Pengujian Undang-Undang nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara terhadap UUD 1945 dan Pengujian Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendah ...
Relevan terhadap
persetujuan dari DPR. Hal ini sebagaimana yang diatur dalam Pasal 23 ayat (1) UU Keuangan Negara yang menyatakan bahwa Pemerintah Pusat dapat memberikan hibah/pinjam,an kepada atau meneria hibah/pinjaman dari pemerintah/lembaga asing dengan persetujuan DPR. Frasa Pemerintah Pusat disini termasuk pula Menteri Keuangan yang telah mendapat kuasa dari Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf a UU Keuangan Negara. 5. Bahwa berdasarkan konsep yang dikemukakan oleh Bank Indonesia, menyatakan bahwa pinjaman luar negeri adalah semua pinjaman yang menimbulkan kewajiban membayar kembali terhadap pihak luar negeri baik dalam valuta asing maupun dalam rupiah. Termasuk dalam pengertian pinjaman luar negeri adalah pinjaman dalam negeri yang menimbulkan kewajiban membayar kembali terhadap pihak luar negeri. Pinjaman luar negeri Indonesia dibedakan dalam 2 kelompok besar, yaitu pinjaman luar negeri yang diterima Pemerintah ( public debt ) dan pinjaman luar negeri yang diterima swasta ( private debt ). Dilihat dari sumber dananya, pinjaman luar negeri dibedakan ke dalam pinjaman multilateral, pinjaman bilateral dan pinjaman dindikasi. Sedangkan dilihat dari segi persyaratan pinjaman, dibedakan dalam pinjaman lunak ( concessional loan ), pinjaman setengah lunak ( semi concenssional loan ) dan pinjaman komersial ( commercial loan ). 6. Bahwa selanjutnya secara konsep dijelaskan pula bahwa pinjaman luar negeri yang diterima Pemerintah adalah merupakan penerimaan Pemerintah sebagai pelengkap dalam membiayai pembangunan di luar penerimaan lain dalam bentuk penerimaan pajak dan penerimaan negara bukan pajak. Dengan kata lain, penerimaan pinjaman luar negeri merupakan komponen Pendapatan dan Belanja Negara (PBN) yang proses penyusunan tanpa melibatkan seluruh departemen dan lembaga pemerintah non departemen serta parelemen (DPR). Demikian juga dalam pengelolaan pinjaman luar negeri Pemerintah, pengelolaannya dilakukan secara bersama oleh instansi-instansi terkait di bawah koordinasi Menteri Koordinator Perekonomian yang antara lain terdiri atas Bappenas, Departemen Keuangan, Bank Indonesia dan
Pengujian UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara terhadap UUD Negara RI Tahun 1945 ...
Relevan terhadap
• Mengingat fungsi yang sangat penting tersebut, Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa APBN harus dituangkan atau harus ditetapkan dalam bentuk undang-undang. Itu dari sisi proses dan bentuknya. Kemudian dalam pelaksanaannya, harus dilaksanakan secara terbuka dan bertanggungjawab. Ketiga, APBN harus ditujukan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat; • Mengapa APBN harus ditetapkan dengan undang-undang ? Ahli melihat di semua negara demokrasi, di dalam konstitusinya pasti mengatur tentang anggaran negara dan pasti ditentukan bahwa penyusunan anggaran negara itu harus dalam bentuk undang-undang, atau kalau dalam negara lain bisa dikatakan harus dalam bentuk Parlemen. Pembahasan dilakukan di level parlemen, pertama , karena APBN itu merupakan wujud pengakuan terhadap kedaulatan rakyat. Sesuai dengan konsepsi demokrasi sebagai pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat, maka rakyat melalui wakilnya yang memiliki hak untuk menentukan berapa besar penerimaan negara, diperoleh dari mana, jangan sampai penerimaan seluruhnya diperoleh dari pajak, misalnya. Dan digunakan untuk apa dalam periode satu tahun anggaran. Jadi, APBN itu merupakan wujud dari kedaulatan rakyat. Kedua , APBN tidak dapat ditetapkan dalam bentuk hukum selain undang-undang karena APBN merupakan otorisasi kepada pemerintah sebagai pelaksana. Dan sebagai pelaksana pemerintah tentu akan dibebani tanggung jawab. DPR dalam hal ini sebetulnya bisa dikatakan sebagai pemberi otorisasi yang menyetujui jumlah dan tujuannya yang ada di dalam APBN. Ketiga , APBN memuat rencana tindakan yang akan dilakukan oleh pemerintah, pemerintah dalam hal ini tentu kalau dalam APBN adalah sesuai dengan rencana kerja anggaran kementerian dan lembaga setiap kementerian dan setiap lembaga. Nah, sesuai dengan mekanisme ketatanegaraan apa yang akan dilakukan oleh setiap kementerian dan lembaga itu tentu berdasarkan prinsip checks and balances menjadi wilayah pengawasan dari DPR karena itu DPR harus mengawasinya. Dan salah satu kontrol pertama pengawasan DPR adalah dengan cara ikut membahas dan menyetujui rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara. Mengingat fungsi penting dari APBN tersebut, konstitusi menentukan proses yang berbeda pembahasan dan penyusunan APBN itu Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
Standar, Uji, dan Pengembangan Kompetensi Jabatan Fungsional Penilai Pemerintah
Rekening Milik Kementerian Negara/Lembaga/Satuan Kerja.
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disebut BUN adalah Menteri Keuangan.
Kuasa Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disebut Kuasa BUN adalah Kuasa BUN Pusat dan Kuasa BUN di Daerah.
Kuasa BUN Pusat adalah Direktur Jenderal Perbendaharaan.
Kuasa BUN di Daerah adalah Kepala Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara.
Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disingkat KPPN adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang memperoleh kuasa dari BUN untuk melaksanakan sebagian fungsi Kuasa BUN.
Kementerian Negara/Lembaga adalah Kementerian Negara/Lembaga Pemerintah Non Kementerian Negara/Lembaga Negara.
Satuan Kerja adalah unit instansi vertikal di bawah/ di lingkungan Kementerian Negara/Lembaga dan Satuan Kerja Perangkat Daerah yang mengelola dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan, termasuk Badan Layanan Umum.
Badan Layanan Umum, yang selanjutnya disingkat BLU adalah instansi di lingkungan pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas.
Rekening adalah Rekening milik Kementerian Negara/Lembaga/Satuan Kerja yang dibuka pada bank umum/kantor pos dalam bentuk giro dan/atau deposito, yang dapat didebit dan/atau dikredit dalam rangka pengelolaan keuangan Kementerian Negara/Lembaga/Satuan Kerja.
Rekening Penerimaan adalah Rekening giro pemerintah pada bank umum/kantor pos yang dipergunakan untuk menampung uang pendapatan Negara dalam rangka pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara pada Kementerian Negara/Lembaga/Satuan Kerja.
Rekening Pengeluaran adalah Rekening giro pemerintah pada bank umum/kantor pos yang dipergunakan untuk menampung uang bagi keperluan belanja negara dalam rangka pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara pada Kementerian Negara/Lembaga/Satuan Kerja, termasuk didalamnya Rekening bendahara pengeluaran pembantu.
Rekening Lainnya adalah Rekening giro dan/atau deposito pada bank umum/kantor pos yang dipergunakan untuk menampung uang yang tidak dapat ditampung pada Rekening Penerimaan dan Rekening Pengeluaran berdasarkan tugas dan fungsi Kementerian Negara/Lembaga/Satuan Kerja.
Rekening Pengelolaan Kas BLU adalah Rekening Lainnya dalam bentuk giro dan/atau deposito milik BLU untuk penempatan idle cash pada bank umum yang terkait dengan pengelolaan kas BLU.
Rekening Operasional BLU adalah Rekening Lainnya dalam bentuk giro milik BLU yang dipergunakan untuk menampung seluruh penerimaan atau membayar seluruh pengeluaran BLU yang dananya bersumber dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) BLU pada bank umum.
Rekening Dana Kelolaan adalah Rekening Lainnya dalam bentuk giro milik BLU yang dipergunakan untuk menampung dana yang tidak dapat dimasukkan ke dalam Rekening Operasional BLU dan Rekening Pengelolaan Kas BLU pada bank umum, untuk menampung dana antara lain:
Dana bergulir; dan/atau ; b. Dana yang belum menjadi hak BLU.
Rekening Penyaluran Dana Bantuan Sosial adalah Rekening Lainnya dalam bentuk giro pemerintah yang dibuka oleh Kementerian Negara/Lembaga/Satuan Kerja untuk menyalurkan dana bantuan sosial kepada penerima bantuan sosial melalui bank/pos penyalur.
Rekening Penampungan Dana Hibah Langsung adalah Rekening Lainnya dalam bentuk giro pemerintah yang dibuka oleh Kementerian Negara/Lembaga/Satuan Kerja dalam rangka pengelolaan hibah langsung dalam bentuk uang.
Rekening Penampungan Sementara adalah Rekening Lainnya dalam bentuk giro pemerintah yang dipergunakan untuk menampung penerimaan sementara untuk tujuan tertentu.
Rekening Penampungan Dana Jaminan adalah Rekening Lainnya dalam bentuk giro pemerintah yang dipergunakan untuk menampung dana jaminan pihak ketiga yang nantinya akan dikembalikan lagi kepada yang berhak.
Rekening Penampungan Dana Titipan adalah Rekening Lainnya dalam bentuk giro pemerintah yang dipergunakan untuk menampung dana titipan apabila terjadi kasus hukum yang mengharuskan untuk dilakukan sitaan dana.
Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri yang selanjutnya disebut Perwakilan RI adalah Perwakilan Diplomatik dan Perwakilan Konsuler Republik Indonesia yang secara resmi mewakili dan memperjuangkan kepentingan bangsa, negara, dan Pemerintah Republik Indonesia secara keseluruhan di negara penerima atau pada organisasi internasional.
Rekening Rutin dalam bentuk Valuta Dolar Amerika adalah Rekening Lainnya dalam bentuk giro milik Perwakilan RI untuk menampung pengiriman remise/uang persediaan dari Pusat ke Perwakilan dengan tujuan membiayai kegiatan operasional kegiatan perwakilan.
Rekening Rutin dalam bentuk Valuta Setempat adalah Rekening Lainnya dalam bentuk giro milik Perwakilan RI di luar negeri yang dipergunakan untuk Perwakilan RI yang tidak menggunakan mata uang Dolar Amerika dalam melaksanakan transaksi keuangan.
Rekening Kas Besi dalam Valuta Dolar Amerika adalah Rekening Lainnya dalam bentuk giro milik Perwakilan RI di luar negeri yang dipergunakan untuk menyimpan dana cadangan di Perwakilan RI terhadap berjaga-jaga atau keadaan yang mungkin timbul karena keterlambatan remise.
Rekening Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dalam Valuta Dolar Amerika adalah Rekening Lainnya dalam bentuk giro milik Perwakilan RI di luar negeri yang dipergunakan untuk menampung seluruh penerimaan negara yang merupakan Rekening antara sebelum disetor ke Bendahara Penerimaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Pusat, yang selanjutnya disetor ke Kas Negara.
Rekening Antara dalam Valuta Dolar Amerika adalah Rekening Lainnya dalam bentuk giro yang diperlukan oleh beberapa Perwakilan RI di luar negeri yang mendapat kesulitan untuk membuka Rekening di negara akreditasi.
Rekening Dana Titipan di Luar Negeri adalah Rekening Lainnya dalam bentuk giro valuta Dolar Amerika atau Valuta Setempat milik Perwakilan RI yang dipergunakan untuk menampung dana yang tidak termasuk pada Rekening lainnya pada Perwakilan RI.
Kas Negara adalah tempat penyimpanan uang negara yang ditentukan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara, untuk menampung seluruh Penerimaan Negara dan membayar seluruh Pengeluaran Negara.
Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan/atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
Kantor Pos adalah unit pelaksana teknis penyedia layanan jasa pos dan giro serta layanan pihak ketiga lainnya.
Kuasa Pengguna Anggaran, yang selanjutnya disingkat KPA, adalah pejabat yang memperoleh kuasa dari PA untuk melaksanakan sebagian kewenangan dan tanggungjawab penggunaan anggaran Kementerian Negara/Lembaga/Satuan Kerja yang bersangkutan.
Treasury Notional Pooling yang selanjutnya disingkat TNP, adalah sistem yang digunakan untuk mengetahui posisi saldo konsolidasi dari seluruh Rekening Pengeluaran, Rekening Penerimaan, dan Rekening Lainnya milik Kementerian Negara/Lembaga/Satuan Kerja yang terdapat pada seluruh kantor cabang Bank Umum/badan lainnya yang bersangkutan tanpa harus melakukan perpindahan dana antar Rekening.
Pengujian UU No. 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden
Relevan terhadap
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Kepaniteraan Mahkamah) pada tanggal 7 Mei 2009 dengan registrasi Nomor 104/PUU-VII/2009, yang telah diperbaiki dengan perbaikan bertanggal 23 Juli 2009 dan diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 3 Agustus 2009 yang menguraikan hal-hal sebagai berikut: I. Pendahuluan Sebagaimana diketahui bahwa semenjak Indonesia merdeka tahun 1945 sampai sekarang tahun 2008 pendapatan pajak adalah merupakan tulang punggung Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) karena lebih kurang 75% pendapatan APBN bersumber dari pendapatan pajak. Oleh karena itu perhatian terhadap masalah perpajakan ini perlu mendapat perhatian yang sangat hati-hati dan sungguh-sungguh dan seadil-adilnya. Karena apabila masyarakat merasa diperlakukan tidak adil dalam penerapan pajak, maka masyarakat bisa menjadi apatis tidak mau berpartisipasi membayar pajak. Jika terjadi hal yang demikian, negara menjadi lumpuh tidak dapat membayar gaji para pengelola negara dan tidak bisa membangun infra struktur. Demikian pentingnya masalah pajak ini, maka UUD 1945 Pasal 23A mencantumkan "Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang". Diatur dengan undang-undang terkandung maksud diatur seadil-adilnya. II. Kewenangan Mahkamah Konstitusi Bahwa Pasal 24 ayat (1) perubahan ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya UUD 1945) juncto Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya UU MK) menyatakan, "Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, kewenangan lembaga negara yang kewenangannya dberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran _partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum"; _ III. Permohonan Dan Kepentingan Hukum ( Legal Standing ) 1. Bahwa Pasal 51 ayat (1) UU MK menyatakan, "Para Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh _berlakunya undang-undang yaitu: _ a. perorangan warga negara Indonesia.
Uji materiil terhadap Pasal-Pasal dalam Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan ...
Relevan terhadap
Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan berdasarkan:
hasil Pemeriksaan atau Pemeriksaan ulang terhadap data baru yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang, termasuk data yang semula belum terungkap; Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 18 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 19 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 b. hasil Verifikasi, Pemeriksaan atau atau Pemeriksaan ulang atas data baru berupa Putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap terhadap Wajib Pajak yang dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan atau tindak pidana lainnya yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara;
hasil Verifikasi atas data baru berupa hasil klarifikasi/konfirmasi Faktur Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) huruf a, yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang; atau d. hasil Verifikasi atas keterangan tertulis dari Wajib Pajak atas kehendak sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang.
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan berdasarkan hasil Pemeriksaan atau Pemeriksaan ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diterbitkan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak.
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan berdasarkan hasil Verifikasi, Pemeriksaan atau Pemeriksaan ulang terhadap Putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diterbitkan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak.
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan berdasarkan hasil Verifikasi, Pemeriksaan atau Pemeriksaan ulang terhadap Putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tetap dapat diterbitkan setelah jangka waktu 5 (lima) tahun terlampaui sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak.
Jumlah pajak yang kurang dibayar dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan hasil Verifikasi atas keterangan tertulis dari Wajib Pajak atas kehendak sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d harus sesuai Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 19 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 20 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 dengan jumlah kekurangan bayar berdasarkan keterangan tertulis dari Wajib Pajak.
bahwa dalam rangka untuk lebih memberikan keadilan dan meningkatkan pelayanan kepada Wajib Pajak dan untuk lebih memberikan kepastian hukum serta mengantisipasi perkembangan di bidang teknologi informasi dan perkembangan yang terjadi dalam ketentuan-ketentuan materiil di bidang perpajakan perlu dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang No. 16 Tahun 2000;
4 Bahwa landasan dasar teori atau grand theory tentang asas keadilan dan kepastian hukum dalam pengenaan pajak, dapat kiranya dirujuk pada :
Pasal 23A UU D 1945 yang mengatur sebagai berikut: “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang- Undang” b. Pasal 1 angka 1 UU KUP yang mengatur sebagai berikut: Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 26 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 27 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 “Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Penjelasan Umum UU KUP sebagaimana tersebut pada nomor 1 dan nomor 4 yang berbunyi sebagai berikut:
Tax Payer’s basic rights yang pada umumnya merupakan best practice dan dirujuk sebagai international accepted concept/theory mengajarkan bahwa Wajib Pajak mempunyai hak- hak dasar sebagai berikut:
Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktorat Jenderal Pajak atas suatu:
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan c. Surat Ketetapan Pajak Nihil d. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar ; atau e. Pemotongan atas pemungutan pajak oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan 4.6 Bahwa sebagai implementasi dari asas kepastian hukum bagi Wajib Pajak selain terlaksananya administrasi perpajakan, maka penyelesaian Surat Keberatan Pajak oleh Direktorat Jenderal Pajak dibatasi oleh waktu sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (1) UU KUP yang kutipannya telah disampaikan tersebut diatas.
7 Bahwa ketentuan tersebut, pada Pasal 41 PP No. 74 Tahun 2011 nyata-nyata telah menyebabkan Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 28 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 29 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 timbulnya keragu-raguan dan menimbulkan multi tafsir dalam pelaksanaannya mengingat:
Apakah apabila setelah putusan gugatan dikabulkan dan diproses ulang dan kemudian diputus oleh Dirjen Pajak, upaya hukum bandingnya ke Pengadilan Pajak dipastikan tidak menghadapi prinsip nebis in idem sebagaimana diatur dalam Pasal 80 ayat (2) UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak yang mengatur sebagai berikut:
Putusan Pengadilan dapat berupa:
Menolak;
Mengabulkan sebagian atau seluruhnya c. Menambah pajak yang harus dibayar d. Tidak dapat diterima e. Membetulkan kesalahan tulis dan/atau kesalahan hitung; dan/atau f. membatalkan (2) Terhadap putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat lagi diajukan gugatan, banding atau kasasi Sehingga apabila setelah diproses kembali dan terhadap Keputusan Keberatan a quo diajukan lagi banding ke Pengadilan Pajak maka kemungkinan bisa saja akan dinyatakan tidak dapat diterima ( Niet on vankelijk ) oleh Pengadilan Pajak berdasarkan Pasal 80 UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Selanjutnya ketentuan a quo juga menimbulkan pertanyaan, bagaimana jika Pengadilan Pajak yang merupakan judex factie dan judex juris pada waktu mengadili perkara gugatan sebagaimana dimaksud pada Pasal 41 PP No. Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 29 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 30 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 74 Tahun 2011 sekaligus memeriksa materi yang disengketakan oleh Wajib Pajak karena tidak ada ketentuan atau pasal di UU no. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak yang melarang untuk itu.
Ketentuan tersebut akan sangat rawan terhadap kemungkinan penyalahgunaan wewenang abuse of power oleh Pejabat yang memutus Surat Keberatan, yang bisa dengan mudah menyatakan bahwa keberatan tidak memenuhi syarat formal karena tidak ada akibatnya bila nantinya digugat di Pengadilan Pajak dan tinggal tunggu saja putusan Pengadilan Pajak kemudian proses dilanjutkan kembali sesuai dengan batas waktu 12 (dua belas) bulan terhitung sejak putusan gugatan dimaksud, apabila gugatan dimenangkan Wajib Pajak tanpa harus khawatir dengan batas waktu 12 bulan a quo (semacam pembantaran penyelesaian Surat Keberatan), padahal batas waktu tersebut sudah diatur dalam Pasal 26 ayat (1) UU KUP demi kepastian hukum.
8 Bahwa ketentuan seperti ini nyata-nyata tidak sesuai dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik karena kesalahan atau kekhilafan Direktur Jenderal Pajak dalam memutus surat Keberatan dikesampingkan oleh PP No. 74 tahun 2011 dan bahkan secara hukum kesalahan a quo dialihkan menjadi beban Wajib Pajak yang meskipun memenangkan gugatan tetapi proses pemeriksaan keberatan tetap dilanjutkan kembali seperti Surat Keberatan baru sehingga Wajib Pajak yang dihadapkan pada proses berlarut-larut dalam mencari keadilan dan memakan waktu serta biaya yang tambah besar. Sungguh tidak adil.
Ditinjau dari legal drafting (pembentukan peraturan perundang-undangan) sebagaimana diatur dalam UU Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 30 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 31 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, pembentukan Pasal 41 dimaksud, menurut Pemohon adalah:
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
Peraturan Pemerintah;
Peraturan Presiden;
Peraturan Daerah Provinsi; dan
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota” Dengan kata lain, Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011 tersebut sesuai serta dijiwai oleh asas lex superiori derogat lex inferiori IV.2.2 Kesimpulan Bahwa berdasarkan alasan dan pertimbangan hukum diatas menurut Pemohon nyata- nyata sudah dapat disimpulkan dan terbukti sebagai berikut:
Pasal 41 ayat (2) dan ayat (3) PP No. 74 Tahun 2011 telah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yaitu Pasal 26 ayat (1) dan ayat (5) jo Pasal 25 UU KUP 2. Pembentukan Peraturan Pasal 41 ayat (2) dan (3) tersebut tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku sebagaimana diatur dalam Pasal 5 dan 7 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Pelaksanaan dan ketentuan tersebut sangat rawan terhadap penyalahgunaan wewenang ( abuse of power ) dan tidak sesuai dengan asas-asas umum Pemerintahan yang baik. Bahwa sehubungan itu, dengan hormat mohon kepada Majelis Hakim Agung Yang Mulia yang mengadili perkara permohonan Hak Uji Materiil a quo agar berkenan menyatakan tidak sah serta tidak mengikat dan karenanya mencabut Pasal 41 ayat (2) dan ayat (3) PP No. 74 Tahun 2011. IV. 3. Pasal 43 ayat (6) huruf c PP No. 74 Tahun 2011 IV.3.1 Uraian Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 33 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 34 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 1. Bahwa Pasal 43 ayat (6) huruf c PP No. 74 Tahun 2011, mengatur ketentuan sebagai berikut: Pelaksanaan pemberian imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berlaku ketentuan sebagai berikut:
Dalam hal...... dst b. Dalam hal......dst c. Dalam hal atas Putusan Banding diajukan permohonan Peninjauan Kembali, imbalan bunga diberikan apabila Putusan Peninjauan Kembali telah diterima oleh Direktur Jenderal Pajak dari Mahkamah Agung.
Bahwa Pasal 43 ayat (1) dan ayat (2) mengatur sebagai berikut:
Apabila pengajuan keberatan, permohonan banding, atau permohonan Peninjauan Kembali dikabulkan sebagian atau seluruhnya, selama pajak yang masih harus dibayar dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan yang telah dibayar menyebabkan kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27A Undang-Undang, kelebihan pembayaran dimaksud dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan (2) Apabila pengajuan keberatan, permohonan banding, atau permohonan Peninjauan Kembali sehubungan dengan Surat Ketetapan Pajak Nihil dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar dikabulkan sebagian atau seluruhnya dan menyebabkan kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27A Undang-Undang, kelebihan pembayaran dimaksud dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.
Bahwa Pasal 27A UU KUP, yang dirujuk oleh Pasal 43 ayat (1) dan (2) PP No. 74 Tahun 2011 sebagai dasar hukum pemberian bunga, pada dasarnya formulanya/ungkapannya adalah persis sama dengan Pasal 27A ayat (1) dimaksud, yakni sebagai berikut:
Apabila pengajuan keberatan, permohonan banding, atau permohonan peninjauan kembali dikabulkan sebagian atau seluruhnya, selama pajak yang masih harus dibayar Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 34 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 35 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 sebagaimana dimaksud dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil, dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar yang telah dibayar menyebabkan kelebihan pembayaran pajak, kelebihan pembayaran dimaksud dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dengan ketentuan sebagai berikut: Menurut pendapat Pemohon , ketentuan pada Pasal 27 ayat (1) UU KUP a quo adalah merupakan ungkapan dari asas keseimbangan antara hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak sebagaimana dituangkan dalam penjelasan umum No. 4 huruf d UU KUP.
Bahwa memang benar menurut ayat (3) dari Pasal 27A a quo : “Tata cara penghitungan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dan pemberian imbalan bunga diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan agar pemanfaatan hak untuk meminta bunga tersebut berjalan tertib dan sesuai prosedur.
Bahwa ternyata yang muncul bukan peraturan pelaksanaan seperti yang diamanatkan pada ayat (3) Pasal 27A tersebut diatas (yang berisi tata cara perhitungan pengembalian), tetapi justru “Pengaturan lain” dalam bentuk Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2011 yang pada Pasal 43 ayat (6) a quo jelas mengatur bahwa Dirjen Pajak akan menunda pembayaran bunga dimaksud sampai dengan diterimanya putusan tentang Peninjauan Kembali dari Mahkamah Agung, yang menurut Pemohon, hal itu jelas merupakan perluasan kewenangan Dirjen yang mestinya tidak perlu dan tidak boleh diatur karena tidak diamanatkan dalam Pasal 27A UU KUP yang sekaligus berarti mengurangi hak Wajib Pajak yang sebenarnya telah dijamin dalam Pasal 27A UU KUP, sehingga ketentuan tersebut melanggar asas keadilan yang merupakan salah satu landasan norma dalam UU KUP.
Bahwa Pasal 43 ayat (6) huruf c PP No. 74 Tahun 2011 tersebut juga mencederai asas keseimbangan hak dan kewajiban perpajakan yang juga menjiwai UU KUP, sehingga dalam penerapannya akan melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik karena dalam hal Wajib Pajak dikenai sanksi Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 35 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 36 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 administratif berupa denda atau bunga misalnya, Wajib Pajak tidak mendapatkan hak penundaan pembayaran yang sama seperti Direktur Jenderal Pajak.
Bahwa ketentuan Pasal 43 ayat (6) huruf c PP No. 74 Tahun 2011 a quo juga bertentangan dengan atau setidak-tidaknya tidak selaras dengan 7.1. Pasal 89 ayat (2) UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (Vide Bukti: P11) yang mengatur sebagai berikut:
Permohonan Peninjauan Kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan Pengadilan Pajak 7.2. Pasal 86 UU No 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak yang mengatur bahwa: “Putusan Pengadilan langsung dapat dilaksanakan dengan tidak memerlukan lagi keputusan pejabat yang berwenang kecuali peraturan perundang-undangannya mengatur lain” 7.3. Pasal 88 ayat (2) UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak yang mengatur sebagai berikut:
Putusan Pengadilan Pajak harus dilaksanakan oleh Pejabat yang berwenang dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diterima putusan 8. Bahwa ditinjau dari UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, ketentuan Pasal 43 ayat (6) huruf c PP No. 74 Tahun 2011 tersebut melanggar asas “ lex superiori derogat lex inferiori ”, mengingat Pasal 7 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 a quo yang mengatur sebagai berikut: “Kekuatan hukum peraturan perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1)” Dalam penjelasan Pasal 7 ayat (2) UU NO. 12 Tahun 2011 a quo menyatakan sebagai berikut: “Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “hierarki” adalah penjenjangan setiap jenis peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi”. Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 36 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 37 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 9. Bahwa menurut Pemohon, Pasal 43 ayat (6) huruf c tersebut juga menyimpang dari syarat-syarat/landasan peraturan perundang- undangan yang baik (good legislation) yaitu salah satunya landasan yuridis ( juridische gronslag )yang mengajarkan bahwa peraturan perundang-undangan diharuskan mempunyai dasar hukum atau legalitas terutama dari peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi dan karenanya tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Dengan kata lain sesuai ajaran “ Stufenbau Theory ” (teori Norma Hukum Berjenjang) norma yang lebih rendah memperoleh kekuatan, keabsahan atau validitas dari norma yang derajatnya lebih tinggi (ada keselarasan vertical).
Bahwa dilihat dari ajaran “Norma Hukum Berjenjang” tersebut, Pasal 43 ayat (6) huruf c PP No. 74 Tahun 2011 juga nyata-nyata melanggar prinsip keselarasan apabila dilihat dari sudut Ketatanegaraan karena bertentangan dengan Pasal 89 ayat (2) UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak mengingat dinyatakan secara jelas bahwa “Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali tidak menunda pelaksanaan putusan Pengadilan Pajak”. Hal ini logis dan tepat karena putusan Pengadilan Pajak sesuai dengan Pasal 77 ayat (1) UU No. 14 Tahun 2002 langsung mempunyai kekuatan hukum tetap karena merupakan putusan tingkat pertama dan sekaligus terakhir. Dengan demikian Pasal 43 ayat (6) huruf c Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2011 yang pada dasarnya ada pada ranah eksekutif jelas melanggar/bertentangan dengan peraturan perundangan di bidang kekuasaan kehakiman (kekuasaan yudikatif) yaitu UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, padahal sebagai pemerintah yang baik, Dirjen Pajak seharusnya patuh pada UU termasuk UU dalam ranah yudikatif.
Bahwa sehubungan dengan itu, UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak pada Pasal 87 telah mengatur sebagai berikut: “Apabila putusan Pengadilan Pajak mengabulkan sebagian atau seluruh Banding, kelebihan pembayaran Pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku” Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 37 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 38 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 Bahwa peraturan perpajakan yang berlaku a quo adalah Pasal 27A UU KUP yang sudah dikutip tersebut di atas.
Bahwa Putusan Pengadilan Pajak yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) sesuai dengan Pasal 77 UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak seharusnya dilaksanakan secara utuh oleh Direktorat Jenderal Pajak dan tidak boleh ditunda sesuai dengan Pasal 89 ayat (2) UU Pengadilan Pajak a quo . Dengan demikian Pasal 43 ayat (6) huruf c PP No. 74 Tahun 2011 nyata-nyata telah bertentangan dengan Undang-Undang Pengadilan Pajak a quo .
Bahwa pembentukan Pasal 43 ayat (6) huruf c PP No. 74 Tahun 2011 ditinjau dari substansinya kurang sesuai dengan asas kelembagaan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 angka 2 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan karena substansinya seharusnya dimuat dalam UU KUP, dan juga tidak sesuai dengan asas keadilan (karena menimbulkan ketidakadilan bagi Wajib Pajak), asas keseimbangan, keserasian dan keselarasan antara Dirjen Pajak dan Wajib Pajak, dan asas ketertiban dan kepastian hukum (karena menimbulkan ketidak tertiban dan ketidakpastian).
Bahwa Pasal 43 ayat (6) huruf c PP No. 74 Tahun 2011 tersebut juga bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengatur sebagai berikut:
Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan (2) Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi (3) Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam Undang-Undang 15. Bahwa sehubungan dengan itu, Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Vide Bukti : P12) mengatur sebagai berikut: Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 38 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 39 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 “Pengadilan Khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 yang diatur dengan Undang-Undang” 16. Bahwa disamping itu, Pasal 9A Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Vide Bukti: P13) mengatur sebagai berikut: “Di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dapat diadakan pengkhususan yang diatur dengan Undang-Undang” Dalam penjelasan Pasal 9A a quo ditegaskan: “Yang dimaksud dengan “pengkhususan” adalah diferensiasi atau spesialisasi di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, misalnya Pengadilan Pajak” 17. Bahwa dengan demikian Pengadilan Pajak yang diatur dengan Undang-Undang No. 14 Tahun 2002 adalah Pengadilan sebagai pelaksana dari Kekuasaan Kehakiman di bawah Mahkamah Agung yang sah, sehingga karena itu Pengadilan Pajak melaksanakan kekuasaan kehakiman yang merdeka guna menegakkan hukum dan keadilan dalam menyelesaikan sengketa pajak, yang merupakan pengadilan khusus dan berada dalam lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara.
Bahwa karena itu Pengadilan Pajak tidak boleh diintervensi baik dalam menjatuhkan putusan maupun dalam kaitan dengan regulasinya sehingga ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 43 ayat (6) huruf c nyata-nyata telah mengintervensi Pasal 89 ayat (2) jo Pasal 77 ayat (1) Undang-Undang No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak sebagaimana telah dikutip di atas.
Bahwa Pasal 43 ayat (6) huruf c PP No. 74 Tahun 2011 menurut Pemohon tidak dapat dikategorikan sebagai bentuk pelaksanaan dari prinsip “Freis emersen” yaitu prinsip kebebasan bertindak yang diberikan kepada Pemerintah mengingat:
Bahwa prinsip tersebut seharusnya digunakan ketika dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintahan tersebut dihadapkan pada tidak adanya peraturan perundang- undangan yang mengatur secara rinci b. Bahwa, ketentuan mengenai pemberian bunga a quo sudah diatur secara rinci sehingga yang seharusnya diterbitkan Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 39 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 40 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 adalah peraturan yang bersifat administratif yang diamanatkan oleh Pasal 27A ayat (3) yang mengatur sebagai berikut: “Tata Cara penghitungan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dan pemberian imbalan bunga diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan” c. Bahwa yang diterbitkan ternyata dalam bentuk Peraturan Pemerintah, bukan Peraturan Menteri Keuangan dan secara substansial bertentangan dengan asas keadilan dan asas kepastian hukum dari UU KUP dan juga bertentangan dengan UU Pengadilan Pajak IV.3.2. Kesimpulan Bahwa berdasarkan uraian, alasan dan pertimbangan hukum tersebut diatas secara sah dan meyakinkan telah terbukti dan dapat disimpulkan sebagai berikut:
Pasal 43 ayat (6) huruf c PP No. 74 Tahun 2011 secara substantif bertentangan dan tidak sejalan dengan Pasal 27A ayat (a) dan ayat (3) UU KUP dan juga bertentangan dengan Pasal 89 ayat (2) jo Pasal 77 ayat (1) UU jo Pasal 86 dan Pasal 88 ayat (2) No. 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.
Pembentukan ketentuan hukum Pasal 43 ayat (6) huruf c a quo nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang- Undangan yang berlaku yang diatur dalam Pasal 5, dan 7 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan. Bahwa sehubungan dengan itu, mohon kepada Majelis Hakim Agung Yang Mulia yang memeriksa dan mengadili perkara permohonan Hak Uji Materiil ini agar berkenan menyatakan tidak sah serta tidak mengikat dan karenanya mencabut Pasal 43 ayat (6) huruf c a quo dari PP No. 74 Tahun 2011. IV . 4. Pasal 29 ayat (3) PP No. 74 Tahun 2011 IV. 4.1 Uraian 1. Bahwa Pasal 29 PP No. 74 Tahun 2011 menyatakan sebagai berikut:
Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan atau menyampaikan Surat Pemberitahuan tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 40 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 41 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, tidak dikenai sanksi pidana apabila kealpaan tersebut pertama kali dilakukan oleh Wajib Pajak.
Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melunasi kekurangan pembayaran jumlah pajak yang terutang beserta sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 200% (dua ratus persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar yang ditetapkan melalui penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar.
Terhadap Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Wajib Pajak tidak dapat mengajukan:
keberatan;
pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi; dan
pengurangan atau pembatalan Surat Ketetapan Pajak yang tidak benar.
Bahwa Pasal 13A UU KUP mengatur sebagai berikut: Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan atau menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara,tidak dikenai sanksi pidana apabila kealpaan tersebut pertama kali dilakukan oleh Wajib Pajak dan Wajib Pajak tersebut wajib melunasi kekurangan pembayaran jumlah pajak yang terutang beserta sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 200% (dua ratus persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar yang ditetapkan melalui penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar. Penjelasan Pasal 13A adalah sebagai berikut: “Pengenaan sanksi pidana merupakan upaya terakhir untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak. Namun, bagi Wajib Pajak yang melanggar pertama kali ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 tidak dikenai sanksi pidana, tetapi dikenai sanksi administrasi” Oleh karena itu, Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan atau menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara tidak dikenai sanksi Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 41 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 42 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 pidana apabila kealpaan tersebut pertama kali dilakukan Wajib Pajak. Dalam hal ini, Wajib Pajak tersebut wajib melunasi kekurangan pembayaran jumlah pajak yang terutang beserta sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 200% (dua ratus persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar.
Bahwa Pasal 29 ayat (3) PP No. 74 Tahun 2011, substansinya bertentangan dengan:
1 Pasal 25 ayat (1) UU KUP yang mengatur sebagai berikut:
Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak atas suatu:
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar;
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan;
Surat Ketetapan Pajak Nihil ;
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar; atau
Pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan 3.2 Pasal 36 ayat (1) UU KUP yang mengatur sebagai berikut: Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat:
mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya;
mengurangkan atau membatalkan Surat Ketetapan Pajak yang tidak benar;
mengurangkan atau membatalkan Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 yang tidak benar; atau d. membatalkan hasil pemeriksaan pajak atau Surat Ketetapan Pajak dari hasil pemeriksaan yang dilaksanakan tanpa:
penyampaian surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan; atau 2. pembahasan hasil pemeriksaan dengan Wajib Pajak. Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 42 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 43 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 4. Bahwa Pajak adalah pungutan yang bersifat memaksa sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 UU KUP yang menyatakan sebagai berikut: “ Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar- besarnya kemakmuran rakyat” 5. Bahwa oleh karena sifat pajak yang dapat dipaksakan secara yuridis tersebut, agar pengenaan pajak tidak semena-mena maka asas-asas terpenting dari pajak sebagaimana diatur dalam konsiderans UU KUP adalah asas keadilan dan asas kepastian hukum.
Bahwa sehubungan dengan kedua asas tersebut, UU KUP memberikan hak yang sifatnya sangat mendasar kepada Wajib Pajak yaitu antara lain:
Hak mengajukan keberatan apabila Wajib Pajak tidak setuju dengan perhitungan pajak dari Direktur Jenderal Pajak sebagaimana telah disampaikan melalui kutipan Pasal 25 ayat (1) tersebut di atas.
Hak untuk mengajukan permohonan sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat (1) dengan penjelasan sebagai berikut: Penjelasan Pasal 36 ayat (1): Dalam praktik dapat ditemukan sanksi administrasi yang dikenakan kepada Wajib Pajak tidak tepat karena ketidaktelitian petugas pajak yang dapat membebani Wajib Pajak yang tidak bersalah atau tidak memahami peraturan perpajakan. Dalam hal demikian, sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang telah ditetapkan dapat dihapuskan atau dikurangkan oleh Direktur Jenderal Pajak. Selain itu, Direktur Jenderal Pajak karena jabatannya atau atas permohonan Wajib Pajak dan berlandaskan unsur keadilan dapat mengurangkan atau membatalkan Surat Ketetapan Pajak yang tidak benar, misalnya Wajib Pajak yang ditolak pengajuan keberatannya karena tidak memenuhi persyaratan formal (memasukkan surat keberatan tidak pada waktunya) meskipun persyaratan material terpenuhi. Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 43 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 44 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 Demikian juga, atas Surat Tagihan Pajak yang tidak benar dapat dilakukan pengurangan atau pembatalan oleh Direktur Jenderal Pajak karena jabatannya atau atas permohonan Wajib Pajak. Dalam rangka memberikan keadilan dan melindungi hak Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak atas kewenangannya atau atas permohonan Wajib Pajak dapat membatalkan hasil pemeriksaan pajak yang dilaksanakan tanpa penyampaian Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan atau tanpa dilakukan pembahasan akhir atas hasil pemeriksaan dengan Wajib Pajak. Namun, dalam hal Wajib Pajak tidak hadir dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan sesuai dengan batas waktu yang ditentukan, permohonan Wajib Pajak tidak dapat dipertimbangkan.
Bahwa dalam pasal-pasal yang mengatur hak dasar dari Wajib Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 25 maupun Pasal 36 sama sekali tidak ditemukan adanya pengecualian atau larangan bagi Wajib Pajak untuk menggunakan Pasal 25 maupun Pasal 36 UU KUP. Oleh karenanya ketentuan yang diatur dalam Pasal 29 ayat (3) PP No. 74 Tahun 2011 jelas bertentangan dengan Pasal 25 dan 36 UU KUP 8. Bahwa secara filosofi, hakikat dari Pasal 29 ayat (3) PP 74 Tahun 2011 nyata-nyata tidak selaras dengan asas keadilan dan asas kepastian hukum yang menjadi salah satu landasan filosofi dari UU KUP.
Bahwa lebih dari itu, sebenarnya hak untuk mencari keadilan dijamin dalam Pasal 28D UUD ’45 yang mengatur sebagai berikut:
Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Sehingga dengan demikian pembatasan/larangan untuk mengajukan keberatan pajak dan mengajukan pengurangan atau penghapusan sanksi administratif dan pengurangan atau pembatalan Surat Ketetapan Pajak yang tidak benar sungguh tidak selaras dengan hak asasi yang diatur dalam UUD ’45 dimaksud dan sulit untuk mengelak dari kesan adanya arogansi kekuasaan yang tentunya tidak sesuai dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik.
Bahwa Pasal 29 ayat (3) PP No. 74 Tahun 2011 juga telah nyata- nyata mengurangi hak Wajib Pajak yang dijamin dengan UU KUP. Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 44 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 45 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 11. Bahwa ditinjau dari sudut pembentukan peraturan perundang- undangan (legal drafting) Pasal 29 ayat (3) PP No. 74 Tahun 2011 juga tidak sesuai dengan:
Ajaran teori Norma Hukum Berjenjang ( Stufenbau theorie des recht ) di Indonesia sebagaimana tercermin dalam Pasal 7 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang mengatur sebagai berikut: “Kekuatan hukum peraturan perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1)” Penjelasan dari Pasal 7 ayat (2) tersebut adalah sebagai berikut: “Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “hierarki” adalah perjenjangan setiap jenis peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi” b. Bahwa Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mengatur sebagai berikut:
Jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan terdiri atas:
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang d. Peraturan Pemerintah e. Peraturan Presiden f. Peraturan Daerah Provinsi dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota Bahwa oleh karena itu PP No. 74 Tahun 2011 yang kedudukannya dibawah Undang-Undang seharusnya tidak boleh bertentangan dan juga tidak boleh mengurangi/menambah ketentuan yang diatur dalam UU KUP.
Bahwa dilihat dari asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik sebagaimana diatur dalam Pasal 5 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 45 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 46 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 Peraturan Perundang-undangan, maka Pasal 29 ayat (3) PP No. 74 Tahun 2011 juga tidak mengindahkan:
Bahwa apabila ditinjau dari materi muatan atau substansinya sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan maka Pasal 29 ayat (3) PP No. 74 Tahun 2011 tidak mencerminkan:
Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, dalam hal ini Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 36 ayat (1) UU KUP; dan atau b. Melanggar asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik sebagaimana diatur dalam Pasal 5 dan 7 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sehingga tidak memenuhi syarat sesuai Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 47 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 48 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 Bahwa sehubungan dengan itu, mohon karenanya agar Majelis Hakim Agung Yang Mulia yang memeriksa dan mengadili permohonan Hak Uji Materiil a quo berkenan menyatakan tidak sah serta tidak mengikat dan karenanya mencabut Pasal 29 dari PP No. 74 Tahun 2011. IV . 5. Pasal 37 PP No. 74 Tahun 2011 IV.5.1 Uraian 1. Bahwa Hukum Pajak pada dasarnya tergolong pada Hukum Publik yang termasuk dalam rumpun Hukum Administrasi Pemerintahan atau Hukum Tata Usaha Negara. Bahwa oleh karena itu Pengadilan Pajak yang diatur dengan UU No. 14 Tahun 2002 adalah merupakan Pengadilan Khusus dalam lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana diatur dalam Pasal 9A, UU No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang- Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang mengatur sebagai berikut: “Di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dapat diadakan pengkhususan yang diatur dengan Undang-Undang” Dalam penjelasan Pasal 9A a quo ditegaskan: “Yang dimaksud dengan ‘pengkhususan’ adalah diferensiasi atau spesialisasi di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, misalnya Pengadilan Pajak” 2. Bahwa Direktur Jenderal Pajak sesuai dengan Hukum Tata Usaha Negara adalah Pejabat Tata Usaha Negara yang dalam rangka pengenaan pajak pada dasarnya mengeluarkan/menerbitkan Ketetapan/Keputusan Pejabat Tata Usaha Negara yang terdiri dari:
Ketetapan Pajak yang berisi perhitungan besarnya pajak yang terutang sesuai dengan hasil pemeriksaan Pajak seperti Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil, Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar b. Keputusan-keputusan lainnya yang berisi tindakan-tindakan Direktur Jenderal Pajak selain menetapkan Pajak, seperti penerbitan Surat Paksa, Pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Penyitaan, Pengumuman Lelang, Pencegahan ke luar negeri, Pemberian/Penolakan atas permohonan fasilitas- fasilitas yang diatur sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 48 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 49 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 3. Bahwa terhadap tindakan-tindakan Direktur Jenderal Pajak baik berupa Ketetapan Pajak maupun keputusan lainnya dalam praktek bisa saja menimbulkan perselisihan atau persengketaan antara Wajib Pajak dengan Direktur Jenderal Pajak, sehingga oleh karena itu UU KUP memberikan upaya-upaya hukum yang pada dasarnya sebagai berikut:
Terhadap Ketetapan Pajak, Wajib Pajak dapat mengajukan Keberatan Pajak kepada Direktur Jenderal Pajak, sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (1) UU KUP b. Terhadap keputusan lainnya yang tidak berisi penetapan pajak, kepada Wajib Pajak diberikan upaya hukum berupa Gugatan sebagai mana diatur dalam Pasal 23 ayat (2) UU KUP 4. Bahwa Hak Wajib Pajak untuk mengajukan Keberatan Pajak dan Hak untuk menggugat itu adalah, hak yang sangat penting dan mendasar ( Tax Payer’s Basic Rights ) bagi Wajib Pajak sebagai implementasi dari asas keadilan dan asas kepastian hukum yang menjadi pilar dari UU KUP sebagaimana tercantum dalam konsideransnya mengingat pungutan pajak adalah bersifat memaksa sebagaimana diatur dalam Pasal 23A UUD 1945 jo Pasal 1 angka 1 UU KUP, sebagai berikut:
Pasal 23 UUD 1945 yang mengatur sebagai berikut: “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang” b. Pasal 1 angka 1 UU KUP yang mengatur sebagai berikut: “Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” 5. Bahwa apabila Wajib Pajak tidak setuju dengan perhitungan pajak yang dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak sebagai hasil pemeriksaan pajak makan UU KUP menyediakan upaya hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (1) yang menyatakan sebagai berikut:
Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktorat Jenderal Pajak atas suatu: Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 49 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 50 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan c. Surat Ketetapan Pajak Nihil d. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar; atau
Pemotongan atas pemungutan pajak oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan 6. Bahwa sehubungan dengan Permohonan Keberatan Wajib Pajak, Pasal 26 ayat (1) UU KUP mengatur sebagai berikut: “Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal Surat Keberatan diterima harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan” Bahwa penjelasan dari Pasal 26 ayat (1) adalah sebagai berikut: “Terhadap Surat Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak, kewenangan penyelesaian dalam tingkat pertama diberikan kepada Direktur Jenderal Pajak dengan ketentuan batasan waktu penyelesaian keputusan atas keberatan Wajib Pajak ditetapkan paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal Surat Keberatan diterima. Dengan ditentukannya batas waktu penyelesaian keputusan atas keberatan tersebut, berarti akan diperoleh suatu kepastian hukum bagi Wajib Pajak selain terlaksananya administrasi perpajakan” 7. Bahwa sehubungan dengan hak Wajib Pajak lainnya untuk menggugat, telah dijamin dan dirumuskan secara luas dalam Pasal 23 ayat (2) UU KUP yang mengatur sebagai berikut:
Dihapus (2) Gugatan Wajib Pajak atau Penanggung Pajak terhadap:
Pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau Pengumuman Lelang;
Keputusan pencegahan dalam rangka penagihan pajak;
Keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan, selain yang ditetapkan dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26; atau
Penerbitan surat Ketetapan Pajak atau Surat Keputusan Keberatan yang dalam penerbitannya tidak seusai dengan prosedur atau tata cara yang telah diatur dalam Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 50 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 51 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan hanya dapat diajukan kepada badan peradilan pajak 8. Bahwa penjelasan dari Pasal 23 ayat (2) UU KUP a quo secara keseluruhan mulai dari huruf a sampai dengan huruf d menyatakan “cukup jelas” dan tidak ada ketentuan dalam UU KUP yang memberi atribusi untuk mengatur lebih lanjut khususnya terhadap Pasal 23 ayat (2) a quo .
Bahwa namun demikian ternyata Pemerintah telah mengeluarkan peraturan pelaksanaan dari Pasal 23A huruf c UU KUP a quo dengan Pasal 37 dalam PP No. 74 Tahun 2011, yang bunyinya sebagai berikut: “Keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan yang diajukan gugatan kepada badan peradilan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) huruf c Undang- Undang meliputi keputusan yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak selain:
Surat ketetapan pajak yang penerbitannya telah sesuai dengan prosedur atau tata cara penerbitan;
Surat Keputusan Pembetulan;
Surat Keputusan Keberatan yang penerbitannya telah sesuai dengan prosedur atau tata cara penerbitan;
Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi;
Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi f. Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak g. Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak; dan
Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak” 10. Bahwa dilihat dari substansinya, Pasal 37 a quo sangat jelas mengurangi hak Wajib Pajak untuk menggugat yang sudah dijamin dan dirumuskan secara luas dan tegas dalam Pasal 23 ayat (2) huruf a sampai dengan huruf d UU KUP.
Bahwa sesuai dengan Hukum Tata Usaha Negara, rumusan Pasal 23 ayat (2) a quo adalah sudah tepat dan lengkap apabila dibaca sekaligus dengan Pasal 25 ayat (1) UU KUP, karena dengan demikian semua tindakan Direktur Jenderal Pajak yang menerbitkan Keputusan/Ketetapan Pajak pada dasarnya dapat digugat dan diajukan keberatan sehingga dengan demikian Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 51 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 52 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 ketentuan Pasal 37 PP No. 74 Tahun 2011 benar-benar tidak sesuai dengan Pasal 23 ayat (2) UU KUP dan tidak sesuai dengan hakekat Hukum Pajak sebagai Hukum Tata Usaha Negara.
Bahwa dilihat dari substansinya, Pasal 37 PP No. 74 Tahun 2011 a quo juga kurang sejalan dan bahkan mengurangi Kompetensi absolut dari Pengadilan Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (3) UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak yang mengatur sebagai berikut:
Pengadilan Pajak dalam hal Gugatan memeriksa dan memutus sengketa atas pelaksanaan penagihan Pajak atau Keputusan pembetulan atau Keputusan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomo 16 Tahun 2000 dan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
Bahwa Pasal 31 ayat (3) UU No. 14 tahun 2002 tersebut menunjuk pada Pasal 23 ayat (2) UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU No. 16 Tahun 2000 (UU KUP) yang bunyinya sebagai berikut:
Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah, merupakan dasar penagihan pajak.
Bahwa dalam konteks untuk menghapus NPWP atau pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, dalam UU KUP diatur sebagai berikut: Pasal 2 ayat (7) : Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan harus memberikan keputusan atas permohonan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dalam jangka waktu 6 (enam) bulan untuk Wajib Pajak Orang Pribadi atau 12 (dua belas) bulan untuk Wajib Pajak Badan, sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap. Pasal 2 ayat (9) : Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan harus memberikan keputusan atas permohonan pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap.
Bahwa menurut Pemohon Hak Uji Materiil, jenis kewenangan Dirjen Pajak yang disebut “Pemeriksaan” tersebut adalah sudah tepat dan memang harus diatur dengan Undang-Undang, dalam hal ini UU KUP sebagai Hukum Acara Perpajakan (Hukum Formal) mengingat perhitungan pajak yang dilakukan sendiri oleh Wajib Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 12 UU KUP (self- Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 12 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 13 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 assessment) adalah dianggap benar dan telah sesuai dengan Undang-Undang sepanjang belum dibuktikan sebaliknya oleh Direktur Jenderal Pajak, sehingga oleh karena itulah UU KUP memberikan kewenangan untuk melakukan pemeriksaan sebagaimana diatur dalam Pasal 12 ayat (3) jo Pasal 29 UU KUP sehingga dapat melakukan pengawasan, koreksi dan penegakan hukum apabila terbukti perhitungan pajak yang dilaporkan melalui Surat Pemberitahuan (SPT) oleh Wajib Pajak ternyata tidak benar. Dari hasil pemeriksaan tersebut kemudian dapat diterbitkan Surat Ketetapan Pajak, penghapusan NPWP dan pencabutan atas pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.
Bahwa tiba-tiba saja dengan PP No. 74 Tahun 2011, Dirjen Pajak diberikan kewenangan baru yang disebut dengan “Verifikasi” yang pada dasarnya diberi kekuatan hukum yang dapat dikatakan “sama” dengan “Pemeriksaan” yang sudah diatur dengan UU KUP, sehingga Pemohon menilai dan karenanya harus berpendapat bahwa telah terjadi “Penambahan Kewenangan secara tidak sah” pada Dirjen Pajak yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan yang derajat atau tingkatannya dibawah Undang-Undang (dalam hal ini UU KUP). Bahwa menurut Pemohon :
1 Penyusunan peraturan perundang-undangan sebagaimana tersebut dalam Pasal 1 angka 4 dan angka 5 serta kaitannya yaitu Pasal 13 ayat (1); Pasal 14 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 15, Pasal 18 ayat (1) huruf a Pasal 19; Pasal 20 ayat (1) dan (2), Pasal 30 ayat (2) huruf c, Pasal 35 ayat (1) huruf d; Pasal 38 ayat (2) dan ayat (3); Pasal 48 ayat (3), ayat (4); ayat (7); ayat (8); ayat (9) dan ayat (10), sepanjang yang menyangkut “Verifikasi” adalah:
tidak sesuai dengan “asas kelembagaan”(Pejabat Pembentuk Peraturan Perundang-undangan yang tepat) sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf b Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 13 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 14 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Vide bukti: P10). Karena seharusnya kewenangan Verifikasi yang sangat penting dan mempunyai akibat hukum yang luas tersebut diatur/dimuat di UU KUP sehingga DPR sesuai dengan Pasal 5 ayat (1) jo Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 bisa ikut menyetujui adanya penambahan kewenangan Dirjen Pajak a quo .
tidak sesuai dengan “asas Kesesuaian”, sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf c UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, karena dalam pembentukan peraturan perundang-undangan seharusnya benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarkinya, karena itu seharusnya kewenangan “Verifikasi” diatur dalam Undang- Undang bukan dengan Peraturan Pemerintah c. tidak sesuai dengan asas “kejelasan rumusan” sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf f UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan-undangan karena rumusannya sama atau tumpang tindih dengan kewenangan untuk melakukan “pemeriksaan”. Sedang produk hukumnya yang dihasilkan dari “Verifikasi” juga sama dengan “Pemeriksaan” dan bisa membebani serta mempunyai implikasi hukum yang luas termasuk bisa ditagih dengan Surat Paksa, padahal kewenangan “Verifikasi” tidak dikenal dalam UU KUP.
2 Bahwa Pemohon juga berpendapat sesuai dengan jiwa UU No. 12 Tahun 2011 a quo dan sesuai dengan prinsip lex superiori derogat lex inferiori seharusnya PP No. 74 Tahun 2011 yang merupakan aturan pelaksanaan dari UU KUP tidak Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 14 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 15 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 boleh menciptakan kewenangan baru yang memperluas ketentuan yang ada dalam UU KUP.
3 Bahwa menurut Ajaran Teori Norma Hukum Berjenjang yang antara lain diintrodusir oleh Hans Kelsen yang dikenal dengan nama “Stufenbau des Recht”, antara lain dapat dikatakan bahwa Norma Hukum yang lebih rendah memperoleh kekuatan dan keabsahaan hukum dari Norma Hukum yang lebih tinggi. Itu sebabnya Peraturan Perundang- Undangan yang lebih rendah seperti Peraturan Pemerintah tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang 12.4 Bahwa Pasal 7 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan menyatakan sebagai berikut: “Kekuatan hukum Peraturan Perundang-Undangan adalah sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1)” Dalam penjelasannya disebutkan sebagai berikut: “Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan hierarki adalah penjenjangan setiap jenis Peraturan Perundang-Undangan yang didasarkan pada asas bahwa Peraturan Perundang-Undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi” 12.5 Bahwa Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan mengatur sebagai berikut: “Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-Undangan terdiri atas:
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
Undang-Undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
Peraturan Pemerintah;
Peraturan Presiden; Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 15 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 16 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota” Dengan kata lain, Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011 tersebut memang dijiwai oleh asas lex superiori derogat lex inferiori . Bahwa dengan demikian jika PP No. 74 Tahun 2011 kedudukannya lebih rendah dari UU KUP.
6 Bahwa menurut Pemohon, ketentuan PP No. 74 Tahun 2011 mengenai Verifikasi tersebut juga rawan terhadap penyalahgunaan wewenang ( abuse of power ) dan tidak sesuai dengan asas kepastian hukum yang menjadi landasan dari kebijakan pokok tentang arah dan tujuan perubahan UU KUP menjadi UU No. 28 tahun 2007 sebagaimana tersebut dalam angka 4 dari Penjelasan Umum UU KUP yang pada akhirnya bisa merugikan keadilan bagi Wajib Pajak.
7 Bahwa mengenai munculnya/diintrodusirnya kewenangan baru yang disebut “Verifikasi” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 4 dan 5 PP No. 74 Tahun 2011 sebenarnya bukan didasarkan pada kewenangan atributif. Tidak ada amanat dari UU KUP agar Pemerintah membuat peraturan pelaksanaan yang memberi kewenangan baru pada Dirjen Pak berupa “Verifikasi” a quo . Dengan demikian sesuai dengan Hukum Tata Usaha Negara (Hukum Administrasi Pemerintahan) ketentuan a quo dibuat berdasarkan prinsip “Freis Emersen” atau kebebasan bertindak dari Pemerintah karena menghadapi kerancuan aturan atau karena aturan-aturannya tidak lengkap. Namun demikian menurut Pemohon pembentukan aturan pelaksanaan yang tidak diamanatkan oleh Undang- Undangnya seperti halnya kewenangan “Verifikasi” a quo seharusnya didasarkan pada dolmatigheid yang jelas yang sangat diperlukan dan harus juga didasarkan pada asas umum pemerintahan yang Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 16 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 17 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 baik. UU KUP sudah mengatur secara rinci tentang kewenangan “Pemeriksaan” tidak ada lagi perlunya mengatur kewenangan lain (verifikasi) yang pada dasarnya sama persis dengan “Pemeriksaan” yang justru menimbulkan multi tafsir yang dapat menyebabkan abuse of power dari Dirjen Pajak dan bisa menyebabkan komplikasi adminstrasi perpajakan yang pada akhirnya merugikan Wajib Pajak, sehingga kurang sesuai dengan asas keadilan dan kepastian hukum IV.1.2 Kesimpulan Bahwa sehubungan dengan uraian tersebut diatas, menurut Pemohon dapat disimpulkan secara sah dan meyakinkan ketentuan mengenai “Verifikasi” sebagaimana tersebut pada Pasal 1 angka 4 dan Pasal 5 PP No. 74 Tahun 2011 telah terbukti ;
Bertentangan atau setidak-tidaknya tidak sesuai dengan Pasal 12 ayat (3) jo Pasal 29 UU KUP yang mengatur mengenai pemeriksaan.
Pembentukan peraturan/ketentuan mengenai “Verifikasi” a quo tidak memenuhi ketentuan yang berlaku sebagaimana diatur dalam Pasal 5 dan 7 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Bahwa oleh karenanya, mohon kepada Majelis Hakim Agung Yang Mulia yang memeriksa dan mengadili perkara Hak Uji Materiil a quo untuk memutuskan tidak sah serta tidak mengikat dan karenanya mencabut Pasal 1 angka 4 dan 5 PP NO. 74 Tahun 2011 dari PP No. 74 Tahun 2011 dan dengan menggunakan alasan, dalil atau pertimbangan hukum yang sama (mutatis mutandis) juga menyatakan karenanya tidak sah dan tidak berlaku sepanjang mengenai “Verifikasi” yang diatur dalam pasal-pasal terkait PP No 74 tahun 2011, yaitu: Pasal 13 ayat (1) 1) Direktur Jenderal Pajak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf d Undang-Undang dapat membatalkan Surat Ketetapan Pajak Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 17 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 18 dari 74 halaman. Putusan Nomor. 73 P/HUM/2013 yang diterbitkan berdasarkan Pemeriksaan atau Verifikasi yang dilaksanakan tanpa melalui prosedur:
penyampaian Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan atau Surat Pemberitahuan Hasil Verifikasi, dan/atau b. Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan atau Pembahasan Akhir Hasil Verifikasi.
Surat Ketetapan Pajak yang dibatalkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), proses Pemeriksaan atau Verifikasi dilanjutkan dengan melaksanakan prosedur yang belum dilaksanakan, berupa:
penyampaian Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan atau Surat Pemberitahuan Hasil Verifikasi; dan/atau
Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan atau Pembahasan Akhir Hasil Verifikasi. Pasal 14 ayat (1) dan ayat (3) (1) Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dalam hal terdapat pajak yang tidak atau kurang dibayar berdasarkan:
hasil Verifikasi terhadap keterangan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang;
hasil Pemeriksaan dan seterusnya.....
Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar berdasarkan hasil Pemeriksaan atau hasil Verifikasi terhadap Putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap terhadap Wajib Pajak yang dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan atau tindak pidana lainnya yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.
Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.02/2017 tentang Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negar ...
Uji materiil terhadap PP 74 tahun 2011 tentang tata cara pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan
Relevan terhadap
Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat:
Mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya;
Mengurangkan atau membatalkan surat ketetapan pajak yang tidak benar;
Mengurangkan atau membatalkan Surat Tagihan Pajak sebagai- mana dimaksud dalam Pasal 14 yang tidak benar; atau
Membatalkan hasil pemeriksaan pajak atau surat ketetapan pajak dari hasil pemeriksaan yang dilaksanakan tanpa:
Penyampaian surat pemberitahuan hasil pemeriksaan; atau
Pembahasan akhir hasil pemeriksaan dengan Wajib Pajak. yang mengakibatkan tidak adanya kepastian hukum dan bertentangan dengan asas keadilan, Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Perpajakan a quo tidak sah dan batal demi hukum, memerintahkan Termohon untuk mencabutnya dan menghukum Termohon untuk membayar segala biaya yang timbul dalam perkara ini. Bahwa berdasarkan hal tersebut di atas, maka selanjutnya Pemohon mohon kepada Ketua Mahkamah Agung berkenan memeriksa permohonan keberatan dan memutuskan sebagai berikut:
Menerima dan mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
Menyatakan bahwa pembentukan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Perpajakan tidak memenuhi ketentuan yang berlaku yaitu karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya sehingga mengakibatkan tidak adanya kepastian hukum , asas keadilan dan asas kesesuaian antara jenis, hierarki dan materi muatan sebagaimana tertuang Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 13 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 14 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 dalam Pasal 5 huruf b dan c Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan;
Menyatakan bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Perpajakan Pasal 37 huruf d dan huruf e tidak sah dan batal demi hukum;
Memerintahkan kepada Termohon untuk mencabut Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Perpajakan Pasal 37 huruf d dan huruf e ;
Memerintahkan kepada Panitera Mahkamah Agung untuk mengirimkan petikan putusan ini kepada Sekretaris Negara untuk dicantumkan dalam Lembaran Berita Negara;
Menghukum Termohon untuk membayar segala biaya yang timbul dalam perkara ini; DAN/ATAU : Apabila Yang Mulia Majelis Hakim Agung berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya ( ex aequo et bono ); Menimbang, bahwa untuk mendukung dalil-dalil permohonannya, Pemohon telah mengajukan surat-surat bukti berupa:
Fotokopi Akta Notaris Haji Syarif Siangan Tanudjaja, SH., Notaris Jakarta (BuktiP-1);
Fotokopi KTP atas nama Hartono Sohor (BuktiP-2) ;
Fotokopi Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 201 tentang Tata Cara pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan (BuktiP-3);
Fotokopi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007, tanggal 17 Juli 2007 (BuktiP-4);
Fotokopi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (BuktiP-5);
Fotokopi Bukti Penerimaan Surat Nomor 19-01-2007 (BuktiP-6);
Fotokopi Tanda Terima Pemeriksaan Pajak (BuktiP-7) ;
Fotokopi Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (BuktiP-8);
Fotokopi Surat Tagihan Pajak No.00103/107/09/044/12(BuktiP-9);
Fotokopi Keputusan Direktur Jenderal Pajak No.260/WPJ.21/2013 tentang Penghapusan Sanksi Administrasi AtasSurat Tagihan Pajak Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Karena Permohonan Wajib Pajak (BuktiP-10); Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 14 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 15 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 11. Fotokopi Keputusan Direktur Jenderal Pajak No.KEP-839/WPJ.21/2013 tentang Penghapusan Sanksi Administrasi AtasSurat Tagihan Pajak Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Karena Permohonan Wajib Pajak (BuktiP-11);
Fotokopi Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.54639/PP/M.XIIIA/99/2014 (BuktiP-12);
Fotokopi Surat Peninjauan Kembali (Pertama) No.01/PK/XII/2014(BuktiP- 13);
Fotokopi Surat Peninjauan Kembali (Novum) No.02/PK/III/2015(BuktiP-14); Menimbang, bahwa permohonan keberatan hak uji materiil a quo telah disampaikan kepada Termohon pada tanggal 22 September 2015 berdasarkanSurat Tanda Bukti Penerimaan Jawaban Termohon Atas Permohonan Hak Uji Materiil yang diterima oleh Panitera Muda Tata Usaha Negara Mahkamah Agung Nomor 50/BJT/IX/2015/41 P/HUM/2015 _; _ Menimbang, bahwa terhadap permohonan Pemohon tersebut, Termohon telah mengajukan jawabantertulis pada tanggal 22 September 2015 yang pada pokoknya atas dalil-dalil sebagai berikut: I. POKOK PERMOHONANPEMOHON 1. Bahwa menurut Pemohon, berlakunya ketentuan Pasal 37 huruf d dan huruf e PP No. 74 Tahun 2011 telah membatasi ruang lingkup Pemohon untuk mengajukan pengurangan atau penghapusansanksi administratif atas surat tagihan pajak pertambahan nilai barang dan jasa;
Bahwa menurut Pemohon, ketentuan Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan pada dasarnya telah mengatur kewenangan Direktur Jenderal Pajak yang dapat mengurangkan atau menghapuskansanksi administrasi, akan tetapi pengaturan tersebut telah dikesampingkan oleh ketentuan Pasal 37 huruf d dan huruf e PP No 74 Tahun 2011, sehingga hak wajib pajak untuk dapat mengajukan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi tidak diperoleh;
Bahwa menurut Pemohon, pembentukan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan yang tidak sesuai dengan Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007, tidak memenuhi asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangansebagaimana tertuang Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 15 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 16 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 dalam Pasal 5 huruf b dan c Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan peraturan perundang-undangan;
Bahwa menurut Pemohon, dengan diberlakukannya ketentuan Pasal 37 huruf d dan huruf e PP No. 74 Tahun 2011 telah mengakibatkanPemohon harus membayar apa yang bukan menjadi kewajibannya sebagai wajib pajak; II.PENJELASAN TERMOHON TERHADAPKEDUDUKAN HUKUM ( LEGAL STANDING )PEMOHON. Berkenaan dengan kedudukan hukum ( legal standing/persona standiinjudicio ) dan kepentingan hukum Pemohon dalam perkara a quo , Termohon menyampaikan penjelasan, sebagai berikut : Bahwa ketentuan Pasal 31A ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentangMahkamah Agung, yang berbunyi: "Permohonan sebagaimana dimaksud ayat (1) hanya dapat dilakukan oleh Pihak yang menganggap haknya dirugikan oleh berlakunya peraturanperundang-undangan di bawah undang-undang, yaitu:
Perorangan wargaNegara Indonesia;
Kesatuan Masyarakat Hukum Adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan RepublikIndonesia yang diatur dalam undang-undang; atau
Badan hukum publikatau badan hukum privat; Bahwa ketentuan Pasal 1 ayat (4) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 tentangHak Uji Materiil, berbunyi: "Pemohon keberatan adalah kelompok masyarakat atau perorangan yang mengajukan permohonan keberatan kepada Mahkamah Agung atas berlakunya suatu peraturan perundang-undangan tingkatlebih rendah dari undang-undang"; Ketentuan tersebut mensyaratkan bahwa permohonan keberatan uji materiil dapat diajukan oleh pihak-pihak yang tepat dan adanya kerugian langsung yang diderita oleh pihak-pihak tersebut, dan benar-benar diakibatkankarena berlakunya peraturan perundang-undangan yang dimohonkan uji materi tersebut; Menurut Termohon, Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum didasarkan padaalasan sebagai berikut:
KETIDAK ADANYA KERUGIAN PEMOHON SEBAGAI Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 16 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 17 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 AKIBATBERLAKUNYA PP NO. 74 TAHUN 2011. Bahwa menurut Termohon, pada dasarnya dibentuknya PP No. 74 Tahun2011:
Bertujuan untuk memberikan kemudahan dan kejelasan bagi masyarakat dalam memahami dan memenuhi hak serta kewajiban perpajakan yang sebelumnya diatur dalam PeraturanPemerintah Nomor 80 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Perpajakan;
Bahwa ditetapkannya PP No. 74 Tahun 2011 padadasarnya merupakan bentuk pendelegasian kewenangan sebagaimana diamanatkan dalam ketentuan Pasal 48 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang, yang berbunyi: "hal-hal yang belum cukup diatur dalam undang-undang ini, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah". Bahwa pengaturan tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan dalam PP No. 74 Tahun 2011, telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku in casu berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang PenetapanPeraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang; Bahwa menurut Termohon, terkait dengan adanya kerugian langsung maupun tidak langsung yang diderita oleh Pemohon yang diakibatkan adanya PP No. 74 Tahun 2011 tersebut, Termohon sama sekali tidak melihat adanya hubungan sebab akibat ( causal verband) yaitu antara kerugian yang diderita oleh Pemohon dengan berlakunya PP No. 74 Tahun 2011 dimaksud. Pemohon dalam permohonannya sarna sekali tidak menguraikan secara jelas dan komprehensif mengenai kerugian yang diderita oleh karena Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 17 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 18 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 berlakunya norma yang diuji in casu PP No. 74 Tahun 2011. Pemohon hanya berasumsi memiliki kepentingan hukum untuk mengajukan permohonan judicial review perkara aquo hanya didasarkan bahwa karena upaya Pemohon untuk mengajukan permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi atas surat tagihan pajak pajak pertambahan nilai barang dan jasa ditolak oleh Dirjen Pajak melalui keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP.839/WJP.21/2013 tanggal 27 November 2013. Yang kemudian oleh Pemohon Keputusan Dirjen Pajak tersebut digugat kepengadilan Pajak, yang kemudian oleh Pengadilan pajak gugatan Pemohon tidak dapat dikebulkan. Sehingga menurut Termohon, problematika hukum yang dihadapi oleh Pemohon bukanlah disebabkan keberlakuan PP No. 74 Tahun 2011 melainkan karena adanya penolakan terhadap pengajukan permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi Pemohon oleh Dirjen Pajak melalui keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP.839/WJP.21/2013 tanggal 27 November 2013, maka kerugian yang diderita oleh Pemohon baik langsung maupun tidak langsung bukanlah akibat oleh berlakunya PP No.74 Tahun 2011, dan tidak adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kepentingan hukum Pemohon dengan berlakunya PP No. 74 Tahun 2011;
PERMOHONAN NEBISIN IDEM . Bahwa permohonan yang diajukan oleh Pemohon adalah untuk menguji ketentuan Pasal 37 huruf d dan huruf e Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara PelaksanaanHak ·dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan; Bahwa pengujian terhadap ketentuan Pasal 37 huruf d dan huruf e Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan pernah dilakukan pengujian dalam perkara Nomor 43P/HUM/2012 oleh PT. Best World Indonesia dan telah diputus oleh Mahkamah Agung pada tanggal 6 April2013 dengan amar putusan menolak Permohonan Pemohon; Bahwa dalam alasan-alasan dalam pokok Permohonan yang diajukan oleh PT. Best World Indonesia pada dasarnya sama Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 18 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 19 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 dengan yang diajukan oleh Pemohon yang menganggap bahwa ketentuan Pasal 37 huruf d dan huruf e Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan telahbertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; Dengan demikian menurut Termohon, oleh karena pokok permohonan yang diajukan oleh Pemohon sama dengan pokok permohonan dalam perkara Nomor 43P/HUM/2012, oleh sebab itu Termohon berpendapat permohonan Pemohon _Nebis In Idem; _ __ III.LATAR BELAKANG TERBITNYA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 74 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PELAKSANAANHAK DAN PEMENUHAN KEWAJIBAN PERPAJAKAN. Sebagai gambaran bagi Majelis Hakim Agung yang memeriksa dan mengadili permohonan a quo , kami sampaikan latar belakang pembentukan PP No 74 Tahun 2011 yang diajukan permohonan uji materiil olehPemohon, sebagai berikut:
Undang-Undang di bidang perpajakan memberikan amanat pengaturan kepada peraturan perundang-undangandi bawahnya;
Amanat pengaturan kepada Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri Keuangan yang diberikan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2009 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2009 (untuk selanjutnya disebut sebagai Undang-Undang KUP) merupakan undang-undang yang berisi ketentuan formal yang mengatur mengenai tata cara dan prosedur pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan baik bagi Wajib Pajak maupun petugas pajak. Ketentuan formal ini diberlakukan untuk melaksanakan ketentuan dalam undang-undang pajak material, seperti Undang-Undang Pajak Penghasilan atau Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah; Undang-Undang KUP memberikan amanat kepada Pemerintah selaku lembaga eksekutif yang melaksanakan Undang-Undang Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 19 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 20 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 untuk mengatur lebih lanjut ketentuan dalam Undang-Undang KUP baik melalui Peraturan Pemerintah ataupun PeraturanMenteri Keuangan. Amanat pengaturan kepada Peraturan Pemerintah di dalam Undang-Undang KUP terdapat dalam 3 (tiga) Pasal yang dapat diuraikan sebagai berikut: a) Pasal 35A yangberbunyi : Ayat (1) "Setiap instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain, wajib memberikan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan kepada DirektoratJenderal Pajak yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah dengan memperhatikan ketentuansebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2)"; __ Ayat (2) "Dalam hal data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mencukupi, Direktur Jenderal Pajak berwenang menghimpun data dan informasi untuk kepentingan penerimaan negara yang ketentuannya diatur dengan Peraturan pemerintah dengan memperhatikanketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2)"; b) Pasal 37 yangberbunyi: "Perubahan besarnya imbalan bunga dan sanksi administrasi berupabunga, denda, dan kenaikan, diatur denganPeraturan Pemerintah"; c) Pasal 48 yangberbunyi: "Hal-hal yang belum cukup diatur dalam undang-undang ini, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah"; Amanat pengaturan kepada Peraturan Pemerintah tersebut menunjukkan bahwa Undang-Undang KUP tidak dapat berdiri sendiri melainkan harus ditopang oleh peraturan perundang-undangan di bawahnya. Terkait amanat Pasal 48 Undang-Undang KUP yang menjadi dasar pembentukan PP 74/2011 yang diajukan uji materiil oleh Pemohon, dapat kami sampaikan bahwa meskipun pasal tersebut memberikan kewenangan yang sangat luas kepada Pemerintah untuk mengatur hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-Undang KUP, namun kewenangan tersebut dilakukan dengan tetap memperhatikan asas legalitas serta mengedepankan prinsip keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan yang menjadi Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 20 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 21 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 dasar dalam pembentukan peraturan pemerintah. Selain itu, pengaturan yang dilakukan juga sejalan dengan kebutuhan untuk menyesuaikan proses dan prosedur administrasi perpajakan dengan perubahan yang sangat dinamis dalam masyarakat Wajib Pajak;
Amanat pengaturan kepada peraturan pemerintah dalam undang- undangpajak material; Amanat pengaturan kepada peraturan pemerintah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang KUP dapat ditemukan juga dalam ketentuan undang-undang pajak material seperti Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (untuk selanjutnya disebut Undang- Undang PPh) dan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentangPerubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (untuk selanjutnya disebut Undang-Undang PPN). Bahkan amanat pengaturan yang serupa dengan Pasal 48 Undang- Undang KUP juga ditemukan dalam undang-undang material tersebut, yaitu: a) Pasal 35 Undang-UndangPPh. "Hal-hal yang belum cukup diatur dalam undang-undang ini diatur lebih lanjutdengan Peraturan Pemerintah"; b) Pasal 19 Undang-UndangPPN. "Hal-hal yang belum diatur dalam undang-undang ini diatur lebih lanjut dengan PeraturanPemerintah"; Pengaturan kepada peraturan pemerintah dalam undang-undang material tersebut, khususnya amanat pengaturan terhadap hal-hal yang belum cukup diatur dalam undang-undang melalui Peraturan Pemerintah, menunjukkan bahwa dalam undang-undang di bidang perpajakan pengaturan tersebut memang diperlukan. Pengamanatan pengaturan kepada peraturan pemerintah mengenai hal-hal yang belum cukup diatur dalam undang-undang ditujukan untuk memberikan kemudahan kepada Pemerintah dalam menyesuaikan ketentuan dalam Undang-Undang,sebagai akibat terjadinya perkembangan masyarakat, ekonomi, sosial, budaya dan hukum itu sendiri tanpa harus mengubah Undang-Undang, namun tetap berpegang pada asas kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan, termasuk asas-asas hukum atau prinsip- Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 21 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 22 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 prinsip hukum yang berlaku umum. Hal ini didasarkan pada pertimbangan waktu yang lebih singkat dalam pembentukan Peraturan Pemerintah dibandingkan dengan waktu yang diperlukan dalam pembentukan Undang-Undang. Dengan demikian, Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaan Pasal 48 Undang-Undang KUP seperti halnya peraturan pemerintah sebagai pelaksanaan Undang- Undang PPh dan Undang-Undang PPN, berfungsi sebagai pelengkap yang merupakan satu kesatuan dengan Undang-Undang KUPitu sendiri;
Fungsi PP 74/2011 sebagai pelengkap Undang-Undang Meskipun sarna-sarna memberikan amanat untuk pengaturan kepada Peraturan Pemerintah, namun amanat pengaturan kepada Peraturan Pemerintah yang terdapat dalam Pasal 37 dan Pasal 48 Undang-Undang KUP memiliki karakteristik tersendiri. Hal tersebut dapatdijelaskan sebagai berikut:
Fungsi pengaturan dalam Peraturan Pemerintah berdasarkan Pasal 37 Undang-Undang KUP Pasal 37 Undang-Undang KUP jelas mengatur bahwa Pemerintah diberi kewenangan untuk mengubah besaran sanksi administrasi dan besaran imbalan bunga melalui Peraturan Pemerintah tanpa harus mengubah Undang-Undang. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun perubahan besaran sanksi atau besaran imbalan bunga diatur dalam Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaan Pasal 37, namun hal inimempunyai makna bahwa pengaturan besaran sanksi administrasi dan besaran imbalan bunga tersebut secara substansial mempunyai kedudukan yang sama dengan pengaturan dalam Undang-Undang. Oleh karena itu, Peraturan Pemerintah amanat Pasal 37 Undang-Undang KUP tersebut harus dipandang sebagai pengganti (substitusi) dari pasal- pasal dalam Undang-Undang KUP yang mengatur mengenai besarnya sanksi administrasi dan besarnya imbalan bunga;
Fungsi Pengaturan dalam Peraturan Pemerintah berdasarkan Pasal 48 Undang-UndangKUP. Hal demikian berlaku juga untuk Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaan Pasal 48 Undang-Undang KUP. Sebagaimana bunyi dari ketentuan Pasal 48 Undang-Undang KUP tersebut di atas, ketentuan Pasal 48 tersebut dimaksudkan untuk memberikan exit Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 22 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 23 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 strategy (jalan keluar) kepada Pemerintah untuk segera menyesuaikan ketentuan yang belum cukup diatur dalam Undang- Undang sebagai akibat adanya perkembangan masyarakat, ekonomi, sosial, budaya dan hukum itu sendiri. Seperti diketahui bahwa perkembangan hukum di bidang perpajakan termasukperkembangan administrasi perpajakan berlangsung sangat dinamis seiring dengan perkembangan teknologi, perkembangan sosial-budaya, dampak globalisasi (praktek perpajakan negara lain) yang memerlukan penyesuaian ketentuan secara cepat; Itulah sebabnya, terhadap ketentuan Pasal 48 Undang-Undang KUP, sejak Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sampai dengan perubahan terakhir dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tidak pernah dilakukan peru bahan, mengingat materi yang telah diatur dalam Undang-Undang KUP masih sangat mungkin berkembang sehingga penyesuaian terhadap materi tersebut tidak harus dilakukan dengan mengubah Undang-Undang. Ketentuan Pasal 48 Undang-Undang KUP juga dimaksudkan untuk menjaga kelenturan pengaturan yang dilakukan oleh Undang-Undang dalam rangka mengantisipasi demikiancepatnyaperubahan-perubahan yang terjadi di bidang perpajakan; Oleh karena itu, Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaan Pasal 48 UU KUP berfungsi sebagai pelengkap UU KUP yang harus dipandang sebagai satu kesatuan dengan undang-undang induknya, yaitu Undang-Undang KUP itu sendiri. Hal ini sejalan dengan bunyi penjelasan Pasal 48 Undang-Undang KUPyang menyatakan: "Untuk menampung hal-hal yang belum cukup diatur mengenai tata cara atau kelengkapan yang materinya sudah dicantumkan dalam Undang-undang ini, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Dengan demikian akan lebih mudah mengadakan penyesuaian pelaksanaanUndang-Undang ini dan tata carayang diperlukan"; Dari penjelasan ini terlihat bahwa berbeda dengan anggapan Pemohon bahwa seharusnya PP 74/2011 hanya berisi tata cara dan bukannya materi, Pasal 48 Undang-Undang KUP justru Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 23 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 24 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 memberikan ruang untuk mengatur kelengkapan yang materinya sudah dicantumkan dalam Undang-Undang KUP kepada Peraturan Pemerintah, termasukdiantaranya materi tentang hat-hat yang masih belum jelas dan belum cukup diatur;
Latar Belakang PembentukanPP 74/2011:
Pembentukan Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2007 sebagai pelaksanaan Pasal 48 Undang-Undang KUP Dalam rangka memberikan kemudahan dan kejelasan bagi masyarakat untuk memahami dan memenuhi hak dan kewajiban perpajakannya, Pemerintah memandang perludiberikan suatu kepastian hukum dalam melaksanakan ketentuan umum dan tata cara perpajakan dengan mengatur ketentuan umum tersebut dalam suatu Peraturan Pemerintah; Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Perpajakan Berdasarkan Undang- Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir denganUndang-Undang Nomor 28 Tahun 2007, merupakan Peraturan Pemerintah yang pertama kali dibentuk untuk melaksanakan amanat Pasal 48 Undang-Undang KUP. Dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2007, celah-celah yang timbul dalam sistem administrasi perpajakan karena belum cukup pengaturan dalam Undang-Undang KUP, misalnya pada permasalahan tata cara pemeriksaan, tata cara penetapan pajak yang tidak atau kurang dibayar, tata cara pemberian imbalan bunga, serta tata cara upaya hukum dapat terjawab karena pengaturan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2007mengisikekosongan yang belum cukup diatur dalam Undang- Undang KUP. Peraturan Pemerintah tersebut disusun dengan tetap mendasarkan pada prinsip kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan;
Pembentukan PP 74/2011 sebagai pengganti Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun2007; Seiring dengan perkembangan hukum dan masyarakat khususnya di bidang perpajakan, serta untuk menyelaraskan dengan Undang- Undang PPh dan Undang-Undang PPN dipandang perlu untuk Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 24 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 25 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 melakukan penggantian Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2007. Penggantian Peraturan Pemerintah Nomor80 Tahun 2007 dilakukan dengan menerbitkan PP 74/2011; PP 74/2011 juga dibuat agar lebih memberikan kejelasan dan kepastian hukum bagi Wajib Pajak, fiskus, maupun hakim Pengadilan Pajak dalam pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan. Permasalahan dalam ketentuan formal di bidang perpajakan yang selama ini menimbulkankeragu-raguan disempurnakan melalui PP 74/2011; Penyempurnaan materi dalam PP 74/2011 adalah antaralain:
Penyempurnaan ketentuan yang terkait tata cara pendaftaran dan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak sertapengukuhan dan pencabutan Pengusaha Kena Pajak;
Penyempurnaan ketentuan yang terkait dengan tata cara pembetulan Surat Pemberitahuan, dan pengungkapanketidak- benaran;
Penyempurnaan ketentuan yang terkait dengan tata cara penetapan berdasarkanketerangan lain;
Penyempurnaan ketentuan yang terkait dengan jalur-jalur upaya hukum yang dapat ditempuholeh Wajib Pajak;
Penyempurnaan ketentuan yang terkait dengan tata cara pemberian imbalanbunga;
Penyempurnaan ketentuan mengenai tata cara pembukuan dan pemeriksaan terhadap WajibPajak;
Penyempurnaan ketentuan mengenai tata cara Pemeriksaan Bukti Permulaan dan penghentian penyidikan;dan h. Penyempurnaan ketentuan yang terkait dengan aspek perpajakan internasional ( Mutual Agreement Procedure, Exchange of Information ,dan Advance Pricing Agreement );
Pembentukan PP 74/2011 sebagai suatukeniscayaan. Berdasarkan uraian latar belakang pembentukan Peraturan Pemerintah tersebut di atas, terlihat bahwa pembentukan PP 74/2011 sebagai pelaksanaan Pasal 48 Undang-Undang KUP, didasarkan pada kebutuhan masyarakat akan keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan dalam pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan yang merupakan hal yang tidak dapat Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 25 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 26 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 ditawar-tawar lagi. Termasuk dalam kepastian hukum tersebut adalah pengaturan terhadap pasal-pasal yang dapat menimbulkan perbedaan penafsiran termasuk pengaturan Pasaf 37 PP 74/2011 yang menjelaskan Pasal 23 ayat (2) huruf c yang diajukanpermohonan uji materiil oleh Pemohon. Dengan pengaturan terhadap ketentuan dalam Undang-Undang KUP yang dapat menimbulkan perbedaan penafsiran tersebut dalam PP 74/2011, permasalahan ketidakpastian hukum dalam mencari keadilan dapat teratasi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pembentukan PP 74/2011 yangmenggantikan Peraturan Pemerintah Nomor80 Tahun 2007 merupakan suatu keniscayaan dalam menyikapi perubahan ekonomi, sosial, sosial dan budaya hukum khususnya yang terkat dengan bidang perpajakan, di samping untuk memberikan kepastian hukum dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan dari Wajib Pajak; IV.JAWABAN TERMOHONTERHADAP POKOK PERMOHONANPEMOHON;
Termohon tidak sependapat dengan anggapan/argumentasi Pemohon dalam permohonannya yangmenyatakan : Bahwa menurut Pemohon, berlakunya ketentuan Pasal 37 huruf d dan huruf ePP No. 74 Tahun 2011 telah membatasi ruang lingkup pemohon untuk mengajukan pengurangan atau penghapusan sanksi administratif atas surattagihan pajak pertambahan nilai barangdan jasa; Terhadap alasan/anggapan Pemohon di atas, Termohon memberikan penjelasan sebagaiberikut :
Kewenangan penerbitan Surat Ketetapan Pajak oleh Direktur Jenderal Pajak dan jalur upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak Sebelum menanggapi dalil-dalil yang diajukan Pemohon terhadap Pasal 37 PP 74/2011, perlu kiranya disampaikan filosofi yang dibangun oleh Undang-Undang KUP khususnya yang terkait dengan kewenangan Direktur Jenderal Pajak untuk menerbitkan surat ketetapan pajak dan upaya hukum yang dapatdilakukan oleh Wajib Pajak terkait dengan penetapan tersebut;
Kewenangan DJP untuk menerbitkan Surat ketetapan Pajak berdasarkan Undang-UndangKUP. Dalam sistem perpajakan yang dianut di Indonesia, Wajib Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 26 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 27 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 Pajak diberi kepercayaan penuh untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan sendiri kewajiban perpajakannya ( self assessment ). Hal ini sebagaimana telah diatur dalam Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang KUP yangberbunyi: "Setiap Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak"; __ Dengan pemberian kepercayaan tersebut, pajak yang dilaporkan oleh Wajib Pajak dianggap benar dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Hal ini sejalan dengan bunyi Pasal 12 ayat (2) Undang- Undang KUP sebagai berikut: "Jumlah Pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan yang disampaikan oleh Wajib Pajak adalah jumlah pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undanganperpajakan"; Sistem self assessment menuntut kejujuran Wajib Pajak dalam membayar dan melaporkan jumlah pajak yang terutang. Apabila Wajib Pajak membayar dan melaporkan jumlah pajak yang terutang sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, terhadap Wajib Pajak tidak akandiambil tindakan penegakan hukum. Namun, apabila Direktur Jenderal Pajak mendapatkan bukti jumlah pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan tidak benar, Direktur Jenderal Pajak memiliki kewenangan menetapkan jumlah pajak yang terutang sesuai dengankewenangan yang diberikan olehPasal 12 ayat (3) Undang-Undang KUP; Penetapan jumlah pajak yang terutang oleh Direktur Jenderal Pajak dilakukan berdasarkan kewenangan Direktur Jenderal Pajak untuk menerbitkan surat ketetapan pajak, Adapun kewenangan penerbitan surat ketetapan pajak yang dimiliki oleh Direktur Jenderal Pajak, dapat diuraikan sebagaiberikut: a) Pasal 13 Undang-UndangKUP: Ayat (1): Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 27 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 28 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dalam hal-hal sebagaiberikut:
Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain pajak yang terutang tidak atau kurangdibayar;
Apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) dan setelah ditegursecara tertuiis tidak disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran; __ c. Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain mengenai Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah ternyata tidak seharusnya dikompensasikanselisih lebih pajak atau tidak seharusnya dikenai tarif 0% (nol persen); __ d. Apabila kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 atau Pasal 29 tidak dipenuhi sehingga tidak dapat diketahui besarnyapajak yang terutang;atau __ e. Apabila kepada Wajib Pajak diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan sebagaimanadimaksud dalam Pasal 2 ayat (4a). b) Pasal 15 Undang-UndangKUP: Ayat (1): Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dalam jangka waktu 5(lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak apabila ditemukan data baru yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang setelah dilakukan tindakan pemeriksaan dalam rangka penerbitanSurat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan; c) Pasal 17 Undang-UndangKUP: Ayat (1): Direktur Jenderal Pajak, setelah melakukan pemeriksaan, menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar apabila jumlahkredit pajak atau jumlah pajak yang Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 28 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 29 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 dibayar lebih besar daripada jumlah pajakyang terutang; __ d) Pasal 17A Undang-UndangKUP: Ayat (1): Direktur Jenderal Pajak, setelah melakukan pemeriksaan, menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Nihil apabila jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar sama dengan jumlah pajak yang terutang, atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak atau tidak ada pembayaranpajak; Pemberian kewenangan kepada Direktur Jenderal Pajakuntuk menerbitkan ketetapan pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 13, Pasal 15, Pasal 17, dan Pasal 17A Undang-Undang KUP pada dasarnya adalah untuk memastikan bahwa Wajib Pajak melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya dengan tepat dan benar sebagaimana yang dimaksudkan dalam ketentuan perundangan-undangan dibidang per- pajakan. Namun demikian, dalam menerbitkan surat ketetapan pajak tersebut, Direktur Jenderal Pajak tidak dapat sewenang- wenangmelainkan tetap harus sesuai dengan prosedur atau tata cara dalam rangka penerbitan surat ketetapan pajak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang KUP dan peraturan pelaksanaannya; Demikian juga, penetapan jumlah pajak yang terutang dalam surat ketetapan pajak tersebut, juga harus sesuai dengan ketentuan material (Undang-Undang PPh dan Undang- UndangPPN); Oleh karena itu, dalam hal surat ketetapan pajak yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak tidak sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh Undang-Undang KUP, Wajib Pajak dapat mengajukan upaya hukum terkait dengan tidak dipenuhinya prosedur tersebut. Demikian halnya, dalam hal jumlah pajak yang terutang dalam surat ketetapan pajak tidak disetujui oleh Wajib Pajak, Wajib Pajak juga dapat mengajukan upaya hukum terkait dengan jumlah pajak yang terutang tersebut. Upaya hukum terkait dengan prosedur penerbitan surat ketetapan pajak dan upaya hukum terkait dengan jumlah pajak yang terutangdalam surat ketetapan pajak tersebut Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 29 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 30 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 merupakan 2 (dua) jalur upaya hukum yang berbeda, sehingga tidak dapat dicampuradukkan dalam implementasinya;
Skema upaya hukum dalam Undang-Undang KUP atas Surat KetetapanPajak; Sebagaimana telah diuraikan pada bagian sebelumnya bahwa terdapat 2 (dua) jalur upaya hukum yang dapat ditempuh oleh Wajib Pajak, terkait dengan surat ketetapan pajak yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak. Hal ini disebabkan terdapat 2 (dua) kemungkinansengketa yang terjadi akibat diterbitkannya produk hukum berupa surat ketetapan pajak, yaitu: a) Adanya kemungkinan sengketa yang terkait dengan jumlah pajak yang terutang dalam surat ketetapanpajak; b) Adanya kemungkinan sengketa terkait dengan prosedur penerbitan surat ketetapanpajak; Untuk memperjelas 2 (dua) jenis sengketa dan upaya hukum terkait dengan sengketa tersebut, dapat diuraikan hal-hal sebagaiberikut: a)Sengketa dan upaya hukum terkait dengan jumlah pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak Penerbitan surat ketetapan pajak oleh Direktur Jenderaf Pajak dilakukan berdasarkan hasil verifikasi atau hasil pemeriksaan. Sesuai dengan Pasal 29 Undang-Undang KUP, Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji pemenuhan kewajibanperpajakan Wajib Pajak. Pelaksanaan pemeriksaan dimaksudkan dalam rangka pengawasan kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dari Wajib Pajak; Sebagaimana telah diuraikan di atas, Wajib Pajak diberikan kepercayaan penuh dalam menghitung, membayar, dan melaporkan pajaknya. Namun demikian, kebenaran pemenuhan kewajiban perpajakan tersebut tentunya perlu diuji dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang ada, khususnya undang-undang pajak material seperti Undang- Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 30 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 31 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 Undang PPh atau Undang-Undang PPN.Apabila pemenuhan kewajiban perpajakan sudah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, maka tidak akan ada koreksi pajak yang terutang yang menjadi sengketa. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa tidak jarang petugas pajak melakukan koreksi yang diakibatkan baik karena perbedaan pemahaman akan undang-undang perpajakan maupun karena ketidakpatuhan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, sehingga menyebabkan terjadinya sengketa; Atas koreksi tersebut Wajib Pajak bisa menyetujui atau tidak menyetujui. Dalam hal Wajib Pajak menyetujui jumlah pajak yang terutang, Wajib Pajak harus membayar jumlah pajak yang terutang; Dalam hal tidak menyetujui tidak diwajibkan untuk membayar, dan dapat mengajukanupaya hukum; Dalam hal Wajib Pajak tidak setuju dengan jumlah pajak terutang yang ditetapkan Direktur Jenderal Pajak, Wajib Pajak dapat mengajukan upaya hukum sebagaiberikut:
Pembetulan Berdasarkan Pasal 16 UUKUP. Pembetulan dilaksanakan untuk menjalankan tugas pemerintahan yang baik sehingga apabila dalam surat ketetapan pajak terdapat kesalahan atau kekeliruanperlu dibetulkan sebagaimana mestinya; Oleh karena itu, apabila terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung, atau kesalahan penerapan per- aturan perundang-undangan baik yang ditemukan oleh Direktur Jenderal Pajak maupun yang ditemukan oleh Wajib Pajak, kesalahan tersebut harus dibetulkan baik secara jabatan atau berdasarkan permohonan Wajib Pajak; Ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan telah mengatur 18 (delapan belas) produk hukum yang dapat dibenarkan,meliputi: a) Surat ketetapan pajak yang meliputi Surat Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 31 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 32 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil, dan Surat Ketetapan PajakLebih Bayar; b) Surat TagihanPajak; c) Surat KeputusanPembetulan; d) Surat KeputusanKeberatan; e) Surat Keputusan Pengurangan SanksiAdministrasi; f) Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi; g) Sura! Keputusan Pengurangan KetetapanPajak; h) Surat Keputusan Pembatalan KetetapanPajak; i) Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan KelebihanPajak; j) Surat Keputusan PemberianImbalan Bunga; k) Surat Pemberitahuan PajakTerhutang; I) Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi danBangunan; m)Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi danBangunan; n) Surat Keputusan Pemberian Pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan; atau
Surat Keputusan Pengurangan Denda Pajak Bumi danBangunan; Luasnya cakupan produk hukum yang dapat dibetulkan tersebut menunjukkan bahwa Wajib Pajak juga diberikan kesempatan yang luas untuk mengajukan upaya hukum terkait kesalahan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Oleh karena itu, sebelum mengajukan upaya hukum yang lain, sepanjang terkait dengan kesalahan yang termasuk dalam ruang lingkup Pembetulan, Wajib Pajak seharusnya menempuh upaya hukumPembetulan; Sebagaimana diatur dalam Pasal 16 UU KUP, pembetulan dilakukan apabila terjadi kesalahan atau kekeliruan sebagaiakibat dari:
Kesalahan tulis, antara lain kesalahan berupa Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 32 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 33 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak, nomor surat ketetapan pajak, jenis pajak, Masa Pajak atau Tahun Pajak, dan tanggal jatuhtempo;
Kesalahan hitung, antara lain kesalahan yang berasal dari penjumlahan dan/atau pengurangan dan/atau perkalian dan/atau pembagian suatu bilangan. Termasuk dalam pengertian kesalahan hitung adalah kesalahan akibat diterbitkannya suratketetapan pajak, SK Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali atas Masa Pajak atau Tahun Pajak lain yang mempengaruhi Masa Pajak atau Tahun Pajaklain; atau 3) Kekeliruan dalam penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan, yaitu kekeliruan dalam penerapan tarif, kekeliruan penerapan persentase Norma Penghitungan Penghasilan Neto, kekeliruan penerapan sanksi administrasi, kekeliruan Penghasilan Tidak Kena Pajak,kekeliruan penghitungan Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan, dan kekeliruan dalampengkreditan pajak; Dalam ketentuan Pasal 16 Undang-Undang KUP, diatur bahwa upaya pembetulan dapat dilakukan berulang kali sepanjangmasih terdapat kesalahan dalam surat ketetapan pajak dimaksud. Hal ini didasarkan pada prinsip bahwa apabila terjadi suatu kekeliruan atau kesalahan, maka dengan sendirinya harus dilakukan pembetulan ( ipso jure ). Misalnya terhadap surat ketetapan pajak yang yang diajukan permohonan pembetulan dan telah diterbitkan Surat Keputusan Pembetulan, maka terhadap surat ketetapan pajak tersebut masih dapat dilakukan upaya hukum pembetulan, keberatan, pengurangan ketetapan pajak, atau pembatalan ketetapan, dan dapat pula diajukan pengurangan maupun Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 33 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 34 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 penghapusan sanksi administrasi. Bahkan apabila terhadap surat ketetapan pajak tersebut tidak dilakukan penyampaian hasil pemeriksaan dan atau pembahasan akhir dengan Wajib Pajak, tetap dapat dilakukan pembatalan surat ketetapan pajak. Prinsip ipso jure tersebut berlaku pula secara mutatis mutandis terhadap produk hukum lainnya yang diterbitkan Surat Keputusan Pembetulan oleh Direktur Jenderal Pajak;
Keberatan, Banding, dan Peninjauan kembali sebagai upaya penyelesaian sengketa perpajakan melalui proseslitigasi; Dalam hal terdapat perbedaan pendapat yang menjadi sengketa antara Wajib Pajak dengan Direktur Jenderal Pajak mengenai jumlah pajak yang terutang dalam surat ketetapan pajak, Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 25 dan Pasal 26 Undang-Undang KUP. Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak merupakan upaya penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi.Dalam proses keberatan, pihak yang mengadili adalahsekaligus pihak yang ber- sengketa, yaitu Direktur Jenderal Pajak. Dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak berposisi sebagai lembaga pengadil semu atau yang juga dikenal sebagai quasi peradilan ( quasi judicial ) yang menjalankan fungsi yudikatif dan eksekutif; Sebelum mengajukan keberatan, Wajib Pajak diharuskan untuk membayar pajak yang terutang dalam surat ketetapan pajak paling sedikit sebesar yang telah disetujui dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan atau verifikasi. Jumlah pembayaran pajak yang terutang sebelum pengajuan keberatan akan menentukan jumlah sanksi yang akan dikenakankepada Wajib Pajak apabila berdasarkan hasil Keputusan Keberatan atau Putusan Banding Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 34 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 35 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 jumlah pajak yang terutang lebih besar daripada jumlah yang telah dibayar sebelum pengajuan keberatan. Akan tetapi perlu diingat bahwa apabila Wajib Pajak yakin dengan jumlah pajak yang terutang yang disetujuinya, maka seharusnya tidak perlu terdapat kekhawatiranakan pengenaan sanksi tersebut karena hal tersebut akan terbukti dalam proses keberatan atau dalam proses banding. Hal ini memperlihatkan bahwa bahkan sebelum pengajuan upaya penyelesaian sengketa, Wajib Pajak masih diberikan keleluasaan pembayaran oleh Direktur Jenderal Pajak; Direktur Jenderal Pajak harus mengambil keputusan atas permohonan keberatan Wajib Pajak dalam jangka waktu 12 bulan sejak permohonan diterima secara lengkap. Keputusan Direktur Jenderal Pajak atas keberatan dapat berupa mengabulkan seluruhnya atau sebagian, menolak atau menambah besarnya jumlah pajak yang masih harus dibayar.Apabila berdasarkan keputusan keberatan terdapat jumlah kekurangan pajak yang belum dibayar sebelum pengajuankeberatan dilakukan, maka Wajib Pajak dikenai sanksi 50% dari pajak yang kurang dibayar tersebut; Dalam proses penyelesaian sengketa melalui proses keberatan, dapat terjadi bahwa hasil keputusan keberatan tidak memuaskan Wajib Pajak. Dalam hal Wajib Pajak tidak puas terhadap hasil Keputusan Keberatan, Wajib Pajak dapat mengajukan Banding hanya kepada PengadilanPajak; Proses banding di Pengadilan Pajak merupakan upaya penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi murni dimana pihak yang mengadili adalah hakim Pengadilan Pajak, yang merupakan pihak di luar pihak yang bersengketa. Hasil Putusan Pengadilan Pajak dapat berupa menolak, mengabulkan sebagian Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 35 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 36 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 atau seluruhnya, menambah Pajak yang harus dibayar, atau menyatakan tidak dapat diterima atas permohonanbanding; Mengingat bahwa Putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan akhir dan mempunyai kekuatan hukum tetap, terhadap Putusan Banding dari Pengadilan Pajak tidak dapat diajukan upaya hukum baik berupa tidak dapat lagi diajukan Gugatan, Banding, atau Kasasi. Apabila berdasarkan Putusan Banding terdapat jumlah kekurangan pajak yang belum dibayarsebelum pengajuan keberatan dilakukan, maka Wajib Pajak dikenai sanksi 100% dari pajak yang kurang dibayar tersebut; Namun demikian, salah satu pihak yang bersengketa, baik WajibPajak atau Direktur Jenderal Pajak berdasarkan alasan-alasan tertentu berikut dapat mengajukan upaya hukum luar biasa berupa permohonan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung. Alasan-alasan tersebut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang PengadilanPajak adalah:
Apabila putusan Pengadilan Pajak didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yangkemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu;
Apabila terdapat bukti tertulis baru yang penting dan bersifat menentukan, yang apabila diketahui pada tahap persidangan di Pengadilan Pajak akan menghasilkanputusan yang berbeda;
Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut, kecuali yang diputus berdasarkan Pasal 80 ayat (1) hurufb dan c;
Apabila mengenai suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab- Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 36 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 37 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 sebabnya;atau e. Apabila terdapat suatu putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yangberlaku; Pengajuan Peninjauan Kembali atas Putusan Banding dari Pengadilan Pajak kepada Mahkamah Agung tidak menghalangi eksekusi Putusan Banding. Hal ini didasarkan kembali pada prinsip bahwa Putusan Banding adalah Putusan yang bersifat final danmengikat; Namun demikian, hal ini tidak berarti bahwa Putusan Mahkamah Agung atas Peninjauan Kembali atas Putusan Banding Pengadilan Pajak tidak memiliki kekuatan hukum, karena Undang-Undang KUP telah mengatur bahwa Putusan Mahkamah Agung atas Peninjauan Kembali atas Putusan Banding Pengadilan Pajakmerupakan dasar penagihan pajak apabila berdasarkan Putusan Mahkamah Agung atas Peninjauan Kembali atas Putusan Banding Pengadilan Pajak terdapat kekurangan pembayaran pajak, atau merupakan dasar pengembalian pajak yang terutang apabila berdasarkan Putusan Mahkamah Agung atas Peninjauan Kembali atas Putusan Banding Pengadilan Pajak terdapat kelebihan pembayaran pajak; Jalur upaya hukum melalui proses litigasi yang telah disediakan bagi Wajib Pajak yang tidak menyetujui jumlah pajak yang terutang menunjukkan bahwa Wajib Pajak diberikan akses penuh untuk mencari keadilan terkait jumlah pajak yang terutang. Oleh karena itu menjadi tidak beralasan apabila ada pihak yang berpendapat bahwa peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan menghalangi upaya Wajib Pajak untuk mencari keadilan. Hal yang sesungguhnya terjadi adalah pembagian klaster upaya hukum yaitu jalur terkait prosedural penerbitan surat ketetapan Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 37 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 38 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 pajak dan jalur terkait jumlah pajak yang terutang. Pembagian ini bertujuan untuk kepastian hukum agar Wajib Pajak mengajukan upaya hukum sesuai dengan jenis sengketa;
Pengurangan atau Pembatalan Surat Ketetapan Pajak sebagai upaya penyelesaian sengketa perpajakan nonlitigasi; Dalam hal Wajib Pajak tidak menyetujui jumlah pajak yang terutang yang terdapat dalam surat ketetapan pajak, selain dapat menggunakan jalur upaya penyelesaian sengketa melalui proseslitigasi, Wajib Pajak juga diberikan kesempatan untuk mengajukan upaya penyelesaian sengketa non litigasi berupa permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar. Permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar dapat diajukan oleh Wajib Pajak paling banyak 2 (dua) kali. Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permohonan diterima harus menerbitkan Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak atau Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak. Surat keputusan dimaksud berisi keputusan berupa mengabulkan seluruhnya atau sebagian, atau menolak permohonan Wajib Pajak; Berkenaan dengan hal tersebut di atas dapat kami sampaikan bahwa pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang disengketakan merupakan bentuk ordonansi keadilan yang dapat ditempuh oleh Wajib Pajak yang berakhir pada Direktur Jenderal Pajak. Dalam hal Wajib Pajak mendapat keputusan pertama atas pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak dan Wajib Pajak merasabelum memperoleh keadilan, maka Wajib Pajak dapat menyampaikan permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang kedua. Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 38 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 39 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 Keputusan yang diambil oleh Direktur Jenderal Pajak merupakan keputusan final atas jumlah pajak terutang yang disengketakan; Pengajuan salah satu upaya penyelesaian sengketa, berupa keberatan atau permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar akan menegasikan kesempatan pengajuan upaya penyelesaiansengketa yang lain; Oleh karena itu Wajib Pajak hanya dapat mengajukan permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidakbenar apabila Wajib Pajak tidak mengajukan keberatan atau mengajukan keberatan tetapi tidak dipertimbangkan oleh Direktur Jenderal Pajak. Demikian pula Wajib Pajak hanya dapat mengajukan keberatan apabila tidak pengajukan permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar; Penegasian kesempatan pengajuan upaya penyelesaian sengketa antara satu dengan yang lain ini dikarenakan pokok yang menjadi sengketa adalah sarna tetapi jalur yang disediakan berbeda. Melalui jalur litigasi, Wajib Pajak diberikan kesempatan untuk mencari keadilan sampai kepada Mahkamah Agung, sedangkan apabila Wajib Pajak memilih jalur non- litigasi, upaya pencarian keadilan berhenti sampai Direktur Jenderal Pajak. Oleh karena itu sangat penting bagi Wajib Pajak untuk menentukan jenis upaya hukum mana yang akan ditempuh agar Wajib Pajak tidak dengan sesukanya dalam menempuh upaya hukum yang malahan menimbulkan ketidakpastian hukum dalam sistem administrasi perpajakan; Akan tetapi perlu disadari pula bahwa pengajuan permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar merupakan jalur upaya hukum terhadap jumlah pajak yang terutang, Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 39 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 40 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 sehingga apabila masih terdapat sengketa terkait prosedur penerbitan surat ketetapan pajak, Wajib Pajak masih diberikan kesempatan mengajukan upaya hukum terhadap surat ketetapan pajak yang tidak sesuai prosedurtersebut; Masing-masing pilihan pengajuan upaya penyelesaian sengketa memiliki kelebihan dan kekurangannya sendiri. Dalam upaya penyelesaian sengketa melalui proses litigasi, jalur yang disediakan kepada Wajib Pajak relatif lebih panjang, akan tetapi hasil keputusannya dapat menambah jumlah pajak yang terutang yang tercantum dalam surat ketetapan pajak, bahkan disertai sanksi baik 50% dalam keberatan ataupun 100% dalam banding. Sedangkan apabila mengajukan upaya penyelesaian non-litigasi berupa pengajuan permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar, maka waktu yang dibutuhkan relatif lebih singkat dan hasilnya tidak mungkin menambah jumlah pajak yang terutang yang tercantum dalam surat ketetapan pajak serta terhadap Wajib Pajak tidak dikenai sanksi, tetapi kekurangannya adalah terhadap keputusan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar tidak dapat diajukan upaya hukum lanjutan selain pengajuan permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang kedua, sehingga jalur upaya hukum non-litigasi menjadi relatif singkat; Dari uraian tersebut, menjadi jelas bahwa Pemerintah menyediakan jalur upaya hukum yang dapat dipilih oleh Wajib Pajak. Pilihan yang diberikan oleh Pemerintah tersebut, memiliki konsekuensinya masing-masing. Konsekuensi yang paling nyata adalah jumlah uang yang harus dikeluarkan oleh Wajib Pajak untuk membayar pajak yang terutang beserta sanksi administrasinya. Namun demikian, hal tersebut Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 40 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 41 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 kembali berpulang kepada kejujuran Wajib Pajakdalam menghitung, melapor, dan menyetorkan pajak yang terutang; Apabila Wajib Pajak telah yakin menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang dalam SPT secara benar maka seharusnya Wajib Pajak tidak perlu gentar dalam mengajukan upaya hukum terkait surat ketetapan pajak dari hasil pemeriksaan atau verifikasi, karena Pemerintah melalui paraturannya di Direktorat Jenderal Pajak tidak akan mencari-cari cara untuk merugikan Wajib Pajak melainkan akan bekerja secara profesional sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang berlaku. Cara-cara yang ditempuh oleh Wajib Pajak untuk memperpanjang upaya hukum yang dapat dilaksanakan yang berarti juga menunda kewajiban pembayaran pajak menunjukkan bahwa sebenarnya Wajib Pajak tidak yakin dengan kebenaran penqhrtunqan, pembayaran, serta pelaporan ajaknya atau malahan mencari segala upaya agar kewajiban membayar pajak tertunda atau bahkan tidak harus dipenuhi. Pemerintah sangat yakin bahwa Majelis Hakim Agung Yang Mulia selain menjunjung tinggi prinsip keadilan, juga menjunjung tinggi prinsip kepastian hukum dalam memutus perkara a quo sehingga akan dapat melihat bahwa esensi pengaturan Pasal 37 yang diajukan uji materiil kepada Mahkamah Agung adalah untuk menciptakan kepastian hukum, agar Wajib Pajak tidak menghindari kewajiban perpajakannya dengan menempuh sega/a upaya hukum yang bahkan tidak sesuai dengan jalur yang telah disediakan Pemerintah. Demikian pula kiranya Majelis Hakim Agung dapat memper- timbangkan fakta bahwa peranan pajak dalam penerimaan negara yang sangat signifikan, sehingga upaya penundaan pembayaran pajak atau bahkan Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 41 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 42 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 upaya penghindaran pajak yang dilakukan oleh Wajib Pajak termasuk uji materiil Pasal 37 huruf b, d, e, f, g, dan h Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 yang diajukan oleh Pemohon berpotensi mengganggu penerimaan negara; b) Upaya hukum atas Surat Ketetapan Pajak yang penerbitannya tidak sesuai denganprosedur. Dalam hal Wajib Pajak tidak setuju dengan jumlah pajak terutang yang ditetapkan Direktur Jenderal Pajak, Wajib Pajak dapat mengajukan upaya hukum sebagaiberikut:
Gugatan kepada PengadilanPajak. Undang-Undang KUP dan PP 74/2011 memberikan hak kepadaWP untuk menggugat surat ketetapan pajak yang terbit tidak sesuai prosedur, hal tersebut diaturantara lain: Pasal 23 ayat (2) huruf d Undang-UndangKUP: "Penerbitan surat ketetapan pajak atau 5urat Keputusan Keberatan yang dalam penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang telah diatur dalam ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan hanya dapat diajukankepada badan peradilan pajak"; Pasal 38 ayat (1) PP74/2011: "Surat ketetapan pajak yang penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara penerbitan yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang perpajakan dapat diajukan gugatan kepada badan peradilan pajak sebagaimana dimaksud dalamPasal 23 ayat (2) huruf d Undang- Undang"; Pengajuan gugatan atas surat ketetapan pajak tersebut tidak menghilangkan hak Wajib Pajak untuk tetap mengajukan upaya hukum atas jumlah pajak yang terutang. Perlu kiranya menjadi perhatian Majelis Hakim Yang Mulia, bahwa sepanjang menyangkut materi maka Putusan Gugatan tidak dapat Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 42 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 43 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 ditindaklanjuti oleh Direktur Jenderal Pajak. Hal ini dikarenakan Putusan Gugatan tidak termasuk produk hukum yang menjadi dasar pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana telahdiatur dalam Pasal 11 ayat (1) dan ayat 2 (dua) Undang-Undang KUP, sehingga apabila Pengadilan Pajak melalui Putusan Gugatan kemudian menetapkan terjadi kelebihan pembayaran pajak, kelebihan pembayaran pajak tersebut tidak dapat dikembalikan oleh Direktur Jenderal Pajak; Demikian pula, apabila Putusan Gugatan menetapkan terjadi kekurangan pembayaran pajak, Direktur Jenderal Pajak juga tidak dapat menagih kekurangan pembayaran pajak karena Putusan Gugatan tidak termasuk produk hukum yang menjadi dasar penagihan sebagaimana telah diatur dalam Pasal 18 Undang-Undang KUP.
Pengajuan pembatalan Surat Ketetapan Pajak yang dilaksanakan tanpa penyampaian surat pemberi- tahuan hasil pemeriksaan atau verifikasi atau tanpa dilakukan pembahasan akhir hasil pemeriksaanatau verifikasipajak kepada Direktur Jenderal Pajak sebagaimanaSelain dapat mengajukan gugatan terhadap surat ketetapan pajak yang terbit tidak sesuai dengan prosedur, apabila terkait dengan tidak disampaikannya surat pemberitahuan hasil pemeriksaan atau verifikasi atau tidak dilakukannya pembahasan akhir hasil pemeriksaan atau verifikasi, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pembatalan ketetapandiatur dalam Pasal 36 ayat (1) huruf d Undang-Undang KUP. Melalui permohonan ini, Wajib Pajak dapat langsung mendapatkan haknya atas prosedur yang belum dilaksanakan dalam penerbitan surat ketetapan pajak tanpa harus melalui proses litigasi yang relatif lebih memakan waktu dan biaya; Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 43 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 44 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 P ermohonan ini dapat diajukan 1 (satu) kali dan harus diberikan keputusan oleh Direktur Jenderal Pajak paling lama 6 (enam) bulan sejak permohonanditerima secara lengkap; Untuk memudahkan Majelis Hakim Yang Mulia dalam mendalami skema upaya hukum yang dapat ditempuh olehWajib Pajak, berikut ini digambarkan skema visual sebagai berikut: SURAT KETETAPAN PAJAK MATERI PROSEDUR PASAL 36 PASAL 36 AYAT (1) PASAL 16 PASAL 25 huruf b PASAL 23 HURUF d (PEMBETULAN) (KEBERATAN) (PENGURANGAN DAN (GUGATAN) (PEMBATALAN SKP TIDAK PEMBATALAN SKP) SESUAI PROSEDUR) Dapat Diajukan BANDING PROSES BERHENTI PENINJAUAN KEMBALI PROSES BERHENTI Berkali-kali DI DIP DI DIP PENINJAUAN KEMBALI Upaya-upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak tersebut menunjukkan bahwa Wajib Pajak diberikan kesempatan yang luas untuk mencari keadilan, dan harus dipilih sesuai dengan jenis sengketa dan dengan mempertimbangkan konsekuensi dari masing-masing pilihan upaya hukum yang diambil. Oleh karena itu, dalam pengajuan upaya hukum, Wajib Pajak harus meyakini terlebih dahulu kebenaran penghitungan, pembayaran, dan pelaporan pajaknya sehingga upaya hukum yang dilakukan oleh Wajib Pajak tidak menjadisarana untuk coba-coba dalam menunda atau menghindari kewajiban perpajakannya;
Termohon tidak sependapat dengan anggapan/argumentasi Pemohon dalam permohonannyayang menyatakan : Bahwa menurut Pemohon, ketentuan Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 44 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 45 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan pada dasarnya telah mengatur kewenangan Direktur Jenderal Pajak yang dapat mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi, akan tetapi pengaturan tersebut telah dikesampingkan oleh ketentuan Pasal 37 huruf d dan huruf e PP No. 74 Tahun 2011, sehingga hak wajib pajak untuk dapat mengajukan penguranganatau penghapusan sanksi administrasi tidak diperoleh Terhadap alasan/anggapan Pemohon di atas, Termohon memberikan penjelasan sebagai berikut : Sebagaimana telah disebutkan di atas, Pasal 48 Undang-Undang KUP tidak hanya mengamanatkan pengaturan mengenai tata cara, tetapi juga kelengkapan yang materinya telah diatur dalam Undang-Undang KUP. Dengan menyitir bahwa Pasal 48 hanya mengamanatkan tata cara sehingga pengaturan hal-hal di luar tata cara bertentangan dengan Undang-Undang, menunjukkan bahwa Pemohon tidak memiliki pemahaman penuh terhadap ketentuan Pasal 48 atau bahkan mungkin sedang berusaha untuk menyesatkan pemahaman Majelis Hakim Agung Yang Mulia. Namun demikian, Pemerintah sangat yakin Majelis Hakim Agung Yang Mulia juga memahami bahwa Pasal 48 Undang- Undang KUP yang menjadi dasar pembentukan PP 74/2011 memberikan kewenangan untuk mengatur tidak hanya tata cara melainkan juga memberikan kewenangan untuk mengatur materi yang belum cukup lengkap diatur dalam Undang-Undang KUP. Setelah memahami bahwa Peraturan Pemerintah pelaksanaan Pasal 48 Undang-Undang KUP diberikan kewenangan untuk mengatur materi yang belum cukup lengkap diatur dalam Undang-Undang KUP, selanjutnya Pemerintah akan menguraikan mengapa Pasal 23 ayat (2) huruf c Undang-Undang KUP perlu diatur dengan Pasal 37 PP 74/2011. Hal-hal yang dapat diajukan gugatan telah diatur dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang KUP, yang berbunyi: "Gugatan Wajib Pajak atau PenanggungPajak terhadap:
pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau Pengumuman Lelang; __ b. keputusan pencegahan dalam rangkapenagihan pajak; __ c. keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 45 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 46 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 perpajakan, selain yang ditetapkan dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26; atau
penerbitan surat ketetapan pajak atau Surat Keputusan Keberatan yang dalam penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang telah diatur dalam ketentuan peraturan perundang- undanganperpajakan hanya dapat diajukan kepada badan peradilan pajak"; Pasal 23 ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf d Undang-Undang KUP mengatur secara jelas mengenai hal-hal apa saja yang dapat diajukan gugatan ke Pengadilan Pajak. Namun Pasal 23 ayat (2) huruf c Undang-Undang KUP belum cukup memberikan kejelasan tentang produk hukum yang dapat diajukan gugatan sehubungan dengan keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan. Oleh karena itu, untuk memberikan kepastian dan kejelasan hukum baik bagi Wajib Pajak dan petugas pajak, maka perlu diatur lebih lanjut bagaimana perlakuan secara hukum terhadap Pasal 23 ayat (2) huruf c tersebut; Berdasarkan pengaturan dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang KUP, hal-hal yang dapat diajukan gugatan terkait dengan Pasal 23 ayat (2) huruf a,huruf b, dan huruf d adalah terkait dengan prosedur. Oleh karena itu keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan yang dapat diajukan gugatan sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat (2) huruf c,juga harus dipandang yang terkait dengan prosedur. Oleh karena itu, untuk menjalankan amanat Pasal 48 Undang-Undang KUP yang mengatur bahwa terhadap hal-hal yang belum cukup diatur dalam undang-undang ini, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Maka terhadap Pasal 23 ayat (2)huruf c Undang- Undang KUP diatur dengan ketentuanPasal 37 PP 74/2011, yang berbunyi: "Keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan yang diajukan gugatan kepada Badan Peradilan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) huruf c Undang-Undang, meliputi keputusan yang diterbitkan olehDirektur Jenderal Pajakselain:
surat ketetapan pajak yang penerbitannya telah sesuai dengan prosedur atau tatacara penerbitan;
Surat KeputusanPembetulan; __ Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 46 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 47 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 c. Surat Keputusan Keberatan yang telah sesuai dengan prosedur atau tata carapenerbitan; __ d. Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi;
Surat Keputusan PenghapusanSanksi Administrasi; __ f. Surat Keputusan PenguranganKetetapan Pajak;
Surat Keputusan Pembatalan KetetapanPajak; dan
Surat Keputusan Pengembalian PendahuluanKelebihan Pajak; Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, dapat disimpulkan hal-hal sebagaiberikut:
Surat Ketetapan Pajak yang penerbitannya telah sesuai dengan prosedur atau tata carapenerbitan; Sebagaimana telah dipaparkan di atas, gugatan hanya terkait prosedur saja. Oleh karena itu, surat ketetapan pajak yang penerbitannya telah sesuai dengan prosedur atau tata cara penerbitan, tidak dapat diajukan gugatan. Sebaliknya, Surat ketetapan pajak yang penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara penerbitan dapat diajukan gugatan berdasarkan Pasal 23 ayat(2) huruf d. Apabila Wajib Pajak tidak setuju dengan jumlah pajak terutang dalam surat ketetapan pajak yang telah diterbitkan sesuai dengan prosedur, Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan, banding, sampai dengan Peninjauan Kembali atau mengajukan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yangtidak benar;
Surat KeputusanPembetulan; Surat keputusan pembetulan diterbitkan berdasarkan permohonan maupun karena jabatan apabila terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung, atau kesalahan penerapan ketentuan peraturan perundang- undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 Undang-Undang KUP. Kekeliruan-kekeliruan yang dilakukan pembetulan tersebut merupakan kekekeliruan yang tidak bersifat sengketa. Oleh karena itu, Surat Keputusan Pembetulan tidak dapat diajukan gugatan oleh Wajib Pajak. Selanjutnya, permohonan pembetulan juga tidak dibatasi oleh Undang-Undang sehingga Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pembetulan setiap kali terdapat/menemukan kesalahan. Bahkan diatur bahwa terhadap surat ketetapan pajak yang dilakukan pembetulan dan wajib pajak Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 47 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 48 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 mempersengketakan jumlah pajak yang terutang dalam Surat Keputusan pembetulan tersebut, Wajib Pajak masih memiliki hak untuk mengajukan upaya hukum pembetulan, keberatan, pengurangan ketetapan pajak, atau pembatalan ketetapan, dan dapat pula diajukan pengurangan maupun penghapusan sanksi administrasi. Bahkan apabila terhadap surat ketetapan pajak tersebut tidak dilakukan penyampaian hasil pemeriksaandan atau pembahasan akhir dengan Wajib Pajak, tetap dapat dilakukan pembatalan Surat Ketetapan Pajak. Hal ini berlaku pula secara mutatis mutandis terhadap produk hukum lainnya yang diterbitkan Surat Keputusan Pembetulan oleh Direktur Jenderal Pajak;
Surat Keputusan Keberatan yang telah sesuai dengan prosedur atau tata carapenerbitan; Sebagaimana telah dipaparkan di atas, bahwa upaya hukum gugatan hanya dapat diajukan terkait prosedur. Oleh karena itu, Surat Keputusan Keberatan yang penerbitannya telah sesuai dengan prosedur atau tata cara penerbitan tidak dapat diajukan gugatan. Sebaliknya, Surat Keputusan Keberatan yang penerbitannya tidak sesuai prosedur sesuai dengan prosedur atau tata cara penerbitan dapat diajukan gugatan berdasarkan Pasal 23 ayat (2) huruf d Undang-UndangKUP; Apabila Wajib Pajak tidak setuju dengan jumlah pajak terutang dalam Surat Keputusan Keberatan yang telah diterbitkan sesuai dengan prosedur, Wajib Pajak dapat mengajukan bandingsampai dengan Peninjauan Kembali;
Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi danSuratKeputusanPenghapusanSanksiAdministrasi; Berdasarkan Pasal 36 ayat (1) huruf a Undang-Undang KUP, Direktur Jenderal Pajak dapat mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karenakesalahannya; Dari bunyi Pasal 36 ayat (1) huruf a Undang-Undang KUP di atas, secara tersirat dapat dimaknai bahwa pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi dilakukan atas sanksi yang sudah Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 48 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 49 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 benar namun Wajib Pajak meminta "derma" atau "belas kasihan" kepada Direktur Jenderal Pajak untuk dikurangkan atau dihapuskan karena keadaan tertentu. Dengan kata lain, pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi tersebut merupakan wewenang mutlak Direktur Jenderal Pajak sehingga tidak relevan apabila diajukan gugatan. Selain itu, Undang-Undang KUP memberikan kesempatan kepada Wajib Pajak untuk mengajukan sebanyak 2 (dua)kali; Apabila sanksi administrasi yang terdapat dalam Surat Tagihan Pajak tidak benar, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengurangan atau pembatalan Surat Tagihan Pajak yang tidak benar berdasarkan Pasal 36 ayat (1) huruf c. Apabila sanksi administrasi yang terdapat dalam Surat Ketetapan Pajak tidak benar, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengurangan atau pembatalan Surat Ketetapan Pajak yang tidak benar berdasarkan Pasal 36 ayat (1) huruf b;
Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak dan Surat Keputusan PembatalanKetetapan Pajak; Apabila Wajib Pajak tidak setuju dengan jumlah pajak terutang dalam Surat Ketetapan Pajak yang telah diterbitkan sesuai dengan prosedur, Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan, banding, sampai dengan Peninjauan Kembali atau mengajukan pengurangan atau pembatalan Surat Ketetapan Pajak yangtidak benar; Berdasarkan Pasal 36 ayat (1) huruf b Undang-Undang KUP, Direktur Jenderal Pajak dapat mengurangkan atau menghapuskan Surat Ketetapan Pajak yang tidak benar. Pengertian tidak benar di sini adalah terkait dengan jumlah pajak yang terutang. Permohonan pengurangan atau penghapusan surat ketetapan yang tidak benar diputuskan oleh Direktur Jenderal Pajak dan tidak dapat diajukan upaya hukum kepada lembaga lain di luar Direktorat Jenderal Pajak. Akan tetapi perlu diperhatikan juga bahwa terhadap Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak dan Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak masih dapat diajukanupaya hukum pembatalan. Keberatan dan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak merupakan dua jalur terpisah (alternatif). Artinya, apabila Wajib Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 49 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 50 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 Pajak sudah mengajukan keberatan maka tidak boleh mengajukan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak. Sebaliknya, apabila Wajib Pajak sudah mengajukan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak maka tidak boleh mengajukan keberatan. Keduanya memiliki kedudukan yang sama dalam kaitannya memutuskan pajak yang terutang dalam surat ketetapanpajak; Pengurangan atau pembatalan pajak berdasarkan Pasal 36 ayat (1) huruf b Undang-Undang KUP disebut ordonansi keadilan (Sisi keadilan Pasal 36 (1) hurufb)karena:
Tidak terdapat keputusan yang menambah pajak yangterutang;
Buku, catatan, atau dokumen yang tidak diberikan pada saat pemeriksaan tetapi diberikan dala proses penyelesaian pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar juga dapat dipertimbangkanoleh Direktur Jenderal Pajak; Oleh karena pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar mengadili pajak yang terutang dalam surat ketetapan pajak, maka tidak relevan apabila Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak atau Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak diajukan gugatan. Apabila Wajib Pajak tidak setuju dengan jumlah pajak terutang yang telah diputuskan dalam Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak atau Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Wajib Pajak masih dapat mengajukan lagi permohonankepada Direktur Jenderal Pajak;
Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak Berdasarkan Pasal 17C Undang-Undang KUP, Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan penelitian atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari Wajib Pajak dengan kriteria tertentu, menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak paling lama 3 (tiga) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak Penghasilan, dan paling lama 1 (satu) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk PajakPertambahan Nilai; Output dari penelitian tersebut adalah menerima atau menolak pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak. Apabila Direktur Jenderal Pajak menerima permohonan Wajib Pajak maka Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 50 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 51 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 pengembalian kelebihan pembayaran pajak diproses berdasarkan Pasal 17C Undang-Undang dan diterbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak. Dalam proses penelitian pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak, tidak terdapat koreksi yang dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak, sehingga Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak murni berdasarkan jumlah yang dimohonkan oleh Wajib Pajak, sehingga tidak mengandung sengketadidalamnya; Berdasarkan hal tersebut tidak relevan jika Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak diajukan gugatan kepada PengadilanPajak; Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa:
Berdasarkan amanat dalam Pasal 48 Undang-Undang KUP, bahwa hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-Undang akan diatur oleh Peraturan Pemerintah, maka PP 74/2011 yang menjalankan amanat tersebut sudah sangat jelas diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat. Meskipun Pemohon berpandangan bahwa PP 74/2011 tidak dapat mengatur selain materi, tetapi dari penjelasan Pasal 48 terlihat bahwa Pasal 48 juga memberi kewenangan untuk mengatur kelengkapan yang belum cukup diatur dalam Undang-Undang KUP. Pemberian kewenangan pengaturan materi tersebut melegitimasi pengaturan materi dalam PP 74/2011 yang melengkapi Undang-Undang KUP;
Pasal 37 huruf d dan huruf e PP 74/2011 merupakan pengaturan lebih lanjut mengenai materi yang diatur dalam Pasal 23 ayat (2) huruf c Undang-Undang KUP, sehingga Wajib Pajak mendapatkan kejelasan dan kepastian hukum mengenai jalur-jalur upaya hukum yang dapat ditempuh. Dengan kata lain tidak terdapat pertentangan antara materi dalam Pasal 37 huruf d dan huruf e PP 74/2011 dengan materi dalam Pasal 23 ayat (2) huruf c Undang-Undang KUP, sebagaimana disebutkan dalampendapat Pemohon;
Termohon tidak sependapat dengan anggapan/argumentasi Pemohon dalam permohonannya yangmenyatakan : Bahwa menurut Pemohon, pembentukan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan yang tidak sesuai dengan Pasal 36 ayat (1) Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 51 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 52 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007, tidak memenuhi asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana tertuang dalam Pasal 5 huruf b dan c Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; Terhadap alasan/anggapan Pemohon di atas, Termohon memberikan penjelasansebagai berikut : Bahwa menurut Termohon, terhadap argumentasi Pemohon yang menyatakan bahwa pembentukan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan bertentangan dengan Pasal 5 huruf b dan c Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah tidak berdasar dan mengada- ada, karena pembentukan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 telah sesuai dengan ketentuan Pasal 48 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang; Sehingga PP No 74 Tahun 2011 pada dasarnya merupakan bentuk pendelegasian kewenangan sebagaimana diamanatkan dalam ketentuan Pasal 48 Undang-Undang Nomor 6 Tahun1983;
Termohon tidak sependapat dengan anggapan/argumentasi Pemohon dalam permohonannya yangmenyatakan : Bahwa menurut Pemohon, dengan diberlakukannya ketentuan Pasal 37 huruf d dan huruf e PP No 74 Tahun 2011 telah mengakibatkan Pemohon harus membayar apa yang bukanmenjadi kewajibannya sebagai wajib pajak; Terhadap alasan/anggapan Pemohon di atas, Termohon memberikan penjelasansebagai berikut : Bahwa terhadap argumentasi Pemohon yang menyatakan bahwa dengan diberlakukannya ketentuan Pasal 37 huruf d dan huruf e PP No 74 Tahun 2011 telah mengakibatkan Pemohon harus membayar apa yang bukan menjadi kewajibannya sebagai wajib pajak, menurut Termohon adalah tidak berdasar dan mengada-ada, karena pada dasarnya tidak ada pembayaran yang harus di bayarkan oleh Pemohon Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 52 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 53 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 di luar kewajiban Pemohon sebagaiwajib pajak; Surat Keputusan Pengurangan atau Pembatalan Ketetapan Pajak atas Surat Ketetapan Pajak masih dapatdibetulkan; Pasal 16 Undang-Undang KUP telah mengatur bahwa Surat Keputusan Pengurangan Atau Pembatalan Ketetapan Pajak merupakan salah satu produk hukum yang dapat dibetulkan oleh Direktur Jenderal Pajak, baik atas permohonan Wajib Pajak atau karena jabatan. Pengaturan ini dilandaskanpada prinsip bahwaPembetulan dilakukan terhadap kesalahan yang bersifat manusiawi yang tidak mengandung sengketa antara Wajib Pajak dengan Direktur Jenderal Pajak, sehingga apabila masih terdapat kesalahan, Surat Keputusan Pengurangan Atau Pembatalan Ketetapan Pajak tersebut masih dapat dibetulkan; Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak (SKPPKP) Pasal 17C dan Pasal 170 Tidak Mengakibatkan Wajib Pajak Kehilangan Hak Untuk Mengajukan UpayaHukum : a) Latar belakang pengembalian pendahuluan kelebihan pajak sebagai fasilitas percepatanrestitusi; Pada prinsipnya pengembalian kelebihan pembayaran pajak harus dilakukan berdasarkan pemeriksaan, sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (1) dan Pasal 178 UU KUP; Pasal 17 ayat (1) "Direktur Jenderal Pajak, setelah melakukan pemeriksaan, menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar apabila jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar lebihbesar daripada jumlah pajak yang terutang"; Pengembalian kelebihan pembayaran pajak berdasarkan Pasal 17 ayat (1) dilakukan berdasarkan atas hasil pemeriksaan terhadap Surat Pemberitahuan yang tidak menyatakan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak. Pemeriksaan dalam rangka pengembalian ini dilakukan dalam jangka waktu 6-8 bulan dalam hal pemeriksaan dilakukan dengan pemeriksaam kantoratau dalam jangka waktu 8-10 bulan dalam hal dilakukan dengan pemeriksaanlapangan; Pasal 178ayat (1) "Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak, selain permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari Wajib Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 53 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 54 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C dan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 170, harus menerbitkan surat ketetapan pajak paling lama 12 (dua belas) bulan sejak surat permohonan diterima secaralengkap" Pengembalian kelebihan pembayaran pajak berdasarkan Pasal 178 ayat (1) dilakukan berdasarkan atas hasil pemeriksaan terhadap Surat Pemberitahuan yang menyatakan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak. Dalam hal Wajib Pajak memohon pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud Pasal 17B UU KUP maka Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar harus diterbitkan paling lama 12 (dua belas) bulan sejak surat permohonan diterima lengkap; Namun demikian, jangka waktu pemeriksaan sebagaimana dimaksud Pasal 17 ayat (1) atau jangka waktu penerbitan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud Pasal 17B ayat (1) dipandang tidak cukup mengakomodasi kepentingan masyarakat Wajib Pajak yang menginginkan proses restitusi dilakukan dalam jangka waktu yang lebih singkat. Oleh karena itu, dengan memperhatikan aspirasi masyarakat Wajib Pajak tersebut, Pemerintah memberikan fasilitas pengembalian pendahuluan dilakukan untuk Wajib Pajak tertentu yang memiliki tingkat kepatuhan pembayaran dan pelaporan pajak yang baik. Pengembalian pendahuluan berdasarkan Pasal 17C dan Pasal 17D dilakukan dalam jangka waktu yang lebih singkat dibandingkan dengan restitusiberdasarkan Pasal 17 ayat (1) dan Pasal 17B ayat (1), yaitu 3 (tiga) bulan untuk Pajak Penghasilan dan 1 (satu) bulan untuk PajakPertambahan Nilai. Oleh karena itu pengembalian pendahuluan kelebihan pajak harus dipandang sebagai fasilitas percepatan restitusi yang diberikan oleh Pemerintah dalam rangka memberikan pelayanan dan kemudahan kepada masyarakat; b) Ilustrasi permohonan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak sebagaimana diatur Pasal 17C dan Pasal 17D Undang- UndangKUP; Untuk memperjelas proses pengembalian pendahuluan kelebihan pajak, kami sampaikan ilustrasisebagai berikut: Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 54 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 55 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 Wajib Pajak yang telah ditetapkan sebagai Wajib Pajak dengan kriteria tertentu sebagaimana diatur Pasal 17C atau Wajib Pajak yang telah ditetapkan sebagai Wajib Pajak Persyaratan Tertentu sebagaimana diatur dengan Pasal 17D mengajukan permohonan pengembalian pendahuluan sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta Rupiah) dengan membubuhkan tanda pada Surat Pemberitahuan (SPT). Berdasarkan permohonan tersebut, Kantor Pelayanan Pajak melakukan penelitian untuk menguji kebenaran terjadinyakelebihan pembayaran pajak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta Rupiah) tersebut. Apabila berdasarkan penelitian terbukti terjadi kelebihan pembayaran pajak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta Rupiah), terhadap permohonan Wajib Pajak diterbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan KelebihanPajak (SKPPKP). Namun apabila berdasarkan penelitian terbukti kelebihan pembayaran pajak kurang atau lebih dari jumlah Rp100.000.000,00 (seratus juta Rupiah), permohonan Wajib Pajak tidak diberikan, tetapi Wajib Pajak masih dapat membetulkanSPT tersebut. c) Terbitnya SKPPKP menunjukkan bahwa seluruh permohonan restitusi WajibPajak dikabulkan; Sebagaimana telah dicontohkan dalam ilustrasi di atas, SKPPKP terbit hanya apabila berdasarkan hasil penelitian terbukti terdapat kelebihan pembayaran pajak sebesar yang diajukan oleh Wajib Pajak. Oleh karena itu apabila SKPPKP terbit, seharusnya tidak terjadi sengketa karena SKPPKP terbit sesuai dengan permohonanWajib Pajak; d) SKPPKP masih dapat dibetulkan dengan kuasa Pasal 16 UU KUP Pasal 16 UU KUP telah mengatur bahwa Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak merupakan salah satu produk hukum yang dapat dibetulkan oleh Direktur Jenderal Pajak, baik atas permohonan Wajib Pajak atau karena jabatan. Pengaturan ini dilandaskan pada prinsip bahwa Pembetulan dilakukan terhadap kesalahan yang bersifat manusiawi yang tidak mengandung sengketa antara Wajib Pajak dengan Direktur Jenderal Pajak, sehingga apabila masih terdapat kesalahan,Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak tersebut Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 55 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 56 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 masih dapat dtbetulkan. Hal ini menunjukkan bahwameskipun SKPPKP hanya dapat terbit sesuai dengan permohonan Wajib Pajak, Pemerintah masih menyediakan upaya yang dapat dilakukan apabila masih terdapat kesalahan baik kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kesalahan penerapan peraturan perundang- undangan; e) Penerbitan SKPPKP tidak mungkin dan tidak perlu disengketakan Berdasarkan uraian di atas, didapatkan gambaran bahwa SKPPKPditerbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak sesuai dengan jumlah yang diajukan oleh Wajib Pajak dan terhadap SKPPKP tersebut masih dapat diajukan Pembetulan. Oleh karena itu, sebenarnya tidak mungkin terjadi sengketa atas penerbitan SKPPKP. Sengketa hanya mungkin terjadi apabila SKPPKP tidak terbit. Seandainyapun SKPPKP tidak terbit, Wajib Pajak masih dapat membetulkan SPT yang menjadi dasar permohonannya tersebut. Dengan demikian apabila SKPPKP diterbitkan seharusnya tidak terjadi sengketa dan tidak perlu disengketakan;
Kekhawatiran Pemohon bahwa produk upaya hukum yang diajukan uji materiil tidak dapat lagi atau kehilangan hak untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan Pajak adalah tidakberalasan; Sebagaimana telah dijelaskan secara gamblang di atas, bahwa setiap upaya hukum memiliki karakteristik tersendiri berdasar- kan jenis sengketanya dan memiliki konsekuensimasing- masing; Misalnya, jika terhadap Wajib Pajak telah dilakukan pemeriksaan dan kemudian diterbitkan produk hukum Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagai hasil pemeriksaan tersebut, apabila Wajib Pajak kemudian tidak setuju dengan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar tersebut, UU KUP memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada Wajib Pajak untuk mengajukan upaya hukum( point d'interet point d'action ). Berdasarkan UU KUP, kesempatan yang seluas- luasnya bagi Wajib Pajak untuk mengajukan upaya hukum dapat berupa permohonan pembetulan sebagaimana diatur dalam Pasal 16 UU KUP, pengajuan keberatan sebagaimana Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 56 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 57 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 diatur dalam Pasal 25 UU KUP, dan upaya hukum Pasal 36 UU KUP yang berupa: permohonan pengurangan ketetapan pajak, permohonan pembatalan ketetapan, permohonan pengurangan maupun permohonan. penghapusan sanksi administrasi, bahkan apabila Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dimaksud tidak dilakukan penyampaian hasil pemeriksaan dan atau pembahasan akhir dengan Wajib Pajak, dapat dilakukan pembatalan Surat Ketetapan PajakKurang Bayar; Upaya hukum yang dipilih Wajib Pajak sangat tergantung pada ketidakpuasan Wajib Pajak dalam hal apa dan bagaimana pertimbangan Wajib Pajak atas konsekuensi dari upaya hukum Wajib Pajak. Misalnya jika upaya hukum yang ditempuh Wajib Pajak adalah keberatan, maka konsekuensi Wajib Pajak antara adalah harus melunasi jumlah pajak yang disetujui pada waktu akhir sebelum mengajukan keberatan, jumlah pajak yang tidak disetujui pada waktu pembahasan akhir belum menjadi utang pajak sehingga tidak dilakukan penagihan pajak dengan surat paksa, dan jika berdasarkan SK Keberatan terdapat pajak yang masih harus dibayar maka atas jumlah tersebut harus dilunasi Wajib Pajak dengan ditambah sanksi administrasi 50% (lima puluh persen) dari pajak yang masih harus dibayar; Hal ini berbeda, jika langkah upaya hukum yang ditempuh Wajib Pajak adalah mengajukan pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak. Jika upaya hukum yang ditempuh Wajib Pajak adalah mengajukan pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak, maka konsekuensi Wajib Pajak antara lain adalah harus melunasi jumlah pajak yang masih harus dibayar yang tercantum dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, baik jumlah itu disetujui atau tidak disetujui pada waktu pembahasan akhir sebelum Wajib Pajak mengajukan pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak, paling lama 1 (satu) bulan sejak diterbitkan. Jumlah pajak yang disetujui maupun tidak disetujui pada waktu pembahasan akhir telah menjadi utang pajak. Dengan demikian, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar tersebut harus dilunasi paling lama 1 (satu) bulan sejak diterbitkan dan bila tidak dilunasi dilakukan penagihan pajak Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 57 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 58 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 dengan surat paksa. Hanya saja terhadap Wajib Pajak tidak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) dari pajak yang masih harus dlbayar, tetapi dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan yang dihitung 1 (satu) bulan sejak Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar diterbitkan; Konsekuensi yang hampir sama, jika upaya hukum yang ditempuh adalah mengajukan upaya hukum pembetulan sebagaimana diatur dalam Pasal 16 UU KUP. Konsekuensi Wajib Pajak antara lain adalah harus melunasi jumlah pajak yang masih harus dibayar yang tercantum dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, baik jumlah itu disetujui atau tidak disetujui pada waktu pembahasan akhir sebelum Wajib Pajak mengajukan pembetulan Pasal 16 UU KUP, paling lama 1 (satu) bulan sejak diterbitkan. Jumlah pajakyang disetujui maupun tidak disetujui pada waktu pembahasan akhir telah menjadi utang pajak. Dengan demikian, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar tersebut harus dilunasi paling lama 1 (satu) bulan sejak diterbitkan dan bila tidak dilunasi dilakukan penagihan pajak dengan surat paksa. Hanya saja terhadap Wajib Pajak tidak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) dari pajak yang masih harus dibayar, tetapi dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan yang dihitung 1 (satu) bulan sejak Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar diterbitkan; Berdasarkan contoh uraian di atas, maka Wajib Pajak harus memilih jalur yang akan ditempuh dan menyadari konsekuensi- nya, dan bukannya mencoba semua upaya hukum walaupun tidak sesuai dengan jenis sengketanya hanya untuk menunda atau bahkan menghindari kewajibanperpajakannya; Gugatan sebagai jalur upaya hukum yang telah disediakan untuk jenis sengketa yang terkait dengan prosedur penerbitan surat ketetapan pajak, tidak dapat digunakan sebagai upaya hukum untuk jenis sengketa materi terkait jumlah pajak yang terutang. Apabila hal tersebut tetap dilakukan dan dikabulkan oleh Pengadilan Pajak, yang selanjutnya berdampak pada Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 58 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 59 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 kelebihan pembayaran pajak, maka putusan tersebut justru akan merugikan Wajib Pajak karena Wajib Pajaktidak dapat mendapatkan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang dimohonkannya. Hal ini dikarenakan, berdasarkan Pasal 11 UU KUP, Putusan Gugatan bukan merupakan salah satu produk hukum yang menjadi dasar pengembalian kelebihan pem- bayaran pajak; PERTIMBANGAN HUKUM Menimbang, bahwa maksud dan tujuan permohonan keberatan hak uji materiil dari Pemohon adalah sebagaimana tersebut di atas; Menimbang, bahwa yang menjadi objek permohonan keberatan hak uji materiil Pemohon adalah Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Perpajakan; Menimbang, bahwa objek permohonan Hak Uji Materiil merupakan peraturan perundang-undangan yang secara hierarkhis berada di bawah Undang-Undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, sehingga Mahkamah Agung berwenang untuk melakukan pengujian terhadap objek permohonan _a quo; _ Menimbang, bahwa sebelum Mahkamah Agung mempertimbangkan tentang substansi permohonan yang diajukan Pemohon, maka terlebih dahulu akan dipertimbangkan apakah permohonan a quo memenuhi persyaratan formal, yaitu apakah Pemohon mempunyai kepentingan untuk mengajukan permohonan keberatan hak uji materiil, sehingga Pemohon mempunyai kedudukan hukum ( legal standing) dalam permohonan a quo sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 A ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan Pasal 1 ayat (4) dan Pasal 2 ayat (4) Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 01 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil; Menimbang, bahwa Pemohon adalah badan hukum publik yang mempunyai perhatian yang intens terhadap dunia usaha di bidang otomotif. Pemohon kerap memberikan dukungan, usulan dan saran terhadap para pemangku kepentingan ( stakeholder) di bidang usaha dan bisnis untuk kemajuan dunia otomotif di Indonesia khususnya wilayah Jabodetabek. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Pemohon itu sejatinya merupakan upaya untuk berpartisipasi dalam pembangunan yakni menciptakan lapangan kerja Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 59 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 60 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 bagi masyarakat, guna mencapai salah satu tujuan Negara yaitu memajukan kesejahteraan umum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara; Menimbang, bahwa Pemohon adalah pembayar pajak dalam setiap transaksi yang dilakukannya, Pemohon merasa sangat dirugikan dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Perpajakan Pasal 37 huruf d dan huruf e yang berakibat mengharuskan Pemohon untuk membayar apa yang bukan menjadi kewajibannya sebagai wajib pajak atau dengan kata lain Pemohon sebagai wajib pajak dikenakan pajak yang bukan merupakan kewajiban warga Negara kepada Negara secara adil dan tidak manusiawi karena tidak dapat menggunakan haknya sebagai wajib pajak; Menimbang, bahwa dengan demikian sebagai badan hukum Publik mempunyai kepentingan dan legal standing dalam pengajuan Hak Uji Materiil a quo , sebagaimana dimaksud Pasal 1 ayat 4 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 dan Pasal 31 A ayat 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung; Menimbang, bahwa selanjutnya Majelis akan mempertimbangkan tentang substansi objek permohonan Hak Uji Materiil _a quo; _ Menimbang, bahwa substansi objek permohonan uji materiil ini sudah pernah diajukan (nebis in idem) dalam perkara Nomor 73 P/HUM/2013 dengan amar putusan mengabulkan permohonan keberatan hak uji materiil dari Pemohon. Oleh karena peraturan yang digugat mengatur materi yang sama dengan peraturan yang telah diputusan dalam Putusan Nomor 73 P/HUM/2013, maka gugatan a quo harus dinyatakan nebis in idem dan oleh karenanya harus dinyatakan tidak dapat diterima; Menimbang, bahwa oleh karena permohonan keberatan hak uji materiil dari Pemohon dinyatakan tidak dapat diterima, maka Pemohon dihukum untuk membayar biaya perkara, dan oleh karenanya terhadap substansi permohonan a quo tidak perlu dipertimbangkan lagi; Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil, serta peraturan perundang-undangan lain yang terkait; Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 60 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 61 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 MENGADILI, Menyatakan permohonan keberatan hak uji materiil dari Pemohon: HARTONO SOHOR tersebut tidak dapat diterima; Menghukum Pemohon untuk membayar biaya perkara sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta Rupiah); Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung pada hari Selasa, tanggal 20 Oktober 2015 , oleh Dr. H. Imam Soebechi, SH., MH., Ketua Muda Urusan Lingkungan Peradilan Tata Usaha , yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Majelis, Is Sudaryono, SH., MH. dan Dr. Irfan Fachruddin, SH., CN., Hakim- Hakim Agung sebagai Anggota Majelis, dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari itu jugaoleh Ketua Majelis beserta Hakim-Hakim Anggota Majelis tersebut dan dibantu oleh Rafmiwan Murianeti, SH., MH., Panitera Pengganti dengan tidak dihadiri oleh para pihak; Anggota Majelis: Ketua Majelis, ttd. ttd. Is Sudaryono, SH., MH. Dr. H. Imam Soebechi, SH. MH. ttd. Dr. Irfan Fachruddin, SH., CN. Panitera-Pengganti : ttd. Rafmiwan Murianeti, SH. MH. Biaya-biaya :
M e t e r a i……. Rp 6.000,00 2. R e d a k s i…... Rp 5.000,00 3.Administrasi…... Rp 989.000,00 Jumlah : Rp1.000.000,00 Untuk Salinan MAHKAMAH AGUNG RI.
n. Panitera Panitera Muda Tata Usaha Negara ( ASHADI, SH ) NIP. : 220 000 754 Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 61