Badan Kebijakan Fiskal
Relevan terhadap
Fokus tata kelola yang baik, maka dapat membangun: (i) keyakinan para pelaku pasar untuk bertransasksi secara aktif; (ii) mendorong terbentuknya tingkat harga pasar yang wajar; dan (iii) memungkinkan para pelaku pasar mengukur dan mengelola risiko-risiko pasar atas dasar informasi-informasi yang tersedia ( full disclosures ). Sebaliknya pasar keuangan yang bergejolak dan rentan atas shock eksternal seperti COVID-19 akan berpotensi menimbulkan berbagai dampak spillover ; antara lain: (i) dapat mempengaruhi stabilitas lembaga-Iembaga keuangan, khususnya lembaga keuangan yang memiliki struktur pengelolaan dana yang mismatch ; (ii) dapat menyulitkan otoritas dalam memformulasikan kebijakan makroekonomi; (iii) volatilitas harga pasar akan mempengaruhi instrumen moneter yang digunakan dalam rangka transmisi kebijakan moneter ke sektor riil, misalnya suku bunga pasar; dan (iv) dapat menimbulkan beban jika otoritas dituntut untuk mengambil tindakan pemulihan stabilitas, misalnya, dalam hal terjadi ketidakstabilan pasar valuta asing yang mengakibatkan tekanan pada nilai tukar mata uang lokal, maka kebijakan yang diambil umumnya adalah meningkatkan suku bunga. Ketiga adalah optimalisasi lembaga pengawasan, terutama dibutuhkan dalam menerapkan kebijakan yang: (i) konsisten, terintegrasi, forward looking , dan cost effective ; (ii) dapat mempertahankan tingkat kompetisi yang sehat; dan (iii) dapat mendukung inovasi pasar keuangan. Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa ketidakstabilan sektor keuangan dapat mengakibatkan terganggunya aktivitas mobilisasi dana yang sangat diperlukan oleh sektor riil. Dengan terhambatnya aliran dana tersebut, sektor riil akan membatasi bahkan menghentikan aktivitas perekonomian. Di samping itu, kestabilan sektor keuangan, khususnya pasar keuangan, sangat diperlukan dalam menunjang proses transmisi kebijakan moneter. Beranjak dari pentingnya stabilitas keuangan bagi eksistensi lembaga keuangan secara individu maupun pertumbuhan sektor keuangan, moneter dan fiskal secara keseluruhan, maka diperlukan suatu kebijakan publik yang konsisten, terintegrasi dan tidak saling menimbulkan distorsi. Untuk mewujudkan pelaksanaan kebijakan tersebut, dibutuhkan adanya kolaborasi yang erat antara pihak-pihak yang bertanggungjawab terhadap stabilitas sektor keuangan, moneter, dan fiskal. Kolaborasi tersebut diperlukan untuk melakukan tindakan antisipasi ( forward looking ) untuk menjaga stabilitas sektor keuangan.
Biro KLI Kementerian Keuangan
Relevan terhadap
Bagaimana awal mula lahirnya gerakan Kota Tanpa Sampah? Kota Tanpa Sampah merupakan sebuah inisiatif dan eksperimen sosial yang dimulai sejak awal 2015. Kami coba mengajak warga di sekitar studio kami untuk aktif mengembangkan pengetahuan dan praktik di keseharian yang berkesadaran ekologis dan minim sampah. Riset dan eksperimen bersama warga ini dilakukan untuk melihat produksi sampah di rumahnya. Dari situ, terlihat bahwa persoalan sampah bukan tentang bersih kotor saja. Sampah muncul ketika ada yang salah dari cara kita memproduksi atau mengkonsumsi. Selama ini, permasalahan sampah hanya dilihat di belakang, atau pascakonsumsi dan pascaproduksi. Kita hanya berkutat di seputar bagaimana membersihkan atau melenyapkan sampah yang sudah terlanjur dihasilkan, seperti sampah di jalanan, sungai, laut, atau yang menumpuk di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA). Nah, ini mengapa masalah sampah dari tahun ke tahun tidak selesai, sebab solusinya hanya di persoalan itu saja. Kemudian, kami mengembangkan strategi rumah minim sampah yang mengintervensi di tiga tahap, yaitu tahap pra, saat, serta pascaproduksi dan konsumsi. Namanya strategi pintu depan, strategi pintu tengah, dan strategi pintu belakang. Kami merumuskan modul rumah minim sampah dan menantang warga untuk hidup minim sampah selama 7-14 hari hanya dengan menjalankan strategi tiga pintu tersebut. Hasilnya, sampah bisa dikurangi antara 40-99,9 persen di tiap rumah warga pelopor yang mengikuti eksperimen. Adakah tantangan yang dihadapi dalam memulai gerakan Kota Tanpa Sampah? Tantangannya ada dan rata-rata hampir sama. Warga terlanjur merasa nyaman dan praktis. Hanya dengan membayar Rp25.000, urusan sampah beres. Jadi, mereka berpikir kenapa mesti repot mengurusi sampah. Pendapat lainnya, ini kan tanggung jawab pemerintah, atau ini kan tanggung jawab produsen. Ada juga yang berpikir kalau sampah berkurang, bagaimana nasib pemulung. Banyak pendapat, dan sebenarnya bisa satu persatu kita diskusikan agar ada jalan keluarnya. Selama pandemi ini tercatat terjadi peningkatan sampah. Bagaimana pandangan Anda terhadap kondisi ini? Pada awal pandemi, banyak pihak menggeser urgensinya. Mereka mendahulukan pencegahan dan penanganan COVID-19, mengutamakan masalah kebersihan dan higiene. Sebenarnya ini bisa jadi kesempatan baik untuk mengingatkan kembali usaha dan upaya yang sudah ada. Seharusnya ini direspons bersama oleh semua pihak. Misalnya begini, dalam membuat panduan komprehensif dalam pencegahan dan penanganan COVID-19, kita tidak hanya memasukkan masalah higiene, tetapi juga sekalian memikirkan apa-apa yang dilakukan agar sisa konsumsi dan produksinya tetap minim sampah. Dari sisi pemerintah, dengan kondisi anggaran yang berkurang, seharusnya juga membuat satu skema yang tidak mengalihkan prioritas lain. Bisa jadi, masalah sampah yang dikesampingkan ini akan jadi bencana berikutnya bila konsentrasi hanya di satu masalah saja. Wajar jika di satu dua bulan awal kita kaget dan memilih plastik, misalnya, untuk tujuan kesehatan. Namun, harusnya ada penyesuaian. Kita harus mulai bangkit dan mencari alternatif kemasan atau sistem lain yang tidak terus menerus mengandalkan kemasan sekali pakai. Seharusnya kita tidak terlena dengan keadaan ini. Bangkit lagi bersama-sama, tidak hanya warga, tetapi juga komunitas, produsen, juga pemerintah. Langkah-langkah apa yang perlu dilakukan masyarakat supaya tetap bisa minim sampah selama masa pandemi? Jika terpaksa keluar rumah, gunakan masker yang bisa dipakai ulang. Untuk mengurangi tisu basah, bisa membawa sabun dan handuk kecil atau sapu tangan untuk mencuci tangan. Untuk menjamin higiene, membawa peralatan makan minum sendiri setiap keluar rumah harusnya lebih masuk akal dibanding mengandalkan peralatan makan minum dari makanan/minuman yang kita beli di luar. Dan kalaupun harus membeli makanan/minuman, bisa gunakan wadah sendiri. Untuk masak sehari-hari, bisa membeli di tukang sayur keliling dekat rumah. Siapkan wadah untuk bahan basah seperti ikan, daging, dan tahu. Jangan lupa membawa tas belanja. Kalau saya, kebetulan tukang sayur lewat depan rumah. Jadi, saya keluar rumah membawa baskom untuk wadah belanjaan saya. Apabila terpaksa membeli makanan secara online , pilih pedagang yang tidak mengemas makanan dengan styrofoam dan bisa mengakomodir kemasan minim sampah. Beri pesan agar tidak menggunakan sendok/ garpu plastik. Jika di rumah ada sambal botolan, sampaikan juga kita tidak perlu diberikan saus sambal saset. Seberapa penting upaya mengurangi sampah rumah tangga? Menurut hasil catatan bersama warga yang menjalani program Rumah Minim Sampah, tercatat bahwa sisa konsumsi yang dihasilkan di rumah, sekitar 50 persennya bisa dikomposkan. Berarti, 50 persen sampah bisa diselesaikan di skala rumah atau lingkungan. Jika sisa konsumsi yang dapat dikomposkan bisa diselesaikan di skala rumah atau lingkungan, tentu masalah sampah di tingkat kota, beban tumpukan sampah di TPA, dan juga biaya pengelolaan sampah akan berkurang. Bagaimana strategi mewujudkan rumah minim sampah? Tadi sempat saya sebutkan tentang strategi pintu depan, pintu tengah, dan pintu belakang. Apa sih strategi pintu depan? Jadi ini adalah hal-hal yang dilakukan sebelum kita memproduksi atau mengkonsumsi sesuatu. Kita memikirkan, merencanakan, menghindari, dan mencari alternatif produk agar sisanya tidak jadi sampah. Contohnya, sebelum belanja kita mencatat apa saja yang dibutuhkan dan membawa wadah yang diperlukan. Strategi pintu tengah adalah strategi yang dilakukan sebelum kita memproduksi dan mengkonsumsi sesuatu. Misalnya, memakai yang ada ketimbang membeli baru, memperbaiki barang rusak ketimbang buru-buru membuangnya. Kita memproduksi dan mengkonsumsi secara cermat supaya tidak menghasilkan banyak sampah ataupun sisa. Nah, strategi pintu belakang adalah strategi setelah kita memproduksi atau mengkonsumsi sesuatu, dengan meneruskan sisa produksi atau konsumsi ke siklus berikutnya. Misalnya, apakah sisa tadi masih bisa dikomposkan atau didaur ulang. Yang sudah tidak bisa dikomposkan atau didaur ulang, itulah yang disebut sampah atau residu. Itu yang terpaksa kita kirimkan ke TPA. Apa saja tips agar kita tetap konsisten menjalankan gaya hidup minim sampah? Pertama, kita kenali dulu apa motivasi terbesar kita dalam mengurangi sampah. Itu dijaga atau dijadikan penyemangat. Kemudian, kita mulai dari hal yang paling mudah kita lakukan dan paling bisa konsisten kita lakukan. Ketiga, kita bisa ajak keluarga atau komunitas supaya punya teman untuk melakukan ini bersama. Jadi, bisa saling memotivasi bila kita alami kendala atau tantangan. Selain itu, kita jadi memiliki support system ya dalam berupaya hidup yang minim sampah. Foto Dok. Pribadi Kegiatan sosialisasi wilma terkait kota tanpa sampah
dan produktif dengan fokus pada sektor informal, UMKM, petani, nelayan, sektor korporasi, dan BUMN yang memiliki peran strategis bagi masyarakat,” ujar Ubaidi. Langkah lain yang akan diterapkan yakni menjaga dan meningkatkan daya beli masyarakat, meningkatkan efektivitas perlindungan sosial, memperkuat kebijakan dalam pengendalian impor khususnya pangan, serta meningkatkan Nilai Tukar Petani (NTP) dan Nilai Tukar Nelayan (NTN). Empat pilar kebijakan teknis perpajakan Terjadinya perlambatan aktivitas ekonomi menjadi tantangan bagi pendapatan negara. Kinerja ekspor dan impor melemah, begitu pula dengan konsumsi dan investasi yang turut menurun. Direktur Potensi, Kepatuhan dan Penerimaan Pajak Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Ihsan Priyawibawa mengatakan, pada tahun 2021, pemerintahan akan melakukan optimalisasi pendapatan yang inovatif dan mendukung dunia usaha untuk pemulihan ekonomi. “Dari sisi perpajakan, pemerintah terus melakukan berbagai upaya perluasan basis pajak, dan perbaikan tata kelola dan administrasi perpajakan dalam rangka meningkatkan tax ratio ,” tutur Ihsan. Lanjutnya, penerapan Omnibus Law Perpajakan dan pemberian berbagai insentif fiskal juga diharapkan mampu mendorong peningkatan investasi dan daya saing nasional, mempercepat pemulihan ekonomi pasca pandemi COVID-19, serta memacu transformasi ekonomi. “Kebijakan teknis pajak yang akan diimplementasikan pada tahun 2021 dapat dikategorikan menjadi empat pilar kebijakan besar,” ungkap Ihsan. Pertama, mendukung pemulihan ekonomi nasional melalui pemberian insentif perpajakan yang selektif dan terukur. Kedua, memperkuat sektor strategis dalam rangka transformasi ekonomi antara lain melalui terobosan regulasi, pemberian insentif pajak yang lebih terarah, dan proses bisnis layanan yang user friendly berbasis IT. Pilar ketiga ialah meningkatkan kualitas SDM dan perlindungan untuk masyarakat dan lingkungan. Sementara, pilar terakhir ialah mengoptimalkan penerimaan pajak. Langkah ini akan diimplementasikan dalam bentuk pemajakan atas perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE), serta ekstensifikasi dan pengawasan berbasis individu dan kewilayahan. Selain itu, pemerintah juga akan meneruskan reformasi perpajakan yang meliputi bidang organisasi, SDM, dan IT. Menurut Ihsan, selama ini sektor industri pengolahan dan perdagangan menjadi penyumbang utama penerimaan pajak. Terkait dengan basis pajak baru, ia menerangkan, dari sisi aspek subjek pajak, pendekatan kewilayahan menjadi fokus utama DJP. “Adapun dari aspek objek pajak, salah satunya adalah dengan meng- capture objek pajak dari aktivitas PMSE yang semakin marak seiring dengan kemajuan teknologi informasi dan kondisi pandemi COVID-19 sekarang ini,” pungkasnya. Pembiayaan fleksibel dan responsif Penyusunan RAPBN 2021 masih belum terlepas dari situasi pandemi. Oleh sebab itu, sektor pembiayaan harus tetap antisipatif terhadap kebutuhan APBN dalam rangka pemulihan ekonomi akibat pandemi. Hal tersebut disampaikan Direktur Strategi dan Portofolio Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko, Riko Amir, dalam kesempatan wawancara dengan Media Keuangan. “Untuk arah kebijakan pembiayaan tahun depan, pembiayaan tetap fleksibel dan responsif terhadap kondisi pasar keuangan, tetapi juga tetap prudent dan memperhatikan kesinambungan fiskal,” terang Riko. Pihaknya juga terus berupaya mengembangkan skema pembiayaan yang kreatif dan inovatif, yang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. “Nah, yang paling penting, pada 2021 juga harus ada efisiensi terhadap biaya utang itu sendiri,” kata Riko yang merupakan alumnus Univesity of Groningen tersebut. Untuk tahun depan, pihaknya akan mendorong biaya bunga utang bisa makin efisien, seiring dengan pendalaman pasar keuangan, perluasan basis investor, penyempurnaan infrastruktur Surat Berharga Negara (SBN) itu sendiri, serta diversifikasi pembiayaan. “Indonesia tidak bisa mengelak dari pandemi ini. Oleh karena itu, pemerintah melakukan kebijakan counter cyclical di mana ketika pertumbuhan ekonominya menurun, pemerintah melakukan berbagai cara untuk membantu boosting ekonomi,” ujar Riko. Di sisi lain, Riko mengungkapkan sejumlah lembaga pemeringkat utang melihat Indonesia telah melakukan kebijakan on the right track dan mampu menjaga stabilitas makroekonominya. Pada bulan Agustus lalu, salah satu lembaga pemeringkat utang yaitu Fitch mempertahankan peringkat utang Indonesia pada posisi BBB dengan outlook stable . Fitch mengapresiasi pemerintah lantaran telah merespons krisis dengan cepat. Mereka menilai pemerintah telah mengambil beberapa tindakan sementara yang luar biasa, meliputi penangguhan tiga tahun dari plafon defisit 3 persen dari PDB dan pembiayaan bank sentral langsung pada defisit. “Penilaian tersebut menjadikan pemerintah lebih confidence dalam menjalankan peran untuk menjaga stabilitas ekonomi di tengah pandemi ini,” pungkas Riko Amir. Dengarkan serunya wawancara bersama para narasumber pilihan Media Keuangan
Rapika Erawati S.H. ...
Relevan terhadap
kebijakan pengaturan dalam PMK SBM tahun anggaran sebelumnya (Peraturan Menteri Keuangan Nomor 119PMK.02/2020 tentang Standar Biaya Masukan Tahun Anggaran 2021), termasuk masih mempertimbangan pelaksanaan teknis kegiatan di masa pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) yang antara lain kegiatan-kegiatan yang sebelumnya offline (rapat konsiyering, rapat dalam kantor, dan rapat-rapat lainnya, diklat-diklat) dapat difasilitasi dengan kegiatan yang dilakukan secara online yang mengakibatkan efisiensi dari Kementerian Negara/Lembaga terkait sehingga biaya untuk konsumsi rapat/diklat maupun transportasi rapat/diklat bias berkurang dari Kementerian Negara/Lembaga terkait. Penyesuaian besaran SBM TA 2022 dapat saja dilakukan dengan mempertimbangkan proyeksi inflasi untuk masing-masing item di masing-masing provinsi di Indonesia. Selain itu, penyesuaian SBM TA 2022 dapat juga berasal dari usulan atau hasil koordinasi dengan Kementerian Negara/Lembaga terkait yang akan menggunakan SBM TA 2022. Menurut penulis, beberapa hal penyempurnaan yang dilakukan dalam PMK SBM TA 2022 dari PMK SBM TA 2021 antara lain penyempurnaan norma, yaitu penyesuaian norma honorarium narasumber, penyesuaian norma honorarium Penanggung jawab pengelolaan keuangan, honorarium pengadaan barang/jasa. Honorarium pengelola sistem akuntansi instansi (SAI) dan penyempurnaan besaran yakni penyesuaian uang harian luar negeri di Afrika, penyesuaian indeks bahan makanan Mahasiswa/Siswa Sipil dan mahasiswa Militer/Semi Militer di lingkungan sekolah kedinasan, satuan biaya operasional khusus kepala perwakilan RI di luar negeri, hasil survei BPS. Penyempurnaan norma maupun redaksional tersebut lebih mempertegas pengaturan/penjelasan item-item SBM sehingga diharapkan SBM TA 2022 lebih mudah dipahami dan diimplementasikan oleh Kementerian Negara/Lembaga selaku pengguna SBM TA 2022. Pada prinsipnya PMK SBM 2022 bertujuan untuk menjaga efisiensi anggaran negara, serta membuat standar yang sama untuk seluruh kementerian negara/Lembaga. Dengan adanya PMK SBM TA 2022, penulis berharap bahwa proses perencanaan anggaran di kementerian negara/lembaga dapat menjadi lebih efektif dan efisien dimana sudah ada standar biaya dalam menentukan suatu pelaksanaan kegiatan kementerian negara/Lembaga yang memuat mengenai satuan biaya berupa harga satuan, tarif, dan indeks, namun tetap dengan memperhatikan kualitas pelaksanaan kegiatan dan tugas pada masing- masing kementerian negara/lembaga. PMK SBM TA 2022 dapat diunduh https: //jdih.kemenkeu.go.id/download/a73998d2-c308- 4451-a907-35438a028e80/60~PMK.02~2021Per.pdf
Biro KLI Kementerian Keuangan
Relevan terhadap
Laporan Utama Teks CS. Purwowidhu TANGKAS MENANGGULANGI KEDARURATAN 21 VOL. XV / NO. 153 / JUNI 2020 C OVID-19 yang belum kunjung usai tidak hanya mengorbankan kesehatan masyarakat tapi juga kian berdampak pada ekonomi. Di tengah kecamuk pandemi, pemerintah terus mengadaptasi kebijakan dengan kebutuhan kondisi terkini. Kecepatan pemenuhan anggaran penanganan COVID-19 ini menjadi sebuah keharusan agar pandemi segera terbasmi dari negeri. Simak wawancara Media Keuangan dengan Staf Ahli Bidang Pengeluaran Negara, Kunta 1 Tahun 2020 memberikan fleksibilitas pada pemerintah untuk melakukan berbagai macam kebijakan atau pengelolaan alokasi anggaran supaya bisa cepat bergerak, seperti realokasi dan refocusing belanja Kementerian/Lembaga (K/L) dan Transfer ke Daerah dan Dana Desa, termasuk tambahan anggaran yang difokuskan ke tiga hal kesehatan, jaring pengaman sosial, dan dukungan dunia usaha. Hal tersebut, juga didukung dengan kemungkinan untuk melakukan relaksasi defisit juga. Kita juga melakukan monitoring dan evaluasi berkala secara intensif sehingga kebutuhan di tiga fokus tadi bisa terpenuhi. Koordinasi dengan BI, OJK, dan LPS juga terus dilakukan untuk menjaga kestabilan sektor keuangan. Kebijakan anggaran apa saja yang diambil untuk mendukung sektor kesehatan dalam upaya percepatan penanganan COVID-19? Yang pertama, adalah pembentukan gugus tugas Covid-19 yang didukung pendanaan sekitar Rp3,1 triliun dari pemanfaatan cadangan APBN, yang dimanfaatkan untuk penanganan Kesehatan di masa awal darurat pandemic Covid-19. Selanjutnya, kita memberikan stimulus fiskal berupa tambahan belanja kesehatan Rp75 triliun (dari total stimulus tahap 3 sebesar Rp405 triliun) yang difokuskan pada belanja penanganan Kesehatan (antara lain peralatan, sarpras Kesehatan, dan biaya penggantian klaim perawatan pasien positif Covid-19), insentif dan santunan kematian bagi tenaga medis, dan bantuan iuran peserta BPJS Kesehatan untuk segmen Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP) Kelas 3. Lalu kita juga lakukan kebijakan realokasi dan refocusing anggaran K/L dan pemda. Dalam hal ini, Kementerian Keuangan terus memantau perkembangan revisi anggaran K/L untuk penanganan COVID-19 serta pelaksanaan anggarannya. Selain itu, kita juga memberikan insentif fiskal berupa fasilitas perpajakan, khususnya untuk pengadaan peralatan kesehatan dan obat-obatan. Dengan dukungan tersebut, sekarang sudah banyak industri dalam negeri yang bisa memproduksi Alat Pelindung Diri (APD), bahkan ada juga yang bisa memproduksi ventilator pernafasan. Upaya apa yang dilakukan untuk memastikan kecukupan anggaran penanganan COVID-19? Pemerintah akan terus memantau kebutuhan anggaran, dikaitkan dengan proyeksi berapa lama pandemi ini akan terjadi. Semakin lama, dan semakin banyak korban, tentunya akan dibutuhkan lebih banyak anggaran. Sumber pendanaan ini utamanya dari pendapatan dan pembiayaan, serta realokasi dan refocusing anggaran K/L dan TKDD. Pemerintah melalui koordinasi dengan stakeholder terkait akan terus melakukan pemetaan kebutuhan anggaran penanganan Covid-19, dan memperkuat perencanaan dan keakuratan kebijakan kesehatan. Di samping itu, pemerintah akan terus mendorong refocusing anggaran K/L untuk mendukung sektor kesehatan, mengingat apabila pandemi berlangsung lebih lama, maka kegiatan K/L tidak dapat berjalan, dan anggarannya dapat direalokasi untuk mendukung intervensi kesehatan. Berapa total anggaran yang diperoleh setelah refocusing dari K/L dan pemda? Dalam menangani pandemi Covid-19 dan dampaknya, telah dilakukan kebijakan penghematan anggaran, baik belanja K/L maupun transfer ke daerah dan dana desa. Untuk penghematannya total K/L sekitar Rp145-an triliun dan untuk pemda sekitar Rp94 triliun. Uang ini digunakan sebagai salah satu sumber dana pemberian stimulus yang berfokus ke tiga hal di awal tadi. Penghematan tersebut di luar kebijakan refocusing anggaran K/L dan Pemda untuk mendukung penanganan Kesehatan. Apakah ke depan akan ada peningkatan anggaran kesehatan? Sejak 2019, rasio anggaran kesehatan terhadap APBN sebenarnya sudah lebih dari 5 persen, karena kita meng cover Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), prasarana dan sarana kesehatan, termasuk dana-dana yang di transfer ke daerah. Jadi fokusnya bukan ke persentasenya harus sekian tapi lebih kepada program apa yang mau dijalankan, lalu output dan outcome apa yang mau dituju. Tentu Covid-19 ini menjadi baseline dalam persiapan anggaran kesehatan ke depan. Misal dalam pemenuhan fasilitas kesehatan dan perbaikan JKN, baik dari segi layanan maupun sistemnya. Bagaimana dengan fokus alokasi anggaran kesehatan ke depan? Ke depan anggaran kesehatan difokuskan untuk reformasi kesehatan. Pertama, mempercepat pemulihan dampak Covid-19 melalui peningkatan dan pemerataan fasilitas kesehatan, peralatan kesehatan, dan tenaga kesehatan, serta koordinasi dengan pemda, BUMN/BUMD, dan swasta. Kedua, penguatan sistem kesehatan, baik supply maupun demand. Ketiga, penguatan health security preparedness melalui penguatan kesiapan pencegahan, deteksi, dan respons penyakit, penguatan health emergency framework, dan sistem kesehatan yang terintegrasi. Apa harapan Bapak untuk implementasi kebijakan penanganan pandemi dan ketahanan APBN? Pertama, harapan saya sinergi antara pemerintah pusat, daerah, dunia usaha, serta seluruh lapisan masyarakat terus berlanjut, termasuk sharing the pain dengan pemda itu penting. Gugus tugas penanganan pandemi sebagai implementasi kebijakan satu pintu juga penting dilanjutkan. Kemudian kita juga ingin mendukung dunia usaha untuk kesehatan, sehingga kebutuhan alat kesehatan dan farmasi dalam negeri dapat kita penuhi sendiri. Yang terakhir, dengan adanya pandemi ini seluruh sector kehidupan akan melakukan penyesuaian (yang biasa disebut new normal). Mekanisme bekerja, bentuk interaksi dalam masyarakat, dan sebagainya akan menyesuaikan. Termasuk dalam hal pengelolaan APBN. Seharusnya APBN kita dengan new normal yang kita jalani saat ini, menjadi baseline yang efektif dan efisien dalam proses recovery dan reformasi kebijakan fiskal di tahun 2021 dan tahun-tahun selanjutnya. Wibawa Dasa Nugraha, mengenai optimalisasi anggaran kesehatan untuk atasi kedaruratan. Bagaimana APBN kita memprioritaskan kesehatan masyarakat selama ini? Anggaran Kesehatan dan anggaran Pendidikan menjadi concern Pemerintah selama ini, untuk meningkatkan kualitas SDM. Sejak 2016, Pemerintah menjaga alokasi anggaran kesehatan minimal 5 persen dari APBN, karena kesehatan berdampak langsung ke future income orang. Kalau orang sehat, dia akan semakin produktif. Secara tidak langsung, ini juga merupakan investasi Pemerintah di bidang SDM. Dengan adanya pandemi COVID-19 bagaimana prioritas sektor kesehatan dikaitkan dengan ekonomi? Pandemi ini menimbulkan krisis kesehatan lalu berdampak ke krisis ekonomi dan akhirnya bisa berdampak ke krisis keuangan. Karena pandemik ini belum ada obatnya, maka dilakukan pembatasan- pembatasan, seperti physical distancing, work from home, dan PSBB. Maka yang paling terdampak pertama kali dari pandemi ini adalah sektor riil atau informal. Sehingga menimbulkan krisis ekonomi, kalau hal ini tidak segera diatasi akan berakibat pada krisis keuangan. Dengan kata lain, kesehatan, ekonomi dan keuangan ini saling mempengaruhi, tidak dapat dipisahkan. Untuk merespons kondisi tersebut, saat ini Pemerintah memberi stimulus fiscal tahap 3 yang berfokus pada sektor kesehatan, jaring pengaman sosial, dan dukungan pada dunia usaha. Dengan demikian, bukan hanya kesehatan masyarakat yang tertangani, tetapi masyarakat miskin, rentan miskin, serta dunia usaha yang sosial ekonominya terdampak COVID-19 juga bisa tetap hidup. Sehingga selama masa pandemi, kebutuhan pokok setidaknya dapat terpenuhi, daya beli terjaga dan saat pandemi berakhir, kita bisa segera bangkit kembali. Apa strategi yang dilakukan untuk mengantisipasi kebijakan yang begitu dinamis di masa darurat ini? Saat ini semuanya berubah serba cepat dan kita harus siap untuk mengantisipasinya. Jangan sampai telat karena risiko kedepannya sangat tinggi. Adanya Perppu Nomor
Biro KLI Kementerian Keuangan
Relevan terhadap
DPR). Dari berbagai instrumen itu, nanti akan kita dorong, termasuk reformasi kelembagaannya, sehingga bisa fokus dan sangat valid ,” katanya menjelaskan. Terdapat beberapa target indikator yang ingin diraih Indonesia melalui penyusunan dan implementasi RIRN 2017- 2045. Pertama, dari sisi rasio anggaran riset. Kontribusi swasta terhadap belanja riset diharapkan bisa mendekati 75 persen, sedangkan kontribusi pemerintah baik pusat dan daerah diharapkan berada di kisaran 25 persen. Saat ini diketahui, sebanyak 86 persen belanja riset masih didominasi oleh pemerintah. Sementara sisanya sebesar 14 persen berasal dari swasta dan universitas. Tidak hanya itu, RIRN juga menargetkan total belanja riset Indonesia bisa mencapai 1,68 persen dari PDB pada 2025 mendatang, naik dibandingkan belanja saat ini yang hanya sebesar 0,25 persen dari PDB. Kedua, dari sisi SDM. RIRN mematok target rasio kandidat SDM IPTEK terhadap jumlah penduduk Indonesia. Pada 2025 diharapkan terdapat 3.200 orang per 1 juta penduduk, serta 8.600 orang per 1 juta penduduk pada 2045. RIRN menyebutkan, kecukupan jumlah SDM ini perlu dipenuhi agar kontribusi riset bisa berperan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Sebab, mereka berpotensi menjadi pelaku ekonomi yang berbasis IPTEK di masa depan. Ketiga, terkait produktivitas periset. Pada 2025 pemerintah menargetkan dari setiap 100 periset, terdapat sedikitnya 8 publikasi internasional bereputasi, serta 22 publikasi internasional bereputasi per 100 periset pada 2045. Untuk mencapai itu semua, pemerintah perlu membangun ekosistem yang ramah bagi kegiatan riset. Selain terkait kelembagaan riset, pemerintah menjalankan sejumlah strategi guna menumbuhsuburkan kegiatan riset. Mulai dari peningkatan kerjasama riset dengan industri, pemberlakuan pengurangan pajak hingga tiga kali lipat bagi perusahaan yang bersedia mengalokasikan anggarannya untuk kegiatan riset ( triple tax deduction ), serta pemberian insentif bagi industri yang melakukan hilirisasi produk-produk hasil riset. Selain itu, guna memunculkan tunas periset baru, pemerintah mendorong peneliti muda di bangku sekolah untuk terlibat dalam banyak kegiatan penelitian. Dimyati juga menuturkan, pemerintah tengah menyiapkan program sertifikasi bagi masyarakat peneliti, yang bukan dari lembaga penelitian, untuk dapat disetarakan. Dana abadi untuk kegiatan riset Sejumlah strategi yang hendak dilakukan guna membangun ekosistem yang ramah bagi kegiatan riset tidak lepas dari kebutuhan anggaran. Sebagaimana diketahui, saat ini, anggaran riset Indonesia ( Gross of Expenditure on Research and Development , GERD) baru mencapai 0,25 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Diakui Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, pemerintah terus mengupayakan yang terbaik guna meningkatkan anggaran riset menuju jumlah idealnya. Salah satunya melalui dana abadi riset. “Ide dana abadi riset bahwa di dalam anggaran pendidikan kita sebesar 20 persen dari APBN, perlu adanya pemihakan kepada penelitian. Jadi mulai tahun 2019 dialokasikan (dana abadi riset) sekitar Rp1 triliun,” ungkap Menkeu. Dana abadi riset ini menjadi salah satu terobosan pemerintah guna mengatasi keterbatasan anggaran riset. Di luar dana abadi riset, pemerintah pada 2019 telah mengalokasikan anggaran penelitian sebesar Rp35,7 triliun. Jumlah ini meningkat dari tahun sebelumnya, sebesar Rp33,8 triliun pada 2018 dan sebesar Rp24,9 triliun pada 2016. Selanjutnya pada 2020, pemerintah kembali mengaloaksikan dana abadi riset. Kali ini, besarannya hingga lima kali lipat dana abadi riset tahun sebelumnya, yaitu sebesar Rp5 triliun. Dengan demikian, total dana abadi riset Indonesia saat ini nyaris mencapai Rp6 triliun. Menristek Bambang Brodjonegoro menyampaikan, nantinya penggunaan dana abadi tersebut ditujukan terutama untuk kegiatan riset dan inovasi yang mendukung tiga hal. Pertama, peningkatan pada nilai tambah sumber daya alam. Kedua, peningkatan substitusi impor dengan produk sama, tapi bernilai tambah atau berharga lebih murah dan mudah didapat. Ketiga, berguna bagi kebutuhan masyarakat, khususnya UMKM dengan teknologi yang tepat guna. Sementara itu, dia menyebutkan, dana abadi riset ditujukan kepada peneliti, perekayasa, atau inovator yang diharapkan menghasilkan produk yang memberikan nilai dan dampak yang besar untuk pembangunan nasional, khususnya pembangunan ekonomi. “Serta penggunaannya akan melewati sistem seleksi yang sangat ketat sehingga benar-benar menghasilkan program yang tepat dan baik,” katanya. Kuatkan koordinasi lembaga riset Sebagaimana diketahui, pengelolaan anggaran riset (selain dana abadi riset) selama ini tersebar di 52 kementerian dan Lembaga (K/L). Dari total 52 K/L tersebut, sebanyak tujuh lembaga dedikatif untuk riset (BPPT, LIPI, Bapeten, LAPAN), sedangkan 45 lainnya merupakan kementerian yang memiliki kegiatan penelitian dan pengembangan. Itu sebabnya Menkeu Sri Mulyani Indrawati begitu menyoroti pentingnya pemanfaatan anggaran riset secara optimal. Jika (dana riset) dikelola oleh K/L yang mindset -nya hanya birokratis dan bukan dalam rangka menyelesaikan masalah atau meng- adress suatu isu, maka anggaran (riset) yang besar tidak mencerminkan kemampuan dan kualitas untuk bisa menghasilkan riset,” sebutnya. Sehubungan dengan itu Dimyati menyebutkan, dari sekian banyak institusi yang melakukan riset, tidak jarang riset yang dihasilkan saling bertumpang tindih. “(Bahkan), kadang-kadang riset itu betul-betul copy paste dengan riset yang diadakan di litbang K/L. Jadi tidak satu framework ,” ungkapnya. Itu sebabnya, pemerintah membangun Badan RIset dan Inovasi Nasional (BRIN). Badan ini merupakan amanah Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2019. Fungsi utama BRIN ialah untuk mengintegrasikan segala kegiatan riset, mulai dari perencanaan, program, anggaran, serta sumber daya secara terpadu. Dengan demikian, segala kegiatan riset baik yang ada di perguruan tinggi, lembaga pnelitian dan pengembangan baik pusat maupun daerah, serta di sejumlah kementerian, tidak berjalan sendiri-sendiri tanpa tujuan. “Hal terpenting adalah menghindarkan dari berbagai tumpang tindih pelaksanaan kegiatan riset, serta menghindarkan inefisiensi penggunaan sumber daya, khususnya anggaran yang relatif masih kecil, namun difokuskan pada kegiatan riset yang dapat memberikan nilai dan dampak yang luas bagi masyarakat bangsa dan negara, baik di masa sekarang maupun di masa yang akan dating,” jelas Menristek. Nantinya segala program dan anggaran riset sepenuhnya berada di bawah pengawasan BRIN. “Meski demikian, lembaga- lembaga (riset) yang saat ini ada, diharapkan masih tetap eksis. Namun dengan penyesuaian organisasi yang sejalan dengan tugas-tugas yang akan diberikan setelah dikoordinasikan oleh BRIN”, harapnya. 0,0 0,5 1,0 1,5 2,0 KemenristekDIKTI: Rp2,84 triliun KKP: Rp2,37 triliun Kementan: Rp2,13 triliun Kementerian ESDM : Rp1,63 triliun Kemendikbud Rp1,49 triliun Kemenhan Rp1,43 triliun Kemenkes Rp1,27 triliun LIPI Rp1,18 triliun Kemenhub Rp1,05 triliun BPPT Rp0,98 triliun Batan Rp0,81 triliun Kemenag Rp0,79 triliun Lapan Rp0,78 triliun Kemensos Rp0,63 triliun Kemenperin Rp0,59 triliun Kemen PU & Pera Rp0,57 triliun Kemenlu Rp0,48 triliun Kemen LHK Rp0,33 triliun Lemhannas Rp0,31 triliun Kemenkeu Rp0,29 triliun 2016 2017 2018 2019 47 MEDIAKEUANGAN 46 VOL. XV / NO. 148 / JANUARI 2020