.... .................... ...RP.J.?.&7.9. . . :
9..99. ..... .. . .......... BP§ . . :
?J. .7. :
.9.9.9 1 79 . JAY A.: R.Q.B: !.................. .. .. . .... .. .... PEKANBARU......... .BP..1..7.. .:
4..?.?.:
.9 .9.9.... .................. .....BP.2:
; ?..§.9.:
9.. 9.9. 1 80. J A YAPlf.: RA.... PONTIANJ.ʂ........... .. . ........... .8PJ.§'.9.͉.͉ . . :
9.9Q. ... .........R:
9.9.9 1 8 1 . JAYAPURA TIMIKA............RP.; ?. . . :
f?. . . !..? . . :
9.9.Q. ............. ........ ..BP.Ò .. : Ò .. ?.9. .. :
.9.9.9. 182. YOG Y A, ) <:
A R'J'b.. ......................... . ... D ENP ASAR.... BP.?. . . :
.9.9.9 . ... .......................... BP..:
1.§J.: ?..§.:
.9.9.9. .... . .................... .8P.;
.. :
9.9Q 1 84. YOG YAKART A M A . N .!.\P. . Q......... . ....... BEI.9.: ?..? .. :
9.9.9.. .... . .. ............... .BP..? . . :
7... '.?. . . '.?. . . :
.9.9..9. 185. YOGYAKARTA MEDAN......... BP.2.:
.9. 9.Q .................................. .8P.1:
.7.. 7.9.:
. 9 .. §9.:
.9 .9.9..... ................ R.P.1.:
.9.9.9 .. :
9.9.9. 1 8 7. YOG Y ;
'.±.?..9..'..9.9.9.......................... .. R.P.9. . . : }.?.9.:
.9.9.9 18 8 . YOG YA.19\R.I!........................ ..... . PEKANBAR: Y............ .. .. . .RP.§.:
9. .. :
.99.9........... . ................. 8.. P.1 .. :
99.Q 189. YOGYAKARTA PONTIANAK Rn6.9 10.000 Rn3.840.000 KOTA ASAL TU JUAN (1) (2) (3) (4) (5) 190. Y 0 G Y AKART A TIMI: KA........... ........ . ........ ........... ............. R.P..1 .. L.?. 9. .4..:
.9 .9.9 .............................. .R: P.7..:
.9.; ?..§.:
9.9.9. 191. KENDARI BANDA ACEH Rp12.953.000 Rp7.102.000 19 2. KEN DARI BATAM ·.···.···.··········.-: ·.·.·········: ·····.·: : : ·······.: ··: : ···.·.······.·.···.·.: ·· . .. ·: ··.-: ·.-: ·.-·····.·.: ·.:
-·····_R.P..I.9: : ··$. . . §.§.:
··vB:
...Q.· · ... .. . :
.. . .. .. . : : ·.·: ·.···:
. RJ?.·$·w.-§$ . itx-i.°Q·Q· 193. KENDARI DENPASAR.......... ........ . ........................... . .. . ... .. .. R.P.?:
4.?..?.:
999........ .......... . gP.ń: 7; ?:
99.9. 194. KE ND ARI Y OGYAKART A . ...... .......... . .......... .......................... .1.3: P.?. .. : J . . '.? . . 9 . . :
.9 .9.Q . .. . ............................ . .8.P.4..:
.7. 9.?.:
9.9.9. 195. KENDARI PADANG .. .................... ..... ...... . .. . ....... .8.P.g...LJ .. ?.?..:
9.9..9..... ..................... BP.!?..:
7..'.?.'.? .. :
.9.9..Q 196. KENDARI PALEMBANG . ............................. . ... RP.. 2.'. .. Ei.?.9..:
9..9.Q . ..............BP? .. J..9] .. :
.9.9.Q 197. KENDARI ...... . fÍÎJ'IBARU . ....................... ... ....................... .......... ..I3: P.1 . . L .. '.? . . '.?..9.:
.9..9.9 . ... ............................ .8.P. ?. :
7.7. § . :
9..9. . 9 . 198. KENDARI SEMARANG . ........ 8.P.9..: ??..9..:
9.9.Q........ . ......... ............ .. RP!?. .. :
9..]7.:
.9.9.Q. 199. KENDARI SQL.Q.... ....................................................... . ............. RP.9. . . '. .. ? . .?.9. . . :
.9.. 9.9. ....... . ....... .. .. . ............... . 1-S: P. .?.:
..l.'?.'?.:
.9. 9 .Q . 200. KENDARI SURABAYA.... . ........................... .. ...... .......... . BP.J..LJ.9.?.:
9.9.9 . .. ................. .......... 8.P.?. . :
. 4.. § . §. :
. 9 . 9..9.. 201. KENDARI TIMIKA .. ....... ................. ........ . ........ . ...... . ....... . ............ BP.l .. ?..:
9.?.?.:
.9.9.Q........ . .......... . ...... . .. B.P.Ņ:
.7.. 9.§:
9.9.. 202. KUPANG JAYAPURA . .. . ................................. ................ ............. . . 8.P.J . . 4..: ).§§.:
9.9.9. .......................... ...... .8.P.§ .. : J.9.?.:
.9..9. .9. 2 0 3. KUPAN G Y OG YAKARTA . ... . .. .............. .. .......... ............. . .......... 13:
P.7.. :
. ?.4..§.:
9.9.Q ... ..... . ............. .8.P.4. .. J.§. .. :
9.9.9. 2 04. KU PANG . .... . .............. ^. ................ ..... ^M i.?-I&.ÏÏ!\1.3:
..... . .. . .......... .................. ........ BP.?.. .:
. 9..?.7..:
.9 .9.9 . ........... .............. B.P.4..:
?JJ. .. :
9.9..9. 205. KUPANG MANADO.... ...8.P JJ. .. :
?.4..§ .. :
9.99. .. ...... ................ . R.P.§J.19.:
.99.Q 206. KUPANG SURABAYA . ............ . ................BP.§:
74.9. .. :
9.9..Q . ........ ................... R.P.y .. :
.T'.? .. Û.:
.9.9.Q 207. MAK.AS SAR BIAK............ . .. . .......... ............ BP?. .. :
1.2.?.:
.9.9.9..... . .... ......... . .............B.P.4..:
2.?.L.9.9.9. 208. MAKASSAR JAYAPURA......... . ....... . ... ........... . ..........................8.P.J..9.: J.9.}.:
9.9.Q.... . ......... . ...... BP!?. .. :
7?7:
.9.9.9. 209. MAK.f.$.?.A.R.................. KENP..AR..I. . .......... . ................ . ...... . ............... . .. .. ...... .. .. ................... . .RP..:
. ? .. ?.ұ .. :
9...9. 9. . ......... .B: P.J..:
7?. . . 9..:
.9.9.9 2 .1.0. MAKASSAR MANADO........ .. . .......... .. .............. ............. . ........... BP.?.:
. ?..7.:
. 9.9.9. ... ..... . ......... .RP..:
9..9.9. .. :
9.9.9. 211. MAKASSAR TIMIKA . .. . ........... . ............... . .............. . J.3: PJJ.:
7ņ-:
.9. Q ................................. F.: P.Ei: ?.§7.:
.QQQ 212. MALANG BALIKPAPAN............... 8.P..g..9..: J.9.§ .. :
.9.9.9. RpS.134.000 213. MALANG BANDA ACEH . ...... .. ................ .. . .......... ..... ... .......... . .. BP.J..9 .:
.9..9.9. :
:
-.:
-.:
: : ..... . ... . .... : ·.·.: : ·.:
.. 8.P_ . $._; : z.§ . . $..·;
MALANG BANJARMASIN........ . .. . ........ . ..... . .. BP.?.J .. §l .. :
.9.9.9.... . ...... ...... . .. . .... . . BP.4.:
4..9.7.:
.9.9.9. 215. M.AL.Al'l"Q BATAM ............... . ... .. . .. . ...... . ............. ... . ........ ...................BP.7:
.9.9. ............ .................. RP4 .. : }.LL..Q.9..9 216. MALAN G BIAK............ . .. . ... ....... . ... . .. . .. .. . . B.P..1.§.:
9§7.:
.9.99.. ................................. RP.Es.: 4§_:
9.9.9. 217. MALANG JAYAPURA......... . .BP.l.9.:
?..?§.:
9.9.. .. :
9..9.9. 2 18. MA1: : tA N.9............................... . .... .......... Ҷҹ-NP.!.R-1...... .. ..... .............................. ...................... B.P . J..9.: ?_; ? __ :
9 .9. 9 ................. .............. RP? .. :
1.?..7. .:
.9.9..9.. . 219. MALANG MAKASSAR . .. . .BPJ.9.:
9.9.Q ... . ............... . . BP.?.:
.. l.?..§.:
.9.9.9.......... .......... . ...... . . -8.P.§ .. })J. . . :
9..?.§:
9.9.Q . ....... .. . ....... ........ . . BP.§J:
.9.9.9. 222. MALANG PADANG....... . ....... . ............ . .. . .................... . ........... ....... .. ........ BP.§ . . :
: lJ . . § .. :
9.9. ................ ......... BP.4.:
. : ?..? .. ?:
. 9.9.9 . ............................. l.3:
4..9.7.:
.7.§?..'.9.9.9. 22 5. MALf\N.Q PÐ!V.Bf.\RQ.. . ....... ............... ........... .............. .. ........... .8.P.§ .. :
1 ?. . 9. . . :
.9..9..9.. . 226. MALANG TIMIKA.... ...... ... . .... . ........ ............ . .. . ........ . ....... . ...... .... . ..........l.3: P..1? . . :
. ?...T? .:
.99.9 .............................. RP.? . . :
4..?.L.9.9.9. 2..Ӏ..7 .:
......MAN!\P.9 .. IYI..ҷ l?AN.................. . .... ............................... . ....... ........................ .1.3:
. ?..?...:
9.9.9..... ....... ... . .................B.P.7.: _ ; ?. J .?. . . :
9.J.'.? .. :
9.9.9. ....................... .. . .. . RP.9 .. :
9.9.Q 229 . . ^M,ANAP.9. . ^..... . .................. ............ P.AEMBANG.... .. ....... . ............................... . ...... l.3: PJ.:
99.Q . .............. .. ..RP.?.:
9..Ā . .?.:
..9. 9...9. 231. MAN ADO PONTIANAK.......... . ....... . .... . .. ....................... . ...........8.P.J..C.:
?..§.; ?. . . :
9.9..9. . ................................ RP..§ .. :
?..9. . . § .. :
9 ^. 9. ^. 9.. . 23 2. MAN ADO......... ............................ . ....... $.__MAR.A!': T G.... .RPJ.:
?..Q.4. .. :
.9.9.9........RP.?. . . :
? .. ?...l .. :
.9..9. Q . 233. MANADO SOLO ........... .8PJ.'.? . . : ?. .9.4. .:
.9.9.9 . .............. .............. B P . ?. . : 9 . 9 9. : 9 9 .9.. 2 3 4. . ........ .MANAJ?.9 . ...... . . --- ·· ··· · ·- ·· - · ·- · --- · ·- · ·· · · · ·- · ._ ...... ?Y . MJ? .. AY.A................ _ ....... . ...... B.P.2:
. 9..?.: 7 ... : .2 . . :
9.. .9.. 235. MAN,_AP.. Q . . TIMIKA . .....RPJ .. ? . . : J§.ҳ.:
9.9..9. ........................ ..RP? . . :
.9.9.9. 237. MATARAM BANP.f\ A.PE.I.:
........... . .... . ...... . ...... ........ ..........BPI.9.:
§.4..§.:
.9.9.9 . ........ ................ BP.9.: '.?4..? . . :
9 .9.9. 238. MATARAM BANJA,RM,AS_IN ............. .... .. .BP.§: §.9; ?. .. :
99.Q .................. .........BP.4.:
§.$§:
9.9.. Q 2 3 9. MAT ARAM BAT AM.....J.: 3:
P.§:
. 4..§.L: Q.9.9............ .......... .... . . l.<P4.:
:
?..9.?.:
9.9..9. 240. MATA,Rf.\M ..... BIAK ....... . ............................. BP.1..1 .. :
. ? .. ?. . . '.?.:
.99.9 ................... ... RP. ?:
§4..9 .. :
9.. 9. .9. 241 . MATARAM JAY AP URA.................R.P.1.} .. :
9.?.. h . . :
.9.9.Q . ......................... .BP.7.. .:
.9..9.Q 242. MATf\RA.M ..... Y ^OG Y ^AKARTA ........ . ... . .............. . ................ . .......... . BP.4. .. :
4..E .. :
9.9.9. ..... . ...... ...... .. . ....... . .. . . BP.Ă .. :
7.?.J.:
.9..99. 2 43. MAT ҴҵM........ MAK1\SS!\R.... . ..... ............. .BP1.:
. 9.9.9.:
.9.. 9.9. 244. MATARAM MANADO . .. . ........ .. . . 8.P.§.:
7J7.:
9.9.Q .. ............................ R.P'!:
7.: '.?.?:
.9.9..9. 245. ^. ....... MATRAiJ(_: : : ··············· MEDAN .. . .... . .............. . R.P.I..9 .. :
9.9..9. .. · · ^· · ^···· ·...........JP..?. .. :
. <?..yE.:
9..9..9. . 246. MATARAM PADANG ....... .......... .. .. ... .. ........... . ... . ....... .. . .. ...... BP.9. .. :
.9.9.9. ....... ..................B.P. 1 . :
§. . § . 7. :
.9. 9 .9. 2 4 7. M,A 'IAR!.: \M..... . . ^. . . P ALEM,BA,N Q.... ... .BP.7.:
. ?..?..LQQQ ... .. . ..... . .RP.4.: .4.§.:
9..9.9. 2 4 8. MAT A.RA.M. .................... PE.Kl.l'JJ?!\R.Y.. ........ . .......... R.P.9 . . J.9. .. :
9.9.9.. . .......... . ........... ..RP.4. .. :
9...9. 9. .. :
.9..9.9.. . 249. MATARAM PONTIANAK ... . .......... . ....... BP.§.:
.9.9J:
.9 .9Q ....... . ............R P.1 :
?' .9. ? . :
P..-:
.?.'.? . . 9. . . :
9.Q.Q....... . .. . ............. .8.P.'.? .. :
. ?. . J . :
.9. 9.9. 251. ME.PAN..... BAND.A-A9E.. B.. ........... ......................... ....... ........... B.P.;
.9..9. .9.. . ................ ...... .. . .. . . R.P.'.? .. J . . 9. . . Ň.: 2 5 2. M.EI?.AN...... . .. . .. MAK!? $.AҸ........ . ..... ...................... .RP.J..'.? .. :
9.9.9....... . .......... .RP.?. .. :
. ă.7] .. :
.9.9..9.. . 253. MEDAN PONTIANAK Rp9.733.000 RPS.230.000 KOTA S ^A T ^UAN BIA Y ^A T ^IKET ASAL T ^U J ^UAN BISNIS EKONOMI (1) (2) (3) (4) (5) 2 54. MEDAN SEMARANG . .. . ........ . .. . .......... . .................... ...... ...... . .. . ...... . .. . .. . ....... J.3: P..9. .. :
. '.?§.1.:
.9.9.9 .................................. .R.P.1 . :
. ? . 9.. ? . :
. 9.9.Q. 255. MEDAN SOLO..... ................ ............. .. .. .. . .. . .. . ..................... . ... ............ . .. . .... . ...... . .......... . B P.. 9. .. :
. '.? . . ?..4.:
.9 .9.Q .................................. .R.P.1:
.$.?.§ .. :
9.9.9. . . . ?.<?. .. :
... MEDAN ......................... .. . .. . .. . ... . ....... . .. . ... ....... f.? Y. RA.l.?..AY.b.... . .. ...... . .. . ........... . .. . .. . ........... . ................... . . R.P.J.9..'..799.:
99 ... .......... ...... ....... . . R.P.?J.'.?..4.:
9.9.9 . b.?.?..:
...... M%.Q ^A. I: '!.............. . .. . TIMIKA .. .. ..... .................................. ...... . .. ............ ... ......................RP.J?.:
8?.?:
.9 99..... . .......... . .. . ........... . RP.9..'..1.e?.:
9.9.9. 258. PADANG MAKASSAR.... . ......... . .. . .............. . ... ...... ........ . .. .. .. . ......... .....RP. . . Ö..9.:
. 27..1.:
.9.9.9 . ................................... .8.P. §. :
. 1 .9. b . :
9 . 9.9. 2 5 9. PADANG....... ....................... .......... P.9.J'i'.I!A.NA.: E<:
... . ....... ......... . ............... ............. .. . .. . .. .. .................. . . 8.P.§..:
J.9..; ?. .. :
9.9.9. . .. . .. ...... . ...... . .. .......... BP.: 1±.:
4.09.:
.9.9..9. 260. PADANG .. . ............ ....... . ............... .. . ....... $%.MA.1.3: !\N.9......... . .. . .. . ..... .. ... . .......... . .............................. . ...... . .. .. .RP.7.:
.7..4..4. .. :
9.9.9. .......... .. . ....... . .RP.Ù .. :
.. '.? .. ?..:
.9.9.9 2 61. PADANG SO LO ................................................................................ ................................. .R P. 7 . :
.7..1.1.:
.9.9.9 . .................................. BP..4.:
.9.?.?..:
.9.9.9. 262. PADANG SURABAYA.................................. . .. . ........................ . J.3:
P.9..:
J.9.9..:
9..9. ........ ................. .RP.1.:
?.f: ?.4..:
.9.9.Q. 263. PADANG T ^I M ^IKA ...... . .................... 8P..IJ .. ? .. :
7...! . . $ . . :
9.9.Q....... .. . .. ...... .. . .. . ....... . . BP§ .. :
. f: ?..?..?.:
.9.9.9. 264 . ..... . .. . .?..Al: ANQJ9.\RA.Y.1. BANDA ACEH .. . .. ...... . ................... .. .. .......... . ...... .....BPJ9.:
. ?..1.<?..:
.9.9Q.... . .. ............... . .. .. . B.P.9..:
9.&.&-:
.9.9.9 265. PALANG KARA Y ^A BATAM ...................................................................... ..... ... ......... . B P ? :
J. § . L. 9 .9 . 9..................................8.P . 1 :
. ?. .7. § :
.9. 9 . Q 2 66. PALAN G KARA YA .......................... ........ .Y..9..Q.X.A.MRT A ........... . ... . .. . ..... . .. . .. . ........... . ........... . .............. B.P.7...:
4..7..7.. .:
9.9.9..... . .....................BP.4. .. :
.9.'.? .. '.?.:
.9.9..Q. 2 6 7. P ALANG KARA Y ^A MATARAM.......... . .................. . .. . ..... . ........ . .. . .. ...... ...... ............. ...... BP.?..:
. ?..?..7..:
.9.9.9. . ............ ............ B.P.1.:
.?.$.$.:
.9.9.Q 2 68. P ALAN G KARA YA. . .......... . ....... .......... . ..... . M%.QA. ^N ........ .......................... ......................... . ... ..R: P..Ö.9.:
. 0.9 ^. 9.:
.9 .9.9 ................... 8.P.?..:
. 4.J .. & . :
. 9. 9. . 9. 2 69. P ALAN G KARA YA PADANG . .......................................... . .. ...... ...... ... . .. . .. . ............... .. B.P.$.:
.7..§.9..:
9.9.9. . .............. . ........ .BP.4. .. :
. f: ?.4.'.? . . :
.9.9..9. 2 7 o......... .P.A1A.N..QMR.A.Y.A ........................... ....... PA.1.MJ.?.A.NG.......... . .. . ...... . ...................... . ............ ..... .RP.7.:
&.!?&.:
9.9.9 .. ........................... .RP.1 . . :
.9 Ý.Ú .. :
.9.9.9. 2 71. . ......... P.Al: A.I.':
.Q.J.A) YA........ . PEKANBARU . ...... ......... . .. . ..................... ...... ... . ....................... BP..? .. :
. ?.9..?..:
.9 .9.9 . ................................... l.3:
P.4..:
.9.9..9.:
.9.9.9. 272. PALANGKARAYA SEMARANG................... ...... ............. .. .. . .. ........ . ................. . ...... . ...8.P. 7.:
.; ?.!?.; ? . . :
9.. .9.9..... .. . ....................... .BP.; ?. .. :
. 9..4..7.. :
.9.9.Q. 2 73. PALANGKARJ\X!.. .......... . ........... ....... . .. ... .. .. §Q!.: '.Q...................... .... .. ........... . ...... ... . ...... .......... .. . .........Rp7_:
Ñ_§_2. 000.... .... . ...... . ... . ...............BP.4. .. :
9.?..0.:
.9..9.Q. 27 4. PALANG KARA Y ^A SURA BAY A..... ...... . .. .. . .. .............. .................... . ...............................RP.?.:
. 2.2 .. §.:
.9.QQ . ....... ....... . ............. . .... . 8 P .4. . :
. '.? .$ . ?. . :
.9.9Q 275. PALEMBANG BALIKPAPAN ............ . ........ .. ...... . ........................... . ...... .. . . 8.P.9..:
?9..1:
9.9.Q........ . ................. . . RP?..:
).'.?..9 :
9..9.Q 276. PALEMBANG M A . Kf\ § . S. A R .... ................... .................... ................................ l.3:
P.9. .. :
4..9.9 .. :
9.99 ................................ BP.1.:
.7..?J. . :
.9 . 9 . 9 . 277. PALEMBANG PONTIANAK . .. . ............... ........................ . ............... . .......... . .. .....B.P.9.:
. 9..?.?..:
.9.9.9 .................................. B.P.?.:
.$.4..9.:
.9.9.9. 278. PALEMBANG SEMARANG.... .... . ..................... . .. . .................... .. . .. .. . .............. BP.9..:
. '.? . . ?.§.:
.9 .99 ... ..................... B.P.?.:
. ?.9.§ .. :
QQ. 279. PALEMBANG SOLO......................... ... . ............... . ........ ...... . .. .............. . ................... 1.3:
P.9.: &; ?.?.:
9.9.Q............ .. . . BP}.:
4..4..:
.9.9.9 280. PALEMBANG SURABAYA ....... .. .... .. ............ . .... ...... ...... ...... . .. . ............. . .. . BP..7.. .:
. §.2.9.:
.9 .9.Q......... . .... .. .. . .... . .. . ...... ij.P.Ĵ:
74.4:
.9.9.9. 281. PALEMBANG TIMIKA.... .................. ...... . ................................. . ..................... .......BP..4 .. ?. . . :
. × . . rn.:
.9 .9.9 . ............................ .... 8.P.?..:
.9.7.. 9 .. :
9.9.9. 282. PALU.... ............ . .. . .........M.A.Me.$.A.B_........ . ....... ..... . .. .... . ........ .. .. ..... ................... . ........ .. B.P_'± .. :
&.?.?.:
.9.9.Q .... BP.× . . :
. ?. . .7...?..:
. 9. ^. 9.9. · · |is ' 3· · : ·· · !.... . ... ppj)j...... POSO ........ . .. . ...... .. .... ... . .. . .. . .. ............... ...... . ...... ...... . ...... . ... .. . ... .. .. . ...... ...... . .l.SPJ. .. :
9.9.9. ........ ....... ... . ............BP.L.4..Ҳ .. Ø.:
PALU SORO ^NG ...... .......... ........................... . ... . .... . ....... .. .......... .......... ... ... . .. BP?.:
. ?.7.?:
. 9.9.9 .. . .. ....... . .......... . .. .....B.P.?:
.?.?..? .. :
9.9.9. 285. PALU S ^U R ^ABA Y ^A ...... ..... . .. .. ... ...... ........ . ... .. ..... ............ . ......... ........ . . B.P.§:
.??..$.:
9.9.Q........ ........ . .. . ......... . . BP}.:
. ?..§ .. ? .. :
9..9.9. 286. PALU TO ^LI -TO ^LI.... . ...... ... . .......... . ...... .................. . ................. . .......... .RP.; ?.:
9..4..LQ.9.9. . ...... .. . ... . ........ . . BP.J.:
9.J.?.:
.9..9.9. 28 7. PANG KAL PIN ANG Bf\J.rn: pA.f>.A.N . ........................................... ............................... 8P.9. . . :
.9.?. . . ?. . . :
.9.?J . . :
. 9 . 9 . 9 . 288. PANGKAL PINANQ:
.9.. 2 J.. :
.9.9.9 . ............................... B.P.?:
. 9.J..!?. .. :
9.9. 9. 289. PANGKAL PINANG BATAM .................. . .. .. .. . .......... ...... .. .... . ....... ... . .............. ....................... .. . B.P.? .. :
?.. ?.9. .. :
9.9.9. .. . ...... .. .. .. ........ . .. .... .. BP( . . :
.9.9.9.. 290. PANGKAL PINANG YO ^G Y ^AKA RT ^A ... . ........ . .. . .. . ... . .......... . .. . ........... .......... .. .....RP.?.:
.9.9.9.... . .. ...... .. . .. .. . .. . .. 8.P.?.:
.&.§'.? .. :
?.?.? .. :
9.9.9. .. ; ?.9.. .. :
. . PANG KAL PIN ANG....... M ^AN ADO................ ... ............. ....... . ............... . .. ...... ...... ................ ..8.P.J..&.:
9.9..7...'..9.9.9 . ............. ......... . ....... . .. JS.P..§ .. :
PANGKAL PINAl\J.9:
...... .. MEDAN........ ............................................ . .. ........... . .RP.$ .. :
?..$$.:
.9.9.Q. .......... ..... .... BP.4.:
. §..!?. .. :
. :
.9..9.9. ... '.?.9.1.:
.. ..... ^P . ^A N.QK!. .. .?.J.I.':
. ? .. ; ?..7.:
. 9.9.9 .................................. B.P.?.:
?..$.?.:
9.9.9. . .............................. B.P.? . . :
. '.? .. 0.'.? .. :
.9. ^. 9..9.. 2 9 6. p ANQ.KAL Pil\IA.N.9:
. P.ķĵ.N.ĶA.R.Y ................................................ ............... ..R.P.7.. .:
; ?..9. . . L:
9.Q.9. ............................... ..BP.? .. :
. Ҭ .. ;
..PANGKAL PINAN.G:
.. . . PONTIANAK . .. .................... . .................. . ................... . . BP§.:
'.?.7.. 9.:
.9 .9.9........ . .. . ........ ...8.P.?.:
7..??.:
9.9.Q ... b2?.:
.. . ........ . Pb-N.9.KA.1 .. EJ.NA.NQ ______________ ...... §zMA.J.3: !{9: -... ··-···- .. -·-- .......... _ . .. __ . .. .. -........ _ .. _.8P.§J3-.f_2.:
9.Q.Q ........... .RP: '.? .. :
PANGKAL PINAN.9:
........ SO ^L O.......... ... . ............... ... . .. . .. . .. . ........ . ........ .. . .. . ... . .. .. . ....................... .. ...... . ... .RP.?.:
?..Ү.9. .. :
9.9.Q ... ......... ... . ............ BP}:
. ү.'.?. . . 9.:
. 9.9.9 . .. ...................... . ....... B.P.;
.?..'.?.?.:
.9.9.9. 301. PEKANBARU PONTIANAK............ ....................... ............................... .BP..?.:
.9.9.9.... .. .................. .. . .... B.P.4.:
9.9.9. .. .. . .. . ....... ........... ....._Bp: ?, . . :
.9 ^. 9..9.. 303. PEKANBARU SO ^L O................................................................................ ....... . .. ........ .RP..7.:
9.9.9 . .............................. R.P.4 J .. 1..Ұ .. '..9.9.9. 3 04. PEKANBARU S.U.:
RA.ҽ.A.YA....... . ................................................................ BP.9.:
. '.? . . 4.I.:
.9.9.9............ . .... . .......... .. ......8.P.4.:
9.9.9. 3 0 5. PEKANBARU T ^IMIKA............ ... . ........................ ........ ..8.P.J.§.:
7.. 7..L.9.9.9. ................................ BP.§ .. :
.7.?.9. .. :
.9.9..9.. 306. POùJ!ANA.I< . M ^AKA SS ^A R . .. . ....... . ......................... . ...... . ....... .. ... . ........ . ......... .RP.9.:
9.J..?. .. :
9.9.9......... . ... . ............... ... . . BP.?. .. : Ü.4J:
.9..9..9. . ... 0.9.7.. :
.. .. . . ^P O NT_L'..N. AK.... S.. *M.A.8!..N..9:
.9.9.9 . ................................... 8 .P . ? . :
.7.. ?. . ? . :
9 ^. 9.Q ................................ .BP}.:
9..9. 1.:
9.9.9. ................................. BP.4.:
'.?..9.4.:
.?.9..? .. :
9.9.9. 3 11. S ^E M ^A R ^ANG MAKAS .$.AR... ............................................. ... ............BP.9.. :
1.9..§.:
.9.9.Q.... ........ . .................... 8.P.1.:
.7..9.§:
.9.9.9. 312. so LO MA.M?.$.A.R................ . ....... ... . .. ... .... .. . ................................. ... . . 8.P.9. .. :
4..§.§ .. '..9.9.9. .. ...................... .....BP.1J?.4..?. .. :
.9.9..9.. 313. S ^U R ^ABA Y ^A DENPASAR.... ... . .......................... . ....... .. . ......... ... . ....... .. . . BP?. . . J . . 2.?.:
.9..9.Q Rpl.979.000 314. S ^U R ^ABA Y ^A J ^A Y ^APU R ^A ..... . .. . ............ .......... .. . ................ . ....... . .... . .. .. ..... .BP...!.× .. :
9..7..?.:
. 9..9.9.. ·· · ········· ^· ········Rp7: ·23_f666 315. S ^U R ^ABA Y ^A M ^AKA SS ^A R.... ... . .. . .... . .......... . .. . ............. . .......... . ...... . .. ............. . .B.P.? . . : ?. .. f?. .. :
9.9.9..... .. ....... . ............ ...... . BP?. .. :
4..Ø .. Ø.:
S ^U RA ^BA Y ^A T ^I M ^IKA R nl 1.295.000 Rn6.589.000 19. SATUAN BIAYA TIKET PESAWAT PERJALANA N DINAS LUAR NEGERI PERGI PULAN G (PP) NO. KOTA (1) (2) ........................................ A MERIKA UTARA 1........ . .. . ,s; ,1.:
:
Ҟ.ľg.? .......... . 2. H ouston 3 · .Ҕ?..ҕ .. . !\1.'.!.Bt.1..ŀ.Ł ................ . 4. New York 5. Ottawa 6. San Fransisco 7. Toronto 8. Vancouver 9. . ..... . Y.'.'.§.: Ł.1.:
: ҥ i.: !.g!.?.i.: !. .............. . A MERI KA SELATA N........ . ........... ....... .. .. ...... . .. . (dalam US$) BESARAN EKSEKUTIF BISNIS EKONOMI (3) (4) (5) . .......... .?.' .. !..?.?.... .. . ................ ............... .. .... . ..... ?..&?..*... ................. ..................... ? . '. . ? . ? ? .. ........ }.Ҿ..' . . '?..?....... . .. ................... . ........... '?..'.'.±.?.!........ ............. . ?.t??. ..
... .............. ... . .. . .. . .. . .......... .. . .. . 1 ..... 1 ..... :
' .. 4 ............. 1 .. .....1.... .......... . ... . ...... .....? . .. . ?...?.... ...... .. .. ........ ?.:
. ¢.'.±. ... . '101 '179..... . ......... }'..?.?..?................... ) . . ?..'.¢ .. '?..?..... ........ ..... ........ . .............. ?..'..?..?.'.±.... . .. . .......................... =1:
,..Q.?? .. . ......... # . . ?..i..=1:
?..?.... ' 13 8........ ... ...... .. ................... .... . ?.? .. ?..?.?.:
.......... J . . ) . . :
. 7.!?..9.. ......... .. ............ ?.' .. ?.'?..=1:
. . ...................... ?. . . ' .. ?..9. . . ) .. . . 10' 902 ...... ................ . ........... .7.i.=1: ?.?. . ... ................................. ҏ.? . . ? ?... !... .. .. """"'i5'6i5'6' .. .. ...................................... ?. . .. . . ? .. ?..Һ............................. ?.:
. ?..?.9 .. . .
: J?.sig?..!ҫ..................I.?.. ,_?.?.?....... ................. ... ?,,.'.±?..?............ ... ... ?'..?..I?. .. 11. Brazilia...... . .. . . *.?.>..?.? .. ғ... 1 , 18......... ...... .... . ?..?. .. ?.!...'? .. 12. Boenos Aires . ... ....... .. . ?.?..?..9.9.9 .... ....... ......................... # ..§.,?,.9..9. .............................. .. #..Q ,, .=1:
9..9...13. Caracas.......... ..................... .. .. ................................ ..... ....................... 3,128 ....... .. ...... }.3,8_? . . ?.... .......... . . ?.?..?...?. ... . 14. R.§1: ҍ .. ҩҪ!: t}?.?...................... . ........................... ........ ...... .............................. .. . ................................. }.!?.1..9. J,.. .. ......... . ........ .. .... .. .. .............. ...... ?..i.=1:
. ļ=1:
.......... .T,_??.: ?. 1 s......... һ.§.:
'.!.!.Җ.§l: g?. .. . . Ҧ.£ . .. . g.1.: ?: gŀ. ................................. ..... .... .. ................................... ¢J.l3.Z.=1:
....... .. ... . ...... .. .. .. ........ . ... .......... .....L?..?..?.?.?..... s, 900 16. .QҤ.ң.!.?......... . .. .. .... . ...................... $.?..,.?.%.?......... .. ........................... ) .. '?..' .. ?..?.?. .............. ........ .......... .. ...... . .. """i'2"j"2'7"" 17. Lima . ... . ... ...... .. ............... . ................. ?..?..?.?..?.... ......................... .. .... . . ?. . ?. . ? . ?.. ?.............. .. . .............. .......... ?. ..i. .9. . ? . ? .. . . • .... . .. .. .. , . ...... .. .. . _ . ........... ...... .. .. .. ................ . ....... .. . ....... ...... .. .................. . .. . .. . _ .. ........... . -........ -...... . .............. -................... - ................... -.......................... ______ , ................ _ . .. . , _ ...... ........ . _.... _ .................................. ...................... . .................................................. -................................. 1 A MERIKA TENGAH 18..... M: җxi'c;
..c.it: Y .................
. ....... f>¡1¡Ҙ¡ . .. Citv ........... . EROPA BARAT . ........ ..! . . Ҋ...ҝ.?..Ľ.Ľ... .... . ... ............ .. ............. T.Қ?.?.. L....... ........ '.?.?..?..?.? .. . .................................. ...*.: i:
, .. ?..Q.Ҽ..... ...) .. ҉ . .'.?.?.?. . ............... . ............................. ?.. '..?..?. . . ?. ... .. ..... J .. ҈!...?. S?..Ļ...................... 5.ґ .. Ҍ9. .. ?_ '19 5 21. Vief1.:
:
................................ ... . ...... . ................... .................. .. ............... !.9.? .. ?..Ҝ.9..... 4, 177 . ..... . .............. .... . : ?, .1_; ?._§.7. .. . 22. Brussels 10,713 5,994 3,870 .......... 2-3 . . :
.......... ·Niar.seilies........ ............... ... .. .. . ......... . .. .. . ........ ---------.. -·..... . _______ - --- .. -------.=I-.?-.?<?.=• --=>-·-----··--·----.=-.-.-.$-; 9•?.•4".·• .. _ ............ .... .. ...... ., .. -.-.---.=-.-.-.-; §.iL ............ 2.ӂi':
...... . . Paris........ . . }..9 .... 7..?.=1:
... ....... .. ................................. ?.i..9.. ? . . ?..... . .. ..... ?..:
'.?'.?} .. .. 25. Berlin . .. .. . .....: Ғ9 .. '.Ļ.7..7.... , 126 ...... . ..... . .. . .. ?..?..?. .. ?..?? .... . 26. Bern 27. Bonn 28. H amburg 29. Geneva 30. Amsterdam 31. Den Haag 32. Frankfurt EROPA UTARA .............. 3 ...... 3 .. . ... . . · ....... . ...... . s;
?.P.£.ҧJ.: ?:
Ҩg-£i.: !. ............ . 34. H elsinki...... . .. .......... ...... .............. . .
Stockholm 36. London 37. Oslo EROPA SELATA N 3 8. .?.ľҟ-ҢJĿY.? .... . 39 . ....... Ҡ§l: gҡĿ? ........ . 40. Athens 41. Lisbon 4 2. ·...·Ma'dricf .......... ..
....... . ....... J}.:
'.±.7.?...... . ..... . ...... .. ..... ?.i.?T?.. . .. . ... . =1:
?.?..?. .. ? .. ......... J..9? . . ?..=1:
?........... .. ......... ??..9.?.?.... . ... . ................ ?...7.?.? .. .. 9,938 7,639 ,108 ..................................................... 8 ...... , ..... 1 .... 6 ......... 6 ................................. ?. ?. . ?.. 7..9............. . .. . ... . . '.± .'.. ? .'.?.'.?.... ... ........ ?.i..} . . ?....... .......... . ....... . ... ?.&?..?... ....... . .. . ..... .... . .. .. ?.,,.?.?.L.
............... ? .. '..Ҏ . .. ) . . '?..... . .. . ... . ................................. ?. .. ?.?. . . ? . . ?..... .......................?.?.. ?. . ?..L.............. ?..:
.?..?.9..... ......... . ................ . ....... '.±.i.9..?. . .7.......... }.i..9.?..қ .. .
................. .?..?.. .. ?..... . .. .. ........................... =1:
'.. .9... .. .
............ }.9. .. '.9. .. ?..?..... .. . .... . .. ............. ?..' .. ? . . ?. . . ).... . .
...... .. ...................... .'..?.1. .. $.?..... .... . ............... .. .. ............ Ґ.i. .. ? .9.. ?......... ........ #...ҙ.'.=1: }.9.... .......... . ...... ...... . .. .. .. . ...... T i. . ? ? .................. ļ.?. . . ?.?.'?.... .... . .. . ....... '.±.2.7.?. .....
............ . .. . ... ...... ?..?..'.±.?.?. .. . . ,153 . ... .......... =1:
?..9..=1:
. ҋ.
....... $$ .. , 7..7.? ... , ............................................................... o' . .. . 1 .... 2 ........ 9........ t .............. ... ? i. 9.. ?.?..... ......... # . . ?.?..?..?..=1:
.................................................................. :
. ........... *.±.'..+ .. $ .. L. ... .............. ..?...'. . . ?.?. .. ?......... ............ J.?.9.=1:
. * ......................... .'..?..9. .................... =1:
?.. =1:
?....................... 9 . . &?.?. .. . 10,393 4,767 3,631 (dalam US$) BESARAN NO. KOTA EKSEKUTIF BISNIS EKONOMI (1) (2) (3) (4) (5) 86. Dubai 4,207 ' 1, ASIA TENGAH 87. Tashkent ' ^17 ' 3 ' 88. Astana 13,661 12,089 ' 89. Baku 13,234 8,556 ,281 ASIA TIMUR 90. 'RP111nP' ,, 9 2,140 1,623 91. Hongkong 3,028 ' 1,25 92. Osaka 3,204 2,686 1, 93. Tokyo 3,734 ' ' 94. Pyongyang 4,040 2,220 1, 95. Seoul 3,233 2,966 1, 3 96. Shanghai ,122 2, 49 ' 97. Guangzhou ,122 2,749 1, ASIA SELATAN 98. Kaboul 6,307 ,90 ' 99. Teheran 5,800 4,600 ' 100. Colombo 3,119 2, 1, 101. haka 3,063 ' 1, 102. Islamabad 5,482 ' ' 1 103. Karachi 4,226 ' ' 1 104. New Delhi 3,500 2,500 1,500 105. Mumbai 3,063 ' 1, ASIA TENGGARA 106. Bandar Seri Bagawan 1,628 1,147 919 107. R: : ino-1.rnlr ' 1,155 823 108. Davao .ty ' ' ' 1 109. Dilli 747 491 350 110. Hanoi 1, 1, ,3 1, 111. H Chi Minh 1,6 1, 1,2 112. J Bahru ,195 911 525 113. Kata Kinabalu 1,894 1,427 694 114. Kuala Lumpur ,158 659 585 115. K11r: h1no- 2,659 1, 00 364 116. M: : inil& 2,453 1, 14 1,150 117. Penang 918 766 545 118. Phnom Penh 2,202 ,9 1 1, ___Ll.9 ---'- ^Singapore 991 673 40: 1 120. Vientiane 2,274 2,025 1,420 121. IYangon 1,468 1,212 1,053 122. Tawau 1, 1, 694 123 Songkhla 2,344 1, 155 823 (dalam US$) BESARAN NO. KOTA EKSEKUTIF BISNIS EKONOMI (1) (2) (3) (4) (5) ASIA PASIFIK 12!-" ..........g _?.: !l:
1?..¡Era ............................. .. . .. ....... §.1 .. ;
..9.i... 6,30 ............................. ʋ?. .. ? . .9..9. .. . 12 4. Darwin ..... . ........... . ........ . ............. . ..... .. <?..1.?.?.?..... .. . .......................... ................ : 1:
1 .. ?..9.9.... . ............... ................ . ...... . ......... 9-.?..ʎ .. ?i. .. . 125. Melbourne ....... . ............... . .. . .......... ....... '.±1?. . . ?..? ... ............................................. $-'.?..% .. '+... . ................................ ; ?. . . !?..ʍ ... . 129. • .. s .. .. ... u .. . ... . v .. . .. a ......................................................................................................................................................... • ..................................... ...... &.; ?.1?.?.§.... . ............................ ............ 11 .. 1.?I... . .................................... ʌ.?. . . ?.?.Q .. . 13 0. ..... : ; y L֮ucy . .. . ... . ............... . ............ ........ . .... : J:
1..?..B.2... . .. ............................... : J:
1.B_}.7__.................................. B.?..§.?..'.!.. .. . 13 1 . V animo................... . ... . .. . .... . .... . ..... ... ..... ; ?..1.9. . . ʊ . . ?.... . ............................................. B.1..7.. '.±.9......... . ... .......... ............. . B . ?. . ; ?. . ?. . 9 . .. . 132. Wellington 11,750 9 ^, 8 ^30 4,120 20. SATUAN BlAYA P: ENYELENGGARAAN PERWAKILAN REPUB: LlK INDONESIA Dl LU.AR NEGKRI 20.1 ATK, Langganan Koran/Majalah, Lampu, Pengamanan Sendiri, Kantong Diplomatik, Jamuan (dalam US$) NO. KOTA ATK (OT} Langganan Koran/ Majalah (Ekslempar/ Bulan) Lampu (Buah) Pengamanan Sendiri (OB) Kan tong Diplomatik (kg} Jamuan (OH) (1) (2) 1.... . ... . .......... . .. ... .. ... . ,AMERIKA UTARA 1 . ........9..1:
-.8.P ..... . . 2. Houston.......... ........... . , 3. ....... . . !: '..<?.֣ .. . . 1.\ִ:
gl'.:
1.ů.֫...... ... ..
1 4 ) (5) ............ !:
. !.|.?..?........... J.1.H.H.9 ...•................................. · . · . · . · . · . · . · . · . - .. - ... 3 ^· . · . · . Ț . · . ^1 .. · . · . · . · . · .• . ......... J2yz?. ... 1 .•..•..•.........•...•..•..................... 3 ..... 8 ....... • (6) (7) 1 8........ '.?.2 .. ?.?.: 2-.... . ...................................... 9 6 18............ . .......... . . H.1.?..?.L. .. . 94 1 8 ...................... °'.: ±֥.?... .. 96 1 8 ) 4 . New York (Konsulat Jenderal l,299 20 2,30 8 101 91 89 91 96 Republik Indonesia) 5 New York (Perutusa .n Tetap Republik Indonesia) .1,299 2,30 8 0 96 , ............... 6 ... · .. · ... .. ........., ^Ottawa 1 ^•......•..•. 7 ......· .. . ........... s.§.n x/11 ^. .l3..i0-?. ............... . 8 ^. Toronto . .......................... ..... . : ·· · ... i . ; "3 ^· 07 ^·· 1 ^. . ^.. . . ^. . .. ... ..... .. . ... .. ........ . .. .. ....... 4 .. _ ...... .. .. .. .. . .. . .. .. .. .. .. .... H9..... ..... . .J.1.?.I.?..?..... 10 6 ....... . .. l 00 .............. ^. ............................................ J..t?..?û... 4 0 . ! . . ֝ ... ········-······ .. . ........ . . H.?.I .. ֨.?3-.... 101 . 96 . ........... ֞ .. &C?.?... 4 2 . 2 0.... . ... . ......... . . N.'.°.?. .. ū... . l 0 6 1 00 9. Vancouver..........J. .. . ?. .9..7.. ... 4 ^2 20..... ........ . ........ . .... 8.? . . ?..?.ŭ.......10 6 100 ........... 1-.9.:
. ... .....W.\ : ; ; .hi!:
ge2.1]-···-···-·-···· · - · · · · · · - ·- ·· ·- · ·· - -· - - - · - ·- -·- · - ___ ....1.1..:
?.3 42 1 8 ···-···^1._z`.... . . ·· · ^··· · ······ ··········· 9 · 9· ^··· ·· :
....... . -................ '.?.;
. AMERIKA SELATAN 11. ^· · ^·· · · 1 i3·ʅgʆ.tʇ··· .. ·· ....
...... Brnzilia 13. Boenos Aires 1 4 . Caracas 1 5 . Paramaribo 1 6 . ...... . . §.a.1.1..b.i..cg2...֬1.ů ... 9.. !1..i..1.֭....... .... ... . .. . .. . 3 ........... !.>.1..?.? .............................................................. . 1 8 4 ^7 22 4 0 ·· is ............... : ֡ .. ?.: '.': 7§. .. . J ..........................................................• ....... J . .. . ?..9.9. ................................................................ . 5 ^6 ........... 8 . .. . 1..7..? ............................................................. . 27 33 ......... } .. . ?..L?.. 9.......... ........... .. . ............. ..................... . .. . ... 1 1 6 37 .......... .J. .. 1 .. 1.?.. H .................................................................. . 1 8 ,1 5 0 96 91 2,.195 1 65 1 88 2,200 1 5 0 200 .. .. . ....................... ;
. ?֦.9.Ŭ ... 1 42 134 .............................. J . . !.: & .. ?. .9 . .. 85 8 0 1, 777 ^·································· · ^···9·5· .. 90 17 . Quito 1 8...... Lima 32 15 1,1 0 81 7 7 ............ 8....<?.9..1. ....•.............................................................. 1.................... . ....... . .. . ... . . 1 .................. ......................... :
................. . ........................................................ . ............................................ 1 35 1 7 1,262 89 85 ........ J.1.9.?.J?. .. , ......... ...... .. ...... ... . ........... ............. . ......... , ..................................... 1.... .... . .... . ...... ............ . ...... ... .< •••• c .... c •...• c ... 1 ............................................. :
. Ƈ..... . 1 ........ . .. .. . ..... .. . ...... . ... . . ƈ .. . '.: '. ... I AMERIKA TENG.AH 19 . ...... . M.d?:
.'?.? . . 9!Y. ... . 20. Havana 2 .1 · .. ?.§ln.': 1:
1?:
.': 1:
.. g}: !Y. EROPA BARAT l··········2·····2····· . ··········· v ^1· ț · ££Ȝ: ······· 23 .
..... Brw: ; sel 24 . 1\11 Ɖ IP 2 5 .
..... Paris 35 .. ........... 1.?..?:
?:
.?:
.9. .. 1 ................................................................................................ . 33 1 6 . ...!:
. r.9.: ?.§_ . ..... .. . .......... . ... .. ....... . .... .. ...... . ....... .. .. .. 1• . .. ...... . .. .. .................. . ... . .. 1 ............ !.?.??..?..
.....1.?..2±7 ... 2,022 .................... ʂ.;
C: iʃʄ .. ^.- . ······ .
..... ..1..>z.1..9. .. 264 259 269 269 2 54 22 22 23 23 22 ........... ........ ?.!.??..'.!.. .. 90 . ......................... !.?..?.?1. .... 88...··· ^· · ^· ^· ^·· ·-·· · ··· - · · · ֜. & ֛ . ?....1 56 ·· · ^······-·······-·····-······ . ............... ?-.. .. .'.!..?. ?. .. 132 . ....................... }.l,?:
.Q 129 ······ ..................... ?:
.? .. N?.ŭ . . 134 ......................... '.?. .• .9..7.?. ... 134 . .................. ??.?.?..?. . . 127 . . . 26 . ······ Berlin 2 7 . Bern 28 .
.....i3 · Ȥ£; ········· ............. ................... ..... .... H .. . ?..9.. ?. ... ..................................... . ^334 33 5 ,ü . . ?..§. ... 1 66 29...... . . ֩l'-1:
1: !1.: 1?.1?.:
r.: g ......... . 30. Geneva 31. AP.J.ý.t.þr: <:
i.9.: : 1:
.......3 2. Frankfurt 33 . .. .....P.Ů1.?:
.. l.i'.3.: ֶK ....... . EROPA UTARA •································• 34..... . 9..?P.Ů1.?: !1..§l: S.֪.ֳ:
......... . 35. Helsinski . ... } 6. Stockh()ȝ.1.!1 ..................... ........... ^. ........................ . 37 . London 38. ······ 6Ȟiȥ· · · · · ········· .
.......... 1..1.?}..9 .. . 25 4 22 . ...................... '.?.&2.9 ... 127 2 5 7 ........... 1. .. '.z.?:
.z............ . ......... . ... . ............... . ..... . ...... . .. . .. . 22 . ............ H.i..?.1.?. 1 8 334 28 . .................... ...... ?:
.. ?.. ?.. ?..?. ... 1 66................... ?:
.!.?..9..?. .... 1 . .. . ...... . ..... . .. . .. ....... . .. . .......................... 1 254 ............ 1..?.?.1..9.. ................................................................ . 22 ................... ?.i.֧.2.9 ... 127 2 54 22 ................ . ... ?:
. ?. ?. ?. . ?. . .. 127 · · ····· ........ .J..>.?. . . 1..9............... ..... . ........... . .. . .. ........... . ........ .. ... . 2 54 ........ J .. !.?. . . 1...9 .. 1 ............................................................• 22 . ............ ?:
.?..??1..9. 127 ........... ?:
.! .. 1. .. 1..?. .. 28 1 24................... '.?..'.?.: '.':
.?.0.: ±9. .. . 259 22............. . ....... ... ?:
.. . ?..?.?.... . 213 . ..................... .?.?._: !:
. . ·-····-·····-····-??:
... ........................... ....... ;
1.?.l.Z?.... 209 28 0 25 . .. ............. ...... ?.?.?±?... 250 . ······· · ^·········· · ^·"3 ii .. 2 6............ .. . .. . ...... N .•. ?..?.. ?... 2 5 6 85 83 79 103 101 105 10 5 99 130 99 100 130 99 99 99 110 101 99 259 1 2 1 1 ... .... . ....... . ............· .. ·. ·· . i.iE?..Rȟ: o': !,.P!:
: ': 'A...'.': cȑ."'i.: Ȓ .: : T '.: : tJ.ȓ- ''T'.L!}.i: l.T · · ···· - · - ·· -· · · · ··-- · -··- ·· - ···· ·· - · · · · ' ·· · -- ·- · · ....................... ··--·-·-···-·-·· .... ·--· ^- .. ···-··········-·•-----·--·-············· ........................... 11-····-······-·········- ... . .. . .. . .... . .. .. . ........... _ .. .. . ........ . ...... ............... 1 39.... . .. ?..cE.JfY.?....... . ........... 1..?..1 ^. .. ?.?.. 1 4 5 1 8 2,232 108 ....... 59:
....... . : Z.:
9.: gȧȦ·Ƞ·······....... ...!:
.. _.?..?.... 4 09 20 2.232 11 7 1 5 0 4 1 . Athens .....J . .. . ?:
?-.. 9... 158 20................... . ....... ?:
. .. .?.7.. .?. .. 1 . .. . ..... . .. . .. . ... ............ . .. . ... . 1 ...... 1_ .. 8 ..... .. 1 ...... .. . ..... .. ................. .. 9 ....... 1 .......• 4 ^2. Lisabon . .... ... . ....... .. ....... .. . ..... : !.?.. .?:
.9 ... i........ .. ......... . .. .......... . .. . .. . .... 1 ...... 6 ...... 1 .. .. .. 1 20 . .... . ........... ?:
.. . 7.. °.?:
............................................ 1 ... 2 ...... 1 ......................................... 9 .... 3 . ....... 1 4 ^3. Madrid . .. . ......J. .. . _.7..9.... 1 65 · 21 .. . ....... . .. . . ?:
.?.?; ?.?:
.... 1...... . ......... ...... .. .............. . . 1 ...... 2 .. :
. 3 .......................................... 9 ..... 5.,..... . 44 . Rome 1,45 0 200 45 ........ . .. ...... .....?-.. .!?..9..9 .. . ........ ..... ....... . .................. 1 ... 5 ... ' .. 0 ................................... 1 ..... 2 ..... 5.... .. . 1 45..... . ?ȡ.?gtȢȣ· · ······· ····· . · . : : : .: : : : .: x;
ʈ: $..?.: : . 1 51 2 o ·.......... . ...... J...7..֢.?...... . ................... .. ...... .. ....... . . ^1 ..... 1 . ... 8 ......................................... 9 ..... o ....... , 4 ^6. Vatican ... .. ... . ....! . .. . ?._.9... 177 22 ..
. . .. . .. ........... ..... ?:
/±?? .... , ............................................. 8 .. . · . . 6 ....... , ............................ 1 .... 0 ...... 2 ....... , EROPA TIMU R 4 ^7. Bratislava ·········· 4 · s · : ···· ··· "I3liC: ilare · ; ; ; · E ........ .. · · · ........... ..1...!.?:
.?: 1 9 1,86 7 96 . 99 86 NO. K O T A ATK (OT) Langganan Koran/ Majalah (Ekslempar / Bulan) Lampu (Bu ah) Pengamanan Se n d i r i (OB) Kan tong Diplomatik (kg) dalam US$) J a m u a n (OH) Ill Ȍ ral (4) (5) (6) 49 . .......... K ...... i .. e.... v ....................................................................................................................... . ........... 8 . ?. . ւ . ? N .. . .. 169 22............ .. . .. ! . . ?.?..?..?. .. . 50. M""Ɖ·Ɗm ........ . . !.?..'.±.'.±.Ŭ... . .. . ... 247 25 ..... . .... ........ . .. .. .. .... . .'.?.1.'.!._99.... .. . .. ... . .......... . ........... . ... ................. . , ......... si.... . .. . Prague .... J . . "pp9... .. 148 19........ .. . ..................+2§.9.1 ...................................................... 1 52.... Sofia.......J.?.??.Q..................... 48..... 19 ................. ? ' 9 . ?. . ?..... .... . .... . ................. . ...... ...... ...... ...... .. ,1 . ...... . ............... ..... . .... .. . ...... . . 1 53 . Warsaw ......... 1. . . ?.'.'.1:
'.'.1:
?. . .. , ........................................... 1 .... 7 .. ' .. 4 . ... . .. . , · 19 . .. .......... . .. . .. . ֤.1.;
§N.... 1.... . ................. ................ . ......... . ...... . 11.... ... .. ...... ...... .. . .. . ... . ............. . 1 ......... 54· : · ..... ·u·:
. · : ť·; ; ·: : : : · : : : · · .. :
.. . .. _____ : 3±և .. '±... 292 ʁ-------- Q .. .. .. ___________ 1 .. ֆ.?.J .... 1 . . ___ .......... .. ... . -.... cc...:
......... 11.... _,,,, ______ ,, .. ƈ .... Ƈ ... 1 IAFRIKA BARAT 55. lnȍ,1r1n: n· 56 ... : : .. IAbuia ................................. AFRIKA TIMUR 57 Addis Ababa..... . .. ........... . .. . . 58. Nairobi 59. Antanana.rive.... . .. ,......... ....... .. ...... ....... . " 60. Dar Es Salaam 61 . ·Ŧ.· . .. ii֗Ū: Ū: """' ..
. . AFRIKA SELATAN . ............ ............................. ........ . ..................... . .. . 62. Windhoek 63 . .......9ֱ.P.ֈ...T.s֑i-֒ .............. . . 64 ·.... . . 29.P.3P.: 456: t?7EK...... . 65.... . .. . -ַP\l.!9. .......... . 66. Pretoria ...... ..!.?.?.79 ... . ........... !.2.?!?.J.. .. . . 148 6.................. . .. . ... ?.!.'.=1:
1 ............................. . . J.i .. ֊......... ...... . . 12 ... .. ... ?. .. !.?..?..?. ... ,..... . ......... .. .. . ...... ............. . ..... ......... . , . ................ .. . .......... . ................
.......................... -.... .. ........ ?..1..Q .. ?..։ . ...... . ... .. ....... ... . .. . ...... .. ...... ...... 1 .... 3 .. . . · 2 ........ , .............................. 5..... . . 1.... . ............ ... ũ.!9.7.9. .... , ...................................................... 11 ................................. :
..:
... .. .
. ...... <.?..=9..9.... 5................. . .......... ?..1.'?.?i., .................................................................................................... .
......... ?..?..9.. ?.?... 5 .... . ...... .. .. . .. J.'..?..?..?....1............. . .. . ............. .. ... . .................. . 11 ...... . ..................... ............. .. . 1 ......... ..!.?..?.'?.?.. ... 128 5.... . ..............J . . !.?..?..9 ... 1...... . .... . .......... ....... . ........ . ...............11 .... . .. . .. .. . .............. .... . .............1 .. ........ ?. . . ! .9.. ?. . ?. ... 136 s............... . ........ .. . .. } .. 1 . ?.?....................... . ......... . .. ...... . .. . .. . .......... . ,f ...................................... :
.....
. ........ ?. . .. . =.'-1:
L....139 1 . ......... . .. . .... . ... . .. . ... . s...... 1 .................... ?. ?. . ? . փ 9...., ....................................................... 11 ............................................. .
......... ?..!..'.±.!?..֖ .. ...... ...... -........................ 1.. 60 6 ,,,,,,_,, ,,.... ...... ...... ...... . .? . . t??.9 . .. + .. .. .... . ... ................ .......... ......... .............. ....................... . ... . .. .. . ......
. ...... ?..1.k.?.?.... .. 150 1 ........................... 1 ... 0 . ......1..................k!..l9.9. . ................................................................................................... .
........ ?. . .. ?..9.. ?.... 149 6 ......... ...... . .... . 1. .. 1.?m.? ... 1 .. .. ...... . ......... . .............. . ............... ..... 11........ ........ . .... . ........ .......... ..... 1 ......... ?..?..'.?.?..?.. .. 150 10.... . ...... ........ ?.?..9..9..9. ... , ...................................................... 11 .. .. ........ . ....... . .. . ...... .. . .. . ....... . . 1 , ............................. 111 A ...... F ..... R .... I .. . . K . .. .. . A ....... . .. U..... . T ... ' . . A.... .. R...... A ......................................................................... ,.............. . .. ...... ...... .. .. .. . ...... .. .. .............. .. .. .... .. .............. .. ...... ...... .... . ... ............ ................. . .. .. .... . ....... .......... ............... . ............................ .....f .......................................... .
........ . 6: : : ' .. 7:
..:
......... ,l: A ... : : .k.Q.i:
e: -: : : rs: : . . : : : ...................................................................................................... 1 ........ . =.?..<;
9.... 140 6 1 .,815 68. Cairo . . J.֙.֚.??.... . 7.... . .... ..........} . .1 . . ?.?..?...i ........................................... . . 69 ... : : .. IKharcvurn........J . . '.?..?..9. ... .. 151 1..... .. .. . .. . .... . .. . .. . .. . .. 7 . .. .. .. J ...... . ...... ........ ..... . .. . ......֓.?.ŨŨ.֔ .. . . 1......................... .. . ...... . ......... .. .. .........11.......................... . .... . ........... . 1 70. Rabbat.... . .. . . 8.,֟?..9. .. .. 138 6.......... . J..!?..?..7. . . 1........ . .. . .. ... . .................... .. . .......... . . 11 .. . ........ .... . ................. . ...... . .. . 1 11 .
. .. . .. rʔ: i; ʀii... . ... J.?..?..?..9.... 132 6 ...... . ................ . . ?.,.!.?L .. 1 ...... .......... . ...... . ..................... ...... . . 1 72 .
.... . 1Tu1rn·m.1 ...... . J .. !. ?. . ?. . ?. ... 130........... ...... .. ... . .. .. . ... ... . .. .. . .. . .. .. }.?.: ?..!.ũ ............................................ : : : ...... . :
....., !ASIA BARAT 73 .Man8: 1t1._a.... ...... J . .. . ?..9p... 423 5 1.278 194 52 74. B a ghda d ...... ..J.?..?.."9.... 421 5.... ...... . .. . .. . 4:
..; ?.9.9... 194 51 75 .
. .. . . ·4 .. ; ·ŧŨũ: ; : ; "Ū'""'"'"" 1, 170 5 928 ....................................... 1""7 """7"""1'""""""""""''"'"'"" "","7"""'1 76 .
. .. . !Kuwait :
. : : : "): : : : : : i.fʕJ.:
' .. : : ..... 363........ ............... . ...... . s....... 1,469 1...... . .......... . ........ . ...... . ... 1 ...... 6 . ... . 1.......11.... .............................4 ...... 4.... . . 1 77 .
... . . 1 Be i ru t ....... J.1.;
@.9.......399 s . . ...... . · .. i: 574·· . 183 48 78 .
.. . ... I Doha.... . .. . ... 1. . .> . . 8.?..9... ........385 5 .. . ..............!.1..?.l .. ? . .. . .. ........... . .............. . ... .
.
.
.
.......i ...
.
. 77 ..
. .
....
.
.
.
. . .
· _ · 1 ..
. . :
. . ........... :
. .......... :
........ ɿ . .
. : ": "4""" · "7. """": : 79 .
.....
8n>.·§·LI?.: §L.13..9. 0............. .. .......... .. . .................. ... ....... .... . ....... . ........ . ...... l ....... ! .. .. ?..?..9.... ...... . 381 5 ·......... . . 1.?..7.. ?..... , ...................................... 1...1.... . s . ...... , ............................... 4 ..... 6 ....... , 80. ······ AnJ,.. ..,rn . ... . J.?..?.'.?9.... . . 399 5.... ................ : ?..t?..'.!..!.. . . , ...................................... 1.... . s..... 3..... . ,f............ .... . .. . .... . ...... 4 ...... 8 . ... . . 1 81 .
..... 1Abu Dhabi.... . . J .. 1}.7..9.. .. 408 5 ·..... . ...... . .. . .. J . . 1օ . . ?.9. . .. 1............ . ...... . .................... . 1 ... 8 ...... 1 . .....1..... . ..... . .. .. .............. . .. 4...· .. 9 ....... 1 ......... 32·:
. . .. . . Sana· a ....... .....!..!.. EQ_ ·---·--·-- . . -֎..'!-֏... 5 ___ ,. .... -.... -.... ֍/: l: ?..: 1'.L.1. __.... .. . ........................1..... 1 . . · .. 1 ...... 1...... _ .......... . _ ...... .. 4.· 5 ....... , 83. T..> rlrl: : ih . . .... J . .. . '.?.?9.......376 5 ........ . ...... . .. }..!.?.; ?.'.±........... . ................... . ........ . 1.... . 1 ......3 ....................................... 4.... · .. 6 ....... .
IM,,NȎȏȐ ...... . .. 1. . . !.E.9.. .. .. . 394 6.... ................. ք . . ?..'.l: ?.?. . . , ...................................... 1 ...... 8 ... :
. 1 ................... . ............ .. . .....s ..... o ....... .
... . .. IRivadh .. . ..!?.7'.?..<?.. . . 376 7 ........... ....... ! . . }7.. ?. . . 1.............. .. ...... .......... .. . . 1 .... 7.' ... 3 ...... 1 ............................... 4 ... . ·...6.... . 1 86. ······· r<'Ƌ""""',,1 ....... . J . .. k-n.9.. ... 399 5 · .... . .. ?..?.?..'.!..?....... .. . .................. . ................ 1 .. . . s . .. . . 3 .................................... . .. 4 ..... 8 ........ , 87. -ū· Dubai.......1. . . 1.E.9. . 408 s .... . .. . ..................... J,.'.??9.., ...................................... 1.... s.:
. • . . 1.... . ....... . .. . ....................... 4 .... 9:
..... , ................. !ASIA TENGAH 88. l'l'ac-h kPnt 89.... . !Astana 90..... . lBaku !ASIA TIMUR 91.
.... . i Beiiing 92. 1T-lAn"1'"'1nO' 93...... Osaka 94. : ·: : : · iTokvo 9 5........ . 1.Y.?.?..ֲ:
.1:
1.: Jt......... . 96. Seoul 97. . ..... ֕.1:
.9.:
:
gl.1.: §l. ..... 9 8. . .... 9.: ʐ.': 1: !.1.g,z.; _1:
.ʑ>.i:
..... . ASIA SE LATAN 99. Kab֘; tir··· ..
....... J.?..?..o.9... ... 381 1 ...... . ...... ....... . ...... . . 5 . ... .. . . 1 ........... . ....... . ....... ........... 2 ..... ,' .. 2 .... 4 ..... 4 ....... 1· ........... . ...... .. 2: ·2·44· :
. ·.·: : Ŭ: : .· .. ··: "·.-ŭ: : .·:
··Ů.-.-.·: : ů4.··: ··6·"""·. '.
....... }.:
.?..89. ...... . ......................... . ....... ... . . 4 ....... 1 .... 2 ...... i . ........... . ........ . .........5...... 1 ........ . ...... .. ...1. ?. . . 1. . . ?..9. .. . , .............................. 1.... ·...1 . .... s ..... o . ... . . , ................................ 4 ....... 6 ...... , ....... J.?.;
?..9. ... .. ............... ... . .......... . ...... . ... . 4 .... 3.... • .. . 9 ..................................... 6.......1 · .1..J..Q. 35 1 ............................... 1 ....... 0 ..... 3 ...... s....... 6 ....... .J.?..?..?.9.... ....... 346.... .
.
. .
..
.
.
..... · ......
....
.
. ...... .
. ..
..... 6 .. ... .. . .. .. ....................................... 2 ..... : L,2 .. :
. 3c.. Ű .. 3 ................................................. 4 ..... ·. 7 . . .....J..... . ... . .. . .. .... . ........... . 4 ...... 4 ...... .
..... ...! .. 1.֠.7.9.... ....... 346 6 .. . ...... ... . ...... . ...... . .. ?..1..! .. ??..... 1 . ........ ...... . .......... . ...... . .......... 4 . .. . . ·. 1 . .... . . 1 . .... .. ......... ............. . .. . 4 ...... s.... .. 1 .... >.?.? .. 79........... .. . .. ........ . -.............. 3 79 6 . . -............... -............... ?....9..?..?. . .. . .. . .. . ... . ........ .. ............. . ...... ... .. s.... . 1 ...... +....... ... . .. . .. . ..... . ...... .. 4 ...... 8 ...... 1 1.1.? . . ?9... 379 6 .; ?i.'.!..?..9. . . , ............................................. s:
... 1 ...... , ............................... 4.... ·.s ........ .
........ .! . .'.?.ְ.?.... . . 365 6.................. . J.?. .'.±..., ........................................... 4.... · .. 9 ........................................ 4 ...... 7 ...... .
........ !.1..'.?.79.... .. 361 6.................... : ?..!.?..$.'.!. . .. 1 ............................................ 4 ..... 9.... . . jf .. . .. . ... . ... . ... . .............. 4...· . . 6 ....... , ....... J.?..?. "9.. .... 346 6.................. .!.!.; ?,; ? . . 1 ........................................... 4 . .. · . . 7 .. .... 1......... . ... ........... . .. ... .. 4 .... 4........ 1 .. ..... ..1.:
?.?..?..9........ . 346 6 .................. ?..?..?ű.?. ................................................ 4.... . 1 .............. . ......... . ...............4 ...... 4 ...... 1 1 ,120 50 6 ......... i}jֹi's· 65 89 1dalam. US$) NO. K OTA (1) (2) ATK (OT) (3) Langganan Koran/ Majalah (Ekslempar / Bulan) (4) Lampu (Buah) (5) Pengamanan Sendiri (OB) (6) Kan tong Diplomatik (kg) (7) Jamuan (OH) (8) 8 0 110 100 . Teheran 1, 64 0 , .............................................. 6.... a....... . , .............................. 1 ....... 1 . .. ...... .. . .. . .. .... . ..... . . ŧ.&?.9...1 .. .. . ...... . .................... . ............ ......... , ............................................ 1 1o1. ^···· c010ƌh0············ · ·········· ······ . . .-. -.-.-.-.-.-.-.I.5.?..9 :
-. 44 5 . ................. . .. . .... . ...... .. ն . . 1. ± 2 . ?. . . 1 ....................................................... 1 .............................................• 5 ^7 78 5 ^8 79 10 2 . Dhaka .... . .... 1. .. !.E.9... 45 5 ....... . .. . ....... .. . . 1..i .. ?..?.չ . .. 1 ..................................................... ,, ............................................ 1 10 3 . Islamabad ...... .. . !.,,.'.??.9.... 45 5 .
. . ..... . .................... . . "! .. 1..'.1: } .. 5 ^8 79 5 ^8 79 10 4 ^. Karachi .....J . . 1.?..'.?..9. ... 45 5 ^·........ . ........ ^. ........ . .. . .. : ո .. i .. ?.± ^?. .. •····· ^· ················································•i···· ....................................... ^. 1 5 ^9 8 1 10 5 ^. New Delhi 1,1 7 0 4 ^6 5 . ···--·-·----ƛ1}ƍ .. ?_1 . .. ........ .. ............ ... _ .. .. .... ............... 1 ..... ........................ - ..... .. .... , 10 6. rvruպac .............. _ ....................... _________________ --#-$%-&TT?.-.<?.:
4 ^6 s.... ... . ..............Ɯ&?..?J. ... , ......................................................• , ............................................ 1 5 ^9 81 ASIA TENGGARA 75 8 3 l 01. : : : ?Ǝ: : Ɵ: Ƣ; T.:
: §: ƣl.I: : f.: 3-Ơ: Ə ^ƤƐơ: : : : : : . ^: : : ····· ····· ·· · ..... J.?..1..ֵ?.9....t···......... ...... .... .. ..................... . . 4 . ... 1.·.... ... , .............................. s .. . .. . . 1 . ^.. . ^..... .. . ^. . .. ... . ^. . .. . ...... . .... ^. .. . 1 .... ,,. 3 ..... s .... ' .. o..... . . 1 ...... ................................................. +·····················-·····················I 75 83 108 . ... !?.վ.Si.<.:
?.!........... .J..!.1.7.9. . . , .............................................. 4 ...... 1 . ...... 1 .. . .... . .. . .......... . .. . .... s ....... 1 ...... . .. .. . ........ . 1./:
!?.9. .. , ...................................................... 1, . ... . .... . ....... . .... .. .. . ... . ............ .. 1 75 83 10 9.... 1.?.ָY.1: 1: ?. ... g.i.սY.......... ..... ŧ . . !1..7..9. 4 ^7 5 982 ,........ ......... . .. . ..................... .. .. . .... ... ....... ....... .. . .............. . .. . ........ 73 8 1 l l 0. Hanoi .. .....} . . ?.} . .?.9..... 4 ^6 5.................. . ............ }..t.1..7..?J. . .. -1 .........••..• .••••.••.••.•.......•.............•..•.•.. . , ...•...........•..••....•••.•.•..•..••..•••.. 1 111. ^···· 1i; ···cb: T ^. M ^iili1·········· .. ··· ·· . .... . . J._, __ E.9... 4 ^6 s .... . .. . .. . ... . .... . ........... . . i..?..?.: ?.?. .. . 65 8 1 6 0 66 11 2 . ····· JoiƝ0·1: ··i3·; ; ; : hƑƒ ^············· ···· ... . .J.,,. _.?.9.... 37 971 ^·······················································ll············································I l.1 3 . Kota Kinabalu.... . J.?.}:
.?9..... 37 4 . ... . ........................ . . ŦJ..9.?..?! .. . 6 0 66 62 68 11 4 ^. Kuala Lumpur.... . . J.!.? . . 1..9.... 38 4 ·.... ....... . ... . ... ..... J.i .. '.?..?.ռ . .. i· ^················ · ^·····································•i············································• 11 s ^. . ... ·M¬; ; -iiƓ···...................... . .......... .. .. . ........ 1..,,} . .?9... 4 1 s..................... ..!:
. '.9..?..?. .. • ....................................................... • · 5 6 0 l l 6. .... .1.'..տ?..֯.1.1.JL....... . ......... 1..1..!:
7..9. .. 3 7 4...... ·······........ . 1.i.1..?.. ?. ........................... ····························I 62 83 66 69 . ........ . 117. Phnom Penh ....... .J..! . . 1..7 9.... 39 4 .
............... . ............. '.?..i.9.? . . ?. .. , ....................................................... 1 11 8. SingȨpore........ ... . 1.-'} . .?9..... 4 ^9 5 . . ....... ?. . . >.?! . . շ . .Z. .. -1······-······················-····-·······-·-····,•·······-····································• 78 87 75 11 9 . Vientiane .. J.!..?!9. 4 ^7 5.... ................ Ŧ!..?.?..?. . . , ................ . ....... . ................ .. .. . . 83 74 1 2 0 . Yangon ....... .. ) . .>.! <?.... 46 5 98 1 •·······················································• 1 2 1 . · :
: -. ɽ-.?.. ɾikFE...--____.... . ..!..?.... ?.9.... 4 ^7 s .... . .. . ..................... . ...1.:
1.«.?..9. ... , ...................................................... • 82....... . .. .. . .. 75 83 . . 6 0 1 22 ^. Kuching . .. . ... .. .. . !.1.. !.?...9. .. 37 4 .... .... . ...... . .. . .. .. ........ ....1. J..?.?. . .1-... , ....................................................... , ...... 123': ·ɹɺ- f: ; a......................................... ................................................................ . .... . } . ^• J?..9... 37 4 .... . .. .. . ...... ...... ........ ...... !.!..H.'.?..!. .. , ........................................................• 66 ASIA PASIFIK .124 . Canberra. 1 25 . ^····· i5¬1: ; fn······ ···· 1 26. Melbourne 1 27. Noumea 1. 28 . Perth 6 0 66.... . 1 23 92 ....... .J. . .. ?..?..9... 6 0 ...... 2 9 ............................ ?..1 . . 1. . . ?.Ɣ·-·1························································1············································1 ............................................ 1. . . !.'.?..'.?.9. .. . , .............................................. 5 .... a .........• · 6 .......... ջ.?..?. ^? ? . .. . , .....................................................•............................................• 1 23 92 1 23 92 ... J.1.'.?.?9. . . , ............................................... s .... 2....... . , .· ... · . ^· . · . · .............. ...... . .. 6.... .. . 1 ..... . ................. . ...... ?.!?..?..?. ..•.................................................... , ........................................... ^• 1 33 67 12 3 9 ù ......... }.1..?.?.9... 5 5 ,ú 6 . .. . .. . ... . .................. . ... ƕ.!.?..«.Ɩ····t··································"··················t············································I 1, 22 0 'L. 6 2 ,568 - ^. -.- ^. -ր.·.12.2.·; _ ^·ց. - ^.-.-. - ^. rorf'Moresbv . .. . ...... . ...... ^.. .. ^. ^. ^. ^. . ········ · · 1 3 o. . ...
§ Y. ^4..ii- ^ʒ)L ^.: : : .... ._ ................ ^. ... ^. ... ^. . ^.. .. . b ...................... Ɨ-- ^- Ƙƙ.'.'.'.'.].'.;
2.2.'!I° . ^· 5 ^0 t ··································T; Mz·•········· .............................. , ...•• :
;
.. .,, . .. ...... . ............. ......... . ; , ... ƅ:
... , ........ ..!.1..!..9... 5 ^2 E . ......... ...... ........... . ........ j'J()(j" 1 3 1 . Vanimo ········1'3·2·ƚ· --- \v.Ii..foi.!. · ʓ----............. . .. . .. ....... i."3.3: Suva ······T34·: ······· biiiC............... . . r , , I ȋ I 1, 22 0 5 ^0 E ........ . .... . ............ 6.ij>i·t······································: : .:
. :
:
... ii ................................ :
.. : : : : . ... , ' 2 3 ' )...... . .. .. . . ......--I;
.ɻɼL s 2 ........_.L?..+cL, . ... .. ............. . .... . ............ . : : - .. Ɔ:
: : . ... 11 ........•.................•.... : c· . . : : : : .... 1 ............ ·· .................. ······· . -.· : : : - . ·: 3:
^: -.1.-$.. ƞ.: : · : :
._: ^: : ^: : : ^:
^: : : ^: : : · . ^: : . ^: : : . ^: : ^: : : ^: : : 1: -.t.4.i :
: ^l······················································ll·············································I 1 4 86 7 88 20.2 Pemeliln1raan, Pengadaan Inventaris Kantor, Pakaian Sopir/Satpam, Sewa Ke n d a r aan , dan Konsumsi Rapat Pemeliharaan NO. K 0 T A Kendaraan 8,528 ·· 3 · ; "3 · s x· · ···················s·; ·520·· · ^· · ^·········· · ^····· · ^··· . ^: ^··· . · .- . · .. · . ^. ·.·.·.··.:
. .-. ^· .:
^· .·.-. ^· .· ..
^.
^:
.... ^.. . ^.. ^.. ^.. ..
^:
.. .. .. ... ^. . . ɳ.-;
?..s.i. :
.-.-.- 9,408 . . ................... . .... . .
.
. .. .
^. .. . ^. . .. .. .. . .
.. . · . · .- . . հ .. . · . .. .. . .. . .... . .. .. ............... .. ?; · 9_0,_:
"_" .. 9,408 ... ^. ................................................... ........... ^.. ............................ ·?.; +@: ^:
· .. ..... .............. ...................... E?.!.?.. ?.: L ................... Atv1,J3: R.. l>fl:
. S..!LȘA,Tf.J\l .... Gcdung (m2/Tahun) 10.... . . :
.?.g?.Ȉ.a.. ...... 8,529 63 11. .. .. B r.azilia..... .................. i"6)5: : i9.. . ........ ······················· ifa .. 1 ^2. 13.<>.Ȁ.'1.(lȁ .. '.\ɮ-ɯ<l .............................................................. • . ·..... ... .. .. .. .. ^.. . .... ^. .. )).o .9.." ....... ..1..3..:
..... Caracas.............. . ... . ... 9..?.'1-9.. ^6 .. 7,562 1 ^5 . ... .. .. .. . . s.·ɰii..ɲg.".".<: I.".".<: : : h 1.ɱ· . .-. .... .. ^. ^. ^. . ...... . . կ . .. . ^. .. . .... .. .. . .. . .. . .. .. .... . ձ..." .. 13."; ·ճ-ղ . .- . , .. · .............................. . 16. 9: t: i: ǷǸ?. ................................... .!?.?..1.9. .. ... Fl..:
. . . _L ^i .1l1.8:
.. .
. .......... ......... J!:
f: <.9.J.: fl:
J?.'.\gǶ T ........ Ȕ..1. .. :
... Y.. i.i:
Ȇȇ!.l.1:
... 13,692 22.....J?.r.uȉ.Ȋ.<: 1:
.... . .... ·· . ...... .......... .. . . i.3">i3·4·· 23. M arseilles ····································· : : : : : · : · : : : : · : · :
: : : : : : : : : : : : : : : : : : : ·.: : : : ·ɷ?ɸ?.sX: : ·· 24. Paris ........ '.2..ǵ.: Berlin 26. 27. 28. 29. 30. 31. Frankfurt ............. ...... . .. .. . .. ..3.?:
...D ^e _n . . Ha.a.: g .... EROPA UTAR.A ...... . .... . ... ..................... . .... . ........... ............ 3..? .'..... . C ^o pe,r: ih,a.g ^n .... 34 . ......t!.l i,1-····· 35. Stockholm "' " . '.................... ..... 36.:
. ^_Lo11.c!on . . 37. O ^sl o .... .... .......... hǹC>?.1.\ ... ǺhL.!\Tt\ǻ ... 3 ^8...... մ-"յ:
£0.SY.O. .... . ....... Ǽ.9..:
....1: 1 gȂ: șl:
.... . ...... Ǵ9 ...... . . 1..t.1:
Ȗ.1.1.13 ..... . 41. Lisbon ··· · ·4·2: ·· ··· : i-.1adricC. 43. Rome 44. : sɴ·ɵgi; ʖr: : : ······· 45 . ... .Y. ȃȄ!.i.ȅ1: 1:
1:
.. EFWPATIMUR 46. ^. . B; : ; _{ ^. ti·la ................ ......... . .. . . 4 7. Bucharest.... . .... . ... . ...... ...... 4.8:
.. 49. Mo ^s cow.................. . ............ !5.9.'...... 1'.: r: ǽ{Ǿǿ .... .... . 5L...Sofia ........ ?.2.:
13,434 ...... ................. Tf ^i"76 ...
.. . ........ "jj )fr · 3 ·· .. .. .............. . ......... : : : : .: : x§_; x±t.:
63 Pengadaan Inventaris Kantor (OT) dalam USS Sewa Kendaraan Pakaian (hari) So p ir I i- --- ....- -'- ....., ....- -- --1 Konsumsi S a tparn R a p a t (Stel) Sedan Bus Mobil (OK) Box 361 . ...... ····3·45· · · · · ··· ·· · ·· · · 3 · 6 T 361 336 9 327 · · ^·· · ·· · · · · · ^··2 6 ^· 4 ·· 350 418 46 . ........... <)""".... . .. .. . . ·····- ···· 3c; 7 ··· ··············· ·; i{iT 500 s oo · · · · · · ·· · · · · ·· · · 5 0 0 · · ............. ··········· 5 · 3 · .. 15 ^. . .. . .. .. .... .. ^.. ^ . ^+ ^- ^.- . ^, ^.-- · . ^: _so " b _" " . .. ....... 5"00" ............. s o o.
"86o"" . ····· . . " ^"""6oci........ .. .... ..... io . 12 775 ·· · · · · ·· · ·· 4 5(5 " .............. "39i" " ... . ......... 466"" ... ······519·· 69 9 616............. . . 29'0" 250 ........ . ...... ȗ: frfr)'' 370 ^.. ^. ^. ^.. ^. ^.. ^. ^. ^. ^. ^. ^. ^. ^. ^... ^... 4'1"'' 9 9 . .. .. · ···32 4 · ..... ·······26 "( ······ · ·······3·5o" 413 .. · · · · · 4 · ('>""" 755 695 ·· · ···· · · · ·· · ·· · 5 · -32· · · 702.... . ...... . . 835 ···················7ɶfr· 353 781 330 ......................... 63i"" . 309 ··················· ..... 53·1 .. · · · · · · · ··· · · · · · "3 · 0 9 ·· 631 309 ·· · · · · · ·· · · ····· · · ··· · ···c·S"Sf ·············337·· ... . ···············"3"1"5"" 259 223 318.... . ......., . 293 ········· ·· ······ 300 "· ··· .. ··. 300 352 242 262 265 287 250 314 472 275 275 596 3 ^87 275 ............ "3.sa·· 353 .6. ^4 .s...876 596 ············ao6·· 585 791 · ·· · · · · · · · ··· ··50 2 · · 814 717 ····959 . .. · · · ··· 5 · 13 5 ··· 510 577 654 505 ················5·05··· . . . 800 · · · · · ·· · ·· · · ··5 /i"(; · · .............. 663"" ................ 6.ifo""" 710 54 50 49 50 . ......... ..... .. 6 ^o """ ·············································+-·····················-·······+ ········· ifs ·· · · · ·· 2 · 52 · · · 250 663 ! · · ·· · · · · ·· ··· · · · · · · · · · · ··· ··· ··· · ! ................. """3"1"5"" ·············; 2"59·· .•..................................•............. ....... 304_ 251 ·············7"io · . . ····· 5.fr; "" Pemeliharaan Pengadaan Pakaian Sewa Kendarnan (hari) dala.rn USS NO. K 0 TA Kendaraan dinas (Unit/ lnventaris Sopir/ i--------' ^Konsumsi Ra pat (OK) (l) ( ' ) . ... ƌ13.IƝ<.!....13-.ǣl.: ǤI/...Ǣ .......... ..
...... 9..L.... . . YJ.: Ɨ1:
9.b.<: >.l':
ls ..... . 62 . .....Qi;
P.^ .. Tc.>DZY!.1. ........................ . ...... 63':
... . 0..0..1.ǭ8.:
1.!1.Ǯ13..ǯ.l!ǰK ... . ........ <?.Ƌ.:
... . ¥. . H P.: ti:
<: > ...... . ....... ?.Ɖ ...... . . ?.r.^.t.9.r..i .8.:
...... . Gedung (nl/Tahun) Kantor Satpam (OT) (St el) Sedan 500 . . """""'3'50" .. . .. . ............. ƈ . . 1..0. .. 304 ' ^""""" 2 ' 5 ' 1 ' Bus .. /.: -ii Rii<'A . . u'f.i-\R.A ... . ..
. . ........... . §.'9,': · :
^· : : : 'i.J.iii.'i.i.' ^. '.'.'.'.'".' ^. '.'' 67. Cairo .. """"""ii5; 7'6'6"' ............................... · .......... T2·; ·09i' ................................................... ... 342 ^. ^.. ^. ^.. ^.. ^... ^. ^. ^. 2.i3'T ^.
....... '329"' . .. .... "; i"i i'. .......... j5-: ^ ......
.. . · fSf.t ^a r,t9tƕƖ1.1. ... . ........ §?..:
. . .. . -ƒƓ1?.1?.a.: Ɣ .... .......................... .. . 70. : ri:
ro.H .. ..... ^. ..... ^. . ... ?...:
.... ?.\ǩ1.1..iǪ.i.'3.:
....
.. : : : fr Manama 73 ^.
... ·safih<la<l .... . . ·7; : r .... p; ; 11i: n ^· ǥǦ ........... . . : : : : : .: ?.: Ĩ: ĩ. ···· "Ku·ǡit . .. ........... .. . ................................... . ^. ....... 7 0 . ^. ^. ^. ^. ^. ^s· e1: ; ; 1:
. ...... ·ff ^. ^. ^. ^. ^. ooha.... . .... ............ "78·:
.... Da ^m ascus ........ ,7'9·:
.... . x1; ; : a .........
...... ^. Ɗ ^9.:
.. . .. p; l)·; ; . . 611 ^i.·i: ; -r ......... s 1.... . . · sa - Ia ^; a .. ^................ ifa·:
... · Jecicia11 ........ ..
Muscat ........ 34 ^· : ^..... · R: iY: a ^. cii ^...... ^.......... 8 ^. iC.... . i's.'tĪi; b..L.''_' .... .'.'.''.'.'.'.?.. ^Ħ·: ^.. ^. ^. ^. ^Dubai . /..ƍ.! 0. . .. ±ġ. Ģ .Q.f.( ..... ^. ......... ^. ...
. .. ^..... . iff:
^. .
T ^a.Ƙ . ^!1.1.ƙ .ƚ-1ƛ!.... . . ^. .... 8·s·:
^.... A ^st ana : : : : .: : : ĥ?.:
... . ƎƏ1.ƐƑl ........
...................... .-.f8·: ·!........ .. ·.................................. .. . ..... . ·· ······'io·; is·4·· ............................................... ... .. ................. i.'9.A. 1..'.?. .' ..... ^. .. ^. ... ^. .......................................... .
. · ...... . ... .
. . i' ^i ): ; 60 ..
. . ............................................. . .................................. 1 '"'""'3()'1' 248 .. ......... """'2137'" . ""'""'23'6"' """""'"'"" ''.2' 75 " . "'"'284. .. ..... "'2'34'' ................................ ?!.:
$" . 503 . . '""""566" 404 401 275.... ""ii)fo'O'' ... ................................................ .................................. . " ^" "'""""" 1"6 ) 5 ' 22 " . . 3'67" .. . .. ..
.. ....
..
.. .
. .. .-... ·.-2·50.·.- "' """ ^9 ǧ 9 ^i 6 ^' , .. ' ..... · . . · .................................... , ................................. 1. 346 275 · · . ...... .....io',s.8 ^9............................. 474 . . · · ·.... 3so.. · · · ... . .. . . 2.7"5". .. .. ^.... ........... . ^. ^.................. . ^... .' . ! § ;
. ģ- Ĥ - ^? -.....
. ................. 4.fa" . . "'"'""' '3 ' 67 " ...... .. ...... . ...... .... ....
.... ??.if .......... '.2'8'5'" 10,399 453 363 275 350 . : ^· : : : .... . .. : : j"C5,; _ħ$.9.": ^·.... ...... . . "'"'; i'74" 3 ^8 0 ^.. ^. .. ... ^. '""'27'5'. . "'"3'50" .
. ...... ..1.).1..1..0..Ǭ... 4 ^' 84 ^"' ^. 38 ^9.............. . 275" """""'""35'6' ] 0' 154 442 '"""'"'354'" .... "'"""'.2'5'6.... . '"""""' 30 0 " ......... ...'.'.'.'.'.'.'.'.'5"9 .;
?.?.I...........44-7" 35 ^9 . .. . ... . ... . . ,ifs...... . ...... '3sc5' 10, 766 . .. ....... . .. . ...... .. . .. . Dzi(jg"' .. ...... . .. . .. . 3 ^. 7 ^' 6 ^" . .. ^... ^. ^.. ^. ^"" i ^ii" 35Ci" .............. : 1'0; 27·7" ^· "" ^2 ' ^; 7'5' " 534 . ...... .. ... .-.x . ĭ_; _s..?.9.' " . """"'""'.2 75 " "'" 35 ( )" 11,133 2.7.?. .................. ?.. ^5 . ^0 ............ A.S..It.TI.r.v.1.Y.l/ ............................................................. , 90. Beijing .. ·9i.......8; ; ; .; : gk.o.Ǩg ....... .. · ..... . 9. '.2': ' . .. .. . ·osaic ........ ...... . ....... 93·:
... Tokyo ........ ..
.... . b ī ' ?.'Ĭ&5;
b..ii. ' .'.'.'.'.'.' ^"" ................. A'SiA...sF.iLl'f.f\i\i .... ........ Ɯ)8': "'"' .K:
iJ.9'Z .r.-.-.-..
. ...... . .. .. . .. ..
...... 9 · 9 · :
......T ^ehcr an ..... io'if . .. . c0T0dz'G'0 ..... ...... i ^oi ':
.. ^. oh: ai(a...· · ·...io2'... 1si; ; ; : r!; ǫ1J'aci"" · .. ..... .. 55· 97 63 72 .. . ............. 72" .. .. ""''"'28i ""'2'8i """""9'"' 287 134 """]'3'4.' 63 63 """' 9 ' ""'" 29"i- ' ................... 9 .. ........... . """'.2'9'4" 137 137 ........ : fo'i'" 1 40 301 301 . . "'"'"'2'9'4" . .. """"'"""'" 2 9 4 " . ^.. '""""'i'ii'i' ' . ........... . ....... . ...... ...... ... 240 . . " ''i"i2'' ............... . ...... .. . ...... .. . .
...... . ....... . . 2 ^4 6 ^" ^'''""'""' ] ^" i: 2' ^" 240 112 3 J 4 J 46 '"'"'5' ^ifa"' · · .. . .. . . '3'o'i'.. .. ........ "140 ·..... .......... . · s3·9 · .. "'""2i;
^. . ^. ^. . ^... ^. ^. ^. ^. ^. ^. ^. ^.. ^. ^. ^....... ^..... . . • ^.. .. .................. 3 ^. oi. ^.. ^· ^.. ^. ^. ^. ^. ^. ^. ^. ^.. ^'i"fr>............ ·5·3·9 .. . ....... .. ""': i4'(>".... . ... i i'2 . .....""43o' 112 430 Mobil Box (11 Pcmeliharaan NO. K 0 TA Kendaraan G ed un g Halaman dinas (Unit/ (m 2 /Tahun) (m ^2 / Tahunl Ta ^h un) (1) (2) (0) {4) {!: >) ASIA PASIFIK Pengadaan Pakaian lnventaris S opir / Kantor Satpam (OT) (Ste!) (b) ( /) dalarn USS) Sewa Kendarnan (hari) i----.--.---f Konsumsi Sedan Bus (8) (9) Mobil Box (10) Rap at (OK) ( J l) ..... 'i2s·: ^·· canbe ^· i: r; : ^······ · ·················· ·····················9)535· 12 ) 334 ^·············2·cfo··· ··················c; 00"· ·:
· . · . · . ^· . ^:
· . · . · . ^- . ^"3Ņļ"3·· · . ^: : : ·: ·.-.-·; ,·?Ofi.."." 29 12 ^4 . ^... "j)Ľľ-ĿŇň"j"; ; ···· . ......... .. .. ^......... ..... ... . .. .. ..... .. .. ^. . ... ?." ;
"$.." ? .: ŀ ^· . .-•····································7····2······•················· .. ···········)····•························ ·334 .. ·············i"s·6·· ... ............ 6 ^66 923·· 2,883 :
. ..... . ......... : · . · .-.-.............
. . 2 ... .... 9 _ """ ... : ······i2s·: ····· TY.reiG·01: 1·Ł; 1·; : ; ····· 9,585 12 334 156 600 923 ·········2·; ·sa: 3"· 29 ·····126·: ·· Nou; nea······ · · · ·· · ·· ················ ················"1"0·; "3"59· 12 ················ ······"36T ·· ·······"iess·· ·················c; 43 ··············99f · .........łJT.:
: ·····························4····s······· 121. ^··· P ^e rt h............ ... . ..... ........ .. . ......... .... . ........... ...... .. .. _ . .. . . .. . ^.... _ ....._ . . . _ .. _ . ^ . ^ ... _ . ^. . ^ ?..";
"?..." §.·: : ; 3 334 ^··············i"s K ^········ ·········efo· o ^.. 92 ^3 2,88 ^3 •............................ 2.... 9 ...... ^• ······i2tc: : .. ??.Ǘǘ...fyl.?.Ǟǟ-Ǡ-?.Y....... . .................... ?..i.?..<?.<: >... 3 2 ^1 149 51 s ············· s"B "s·· : : : : : : : : : : ?.: ; : zĠt.: : •............................ 2 ... . s ......• ....... i29ǖ . .. . ǚYǛ.·ǜǝY........ . ................. ?.?..?.?..!?... ; 9 ·························334·· ················is·6· ················600· 92 ^3 .. ... .. ^'.?&?. .? .. ^. , ............................ 2 ... 9 ..... ^. , 13 ^0 . Vanimo 9,197 A 321 149 575 923 2 , 7 6 7 +···························2 . ... s ...... , : : : : : ^: ?. ^I: : : ^Wi.fffrj ii.t.9: Ń: : : : : ^····· · · · · ...................... ^. <i; ^·5· 3 ^5·· : ; 334..... . ... ... .. J..!'&.
. .. 600 ^"· 92"3 ... .......... ; ; x; · 33 3 ^·· 132. Suva ·····3·; ·907·· '· . .. . .. . .......... . .... .. : fiT 145 ··················5w· : : : : : : : : : : : : : : : §: $?.: : ········2; 679·· •.......................... ,2., .. 1..... . 1 : . ··.·xʼnI .:
P.mc: : ···· .. . .. ·: : . ···: : : · .: ·· ... :
. :
:
: : : .: : : : .... .: <=E:
F5.T:
7B 9 : ·: : : . ^: : : .: : · :
· .. : : : : : · .?xņ · . ^........................... Ef . ................... . ........ . · .-ń?.: : ................ ?.??. . ^....... . ^.... . .... Ǚ;
........................... . 2 . .. . 1 ..... ^• PENJELASAN STANDAR BIAYA MASUKAN TAHUN ANGGARAN 2017 YANG BERFUNGSI SEBAGAI ESTIMASI 1. Satuan Biaya Transportasi Darat dari Ibukota Provinsi ke Kota/Kabupaten dalam Provinsi yang Sama (One Way) Satuan Biaya Transportasi Darat dari Ibukota Provinsi ke Kota/Kabupaten dalam Provinsi yang Sama merupakan satuan biaya untuk perencanaan kebutuhan biaya transportasi darat bagi Pejabat Negara/Pegawai Aparatur Sipil Negara/ Anggota Polri/TNI/pihak lain dari tempat kedudukan di Ibukota Provinsi ke tempat tujuan di Kota/Kabupaten tujuan dalam satu Provinsi yang sama atau sebaliknya dalam rangka pelaksanaan perjalanan dinas dalam negeri. Cata tan: Dalam hal Satuan Biaya Transportasi Darat dari Ibukota Provinsi ke suatu Kota/Kabupaten dalam Provinsi yang Sama belum tercantum dalam Lampiran Peraturan dimaksud mengacu pada mempertimbangkan prms1p kegiatan. Menteri ini, harga pasar efisiensi dan maka biaya transportasi (at cost) dengan tetap ef ektifi tas pelaksanaan 2. Satuan Biaya Transportasi dari DKI Jakarta ke Kota/Kabupaten Sekitar (One Way) Satuan Biaya Transportasi dari DKI Jakarta ke Kota/Kabupaten Sekitar merupakan satuan biaya untuk perencanaan kebutuhan biaya transportasi bagi Pejabat Negara/Pegawai Aparatur Sipil Negara/ Anggota Polri/TNI/pihak lain dari tempat kedudukan di DKI Jakarta ke tempat tujuan di Kota/Kabupaten Bogor, Kota Depok, Kota/Kabupaten Bekasi, Kota/Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang Selatan, dan Kepulauan Seribu atau sebaliknya dalam rangka pelaksanaan perjalanan dinas dalam negeri.
Satuan Biaya Transpor Kegiatan Dalam Kabupaten/Kota Pergi Pulang (PP) Satuan biaya transpor kegiatan dalam kabupaten/kota merupakan satuan biaya untuk perencanaan kebutuhan biaya transportasi Pejabat Negara/Pegawai Aparatur Sipil Negara/ Anggota Polri/TNI/pihak lain dalam melakukan kegiatan/pekerjaan di luar kantor dalam batas wilayah suatu kabupaten/kota (pergi pulang) yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas kantor/instansi dengan ketentuan tidak menggunakan kendaraan dinas. Satuan biaya transpor kegiatan dalam kabupaten/kota tidak dapat diberikan kepada Pejabat Negara/Pegawai Aparatur Sipil Negara/ Anggota Polri/TNI/pihak lain yang melakukan kegiatan dalam komplek perkantoran yang sama. Cata tan:
Untuk kegiatan dalam kabupaten/kota yang memerlukan biaya melebihi satuan biaya yang ditetapkan (termasuk moda transportasi udara dan/atau air) dapat diberikan secara at cost.
Dalam hal instansi/unit penyelenggara tidak memberikan satuan biaya transpor kegiatan dalam kabupaten/kota, instansi/unit pengirim dapat memberikan satuan biaya transpor kegiatan dalam kabupaten/kota.
Khusus Provinsi DKI Jakarta, yang dimaksud kabupaten/kota adalah meliputi kesatuan wilayah Jakarta Pusat, Jakarta Timur, Jakarta Utara, Jakarta Barat, dan Jakarta Selatan.
Satuan Biaya Pemeliharaan Sarana Kantor Satuan biaya pemeliharaan sarana kantor merupakan satuan biaya pemeliharaan yang digunakan untuk mempertahankan barang inventaris kantor (yang digunakan langsung oleh pegawai, khususnya meja dan kursi), personal computer/ notebook) printer) AC split) dan genset agar berada dalam kondisi normal (beroperasi dengan baik). Un tuk biaya pemeliharaan genset belum termasuk kebutuhan bahan bakar minyak.
Satuan Biaya Penerjemahan dan Pengetikan Satuan biaya penerjemahan dan pengetikan merupakan satuan biaya yang digunakan untuk perencanaan kebutuhan biaya penerjemahan dan pengetikan dari naskah asli ke dalam bahasa yang diinginkan.
Satuan Biaya Bantuan Beasiswa Program Gelar/Non Gelar Dalam Negeri Satuan biaya bantuan beasiswa program gelar/non gelar dalam negeri merupakan satuan biaya yang digunakan untuk perencanaan kebutuhan biaya bantuan mahasiswa program gelar/non gelar dalam negeri bagi Pegawai Aparatur Sipil Negara/ Anggota Polri/TNI yang ditugaskan untuk melanjutkan pendidikan Diploma I, Diploma III, Diploma IV atau Strata 1 (S 1), dan pendidikan Pasca Sarjana (Strata 2 (S2) atau Strata 3 (S3)) yang terdiri dari biaya hidup dan operasional, uang buku dan referensi. Biaya pelaksanaan pendidikan ditanggung oleh Pemerintah secara at cost sedangkan untuk biaya riset program dapat dialokasikan bantuan biaya riset sesuai kemampuan keuangan Kementerian Negara/Lembaga . . mas1ng-masmg.
Satuan Biaya Sewa Mesin Fotokopi Satuan biaya sewa mesin fotokopi merupakan satuan biaya yang digunakan untuk perencanaan kebutuhan biaya sewa mesin fotokopi analog dan/atau mesin fotokopi digital, untuk menunjang pelaksanaan operasional kantor. Satuan biaya ini sudah termasuk toner dan biaya perawatan untuk pencetakan sampai dengan 6.000 (enam ribu) lem bar/ bulan.
Honorarium Narasumber /Pembahas Pakar /Praktisi/Profesional Merupakan kebutuhan satuan biaya yang digunakan untuk perencanaan honorarium narasumber / pembahas pakar / praktisi/ prof esional yang mem punyai keahlian / profesionalisme dalam ilmu/ bidang tertentu dalam kegiatan seminar/ rapat/ sosialisasi/ diseminasi/ workshop/ sarasehan/ simposium/lokakarya/ focus group discussion /kegiatan sejenis yang diselenggarakan baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Untuk kegiatan yang diselenggarakan di luar negeri, narasumber / pembahas dikelompokkan sebagai berikut: Narasumber /Pembahas Narasumber /Pembahas Pakar /Praktisi/ Kelas A N arasumber / Pembahas Kelas B Profesional yang disetarakan dengan Menteri, ketua dan wakil ketua lembaga negara. Narasumber /Pembahas Pakar /Praktisi/ Profesional yang disetarakan dengan duta besar luar biasa dan berkuasa penuh, duta besar yang menjabat kepala perwakilan, pegawai negeri Gal. IV/ c ke atas, perwira N arasumber / Pembahas Kelas C - 117 - tinggi Anggota Polri/TNI, dan anggota lembaga negara. N arasum ber / Pem bah as Pakar / Praktisi / Prof esional yang disetarakan dengan pegawai negeri Gol. III/ c sampai dengan IV / b dan perwira menengah Anggota Polri/TNI.
Satuan Biaya Pengadaan Bahan Makanan Satuan biaya pengadaan bahan makanan merupakan satuan biaya yang digunakan untuk perencanaan kebutuhan biaya pengadaan bahan makanan dan diberikan untuk:
1 Pengadaan Bahan Makanan untuk Narapidana Satuan biaya pengadaan bahan makanan diberikan pada Narapidana. Pengaturan daerah khusus untuk pengadaan bahan makanan narapidana pada masing-masing rayon mengacu pada Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.
2 Pengadaan Bahan Makanan untuk Operasi Pasukan/Latihan Pra Tugas/Latihan Pasukan Lainnya Bagi Anggota Polri/TNI, Dikma Taruna/Karbol/Kadet Bagi Anggota Polri/TNI, Diklat Lainnya Bagi Kemhan/ Anggota Polri/TNI, Anggota yang Sakit Bagi Kemhan/ Anggota Polri/TNI, Tahanan Anggota Polri/TNI, dan Jaga Kawal Bagi Kemhan/ Anggota Polri/TNI a. Operasi pasukan adalah kegiatan terencana yang dilaksanakan oleh satuan Polri/TNI dengan sasaran, waktu, tempat dan dukungan logistik yang telah ditetapkan sebelumnya melalui perencanan terinci dalam rangka melaksanakan tugas Operasi Militer Perang/ Operasi Militer Selain Perang untuk mempertahankan serta melindungi wilayah negara dan bangsa serta kepentingan lainnya dari berbagai bentuk ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan baik dari dalam maupun luar negeri. Latihan pra tugas / latihan pasukan lainnya adalah kegiatan terencana dalam rangka kesiapan pelaksanaan operasi berupa latihan yang terdiri dari teori dan praktek dengan sasaran, waktu, ternpat dan dukungan logistik yang telah ditetapkan sebelurnnya rnelalui perencanan terinci.
Dikrna/Taruna/Karbol/Kadet ad al ah pendidikan untuk rnernbentuk prajurit siswa rnenjadi prajurit, yang diternpuh rnelalui pendidikan dasar golongan pangkat, dengan tujuan agar rnerniliki tingkat kepribadian, kernarnpuan intelektual, dan jasrnani sesuai dengan peranan dan golongan pangkatnya Perwira.
Diklat lainnya bagi Kernhan/ Anggota Polri/TNI adalah adalah pendidikan untuk rnernbentuk prajurit siswa/pelajar rnenjadi prajurit, yang diternpuh rnelalui pendidikan dasar golongan pangkat, dengan tujuan agar rnerniliki tingkat kepribadian, kernarnpuan intelektual, dan jasrnani sesuai dengan peranan dan golongan pangkatnya Bintara/Tarntarna serta pendidikan yang dilakukan untuk rneningkatkan kernarnpuan/ketrarnpilan anggota.
Anggota yang sakit adalah Kernhan/ Anggota Polri/TNI dan keluarganya yang dirawat/ sakit (pasien).
Tahanan adalah Anggota Polri/TNI yang ditahan karena pelanggaran disiplin.
Jaga kawal adalah adalah kegiatan yang dilaksanakan untuk rnenJaga kesatrian/ satuan secara terus rnenerus dengan kekuatan dan ternpat tertentu sesuai dengan kebutuhan di rnasing-kesatrian/ satuan.
3 Pengadaan Bahan Makanan Untuk Pasien Rurnah Sakit dan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) a. Pengadaan Bahan Makanan Pasien Rurnah Sakit adalah pengadaan bahan rnakanan yang diberikan kepada pasien rurnah sakit pernerintah.
Pengadaan Bahan Makanan bagi Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) dalarn Panti Sosial/ Rurnah Perlindungan Sosial adalah pengadaan bahan rnakanan yang diberikan kepada Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) yang rnendapatkan pelayanan/ perlindungan/ rehabilitasi sosial di dalarn Panti Sosial/Rurnah Perlindungan Sosial.
4 Pengadaan Bahan Makanan Untuk Keluarga Penjaga Menara Suar (PMS), Petugas Pengamatan Laut, ABK Cadangan pada Kapal Negara, ABK Aktif pada Kapal Negara, clan Petugas Stasiun Radio Pantai (SROP) clan Vessel Traffic Information Service (VTIS) a. Keluarga Penjaga Menara Suar (PMS) adalah keluarga petugas penjaga menara suar yang ikut serta mendampingi petugas penjaga menara suar di lokasi tempat bertugas. Satuan biaya pengadaan bahan makanan untuk keluarga penjaga menara suar diberikan kepada istri/ suami dan anak (maksimal 2 anak) petugas penjaga menara suar.
Petugas pengamatan laut adalah petugas yang melaksanakan survey hidrografi pada alur pelayaran serta melakukan evaluasi alur dan perlintasan serta memonitoring pelaksanaan Sarana Bantuan Navigasi Pelayaran (SBNP).
ABK Cadangan pada Kapal Negara adalah awak kapal negara kenavigasian yang siaga untuk ditempatkan pada kapal negara kenavigasian pada saat sandar dan bertolak serta bongkar muat.
ABK Aktif pada Kapal Negara adalah awak kapal negara kenavigasian yang ditempatkan dan bekerja di kapal negara kenavigasian pada posisi tertentu pada saat berlayar.
Petugas Stasiun Radio Pantai (SROP) dan Vessel Traffic Information Service (VTIS) adalah petugas yang mengoperasikan peralatan di SROP dan VTIS.
5 Pengadaan Bahan Makanan untuk Petugas Bengkel dan Galangan Kapal Kenavigasian, Petugas Pabrik Gas Aga untuk Lampu Suar, Penjaga Menara Suar (PMS), clan Kelompok Tenaga Kesehatan Kerja Pelayaran a. Petugas bengkel dan galangan kapal kenavigasian adalah petugas yang memperbaiki dan merawat sarana prasarana kenavigasian di bengkel navigasi dan memperbaiki serta merawat kapal negara kena vigasian di galangan navigasi.
Petugas pabrik gas aga untuk lampu suar adalah petugas yang bekerja di pabrik gas aga di Balai Teknologi Keselamatan Pelayaran (BTKP), gas aga digunakan sebagai bahan bakar bagi lampu-lampu menara suar.
Penjaga Menara Suar (PMS) adalah petugas yang menjaga dan merawat menara suar agar dapat berfungsi dengan baik.
Kelompok tenaga kesehatan kerja pelayaran adalah petugas kesehatan yang bertugas memeriksa kondisi kesehatan para awak kapal pada saat pengurusan sertifikasi kepelautan.
6 Pengadaan Bahan Makanan untuk Mahasiswa/Siswa Sipil dan Mahasiswa Militer / Semi Militer di Lingkup Sekolah Kedinasan a. mahasiswa/ siswa · sipil ( seperti mahasiswa pada Sekolah Tinggi Perikanan, Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial); dan
mahasiswa/ siswa militer /semi militer (seperti mahasiswa Akademi TNI/ Akpol, mahasiswa Penerbangan, mahasiswa Institut Pemerintahan Dalam Negeri). Cata tan: Untuk Mahasiswa/ Siswa Sipil dan Mahasiswa Militer / Semi Militer di Lingkup Sekolah Kedinasan yang memiliki kualifikasi khusus dan dananya bersumber dari PNBP dapat diberikan estimasi untuk perencanaan kebutuhan biaya pengadaan bahan makanan sebesar Rp55.000,00 (lima puluh lima ribu rupiah).
7 Pengadaan Bahan Makanan untuk Rescue Team Pengadaan Bahan Makanan untuk Rescue Team adalah pengadaan bahan makanan yang diberikan kepada Rescue Team pada saat melaksanakan tugasnya (misal: penanganan bencana).
Satuan Biaya Konsumsi Tahanan/Deteni Satuan biaya konsumsi tahanan/ deteni merupakan satuan biaya yang digunakan untuk perencanaan kebutuhan biaya pengadaan paket makanan tahanan/ deteni, diberikan untuk tahanan/ deteni yang antara lain berada pada rumah tahanan Kejaksaan, Kepolisian, Badan Narkotika Nasional (BNN), Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Satuan Biaya Konsumsi Rapat Satuan biaya konsumsi rapat merupakan satuan biaya yang digunakan untuk perencanaan kebutuhan biaya pengadaan makan dan kudapan termasuk minuman untuk rapat/pertemuan baik untuk rapat koordinasi tingkat menteri/ eselon I/ setara maupun untuk rapat biasa. Rapat koordinasi tingkat menteri/ eselon I/ setara adalah rapat koordinasi yang pesertanya menteri/ eselon I/pejabat yang setara.
Satuan Biaya Keperluan Sehari-hari Perkantoran di Dalam Negeri Satuan biaya keperluan sehari-hari perkantoran di dalam negeri merupakan satuan biaya yang digunakan untuk perencanaan kebutuhan biaya keperluan sehari-hari perkantoran berupa barang habis pakai yang secara langsung menunjang penyelenggaraan operasional dan untuk memenuhi kebutuhan minimal agar suatu kantor dapat memberikan pelayanan secara optimal, terdiri atas: alat tulis kantor (ATK), barang cetak, alat-alat rumah tangga, langganan surat kabar/berita/majalah, dan air minum pegawai.
Satuan Biaya Penggantian Inventaris Lama dan/atau Pembelian Inventaris untuk Pegawai Baru Satuan biaya penggantian inventaris lama dan/atau pembelian inventaris untuk pegawai baru merupakan satuan biaya yang digunakan untuk perencanaan kebutuhan biaya penggantian inventaris lama dan/atau pembelian inventaris bagi pegawai baru. Penggantian inventaris lama digunakan untuk penggantian meja dan kursi pegawai, pengalokasiannya maksimal 10% (sepuluh persen) dari jumlah pegawai, sedangkan pembelian inventaris bagi pegawai baru disesuaikan dengan kebutuhan.
Satuan Biaya Pemeliharaan dan Operasional Kendaraan Dinas Satuan biaya pemeliharaan dan operasional kendaraan dinas merupakan satuan biaya yang digunakan untuk perencanaan kebutuhan biaya pemeliharaan dan operasional kendaraan dinas yang digunakan untuk mempertahankan kendaraan dinas agar tetap dalam kondisi normal dan siap pakai sesuai dengan peruntukkannya. Satuan biaya terse but sudah termasuk biaya bahan bakar namun belum termasuk biaya pengurusan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) yang besarannya mengacu pada ketentuan yang berlaku. Cata tan:
Yang dimaksud kendaraan operasional dalam lingkungan kantor adalah kendaraan yang digunakan hanya terbatas dalam lingkungan kantor. Contoh: Golf car/ sej enisnya yang digunakan untuk mengantar tamu kenegaraan.
Khusus untuk kendaraan dinas yang pengadaannya bersumber dari sewa, satuan biaya operasional tersebut hanya diperuntukkan untuk bahan bakar.
Satuan biaya ini tidak diperuntukkan bagi:
kendaraan yang rusak berat yang memerlukan biaya pemeliharaan besar dan untuk selanjutnya harus dihapuskan dari daftar inventaris; dan/atau
pemeliharaan kendaraan yang bersifat rekondisi dan/atau overhaul.
Satuan Biaya Pemeliharaan Gedung/Bangunan Dalam Negeri Satuan biaya pemeliharaan gedung/bangunan dalam negeri merupakan satuan biaya yang digunakan untuk perencanaan kebutuhan biaya pemeliharaan rutin gedung/bangunan di dalam negeri dengan maksud menjaga/mempertahankan gedung dan bangunan kantor di dalam negeri agar tetap dalam kondisi semula atau perbaikan dengan tingkat kerusakan kurang dari atau sama dengan 2% (dua persen), tidak termasuk untuk pemeliharaan gedung/ bangunan di dalam negeri yang memiliki spesifikasi khusus berdasarkan ketentuan yang berlaku. Satuan biaya pemeliharaan gedung/bangunan dalam negeri dialokasikan untuk:
gedung/bangunan milik negara; dan/atau
gedung/ bangunan milik pihak lain yang disewa dan/atau dipinjam oleh pengguna barang dan dalam perjanjian diatur tentang adanya kewajiban bagi pengguna barang untuk melakukan pemeliharaan.
Satuan Biaya Sewa Gedung Pertemuan Satuan biaya sewa gedung pertemuan merupakan satuan biaya yang digunakan untuk perencanaan kebutuhan biaya sewa gedung pertemuan untuk pelaksanaan kegiatan di luar kantor antara lain rapat koordinasi, sosialisasi, seleksi/ ujian masuk pegawm, dan kegiatan lain sejenis. Gedung pertemuan adalah gedung yang biasa digunakan untuk pertemuan dengan kapasitas lebih dari 300 (tiga ratus) orang, sudah termasuk sewa meja, kursi, sound system, dan fasilitas gedung pertemuan lainnya.
Satuan Biaya Taksi Perjalanan Dinas Dalam Negeri Satuan biaya taksi perjalanan dinas dalam negeri merupakan satuan biaya yang digunakan untuk perencanaan kebutuhan biaya satu kali perjalanan taksi dari kantor tempat kedudukan menUJU bandara/pelabuhan/terminal/ stasiun keberangkatan atau dari bandara/ pelabuhan/ terminal/ stasiun kedatangan menu Ju tempat tujuan di kota bandara/ pelabuhan/ terminal/ stasiun kedatangan dan se baliknya. Contoh penghitungan alokasi biaya taksi: Seorang pejabat/pegawai negeri melakukan perjalanan dinas jabatan dari Jakarta ke Medan, maka alokasi biaya taksinya sebagai berikut:
Berangkat 1) satuan biaya taksi dari tempat kedudukan di Jakarta ke Bandara Soekarno-Hatta; dan
satuan biaya taksi dari Bandara Kualanamu (Sumut) ke tempat tujuan (hotel/penginapan/kantor) di Medan.
Kembali 1) satuan biaya taksi dari hotel/penginapan (Medan) ke Bandara Kualanamu (Sumut); dan
satuan biaya taksi dari Bandara Soekarno-Hatta ke tempat kedudukan (Jakarta).
Satuan Biaya Tiket Pesawat Perjalanan Dinas Dalam Negeri Pergi Pulang (PP) Satuan biaya tiket pesawat perj alanan dinas dalam negeri adalah satuan biaya untuk pembelian tiket pesawat udara pergi pulang (PP) dari bandara keberangkatan suatu kota ke bandara kota tujuan dalam perencanaan anggaran. Satuan biaya tiket termasuk biaya asuransi, tidak termasuk airport tax dan biaya retribusi lainnya. Dalam pelaksanaan anggaran, satuan biaya tiket perjalanan dinas dalam negeri menggunakan metode at cost ( sesuai pengeluaran).
Satuan Biaya Tiket Pesawat Perjalanan Dinas Luar Negeri Pergi Pulang (PP) Satuan biaya tiket pesawat perjalanan dinas luar negeri pergi pulang (PP) merupakan satuan biaya yang digunakan untuk perencanaan kebutuhan biaya pembelian tiket pesawat udara dari bandara di Jakarta ke berbagai bandara kota tujuan di luar negeri pergi pulang (PP). Satuan biaya tiket termasuk biaya asuransi, tidak termasuk airport tax clan biaya retribusi lainnya. Perjalanan dinas luar negeri dengan lama perjalanan melebihi 8 (delapan) jam penerbangan (tidak termasuk waktu transit), bagi pejabat Eselon III ke atas/fungsional yang setara dapat menggunakan kelas bisnis. Dalam pelaksanaan anggaran, satuan biaya tiket perjalanan dinas luar negeri menggunakan metode at cost ( sesuai pengeluaran).
Satuan Biaya Penyelenggaraan Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri Satuan biaya penyelenggaraan perwakilan Republik Indonesia di luar negeri merupakan satuan biaya yang digunakan untuk perencanaan kebutuhan biaya penyelenggaraan operasional perwakilan Republik Indonesia di luar negeri, berupa:
1 ATK, Langganan Koran/Majalah, Lampu, Pengamanan Sendiri, Kantong Diplomatik, Jamuan a. ATK merupakan satuan biaya yang digunakan untuk membiayai pengadaan kebutuhan alat tulis (misal: kertas, ballpoint, clan amplop) yang alokasinya dikaitkan dengan jumlah pegawai.
Langganan koran/majalah merupakan satuan biaya yang digunakan untuk membiayai pengadaan media cetak.
Lampu merupakan satuan biaya yang digunakan untuk membiayai pengadaan penerangan di dalam gedung clan halaman kantor perwakilan.
Pengamanan sendiri merupakan satuan biaya yang digunakan untuk membiayai tenaga kerja yang ditunjuk untuk melakukan kegiatan pengamanan di kantor perwakilan clan wisma.
Kantong diplomatik merupakan satuan biaya yang digunakan untuk membiayai pengiriman dokumen diplomatik.
Jamuan merupakan satuan biaya yang digunakan untuk membiayai kegiatan jamuan tamu diplomatik yang dilaksanakan di luar kantor.
2 Pemeliharaan, Pengadaan Inventaris Kantor, Pakaian Sopir / Satpam, Sewa Kendaraan, dan Konsumsi Rapat a. Pemeliharaan kendaraan dinas merupakan satuan biaya yang digunakan untuk mempertahankan kendaraan dinas perwakilan Republik Indonesia di luar negeri agar tetap dalam kondisi siap pakai sesuai dengan peruntukkannya, termasuk biaya bahan bakar. Catatan: Untuk negara yang mempunyai 4 (empat) musim, satuan biaya tersebut sudah termasuk biaya penggantian ban salju. Dalam hal terdapat peraturan dari negara setempat yang mewajibkan asuransi kendaraan, biaya asuransi kendaraan dapat dialokasikan sesuai kebutuhan riil dan dilengkapi dengan data dukung yang dapat dipertanggungjawabkan.
Pemeliharaan gedung merupakan satuan biaya yang digunakan untuk pemeliharaan rutin gedung/bangunan kantor/wisma perwakilan Republik Indonesia di luar negen dengan maksuduuntuk menjaga/mempertahankan gedung/bangunan kantor / wisma perwakilan Republik Indonesia di luar negeri agar tetap dalam kondisi semula atau perbaikan dengan tingkat kerusakan kurang dari atau sama dengan 2% (dua persen). Satuan biaya pemeliharaan gedung/bangunan kantor/wisma perwakilan Republik Indonesia di luar negeri dialokasikan untuk:
gedung/bangunan milik negara; dan/atau
gedung/bangunan milik pihak lain (selain pemerintah Republik Indonesia) yang disewa dan/atau dipinjam oleh pengguna barang dan dalam perjanjian diatur tentang adanya kewajiban bagi pengguna barang untuk melakukan pemeliharaan.
Pemeliharaan halaman merupakan satuan biaya yang digunakan untuk pemeliharaan rutin halaman gedung/bangunan perwakilan Republik Indonesia di luar negeri. Cata tan: Untuk perwakilan Republik Indonesia mempunyai 4 (empat) musim dapat di negara dialokasikan yang biaya pemeliharaan tambahan di luar gedung untuk fasilitas umum apabila ada ketentuan pemeliharaan dari negara yang bersangkutan sesuai dengan kebutuhan riil clan dilengkapi oleh data dukung yang dapat dipertanggungjawabkan.
Pengadaan inventaris kantor merupakan satuan biaya yang digunakan untuk membiayai pengadaan meja dan kursi pegawai pada perwakilan Republik Indonesia di luar negeri. Pengalokasiannya maksimal 10% ( sepuluh persen) dari jumlah pegawai (home stafjJ, sedangkan pembelian inventaris bagi pegawai baru disesuaikan dengan kebutuhan.
Pakaian sopir / satpam merupakan satuan biaya yang digunakan untuk membiayai pengadaan pakaian dinas harian sopir / satpam pada perwakilan Republik Indonesia di luar negen.
Sewa kendaraan sedan, bus, dan mobil box merupakan satuan biaya yang digunakan untuk membiayai kebutuhan biaya sewa kendaraan sedan, bus dengan kapasitas 32 (tiga puluh dua) penumpang selama 8 (delapan) jam, dan mobil box untuk kegiatan yang sifatnya insidentil dan dilakukan secara selektif serta efisien. Satuan biaya sewa tersebut sudah termasuk biaya bahan bakar dan pengemudi.
Konsumsi rapat merupakan satuan biaya yang digunakan untuk membiayai kebutuhan biaya pengadaan konsumsi rapat biasa yang diselenggarakan di kantor, dimana di dalamnya sudah termasuk makan dan kudapan. Catatan Umum:
Kementerian Negara/Lembaga dalam melaksanakan ketentuan standar biaya masukan agar melakukan langkah-langkah efisiensi anggaran sebagai berikut: a) pembatasan dan pengendalian biaya perjalanan dinas; b) pembatasan dan pengendalian biaya rapat di luar kantor; c) penerapan sewa kendaraan operasional sebagai salah satu alternatif penyediaan kendaraan operasional; d) pembatasan dan pengendalian pemberian honorarium tim pelaksana kegiatan; dan e) lebih mengutamakan penggunaan produk dalam negeri.
Untuk satuan biaya pemeliharaan dan operasional kendaraan dinas, pemeliharaan sarana kan tor, penggan tian inven taris lama dan / ata u pembelian inventaris untuk pegawai baru, pengadaan bahan makanan, konsumsi rapat, pengadaan kendaraan operasional bus, sewa mesm fotokopi, sewa komputer perkantoran, sewa kendaraan dinas, pemeliharaan gedung/bangunan dalam negeri, sewa kendaraan, pengadaan kendaraan operasional kantor dan/atau lapangan roda 2 (dua), pengadaan operasional kantor dan/atau lapangan roda 4 (empat), dan pengadaan pakaian dinas, pada beberapa kabupaten diberikan toleransi pengusulan satuan biaya melebihi ketentuan yang tercantum dalam Peraturan Menteri ini sehingga menjadi sebagai berikut: No.
Provinsi Sumatera Utara Sumatera Barat Kepulauan Riau Ka bu paten Toba Samosir Samo sir Nias Utara Labuhan Batu Sela tan Kep. Mentawai Na tuna Kep. Anambas 132% 141% 141% 143% 184% 133% 146% Toleransi dari Satuan biaya Provinsi Sumut dari Satuan biaya Provinsi Sum bar dari Satuan biaya Provinsi Kepulauan Riau No Provinsi Kabupaten Toleransi 4. Kalimantan Ke ta pang 150% dari Satuan Barat biaya Provinsi Kalbar 5. Kalimantan Kutai 138% dari Satuan Timur Kartanegara biaya Provinsi Kaltim 6. Kalimantan Tana Tidung 190% dari Satuan Utara biaya Provinsi Kaltara 7. Maluku Maluku 142% dari Satuan Tenggara biaya Provinsi Kep. Aru 144% Maluku Maluku 158% Tenggara Barat Buru Selatan 164% Tu al 168% Maluku Barat 189% Daya 8. Papua Tolikara 231% dari Satuan Asmat 131% biaya Dogiyai 138% Provinsi Papua Sarmi 144% Jayawijaya 147% Merauke 148% Nduga 189% Lanny Jaya 213% Peg. Bintang 228% Yalimo 230% Puncak Jaya 244% Intan Jaya 258% Puncak 271% Membrano 237% Tengah 9. Papua Barat May brat 153% dari Satuan Fak-Fak 151% biaya Provinsi Raja Ampat 147% Papua Barat Tambraw 175% Pengertian Istilah:
OJ b. OH c. OB d. OT e. OP f. OK g. OR h. Oter 1. OJP - 129 - Orang/Jam Orang/ Hari Orang/Bulan Orang/Tahun Orang/ Paket Orang/ Kegiatan Orang/ Responden Orang/ Terbitan Orang/Jam Pelajaran MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, ttd. SRI MULYANI INDRAWATI ,i) www.jdih.kemenkeu.go.id
Pengujian UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan terhadap UUD Negara RI Tahun 1945
Relevan terhadap
(Pihak lain dilarang melakukan segala bentuk campur tangan terhadap pelaksanaan tugas Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Bank Indonesia wajib menolak dan mengabaikan segala campur tangan dari pihak manapun dalam pelaksanaan tugasnya). Pasal 48 (Anggota Dewan Gubernur tidak dapat diberhentikan dalam masa jabatannya kecuali karena yang bersangkutan mengundurkan diri, terbukti melakukan tindak pidana kejahatan, atau berhalangan) dimaksudkan untuk memperkukuh Pasal 7, Pasal 8 dan Pasal 9 di atas. Ketika saya membaca Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9 dan Pasal 48 UU Nomor 23 Tahun 1999 itu, instinct saya mendorong saya untuk berkesimpulan negatif: "Ini negara di dalam negara!" Hal ini berdasar keraguan saya tentang bagaimana mungkin bisa menjadi sangat ekslusif, bahwa Bank Indonesia sekaligus menetapkan dan melaksanakan kebijaksaan moneter (secara independen). Ibaratnya pemerintah menjadi terbungkam, disisihkan peran aktifhya untuk mengatur kebijaksanaan ekonomi yang pasti selalu mengandung kebijaksanaan moneter sebagai derivatnya. Entah dari mana datangnya naskah Undang-Undang Bank Indonesia semacam itu. Pernah diberitakan naskah itu datang dari Jerman yang berhaluan Bundesbank. Kalau benar demikian memang tak mengherankan terasa benar adanya semacam "kediktatoran" ala Jerman. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 50 Dari pengantar di atas tentulah menjadi lumrah bahwa saat ini telah terjadi "kerunyaman" ( absurdity ) dalam hubungan antara Bank Indonesia dan Pemerintah. Kemelut besar yang saat ini melanda Bank Indonesia tak terlepas dari kedudukan independensinya yang tidak dapat diterima, baik oleh pemerintah maupun oleh sebagian masyarakat yang tidak menghendaki adanya dualisme soverenitas. Tentu kemelut besar di Bank Indonesia itu terjadi pula karena alasan intern. Kemelut semacam ini telah menjelaskan sendiri ( self-explanatory ), bahwa sebenamya Bank Indonesia telah gagal melaksanakan peran dan tugasnya secara optimal sebagaimana ditentukan oleh Penjelasan Pasal 23 UUD 1945, dan Pasal 7, Pasal 8 dan Pasal 9 UU Nomor 23 Tahun 1999. Bank Indonesia terbukti tidak mampu memelihara kestabilan nilai rupiah, tidak mampu menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter secara tepat. Mengatur dan menjaga kelancaran sistim pembayaran pun tidak jelas arah dan ujudnya. Lebih dari itu Bank Indonesia jelas telah gagal dalam mengatur dan mengawasi bank-bank. Perbankan Indonesia menjadi berantakan dan terpuruk seperti yang kita lihat saat ini tidak terlepas dari tidak efektifnya pengawasan Bank Indonesia. Undang-Undang tentang Bank Indonesia ini sudah berlaku satu setengah tahun, lebih tua dari usia pemerintahan Gus Dur, namun tidak ada tanda-tanda akan bisa efektif. Untuk sedikit lebih bersahabat dalam menanggapi independensi Bank Indonesia sebagaimana ditetapkan oleh UU Nomor 23 Tahun 1999, dapatlah kiranya dikemukakan sebagai berikut ini. Keinginan untuk memberikan kedudukan independensi kepada Bank Indonesia tentulah tidak terlepas dari pengalaman sejarah, betapapun pendek sejarah ini. Memang pemerintahan Orde Baru yang totalitarian telah menyalahgunakan kekuasaannya dan menjadikan Bank Indonesia sebagai suatu alat kekuasaan rezim. Bank Indonesia tidak lagi menjadi suatu lembaga terhormat untuk melaksanakan tugas dan wewenangnya yang mulia demi kemaslahatan bangsa dan negara, tetapi telah menjadi alat kekuasaan bagi para penguasa negara. Jadi independensi bank dimaksudkan untuk menghindari dapat terjadinya campur tangan kotor dari pemerintahan yang tidak bersih, yang penuh dengan pelanggaran dan penyalah-gunaan kekuasaan. Dari sinilah lahir citacita independensi untuk bank sentral itu dan sekaligus melebar ke tingkat ekstrimitasnya, sehingga mengabaikan posisi sub-ordinasi terhadap pemeritahan negara. Sampai-sampai secara eksplisit tersurat ketentuan yang menetapkan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 51 bahwa "pihak lain dilarang melakukan segala macam campur tangan" dan juga bahwa "Bank Indonesia wajib menolak dan mengabaikan segala campur tangan dari pihak manapun ". Ini yang absurd sekali ! Di dalam independensi ini tersurat dan tersirat kuat adanya sikap apriori bahwa setiap pemerintah (pemerintahan negara) pastilah akan selalu kotor, akan selalu menyeleng dan menyalahgunakan kekuasaan serta korup. Seolah-olah tidak pernah terbayangkan bahwa suatu pemerintahan dapat pula akan baik, bersih dan berwibawa, sebagaimana reformasi mencita-citakannya. Sebaliknya, independensi itu dilandasi oleh suatu pandangan apriori menyakini bahwa bank sentral kita pastilah akan merupakan suatu lembaga yang tangguh, bersih, bebas dari penyelewengan dan penyalahgunaan kekuasaannya, serba baik, dan terhormat, patut diseganai dan profesional dan seterusnya, Andaikata demikian ini yang digambarkan tentang Bank Indonesia, dengan segala kepatutannya untuk menyandang independensi, maka kita tidak perlu terperanjat melihat kenyataan semrawut yang ada, yang pasti akan menjadi bahan tertawaan. Bank Indonesia telah kebobolan, kecolongan, telah menjadi "sarang penyamun" sebagaimana Anwar Nasution pernah menggambarkannya. Dengan independensinya itu, pimpinan Bank Indonesia bahkan cenderung arogan. Independensi Bank Indonesia terkesan telah menumbuhkan semacam superiority complex dan sekaligus mendorong pimpinan Bank Indonesia lebih berani ngawur dalam membuat pemyataan-pemyataan kebijaksanaan yang sebenamya memerlukan kedalaman pemikiran (misalnya saja mengenai pasar-bebas, spekulasi dan intervensi) belum lama ini. Dengan mutu profesionalisme dan kepemimpinan semacam itu independensi Bank Indonesia dapat saja berubah menjadi malapetaka nasional. Patut diragukan, mampukah Bank Indonesia membendung krisis moneter yang saat ini masih terus mengintai Indonesia. Ibaratnya Bank Indonesia, ataupun pihak-pihak yang menghendaki independensi Bank Indonesia, telah menuding kebobrokan pemerintah, tanpa mampu mawas diri bahwa Bank Indonesia sebenamya sedang menjadi tudingan masyarakat. Mengenai Presiden Abdurrahman Wahid dan gaya kepemimpinannya dalam penyelenggaraan pemerintahan negara yang "otoritarian". Dengan mudah dapat dipahami bahwa Presiden Abdurrahman Wahid pasti akan "berselisih" dengan Bank Indonesia berkaitan dengan independensi Bank Indonesia semacam itu. Memang untuk alasan apapun, tentu diharapkan alasan yang baik (reformasi), Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 52 independensi Bank Indonesia macam ini akan memasung dinamika dan kreativitas penyelenggaraan negara. Pemerintah akan merasakan, seperti diungkapkan di atas, adanya negara di dalam negara. Hal ini sempat ahli (sebagai pembicara utama) kemukakan dalam suatu diskusi reformatif yang diprakarsai oleh Salahuddin Wahid beberapa waktu yang lalu dan mendapat tanggapan positif dan kurang lebihnya afirmatif. Belum lagi kalau penyakit lama kambuh, bahwa pemerintah benar-benar akan main kayu, mencampuradukkan antara reformasi dan deformasi sekaligus, maka independensi Bank Indonesia akan merupakan sumber perselisihan yang akut. Seperti dapat diduga, inilah yang terjadi saat ini. Lebih dari itu, bukan saja tentang independensi Bank Indonesia yang kini dipermasalahkan, tetapi juga tentang posisi dan kekuasaan Bank Indonesia telah menjadi suatu perebutan yang memalukan. Independensi Bank Indonesia semacam itu tentu akan menarik bagi kekuatan (partai-partai) oposisi. Independensi akan bisa menjadi sarana perebutan kekuatan antara pemerintah dengan pihak oposisi, dengan menggunakan otoritas Bank Indonesia sebagai benteng perlawanan politik. Inipun kiranya sedang terjadi pada saat ini. Antara Pemerintah dan Bank Indonesia seharusnyalah terjadi suatu koordinasi integral. Indonesia menganut faham " Penta Politica ", pemisahan kekuasaan antara lima (penta) kekuasaan negara, yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif, yudikatif, advisori (DPA) dan auditori (BPK). Bank Indonesia tidak ada kaitannya dengan penta politica ini. Dalam posisi semacam ini maka Bank Indonesia haruslah terkoordinasi dalam pemerintahan negara yang diselenggarakan oleh Pemerintah, di dalam suatu tingkat sub-ordinasi tertentu. Selanjutnya biarlah lembaga legislatif melakukan pengawasan efektifnya terhadap Pemerintah. Dengan kata lain independensi Bank Indonesia perlu di redefinisi, harus menjadi lebih supel dan fleksible, sehingga tidak terjadi dualisme otoritas dan kebijaksanaan antara pemerintah dan Bank Indonesia. Tanpa itu maka kemelut ekonomi dan moneter di lapangan akan sulit diatasi. Independensi yang menumbuhkan dualisme otoritas semacam itu memang peka akan pertarungan. Dalam pertarungan antara keduanya tentulah akan menguntungkan pihak ketiga yang dapat mempermainkan dan menggerogoti perekonomian nasional kita. Pertengkaran antara pemerintah dan Bank Indonesia saat ini pasti akan lebih Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 53 memperpuruk rupiah kita, mendorong capital flight, melambungkan tingkat suku bunga, menghambat investasi dan tentulah menunda pembukaan lapangan kerja bagi rakyat. Penyelewengan KLBI dan BLBI akan makin sulit terlacak, pencetakan uang palsu akan makin sukar diungkap. Sementara itu ahli menghargai sikap konsekuen dan taat hukum Syahril Sabirin sampai UU Nomor 23 Tahun 1999 itu di amendemen secara jujur (tanpa ada udang di balik batu). Saya pun menghargai sikap Pemerintah yang tidak menghendaki dualisme soverenitas, yang tidak mustahil dualisme ini merupakan suatu skenario politik besar terhadap Indonesia; Landasan hukum pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Pasal 34 (1) Tugas mengawasi bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan Undang-Undang. (2) Pembentukan lembaga pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2002; Selanjutnya dalam UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bagian Menimbang: Butir a. menyatakan "bahwa untuk mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, diperlukan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan yang terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat". Boleh ditanyakan kepada jajaran pimpinan OJK yang ada di ruang ini, bagaimana melaksanakan tugas negara ini secara independen. Butir b. "Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam butir a, diperlukan otoritas jasa keuangan yang memiliki fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan di dalam sektor jasa keuangan secara terpadu, independen, dan akuntabel". Boleh ditanyakan pula kepada jajaran pimpinan OJK yang ada di ruang ini bagaimana OJK bisa akuntabel, terhadap siapa, terhadap Bank Indonesia, terhadap Kementerian Keuangan atau kepada DPR, atau kepada diri sendiri? Menurut website OJK, fungsi OJK adalah menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 54 sektor jasa keuangan. Mengulangi presentasi tertulis saya yang disampaikan di ruang ini pada tanggal 18 September 2014, saya ingin menegaskan ulang tentang OJK sebagai lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur-tangan oihak lain, yang menjadikannya sebagai super-body dalam dunia keuangan Indonesia. Peran OJK dalam perekonomian nasional adalah sangat sektoral, yaitu menyangkut sektor jasa keuangan saja. Selanjutnya sesuai dengan UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK tidak dipersoalkan kaitan OJK dengan tugas nasional sesuai dengan Pasal 33 dan Pasal 34 UUD 1945, serta masalah Sila ke-5 Pancasila, yaitu "keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia". Tugas sektoral OJK di dalam sektor jasa keuangan yang adil, transparan dan akuntabel untuk mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil serta mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat secara independen, sama sekali tidak menjamin dan bahkan dapat bertentangan dengan tugas-tugas spesifik sesuai dengan doktrin kebangsaan (nasionalisme) dan doktrin kerakyatan yang dianut oleh Negara Republik Indonesia; Memang barangkali OJK dapat melaksanakan tugas sektoralnya secara teratur, adil, transparan dan akuntabel serta mewujudkan sistem keuangan tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, namun tanpa merasa terikat (misalnya) dengan masalah riil yang dihadapi oleh bangsa Indonesia, yaitu makin melebarnya kesenjangan antara kaya dan miskin (Gini ratio 2005 0,34% dan sekarang 2014 0,46%), makin dominannya investasi asing terhadap perekonomian nasional dan makin terdesaknya investor nasional dan ekonomi rakyat. Lebih dari itu meskipun pertumbuhan ekonomi di atas 5,5% (ini pun tidak terlalu tinggi), namun Indonesia makin kehilangan kedaulatan ekonomi: kita makin tidak berdaulat dalam pertanian khususnya pangan dan bibit, obat-obat dasar, teknik industri, teknologi dan energi. Dan lebih hebat lagi kita tidak berdaulat dalam penguasaan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya [ayat (3) Pasal 33 UUD 1945] karena berlakunya sistem keuangan yang liberalistik dan kapitalistik, yang OJK berdasar tugasnya malahan dapat mengukuhkan penyelewengan konstitusional ini. Sektor keuangan dapat tetap adil, transparan dan akuntabel serta tumbuh berkelanjutan dan stabil serta melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat sesuai dengan konsideran UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK, namun Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 55 independensi yang menjadikan OJK " super body " tidak memungkinkan OJK dapat mengatasi tantangan-tantangan dan keprihatinan perekonomian di atas, bahkan dengan wewenangnya sebagai super body bisa malah mengabaikan dan membahayakan kepentingan nasional demi kestabilan sektor jasa keuangan belaka. Oleh karena itu, peran OJK hendaknya dikembalikan kepada Bank Indonesia atau ke Departemen Keuangan agar terkait dengan tugas-tugas menyelamatkan perekonomian nasional dan kepentingan nasional Indonesia. Janganlah sampai dengan tugas sektoral OJK tadi yang terjadi adalah pembangunan di Indonesia, dan bukan pembangunan Indonesia artinya bangsa Indonesia hanya menjadi penonton atau menjadi kuli di negeri sendiri. Demikian pula jangan sampai dengan pengutamaan kestabilan dan pertumbuhan jasa keuangan maka pembangunan menjadi penggusuran terhadap orang miskin, bukan penggusuran kemiskinan;
Dr. Margarito Kamis, S.H., M.H. Apabila Undang-Undang OJK dikenali secara utuh agak sulit untuk tidak berkesimpulan bahwa ini tampak seperti negara dalam negara. Ahli ingin mengatakan bahwa Pasal 23D UUD 1945 menyatakan, “Negara memiliki suatu Bank Central yang susunan kedudukan, kewenangan, tanggungjawab, dan independensi-nya diatur dengan undang-undang” , tidak dapat dan/atau tidak bermakna bahwa independensi atau Bank Indonesia atau Bank Central itu sebagian kewenangannya mesti diserahkan kepada organ lain yang tidak diperintahkan oleh konstitusi. Makna independensi dalam Pasal 23D UUD 1945 harus dimaknai sebagai patokan penentu relasi antar Bank Indonesia dengan Pemerintah. Jadi, derajat relasi hukum antara fungsi antara pemerintah dengan Bank Indonesia itu yang dimaksud dengan Pasal 23D UUD 1945 bukan mengurangi sebagian kewenangan Bank Indonesia dan kewenangan itu diserahkan kepada lembaga lain di luarnya. Itu sebabnya saya mengawali dengan mengatakan bahwa bila dikenali betul Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2012 ini secara konstitusional terlalu sulit untuk tidak menyatakan OJK tampak seperti negara dalam negara; Ahli ingin memperkuatnya dengan mengenali beberapa atau mengungkapkan beberapa saja diantaranya sebab tidak mungkin itu diungkapkan semua karena ahli yakin betul bahwa Majelis pun memiliki penilaian yang tidak mungkin dan/atau sebagaimana yang telah terefleksi dalam risalah sidang, tampak memiliki Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 56 kemiripan dengan apa yang ahli kemukakan; OJK dengan prinsip independensi melalui Undang-Undang ini dapat mengatur sendiri, membuat sendiri peraturan, dan melaksanakan Undang-Undang. Padahal mestinya ini dilaksanakan dengan Peraturan Pemerintah kecuali hal-hal lain yang memang tidak bisa diatur dan/atau tidak diatur dalam Undang-Undang. Karena keadaan hukum dengan fungsi mereka membutuhkan pengaturan barulah dilakukan, tetapi ini tidak dilakukan. Apa saja yang kan diatur dapat diatur dengan sendirinya oleh mereka tanpa bisa dicampuri oleh Pemerintah, tanpa dapat dicek (dikontrol) oleh DPR. Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung yang yang merupakan pelaksana kekuasan kehakiman pengaturan mengenai gaji pun diatur dengan Peraturan Presiden. Bagaimana OJK dapat mengatur dirinya sendiri, gaji pun diatur sendiri. Betapa luar biasanya OJK ini seperti lembaga negara di dalam negara; Menurut ahli tidak ada lembaga negara yang mempunyai 2 sumber keuangan pendanaan, namun OJK ini dibiayai dengan APBN dan pungutan yang dipungut sendiri dari bank dan jasa keuangan lainnya. Apa argumen konstitusionalnya sehingga dapat membenarkan tindakan tersebut? Siapa yang berani memastikan bahwa tidak ada potensi penyalahgunaan dan bagaimana mungkin bisa dipastikan akuntabilitas dan transparansi OJK dengan kewenangan seperti itu? Padahal bukankah negara hukum yang demokratis yang di atur dalam Undang-Undang Dasar 1945 menghendaki akuntabilitas dan transparansi dalam penyelenggaraan kekuasaan negara? Menurut ahli bahwa pengawasan oleh OJK dimaksudkan untuk perlindungan konsumen dan adanya independensi OJK tidak diperoleh titik relasi dengan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945. Bagaimana dapat mengusahakan perekonomian nasional dengan prinsip kekeluargaan dan gotong royong, kalau salah satu organ negara (lembaga negara) mempunyai fungsi yang begitu strategis tidak dapat dicek (dikontrol), dan bekerja semau-maunya karena diatur dalam Undang-Undang. Dengan demikian keberadaan OJK bertentangan dengan prinsip negara hukum [Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 33 UUD 1945]; [2.3] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon tersebut, Presiden dalam persidangan tanggal 5 Mei 2014 menyampaikan keterangan lisan dan keterangan tertulis bertanggal 30 April 2014 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 21 Oktober 2014 yang menguraikan hal-hal sebagai berikut: Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 57 I. Pokok Permohonan Bahwa para Pemohon mengajukan permohonan pengujian materiil Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37 dan frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan ..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU OJK terhadap UUD 1945. Merujuk kepada permohonan para Pemohon, pada pokoknya para Pemohon menganggap hak konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya ketentuan UU OJK, khususnya ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
Pasal 1 angka 1 yang menyatakan "OJK, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini." b. Pasal 5 yang menyatakan "OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan." c. Pasal 34 yang menyatakan: (1) “Dewan Komisioner menyusun dan menetapkan rencana kerja dan anggaran OJK. (2) Anggaran OJK bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau pungutan dari pihak lain yang melakukan kegiatan _di sektor jasa keuangan; _ (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai rencana kerja dan anggaran OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Dewan Komisioner." d. Pasal 37 yang menyatakan:
“ OJK mengenakan pungutan kepada pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. (2) Pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan wajib membayar pungutan yang dikenakan OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penerimaan OJK. (4) OJK menerima, mengelola, dan mengadministrasikan pungutan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 58 sebagaimana dimaksud pada ayat (3) secara akuntabel dan mandiri. (5) Dalam hal pungutan yang diterima pada tahun berjalan melebihi kebutuhan OJK untuk tahun anggaran berikutnya, kelebihan tersebut disetorkan ke Kas Negara. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah." e. Frasa dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65, Pasal 66 yang menyatakan "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan ..." Merujuk pada dalil-dalil dalam permohonan, para Pemohon pada pokoknya menyatakan bahwa dengan diberlakukannya ketentuan-ketentuan a quo , telah mengakibatkan terjadinya kerugian konstitusional yang dialami oleh Para Pemohon, dengan alasan:
Pasal 23D UUD 1945 yang menyatakan, "Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan Undang-Undang ". Menurut para Pemohon hanya bank sentral yang dijelaskan secara eksplisit di UUD 1945 yang boleh independen, sehingga frasa independen OJK tidak menemukan pembenaran secara konstitusional.
Pasal 33 UUD 1945, yang menurut para Pemohon berdasarkan Pasal 33 UUD 1945 OJK diharuskan untuk terintegrasi dengan sistem perekonomian yang diamanatkan konstitusi, sehingga tidak mungkin independen dan bebas dari campur tangan pihak lain. Dengan demikian, OJK dipaksa dan diarahkan untuk independen dan terpisah dari sistem besar ketatanegaraan yang termaktub dalam konstitusi.
Secara konstitusional aspek pengaturan dan pengawasan OJK juga tidak jelas di UUD 1945 mendapat mandat atau turunan dari pasal berapa, dimana masing-masing kewenangan yang diperoleh OJK berasal dari turunan yang asimetris. Pasal 5 UU OJK juga dapat menimbulkan konsekuensi adanya penumpukan kewenangan dalam satu badan sehingga dapat menimbulkan potensi moral hazard .
Penggunaan APBN yang digunakan sebagai biaya operasional secara konstitusional tidak memiliki landasan hukum dikarenakan OJK tidak berada dalam struktur ketatanegaraan yang rigid dan juga sifat OJK yang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 59 independen sehingga terdapat potensi penyalahgunaan kewenangan keuangan negara. Selain itu, jika terjadi krisis di sektor industri keuangan, bukan tidak mungkin dana APBN akan dipakai untuk menalangi krisis dan seberapa banyak dana publik dan/atau APBN yang boleh dikucurkan masih belum diatur.
Pasal 37 UU OJK akan menimbulkan dampak: (a) mengurangi kemandirian OJK karena OJK merupakan badan publik dengan amanat yang diberikan oleh rakyat melalui DPR; (b) sumber pendanaan dari jasa keuangan di pihak lain juga akan membalik akuntabilitas substantif OJK dari kepentingan publik dan konsumen kepada kepentingan kepada kepentingan industri jasa dan keuangan, f. Para Pemohon menginginkan agar pungutan yang mengatasnamakan negara haruslah jelas dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan, sebagaimana telah diatur dalam Pasal 23A UUD 1945 yang menyatakan bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan Negara diatur dalam Undang-Undang. II. Kewenangan Mahkamah Konstitusi dan Kedudukan Hukum ( Legal Standing ) Para Pemohon A. Kewenangan Mahkamah Konstitusi Pembentukan OJK Merupakan Opened Legal Policy Berdasarkan Pasal 33 ayat (5) UUD 1945 Sebelum menanggapi lebih lanjut mengenai materi permohonan para Pemohon, Pemerintah akan terlebih dahulu membahas apakah terhadap ketentuan Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37 dan frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan ..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66 UU OJK ini telah tepat dan benar dapat diajukan pengujian konstitusional ( constitutional review ) ke Mahkamah Konstitusi. Mengingat pentingnya pengaturan mengenai sistem perekonomian nasional maka UUD 1945 mengatur mengenai perekonomian nasional diatur dalam Bab tersendiri yaitu Bab XIV Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Nasional. Bab XIV terdiri dari dua pasal yaitu Pasal 33 dan Pasal 34 UUD 1945, mengenai pengaturan Perekonomian Nasional diatur dalam Pasal 33 UUD 1945. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 60 Sebagaimana telah diketahui bersama prinsip-prinsip dasar pengelolaan perekonomian nasional terdapat dalam Pasal 33 UUD 1945 dan Pasal 33 ayat (5) UUD 1945 juga telah mengamanatkan kepada pembentuk Undang-Undang pengaturan lebih lanjut mengenai pelaksanaan prinsip- prinsip pada Pasal 33 UUD 1945 diatur dalam Undang-Undang. Oleh karena itu, dalam rangka menjalankan amanat konstitusi tersebut maka telah diterbitkan perundang-undangan mengenai pengelolaan perekonomian nasional berdasarkan prinsip-prinsip dasar sebagaimana termaktub dalam Pasal 33 UUD 1945, yang salah satunya adalah UU OJK. Pembentukan UU OJK secara keseluruhan oleh pembentuk Undang- Undang adalah dalam rangka mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh dengan stabil dan berkelanjutan, menciptakan kesempatan kerja yang luas dan seimbang di semua sektor perekonomian, serta memberikan kesejahteraan secara adil dan makmur kepada seluruh rakyat Indonesia. Sebagaimana amanat Pasal 33 ayat (5) UUD 1945 yang secara tegas menyatakan bahwa "Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam Undang-Undang ", maka DPR bersama Pemerintah telah menyusun UU OJK sehingga pembentukan UU OJK merupakan suatu pilihan kebijakan yang bebas dan terbuka ( opened legal policy ) bagi pembuat Undang-Undang. Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, maka pembentukan UU OJK adalah tepat berdasarkan amanat UUD 1945 khususnya pada Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 33 UUD 1945. Oleh karena itu, sudah sepatutnya permohonan uji materiil ketentuan Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37 dan frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan ..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU OJK tersebut tidak dapat diajukan pengujian materiil di Mahkamah Konstitusi. Hai ini sesuai dengan pendapat Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimuat dalam Putusan Nomor 26/PUU-VII/2009 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden terhadap UUD 1945 yang menyatakan sebagai berikut: Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 61 "Bahwa Mahkamah dalam fungsinya sebagai pengawal konstitusi tidak mungkin untuk membatalkan Undang-Undang atau sebagian isinya, jikalau norma tersebut merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk Undang-Undang. Meskipun seandainya isi suatu Undang-Undang dinilai buruk, maka Mahkamah tidak dapat membatalkannya, sebab yang dinilai buruk tidak selalu berarti inkonstitusional, kecuali kalau produk legal policy tersebut jelas-jelas melanggar moralitas, rasionalitas dan ketidakadilan yang intolerable . Sepanjang pilihan kebijakan tidak merupakan hal yang melampaui kewenangan pembentuk Undang-Undang, tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, serta tidak nyata-nyata bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka pilihan kebijakan demikian tidak dapat dibatalkan oleh Mahkamah; dan Putusan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden terhadap UUD 1945, yang menyatakan sebagai berikut: "Menimbang bahwa Mahkamah dalam fungsinya sebagai pengawal konstitusi tidak mungkin untuk membatalkan Undang-Undang atau sebagian isinya, jikalau norma tersebut merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk Undang-Undang. Pandangan hukum yang demikian sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 010/PUU-III/2005 bertanggal 31 Mei 2005 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan sepanjang pilihan kebijakan tidak merupakan hal yang melampaui kewenangan pembentuk Undang- Undang, tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, serta tidak nyata-nyata bertentangan dengan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka pilihan kebijakan demikian tidak dapat dibatalkan oleh Mahkamah". Selain itu, pokok-pokok permasalahan yang diajukan oleh para Pemohon sangat tidak tepat diuji oleh Mahkamah Konstitusi, karena dalil-dalil permohonan menyangkut mengenai implementasi dari norma bukan kesalahan atau pertentangan norma dengan UUD 1945 sebagaimana disampaikan oleh Prof. Arief Hidayat dalam sidang pane! pemeriksaan pendahuluan tanggal 25 Maret 2014 yang pada pokoknya menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi tidak memiliki kewenangan untuk mengadili apa yang dilakukan oleh suatu lembaga negara dalam suatu pengujian Undang-Undang tetapi mengadili norma yang bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karena itu, sudah sepatutnya permohonan pengujian Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37 dan frasa "... tugas pengaturan dan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 62 pengawasan di sektor perbankan ..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU OJK yang diajukan oleh para Pemohon dinyatakan tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard ). B. Tinjauan Kedudukan Hukum ( Legal Standing ) Para Pemohon Legal Standing Sebagai Pembayar Pajak Harus Dibuktikan Oleh Pemohon Dengan Menyertakan Bukti SPT Dan Bukti Pembayaran Kewajiban Pajak Pemohon Berdasarkan ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (untuk selanjutnya disebut "UU Mahkamah Konstitusi") disebutkan bahwa para Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang. Ketentuan tersebut dipertegas dalam penjelasannya, bahwa yang dimaksud dengan "hak konstitusional adalah hak-hak yang diatur dalam UUD 1945. Dengan demikian agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai Para pemohon yang memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) dalam permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 maka terlebih dahulu harus menjelaskan dan membuktikan:
kualifikasinya dalam permohonan a quo sebagaimana disebut dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi;
hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dalam kualifikasi dimaksud yang dianggap telah dirugikan oleh berlakunya Undang- Undang yang diuji;
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Para pemohon sebagai akibat berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian. Lebih lanjut Mahkamah Konstitusi sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007, serta putusan-putusan selanjutnya, telah memberikan pengertian dan batasan secara kumulatif tentang kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi harus memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu:
adanya hak konstitusional para Pemohon yang diberikan oleh UUD Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 63 1945;
hak konstitusional para Pemohon tersebut dianggap oleh para Pemohon telah dirugikan oleh suatu Undang-Undang yang diuji;
bahwa kerugian konstitusional para Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Karena itu, Pemerintah berpendapat bahwa para Pemohon tidak memenuhi syarat kedudukan hukum (legal standing) dan tidak dirugikan hak konstitusionalnya oleh berlakunya Undang-Undang a quo , sehingga para Pemohon tidak memenuhi syarat sebagai pemohon uji materiil sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 51 UU Mahkamah Konstitusi tersebut. Menurut pendapat Pemerintah, legal standing sebagai pembayar pajak yang patuh, tidak dapat diterima begitu saja dengan memiliki dan melampirkan Nomor Pajak Wajib Pajak (NPWP) sebagai bukti. Dengan memiliki NPWP tidak secara serta merta para Pemohon telah membayar pajak, maka seharusnya para Pemohon juga turut menyertakan bukti Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak dan juga pembayaran kewajiban Pajak yang merupakan pelaporan perhitungan dan pembayaran pajak oleh, objek pajak, dan/atau bukan objek pajak dan/atau harta atau kewajiban, menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Tidak Ada Hak Konstitusional Pemohon Yang Dilanggar Dengan Berlakunya Ketentuan UU OJK Yang Diuji Selain itu, Pemerintah tidak melihat adanya pelanggaran hak konstitusional para Pemohon yang sebagaimana didalilkan dalam permohonan para Pemohon yaitu dengan berlakunya ketentuan Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37 dan frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan ..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU OJK telah merugikan hak Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 64 konstitusionalitasnya sebagai perserorangan warga negara Indonesia dengan didasarkan pada: Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan "Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggungjawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat." dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan "Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya". Bahwa para Pemohon dalam permohonan uji materiilnya tidak secara jelas menguraikan mengenai kerugian konstitusional dan hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian konstitusional Pemohon secara spesifik, aktual atau setidaknya potensial yang dapat dipastikan akan terjadi dikarenakan berlakunya norma yang terkandung dalam ketentuan Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37 dan frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan ..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU OJK. Bahwa ketentuan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 bukan merupakan hak-hak dasar atau hak konstitusional warga negara in casu hak para Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945. Hal ini dikarenakan ketentuan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 merupakan salah satu bentuk pelaksanaan kedaulatan rakyat. Penetapan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) setiap tahunnya dengan Undang-Undang mempunyai pengertian bahwa dalam penyusunan Undang-Undang APBN, haruslah mendapatkan persetujuan rakyat yang dalam hal ini diwakili oleh DPR. Selain itu, penggunaan ketentuan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 sebagai batu uji permohonan a quo sangat tidak tepat dan tidak berdasar hukum. Ketentuan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 merupakan prinsip persamaan dalam hukum dan pemerintahan ( equality before the law ), prinsip kewajiban menjunjung hukum tidak hanya harus dilaksanakan oleh negara, namun juga wajib dijunjung tinggi oleh seluruh warga negara Indonesia. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 65 Bahwa penggunaan Pasal 23 ayat (1) dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 tidak dapat dijadikan dasar kedudukan hukum oleh para Pemohon dikarenakan bukan hak konstitusional para Pemohon, namun merupakan suatu kewajiban bagi seluruh rakyat Indonesia untuk menerapkan prinsip persamaan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara dan sebagai pembayar pajak tidak serta merta dapat dasar dalam pengajuan uji materiil suatu Undang-Undang. Permohonan Pemohon merupakan permohonan yang Obscuur Libel Selain itu, permohonan para Pemohon merupakan permohonan yang obscuur libel yaitu nampak pada tidak sesuainya antara posita permohonan para Pemohon dan petitum yang dimintakan oleh para Pemohon dalam permohonannya. Para Pemohon tidak menjelaskan mengapa frasa "...tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan.." bertentangan dengan UUD 1945, namun tetap meminta petitum agar Mahkamah Konstitusi menyatakan frasa dimaksud bertentangan dengan UUD 1945. Para Pemohon juga telah melakukan kesalahan yang menyebabkan permohonan Para Pemohon menjadi tidak jelas dan tidak fokus ( obscuur libel ) yaitu pada angka 2 petitum permohonannya yang meminta agar Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34 dan Pasal 37 UU OJK bertentangan dengan UUD 1945, namun pada angka 3 para Pemohon meminta kepada Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 7, Pasal 34 dan Pasal 37 UU OJK tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Bahwa berdasarkan uraian di atas, Pemerintah berpendapat permohonan para Pemohon tidak jelas, tidak cermat, tidak fokus dan kabur ( obscuur libel ), utamanya dalam mengkonstruksikan kerugian konstitusional seperti apa yang dialami oleh para Pemohon sebagai individu perseorangan warga negara Indonesia. Oleh karena itu, Pemerintah memohon agar Ketua/Majelis Hakim Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan Para pemohon ditolak atau setidak-tidaknya tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard ). Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 66 III. Penjelasan Pemerintah Atas Permohonan Para Pemohon A. Penjelasan Pemerintah Atas Permohonan Putusan Provisi Para Pemohon Tidak Ada Alasan Yang Spesifik Dan Aktual Serta Penting Dan Mendesaknya Permohonan Provisi Pemohon Harus Dikabulkan Oleh Mahkamah Konstitusi Istilah provisionil dikenal luas dengan istilah "provisionllels vonnis", "provisoire", "voorlopige", "provisionaf, "voorlaufig", "provissorich ainstwelling", "bij vooraad' dan Iain-Iain. Istilah-istilah dimaksud pada pokoknya menjelaskan bahwa putusan provisi adalah putusan yang sifatnya sangat segera dan mendesak untuk dilakukan oleh hakim terhadap salah satu pihak dan bersifat sementara di samping adanya tuntutan pokok dalam surat gugatan. Dalam Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, putusan provisi hanya dikenal pada perkara Sengketa Kewenangan Lembaga Negara yang diatur dalam Pasal 63 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang mengatur "Mahkamah Konstitusi dapat mengeluarkan penetapan yang memerintahkan pada pemohon dan/atau termohon untuk menghentikan sementara pelaksanaan kewenangan yang dipersengketakan sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi". Namun demikian, dalam sejarahnya Mahkamah Konstitusi pernah mengabulkan permohonan provisi yang diajukan oleh Bibit S. Rianto dan Chandra M. Hamzah dalam perkara Nomor 133/PUUA/1I/2009 tentang pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK). Permohonan provisi yang dikabulkan sebagian oleh Mahkamah Konstitusi terkait dengan penundaan penerapan Pasal 32 ayat (1) huruf c juncto Pasal 32 ayat (3) UU KPK oleh Presiden yakni mengenai tindakan administratif berupa penghentian pimpinan KPK yang menjadi terdakwa karena melakukan tindak pidana kejahatan. Dalam Putusan Nomor 133/PUU-VII/2009, Mahkamah Konstitusi memberikan pendapat sebagai berikut: "Bahwa dalam praktik pemeriksaan perkara pengujian undang-undang seringkali untuk kasus-kasus tertentu dirasakan perlunya putusan sela dengan tujuan melindungi pihak yang hak konstitusionalnya amat sangat Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 67 terancam sementara pemeriksaan atas pokok pemohonan sedang berjalan". Berdasarkan pertimbangan Mahkamah Konstitusi sebagaimana disebutkan di atas, maka terdapat unsur-unsur yang harus dapat dipenuhi dan dijelaskan secara spesifik dan aktual oleh para Pemohon dalam permohonannya. Terhadap permohonan provisi para Pemohon, Pemerintah berpendapat bahwa para Pemohon tidak dapat menjelaskan secara spesifik dan aktual terkait dengan alasan pentingnya dan mendesaknya mengapa permohonan provisi para Pemohon harus dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi dan akibatnya apabila permohonan provisi para Pemohon tidak dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi. Sampai dengan saat ini, OJK telah melakukan kewenangannya untuk melakukan pengaturan dan pengawasan dalam sektor jasa keuangan serta mengadvokasi kepentingan para konsumen. Dalam melakukan kewenangannya tersebut, tidak terdapat kendala yang berarti dan tidak ada hak konstitusional dari para Pemohon yang telah dilanggar atau terancam untuk dilanggar dengan adanya pelaksanaan kewenangan OJK dimaksud. Dikabulkannya permohonan provisi dapat menimbulkan kerancuan hukum bahkan ketidakpastian hukum di sektor jasa keuangan Selain itu, dalam Putusan Nomor 133/PUU-VI1/2009 Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan: "Bahwa Mahkamah berpendapat putusan sela perlu untuk diterapkan apabila dengan putusan tersebut tidak akan menimbulkan kerancuan hukum di satu pihak, sementara di pihak lain justru akan memperkuat perlindungan hukum". Dengan adanya pertimbangan Mahkamah Konstitusi sebagaimana disebutkan di atas, maka sesungguhnya Mahkamah Konstitusi telah menetapkan batasan dikabulkannya permohonan provisi dari para Pemohon pengujian Undang-Undang yaitu apabila dengan putusan tersebut tidak akan menimbulkan kerancuan hukum di satu pihak. Pemerintah berpendapat bahwa apabila permohonan provisi para Pemohon dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi akan dapat menimbulkan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 68 kerancuan hukum bahkan ketidakpastian hukum bagi para pelaku pasar dan para konsumen di sektor jasa keuangan secara umum dan khususnya di pihak OJK. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka seyogianya Mahkamah Konstitusi menolak permohonan provisi dari para Pemohon dikarenakan tidak ada keadaan yang sangat mendesak untuk dikabulkannya permohonan provisi dimaksud dan apabila dikabulkan dapat menimbulkan kerancuan hukum dan ketidakpastian hukum bagi para pelaku pasar dan para konsumen di sektor jasa keuangan secara umum dan khususnya di pihak OJK. B. Penjelasan Pemerintah Atas Pendapat Para Pemohon Yang Menyatakan Pasal 1 Angka 1 UU OJK Bertentangan Dengan UUD 1945 OJK Merupakan Lembaga Negara Yang Memiliki Sifat Constitutional Importance Secara yuridis pembentukan UU OJK dilandasi oleh Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 33 UUD 1945. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 UUD 1945 memberikan kewenangan konstitusional kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk membentuk suatu Undang- Undang, sedangkan Pasal 33 UUD 1945 merupakan landasan konstitusional dibentuknya UU OJK; Pembentukan UU OJK merupakan pengejawantahan tujuan konstitusional dibentuknya Negara Indonesia, yang terdapat dalam Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945 yang menentukan salah satu tujuan negara ( common virtues ) yaitu memajukan kesejahteraan umum yang perlu diwujudkan melalui pelembagaan negara Indonesia, dan amanat konstitusional Pasal 33 UUD 1945, yaitu dalam rangka mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh dengan stabil dan berkelanjutan, menciptakan kesempatan kerja yang luas dan seimbang di semua sektor perekonomian dan memberikan kesejahteraan secara adil kepada seluruh rakyat Indonesia, maka program pembangunan nasional harus dilaksanakan secara komprehensif dan mampu menggerakkan kegiatan perekonomian nasional yang memiliki jangkauan yang luas dan menyentuh keseluruh sektor riil dari perekonomian masyarakat Indonesia. Pengaturan mengenai perekonomian nasional sebagaimana diamanatkan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 69 pada Pasal 33 UUD 1945 terkait erat dengan sistem keuangan untuk menunjang berbagai kegiatan produktif di dalam perekonomian nasional sehingga diperlukan lembaga-lembaga keuangan untuk menopang perekonomian nasional sehingga diperlukan lembaga yang memiliki fungsi pengaturan dan pengawasan lembaga-lembaga keuangan dimaksud dalam rangka menjalankan tujuan konstitusional dibentuknya Negara Indonesia dan amanat konstitusional Pasal 33 UUD 1945. Konstitusionalitas suatu norma dalam Undang-Undang tidak hanya dapat diukur melalui pasal-pasal yang terdapat dalam batang tubuh UUD 1945 melainkan juga melalui Pembukaan UUD 1945 yang mana di dalamnya terdapat tujuan dibentuknya Negara Indonesia. Mengingat konstitusionalitas suatu norma dalam Undang-Undang tidak hanya dapat diukur melalui pasal-pasal yang terdapat dalam batang tubuh UUD 1945 melainkan juga melalui Pembukaan UUD 1945 yang mana di dalamnya terdapat tujuan dibentuknya Negara Indonesia, maka berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut di atas Pemerintah berpendapat bahwa OJK merupakan suatu lembaga negara independen yang memiliki sifat constitutional importance dikarenakan merupakan salah satu instrument untuk mencapai tujuan bernegara dan amanat konstitusional dalam Pembukaan dan Pasal 33 UUD 1945. Sebagaimana disampaikan oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. dalam bukunya "Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi", bahwa ragam struktur organisasi kekuasaan negara dewasa ini sudah berkembang sangat bervariasi, sehingga yang dinamakan organ negara atau lembaga negara tidak lagi hanya terbatas pada tiga fungsi menurut doktrin klasik yang dikembangkan sejak abad ke-18. Lembaga-lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Penyiaran Indonesia, Badan Pengawas Pemilu, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Komisi Pengawas Persaingan Usaha, dan sebagainya merupakan contoh lembaga dan/atau komisi baru yang bersifat independen dan memiliki fungsi campuran dan dibentuk berdasarkan Undang-Undang, namun tetap memiliki sifat constitutional importance . Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 70 Sifat Independensi OJK Merupakan Hal Yang Tidak Terpisahkan Dengan Pembentukan OJK Selain itu, pembentukan UU OJK juga merupakan amanat Pasal 34 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 (selanjutnya disebut UU Bank Indonesia) yang mengamanatkan bahwa "(1) Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan Undang-Undang". Lebih lanjut penjelasan Pasai 34 ayat (1) UU Bank Indonesia menyatakan "(1) Lembaga pengawasan jasa keuangan yang akan dibentuk melakukan pengawasan terhadap Bank dan perusahaan-perusahaan sektor jasa keuangan lainnya yang meliputi asuransi, dana pensiun, sekuritas, modal ventura, dan perusahaan pembiayaan, serta badan-badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat." Dengan adanya Pasal 34 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 34 ayat (1) UU Bank Indonesia sebagaimana disebutkan di atas, maka sejak semula independensi OJK merupakan hal yang tidak terpisahkan dengan pembentukan OJK. Namun demikian, meskipun dalam menjalankan tugasnya dan kedudukannya berada di luar pemerintah OJK tetap berkewajiban menyampaikan laporan kepada Badan Pemeriksa Keuangan dan Dewan Perwakilan Rakyat. Independensi OJK merupakan suatu keharusan dan hal ini disadari oleh pembentuk Undang-Undang yaitu Pemerintah dan DPR, dikarenakan sebagai otoritas yang melaksanakan fungsi pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan OJK hams memiliki independensi. Hal ini disebabkan OJK mengawasi kegiatan jasa keuangan dan transaksi keuangan oleh entitas bisnis yang dapat berpotensi terjadinya benturan kepentingan serta berpotensi mempengaruhi kepentingan pihak-pihak tertentu, termasuk pihak Pemerintah dengan tetap berada dalam koridor hukum yang juga menjamin bahwa independensi tersebut dapat dimintakan pertanggungjawabannya. Independensi OJK diwujudkan dalam 2 (dua) hal. Pertama, secara kelembagaan OJK tidak berada di bawah otoritas lain di dalam sistem Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 71 Pemerintah Negara Republik Indonesia yang dimaknai bahwa OJK tidak menjadi bagian dari kekuasaan Pemerintah. Namun tidak menutup kemungkinan adanya unsur-unsur perwakilan Pemerintah karena pada hakikatnya Otortias Jasa Keuangan merupakan otoritas di sektor jasa keuangan yang memiliki relasi dan keterkaitan yang kuat dengan otoritas lain, dalam hal ini otoritas fiskal dan moneter. Oleh karena itu, OJK melibatkan keterwakilan unsur-unsur dari kedua otoritas dimaksud, secara Ex-Officio . Keberadaan Ex-Officio ini dimaksudkan dalam rangka koordinasi, kerja sama, dan harmonisasi kebijakan di bidang fiscal, moneter, dan sektor jasa keuangan. Keberadaan Ex-Officio juga diperlukan guna memastikan terpeliharanya kepentingan nasional dalam rangka persaingan global dan kesepakatan internasional, kebutuhan koordinasi, dan pertukaran informasi dalam rangka menjaga dan memelihara stabilitas sistem keuangan. Kedua, independensi OJK tercermin dalam kepemimpinan OJK. Secara orang perseorangan, pimpinan OJK memiliki kepastian masa jabatan dan tidak dapat diberhentikan, kecuali memenuhi alasan yang secara tegas diatur dalam UU OJK. Di samping itu, untuk mendapatkan pimpinan OJK yang tepat, Undang-Undang OJK mengatur seleksi yang unsur-unsurnya terdiri atas Pemerintah, Bank Indonesia, dan masyarakat sektor jasa keuangan. C. Penjelasan Pemerintah Atas Pendapat Para Pemohon Yang Menyatakan Pasal 5 Dan Frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan ..." Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66 UU OJK Bertentangan Dengan UUD 1945 Dalam posita permohonannya para Pemohon, tidak menjelaskan mengapa frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan..." bertentangan dengan UUD 1945, namun para Pemohon tetap meminta petitum kepada Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan bahwa frasa dimaksud bertentangan dengan UUD 1945 sehingga menyebabkan permohonan para Pemohon menjadi tidak jelas dan tidak fokus ( Obscuur Libel ). Namun demikian Pemerintah tetap akan menjelaskan mengapa frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU OJK tidak Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 72 bertentangan dengan UUD 1945 dengan digabungkan pada Penjelasan Pemerintah terkait Pasal 5 UU OJK dikarenakan memiliki keterkaitan yaitu mengenai kewenangan pengaturan dan pengawasan OJK yang terintegrasi terhadap seluruhh kegiatan di dalam sektor jasa keuangan termasuk tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan. Pengaturan dan Pengawasan Sektor Jasa Keuangan Yang Terintegrasi Merupakan Kebutuhan Untuk Meningkatkan Efektivitas Dan Efisiensi Dalam Menghadapi Globalisasi dan Konglomerasi Sektor Jasa Keuangan Secara historis pembentukan UU OJK didasarkan pada terjadinya Asian Financial Crisis tahun 1997-1998 yang berdampak sangat berat terhadap Indonesia, khususnya sektor perbankan. Krisis pada tahun 1997-1998 berawal dari krisis nilai tukar di Thailand, krisis tersebut menjalar dengan cepat ke negara-negara tetangga, seperti Malaysia, Filipina, Indonesia, dan Korea Selatan serta berkembang menjadi krisis perbankan. Krisis perbankan yang melanda Indonesia diakibatkan karena banyak bank yang mengalami krisis likuiditas, yang kemudian berkembang menjadi krisis ekonomi dan politik sehingga secara keseluruhan menjadi krisis multidimensi sehingga menyebabkan krisis di Indonesia beriangsung lebih lama dibandingkan negara-negara Asia lainnya dan menyebabkan beban fiskal yang sangat besar, mencapai Rp. 600 triliun. Tidak hanya Asian Financial Crisis tahun 1997-1998, Global Crisis pada tahun 2008 juga memiliki peran mengapa diperlukan pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi dalam sektor jasa keuangan. Pada saat krisis global tahun 2008, Indonesia sebagai salah satu negara yang sistem keuangannya berinteraksi di pasar global tidak luput dari tekanan dan ancaman krisis, sehingga menyebabkan salah satu bank di Indonesia harus di- bailout untuk menghindari pengulangan akibat-akibat yang disebabkan Asian Financial Crisis tahun 1997-1998. Krisis pada tahun 1997-1998 dan juga krisis pada tahun 2008 menunjukkan kelemahan dalam hal kelembagaan dan pengaturan pada sektor jasa keuangan bukan hanya dalam sektor perbankan saja. Reformasi di bidang hukum sektor jasa keuangan diharapkan menjadi salah satu solusi untuk menciptakan sistem penyelesaian dan pencegahan krisis keuangan di masa yang akan datang. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 73 Filosofi pembentukan UU OJK bertujuan agar kegiatan sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan, akuntabel, mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, serta mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat, mengingat sistem keuangan merupakan salah satu komponen penting dalam sistem perekonomian nasional dan seluruh kegiatan jasa keuangan yang menjalankan fungsi intermediasi bagi berbagai kegiatan produktif di dalam perekonomian nasional dan memberikan kontribusi yang cukup signifikan dalam penyediaan dana untuk pembiayaan pembangunan ekonomi nasional. Berdasarkan landasan filosofis dimaksud, perlu dilakukan penataan agar dapat tercapai mekanisme koordinasi yang lebih efektif di dalam menangani permasalahan yang timbul dalam sistem keuangan sehingga dapat lebih menjamin tercapainya stabilitas sistem keuangan. Pengaturan dan pengawasan terhadap keseluruhan kegiatan jasa keuangan tersebut harus dilakukan secara terintegrasi. Oleh karena itu, Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah, memandang diperlukan OJK yang memiliki fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan di dalam sektor jasa keuangan secara terpadu, independen, dan akuntabel. Secara filosofi, OJK sebagai otoritas yang melaksanakan fungsi pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan harus memiliki independensi di dalam melaksanakan tugasnya. Hal ini disebabkan OJK mengawasi kegiatan jasa keuangan dan transaksi keuangan oleh entitas bisnis yang dapat berpotensi terjadinya benturan kepentingan serta berpotensi mempengaruhi kepentingan pihak-pihak tertentu, termasuk pihak Pemerintah. Untuk itu, dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, OJK harus independen atau bebas dari intervensi pihak- pihak berkepentingan, tentunya dalam koridor hukum yang juga menjamin bahwa independensi tersebut dapat dimintakan pertanggungjawabannya. Mengenai landasan sosiologis dapat Pemerintah sampaikan bahwa pembentukan OJK dilatarbelakangi oleh fakta bahwa terjadinya proses globalisasi dalam sistem keuangan dan pesatnya kemajuan di bidang teknologi informasi dan inovasi finansial telah menciptakan sistem keuangan yang sangat kompleks, dinamis, dan saling terkait antar masing- Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 74 masing subsektor keuangan baik dalam hal produk maupun kelembagaan. Di samping itu, adanya lembaga keuangan yang memiliki hubungan kepemilikan di berbagai subsektor keuangan (konglomerasi) telah menambah kompleksitas transaksi dan interaksi antar lembaga-lembaga keuangan di dalam sistem keuangan. Kemudian, banyaknya permasalahan lintas sektoral di sektor jasa keuangan, yang meliputi tindakan moral hazard , belum optimalnya perlindungan konsumen jasa keuangan, dan terganggunya stabilitas sistem keuangan semakin mendorong diperlukannya pembentukan lembaga pengawasan di sektor jasa keuangan yang terintegrasi. Berdasarkan fakta-fakta tersebut, pembentukan OJK didasarkan pula atas pertimbangan perlunya dilakukan penataan kembali struktur pengorganisasian dari lembaga-lembaga yang melaksanakan fungsi pengaturan dan pengawasan di industri jasa keuangan yang mencakup bidang perbankan, pasar modal dan industri jasa keuangan non bank; Penataan dimaksud dilakukan agar dapat dicapai pengawasan sektor jasa keuangan menjadi terintegrasi dan koordinasi di antara subsektor jasa keuangan menjadi lebih mudah sehingga pengawasan dan regulasinya menjadi lebih efektif sehingga dapat lebih menjamin tercapainya stabilitas sistem keuangan dan juga perlindungan konsumen sektor jasa keuangan yang lebih kuat, mengingat semakin rumitnya transaksi dan interaksi antar lembaga-lembaga keuangan di dalam sistem keuangan. Pasal 23D UUD 1945 Merupakan Opened Legal Policy dari Pembuat Undang-Undang dan Pasal 5 dan frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 64, Pasai 65 dan Pasal 66 UU OJK Tidak Bertentangan Dengan Konstitusi Terhadap dalil para Pemohon yang mendalilkan bahwa kewenangan pengaturan dan pengawasan perbankan merupakan turunan langsung dari Pasal 23D UUD 1945, menurut Pemerintah hal tersebut tidak beralasan dan tidak berdasar hukum dikarenakan sebagaimana disampaikan oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. dalam bukunya "Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi" pada halaman 92 yang menyatakan: "Selain itu, nama dan kewenangan bank sentral juga tidak tercantum Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 75 eksplisit dalam UUD 1945. Ketentuan Pasal 23D UUD 1945 hanya menyatakan "Negara memiliki bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan Undang-Undang”. Bahwa bank sentral itu diberi nama seperti yang sudah dikenal seperti selama ini, yaitu "Bank Indonesia", maka hal itu adalah urusan pembentuk Undang-Undang. Demikian pula dengan kewenangan bank sentral itu, menurut Pasal 23D tersebut, akan diatur dengan Undang-Undang." maka kewenangan Bank Indonesia sebagai bank sentral dapat ditentukan oleh pembentuk Undang-Undang melalui Undang-Undang yang dibentuknya dikarenakan Pasal 23D UUD 1945 merupakan ketentuan open legal policy dari pembuat Undang-Undang. Oleh karena itu apabila pembentuk Undang-Undang merasa perlu ada yang diperbaharui dari sistem sektor jasa keuangan termasuk kewenangan suatu lembaga hal tersebut dapat saja dilakukan dan tidak bertentangan dengan konstitusi. Berdasarkan penjelasan tersebut di atas dan mengingat pentingnya sektor jasa keuangan sebagai salah satu komponen penting dalam sistem perekonomian nasional yang menjalankan fungsi intermediasi dalam rangka pembiayaan pembangunan ekonomi nasional agar dapat tercapainya tujuan konstitusional dibentuknya Negara Indonesia dan amanat konstitusional Pasal 33 UUD 1945, maka menurut Pemerintah kewenangan OJK dalam melakukan pengaturan dan pengawasan dalam sektor jasa keuangan sebagaimana termaktub dalam Pasal 5 dan frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU OJK merupakan kewenangan yang tidak melanggar konstitusi dan kewenangan tersebut menunjukkan bahwa OJK memiliki sifat constitutional importance dikarenakan merupakan salah satu instrumen untuk mencapai tujuan dan amanat konstitusional dalam Pembukaan dan Pasal 33 UUD 1945. Apabila para Pemohon mengkhawatirkan adanya penumpukan kewenangan dalam OJK dan dapat menimbulkan potensi moral hazard , menurut pendapat Pemerintah hal tersebut tidak perlu dikhawatirkan dikarenakan UU OJK juga telah memisahkan fungsi pengaturan dengan pengawasan sebagai unsur check and balances di dalam OJK. Hal ini diwujudkan dengan melakukan pemisahan yang jelas antara fungsi pengaturan dan fungsi pengawasan. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 76 Fungsi pengaturan dilakukan oleh Dewan Komisioner (vide Pasal 8) sedangkan fungsi pengawasan dilakukan masing-masing oleh Pengawas Perbankan, Pengawas Pasar Modal dan Pengawas Industri Keuangan Non Bank (vide Pasal 9 huruf b). Dewan Komisioner sebagai organ tertinggi dalam OJK selain menjalankan fungsi pengaturan, juga berperan untuk memastikan masing-masing Pengawas melaksanakan tugasnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun demikian perlu dicatat bahwa Penjelasan Pasal 9 huruf b menyatakan bahwa pengawasan Dewan Komisioner terhadap pelaksanaan tugas Kepala Eksekutif ditujukan untuk mengevaluasi dan memperbaiki kinerja dari Kepala Eksekutif. Pengawasan tersebut tidak dimaksudkan untuk memberi kewenangan kepada Dewan Komisioner untuk mengintervensi atau turut campur terhadap pelaksanaan tugas dan wewenang setiap Kepala Eksekutif. Lebih lanjut, dalam rangka check and balances, di internal OJK terdapat Komite Etik, yaitu organ pendukung Dewan Komisioner yang bertugas mengawasi kepatuhan Dewan Komisioner, pejabat dan pegawai OJK terhadap kode etik. (vide Pasal 1 angka 21). Anggota Dewan Komisioner melanggar kode etik dapat diberhentikan sebelum masa jabatannya berakhir. Pelanggaran kode etik dalam ketentuan ini adalah pelanggaran yang dikategorikan pelanggaran berat dan dilaporkan oleh Dewan Komisioner kepada Dewan Perwakilan Rakyat. (vide Pasal 17 ayat (1)). Dewan Komisioner menetapkan Peraturan Dewan Komisioner mengenai kode etik dan menegakkan kode etik OJK (vide Pasal 32). D. Penjelasan Pemerintah Atas Pendapat Para Pemohon Yang Menyatakan Pasal 34 dan Pasal 37 UU OJK Bertentangan Dengan UUD 1945 Pengaturan Pungutan OJK Dimaksud Telah Sejalan Dengan Ketentuan Pasal 23A UUD 1945 Pengembangan sektor jasa keuangan yang merupakan bagian dari upaya pembangunan nasional dalam rangka upaya peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia ditempuh melalui usaha mewujudkan keseluruhan kegiatan sektor jasa keuangan yang terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 77 keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 33 UUD 1945. UU OJK dibentuk dengan tujuan sebagaimana disebutkan di atas, namun guna mencapai tujuan tersebut diperlukan adanya jaminan sumber pembiayaan yang mampu mendukung efektivitas pelaksanaan tugas dan fungsi sebagai salah satu unsur yang dapat menjadikan OJK sebagai lembaga yang independen dalam pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan. Berdasarkan hal tersebut, maka pembentuk Undang-Undang yaitu DPR dan Pemerintah sepakat dalam hal anggaran OJK bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan sebagaimana termaktub dalam Pasal 34 ayat (2) UU OJK. Ketentuan tersebut bermakna bahwa pembiayaan kegiatan OJK, sewajarnya didanai secara mandiri yang pendanaannya bersumber dari pungutan kepada pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. Selain itu, dalam Pasal 37 UU OJK mengatur bahwa OJK mengenakan pungutan kepada pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan, dan pungutan tersebut merupakan penerimaan OJK. Sebagaimana telah dijelaskan pula dalam penjelasan pasal tersebut yang menyatakan bahwa pembiayaan kegiatan OJK sewajarnya didanai secara mandiri yang pendanaannya bersumber dari pungutan kepada pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. Penetapan besaran pungutan tersebut dilakukan dengan tetap memperhatikan kemampuan pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan serta kebutuhan pendanaan OJK. Pengaturan pungutan OJK dimaksud telah sejalan dengan ketentuan Pasal 23A UUD 1945 yang mengatur bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk kepentingan Negara diatur dengan undang- undang. Sejalan dengan hal tersebut, UU OJK memberikan kewenangan kepada OJK untuk memungut biaya dari industri jasa keuangan, pungutan tersebut merupakan penerimaan OJK dan OJK berwenang untuk menerima, mengelola, dan mengadministrasikan pungutan tersebut Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 78 secara akuntabel dan mandiri. Namun demikian, jika jumlah pungutan telah melebihi kebutuhan pembiayaan OJK, maka kelebihan tersebut disetor ke kas negara sebagai penerimaan negara. Praktik pungutan atau iuran dalam sistem hukum sektor jasa keuangan Indonesia juga telah dikenal sebelumnya dengan adanya Pasal 9 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal yang menyatakan (3) “Bursa Efek dapat menetapkan biaya pencatatan Efek, iuran keanggotaan, dan biaya transaksi berkenaan dengan jasa yang _diberikan; _ (4) Biaya dan iuran sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) disesuaikan menurut kebutuhan pelaksanaan fungsi Bursa Efek. Selain itu, pungutan, iuran atau premi juga dikenal di dalam Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan khususnya pada Bagian Ketiga mengenai Premi. Oleh karena itu, pungutan, iuran, atau premi yang dikenakan kepada para pelaku pasar merupakan praktik yang lazim dalam sistem hukum sektor jasa keuangan di Indonesia dan telah sejalan dengan ketentuan Pasal 23A UUD 1945. Oleh karena itu, Pemerintah berpendapat bahwa dalil Para Pemohon yang menyatakan Pungutan yang dilakukan oleh OJK tidak sesuai dengan UUD 1945 adalah tidak beralasan dan tidak berdasar hukum dikarenakan telah sesuai dengan Pasal 23A UUD 1945. Mekanisme Penganggaran Dan Pungutan OJK Telah Akuntabel Dan Sesuai Dengan Konstitusi Mengingat pada masa awal pembentukan OJK memerlukan pembiayaan dan OJK masih dalam tahap membangun regulasi dan standard operating procedure dalam kelembagaannya, maka untuk memenuhi kebutuhan OJK diberikan alternatif sumber pembiayaan OJK dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Dalam Pasal 34 UU OJK telah menentukan bahwa penetapan rencana dan anggaran OJK oleh Dewan Komisioner harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Memperhatikan hal tersebut, maka sepanjang masih terdapat unsur APBN dalam pembiayaan kegiatan OJK, maka proses penyediaan APBN untuk Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 79 pembiayaan tersebut tidak dapat terlepas dari mekanisme penyusunan dan penetapan APBN yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, beserta peraturan pelaksanaannya. Mengenai penetapan besaran pungutan tersebut dilakukan dengan tetap memperhatikan kemampuan pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan serta kebutuhan pendanaan OJK dan harus dibebankan kepada pihak yang secara langsung menerima manfaat dari efektifnya fungsi pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan oleh OJK, serta standar biaya yang lazim digunakan oleh sektor jasa keuangan atau regulator sektor jasa keuangan sejenis, baik domestik maupun internasional. Hal ini dilakukan agar OJK dapat mengimbangi tuntutan dan dinamika sektor jasa keuangan, baik secara domestik maupun internasional. Pengaturan mengenai pelaporan dan akuntabilitas OJK telah diatur di dalam Pasal 38 UU OJK, yang mengatur bahwa OJK menyusun laporan keuangan dan kegiatan secara periodik atau insidentil apabila DPR memerlukan penjelasan. Terkait laporan keuangan, OJK diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan dan wajib diumumkan kepada publik melalui media cetak dan media elektronik. Selain pengawasan eksternal, mekanisme mengenai pengawasan internal OJK juga telah diatur dalam UU OJK dengan adanya dewan audit sebagai salah satu anggota dewan komisioner. Pungutan OJK Merupakan International Best Practices Agar OJK Dapat Mengimbangi Tuntutan Dan Dinamika Sektor Jasa Keuangan, Baik Secara Domestik Maupun Internasional Selain itu, dapat Pemerintah jelaskan pula bahwa pembiayaan kegiatan pengatur dan pengawas sektor jasa keuangan oleh industri jasa keuangan dalam bentuk pungutan merupakan praktik yang lazim di banyak negara. Sebagai contoh, Office of the Comptroler of the Currency (OCC) di Amerika Serikat (USA) memungut biaya dari bank secara semi-annuaily yang didasarkan pada skala usaha bank sesuai dengan total asetnya. Selain itu terdapat tambahan pungutan dengan persentase tertentu sesuai dengan peringkat risiko bank. Selain hal tersebut di atas, OCC Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 80 memperoleh pendapatan dari memproses aplikasi perusahaan, Investasi terutama pada US-Treasury, pungutan atas pemeriksaan khusus/investigasi tertentu ( special examination ), pungutan atas perizinan, serta pendapatan lainnya (kegiatan seminar, penjualan publikasi, dan sebagainya). Tidak terlalu berbeda dengan OCC, Office Of Superintendent Of Financial Institute (OSFI) di Kanada memiliki pendanaan bersumber dari pungutan atas penilaian terhadap lembaga keuangan yang diperhitungkan baik berbasis total aset, berbasis premi, maupun berbasis keanggotaan. Pungutan terhadap bank berbasis total aset, pungutan terhadap asuransi berbasis premi. pungutan terhadap loan company (seperti BPR) berbasis keanggotaan. Di samping itu, OSFI juga memperoleh bantuan dari Canadian International Development Agency (CIDA) terutama untuk asistensi internasional, pendapatan dari pemerintah daerah (dalam hal OSFI membantu melakukan pengawasan terhadap beberapa institusi di Pemerintah Daerah berdasarkan kontrak), dan pendapatan dari lembaga pemerintahan. Di belahan benua Asia, Financial Services Supervisory (FSS) Korea selatan memperoleh pendanaan dari Supervisory Fee , yaitu pungutan yang dikenakan kepada lembaga keuangan sehubungan dengan kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh FSS, termasuk pemeriksaan yang dilakukan oleh FSS selain Supervisory Fee , FSS juga memungut Issuer Regulatory Fee , yaitu pungutan yang dikenakan kepada Issuer ( Emiten ) sehubungan dengan pengajuan perizinan kepada FSC-Korea sesuai dengan Exchange Act ( Capital Market ). Supervisory Fee dikenakan berdasarkan pada kewajiban ( debt liabilities ) dari institusi lembaga keuangan, sementara Issuer Regulatory Fee dikenakan berdasarkan pada jumlah dan jenis dari surat berharga/sekuritas yang diterbitkan; Selain contoh negara-negara di atas, terdapat banyak contoh negara yang pembiayaan OJKnya sepenuhnya dilakukan melalui pungutan dari industri, misalnya Belgia, Bolivia, Bosnia, Ekuador, Jerman, Hungaria, Islandia, Latvia, Norwegia, Luxemburg, Malta, Mexico, Panama, Swedia, Peru, Switzerland, Turki dan Inggris; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 81 Sementara itu, terdapat juga regulator di beberapa negara yang kegiatannya dibiayai oleh industri dan anggaran negara, misalnya Austria, El-Salvador, Guatelama, Nikaragua, dan Venezuela. Sedangkan regulator yang sepenuhnya dibiayai oleh negara antara lain Chile, China, Costa Rica, Kazakhstan, Lebanon, Jepang dan Uruguay. IV. Dampak Jika Dikabulkannya Permohonan Para Pemohon Dikabulkannya Permohonan A Quo Dapat Mengganggu Pelaksanaan Tugas-Tugas Pengawasan Dan Pengaturan Di Sektor Jasa Keuangan Dan Akan Membahayakan Industri Perbankan Dan Kosumen Serta Perekonomian Nasional Berdasarkan penjelasan yang telah disampaikan di atas, dan mengingat peran penting Otoritas Jasa Keuangan sebagai pengatur dan pengawas sektor jasa keuangan yang merupakan salah satu komponen penting dalam sistem perekonomian nasional yang menjalankan fungsi intermediasi bagi berbagai kegiatan produktif di dalam perekonomian nasional dan memberikan kontribusi yang cukup signifikan dalam penyediaan dana untuk pembiayaan pembangunan ekonomi nasional terutama dalam rangka menjalankan tujuan konstitusional dibentuknya Negara Indonesia dan amanat konstitusional Pasal 33 UUD 1945. Oleh karena itu, apabila dikabulkannya permohonan a quo dan diterimanya argumentasi para Pemohon, maka hal tersebut akan mengganggu pelaksanaan tugas-tugas pengawasan di perbankan dan akan membahayakan industri perbankan dan kosumen. Selain itu, dikabulkannya permohonan a quo dapat menimbulkan risiko bagi perekonomian akibat lemahnya pengawasan terhadap konglomerasi sektor jasa keuangan dan produk-produk lintas sektor jasa keuangan, sehingga pada akhirnya perlindungan terhadap konsumen di sektor jasa keuangan menjadi terbengkalai. Selain itu berdasarkan ketentuan peralihan Pasal 55 UU Otoritas Jasa Keuangan, kewenangan pengaturan dan pengawasan di bidang pasar modal dan lembaga keuangan telah beralih dari Menteri Keuangan dan Bapepam-LK kepada Otoritas Jasa Keuangan sejak 31 Desember 2012 dan kewenangan pengaturan dan pengawasan di bidang perbankan telah beralih dari Bank Indonesia kepada Otoritas Jasa Keuangan sejak 31 Desember 2013. Berdasarkan hal tersebut, apabila permohonan Pemohon dikabulkan maka Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 82 akan menghambat tugas dan fungsi pengawasan pasar modal, lembaga keuangan dan perbankan dikarenakan pengalihan kewenangan pengaturan dan pengawasan dari Otoritas Jasa Keuangan kepada Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan dapat menyebabkan kekosongan hukum di pengawasan dan pengaturan sektor jasa keuangan sehingga akan berdampak sangat negatif pada perekonomian nasional dan para pelaku pasar. Selain itu, dampak dikabulkannya permohonan Pemohon akan menimbulkan konsekuensi pengawasan sektor jasa keuangan akan kembali menjadi pengawasan sektoral yang tidak terintegrasi, yang berpotensi menimbulkan risiko bagi perekenomian akibat lemahnya pengawasan terhadap konglomerasi sektor jasa keuangan dan produk-produk lintas sektor jasa keuangan, sehingga pada akhirnya perlindungan terhadap konsumen di sektor jasa keuangan akan menjadi terbengkalai. V. Kesimpulan Berdasarkan keterangan dan argumentasi tersebut di atas, dapat Pemerintah sampaikan kesimpulan sebagai berikut:
Bahwa para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan permohonan pengujian ketentuan Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37 dan frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan ..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasai 55, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU OJK karena permohonan para Pemohon tidak terkait dengan konstitusionalitas norma.
Permohonan provisi para Pemohon tidak beralasan dan tidak berdasar hukum dikarenakan para Pemohon tidak dapat menjelaskan secara spesifik terkait keadaan yang mendesak mengapa Mahkamah Konstitusi harus mengeluarkan putusan provisi dalam perkara a quo . Selain itu, dikabulkannya permohonan provisi para Pemohon dapat menimbulkan kerancuan dan ketidakpastian hukum bagi para pelaku pasar di sektor jasa keuangan dan konsumen termasuk dalam OJK.
Ketentuan Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37 dan frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan ..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU OJK sama sekali tidak bertentangan dengan UUD 1945. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 83 Oleh karena itu, Pemerintah memohon kepada yang terhormat Ketua/Majelis Hakim Konstitusi yang memeriksa dan memutus permohonan uji materiil Pasai 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37 dan frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan ..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU OJK, dapat memberikan putusan sebagai berikut:
Menyatakan bahwa para pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum ( legal standing );
Menolak Permohonan Provisi para Pemohon untuk seluruhnya;
Menolak permohonan pengujian para Pemohon seluruhnya atau setidak- tidaknya menyatakan permohonan pengujian para Pemohon tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard );
Menerima Keterangan Presiden secara keseluruhan;
Menyatakan ketentuan Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37, dan frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU OJK tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan tetap berlaku di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; Namun demikian apabila Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya ( ex aequo etbono ). [2.4] Menimbang bahwa untuk membuktikan keterangannya, Presiden dalam persidangan tanggal 8 Oktober 2014, tanggal 28 Oktober 2014, tanggal 12 November 2014, dan tanggal 1 Desember 2014 mengajukan 13 (tiga belas) ahli yakni Prof. Dr. Saldi Isra, S.H., MPA., Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum., Dr. Maruarar Siahaan, S.H., Dr. Zainal Arifin Moechtar, S.H., LL.M., Prof. Erman Rajagukguk, S.H., LL.M., Ph.D., Dr. Sihabudin, S.H., M.H., Refly Harun, S.H., LL.M., Dr. Mulia P.Nasution, D.E.S.S., Dr. Harjono, S.H., MCL., Prof. Achmad Zen Umar Purba, S.H., LL.M, Prof. Dr. Yuliandri, S.H., M.H., Prof. Wihana Kirana Jaya, MsocSc., PhD, dan Prof. Dr. Nindyo Pramono, S.H., MS., yang memberikan keterangan lisan di bawah sumpah/janji dalam persidangan tersebut dan/atau menyerahkan keterangan tertulis yang mengemukakan hal-hal sebagai berikut:
Prof. Dr. Saldi Isra, S.H., MPA Apabila hendak disederhanakan, pokok permohonan pengujian Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK) adalah Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 84 perihal konstitusionalitas kehadiran/keberadaan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai salah satu lembaga atau komisi negara independen. Sebagai lembaga negara baru yang secara umum diberi tugas melakukan pengawasan secara terintegrasi terhadap seluruh kegiatan pada sektor jasa keuangan, kehadiran OJK dinilai Pemohon (1) tidak memiliki landasan konstitusional (karena tidak memiliki cantolan di dalam UUD 1945), (2) kehadiran OJK hanya dimandatkan dalam UU tentang Bank Indonesia, (3) fungsi pengawasan Bank Indonesia terhadap bank direduksi oleh OJK, (4) independensi OJK, (5) terjadinya penumpukan kewenangan pada OJK sehingga akan menjadi lembaga super-body , dan (6) kehadiran OJK dinilai merugikan pihak yang meiakukan kegiatan di sektor jasa keuangan karena adanya pungutan. Semua alasan tersebutlah yang menjadi alasan atau dasar bagi Pemohon untuk mempersoalkan konstitusionalitas keberadaan OJK; Sehubungan dengan pokok permohonan pengujian ini, secara terbatas, saya hanya akan menjelaskan sisi kelembagaan yang meliputi:
kedudukan, (2) sumber kewenangan, (3) pemindahan fungsi pengawasan bank dari Bl ke OJK, dan terakhir (4) independensi OJK. Adapun perihal pungutan yang dilakukan OJK dalam rangka melaksanakan tugas dan kewenangannya sebagaimana juga dipersoalkan Pemohon tidak akan diulas. Sebab, menurut ahli masalah itu hanyalah sebuah konsekuensi dari kehadiran sebuah lembaga, di mana jika UU memberi kewenangan untuk itu, maka tidak beralasan untuk mempersoalkan konstitusionalitasnya. Lagi pula, apabila soal kelembagaan OJK telah diselesaikan, masalah kewenangan (termasuk melakukan pungutan) dengan sendirinya akan terurai; Sehubungan dengan masalah kelembagaan, saya akan menerangkan empat pokok pembahasan terkait OJK. Pertama, kedudukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai lembaga negara. OJK, sama halnya dengan Bank Indonesia berkedudukan sebagai lembaga negara. Dalam UU 21/2011 didefenisikan, OJK adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan. Adapun Bank Indonesia didefenisikan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagai lembaga negara yang independen, bebas dari campur tangan Pemerintah dan atau pihak-pihak lainnya, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 85 Undang-Undang ini; Dari sisi defenisi, memang terdapat sedikit perbedaan antara OJK dan Bank Indonesia terkait penggunaan kata "negara". Di mana, untuk defenisi Bank Indonesia digunakan frasa "lembaga negara" yang independen. Sedangkan OJK hanya disebut sebagai "lembaga" yang independen. Tanpa ada kata "negara"; Hanya saja, pendefenisian seperti itu (tanpa menggunakan frasa "lembaga negara") tidak saja untuk OJK, tetapi juga dipakai mendefenisikan lembaga- lembaga negara lain. Di antaranya, Komisi Pemilihan Umum didefenisikan sebagai, lembaga penyelenggara Pemilu...dst. Tanpa ada kata "negara". Demikian juga dengan Badan Pengawas Pemilu dalam UU 15/2011 yang didefenisikan sebagai, lembaga penyelenggara Pemilu...dst. Hal yang sama juga ditemukan dalam Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga didefenisikan sebagai dengan frasa lembaga mandiri...dst; Pertanyaannya, apakah defenisi yang menggunakan frasa "lembaga negara" atau hanya kata "lembaga" menunjukkan perbedaan status atau kedudukan lembaga tersebut? Dalam arti, hanya lembaga yang menggunakan frasa "lembaga negara" saja yang berkedudukan sebagai lembaga negara, sedangkan yang menggunakan kata "lembaga" tidak berkedudukan sebagai lembaga negara? Apakah demikian? Pada dasarnya adanya frasa "lembaga negara" atau hanya kata "lembaga" tidak mempengaruhi status dan kedudukan sebuah lembaga sebagai lembaga negara. Sebab, sepanjang suatu lembaga dibentuk untuk melaksanakan fungsi- fungsi negara mengamini pendapat Hans Kelsen-, maka lembaga dimaksud adalah lembaga negara. Sejalan dengan soal itu, mengutip Jimly Asshiddiqie, baik "lembaga pemerintahan", "lembaga non-pemerintahan", "lembaga negara" atau "lembaga" saja, semuanya termasuk dalam kategori lembaga negara; Oleh karena itu, sekalipun OJK hanya didefenisikan dengan kata "lembaga" saja, bukan berarti OJK tidak berkedudukan sebagai lembaga negara. Sebab, sudah sangat tegas dinyatakan dalam UU 21/2011 bahwa salah satu tujuan OJK adalah terselenggaranya sektor jasa keuangan secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel yang merupakan bagian dari fungsi negara. Adapun OJK dibentuk untuk menjalankan fungsi dimaksud, yaitu untuk mengawasi berjalannya sektor jasa keuangan. Sehingga tidak perlu diragukan lagi bahwa OJK berkedudukan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 86 sebagai lembaga negara, sama halnya dengan Bl yang juga berkedudukan sebagai lembaga negara; Walaupun sama-sama berkedudukan sebagai lembaga negara, OJK dan Bank Indonesia memiliki derajat kedudukan yang berbeda sebagai lembaga negara. Bank Indonesia merupakan lembaga yang dibentuk sebagai konsekuensi ketentuan Pasal 23D UUD 1945 yang menyatakan, negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan UU. Dalam hal ini, kehadiran bank sentral yang kemudian diberi nama dengan Bank Indonesia merupakan mandat UUD 1945. Artinya, sumber norma yang menjadi dasar keberadaan Bank Indonesia adalah UUD 1945; Sedangkan kehadiran OJK merupakan konsekuensi Pasal 34 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang menyatakan, tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan Undang-Undang. Lalu, berdasarkan ketentuan tersebut dibentuklah lembaga pengawas sektor jasa keuangan yang diberi nama dengan OJK; Perbedaan dasar hukum pembentukan Bl dan OJK memiliki konsekuensi terhadap tidak samanya kekuatan keduanya. Dalam arti, karena dasar pembentukan Bl berasal dari UUD 1945, maka lembaga ini tidak dapat dibubarkan hanya karena kebijakan pembentuk Undang-Undang. Jika hendak membubarkan Bl atau bank sentral, harus melalui perubahan UUD 1945. Inilah yang menyebabkan keberadaan Bl menjadi kuat. Sementara kedudukan OJK tidak sekuat Bl. Sebab, kekuatan lembaga ini hanya berbasis pada Undang-Undang. Di mana, jika pembentuk Undang-Undang sepakat membubarkan OJK, maka cukup hanya melalui perubahan atau pencabutan Undang-Undang. Artinya, pembubaran OJK tidak harus melalui perubahan UUD 1945 yang jauh lebih sulit; Perbedaan sumber norma pembentukan dua lembaga tersebut tidak dapat dijadikan dasar penilaian konstitusionalitas atau tidaknya lembaga yang ada. Sebab, baik lembaga yang dibentuk karena perintah UUD 1945 maupun lembaga yang hadir karena perintah Undang-Undang sama-sama konstitusional sepanjang dibuat oleh lembaga yang berwenang dan sesuai wewenang yang dimilikinya. Jadi, perbedaan dasar hukum tidak menjadi alasan mempersoalkan konstitusionalitas sebuah lembaga atau komisi negara; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 87 Selain itu, apabila ukuran konstitusionalitas keberadaan sebuah lembaga negara hanya atas dasar ada tidaknya perintah UUD 1945 sebagaimana didalilkan Pemohon, tentunya bukan hanya OJK yang akan dikatakan inkonstitusional. Sebab, banyak lembaga/komisi negara lainnya yang kehadirannya tidak diperintahkan UUD 1945, melainkan hadir melalui sebuah UU atau bahkan hanya peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang. Misalnya KPK hadir berdasarkan UU No 30/2002 dan tidak satupun norma dalam UUD 1945 yang memerintahkan pembentukannya. Begitu juga dengan Bawaslu, tidak ditemukan adanya norma yang secara eksplit memerintahkan pembentukannya. Dua lembaga terakhir tersebut juga hadir atas dasar Undang-Undang dan bukan perintah langsung UUD 1945. Di mana, keberadaan dua lembaga tersebut adalah konstitusional. Jadi, akan menjadi sangat keliru jika dasar penilaian konstitusionalitas sebuah lembaga hanya atas kategori ada tidaknya perintah atau cantolan ketentuan UUD 1945 sebagai dasar membentuknya; Selanjutnya yang Kedua, sumber kewenangan Bl dan OJK. Baik Bl maupun OJK sama-sama lembaga negara yang kewenangannya diberikan melalui Undang-Undang, bukan UUD 1945. Terkait kewenangan bank sentral/BI, Pasal 23D UUD 1945 menyatakan, ...suatu bank sentral yang kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan Undang-Undang. Pasal 23D UUD 1945 mendelegasikan pengaturan tentang kewenangan Bl kepada Undang-Undang. Artinya, kewenangan Bl akan diatur dalam Undang-Undang yang mengatur tentang Bl. Dengan demikian, sumber kewenangan Bl adalah Undang-Undang, bukan UUD 1945. Dalam hal ihwal ini, Bl masuk dalam kategori lembaga negara yang keberadaanya diatur di dalam UUD 1945, tetapi kewenangannya diatur dalam UU, yaitu UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bl; Dalam konteks sumber kewenangan, derajat kedudukan OJK menyamai Bl. Sebab, kewenangan OJK juga berasal dari UU, yaitu UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK. Dalam hal ini, sekalipun pengakuan keberadaannya tidak bersumber dari UUD 1945, tetapi semua hal terkait keberadaan, kedudukan dan kewenangannya bersumber dari Undang-Undang. Dalam hal sumber kewenangan inilah posisi Bl dan OJK dapat disebandingkan; Ketiga, terkait keabsahan pemindahan fungsi pengaturan dan pengawasan bank dari Bl kepada OJK melalui UU Bank Indonesia. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, pengaturan segala tugas dan wewenang Bl diserahkan kepada Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 88 pembentuk Undang-Undang. Terkait hal itu, pembentuk UU berwenang menentukan apa saja yang akan diatur sebagai kewenangan Bl. Karena itu, tugas, wewenang dan fungsi Bl sebagai bank sentral sepenuhnya menjadi kewenangan DPR dan Presiden (sebagai pembentuk Undang-Undang) menentukannya. Artinya, bila terdapat wewenang yang diberikan kepada bank sentral, lalu kemudian wewenang tersebut diambil atau dialihkan kepada lembaga lain yang juga dibentuk berdasarkan kewenangan pembentuk Undang-Undang, maka hal itu tidak dapat dipersoalkan konstitusionalitasnya; Sehubungan dengan itu, dalam kaitannya dengan keberadaan Bl dan OJK, di mana Pemohon menilai bahwa Bl lebih memiliki landasan konstitusional dibanding-kan OJK dalam melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan bank adalah tidak tepat. Sebab, penentuan kewenangan bank sentral merupakan wewenang pembentuk Undang-Undang. Apakah wewenang tertentu diberikan kepada Bl atau mungkin dicabut atau dialihkan dari Bl, berdasarkan Pasal 23D UUD 1945 sepenuhnya menjadi hak DPR dan Presiden. Termasuk memindahkan sebagian kewenangan Bl kepada OJK yang dibentuk berdasarkan mandat Pasal 34 ayat (1) UU Bl; Oleh karena itu, pemindahan kewenangan tersebut konstitusional adanya. Apalagi pemindahan kewenangan dimaksud dilakukan melalui Undang-Undang. Keberadaan OJK yang dibentuk dengan Undang-Undang dan kedudukan Bl yang dibentuk berdasarkan UUD 1945 sama-sama konstitusional. Di mana, apapun kewenangan yang diberikan pada kedua lembaga negara tersebut tidak dapat dipersoalkan konstitusionalitasnya sepanjang dilakukan sesuai kewenang Presiden dan DPR sebagai primary legislator ; Terakhir atau yang Keempat adalah persoalan independensi OJK. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, OJK itu adalah sebuah lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya...dst. Harus dipahami, bahwa frasa "independen" menunjuk pada kedudukan OJK sebagai lembaga negara yang berada di luar kekuasaan Pemerintah. Dalam hal ini, independensi OJK menunjukkan lembaga ini bukan institusi yang berada di bawah Presiden, melainkan sebuah lembaga negara yang diberikan kewenangan menjalankan fungsi negara yang diberikan kepadanya. Independensi OJK sama dengan Bl. Dalam hal ini, misalnya Bl, jika diletakkan dalam rumpun lembaga negara, Bl berada dalam rumpun eksekutif. Upaya memberikan label " independent " dilakukan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 89 untuk memberikan jarak dengan pemegang kekuasaan eksektif agar terhindar dari pengaruh dinamika politik. Jimly Asshiddiqie (2007) menggambarkan hal itu dilakukan sebagai bentuk kesengajaan melepaskan Bank Sentral dari kewenangan mutlak pemegang atau kepala pemerintahan. Karenanya, dengan memberi tambahan independen, BS hadir menjadi semacam a quasi executive entity . Begitu juga OJK, kehadirannya secara konstitusional didasarkan atas ketentuan 33 UUD 1945 dan UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang merupakan turunan dari Pasal 23D UUD 1945. Jadi, sifat independensi bank sentral juga dapat dilekatkan kepada OJK; Kehadiran berbagai komisi negara independen bukan fenomena yang hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga terjadi di banyak negara di dunia, seperti Inggris, Afrika Selatan, Thailand dan Amerika Serikat. Secara umum, hadirnya komisi negara independen ditujukan untuk menyempurnakan proses demo-kratisasi yang terus berkembang seiring dengan perubahan kondisi sosial politik yang terjadi; Di sisi lain, keberadaan lembaga negara atau komisi negara independen di berbagai negara juga merupakan bentuk koreksi atas kemapanan peng- klasifikasian kekuasaan pemerintah negara yang ada sebelumnya. Di mana, cabang kekuasaan negara hanya dikelompokkan menjadi tiga, yaitu kekuasaan membuat Undang-Undang (legislatif), kekuasaan pemerintah (eksekutif) dan kekuasaan kehakiman (yudisial). Ketika cabang kekuasaan yang telah ada tersebut dianggap tidak lagi mampu, bahkan sebagiannya dinilai menurun kredibilitasnya dalam melaksanakan tugasnya, sehingga membutuhkan institusi di luar cabang kekuasaan tersebut untuk menutupi kelemahan yang ada; Terkait dengan hal tersebut, Asimow dalam bukunya Administrative Law (2002) menyatakan most administrative agencies fall in the executive branch, but some important agencies are independent . Organ negara ( state organs ) yang diidealkan independen dan karenanya berada di luar cabang kekuasaan eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Dalam hal ini, William F. Funk & Richard H. Seamon mengatakan, lembaga independen itu tidak jarang mempunyai kekuasan " quasi legislative ", " quasi executive " dan " quasi judicial ". Sementara itu, komisi yang berada di bawah eksekutif sering disebut dengan executive agencies. Namun executive agencies tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai lembaga independen karena pada prinsipnya dibentuk menjalankan tugas-tugas eksekutif; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 90 Sebuah lembaga negara/komisi negara dikatakan independen bila dinyatakan secara tegas (eksplisit) dalam dasar hukum pembentukkannya, baik yang diatur dalam UUD atau Undang-Undang. Kemudian, pengisian pimpinan lembaga bersangkutan tidak dilakukan oleh satu lembaga saja. Selanjutnya, sebagaimana dikemukakan Asimov, dalam teori hukum tata negara, sebuah lembaga dikatakan independen apabila pemberhentian anggota lembaga yang hanya dapat dilakukan berdasarkan sebab-sebab yang diatur dalam Undang- Undang pembentukan lembaga yang bersangkutan Ciri lainnya menurut William J Fox Junior, presiden dibatasi untuk tidak secara bebas memutuskan ( discretionary decision ) pemberhentian sang pimpinan lembaga. Tidak hanya itu, Funk and Seamon menambahkan bahwa lembaga negara independen bila pimpinan yang kolektif, tidak dikuasai/mayoritas berasal dari partai politik tertentu; dan masa jabatan para pemimpin tidak habis secara bersamaan, tetapi bergantian ( staggered terms ); Dalam konsep atau teori itulah sebetulnya indepensi OJK harus dipahami. Independensi OJK bukan bermakna bahwa peran negara dalam penyelenggaraan perekonomian nasional menjadi berkurang. Sebab, kehadiran OJK bukan dalam rangka menarik keluar urusan yang seharusnya menjadi fungsi pemerintahan negara, melainkan tetap dilakukan oleh negara melalui pembagian urusan terkait perbankan dan perekonomian nasional kepada beberapa lembaga negara. Di mana, awalnya hanya menjadi kewenangan Bl semata, sekarang sebagiannya diserahkan kepada OJK; Selain itu, sekalipun ditempatkan sebagai lembaga negara independen, pelaksanaan tugas OJK juga tetap terikat dan terkait dengan pelaksanaan tugas pemerintah dan Bank Indonesia. Di mana, secara struktural keterkaitan pelaksanaan tugas OJK diwujudkan dalam bentuk dijabatnya dua Komisioner OJK secara ex-oficio oleh pejabat eleson I pada Kementerian Keuangan dan Anggota Dewan Gubernur Bl. Sedangkan 7 orang anggota Dewan Komisioner lainnya diisi melalui proses seleksi. Hal itu menunjukkan bahwa sifat independensi OJK tetap dalam kerangka keterkaitan tugasnya mengawal perekonomian nasional bersama Kementerian Keuangan dan Bl; Selanjutnya, posisi OJK sebagai sebuah lembaga negara yang independen juga memiliki konsekuensi logis terhadap kewenangan yang dimilikinya. Salah satunya, kewenangan membentuk atau menerbitkan berbagai peraturan yang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 91 berkedudukan sebagai peraturan pelaksana Undang-Undang. Di mana, peraturan- peraturan yang dibuat mengikat seluruh pihak dan berlaku ke luar dan ke dalam. Bahkan merujuk pada sistem perundang-undangan kita, lembaga negara/komisi negara mempunyai ruang untuk membentuk peraturan yang sifatnya regeling ; Lalu, bagaimana indepensi OJK jika dikaitkan dengan Pasal 33 UUD 1945 sebagai dasar konstitusional pembentukannya? Karena terintegrasi dengan sistem perekonomian, apakah kemudian independensinya tidak akan terjaga? Dalam hal ini, dapat dipastikan bahwa tugas dan fungsi OJK terkait erat dengan penyelenggaraan perekonomian nasional. Namun bukan berarti hal itu secara serta merta akan merusak atau menghilangkan indenpendensi OJK. Harus diingat, independen adalah sifat objektif kelembagaan OJK dalam melaksanakan fungsinya sebagaimana telah disinggung sebelumnya. Hanya saja, dalam pelaksanaan fungisnya tentu saja terbuka ruang untuk terjadi penyimpangan. Walaupun demikian, persoalan ini tentu bukan masalah konstitusionalitas norma Undang-Undang OJK, melainkan soal pelaksanaan norma oleh pejabat di lembaga tersebut; Sebelum mengakhiri keterangan ini, ahli juga akan menyinggung bagaimana hubungan antara Kementerian Keuangan, Bl, dan OJK. Di mana, tiga institusi tersebut memiliki kewenangan yang saling bersinggungan satu sama lain. Lebih-lebih lagi Bl dengan OJK. Secara struktural, Bl dan Kementerian Keuangan menjadi bagian dari Dewan Komisioner OJK. Dengan demikian, kedua institusi tersebut sekalipun bukan mayoritas di OJK, tetapi tetap memiliki kewenangan untuk turut mempengaruhi keputusan-keputusan yang akan dibuat OJK. Selain mempengaruhi, kehadiran Bl dan Kementerian Keuangan juga dapat memastikan langkah-langkah pengawasan jasa keuangan yang dilakukan OJK terintegrasi atau terkoordinasi dengan agenda-agenda urusan keuangan yang diurus oleh Pemerintah dan Bank Indonesia; Dari segi tujuan, Kementerian Keuangan bertujuan untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan. Adapun OJK hadir untuk teraturnya sektor jasa keuangan, terwujudnya sistem keuangan yang stabil serta terlindunginya kepentingan konsumen. Sedangkan Bl bertujuan untuk memelihara kestabilan nilai rupiah. Tujuan ketiga lembaga tersebut saling terkait satu sama lain. Di mana, semua akan mendukung pencapaian mewujudkan pemajuan kesejahteraan umum yang dimaksud dalam Pembukaan UUD 1945; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 92 Dengan tujuan yang saling berhubungan serta ada jaminan terkoordinasinya tugas tiga lembaga tersebut secara struktural, maka kehadiran OJK justru akan dapat menutupi berbagai kelemahan yang ada sebelumnya. Dengan begitu, pandangan yang menyatakan bahwa kehadiran OJK telah mereduksi dan melemahkan peran Bl justru kehilangan relevansinya. Hal yang terjadi justru sebaliknya, di mana kehadiran OJK akan dapat memperkuat pelaksanaan tugas pengawasan jasa keuangan yang ada. Pada saat bersamaan juga dapat membantu terselenggaranya urusan pemerintahan dibidang keuangan secara lebih baik;
Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M.HUM Hadirnya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam sistem tata kelola keuangan di Indonesia ( finance governance ) memberikan harapan positif terhadap upaya penguatan sektor jasa keuangan, agar dapat tumbuh menjadi sektor jasa yang profesional dan berorientasi untuk melayani serta melindungi masyarakat pengguna jasa keuangan secara lebih baik. Tugas pemerintah dalam negara hukum modern ( moderne rechsstaat ) menurut Hughes (1994:
meliputi 7 (tujuh) macam, yaitu: 1 . _Providing economic insfrastructure;
Provision of various_ _collectieve goods and service;
The resolution and adjustment of group conflicts; _ _4. The maintanance of competititon;
Protection of natural resources;
Provision_ _for minimum access by individuals to the goods and services of the economy;
_ Stabilisation of the economy. Jika merujuk pendapat tersebut, kehadiran OJK kiranya dapat memenuhi fungsi untuk mewujudkan stabilitas ekonomi melalui tujuan dari pembentukan OJK sebagaimana diatur pada Pasal 4 UU Nomor 21 Tahun 2011, yaitu agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan:
terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel;
mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan
mampu melindungi kepentingan Konsumen dan masyarakat; Sesuai dengan amanah Pasal 34 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia, telah lahir Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Lembaga Otoritas Jasa Keuangan (OJK). UU tersebut diberlakukan mulai 1 Januari 2013. Lembaga independen tersebut ditugaskan untuk mengatur dan mengawasi lembaga keuangan bank dan non-bank. Lembaga keuangan non-bank yang diawasi oleh OJK adalah Asuransi, Dana Pensiun, Bursa Effek/Pasar Modal, Modal Ventura, Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 93 Perusahaan Anjak Piutang, reksadana, perusahaan pembiayaan. Dengan mulai beroperasinya Lembaga tersebut, maka sejak republik ini berdiri baru pertama kalinya lahir Lembaga Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang mengawasi lembaga secara terintegrasi yaitu lembaga keuangan bank dan non bank. Lembaga independen tersebut mengambil alih tugas pengawasan lembaga keuangan bank dan non bank yang selama ini dilakukan oleh Bank Indonesia sebagai pengawas Bank dan Bapepam-LK untuk lembaga keuangan non bank. Pola pembentukan institusi OJK menyerupai pembentukan KPK dan cukup banyak state auxiliary agencies lain yang sifatnya constitutionally important. Artinya, dengan memahami hakikat makna ketentuan-ketentuan dalam konstitusi untuk mewujudkan sistem tatakelola perekonomian yang baik, maka hal itu mendasari konsiderasi pembentukan OJK. Meskipun, sama halnya dengan landasan eksistensi KPK dan beberapa state auxiliary agencies lain, tidak semua hal yang diperlukan dalam kehidupan ketatanegaraan dan pemerintahan harus diatur secara eksplisit dan rinci dalam konstitusi, mengingat cakupan ruang lingkup materi muatan konstitusi yang lazimnya bersifat terbatas sebagai norma dasar tertinggi dalam suatu negara. Namun, dalam suatu hal yang bersifat urgen terdapat hal-hal yang secara konstitusional dianggap penting untuk dibentuk/dilaksanakan dalam praksis ketatanegaraan; Kiranya, konsiderasi UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK sudah konsisten dengan dasar pengaturan bagi lahirnya OJK dan maksud pembentuk UUD Negara RI 1945 untuk mewujudkan tata kelola perekonomian yang baik sebagaimana diatur pada Pasal 34 UU Bank Indonesia yaitu:
. untuk mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, diperlukan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan yang terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat;
. berdasarkan pertimbangan tersebut, diperlukan otoritas jasa keuangan yang memiliki fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan serta pengawasan terhadap kegiatan di dalam sektor jasa keuangan secara terpadu, independen, dan akuntabel. Penjabaran kewenangan OJK dalam substansi UU OJK juga telah konsisten secara intensional maupun gramatikal dengan delegasi kewenangan yang diberikan terhadap UU Nomor 21 Tahun 2011; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 94 Urgensi OJK Krisis keuangan yang terjadi di Asia merupakan implikasi kelemahan kualitas sistem keuangan di Asia. Pada bulan Juli 1997, Indonesia mulai terkena dampaknya karena struktur ekonomi nasional Indonesia yang masih lemah untuk menghadapi krisis global tersebut. Hal itu menyebabkan kurs rupiah terhadap dolar AS melemah pada tanggal 1 Agustus 1997 dan diikuti penutupan 16 bank bermasalah oleh pemerintah pada bulan November 1997. Kemudian, pemerintah dan Bank Indonesia membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) untuk mengawasi 40 bank bermasalah lainnya dan mengeluarkan kebijakan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dalam rangka membantu bank-bank bermasalah tersebut. Kebijakan BLBI tersebut tidak berjalan efektif karena dana bantuan tersebut disalahgunakan oleh sejumlah pihak. Hal itu memperburuk citra perbankan dan sistem pengawasan perbankan yang dilakukan oleh BI. Bank Indonesia yang bertindak sebagai pengatur dan pengawas di sektor perbankan diarahkan untuk mengoptimalkan fungsi perbankan Indonesia agar tercipta sistem perbankan yang sehat secara menyeluruh maupun individual, dan mampu memelihara kepentingan masyarakat dengan baik, berkembang secara wajar serta bermanfaat bagi perekonomian nasional. Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997-1998 yang dialami Indonesia mengharuskan pemerintah melakukan pembenahan di sektor perbankan dalam rangka melakukan stabilisasi sistem keuangan dan mencegah terulangnya krisis. Pada tahun 1999-2004, pemerintah melakukan program penyehatan perbankan, rekapitalisasi bank umum dan restrukturisasi kredit perbankan, serta pemantapan ketahanan sistem perbankan dan prinsip kehati-hatian bank, yang meliputi pengembangan infrastruktur perbankan, peningkatan Good Corporate Governance dan penyempurnaan pengaturan serta sistem pengawasan bank. Pada tahun 2004, pemerintah memulai implementasi Arsitektur Perbankan Indonesia (API) yang merupakan landasan dan arah kebijakan perbankan dalam jangka panjang serta beberapa program dalam Arsitektur Keuangan Indonesia (ASKI), guna menciptakan landasan dalam membangun sistem keuangan yang kokoh dan mampu menunjang kegiatan perekonomian nasional secara berkesinambungan (Herry Rocky, 2012, Perkembangan Perbankan 1990-2010 (http: //herryrocky.blogspot.com/2012/03/perkembangan-perbankan-1990- 2010.html, diakses 9 Juli 2012); Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 95 Pengalaman Indonesia menghadapi krisis ekonomi pada tahun 1997-1998 dan tahun 2008 yang mengakibatkan terjadinya krisis multidimensi yang berdampak sangat besar terhadap perekonomian nasional, memberikan gambaran pentingnya peranan jasa keuangan dalam mendukung perekonomian nasional. Oleh karena itu, pengelolaan sektor jasa keuangan yang baik menjadi penting untuk mencegah terjadinya krisis, sehingga krisis yang pernah dialami diharapkan tidak akan terjadi lagi. Untuk itu, diperlukan keberadaan Otoritas Jasa Keuangan dalam mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil. Best Practices OJK di Beberapa Negara Lain dan Kontribusinya bagi Pembentukan OJK di Indonesia Pembentukan OJK kiranya juga merupakan hasil belajar dari best practices sistem pengawasan oleh institusi tunggal dan independen di beberapa negara lain. Beberapa diantaranya dapat disebutkan disini; Pada tanggal 25 Januari 2001, Menteri Keuangan Jerman, Hans Eichel mengumumkan pembentukan otoritas pengawas keuangan terintegrasi, yaitu Bundesanstalt für Finanzdienstleistungsaufsicht (BaFin) dan mulai beroperasi pada tanggal 1 Mei 2002 berdasarkan hukum otoritas jasa keuangan pengawasan tunggal ( Gesetz über die integrierte Finanzdienstleistungsaufsicht ). BaFin merupakan gabungan dari lembaga pengawas terpisah untuk perbankan ( Bundesaufsichtsamt für das Kreditwesen -BAKred), asuransi ( Bundesaufsichtsamt für das VersicherungswesenB AV) dan sekuritas ( Bundesaufsichtsamt für den Wertpapierhandel -BAWe). BaFin memiliki wewenang terkait pengawasan lembaga kredit, perusahaan asuransi, perusahaan investasi dan lembaga keuangan lainnya. BaFin bertujuan untuk menjamin stabilitas dan integritas sistem keuangan Jerman secara menyeluruh, dengan dua tujuan utama yaitu menjaga solvabilitas bank, penyedia jasa keuangan dan perusahaan asuransi dan perlindungan konsumen dan investor. Setelah BaFin dibentuk, Deutsche Bundesbank (Bundesbank) bertugas sebagai otoritas moneter dan sistem pembayaran. Bundesbank merumuskan kebijakan moneter dan perbankan, menjaga nilai mata uang, mempertahankan tingkat kecukupan cadangan aset/siklus kas dan pengelolaan uang kertas, memantau perkembangan bisnis dan menganalisis spektrum yang luas dari masalah ekonomi, serta menjamin kelancaran fungsi pembayaran domestik dan asing dengan menyediakan layanan jasa kliring; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 96 Otoritas Jasa Keuangan di Australia diperankan oleh The Australian Prudential Regulation Authorihy (APRA). Lembaga-lembaga yang diatur oleh APRA diantaranya adalah bank, asuransi, penyedia retirement saving accounts, trustee of superannuation entity. Organisasi APRA terdiri dari sebuah dewan ( board ), seorang pemimpin operasi ( chief executive officer) didukung para staf. Di Australia, APRA dibiayai dari kontribusi (levy) lembaga yang diawasi. APRA mengambil alih tugas dari Reserve Bank of Australia (RBA) dan Insurance and Superannuation Committee (ISC). Lembaga yang dibentuk pada tanggal 1 Juli 1998 tersebut menjalankan fungsi pengawasan micro-prudential lembaga keuangan yang terdiri dari bank, credit union, building society dan perusahaan asuransi. Selain itu, APRA juga mengawasi industri dana pensiun ( superannuation Funds ); Krisis keuangan yang dialami oleh Korea pada tahun 1997-1998 mengakibatkan beberapa konglomerat bisnis besar mengalami kesulitan keuangan, kredit macet di bank-bank Korea meningkat tajam, sehingga melemahkan kesehatan keuangan lembaga perbankan domestik, yang berdampak pada ketidakstabilan keuangan Korea. Hal ini mendorong pemerintah Korea untuk melakukan reformasi kelembagaan dan kebijakan keuangan, maka dibentuklah Korea Deposit Insurance Corporation (KDIC), Financial Supervisory Commission (FSC)/ Financial Supervisory Services (FSS) yang memiliki wewenang sebagai lembaga pengawas tunggal untuk perbankan dan non-perbankan. Dengan perubahan ini Ministry of Finance and Economy (MOFE), FSC/FSS, Bank of Korea (BOK), dan KDIC adalah empat lembaga publik yang bertanggung jawab untuk menjaga stabilitas dan efisiensi sistem keuangan Korea; Masih cukup banyak negara lain yang juga membentuk institusi semacam OJK untuk melaksanakan fungsi pengaturan dan pengawasan sektor keuangan secara terpadu. Meskipun latar belakang pendirian lembaga pengawas jasa keuangan terpadu berbeda di setiap negara, terdapat beberapa faktor yang memicu dilakukannya perubahan terhadap struktur kelembagaan pengawas jasa keuangan. Pertama, munculnya konglomerasi keuangan dan mulai diterapkannya universal banking di banyak negara. Kondisi ini menyebabkan regulasi yang didasarkan atas sektor menjadi tidak efektif karena terjadi gap dalam regulasi dan supervisi. Kedua, stabilitas sistem keuangan telah menjadi isu utama bagi lembaga pengawas (dan lembaga pengawas) yang awalnya belum memperhatikan masalah Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 97 stabilitas sistem keuangan, mulai mencari struktur kelembagaan yang tepat untuk meningkatkan stabilitas sistem keuangan. Ketiga, kepercayaan dan keyakinan pasar terhadap lembaga pengawas menjadi komponen utama good governance. Guna __ meningkatkan good governance pada lembaga pengawas jasa keuangan, banyak negara melakukan revisi struktur lembaga pengawas jasa keuangannya; Adapun alasan pendirian OJK sebagaimana tercantum dalam penjelasan umum UU OJK adalah telah terjadinya proses globalisasi dalam sistem keuangan dan pesatnya kemajuan di bidang teknologi informasi serta inovasi finansial menciptakan sistem keuangan menjadi kompleks, dinamis, dan saling terkait antar- subsektor keuangan baik dalam hal produk maupun kelembagaan. Di samping itu, adanya lembaga jasa keuangan yang memiliki hubungan kepemilikan di berbagai subsektor keuangan (konglomerasi) telah menambah kompleksitas transaksi dan interaksi antarlembaga jasa keuangan di dalam sistem keuangan. Selain itu, banyaknya permasalahan lintas sektoral di sektor jasa keuangan, yang meliputi tindakan moral hazard , belum optimalnya perlindungan konsumen jasa keuangan, dan terganggunya stabilitas sistem keuangan; Pembentukan Undang-Undang OJK ini dimaksudkan untuk memisahkan fungsi pengawasan perbankan dari bank sentral ke sebuah badan atau lembaga yang independen di luar bank sentral. Dasar hukum pemisahan fungsi pengawasan tesebut yaitu Pasal 34 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, yang menyatakan:
Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan Undang-Undang. (2) Pembentukan lembaga pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2010. Pengawasan tersebut dilakukan terhadap bank dan perusahaan-perusahaan sektor jasa keuangan lainnya yang meliputi asuransi, dana pensiun, sekuritas, modal ventura, dan perusahaan pembiayaan, serta badan-badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat. Lembaga ini bersifat independen dalam menjalankan tugasnya dan kedudukannya berada di luar pemerintah serta berkewajiban menyampaikan laporan kepada Badan Pemeriksa Keuangan serta Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam melakukan tugasnya, lembaga yang dinisbatkan menjadi supervisory board ini melakukan koordinasi dan kerjasama dengan Bank Indonesia sebagai Bank Sentral yang diatur dalam Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 98 Undang-Undang pembentukan lembaga pengawasan dimaksud. Lembaga pengawasan ini dapat mengeluarkan ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pengawasan Bank melalui koordinasi dengan Bank Indonesia dan meminta penjelasan dari Bank Indonesia terkait keterangan serta data makro yang diperlukan; Lahirnya Otoritas Jasa Keuangan sebagai amanat Pasal 34 Undang- undang Bank Indonesia didasarkan pada prinsip-prinsip reformasi keuangan, yaitu: independensi, terintegrasi dan menghindari benturan kepentingan. Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, OJK berlandaskan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik ( Good Coorporate Governance ). Bank Indonesia memberikan pengertian tentang pemerintahan yang baik tersebut adalah suatu hubungan yang sinergis dan konstruktif di antara negara, sektor swasta, dan masyarakat. Asas-asas tersebut adalah independensi, kepastian hukum, kepentingan umum, keterbukaan, profesionalitas, dan integritas. Perspektif Hukum Adminstrasi Negara Fungsi OJK Fungsi OJK tidak lepas dari fungsi pemerintahan ( sturen ) yang melekat pada wewenang pemerintah ( bestuursbevoegdheid ). Dalam melaksanakan fungsi sturen , pemerintah diberikan kewenangan untuk melaksanakan fungsi pengawasan dan penegakan hukum administrasi negara. Pengawasan dilaksanakan melalui kewenangan perijinan ( vergunning ) yang dilekatkan pada kewenangan OJK seperti yang diantaranya diatur pada Pasal 7 huruf h UU Nomor 21 Tahun 2011, yaitu memberikan dan/atau mencabut:
izin usaha;
izin orang perseorangan;
efektifnya pernyataan pendaftaran;
surat tanda terdaftar;
persetujuan melakukan kegiatan usaha;
pengesahan;
persetujuan atau penetapan pembubaran; dan
penetapan lain, sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundangundangan di sektor jasa keuangan. Kewenangan tersebut dalam hukum administrasi diiperlukan sebagai upaya pentaatan terhadap norma hukum administrasi negara; Dimensi perlindungan hukum ( rechtsbescherming ) dalam pelaksanaan fungsi sturen ( sturende functie ) yang antara lain terdapat pada Pasal 7, Pasal 8 dan Pasal 9 UU Nomor 21 Tahun 2011, pada intinya dimaksudkan untuk melindungi rakyat yang menjadi konsumen/pengguna jasa sektor keuangan dari praktik-praktik yang melanggar prinsip-prinsip tatakelola keuangan perbankan dan non perbankan yang baik ( good financial governance ). Hal itu terlihat dari Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 99 kewenangan OJK untuk melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap:
kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan;
kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal; dan
kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya (Pasal 6 UU Nomor 21 Tahun 2011). Kewenangan tersebut ditujukan guna mewujudkan tujuan pemerintahan ( bestuursdoeleinden ) sebagaimana diatur pada Pasal 4 UU Nomor 21 Tahun 2011, yaitu bahwa OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan:
terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel;
mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan
mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Tujuan tersebut selaras dengan konsiderasi pembentukan UU Nomor 21 Tahun 2011 sebagaimana telah diuraikan di atas. Kewenangan yang diatribusikan kepada OJK sebagaimana terdapat pada Padal 7, Pasal 8 dan Pasal 9 UU Nomor 21 Tahun 2011 merupakan derivasi dari Pasal 34 ayat (1) UU BI Nomor 3 Tahun 2004 yang mengatur bahwa tugas mengawasi bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan Undang-Undang. Dengan demikian, dalam isu konstitusionalitas, karakter constitutionally important dari UU OJK dapat ditelusuri melalui Pasal 34 UU BI yang bersumber pada Pasal 23D UUD 1945, yang mengatur bahwa negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan Undang-Undang. Bahkan, secara sistematik, dapat pula ditelusuri landasan konstitusionalnya dalam Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 yang mengatur bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Atribusi kewenangan OJK dalam UU OJK dan pengaturan mengenai institusionalitas OJK merupakan manifestasi dari jiwa konstitusi, khususnya dengan memahami dialektika Pasal 23D dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945; Fungsi utama lembaga keuangan seperti OJK bertujuan untuk mencapai empat tujuan ( goals ) secara umum. Empat tujuan tersebut meliputi:
keamanan dan ketahanan ( safety and soundness ) lembaga keuangan;
pencegahan risiko sistemik;
keadilan dan efisiensi pasar;
perlindungan terhadap konsumen Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 100 dan investor. Tujuan pertama dicapai melalui penerapan peraturan yang ketat dan prinsip kehati-hatian yang mengedepankan pendekatan persuasi. Tujuan pencegahan risiko sistemik merupakan tantangan bagi pengawas yang diberi mandat karena penyebab risiko sistemik tidak dapat diprediksi. Walaupun demikian, pengawas tersebut dapat mengurangi kemungkinan risiko sistemik melalui penerapan aturan yang telah dibentuk. Pencapaian tujuan ketiga lebih kepada pendekatan penegakan aturan ( enforcements ) yang meliputi sanksi, denda, pembekuan usaha, pencabutan izin usaha, dan hukuman lainnya. Kiranya, tujuan tersebut selaras dengan Pasal 4 UU Nomor 21 Tahun 2011, yaitu OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan:
terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel;
mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan
mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat; Kewenangan pengaturan ( regelende bevoegdheid ) dan kewenangan pemerintahan ( besturende bevoegdheid ) yang tercermin dari kewenangan- kewenangan yang diatribusikan kepada OJK dalam teori hukum administrasi negara mencerminkan karakter hukum administrasi negara: norm (norma), instrument (sarana) dan waarborg (jaminan). Hal itu dapat dibandingkan dengan pendapat de Haan, dkk. (1986:
, bahwa: " Minstens zo nauw als het verband tussen norm en instrument is dat tussen norm en waarborg. Ook hier weer nemen wij achtereenvolgens de normering van het overherheidsgedraag en die van het gedrag van burgers tot uitgangspunt. De overheidsnormering vraagt primair om bestuurlijke waarborgen, terwijl de rechtsnormen die het gedrag van burgers beinvloden, rechtsbescerming noodzakelijk maken ". Pengaturan mengenai OJK dalam UU Nomor 21 Tahun 2011 telah memenuhi dimensi norma, sarana dan jaminan yang menjadi dimensi utama Hukum Administrasi Negara. Hal itu selain menjadi dasar teoretis bagi pengaturan kewenangan OJK, juga merupakan amanah konstitusi yang harus diwujudkan melalui fungsi dan kewenangan OJK. OJK dimaksudkan untuk memberikan jaminan pemerintah ( bestuurlijke waarborgen) terhadap masyarakat konsumen/pengguna OJK yang melakukan aktivitas di sektor jasa keuangan. Fungsi jaminan itu diwujudkan melalui instrumen perijinan terhadap aktivitas keuangan bagi penyelenggara jasa perbankan maupun non perbankan. Kewenangan penetapan peraturan perundang-undangan di sektor keuangan merupakan salah satu fungsi penormaan pemerintah Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 101 ( bestuursnormering ) yang diarahkan pada upaya memberikan jaminan pemerintahan (bestuurlijke waarborg ) untuk memberikan petlindungan hukum ( rechtsbescherming ) terhadap masyarakat pengguna jasa keuangan; Perkembangan mutakhir dalam hukum administrasi negara menunjukkan adanya arah penyelenggaraan fungsi pemerintsh yang semakin berfokus pada pengguna pelayanan/konsumen. Dikatakan oleh John McMillan (2009) bahwa: "Compliance with legal standards is the starting premise in all codes of good administration, but the newer codes go further. An emerging principle or standard is the need for agencies to be customer focus delivery of citizen-centred services … Deliver high-quality programs and services that put the citizen first’.The reason for this new emphasis is that people now interact wiath government differently, more frequently, and with heightened expectations. This is a product of the expansion in government benefits, subsidies, licences, taxes, contracts, authorisations, sanctions, penalties, services and regulatory programs. People now relate to government in many ways – as citizens, clients, consumers and customersssed – or, as Prime Minister Rudd recently described it, to engage in." Hadirnya OJK bisa diharapkan akan menjafi institusi independen yang berfokus pada perlindungan masyarakat/ konsumen jasa keuangan. Hal itu juga dinyatakan melalui tujuan pembentukan OJK sebagaimana diatur pada Pasal 4 UU Nomor 21 Tahun 2011, yaitu agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan:
terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel;
mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan
mampu melindungi kepentingan Konsumen dan masyarakat. Hal itu akan berimplikasi terhadap pelayanan publik pemerintah di sektor jasa keuangan yang semakin "customer focus delivery of citizen-centred services." Tujuan itu dilaksanakan melalui berbagai kewenangan pengawasan dan perijinan vide Pasal 7, Pasal 8 dan Pasal 9 UU Nomor 21 Tahun 2011, termasuk kewenangan pencabutan ijin yang merupakan salah satu bentuk sanksi dalam hukum administrasi negara, Hal itu diharapkan dapat memperkuat dan melindungi sektor keuangan Indonesia dari potensi terjadinya krisis keuangan melalui peranan OJK untuk mendorong penguatan fondasi sektor keuangan; Kedudukan Pungutan OJK Dalam Pasal 23A UUD 1945 diatur bahwa Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 102 Rumusan itu merupakan hasil dari Perubahan III UUD 1945 tanggal 9 November 2001. Berkaitan dengan keuangan guna membiayai operasional kinerja darI OJK, Pasal 37 UU Nomor 21 Tahun 2011 mengatur beberapa hal prinsip terkait keuangan OJK, sebagai berikut:
OJK mengenakan pungutan kepada pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan;
Pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan wajib membayar pungutan yang dikenakan OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
Pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penerimaan OJK;
OJK menerima, mengelola, dan mengadministrasikan pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) secara akuntabel dan mandiri;
Dalam hal pungutan yang diterima pada tahun berjalan melebihi kebutuhan OJK untuk tahun anggaran berikutnya, kelebihan tersebut disetorkan ke Kas Negara. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah; UU OJK mengatur norma yang bersifat mandatory mengenai kewenangan OJK dalam melaksanakan kewenangan pungutan kepada pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. Legalitas ( rechtsmatigheid ) pungutan tersebut dapat diukur dari sifat koherensi norma hukum UU OJK dengan Pasal 23 dan Pasal 23A UUD 1945. Kewenangan untuk melakukan pungutan tersebut merupakan implikasi pengaturan Pasal 34 ayat (2) UU OJK, yang mengatur bahwa Anggaran OJK bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. Sifat norma hukum tersebut pada hakikatnya merupakan legal policy yang memberikan kewenangan bagi OJK untuk melakukan pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor keuangan yang bisa bersifat tambahan dari keuangan yang bersumber dari APBN atau menjadi alternatif dari keuangan OJK yang diperoleh dari APBN. Jika dibandingkan dengan OJK di beberapa negara lain, sumber keuangan OJK-OJK tersebut pada umumnya bersumber dari pihak- pihak yang bergerak di sektor jasa keuangan atas konsiderasi untuk menumbuhkan kemandirian OJK; Jika Pasal 34 ayat (2) juncto Pasal 37 UU OJK ditarik koherensinya secara vertikal ke atas sampai di ranah konstruksi Pasal 23A UUD 1945, maka norma hukum mengenai pungutan dalam UU OJK tersebut memenuhi syarat dan kriteria Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 103 dari pungutan sebagaimana diatur pada Pasal 23A UUD 1945 tersebut. Selanjutnya, apabila Pasal 34 ayat (2) juncto Pasal 37 UU OJK dikaitkan dengan ketentuan-ketentuan berikutnya antara lain Pasal 38 UU OJK yang mengatur pelaporan dan akuntabilitas OJK, maka, pada hakikatnya pengaturan mengenai keuangan serta pungutan dalam UU OJK tetap memenuhi asas kelengkapan ( volledigheid , universalitas) dan asas berkala (periodisitas) sebagai asas-asas klasik yang diakui oleh UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; Asas kelengkapan ( volledigheid ) pada intinya merupakan asas yang mempertahankan hak budget parlemen secara lengkap sehingga penguasa publik tidak terlepas dari pengawasan DPR; Asas berkala (periodisitas) mengandung makna bahwa pemberian otorisasi dan pengawasan rakyat dengan perantaraanwakilnya secara berkala dalam kebijaksanaan pemerintah guna memenuhi fungsinya. Dengan periodisitas ini memungkinkan pemberian otorisasi dan pengawasan rakyat berjalan secara teratur. Periodisitas ini tidak menghilangkan pengawasan rakyat, tetapi juga harus diperhatikan agar kesempatan pemerintah untuk menjalankan rencananya tetap berlaku. Kedua hal ini merupakan persyaratan pencapaian tujuan demokrasi dalam hukum tata negara. Beberapa ketentuan dalam Pasal 38 UU Nomor 21 Tahun 2012 menunjukkan tetap dipenuhinya asas kelengkapan ( volledigheid ) dan asas berkala dalam pengaturan mengenai keuangan OJK;
OJK wajib menyusun laporan keuangan yang terdiri atas laporan keuangan semesteran dan tahunan;
OJK wajib menyusun laporan kegiatan yang terdiri atas laporan kegiatan bulanan, triwulanan, dan tahunan;
Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat memerlukan penjelasan, OJK wajib menyampaikan laporan;
Periode laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tanggal 1 Januari sampai dengan 31 Desember;
OJK wajib menyampaikan laporan kegiatan triwulanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada masyarakat;
Laporan kegiatan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat; Pengaturan mengenai pengelolaan keuangan dalam OJK baik yang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 104 bersumber dari APBN dan/atau pungutan dari masyarakat tersebut tetap memenuhi asas-asas yang terkandung dalam Pasal 23 UUD 1945. Pasal 23 UUD 1945 itu mengandung 3 (tiga) asas yang saling berkaitan secara erat, yaitu:
Asas berkala ( periodiciteit beginsel), yaitu anggaran negara tersebut dianggarkan untuk jangka waktu tertentu. 2. Asas terbuka ( openbaar beginsel), yaitu prosedur pembahasan anggaran negara oleh DPR dan Pemerintah dilakukan secara terbuka baik melalui sidang terbatas pemerintah dengan Komisi APBN maupun dalam sidang Pleno (mencerminkan pula asas demokrasi). 3. Asas kedaulatan ( souvereiniteit beginsel), yaitu unsur kedaulatan rakyat melalui perwakilannya merupakan syarat mutlak terciptanya rencana anggaran negara tahunan ( jaarlijke machtiging) ; Ditinjau dari segi pengelolaan keuangan negara yang dikelola oleh OJK, baik yang bersumber dari UU APBN maupun pungutan dari pihak pengelola jasa keuangan, juga sudah memenuhi standar pengelolaan keuangan negara dalam UU Keuangan Negara yang didasarkan atas-asas pengelolaan keuangan negara yang merupakan pencerminan best practices (penerapan kaidah-kaidah yang baik) dalam pengelolaan keuangan negara, antara lain: • akuntabilitas berorientasi pada hasil; • profesionalitas; • proporsionalitas; • keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara; • pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri PP Nomor 11 Tahun 2014 yang mengatur mengenai Pungutan oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagai implementasi dari Pasal 37 ayat (6) UU OJK dimaksudkan untuk memenuhi asas-asas pengelolaan keuangan negara tersebut dalam pelaksanaan pungutan oleh OJK. Pada intinya, pungutan yang dilaksanakan dan dikelola oleh OJK tidak menyimpang dari kaidah pengelolaan keuangan negara dalam APBN, kecuali yang memang diatur secara khusus dalam UU OJK berkaitan dengan kedudukan dan kewenangan OJK yang bersifat khusus, sebagaimana diatur pada Pasal 35 UU OJK yang mengatur kekhususan berikut:
Anggaran OJK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat digunakan untuk membiayai kegiatan operasional, administratif, pengadaan aset serta kegiatan pendukung lainnya.
Anggaran dan penggunaan anggaran untuk membiayai kegiatan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 105 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan standar yang wajar di sektor jasa keuangan dan dikecualikan dari standar biaya umum, proses pengadaan barang dan jasa, dan sistem remunerasi sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang terkait dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, pengadaan barang dan jasa Pemerintah, dan sistem remunerasi; Namun, kekhususan tersebut tidak menyebabkan terputusnya ikatan norma hukum tersebut dengan Pasal 23 dan Pasal 23A UUD 1945 sebagaimana juga diatur pada Pasal 38 ayat (8) UU OJK yang menentukan bahwa Laporan keuangan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan atau Kantor Akuntan Publik yang ditunjuk oleh Badan Pemeriksa Keuangan. Dengan demikian, pengaturan mengenai keuangan dan pungutan dalam UU OJK tetap dilaksanakan berdasarkan sistem pengelolaan keuangan negara dalam sistem ketatanegaraan sebagaimana diatur dalam UUD 1945.
Dr. Maruarar Siahaan, S.H I. Legal Standing Pandangan kami tentang ketidak cukupan legal standing untuk menguji pasal-pasal dalam Undang-Undang Ototritas Jasa Keuangan, kami utarakan dalam hal-hal sebagai berikut:
Meskipun Pemohon telah mencoba menguraikan dasar argumen legal standing nya dalam permohonan pengujian ini, dapat dirasakan bahwa sesungguhnya dengan dasar bahwa Pemohon sebagai pembayar pajak dan aktivis yang juga melakukan advokasi di bidang APBN, tidak terlihat urgensi dan relevansinya. Dasar hukum legal standing harus dikembalikan kepada jurisprudensi tetap Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 006/PUU- III/2005 dengan 5 (lima) syarat yang memuat adanya hak konstitusional yang diberikan UUD 1945, dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian, kerugiannya spesifik dan aktual, atau setidaknya bersifat potensial, yang terjadi karena ada hubungan kausal antara kerugian konstitusional dengan undang-undang yang diuji dan adanya kemungkinan jika permohonan dikabulkan, kerugian hak konstitusional tidak akan terjadi lagi. Norma dalam Putusan tersebutlah seharusnya yang digunakan sebagai dasar pengakuan legal standing untuk mengajukan permohonan pengujian di MK, agar terdapat konsistensi dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 106 Pembayar pajak sebagai dasar hukum legal standing di MK, sesungguhnya baru berdasarkan putusan yang terbatas secara individual yang berdiri sendiri, yang masih diperdebatkan karena umumnya kedudukan demikian jikalau dikaitkan dengan jurisprudensi tetap MK soal legal standing , sesungguhnya masih diakui secara terbatas, dan belum merupakan jurisprudensi tetap yang mengikat;
Indikator bahwa standing untuk mengajukan pengujian dilihat dari aspek kerugian hak konstitusional khususnya jaminan hak atas rasa aman berdasar Pasal 27 UUD 1945, yang berbunyi “ Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan tanpa ada kecuali ” , dan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945: “ Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan Undang-Undang __ dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat ”. Kedua pasal yang dikutip tidak merujuk tentang hak konstitusional, sebagai hak yang diberikan kepada warga negara oleh konstitusi, dan dengan demikian justru memberikan kewajiban pada negara untuk memenuhi hak konstitusional;
Seandainyapun permohonan Pemohon dikabulkan maka tidak tampak bahwa kerugian hak konstitusional yang disebut mempunyai causal verband dengan pasal-pasal dalam Undang-Undang yang dimohon untuk diuji, karena menurut hemat kami, kerugian yang diklaim Pemohon, tetap akan terjadi jikalau persoalan tentang hak konstitusi yang disebut dalam UUD 1945, yaitu kerugian konstitutional dalam hubungan dengan hak atas persamaan di depan hukum dan pemerintahan serta hak konstitusi atas “ anggaran ditetapkan dengan Undang-Undang serta dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat ”, tetap terjadi, dan Pemohon tidak dapat menjelaskan dan menguraikan hilangnya kerugian konstitusional yang terjadi jika Undang-Undang OJK dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
Petunjuk bahwa bukanlah para Pemohon yang seharusnya mempunyai legal standing untuk mengajukan pengujian atas UU OJK, dapat dilihat dari seluruh ukuran yang ditentukan dalam jurisprudensi tetap MK yang telah menjadi bagian dari hukum acara, khususnya causal verband antara kerugian Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 107 konstitusional Pemohon yang dinyatakan dalam permohonan dengan dibentuknya OJK. MK perlu menegaskan sikap dalam pendirian tentang legal standing berdasarkan dalih tax payer tersebut; II. Permohonan Putusan Provisi Dalam tahap pemeriksaan permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 saat ini, terlepas dari ketiadaan norma hukum acara, baik dalam UU MK maupun dalam jurisprudensi MK yang mengenal pengaturan provisionel eis , baik karena sisi urgensi kepentingan konstitusional yang harus dilindungi oleh berlakunya satu norma, maupun karena pengaturan yang ada dalam UU MK sendiri yang memuat asas presumption of constitutionality , yang menentukan bahwa semua Undang-Undang yang telah diperlakukan harus dipandang konstitusional sampai dengan dibatalkannya Undang-Undang tersebut dengan alasan bertentangan dengan UUD 1945, maka tidak relevan lagi berbicara tentang provisi. Secara eksplisit diatur dalam Pasal 58 UU MK, yang menegaskan bahwa: “ Undang-Undang yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi tetap berlaku, sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun _1945”; _ Dengan pengaturan demikian, memang jelas bahwa kepentingan konstitusional yang dijamin oleh UUD 1945 melalui cara bekerjanya lembaga- lembaga jasa keuangan dengan jumlah taruhan yang sungguh besar, suatu kemungkinan saja untuk menghentikan bekerjanya OJK tanpa melalui putusan provisi melainkan putusan akhir, tidak terbayangkan akibatnya, karena dapat menjadi kekacauan atau disaster yang berantai, yang dapat memicu krisis ekonomi. Jikalau lembaga baru i.c. OJK dihentikan sementara saja, akan menimbulkan kerugian yang jauh lebih besar, karena beragamnya produk jasa keuangan yang menciptakan sistem keuangan yang sangat kompleks dan saling terkait antara produk dan lembaga jasa keuangan, baik di bidang perbankan, asuransi, dana pensiun, modal ventura, obligasi, SUN dan lain-lain. Tanpa pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi, dengan jumlah dana besar yang bergulir, akan menimbulkan kekacauan besar-besaran, yang boleh jadi mengakibatkan kolapsnya sistem perekonomian dan keuangan Indonesia. Putusan yang bersifat sementara atau permanen demikian akan sangat berbahaya. Oleh karenanya, terkadang menyebabkan timbulnya pikiran bahwa dalam kebijakan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 108 publik dalam bentuk Undang-Undang yang menyangkut Undang-Undang dengan regulasi suatu bidang ekonomi dengan pengaruh yang mendasar bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, tampaknya kemungkinan digunakannya mekanisme pengujian suatu RUU yang telah disetujui bersama sebelum diundangkan – mekanisme yang dikenal dengan judicial preview – di mana semua pihak dapat menumpahkan pikiran dan pendapatnya tentang suatu kebijakan publik yang mendasar, tidak dibayangi ketakutan akan dampak yang timbul secara dahsyat, seandainya suatu Undang-Undang tertentu dinyatakan inkonstitusional dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, dalam suatu proses judicial review ; III. Materi Muatan Konstitusi Sebagai Grundnorm dan Constitutional Boundaries Konstitusi modern yang menjadi hukum tertinggi dan menjadi pedoman dalam politik hukum penyelenggaraan negara, bukan hanya memuat norma-norma dasar yang secara kongkrit dirumuskan, melainkan juga memuat prinsip atau asas konstitusi yang terumuskan secara umum dan hanya dalam garis besar. Lebih dari sebagai suatu dokumen yang ringkas dan supel khususnya UUD 1945 – setelah perubahanpun – dengan pembukaan yang merupakan jiwa dan filosofi di atas mana negara Republik Indonesia dibentuk serta tujuan dibentuknya negara R.I. yang diproklamirkan tanggal 17 Agustus 1945, menunjukkan bahwa dia lebih dari sekedar dokumen juridis. Dari Pembukaan UUD 1945, yang menentukan arah dan tujuan dibentuknya negara R.I., sangat jelas bahwa tujuan tersebut didasari oleh suatu pandangan bangsa tentang suatu negara yang disebut sebagai negara kesejahteraan atau welfare state . Bertolak belakang dengan konsep negara dalam pemilikiran liberalisme, dengan peran negara yang terbatas dan bahkan dirumuskan dalam satu kurun waktu sejarah hanya sebagai penjaga malam, maka dalam konsep negara kesejahteraan, peran negara dalam mengupayakan kesejahteraan menjadi sedemikian luasnya, sehingga keberadaan lembaga negara yang ada dalam organisasi kekuasaan, menjadi tidak memadai lagi. Oleh karena besarnya peran negara dalam konsep negara kesejahteraan tersebut, muncul kebutuhan akan lembaga negara yang tidak dikenal dalam praktik semula, dan kemudian terbentuk dalam lembaga negara yang independen; Kebutuhan akan organ yang akan menjalankan kewenangan tertentu dalam rangka mencapai kesejahteraan rakyat mengalami perkembangan, sehingga untuk memenuhi hal itu berdasarkan organ-organ negara yang secara tradisional Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 109 ada, tidak lagi memadai. Akibatnya perkembangan organ atau lembaga yang independen merupakan kecenderungan yang terjadi secara universal, bahkan di negara-negara yang menganut paham liberalisme yang sangat mempraktikkan peran negara secara terbatas, justru mempelopori kelahiran lembaga-lembaga negara yang independen tersebut. Oleh karenanya, norma dasar konstitusi yang seyogianya mengatur pembentukan organ-organ negara secara ekplisit dan tegas sehingga dapat membentuk struktur organisasi kekuasaan negara dalam konstitusi sepanjang mengenai lembaga negara yang menerima kewenangannya langsung dari konstitusi, tidak lagi mampu memberi gambaran yang total tentang organ-organ yang menerima kewenangannya dari undang-undang dasar, dan berdasarkan delegated auhority of legislation dikuasakan pembentukannya dalam satu Undang-Undang. Secara analogis kita dapat melihat keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dibentuk dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002; Dasar konstitusionalitas kelembagaan yang diperlukan untuk menyelenggarakan pemerintahan, dalam suatu negara kesejahteraan tidak selalu hanya merujuk kepada suatu norma fundamental konstitusi yang secara eksplisit ditemukan dalam UUD 1945, karena tugas, fungsi dan tujuan negara secara filosofis, sosiologis dan juridis dapat menjadi landasan pembentukan kebijakan dan peraturan perundangan yang diperlukan dalam penyelenggaran pemerintahan. Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan secara jelas menyebut bahwa Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum. Jikalau norma fundamental dalam UUD 1945 menjadi sumber hukum dan validitas norma hukum dibawahnya yang diperlukan dalam penyelengaraan negara, maka norma fundamental tersebut bersumber pada Grundnorm yang menjadi landasan politik hukum yang selalu menjadi orientasi kedepan, upaya memperbaharui ius constitutum kearah _ius constituendum; _ Untuk menemukan landasan politik hukum dalam pembentukan organ negara yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas pemerintahan tertentu yang tidak memadai lagi untuk diserahkan kepada lembaga yang secara tradisional ada dalam organisasi kekuasaan negara, maka untuk mencegah atau mengantisipasi timbulnya kondisi atau keadaan yang dapat menimbulkan pelanggaran terhadap konstitusi ketika mandate konstitusi tidak dapat ditemukan secara tegas, maka melalui suatu naskah akademis, diperhitungkan adanya suatu ruang yang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 110 memungkinkan diskresi pembuat kebijakan dapat terlaksana secara bebas dan baik. Dalam ruang lingkup demikian dengan batas-batas yang diperhitungkan tidak dapat dilanggar pembuat kebijakan, maka dengan konstruksi. Dapat dibangun apa yang disebut ruang dalam mana diskresi pembuat kebijakan bergerak secara bebas. Jikalau kebijakan atau politik hukum yang dipilih untuk dilaksanakan tersebut tampak melampaui batas konstitusi ( constitutional boundary) yang dirumuskan, maka kebijakan demikian dihindari, karena potensil diuji dan dapat dinyatakan bertentangan dengan konstitusi serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Indikator konstitusionalitas tersebut dapat dirumuskan melalui interpretasi, konstruksi dan penghalusan terhadap:
Pembukaan UUD 1945, yg memuat pandangan hidup bangsa dalam Pancasila;
Tujuan Bernegara dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945;
Norma Konstitusi yang bersifat HAM dan Bukan, dalam Batang Tubuh UUD 1945. Dengan pencarian makna melalui interpretasi dan konstruksi untuk membentuk ruang gerak dengan batas yang ditentukan untuk tidak dilampaui, maka dapat ditemukan suatu ruang yang bebas bagi diskresi pembuat Undang- Undang, untuk membentuk kebijakan publik berdasar politik hukum yang mengacu pada konstitusi sebagai hukum dasar. Undang-Undang OJK menurut pendapat saya masih dalam ruang yang tidak melanggar constitutional boundary tersebut; IV. Pokok Permohonan 1. Umum Setiap penyelenggara negara berhak dan wajib untuk menafsirkan konstitusi atau UUD 1945 sebelum melaksanakan tugasnya dalam penyelenggaraan Negara, baik sebagai legislator dalam pembuatan Undang- Undang atau dalam pengujian Undang-Undang tersebut. UUD 1945 sebagai konstitusi tertulis, menyiratkan adanya kostitusi yang tidak tertulis sebagai bagian yang dianggap tidak terpisah, yang ditemukan dalam Pembukaan UUD 1945, dalam filosofi kehidupan bernegara dan berbangsa serta dalam tujuan yang ditetapkan kearah mana suatu negara yang terbentuk itu akan berjalan. Seluruh konstitusi yang termuat dalam pembukaan dan batang tubuh tersebut juga memuat dan membentuk asas-asas konstitusi yang harus ditemukan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 111 dengan interpretasi, konstruksi dan penghalusan hukum ( rechtsverfijning ), untuk dapat dijabarkan dalam peraturan perundang-undangan yang dipandang serasi dengan konstitusi, sebagai kebijakan yang sumber keabsahan atau validitas dan legitimasinya dapat ditetapkan tidak bertentangan dengan UUD 1945; Konsepsi negara kesejahteraan ( welfare state ) yang mewajibkan adanya state intervention dalam penyelenggaran negara untuk mencapai peningkatan kesejahteraan umum dan perlindungan segenap bangsa, merupakan hal yang sangat terbuka dalam mandat konstitusi bagi penyelenggara negara, sehingga lingkungan strategis lokal, nasional dan global harus menjadi pertimbangan dalam mengambil keputusan apakah suatu kebijakan harus dilakukan yang perlu dalam kerangka penyelenggaraan negara bagi kehidupan masyarakat dan bangsa, dan apakah kebijakan demikian masih dalam kerangka constitutional boundaries yang ditetapkan dalam UUD 1945. __ Ruang dalam kerangka constitutional boundaries tersebut akan memberi petunjuk seberapa jauh pembuat Undang-Undang boleh bergerak dalam melakukan regulasi yang diperlukan untuk menyesuaikan kondisi nasional dengan perkembangan global, yang tidak dapat dielakkan karena interdependensi bagian-bagian dari dunia dengan dunia luar, yang turut menentukan keberhasilan untuk perlindungan dan kesejahteraan warga negara. Diskresi pembuat Undang-Undang harus juga digunakan untuk bergerak dalam ruang constitutional boundaries yang disebut di atas. Keberadaan dan praktik BI dalam pengawasan jasa keuangan, telah menjadi titik tolak disekresi yang berada dalam constitutional boundaries yang dimaksud; Oleh karenanya menentukan mandate konstitusi tidak cukup hanya dengan merujuk suatu pasal tertentu dalam UUD 1945 sebagai dasar dalam menentukan konstitusionalitas norma atau kebijakan yang akan dibentuk, melainkan harus menemukannya dengan tafsir, hermeneutika, konstruksi dan penghalusan. Terlebih lagi bahwa suatu norma konstitusi yang telah memuat suatu perintah secara tegas dalam konstitusi pun memerlukan kehati-hatian, karena suatu norma konstitusi yang biasanya terumuskan secara general (umum) dan hanya mengandung asas, dalam implementasinya mengalirkan norma turunan secara derivative , yang meskipun tidak secara tegas disebut Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 112 sebagai norma konstitusi, tetapi merupakan hal yang tidak dapat dikesampingkan demikian saja sebagai bagian dari konstitusi, terutama jika ada delegated authority of legislation yang diberikan kepada pembuat Undang- Undang. Oleh karenanya apa yang disebut sebagai norma yang konstitusional tidak dapat dilihat secara tunggal melainkan harus secara integral dalam doktrin kesatuan konstitusi, dari pembukaan sampai batang tubuh secara tidak terpisah satu dengan yang lain; Pengalaman menunjukkan krisis perbankan yang terjadi bukan berasal dari perbankan, melainkan dari bidang-bidang lain yang merembet kepada perbankan. Produk-produk jasa keuangan yang sudah demikian besar (dari sisi size), dari sisi keterkaitan konglomerasi, dan terakhir dari sisi kompleksitas masalah jasa keuangan, tampaknya menyebabkan BI tidak lagi tepat dan tidak mampu melakukan hal itu semua secara sendirian. Ketidak mampuan BI merespon perkembangan yang pesat di bidang jasa keuangan sudah menjadi kenyataan yang menjadi pengalaman kita sehingga keberadaan BLBI dan lain- lainnya menjadi problem yang harus dipikul sekarang ini. Oleh karenanya membesarnya tugas yang timbul dalam penyelenggaraan negara, dibidang pengawasan dan pengaturan jasa keuangan menjadi keniscayaan.
Lembaga Negara Independen Ketika tugas negara yang terbagi dalam organisasi kekuasaan yang tradisional seperti eksekutif, legislatif dan judikatif dalam menyelenggarakan tugas-tugas pemerintahan dirasakan tidak mencukupi lagi, terasa kebutuhan untuk melakukan perluasan organ tersebut tetapi dengan membentuk badan- badan atau lembaga yang independen. Independensi lembaga tersebut terwujud dalam struktur yang berada di luar organisasi penyelenggara pemerintahan yaitu eksekutf, yudikatif dan legislatif. Kecenderungan untuk menetapkan organ baru yang muncul karena kebutuhan dalam penyelenggaraan pemerintahan, juga boleh lahir dari sikap yang ingin membebaskan lembaga baru dari keterpasungan birokrasi lama, melainkan memulai sesuatu yang baru, dengan ciri yaitu adanya kewenangan regulasi dan pengawasan dalam organ yang sama tetapi dalam mekanisme checks and balance ; Salah satu gejala yang sangat umum dewasa ini diseluruh dunia, adalah banyaknya lahir organ-organ atau lembaga baru yang menjalankan juga tugas Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 113 dan kewenangan pemerintahan dan penyelenggaraan negara, diluar organisasi atau struktur kekuasaan yang lazim atau utama, baik disebut secara khusus dalam UUD, maupun dalam Undang-Undang atau hanya dengan peraturan yang lebih rendah. Hal ini terjadi karena semakin luasnya tugas-tugas pemerintahan dalam penyelenggaraan kepentingan umum, akan tetapi yang dirasakan perlu dilakukan melalui partisipasi publik yang luas dan demokratis maupun sebagai mekanisme pengawasan yang lebih luas. Badan- atau organ yang bertumbuh tersebut sering disebut sebagai komisi negara atau lembaga negara pembantu (auxiliary state organ) . Bahkan sebelum reformasi pun, organ seperti ini, sudah sangat banyak dan sering dibentuk sebagai jawaban atas permasalahan yang dihadapi, meskipun dalam kenyataan jawaban dengan organ baru demikian, boleh jadi merupakan beban secara keuangan, justru menambah kerumitan dalam penyelesaian masalah. Organ atau badan atau lembaga-lembaga independen ini, baik di negara maju maupun negara berkembang, bertumbuh dengan kewenangan yang bersifat regulatif, pengawasan dan monitoring, bahkan tugas-tugas yang bersifat eksekutif. Bahkan kadang-kadang lembaga independen demikian menjalankan ketiga fungsi sekaligus. Hal ini dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan untuk merampingkan organisasi Pemerintahan akibat tuntutan zaman untuk mengurangi peran pemerintahan yang sentralistis tetapi penyelenggaran negara dan pemerintahan dapat berlangsung effektif, effisien dan demokratis dalam memenuhi pelayanan publik. Jimly Asshiddiqie mencatat bahwa di Amerika Serikat lembaga-lembaga independen dengan kewenangan regulasi, pengawasan atau monitoring ini lebih dari 30-an ( Jimly Asshidiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Sekretariat jenderal dan Kepaniteraan MKRI, 2006, hal 8) . Akan tetapi, seperti ditulis oleh Kenneth F. Warren, pada awal Pemerintahan di Amerika tidak ada badan independen yang memiliki kewenangan mengatur, namun karena sentimen masyarakat terhadap penyalahgunaan ekonomi pasar bebas yang terjadi pada 1800an, Pemerintah menjawab tuntutan masyarakat dengan pertama kalinya membentuk Interstate Commerce Commission, dan sejak itu sampai abad keduapuluh, badan-badan independen demikian telah bertumbuh seperti raksasa dan sangat berkuasa, yang mencerminkan problem dan tantangan yang kompleks dari satu perubahan masyarakat Amerika pada abad Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 114 baru ekplorasi ruang angkasa ( Kenneth F. Warren Administrative Law In The Political System,,Prentice hall, Upper Saddle River, New Jersey 07458, Third Edition, 1996, hal 78) . Indonesia menurut catatan kami memiliki kurang lebih 44 lembaga, badan atau komisi-komisi negara semacam ini, yang kemungkinan banyak diantaranya sudah tidak aktif lagi karena memang ada yang dibentuk oleh pemerintahan masa lalu, yang mungkin tidak memperoleh anggaran yang cukup lagi untuk mendukung kegiatannya, atau barangkali tidak dipandang relevan lagi; Semua badan, organ atau lembaga demikian, apakah bernama dewan, komisi atau badan, yang menyelenggarakan (sebagian) fungsi pemerintahaan, secara umum disebut juga lembaga negara, yang dibedakan dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang disebut juga non-govermental organization (NGO). Istilah-istilah lembaga, badan atau organ sering dianggap identik, sehingga meskipun sesungguhnya dapat berbeda makna dan hakikatnya satu sama lain, orang dapat menggunakan satu istilah untuk arti yang lain. Dalam pembicaraan kita sekarang ini, yang penting untuk dibedakan apakah lembaga atau badan itu merupakan lembaga yang dibentuk oleh dan untuk negara atau oleh dan untuk masyarakat. Lembaga apa saja yang dibentuk bukan sebagai lembaga masyarakat dapat kita sebut sebagai lembaga negara . Dalam ”Sengketa Kewenangan Lembaga Negara”, maka kata lembaga negara termuat hanya dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, yang mengatur tentang kewenangan Mahkamah Konstitusi, dimana satu diantaranya adalah ” memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar”, hal mana dengan kata-kata yang sama diulangi lagi dalam Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003 juncto UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi. Kejelasan tentang organ mana yang disebut sebagai lembaga negara menurut UUD 1945 sebelum perubahan, baru dapat terlihat secara tegas dalam ketetapan MPRS, baik Nomor XX/MPRS/1966, Nomor XIV/MPRS/1966, Nomor X/MPRS/1969 dan Nomor III/MPR/1978. Dari ketetapan MPRS dan MPR tersebut kita dapat melihat adanya kualifikasi lembaga negara yang berbeda yaitu Lembaga Tertinggi Negara yang disebut MPR dan Lembaga Tinggi Negara yaitu Presiden, DPA, DPR, BPK, dan Mahkamah Agung. MPR dalam UUD 1945 sebelum perubahan adalah penjelmaan seluruh rakyat sebagai pemegang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 115 kedaulatan, dan dalam realitasnya MPRlah yang memegang kekuasaan negara yang tertinggi . Setelah UUD 1945 mengalami perubahan, kita juga tidak dapat menemukan kejelasan definisi lembaga negara. Kalau dilakukan inventarisasi dalam UUD 1945 setelah perubahan kita memang menemukan lembaga-lembaga negara yang disebut, baik secara tegas yang dibentuk dan menerima kewenangan dari UUD 1945, atau yang hanya disebut adanya satu lembaga untuk fungsi tertentu, yang kemudian nama dan wewenangnya diatur dalam Undang-Undang mengenai lembaga negara tersebut. Misalnya Pasal 22 ayat (5) yang mengatur bahwa ” pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri” dan ayat (6) menentukan bahwa ” ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang-undang”. Demikian juga Pasal 23D UUD 1945 hanya menyebut adanya satu bank sentral, yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan Undang-Undang; Dari ketentuan tersebut juga dapat diketahui bahwa penyebutan adanya lembaga negara dalam UUD belum dengan sendiri menentukan bahwa lembaga yang akan dibentuk itu merupakan organ konstitusi sebagai lembaga negara yang memperoleh kewenangannya dari UUD 1945. Ada kalanya penyebutan dalam UUD 1945 merupakan penugasan kepada pembuat Undang-Undang untuk membentuk lembaga negara, dan mengatur hal-hal yang menyangkut kewenangan, susunan, kedudukan dan tanggung jawabnya dalam satu Undang-Undang. Dalam hal demikian dia menjadi organ atau lembaga negara yang memperoleh kewenangannya dari Undang-Undang, namun tetap merupakan lembaga negara yang konstitusional. Konsep Independensi Independensi suatu lembaga sesungguhnya diberikan karena dibutuhkan untuk dijadikan dasar dari suatu sikap netral ( impartial ) dan boleh membebaskan diri dari kungkungan conflict of interest diantara subjek pengawasan dan yang memiliki kepentingan lain. Independensi, merupakan prasyarat bagi terwujudnya sikap netral dan merupakan jaminan bagi tegaknya hukum dan keadilan. Kemandirian dan kemerdekaan lembaga, dengan menempatkannya tidak dibawah kekuasaan eksekutif, legislatif __ maupun yudikatif, tidak menyebabkan bahwa lembaga tersebut menjadi superbody , karena mekanisme pengawasan secara hukum pidana, maupun administrasi Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 116 dan tatanegara, merupakan hal yang terjadi secara mekanis dalam proses checks and balances . Baik komisioner OJK sendiri-sendiri maupun sebagai institusi, independensi dirumuskan sebagai kebebasan dari pelbagai pengaruh, yang berasal dari luar diri lembaga, baik sebagai intervensi yang bersifat mempengaruhi secara langsung atau tidak langsung, maupun berupa bujuk rayu, tekanan, paksaan, ancaman atau tindakan balasan karena kepentingan politik, atau ekonomi tertentu dari siapapun, dengan imbalan atau janji imbalan berupa keuntungan jabatan, keuntungan ekonomi atau bentuk lain; Mekanisme masa jabatan dan pemilihan pejabat yang duduk dalam lembaga independen tersebut umumnya menjadi metode yang sering digunakan untuk menunjukkan independensi lembaga tersebut, ysng akan terjamin jika secara konsisten dilaksanakan. Seorang yang diangkat dengan mekanisme pemilihan yang biasanya dilakukan oleh DPR, juga dijamin kedudukannya dalam masa jabatan tertentu tidak dapat dihentikan, kecuali karena adanya pelanggaran pidana yang berat menyebabkan pejabat yang bersangkutan harus diberhentikan dari jabatannya. Otoritas Jasa Keuangan yang dibentuk dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011, memuat seluruh persyaratan sebagai lembaga Negara yang independen; Integrasi Kewenangan Regulasi dan Pengawasan. Tampaknya integrasi kewenangan regulasi dan pengawasan dalam satu lembaga merupakan ciri dari lembaga independen, di mana kewenangan eksekutif, legislatif dan yudikatifnya disatukan dalam satu lembaga. Jika hal demikian terdapat pada OJK, maka menurut hemat kami, tidak mengganggu derajat independensi lembaga induk (BI), yaitu kewenangan BI yang seharusnya tidak boleh diambil tetapi diambil, sehingga berkurang sentralitasnya, dan juga tidak mengurangi kewenangan lembaga induk serta ciri dan fungsi utama lembaga induk atau BI, tidak dikurangi dalam hal sentralitas BI dalam UUD. Sistem keuangan dan perekonomian nasional, terutama berkembangnya lembaga jasa keuangan dengan fungsi utama sebagai intermediasi dengan innovasi finansial, telah menciptakan sistem yang kompleks, dan dalam perkembangannya yang pesat didorong oleh proses globalisasi. Hal tersebut telah mengakibatkan tugas tersebut tidak lagi dapat diserahkan kepada BI sebagai Bank Sentral dengan tugas pokok sebagai Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 117 otoritas moneter. Pengalaman masa lalu ketika BI sebagai Bank Sentral menggunakan instrument moneter berupa bantuan liquiditas untuk menyehatkan kondisi bank yang diawasi adalah disebabkan karena bank sentral keinginannya menutupi kelemahan akibat pelanggaran terhadap prudential banking [Naskah Akademik Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) hal. 10] . Hal ini telah mengakibatkan masalah yang tidak dapat dipandang selesai sampai saat ini; Adanya kewenangan yang meliputi fungsi regulasi dan pengawasan bahkan sering ajudikasi sebagai fungsi judikatif terjadi dalam lembaga Negara independen secara universal. Dengan kompleksitas masalah dalam bidang jasa keuangan dengan produknya yang beragam dan pemain yang meliputi asing dengan jumlah dana yang besar, menyebabkan perlunya dilakukan pengaturan dan pengawasan terhadap seluruh kegiatan jasa keuangan secara lebih terintegrasi ( ibid, hal.3) Kesewenang-wenangan yang mungkin dapat timbul dalam hal demikian, dapat dicegah dengan membangun system checks and balances baik secara internal maupun melalui lembaga lain secara eksternal dalam judicial review dan mekanisme hukum lain yang tersedia. Dampak Globalisasi Terhadap Ekonomi dan Keuangan Nasional Globalisasi, sebagai satu proses transformasi meliputi seluruh aspek kehidupan. Hal itu semakin dirasakan membawa pengaruh mendalam baik dalam kehidupan pribadi secara individual maupun secara kelembagaan dalam kehidupan negara dan masyarakat, ketika gagasan, dana dan nilai-nilai kultural masuk kedalam ruang-ruang kita secara mudah menembus batas ruang dan waktu. Komunikasi yang amat mudah dengan kecepatan tinggi dan transportasi yang murah membawa proses globalisasi tersebut mentransformasi kehidupan manusia dan lembaga yang dikenal dalam negara dan masyarakat. Interaksi sosial, politik, ekonomi, finansial, ilmu pengetahuan, teknologi dan kultural antara satu bagian dunia dengan bagian dunia lain, terjadi dan berlangsung demikian saja dengan satu tekanan klik pada perangkat elektronik. Akibatnya dikatakan bahwa dunia ini telah menjadi rata ( the world is flat ) [ Thomas L. Friedman, The World is Flat, The Globalized World in the Twenty First Century, Penguin Books 2006, hal 7 ]. Globalisasi ada kaitannya dengan dalil bahwa kita sekarang hidup dalam satu dunia ( Anthony Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 118 Giddens, Run Away World, How Globalisation is Reshaping Our Lives,Profile Books,h. 7 ). Dibawah pengaruh globalisasi, kedaulatan negara telah menjadi semakin kabur atau tidak jelas, karena kekuatan global dapat mempengaruhi kehidupan warganegara disatu teritorial tertentu; Meskipun begitu banyak dimensi yang dapat diperlihatkan oleh kata Globalisasi , dan dimana-mana orang mengatakan bahwa kita hidup dalam zaman dengan kehidupan sosial yang sebagian besar ditentukan oleh proses global, dimana garis batas budaya nasional, ekonomi nasional dan wilayah nasional yang semakin kabur, akan tetapi inti dari persepsi ini adalah terjadinya proses globalisasi ekonomi yang muncul dan berjalan dengan sangat cepat ( Paul Hirst & Grahame Thomson, Globalization in Question, dialih bahasakan P. Sumitro, Globalisasi Adalah Mitos: Sebuah Kesangsian Terhadap Konsep Globalisasi Ekonomi Dunia Dan Kemungkinan Aturan Mainnya, Yayasan Obor Indonesia 2001, hal 1 ). Dikatakan lebih lanjut, bahwa telah muncul, atau sedang muncul, suatu sistem ekonomi yang benar-benar global, dimana didalamnya tercakup ekonomi nasional dan, karena itu strategi pengelolaan ekonomi nasional, semakin memerlukan kreativitas untuk bertahan. Dinamika dasar ekonomi dunia telah mencakup seluruh dunia; ekonomi dunia dikuasai oleh kekuatan pasar bebas yang tak terkendali, dengan perusahaan-perusahaan transnasional sebagai pelaku utama dan pembawa perubahan ( ibid) . Satu ciri dari globalisasi ekonomi dapat ditunjuk kebebasan modal bergerak dari satu negara kenegara lain, sehingga dalam keadaan tertentu pergerakan jangka pendek modal memasuki satu negara, dan ketika kemudian tiba-tiba ditarik kembali, akan terjadi gangguan besar bagi sistem moneter negara tersebut. Meski kebijakan moneter Amerika tidak diterapkan keseluruh dunia akan tetapi mata uang dollar menjadi alat pembayaran utama dalam sistem perdagangan internasional. Sistim nilai tukar mengambang dan pusat pusat pasar modal di Amerika sangat berpengaruh pada pasar modal diseluruh dunia, sehingga fluktuasi yang terjadi secara berantai akan membawa dampak ke pasar modal negara lain ( Tetapi saat ini mata uang dollar tidak lagi perkasa, dan terutama karena krisis yang dipicu oleh prime mortgage, orang mulai beralih kemata uang euro (Harian Kompas Oktober 2007 ). Tidak ada pemerintah nasional yang dapat menjalankan dengan effektif Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 119 tata aturan ekonomi apapun, bila tata aturan itu menyimpang dari standar internasional dan merugikan kepentingan TNC yang beroperasi diwilayahnya (Paul Hirst & Grahame Thomson, op.cit hal 19 _); _ Satu transformasi, yaitu perubahan dalam struktur, tampilan atau karakter terjadi secara luas dan besar-besaran, sebagai akibat proses globalisasi. Semua negara, wilayah, lembaga, masyarakat dan individu terkena dampaknya, yang juga mengakibatkan terjadinya perubahan besar dalam interaksi dan interelasi secara kelembagaan, wilayah dan antar masyarakat serta individu. Respon yang memadai terhadapnya tidak dapat diabaikan sama sekali, karena penetrasi yang terjadi secara global telah melampaui dengan mudah batas-batas negara, bahkan-batas-batas yang ingin dijaga dalam rumah keluarga-keluarga. Meskipun proses globalisasi sesungguhnya mempunyai banyak dimensi-sebagaimana telah diuraikan dibagian awal-akan tetapi sesungguhnya orang lebih banyak berbicara tentang proses dan dampaknya dalam bidang ekonomi. Hal itu terjadi karena dampak globalisasi dibidang ekonomi dapat menyengsarakan rakyat diwilayah atau negara tertentu secara signifikan, karena tidak siap dan tidak mampu menghadapi perubahan yang terjadi secara global tersebut. Umumnya negara- negara yang miskin dan sedang berkembang, dengan kemampuan ekonomi dan teknologi yang rendah tidak siap menghadapinya. Apalagi jika kebijakan yang diambil tidak dapat memperhitungkan keadaan domestik secara sosial, ekonomi dan kultural yang tidak memiliki kesiapan yang memadai, diharuskan bersaing secara bebas dan terbuka dengan aktor asing yang lebih canggih. Sesungguhnya transformasi yang terjadi dengan globalisasi sekarang menyebabkan hampir seluruh dunia, sedikit banyak terhubung kedalam sistem dunia yang semakin terintegrasi, dimana parameter pasar mendominasi; Pasal 33 UUD 1945 dan Kebijakan Ekonomi Globalisasi dan integrasi dunia melalui perdagangan bebas dengan filosofi pasar bebas, mau tidak sangat mempengaruhi kondisi perekonomian dan keuangan Indonesia. Dalam hal demikian perlindungan yang diperlukan dalam menjaga segenap bangsa semakin menjadi besar. Memang kemungkinan UU OJK merupakan salah satu yang diajukan oleh IMF sebagai persyaratan untuk bantuan membenahi ekonomi Indonesia, tetapi tidak selalu Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 120 dapat disimpulkan secara sederhana bahwa hanya karena demikian saja UU OJK tersebut bertentangan dengan UUD 1945; UUD 1945, yang memuat konstitusi Ekonomi, yang telah beberapa kali dijadikan batu penguji terhadap kebijakan ekonomi yang tertuang dalam undang-undang yang dimohonkan review oleh Mahkamah Konstitusi. Pasal 33 UUD 1945 yang menentukan prinsip penguasaan negara, demokrasi ekonomi dan kebersamaan, effisiensi berkeadilan, dan pembangunan yang sustainable serta berwawasan lingkungan oleh Mahkamah diartikan bahwa penguasaan itu tidak selalu dalam arti mutlak 100%, sepanjang penguasaan atas pengelolalan tersebut memberi pada negara posisi yang menentukan dalam proses pengambilan keputusan untuk menentukan kebijakan, sehingga oleh karenanya juga divestasi ataupun privatisasi atas kepemilikan saham Pemerintah dalam BUMN yang mengelola sumber daya alam tidak dapat dianggap bertentangan dengan UUD 1945 [ _Pasal 33 ayat (4) UUD 1945: _ “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional] , sepanjang penguasaan negara efti atas cabang produksi strategis dan menguasai hajat hidup orang banyak, serta sumber daya alam, dan sepanjang Negara memiliki posisi dominan dalam policy making badan usaha melalui komposisi saham. Dengan kata lain dalam tafsiran Mahkamah, privatisasi dan kompetisi sepanjang tidak meniadakan penguasaan negara dalam arti posisi yang menentukan dalam pengambilan keputusan kebijakan tetap, dalam tangan negara, dapat diterima dan tidak bertentangan dengan UUD 1945 ( Ibid, hal 336-349 _); _ Dalam krisis keuangan yang dapat menimbulkan krisis global, yang dikatakan seperti tsunami, bagi Indonesia dampak ”globalisasi” secara buruk kelihatannya berjalan satu arah. Kita tidak mampu memberi perlawanan, dan menjadi korban. Sejak era Pemerintah Orde Baru, dua kekuatan utama telah menelan Indonesia, yaitu pertama ”kekuatan deregulasi” yang memaksa keterbukaan akses pasar nasional, yang awalnya hanya meliputi perdagangan, tetapi kemudian meliputi investasi asing. Kedua, pertumbuhan perjanjian dagang regional, ternyata telah menggeser proses regulasi kearah Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 121 skala yang berbeda ( Kami menggunakan dua kekuatan itu dari Paul Dickens, op.cit hal 427 _); _ Kritik Stiglitz, yang mengecam pendekatan IMF “ one-size-fits-all”, yang dianggap memberikan solusi dengan cara yang sama dengan tidak mempertimbangkan keadaan nasional yang berbeda, menyatakan l dengan cara yang lugas: ”... Especially at the International Monetary Fund , decisions were made on the basis of what seemed a curious blend of ideology and bad economics, dogma that sometimes seemed to be thinly veiling special interest… While no one was happy about the suffering that often accompanied the IMF programs, inside the IMF, it was simply assumed that whatever suffering occurred was a necessary part of the pain countries had to experience on the way to becoming a successful market economy, and that the measures would, in fact reduced the pain the country would have to face in the long run. The hypocrisy of pretending to help developing countries by forcing them to open up their market to the goods of advanced industrial countries while keeping their own market protected, policies that make the rich richer and the poor more impoverished and increasingly angry (Joseph E. Stiglitz, Globalization And Its Discontents, Allen Lane Penguin Books 2002, hal xiii,xiv dan xv). Dibagian lain Siglitz menyebutkan bahwa kenyataan tidak adanya mekanisme pasar yang sempurna dapat disimak dari pernyataan Joseph Stiglitz : ” presumption that markets, by themselves, lead to efficient outcomes, failed to allow for desirable government interventions in the market and make everyone better off ” ( Putusan MK op.cit hal 330-331 ) _; _ Banyak dimensi yang dapat diperlihatkan oleh kata Globalisasi , dan dimana-mana orang mengatakan bahwa kita hidup dalam zaman dengan kehidupan sosial yang sebagian besar ditentukan oleh proses global, dimana garis batas budaya nasional, ekonomi nasional dan wilayah nasional yang semakin kabur, akan tetapi inti dari persepsi ini adalah terjadinya proses globalisasi ekonomi yang muncul dan berjalan dengan sangat cepat ( Paul Hirst & Grahame Thomson, Globalization in Question, dialih bahasakan P. Sumitro, Globalisasi Adalah Mitos: Sebuah Kesangsian Terhadap Konsep Globalisasi Ekonomi Dunia Dan Kemungkinan Aturan Mainnya, Yayasan Obor Indonesia 2001, hal 1) . Dikatakan lebih lanjut, bahwa telah muncul, atau Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 122 sedang muncul, suatu sistem ekonomi yang benar-benar global, dimana didalamnya ekonomi nasional dan, karena itu strategi pengelolaan ekonomi nasional, semakin terpengaruh. Dinamika dasar ekonomi dunia telah mencakup seluruh dunia; ekonomi dunia dikuasai oleh kekuatan pasar bebas yang tak terkendali, dengan perusahaan-perusahaan transnasional sebagai pelaku utama dan pembawa perubahan ( _ibid); _ Mahkamah Konstitusi yang diberi mandat untuk mengawal konstitusi, memberi tafsiran atas pasal 33 UUD 1945 sebagai batu ujian konstitusionalitas kebijakan ekonomi yang diadopsi dalam undang-undang yang dimohonkan pengujian, dengan memperhitungkan juga lingkungan strategis global yang berubah. Mahkamah Konstitusi secara khusus telah memberi pengertian ”penguasaan oleh negara” dalam putusan-putusannya sebagai berikut ini : ” ...dengan memandang UUD 1945 sebagai sebuah sistem...,maka penguasaan oleh negara dalam Pasal 33 memiliki pengertian yang lebih tinggi atau lebih luas dari pada pemilikan dalam konsepsi hukum perdata. Konsepsi penguasaan oleh negara merupakan konsepsi hukum publik yang berkaitan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dianut dalam UUD 1945, baik dibidang politik (demokrasi politik) maupun ekonomi (demokrasi ekonomi). Dalam paham kedaulatan rakyat itu, rakyatlah yang diakui sebagai sumber, pemilik dan sekaligus pemegang kekuasaan tertinggi dalam kehidupan bernegara, sesuai dengan doktrin ”dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”. Dalam pengertian kekuasaan tertinggi tersebut tercakup pula pengertian pemilikan publik oleh rakyat secara kolektif. Bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalam wilayah negara, pada hakikatnya adalah milik publik seluruh rakyat secara kolektif yang dimandatkan kepada negara untuk menguasainya guna dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran bersama. Karena itu Pasal 33 ayat (3) menentukan ”bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sesesar-besar kemakmuran rakyat”. ”...pengertian ”dikuasai negara” haruslah diartikan mencakup makna penguasaan oleh negara dalam arti luas yang bersumber dan diturunkan dari konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan ”bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya, termasuk pula didalamnya pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber sumber kekayaan yang dimaksud. Rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 123 1945 memberikan mandat kepada negara untuk melakukan fungsinya dalam mengadakan kebijakan (beleid), tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad)” (Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 01-02-022/PUU- I/2003 ). Ini memperkuat keyakinan kita akan apa yang disebut ketidak sempurnaan pasar dan perlunya intervensi Pemerintah sebagaimana disebut Joseph Stiglitz: ” Behind the free market ideology there is a model, often attributed to Adam Smith, which argues that market forces-the profit motive-drive the economy to efficient outcomes as if by invisible hand. One of the great achievements of modern economics is to show the sense in which, and the conditions under which Smith’s conclusion is correct. It turns out that these conditions are highly restrictive. Indeed, more recent advances in economic theory-ironically occurring precisely during the period of the most relentless pursuit of the Washington consensus policies-have shown that whenever information is imperfect and market incomplete, which is to say always, and especially in developing countries, then the invisible hand works most imperfectly. Significantly, there are desirable government interventions which, in principle, can improve upon the efficiency of the market. These restrictions on the conditions under which markets result in efficiency are important-many of the key activities of government can be understood as responses to the resulting market failure” (Joseph E. Stiglitz, op.cit hal 73-74 ). __ Oleh karenanya Pasal 33 UUD 1945 sebagai konstitusi ekonomi Indonesia yang membentuk paradigma negara kesejahteraan ( Kita tidak menyebut paradigma sosialis, untuk menghindari kesan kembali mempertahankan kebijakan ekonomi yang dianut negara-negara komunisme dalam masa perang dingin, yang secara mutlak telah mengalami kekalahan dari sistem kapitalisme) , dengan tafsir mutakhir yang dilakukan Mahkamah Konstitusi, kami yakini dapat diterapkan di Indonesia, dengan memperhatikan tingkat perkembangan kondisi sosial, kultural dan ekonomi dari Negara dan bangsa Indonesia. Dalam menata dan melaksanakan tugasnya dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang didasarkan pada UUD 1945, kami melihat bahwa pemerintah pusat dan lokal dalam tugas pokoknya untuk menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, ekonomi, dan pembangunan yang effektif dan effisien untuk mendukung terwujudnya Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 124 perekonomian nasional yang berfihak pada ekonomi kerakyatan, yang merata, mandiri, handal, berkeadilan dan mampu bersaing dikancah perekonomian Internasional harus dapat memperhatikan paradigma negara kesejahteraan ( welfare state). Pembentukan OJK hemat kami sesuai dengan konsep pengawasan dan intervensi yang dibutuhkan untuk melindungi rakyat dan perekonomian Indonesia dari praktik di bidang jasa keuangan yang merugikan perekonomian masyarakat dan negara, karena sebagai lembaga negara yang independen, OJK adalah bagian dari organ negara, yang memenuhi syarat dalam tugas pengawasan dan pengaturan lembaga jasa keuangan, yang didalilkan Pemohon bertentangan dengan UUD 1945. Justru dia menjadi bagian dari campur tangan negara untuk mengawasi dan mengatur jasa keuangan di Indonesia, dengan cara yang independen dan dibebaskan dari benturan kepentingan yang mungkin terjadi, yang menjadi amanat Pasal 33 UUD 1945 dan Pembukaan UUD 1945, sebagaimana telah ditasfirkan oleh Mahkamah Konstitusi; Sekali lagi kami memohon kehati-hatian Majelis yang Mulia Hakim MK, suatu putusan yang meniadakan lembaga OJK seperti yang terjadi pada BP Migas, membawa akibat yang sangat berbeda, karena akan menghilangkan kepastian hukum, kepercayaan investor asing, yang akan terdorong untuk menarik dana besar mereka secara mendadak, sehingga dapat menimbulkan panik dan kekacauan secara berantai, yang boleh menjadi krisis ekonomi; Kesimpulan 1. Pemohon tidak mempunyai dasar legal standing yang memadai untuk memohon pengujian UU OJK;
Karena keterkaitan ekonomi global dengan ekonomi Indonesia, maka Putusan MK, sekalipun hanya menghentikan untuk sementara kegiatan OJK, justru dapat menimbulkan krisis ekonomi di Indonesia;
UU OJK tidak melanggar constitutional boundary Dalam UUD 1945;
Dr. Zainal Arifin Moechtar, S.H., LL.M Pada dasarnya, pengujian atas UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (lebih lanjut disebut UU OJK) dilakukan oleh karena Pemohon menganggap bahwa; Pertama , OJK ini bukanlah lembaga yang sah secara konstitusional dan karenanya tidak dapat disematkan sifat keindependenan padanya. Kedua , OJK telah mengambil alih peran dan fungsi Bank Indonesia, padahal menurut Pemohon, hanya Bank Indonesia-lah yang memiliki sifat-sifat Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 125 sebagai bank sentral dengan segala tugas dan fungsinya sehingga tidaklah tepat jika OJK diperbolehkan untuk memiliki fungsi menyelenggarakan sistem pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana yang dimaksud di dalam UU OJK. Ketiga , pembentukan OJK menimbulkan banyak kerugian oleh karena OJK mengadakan pungutan terhadap perusahaan sektor jasa keuangan yang dijadikan sumber pendanaan OJK. Karena ini berarti entitas yang diawasi malah menjadi sumber dana dan akan mengganggu independensi OJK, khususnya OJK akan lebih memperhatikan industri jasa dan keuangan dibanding kepentingan publik; Dalam kapasitas sebagai ahli dan untuk merespon permohonan Pemohon tersebut, akan menjelaskan hal-hal sebagai berikut; Pertama, seperti apa sesungguhnya lembaga negara independen secara teoritik dan praktik. Kedua, makna relasi OJK dengan lembaga bank sentral; Ketiga, pungutan yang dilakukan terhadap jasa keuangan apakah dengan serta merta dapat dianggap melanggar prinsip Pasal 23A UUD 1945; Dalam kapasitas sebagai ahli dengan menyatakan sebagai berikut; Perihal Independensi OJK dan Lembaga Negara Independen Tentu saja tak dapat dimungkiri bahwa OJK adalah lembaga negara independen sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 angka 1, UU OJK itu sendiri. Dapat digolongkan sebagai lembaga negara oleh karena merupakan lembaga yang dibentuk oleh negara dan dalam rangka menjalankan tugas negara di sektor pengawasan terhadap perbankan. Kemudian, diberikan sifat independen oleh karena diharapkan bebas dari campur tangan pihak lain. Oleh karena itu, OJK kemudian dijadikan lembaga negara yang bersifat independen; Lembaga negara independen seringkali diterjemahkan menjadi lembaga negara tersendiri yang terpisah dari cabang kekuasaan yang lainnya. Lembaga yang menjadi independen atas lembaga negara lainnya dan menjalankan fungsi- fungsi tertentu secara permanen (state independent agencies) , maupun yang hanya bersifat menunjang (state auxiliary agencies) , sehingga padanya disematkan kewenangan kelembagaan kuat untuk menjalankan fungsi campuran antara regulatif, administratif, pengawasan, dan fungsi penegakan hukumnya ( Lihat: Jimly Ashiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara , Rajawali Pers, Jakarta, 2009, halaman 338-339 _); _ Bahwa menurut Milakovich dan Gordon, komisi negara independen pada Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 126 hakikatnya memiliki karakter kepemimpinan yang bersifat kolegial, sehingga keputusan-keputusannya diambil secara kolektif. Selain itu, anggota atau para komisioner lembaga ini tidak melayani apa yang menjadi keinginan presiden sebagaimana jabatan yang dipilih oleh presiden lainnya ( Michael E.Milakovich, dan George J. Gordon , Public Administration in America , Seventh Edition, USA, Wadsworth and Thomson Learning, 2001 ). Perihal independen ini, Funk dan Seamon menjelaskannya dalam arti anggota bebas dari kontrol presiden, walaupun independensi itu sifatnya relatif, tidak mutlak ( William F Funk and Seamon, 2001 Administrative Law, Examples and Explanations , Aspen Law and Bussiness, New York _); _ Di samping itu, periode jabatannya bersifat ”staggered ”. Artinya, setiap tahun setiap komisioner berganti secara bertahap dan oleh karena itu, seorang presiden tidak bisa menguasai secara penuh kepemimpinan lembaga-lembaga terkait, karena periodesasi jabatan komisioner tidak mengikuti periodesasi politik kepresidenan. Demikian juga perihal jumlah anggota atau komisioner ini bersifat ganjil dan keputusan diambil secara majoritas suara. Selain itu, keanggotaan lembaga ini biasanya menjaga keseimbangan perwakilan yang bersifat partisan ( ibid). Dengan karakter seperti di atas, maka komisi independen relatif memiliki posisi yang leluasa dalam melakukan fungsinya karena tidak berada di bawah kontrol kekuasaan manapun secara mutlak; Ditambahkan Gordon dan Milakovich, perihal nomenklatur kelembagaan bisa ditarik dalam kesimpulan penggunaan istilah regulatory agencies merujuk kepada semua jenis dependent and independent regulatory boards , commissions, law enforcemen agencies dan executive department yang memiliki kewenangan pengaturan (Op.Cit Gordon and Milakovich). __ Lebih lanjut dijelaskan bahwa: The term of regulatory agencies will refer to a regulatory bodies headed by single individual (most commonly a director); a regulatory commissions is headed by group of commissioners (or sometimes, board member) and both regulatory bodies will refer to both kinds of structures (ibid) . Dikatakan, sebagai pembedaan yang akan menunjukkan perbedaan type of regulators, in their _operational as well as their formal structures (ibid); _ Masih dalam hal yang sama, Funk dan Seamon menjelaskan secara lebih rinci bahwa karakteristik lembaga independen ini adalah, Pertama , dikepalai oleh multi-member groups, yang berbeda dari yang mengepalai agency . Kedua , tidak Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 127 boleh dikuasai secara simple majority oleh partai tertentu, yang artinya bebas dari penguasaan partai tertentu. Ketiga , para komisionernya punya masa jabatan yang fixed dengan cara berjenjang ( staggered terms ), yang artinya mereka tidak berhenti secara bersamaan. Keempat , para anggota hanya bisa diberhentikan dari jabatan menurut apa yang ditentukan di dalam dalam aturan dan tidak dengan cara yang ditentukan oleh Presiden seperti di lembaga eksekutif ( Op.Cit., Funk dan Seamon _); _ Sementara itu, Michael R. Asimov, komisi negara disebutnya sebagai administrative agencies dengan pengertian sebagai units of government created by statute to carry out specific tasks in implementing the statute. Most administrative agencies fall in the executive branch, but some important agencies are independent ( Michael R. Asimov 2002, Administrative Law , Chicago: The BarBri Group ) . Mengenai watak dari sebuah komisi, apakah tergantung pada satu cabang kekuasaan tertentu, atau bersifat independen, Asimov melihatmya dari segi mekanisme pengangkatan dan pemberhentian anggota komisi negara tersebut. Menurutnya, pemberhentian anggota komisi negara independen hanya dapat dilakukan berdasarkan sebab-sebab yang diatur dalam Undang-Undang pembentukan komisi bersangkutan. Sedangkan anggota komisi negara biasa, sewaktu-waktu diberhentikan oleh presiden, melalui mekanisme pengaturan yang dimiliki presiden ( _bid); _ Sementara William F. Fox, Jr mengemukakan bahwa komisi negara adalah bersifat independen apabila dinyatakan secara tegas di dalam undang-undang komisi bersangkutan, yang dibuat oleh Congress . Atau, bilamana terdapat pembatasan kewenangan presiden untuk tidak bisa secara bebas memutuskan ( discretionary decision ) pemberhentian pimpinan komisi negara tersebut ( William F. Fox, Jr., Understanding Administrative Law , Danvers: Lexis Publishing, 2000 _); _ Sebuah komisi negara independen adalah lembaga publik yang memiliki independensi, otonomi dan kompetensi pengaturan dalam menjalankan ruang publik yang sensitif, seperti perlindungan persaingan, supervisi capital market , dan pengaturan pelayanan kepentingan ekonomi secara umum . Keberadaan komisi negara independen ini, dijustifikasi oleh adanya kompleksitas pengaturan hal-hal tertentu, serta tugas-tugas yang bersifat supervisory dan sangat membutuhkan keahlian khusus. Kebutuhan untuk Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 128 implementasi secara cepat kewenangan publik di sektor tertentu dan juga bebas dari campur tangan politik dalam pelaksanaan tugas. Bahwa dari berbagai pengertian tersebut, OJK menemukan fungsi independennya secara sangat kuat. Pertama, oleh karena adanya kepentingan dan tugas tertentu yang diinginkan negara untuk dijalankan secara lebih independen dan bebas dari campur tangan mana pun menjadi. Khususnya mengenai kepentingan untuk melakukan pengawasan perbankan secara independen. Dan oleh karena adanya kebutuhan untuk melakukan pengasan secara lebin independen itulah maka UU Bank Indonesia sendiri telah mengamanatkan dibentuknya lembaga tersendiri yang independen dalam melakukan pengawasan sektor jasa keuangan; Kedua , OJK telah memiliki hampir semua ciri keindependenan yang dimaksudkan sebagai ciri penegas dari keindependenan suatu lembaga negara independen. Tentu saja tidak semua, apalagi memang tidak satupun lembaga negara independen di Indonesia yang mengikuti berbagai ciri teoritik untuk lembaga negara independen tersebut. Misalnya soal pergantian yang berjenjang ( staggered terms ). Sampai saat ini, tidak satupun lembaga negara independen yang memiliki sifat pergantian berjenjang. Lagipula, kepentingan pergantian berjenjang adalah untuk mengecilkan kemungkinan penguasaan suatu lembaga negara independen oleh partai politik tertentu. Tetapi selebihnya, OJK dapat dikatakan menjalankan penuh sifat-sifat keindependenan sebagaimana ciri teoritik; Ketiga , haruslah diingat bahwa keindependenan dapat diukur kepentingan konstitusionalnya melalui fungsi yang ingin dikerjakan. Jika ada suatu tugas yang negara ingin lakukan, sangat penting, serta adanya kemungkinan conflict of interest dengan kepentingan Pemerintah, maka disitulah lahir kepentingan konstitusional untuk mengindependenkan tugas tersebut ke suatu lembaga tersendiri dengan harapan tidak akan dipengaruhi oleh cabang kekuasaan manapun. Bank Indonesia dan OJK Perihal OJK telah mengambil alih peran dan fungsi Bank Indonesia, memang merupakan hal yang menarik. Sesungguhnya harus diingat beberapa hal yang melatari lahirnya UU Bank Indonesia yang mencantumkan pemisahannya dari Bank Indonesia. Salah satunya krisis yang terjadi di tahun 1997-1998, dan menimbulkan kesimpulan kala itu bahwa terjadi ketidakefektifan pengawasan yang dilakukan oleh Bank Indonesia. Oleh karenanya, dipisahkanlah fungsi regulasi dan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 129 pengawasannya. Pemisahan ini tentunya adalah open legal policy pembentuk Undang-Undang yang melihat adanya persoalan pengawasan perbankan. Karenanya, pembentukan OJK adalah bagian dari ijtihan negara untuk melakukan perbaikan sektor pengawasan jasa keuangan; Kedua , perihal makna terintegrasi. Makna kata terintegrasi secara hukum tidaklah dapat dikatakan bahwa terintegrasi itu haruslah dipegang oleh satu lembaga saja. Terintegrasi tentu saja bermakna dapatjuga dilakukan oleh multi-pihak, sepanjang dilakukan secara terkordinatif dengan relasi yang baik dan jelas. Sekedar mencontohkan, integrated criminal justice system menjelaskan bahwa sistem penegakan hukum pidana yang terintegrasi tidaklah berarti hanya harus ada satu lembaga yang mengerjakan penegakan hukum pidana. Tetapi dapat juga dengan beberapa lembaga yang diupayakan terformat secara terintegrasi. Inilah yang dapat dilihat dalam relasi antara Bank Indonesia dan OJK dalam pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan. Tidaklah harus dilakukan oleh satu lembaga saja, tetapi dapat juga dengan multi-pihak. Disinilah peran pembentuk Undang- Undang untuk merumuskan legal policy apa yang akan diambil dalam artian menjelaskan sistem perekonomian yang terintegrasi tersebut. Masih perihal terintegrasi tentunya tidak dapat diterjemahkan sebagai membiarkan adanya campur tangan satu pihak atas pihak yang lain sehingga mengganggu independensi. Terintegrasi memiliki makna kuat termasuk saling kontrol. Seperti layaknya suatu _checks and balances system; _ Karenanya, seharusnya dibalik logikanya bahwa dengan kehadiran OJK bukanlah memperlemah fungsi bank sentral yang sesungguhnya yakni memelihara kestabilan nilai rupiah dengan melaksanakan kebijakan moneter yang berkelanjutan, konsisten, transparan dan mempertimbangkan kebijakan umum pemerintah dalam bidang perekonomian. Dalam tugas tersebut, OJK sangat berfungsi untuk membantu kebijakan secara keseluruhan dalam kaitan menjaga sistem perekonomian nasional yang dikerjakan oleh Pemerintah, OJK, maupun Lembaga Penjamin Simpanan yang memang penting untuk saling bahu-membahu menjaga kestabilan perekonomian nasional; Perihal Pungutan OJK Pada dasarnya, Pasal 34 ayat (2), Pasal 37 ayat (1) s.d. ayat (6) serta penjelasannya mengatur bahwa anggaran OJK bersumber dari APBN dan/atau pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. Dan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 130 kemudian juga diatur bahwa yang dimaksud dengan pungutan antara lain adalah pungutan untuk biaya perizinan, persetujuan, pendaftaran, dan pengesahan, biaya pengaturan, pengawasan, pemeriksaan serta penelitian dan transaksi perdagangan efek; Aturan ini bermakna banyak. Pertama , pendanaan OJK sesungguhnya dapat dilakukan dengan hanya menggunakan APBN. Dapat juga hanya menggunakan pungutan. Dapan juga dengan menggunakan keduanya. Hal yang sebagai konsekuensi dari penggunaan kata “dan/atau” dalam aturan sebagaimana yang dimaksud di atas. Hanya dibebankan ke APBN tentu tidak tepat oleh karena memang ada pungutan yang seharusnya dibayarkan oleh pihak yang berkepentingan seperti yang diatur di atas. Hanya menggunakan pungutan juga tidak mungkin oleh karena OJK harus beroperasi dari awal dan belum memiliki pendanaan. Maka yang paling mungkin adalah dengan menggabungkan kemungkinan keduanya digunakan. Oleh karena itulah hadir kata “dan/atau”; Kedua , tidaklah dapat dikatakan dengan serta merta bahwa dengan pungutan ini akan mengganggu independensi. Mencontohkan biaya-biaya persidangan perkara yang diatur di Mahkamah Agung dan peradilan di bawahnya. Hal tersebut diatur dalam Perma Nomor 3 Tahun 2012. Dalam Perma tersebut diatur secara jelas perihal biaya-biaya yang dimaksudkan untuk membayar kepentingan pencari keadilan khususnya untuk membiayai kepaniteraan; proses peradilan itu sendiri dan biaya pemberkasan. Bahkan diatur biaya penyelesaian perkara yang berkisar antara Rp. 250.000-Rp. 10.000.000,- Dan kemudian diatur disesuaikan dengan keadaan pengadilan setempat tersebut. Bahkan di beberapa pengadilan, jika ada yang tidak mampu membayar dengan membuktikan bahwa ia benar-benar tidak mampu membayar karena termasuk golongan miskin, maka pengadilan dapat membebaskan dari biaya perkara tersebut; Artinya, pada dasarnya tidaklah dapat dikatakan melakukan pembayaran untuk mengurus biaya perkara dalam proses peradilan dapat mengganggu independensi lembaga tersebut dalam menegakkan keadilan. Sepanjang, hal tersebit diatur dengan jelas dan terang sehingga tidak ada lagi biaya-biaya lain selain dari biaya yang diatur dalam peraturan yang mendasarinya. Hal yang sama dapat dilihat ke konteks OJK. Bahwa sesungguhnya apa yang dibayarkan oleh asa keuangan merupakan bagian dari yang tidak dapat dikatakan akan mengganggu independensi OJK dalam melaksanakan tugas. Hal tersebut bagian dari biaya Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 131 yang harus dibayarkan oleh pelaku jasa keuangan untuk membiayai proses yang dikerjakan OJK. Tentu tidak mengganggu independensi OJK sepanjang ditetapkan melalui biaya yang sudah diatur dengan detail, bahkan diguanakan untuk pembiayaan apa saja serta yang paling penting adalah transparansi penggunaannya; Ketiga , perihal pungutan ini melanggar ketentuan UUD 1945 terkhusus Pasal 23A yang menyatakan “pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang” , sesungguhnya tidak serta merta dapat dikatakan melanggar. Apalagi, aturan mengenai pajak dan pungutan bersifat memaksa di negara ini tidaklah diatur secara terkodifikasi dalam satu Undang- Undang yang khusus mengenai pajak dan pungutan bersifat memaksa. Jika dikatakan bahwa harus dengan Undang-Undang tersendiri juga akan sangat repot karena harus membuat begitu banyak Undang-Undang khusus dan tersendiri yang mengatur soal pungutan. Termasuk Undang-Undang khusus pungutan OJK maupun Mahkamah Agung, serta seluruh lembaga-lembaga lainnya yang menggunakan pungutan ataupun pajak; Karenanya, pengaturan lebih lanjut dengan menggunakan aturan pelaksana dari Undang-Undang yang membolehkan pungutan secara praktik masih dapat diterima dan menjadi open legal policy dalam besaran jumlah pungutan sepanjang, -mengutip Putusan MK No. 26/PUU-VII/2009 tentang sifat open legal policy , yakni sepanjang isinya tidak melanggar moralitas, rasionalitas dan ketidakadilan yang intolerable (tidak dapat ditoleransi). Maka sepanjang pungutan tersebut tidak melanggar moralitas, masih rasional jumlahnya serta tidak menimbulkan ketidakdilan, maka masih dapat dibenarkan. Meskipun pada saat yang sama harus memperhatikan kondisi dari pihak yang dipunguti biaya tersebut. Seperti yang diatur dalam Perma untuk biaya perkara maupun Peraturan OJK untuk pungutan atas jasa keuangan; Keempat , jikalaupun dianggap melanggar prinsip Pasal 23A UUD 1945 yang mengamatkan harus diatur dalam Undang-Undang tersendiri, maka harus dapat dilakukan dengan mengupayakan adanya kodifikasi atas keseluruhan pajak dan pungutan bersifat memaksa lainnya. Atau sekurang-kurangnya semua pungutan yang terjadi di MA, LPS, Pemerintah melalui PNBP, maupun OJK dan berbagai lembaga lain haruslah dibuatkan Undang-Undang nya masing-masing. Hal yang tentu mustahil karena mengingat kompleksitas soal hal tersebut; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 132 5. Prof. Erman Rajagukguk, S.H., LL.M., PH.D Pertanyaan yang mendasar adalah, apakah Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37 dan frasa “… tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan...” dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), Pasal 23A dan Pasal 34D Undang-Undang Dasar 1945 ? Dengan perkataan lain pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut:
Apakah filosofi pemisahan kewenangan stabilitas moneter dan pengawasan perbankan? 2. Apakah filosofi penggabungan pengawasan perbankan dan lembaga keuangan non-bank? 3. Apakah artinya independensi dan bebas dari campur tangan pihak lain dalam kelembagaan OJK? 4. Bagaimanakah hubungan kelembagaan antara Pemerintah dalam hal ini Departemen Keuangan, Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam sistem perekonomian Indonesia? 5. Apakah filosofi pembiayaan OJK dilakukan dengan pungutan dari para pelaku pasar? Pendapat Hukum ahli atas pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas adalah sebagai berikut ini: Filosofi pemisahan kewenangan menjaga stabilitas moneter dan pengawasan perbankan adalah agar keseluruhan kegiatan jasa keuangan di dalam sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang berkelanjutan dan stabil, mampu melindungi kepentingan konsumen atau masyarakat. Hal ini juga merupakan amanat Pasal 34 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang telah memperkirakan perkembangan transaksi sektor jasa keuangan yang tidak bisa dilakukan secara partial, namun harus secara terintegrasi dari berbagai sub sektor jasa keuangan; Filosofi penggabungan pengawasan perbankan dan lembaga keuangan non-bank adalah untuk melindungi kepentingan konsumen atau masyarakat. OJK sebagai otoritas yang melaksanakan fungsi pengaturan dan pengawasan di sektor jasa Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 133 keuangan harus memiliki independensi didalam melaksanakan tugasnya. Hal ini disebabkan OJK mengawasi kegiatan jasa keuangan dan transaksi keuangan oleh entititas bisnis yang dapat berpotensi terjadinya benturan kepentingan serta berpotensi pula mempengaruhi pihak-pihak tertentu, termasuk pihak Pemerintah. Terjadinya proses globalisasi dalam sistem keuangan dan pesatnya kemajuan di bidang teknologi dan informasi serta inovasi finansial telah menciptakan sistem keuangan yang sangat kompleks, dinamis dan saling terkait antar masing-masing sub sektor keuangan baik dalam hal produk maupun kelembagaan. Disamping itu adanya lembaga keuangan yang memiliki hubungan kepemilikan di berbagai sub sektor keuangan (konglomerasi) telah menambah kompleksitas transaksi dan interaksi antara lembaga-lembaga keuangan seperti bank, perusahaan- perusahaan yang go publik (sektor Pasar Modal), Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya; Independensi dan bebas dari campur tangan pihak lain dalam kelembagaan OJK tidak berarti independensi secara mutlak. Independensi tersebut harus diimbangi dengan check and balance , artinya bukan lembaga yang memiliki kebebasan yang tidak terbatas. Independensi dalam arti mengatur sendiri ( self-regulatory bodies ) seperti komisi lain yang ada: Komisi Penyiaran Indonesia, Komisi Pemilihan Umum, dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Independensi OJK artinya juga bahwa OJK tidak berada dibawah otoritas lain atau tidak menjadi bagian dari Pemerintah. Namun OJK tetap wajib menyusun laporan kegiatan secara berkala dan melaporkannya kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan OJK harus tetap memberikan laporan keuangan tahunannya serta diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau Kantor Akuntan Publik yang ditunjuk oleh BPK. Selanjutnya OJK wajib mengumumkan laporan keuangan tersebut kepada publik melalui media cetak dan media elektronik; Dalam hal OJK mengidentifikasikan bank tertentu mengalami kesulitan likuiditas dan/atau kondisi kesehatan bank tersebut memburuk, maka OJK dapat mengajukan ke Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK) untuk segera dilakukan rapat guna memutuskan langkah-langkah pencegahan atau penanganan krisis. Anggota FKSSK yaitu Menteri Keuangan, Bank Indonesia, OJK dan LPS melakukan pertukaran informasi terkait dengan tugas dan fungsi dari masing-masing lembaga; Filosofi pembiayaan OJK yang berasal dari APBN dan/atau pelaku pasar adalah Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 134 sebagai pembiayaan bagi OJK karena bertugas mengatur dan mengawasi kegiatan jasa keuangan disektor perbankan, Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan dan Lembaga Jasa Keuangan lainnya, dimana pelaku pasar juga akan memperoleh manfaat dari jasa pengawasan yang dilakukan oleh OJK; Berdasarkan uraian saya tersebut di atas, maka Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37 dan frasa “… tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan …” dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan tidak bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), Pasal 23A dan Pasal 34D Undang- Undang Dasar 1945; Menurut Pendapat Hukum saya, apabila permohonan Pemohon dikabulkan mengembalikan semua kegiatan pengawasan perbankan kembali ke Bank Indonesia; tidak semudah membalikkan telapak tangan dan membawa implikasi yang besar dalam sektor jasa keuangan; Akan tetapi pengembalian kewenangan pengawasan perbankan tersebut membutuhkan pengaturan baru yang memakan waktu yang panjang sehingga terjadi kekosongan hukum yang mengakibatkan ketidakpastian hukum. Ketidakpastian hukum akan menyebabkan investor-investor melepaskan surat- surat berharga yang dimiliknya, hal ini dapat menyebabkan penjualan surat-surat berharga yang dimiliki oleh investor karena harganya yang akan terus merosot akibat adanya ketidakpastian hukum. Keadaan tersebut akan mempengaruhi kondisi fiskal perekonomian negara dikarenakan ABPN yang masih dalam keadaan defisit membutuhkan alternatif pembiayaan untuk menutupi defisit dimaksud dengan menerbitkan surat berharga negara, namun nilai surat berharga dimaksud menjadi berkurang, tidak laku dan pemerintah dapat mengalami keadaan default dalam arti pinjaman menjadi tidak terbayarkan dan defisit tidak dapat ditutup; Hal tersebut akan mengakibatkan krisis keuangan dan perekonomian yang pada akhirnya dapat menyebabkan krisis pemerintahan; Dengan perkataan lain, tindakan hukum yang demikian yaitu mengembalikan fungsi pengawasan perbankan akan membawa akibat negatif bagi ekonomi bangsa; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 135 6. Dr. Sihabudin, S.H., M.H I. Analisis Umum Ketentuan mengenai keuangan negara pertama kali diatur di dalam Konstitusi sejak 18 Agustus 1945 oleh BPUPKI. Namun belum ada satupun pasal yang membahas mengenai kedudukan apalagi kewenangan dari Bank Sentral maupun Bank Indonesia. Pada Pasal 23 UUD 1945 pada saat itu hanya berisi lima pasal mengenai APBN, perpajakan, mata uang, dan pembentukan lembaga tinggi Negara BPK-RI (Badan Pemeriksa Keuangan). Pada Konstitusi RIS Bab IV mengenai Pemerintahan Pasal 165 mulai mengatur mengenai BANK SIRKULASI yang diatur dalam undang-undang Federal dan hanya dibentuk satu di ibukota negara. Kemudian pada masa pemberlakuan UUDS 1950 pengaturan mengenai bank sentral mulai diatur pada Pasal 109 ayat (4) dan Pasal 110 , meski masih menggunakan nama BANK SIRKULASI ; Bank Indonesia mulai diberikan independensi dan diakui secara konstitusional sebagaimana hasil amandemen UUD 1945 pada era reformasi dan disahkannya UU Nomor. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Dalam Undang- Undang tersebut berisi penegasan BI sebagai bank sentral yang independen dan bebas dari campur tangan pemerintah maupun pihak lain. BI diberikan kewenangan pemberian izin usaha bank, pembinaan dan pengawasan perbankan, meski muncul perdebatan di MPR yang meminta fungsi pengawasan bank dialihkan pada lembaga terpisah dari BI (yang dalam UU BI disebut LPJK), sedangkan kewenangan perizinan dan pengaturan masih tetap di bawah BI, dan permintaan itu dikabulkan. Hal tersebut dalam pembahasan amandemen kedua UUD 1945 (6 Desember 1999) menjadi perdebatan anggota MPR, dimana saya kutip salah satu pendapat dari Jubir F-KB, Abdul Khaliq Ahmad: “sebagai Bank Sentral, BI memiliki kewenangan di bidang penetapan dan pelaksanaan kebijakan moneter. BI juga mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran serta pengaturan dan pengawasan bank. Dengan demikian, kedudukan BI akan menjadi lembaga tinggi Negara sederajat dengan lembaga-lembaga tinggi negara yang sudah ada.. Oleh karena itu dengan dimasukkannya pengaturan tentang BI dalam UUD, independensi BI sebagai Bank Sentral diharapkan akan semakin kukuh dan bebas dari intervensi kekuatan lain. Merebaknya kasus-kasus besar perbankan akhir- akhir ini makin menyadarkan kita bahwa saatnya sekarang meningkatkan kinerja BI dengan pengaturannya secara eksplisit dalam UUD”. Seiring dengan terjadinya proses globalisasi dalam sistem keuangan dan pesatnya kemajuan di bidang teknologi informasi dan inovasi finansial, Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 136 menciptakan sistem keuangan yang kompleks, dinamis dan saling terkait antar masing-masing subsektor keuangan baik dalam hal produk maupun kelembagaan. Di samping itu, adanya lembaga keuangan yang memiliki hubungan kepemilikan di berbagai subsektor keuangan atau yang disebut konglomerasi keuangan menambah kompleksitas transaksi dan interaksi antar lembaga keuangan dalam sistem keuangan. Hal tersebut yang menyebabkan perlunya untuk membentuk lembaga baru agar keseluruhan pengawasan kegiatan keuangan dapat terintegrasi, meski dalam permohonan disebutkan kebutuhan membentuk OJK adalah karena desakan ekonomis dari IMF terhadap pemerintah Indonesia yang disebabkan BI dianggap gagal fungsi; Dasar pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK):
Landasan yuridis: Pasal 34 UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, yang mengamanatkan pembentukan lembaga pengawas sektor keuangan yang mencakup perbankan, lembaga keunagan non bank, perusahaan pembiayaan dan badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat;
Landasan filsafati: pemenuhan prinsip-prinsip good governance dengan menciptakan spesialisasi dalam pengawasan, pengembangan metode pengawasan yang tepat serta mengurangi luasnya rentang kendali pengawasan agar dalam pengambilan keputusan menjadi efisien dan efektif;
Landasan sosiologis: peran pengaturan dan pengawasan yang dilakukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) harus diarahkan untuk menciptakan efisiensi, persaingan yang sehat, perlindungan konsumen, dan memelihara mekanisme pasar yang sehat melalui prinsip kesetaraan ( level playing field ); II. ANALISIS BUTIR-BUTIR PERMOHONAN 1. Mengenai kedudukan hukum atau legal standing Pemohon, sesuai ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi yang menyatakan: “ Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang ”. Dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi berbeda dengan hukum acara yang dikenal dan diberlakukan dalam praktik peradilan umum, karena hukum acara Mahkamah Konsitusi mengandung kekhususan-kekhusuan tertentu yang tidak ditemukan dalam praktik di peradilan umum. Salah satu kekhususan dalam hukum acara Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 137 Mahkamah Konstitusi, adalah adanya syarat kerugian konstitusional bagi Pemohon yang mengajukan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 45. Dalam pikiran saya, konsep kerugian pada dasarnya adalah domain hukum perdata ( private law ), bukan domain hukum konstitusi. Jika dalam hukum perdata kerugian dimaknai sebagai hilang atau terganggunya hak-hak perdata seseorang yang diakibatkan oleh perbuatan orang lain yang melanggar hak tersebut atau yang melawan hukum. Sedangkan dalam hukum konstitusi Pertama , adanya hak konstitusional yang bersangkutan yang diberikan oleh UUD 45, Kedua , hak konstitusional tersebut dianggap oleh yang bersangkutan telah dirugikan oleh Undang-Undang yang dimohonkan pengujian. Ketiga , kerugian konstitusional tersebut bersifat khusus dan aktual atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi. Keempat , adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian tersebut dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji. Terakhir, adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Walaupun sekilas tampak bahwa ‘penganuliran’ terhadap pasal atau materi tertentu dari suatu undang-undang merupakan remedy terhadap kerugian konstitusional yang terjadi sebagai akibat dari berlakunya pasal atau materi tertentu dari Undang-Undang tersebut, sesungguhnya ‘penganuliran’ tersebut bukanlah akibat langsung dari adanya kerugian konstitusional tersebut, melainkan akibat dari adanya pertentangan antara pasal atau materi tertentu dari undang-undang tersebut dengan UUD 45 [lihat Pasal 57 ayat (1)] Jika secara perdata, ada atau tidaknya kepentingan tersebut dapat dibuktikan secara formil berdasarkan, salah satunya, ada atau tidaknya hubungan hukum, maka bagaimana membuktikan adanya ‘kepentingan’ dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi. Dapat disimpulkan bahwa pemohon dapat dikatakan memenuhi legal standing dalam permohonan tersebut, meski masih menimbulkan multi tafsir dalam pemaknaan kerugian secara konstitusional. Dalam permohonan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 138 tersebut para penggugat juga belum menunjukkan secara jelas apa kerugian konstitusional yang mereka dapatkan, apakah unsur “kepentingan” sudah dianggap mewakili? Sehingga Pemohon hanya menjabarkan hak konstitusional yang belum sesuai dengan alasan mereka mengajukan permohonan (seperti: membayar pajak, pemberi aspirasi, kedudukan dalam hukum dan apa dasar OJK disebut melakukan pemborosan sehingga mereka mengalami kerugian secara konstitusional).
Pada angka 24 tidak perlu menyebutkan Undang-undang nomor 13 tahun 1968 khususnya di Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) mengenai kewenangan Pemerintah dan Dewan Moneter yang sudah dihapuskan sejak Undang- Undang tersebut dicabut dan digantikan dengan UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang BI. Sehingga tidak tepat apabila angka 24 dijadikan landasan yuridis permohonan oleh pemohon terhadap UU OJK;
Pada angka 25, memang dibentuknya OJK dalam rangka mengurangi tugas BI dan agar terjadinya distribusi tanggung jawab yang seimbang. BI sebagai Pembina jangan sekaligus menjadi pengawas. Harapannya Bank Sentral berfungsi sebagai lembaga moneter, sehingga terhindar konflik interest;
Pada angka 31, Pemohon menggunakan istilah “perkawinan” untuk memaknai konglomerasi keuangan, sehingga dalam legal drafter hal ini menyalahi interpretasi gramatikal. Pada butir ini juga menjelaskan mengenai unit link dan penggabungan produk bank dengan asuransi dan produk lembaga keuangan lain yang dikatakan belum ada dalam UU Asuransi dan RUU nya. Padahal terkait hal ini, perbankan diberikan kebebasan dengan membentuk self regulation terkait produknya akibat konglomerasi keuangan yang disebut bancassurance dan ini juga dasar dibentuknya UU OJK bukan sebaliknya. Pada ketentuan peralihan sudah diatur bahwa ‘saat OJK terbentuk, tugas dan wewenang Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam UU tentang Usaha Perasuransian menjadi tugas dan wewenang OJK, jadi hal ini secara legalitas telah memberikan peralihan kewenangan kepada OJK terkait usaha asuransi;
Pada angka 32, angka 38 dan angka 39, dikatakan secara konstitusional, cantolan OJK tidak jelas di UUD 1945 dan berasal dari turunan yang asimetris. Dalam UUD 1945, khususnya pada pasal 23D mengatur mengenai bank sentral yang tidak secara khusus menyebutkan BI atau OJK. Bunyi Pasal 23D, Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 139 “ Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab dan independensinya diatur dengan undang-undang ”. Tidak ada kata “bank Indonesia” yang awalnya diperdebatkan dimasukkan atau cukup menggunakan kata “bank sentral”, dengan ketakutan apabila menggunakan langsung “bank Indonesia” apabila lembaga ini “sakit” akan terganggu kestabilan bank sentral. Jadi Pasal 23D UUD 45 memberikan kedudukan dan kewenangan bagi bank sentral yang nantinya muncul turunan dengan pengaturan di dalam UU bank sentral yang melahirkan UU Bank Indonesia. Perlu digarisbawahi juga adalah pendirian lembaga tinggi atau lembaga Negara tidak harus menggunakan konstitusi sebagai dasar pendirian atau pembentukannya, namun bisa menggunakan Undang-Undang. OJK pendiriannya didasarkan pada UU BI yang mendasarkan pada Pasal 23D UUD 1945. Mengenai OJK yang berasal dari turunan yang asimetris, yaitu OJK berdasarkan PasaL 34 UU BI hanya diberikan kewenangan untuk mengawasi perbankan mengambil alih kewenangan BI saja bukan Menkeu dan Bapepam- LK. Pasal 34 UU BI ayat (1) hanya berbunyi: Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen dan dibentuk dengan Undang-Undang . Dalam legal drafting , dalam pasal ini tidak disebutkan OJK secara langsung, tetapi karena penamaan lembaga menggunakan huruf kecil yakni “ lembaga pengawasan sector jasa keuangan ” dimaknai pembuat Undang-Undang tidak memberikan nama lembaga tertentu, sehingga penggunaan nama OJK diperkenankan. Kedua , Pasal 34 UU BI memang hanya menyebutkan bahwa pembentukan LPJK/OJK hanya untuk mengawasi bank yang awalnya kewenangan dari BI, namun di dalam penjelasan Pasal 34 UU BI ( penjelasan merupakan bagian dan satu kesatuan dengan batang tubuh sehingga tidak dapat dimaknai secara terpisah ) menjelaskan mengenai kewenangan OJK tidak hanya mengawasi bank tetapi juga mengawasi lembaga keuangan lainnya dan mengenai sifat independensi OJK.
Angka 37, munculnya mandat yuridis dalam Pasal 34 UU BI merupakan big planning dari IMF dan inspirasi dari FSA inggris ( Finantial Suoervisory Agency of United Kingdom ) yang gagal. Suatu catatan bahwa gagalnya FSA-UK bukan konsepnya yang salah, konsepnya sudah benar dan bagus, hanya persoalan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 140 menangani krisi tidak terjadi koordinasi yang baik dari pihak terkait. Perlu ditekankan bahwa Politik Hukum pembentukan OJK bukan murni dari “permintaan”, namun dari pendekatan historis, hal ini dipengaruhi keadaan politik hukum pada masa reformasi, yaitu muncul pada masa pemerintahan Presiden BJ. Habibie sebagai pengganti rezim Soeharto. BJ Habiibie yang menimba ilmu di Jerman tertarik dengan metode yang digunakan oleh Bundesanstalt fur finanzdienstleistungsaufsicht yang memiliki kewenangan mengawasi Bank, perusahaan asuransi, dan dealer sekuritas atas masukan dari Bundesbank (Bank sentral jerman) pada saat itu. Metode ini dikenal dengan metode integrated dengan pendekatan twin peaks . Ini juga bertujuan agar pengawasan berjalan efektif. Memang benar bahwa Financial supervisory authority (FSA) gagal di Inggris, namun percontohan model integrated di Indonesia meniru Jepang dan Korea Selatan, hal ini bisa dibuktikan dengan adanya dokumen kunjungan kerja delegasi pansus RUU OJK pada tanggal 31 Oktober s.d. 6 November 2010. Secara historis munculnya Pasal 34 UU BI ini sebenarnya bukan karena desakan IMF. IMF yang mempunyai anggota 168 (seratus enam puluh delapan) negara, berperan hanya memberi saran yang sifatnya umum, dan letter of intent dibuat oleh Indonesia sendiri, dan juga atas permitaan BI sejak diberikan independensi dalam UU Nomor 23 Tahun 1999.
Angka 40, perlu menjadi catatan bahwa tidak ada Undang-Undang di bidang ekonomi yang lebih kuat antara satu dengan lainnya, kecuali memiliki strata lebih tinggi ( stuffenbaw theory Hans Kelsen dan asas lex superiori derogate legi inferiori ). Namun apabila ada UU yang lebih khusus akan mengalahkan UU yang lebih umum ( lex specialis derogate legi generalis ). Perlu diingat, bahwa hirarkhi peraturan perundang-undangan di Indonesia tidak mengenal yang disebut dengan Undang-Undang Payung yang dapat dijadikan dasar secara umum bagi Undang-Undang khusus di bawahnya. Meski pernah dalam prolegnas akan dibentuk RUU tentang Demokrasi Ekonomi namun sampai sekarang masih menjadi perdebatan. Jadi antara UU Perbankan, UU Asuransi, UU Pasar Modal dan sebagainya memiliki derajat yang sama. Pasal 34 UU BI sebagai landasan yuridis BI mengawasi perbankan karena merupakan turunan dari Pasal 23D UUD 1945 namun telah memberikan kewenangannya kepada Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 141 OJK melalui UU OJK pada Pasal 6, Pasal 7 hingga ketentuan peralihan dan penjelasan sebagai satu kesatuan norma.
Angka 44, isi permohonan tersebut kurang memahami perbedaan antara makroprudensial dan mikroprudensial. Meski kewenangan BI sebagian mengenai microprudensial telah diserahkan kepada OJK melalui UU OJK, namun BI masih tetap secara konstitusional merupakan Bank Sentral Republik Indonesia berdasarkan Pasal 23D UUD 1945 dan UU Nomor 23 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2004 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 6 Tahun 2009. Sehingga dalam forum bank sentral dunia dalam hal ini Basel Committee (BI sampai sekarang bukan anggota Basel Committee namun mengikuti ketentuan Basel Committee dalam hal pengawasan mulai Basel I hingga Basel III) masih tetap dipegang Bank Indonesia sebagai pemegang kewenangan Macroprudensial sebagai Bank Sentral.
Angka 46, pada Konsideran mengingat UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK disebutkan landasan yuridisnya adalah Pasal 33 UUD 1945. Tidak tepat kalau pemohon menghubungkan dengan Pasal 33 ayat (1) karena berbeda sistem dengan OJK, namun Pemohon melupakan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 dimana ditemukan ASAS KEMANDIRIAN, dimana kemandirian diartikan sebagai independensi. Hal ini yang dapat menjadi landasan yuridis pembentukan lembaga Negara yaitu OJK yang bersifat independen sebagaimana diatur dalam batang tubuh dan penjelasan Undang-Undang ini.
Angka 51, Pemohon belum memahamii perbedaan antara stabilitas moneter dengan stabilitas sistem keuangan, dimana keduanya memiliki perbedaan yang signifikan. Stabilitas moneter yang dipegang oleh BI merupakan kestabilan mata uang untuk mengendalikan inflasi, sedangkan stabilitas sistem keuangn yang dipegang OJK merupakan stabilitas institusi dan pasar uang untuk menghindari tekanan dan pergerakan harga yang menyebabkan guncangan ekonomi (Aspach O, et al tahun 2006 dalam searching for a metric for financial stability ). Sehingga dengan adanya pemisahan antara macro dan microprudensial mengembalikan fungsi BI sebagai otoritas moneter selaku Bank Sentral di Indonesia. Menurut Jordan (2010), tujuan dari bank sentral berfokus pada instrument makroprudensial dan moneter untuk stabilitas harga sebagaimana bagan berikut : Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 142 Dapat disimpulkan bahwa kewenangan OJK tidak akan bias karena OJK berperan dalam stabilitas sistem keuangan sedangkan BI akan fokus sebagai otoritas moneter dan stabilitas moneter.
Untuk permohonan mengenai Pasal 37 UU OJK, tentang pembiayaan OJK melalui APBN dan/atau pungutan terhadap bank dan lembaga keuangan, bahwa pungutan itu dalam ilmu ekonomi merupakan hal yang wajar, dimana pungutan itu merupakan pemberian atas jasa otoritas yang telah melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap lembaga keuangan tersebut, apalagi sistem pungutan ini diatur dan ditentukan oleh Pemerintah, bukan OJK yang menentukan. Ada informasi, bahwa ada 100 (seratus) negara yang memungut biaya untuk operasional kegiatan seperti OJK ini.
Hal yang masih sumir juga adalah mengenai pertanyaan: siapa yang akan mengawasi OJK? Sebenarnya itu pertanyaan klasik, dimana siapa yang akan mengawasi lembaga pengawas? Padahal BI sempat diragukan hingga dibentuklah Badan Supervisi BI di dalam tubuh BI. Pengawasan akan tetap dilakukan yang merupakan fungsi BPK. Sebenarnya Hal pengawasan OJK sudah diatur Pasal 38 UU 21/2011. Hal ini sekaligus menjawab bahwa indepensi OJK bukan bebas sebebas-bebasnya, melainkan ada tanggung jawab dan pengawasan.
Sebagai penutup tanggapan saya adalah jika pengawasan yang sudah berjalan dilakukan oleh OJK sebagai pengawas independen dihentikan beberapa waktu saja, maka akan terjadi dampak ketidak percayaan pada lembaga-lembaga keuangan yang ada, yang berakibat terjadinya gangguan geraknya lembaga keungan dan berdampak sistemik perekonomian dan keuangan nasional. Apalagi jika Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keungan yang dibatalkan, maka akan berdampak negatif (berisiko) yang sangat besar. Microprudential Policy Capital and Liquidity Buffer Macroprudential Risk and Monetary Policy 1. __ Countercylical Capital Buffer and new instruments 2. __ Interest Rate Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 143 7. Refly Harun, S.H., LL.M 1. Sepanjang yang dapat ahli catat, Pemohon dalam permohonan ini mempersoalkan tiga hal, yaitu (1) keberadaan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai lembaga independen, (2) kewenangan OJK, dan (3) sumber keuangan OJK;
Sebelum membahas lebih jauh mengenai ketentuan yang dipersoalkan tersebut, izinkanlah ahli mengemukakan pendapat yang terkait dengan legal standing Pemohon. Menurut ahli, Pemohon tidak memiliki kerugian konstitusional yang nyata, baik aktual maupun potensial. Seharusnya yang mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang adalah lembaga atau pihak-pihak yang secara konkret merasa dirugikan dengan ketentuan a quo baik secara potensial maupun aktual. Sepanjang yang dapat ahli simak, Mahkamah terlalu longgar memberikan legal standing terhadap permohonan-permohonan seperti ini. Namun, semua itu terpulang kepada Mahkamah untuk mempertimbangkan hal tersebut. Ahli tidak dalam kapasitas untuk masuk terlalu jauh dalam persoalan ini;
Pemohon mempersoalkan kata "independen" dalam Pasal 1 angka 1 UU OJK yang berbunyi, " Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini ";
Alasannya, antara lain, frase "independen" dan "independensi" hanya dikenal oleh UUD 1945 melalui ketentuan Pasal 23D yang berbunyi, " Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan undang-undang ". Dengan demikian, menurut Pemohon, hanya bank sentral yang boleh independen;
Menurut ahli, tidak benar UUD 1945 hanya menyematkan kata "independen" kepada bank sentral. Dalam UUD 1945, kata yang maknanya setara dengan "independen" juga digunakan untuk lembaga-lembaga lain di UUD 1945, yaitu menggunakan kata "mandiri" atau "bebas" atau gabungan keduanya sebagaimana terlihat dalam pasal-pasal berikut: - Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 144 yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri [Pasal 22E ayat (5) Perubahan Ketiga]; - Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri [Pasal 23E ayat (1) Perubahan Ketiga]; - Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim [Pasal 24B ayat (1) Perubahan Ketiga].
Dilihat dari sifatnya, lembaga-lembaga negara di luar lembaga negara utama, yang kita kenal sebagai bagian dari sistem pembagian atau pemisahan kekuasaan negara (MPR, DPR, DPD, Presiden, MA, MK, dan BPK), dapat dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu Dependent Regulatory Agencies dan Independent Regulatory Boards and Commissions (Michael E. Milakovich dan George J. Gordon);
Disebut Dependent Regulatory Agencies bila lembaga yang ada merupakan bagian dari departemen atau kabinet atau struktur eksekutif lainnya, seperti Komisi Hukum Nasional (KHN), Komisi Kepolisian, dan Komisi Kejaksaan, Dewan Riset Nasional, Badan Narkotika Nasional (BNN), Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah, dan Iain-Iain;
Disebut Independent Regulatory Boards and Commissions bila lembaga yang ada memiliki ciri-ciri sebagai lembaga yang independen atau mandiri, yaitu: (Michael E. Milakovich dan George J. Gordon) - Memiliki karakter kepemimpinan yang bersifat kolegial; - Anggota atau para komisioner tidak melayani keinginan presiden sebagaimana jabatan yang dipilih oleh presiden; - Bersifat independen, relatif bebas dari kontrol presiden; - Masa jabatan komisioner biasanya definitif dan cukup panjang; - Periode jabatan bersifat " staggered '. Komisioner berganti secara bertahap sehingga presiden tidak bisa menguasai secara penuh kepemimpinan lembaga tersebut. - Jumlah komisioner bersifat ganjil dan keputusan diambil secara mayoritas suara. - Keanggotaan lembaga biasanya menjaga keseimbangan perwakilan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 145 yang bersifat partisan.
Di Indonesia sejak era Reformasi telah bermunculan banyak lembaga independen, seperti Komisi Yudisial (KY), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Komisi Informasi Pusat (KIP), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi keuangan (PPATK), dan sebagainya;
Di antara lembaga-lembaga tersebut bahkan ada yang keberadaan dan kewenangannya disebut dalam UUD 1945 secara jelas dan tegas seperti KY. Ada yang keberadaannya saja yang disebut, tetapi kewenangannya tidak jelas disebut, seperti bank sentral. Ada pula yang sebaliknya, kewenangannya disebut tetapi keberadaannya tidak disebut secara tegas, seperti KPU yang disebut dengan hurup kecil dengan frase "suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri", yang dalam praktiknya memunculnya dua lembaga, yaitu KPU dan Bawaslu;
Namun, lebih banyak lagi lembaga-lembaga independen yang baik keberadaan maupun wewenangnya tidak disebut dalam UUD 1945, seperti DKPP, KIP, Komnas HAM, dan sebagainya. OJK termasuk salah satu di antaranya;
Lembaga-lembaga independen yang tidak disebut dalam UUD 1945, baik keberadaan maupun kewenangannya, tidak bisa dikatakan inkonstitusional sepanjang tidak ada pasal-pasal dalam UUD 1945 yang dilanggar. Dalam konteks OJK, misalnya, patut dipertanyakan apakah OJK mengambil alih fungsi bank sentral sebagaimana disebut dalam Pasal 23D yang berbunyi, " Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan undang-undang ";
Perlu digarisbawahi bahwa UUD 1945 tidak menyebut secara eksplisit lembaga yang berfungsi sebagai bank sentral - dari sisi original intent ada penolakan untuk mempermanenkan Bank Indonesia dalam konstitusi. Bahkan, ketika pembahasan pasal tentang bank sentral dibahas ada suara-suara untuk membubarkan Bl dan menggantikannya dengan institusi Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 146 lain. Selain itu, UUD 1945 juga tidak mengatur kewenangan bank sentral, melainkan menyerahkannya kepada ketentuan Undang-Undang;
Merujuk pada ketentuan tentang "suatu komisi pemilihan umum" dalam Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 yang melahirkan dua lembaga dalam praktiknya, yaitu KPU dan Bawaslu, hal yang sama bukan tidak mungkin diberlakukan pula pada ketentuan "suatu bank sentral" dalam Pasal 23D UUD 1945;
Secara teoretis dan didasarkan pada putusan Mahkamah terdahulu tentang frase "suatu komisi pemilihan umum" bisa saja fungsi bank sentral dijalankan lebih dari satu lembaga. Bisa pula bank sentral tersebut tidak bernama "Bank Indonesia". Hal-hal tersebut diserahkan kepada pembentuk Undang-Undang untuk mengaturnya. UUD 1945 hanya mengamanatkan bahwa harus ada bank sentral;
Munculnya lembaga-lembaga independen dalam dunia modem adalah suatu kondisi yang tak terelakkan. Paling tidak dua hal ini menjadi pertimbangan kuat bagi munculnya lembaga-lembaga independen tersebut, yaitu (1) karena pranata yang lama sudah tidak memuaskan kinerjanya, tidak independen, bahkan terlibat korupsi-kolusi;
Karena kebutuhan akan spesialisasi dan profesionalisme sebagai akibat bertambah kompleksnya tugas yang diemban;
Terkait dengan independensi suatu lembaga seperti OJK, terdapat dua aspek yang harus digarisbawahi, yaitu independen dari campur tangan politik dan independen dari industri finansial yang diawasi itu sendiri;
Pentingnya independensi pengaturan dan pengawasan finansial dapat dipelajari dari kasus Korea dan Jepang. Krisis tahun 1997 yang juga melanda Korea merupakan akibat dari tidak independennya pengawasan sektor finansial. Pengawasan bank khusus dan lembaga keuangan non- bank berada di bawah kewenangan langsung dari kementerian keuangan dan ekonomi (Lindgren dkk, " Financial Sector Crisis and Restructuring : Lesson from Asia ", IMF Occasional Paper, No. 188, 1999);
Di Jepang juga terjadi permasalahan serupa. Kekuasaan Kementerian Keuangan Jepang pada tahun 1995 sangat luas, mencakup perencanaan keuangan, kewenangan membuat aturan, inspeksi keuangan, dan pemeriksaan/ pengawasan lembaga keuangan. Hal ini menyebabkan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 147 rentan terjadinya korupsi oleh pejabatnya. Pada Juni 1998, Jepang mengeluarkan fungsi pengawas lembaga keuangan dari kementerian dan dialihkan kepada Financial Supervisory Authority (FSA), lembaga independen yang memiliki wewenang untuk mengatur dan mengawasi lembaga keuangan seperti perbankan, pasar modal, dan asuransi (Lihat Takeo Hoshi dan Takahisho Ito, Financial Regulation in Japan; Fifth Year Review of the Financial Services Agency , 2002, revised 2003 , hal 1-2);
Keberadaan suatu otoritas independen adalah salah satu faktor utama yang mempengaruhi keefektifan sistem pengawasan di sektor jasa keuangan. Argumen ini terkait dengan fungsi/kemampuan otoritas tersebut untuk melindungi diri baik dari intervensi pasar keuangan yang diawasinya maupun campur tangan politik. Hal ini diperlukan agar otoritas tersebut dapat mengembangkan fungsi dan tugasnya, mewujudkan transparansi dan pencapaian tujuan stabiltas keuangan ( Steeven Seelig and Alica Novoa, "Governance Practice at Financial Regulatory and Supervisory Agencies. IMF Working Paper Monitory and Capital Market Departements wp/09/135, Juli 2009 , hal.10);
Otoritas yang independen di sektor keuangan akan lebih mampu menghasilkan regulasi yang efektif, membuat operasi di dalam pasar menjadi lebih efisien, dan yang lebih penting menciptakan sistem dan fungsi pengawasan yang lebih baik dibandingkan ketika berada di bawah lembaga pemerintahan/kementerian (Kenneth Kaoma Mwenda, " Legal Aspects of Financial Services Regulation and The Concept of A United Regulator", the World Bank-Law Justice and Development Series 2006 , hal. 31);
Penting dicatat bahwa ada ketidakkonsistenan Pemohon ketika mempersoalkan kewenangan OJK dalam pengawasan lembaga keuangan bukan bank. Menurut Pemohon, mandat yang diberikan oleh Pasal 34 UU 23/1999 yang telah diubah dengan UU 3/2004 adalah pengawasan bank. Namun, dalam bagian petitum justru pengawasan bank itulah yang diminta untuk dibatalkan (dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat). Petitum itu justru menimbulkan tanda tanya mengenai siapa yang sesungguhnya berkepentingan terhadap permohonan ini; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 148 23. Dari sisi sejarah, pembentukan OJK sebenamya memang hasil kompromi untuk menghindari jalan buntu pembahasan Undang-Undang tentang Bank Indonesia oleh DPR. Pada awal pemerintahan Presiden Habibie, pemerintah mengajukan RUU Bank Indonesia yang memberikan independensi kepada bank sentral. Pada waktu RUU tersebut diajukan muncul penolakan dari Bl dan DPR. Sebagai kompromi maka disepakati bahwa lembaga yang akan menggantikan Bank Indonesia dalam mengawasi bank tersebut juga harus bertugas mengawasi lembaga keuangan lainnya. Hal ini agar tidak terlihat bahwa pemisahan fungsi pengawasan tersebut adalah memangkas kewenangan bank sentral (lihat Zulkarnain Sitompul, "Menyambut Kehadiran OJK", Pilars No. 02/Th. Vll/12-18 Januari 2004);
Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, ahli menyatakan bahwa keberadaan OJK tidak bisa dikatakan bertentangan dengan UUD 1945;
Untuk menutup keterangan ini, ahli ingin mengutip Direktur Finance Research Eko B. Supriyanto dalam opini di Kompas tanggal 4 Maret 2014. "Jika ada pihak-pihak yang hendak melakukan uji materi terhadap UU OJK ke Mahkamah Konstitusi, di satu sisi ini merupakan kebebasan, tetapi di sisi lain ini "kegenitan" semata. Selama ini, proses pembentukan OJK sudah makan waktu teramat panjang sejak 1999 dengan naskah akademi yang memadai, dan pembahasan yang mendalam di DPR dan Pemerintah serta Bl sendiri; Jika uji materi diterima dan dikabulkan MK, akan menimbulkan kekacauan dalam industri keuangan dan perbankan yang melibatkan aset Rp 12.000 triliun. Harus diketahui, OJK bukan seperti SKK Migas yang dapat dimatikan begitu saja. Ini menyangkut sektor perbankan dan keuangan yang ada risiko sistemiknya. Lembaga kepercayaan yang harus dijaga. Saat ini, konglomerasi sektor keuangan butuh lembaga OJK yang independen, dan sudah sewajarnya kita semua mendorong kredibilitas OJK seperti layaknya KPK." 8. Dr. Mulia P. Nasution, D.E.S.S Sehubungan dengan permohonan pengujian ( constitutional review ) Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 34, Pasal 37, Pasal 55, Pasal 64,Pasal 65 dan Pasal 66 UU OJK terhadap UUD 1945" yang dimohonkan oleh para Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 149 Pemohon, yaitu Salamuddin, dkk, perkenankan kami menyampaikan Keterangan Ahli mengenai 2 hal, yaitu: pentingnya OJK sebagai lembaga yang menyelenggarakan pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di sektor keuangan dan pengelolaan keuangan OJK, sebagai berikut: I. Pentingnya Otoritas Jasa Keuangan Keberadaan OJK adalah suatu keniscayaan bagi negara kita pada masa kini. Pembentukan OJK adalah hasil dari suatu proses transformasi kelembagaan yang telah berlangsung dalam kurun waktu yang sangat panjang, yaitu lebih dari satu dekade (1998-2011) di negara kita. Berawal dari kelemahan pengawasan perbankan nasional yang sangat dirasakan pada saat terjadinya Asian Financial Crisis pada tahun 1997-1998, gagasan pembentukan suatu lembaga pengawas jasa keuangan yang independen muncul sebagai upaya memperbaiki penyelenggaraan pengaturan dan pengawasan terhadap industri jasa keuangan. Pelaksanaan transformasi kelembagaan tersebut diperlukan untuk mencegah agar tidak terulang kembali krisis seperti yang pernah terjadi pada masa yang lalu dan agar lebih mampu menghadapi berbagai permasalahan dan tantanganyang semakin berat sebagai akibat dari perkembangan dan dinamika di sektor industri jasa keuangandi masa depan; Pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan hanya dapat terlaksana secara profesional, apabila lembaga yang diberikan mandat untuk melaksanakan tugas tersebut bersifat mandiri, tidak berada di bawah kekuasaan dan pengaruh lembaga eksekutif maupun lembaga legislatif. Krisis perbankan yang melanda Indonesia yang kemudian meluas menjadi krisis ekonomi dan politik pada awal dekade yang lalu, menunjukkan kepada kita betapa pentingnya keberadaan suatu lembaga pengawas jasa keuangan yang independen dalam penyelenggaraan fungsi pengaturan dan fungsi pengawasan. Oleh karena itu, para pembuat Undang-Undang di negara kita persis 10 tahun yang lalu menyepakati untuk mencantumkan amanat pembentukan dengan undang-undang suatu lembaga pengawas sektor jasa keuangan yang independen dalam Pasal 34 Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia; Namun, proses pembentukan lembaga tersebut tidaklah berjalan mulus. Walaupun Undang-Undang telah mengamanatkan pembentukan lembaga Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 150 dimaksud akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2010, urgensi untuk membentuk suatu lembaga pengawas perbankan yang independen di luar Bank Indonesia tidak sepenuhnya mendapat dukungan dari beragam pemangku kepentingan. Dari segi konsep, model lembaga independen yang akan dibentuk masih terus dalam pembahasan dan perdebatan, baik di kalangan akademisi, maupun di lingkungan pemerintah sendiri. Secara politik, walaupun proses konsolidasi fiskal, yang berjalan sejak tahun 2000 telah berhasil membawa stabilisasi di bidang perbankan dan keuangan negara, prioritas utama pemerintahan Presiden SBY pada awal periode 2004-2009 adalah melaksanakan berbagai kegiatan yang mendesak yang dapat menggerakkan kembali roda perekonomian, setelah 5 tahun mengalami stagnasi, bahkan sempat mengalami kemunduran, melalui program Pro-Growth, Pro-Job dan Pro-Poor yang dicanangkan oleh Pemerintah. Sampai terjadinya krisis keuangan global pada tahun 2008, konsep pembentukan OJK masih tetap dalam perdebatan. Perdebatan tersebut bukanlah mengenai perlunya independensi lembaga tersebut, karena sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999, Bank Indonesia telah menjadi lembaga yang independen, tetapi terutama urgensi keberadaan lembaga baru di luar Bank Indonesia untuk mengatur dan mengawasi sektor perbankan; Seiring dengan berjalannya waktu, sektor industri jasa keuangan semakin berkembang dan mengalami dinamika yang luar biasa. Tidak terkecuali di negara kita. Dalam kurun waktu tersebut, seiring dengan pemulihan ekonomi dan semakin berkembangnya kegiatan perekonomian di negara kita, produk-produk industri jasa keuangan muncul semakin beragam dan kompleks. Selain itu, sebagaimana juga di sektor industri yang lain, di sektor jasa keuangan juga terjadi konglomerasi, baik secara vertikal, maupun horizontal. Demikian pula, industri jasa keuangan mengalami proses globalisasi yang berdampak signifikan terhadap konsumen, pemilik modal, perekonomian dan publik. Proses globalisasi tersebut dipermudah terutama dengan kemajuan di bidang teknologi informasi dan komunikasi dan berlakunya norma dan standar yang bersifat internasional, terutama di sektor perbankan. Pada gilirannya, kemudahan untuk beroperasi secara global memperlancar langkah-langkah, konsolidasi, pembentukan holding company , mergers and acquisitions oleh para pelaku industri terutama yang berinduk di luar negeri untuk dapat meningkatkan efisiensi, memperbesar market share atau untuk Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 151 mendominasi pasar demi meraih pertumbuhan usaha dan memaksimalkan profit perusahaan mereka di Indonesia. Pengaturan dan pengawasan yang tidak dilakukan secara terintegrasi akan dapat menyulitkan upaya pencegahan dan penanganan kasus-kasus pelanggaran yang terjadi di sektor jasa keuangan; Sejalan dengan perkembangan tersebut, konsep pembentukan OJK mengalami dinamika, pergeseran, penyesuaian dan penyempurnaan. Menjadi penting agar seluruh sektor jasa keuangan dapat diatur dan diawasi secara terintegrasi. Agar lebih efektif, pengaturan dan pengawasan tersebut perlu dilakukan oleh satu lembaga, yaitu OJK. Dengan demikian, ruang lingkup OJK yang pembentukannya akan ditetapkan dengan Undang-Undang berkembang menjadi lebih luas, yaitu tidak hanya mencakup sektor perbankan, tetapi termasuk pengaturan dan pengawasan sektor industri jasa keuangan secara keseluruhan; Namun sampai terjadinya Global Crisis yang terutama melanda beberapa negara industri pada tahun 2008 yang berdampak terhadap sektor keuangan di Indonesia, agenda untuk menyatukan pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan di dalam satu lembaga belum menjadi prioritas nasional yang mendesak untuk dilaksanakan, walaupun sudah diamanatkan oleh undang-undang. Dalam dinamika proses perumusan dan penyiapan RUU OJK, pemikiran untuk tidak mengeluarkan fungsi pengaturan dan pengawasan mikro prudential dari Bank Indonesia memiliki alasan yang kuat. Pertama , melakukan transformasi kelembagaan sangat berisiko sehingga perlu dilakukan secara berhati-hati, karena dapat berdampak terhadap industri jasa keuangan yangberperan sangat strategis dalam sistem perekonomian nasional. Kedua , menyiapkan perangkat hukum, struktur organisasi baru, sumber daya manusiaakan membutuhkan waktu yang tidak sedikit, perencanaan yang matang dan pelaksanaan secara seksama. Setelah lembaga baru terbentuk, perlu disusun prosedur kerja ( Standard Operating Procedure atau SOP) dan disiapkan dukungan anggaran dan logistik yang diperlukan, agar organisasi tersebut dapat beroperasi secara penuh. Ketiga , pengalaman di beberapa negara lain menunjukkan bahwa keberadaan lembaga pengawas industri jasa keuangan yang independen di luar bank sentral atau di luar pemerintah tidaklahmenjadi jaminan tidak akan terjadi permasalahan atau kasus- kasus di sektor jasa keuangan. Contohnya, di Inggris dan di Amerika Serikat; Terjadinya krisis keuangan global pada tahun 2008 menyebabkan pentingnya memprioritaskan pembentukan OJK. Sementara itu, dari segi konsep, Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 152 dalam kurun waktu 2004-2008, pembahasan mengenai kedudukan dan bentuk kelembagaan OJK telah melalui due process dan diskusi yang mendalam, baik di lingkungan pemerintah, maupun pada pertemuan-pertemuan ( public hearings ) yang diselenggarakan oleh tim pemerintah dengan berbagai pemangku kepentingan. Berbagai masukan telah diperoleh pemerintah untuk menyempurnakan naskah RUU OJK yang akan diajukan kepada DPR. Pertukaran informasi dan pengalaman mengenai sistem dan kelembagaan pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan di beberapa negara juga dilakukan oleh pemerintah untuk memperkaya referensi dan menjadi bahan pertimbangandalam penyusunan organisasi OJK; Kendati demikian, pembentukan OJK baru dapat terselesaikan pada tahun 2011 setelah krisis berlalu dan melalui proses pembahasan yang panjang dan meleiahkan. Namun ada hikmah dari proses pembahasan yang cukup lama tersebut. Pembahasan Undang-Undang yang dilakukan secara terburu-buru sering kurang mendalam.Sebaliknya pembentukan UU OJK yang menjadi salah satu proses legislasi terlama di negara kita, telah melalui proses diskusi yang mendalam dan pertimbangan yang matang, sehingga diharapkan dapat memenuhi kebutuhan negara akan suatu lembaga pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan secara terintegrasi. Pengaturan dan pengawasan secara terintegrasi tersebut sangat dibutuhkan pada masa ini dan di masa yang akan datang, karena:
koordinasi otoritas fiskal, moneter dan sektor keuangan perlu diperkuat;
ii. sumber krisis semakin beragam (perbankan, pasar modal, lembaga keuangan non-bank, fiskal; iii. sektor jasa keuangan saling berhubungan ( interconnected );
iv. konglomerasi keuangan semakin dominan;
struktur produk keuangan semakin kompleks ( hybrid products );
vi. fungsi pengawasan lembaga keuangan dengan fungsi pengelolaan moneter dan fiskal memiliki potensi konflik kepentingan; vii. pemisahan fungsi pengawasan sektor keuangan dari otoritas moneter dan otoritas fiskal sesuai dengan trend global terkini. II. Pengelolaan keuangan OJK OJK adalah lembaga yang dibentuk dan mendapatkan pelimpahan sebagian kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan ( pouvoir public ) untuk mengatur dan mengawasi sektor jasa keuangan. Pembentukan dan pelimpahan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 153 kekuasaan tersebut tidak tercantum dalam UUD, namun dari perjalanan panjang dan dinamika dalam penyelenggaraan pemerintahan di negara kita, keberadaan lembaga yang bertugas untuk mengatur dan mengawasi sektor jasa keuangan tersebut terbukti constitutionally important . Oleh karena itu, untuk memberikan landasan hukum yang kuat, pembentukan OJK tersebut ditetapkan dengan Undang-Undang; Sebagai bagian dari sistem pemerintahan negara, OJK diamanatkan untuk bertugas mengatur dan mengawasi sektor jasa keuangan. Untuk dapat melaksanakan tugas tersebut dengan sebaik-baiknya, OJK perlu diberikan kedudukan dan status hukum yang sepadan, serta kewenangan, prasarana dan sarana yang diperlukan. Salah satu sarana utama yang diperlukan oleh OJK adalah dana. Berbeda dengan bank sentral yang memiliki sumber pendapatan dari pengelolaan moneter dan sistem pembayaran, OJK tidak mempunyai sumber pendapatan sendiri. Oleh karena itu, OJK memerlukan sumber pendanaan dari iuar.Dana tersebut dapat bersumber dari APBN, maupun dari luar APBN, berupa iuran yang dipungut dari sektor industri yang diawasi oleh OJK; Berkenaan dengan sumber pendanaan OJK ini, setidaknya ada dua pertanyaan mendasar. Pertama, manakah yang lebih baik, apakah OJK dibiayai dari APBN atau semata-mata dari pungutan.Apabila OJK dibiayai dari APBN, alokasi anggaran bagi OJK tersebut akan mengurangi dana APBN yang sudah demikian terbatas untuk membiayai penyelenggaraan tugas kementerian negara dan lembaga pemerintahan lainnya. Sehingga apabila dimungkinkan untuk memperoleh pendanaan dari sumber lain, seyogianya OJK tidak tergantung dari sumber penerimaan dari APBN; Oleh karena itu, muncul pertanyaan kedua, yaitu apabila dana tersebut bersumber dari APBN, apakah pengelolaannya oleh OJK selaku Pengguna Anggaran, harus mengikuti pengelolaan anggaran yang berlaku pada umumnya seragam bagi setiap kementerian negara. Jawabannya adalah tidak harus selalu demikian. Sebagaimana kita fahami bersama bahwa dalam pengelolaan anggaran oleh kementerian negara dan lembaga pemerintahan ditetapkan ketentuan- ketentuan yang pada umumnya seragam mulai dari proses perencanaan dan penyusunan anggaran, sampai pada pelaporan dan pertanggungjawaban. Keseragaman dalam ketentuan pengelolaan keuangan APBN tersebut merupakan penerapan dari asas-asas umum yang dianut dalam Undang-Undang di bidang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 154 keuangan negara, yaitu Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan atas Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, yaitu Asas Tahunan, Asas Universalitas, Asas Kesatuan dan Asas Spesialitas; Namun di dalam doktrin hukum perbendaharaan negara yang juga dianut dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dikenal asas-asas umum lainnya, yaitu Asas Akuntabilitas berorientasi pada hasil, Asas Profesionalitas, dan Asas Proporsionalitas. Asas-asas ini pada hakekatnya memberikan fleksibilitas bagi pengguna anggaran untuk membelanjakan danayang telah diamanatkan kepadanya untuk menghasilkan ouput yang telah ditetapkan dengan cara yang sebaik-baiknya. Dengan demikian pemberian fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan yang bersumber dari APBN kepada OJK sebagaimana ditetapkan dalam UU OJK adalah sejalan dengan semangat anggaran berbasis kinerja yang dianut dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; Sebagai suatu organisasi yang dituntut untuk menjalankan tugasnya secara independen dengan standar profesionalitas yang tinggi, pemberlakuan aturan dan mekanisme yang seragam dengan yang berlaku bagi kementerian negara dapat menjadi kendala dalam proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan kegiatan operasional OJK. Oleh karena itu prinsip " let manager manages " yang menjadi semangat dalam sistem pengelolaan keuangan negara sesudah dimulai reformasi pada tahun 2003 perlu benar-benar-benar dihayati dalam pengaturan pengelolaan keuangan OJK. Sehingga dalam dokumen usulan anggaran yang diajukan oleh OJK kepada pemerintah untuk memperoleh dana APBN, rencana pengeluaran yang akan dilakukan oleh OJK tidak perlu diuraikan secara terperinci seperti halnyauraian usulan anggaran yang diajukan oleh satuan kerja kementerian negara. Demikian pula pada tahap pelaksanaan anggaran, pencairan anggaran yang bersumber dari APBN dapat dilakukan secara berkala berdasarkan rencana penggunaan dana dan realisasi anggaran untuk masing-masing jenis belanja. Sudah barang tentu, hal ini akan mengurangi informasi yang diperoleh Bendahara Umum Negara atas pengelolaan dana APBN tersebut oleh OJK. Oleh karena itu sangat penting peranan pemeriksaan oleh Badan Pemeriksa Keuangan atas pengelolaan keuangan OJK. Karena dari laporan berkala yang wajib disampaikan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 155 oleh OJK kepada BPK sebagai auditor negara dan laporan pertanggungjawaban tahunan oleh OJK dapat diperoleh informasi mengenai berbagai pengeluaran- pengeluaran tersebut, dan BPK pada saat memeriksa laporan keuangan OJK, dapat melakukan penelusuran rincian dan bukti-bukti dari setiap pengeluaran. Fleksibilitas dalam proses pengusulan anggaran, pencairan dana, pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan anggaran yang demikian pada hakekatnya serupa dengan yang diterapkan kepada Badan Usaha Milik Negara yang mendapatkan dana untuk menyelenggarakan Public Service Obligation ; Apabila OJK membiayai dirinya dari pungutan, sudah barang tentu tidak diperlukan keterikatan kepada ketentuan sebagaimana yang berlaku bagi kementerian negara. Penerimaan dan pengeluaran iuran dikelola oleh OJK terpisah dari APBN. OJK memiliki kewenangan untuk mengatur sistem pengelolaan keuangan yang berlaku. Namun demikian, gambaran secara ringkas mengenai kondisi keuangan OJK perlu disampaikan dalam Nota Keuangan sebagai bagian dari sistem pengelolaan keuangan negara dan informasi kepada publik yang mencerminkan asas keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara; Oleh karena itu, menyangkut pengenaan pungutan oleh OJK, hal utama yang perlu menjadi pertimbangan adalah kewajaran mengenai besarnya iuran tersebut, dan penerapan asas proporsionalitas dalam pengenaannya terhadap masing-masing sektor industri. Karena pada akhirnya setiap pungutan kepada sektor industri, akan menjadi tambahan biaya bagi industri yang dapat dialihkan menjadi beban konsumen. Penutup Sebagai ahli, berusaha untuk memberikan keterangan seobyektif mungkin. Walaupun sebagai mantan Ketua Tim Pelaksana Persiapan Pembentukan OJK, sulit bagi kami untuk tidak terpengaruh suasana hati dalam memberikan keterangan ini. Mengingat penyiapan organisasi OJK adalah tugas yang diamanahkan kepada kami menjelang akhir pengabdian di Kementerian Keuangan. Kami membayangkan, alangkah sedihnya apabila organisasi yang baru saja dibentuk harus dirombak, tanpa alasan yang kuat dan mendesak, padahal keberadaannya pada hakikatnya sejalan dengan semangat UUD untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik dan dapat berperan sangat positif untuk kemajuan sektor jasa keuangan di negara kita. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 156 Menurut ahli akan lebih baik, apabila kita memprioritaskan penuntasan proses transformasi kelembagaan dengan menyelesaikan agenda amandemen beberapa undang-undang di sektor keuanganyang sangat krusial untuk penataan dan harmonisasi pengaturan di sektor jasa keuangan. Demikian pula meiakukan secara internal, bagi OJK, menuntaskan proses transformasi kelembagaan, dengan melengkapi berbagai Peraturan OJK dan SOP yang diperlukan bagi pelaksanaan kegiatan operasional, manajemen SDM dan keuangan, serta sistem dan teknologi informasi dan komunikasi; Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta ke 9 (1966-1977) pernah mengatakan: "Manusia tanpa cita-cita adalah mati, cita-cita tanpa kerja adalah mimpi dan idaman yang menjadi kenyataan adalah kebahagian". Proses transformasi kelembagaan tidaklah mudah dan tidak ada organisasi yang sempurna, tidak terkecuali institusi OJK yang masih baru. Namun dengan bekerja, bekerja dan bekerja dengan sebaik-baiknya, niscaya OJK akan dapat menjadi lembaga idaman;
Dr. Harjono, S.H., MCL Keberadaan Otoritas Jasa Keuangan Dari Aspek Konstitusi OJK merupakan lembaga negara baru yang tugasnya melakukan pengaturan dan pengawasan pada lembaga keuangan, maka konstitusionalitasnya seringkali dikaitkan dengan independensi bank sentral, sebagaimana diatur oleh Pasal 23D Undang-Undang Dasar 1945. Ahli berpendapat bahwa perlu untuk dikaji posisi bank sentral yang sebenarnya dalam Undang-Undang Dasar 1945 karena dengan diketahui posisi bank sentral, sebagaimana dimaksud oleh Pasal 23D UUD 1945 maka secara langsung pula dapat diketahui kedudukan OJK secara hukum. Bahwa Undang-Undang Dasar 1945 mengatur lembaga negara di dalamnya, antara lain MPR, DPR, DPD, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, BPK, KY, KPU, yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945. Namun di samping itu, disebut juga adanya lembaga negara oleh Undang-Undang Dasar 1945 yang pembentukannya diserahkan kepada Presiden, yang akan diatur oleh Undang-Undang, yaitu Dewan Pertimbangan Presiden, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 23D Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa negara memiliki sebuah bank sentral. Jadi hubungan antara bank sentral dengan negara adalah hubungan kepemilikan. Bank sentral tidak dimaksudkan sebagai lembaga Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 157 negara untuk melaksanakan fungsi utama kenegaraan, sebagaimana dikenal kekuasaan pembuat undang-undang legislatif, eksekutif, dan kekuasaan yudisial; Meskipun bank sentral adalah lembaga negara dalam pengertian lembaga yang dibentuk oleh kekuasaan negara, dan mempunyai kewenangan publik, namun kedudukannya berbeda dengan lembaga negara MPR, DPR, DPD, Mahkamah Konstitusi, KY, dan KPU. Sebagai Contoh untuk menyebut keberadaan Mahkamah Konstitusi lembaga negara yang melangsungkan fungsi utama kenegaraan lainnya, Undang-Undang Dasar tidak menggunakan kata memiliki Mahkamah Konstitusi, sebagaimana digunakan untuk menyebut bank sentral. Undang-Undang Dasar 1945 tidak menyatakan bahwa negara memiliki Mahkamah Konstitusi dan lain sebagainya. Bank sentral lebih sebagai lembaga yang kegiatannya dalam bidang perbankan yang susunan, kedudukan dan kewenangan, tanggung jawab, dan independency-nya diatur Undang-Undang. Artinya, bank sentral adalah lembaga bentukan negara yang kewenangan dan independency - nya ditentukan oleh Undang-Undang dan bukan Undang-Undang Dasar 1945, meskipun Undang-Undang Dasar 1945 menentukan hal apa saja yang perlu diatur dalam Undang-Undang tentang lembaga bank sentral tersebut; Frasa negara memiliki satu bank sentral dalam Pasal 23D UUD 1945 adalah tepat, tetapi tidak tepat untuk menyebut dalam Undang-Undang Dasar 1945 bahwa negara memiliki MPR, DPR, dan lain sebagainya. Berdasarkan hasil studi dengan memperbandingkan konstitusi negara-negara lain, tidak menemukan ketentuan sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 23D Undang-Undang Dasar 1945, yaitu pengaturan bank sentral yang dicantumkan dalam pasal konstitusi. Federal Reserve Bank of New York, bank terbesar di dunia yang sangat berpengaruh dalam perekonomian dunia tidak diatur dalam konstitusi Amerika Serikat. Bahkan untuk kurun waktu yang lama, Amerika Serikat tidak mempunyai bank sentral. Federal Reserve Bank of New York sebagai bank sentral Amerika Serikat baru dibentuk dengan undang-undang pada masa pemerintahan Presiden Woodrow Wilson tahun 1931, padahal sejak 1778 Konstitusi Amerika Serikat sudah berlaku; Dari kajian ini tampak jelas bahwa bank sensral meskipun statusnya adalah lembaga negara, artinya dibentuk oleh kewenangan publik dan untuk melaksanakan kekuasaan publik, namun bukanlah sebuah lembaga konstitusi yang diperlukan untuk melaksanakan fungsi utama alat kelengkapan negara. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 158 Independency bank sentral dalam Undang-Undang Dasar 1945 disebut dalam Pasal 23D yang dari rumusan pasal tersebut sangat jelas bahwa isinya atau content -nya akan ditentukan oleh Undang-Undang dan bukan ditentukan Undang- Undang Dasar 1945; Undang-Undang Dasar 1945 mempunyai pilihan kata yang bervariasi untuk menggambarkan sifat kewenangan yang dimiliki oleh satu lembaga negara yang diatur di dalam Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 23D digunakan kata independency untuk bank sentral. Pasal 23E digunakan kata bebas dan mandiri untuk BPK. Pasal 24, kata kekuasaan yang merdeka atau kekuasaan kehakiman . Pasal 22E dengan kata mandiri untuk KPU dan Pasal 24 digunakan kata mandiri untuk KY. Dari pilihan kata yang berbeda-beda yang digunakan itu ada makna yang sama terkandung dalam kata pilihan, yaitu bahwa satu lembaga negara dalam menjalankan kewenangannya wajib untuk tidak dipengaruhi oleh pihak luar manapun dan pihak luar dilarang untuk memengaruhi lembaga negara tersebut ketika lembaga negara yang bersangkutan melaksanakan kewenangan. Kewenangan yang tidak boleh dipengaruhi oleh pihak luar tersebut adalah kewenangan inti, yaitu kewenangan fungsional, artinya kewenangan yang ditempatkan dalam relasi dengan kewenangan fungsional yang dimiliki oleh lembaga negara yang lain; Prinsip bahwa kewenangan adalah terbatas dan prinsip kemandirian dan kebebasan dalam menjalankan kewenangan fungsionalnya adalah prinsip yang mendasari good governance atau tata pemerintahan yang baik, yang tujuannya adalah untuk menghindari abuse of power pemegang kekuasaan dan untuk mempersempit moral hazard . Hal itu sangat sejalan dengan peringatan Lord Acton bahwa power tends to corrupt and absolute power corrupt absolutely ; Conselor democracy state ( negara hukum) good governance ( pemerintahan yang baik), itu semuanya adalah konsep yang di dalamnya mengandung unsur untuk menghindari konsentrasi kemenangan, yaitu dengan cara melakukan pendistribusian kewenangan fungsional sangat terbatas, serta untuk menjamin bahwa setiap produk kewenangan terhindar dari interact pihak tertentu; Apakah dari prinsip independency bank sentral, sebagaimana yang disebut dalam Pasal 23D Undang-Undang Dasar 1945 tersebut harus melekat pada kewenangan bank sentral untuk melakukan pengawasan terhadap lembaga keuangan bank lainnya. Kewenangan tersebut merupakan kewenangan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 159 konstitusional, artinya kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana dimaksud oleh Pasal 51 Undang-Undang MK, sehingga akan menjadi kerugian konstitusional kalau pengawasan tersebut tidak dilaksanakan. Sebagaimana telah ternyata sebelumnya bahwa independency bank sentral menurut Pasal 23D akan diatur Undang-Undang, sehingga independency bukan hak konstitusional, dalam arti hak yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945, tetapi yang akan ditentukan dan diatur oleh Undang-Undang. Karenanya, kalaupun seandainya kewenangan pengawasan harus melekat kepada independency , maka yang akan mengatur adalah Undang-Undang dan bukan Undang-Undang Dasar 1945; Perbandingan Penguasaan Lembaga Keuangan Di Beberapa Negara Tentang pengaturan struktur pengawasan untuk industri keuangan, termasuk lembaga perbankan yang dipraktikkan oleh negara-negara di dunia, Federal Reserve Bank of San Fransisco membedakan dalam 3 pendekatan, yakni:
Single agent . Pengawas tunggal untuk mengawasi industri keuangan, termasuk bank, asuransi, dan pasar modal;
Separate agencies . Pengawas yang terpisah untuk setiap industri keuangan;
Pengawasan dengan struktur hybrid atau penggabungan antara pendekatan nomor 1 dan nomor 2; Dalam masing-masing pendekatan tersebut, peranan dari bank sentral negara bervariasi antara pendekatan yang satu dengan yang lain. Pendekatan pengawasan tunggal dilakukan oleh Jepang dan Singapura. Di Jepang pengawasan dilakukan oleh GPSA yang didirikan tahun 1998 setelah banyak bank besar yang gagal dan karena timbulnya ketidakpercayaan publik kepada kementerian keuangan. GPSA adalah otoritas pengawas keuangan yang utama yang berada di luar bank sentral dan kewenangannya semakin bertambah dan kuat semenjak tahun 2001; Singapura yang menganut otoritas tunggal yang dilaksanakan oleh Monetary Authority of Singapore , namun berbeda dengan Jepang, Monetary Authority of Singapore juga melakukan fungsi bank sentral. Pendekatan pengawasan oleh otoritas yang terpisah dipraktikkan di Tiongkok dan India. Industri keuangan bank, asuransi, dan pasar modal di India dan Tiongkok diawasi oleh otoritas yang berbeda-beda. Pendekatan hybrid mengombinasikan elemen pengawasan satu otoritas dan elemen pengawasan terpisah dipraktikkan di Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 160 Malaysia diawasi oleh otoritas yang sama. Sedangkan untuk industri pasar modal diawasi oleh otoritas yang lain; Pada tahun 1999, Korea Selatan mendirikan Korean Financial Supervisory Service (KFSS) melalui sebuah Undang-Undang. Setelah adanya krisis moneter yang melanda Asia. KFSS dibentuk dari kombinasi empat otoritas pengawas yang sebelumnya ada di Korea, yakni 1) banking supervisory authority ;
security supervisory board ;
insurance supervisory board ; dan
nonbank supervisory authority . Sejak tahun 2008 setelah melakukan reorganisasi, KFSS diawasi oleh financial service commission . Kewenangan financial service commission sebelumnya dimiliki oleh Kementerian Keuangan Korea. Berdasarkan KFSS, keberadaan KFSS berada di luar bank sentral; Dari uraian dan perbandingan dalam praktik negara lain dapat ditentukan fakta hukum sebagai berikut.
Menurut Undang-Undang Dasar 1945, bank sentral adalah suatu fungsi yang akan diatur oleh Undang-Undang;
Bank sentral adalah lembaga negara yang dimiliki oleh negara;
Sebagai lembaga negara, bank sentral kedudukannya sangat berbeda dengan lembaga negara utama yang kewenangannya diberikan Undang-Undang Dasar;
Independency bank sentral akan diatur dan ditentukan kontennya oleh Undang-Undang. Tidak terdapat ketentuan Undang-Undang Dasar bahwa independency bank sentral haruslah disertai hak pengawasan oleh bank sentral kepada lembaga keuangan bank. Undang-Undanglah yang akan mengatur, apakah bank sentral diberi kewenangan untuk melakukan pengawasan kepada lembaga keuangan bank atau tidak diberi kewenangan untuk melaksanakan pengawasan kepada lembaga keuangan bank; Penyatuan pengawasan atau pemisahan pengawasan terhadap lembaga keuangan, baik bank, asuransi, dan pasar modal adalah kewenangan pembuat Undang-Undang untuk mengaturnya. Pembuat Undang-Undang yang terdiri atas Presiden dan DPR adalah lembaga yang tepat untuk mengatur sistem pengawasan kepada lembaga keuangan karena kedua lembaga, yaitu Presiden dan DPR terlibat secara langsung dalam urusan bidang keuangan negara. Sehingga mempunyai informasi dan data yang akurat dan mengetahui pilihan yang baik untuk mengaturnya dan bukan ditentukan oleh lembaga peradilan; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 161 Pembuatan Undang-Undang berhak dan bahkan wajib untuk melakukan perubahan apabila ternyata dalam pelaksanaannya diperlukan perubahan pengaturan atas pengawasan lembaga keuangan agar supaya tercipta tata pengawasan yang lebih baik dalam pengelolaan lembaga keuangan demi terciptanya kestabilan keuangan dan perlindungan kepada konsumen; Perubahan tidak dapat dilakukan apabila peradilan yang menetapkan sistem pengawasan yang harus diterapkan karena dasarnya adalah sistem yang sah dan sistem yang melanggar hukum dan melakukan perubahan untuk penyempurnaan dapat dikategorikan sebagai perbuatan melanggar hukum. Perubahan sistem pengawasan dilakukan oleh banyak negara pada saat mengalami krisis keuangan global yang pernah terjadi di sekitar tahun 1997 dan di awal tahun 2000 sekitar tahun 2008; Kesimpulan Ahli berkesimpulan bahwa keberadaan OJK tidak bertentangan secara konstitusional dengan pengaturan bank sentral yang terdapat dalam Pasal 23D Undang-Undang Dasar 1945 dan keberadaannya diberlakukan untuk menciptakan lembaga keuangan yang sehat serta diperlukan bagi perlindungan konsumen lembaga keuangan di Indonesia; Isu konstitusionalitas lainnya tentang OJK menyangkut kewenangan untuk melakukan pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan jasa keuangan, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang OJK. Ketentuan Pasal 23A Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan, “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.” Ahli berpendapat bahwa ketentuan pasal ini bermaksud untuk memberi dasar hukum yang jelas dan demi kepastian hukum atas pemungutan yang dilakukan dengan alasan untuk keperluan negara. Pasal ini tidak bermaksud untuk melarang negara melakukan... yang bersifat memaksa kalau memang negara memerlukannya. Dalam praktik, pemungutan ini memang telah dilakukan oleh negara dalam berbagai bentuk, sebagai contoh adalah apa yang disebut sebagai Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Dalam transaksi pemindahan hak atas tanah dan bangungan, nilai BPHTB ini dapat dikatakan sangatlah besar karena 5% dari nilai transaksi; Ketentuan Pasal 23A menggunakan rumusan diatur dengan undang- undang yang ditafsirkan harus ada Undang-Undang tersendiri atau khusus yang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 162 mengaturnya yang berbeda dengan rumusan diatur dalam Undang-Undang yang pengaturannya dapat tersebar dalam berbagai Undang-Undang. Dalam kenyataannya sampai sekarang, belum ada undang-undang yang secara khusus mengatur pungutan lain yang bersifat memaksa. Ahli berpendapat bahwa tujuan adanya Undang-Undang tersendiri tidaklah hanya bersifat membuat perbedaan formal belaka, yaitu apakah telah terpenuhinya adanya Undang-Undang tersendiri, tetapi juga menyangkut persoalan-persoalan substantif dari Undang-Undang tersebut; Undang-Undang OJK memungkinkan OJK untuk melakukan pungutan dan jelas bahwa pungutan digunakan untuk keperluan negara. Karena OJK dalam bernegara yang melakukan tugas negara, yaitu tugas yang tidak dapat secara hukum dilakukan oleh lembaga yang bukan lembaga negara; Dari segi kebutuhan, pungutan tersebut dibatasi jumlah yang diperlukan. Artinya, tidak memungut tanpa batas, tanpa dasar berapa jumlah yang akan dipungut. Karena jumlahnya sebatas jumlah yang diperlukan untuk anggaran tahunan yang harus disusun lebih dulu dan mendapat persetujuan DPR. Pasal 36 Undang-Undang OJK menegaskan apabila hasil pungutan melebihi kebutuhan OJK, maka kelebihan tersebut disetor ke kas negara. OJK sebagai lembaga negara harus membuat laporan keuangan secara transparan dan akuntabel, sebagaimana diharuskan oleh undang-undang; Secara substansi, aturan keuangan OJK telah mempertimbangkan pengelolaan keuangan negara yang baik. Ahli berpendapat bahwa Pasal 23A Undang-Undang Dasar 1945 tidak hanya perlu formalitas adanya Undang-Undang tersendiri saja, tetapi juga substansi, yaitu menyangkut pengelolaan keuangan negara yang jelas peruntukannya, artinya transparan dan akuntabel. Undang- Undang OJK yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan telah mempertimbangkan transparansi, akuntabilitas, serta pembatasan yang rasional, proporsional tentang jumlah yang boleh dipungut; Dengan demikian, meskipun Undang-Undang yang dimaksud oleh Pasal 23A Undang-Undang Dasar 1945 belum ada, namun substansi yang seharusnya terdapat pada undang-undang tersebut telah diakomodasi dalam Undang-Undang OJK. Apabila Mahkamah menetapkan bahwa pemungutan keuangan yang terdapat dalam Undang-Undang OJK dan pengelolaannya bertentangan dengan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 163 Undang-Undang Dasar 1945, hanya sekadar bahwa belum dibuatnya Undang- Undang secara khusus dan harus dibatalkan, maka akibatnya akan banyak pungutan-pungutan lainnya, antara lain BPHTB harus juga batal; Sebagaimana ahli uraikan di atas maka sebagai penafsir Konstitusi, Mahkamah dapat menambahkan hal-hal yang diperlukan agar ketentuan tentang keuangan yang terdapat dalam Undang-Undang OJK menjadi sempurna dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, atau melakukan penafsiran conditionally constitutional pada aspek substansinya. Sementara itu, Mahkamah dapat memberikan kriteria konstitusionalitas terhadap Undang-Undang yang diperlukan untuk melaksanakan Pasal 23A Undang-Undang Dasar 1945 dan hal ini pernah dilakukan oleh Mahkamah dalam beberapa kali putusannya, termasuk mengenai BHP dan juga mengenai peradilan Tipikor;
Prof. Achmad Zen Umar Purba, S.H., LL.M. I. Ada empat isu pokok yang perlu ditanggapi terlebih dahulu, yaitu:
Pemisahan kewenangan stabilitas moneter dan pengawasan perbankan serta penggabungan pengawasan antara sistem perbankan dan lembaga keuangan non bank;
Independensi dan bebas dari campur tangan pihak lain dalam kelembagaan OJK;
Pembiayaan OJK (APBN dan pungutan dari pelaku pasar);
Pelaporan dan akuntabilitas OJK. II. Mengenai isu pertama, pemisahan kewenangan, secara mendasar kita harus memahami pertumbuhan sektor perbankan dan jasa keuangan sebagai sarana kebutuhan kehidupan modern yang berada pada era globalisasi. Lebih-lebih bagi Indonesia, karena tahun depan ia bersama dengan negara-negara ASEAN lain akan memasuki ASEAN Market Community . Sementara itu lahirnya lembaga jasa keuangan yang memiliki hubungan konglomerasi kepemilikan di sektor keuangan telah menambah kompleksitas transaksi dan interaksi antar lembaga jasa keuangan. Pembentukan OJK dilandasi dengan prinsip-prinsip tata kelola yang baik ( good governance ), yang meliputi independensi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, transparansi, dan kewajaran ( fairness ). Khusus mengenai pengawasan di bidang perbankan, OJK memiliki tugas yang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 164 berbeda dari Bank Indonesia ("Bl") sebagai bank sentral seperti diamanatkan oleh UUD 1945, sebagaimana yang telah diubah ("UUD 1945"). Dalam situasi demikian, peran sektor perbankan dan keuangan menjadi amat penting. Oleh sebab itu diperlukan satu konsep yang jelas; Apa yang dilakukan UU OJK adalah melakukan pemisahan pengawasan terhadap bank, yang tidak lagi dilakukan oleh Bl. Pengawasan oleh pihak di luar bank sendiri dimaksudkan untuk menjaga kualitas pihak yang diawasi demi kepentingan masyarakat, termasuk kepentingan konsumen yang berurusan dengan bank. Perlindungan konsumen adalah salah satu fungsi pengawasan OJK; Selanjutnya jasa keuangan harus dibuat terintegrasi. Itulah filosofinya mengapa OJK bukan saja mengawasi bank, tetapi juga sektor-sektor non bank, dalam hal ini pasar modal asuransi, dana pensiun, lembaga pembiayaan serta lembaga keuangan lain; Jika sektor perbankan dan sektor keuangan non bank sehat, transaksi bisnis yang lain akan lancar pula, nasional maupun transnasional. Indonesia yang berekonomi kuat hanya akan lahir, jika sektor keuangan dan perbankan juga dilandasi sistem pengawasan yang kuat; III. Dalam masalah kedua, yang berkaitan dengan independensi, menurut Para Pemohon, hanya Bl yang berhak memakai status "independen" karena ada "cantolannya" ada di Pasal 23D UUD 1945. OJK samasekali tidak memiliki "cantolan" dalam UUD 1945. Pada hemat ahli, Pemohon telah menggunakan alurpikir yang salah. Sebab "independen" bukanlah istilah yang dapat dimonopoli. Jadi dapat saja satu lembaga menyatakan dirinya "independen" tanpa harus melihat ada pegangannya dalam UUD 1945. Komisi Pengawas Pesaingan Usaha, misalnya mendeklarasikan dirinya sebagai "suatu lembaga independen yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan Pemerintah serta pihak lain. [Pasal 30 ayat (2) UU No.5/1999] Demikian juga bagi OJK, independen di sini berarti bebas dari pengaruh siapapun, terutama Pemerintah; IV. Mengenai isu Pembiayaan (Penggunaan APBN dan Pungutan OJK), OJK sebagian dibiayai oleh dana dari APBN dan selebihnya dari dana yang dipungut dari masyarakat yang merupakan pengguna jasa OJK [Pasal (2) UU OJK]. Oleh Para Pemohon, aturan dalam UU OJK ini dipersoalkan karena Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 165 mereka khawatir akan terjadi " abuse of power " Sebagai WNI mereka tidak mau APBN menjadi tergerus akibat digunakan oleh OJK. Tentang hak OJK untuk memungut, para Pemohon bertanya*. "Bagaimana mungkin lembaga yang melakukan pengawasan memungut dari yang diawasinya?" (butir 66 Permohonan). Mengenai APBN, Pemohon tampak bersikap a priori , padahal kalau dibaca Pasal 38 UU OJK, jelas diatur tentang masalah pertanggungjawaban — yang akan diuraikan di bawah. Otoritas di beberapa negara antara lain di Hongkong, Estonia dan Slovakia juga menerapkan pungutan kepada para pelaku kegiatan di sektor jasa keuangan dalam rangka membiayai operasionalnya; Filosofi dari pendanaan ini adalah bahwa lembaga resmi negara, yang independen 1) dapat dibiayai dari APBN dan 2) dengan kekuatan Undang- Undang dibenarkan memungut dengan pertanggungjawaban dan akuntabilitas sebagaimana diatur dalam Pasal 38 UU OJK; Pungutan menjadi sumber dana operasional OJK, sehingga segala kegiatan yang berkaitan dengan pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan dapat dilakukan dengan lebih independen, mengingat secara kelembagaan, OJK berada di luar Pemerintah. Pungutan terhadap pihak yang melakukan kegiatan di sektor keuangan yang dilakukan OJK sudah sejalan dengan UUD 1945 karena pungutan tersebut didasarkan pada Undang- Undang. V. Isu terakhir berkaitan dengan sistem Pelaporan dan Akuntabilitas. Secara filosofis pelaporan dan akuntabilitas ini harus diikuti dengan ketentuan- ketentuan dalam Pasal 38 UU OJK yang dijabarkan dalam 10 ayat, menyangkut mengenai: - laporan keuangan serta laporan kegiatan; - laporan ke DPR dan Presiden Rl dengan standar dan kebijakan akuntansi yang ditetapkan OJK; - audit yang dilakukan oleh BPK; dan pengumuman laporan tahunan OJK kepada publik melalui media; Pengaturan rinci itu menurut saya telah cukup menjawab kekhawatiran para Pemohon dengan sekalian memahami filosofi konsep pelaporan dan akuntabilitas OJK tersebut; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 166 VI. Secara umum saya ingin menyampaikan bahwa permohonan tidak ditopang argumentasi yang kuat, juga tidak didukung bukti. Berbagai pernyataan yang terdapat dalam permohonan bersifat simplistik, menggampangkan persoalan, dangkal, a priori dan kategori lain semacam itu. Dengan demikian semua tuntutan dalam permohonan sangat patut untuk ditolak.
Pertanggungjawaban atas Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2006.