Badan Kebijakan Fiskal
Relevan terhadap
Fokus COVID-19 dan Problem Sektor Keuangan di Indonesia Untuk meningkatkan daya tahan sektor keuangan, diperlukan diagnosa terkait problem sektor keuangan di Indonesia. Permasalahan sektor keuangan pada dasarnya mencakup beragam aspek, namun permasalahan paling berat dapat dikaitkan dengan kondisi eksisting saat ini, khususnya hantaman pandemi COVID-19. Berdasarkan hasil analisa dari berbagai sumber referensi, persoalan pertama sektor keuangan adalah terkait informasi yang asimetris ( asymmetric information ), yang dapat menjadi sumber instabilitas keuangan yakni suatu situasi dimana satu pihak yang terlibat dalam kesepakatan keuangan tidak memiliki informasi yang akurat dibanding pihak lain (Ojo, 2010). Dalam konteks COVID-19 misalnya, persoalan tersebut akan mempertinggi risiko lembaga keuangan di tengah lingkungan ekonomi yang penuh dengan ketidakpastian. Persoalan kedua adalah terkait moral hazard , yang biasanya terjadi sesudah transaksi dilakukan pemberi pinjaman berada dalam posisi yang menerima risiko atas usaha yang dilakukan peminjam. Persoalan ketiga adalah belum berjalannya intermediasi lembaga keuangan secara optimal bagi masyarakat kelas bawah. Sektor keuangan secara umum digerakkan oleh dua jenis lembaga keuangan (IMF, 2012), yaitu: (i) lembaga perbankan; dan (ii) lembaga non perbankan, seperti pasar modal, lembaga pembiayaan, dana pensiun, asuransi, dan pegadaian. Secara ideal, lembaga keuangan berfungsi dalam menyalurkan dana dari pihak yang mempunyai dana ( surplus of funds ), dan pihak yang membutuhkan dana ( lack of funds ) yang dinilai mempunyai manajemen yang lebih baik dalam mengelola risiko ekonomi. Lembaga keuangan mempunyai lima fungsi penting bagi perekonomian (IMF, 2012), yaitu: (i) memobilisasi tabungan; (ii) mengelola risiko; (iii) menciptakan peluang investasi; (iv) efisiensi dan efektivitas transaksi; dan (v) memfasilitasi pertukaran barang dan jasa. Isu penting sebagai representasi kurang optimalnya lembaga keuangan adalah rendahnya tingkat aksesibilitas keuangan bagi masyarakat miskin. Aksesibilitas ini menyangkut kelompok masyarakat yang belum dapat mengakses (ditolak) pada sistem keuangan formal. Padahal dalam kasus COVID-19, banyak masyarakat kelas bawah sebagai pelaku yang terkena dampak signifikan. Tantangannya dikarenakan faktor harga maupun non-harga terhadap akses masyarakat dalam menggunakan atau memanfaatkan layanan jasa keuangan. Salah satu tantangan dalam pelaksanaan sistem keuangan di Indonesia adalah belum optimalnya industri keuangan yang menawarkan produk atau layanan keuangan yang customer-centric disertai infrastruktur finansial yang baik. Selain itu, lembaga keuangan belum bisa memberikan kemudahan akses keuangan yang berkualitas dengan biaya terjangkau dan tidak rumit. Sementara, pilar sistem keuangan inklusif sampai sejauh ini masih belum optimal (Annisa et. al, 2019), yakni: (i) edukasi dan perlindungan konsumen; (ii) pemetaan informasi keuangan; (iii) fasilitas intermediasi; (iv) saluran distribusi; dan (v) regulasi yang mendukung. Pada pihak yang lain, permasalahan dari sisi demand adalah masih rendahnya kapabilitas keuangan ( lack of financial capability ), edukasi dan kepercayaan publik serta akses keuangan yang berkualitas. Risiko lain terkait COVID-19 adalah pengetatan kondisi keuangan, dan pada saat yang sama terdapat tingginya tingkat utang perusahaan. Padahal banyak kasus pandemi terdapat pelemahan industri investasi dan kemungkinan krisis utang di banyak negara berkembang, termasuk di Indonesia. COVID-19 menjadi ancaman resesi, dan meningkatkan biaya pinjaman sehingga menyebabkan tekanan pada perusahaan dalam skala besar. Ragam persoalan tersebut mampu mengganggu kesinambungan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dan memberikan risiko terhadap stabilitas keuangan domestik. Penguatan dan Stabilitas Daya Tahan Sektor Keuangan Untuk mengatasi beragam persoalan sektor keuangan, maka dibutuhkan stabilitas sistem keuangan yang berkelanjutan. Dalam konteks
Fokus Para Deposan (“D1” dan “Dn”) memberi otorisasi kepada Tabung Haji dengan dokumen wakalah untuk menginvestasikan simpanannya. Tabung Haji memobilisasi tabungan dan menginvestasikannya dalam beberapa proyek industri seperti pertanian, komersial, dan real estate dan proyek lainnya sesuai dengan prinsip syariah. Tabung Haji juga memberikan pembiayaan untuk mendanai pengusaha muslim dan usaha kecil dengan beberapa akad seperti musyarakah , mudarabah , ijarah , murabahah , qardhul hasan , dan bai bithaman ajil . Manfaat yang diperoleh dari hasil investasi digunakan untuk membiayai calon jemaah haji mulai dari persiapan sampai dengan kembali lagi ke negaranya. Setelah dipotong pajak, biaya administrasi dan biaya penyelenggaraan haji, keuntungan yang diperoleh dari investasi ini akan dibagikan kepada para deposan dalam bentuk bonus tahunan. Dengan melihat pengalaman dari negara lain dalam pengelolaan dana haji, ke depan, dana haji Indonesia dapat dikelola dengan lebih baik dan memberikan manfaat yang lebih bagi kemaslahatan umat. Untuk itu, peran serta seluruh pihak yang terlibat dalam ekosistem penyelenggaraan ibadah haji sangat diperlukaan. Empat aspek utama yang harus diperhatikan terkait dengan ekosistem penyelenggaraan haji meliputi kebijakan ( policy ), keuangan ( finance ), industri halal ( halal industry ) dan sumber daya manusia ( human resources ). Empat aspek ini harus dikoordinasikan antar kementerian dan lembaga serta pihak terkait lainnya, agar dapat memberikan dampak positif bagi pemberdayaan ekonomi.
Fiskal Internasional peralatan dan pasokan medis dengan mendorong fasilitas perdagangan. Pilar kedua berfokus pada menyediakan bantuan bagi kelompok rentan dan menjaga kondisi ekonomi agar mampu pulih dengan kuat setelah pandemi teratasi. Anggota G20 telah mengambil langkah drastis dengan memberikan bantuan bagi dunia bisnis, rumah tangga dan bantuan atas pendapatan bagi individu serta perusahaan. IMF mencatat bantuan fiskal yang telah dipersiapkan anggota G20 mencapai 11 triliun dolar AS dengan fokus untuk melindungi nyawa dan meredam dampak ekonomi akibat kebijakan untuk meredam penyebaran virus COVID-19. Penyediaan bantuan bagi kelompok rentan dan pemulihan ekonomi ini memiliki tantangan utama dari sisi pendanaan. Ruang fiskal negara yang berbeda-beda besarnya menjadi faktor yang mempengaruhi kemampuan negara dalam menyediakan bantuan tersebut. Hal ini lebih menantang khususnya bagi negara berkembang dan berpendapatan rendah yang memiliki kapasitas meminjam lebih rendah dibanding negara maju. Pemberian bantuan yang tepat menjadi kunci untuk bisa mencapai hasil yang efektif sesuai tujuan. Berbagai bentuk bantuan seperti rekapitalisasi dan penjaminan kredit, pemotongan pajak bagi bisnis, bantuan tunai kepada perusahaan agar dapat mempertahankan pegawainya, memberikan cuti sakit yang lebih panjang adalah bantuan yang disediakan untuk sektor bisnis, terkhususnya UMKM. Bagi individu, pemerintah memberikan bantuan agar memiliki kapasitas finansial untuk bertahan hidup dengan memberikan unemployment benefit , akses terhadap bahan makanan bagi kelompok miskin dan bantuan langsung tunai. Pemerintah dibantu bank sentral dalam pemberian bantuan bagi perekonomian. Bank sentral siap melakukan semua yang diperlukan selama masih dalam mandatnya demi menyediakan bantuan juga. Kebijakan yang telah diambil oleh bank sentral sejauh ini mampu meminimalisir risiko ketidakstabilan sektor keuangan dan penyediaan likuiditas yang cukup untuk perekonomian dapat bertahan menghadapi krisis. Terkait program pemulihan ekonomi, pemimpin G20 juga menghimpun dan mengkoordinasikan aksi kebijakan di bidang perdagangan internasional yang terganggu. Arah kebijakan perdagangan G20 berbalik dari yang semula banyak menghambat perdagangan ^2 , menjadi memfasilitasi perdagangan ^3 . Pilar ketiga adalah komitmen untuk memiliki pemulihan ekonomi yang kuat, berkelanjutan, seimbang dan inklusif. Anggota G20 berada pada tahap yang berbeda-beda dalam krisis ini dan ada yang sudah mulai memikirkan exit strategies . Hal ini membuat komitmen untuk memenuhi pilar ketiga berfokus pada: (i) pertukaran informasi yang mencakup kebijakan pengendalian penyebaran COVID-19 yang diambil, tingkat persebaran COVID-19, dan upaya pembukaan kembali ekonomi; (ii) kesepakatan untuk memperkuat ketahanan pada global supply chain dan investasi internasional serta dukungan pada sistem perdagangan multilateral; (iii) memberikan bantuan bagi pekerja melalui pelatihan, reskilling dan kebijakan pasar tenaga kerja yang aktif; (iv) melakukan reformasi struktural dengan tujuan untuk peningkatan produktivitas pada jangka menengah; (v) memastikan tercapainya pembiayaan publik yang berkelanjutan dan memperbaiki balance sheets pemerintah demi mengantisipasi tantangan di masa mendatang; (vi) mendorong investasi infrastruktur yang berkualitas dan meningkatkan mobilisasi pendanaan swasta; serta (vii) mendukung kebijakan pertumbuhan yang berkelanjutan, ramah lingkungan dan inklusif. 2 Menurut UNCTAD dan WTO pada periode sebelum pandemi 3 Sebesar 70% dari kebijakan perdagangan yang terkait dengan COVID-19 kini merupakan kebijakan yang justru memfasilitasi perdagangan.
Biro KLI Kementerian Keuangan
Relevan terhadap
dan produktif dengan fokus pada sektor informal, UMKM, petani, nelayan, sektor korporasi, dan BUMN yang memiliki peran strategis bagi masyarakat,” ujar Ubaidi. Langkah lain yang akan diterapkan yakni menjaga dan meningkatkan daya beli masyarakat, meningkatkan efektivitas perlindungan sosial, memperkuat kebijakan dalam pengendalian impor khususnya pangan, serta meningkatkan Nilai Tukar Petani (NTP) dan Nilai Tukar Nelayan (NTN). Empat pilar kebijakan teknis perpajakan Terjadinya perlambatan aktivitas ekonomi menjadi tantangan bagi pendapatan negara. Kinerja ekspor dan impor melemah, begitu pula dengan konsumsi dan investasi yang turut menurun. Direktur Potensi, Kepatuhan dan Penerimaan Pajak Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Ihsan Priyawibawa mengatakan, pada tahun 2021, pemerintahan akan melakukan optimalisasi pendapatan yang inovatif dan mendukung dunia usaha untuk pemulihan ekonomi. “Dari sisi perpajakan, pemerintah terus melakukan berbagai upaya perluasan basis pajak, dan perbaikan tata kelola dan administrasi perpajakan dalam rangka meningkatkan tax ratio ,” tutur Ihsan. Lanjutnya, penerapan Omnibus Law Perpajakan dan pemberian berbagai insentif fiskal juga diharapkan mampu mendorong peningkatan investasi dan daya saing nasional, mempercepat pemulihan ekonomi pasca pandemi COVID-19, serta memacu transformasi ekonomi. “Kebijakan teknis pajak yang akan diimplementasikan pada tahun 2021 dapat dikategorikan menjadi empat pilar kebijakan besar,” ungkap Ihsan. Pertama, mendukung pemulihan ekonomi nasional melalui pemberian insentif perpajakan yang selektif dan terukur. Kedua, memperkuat sektor strategis dalam rangka transformasi ekonomi antara lain melalui terobosan regulasi, pemberian insentif pajak yang lebih terarah, dan proses bisnis layanan yang user friendly berbasis IT. Pilar ketiga ialah meningkatkan kualitas SDM dan perlindungan untuk masyarakat dan lingkungan. Sementara, pilar terakhir ialah mengoptimalkan penerimaan pajak. Langkah ini akan diimplementasikan dalam bentuk pemajakan atas perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE), serta ekstensifikasi dan pengawasan berbasis individu dan kewilayahan. Selain itu, pemerintah juga akan meneruskan reformasi perpajakan yang meliputi bidang organisasi, SDM, dan IT. Menurut Ihsan, selama ini sektor industri pengolahan dan perdagangan menjadi penyumbang utama penerimaan pajak. Terkait dengan basis pajak baru, ia menerangkan, dari sisi aspek subjek pajak, pendekatan kewilayahan menjadi fokus utama DJP. “Adapun dari aspek objek pajak, salah satunya adalah dengan meng- capture objek pajak dari aktivitas PMSE yang semakin marak seiring dengan kemajuan teknologi informasi dan kondisi pandemi COVID-19 sekarang ini,” pungkasnya. Pembiayaan fleksibel dan responsif Penyusunan RAPBN 2021 masih belum terlepas dari situasi pandemi. Oleh sebab itu, sektor pembiayaan harus tetap antisipatif terhadap kebutuhan APBN dalam rangka pemulihan ekonomi akibat pandemi. Hal tersebut disampaikan Direktur Strategi dan Portofolio Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko, Riko Amir, dalam kesempatan wawancara dengan Media Keuangan. “Untuk arah kebijakan pembiayaan tahun depan, pembiayaan tetap fleksibel dan responsif terhadap kondisi pasar keuangan, tetapi juga tetap prudent dan memperhatikan kesinambungan fiskal,” terang Riko. Pihaknya juga terus berupaya mengembangkan skema pembiayaan yang kreatif dan inovatif, yang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. “Nah, yang paling penting, pada 2021 juga harus ada efisiensi terhadap biaya utang itu sendiri,” kata Riko yang merupakan alumnus Univesity of Groningen tersebut. Untuk tahun depan, pihaknya akan mendorong biaya bunga utang bisa makin efisien, seiring dengan pendalaman pasar keuangan, perluasan basis investor, penyempurnaan infrastruktur Surat Berharga Negara (SBN) itu sendiri, serta diversifikasi pembiayaan. “Indonesia tidak bisa mengelak dari pandemi ini. Oleh karena itu, pemerintah melakukan kebijakan counter cyclical di mana ketika pertumbuhan ekonominya menurun, pemerintah melakukan berbagai cara untuk membantu boosting ekonomi,” ujar Riko. Di sisi lain, Riko mengungkapkan sejumlah lembaga pemeringkat utang melihat Indonesia telah melakukan kebijakan on the right track dan mampu menjaga stabilitas makroekonominya. Pada bulan Agustus lalu, salah satu lembaga pemeringkat utang yaitu Fitch mempertahankan peringkat utang Indonesia pada posisi BBB dengan outlook stable . Fitch mengapresiasi pemerintah lantaran telah merespons krisis dengan cepat. Mereka menilai pemerintah telah mengambil beberapa tindakan sementara yang luar biasa, meliputi penangguhan tiga tahun dari plafon defisit 3 persen dari PDB dan pembiayaan bank sentral langsung pada defisit. “Penilaian tersebut menjadikan pemerintah lebih confidence dalam menjalankan peran untuk menjaga stabilitas ekonomi di tengah pandemi ini,” pungkas Riko Amir. Dengarkan serunya wawancara bersama para narasumber pilihan Media Keuangan
MEDIAKEUANGAN 18 Laporan Utama BERTAHAN LEWAT KEMANDIRIAN PANGAN Teks Dimach Putra Pandemi COVID-19 mulai berimbas ke ekonomi Indonesia pada kuartal II tahun 2020 hingga mengakibatkan kontraksi mencapai 5,32 persen. Pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) turun di seluruh sektor. Satu sektor tetap bertahan positif. Bahkan Presiden meminta agar sektor ini diprioritaskan pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2021. dasar manusia. Manusia butuh makan untuk bertahan hidup. Terlebih para ahli sedang gencar mengingatkan pemenuhan nutrisi agar imun tubuh meningkat menghadapi virus yang sedang berkeliaran. ”Kita bisa menahan untuk tidak beli ini dan itu, tapi tidak bisa jika tidak makan.Artinya bahwa pasar dari sektor pertanian masih akan tetap tumbuh positif,” ungkapnya yakin. ”Dari 11 komoditas pangan pokok, kita masih aman dalam sisi produksi dan cadangan pangan hingga pertengahan tahun depan,” beber Agung menyebutkan kondisi ketahanan pangan nasional saat ini. Dari 11 komoditas pokok tersebut yang sebagian masih harus dipenuhi dari impor adalah bawang putih dan daging sapi atau lembu. Ia meyakinkan bahwa pemenuhan kebutuhannya sejauh ini belum terdampak meski lalu-lintas perdagangan global agak tersendat karena pandemi COVID-19. Meski begitu, pihaknya tetap waspada. ”Kita tidak tahu kapan (pandemi) berakhir, makanya koordinasi dengan berbagai pihak terkait terus kita kerjakan dalam pemenuhan kebutuhan pangan secara lebih mandiri,”ungkapnya. Perlahan mencapai ketahanan pangan Kementan akan tetap berfokus untuk menjaga pasokan 11 komoditas pangan pokok. Peningkatan produksi pada tiap komoditas masih menjadi fokus utama. Selain itu, Kementan juga tengah gencar mempromosikan program yang telah lama ada, yaitu Pekarangan Pangan Lestari, yang meningkat popularitasnya seiring bertambahnya minat masyarakat berkebun di rumah semasa pandemi. Upaya tersebut juga dibantu dengan sosialisasi mengenai diversifikasi bahan pangan lokal, termasuk diversikasi protein hewani untuk menekan angka ketergantungan kebutuhan daging sapi yang sebagian masih harus dipenuhi oleh impor. Selain itu, inseminasi buatan dan impor indukan dilakukan untuk menambah populasi ternak yang ada. Salah satu cara yang harus ditempuh untuk mencapai ketahanan pangan adalah penambahan luas lahan Dalam memprioritaskan sektor ketahanan pangan, Pemerintah mengalokasikan anggaran Rp. 104,2 triliun Foto Resha Aditya P M enteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, dalam keterangan pers seusai ”Rapat Terbatas Rancangan Postur APBN Tahun 2021” menyampaikan empat hal prioritas dalam RAPBN 2021 sesuai amanat dari Presiden Joko Widodo. Prioritas dalam RAPBN 2021 itu meliputi ketahanan pangan, pembangunan kawasan industri, peningkatan dan pemerataan konektivitas digital teknologi informasi dan komunikasi (ICT), serta pendidikan dan kesehatan. tanam. Pembangunan food estate menjadi topik yang paling hangat diperbincangkan dalam hal ini. Sebidang tanah di Kalimantan Tengah seluas 600ribu hektare telah siap digarap bertahap. Tanah seluas 30 ribu hektare menjadi target pertama yang harus digarap pada periode 2020-2021. ”Hasilnya nanti menambah pasokan dari 7,46 juta hektar lahan baku sawah yang sudah kita punya,” ucap Agung. ”Agar (ekonomi) bisa tumbuh 4,5- 5,5 persen di tahun 2021, pemerintah juga akan tetap melanjutkan pembangunan infrastruktur. Hal ini juga mendukung program ketahanan pangan.” imbuh Askolani, Direktur Jenderal Anggaran Kemenkeu. Lebih lanjut ia mengungkapkan bahwa ketahanan pangan juga bergantung pada infrastruktur pendukung, seperti irigasi yang cukup. Sistem irigasi dibangun diantaranya dari pembangunan bendungan atau embung. Selain itu, konektivitas antardaerah akan mendukung distribusi bahan pangan yang lebih merata. ”Nah, dua paket kebijakan ini tidak bisa dipisahkan, antara prioritas ketahanan pangan dan juga pembangunan infrastrutur,” ucapnya. Membangun ketahanan pangan nasional adalah sebuah proses yang berkesinambungan. Kesadaran akan hal tersebut harus dimulai dari tingkat keluarga. Jika tiap keluarga di Indonesia telah memiliki kesadaran tersebut tentu akan berpengaruh ke lingkungan yang lebih besar seperti desa, lalu ke tingkat kabupaten atau kota, naik ke level provinsi, hingga akhirnya secara nasional. Namun menurut Agung, intervensi pemerintah tetap diperlukan sampai level provinsi. ”Contohnya dalam peningkatan distribusi pangan dari daerah yang surplus ke daerah yang kekurangan. Itu perlu, selain juga terus melakukan program-program kami yang telah saya sebutkan tadi,” pungkas Agung. ”Prioritas ini yang akan kita dukung untuk penambahan belanja, yakni pertama dari sisi ketahanan pangan sebagai prioritas paling tinggi,” ungkap Menkeu melalui sambungan daring video conference . Ketahanan pangan telah menjadi mimpi Indonesia sejak lama, bahkan dari masa presiden-presiden terdahulu. Presiden Joko Widodo sendiri pun memasukkannya menjadi salah satu agenda dalam Nawacita. Sejatinya hal ini sudah menjadi mimpi bersama dan hal yang berkesinambungan bagi bangsa Indonesia. Tapi baru kali ini gaung ketahanan pangan kembali terdengar nyaring. Setelah sektor ini berhasil bertahan menancapkan kukunya kuat-kuat meski sektor usaha lain tergilas oleh pagebluk. Dalam pidato penyampaian RUU APBN 2021 dan Nota Keuangan di hadapan anggota dewan, Presiden menegaskan keseriusan pemerintah dalam memprioritaskan sektor ketahanan pangan. Alokasi anggaran untuk sektor tersebut sebesar Rp104,2 triliun. Presiden juga menyampaikan tiga program utama untuk mencapai ketahanan pangan. Fokus utama yaitu mendorong produksi komoditas pangan dengan membangun sarana dan prasaran serta dan penggunaan teknologi. Kedua, revitalisasi sistem pangan nasional dengan memperkuat korporasi petani, nelayan dan distribusi pangan. Langkah ketiga adalah pengembangan food estate untuk meningkatkan produktivitas pangan. Peluang di sektor pangan Penempatan ketahanan pangan sebagai program prioritas dalam RAPBN 2021 bukan tak berdasar. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), produk domestik bruto (PDB) di sektor pertanian menjadi penyumbang tertinggi terhadap pertumbuhan ekonomi nasional pada triwulan II 2020. PDB pertanian tumbuh 16,24 persen pada kuartal II 2020 (q to q) dan bahkan jika dibandingkan dengan periode yang sama di tahun 2019 (yoy), sektor pertanian tetap berkontribusi positif yakni tumbuh 2,19 persen. Pada kuartal kedua tahun ini, hanya sektor pertanian yang masih tumbuh secara positif, sementara sektor lainnya lesu. Menurut Agung Hendriadi, Kepala Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementerian Pertanian (Kementan), tumbuhnya sektor pertanian tak lepas dari kebutuhan
idak ada satu ahli di negara mana pun yang mengetahui dengan pasti bagaimana perkembangan virus ini ke depan. Tidak ada yang tahu pasti apakah akan ada obat yang bisa menyembuhkan. Tidak ada yang tahu pasti kapan vaksin untuk penyakit ini bisa ditemukan. Sementara kebijakan pengganggaran di tahun 2021 melalui RAPBN 2021 tak bisa lepas dari persoalan dan dinamika yang terjadi di tahun ini. Akan tetapi, pemerintah berupaya optimis dan tetap realistis dalam menentukan program-program tahun depan. Dono Widiatmoko, Senior Lecture University of Derby, Inggris menyampaikan bahwa ilmu pengetahuan mengenai virus dan penyakit ini masih amat terbatas. “Ilmu kita mengenai COVID-19 di seluruh dunia sama titik nolnya, di bulan Desember. Sampai sekarang belum ada evidence yang jelas. Bisa jadi saat ini belum ada evidence kita tertular dua kali, tapi kita tidak tahu kedepannya,” terangnya. Saat ditanya negara mana yang bisa menjadi panutan dalam penanganan pandemi, pria yang mengajar Health Economic ini menjelaskan bahwa ada kelebihan dan kekurangan dari strategi tiap negara menghadapi COVID-19. “Penanganan COVID-19 siapa yang paling benar di dunia ini, tak ada yang tahu. Contohnya New Zealand dengan Swedia, keduanya negara maju. Sementara penanganan COVID-19 keduanya berbeda 180 derajat. New Zealand full lockdown sementara Swedia tidak sebab mereka penganut herd immunity, tapi orang-orang tua dijaga. Namun, di sisi lain, New Zealand ekonominya mati, Swedia ekonominya jalan, tapi angka kematiannya tinggi. Nah, tergantung kita mau contoh yang mana,” jelasnya. Memulihkan ekonomi dari gempuran pandemi Di tengah ketidakpastian ekonomi, berbagai strategi dan kebijakan dikeluarkan untuk mempercepat pemulihan ekonomi. Onny Widjanarko, Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia, berpendapat ada beberapa kebijakan baik yang telah dan akan dilakukan yang perlu diakselerasi sehingga ekonomi Indonesia dapat pulih lebih cepat. “Penanganan COVID-19 perlu dipercepat sehingga aktivitas sosial meningkat dan berimplikasi pada peningkatan aktivitas transaksi ekonomi. Sektor-sektor ekonomi yang dapat berjalan dengan protokol kesehatan perlu dibuka. Perlu percepatan penyerapan anggaran dengan jumlah besar dan inklusif. Selain itu, restrukturisasai kredit terutama UMKM dan perluasan pemanfaatan digital juga merupakan pilihan yang tepat,” tutur Onny. Hal senada juga disampaikan oleh Ralph Van Doorn, Senior Economist World Bank. Menurutnya, bangkitnya ekonomi di tengah ketidakpastian dapat dilakukan dengan menciptakan situasi yang kondusif bagi investasi, perdagangan dan inovasi dan meningkatkan kemampuan para pekerja melalui program Kartu Prakerja. Ia juga menambahkan bahwa upaya Indonesia untuk mengatasi kesenjangan infrastruktur perlu dilanjutkan sebab hal tersebut merupakan strategi kunci dalam pemulihan ekonomi paskapandemi. Selain itu, meratakan kurva utang juga perlu dilakukan sebab pembayaran bunga yang meningkat akan mengurangi ruang fiskal. Melonggarkan PSBB, membuka ekonomi Dengan pelonggaran PSBB, kegiatan ekonomi mulai bergerak dan berdampak positif. Namun di sisi lain, hal ini berisiko menurunkan status kewaspadaan terhadap COVID-19. Menurut Ralph banyak negara, termasuk Indonesia, telah menghadapi trade- off antara memperlambat penyebaran COVID-19 dan mempertahankan aktivitas ekonomi. Melalui kebijakan yang tepat, ada peluang untuk bergerak dengan aman menuju New Normal . “Ada beberapa langkah konkret bagi Indonesia agar bisa mendapatkan peluang terbaik dalam membuka kembali perekonomian. Pemerintah harus fokus dalam memperluas kapasitas laboratorium pengujian, mengintegrasikan sistem informasi untuk pengawasan, mengumpulkan data dengan baik sehingga tingkat pandemi dapat diukur lebih akurat, memastikan ketersediaan dan kesiapan layanan kesehatan termasuk produksi dan distribusi vaksin COVID-19,” tambahnya. Sementara itu, Dono menyatakan bahwa efektivitas PSBB juga diragukan. Ia melakukan penelitian evaluasi PSBB dari beberapa variabel seperti google mobility report , ojek online dan jumlah polutan udara di Jakarta. “PSBB pasti ada pengaruhnya tapi besar atau kecilnya tergantung. Ada beberapa daerah yang sukses seperti Pekalongan, Malang, dan Banyumas, tapi sekarang bocor juga. Mengapa? Sebab, kita butuh menyeimbangkan antara kebutuhan ekonomi dengan kesehatan. Maka kita perlu mengakomodasi ekonomi berjalan dengan tetap menjaga prinsip pencegahan penularan penyakit,” tuturnya. Alokasi anggaran untuk pandemi Ralph menilai langkah yang diambil Pemerintah Indonesia untuk mengakselerasi belanja produktif di sektor kesehatan, bantuan sosial dan dukungan terhadap industri dianggap tepat. “Bantuan sosial penting agar masyarakat yang kehilangan pekerjaan dan pendapat tidak jatuh dalam jurang kemiskinan. Sebab, tanpa program tersebut, kami memprediksi sebanyak 5,5 -8 juta masyarakat Indonesia akan masuk ke dalam garis kemiskinan. Namun, penting agar program tersebut diberikan tepat sasaran. Data memperlihatkan bahwa penyaluran program PKH dan Kartu Sembako sudah sesuai, tetapi efektivitas penyaluran BLT Desa dan Kartu Pra Kerja masih perlu ditingkatkan terutama menghilangkan aspek-aspek yang memperlambat pencairan,” jelasnya. Membahas mengenai alokasi anggaran, Dono menyampaikan perspektifnya bahwa selama ini mayoritas anggaran kesehatan sebaiknya tak hanya dialokasikan pada anggaran kuratif saja namun juga perlunya fokus pada program preventif dan promotif. “Seharusnya yang menjadi prioritas adalah anggaran preventif dan promotif sebab penyakit ini (COVID-19) fokusnya adalah disiplin agar kita lebih sehat dan bisa lebih imun. Saat ini, akibat COVID-19 ada beberapa masalah kesehatan yang terabaikan dan itu yang terkait dengan pencegahan seperti pre-natal care dan imunisasi dengan tutupnya posyandu. Maka, saya mohon agar semua yang ada urusannya dengan investasi manusia di masa depan diproteksi”, ujar Dono. Proyeksi kondisi ekonomi ke depan Jika terjadi gelombang kedua COVID-19 di Indonesia, Ralph memperkirakan ekonomi Indonesia akan mengalami kontraksi yang lebih dalam dari ekonomi global sebesar 7,8 persen pada tahun 2020 dibandingkan dengan skenario dasar World Bank yaitu kontraksi 5 persen. “Jika ada gelombang kedua dan diikuti pembatasan mobilitas skala besar di kuartal III dan IV maka diprediksi ekonomi Indonesia akan berkontraksi sebanyak 2 persen pada tahun 2020. Selain itu, efek yang lebih terasa adalah hilangnya pendapatan dari konsumsi dan investasi,” paparnya. Sementara itu, Onny menyatakan optimismenya bahwa ekonomi Indonesia dapat tetap terjaga dan dipertahankan untuk tumbuh positif di tengah pandemi. “Pemerintah sudah bertekad dan all out agar negara kita tidak mengalami pertumbuhan negatif di sisa kuartal tahun 2020 ini. Ditambah lagi dengan melihat tema APBN 2021 yakni Percepatan Pemulihan Ekonomi dan Penguatan Reformasi. RAPBN 2021 disusun saat kondisi ekonomi global dan domestik mengalami tekanan dan tantangan luar biasa. Menurut kami, kebijakan yang diambil sudah pas,” ujarnya. Tak dipungkiri lagi, tahun 2020 menjadi tahun yang penuh gejolak. Namun demikian, Pemerintah terus memahat optimisme salah satunya melalui APBN 2021 yang didisain sebagai instrumen percepatan pemulihan ekonomi paskapandemi. Apa saja strategi pemerintah tahun depan, simak di laporan utama berikutnya. 11 MEDIAKEUANGAN 10 VOL. XV / NO. 156 / SEPTEMBER 2020 "...pada intinya kita perlu menyeimbangkan antara kebutuhan ekonomi dengan kesehatan." Pemerintah mengakselerasi belanja produktif dalam rangka memberikan stimulus kepada perekonomian Foto Tino Adi P Dono Widiatmoko Senior Lecture University of Derby
Biro KLI Kementerian Keuangan
Relevan terhadap
berupa peningkatan aktivitas perekonomian dapat dirasakan dalam jangka waktu menengah dan panjang. Dalam kesempatan berbeda, Direktur Riset CORE, Piter Abdullah Redjalam menilai wajar langkah pemerintah memberikan insentif fiskal untuk menopang target pertumbuhan ekonomi, khususnya untuk ekspor dan investasi sebagai penyumbang terbesar kedua dan ketiga PDB nasional. Apalagi pada saat yang bersamaan, dalam dua tahun terakhir kinerja ekspor dan investasi tak begitu menggembirakan. Namun demikian, Piter menekankan perlunya menempatkan insentif fiskal dalam konteks strategi besar untuk memperbaiki struktur ekonomi agar tidak lagi bergantung pada komoditas. “Karena sifat reformasi struktural jangka panjang, arah kita pasti jangka panjang. Saya kira dalam kurun waktu lima tahun sudah bisa terlihat hasilnya,” ujarnya. Paradigma baru Insentif fiskal yang diberikan pemerintah beragam jenisnya. Secara garis besar, terang Rofyanto, insentif tersebut terbagi menjadi dua bagian. Pertama, fasilitas yang bersifat sektoral, antara lain tax holiday, tax allowance, investment allowance, fasilitas PPN tidak dipungut, dan pembebasan bea masuk. Fasilitas ini ditargetkan untuk sektor- sektor tertentu, misalnya tax bersama seirama. Berbenah butuh keuletan dan kesabaran. Apalagi jika banyak persoalan menumpuk sekian lama, mulai dari sisi perizinan, prosedur, hingga implementasi di lapangan. Beragam regulasi yang menghambat harus segera dirapikan. Untuk memancing masuknya investasi baru dan mendorong aktivitas dunia usaha, pemerintah memasang strategi pemberian insentif fiskal. Insentif fiskal memang akan berpengaruh negatif bagi penerimaan perpajakan karena memunculkan belanja perpajakan ( tax loss ). Akan tetapi, pemberian insentif diharapkan dapat melambungkan penerimaan perpajakan karena basis perpajakan yang semakin besar akibat peningkatan aktivitas perekonomian. Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Badan Kebijakan Fiskal Rofyanto menuturkan, sejak tahun 2018 Kementerian Keuangan telah melaporkan besarnya belanja perpajakan sebagai bentuk transparansi fiskal. Pada tahun itu, diestimasi besar belanja perpajakan mencapai Rp221,1 triliun atau sekitar 1,49 persen Produk Domestik Bruto (PDB). “Perlu disadari bahwa dampak langsung dan dampak tidak langsung dari insentif perpajakan memiliki perbedaan waktu atau time lag ,” jelas Rofyanto. Dampak langsung dapat dirasakan pada sistem perpajakan berupa penurunan pajak yang dikumpulkan, holiday untuk penanaman modal industri pionir. Kedua, fasilitas yang bersifat spatial (kawasan), misalnya di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) dan tempat penimbunan berikat. Di dalam kawasan tersebut, sarana dan prasarana untuk pengembangan industri diintegrasikan, termasuk pemberian fasilitas perpajakan. Pemberian fasilitas spasial ini diharapkan mampu menciptakan kantong-kantong ekonomi baru. “Dalam tahun 2019, pemerintah juga memperkenalkan jenis insentif baru, yaitu fasilitas super deduction tax yang merupakan activity-based incentive dan banyak diadopsi oleh negara-negara maju,” tambah Rofyanto. Insentif ini diberikan terhadap kegiatan vokasi dan R&D oleh Wajib Pajak (WP). Swasta didorong untuk turut aktif T iga puluh tiga perusahaan hengkang dari Tiongkok akibat perang dagang. Tiada satu pun berlabuh di Indonesia. Mereka lebih melirik negeri tetangga: Vietnam, Malaysia, Thailand, dan Kamboja. Mengapa? Rumput tetangga lebih hijau bukan fatamorgana. Nyatanya, kita memang perlu berbenah diri. Namun, memacu investasi tak seringan membalik telapak tangan. Pembenahan tata kelola investasi perlu sinergi serta menyeluruh. Pusat dan daerah harus bergerak 13 MediaKeuangan 12 VOL. XV / NO. 150 / MARET 2020 Laporan Utama “Karena sifat reformasi struktural jangka panjang, arah kita pasti jangka panjang. Saya kira dalam kurun waktu lima tahun sudah bisa terlihat hasilnya" Piter Abdullah Redjalam Direktur Riset Center of Reform on Economic CORE Indonesia Teks Reni Saptati D.I, Laporan Utama Foto Anas Nur Huda Pemerintah memberikan insentif fiskal untuk menopang target pertumbuhan ekonomi, khususnya untuk ekspor dan investasi. Berbenah Pacu Investasi
sebagai daerah kontributor tertinggi untuk realisasi investasi. Pemda Jabar juga berhasil mencatat persentase tertinggi realisasi investasi penanaman modal asing (PMA), sebesar 19,1 persen. Bumi Pasundan juga berkontribusi besar untuk menambah PDB nasional sebesar 24,4 persen di sektor industri manufaktur. Di bidang ekspor, Jabar juga memimpin sebagai daerah dengan kinerja ekspor nasional. Produk komoditas yang diunggulkan Jabar antara lain dari industri mesin, mekanik, dan elektronik, serta industri tekstil. ”Di Jawa Barat kami juga memiliki industri di bidang kendaraan, pesawat terbang dan perlengkapannya yang menyumbang 16,25 persen dari komposisi komoditas ekspor Jawa Barat,” beber Moh. Arifin Soedjayana, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Barat, merinci. Sebagai industri khas yang hanya ada di Jawa Barat, bahkan satu-satunya di Asia Tenggara, PT Dirgantara Indonesia (PTDI) memiliki peran dalam menambah angka kinerja ekspor Jabar. Sepanjang 2019 lalu, PTDI berhasil merampungkan pesanan 1 unit pesawat CN235 untuk Angkatan Darat Nepal dan 2 unit pesawat NC212i untuk MOAC Thailand. Meski secara kuantitas produk yang dihasilkan tergolong kecil, namun nominal yang dihasilkan cukup menjanjikan. Sebagai contoh, nilai kontrak dari tiga pesawat tersebut kurang lebih mencapai US$ 55 juta. Untuk memenuhi permintaan tersebut PTDI menjalin kerja sama dengan Lembaga Pembiayaan Ekspor Impor (LPEI), special mission vehicle di bawah Kemenkeu, melalui national interest account (NIA). Bantuan yang didapat berupa pembiayaan melalui skema buyer’s credit dan working capital untuk negara-negara yang dibidik oleh Perusahaan dalam kaitannya untuk peningkatan ekspor. Industri penerbangan memiliki tantangan unik yang menuntut pemain dalam industri ini terus berbenah. Dari sisi eksternal upaya peningkatan ekspor, perusahaan plat merah ini terus menyesuaikan adanya perkembangan teknologi dan pasar. Untuk itu solusinya adalah membina kerjasama strategis dengan industri penerbangan terkemuka terkemuka di dunia. Tujuannya agar dapat meningkatkan kemampuan teknologi melalui peran sebagai global supply chain. ”Sehingga technology readiness level (TRL) dan manufacturing readiness level (MRL) PTDI dapat mencapai level yang diakui di seluruh dunia” ungkap Elfien Guntoro, Direktur Utama PTDI. Nasionalisme Sebiji Cokelat Ekspor Satu lagi kisah sukses upaya peningkatan ekspor secara holistik yang melibatkan kerjasama banyak pihak datang dari Bali. Desa Nusasari di Kabupaten Jembrana baru saja ditetapkan sebagai Desa Kakao Devisa, sebuah pilot project yang diinisiasi oleh LPEI. Perjalanan panjang desa ini hingga sukses menjadi percontohan pengolahan kakao dimulai tahun 2010. Keberhasilan desa ini tak lepas dari hadirnya pendampingan dari Yayasan Kalimajari. Lembaga swadaya masyarakat (LSM) tersebut berfokus pada pemberdayaan masyarakat melalui dua komoditas spesifik yaitu kakao dan rumput laut. Tujuan mereka adalah meningkatkan potensi produk kakao di Desa Nusasari. ”Saat itu Pemda Jembrana mengizinkan kami dengan cara menghidupkan kembali Koperasi Kerta Samaya Samaniya (KSS), yang saat itu sudah terbengkalai,” ungkap IGA Agung Widiastuti, Direktur Yayasan Kalimajari. Pendekatan mereka awalnya sempat ditolak komunitas petani lokal yang sudah tidak percaya dengan Koperasi KSS yang mereka aktifkan kembali. Tapi widi dan timnya tak menyerah dalam memperkenalkan perubahan yang akan mereka buat. Beberapa poin penting yang mereka perkenalkan kepada petani lokal adalah mengubah komoditas kakao menjadi organik, berkesinambungan dan menambah value produk yang dijual menjadi fermented beans. Dengan langkah tersebut, akan meningkatkan harga jual produk. Keunggulan lain dari biji kakao fermentasi adalah pencantuman asal (origin) dari produk tersebut ketika dijual dan diolah di seluruh dunia. Perkenalan KSS dan Kalimajari dengan LPEI dimulai di 2012. Bantuan yang diberikan LPEI adalah penyediaan pelatihan dan penyediaan sarana-prasarana koperasi, yang berfokus untuk peningkatan kapasitas koperasi dan para anggotanya. Tonggak sejarah produk biji kakao hasil dari petani di Nusasari dikenal internasional terjadi pada 2014. Saat itu KSS bersiap melakukan rencana ekspor pertama mereka di tahun berikutnya. Sebagai tindak lanjut serius, KSS meminta bantuan berupa training penguatan ekspor dari LPEI. Pendampingan Yayasan Kalimajari kepada para petani yang tergabung di Koperasi KSS memang menitikberatkan pada kesinambungan. Oleh karena itu, proposal bantuan yang mereka ajukan ke LPEI lebih banyak berbentuk permohonan penyediaan pelatihan. Bagi anggota, ilmu yang diperoleh dari pelatihan akan dijadikan bekal untuk pengembangan kualitas produk biji kakao fermentasi Jembrana. Sementara itu, untuk pengelola koperasi dan yayasan pelatihan tersebut berperan dalam peningkatan kompetensi pendampingan tak hanya ke anggota, tapi juga ke pemerintah daerah dalam perumusan kebijakan. Upaya bersama ini terus dilakukan untuk menjamin kelestarian biji kakao fermentasi agar tetap menjadi komoditas utama di Jembrana. ”Dan tentunya, memastikan merah putih tetap dikenal, meski dari sebiji coklat dari Jembrana.” pungkasnya. 19 MediaKeuangan 18 VOL. XV / NO. 150 / MARET 2020 Gerak Bersama Lambungkan Indonesia Teks Dimach Putra Laporan Utama Foto Anas Nur Huda Di tahun 2019 PTDI diantaranya berhasil merampungkan pesanan satu unit pesawat CN235 untuk Nepal. MediaKeuangan 18 A kselerasi investasi dan peningkatan ekspor telah lama menjadi prioritas nasional dalam menyeimbangkan neraca transaksi berjalan. Namun dalam pelaksanaannya, kebijakan yang dirumuskan oleh pemerintah pusat untuk mendukung upaya tersebut akan banyak bersentuhan dengan wewenang pemerintah daerah (Pemda). Perlu usaha serius dari Pemda untuk terus berlomba-lomba menambah daya tarik agar daerahnya dilirik para investor untuk membuka usaha di sana. Selain itu, kesiapan pelaku usaha harus terus didorong agar produknya memiliki daya saing sebagai komoditas ekspor. Belajar dari Jabar Di tingkat nasional, Jawa Barat (Jabar) berhasil menorehkan persentase tertinggi terkait investasi. Provinsi yang dipimpin Ridwan Kamil ini mencatat
Tantangan dan hambatan dalam mendorong investasi di sektor riil Foto Resha Aditya Pemerintah Daerah turut berpartisipasi menjalankan beberapa program untuk mendorong ekspor dari industri kecil dan menengah. MediaKeuangan 10 Dari total proyek terkendala perizinan dan rekomendasi Dari total proyek terkendala lahan Dari total proyek terkendala regulasi Dari total proyek terkendala insentif fiskal Dari total proyek terkendala isu lainnya saja akan merintangi laju pertumbuhan ekonomi. Menurut Ketua Umum Kadin Indonesia, Rosan P. Roeslani, sektor konsumsi perlu dijaga sebab mendominasi postur pertumbuhan ekonomi nasional. “Memang kita harus tetap menjaga terutama konsumsi domestik kita yang memiliki kontribusi 55-56 persen dari total pertumbuhan kita,” tutur Rosan. Dengan demikian, meningkatkan pertumbuhan konsumsi domestik menjadi jalan penyelamatan. Lalu bagaimana cara untuk mendorong pertumbuhan konsumsi domestik? Akselerasi investasi adalah jawabannya. Menurut Bahlil Lahadalia, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), investasi adalah pahlawan yang menjaga kedaulatan ekonomi bangsa. “Ketika membicarakan konsumsi, tentu saja berhubungan dengan daya beli. Daya beli ini tidak terlepas dari soal kepastian pendapatan. Kepastian pendapatan bisa terwujud jika tersedia lapangan pekerjaan. Nah, investasi menjadi satu-satunya jalan untuk menciptakan lapangan pekerjaan,” terang Bahlil. Hal senada juga diungkapkan oleh Rosan P. Roeslani, Ketua Umum Kadin Indonesia. Menurutnya, investasi memegang peranan besar dalam menekan defisit transaksi berjalan hanya saja belum berjalan optimal. “Jika kita lihat, investasi meningkat dari tahun ke tahun tapi belum optimal. Kadin melihat perlunya meningkatkan peran investasi terutama investasi yang berorientasi ekspor,” ujar Rosan. Saat ditanyakan strategi BKPM dalam mendukung pemerintah menekan defisit transaksi berjalan, Bahlil mengungkapkan ada tiga langkah yang akan dilakukan. Pertama, menarik investasi untuk produk-produk substitusi impor. Kedua, mendorong investasi yang memiliki output produk ekspor. Ketiga, memanfaatkan investasi agar mampu menciptakan lapangan kerja sebesar-besarnya. “Saat ini kita sedang mendorong investasi di sektor-sektor produktif, manufaktur, padat karya yang mampu banyak menciptakan lapangan pekerjaan, yang banyak melahirkan substitusi impor dan yang berorientasi ekspor,” ungkap pria kelahiran Banda ini. Namun demikian, masih ada beberapa aspek yang menghambat masuknya investasi ke Indonesia. Untuk itu, pembenahan internal terutama birokrasi yang berbelit menjadi fokus BKPM. “Pengusaha itu butuh kepastian, kemudahan, dan efisiensi, jika tiga itu sudah didapatkan selesai sudah urusan. Maka dari itu, melalui Inpres Nomor 7 Tahun 2019, seluruh kewenangan terkait perizinan yang ada pada 22 Kementerian dan Lembaga didelegasikan ke BKPM. Harapannya adalah memotong mata rantai birokrasi yang terlalu panjang,” tegasnya. Bahlil menambahkan bahwa persepsi investasi tidak hanya dari pengusaha kelas kakap saja namun juga Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). “BKPM tidak hanya memfasilitasi pengusaha kelas besar namun juga selama usaha tersebut bermanfaat bagi masyarakat terutama dalam menyediakan lapangan pekerjaan,” jelasnya. Orientasi Ekspor Harus Berubah Selain investasi, strategi lain yang perlu dilakukan dalam mengatasi defisit transaksi berjalan adalah melalui peningkatan kinerja ekspor. Rosan berharap pemerintah dapat mengeluarkan kebijakan-kebijakan inisiatif yang dapat mendorong ekspor dan berimplikasi pada peningkatan pertumbuhan ekonomi. “Pada tahun 2019, current account deficit kita membaik sedikit. Namun, itu bukan karena ekspor yang meningkat tapi ekspor turun dan impor turunnya lebih banyak lagi. Jadi kita harus melihat dari semua sisi dan diharapkan pemerintah mengeluarkan kebijakan-kebijakan inisiatif yang mencoba untuk meningkatkan pertumbuhan kita ke depan,” jelasnya. Menurut pria yang juga merupakan chairman Recapital Group ini, sebagai salah satu ujung tombak dalam pertumbuhan ekonomi, kinerja ekspor Indonesia harus dioptimalkan dengan cara mengubah orientasi ekspor, melakukan diversifikasi negara, dan juga diversifikasi produk. “Kita harus aktif membuka pasar-pasar baru yang berpotensi seperti pasar di Timur Tengah, pasar-pasar di Afrika yang memang mulai digarap oleh pemerintah dalam beberapa tahun terakhir, bukan hanya pasar-pasar tradisional seperti Jepang, Korea, US, Eropa. Kita harus melakukan diversifikasi negara dan juga diversifikasi produk. Itu yang harus kita lakukan ke depannya,” ujarnya. Bahlil juga mengungkapkan bahwa sejak masa VOC hingga tahun 2018, komoditas ekspor Indonesia tidak banyak mengalami perubahan yakni barang mentah. “Pola ini harus diubah. Maka dari itu, sekarang pemerintah menggiring semua sumber daya alamnya itu untuk dilakukan hilirisasi. Sebagai contoh, ketika sawit kita di- banned oleh Eropa beberapa waktu lalu. Namun, karena kreativitas kita dapat melahirkan B20 dan B30. Bagi petani hal ini mendatangkan keuntungan karena harga sawit menjadi tinggi dan bagi negara juga mendapat keuntungan karena impor berkurang,” pungkasnya. Energi Terbarukan adalah Keniscayaan Tingginya impor bahan bakar migas menjadi penyumbang terbesar dalam defisit transaksi berjalan. Oleh sebab itu, pengembangan energi terbarukan (EBT) menjadi salah satu solusi agar defisit teratasi. Pilihan jatuh kepada minyak sawit mentah (CPO). “Sawit kita cukup banyak, CPO nya juga berlimpah. Industri sawit sudah berkembang bisnisnya dan supply chain nya sudah tertata baik. Selain itu, kita juga menguasai teknologinya, sehingga untuk hilirisasi sawit, CPO diolah menjadi biodiesel yang dapat digunakan sebagai bahan bakar complimentary solar,” terang Andriah Feby Misna, Direktur Bioenergi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Peningkatan kemandirian energi dan penyediaan energi ramah lingkungan merupakan tujuan utama dari pemanfaatan biodiesel sebagai bagian dari energi baru terbarukan. “Saat ini rata-rata penggunaan BBM solar kurang lebih 33 juta kiloliter per tahun. Mengacu kepada Kebijakan Energi Nasional, harapannya di tahun 2025 nanti sekitar 13,8 juta kiloliter bahan bakar kita berasal dari bahan bakar nabati. Dengan adanya perkembangan teknologi seperti co-processing dan stand alone untuk green refinery , tidak menutup kemungkinan pemanfaatan bahan bakar nabati bisa melebihi target yang ditetapkan dalam Kebijakan Energi Nasional,” ungkap Feby. Upaya untuk meningkatkan kemandirian energi terus berlanjut. Pekerjaan rumah yang masih menanti adalah mencari pengganti gasolin. Hal ini disebabkan impor gasolin menjadi masalah impor migas terbesar saat ini. “Untuk solar sebenarnya kita sudah bisa dikatakan selesai. Pekerjaan rumah kita saat ini ada di gasolin yang masih impor sebesar 60 persen. Jadi, nantinya CPO juga akan dikembangkan untuk pembuatan green gasolin dan juga green avtur,” jelasnya.
Biro KLI Kementerian Keuangan
Relevan terhadap
Opini Excess Profit Tax sebagai Solusi *Tulisan ini merupakan pandangan pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan/perspektif institusi tempat penulis bekerja. Teks Rinaldi, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak MEDIAKEUANGAN 40 Ilustrasi A. Wirananda yaitu pendapatan dari kekayaan negara yang dipisahkan tumbuh 799.504,33 persen ( yoy ). Inilah salah satu faktor yang mendorong capaian pertumbuhan penerimaan negara menjadi 3,23 persen ( yoy ) sehingga meng- off set realisasi belanja negara yang realisasinya hampir sama dengan capaian tahun lalu. Bagaimana dengan penerimaan pajak? jawabannya adalah “babak belur”, hanya PPN/PPnBM dan PBB (sektor P3) yang pertumbuhannya positif, lainnya negatif, bahkan penerimaan PPh Badan yang seharusnya mencapai peak -nya pada bulan April (jatuh tempo pelaporan SPT PPh Badan pada 30 April), pertumbuhan penerimaannya -15,23 persen. Kebijakan pajak yang telah diambil pemerintah Indonesia Kemenkeu menjelaskan bahwa pertumbuhan penerimaan PPN/PPnBM yang positif ini ditopang oleh PPN Dalam Negeri (PPN DN) yang masih tumbuh 10,09 persen, hal ini mengindikasikan masih kuatnya transaksi penyerahan barang dan jasa penerimaan. Namun situasi ini bisa berubah mengkhawatirkan karena penerimaan PPN pada bulan-bulan berikutnya hampir dapat dipastikan menurun jauh dengan diberlakukannya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di beberapa daerah. Sementara itu, pemberian insentif pajak terus dioptimalkan, misalnya melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 44/PMK.03/2020 tentang Insentif Pajak Untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019 yang dialokasikan sebesar Rp123,01 triliun. Jika penerimaan negara terus menurun, sementara kebutuhan belanja negara terus meningkat, bisa dipastikan angka defisit akan melonjak drastis. Kembali ke kebijakan insentif pajak, pemerintah tentu telah memperhitungkan dampak dari insentif ini terhadap penerimaan negara, namun permasalahannya adalah apakah insentif ini benar-benar bisa dimanfaatkan oleh Wajib Pajak yang terdampak COVID-19? Apakah insentif PPh 21 Ditanggung Pemerintah (DTP) menjamin pekerja tidak di PHK? Apakah insentif restitusi PPN dipercepat menjamin usaha mereka tetap berkesinambungan? Terkait hal ini, menarik untuk dilihat pendapat dua pakar ekonomi dari Universitas California yaitu Saez dan Zucman. Mereka mengkritisi kebijakan yang diambil oleh pemerintah Amerika dalam menghadapi COVID-19. Krisis yang dihadapi dunia saat ini berbeda dengan krisis pada tahun 2008-2009. Kala itu bencana yang dihadapi adalah bencana yang secara langsung menyebabkan perusahaan mereka hancur, yaitu bencana krisis keuangan akibat bangkrutnya Lehman Brothers. Namun bencana yang terjadi saat ini adalah bencana kesehatan, yang mungkin tidak semua perusahaan terkena dampak langsung dari bencana ini. Banyak juga perusahaan yang malah meraup untung dari COVID-19 ini. Di saat banyak pabrik menutup usaha mereka, penjualan Amazon justru meningkat, bisnis Cloud meningkat, jumlah akses ke Facebook juga meningkat. Belum lagi jika melihat aplikasi webinar yang marak digunakan saat para pekerja “bekerja dari rumah” di masa pandemi ini. Excess Profit Tax sebagai solusi kebijakan pajak di tengah COVID-19 Melihat tidak semua perusahaan terkena dampak negatif dari COVID-19 ini, maka mereka mengusulkan agar pemerintah bisa mengkaji penerapan “ Excess Profit Tax (EPT)”. EPT adalah suatu pajak yang dikenakan kepada perusahaan yang mendapatkan keuntungan (profit) lebih dari suatu margin tertentu yang telah ditetapkan sebelumnya. Sebagai contoh, pada tahun 1918, saat terjadi resesi ekonomi pasca Perang Dunia I, Amerika menerapkan EPT bagi perusahaan yang mencetak Return on Invested Capital (ROC) atau pengembalian investasi modal di atas 8 persen. Tarif EPT yang dikenakan pada saat itu progresif antara 20 hingga 60 persen. Kebijakan yang sama juga diterapkan pada tahun 1940, saat Perang Dunia II dan saat Perang Korea. Kebijakan pengenaan EPT ini mempunyai tujuan yang sama yaitu memastikan bahwa tidak ada pihak yang mengambil untung secara berlebihan pada saat pihak lain merasakan penderitaan. Apakah hal ini bisa diterapkan di Indonesia? Untuk menjawabnya, ada baiknya kita kembali lagi ke realisasi APBN 2020 sampai dengan April 2020. Dari segi realisasi penerimaan pajak sektoral non-Migas, non-PBB, dan non-PPh DTP, dapat dilihat bahwa ada beberapa sektor yang mengalami pertumbuhan, seperti industri pengolahan serta jasa keuangan dan asuransi, yang masing-masing tumbuh 4,68 persen dan 8,16 persen. Kedua sektor ini menopang 45,3 persen dari total realisasi penerimaan pajak. Statistik ini menunjukkan bahwa tidak semua sektor terkena dampak negatif COVID-19 (walaupun masih diperlukan analisis mendalam terhadap hal ini, karena Maret dan April merupakan masa awal pandemi). Oleh sebab itu, menurut Penulis, kebijakan Excess Profit Tax layak dipertimbangkan sebagai suatu solusi kebijakan fiskal mengatasi dampak ekonomi yang disebabkan oleh COVID-19. Kebijakan ini terkesan tidak lazim diterapkan di negara manapun termasuk Amerika sekalipun apalagi di Indonesia, namun perlu diingat bahwa seperti yang dikatakan Sri Mulyani: “ Extraordinary situation needs extraordinary policy”, dan kita, Indonesia, sedang menghadapi kondisi extraordinary tersebut. P ada 20 Mei 2020, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) baru saja merilis realisasi APBN 2020 hingga 30 April 2020. Jika dilihat pada rilis tersebut, realisasi terlihat cukup bagus, defisit APBN sebesar Rp74,47 triliun, lebih rendah dibandingkan dengan realisasi defisit pada periode yang sama tahun lalu yang mencapai Rp100,3 triliun. Namun, jika kita mengkaji lebih dalam dari realisasi defisit ini, maka terlihat penyebab “rendahnya” angka defisit ini adalah Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang pertumbuhannya mencapai 21,70 persen ( yoy ). Salah satu sub-PNBP Ilustrasi A. Wirananda
29 MEDIAKEUANGAN 28 VOL. XV / NO. 154 / JULI 2020 Sidang Sonder Perjumpaan Teks A. Wirananda SEKRETARIAT PENGADILAN PAJAK MEDIAKEUANGAN 28 S ejak reformasi 1998, Indonesia terus berbenah di banyak sektor. Pengelolaan keuangan negara, sebagai perkara yang fundamental, tentu jadi bagian yang tak luput dari perubahan. Usai meramu ulang format dan periode pelaporan kekayaan rakyat, giliran institusi pengelola kekayaan ini yang mengalami penyesuaian. Berbagai perubahan itu pada akhirnya berdampak pula pada prosedur penerimaan negara, belanja negara, serta berbagai risiko yang melekat padanya. Pada 2000, tata cara perpajakan mengalami perubahan untuk pertama kali sejak kelahirannya pada 1983. Perubahan ini jelas berdampak pula pada risiko dalam pelaksanaannya. Layaknya hal-hal lain yang berkaitan dengan finansial, iuran wajib ini tentu membuka ruang terjadinya sengketa. “Karenanya diperlukan suatu Pengadilan Pajak yang sesuai dengan sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia dan mampu menciptakan keadilan dan kepastian hukum dalam penyelesaian Sengketa Pajak,” demikian bunyi konsiderans Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Lantas berdasarkan peraturan itu, berdirilah Pengadilan Pajak. Setahun usai terbentuknya Pengadilan Pajak, melalui Keputusan Presiden Nomor 83 Tahun 2003, Sekretariat Pengadilan Pajak (Set PP) dibentuk. Set PP bertugas memberikan pelayanan kesekretariatan dan administrasi bagi Pengadilan Pajak. Dalam melaksanakan tugas, unit ini dipimpin oleh Sekretaris dan dibantu Wakil Sekretaris. Keduanya merangkap jabatan masing-masing sebagai Panitera dan Wakil Panitera Pengadilan Pajak. S idang di Tengah Pagebluk Pada 11 Maret 2020, World Health Organisation (WHO) menetapkan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) sebagai pandemi global. Berbagai protokol disiapkan demi mencegah penyebaran virus ini, salah satunya adalah dengan pembatasan sosial. Sebagai pihak yang sehari-hari mempersiapkan tetek bengek gelaran sidang dan berinteraksi dengan banyak orang, pagebluk ini tentu terasa signifikan bagi performa Set PP. Sejak pertengahan Maret sampai awal Juni, layanan dihentikan sementara. “Penghentian sementara layanan ini tetap menjaga hak-hak para pihak tetap terpenuhi,” kata Dendi A. Wibowo, Sekretaris Pengadilan Pajak, secara tertulis. Selama kurun waktu tersebut, para pegawai diminta menuntaskan tugas-tugas yang dapat diselesaikan dari rumah. Pada pekan kedua Juni, layanan Foto Dok. Set. PP Gedung Kantor Sekretariat Pengadilan Pajak
27 MEDIAKEUANGAN 26 VOL. XV / NO. 154 / JULI 2020 Bagaimana awal mula penggunaan TMC di Indonesia? TMC di Indonesia ini bermula saat BPPT berdiri. Almarhum Prof. Dr. B.J. Habibie yang saat itu menjabat sebagai Penasehat Presiden Bidang Teknologi adalah pendirinya. Pada tahun 1977, proyek percobaan hujan buatan dilakukan di daerah Bogor, Sukabumi, dan Solo. Pak Habibie ingin mencontoh keberhasilan pemerintah Thailand yang melakukan operasi hujan buatan untuk mendorong produktivitas sektor pertanian. Sampai saat ini, hal itu masih dilakukan secara continue oleh pemerintah Thailand. Bahkan, di sana ada satu departemen khusus modifikasi cuaca untuk hujan buatan . Pesawatnya juga memakai pesawat CN235 dari Indonesia. Pada tahun 1985, BPPT membuat Unit Pelaksaan Teknis Hujan Buatan (UPTHB) yang mempunyai tugas meningkatkan intensitas curah hujan, serta mengisi waduk irigasi teknis dan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA). Nah, meneruskan itu, sekarang ada Balai Besar Teknologi Modifikasi Cuaca (B2TMC). Sejauh mana peran TMC dalam meminimalkan dampak bencana? Bencana itu ada dua jenis. Pertama, bencana hidrometrologis karena curah hujan tinggi, seperti banjir dan longsor. Kedua, bencana geologi, misalnya gempa yang menyebabkan tsunami, atau gunung meletus. Nah, TMC ini untuk bencana hidrometrologis. Jangan diartikan TMC ini adalah upaya untuk membuat hujan. Hujannya asli, bukan hujan KW 1 atau KW 2. Kita hanya mempercepat proses terjadinya hujan. Oleh karenanya, kita membutuhkan awan. Misal terjadi hujan lebat yang intensitasnya sangat tinggi sehingga dapat menyebabkan banjir di suatu daerah. Kita akan mempercepat terjadinya hujan sebelum awan-awan sampai di daerah tersebut. Sebutlah di Jakarta. Jika awan itu masih jauh dari Jakarta, kita datangi awannya, kita semai supaya hujan turun lebih cepat. Itulah yang disebut dengan cloud seeding . Cloud seeding ini menyemai awan dengan garam. Kita juga menyebutny jumping process untuk rain making. Sebab kita melompat supaya lebih cepat terjadi hujan. Sebelum awan masuk ke Jakarta, kita langsung semai supaya hujan sudah turun di laut, misalnya di Selat Sunda atau di Laut Jawa. Walaupun masih ada sisa awan yang masuk ke Jakarta, hujan yang turun sudah berkurang intensitasnya. Berapa personil yang dibutuhkan dalam proses penyemaian? Operasi TMC terdiri dari banyak personil. Kita bekerja sama dengan Tentara Nasional Angkatan Udara (TNI AU) untuk menyediakan pesawat. Kita membangun posko. Untuk banjir Jabodetabek, poskonya di Lanud Halim Perdanakusuma. Saat menangani kebakaran hutan dan lahan di Riau, kita punya posko di Bandara Pekanbaru. Posko dikomandoi seorang koordinator lapangan yang dibantu flight scientist . Nah, flight scientist akan menyiapkan track sebagai arah terbang pesawat menuju awan yang berpotensi menurunkan hujan tinggi. Oleh karenanya, awan itu harus dikejar sebelum dihembus angin dan masuk ke sebuah daerah. Jadi, flight scientist bertugas untuk menganalisa kondisi cuaca dan mengarahkan pilot. Lalu, biasanya ada dua pilot dan satu flight engineer . Ada juga orang yang menggerakkan sistem garam supaya garam bisa keluar dari pesawat dan tersemaikan. Kalau pakai pesawat besar CN235, ada lima orang yang mengoperasikan alat penyemai awan. Selain itu, sebelum terbang ada juga seorang ahli cuaca dari BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika) yang mengumpulkan data operasi serta menginformasikan prediksi cuaca dan kondisi hujan. Jadi tim ini cukup banyak dan membutuhkan teamwork yang baik antara BPPT dengan BMKG, TNI AU, juga BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana). Seperti apa bahan semainya? Bahan semai berupa garam sudah bisa produksi sendiri melalui industri dalam negeri. Garam itu harus diproses dulu supaya betul-betul halus atau mikroskopis. Nantinya pada saat disemai, bahan itu langsung terserap awan sehingga kondensasi cepat terjadi. Proses kondensasi di dalam awan ini menghasilkan curah hujan. Bagaimana penguatan peran TMC ke depannya dalam mereduksi risiko bencana? Sebenarnya TMC harus dijadikan bagian pencegahan. Misalnya dalam kasus kebakaran lahan gambut. Saat lahan gambut padam di sisi atas, di sisi bawahnya masih membara lho. Jadi, jika mau terbebas dari kebakaran lahan gambut, kita perlu membasahi lahan gambut sebelum muncul titik api. Kalau sudah muncul titik api dan kebakaran, yang harus dilakukan ya operasi water bombing dan TMC supaya hujan turun. Padahal, langkah itu justru membutuhkan biaya yang besar. Water bombing perlu menyewa helikopter, biayanya besar sekali. Supaya jangan sampai mengeluarkan biaya sebesar itu, upaya pencegahan dimaksimalkan. Karenanya saya berharap kita bisa seperti Thailand yang melakukan TMC sepanjang tahun untuk melakukan modifikasi cuaca. Indonesia mengalami cuaca ekstrem, baik di musim hujan maupun kemarau. Kita sudah tahu kapan harus memitigasi dan ini penting dilakukan secara rutin. Saya sedang berupaya agar pemerintah mengalokasikan cukup anggaran untuk sarana, pesawat, dan bahan semai, serta mengatur schedulling operasi TMC. Harus ada upaya menggerakkan teknologi semaksimal mungkin supaya hidup kita lebih baik. Dampak dari bencana harus kita minimalkan. Banjir, puluhan ribu orang mengungsi, serta biaya kedaruratan jauh lebih besar dibanding jika kita bisa melakukan mitigasi bencana. Selain terkait bencana, apa saja manfaat lain dari TMC? Fenomena alam el nino memicu cuaca ekstrem kekeringan yang menyebabkan gagal panen. Kegagalan panen berimplikasi sangat besar terhadap seluruh sendi- sendi kehidupan masyarakat. Oleh sebab itu, Raja Thailand membuat departemen khusus hujan buatan sebagai sedekah kepada rakyat. Dalam satu tahun, puluhan milyar atau puluhan juta bath digelontorkan untuk mengoperasikan sekitar 6-10 pesawat yang memodifikasi cuaca. Terjadi hujan, kekeringan bisa diatasi, dan pertaniannya pun subur. Sebenarnya, polusi udara bisa diatasi dengan hujan buatan. Kita membuat hujan dengan NaCl dan materi lain yang bisa membuka kabut asap. Kita juga melakukan pengisian waduk PLTA dan danau untuk irigasi. Selain itu, kita pernah mengamankan daerah pertambangan dan proyek konstruksi. Mitigasi untuk pembangunan infrastruktur juga bisa dilakukan dengan modifikasi cuaca. Jadi, TMC ada banyak manfaatnya dan memang kita harus rutin melaksanakannya. Adakah dampak negatif dari TMC? Beberapa orang menyebut TMC mengakibatkan hujan asam. It’s totally wrong . Justru kita ingin memberikan dampak positif kepada lingkungan. Karenanya kita menggunakan zat- zat semai itu. Bahan semainya pasti environmental safe. Untuk memastikan kondisi itu, sampel air hujan selalu kita uji untuk meyakinkan bahwa tidak ada dampak negatif. Di laboratorium BPPT, kita melihat semua efek dari bahan semai yang ditaburkan ke awan. Bahan semai kita teliti, kita uji, dan hasil yang diperoleh selama ini tidak ada perubahan dalam komposisi kandungan airnya. Kita sadari air tadah hujan juga merupakan salah satu solusi penyediaan air baku bagi masyarakat. Foto Dok. BPPT Proyek hujan buatan oleh BPPT
Biro KLI Kementerian Keuangan
Relevan terhadap
Kolom Ekonom Ilustrasi Dimach Putra I ndonesia merupakan satu dari sedikit negara di dunia yang perekonomiannya masih bisa tumbuh relatif tinggi di tahun 2019. Perekonomian Indonesia tumbuh 5,02 persen pada kuartal ketiga 2019, tatkala negara-negara lain di dunia mengalami pelambatan pertumbuhan ekonomi. Tiongkok yang pada tahun lalu masih tumbuh 6,6 persen, pada 2019 ini mengalami penurunan. Pada kuartal ketiga 2019, Tiongkok hanya tumbuh 6,0 persen. Pelambatan juga terjadi di India, salah satu negara sumber pertumbuhan baru. Tahun lalu, India mampu tumbuh 6,8 persen. Tahun ini terus melorot bahkan di kuartal ketiga 2019 hanya mampu tumbuh 4,5 persen. Beberapa negara di dunia bahkan telah mengalami resesi atau tumbuh negatif selama dua kuartal berturut-turut. Tahun 2019 memang bukan tahun yang mudah bagi perekonomian dunia. Hidayat Amir Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro, Badan Kebijakan Fiskal Tumbuh dalam Tekanan Berbagai tekanan dan gejolak yang terjadi membuat ekonomi dunia mengalami perlambatan yang cukup dalam, bahkan menjadi yang terburuk sejak krisis keuangan global pada 2009. Menurut proyeksi IMF, pertumbuhan ekonomi global akan melambat dari 3,6 persen di 2018 menjadi 3,0 persen untuk tahun ini. Pertumbuhan volume perdagangan bahkan diperkirakan hanya tumbuh 1,1 persen di 2019, atau turun signifikan jika dibanding tahun sebelumnya yang mencapai 3,6 persen. nyata apa yang sesungguhnya hanyalah metode. Refleksi Husserl itu dapat dijadikan ilham untuk melihat rasio pajak lebih dalam. Di balik rasio pajak, terdapat berbagai soal yang tak serta-merta kelihatan dalam angka. Itulah mengapa rasio pajak bukanlah satu-satunya alat untuk mengukur kinerja perpajakan, meski secara indikatif berguna untuk mengenali gejala inefektivitas pemungutan pajak sejak dini. Ada empat faktor yang dapat menjelaskan sebab PDB Indonesia tidak berkorelasi positif dengan kinerja perpajakan, khususnya rasio pajak. Pertama, tingkat kepatuhan pajak masih rendah. Program amnesti pajak sebagai bagian dari reformasi perpajakan nampaknya baru membantu menambah basis pajak baru dan belum meningkatkan rasio pajak. Meski tingkat kepatuhan pajak terus meningkat dari tahun 2015 sebesar 60 persen menjadi 71,1 persen di tahun 2018, namun angka tersebut masih tergolong rendah. Selain itu, tingkat kepatuhan tersebut pun masih terbatas pada kepatuhan yang sifatnya formal yakni menyampaikan SPT dan belum mempertimbangkan kepatuhan material yang melibatkan kebenaran isi SPT. Kedua, tingginya hard-to-tax sector , khususnya usaha rintisan atau Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dan sektor pertanian/perkebunan/perikanan yang berkontribusi cukup besar terhadap PDB. Menurut data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, komposisi UMKM mencapai 59,2 juta unit dari total 60,01 juta unit usaha di Indonesia. Di satu sisi, UMKM menjadi penyumbang PDB terbesar namun di sisi lain kepatuhan dan literasi yang masih sangat rendah menjadi tantangan bagi pemerintah dalam memungut pajak. Dalam konteks itu, kebijakan penurunan tarif pajak UMKM sudah tepat dan layak diapresiasi, demi memperluas basis pajak dari sektor ini. Peraturan Pemerintah No. 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE), yang mewajibkan para pelaku usaha online untuk memiliki izin usaha, harus dapat dimanfaatkan untuk mulai membangun basis data yang akurat dari sektor ini. Ketiga, pesatnya perkembangan ekonomi digital tidak diiringi dengan modernisasi perangkat teknologi informasi perpajakan, SDM yang mumpuni, serta regulasi. Akibatnya, potensi pajak sektor ini menjadi sulit ditangkap. Padahal, Indonesia adalah salah satu negara dengan jumlah pengguna internet terbanyak di dunia. Pada 2016, tercatat nilai transaksi dari sektor ekonomi digital sebesar USD5,6 miliar. Dalam konteks ini, kebijakan pajak e-commerce sudah tepat demi menjamin keadilan dalam pengenaan pajak. Namun demikian, disharmoni antar-regulasi seperti penurunan tarif pajak UMKM di satu pihak dan kewajiban pelaku usaha online untuk memiliki izin usaha di lain pihak selalu perlu diantisipasi. Keempat, maraknya praktik penghindaran pajak. Data-data dari tax amnesty, Swiss Leaks, Panama Papers, Paradise Papers , dan sebagainya mencerminkan banyaknya warga negara Indonesia yang berupaya menghindari pajak. Program tax amnesty pun menjadi solusi tepat di tengah kondisi tersebut. Tidak hanya meningkatkan kepatuhan, program ini juga menjadi momentum yang baik untuk mulai membangun tax culture yang sehat. Selanjutnya tax amnesty harus diikuti dengan langkah penegakan hukum yang tegas. Kendati rasio pajak bukan satu- satunya alat untuk mengukur kinerja perpajakan, mendongkrak rasio pajak tetaplah salah satu tugas penting negara. Tujuan negara yakni kesejahteraan rakyat yang berkeadilan dan merata hanya dapat dicapai dengan level penerimaan pajak yang optimal yang dapat mengakselerasi pembangunan. Searah dengan itu, upaya-upaya pemerintah dari sisi regulasi untuk mendongkrak rasio pajak perlu terus didukung: reinventing policy , kenaikan PTKP, tax amnesty , konfirmasi status WP, UU AEOI, Pembaruan Sistem Informasi, pemeriksaan pajak, percepatan restitusi, penurunan tarif WP UMKM, dan CRS AEOI. Semua itu tak lain adalah upaya meningkatkan rasio pajak dan basis pajak, juga secara serentak mendorong kepatuhan. Ibarat cermin, rasio pajak dapat dijadikan salah satu sarana untuk berkaca, tanpa kita harus menganggap bayangan cermin itu sebagai kenyataan sesungguhnya. Perbaikan selayaknya diarahkan pada kenyataan, bukan bayangannya. Kita sudah berada di jalur yang tepat, jangan sampai kereta perubahan ini berjalan terlampau lambat!
Nasional Indonesia. Ada tiga tugas yang diamanatkan kepada Pokja Pariwisata Nasional yakni membangun peta jalan industri pariwisata Indonesia, membuat memo kebijakan, dan memberikan edukasi. “Jadi sebetulnya Pokja Pariwisata di Komite Industri Na- sional Indonesia itu tugasnya adalah membangun roadmap . Kemudian, output lainnya adalah membuat memo kebijakan Presiden yang berkaitan dengan pengembangan pariwisata ke depan. __ Selain itu, kita juga memiliki tanggung jawab untuk mengedukasi daerah-daerah yang dianggap memiliki potensi pariwisata,” terang Donny Oskaria, Ketua Pokja Pariwisata Nasional KEIN. Tidak hanya Pokja Pariwisata Nasional, pemerintah juga membentuk Badan Pelaksana Otoritas untuk pengembangan kawasan Danau Toba, Borobudur dan Labuan Bajo. Badan Otoritas Pariwisata ini ditugaskan untuk mempercepat pembangunan di destinasi wisata agar kunjungan wisman ke Indonesia meningkat. Badan ini berwenang dalam menjaga atraksi alam budaya dan buatan, membangun akses infrastruktur dasar dan mengembangkan amenitas. Besarnya alokasi anggaran dan pengembangan kawasan wisata yang masif memperlihatkan keseriusan pemerintah dalam memegang komitmen untuk menggenjot arus wisatawan mancanegara ke Indonesia. Sinergi adalah kunci Pada APBN 2020, alokasi anggaran untuk pembangunan sektor pariwisata di Indonesia tersebar di beberapa kementerian antara lain Kementerian PUPR, Kemenhub, Kemepar dan Ekraf, KLHK, Kemen ESDM, Kemendes PDT dan Kemendikbud. Tidak hanya itu, pengembangan pariwisata juga dialokasikan dalam bentuk Dana Alokasi Khusus (DAK) baik fisik maupun nonfisik yang diberikan pemerintah pusat untuk dikelola oleh pemerintah daerah. Putut Hari Satyaka, Direktur Dana Perimbangan, Ditjen Perimbangan Keuangan menuturkan bahwa keberhasilan sektor pariwisata tidak bisa diklaim hanya dari alokasi DAK. Menurutnya, transfer DAK, alokasi anggaran di beberapa K/L, dan kontribusi pemimpin daerah adalah faktor pendukung pengembangan pariwisata. Jadi, sinergi dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah adalah kunci unggulnya industri pariwisata Indonesia. Perspektif serupa dikatakan Moekti. Menurutnya, sinergi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah diperlukan dalam mengembangkan destinasi wisata. “Destinasi wisata itu tanggung jawab Pemda makanya Pemda juga perlu menyiapkan dari anggaran mereka. Selain infrastruktur fisik, Pemda juga perlu melatih masyarakat untuk bisa menyambut wisman atau dilatih memiliki skill khusus disesuaikan dengan wisata alamnya seperti sertifikat khusus mendaki gunung atau rafting . Nah, untuk pemerintah pusat perannya bisa dibilang sebagai koordinator. Soalnya daerah wisata itu bisa jadi ada di perbatasan beberapa kabupaten,” ujar Moekti. Sementara itu, Chusmeru, Pengamat pariwisata dari Universitas Jenderal Soedirman menyatakan koordinasi yang baik antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah diperlukan untuk menghindari tumpang tindih aturan dan konflik dalam mengembangkan pariwisata di daerah. Beragam tantangan di lapangan Menjadikan pariwisata sebagai tulang punggung ekonomi Indonesia tidaklah semudah membalik telapak tangan. Berbagai tantangan harus dihadapi mulai dari sisi perencanaan, alokasi anggaran maupun implementasi kegiatan di lapangan. Dalam penyaluran DAK pariwisata, Putut menyatakan tantangannya ada di fase perencanaan. Pemenuhan kualitas perencanaan dan juga kompentensi sumber daya manusia (SDM) dalam mengelola DAK. “Biasanya kan ini berbasis usulan, misal ada beberapa daerah yang menjadi prioritas untuk mengembangkan wisata. Akan tetapi, daerah tersebut tidak mengusulkan jadi ya kita tidak bisa mengalokasikan. Jika kemudian daerah prioritas dan mengusulkan tetap saja ada kendala. Terkadang usulannya kurang berkualitas. Aktivitas-aktivitas yang dipilih ternyata tidak esensial mendorong pertumbuhan wisatanya. Lalu, ada juga masalah SDM di daerah yang kurang bisa mengeksekusi DAK baik fisik maupun non fisik dengan baik. Artinya, kualitas perencanaan di daerah itu juga menjadi tantangan tersendiri,” ujarnya. Sementara itu, menurut Made ada beberapa tantangan yang dihadapi dalam pembangunan pariwisata di Indonesia terutama dari sisi penganggaran. Pertama, pembangunan pariwisata membutuhkan dana yang besar sehingga tidak bisa hanya mengandalkan APBN atau APBD. BUMN dan swasta perlu dilibatkan dalam pembangunan ini. Kedua, alokasi anggaran tersebar di beberapa kementerian. Untuk itu perlu sinkronisasi dan koordinasi yang intens agar pembangunan pariwisata mangkus dan sangkil. Ketiga, masih belum selesainya konsep integrated tourism master plan sebagai pedoman nasional pengembangan pariwisata secara terintegrasi berkelanjutan. Keempat, belum adanya pedoman bagi K/L untuk melakukan apa yang dibutuhkan dalam kawasan wisata prioritas. Kelima , masih ada kendala dalam pembebasan tanah dan ganti rugi serta masih adanya konflik sosial. Masalah pembebasan lahan juga dirasakan oleh KemenPUPR sebagai salah satu tantangan yang mereka hadapi di lapangan saat mengerjakan pembangunan infrastruktur. Selain itu, kebutuhan infrastruktur yang besar untuk lima destinasi wisata prioritas juga menjadi tantangan lain yang harus diselesaikan. 29 MEDIAKEUANGAN 28 VOL. XV / NO. 148 / JANUARI 2020 Besarnya alokasi anggaran dan masifnya pengembangan kawasan wisata memperlihatkan keseriusan pemerintah dalam memegang komitmen menjadikan pariwisata sebagai tulang punggung ekonomi
DPR). Dari berbagai instrumen itu, nanti akan kita dorong, termasuk reformasi kelembagaannya, sehingga bisa fokus dan sangat valid ,” katanya menjelaskan. Terdapat beberapa target indikator yang ingin diraih Indonesia melalui penyusunan dan implementasi RIRN 2017- 2045. Pertama, dari sisi rasio anggaran riset. Kontribusi swasta terhadap belanja riset diharapkan bisa mendekati 75 persen, sedangkan kontribusi pemerintah baik pusat dan daerah diharapkan berada di kisaran 25 persen. Saat ini diketahui, sebanyak 86 persen belanja riset masih didominasi oleh pemerintah. Sementara sisanya sebesar 14 persen berasal dari swasta dan universitas. Tidak hanya itu, RIRN juga menargetkan total belanja riset Indonesia bisa mencapai 1,68 persen dari PDB pada 2025 mendatang, naik dibandingkan belanja saat ini yang hanya sebesar 0,25 persen dari PDB. Kedua, dari sisi SDM. RIRN mematok target rasio kandidat SDM IPTEK terhadap jumlah penduduk Indonesia. Pada 2025 diharapkan terdapat 3.200 orang per 1 juta penduduk, serta 8.600 orang per 1 juta penduduk pada 2045. RIRN menyebutkan, kecukupan jumlah SDM ini perlu dipenuhi agar kontribusi riset bisa berperan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Sebab, mereka berpotensi menjadi pelaku ekonomi yang berbasis IPTEK di masa depan. Ketiga, terkait produktivitas periset. Pada 2025 pemerintah menargetkan dari setiap 100 periset, terdapat sedikitnya 8 publikasi internasional bereputasi, serta 22 publikasi internasional bereputasi per 100 periset pada 2045. Untuk mencapai itu semua, pemerintah perlu membangun ekosistem yang ramah bagi kegiatan riset. Selain terkait kelembagaan riset, pemerintah menjalankan sejumlah strategi guna menumbuhsuburkan kegiatan riset. Mulai dari peningkatan kerjasama riset dengan industri, pemberlakuan pengurangan pajak hingga tiga kali lipat bagi perusahaan yang bersedia mengalokasikan anggarannya untuk kegiatan riset ( triple tax deduction ), serta pemberian insentif bagi industri yang melakukan hilirisasi produk-produk hasil riset. Selain itu, guna memunculkan tunas periset baru, pemerintah mendorong peneliti muda di bangku sekolah untuk terlibat dalam banyak kegiatan penelitian. Dimyati juga menuturkan, pemerintah tengah menyiapkan program sertifikasi bagi masyarakat peneliti, yang bukan dari lembaga penelitian, untuk dapat disetarakan. Dana abadi untuk kegiatan riset Sejumlah strategi yang hendak dilakukan guna membangun ekosistem yang ramah bagi kegiatan riset tidak lepas dari kebutuhan anggaran. Sebagaimana diketahui, saat ini, anggaran riset Indonesia ( Gross of Expenditure on Research and Development , GERD) baru mencapai 0,25 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Diakui Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, pemerintah terus mengupayakan yang terbaik guna meningkatkan anggaran riset menuju jumlah idealnya. Salah satunya melalui dana abadi riset. “Ide dana abadi riset bahwa di dalam anggaran pendidikan kita sebesar 20 persen dari APBN, perlu adanya pemihakan kepada penelitian. Jadi mulai tahun 2019 dialokasikan (dana abadi riset) sekitar Rp1 triliun,” ungkap Menkeu. Dana abadi riset ini menjadi salah satu terobosan pemerintah guna mengatasi keterbatasan anggaran riset. Di luar dana abadi riset, pemerintah pada 2019 telah mengalokasikan anggaran penelitian sebesar Rp35,7 triliun. Jumlah ini meningkat dari tahun sebelumnya, sebesar Rp33,8 triliun pada 2018 dan sebesar Rp24,9 triliun pada 2016. Selanjutnya pada 2020, pemerintah kembali mengaloaksikan dana abadi riset. Kali ini, besarannya hingga lima kali lipat dana abadi riset tahun sebelumnya, yaitu sebesar Rp5 triliun. Dengan demikian, total dana abadi riset Indonesia saat ini nyaris mencapai Rp6 triliun. Menristek Bambang Brodjonegoro menyampaikan, nantinya penggunaan dana abadi tersebut ditujukan terutama untuk kegiatan riset dan inovasi yang mendukung tiga hal. Pertama, peningkatan pada nilai tambah sumber daya alam. Kedua, peningkatan substitusi impor dengan produk sama, tapi bernilai tambah atau berharga lebih murah dan mudah didapat. Ketiga, berguna bagi kebutuhan masyarakat, khususnya UMKM dengan teknologi yang tepat guna. Sementara itu, dia menyebutkan, dana abadi riset ditujukan kepada peneliti, perekayasa, atau inovator yang diharapkan menghasilkan produk yang memberikan nilai dan dampak yang besar untuk pembangunan nasional, khususnya pembangunan ekonomi. “Serta penggunaannya akan melewati sistem seleksi yang sangat ketat sehingga benar-benar menghasilkan program yang tepat dan baik,” katanya. Kuatkan koordinasi lembaga riset Sebagaimana diketahui, pengelolaan anggaran riset (selain dana abadi riset) selama ini tersebar di 52 kementerian dan Lembaga (K/L). Dari total 52 K/L tersebut, sebanyak tujuh lembaga dedikatif untuk riset (BPPT, LIPI, Bapeten, LAPAN), sedangkan 45 lainnya merupakan kementerian yang memiliki kegiatan penelitian dan pengembangan. Itu sebabnya Menkeu Sri Mulyani Indrawati begitu menyoroti pentingnya pemanfaatan anggaran riset secara optimal. Jika (dana riset) dikelola oleh K/L yang mindset -nya hanya birokratis dan bukan dalam rangka menyelesaikan masalah atau meng- adress suatu isu, maka anggaran (riset) yang besar tidak mencerminkan kemampuan dan kualitas untuk bisa menghasilkan riset,” sebutnya. Sehubungan dengan itu Dimyati menyebutkan, dari sekian banyak institusi yang melakukan riset, tidak jarang riset yang dihasilkan saling bertumpang tindih. “(Bahkan), kadang-kadang riset itu betul-betul copy paste dengan riset yang diadakan di litbang K/L. Jadi tidak satu framework ,” ungkapnya. Itu sebabnya, pemerintah membangun Badan RIset dan Inovasi Nasional (BRIN). Badan ini merupakan amanah Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2019. Fungsi utama BRIN ialah untuk mengintegrasikan segala kegiatan riset, mulai dari perencanaan, program, anggaran, serta sumber daya secara terpadu. Dengan demikian, segala kegiatan riset baik yang ada di perguruan tinggi, lembaga pnelitian dan pengembangan baik pusat maupun daerah, serta di sejumlah kementerian, tidak berjalan sendiri-sendiri tanpa tujuan. “Hal terpenting adalah menghindarkan dari berbagai tumpang tindih pelaksanaan kegiatan riset, serta menghindarkan inefisiensi penggunaan sumber daya, khususnya anggaran yang relatif masih kecil, namun difokuskan pada kegiatan riset yang dapat memberikan nilai dan dampak yang luas bagi masyarakat bangsa dan negara, baik di masa sekarang maupun di masa yang akan dating,” jelas Menristek. Nantinya segala program dan anggaran riset sepenuhnya berada di bawah pengawasan BRIN. “Meski demikian, lembaga- lembaga (riset) yang saat ini ada, diharapkan masih tetap eksis. Namun dengan penyesuaian organisasi yang sejalan dengan tugas-tugas yang akan diberikan setelah dikoordinasikan oleh BRIN”, harapnya. 0,0 0,5 1,0 1,5 2,0 KemenristekDIKTI: Rp2,84 triliun KKP: Rp2,37 triliun Kementan: Rp2,13 triliun Kementerian ESDM : Rp1,63 triliun Kemendikbud Rp1,49 triliun Kemenhan Rp1,43 triliun Kemenkes Rp1,27 triliun LIPI Rp1,18 triliun Kemenhub Rp1,05 triliun BPPT Rp0,98 triliun Batan Rp0,81 triliun Kemenag Rp0,79 triliun Lapan Rp0,78 triliun Kemensos Rp0,63 triliun Kemenperin Rp0,59 triliun Kemen PU & Pera Rp0,57 triliun Kemenlu Rp0,48 triliun Kemen LHK Rp0,33 triliun Lemhannas Rp0,31 triliun Kemenkeu Rp0,29 triliun 2016 2017 2018 2019 47 MEDIAKEUANGAN 46 VOL. XV / NO. 148 / JANUARI 2020
Biro KLI Kementerian Keuangan
Relevan terhadap
Opini Teks Muhammad Sutartib, Pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai *Tulisan ini merupakan pandangan pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan/perspektif institusi tempat penulis bekerja. MEDIAKEUANGAN 36 Perlukah Pungutan atas Karbon? SETELAH RATIFIKASI PARIS AGREEMENT, Ilustrasi Dimach Putra P emanasan global menimbulkan dampak berbahaya bagi kehidupan seperti terjadinya kabut asap, naiknya permukaan air laut, krisis air bersih, hingga munculnya wabah penyakit. Perubahan iklim berupa pemanasan global ini biasanya dikaitkan dengan emisi gas karbondioksida (CO2) atau dikenal dengan sebutan emisi karbon tanpa diimbangi konversi atau penyerapan kembali gas karbondioksida untuk diubah menjadi gas oksigen misalnya melalui proses fotosintesis dengan bantuan pohon atau tanaman berdaun hijau. Para ahli sepakat bahwa kontribusi utama dari emisi karbon utamanya disebabkan konsumsi sumber energi yang berbahan dasar fosil seperti gas alam, minyak bumi serta batu bara. Dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement To The United Nations Framework Convention on Climate Change yang di dalamnya memuat kewajiban pemerintah dalam kontribusi pengurangan emisi gas rumah kaca untuk membatasi kenaikan suhu rata- rata global di bawah 2 ^o C hingga 1.5 ^o C dari tingkat suhu pra industrialisasi maka perlu strategi khusus untuk mengelola energi yang pemakaiannya mengeluarkan emisi karbon, terutama energi yang memakai bahan bakar fosil. Salah satu implementasi dari Paris Agreement yang dilaksanakan oleh berbagai negara karena dianggap paling powerful untuk memenuhi ketentuan konvensi tersebut adalah melalui pengenaan pungutan atas emisi karbondioksida atau pajak karbon ( carbon tax ) untuk setiap kegiatan yang meninggalkan jejak karbon ( carbon finger print ). Cara memungut pajak karbon ini bisa dilakukan dalam berbagai bentuk, misalnya, pabrik yang kegiatannya meninggalkan jejak karbon diwajibkan membuat laporan jumlah emisi karbon secara berkala dan dengan dasar inilah maka besarnya pajak karbon dapat dibayarkan. Ada jenis pajak karbon yang lebih mudah cara memungutnya karena barangnya kasat mata dan mudah mengelolanya seperti mengenakan pajak karbon pada bahan bakar fosil atau batu bara dengan memakai skema proxy karena pada prinsipnya kita bisa menghitung berapa gram karbondioksida yang terbuang ke udara apabila kita membakar sejumlah bahan bakar minyak per liter atau batu bara per kilogram. Besarnya tarif pajak karbon untuk minyak bumi bisa dikenakan untuk setiap liternya, sedangkan untuk batu bara setiap kilogramnya. Pungutan karbon atas benda berwujud dan kasat mata Apabila kita akan menerapkan pungutan atas karbon dalam bentuk pajak, saat ini belum diadopsi dengan Undang- Undang Perpajakan, tetapi apabila menggunakan mekanisme cukai secara filosofi lebih tepat sebab pungutan atas karbon ini pada dasarnya merupakan pigouvian tax atau corrective tax yang secara tersirat tercakup dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai, namun pada saat ini Undang-Undang Cukai hanya menyangkut barang yang kasat mata. Dengan demikian, untuk barang-barang yang wujudnya jelas, pungutan karbon dapat dilakukan melalui cukai tanpa perlu membuat undang-undang baru, melainkan dengan peraturan pemerintah setelah mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan rakyat. Apa itu cukai? Menurut pasal 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007, cukai adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik yang ditetapkan dalam undang-undang ini, yang meliputi barang-barang yang: (a) konsumsinya perlu dikendalikan; (b) peredarannya perlu diawasi; (c) pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup; atau (d) pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan. Pada prinsipnya semua barang yang memiliki sifat dan karakteristik di atas, baik hanya memenuhi salah satu sifat dan karakteristik atau memenuhi keempat sifat dan karakteristik tersebut secara akumulatif dapat dikenakan cukai. Dengan demikian emisi karbon pun dapat dikenakan cukai karena memiliki dampak negatif bagi lingkungan hidup. Pungutan karbon atas benda berwujud ini bisa juga diterapkan melalui mekanisme Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), namun kelemahan dari mekanisme ini biasanya terletak pada penegakan hukumnya apabila terjadi pelanggaran. Pungutan karbon atas kegiatan yang meninggalkan jejak karbon Pungutan karbon atas kegiatan yang menimbulkan emisi karbon, misalnya kegiatan di pabrik semen, pabrik keramik, industri pertambangan, dll. belum bisa diterapkan dengan mekanisme pajak atau cukai karena belum diakomodasi oleh undang- undang. Sementara, penghitungan emisi karbon dalam kegiatan-kegiatan industri dapat dilakukan dengan mengandalkan penghitungan mass and energy balance secara berkala untuk penentuan basis pemungutannya. Yang perlu didiskusikan selanjutnya adalah instansi mana yang mengampu tugas tersebut sekaligus bertanggung jawab terhadap pemungutan maupun auditnya. Sementara itu, nilai pungutan yang diperoleh atas karbon dapat dimasukkan ke dalam PNBP. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pungutan atas emisi gas karbondioksida merupakan salah satu solusi yang powerful untuk memenuhi ketentuan Perjanjian Paris tentang Perubahan Iklim. Pungutan karbon atas barang yang konsumsinya akan menimbulkan emisi karbon dan wujud barangnya kasat mata bisa memakai mekanisme cukai. Sedangkan, pungutan karbon atas industri atau kegiatan yang menimbulkan jejak karbon bisa menggunakan mekanisme PNBP, tetapi harus ada kejelasan institusi mana yang akan bertanggung jawab dalam mengaudit emisi karbon tersebut.
Majalah Media Keuangan @majalahmediakeuangan @ienamor 3. Agar UMKM bisa fokus untuk mengembangkan atau pivotting penjualannya selama pandemi, tidak terbebani dengan pikiran bagaimana bayar pajak @luckysitorus 1. Agar umkm/usaha mikro dapat merasakan manfaat langsung serta dapat menghindari rentenir. @nrdsasmt_ 2. Dukungan tersebut mempercepat pemulihan sektor UMKM Indonesia. Penyaluran kredit jadi lebih cepat dengan kualitas yang meningkat. Kementerian Keuangan RI www.kemenkeu.go.id @KemenkeuRI kemenkeuri Kemenkeu RI majalahmediakeuangan Menurut #OpiniAnda, program manakah yang paling berdampak pada pemulihan usah para pelaku UMKM? 1. Program subsidi bunga bagi UMKM 2. Program penjaminan modal kerja untuk UMKM 3. Insentif PPh final UMKM yang ditanggung pemerintah 4. Pembiayaan investasi pada koperasi 5. Penempatan uang negara pada bank umum dalam rangka percepatan pemulihan ekonomi nasional 5 MEDIAKEUANGAN 4 VOL. XV / NO. 155 / AGUSTUS 2020 Rahayu Puspasari Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Sekretariat Jenderal Kemenkeu Rapatkan Barisan, Merajut Harapan! M eski dengan nafas tersengal- sengal karena separuh paru-parunya rusak dihantam tuberkulosis, semangat Sang Jenderal bergerilya menembus medan hutan masih terus membara untuk mempertahankan kemerdekaan dari agresi militer Belanda yang kedua. “Meski kita terbatas peluru, senjata... Meski kita kedinginan seperti sekarang, kelaparan… Tapi kita mempunyai niat yang mulia Niat yang akan memenangkan peperangan ini Ini bukan lagi soal keadaan diri Tapi ini soal perjuangan demi rakyat” Itulah sepenggal dialog tokoh Soedirman dalam film berjudul “Jenderal Soedirman” yang diperankan oleh Adipati Dolken garapan sutradara Viva Westi. Lugas, patriotik, berani dalam berjuang. Adakah semangat gerilya Soedirman tujuh dasawarsa lalu itu masih terasa hari ini? Tahun 2020 kita berhadapan dengan perang yang berbeda. Musuh bernama COVID-19 itu tak tampak kasat mata , tapi korbannya yaitu manusia dibuat tumbang tak berdaya. Ya, musuh pandemi COVID-19 masih merajalela dan menyerang mereka yang lengah dan berdaya lemah. Di bulan perayaan ke-75 tahun kemerdekaan Indonesia ini, kita masih berada pada situasi yang tidak pasti. Pandemi COVID-19 telah memberikan efek domino, tak hanya soal krisis kesehatan tetapi juga krisis pada aspek sosial, ekonomi, dan keuangan. Karena kegentingan itulah, pemerintah mengambil langkah responsif dan luar biasa melalui kebijakan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) agar masalah kesehatan tak merembet jauh menjadi gejolak sosial, ekonomi, dan keuangan. Ada pelajaran yang sangat mahal dan berharga dari semua ini. Virus penyebab batuk dan demam yang bisa mematikan diri sekaligus ekonomi. Masker dan sanitizer yang bisa menyambung nyawa. Rasa saling peduli dari mereka meski tak pernah mengenali. Banyak hal yang uang tak bisa beli, seperti semangat bangkit meski sudah terhimpit. Pemerintah yang hadir dengan peran counter cyclical telah menyiapkan seperangkat obat agar jiwa raga dan ekonomi selamat. Program PEN adalah wujud nyata suntikan semangat untuk bangkit bagi keluarga, pengusaha, pelaku ekonomi UMKM, hingga korporasi. PEN adalah bentuk kehadiran pemerintah. Meski jalan menuju pemulihan penuh ketidakpastian dan penuh tantangan, namun Pemerintah akan terus melakukan upaya pemulihan pandemi ini dalam 3 tahun ke depan, sesuai dengan yang telah diijinkan dalam undang-undang. Di edisi bulan kemerdekaan ini, Pembaca dapat memahami lebih dalam semangat gerilya Pemerintah memerangi pandemi COVIDd-19 dengan PEN sebagai senjatanya. Seperti apa amunisi, sasaran tembak, dan target kemenangan yang ingin dicapai. Tema “Indonesia Maju” pada perayaan HUT RI ke-75 ini adalah simbol semangat gerilya bagi pemerintah dan rakyatnya untuk bahu-membahu bangkit bersama dan maju memenangkan perang melawan COVID-19, seperti ujaran semangat Jenderal Soedirman “Rapatkan barisan, ayo rajut harapan. Merdeka!”
Opini Perdagangan Internasional dan Kebijakan Fiskal *Tulisan ini merupakan pandangan pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan/perspektif institusi tempat penulis bekerja. Teks Subagio Effendii, pegawai Tugas Belajar di University of Technology Sydney, MEDIAKEUANGAN 40 W abah pandemi COVID-19, selain menciptakan krisis kesehatan global, telah menimbulkan disrupsi yang masif pada tatanan perdagangan internasional. Dari sisi penawaran (supply), upaya lockdown dan working from home mengakibatkan berkurangnya tenaga kerja yang terlibat dalam aktivitas produksi (labor shortage). Upaya ini juga mengharuskan pemerintah untuk menutup pelabuhan air dan udara yang menghambat distribusi barang antarnegara. Laporan International Air Transport Association menunjukan penurunan kuantitas transportasi kargo internasional sampai dengan bulan Maret 2020 sebesar 23 persen secara year-on-year dengan estimasi kerugian mencapai US$1,6 miliar. Lebih lanjut, kebijakan negara untuk menerapkan pembatasan ekspor __ (export restrictions) demi melindungi pasokan domestik turut menambah kompleksitas permasalahan. World Trade Organization (WTO) mencatat 80 negara, termasuk di dalamnya negara- negara yang menjadi ‘lumbung’ pangan dunia, seperti Rusia, Vietnam, dan Argentina, serta otoritas kepabeanan telah menerapkan export restrictions atas perlengkapan medis, bahan pangan, dan kertas toilet. Dari sisi permintaan ( demand ) , perubahan preferensi konsumsi akibat COVID-19 menyebabkan mismatch antara permintaan dan penawaran. Untuk makanan, misalnya, studi terbaru dari Food and Agriculture Organization menemukan peningkatan minat konsumen terhadap produk makanan yang memiliki cangkang atau kulit serta dikemas dengan rapat. Bahkan, konsumen di beberapa negara tidak segan untuk menolak produk makanan yang berasal dari Tiongkok. Selain itu, upaya lockdown mengharuskan pemerintah untuk menutup pasar tradisional sehingga membatasi akses konsumen terhadap bahan pangan yang mengakibatkan peningkatan food waste. Permasalahan ganda pada supply dan demand menyebabkan penurunan kuantitas perdagangan internasional secara signifikan. WTO mengestimasi penurunan perdagangan tahun ini mencapai 13 persen hingga 32 persen (setara US$8 triliun) terutama di sektor jasa komersial dan barang dengan supply chain yang kompleks. Di samping itu, secara fundamental, disrupsi ini juga membuat premis comparative advantage (David Ricardo, 1817) yang menjadi fondasi ekonomi pasar dan perdagangan internasional menjadi diragukan validitasnya. Premis klasik yang berargumen bahwa social welfare akan optimal jika negara melakukan spesialisasi dengan memproduksi barang yang memiliki opportunity cost terendah sesuai ketersediaan faktor produksi serta membeli kebutuhan lainnya di pasar internasional, nampaknya hanya absah bila mekanisme perdagangan internasional tidak terdisrupsi. Sebaliknya, dalam kondisi terjadi supply and demand shocks , semua negara akan berusaha memproduksi seluruh kebutuhannya di dalam negeri dan sedapat mungkin membatasi ekspor produknya ke luar negeri. Beberapa negara berkembang di Afrika dan Amerika Latin bahkan telah mengadopsi konsep Food Sovereignty and Solidarity yang memberikan hak konstitusional kepada rakyat untuk menentukan pilihan produksi dan konsumsi pangan yang terbaik termasuk penerapan sistem agrikultur yang sesuai dengan sumber daya dan kearifan lokal. Dalam konsep ini, bahan pangan ditempatkan sebagai bagian dari solidaritas kemanusiaan, bukan komoditas komersial sehingga terbebas dari semua ketentuan ekonomi pasar dan perdagangan internasional. Indonesia telah mengadopsi konsepsi kedaulatan pangan dalam Undang- Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan namun belum diterapkan secara holistik. Disrupsi perdagangan internasional juga membuat upaya untuk menjaga daya beli masyarakat di masa resesi menjadi problematik. Harus diakui Indonesia masih sangat bergantung pada impor untuk memenuhi kebutuhan yang esensial di masa pandemi seperti pangan, energi, obat-obatan, dan perlengkapan kesehatan. Badan Pusat Statistik mencatat total impor minyak bumi, beras, gandum, daging, dan kedelai pada tahun 2019 masing- masing mencapai 40.926; 444; 10.692; 262; dan 2.670 ribu ton. Kelangkaan barang esensial di pasar domestik akibat terganggunya impor tentunya akan memicu supply-push inflations yang memukul daya beli masyarakat. Bahkan, jika berkelanjutan, masalah ini dapat memicu konflik sosial yang membuat ‘ongkos’ penanganan pandemi menjadi semakin tinggi. Oleh karenanya, pemerintah perlu segera melakukan langkah strategis untuk memitigasi dampak disrupsi perdagangan sekaligus mencegah krisis kesehatan berkembang menjadi krisis pangan. Dari perspektif kebijakan fiskal, pemerintah telah berupaya mendorong peningkatan pasokan pangan domestik dengan memasukkan industri pertanian, pengolahan bahan pangan, perdagangan, dan jasa penunjang pertanian dalam daftar penerima insentif pajak sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan DISRUPSI Nomor 44/PMK.03/2020. Kelompok petani skala kecil juga mendapatkan fasilitas penundaan angsuran pokok dan subsidi bunga atas pinjaman usaha selama enam bulan. Upaya selanjutnya, otoritas fiskal dapat merelaksasi pungutan bea masuk serta pajak impor lainnya atas produk esensial dan menggunakan instrumen kebijakan fiskal, setelah berkoordinasi dengan otoritas perdagangan, sebagai bargaining chips untuk mengafirmasi komitmen para mitra dagang di kawasan, terutama negara-negara produsen bahan pangan seperti Australia, Thailand, Vietnam, dan Myanmar, untuk tetap memberikan akses pasar dan tidak melakukan export restrictions di masa pandemi. Ilustrasi A. Wirananda
Biro KLI Kementerian Keuangan
Relevan terhadap
ndonesia baru-baru ini telah menjadi negara ekonomi kelas menengah, dengan jumlah populasi kelas menengahnya mencapai 16% pada tahun 2014 dari hanya 5% pada tahun 1993 (Survei Sosial Ekonomi Nasional). Indonesia juga berhasil menjadi salah satu negara dengan pengentasan kemiskinan tercepat di dunia. Namun demikian, sekitar 26 juta orang Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan dan 77,4 juta orang atau setara dengan 29,1% dari populasi masih menjadi bagian kemiskinan atau rentan jatuh kembali ke dalam kemiskinan. Hal ini menunjukkan tingginya jumlah penduduk Indonesia yang masih rentan terhadap guncangan ekonomi walaupun ada kemajuan yang signifikan dalam mengurangi kemiskinan. Oleh karena itu, penting untuk menemukan solusi yang efektif guna mengubah masyarakat miskin Indonesia menjadi masyarakat berpenghasilan menengah. Rumah tangga berpendapatan menengah merupakan kontributor konsumsi dan sumber suara sosial serta politik yang signifikan dalam membentuk kebijakan pembangunan. Solusi yang dapat diambil oleh pemerintah Indonesia, antara lain dengan meningkatkan pembangunan infrastruktur untuk mendorong penciptaan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kualitas pendidikan terutama dalam penyediaan keterampilan khusus yang dibutuhkan oleh lapangan kerja, dan meningkatkan kualitas kesehatan dan peluang kehidupan bagi anak- anak di daerah pedesaan. Semua hal tersebut membutuhkan sejumlah besar pembiayaan di tengah tekanan global, rasio pajak yang rendah, dan rencana pemerintah untuk mengurangi pajak penghasilan. Langkah awal yang dapat dilakukan yakni dengan memperluas basis pajak dan meningkatkan kepatuhan pajak. Apabila jumlah “calon kelas menengah” dan “kelas menengah” dapat meningkat secara proporsional, maka dengan basis subjek pajak yang substansial itu, Indonesia dapat menerapkan rezim pajak penghasilan progresif, di mana mereka yang memiliki pendapatan berlebih harus membayar lebih banyak pajak. Dengan terhimpunnya dana pajak tersebut, Indonesia kemudian dapat membangun skema perlindungan sosial yang kuat. Tantangan berikutnya adalah bagaimana membuat pembelanjaan kelas menengah agar menjadi lebih produktif, karena jika pengeluaran kelas menengah tersebut tidak produktif, maka risiko jatuh ke dalam middle income trap akan lebih besar. Dari segi ketenagakerjaan dan produktivitas tenaga kerja, terlepas dari upah yang kecil, produktivitas yang rendah telah menghasilkan total biaya output yang lebih tinggi. Di samping itu, pada tataran global, Indonesia masih berada di peringkat ke-2 terkait kekakuan kontrak kerja terutama dalam hal pemutusan hubungan kerja, sedangkan tingkat kepatuhannya hanya sebesar 49%. Pengangguran usia muda mencapai tujuh kali lebih banyak dari pengangguran orang dewasa, sementara sebanyak dua dari tiga perempuan Indonesia termasuk di antara mereka yang menganggur. Di lain sisi, sehubungan dengan tingkat pelatihan, hanya sekitar 8% dari perusahaan yang ada di Indonesia yang benar-benar memberikan pelatihan untuk karyawan mereka, padahal pemerintah telah memberikan insentif pajak berupa pengurangan hingga Rp300 juta ( super deduction ) bagi perusahaan yang memberikan pelatihan bagi karyawannya. Dari segi pembangunan pendidikan, meskipun telah ada upaya pemerintah untuk melakukan perbaikan mendasar, namun outcome dari upaya ini masih belum optimal. Pencapaian rata-rata pengetahuan siswa dengan lama pendidikan 12 tahun sebenarnya hanya sama dengan 7,9 tahun mengenyam pendidikan. Hal ini menunjukkan ketidakefektifan dalam proses pembelajaran, baik dari sisi kurikulum dan kapasitas guru, dan/ atau terbatasnya fasilitas pendidikan yang ada. Beberapa ide muncul sebagai solusi dari tantangan dimaksud, salah satunya dengan mengembangkan dan memperluas industri pendidikan anak usia dini. Hal ini dianggap mendesak karena sebuah penelitian menunjukkan bahwa return pendidikan satu tahun pada anak usia dini lebih besar daripada return pendidikan pada perguruan tinggi dengan durasi yang sama. Sayangnya, hanya sekitar 1% anak Indonesia yang saat ini dapat menikmati pendidikan anak usia dini. Dari segi kualitas kesehatan, 27% anak Indonesia masih mengalami hambatan pertumbuhan ( stunting ) sehingga Indonesia berada pada peringkat stunting ke-5 di dunia. Sementara itu, dari 74% wanita Indonesia yang telah mendapat pemeriksaan kehamilan, hanya 37% yang mampu memberikan ASI dan hanya 58% yang telah menerima suntikan imunisasi untuk bayinya. Oleh sebab itu, efektivitas sistem perlindungan kesehatan nasional harus ditingkatkan, antara lain melalui pembetulan alokasi subsidi, mengingat saat ini sebanyak 40% rumah tangga kelas menengah masih menerima subsidi pemerintah, dan peningkatan kepatuhan pembayaran iuran jaminan sosial kesehatan. Pada akhirnya, meskipun kombinasi dari tantangan pembangunan, demokrasi, dan desentralisasi cenderung memperumit masalah dan penanganannya, namun pemerintah harus mampu merancang kebijakan yang tidak hanya layak berdasarkan standar yang diterima, tetapi juga sesuai untuk Indonesia yang kaya akan keberagaman. Pemerintah harus dapat mengimplementasikan kebijakan yang memastikan keberlanjutan dan produktivitas pembiayaan pembangunan, meskipun setiap kebijakan yang diambil tidak akan bisa menyenangkan semua pihak. 41 MEDIAKEUANGAN 40 VOL. XV / NO. 149 / FEBRUARI 2020 Opini MENJADI CALON SOSIALITA, Memakmurkan Indonesia *Tulisan ini merupakan pandangan pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan/perspektif institusi tempat penulis bekerja. Teks Bramantya Saputro Pegawai Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI MEDIAKEUANGAN 40
Laporan Utama Peduli Pada yang Papa Teks CS. Purwodidhu MEDIAKEUANGAN 20 S eluruh masyarakat Indonesia memiliki hak yang sama atas akses pembiayaan usaha, tak terkecuali 40% masyarakat yang berada pada lapisan bawah. Program Pembiayaan Ultra Mikro (UMi) hadir bagi seluruh masyarakat prasejahtera dari Sabang hingga Merauke yang terkendala dalam mengakses pembiayaan. Bukan semata untuk mengentaskan kemiskinan, UMi juga diandalkan sebagai katalisator program-program pemerintah lainnya untuk memberdayakan masyarakat prasejahtera agar bisa naik kelas. Simak wawancara Media Keuangan dengan Direktur Jenderal Perbendaharaan, Andin Hadiyanto, seputar kiprah UMi dalam hampir tiga tahun perjalanannya sejak diluncurkan pada pertengahan 2017 silam. Bagaimana progress penyaluran pembiayaan UMi? Pertumbuhan debitur signifikan dari sejak dimulai di 2017. Sampai dengan 29 Februari 2020, kita telah menyalurkan pembiayaan ke 1.775.814 debitur di seluruh Indonesia. Dananya juga dinaikkan dari 1,5 T pada tahun 2017 hingga menjadi 8T sampai dengan akhir tahun 2020. Ini merupakan skema dana bergulir yang mengedepankan prinsip kemandirian. Apa saja kunci sukses program pembiayaan UMi? Ada aspek keberpihakan, pemberdayaan, dan penguatan, intinya di situ. Keberpihakan itu karena bunga UMi dari PIP sekitar 2-4%. Bahkan ini sedang proses untuk diturunkan lagi. Jadi 60% biayanya itu ada di SDM tenaga pendamping, yang jasanya tidak terukur dengan uang karena mereka memberi value added yang tinggi untuk peserta UMi. Selanjutnya, aspek penguatan lembaga keuangan yang ada, dalam konteks pendalaman sektor keuangan. Berkaitan dengan financial inclusion, kita memikirkan bagaimana masyarakat ultra mikro mulai dari pedagang asongan, tukang sayur, industri rumahan yang tidak tersentuh perbankan ini bisa mengakses dana melalui lembaga yang sudah ada, seperti Pegadaian, PT Permodalan Nasional Madani (PNM), dan PT Bahana Artha Ventura (BAV). Yang ketiga, pemberdayaan masyarakat. Dari pengalaman saya bertemu para debitur di daerah, seperti di Bali dan Makassar, mereka ada pendampingan setiap minggu yang membina mereka melakukan kegiatan usaha dan pengadministrasiannya. Dengan begitu kita mengajari masyarakat untuk produktif. Seberapa besar tingkat NPL (Non- Performing Loan) UMi? Sampai saat ini NPL di end user berada pada tingkat terkendali di bawah 5%. Dibandingkan dengan bank, NPL UMi relatif lebih rendah. Luar biasanya karena ini tanpa agunan. Pembiayaan lebih baik dilakukan secara berkelompok karena ada nilai gotong royong dan tanggung renteng yang dibangun. Kalau ada satu anggota yang tidak bisa bayar, ditanggung oleh kelompoknya sehingga mengamankan dana yang ada supaya NPL nya rendah. Mengapa debitur UMi 90% perempuan? Mungkin karena karakter wirausahanya ya, tingkat kepatuhannya juga tinggi. Rata-rata ini juga ibu- ibu yang bantu suaminya, karena suaminya sudah punya kerjaan utama. Pinjamannya juga relatif kecil, untuk pemula paling cuma antara 2-5 juta untuk dibayar per minggu selama 10 bulan dan betul-betul untuk modal itu. Ibu-ibu itu tekun banget, senang banget diberikan pendampingan secara rutin dan berkelompok. Ini membuat ibu-ibu semakin produktif. Bagaimana upaya menjaga kesinambungan UMi? Dari segi pendanaan, semampu mungkin dananya nanti kita tambah. Bisa melalui APBN, kerja sama dengan pemda, dan lembaga-lembaga lainnya. Ke depan, kita akan membuat MoU dengan beberapa pemda, seperti dengan Pemda Bone Bolango. Pemda ini ingin bantu masyarakat ultra mikro di daerahnya, mereka punya dana tapi tidak punya skema. Jadi kita bantu salurkan dengan skema UMi. Selain pemda, kita juga akan menyasar Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang sudah mapan untuk menjadi penyalur UMi. Kita juga akan menerbitkan Efek Beragun Aset (EBA). Yang menjadi jaminan adalah piutang kita kepada debitur, karena piutangnya lancar, kita keluarkan surat berharga. Ini bisa dibeli oleh lembaga internasional di pasar modal. Jadi mengurangi ketergantungan terhadap APBN untuk penambahan modal. Kesinambungan lain adalah dari segi kerja sama, terutama dalam penyaluran, untuk pengembangan dan optimalisasi debitur. Kita akan tambah lembaga penyalur karena tidak di semua tempat ada Pegadaian, PNM, dan BAV. Kita mau dorong PNM untuk daerah-daerah yang lebih remote. Kita ada kerja sama dengan Kementerian Koperasi untuk membina koperasi hingga layak menjadi lembaga penyalur, dengan Kementerian Pertanian yang membina Lembaga Kredit Mikro Agribisnis (LKMA) yang terdiri dari gabungan kelompok tani. Kita mau lihat kelayakan 700 LKMA untuk menjadi lembaga penyalur UMi. Kerja sama dengan Kementerian Sosial dalam sharing data antara Program Keluarga Harapan (PKH) dengan UMi sehingga penerima PKH juga mampu dijangkau UMi. Jadi ini seperti berjenjang untuk menaikkan kelas masyarakat prasejahtera? Ya, berjenjang, ini memang pekerjaan besar. Jadi peserta PKH yang punya usaha kita jadikan target peserta UMi. Nanti, dari peserta UMi itu kalau sudah lulus, kita jadikan target Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang mikro. Kalau sudah lulus lagi, kita targetkan ke KUR yang lebih besar. Bagaimana memastikan UMi bisa tepat sasaran? Bahwa yang sudah dapat UMi tidak boleh dapat KUR, yang dapat KUR tidak boleh dapat UMi pada saat yang bersamaan, nah, ini sekarang sudah mulai bagus, datanya sudah tidak mungkin double karena ada dalam satu database yang sama, Sistem Informasi Kredit Program (SIKP). Ini juga modal besar untuk keberlanjutan, punya IT sistem yang bagus. Kita juga sudah buat sistem manajemen agar Kanwil Ditjen Perbendaharaan dan KPPN semua menjadi bagian dalam monitoring dan evaluasi pembiayaan UMi untuk memastikan penyalurannya sesuai ketentuan dan diberikan ke orang yang tepat. Upaya apa yang dapat dilakukan untuk memperluas jangkauan UMi sampai ke pelosok Indonesia? Saran saya melalui BUMDes, saya lihat prospektifnya bagus karena selama ini mereka didukung BUMN juga. Jadi desa itu sekarang kalau infrastrukturnya sudah bagus, mereka geser penggunaan dananya untuk pemberdayaan masyarakat. Sebagaian untuk BUMDes, sebagian lagi untuk pelestarian budaya misalnya. Kita juga akan minta Kanwil untuk piloting desa binaan, kalau sudah bagus bisa direplika di desa-desa lain. Koperasi di daerah juga semoga makin berkembang ya. Harapan Bapak untuk program UMi? Harapannya, satu, dari sisi debiturnya yang sudah dapat UMi kalau bisa dia naik kelas jadi dapat KUR. Dua, memperluas jangkauan UMi semaksimal mungkin dan ekstensifikasi pendanaan seoptimal mungkin dengan mekanisme dan skema yang ada. Tentu pada akhirnya ini dapat membantu kita mengentaskan kemiskinan. Lapisan bawah ini jangan sampai terabaikan karena pada saat krisis justru orang- orang ini yang paling survive dan menyelamatkan negeri ini.
Biro KLI Kementerian Keuangan
Relevan terhadap
K ementerian Keuangan (Kemenkeu). Dari struktur organisasi hingga kebijakan-kebijakan awal keuangan Indonesia. Karena baru saja merdeka, sistem pemerintahan Jepang masih mempengaruhi berbagai lembaga di Indonesia. Gunseikanbu Zaimubu atau Departemen Keuangan Jepang juga menjadi patokan awal Kemenkeu. “Struktur organisasi Kementerian Keuangan banyak mengambil alih bentuk Gunseikanbu Zaimubu dengan berbagai perubahan agar sesuai dengan negara merdeka dan berdaulat,” tulis Tim Departemen Keuangan dalam Rupiah di Tengah Rentang Sejarah: 45 Tahun Uang Republik Indonesia, 1946- 1991. Tak lama, sistem dan lembaga keuangan tinggalan Jepang segera dibereskan. Pada 29 September 1945, Maramis mengeluarkan dekrit yang mempreteli hak dan kewenangan Menghapus Warisan Kolonial Untuk mempertahankan kedaulatan, pemerintah membentuk berbagai lembaga keuangan. Dari kementerian hingga bank sentral. pejabat pemerintahan tentara Jepang. Baik urusan menerbitkan dan menandatangani surat-surat perintah membayar uang, pengeluaran negara, hingga segala urusan kas negara. Hak dan kewenangan itu diserahkan kepada Pembantu Bendahara Negara yang ditunjuk dan bertanggungjawab kepada Menteri Keuangan. Maramis juga menyusun organisasi Kemenkeu yang pertama; terdiri dari lima penjabatan (eselon) I: umum, keuangan, pajak, resi candu dan garam, serta pegadaian. Langkah penting lainnya, demi kesatuan alat pembayaran yang sah, Maramis memerintahkan pencetakan Oeang Republik Indonesia (ORI). Kendati mengalami hambatan, usaha itu berhasil dengan terbitnya emisi pertama uang kertas ORI pada 30 Oktober 1946. Melalui Keputusan Menteri Keuangan tanggal 29 Oktober 1946, ORI ditetapkan berlaku secara sah mulai 30 Oktober 1946 pukul 00.00. Selanjutnya, 30 Oktober disahkan sebagai Hari Oeang Republik Indonesia. Mendirikan bank sentral Untuk mendukung kedaulatan Indonesia di sektor ekonomi, diperlukan bank sirkulasi. Pada 19 September 1945, Sukarno-Hatta menandatangani Surat Kuasa Pemerintah Republik Indonesia bertanggal 16 September 1945 sebagai landasan yuridis bagi persiapan pendirian bank sirkulasi: Bank Negara Indonesia (BNI). Menurut Sri Margana dkk dalam Keindonesiaan dalam Uang: Sejarah Uang Kertas Indonesia 1945-1953 , __ tak semua pihak yang setuju bahwa pendirian BNI merupakan jalan terbaik untuk mendirikan kebijakan moneter yang kuat. Ir. Soerachman Tjorkoadisoerjo, misalnya, menginginkan agar pemerintah menasionalisasi De Javasche Bank (DJB) saja. Soerachman kala itu menjabat Menteri Kemakmuran. Sementara DJB merupakan bank sirkulasi Hindia Belanda sejak 1828 sampai dilikuidasi Nanpo Kaihatsu Ginko, bank sirkulasi era pendudukan Jepang. Tapi pemerintah sudah mengambil keputusan. Untuk mewujudkan impian itu, pada 9 Oktober 1945 didirikanlah Poesat Bank Indonesia (PBI). Badan ini bertugas mempersiapkan pembentukan BNI dan menjalankan kebijakan keuangan sebagaimana bank sirkulasi bekerja. Selain itu, PBI berperan memberikan kredit dengan bunga serendah-rendahnya dan menjadi pusat penyimpanan uang masyarakat. PBI juga mengeluarkan obligasi, menerima simpanan giro, deposito, dan tabungan, serta memberikan informasi dan penerangan di bidang ekonomi. “Serta merta masyarakat mulai mempercayakan dan menyimpan uang mereka pada bank tersebut. Dalam waktu singkat terkumpulah sebanyak Rp 31 juta (uang Jepang) yang digunakan sebagai modal bank,” tulis Oey Beng To dalam Sejarah Kebijakan Moneter Teks Andri Setiawan Laporan Utama Gedung Bank Indonesia Foto Historia 43 MEDIAKEUANGAN 42 VOL. XV / NO. 157 / OKTOBER