JDIHN LogoKemenkeu Logo
  • Dokumen Hukum
    • Peraturan
    • Monografi
    • Artikel Hukum
    • Putusan Pengadilan
  • Informasi
    • Regulasi
      • Infografis Regulasi
      • Simplifikasi Regulasi
      • Direktori Regulasi
      • Video Sosialisasi
      • Kamus Hukum
    • Informasi Penunjang
      • Tarif Bunga
      • Kurs Menteri Keuangan
      • Berita
      • Jurnal HKN
      • Statistik
  • Perihal
    • Tentang Kami
    • Struktur Organisasi
    • Anggota JDIHN
    • Prasyarat
    • Kebijakan Privasi
    • FAQ
    • Website Lama
    • Hubungi Kami
  • Situs Lama
JDIHN LogoKemenkeu Logo
  • Situs Lama

Filter

Jenis Dokumen Hukum
159
78
45
33
16
Publikasi
357
-
Status
182
81
78
Tajuk Entri Utama
228
82
9
9
5
Nomor
Tahun
Tema
7
7
6
6
5
Label
97
70
38
30
27
Tersedia Konsolidasi
2
1
Tersedia Terjemahan
2
-
Ditemukan 357 hasil yang relevan dengan "kebijakan fiskal di era inflasi "
Dalam 0.018 detik
Thumbnail
Tidak Berlaku
HUKUM KEUANGAN NEGARA | RENCANA KERJA DAN ANGGARAN
PP 90 TAHUN 2010

Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga.

  • Ditetapkan: 27 Des 2010
  • Diundangkan: 27 Des 2010

Relevan terhadap

MemutuskanTutup

Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENYUSUNAN RENCANA KERJA DAN ANGGARAN KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:

1.

Kementerian Negara yang selanjutnya disebut Kementerian, adalah perangkat Pemerintah yang membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.

2.

Lembaga adalah organisasi non Kementerian Negara dan instansi lain pengguna anggaran yang dibentuk untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau peraturan perundang-undangan lainnya.

3.

Menteri/Pimpinan Lembaga adalah pejabat yang bertanggung jawab atas pengelolaan keuangan pada Kementerian/Lembaga yang bersangkutan.

4.

Bagian Anggaran adalah kelompok anggaran menurut nomenklatur Kementerian/Lembaga dan menurut fungsi Bendahara Umum Negara.

5.

Arah Kebijakan adalah penjabaran urusan pemerintahan dan/atau prioritas pembangunan sesuai dengan visi dan misi Presiden yang rumusannya mencerminkan bidang urusan tertentu dalam pemerintahan yang menjadi tanggungjawab Kementerian/Lembaga, berisi satu atau beberapa program untuk mencapai sasaran stratejik penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dengan indikator kinerja yang terukur.

6.

Rencana Pembangunan Tahunan Nasional, yang selanjutnya disebut Rencana Kerja Pemerintah (RKP), adalah dokumen perencanaan Nasional untuk periode 1 (satu) tahun.

7.

Rencana Pembangunan Tahunan Kementerian/Lembaga, yang selanjutnya disebut Rencana Kerja Kementerian/Lembaga (Renja-K/L), adalah dokumen perencanaan Kementerian/Lembaga untuk periode 1 (satu) tahun.

8.

Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga, yang selanjutnya disingkat RKA-K/L, adalah dokumen depkumham.go.id rencana keuangan tahunan Kementerian/Lembaga yang disusun menurut Bagian Anggaran Kementerian/Lembaga.

9.

Rencana Dana Pengeluaran Bendahara Umum Negara, yang selanjutnya disingkat RDP-Bendahara Umum Negara, adalah rencana kerja dan anggaran Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara yang memuat rincian kebutuhan dana baik yang berbentuk anggaran belanja maupun pembiayaan dalam rangka pemenuhan kewajiban Pemerintah Pusat dan transfer kepada daerah yang pengelolaannya dikuasakan oleh Presiden kepada Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara.

10.

Keluaran adalah barang atau jasa yang dihasilkan oleh suatu kegiatan yang dilaksanakan untuk mendukung pencapaian sasaran dan tujuan program dan kebijakan.

11.

Hasil adalah segala sesuatu yang mencerminkan berfungsinya keluaran dari kegiatan dalam satu program.

12.

Kinerja adalah prestasi kerja berupa keluaran dari suatu kegiatan atau hasil dari suatu program dengan kuantitas dan kualitas terukur.

13.

Pagu Indikatif adalah ancar-ancar pagu anggaran yang diberikan kepada Kementerian/Lembaga sebagai pedoman dalam penyusunan Renja-K/L.

14.

Pagu Anggaran Kementerian/Lembaga, yang selanjutnya disebut Pagu Anggaran K/L, adalah batas tertinggi anggaran yang dialokasikan kepada Kementerian/ Lembaga dalam rangka penyusunan RKA-K/L.

15.

Alokasi Anggaran Kementerian/Lembaga, yang selanjutnya disebut Alokasi Anggaran K/L, adalah batas tertinggi anggaran pengeluaran yang dialokasikan kepada Kementerian/Lembaga berdasarkan hasil pembahasan Rancangan APBN yang dituangkan dalam berita acara hasil kesepakatan Pembahasan Rancangan APBN antara Pemerintah dan DPR.

16.

Inisiatif Baru adalah usulan tambahan rencana Kinerja selain yang telah dicantumkan dalam prakiraan maju, yang berupa program, kegiatan, keluaran, dan/atau komponen.

17.

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, yang selanjutnya disingkat APBN, adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.

18.

Kementerian Perencanaan adalah Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional. depkumham.go.id 19. Menteri Perencanaan adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional. Pasal 2 (1) Pemerintah menyusun APBN setiap tahun dalam rangka penyelenggaraan fungsi pemerintahan untuk mencapai tujuan bernegara.

(2)

APBN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dikelola secara tertib dan bertanggung jawab sesuai kaidah umum praktik penyelenggaraan tata kepemerintahan yang baik. Pasal 3 (1) Menteri Keuangan selaku pengelola fiskal menyusun Rancangan APBN.

(2)

Rancangan APBN terdiri atas:

a.

anggaran pendapatan negara;

b.

anggaran belanja negara; dan

c.

pembiayaan.

(3)

Besaran anggaran belanja negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b didasarkan atas kapasitas fiskal yang dapat dihimpun oleh Pemerintah.

(4)

Dalam hal rencana belanja negara melebihi dari rencana pendapatan negara, Pemerintah dapat melampaui kapasitas fiskal dengan menjalankan anggaran defisit yang ditutup dengan pembiayaan.

(5)

Besaran anggaran belanja negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dapat disesuaikan dengan perubahan kapasitas fiskal dan/atau perubahan pembiayaan anggaran sebagai akibat dari:

a.

perubahan asumsi makro;

b.

perubahan target pendapatan negara;

c.

perubahan prioritas belanja negara; dan/atau

d.

penggunaan saldo anggaran lebih tahun-tahun sebelumnya.

(6)

Anggaran belanja negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b disusun berdasarkan RKA-K/L.

(7)

Menteri Keuangan menetapkan pola pendanaan pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4). depkumham.go.id BAB II PENDEKATAN DAN DASAR PENYUSUNAN RKA-K/L Pasal 4 (1) RKA-K/L disusun untuk setiap Bagian Anggaran.

(2)

Menteri/Pimpinan Lembaga selaku Pengguna Anggaran wajib menyusun RKA-K/L atas Bagian Anggaran yang dikuasainya.

(3)

Selain menyusun RKA-K/L atas Bagian Anggaran Kementerian Keuangan, Menteri Keuangan menyusun RDP-Bendahara Umum Negara. Pasal 5 (1) Penyusunan RKA-K/L harus menggunakan pendekatan:

a.

kerangka pengeluaran jangka menengah;

b.

penganggaran terpadu; dan

c.

penganggaran berbasis Kinerja.

(2)

RKA-K/L disusun secara terstruktur dan dirinci menurut klasifikasi anggaran, yang meliputi:

a.

klasifikasi organisasi b. klasifikasi fungsi c. klasifikasi jenis belanja (3) Penyusunan RKA-K/L sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan instrumen:

a.

indikator Kinerja;

b.

standar biaya; dan

c.

evaluasi Kinerja. (4) Menteri/Pimpinan Lembaga menetapkan indikator Kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a setelah berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan dan Kementerian Perencanaan.

(5)

Ketentuan mengenai klasifikasi anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan standar biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan setelah berkoordinasi dengan Kementerian/Lembaga. Pasa1 6 (1) RKA-K/L disusun berdasarkan Renja-K/L, RKP, dan Pagu Anggaran K/L.

(2)

RKA-K/L sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat: depkumham.go.id a. informasi Kinerja; dan

b.

rincian anggaran.

(3)

Informasi Kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a memuat paling sedikit:

a.

program;

b.

kegiatan; dan

c.

sasaran Kinerja.

(4)

Rincian anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b disusun menurut:

a.

unit organisasi;

b.

fungsi;

c.

program;

d.

kegiatan;

e.

jenis belanja;

f.

kelompok biaya; dan

g.

sumber pendanaan.

(5)

Ketentuan mengenai format dan tatacara pengisian RKA- K/L diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. BAB III PROSES PENYUSUNAN RKA-K/L DAN PENGGUNAANNYA DALAM PENYUSUNAN RANCANGAN APBN Bagian Kesatu Proses Penyusunan RKA-K/L Pasal 7 (1) Presiden menetapkan Arah Kebijakan dan prioritas pembangunan nasional pada bulan Januari untuk tahun direncanakan berdasarkan hasil evaluasi kebijakan berjalan.

(2)

Berdasarkan Arah Kebijakan dan prioritas pembangunan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kementerian/Lembaga mengevaluasi pelaksanaan program dan kegiatan berjalan.

(3)

Berdasarkan hasil evaluasi pelaksanaan program dan kegiatan berjalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kementerian/Lembaga dapat menyusun rencana Inisiatif Baru dan indikasi kebutuhan anggaran yang diselaraskan dengan Arah Kebijakan dan prioritas pembangunan nasional untuk disampaikan kepada Kementerian Perencanaan dan Kementerian Keuangan.

(4)

Kementerian Perencanaan dan Kementerian Keuangan mengevaluasi pelaksanaan program dan kegiatan dari depkumham.go.id program yang sedang berjalan dan mengkaji usulan Inisiatif Baru berdasarkan prioritas pembangunan serta analisa pemenuhan kelayakan dan efisiensi indikasi kebutuhan dananya.

(5)

Kementerian Perencanaan mengoordinasikan pelaksanaan evaluasi dan pengintegrasian hasil evaluasi.

(6)

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan Inisiatif Baru diatur dengan Peraturan Menteri Perencanaan.

Pasal 8Tutup
(1)

Kementerian Keuangan menyusun perkiraan kapasitas fiskal untuk penyusunan Pagu Indikatif tahun anggaran yang direncanakan, termasuk penyesuaian indikasi pagu anggaran jangka menengah paling lambat pertengahan bulan Februari.

(2)

Pagu Indikatif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun oleh Menteri Keuangan bersama Menteri Perencanaan, dengan memperhatikan kapasitas fiskal dan pemenuhan prioritas pembangunan nasional.

(3)

Pagu Indikatif yang disusun oleh Menteri Keuangan bersama Menteri Perencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dirinci menurut unit organisasi, program, kegiatan, dan indikasi pendanaan untuk mendukung Arah Kebijakan yang telah ditetapkan oleh Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1).

(4)

Pagu Indikatif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang sudah ditetapkan beserta prioritas pembangunan nasional yang dituangkan dalam rancangan awal RKP disampaikan kepada Kementerian/Lembaga dengan surat yang ditandatangani Menteri Keuangan bersama Menteri Perencanaan pada bulan Maret.

(5)

Menteri/Pimpinan Lembaga menyusun Renja-K/L dengan berpedoman pada surat sebagaimana dimaksud pada ayat (4).

(6)

Renja-K/L sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disusun dengan pendekatan berbasis Kinerja, kerangka pengeluaran jangka menengah, dan penganggaran terpadu yang memuat:

a.

kebijakan;

b.

program; dan

c.

kegiatan. depkumham.go.id (7) Dalam proses penyusunan Renja-K/L dilakukan pertemuan 3 (tiga) pihak antara Kementerian/Lembaga, Kementerian Perencanaan, dan Kementerian Keuangan.

(8)

Menteri/Pimpinan Lembaga menyampaikan Renja-K/L kepada Kementerian Perencanaan dan Kementerian Keuangan untuk bahan penyempurnaan rancangan awal RKP dan penyusunan rincian pagu menurut unit organisasi, fungsi, program, dan kegiatan sebagai bagian dari bahan pembicaraan pendahuluan Rancangan APBN. Pasal 9 (1) Menteri Keuangan dalam rangka penyusunan RKA-K/L, menetapkan Pagu Anggaran K/L dengan berpedoman kapasitas fiskal, besaran Pagu Indikatif, Renja-K/L, dan memperhatikan hasil evaluasi Kinerja Kementerian/Lembaga.

(2)

Pagu Anggaran K/L sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggambarkan Arah Kebijakan yang telah ditetapkan oleh Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) yang dirinci paling sedikit menurut:

a.

unit organisasi; dan

b.

program.

(3)

Pagu Anggaran K/L sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada setiap Kementerian/Lembaga paling lambat akhir bulan Juni.

(4)

Menteri/Pimpinan Lembaga menyusun RKA-K/L berdasarkan:

a.

Pagu Anggaran K/L sebagaimana dimaksud pada ayat (2);

b.

Renja-K/L sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (5);

c.

RKP hasil kesepakatan Pemerintah dan DPR dalam pembicaraan pendahuluan Rancangan APBN; dan

d.

standar biaya.

(5)

Penyusunan RKA-K/L sebagaimana dimaksud pada ayat (4) termasuk menampung usulan Inisiatif Baru. Pasal 10 (1) RKA-K/L sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 menjadi bahan penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang APBN setelah terlebih dahulu ditelaah dalam forum penelaahan antara Kementerian/Lembaga dengan Kementerian Keuangan dan Kementerian Perencanaan.

(2)

Dalam hal Kementerian/Lembaga melakukan pembahasan RKA-K/L dengan DPR dalam rangka depkumham.go.id pembicaraan pendahuluan Rancangan APBN, pembahasan tersebut difokuskan pada konsultasi atas usulan Inisiatif Baru.

(3)

Dalam pembahasan RKA-K/L dengan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan penyesuaian terhadap usulan Inisiatif Baru, sepanjang:

a.

sesuai dengan RKP hasil kesepakatan Pemerintah dan DPR dalam pembicaraan pendahuluan Rancangan APBN;

b.

pencapaian sasaran Kinerja Kementerian/Lembaga; dan

c.

tidak melampaui Pagu Anggaran K/L.

(4)

Menteri Keuangan mengoordinasikan penelaahan RKA- K/L dalam rangka penetapan Pagu RKA-K/L yang bersifat final.

(5)

Penelaahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terintegrasi, yang meliputi:

a.

kelayakan anggaran terhadap sasaran Kinerja yang direncanakan; dan

b.

konsistensi sasaran Kinerja Kementerian/Lembaga dengan RKP. (6) Penelaahan RKA-K/L diselesaikan paling lambat akhir bulan Juli. (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tatacara penelaahan RKA-K/L diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. Bagian Kedua Penggunaan RKA-K/L Dalam Penyusunan Rancangan APBN Pasal 11 (1) Kementerian Keuangan menghimpun RKA-K/L hasil penelaahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 untuk digunakan sebagai:

a.

bahan penyusunan Nota Keuangan, Rancangan APBN, dan Rancangan Undang-Undang tentang APBN; dan

b.

dokumen pendukung pembahasan Rancangan APBN.

(2)

Nota Keuangan, Rancangan APBN, dan Rancangan Undang-Undang tentang APBN dibahas dalam Sidang Kabinet. (3) Nota Keuangan, Rancangan APBN, dan Rancangan Undang-Undang tentang APBN hasil Sidang Kabinet sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan oleh Pemerintah kepada DPR pada bulan Agustus. depkumham.go.id BAB IV ALOKASI ANGGARAN DAN DOKUMEN PELAKSANAAN ANGGARAN Pasal 12 (1) Pemerintah menyelesaikan pembahasan Rancangan APBN dan Rancangan Undang-Undang tentang APBN dengan DPR paling lambat akhir bulan Oktober. (2) Dalam hal pembahasan Rancangan APBN dan Rancangan Undang-Undang tentang APBN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menghasilkan optimalisasi pagu anggaran, optimalisasi pagu anggaran tersebut digunakan oleh Pemerintah sesuai dengan Arah Kebijakan yang telah ditetapkan oleh Presiden. (3) Hasil pembahasan Rancangan APBN dan Rancangan Undang-Undang tentang APBN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dituangkan dalam berita acara hasil kesepakatan pembahasan Rancangan APBN dan Rancangan Undang-Undang tentang APBN dan bersifat final. (4) Berita acara hasil kesepakatan pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan oleh Menteri Keuangan kepada Kementerian/Lembaga. (5) Menteri/Pimpinan Lembaga melakukan penyesuaian RKA-K/L dengan berita acara hasil kesepakatan pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (4).

(6)

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyesuaian RKA-K/L diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. Pasal 13 (1) Presiden menetapkan alokasi anggaran Kementerian/ Lembaga dan Kementerian Keuangan selaku Bendahara Umum Negara.

(2)

Alokasi anggaran Kementerian/Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dirinci menurut klasifikasi anggaran.

(3)

Alokasi anggaran Kementerian Keuangan selaku Bendahara Umum Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dirinci menurut:

a.

kebutuhan Pemerintah Pusat; dan

b.

transfer kepada daerah (4) Alokasi anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Presiden paling lambat tanggal 30 November. depkumham.go.id (5) Keputusan Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Undang- Undang tentang APBN. Pasal 14 (1) Menteri/Pimpinan Lembaga menyusun dokumen pelaksanaan anggaran dengan berpedoman pada alokasi anggaran yang ditetapkan dalam Keputusan Presiden.

(2)

Penyusunan dokumen pelaksanaan anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan RKA- K/L sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (5).

(3)

Menteri Keuangan mengesahkan dokumen pelaksanaan anggaran paling lambat tanggal 31 Desember.

(4)

Ketentuan mengenai tata cara pengesahan dokumen pelaksanaan anggaran diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. BAB V PERUBAHAN RKA-K/L DALAM PELAKSANAAN APBN Pasal 15 (1) Dalam tahun berjalan, Kementerian/Lembaga melakukan perubahan RKA-K/L dalam hal:

a.

terdapat tambahan dan/atau pengurangan alokasi anggaran sebagai akibat Perubahan APBN dan/atau realokasi anggaran belanja dari yang telah ditetapkan dalam dokumen pelaksanaan anggaran; dan/atau

b.

terdapat perubahan dokumen pelaksanaan anggaran yang memerlukan persetujuan DPR.

(2)

Usulan perubahan dokumen pelaksanaan anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diajukan oleh Menteri/Pimpinan Lembaga kepada Menteri Keuangan untuk di evaluasi.

(3)

Dalam hal usulan perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disetujui, Menteri Keuangan menyampaikan usulan tersebut kepada DPR.

(4)

RKA-K/L sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi dasar penyusunan revisi dokumen pelaksanaan anggaran berkenaan.

(5)

Ketentuan mengenai tata cara perubahan RKA-K/L diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. depkumham.go.id BAB VI PENYUSUNAN RDP-BENDAHARA UMUM NEGARA Pasal 16 (1) Menteri Keuangan selaku Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara menetapkan unit organisasi di lingkungan Kementerian Keuangan sebagai Pembantu Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara.

(2)

Pada awal tahun, Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara dapat berkoordinasi dengan Menteri/Pimpinan Lembaga atau pihak lain terkait menyusun indikasi kebutuhan dana pengeluaran Bendahara Umum Negara untuk tahun anggaran yang direncanakan dengan memperhatikan prakiraan maju dan rencana strategis yang telah disusun.

(3)

Indikasi kebutuhan dana pengeluaran Bendahara Umum Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan indikasi dana dalam rangka pemenuhan kewajiban Pemerintah yang penganggarannya hanya ditampung pada Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara Kementerian Keuangan.

Thumbnail
HUKUM KEUANGAN NEGARA | PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
1/PUU-VII/2009

Pengujian UU No. 36 Thn 2008 ttg Perubahan Keempat Atas UU No. 7 Tahun 1983 Ttg Pajak Penghasilan [Pasal 7 ayat (1) huruf a, b, c, & d, Pasal 9 ayat ( ...

    Relevan terhadap 1 lainnya

    Halaman 19Tutup

    dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan kena pajak zakat atas penghasilan boleh dikurangkan dari penghasilan kena pajak; • Bahwa sumber dan penggunaan dana baitul mal pada masa Rasulullah dan Khulafaurrasyidin (fiskal) ada kharaj, ada zakat. Perpaduan antara kharaj yang dikenal dengan pajak dan zakat sudah terjadi di masa itu; • Bahwa untuk Malaysia, tabel pendapatan zakat dan pajak Malaysia dalam ringgit dari laporan tahunan Pusat Pungutan Zakat Malaysia Tahun 2006 dapat dikatakan tabel tersebut membuktikan secara impiris bahwa kebijakan zakat sebagai pengurang pajak dapat menjadi stimulus untuk menaikkan pendapatan kedua intrumen tersebut; • Bahwa secara stimulan dapat disimpulkan berdasarkan pengalaman Malaysia hubungan antra zakat dengan pajak adalah berbanding lurus dan bukan berbanding terbalik, ini mungkin sudah disepakati; • Bahwa instrumen zakat pengurangan pajak penghasilan dapat digunakan pemerintah untuk dapat meningkatkan penerimaan pajak. Keterangan Saksi Pemohon 1. Saksi Imam Suhadi • Bahwa sebelum tahun 2003, STEKPI mempunyai kebijakan yang memberikan tunjangan pajak terhadap semua karyawan; • Bahwa karyawan menerima pendapatan tidak dipotong pajak karena institusi yang membayarkan pajak tersebut; • Bahwa setelah tahun 2003, ada kebijakan baru, setiap karyawan akan mendapatkan potongan pajak tetapi kebijakan institusi tersebut juga memberikan kepada pimpinan dan wakil pimpinan tunjangan pajak; • Bahwa yang mendapatkan penghasilan tanpa dipotong pajak adalah hanya pimpinan dan wakil saja; • Bahwa kebijakan tersebut sangat berdampak sekali kepada karyawan karena ada perbedaan-perbedaan hak terhadap pemberian pajak yang ditunjangkan kepada seorang pimpinan dan kepada karyawan; • Bahwa ini juga berdampak kepada karyawan yang bekerja suami-istri karena dibebankan pajak tersebut;

    Halaman 85Tutup

    untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”, maka sistem perpajakan yang baik dimaksud, antara lain harus dapat memperhatikan unsur keadilan, pemerataan beban sesuai kemampuan dan asas kegotong-royongan nasional dalam pembiayaan pembangunan, serta memberikan kepastian hukum dan keseimbangan pemenuhan hak dan kewajiban kenegaraan. Bahwa tujuan pengenaan pajak tersebut sesuai fungsinya adalah sebagai sumber penerimaan untuk keperluan negara (fungsi budget), dan untuk mengatur terciptanya keseimbangan dan keharmonisan antara kebijakan fiskal, kebijakan moneter dan kebijakan ekonomi di sektor ril dan investasi (fungsi regulasi). Melalui pembayaran pajak sebagai kewajiban kenegaraan, dengan mewajibkan yang lebih mampu membantu yang kurang mampu melalui penerapan tarif progresif, merupakan perwujudan kegotong-royongan nasional dalam pembiyaan pembangunan, yang diharapkan dapat menumbuhkan dan meningkatkan rasa memiliki (sense of belonging) terhadap keberhasilan pembangunan, sehingga menimbulkan rasa turut bertanggung jawab (sense of responsblity) atas pemeliharaan dan pengawasan negara, dan selanjutnya tedorong untuk turut berperan dan berpartisipasi (sense of participation) dalam pembiayaan pembangunan bangsa melalui pembayaran pajak; Di antara ketentuan yang mencerminkan pelaksanaan sistim perpajakan yang berorientasi untuk keadilan dan pemerataan, antara lain ketentuan adanya PTKP dalam Pasal 7, dan pengenaan pajak dengan tarif progresif dalam Pasal 17, sebagaimana telah dilakukan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 dan itu terus berlaku dengan beberapa kali perubahan yang pertama tahun 1994 lalu tahun 1997 dan dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000. Terkait kedua permasalahan itu maka ada dua pembahasan yang harus diperhatikan, pertama bahwa dalam membahas kedua masalah itu perlu diperhatikan antara lain untuk kepastian hukum maka prinsip-prinsip pajak harus dipertahankan secara konsisten; Kedua , dalam sumbangan membaca teks Undang-Undang apabila ada yang kurang jelas atau ada keraguan hendaklah memperhatikan yang pertama interpretasi sistematis yaitu atau mengkaitkan pasal-pasal antara pasal-pasal yang terkait dengan Undang-Undang yang sama atau mengkaitkan dengan undang- undang yang diatur dengan Undang-Undang lain yang terkait karena ini menyangkut dengan zakat dimana harus terkait dengan Undang-Undang Nomor

    Halaman 97Tutup
    1. Ketentuan dalam Pasal 9 ayat (1) huruf g, khususnya mengenai perlakuan atas zakat yang dibayarkan oleh Wajib Pajak kepada (diterima oleh) Badan Amil Zakat atau Lembaga Amil Zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah, boleh dikurangkan (tidak termasuk yang tidak boleh dikurangkan) untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak pembayar zakat (selanjutnya dalam paparan ini disingkat “zakat yang dibayar”); 2. Ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1) mengenai Penghasilan Tidak Kena Pajak, sebagai pengurang atas penghasilan netto untuk menentukan Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak Orang Pribadi (selanjutnya dalam paparan ini disingkat “PTKP”). A. Pendahuluan Reformasi perpajakan di Indonesia yang dimulai Tahun 1983, dengan diundangkannya seperangkat Undang-Undang Perpajakan yang baru, salahsatu diantaranya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPH), menggantikan Ordonansi Pajak Perseroan 1925, Ordonansi Pajak Pendapatan Tahun 1944, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1967, dan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1970 tentang Pajak atas Bunga, Deviden dan Royalty, yang diberlakukan berdasarkan Pasal 23 ayat (2) dan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945. Perubahan yang paling mendasar dalam perundang-undangan hasil pembaharuan tersebut, adalah upaya untuk menata dan memberlakukan sistim perpajakan yang baik di Indonesia, dengan mengandalkan fungsi pajak sebagai sumber penerimaan negara menuju kemandirian dalam pembiayaan pembangunan bangsa. Berpedoman pada bunyi Pasal 23A Undang-Undang Dasar 1945 [sebelum perubahan ketiga: Pasal 23 ayat (2)] yang berbunyi, “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”, maka Sistem perpajakan yang baik dimasud, antara lain harus dapat memperhatikan unsur keadilan, pemerataan beban sesuai kemampuan dan kegotongroyongan nasional dalam pembiayaan pembangunan, serta memberikan kepastian hukum dan keseimbangan pemenuhan hak dan kewajiban kenegaraan. Bahwa tujuan pengenaan pajak tersebut sesuai fungsinya, adalah sebagai sumber penerimaan untuk keperluan negara (fungsi budget), untuk mengatur terciptanya keseimbangan dan keharmonisan antara kebijakan fiskal, kebijakan moneter dan kebijakan ekonomi disektor ril dan investasi (fungsi regulasi). Melalui pembayaran pajak sebagai kewajiban kenegaraan, dengan mewajibkan yang lebih mampu
    Thumbnail
    Tidak Berlaku
    KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA | HUKUM KEUANGAN NEGARA
    93/PMK.02/2011

    Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga.

    • Ditetapkan: 27 Jun 2011
    • Diundangkan: 27 Jun 2011
    Thumbnail
    EKONOMI | KAWASAN
    UU 39 TAHUN 2009

    Kawasan Ekonomi Khusus.

    • Ditetapkan: 14 Okt 2009
    • Diundangkan: 14 Okt 2009
    Thumbnail
    Tidak Berlaku
    HUKUM KEUANGAN NEGARA | SISTEM AKUNTANSI
    234/PMK.05/2011

    Sistem Akuntansi Transaksi Khusus.

    • Ditetapkan: 23 Des 2011
    • Diundangkan: 23 Des 2011

    Relevan terhadap

    Pasal 1Tutup

    Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

    1.

    Sistem Akuntansi Transaksi Khusus yang selanjutnya disingkat SA-TK adalah serangkaian prosedur manual maupun yang terkomputerisasi mulai dari pengumpulan data, pencatatan, pengikhtisaran, sampai dengan pelaporan untuk seluruh transaksi penerimaan dan pengeluaran aset pemerintah yang terkait dengan fungsi Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara, yang tidak tercakup dalam Sub Sistem Akuntansi Bendahara Umum Negara (SABUN) lainnya.

    2.

    Penerimaan Negara Bukan Pajak yang selanjutnya disingkat PNBP adalah seluruh penerimaan pemerintah Pusat yang tidak berasal dari penerimaan perpajakan dan hibah.

    3.

    Kontraktor Kontrak Kerja Sama yang selanjutnya disingkat KKKS adalah Badan Usaha atau Bentuk Badan Usaha Tetap yang diberikan wewenang untuk melaksanakan eksplorasi dan eksploitasi pada suatu wilayah kerja berdasarkan Kontrak Kerja Sama dengan Badan Pelaksana.

    4.

    Kontraktor Perjanjian Kerja Sama/Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara yang selanjutnya disebut Kontraktor PKP2B adalah badan usaha yang melakukan pengusahaan pertambangan batubara, baik dalam rangka Penanaman Modal Asing (PMA) maupun Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN).

    5.

    Aset yang Menganggur (Iddle Asset) adalah aset milik pemerintah pusat yang tidak digunakan untuk mendukung pelaksanan tugas pokok dan fungsi Kementerian/Lembaga selaku Pengguna Barang sehingga wajib diserahkan kepada Menteri Keuangan selaku Pengelola Barang untuk ditetapkan status penggunaannya.

    6.

    Bantuan Likuiditas Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat BLBI adalah skema bantuan (pinjaman) yang diberikan Bank Indonesia kepada bank-bank yang mengalami masalah likuiditas pada saat terjadinya krisis moneter 1998 di Indonesia.

    7.

    Bank Dalam Likuiditas yang selanjutnya disingkat BDL adalah bank yang telah dicabut izin usahanya karena tidak dapat memenuhi persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam perundang-undangan yang mengatur mengenai ketentuan dan tata cara pencabutan izin usaha, pembubaran, dan likuidasi bank karena dianggap tidak mungkin diselamatkan lagi meskipun telah dilakukan berbagai upaya penyehatan.

    8.

    Perusahaan Pengelola Aset yang selanjutnya disingkat PPA adalah Perusahaan Perseroan di bidang pengelolaan aset yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah dengan tujuan untuk melakukan pengelolaan aset Negara yang berasal dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional yang tidak berperkara untuk dan atas nama Menteri Keuangan.

    9.

    Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat BUN adalah pejabat yang diberi tugas untuk melaksanakan fungsi bendahara umum negara.

    10.

    Unit Akuntansi Kuasa Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara Transaksi Khusus yang selanjutnya disingkat UAKPA BUN TK adalah unit akuntansi yang melakukan kegiatan akuntansi dan pelaporan keuangan transaksi khusus pada tingkat satuan kerja di lingkup Bendahara Umum Negara.

    11.

    Unit Akuntansi Koordinator Kuasa Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara Transaksi Khusus yang selanjutnya disingkat UAKKPA BUN TK adalah unit akuntansi yang menjadi koordinator dan bertugas melakukan kegiatan penggabungan laporan keuangan seluruh UAKPA- BUN TK yang berada langsung di bawahnya.

    12.

    Unit Akuntansi Penggabungan Kuasa Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara Transaksi Khusus yang selanjutnya disingkat UAPKPA BUN TK adalah unit akuntansi yang bertugas untuk melakukan kegiatan penggabungan laporan keuangan seluruh UAKPA-BUN TK dan/atau yang melalui UAKKPA BUN TK yang berada langsung di bawahnya.

    13.

    Unit Akuntansi Pembantu Bendahara Umum Negara Transaksi Khusus yang selanjutnya disingkat UAP BUN TK adalah unit akuntansi pada Unit Eselon I Kementerian Keuangan yang melakukan penggabungan laporan keuangan seluruh Unit Akuntansi Kuasa Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara Transaksi Khusus.

    14.

    Unit Akuntansi Kuasa Pengelola Barang Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat UAKPB-BUN adalah satuan kerja/unit akuntansi yang diberi kewenangan untuk mengurus/ menatausahakan/mengelola Barang Milik Negara yang dalam penguasaan Bendahara Umum Negara Pengelola Barang.

    15.

    Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang selanjutnya disebut DJPBN adalah Instansi Eselon I pada Kementerian Keuangan yang bertindak sebagai UAP BUN TK.

    16.

    Badan Kebijakan Fiskal yang selanjutnya disingkat BKF adalah Instansi Eselon I pada Kementerian Keuangan yang bertugas mengurus kerja sama internasional dan perjanjian hukum internasional.

    17.

    Direktorat Jenderal Anggaran yang selanjutnya disingkat DJA adalah Instansi Eselon I pada Kementerian Keuangan yang bertugas mengelola PNBP di bawah BA BUN.

    18.

    Direktorat Jenderal Kekayaan Negara yang selanjutnya disingkat DJKN adalah Instansi Eselon I pada Kementerian Keuangan yang yang bertugas mengelola Barang Milik Negara.

    19.

    Dana Perhitungan Fihak Ketiga yang selanjutnya disebut Dana PFK sejumlah dana yang dipotong langsung dari gaji pokok dan tunjangan keluarga pegawai negeri/pejabat negara, dan iuran kesehatan yang disetor oleh Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota, serta Tabungan Perumahan Pegawai Negeri Sipil Pusat/Daerah untuk disalurkan kepada pihak ketiga.

    20.

    Barang Milik Negara yang selanjutnya disingkat BMN adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau berasal dari perolehan lainnya yang sah.

    21.

    Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran yang selanjutnya disingkat DIPA adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang dibuat oleh Menteri/Pimpinan Lembaga serta disahkan oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan atas nama Menteri Keuangan dan berfungsi sebagai dasar untuk melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran negara dan pencairan dana atas beban APBN serta dokumen pendukung kegiatan akuntansi pemerintah.

    22.

    Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat SPM adalah dokumen yang diterbitkan/digunakan oleh Pengguna Anggaran/ Kuasa Pengguna Anggaran untuk mencairkan alokasi dana yang sumber dananya dari DIPA.

    23.

    Surat Perintah Pencairan Dana yang selanjutnya disingkat SP2D adalah surat perintah yang diterbitkan oleh Kuasa BUN Pusat untuk pelaksanaan pengeluaran atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara berdasarkan SPM.

    24.

    Arsip Data Komputer yang selanjutnya disingkat ADK adalah arsip data berupa disket atau media penyimpanan digital lainnya yang berisikan data transaksi, data buku besar, dan/atau data lainnya.

    25.

    Dokumen Sumber adalah dokumen yang berhubungan dengan transaksi keuangan yang digunakan sebagai sumber atau bukti untuk menghasilkan data akuntansi.

    26.

    Entitas Akuntansi adalah unit pemerintahan Pengguna Anggaran yang berkewajiban menyelenggarakan akuntansi dan menyusun laporan keuangan untuk digabungkan pada Entitas Pelaporan.

    27.

    Entitas Pelaporan adalah unit pemerintahan yang terdiri dari satu atau lebih entitas akuntansi yang berkewajiban menyampaikan laporan pertanggungjawaban berupa laporan keuangan.

    28.

    Laporan Keuangan adalah bentuk pertanggungjawaban pemerintah atas pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara berupa Laporan Realisasi Anggaran, Neraca, dan Catatan atas Laporan Keuangan.

    29.

    Laporan Realisasi Anggaran yang selanjutnya disingkat LRA adalah laporan yang menggambarkan realisasi pendapatan, belanja, dan pembiayaan selama suatu periode.

    30.

    Neraca adalah laporan yang menyajikan informasi posisi keuangan pemerintah yaitu aset, utang dan ekuitas dana pada tanggal tertentu.

    31.

    Catatan atas Laporan Keuangan yang selanjutnya disebut CaLK adalah laporan yang menyajikan informasi tentang penjelasan atau daftar terinci atau analisis atas nilai suatu pos yang disajikan dalam LRA, Neraca, dan Laporan Arus Kas dalam rangka pengungkapan yang memadai.

    32.

    Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat PA adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran Kementerian Negara/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah.

    33.

    Pengguna Barang yang selanjutnya disingkat PB adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan Barang Milik Negara/Daerah.

    34.

    Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat KPA adalah kuasa yang bertanggung jawab atas pengelolaan anggaran pada Kementerian Negara/Lembaga yang bersangkutan.

    35.

    Kuasa Pengguna Barang yang selanjutnya disingkat KPB adalah kepala satuan kerja atau pejabat yang ditunjuk oleh pengguna barang untuk menggunakan barang yang berada dalam penguasaannya dengan sebaik-baiknya.

    36.

    Penerimaan Negara Bukan Pajak yang selanjutnya disingkat PNBP adalah seluruh penerimaan pemerintah pusat yang tidak berasal dari penerimaan perpajakan.

    37.

    Rekonsiliasi adalah proses pencocokan data transaksi keuangan yang diproses dengan beberapa sistem/ subsistem yang berbeda berdasarkan Dokumen Sumber yang sama.

    38.

    Reviu adalah prosedur penelusuran angka-angka dalam laporan keuangan, permintaan keterangan dan analitik yang menjadi dasar memadai bagi Aparat Pengawas Intern Pemerintah untuk memberi keyakinan terbatas bahwa tidak ada modifikasi material yang harus dilakukan atas laporan keuangan tersebut sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan.

    Thumbnail
    PEMBIAYAAN Pembiayaan | SURAT BERHARGA SYARIAH NEGARA | PENGELOLAAN PEMBIAYAAN
    UU 19 TAHUN 2008

    Surat Berharga Syariah Negara

    • Ditetapkan: 07 Mei 2008
    • Diundangkan: 07 Mei 2008

    Relevan terhadap

    Pasal 3Tutup

    Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Kombinasi Akad SBSN antara lain dapat dilakukan antara Mudarabah dengan Ijarah, Musyarakah dengan Ijarah, dan Istishna’ dengan Ijarah. P ^asal 4 Yang dimaksud dengan “membiayai pembangunan proyek” adalah membiayai pembangunan proyek-proyek yang telah mendapatkan alokasi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, termasuk proyek infrastruktur dalam sektor energi, telekomunikasi, perhubungan, pertanian, industri manufaktur, dan perumahan rakyat. P ^asal 5 Cukup jelas. P ^asal 6 Ayat (1) Penerbitan SBSN baik secara langsung oleh Pemerintah maupun melalui Perusahaan Penerbit SBSN dimaksud dilakukan untuk kepentingan Negara Republik Indonesia. Dalam pelaksanaannya, penerbitan SBSN tersebut dapat dilakukan di dalam negeri maupun luar negeri. Penerbitan SBSN oleh Perusahaan Penerbit SBSN dilakukan hanya dalam hal struktur SBSN memerlukan adanya Special Purpose Vehicle (SPV). Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Menteri menetapkan segala hal yang berkaitan dengan kebijakan penerbitan SBSN, antara lain jumlah target indikatif penerbitan, tanggal penerbitan, metode penerbitan, denominasi, struktur Akad, pricing , dan hal-hal lain yang termuat dalam ketentuan dan syarat ( terms and conditions ) SBSN. Dengan demikian, kewenangan Perusahaan Penerbit SBSN hanya terbatas untuk menerbitkan SBSN. P ^asal 7 Ayat (1) Pemerintah mengadakan koordinasi dengan Bank Indonesia pada awal tahun saat merencanakan penerbitan SBSN, sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari rencana penerbitan Surat Berharga Negara untuk satu tahun anggaran. Koordinasi ini dimaksudkan untuk mengevaluasi implikasi moneter dari penerbitan Surat Berharga Negara, agar keselarasan antara kebijakan fiskal, termasuk manajemen utang, dan kebijakan moneter dapat tercapai. Pendapat Bank Indonesia tersebut menjadi masukan di dalam pengambilan keputusan oleh Pemerintah agar penerbitan Surat Berharga Negara dimaksud dapat dilakukan tepat waktu dan dilakukan dengan persyaratan yang dapat diterima pasar serta memberikan manfaat bagi Pemerintah dan masyarakat. Ayat (2) Koordinasi dengan menteri yang bertanggung jawab di bidang perencanaan pembangunan nasional antara lain meliputi jenis, nilai, dan waktu pelaksanaan proyek. Proyek yang akan dibiayai merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari program Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. P ^asal 8 Ayat (1) Persetujuan tersebut didahului dengan mengajukan rencana penerbitan dan pelunasan dan/atau pembelian kembali yang disampaikan bersamaan dengan penyampaian Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, kepada Dewan Perwakilan Rakyat yang dalam hal ini adalah alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat yang membidangi keuangan, untuk mendapatkan persetujuan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “hal-hal tertentu”, antara lain, adalah penerbitan SBSN dalam rangka menutup kekurangan pembiayaan anggaran, pembangunan proyek, dan/atau pengelolaan portofolio Surat Berharga Negara menjelang akhir tahun anggaran karena pertimbangan kondisi dan perkembangan pasar keuangan yang tidak dapat diantisipasi sebelumnya sehingga jumlah Nilai Bersih Maksimal Surat Berharga Negara yang telah disetujui terlampaui. P ^asal 9 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Semua kewajiban Imbalan dan Nilai Nominal yang timbul akibat penerbitan SBSN dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara setiap tahun sampai dengan berakhirnya kewajiban tersebut. Perkiraan dana yang perlu dialokasikan untuk pembayaran kewajiban untuk satu tahun anggaran disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk diperhitungkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun yang bersangkutan. Ayat (4) Pada saat jatuh tempo, pembayaran kewajiban Imbalan dan Nilai Nominal dapat melebihi perkiraan anggaran disebabkan oleh, antara lain, perbedaan perkiraan kurs, dan/atau tingkat Imbalan. Ayat (5) Cukup jelas. P ^asal 10 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan “tanah dan/atau bangunan” termasuk proyek yang akan atau sedang dibangun. Huruf b Yang dimaksud dengan “selain tanah dan/atau bangunan” dapat berupa barang berwujud maupun barang tidak berwujud yang memiliki nilai ekonomis dan/atau memiliki aliran penerimaan kas. Ayat (3) Menteri selaku Pengelola Barang Milik Negara menetapkan secara rinci jenis, nilai, dan spesifikasi Barang Milik Negara yang akan dijadikan sebagai Aset SBSN. Menteri dapat menerbitkan pernyataan mengenai status kepemilikan, penggunaan, dan penguasaan Barang Milik Negara yang telah tercantum dalam Daftar Barang Milik Negara, dalam hal belum tersedia Sertifikat Hak Pakai atau bukti kepemilikan lain atas Barang Milik Negara yang akan dijadikan sebagai Aset SBSN. P ^asal 11 Ayat (1) Pemindahtanganan Barang Milik Negara bersifat khusus dan berbeda dengan pemindahtanganan Barang Milik Negara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Sifat pemindahtanganan dimaksud, antara lain: (i) penjualan dan/atau penyewaan dilakukan hanya atas Hak Manfaat Barang Milik Negara; (ii) tidak terjadi pemindahan hak kepemilikan ( legal title ) Barang Milik Negara; dan (iii) tidak dilakukan pengalihan fisik Barang Milik Negara sehingga tidak mengganggu penyelenggaraan tugas Pemerintahan. Penjualan dan penyewaan Hak Manfaat Barang Milik Negara dilakukan dalam struktur SBSN Ijarah. Cara lain yang sesuai dengan Akad yang digunakan dalam rangka penerbitan SBSN antara lain, penggunaan Barang Milik Negara sebagai bagian penyertaan dalam rangka kerja sama usaha dalam struktur SBSN Musyarakah ( partnership ). Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Penggunaan Barang Milik Negara sebagai Aset SBSN tidak mengurangi kewenangan instansi pengguna Barang Milik Negara untuk tetap menggunakan Barang Milik Negara dimaksud sesuai dengan penggunaan awalnya, sehingga tanggung jawab untuk pengelolaan Barang Milik Negara ini tetap melekat pada instansi pengguna Barang Milik Negara sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Pemberitahuan tersebut bukan merupakan permintaan persetujuan atau pertimbangan. Ayat (4) Berdasarkan struktur SBSN Akad Ijarah- Head Lease and Sub Lease , jangka waktu penyewaan Aset SBSN dari Pemerintah __ kepada Perusahaan Penerbit SBSN lebih panjang dari jangka waktu penyewaan Aset SBSN dari Perusahaan Penerbit SBSN kepada Pemerintah. P ^asal 12 Ayat (1) Akad penerbitan SBSN lainnya adalah Akad selain SBSN yang menggunakan Akad Ijarah antara lain SBSN yang menggunakan Akad Musyarakah, Mudarabah, dan Istishna’ . Ayat (2) Kewajiban pembayaran lain sesuai Akad penerbitan SBSN antara lain berupa sisa Nilai Nominal SBSN yang pelunasannya dilakukan dengan cara amortisasi dan Imbalan yang belum dibayarkan. P ^asal 13 Ayat (1) Pemerintah dapat mendirikan lebih dari 1 (satu) Perusahaan Penerbit SBSN sesuai dengan kebutuhan. Ayat (2) Mengingat Perusahaan Penerbit SBSN memiliki karakteristik khusus yang berbeda dengan badan hukum Perseroan Terbatas, Yayasan ataupun bentuk badan hukum lain yang dikenal di Indonesia selama ini, maka perlu dibentuk badan hukum khusus sesuai Undang-Undang ini untuk dapat mengakomodasi karakteristik dan tujuan pembentukan Perusahaan Penerbit SBSN dimaksud. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Pertanggungjawaban dimaksud hanya terkait dengan operasional Perusahaan Penerbit SBSN dan pelaksanaan penerbitan SBSN. Ayat (5) Cukup jelas. P ^asal 14 Ayat (1) Pihak lain yang dapat ditunjuk sebagai Wali Amanat, antara lain, adalah lembaga keuangan yang telah mendapat izin dari otoritas yang berwenang dan lembaga lain yang dapat melakukan fungsi sebagai Wali Amanat. Ayat (2) Perusahaan Penerbit SBSN sebagai Wali Amanat pada dasarnya melaksanakan suatu kewajiban hukum yang timbul akibat adanya pengalihan kepemilikan Hak Manfaat atas suatu aset dari Pemerintah kepada pihak lain yang bertindak sebagai Wali Amanat untuk kepentingan pemegang SBSN selaku penerima manfaat. Ayat (3) Pihak lain yang dapat ditunjuk untuk membantu pelaksanaan fungsi sebagai Wali Amanat, antara lain, adalah lembaga keuangan yang telah mendapat izin dari otoritas yang berwenang dan lembaga lain yang dapat melakukan fungsi sebagai Wali Amanat. P ^asal 15 Cukup jelas. P ^asal 16 Cukup jelas. P ^asal 17 Cukup jelas. P ^asal 18 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Apabila diatur di dalam Akad, Menteri dapat melakukan pembelian kembali SBSN, baik yang diterbitkan secara langsung oleh Pemerintah maupun melalui Perusahaan Penerbit SBSN, sebelum jatuh tempo. Pembelian kembali atas sebagian dari Nilai Nominal SBSN tidak disertai dengan pembatalan Akad penerbitan SBSN. Huruf f Pelunasan sebagian atau seluruh Nilai Nominal SBSN, baik yang diterbitkan secara langsung oleh Pemerintah maupun melalui Perusahaan Penerbit SBSN sebelum jatuh tempo, hanya dapat dilakukan apabila diatur di dalam Akad. Huruf g Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. P ^asal 19 Ayat (1) Menteri membuka rekening yang diperlukan baik untuk menampung hasil penjualan SBSN maupun untuk menyediakan dana bagi pembayaran Imbalan dan Nilai Nominal SBSN. Ayat (2) Tata cara pembukaan dan pengelolaan rekening yang dimaksud dalam ayat ini mengikuti ketentuan perundang-undangan di bidang perbendaharaan negara, sedangkan tata cara pembukaan rekening di Bank Indonesia mengikuti ketentuan Bank Indonesia . P ^asal 20 Cukup jelas. P ^asal 21 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Penunjukan pihak lain oleh Bank Indonesia sebagai agen penata usaha untuk melaksanakan kegiatan penatausahaan, harus terlebih dahulu berkoordinasi dengan Menteri dengan memperhatikan ketentuan perundang-undangan di bidang pasar modal. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Laporan pertanggungjawaban kepada Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat ini disampaikan kepada Menteri. P ^asal 22 Cukup jelas. P ^asal 23 Lelang SBSN dilaksanakan oleh Bank Indonesia sampai pada saat Pemerintah dinilai telah siap serta mampu secara teknis untuk melaksanakan lelang secara sendiri atau bersama Bank Indonesia. P ^asal 24 Dalam ketentuan penerbitan dan penjualan SBSN, antara lain, diatur ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan penerbitan dan penjualan, termasuk kriteria peserta lelang SBSN baik yang diterbitkan secara langsung oleh Pemerintah maupun melalui Perusahaan Penerbit SBSN. P ^asal 25 Yang dimaksud dengan “lembaga yang memiliki kewenangan dalam menetapkan fatwa di bidang syariah” adalah Majelis Ulama Indonesia atau lembaga lain yang ditunjuk Pemerintah. P ^asal 26 Pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan perdagangan SBSN dimaksudkan untuk memberikan perlindungan terhadap kepentingan pemodal dan para pelaku pasar. Kedua hal tersebut diperlukan agar kegiatan perdagangan SBSN dapat dilaksanakan secara efisien dan sehat. Pengaturan dilaksanakan melalui penerbitan berbagai ketentuan, antara lain, mengenai transparansi data dan informasi penerbitan serta mengenai tata cara perdagangan SBSN. Pengaturan dan pengawasan merupakan upaya untuk memperoleh keyakinan akan ketaatan para pelaku pasar terhadap ketentuan yang berlaku. P ^asal 27 Ayat (1) Penatausahaan mencakup kegiatan administrasi dan akuntansi semua transaksi yang berkaitan dengan pengelolaan SBSN. Ayat (2) Cukup jelas. P ^asal 28 Cukup jelas. P ^asal 29 Permintaan data dan informasi mengenai SBSN kepada Bank Indonesia atau pihak lain yang ditunjuk sebagai agen penata usaha SBSN dilakukan secara tertulis.

    Thumbnail
    Tidak Berlaku
    DANA DESA Dana Desa | DANA DESA | BIDANG PERBENDAHARAAN
    263/PMK.05/2014

    Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Transfer Ke Daerah dan Dana Desa.

    • Ditetapkan: 31 Des 2014
    • Diundangkan: 31 Des 2014
    Thumbnail
    PAJAK DAERAH | RETRIBUSI DAERAH
    UU 28 TAHUN 2009

    Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

    • Ditetapkan: 15 Sep 2009
    • Diundangkan: 15 Sep 2009
    Thumbnail
    Tidak Berlaku
    MPR | DPD
    UU 27 TAHUN 2009

    Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. ...

    • Ditetapkan: 29 Agu 2009
    • Diundangkan: 29 Agu 2009

    Relevan terhadap

    Pasal 106Tutup
    (1)

    Pimpinan Badan Anggaran merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif dan kolegial.

    (2)

    Pimpinan Badan Anggaran terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan paling banyak 3 (tiga) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota Badan Anggaran berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat dan proporsional dengan mempertimbangkan keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi.

    (3)

    Pemilihan pimpinan Badan Anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam rapat Badan Anggaran yang dipimpin oleh pimpinan DPR setelah penetapan susunan dan keanggotaan Badan Anggaran.

    (1)

    Badan Anggaran bertugas:

    a.

    membahas bersama Pemerintah yang diwakili oleh menteri untuk menentukan pokok-pokok kebijakan fiskal secara umum dan prioritas anggaran untuk dijadikan acuan bagi setiap kementerian/lembaga dalam menyusun usulan anggaran;

    b.

    menetapkan pendapatan negara bersama Pemerintah dengan mengacu pada usulan komisi terkait;

    c.

    membahas rancangan undang-undang tentang APBN bersama Presiden yang dapat diwakili oleh menteri dengan mengacu pada keputusan rapat kerja komisi dan Pemerintah mengenai alokasi anggaran untuk fungsi, program, dan kegiatan kementerian/lembaga;

    d.

    melakukan sinkronisasi terhadap hasil pembahasan di komisi mengenai rencana kerja dan anggaran kementerian/lembaga;

    e.

    membahas laporan realisasi dan prognosis yang berkaitan dengan APBN; dan

    f.

    membahas pokok-pokok penjelasan atas rancangan undang-undang tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBN.

    (2)

    Badan Anggaran hanya membahas alokasi anggaran yang sudah diputuskan oleh komisi.

    (3)

    Anggota komisi dalam Badan Anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 ayat (2) harus mengupayakan alokasi anggaran yang diputuskan komisi dan menyampaikan hasil pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada komisi.

    Pasal 142Tutup
    (1)

    Rancangan undang-undang dapat berasal dari DPR, Presiden, atau DPD.

    (2)

    Rancangan undang-undang yang berasal dari DPR, Presiden, atau DPD disertai penjelasan atau keterangan dan/atau naskah akademik. Pasal 143 (1) Usul rancangan undang-undang dapat diajukan oleh anggota DPR, komisi, gabungan komisi, atau Badan Legislasi. (2) Usul rancangan undang-undang disampaikan secara tertulis oleh anggota DPR, pimpinan komisi, pimpinan gabungan komisi, atau pimpinan Badan Legislasi kepada pimpinan DPR disertai daftar nama dan tanda tangan pengusul. (3) DPR memutuskan usul rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam rapat paripurna, berupa:

    a.

    persetujuan;

    b.

    persetujuan dengan pengubahan; atau

    c.

    penolakan. (4) Dalam hal persetujuan dengan pengubahan, DPR menugasi komisi, gabungan komisi, Badan Legislasi, atau panitia khusus untuk menyempurnakan rancangan undang- undang tersebut. (5) Rancangan undang-undang yang telah disiapkan oleh DPR disampaikan dengan surat pimpinan DPR kepada Presiden. Pasal 144 Rancangan undang-undang yang berasal dari Presiden diajukan dengan surat Presiden kepada pimpinan DPR. Pasal 145 (1) Pengajuan peraturan pemerintah pengganti undang-undang dilakukan dalam bentuk pengajuan rancangan undang- undang tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang menjadi undang-undang. (2) Pembahasan rancangan undang-undang tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang menjadi undang-undang dilakukan melalui tingkat pembicaraan di DPR.

    a.

    persetujuan;

    b.

    persetujuan dengan pengubahan; atau

    c.

    penolakan. (3) Dalam hal rapat paripurna memutuskan memberi persetujuan terhadap usul rancangan undang-undang yang berasal dari DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, rancangan undang-undang tersebut menjadi rancangan undang-undang usul dari DPR. (4) Dalam hal rapat paripurna memutuskan memberi persetujuan dengan pengubahan terhadap usul rancangan undang-undang yang berasal dari DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, rancangan undang-undang tersebut menjadi rancangan undang-undang usul dari DPR dan untuk selanjutnya DPR menugaskan penyempurnaan rancangan undang-undang tersebut kepada komisi, gabungan komisi, Badan Legislasi, atau panitia khusus. (5) Dalam hal rapat paripurna memutuskan menolak usul rancangan undang-undang yang berasal dari DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, pimpinan DPR menyampaikan keputusan mengenai penolakan tersebut kepada pimpinan DPD.

    (6)

    Pimpinan DPR menyampaikan rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) atau rancangan undang-undang yang telah disempurnakan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) kepada Presiden dan Pimpinan DPD, dengan permintaan kepada Presiden untuk menunjuk menteri yang akan mewakili Presiden dalam melakukan pembahasan rancangan undang-undang serta kepada DPD untuk menunjuk alat kelengkapan DPD yang akan membahas rancangan undang-undang tersebut. (7) Apabila dalam waktu 60 (enam puluh) hari DPD belum menunjuk alat kelengkapan DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (6), pembahasan rancangan undang-undang tetap dilaksanakan. Pasal 148 Tindak lanjut pembahasan rancangan undang-undang yang berasal dari DPR atau Presiden dilakukan melalui 2 (dua) tingkat pembicaraan. Pasal 149 Dua tingkat pembicaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 adalah:

    a.

    Tingkat I dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat Badan Legislasi, rapat Badan Anggaran, atau rapat panitia khusus. b. Tingkat II dalam rapat paripurna. Pasal 150 (1) Pembicaraan Tingkat I dilakukan dengan kegiatan sebagai berikut:

    a.

    pengantar musyawarah;

    b.

    pembahasan daftar inventarisasi masalah; dan

    c.

    penyampaian pendapat mini. (2) Dalam pengantar musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a:

    a.

    DPR memberikan penjelasan dan Presiden menyampaikan pandangan apabila rancangan undang- undang berasal dari DPR;

    c.

    Presiden memberikan penjelasan dan fraksi memberikan pandangan apabila rancangan undang- undang berasal dari Presiden; atau

    d.

    Presiden memberikan penjelasan serta fraksi dan DPD menyampaikan pandangan apabila rancangan undang- undang yang berkaitan dengan kewenangan DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 huruf e berasal dari Presiden.

    (3)

    Daftar inventarisasi masalah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diajukan oleh:

    a.

    Presiden, apabila rancangan undang-undang berasal dari DPR.

    b.

    DPR, apabila rancangan undang-undang berasal dari Presiden.

    (4)

    Penyampaian pendapat mini sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c disampaikan pada akhir Pembicaraan Tingkat I oleh:

    a.

    fraksi;

    b.

    DPD, apabila rancangan undang-undang berkaitan dengan kewenangan DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 huruf e; dan

    c.

    Presiden.

    (5)

    Dalam hal DPD tidak memberikan pandangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf d, dan/atau pendapat mini sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b, Pembicaraan Tingkat I tetap dilaksanakan.

    (6)

    Dalam Pembicaraan Tingkat I dapat diundang pimpinan lembaga negara atau lembaga lain apabila materi rancangan undang-undang berkaitan dengan lembaga negara atau lembaga lain. Pasal 151 (1) Pembicaraan Tingkat II merupakan pengambilan keputusan dalam rapat paripurna dengan kegiatan:

    a.

    penyampaian laporan yang berisi proses, pendapat mini fraksi, pendapat mini DPD, dan hasil Pembicaraan Tingkat I;

    b.

    pernyataan persetujuan atau penolakan dari tiap-tiap fraksi dan anggota secara lisan yang diminta oleh pimpinan rapat paripurna; dan

    c.

    pendapat akhir Presiden yang disampaikan oleh menteri yang mewakilinya. (2) Dalam hal persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak dapat dicapai secara musyawarah untuk mufakat, pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan suara terbanyak. (3) Dalam hal rancangan undang-undang tidak mendapat persetujuan bersama antara DPR dan Presiden, rancangan undang-undang tersebut tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu. Pasal 152 Ketentuan lebih lanjut mengenai tingkat pembicaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 diatur dengan peraturan DPR tentang tata tertib. Pasal 153 (1) Dalam penyiapan dan pembahasan rancangan undang- undang, termasuk pembahasan rancangan undang-undang tentang APBN, masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis kepada DPR melalui pimpinan DPR dan/atau alat kelengkapan DPR lainnya. (2) Anggota atau alat kelengkapan DPR yang menyiapkan atau membahas rancangan undang-undang dapat melakukan kegiatan untuk mendapat masukan dari masyarakat. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penerimaan masukan dan penyerapan aspirasi dari masyarakat dalam penyiapan dan pembahasan rancangan undang-undang diatur dengan peraturan DPR tentang tata tertib.

    (2)

    Rancangan rencana kerja Pemerintah disusun oleh Pemerintah untuk dibahas dan disepakati bersama dengan DPR. (3) Rencana kerja Pemerintah yang telah dibahas dan disepakati bersama dengan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjadi pedoman bagi penyusunan rancangan APBN untuk selanjutnya ditetapkan menjadi satu kesatuan dengan APBN, dan menjadi acuan kerja Pemerintah yang ditetapkan dengan keputusan Presiden. Pasal 156 Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 huruf g, DPR menyelenggarakan kegiatan sebagai berikut:

    a.

    pembicaraan pendahuluan dengan Pemerintah dan Bank Indonesia dalam rangka menyusun rancangan APBN;

    b.

    pembahasan dan penetapan APBN yang didahului dengan penyampaian rancangan undang-undang tentang APBN beserta nota keuangannya oleh Presiden;

    c.

    pembahasan:

    1.

    laporan realisasi semester pertama dan prognosis 6 (enam) bulan berikutnya;

    2.

    penyesuaian APBN dengan perkembangan dan/atau perubahan dalam rangka penyusunan prakiraan perubahan atas APBN tahun anggaran yang bersangkutan, apabila terjadi: a) perkembangan ekonomi makro yang tidak sesuai dengan asumsi yang digunakan dalam APBN; b) perubahan pokok-pokok kebijakan fiskal; c) keadaan yang menyebabkan harus dilakukannya pergeseran anggaran antarunit organisasi, antarkegiatan, dan antarjenis belanja; dan/atau d) keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya harus digunakan untuk pembiayaan anggaran yang berjalan;

    d.

    pembahasan dan penetapan rancangan undang-undang tentang perubahan atas undang-undang tentang APBN; dan

    e.

    pembahasan dan penetapan rancangan undang-undang tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBN.

    (1)

    Pembicaraan pendahuluan dalam rangka penyusunan rancangan APBN dilakukan segera setelah Pemerintah menyampaikan bahan kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal pada pertengahan bulan Mei, yang meliputi:

    a.

    kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal tahun anggaran berikutnya;

    b.

    kebijakan umum dan prioritas anggaran untuk dijadikan acuan bagi setiap kementerian/lembaga dalam penyusunan usulan anggaran; dan

    c.

    rincian unit organisasi, fungsi, program, dan kegiatan.

    (2)

    Pemerintah menyampaikan kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal kepada DPR pada tanggal 20 Mei tahun sebelumnya atau sehari sebelumnya apabila tanggal tersebut jatuh pada hari libur.

    (3)

    Komisi dengan kementerian/lembaga melakukan rapat kerja dan/atau rapat dengar pendapat untuk membahas rencana kerja dan anggaran kementerian/lembaga tersebut.

    (4)

    Hasil pembahasan rencana kerja dan anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada Badan Anggaran.

    Thumbnail
    Tidak Berlaku
    TRANSAKSI KHUSUS | SISTEM AKUNTANSI
    248/PMK.05/2012

    Sistem Akuntansi Transaksi Khusus.

    • Ditetapkan: 28 Des 2012
    • Diundangkan: 28 Des 2012

    Relevan terhadap

    Pasal 1Tutup

    Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:

    1.

    Sistem Akuntansi Transaksi Khusus yang selanjutnya disingkat SA-TK adalah serangkaian prosedur manual maupun yang terkomputerisasi mulai dari pengumpulan data, pencatatan, pengikhtisaran, sampai dengan pelaporan untuk seluruh transaksi penerimaan dan pengeluaran serta aset dan kewajiban pemerintah yang terkait dengan fungsi khusus Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara, serta tidak tercakup dalam Sub Sistem Akuntansi Bendahara Umum Negara (SABUN) lainnya.

    2.

    Penerimaan Negara Bukan Pajak yang selanjutnya disingkat PNBP adalah seluruh penerimaan pemerintah Pusat yang tidak berasal dari penerimaan perpajakan dan hibah.

    3.

    Kontraktor Kontrak Kerja Sama yang selanjutnya disingkat KKKS adalah Badan Usaha atau Bentuk Badan Usaha Tetap yang diberikan wewenang untuk melaksanakan eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi pada suatu wilayah kerja berdasarkan Kontrak Kerja Sama dengan Badan Pelaksana.

    4.

    Kontraktor Perjanjian Kerja Sama/Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara yang selanjutnya disebut Kontraktor PKP2B adalah badan usaha yang melakukan pengusahaan pertambangan batubara, baik dalam rangka Penanaman Modal Asing (PMA) maupun Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN).

    5.

    Barang Milik Negara yang tidak digunakan untuk menyelenggarakan tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga yang selanjutnya disebut BMN Idle adalah BMN berupa tanah dan/atau bangunan yang tidak digunakan untuk kepentingan penyelenggaraan tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga.

    6.

    Bantuan Likuiditas Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat BLBI adalah fasilitas yang diberikan oleh Bank Indonesia kepada perbankan untuk menjaga kestabilan sistem pembayaran dan sistem perbankan, agar tidak terganggu oleh adanya ketidakseimbangan likuiditas, antara penerimaan dan penarikan dana pada bank-bank.

    7.

    Unit Akuntansi Kuasa Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara Transaksi Khusus yang selanjutnya disingkat UAKPA BUN TK adalah unit akuntansi yang melakukan kegiatan akuntansi dan pelaporan keuangan transaksi khusus pada tingkat satuan kerja di lingkup Bendahara Umum Negara.

    8.

    Unit Akuntansi Koordinator Kuasa Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara Transaksi Khusus yang selanjutnya disingkat UAKKPA BUN TK adalah unit akuntansi yang menjadi koordinator dan bertugas melakukan kegiatan penggabungan laporan keuangan seluruh UAKPA- BUN TK yang berada langsung di bawahnya.

    9.

    Unit Akuntansi Pembantu Bendahara Umum Negara Transaksi Khusus yang selanjutnya disingkat UAP BUN TK adalah unit akuntansi pada Unit Eselon I Kementerian Keuangan yang melakukan penggabungan laporan keuangan seluruh Unit Akuntansi Kuasa Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara Transaksi Khusus.

    10.

    Unit Akuntansi Koordinator Pembantu Bendahara Umum Negara Transaksi Khusus yang selanjutnya disingkat UAKP BUN TK adalah unit akuntansi pada Unit Eselon I Kementerian Keuangan yang melakukan penggabungan laporan seluruh Unit Akuntansi Pembantu Bendahara Umum Negara Transaksi Khusus.

    11.

    Unit Akuntansi Kuasa Pengelola Barang Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat UAKPLB-BUN adalah satuan kerja/unit akuntansi yang diberi kewenangan untuk mengurus/menatausahakan/mengelola Barang Milik Negara yang dalam penguasaan Bendahara Umum Negara Pengelola Barang.

    12.

    Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang selanjutnya disebut DJPBN adalah Instansi Eselon I pada Kementerian Keuangan yang bertindak sebagai UAP BUN TK dan UAKP BUN TK.

    13.

    Badan Kebijakan Fiskal yang selanjutnya disingkat BKF adalah Instansi Eselon I pada Kementerian Keuangan.

    14.

    Direktorat Jenderal Anggaran yang selanjutnya disingkat DJA adalah Instansi Eselon I pada Kementerian Keuangan yang bertugas mengelola PNBP di bawah BA BUN.

    15.

    Direktorat Jenderal Kekayaan Negara yang selanjutnya disingkat DJKN adalah Instansi Eselon I pada Kementerian Keuangan yang bertugas mengelola Kekayaan Negara.

    16.

    Barang Milik Negara yang selanjutnya disingkat BMN adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau berasal dari perolehan lainnya yang sah.

    17.

    Barang yang menjadi milik/kekayaan negara yang berasal dari Kontraktor Kontrak Kerja Sama, yang selanjutnya disebut BMN yang berasal dari KKKS adalah seluruh barang dan peralatan yang diperoleh atau dibeli KKKS dan yang secara langsung digunakan dalam kegiatan usaha hulu.

    18.

    Barang yang menjadi milik/kekayaan negara yang berasal dari Kontraktor Perjanjian Kerjasama/Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara, yang selanjutnya disebut BMN yang berasal dari Kontraktor PKP2B adalah seluruh barang dan peralatan yang diperoleh Kontraktor dalam rangka kegiatan pengusahaan pertambangan batubara dan/atau barang dan peralatan yang tidak terjual, tidak dipindahkan atau tidak dialihkan oleh Kontraktor setelah pengakhiran perjanjian yang telah melewati jangka waktu yang telah ditetapkan menjadi milik Pemerintah termasuk barang kontraktor yang pada pengakhiran perjanjian akan dipergunakan untuk kepentingan umum.

    19.

    Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran yang selanjutnya disingkat DIPA adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang disusun oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran.

    20.

    Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat SPM adalah dokumen yang diterbitkan/digunakan oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran untuk mencairkan alokasi dana yang sumber dananya dari DIPA.

    21.

    Surat Perintah Pencairan Dana yang selanjutnya disingkat SP2D adalah surat perintah yang diterbitkan oleh KPPN selaku Kuasa BUN untuk pelaksanaan pengeluaran atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara berdasarkan SPM.

    22.

    Arsip Data Komputer yang selanjutnya disingkat ADK adalah arsip data berupa disket atau media penyimpanan digital lainnya yang berisikan data transaksi, data buku besar, dan/atau data lainnya.

    23.

    Dokumen Sumber adalah dokumen yang berhubungan dengan transaksi keuangan yang digunakan sebagai sumber atau bukti untuk menghasilkan data akuntansi.

    24.

    Laporan Keuangan adalah bentuk pertanggungjawaban pemerintah atas pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara berupa Laporan Realisasi Anggaran, Neraca, Laporan Arus Kas dan Catatan atas Laporan Keuangan.

    25.

    Laporan Realisasi Anggaran yang selanjutnya disingkat LRA adalah laporan yang menggambarkan realisasi pendapatan, belanja, dan pembiayaan selama suatu periode.

    26.

    Neraca adalah laporan yang menyajikan informasi posisi keuangan pemerintah yaitu aset, utang, dan ekuitas dana pada tanggal tertentu.

    27.

    Catatan atas Laporan Keuangan yang selanjutnya disebut CaLK adalah laporan yang menyajikan informasi tentang penjelasan atau daftar terinci atau analisis atas nilai suatu pos yang disajikan dalam LRA, Neraca, dan Laporan Arus Kas dalam rangka pengungkapan yang memadai.

    28.

    Pembantu Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara, yang selanjutnya disebut PPA BUN adalah unit organisasi di lingkungan Kementerian Keuangan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan bertanggungjawab atas pengelolaan anggaran yang berasal dari BA BUN.

    29.

    Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat KPA adalah kuasa yang bertanggung jawab atas pengelolaan anggaran pada Kementerian Negara/Lembaga yang bersangkutan.

    30.

    Kuasa Pengguna Barang yang selanjutnya disingkat KPB adalah kepala satuan kerja atau pejabat yang ditunjuk oleh pengguna barang untuk menggunakan barang yang berada dalam penguasaannya dengan sebaik-baiknya.

    31.

    Rekonsiliasi adalah proses pencocokan data transaksi keuangan yang diproses dengan beberapa sistem/subsistem yang berbeda berdasarkan Dokumen Sumber yang sama.

    32.

    Reviu adalah prosedur penelusuran angka-angka dalam Laporan Keuangan, permintaan keterangan dan analitik yang menjadi dasar memadai bagi Aparat Pengawas Intern Pemerintah untuk memberi keyakinan terbatas bahwa tidak ada modifikasi material yang harus dilakukan atas Laporan Keuangan tersebut sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan.

    33.

    Aset bekas Milik Asing/China adalah aset yang dikuasai Negara berdasarkan:

    a.

    Peraturan Penguasa Perang Pusat Nomor Prt/032/PEPERPU/1958 jo. Keputusan Penguasa Perang Pusat Nomor Kpts/Peperpu/0439/1958 jo. Undang-Undang Nomor 50 Prp. Tahun 1960;

    b.

    Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1962;

    c.

    Penetapan Presiden Nomor 4 Tahun 1962 jo. Keputusan Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/Pemimpin Besar Revolusi Nomor 52/KOTI/1964;

    d.

    Instruksi Radiogram Kaskogam Nomor T-0403/G-5/5/66.

    34.

    PT Perusahaan Pengelola Aset (Persero) yang selanjutnya disebut PT PPA adalah Perusahaan Perseroan yang didirikan oleh pemerintah dengan tujuan untuk melakukan pengelolaan aset Negara yang berasal dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional yang tidak berperkara untuk dan atas nama Menteri Keuangan berdasarkan Perjanjian Pengelolaan Aset.

    35.

    Aset Eks Kelolaan PT PPA adalah kekayaan Negara yang berasal dari kekayaan eks Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang sebelumnya diserahkelolakan kepada PT Perusahaan Pengelola Aset (Persero)/PT PPA (Persero), dan telah dikembalikan pengelolaannya kepada Menteri Keuangan.

    36.

    Aset yang Diserah kelolakan kepada PT PPA adalah Kekayaan Negara yang berasal dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional yang tidak terkait dengan perkara, berupa Aset Properti, Aset Saham, Aset Reksa Dana, dan/atau Aset Kredit, yang sebelumnya berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 32/PMK.06/2006 tentang Pengelolaan Kekayaan Negara yang berasal dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional oleh PT Perusahaan Pengelola Aset (Persero), dikelola oleh PT Perusahaan Pengelola Aset (Persero).

    37.

    Aset Eks Pertamina adalah aset-aset yang tidak turut dijadikan Penyertaan Modal Negara dalam Neraca Pembukaan PT Pertamina sebagaimana ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 23/PMK.06/2008 tentang Penetapan Neraca Pembukaan Perseroan (Persero) PT Pertamina Per 17 September 2003, serta telah ditetapkan sebagai sebagai Barang Milik Negara yang berasal dari Aset Eks Pertamina berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 92/KK.06/2008 tentang Penetapan Status Aset Eks Pertamina Sebagai Barang Milik Negara.

    38.

    Dukungan Kelayakan Proyek Kerjasama yang selanjutnya disebut Dukungan Kelayakan adalah dukungan pemerintah berupa kontribusi fiskal dalam bentuk tunai atas sebagian biaya pembangunan proyek yang dilaksanakan melalui skema kerja sama pemerintah dengan Badan Usaha.

    • 1
    • ...
    • 31
    • 32
    • 33
    • ...
    • 36
    FAQ
    Prasyarat
    Hubungi Kami
    Kemenkeu Logo

    Hak Cipta Kementerian Keuangan.

    • Gedung Djuanda I Lantai G Jl. Dr. Wahidin Raya No 1 Jakarta 10710
    • Email:jdih@kemenkeu.go.id
    • Situs JDIH Build No. 12824
    JDIH Kemenkeu
    • Profil
    • Struktur Organisasi
    • Berita JDIH
    • Statistik
    • Situs Lama
    Tautan JDIH
    • JDIH Nasional
    • Sekretariat Negara
    • Sekretariat Kabinet
    • Kemenko Perekonomian
    • Anggota Lainnya
    Temukan Kami