Pribadi
Relevan terhadap
1 Cahyaning Tyas Anggorowati_Juni 2024 ANALISIS DAMPAK KEBIJAKAN HIGHER FOR LONGER THE FED TERHADAP ARUS MODAL DI INDONESIA Penulis: Cahyaning Tyas Anggorowati Pengolah Data Hukum Perjanjian Senior, Biro Hukum (Pegawai Tugas Belajar Program Magister di Universitas Indonesia) A. PENDAHULUAN Dalam era globalisasi dan kemajuan teknologi yang begitu pesat, kebijakan suatu negara akan berpengaruh terhadap kebijakan negara lain di dunia. Salah satunya adalah kebijakan terkait suku bunga the Fed . Kebijakan the Fed dalam menaikkan the federal funds rate tentunya akan mendapatkan perhatian dari berbagai bank sentral di negara lain di dunia. Bank sentral di berbagai dunia akan bereaksi dengan menyesuaikan kebijakan moneter di masing-masing negaranya. Fenomena Higher for Longer the Fed saat ini menjadi topik diskusi bagi banyak ekonom di dunia, termasuk di Indonesia. Fenomena Higher for Longer the Fed terjadi ketika the Fed menaikkan the federal funds rate , hal tersebut kemudian berdampak pada kenaikan suku bunga secara keseluruhan, sehingga individu maupun industri akan menghadapi biaya pinjaman yang mahal dalam menjalankan operasional bisnis. Namun demikian suku bunga yang tinggi juga akan mendorong peningkatan dalam tabungan suatu negara. Suku bunga yang tinggi akan dipandang baik ketika mencerminkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Namun sebaliknya, akan dipandang buruk pada saat terjadi inflasi. Fenomena Higher for Longer juga dipengaruhi oleh ketegangan geopolitik yang terus berlangsung sehingga menyebabkan berlanjutnya kenaikan harga pangan dan energi (inflasi global). Kenaikan suku bunga yang berlangsung lama tentunya akan berdampak pada banyak pelaku usaha, baik bisnis, pemerintah, maupun ekonomi masyarakat secara keseluruhan. Salah satu dampak dari kenaikan suku bunga pinjaman adalah terjadinya risiko downside atas investasi di Indonesia. Indonesia saat ini sedang menghadapi kebutuhan modal yang tinggi untuk membiayai berbagai macam proyek infrastruktur yang telah direncanakan oleh pemerintah dalam cakupan Proyek Strategis Nasional (PSN). Pembiayaan PSN tersebut dapat berasal dari APBN, kerja sama pemerintah dan badan usaha, maupun pendanaan pihak ketiga (swasta). Hal ini tentunya membutuhkan analisis mendalam atas kebijakan suku bunga yang akan berdampak pada minat investor dalam menanamkan modal ke Indonesia.
Cahyaning Tyas Anggorowati_Juni 2024 tahun, FFR berkisar dari 0%-20%. Pada tahun 1980, FFR ditetapkan sebesar 20% sebagai upaya untuk mengendalikan inflasi yang menyentuh angka dua digit. Hal sebaliknya terjadi pada tahun 2008, the Fed menurunkan FFR menjadi 0% untuk menghidupkan kembali perekonomian selama resesi hebat di Amerika. Hal yang sama juga terulang kembali pada tahun 2020, FFR mengalami penurunan agar dapat memitigasi kegagalan ekonomi akibat pandemi Covid-19 yang melanda seluruh dunia. Dengan turunnya FFR maka diharapkan akan dapat meningkatkan kredit dan memudahkan pinjaman agar dapat mendorong perekonomian melalui konsumsi dan belanja. Setelah meniadakan kewajiban cadangan bank pada Maret 2020, maka era suku bunga yang tinggi dari FFR telah menjelma menjadi instrumen kunci dalam mengendalikan inflasi (Koch & Islam, 2024). Konsekuensi dari era suku bunga tinggi telah berdampak pada kegagalan 41 perusahaan Amerika yang terjadi pada awal 2023 sebagai akibat tidak mampunya mengatasi tinggi suku bunga (CNBC, 2023). Tingginya suku bunga FFR sebagai alat untuk mengendalikan inflasi merupakan salah satu faktor penyebab bank run yang menyebabkan kebangkrutan Silicon Valley Bank pada maret 2023 dan diikuti oleh kebangkrutan dua bank lainnya, hal ini memperlihatkan bahwa kenaikan FFR telah berdampak pada sistem perbankan (Vo & Le, 2023). Peningkatan FFR rate setelah pandemi Covid-19 akan dapat menghasilkan keuntungan jika bank dapat meminjam pada biaya yang rendah dan melakukan investasi pada aset dengan return yang tinggi. Hal lain yang dapat dilakukan oleh perusahaan adalah mengganti pinjaman jangka pendek dengan pinjaman jangka panjang untuk mengatasi permasalahan ketidaksesuaian jatuh tempo. Perekonomian Amerika saat ini menghadapi risiko signifikan sejak era suku bunga tinggi sehingga menimbulkan kerugian yang berasal dari penurunan nilai pasar saham, portofolio pinjaman, dan perubahan portofolio aset, serta penarikan dana oleh depositor (Gelman et, al,. 2023).
Cahyaning Tyas Anggorowati_Juni 2024 E. KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan Fenomena Higher for Longer the Fed akan berpengaruh terhadap perekonomian suatu negara. Kenaikan FFR akan direspon oleh Bank Indonesia dengan menaikkan suku bunga BI 7 days Repo namun masih dalam respon yang tidak berlebihan. Kenaikan suku bunga tersebut akan meningkatkan downside risk terutama penurunan investasi akibat kenaikan biaya pinjaman maupun arus modal keluar menuju negara yang lebih menarik iklim investasinya, namun demikian Indonesia tetap mampu mempertahankan FDI inward tidak berkurang terlalu signifikan. Beberapa faktor yang mempengaruhi yaitu Pemerintah telah menerbitkan UU Ciptaker yang efektif menstabilkan investasi Indonesia di tengah ketidakstabilan global dan Bank Indonesia bersama anggota KSSK telah secara efektif mendesain kebijakan suku bunga maupun variabel makro lainnya (yang tidak termasuk variabel dalam tulisan ini) sehingga mampu menyeimbangkan perekonomian Indonesia dapat terus tumbuh terutama dalam membiayai proyek-proyek infrastruktur dalam beberapa periode mendatang. __ 2. Saran 1) Bagi Akademisi, diharapkan mampu memberikan masukan bagi Pemerintah dalam merumuskan kebijakan yang mampu mendorong arus investasi/modal masuk ke Indonesia. 2) Bagi Praktisi, diharapkan bisnis akan mampu menyeimbangkan sumber dana yang dimiliki melalui pilihan ekspansi maupun diversifikasi portofolio investasi yang dimiliki perusahaan, terutama dalam era suku bunga tinggi yang kemungkinan masih akan berlangsung dalam waktu yang cukup lama. 3) Bagi Pemerintah sebagai Policy Maker , perlu terus mendesain kebijakan fiskal dan moneter secara agile agar mampu merespon kebijakan Higher for Longer the Fed agar tetap memberikan iklim investasi yang kondusif supaya dapat menarik investasi dari investor luar negeri. __ Tulisan akademik ini merupakan karya pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan institusi manapun.
BPHN
Relevan terhadap
Topik E-Commerce Mengemuka dalam FGD Pokja Perdagangan Lintas Negara Jakarta, BPHN.go.id - Kelompok kerja analisis dan evaluasi terkait Perdagangan Lintas Negara melaksanakan kegiatan Focus Group Discussion (FGD) di Hotel Ibis Cawang Jakarta, Senin-Selasa 30-31 Juli 2018. FGD ini bertujuan untuk sosialisasi temuan-temuan yang sudah dilakukan oleh para anggota Pokja. Hadir dalam kegiatan ini Yu Un Oposunggu (Dosen FH- UI) sebagai Ketua Pokja beserta beberapa anggota pokja diantaranya dari Kementerian Perdagangan, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan serta Peneliti dari LIPI. Topik yang diangkat terkait perdagangan lintas negara semua dalam tujuannya untuk melaksanakan Ease of Doing Bussines (EoDB) di Indonesia. Bicara tentang perdagangan lintas negara maka tidak terlepas dari perdagangan atau transaksi e-commerce (perdagangan dengan sistem elektronik). Pada era serba digital sekarang ini, banyak proses jual beli berlangsung menggunakan akses internet. Jumlah transaksi e-commerce saat ini nilainya terus meningkat secara signifikan. Sedangkan regulasi yang mendukung untuk kegiatan tersebut belum siap, hal ini dapat membuat Indonesia tertinggal dari negara lain dan juga ada potensi pemasukan negara yang belum ditangkap karena dasar hukumnya belum kuat. Hal ini menjadi topik diskusi yang sangat mengemuka selama jalannya pelaksanaan FGD. Pelaksanaan FGD berjalan sangat menarik dengan penuh dinamika, para peserta sangat antusias memberikan pendapat serta kritisi yang cukup tajam. FGD belum menghasilkan rekomendasi karena masih terdapat beberapa materi yang harus dibahas dengan narasumber dan para pakar.
Puji Prasetyo ...
Relevan terhadap
1 SPECIFIC GRANT : __ REFORMASI KEBIJAKAN PEMBERIAN DANA ALOKASI UMUM KEPADA DAERAH OTONOM PROVINSI/KABUPATEN/KOTA 30 Januari 2023, Penulis : Puji Prasetyo __ “Dalam rangka mendukung implementasi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, pemerintah menerbitkan kebijakan baru berupa Specific Grant dalam pengelolaan Dana Alokasi Umum“ __ Penyempurnaan implementasi Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang dilakukan melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD) merupakan sebuah upaya untuk menciptakan alokasi sumber daya nasional yang efisien melalui Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang transparan, akuntabel, dan berkeadilan, guna mewujudkan pemerataan layanan publik dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di seluruh pelosok Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam mewujudkan tujuan tersebut, Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah berlandaskan pada 4 (empat) pilar utama, yaitu: (i) mengembangkan sistem Pajak Daerah yang mendukung alokasi sumber daya nasional yang efisien, (ii) mengembangkan Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dalam meminimalkan ketimpangan vertikal dan horizontal melalui kebijakan Transfer ke Daerah (TKD) dan Pembiayaan Utang Daerah (PUD), (iii) mendorong peningkatan kualitas Belanja Daerah, serta (iv) harmonisasi kebijakan fiskal antara Pemerintah Pusat dan Daerah untuk penyelenggaraan layanan publik yang optimal dan menjaga kesinambungan fiskal. Sebagai upaya penguatan desentralisasi fiskal guna mewujudkan pemerataan layanan publik oleh Pemerintah Daerah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di seluruh pelosok wilayah NKRI, dalam UU HKPD telah diatur mengenai kebijakan baru pemberian Dana Alokasi Umum (DAU). Sebelum diterbitkannya UU HKPD, pemberian DAU kepada daerah provinsi/kabupaten/kota hanya bersifat block grant /tidak ditentukan penggunaanya. Pemberian DAU yang bersifat block grant, di satu sisi merupakan suatu bentuk fleksibilitas penggunaan DAU oleh Pemerintah Daerah yang selaras dengan pelaksanaan prinsip otonomi daerah, namun di sisi lain terdapat pula sisi negatif yang mengikuti kebijakan block grant tersebut. Dalam Naskah Akademik penyusunan UU HKPD, pemrakarsa UU HKPD menyampaikan bahwa salah satu permasalahan yang dihadapi terkait DAU adalah formulasi DAU yang masih belum optimal dalam mengatasi ketimpangan fiskal antardaerah dan belum mampu mendorong pemerataan dan peningkatan layanan publik, serta kinerja daerah dalam menjalankan tanggungjawab belanja secara efisien dan disiplin. Hal ini salah satunya tercermin dalam realisasi DAU yang sebagian besar digunakan untuk belanja birokrasi (rata-rata realisasi belanja pegawai sebesar 32,4% vs rata-rata realisasi belanja infrastruktur publik 11,5%).
Zachroni, S.H., M.M.
Relevan terhadap
TINJAUAN KUANTITATIF KETERKAITAN IKLIM/ BUDAYA ORGANISASI DENGAN INOVASI DI ERA PANDEMI PENDAHULUAN. Mengelola pekerjaan pada era pandemi Covid-19 bukan perjuangan sederhana. Langgam bekerja dari rumah ternyata tidak semerdu kedengarannya. Persoalan komunikasi, keamanan data, hingga penataan berkas, adalah sebagian tantangannya. Bukan persoalan mudah ketika file aktif yang tersimpan di ordner kantor diperlukan dalam rapat vicon di rumah. Belum lagi keharusan memproses pekerjaan secara online berbarengan dengan memproses dokumen fisik. Bekerja di kantor pun tidak senyaman biasanya. Karena selain berhadapan langsung dengan risiko kesehatan yang bukan main-main, ada kendala koordinasi, monitoring, dan teknis bersinergi. Permasalahan ini perlu diatasi. Tak pelak, inovasi dirindukan hadir untuk menyelesaikan dengan terobosan cerdasnya, baik dalam bentuk produk, metode, maupun proses bisnis. Menilik soal inovasi, dalam Webinar “Berinovasi di Tengah Pandemi” pada 20 Juli 2020 lalu, Sesjen Kemenkeu menyampaikan bahwa inovasi di Setjen kebanyakan tercipta secara top down . Inovasi secara bottom-up hanya menjadi salah satu penyandang nilai terendah dari indikator kesehatan organisasi. Dengan kata lain, iklim berinovasi di Setjen tidak bergairah. Berdasarkan obrolan bebas yang dilanjutkan dengan diskusi informal hingga wawancara terarah, penulis menyerap informasi bahwa inovasi bukan semata-mata persoalan substansi atau transformasi, namun lebih pada penciptaan kondisi. Kurangnya inovasi diduga karena adanya kondisi yang kurang mendukung. Kondisi dimaksud adalah iklim organisasi dan budaya organisasi. Benang merahnya, faktor kuat yang terkait dengan tumbuh kembang inovasi adalah iklim organisasi dan budaya organisasi. Untuk itu, kiranya penting untuk mengurai: 1) keterkaitan Iklim Organisasi an sich dengan Inovasi, 2) keterkaitan Budaya Organisasi an sich dengan Inovasi, dan 3) keterkaitan Iklim Organisasi/Budaya Organisasi secara kolektif dengan Inovasi. METODE. Tulisan ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan bantuan aplikasi Statistical Package for the Social Sciences (SPSS) version 18.0 for Windows , dengan sampel staf Biro Hukum Kemenkeu sebanyak 67 orang. Data diperoleh melalui kuesioner dengan menggunakan Skala Likert dengan lima kategori jawaban, yakni sangat tidak setuju (skor 1), tidak setuju (skor 2), ragu-ragu (skor 3), setuju (skor 4), dan sangat setuju (skor 5). Iklim Organisasi (variabel bebas 1), Budaya Organisasi (variabel bebas 2), dan Inovasi (variabel terikat) masing-masing menggunakan 8 indikator. Indikator Iklim Organisasi meliputi penataan ruangan, hubungan personal, keorganisasian, perolehan hak, sinergi, peran kepemimpinan, kerjasama dengan stakeholders, dan responsif atas kebijakan pimpinan. Budaya Organisasi meliputi penghargaan, budaya masukan/kritik, penggunaan peraturan, komunikasi pimpinan, peran motivasi untuk saling percaya, visi dan misi, kerjasama atasan/bawahan, dan falsafah organisasi. Sedangkan inovasi meliputi
Badan Kebijakan Fiskal
Relevan terhadap 22 lainnya
FISKALISTA Ini Kebijakan Fiskal untuk Dukung Ekonomi Hijau Jakarta (16/12) : Badan Kebijakan Fiskal (BKF) menggelar Dialog Ekonomi Hijau yang bertema “Perspektif APBN untuk Mendukung Ekonomi Hijau di Era COVID-19 pada Rabu, (16/12) melalui video conference . Dalam paparannya, Analis Kebijakan Ahli Muda di Pusat Kebijakan APBN Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Fino Valico Waristi menyampaikan bahwa tantangan perekonomian dunia terus datang silih berganti. Sebelum COVID-19, tantangan perekonomian global berasal dari isu ekonomi dan politik yang penuh tantangan dalam beberapa tahun terakhir. Tantangan saat ini, yakni pandemi COVID-19, menjadi krisis yang belum pernah terjadi sebelumnya yang memberikan guncangan pada sisi permintaan dan penawaran, serta memberikan efek domino ke berbagai aspek. Selanjutnya, Analis Kebijakan Ahli Madya di Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral BKF Noor Syaifudin menyampaikan bahwa pemerintah Indonesia berkomitmen untuk mengendalikan perubahan iklim melalui berbagai ratifikasi kebijakan internasional yaitu Paris Agreement . Hal ini juga diterjemahkan lebih lanjut dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 . Noor juga menjelaskan bahwa dalam menangani isu perubahan iklim, tidak cukup hanya dukungan dari pemerintah, namun diperlukan mekanisme lain seperti inovasi financing . Di tengah pandemi, pemerintah menerbitkan global green sukuk dan Indonesia merupakan pioneer dalam penerbitan green sukuk ini serta mendapatkan penghargaan internasional. Hasil green sukuk ini akan digunakan untuk beberapa sektor, diantaranya terkait transport berkelanjutan, penanggulangan langkah perubahan iklim, dan pengelolaan sampah.
Inspirasi Tetap Produktif di Usia Senja Bagus Rosyid Secangkir teh hangat menyambut kedatangan tim warta fiskal di kediaman salah satu Anggota Dewan Pertimbangan Presiden RI (Wantimpres), Sidarto Danusubroto. Tim harus melalui protokol kesehatan yang ketat sebelum bertandang ke Kemang - Jakarta Selatan yakni rapid test, memakai masker, menjaga jarak, mencuci tangan, dan meminimalisasi kontak fisik. “Silakan di minum tehnya. Nanti kita lanjutkan ngobrol- ngobrolnya,” ucap pria berkacamata yang akrab disapa Sidarto tersebut. Sidarto lalu melanjutkan kisah perjalanan hidup sebagai abdi negara. Ia merupakan saksi sejarah yang hidup di tujuh presiden berbeda. Mulai kebijakan pemerintah di era orde lama, orde baru, hingga reformasi, ia pernah merasakan semuanya. Kenangan terbesarnya yaitu saat ditunjuk sebagai ajudan Presiden Soekarno (1967- 1968) hingga ditunjuk sebagai Anggota Wantimpres di Pemerintahan Presiden Joko Widodo. Bahkan di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Sidarto sempat menduduki jabatan strategis Ketua MPR RI menggantikan Almarhum Taufik Kiemas. Selepas jadi Ajudan Bung Karno, Sidarto dipercaya menjadi Kapolres Tangerang (1974-1976), pada zaman Orde Baru. Selanjutnya Sidarto memegang jabatan-jabatan strategis seperti Kepala Interpol (1976-1982), Kepala Satuan Komapta Polri (1982-1985), dan Wakapolda Jawa Barat (1985- 1986). Di usia yang mencapai 84 tahun, Sidarto terlihat bugar karena hampir tiap pagi ia berenang di kolam belakang rumahnya selama 30 menit. Konon hobi olahraga itu ia lakukan sejak masih aktif menjadi perwira polisi.
Peran Sektor Keuangan dalam Menghadapi Pandemi dan Melanjutkan Pemulihan Indha Sendary 74 Edisi #6/ 2020 Warta Fiskal ebagai intermediary dalam perekonomian, sektor keuangan memegang peranan penting dalam ekonomi Indonesia. Masuknya pandemi COVID–19 ke Indonesia pada akhir Februari tahun 2020, tidak hanya berdampak pada sektor kesehatan, tetapi juga seluruh sektor di Indonesia termasuk keuangan. Bagaimana sektor ini bertahan dan menjalankan perannya sebagai penyalur dana selama pandemi? Bagaimana pengembangan sektor ini didorong agar lebih optimal mendukung visi Indonesia Maju di era pemulihan mendatang? Wawancara S
Rapika Erawati S.H. ...
Relevan terhadap
kebijakan pengaturan dalam PMK SBM tahun anggaran sebelumnya (Peraturan Menteri Keuangan Nomor 119PMK.02/2020 tentang Standar Biaya Masukan Tahun Anggaran 2021), termasuk masih mempertimbangan pelaksanaan teknis kegiatan di masa pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) yang antara lain kegiatan-kegiatan yang sebelumnya offline (rapat konsiyering, rapat dalam kantor, dan rapat-rapat lainnya, diklat-diklat) dapat difasilitasi dengan kegiatan yang dilakukan secara online yang mengakibatkan efisiensi dari Kementerian Negara/Lembaga terkait sehingga biaya untuk konsumsi rapat/diklat maupun transportasi rapat/diklat bias berkurang dari Kementerian Negara/Lembaga terkait. Penyesuaian besaran SBM TA 2022 dapat saja dilakukan dengan mempertimbangkan proyeksi inflasi untuk masing-masing item di masing-masing provinsi di Indonesia. Selain itu, penyesuaian SBM TA 2022 dapat juga berasal dari usulan atau hasil koordinasi dengan Kementerian Negara/Lembaga terkait yang akan menggunakan SBM TA 2022. Menurut penulis, beberapa hal penyempurnaan yang dilakukan dalam PMK SBM TA 2022 dari PMK SBM TA 2021 antara lain penyempurnaan norma, yaitu penyesuaian norma honorarium narasumber, penyesuaian norma honorarium Penanggung jawab pengelolaan keuangan, honorarium pengadaan barang/jasa. Honorarium pengelola sistem akuntansi instansi (SAI) dan penyempurnaan besaran yakni penyesuaian uang harian luar negeri di Afrika, penyesuaian indeks bahan makanan Mahasiswa/Siswa Sipil dan mahasiswa Militer/Semi Militer di lingkungan sekolah kedinasan, satuan biaya operasional khusus kepala perwakilan RI di luar negeri, hasil survei BPS. Penyempurnaan norma maupun redaksional tersebut lebih mempertegas pengaturan/penjelasan item-item SBM sehingga diharapkan SBM TA 2022 lebih mudah dipahami dan diimplementasikan oleh Kementerian Negara/Lembaga selaku pengguna SBM TA 2022. Pada prinsipnya PMK SBM 2022 bertujuan untuk menjaga efisiensi anggaran negara, serta membuat standar yang sama untuk seluruh kementerian negara/Lembaga. Dengan adanya PMK SBM TA 2022, penulis berharap bahwa proses perencanaan anggaran di kementerian negara/lembaga dapat menjadi lebih efektif dan efisien dimana sudah ada standar biaya dalam menentukan suatu pelaksanaan kegiatan kementerian negara/Lembaga yang memuat mengenai satuan biaya berupa harga satuan, tarif, dan indeks, namun tetap dengan memperhatikan kualitas pelaksanaan kegiatan dan tugas pada masing- masing kementerian negara/lembaga. PMK SBM TA 2022 dapat diunduh https: //jdih.kemenkeu.go.id/download/a73998d2-c308- 4451-a907-35438a028e80/60~PMK.02~2021Per.pdf
Biro KLI Kementerian Keuangan
Relevan terhadap
keterbatasan sarana, dana, dan langkanya tenaga ahli dalam bidang itu, maka tuntutan seperti itu terpaksa untuk sementara waktu diabaikan,” ungkap Mohamad Iskandar dalam “Oeang Republik dalam Kancah Revolusi”, termuat di Jurnal Sejarah Volume 6 No 1, Agustus 2004. Sjafruddin terus meyakinkan Hatta bahwa Indonesia perlu mengeluarkan uang baru sebagai salah satu atribut negara merdeka dan berdaulat. “Pada akhirnya beliau dapat diyakinkan,” lanjut Sjafruddin. Pemerintah berkeputusan bulat mencetak uang sendiri. Uang Pemerintah Menteri Keuangan A.A. Maramis menindaklanjuti keputusan itu. Dia bergerak cepat. Sebab, tentara Sekutu telah datang ke Indonesia pada akhir September 1945. Segala kemungkinan bisa terjadi. Tentara Sekutu bisa saja mengambil-alih keadaan. Maka dia menginstruksikan tim Sarikat Buruh Percetakan G. Kolff Jakarta bergerak ke beberapa tempat di Jakarta, Malang, Solo, dan Yogyakarta untuk mencari percetakan. Di Jakarta ada percetakan G. Kolff yang berpengalaman dalam urusan mencetak uang sejak zaman Hindia Belanda. Ada pula percetakan De Unie. Sementara Di Malang berdiri perusahaan Nederlands Indische Metaalwaren en Emballage Fabrieken (NIMEF). Tapi semua percetakan itu kesulitan memperoleh alat-alat untuk mencetak uang seperti kertas, tinta, pelat seng, mesin aduk, dan bahan kimia. Tim bentukan Maramis juga menghadapi tantangan yang tak kalah sulit. Pertempuran antara pejuang Republik dan Sekutu meletus di beberapa daerah. Jalan-jalan ditutup dan dikuasai tentara Sekutu. Untuk menerobos blokade itu, sejumlah buruh percetakan menyelundupkan alat-alat pencetak uang. “Berkat bantuan sukarela dari para karyawan beberapa perusahaan asing di Jakarta yang belum dikuasai oleh tentara Sekutu, bahan dan alat itu diperoleh,” catat Oey Beng To. Maramis kemudian membentuk Panitia Penyelenggara Pencetakan Uang Kertas Republik Indonesia pada 7 November 1945. Ketuanya T.R.B. Sabarudin, saat itu menjabat pula sebagai direktur Bank Rakyat Indonesia. Anggotanya terdiri atas pegawai Departemen Keuangan, Bank Rakyat Indonesia, dan Serikat Buruh Percetakan G. Kolff. Kerja Panitia cukup baik. Mereka mencetak ratusan rim lembaran 100 rupiah dari pukul 07.00-22.00. Litografinya dibuat di Percetakan De Unie. Abdulsalam dan Soerono tercatat sebagai pelukis pertama ORI. Tapi uang itu belum sempat diberi nomor seri. Situasi keamanan di Jakarta memburuk. Pemerintahan pun harus pindah ke Yogyakarta pada 14 Januari 1946. Pekerjaan mencetak uang berhenti sementara. Kerja pencetakan uang diambil- alih oleh percetakan NIMEF di Malang dan percetakan swasta lain di Solo, Yogyakarta, dan Ponorogo. Tempat- tempat ini relatif aman karena berada di bawah kekuasaan Republik. Selama masa pencetakan ORI, pemerintah Indonesia berupaya menjaga laju inflasi dengan mulai menarik mata uang Hindia Belanda dan Jepang dari wilayah RI. “Untuk memperkuat tujuan itu, pemerintah RI menerbitkan Undang-Undang No 10 Tahun 1946,” catat Iskandar. Salah satu isinya tentang larangan membawa uang senilai 1.000 gulden dari satu karesidenan ke karesidenan lain tanpa izin. Sebaliknya, tentara NICA ingin menjegal segala macam upaya penerbitan ORI. Mereka mengawasi distribusi alat dan bahan untuk mencetak uang. Mereka bahkan menyerang Republik dengan mengeluarkan uang NICA pada 6 Maret 1946. Kursnya tiga persen dari uang Jepang. Orang menyebutnya “uang yang memilih pembayaran 20 sen uang kita daripada pembayaran dengan uang NICA,” tulis Rosihan dalam Kisah-Kisah Menjelang Clash ke-I . ORI jatuh Kurs ORI terhadap uang NICA fluktuatif. Saat awal beredar, 1 ORI berbanding 2 uang NICA. Sangat kuat. Tapi lama-lama merosot hingga 1: 5. Bahkan saat agresi militer ke-2 pada 19- 20 Desember 1948, nilai ORI tenggelam. Butuh 500 ORI untuk menebus 1 florin uang NICA. Kemerosotan ORI berkaitan dengan kian sempitnya wilayah Republik, tekanan tentara NICA terhadap pemakai ORI, dan inflasi. Perjanjian Renville memaksa pemerintah RI menarik mundur pasukannya di berbagai wilayah, kecuali Sumatra, Jawa Tengah, dan Yogyakarta. Sebab, daerah di luar ketiga itu berada di bawah kekuasaan Belanda. Ini berdampak pada ORI. NICA melarang peredaran ORI di daerah kekuasaaan Belanda. NICA seringkali mengintimidasi warga di perbatasan yang menyimpan ORI. Karena perlakuan ini, warga ketakutan. Mereka memilih menyimpan uang NICA. Tapi di sisi lain, pejuang pro- Republik juga kadang mengintimidasi warga yang menyimpan uang NICA. Akibatnya warga terjebak di antara dua pilihan. Selain itu, NICA memalsukan ORI untuk membuat nilai ORI jatuh akibat inflasi. Uang palsu ini beredar di beberapa wilayah Republik. Arsip Djawatan Kepolisian Negara tertanggal 25 Maret 1948 misalnya menyebut penemuan uang palsu di Banyumas dari para pedagang tembakau. Kepolisian meyakini para pedagang tak mengetahui mereka bertransaksi dengan uang palsu. “Orang-orang pedagang tembakau mungkin tidak mempunyai sengaja jahat dan onbewust (tak sadar) menerima uang-uang palsu itu,” tulis arsip No. Pol. 60/Pam/A.R. Kepolisian melaporkan kasus ini kepada Kementerian Keuangan. Jawaban dari Menteri Keuangan, “Jang Mulia Menteri Keuangan menyatakan bahwa pembikinan uang palsu dilakukan mungkin oleh pihaknya Belanda,” catat arsip tersebut. Cetak lebih banyak Selama periode ini, pemerintah Indonesia tak hanya menghadapi berbagai persoalan keuangan, tapi bagaimana membiayai pembangunan dan perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Pemerintah tak punya cukup dana. Maka pemerintah mengambil keputusan deficit-financing atau membiayainya dengan mencetak ORI lebih banyak lagi. Risikonya inflasi akan meninggi. Keputusan itu terpaksa diambil. Sebab pemerintah tak mungkin menarik pajak dan mengandalkan bantuan atau pinjaman luar negeri. Dana pendukung kemerdekaan juga makin menipis. “Maka pengeluaran ORI sebagai cara untuk memecahkan masalah pembiayaan tersebut adalah paling baik,” terang Oey Beng To. Beng To menyebut kebijakan ini mirip dengan kebijakan koloni-koloni Inggris di Amerika Serikat ketika awal kemerdekaannya pada tahun 1776. Mereka mencetak uang sendiri ( continental money/greenbacks) untuk melawan Inggris. Tapi Beng To melihat kemerosotan ORI tak separah continental money . Seturut penandatangan Konferensi Meja Bundar dan perubahan bentuk negara Indonesia menjadi federal, ORI berhenti beredar pada Maret 1950. Ia diganti uang baru. Tapi peredarannya selama 3 tahun 5 bulan menjadi titik mula kesadaran tentang fungsi uang sebagai alat perjuangan kedaulatan dan pembiayaan negara.* merah” karena warna dominannya. Tindakan itu membuat marah pemerintah Indonesia. Selain menimbulkan inflasi, peredaran uang NICA melanggar kedaulatan. “Perdana Menteri Sutan Sjahrir menyebutnya sebagai pelanggaran hak kedaulatan RI dan mengingkari perjanjian untuk tidak mengeluarkan mata uang baru selama situasi belum stabil,” tulis tim Departemen Keuangan Republik Indonesia (Depkeu RI) dalam Rupiah di Tengah Rentang Sejarah . Daerah pemberlakuan uang NICA antara lain Jakarta, Bogor, Bandung, Surabaya, dan Semarang. Namun uang NICA tak laku. Petani dan pedagang enggan memakainya. Mereka hanya mau menerima uang Jepang sesuai seruan pemerintah Indonesia. Akibatnya peredaran uang NICA terdesak. “Keterbatasan dan ketidakwibawaan uang NICA itu berakibat merosotnya kurs. Dari tiga persen menjadi empat bahkan lima persen,” ungkap tim Depkeu RI. Ketika uang NICA merosot, pemerintah Indonesia mulai mengedarkan Oeang Repoeblik Indonesia (ORI) secara resmi pada 30 Oktober 1946. Beredarnya ORI ditopang oleh UU No. 7 Tahun 1946 dan UU No. 10 Tahun 1946. Isinya antara lain menjelaskan nilai ORI, bentuk fisik, dan menegaskan bahwa ORI dikeluarkan oleh pemerintah sebagai alat bayar yang sah. “Dengan demikian ORI merupakan uang pemerintah, bukan uang bank,” ungkap Oey Beng To. Malam sebelum ORI beredar, Hatta berpidato. “Sejak mulai besok kita akan berbelanja dengan uang kita sendiri, uang yang dikeluarkan oleh Republik kita. Uang Republik keluar dengan membawa perubahan nasib rakyat, istimewa pegawai negeri yang sekian lama menderita karena inflasi uang Jepang.” Rakyat menyambut baik peredaran ORI. Mereka menyebutnya “uang putih”. Rosihan Anwar, jurnalis senior, mencatat pengalamannya pada awal peredaran ORI di Jakarta. “Seorang tukang becak Foto Historia 17 MEDIAKEUANGAN 16 VOL. XV / NO. 157 / OKTOBER
K ementerian Keuangan (Kemenkeu). Dari struktur organisasi hingga kebijakan-kebijakan awal keuangan Indonesia. Karena baru saja merdeka, sistem pemerintahan Jepang masih mempengaruhi berbagai lembaga di Indonesia. Gunseikanbu Zaimubu atau Departemen Keuangan Jepang juga menjadi patokan awal Kemenkeu. “Struktur organisasi Kementerian Keuangan banyak mengambil alih bentuk Gunseikanbu Zaimubu dengan berbagai perubahan agar sesuai dengan negara merdeka dan berdaulat,” tulis Tim Departemen Keuangan dalam Rupiah di Tengah Rentang Sejarah: 45 Tahun Uang Republik Indonesia, 1946- 1991. Tak lama, sistem dan lembaga keuangan tinggalan Jepang segera dibereskan. Pada 29 September 1945, Maramis mengeluarkan dekrit yang mempreteli hak dan kewenangan Menghapus Warisan Kolonial Untuk mempertahankan kedaulatan, pemerintah membentuk berbagai lembaga keuangan. Dari kementerian hingga bank sentral. pejabat pemerintahan tentara Jepang. Baik urusan menerbitkan dan menandatangani surat-surat perintah membayar uang, pengeluaran negara, hingga segala urusan kas negara. Hak dan kewenangan itu diserahkan kepada Pembantu Bendahara Negara yang ditunjuk dan bertanggungjawab kepada Menteri Keuangan. Maramis juga menyusun organisasi Kemenkeu yang pertama; terdiri dari lima penjabatan (eselon) I: umum, keuangan, pajak, resi candu dan garam, serta pegadaian. Langkah penting lainnya, demi kesatuan alat pembayaran yang sah, Maramis memerintahkan pencetakan Oeang Republik Indonesia (ORI). Kendati mengalami hambatan, usaha itu berhasil dengan terbitnya emisi pertama uang kertas ORI pada 30 Oktober 1946. Melalui Keputusan Menteri Keuangan tanggal 29 Oktober 1946, ORI ditetapkan berlaku secara sah mulai 30 Oktober 1946 pukul 00.00. Selanjutnya, 30 Oktober disahkan sebagai Hari Oeang Republik Indonesia. Mendirikan bank sentral Untuk mendukung kedaulatan Indonesia di sektor ekonomi, diperlukan bank sirkulasi. Pada 19 September 1945, Sukarno-Hatta menandatangani Surat Kuasa Pemerintah Republik Indonesia bertanggal 16 September 1945 sebagai landasan yuridis bagi persiapan pendirian bank sirkulasi: Bank Negara Indonesia (BNI). Menurut Sri Margana dkk dalam Keindonesiaan dalam Uang: Sejarah Uang Kertas Indonesia 1945-1953 , __ tak semua pihak yang setuju bahwa pendirian BNI merupakan jalan terbaik untuk mendirikan kebijakan moneter yang kuat. Ir. Soerachman Tjorkoadisoerjo, misalnya, menginginkan agar pemerintah menasionalisasi De Javasche Bank (DJB) saja. Soerachman kala itu menjabat Menteri Kemakmuran. Sementara DJB merupakan bank sirkulasi Hindia Belanda sejak 1828 sampai dilikuidasi Nanpo Kaihatsu Ginko, bank sirkulasi era pendudukan Jepang. Tapi pemerintah sudah mengambil keputusan. Untuk mewujudkan impian itu, pada 9 Oktober 1945 didirikanlah Poesat Bank Indonesia (PBI). Badan ini bertugas mempersiapkan pembentukan BNI dan menjalankan kebijakan keuangan sebagaimana bank sirkulasi bekerja. Selain itu, PBI berperan memberikan kredit dengan bunga serendah-rendahnya dan menjadi pusat penyimpanan uang masyarakat. PBI juga mengeluarkan obligasi, menerima simpanan giro, deposito, dan tabungan, serta memberikan informasi dan penerangan di bidang ekonomi. “Serta merta masyarakat mulai mempercayakan dan menyimpan uang mereka pada bank tersebut. Dalam waktu singkat terkumpulah sebanyak Rp 31 juta (uang Jepang) yang digunakan sebagai modal bank,” tulis Oey Beng To dalam Sejarah Kebijakan Moneter Teks Andri Setiawan Laporan Utama Gedung Bank Indonesia Foto Historia 43 MEDIAKEUANGAN 42 VOL. XV / NO. 157 / OKTOBER
P erjuangan sudah menuju titik akhir. Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda, tahun 1949 menghasilkan pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda. Tapi masih ada yang mengganjal. Sejumlah kesepakatan KMB tidak menguntungkan Indonesia. Menurut The Kian Wie dalam pengantar buku yang disuntingnya, Pelaku Berkisah: Ekonomi Indonesia 1950-an sampai 1990-an , ada empat masalah kontroversial yang kemudian mengganggu hubungan Indonesia- Belanda. Dua masalah politik berkaitan baru pemerintahan RIS, yang terdiri atas Republik Indonesia dan 15 negara boneka BFO (Bijeenkomst Federaal Overleg ’Majelis Permusyawaratan Federal’) bentukan Belanda selama masa perang. Terbentuknya RIS mempengaruhi sistem keuangan, termasuk penggunaan mata uang. ”Mata uang RIS diberlakukan oleh De Javasche Bank pada Januari 1950 bersamaan dengan pengesahan RIS dalam KMB. Mata uang ini menggantikan ORI,” kata peneliti sejarah ekonomi Servulus Erlan de Robert kepada tim kami. Sesuai kesepakatan KMB, De Javasche Bank (DJB) berfungsi sebagai bank sirkulasi untuk RIS. Melalui DJB inilah mata uang RIS diterbitkan dan diedarkan sebagai alat pembayaran yang sah. Penyeragaman mata uang Pada 1 Januari 1950 terbit uang RIS atau juga disebut ”uang federal” atau ”uang DJB” dalam pecahan Rp5 dan Rp10 dengan tanggal emisi ”Djakarta, 1 Djanuari 1950” yang ditandatangani Menteri Keuangan, Sjafruddin Prawiranegara. Uang RIS ini menampilkan gambar Sukarno, presiden RIS, sehingga juga dikenal dengan sebutan ”emisi Bung Karno”. Kendati diterbitkan 1 Januari, uang RIS baru beredar dan digunakan pada bulan-bulan sesudahnya. Hal ini bukan tanpa alasan. ”Pemerintah masih dalam proses untuk menciptakan sistem keuangan yang tunggal dengan mempersatukan beraneka ragam uang yang beredar di masyarakat,” tulis Sri Margana dkk. dalam Keindonesiaan dalam Uang: Sejarah Uang Kertas Indonesia, 1945-1953 . Pada tanggal yang sama, Sjafruddin Riwayat Uang RIS Terbit di tengah kekacauan sirkulasi uang yang beredar di tengah masyarakat. Sukses menyeragamkan mata uang tapi beredar singkat. dengan pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS) dan status Irian Barat (Papua). Dua masalah ekonomi menyangkut pengambilalihan utang pemerintah Belanda di Indonesia dan terus beroperasinya bisnis Belanda di Indonesia. “Mencapai kemerdekaan politik tanpa kemerdekaan ekonomi menghadapkan Pemerintah Indonesia pada masalah yang serius. Lantaran tidak dapat mengawasi segmen-segmen penting ekonomi Indonesia, gerak para pembuat kebijakan ekonomi Indonesia sangat terbatas,” tulis The Kian Wie. Setelah KMB, dimulailah babak mengumumkan bahwa uang kertas RIS menjadi alat pembayaran yang sah di seluruh wilayah RIS. Oeang Republik Indonesia (ORI) dinyatakan ditarik dari peredaran dan hilang sifatnya sebagai alat pembayaran yang sah terhitung 1 Mei 1950. Selama tenggat waktu itu, ORI masih berlaku sebagai alat pembayaran hanya di daerah di mana uang tersebut diproduksi. Penyeragaman mata uang itu dilakukan untuk menghapus peredaran berbagai jenis mata uang dengan nilai tukar berbeda-beda, bahkan banyak pula yang palsu. Selain ORI dan ORIDA, beredar pula ”uang NICA”. Selain itu, Sjarifuddin mencetuskan kebijakan moneter yang terkenal dengan istilah ”Gunting Sjarifuddin”. Uang kertas lama DJB dan mata uang Hindia Belanda pecahan Rp 5 ke atas digunting menjadi dua bagian. Kebijakan ini bertujuan menekan inflasi dan mendorong ekspor dari pelaku usaha dalam negeri. ”Kita potong uang Belanda menjadi dua bagian, sebelah diubah menjadi uang Republik dan sebelah lagi dikonversikan menjadi obligasi keuangan. Jadi tidak, kita dapat dituduh merampok separuh uang rakyat,” tutur Sjafruddin dalam Pelaku Berkisah . Penukaran uang Tindak lanjut dari penyeragaman mata uang dilakukan pada 27 Maret 1950. Pemerintah RIS memutuskan menukarkan ORI maupun ORI daerah dengan uang RIS. Menurut Sri Margana dkk, kurs penukarannya ” f” . 1 RIS setara Rp. 125 ORI, sedangkan untuk ORIDA disesuaikan dengan kondisi tiap mata uang. Namun, penukaran uang dari Teks Hendaru Tri Hanggoro Laporan Utama Seseorang menyiapkan uang untuk ditukar Foto Historia 37 MEDIAKEUANGAN 36 VOL. XV / NO. 157 / OKTOBER
Biro KLI Kementerian Keuangan
Relevan terhadap 3 lainnya
17 MEDIAKEUANGAN 16 VOL. XV / NO. 156 / SEPTEMBER 2020 Presiden Joko Widodo dalam pidato penyampaian Nota Keuangan pada tanggal 17 Agustus 2020 menyebutkan kebijakan APBN 2021 diarahkan untuk percepatan pemulihan ekonomi nasional, reformasi struktural untuk meningkatkan produktivitas, inovasi, daya saing, percepatan transformasi ekonomi menuju era digital, dan pemanfaatan dan antisipasi perubahan demografi. Seperti apa detail pokok-pokok kebijakan RAPBN 2021? Pertumbuhan Ekonomi dapat tumbuh 4,5% - 5,3% Inflasi terkendali di kisaran 3,0% Nilai Tukar Rupiah (per USD) berada di Rp14.600 Suku Bunga SPN 10 Tahun diperkirakan 7,29 % Harga Minyak Mentah rata-rata per hari USD45 Lifting Minyak diperkirakan 705 ribu barelbarel Lifting Gas setara minyak per hari 1.007 ribu barel PERCEPATAN PEMULIHAN EKONOMI DAN PENGUATAN REFORMASI Outlook 2020 RAPBN 2021 Pendapatan Negara Rp1.776,4 T Hibah Rp 0,9 T Belanja Negara Rp2.747,5 T Belanja Pemerintah Pusat Rp 1.951,3 T Transfer ke Daerah Rp 796,3 T Pembiayaan Anggaran Rp971,2 T Penerimaan Perpajakan Rp 1.418,9 T PNBP Rp 293,5 T Pembiayaan Investasi Rp(169,1) T ASUMSI MAKRO *) Suku bunga SBN 10 tahun menggantikan suku bunga SPN 3 bulan di tahun 2021 PENDAPATAN NEGARA Outlook 2020 RAPBN 2021 BELANJA NEGARA Outlook 2020 RAPBN 2021 Rp1.669,9 T Rp1.776,4 T Rp2.747,5 T Rp2.739,2 T Rp971,2 T Rp1.039,2T PEMBIAYAAN NEGARA Infografik MEDIAKEUANGAN 16 17 VOL. XV / NO. 154 / JULI 2020
Laporan Utama MEDIAKEUANGAN 12 Presiden Joko Widodo menyampaikan pidato kenegaraaan pada sidang tahunan MPR dan sidang bersama DPR- DPD di Gedung Parlemen. Foto Dok. DPR RI MEDIAKEUANGAN 12 Penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2021 menjadi berbeda dari biasa. Negeri masih dilanda pandemi. Sekuat tenaga upaya dikerahkan agar pandemi segera teratasi. Namun, ketidakpastian masih tinggi, bahkan di beberapa daerah pertumbuhan kasus baru terus terjadi. Pemerintah harus memantapkan langkah antisipasi untuk memitigasi dampak sosial ekonomi di tahun depan. PERCEPAT PEMULIHAN, PERKUAT REFORMASI Teks Reni Saptati D.I P ada 14 Agustus 2020 lalu, pemerintah telah menyampaikan Rancangan Undang-Undang (RUU) APBN tahun anggaran 2021 dan Nota Keuangan. Kebijakan fiskal RAPBN 2021 mengambil tema Percepatan Pemulihan Ekonomi dan Penguatan Reformasi. Kepala Pusat Kebijakan APBN Badan Kebijakan Fiskal Ubaidi S. Hamidi mengemukakan setidaknya ada dua hal yang melatarbelakangi pemilihan tema. “Pertama, pandemi COVID-19 yang terjadi di Indonesia telah berdampak sangat luar biasa bagi kesehatan masyarakat dan perlambatan perekonomian dalam tahun 2020,” tutur pria kelahiran Klaten tersebut. Sumber daya fiskal perlu diarahkan untuk mendukung keberlanjutan dan akselerasi berbagai upaya strategis pemulihan kondisi kesehatan dan perekonomian nasional yang telah mulai dilakukan sejak 2020, dan akan dilanjutkan pada 2021. “Kedua, langkah menuju Visi Indonesia 2045 sebagai negara maju tetap perlu diperjuangkan bersama,” tegas Ubaidi. Guncangan perekonomian nasional tahun ini tidak menyurutkan langkah pemerintah untuk tetap mewujudkan cita-cita luhur yaitu masyarakat yang semakin sejahtera, serta bagaimana berupaya untuk keluar dari middle income trap . Ia menjelaskan, pemulihan ekonomi akan bermakna jika dilengkapi dengan reformasi struktural yang konsisten. Sebaliknya, reformasi akan berjalan efektif jika didukung proses pemulihan ekonomi yang solid. “Strategi recovery ekonomi dan reformasi merupakan satu paket, two in one , yang komplementer dan saling menguatkan, agar dari sisi kesehatan-sosial-ekonomi dapat segera pulih menuju normal,” ujar Ubaidi yang sebelum bertugas di BKF, selama belasan tahun bertugas di Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan. Program pemulihan ekonomi nasional berlanjut Reformasi yang akan dilaksanakan pada 2021 meliputi banyak sektor. Untuk mendukung pemulihan melalui penguatan fasilitas kesehatan, tenaga kesehatan, alat kesehatan, serta mendorong health security preparedness , reformasi sektor kesehatan akan digalakkan. Di sisi lain, pemerintah juga melakukan reformasi perlindungan sosial untuk mendukung pemulihan sekaligus mempersiapkan program yang adaptif terhadap resesi ekonomi dan bencana. Ubaidi menjelaskan, fokus reformasi juga akan diarahkan ke sektor pendidikan, Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD), perpajakan, penganggaran, dan optimalisasi teknologi informasi melalui digitalisasi layanan publik. “Dalam rangka menjawab tantangan stuktural terkait perlunya penguatan daya saing, peningkatan kapasitas produksi dan pemanfaatan bonus demografi untuk mendukung produktivitas dan transformasi ekonomi, maka diperlukan reformasi untuk penguatan fondasi agar mampu keluar dari middle income trap ,” Ubaidi menerangkan. Tahun depan, jelasnya, pemerintah juga tetap akan melanjutkan penanganan bidang kesehatan terutama pandemi COVID-19 serta mengakselerasi pemulihan ekonomi nasional. “Pemerintah akan memberikan stimulus ekonomi yang berkeadilan, tepat sasaran,
Laporan Utama Teks CS. Purwowidhu | Foto Dok. Media Keuangan JALAN BAGI PEMULIHAN NEGERI P antang menyerah menghadapi kesamaran situasi imbas pandemi, pemerintah memanfaatkan bencana nonalam ini sebagai momentum untuk membenahi diri dan mengakselerasi pembangunan di segala lini, demi kebaikan negeri. Semangat itu pun menggelora dalam RAPBN 2021. Simak petikan wawancara Media Keuangan dengan Direktur Jenderal Anggaran, Askolani, mengenai seluk beluk RAPBN 2021. Apa yang menjadi fokus pemerintah dalam mendesain RAPBN 2021? Dalam menyusun RAPBN 2021, tentunya pemerintah berbasis kepada kondisi dan langkah kebijakan di 2020 ini. Penanganan masalah kesehatan, perlindungan sosial, dan pemulihan ekonomi menjadi satu paket kebijakan yang harus didesain secara komprehensif dan sinergis. Upaya preventif di bidang kesehatan adalah kunci penting. Next step nya untuk kita maju adalah bagaimana kembali memulihkan ekonomi itu secara bertahap di tahun 2021. Langkah kita di Q2, Q3, dan Q4 ini sangat menentukan pijakan ke depan. Tantangan kita bagaimana supaya langkah-langkah pemulihan ekonomi, konsolidasi, dan upaya mendorong belanja pemerintah, bisa menstimulus pertumbuhan ekonomi di Q3 menjadi lebih positif. Bagaimana upaya pemerintah untuk mengejar penyerapan di Q3 dan Q4? Implementasi kombinasi adjustment pola belanja, baik melalui kebijakan realokasi dan refocusing belanja K/L dan pemda maupun tambahan belanja untuk program pemulihan ekonomi nasional (PEN) yang harus dilakukan oleh semua stakeholder terkait, sangat menentukan capaian di Q2, Q3, dan Q4. Sampai dengan awal Q3 di bulan Juli, sebagian besar sudah cukup signifikan implementasinya. Tantangan kita adalah percepatan alokasi dan implementasi sisa anggaran PEN. Langkah percepatan antara lain dilakukan melalui koordinasi yang lebih intens dengan K/L dan Komite PEN untuk mendesain kebijakan implementatif PEN yang akan dilakukan ke depan. Presiden juga turut serta me review PEN bersama dengan para menteri di sidang kabinet. Presiden secara tegas mengingatkan para menterinya untuk turun langsung, membedah DIPA-nya masing masing untuk me review reformasi desain anggaran, lalu kita juga mengajak Bappenas untuk mendesain program anggaran tersebut. Jadi, format alokasi belanja K/L di tahun 2021 nanti akan meng adopt desain anggaran yang baru yang programnya lebih simpel, lebih eye catching, dan lebih mudah diterapkan. Ini kita koneksikan juga dengan target prioritas pembangunan sesuai arahan Presiden dan rencana kerja pemerintah. Penguatan reformasi lainnya yang akan pemerintah lakukan? Pandemi ini memberi banyak lesson learn pada kita, yang menjadi masukan untuk perbaikan reformasi di berbagai bidang. Contohnya, manajemen di bidang kesehatan harus bisa lebih proaktif dan antisipatif terhadap model bencana nonalam ini. Di bidang perlindungan sosial dan dukungan UMKM, perbaikan pendataan masyarakat menengah ke bawah menjadi kunci. Pemerintah juga sedang memikirkan bagaimana mensinergikan antara kebijakan subsidi dengan kebijakan perlindungan sosial yang kemudian semua di support dengan satu data yang solid dan valid. Lalu ada juga reformasi perpajakan, baik dari segi regulasi, kebijakan, dan administrasinya. Nah, on top dari semua itu, pemerintah tentunya juga akan menyiapkan reformasi mengenai penanganan bencana. Seperti apa prioritas belanja pemerintah dalam RAPBN 2021? Pemerintah tetap memprioritaskan kesehatan, perlindungan sosial, dan pendidikan. Penanganan kesehatan lanjutan diarahkan lebih sustainable seperti upaya preventif melalui penyediaan vaksin apabila nanti sudah ditemukan, dan reformasi di bidang kesehatan. Program perlindungan sosial juga tetap berjalan misalnya dalam bentuk PKH, kartu sembako, bantuan tunai, plus kartu prakerja dan program subsidi. Di sektor pendidikan, pemerintah memperkuat mulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi, even program beasiswa untuk S2, S3 tetap akan dilanjutkan di tahun depan. Nah, setelah tiga bidang tadi, pemerintah juga langsung satu paket mendukung untuk pemulihan ekonomi. Pertama, melalui penyiapan fasilitas teknologi informasi dan komunikasi (ICT) yang menjangkau sampai ke daerah 3T guna membangun manusia Indonesia yang lebih produktif dan kompetitif. Teknologi ini sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik, pendidikan, serta ekonomi masyarakat, terlebih dalam kondisi kita tidak bisa bertemu fisik. Perluasan pembangunan ICT ini sudah dirancang sampai jangka menengah. Selanjutnya pembangunan infrastruktur dan ketahanan pangan. Keduanya tidak dapat dipisahkan sebab pangan ini harus didukung misalnya dengan irigasi yang cukup dan bendungan yang baik. Yang menjadi prioritas juga adalah pemulihan pariwisata karena ini salah satu andalan utama kita. Dukungan pariwisata dilakukan oleh banyak K/L dan pemda, bukan hanya Kemenpar. Kemudian yang terakhir yang kita prioritaskan juga adalah dukungan bagi dunia usaha dan UMKM, baik melalui insentif fiskal maupun skema subsidi. Apakah nantinya alokasi transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) juga akan mendukung belanja prioritas ini? Ya, kita juga mereformasi alokasi TKDD. Kebijakan belanja yang di pusat tadi kemudian di connecting kan dengan kebijakan alokasi TKDD. Dana desa misalnya diarahkan khususnya untuk perlindungan sosial dan mendukung ICT di desa. Reformasi kesehatan dan pendidikan juga dikaitkan dengan kebijakan alokasi TKDD. Jadi ini kita melihatnya sebagai satu paket. Bagaimana prioritas dari sisi pembiayaan? Dari sisi pembiayaan juga kita akan terus dukung untuk peningkatan kualitas SDM melalui pembiayaan dana abadi, baik itu untuk LPDP, beasiswa, maupun untuk universitas termasuk untuk kebudayaan. Di pembiayaan ini kita juga akan support BUMN untuk bisa mendukung penugasan pemerintah termasuk melanjutkan pemulihan ekonomi di tahun 2021. Apa implikasi dari defisit 5,5 persen di RAPBN 2021? Dengan 5,5 persen intinya adalah secara fiskal pemerintah tetap ekspansif untuk mendukung penanganan kesehatan, perlindungan sosial, dan pemulihan ekonomi. Ini pijakan kita untuk bisa menjadikan Indonesia maju dan keluar dari middle income trap . Visi kita di 2045 Indonesia masuk lima besar negara di dunia. Penurunan defisit ini juga sejalan dengan UU 2/2020 bahwa secara bertahap defisit APBN itu akan dikembalikan menjadi dibawah 3 persen di tahun 2023. Apa yang membuat pemerintah optimis mematok pertumbuhan ekonomi 4,5-5,5 persen di 2021? Tentunya efektivitas kebijakan PEN di 2020 ini menjadi pijakan ke depan ya. Kemudian dengan langkah fiskal ekspansif sebagaimana dalam RAPBN 2021, plus prediksi sejumlah lembaga internasional mengenai pemulihan ekonomi dunia di 2021, kita mendesain ekonomi kita tumbuh 4,5-5,5 persen di 2021. bagaimana mempercepat belanja sesuai alokasi anggaran mereka di APBN 2020, maupun mengoptimalkan belanja anggaran program PEN yang harus dijalankan stakeholder terkait. Adakah upaya penyempurnaan sistem penganggaran ke depan? Ada. Pertama, kita memperpendek mekanisme proses review atas usulan anggaran K/L sehingga dapat mempersingkat waktu penetapan DIPA-nya. Kedua, kita mensimplifikasi proses verifikasi kelengkapan dokumen. Jadi, kami akan meminta K/L untuk mendahulukan melengkapi dokumen yang memiliki skala prioritas tinggi. Ketiga, kami akan proaktif meminta dan mengomunikasikan kepada K/L untuk melakukan akselerasi dalam melengkapi dokumen usulan anggaran. Kita akan tuangkan ini dalam peraturan Menteri Keuangan dan SOP agar sistem ini menjadi landasan yang lebih sustainable . Kita juga akan terus melakukan evaluasi dan apabila ada modifikasi untuk lebih mempercepat mekanisme yang ada, akan kami lakukan. Bagaimana dengan reformasi bidang anggaran di 2021? Kemenkeu menyiapkan
Biro KLI Kementerian Keuangan
Relevan terhadap 2 lainnya
Indonesia melalui pelatihan kerja. Menariknya, pemberian insentif fiskal tersebut dibarengi dengan lahirnya dua paradigma baru. Pertama, simplicity and certainty yang menekankan pada kemudahan prosedur, tetapi aturan main dibuat sejelas mungkin. Kedua, trust and verify yang menekankan kepercayaan lebih besar kepada WP melalui kemudahan prosedur dan implementasi. “Namun, demi menjaga agar tidak terjadi penyalahgunaan, pemerintah akan turun untuk melakukan post audit,” Rofyanto melengkapi. Kedua paradigma baru itu sejalan dengan semangat pembenahan tata kelola investasi yang saat ini sedang dilakukan pemerintah. Melalui Inpres Nomor 7 Tahun 2019 tentang Percepatan Kemudahan Berusaha, mulai 3 Februari 2020 kewenangan perizinan berusaha dan pemberian fasilitas investasi dari berbagai kementerian dan lembaga, termasuk insentif fiskal dari Kementerian Keuangan, didelegasikan kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Terkait pendelegasian kewenangan tersebut, Rofyanto menyatakan pihaknya mendorong penggunaan Online Single Submission (OSS) yang dikelola BKPM sebagai media untuk pemrosesan pemberian insentif fiskal. Menurutnya, selain memudahkan WP, Kementerian Keuangan juga akan dimudahkan dalam mengakses data tersebut ketika dibutuhkan. “Namun demikian, hal yang perlu diperhatikan adalah bagaimana kemudian pengalihan tersebut dapat dirumuskan dengan hati-hati agar tidak menimbulkan permasalahan hukum dan ketidakpastian ke depan bagi WP,” tutur Rofyanto. Pemerintah Daerah berperan penting Upaya menarik investasi dan meningkatkan ekspor kini menjadi prioritas nasional. Berbagai kementerian dan lembaga intens berkoordinasi untuk mengangkat peringkat Ease of Doing Business Indonesia yang stagnan di urutan 73. Keterlibatan pemerintah daerah dalam proses kemudahan berinvestasi tentu sangat tak terhindarkan. Pada era desentralisasi, peran pemda sangat vital lantaran kebijakan nasional yang dirumuskan pemerintah pusat akan bersinggungan dengan kewenangan pemda. Untuk memacu pemda turut berlomba-lomba membangun iklim investasi yang kondusif di daerahnya dan meningkatkan jumlah ekspor komoditas, Kementerian Keuangan menambahkan kriteria baru dalam pengalokasian Dana Insentif Daerah (DID) 2020. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Astera Primanto Bhakti menjelaskan selama ini DID dialokasikan kepada daerah berdasarkan kriteria utama dan kategori kinerja. Setiap tahun dilakukan riviu, termasuk penggunaan kriteria utama dan kategori kinerja sebagai dasar penilaian. “Selain reviu, perubahan kriteria dilakukan dengan mempertimbangkan target capaian dari prioritas nasional. Sebagai contoh, untuk pengalokasian DID 2020, terdapat kategori kinerja yang baru, yaitu peningkatan ekspor dan peningkatan investasi yang menjadi prioritas nasional,” ungkapnya. Astera menambahkan, ke depannya pihaknya akan terus mencari faktor-faktor apa saja yang betul-betul menjadi trigger untuk perbaikan daerah dan pembangunan daerah. Menurut Astera, skema insentif ini sangat bagus lantaran mendorong daerah melaksanakan kebijakan dengan performance terbaiknya. Ia mengatakan DID dimaksudkan untuk mendorong daerah supaya memiliki tata kelola yang semakin baik dan transparan, serta tahu posisinya dalam skala nasional. “Saya lihat dampaknya positif. Terutama buat kepala daerah yang punya passion sangat tinggi untuk mengembangkan daerahnya,” tutupnya. Kriteria Utama DID 2020 15 MediaKeuangan 14 VOL. XV / NO. 150 / MARET 2020 MediaKeuangan 14 VOL. XV / NO. 150 / MARET 2020 Opini BPK atas Laporan Keuangan Pemda Wajar Tanpa Pengecualian Penetapan Perda mengenai APBD tepat waktu Pelaksanaan e-government tepat waktu Ketersediaan pelayanan terpadu satu pintu
berupa peningkatan aktivitas perekonomian dapat dirasakan dalam jangka waktu menengah dan panjang. Dalam kesempatan berbeda, Direktur Riset CORE, Piter Abdullah Redjalam menilai wajar langkah pemerintah memberikan insentif fiskal untuk menopang target pertumbuhan ekonomi, khususnya untuk ekspor dan investasi sebagai penyumbang terbesar kedua dan ketiga PDB nasional. Apalagi pada saat yang bersamaan, dalam dua tahun terakhir kinerja ekspor dan investasi tak begitu menggembirakan. Namun demikian, Piter menekankan perlunya menempatkan insentif fiskal dalam konteks strategi besar untuk memperbaiki struktur ekonomi agar tidak lagi bergantung pada komoditas. “Karena sifat reformasi struktural jangka panjang, arah kita pasti jangka panjang. Saya kira dalam kurun waktu lima tahun sudah bisa terlihat hasilnya,” ujarnya. Paradigma baru Insentif fiskal yang diberikan pemerintah beragam jenisnya. Secara garis besar, terang Rofyanto, insentif tersebut terbagi menjadi dua bagian. Pertama, fasilitas yang bersifat sektoral, antara lain tax holiday, tax allowance, investment allowance, fasilitas PPN tidak dipungut, dan pembebasan bea masuk. Fasilitas ini ditargetkan untuk sektor- sektor tertentu, misalnya tax bersama seirama. Berbenah butuh keuletan dan kesabaran. Apalagi jika banyak persoalan menumpuk sekian lama, mulai dari sisi perizinan, prosedur, hingga implementasi di lapangan. Beragam regulasi yang menghambat harus segera dirapikan. Untuk memancing masuknya investasi baru dan mendorong aktivitas dunia usaha, pemerintah memasang strategi pemberian insentif fiskal. Insentif fiskal memang akan berpengaruh negatif bagi penerimaan perpajakan karena memunculkan belanja perpajakan ( tax loss ). Akan tetapi, pemberian insentif diharapkan dapat melambungkan penerimaan perpajakan karena basis perpajakan yang semakin besar akibat peningkatan aktivitas perekonomian. Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Badan Kebijakan Fiskal Rofyanto menuturkan, sejak tahun 2018 Kementerian Keuangan telah melaporkan besarnya belanja perpajakan sebagai bentuk transparansi fiskal. Pada tahun itu, diestimasi besar belanja perpajakan mencapai Rp221,1 triliun atau sekitar 1,49 persen Produk Domestik Bruto (PDB). “Perlu disadari bahwa dampak langsung dan dampak tidak langsung dari insentif perpajakan memiliki perbedaan waktu atau time lag ,” jelas Rofyanto. Dampak langsung dapat dirasakan pada sistem perpajakan berupa penurunan pajak yang dikumpulkan, holiday untuk penanaman modal industri pionir. Kedua, fasilitas yang bersifat spatial (kawasan), misalnya di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) dan tempat penimbunan berikat. Di dalam kawasan tersebut, sarana dan prasarana untuk pengembangan industri diintegrasikan, termasuk pemberian fasilitas perpajakan. Pemberian fasilitas spasial ini diharapkan mampu menciptakan kantong-kantong ekonomi baru. “Dalam tahun 2019, pemerintah juga memperkenalkan jenis insentif baru, yaitu fasilitas super deduction tax yang merupakan activity-based incentive dan banyak diadopsi oleh negara-negara maju,” tambah Rofyanto. Insentif ini diberikan terhadap kegiatan vokasi dan R&D oleh Wajib Pajak (WP). Swasta didorong untuk turut aktif T iga puluh tiga perusahaan hengkang dari Tiongkok akibat perang dagang. Tiada satu pun berlabuh di Indonesia. Mereka lebih melirik negeri tetangga: Vietnam, Malaysia, Thailand, dan Kamboja. Mengapa? Rumput tetangga lebih hijau bukan fatamorgana. Nyatanya, kita memang perlu berbenah diri. Namun, memacu investasi tak seringan membalik telapak tangan. Pembenahan tata kelola investasi perlu sinergi serta menyeluruh. Pusat dan daerah harus bergerak 13 MediaKeuangan 12 VOL. XV / NO. 150 / MARET 2020 Laporan Utama “Karena sifat reformasi struktural jangka panjang, arah kita pasti jangka panjang. Saya kira dalam kurun waktu lima tahun sudah bisa terlihat hasilnya" Piter Abdullah Redjalam Direktur Riset Center of Reform on Economic CORE Indonesia Teks Reni Saptati D.I, Laporan Utama Foto Anas Nur Huda Pemerintah memberikan insentif fiskal untuk menopang target pertumbuhan ekonomi, khususnya untuk ekspor dan investasi. Berbenah Pacu Investasi
Opini Masa Depan Batu Bara dan Energi Terbarukan Ilustrasi A. Wirananda *Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja Teks Ragimun dan Imran Rosjadi Pegawai Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI MediaKeuangan 40 D iprediksi, nasib batu bara akan semakin sulit bersaing dengan energi terbarukan jika tidak ada inovasi dan peningkatan nilai tambah ( value added ). Dengan kata lain, tidak dilakukan hilirisasi ( downstreaming ). Apalagi ke depan, pengembangan energi bersih, seperti energi baru dan terbarukan (EBT) semakin masif dan efisien. Di masa mendatang, pengusaha batu bara ditantang untuk terus melakukan berbagai inovasi dan pengembangan produk batu bara. Di lain pihak, timbul pertanyaan, apakah pemerintah sudah secara maksimal mendorong berbagai bentuk program hilirisasi batu bara. Memang beberapa regulasi pemerintah telah digulirkan, salah satunya yakni Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, yang di dalamnya menetapkan antara lain mengenai target bauran energi nasional. Pada tahun 2025 ditargetkan peran EBT paling sedikit 20% dan peran batubara minimal 30%. Sementara pada tahun 2050 ditargetkan peran EBT melampaui batu bara, yakni paling sedikit 31%, sedangkan peran batubara minimal 25%. Perkembangan EBT yang makin pesat tentu membuat harga keekonomian EBT akan semakin kompetitif dibanding batu bara. Di sisi lain, penentangan para aktivis lingkungan terhadap efek polusi akibat penggunaan batu bara juga semakin mengemuka. Tak ayal, lambat laun kondisi ini akan terus menggeser peran batu bara sebagai sumber energi yang murah dan menjadikan batu bara bak buah simalakama. Di satu pihak, harganya terus menurun, dikonsumsi sekaligus ditentang dunia, dan bila tidak diproduksi maka potensi batu bara yang besar tidak dapat dioptimalkan. Akan tetapi, jika dilakukan hilirisasi, terdapat risiko bisnis yang cukup tinggi, baik dari segi teknis, regulasi, dan pasar. Biaya investasi yang diperlukan pun cukup besar, begitu pula dengan pembiayaannya harus bankable . Tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia merupakan negara yang dikaruniai sumber daya alam yang melimpah, termasuk batu bara. Potensi kandungan sumber daya batu bara diperkirakan sangat besar, yakni mencapai 151 miliar ton dan cadangan batu bara sebesar 39 miliar ton. Kendati demikian, cadangan batu bara ini diperkirakan akan habis dalam 70 tahun yang akan datang (bila rasio cadangan dan produksi batu bara 4: 1). Oleh sebab itu, seyogianya pengelolaan batu bara dilakukan dengan baik dan bijak agar dapat memberikan kemakmuran sebesar-besarnya bagi masyarakat. Salah satu solusi agar pemerintah dapat terus mendorong pemanfaatan batu bara adalah melalui hilirisasi. Hilirisasi batu bara dapat memberikan sumbangan untuk peningkatan penerimaan negara, baik penerimaan pajak maupun Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Saat ini, kontribusi penambangan batu bara sebelum dilakukan hilirisasi terbilang relatif tinggi terhadap PNBP. Pada tahun 2018 saja, PNBP batu bara mencapai lebih dari 21,85 triliun Rupiah. Dalam jangka pendek, pemberian insentif fiskal sebagai pendorong hilirisasi batu bara memang akan mengurangi penerimaan negara dari sektor pajak dan bukan pajak. Akan tetapi, dalam jangka panjang diharapkan akan meningkatkan perekonomian dan manfaat sosial lainnya. Berdasarkan hasil simulasi yang pernah dilakukan, Produk Domestik Bruto (PDB) dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) daerah atau lokasi hilirisasi diperkirakan meningkat 3 kali lipat. Sementara, untuk pajak dan PNBP rata-rata naik 3 kali lipat. Penyerapan tenaga kerja pun berpotensi mencapai lebih dari 5000 pekerja. Hilirisasi yang paling memungkinkan untuk dilakukan pada saat ini adalah gasifikasi batu bara, yakni sebuah proses di mana bahan bakar karbon mentah dioksidasi untuk menghasilkan produk bahan bakar gas lainnya. Gasifikasi sudah diminati oleh perusahaan BUMN tambang, misalnya PT Bukit Asam (PT BA) yang berencana menggandeng beberapa perusahaan user melalui joint investment, seperti PT Pertamina, PT Pupuk Indonesia dan PT Candra Asri. Penggunaan teknologi produksi batu bara menjadi gas berupa Dymethil Ether (DME), urea dan polyphropylen e (PP) saat ini bukan masalah. Beberapa negara lain telah melakukan hal serupa, seperti Amerika Serikat, China, Jepang, Korea Selatan, dan Australia. Namun demikian, biaya produksi yang masih sangat tinggi menjadi kendala sehingga membutuhkan investasi yang relatif besar, dapat mencapai lebih dari 3.446 miliar Dollar. Dibutuhkan dukungan segala pihak agar hilirisasi gasifikasi dapat berjalan lancar. Pemerintah dapat mempertimbangkan pemberian insentif fiskal, seperti tax holiday, tax allowance, dan penurunan atau pengurangan royalti khusus. Perbankan pun ikut beperan serta dalam memberikan kredit investasi apabila proyek ini dinilai layak secara finansial. Selain itu, diperlukan juga kebijakan pengaturan atau penetapan harga beli DME untuk LPG oleh PT Pertamina yang tidak mengikuti fluktuasi harga komoditas. Dengan demikian, proyek industri bukan hanya bankable dan dapat berjalan, melainkan juga berkelanjutan sehingga program gasifikasi batu bara dapat bermanfaat untuk kepentingan industri strategis nasional, pasokan gas dalam negeri, penghematan devisa, dan pemanfaatan batu bara kalori rendah ( low rank) . Seluruh pemangku kepentingan perlu duduk bersama guna mencari solusi terbaik agar nantinya batu bara tidak lagi menjadi masalah, melainkan menjadi produk yang membawa berkah dan maslahah.
Biro KLI Kementerian Keuangan
Relevan terhadap
yang ingin diselamatkan adalah kita, masyarakat, manusianya,” tutur Masyita Crystallin, Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Perumusan Kebijakan Fiskal dan Makroekonomi. Masyita menambahkan latar belakang dikeluarkannya Perppu Nomor 1/2020 adalah untuk memperkuat APBN. “Krisis saat ini berbeda dengan krisis ekonomi yang pernah dialami di tahun 1930, 1997 atau 2008. Di tahun- tahun tersebut, krisis dimulai dari sektor keuangan tetapi krisis sekarang langsung menyentuh sektor riil akibat keterbatasan interaksi. Untuk itu, kita berusaha membuat APBN menjadi shock absorber ,” terang Masyita. Abra Talattov, Ekonom INDEF juga berpendapat bahwa dari sisi stimulus fiskal kebijakan pemerintah saat ini sudah sejalan dengan upaya yang dilakukan negara lain. Menurutnya, penerbitan Perppu Nomor 1/2020 adalah langkah yang baik tetapi ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. “Jika saya lihat di dalam Perppu itu sudah lengkap instrumennya. Dari sisi anggaran itu variasinya cukup lengkap dan semua elemen masyarakat sudah tersasar mulai dari rumah tangga, industri, UMKM bahkan usaha kecil mikro. Namun, sisi efektivitas dan kecepatan ini perlu diperhatikan. Anggaran ada tetapi faktor kecepatan penyalurannya juga akan berpengaruh untuk daya beli masyarakat. Selain itu, Perpu ini memiliki risiko sebab defisit fiskal boleh lebih dari 3 persen. Perlu dijaga agar tetap dalam batas yang aman sesuai kondisi kesehatan APBN,” ujar Abra. Tangani asapnya, padamkan apinya Terkait insentif perpajakan dan bea masuk, ahli kesehatan masyarakat, Prof. Hasbullah Thabrany berpendapat bahwa kebijakan tersebut baik tetapi belum menangani akar permasalahan. “Ibarat kebakaran, ada asap dan api. Apinya itu COVID-19, panasnya adalah pelayanan kesehatan dan efek sosial ekonominya itu asap. Kebijakan insentif pajak dan bea masuk impor itu logis dan bagus tetapi baru menangani asapnya. Pembelian ventilator dan pembukaan rumah sakit itu baru menangani panasnya. Lalu apa kebijakan pemadaman apinya? Ya, PSBB”, ujar guru besar FKM UI ini. Ia menambahkan bahwa kebijakan yang diambil dari alokasi Rp405 triliun itu sifatnya lebih ke balancing . “Pendanaan seharusnya difokuskan pada kebijakan yang dapat mencegah meningkatnya penularan. Dengan demikian, kita bisa menghemat belanja waktu di hilir, biaya berobat, dan meringankan kapasitas kita yang kurang memadai. Ini selayaknya menjadi bagian dari kebijakan Kemenkes,” jelasnya. Hal senada juga diungkap Abra. Menurutnya stimulus seperti pembebasan impor alat kesehatan baik pajak maupun bea masuk membantu tetapi dalam jangka pendek dan perlu diperhatikan target lamanya kebijakan tersebut. “Dalam satu bulan stimulus yang diberikan lumayan besar sekitar Rp170 miliar. Dikhawatirkan jika terus berlanjut maka akan menjadi disinsentif bagi industri alat kesehatan dan farmasi di dalam negeri,” tambahnya. Bukan sekedar nominal tetapi efektivitas alokasi Berbicara mengenai besaran anggaran belanja kesehatan, Masyita menuturkan bahwa saat ini kesehatan menjadi prioritas pemerintah. Namun demikian, ini bukan semata soal alokasi anggaran tetapi juga soal peningkatan kualitas kebijakan dan pelaksanaan kebijakan itu sendiri. “Jadi di Kemenkeu itu evidence based policy. Kita memiliki data pengeluaran K/L harian lalu data tersebut dianalisa. Kita memperhatikan kemampuan disbursement dari K/L. Saat ini, anggaran kesehatan penanganan COVID-19 sebesar 75 triliun. Jika dilihat datanya, hingga Maret belum terlihat lonjakan pengeluaran yang signifikan. Jadi, kita menunggu data April-Mei untuk melihat apakah perlu anggaran tambahan,” jelasnya. Abra juga menjelaskan “Jika dilihat, porsi belanja kesehatan APBN 2020 sebesar 5,2 persen sudah memenuhi mandat UU Kesehatan. Namun, perlu dievaluasi efektivitasnya terutama dalam mendorong kualitas pelayanan kesehatan. Saat ini, tentu ada lonjakan kebutuhan mendadak untuk penanganan COVID-19. Ke depannya, bisa dimandatorikan sebesar 1-1,5 persen terhadap belanja sebagai biaya tak terduga untuk mitigasi risiko bencana alam dan non alam,” ungkapnya. Harapan kebijakan di masa depan Pandemi COVID-19 menjadi pembelajaran dalam pengambilan kebijakan khususnya untuk sektor kesehatan di masa depan. Momentum ini diharapkan dapat mendorong alokasi dana untuk riset dan pengembangan kesehatan serta investasi di sektor farmasi. “Saya pikir kedepannya stimulus diarahkan untuk mendorong riset dan pengembangan serta investasi sektor farmasi. Pemerintah perlu mengarahkan dana riset di lintas K/L ini agar sinergis sehingga dapat menciptakan produk alkes dan farmasi buatan Indonesia. Ini juga jadi momentum bagi BUMN di sektor farmasi untuk menggenjot daya saing. Harapannya BUMN farmasi ini bisa mulai bersaing di pasar domestik dan jangka panjang punya potensi melakukan ekspor,” harap Abra. Hal senada juga diungkap Prof. Hasbullah, ia mengakui bahwa investasi sebuah negara di bidang kesehatan berhubungan dengan keberhasilan menangani COVID-19. Ia juga menambahkan bahwa edukasi publik yang sistematis terkait kesehatan adalah kebijakan yang belum muncul namun sangat dibutuhkan. “Kalau saya lihat kebijakan yang belum muncul dan yang secara sistematik efektif adalah mass education dalam kasus ini. Saat ini yang terjadi mass education nya pada media tetapi tidak praktikal dari pemerintah ke masyrakat. Perlu komunikasi melalui kelompok-kelompok tertentu dengan tetap menjaga jarak dengan tujuan mendorong terjadinya perubahan perilaku,” ucapnya. Sementara itu, Masyita berharap pandemi ini dapat dilalui dengan baik dan masyarakat yang terdampak bisa mendapat bantuan yang dibutuhkan. Ia juga berharap setelah pandemi berakhir perekonomian akan lebih baik. “Memang tidak mudah menghadapi ini baik buat Indonesia maupun semua negara di dunia. Bahkan negara maju pun mengalami kesulitan. Sektor ekonomi berusaha kita selamatkan sebab kita tidak mau masyarakat kehilangan pekerjaan akibat sektor industri terlanjur mati. Namun, terkadang media selalu membenturkan kalau menjaga ekonomi itu tidak menjaga manusianya. Padahal jika sektor riil itu jatuh yang rugi masyarakat juga,” pungkasnya. “Pendanaan seharusnya difokuskan pada kebijakan yang dapat mencegah meningkatnya penularan. Dengan demikian, kita bisa menghemat belanja waktu di hilir, biaya berobat, dan meringankan kapasitas kita yang kurang memadai. Ini selayaknya menjadi bagian dari kebijakan Kemenkes,” Pandemi COVID-19 ini diharapkan dapat mendorong alokasi dana untuk riset dan pengembangan kesehatan serta investasi di sektor farmasi Foto Resha Aditya Prof. Hasbullah Thabrany ahli kesehatan masyarakat “...dari berbagai kebijakan yang dikeluarkan pemerintah jelas terlihat bahwa yang ingin diselamatkan adalah kita, masyarakat, manusianya,” Masyita Crystallin Staf Khusus Menteri Keuangan 11 VOL. XV / NO. 152 / MEI 2020
Laporan Utama Teks CS. Purwowidhu TANGKAS MENANGGULANGI KEDARURATAN 21 VOL. XV / NO. 153 / JUNI 2020 C OVID-19 yang belum kunjung usai tidak hanya mengorbankan kesehatan masyarakat tapi juga kian berdampak pada ekonomi. Di tengah kecamuk pandemi, pemerintah terus mengadaptasi kebijakan dengan kebutuhan kondisi terkini. Kecepatan pemenuhan anggaran penanganan COVID-19 ini menjadi sebuah keharusan agar pandemi segera terbasmi dari negeri. Simak wawancara Media Keuangan dengan Staf Ahli Bidang Pengeluaran Negara, Kunta 1 Tahun 2020 memberikan fleksibilitas pada pemerintah untuk melakukan berbagai macam kebijakan atau pengelolaan alokasi anggaran supaya bisa cepat bergerak, seperti realokasi dan refocusing belanja Kementerian/Lembaga (K/L) dan Transfer ke Daerah dan Dana Desa, termasuk tambahan anggaran yang difokuskan ke tiga hal kesehatan, jaring pengaman sosial, dan dukungan dunia usaha. Hal tersebut, juga didukung dengan kemungkinan untuk melakukan relaksasi defisit juga. Kita juga melakukan monitoring dan evaluasi berkala secara intensif sehingga kebutuhan di tiga fokus tadi bisa terpenuhi. Koordinasi dengan BI, OJK, dan LPS juga terus dilakukan untuk menjaga kestabilan sektor keuangan. Kebijakan anggaran apa saja yang diambil untuk mendukung sektor kesehatan dalam upaya percepatan penanganan COVID-19? Yang pertama, adalah pembentukan gugus tugas Covid-19 yang didukung pendanaan sekitar Rp3,1 triliun dari pemanfaatan cadangan APBN, yang dimanfaatkan untuk penanganan Kesehatan di masa awal darurat pandemic Covid-19. Selanjutnya, kita memberikan stimulus fiskal berupa tambahan belanja kesehatan Rp75 triliun (dari total stimulus tahap 3 sebesar Rp405 triliun) yang difokuskan pada belanja penanganan Kesehatan (antara lain peralatan, sarpras Kesehatan, dan biaya penggantian klaim perawatan pasien positif Covid-19), insentif dan santunan kematian bagi tenaga medis, dan bantuan iuran peserta BPJS Kesehatan untuk segmen Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP) Kelas 3. Lalu kita juga lakukan kebijakan realokasi dan refocusing anggaran K/L dan pemda. Dalam hal ini, Kementerian Keuangan terus memantau perkembangan revisi anggaran K/L untuk penanganan COVID-19 serta pelaksanaan anggarannya. Selain itu, kita juga memberikan insentif fiskal berupa fasilitas perpajakan, khususnya untuk pengadaan peralatan kesehatan dan obat-obatan. Dengan dukungan tersebut, sekarang sudah banyak industri dalam negeri yang bisa memproduksi Alat Pelindung Diri (APD), bahkan ada juga yang bisa memproduksi ventilator pernafasan. Upaya apa yang dilakukan untuk memastikan kecukupan anggaran penanganan COVID-19? Pemerintah akan terus memantau kebutuhan anggaran, dikaitkan dengan proyeksi berapa lama pandemi ini akan terjadi. Semakin lama, dan semakin banyak korban, tentunya akan dibutuhkan lebih banyak anggaran. Sumber pendanaan ini utamanya dari pendapatan dan pembiayaan, serta realokasi dan refocusing anggaran K/L dan TKDD. Pemerintah melalui koordinasi dengan stakeholder terkait akan terus melakukan pemetaan kebutuhan anggaran penanganan Covid-19, dan memperkuat perencanaan dan keakuratan kebijakan kesehatan. Di samping itu, pemerintah akan terus mendorong refocusing anggaran K/L untuk mendukung sektor kesehatan, mengingat apabila pandemi berlangsung lebih lama, maka kegiatan K/L tidak dapat berjalan, dan anggarannya dapat direalokasi untuk mendukung intervensi kesehatan. Berapa total anggaran yang diperoleh setelah refocusing dari K/L dan pemda? Dalam menangani pandemi Covid-19 dan dampaknya, telah dilakukan kebijakan penghematan anggaran, baik belanja K/L maupun transfer ke daerah dan dana desa. Untuk penghematannya total K/L sekitar Rp145-an triliun dan untuk pemda sekitar Rp94 triliun. Uang ini digunakan sebagai salah satu sumber dana pemberian stimulus yang berfokus ke tiga hal di awal tadi. Penghematan tersebut di luar kebijakan refocusing anggaran K/L dan Pemda untuk mendukung penanganan Kesehatan. Apakah ke depan akan ada peningkatan anggaran kesehatan? Sejak 2019, rasio anggaran kesehatan terhadap APBN sebenarnya sudah lebih dari 5 persen, karena kita meng cover Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), prasarana dan sarana kesehatan, termasuk dana-dana yang di transfer ke daerah. Jadi fokusnya bukan ke persentasenya harus sekian tapi lebih kepada program apa yang mau dijalankan, lalu output dan outcome apa yang mau dituju. Tentu Covid-19 ini menjadi baseline dalam persiapan anggaran kesehatan ke depan. Misal dalam pemenuhan fasilitas kesehatan dan perbaikan JKN, baik dari segi layanan maupun sistemnya. Bagaimana dengan fokus alokasi anggaran kesehatan ke depan? Ke depan anggaran kesehatan difokuskan untuk reformasi kesehatan. Pertama, mempercepat pemulihan dampak Covid-19 melalui peningkatan dan pemerataan fasilitas kesehatan, peralatan kesehatan, dan tenaga kesehatan, serta koordinasi dengan pemda, BUMN/BUMD, dan swasta. Kedua, penguatan sistem kesehatan, baik supply maupun demand. Ketiga, penguatan health security preparedness melalui penguatan kesiapan pencegahan, deteksi, dan respons penyakit, penguatan health emergency framework, dan sistem kesehatan yang terintegrasi. Apa harapan Bapak untuk implementasi kebijakan penanganan pandemi dan ketahanan APBN? Pertama, harapan saya sinergi antara pemerintah pusat, daerah, dunia usaha, serta seluruh lapisan masyarakat terus berlanjut, termasuk sharing the pain dengan pemda itu penting. Gugus tugas penanganan pandemi sebagai implementasi kebijakan satu pintu juga penting dilanjutkan. Kemudian kita juga ingin mendukung dunia usaha untuk kesehatan, sehingga kebutuhan alat kesehatan dan farmasi dalam negeri dapat kita penuhi sendiri. Yang terakhir, dengan adanya pandemi ini seluruh sector kehidupan akan melakukan penyesuaian (yang biasa disebut new normal). Mekanisme bekerja, bentuk interaksi dalam masyarakat, dan sebagainya akan menyesuaikan. Termasuk dalam hal pengelolaan APBN. Seharusnya APBN kita dengan new normal yang kita jalani saat ini, menjadi baseline yang efektif dan efisien dalam proses recovery dan reformasi kebijakan fiskal di tahun 2021 dan tahun-tahun selanjutnya. Wibawa Dasa Nugraha, mengenai optimalisasi anggaran kesehatan untuk atasi kedaruratan. Bagaimana APBN kita memprioritaskan kesehatan masyarakat selama ini? Anggaran Kesehatan dan anggaran Pendidikan menjadi concern Pemerintah selama ini, untuk meningkatkan kualitas SDM. Sejak 2016, Pemerintah menjaga alokasi anggaran kesehatan minimal 5 persen dari APBN, karena kesehatan berdampak langsung ke future income orang. Kalau orang sehat, dia akan semakin produktif. Secara tidak langsung, ini juga merupakan investasi Pemerintah di bidang SDM. Dengan adanya pandemi COVID-19 bagaimana prioritas sektor kesehatan dikaitkan dengan ekonomi? Pandemi ini menimbulkan krisis kesehatan lalu berdampak ke krisis ekonomi dan akhirnya bisa berdampak ke krisis keuangan. Karena pandemik ini belum ada obatnya, maka dilakukan pembatasan- pembatasan, seperti physical distancing, work from home, dan PSBB. Maka yang paling terdampak pertama kali dari pandemi ini adalah sektor riil atau informal. Sehingga menimbulkan krisis ekonomi, kalau hal ini tidak segera diatasi akan berakibat pada krisis keuangan. Dengan kata lain, kesehatan, ekonomi dan keuangan ini saling mempengaruhi, tidak dapat dipisahkan. Untuk merespons kondisi tersebut, saat ini Pemerintah memberi stimulus fiscal tahap 3 yang berfokus pada sektor kesehatan, jaring pengaman sosial, dan dukungan pada dunia usaha. Dengan demikian, bukan hanya kesehatan masyarakat yang tertangani, tetapi masyarakat miskin, rentan miskin, serta dunia usaha yang sosial ekonominya terdampak COVID-19 juga bisa tetap hidup. Sehingga selama masa pandemi, kebutuhan pokok setidaknya dapat terpenuhi, daya beli terjaga dan saat pandemi berakhir, kita bisa segera bangkit kembali. Apa strategi yang dilakukan untuk mengantisipasi kebijakan yang begitu dinamis di masa darurat ini? Saat ini semuanya berubah serba cepat dan kita harus siap untuk mengantisipasinya. Jangan sampai telat karena risiko kedepannya sangat tinggi. Adanya Perppu Nomor
17 MEDIAKEUANGAN 16 VOL. XV / NO. 153 / JUNI 2020 Pandemi global Covid-19 yang juga melanda Indonesia tidak saja menimbulkan masalah kesehatan bagi masyarakat, tetapi juga membawa implikasi bagi perekonomian nasional. Langkah-langkah luar biasa dalam menjamin kesehatan masyarakat dan upaya penyebaran pandemi, sekaligus penyelematan perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan telah dilakukan Pemerintah. Seberapa besar dampak pandemi COVID -19 terhadap ekonomi dan apa yang telah dilakukan pemerintah? KESEHATAN MASYARAKAT SEBAGAI P i l a r E k o n o m i N a s i o n a l India 1,9% tiongkok 1,2% 1,2% indonesia 0,5% 2,5% korea selatan -1,2% 0,8% singapura -3,5% 10,9% Malaysia 10% australia 10,9% amerika serikat -6,1% 10,5% brazil -5,3% kanada 6,0% inggris -6,5% jerman -7% spanyol -8% 0,7% arab saudi 2,7% italia 1,4% perancis 2% Prediksi Pertumbuhan Ekonomi Global Akibat COVID -19 (Beberapa Negara) Dukungan Fiskal Negara-Negara di Dunia untuk Penanganan Covid-19 (Beberapa Negara) keterangan Kebijakan Stimulus RI dalam menangani dampak pandemi Covid-19 Stimulus 1: Belanja untuk memperkuat perekonomian domestik melalui program: Percepatan pencairan belanja modal Percepatan pencairan belanja Bantuan Sosial Transfer ke daerah dan dana desa Perluasan kartu sembako Insentif sektor pariwisata Stimulus 2: Menjaga Daya Beli Masyarakat dan Kemudahan ekspor impor PPh pasal 21 pekerja sektor industri pengolahan yang penghasilan maks Rp200 juta ditanggung pemerintah 100% PPh pasal 22 impor 19 sektor tertentu, WP KITE, dan WP KITE IKM Pengurangan PPh pasal 25 sebesar 30% kepada 19 sektor tertentu Restitusi PPN dipercepat bagi 19 sektor tertentu, WP KITE, dan WP KITE IKM Non fiskal: berbagai fasilitas keluar masuk barang supaya lebih mudah Stimulus lanjutan: Sektor Kesehatan: intervensi untuk penanganan COVID-19 dan subsidi iuran BPJS Tambahan Jaring Pengaman Sosial: penambahan penyaluran PKH, Bansos, Kartu Pra Kerja, subsisid tarif listrik, program jaring pengaman sosial lainnya Dukungan industri berupa perluasan insentif pajak untuk PPh 21, PPh 22 Impor, PPN, bea masuk DTP, stimulus KUR Dukungan untuk dunia usaha berupa pembiayaan untuk mendukung program pemulihan ekonomi nasional termasuk untuk Ultra Mikro 4 pokok kebijakan Transfer ke Daerah dan Dana Desa dalam rangka pencegahan/penanganan pencegahan/penanganan Covid-19: Penyesuaian Alokasi TKDD Refocusing TKDD agar digunakan untuk penanganan COVID-19 Relaksasi penyaluran TKDD Refocusing belanja APBD agar fokus pada penanganan COVID-19 Infografik MEDIAKEUANGAN 16 17 VOL. XV / NO. 153 / JUNI 2020