Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 234/PMK.01/2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan. ...
Pengujian UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas terhadap UUD Negara RI Tahun 1945
Relevan terhadap
(1) Dalam hal tidak ditunjuk likuidator, maka Direksi bertindak selaku likuidator. (2) Ketentuan mengenai pengangkatan, pemberhentian sementara, pemberhentian, wewenang, kewajiban, tanggung jawab, dan pengawasan terhadap Direksi berlaku pula bagi likuidator. 56 Ketentuan ini ditindaklanjuti dalam Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Conflict of Interest Direksi terjadi dalam hal diatur dalam Pasal 99 ayat (1) UU PT yang menyatakan: _Anggota Direksi tidak berwenang mewakili Perseroan apabila: _ 1) terjadi perkara di pengadilan antara Perseroan dengan anggota _Direksi yang bersangkutan; atau _ 2) anggota Direksi yang bersangkutan mempunyai benturan kepentingan dengan Perseroan. c. Bahwa dalam UU PT juga sudah diatur tentang dilarangnya Direksi mewakili perseroan dalam hal terjadi benturan kepentingan. Suatu Perseroan Terbatas yang melakukan pembubaran perseroan tidak selalu melibatkan asset yang dapat dibagi, bahkan dari likuidasi dan pembubaran yang didaftarkan dalam 3 tahun terakhir adalah likuidasi yang tidak melibatkan keuangan yang signifikan sehingga apabila likuidasi hanya dapat dilakukan oleh likuidator dapat terjadi hal sama dengan kurator, sehingga dapat terjadi dalam likuidasi perusahaan dalam hal kepailitan oleh debitur yang tidak punya asses tidak diminati likuidator sehingga menyebabkan menjadi terkatung katung. Sebagaimana yang diatur dalam KUHD yang melakukan likuidasi adalah pengurus, namun baru pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 di atur tentang likuidator, dan rezim likuidasi terbagi dalam 2 jalur yaitu likuidasi sukarela dan paksa melalui kepailitan. Dalam hal likuidasi sukarela sepenuhnya berdasar KUH Perdata berdasarkan kesepakatan para pihak terkait dengan bagaimana prosesnya dan siapa yang akan melakukan pemberesan perseroan tersebut.
Berdasarkan Pasal 142 UU PT sebatas pelaksana tugas likuidator dalam tugas pelaksanaan likuidasi perseroan terrsebut. Padahal likuidasi sangat penting untuk menentukan status hukum suatu perseroan sehingga tidak mempersulit prosesnya. Kekawatiran pemohon apabila terjadi conflik of interest karena adanya RUPS dan organ RUPS masih mempunyai kekuasaan untuk mengangkat kembali menegur pemberesan yang dilakukan direksi. 57 5. Berdasarkan hal tersebut diatas maka dalil para Pemohon yang menyatakan Pasal 142 ayat (2) huruf a, dan ayat (3) UU PT bertentangan terhadap Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 adalah dalil yang tidak beralasan hukum. IV. PETITUM Berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada yang terhormat Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang memeriksa, memutus dan mengadili permohonan pengujian Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas terhadap Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dapat memberikan putusan sebagai berikut:
Menolak permohonan pengujian para Pemohon seluruhnya atau setidak- tidaknya menyatakan permohonan pengujian Para Pemohon tersebut tidak dapat diterima ( niet ontvankelijke verklaard );
Menerima Keterangan Pemerintah secara keseluruhan;
Menyatakan para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( Legal Standing );
Menyatakan ketentuan Pasal 142 ayat (2) huruf a, dan ayat (3) Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas tidak bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) Undang- Undang Dasar 1945. Namun apabila Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain mohon kiranya dapat memberikan putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya (ex aquo et bono) . Atas perkenan dan perhatian Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, diucapkan terima kasih. [2.4] Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon, Dewan Perwakilan Rakyat menyampaikan keterangan dalam persidangan tanggal 10 Oktober 2018 dan telah menyerahkan keterangan tertulis yang disampaikan di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 17 Oktober 2018, yang pada pokoknya sebagai berikut: 58 A. KETENTUAN UU PT YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN TERHADAP UUD 1945 Para Pemohon dalam perbaikan permohonannya __ mengajukan pengujian atas Pasal 142 ayat (2) huruf a dan ayat (3) UU PT yang mengatur: Pasal 142 ayat (2) huruf a _Dalam hal terjadi pembubaran Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (1): _ (a) Wajib diikuti dengan likuidasi yang dilakukan oleh likuidator atau kurator Pasal 142 ayat (3) Dalam hal pembubaran terjadi berdasarkan keputusan RUPS, jangka waktu berdirinya yang ditetapkan dalam anggaran dasar telah berakhir atau dengan dicabutnya kepailitan berdasarkan keputusan pengadilan niaga dan RUPS tidak menunjuk likuidator, Direksi bertindak selaku likuidator B. HAK DAN/ATAU KEWENANGAN KONSTITUSIONAL YANG DIANGGAP PARA PEMOHON TELAH DIRUGIKAN OLEH BERLAKUNYA UU PT Para Pemohon beranggapan bahwa ketentuan Pasal 142 ayat (2) huruf a dan ayat (3) UU PT telah menghilangkan atau mengganggu hak dasar Para Pemohon untuk mendapatkan kepastian hukum yang adil dan jaminan perlindungan hukum selaku warga negara Indonesia, sebab kedua pasal a quo tidak memberikan definisi bahkan persyaratan kepada seseorang yang dapat menjadi likuidator (vide perbaikan permohonan hlm 7 angka 2). Selain itu, berdasarkan ketentuan Pasal 142 ayat (2) huruf a UU PT, terdapat kesetaraan kedudukan antara likuidator dan kurator. Dengan demikian, maka selayaknya profesi likuidator diperlakukan sama menurut hukum dengan profesi kurator, baik dalam kejelasan rumusannya maupun kualifikasinya sebagai likuidator (vide perbaikan permohonan hlm 14 angka 14). Para Pemohon dalam permohonannya __ mengemukakan bahwa hak konstitusionalnya telah dirugikan dan dilanggar oleh berlakunya Pasal 142 ayat (2) huruf a dan ayat (3) UU PT yang dinilai merugikan profesi likuidator akibat ketiadaan jaminan perlindungan dan kepastian hukum bagi profesi likuidator ( Vide Perbaikan Permohonan, hlm. 8). Secara garis besar, Para Pemohon mengharapkan bahwa pasal-pasal a quo di dalam UU PT yang dinilai merugikan hak konstitusional dari para Pemohon yang berprofesi sebagai likuidator dan 59 mengganggu peningkatan pembangunan perekonomian nasional untuk diuji konstitusionalitasnya. Bahwa pasal-pasal a quo dianggap bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang berketentuan sebagai berikut:
Pasal 27 ayat (1) UUD 1945: Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya 2. Pasal 28D ayat (1) UUD 1945: Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum Bahwa berdasarkan uraian-uraian permohonannya, para Pemohon dalam Petitumnya memohon kepada Majelis Hakim sebagai berikut:
Menerima dan mengabulkan seluruh Permohonan para Pemohon;
Menyatakan Pasal 142 ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 106, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756) bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ( conditional unconstitutional ) “likuidator yang berstatus sebagai warga negara indonesia, memiliki sertifikat keahlian melikuidasi perseroan, dan independen”;
Menyatakan Pasal 142 ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran negara Republik Indonesia Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756) bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat Atau apabila Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya ( ex aequo et bono ). C. KETERANGAN DPR RI Terhadap dalil para Pemohon sebagaimana diuraikan dalam perbaikan permohonan, DPR RI dalam penyampaian pandangannya terlebih dahulu menguraikan mengenai kedudukan hukum ( legal standing ) dapat dijelaskan sebagai berikut: 60 1. Kedudukan Hukum ( Legal Standing ) Para Pemohon Kualifikasi yang harus dipenuhi oleh para Pemohon sebagai pihak telah diatur dalam ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK yang menyatakan bahwa: Para Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan _konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu: _ _a. perorangan warga Negara Indonesia; _ b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik _Indonesia yang diatur dalam undang-undang; _ _c. badan hukum publik atau privat; atau _ d. lembaga negara . Hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dimaksud ketentuan Pasal 51 ayat (1) tersebut, dipertegas dalam penjelasannya, bahwa yang dimaksud dengan “hak konstitusional ” adalah “ hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. ” Ketentuan Penjelasan Pasal 51 ayat (1) ini menegaskan, bahwa hanya hak-hak yang secara eksplisit diatur dalam UUD 1945 saja yang termasuk “ hak konstitusional ”. Oleh karena itu, menurut UU MK, agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai Pemohon yang memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) dalam permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD Tahun 1945, maka terlebih dahulu harus menjelaskan dan membuktikan:
Kualifikasinya sebagai Pemohon dalam permohonan a quo sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK;
Hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dimaksud dalam “Penjelasan Pasal 51 ayat (1)” dianggap telah dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang a quo . Mengenai batasan kerugian konstitusional, MK telah memberikan pengertian dan batasan tentang kerugian konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu undang-undang harus memenuhi 5 (lima) syarat (vide __ Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 __ dan __ Nomor 011/PUU-V/2007) yaitu sebagai berikut: 61 a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji;
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Jika kelima syarat tersebut tidak dipenuhi oleh para Pemohon dalam perkara pengujian undang-undang a quo , maka para Pemohon tidak memiliki kualifikasi kedudukan hukum ( legal standing ) sebagai Pemohon. Menanggapi permohonan para Pemohon a quo , DPR RI berpandangan bahwa para Pemohon harus dapat membuktikan terlebih dahulu apakah benar para Pemohon sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan atas berlakunya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji, khususnya dalam mengkonstruksikan adanya kerugian terhadap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagai dampak dari diberlakukannya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji. Merujuk kepada lima syarat terkait kerugian konstitusional dari para Pemohon, DPR-RI memberikan pandangan sebagai berikut: a) Terkait dengan hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945 Bahwa para Pemohon beranggapan memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang pada pokoknya mengatur persamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan dan kewajiban menjunjung hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya dan hak atas 62 pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Bahwa ketentuan a quo UU PT pada pokoknya mengatur mengenai persyaratan dan mekanisme pembubaran, likuidasi, dan berakhirnya status badan hukum perseroan, tidak mengatur secara khusus kedudukan, hak dan wewenang likuidator dan kurator. Bahwa mencermati ketentuan pasal a quo UU PT yang mengatur mekanisme pembubaran perseroan, sesungguhnya tidak terdapat pertautan dengan hak konstitusional yang diatur dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Bahwa perlu dipahami oleh Para Pemohon, profesi likuidator dan kurator adalah dua profesi yang berbeda dan masing-masing memiliki kekhususan dan kewenangan tersendiri yang diatur dengan undang-undang UU PT dan UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Dengan pengaturan dalam undang-undang yang berdeba antara likuidator dan kurator tersebut, tentu memiliki peran, kedudukan, fungsi dan wewenang yang berbeda yang tidak dapat disamakan dengan mengajukan pengujian ketentuan a quo UU PT. Oleh karena ketentuan a quo UU PT pada pokoknya mengatur mengenai persyaratan dan mekanisme pembubaran, likuidasi, dan berakhirnya status badan hukum perseroan, sama sekali tidak tepat jika dikaitkan dengan hak konstitusional yang dianggap para Pemohon dijamin dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. b) Terkait dengan hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang- undang yang diuji Bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon sebagaimana dalil para Pemohon dijamin oleh Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 tersebut, sama sekali tidak tepat jika dihubungkan dengan ketemtuan a quo UU PT. Oleh karena tidak adapertautan antara hak dan/atau kewenangan konstitusional dengan ketentuan a quo UU PT tentu Para Pemohon tidak mengalami kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional oleh berlakunya ketentuan a quo UU PT. 63 Bahwa Pemohon I sampai dengan Pemohon III adalah selaku pengurus Perkumpulan Profesi Likuidator Indonesia (PPLI) dan Pemohon IV sampai dengan Pemohon VII adalah selaku likuidator/anggota PPLI. Dalam ketentuan UU PT diatur mengenai peran likuidator, yaitu melakukan pemberesan harta kekayaan Perseroan dalam proses likuidasi (Pasal 149 ayat (1) UU PT) dan wajib memberitahukan kepada semua kreditor mengenai pembubaran Perseroan dengan cara mengumumkan pembubaran Perseroan dalam Surat Kabar dan Berita Negara Republik Indonesia [Pasal 147 ayat (1) huruf a UU PT]. Bahwa dengan demikian peran likuidator yang diatur dalam ketentuan a quo UU tersebut, tidak mengurangi dan tidak menghalangi hak dan/atau kewenangan konstitusional para pemohon sebagai likuidator sebagaimana didalilkan Para Pemohon. c) Terkait dengan kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi Bahwa Para Pemohon dalam perbaikan permohonan a quo hanya mendalilkan bahwa Para Pemohon sebagai likuidator merasa dirugikan hak konstitusionalnya yaitu terkait dengan pengaturan yang mengatur mengenai likuidator berbeda dengan pengaturan kurator yang diatur dalam UU KPKPU. Ketentuan yang berbeda tersebut, Para Pemohon beranggapan ketentuan Pasal 142 ayat (2) huruf a dan ayat (3) UU PT tidak memiliki kesetaraan terlebih terhadap kualifikasi profesi sehingga tidak tercermin adanya persamaan kedudukan di hadapan hukum. Bahwa dalil para Pemohon tersebut bukan merupakan kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang bersifat spesifik (khusus) dan aktual, karena dalil yang dikemukakan para Pemohon adalah bersifat asumsi yang beranggapan adanya perbedaan pengaturan antara likuidator yang diatur dalam UU PT dan kurator yang diatur dalam UU KPKPU. Dengan demikian para Pemohon a quo tidak mengalami kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang bersifat spesifik (khusus) dan 64 aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi sebagaimana didalilkan para Pemohon. d) Terkait dengan adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian Bahwa kerugian para Pemohon dalam perbaikan permohonan a quo hanya mengemukakan bahwa para Pemohon sebagai likuidator merasa dirugikan hak konstitusionalnya yaitu terkait dengan pengaturan mengenai likuidator berbeda dengan pengaturan kurator yang diatur dalam UU KPKPU. Bahwa dalam ketentuan UU PT diatur mengenai peran likuidator, yaitu melakukan pemberesan harta kekayaan Perseroan dalam proses likuidasi (Pasal 149 ayat (1) UU PT) dan wajib memberitahukan kepada semua kreditor mengenai pembubaran Perseroan dengan cara mengumumkan pembubaran Perseroan dalam Surat Kabar dan Berita Negara Republik Indonesia [Pasal 147 ayat (1) huruf a UU PT]. Bahwa antara kerugian yang didalilkan oleh para Pemohon tersebut sama sekali tidak terdapat hubungan sebab akibat ( causa verband ) dengan ketentuan a quo UU PT. Karena para Pemohon tidak mengalami kerugian yang bersifat konstitusional dengan berlakunya ketentuan a quo UU PT. e) Terkait dengan adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Bahwa seandainya petitum yang diajukan oleh para Pemohon untuk menambahkan kalimat “ yang berstatus sebagai warga negara indonesia, memiliki sertifikat keahlian melikuidasi perseroan, dan independen ” setelah kata “ likuidator ” di dalam Pasal 142 ayat (2) huruf a UU PT dikabulkan oleh MK, tidak dengan serta merta menghilangkan kerugian konstitusional yang dianggap telah dialami oleh para Pemohon karena jika para Pemohon menganggap bahwa ketentuan pasal a quo belum cukup mengatur mengenai profesi likuidator, tidak berarti pasal a quo tersebut inkonstitusional. 65 Bahwa dengan demikian Putusan Mahkamah Kontitusi terhadap pengujian UU a quo tidak berpengaruh apapun terhadap para Pemohon. Bahwa selain itu terhadap dalil para Pemohon yang menyatakan bahwa mereka memiliki kedudukan hukum untuk melakukan pengujian UU PT atas dasar sebagai bagian dari warga negara pembayar pajak dengan landasan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-I/2003 merupakan suatu kesalahan. Hal ini mengingat pertimbangan yang diungkapkan oleh Majelis Hakim MK yang termuat di dalam Putusan tersebut yang menyatakan: “Menimbang bahwa para Pemohon a quo adalah warga masyarakat pembayar pajak (tax payers), sehingga dipandang memiliki kepentingan sesuai Pasal 51 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003. Hal dimaksud sesuai dengan adagium no taxation without participation dan sebaliknya no participation without tax, sehingga hak dan kepentingan mereka terpaut pula dengan pinjaman (loan) yang dibuat negara cq. pemerintah dengan pihak lain yang akan membebani warga negara sebagai pembayar pajak. Upaya pembayaran dan pelunasan utang negara antara lain berasal dari pemasukan pajak. Dalam kaitan dimaksud, Mahkamah berpendapat bahwa Pemohon a quo yang menganggap hak konstitusional mereka dirugikan dengan berlakunya Pasal 20 UU Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara, dapat dibenarkan sehingga Pemohon a quo memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk berperkara di hadapan Mahkamah. (vide Putusan MK No. 003/PUU-I/2003 hlm. 49 – 50)” Bahwa berdasarkan kutipan dari Putusan MK Nomor 003/PUU-I/2003 tersebut maka dapat dipahami bahwa alasan mengapa warganegara pembayar pajak ( tax payers ) mempunyai kedudukan hukum untuk memohon pengujian Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara adalah dikarenakan adanya hak dan kepentingan mereka yang terkait langsung dengan pinjaman yang dibuat oleh negara. Mengingat upaya pembayaran dan pelunasan utang negara antara lain berasal dari pemasukan pajak, yang tentunya bersumber dari warganegara pembayar pajak. 66 Bahwa dengan demikian salah apabila Para Pemohon berpandangan bahwa mereka mempunyai kedudukan hukum semata-mata atas dasar sebagai warganegara pembayar pajak saja. Oleh karenanya dengan dikabulkannya permohonan ini atau tidak maka tidak akan ada dampak apa pun bagi ara Pemohon. Bahwa pandangan DPR-RI berpandangan tersebut sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XIV/2016 yang menegaskan bahwa di dalam asas hukum dikenal ketentuan umum bahwa tiada kepentingan maka tiada gugatan yang dalam bahasa Perancis dikenal dengan point d’interest , point d’action dan dalam bahasa Belanda dikenal dengan zonder belang geen rechtsingang . Hal tersebut sama dengan prinsip yang terdapat dalam Reglement op de Rechtsvordering (Rv) khususnya Pasal 102 yang menganut ketentuan bahwa “tiada gugatan tanpa hubungan hukum” ( no action without legal connection )”. Bahwa terhadap kedudukan hukum ( legal standing ) para Pemohon, DPR RI berpandangan bahwa para Pemohon secara keseluruhan tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing), serta tidak memenuhi persyaratan kerugian konstitusional yang diputuskan dalam putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu. Bahwa para Pemohon dalam permohonan a quo tidak menguraikan secara konkret mengenai hak dan/atau kewenangan konstitusionaInya yang dianggap dirugikan atas berlakunya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji, utamanya dalam mengkonstruksikan adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusionaInya yang dirugikan atas berlakunya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji tersebut. Dengan demikian, DPR RI melalui Majelis memohon kiranya para Pemohon dapat membuktikan terlebih dahulu apakah benar sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang dirugikan atas berlakunya pasal a quo yang dimohonkan untuk diuji. Berdasarkan uraian- uraian tersebut di atas, terhadap kedudukan hukum (legal standing ) para Pemohon, DPR RI menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua/Majelis Hakim Konstitusi Yang Mulia untuk mempertimbangkan dan menilai apakah para Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi dan 67 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 011/PUU-V/2007 mengenai parameter kerugian konstitusional.
Pengujian Materiil Atas UU PT Terhadap UUD NRI Tahun 1945 a. Pandangan Umum 1) Bahwa menurut Gustav Radbruch, kepastian hukum ( legal certainty ) merupakan salah satu dari tiga pilar fundamental di dalam hukum, selain keadilan dan kebermanfaatan, oleh karenanya keberadaan UU PT ditujukan untuk memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaan investasi di bidang ekonomi dalam wadah Perseroan Terbatas di Indonesia.
Bahwa Pembangunan perekonomian nasional yang diselenggarakan berdasarkan demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi yang berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Peningkatan pembangunan perkonomian nasional perlu didukung oleh suatu undang-undang yang mengatur tentang perseroan terbatas yang dapat menjamin iklim dunia usaha yang kondusif. Selama ini perseroan terbatas telah diatur dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, yang menggantikan peraturan perundang- undangan yang berasal dari zaman kolonial. Namun, dalam perkembangannya ketentuan dalam Undang-Undang tersebut dipandang tidak lagi memenuhi perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat karena keadaan ekonomi serta kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan informasi sudah berkembang begitu pesat khususnya pada era globalisasi. Di samping itu, meningkatnya tuntutan masyarakat akan layanan yang cepat, kepastian hukum, serta tuntutan akan pengembangan dunia usaha yang sesuai dengan prinsip pengelolaan perusahaan yang baik ( good corporate governance ) menuntut penyempurnaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas.
Bahwa dalam Undang-Undang ini telah diatur berbagai ketentuan mengenai Perseroan, baik berupa penambahan ketentuan baru, 68 perbaikan penyempurnaan, maupun mempertahankan ketentuan lama yang dinilai masih relevan. Untuk lebih memperjelas hakikat Perseroan, di dalam Undang-Undang ini ditegaskan bahwa Perseroan adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham, dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini serta peraturan pelaksanaannya.
Bahwa Undang-Undang ini memperjelas dan mempertegas tugas dan tanggung jawab Direksi dan Dewan Komisaris, mengatur mengenai komisaris independen dan komisaris utusan. Selain itu Undang-Undang ini mempertegas ketentuan mengenai pembubaran, likuidasi, dan berakhirnya status badan hukum Perseroan dengan memperhatikan ketentuan dalam Undang-Undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Dengan pengaturan yang komprehensif yang melingkupi berbagai aspek Perseroan, maka Undang-Undang ini diharapkan memenuhi kebutuhan hukum masyarakat serta lebih memberikan kepastian hukum, khususnya kepada dunia usaha b. Pandangan Terhadap Pokok Permohonan 1) Bahwa para Pemohon dalam perbaikan permohonan a quo mengemukakan: “Bahwa norma a quo tidak sejalan dengan semangat kepastian hukum yang adil sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Pasal a quo merupakan sebuah norma yang tidak memberikan kepastian hukum bagi Pemohon dalam hal kedudukannya sebagai likuidator.” (vide perbaikan permohonan hlm 12 angka 9) Bahwa dalil Pemohon tersebut bersifat asumtif, tidak memperjelas sacara konkrit mengenai kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagai likuidator. Bahwa asumsi para Pemohon yang beranggapan ketiadaan pengaturan mengenai profesi likuidator di dalam UU PT menimbulkan ketidakpastian hukum adalah tidak beralasan. Oleh karena para Pemohon tidak membuktikan secara konkrit mengenai kerugian yang diakibatkan oleh berlakunya UU PT, 69 tetapi para Pemohon membandingkan pengaturan likuidator dalam UU PT dengan pengaturan kurator dalam UU KPKPU. Bahwa justru ketentuan a quo UU PT memberikan kepastian hukum kepada peran likuidator dalam menjalankan peran dan tanggung jawabnya sebagaimana diatur UU PT. Bahwa merujuk pada pendapat Gustav Radbruch dalam Statutory Lawlessness and Supra-Statutory Law mengenai kepastian hukum, dikatakan bahwa: “Any statute is always better than no statute at all, since it at least creates legal certainty.” Setiap Undang-Undang selalu lebih baik daripada tidak ada undang- undang sama sekali, karena setidaknya menciptakan kepastian hukum. Merujuk pendapat dari Gustav Radbruch tersebut, bahwa kepastian hukum lahir dari norma yang sudah menjadi hukum positif, yaitu UU PT. Bahwa ketentuan Pasal 142 ayat (2) huruf a dan ayat (3) UU PT yang mengatur peran likuidator justru memberikan perlindungan dan jaminan kepastian hukum dalam melakukan likuidasi dalam hal terjadi pembubaran perseroan.
Bahwa ketiadaan pengaturan mengenai likuidator di dalam UU PT tidak serta merta berarti ketentuan tersebut bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Hal tersebut sesuai dengan pertimbangan hukum MK dalam Putusan Perkara PUU Nomor 88/PUU-XV/2017 yang di dalamnya menyatakan: “Perihal belum adanya pengaturan dalam bentuk undang-undang (rechtsvacuum) tentang santunan bagi mereka yang mengalami kecelakaan tunggal, hal itu tidaklah berarti Undang-Undang a quo tidak konstitusional, sebab memang bukan demikian maksud dibentuknya undang-undang ini. Dengan kata lain, perlunya ada pengaturan perihal pemberian santunan bagi mereka yang mengalami kecelakaan tunggal harus dipertimbangkan sebagai bagian dari ius constituendum untuk masa yang akan datang karena adanya tuntutan kebutuhan untuk itu, bukan dengan menyalahkan 70 undang-undang a quo.” ( vide Putusan MK No. 88/PUU-XV/2017: hlm.
Memberitahukan pembubaran Perseroan tersebut kepada Menteri Hukum dan HAM untuk dicatat dalam daftar Perseroan bahwa Perseroan Kurator memiliki tugas sebagai berikut:
Melakukan pengurusan dan/atau pemberesan harta pailit (vide Pasal 69 UU K-PKPU) b. Kurator harus menyampaikan laporan kepada 71 No. Perihal Pengaturan Likuidator Pengaturan Kurator dalam likuidasi; [vide Pasal 147 ayat (1) UU PT] b. Melakukan pemberesan harta Perseroan; [vide Pasal 149 ayat (1) UU PT] c. Atas perintah Pengadilan Negeri, likuidator melakukan penarikan sisa kekayaan hasil likuidasi yang telah dibagikan kepada pemegang saham apabila ada kreditor yang belum mengajukan tagihannya dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak pembubaran Perseroan diumumkan; (vide: Pasal 150 ayat (2) UU PT) d. Membuat laporan pertanggungjawaban atas likuidasi yang dilakukan [vide Pasal 152 ayat (1) UU PT] e. Memberitahukan kepada Menteri Hukum dan HAM hasil akhir proses likuidasi dalam Surat Kabar setelah RUPS memberikan pelunasan dan pembebasan kepada likuidator atau setelah pengadilan menerima pertanggungjawaban likuidator yang ditunjuknya; [vide Pasal 152 ayat (3) UU PT]; dan
Mengumumkan hasil Hakim Pengawas mengenai keadaan harta pailit dan pelaksanaan tugasnya tiap 3 (tiga) bulan. (vide Pasal 74 UU K-PKPU) c. Sejak mulai pengangkatannya, Kurator harus melaksanakan semua upaya untuk mengamankan harta pailit, dan menyimpan semua surat, dokumen, uang, perhiasan, efek, dan surat berharga lainnya dengan memberikan (vide Pasal 98 UU K- PKPU) d. Kurator paling lambat 5 (lima) hari setelah penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 wajib memberitahukan penetapan tersebut kepada semua Kreditor yang alamatnya diketahui dengan surat dan mengumumkannya paling sedikit dalam 2 (dua) surat kabar harian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4). [vide Pasal 114 UU K-PKPU] e. Kurator wajib: • Mencocokkan perhitungan piutang yang diserahkan oleh Kreditor dengan catatan yang 72 No. Perihal Pengaturan Likuidator Pengaturan Kurator akhir proses likuidasi dalam Surat Kabar setelah RUPS memberikan pelunasan dan pembebasan kepada likuidator atau setelah pengadilan menerima pertanggungjawaban likuidator yang ditunjuknya. [vide Pasal 152 ayat (3) UU PT] telah dibuat sebelumnya dan keterangan Debitor pailit; atau • Berunding dengan Kreditor jika terdapat keberatan terhadap penagihan yang diterima [vide Pasal 116 ayat (1) UU K-PKPU] f. Kurator melakukan penjualan harta pailit (vide Pasal 185 UU K-PKPU) g. Kurator melakukan daftar pembagian hasil penjualan harta pailit (vide Pasal 189 UU K-PKPU) 3. Kualifikasi Profesi Tidak diatur Seseorang yang dapat diangkat menjadi likuidator harus memenuhi kualifikasi sebgaai berikut:
Orang-perseorangan yang berdomisili di Indonesia b. Memiliki keahlian khusus yang dibutuhkan dalam rangka mengurus dan/atau membereskan harta pailit;
Dan terdaftar pada kementerian yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang hukum dan peraturan perundang- undangan [vide Pasal 70 ayat (2) UU K- PKPU] 4. Organisasi Profesi Perkumpulan Profesi Likuidator Indonesia a. Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia 73 No. Perihal Pengaturan Likuidator Pengaturan Kurator (PPLI) (AKPI) b. Ikatan Kurator dan Pengurus Indonesia (IKAPI) c. Himpunan Kurator dan Pengurus Indonesia (KHKI) Bahwa anggapan para Pemohon yang menyatakan kejelasan profesi likuidator yang sesungguhnya memiliki kualitas, peran, dan tanggungjawab yang sama dengan kurator adalah anggapan yang keliru karena profesi likuidator yang diatur dalam UU PT memiliki kedudukan, peran dan tanggung jawab yang berbeda dengan profesi kurator yang diatur dalam UU KPKPU. Dengan demikian tidak tepat dan tidak berdasar apabila Para Pemohon hendak menyamakan peran dan tanggung jawab antara kedudukan likuidator yang jelas berbeda dengan kurator yang diatur dalam UU yang berbeda. Merujuk pendapat Prof. Soediman Kartohadiprodjo yang menyatakan bahwa, “ Menyamakan sesuatu yang tidak sama, sama tidak adilnya dengan membedakan yang sama.” (Pers dan Kaum Perempuan di Indonesia: Bagir Manan: hlm. 8). Demikian juga yang dinyatakan oleh Laica Marzuki bahwa ketidakadilan ( ungenrechtigkeit ) bukan hanya membedakan dua hal yang sama, tetapi juga menyamakan dua hal yang berbeda (Putusan MK Nomor 1/PUU- X/2012: hlm. 84). Bagir Manan juga menyatakan hal yang serupa dengan Prof. Soediman Kartohadiprodjo dan Laica Marzuki, yaitu: “Ada adagium lama yang diketahui oleh setiap ahli hukum yang mengatakan, “Menyamakan sesuatu yang berbeda atau tidak sama, sama tidak adilnya dengan membedakan yang sama.” Dengan bahasa yang lebih mudah, dalam keadaan tertentu membedakan atau unequal treatment itu, justru merupakan syarat dan cara mewujudkan keadilan, sebaliknya dalam keadaan tertentu membuat segala sesuatu serba sama sedangkan didapati berbagai perbedaan juga akan menimbulkan dan melukai rasa keadilan. Kalau demikian, apakah ada syarat objektif agar suatu perbedaan 74 atau unequal itu menjadi syarat untuk mewujudkan keadilan.” (vide Putusan MK Nomor 1/PUU-X/2012: hlm.57) 4) Bahwa para Pemohon dalam perbaikan permohonan a quo menyatakan bahwa Pasal 142 ayat (3) UU PT berpotensi menimbulkan konflik bagi para pihak yang berkepentingan ( conflict of interest ) dan dianggap bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Bahwa terhadap pernyataan para Pemohon tersebut, DPR-RI berpandangan bahwa dalam hal adanya potensi konflik bagi para pihak yang berkepentingan sudah diatur dalam UU PT, terutama bagi kreditor. Bahwa ketentuan yang mengatur penyelesaian adanya potensi konflik tersebut diatur dalam Pasal 149 ayat (3) dan ayat (4) serta Pasal 150 ayat (1) dan ayat (2) UU PT, yang berketentuan sebagai berikut: Pasal 149 ayat (3) dan ayat (4) (3) Kreditor dapat mengajukan keberatan atas rencana pembagian kekayaan hasil likuidasi dalam jangka waktu paling lambat 60 (enam) puluh hari terhitung sejak tanggal pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b. (4) Dalam hal pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditolak oleh likuidator, kreditor dapat mengajukan gugatan ke pengadilan negeri dalam jangka waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal penolakan. Pasal 150 ayat (1) dan ayat (2) (1) Kreditor yang mengajukan tagihan sesuai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 147 ayat (3), dan kemudian ditolak oleh likuidator dapat mengajukan gugatan ke pengadilan negeri dalam jangka waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal penolakan. (2) Kreditor yang belum mengajukan tagihannya dapat mengajukan melalui pengadilan negeri dalam jangka waktu 2 (dua) tahun terhitung sejak pembubaran Perseroan diumumkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 147 ayat (1). Bahwa berdasarkan pandangan tersebut diatas, ketentuan Pasal 142 ayat (2) huruf a dan ayat (3) UU PT yang mengatur pembubaran, 75 likuidasi, dan berakhirnya status badan hukum perseroan adalah ketentuan yang memberikan jaminan perlindungan kepastian hukum dan kesamaan kedudukan setiap orang di dalam hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Karenanya, ketentuan pasal a quo UU PT tidak bertentangan dengan UUD 1945. __ Bahwa berdasarkan dalil tersebut di atas, DPR RI memohon agar kiranya Majelis Hakim Konstitusi memberikan amar putusan sebagai berikut:
Menyatakan bahwa para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) sehingga permohonan a quo harus dinyatakan tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard );
Menolak permohonan a quo untuk seluruhnya atau setidak-setidaknya permohonan a quo tidak dapat diterima;
Menerima keterangan DPR RI secara keseluruhan;
Menyatakan Pasal 142 ayat (2) huruf a dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Menyatakan Pasal 142 ayat (2) huruf a dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas tetap memiliki kekuatan hukum mengikat. Apabila Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya ( ex aequo et bono ). [2.5] Menimbang bahwa Mahkamah telah membaca kesimpulan yang disampaikan oleh para Pemohon yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 18 Oktober 2018, yang pada pokoknya tetap pada pendiriannya. [2.6] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, segala sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam berita acara persidangan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini. 76 3. PERTIMBANGAN HUKUM Kewenangan Mahkamah [3.1] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya disebut UU MK), dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076), Mahkamah berwenang, antara lain, mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang- undang terhadap UUD 1945; [3.2] Menimbang bahwa oleh karena permohonan para Pemohon adalah permohonan untuk menguji konstitusionalitas norma Undang-Undang, in casu Pasal 142 ayat (2) huruf (a) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756, selanjutnya disebut UU 40/2007) terhadap UUD 1945, maka Mahkamah berwenang untuk mengadili Permohonan a quo ; Kedudukan Hukum ( Legal Standing) Pemohon [3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang, yaitu:
perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama); 77 b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
badan hukum publik atau privat; atau
lembaga negara; Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan terlebih dahulu:
kedudukannya sebagai para Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK;
ada tidaknya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian dalam kedudukan sebagaimana dimaksud pada huruf a; [3.4] Menimbang bahwa Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 tanggal 20 September 2007 serta putusan-putusan selanjutnya, telah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu:
adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh para Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab-akibat antara kerugian dimaksud dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; 78 [3.5] Menimbang bahwa berdasarkan uraian ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK dan syarat-syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana diuraikan di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan kedudukan hukum para Pemohon sebagai berikut:
Bahwa norma undang-undang yang dimohonkan pengujian dalam Permohonan a quo adalah Pasal 142 ayat (2) huruf a dan ayat (3) UU 40/2007, yang rumusannya sebagai berikut: Pasal 142 ayat (2) huruf a UU 40/2007: Dalam hal terjadi pembubaran Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat _(1): _ _a. wajib diikuti dengan likuidasi yang dilakukan oleh likuidator atau kurator; dan _ Pasal 142 ayat (3) UU 40/2007: “ Dalam hal pembubaran terjadi berdasarkan keputusan RUPS, jangka waktu berdirinya yang ditetapkan dalam anggaran dasar telah berakhir atau dengan dicabutnya kepailitan berdasarkan keputusan pengadilan niaga dan RUPS tidak menunjuk likuidator , Direksi bertindak selaku likuidator.” 2. Bahwa para Pemohon dalam Permohonan a quo masing-masing adalah:
M. Achsin (Pemohon I);
Indra Nur Cahya (Pemohon II);
Eddy Hary Susanto (Pemohon III);
Anton Silalahi (Pemohon IV);
Manonga Simbolon (Pemohon V);
Toni Hendarto (Pemohon VI);
Handoko Tomo (Pemohon VII).
Bahwa berkaitan dengan kedudukan hukum, Pemohon I sampai dengan Pemohon VII menjelaskan dirinya sebagai perseorangan warga Negara Indonesia yang taat membayar pajak dan berprofesi sebagai likuidator yang tergabung dalam Perkumpulan Profesi Likuidator Indonesia (PPLI). Para Pemohon menganggap hak konstitusionalnya sebagai perseorangan warga Negara Indonesia (WNI) dirugikan oleh berlakunya Pasal 142 ayat (2) huruf a dan ayat (3) UU 40/2007, dengan argumentasi yang pada pokoknya sebagai berikut: 79 a. Pemohon I sampai dengan Pemohon VII adalah WNI yang berprofesi sebagai likuidator telah mengikuti kegiatan untuk membentuk likuidator yang profesional. Menurut Pemohon I sampai dengan VII, serangkaian wewenang yang diberikan oleh UU 40/2007 terhadap likuidator dalam melaksanakan tindakan likuidasi perseroan tidak dapat dilaksanakan secara profesional apabila tidak dibekali dengan dasar kemampuan dan keahlian yang mumpuni. Oleh karena itu Pemohon I sampai dengan Pemohon VII menganggap bahwa Pasal 142 ayat (2) huruf a dan ayat (3) UU 40/2007 belum mengakomodir kriteria seseorang yang layak menjadi likuidator;
Bahwa Pasal 142 ayat (2) huruf a dan ayat (3) UU 40/2007 tidak memiliki rumusan yang jelas terhadap kata “likuidator“. Hal tersebut berakibat kurangnya atau hilangnya perlindungan hukum Pemohon I sampai dengan Pemohon VII ketika sedang menjalankan tugas sebagai likuidator, sehingga dalam melaksanakan profesinya, likuidator tidak memiliki jaminan kepastian hukum yang adil;
Menurut Pemohon I sampai dengan Pemohon VII dalam menerangkan kedudukan hukumnya, bangsa dan negara juga mengalami kerugian yang nyata karena Pasal 142 ayat (2) huruf a dan ayat (3) UU 40/2007 belum mengandung kepastian hukum terhadap kata “likuidator”, sehingga akan mengganggu pencapaian tujuan dari dibentuknya UU 40/2007 tersebut, yaitu untuk lebih meningkatkan pembangunan perekonomian nasional. Selain itu menurut para Pemohon, pelaksanaan likuidasi yang tidak dilakukan oleh likuidator yang profesional dan memiliki kualifikasi tertentu dapat berakibat tidak tercapainya peningkatan pembangunan perekonomian nasional yang diharapkan, bahkan mengalami penurunan. Berdasarkan uraian argumentasi Pemohon I sampai dengan Pemohon VII pada huruf a sampai dengan huruf c di atas di dalam menjelaskan kedudukan hukumnya, Mahkamah setelah mencermati dengan seksama, yaitu anggapan Pemohon I sampai dengan Pemohon VII adanya pertentangan Pasal 142 ayat (2) huruf a dan ayat (3) UU 40/2007 dengan UUD 1945 khususnya jaminan kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama, menurut Mahkamah Pemohon I sampai dengan Pemohon VII telah dengan jelas menguraikan 80 secara spesifik hak konstitusionalnya yang merasa telah dirugikan oleh berlakunya Pasal 142 ayat (2) huruf a dan ayat (3) UU 40/2007. Anggapan kerugian konstitusionalitas yang dialami Pemohon I sampai dengan Pemohon VII dimaksud tampak adanya hubungan kausalnya dengan norma Undang- Undang yang dimohonkan pengujian ( in casu Pasal 142 ayat (2) huruf (a) dan ayat (3) UU 40/2007) dan sebagai akibatnya telah jelas adanya konsekuensi logis, bahwa apabila Permohonan a quo dikabulkan maka kerugian hak konstitusional dimaksud tidak akan atau tidak lagi terjadi. Oleh karena itu terlepas beralasan atau tidaknya secara hukum permohonan Pemohon I sampai dengan Pemohon VII, Mahkamah berpendapat bahwa Pemohon I sampai dengan Pemohon VII memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam Permohonan a quo ; [3.6] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili Permohonan a quo dan Pemohon I sampai dengan Pemohon VII memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam Permohonan a quo (selanjutnya disebut sebagai para Pemohon), maka Mahkamah akan mempertimbangkan pokok Permohonan para Pemohon. Pokok Permohonan [3.7] Menimbang bahwa para Pemohon mengajukan pengujian konstitusionalitas norma dalam Pasal 142 ayat (2) huruf a dan ayat (3) UU 40/2007 yang menurut para Pemohon bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, dengan mengemukakan argumentasi yang pada pokoknya sebagai berikut (argumentasi selengkapnya dari para Pemohon termuat dalam bagian Duduk Perkara Putusan ini):
Bahwa menurut para Pemohon, Pasal 142 ayat (2) huruf a dan ayat (3) UU 40/2007 tidak sejalan dengan semangat kepastian hukum yang adil sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Pasal a quo merupakan sebuah norma yang tidak memberikan kepastian hukum bagi para Pemohon dalam hal kedudukannya sebagai likuidator. Ketentuan Pasal a quo membuat profesi likuidator diperlakukan sebagai “anak tiri” dalam melakukan likuidasi perseroan. Pemikiran tersebut lahir karena para Pemohon melihat bahwa pasal a quo tidak memberikan perlakuan yang sama di hadapan hukum 81 (undang-undang). Padahal sesungguhnya Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum ”, namun pasal a quo justru menafikan pesan dari Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;
Bahwa masih menurut para Pemohon, persamaan kedudukan antarwarga negara tidak bisa dibatasi oleh adanya batas kesukuan, agama, dan ras, termasuk keprofesian. Oleh karenanya, setiap ketentuan perundang-undangan harus mengakomodir makna yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, agar ketentuannya memiliki makna adanya persamaan di hadapan hukum antar sesama warga negara. Bahwa menurut para Pemohon ketentuan mengenai kedudukan likuidator setara dengan kurator dapat dilihat dalam Pasal 142 ayat (2) huruf a UU 40/2007 yang menyatakan bahwa “Dalam hal _terjadi pembubaran perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
wajib_ diikuti dengan likuidasi yang dilakukan oleh likuidator atau kurator” . Frasa dalam pasal a quo menunjukkan adanya kesetaraan kedudukan antara likuidator dan kurator. Hal ini dapat dilihat dengan jelas dari pilihan kata yang digunakan, yaitu kata “atau”. Penggunaan kata “atau” menunjukkan secara tegas bahwa tidak ada perbedaan kedudukan yang signifikan antara likuidator dengan kurator. Dengan demikian maka selayaknya profesi likuidator diperlakukan sama menurut hukum dengan profesi kurator, baik dalam kejelasan rumusannya maupun kualifikasinya sebagai likuidator;
Bahwa selain terkait dengan eksistensi profesi likuidator, para Pemohon menegaskan bahwa direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 5 UU 40/2007 merupakan organ perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan. Ketentuan Pasal tersebut menunjukkan bahwa sesungguhnya direksi dipersiapkan untuk mengurus dan menjalankan produktivitas perseroan. Hal tersebut bermakna ketika perseroan mengalami kerugian yang mengakibatkan perseroan harus dibubarkan dan tidak terlepas dari peranan direksi yang tidak mampu mengelola perseroan dengan baik. Oleh karena itu, menurut para Pemohon, direksi tidak sepantasnya bertindak sebagai likuidator ketika terjadi pembubaran perseroan; 82 d. Bahwa dalam hal direksi menjalankan fungsi likuidasi, menurut para Pemohon, selain tidak dilaksanakan secara profesional, direksi juga akan mengedepankan kepentingan perseroannya. Segala harta kekayaan perseroan yang semestinya dilikuidasi oleh likuidator dengan mengedepankan prinsip- prinsip keadilan, tidak dilakukan oleh direksi yang bertindak sebagai likuidator tersebut. Kondisi demikian, baik langsung atau tidak, dapat menciderai nama baik profesi likuidator. Dengan demikan, menurut para Pemohon, rumusan Pasal 142 ayat (3) UU 40/2007 tersebut berpotensi menimbulkan benturan kepentingan (conflict of interest) dan mengganggu independensi likuidator . Sehingga, menurut para Pemohon Pasal 142 ayat (3) UU 40/2007 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Bahwa berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, para Pemohon memohon agar Mahkamah menyatakan Pasal 142 ayat (2) huruf a UU 40/2007, sepanjang kata “likuidator”, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai (conditional unconstitutional)[sic!] “ likuidator yang berstatus sebagai warga negara indonesia, memiliki sertifikat keahlian melikuidasi perseroan, dan independen. Dan juga menyatakan Pasal 142 ayat (3) UU 40/2007 bertentangan dengan UUD 1945 (unconstitutional) dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. [3.8] Menimbang bahwa untuk mendukung dalil Permohonannya, para Pemohon telah mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda Bukti P-1 sampai dengan P-18 serta tiga orang ahli, yaitu M. Hadi Shubhan, Efridani Lubis, dan Muchamad Ali Safa’at, serta tiga orang saksi, yaitu Heri Subagyo, Azet Hutabarat, dan Nasrullah Nawawi, yang keterangan selengkapnya sebagaimana termuat pada bagian duduk perkara dan turut dipertimbangkan dalam putusan ini; [3.9] Menimbang bahwa Presiden telah memberikan keterangan tertulisnya pada persidangan tanggal 8 Mei 2018 (keterangan selengkapnya sebagaimana termuat dalam bagian Duduk Perkara dan turut dipertimbangkan dalam putusan ini); [3.10] Menimbang bahwa Dewan Perwakilan Rakyat telah memberikan keterangan tertulisnya pada persidangan tanggal 10 Oktober 2018 (keterangan 83 selengkapnya sebagaimana termuat dalam bagian Duduk Perkara dan turut dipertimbangkan dalam putusan ini); [3.11] Menimbang bahwa Mahkamah setelah membaca dengan seksama permohonan para Pemohon, alat-alat bukti yang diajukan serta keterangan Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat, maka Mahkamah selanjutnya akan mempertimbangkan dalil pokok permohonan para Pemohon; [3.12] Menimbang bahwa untuk memudahkan di dalam menjawab isu pokok permohonan yang dipersoalkan oleh para Pemohon, Mahkamah akan mengindentifikasi isu krusial yang dipersoalkan para Pemohon. Setelah membaca dengan saksama dalil pokok permohonan para Pemohon, terdapat 2 (dua) isu mendasar berkaitan dengan konstitusionalitas norma yang dipermasalahkan oleh para Pemohon, yaitu: Pertama , apakah dengan tidak adanya definisi dan persyaratan sebagai likuidator dalam UU 40/2007 menyebabkan Pasal 142 ayat (2) huruf a UU 40/2007 menjadi bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945; Kedua , apakah kedudukan direksi sebagai likuidator dalam proses pembubaran perseroan dalam hal RUPS tidak menunjuk likuidator berpotensi menimbulkan benturan kepentingan ( conflict of interest ), tidak mencerminkan prinsip-prinsip keadilan bagi para pihak dalam pembubaran perseroan, persamaan di hadapan hukum antara likuidator dan kurator, serta mencederai profesi likuidator sehingga bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Terhadap kedua isu konstitusional tersebut Mahkamah mempertimbangkan, sebagai berikut: [3.12.1] Bahwa sebelum menjawab isu pokok yang pertama, yaitu berkenaan inkonstitusionalitas Pasal 142 ayat (2) huruf a, penting bagi Mahkamah menguraikan tentang esensi pentingnya dibentuk UU 40/2007. Meskipun secara lebih luas dikaitkan dengan semangat dalam rangka pembangunan perekonomian nasional yang harus diselenggarakan berdasarkan demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta menjaga keseimbangan kemajuan 84 dan kesatuan ekonomi nasional. Namun pada dasarnya perekonomian nasional tersebut bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat sebagaimana amanat Pembukaan UUD 1945. Dalam konteks peningkatan pembangunan perekonomian nasional tersebutlah esensi pentingnya ada dukungan suatu ketentuan yang mengatur tentang dunia usaha yang merupakan salah satu pilar untuk melakukan peningkatan dimaksud, yang antara lain ketentuan mengenai bentuk usaha perseroan terbatas yang dapat menjamin iklim dunia usaha yang kondusif. Dalam Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas (UU 40/2007) ketentuan mengenai pembubaran, likuidasi, dan berakhirnya status badan hukum perseroan diatur secara tegas dan rigit serta selalu memperhatikan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Hal demikian tidak terlepas dari semangat agar dengan pengaturan yang komprehensif yang melingkupi berbagai aspek perseroan, termasuk permasalahan pembubaran perseroan maka UU 40/2007 diharapkan memenuhi kebutuhan hukum masyarakat serta lebih memberikan kepastian hukum, khususnya kepada dunia usaha. Bahwa pada sisi yang berbeda perkembangan perekonomian dan perdagangan serta pengaruh globalisasi yang melanda dunia usaha dewasa ini dan mengingat modal yang dimiliki oleh para pengusaha pada umumnya sebagian merupakan pinjaman yang berasal dari berbagai sumber, baik dari bank atau penanaman modal, yang semua itu dapat menimbulkan permasalahan hukum khususnya dalam hal penyelesaian utang-piutang dalam masyarakat, termasuk utang perseroan, maka permasalahan utang-piutang yang dimiliki oleh perseroan apabila tidak dapat diselesaikan dengan memenuhi prinsip kepastian hukum dan keadilan, sehingga hal tersebut dapat berakibat perseroan menjadi tumbuh dalam dunia yang tidak sehat dan dengan mudah banyak perseroan collapse atau pailit. Oleh karena itu, hal-hal yang berkaitan dengan persoalan perseroan, termasuk salah satu di dalamnya proses penyelesaian utang yang diakibatkan bubarnya sebuah perseroan, dibutuhkan instrumen hukum yang berkepastian dan berkeadilan, yang juga di dalamnya mengatur persoalan integritas dan profesionalitas pihak-pihak yang terlibat dalam proses penyelesaian atau pemberesan perseroan pada saat ada pembubaran (likuidasi) perseroan; 85 [3.12.2] Bahwa berkenaan dengan dalil para Pemohon yang berpendapat seorang likuidator harus warga negara Indonesia, memiliki sertifikat keahlian melikuidasi perseroan dan independen, Mahkamah berpendapat sesungguhnya Pasal 142 ayat (2) huruf a UU 40/2007 yang dipermasalahkan para Pemohon mengatur mengenai “pembubaran perseroan wajib diikuti dengan likuidasi yang dilakukan oleh likuidator atau kurator”. Apabila dicermati dengan seksama semangat dan pesan dari norma pasal a quo adalah sederhana dan dapat ditangkap dengan mudah, yaitu bahwa apabila sebuah perseroan terjadi pembubaran sebagaimana yang diatur dalam Pasal 142 ayat (1) UU 40/2007, maka harus diikuti proses likuidasi dan sebagai subjek hukum yang melaksanakan proses likuidasi tersebut adalah likuidator atau kurator. Selanjutnya terhadap norma pasal a quo apabila mengikuti argumentasi para Pemohon yang menghendaki likuidator harus warga negara Indonesia dan mempunyai sertifikat keahlian melikuidasi perseroan serta independen, maka Mahkamah dapat menangkap kehendak para Pemohon adalah syarat-syarat tersebut dikhususkan untuk likuidator selain yang dilaksanakan oleh kurator. Hal demikian mengingat kurator pada saat menjalankan fungsinya sebagai likuidator telah melekat syarat-syarat tersebut pada seorang kurator ketika yang bersangkutan diangkat dan menjalankan tugas sebagai kurator. Hal ini dipertegas oleh ketentuan bahwa tugas seorang kurator adakalanya melekat juga sebagai likuidator, yang secara tegas kewenangan tersebut diberikan oleh undang-undang. Bahwa pertanyaan lebih lanjut yang harus dijawab adalah bagaimana dengan syarat-syarat tersebut yang harus dimiliki seorang likuidator yang bukan dilaksanakan oleh seorang kurator. Terhadap hal ini, sebelum mempertimbangkan lebih lanjut dalil para Pemohon a quo , menurut Mahkamah oleh karena salah satu syarat likuidator yang dimohonkan para Pemohon harus warga negara Indonesia berkaitan erat dengan dalil permohonan para Pemohon ihwal inkonstitusionalitas Pasal 142 ayat (3) UU 40/2007, maka syarat likuidator harus warga negara Indonesia akan dipertimbangkan bersama-sama dengan pertimbangan hukum Mahkamah pada saat mempertimbangkan dalil para Pemohon yang berkaitan dengan isu pokok yang kedua yaitu berkaitan dengan inkonstitusionalitas Pasal 142 ayat (3) UU 40/2007 tersebut, yang berkenaan permohonan para Pemohon yang menyatakan likuidator yang dijalankan oleh direksi adalah inkonstitusional. Dengan kata lain, direksi tidak boleh menjalankan fungsi likuidator karena menurut 86 para Pemohon dapat berakibat adanya __ benturan kepentingan ( conflict of interest ), tidak mencerminkan prinsip-prinsip keadilan bagi para pihak dalam pembubaran perseroan, persamaan di hadapan hukum antara likuidator dan kurator, serta mencederai profesi likuidator. Oleh karena itu berkenaan dengan syarat lainnya yang dihendaki para Pemohon, yaitu likuidator harus mempunyai sertifikat keahlian melikuidasi perseroan dan independen, Mahkamah akan mempertimbangkan lebih lanjut; [3.12.3] Bahwa sebelum Mahkamah sampai pada kesimpulan dalam mempertimbangkan dalil para Pemohon berkaitan dengan syarat likuidator harus mempunyai sertifikat keahlian melikuidasi perseroan dan independen, penting rasanya bagi Mahkamah untuk menelisik tentang esensi dari pada batas-batas tugas dan wewenang seorang likuidator yang melaksanakan penyelesaian likuidasi sebuah perseroan. Ada perbedaan yang signifikan antara tugas dan wewenang bagi likuidator di dalam menyelesaikan proses likuidasi terhadap perseroan yang dinyatakan bubar karena keputusan RUPS, karena jangka waktu berdirinya yang ditetapkan dalam anggaran dasar telah berakhir atau dengan dicabutnya kepailitan berdasarkan putusan pengadilan niaga, maka dalam hal yang demikian subyek hukum yang berwenang melaksakan proses likuidasi adalah likuidator yang diangkat RUPS. Sementara itu, terhadap perseroan yang pembubarannya terjadi karena harta pailit perseroan dinyatakan pailit berada dalam keadaan insolvensi, ataupun untuk pembubaran perseroan karena penetapan pengadilan yang diminta oleh para pihak yang berkepentingan, maka hal yang demikian pelaksanaan proses likuidasi dilakukan oleh kurator yang diangkat oleh pengadilan dan kemudian beralih mengambil tugas dan wewenang sebagai likuidator, termasuk likuidator yang ditunjuk sebagai akibat adanya penetapan tersebut; Bahwa dengan merujuk pada adanya perbedaan perlakuan terhadap pembubaran perseroan dalam menyelesaikan proses likuidasi tersebut di atas, maka sesungguhnya ada tugas dan fungsi likuidator yang dapat dilihat pada sisi tahapannya dan pada sisi substansi yang harus diselesaikan. Pada sisi tahapannya, tugas likuidator pada hakikatnya adalah proses penyelesaian likuidasi yang dilakukan oleh likuidator setelah perseroan dinyatakan dalam likuidasi (pembubaran), oleh karena itu tampak bahwa seseorang sebagai subyek hukum yang ditunjuk dan diangkat menjadi penyelengara likuidasi adalah likuidator yang 87 menjalankan tugas dan fungsinya sejak perseroan dinyatakan bubar dan dalam keadaan likuidasi. Selanjutnya dari sisi substansi, yang menjadi tugas dan wewenang likuidator yang harus diselesaikan adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 149 ayat (1) UU 40/2007, yaitu pencatatan dan pengumpulan kekayaan dan utang perseroan; pengumuman dalam surat kabar dan Berita Negara Republik Indonesia mengenai rencana pembagian kekayaan hasil likuidasi; pembayaran kepada para kreditor; pembayaran sisa kekayaan hasil likuidasi kepada pemegang saham; dan tindakan lain yang perlu dilakukan dalam pelaksanaan pemberesan kekayaan. Bahwa mencermati tugas dan wewenang likuidator sebagaimana diuraikan di atas, sesungguhnya hakikat tugas dan wewenang likuidator adalah menjalankan fungsi dan wewenang yang merupakan bagian tugas lanjutan yang menggantikan tugas dan wewenang organ perseroan khususnya tugas dan wewenang direksi (dalam keadaan perseroan normal) yang oleh karena perintah undang-undang terhadap perseroan yang dinyatakan bubar dan dalam keadaan likuidasi penyelesaian atau pemberesannya harus diambil alih oleh likuidator. Esensi sesungguhnya yang terjadi adalah segala urusan yang berkaitan dengan perseroan dilaksanakan oleh likuidator yang harus bertanggung jawab penuh terhadap penyelesaian segala hal yang berkaitan dengan likuidasi, bahkan likuidator dapat dituntut untuk menanggung segala resiko yang timbul atas kelalaiannya yang dapat berakibat ruginya perseroan dan pihak lain termasuk para kreditur (apabila ada), baik tanggung jawab secara pribadi (personal liability) maupun tanggung jawab secara tanggung renteng ( jointly and severally liable ), maka terhadap likuidator dapat dilakukan tuntutan atas kelalaiannya tersebut oleh pihak perseroan dan pihak lain termasuk para kreditur (apabila ada). Terlebih dalam menjalankan tugasnya, likuidator senantiasa diawasi oleh dewan komisaris dan dewan komisaris dapat memberhentikan untuk sementara likuidator yang dianggap lalai dan selanjutnya dapat diberhentikan secara tetap apabila menurut keputusan RUPS pemberhentian sementara likuidator tersebut beralasan; Bahwa dari uraian penjelasan Mahkamah tersebut di atas, maka sebenarnya telah tampak apabila likuidator di dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya untuk melakukan pemberesan terhadap perseroan yang dinyatakan bubar dan dalam likuidasi, tidaklah melaksanakan tugas yang secara substansial menjadi 88 beban mutlak likuidator, akan tetapi pada dasarnya mengambil alih tugas dan wewenang organ perseroan yaitu direksi (dalam keadaan perseroan normal), sehingga tugas dan wewenang likuidator tersebut pada dasarnya adalah melaksanakan pemberesan segala hal yang berkaitan dengan likuidasi dan hal tersebut semata-mata adalah untuk kepentingan perseroan, baik yang menjadi hak dan tanggung jawab perseroan yang dalam keadaan likuidasi tersebut. Oleh sebab itulah, di dalam menjalankan tugas dan wewenangnya seorang likuidator senantiasa di bawah pengawasan dewan komisaris sesuai dengan anggaran dasar. Bahkan, dewan komisaris dapat memberikan nasihat serta memberhentikan untuk sementara waktu apabila likuidator dipandang lalai dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya atau tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan [vide Pasal 142 ayat (6) UU 40/2007 beserta Penjelasannya]. Dengan demikian, fakta ini telah dengan sendirinya menjawab tidak relevannya dalil para Pemohon yang memohon agar Mahkamah memberikan pemaknaan secara bersyarat terhadap Pasal 142 ayat (2) huruf a UU 40/2007, yaitu untuk likuidator agar diberlakukan syarat-syarat harus mempunyai sertifikat kemampuan melikuidasi perseroan dan independen. Terlebih lagi bagi likuidator yang ditunjuk pengadilan untuk menjalankan tugas dan wewenangnya melakukan pemberesan terhadap perseroan yang pembubarannya terjadi karena harta perseroan yang dinyatakan pailit barada dalam keadaan insolvensi, terhadap hal yang demikian pelaksanaan proses likuidasi dilakukan oleh kurator. Fakta yang terakhir ini makin menegaskan bahwa pemberlakuan syarat-syarat bagi likuidator harus mempunyai sertifikat keahlian melikuidasi dan independen sebagaimana yang dimohonkan oleh para Pemohon tersebut semakin tidak relevan; Bahwa di samping pertimbangan hukum di atas, penting bagi Mahkamah untuk menjelaskan bahwa argumentasi para Pemohon yang menyatakan likuidator agar diharuskan mempunyai sertifikat melikuidasi perseroan dan independen adalah tidak sejalan dengan semangat bahwa penyelesaian likuidasi terhadap perseroan yang dalam keadaan bubar, haruslah memberi kebebasan kepada RUPS sebagai organ tertinggi dalam perseroan untuk menggunakan hak pilihnya di dalam menentukan likuidator berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu terutama kemampuan masing-masing perseroan. Hal tersebut tidak dapat dilepaskan dengan hal-hal yang berkenaan dengan pilihan apakah perseroan akan 89 memilih likuidator yang akan ditunjuk, tentu sudah dengan pertimbangan- pertimbangannya. Karena pada dasarnya tugas wewenang seorang likuidator secara substansial adalah melanjutkan tugas dan wewenang direksi, walaupun tugas dan wewenang tersebut bukan dalam hal melakukan perbuatan hukum baru atas nama perseroan. Sehingga dengan demikian sesungguhnya hakikat yang harus dimiliki oleh seorang likuidator adalah kompetensi dan integritas yang hal tersebut tidak boleh berakibat membatasi siapapun untuk bisa menjadi likuidator tanpa harus ada syarat-syarat sebagaimana yang dikehendaki oleh para Pemohon. Terlebih lagi seorang likuidator dalam menjalankan tugas dan wewenangnya sudah ada pedoman yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan, termasuk di dalamnya regulasi yang mengatur hal-hal pokok dan mendasar serta batasan-batasan yang harus dilaksanakan oleh seorang likuidator hingga hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh perseroan yang dalam proses likuidasi; Bahwa selanjutnya Mahkamah perlu mempertimbangkan argumentasi para Pemohon yang menyatakan perihal adanya perbedaan perlakuan likuidator dengan kurator dan bahkan para Pemohon berpendapat likuidator diperlakukan sebagai anak tiri dan oleh karenanya memohon agar diperlakukan sama. Terhadap hal ini Mahkamah perlu menegaskan bahwa tugas dan kewenangan kurator dengan likuidator sebagaimana telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan berbeda sekalipun dalam hal-hal tertentu ada kalanya keduanya melakukan pekerjaan yang sama yaitu dalam rangka penyelesaian terhadap perseroan yang telah dinyatakan pailit oleh pengadilan niaga yang hingga sampai pada pembubaran perseroan, yaitu dalam hal seorang kurator yang ditunjuk pengadilan untuk pemberesan harta pailit perseroan kemudian berada dalam keadaan insolvensi, maka kurator bertindak sebagai likuidator. Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut UU 37/2004) menyatakan kurator adalah Balai Harta Peninggalan atau orang perseorangan yang diangkat oleh Pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta Debitor Pailit di bawah pengawasan Hakim Pengawas sesuai dengan undang-undang. Sedangkan likuidator adalah orang yang ditunjuk atau diangkat menjadi penyelenggara likuidasi, baik diangkat oleh RUPS atau pengadilan sepanjang berkaitan dengan 90 perseroan yang awalnya dinyatakan pailit atau penetapan pengadilan atas permintaan para pihak yang berkepentingan; Selanjutnya terlepas dari adanya perbedaan dan persamaan dalam hal-hal tertentu sebagaimana diuraikan tersebut di atas, Mahkamah berpendapat, secara substansi terdapat perbedaan yang mendasar antara tugas dan wewenang kurator dengan likuidator. Kurator adalah subjek hukum yang melaksanakan tugas dan wewenang untuk melakukan pengurusan dan pemberesan terhadap harta pailit perseroan yang kepadanya diberi kewenangan penuh untuk melakukan segala tindakan hukum terhadap hal-hal yang berkaitan dengan harta pailit perseroan hingga kemudian terhadapnya dapat ditunjuk menjadi likuidator apabila harta pailit dalam keadaan insolvensi dan perseroan harus dibubarkan. Oleh karena itu sejatinya likuidator yang diangkat oleh pengadilan hanya menjalankan tugas dan wewenang setelah kurator menjalankan tugas dan wewenang mengurus dan membereskan harta pailit perseroan dan dalam keadaan insolvensi, baru kemudian kurator dapat melanjutkan tugas dan wewenangnya, namun fungsinya berubah sebagai likuidator. Sementara itu, untuk likuidator yang diangkat oleh RUPS, sesungguhnya menjalankan tugas dan wewenangnya membereskan harta perseroan sejak diangkat oleh RUPS dan dalam melaksanakan tugasnya dapat setiap saat diawasi dan diberi nasihat oleh dewan komisaris serta ruang lingkup tugas dan wewenangnya pada dasarnya adalah sama dengan tugas dan wewenang direksi (dalam keadaan perseroan normal); Bahwa dari uraian tersebut di atas, tampak jelas perbedaan esensial antara tugas dan wewenang kurator dan likuidator. Inilah alasan sebenarnya syarat-syarat untuk menjadi kurator diatur secara ketat dibandingkan syarat-syarat untuk menjadi likuidator. Dengan kata lain, subyek hukum yang dapat menjadi kurator adalah orang yang benar-benar telah memenuhi ketentuan peraturan perundang- undangan, khususnya Pasal 3 ayat (1), Pasal 4, dan Pasal 5 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 18 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata Cara Pendaftaran Kurator dan Pengurus, sedangkan untuk likuidator dapat dilaksanakan oleh siapapun yang ditunjuk oleh RUPS atau likuidator khusus yang ditunjuk pengadilan karena berkaitan dengan kepailitan atau penetapan pengadilan atas permintaan para pihak yang berkepentingan . Namun demikian 91 penting bagi Mahkamah untuk mengingatkan bahwa siapapun yang akan menjadi likuidator tetap harus membekali diri dengan kompetensi dan integritas; Bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, dalil para pemohon berkenaan dengan Pasal 142 ayat (2) huruf a UU 40/2007, sepanjang syarat likuidator harus mempunyai sertifikat keahlian melikuidasi perseroan dan independen tidaklah beralasan menurut hukum; [3.12.4] Bahwa terkait dalil para Pemohon selebihnya yang menyatakan dalam hal direksi menjalankan fungsinya sebagai likuidator, selain tidak dilaksanakan secara profesional, direksi juga akan mengedepankan kepentingan perseroannya. Menurut para Pemohon, alasan di antaranya adalah harta kekayaan perseroan yang semestinya dilikuidasi oleh likuidator dengan mengedepankan prinsip-prinsip keadilan, tidak dilakukan oleh direksi yang bertindak sebagai likuidator tersebut. Kondisi demikian, baik langsung atau tidak, dapat mencederai nama baik profesi likuidator. Dengan demikan, menurut para Pemohon rumusan Pasal 142 ayat (3) UU 40/2007 tersebut berpotensi menimbulkan benturan kepentingan (conflict of interest) dan mengganggu independensi likuidator; Terhadap dalil para Pemohon tersebut, Mahkamah berpendapat sebagaimana telah dipertimbangkan dalam pertimbangan hukum pada Paragraf [3.12.3] bahwa tugas dan wewenang likuidator sebenarnya mengambil alih tugas dan tanggung jawab direksi (dalam keadaan perseroan normal), karena sesungguhnya yang lebih tahu segala hal berkaitan dengan perseroan adalah direksi. Namun, oleh karena undang-undang menentukan terhadap pembubaran perseroan harus diikuti likuidasi yang dilakukan oleh likuidator yang diangkat oleh RUPS, maka dengan demikian semangat penyelesaian atau pemberesan terhadap perseroan yang dalam keadaan likuidasi sesungguhnya lebih tepat dilaksanakan oleh direksi. Hal ini sejalan dengan pilihan subjek hukum oleh RUPS yang dapat melaksanakan likuidasi adalah direksi apabila RUPS tidak menunjuk likuidator [vide Pasal 142 ayat (3) UU 40/2007]. Sehingga pilihan RUPS untuk mengangkat atau tidak mengangkat likuidator yang berasal dari direksi merupakan bentuk pilihan dengan alasan efektivitas dan sekaligus bisa juga karena pertimbangan efisiensi mengingat perseroan yang dalam keadaan likuidasi kerapkali kondisi keuangannya sudah tidak sehat atau pilihan RUPS mengangkat likuidator yang 92 bukan direksi adalah karena pertimbangan pembubaran perseroan disebabkan salah satunya adalah adanya salah urus oleh direksi ( mismanagement) ; Bahwa dengan uraian fakta tersebut menurut Mahkamah lebih lanjut, argumentasi para Pemohon yang berpendapat likuidator yang dilaksanakan oleh direksi tidak independen dan adanya benturan kepentingan ( conflict of interest ) __ adalah argumentasi yang mengandung kekhawatiran yang berlebihan dan tidak berdasar, mengingat dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya baik likuidator yang dilakukan oleh direksi maupun oleh likuidator yang diangkat oleh RUPS selalu diawasi dan dapat diberi nasihat oleh dewan komisaris serta dapat sewaktu-waktu diberhentikan sementara apabila diduga telah lalai menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dan bahkan diberhentikan secara tetap apabila alasan pemberhentian sementara oleh dewan komisaris diterima dalam RUPS. Terlebih lagi selain adanya pengawasan dan adanya sanksi-sanksi pemberhentian baik sementara maupun tetap tersebut juga adanya sanksi lainnya atas kelalaian yang dilakukan likuidator baik yang berasal dari direksi maupun likuidator yang diangkat oleh RUPS yang menimbulkan kerugian baik perseroan maupun pihak lain, termasuk para kreditur (apabila ada) yang diakibatkan oleh kelalaian likuidator tersebut tetap saja dapat dituntut, baik secara pribadi (personal liability) maupun secara tanggung renteng ( jointly and severally liable ) apabila likuidator tersebut lebih dari seorang yang merugikan perseroan, pihak lain termasuk para kreditur (apabila ada); Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, Mahkamah tidak sependapat dengan dalil para Pemohon yang menyatakan likuidator yang dilaksanakan oleh direksi adalah tidak independen dan berakibat adanya benturan kepentingan (confict of interest), apalagi dikatakan tidak dapat mencerminkan prinsip-prinsip keadilan karena lebih mengedepankan kepentingan perseroan. Dengan uraian pertimbangan hukum a quo maka dalil para Pemohon tersebut harus dikesampingkan. Sementara itu oleh karena Mahkamah berpendapat direksi adalah subjek hukum yang dapat menjadi likuidator sepanjang undang-undang atau peraturan lainnya tidak melarang jabatan direksi dijabat oleh warga negara yang bukan warga negara Indonesia, maka sebagai konsekuensi yuridisnya tidak ada larangan direksi yang bukan warga negara Indonesia sepanjang yang bersangkutan menjabat sebagai direksi sebuah perseroan di 93 Indonesia, maka yang bersangkutan dapat menjalankan tugas dan wewenang sebagai likuidator. Dengan demikian uraian pertimbangan hukum Mahkamah ini sekaligus menjawab dalil para Pemohon yang menghendaki likuidator harus warga negara Indonesia sebagaimana yang dikehendaki oleh para Pemohon berkenaan dengan inkonstitusionalitas Pasal 142 ayat (2) huruf a UU 40/2007; Bahwa dengan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, Mahkamah berpendapat dalil para Pemohon berkaitan dengan likuidator harus warga negara Indonesia dan direksi tidak dapat bertindak sebagai likuidator, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 142 ayat (3) UU 40/2007, adalah tidak beralasan menurut hukum; [3.13] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum.
KONKLUSI Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan: [4.1] Mahkamah berwenang mengadili permohonan _a quo; _ [4.2] Para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan Permohonan a quo ; [4.3] Pokok Permohonan tidak beralasan menurut hukum. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), dan Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076); 94 5. AMAR PUTUSAN Mengadili, Menolak Permohonan para Pemohon untuk seluruhnya. Demikian diputus dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Anwar Usman selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto, Saldi Isra, I Dewa Gede Palguna, Wahiduddin Adams, Suhartoyo, Arief Hidayat, Enny Nurbaningsih, dan Manahan M.P. Sitompul, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Rabu, tanggal sembilan belas, bulan Desember, tahun dua ribu delapan belas , yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Kamis, tanggal empat belas, bulan Februari, tahun dua ribu sembilan belas , selesai diucapkan pukul 14.01 WIB , oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Anwar Usman selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto, Arief Hidayat, Manahan M.P. Sitompul, Suhartoyo, Saldi Isra, I Dewa Gede Palguna, Wahiduddin Adams, dan Enny Nurbaningsih, masing-masing sebagai Anggota, dengan dibantu oleh Achmad Edi Subiyanto sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh para Pemohon/kuasanya, Presiden atau yang mewakili, dan Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili. KETUA, ttd. Anwar Usman ANGGOTA-ANGGOTA, ttd. Aswanto ttd. Arief Hidayat ttd. Manahan M.P. Sitompul ttd. Suhartoyo 95 ttd. Saldi Isra ttd. I Dewa Gede Palguna ttd. Wahiduddin Adams ttd. Enny Nurbaningsih PANITERA PENGGANTI, ttd. Achmad Edi Subiyanto
Tata Cara Pencairan Dana Kegiatan Capacity Building Program Kreditanstalt Fur Wiederaufbau-Industrial Efficiency And Pollution Control Tahap I. ...
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Program Kreditanstalt fur Wiederaufbau-Industrial Efficiency And Pollution Control Tahap I yang selanjutnya disebut Program KfW-IEPC I adalah program yang bersumber dari hibah Kreditanstalt fur Wiederaufbau (KfW) yang dipinjamkan oleh Pemerintah c.q. Kementerian Keuangan kepada bank pelaksana untuk membiayai kegiatan investasi yang berorientasi lingkungan hidup dalam rangka pengendalian polusi dan efisiensi industri.
Dana Capacity Building adalah dana yang berasal dari penyisihan sebesar 33% (tiga puluh tiga perseratus) atas bunga pinjaman IEFC Tahap I yang disetor oleh bank pelaksana kepada Pemerintah.
Kegiatan Capacity Building adalah kegiatan yang dibiayai oleh Dana Capacity Building dalam rangka peningkatan efektivitas dan keberlanjutan pengelolaan pinjaman lunak di bidang lingkungan hidup, peningkatan kemampuan baik bank pelaksana, Kementerian Lingkungan Hidup, maupun Kementerian Keuangan dalam memasukkan isu lingkungan hidup dalam pembiayaan perbankan, serta peningkatan pengetahuan dan kemampuan nasabah dalam pengelolaan lingkungan hidup.
Bank Pelaksana adalah bank yang menyalurkan dana pinjaman Program KfW-IEPC I, __ yang terdiri dari Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten, Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah, Bank Pembangunan Daerah Bali, Bank Nagari, dan Bank Negara Indonesia kepada nasabah dari kalangan usaha kecil dan menengah.
Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran yang selanjutnya disingkat DIPA adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang disusun oleh menteri/pimpinan lembaga selaku Pengguna Anggaran atau Kuasa Pengguna Anggaran dan disahkan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara yang berfungsi sebagai dasar pelaksanaan pembiayaan kegiatan serta dokumen pendukung kegiatan akuntansi Pemerintah.
Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat PA adalah pejabat yang memiliki kewenangan atas penggunaan anggaran pada kementerian negara/lembaga/satuan kerja perangkat daerah yang bertanggung jawab secara formal dan material kepada Presiden/Gubernur/Bupati/Walikota atas pelaksanaan kebijakan anggaran yang berada dalam penguasaannya.
Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat KPA adalah pejabat yang memperoleh kewenangan dan tanggung jawab dari PA untuk menggunakan anggaran yang dikuasakan kepadanya.
Pejabat Pembuat Komitmen yang selanjutnya disingkat PPK adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh PA atau KPA untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan yang dapat mengakibatkan pengeluaran atas beban belanja negara.
Pejabat Penandatangan Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat PP-SPM adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh PA atau KPA untuk melakukan pengujian atas Surat Permintaan Pembayaran dan menerbitkan Surat Perintah Membayar.
Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disingkat KPPN adalah instansi vertikal pada Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang memperoleh kewenangan selaku Kuasa Bendahara Umum Negara (BUN) yang bertanggung jawab kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan.
Surat Permintaan Pembayaran yang selanjutnya disingkat SPP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPK yang berisi permintaan kepada PP-SPM untuk menerbitkan Surat Perintah Membayar sejumlah uang atas beban bagian anggaran yang dikuasainya untuk untung pihak yang ditunjuk dan sesuai syarat-syarat yang ditentukan dalam dokumen perikatan yang menjadi dasar penerbitan SPP berkenaan.
Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat SPM adalah dokumen yang diterbitkan oleh PP-SPM untuk dan atas nama PA atau KPA kepada BUN atau kuasa BUN, berdasarkan SPP untuk melakukan pembayaran sejumlah uang kepada pihak yang ditunjuk dan atas beban anggaran yang ditetapkan dalam SPP berkenaan.
SPM Langsung yang selanjutnya disebut SPM-LS adalah SPM kepada pihak yang ditunjuk yang diterbitkan oleh PA atau KPA atas dasar perjanjian/kontrak kerja atau surat perintah kerja lainnya.
Surat Perintah Pencairan Dana yang selanjutnya disingkat SP2D adalah surat perintah yang diterbitkan oleh Kuasa BUN untuk pelaksanaan pengeluaran atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) berdasarkan SPM.
Surat Pernyataan Tanggung Jawab Belanja yang selanjutnya disingkat SPTB adalah pernyataan tanggung jawab belanja yang diterbitkan/dibuat oleh KPA atau PPK atas transaksi belanja negara.
Kegiatan Rekomendasi Teknis adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Bank Pelaksana dengan atau tanpa dibantu oleh konsultan dalam rangka pengumpulan data debitur untuk mendapatkan rekomendasi teknis dari Kementerian Lingkungan Hidup.
Rencana Penggunaan Dana adalah rencana yang disusun oleh Bank Pelaksana dalam menggunakan dana yang telah disetor untuk membiayai Kegiatan Capacity Building.
Surat Penetapan Rencana Kerja dan Anggaran BUN yang selanjutnya disingkat SP RKA-BUN adalah dokumen penetapan alokasi anggaran menurut unit organisasi dan program yang dirinci ke dalam satuan kerja pada Bagian Anggaran BUN.
Monitoring Aspek Keuangan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan dan Bank Pelaksana, didampingi konsultan apabila diperlukan, dalam rangka pemantauan terhadap aspek keuangan berupa penyaluran dana Program KfW-IEPC I.
Monitoring Aspek Teknis adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Bank Pelaksana, didampingi konsultan bila diperlukan, dalam rangka pemantauan terhadap aspek teknis berupa realisasi pelaksanaan proyek yang menjadi obyek pembiayaan dana KfW-IEPC.
Pengujian UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintah Daerah [Pasal 14 huruf e dan huruf f] ...
Relevan terhadap
Berdasarkan konsep fiscal gap tersebut, distribusi DAU kepada daerah-daerah yang memiliki kemampuan relatif besar akan lebih kecil dan sebaliknya daerah- daerah yang mempunyai kemampuan keuangan relatif kecil akan memperoleh DAU yang relatif besar. Dengan konsep ini beberapa daerah, khususnya daerah yang kaya sumber daya alam dan pajak daerah dapat memperoleh DAU yang relatif lebih kecil bahkan tidak memperoleh DAU, seperti DKI Jakarta. 3. Dana Alokasi Khusus DAK adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. DAK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 159 huruf c Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah merupakan dana yang dialokasikan dari APBN kepada daerah tertentu dalam rangka pendanaan pelaksanaan desentralisasi untuk mendanai kegiatan khusus yang ditentukan Pemerintah atas dasar prioritas nasional dan mendanai kegiatan khusus yang diusulkan daerah tertentu. Terkait dengan mekanisme penetapan DBH Migas dapat Pemerintah sampaikan dalam kesempatan ini bahwa sesuai dengan UU Perimbangan, alokasi DBH SDA Migas dilakukan berdasarkan realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak dari sektor migas. Pada awal tahun setelah APBN ditetapkan, Pemerintah menetapkan perkiraan alokasi DBH SDA Migas untuk setiap daerah berdasarkan data daerah penghasil dan lifting dari Kementerian teknis dan data perkiraan PNBP migas, dan data perkiraan PNBP Migas per-KKKS (Kontraktor Kontrak Kerja Sama). Data daerah penghasil minyak bumi dan gas bumi serta prognosa lifting per-daerah ditetapkan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral serta dari setoran dana penerimaan minyak dan gas bumi ke kas negara yang selanjutnya dialokasikan oleh Kementerian Keuangan ke darah. Penetapan perkiraan DBH per-daerah dilakukan dengan memperhitungkan perkiraan faktor-faktor pengurang ( Domestic Market Obligation /DMO), fee usaha Hulu Migas, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Bumi dan Bangunan sektor pertambangan migas dan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah). Perkiraan alokasi tersebut menjadi dasar penyaluran DBH Migas Triwulan I dan Triwulan II, yaitu masing-masing sebesar 20% dari pagu perkiraan alokasi. Setiap triwulan dilakukan penghitungan realisasi DBH SDA melalui
(1) Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota meliputi: a. perencanaan dan pengendalian pembangunan; b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat; d. penyediaan sarana dan prasarana umum; e. penanganan bidang kesehatan; f. penyelenggaraan pendidikan; g. penanggulangan masalah sosial; h. pelayanan bidang ketenagakerjaan; i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah; j. pengendalian lingkungan hidup; k. pelayanan pertanahan; l. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil; m.pelayanan administrasi umum pemerintahan; n. pelayanan administrasi penanaman modal; o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan. (2) Urusan pemerintahan kabupaten/kota yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan. 13. Bahwa dengan adanya kewenangan/urusan yang diserahkan kepada daerah maka menimbulkan kebutuhan dana yang cukup besar. Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah mengatur sumber dana bagi daerah terdiri dari pendapatan asli daerah, dana perimbangan (dana bagi hasil, dana alokasi umum, dan dana alokasi khusus) dan pinjaman daerah, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Pendapatan Asli Daerah, dana perimbangan, dan pinjaman daerah langsung dikelola oleh Pemerintah Daerah yang pengadministrasiannya dilakukan melalui mekanisme APBD. Sedangkan dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan dikelola oleh Pemerintah Pusat melalui kerjasama dengan Pemerintah Daerah yang pengadministrasiannya dilakukan melalui mekanisme APBN; 14. Bahwa dana bagi hasil yang merupakan sumber dana bagi daerah sebagaimana diatur dalam UU 33/2004, mendefinisikan Dana Bagi Hasil
dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia; 10. Bahwa berdasarkan Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengatur “Urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah (Pusat) meliputi: a.politik luar negeri; b.pertahanan; c.keamanan; d.yustisi; e.moneter dan fiskal nasional; dan f.agama; ” 11. Bahwa berdasarkan Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengatur: (1) Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi merupakan urusan dalam skala provinsi yang meliputi: a.perencanaan dan pengendalian pembangunan; b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat; d. penyediaan sarana dan prasarana umum; e. penanganan bidang kesehatan; f. penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial; g. penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota; h. pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota; i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas kabupaten/kota; j. pengendalian lingkungan hidup; k. pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota; l. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil; m. pelayanan administrasi umum pemerintahan; n. pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota; o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/kota; dan p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan. (2) Urusan pemerintahan provinsi yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan. 12. Berdasarkan Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengatur:
Penerbangan.
Relevan terhadap
Perusahaan angkutan udara niaga tidak berjadwal asing yang melayani rute ke Indonesia dilarang mengangkut penumpang dari wilayah Indonesia, kecuali penumpangnya sendiri yang diturunkan pada penerbangan sebelumnya ( in-bound traffic) .
Perusahaan angkutan udara niaga tidak berjadwal asing yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa denda administratif.
Prosedur dan tata cara pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah mengenai penerimaan negara bukan pajak. epkumham.go Pasal 95 (1) Perusahaan angkutan udara niaga tidak berjadwal asing khusus pengangkut kargo yang melayani rute ke Indonesia dilarang mengangkut kargo dari wilayah Indonesia, kecuali dengan izin Menteri. (2) Perusahaan angkutan udara niaga tidak berjadwal asing khusus pengangkut kargo yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa denda administratif. (3) Besaran denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah mengenai penerimaan negara bukan pajak. Pasal 96 Ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan udara niaga, kerja sama angkutan udara dan prosedur pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri. Paragraf 2 Pelayanan Angkutan Udara Niaga Berjadwal Pasal 97 (1) Pelayanan yang diberikan badan usaha angkutan udara niaga berjadwal dalam menjalankan kegiatannya dapat dikelompokkan paling sedikit dalam:
pelayanan dengan standar maksimum ( full services );
pelayanan dengan standar menengah ( medium services ); atau
pelayanan dengan standar minimum ( no frills ). (2) Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah bentuk pelayanan maksimum yang diberikan kepada penumpang selama penerbangan sesuai dengan jenis kelas pelayanan penerbangan. (3) Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah bentuk pelayanan sederhana yang diberikan kepada penumpang selama penerbangan. (4) Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c adalah bentuk pelayanan minimum yang diberikan kepada penumpang selama penerbangan. epkumham.go (5) Badan usaha angkutan udara niaga berjadwal dalam menetapkan kelas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memberitahukan kepada pengguna jasa tentang kondisi dan spesifikasi pelayanan yang disediakan. Pasal 98 (1) Badan usaha angkutan udara niaga berjadwal yang pelayanannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (1) huruf b dan huruf c merupakan badan usaha yang berbasis biaya operasi rendah. (2) Badan usaha angkutan udara niaga berjadwal sebagaimana dimaksud ayat (1) wajib memenuhi standar keselamatan dan keamanan penerbangan. Pasal 99 (1) Badan usaha angkutan udara niaga berjadwal yang berbasis biaya operasi rendah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 harus mengajukan permohonan izin kepada Menteri. (2) Menteri menetapkan badan usaha angkutan udara niaga berjadwal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah memenuhi persyaratan yang ditetapkan. (3) Terhadap badan usaha angkutan udara niaga berjadwal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilakukan evaluasi secara periodik. Pasal 100 Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan badan usaha angkutan udara niaga berjadwal diatur dengan Peraturan Menteri. Paragraf 3 Angkutan Udara Bukan Niaga Pasal 101 (1) Kegiatan angkutan udara bukan niaga dapat dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, lembaga tertentu, orang perseorangan, dan/atau badan usaha Indonesia lainnya.
Kegiatan angkutan udara bukan niaga berupa:
angkutan udara untuk kegiatan keudaraan (aerial _work); _ epkumham.go b. angkutan udara untuk kegiatan pendidikan dan/atau pelatihan personel pesawat udara; atau
angkutan udara bukan niaga lainnya yang kegiatan pokoknya bukan usaha angkutan udara niaga.
Pengembalian Bea Masuk, Bea Keluar, Sanksi Administrasi Berupa Denda, dan/atau Bunga di Bidang Kepabeanan. ...
Relevan terhadap
Pengembalian bea masuk dapat diberikan kepada Pihak Yang Berhak terhadap seluruh atau sebagian bea masuk yang telah dibayar atas:
kelebihan pembayaran bea masuk karena penetapan tarif dan/atau nilai pabean oleh Pejabat Bea dan Cukai;
kelebihan pembayaran bea masuk karena penetapan kembali tarif dan/atau nilai pabean oleh Direktur Jenderal;
kelebihan pembayaran bea masuk karena kesalahan tata usaha;
impor barang yang mendapat pembebasan atau keringanan bea masuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dan Pasal 26 Undang-Undang Kepabeanan;
impor barang yang oleh sebab tertentu harus diekspor kembali atau dimusnahkan di bawah pengawasan Pejabat Bea dan Cukai;
impor barang yang sebelum diberikan persetujuan impor untuk dipakai kedapatan jumlah yang sebenarnya lebih kecil dari pada yang telah dibayar bea masuknya, cacat, bukan barang yang dipesan, atau berkualitas lebih rendah; atau
kelebihan pembayaran bea masuk akibat putusan Pengadilan Pajak.
Pengembalian bea masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d diberikan kepada:
penerima pembebasan atau keringanan bea masuk; atau
pihak pelaksana importasi seperti yang tercantum dalam keputusan pembebasan atau keringanan bea masuk.
Pengembalian bea masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d tidak termasuk pengembalian bea masuk yang telah dibayar atas impor barang dan bahan untuk diolah, dirakit, atau dipasang pada barang lain dengan tujuan untuk diekspor.
Pengembalian kelebihan pembayaran bea masuk atas impor barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, diberikan dalam hal:
ekspor kembali barang impor bukan merupakan kehendak importir; dan/atau b. ekspor kembali barang impor disebabkan adanya kebijakan pemerintah yang mengakibatkan barang yang telah diimpor tidak dapat dimasukkan ke dalam daerah pabean.
Pengembalian bea masuk kepada Pihak Yang Berhak juga dapat diberikan terhadap seluruh atau sebagian bea masuk yang telah dibayar dalam hal:
kelebihan pembayaran bea masuk akibat keputusan keberatan; dan/atau
kelebihan pembayaran bea masuk akibat Putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
PUU Nomor 28/2009 tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah
Relevan terhadap
b) Keterangan DR. Hefrizal Handra Dr. Hefrizal Handra menyampaikan bahwa pengenaan PKB dan BBN-KB atas alat-alat berat dan besar telah memenuhi kriteria pajak yang potensial, mudah diadministrasikan dan berkelanjutan, sehingga alat-alat berat dan besar tersebut sangat layak dikenai pajak. Selain itu Dr. Hefrizal Handra berpendapat bahwa sebuah pajak dikatakan tidak efisien secara ekonomi apabila menimbulkan ekonomi biaya tinggi sehingga menimbulkan disinsentif untuk berusaha, namun dalam pengenaan PKB dan BBN-KB atas alat-alat berat dan besar sampai dengan saat ini menurut Dr. Hefrizal Handra tarif yang sangat rendah dari PKB dan BBN-KB atas alat berat dan besar masih jauh dari kemungkinan untuk menurunkan niat pengusaha untuk berinvestasi, jadi dapat disimpulkan bahwa pungutan PKB dan BBN- KB atas alat berat dan besar tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi. Selanjutnya menurut Dr. Hefrizal Handra jika PKB dan BBN-KB atas alat berat dan besar dinilai dari sisi keadilan telah sesuai. Dr. Hefrizal Handra berpendapat bahwa keadilan umumnya dikenal di perpajakan adalah keadilan vertikal dan keadilan horizontal, dapat dikatakan bahwa pengenaan pajak pada alat berat atau alat besar menurut prinsip keadilan vertikal sangat tepat karena dipastikan tidak akan ada penduduk miskin atau usaha skala kecil dan mikro yang memiliki alat tersebut. Selanjutnya apabila dilihat dari sisi keadilan horizontal maka pengenaan tarif yang berbeda di dua daerah yang berbeda akan mengganggu rasa keadilan, namun hal tersebut harus disadari sebagai konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah. Sehingga dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa pungutan atas PKB dan BBN-KB atas alat-alat berat dan besar telah memenuhi sisi keadilan. Selain itu Dr. Hefrizal Handra juga menyampaikan bahwa PKB dan BBN-KB atas alat-alat berat dan besar di Indonesia pada dasarnya adalah merupakan pajak properti, hal ini tercermin dari pengenaan pajak yang didahului oleh registrasi kepemilikan alat berat atau alat besar yang akan memastikan kepemilikannya, sehingga pengenaan
tidak sama. Dua objek yang tidak sama atau berbeda, diperlakukan secara berbeda pula. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 membedakan tarif bagi dua kelompok objek yang berbeda, di sini lah letak keadilan vertikal tersebut. Secara sadar tarif pajak kendaraan bermotor dan BPNKB bagi alat bermotor bagi kendaraan bermotor bagi kendaraan bermotor jauh lebih tinggi dari tarif bagi alat berat dan alat besar. Tidak betul jika para Pemohon mengatakan bahwa alat berat/alat besar diperlakukan sama dengan kendaraan bermotor. Pengenaan tarif yang tinggi terhadap kendaraan bermotor didadasari kepada aspek beban atau kemanfaatan. Kendaraan bermotor memberikan beban biaya yang lebih besar, lebih tinggi kepada negara karena dampaknya terhadap jalan, sementara itu untuk alat berat relatif lebih rendah. Tabel tersebut tadi juga memperlihatkan ilustrasi bagaimana dua objek BPNKB yaitu eskavator dan mobil-mobil diperlakukan secara berbeda. Selain itu, aspek keadilan vertikal juga dikaitkan dengan kemampuan subjek atau wajib pajak untuk membayar, artinya dari sudut pandang keadilan vertikal, wajib pajak yang lebih mampu diperlakukan berbeda atau dikenai pajak yang lebih tinggi dari wajib pajak yang kurang mampu. Karena wajib pajak dari alat berat pada umumnya dapat dikategorikan kelompok yang mampu sehingga sesungguhnya tarif yang tinggi tidak dipersoalkan dari sudut pandang keadilan. Jadi dapat dikatakan bahwa pengenaan pajak pada alat berat atau alat besar menurut prinsip keadilan vertikal sangat tepat karena dipastikan tidak akan ada penduduk miskin atau usaha skala kecil dan mikro yang memiliki alat tersebut. Selanjutnya dari sisi keadilan horizontal yang diartikan sebagai equal treatment of equal , perlakuan yang sama terhadap subjek atau objek yang sama. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 memberikan ruang tarif yang sama untuk objek subjek pajak yang sama. Hal ini terlihat bahwa untuk ruang tarif bagi kendaraan bermotor adalah sama. Demikian juga ruang tarif untuk alat berat dan alat besar sama ruang tarifnya. Namun harus diakui bahwa ada kelemahan terkait dengan prinsip keadilan horizontal dari sisi objek ketika alat berat dijadikan pajak daerah.
APBI, IMA, dan PAABI yang disampaikan kepada pimpinan Kadin pada tanggal 27 Agustus 2008 mengenai persoalan penarikan pajak terhadap alat-alat berat, maka Kadin segera bertindak dengan mengirimkan surat mengenai sikap Kadin kepada Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri perihal peninjauan ulang, pengkalsifikasian alat-alat berat sebagai kendaraan bermotor. Yaitu, tertanggal 29 Agustus 2008, yang ditandatangani oleh Ketua Umum Kadin pada saat itu, yaitu Bapak Muhammad Sulaiman Hidayat. Isi surat tersebut pada pokoknya, meminta kepada menteri keuangan dan menteri dalam negeri agar tidak memasukkan alat-alat berat dan alat-alat besar sebagai klasifikasi kendaraan bermotor, dengan alasan sebagai berikut. Alat-alat berat bagi industri pertambangan, jasa pertambangan, infrastruktur, maupun industri lainnya sejatinya adalah merupakan alat produksi. Dan pada umumnya, alat-alat berat hanya beroperasi di dalam pertambangan atau area industri, yang mana kebanyakan ini dibangun sendiri oleh investor tanpa pernah sekalipun menggunakan jalan umum yang dibangun oleh negara. Terkait dengan rencana pemerintah untuk mengkonversi bahan bakar minyak ke batubara, kebijakan Domestic Market Obligation (DMO), dan program mix energy dalam peningkatan industri kelistrikan yang saat ini dibutuhkan negara, maka niscaya kebijakan semacam di atas dapat menghambat kontribusi sektor pertambangan, khususnya usaha jasa pertambangan sebagai operator pelaksanaan kegiatan pertambangan, infrastruktur, dan industri lainnya. Dengan penerapan pajak kendaraan bermotor yang harus dikenakan pada alat-alat berat dan alat besar. Sebagai informasi pemberlakuan regulasi ini akan berdampak terhadap sekitar 1.400 perusahaan, padahal alat-alat berat ini juga dimiliki oleh industri lain, seperti infrastruktur, perkebunan, kehutanan, konstruksi, dan lain-lain. Dan serta akan meningkatkan cost production yang pada akhirnya akan mengurangi minat investor untuk berinvestasi, dan bila terpaksa pun pada akhirnya akan terbebani pada end user , serta pada akhirnya memberikan dampak besar pada perekonomian nasional. Isi surat yang merupakan sikap Kadin tersebut sejalan dengan sikap Pemerintah yang diwakili oleh Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral,
Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 102/PMK.02/2018 tentang Klasifikasi Anggaran
Uji materiil terhadap PP 33 tahun 2014 ttg jenis dan tarif atas PNBP yg berasal dari penggunaan kawasan hutan untuk pembangunan di luar kegiatan kehut ...
Relevan terhadap
Ayat 1 : Materi muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan asas:
keadilan Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 134 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 135 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 Penjelasan Pasal 6 Huruf g : Yang dimaksud dengan “asas keadilan” adalah bahwa setiap materi muatan Peraturan Perundang-Undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara. Sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 42 ayat (2) UU Nomor 41 Tahun 1999 maka pada pokoknya dijelaskan bahwa dalam melakukan penyelenggaraan rehabilitasi hutan diutamakan pelaksanaannya melalui pendekatan partisipatif. Berpedoman pada ketentuan aquo maka penyelenggaraan kewajiban penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS diluar area IPPKH oleh Termohon I dan Termohon II melalui perumusan dan pembuatan kebijakan dan regulasi dalam bentuk Peraturan Menteri – in casu Permen LHK RI Nomor 50 Tahun 2016 dan Permen LHK RI Nomor 89 Tahun 2016 – sepatutnya dilaksanakan melalui pendekatan partisipatif dan juga harus mematuhi norma dasar dalam pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 5 Huruf c dan Huruf d dan Pasal 6 Ayat (1) Huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Pembentukan norma tentang kewajiban penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS diluar area IPPKH sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 19 ayat (1) huruf c, Pasal 22 huruf d, huruf q angka 4 dan angka 7 serta huruf r angka 5, dan Pasal 47 ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf b Permen LHK RI Nomor 50 Tahun 2016 dan juga diatur dalam ketentuan Pasal 15 ayat (1) , ayat (2) dan ayat (3), Pasal 28 ayat (1), ayat 2, ayat (3) dan ayat (4), Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 38 dan Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) Permen LHK RI Nomor 89 Tahun 2016 tidak melalui pendekatan partisipatif dan juga bertentangan dengan asas kesesuaian jenis, hierarki dan materi muatan, asas dapat dilaksanakan, asas keadilan dan asas kejelasan rumusan. Hal ini didasarkan pada argumentasi-argumentasi sebagai berikut:
. Dalam UU Nomor 41 Tahun 1999 hanya mengatur dan mencantumkan secara tegas mengenai rehabilitasi hutan didalam area IPPKH an sich (termasuk reklamasi hutan) dan sebaliknya tidak pernah mengatur secara tegas mengenai adanya norma Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 135 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 136 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 kewajiban penanaman pohon dalam rangka rehabilitasi DAS diluar area IPPKH ( Vide Pasal 45 ayat 1 dan ayat 3). Oleh karena itu, maka materi dalam Peraturan Menteri – in casu Permen LHK RI Nomor 50 Tahun 2016 dan Permen LHK RI Nomor 89 Tahun 2016 – sebagai norma pelaksana dari Undang-Undang tidak boleh menyimpang dan bertentangan dengan Undang-Undang ( in casu UU Nomor 41 Tahun 1999 sebagai UU Sektoral yang mengatur secara khusus atau lex specialis tentang Kehutanan) sebagai norma yang lebih tinggi hierarkinya;
. Berdasarkan batasan wilayah maka kegiatan rehabilitasi sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 45 ayat (1) UU Nomor 41 Tahun 1999 tersebut sepatutnya direlasikan dan dipahami dengan ketentuan Pasal 38 ayat (1) dan ayat (3) UU Nomor 41 Tahun 1999 sehingga rehabilitasi yang dilakukan oleh pelaku usaha bidang pertambangan pemegang IPPKH hanya untuk penggunaan kawasan hutan yang menimbulkan kerusakan hutan secara limitatif, yaitu terbatas hanya untuk kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung (dalam area IPPKH) yang timbul kerusakan sebagai akibat dari digunakan untuk kepentingan pertambangan. Sebaliknya dalam Peraturan Menteri – in casu Permen LHK RI Nomor 50 Tahun 2016 dan Permen LHK RI Nomor 89 Tahun 2016 –menciptakan rumusan norma baru – berupa dimasukkannya norma kewajiban rehabilitasi DAS diluar area IPPKH – yang tidak pernah diatur dan bertentangan serta berbeda dengan esensi dan intepretasi sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 41 Tahun 1999 ( Vide ketentuan Pasal 45 ayat 1 dan ayat 3 juncto Pasal 38 ayat 1 dan ayat 3);
. Perumusan dan pemberlakuan norma tentang kewajiban penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS diluar area IPPKH secara sosiologis, tidak mencerminkan dan juga bertentangan dengan asas dapat dilaksanakan dan asas keadilan sebagaimana diatur dalam Ketentuan Pasal 5 Huruf c dan Huruf d serta Ketentuan Pasal 6 ayat (1) Huruf g UU Nomor 12 Tahun 2011. Hal ini dapat dilihat dari adanya reaksi dan tanggapan secara sosiologis dari beberapa pelaku usaha bidang Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 136 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 137 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 pertambangan melalui Pemohon I dan Pemohon II yang sungguh sangat berkeberatan dengan dikenakannya kewajiban penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS diluar area IPPKH. konsekuensi dari adanya pengenaan kewajiban penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS diluar area IPPKH tersebut – yang secara hierarki tidak pernah diatur dan tidak pernah direkognisi serta bertentangan dengan ketentuan Pasal 45 ayat (1) dan ayat (3) UU Nomor 41 Tahun 1999 – telah menimbulkan tambahan beban finansial ekonomis yang sangat luar biasa yang harus ditanggung oleh para pelaku usaha bidang pertambangan pemegang IPPKH. Adanya tambahan beban tersebut – berupa kewajiban penanaman dalam rangka rehabiltasi DAS dan adanya multi pungutan yang salah satunya bersifat imajiner dan liar yang bernama PNBP – tentunya menimbulkan biaya operasional tambahan bagi pelaku usaha bidang pertambangan pemegang IPPKH yang berakibat menimbulkan kerugian yang sangat signifikan sehingga berpotensi dapat mengganggu keberlanjutan/kelanjutan kegiatan usaha bagi pelaku usaha pemegang IPPKH. Hal ini sebagaimana pernah dikemukakan oleh Para Pemohon melalui korespondensi tertulis yang ditujukan kepada Para Termohon dalam rangka Pembentukan Dan Penyusunan Peraturan Pemerintah Tentang Penanaman Dalam Rangka Rehabilitasi DAS (vide Bukti P-10G, Bukti P-10H, Bukti P-10I, Bukti P-10J, Bukti P-10K, Bukti P-10L dan Bukti P-10M).
. Dimunculkannya rumusan norma baru tentang kewajiban penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS diluar area IPPKH dalam bentuk Peraturan Menteri – in casu Permen LHK RI Nomor 50 Tahun 2016 dan Permen LHK RI Nomor 89 Tahun 2016 – merupakan rumusan yang tidak jelas karena secara hierarki dan jenis serta materi muatan, rumusan norma tentang kewajiban penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS diluar area IPPKH tidak pernah diatur dan juga tidak pernah dicantumkan secara tegas (eksplisit) dalam rumusan norma dalam UU Nomor 41 Tahun 1999 ( Vide Pasal 45 ayat 1 dan ayat 3,) sehingga menimbulkan intepretasi yang berbeda dan bertentang dengan Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 137 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 138 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 esensi dan intepretasi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ketentuan Pasal 45 ayat 1 dan ayat 3 juncto Pasal 38 ayat 1 dan ayat 3 uu Nomor 41 Tahun 1999; Berdasarkan argumentasi-argumentasi tersebut diatas maka pencantuman dan pemberlakuan norma kewajiban penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS diluar area IPPKH dalam bentuk Peraturan Pemerintah merupakan bentuk penyelundupan norma yang mengingkari dan bertentangan dengan ketentuan Pasal 45 ayat (1) dan ayat (3), ketentuan Pasal 38 ayat (1) dan ayat (3) UU Nomor 41 Tahun 1999 dan ketentuan Pasal 5 huruf c,huruf d dan huruf f serta Pasal 6 ayat (1) huruf g, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011; Oleh karena itu, ketentuan Pasal 19 ayat (1) huruf c, Pasal 22 huruf d, huruf q angka 4 dan angka 7 serta huruf r angka 5 dan Pasal 47 ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf b Permen LHK RI Nomor 50 Tahun 2016 dan juga diatur dalam ketentuan Pasal 15 ayat (1) , ayat (2) dan ayat (3), Pasal 28 ayat (1), ayat 2, ayat (3) dan ayat (4), Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 38 Dan Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) Permen LHK RI Nomor 89 Tahun 2016 sangat beralasan secara hukum untuk dapat dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (tidak sah) dan batal demi hukum serta tidak berlaku umum; V. PETITUM PERMOHONAN. Berdasarkan uraian-uraian sebagaimana yang dikemukakan di atas oleh Para Pemohon, maka Para Pemohon memohon kepada Yang Terhormat Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia casu quo Yang Terhormat Majelis Hakim Agung pada Mahkamah Agung Republik Indonesia yang memeriksa dan mengadili permohonan hak uji materiil ( judicial review ) aquo , agar berkenan kiranya untuk memberikan putusan sebagai berikut:
Menerima dan mengabulkan permohonan keberatan hak uji materiil dari Pemohon I dan Pemohon II (Para Pemohon) untuk seluruhnya;
Menyatakan ketentuan Pasal 1 ayat (2), ayat (3) dan ayat (5) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2014 berikut Lampiran Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jenis Dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berasal Dari Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Kepentingan Pembangunan Di Luar Kegiatan Kehutanan Yang Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 138 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 139 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 Berlaku Pada Kementerian Kehutanan Angka 1, Angka 2 dan Angka 3 bertentangan dengan Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi yaitu Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 Tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, Undang- Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan Dan Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan;
Menyatakan ketentuan Pasal 21 ayat (1) huruf a dan huruf b Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2010 Tentang Penggunaan Kawasan Hutan bertentangan dengan Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi yaitu Undang- Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 Tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan Dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan;
Menyatakan ketentuan Pasal 6 Ayat (2) Huruf b dan Ketentuan Pasal 15 Ayat (1) Huruf b dan Huruf c Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 105 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 Tentang Penggunaan Kawasan Hutan Bertentangan Dengan Peraturan Perundang- Undangan Yang Lebih Tinggi Yaitu Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 Tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan Dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan;
Menyatakan ketentuan Pasal 5 Ayat (2) Huruf b Angka 1, Pasal 19 Ayat (1) Huruf c dan Huruf d, Pasal 22 Huruf d, Huruf e, Huruf q Angka 4 dan Angka 7, Huruf r Angka 4 dan Angka 5, dan Pasal 47 Ayat (1) Huruf a dan Ayat (2) Huruf b dan Huruf c Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.50/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2016 Tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan bertentangan dengan Peraturan Perundang- Undangan yang lebih tinggi yaitu Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 Tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 139 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 140 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 Kehutanan Dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan;
Menyatakan ketentuan Pasal 15 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), Pasal 28 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4), Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 38 dan Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.89/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2016 Tentang Pedoman Penanaman Bagi Pemegang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan Dalam Rangka Rehabilitasi Daerah Aliran Sungai bertentangan dengan Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi yaitu Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan Dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan;
Menyatakan ketentuan Pasal 1 ayat 2, ayat 3 dan ayat 5 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2014 berikut Lampiran Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jenis Dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berasal Dari Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Kepentingan Pembangunan Di Luar Kegiatan Kehutanan Yang Berlaku Pada Kementerian Kehutanan Angka 1, Angka 2 dan Angka 3 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (tidak sah) dan batal demi hukum serta tidak berlaku umum;
Menyatakan ketentuan Pasal 21 ayat (1) Huruf a dan Huruf b Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2010 Tentang Penggunaan Kawasan Hutan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (tidak sah) dan batal demi hukum serta tidak berlaku umum;
Menyatakan ketentuan Pasal 6 ayat (2) huruf b dan Ketentuan Pasal 15 ayat (1) huruf b dan huruf c Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 105 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 Tentang Penggunaan Kawasan Hutan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (tidak sah) dan batal demi hukum serta tidak berlaku umum;
Menyatakan ketentuan Pasal 5 ayat (2) huruf b angka 1, Pasal 19 ayat (1) huruf c dan huruf d, Pasal 22 huruf d, huruf e, huruf q angka 4 dan angka 7, huruf r angka 4 dan angka 5, dan Pasal 47 ayat (1) Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 140 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 141 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 huruf a dan ayat (2) huruf b dann huruf c Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.50/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2016 Tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (tidak sah) dan batal demi hukum serta tidak berlaku umum;
Menyatakan ketentuan Pasal 15 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), Pasal 28 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4), Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 38 dan Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.89/Menlhk/Setjen/Kum.1/11/2016 Tentang Pedoman Penanaman Bagi Pemegang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan Dalam Rangka Rehabilitasi Daerah Aliran Sungai tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (tidak sah) dan batal demi hukum serta tidak berlaku umum;
Memerintahkan kepada Termohon I ( in casu Presiden Republik Indonesia) mencabut Ketentuan Pasal 1 ayat 2, ayat 3 dan ayat 5 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2014 berikut Lampiran Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jenis Dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berasal Dari Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Kepentingan Pembangunan Di Luar Kegiatan Kehutanan Yang Berlaku Pada Kementerian Kehutanan Angka 1, Angka 2 dan Angka 3; Dan Ketentuan Pasal 21 ayat (1) huruf a dan huruf b Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2010 Tentang Penggunaan Kawasan Hutan Termasuk Ketentuan Pasal 6 Ayat (2) Huruf b dan Ketentuan Pasal 15 ayat (1) huruf b dan huruf c Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 105 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 Tentang Penggunaan Kawasan Hutan;
Memerintahkan kepada Termohon II ( in casu Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republk Indonesia) mencabut Ketentuan Pasal 5 ayat (2) huruf b angka 1, Pasal 19 ayat (1) huruf c dan huruf d, Pasal 22 huruf d, huruf e, huruf q angka 4 dan angka 7, huruf r angka 4 dan angka 5 dan Pasal 47 ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf b dan huruf c Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.50/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2016 dan Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 141 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 142 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 Ketentuan Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4), Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 38 dan Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.89/Menlhk/Setjen/ Kum.1/11/2016;
Memerintahkan Panitera Mahkamah Agung Republik Indonesia mencantumkan petikan putusan ini dalam Berita Negara dan dipublikasikan atas biaya negara;
Menghukum Termohon I dan Termohon II untuk membayar biaya perkara. ATAU, Apabila Yang Terhormat Majelis Hakim Agung pada Mahkamah Agung Republik Indonesia yang memeriksa dan mengadili permohonan hak uji materiil ( judicial review ) aquo berpendapat lain, maka mohon putusan yang seadil-adilnya ( Ex Aequo Et Bono ). Menimbang, bahwa untuk mendukung dalil-dalil permohonannya, Pemohon telah mengajukan surat-surat bukti, yaitu sebagai berikut: No. Kode KETERANGAN 1. P-1A Akta Pernyataan Keputusan Rapat Musyawarah Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (Indonesian Coal Mining Association) Nomor 7 tertanggal 6 Mei 2015; P-1B Kartu Tanda Penduduk Nomor 3171061705790002 atas nama Pandu Patria Sjahrir P-1C Akta Pernyatan Keputusan Rapat Badan Pengurus Perkumpulan Asosiasi Pertambangan Indonesia (Indonesian Mining Association) Nomor 39 tertanggal 22 Desember 2016 P-1D Kartu Tanda Penduduk Nomor 3276020109650010 atas nama Maringan M.I.H. Hutabarat.
P-2A Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jenis Dan Tarif Atas Jenis Pener i maan Negara Bukan Pajak Yang Berasal Dari Penggunaaan Kawasan Hutan Untuk Kepentingan Pembangunan Di Luar Kegiatan Kehutanan Yang Berlaku Pada Kementerian Kehutanan Berikut Lampiran Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2014 Angka 1 , Angka 2, Angka 3 yang ditetapkan di Jakarta pada tangga l 16 Me i 2014 - vide Ketentuan Pasal 1 ayat (2), ayat (3), dan ayat (5) termasuk Lampiran Angka 1, Angka 2 dan Angka 3 Peraturan Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 142 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 143 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 20 1 4 P-2B Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 201 0 tentang Penggunaan Kawasan Hutan yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal 1 Februari 2010 - vide Ketentuan Pasal 21 Ayat (1) Huruf a dan Huruf b P-2C Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 105 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomo r 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal 22 Desember 2015 - vide Ketentuan Pasal 6 ayat 2 huruf b, Pasal 15 ayat (1) huruf b dan huruf c 3. P-3A Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.50/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2016 Tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan berikut lampiran Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P . 50/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2016 Te n tan g Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal 8 Juni 2016 - vide Ketentuan Pasal 5 ayat (2) huru f b angka 1, Pasal 19 ayat (1) huruf c dan huruf d, Pasal 22 huruf d, huruf e, huruf q angka 4 dan angka 7, huruf r angka 4 dan angka 5, dan Pasal 47 ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf b dan huruf c P-3B Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.89/Menlhk/Setjen/Kum.1/11/2016 Tentang Pedoman Penanaman Bagi Pemegang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan Dalam Rangka Rehabilitasi Daerah Aliran Sungai Beriku t Lampiran Angka Romawi I Sampai Dengan Lampiran Angka Romawi VIII yang ditetapkan di Jakarta pada tangga l 22 November 2016 vide Ketentuan Pasal 15 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) , Pasal 28 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) , Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 38 dan Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) 4. P-4A Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 - vide Pasal 23A P-4B Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung - vide Pasal 31 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) P-4C Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman - vide Pasal 20 Ayat (2) Huruf b dan ketentuan Pasa i 20 Ayat (3) P-4D Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung - vide Pasal 31A Ayat (1), Ayat (2) dan Ayat (3) P-4E Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil - vide Pasal 1 ayat (1) 5. P-5A Akta Anggaran Dasar APBI-ICMA Asosiasi Pertambanga n Batubara Indonesia (Indonesian Coal Mining Association ) N omor 01 tanggal 22 Maret 2007 yang dibuat oleh dan dihadapan Notar i s Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 143 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 144 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 Ratih Gondo Kusumo, S.H. P-5B Akta Pernyataan Keputusan Musyawarah Anggota A sos i as i Pertambangan Batubara Indonesia ( APBI-ICMA) I ndonesian C oa l Mining Association Nomor 20 tanggal 22 Juni 2009 6. P-6A Akta Perubahan Akta Pendir i an Perkumpu l an A sosia si Pertambangan Indonesia (Indonesian Mining A ssoc i ation ) N o m o r 1 7 t anggal 17 Juni 2011 yang dibuat o l eh dan dihadapa n Nota ri s Ratih Gondokusumo Siswono, S . H. P-6B Akta Anggaran Rumah Tangga Asosiasi Pertambangan In do n esia ( Indonesian Mining Association) Nomor 1 8 tangga l 1 7 Juni 2011 yang dibuat oleh dan dihadapan Notaris Ratih Gondokusumo Siswono, S.H .;
P-7 Undang-Undang Nomor 1 2 T ahun 20 11 t en t ang Pemben t uka n Peratu r an Perundang - undangan - vide Pasa l 3 , Pasa l 5 H u ruf c da n Huruf d , dan Penje l asan Pasal 5 Hur u f c da n Huruf d, Ketentua n Pasa l 6 Aya t (1) Hur u f g dan Penjelasan P asa l 6 A y a t (1) H uruf g , d a n P asa l 1 2.
P-8 Peraturan Menteri L i ngkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia P.27/Menlhk/Setjen/Keu-1/2/2016 Tahun 2016 tentang Pedoman Tata Cara Pengurusan Piutang Negara dari Penerimaan Negara Bukan Pajak Lingkup Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan ("PERMEN LHK RI Nomor P.27/Menlhk/Setjen/Keu- 1/212016 "). 9. P-9 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 128/PMK . 06/2007 Tentang Pengurusan Piutang Negara; Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 88/PMK . 06/2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 128/PMK . 06/2007 Tentang Pengurusan Piutang Negara; Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 163/PMK . 06/2011 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 128/PMK.06/2007 Tentang Pengurusan Piutang Negara; dan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 21/PMK . 06/2016 Tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 1 28/PMK . 06/2007 Tentang Pengurusan Piutang Negara.
P-10A P-10B P-10C Surat Nomor 187/APBI-ICMA/V/2007, tertanggal 23 Mei 2007 perihal PNBP Kehutanan Surat Nomor 549/APBI-ICMA/XII/2012, tertanggal 18 Desember 2012, perihal RPP Tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak dari Penggunaan Kawasan Hutan; Surat Nomor 040/API/IMA/IV/2014 dan Nomor 138/APBI- I CMA/IV/2014, tertanggal 22 April 2014, perihal Tanggapan API-IMA dan APBI-ICMA Terhadap Rencana Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Jenis dan Tarif PNBP yang berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Kepentingan Pembangunan Yang Berlaku Pada Kementerian Kehutanan; Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 144 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 145 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 P-10D P-10E P-10F P-10G P-10H P-10I P-10J P-10K P-10L Surat Nomor 330/APBI-ICMA/VIII/2014 tertanggal 26 Agustus 2014, Perihal Implikasi Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Kepentingan Pembangunan Diluar Kegiatan Kehutanan Yang Berlaku Pada Kementerian Kehutanan; Surat Nomor 331/APBI-ICMA/VIII/2014, tertanggal 27 Agustus 2014, Perihal Implikasi Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Kepentingan Pembangunan di luar Kegiatan Kehutanan yang Berlaku pada Kementerian Kehutanan; Surat Nomor 019/APBI-ICMA/III/2015 dan Nomor 056/API- IMA/III/2015 tertanggal 31 Maret 2015 Tentang Permohonan Peninjauan Kembali PP Nomor 24 Tahun 2010 dan PP Nomor 33 Tahun 2014; Surat Nomor 349/APBI-ICMA/VIII/2014 tertanggal 28 Agustus 2014 Perihal Permohonan Pembatalan Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2014 Tentang Jenis Tarif dan Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Sektor Kehutanan; Surat Nomor 030/APBI-ICMA/V/2015, tertanggal 25 Mei 2015 , Perihal Permohonan Peninjauan Kembali Peraturan Menteri Kehutanan No.P.16/Menhut-II tanggal 20 Maret 2014 dan No.P.87/Menhut- II/2014 tanggal 29 September 2014; Surat Nomor 035/APBI-ICMA/VI/2015, tertanggal 26 Juni 2015 , Perihal Masukan Terhadap Revisi Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan hutan; Surat Nomor 001/APBI-ICMA/I/2016, tertanggal 11 J anuar i 2016, Perihal Permohonan Pembahasan Kembali Revisi Rancangan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan; Surat Nomor 030/APBI-ICMA/IX/2016, tertanggal 7 September 2016 , Perihal Tanggapan Terhadap Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI. No.P.50/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2016 tentang 'I Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan ("Permenlhk P.50/2016”) Surat Nomor 146/API/IMA/XII/2016, Nomor 037/APBI-ICMA/XII/2014 , Tertanggal 19 Desember 2016, Perihal Permohonan Dukungan Penye!esaian Hambatan Dalam Pelaksanaan Kewajiban Rehabilitasi Daerah Aliran Sungai Bagi Pemegang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan; Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 145 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 146 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 P-10M Surat Nomor 006/API-IMA/II/2017 dan Nomor 017/APBI- ICMA/II/2017, tertanggal 27 Februari 2017, Perihal Permohonan Dukungan Penyelesaian Hambatan Dalam Pelaksanaan Kewajiban Rehabilitasi DAS Bagi Pemegang IPPKH .
P-11A P-11B P-11C P-11D Artikel Online - Royalti Naik, Perusahaan Batu Bara Terancam Bangkrut Dipublikasikan tanggal 1 Juli 2015 Sumber : https: //ekbis.sindonews.com/read/1019004/34/royalti-naik- perusahaan-batu-bara-terancam-bangkrut- 1435744806 Artikel Online - Terdampak Krisis Global, Perusahaan Tambang Tutup Dipublikasikan tanggal11 Febuari 2016 Sumber : http: //www.borneonews.co.id/berita/28470-terdampak- krisis- global-perusahaan-tambang-tutup Artikel Online - Batubara Terjun Royalti Turun Dipublikasi tanggal 09 Agustus 2015 Sumber : http: //www.gresnews.com/berita/ekonomi/9098-batubara- terjun-royalti-turun/3/ Artikel Online - Tambang Batu Bara, Awal Kloter Gulung Tikar Dipublikasikan tanggal 29 Febuar i 2016 Sumber : http: //majalahpeluang.com/tambangbatu-bara-awal- Kloter-gulung-tikar/ 12. P-12 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 Tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak - vide Pasal 2 Ayat (2) dan Penjelasan Pasal 2 Ayat (2) , Pasal 3 Ayat (1) dan Ayat (2) serta Penjelasan Pasal 3 Aya t (1) dan Aya t (2). 13 P-13 Undang - Undang Nomor 41 Tahun 1991 tentang Kehutanan - vide Pasal 38 Ayat (1) dan Ayat (3) dan Penjelasan Pasal 38 Ayat (1) dan Ayat (3), Pasal 42 Ayat (2) dan Ayat (3) dan Pasal 45 Ayat (1) dan Ayat (2). Menimbang, bahwa permohonan keberatan hak uji materiil tersebut telah disampaikan kepada Termohon pada tanggal 25 April 2017 berdasarkan Surat Panitera Muda Tata Usaha Negara Mahkamah Agung Nomor 31/PER- PSG/IV/31 P/HUM/2017 , Tanggal 25 April 2017 _; _ Menimbang, bahwa terhadap permohonan Pemohon tersebut, Para Termohon telah mengajukan jawaban tanggal 21 Juni 2017, yang pada pokoknya sebagai berikut; Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 146 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 147 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 I. POKOK-POKOK PERMOHONAN PEMOHON A. UJI MATERIIL TERHADAP PERATURAN PEMERINTAH Bahwa pada intinya Para Pemohon mengajukan uji materi terkait ketentuan dalam PP a quo yang menyangkut:
Ketentuan yang berkaitan dengan Pembayaran PNBP dalam PP a quo (PP 33/2014, PP 24/2010, dan PP 105/2015):
Bahwa pengenaan dan pemberlakuan norma tentang pengenaan PNBP atas penggunaan seluruh area kawasan hutan yang dipinjampakaikan dan seluruh area perjanjian pinjam pakai kawasan hutan khususnya dalam rangka kegiatan pertambangan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1 ayat (2), ayat (3) dan (5) dan Lampiran PP 33/2014, Pasal 21 ayat (1) huruf a PP 24/2010, Pasal 6 ayat (2) huruf b angka 1 dan Pasal 15 ayat (1) huruf b PP 105/2015, merupakan jenis pungutan lain yang bersifat memaksa dan dapat ditagih secara memaksa yang pengaturannya harus diatur dalam bentuk UU dan bukan dengan PP, sehingga bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945 dan Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) UU PNBP dan Pasal 5 huruf c, d serta Pasal 6 ayat (1) huruf g UU 12/2011.
Pasal a quo juga bertentangan dengan UU 41/1999 yang merupakan lex spesialis tentang kehutanan tersebut tidak pernah diatur dan disebutkan secara jelas dan tegas mengenai adanya PNBP atas penggunaan pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan (kegiatan non-kehutanan). Menurut Para Pemohon, UU 41/1999 tidak pernah mengatur pengenaan PNBP kepada pelaku usaha di bidang pertambangan selaku pemegang IPPKH (Ijin Pinjam Pakai Kawasan Hutan) atas timbulnya kerusakan terhadap seluruh kawasan hutan yang dipinjampakaikan, namun hanya mengatur mengenai rekognisi adanya kewajiban yang terbatas pada kawasan yang nyata telah timbul kerusakan ( limitatif ) berupa melakukan reklamasi dan rehabilitasi serta membayar dana jaminan reklamasi dan rehabilitasi. Hal ini menimbulkan ketidakadilan bagi pelaku usaha dengan adanya tambahan beban ekonomi terhadap adanya pungutan PNBP yang imajiner, liar, serta multi pungutan. Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 147 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 148 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 2. Ketentuan yang berkaitan dengan kewajiban penanaman dalam rangka rehabilitasi Daerah Aliran Sungai (DAS) pada Pasal 21 ayat (1) huruf b PP 24/2010, Pasal 6 ayat (2) huruf b angka 1 dan Pasal 15 ayat (1) huruf c PP 105/2015, bertentangan dengan bertentangan dengan Pasal 45 ayat (1) dan ayat (3) jo. Pasal 38 ayat (1) dan ayat (3) UU Kehutanan dan Pasal 5 huruf c, d, f serta Pasal 6 ayat (1) huruf g UU 12/2011, karena rumusan norma tentang kewajiban penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS di luar area IPPKH tidak diatur dan dicantumkan secara tegas dalam UU Kehutanan sehingga pemberlakuan norma kewajiban tersebut dalam bentuk PP merupakan bentuk penyelundupan norma. Dalam UU Kehutanan hanya mengatur mengenai rehabilitasi hutan di dalam area IPPKH an sich (termasuk reklamasi hutan). B. UJI MATERIIL TERHADAP PERATURAN MENTERI Bahwa Para Pemohon mengajukan uji materi terkait ketentuan dalam Permen a quo yaitu sebagai berikut:
Pasal 5 ayat (2) huruf b angka 1, Pasal 19 ayat (1) huruf d, Pasal 22 huruf e dan r angka 4, Pasal 47 ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf c Permen LHK 50/2016 yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945, UU PNBP, UU Kehutanan, dan UU 12/2011;
Pasal 15 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 28 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), dan ayat (4), Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 38, Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) Permenlhk 89/2016yang dianggap bertentangan dengan UU Kehutanan dan UU 12/2011. Menurut Para Pemohon pada intinya menganggap kewajiban penanaman dalam rangka rehabilitasi Daerah Aliran Sungai (DAS)di luar areal IPPKH bagi pemegang IPPKH dalam ketentuan Permen a quo harus berpedoman pada UU Kehutanan, sehingga ketentuan a quo bertentangan dengan UU Kehutanan dan juga UU 12/2011. Sehingga Para Pemohon mohon agar PP a quo dan Permen a quo dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (tidak sah) dan batal demi hukum serta tidak berlaku untuk umum. II. TENTANG KEDUDUKAN HUKUM ( LEGAL STANDING) PARA PEMOHON Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 148 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 149 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 Berkenaan dengan legal standing ( persona standi in judicio ) dan kepentingan hukum Para Pemohon dalam perkara aquo , Termohon menyampaikan penjelasan sebagai berikut: PARA PEMOHON TIDAK MEMPUNYAI KEDUDUKAN HUKUM ( LEGAL STANDING ) UNTUK MENGUJI KETENTUAN PASAL 1 AYAT (2), AYAT (3) DAN (5) DAN LAMPIRAN PP 33 TAHUN 2014, PASAL 21 AYAT (1) HURUF aPP 24TAHUN 2010, PASAL 6 AYAT (2) HURUF b ANGKA 1 DAN PASAL 15 AYAT (1) HURUF B PP 105/2015 DAN PASAL 5 AYAT (2) HURUF b ANGKA 1, PASAL 19 AYAT (1) HURUF d, PASAL 22 HURUF e DAN r ANGKA 4, PASAL 47 AYAT (1) HURUF a DAN AYAT (2) HURUF c PERMEN LHK 50/2016; PASAL 15 AYAT (1), AYAT (2), DAN AYAT (3), PASAL 28 AYAT (1), AYAT (2), DAN AYAT (3), DAN AYAT (4), PASAL 30 AYAT (1) DAN AYAT (2), PASAL 38, PASAL 39 AYAT (1) DAN AYAT (2) PERMENLHK 89/2016 Bahwa ketentuan Pasal 31A ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, yang berbunyi: “Permohonan sebagaimana dimaksud ayat (1) hanya dapat dilakukan oleh Pihak yang menganggap haknya dirugikan oleh berlakunya peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang...” Bahwa ketentuan Pasal 1 ayat (4) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil, berbunyi: “Pemohon keberatan adalah kelompok masyarakat atau perorangan yang mengajukan permohonan keberatan kepada Mahkamah Agung atas berlakunya suatu peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah dari undang-undang”. Ketentuan tersebut mensyaratkan bahwa permohonan keberatan uji materiil hanya dapat diajukan oleh pihak-pihak yang tepat dan adanya kerugian langsung yang diderita oleh pihak-pihak tersebut,dan benar- benar diakibatkan karena berlakunya peraturan perundang-undangan yang dimohonkan uji materi tersebut. Menurut Termohon, Para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum didasarkan sebagai berikut: Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 149 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 150 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 1. Bahwa dalam permohonannya Para Pemohon tidak menguraikan secara spesifik/jelas kedudukan hukumnya apakah sebagai “kelompok masyarakat atau perorangan” sebagaimana dalam ketentuan Pasal 1 ayat (4) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011.
Apabila menyimak pernyataan Para Pemohon ( vide halaman 1 Permohonan Para Pemohon), yang menyatakan bahwa Para Pemohon adalah Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia- Indonesian Coal Mining Association (APBI-ICMA) dan Asosiasi Pertambangan Indonesia- Indonesian Mining Association (API-IMA) yang didirikan berdasarkan akta notaris dan dalam Permohonan ini diwakili oleh Ketuanya, maka menurut Termohon, pernyataan tersebut tidak memberikan kejelasan mengenai status kedudukan hukum Para Pemohon, apakah kedudukan Para Pemohon sebagai sebuah asosiasi atau organisasi, apakah asosiasi atau organisasi tesebut telah terdaftar sebagai suatu badan hukum atau tidak, apakah badan hukum tersebut berbentuk perkumpulan atau berbentuk yayasan, dan apakah badan hukum tersebut telah disahkan menurut hukum oleh pihak Kementerian Hukum dan HAM RI. Hal-hal tersebutlah yang tidak terurai/dijelaskan oleh Para Pemohon dalam permohonannya, sehingga menimbulkan ketidakjelasan permohonan.
Menurut Termohon, terkait dengan adanya kerugian langsung yang diderita oleh Para Pemohon yang diakibatkan karena berlakunya peraturan perundang-undangan yang dimohonkan uji materi tersebut, Termohon sama sekali tidak melihat adanya kerugian tersebut. Hal ini didasarkan pada pernyataan Para Pemohon dalam permohonannya ( vide angka 10 halaman 7 permohonan Para Pemohon), yang menyatakan “berlakunya ketentuan - ketentuan a quo dan Permen a quo telah merugikan hak anggota-anggota Para Pemohon khususnya terkait dengan beban pembayaran penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dan kewajiban penanaman dalam rangka Rehabilitasi Daerah Aliran Sungai (DAS)”. Menurut Termohon kerugian yang dialami tersebut bukan merupakan kerugian yang diderita Para Pemohon melainkan anggapan kerugian dari anggota-anggota Para Pemohon. Mekanisme yang dimiliki oleh Para Pemohon untuk menyelesaikan suatu persoalan/permasalahan-permasalahan, termasuk masalah Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 150 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 151 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 PNBP dan kewajiban penanaman dalam rangka Rehabilitasi Daerah Aliran Sungai (DAS)yang dihadapi anggota-anggota Para Pemohon, adalah dengan cara “memberikan kepada pemerintah saran-saran yang penting mengenai masalah-masalah industri pertambangan serta komunikasi dan konsultasi dengan Pemerintah mengenai hal-hal yang berkaitan dengan masalah industri pertambangan batubara ” bukan dengan cara mengajukan judicial review. Hal ini merujuk pada pernyataan Para Pemohon mengenai maksud dan tujuan didirikannya Asosiasi Pertambangan Indonesia- Indonesia Mining Association yang dibentuk tanggal 26 Januari 1988 ( vide angka 9 halaman 7 permohonan Para Pemohon) dan Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia- Indonesian Coal Mining Association yang dibentuk tanggal 22 Maret 2007 ( vide angka 8 halaman 6 permohonan Para Pemohon) yaitu: membantu Pemerintah di dalam kebijaksanaan-kebijaksanaan untuk menggalakkan perkembangan industri pertambangan dan untuk memanfaatkan keterangan-keterangan yang tidak bersifat rahasia dan tidak merupakan hak milik guna memajukan eksplorasi penambangan, pemurnian hasil-hasil tambang serta aspek-aspek yang bertalian dengan metalurgi di Indonesia, memberikan saran-saran untuk industri pertambangan di Indonesia dan meningkatkan kesadaran dan pengertian atas masalah-masalah penting (kritis) yang menyangkut industri pertambangan seutuhnya, memberikan kepada pemerintah saran-saran yang penting mengenai masalah-masalah industri pertambangan, menyebarkan secara luas keterangan mengenai kebijakan dan peraturan-peraturan pemerintah kepada-anggota dan menyebar-luaskan citra positif mengenai usaha pertambangan kepada khalayak umum. Didalam anggaran dasar Para Pemohon tidak tercantum pasal yang menyatakan bahwa Para Pemohon mewakili kepentingan anggotanya didalam maupun diluar pengadilan, sehingga jika terdapat kerugian oleh para anggota Pemohon terkait berlakunya suatu ketentuan maka yang seharusnya mengajukan gugatan hukum/permohonan uji materi ke pengadilan adalah anggota-anggota Para Pemohon yang kepentingannya dirugikan, mengingat tidak semua perusahaan pertambangan menjadi anggota Para Pemohon. Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 151 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 152 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 Bahwa Para Pemohon pernah mengajukan uji materi terhadap Pasal 1 ayat (2), Pasal 1 ayat (3) huruf a dan Pasal 1 ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2014, dan telah diputus oleh Mahkamah Agung dengan putusan No. 16P/HUM/2015 pada tanggal 8 Desember 2015 dengan amar putusan permohonan tersebut dinyatakan tidak dapat diterima (NO)( vide Bukti T-1). Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung tersebut, maka Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) dalam pengajuan permohonan HUM atas perkara tersebut. Berdasarkan uraian tersebut di atas, adalah tepat jika Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Agung menyatakan Para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) dan karenanya permohonan Para Pemohon wajib dinyatakan tidak dapat diterima ( NIET ONVANKELIJK VERKLAARD) . III. LATAR BELAKANG TERBITNYA PERATURAN PEMERINTAH A QUO DAN PERATURAN MENTERI A QUO Sebelum Termohon memberikan tanggapan atas permohonan Para Pemohon, Termohon akan menyampaikan landasan filosofi sebagai berikut:
Latar Belakang Terbitnya Norma Kewajiban Pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Kepentingan Pembangunan di Luar Kegiatan Kehutanan Sebagaimana Diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2014, Pasal 21 ayat (1) huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010, Pasal 6 Ayat (2) Huruf b Angka 1 dan Pasal 15 Ayat (1) Huruf B, Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2015 sertaPasal 5 ayat (2) huruf b angka 1, Pasal 19 ayat (1) huruf d, Pasal 22 huruf e dan r angka 4, Pasal 47 ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf c Peraturan Menteri LHK Nomor 50/2016; Bahwa hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada bangsa Indonesia merupakan kekayaan alam yang tak ternilai harganya wajib disyukuri. Karunia yang diberikan-Nya, dipandang sebagai amanah, karenanya hutan harus diurus dan dimanfaatkan dengan akhlak mulia dalam rangka beribadah, sebagai perwujudan rasa syukur kepada Tuhan Yang Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 152 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 153 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 Maha Esa. Hutan sebagai modal pembangunan nasional memiliki manfaat yang nyata bagi kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia, baik manfaat ekologi, sosial budaya maupun ekonomi, secara seimbang dan dinamis. Untuk itu hutan harus diurus dan dikelola, dilindungi dan dimanfaatkan secara berkesinambungan bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia, baik generasi sekarang maupun yang akan datang. Dalam kedudukannya sebagai salah satu penentu sistem penyangga kehidupan, hutan telah memberikan manfaat yang besar bagi umat manusia, oleh karena itu harus dijaga kelestariannya. Hutan mempunyai peranan sebagai penyerasi dan penyeimbang lingkungan global, sehingga keterkaitannya dengan dunia internasional menjadi sangat penting, dengan tetap mengutamakan kepentingan nasional. Sejalan dengan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusional yang mewajibkan agar bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, maka penyelenggaraan kehutanan senantiasa mengandung jiwa dan semangat kerakyatan, berkeadilan dan berkelanjutan. Oleh karena itu penyelenggaraan kehutanan harus dilakukan dengan asas manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan dengan dilandasi akhlak mulia dan bertanggung-gugat. Hutan sebagai salah satu penentu sistem penyangga kehidupan, keberadaannya harus dipertahankan secara optimal dengan luasan yang cukup dan dijaga agar daya dukungnya tetap lestari. Pembangunan kehutanan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional yang tidak terpisahkan sehingga harus selaras dengan dinamika pembangunan nasional. Penggunaan kawasan hutan bertujuan untuk mengatur penggunaan sebagian kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan tanpa mengubah fungsi pokok kawasan hutan. Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan dalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung. Penggunaan kawasan Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 153 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 154 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 hutan tersebut dilakukan tanpa mengubah fungsi pokok kawasan hutan dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan. Salah satu kegiatan penggunaan kawasan hutan diluar kegiatan kehutanan adalah kegiatan pertambangan melalui pinjam pakai kawasan hutan. Pada prinsipnya bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dimanfaatkan untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat (Pasal 33 ayat (3) UUD 1945). Bahwa para pelaku usaha telah diberikan kesempatan untuk mengambil keuntungan atas sumber daya alam (hutan) yang seharusnya menjadi kekuasaan dari negara untuk mewujudkan kemakmuran rakyat,sehingga negara harus memperoleh kompensasi atas hilangnya sumber daya alam tersebut untuk dikembalikan kepada masyarakat. Salah satu bentuk kompensasi tersebut adalah membayar Penerimaan Negara Bukan Pajak kepada Negara. Untuk mengoptimalkan Penerimaan Negara Bukan Pajak guna menunjang pembangunan nasional, Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berasal dari penggunaan Kawasan Hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang berlaku pada Kementerian Kehutanan sebagai salah satu sumber penerimaan Negara, perlu dikelola dan dimanfaatkan untuk peningkatan pelayanan kepada masyarakat. Kementerian Kehutanan telah memiliki tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berasal dari penggunaan Kawasan Hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang berlaku pada Kementerian Kehutanan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2008 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Kepentingan Pembangunan di Luar Kegiatan Kehutanan yang Berlaku pada Departemen Kehutanan. Namun untuk pengendalian penggunaan kawasan hutan guna menunjang pembangunan di luar kegiatan kehutanan serta untuk melakukan penyesuaian jenis dan tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berasal dari penggunaan Kawasan Hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 154 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 155 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 kehutanan yang berlaku pada Kementerian Kehutanan, perlu mengenakan tarif terhadap seluruh area penggunaan kawasan hutan dan mengatur kembali jenis dan tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan pajak yang berasal dari penggunaan Kawasan Hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang berlaku pada Kementerian Kehutanan dengan Peraturan Pemerintah. Berdasarkan uraian tersebut dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3) serta Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, Pemerintah perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan untuk Kepentingan Pembangunan di Luar Kegiatan Kehutanan yang Berlaku pada Kementerian Kehutanan. Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berasal Dari Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Kepentingan Pembangunan Di Luar Kegiatan Kehutanan Yang Berlaku Pada Kementerian Kehutanan. Keberadaan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2014 menjadi penting ( conditio sine qua non ) karena dikeluarkan dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3) serta Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak.
Latar Belakang Terbitnya Kewajiban Penanaman Dalam Rangka Rehabilitasi Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagaimana diatur dalam Permen LHK 89/2016 a. Hutan adalah kekayaan negara yang rentan (daya dukung dan daya tampung terbatas), yang dapat dimanfaatkan tidak melebihi kemampuannya, sehingga harus dikembalikan kondisinya pada kondisi semula. Aktivitas penambangan mengeksploitasi secara besar sumber daya hutan yang ada, sehingga mustahil untuk mengembalikan sumber daya hutan sama persis seperti kondisi semula. Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 155 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 156 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 b. Jika sumber daya hutan yang telah dieksploitasi tidak dapat dikembalikan seperti kondisi semula, maka Pemerintah wajib mengatur lebih lanjut secara optimal untuk mengurangi dampak- dampak yang ditimbulkannya. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan mewajibkan pemegang IPPKH untuk melaksanakan Reklamasi dan/atau Rehabilitasi DAS.
Rehabilitasi Hutan dan Lahan (yang selanjutnya disingkat RHL) adalah upaya untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi Daerah Aliran Sungai sehingga daya dukung, produktivitas dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga. Reklamasi hutan adalah usaha untuk memperbaiki atau memulihkan kembali lahan dan vegetasi hutan yang rusak agar dapat berfungsi secara optimal sesuai dengan peruntukannya. Revegetasi adalah usaha untuk memperbaiki dan memulihkan vegetasi yang rusak melalui kegiatan penanaman dan pemeliharaan pada lahan bekas penggunaan kawasan hutan.
Dalam ketentuan Pasal 45 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004, Pasal 21 ayat (1) huruf b PP 24/2010, Pasal 6 ayat (2) huruf b angka 1 dan Pasal 15 ayat (1) huruf c PP 105/2015, Pasal 5 ayat 2 huruf b angka 1 PermenLHK No. 50/2015,disebutkan bahwa setiap penggunaan kawasan hutan/pemegang IPPKH wajib melaksanakan Reklamasi dan/atau Rehabilitasi. Reklamasi dimaksudkan untuk memperbaiki kondisi areal yang dilakukan eksploitasi agar pulih kembali (tidak mungkin pulih kembali seperti kondisi semula). Mengingat kegiatan reklamasi oleh pemegang IPPKH tidak dapat memulihkan kembali hutan pada kondisi semula, untuk itu Pemerintah mewajibkan juga Rehabilitasi DAS di luar lokasi. Selain itu rehabilitasi DAS diluar areal izin dimaksudkan untuk mengganti kerusakan lingkungan yang bersifat permanen dan tidak dapat dipulihkan kembali pada areal izin serta untuk mengganti kerusakan lingkungan pada area sekitar lokasi yang terkena dampak akibat kegiatan IPPKH tersebut. Sebagai Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 156 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 157 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 contoh pada area IPPKH tambang emas limbah pengolahannya akan mencemari tidak hanya pada lokasi izin akan tetapi sampai di luar areal izinnya. Akibat penambangan terhadap hutan telah menimbulkan dampak sebagai berikut:
Kerusakan struktur hutan yang menyebabkan hilangnya kemampuan hutan untuk mempertahankan fungsi dan stabilitas hutan.
Hilangnya keanekaragaman flora dan fauna, karena terjadi peluang kepunahan beberapa jenis terutama jenis yang langka.
Kerusakan bentang lahan dan rusaknya fungsi hidroorologis akibat banyaknya lubang-lubang galian bekas tambang yang ditinggalkan menjadi kolam-kolam.
Hilangnya top soil yang menyebabkan hilangnya kesuburan tanah bahkan sampai kebatuan induk. Pengembalian kesuburan tanah diperlukan puluhan bahkan tahunan.
Meningkatnya suhu udara disekitar-sekitar.
Terjadinya pencemaran air.
Terjadinya kerusakan ekosistem. Sebagaimana pendapat ahli Prof. Dr. Ir. Djoko Marsono, Pakar Bidang Ekologi Sumberdaya Hutan UGM ( vide bukti T-3) Penanaman rehabilitasi DAS merupakan salah satu kewajiban pemegang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) baik pemegang IPPKH tambang maupun non tambang. IPPKH untuk kegiatan pertambangan mengubah bentang alam, mengubah hutan alam menjadi hutan tanaman sehingga mengakibatkan keanekaragaman hayati di Indonesia berkurang, sedangkan IPPKH untuk kegiatan non pertambangan tidak mengubah bentang alam. Kegiatan yang ditimbulkan oleh IPPKH untuk pertambangan pada umumnya menimbulkan kerusakan kawasan hutan lebih besar dibandingkan kerusakan yang ditimbulkan oleh IPPKH untuk non pertambangan. Berdasarkan data bulan Mei tahun 2017 di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, terdapat 717 IPPKH yang berkewajiban melakukan penanaman rehabilitasi DAS terdiri atas 573 IPPKH Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 157 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 158 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 untuk kegiatan pertambangan dan 144 IPPKH untuk kegiatan non pertambangan. Dari 573 IPPKH untuk kegiatan pertambangan, 52 IPPKH telah melakukan penanaman dan dari 144 IPPKH untuk kegiatan non pertambangan, 10 IPPKH telah melakukan penanaman.Alangkah tidak adilnya jika pemegang IPPPKH untuk pertambangan yang telah melakukan kerusakan lebih besar justru tidak mau melakukan penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS ( vide bukti T-.2). Bahwa penerbitan ketentuan kewajiban penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS sebagaimana diatur dalam objek permohonan HUM a quo sudah memperhatikan aspek sosiologis dan yuridis sebagaimana dimaksud UU No. 12/2011, yaitu:
Aspek Sosiologis Bahwa penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS merupakan kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan sebagai upaya untuk memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan fungsi Daerah Aliran Sungai sehingga daya dukung, produktivitas dan peranannya dalam mendukung perlindungan sistem penyangga kehidupan tetap terjaga (vide penjelasan umum PP Nomor 76 Tahun 2008 tentang Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan). Dalam konteks pengelolaan DAS, apabila terjadi kerusakan pada suatu tempat akan berpengaruh pada tempat yang lain dalam suatu daerah aliran sungai. Dengan demikian, kegiatan IPPKH pertambangan dalam satu DAS pada suatu tempat akan berpengaruh di tempat yang lain. Apabila terjadi kerusakan di areal pertambangan, areal di luar areal pertambangan juga akan ikut rusak, sehingga perlu dilakukan reklamasi dan/atau rehabilitasi.
Aspek Yuridis Bahwa kewajiban penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS sebagaimana diatur dalam objek permohonan HUM a quo merupakan pelaksanaan atas peraturan diatasnya yaitu UU No. 41/1999 yaitu: Pasal 45 Ayat (1), (2), dan (4): Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 158 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 159 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 (1) Penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) yang mengakibatkan kerusakan hutan, wajib dilakukan reklamasi dan atau rehabilitasi sesuai dengan pola yang ditetapkan pemerintah.
Reklamasi pada kawasan hutan bekas areal pertambangan, wajib dilaksanakan oleh pemegang izin pertambangan sesuai dengan tahapan kegiatan pertambangan.
Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Dengan demikian ketentuan dalam objek permohonan a quo yang mewajibkan penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS bagi Pemegang IPPKH yang dilakukan diluar areal IPPKH secara hukum tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. IV. JAWABAN TERMOHON TERHADAP POKOK PERMOHONAN PARA PEMOHON 1. Termohon tidak sependapat dengan anggapan/argumentasi Para Pemohon dalam permohonannya yang menyatakan: Bahwa pengenaan dan pemberlakuan norma tentang pengenaan PNBP atas penggunaan seluruh area kawasan hutan yang dipinjam pakaikan dan seluruh area perjanjian pinjam pakai kawasan hutan khususnya dalam rangka kegiatan pertambangan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1 ayat (2), ayat (3) dan (5) dan Lampiran PP 33/2014, Pasal 21 ayat (1) huruf a PP 24/2010, Pasal 6 ayat (2) huruf b angka 1 dan Pasal 15 ayat (1) huruf b PP 105/2015, merupakan jenis pungutan lain yang bersifat memaksa dan dapat ditagih secara memaksa yang pengaturannya harus diatur dalam bentuk UU dan bukan dengan PP, sehingga bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945 dan Pasal 3 ayat (1), Pasal 3 ayat (1) dan (2) UU PNBP dan Pasal 5 huruf c, d serta Pasal 6 ayat (1) huruf g UU 12/2011 (halaman 16). Terhadap alasan/anggapan Para Pemohon diatas, Termohon memberikan penjelasan sebagai berikut: Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 159 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 160 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 a. Bahwa UU PNBP sebagai pelaksanaan dari amanat Pasal 23A UUD 1945 yang menyatakan “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang”, telah mengatur Penerimaan Negara Bukan Pajak ke dalam beberapa kelompok jenis PNBP sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) UU PNBP. Untuk mengantisipasi adanya potensi dari Penerimaan Negara yang bisa menjadi Penerimaan Negara Bukan Pajak, maka selain jenis kelompok Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU PNBP, juga diatur mengenai jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak lainnya ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah ( vide Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3) UU PNBP).
Bahwa UU PNBP dibentuk pada tahun 1997, sedangkan potensi jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang belum dapat teridentifikasi sangatlah banyak, dan mengingat penetapan tarif perlu mengikuti perubahan ekonomi yang sangat dinamis, sehingga perlu penyesuaian dan tidak mungkin semua diatur dalam Undang-Undang, oleh karena itu diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah ( vide Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3) UU PNBP).
Bahwa adapun jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang akan ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah juga harus dikemukakan kepada Dewan Perwakilan Rakyat RI untuk dibahas dan disusun dalam Rancangan Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara ( vide Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU PNBP).
Dalam Hukum Tata Negara, dikenal adanya teori “ Delegatie van Recht Geven” yaitu delegasi yang diberikan oleh perundang- undangan. Bahwa delegasi tersebut dimungkinkan dalam Undang-Undang disebabkan undang-undang tidak mungkin mengatur segala hal secara terperinci termasuk jenis dan tarif penerimaan bukan pajak. Dengan demikian, diperlukan penjabaran lebih lanjut dari ketentuan-ketentuan yang masih Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 160 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 161 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 bersifat umum dalam Undang-Undang ke dalam peraturan lain yang bersifat turunannya.
Selanjutnya Pemerintah memiliki tugas menyelenggarakan kesejahteraan umum, sedangkan undang-undang tidak mungkin mengatur secara terperinci hal tersebut, sehingga Pemerintah diberikan kebebasan bertindak ( freies ermessen ), dengan ketentuan kebebasan bertindak tersebut harus sesuai dengan undang-undang dan AUPB. Oleh karena itu undang-undang memberikan delegasi kepada pemerintah, untuk membentuk peraturan pelaksananya.
Berkaitan dengan Diskresi secara umum juga bisa dilakukan tidak hanya karena diskresi semata-mata tetapi diberi dasar oleh undang-undang ( delagatie van recht geven ). Artinya undang- undang sendiri yang memberikan pendelegasian tersebut, dalam hal ini UU PNBP telah memberikan pendelegasian untuk menetapkan jenis dan tarif PNBP melalui peraturan pemerintah, yakni melalui PP 33/2014.
Bahwa mencermati ketentuan sebagaimana disebutkan diatas, PNBP sebagaimana dimaksud dalam PP 33/2014 merupakan jenis PNBP dari pemanfaatan sumber daya alam ( vide Pasal 2 ayat (1) huruf b). Bahwa Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 3 ayat (2) UU PNBP telah mengatur pendelegasian secara tegas, bahwa jenis dan tarif atas jenis PNBP dalam kelompok penerimaan negara bukan pajak atas pemanfaatan sumber daya alam ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Dengan demikian PP 33/2014 tidak melanggar hierarki peraturan perundang- undangan.
Bahwa kewenangan untuk menetapkan tarif dalam bentuk Peraturan Pemerintah telah sesuai dengan Pasal 3 ayat (2) UU PNBP. Sebagaimana diketahui bahwa “materi muatan Peraturan Pemerintah adalah untuk melaksanakan Undang-Undang sebagaimana mestinya” yang artinya bahwa Peraturan Pemerintah adalah melaksanakan perintah Undang-Undang atau untuk menjalankan Undang-Undang sepanjang diperlukan dengan tidak menyimpang dari materi yang diatur dalam Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 161 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 162 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 Undang-Undang yang bersangkutan ( vide Pasal 12 UU 12/2011).
Bahwa hal tersebut sebagaimana dikuatkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 128/PUU-VII/2009 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, menyatakan: “Bahwa pendelegasian wewenang Undang-Undang untuk mengatur lebih lanjut oleh peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya adalah suatu kebijakan pembentuk Undang-Undang yakni DPR dengan persetujuan Pemerintah ( legal policy ), sehingga dari sisi kewenangan kedua lembaga itu tidak ada ketentuan UUD 1945 yang dilanggar, artinya produk hukumnya dianggap sah. Pengaturan lebih lanjut dalam bentuk Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri Keuangan dan Keputusan Direktur Jenderal Pajak, di samping untuk memenuhi kebutuhan Pemerintah dengan segerasupaya ada landasan hukum yang lebih rinci dan operasional, sekaligus juga merupakan diskresi yang diberikan oleh Undang-Undang kepada Pemerintah yang dibenarkan oleh hukum administrasi.” j. Bahwa pengaturan jenis dan tarif atas Penerimaan Negara Bukan Pajak merupakan pengaturan yang bersifat teknis sebagai pelaksanaan UU PNBP yang materi muatannya bersifat umum, dan hal ini telah sesuai dengan ketentuan Pasal 5 huruf c UU 12/2011 yang mengatur asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan. Sehingga apabila pengaturan jenis dan tarif PNBPdiatur dalam Undang-Undang maka menjadi tidak sesuai dengan materi muatan Undang-Undang yang bersifat umum.
Bahwa sesuai dengan konsideran menimbang huruf b PP No. 33 Tahun 2014 menyatakan bahwa “ ... untuk melaksanakan ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan ayat (2) serta Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak....”. Berdasarkan hal tersebut jenis dan tarif Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 162 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 163 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 PNBP sebagaimana diatur dalam PP No.33 Tahun 2014 adalah untuk melaksanakan pengaturan yang diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU PNBP. Sebagai pengaturan lebih lanjut dari apa yang didelegasikan UU, pengaturan jenis dan tarif PNBP yang berasal dari penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan dalam PP a quo telah sesuai dengan ketentuan pembentukan peraturan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bahwa pengaturan jenis dan tarif PNBP berupa penggunaan kawasan hutan berdasarkan Peraturan Pemerintah a quo , telah sejalan dengan pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Agung RI No. 62 P/HUM/2013 (halaman 56 alinea terakhir s/d halaman 59), yang pada intinya menyatakan pada prinsipnya setiap pungutan yang bersifat memaksa oleh negara termasuk PNBP ditetapkan dengan Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah vide Pasal 23A UUD 1945 dan Pasal 2 ayat (3), Pasal 3 ayat (2) UU PNBP. Berdasarkan uraian-uraian tersebut diatas, terhadap dalil Para Pemohon yang menganggap pengaturan jenis dan tarif PNBP yang merupakan jenis pungutan lain yang bersifat memaksa dan dapat ditagih secara memaksa yang seharusnya diatur dalam bentuk UU dan bukan dengan Peraturan Pemerintah dianggap bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945 dan Pasal 3 ayat (1), Pasal 3 ayat (1) dan (2) UU PNBP dan Pasal 5 huruf c, d serta Pasal 6 ayat (1) huruf g UU 12/2011 adalah tidak benar dan tidak beralasan.
Termohon tidak sependapat dengan anggapan/argumentasi Para Pemohon dalam permohonannya yang menyatakan: Bahwa Pasal a quo juga bertentangan dengan UU Kehutanan yang merupakan lex spesialis tentang kehutanan tersebut tidak pernah diatur dan disebutkan secara jelas dan tegas mengenai adanya PNBP atas penggunaan pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan (kegiatan non-kehutanan). Menurut Para Pemohon, UU Kehutanan tidak pernah mengatur pengenaan PNBP oleh pelaku usaha bidang pertambangan pemegang IPPKH (Ijin Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 163 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 164 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 Pinjam Pakai Kawasan Hutan) atas timbulnya kerusakan terhadap seluruh kawasan hutan yang dipinjam pakaikan, namun hanya mengatur mengenai rekognisi adanya kewajiban yang terbatas pada kawasan yang nyata telah timbul kerusakan ( limitatif ) berupa melakukan reklamasi dan rehabilitasi serta membayar dana jaminan reklamasi dan rehabilitasi. Hal ini menimbulkan ketidakadilan bagi pelaku usaha dengan adanya tambahan beban ekonomis terhadap adanya pungutan PNBP yang imajiner, liar, serta multi pungutan (halaman 28). Terhadap alasan/anggapan Para Pemohon diatas, Termohon memberikan penjelasan sebagai berikut:
Bahwa UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan adalah undang-undang yang mencakup pengaturan yang luas tentang hutan dan teknis kehutanan, serta memberikan landasan hukum yang lebih kokoh dan lengkap bagi pembangunan kehutanan saat ini dan masa yang akan datang. Sedangkan UU yang mengatur khusus mengenai penentuan jenis dan tarif PNBP ( lex spesialis ) adalah UU No. 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak. Sehingga untuk pengaturan jenis dan tarif PNBP dibidang kehutanan tunduk pada UU No. 20/1997. Dengan demikian, UU 41/1999 bukanlah ketentuan mengatur mengenai PNBP yang berasal dari penggunaan kawasan hutan seperti yang di dalilkan Para Pemohon.
Bahwa kelompok PNBP yang berasal dari penggunaan Kawasan Hutan/dalam ketentuan PP 33/2014 a quo, termasuk dalam kelompok sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) huruf b UU PNBP yaitu kelompok penerimaan negara bukan pajak meliputi penerimaan dari pemanfaatan sumber daya alam.
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (3) UU PNBP diatur bahwa Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang belum tercakup dalam kelompok Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 164 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 165 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 d. Berdasarkan ketentuan Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang No. 20 Tahun 1997 tentang PNBP diatur bahwa Tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud padaayat (1) ditetapkan dalam Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah yangmenetapkan jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang bersangkutan. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka penerbitan PP No. 33 Tahun 2014, PP Nomor 24 Tahun 2010, dan PP Nomor 105 Tahun 2015 serta PermenLHK No. 50/2016 khususnya yang mengatur mengenai kewajiban pembayaran PNBP kepada Negara adalah sudah tepat dan benar.
Termohon tidak sependapat dengan anggapan/argumentasi Para Pemohon dalam permohonannya yang menyatakan: Perumusan dan pemberlakuan norma tentang pengenaan PNBP atas penggunaan seluruh area kawasan hutan yang dipinjam pakai kawasan hutan telah memberikan beban ekonomis yang sangat luar biasa oleh para pelaku usaha bidang pertambangan pemegang IPPKH berupa munculnya multi pungutan dan perlakuan diskriminatifdari adanya pengenaan PNBP tersebut . Adanya beban multi pungutan dan perlakuan diskriminatif tersebut memberikan dampak kerugian yang sangat signifikan bagi para pelaku usaha bidang pertambangan pemegang IPPKH (halaman 31). Terhadap alasan/anggapan Para Pemohon diatas, Termohon memberikan penjelasan sebagai berikut:
Berdasarkan konsultasi publik dan pembahasan yang dilakukan beberapa kali dengan Kementerian Kehutanan, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Keuangan, Kementerian ESDM, Kementerian KOMINFO, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Sekretariat Negara, Prof. Suparmoko, MA (Pakar Ekonomi dan Lingkungan), Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI-ICMA), Asosiasi Pertambangan Indonesia-Indonesia Mining Association (IMA), Asosiasi Perminyakan Indonesia, Asosiasi Industri Penunjang Migas, Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API) Asosiasi Kontraktor Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 165 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 166 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 Listrik dan Mekanikal Indonesia (AKLI), Asosiasi Jalan Tol Indonesia (ATI), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Asosiasi Pengelolaan Hutan Indonesia (APHI), Asosiasi Pengendali Pencemaran Lingkungan Indonesia (APPLI), dan Ikatan Profesional Lingkungan Hidup Indonesia (IPLHI) sampai dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2014 membuktikan bahwa Pemohon turut terlibat atau ikut serta dalam pembahasan penyempurnaan PP No. 2 Tahun 2008 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berasal Dari Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Kepentingan Pembangunan Di Luar Kegiatan Kehutanan Yang Berlaku Pada Kementerian Kehutanan dan menyepakati kenaikan tarif PNBP sebesar 30% untuk seluruh kategori L1, L2, dan L3. Berdasarkan hal tersebut diatas, justru menunjukkan bahwa Para Pemohon tidak konsisten dalam menanggapi permasalahan yang ada sehingga dengan demikian tidak terdapat kerugian konstitusional dari Para Pemohon.
Bahwa filosofi Penerimaan Negara Bukan Pajak Penggunaan Kawasan Hutan adalah pengganti lahan kompensasi . Lahan kompensasi untuk Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) komersil pada wilayah yang mempunyai hutan < 30% adalah ratio 1 : 2 berdasarkan luas total area IPPKH sehingga Penerimaan Negara Bukan Pajak Penggunaan Kawasan Hutan dikenakan terhadap seluruh areal IPPKH.
Negara telah memberikan hak kepada pemegang IPPKH terhadap seluruh area Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan-nya, sehingga negara harus mendapat kompensasi atas “ opportunity lose ” seluruh area IPPKH yang diberikan tersebut.
Apabila area pengembangan/area penyangga tidak digunakan maka keuntungan yang diperoleh adalah tidak diperlukan reklamasi dan hanya dikenakan 1 x tarif (biaya lebih rendah daripada 4 x tarif), sedang jika area tersebut digunakan, maka Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 166 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 167 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 wajib direklamasi dan juga dikenakan tarif PNBP 4 x tarif (biaya tinggi).
Pada kenyataan banyak pelaku usaha tidak mengusahakan atau mengerjakan seluruh areal yang diberikan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH), sebagai contoh berdasarkan data yang ada pada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan terdapat beberapa perusahaan yang mendapatkan areal IPPKH dengan luasan yang besar namun tidak dikerjakan dengan maksimal yaitu:
PT. Indexim Coalindo Pemegang IPPKH berdasarkan SK Menhut No. SK. 837/Menhut-II/2014 tanggal 29 September 2014 dengan luas areal kerja 5.732,72 Ha dengan realisasi penggunaan kawasan hutan sampai dengan saat ini belum terdapat kegiatan (Sumber Berita Acara Verifikasi tahun 2016) ( vide bukti T- 4a).
PT. Batubara Duaribu Abadi Pemegang IPPKH berdasarkan SK Menhut No. SK.681/Menhut-II/2009 tanggal 16 Oktober 2009 dengan luas areal kerja 1.4832,98 Ha dengan realisasi penggunaan kawasan hutan sampai dengan saat ini seluas 224,40 Ha (Sumber Berita Acara Verifikasi tahun 2013) ( vide bukti T- 4b).
PT. Karimun Granite Pemegang IPPKH berdasarkan SK Menhut No. SK. 172/Menhut-II/2013 tanggal 21 Maret 2013 dengan luas areal kerja 1.834,47 Ha dengan realisasi penggunaan kawasan hutan sampai dengan saat ini seluas 157,40 Ha (Sumber Berita Acara Verifikasi tahun 2015) ( vide bukti T- 4c.).
Apabila yang dikenakan Penerimaan Negara Bukan Pajak Penggunaan Kawasan Hutan hanya area terganggu saja, maka Negara mengalami kerugian antara lain :
Negara tidak mendapatkan kompensasi atas area pengembangan/area penyangga; Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 167 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 168 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 2) Negara tidak dapat memberikan area pengembangan/area penyangga kepada pihak lain yang ingin menggunakan area tersebut.
Termohon tidak sependapat dengan anggapan/argumentasi Para Pemohon dalam permohonannya yang menyatakan: Perumusan dan pemberlakuan norma tentang PNBP atas penggunaan seluruh area kawasan hutan yang dipinjam pakai tidak mencerminkan dan bertentangan dengan asas dapat dilaksanakan dan asas keadilan (halaman 43). Terhadap alasan/anggapan Para Pemohon diatas, Termohon memberikan penjelasan sebagai berikut:
Berdasarkan rekomendasi Badan Pemeriksa Keuangan RI pada kriteria L3 seharusnya mempunyai faktor pengali tertinggi dalam rumus Penerimaan Negara Bukan Pajak Penggunaan Kawasan Hutan, karena L3 mempunyai dampak kerusakan lingkungan terparah dari semua kriteria area penggunaan kawasan hutan.
Menurut Prof. Suparmoko, MA (Pakar Ekonomi dan Lingkungan) PP No. 2 Tahun 2008 sudah tidak sesuai dengan kondisi saat ini akibat adanya peningkatan nilai-nilai yang terkandung dalam kawasan hutan, adanya nilai inflasi dan kenaikan dampak kerusakan lingkungan, nilai intrinsik sumber daya hutan yang hilang akibat dari penggunaan kawasan hutan sebesar ± Rp. 85 Juta/Ha/Tahun.
Berdasarkan konsultasi publik yang diselenggarakan pada tanggal 2 Oktober 2012 yang dihadiri oleh wakil-wakil dari Kementerian Kehutanan, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Keuangan, Kementerian ESDM, Kementerian KOMINFO, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Sekretariat Negara, Prof. Suparmoko, MA (Pakar Ekonomi dan Lingkungan), Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI-ICMA), Asosiasi Pertambangan Indonesia-Indonesia Mining Association (IMA), Asosiasi Perminyakan Indonesia, Asosiasi Industri Penunjang Migas, Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API) Asosiasi Kontraktor Listrik dan Mekanikal Indonesia (AKLI), Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 168 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 169 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 Asosiasi Jalan Tol Indonesia (ATI), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Asosiasi Pengelolaan Hutan Indonesia (APHI), Asosiasi Pengendali Pencemaran Lingkungan Indonesia (APPLI), dan Ikatan Profesional Lingkungan Hidup Indonesia (IPLHI). Adapun hasil konsultasi publik tersebut salah satunya adalah pada prinsipnya seluruh peserta rapatsepakat untuk menaikkan tarif PNBP sebesar 30% untuk seluruh kategori L1, L2, dan L3.
Pembahasan tanggal Pada tanggal 30 Oktober 2012 yang dipimpin oleh Sekretaris Menko Bidang Perekonomian selaku Ketua Tim Kerja Regulasi KP3EI menghasilkan kesimpulan antara lain seluruh peserta rapat sependapat dengan rencana kenaikan tarif 30% karena tarif PNBP yang berlaku saat ini masih tergolong rendah sehingga sudah saatnya perlu disesuaikan dengan nilai inflasi yang ada.
Selain itu penyesuaian terhadap rumus pengali PNBP PKH yang semula kriteria L3 hanya dikenakan 2 kali tarif berubah menjadi 7 kali tarifdilakukan juga karena mempertimbangkan bahwa kriteria L3 merupakan area yang terkena dampak paling parah dan secara teknis tidak dapat direklamasi bahkan bisa dikatakan merupakan wilayah lost land. f. Perubahan formula tersebut juga telah memperhatikan 3 aspek yaitu:
Aspek kepastian Pengusaha : ketentuan kenaikan tarif yang jelas memberi kepastian para pengusaha untuk memperhitungkan kelayakan usahanya. Dengan pembayaran PNBP tersebut, pengusaha dapat secara pasti menjalankan usahanya. Pemerintah : ketentuan kenaikan tarif dengan kriteria yang jelas memberi kepastian penghitungan rencana dan target PNBP Masyarakat : kenaikan tarif ini memberi kepastian pada masyarakat bahwa setiap penggunaan kawasan hutan Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 169 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 170 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 disertai dengan kompensasi PNBP dengan nilai yang layak akan digunakan untuk program pembangunan sumber daya hutan yang berkelanjutan melalui mekanisme APBN.
Aspek keadilan Pengusaha : aspek keadilan dapat dilihat dari kenaikan tarif yang berbeda-beda sesuai dengan kelompok pengusahaan dan kriteria penggunaan kawasan hutan. Ketentuan besaran tarif berdasarkan pendekatan Cost Plus yaitu pengusaha membayar lebih besar karena manfaat ekonomi yang diperoleh pengusaha juga lebih besar atau dalam rangka pengendalian penggunaan kawasan hutan untuk melindungi kelestarian lingkungan/alam/sumber daya hutan. Pemerintah : kenaikan tarif dan perluasan objek PNBP adalah sebagai ganti kompensasi dari oppurtuni lost yang telah diberikan kepada pengusaha. Kenaikan hanya ± 30% dan kenaikan koofisien L3 menjadi 7x karena adanya punishment terhadap dampak kerusakan parah yang ditimbulkan dan negara harus mendapat kompensasi untuk itu untuk memperbaiki dan memelihara L3. Masyarakat : kenaikan tarif dan kenaikan koofisien memberikan rasa keadilan kepada masyarakat karena masyarakat mendapat kompensasi atas program pembangunan sumber daya hutan yang berkelanjutan melalui pemanfaatan PNBP.
Aspek manfaat Kenaikan tarif ini bermanfaat untuk kepastian berusaha, keadilan bagi Pemerintah dan masyarakat.
Termohon tidak sependapat dengan anggapan/argumentasi Para Pemohon dalam permohonannya yang menyatakan : Ketentuan yang berkaitan dengan Kewajiban Penanaman dalam Rangka rehabilitasi Daerah Aliran Sungai (DAS) pada Pasal 21 ayat Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 170 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 171 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 (1) huruf b PP 24/2010, Pasal 6 ayat (2) huruf b angka 1 dan Pasal 15 ayat (1) huruf c PP 105/2015, Permen LHK 50/2016 dan Permenlhk 89/2016bertentangan dengan Pasal 45 ayat (1) dan ayat (3) jo. Pasal 38 ayat (1) dan ayat (3) UU 41/1999 dan Pasal 5 huruf c, d, f serta Pasal 6 ayat (1) huruf g UU 12/2011 karena rumusan norma tentang kewajiban penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS di luar area IPPKH tidak diatur dan dicantumkan secara tegas dalam UU Kehutanan sehingga pemberlakuan norma kewajiban tersebut dalam bentuk PP merupakan bentuk penyelundupan norma. Dalam UU Kehutanan hanya mengatur mengenai rehabilitasi hutan di dalam area IPPKH an sich (termasuk reklamasi hutan). Terhadap alasan/anggapan Para Pemohon diatas, Termohon memberikan penjelasan sebagai berikut:
Bahwa ketentuan Pasal 12 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyebutkan bahwa “Materi muatan Peraturan Pemerintah berisi materi untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya” Penjelasan: Yang dimaksud dengan “menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya” adalah penetapan Peraturan Pemerintah untuk melaksanakan perintah Undang-Undang atau untuk menjalankan Undang-Undang sepanjang diperlukan dengan tidak menyimpang dari materi yang diatur dalam Undang-Undang yang bersangkutan b. Menurut Maria Farida Indrati Soeprapto dalam bukunya yang berjudul Ilmu Perundang-Undangan Dasar-Dasar dan Pembentukannya hal. 131 berpendapat bahwa materi muatan PP adalah keseluruhan materi muatan Undang-undang yang dilimpahkan kepadanya, atau dengan perkataan lain materi muatan PP adalah sama dengan materi muatan Undang-undang sebatas pada yang dilimpahkan kepadanya.
Ketentuan Pasal 45 UU No. 41 Tahun 1999 mengatur:
Penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) yang mengakibatkan kerusakan hutan, Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 171 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 172 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 wajib dilakukan reklamasi dan atau rehabilitasi sesuai dengan pola yang ditetapkan pemerintah.
Reklamasi pada kawasan hutan bekas areal pertambangan, wajib dilaksanakan oleh pemegang izin pertambangan sesuai dengan tahapan kegiatan pertambangan.
Pihak-pihak yang menggunakan kawasan hutan untuk kepentingan di luar kegiatan kehutanan yang mengakibatkan perubahan permukaan dan penutupan tanah, wajib membayar dana jaminan reklamasi dan rehabilitasi.
Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah . Bahwa jika dilihat dari materi muatan dalam ketentuan Pasal 21 PP 24/2010, Pasal 6 ayat (2) huruf b dan Pasal 15 ayat (1) huruf c PP 105/2015 dimaksud, ketentuan-ketentuan tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 45 jo. Pasal 38 UU 41/1999. Suatu Undang-Undang memuat peraturan yang bersifat umum, abstrak dan tidak mengatur semua hal secara terperinci. Oleh karena PP sebagai peraturan pelaksana dari Pasal 38 UU 41/1999 menjabarkan ketentuan lebih lanjut mengenai pola reklamasi dan atau rehabilitasi yang ditetapkan pemerintah. Dengan demikian apabila ditinjau dari hierarki perundang- undangan, maka dikeluarkan PP 24/2010 jo. PP 105/2015 tidak bertentangan dengan asas kesesuaian jenis, hierarki dan materi muatan.
Bahwa selanjutnya PP juga tidak dapat mengatur semua hal terutama peristiwa konkret yang terjadi sehingga PP juga memberikan wewenang kepada organ pemerintah untuk menyelesaikan peristiwa konkret tersebut serta untuk memenuhi kepentingan atau untuk mewujudkan suatu tujuan tertentu yang dibenarkan oleh hukum.
Berdasarkan Pasal 8 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan mengatur: