Uji Materi Pasal 2, Pasal 12 ayat (2), Pasal 27 dan Pasal 28 angka 3 dan 10 Lampiran UU Nomor 2 tahun 2020 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 ...
Relevan terhadap
ayat (2); Pasal 14; Pasal 16 ayat (1) huruf c; Pasal 19; Pasal 20 ayat (1) huruf b angka (1); Pasal 20 ayat (1) huruf b angka (3); Pasal 20 ayat (1) huruf c; Pasal 22 ayat (1); Pasal 23 ayat (1) huruf a; Pasal 24 ayat (1); Pasal 25; Pasal 26 ayat (1); Pasal 27; Pasal 28 dan Pasal 29 Lampiran Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Dan/Atau dalam Rangka 133 Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134; Tambahan Lembar Negara Republlik Indonesia Nomor 6516) tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tetap memiliki kekuatan hukum mengikat;
Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Apabila Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono). [2.4] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon, Presiden menyampaikan keterangan lisan di depan persidangan melalui sidang virtual pada tanggal 8 Oktober 2020 dan telah pula menyerahkan keterangan tertulis yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: Keterangan Pendahuluan ( Opening Statement) Sehubungan dengan adanya 7 (tujuh) permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 (selanjutnya disebut UU 2/2020 ) terhadap UUD 1945 , yang teregistrasi dalam Perkara Nomor 37, 42, 43, 45, 47, 49, dan 75/PUU-XVIII/2020, perkenankanlah kami selaku kuasa Presiden menyampaikan keterangan atas Permohonan Pengujian UU 2/2020. Pada kesempatan ini, yang akan kami sampaikan secara lisan adalah pokok-pokok atau ringkasan Keterangan Presiden yang merupakan satu kesatuan yang utuh dan tidak terpisahkan dengan Keterangan Presiden yang lengkap dan menyeluruh yang kami sampaikan dalam bentuk tertulis. Sejak Indonesia merdeka pada tahun 1945, para pendiri bangsa ( founding fathers ) telah menentukan salah satu tujuan bernegara ialah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Sebagai perwujudan dari tujuan dimaksud, Negara harus selalu hadir dalam setiap kondisi untuk memastikan perlindungan terhadap rakyatnya. Negara harus dapat memastikan adanya jaminan perlindungan bagi seluruh warga baik dalam kondisi normal maupun kondisi tidak normal. Bentuk perlindungan yang diberikan oleh negara tidak sebatas perlindungan dari ancaman fisik namun juga perlindungan terhadap keseluruhan aspek kehidupan dan 134 keselamatan 269 juta jiwa penduduk Indonesia. Negara harus mampu menjaga ketahanan seluruh elemen bangsa dari segala ancaman yang membahayakan negara dan masyarakat. Dengan segala sumber daya yang ada, kita harus mewujudkan ketahanan negara yang kokoh dari segala ancaman, termasuk ancaman terhadap perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan yang menimbulkan implikasi pada aspek sosial, ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat. Pandemi Covid-19 yang kita hadapi saat ini, telah secara nyata menimbulkan dampak signifikan yang mempengaruhi kehidupan sosial dan ekonomi bahkan telah merenggut nyawa rakyat Indonesia. Keberlangsungan pandemi yang tidak dapat ditentukan berakhirnya, secara nyata telah menjadi ancaman terhadap perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Untuk itu, diperlukan gotong royong dari seluruh otoritas di bidang perekonomian dan sektor keuangan dalam menghadapi ancaman tersebut. Legal Standing Para Pemohon Pemerintah memahami bahwa penilaian atas legal standing merupakan kewenangan Mahkamah. Namun demikian, memperhatikan dalil Para Pemohon yang merasa dilanggar hak konstitusionalnya dengan UU 2/2020 ini, perkenankan Pemerintah menyampaikan bahwa penerbitan UU 2/2020 justru dimaksudkan untuk memberikan perlindungan bagi kehidupan masyarakat yang terancam dengan merebak dan menyebarnya Covid-19 baik terhadap kesehatan, keselamatan maupun kehidupan perekonomian masyarakat. Seluruh kebijakan dalam UU 2/2020 terutama kebijakan di bidang keuangan negara yang telah diimplementasikan saat ini telah didasarkan pada assessment data faktual dampak dan ancaman bagi masyarakat dan negara akibat terpaparnya Indonesia dengan Covid-19. Assessment perlunya upaya penyelamatan masyarakat secara cepat dengan penyiapan bantuan biaya kesehatan dan biaya kehidupan bukan didasarkan pada asumsi, namun merupakan assessment faktual terhadap multiplier effect atas kebijakan pembatasan sosial yang ditetapkan Pemerintah untuk mencegah penyebaran Covid-19. Oleh karena itu, Pemerintah berpendapat bahwa UU 2/2020 sama sekali tidak merugikan hak konstitusional Para Pemohon. Dengan demikian, permohonan ini tidak memenuhi 5 (lima) syarat kumulatif terkait kerugian hak dan/atau kewenangan 135 konstitusional untuk mengajukan pengujian undang-undang oleh Mahkamah. Justru sebaliknya, lahirnya UU 2/2020 merupakan upaya pemenuhan hak konstitusional Para Pemohon untuk mendapatkan perlindungan dan penghidupan yang layak di saat terjadinya keadaan luar biasa akibat pandemi Covid-19. Latar Belakang Penerbitan Perpu 1/2020 Sebelum memberikan keterangan atas UU 2/2020, perlu Pemerintah sampaikan mengenai latar belakang penerbitan Perppu 1/2020. Penyakit akibat virus Covid-19 yang muncul sejak Desember 2019 di kota Wuhan Provinsi Hubei RRT, telah menyebar secara cepat, ganas dan luas ke seluruh dunia. Pada bulan Maret 2020, World Health Organization (WHO) menetapkan Covid-19 sebagai pandemi global. Penyebaran Covid-19 hingga akhir Maret 2020 meliputi 205 negara dengan hampir 1 juta kasus penularan dan lebih dari 47 ribu kematian. Di Indonesia, sejak ditemukannya 2 kasus positif infeksi Covid-19 pada awal Maret di Jakarta, penyebaran kemudian terjadi sangat cepat. Lonjakan eksponensial jumlah pasien Covid-19 telah menimbulkan krisis bidang kesehatan di seluruh dunia. Untuk mengurangi kecepatan penyebaran Covid-19, semua negara melakukan langkah pembatasan sosial yang berbagai ragam, dari yang sangat ketat ( total lockdown ), hingga yang bersifat pembatasan sosial secara terbatas ( physical distancing ). Pembatasan sosial yang bertujuan untuk mencegah penyebaran Covid- 19, mengakibatkan terhentinya interaksi dan kegiatan sosial yang menyebabkan perlambatan aktivitas ekonomi terutama di tingkat akar rumput di seluruh dunia. Perekonomian dunia merosot tajam, dari semula diproyeksikan tumbuh 3,3% menjadi kontraksi -3%. Kerugian akibat Covid-19 di seluruh dunia saat itu, diperkirakan mencapai 9 triliun dolar Amerika, atau setara 9 kali (PDB) ekonomi Indonesia. Ancaman tersebut menyebabkan kepanikan di sektor keuangan dalam bentuk masifnya arus modal keluar negara-negara berkembang, yang menyebabkan kejatuhan pasar saham, pasar surat berharga dan pasar valuta asing. Kepanikan global dan merosotnya kegiatan ekonomi, melonjaknya pengangguran dan kebangkrutan jelas dapat mengancam stabilitas sosial, ekonomi dan sistem keuangan suatu negara. Di sisi lain, masifnya penyebaran Covid-19 di tengah peta perekonomian dan sektor keuangan global yang sangat kompleks serta saling terkoneksi satu sama lain menjadikan permasalahan semakin rumit dan dalam. Sementara itu, hingga saat ini 136 vaksin untuk Covid-19 masih dalam proses pengembangan dan masih membutuhkan waktu lebih panjang untuk implementasinya. Kombinasi tersebut menyebabkan ketidakpastian yang dihadapi perekonomian dan sektor keuangan menjadi sangat tinggi sementara tingkat prediktabilitas Covid-19 baik dari sisi dampak maupun waktu penyelesaiannya rendah. Kondisi extraordinary tersebut mendorong berbagai negara untuk melakukan langkah luar biasa dalam menyelamatkan masyarakat dan perekonomian. Negara- negara di berbagai benua baik di Asia, Eropa, Amerika melakukan kebijakan ekspansi fiskal (meningkatkan defisit APBN bahkan hingga mencapai diatas 10% PDB seperti di Amerika Serikat, Singapura, Australia dan Malaysia), kebijakan moneter longgar berupa penurunan suku bunga, memompa likuiditas- quantitative easing , serta melakukan relaksasi regulasi sektor keuangan. Perekonomian Indonesia juga mengalami tekanan sangat berat, pertumbuhan kuartal 1-2020 hanya sebesar 2,97% jauh dibawah rata-rata pertumbuhan selama 5 tahun yang diatas 5%. Dalam periode Januari-Maret 2020, terjadi arus modal keluar dari pasar keuangan Indonesia sebesar Rp148,8 triliun. Hal tersebut mendorong kenaikan yield SUN 10 tahun yang meningkat ke level di atas 8%, IHSG yang melemah tajam hampir 28%. Nilai tukar Rupiah sempat menyentuh level Rp16.600 per dolar Amerika dan mengalami depresiasi hingga angka 17,6% ytd di akhir Maret 2020. Merosotnya kegiatan ekonomi menyebabkan lonjakan pada tingkat pengangguran dan kemiskinan, serta berpotensi meluasnya kebangkrutan perusahaan. Untuk menangani penyebaran Covid-19 dan dampaknya yang mengancam perekonomian dan sistem keuangan, Pemerintah dan otoritas sektor keuangan memandang perlu melakukan langkah extraordinary secara cepat dan signifikan. Pelaksanaan langkah extraordinary dimaksud memerlukan produk hukum yang memadai sebagai dasar pengambilan kebijakan. Setelah melakukan konsultasi dengan beberapa lembaga negara dan mempertimbangkan secara seksama berbagai masukan yang diperoleh, Pemerintah bersama otoritas sektor keuangan berkeyakinan bahwa produk hukum yang paling memadai untuk mengatasi kondisi kegentingan memaksa tersebut adalah Perppu dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945. 137 Dengan kondisi demikian, maka tujuan pembentukan Perppu 1/2020 sesungguhnya adalah sebagai wujud kehadiran Negara dalam rangka menangani permasalahan pandemi Covid-19. Perppu 1/2020 memberikan landasan hukum bagi Pemerintah dalam menetapkan kebijakan dan langkah-langkah extraordinary di bidang keuangan negara maupun tindakan antisipatif ( forward looking ) terhadap ancaman memburuknya perekonomian dan stabilitas sistem keuangan seiring ketidakpastian berakhirnya penyebaran Covid-19. Memperhatikan bahwa terhadap 7 permohonan ini, hampir seluruh pasal dalam Lampiran UU 2/2020 dimohonkan pengujian, Pemerintah akan memberikan keterangan berdasarkan pengelompokan permasalahan yang dikemukakan Para Pemohon yaitu:
perlunya persetujuan DPR sebagai fungsi budgeting dan _controlling; _ (2) pengujian formil;
ruang lingkup dan jangka waktu keberlakuan;
kebijakan keuangan negara yang mencakup pelebaran defisit, Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), perpajakan dan kepabeanan, penerbitan SUN dan/atau SBSN, penyesuaian mandatory spending , penggunaan dana abadi pendidikan, kebijakan keuangan daerah (5) pelaksanaan kebijakan keuangan negara;
kebijakan stabilitas sistem keuangan meliputi kewenangan LPS dan OJK;
perlindungan hukum;
harmonisasi UU 2/2020 dengan UU terdampak. Meskipun kebijakan dalam Lampiran UU 2/2020 pada awalnya ditetapkan oleh Presiden sebagai pelaksanaan Pasal 22 UUD 1945, dapat Pemerintah sampaikan bahwa dengan penetapan Perppu 1/2020 menjadi UU 2/2020 melalui pembahasan sebagaimana layaknya pembentukan undang-undang, maka kebijakan dalam UU 2/2020 telah mendapatkan persetujuan DPR. Hal tersebut menunjukkan bahwa DPR memiliki kesamaan pandangan dengan Pemerintah mengenai adanya kegentingan memaksa dan perlunya kebijakan serta tindakan yang harus segera dilakukan dalam menghadapi pandemi Covid-19. Persetujuan DPR dimaksud menjadikan norma tersebut memenuhi amanat UUD 1945 dan memberikan kepastian hukum bagi keberlanjutan langkah-langkah Pemerintah dalam penanganan situasi extraordinary pandemi Covid-19, yang telah secara nyata menimbulkan pemburukan ekonomi dan ancaman krisis apabila tidak segera ditangani. 138 Pembentukan UU 2/2020 Secara Formil Telah Sesuai Dengan UUD 1945 Dalam Rangka Pemberian Kepastian Hukum Atas Langkah Kedaruratan Dalam Perpu Sesuai dengan ketentuan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945, Perppu harus mendapat persetujuan DPR setelah diundangkan. Memperhatikan dampak pandemi Covid-19 yang extraordinary , Pemerintah menyadari pentingnya persetujuan DPR segera diperoleh untuk kepastian keberlanjutan langkah-langkah penanganan pandemi Covid-19. Penanganan dampak pandemi Covid-19 terhadap perekonomian nasional memerlukan biaya sangat besar yang tidak tercukupi apabila menggunakan alokasi sesuai APBN TA 2020. Selain itu, diperlukan langkah-langkah extraordinary yang belum diatur kewenangannya dalam undang-undang yang ada. Hal tersebut diperlukan sebagai landasan pemberian dukungan pada bidang kesehatan, perlindungan sosial, UMKM, dan insentif dunia usaha dalam rangka penyelamatan kesehatan masyarakat, perekonomian, dan stabilitas sistem keuangan. Oleh karena itu, pada tanggal 1 April 2020, Pemerintah telah menyampaikan RUU tentang penetapan Perppu 1/2020 menjadi Undang-Undang kepada DPR. Bahwa pembahasan atas RUU yang disampaikan Pemerintah dilakukan oleh DPR pada masa persidangan yang sama tidak melanggar ketentuan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945. Pemerintah telah meneliti tidak ada larangan untuk melakukan pembahasan pengesahan Perppu dalam masa persidangan yang sama dengan saat pengajuan RUU oleh Pemerintah. Dilaksanakannya pembahasan RUU dalam masa persidangan yang sama (masa persidangan ke-3), menunjukkan bahwa DPR sebagai lembaga wakil rakyat juga menyadari tindakan-tindakan untuk penyelamatan perekonomian nasional harus segera dan secara berkelanjutan dilakukan oleh Pemerintah. Untuk memberikan kepastian hukum, setelah melalui proses pembahasan sesuai tahapan pembentukan undang-undang, pada Rapat Paripurna tanggal 12 Mei 2020, DPR telah memberikan persetujuan pengesahan Perppu 1/2020 menjadi undang-undang. Bahwa dengan demikian, proses persetujuan DPR atas Perppu 1/2020 menjadi UU 2/2020 telah memenuhi formalitas pengesahan Perppu sesuai Pasal 22 ayat (2) UUD 1945. 139 Ruang Lingkup Lampiran UU 2/2020 Tidak Hanya Untuk Penanganan Covid-19 Namun Juga Bersifat Antisipatif ( Forward Looking ) Untuk Mengatasi Ancaman Dampak Covid-19 Di dalam konsiderans Lampiran UU 2/2020 telah diuraikan bahwa pandemi Covid- 19 telah menimbulkan efek domino terhadap perlambatan perekonomian. Apabila tidak dilakukan upaya penanggulangan secara cepat dan tepat atas perlambatan tersebut, secara pasti akan terjadi ancaman terhadap stabilitas sistem keuangan. Oleh karena itu, Ruang Lingkup Lampiran UU 2/2020 didesain tidak hanya ditujukan untuk penanganan Covid-19 melainkan juga tindakan antisipatif ( forward looking ) untuk menangani efek domino yang ditimbulkan yaitu ancaman terhadap perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Dengan demikian, untuk menghindari terjadinya krisis ekonomi maupun krisis di sektor keuangan, Lampiran UU 2/2020 juga harus memberi legitimasi bagi Pemerintah untuk melakukan langkah-langkah menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan seiring ketidakpastian berakhirnya Covid-19. Dengan legitimasi tersebut, Pemerintah memiliki fleksibilitas melakukan recovery terhadap situasi dan kondisi perekonomian. Semakin mampu Pemerintah menangani dampak yang ditimbulkan oleh pandemi Covid-19 seiring dengan perkembangan/perlambatan penyebaran virus ( flattening the curve ), semakin mempercepat negara keluar dari pemburukan ekonomi. Perlu Pemerintah sampaikan bahwa sampai saat ini tidak ada negara yang dapat menjamin kapan pandemi Covid-19 akan selesai dan tidak dapat dipastikan pula seberapa dalam perlambatan/pemburukan perekonomian sebagai dampak pandemi Covid-19. Atas dasar tersebut, meskipun dalam beberapa ketentuan terdapat batasan waktu, seperti batasan pelebaran defisit sampai dengan tahun 2020, namun secara utuh, tidak dapat diberikan batasan jangka waktu keberlakuan UU 2/2020 seperti UU Pengampunan Pajak misalnya. Keberlanjutan UU 2/200 ini diperlukan dikarenakan tidak dapat dipastikan seberapa besar dan seberapa lama ancaman perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan terjadi di Indonesia. Semakin lama pandemi Covid-19 berlangsung maka dampaknya pun semakin berat. 140 Peningkatan jumlah kasus penderita Covid-19 saat ini menjadi bukti ketidakpastian yang harus dihadapi. Beberapa Pemerintah Daerah kembali melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) guna menghambat penyebaran Covid- 19. Harapan perbaikan pertumbuhan perekonomian menjadi positif di Kuartal III 2020 dari pertumbuhan -5,32% di Kuartal II 2020 diprediksi sangat sulit terwujud bahkan potensi resesi menjadi semakin besar. Dengan norma dalam UU 2/2020 yang memberikan fleksibilitas kepada Pemerintah untuk menentukan kebijakan, Pemerintah memiliki kemampuan untuk melakukan langkah-langkah recovery maupun antisipatif. Untuk menanggulangi peningkatan penyebaran Covid-19 di daerah bulan September lalu, Pemerintah Pusat telah memberikan pinjaman kepada Pemda terdampak dan bantuan langsung kepada masyarakat terdampak. Ketersediaan fasilitas kesehatan pun telah memadai untuk menghadapi peningkatan jumlah penderita. Dengan demikian, jelas bahwa kebijakan yang ditetapkan Pemerintah bersama DPR dalam UU 2/2020 semata-mata bertujuan memberikan legitimasi bagi Pemerintah untuk dapat melakukan langkah-langkah pencegahan negara dari krisis kesehatan dan perekonomian. Pelebaran Defisit Menjadi Pilihan Kebijakan Dalam Rangka Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional Sebagai Respon Atas Penurunan Pendapatan dan Peningkatan Belanja Negara Secara Signifikan Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, untuk menghadapi ancaman perekonomian nasional, Pemerintah memerlukan fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan negara agar penanganan pandemi Covid-19 dapat berjalan optimal. Fleksibilitas tersebut tidak dapat dilakukan apabila Pemerintah hanya berdasar pada ketentuan Undang-Undang yang telah ada sebelum pandemi Covid-19. Salah satu fleksibilitas yang diperlukan oleh Pemerintah adalah terkait dengan penyesuaian besaran defisit anggaran. Pada UU Keuangan Negara, diatur bahwa defisit anggaran dibatasi sebesar 3% dari PDB. Batasan maksimal defisit anggaran sesuai ketentuan tersebut tidak mungkin dipenuhi oleh Pemerintah karena pandemi Covid-19 telah menyebabkan penurunan pada pendapatan negara sekaligus peningkatan belanja negara untuk penanganan Covid-19. Dengan demikian, menjadi suatu keniscayaan untuk melakukan pelebaran defisit anggaran. Kewenangan untuk melakukan pelebaran defisit anggaran di atas 3% tidak dimaksudkan untuk digunakan secara sewenang-wenang. Sebaliknya, hal itu 141 ditujukan untuk memberikan kemampuan Pemerintah dalam menangani krisis kesehatan akibat Covid-19 dan efek domino yang ditimbulkannya. Kemampuan dan fleksibilitas untuk menangani permasalahan di bidang kesehatan, sosial dan ekonomi akan dilakukan secara terukur dan hati-hati, dengan tetap berlandaskan pada asas tata kelola yang baik, akuntabilitas dan transparansi. Untuk itu, Lampiran UU 2/2020 memberi pembatasan-pembatasan pelaksanaan pelebaran defisit yaitu: Pertama, kewenangan menetapkan defisit melampaui 3% dari PDB hanya berlaku paling lama sampai dengan TA 2022. Kedua, pembatasan jumlah pinjaman dalam rangka pembiayaan defisit maksimal 60% dari PDB sesuai UU Keuangan Negara. Perlu Pemerintah sampaikan pula bahwa meskipun UU 2/2020 memberikan fleksibilitas defisit sampai tahun 2022, namun Pemerintah akan melakukan pembahasan penetapan besaran defisit untuk tahun 2021 dan 2022 dengan DPR melalui mekanisme RAPBN. Hal tersebut dilakukan untuk menjaga esensi persetujuan DPR sesuai Pasal 23 UUD 1945 pada pembahasan APBN tahun mendatang. Dalam proses penyusunan UU APBN TA 2021, Pemerintah bersama DPR telah menyetujui d efisit anggaran sebesar 5,7% dari PDB pada Rapat Paripurna DPR tanggal 29 September 2020. Pada APBN 2020, Pemerintah telah menetapkan defisit APBN sebesar 6,34% PDB yang ditetapkan melalui Perpres 72 Tahun 2020. Besaran defisit tersebut telah mengakomodir biaya penanganan Covid-19 dan biaya Pemulihan Ekonomi Nasional sebagai berikut: No. Program Anggaran Realisasi 1. Kesehatan 87,55 T 21,92 T 25% 2. Perlindungan Sosial 203,91 T 157,03 T 77% 3. Insentif Usaha 120,61 T 28,07 T 23,3% 4. UMKM 123,47 T 81,85 T 66,3% 5. Pembiayaan Korporasi 53,6 T 0 0 6. Sektoral dan Pemda 106,05 T 26,61 T 25,1% Total 695,2 T 315,48 T 45,4% Dari jumlah tersebut, porsi terbesar adalah untuk perlindungan sosial untuk menjaga kemampuan ekonomi masyarakat. Diikuti dengan pemberian stimulus bagi UMKM 142 dan insentif usaha, dan dukungan anggaran untuk sektoral dan Pemda. Besaran anggaran program kesehatan meski bukan terbesar, namun sudah diperhitungkan kecukupannya untuk mendukung biaya penanganan Covid-19 (pembelian alat kesehatan seperti APD, Rapid Test, Reagen, penyediaan sarana dan prasarana kesehatan), subsidi Iuran BPJS Kesehatan, insentif tenaga medis, santunan kematian untuk tenaga kesehatan, dan pembebasan pajak serta bea masuk untuk alat kesehatan. Sedangkan anggaran perlindungan sosial digunakan untuk mendukung pelaksanaan Program Keluarga Harapan, Program Kartu Sembako, Program Bantuan Sosial Sembako Jabodetabek, Program Bantuan Sosial Tunai, Program Kartu Prakerja, Subsidi listrik, Bantuan Langsung Tunai Dana Desa. Program insentif usaha ditujukan untuk menjaga keberlanjutan aktivitas usaha masyarakat dalam bentuk pemberian insentif perpajakan. Dalam mendukung UMKM, Pemerintah telah melaksanakan beberapa program diantaranya yaitu pemberian subsidi bunga, penempatan dana untuk restrukturisasi, serta pembiayaan investasi kepada koperasi melalui Lembaga Pengelola Dana Bergulir KUMKM. Program pembiayaan korporasi antara lain dilaksanakan melalui pemberian penyertaan modal negara dan pinjaman kepada BUMN. Program sektoral K/L dan Pemda diantaranya digunakan untuk mendukung program padat karya, pemberian Dana Insentif Daerah untuk pemulihan ekonomi, pariwisata dan pemberian Dana Alokasi Khusus Fisik. Sebagai bentuk optimalisasi pelaksanaan program PEN, Pemerintah telah melakukan reclustering anggaran PEN untuk meningkatkan anggaran bidang kesehatan, perlindungan sosial, dan UMKM. Reclustering anggaran tersebut menunjukkan Pemerintah sangat serius menangani pandemi Covid-19 yang masih terus berlanjut dan berpengaruh sangat signifikan terhadap kesehatan masyarakat dan perekonomian. Sebagai rangkaian program PEN untuk terus menggerakkan perekonomian yang sedang mengalami perlambatan, Pemerintah memandang perlu melakukan upaya- upaya mendorong ekspansi kredit dan penurunan suku bunga kredit perbankan. Untuk itu, Pemerintah sebagai pihak yang memiliki kapasitas pendanaan telah melakukan penempatan dana per 30 September 2020 sebesar Rp61,7 triliun dengan rincian pada Bank Himbara sebesar Rp47,5 triliun, pada 7 BPD sebesar 143 11,2 triliun, dan pada 3 bank syariah sebesar 3 triliun. Selain itu, Pemerintah melalui PT Sarana Multi Infrastruktur salah satu BUMN Pembiayaan, telah memberikan pinjaman kepada 5 Pemerintah Daerah dengan total komitmen sebesar Rp6,8 triliun (DKI Jakarta senilai Rp3,265 triliun, Jawa Barat senilai Rp1,812 triliun, Banten senilai Rp 851,77 miliar, Sulawesi Utara senilai Rp723,7 miliar, dan Kabupaten Ponorogo senilai Rp200 miliar). Pinjaman tersebut diberikan dalam rangka meningkatkan kapasitas Pemerintah Daerah untuk melaksanakan program-program PEN di daerah masing-masing. Kebijakan Penurunan Tarif Perpajakan Sebagai Insentif Untuk Menjaga Kesehatan Keuangan Perusahaan di Masa Pandemi Covid-19 Dalam UU 2/2020 telah ditetapkan kebijakan untuk menurunkan tarif PPh Wajib Pajak badan dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT) sebagai insentif/dukungan Pemerintah menjaga kelangsungan usaha perusahaan dalam masa pandemi Covid-19. Dampak pandemi Covid-19 hampir menyentuh semua sektor usaha. Dalam perspektif tersebut, insentif perpajakan sangat relevan diberikan ke semua sektor usaha tidak hanya yang bergerak di bidang riset dan pengembangan terkait Covid-19 sebagaimana yang diinginkan Para Pemohon. Hal ini secara tidak langsung akan berdampak pada terjaminnya ketersediaan barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat serta mempertahankan lapangan kerja. Pemungutan PMSE Merupakan Upaya Pemerintah Untuk Mengoptimalkan Penerimaan Negara Di Tengah Pandemi Covid-19 Serta Menciptakan Kesetaraan Bagi Pelaku Usaha Dalam Negeri Maupun Luar Negeri Penurunan pendapatan negara secara signifikan akibat pandemi Covid-19 di satu sisi dan adanya akselerasi transformasi digital di sisi lain telah menjadi pertimbangan lahirnya kebijakan penetapan pajak dari sektor Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) dalam UU 2/202020. Basis pajak dari transaksi digital menjadi sangat penting pada saat penerimaan negara menurun sehingga Pemerintah harus menjaga basis pajak tersebut agar tidak tererosi. Selain menjadi sumber pendapatan Negara, pemungutan pajak terhadap sektor PMSE juga dimaksudkan untuk memastikan terpenuhinya prinsip pemajakan yang berkeadilan ( fairness ) antara semua pelaku usaha dan menciptakan level of playing field yang sama bagi pengusaha di dalam negeri untuk bertahan dan meningkatkan daya saingnya di tengah pandemi Covid-19. Selama ini, pelaku usaha ekonomi digital luar 144 negeri mendapatkan penghasilan secara signifikan dari Indonesia tanpa perlu membayar pajak di Indonesia. Apabila pemajakan terhadap PMSE tidak segera diterapkan di Indonesia maka terjadi kekosongan hukum dan menjadi loopholes untuk penghindaran dan pengelakan pajak yang menyebabkan hilangnya potensi penerimaan pajak. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang- undang secara prosedur biasa akan memerlukan waktu yang cukup lama, apalagi di tengah pandemi Covid-19. Dengan demikian, kebijakan pemajakan PMSE dalam Lampiran UU 2/2020 sangat diperlukan sebagai dasar legal formal pemajakan atas PMSE. Lampiran UU 2/2020 memberikan wewenang atribusi pengenaan besaran tarif dengan Peraturan Pemerintah untuk memenuhi kebutuhan Pemerintah dengan segera dalam situasi mendesak. Pertimbangan serupa juga menjadi pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam memutus uji materiil UU Pajak Penghasilan, yang juga mendelegasikan pengaturan besaran tarif dengan Peraturan Pemerintah. Sebagaimana pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam putusan tersebut, pemberian atribusi merupakan bentuk kebijakan pembentuk undang-undang ( legal policy ) sesuai dengan hukum administrasi negara dan ketentuan UUD 1945. Pemberian wewenang atribusi menetapkan tarif pajak bukanlah hal baru. Ketentuan serupa dapat ditemukan dalam UU Pajak Penghasilan. Dengan demikian, pengaturan mengenai besaran tarif, dasar pengenaan, dan tata cara penghitungan pajak penghasilan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945 sebagaimana yang dipahami oleh Para Pemohon. Pengaturan Pembebasan Bea Masuk Oleh Menteri Keuangan Merupakan Pelaksanaan Wewenang Atribusi Yang Bertujuan Menjamin Ketersediaan Alat Kesehatan Untuk Penanganan Covid-19 Untuk menjamin ketersediaan barang impor yang diperlukan dalam penanganan pandemi Covid-19, Pemerintah perlu memiliki fleksibilitas dalam pemberian fasilitas fiskal berupa pembebasan atau keringanan bea masuk. Pasal 10 Lampiran UU 2/2020 telah memberikan wewenang atribusi kepada Menteri Keuangan untuk melakukan perubahan jenis barang yang dapat diberikan fasilitas pembebasan atau keringanan yang secara limitatif ditetapkan dalam UU Kepabeanan. Pemberian 145 wewenang atribusi dalam UU 2/2020 ini sejalan dengan prinsip hukum administrasi negara dalam rangka pemenuhan kebutuhan di tengah adanya kondisi kegentingan memaksa. Selain itu, pemberian wewenang atribusi yang ditetapkan dalam produk hukum UU 2/2020 mempunyai kedudukan yang setara dengan UU Kepabeanan. Dalam pelaksanaannya, Menteri Keuangan selaku penerima wewenang atribusi dalam pemberian fasilitas kepabeanan tidak akan semena-mena menyalahgunakan kewenangan dimaksud. Menteri Keuangan melalui PMK 34/PMK.04/2020 jo. PMK 83/PMK.04/2020 hanya memberikan fasilitas kepabeanan untuk impor barang keperluan penanganan Covid-19. Sesuai Lampiran PMK tersebut, jenis-jenis barang yang diberikan fasilitas adalah test kit dan reagen laboratorium , virus transfer media , obat dan vitamin, peralatan medis, dan alat pelindung diri. Dengan demikian prinsip pemberian fasilitas secara limitatif tetap terjaga. Penerbitan SUN dan/atau SBSN Yang Dapat Dibeli Oleh BI Bertujuan Untuk Menjaga Kesinambungan Fiskal Dalam Menghadapi Pandemi Covid-19 Sesuai Dengan Fungsi BI Dampak pandemi Covid-19 telah menyebabkan pendapatan negara menurun cukup drastic sedangkan anggaran belanja harus ditingkatkan sehingga pelebaran defisit tak terhindarkan. Untuk pembiayaan defisit anggaran, Pemerintah perlu menerbitkan SUN dan/atau SBSN berjangka panjang. Pemberian kewenangan bagi Bank Indonesia untuk membeli SUN dan/atau SBSN berjangka panjang di pasar perdana merupakan salah satu upaya gotong royong organ negara ( burden sharing ) untuk menjaga kesinambungan fiskal dalam rangka mencegah terjadinya krisis ekonomi. Burden sharing antara Pemerintah dan BI diatur dalam Surat Keputusan Bersama antara Menteri Keuangan dan Gubernur BI tanggal 7 Juli 2020. Skema burden sharing dimaksud berupa pembayaran kupon atas SUN dan atau SBSN yang dibeli oleh BI, sesuai tabel berikut: No. Penggunaan Nilai (Rp) Burden Sharing Mekanisme Penerbitan 1. Public Goods 397,56T Ditanggung BI seluruhnya sebesar BI reverse repo rate Private Placement 2. Non-Public Goods 177,03T Ditanggung Pemerintah Mekanisme 146 ▪ UMKM 123,46T sebesar BI reverse repo 3 bulan dikurangi 1%, sisanya ditanggung BI market (lelang, Green Shoe Option, Private Placement ) ▪ Korporasi 53,57T 3. Non-Public Goods Lainnya 328,87T Ditanggung Pemerintah seluruhnya sebesar market rate Di samping pengaturan norma pembelian SUN dan/atau SBSN oleh BI telah dibahas terlebih dahulu sebelum ditetapkan dalam Lampiran UU 2/2020, dengan penetapan secara bersama besaran kupon sebagai burden sharing jelas terlihat bahwa baik dalam perumusan norma maupun implementasinya, independensi BI tetap terjaga. Secara best practices , kebijakan bank sentral untuk membeli surat utang negara dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan juga diimplementasikan oleh negara-negara lain termasuk negara anggota G20. Dalam pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral negara-negara G-20 tanggal 18 Juli 2020 ditekankan bahwa: “Fiscal and monetary policies will continue operating in a complementary way for as long as required. Monetary policy continues to support economic activity and ensure price stability, consistent with central banks’ mandates.” Communique pertemuan dimaksud juga menjelaskan bahwa Bank Sentral G20 Countries telah menunjukkan komitmen untuk membeli surat utang negara dalam rangka menjaga suku bunga jangka panjang agar tetap rendah. Selanjutnya, dalam communique dinyatakan bahwa langkah-langkah yang dilakukan bank sentral terbukti menimbulkan peningkatan signifikan pada likuiditas pasar, membantu meredakan tekanan pada pasar keuangan, dan meminimalkan risiko permasalahan stabilitas sistem keuangan. Penyesuaian Mandatory Spending Dana Desa Tidak Menghapuskan Dana Desa dari APBN 2020 dan Tahun-tahun Mendatang Pasal 2 ayat (1) huruf b Lampiran UU 2/2020 mengatur mengenai penyesuaian atas pemenuhan belanja wajib ( mandatory spending ), antara lain penyesuaian pemenuhan anggaran Dana Desa sebesar 10% dari dan di luar dana Transfer Daerah, yang diatur dalam Pasal 72 ayat (2) UU Desa. Penyesuaian mandatory spending Dana Desa dimaksudkan agar Pemerintah memiliki fleksibilitas melakukan 147 refocusing belanja untuk mencegah, menangani, dan memulihkan dampak pandemi Covid-19. Sebagai bentuk harmonisasi antara ketentuan penyesuaian mandatory spending dalam UU 2/2020 dan UU Desa, ketentuan Pasal 72 ayat (2) UU Desa beserta Penjelasannya dinyatakan tidak berlaku ( vide Pasal 28 angka 8 Lampiran UU 2/2020). Tidak berlakunya ketentuan Pasal 72 ayat (2) UU Desa sama sekali tidak menghapuskan anggaran Dana Desa dari APBN TA 2020 dan tahun-tahun berikutnya, sebagaimana dipahami Para Pemohon. Di TA 2020 dan UU APBN TA 2021, Dana Desa berturut-turut dialokasikan sebesar Rp71,2 T dan Rp72 T. Pemerintah tetap memegang komitmen untuk mendukung pembangunan ekonomi di desa melalui Dana Desa yang diprioritaskan untuk pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa. Perekonomian pedesaan yang kuat merupakan pilar penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional sehingga Pemerintah akan terus mendukung pembangunan pedesaan dan pemberdayaan masyarakat desa. Penggunaan Dana Abadi Tidak Bertentangan Dengan Kewajiban Negara Memenuhi Hak Atas Pendidikan Pembiayaan APBN di masa Pandemi Covid-19 membutuhkan sumber pendanaan yang cepat dan efisien. Dengan kebutuhan tersebut, Pasal 2 ayat (1) huruf e UU 2/2020 mengatur pemanfaatan Saldo Anggaran Lebih, dana abadi dan akumulasi dana abadi pendidikan, dana yang dikelola BLU, dana yang dikuasai negara, serta memanfaatkan pengurangan pembiayaan investasi pada BUMN sebagai sumber pendanaan APBN. Penggunaan dana abadi pendidikan tidak akan bertentangan dengan kewajiban negara memenuhi hak atas pendidikan karena:
hanya akan dipergunakan apabila seluruh pembiayaan lain yang tersedia tidak memenuhi kebutuhan Pemerintah dalam penanganan pandemi Covid-19;
sampai saat ini Pemerintah belum berencana menggunakan dana abadi pendidikan sebagai sumber pendanaan APBN;
apabila dipergunakan, akan menjadi investasi dana abadi pendidikan melalui pembelian SUN dan/atau SBSN yang akan mendapatkan return , bukan sebagai belanja Pemerintah. 148 Pengaturan Refocusing Dan Realokasi Anggaran Melalui Permendagri Tidak Bertentangan Dengan Prinsip Otonomi Daerah Sebagai wujud integrasi kebijakan nasional dan kebijakan daerah, Pasal 3 ayat (1) UU 2/2020 mengatur Pemda melakukan refocusing dan realokasi anggaran daerah dengan prioritas penanganan pandemi Covid-19 beserta dampak sosial ekonominya sesuai kondisi masing-masing daerah. Pada kondisi pandemi Covid-19, kecepatan dan ketepatan dalam penyesuaian anggaran daerah menjadi sangat penting. Untuk itu, Pasal 3 ayat (2) UU 2/2020 memberikan kewenangan kepada Mendagri untuk mengatur mengenai refocusing dan realokasi penggunaan APBD sebagai pedoman bagi seluruh Pemda. Dengan adanya pedoman ini, Pemda dapat segera melakukan penyesuaian anggarannya secara mandiri. Dengan demikian pemberian kewenangan kepada Mendagri tersebut merupakan bentuk pelaksanaan amanat Pasal 8 UU Pemda sebagai pembina dan pengawas pemerintahan daerah, bukan merupakan intervensi Pemerintah Pusat sebagaimana pemahaman Para Pemohon. Penetapan Rekening Akun Khusus Belanja Covid-19 dan Penetapan Perpres Rincian APBN Sebagai Wujud Transparansi dan Akuntabilitas Dalam Pelaksanaan Kebijakan Keuangan Negara Pelaksanaan kebijakan keuangan negara dalam Lampiran UU 2/2020 membutuhkan uang negara yang sangat besar dalam kurun waktu yang singkat. Untuk menjamin akuntabilitas dan transparansi, Pasal 12 Lampiran UU 2/2020 menetapkan bahwa seluruh pelaksanaan kebijakan keuangan negara dilakukan dengan tata kelola yang baik. Dalam implementasi tata kelola anggaran terkait Covid-19, Pemerintah telah menetapkan akun khusus belanja Covid-19 dalam Pasal 2 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 43 Tahun 2020. Hal ini untuk menjamin seluruh belanja yang terkait dengan penanganan Covid-19 dapat dipantau dan dievaluasi penggunaannya. Selain itu, dalam rangka mencegah terjadinya penyimpangan dalam pelaksanaan anggaran, Pemerintah bekerja sama dengan aparat penegak hukum meliputi Kepolisian RI, Kejaksaan RI, dan KPK untuk melakukan pendampingan Kementerian/Lembaga. Sebagai bentuk transparansi publik, Pemerintah secara rutin menyampaikan perkembangan pelaksanaan kebijakan melalui press conference dan rapat pembahasan dengan DPR. Hal tersebut menunjukkan komitmen Pemerintah untuk terus menerus melaksanakan 149 seluruh kebijakan keuangan yang ditetapkan dalam UU 2/2020 memenuhi prinsip transparansi, akuntabilitas, dan taat peraturan. Dengan demikian, pada dasarnya UU 2/2020 telah sangat memperhatikan harapan Para Pemohon sebagai warga masyarakat. Mempertimbangkan situasi extraordinary akibat pandemi Covid-19, Pasal 12 ayat (2) UU 2/2020 memberikan wewenang atribusi bagi Presiden untuk menetapkan perubahan postur sekaligus rincian APBN melalui Perpres. UU 2/2020 pada dasarnya telah menetapkan kebijakan pelebaran defisit APBN TA 2020 sampai dengan APBN TA 2022. Penetapan ini dilakukan sebagai langkah extraordinary penanganan kegentingan memaksa pandemi Covid-19 berdasarkan Pasal 22 UUD 1945 sekaligus untuk menyesuaikan kebijakan dalam UU APBN TA 2020 yang merupakan pelaksanaan Pasal 23 UUD 1945. Dengan demikian, penetapan pelebaran defisit dalam Lampiran UU 2/2020 sebagai pedoman penyesuaian UU APBN TA 2020 dapat disetarakan dengan UU Perubahan APBN dalam situasi kegentingan memaksa. Amanat perubahan postur dalam Perpres didasarkan situasi yang tidak memungkinkan penetapan melalui proses secara normal. Perlu Pemerintah sampaikan bahwa penetapan postur APBN dalam Perpres hanya dilakukan untuk TA 2020. Untuk TA 2021 dan tahun-tahun berikutnya, Pemerintah akan membahas postur APBN bersama dengan DPR sebagaimana pada kondisi normal sehingga Pemerintah sama sekali tidak menghilangkan peran dan fungsi DPR. Kewenangan LPS Sesuai UU 2/2020 Merupakan Penegasan Kewenangan Yang Telah Diberikan Oleh Undang-undang Terdahulu Untuk Penanganan Kesulitan Likuiditas LPS Dalam Menyelamatkan Bank Gagal dan Menghindarkan Negara Dari Krisis Ekonomi Sebagaimana telah Pemerintah sampaikan, dampak pandemi Covid-19 telah secara nyata menyebabkan pemburukan perekonomian sehingga pertumbuhan ekonomi mengalami kontraksi (minus) 5,32% pada Kuartal II 2020. Pemburukan ekonomi secara pasti akan mempengaruhi stabilitas sektor keuangan. Untuk itu, perlu dilakukan upaya menjaga stabilitas sistem keuangan dengan menjaga keberlangsungan lembaga keuangan baik perbankan maupun non perbankan. Selain itu, untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap sistem keuangan, perlu memperkuat landasan hukum bagi LPS dalam melakukan tindakan antisipasi 150 penanganan permasalahan bank dan resolusi bank gagal baik bank sistemik maupun bank selain bank sistemik. Sampai saat ini, stabilitas sistem keuangan masih terjaga. Namun perlu melakukan kebijakan antisipatif ( forward looking ) dengan menegaskan kembali sumber-sumber pendanaan yang dapat diperoleh LPS untuk menjaga kecukupan likuiditasnya ( vide Pasal 20 ayat (1) huruf b Lampiran UU 2/2020). Salah satu sumber pendanaan LPS adalah melakukan melakukan pinjaman kepada pihak lain dan/atau Pemerintah yang juga telah diatur dalam Undang-Undang terdahulu yaitu UU LPS, UU OJK, dan UU PPKSK. Pinjaman kepada pihak lain dimaksudkan untuk menjaring pihak-pihak (dalam dan/atau luar negeri) yang mempunyai kemampuan pendanaan sehingga tersedia alternatif pendanaan yang lebih luas bagi LPS. Hal ini juga sesuai dengan best practice yang dijalankan di negara-negara lain yang memiliki lembaga resolusi perbankan. Pinjaman oleh LPS kepada Pemerintah melalui APBN merupakan jaring ke-4 (terakhir) dari pengaman sistem keuangan (bukan bail-out kepada industri). Peran Pemerintah dalam jaring ke-4 tersebut ditujukan untuk memastikan lembaga/otoritas terkait dapat menjalankan fungsi resolusi secara efektif, sehingga penggunaan dana publik ( taxpayer money ) untuk mengatasi permasalahan perbankan dapat terhindarkan. Pemberian pinjaman kepada LPS dilakukan setelah mendapatkan persetujuan DPR dalam APBN kecuali untuk APBN TA 2020 sebagaimana diatur dalam Pasal 28 angka 12 Lampiran UU 2/2020. Persyaratan persetujuan DPR hanya diberlakukan untuk pinjaman kepada Pemerintah karena bersumber dari APBN dan tidak dipersyaratkan untuk pinjaman LPS kepada pihak lain sebagaimana juga diatur dalam UU terdahulu. Sampai saat ini, LPS masih memiliki kecukupan likuiditas. Pasal 22 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 memberikan kewenangan bagi Pemerintah untuk menyelenggarakan program penjaminan di luar program penjaminan simpanan sebagaimana yang diatur dalam UU LPS. Kebijakan ini merupakan langkah antisipatif ( forward looking ) untuk memberikan legitimasi bagi Pemerintah yang akan dilaksanakan apabila terjadi pemburukan perekonomian yang mengancam stabilitas sistem keuangan. Perlu Pemerintah sampaikan pula bahwa program penjaminan dimaksud bukan merupakan penjaminan terhadap seluruh kewajiban bank, melainkan penjaminan atas Pasar Uang Antar Bank (PUAB) dan kewajiban Bank atas transaksi perdagangan luar negeri ( trade finance ). 151 Perintah Tertulis OJK Sebagai Instrumen Menjaga Keberlangsungan Lembaga Keuangan Dalam Rangka Meningkatkan Resiliensi Sistem Keuangan Pasal 23 ayat (1) jo. Pasal 26 Lampiran UU 2/2020 menegaskan dan memperkuat kewenangan OJK memberikan perintah tertulis kepada lembaga jasa keuangan untuk melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, integrasi dan/atau konversi (P3IK) yang telah diatur dalam UU OJK dan UU PPKSK. Perintah tertulis untuk melakukan P3IK diperlukan untuk meningkatkan resiliensi industri jasa keuangan dan memperkuat sistem keuangan dengan menciptakan struktur perbankan yang kuat, skala usaha yang lebih besar, serta daya saing yang tinggi. Perintah dimaksud bertujuan pula untuk mempercepat penanganan lembaga jasa keuangan yang bermasalah, melindungi nasabah, dan menjaga stabilitas sistem keuangan dalam hal pemegang saham tidak secara sukarela melakukan upaya untuk memperkuat modal. Sebagai upaya paksa kepatuhan lembaga keuangan melaksanakan perintah tertulis OJK tersebut, khususnya dalam situasi pandemi Covid-19 yang mengancam stabilitas sistem keuangan maka ancaman sanksi diperberat dibandingkan sanksi dalam UU OJK. Pemberian sanksi dimaksud merupakan bentuk jaminan kepastian hukum untuk kepentingan umum yang harus dijaga oleh OJK selaku lembaga pengawas jasa keuangan, bukan kesewenang-wenangan sebagaimana pemahaman Para Pemohon. Perlindungan Hukum Dalam UU 2/2020 Sebagai Bentuk Kepastian Hukum Bagi Pengambil Kebijakan Dalam Bertindak Sesuai Kewenangannya Keberadaan Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 dimaksudkan untuk memberikan confidence bagi pihak yang dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya sesuai Lampiran UU 2/2020 telah didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal ini sejalan dengan prinsip hukum imunitas terbatas bagi negara dan/atau perwakilannya, bukan imunitas absolut sehingga melanggar asas keadilan dan kesamaan dalam hukum dan pemerintahan sebagaimana pemahaman Para Pemohon. Dari perspektif teori imunitas, perlindungan hukum yang diberikan dalam Pasal 27 ayat (2) termasuk kategori imunitas terbatas. Teori imunitas terbatas ini memberikan perlindungan/imunitas kepada negara dan perwakilannya terhadap upaya hukum pihak lain baik secara pidana ataupun perdata, sepanjang tindakan yang dilakukan 152 memenuhi syarat dalam hal ini harus beriktikad baik dan menjalankan kewenangan serta kebijakannya sesuai peraturan perundang-undangan. Secara a contrario , imunitas tersebut gugur apabila perbuatan yang dilakukan didasarkan atau terdapat niat jahat (mens rea) dan perbuatannya bertentangan dengan peraturan perundang- undangan. Teori imunitas ini didasarkan pada prinsip kedaulatan negara, dengan demikian tidak mengherankan ketentuan serupa merupakan hal yang precedented . Di berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain Pasal 50 dan Pasal 51 KUHP, Pasal 48 UU PPKSK, Pasal 22 UU Pengampunan Pajak, Pasal 45 UU Bank Indonesia, Pasal 36A ayat (5) UU KUP, Pasal 10 UU Ombudsman, Pasal 224 ayat (1) UU MD3, Pasal 16 UU Advokat dan Pasal 26 UU BPK mengatur pemberian perlindungan hukum serupa. Dengan demikian, perlindungan hukum dalam ketentuan Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 diperlukan untuk memberikan kepastian hukum kepada para pengambil kebijakan bahwa tindakan dan keputusan yang diambil dengan iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan akan dilindungi oleh hukum. Dengan demikian tidak ada hak warga negara yang ditangguhkan dalam ketentuan Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020. Bahkan Pasal 49 UU PTUN telah memberikan imunitas atau perlindungan hukum dari sengketa di peradilan tata usaha negara atas tindakan dan/atau keputusan pejabat tata usaha negara yang dilakukan dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan Pasal 49 UU PTUN ini menjadi landasan untuk diadopsi dalam Pasal 27 ayat (3) UU 2/2020. Sebagaimana Majelis Hakim maklumi, ketentuan perlindungan hukum pernah beberapa kali dilakukan pengujian konstitusionalitasnya di Mahkamah Konstitusi (UU Advokat dan UU Pengampunan Pajak). Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi terdapat pertimbangan sebagai berikut: “pihak-pihak yang disebut dalam ketentuan a quo memang sudah seharusnya tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut, baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada itikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” Sebagai best practices , standar internasional yang ditetapkan oleh lembaga keuangan internasional ( Financial Stability Board, Basel Committee on Banking 153 Supervision , dan IMF) juga menetapkan adanya pengaturan perlindungan hukum bagi pengambil dan pelaksana kebijakan di bidang sektor keuangan. Berdasarkan fakta-fakta hukum tersebut, bukan suatu kemewahan bagi pembuat kebijakan untuk meminta perlindungan hukum agar dapat menjalankan tugasnya dengan tenang sehingga mendapatkan hasil yang optimal. Pengaturan Pasal 27 ayat (1) UU 2/2020 bahwa biaya yang dikeluarkan dalam rangka pelaksanaan UU 2/2020 bukan merupakan kerugian negara didasarkan pada pertimbangan antisipatif antara lain adanya kondisi bahwa biaya yang dikeluarkan negara dalam melakukan penyelamatan perbankan untuk menjaga stabilitas sistem keuangan tidak sepenuhnya ter- recovery . Di sisi lain, pelaksanaan tugas dan wewenang para pelaksana UU 2/2020 dilandaskan pada iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan sehingga sangat beralasan untuk mendapatkan perlindungan. Hal ini sejalan dengan prinsip dalam keuangan negara yang menjadi pedoman bagi pemeriksa baik BPK maupun APH bahwa terjadinya kerugian negara harus dikaitkan dengan adanya unsur perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai. Hal tersebut mengadopsi asas hukum pidana tidak dapat dipidana tanpa kesalahan ( geen straf zonder schuld ). Dengan demikian, selama kebijakan keuangan negara tidak melawan hukum, maka biaya yang dikeluarkan bukan kerugian negara. Pemberian Kepastian Norma Hukum Melalui Harmonisasi Keberlakuan Norma UU Yang Terdampak Norma dalam UU 2/2020 Lahirnya UU Nomor 2 Tahun 2020 ditujukan untuk mengisi kekosongan hukum atau penyesuaian undang-undang terdahulu dalam rangka penanganan pandemi Covid- 19 dan/atau krisis perekonomian dan/atau sistem keuangan. Dengan demikian, terhadap norma-norma yang dilakukan penyesuaian dalam UU 2/2020 perlu dilakukan harmonisasi agar tidak terjadi dualisme hukum. Norma Pasal 28 Lampiran UU 2/2020 yang berisi pencabutan beberapa ketentuan undang-undang terdahulu akan memberikan kepastian norma hukum yang berlaku untuk penanganan penyebaran Covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Sebagaimana telah dijelaskan, penyesuaian norma-norma tersebut dimungkinkan berdasarkan Hukum Administrasi Negara dalam bentuk pemberian kewenangan atribusi. Selain itu, beberapa norma disesuaikan untuk jangka waktu tertentu sesuai 154 dengan kebutuhan penanganan pandemi Covid-19. Pelaksanaan pemberian kewenangan atribusi dan/atau penyesuaian norma dalam Pasal 28 Lampiran UU 2/2020 tersebut dilakukan dengan memenuhi tata kelola yang baik dan memperhatikan batasan-batasan dalam peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, norma Pasal 28 Lampiran UU 2/2020 didasarkan pada kebutuhan kepastian hukum regulasi yang berlaku, bukan sewenang-wenang sesuai dalil Para Pemohon. Sebelum mengakhiri Keterangan Presiden ini, perkenankan Pemerintah menyampaikan fakta-fakta perbaikan kondisi perekonomian di Kuartal II 2020 sebagai implikasi pelaksanaan kewenangan Pemerintah berdasarkan kebijakan dalam UU 2/2020. Beberapa indikator sektoral telah bergerak ke arah positif pada bulan Juni 2020. Membaiknya perdagangan internasional telah mendorong kinerja perpajakan. Pada sektor riil, konsumsi masyarakat mengalami rebound namun masih lemah. Selain itu, degup ekonomi pada bidang konstruksi mulai naik serta produksi dalam negeri mulai tumbuh. Cadangan devisa juga meningkat didukung dengan penerbitan SBN Valas. Aktivitas ekspor impor juga menunjukkan tren membaik dengan potensi ekspor ke Tiongkok yang mulai tumbuh. Pada sektor moneter dan keuangan, yield SBN kembali ke kondisi awal tahun 2020, likuiditas perbankan terjaga serta inflasi dalam kondisi terkendali. Implementasi program Pemulihan Ekonomi Nasional yang efektif telah menjadi penggerak utama dari pertumbuhan ekonomi. Untuk lebih mempercepat pemulihan ekonomi, Pemerintah juga telah menerbitkan program baru yaitu pemberian insentif bagi pekerja yang berpenghasilan di bawah Rp5 juta/bulan. Mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi Kuartal II 2020 yang terkontraksi (minus) 5,32 persen serta realisasi data perekonomian dan sektor keuangan hingga akhir Kuartal III 2020, optimisme terhadap magnitude perbaikan di paruh kedua tahun 2020 perlu sedikit disesuaikan. Dalam hal ini, kendati masih diyakini bahwa kondisi Kuartal III 2020 akan lebih baik dibandingkan kuartal sebelumnya namun besaran tingkat recovery diperkirakan tidak setinggi perkiraan sebelumnya. Mencermati kondisi tersebut, Pemerintah akan tetap terus antisipatif dan adaptif terhadap perkembangan yang ada termasuk ketidakpastian yang masih akan dihadapi. Dalam hal ini, langkah extraordinary yang koordinatif antara Pemerintah, BI, OJK, dan LPS dalam menjaga stabilitas sistem keuangan dengan menjaga 155 keberlangsungan lembaga keuangan baik perbankan maupun non perbankan akan terus dikalibrasi sesuai dengan perkembangan terkini dan diimplementasikan tanpa keraguan karena telah memiliki landasan hukum yang kuat sebagaimana tertuang dalam Lampiran UU 2/2020. Sebagaimana filsuf berkebangsaan Italia, Cicero, katakan, “ Salus populi suprema lex esto ”, bagi Pemerintah saat ini, keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi bagi suatu negara . Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada Yang Mulia Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan pengujian ( constitutional review ) UU 2/2020 terhadap UUD 1945, dapat memberikan putusan sebagai berikut:
Menerima Keterangan Presiden secara keseluruhan;
Menyatakan bahwa Para Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum ( Legal Standing );
Menolak permohonan pengujian Para Pemohon seluruhnya atau setidak- tidaknya menyatakan permohonan pengujian Para Pemohon tidak dapat diterima. Keterangan Presiden I. POKOK PERMOHONAN PARA PEMOHON Berdasarkan masing-masing permohonannya, yang dimohonkan pengujian oleh Para Pemohon pada pokoknya adalah: Gambar 1: Matriks Pengujian UU 2/2020 156 Adapun batu uji yang digunakan oleh Para Pemohon dalam permohonannya adalah sebagai berikut: Gambar 2 : Batu Uji UUD 1945 Yang Digunakan Para Pemohon II. Kedudukan Hukum ( Legal Standing ) Para Pemohon Pemerintah memahami bahwa penilaian atas legal standing merupakan kewenangan Mahkamah. Namun demikian, memperhatikan dalil Para Pemohon yang merasa dilanggar hak konstitusionalnya dengan UU 2/2020 ini, perkenankan Pemerintah menyampaikan bahwa penerbitan UU 2/2020 justru dimaksudkan untuk memberikan perlindungan bagi kehidupan masyarakat yang terancam dengan merebak dan menyebarnya Covid-19 baik terhadap kesehatan, keselamatan maupun kehidupan perekonomiannya. 157 Seluruh kebijakan dalam UU 2/2020 terutama kebijakan di bidang keuangan negara yang telah diimplementasikan saat ini telah didasarkan pada assessment data faktual dampak dan ancaman bagi masyarakat dan negara akibat terpaparnya Indonesia dengan Covid-19. Assessment perlunya upaya penyelamatan masyarakat secara cepat dengan penyiapan bantuan biaya kesehatan dan biaya kehidupan bukan didasarkan pada asumsi, namun merupakan assessment faktual terhadap multiplier effect atas kebijakan pembatasan sosial yang ditetapkan Pemerintah untuk mencegah penyebaran Covid-19. Oleh karena itu, Pemerintah berpendapat bahwa UU 2/2020 sama sekali tidak merugikan hak konstitusional Para Pemohon dan tidak memenuhi 5 (lima) syarat kumulatif terkait kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional untuk mengajukan pengujian undang-undang oleh Mahkamah. Justru sebaliknya, lahirnya UU 2/2020 merupakan upaya pemenuhan hak konstitusional Para Pemohon untuk mendapatkan perlindungan dan penghidupan yang layak di saat terjadinya keadaan luar biasa akibat pandemi Covid-19. Terhadap legal standing Para Pemohon Perkara Nomor 75/PUU-XVIII/2020, Pemerintah sampaikan bahwa Para Pihak dalam perkara dimaksud adalah pihak- pihak yang sama dengan Perkara Nomor 51/PUU-XVIII/2020 yang telah dilakukan pencabutan sesuai Ketetapan Mahkamah Konstitusi Nomor 51/PUU-XVIII/2020 tanggal 27 Agustus 2020. Bahwa alasan-alasan yang diajukan oleh Para Pemohon dalam perkara Nomor 75/PUU-XVIII/2020 sama dengan perkara Nomor 51/PUU- XVIII/2020, hal ini diakui oleh Para Pemohon pada sidang pendahuluan tanggal 15 Juli 2020. Oleh karena itu, sesuai ketentuan Pasal 35 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan Amar Ketetapan Perkara Nomor 51/PUU-XVIII/2020 tanggal 27 Agustus 2020, Para Pemohon seharusnya tidak dapat mengajukan kembali permohonan a quo . Iii. Keterangan Pemerintah Terhadap Materi Yang Dimohonkan A. Latar Belakang Penerbitan UU 2/2020 1. Latar Belakang Lampiran UU 2/2020 Penyakit akibat virus Covid-19 yang muncul sejak Januari 2020 di Wuhan Provinsi Hubei RRT, telah menyebar secara cepat dan meluas ke seluruh dunia. Pada bulan Maret 2020, World Health Organization (WHO) menetapkan Covid-19 sebagai 158 pandemi global. Di Indonesia, sejak ditemukannya 2 kasus positif infeksi Covid-19 pada awal Maret di Jakarta, penyebaran terjadi sangat cepat. Lonjakan eksponensial yang sangat cepat dari jumlah pasien akibat Covid-19 telah menimbulkan krisis kesehatan di seluruh dunia. Untuk mengurangi kecepatan penyebaran Covid-19, semua negara melakukan langkah pembatasan sosial dengan berbagai ragam, dari yang sangat ketat ( total lockdown seperti di RRT), hingga yang bersifat pembatasan sosial melalui physical distancing sebagaimana di Indonesia. 160 negara menerapkan penutupan sekolah, dan menerapkan belajar dari rumah. School from home , work from home , dan bahkan ibadah from home juga diterapkan. Pembatasan sosial yang bertujuan untuk mencegah penyebaran Covid-19 telah mengakibatkan terhentinya interaksi dan kegiatan sosial masyarakat. Efek domino yang ditimbulkan telah menyebabkan perlambatan aktivitas ekonomi terutama di tingkat akar rumput di seluruh dunia. Perekonomian dunia merosot tajam, dari semula diproyeksikan tumbuh 3,4% menjadi kontraksi (minus) 3%. Selain itu, IMF juga menyebutkan bahwa ekonomi global akan mengalami resesi terdalam sejak the great depression tahun 1930. Kerugian akibat Covid-19 di seluruh dunia diperkirakan mencapai USD 9 triliun, atau setara 9 kali (PDB) ekonomi Indonesia. Ancaman krisis tersebut menyebabkan kepanikan di sektor keuangan dalam bentuk masifnya arus modal keluar, yang menyebabkan kejatuhan pasar saham, pasar surat berharga dan pasar valuta asing. Di sisi lain, masifnya penyebaran Covid-19 di tengah peta perekonomian dan sektor keuangan global yang sangat kompleks serta saling terkoneksi satu sama lain menjadikan permasalahan semakin rumit dan dalam. Sementara itu, hingga saat ini vaksin untuk Covid-19 masih dalam proses pengembangan dan masih membutuhkan waktu lebih panjang untuk implementasinya. Kombinasi tersebut menyebabkan ketidakpastian yang dihadapi perekonomian dan sektor keuangan menjadi sangat tinggi sementara tingkat prediktabilitas Covid-19 baik dari sisi dampak maupun waktu penyelesaiannya rendah. Kondisi luar biasa ( extraordinary ) tersebut di atas, mendorong berbagai negara melakukan langkah luar biasa untuk menyelamatkan masyarakat dan perekonomian. Negara-negara di berbagai benua baik di Asia, Eropa, Amerika semua melakukan kebijakan ekspansi fiskal (meningkatkan defisit APBN bahkan hingga mencapai diatas 10% PDB seperti di Amerika Serikat, Singapura, Australia dan Malaysia) dan kebijakan moneter (menurunkan suku bunga, memompa 159 likuiditas - quantitative easing ) dan melakukan relaksasi regulasi sektor keuangan. Dapat dikatakan pandemi ini menjadi pelajaran baru bagi seluruh negara dan seluruh pemerintah dalam menyusun kebijakan fiskal untuk mengantisipasi dampak pandemi. Apabila pemerintah terlambat mengantisipasi atau underestimate terhadap dampak pandemi maka akan berbahaya bagi perekonomian nasional yang dapat mengakibatkan krisis ekonomi dan instabilitas sistem keuangan nasional. Perekonomian Indonesia juga mengalami tekanan sangat berat, pertumbuhan kuartal 1-2020 hanya sebesar 2,97% jauh di bawah rata-rata pertumbuhan selama 5 tahun yang di atas 5%. Merosotnya kegiatan ekonomi menyebabkan lonjakan pada tingkat pengangguran. Kondisi tersebut berdampak pada peningkatan kemiskinan. Dalam periode Januari-Maret 2020, terjadi arus modal keluar dari pasar keuangan Indonesia sebesar Rp148,8 triliun, baik di pasar saham, pasar SBN maupun SBI. Hal tersebut mendorong kenaikan yield SUN 10 tahun yang meningkat ke level di atas 8%, IHSG yang melemah tajam hampir 28%. Nilai tukar Rupiah sempat menyentuh level di atas Rp16.600 per dolar Amerika dan terdepresiasi hingga angka 17,6% ytd di akhir Maret 2020. Kepanikan global dan merosotnya kegiatan ekonomi, melonjaknya pengangguran dan kebangkrutan jelas dapat mengancam stabilitas sosial, ekonomi dan sistem keuangan suatu negara. Pemerintah Indonesia juga melakukan langkah yang extraordinary (luar biasa) secara cepat dan signifikan untuk menangani penyebaran Covid-19 dan dampak ancaman sosial, ekonomi dan ancaman sistem keuangan. Tujuannya adalah untuk dapat melakukan berbagai langkah extraordinary untuk pengamanan di bidang kesehatan, perlindungan masyarakat secara luas melalui jaring pengaman sosial, upaya perlindungan dan pemulihan ekonomi serta sistem keuangan. Tidak ada keraguan lagi bahwa pandemi Covid-19 merupakan suatu kegentingan yang memaksa dan menimbulkan daya paksa kepada pemerintah. Kondisi extraordinary akibat pandemi Covid-19 merupakan substitute evidence atau fakta yang tidak perlu dibuktikan. Kondisi yang ditimbulkan menciptakan adanya state of emergency . Dalam keadaan seperti ini, sudah timbul fakta sempurna yang memberikan landasan bahwa keadaan tidak biasa, harus dihadapi dengan hukum yang tidak biasa. Implikasi pandemi ini selain jelas menimbulkan masalah kesehatan namun juga telah menjadi fakta umum ( generally known ) menimbulkan masalah ekonomi dan juga masalah sosial. Oleh karena itu, dari sudut pandang hukum tata negara, kondisi extraordinary akibat pandemi Covid-19 sudah memberikan dasar 160 yang kuat untuk tidak menggunakan hukum yang biasa. Dalam kondisi demikian, pendapat subjektif presiden mengenai kegentingan yang memaksa akibat Covid-19 tidak untuk diperdebatkan ( notoire feiten ). Negara memiliki proportional necessity untuk menjaga stabilitas dan kepentingan rakyat dalam mengatasi kegentingan yang memaksa. Upaya dimaksud belum memiliki landasan hukum/terdapat kekosongan hukum sehingga diperlukan adanya suatu hukum untuk mengatasi kondisi extraordinary akibat pandemi Covid-19. Langkah Pemerintah menerbitkan Perppu 1/2020 pada tanggal 31 Maret 2020 merupakan mandat konstitusi untuk melaksanakan langkah extraordinary dengan tujuan penyelamatan kepentingan masyarakat. Perppu 1/2020 memuat dua kebijakan penting sebagaimana juga dilakukan negara-negara lain, yaitu kebijakan di bidang keuangan negara dan kebijakan di bidang stabilitas sistem keuangan. Kebijakan keuangan negara yang diatur dalam Perppu tersebut meliputi kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, dan kebijakan pembiayaan. Memperhatikan substitute evidence berupa tajamnya penurunan pendapatan negara akibat hampir terhentinya aktivitas ekonomi, sedangkan kebutuhan belanja meningkat tajam dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab negara terhadap masyarakat di masa pandemi Covid-19 maka diperlukan adanya pengaturan mengenai pelebaran defisit anggaran. Melalui Perppu tersebut, batasan defisit anggaran diatur dapat melebihi 3% dari PDB selama masa penanganan pandemi Covid-19 dan/atau menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan paling lama sampai dengan berakhirnya tahun anggaran 2022. Indonesia sama seperti negara-negara lain, mengambil kebijakan pelonggaran defisit dari 1,76% di APBN 2020 menjadi sekitar 6,34 persen dari PDB. Pelonggaran defisit bukanlah merupakan kebijakan yang berdiri sendiri, namun suatu kebijakan yang holistik, dimana Pemerintah secara bersamaan juga melakukan refocusing dan penghematan anggaran dari belanja yang tidak terkait langsung dengan penanganan Covid-19, seperti perjalanan dinas, belanja barang, dan termasuk pembayaran THR tidak diberikan kepada pejabat negara, dan pejabat eselon I dan II. Selanjutnya, Pemerintah telah melakukan tambahan Anggaran belanja sekitar Rp695,2 Triliun untuk penanganan Covid-19. Tambahan belanja ini dibutuhkan 161 untuk belanja program kesehatan dan pelaksanaan program pemulihan ekonomi nasional. Stimulus fiskal dalam menghadapi Covid-19 yang dikeluarkan Pemerintah baik dari sisi sasaran maupun besarannya akan terus disesuaikan mengikuti dinamika sejauh mana dampak Covid-19 terhadap kehidupan masyarakat dan dunia usaha, namun tetap dilakukan dengan memperhatikan kapasitas fiskal dan kesinambungan fiskal jangka panjang. Perppu 1/2020 memberikan legitimasi dan menjadi landasan hukum bagi Pemerintah serta otoritas terkait untuk mengambil langkah-langkah cepat namun akuntabel untuk perlindungan masyarakat, ekonomi dan stabilitas sistem keuangan sebagai wujud kehadiran Negara dalam penanganan pandemi. Dengan kondisi demikian, maka tujuan pembentukan Perppu 1/2020 sesungguhnya adalah sebagai wujud legitimasi kehadiran Negara dalam rangka menangani permasalahan pandemi Covid-19 maupun tindakan antisipatif ( forward looking ) seiring ketidakpastian berakhirnya pandemi Covid-19. Perppu 1/2020 memberikan landasan hukum bagi Pemerintah dalam menetapkan kebijakan dan langkah- langkah extraordinary di bidang keuangan Negara dan sektor keuangan, dalam rangka penanganan krisis kesehatan, kemanusiaan, ekonomi, dan keuangan sebagai akibat dari pandemi Covid-19.
Pengesahan Perppu 1/2020 Menjadi UU 2/2020 Setelah Presiden menetapkan Perppu 1/2020 pada tanggal 31 Maret 2020, Pemerintah pada tanggal 1 April 2020 telah menyampaikan Rancangan Undang- Undang (RUU) tentang Penetapan Perppu 1/2020 menjadi Undang-Undang kepada DPR. Setelah melalui beberapa kali rapat kerja, DPR menyetujui Perppu 1/2020 menjadi undang-undang dalam Rapat Paripurna DPR pada tanggal 12 Mei 2020 sesuai kewenangannya berdasarkan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945. Dengan disetujuinya Perppu 1/2020 menjadi UU 2/2020, menunjukkan bahwa DPR memiliki kesamaan pandangan dengan Pemerintah mengenai adanya kegentingan memaksa dalam menghadapi pandemi Covid-19. Dengan adanya persetujuan DPR dimaksud, telah memberikan kepastian akan keberlanjutan langkah-langkah Pemerintah dalam melakukan penyelamatan kesehatan masyarakat juga menyelamatkan negara dari ancaman krisis perekonomian di tengah situasi extraordinary pandemi Covid-19 yang secara nyata telah menimbulkan pemburukan ekonomi dan ancaman krisis apabila tidak segera ditangani. 162 B. Bantahan Dalil-Dalil Para Pemohon 1. Keterangan Presiden Atas Uji Formil UU 2/2020 Dalam permohonannya, Para Pemohon dalam perkara Nomor 37 dan 45/PUU- XVIII/2020 menyatakan bahwa UU 2/2020 bertentangan dengan UUD 1945 secara formil karena pembahasan dan penetapannya tidak pada masa sidang berikutnya. Dalil Pemohon tersebut didasarkan pada penafsiran bahwa “persidangan yang berikut” dalam Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 dimaknai sebagai “masa sidang yang berikutnya”. Terhadap dalil Para Pemohon, dapat Pemerintah sampaikan bahwa:
Sesuai dengan ketentuan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945, Perppu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan yang berikut.
Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (selanjutnya disebut UU 12/2011) yang mengadopsi Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 mengatur bahwa “ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus diajukan ke DPR dalam persidangan yang berikut. ” Selanjutnya dalam Penjelasan Pasal 52 ayat (1) UU 12/2011 disebutkan “ Yang dimaksud dengan “persidangan yang berikut” adalah masa sidang pertama DPR setelah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ditetapkan. ” c. Berdasarkan ketentuan Pasal 221 ayat (3) Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib (selanjutnya disebut Peraturan Tata Tertib DPR), masa persidangan meliputi masa sidang dan masa reses. Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 13 Peraturan Tata Tertib DPR, masa sidang adalah masa DPR melakukan kegiatan di dalam gedung DPR. Berdasarkan hal-hal tersebut, terdapat penggunaan frasa yang berbeda antara UUD 1945, UU 12/2011 dan Peraturan Tata Tertib DPR, mengenai norma waktu Perppu harus mendapatkan persetujuan DPR. Frasa “Persidangan Yang Berikut” dalam Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 diterjemahkan dalam Penjelasan Pasal 52 ayat (1) UU 12/2011 sebagai masa sidang pertama DPR setelah Perppu ditetapkan. Di samping itu, frasa “Masa Sidang Pertama” tidak ditemukan dalam Peraturan Tata Tertib DPR. Frasa yang digunakan dalam Peraturan Tata Tertib DPR adalah “Masa Persidangan” yang terdiri dari “Masa Sidang” dan “Masa Reses”. 163 Selanjutnya, tahun sidang dibagi dalam 4 masa persidangan (bukan “masa sidang”) yang dimulai tanggal 16 Agustus dan diakhiri pada 15 Agustus tahun berikutnya. Sesuai penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa masa sidang pertama yang dimaksud dalam Penjelasan Pasal 52 merujuk pada penghitungan norma waktu pemberian persetujuan DPR yaitu setelah disampaikannya Perppu oleh Presiden, sehingga tidak dapat dimaknai merujuk pada masa persidangan pertama dari 4 masa persidangan dalam 1 tahun masa sidang yang waktunya adalah di bulan Agustus. Selain itu, dalam konteks kegentingan yang memaksa/ state of emergency terbitnya Perppu, frasa “masa sidang pertama” lebih tepat dimaknai sebagai masa persidangan terdekat/tercepat setelah disampaikannya Perppu oleh Presiden. Prof. Dr. Maria Farida Indrati Soeprapto, S.H., M.H. (Mantan Hakim Mahkamah Konstitusi/Guru Besar Ilmu Perundang-undangan, FHUI) menyatakan Perppu jangka waktunya terbatas (sementara), sehingga secepat mungkin harus dimintakan persetujuan DPR. Oleh karena itu, sesuai dengan ketentuan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 yang mengamanatkan bahwa Perppu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan yang berikut, maka setelah Perppu 1/2020 diundangkan pada tanggal 31 Maret 2020, Pemerintah segera menyampaikan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Penetapan Perppu 1/2020 menjadi Undang-Undang kepada DPR pada tanggal 1 April 2020. Dampak pandemi Covid-19 terhadap perekonomian nasional mengakibatkan diperlukannya dana yang besar untuk memberikan dukungan pada bidang kesehatan, perlindungan sosial, UMKM, dan insentif dunia usaha. Perppu 1/2020 mengatur hal-hal terkait pelebaran defisit anggaran, realokasi dan refocusing anggaran, serta penetapan sumber-sumber pembiayaan. Pelaksanaan kebijakan Perppu 1/2020 sebagai dasar penanganan pandemi Covid-19 maupun ancaman terhadap perekonomian dan stabilitas sistem keuangan yang menyertainya memerlukan pengeluaran yang sangat besar dan berkelanjutan. Kebijakan extraordinary melalui Perppu 1/2020 yang diputuskan oleh Presiden dalam situasi kegentingan memaksa sebagai implementasi hak subjektif Presiden sesuai mandat konstitusi membutuhkan kepastian yang segera untuk keberlanjutan dalam pelaksanaannya sehingga perlu segera mendapat persetujuan DPR sebagai wakil rakyat. 164 Respon DPR yang secara cepat dalam proses pembahasan dan persetujuan Perppu 1/2020 merupakan wujud kesamaan pandangan wakil rakyat atas kondisi kegentingan memaksa yang harus diambil Pemerintah dan untuk memberikan kepastian keberlanjutan kebijakan yang telah ditetapkan Pemerintah dalam Perppu 1/2020. Kebijakan tersebut ditujukan untuk penyelamatan masyarakat dan negara di tengah situasi extraordinary pandemi Covid-19 yang secara nyata telah menimbulkan pemburukan ekonomi dan ancaman krisis apabila tidak segera ditangani. Langkah yang diambil oleh Pemerintah dan DPR tersebut merupakan wujud penyelamatan rakyat sebagaimana adagium “Salus Populi Suprema Lex Esto” dari Cicero yang artinya keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi. Sebagai respon atas situasi kegentingan memaksa dan dengan tujuan perlindungan kepada rakyat dan Negara dalam situasi extraordinary , maka persetujuan DPR atas Perppu 1/2020 menjadi UU yang dilakukan dalam Rapat Paripurna DPR pada tanggal 12 Mei 2020, menurut Pemerintah perlu diapresiasi dan menunjukan ketaatan kepada hukum dan konstitusi sebagaimana amanat Pasal 22 ayat (2) UUD 1945. Terhadap dalil Para Pemohon yang menyatakan bahwa pengambilan keputusan dalam Rapat Paripurna DPR pada tanggal 12 Mei 2020 yang memberikan persetujuan atas RUU Penetapan Perppu 1/2020 menjadi UU tidak memenuhi kuorum karena dilakukan melalui rapat virtual dan tidak dilakukan voting , dapat Pemerintah sampaikan keterangan sebagai berikut:
Berdasarkan ketentuan Pasal 232 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya disebut UU MD3), kuorum rapat DPR terpenuhi apabila rapat dihadiri oleh lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah anggota rapat dan terdiri atas lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah fraksi.
Rapat Paripurna DPR pada tanggal 12 Mei 2020 yang memberikan persetujuan atas RUU Penetapan Perppu 1/2020 menjadi UU tersebut, dihadiri oleh 438 Anggota DPR (355 orang mengikuti secara virtual dan 83 orang hadir secara fisik). Kehadiran secara virtual Anggota DPR dalam Rapat Paripurna tersebut merupakan bentuk ketaatan terhadap kebijakan physical distancing sebagai protokol pencegahan Covid-19 dalam situasi extraordinary dan telah menjadi proses bisnis dalam era new normal di seluruh lembaga/institusi/masyarakat. 165 Dengan demikian, kehadiran secara virtual harus diperlakukan sama dengan kehadiran secara fisik sehingga sekali tidak mengurangi esensi dari pemenuhan kuorum. Dalam kehadiran secara virtual, para Anggota DPR tetap dapat menyampaikan pandangan dan pendapatnya secara bebas dan mandiri. Dengan demikian, Rapat Paripurna DPR pada tanggal 12 Mei 2020 sebagai forum tertinggi persetujuan pengesahan Perpu 1/2020 telah memenuhi kuorum sebagaimana dipersyaratkan UU MD3.
Dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 12 Mei 2020 terdapat 1 fraksi yang tidak menyetujui, sedangkan 8 fraksi lainnya menyatakan menyetujui. Dengan demikian, karena hanya 1 fraksi yang tidak menyetujui, Ketua DPR menyatakan penetapan Perppu menjadi UU melalui Surat Keputusan DPR RI Nomor 5/DPR RI/III/2019-2020 tanggal 12 Mei 2020. Terkait dalil Para Pemohon yang menyatakan pembahasan penetapan Perppu 1/2020 menjadi UU 2/2020 harus melibatkan DPD, dapat Pemerintah sampaikan bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945, Perppu cukup mendapat persetujuan DPR. Sesuai dengan ketentuan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945, kewenangan untuk memberikan persetujuan atas Perppu ada pada DPR. Namun demikian, baik dalam pelaksanaan Perppu 1/2020 maupun UU 2/2020, Pemerintah tetap melaksanakan konsultasi dengan DPD. Terhadap pengujian formil yang diajukan Para Pemohon Perkara Nomor 75/PUU- XVIII/2020, perlu Pemerintah sampaikan bahwa pengujian formil dimaksud telah melewati tenggat waktu 45 (empat puluh lima) hari untuk mengajukan pengujian formil sebagaimana yang dipersyaratkan oleh Mahkamah Konstitusi. Tenggat waktu pengajuan pengujian formil undang-undang berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-VII/2009 tanggal 16 Juni 2010 adalah 45 (empat puluh lima) hari setelah undang-undang disahkan dan dimuat dalam Lembaran Negara RI.
Keterangan Presiden Atas Uji Materi UU 2/2020 Sebelum menyampaikan keterangan atas dalil-dalil yang diajukan Para Pemohon, perlu Pemerintah sampaikan DPR sebagai wakil rakyat, pemegang fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan telah menyetujui seluruh substansi Lampiran UU 2/2020. Oleh karenanya, dalil-dalil Para Pemohon yang mempermasalahkan perlunya persetujuan DPR atas beberapa kebijakan dalam 166 Lampiran UU 2/2020 seperti pelebaran defisit anggaran, penerbitan SUN dan/atau SBSN, pengenaan pajak terhadap PMSE, fasilitas pembebasan bea masuk, program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), dan pinjaman LPS kepada Pemerintah sudah tidak relevan lagi untuk dipertentangkan dengan pelaksanaan fungsi DPR. Kebijakan-kebijakan yang diatur dalam Lampiran UU 2/2020 merupakan langkah extraordinary yang diperlukan Pemerintah dalam menghadapi kondisi luar biasa akibat pandemi Covid-19. Oleh karenanya, DPR memahami perlunya dasar hukum bagi Pemerintah untuk mengambil tindakan secara cepat dalam rangka penanganan krisis kesehatan, kemanusiaan, penyelamatan ekonomi dan keuangan sebagai akibat pandemi Covid-19. Dengan demikian, tidak terdapat permasalahan konstitusional atas norma-norma dalam Lampiran UU 2/2020.
Ruang Lingkup Lampiran UU 2/2020 Sesuai dengan judul pada Lampiran UU 2/2020, ruang lingkup pengaturan Lampiran UU 2/2020 meliputi kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan terhadap penanganan pandemi Covid-19, ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan ancaman yang membahayakan stabilitas sistem keuangan. Ruang lingkup Lampiran UU 2/2020 tersebut tidak semata-mata hanya penanganan pandemi Covid-19 saja tetapi juga dampak dari pandemi Covid-19 sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya yang sangat mempengaruhi perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan. Dalam konsideran huruf a dan b Lampiran UU 2/2020 dijelaskan bahwa pandemi Covid-19 telah berdampak terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional, penurunan penerimaan negara, dan peningkatan belanja negara dan pembiayaan. Oleh karena itu, diperlukan berbagai upaya Pemerintah untuk melakukan penyelamatan kesehatan dan perekonomian nasional, dengan fokus pada belanja untuk kesehatan, jaring pengaman sosial ( social safety net ), serta pemulihan perekonomian termasuk untuk dunia usaha dan masyarakat yang terdampak. Implikasi pandemi Covid-19 telah berdampak pula terhadap memburuknya sistem keuangan yang ditunjukkan dengan penurunan berbagai aktivitas ekonomi domestik, sehingga perlu dimitigasi bersama oleh Pemerintah dan KSSK untuk melakukan tindakan antisipatif ( forward looking ) guna menjaga stabilitas sektor keuangan. 167 Apabila dicermati, dalam Lampiran UU 2/2020 telah diuraikan efek domino tidak hanya kesehatan tapi juga sektor ekonomi, keuangan dan stabilitas sistem keuangan. Dengan demikian, konsideran dan judul Lampiran UU 2/2020 telah sejalan dan konsisten sehingga tidak ada yang berbeda dengan ruang lingkup Lampiran UU 2/2020. Ketidakpastian penyebaran dan berakhirnya pandemi Covid-19 akan berdampak pada ketidakpastian seberapa dalam pemburukan ekonomi sehingga Pemerintah memerlukan landasan hukum dan fleksibilitas untuk melakukan penyelamatan di bidang kesehatan maupun perekonomian. Oleh karena itu, UU 2/2020 merupakan landasan hukum yang kuat bagi Pemerintah dan lembaga terkait untuk segera mengambil kebijakan dan langkah-langkah guna penanganan pandemi Covid-19 dan/atau menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Kebijakan keuangan negara dalam Lampiran UU 2/2020 pada dasarnya adalah wujud kehadiran negara dalam mengatasi pandemi Covid-19 dan mencegah krisis perekonomian dan sektor keuangan. Selain itu, terhadap dalil Para Pemohon perkara 37/PUU-XVIII/2020 yang meminta UU 2/2020 perlu ada batas waktu berlakunya yaitu sepanjang masa darurat penanganan Covid-19 atau sampai dengan status kedaruratan kesehatan masyarakat akibat Covid-19 dicabut oleh Presiden maka dapat Pemerintah sampaikan bahwa Lampiran UU 2/2020 dimaksudkan untuk penanganan Covid-19 beserta efek domino yang ditimbulkan terhadap perekonomian dan ancaman stabilitas sistem keuangan. Tingkat kedalaman efek domino yang ditimbulkan pandemi Covid-19 tidak dapat diukur secara pasti seiring dengan ketidakpastian berakhirnya pandemi Covid-19. Bahwa dengan ketidakpastian pandemi Covid-19, UU 2/2020 telah mengantisipasi hal tersebut untuk memberikan legitimasi bagi Pemerintah khususnya dalam rangka pemulihan ekonomi yang sangat tergantung kepada kedalaman dampak pemburukan ekonomi yang terjadi namun dalam ketentuan tertentu ada batas waktu berlakunya. Dengan demikian, Pemerintah memiliki fleksibilitas melakukan recovery terhadap situasi dan kondisi perekonomian. Semakin mampu Pemerintah menangani dampak yang ditimbulkan oleh pandemi Covid-19 seiring dengan perkembangan/perlambatan ( flattening the curve ), semakin mempercepat negara keluar dari pemburukan ekonomi akibat pandemi Covid-19. 168 Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU 12/2011), tidak ada ketentuan yang mengatur tentang batas akhir berlakunya Perppu. Namun demikian, terkait dengan hal ini dapat Pemerintah sampaikan bahwa secara substansi, kebijakan yang diatur dalam Lampiran UU 2/2020 dibatasi untuk penanganan pandemi Covid-19 dan menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Walaupun UU 2/2020 memberikan fleksibilitas pelaksanaan kebijakan penanganan pandemi Covid-19 dan penyelamatan perekonomian, namun pada prinsipnya Pemerintah secara konsisten menjaga akuntabilitas pelaksanaan anggaran antara lain tercermin dalam penetapan pelebaran defisit. Meskipun terdapat fleksibilitas pelebaran defisit, namun mulai tahun anggaran 2021 Pemerintah akan menyampaikan UU APBN yang di dalamnya juga dibahas mengenai defisit sehingga besaran pelebaran defisit akan ditentukan bersama oleh Pemerintah dan DPR. Perlu Pemerintah sampaikan bahwa sampai saat ini tidak ada negara yang dapat menjamin kapan pandemi Covid-19 akan selesai dan tidak dapat dipastikan pula seberapa dalam perlambatan/pemburukan perekonomian sebagai dampak pandemi Covid-19. Atas dasar tersebut, keberlakuan UU 2/2020 tidak memiliki jangka waktu dikarenakan tidak dapat dipastikan seberapa besar dan seberapa lama ancaman perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan terjadi di Indonesia. Semakin lama pandemi Covid-19 berlangsung maka dampaknya pun semakin berat. Ketidakpastian tersebut terbukti dengan masih adanya peningkatan jumlah kasus penderita Covid-19 saat ini sehingga sebagian Pemerintah Daerah kembali melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Harapan perbaikan perekonomian di Kuartal III 2020 dari -5,32% di Kuartal II 2020 menjadi positif diprediksi tidak mungkin terwujud bahkan potensi resesi menjadi semakin besar. Dengan norma dalam UU 2/2020 yang memberikan fleksibilitas kepada Pemerintah untuk menentukan kebijakan, Pemerintah memiliki kemampuan untuk melakukan langkah-langkah recovery maupun antisipatif. Untuk menanggulangi peningkatan penyebaran Covid-19 di daerah, Pemerintah Pusat telah memberikan pinjaman kepada Pemda terdampak dan bantuan langsung kepada masyarakat terdampak. Ketersediaan fasilitas kesehatan pun telah memadai untuk menghadapi peningkatan jumlah penderita. Dengan demikian, jelas bahwa kebijakan yang 169 ditetapkan Pemerintah bersama DPR dalam UU 2/2020 semata-mata bertujuan memberikan legitimasi bagi Pemerintah untuk dapat melakukan langkah-langkah pencegahan negara dari krisis kesehatan dan perekonomian. Namun demikian, terdapat ketentuan dalam Lampiran UU 2/2020 yang dibatasi masa keberlakuannya, seperti:
Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1 dan angka 2 Lampiran UU 2/2020 yang mengatur mengenai pelebaran defisit APBN; __ b. Perpanjangan waktu pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan mengacu pada penetapan periode kahar akibat pandemi Covid-19;
Kebijakan stabilitas sistem keuangan yang diatur dalam Lampiran UU 2/2020 bertujuan untuk mengatasi permasalahan pada stabilitas sistem keuangan dan perekonomian akibat dari dampak pandemi Covid-19. Penetapan berakhirnya kondisi stabilitas sistem keuangan dan perekonomian akibat dari dampak pandemi Covid-19 tersebut ditetapkan oleh KSSK sebagaimana tercantum dalam Penjelasan Pasal 15 ayat (1) huruf a Lampiran UU 2/2020.
Kebijakan Keuangan Negara 1) Pelebaran Defisit Anggaran dan Program PEN Pelebaran defisit lebih dari 3% PDB merupakan kebijakan yang diambil oleh Pemerintah agar upaya penanganan Covid-19 dapat berjalan efektif dan upaya pemulihan ekonomi serta stabilitas sektor keuangan dapat dipercepat, sehingga upaya pemulihan sosial-ekonomi dalam situasi extraordinary pandemi Covid-19 dapat berjalan optimal. Pelebaran defisit dalam APBN 2020 terutama disebabkan adanya penurunan di sisi pendapatan, dan tambahan kebutuhan belanja yang ditujukan untuk penyelamatan jiwa dan kegiatan dunia usaha. Penurunan di sisi pendapatan yang sangat signifikan terutama dipengaruhi oleh faktor perlambatan pertumbuhan ekonomi, penurunan harga minyak dan komoditas, di samping karena adanya berbagai insentif yang berperan sebagai stimulus bagi perekonomian nasional seperti insentif perpajakan untuk dunia usaha. Sementara itu, kebutuhan belanja negara bertambah terutama disebabkan oleh adanya tambahan belanja untuk penanganan pandemi Covid-19 dan tambahan stimulus untuk kesehatan, social safety net , serta dukungan terhadap dunia usaha dan UMKM. Sebagai upaya penanganan keadaan darurat, pemberian kewenangan pelebaran defisit kepada Pemerintah dalam Perppu 1/2020 didasarkan pada mandat Presiden 170 sebagai Kepala Pemerintahan yang diatur dalam Pasal 22 UUD 1945. Dengan telah disahkannya Perppu 1/2020 menjadi UU 2/2020 maka pelebaran defisit tersebut telah memenuhi ketentuan Pasal 20A ayat (1) dan Pasal 23 UUD 1945. Walaupun UU 2/2020 memberikan fleksibilitas defisit sampai tahun 2022, tetapi pelebaran defisit untuk tahun 2021 dan 2022 akan dibahas bersama DPR melalui mekanisme RAPBN sehingga esensi Pasal 23 UUD 1945 masih terjaga untuk APBN tahun mendatang. Dalam Lampiran UU 2/2020 tetap terdapat pembatasan-pembatasan yaitu: Pertama , kewenangan menetapkan defisit melampaui 3% dari PDB hanya berlaku paling lama sampai dengan berakhirnya Tahun Anggaran 2022 (dalam jangka waktu kurang lebih 2 tahun atau bisa kurang dari waktu tersebut jika recovery ekonomi dapat berjalan lebih cepat); dan penyesuaian besaran defisit tersebut dilakukan secara bertahap. Kedua , pelebaran defisit tersebut tetap dalam koridor jumlah pinjaman yang dapat dilakukan dalam rangka pelaksanaan pelebaran defisit tersebut yaitu dibatasi maksimal 60% (enam puluh persen) dari PDB sesuai UU Keuangan Negara. Pemohon juga mendalilkan Pasal 11 ayat (3) Lampiran UU 2/2020 bertentangan dengan Pasal 23 ayat (2) UUD 1945 karena Pemerintah menetapkan program PEN tanpa terlebih dahulu berkonsultasi dengan DPR. Selain itu, program PEN bersumber dari APBN sehingga Pemerintah tidak dapat melaksanakan PEN tanpa membahas terlebih dahulu dengan DPR yang memiliki fungsi anggaran. Dapat Pemerintah sampaikan bahwa program PEN yang merupakan salah satu materi muatan dalam Perppu 1/2020, telah disampaikan Pemerintah kepada DPR dalam bentuk Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Penetapan Perppu 1/2020 menjadi Undang-Undang. Pemerintah telah menyampaikan RUU Perppu 1/2020 dimaksud kepada DPR pada tanggal 1 April 2020 dan telah dibahas secara intensif bersama dengan DPR dalam Rapat Kerja. Selanjutnya, pada Rapat Paripurna DPR tanggal 12 Mei 2020, DPR telah memberikan persetujuan terhadap RUU Penetapan Perppu 1/2020 menjadi Undang-Undang tersebut, yang tentunya termasuk pula program PEN dimaksud. Dengan demikian, dalil Pemohon yang menyatakan penetapan batasan defisit anggaran dan penetapan program PEN oleh Pemerintah tanpa persetujuan dari DPR tidak sesuai dengan fakta hukum yang ada. 171 Program PEN yang ditetapkan dalam Pasal 11 Lampiran UU 2/2020 merupakan pendukung dan bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan keuangan negara. Program PEN adalah rangkaian kegiatan untuk pemulihan perekonomian nasional yang merupakan bagian dari kebijakan keuangan negara yang dilaksanakan oleh Pemerintah untuk mempercepat penanganan pandemi Covid-19 dan/atau menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan, serta penyelamatan ekonomi nasional. Program PEN dilaksanakan melalui Penyertaan Modal Negara, penempatan dana dan/atau investasi Pemerintah, dan/atau kegiatan penjaminan dengan skema yang ditetapkan oleh Pemerintah. Sebagai wujud dari tata kelola yang baik dalam pelaksanaan Program PEN tersebut, Pemerintah telah menerbitkan peraturan pelaksanaan berikut:
Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional Dalam Rangka Mendukung Kebijakan Keuangan Negara Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease (Covid-19) Dan/Atau Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan Serta Penyelamatan Ekonomi Nasional;
Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional Dalam Rangka Mendukung Kebijakan Keuangan Negara Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Dan/Atau Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan Serta Penyelamatan Ekonomi Nasional;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 53/PMK.05/2020 tentang Tata Cara Investasi Pemerintah;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.05/2020 tentang Penempatan Uang Negara Pada Bank Umum Dalam Rangka Percepatan Pemulihan Ekonomi Nasional;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 71/PMK.08/2020 tentang Tata Cara Penjaminan Pemerintah Melalui Badan Usaha Penjaminan Yang Ditunjuk Dalam Rangka Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 85/PMK.05/2020 tentang Tata Cara Pemberian Subsidi Bunga/Subsidi Margin Untuk Kredit/Pembiayaan Usaha 172 Mikro, Usaha Kecil, Dan Usaha Menengah Dalam Rangka Mendukung Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 103/PMK.05/2020 tentang Tata Cara Pengelolaan Rekening Khusus Dalam Rangka Pembiayaan Penanganan Dampak Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan Pemulihan Ekonomi Nasional 8) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 104/PMK.05/2020 tentang Penempatan Dana Pada Bank Peserta Dalam Rangka Program Pemulihan Ekonomi Nasional;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 105/PMK.07/2020 tentang Pengelolaan Pinjaman Pemulihan Ekonomi Nasional untuk Pemerintah Daerah. Berdasarkan ketentuan Pasal 21A PP Nomor 43 Tahun 2020, diatur bahwa dalam rangka pelaksanaan kebijakan dan Program PEN, pejabat perbendaharaan dan pejabat yang mengelola Program PEN melaksanakan penyaluran dana dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Program PEN. Dapat Pemerintah sampaikan bahwa proses pelaksanaan PEN, yaitu:
Penetapan dasar hukum perubahan APBN dan program PEN a) Program PEN diatur dalam PP 23/2020 sebagai implementasi dari Perppu 1/2020 yang telah disahkan menjadi UU 2/2020. b) Telah dilakukan perubahan Perpres 54/2020 menjadi Perpres 72/2020 untuk menampung kebutuhan pendanaan untuk program PEN senilai Rp 695,2 T (pelebaran defisit dari 5,07% PDB menjadi 6,34% PDB).
Berkonsultasi dengan DPR RI Perubahan APBN yang ditetapkan di dalam Perpres 72/2020 telah dibahas dan dikoordinasikan dengan DPR RI (Komisi XI dan Badan Anggaran) termasuk kebutuhan anggaran dan kebijakan Program PEN.
Adanya Kerjasama dengan Aparat Penegak Hukum (APH) a) Dengan melakukan komunikasi dan koordinasi dengan APH yaitu KPK, Kepolisian, dan Kejaksaan Agung serta BPK dalam rangka monitoring pelaksanaan PEN. b) Direktorat Litbang KPK telah membentuk 5 (lima) Satuan Tugas (Satgas) untuk memantau perkembangan PEN. 173 c) Kerjasama dengan APH juga turut melibatkan Inspektorat Jenderal Kementerian/Lembaga.
Pembentukan Pola Monitoring Proses monitoring dan evaluasi dilakukan secara berjenjang di internal Kementerian Keuangan. Proses monitoring dan evaluasi dimulai kelompok kerja yang dipimpin oleh Pejabat Eselon I yang dilakukan setiap hari, laporan ke Wakil Menteri Keuangan setiap 3 hari dan laporan ke Menteri Keuangan setiap minggu. Dalam setiap jenjang, dibahas perkembangan pelaksanaan program, identifikasi permasalahan, dan perumusan solusi untuk mengakselerasi dan mendorong efektivitas program PEN. Pengawasan PEN diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 75/PMK.09/2020 tentang Pedoman Pengawasan Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional Dalam Rangka Mendukung Kebijakan Keuangan Negara Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Dan/Atau Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan Serta Penyelamatan Ekonomi Nasional. Pemerintah telah menetapkan dan melaksanakan program kesehatan dan kebijakan PEN dengan penyediaan anggaran senilai Rp 695,2 triliun, dengan rincian untuk program kesehatan sebesar Rp 87,55 triliun dan untuk program PEN dengan total anggaran Rp607,65 T yang terbagi dalam 5 (lima) sektor yaitu perlindungan sosial (Rp203,91 triliun), UMKM (Rp 123,47 triliun), Sektoral K/L dan Pemda (Rp 106,05 triliun), Pembiayaan Korporasi (Rp 53,6 triliun) dan Insentif Usaha (Rp 120,61 triliun). Rincian program dan realisasi anggaran program dimaksud per 30 September 2020 adalah sebagai berikut: Gambar 3 : Program Kesehatan dan Pemulihan Ekonomi Nasional 174 Realisasi program PEN telah mengalami akselerasi yang signifikan selama bulan Agustus dan September 2020. Akselerasi tersebut didukung antara lain karena adanya percepatan belanja penanganan Covid-19, percepatan program PEN lainnya (seperti DAK Fisik, DID Pemulihan, dan Prakerja), dan adanya program- program baru yang langsung segera direalisasikan (bantuan produktif UMKM dan subsidi gaji/upah). Per 30 September 2020, progress realisasi belanja program kesehatan mencapai 25% dari pagu anggaran. Rincian realisasi anggaran tersebut adalah sebagai berikut: insentif tenaga kesehatan pusat dan daerah (Rp3,13T), santunan kematian tenaga kesehatan (Rp0,029T), gugus tugas Covid-19 (Rp3,22T), belanja penanganan Covid-19 (Rp11,70T), bantuan iuran JKN (Rp1,19T), dan insentif perpajakan kesehatan (Rp2,66T). Keseluruhan program pada klaster Perlindungan Sosial telah dilaksanakan dengan realisasi mencapai 77% dari pagu per 30 September 2020. Program dengan realisasi belanja paling besar pada periode tersebut adalah Program Keluarga Harapan (PKH) sebesar Rp36,26T, Kartu Sembako sebesar Rp32,4T, Bansos Tunai Non-Jabodetabek sebesar Rp25,54T, Kartu Prakerja sebesar 19,46T, dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) Dana Desa sebesar Rp12,28T. Pada klaster Sektoral Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah, realisasi anggaran mencapai 25,1% dari pagu atau sebesar Rp26,61T per 30 September 2020. Realisasi belanja terbesar terserap pada program Padat Karya dengan nilai sebesar Rp13,23T yang menghasilkan output sebanyak 1,97 juta pekerja. Rincian 175 realisasi program lainnnya pada klaster ini adalah sebagai berikut: DID Pemulihan Ekonomi (Rp7T), DAK Fisik (Rp6,83T), Bantuan Operasional Pesantren (Rp2,02T), Perluasan PEN KemenPUPR (Rp0,53T), dan Peta Peluang Investasi (Rp0,0001T). Sebagai bentuk optimalisasi pelaksanaan program PEN, Pemerintah telah melakukan reclustering anggaran PEN untuk meningkatkan anggaran bidang kesehatan, perlindungan sosial, dan UMKM. Alokasi cluster kesehatan semula Rp87,55T menjadi Rp 87,93T, alokasi cluster perlindungan sosial semula Rp203,9T menjadi Rp239,53T dan alokasi cluster UMKM semula Rp123,46T menjadi 128,21T. Reclustering anggaran tersebut menunjukkan Pemerintah sangat serius menangani pandemi Covid-19 yang masih terus berlanjut dan berpengaruh sangat signifikan terhadap kesehatan masyarakat dan perekonomian. Indonesia merupakan negara yang pangsa usahanya didominasi oleh UMKM sehingga keberlangsungan ( sustainability ) usaha UMKM harus tetap dipertahankan. Data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah menunjukkan bahwa pada tahun 2018 terdapat 64.2 juta unit UMKM di Indonesia, yang telah menyumbang 99% pangsa usaha di Indonesia. Sebagian besar UMKM bergantung kepada kegiatan ekonomi harian atau day to day basis untuk mempertahankan keberlangsungan usahanya. Penerapan social and physical distancing menjadi kendala terhadap kegiatan ekonomi UMKM. Dalam rangka memberdayakan keberlangsungan UMKM di tengah pandemi Covid- 19, Pemerintah telah melakukan berbagai langkah-langkah strategis, yaitu penempatan dana pada perbankan untuk membantu penyaluran kredit UMKM dan menanggung PPh Final bagi UMKM. Selain itu, Pemerintah juga memberikan subsidi bunga bagi UMKM dengan pagu anggaran sebesar Rp35,3 triliun dengan rincian untuk penerima Kredit Usaha Rakyat (KUR) sebesar Rp5 triliun, Non-KUR Perbankan, BPR, dan Perusahaan Pembiayaan sebesar Rp27,2 triliun, Non-KUR PT Permodalan Nasional Madani (Persero) dan Pegadaian sebesar Rp2,4 triliun, dan sebesar Rp0,7 triliun untuk penerima Non-KUR Koperasi. Insentif kepada UMKM juga diberikan dengan skema pembiayaan investasi kepada Koperasi melalui LPDB KUMKM dengan total alokasi yang sudah dicairkan sebesar Rp1 triliun. Untuk menjamin kredit yang diberikan kepada UMKM, Pemerintah memberikan penjaminan dengan pagu sebesar Rp6 triliun. Pemerintah melalui kementerian/lembaga, BUMN, dan Pemda juga bertindak sebagai penyangga dalam 176 ekosistem UMKM terutama pada tahap pemulihan dan konsolidasi usaha setelah pandemi Covid-19. Dapat Pemerintah sampaikan juga bahwa agar realisasi penanganan Covid-19 dan program PEN dapat terus dipercepat maka Pemerintah telah mempercepat penyelesaian regulasi dan penyederhanaan administrasi, mempercepat implementasi program untuk mendukung keberlangsungan dunia usaha, dan memperkuat komunikasi publik untuk meningkatkan kesadaran publik serta mendapatkan feedback .
Kebijakan di Bidang Perpajakan dan Kepabeanan a) Penyesuaian Tarif Pajak Kebijakan penurunan tarif PPh Wajib Pajak badan dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT) merupakan upaya nyata Pemerintah mengurangi beban pengusaha dalam tren global yang mengalami penurunan sehingga sejauh mungkin tidak terjadi PHK. Dengan penurunan tarif PPh Badan dan BUT, maka beban pajak yang ditanggung perusahaan menjadi berkurang, sehingga arus kas dan kesehatan perusahaan dapat bertahan di tengah pandemi Covid-19 dan potensi PHK oleh perusahaan akan berkurang. Insentif pajak ini secara tidak langsung akan berdampak pada terjaminnya ketersediaan barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat serta mempertahankan lapangan kerja. Terhadap dalil Pemohon perkara Nomor 37/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan bahwa pengaturan insentif pajak harus diikuti dengan frasa “dan larangan pemutusan hubungan kerja (PHK)”, dapat Pemerintah sampaikan bahwa pengaturan terkait ketenagakerjaan terutama terkait PHK telah diatur secara jelas dalam UU Ketenagakerjaan. Adanya tambahan frasa “dan larangan pemutusan hubungan kerja (PHK)” dalam ketentuan penyesuaian tarif PPh Badan akan menimbulkan ketidakharmonisan ketentuan dalam UU 2/2020 dengan UU Ketenagakerjaan sehingga justru menimbulkan potensi komplikasi hukum, ketidakadilan dan ketidakpastian hukum bagi seluruh pihak. Selain itu, atas dalil Pemohon perkara Nomor 37/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan bahwa ketentuan Pasal 5 ayat (1) huruf a dan b Lampiran UU 2/2020 harus ditambahkan frasa “ paling tinggi ” sesuai dengan sektor usaha tertentu, perlu Pemerintah sampaikan bahwa apabila mengikuti logika Pemohon dimaksud, maka dibutuhkan pengaturan mengenai kriteria Wajib Pajak dan batas-batas ( range ) 177 besaran tarif PPh yang akan dikenakan. Di samping itu, dalam implementasinya akan sulit untuk menentukan bidang-bidang usaha wajib pajak dan besaran tarif pajak yang akan dikenakan, karena secara faktual sebuah perusahaan dimungkinkan memiliki usaha lintas bidang/lintas sektoral. Dengan demikian, penambahan frasa “ paling tinggi ” yang didalilkan Pemohon akan menimbulkan kesulitan dan kerumitan dalam implementasi pemajakannya dan menimbulkan ketidakpastian hukum. Lebih lanjut, Pemohon perkara Nomor 37/PUU-XVIII/2020 juga berpendapat jika seharusnya pada Pasal 5 ayat (1) huruf a dan b memberikan insentif pajak secara maksimal kepada badan dalam negeri yang bergerak di bidang riset dan pengembangan untuk penanganan Covid-19. Terhadap dalil tersebut, dapat Pemerintah sampaikan bahwa pemberian insentif penurunan PPh badan diberikan kepada seluruh dunia usaha karena tidak dapat dipungkiri jika dampak akibat Covid- 19 dialami oleh semua sektor usaha. Beberapa kebijakan Pemerintah antara lain pembatasan sosial ( social/physical distancing ), pembatasan perjalanan, karantina wilayah, bekerja dari rumah ( work from home ) dan tetap tinggal di rumah ( stay at home ) telah berdampak pada menurunnya aktivitas perekonomian dan merosotnya pertumbuhan bisnis di segala bidang. Oleh karena itu, tarif yang bersifat tunggal, berlaku umum dan universal untuk seluruh wajib pajak badan dalam negeri dan BUT dinilai lebih memberikan jaminan kepastian hukum. Khusus untuk badan dalam negeri yang bergerak di bidang riset dan pengembangan untuk penanganan Covid- 19, Pemerintah telah memberikan fasilitas tambahan yaitu fasilitas pembebasan kepabeanan. b) Perlakuan Perpajakan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) Pandemi Covid-19 memaksa semua orang beraktivitas di rumah seperti work from home, study from home , maupun online shopping sehingga transformasi digital menjadi semakin terakselerasi. Basis pajak dari transaksi digital ini menjadi sangat penting pada saat penerimaan pajak menurun. Oleh karena itu, Pemerintah harus menjaga basis pajak tersebut agar tidak tererosi. Berdasarkan hal tersebut, maka pengaturan mengenai perlakuan perpajakan terhadap PMSE merupakan konsekuensi logis dari adanya pandemi Covid-19. Pengaturan pemajakan PMSE juga penting dan perlu disegerakan mengingat penerimaan negara mengalami penurunan dan diiringi dengan meningkatnya 178 belanja negara dan pembiayaan. Oleh karena itu, Pengaturan pemajakan PMSE dalam UU 2/2020 tidak dapat dipertentangkan dengan Putusan MK Nomor 012-016- 019/PUU-IV/2006. Mendesaknya kebutuhan penerbitan dasar hukum pemungutan pajak PMSE tersebut juga dikuatkan dengan beberapa pertimbangan, yaitu:
Pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah memungkinkan pelaku usaha ekonomi digital luar negeri menikmati fasilitas dan mendapatkan penghasilan dari Indonesia secara signifikan tanpa perlu membayar pajak di Indonesia, sehingga perlu segera dibuat ketentuan yang memastikan terpenuhinya prinsip pemajakan yang berkeadilan ( fairness ) antara semua pelaku usaha, serta menciptakan level playing field yang sama bagi pengusaha untuk bertahan dan meningkatkan daya saingnya di tengah pandemi Covid-19.
Besarnya nilai transaksi dan kapitalisasi barang tidak berwujud , perkembangan ekonomi digital di Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang paling cepat dan ukuran pasar paling besar di negara-negara Asia Tenggara, dengan proyeksi nilai kapitalisasi ekonomi sebagaimana digambarkan di bawah ini. Gambar 4: Proyeksi Ukuran Ekonomi Digital Dengan mempertimbangkan besarnya ukuran kapitalisasi ekonomi digital tersebut, terdapat beberapa titik perhatian utama dalam cakupan ekonomi digital. Pertama, adanya isu ketidaksetaraan perlakuan akibat perkembangan ekonomi digital bagi masyarakat suatu yurisdiksi, sebagai contoh negara berkembang seharusnya tidak hanya dijadikan sebagai pasar e-commerce, namun juga harus ikut terlibat sebagai pelaku dalam interaksi ekonomi tersebut. Oleh karena itu, pajak diharapkan menjadi penghambat fiskal terjadinya invasi persaingan lintas yurisdiksi. Kedua, adanya risiko penghindaran pajak dalam skema PMSE, yang dibuktikan secara empiris dengan adanya penggerusan basis pemajakan sebagai 179 konsekuensi pergeseran transaksi yang dilakukan secara konvensional menjadi dilakukan secara elektronik. Lebih spesifik, OECD (2015) mengidentifikasi beberapa isu pergeseran laba dalam skema PMSE untuk menghindari pengenaan pajak di yurisdiksi terjadinya transaksi atau kegiatan ekonomi, antara lain:
menghindari keberadaan sebagai objek pajak (taxable presence) , (2) meminimalkan penghasilan di yurisdiksi pasar dengan cara mengalokasikan penghasilan tersebut ke fungsi, aset atau risiko, dan (3) memaksimalkan biaya atau pengurang penghasilan di yurisdiksi pasar. Dikaitkan dengan aspek ekonomi, kedaulatan , dan strategi untuk melawan praktik penghindaran pajak dalam konteks ekonomi digital, diperlukan perumusan pengenaan pajak yang efisien, terstruktur, komprehensif dan dapat diaplikasikan dalam dinamika evolusi transaksi ekonomi digital (atau PMSE) yang sangat cepat.
Saat ini atas penghasilan yang diperoleh dari kegiatan PMSE yang dilakukan oleh Subjek Pajak Dalam Negeri (SPDN) dikenakan PPh sesuai dengan ketentuan Undang-Undang mengenai Pajak Penghasilan. Sementara itu terdapat isu mendasar dalam pemajakan kegiatan PMSE yang dilakukan oleh Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN), di mana secara konseptual, pembagian hak pemajakan masih ditentukan oleh ada tidaknya bentuk usaha tetap (BUT) dengan kriteria keberadaan fisik. Lebih lanjut, OECD (2015) menyatakan bahwa konsep penentuan keberadaan fisik sebagai penghasil laba seharusnya diartikan lebih luas dengan mempertimbangkan kondisi dan lokasi di mana kegiatan ekonomi yang menghasilkan profit dilakukan. Dalam konteks ini, OECD (2015) menyatakan bahwa hak pemajakan dapat ditentukan dengan melihat keberadaan ekonomi yang signifikan yang terkait langsung dengan aktivitas ekonomi di suatu yurisdiksi. Konsep penentuan keberadaan suatu bentuk usaha yang dikaitkan dengan kegiatan riil suatu entitas dalam menciptakan laba pada suatu yurisdiksi menjadi penting, mengingat dengan kemajuan teknologi saat ini, sebuah entitas dimungkinkan untuk memberikan pengaruh yang besar (heavily involved) pada suatu bisnis tanpa harus memiliki fixed place atau dependent agent di suatu tempat.
Saat ini pengenaan PPN dan Bea Masuk atas penyerahan barang dan jasa yang dilakukan oleh kegiatan PMSE dipersamakan dengan transaksi konvensional. 180 Subjek pajak yang dikenakan adalah SPDN atau yang melakukan kegiatan usaha di Indonesia. Atas penyerahan barang dan jasa dikenakan PPN sebesar 10% (sepuluh persen) sesuai dengan Undang-Undang mengenai Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Secara keseluruhan, pengaturan yang ada saat ini terkait dengan pemanfaatan Barang Kenapa Pajak (BKP) Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean hanya efektif diterapkan untuk transaksi yang sifatnya Business- to-Business ( B2B ), yakni transaksi yang dilakukan oleh konsumen di Indonesia yang telah menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP). Atas pembayaran PPN atas pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dan/atau JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean bagi PKP merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan. Sementara itu, untuk pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dan/atau JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean yang sifatnya Business- to-Customer (B2C), aspek pengawasan pemenuhan kewajiban perpajakannya belum efektif karena masih menggunakan sistem self-assessment. 5) Adanya potensi penerimaan pajak yang besar. Secara praktis, saat ini barang digital telah masuk ke dalam daerah pabean dan dimanfaatkan, dipakai, dan dimiliki atau dikuasai oleh penduduk di dalam negeri. Beberapa jenis barang yang termasuk dalam definisi barang digital beserta bentuk transaksi, pengiriman, dan perkiraan nilai transaksi dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 1 : Proyeksi Ukuran Ekonomi Digital Indonesia TYPE OF GOODS CONVENTIONAL/NOW NOW/FUTURE VAL. IN 2017 (Rp) SHIPMENT TRANSACTION SALE TRANSACTION Software system and Application Recording Media Express Consignment Online Retail Marketplace Online/ Commercial 14,06 T Game, Video, Music Recording Media Express Consignment Online Retail Marketplace Online/ Commercial 0,88 T Film Cinema Recording Media Express Consignment/ import home use Online Retail Bank 7,65 T Software Spesialis (engineering, design, etc) Recording Media + Manual installment Express Consignment / imported together with the hardware Online Retail/ Special Subscription Online/ Bank Instrument 1,77 T Handphone Software In gadget Express Consignment / import for home use Imported separately/ electronic Transmission Online 44,75 T 181 Pay TV / Broadcast Rights Satelit Bank Instrument Internet Satelite Bank Instrument/ Commercial 16,49 T Fas OTT and Social Media Recording Media Express Consignment/ import for home use Special Subscription Online/ Commercial 17,07 T Dari tabel tersebut dapat dijelaskan bahwa dari 7 (tujuh) buah poin tersebut, total nilai transaksi dari barang digital mencapai pada angka Rp104,4 triliun. Angka tersebut merupakan gambaran perkiraan pada tahun 2017. Dari total nilai transaksi tersebut, maka potensi dari penerimaan Pajak Pertambahan Nilai mencapai Rp 10,4 triliun dengan menggunakan tarif pajak konsumen sebesar 10% yang berlaku saat ini. Potensi pajak dari PMSE ini dapat semakin besar bila Pemerintah melakukan penarikan PPh perusahaan digital. Sedangkan potensi penerimaan pajak atas kegiatan PMSE dari Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN) pada tahun pajak 2020 sebesar Rp3,45T dan sampai tahun pajak 2024 diperkirakan sebesar Rp6,40 T, yang berasal dari 8 SPLN pelaku ekonomi digital saja, belum untuk keseluruhan pelaku usaha ekonomi digital luar negeri.
Bahwa eksistensi pelaku usaha ekonomi digital yang pada umumnya berdomisili di luar negeri menimbulkan kesulitan tersendiri dalam pemajakannya karena regulasi-regulasi yang ada belum mengatur, sehingga terdapat kekosongan hukum dan menjadi celah (loopholes) yang menyebabkan hilangnya potensi penerimaan pajak dalam jumlah besar karena adanya pengelakan pajak. Kekosongan hukum pengaturan tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang melalui proses legislasi karena akan memerlukan waktu yang cukup lama, apalagi di tengah pandemi Covid-19 tentunya proses legislasi pembahasan RUU untuk sampai dengan diundangkan menjadi undang- undang akan mengalami banyak kendala dan perlambatan, sehingga menjadi sangat berdasar apabila Presiden memasukkan pengaturan mengenai pemajakan PMSE tersebut dalam Lampiran UU 2/2020. Berikutnya terkait dengan dalil Para Pemohon yang menganggap bahwa pengaturan pajak terhadap PMSE semestinya diatur dalam suatu undang-undang tersendiri dan tidak disisipkan dalam Perppu a quo sesuai dengan Pasal 23A UUD 1945 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 tanggal 19 Desember 2006, Pemerintah dapat memberikan penjelasan sebagai berikut: 182 1) Berdasarkan pertimbangan putusan Mahkamah Konstitusi, untuk menilai konstitusionalitas pengaturan PMSE dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b, Pasal 4 ayat (2), Pasal 6, dan Pasal 7 Lampiran UU 2/2020 adalah harus dengan melihat substansi norma yang diatur didalamnya dan implikasi atas pengaturan norma tersebut. Sepanjang norma yang diatur didalamnya secara substansial tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan implikasinya tidak mengakibatkan timbulnya hal-hal yang bertentangan dengan UUD 1945, maka pengaturan pajak PMSE dalam Lampiran UU 2/2020 tersebut adalah konstitusional.
Lebih lanjut, Para Pemohon dalam permohonannya sama sekali tidak mendalilkan substansi norma dari pengaturan pajak PMSE dalam Lampiran UU 2/2020 yang bertentangan dengan UUD 1945. Para Pemohon juga tidak mendalilkan implikasi kerugian nyata yang timbul dan dialaminya dari pengaturan pajak PMSE dalam Lampiran UU 2/2020 yang dinilai bertentangan dengan UUD 1945.
Bahwa perlu Pemerintah sampaikan kembali, persetujuan DPR atas Perppu 1/2020 menjadi UU 2/2020 dalam rapat sidang Paripurna DPR tanggal 12 Mei 2020 menunjukkan fungsi legislasi DPR telah digunakan dalam pengaturan pajak PMSE dalam UU 2/2020. Bahwa secara substansial, norma-norma dan implikasi yang timbul dari pengaturan pajak PMSE dalam Lampiran UU 2/2020 justru selaras dan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Hal tersebut dapat Pemerintah jelaskan sebagai berikut:
Bahwa norma pengaturan pajak PMSE dalam Lampiran UU 2/2020 secara substansial justru menghadirkan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, karena dengan pengaturan pajak PMSE maka: a) akan menutup celah pengaturan ( loopholes ) yang dapat mengakibatkan timbulnya penghindaran dan pengelakan pajak yang akan menggerus potensi penerimaan pajak yang merugikan penerimaan negara; b) memastikan ketentuan pemajakan berlaku secara adil dan tidak diskriminatif antara Subjek Pajak luar negeri dan Subjek Pajak dalam negeri; c) menciptakan kesetaraan dalam berusaha ( level of playing field ) baik antara pelaku usaha konvensional dan pelaku usaha ekonomi digital maupun antara pelaku usaha ekonomi digital di dalam negeri dan luar negeri; d) memberikan keadilan ( fairness ) antara pelaku usaha perdagangan melalui sistem elektronik. Pengenaan pajak terhadap PMSE juga sudah diadopsi 183 berbagai negara dengan pengaturan yang secara substansi sama, seperti Perancis, India, Spanyol, Australia, Inggris, Italia, Singapura dan Malaysia.
Apabila ketentuan mengenai pengaturan pajak PMSE dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b, Pasal 4 ayat (2), Pasal 6, dan Pasal 7 Lampiran UU 2/2020 ini dibatalkan, maka justru tidak ada jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil karena akan muncul kembali kekosongan hukum yang secara langsung berakibat pada hilangnya penerimaan pajak (kerugian penerimaan negara) terutama dalam kondisi saat ini dimana penanganan pandemi Covid-19 membutuhkan biaya yang sangat besar dan karena ketidakpastian kapan pandemi berakhir dan dampak ikutan (multiplier effect) yang ditimbulkan, maka __ kebutuhan biaya/anggaran penanganannya pun sangat mungkin bertambah. c) Pengaturan Besaran Tarif Pajak PMSE Dengan Atau Berdasarkan Peraturan Pemerintah Berkaitan dengan masalah pendelegasian kewenangan, Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., pada intinya berpendapat bahwa kewenangan yang dimiliki oleh suatu lembaga negara dapat berpindah kepada lembaga lain karena pemberian mandat atau karena pelimpahan wewenang ( transfer of power ). Jika kekuasaan yang dilimpahkan itu adalah kekuasaan untuk membentuk suatu peraturan perundang- undangan ( the power of rule making ), maka dengan terjadinya pendelegasian kewenangan regulasi ( delegation of the rule-making power ) tersebut berarti terjadi pula peralihan kewenangan untuk membentuk suatu peraturan perundang- undangan. Hal tersebut berarti pembentuk undang-undang memberikan delegasi kepada Pemerintah untuk mengatur sendiri hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran tugas dan wewenangnya. Lebih lanjut, Prof. Dr. Maria Farida Indrati S, dalam buku ”Ilmu Perundang- Undangan” berpendapat bahwa Peraturan Pemerintah merupakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam suatu undang-undang yang secara tegas disebutkan. Fungsi ini sesuai dengan ketentuan Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 yang menentukan bahwa Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya. Apabila ketentuan dalam undang-undang belum cukup mengatur dan masih diperlukan pengaturan lebih lanjut, maka dapat dilakukan pendelegasian 184 kewenangan pengaturan. Hal ini sejalan dengan Pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 128/PUU-VII/2009: “Bahwa hal tersebut semata-mata untuk memenuhi kebutuhan negara mendapatkan landasan hukum yang diperlukan, karena proses pembentukan peraturan di bawah Undang-Undang lebih cepat dibandingkan proses pembentukan Undang-Undang. Melalui pendelegasian wewenang kepada peraturan yang lebih rendah (delegated regulations), maka tercapainya tujuan (doelmatigheid) untuk memenuhi tuntutan masyarakat menjadi hal yang diutamakan. Pendelegasian wewenang tersebut merupakan hal yang lazim dan dibolehkan dalam penyelenggaraan negara, oleh sebab itu tidak bertentangan dengan hukum.” Pengaturan besaran tarif pajak PMSE dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah bertujuan untuk memberikan fleksibilitas kepada Pemerintah untuk mengikuti perkembangan dunia usaha terutama pada kondisi pandemi Covid-19. Menyadari hal tersebut, maka pengaturan mengenai besaran tarif pajak PMSE dalam Peraturan Pemerintah telah tepat karena akan menciptakan instrumen perpajakan untuk mendorong perekonomian. Lampiran UU 2/2020 memberikan kewenangan atribusi untuk mengatur pengenaan besaran tarif pajak PMSE dengan Peraturan Pemerintah untuk memenuhi kebutuhan Pemerintah dengan segera dalam situasi mendesak. Hal tersebut juga menjadi pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam memutus uji materiil UU Pajak Penghasilan, yang juga mendelegasikan pengaturan besaran tarif pajak dengan Peraturan Pemerintah. Sebagaimana pertimbangan Mahkamah Konstitusi tersebut, pemberian kewenangan atribusi telah sesuai dengan hukum administrasi negara dan ketentuan Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 6 ayat (12) Lampiran UU 2/2020. Pendelegasian wewenang undang-undang untuk mengatur lebih lanjut suatu ketentuan melalui peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya merupakan suatu kebijakan pembentuk undang-undang ( opened legal policy ) sehingga peraturan tersebut dianggap sah dan sesuai dengan UUD 1945. Selain itu, pengaturan lebih lanjut dalam bentuk Peraturan Pemerintah atau peraturan perundang-undangan yang lebih rendah diperlukan Pemerintah untuk menjadi landasan hukum yang lebih rinci dan operasional sekaligus merupakan diskresi yang dibenarkan oleh hukum administrasi. 185 Pengaturan lebih lanjut mengenai besaran tarif pajak dengan Peraturan Pemerintah bukanlah hal yang baru ( precedented ), karena ketentuan serupa dapat ditemukan dalam UU Pajak Penghasilan, yaitu:
Pasal 4 ayat 2 huruf e UU Pajak Penghasilan yang menyebutkan bahwa: “Penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final: penghasilan tertentu lainnya, yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah” b. Pasal 17 ayat (7) UU Pajak Penghasilan yang menyebutkan bahwa: “Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan tarif pajak tersendiri atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi sebagaimana tersebut pada ayat (1)” Selain itu, Mahkamah Konstitusi dalam putusan Nomor 47/PUU-XII/2014 telah menolak permohonan uji materi yang pada pokoknya mempersoalkan pendelegasian pengaturan lebih lanjut mengenai objek pajak (jasa lain) dalam Peraturan Menteri Keuangan. Dengan demikian, pendelegasian pengaturan besaran tarif PMSE dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945. Selain itu dapat Pemerintah sampaikan, Para Pemohon bukanlah adressat atau subjek hukum dari pengaturan PMSE karena Para Pemohon tidak memenuhi kriteria subjek pajak dalam ketentuan Pasal 6 Lampiran UU 2/2020. d) Pemberian Fasilitas Kepabeanan Sebagai upaya Pemerintah menanggulangi pandemi Covid-19 dan juga mengantisipasi terjadinya ancaman di masa depan yang dapat membahayakan perekonomian nasional, maka fleksibilitas dalam pemberian fasilitas pembebasan atau keringanan bea masuk sangat diperlukan. Ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 9 Lampiran UU 2/2020 merupakan pelaksanaan kekuasaan pemerintahan atas pengelolaan fiskal yang menjadi kewenangan dari Menteri Keuangan berdasarkan ketentuan Pasal 8 UU Keuangan Negara, sehingga tidak bertentangan dengan tugas dan fungsi menteri yang lain. Kewenangan dalam Pasal 9 Lampiran UU 2/2020 tersebut tidak bersifat absolut dan tidak berpotensi terjadi penyalahgunaan wewenang, karena dilakukan dengan tetap memperhatikan tata kelola yang baik dan dilaporkan dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP), sehingga dapat dilakukan audit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Mekanisme pemberian pembebasan atau keringanan Bea Masuk 186 tersebut dilakukan secara akuntabel dengan tetap mendasarkan pada peraturan lain yang terkait maupun masukan/pertimbangan dari kementerian/lembaga terkait. Bahwa perlu Pemerintah sampaikan kembali, dengan disahkannya Perppu 1/2020 oleh DPR menjadi UU 2/2020 maka secara mutatis mutandis DPR telah memberikan persetujuan kepada Menteri Keuangan dalam melaksanakan kewenangan khusus untuk memberikan fasilitas kepabeanan berupa pembebasan atau keringanan bea masuk dalam rangka penanganan pandemi Covid-19 dan/atau menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian keuangan dan/atau stabilitas sistem keuangan dan bukan untuk impor barang lainnya. Pemberian kewenangan kepada Menteri Keuangan ditetapkan dalam produk hukum yang sama dengan UU Kepabeanan yaitu UU 2/2020. Dengan demikian, pemberian kewenangan tersebut tidaklah menyalahi hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU 12/2011 karena UU Kepabeanan dan UU 2/2020 memiliki tingkat hierarki yang sederajat. Pemberian kewenangan atribusi kepada Menteri Keuangan dimaksud juga telah sesuai dan sejalan dengan ketentuan pasal 12 ayat (1) huruf a UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang antara lain menyebutkan bahwa badan atau pejabat pemerintahan memperoleh wewenang melalui atribusi apabila diatur dalam UUD 1945 dan/atau undang-undang. Dengan memperhatikan domino effect dari Covid-19, maka pengaturan atas barang- barang yang akan diberikan pembebasan bea masuk akan lebih memadai dan responsif jika diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Pengaturan mengenai jenis barang dalam PMK memberikan fleksibilitas bagi pengambil kebijakan dalam menghadapi dinamika serta ketidakpastian akan kebutuhan barang untuk penanganan Covid-19 di dalam negeri. Dapat Pemerintah sampaikan, Menteri Keuangan telah menerbitkan PMK Nomor 34/PMK.04/2020 tentang Pemberian Fasilitas Kepabeanan dan/atau Cukai serta Perpajakan atas Impor Barang untuk Keperluan Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) (PMK 34/2020) pada tanggal 16 April 2020. Pada bagian lampiran butir A PMK 34/2020 telah diatur 73 jenis barang untuk penanganan Covid- 19 yang dibebaskan bea masuknya. Selanjutnya atas PMK 34/2020 telah diubah dengan PMK 83/PMK.04/2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 34/PMK.04/2020 tentang Pemberian Fasilitas Kepabeanan 187 dan/atau Cukai serta Perpajakan atas Impor Barang untuk Keperluan Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) (PMK 83/2020) pada tanggal 6 Juli 2020. Pada lampiran PMK 83/2020 telah mengubah daftar jenis barang yang telah dibebaskan bea masuknya menjadi 49 jenis barang. Hal tersebut telah menunjukkan Menteri Keuangan selaku penerima kewenangan atribusi tidak secara semena- mena menggunakan kewenangan dimaksud karena penerbitan PMK mengenai pemberian fasilitas pembebasan bea masuk selalu dikontrol dengan mempertimbangkan aspek kebutuhan dan dampaknya terhadap kondisi dan situasi nasional.
Penerbitan SUN dan/atau SBSN Untuk Dibeli Oleh Bank Indonesia Selain mendukung produktivitas dunia usaha melalui berbagai stimulus, koordinasi moneter-fiskal melalui pembelian Surat Utang Negara (SUN) dan/atau Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) jangka panjang di pasar perdana akan menciptakan stimulus bagi agen ekonomi di tengah perlambatan permintaan agregat dalam rangka menghindarkan terjadinya krisis ekonomi karena dampak pandemi yang berkepanjangan (John Maynard Keynes: Konsep Makroekonomi Sisi Permintaan, 1933). Selanjutnya, Paul A. McCulley, mantan Chief Economist & Managing Director PIMCO menyatakan bahwa keterpaduan kebijakan moneter- fiskal adalah suatu keniscayaan dalam mengatasi permasalahan pada permintaan agregat. Hal ini sejalan dengan pernyataan Ben Bernanke, Chairman of The Fed periode 2006 - 2014 yang mengklaim tentang perlunya perpaduan kebijakan moneter-fiskal sebagai berikut: " Under the current circumstances [of a liquidity trap], greater cooperation for a time between the [monetary] and the fiscal authorities is in no way inconsistent with the independence of central bank[s], any more than cooperation between two independent nations in pursuit of a common objective [or, for that matter, cooperation between central banks and fiscal authorities to facilitate war finance] is inconsistent with the principle of nation sovereignty.” Dampak pandemi Covid-19 di Indonesia telah mengharuskan Pemerintah untuk membiayai penanganan masalah kesehatan dan penyelamatan/pemulihan perekonomian nasional dengan cara antara lain menerbitkan SUN dan/atau SBSN. Di sisi lain, terdapat potensi harga ( yield ) SUN dan/atau SBSN menjadi tinggi/mahal karena Pemerintah dan swasta menawarkan obligasi secara bersamaan untuk memenuhi kebutuhan likuiditas. Dalam kondisi pasar yang dipenuhi penawaran obligasi ( over supply ), pasar berpotensi tidak mampu menyerap seluruh penawaran 188 obligasi sehingga terjadi kondisi crowding out . Akibatnya, suku bunga di pasar, termasuk yield SUN dan/atau SBSN akan menjadi tinggi. Kondisi tersebut akan berdampak langsung terhadap pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Bl dalam mengendalikan suku bunga yang berpengaruh pada pengendalian inflasi dan nilai tukar. Oleh karena itu, kebijakan pembelian SUN dan/atau SBSN di pasar perdana oleh Bank Indonesia sesuai dengan kewenangan yang dimiliki bukan semata-mata untuk membantu pembiayaan Pemerintah melainkan untuk tetap menjaga inflasi yang stabil dan nilai tukar yang wajar sesuai dengan nilai ekonominya. Pemberian kewenangan kepada bank sentral untuk dapat membeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana atau primer dalam rangka menanggulangi dampak pandemi Covid-19 juga telah menjadi praktik bank sentral berbagai negara dengan tetap mengedepankan independensi, penerapan prinsip tata kelola yang baik, dan prudensialitas. Sesuai dengan Communique hasil pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20 Countries pada tanggal 15 April 2020, disepakati Action Plan untuk mendukung perekonomian global dalam menghadapi pandemi Covid-19. Diantara isi Action Plan tersebut, G20 Countries menyatakan komitmen untuk melanjutkan paket moneter yang komprehensif dan menyusun regulasi kebijakan untuk mendukung stabilitas ekonomi dan keuangan. Selain itu, Bank Sentral G20 Countries juga menyatakan bersedia untuk melakukan langkah-langkah untuk mendukung perekonomian dengan menggunakan instrumen yang sesuai dengan kewenangan yang dimiliki. Selanjutnya, dalam pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral negara-negara G-20 tanggal 18 Juli 2020 ditekankan bahwa: “Fiscal and monetary policies will continue operating in a complementary way for as long as required. Monetary policy continues to support economic activity and ensure price stability, consistent with central banks’ mandates.” Communique pertemuan dimaksud juga menjelaskan bahwa Bank Sentral G20 Countries telah menunjukkan komitmen untuk membeli surat utang negara dalam rangka menjaga suku bunga jangka panjang agar tetap rendah. Selanjutnya, dalam communique dinyatakan bahwa langkah-langkah yang dilakukan bank sentral terbukti menimbulkan peningkatan signifikan pada likuiditas pasar, membantu meredakan tekanan pada pasar keuangan, dan meminimalkan risiko permasalahan stabilitas sistem keuangan. 189 Berdasarkan penelitian Bank for International Settlement (BIS) yang dipublikasikan dalam BIS Bulletin tanggal 2 Juni 2020, diketahui bahwa 12 negara emerging market economies (Kolombia, Hungaria, India, Indonesia, Korea, Meksiko, Polandia, Rumania, Filipina, Afrika Selatan, Thailand, dan Turki) menerapkan kebijakan pembelian surat utang negara oleh bank sentral. Kebijakan tersebut dilakukan untuk merespon permasalahan sistem keuangan yang timbul akibat pandemi Covid-19. Dari penelitian tersebut, diperoleh kesimpulan bahwa kebijakan dimaksud telah menimbulkan reaksi positif yaitu penurunan yang signifikan terhadap yield surat utang negara. Reaksi tersebut menunjukkan bahwa program pembelian surat utang negara oleh bank sentral berhasil memulihkan kepercayaan investor dan tidak mengarah pada kenaikan inflasi yang tinggi. Berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2009 (UU BI), tujuan BI adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Kestabilan nilai rupiah merupakan salah satu pilar utama dalam pembangunan ekonomi yang berkelanjutan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia. Guna mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah, Bl menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter antara lain melalui pengendalian jumlah uang beredar dan suku bunga, dengan mempertimbangkan kebijakan umum Pemerintah di bidang perekonomian nasional, termasuk bidang keuangan negara (fiskal) dan perkembangan sektor riil. Pasal 2 ayat (1) huruf f, Pasal 16 ayat (1) huruf c, dan Pasal 19 ayat (3) Lampiran UU 2/2020 mengatur bahwa BI dapat membeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana atau primer. Pengaturan tersebut melengkapi ketentuan Pasal 55 ayat (4) UU Bl yang memberikan kewenangan Bl untuk membeli SUN di pasar primer atau perdana berjangka pendek yang diperlukan oleh Bl untuk operasi pengendalian moneter. Pengaturan pada Pasal 55 ayat (4) UU BI dimaksudkan untuk menjalankan tugas BI dalam kondisi normal. Sementara saat ini, Presiden telah memutuskan kondisi kegentingan yang memaksa serta kekosongan hukum karena pandemi Covid-19 sehingga diterbitkan Perppu 1/2020. Dalam mengatasi kondisi tersebut, diperlukan stimulus fiskal yang dapat berimplikasi pada pelebaran defisit APBN. Oleh karena itu, peran BI perlu diperluas sehingga BI dapat melakukan pembelian SUN dan/atau SBSN jangka panjang di pasar perdana khususnya dalam rangka penanganan permasalahan sistem keuangan yang membahayakan 190 perekonomian nasional, termasuk SUN dan/atau SBSN yang diterbitkan dengan tujuan tertentu khususnya dalam rangka pandemi Covid-19. Ketentuan dalam Pasal 16 ayat (1) huruf c Lampiran UU 2/2020 dimaksudkan untuk memberikan kelengkapan payung hukum bagi Bl untuk menetapkan dan melaksanakan kebijakan pembelian SUN dan/atau SBSN berjangka panjang di pasar perdana untuk penanganan permasalahan sistem keuangan yang membahayakan perekonomian nasional, termasuk SUN dan/atau SBSN yang diterbitkan dengan tujuan tertentu khususnya dalam rangka pandemi Covid-19. Dengan adanya ketentuan-ketentuan dalam Lampiran UU 2/2020, terbuka ruang baru bagi Bl dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan moneter melalui pembelian SUN di pasar primer atau perdana, baik yang berjangka pendek maupun panjang, untuk digunakan dalam operasi pengendalian moneter maupun yang diperlukan untuk pemulihan ekonomi nasional. Pembelian SUN dan/atau SBSN oleh BI di pasar perdana dilakukan untuk membantu pemerintah dalam pemenuhan pembiayaan APBN dan pembiayaan pelaksanaan pemulihan ekonomi nasional termasuk menjaga stabilitas sistem keuangan nasional yang menjadi peran BI sebagai otoritas moneter dan bukan mengintervensi BI dalam pelaksanaan tugasnya. Proses untuk membeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana merupakan mandat yang diberikan oleh UU 2/2020 sehingga sama sekali tidak ada intervensi terhadap independensi BI. Dalam menjalankan tugasnya, BI juga masih membutuhkan kepemilikan SUN dan/atau SBSN dalam jumlah besar karena pemenuhan kebutuhan kepemilikan SUN dan/atau SBSN melalui lelang yang selama ini masih belum cukup menutupi kebutuhan operasi moneter. Kewenangan BI untuk membeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana sebagaimana diatur dalam Lampiran UU 2/2020 dilaksanakan dengan tetap menjaga independensi BI. Pasal 23D UUD 1945 jo. Pasal 4 ayat (2) UU BI telah mengatur bahwa BI merupakan lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pemerintah dan/atau pihak lain. Pelaksanaan tugas dan wewenang BI akan tetap berjalan secara efektif dengan berlakunya ketentuan dalam Lampiran UU 2/2020. BI dan Pemerintah selalu melakukan koordinasi dalam memutuskan jenis, jumlah, dan waktu yang tepat untuk melakukan penerbitan oleh Pemerintah dan pembelian 191 SUN dan/atau SBSN oleh BI dengan mempertimbangkan kebijakan BI dan kebutuhan Pemerintah. Koordinasi tersebut dilaksanakan melalui skema Burden sharing antara Pemerintah dengan BI. Burden sharing antara Pemerintah dan BI diatur dalam Surat Keputusan Bersama antara Menteri Keuangan dan Gubernur BI tanggal 7 Juli 2020. Skema burden sharing dibagi menjadi tiga kategori yaitu yang seluruh kuponnya ditanggung BI, ditanggung bersama Pemerintah dan BI dan ditanggung Pemerintah seluruhnya. Pembayaran kupon sebesar BI reverse rate atas pembelian SUN sebesar Rp397,56T untuk pembiayaan public goods ditanggung seluruhnya oleh BI. SUN untuk pembiayaan non-public goods UMKM sebesar Rp123,46T dan non-public goods Korporasi Rp53,57T ditetapkan bersama BI dan Pemerintah, dan yang ditanggung Pemerintah untuk pembiayaan non-public goods . SUN dan/atau SBSN yang dibeli BI untuk public goods dialokasikan sebesar Rp397,56T dengan suku bunga BI reverse rate ditanggung BI, sedangkan untuk pembiayaan non-public goods UMKM dialokasikan sebesar Rp123,46T dan untuk non-public goods korporasi sebesar Rp53,57T pembayaran kupon ditanggung pemerintah sebesar BI reverse repo rate 3 bulan dikurangi 1%, dan sisanya ditanggung oleh BI. Untuk non-public goods lainnya, dialokasikan SUN dan/atau SBSN sebesar Rp328,87T yang kuponnya akan ditanggung seluruhnya oleh Pemerintah sebesar market rate . __ Skema burden sharing dimaksud dapat dijelaskan sesuai gambar berikut: Gambar 5 : Skema Burden Sharing antara Pemerintah dan Bank Indonesia 192 Untuk menjamin independensi dalam pelaksanaan tugas BI, Pemerintah juga tetap diwajibkan untuk terlebih dahulu berkonsultasi dengan Bl sebelum menerbitkan SUN dan/atau SBSN sesuai dengan amanat ketentuan Pasal 55 UU BI. Konsultasi tersebut diperlukan agar penerbitan SUN dan/atau SBSN dapat dilakukan secara tepat waktu dan tidak berdampak negatif terhadap kebijakan moneter. Perlu dicermati pula bahwa SUN dan/atau SBSN yang diterbitkan oleh Pemerintah tidak wajib untuk dibeli oleh BI. Rumusan-rumusan ketentuan dalam Lampiran UU 2/2020 terkait kewenangan BI untuk membeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana memuat kata “dapat” . Penggunaan frasa "dapat" dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) huruf f dan Pasal 19 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 dimaknai bahwa tidak ada unsur kewajiban bagi Bl yang dapat menghilangkan independensi Bl sebagai bank sentral untuk memutuskan pembelian SUN dan/atau SBSN di pasar perdana. Pembelian SUN dan/atau SBSN didasarkan sesuai pertimbangan Bl dalam menjalankan tugasnya. Bl tetap memiliki kewenangan penuh dalam menetapkan kebijakan terkait pembelian SUN dan/atau SBSN di pasar perdana dengan mempertimbangkan keseluruhan kebijakan moneter Bl dan kebutuhan pemulihan ekonomi nasional. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa rumusan dan substansi ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) huruf f, Pasal 16 ayat (1) huruf c, dan Pasal 19 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 tetap menjunjung tinggi dan sejalan dengan independensi Bl dalam menjalankan tugasnya. Untuk menjamin adanya harmonisasi dengan peraturan-perundangan yang telah ada sebelumnya, dan untuk mencegah adanya dualisme pengaturan, perlu Pemerintah sampaikan pula bahwa ketentuan Pasal 55 UU BI yang mengatur larangan bagi BI untuk membeli Surat Berharga Negara di pasar perdana dinyatakan tidak berlaku berdasarkan ketentuan Pasal 18 angka 2 Lampiran UU 2/2020. Agar pelaksanaan Lampiran UU 2/2020 serta Keputusan Bersama Menteri Keuangan dan Gubernur BI Nomor 190/KMK.08/2020 dan Nomor 22/4/KEP.GBI/2020 tanggal 16 April 2020 tetap sejalan dengan independensi Bl sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 23D UUD 1945 dan UU Bl, Bl telah menetapkan 2 (dua) aspek governance dalam pelaksanaannya yaitu:
Pembelian SUN dan/atau SBSN di pasar perdana oleh Bl diatur dalam suatu Peraturan Dewan Gubernur dengan menerapkan prinsip: 193 a) mengutamakan mekanisme pasar; b) mempertimbangkan dampaknya terhadap inflasi secara terukur; c) SUN dan/atau SBSN yang dapat dibeli oleh Bl bersifat tradable dan marketable ; dan d) Bl sebagai pembeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana merupakan last resort dalam hal kapasitas pasar tidak mampu menyerap dan/atau menyebabkan kenaikan yield yang terlalu tinggi.
Penetapan kebijakan ( decision making process ) untuk pembelian SUN dan/atau SBSN berjangka panjang di pasar perdana oleh Bl ditetapkan dalam Rapat Dewan Gubernur yang merupakan forum pengambilan keputusan tertinggi untuk menetapkan kebijakan Bl yang bersifat prinsipil dan strategis sebagaimana diatur dalam Pasal 43 UU Bl. Dengan adanya ketentuan last resort , memperlihatkan bahwa masuknya BI untuk membeli SUN dan/SBSN yang diterbitkan oleh pemerintah merupakan upaya gotong royong organ negara, dalam hal ini pemerintah dan BI, untuk mencegah terjadinya krisis ekonomi.
Penyesuaian Mandatory Spending Dana Desa Sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) huruf b Lampiran UU 2/2020, Pemerintah memiliki kewenangan untuk melakukan penyesuaian besaran belanja wajib ( mandatory spending ) sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang- undangan terkait. Dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) huruf b Lampiran UU 2/2020 disebutkan bahwa salah satu mandatory spending yang dapat disesuaikan adalah anggaran Dana Desa sebesar 10% dari dan di luar dana Transfer Daerah, yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa). Sebagai bentuk harmonisasi atas ketentuan tersebut, dalam Pasal 28 angka 8 Lampiran UU 2/2020 diatur bahwa ketentuan Pasal 72 ayat (2) UU Desa beserta Penjelasannya dinyatakan tidak berlaku. Berlakunya ketentuan Pasal 28 angka 8 Lampiran UU/2020 tidak dapat dimaknai bahwa Pemerintah akan menghapuskan alokasi anggaran Dana Desa dari APBN pada tahun 2020 dan tahun-tahun mendatang, sebagaimana dipahami Para Pemohon. Di TA 2020 dan UU APBN TA 2021, Dana Desa berturut-turut dialokasikan sebesar Rp71,2 T dan Rp72 T. Hal ini ditunjukkan dengan tetap dipertahankannya ketentuan Pasal 72 ayat (1) huruf b UU Desa yang mengatur bahwa salah satu sumber pendapatan desa adalah alokasi dari APBN (Dana Desa). 194 Pada prinsipnya, Pemerintah tetap berkomitmen untuk mendukung pelaksanaan pembangunan desa dan menjadikan desa sebagai tonggak pembangunan dengan terus mengalokasikan Dana Desa dalam APBN. Sampai dengan tahun 2020, Dana Desa tetap menjadi sumber penerimaan terbesar dalam APBDesa. Sejak awal implementasinya di tahun 2015, Dana Desa telah membawa perubahan besar bagi kehidupan masyarakat desa terutama pada peningkatan jumlah infrastruktur publik yang sangat signifikan. Dapat Pemerintah sampaikan pula bahwa dalam 5 tahun terakhir, juga terjadi perbaikan rasio gini pedesaan dari 0,34 (2014) menjadi 0,32 (2018). Perbaikan yang sama juga terjadi pada jumlah penduduk miskin pedesaan yang menurun dari 17,7 juta jiwa (2014) menjadi 15,5 juta jiwa (2018). Pada tahun 2020, Pemerintah juga tetap mengalokasikan pagu Dana Desa dalam APBN Tahun Anggaran 2020 walaupun telah dilakukan penyesuaian terhadap besaran alokasinya. Sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2020 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020, Pemerintah telah menyesuaikan pagu Dana Desa yang semula Rp72,0 triliun menjadi Rp71,19 triliun atau turun sebesar Rp810 miliar. Penyesuaian pagu dilakukan dengan mempertimbangkan proyeksi penghematan karena kapasitas penyerapan oleh desa. Perlu Pemerintah jelaskan bahwa ketentuan mengenai Dana Desa sesuai UU Desa yang dirujuk oleh Para Pemohon perkara Nomor 47/PUU-XVIII/2020 adalah sebagai berikut:
Pasal 72 ayat (1) huruf b UU Desa mengatur bahwa “Pendapatan Desa bersumber dari alokasi APBN” b. Pasal 72 ayat (2) UU Desa “alokasi APBN tersebut bersumber dari Belanja Pusat dengan mengefektifkan program yang berbasis desa secara merata dan berkeadilan” c. Penjelasan Pasal 72 ayat (2) “Besaran alokasi anggaran yang peruntukannya langsung ke Desa ditentukan 10% dari dan di luar dana Transfer Daerah (on top) secara bertahap” Ketentuan dalam Pasal 72 ayat (2) UU 6/2014 di atas selanjutnya dinyatakan tidak berlaku sepanjang berkaitan dengan kebijakan keuangan negara untuk pencegahan 195 dan/atau penanganan Covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan sesuai dengan ketentuan pada Pasal 28 angka 8 Lampiran UU 2/2020. Dapat Pemerintah sampaikan bahwa ketentuan Pasal 28 angka 8 Lampiran UU 2/2020 dimaksudkan untuk menyatakan tidak berlakunya ketentuan mandatory spending alokasi Dana Desa sebesar 10% dari belanja pemerintah pusat, sebagaimana yang disebutkan dalam Penjelasan Pasal 72 ayat (2) UU 6/2014. Ketidakberlakuan ketentuan mandatory spending dana desa bersifat temporary . Dengan adanya penyesuaian mandatory spending dana desa, Pemerintah dapat memiliki fleksibilitas dalam melakukan refocusing belanja untuk mencegah, menangani, dan memulihkan dampak pandemi Covid-19. Dengan adanya mandat ini maka untuk menjamin fleksibilitas penggunaan dana desa dalam rangka sepanjang masih terdapat kebutuhan untuk penanganan Covid-19 di daerah/desa maka Pasal 72 ayat (2) harus dinyatakan tidak berlaku sehingga tidak terdapat dualisme aturan. Sebagaimana diketahui, dalam rangka penanganan dan penanggulangan dampak pandemi Covid-19, Pemerintah diberikan diskresi untuk dapat menempatkan program-program berbasis desa pada pos Belanja Pusat (Belanja Kementerian/Lembaga) sepanjang program dimaksud bertujuan untuk penanganan pandemi Covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Berkenaan hal tersebut, kebijakan penggunaan Dana Desa juga diarahkan untuk penanganan Covid-19 dan pemberian Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin terdampak desa. Untuk itu, pemerintah perlu melakukan penyesuaian mandatory spending Dana Desa agar pelaksanaan program Pemerintah dapat dilakukan lebih efektif, efisien, dan tepat sasaran mengingat penyebaran dampak pandemi Covid-19 bersifat masif di seluruh wilayah Indonesia. Terkait dalil Para Pemohon yang menyatakan bahwa pemberlakuan Pasal 28 angka 8 Lampiran UU 2/2020 tidak sinkron dengan ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) huruf l Lampiran UU 2/2020, dapat Pemerintah jelaskan bahwa dua pasal tersebut sudah sinkron satu sama lain. Penyesuaian penggunaan dan besaran alokasi Dana Desa dengan pencabutan Pasal 72 ayat (2) UU 6/2014 bertujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dalam upaya penyelamatan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. 196 5) Penggunaan Dana Abadi Para Pemohon perkara 37/PUU-XVIII/2020 dalam dalilnya menyatakan Pemerintah dapat menggunakan dana yang bersumber dari dana abadi pendidikan untuk penanganan Covid-19 sehingga bertentangan dengan esensi dari dana abadi pendidikan. Terkait hal tersebut, dapat Pemerintah sampaikan bahwa ketentuan Pasal 2 ayat (1) huruf e angka 2 UU 2/2020 mengatur bahwa dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara untuk penanganan pandemi Covid-19 dan/atau menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan, Pemerintah berwenang untuk menggunakan anggaran yang bersumber dari dana abadi dan akumulasi dana abadi pendidikan . Bahwa penggunaan dana abadi sebagai sumber pembiayaan APBN tahun berjalan merupakan salah satu opsi yang dipersiapkan pemerintah dalam penanganan pandemi Covid-19. Opsi tersebut hanya akan dipergunakan apabila seluruh pembiayaan lain yang tersedia tidak memenuhi kebutuhan pembiayaan pemerintah dalam penanganan pandemi Covid-19. Namun demikian, pemanfaatannya akan tetap memperhitungkan efektivitas dan ketepatan dibandingkan dengan sumber- sumber lain yang ada. Terkait dengan hal tersebut, hingga saat ini Pemerintah belum berencana menggunakan sumber pembiayaan dari dana abadi dan akumulasi dana abadi pendidikan untuk penanganan Covid-19. Dalam hal akan digunakan, maka penggunaan dana abadi dan akumulasi dana abadi pendidikan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 ayat (1) huruf e angka 2 Lampiran UU 2/2020 dilakukan dengan cara private placement melalui pembelian surat berharga negara. Dengan demikian, dana abadi dan akumulasi dana tersebut tidak akan digunakan sebagai belanja namun lebih kepada investasi melalui pembelian SBN/SBSN tersebut. Berdasarkan penjelasan tersebut maka kekhawatiran Pemohon mengenai penggunaan dana abadi yang bertentangan dengan esensi dari dana pendidikan itu sendiri tidak perlu lagi dipermasalahkan, dikarenakan dana abadi masih tetap utuh dan tidak digunakan sebagai belanja.
Kebijakan di Bidang Keuangan Daerah Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 18 UUD 1945, Pemerintah Daerah telah diberikan kewenangan untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan 197 menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi yang seluas- luasnya kepada daerah diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda). Penjelasan umum UU Pemda menyatakan bahwa pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah dilaksanakan berdasarkan prinsip negara kesatuan. Dalam negara kesatuan, kedaulatan hanya ada pada pemerintahan negara atau pemerintahan nasional dan tidak terdapat kedaulatan pada pemerintahan daerah. Oleh karena itu, seluas apapun otonomi yang diberikan kepada daerah, tanggung jawab akhir penyelenggaraan pemerintahan daerah akan tetap ada di tangan pemerintah pusat. Untuk itu pemerintahan daerah pada negara kesatuan merupakan satu kesatuan dengan pemerintahan nasional. Kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan oleh daerah merupakan bagian integral dari kebijakan nasional. Pembedanya, terletak pada bagaimana memanfaatkan kearifan, potensi, inovasi, daya saing, dan kreativitas daerah untuk mencapai tujuan nasional tersebut di tingkat lokal yang pada gilirannya akan mendukung pencapaian tujuan nasional secara keseluruhan. Pada kondisi pandemi Covid-19, hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan kebijakan keuangan di daerah adalah kecepatan dan ketepatan untuk menyesuaikan anggaran sehingga tepat sasaran. Lebih lanjut, berdasarkan dengan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (UU Keuangan Negara), kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan, telah diserahkan kepada kepada gubernur/bupati/wali kota untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili Pemerintah Daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan. Namun demikian, dalam pelaksanaannya, penyelenggaraan pemerintahan daerah, termasuk keuangan daerah, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam UU Pemda sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015. Dalam ketentuan Pasal 9 ayat (2) UU Pemda disebutkan urusan absolut adalah urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat. Lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf e UU Pemda disebutkan jika salah satu urusan pemerintahan absolut tersebut adalah urusan moneter dan fiskal nasional. Dalam menangani pandemi Covid-19 dan menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan, kebijakan yang diterapkan di bidang keuangan negara yang memberikan relaksasi 198 untuk refocusing APBN, sudah seharusnya juga diterapkan pada pemerintahan daerah, khususnya dalam hal relaksasi untuk refocusing APBD. Oleh karena itu, kebersamaan dan gotong royong oleh pemerintah pusat dan Pemerintah Daerah dapat menuntaskan permasalahan kesehatan dan ekonomi dampak Covid-19. Sesuai ketentuan Pasal 8 UU Pemda, telah diatur bahwa pembinaan dan pengawasan terhadap urusan penyelenggaraan pemerintahan oleh daerah dikoordinasikan oleh Menteri Dalam Negeri. Hal tersebut dapat menjadi landasan Kementerian Dalam Negeri untuk memberikan petunjuk/pedoman tentang keuangan daerah kepada Pemerintah Daerah agar penggunaan realokasi/ refocusing seragam dan terarah bagi seluruh daerah. Sebagaimana telah diatur dalam Pasal 280 UU Pemda, dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang diserahkan dan/atau ditugaskan, penyelenggara pemerintahan daerah memiliki kewajiban dalam pengelolaan keuangan daerah antara lain meliputi sinkronisasi pencapaian sasaran program daerah dalam APBD dengan program pemerintah pusat. Sejalan dengan hal tersebut, guna mencapai penanganan yang bersifat holistik dan terpadu atas pandemi Covid-19 dan dampaknya, maka diperlukan pula peran daerah melalui APBD. Untuk itu, Pemerintah Daerah diberikan kewenangan untuk melakukan refocusing , perubahan alokasi dan penggunaan APBD. Dalam rangka memberikan pedoman/ guidance kepada Pemerintah Daerah, maka Kemendagri telah menerbitkan Permendagri Nomor 39 Tahun 2020 tentang Pengutamaan Penggunaan Alokasi Anggaran Untuk Kegiatan Tertentu, Perubahan Alokasi dan Penggunaan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah yang mengatur ketentuan umum dan teknis pelaksanaan refocusing , perubahan alokasi, dan penggunaan APBD untuk penanganan pandemi Covid-19 beserta dampaknya di daerah. Dengan demikian, Permendagri tersebut tidak akan mendikte Pemerintah Daerah dalam melakukan refocusing , perubahan alokasi dan penggunaan APBD, melainkan sebatas memberikan petunjuk dan menciptakan keseragaman tindak lanjut kedaruratan dalam melakukan refocusing guna mencapai tujuan nasional. Selain itu, dengan tidak diajukannya pengujian ketentuan Pasal 3 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 oleh Pemohon, maka Pemohon telah menyadari dan memahami bahwa pemberian kewenangan kepada daerah untuk melakukan refocusing , perubahan 199 alokasi, dan penggunaan APBD, merupakan kebijakan yang penting dan diperlukan Pemerintah Daerah dalam penanganan dampak Covid-19.
Pelaksanaan Kebijakan Keuangan Negara a) Tata Kelola yang Baik Dalam Pelaksanaan Kebijakan Keuangan Negara Pengambilan keputusan dan penggunaan dana APBN sebagai pelaksanaan Perppu 1/2020 justru dilaksanakan secara terbuka dan menjaga tata kelola yang baik. Sebagai bentuk pertanggungjawaban atas pengelolaan APBN, LKPP yang memuat pelaksanaan kebijakan keuangan negara dalam Perppu 1/2020, juga akan diaudit oleh BPK sesuai kewenangan BPK pada Pasal 6 UU BPK. Atas hasil pemeriksaan dimaksud, akan disampaikan kepada DPR sebagai wakil rakyat sesuai dengan ketentuan Pasal 17 UU Nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Selanjutnya, untuk memastikan bahwa semua instrumen kebijakan keuangan negara berupa Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) difokuskan pada penanganan pandemi Covid-19 dan dampaknya, Pemerintah Daerah juga diwajibkan untuk menyampaikan laporan penggunaan dana/penyesuaian APBD kepada Pemerintah Pusat. Pemerintah Pusat melakukan monitoring atas laporan yang disampaikan Pemerintah Daerah. Dalam hal Pemerintah Daerah tidak menyampaikan laporan penggunaan atau penyesuaian APBD maka Pemerintah Daerah dapat diberikan sanksi berupa penundaan penyaluran atas TKDD tersebut. Dengan demikian, telah jelas bahwa pengelolaan APBN yang didasarkan pada kebijakan dalam Perppu 1/2020 akan tetap dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Sebagai bentuk transparansi atas penggunaan anggaran, Pemerintah juga telah menyampaikan informasi perkembangan penggunaan anggaran kepada masyarakat. Selain itu, Pemerintah telah menyampaikan kepada publik melalui konferensi pers serta memberikan laporan terkait penyerapan anggaran secara rutin kepada DPR. Terhadap dalil Pemohon dalam perkara Nomor 37/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan bahwa Pasal 12 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena pelaksanaan kebijakan keuangan negara tidak menggunakan rekening khusus, dapat Pemerintah sampaikan bahwa dalam tata kelola penganggaran, Pemerintah telah menetapkan 200 akun khusus belanja Covid-19 sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 2 ayat (3) PMK Nomor 43 Tahun 2020 sehingga seluruh belanja yang terkait dengan penanganan Covid-19 dapat dilakukan monitoring penggunaan anggaran penanganan Covid-19. Selain itu, Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara juga telah menerbitkan rekening khusus untuk menampung dan mengelola hasil penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) yang dibeli oleh Bank Indonesia untuk pembiayaan Program PEN sebagaimana diatur dalam PMK Nomor 103/PMK.05/2020 tentang Tata Cara Pengelolaan Rekening Khusus Dalam Rangka Pembiayaan Penanganan Dampak Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID- 19) Dan Pemulihan Ekonomi Nasional dan PMK Nomor 104/PMK.05/2020 tentang Penempatan Dana Pada Bank Peserta Dalam Rangka Program Pemulihan Ekonomi Nasional. Hal ini menunjukkan bahwa Pemerintah telah dan akan terus melakukan upaya-upaya penerapan tata kelola yang baik dalam pelaksanaan kebijakan- kebijakan di bidang keuangan negara. b) Perubahan Postur dan/atau Rincian APBN Diatur Dengan Peraturan Presiden Lampiran UU 2/2020 mengatur hal-hal terkait pelebaran defisit anggaran, realokasi dan refocusing anggaran, serta penetapan sumber-sumber pembiayaan. Lampiran UU 2/2020 secara substansi telah mengatur perubahan/penyesuaian terhadap UU APBN 2020, yang postur dan rinciannya kemudian ditetapkan dalam Peraturan Presiden. Amanat UU 2/2020 untuk menetapkan postur APBN dalam Peraturan Presiden dengan mendasarkan kewenangan atribusi dalam Pasal 22 UUD 1945 karena adanya kondisi mendesak hanya untuk tahun anggaran 2020 yang tidak memungkinkan melalui proses normal. Untuk Tahun Anggaran Tahun 2021, Pemerintah akan membahas postur APBN bersama dengan DPR sebagaimana pada keadaan normal. Ketentuan Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 sama sekali tidak menghilangkan peran dan fungsi DPR, karena dengan telah disetujui dan ditetapkannya Perppu 1/2020 menjadi UU 2/2020, telah menunjukkan bahwa perubahan postur dan/atau rincian APBN dengan Peraturan Presiden yang diatur dalam ketentuan Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 tersebut telah mendapat persetujuan DPR. Selain itu, dalam pembentukan Peraturan Presiden tentang perubahan postur dan/atau rincian APBN, Pemerintah selalu mengkomunikasikannya dan melakukan pembahasan bersama dengan DPR. DPR dapat memberikan masukan dan rekomendasi kepada 201 Pemerintah terkait postur dan/atau rincian APBN tersebut. Oleh karena itu, Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 yang mengatur bahwa perubahan postur dan/atau rincian APBN dilakukan dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden, sama sekali tidak menghilangkan peran dan fungsi DPR. Pengaturan perubahan postur dan/atau rincian APBN dalam ketentuan Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 telah diselaraskan dengan dicabutnya ketentuan Pasal 27 ayat (3) UU Keuangan Negara, Pasal 177 huruf c angka 2 dan Pasal 182 UU MD3, serta Pasal 40 UU APBN 2020 ( vide ketentuan Pasal 28 angka 3, 10, dan 12 Lampiran UU 2/2020). Pencabutan berbagai ketentuan yang diatur dalam Pasal 28 angka 3, 10, dan 12 Lampiran UU 2/2020 tersebut, merupakan upaya harmonisasi agar tidak ada dualisme aturan atas satu permasalahan. Dengan demikian, ketentuan Pasal 28 angka 3, 10, dan 12 Lampiran UU 2/2020 telah memberikan kepastian hukum atas pelaksanaan ketentuan Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020, yaitu bahwa perubahan postur dan/atau rincian APBN dilakukan dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden.
Kebijakan Stabilitas Sistem Keuangan Terhadap dalil Para Pemohon perkara Nomor 42/PUU-XVIII/2020 terkait dengan Pasal 14 Lampiran UU 2/2020, dapat Pemerintah jelaskan bahwa Pasal 14 Lampiran UU 2/2020 mengatur kebijakan stabilitas sistem keuangan untuk penanganan permasalahan lembaga keuangan yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan di tengah-tengah kondisi terjadinya pandemi Covid-19. Sebagaimana diketahui, pandemi Covid-19 tidak hanya berdampak pada masalah kesehatan dan keselamatan jiwa manusia namun juga secara nyata menyebabkan pemburukan perekonomian sehingga pertumbuhan ekonomi mengalami kontraksi (minus) 5,32% pada Kuartal II 2020. Pemburukan ekonomi secara pasti akan mempengaruhi stabilitas sektor keuangan sehingga perlu mitigasi bersama oleh Pemerintah melalui koordinasi kebijakan dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Dalam melakukan mitigasi tersebut, Pemerintah bersama dengan BI, OJK, dan LPS sebagai otoritas yang memiliki fungsi masing-masing dalam menjaga stabilitas sistem keuangan perlu menetapkan kebijakan untuk melakukan tindakan antisipasi ( forward looking ) untuk mencegah terjadinya krisis yang mengancam stabilitas sistem keuangan. Mengingat pentingnya stabilitas sistem keuangan yang dapat berdampak terhadap kepercayaan publik dan stabilitas sistem keuangan maka dalam Lampiran UU 202 2/2020 diatur instrumen untuk upaya penyelamatan. Hal tersebut bertujuan agar tidak menimbulkan efek domino pada sektor keuangan yang dapat mengakibatkan krisis lanjutan dan menambah beban pemerintah. Dapat Pemerintah sampaikan pula bahwa kebijakan stabilitas sistem keuangan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 14 sampai dengan Pasal 26 Lampiran UU 2/2020 disusun bersama oleh Pemerintah, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan dan Lembaga Penjamin Simpanan sesuai dengan kewenangannya. Adapun ketentuan-ketentuan pasal yang terkait dengan kewenangan BI, OJK, dan LPS dirumuskan oleh masing-masing lembaga dan diputuskan dengan memperhatikan batasan kewenangan dan tanggung jawab masing-masing lembaga baik secara individual maupun dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan. Hal ini dapat terlihat dari ketentuan Pasal 18 ayat (4) dan Pasal 19 ayat (3) Lampiran UU 2/2020 yang memberikan amanat kepada Menteri Keuangan dan Gubernur BI untuk secara bersama menyusun ketentuan lebih lanjut.
Kewenangan LPS Memperoleh Pinjaman dari Pihak Lain Dapat Pemerintah sampaikan terlebih dahulu bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 (“UU LPS”), LPS merupakan lembaga yang independen. Sesuai ketentuan tersebut, telah jelas bahwa kedudukan LPS merupakan lembaga independen, bukan merupakan lembaga yang berada di bawah pemerintah. Pemberian kewenangan kepada LPS sebagaimana yang tercantum dalam Lampiran UU 2/2020, pada prinsipnya merupakan kewenangan yang telah diberikan oleh UU LPS, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (“UU OJK”), dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (“UU PPKSK”). Kewenangan LPS dalam peraturan perundang-undangan tersebut adalah sebagai berikut:
melakukan persiapan penanganan dan peningkatan persiapan intensitas ( vide Pasal 21 ayat (1) s.d. ayat (4) UU PPKSK dan Pasal 42 UU OJK);
melakukan tindakan terkait pendanaan termasuk dalam hal LPS mengalami kesulitan likuiditas untuk penanganan bank yang mengalami permasalahan 203 solvabilitas ( vide Pasal 82 jis. Pasal 85 UU LPS, Pasal 27 UU PPKSK, dan Pasal 42 UU APBN);
melakukan pengambilan keputusan untuk menyelamatkan atau tidak menyelamatkan bank gagal ( vide Pasal 22 jis. Pasal 23 UU LPS dan Pasal 22 UU PPKSK);
merumuskan dan melaksanakan kebijakan penjaminan simpanan untuk kelompok nasabah tertentu, dengan mempertimbangkan sumber dana, peruntukan simpanan, serta besaran nilai yang dijamin yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ( vide Pasal 11 UU LPS). Kewenangan yang diberikan kepada LPS sesuai Pasal 20 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 sifatnya lebih mempertegas guna mendukung pelaksanaan fungsi LPS dalam kondisi adanya pandemi Covid-19 dan/atau adanya ancaman perekonomian dan/atau stabilitas sistem keuangan. Kewenangan tersebut sudah jelas melekat dan seharusnya diberikan kepada LPS untuk dapat melaksanakan fungsi LPS sebagaimana diatur dalam UU LPS, yaitu menjamin simpanan nasabah penyimpan dan menjaga stabilitas sistem perbankan. Pemberian kewenangan bagi LPS untuk melaksanakan langkah-langkah penanganan permasalahan stabilitas sistem keuangan juga diiringi dengan wewenang bagi Pemerintah untuk mengatur lebih lanjut pelaksanaan kewenangan tersebut dalam Peraturan Pemerintah (vide Pasal 20 ayat (2) Lampiran UU 2/2020). Adanya atribusi dan mandat untuk melakukan pengaturan dalam peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dimaksudkan untuk memberikan koridor dalam pelaksanaan kewenangan LPS. Hal tersebut dimaksudkan selain untuk memberikan kepastian hukum, juga untuk menghindari LPS menginterpretasikan kewenangan yang diberikan dalam Lampiran UU 2/2020 secara luas yang dapat mengakibatkan penyalahgunaan wewenang. Berdasarkan Pasal 82 UU LPS, kekayaan LPS dapat berbentuk investasi dan bukan investasi, dimana kekayaan yang berbentuk investasi hanya dapat ditempatkan pada surat berharga yang diterbitkan oleh Pemerintah Indonesia dan/atau Bank Indonesia. Dengan terbitnya UU 2/2020, LPS tidak/belum memastikan berapa jumlah dana yang dibutuhkan dan kapan dana tersebut harus tersedia untuk penanganan Bank, baik itu Bank Sistemik maupun Bank Selain Bank Sistemik. Dengan adanya pemberian tambahan alternatif pendanaan bagi LPS, diharapkan dapat memperluas akses LPS kepada sumber-sumber dana yang relatif cepat 204 dengan jumlah lebih besar dari kas LPS yang tersedia (likuiditas) pada situasi dan kondisi tertentu. Tambahan alternatif pendanaan tersebut juga mengantisipasi kondisi pasar dan industri yang sedang atau berpotensi mengalami turbulensi dimana transaksi LPS dalam jumlah tertentu selain menambah tekanan kepada pasar juga berpotensi menimbulkan kegaduhan khususnya di industri perbankan. Selain itu pasar juga belum tentu mampu menyediakan likuiditas dalam jumlah dan waktu yang sesuai dengan kebutuhan LPS, sehingga LPS berpotensi terpapar risiko likuiditas dan penurunan harga yang signifikan. Oleh karena itu dibutuhkan proses transaksi dengan pihak- pihak yang dianggap mempunyai kemampuan pendanaan yang memadai dalam jumlah dan waktu yang sesuai dengan kebutuhan LPS serta paling sedikit menimbulkan kegaduhan di market dan industri. Pihak yang dianggap dapat memenuhi kebutuhan LPS tersebut salah satunya adalah BI. Transaksi SBN milik LPS secara langsung kepada BI sudah diatur dalam UU PPKSK namun hanya untuk (i) penjualan SBN untuk penanganan Bank Sistemik, baik dalam kondisi normal atau kondisi krisis, dan (ii) untuk penyelesaian Bank Selain Bank Sistemik pada kondisi krisis (vide Pasal 27 ayat (2) jo Pasal 37 ayat (2) UU PPKSK). Pengaturan dalam pasal 20 ayat (1) huruf b UU 2/2020 yang menyatakan bahwa LPS diberikan kewenangan untuk melakukan tindakan (i) penjualan/repo SBN yang dimiliki kepada Bank Indonesia; (ii) penerbitan surat utang; (iii) pinjaman kepada pihak lain; dan/atau (iv) pinjaman kepada Pemerintah, dalam hal LPS diperkirakan akan mengalami kesulitan likuiditas untuk penanganan Bank Gagal, selain memberikan alternatif sumber pendanaan bagi LPS yang berlaku, baik untuk Bank Sistemik dan Bank Selain Bank Sistemik juga diharapkan dapat memberikan waktu yang cukup bagi LPS dalam mempersiapkan sumber dana tersebut sebelum terdapat Bank Gagal. Transaksi antara LPS dengan BI sebagai salah satu langkah untuk pemenuhan likuiditas LPS yang diperluas sehingga LPS selain dapat melakukan penjualan SBN miliknya, juga dapat melakukan transaksi Repo. Selain penjualan dan/atau repo kepada BI, LPS juga mempunyai alternatif pendanaan berupa pinjaman kepada pihak lain yang dimaksudkan untuk menjaring pihak-pihak (dalam dan/atau luar negeri) yang mempunyai kemampuan pendanaan sehingga tersedia alternatif 205 pendanaan yang lebih luas bagi LPS. Pinjaman LPS dari pihak lain merupakan salah satu opsi untuk menjaga likuiditas sehingga pemanfaatan dana tersebut untuk melaksanakan tugas dan fungsi LPS sebagai lembaga resolusi perbankan dalam hal terdapat Bank Gagal sesuai tata kelola yang diatur dalam UU LPS. Pinjaman kepada pihak lain dapat dilakukan dengan mempertimbangkan:
tidak adanya konflik kepentingan dengan pelaksanaan tugas dan fungsi LPS; dan
tidak menimbulkan persepsi negatif dan mengurangi kepercayaan masyarakat kepada LPS. Pemberian kewenangan kepada LPS yang diatur dalam Pasal 20 ayat (1) huruf b angka 1 dan 3 Lampiran UU 2/2020 telah sejalan dengan prinsip-prinsip yang diterbitkan oleh International Association of Deposit Insurers (IADI) yaitu:
Core Principles for Effective Deposit Insurance Systems Dalam Principle 9 - Sources and Uses of Funds, dinyatakan sebagai berikut: “The deposit insurer should have readily available funds and all funding mechanisms necessary to ensure prompt reimbursement of depositors’ claims, including assured liquidity funding arrangements. Responsibility for paying the cost of deposit insurance should be borne by banks.” Selanjutnya, dalam angka 4 kriteria esensial dinyatakan sebagai berikut: “ Emergency funding arrangements for the deposit insurance system, including pre-arranged and assured sources of liquidity funding, are explicitly set out (or permitted) in law or regulation. Sources may include a funding agreement with the government, the central bank or market borrowing. If market borrowing is used it is not the sole source of funding. The arrangement for emergency liquidity funding is set up in advance, to ensure effective and timely access when required.” 2) Guidance Paper IADI tentang “Enhanced Guidance for Effective Deposit Insurance Systems: Ex Ante Funding” yang diterbitkan Juni 2015 Sources of Funds for Deposit Insurance Systems, External funds – liquidity funding , dinyatakan sebagai berikut: “The predominant source is borrowing from the government. Another option is to seek funding from private sources, for instance through borrowing from commercial lenders or issuing debt securities in the capital market. However, this option is feasible only when market conditions permit. In some cases, syndicated loans from foreign institutions or supranational organizations might be used.” 206 For effectiveness, deposit insurers with the power to borrow or raise funds from public and private sources should consider an appropriate sequencing for funds usage. Internal funds from the deposit insurer’s reserve funds should be used first. If internal funds prove insufficient, financing could also be obtained directly from the market, particularly if the amount to be financed would have a negligible impact on the financial system as a whole.” Dengan demikian, telah jelas bahwa kewenangan kepada LPS yang diatur dalam Pasal 20 ayat (1) huruf b angka 1 dan 3 Lampiran UU 2/2020 telah sejalan dengan prinsip-prinsip di atas dimana likuiditas merupakan komponen dalam kerangka pendanaan penjaminan simpanan. Selain itu, kerangka pemenuhan likuiditas penjamin simpanan perlu diatur dalam suatu undang-undang atau peraturan terkait dan pengaturannya harus disusun secara tepat untuk memastikan efektivitas serta dapat diakses secara tepat waktu, ketika dibutuhkan.
Kewenangan Pemerintah Untuk Memberikan Pinjaman kepada LPS Sesuai Pasal 20 ayat (1) jo. Pasal 24 ayat (1) Lampiran UU 2/2020, Pemerintah berwenang untuk memberikan pinjaman kepada LPS. Kewenangan Pemerintah tersebut pada prinsipnya telah pula diatur dalam UU LPS dan UU APBN TA 2020. Dalam Pasal 42 UU APBN TA 2020 telah diatur bahwa dalam hal LPS mengalami kesulitan likuiditas, Pemerintah dapat memberikan pinjaman kepada LPS setelah mendapatkan persetujuan dari DPR. Namun demikian, ketentuan pembahasan dengan DPR dalam Pasal 42 UU APBN TA 2020 tersebut dinyatakan tidak berlaku berdasarkan ketentuan Pasal 28 angka 12 Lampiran UU 2/2020. Pembahasan dengan DPR mengenai pemberian pinjaman LPS kepada Pemerintah sesuai Pasal 28 angka 12 UU 2/2020 khusus tahun anggaran 2020 dan sepanjang untuk penanganan pandemi Covid-19 tidak lagi dipersyaratkan termasuk pertimbangan DPD sebagaimana yang didalilkan oleh Pemohon Perkara Nomor 42/PUU- XVIII/2020. Berdasarkan Pasal 25 Lampiran UU 2/2020 telah diatur bahwa dilakukan apabila LPS mengalami kesulitan likuiditas yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan sebagai dampak pandemi Covid-19. Dalam kondisi akibat pandemi Covid-19, diperlukan percepatan dan pemenuhan syarat pemberian pinjaman dari Pemerintah kepada LPS sehingga perlu ada relaksasi atas aturan yang berlaku sebelumnya namun tetap dilakukan secara prudent . 207 Pinjaman oleh Pemerintah kepada LPS merupakan opsi terakhir dalam rangka penanganan kesulitan likuiditas LPS dan menghindarkan negara dari krisis ekonomi. Pasal 20 ayat (1) huruf b Lampiran UU 2/2020 mengatur bahwa LPS diberikan kewenangan untuk melakukan tindakan dalam hal diperkirakan akan mengalami kesulitan likuiditas untuk penanganan bank gagal, diantaranya adalah untuk melakukan pinjaman kepada Pemerintah. Pinjaman oleh LPS kepada Pemerintah melalui APBN merupakan jaring ke-4 (terakhir) dari pengaman sistem keuangan (bukan bail-out kepada industri). Peran Pemerintah dalam jaring ke-4 tersebut ditujukan untuk memastikan lembaga/otoritas terkait dapat menjalankan fungsi resolusi secara efektif, sehingga penggunaan dana publik ( taxpayer money ) untuk mengatasi permasalahan perbankan dapat terhindarkan. Opsi untuk melakukan pinjaman kepada Pemerintah tersebut dilakukan sebagai opsi terakhir dalam hal LPS telah melakukan opsi lain namun masih tidak dapat mencukupi kebutuhan likuiditasnya. Sebagaimana telah diatur dalam Pasal 83 s.d. Pasal 85 UU LPS. Berdasarkan ketentuan di atas, terlihat jelas bahwa perlu upaya-upaya yang harus dilakukan terlebih dahulu oleh LPS sebelum dapat meminta pinjaman dari Pemerintah untuk pelaksanaan fungsi dan tugas LPS. Di samping itu, dalam Pasal 27 UU PPKSK juga telah diatur secara jelas bahwa LPS harus menggunakan kekayaan yang dimilikinya terlebih dahulu secara optimal , sebelum menggunakan anggaran Pemerintah. Hal ini juga dipertegas dalam Pasal 39 UU PPKSK yang menyatakan bahwa dalam rangka penanganan krisis melalui Program Restrukturisasi Perbankan, dana yang digunakan LPS diupayakan secara maksimal tidak menggunakan anggaran Pemerintah. Apabila LPS menggunakan opsi terakhir tersebut untuk melakukan tugas dan fungsinya dalam menjamin simpanan bank dan penanganan permasalahan solvabilitas bank, biaya yang dikeluarkan LPS untuk melakukan tugas dan fungsinya tersebut bukanlah merupakan kerugian negara. Hal tersebut secara tegas juga telah dipertimbangkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 27/PUU- XII/2014 yang menyatakan bahwa: “ Atas dasar perintah dari Undang-Undang tersebut maka tindakan penjualan saham Bank Gagal oleh LPS tidak dapat dikategorikan sebagai tindakan/perbuatan pidana yang merugikan keuangan negara, selama 208 penjualan saham Bank Gagal dimaksud telah dilakukan secara terbuka dan transparan sebagaimana diatur dalam Pasal 42 ayat (2) UU LPS.” Pemberian pinjaman kepada LPS akan dilakukan dengan memperhatikan tata kelola yang baik dan prinsip-prinsip pemberian pinjaman serta melihat kebutuhan dan kemampuan debitur. Dalam implementasinya, untuk menjaga tata kelola pemberian pinjaman kepada LPS, dalam ketentuan Pasal 22 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 33 tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kewenangan Lembaga Penjamin Simpanan dalam Rangka Melaksanakan Langkah-Langkah Penanganan Permasalahan Stabilitas Sistem Keuangan, permohonan pinjaman harus disertai informasi bahwa LPS sudah mengupayakan seluruh sumber dana lainnya namun membutuhkan tambahan likuiditas dalam penyelesaian/penanganan Bank Gagal yang membahayakan perekonomian dan sistem keuangan. Berdasarkan dalil-dalil di atas, sangatlah tidak tepat dalil Pemohon pada Perkara Nomor 42/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan bahwa pelaksanaan ketentuan Pasal 20 Lampiran UU 2/2020 menyebabkan kerugian negara. Selain itu, yang dipermasalahkan oleh Pemohon merupakan ranah implementasi bukan masalah konstitusionalitas. Oleh karena itu, sudah sepatutnya pula Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa ketentuan Pasal 20 Lampiran UU 2/2020 tidak bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), (2), dan (3) UUD 1945.
Program Penjaminan Di Luar Program Penjaminan Simpanan Pasal 22 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 memberikan kewenangan bagi Pemerintah untuk menyelenggarakan program penjaminan di luar program penjaminan simpanan sebagaimana yang diatur dalam UU LPS. Ketentuan ini merupakan forward looking untuk memberikan legitimasi bagi Pemerintah dan untuk mengantisipasi apabila terjadi pemburukan perekonomian dan stabilitas sistem keuangan yang dapat mempengaruhi kepercayaan terhadap sektor keuangan sehingga diperlukan ketentuan yang mengatur kewenangan pemerintah untuk menyelenggarakan program penjaminan di luar penjaminan simpanan. Penyelenggaraan program tersebut dimaksudkan untuk mencegah krisis sistem keuangan yang dapat membahayakan perekonomian nasional. Program penjaminan di luar penjaminan simpanan akan dilakukan dengan sangat selektif hanya apabila sangat diperlukan untuk menghindarkan negara dari krisis. Selain itu, kebutuhan penyelenggaraan program penjaminan selain simpanan perlu dipertimbangkan terkait dengan fungsi bank sebagai intermediary . Selain dapat 209 memberikan rasa aman terhadap deposan seperti yang telah diatur dalam UU LPS, program penjaminan di luar program penjaminan simpanan dapat berfungsi menciptakan dan memelihara stabilitas sistem keuangan. Program penjaminan di luar program penjaminan simpanan simpanan bukan merupakan penjaminan terhadap seluruh kewajiban bank, melainkan penjaminan atas pinjaman antar bank (PUAB) dan kewajiban Bank atas transaksi perdagangan luar negeri ( trade finance ). Untuk menghindari kekhawatiran adanya penafsiran yang tidak berdasar terhadap pengaturan dalam Pasal 22 ayat (1) Lampiran UU 2/2020, telah terdapat pengaturan secara khusus di dalam Pasal 22 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 yang mengamanatkan pengaturan lebih lanjut mengenai objek penjaminan serta pihak yang akan menyelenggarakan penjaminan tersebut melalui Peraturan Pemerintah.
Kewenangan Otoritas Jasa Keuangan Pasal 23 ayat (1) jo. Pasal 26 Lampiran UU 2/2020 menegaskan dan memperkuat kewenangan OJK dalam memberikan perintah tertulis kepada lembaga jasa keuangan untuk melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, integrasi dan/atau konversi (P3IK) telah diberikan sesuai Pasal 9 UU OJK dan Pasal 19 UU PPKSK. Perintah tertulis merupakan salah satu bentuk pelaksanaan kewenangan OJK sebagai lembaga pengawas untuk mengawasi pemenuhan rasio kecukupan modal dan kecukupan likuiditas ditentukan pada kondisi individual bank. Perintah tertulis untuk melakukan P3IK diperlukan untuk meningkatkan resiliensi industri jasa keuangan dan memperkuat sistem keuangan dengan menciptakan struktur perbankan yang kuat, skala usaha yang lebih besar, serta daya saing yang tinggi. Perintah dimaksud bertujuan pula untuk mempercepat penanganan lembaga jasa keuangan yang bermasalah, melindungi nasabah, dan menjaga stabilitas sistem keuangan dalam hal pemegang saham tidak secara sukarela melakukan upaya untuk memperkuat modal. Kondisi modal dan kecukupan likuiditas tersebut diukur dengan parameter yang diatur dalam peraturan perundang-undangan antara lain POJK 11/POJK.03/2016 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum dan POJK 15/POJK.03/2017 tentang Penetapan Status dan Tindak Lanjut Pengawasan Bank Umum. P3IK merupakan salah satu upaya untuk memperkuat rasio kecukupan modal yang dapat dilakukan atas dasar inisiatif bank dan kantor cabang dari bank asing atau 210 tindakan pengawasan OJK ( vide Pasal 2 ayat (2) POJK 41/POJK.03/2019 tentang P3IK Bank Umum). Dalam hal terdapat permasalahan modal, bank diharapkan dapat melakukan upaya memperkuat modalnya baik melalui penambahan modal secara sukarela dari pemegang saham, melakukan penawaran umum maupun melakukan P3IK. Sebagai bagian dari aksi korporasi, P3IK mengedepankan pada inisiatif bank dan/atau pemegang saham. Pada saat bank mengalami kesulitan keuangan, pemegang saham diharapkan sanggup memperkuat modal bank. Dengan adanya POJK di atas, menunjukkan bahwa tata kelola dalam penerbitan Perintah Tertulis telah diatur dalam POJK sehingga yang dipermasalahkan oleh Pemohon sebenarnya merupakan ranah implementasi bukan masalah konstitusionalitas. Dalam hal pemegang saham tidak secara sukarela melakukan upaya untuk memperkuat modal bank, maka untuk melindungi kepentingan publik nasabah penyimpan, masyarakat dan stabilitas sistem keuangan, OJK sebagai otoritas pengawas dapat memerintahkan bank melakukan P3IK untuk memperkuat modal bank. Hal ini mengingat, dalam konsep penggabungan, pengambilalihan dan/atau integrasi, bank penerima penggabungan, pengambilalihan, dan/atau integrasi tidak harus berada dalam kesulitan keuangan, sehingga diharapkan dapat memperkuat bank yang mengalami kesulitan keuangan dan pada saat yang sama memberikan nilai tambah bagi bank yang melakukan P3IK. Keadaan suatu lembaga jasa keuangan dikatakan mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya apabila berdasarkan penilaian Otoritas Jasa Keuangan, kondisi usaha lembaga jasa keuangan semakin memburuk, antara lain, ditandai dengan menurunnya permodalan, kualitas aset, likuiditas, dan rentabilitas, serta pengelolaan lembaga jasa keuangan yang tidak dilakukan berdasarkan prinsip kehati-hatian dan asas lembaga jasa keuangan yang sehat. Langkah P3IK antara lain ditujukan agar tidak terjadi pencabutan izin usahanya dan/atau tindakan likuidasi dan dalam rangka mempertahankan/menyelamatkan lembaga jasa keuangan sebagai lembaga kepercayaan masyarakat, sehingga aksi korporasi tidak dapat sepenuhnya diserahkan kepada mekanisme keperdataan biasa karena terkait dana masyarakat yang dikelola LJK. Ketentuan pemberian sanksi merupakan upaya ultimum remidium dan memberikan kepastian hukum agar pihak yang diberi perintah tertulis menjalankan upaya untuk 211 penyehatan lembaga jasa keuangan dan mencegah moral hazard sehingga OJK dapat melindungi kepentingan publik yang lebih besar. Dalam permohonannya, Pemohon perkara Nomor 42/PUU-XVIII/2020 hanya mempermasalahkan implementasi bukan masalah konstitusionalitas. Pada penerapannya, sanksi tersebut lebih mungkin untuk ditebus oleh mayoritas industri perbankan dibandingkan dengan tunduk pada perintah tertulis yang diberikan oleh OJK. Untuk mengantisipasi hal tersebut, diperlukan pemberatan atas pasal sanksi pidana atas pelanggaran perintah tertulis OJK untuk melakukan P3IK. Perintah tertulis dalam Lampiran UU 2/2020 diperlukan untuk melakukan tindakan segera apabila terjadi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Selain itu, sebagai upaya paksa kepatuhan lembaga keuangan melaksanakan perintah tertulis, ancaman sanksi pidana dan denda yang lebih berat diperlukan agar LJK yang dikenakan perintah tertulis dapat melaksanakan proses P3IK dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan. Pemberian sanksi dalam Pasal 26 UU Lampiran UU 2/2020 sebenarnya penguatan atas ketentuan Pasal 53 dan Pasal 54 UU OJK. Selain itu, pemberian sanksi merupakan bentuk jaminan kepastian hukum untuk kepentingan umum sehingga tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) jo. Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dengan adanya ketentuan pidana sesuai Pasal 26 Lampiran UU 2/2020, OJK dapat melindungi kepentingan publik yang lebih besar yakni nasabah, kepercayaan masyarakat, sistem perbankan dan stabilitas sistem keuangan dari kerugian yang ditimbulkan akibat tindakan pihak yang dengan sengaja mengabaikan, tidak memenuhi, tidak melaksanakan atau menghambat kewenangan OJK. Kewenangan pemberian sanksi juga sudah ada pada Pasal 53 dan Pasal 54 UU OJK. Selain itu, terhadap dalil Pemohon perkara Nomor 42/PUU-XVIII/2020 yang menyebutkan bahwa OJK dapat melakukan penyimpangan tanpa dapat dikontrol oleh pihak manapun, perlu Pemerintah sampaikan bahwa di era keterbukaan saat ini dan banyaknya institusi pengawas, kontrol dapat dilakukan masyarakat melalui wakil rakyat, aparat penegak hukum, dan lembaga pengawas lainnya sehingga tidak benar bahwa OJK akan melakukan penyalahgunaan wewenang.
Perlindungan Hukum Bahwa terhadap dalil Para Pemohon yang menyatakan frasa “ bukan merupakan kerugian negara ” jelas kedudukannya di atas konstitusi sehingga sudah seharusnya 212 dibatalkan karena tidak cocok dalam negara hukum dan demokrasi yang membutuhkan check and balances , dapat Pemerintah sampaikan sebagai berikut:
Definisi kerugian negara terdapat dalam beberapa undang-undang, antara lain adalah sebagai berikut:
Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (“UU BPK”): “Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai .” 2) Pasal 1 angka 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (“UU Perbendaharaan Negara”): “Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai .” b. Berdasarkan definisi di atas, suatu kerugian negara harus terdapat unsur perbuatan melawan hukum . Hal tersebut mengadopsi dari asas hukum pidana tidak dapat dipidana tanpa kesalahan ( geen straf zonder schuld ).
Selama kebijakan keuangan negara tidak melawan hukum, maka biaya yang dikeluarkan bukan kerugian negara. Apabila dalam perbuatan/tindakan pelaksana UU 2/2020 ternyata dilakukan secara melawan hukum atau tidak memenuhi syarat dalam ketentuan Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020, maka tentunya mekanisme check and balances tetap dapat berlaku.
Lebih lanjut, ketentuan Pasal 27 ayat (1) UU 2/2020 sama sekali tidak menghilangkan wewenang BPK untuk melaksanakan pengawasan dalam rangka pelaksanaan UU 2/2020 ( check and balances tetap terjaga). Dapat Pemerintah sampaikan pengaturan mengenai biaya sebagaimana dalam ketentuan Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 dimaksudkan untuk memperlakukan biaya yang telah dikeluarkan negara dalam melaksanakan kebijakan UU 2/2020 sebagai biaya ekonomi. Hal ini diperlukan mengingat dalam masa pandemi Covid-19, kondisi perekonomian tidak berjalan normal sebagaimana mestinya, sehingga biaya yang dikeluarkan tidak dapat dianggap sebagai kerugian negara. Agar kebijakan dapat tetap dilaksanakan, maka perlu suatu bentuk perlindungan hukum berupa justifikasi bahwa kerugian dimaksud tidak dianggap sebagai kerugian negara melainkan sebagai biaya ekonomi yang dalam proses pelaksanaannya telah dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip tata kelola yang baik. 213 Dalam implementasi UU 2/2020 yang menggunakan biaya dari APBN tidak dapat disebut sebagai kerugian negara karena biaya yang telah dikeluarkan berpotensi tidak dikembalikan dengan nilai yang sama, contoh:
Terkait insentif pajak badan yang memberikan relaksasi kepada pengusaha agar pengusaha dapat mempertahankan arus kas usahanya. Hal tersebut menyebabkan berkurangnya potensi penerimaan negara dari pajak;
Terkait dengan Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang langsung dikucurkan Pemerintah tidak mungkin diharapkan adanya imbal balik atas BLT tersebut karena tujuan dari BLT adalah untuk membantu masyarakat dalam memenuhi kebutuhan sehari-harinya;
Terkait program PEN yaitu adanya penitipan sejumlah dana pada bank-bank Himbara (Himpunan Bank Milik Negara) agar dapat melakukan restrukturisasi kredit nasabahnya sehingga aset-aset para nasabahnya tidak sampai dieksekusi.
Terkait dengan fasilitas pembebasan bea masuk yang sekiranya juga mengurangi penerimaan negara dari Bea dan Cukai, namun tidak dapat dikategorikan sebagai kerugian negara karena pembebasan bea masuk tersebut diimplementasikan terhadap barang-barang tertentu seperti alat medis, APD, hand sanitizer , masker dsb yang merupakan barang-barang krusial dan sangat diperlukan Pemerintah dalam menangani pandemi Covid-19.
Terkait dengan pengeluaran dana yang dikeluarkan LPS tidak semata-mata hanya mempertimbangkan least cost test (Pasal 20 ayat (1) huruf c Lampiran UU 2/2020), namun juga mempertimbangkan aspek ekonomi serta aspek psikologis masyarakat. Terkait dengan contoh-contoh kebijakan di atas, apabila dalam pelaksanaannya terdapat pihak yang melakukan kecurangan dalam bentuk penyalahgunaan wewenang maka yang bertanggung jawab adalah pihak pada tingkat teknis pelaksana kebijakan yang melakukan kecurangan tersebut dan bukan Pemerintah selaku pengambil kebijakan terkait. Tujuan dari pencantuman Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 bukan dimaksudkan untuk memberikan imunitas absolut, namun lebih kepada memberikan confidence bagi pelaksana Lampiran UU 2/2020 dalam kerangka hukum dan sistem hukum yang akan melindunginya dalam pelaksanaan tugas dan kewenangan berdasarkan Lampiran UU 2/2020. 214 Perlindungan hukum yang diberikan dalam Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 telah sesuai dengan prinsip hukum imunitas terbatas bahwa pejabat/pegawai yang beriktikad baik dan bertindak sesuai dengan peraturan perundang-undangan tidak dapat dituntut secara pidana maupun perdata. Bahwa adanya iktikad baik mencerminkan tidak adanya unsur mens rea yang menjadi dasar tuntutan pidana. Selain itu, perbuatan yang dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan tentu merupakan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan. Dalam kondisi extraordinary seperti saat ini membutuhkan kebijakan extraordinary pula untuk mengatasi keadaan kegentingan memaksa, sehingga menjadi suatu kewajaran apabila para pengambil kebijakan diberikan kepastian hukum bahwa tindakan yang telah dilakukannya untuk menjalankan peraturan perundang-undangan dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan serta didasarkan pada iktikad baik sudah sepatutnya mendapat jaminan tidak dapat dituntut secara pidana dan digugat dalam gugatan perdata. Dalil Pemohon yang menyatakan bahwa Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 memberikan perlindungan bagi mereka yang berlaku tidak adil atau melakukan sesuatu yang dapat merugikan bangsa dan Negara, merupakan tuduhan tanpa bukti. Situasi pandemi Covid-19 merupakan dilema policy bagi Pemerintah. Dalam kondisi ini, Pemerintah dihadapkan pada pilihan harus menunggu situasi menjadi masalah besar untuk menyelamatkan masyarakat dengan berpegang pada ketentuan yang ada atau harus bergerak cepat menangani kondisi yang tidak normal dengan risiko tuduhan karena membutuhkan kebijakan dan langkah extraordinary . Adanya ketentuan tata kelola yang baik di dalam UU 2/2020 justru menunjukkan bahwa UU 2/2020 tidak akan dapat disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Pembahasan dalam pengambilan keputusan dibutuhkan secara terbuka dengan up and down segala risikonya. Apabila pengeluaran negara pada masa pandemi Covid-19 dianggap merugikan negara, maka tidak akan ada pejabat yang berani mengambil langkah-langkah kebijakan extraordinary meskipun dengan tujuan untuk menyelamatkan negara, masyarakat dan ekonomi. Ketentuan Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 bukan merupakan suatu hal yang baru ( precedented ) namun justru telah ada ketentuan-ketentuan serupa dan telah diterima baik oleh Pembentuk Undang-Undang maupun Mahkamah Konstitusi dalam putusan uji materi pasal-pasal serupa. Preseden pengaturan perlindungan hukum juga terdapat di berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain: 215 a. Pasal 50 dan 51 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP);
Pasal 48 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (UU PPKSK);
Pasal 22 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak (UU Pengampunan Pajak);
Pasal 45 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia;
Pasal 36A ayat (5) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
Pasal 10 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia;
Pasal 224 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
Pasal 16 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat; dan
Pasal 26 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan. Bahwa terhadap dalil Para Pemohon yang menyatakan bahwa pemberlakuan Pasal 27 ayat (3) Lampiran UU 2/2020 telah mengesampingkan fungsi peradilan tata usaha negara, dapat Pemerintah sampaikan bahwa ketentuan serupa telah diatur dalam Pasal 49 UU PTUN. Dalam ketentuan tersebut diatur bahwa PTUN tidak berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa TUN dalam hal keputusan dikeluarkan dalam keadaan bahaya, bencana alam, atau keadaan luar biasa dan dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum. Pengaturan tersebut telah sejalan dengan rumusan yang diatur dalam Pasal 27 ayat (3) Lampiran UU 2/2020 yang menyatakan bahwa segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan UU 2/2020 bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada PTUN. Oleh karena itu, rumusan dalam Pasal 27 ayat (3) Lampiran UU 2/2020 sejatinya telah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia. Bahwa diantara ketentuan di atas, juga telah terdapat ketentuan pasal yang diuji di Mahkamah Konstitusi yaitu Pasal 16 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Dalam Putusan Nomor 26/PUU-XI/2013, Mahkamah Konstitusi mengoreksi rumusan Pasal 16 UU Advokat yang semula berbunyi: 216 “Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien dalam sidang pengadilan.” diubah menjadi: “Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien di dalam maupun di luar sidang pengadilan.” Putusan Mahkamah Konstitusi di atas semakin memperkuat bahwa rumusan ketentuan perlindungan hukum dalam Lampiran UU 2/2020 memang telah benar sesuai dengan hukum yaitu untuk melindungi pelaksana UU 2/2020 yang telah beriktikad baik dalam menjalankan tugasnya. Putusan ini juga menjadi salah satu bukti bahwa dalam keadaan normal saja dibutuhkan adanya pasal perlindungan hukum, apalagi dalam keadaan kegentingan memaksa. Selain Putusan Nomor 26/PUU-XI/2013, Mahkamah juga pernah menguji Pasal 16 UU Advokat dalam perkara Nomor 52/PUU-XVI/2018 yang di dalam putusan perkara tersebut, Mahkamah memberikan pertimbangan sebagai berikut: “hak imunitas Advokat yang dijamin dan dilindungi dalam UU 18/2003 tidak serta-merta membuat Advokat menjadi kebal terhadap hukum. Karena hak imunitas tersebut digantungkan kepada apakah profesinya dilakukan berdasarkan iktikad baik atau tidak. Dalam Penjelasan Pasal 16 UU 18/2003 dinyatakan, “Yang dimaksud dengan iktikad baik adalah menjalankan tugas profesinya demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk membela kepentingan kliennya”. Maka dengan demikian pengertian iktikad baik yang diberikan dalam Penjelasan Pasal 16 UU 18/2003 mensyaratkan dalam membela kepentingan kliennya pun Advokat harus tetap berdasarkan aturan hukum.” Tidak hanya dalam kedua putusan atas Pasal 16 UU Advokat tersebut, Mahkamah bahkan memberikan penafsirannya terhadap frasa iktikad baik dalam Pasal 16 UU Advokat pada pengujian materiil Pasal 21 UU Tipikor yaitu “ kata kunci dari rumusan hak imunitas dalam ketentuan ini (Pasal 16 UU Advokat) bukan terletak pada “kepentingan pembelaan Klien” melainkan pada “itikad baik”. Artinya, secara a contrario, imunitas tersebut dengan sendirinya gugur tatkala unsur “itikad baik” dimaksud tidak terpenuhi…Oleh karena itu, tidaklah beralasan mendalilkan inkonstitusionalitas Pasal 21 UU PTPK dengan mendasarkan pada hak imunitas yang dimiliki Advokat sebab norma Undang-Undang a quo sama sekali tidak menggugurkan keberlakuan hak imunitas dimaksud. ” Selanjutnya, Mahkamah juga memberikan pertimbangan mengenai perlindungan hukum dalam halaman 407 Putusan Nomor 57/PUU-XIV/2016 mengenai uji materi 217 ketentuan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, yang menyatakan bahwa: “Pasal 22 UU 11/2016 selengkapnya berbunyi, “Menteri, Wakil Menteri, pegawai Kementerian Keuangan, dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengampunan Pajak, tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut, baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Sesungguhnya, tanpa ada Pasal 22 UU 11/2016 ini pun pihak-pihak yang disebut dalam ketentuan a quo memang sudah seharusnya tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut, baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada itikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Berdasarkan pertimbangan Mahkamah dalam putusan-putusan di atas, dengan menggunakan metode penafsiran hukum argumentum per analogiam, maka sesungguhnya apa yang dirumuskan dalam Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 adalah konstitusional. Sangat tidak beralasan apabila Para Pemohon mendalilkan inkonstitusionalitas Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 dengan mendasarkan pada asas equality before the law karena pada dasarnya hak imunitas yang dimiliki oleh pengambil kebijakan dalam Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 sama sekali tidak menghilangkan asas equality before the law tersebut. Equality before the law merupakan konsep yang sangat universal (berlaku di mana saja) dan tekstual bagi hukum. Secara universal, Equality Before the Law sudah menjadi prinsip hukum dan kenegaraan yang mensyaratkan adanya hukum dan diberlakukan bagi setiap orang. Sedangkan secara tekstual, Equality Before the Law tertulis dalam induk aturan hukum yang menegaskan bahwa aturan hukum berlaku bagi semua orang di tempat hukum tersebut berlaku. Sebaliknya, dari sisi hukum, bisa dilihat bahwa hukum tidak membiarkan dirinya hanya untuk menguntungkan sejumlah pihak tanpa alasan yang sah di muka hukum. Jika ada pengecualian maka hal tersebut mengkhianati konsep hukum. Bahwa prinsip Equality Before the Law dituangkan dalam ketentuan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan “segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya” . Pada dasarnya, prinsip Equality Before the Law diterapkan oleh aparat penegak hukum yang artinya siapapun yang berhadapan dengan aparat penegak hukum harus diperlakukan secara sama oleh penegak hukum dengan tidak membeda-bedakan status dan kedudukan. 218 Pada dasarnya, siapapun yang bertindak dengan iktikad baik dan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan tidaklah dapat dituntut secara hukum. Bahkan dalam ketentuan Pasal 51 ayat (2) KUHP menyatakan pelaksanaan perintah yang dijalankan dengan iktikad baik tidak dapat dipidana. UU 2/2020 menegaskan prinsip tersebut dalam ketentuan pasalnya untuk memberikan ketenangan bagi pelaksana UU 2/2020 yang sudah memenuhi 2 (dua) syarat dalam Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 tersebut agar dapat bertindak secara cepat, tepat, dan tetap sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan meskipun didesak oleh kondisi yang tidak normal sehingga memerlukan tindakan segera. Sebaliknya, siapapun yang melakukan apapun dengan iktikad tidak baik dan melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan haruslah dituntut secara hukum. Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 secara a contrario juga mengakomodir prinsip tersebut yang artinya apabila pelaksana UU 2/2020 dalam bertindak ternyata tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, maka dirinya dapat dituntut secara perdata maupun pidana. Dengan demikian, dalil Para Pemohon yang menyatakan ketentuan Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 tidak memenuhi asas equality before the law merupakan dalil yang tidak berdasar karena telah jelas bahwa Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 tidak membuat pelaksana UU 2/2020 menjadi kebal hukum. Apabila pelaksana UU 2/2020 telah memenuhi kedua syarat dalam Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 yaitu dengan iktikad baik bertindak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan, maka dirinya berhak mendapat perlindungan hukum. Sebaliknya apabila yang bersangkutan melakukan tindakan dengan iktikad tidak baik dan melanggar ketentuan perundang-undangan, maka yang bersangkutan dapat dituntut secara perdata dan pidana. Dalam beberapa permohonan pengujian terhadap UU 2/2020, terdapat anggapan bahwa diberikannya “kekebalan hukum” dari tuntutan perdata dan pidana dalam Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 hanya mendasarkan pada ada/tidaknya iktikad baik dari pelaksana UU 2/2020. Namun, apabila dibaca secara utuh, syarat untuk tidak dapat dituntut secara perdata dan pidana ada 2 (dua) yaitu:
mempunyai iktikad baik; dan
tindakannya harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 219 Kedua syarat tersebut bersifat kumulatif yang artinya apabila salah satu syaratnya tidak terpenuhi, maka pejabat pelaksana UU 2/2020 dapat dituntut secara perdata dan pidana. Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 juga telah memenuhi asas hukum pidana tidak dapat dipidana tanpa kesalahan ( geen straf zonder schuld ) yang artinya apabila tidak ada kesalahan, maka seseorang tidak mungkin dapat dipidana. Dalam hal pelaksana UU 2/2020 bertindak dengan iktikad baik dan sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan, maka dapat disimpulkan bahwa yang bersangkutan tidak mempunyai kesalahan dan tidak dapat dipidana. Pengaturan hal tersebut terdapat pula dalam ketentuan peraturan perundang- undangan yang secara tegas mengatur norma yang memberikan jaminan kepastian dan perlindungan hukum bagi pegawai yang melaksanakan tugas karena perintah undang-undang, yaitu dalam Pasal 50 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang KUHP yang berbunyi: “ barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dipidana ”. Selanjutnya di dalam Pasal 51 KUHP dinyatakan bahwa “barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana. Perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah, dengan iktikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya” . Bahwa Para Pemohon juga mendalilkan Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 meniadakan pembuktian iktikad baik oleh lembaga peradilan. Terhadap dalil ini, dapat ditanggapi sebagai berikut:
Dalam teori pidana, sebuah tindak pidana dibangun atas 2 (dua) unsur penting yaitu 1) unsur objektif yaitu perbuatan yang melanggar ketentuan hukum pidana ( actus reus ) dan 2) unsur subjektif yaitu sikap batin/niat pelaku ketika melakukan tindak pidana (niat jahat/ mens rea ).
Bahwa yang dibuktikan oleh lembaga peradilan adalah ada/tidaknya niat untuk melakukan perbuatan yang dilarang (iktikad tidak baik/ mens rea ), bukan pembuktian dari ada/tidaknya iktikad baik.
Pintu masuk bagi lembaga peradilan untuk menilai ada/tidaknya mens rea terkait dengan pelaksanaan UU 2/2020 adalah pada ada/tidaknya suatu perbuatan yang 220 dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dimana hal tersebut telah diatur di dalam Pasal 27 Lampiran UU 2/2020.
Ketentuan Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 sama sekali tidak meniadakan kewenangan lembaga peradilan untuk menilai ada/tidaknya mens rea karena Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 telah mengatur secara tegas bahwa ada 2 (dua) syarat kumulatif dalam pemberian perlindungan hukum dari tuntutan perdata dan pidana. Selain itu, perlu dipertimbangkan juga bahwa pemberian perlindungan dari tuntutan perdata dan pidana merupakan penghargaan yang diberikan negara kepada pelaksana UU 2/2020 karena telah dengan iktikad baik dan sangat berhati-hati melakukan tugasnya dengan tidak melanggar ketentuan peraturan perundang- undangan di saat segala tindakannya diperlukan untuk memberikan penanganan yang cepat, tepat dan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan dalam menciptakan stabilitas keuangan pada saat kondisi perekonomian Indonesia melemah sejak pandemi Covid-19 dan memerlukan tindakan sangat segera. Perlu Pemerintah sampaikan pula bahwa pengaturan mengenai perlindungan hukum bagi pengambil dan pelaksana kebijakan di bidang sektor keuangan telah sesuai dengan standar internasional. Financial Stability Board (FSB) pada tanggal 15 April 2014 menyampaikan bahwa salah satu Key Attributes of Effective Resolution Regimes for Financial Institutions adalah adanya perlindungan hukum bagi otoritas dan personilnya yang beriktikad baik dalam menjalankan tugasnya. Pada poin 2.5 Key Attributes of Effective Resolution Regimes for Financial Institutions , FSB menyatakan sebagai berikut: “The resolution authority and its staff should be protected against liability for actions taken and omissions made while discharging their duties in the exercise of resolution powers in good faith, including actions in support of foreign resolution proceedings.” Di samping itu, Basel Committee on Banking Supervision pada September 2012 juga menetapkan Core Principles for Effective Banking Supervision , yang salah satu isinya menyampaikan perlunya perlindungan hukum bagi pengawas bank yang menjalankan tugas dengan iktikad baik. Menurut Basel Committee , perlindungan hukum diberikan dalam bentuk perlindungan terhadap gugatan/tuntutan hukum dan perlindungan atas kerugian yang ditimbulkan dalam pelaksanaan kebijakan. Hal tersebut dinyatakan sebagai berikut: 221 “ Laws provide protection to the supervisor and its staff against lawsuits for actions taken and/or omissions made while discharging their duties in good faith. The supervisor and its staff are adequately protected against the costs of defending their actions and/or omissions made while discharging their duties in good faith.” Dalam konteks pengaturan mengenai perlindungan hukum bagi pengambil dan pelaksana kebijakan bidang sektor keuangan di Indonesia, sesuai dengan hasil Financial System Stability Assessment yang dilaksanakan oleh International Monetary Fund pada tahun 2016-2017, diperoleh hasil bahwa: “Inadequate legal protection creates a risk of crisis management decisions being delayed or even avoided due to concerns over potential liability. Although the PPKSK Law has strengthened legal protection across the agencies involved in crisis management, further strengthening is needed, including in the relevant agencies’ laws, to provide legal protection to the extent advocated in the Key Attributes (and BCP and ICP). The main shortcomings in the PPKSK Law are that the test for legal protection is “misuse of authority” rather than “good faith”, that it applies only to actions taken in situations of near-crisis or crisis, and it does not extend to the institution itself and persons acting on its behalf.” Berdasarkan hasil penilaian di atas, jelas bahwa perlindungan hukum bagi pengambil dan pelaksana kebijakan di sektor keuangan yang telah ada sebelumnya dirasa masih belum memadai sehingga masih diperlukan penguatan. Oleh karena itu, pengaturan perlindungan hukum sebagaimana diatur pada Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 pada hakikatnya telah sesuai dengan standar internasional dan dibutuhkan sebagai penguatan atas pengaturan yang telah ada sebelumnya. Dengan adanya perlindungan hukum sesuai Pasal 27 Lampiran UU 2/2020, pengambil kebijakan dapat mengambil keputusan terbaik yang dilandasi dengan iktikad baik dan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Apabila ternyata dalam pelaksanaan UU 2/2020 tersebut terdapat pihak yang tidak beriktikad baik dan menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka pihak tersebut tidak dapat menggunakan perlindungan hukum berdasarkan ketentuan pasal ini. Di dalam penegakan hukum, adanya iktikad buruk ( mens rea ) secara pidana atau adanya perbuatan melanggar hukum secara perdata harus dapat dibuktikan terlebih dahulu. Prinsip dasar pembuktian secara perdata adalah actori incumbit onus probandi artinya siapa yang menuntut maka dia yang membuktikan. Dalam hukum pidana juga dikenal asas bahwa tuduhan yang tidak dapat dibuktikan dalam proses persidangan tidak akan melahirkan keputusan yang memenuhi tuntutan ( vide pasal 222 66 KUHAP). Prinsip penegakan hukum tersebut telah sejalan dengan Pasal 14 ICCPR, bahwa setiap orang yang dituntut/digugat harus diberikan kesempatan untuk disidangkan dalam peradilan yang adil dan terbuka. Tindakan dapat dikenakan hukuman sesuai hukum pidana jika memenuhi unsur mens rea dan actus reus . Dalam hal ini yang disalahkan secara hukum bukan UU 2/2020 atau pembuatnya, melainkan pejabat dan pembonceng yang melakukan pelanggaran atasnya. Substansi Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 bukan penilaian subjektif melainkan sudah diakui dalam berbagai pengaturan dan sudah diuji oleh Mahkamah Konstitusi. Pemerintah juga telah membuktikan adanya iktikad baik dalam penerbitan UU 2/2020 yaitu dengan memperluas cakupan bantuan sosial, menanggung biaya pemeriksaan kesehatan, memberikan insentif bagi tenaga medis, memberikan Bantuan Langsung Tunai, dan stimulus fiskal dunia usaha. Dalam melaksanakan UU 2/2020, baik prosesnya maupun landasan hukumnya telah dilaksanakan dengan iktikad baik dan sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan. Dari segi proses, berbagai kebutuhan belanja dan pembiayaan sebagai dampak Covid-19 telah dibahas di berbagai tataran pemerintahan, mulai dari internal Kemenkeu, Rapat Koordinasi pada tingkat Menteri Perekonomian, maupun pada Sidang Kabinet. Oleh karena itu, prosesnya sangat transparan dengan iktikad baik dan tidak dilakukan secara tersembunyi. Selain itu, pelaksanaan UU 2/2020 juga berdasar peraturan perundang-undangan yaitu berupa Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Keputusan Presiden, dan Surat Keputusan Bersama. Pemberian perlindungan hukum sesuai Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 tidak dapat diartikan bahwa pembuat kebijakan tidak tenang dalam melakukan tugasnya. Bukan suatu kemewahan bagi pembuat kebijakan untuk meminta kepastian hukum namun perlindungan dan kepastian hukum tersebut sangat diperlukan agar pembuat kebijakan dapat menjalankan tugasnya dengan baik dan mendapatkan hasil yang optimal untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dari kebijakan yang telah diambil. Dapat Pemerintah tegaskan pula bahwa sebagai bentuk pertanggungjawaban atas pengelolaan APBN, LKPP yang memuat pelaksanaan kebijakan keuangan negara dalam Lampiran UU 2/2020, juga akan diaudit oleh BPK sesuai kewenangan BPK pada Pasal 6 UU BPK, yang selanjutnya akan disampaikan kepada DPR sebagai 223 wakil rakyat sesuai dengan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Dengan demikian, telah jelas bahwa pengelolaan APBN yang didasarkan pada kebijakan dalam Lampiran UU 2/2020 akan tetap dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Harmonisasi UU 2/2020 Dengan UU Terdampak Lahirnya Lampiran UU 2/2020 ditujukan untuk mengisi kekosongan hukum atau memerlukan penyesuaian dalam rangka penanganan pandemi Covid-19 dan/atau krisis perekonomian dan/atau sistem keuangan. Oleh karena itu, terhadap norma- norma yang dilakukan penyesuaian dalam Lampiran UU 2/2020 perlu dilakukan harmonisasi agar tidak terjadi dualisme hukum. Norma Pasal 28 Lampiran UU 2/2020 yang berisi pencabutan beberapa ketentuan undang-undang terdahulu akan memberikan kepastian norma hukum yang berlaku untuk penanganan penyebaran Covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Sebagaimana telah dijelaskan, penyesuaian norma-norma tersebut dimungkinkan berdasarkan Hukum Administrasi Negara dalam bentuk pemberian kewenangan atribusi. Selain itu, beberapa norma disesuaikan untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kebutuhan penanganan pandemi Covid-19. Pelaksanaan pemberian kewenangan atribusi dan/atau penyesuaian norma dalam Pasal 28 Lampiran UU 2/2020 tersebut dilakukan dengan memenuhi tata kelola yang baik dan memperhatikan batasan-batasan dalam peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, norma Pasal 28 Lampiran UU 2/2020 didasarkan pada kebutuhan kepastian hukum regulasi yang berlaku, bukan yang sewenang-wenang ( constitutional dictatorship ) sesuai dalil Para Pemohon. Berdasarkan teori peraturan perundang-undangan, Pasal 28 Lampiran UU 2/2020 berlaku sebagai ketentuan harmonisasi atas ketentuan-ketentuan yang dikesampingkan. Hal tersebut juga didasarkan pada pertimbangan bahwa untuk melakukan kebijakan dan langkah-langkah extraordinary untuk melakukan penanganan permasalahan Covid-19 secara cepat dan penanganan dampaknya yang luar biasa terhadap ancaman perekonomian dan/atau stabilitas sistem keuangan, tidak dapat dilakukan hanya dengan mendasarkan pada undang-undang 224 yang ada sebelum UU 2/2020 yang memang kurang memadai untuk penanganan kepentingan tersebut. Pernyataan Para Pemohon yang menyampaikan bahwa Pasal 28 Lampiran UU 2/2020 menimbulkan kesewenang-wenangan dan constitutional dictatorship adalah pernyataan yang tidak benar dan sangat berlebihan. Pemohon telah salah menafsirkan constitutional dictatorship sebagai tindakan kesewenang-wenangan. Dalam ilmu hukum konstitusi, constitutional dictatorship merupakan kewenangan yang diberikan oleh konstitusi untuk menjaga keberadaan negara demokrasi konstitusional, "No form of government can survive that excludes dictatorship when the life of the nation is at stake" . Lampiran UU 2/2020 diterbitkan dalam kegentingan yang memaksa sebagaimana fakta-fakta yang telah disampaikan sebelumnya, dan merupakan instrumen hukum yang diberikan kepada Presiden untuk mengatasi kondisi kegentingan yang memaksa dengan menerbitkan Perppu. Filosofi constitutional dictatorship yang tersirat pada Pasal 22 UUD 1945 dalam konteks kedaruratan merupakan wujud nyata kehadiran Pemerintah dalam mengatasi kondisi luar biasa akibat pandemi Covid-19 dan bukan merupakan makna negatif sebagai penyelewengan kekuasaan. Dengan ditetapkannya Perppu 1/2020 menjadi UU 2/2020 maka pendapat subjektif Presiden mengenai perlunya penerbitan Perppu sebagai instrumen hukum untuk mengatasi kegentingan yang memaksa telah disetujui DPR sebagai lembaga wakil rakyat. IV. KESIMPULAN Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada Yang Mulia Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan pengujian ( constitutional review ) UU 2/2020 terhadap UUD 1945, dapat memberikan putusan sebagai berikut:
Menerima Keterangan Presiden secara keseluruhan;
Menyatakan bahwa Para Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum ( Legal Standing );
Menolak permohonan pengujian Para Pemohon seluruhnya atau setidak- tidaknya menyatakan permohonan pengujian Para Pemohon tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard ). 225 Namun demikian, apabila Yang Mulia Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia berpendapat lain, mohon putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya ( ex aequo et bono ). Selain itu, Presiden telah mengajukan 3 (tiga) ahli yakni Dr. Maruarar Siahaan, S.H., Dr. Muhammad Chatib Basri, S.E., M.Ec., Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M. Hum., yang telah di dengar keterangannya dalam persidangan pada tanggal 29 April 2021. Pemerintah juga telah menyerahkan keterangan tertulis ahli lainya yakni Chandra M. Hamzah, S.H., Prof. Denny Indrayana, SH., LL.M., Ph.D., dan Dr. Yunus Husein, S.H., LL.M., yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 3 Juni 2021 , yang masing-masing memberikan keterangan yang pada pokoknya sebagai berikut:
Dr. Maruarar Siahaan, S.H. Pendahuluan. Kondisi negara -seperti halnya masyarakat umumnya dan manusia orang per orang tidak selalu berada dalam keadaan biasa ( state of normalcy ), dalam arti selalu ada pengelolaan kehidupan yang memerlukan hal yang berbeda dari yang biasa sehingga memerlukan upaya khusus secara berbeda dari proses dan prosedur yang biasa dilakukan baik dalam pencapaian tujuan sehari-hari maupun dalam program yang direncanakan untuk tujuan tertentu. Kehidupan masyarakat yang di atur oleh negara melalui sistem pemerintahan dan hukum dalam mengatur interaksi kepentingan anggota dan korporasi atau kelompok satu dengan yang lain, tunduk pada aturan perundang-undangan. Negara yang memerlukan pengorganisasian kekuasaan untuk memungkinkan adanya upaya paksa ketika terjadi hal-hal yang membutuhkan, ditentukan dengan sistem yang diatur dalam masing-masing konstitusi negara. Di samping menyusun lembaga dengan masing-masing kekuasaan yang relevan dalam mencapai suatu tujuan bersama, dan hubungannya satu dengan lain, serta hubungan kekuasaan lembaga negara dengan warganegaranya dalam penyelenggaran negara untuk kepentingan umum, dalam keadaan teratur dan normal atau kondisi yang aman, di dalam mana hubungan- hubungan hukum yang terjadi dapat ditata berdasar ketentuan hukum yang berlaku secara biasa. Ketika terjadi konflik kepentingan, mekanisme hukum yang tersedia dapat menyelesaikannya secara teratur dengan dukungan kekuasaan negara yang ada untuk memaksakan sanksi hukum dalam kerangka mengembalikan keseimbangan seperti semula. Pengaturan dan operasionalisasi penyelenggaraan 226 negara berdasar kekuasaan negara yang ada akan berlangsung secara biasa dalam proses penyelenggaraan kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat. Hukum dan kekuasaan yang dipergunakan adalah hukum dalam keadaan normal ( state of normalcy). Akan tetapi ketika muncul bahaya dalam bentuk yang tidak biasa, yang mendatangkan ancaman bagi keselamatan negara dan rakyatnya, baik karena magnitude bahaya yang mengancam maupun akibat-akibatnya, di mana keadaan tidak dapat diatasi secara baik dengan instrumen kekuasaan dan hukum yang ada, maka dalam sejarah kehidupan hukum dan tata negara secara universal dalam perjalanannya, ada masanya keadaan harus diatasi dengan instrumen dan kewenangan (kekuasaan negara) secara berbeda, untuk mengatasi keadaan bahaya yang mengancam, baik untuk keselamatan negara, maupun keselamatan warganegara. Dalam hal terjadi suatu keadaan demikian yang secara luar biasa menyimpang dari keadaan normal, jawaban dan instrumen yang dipergunakan harus memberikan ruang gerak yang juga luar biasa bagi pemimpin negara, untuk dapat mengatasi keadaan bahaya secara tepat waktu dan dengan metode yang tepat. Kecepatan dalam pengambilan keputusan merupakan keniscayaan, yang senantiasa membutuhkan penyimpangan dari prosedur-prosedur dan instrumen yang digunakan dalam keadaan normal. Keadaan yang membawa situasi darurat, tidak dapat dijawab dengan hukum yang berlaku dalam keadaan normal, melainkan harus menggunakan hukum dalam keadaan tidak normal karena kondisi yang membahayakan negara dan rakyat harus dijawab juga dengan hukum yang berlaku dan dibutuhkan dalam keadaan darurat ( state of emergency). Paradigma yang harus menjadi pemahaman bersama ini, merupakan titik tolak yang digunakan dalam melihat dalil-dalil permohonan judicial review yang berlangsung sekarang ini. Covid -19 Adalah Keadaan Bahaya Yang Mengancam Dunia. Beberapa permohonan Judicial Review terhadap Perpu Nomor 1 Tahun 2020 dan kemudian setelah disahkannya Perpu tersebut pengujian dilakukan terhadap Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020, serta komentar beberapa aktivis dan tokoh nasional, yang menganggap Perpu Nomor 1 Tahun 2020 sebagai kesewenang-wenangan dari Presiden RI Jokowi, Perpu mana kemudian telah disetujui oleh DPR menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020, sesungguhnya merupakan pendapat yang sungguh keliru. Langkah untuk mengeluarkan Perpu Nomor 1/2020 yang merupakan kewenangan Presiden yang sah dalam UUD 1945, 227 dan kewenangan yang diberikan secara konstitusional tersebut berdasarkan pandangan subjektif seorang Presiden, sesungguhnya telah diobjektivisir dengan melihat kondisi pandemik yang terjadi secara global meliputi negara-negara besar dan yang maju maupun tidak maju, sebagai keadaan yang di beberapa negara bahkan disebut sebagai keadaan darurat. Kondisi darurat tidak dapat dijawab dengan hukum normal, bahkan di negara yang berdasarkan hukum dan konstitusi yang menjadi kampiun demokrasi sekalipun. Tampaknya kita di Indonesia juga harus memperhatikan perkembangan yang terjadi di Mesir, Perancis dan Hongaria. Hongaria dan Perancis, dan boleh jadi harus menoleh pada keunggulan kediktatoran Romawi, ketika Parlemen Hongaria dan Perancis menyetujui pemberian kekuasaan besar bagi Perdana Menteri dan Presiden Mesir untuk mengeluarkan dekrit dan hukum tanpa persetujuan parlemen untuk menggunakan kekuasaan luar biasa dalam menanggapi pandemic tersebut, termasuk mengeluarkan aturan tanpa persetujuan parlemen dengan aturan mana dimuat sanksi berupa hukuman penjara bagi yang mengeluarkan disinformasi tentang epidemi atau mengganggu upaya-upaya untuk menahan penyebaran virus corona. Meskipun hal tersebut mendapat kritikan dari Presiden Uni Eropa, Parlemen Hongaria dan Pemerintah Perancis menolak kritikan tersebut dengan mengatakan bahwa undang-undang baru tersebut disesuaikan dengan kebutuhan khusus untuk mengatasi pandemic. Perkembangan itu menunjukkan perlunya aturan yang tegas, keras dan cenderung otoriter dalam kerangka memaksakan ketertiban dan kecepatan penanganan pencegahan penyebaran pandemic, yang memerlukan pengorbanan semua pihak termasuk mengesampingkan perlindungan HAM secara ideal dan sempurna untuk sementara. Di antara kritikan yang dilontarkan terhadap kekuasaan besar eksekutif tersebut, disebutkan perlunya tinjauan yang teratur, proporsional serta adanya batas waktu. Ini merujuk pada syarat-syarat tentang apa yang disebut sebagai kediktatoran konstitusional sebagai suatu kekuasaan yang diatur dalam konstitusi dengan syarat-syarat yang cukup untuk mengendalikan dampaknya yang negative terhadap demokrasi dan rule of law. Melihat kritikan yang muncul dari Komisi Uni Eropa dan hal yang sama terjadi di tanah air setelah diberbitkannya Perpu Nomor 1 Tahun 2020, yang disusul dengan Permohonan Judicial Review Perpu tersebut dalam perkara a quo, maka dalam sejarah dan praktek ketatanegaran kemudian memang kita mnegetahui suatu 228 keinginan dan kebutuhan mempertahankan kekuasaan luar biasa dalam kondisi genting atau darurat, dengan pengaturan-pengaturan dalam konstitusi dan dengan nomenclatur yang berbeda terhadap kekuasaan, yang diperlukan mengatasi keadaan darurat atau genting. Kondisi luar biasa pasti membutuhkan kewenangan untuk melakukan tindakan luar biasa. Ketika pertama kali kita mendengar tentang meledaknya virus covid-19 dan daya sebar yang luar biasa cepat, pada awalnya – bahkan sekarang, juga banyak yang skpetis, dan menganggap hal tersebut adalah keadaan biasa saja, dan dampaknya di anggap dibesar-besarkan, bahkan ada menganggap hoax. Pandemi Covid sudah barang tentu bukanlah hal yang biasa atau kondisi normal. Tidak perlu pembuktian lagi tentang hal itu dengan sifatnya yang meliputi dunia, yang menimbulkan ancaman terhadap keselamatan warganegara bangsa-bangsa dengan angka kematian yang tinggi luar biasa dan - sampai saat Perpu disahkan dan sampai bulan Desember 2020, belum ditemukan vaccine atau obat yang dapat mengatasinya. Angka kematian yang dapat dimonitor dari informasi resmi maupun tidak resmi, dalam siaran TV, kita misalnya melihat di Amerika Serikat saja sampai bulan Januari 2021, korban meninggal lebih dari 300.000 (tiga ratus ribu), dan di Indonesia, angka kematian terakhir sebelum dimulai suntikan vaccine pertama diatas 20.000 (dua puluh ribu jiwa). Angka-angka itu lebih menakutkan lagi jika kita amati korban kematian di Italia, Inggeris, Irlandia, Jerman, Perancis Spanyol dan lain-lain. Kalau diperbandingkan dengan korban perang dunia ke II, Amerika dan sekutu-sekutunya hemat saya tidak mengalami korban sampai 300 (tiga ratus) batalyon tentara yang gugur dalam pertempuran. Pandemi corona karenanya melibihi ancaman perang dunia Ke II, dilihat dari korban manusia. Jika dilihat dari implikasinya yang timbul secara luas dalam seluruh bidang kehidupan, baik di bidang kesehatan, Pendidikan, kehidupan sosial, bidang ekonomi dalam kegiatan produksi dan perdagangan telah berdampak pada lapangan kerja dan kebangkrutan usaha-usaha, sehingga ancaman yang dihadapi adalah suatu keadaan yang sifatnya luar biasa. Terjadi perang tetapi melawan musuh yang tidak terlihat, sehingga menyebabkan manusia menjadi sasaran empuk yang mudah dibidik musuh, dan keberdayaan kita hanya pada disiplin pemakaian masker, cuci tangan dan jaga jarak, yang seyogianya dilaksanakan dengan langkah tegas dan keras dan tindakan yang luar biasa. Oleh karena sifat ancaman dan bahaya yang dihadapi sedemikian rupa, sehingga banyak langkah yang bersifat luar biasa perlu dilakukan 229 untuk pencegahan, untuk penanganan baik yang telah terkena covid, maupun masyarakat luas yang terdampak dalam kehidupan yang membutuhkan dukungan darurat, telah mengakibatkan dampak yang timbul di bidang ekonomi, keuangan, dan social, bahkan boleh jadi politik. Menurut hemat saya telah menjadi notoir feit yang tidak perlu pembuktian lebih lanjut, bagaimana daerah yang tergantung pada tourisme, mengalami “kebangkrutan” karena mendadak kebijakan pembatasan gerak manusia secara global, memukul industry perhotelan, industry pariwisata, dan akibatnya penganguran yang menyedihkan, yang bagi karyawan tertentu tanpa dukungan tabungan dan pendapatan yang pokok harus menghidupi keluarganya. Semua hal itu membutuhkan langkah cepat dan pengerahan keuangan negara, yang harus diberi landasan hukum yang baru sesuai dengan kondisi yang dihadapi, sebagaimana amanat konstitusi kita bahwa negara harus hadir “untuk melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia”. Keadaan Darurat Dalam Konstitusi Tiap konstitusi masing-masing negara akan menentukan keadaan tidak normal tersebut secara berjenjang, dengan kekuasaan yang dilimpahkan kepada penyelenggara negara secara berbeda-beda, sesuai dengan tingkat keadaan yang di hadapi. Dalam hal terjadi suatu keadaan yang tidak biasa yang membutuhkan tindakan untuk melawan hal yang tidak biasa tersebut yang mengancam eksistensi negara, kehidupan anggota masyarakat ataupun kehidupan masyarakat sebagai kepentingan umum yang menyeluruh bahkan mencakup kelangsungan kehidupan bersama yang disusun dalam organisasi negara, maka diperlukan juga tindakan atau langkah dari penyelenggara negara yang tidak biasa untuk melawan ancaman, mengatasi keadaan yang tidak biasa untuk dapat mengembalikan kekeadaan yang normal tersebut. Ketika serangan terorisme bertubi-tubi di Amerika dan perlu menyatakan keadaan bahaya yang membutuhkan emergency power bagi kepala pemerintahan untuk bertindak, maka tidak selalu tersedia kewenangan emergency tersebut dalam sistem konstitusi Amerika Serikat. Sehingga karenanya Bruce Ackerman menyatakan: “Designing a constitutional regime for a limited state of emergency is a tricky business…The paradigm case for emergency powers has been an imminent threat to the very existence of the state, which necessitates empowering the executive to take extraordinary measures”. Tetapi tindakan-tindakan yang luar biasa demikian harus senantiasa ada dalam bentuk yang integral dengan sistem hokum yang berlaku sebagaimana diatur 230 dalam konstitusi. Konstitusi – sebagaimana disebut diatas – sudah mengatur dalam kerangka kekuasaan yang ditentukan – kekuasaan atau kewenangan yang mungkin dibutuhkan untuk melaksanakan fungsi dan kewajiban-kewajibannya. Pada saat yang sama pembatasan dan larangan konstitusional maupun perlindungan yang diberikan dalam kerangka hak-hak perorangan atau individu senantiasa juga diperlakukan tidak hanya dalam keadaan biasa tetapi juga dalam keadaan luar biasa. Ketika Amerika masih mencari bentuk yang pas untuk emergency power terrsebut dalam menghadapi krisis terorisme, yang karena paradigma checks and balance dan separation of powers yang agak ketat dalam aturan konstitusi Amerika, maka Indonesia sudah sejak zaman Konstitusi RIS, UUD Sementara, UUD 1945 sebelum dan sesudah perubahan, secara lugas telah menyediakan kekuasaan dalam keadaan daruurat yang diberikan pada Presiden, meskipun terjadi perubahan-perubahan Undang-Undang Dasar atau Konstitusi. Pengalaman sejarah sejak masa penjajahan dan setelah kemerdekaan yang mengalami keadaan bahaya dari perspektif perang, bahaya perang, yang sering kali dilihat dalam konteks istilah SOB ( Staat van Oorlog en beleg) yaitu keadaan perang dan bahaya serangan, yang awalnya termuat dalam Koninklijke Besluit – semacam undang-undang- tertanggal 13 September 1939 No. 32 (Stb 1939-5820 dan mulai berlaku 15 April 1940. Undang-Undang tersebut memberi wewenang kepada Gubernur Jenderal untuk mengambil 2 (dua) tindakan darurat, yaitu (i) menyatakan wilayah Hindia Belanda seluruhnya atau sebagian “ in staat van oorlog (keadaan perang) dan (ii) menyatakan wilayah Indonesia dalam keadaan in staat van beleg (dalam keadaan terkurung oleh musuh). Undang-Undang ini memberikan kewenangan yang memungkinkan perubahan hukum tatanegara biasa menjadi hukum tatanegara istimewa yang mengalihkan kekuasaan pemerintahan sipil kepada pemerintahan militer . Hal ini terjadi karena keadaan di mana terjadi perang atau timbulnya bahaya perang ( staat van oorlog ), sehingga apabila keamanan negara berada dalam bahaya karena huru hara atau karena pemerintahan sipil kocar kacir akibat malapetaka, kekuasaan pemerintahan sipil dialihkan kepada pemerintahan militer, yang memiliki prosedur dan tatacara yang membutuhkan komando secara disiplin militer yang tegas. Setelah kemerdekaan RI pada tanggal 17 Augustus 1945, karena undang- undang yang disebut dalam Pasal 12 UUD 1945 belum ada, maka waktu itu 231 Peraturan SOB tersebut terus diperlakukan. Tetapi kemudian DPR membentuk Undang-Undang mengenai keadaan bahaya tanggal 17 Desember 1957 seperti halnya Peraturan SOB yang juga mengenal keadaan bahaya dalam 2 tingkatan, di mana tingkat kesatu dinamakan “keadaan darurat” dan tingkat kedua disebut “keadaan perang”. Keadaan darurat dalam Undang-Undang Nomor 74 tahun 1957 mengenal tiga tingkatan keadaan darurat yaitu (i) keadaan darurat sipil, (ii) keadaan darurat militer”, dan (iii) Keadaan darurat perang. Undang-Undang Keadaan bahaya ini berlaku sampai 16 Desember 1959, yang kemudian telah di dasarkan pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959 tentang keadaan bahaya. Sampai saat ini, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959 belum dicabut, akan tetapi kondisi dan kelembagaan yang disebut didalamnya, setelah perubahan UUD 1945 telah mengalami perubahan, menjadi tidak relevan, sehingga sesungguhnya sudah sejak awal reformasi harus direvisi. Karena kenyataan perkembangan sejarah dan nomenklatur kolonial yang ketika itu masih melekat, telah menyebabkan Pasal 12 dan undang-undang keadaan darurat yang diperintahkan Pasal 12 UUD 1945 menjadi terlupakan, sehingga ketika diperlukan saat ini suatu produk hukum Perpu yang memiliki karakter, dasar hukum dan akibat hukum yang berbeda dari Pasal 22 serta praktek Perpu yang tidak memperhitungkan hal tersebut, telah mengakibatkan keadaan yang terjadi sekarang dengan Perpu Nomor 1 tahun 2020 yang kemudian sesuai dengan ketentuan UUD 1945 diharuskan untuk mendapat persetujuan DPR pada sidang berikutnya, menjadikannya sedikit banyak dilemmatis, karena keadaan yang tidak biasa yang disebut dalam keadaan krisis dalam arti bahaya dan ancaman kedaruratan akan keselamatan jiwa dalam jumlah besar dan dalam wilayah yang luas, kemudian ditangani seperti dalam keadaan normal atau biasa ( state of normalcy) Perpu tersebut disahkan menjadi undang-undang, dan memasuki sistem hukum dalam keadaan normal karena abnormalcy telah terhapus dengan dijadikannya Perpu jadi undang-undang. Setelah proklamasi kemerdekaan dan sesudah tercapainya secara relatif stabilitas pemerintahan serta hilangnya ancaman perpecahan dan pemberontakan – meskipun sesungguhnya tidak benar, karena yang berubah hanya bentuk dan karakteristiknya, maka kewenangan tersebut agak terlupakan dan dipahami sebagai sesuatu yang berbeda. Terutama karena Pengertian Pasal 12 UUD 1945 tentang kekuasaan Presiden untuk menyatakan keadaan bahaya, yang kemudian syarat- 232 syarat dan akibat keadaan bahaya diatur dalam Undang-Undang, maka keadaan yang diatur dalam undang-undang itu, tentu bukan keadaan yang diatur undang- undang sebagai keadaan normal ( state of normalcy) melainkan dalam keadaan darurat atau bahaya dengan kegentingan memaksa, yang hemat kami, output nya bukan Perpu berdasarkan Pasal 22, melainkan keadaan darurat yang merupakan bagian dari kegentingan memaksa yang timbul karena keadaan bahaya, yang outputnya dalam Undang-Undang Dasar Sementara dan UUD RIS, disebut dengan istilah yang berbeda yaitu Undang-Undang Darurat . Kekosongan pengaturan yang sesuai karena lupa menjabarkan Pasal 12 tentang “keadaan bahaya” dalam UUD 1945, kemudian menyebabkan kesalah pahaman yang agaknya boleh jadi menimbulkan masalah konstitusionalitas normanya, sebagaimana kita saksikan di media sosial. Perpu Nomor 1/2020 yang dikeluarkan dengan berdasarkan kondisi ancaman serangan Covid 19, oleh WHO dinyatakan sebagai pandemic, sesungguhnya terjadi secara global dan dengan bukti tingkat kematian yang sangat tinggi akibat serangan covid-19 sebagaimana telah disebut diatas, sehingga secara objektif negara memang berada dalam keadaan bahaya, yang mengancam kehidupan manusia dan boleh jadi mengancam kelangsungan kehidupan negara akibat krisis ekonomi yang timbul serta dampak ikutannya. Meskipun demikian, masih ada pihak yang mungkin hanya melihatnya dari segi pertarungan politik, karena pemahaman konstitusi yang kurang cermat dan lengkap, sehingga boleh jadi mengakibat krisis konstitusi yang berbahaya. Dengan kata lain kekuasaan apapun yang boleh secara sah digunakan menurut konstitusi untuk menghadapi ancaman keadaan yang luar biasa, tidak akan mengurangi ruang lingkup jaminan-jaminan konstitusional yang ada, meskipun dalam keadaan yang tidak biasa tersebut perlindungan hak-hak individu dan hak asasi boleh jadi harus ditunda pemberlakuannya , karena suatu keadaan yang berbahaya atau genting yang menimbulkan keadaan memaksa untuk bertindak mengatasi keadaan tersebut beserta akibat-akibatnya secara luar biasa. Dalam keadaan seperti itu, diperlukan seorang pemimpin yang harus mampu bertindak dalam keadaan yang segera, sehingga konsep-konsep hokum yang innovative untuk mengatasi keadaan yang luar biasa tersebut juga boleh jadi dibutuhkan. Asumsi pembedaan kondisi dan keyakinan akan kemampuan kita untuk memisahkan keadaan genting dan krisis dari keadaan normal, langkah kontra terorisme dari aturan hukum dan norma yang biasa (?), mengandung arti bahwa 233 tindakan melawan kegentingan atau keadaan darurat bukan ditujukan kepada kita, melainkan terhadap ancaman keselamatan masyarakat dan bahkan negara tersebut. Penerapan secara membabi buta model-model keadaan yang tidak biasa, dalam jangka panjang akan menimbulkan ketidak stabilan terhadap prinsip-prinsip fundamental seperti rule of law , perlindungkan atas hak-hak dan kebebasan yang berlaku. Models of Accomodation. Seorang penulis mengatakan bahwa wacana tentang rezim keadaan darurat dalam masyarakat demokratis hampir secara tetap diatur dengan model-model yang dikelompokkan menurut satu teori umum yang disebut “ models of accomodations”. Semua model tersebut menerima satu tingkat akomodasi bagi tekanan yang terjadi/dilakukan terhadap negara pada saat keadaan darurat, sementara pada waktu yang sama, sebanyak mungkin mempertahankan prinsip dan norma hokum yang normal. Menurut model-model akomodasi tersebut, ketika satu negara dihadapkan kepada keadaan darurat, maka struktur hokum dan bahkan struktur konstitusionalnya agak dilonggarkan dan barangkali bahkan ditangguhkan ( keberlakuannya ) sebagian. Kompromi ini yang memungkinkan kelangsungan dianutnya asas rule of law dan nilai-nilai dasar demokrasi, ketika negara diberikan kewenangan yang cukup untuk menahan puting beliung yang ditimbulkan oleh krisis yang mengancam kehidupan negara dan keselamatan warganya. A. Constitutional Dictatorship in State of Emergency . Gross dan Fionuala memasukkan dalam jenis akomodasi ini kedikatoran Romawi dalam bagian akomodasi klasik, yang diperkenalkan di zaman Romawi dengan mana satu lembaga darurat yang diakui dan instrument pemerintahan yang dibangun dalam kerangka konstitusional. Lembaga ini dipuja oleh Niccolo Machiavelli sebagai lembaga yang dipandang dimasukkan diantara penyebab kebesaran suatu kekaisaran yang adidaya. Kediktatoran konstitusional Romawi dilihat sebagai kegeniusan politik Romawi yang dapat menyelesaikan masalah yang sulit dalam kekuasaan darurat yang tidak ada bandingnya dalam sejarah. Sesungguhnya kediktatoran konstitusional adalah satu model dengan mana suatu negara demokrasi dapat berhasil dalam perang semesta dan masih dapat mempertahankan sifat demokratisnya dengan menggunakan prinsip kediktatoran konstitusional. Kediktatoran konstitusional disusun berdasarkan pengalaman dan atribut kedikatoran Romawi. Pemecahan Romawi atas masalah kekuasaan darurat 234 dipuji sebagai yang paling berhasil dari semua sistem pemerintahan darurat yang dikenal. Unsur-unsur pokok kediktatoran Romawi yang paling terkenal itu adalah:
sifatnya yang sementara _(temporary character); _ 2. pengakuan akan sifat khusus (exceptional) dari keadaan darurat _; _ 3. pengangkatan seorang diktator sesuai dengan bentuk bentuk konstitusional yang khusus , yang memisahkan mereka yang menyatakan keadaan darurat, dan mereka yang menjalankan kekuasaan darurat;
pengangkatan dikator untuk tujuan yang terinci dan terbatas, dan tujuan akhir mempertahankan tertib konstitusi katimbang mengganti atau mengubahnya, sering diangap meletakkan pedoman dasar bagi regiem darurat konstitusional di zaman modern. Pada zaman modern sekarang, ketika krisis negara-negara secara global yang timbul karena pandemi virus corona, Hongaria dan Perancis tampaknya menoleh pada keunggulan kediktatoran Romawi, ketika Parlemen Hongaria dan Perancis menyetujui pemberian kekuasaan besar bagi Perdana Menteri dan/atau Presiden untuk mengeluarkan dekrit dan hukum tanpa persetujuan parlemen untuk menggunakan kekuasaan luar biasa dalam menanggapi pandemik tersebut, termasuk mengeluarkan aturan tanpa persetujuan parlemen dengan aturan mana dimuat juga hukuman penjara bagi yang mengeluarkan disinformasi tentang epidemi atau mengganggu upaya-upaya untuk menahan penyebaran virus corona. Meskipun hal tersebut mendapat kritikan dari Presiden Uni Eropa, Parlemen Hongaria dan Pemerintah Perancis menolak kritikan tersebut dengan mengatakan bahwa undang-undang baru tersebut disesuaikan dengan kebutuhan khusus untuk mengatasi pandemi. Perkembangan itu menunjukkan perlunya aturan yang tegas, keras dan cenderung otoriter dalam kerangka memaksakan ketertiban dan kecepatan penanganan pencegahan penyebaran pandemic, yang memerlukan pengorbanan semua pihak termasuk mengesampingkan perlindungan HAM secara ideal dan sempurna untuk sementara. Di antara kritikan yang dilontarkan terhadap kekuasaan besar eksekutif tersebut, disebut perlunya tinjauan yang teratur, proporsional serta adanya batas waktu. Ini merujuk pada syarat-syarat tentang apa yang disebut sebagai kediktatoran konstitusional sebagai suatu kekuasaan yang diatur dalam konstitusi dengan syarat-syarat yang cukup untuk mengendalikan dampak negative terhadap demokrasi dan rule of law. Melihat kritikan yang muncul dari Komisi Uni Eropa dan 235 hal yang sama terjadi di tanah air setelah diberbitkannya Perpu Nomor 1 Tahun 2020, yang disusul dengan Permohonan Judicial Review Perpu tersebut dalam perkara JR yang telah dinyatakan gugur dengan disetujuinya Perpu menjadi undang-undang a quo, maka dalam sejarah dan praktek ketatanegaran kemudian ternyata memang terdapat suatu keinginan dan kebutuhan mempertahankan kekuasaan luar biasa dalam kondisi genting dan bahaya atau darurat, dengan pengaturan-pengaturan dalam konstitusi dan nomenclatur yang berbeda terhadap kekuasaan yang diperlukan mengatasi keadaan darurat, bahaya atau genting tersebut. B. State of Siege. Model klasik berikut yang disebut oleh Gross dan Fionnuala, adalah state of siege , yang berasal dari sistem hukum kontinental, khususnya Perancis, sebagai mekanisme untuk mengurus keadaan krisis yang ekstrim. Dikatakan bahwa instrumen mengatasi krisis jenis ini sangat dekat dengan teori kediktatoran konstitusional. Keadaan genting dalam state of siege ini tidak menggambarkan adanya keadaan di mana hukum dibatalkan sementara, tetapi gagasan dasar kondisi ini adalah adanya keadaan darurat yang dapat diantisipasi dan tindakan untuk mengatasinya dapat dibentuk secara awal dengan menciptakan aturan hukum yang komprehensif, kerangka hukum yang lengkap menentukan dan merumuskan langkah/tindakan yang harus diambil untuk mengontrol atau mengakhiri tiap keadaan darurat. Untuk mengatur lebih jauh state of siege tersebut, Konstitusi Perancis Republik Kedua tahun 1848 mengadopsi Pasal 106, yang mengatur penerbitan pernyataan state of siege , pengakhiran, dan akibat hukum keadaan darurat tersebut. Akan tetapi patut diingat bahwa menurut Konstitusi Perancis tahun 1878 state of siege hanya dapat dinyatakan dengan undang-undang dan hanya “ dalam hal bahaya yang mengancam dari perang dari luar atau pemberontakan dalam negeri’. Pernyataan state of siege harus ditentukan jangka waktu berlakunya, dan ketika jangka waktu yang disebutkan berakhir, state of siege juga berakhir. Hal itu hanya dibatasi terhadap keadaan yang sangat luar biasa. Kewenangan untuk menyatakan state of siege tersebut hanya berada pada parlemen, termasuk untuk mengakhiri keadaan darurat luar biasa tersebut baik sebahagian atau seluruhnya sebelum masa yang ditentukan dalam pernyataan sebelumnya, dengan deklarasi yang dikeluarkan kemudian. Pengertian yang dianut pada waktu itu bahwa masa berlaku 236 state of siege tersebut relative singkat dan sangat terbatas. Tambahan lagi pernyataan state of siege harus menentukan bagian wailayah negara dimana berlaku state of siege. Ketika state of siege telah dinyatakan maka semua kewenangan untuk “memelihara ketertiban” dialihkan secara menyeluruh kepada pihak militer. Penguasa sipil tetap memegang fungsi dan kewenangan lainnya, dan pengadilan militer akan melaksanakan kewenangan atas tiap pelanggaran yang menyangkut keamanan dan ketertiban Republik serta pelanggaran terhadap konstitusi, kemanan dan ketertiban umum. Terdapat dua hal yang tidak termasuk dalam sistem ini yaitu:
Regiem state of siege tidak melimpahkan kewenangan pembuatan undang- undang kepada eksekutif; dan
State of siege tidak mengakibatkan perubahan mendasar dalam hubungan pembuat undang-undang dengan eksekutif, atau antara pemerintahan sipil dan militer, dan militer tetap tunduk kepada pengarahan dan instruksi dari menteri-menteri. Dengan kata lain, meskipun ada pengalihan kewenangan memelihara ketertiban dan kewenangan lain, militer dan sipil bekerja bahu membahu selama keadaan perang, meskipun secara umum militer tetap sebagai hakim terakhir atas masalah kepolisian dan keamanan.
C. Martial Law -Darurat Militer Jenis keadaan darurat semacam ini merupakan instrumen keadaan darurat dalam sistem common law, yang digunakan mengatur dengan keputusan eksekutif yang memberi kewenangan kepada pemerintah untuk menentukan dengan keputusannya untuk mengambil langkah-langkah yang dipandang perlu untuk mempertahankan negara dan menyatakan keadaan darurat dalam masa permusuhan. Keputusan-keputusan dalam keadaan darurat demikian dipandang memiliki kekuatan yang sama dengan undang- undang. Keadaan Bahaya atau Kegentingan Yang Memaksa. Republik yang ideal harus memiliki lembaga emergency , ketika menghadapi ancaman dan bahaya yang luar biasa, ketika pembuatan keputusan yang normal sangat lambat untuk mengatasi secara efektif krisis yang mengancam. Banyak negara konstitusional modern memuat secara tegas dan terkadang sangat rinci ketentuan-ketentuan tentang keadaan darurat. Meskipun banyak dipergunakan negara di masa modern, akan tetapi 237 beberapa negara seperti Amerika Serikat, Jepang dan Belgia, hampir tidak mengenal rujukan kepada keadaan darurat dan kekuasaan darurat. Konstitusi Amerika hanya secara tidak langsung merujuk kepada kedaruratan tersebut dalam Pasal 1 Ayat (9) kalimat kelima belas (15) yang memberikan kekuasaan kepada Kongres “memanggil wajib militer untuk melaksanakan undang-undang Negara Federal, memadamkan pemberontakan dan menahan invasi”. Sedang Pasal 1 ayat (9) Kalimat Kedua yang menyatakan bahwa Hak istimewa Habeas Corpus tidak boleh ditangguhkan kecuali keamanan umum membutuhkan ketika terjadi pemberontakan atau invasi. Dan meskipun disebut dalam pasal-pasal lain tentang perang dan masa perang, tidak ada kewenangan khusus yang diberikan kepada cabang eksekutif dalam keadaan mendesak demikian. Constitutional Necessity Ketika aturan yang memberikan kewenangan menyangkut keadaan darurat tidak termuat dalam konstitusi, orang mencoba untuk mempertegas kewenangan darurat yang tersedia bagi pemerintah untuk menghadapi kegentingan secara khusus dalam struktur konstitusi adalah dengan beralih kepada prinsip kebutuhan ( principle of necessity ) baik sebagai sumber hokum yang berdiri sendiri atau sebagai cita-hukum ( rechtsidee ) yang menjadi sumber aturan (meta-rule) dari konstruksi konstitusi. Dalam kedua pandangan tersebut “kebutuhan ( necessity )” berlaku sebagai prinsip konstitusi yang dapat mengesahkan hal yang sebaliknya tidak sah bahkan inkonstitusional. Necessity , menciptakan hukum konstitusi yang baru dengan cara menyimpang dari, dan bertentangan dengan, norma konstitusi yang ada, atau dia membentuk konstruksi konstitusi dengan cara yang baru. Untuk melihat aplikasi necessity dan meta - rule constitutional construction ini, dapat kita lihat perkembangan jurisprudensi atau case law sebagaimana secara bertahap memberikan kewenangan dalam keadaan darurat dalam putusan Mahkamah Agung Amerika Serikat, tentang kewenangan memanggil wajib militer dan kedudukan wajib militer tersebut dalam keadaan perang di bawah perintah Presiden Amerika Serikat sebagai Panglima Angkatan Perang. Pasal 2, ayat 2 Kalimat Pertama, berbunyi: “ The President shall be Commander in Chief…of the Militia of the several States, when called into the actual Service of the United States…” 238 Pada tahun 1792, Congres membuat Undang-Undang, yang memberi izin kepada Presiden memanggil milisi utuk memadamkan pemberontakan. Kewenangan ini awalnya dibatasi pada kejadian yang tidak dapat ditangani oleh Pengadilan atau Polisi dalam tugasnya. Undang-undang itu juga menyatakan bahwa hakim harus lebih dahulu menyatakan keadaan diluar kewenangan kekuasaan yang sah dan menyatakan bahwa Presiden harus memperingatkan pemberontak untuk mengakhiri kegiatannya sebelum menyatakan wajib militer. Ketika perang tahun 1812, Presiden James Madison memanggil wajib miter, tetapi Negara Bagian New England menentang perang dan kewenangan Presiden serta mengancam akan memisahkan diri. Mahkamah Agung Negara Bagian Massachuset mengeluarkan pendapat hukum yang menyatakan bahwa Gubernur atau Panglima Perang Negara Bagian mempunyai kewenangan ekslusif untuk menyatakan keadaa darurat dan memanggil milisi. Keputusan ini secara efektif diakui sebagai kewenangan veto Gubernur atas penggunaan milisi masing-masing negara bagian. Pasal 1 ayat (8) kalimat 15 dan Pasal II ayat (2) kalimat Pertama Konstitusi Amerika menyatakan secara khusus memberi kewenangan, masing-masing kepada Kongres dan Presiden, kekuasaan untuk memanggil milisi dalam tugas aktif pada Amerika Serikat. Menjawab argument kewenangan negara bagian, James Monroe menyatakan bahwa ketika milisi dipanggil untuk tugas negara (Federal) Amerika Serikat, semua kewenangan negara bagian atas milisi berakhir. Tahun 1872 Mahkamah Agung Amerika Serikat dalam perkara Martin v Mott, dalam putusan yang ditulis oleh Hakim Joseph Story menyatakan, “Semua hakim MA berpendapat bahwa kewenangan untuk menentukan apakah terdapat keadaan darurat, dimiliki secara ekslusif oleh Presiden, dan keputusannya mengikat semua orang”. Kemudian tahun 1849 dalam perkara Luther v Borden, MA menyatakan bahwa bukan hanya keputusan Presiden memanggil milisi sebagai jawaban atas keadaan darurat tidak memerlukan persetujuan eksekutif negara bagian, juga keputusan Presiden demikian juga tidak tunduk pada judicial review. Tahun 1980, Gubernur-gubernur Negara Bagian kembali menentang kewenangan Presiden tersebut, dan mengemukakan bahwa merupakan hak prerogative mereka untuk memberikan persetujuan. Sebagai 239 akibatnya Congres mengeluarkan Amendemen Montgomery yang melarang Gubernur untuk menggunakan persetujuan bagi National Guard yang bertugas di luar Amerika Serikat. Kemudian ada JR yang menyatakan bahwa Mongomery Amendment inkonstitusional, tetapi akhirnya Mahkamah Agung Amerika Serikat menyatakan supremasi kewenangan Presiden atas operasi milisi ketika dipanggil untuk menjalani tugas negara, dan Mahkamah Agung juga menyatakan bahwa Gubernur negara bagian tidak dapat memveto penggunaan milisi negara bagian ketika dipanggil oleh negara sesuai dengan Kewenangan Konstitusional Kongres dan kewenangan konstitusional Presiden. Keadaan Bahaya dan Kegentingan Memaksa. Kondisi Negara dalam krisis tentu wajar membutuhkan penanganan yang tidak biasa. Dikatakan bahwa instrument mengatasi krisis jenis tertentu yang mengancam wilayah, masyarakat dan negara, membutuhkan langkah cepat dan keras, yang sangat dekat dengan teori kediktatoran konstitusional. Keadaan genting dalam state of exigencies ( keadaan genting) __ ini menggambarkan adanya keadaan di mana hukum perlu sementara berada dalam prosedur yang tidak biasa untuk memungkinkan diambil langkah-langkah yang tidak terhambat oleh prosedur- prosedur biasa. Gagasan dasar kondisi ini adalah adanya keadaan darurat yang dapat diantisipasi dan tindakan yang mengatasinya dapat dibentuk secara awal dengan menciptakan aturan hukum yang komprehensif, kerangka hukum yang lengkap untuk menentukan dan merumuskan langkah/tindakan yang harus diambil untuk mengontrol atau mengakhiri tiap keadaan darurat atau genting. “ Dalam hal bahaya yang mengancam akibat perang dari luar atau pemberontakan dalam negeri’, kerusuhan social yang berskala besar, membutuhkan kewenangan yang tidak biasa seperti yang telah disebutkan. Pernyataan genting dan memberikan kewenangan untuk mengambil langkah- langkah yang berada di luar ketentuan hukum yang biasa, menunjukkan perlunya aturan yang tegas, keras dan cenderung otoriter dalam kerangka memaksakan ketertiban dan kecepatan penanganan pencegahan penyebaran pandemic, yang juga memerlukan pengorbanan semua pihak termasuk mengesampingkan perlindungan HAM secara ideal dan sempurna untuk sementara. Oleh karena itu memang harus ditentukan jangka waktu berlakunya, dan ketika jangka waktu yang disebutkan berakhir yaitu kegentingan yang disebut memaksa tersebut berakhir, 240 maka berakhir juga pemberian kewenangan secara luar biasa tersebut kepada Presiden. Hal itu hanya dibatasi terhadap keadaan yang sangat luar biasa. Dasar Pembentukan Perpu. Dalam sejarah kehidupan negara kita disebutkan bahwa pada masa pemerintahan SBY, dalam masa 10 (sepuluh) tahun, Presiden SBY mengeluarkan Perpu terbanyak, dengan jumlah Perpu. Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 menyatakan “Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”. Pengertian hal ihkwal kegentingan yang memaksa tersebut telah diperjelas oleh MK dengan merumuskan syarat-syarat yang disebut dalam Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 sebagai dasar untuk “hal ikhwal kegentingan yang memaksa” yaitu:
Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang;
Undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada, sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai;
Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang dengan prosedur biasa karena akan membutuhkan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan mendesak tersebut perlu kepastian hukum untuk diselesaikan. Landasan hukum yang dipergunakan untuk membentuk Perpu yang disebut seluruhnya adalah karena adanya “ kegentingan memaksa”, yang kemudian dilandaskan pada 3 (tiga) hal yang disebut dalam putusan MK tersebut, sehingga timbul pertanyaan apakah dalam keadaan seperti ancaman dan bahaya yang timbul akibat keadaan darurat karena potensi serangan baik yang bersifat militer, dalam arti ancaman invasi kekuatan asing, ancaman pemberontakan atau pergolakan dalam negeri yang berpotensi menghancurkan kesatuan dan integrasi bangsa dan negara baik secara ideologis maupun secara geografis, yang berpotensi juga terhadap keutuhan wilayah dan keamanan jiwa dan raga, termasuk terhadap ancaman pandemic yang membahayakan nyawa dalam skala besar dan dampak social, politik, dan ekonomi yang luas, UUD 1945 memiliki landasan hukum lain yang boleh juga menyebabkan dipergunakannya kebijakan pemerintahan yang didasarkan pada suatu peraturan perundang-undangan. 241 Pandemi Covid sudah barang tentu bukanlah hal yang biasa atau kondisi normal, yang secara umum boleh dikategorikan dalam keadaan genting, yang memaksa penyelenggara pemerintahan untuk mengambil langkah-langkah yang cepat dan tidak biasa dalam kerangka memenuhi amanat konstitusi “ untuk melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia”. Tetapi dengan bukti angka-angka kematian yang timbul dari covid-19, apakah “kegentingan memaksa” yang disebut dalam Pasal 22 sama dengan “keadaan bahaya” yang disebut dalam Pasal 12 UUD 1945. Tidak perlu pembuktian lebih lanjut tentang keadaan bahaya, kegentingan memaksa, state of emergency yang terjadi karena hal itu dengan sifatnya yang meliputi dunia, termasuk dengan pernyataan WHO tentang Pandemi-Covid 19 dengan angka kematian yang tinggi dan belum ada obat yang dapat mengatasinya (sampai akhir 2020). Terlebih lagi dengan pernyataan para ahli tentang kemungkinan mutasi virus yang diprediksi secara keilmuan mengakibatkan jenis yang berbeda yang boleh jadi tidak dapat dihambat dengan suatu jenis vaccine tertetu saja. Oleh karenanya banyak langkah yang harus dilakukan secara cepat untuk perawatan dan pengobatan serta pencegahan, yang menjadi kewajiban negara secara konstitusional untuk melindungi segenap bangsa, mengakibatkan dampak beban keuangan yang sangat besar yang berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi, pengurangan pendapatan negara, pengangguran dan kebangkrutan, dan bahkan jika tidak tertangani secara baik kemungkinan boleh jadi berkembang kearah krisis politik. Semua hal itu membutuhkan langkah cepat dan pengerahan keuangan negara, yang harus diberi landasan hukum yang baru sesuai dengan kondisi yang dihadapi. Kondisi yang terjadi sekarang, pasti memenuhi bunyi Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang menyebut bahwa dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, dengan 3 (kondisi) yang disebut dalam putusan MK tersebut, sehingga Presiden berhak mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang. Tetapi kondisi yang dihadapi sekarang ini dalam hal Pandemi covid-19, jauh lebih besar dari sekedar kegentingan yang disebut dalam Pasal 22 UUD 1945, karena unsur ancaman dan korban yang secara riil sudah demikian besar, yang potensinya berkembang masih berlanjut, yang juga mengancam penyelenggara negara dan petugas kesehatan itu sendiri. Hal-hal ini tidak perlu terjadi dalam hal kegentingan memaksa yang diatasi dengan Perpu berdasarkan Pasal 22 UUD 1945. Oleh karena kondisi yang sedemikian besar ancaman dan bahayanya, sehingga 242 negara sebenarnya berada dalam keadaan bahaya atau darurat , maka landasan yang dipergunakan tidak cukup hanya Pasal 22 UUD 1945, seperti halnya pengalaman perjalanan Negara Republik Indonesia. Dalam keadaan bahaya yang masih mengancam seperti saat ini, Pasal 12 UUD 1945 juga seharusnya digunakan bersama-sama Pasal 22 atau mungkin lebih tepat dikaitkan dengan Pasal 22, jika kondisi ini adalah keadaan bahaya yang dimaksud. Dalam pengalaman dibawah UUD Sementara Republik Indonesia maupun UUD 1945 sebelum Dekrit Presiden 5 juli 1959, dan sebelum Perubahan tahun 1999, masing-masing kita mengenal adanya Undang-Undang Darurat dan Undang-Undang Keadaan Bahaya yang berlaku sampai 16 Desember 1959, yang kemudian telah di dasarkan pada Undang- Undang Nomor 23 Tahun 1959 tentang keadaan bahaya. Sesungguhnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009, dalam pertimbangannya secara ringkas sebenarnya telah merujuk pada Pasal 12 UUD 1945, dengan menyatakan bahwa “keadaan bahaya” yang disebut dalam Pasal 12 UUD 1945 menjadi suatu bagian dari “kegentingan memaksa” dalam Pasal 22 UUD 1945 dengan pernyataan bahwa pengertian kegentingan yang memaksa tidak dimaknai sebatas hanya adanya bahaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 UUD 1945. Memang benar bahwa keadaan bahaya sebagaimana dimaksud oleh Pasal 12 UUD 1945 dapat menyebabkan proses pembentukan undang-undang secara biasa atau normal tidak dapat dilaksanakan, namun keadaan bahaya bukanlah satu-satunya keadaan yang dapat menyebabkan timbulnya kegentingan yang memaksa sebagaimana dimaksud dalam pasal 22 ayat (1) UUD 1945. Yang menjadi pertanyaan yang harus dapat dijawab apakah norma yang dilahirkan atas dasar Perpu yang timbul sebagai bagian sistem hukum yang bersifat darurat ( state of emergency and law in crisis) yang sesungguhnya sementara mentolerir penyimpangan konstitusi, dan ketika disetujui sebagai undang-undang, menjadi masuk dalam bagian sistem hukum yang bersifat normal (state of normalcy ) Inilah sesungguhnya yang menjadi masalah utama ketika kita berbicara tentang pengujian UU Nomor 2 Tahun 2020 yang berasal dari Perpu Nomor 1 tahun 2020. Berdasarkan keadaan darurat yang menjadi dasar pembentukan Perpu sebagai law in time of crisis, yang mentolerir penyimpangan beberapa prinsip konstitusi dan rule of law, tetapi ketika mendapat persetujuan DPR menjadi undang-undang, kemudian dijadikan bagian dari sistem hukum keadaan normal? __ Pasti jawabannya tidak. Keadaan darurat dan law in time of crisis seperti halnya suatu constitutional 243 dictatorship, memiliki batasan waktu, ketika state of emergency telah berakhir maka law in crisis yang abnormal membutuhkan tindakan pengakhiran. Dasar Hukum Perpu. Secara khusus, AB Kusuma menyebut dengan to the point, Perppu harus didasarkan pada Pasal 12 dan Pasal 22 UUD 1945, meskipun keluar dari pakem, dan meskipun ada semantic confusion (kerancuan istilah). Dari Tahun `1945 sampai tahun 2020 Perpu yang dikeluarkan hanya didasarkan pada Pasal 22 saja, kecuali Perpu nomor 23 tahun 1959 yang didasakan pada Pasal 12 dan 22. Dari Pasal 12 dirumuskan ketentuan bahwa Presiden dapat menyatakan negara dalam keadaan bahaya dengan tingkat keadaan “darurat sipil”, atau “darurat militer atau “keadaan perang” dan Pasal 22 untuk memenuhi “kekosongan hukum”. Mengingat Perpu 1 Tahun 2020 mempunyai ciri “negara dalam keadaan bahaya”, maka seharusnya dipakai Pasal 12, maka Perppu harus menyatakan bahwa dasarnya Pasal 12 dan 22, harus dideklarasikan, harus berlaku untuk sementara, harus memuat apa saja kekuasaan istimewa untuk menangguhkan atau membatasi fundamental rights dan prinsip pemerintahan yang demokratis dan harus memuat pengawasan dari lembaga judisial. Mengingat ketentuan itu tidak tercantum, maka dapat disimpulkan bahwa Perpu Nomor 1/2020 yang menjadi UU Nomor 2 Tahun 2020, inkonstitusional. Sebagai perbandingan T Ginsburg menulis di Harvard Law Review April 2020 yang menyatakan: “bila negara dalam emergency law, maka perlu _diupayakan agar tidak terjadi abuse of powers dengan mengadakan ketentuan:
_ Providing for legislative and judicial oversight for the executive, 2. Limiting exceptional measures to those strictly necessary, 3. Ensuring that such powers endure only for the duration of outbreak. Nyatanya tidak ada ketentuan di dalam Perppu bahwa judiciary boleh melakukan oversight. Yang ada kebalikannya. Bahwa anggota KKSK kebal hukum dengan pernyataan bahwa: anggota KKSK tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana, serta….”segala tindakan…bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan ke PTUN. Dan di Perppu ada ketentuan bahwa deficit dapat melampaui 3 persen selama 3 tahun (sampai tahun 2023), padahal ada ketentuan dalam UUD bahwa APBN ditetapkan setiap tahun dengan persetujuan DPR. Hal itu jelas melanggar konstitusi dan ada batas waktu berlakunya yang harus mendapat persetujuan DPR. Demikian pula penerbitan SUN (apalagi dengan Tenor 50 Tahun) melanggar Pasal 11 UUD. HukumTata Negara darurat bersifat dinamis. Di Belanda, nama dan istilah banyak berubah. Konsep juga 244 berubah emergency law (staatsnoodrecht) terdiri dari Coordinatiewet Uitzonderingstoestanden Oorlogswet door Nederland, dan Wet Buitengewone Bevoegheden Burgelijk Gezag . HTN Darurat terdiri dari “limited state of emergency” , dan general state of emergency . Istilah Maria Law tidak lagi digunakan. Mungkin Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara -HukumAdministrasi Negara bisa menemukan istilah, ump HTN Darurat Ringan untuk yang berdasar Pasal 22, dan HTN darurat Berat berdasarkan Pasal 12 UUD 1945. Di India, emergency provision tercantum di Pasal 352 (yang dapat menangguhkan fundamental rights) sampai Pasal 360 (provision as financial emergency) yang dapat menurunkan gaji ASN. Di Amerika, menurut Emergency Act 1976 Presiden memiliki “ statutory powers ”, dengan mana Presiden dapat membuat emergency law untuk hal yang dipandangnya penting, kecuali menangguhkan habeas corpus . Syaratnya Presiden harus mendeklarasikan kekuasaan apa yang akan dipergunakan dan berlaku selama satu tahun. Dapat diperpanjang berkali-kali asalkan disetujui congress. Konstitusionalitas Undang-Undang Nomor 2/2020 Juncto Perpu Nomor 1/2020 Salah satu keberatan besar dalam Judicial review yang diajukan terhadap Perpu Nomor 1 Tahun 2020 yang telah disahkan menjadi undang-undang Nomor 2 Tahun 2020 adaalah Pasal 27 dan Pasal 28 Undang-Undang a quo. Pasal 28 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 yang telah disetujui menjadi undang-undang nomor 2 Tahun 2020, menyatakan bahwa pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku maka “beberapa pengaturan yang sebelumnya telah diatur oleh Undang-Undang lainnya, dinyatakan tidak berlaku sepanjang berkaitan dengan kebijakan keuangan Negara untuk penenganan penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan berdasarkan Perppu ini.” Pemberlakukan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 mengubah beberapa pengaturan yang sebelumnya telah diatur oleh Undang-Undang lainnya yang terkait dengan kebijakan keuangan Negara dan stabilitas sistem keuangan yang meliputi:
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2009;
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009, (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; 245 (4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara;
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009;
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat. Ruang lingkup perubahan tersebut dapat diklasifikasi dalam 12 (dua belas) kelompok bidang regulasi, dengan diberlakukannya Perppu Nomor 1 Tahun 2020 secara umum, sebagai berikut: a) Bidang Perpajakan, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Perppu Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menjadi Undang-Undang.
Perpanjangan batas waktu hingga dua bulan atas pengembalian kelebihan pajak;
Perpanjangan batas waktu atas penerbitan Surat Ketepan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak sampai dengan 16 bulan;
Perpanjangan batas waktu pengajuan keberatan sampai dengan Sembilan bulan;
Perpanjangan batas waktu penyelesaian keputusan atas keberatan Wajib Pajak hingga 18 bulan sejak tanggal surat keberatan diterima; dan
Perpanjangan batas waktu penerbitan surat keputusan atas permohonan pengurangan atau pembatalan atau penghapusan sanksi administrasi, pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak yang tidak benar, pembatalan hasil pemeriksaan hingga 12 bulan. b) Bidang Perbankan, yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Perpu ini memberikan kewenangan bagi Bank Indonesia untuk membeli membeli Surat Utang Negara (SUN) dan/atau Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) berjangka panjang di pasar perdana. Pengaturan sebelumnya dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia disebutkan bahwa Bank Indonesia dilarang membeli untuk diri sendiri surat-surat utang Negara, kecuali di pasar skunder. Kewenagan tersebut diberikan untuk membantu pemerintah jika pasar tidak dapat menyerap SUN dan/atau SBSN yang tertebitkan pemerintah, sehingga dapat menjaga suku bunga tidak terlalu 246 tinggi, serta untuk membantu likuiditas pemerintah dalam penanganan pandemic Covid-19. c) Bidang Keuangan Negara, yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Perubahan pengaturan tentang batas maksimum defisit anggaran, sebagai antisipasi terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional, penurunan penerimaan Negara, dan peningkatan belanja Negara dan pembiayaan;
Pemerintah dapat melakukan pergeseran anggaran antar unit organisasi, antarfungsi dan/atau antarprogram tanpa persetujuan DPR;
Pemberian kewenangan penuh kepada pemerintah untuk memberikan hibah kepada pemerintah daerah tanpa memerlukan persetujuan DPR;
Pemberian hibah kepada LPS sebagai kewenangan pemerintah tanpa memerlukan persetujuan DPR; dan
Penerimaan pembiayan untuk menangulangi Defisit pada APBD dengan menggunakan si LPA Tahun yang lalu masih dimungkinkan. d) Bidang Perbendaharaan Negara, yang sebelumnya diatur oleh Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Perubahan ketentuan ini berkaitan dengan ketentuan dalam Pasal 27 ayat (4) juncto Pasal 28 ayat (4) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang mengatur pada prinsipnya bahwa dalam keadaan darurat Pemerintah/Pemrintah Daerah dapat melakukan pengeluaran yang belum tersedia anggaranya, yang selanjutnya diusulkan dalan rancangan perubahan APBN dan/atau disampaikan dalam Laporan Realisasi Anggaran. e) Bidang Penjaminan Simpanan, yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penetapan Perpu Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan menjadi Undang-Undang.
Pelebaran kriteria pertimbangan dalam pengambilan keputusan untuk menyelamatkan atau tidak menyelamatkan suatu Bank; dan
LPS sekurang-kurangnya melakukan perhitungan atas perkiraan biaya penyelamatan dan perkiraan biaya tidak melakukan penyelamatan Bank Gagal. Apabila LPS mengalami kesulitan likuiditas maka LPS dapat memperoleh pinjaman dari pemerintah. 247 f) Bidang Pertimbangan Keuangan, yang sebelumnya diatur oleh Undang- Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Pertimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Pengaturan sebelumnya ada batas minimal alokasi DAU dalam APBN dan kemudian diatur menjadi tidak ada batas minimal alokasi DAU dalam APBN;
Penetapan batasan deficit anggaran yang awalnya ada maksimum deficit menjadi tidak ada maksimum defisit. Melalui Perpu Nomor 1 Tahun 2020 Pemerintah berencana menambah alokasi belanja dan pembiayaan dalam APBN 2020 sebesar Rp405,1 Trilyun. Konsekuensi dari naiknya belanja Negara adalah deficit APBN yang bertambah hingga 5,07% dari produk domestic bruto (PDB);
Terdapat perbedaan antara Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 dengan Perpu terkait sangsi berupa penundaan atas penyaluran Dana Perimbangan menjadi tidak ada pengenaan sanksi; dan
Terdapat perbedaan antara Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 dengan Perppu terkait waktu pemberlakuan DAU. g) Bidang kesehatan, yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan. Ketentuan sesuai Undang-Undang Kesehatan terdapat alokasi minimal 5% untuk bidang kesehatan dari APBN sedangkan dalam Perppu dimungkinkan adanya tambahan belanja dan pembiayaan APBN 2020 sehingga alokasi yang diberikan untuk bidang kesehatan akan lebih besar dari yang diatur oleh Undang-Undang Kesehatan dalam rangka penanggulangan pandemic Covid- 19. h) Bidang Desa, yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Dana yang seharusnya wajib dialokasikan untuk pembangunan desa sebesar 10% dalam Undang-Undang Desa menjadi dilakukan penyesuaian alokasi Dana Desa, antara lain berupa penyesuaian pagu anggaran Dana Desa. Hal ini terkait dengan pengutamaan penggunaan Dana Desa, yang dapat digunakan antara lain untuk bantuan langsung tunai kepada penduduk miskin di desa dan kegiatan penanganan pandemic Covid-19. i). Bidang Pemerintah Daerah, yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pemerintah Daerah. 248 1) Syarat perubahan APBD dicabut sehingga dengan adanya Perppu dimungkinkan penggunaan anggaran mendahului perubahan dalam APBD. Pemerintah daerah dapat melakukan pengeluaran anggaran terkait penenganan Covit-19 dan dampaknya meskipun mendahului pembahasan atau pengesahan APBD-P 2020, sehingga hanya merubah Peraturan Kepala Daerah (Perkada) tentang penjabaran APBD TA 2020; dan
Kewenangan DPRD dialihkan kepada Kepala Daerah dilakukan dalam rangka percepatan penggunaan dana dari APBD untuk penanganan Covid- 19. i) Bidang Kelembagaan MPR, DPR, DPD, dan DPRD, yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD. Perppu ini mengatur perubahan kebijakan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 terkait perubahan APBN dapat dilakukan melalui perubahan postur dan rincian APBN sehingga tidak memerlukan persetujuan DPR. j) Bidang Pencegahan dan Penangganan Krisis Sistem Keuangan, yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan.
Perubahaan ruang lingkup pernilaian yang dilakukan oleh OJK dan Bank Indonesia sehingga mencakup Bank sistemik dan Bank selain Bank sistemik; dan 2) Tidak ada keharusan adanya agunan dalam pemberian pinjaman likuiditas jangka pendek atau pembiayaan likuiditas jangka pendek berdasarkan prinsip syariah. k) Bidang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2019 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Pemerintah diberikan kewenangan untuk melakukan penyesuaian besaran belanja wajib ( mandatory spending );
Pemerintah diberikan kewenangan untuk melakukan perubahan APBN tanpa harus melakukan pembahasan bersama DPR melalui perubahan postur dan rincian APBN; 249 3) Pemerintah diberikan kewenangan untuk penggunaan atas dana-dana tersebut dalam penanganan Covid-19 tanpa memerlukan ketetapan Meteri Keuangan dan tanpa kewajiban pelaporan dalam APBN;
Pemerintah diberikan kewenangan untuk mengeluarkan kewajiban baru seperti mengalokasikan tambahan belanja dan pembiayaan APBN-TA 2020 untuk penenganan Covid-19 yang memerlukan fleksibilitas. Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang APBN harus dirubah yaitu ketentuan terkait syarat peruntukan, perlunya ketetapan Menkue tentang penggunaan SAL, Kewenangan DPR, syarat pinjaman kuantitatif, sumber dana dan penetapan tingkat kemiskinana;
Pemerintah diberikan fleksibilitas dalam melaksanaan APBN karena tidak ada target berupa angka yang ditentukan; dan
Tidak lagi diatur mengenai pelaporan dalam APBN-P tahun berjalan atau dalam LKPP, dalam hal terjadi pemberian pinjaman. Dan dalam rangka mengakomodir amanat Perppu Nomor 1 Tahun 2020, maka diperlukan peraturan pelaksanaan yang mengatur lebih rinci untuk menjamin implementasi Perppu secara konsisten dan efektif. Perppu Nomor 1 Tahun 2020 mengamanatkan adanya peraturan pelaksanaan sebagai berikut: a) 7 (Tujuh) Peraturan Pemerintah, sesuai amanat pada Pasal 5 ayat (3), Pasal 6 ayat (12), Pasal 11 ayat (7), Pasal 15 ayat (3). Pasal 20 ayat (1), Pasal 20 ayat (2), Pasal 22 ayat (1); b) 1 (Satu) Peraturan Presiden, sesuai amanat pada Pasal 12 ayat (2); c) 1 (Satu) Peraturan BI, sesuai amanat pada Pasal 16 ayat (2); d) 1 (Satu) Peraturan OJK, sesuai amanat pada Pasal 23 ayat (2); e) 2 (Dua) Peraturan Bersama Menteri Keuangan dan Bank Indonesia, sesuai amanat pada Pasal 18 ayat (4) dan Pasal 19 ayat (3); f) 7 (Tujuh) Peraturan Menteri Keuangan sesuai amanat pada Pasal 2 ayat (2), Pasal 6 ayat (13), Pasal 7 ayat (7), Pasal 10 ayat (1), Pasal 10 ayat (2), dan Pasal 24 ayat (2); dan g) 1 (Satu) Peraturan Menteri Dalam Negeri sesuai amanat pada Pasal 3 ayat (2). Kita dapat melihat luas ruang lingkup dampak diterbitkannya Perpu Nomor 1 Tahun 2020 dalam peraturan perundang-undangan di bidangan keuangan dan kesehatan, sehingga melahirkan keberatan yang diuatarakan dalam argument judicial review yang diajukan. Akan tetapi justru dalam keadaan darurat dan krisis 250 yang membutuhkan gerakan cepat dalam mengambil langkah-langkah untuk mengatasi keadaan krisis dan dampaknya terhadap kehidupan social, politik, ekonomi masyarakat, konstitusi memberi keleluasaan untuk mengambil langkah tersebut. Justru untuk menghadapi kondisi bahaya atau darurat dan genting demikian, konstitusi menyediakan dasar hukum bertindak untuk membentuk hukum mengatasi krisis dan keadaan darurat. Demikian juga kesan yang ditimbulkan bahwa Pasal 27 memberi impunitas pada koruptor, sesungguhnya tidak benar. Kalau dibaca secara cermat pasal 27 ayat (1) Perpu yang menyatakan bahwa para pejabat yang disebut dalam pasal tersebut, dalam rangka melaksanakan Perpu 1/2020 tidak dapat dituntut secara pidana dan perdata, adalah jikalau dalam menjalankan tugasnya di dasarkan pada itikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan merupakan amanat yang tegas, agar tidak terjadi kriminalisasi terhadap Pejabat yang disebutkan jika mereka telah melakukan tugas berdasar undang-undang dan secara itikad baik. Itikad baik tersebut diartikan sebagai pelaksanaan tugas secara jujur. Ketentuan Pasal 2 dan 3 UU Pemberantasan Tindak pidana Korupsi merumuskan unsur melawan hukum, merugikan keuangan negara dan menguntungkan orang lain, jika dipenuhi baru dapat dituntut kedepan peradilan. Mungkin juga pesan lain, karena selama ini, terjadi mengabaikan doktrin hukum pidana yang disebut dengan ultimum remedium atau hukum pidana sebagai upaya hukum terakhir maka secara tidak perlu sesungguhnya hal itu telah dituliskan. Biarlah Hukum Tata Usaha Negara dulu menyelesaikan masalah hukumnya kalau ada pelanggaran dan kalau ada kerugian yang timbul karena pelanggaran atau kelalaian yang dilakukan, maka akan dituntut untuk dikembalikan secara administrasi. Pasal 27 ayat 2 adalah justru merupakan keadaan yang diperlukan untuk menghindari kemacetan karena adanya gugatan-gugatan yang mungkin diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara yang dapat menghambat langkah-langkah yang memerlukan kecepatan mengatasi keadaan genting dan bahkan kadang-kadang darurat, karena adanya perintah penangguhan pelaksanaan keputusan TUN dalam Perpu yang mungkin diperintahkan Hakim. Tetapi tidak berarti hukum pidana dalam noodstaatsrecht dikesampingkan, melainkan hanya soal momentum yang diminta untuk dipahami oleh penegak hukum. Secara khusus AB. Kusuma yang mengkritisi tulisan Mahfud di Jawa Pos mengecewakan, bahkan bernada “juristerij ”, dengan menyatakan bahwa Pasal 27 251 memberikan kekebalan hukum tidak tepat, karena disitu dikatakan bahwa yang tidak bisa dituntut adalah para pejabat yang melakukan tugasnya dengan baik dan berdasar peraturan perundang-undangan. Mahfud MD berpendapat bahwa soal Mens Rea dan Actus Reus adalah merupakan bidang hukum pidana bukan ranah HTN. AB. Kusuma berpendapat, Perppu adalah ranah HTN sehingga Pasal 27 dapat melindungi oknum yang akan menyalahgunakan kekuasaan dengan menyatakan “saya beriktikad baik”. Lepas dari perbedaan pandangan tersebut, dan sesungguhnya tanpa memperdebatkannya secara panjang lebar, kita dapat merujuk saja kepada kasus Menteri Sosial dan beberapa pejabat lain serta pengusaha yang berkolusi telah ditangkap, ditahan dan diajukan kedepan persidangan pengadilan dengan tuduhan korupsi. Hal ini menjadi bukti kongkrit bahwa tidak terjadi impunitas. Jenis Perpu Yang Tidak Dikenal Perbedaannya. Kami menyetujui pandangan Jimly Asshidiqie yang menyatakan perlunya dibedakan Perpu yang dimaksudkan sebagai aturan Undang-Undang yang akan berlaku selanjutnya setelah disetujui oleh DPR sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 22 ayat (2) dan (3) yang mewajibkan Perpu disampaikan kepada DPR pada persidangan berikut untuk mendapat persetujuan, dan adanya kemungkinan Perpu tidak disetujui sehingga Perpu harus dicabut. Ini adalah bagian dari pengawasan DPR, yang sesungguhnya dalam masa darurat juga berlaku ketika kewenangan Presiden dalam keadaan bahaya dan darurat itu dipergunakan. Pasal 22 ayat (2) dan (3) UUD 1945 adalah bagian pengawasan. Tetapi ketika seperti disebutkan agar Perpu Nomor 1 Tahun 2020 ini jangan dulu diajukan ke DPR dan dicari kesepakatan untuk tidak dibahas, maka potensi Presiden melanggar konstitusi menjadi terbuka, kalau dengan sengaja tidak mengajukan Perpu ke DPR dalam sidang berikut, sebagai bagian kewenangan konstitusional DPR dalam pengawasan. Memang Perpu sederajat dengan Undang-undang, dan boleh mengatur segala bidang yang diatur dengan undang-undang, asal saja memenuhi syarat “kegentingan yang memaksa”, yang tidak diartikan sekedar sebagai adanya undang-undang Darurat, tetapi selain keadaan mendesak dan segera, Perpu diadakan untuk penyelenggaraan pemerintahan secara luas yaitu seluruh penyelenggara negara atau terbatas pada penyelenggaraan administrasi negara. Cakupan yang luas dalam sejarah tatanegara kita berdasar pengalaman UUDS 1950 pernah dibuat Undang-Undang Darurat DRT Nomor 7 Tahun 1955 menyangkut Tindak Pidana Ekonomi, yang juga memuat hukum formil maupun 252 hukum materiil. Pembatasan waktu sesungguhnya terkandung dalam Pasal 22 ayat (2) UUD 1945, yaitu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan berikut. Pengertian sidang berikut, diartikan sesuai dengan pembagian masa sidang dalam setahun, sehingga ketika Perpu dibentuk, maka sidang setelah terbitnya Perpu merupakan time frame bahwa Perpu harus diajukan ke DPR untuk mendapat persetujuan atau tidak. Persoalan, bagaimana jikalau Perpu tidak diajukan ke DPR pada sidang berikutnya? Sudah barang tentu terdapat masalah konstitusi dalam hal ini, yang merupakan kegagalan memenuhi amanat konstitusi dalam Pasal 22 ayat (2). Bagir Manan menyatakan bahwa Perpu yang tidak diajukan ke DPR pada masa sidang berikut, harus dianggap tidak mempunyai kekuatan berlaku yang disebut dalam UUD, sebagai pemahaman yang tidak berlaku lagi karena melampaui waktu, yang sangat penting untuk mencegah mempermanenkan kedaruratan yang merupakan pembenaran penyimpangan dari suatu sistem normal. Dikatakan lebih jauh lagi, bahwa DPR juga harus mengambil inisiatif agar Perpu diajukan ke DPR untuk memenuhi kewenangan konstitusional DPR dalam bidang pengawasan. Tetapi dengan melihat pembedaan yang diperlukan tentang Perpu yang didasarkan pada Pasal 22 UUD 1945 dengan Perpu yang didasarkan pada Pasal 12 UUD 1945, justru menjadi persoalan apakah Perpu itu harus disahkan menjadi undang- undang sehingga menjadi bagian dari sistem hukum dalam kondisi normal, atau seharusnya dengan berlalunya suatu waktu tertentu ancaman bahaya telah berlalu, Perpu tersebut sebagai hukum dalam kondisi abnormal-darurat atau keadaan bahaya - harus dicabut dan tidak memasuki sistem hukum yang normal. Ini berarti bahwa dalam Perpu tersebut harus dimuat masa berlaku, yang merujuk pada waktu tertentu atau berakhirnya “bahaya” yang menjadi dasar dikeluarkannya Perpu. Pandangan ini memiliki alasan yang masuk akal, jika kita berpendapat bahwa Perpu yang dibentuk atas dasar Pasal 22 UUD 1945 tidak dibedakan dengan Perpu yang disebut dalam Pasal 12 UUD 1945, dalam keadaan Bahaya. Output Pasal 12 boleh jadi adalah Undang Undang Darurat seperti disebut dalam kalimat kedua pasal tersebut. Tetapi ketika kita membaca sejarah pengaturan konstitusi kita sejak Konstitusi RIS dan IS sebelum merdeka yang mengacu pada “bahaya” yang disebut dalam literatur dan perbandingan hukum, sesungguhnya “bahaya” merupakan salah satu keadaan yang menimbulkan “kegentingan memaksa dan kedaruratan”, yang mencakup perang, ancaman pemberontakan, pengepungan, bencana alam, 253 yang menghendaki tindakan cepat untuk melindungi warganegara dan keutuhan negara serta eksistensinya. Kalimat “Hal ikhwal kegentingan memaksa” adalah suatu hal ihkwal yang mencakup seluruh keadaan yang disebut dalam Pasal 12, UUD 1945, serta diterjemahkan dalam UU 23 Tahun 1959 yang merupakan penyesuaian dari UU Nomor 74 Tahun 1957 dari dasar konstitusi yang berbeda. Oleh karenanya output Pasal 12 sebagai kewenangan Presiden tidak mungkin berbentuk undang-undang , terutama karena kewenangan legislative merupakan hak DPR dan kewenangan mengajukan RUU untuk dibahas bersama, outputnya adalah Undang-Undang sebagai hasil persetujuan bersama. Dalam hal Undang-Undang Dasar 1945, kondisi bahaya dalam Pasal 12 terlupakan dimuat sebagai dasar, maka jenis Produk dalam state of emergency tetap adalah Perpu , yang materi muatannya adalah materi muatan undang-undang. Oleh karenanya, untuk mencegah kekacauan yang mungkin timbul karena kekurangan dasar hukum yang tepat dan mencegah adanya keberlakuan Pasal 22 tentang jangka waktu pengajuan ke DPR pada sidang berikut yang jika tidak dipenuhi, menyebabkan Perpu tidak memiliki kekuatan hukum lagi (meskipun pendapat tersebut masih perlu diperdebatkan) , maka Perpu jenis kewenangan darurat (emergency power) Presiden, tetap diajukan kepada DPR untuk memperoleh persetujuan, karena akibat hukum tidak menyetujui atau menyetujui dapat menimbulkan komplikasi karena suatu kedaruratan, tetapi secara jelas dan tegas harus memuat batasan waktu atau berlaku sampai kedaruaratan telah berakhir . Perpu ex Pasal 22 jika disetujui DPR dalam sidang berikut menjadi undang-undang, akan berakibat undang-undang tersebut akan berlaku secara permanen. Tetapi bagaimana untuk menerimanya sebagai suatu Perpu in sui generis , yang unik dan hal ikhwal kegentingan memaksa secara inherent mengandung keadaan bahaya dan kedaruratan sebagaimana dimaksud Pasal 12 UUD 1945. Interpretasi dalam bentuk konstitusionalitas bersyarat yang telah menjadi kewenangan negative legislation yang kemudian dalam keadaan genting boleh bergerak kearah positive legislation sesuai dengan jurisprudensi MK, dapat memberikan beberapa syarat terhadap norma yang dipermasalahkan sehingga dimaknai dalam batasan-batasan yang dikenal dalam konstruksi konstitusional dan constitutional necessity sebagai meta-rules . 254 Kesimpulan. Berdasarkan seluruh uraian diatas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut ini:
Undang-Undang Nomor 2 tahun 2020 sebagai hasil persetujuan DPR terhadap Perpu Nomor 1 Tahun 2020, memenuhi syarat konstitusionalitas yang disebut dalam UUD 1945 tentang kegentingan yang memaksa dan keadaan bahaya;
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dalam UUD 1945 sesungguhnya harus dibedakan antara Perpu berdasar Pasal 12 UUD 1945 yang dikeluarkan dalam “keadaan bahaya sebagai kegentingan memaksa” yang harus diajukan ke DPR pada sidang berikut untuk memperoleh persetujuan, dan Perpu yang tidak disetujui harus dicabut;
Bahwa Perpu yang boleh lahir atas dasar Pasal 12 UUD 1945, adalah Perpu yang lahir karena adanya keadaan bahaya, sebagai suatu keadaan yang dinyatakan oleh Presiden, dan boleh diikuti oleh lahirnya Perpu sebagai kekuasaan yang diberikan mengatasi keadaan bahaya yang timbul yang mengancam keselamatan rakyat, mengancam keadaan sosial ekonomi secara umum yang dapat juga menimbulkan krisis di segala bidang yang mengancam eksistensi negara, sebagai bagian dari kegentingan memaksa dalam Pasal 22 UUD 1945;
Kegentingan memaksa dengan 3 kriteria yang dirumuskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009, dapat merupakan dasar bagi mengeluarkan Perpu atas dasar Pasal 22 UUD 1945, tetapi tidak cukup untuk mengeluarkan Perpu berdasar Pasal 22, ketika ancaman dan bahaya yang timbul jelas sedemikian rupa sehingga kematian, kebangkrutan, krisis multi dimensi yang dapat mengancam eksistensi negara negara sendiri, yang jauh lebih ekstrim dari “keadaan yang genting” yang memaksa Presiden mengeluarkan Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang.
Undang-Undang yang menjabarkan keadaan bahaya yang disebut dalam Pasal 12 UUD 1945, harus dibentuk oleh Pembuat Undang-Undang, sehingga ketika timbul keadaan bahaya yang disebut Pasal 12 UUD 1945 dapat diketahui secara sama ukuran-ukuran yang dipergunakan menanggulangi keadaan bahaya, sesuai dengan tingkat bahaya yang dihadapi; 255 6. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Pengesahan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease (Covid 19) adalah konstitusional sepanjang dimaknai bahwa Undang-Undang tersebut berlaku sampai dengan berakhirnya Pandemi Covid berdasar pernyataan Pemerintah.
Dr. Muhammad Chatib Basri, S.E., M. Ec ▪ Ahli menyampaikan paparan mengenai peran APBN dalam pemulihan ekonomi. Isu yang dibahas ada tiga hal. Yang pertama adalah bagaimana dampak Covid-19 bagi perekonomian dunia? Kemudian yang kedua adalah bagaimana dampaknya terhadap perekonomian Indonesia? Dan yang ketiga, mengapa fiskal stimulus atau pelebaran defisit itu dibutuhkan untuk mengatasi situasi ini. ▪ Bahwa bagaimana penyebaran Covid-19 terus mengalami eskalasi kenaikan masih tinggi secara global dan juga terjadi di Indonesia. Jika ahli menggunakan angka maka setiap hari berubah, per 14 Februari, 109.400.000 orang yang terkena dampak dari Covid-19 di 218 negara. Dengan tingkat kematian 2.300.00 orang. ▪ Bahwa dari sini saja kita bisa melihat bagaimana yang terjadi di dalam pandemi ini adalah sesuatu yang luar biasa, tingkat kematian yang luar biasa, jumlah infected cases atau mereka yang tertular yang jumlahnya luar biasa dan kasus ini terus meningkat. ▪ Bahwa jika mengikuti berita pada beberapa waktu terakhir ini kita mulai melihat bahwa gelombang ketiga terjadi di India. Dimana kasus dari infected cases meningkat begitu tajam. Hal yang sama terjadi juga di beberapa negara Eropa dan bahkan di dalam beberapa hari terakhir kita mulai melihat di beberapa negara tetangga kita seperti Filipina, Malaysia, Thailand bahwa peningkatan kasus terjadi. Kita berharap bahwa mudah-mudahan gelombang ketiga tidak terjadi di Indonesia, tetapi kita harus tetap waspada. ▪ Bahwa akibat dari Pandemi Covid-19 ini, maka pemerintah berbagai negara harus mengambil tindakan yang di luar normal atau di luar kebiasaan. Mengapa itu harus dilakukan? Karena cara untuk mengatasi pandemi adalah meminta agar orang menghindari kerumunan, menghindari aktifitas, atau menjaga jarak. Yang kita kenal di sini dengan nama pada waktu bulan Maret 256 tahun lalu adalah PSBB (Pembatasan Sosial Bersekala Besar). Di berbagai negara lain ini dijalankan dalam bentuk yang disebut sebagai lockdown . ▪ Bahwa Implikasi dari lockdown adalah meminta orang untuk tinggal di rumah. Padahal kita tahu esensi dari aktifitas ekonomi adalah aktifitas pasar dan pasar per definisi adalah tempat bertemunya orang untuk mempertukarkan barang dan jasa, baik secara fisik maupun secara virtual. Tetapi di dalam kasus ini karena orang diminta untuk tidak berinteraksi, maka aktifitas pasar kolaps di seluruh dunia. Kecuali yang bisa dilakukan secara virtual. Itu sebabnya, pada pagi hari ini pun kita melakukan sidang secara virtual. ▪ Bahwa yang menarik untuk diamati adalah dengan dampak yang sebegitu besar ternyata Indonesia relatif mampu, saya mengatakan relatif karena kontraksi ekonomi tetap terjadi, relatif mampu menghadapi situasi pandemi ini di dalam konteks ekonomi dengan lumayan. Karena apa? Karena kinerja kita tidak sebaik Vietnam yang membukukan pertumbuhan positif 2,9% di tahun 2020, atau seperti Tiongkok yang punya pertumbuhan positif 2,3%, atau Korea Selatan yang -,1%. ▪ Bahwa pertumbuhan kita tahun lalu negatif 2,1%. Kita mengalami kontraksi 2,1%. Tetapi kalau kita melihat bahwa 2,1% ini relatif lebih baik dibandingkan dengan apa yang terjadi di Rusia, Amerika, Jerman, Malaysia, Singapura, dan sebagainya. Bahwa yang dilakukan di sini, yang pertama adalah karena Indonesia tidak melakukan lockdown secara ketat seperti yang dilakukan di beberapa negara. Kecuali di dalam kasus Tiongkok dan Vietnam, mereka melakukan lockdown secara ketat dan mampu mengatasi pandemi dalam waktu singkat. Di dalam kasus kita, kita melakukan PSBB, tidak seketat di negara lain, tetapi pandeminya agak berlangsung lama. Nah, sekarang kita bisa melihat bahwa misalnya Singapura dengan pengetatan yang dilakukan, recovery ekonominya mungkin relatif lebih cepat. Tetapi Ahli ingin mengatakan bahwa tahun 2020, kinerja kita sebetulnya relatif lumayan. ▪ Pertanyaannya adalah apa yang menjelaskan ini, ya, selain tadi faktor mengenai penerapan PSBB? Penjelasannya adalah kebijakan atau respons dari pemerintah, salah satunya melalui fiskal stimulus. ▪ Bahwa pertanyaan paling penting adalah bagaimana dampak Covid ini terhadap Indonesia? Ahli mencoba menggunakan data untuk membandingkan kondisi pra-Covid dengan kondisi Covid. Jadi, sebagai batas Januari 2020 257 sebelum Covid terjadi, Ahli anggap sebagai kondisi pra-Covid, dimana basisnya Ahli nyatakan sebagai 100. Jika angkanya di bawah 100, berarti kondisinya lebih buruk dibandingkan dengan kondisi pra-Covid. Tetapi bila angkanya di atas 100, maka kondisi Covidnya lebih baik dibandingkan dengan kondisi pra-Covid. ▪ Siapa yang paling terpukul akibat dari pandemi Covid? mereka adalah sektor informal. Pendapatan mereka turun 30%. Bagaimana dengan wirausaha? Pendapatannya turun 15%. Sedangkan pekerja tetap dengan gaji atau pekerja dengan gaji tetap, hampir tidak terdampak, kecuali kalau mereka kehilangan pekerjaan. ▪ Bahwa yang terpukul paling berat adalah mereka yang berada di sektor informal. Siapa itu yang berada di sektor informal? Kelompok yang rentan, pendapatan menengah bawah, perempuan, dan anak-anak. Itulah sebabnya di berbagai media pada waktu pendemi mulai terjadi, Ahli mengatakan bahwa langkah pertama yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah memberikan bantuan langsung tunai atau cash transfer. Karena di dalam kondisi ini, kita tidak mungkin memberikan pekerjaan karena PSBB ( lockdown ). Yang bisa dilakukan adalah mengompensasi ketika orang tinggal di rumah (people are paid to stay at home). Apa akibatnya? Tingkat pengangguran terbuka, naik dari 5,28% menjadi 7,07%. Tingkat kemiskinan naik dari 9,22% menjadi 10,19%. Ahli ingin menyatakan satu hal di sini, Pengangguran di Indonesia, itu adalah barang mewah. Hanya orang kaya yang bisa menganggur. Kalau orang itu miskin, maka dia harus bekerja, bekerja apa saja. Bila tidak, dia tidak bisa makan. Maka Ahli bisa mengatakan, walaupun pengangguran terbukanya naik hanya dari 5,28% kepada 7,07%, tetapi sebetulnya dampak riilnya mungkin jauh lebih besar. Karena orang yang miskin kalau dia tidak ada pendapatan, dia akan meninggal. Maka, yang dia lakukan adalah pekerjaan apa saja, asal bisa hidup. Akibatnya, datanya tidak ada di sini. ▪ Bahwa sektor informal itu meningkat karena orang itu bekerja apa saja, istilahnya poor to be unemployed . Jadi, angka kita 7,07% itu masih dalam relatif sebetulnya angka yang sangat konservatif karena definisi yang kita punya. Angka kemiskinan yang 10,19% sedikit-banyak, hal tersebut terbantu karena program dari BLT atau cash transfer dan perlindungan sosial yang dilakukan pemerintah. 258 ▪ Bahwa rasio dari tabungan terhadap pendapatan untuk kelompok yang pengeluaraannya di bawah Rp.4.000.000,00 mengalami penurunan. Ini memperkuat argumen Ahli bahwa yang terukur dengan pandemi adalah kelompok menengah bawah. ▪ Bahwa yang menarik adalah melihat kelompok pendapatan di atas Rp.5.000.000,00, rasio dari tabungan terhadap total pendapatannya meningkat. Kelompok menengah atas atau kelompok atas justru tabungannya meningkat. Mengapa ini terjadi? Karena di dalam porsi konsumsi, orang ketika pendapatannya rendah, dia akan fokus membelanjakan pendapatannya pada kebutuhan pokok (essential goods), sedangkan meraka yang relatif kaya, porsi dari makanan itu relatif rendah. Karena orang kalau dia makan tiga kali sehari, bukan berarti kalau kemudian dia menjadi kaya, dia makan 12 kali sehari. ▪ Bahwa di dalam pandemi menengah atas hanya membelanjakan kebutuhan esensialnya karena dia tidak membutuhkan jas, dia tidak membutuhkan pakaian kantor karena dia bekerja di rumah, dia tidak membutuhkan tas kantor, akibatnya tabungannya meningkat. Jadi, kita bisa melihat, bahwa dampak dari pandemi ini adalah akan munculnya ketimpangan pendapatan. ▪ Bahwa dari segi pertumbuhan PDB, sebetulnya Indonesia sudah mencapai titik pertumbuhan terendah pada triwulan II tahun 2020 ketika pertumbuhan kita minus 5,3%. Setelah itu, masih mengalami kontraksi, tetapi kontraksinya lebih kecil, minus 3,49%, minus 2,19%. Perkiraan Ahli adalah di dalam triwulan I 2021 kita mungkin masih mengalami kontraksi minus 0,5% dan baru akan positif pada triwulan II tahun 2021. ▪ Bahwa pertanyaannya adalah mengapa Indonesia mampu melalukan pembalikan atau turneral pada triwulan III. Jadi, triwulan II terburuk, kemudian triwulan III meningkat? Bahwa seluruh komponen di dalam produk domestik bruto mengalami pertumbuhan negatif, konsumsi rumah tangga, investasi ekspor-impor, kecuali konsumsi pemerintah pada triwulan III. Kita bisa melihat di sini bahwa konsumsi pemerintah mengalami peningkatan. Inilah yang menjelaskan mengapa ekonomi kita bisa mengalami turneral. Jadi, dari grafik ini Ahli mengatakan bahwa fiskal stimulus yang dilakukan pemerintah telah memberikan dampak sedikitnya memitigasi dampak dari pandemi ini. Inilah alasan mengapa fiskal stimulus perlu dilakukan. 259 ▪ Bahwa baik kelompok pendapatan atas, menengah, maupun bawah, di dalam frekuensi belanja sudah kembali di atas normal dan ini kondisinya membaik setelah triwulan III tahun 2020. Jadi, kembali lagi efek dari bantuan sosial dari fiskal stimulus itu memberikan dampak Frekuensi belanja sudah kembali normal. ▪ Bahwa Ahli bicara frekuensi. Artinya, orang sering belanja, tetapi yang dibelanjakan nilainya sedikit. Bahwa yang nilai belanjanya sudah di atas normal, 100 adalah kondisi pra-Covid, di atas kondisi normal, itu adalah kelompok menengah bawah. Kenapa? Karena mereka harus mengonsumsi essential goods, makanan, aktivitas sehari-hari. Tetapi belanja dari kelompok menengah atas atau kelompok atas itu masih di bawah kondisi prapandemi. Mengapa itu terjadi? Di dalam kelompok menengah bawah, mereka mendapat bantuan sosial dari pemerintah. Ini yang mendorong pendapatannya mengalami peningkatan, spending-nya mengalami peningkatan. ▪ Bagaimana dengan kelompok menengah atas? Mereka tidak dapat bantuan sosial, tetapi mereka punya tabungan. Tapi mengapa konsumsinya hal tersebut tidak kembali kepada kondisi prapandemi? Penjelasannya sederhana, porsi terbesar dari kelompok atas, adalah traveling, hal tersebut adalah entertainment, lecteur, kita bisa mengecek di sosial media, di Intagram, di Facebook, di mana-mana bahwa ciri dari identitas dari kelas menengah atas adalah perjalanannya, entah ke luar negeri atau makan di restoran, aktivitas itu tidak bisa dilakukan sekarang. Itu yang menjelaskan bahwa belanja dari kelas menengah atas masih di bawah normal. ▪ Bahwa yang terjadi program dari stimulus fiskal berhasil mendorong belanja dari kelompok menengah bawah, tetapi tidak menengah atas. Dan masuk akal karena belanja atau konsumsi menengah atas akan tergantung dari kemamupuan pemerintah mengatasi pandemi karena konsumsi mereka itu berkaitan dengan mobilitas, traveling, entertainment, lecteur yang aktivitasnya terganggu, misalnya seperti bioskop, café, dan segala macam akibat pandemi. ▪ Apa yang akan terjadi jika kemudian aktivitas ekonomi mengalami penurunan dengan kontraksi yang terjadi? Logikanya sederhana, jika aktivitas ekonomi menurun, maka return, atau imbal, atau balas jasa dari aktivitas sektor itu juga akan mengalami pertumbuhan negatif. Perusahaan mengalami kerugian. Kalau perusahaan mengalami kerugian, maka dia berisiko tidak bisa 260 membayar kreditnya kepada perbankan. Maka meningkatlah yang disebut sebagai non-performing loan . Di dalam konteks ini, OJK melakukan kebijakan dengan merelaksasi dimana kalau kolektibilitasnya satu dan dua tidak dianggap sebagai NPL. Tapi kebijakan ini suatu hari akan berakhir. Ketika tahun 2020 akan berakhir, kita akan melihat mengenai risiko dari kredit macet yang riil pada tahun depan. Karena direksasinya berakhir, pada saat itu kalau sektor perbankan, tidak mendapatkan support, maka ada risiko stabilitas sektor keuangan dan ciri dari sektor keuangan adalah dia bergerak berbadasarkan yang disebut sebagai animal spirit. Jika orang khawatir bahwa satu bank mengalami persoalan, maka kemudian ada risiko kekhawatiran bahwa terjadi rush dan segala macam tergantung dari interconnected -nya. Ahli tidak akan bicara terlalu jauh, tetapi Ahli ingin mengatakan bahwa risiko di sektor keuangan itu ada, di dalam respons kebijakan apa yang dilakukan? Pemerintah dengan dengan dikeluarkan perppu tahun 2020 yang kemudian menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 memfokuskan kepada tiga hal. Yang pertama adalah alokasi belanja untuk kesehatan. Yang kedua adalah alokasi belanja untuk bantuan sosial. Yang ketiga adalah dukungan untuk UMKM karena seperti yang Ahli katakan tadi sektor informal UMKM terpukul. Ini yang kemudian dimunculkan di dalam program yang disebut sebagai program N. Ini adalah bagian dari fiskal stimulus, akibat dari kebijakan yang dilakukan untuk menambah alokasi belanja di dalam sektor kesehatan di dalam perlindungan sosial, memberikan BLT dan segala macam, restrukturisasi di dalam UMKM. ▪ Bahwa ahli belum bicara mengenai tahun 2021 dimana bantuannya diperluas kepada korporasi dan segala macam, maka defisitnya itu harus yang bisa, mau tidak mau akan terjadi melampaui batas defisit 3% yang dinyatakan di dalam undang-undang. Oleh sebab itu, jika pemerintah tetap menetapkan defisitnya hanya 3% pada tahun 2020, maka tidak ada ruang bagi pemerintah untuk melakukan fiskal stimulus. ▪ Bahwa kita bisa membayangkan apa yang terjadi jika tidak ada fiskal stimulus, maka pembalikan ekonomi atau economic turneral tidak akan terjadi pada triwulan ketiga. Mungkin pada saat ini, kita akan berada dalam situasi yang lebih parah. Karena itu, Ahli mengatakan bahwa di dalam situasi yang genting seperti itu, maka batas defisit 3% harus diperlebar. Ahli ingin menunjukkan 261 bahwa hal ini perlu dilakukan untuk menolong kelompok menengah ke bawah, untuk belanja kesehatan, dan juga UMKM. ▪ Bahwa pemulihan ekonomi di sini totalnya Rp579,78 triliun realisasinya 83,4%. Bahwa yang paling besar itu adalah bantuan sosial Rp220,4 triliun, dukungan UMKM Rp112,4 triliun, dan kemudian diikuti oleh kesehatan, pembiayaan korporasi realisasinya Rp60,7 triliun, belum terlalu meningkat insentif dunia usaha. Ekspansi belanja perlindungan sosial secara tunai termasuk PKH, insentif kartu praperja, bansos tunai, sembako, pengeluaran konsumsi pemerintah termasuk bantuan UMKM, belanja pegawai, belanja barang operasional, bantuan pemerintah, dan belanja modal termasuk pembangun sarpras kesehatan, pengadaan tanah PSN, dan pengadaan peralatan hankam, dan pembangunan irigasi. ▪ Bahwa Indonesia adalah negara bukan produsen vaksin. Kemampuan Indonesia memulihkan ekonomi akan sangat tergantung dari kemampuan kita mengatasi pandemi. Karena porsi terbesar dari belanja masyarakat adalah yang menengah atas. Menengah atas tidak mau belanja selama pandeminya masih ada. Mereka tidak ada mobilitas. Karena itu, solusinya hanya dua hal kita mengembalikan mobilitas. Caranya adalah satu, dengan menerapkan protokol kesehatan dengan ketat. Kedua, vaksin. ▪ Bahwa jika kita memiliki disiplin seperti yang ada di China, Vietnam, Singapura, maka mungkin role dari vaksin tidak sepenting yang kita hadapi sekarang. Lihat bagaimana negara seperti Australia proses vaksinnya relatif lambat karena mereka mempu membuat kasusnya sangat kecil, Singapura zero cases sekarang, proses vaksinnya bisa lambat. Tetapi dalam kasus di Indonesia protokol kesehatan enforcement-nya masih sangat sulit, maka hal tersebut akan sangat tergantung kepada vaksin. Di dalam konteks vaksin, Indonesia adalah 10 besar negara dengan vaksin tertinggi, di antara negara non-produsen, kita empat besar. ▪ Bahwa ada persoalan sekarang karena ada risiko dari gelombang ketiga, maka semua negara mengatakan mereka tidak lagi mau mengekspor vaksinnya karena untuk mengantisipasi kebutuhan domestiknya. Di dalam konteks ini, maka ada persoalan, kalau persediaan vaksin terbatas, maka pemulihan ekonomi juga akan terbatas. Karena itulah role dari fiskal stimulus menjadi sangat penting untuk memastikan, untuk men-secure bahwa vaksinnya ada. 262 ▪ Bahwa Ahli menunjukkan kalau berbicara mengenai fiskal defisit, sebetulnya angka 6,1%, buat Indonesia hal tersebut relatif kecil, dibandingkan dengan Filipina 7,6%, China apalagi bila dibandingkan dengan Australia 10,6%, Singapura 13,9%, dan Amerika 15,2% dari GDP. ▪ Bahwa ahli sebagai ekonom, seringkali mengadakan semacam webinar dengan investor. Pertanyaan mereka yang selalu muncul adalah apakah Anda yakin cukup 6,1%? Karena yang dibutuhkan adalah stimulus di dalam skala yang masif. Lima dari fiscal policy . Di seluruh dunia pada tahun 2020 adalah whatever it takes , lakukan apapun yang harus dilakukan agar penyelamatan nyawa dan penyelamatan ekonomi bisa terjadi. ▪ Bahwa Joe Biden dengan programnya mengeluarkan US$1,9 triliun, Singapura dengan program fiskal stimulusnya, Indonesia 6,1% relatif kecil. ▪ Bahwa pertanyaannya adalah mengapa kita perlu ekspansi fiskal? Ini adalah sesuatu yang dilakukan secara teknis, sebuah simulasi di dalam modeling. ▪ Bahwa ada dua pilihan di sini, apakah pemerintah pertama kali harus mendorong produksi investasi? Karena logikanya kalau produksi berjalan, investasi naik, kemudian perusahaan akan hire tenaga kerja, orang dapat income , kemudian bisa belanja. Atau yang harus diberikan pertama adalah mendorong konsumsi. Dikasih uang orang belanja, kemudian ada belanja, ada permintaan, maka ketika ada permintaan, perusahaan merespons. ▪ Bahwa dari simulasi yang Ahli lakukan, jika investasi dinaikkan, maka konsumsi rumah tangga itu akan naik. Tetapi bila orang diberikan uang dalam bentuk cash transfer, maka diapun melakukan belanja, maka investasi akan merespons. ▪ Bahwa tingkat bunga dari Bank Indonesia sudah diturunkan, mungkin terendah di dalam sejarah kita, tetapi investasi tidak naik. Mengapa investasi tidak naik? Jadi sudah dapat kredit, tetapi tidak diambil. Mengapa ini dilakukan oleh perusahaan? Mereka mengatakan, “Untuk apa saya ambil uangnya kalau yang beli barang saya enggak ada.” Saya produksi barang dan berakhir sebagai stok. Stok itu adalah cost . Saya butuh gudang, saya butuh apa-apa, yang beli enggak ada. Akibatnya yang menjelaskan kenapa pertumbuhan kredit mengalami penurunan karena permintaannya tidak ada. Karena itu, yang pertama kali harus dilakukan di dalam pemulihan ekonomi itu adalah fiskal stimulus sebagai pengungkit. Caranya dengan memperluas BLT kelas 263 menengah bawah. Bahkan Ahli mengatakan bahwa perluasannya harus lebih besar lagi sebetulnya. Kita enggak tidak bicara mengenai 600.000 tetapi mungkin kita harus bicara dengan angka yang relatif sedikit lebih tinggi walaupun harus selalu berada di bawah upah minimum. Karena kalau BLT-nya sebesar upah minimum, maka orang tidak kerja, dia hanya akan tinggal di rumah menjadi pemalas. Tetapi mungkin bisa diperluas. ▪ Bahwa yang kedua adalah program kesehatan. Kita hanya bisa mengatasi pandemi kalau vaksin gratis. Mungkin kita harus bicara mengenai PCR yang mungkin masih relatif mahal, ini yang harus kita pikirkan. Kalau permintaan sudah ada, baru kita bicara mengenai penjaminan kredit, program yang dilakukan oleh pemerintah sekarang, subsidi bunga, dan sebagainya.
Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M. Hum. ▪ Pertama, Wewenang Presiden untuk melakukan diskresi dengan penetapan Perppu. Norma-norma konstitusional dalam UUD Negara RI 1945 disusun untuk dilaksanakan untuk mewujudkan ketertiban hukum dan kepastian hukum serta dalam rangka penyelenggaraan kekuasaan negara dalam keadaan stabil/normal. Hal yang sama juga berlaku untuk pengaturan yang terdapat dalam norma Hukum Administrasi Negara umum ( algemene wet bestuursrecht ) yang diatur dalam UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan serta implementasinya dimaksudkan untuk mewujudkan ketertiban hukum dan kepastian hukum serta dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan dalam keadaan negara yang stabil/normal. ▪ Kehidupan kenegaraan yang dinamis dan berbagai permasalahan sosial, politik, hukum, kesehatan, serta berbagai faktor dalam kehidupan bangsa dan negara bisa saja menyebabkan terjadinya keadaan krisis atau darurat ( extra- ordinary ), yang kiranya harus dihadapi/ditangani juga dengan cara-cara yang bersifat darurat ( extra-ordinary ). Hal itulah yang menjadi pertimbangan bagi pembentuk UUD Negara RI 1945 mengatur kewenangan untuk menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu). Sehubungan dengan Perppu, Pasal 22 UUD Negara RI 1945 mengatur bahwa:
Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang;
Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut; dan
Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan 264 pemerintah itu harus dicabut. Pasal 11 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah melalui UU Nomor 15 Tahun 2019 mengatur bahwa materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sama dengan materi muatan Undang- Undang. Pasal 1 angka 4 UU Nomor 12 Tahun 2011 juga mendefinisikan bahwa Peraturan Pemerintah Penggati Undang-Undang merupakan Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa. ▪ Kewenangan pembentukan Perpu oleh Presiden sebagaimana diatur pada Pasal 22 UUD Negara RI 1945 tersebut merupakan kewenangan atributif yang diberikan kepada Presiden selaku kepala pemerintahan yang didasarkan atas kewenangan diskresi secara konstitusional sebagaimana diatur dalam UUD Negara RI 1945. Penetapan Perppu didasarkan atas pertimbangan subyektif Presiden mengacu pada parameter objektif dalam penyelenggaraan pemerintahan. Parameter objektif untuk penggunaan kewenangan diskresi konstitusional tersebut pernah diberikan melalui Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 138/PUU-VII/2009, yang terdiri dari:
. Karena adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang;
. Undang-Undang yang dibutuhkan belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau tidak memadainya Undang-Undang yang saat ini ada; dan
. Kondisi kekosongan hukum yang tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa yang memerlukan waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan. ▪ Peraturan yang ditetapkan untuk menyelenggarkan kegiatan negara dan pemerintahan dalam keadaan darurat itu pada hakikatnya merupakan “martial law” atau “emergency legislation ”. Jika dipandang dari segi isinya peraturan tersebut merupakan legislative act atau Undang-undang, tetapi karena keadaan darurat tidak memungkinkan untuk membahasnya bersama-sama dengan parlemen (DPR). Presiden selaku kepala pemerintahan ( the chief of executive ) menetapkannya secara sepihak didasarkan atas pertimbangan subyektif dan obyektif tanpa didahului oleh persetujuan parlemen (DPR) yaitu dalam bentuk peraturan khusus yang disebut “martial law”, “emergency law”, atau “emergency legislation” . 265 ▪ Perpu ditetapkan sehubungan dengan adanya keadaan genting yang memaksa. Pengertian “kegentingan yang memaksa” sebagai suatu keadaan darurat dan tidak hanya terbatas pada ancaman bahaya atas keamanan, keutuhan negara, atau ketertiban umum. Dalam prakteknya dapat dikategorikan sebagai kegentingan yang memaksa, misalnya krisis di bidang ekonomi, bencana alam, ataupun keadaan yang memerlukan pengaturan lain setingkat Undang-undang. Jadi, pangertian “hal ihwal kegentingan yang memaksa” bukan hanya dimaknai sebagai keadaan mendesak, tetapi dapat diartikan lebih luas dari sekedar keadaan bahaya (Jimly Asshiddiqie, Pokok- Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, hal. 355). Bahkan, jika mengacu S.E Viner, yang dikutip oleh Jimly Asshiddiqie, ukuran untuk menetapkan Perppu juga lebih longgar, karena walaupun tidak terdapat keadaan darurat, tetapi ada kepentingan internal pemerintahan, sudah memenuhi syarat untuk dapat ditempuh dengan penerbitan Perpu sebagai landasan hukum. ▪ S.E Viner membedakan keadaan darurat ke dalam (3) tiga kategori yaitu:
Keadaan darurat karena perang ( State of War , atau State of Defence ), yaitu keadaan perang bersenjata;
Keadaan darurat karena ketegangan ( State of Tension ) termasuk pengertian bencana alam ataupun ketegangan sosial karena peristiwa politik;
Keadaan darurat karena kepentingan internal pemerintahan yang memaksa ( innere notstand ). Meskipun tidak terdapat keadaan darurat, tetapi ada kepentingan internal pemerintahan, maka, sudah dapat dilakukan penerbitan Perpu sebagai landasan hukum. ▪ Ditinjau dari perspektif teori Hukum Administrasi Negara, konsep mengenai diskresi tersebut jika mengacu pada pendapat NM. Spelt dan JBJM Ten Berge dalam buku “ Inleiding Het Vergunningsrecht ”, diskresi ( freies ermessen ) pemerintah dibedakan menjadi 2 (dua) kategori kebebasan, yaitu: kebebasan kebijaksanaan ( beleidsvrijheid ) dan kebebasan penilaian ( beordelingsvrijheid ). Kebebasan kebijaksanaan ( beleidsvrijheid ) terdapat manakala peraturan perundang-undangan memberikan wewenang tertentu kepada organ pemerintah, namun organ pemerintah tersebut bebas untuk menggunakan atau tidak menggunakannya, meskipun pada kondisi tertentu syarat-syarat penggunaannya telah terpenuhi secara sah. Sedangkan kebebasan penilaian ( beordelingsvrijheid ) terdapat manakala menurut hukum organ pemerintah 266 diberikan kewenangan untuk menilai secara mandiri dan eksklusif terpenuhi atau tidaknya secara sah syarat-syarat penggunaan wewenang. Pada hakikatnya, wewenang diskresi penetapan Perpu lebih mendekati kategori kebebasan kebijaksanaan ( beleidsvrijheid ) sejak telah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009. ▪ Dalam perspektif norma Hukum Administrasi Negara umum ( algemene wet bestuursrehct ), kewenangan diskresi juga diatur dalam UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Pasal 1 angka 9 UU Nomor 30 Tahun 2014 mengatur pengertian diskresi adalah Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan. ▪ Pasal 22 ayat (2) UU Nomor 30 Tahun 2014 mengatur tujuan penggunaan diskresi pejabat pemerintahan yang meliputi:
melancarkan penyelenggaraan pemerintahan;
mengisi kekosongan hukum;
memberikan kepastian hukum; dan
mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum. Jika mengacu pada latar belakang dan pertimbangan penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 yang telah disetujui DPR dan diundangkan menjadi UU Nomor 2 Tahun 2020 yang menjadi obyek permohonan pengujian dari para pemohon, kiranya telah memenuhi tujuan dari penggunaan diskresi pemerintahan. Hal itu sebagaimana terlihat dari pertimbangan hukum dari UU Nomor 2 Tahun 2020 yang menyatakan bahwa: (a). bahwa penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) yang dinyatakan oleh Organisasi Kesehatan Dunia ( World Health Organization ) sebagai pandemi pada sebagian besar negara-negara di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, menunjukkan peningkatan dari waktu ke waktu dan telah menimbulkan korban jiwa, serta kerugian material yang semakin besar, sehingga berimplikasi pada aspek sosial, ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat; (b). bahwa implikasi pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) telah berdampak antara lain terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional, penurunan penerimaan negara, dan peningkatan belanja negara dan pembiayaan, sehingga diperlukan berbagai upaya Pemerintah 267 untuk melakukan penyelamatan kesehatan dan perekonomian nasional, dengan fokus pada belanja untuk kesehatan, jaring pengaman sosial ( social safety net ), serta pemulihan perekonomian termasuk untuk dunia usaha dan masyarakat yang terdampak;
. bahwa implikasi pandemi Corona Virus Disease 20l9 (COVID-19) telah berdampak pula terhadap memburuknya sistem keuangan yang ditunjukkan dengan penurunan berbagai aktivitas ekonomi domestik sehingga perlu dimitigasi bersama oleh Pemerintah dan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) untuk melakukan tindakan antisipasi ( forward looking ) dalam rangka menjaga stabilitas sektor keuangan; (d). bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, Pemerintah dan lembaga terkait perlu segera mengambil kebijakan dan langkah-langkah luar biasa dalam rangka penyelamatan perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan melalui berbagai kebijakan relaksasi yang berkaitan dengan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) khususnya dengan melakukan peningkatan belanja untuk kesehatan, pengeluaran untuk jaring pengaman sosial ( social safety net ), dan pemulihan perekonomian, serta memperkuat kewenangan berbagai lembaga dalam sektor keuangan; (e). bahwa kondisi sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, telah memenuhi parameter sebagai kegentingan memaksa yang memberikan kewenangan kepada Presiden untuk menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; (f). bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, serta guna memberikan landasan hukum yang kuat bagi Pemerintah dan lembaga terkait untuk mengambil kebijakan dan langkah-langkah tersebut dalam waktu yang sangat segera, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan. Konsiderasi tersebut kiranya telah menunjukkan dipenuhinya asas kecermatan ( the principle of carefullness ), asas motivasi dari kebijakan pejabat pemerintahan ( the principle of motivation ), 268 kebijaksanaan ( sapientia ), asas penyelenggaraan kepentingan umum, asas kehati-hatian dan kewajiban untuk memberikan argumentasi dari kebijakan yang diambil oleh pejabat pemerintahan (cq Presiden RI) ( the duty to give reasons ). Gambar 1 Konstruksi Pemikiran Penetapan Perppu No. 1 Tahun 2020 (Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 ▪ Kedua, wewenang Pemerintah yang menetapkan perubahan postur APBN melalui Perpres dan pelebaran defisit anggaran karena perlunya fleksibilitas untuk menghadapi kondisi akibat pandemi Covid-19. UU Nomor 2 Tahun 2020 telah memberikan seperangkat wewenang ( bevoegdheiden ) kepada Pemerintah untuk menetapkan kebijakan keuangan negara dan kebijakan stabilitas sistem keuangan (vide Pasal 1 ayat 3), Pemerintah diberikan wewenang untuk (vide Pasal 2 ayat (1)):
menetapkan batasan defisit anggaran, dengan ketentuan sebagai berikut:
melampaui 3 % (tiga persen) dari Produk Domestik Bruto (PDB) selama masa penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau untuk menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan paling lama sampai dengan berakhirnya Tahun Anggaran 2022;
sejak Tahun Anggaran 2023 besaran defisit akan kembali menjadi paling tinggi sebesar 3% (tiga persen) dari Produk Domestik Bruto (PDB); dan
penyesuaian besaran defisit sebagaimana dimaksud pada angka 1 menjadi sebagaimana dimaksud Penetapan Perppu "dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa" Diskresi Konstitusional (Pasal 22 UUD Negara RI 1945) Landasan Perppu No. 1 Tahun 2020 (Lampiran UU No. 2 Tahun 2020) kebebasan kebijaksanaan ( beleidsvrijheid ) Syarat Obyektif Diskresi konstitusional Penetapan Perppu dalam Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009. kebebasan kebijaksanaan ( beleidsvrijheid ) dalam pertimbangan penetapan Perppu No. 1 Tahun 2020 Landasan prinsip Perppu No. 1 Tahun 2020 Asas kecermatan ( the principle of carefullness ), asas motivasi dari kebijakan pejabat pemerintahan ( the principle of motivation ), kebijaksanaan ( sapientia ), asas penyelenggaraan kepentingan umum, asas kehati-hatian dan kewajiban untuk memberikan argumentasi dari kebijakan yang diambil oleh pejabat pemerintahan (cq Presiden RI) ( the duty to giving reasons ) 269 pada angka 2 dilakukan secara bertahap;
melakukan penyesuaian besaran belanja wajib ( mandatory spending ) sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan terkait;
melakukan pergeseran anggaran antarunit organisasi, antarfungsi, dan/atau antarprogram;
melakukan tindakan yang berakibat pengeluaran atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yang anggaran untuk membiayai pengeluaran tersebut belum tersedia atau tidak cukup tersedia, serta menentukan proses dan metode pengadaan barang /jasa;
menggunakan anggaran yang bersumber dari:
Sisa Anggaran Lebih (SAL);
dana abadi dan akumulasi dana abadi pendidikan;
dana yang dikuasai negara dengan kriteria tertentu;
dana yang dikelola oleh Badan Layanan Umum; dan/atau dana yang berasal dari pengurangan Penyertaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN);
menerbitkan Surat Utang Negara dan/atau Surat Berharga Syariah Negara dengan tujuan tertentu khususnya dalam rangka pandemi Corona Virus Disease 20I9 (COVID-l9) untuk dapat dibeli oleh Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), investor korporasi, danf atau investor ritel;
menetapkan sumber-sumber pembiayaan Anggaran yang berasal dari dalarn danf atau luar negeri;
memberikan pinjaman kepada Lembaga Penjamin Simpanan;
melakukan pengutamaan penggunaan alokasi anggaran untuk kegiatan tertentu ( refocussing ), penyesuaian alokasi, dan/atau pemotongan/penundaan penyaluran anggaran Transfer ke Daerah dan Dana Desa, dengan kriteria tertentu;
memberikan hibah kepada Pemerintah Daerah; dan/atau
melakukan penyederhanaan mekanisme dan simplifikasi dokumen di bidang keuangan negara. ▪ Guna melaksanakan wewenang pemerintahan yang diatribusikan oleh Perppu Nomor 1 Tahun 2020 (UU Nomor 2 Tahun 2020) tersebut sementara UU APBN yang ada sebagai dasar pembiayaan kebijakan di bidang keuangan tersebut adalah UU Nomor 20 Tahun 2019 tentang APBN Tahun 2020 yang pelaksanaannya didasarkan Pepres Nomor 78 Tahun 2019 tentang Rincian APBN Tahun 2020. Maka, diperlukan dasar hukum untuk menyesuaikan bagi dasar pembiayaan kebijakan keuangan berdasarkan Perpres Nomor 1 Tahun 2020 tersebut Pemerintah di ranah operasional dengan mengacu pada Perppu Nomor 1 Tahun 2020 (UU Nomor 2 Tahun 2020) perlu diberikan kewenangan untuk melakukan penyesuaian pelaksanaan UU APBN melalui perubahan 270 postur dan/atau rincian APBN. Pasal 12 ayat (2) Perpu Nomor 1 Tahun 2020 kemudian memberikan delegasi kewenangan pengaturan operasional terhadap pemerintah untuk melakukan perubahan postur dan/atau rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara dan langkahlangkah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 11 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden. ▪ Dasar wewenang perubahan postur dan/atau rincian APBN tersebut tetap mengacu pada prinsip negara hukum yaitu:
. Perubahan postur dan/atau rincian APBN tersebut lahir berdasarkan kewenangan diskresi konstitusional berdasarkan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 (UU Nomor 2 Tahun 2020);
. Perubahan postur itu dilakukan berdasarkan produk hukum yang setara dengan kewenangan pengaturan mengenai rincian APBN berdasarkan Peraturan Presiden;
. Pertanggungjawaban pelaksanaan APBN tetap dilakukan melalui sistem pertanggungjawaban pelaksanaan APBN sebagaimana diatur pada Pasal 30 UU Nomor 17 Tahun 2003. Hal ini disebabkan atas alasan:
. Dalam keadaan darurat diperlukan kecepatan bertindak untuk mengatasi kondisi darurat secara cepat dan tepat tanpa meninggalkan landasan negara hukum (asas rechtsmatigheid van het bestuur) ;
. Perubahan postur APBN dan/atau rincian APBN berada di ranah kewenangan penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan prinsip fleksibilitas APBN dalam rangka menghadapi kondisi darurat. Justru disinilah esensi dari penggunaan wewenang diskresi konstitusional sebagai landasan dari penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2020 (UU Nomor 2 Tahun 2020). Hal itulah yang menjadi argumentasi mengenai dikeluarkannya Pepres Nomor 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan APBN Tahun Anggaran 2020 guna melaksanakan Pasal 12 ayat (2) Perpu Nomor 1 Tahun 2020 (UU Nomor 2 Tahun 2020). ▪ Perubahan postur APBN dan/atau rincian APBN melalui Perpres Nomor 54 Tahun 2020 dengan demikian memenuhi asas negara hukum karena didasarkan wewenang pengaturan melalui Pasal 12 ayat (2) Perpu Nomor 1 Tahun 2020 (UU Nomor 2 Tahun 2020) dan sekaligus merupakan landasan hukum ( legal framework ) bagi diskresi kebijakan implementasi APBN dalam 271 kondisi darurat bencana non alam Covid-19. Kondisi ini dapat digambarkan berikut ini. ▪ Gambar 2 Perbandingan Kebijakan Rincian APBN Dalam Kondisi Normal dan Darurat ▪ Mengingat landasan faktual yang dihadapi negara di masa Pandemi Covid-19 adalah keadaan memaksa atau di luar keadaan normal, tindakan pemerintahan juga dilakukan berlandaskan pada cara-cara yang luar biasa ( extraordinary ) dengan tujuan melindungi kepentingan umum ( public interest ). Oleh karena itu, negara kemudian menetapkan secara khusus masa waktu, prosedur dan syarat, serta subtansi tertentu dalam melaksanakan situasi darurat dengan mengesampingkan beberapa ketentuan yang berlaku umum pada situasi normal. Upaya mengesampingkan beberapa ketentuan yang berlaku umum tersebut bukan dimaksudkan untuk diberlakukan secara terus menerus, sehingga menjadi peraturan regular. Namun, sebagai peraturan yang akan diberlakukan pada masa yang ditentukan pada peraturan tersebut disertai dengan syarat dan prosedur, serta subtansi pelaksanaannnya secara khusus. ▪ Ditinjau dari perspektif hukum administrasi negara, pemberlakuan secara khusus peraturan perundang-undangan dalam keadaan darurat menjadi sah ( rechtsmatig ) sejauh memenuhi landasan faktual yang memadai dan negara Dalam Kondisi Normal UU No. 20 Tahun 2019 tentang APBN Tahun 2020 Perpres No. 78 TAhun 2019 tentang Rincian APBN Dalam Keadaan Darurat Perppu No. 1 Tahun 2020 (UU No. 2 Tahun 2020) Perpres No. 54 Tahun 2020 sebagai landasan Perubahan Postur dan/atau Rincian APBN 272 memprioritaskan kemanfaatan umum ( doelmatigheid ) yang diperoleh bagi masyarakat dengan penerapan peraturan yang bersifat darurat tersebut. Dengan demikian, keadaan darurat tetap harus dipahami dalam konteks pandangan yang sesuai dengan landasan faktual yang terjadi pada saat keadaan darurat dan tidak menggunakan parameter dan indikator keadaan normal. ▪ Lahirnya Perpu Nomor 1 Tahun 2020 (UU Nomor 2 Tahun 2020) sesungguhnya juga berkaitan dengan upaya untuk mengefektifkan implementasi berbagai ketentuan dalam UU Nomor 17 Tahun 2003 guna mendukung upaya mengatasi kondisi darurat kesehatan dan ekonomi akibat Pandemi Covid 19 yang tidak dapat dipisahkan dari berbagai kebijakan pemerintah yang lain dalam upaya penanganan kondisi darurat bencana non alam itu. ▪ Keppres Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Keppres Nomor 11 Tahun 2020 menyebutkan dua hal pokok:
Menetapkan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) sebagai jenis penyakit yang menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dan (2) Menetapkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) di lndonesia yang wajib dilakukan upaya penanggulangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sifat kedaruratan masyarakat sebagai landasan kebijakan penanganan Covid- 19 diatur dalam UU Nomor 16 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan sebagai regulasi sektoral yang sudah mengatur sistem penanganan kondisi kedaruratan masyarakat berdasarkan seperangkat kriteria, metode dan proses dalam pelaksanaan kebijakan terkait. ▪ Selain itu, juga berkaitan dengan Keppres RI Nomor 12 Tahun 2020 Tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid- 19) Sebagai Bencana Nasional dengan rujukan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular. Berbagai kebijakan tersebut membutuhkan dukungan dana yang sangat besar dan membutuhkan langkah- langkah pengambilan kebijakan yang cepat dan tepat, misalnya untuk pembelian Alat Pelindung Diri (APD) terutama bagi para tenaga medis, pembangunan/perbaikan fasilitas pelayanan kesehatan, dukungan obat- obatan, penggalian sumber-sumber pembiayaan, relaksasi sejumlah 273 penerimaan negara baik dari pajak (tax income) maupun non pajak (non tax income) dengan karakter bencana non alam Pandemi Covid-19, refocussing dan realokasi anggaran dalam APBN, dan seterusnya. ▪ Keadaan darurat negara atau staat van oorlog en beleg (SOB) bisa menyebabkan instrumen-instrumen negara tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Dalam hukum administrasi negara, keadaan darurat negara harus ditetapkan kepala pemerintahan, baik penetapan awal dan akhir waktu darurat, sebagai kehendak pemerintahan kepada warga masyarakat dan seluruh pihak atas situasi yang luar biasa. Penetapan keadaan darurat sebagai kepala pemerintahan dimaksudkan untuk melindungi kepentingan umum dan menjelaskan cara pemerintahan bekerja dalam situasi negara darurat. ▪ Salah satu sektor yang paling terdampak secara siginifikan dengan adanya kondisi darurat kesehatan akibat penyebaran Covid-19 adalah sektor keuangan negara dan perekonomian makro nasional, yang sangat bergantung pada asumsi makro yang dapat diperkirakan. Adanya keadaan darurat akibat penyebaran Covid-19 menyebabkan beberapa asumsi makro yang termuat dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) harus berubah mengikuti kondisi perekonomian global. Antisipasinya adalah dengan menetapkan kebijakan keuangan negara dan perekonomian negara yang sejalan dengan kondisi tersebut (asas fleksibilitas). Keadaan darurat negara ditinjau dari Hukum Administrasi Negara dianggap sebagai keadaan memaksa negara untuk mengambil tindakan kepemerintahan yang perlu dilakukan guna mencapai tujuan yang lebih besar dan lebih diprioritaskan guna melindungi kepentingan umum ( bestuurszorg ). ▪ Perpu Nomor 1 Tahun 2020 (UU Nomor 2 Tahun 2020) dimaksudkan sebagai jalan darurat di bidang keuangan negara guna merespons secara cepat ancaman bahaya Covid-19 di berbagai sektor. Berdasarkan alasan itu, Perppu Nomor 1 Tahun 2020 mengatur sejumlah kebijakan darurat. Pertama , menyangkut obyeknya, diatur kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan di bidang pendapatan negara termasuk di bidang perpajakan, belanja negara termasuk di bidang keuangan daerah, dan pembiayaan. Kedua , menyangkut subyeknya, diatur peranan dan interaksi antar aktor kebijakan di bidang fiskal dan moneter yaitu Pemerintah, Pemerintah Daerah, Bank 274 Indonesia, OJK, KSSK dan Lembaga Penjamin Simpanan. Ketiga , dalam menghadapi pandemi Covid-19 kebijakan yang dilakukan pemerintah sesuai dengan keadaan yang dihadapi tidak hanya menyangkut persoalan pengeluaran anggaran negara, namun juga menyangkut relaksasi dan mengatur fleksibilitas/penundaan penerimaan negara baik yang bersumber dari pajak maupun non pajak dan keempat , dalam mengatasi dampak sosial dan ekonomi akibat pandemi Covid-19 juga diperlukan sinergi kebijakan aktor- aktor kebijakan di bidang fiskal dan keuangan. Sehingga, keberadaan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 juga diperlukan untuk lebih mengefektifkan implementasi Pasal 21 UU Nomor 17 Tahun 2003 yang mengharuskan adanya koordinasi antara Pemerintah dengan Bank Sentral. ▪ Ketiga, perbandingan pengaturan dan tata kelola keuangan negara di negara lain dalam menghadapi pandemi Covid-19. Menghadapi dampak ekonomi akibat Pandemi Covid-19, defisit anggaran Amerika Serikat (AS) sempat melesat 218 persen menjadi US$3,1 triliun hingga akhir September 2020. Kenaikan itu terjadi karena pembengkakan belanja untuk membantu perekonomian di tengah pandemi Covid-19. Guna menutup pelebaran defisit, utang pemerintah AS meningkat menjadi US$26,9 triliun. Angka itu lebih besar dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB) negeri Paman Sam yang susut pada kuartal II lalu ke level di bawah US$20 triliun. Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menandatangani perpanjangan satu minggu dari anggaran yang kedaluwarsa untuk menghindari penutupan pemerintah ( government shutdown ). Kebijakan perpanjangan anggaran ini juga guna memberikan lebih banyak waktu untuk pembicaraan terpisah tentang bantuan penanganan virus corona baru di AS dan Rancangan Undang-Undang (RUU) Anggaran yang menyeluruh. ▪ Jerman pada bulan Maret 2020 juga sempat meluncurkan anggaran darurat yang bertujuan untuk mengendalikan kerugian negara akibat Pandemi Covid- 19. Pemerintah Jerman juga sempat mengalokasikan dana hingga € 750 miliar atau sekitar RP 13 ribu triliun yang dapat dibelanjakan untuk menutupi kerugian sebagai akibat dari pandemi Covid-19. Jumlah itu hampir dua kali lipat dari keseluruhan anggaran tahun 2020 yang sebelumnya disetujui pemerintah federal Jerman. Bagian paling penting dari anggaran darurat ini adalah 275 mengatasi peningkatan biaya pengeluaran perawatan kesehatan yang lebih dari € 3 miliar atau sekitar Rp. 53 triliun. ▪ Pemerintah Italia menggunakan skema “anggaran lebih” untuk melawan virus corona agar tidak berdampak pada perekonomian negara tersebut. Pemerintah Italia juga menggunakan fleksibilitas anggaran guna mengatasi dampak ekonomi Pandemi Covid-19. Pemerintah Italia juga meningkatkan target defisit anggaran tahun 2020 ini menjadi 2,5 persen dari 2,2 persen saat ini. ▪ Di Perancis ada anggaran pemerintah yang disebut “dana solidaritas”. Anggaran ini digunakan untuk membantu perusahaan dan para pekerjanya. Setidaknya, Prancis mengucurkan total anggaran darurat sebesar € 45 miliar atau sekitar Rp 765 triliun (dengan kurs Rp 17 ribu). Mereka mengatakan ada € 2 miliar atau sekitar Rp 34 triliun yang akan dibagikan ke perusahaan, khususnya bagi perusahaan yang 70% aktivitasnya berhenti sebagai dampak Pandemi Covid-19. ▪ Berbagai kebijakan penganggaran di berbagai negara tersebut yang dimaksudkan guna penanganan Pandemi Covid-19 memperlihatkan digunakannya langkah-langkah darurat melalui kebijakan penganggaran di berbagai negara tersebut. Cara-cara yang ditempuh bisa berbeda-beda variasinya, seperti di AS melalui perpanjangan anggaran yang kadaluarsa, Jerman menggunakan skema anggaran darurat, Italia menggunakan skema anggaran lebih dan Perancis juga menggunakan kebijakan penganggaran darurat guna penanganan dampak ekonomi Pandemi Covid-19. Kebijakan keuangan yang bersifat darurat melalui Perpu Nomor 1 Tahun 2020 (UU Nomor 2 Tahun 2020) yang dilaksanakan oleh Pemerintah RI merupakan bagian dari strategi global untuk menangani dampak Pandemi Covid-19 secara sistematis, komprehensif dan berkelanjutan. Maka, justifikasi teoretik konstitusional bagi kebijakan melalui Perppu Nomor 1 Tahun 2020 (UU Nomor 2 Tahun 2020) sesungguhnya merupakan langkah solidaritas semesta guna mengatasi secara efektif dampak Pandemi Covid 19 yang menimbulkan situasi kedaruratan global dan nasional yang memerlukan kebijakan extraordinary dalam menanganinya. ▪ Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut. Pertama , Kewenangan pembentukan Perppu oleh Presiden sebagaimana diatur pada 276 Pasal 22 UUD Negara RI 1945 tersebut merupakan kewenangan atributif yang diberikan kepada Presiden selaku kepala pemerintahan yang didasarkan atas kewenangan diskresi secara konstitusional sebagaimana diatur dalam UUD Negara RI 1945. Penetapan Perppu didasarkan atas pertimbangan subyektif Presiden mengacu pada parameter obyektif dalam penyelenggaraan pemerintahan. Kedua , dasar wewenang perubahan postur dan/atau rincian APBN berdasarkan Pepres Nomor 54 Tahun 2020 tetap mengacu pada prinsip negara hukum, yaitu:
. Perubahan postur dan/atau rincian APBN tersebut lahir berdasarkan kewenangan diskresi konstitusional berdasarkan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 (UU Nomor 2 Tahun 2020);
. Perubahan postur itu dilakukan berdasarkan produk hukum yang setara dengan kewenangan pengaturan mengenai rincian APBN berdasarkan Peraturan Presiden;
. Pertanggungjawaban pelaksanaan APBN tetap dilakukan melalui sistem pertanggungjawaban pelaksanaan APBN sebagaimana diatur pada Pasal 30 UU Nomor 17 Tahun 2003. Dan ketiga , berbagai kebijakan penganggaran di berbagai negara sebagaimana telah diuraikan di atas yang dimaksudkan guna penanganan Pandemi Covid-19, semua memperlihatkan digunakannya langkah-langkah darurat melalui kebijakan penganggaran di berbagai negara. Kebijakan keuangan negara yang bersifat darurat melalui Perpu Nomor 1 Tahun 2020 (UU Nomor 2 Tahun 2020) yang dilaksanakan oleh Pemerintah RI merupakan bagian dari strategi global untuk menangani dampak Pandemi Covid-19 secara sistematis, komprehensif dan berkelanjutan. Maka, justifikasi teoretik konstitusional bagi kebijakan melalui Perpu Nomor 1 Tahun 2020 (UU Nomor 2 Tahun 2020), sesungguhnya merupakan langkah solidaritas semesta guna mengatasi secara efektif dampak Pandemi Covid 19 yang menimbulkan situasi kedaruratan global dan nasional yang memerlukan kebijakan. Pemaknaan Kerugian Negara Dalam Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU 2/2020, terdapat ketentuan yang berbunyi sebagai berikut: “Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, 277 merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara.” Terhadap ketentuan tersebut, dapat Ahli sampaikan bahwa rumusan seperti yang terdapat dalam Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 bukanlah hal baru. Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (“ UU Krisis Sistem Keuangan ”) memiliki kemiripan dalam rumusan pasalnya, sebagai berikut: Pasal 28 ayat (1) UU Krisis Sistem Keuangan “Selisih kurang antara dana hasil penjualan Bank Perantara ditambah hasil likuidasi Bank Sistemik yang telah ditangani permasalahannya dan dana yang dikeluarkan Lembaga Penjamin Simpanan untuk penanganan permasalahan Bank Sistemik, merupakan biaya penanganan permasalahan Bank Sistemik bagi Lembaga Penjamin Simpanan dan bukan merupakan kerugian keuangan negara.” Penjelasan Pasal 28 ayat (1) UU Krisis Sistem Keuangan : “Cukup jelas” Frasa “kerugian negara” setidaknya ditemukan dalam 3 (tiga) undang-undang lainnya, yaitu:
Pasal 1 angka 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Perbendaharaan Negara (“ UU Perbendaharaan Negara ”) “Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.” 2. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan (“ UU BPK ”) “Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.” 3. Bagian I Umum Penjelasan Atas UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“ UU Tipikor ”), sebagai berikut: Paragraf kedua : “Di tengah upaya pembangunan nasional di berbagai bidang, aspirasi masyarakat untuk memberantas korupsi dan bentuk penyimpangan lainnya semakin meningkat, karena dalam kenyataan adanya perbuatan korupsi telah menimbulkan kerugian negara yang sangat besar yang pada gilirannya dapat berdampak pada timbulnya krisis di berbagai bidang.” Dalam UU Perbendaharaan Negara dan UU BPK, dalam pengertian frasa “kerugian negara/daerah”, sudah terkandung unsur “perbuatan melawan hukum”, sudah terkandung sifat jahat dari perbuatan tersebut. 278 Sedangkan pada UU Tipikor, dalam pengertian frasa “kerugian negara” belum terkandung unsur “melawan hukum”, belum terkandung sifat jahat dari perbuatan tersebut. Perbuatan korupsi-nya yang mengandung unsur melawan hukum, bukan kerugian negaranya. Selain dapat disimpulkan berdasarkan Bagian I Penjelasan Umum Atas UU Tipikor sebagaimana telah dikutip pada butir 3 di atas, hal ini juga dapat dilihat dalam rumusan delik pasal 2 ayat (1) UU Tipikor sebagai berikut: “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara , dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).” Perbuatan yang dikategorikan sebagai suatu tindak pidana dalam UU Tipikor adalah ”perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi secara melawan hukum ”. Sedangkan, kerugian negara adalah sebagai akibat dari perbuatan (melawan hukum) dimaksud. Jadi, dalam sudut pandang UU Tipikor, “kerugian negara” yang disebabkan perbuatan korupsi (melawan hukum) saja yang merupakan suatu tindak pidana. Konsekuensinya, terdapat dua kategorisasi kerugian negara, sebagaimana diagram sebagai berikut: Apabila menggunakan pengertian ‘’kerugian negara’’ pada UU Tipikor, maka biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK berdasarkan Lampiran UU 2/2020, sepanjang biaya tersebut bukan sebagai akibat dari perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi secara melawan hukum, maka hal tersebut bukan tindak pidana (korupsi) . Kerugian Negara Akibat Perbuatan Melawan Hukum Tindak Pidana Akibat Perbuatan Menurut Hukum Bukan Tindak Pidana 279 Sedangkan, apabila menggunakan pengertian ‘’kerugian negara’’ pada UU BPK dan UU Perbendaharaan Negara, maka biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK berdasarkan Lampiran UU 2/2020, sepanjang biaya tersebut bukan sebagai akibat dari perbuatan melawan hukum, maka hal tersebut bukan kerugian negara . Kewenangan BPK/BPKP Untuk Memeriksa Adanya Kerugian Negara Dalam Pelaksanaan Lampiran UU 2/2020 Terkait dengan frasa ‘’kerugian negara’’, berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (“ UU BPK ”), Badan Pemeriksa Keuangan memiliki kewenangan sebagai berikut: Pasal 10 UU BPK : “(1) BPK menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola Badan Usaha Milik Negara/ Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara.
Penilaian kerugian keuangan negara dan/atau penetapan pihak yang berkewajiban membayar ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan BPK.
Untuk menjamin pelaksanaan pembayaran ganti kerugian, BPK berwenang memantau:
penyelesaian ganti kerugian negara/daerah yang ditetapkan oleh Pemerintah terhadap pegawai negeri bukan bendahara dan pejabat lain;
pelaksanaan pengenaan ganti kerugian negara/daerah kepada bendahara, pengelola Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara yang telah ditetapkan oleh BPK; dan
pelaksanaan pengenaan ganti kerugian negara/daerah yang ditetapkan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.” Pasal 11 UU BPK: “BPK dapat memberikan:
pendapat kepada DPR, DPD, DPRD, Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah, Lembaga Negara Lain, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, Yayasan, dan lembaga atau badan lain, yang diperlukan karena sifat pekerjaannya;
pertimbangan atas penyelesaian kerugian negara/daerah yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah; dan/atau
keterangan ahli dalam proses peradilan mengenai kerugian negara/daerah .” Sedangkan berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 192 Tahun 2014 tentang Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (“ Perpres BPKP ”), Badan 280 Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, memiliki kewenangan sebagai berikut: Pasal 3 Perpres BPKP “a....
... c.... d.... e. pengawasan terhadap perencanaan dan pelaksanaan program dan/atau kegiatan yang dapat menghambat kelancaran pembangunan, audit atas penyesuaian harga, audit klaim, audit investigatif terhadap kasus-kasus penyimpangan yang berindikasi merugikan keuangan negara/daerah, audit penghitungan kerugian keuangan negara/daerah , pemberian keterangan ahli, dan upaya pencegahan korupsi; ” Sementara itu, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-X/2012, Mahkamah Konstitusi mempertegas kewenangan BPK dan BPKP terkait dengan kerugian negara sebagaimana dapat dibaca pada halaman 53 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-X/2012 sebagai berikut: “Oleh sebab itu menurut Mahkamah, KPK bukan hanya dapat berkoordinasi dengan BPKP dan BPK dalam rangka pembuktian suatu tindak pidana korupsi, melainkan dapat juga berkoordinasi dengan instansi lain, bahkan bisa membuktikan sendiri di luar temuan BPKP dan BPK, misalnya dengan mengundang ahli atau dengan meminta bahan dari inspektorat jenderal atau badan yang mempunyai fungsi yang sama dengan itu dari masing-masing instansi pemerintah, bahkan dari pihak-pihak lain (termasuk dari perusahaan), yang dapat menunjukkan kebenaran materiil dalam penghitungan kerugian keuangan negara dan/atau dapat membuktikan perkara yang sedang ditanganinya; ” Ketentuan Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 tidak menghilangkan kewenangan BPK/BPKP terkait dengan kerugian negara. Oleh karena itu, BPK/BPKP tetap dapat memeriksa adanya kerugian negara dalam pelaksanaan UU 2/2020. Due Process of Law Dalam Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi Terkait Pelaksanaan Kebijakan Sesuai Lampiran UU 2/2020 Pengertian yang dianut UU BPK dan UU Perbendaharaan Negara maupun yang dianut UU Tipikor, ada persamaan diantara ketiganya yaitu adanya unsur ‘’melawan hukum’’. Apabila terpenuhi semua unsur-unsurnya, termasuk unsur ‘’melawan hukum’’, maka terhadap pelakunya tetap dapat diminta pertanggungjawaban melalui proses hukum. 281 Terkait Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020, yang berbunyi sebagai berikut: “Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Bagaimana batasan itikad baik dalam prinsip hukum pidana? Dalam hukum pidana materiil di Indonesia tidak banyak pasal yang menyebutkan tentang “itikad baik”, begitu pula referensi terhadapnya. Hal ini dapat dipahami karena ketentuan pidana lebih banyak mengatur tentang:
perbuatan/tindak pidana (unsur objektif/fisik yaitu actus reus ), dan b. sikap batin pelaku ketika melakukan tindak pidana (unsur subjektif/mental yaitu mens rea ). Frasa “itikad baik” ditemukan dalam Pasal 51 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“ KUHPidana ”), sebagai berikut: “ Perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah, dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya.” Pasal 51 ayat (2) KUHPidana ini terdapat dalam KUHPidana Bab III Hal-hal Yang Menghapuskan, Mengurangi, atau Memberatkan Pidana. Seseorang dapat dikatakan tidak beritikad baik apabila pelaku, ketika melakukan tindak pidana, mengetahui atau sepatutnya dapat menduga bahwa perbuatan yang dia lakukan adalah suatu kejahatan (unsur subjektif/mental yaitu mens rea ). Pasal 119 KUHPidana “Barang siapa memberi pondokan kepada orang lain, yang diketahuinya mempunyai niat atau sedang mencoba untuk mengetahui benda-benda rahasia seperti tersebut dalam pasal 113, padahal tidak wenang untuk itu, atau mempunyai niat atau sedang mencoba untuk mengetahui letak, bentuk, susunan, persenjataan, perbekalan, perlengkapan mesiu, atau kekuatan orang dari bangunan pertahanan atau sesuatu hal lain yang bersangkutan dengan kepentingan tentara” Pasal 187 bis KUHPidana “Barang siapa membuat, menerima, berusaha memperoleh, mempunyai persediaan, menyembunyikan, mengangkut atau memasukkan ke Indonesia bahan-bahan, benda-benda atau perkakas-perkakas yang diketahui atau selayaknya harus diduga bahwa diperuntukkan, atau kalau ada kesempatan akan diperuntukkan, untuk menimbulkan ledakan yang 282 membahayakan nyawa orang atau menimbulkan bahaya umum bagi barang, diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.” Pasal 393 KUHPidana “Barang siapa memasukkan ke Indonesia tanpa tujuan jelas untuk mengeluarkan lagi dan Indonesia, menjual, menawarkan, menyerahkan, membagikan atau mempunyai persediaan untuk dijual atau dibagi-bagikan, barang-barang yang diketahui atau sepatutnya harus diduganya , bahwa pada barangnya itu sendiri atau pada bungkusnya dipakaikan secara palsu, nama, firma atau merek yang menjadi hak orang lain atau untuk menyatakan asalnya barang, nama sebuah tempat tertentu, dengan ditambahkan nama atau firma yang khayal, ataupun pada barangnya sendiri atau pada bungkusnya ditirukan nama, firma atau merek yang demikian sekalipun dengan sedikit perubahan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah”. Pasal 480 KUHPidana “Diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah:
barang siapa membeli, menyewa, menukar, menerima gadai, menerima hadiah, atau untuk menarik keuntungan, menjual, menyewakan, menukarkan, menggadaikan, mengangkut, menyimpan atau menyembunyikan sesuatu benda, yang diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa diperoleh dari kejahatan penadahan;
barang siapa menarik keuntungan dari hasil sesuatu benda, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduga bahwa diperoleh dari kejahatan.” Dalam delik-delik di atas, dapat dikatakan tidak beritikad baik apabila seseorang yang mengetahui atau sepatutnya dapat menduga bahwa perbuatan yang dia lakukan adalah suatu kejahatan. Khusus untuk Pasal 480 ke-1 KUHP, Mahkamah Agung telah menerbitkan yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 2/Yur/Pid/2018 dan 3/Yur/Pid/2018 dimana Mahkamah Agung secara konsisten menganggap bahwa tindakan- tindakan yang dikategorikan sebagai “ diketahui atau sepatutnya harus diduga diperoleh dari kejahatan” adalah:
apabila sebuah barang dijual atau dibeli di bawah harga pasar/standar.
apabila seseorang membeli kendaraan bermotor tanpa dilengkapi surat-surat kendaraan yang sah. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa seseorang tidak memiliki itikad baik apabila ketika melakukan tindak pidana, mengetahui atau sepatutnya dapat 283 menduga bahwa perbuatan yang dia lakukan adalah suatu kejahatan (unsur subjektif/mental yaitu mens rea ). Ketentuan Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 mengatur perlindungan hukum kepada pihak tertentu. Apakah dalam suatu peraturan perundang- undangan diperbolehkan untuk memberikan perlindungan hukum kepada pihak tertentu? Apakah ketentuan tersebut menghilangkan prinsip equality before the law , khususnya dalam penerapan hukum pidana? Norma yang terkandung dalam Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 tersebut bukan hal baru dalam peraturan perundang-undangan. Tercatat ada beberapa peraturan perundang-undangan yang mengandung norma serupa, sebagai berikut:
Pasal 16 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat “Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan Klien dalam sidang pengadilan.” b. Pasal 11 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum “Pemberi Bantuan Hukum tidak dapat dituntut secara perdata maupun pidana dalam memberikan Bantuan Hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang dilakukan dengan iktikad baik di dalam maupun di luar sidang pengadilan sesuai Standar Bantuan Hukum berdasarkan peraturan perundang-undangan dan/atau Kode Etik Advokat.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, serbagaimana sudah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 (“ UU MD3 ”) Pasal 57:
Anggota MPR mempunyai hak imunitas. 2) Anggota MPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis di dalam sidang atau rapat MPR ataupun di luar sidang atau rapat MPR yang berkaitan dengan wewenang dan tugas MPR.
Anggota DPRD provinsi mempunyai hak imunitas. 2) Anggota DPRD provinsi tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis di dalam rapat DPRD provinsi ataupun di luar rapat DPRD provinsi yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPRD provinsi.
Pasal 48 ayat (1) UU Nomor 9 tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan “Kecuali terdapat unsur penyalahgunaan wewenang, anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan, sekretaris Komite Stabilitas Sistem Keuangan, anggota sekretariat Komite Stabilitas Sistem Keuangan, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan tidak dapat dituntut , baik secara perdata maupun pidana atas pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang berdasarkan Undang-Undang ini.” e. Pasal 22 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak "Menteri, Wakil Menteri, pegawai Kementerian Keuangan, dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengampunan Pajak, tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut , baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan." f. Pasal 6 Lampiran Undang-undang Nomor 9 tahun 2017 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan;
Menteri Keuangan dan/atau pegawai Kementerian Keuangan dalam melaksanakan tugas yang berkaitan dengan pelaksanaan akses dan pertukaran informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan, tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata. 285 2) Pimpinan dan/atau pegawai Otoritas Jasa Keuangan yang memenuhi kewajiban penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a, tidak dapat dituntut secara pidana dan/atau digugat secara perdata.
Pimpinan dan/atau pegawai lembaga jasa keuangan, pimpinan dan/atau pegawai lembaga jasa keuangan lainnya, dan pimpinan dan/atau pegawai entitas lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) yang memenuhi kewajiban penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), dan/atau pemberian informasi dan/atau bukti atau keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), tidak dapat dituntut secara pidana dan/atau digugat secara perdata. Terhadap norma yang tercantum dalam beberapa peraturan perundang- undangan tersebut di atas, Mahkamah Konstitusi telah melakukan pengujian dalam beberapa putusannya, antara lain sebagai berikut:
Pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 26/PUU-XI/2013, sebagai berikut: “… bahwa ketentuan Pasal 16 UU 18/2003 harus dimaknai advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien di dalam maupun di luar sidang pengadilan; ” b. Pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 57/PUU-XIV/2016 , sebagai berikut: “Sesungguhnya, tanpa ada Pasal 22 UU 11/2016 ini pun pihak-pihak yang disebut dalam ketentuan a quo memang sudah seharusnya tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada itikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Berdasarkan kenyataan bahwa norma tersebut kerap digunakan dalam berbagai peraturan perundang-undangan dan kemudian juga telah diuji oleh Mahkamah Konstitusi, maka secara politik hukum norma tersebut dapat diterima untuk dimuat dalam suatu peraturan perundang-undangan. Tanpa adanya norma tersebut pun, pihak-pihak terkait memang seharusnya tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada itikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu keberadaan norma tersebut tidak menghilangkan prinsip equality before the law. 286 5) Prof. Denny Indrayana, S.H., LL.M., Ph.D. Norma yang Diuji Konstitusionalitasnya Sebelum masuk kepada pokok pembahasan, terlebih dahulu perlu dikemukakan bahwa terkait dengan norma yang diuji konstitusionalitasnya dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang (selanjutnya disebut “ UU 2/2020 ”) sampai saat ini masih menjadi isu di masyarakat. Meskipun demikian, pada dasarnya seluruh kebijakan dalam UU 2/2020 tentu dibuat dengan berbagai pertimbangan dan assessment sebagai bentuk upaya penyelamatan masyarakat dalam situasi Pandemi Covid-19, khususnya di bidang keuangan negara agar dapat diimplementasikan dengan baik. Adapun yang menjadi objek pengujian, norma yang diuji konstitusionalitasnya dalam UU 2/2020 dapat dikatakan hampir sebagian besar dari pasal-pasal UU 2/2020. Apabila dikelompokkan berdasarkan topik, maka secara umum norma UU 2/2020 yang diuji konstitusionalitasnya meliputi perlindungan hukum dan kepastian hukum terkait:
Ruang lingkup pengaturan;
Keuangan Daerah;
Perpajakan dan Kepabeanan;
Perubahan Postur Anggaran; dan
Kebijakan keuangan lainnya yang merupakan materi muatan UU 2/2020. Alasan Permohonan Judicial Review __ yang diajukan terhadap UU 2/2020 ini pada dasarnya lebih kepada judicial review terhadap konstitusionalitas materi muatan UU 2/2020 yang dianggap tidak mencerminkan kondisi Indonesia dalam menghadapi Pandemi Covid-19 sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut “ UUD 1945 ”) dan berpotensi merugikan hak-hak konstitusional Para Pemohon. Terkait dengan materi keterangan yang akan disampaikan Ahli, pada dasarnya merupakan materi yang seyogianya telah dikuasai oleh Majelis Hakim 287 Mahkamah Konstitusi Yang Mulia. Kemudian, sebelum masuk kepada pokok- pokok keterangan yang akan disampaikan dalam kapasitas ahli di bidang hukum tata negara, perlu dikemukakan bahwa Covid-19 yang dinyatakan secara resmi oleh World Health Organization (WHO) sebagai Pandemi pada 11 Maret 2020 yang lalu, tentu merupakan kondisi yang tidak mudah bagi semua pihak, tidak hanya bagi Indonesia, namun juga bagi negara-negara di belahan dunia lainnya. Sebagai penyelenggara negara yang diberikan amanat oleh konstitusi untuk melindungi hak-hak warga negara, terutama dalam menghadapi masa Pandemi Covid-19, negara wajib mempertimbangkan langkah-langkah yang akan diambil tentu dengan tetap menjunjung tinggi hak-hak konstitusional warga negara yang telah dijamin di dalam UUD 1945. Oleh karena itu, terkait langkah-langkah yang diambil oleh negara sebagai bentuk tindakan pemerintah dalam menghadapi Pandemi Covid-19 akan mencerminkan tanggung jawab negara dalam menanggulangi Pandemi Covid-19 di Indonesia. Tentu tindakan pemerintah tersebut harus ditelaah dari beberapa aspek: A. Regulasi Sebagai negara yang menjunjung supremasi hukum, UUD 1945 tentu telah mengatur tindakan yang harus diambil oleh Presiden selaku kepala negara sekaligus kepala pemerintahan dalam hal terjadinya keadaan darurat. Keadaan dimana diperlukan respon yang cepat tanggap untuk menangani kondisi luar biasa ( extraordinary ). Keadaan darurat ini, sebagaimana kita ketahui telah diatur di dalam UUD 1945 dalam dua (2) bentuk, yakni keadaan bahaya dalam Pasal 12 UUD 1945 yang selanjutnya berbunyi: " Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang. ” dan kegentingan yang memaksa yang diatur dalam Pasal 22 UUD 1945 menyatakan, “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.” Untuk keadaan bahaya yang dimaksud dalam Pasal 12 UUD 1945, dalam konsep hukum darurat pada dasarnya lebih kepada security approach sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959 yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 52 Tahun 1960. 288 Terkait dengan pembentukan peraturan pemerintah pengganti undang-undang yang dibentuk dalam rangka kegentingan yang memaksa, pada dasarnya belum ada undang-undang yang khusus mengatur “kegentingan yang memaksa” sebagaimana yang dibunyikan di dalam Pasal 22 UUD 1945 tersebut. Akan tetapi, dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan terdapat ketentuan yang mengatur secara teknis prosedur pembentukan peraturan pemerintah pengganti undang-undang menjadi undang-undang. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 22 UUD 1945, maka situasi Pandemi Covid-19 yang tengah dihadapi oleh Indonesia saat ini menunjukkan adanya kondisi “kegentingan yang memaksa” yang membutuhkan tindakan cepat tanggap dari pemerintah untuk menanggulanginya. Pemerintah memegang peranan penting dalam hal mengambil kebijakan dalam penanganan situasi Pandemi Covid-19 ini. Oleh karenanya, tindakan pemerintah dalam menanggulangi Pandemi Covid-19 tentu diambil bukan tanpa pertimbangan mengingat situasi ini butuh penanganan yang sangat serius. B. Doktrin dan Yurisprudensi Terhadap frasa “kegentingan yang memaksa”, sebelumnya juga telah dikemukakan oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 138/PUU- VII/2009 terkait pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Mahkamah Konstitusi kemudian memberikan 3 (tiga) parameter yang dapat digunakan untuk menetapkan suatu kegentingan yang memaksa, yaitu:
Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang;
Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tapi tidak memadai; dan
Kekosongan hukum tersebut tidak dapat datasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan. 289 Tentu, Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Yang Mulia dalam memberikan 3 (tiga) parameter kegentingan yang memaksa melalui putusannya telah mempertimbangkan pula bahwa terdapat irisan antara keadaan bahaya dan kegentingan yang memaksa, dimana dalam kondisi tertentu keadaan bahaya dapat menimbulkan kegentingan yang memaksa meskipun tidak selalu memiliki hubungan antara satu sama lain. Prof. Jimly Asshiddiqie dalam Hukum Tata Negara Darurat mengemukakan bahwa, “ Keadaan bahaya yang menimbulkan _kegentingan yang memaksa, yaitu:
ancaman yang membahayakan_ _(dangerous threat);
kebutuhan yang mengharuskan (reasonable necessity); _ dan (3) keterbatasan waktu (limited time) yang tersedia. ” Berbeda dengan keadaan bahaya, kegentingan yang memaksa hanya memerlukan kebutuhan yang mengharuskan dan keterbatasan waktu berdasarkan keyakinan Presiden. Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi memberikan 3 (tiga) parameter kegentingan yang memaksa sebagai tolak ukurnya. Prof. Iwa Kusuma Sumantri dalam Ilmu Hukum dan Keadilan menyatakan bahwa, “ hukum darurat itu disusun dan berlaku untuk mengatasi kegentingan, atau setidak-tidaknya untuk dijalankan hanya dalam waktu kegentingan itu. ” Lebih lanjut Iwa Kusuma Sumantri mengemukakan 5 (lima) syarat dibentuknya undang- undang darurat yakni:
keadaan mendesak;
keamanan membahayakan dan mengancam terwujudnya negara;
untuk mengatasi keadaan dan kesulitan- kesulitan yang timbulkan dari keadaan bahaya itu;
tidak ada kesempatan membahas dengan parlemen; dan
hanya berlaku selama keadaan bahaya. Berdasarkan situasi Pandemi Covid-19 yang tengah terjadi dan norma UUD 1945 yang mengatur kewenangan Presiden dalam konteks kegentingan yang memaksa, apabila dikaitkan dengan situasi Pandemi Covid-19 yang sedang dihadapi Indonesia, maka dapat dikatakan pemerintah telah mengambil langkah penanganan Pandemi Covid-19 sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yakni: a) Mengumumkan bahwa telah terjadi situasi darurat Pademi Covid-19; b) Menetapkan hukum darurat dalam rangka penanganan Covid-19, salah satunya dengan membentuk Perppu 1/2020 yang telah disahkan menjadi UU 2/2020 dan kemudian menjadi objek permohoan saat ini; c) Menyiapkan instrumen hukum lebih lanjut yang berkaitan dengan keadaan darurat yang tengah berlangsung; 290 d) Menerapkan hukum darurat yang telah dibentuk. Dalam pembentukan hukum darurat untuk menangani situasi Pandemi Covid-19 ini, Pemerintah dimungkinkan untuk melakukan diskresi, namun dengan catatan dalam hal ini pemerintah tetap harus memperhatikan ruang dalam hukum darurat yang menimbulkan potensi korupsi . Akuntabilitas dalam hal penggunaan keuangan negara dalam masa Pandemi Covid-19 tetap harus diperhatikan . Terhadap imunitas dalam melaksanakan ketentuan hukum darurat pun Ahli berpendapat tetap diperlukan agar hukum darurat yang telah dibentuk dapat diimplementasikan dengan baik sepanjang imunitas tersebut digunakan dalam kapasitas yang tepat dan bukan berarti tanpa batas . Pengawasan atas penggunaan dan penyaluran anggaran negara dalam hal ini APBN dan APBD yang ditujukan untuk penanganan Pandemi Covid-19 tentu juga tidak boleh dilonggarkan, mengingat penggunaan keuangan negara dalam situasi bencana rentan untuk disalahgunakan dan dikorupsi . Kebijakan Keuangan Negara dalam UU 2/2020 Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, materi muatan UU 2/2020 terkait kebijakan keuangan negara masih menjadi isu di masyarakat. Terhadap permohonan pengujian konstitusionalitas norma UU 2/2020, khususnya mengenai perpajakan dan kepabeanan, secara garis besar, apabila dikelompokkan setidaknya ada 6 (enam) isu yang menjadi perhatian dalam pengujian UU 2/2020, yakni:
Apakah kebijakan penyesuaian tarif PPh Wajib Pajak Badan Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap tanpa diikuti dengan larangan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) bersifat inkonstitusional? 2. Apakah kebijakan penyesuaian tarif pajak dalam UU 2/2020 yang diberlakukan tidak hanya terhadap wajib pajak badan yang bergerak di bidang riset dan pengembangan penanganan Covid-19 bersifat inkonstitusional? 3. Apakah pengaturan pajak Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (selanjutnya disebut “ PSME ” yang diatur dalam UU 2/2020 memenuhi sifat kedaruratan/kegentingan yang memaksa? 4. Apakah UU 2/2020 yang melimpahkan pengaturan besarnya tarif dasar pengenaan, dan tata cara penghitungan Pajak diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah bersifat inkonstitusional? 291 5. Apakah pengaturan hak imunitas dalam UU 2/2020 inkonstitusional? 6. Apakah Pasal 27 ayat (1) UU 2/2020 menjadikan hak imunitas bersifat absolut dan inkonstitusional? 1. Konstitusionalitas Kebijakan Penyesuaian Tarif PPh Wajib Pajak Badan Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT) Tanpa Diikuti dengan Larangan Pemutusan Hubungan Kerja Terkait penyesuaian tarif PPh Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap yang tanpa diikuti dengan larangan Pemutusan Hubungan Kerja yang sebagaimana ditetapkan dalam UU 2/2020 harus dipahami secara utuh dan kaitannya dengan kondisi perusahaan dalam situasi Pandemi Covid-19. Lebih lanjut Pasal 4 ayat (1) UU 2/2020 berbunyi sebagai berikut:
Kebijakan di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (4) meliputi:
penyesuaian tarif Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap;
perlakuan perpajakan dalam kegiatan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik;
perpanjangan waktu pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan; dan
pemberian kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk memberikan fasilitas kepabeanan berupa pembebasan atau keringanan bea masuk dalam rangka penanganan kondisi darurat serta pemulihan dan penguatan ekonomi nasional. Sementara itu, Pasal 1 ayat (3) dan ayat (4) UU 2/2020 berbunyi, (3) Untuk melaksanakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dalam rangka:
penanganan pandemi Corona Disease 2019 (COVID-19); dan/atau
menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan.
Kebijakan keuangan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, dan kebijakan pembiayaan.” Berdasarkan ketentuan norma yang terkait dengan Pasal 4 ayat (1) UU 2/2020, jika dicermati dan dipahami secara utuh, maka kebijakan penyesuaian tarif PPh Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap (BUT) yang tidak diikuti dengan larangan Pemutusan Hubungan Kerja tidaklah inkonstitusional. Apabila ketentuan UU 2/2020 mencantumkan norma yang memaksakan larangan PHK, justru menimbulkan ketidakadilan terhadap perusahaan, karena dapat mengakibatkan perusahaan kolaps di masa pandemi. Kolapsnya perusahaan tentu akan berdampak 292 lebih buruk tidak hanya bagi perusahaan terkait, namun juga terhadap para pekerja yang bekerja di perusahaan dan bagi perekonomian nasional. Kebijakan insentif perpajakan berupa penurunan tarif yang diberikan pemerintah kepada Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap, tidak serta merta dapat menjamin dan menjadikan perusahaan tersebut baik secara finansial. Kebijakan insentif perpajakan ini hanya membantu perusahaan di masa pandemi agar tidak terpuruk dan diharapkan masih tetap dapat beroperasi dengan baik serta tetap dapat mempertahankan lapangan kerja bagi pekerjanya. Jika mengkhawatirkan dampak buruk dari tidak disertainya pemberian insentif perpajakan kepada Wajib Pajak badan dalam negeri dan BUT dengan adanya larangan PHK, maka ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan kembali:
Bagaimana jika ternyata setelah mendapat insentif pajak, kinerja perusahaan menurun bukan dikarenakan oleh faktor internal perusahaan, seperti resesi ekonomi global, fluktuasi supply and demand ? 2. PHK yang dilaksanakan sesuai tata cara yang telah ditentukan peraturan perundang-undangan dapat dilakukan dalam rangka efisiensi dan restrukturisasi yang justru dapat menyelamatkan perusahaan.
Perusahaan besar/BUMN/dan perusahaan lain sebagainya dengan suntikan besar modal asing dan APBN sekalipun (yang bukan sekedar diberikan insentif pajak saja) bisa jatuh pailit, contohnya Merpati, dan BUMN Kertas Leces.
Pemaksaan larangan PHK dalam UU 2/2020 justru akan menciptakan potensi komplikasi hukum bagi berbagai pihak. Pelu digarisbawahi pula bahwa, dalam menangani situasi Pandemi Covid-19, tanpa adanya larangan PHK bagi pekerja dalam UU 2/2020, sebelumnya telah ada rambu- rambu terkait PHK dan program sosial terkait ketenagakerjaan, yang meliputi:
Pemerintah telah berusaha maksimal melalui program bantuan sosial, kartu pra kerja, dan bantuan lain sebagainya sebagai bentuk perlindungan sosial bagi warga negara, bahkan pemerintah telah menganggarkan bantuan subsidi gaji bagi pekerja untuk besaran yang ditentukan pada masa Pandemi Covid-19; dan
Terkait dengan PHK, perusahaan tidak serta merta dapat melakukan PHK terhadap pekerja meskipun dalam situasi Pandemi Covid-19, kecuali perusahaan tersebut tutup secara permanen, sebagaimana pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Nomor 19/PUU-IX/2011. 293 3. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, selanjutnya disebut “ UU Ketenagakerjaan ”, juga telah mengatur penyelesaian dalam hal terjadi persoalan ketenagakerjaan, mulai dari bipartit hingga Pengadilan Hubungan Industrial. Lebih lanjut, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PUU-IX/2011 terkait uji materi Pasal 164 ayat (3) UU Ketenagakerjaan dalam pertimbangannya memperkuat dasar bahwa PHK dengan alasan efisiensi dampak pandemi tidak serta merta dapat dilakukan dan merupakan pilihan terakhir. PHK merupakan pilihan terakhir sebagai upaya untuk melakukan efisiensi perusahaan setelah sebelumnya dilakukan upaya-upaya yang lain dalam rangka efisiensi tersebut. Berdasarkan hal tersebut, menurut Mahkamah, perusahaan tidak dapat melakukan PHK sebelum menempuh upaya-upaya sebagai berikut:
mengurangi upah dan fasilitas pekerja tingkat atas, misalnya manajer dan direktur;
mengurangi shift ;
membatasi/ menghapuskan kerja lembur;
mengurangi jam kerja;
mengurangi hari kerja;
meliburkan atau merumahkan pekerja/buruh secara bergilir untuk sementara waktu;
tidak atau memperpanjang kontrak bagi pekerja yang sudah habis masa kontraknya;
memberikan pensiun bagi yang sudah memenuhi syarat. Dengan demikian, adanya tambahan frasa “dan larangan pemutusan hubungan kerja (PHK)” dalam ketentuan penyesuaian tarif PPh Badan sebagaimana dalil Pemohon, akan menimbulkan ketidakharmonisan ketentuan dalam UU 2/2020 dengan UU Ketenagakerjaan dan Putusan Mahkamah Konstitusi, sehingga justru menimbulkan potensi komplikasi hukum, ketidakadilan dan ketidakpastian hukum bagi seluruh Pihak.
Konstitusionalitas Kebijakan Penyesuaian Tarif Pajak dalam UU 2/2020 Tidak Hanya Diberlakukan Terhadap Wajib Pajak Badan yang Bergerak di Bidang Riset dan Pengembangan Penanganan Covid-19 294 Sebagaimana kita ketahui bahwa dalam kajian peraturan perpajakan, sulit menentukan bidang-bidang usaha Wajib Pajak dan besaran tarif pajak yang akan dikenakan. Hal ini dikarenakan, secara faktual sebuah perusahaan dimungkinkan memiliki usaha lintas bidang/lintas sektoral, sehingga dalam implementasinya juga akan rumit apabila besaran tarif dikenakan berbeda untuk setiap bidang usaha wajib pajak yang jenisnya sangat beragam. Oleh karena itu, penetapan tarif yang berlaku umum atau universal untuk seluruh Wajib Pajak badan dalam negeri dan badan usaha tetap dinilai lebih memberikan jaminan kepastian hukum yang adil bagi seluruh Wajib Pajak. Diberlakukannya pembedaan tarif pajak berdasarkan sektor usaha Wajib Pajak justru berpotensi menimbulkan diskriminasi dan ketidakadilan. Ketentuan besaran penyesuaian tarif pajak secara universal dalam Pasal 5 ayat (1) UU 2/2020 yang berbunyi, (1) Penyesuaian tarif Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap sebagaimana dimaksud Pasal 4 ayat (1) huruf a berupa penurunan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf b Undang-Undang mengenai Pajak Penghasilan menjadi:
sebesar 22% (dua puluh dua persen) yang berlaku pada Tahun Pajak 2020 dan Tahun Pajak 2021; dan
sebesar 20% (dua puluh persen) yang mulai berlaku pada Tahun Pajak 2022. dinilai sudah tepat. Apabila pemerintah menerapkan kebijakan kekhususan pengenaan tarif pajak bagi Wajib Pajak badan dalam negeri dan badan usaha tetap bagi bidang usaha riset dan pengembangan penanganan Covid-19 untuk Tahun Pajak 2020 dan 2021, maka secara tidak langsung aturan khusus ini justru berpotensi menguntungkan Wajib Pajak badan dalam negeri dan badan usaha tetap yang bidang usahanya di luar riset dan pengembangan penanganan Covid-19. Artinya, ketika diberlakukan aturan khusus tarif pajak berdasarkan permohonan Pemohon, maka pajak terutang yang harus dibayar oleh Wajib Pajak badan dalam negeri dan badan usaha tetap bisa saja lebih kecil dari pada pajak yang harus dibayar oleh Wajib Pajak badan dalam negeri dan badan usaha tetap yang bergerak di bidang riset dan pengembangan untuk penanganan Covid-19 karena besarannya telah ditentukan dalam UU 2/2020. Dan secara faktual, dampak Pandemi Covid-19 berimbas tidak terbatas untuk sektor/bidang usaha tertentu tetapi bersifat multisektoral, sehingga akan memberikan kepastian hukum yang adil apabila penurunan tarif PPh Badan diberikan kepada seluruh Wajib Pajak badan dalam negeri dan BUT agar 295 mereka mampu bertahan di masa pandemi dan mampu bangkit kembali pasca berakhir Pandemi Covid-19. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa aturan perpajakan secara umum atau universal dan menjadikannya sebagai open legal policy adalah lebih baik, sehingga menghindari diskriminasi dan ketidakadilan dalam penerapan tarif perpajakan. Oleh karena itu, rumusan Pasal 23A UUD 1945 berbunyi, “ Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang. ” Konsep Open Legal Policy Meskipun substansinya akan dinilai kurang baik atau bahkan buruk oleh masyarakat, penentuan besaran tarif pajak adalah penjabaran dari Pasal 23A UUD 1945 yang merupakan open legal policy dan Mahkamah Konstitusi tidak dapat membatalkannya. Pengecualian atas open legal policy yang dibuat adalah apabila ketentuan normanya telah nyata-nyata melanggar konstitusi secara intolerable, yakni apabila terdapat muatan yang bersifat sewenang-wenang ( willekeur ) dan melampaui kewenangan ( de tournament de pouvoir ). Konstitusi memberi peluang untuk open legal policy karena konstitusi terkadang tidak memuat suatu aturan yang spesifik dan eksplisit untuk mengatur suatu dasar konstitusionalitas kebijakan publik. Atas dasar inilah, pembuat undang-undang diberikan kewenangan membuat open legal policy untuk kemudian menjabarkannya lebih lanjut dalam suatu undang- undang. Karakteristik open legal policy ditemukan di dalam pasal-pasal UUD 1945 yang mendelegasikan pengaturan mengenai materi muatan lebih lanjut ke dalam undang- undang dengan rumusan “… diatur dalam undang-undang…” dan “… diatur dengan undang-undang. ” Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangannya melalui Putusan Nomor 012-016- 019/PUU-VI/2006 menyatakan bahwa frasa “diatur dalam undang-undang (geregeld in de wet), tidak identik dengan diatur dengan undang-undang (geregeld bij de wet).” Dalam putusan yang sama Mahkamah juga berpendapat bahwa, “Frasa “diatur dalam undang-undang” tidak serta merta berarti bahwa pembuat undang-undang membuatkan undang-undang tersendiri, yang secara khusus mengatur fungsi- fungsi yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman tersebut, sepanjang pengaturannya termaktub dalam undang-undang ( in de wet ), bukan dalam peraturan perundang-undangan lainnya.” Sementara itu, frasa “dengan undang- 296 undang, maka sifatnya imperatif, merupakan perintah konstitusi bahwasanya hal sesuatu tersebut hanya dapat secara khusus diatur dengan undang-undang tersendiri. ” Meskipun konstitusi memberikan peluang open legal policy , perlu diingat pula bahwa konsep open legal policy di dalam konstitusi tentu harus memiliki dasar, motif, tujuan, atau kebutuhan konstitusional untuk menentukan pilihan-pilihan yang akan dibuat. Konsep open legal policy dalam konstitusi ini kemudian juga diperkuat dengan penafsiran Mahkamah Konstitusi melalui putusannya, sebagai berikut: Tabel 1. Konsep Open Legal Policy di Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No Nomor Putusan Pertimbangan Hukum/ Amar Putusan 1 26/PUU-VII/2009 terkait Pengujian Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden “Mahkamah dalam fungsinya sebagai pengawal konstitusi tidak mungkin untuk membatalkan undang- undang atau sebagian isinya jikalau norma tersebut merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk undang-undang.” 2 37-39/PUU-VIII/2010 terkait Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK “Dalam kaitannya dengan kriteria usia, UUD 1945 tidak menentukan batasan usia minimal atau maksimal tertentu sebagai kriteria yang berlaku umum untuk semua jabatan atau aktivitas pemerintahan. Hal itu berarti, UUD 1945 menyerahkan penentuan batasan usia tersebut kepada pembentuk undang-undang untuk mengaturnya. Dengan kata lain, oleh UUD 1945 hal itu dianggap sebagai bagian dari kebijakan hukum (legal policy) pembentuk undang-undang.” 3 6/PUU-III/2005 terkait Pengujian Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah “….yaitu sepanjang pembedaan yang dilakukan tidak didasarkan atas agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, dan keyakinan politik, maka pengusulan melalui partai politik demikian tidak dapat dipandang bertentangan dengan UUD 1945, karena pilihan sistem yang demikian merupakan kebijakan (legal policy) yang tidak dapat diuji kecuali dilakukan secara sewenang-wenang (willekeur) dan melampaui kewenangan pembuat undang-undang (detournement de pouvoir).” 4 5/PUU-V/2007 Pengujian Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah “Alternatif yang dipilih adalah konstitusional, dan penentuan pilihan itu merupakan kebijaksanaan (legal policy) yang menjadi wewenang dari pembentuk undang-undang. Dalam melaksanakan pemilihan kepala daerah “secara demokratis” itu, ternyata pembentuk undang-undang telah mencontoh tata cara pengisian jabatan Presiden dan Wakil Presiden 297 sebagaimana telah diatur secara rinci dalam UUD 1945. Pilihan yang dijatuhkan oleh pembentuk undang-undang ini adalah konstitusional, sebab adalah suatu kesesatan berpikir ( fallacy ) jika mencontoh sesuatu yang tercantum dalam konstitusi dinilai sebagai sesuatu yang inkonstitusional.” 5 56/PUU-X/2012 terkait Pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Perselisihan Hubungan Industrial “Menurut Mahkamah, UUD 1945 tidak menentukan batas usia untuk semua jabatan hakim. Penentuan batas usia hakim merupakan kebijakan hukum terbuka ( open legal policy ), yang sewaktu-waktu dapat diubah oleh pembentuk undang-undang sesuai dengan tuntutan kebutuhan perkembangan yang ada dan sesuai dengan jenis dan spesifikasi serta kualifikasi jabatan tersebut. Dengan demikian penentuan batas usia sepenuhnya merupakan kewenangan pembentuk undang-undang.” 6 . 7/PUU-XI/2013 Pengujian Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi “Terkait dengan pengaturan batasan usia untuk menduduki jabatan publik tertentu dalam undang- undang. DPR mengutip pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam beberapa perkara yang menyatakan bahwa penentuan batasan usia minimal adalah merupakan pilihan kebijakan ( legal policy ) pembuat undang-undang yang menentukannya.” Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan “Penetapan usia perkawinan yang dalam Undang- Undang Perkawinan merupakan pilihan kebijakan open legal policy pembentuk undang-undang. Bahwa batasan umur sekurang-kurangnya 16 tahun bagi pihak wanita untuk dapat melangsungkan perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) undang- undang bukanlah merupakan persoalan konstitusionalitas norma, melainkan lebih merupakan pilihan kebijakan dari pembentuk undang-undang, sehingga kerugian konstitusionalitas yang didalilkan Pemohon bukanlah merupakan kerugian konstitusional akibat berlakunya norma a quo .” 8 46/PUU-XII/2014 Pengujian UU 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah “Penetapan besaran tarif retribusi baik dalam bentuk presentase atau pun jumlah rupiah merupakan kebijakan yang terbuka bagi pemerintah untuk menentukannya ( open public policy ). Mahkamah Konstitusi memberikan catatan meski merupakan open legal policy tetapi harus memperhatikan kepastian hukum yang adil, yang meliputi kepastian subjek, objek, besarnya tarif dan waktu pembayaran.” Dengan demikian, berdasarkan penafsiran Mahkamah Konstitusi dari beberapa putusannya, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa terkait kebijakan yang menyesuaikan besaran tarif pajak terhadap Wajib Pajak badan dalam negeri dan badan usaha tetap di dalam UU 2/2020, justru dimungkinkan dan telah sesuai dengan ketentuan perpajakan yang di dalam Konstitusi ditentukan sebagai open 298 legal policy sepanjang kebijakan penyesuaian tarif tersebut, 1) tidak bertentangan secara nyata dengan UUD 1945;
tidak melampaui kewenangan pembentuk undang-undang; dan
bukan merupakan penyalahgunaan kewenangan.
Pengaturan Pajak PMSE yang Diatur dalam Perppu Memenuhi Kedaruratan/ Kegentingan Memaksa Apabila aspek kedaruratan/ kegentingan yang memaksa dalam pengaturan pajak PMSE yang diatur dalam UU 2/2020 diuji konstitusionalitasnya, maka terhadap pengujian norma tersebut dinilai sudah tidak lagi terkait dengan isu konstitusionalitas, melainkan isu legalitas yang berkaitan dengan teknik drafting dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang 15 Tahun 2019. Hal ini dikarenakan, dengan disahkannya Perppu 1/2020 menjadi UU 2/2020, maka dapat diartikan bahwa DPR telah menyetujui materi muatan Perppu 1/2020 menjadi undang-undang. Dengan demikian, menguji konstitusionalitas unsur kegentingan yang memaksa dalam pembentukan UU 2/2020 sudah tidak relevan lagi untuk diajukan. Kemudian, apabila unsur kegentingan yang memaksa dijadikan tolak ukur atau dasar untuk mengajukan pengujian, maka sebelum pemohonan pengujian diajukan perlu ditelaah kembali 3 (tiga) parameter dalam menetapkan kegentingan yang memaksa sebagaimana yang dikemukakan oleh Mahkamah Konstitusi di dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009, yakni:
Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang;
Undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum , atau ada undang-undang tapi tidak memadai; dan
Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang- undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan . Materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang dalam hal kegentingan yang memaksa pun merupakan hak prerogatif presiden sebagai kepala pemerintahan, sebagaimana bunyi Pasal 22 UUD 1945, “ Dalam ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai 299 pengganti undang-undang”, hingga disetujui dan ditetapkan oleh DPR menjadi undang-undang.
Konstitusionalitas Pengaturan Besarnya Tarif, Dasar Pengenaan, dan Tata Cara Penghitungan Pajak Diatur dengan atau Berdasarkan Peraturan Pemerintah Berkaitan dengan masalah pendelegasian kewenangan, Prof. Jimly Asshiddiqie pada intinya berpendapat bahwa kewenangan yang dimiliki oleh suatu lembaga negara dapat berpindah kepada lembaga lain karena pemberian mandat atau karena pelimpahan wewenang (transfer of power). Jika kekuasaan yang dilimpahkan itu adalah kekuasaan untuk membentuk suatu peraturan perundang- undangan (the power of rule making atau law making), maka dengan terjadinya pendelegasian kewenangan regulasi (delegation of the rule-making power) tersebut berarti terjadi pula peralihan kewenangan untuk membuat suatu peraturan perundang-undangan. Hal tersebut berarti bahwa pembentuk Undang-Undang, memberikan delegasi kepada Pemerintah atau Pejabat Pemerintahan untuk mengatur sendiri hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran tugas dan wewenangnya. Pendelegasian kewenangan regulasi (rule-making power) itu dapat pula dilakukan secara bertingkat atau bertahap melalui mekanisme pemberian delegasi yang diberikan oleh pemberi delegasi kepada penerima delegasi, dan penerima delegasi itu kemudian mendelegasikan kembali kewenangan untuk mengatur tersebut pada tahap berikutnya kepada lembaga lain yang lebih rendah. Peraturan pelaksanaan perundang-undangan dinilai memegang peranan yang sangat penting dan bahkan terus berkembang dalam praktik di hampir semua negara hukum modern. Perumus undang-undang pada umumnya lebih memusatkan perhatian pada kerangka kebijakan dan garis-garis besar kebijakan yang penting dalam menjalankan roda dan fungsi pemerintahan sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Bentuk peraturan pelaksanaan perundang-undangan dapat berupa Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan peraturan lainnya. Bahwa hal tersebut semata-mata untuk memenuhi kebutuhan negara mendapatkan landasan hukum yang diperlukan, karena proses pembentukan peraturan di bawah Undang-Undang lebih cepat dibandingkan proses pembentukan Undang-Undang. Melalui pendelegasian wewenang kepada peraturan yang lebih rendah (delegated regulations) , maka tercapainya tujuan (doelmatigheid) untuk memenuhi tuntutan masyarakat menjadi hal yang diutamakan. Pendelegasian wewenang tersebut 300 merupakan hal yang lazim dan dibolehkan dalam penyelenggaraan negara, oleh sebab itu tidak bertentangan dengan hukum. Undang-undang di bidang perpajakan mendasarkan pada beberapa kebijakan perpajakan sebagaimana yang tercantum dalam Organization for Economic Co- Operation and Development yakni:
netralitas, artinya pajak harus netral dan berlaku adil kepada semua pihak. (2) efisien, yaitu biaya kepatuhan WP dan biaya administrasi pemerintah seminimal mungkin. (3) kepastian dan kesederhanaan, maksudnya peraturan pajak harus jelas dan mudah dipahami sehingga setiap pihak mampu mengantisipasi konsekuensi pajak atas transaksi yang dilakukannya, termasuk mengetahui kapan, dimana, bagaimana, dan berapa pajak yang harus dibayar dan (4) fleksibilitas, artinya sistem pajak harus fleksibel dan dinamis agar selalu dapat menyesuaikan dengan perkembangan bisnis, perdagangan, ekonomi dan teknologi informasi. Dunia usaha selalu berkembang sangat dinamis termasuk di masa Pandemi Covid- 19 di mana transaksi ekonomi digital menjadi berkembang sangat pesat. Oleh karena itu, peraturan perundang-undangan yang melandasinya juga harus bersifat terbuka, agar memiliki fleksibilitas untuk mengikuti perkembangan dunia usaha tersebut sehingga tujuan negara untuk memajukan kesejahteraan umum dapat terpenuhi. Demikian pula dengan tata cara penghitungan yang pada dasarnya bersifat teknis prosedural yang berada dalam lingkup kewenangan pemerintah dalam mengoptimalkan penerimaan negara dari sektor perpajakan, sekaligus sebagai alat uji kepatuhan perpajakan Wajib Pajak, sehingga telah tepat jika mendelegasikan pengaturan mengenai dasar pengenaan, tarif, dan tata cara penghitungan pajak kepada pemerintah untuk diatur dalam Peraturan Pemerintah guna memberikan ruang fleksibilitas bagi Pemerintah dalam menciptakan instrumen perpajakan untuk mendorong tujuan ekonomi. Di Indonesia, sudah menjadi konvensi ketatanegaraan bahwa berbagai undang- undang yang mengatur pajak dan pungutan lain, memberikan mandat atau delegasi wewenang kepada pemerintah untuk membuat peraturan-peraturan pelaksanaan dalam rangka menjalankan norma-norma hukum yang terkandung dalam Undang- Undang tersebut, seperti:
Pasal 4 ayat 2 huruf e UU Pajak Penghasilan yang menyebutkan bahwa, _“Penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final: _ e. penghasilan 301 tertentu lainnya, yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.” 2) Pasal 17 ayat (7) UU Pajak Penghasilan yang menyebutkan bahwa, ”Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan tarif pajak tersendiri atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi sebagaimana tersebut pada ayat (1).” Bahwa kedua pasal dalam UU Pajak Penghasilan tersebut di atas pernah diajukan uji materi di Mahkamah Konstitusi dengan dalil yang sama dengan permohonan uji materi perkara a quo, yaitu dalam perkara uji materi nomor 128/PUU-VII/2009 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. Dalam pertimbangan putusan yang MENOLAK permohonan Pemohon tersebut, Mahkamah Konstitusi menyatakan: “Bahwa pendelegasian wewenang Undang-Undang untuk mengatur lebih lanjut oleh peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya adalah suatu kebijakan pembentuk Undang-Undang yakni DPR dengan persetujuan Pemerintah (legal policy), sehingga dari sisi kewenangan kedua lembaga itu tidak ada ketentuan UUD 1945 yang dilanggar, artinya produk hukumnya dianggap sah. Pengaturan lebih lanjut dalam bentuk Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri Keuangan dan Keputusan Direktur Jenderal Pajak, di samping untuk memenuhi kebutuhan Pemerintah dengan segera supaya ada landasan hukum yang lebih rinci dan operasional, sekaligus juga merupakan diskresi yang diberikan oleh Undang-Undang kepada Pemerintah yang dibenarkan oleh hukum administrasi." Dalam perkara uji materi lainnya, Mahkamah Konstitusi dalam putusan Nomor 47/PUU-XII/2014 pernah memutus menolak permohonan uji materi Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan tentang Pajak Penghasilan. Pasal 23 ayat (2): “Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis jasa lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 2 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan ” Ketentuan Pasal 23 ayat (2) UU PPh di atas memberikan delegasi pengaturan lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai jenis jasa lain (Objek) yang terutang PPh Pasal 23. Sehubungan dengan pendelegasian tersebut, Mahkamah menyatakan: “Menteri Keuangan tidak diberikan kewenangan untuk menentukan mengenai perpajakan tersebut secara mandiri, melainkan hanya terbatas 302 merinci hal-hal yang telah diatur oleh Undang-Undang a quo. Hal tersebut dimungkinkan oleh karena objek atau kegiatan dimaksud merupakan sesuatu yang berkembang . Sementara itu pembentukan Undang-Undang memerlukan waktu yang cukup lama, sehinga terkadang –bahkan sering- ketinggalan dari apa yang diaturnya. Untuk menutup celah demikian maka dalam hal terkait dengan perkembangan tersebut maka norma yang terdapat pada frasa “jenis jasa lain” tersebut diperlukan; ” Uji materi tersebut pada prinsipnya sama dengan uji materi perkara a quo yang mempersolakan pendelegasian pengaturan lebih lanjut mengenai objek pajak (jasa lain) dalam Peraturan Menteri Keuangan. Dengan demikian, pendelegasian pengaturan besarnya tarif, dasar pengenaan, dan tata cara penghitungan Pajak diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945 . 5. Konstitusionalitas Pengaturan Hak Imunitas dalam UU 2/2020 Konsep Hak Imunitas Pengaturan atas pemberian imunitas melalui peraturan perundang-undangan terhadap subjek tertentu merupakan hal yang dimungkinkan dan tidak bertentangan dengan hukum. Konsep imunitas juga dapat ditemukan dalam beberapa pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi yang dijabarkan melalui tabel berikut, Tabel 2. Konsep Imunitas di Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No Nomor Putusan Pertimbangan Hukum 1 57/PUU-XVI/2016 Pengujian Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak “… pelaksanaan Pengampunan Pajak, tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut , baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan .” 2 26/PUU-XI/2013 Pengujian Undang- Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat “Pasal 16 UU 18/2003 merupakan salah satu ketentuan yang mengatur mengenai perlindungan advokat sebagai profesi dalam menjalankan tugas profesinya demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk kepentingan masyarakat pencari keadilan. Perlindungan tersebut antara lain, berupa tidak dapat dituntutnya advokat baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien dalam sidang pengadilan .” 303 dalam amar putusannya, Mahkamah Konstitusi bahkan memperluas imunitas Advokat yang sebelumnya terbatas hanya di dalam sidang pengadilan, menjadi di dalam maupun di luar sidang pengadilan. 3 7/PUU-XVI/2018 Pengujian Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi “ Kata kunci dari rumusan hak imunitas dalam ketentuan ini bukan terletak pada “kepentingan pembelaan klien” melainkan pada “iktikad baik” . Artinya, secara a contrario , imunitas tersebut dengan sendirinya gugur tatkala unsur “iktikad baik” dimaksud tidak terpenuhi. ” Pada dasarnya, imunitas dalam UU 2/2020 adalah imunitas dengan batasan berupa hanya untuk pelaksanaan UU 2/2020 dan pelaksanaan tersebut harus didasari dengan iktikad baik. Adapun hak imunitas dalam UU 2/2020 diberikan melalui Pasal 27 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU 2/2020 yang berbunyi, (1) Biaya yang timbul dari kebijakan-kebijakan penyelamatan keuangan oleh Pemerintah terkait krisis disebut sebagai bagian dari biaya ekonomi untuk menyelamatkan dari krisis, bukan merupakan kerugian negara.
Pejabat pengambil kebijakan tidak bisa dituntut oleh hukum pidana dan perdata jika dalam melaksanakan tugas didasar pada iktikad baik dan sesuai perundang-undangan.
Segala Tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara. Dengan demikian, pemberian hak imunitas dalam UU 2/2020 bertujuan agar Pemerintah dapat melaksanakan kebijakan yang telah diambil untuk menyelamatkan kondisi negara, dalam hal ini kebijakan keuangan negara dalam kondisi Pandemi Covid-19 berdasarkan UU 2/2020. Konstruksi pengaturan hak imunitas Pemerintah dalam Pasal 27 UU 2/2020 juga sesuai dengan konsep imunitas yang ada, yakni: a) imunitas untuk tidak dituntut secara perdata maupun pidana diberikan hanya berkaitan dengan pelaksanaan UU 2/2020; b) imunitas untuk tidak dituntut secara perdata maupun pidana diberikan jika tugas dilaksanakan didasarkan pada iktikad baik; dan c) harus sesuai dengan ketentuan perundang- undangan. Hak imunitas dinilai perlu diberikan kepada penyelenggara negara dalam rangka menjalankan tugasnya sesuai dengan konsep imunitas yang seharusnya, yakni 1) adanya iktikad baik;
sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan
memberikan manfaat bagi kepentingan umum. Artinya, hak imunitas yang diberikan kepada penyelenggara negara bukanlah imunitas tanpa batas dan tanpa 304 akuntabilitas. Hak imunitas yang diberikan kepada penyelenggara negara dipagari dengan rambu-rambu iktikad baik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Hak Imunitas dalam Pasal 27 ayat (1) UU 2/2020 Tidaklah Bersifat Absolut dan Tidak Menghilangkan Unsur Kerugian Negara Sebagaimana yang telah dijabarkan sebelumnya bahwa, konstruksi hak imunitas dalam Pasal 27 UU 2/2020 adalah hak imunitas yang memiliki batasan iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Apabila Pasal 27 ayat (1) UU 2/2020 dinilai telah menghilangkan unsur esensial tindak pidana korupsi, yakni “adanya kerugian negara” sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, selanjutnya disebut UU Tipikor , maka perlu ditelaah pula definisi kerugian negara yang menjadi unsur esensial tindak pidana korupsi dalam Pasal 1 angka 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, selanjutnya disebut UU Perbendaharaan Negara . Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara…” Pasal 3 UU Tipikor “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan. kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara…” Pasal 1 angka 22 UU Perbendaharaan Negara “ Kerugian Negara / Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.” Dari ketentuan-ketentuan dalam UU Tipikor dan UU Perbendaharaan Negara tersebut, terkait “kerugian negara” selalu diikuti dengan frasa “secara melawan hukum atau sebagai akibat perbuatan melawan hukum”. Frasa tersebut mengandung pengertian bahwa “kerugian negara” dikategorikan sebagai melanggar UU Tipikor dan melanggar UU Perbendaharaan Negara hanya apabila ada unsur perbuatan/tindakan yang melawan hukum. Jadi unsur perbuatan/tindakan yang melawan hukum merupakan unsur yang harus ada apabila kerugian negara tersebut dikualifikasi sebagai Tipikor. Artinya, tidak 305 semuanya “kerugian negara” dinyatakan sebagai Tipikor, bisa jadi hanya merupakan pelanggaran administratif yang seharusnya bisa ditempuhnya penyelesaian melalui jalur administrasi untuk pemulihan kerugian negara tersebut. Dari pasal-pasal tersebut, dipahami pula bahwa perbuatan “merugikan keuangan negara” haruslah merupakan implikasi dari perbuatan melawan hukum yaitu memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi serta penyalahgunaan kewenangan untuk memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi. Artinya, pasal ini tidak menutup kemungkinan adanya suatu tuntutan hukum jika perbuatan melawan hukum dapat dibuktikan. Terkait kerugian negara juga ditafsirkan oleh Mahkamah Konstitusi melalui pengujian Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan, “ UU LPS merupakan undang-undang yang memerintahkan kepada LPS untuk menjual aset Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik sehingga apabila hal itu dilakukan meskipun dengan harga yang tidak optimal tidak dapat digolongkan merugikan keuangan negara. ” Lebih lanjut, Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan menyatakan, “ Selisih kurang antara dana hasil penjualan Bank Perantara ditambah hasil likuidasi Bank Sistemik yang telah ditangani permasalahannya dan dana yang dikeluarkan Lembaga Penjamin Simpanan untuk penanganan permasalahan Bank Sistemik, merupakan biaya penanganan permasalahan Bank Sistemik bagi Lembaga Penjamin Simpanan dan bukan merupakan kerugian keuangan negara . ” Dengan demikian, dapat diartikan bahwa tidak semua kerugian atau selisih kurang secara otomatis dikualifikasi sebagai kerugian negara sebagaimana kerugian negara yang dimaksud dalam UU Tipikor dan UU Perbendaharaan Negara. Selama biaya-biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, didasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka biaya tersebut tidak dapat digolongkan sebagai kerugian negara dan tidak dapat menjadi unsur tindak pidana korupsi. Namun sebaliknya, ketika biaya untuk melaksanakan berbagai kebijakan tersebut dilakukan secara melawan hukum , terdapat unsur objektif (actus reus) yaitu ada perbuatan yang secara nyata dan 306 pasti jumlahnya telah menimbulkan kerugian negara, dan terdapat unsur subjektif yaitu adanya mens rea/ niat jahat secara melawan hukum dari Pejabat terkait biaya- biaya yang dikeluarkan tersebut, maka yang demikian dikategorikan melanggar UU Tipikor maupun UU Perbendaharaan Negara. Sebagaimana konsep open legal policy yang telah dijabarkan sebelumnya, hak imunitas dalam Pasal 27 UU 2/2020 telah lazim juga digunakan dalam berbagai undang-undang, diantaranya Pasal 50 KUHAP, Pasal 41 KUP, dan Pasal 22 UU Pengampunan Pajak. Artinya, perlindungan hukum bagi pejabat pemerintahan dalam menjalankan kewenangannya, dari segi legal drafting bukanlah merupakan substansi baru dalam perancangan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Dalam hal yang dipermasalahkan adalah apakah ketentuan serupa dapat dimuat dalam sebuah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, maka perlu diperhatikan ketentuan dalam Pasal 11 Undang-Undang 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang 15 Tahun 2019 disebutkan bahwa, “ materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sama dengan materi muatan Undang- Undang .” Oleh karena itu, jika dalam berbagai undang-undang dibenarkan untuk mengatur pemberian imunitas kepada pelaksana undang-undang, maka demikian halnya dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. Kemudian, sebagaimana yang telah disampaikan sebelumnya, apabila menguji konstitusionalitas materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, saat ini sudah tidak relevan lagi karena sudah ditetapkan menjadi UU 2/2020 oleh DPR. Jika diperhatikan, ketentuan Pasal 27 UU 2/2020 tersebut tidaklah mengatur imunitas yang bersifat absolut . Terdapat 2 (dua) syarat yang harus dipenuhi yaitu iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Kedua hal ini merupakan syarat yang dapat dipergunakan oleh penegak hukum untuk menilai apakah pengambilan kebijakan dan/atau pelaksanaannya dapat dituntut atau tidak. Menurut Arsul Sani, jika penegak hukum meyakini bahwa prinsip iktikad baik tidak terpenuhi dan juga ditemukan keadaan melanggar hukum , maka proses hukum tetap dijalankan meski ada pasal imunitas dalam undang-undang terkait. Oleh karena itu, imunitas hukum tidak serta merta menyebabkan imun terhadap tuntutan hukum. 307 Begitu pula terkait dengan ketentuan Pasal 27 ayat (3) UU 2/2020 yang menyatakan bahwa UU 2/2020 bukan merupakan objek gugatan dan kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara, perlu dipahami bahwa lahirnya ketentuan ini merupakah respon terhadap krisis yang disebabkan oleh Pandemi Covid-19. Hal ini juga telah ditekankan dalam Pasal 27 ayat (1) dimana biaya yang dikeluarkan bertujuan untuk menyelamatkan negara dari krisis. Oleh karena itu, memahami bunyi Pasal 27 ayat (3) semestinya tidak dilakukan secara parsial, namun harus komprehensif dan kontekstual. Bahwa pembatasan kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara telah diatur dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang 51 tahun 2009, yang menyebutkan: “Pengadilan tidak berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara tertentu dalam hal keputusan yang disengketakan itu dikeluarkan:
dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam, atau keadaan luar biasa yang membahayakan , berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Berdasarkan ketentuan tersebut, adalah berdasar jika kebijakan atau keputusan yang dibuat oleh KSSK atau pejabat pemerintahan lainnya dalam melaksanakan amanat UU 2/2020 bukanlah merupakan objek sengketa tata usaha negara dengan tetap memperhatikan bahwa kebijakan atau keputusan yang dibuat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dr. Yunus Husein, S.H., LL.M. Pandemi Covid 19 Melumpuhkan Ekonomi Dunia Pandemi Covid 19 telah menyebar ke 207 negara yang menimbulkan dampak kematian yang besar dan permasalahan perekonomian yang merata di seluruh dunia. Upaya untuk mencegah penyebaran Covid-19 menyebabkan banyak negara membatasi mobilitas masyarakat, sehingga menimbulkan gangguan pada perekonomian. Hal ini mendorong terjadinya penurunan pendapatan, pelemahan daya beli dan pemutusan hubungan kerja. Untuk memitigasi dampak Covid-19 berbagai negara mengkombinasikan berbagai kebijakan baik kebijakan sosial, fiskal maupun moneter, dan lainnya. Stimulus ekonomi yang sangat besar digelontorkan berbagai negara untuk mencegah krisis Kesehatan menjadi krisis ekonomi dan keuangan. Stimulus fiskal dan moneter yang ekstensif telah dikeluarkan oleh sekitar 308 193 negara yang fokus pada peningkatan anggaran kesehatan, bantuan bagi rumah tangga, jaminan sosial , bantuan kepada sektor yang terdampak, baik berupa penundaan pajak atau penjaminan pinjaman. Menurut Financial Stability Board respons kebijakan yang ditempuh berbagai otoritas baik di negara maju dan berkembang relatif sama. Hal yang membedakan lebih pada besaran dukungan dari Pemeritah, Di negara berkembang dukungan pemerintah sebesar 5,5 % dari Produk Domestik Bruto (PDB) dibandingkan dengan negara maju sebesar 20% dari PDB. Dampak Pandemi Covid-19 Bagi Perekonomian Domestik Untuk mencegah penyebaran Covid-19 banyak negara termasuk Indonesia melakukan pembatasan mobilitas masyarakat yang menimbulkan gangguan pada perekonomian. Hal ini mendorong terjadinya penurunan pertumbuhan ekonomi, penurunan pendapatan, menurunnya daya beli dan banyaknya pemutusan hubungan kerja. Sejalan dengan itu, perekonomian Indonesia mengalami penurunan pertumbuhan yang tajam dan banyak perusahaan yang gulung tikar. Dalam situasi seperti ini perkara Penundaan Kewajiban Membayar dan Kepailitan meningkat. Ini terlihat dari naiknya perkara PLPU dan Kepailitan di Pengadilan Niaga, Jakarta, Medan, Semarang, Surabaya dan Makassar. Untuk itu diperlukan respons kebijakan yang komprehensif untuk memitigasi dampak Pandemi Covid-19 terhadap stabilitas ekonomi dan sistem keuangan. Risiko Yang dihadapi Bank dan Lembaga Jasa Keuangan lainnya Pandemik Covid-19 memberikan tekanan pada sektor jasa keuangan, khususnya bank. Sebagai sumber utama penyedia dana untuk kegiatan ekonomi, terdapat kebutuhan untuk menjaga ketahanan bank dari risiko-risiko yang mungkin timbul di tengah situasi pandemik yang tidak menentu seperti saat ini. Setidaknya terdapat tiga jenis risiko yang dapat disebabkan oleh situasi pandemik Covid-19. Pertama , risiko kredit, yaitu berupa kesulitan debitur memenuhi kewajibannya kepada perbankan, khususnya dari sektor Usaha Menengah Kecil dan Mikro (UMKM). Kedua , risiko pasar, yaitu perubahan nilai dari aset lembaga jasa keuangan sebagai akibat dari pelemahan yield instrumen keuangan dan pelemahan nilai tukar dan Ketiga , risiko likuiditas, yaitu tekanan terhadap likuiditas yang timbul akibat pelaksanaan restrukturisasi kredit/pembiayaan yang terdampak pandemik Covid-19. Untuk mengantisipasi risiko-risiko tersebut, maka diperlukan kebijakan 309 yang bersifat antisipatif, yang bertujuan untuk menopang fundamental sektor riil/informal dan menjaga stabilitas sistem keuangan. Disamping itu, diperlukan juga penguatan kewenangan lembaga-lembaga di sektor keuangan untuk menjaga Stabilitas Sistem Keuangan dalam kondisi darurat akibat Pandemi Covid-19. Pentingnya Stabilitas Sistem Keuangan Sistem Keuangan adalah sistem yang terdiri atas lembaga jasa keuangan, pasar keuangan dan infrastruktur keuangan, termasuk system pembayaran yang berinteraksi dalam memfasilitasi pengumpulan dana masyarakat dan pengalokasiannya untuk mendukung aktifitas perekonomian nasional. Peranan sistem keuangan dalam perekonomian sangatlah penting. Setidaknya ada tiga peranan penting dari sistem keuangan. Pertama, peranan sebagai perantara keuangan ( financial intermediary ), Kedua sebagai pelaku utama dalam system pembayaran dan Ketiga, sebagai sarana untuk melaksanakan kebijakan moneter. Pertama, peranan sebagai sebagai Perantara Keuangan , terutama yang dilakukan bank dapat diibaratkan dengan peran jantung dalam tubuh manusia. Kalau jantung mensuplai darah ke seluruh jaringan tubuh manusia, maka bank mensuplai likuiditas ke dalam seluruh kegiatan perekonomian. Dengan adanya dana yang disalurkan ke dalam seluruh kegiatan masyarakat, maka terjadilah kegiatan investasi dan produksi yang membuka lapangan kerja yang menghasilkan barang dan jasa. Inilah yang disebut dengan pertumbuhan ekonomi. Dengan terbukanya lapangan kerja, maka diharapkan akan mengurangi pengangguran dan mengurangi kriminalitas, sekaligus memberikan penghasilan kepada para pekerja yang pada gilirannya juga akan membayar pajak kepada negara atas penghasilan yang diterima. Begitu juga dengan perusahaan yang berproduksi menghasilkan barang dan jasa yang akan memperoleh keuntungan dan akan membayar pajak juga kepada negara. Dengan demikian, kegiatan bernegara juga dapat berjalan dengan adanya penerimaan negara dan kebutuhan masyarakat akan barang dan jasa akan tersedia dengan baik. Kedua, peranan sebagai pelaku utama Sistem Pembayaran, baik yang bersifat tunai dan non tunai. Pembayaran non tunai baik yang menggunakan warkat, kartu, elektronik dan virtual, kliring dan Real Time Gross Settlement (RTGS). Sistem pembayaran yang dilakukan oleh sistem keuangan meliputi pembayaran di dalam dan luar negeri dan kegiatan lainnya baik di pasar barang dan jasa, pasar uang, 310 pasar modal, pasar komoditi dan pasar tenaga kerja. Dengan adanya kegiatan pembayaran yang cepat, aman dan efisien, maka kegiatan perekonomian, kegiatan perdagangan dll juga akan berjalan lancar untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, Ketiga, peranan sebagai sarana dalam transmisi kebijakan moneter , terutama dalam rangka menjaga stabilitas nilai rupiah, baik yang berkaitan dengan harga ( price stability ) dan nilai tukar. Dengan adanya kestabilan nilai rupiah, maka tingkat inflasi rendah dan tidak merugikan masyarakat. Selain itu, kebijakan moneter juga dapat terlaksana melalui sistem keuangan apabila sistem keuangan itu sehat dan stabil, yang dapat bekerja dengan efisien dan efektif. Kestabilan Nilai Rupiah untuk mendorong Pemulihan Ekonomi Nasional tersebutlah yang diamanatkan oleh UU No. 2 Tahun 2020. Kesemuanya itu menunjang Stabilitas Sistem Keuangan yang efektif dan efisien serta mampu bertahan dari gejolak yang bersumber dari dalam dan luar negeri. Dampak Instabilitas Sistem Keuangan Menurut Bank Indonesia, apabila Sistem Keuangan tidak stabil dan tidak berjalan secara efisien, pengalokasian dana tidak akan berjalan dengan baik, sehingga dapat menghambat pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Sistem Keuangan yang tidak stabil, terlebih lagi jika mengakibatkan terjadinya krisis, memerlukan biaya yang sangat tinggi untuk menyelamatkannya. Pelajaran berharga pernah dialami Indonesia ketika terjadi krisis keuangan pada tahun 1998, di mana waktu itu biaya krisis sangat signifikan. Pada waktu itu biaya yang dikeluarkan Pemerintah adalah sekitar Rp640 triliun (enam ratus empat puluh triliun rupiah) untuk melakukan rekapitalisasi perbankan dan memberikan bantuan likuiditas kepada bank-bank yang kesulitan likuiditas. Stabilitas Sistem Keuangan merupakan aspek yang sangat penting dalam membentuk dan menjaga perekonomian yang berkelanjutan. Selain itu, diperlukan waktu yang lama untuk membangkitkan kembali kepercayaan publik kepada Sitem Keuangan. Krisis tahun 1998 membuktikan bahwa, secara umum, dampak instabilitas pada Sistem Keuangan adalah sebagai berikut; Pertama, transmisi kebijakan moneter tidak berjalan normal, sehingga, kebijakan moneter menjadi tidak efektif. Kedua , Fungsi, intermediasi industri jasa keuangan terutama perbankan tidak berjalan sebagaimana mestinya, karena ada alokasi dana yang tidak tepat dan mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan ekonomi. Ketiga , ketidakpercayaan 311 sektor publik pada sistem keuangan mendorong investor/kreditur untuk menarik dana. Akibatnya, timbul masalah likuiditas. Keempat, sangat mahalnya biaya untuk menyelamatkan sistem keuangan jika terjadi krisis yang sistemik. Oleh karena itu, upaya untuk menghindari atau mengurangi risiko kemungkinan terjadinya ketidak stabilan sistem keuangan sangatlah diperlukan untuk menghindari kerugian yang begitu besar. Pentingnya pengaturan Stabilitas Sistem Keuangan dalam UU Nomor 2/2020 Setidaknya ada tiga manfaat dari diterbitkannya UU Nomor 2 Tahun 2020. Pertama , untuk memberikan dasar hukum dan kepastian hukum bagi masyarakat dan aparatur negara. Khusus untuk aparatur negara, dasar hukum ini diperlukan untuk memperkuat kewenangannya dengan berbagai kewenangan yang luar biasa ( extra ordinary ) dalam menghadapi Pandemi Covid-19. Kedua , untuk memberikan kepastian akan keberlanjutan langkah pemerintah dalam penyelamatan kesehatan masyarakat dan perekonomian negara. Ketiga untuk memberikan perlindungan hukum bagi aparatur negara dalam pelaksanaan tugasnya. Mengingat Pandemi Covid-19, selain merupakan ancaman bagi manusia, juga menyebabkan risiko ketidakstabilan dan ancaman terhadap perekonomian nasional dan sistem keuangan, sehingga perlu mitigasi bersama Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). UU Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan membentuk Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang beranggotakan Menteri Keuangan sebagai kordinator merangkap anggota, Gubernur Bank Indonesia (BI), Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). KSSK menyelenggarakan pencegahan dan penanganan Krisis Sistem Keuangan untuk melaksanakan kepentingan dan ketahanan negara di bidang perekonomian (Vide: Pasal 4 UU UU PPSK). UU No. 2 Tahun 2020 antara lain dalam Pasal 14 sampai Pasal 26 mengatur langkah-langkah luar biasa ( extra ordinary ) dan penguatan Kewenangan dan Pelaksanaan Kebijakan KSSK, Menteri Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan dan Lembaga Penjamin Simpanan. Untuk menjaga stabilitas Sistem Keuangan dalam kondisi darurat akibat Pandemi Covid-19, UU Nomor 2 Tahun 2002 memberikan legitimasi dan landasan hukum bagi pemerintah dan otoritas terkait untuk mengambil Langkah-langkah yang cepat dan akuntabel. Peraturan perundang- 312 undangan yang ada dirasa masih belum memadai untuk menjaga stabilitas Sistem Keuangan akibat Pandemi Covid-19. Oleh karena itu, pengaturan ini perlu sebagai dasar dari peraturan pelaksanaan atau kebijakan yang dilakukan oleh masing- masing instansi/lembaga. Dalam rangka melaksanakan UU Nomor 2 Tahun 2002 Kementerian Keuangan, BI, OJK, LPS dan dunia usaha bersinergi untuk mendorong kredit dan pembiayaan ke sektor-sektor prioritas. Hal ini sejalan dengan Paket Kebijakan Terpadu KSSK untuk Peningkatan Pembiayaan Dunia Usaha dalam rangka Percepatan Pemulihan Ekonomi yang diputuskan pada 1 Februari 2021 yang mencakup:
Kebijakan insentif fiskal serta dukungan belanja pemerintah dan pembiayaan.
Stimulus moneter, kebijakan makro prudensial, akomodatif dan digitalisasi system pembayaran.
Kebijakan prudensial sektor keuangan.
Kebijakan penjaminan simpanan. (Siaran Pers Bersama Kementerian Keuangan, BI dan OJK, 1 April 2021, Website Bank Indonesia dan Kemenkeu diakses 3 April 2021). Sementara itu, Kementerian Keuangan telah melakukan kebijakan antara lain berupa peningkatan anggaran Penyelamatan Ekonomi Nasional (PEN) sebanyak 22 persen menjadi Rp699,43 triliun rupiah, yang antara lain menyasar dukungan sosial sebesar Rp157,43 triliun, dukungan UMKM dan korporasi sebesar Rp184,83 triliun, insentif usaha sebesar Rp58,46 triliun dan Rp124,44 triliun unyuk dukungan program prioritas. Kemudian Kebijakan BI tetap diarahkan untuk:
Mendorong pemulihan ekonomi, termasuk pembiayaan kepada dunia usaha.
Menurunkan suku bunga kebijakan sebanyak enam kali sejak tahun 2020 sebesar 15- bps menjadi 3,5% bps.
Melakukan injeksi likuditas yang besar.
Mendorong transparansi suku bunga dasar kredit.
Memperkuat kebijakan Ratio Intermediasi Makroprudensial (RIM/RIMS) 6. Memberlakukan secara bertahap disinsentif berupa giro RIM/RIMS dengan mengurangi giro wajib minimum untuk mendorong pembiayaan kredit/pembiayaan kepada perbankan. 313 OJK telah mengambil kebijakan antara lain:
Kebijakan stimulus yang bertujuan agar sektor jasa keuangan tetap kokoh dan sektor riil dapat bangkit kembali dengan berbagai kemudahan, antara lain akan bertambah restrukturisasi kredit dan pembiayaan.
Orkestrasi kebijakan OJK bersama Kementerian Keuangan dan BI telah membuat stabilitas Sistem Keuangan terutama perbankan terus terjaga.
Pada tahun 2021 (Januari-Maret), OJK telah mengeluarkan telah mengeluarkan 7 POJK dan 10 SEOJK kepada industri jasa keuangan dalam rangka memperkuat industri jasa keuangan dan mempercepat Pemilihan Ekonomi Nasional. Lembaga Penjamin Simpanan mengeluarkan beberapa kebijakan, antara lain:
Penurunan suku bunga penjaminan untuk simpanan rupiah dan valuta asing, 2. Kebijakan relaksasi denda keterlambatan pembayaran premi, serta 3. Kebijakan relaksasi penyampaian laporan. UU Nomor 2 Tahun 2020 melahirkan beberapa peraturan pelaksanaan, antara lain, Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional Dalam Rangka mendukung Kebijakan Keuangan Negara Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 19 Dan/Atau Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan Serta Penyelamatan Ekonomi Nasional dan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kewenangan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Dalam Rangka Melaksanakan Langkah-Langkah Penanganan Permasalahan Stabilitas Sistem Keuangan. Kewenangan LPS menurut UU Nomor 2 Tahun 2020 antara lain:
Penjualan/repo Surat Berharga Negara yang dimiliki kepada Bank Indonesia 2. Penerbitan Surat Hutang, 3. Pinjaman kepada pihak lain dan 4. Pinjaman kepada pemerintah dalam hal LPS mengalami kesulitan likuiditas pada waktu menangani bank gagal. Hal ini juga diatur dalam UU LPS. Pinjaman ini merupakan opsi terakhir setelah diupayakan sumber lain terlebih dahulu. Salah satu kebijakan yang bertujuan untuk mengantisipasi risiko-risiko tersebut diatas tercermin dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 18 Tahun 314 2020 tentang Perintah Tertulis untuk Penanganan Permasalahan Bank. POJK ini merupakan peraturan pelaksanaan dari UU Nomor 2 Tahun 2020 yang memberikan kewenangan kepada OJK untuk memberikan perintah tertulis kepada Lembaga Jasa Keuangan untuk melakukan penggabungan, peleburan, pengambilaliham, integrasi dan/atau konversi (P3IK). Hal ini sejalan dengan Pasal 9 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK dan Pasal 49 UU Perbankan Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 10 Tahun 1998. Perintah untuk melakukan atau menerima P3IK bertujuan untuk menjaga ketahanan Bank yang menghadapi permasalahan keuangan yang dapat mengganggu kelangsungan usaha dan tidak mampu menghadapi tekanan yang sedangkan terjadi dan tidak mampunyai Pemegang Saham Pengendali untuk melakukan upaya penguatan Bank. Kebijakan tersebut adalah contoh dari kebijakan yang bersifat antisipatif, yang bertujuan untuk menjaga ketahanan Bank sebagai sumber penyedia dana dan pelaku utama dalam sistem pembayaran. Apabila Undang-undang Nomor 2 Tahun 2020 tidak memandatkan kebijakan tersebut, tentunya OJK akan kesulitan dalam melindungi ketahanan bank yang mengalami permasalahan karena tidak ada dasar hukum yang cukup kuat untuk mendasari kebijakan P3IK tersebut. Perlindungan Hukum bagi Pengambil Kebijakan Kemudian, perlu juga dipahami bahwa tidak mudah untuk mengambil kebijakan-kebijakan strategis, khususnya terkait penanganan permasalahan bank. Terlebih lagi, kebijakan tersebut diambil di masa pandemi, yang tentunya menempatkan si pembuat kebijakan dalam tekanan yang lebih besar dari situasi normal. Untuk itu, guna memastikan si pembuat kebijakan dapat membuat keputusan yang tepat dan independen, maka diperlukan jaminan perlindungan terhadap si pembuat kebijakan untuk terbebas dari tuntutan yang mungkin timbul dikemudian hari atas keputusan yang dibuatnya. Lebih lanjut terkait landasan hukum dari pandangan ini akan dijabarkan sebagai berikut: a) Imunitas yang Terkandung Dalam Rumusan Pasal 27 ayat (2) adalah Wajar dan Sesuai Dengan Teori-Teori dalam Hukum Pidana Apabila diperhatikan poin-poin permohonan yang diajukan oleh para pemohon, dapat dilihat bahwa terdapat suatu kekhawatiran bahwa ketentuan dalam Pasal 27 ayat (2) seolah menjadikan pihak-pihak yang disebut dalam 315 Pasal tersebut menjadi kebal dari jerat hukum tindak pidana korupsi. Pandangan ini tidaklah tepat. Apabila diperhatikan dengan cermat rumusan ketentuan Pasal 27 ayat (2) tersebut, dapat dipahami bahwa hanya tindakan yang dilakukan dalam rangka melaksanakan tugas yang didasarkan pada itikad baik lah yang dilindungi oleh Undang-Undang. Perlindungan atas perbuatan yang dilakukan dalam rangka menjalankan tugas dan dengan itikad baik merupakan hal yang lazim dalam konteks hukum pidana. Perlindungan yang diberikan kepada pihak yang menjalankan tugas atau melakukan suatu tindakan dengan itikad baik bukanlah hal yang baru dalam hukum Indonesia, khususnya hukum pidana. Terkait perlindungan kepada pihak yang melaksanakan tugas diatur dalam Pasal 50 dan 51 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana
Uji Materi Pasal 77 UU No 19 Tahun 2003 tentang BUMN terhadap UUD 1945
Relevan terhadap
1. Terhadap materi, muatan, ayat, pasal dan/atau bagian dalam Undang- _Undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan kembali; _ 2. Terlepas dari ketentuan ayat (1) di atas, permohonan pengujian UU terhadap muatan ayat, pasal dan/atau bagian yang sama dengan perkara yang pernah diputus oleh Mahkamah dapat dimohonkan pengujian kembali dengan syarat-syarat konstitusionalitasnya yang menjadi alasan permohonan yang bersangkutan berbeda. 13. Bahwa sebelumnya terhadap Pasal 77 UU BUMN 19/2003 pernah diajukan Uji Materiil yang telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 58/PUU-VI/2008. Berdasarkan hal tersebut, maka Pemohon terlebih dahulu akan menguraikan apakah materi, muatan, ayat, pasal dan/atau bagian dalam undang-undang Pasal 77 UU BUMN 19/2003 telah diperiksa dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 58/PUU-VI/2008 dan Pemohon akan menjelaskan perbedaan Uji Materiil 6 Pemohon dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 58/PUU-VI/2008 sebagai berikut: Permohonan Uji Materiil dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 58/PUU-VI/2008 Bahwa Pemohon dalam Permohonan Nomor 58/PUU-VI/2008 meminta: “ Menyatakan bahwa materi muatan Pasal 1 angka 11 angka 12 serta bagian BAB VII Restrukturisasi dan Privatisasi yang terdiri dari Pasal 72 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), Pasal 73, Pasal 74 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 75, Pasal 76 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 77, Pasal 78, Pasal 79 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), Pasal 80 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), Pasal 81, Pasal 82, Pasal 83, Pasal 84, Pasal 85 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 86 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4297) bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Alasan Pemohon dalam Permohonan Nomor 58/PUU-VI/2008 menyatakan Pasal 77 bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang- _Undang Dasar Negara Republik Indonesia pada pokoknya menyatakan: _ “Pemohon menolak privatisasi dan ketentuan Pasal 77 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 ini adalah ketentuan pemanis dan penggembira saja karena kelak ketentuan peraturan perundang-undangan mengizinkan dilakukan privatisasi” Bahwa Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 58/PUU-VI/2008, Mahkamah Konstitusi menyatakan Permohonan Pemohon tidak dapat diterima; Bahwa dengan Permohonan Pemohon Nomor 58/PUU-VI/2008 dinyatakan tidak dapat diterima oleh Mahkamah Konstitusi, maka materi, muatan, ayat, pasal dan/atau bagian dalam Pasal 77 UU BUMN 19/2003 belum pernah diperiksa dan di putus dalam Putusan Mahkamah Konstitusi. Bahwa berdasarkan hal tersebut maka Pasal 77 UU BUMN 19/2003 dapat dimohonkan kembali untuk dilakukan uji materiil pada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia melalui Permohonan a quo ; Bahwa selanjutnya dalam permohonan a quo, Pemohon hanya melakukan pengujian terhadap norma Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN 19/2003; Bahwa dalam permohonan a quo, Pemohon memiliki legal standing untuk mengajukan uji materiil Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN 19/2003 terhadap Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 7 sebagaimana akan dijabarkan oleh Pemohon di bawah pada bagian Legal Standing Pemohon; Bahwa Pemohon dalam Permohonan a quo memiliki alasan-alasan hukum yang berbeda, yang pada pokoknya menyatakan bahwa Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN inkonstitusional dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang __ larangan privatisasi dalam Pasal 77 huruf c dan d hanya diberlakukan secara limitatif terhadap Persero dan tidak diberlakukan juga terhadap Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero. Bahwa pada dasarnya Pemohon tidak menolak privatisasi sebagaimana didalilkan Pemohon sebelumnya dalam Permohonan Nomor 58/PUU-VI/2008. Bahwa dalam permohonan a quo yang dipermasalahkan pemohon adalah dapat tidaknya dilakukan privatisasi terhadap “ Persero dan Perusahaan Milik Persero/Anak Perusahaan Persero” yang bergerak disektor tertentu yang berkaitan dengan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 huruf c UU BUMN 19/2003 dan bergerak di bidang usaha sumber daya alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 huruf d UU BUMN 19/2003; __ 14. Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka materi, muatan, ayat, pasal dan/atau bagian dalam Pasal 77 UU BUMN 19/2003 belum pernah diperiksa dan di putus dalam Putusan Mahkamah Konstitusi, sehingga permohonan a quo tidaklah bersifat ne bis in idem terhadap permohonan sebelumnya (Permohonan Nomor 58/PUU-VI/2008). Bahwa selain tidak bersifat ne bis in idem, dalam Permohonan a quo baik Pemohonnya, alasan, subtansi maupun pokok permohonan (petitum) berbeda, dengan demikian permohonan a quo sudah sepatutnya diperiksa oleh Mahkamah Konstitusi. II. KEDUDUKAN HUKUM DAN KEPENTINGAN HUKUM PEMOHON 1. Bahwa dalam hukum acara perdata yang berlaku, dinyatakan hanya orang yang mempunyai kepentingan hukum saja, yaitu orang yang merasa hak- haknya dilanggar oleh orang lain, yang dapat mengajukan gugatan (asas tiada gugatan tanpa kepentingan hukum atau zonder belang geen rechttingen ), artinya “hanya orang yang mempunyai kepentingan hukum saja”, yaitu orang yang merasa hak-haknya dilanggar oleh orang lain, yang dapat mengajukan gugatan, termasuk juga permohonan; 8 2. Bahwa dalam perkembangannya, ternyata ketentuan dan atau asas tersebut tidak berlaku mutlak berkaitan dengan diakuinya hak orang atau lembaga tertentu untuk mengajukan gugatan, termasuk juga permohonan, dengan mengatasnamakan kepentingan publik, yang dalam doktrin hukum universal dikenal sebagai Organization Standing (Legal Standing) ;
Doktrin Organization Standing ( Legal Standing ) ternyata tidak hanya dikenal dalam doktrin akan tetapi juga telah diadopsi dalam peraturan perundangan di Indonesia, seperti Undang-Undang Mahkamah Agung RI, Undang- Undang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Lingkungan Hidup, Undang-Undang Kehutanan, Undang-undang Jasa Konstruksi dan doktrin Organization Standing ( Legal Standing ) juga telah menjadi preseden tetap dalam praktek peradilan di Indonesia;
Bahwa walaupun begitu, tidak semua organisasi dapat bertindak mewakili kepentingan umum/publik. Akan tetapi, hanya organisasi yang memenuhi persyaratan tertentu, sebagaimana ditentukan dalam berbagai peraturan perundangan maupun yurisprudensi, yaitu berbentuk badan hukum atau kelompok masyarakat dan organisasi tersebut telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya;
Bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU- III/2005 tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 tanggal 20 September 2007 serta putusan-putusan selanjutnya, Mahkamah Konstitusi telah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu: a. adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945. b. bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh undang-undang yang diuji. c. bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar (logis) dapat dipastikan akan terjadi. d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji. b. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan tersebut maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan tidak lagi terjadi. 9 6. Bahwa Pemohon adalah Serikat Pekerja yang telah tercatat di Suku Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Administrasi Jakarta Pusat dengan Bukti Pencatatan Nomor 260/I/N/IV/2003, tertanggal 9 April 2003; ( Vide Bukti P-1);
Bahwa Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (selanjutnya disebut FSPPB) diwakili oleh Arie Gumilar selaku Presiden FSPPB berdasarkan Surat Keputusan Musyawarah Nasional Nomor Kpts-06MUNAS- VI/FSPPB/2018. Bahwa Presiden FSPPB memiliki kewenangan untuk mewakili Organisasi dalam beracara di Pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (3) Anggaran Dasar Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB). ( Vide Bukti P-2 ) yang menyatakan: Pasal 18 ayat (3) “Presiden FSPPB memiliki kewenangan untuk mewakili Organisasi dalam beracara di Pengadilan” 8. Bahwa Pemohon merupakan perwakilan dari Lembaga atau Badan atau Organisasi yang mempunyai kepedulian perlindungan terhadap para Pekerja PT Pertamina (Persero) dan oleh karenanya bertindak untuk kepentingan pekerja PT Pertamina (Persero);
Bahwa bentuk dari Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu dalam Pasal 3 Anggaran Dasar Pendirian Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) Perubahan ke 6 tanggal 16 Januari 2015 disebutkan: “ FSPBB berbentuk FEDERASI yang menghimpun dan terbuka bagi serikat pekerja-serikat pekerja di lingkungan PERTAMINA termasuk Anak Perusahaan yang memenuhi syarat-syarat dan ketentuan yang diatur dalam Anggaran Rumah Tangga. 10. Bahwa tugas dan peranan Pemohon dalam melaksanakan kegiatan- kegiatan penegakan hak-hak pekerja sangat jelas dapat dilihat dalam tugas pendirian Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Anggaran Dasar Pendirian Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) Perubahan ke 6 tanggal 16 Januari 2015, yaitu: 1) Untuk memperjuangkan, melindungi, membela hak dan kepentingan _anggota beserta keluarganya; _ 10 2) Meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan pekerja beserta _keluarganya; dan _ 3) Menjaga kelangsungan Bisnis dan eksistensi perusahaan. 4) Memperjuangkan kedaulatan Energi Nasional. 11. Bahwa dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara (selanjutnya disebut UU BUMN 19/2003) hanya mengatur secara tegas mengenai larangan Perusahaan Persero untuk di Privatisasi yaitu Perusahaan Persero yang bidang usahanya disebutkan dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN 19/2003;
Bahwa faktanya Anak Perusahaan dari Perusahaan Persero tersebut hanya berbentuk Perseroan Terbatas biasa, sehingga tidak terikat pada ketentuan Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN 19/2003. Hal tersebut tentunya membuka peluang/berpotensi dapat diprivatisasinya Anak Perusahaan dari Perusahaan Persero tersebut, padahal Anak Perusahaan tersebut memiliki kegiatan di bidang usaha yang berkaitan dengan bidang usaha Induk Perusahaannya yang notabene Induk Perusahaannya dilarang diprivatisasi karena bidang usahanya termasuk yang disebutkan dalam Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN 19/2003;
Bahwa PT Pertamina (Persero) merupakan Perusahaan Persero sebagaimana dimaksud dalam UU BUMN 19/2003. Bahwa berdasarkan Keputusan Menteri BUMN selaku RUPS tanggal 24 November 2016 tentang Perubahan Anggaran Dasar Perusahaan Perseroan (Persero) PT Pertamina yang dinyatakan pada akta No. 27 tanggal 19 Desember 2016 dinyatakan, bahwa PT Pertamina Persero memiliki kegiatan usaha di bidang penyelenggaraan usaha energi, yaitu minyak dan gas bumi, energi baru dan terbarukan, serta kegiatan lain yang terkait atau menunjang kegiatan usaha di bidang energi, yaitu minyak dan gas bumi, energi baru dan terbarukan tersebut serta pengembangan optimalisasi sumber daya yang dimiliki perusahaan;
Bahwa dengan demikian PT Pertamina Persero termasuk dalam Perusahaan Persero yang dilarang untuk diprivatisasi berdasarkan Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN 19/2003 yaitu: 11 c. Persero yang bergerak di sektor tertentu yang oleh pemerintah diberikan tugas khusus untuk melaksanakan kegiatan tertentu yang _berkaitan dengan kepentingan masyarakat; dan _ d. Persero yang bergerak di bidang usaha sumber daya alam yang secara tegas berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dilarang untuk diprivatisasi. 15. Bahwa saat ini PT Pertamina Persero telah memiliki Anak-Anak Perusahaan yang menunjang kegiatan usaha PT Pertamina Persero sebagai induk Perusahaannya di bidang energi, yaitu minyak dan gas bumi, energi baru dan terbarukan;
Bahwa akibat tidak diaturnya anak perusahaan persero/perusahaan milik Persero dalam ketentuan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN 19/2003 menyebabkan celah hukum dan ketidakpastian hukum untuk dilakukannya privatisasi/pelepasan seluruh saham ke pihak perorangan/swasta terhadap Perusahaan Milik Persero/Anak Perusahaan Persero yang bergerak di bidang usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d sehingga Pemohon dirugikan Hak Konstitusionalnya yaitu:
Negara berpotensi nyata kehilangan hak menguasai cabang-cabang produksi penting bagi negara, menguasai hajat hidup orang banyak dan sumber daya alam termasuk sumber daya alam minyak dan gasnya sebagaimana diamanatkan Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Bahwa dalam hal ini kedaulatan Energi Nasional menjadi terancam sehingga hak konstitusional Pemohon sangat berpotensi nyata dirugikan dan harus diperjuangkan oleh Pemohon sebagaimana telah di atur dalam anggaran dasar FSPPB.
Berpotensi nyata Sumber Daya Alam tidak ditujukan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat termasuk namun tidak terbatas pada para pekerja Pertamina sebagaimana diamanatkan Pasal 33 ayat (3) Undang- Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 karena Negara kehilangan hak menguasai sumber daya alam akibat diperbolehkannya pelepasan seluruh saham kepada pihak swasta/perorangan anak perusahaan BUMN yang mengelola sumber daya alam.
Menjadi ancaman terhadap kelangsungan bisnis dan eksistensi dari PT. Pertamina Persero maupun Anak-Anak Perusahaannya akibat potensi nyata terjadinya privatisasi dan/atau pelepasan seluruh saham anak- 12 anak perusahaan ke pihak perorangan/swasta. Bahwa seharusnya anak perusahaan persero yang bergerak di bidang usaha pengelolaan sumber daya alam dan cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan Masyarakat dilarang untuk di privatisasi.
Berpotensi nyata para pekerja pada anak-anak perusahaan Pertamina kehilangan statusnya sebagai pekerja BUMN dan menjadi pekerja swasta biasa akibat pelepasan seluruh saham anak perusahan PT. Pertamina Persero kepada pihak swasta/perorangan.
Kualitas hidup dan kesejahteraan para pekerja pada Perusahaan Grup PT. Pertamina Persero dan/atau BUMN beserta keluarganya akan tidak terjamin apabila anak-anak perusahaan PT. Pertamina Persero/BUMN tidak dikontrol dengan baik oleh Negara.
Berpotensi dilakukannya Pemutusan Hubungan Kerja terhadap para pekerja anak-anak perusahaan Pertamina akibat pelepasan seluruh saham/sebagian besar saham anak-anak perusahaan Pertamina kepada Pihak Swasta/Perorangan, hal ini sangat beralasan mengingat dalam pasal 163 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan memungkinkan perusahaan/ pengusaha melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja karena adanya perubahan kepemilikan saham perusahaan. Bahwa hal tersebut di atas tentunya merupakan salah satu tugas dan tanggung jawab bagi Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) untuk memperjuangkan, melindungi, membela hak dan kepentingan anggota dan atau pekerja, meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan pekerja beserta keluarganya, menjaga kelangsungan bisnis dan eksistensi Perusahaan dan memperjuangkan kedaulatan Energi Nasional sebagaimana dinyatakan dalam Anggaran Dasar Pendirian Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB);
Bahwa terkait dengan tujuan pendirian Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 7 angka (3) Anggaran Dasar Pendirian Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) Perubahan ke-Lima Tahun 2011, maka Pemohon sangat berkepentingan untuk mengajukan Uji Materil ke Mahkamah Konstitusi 13 sebagai akibat dari adanya ketidakpastian hukum dalam ketentuan Pasal 77 huruf c dan d Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara;
Bahwa selama ini secara nyata, Pemohon telah pula memperjuangkan kepentingan hukumnya sebagaimana dinyatakan dalam AD/ART baik itu melalui gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial terkait hak dan kepentingan para Pekerja yang menjadi anggotanya, termasuk pula telah pernah mengajukan gugatan Judicial Review tentang Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor: 37/PUU-IX/2011 dan gugatan Judicial Review Tentang Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi yang telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 65/PUU-X/2012;
Bahwa berdasarkan uraian di atas, jelas Pemohon telah memenuhi kualitas maupun kapasitas sebagai Pemohon pengujian Pasal 77 huruf c dan d Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara. III. ALASAN-ALASAN PERMOHONAN Bahwa Pasal 77 huruf c dan d Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara inkonstitusional dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang larangan privatisasi dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d hanya diberlakukan secara limitatif terhadap Persero dan tidak diberlakukan juga terhadap __ Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero. A. Pasal 77 huruf c dan huruf d Bertentangan Dengan Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang larangan privatisasi dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d hanya diberlakukan secara limitatif terhadap Persero dan tidak diberlakukan juga terhadap __ Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero. 14 1. Bahwa Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan: 2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. 2. Bahwa sesuai dengan konsep Penguasaan Negara di dalam pertimbangan hukum putusan Mahkamah Konstitusi perkara Undang- Undang Minyak dan Gas dan Undang-Undang Ketenagalistrikan menafsirkan mengenai “hak menguasai negara/HMN” bukan dalam makna negara memiliki, tetapi dalam pengertian bahwa negara merumuskan kebijakan (beleid) , melakukan pengaturan (regelendaad) , melakukan pengurusan (bestuurdaad) , melakukan pengelolaan (beheersdaad) , dan melakukan pengawasan (toezichthoudendaad) yang semuanya ditujukan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat;
Bahwa salah satu fungsi dari Hak Menguasai Negara adalah pengelolaan, yang mana fungsi pengelolaan tersebut dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara, hal tersebut sesuai dengan pendapat Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor: 3/PUU-VIII/2010 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil terhadap Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menyatakan bahwa: “ Fungsi pengelolaan dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham dan/atau melalui keterlibatan langsung badan usaha milik negara, termasuk di dalamnya badan usaha milik daerah atau badan hukum milik negara/daerah sebagai instrumen kelembagaan di mana pemerintah mendayagunakan kekuasaannya atas sumber-sumber kekayaan itu untuk digunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Demikian pula fungsi pengawasan oleh negara dilakukan oleh negara c.q. pemerintah dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan oleh negara atas kekayaan alam atas bumi, air, dan kekayaan alam benar-benar digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat; ” 4. Bahwa sebagai bentuk implementasi Hak Menguasai Negara untuk mengelola cabang-cabang produksi yang penting dalam Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, maka pada tanggal 19 Juni 2003 15 Pemerintah Republik Indonesia telah mengeluarkan dan mengesahkan Undang-Undang Nomor Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara, yang tercatat dalam Lembaran Negara Nomor 70 Tahun 2003;
Bahwa filosofi dibentuknya Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN 19/2003 adalah menjaga supaya Negara tidak kehilangan “hak menguasai negara/HMN” dalam melakukan pengelolaan (beheersdaad) terhadap Cabang-Cabang Produksi yang penting bagi Negara, menguasai hajat hidup orang banyak dan sumber daya alam yang semuanya ditujukan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat;
Bahwa maksud dan tujuan pendirian BUMN yang tercantum dalam Pasal 2 UU BUMN 19/2003 adalah:
Memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional b. Mengejar keuntungan;
Menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak;
Menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat dilaksanakan oleh sektor swasta dan koperasi e. Turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi dan masyarakat.
Bahwa di dalam Pasal 77 UU BUMN 19/2003 Negara telah mengatur mengenai Persero yang tidak dapat di privatisasi yaitu: a. Persero yang bidang usahanya berdasarkan ketentuan peraturan _perundang-undangan hanya boleh dikelola oleh BUMN; _ b. Persero yang bergerak di sektor usaha yang berkaitan dengan _pertahanan dan keamanan negara; _ c. Persero yang bergerak di sektor tertentu yang oleh pemerintah diberikan tugas khusus untuk melaksanakan kegiatan tertentu yang _berkaitan dengan kepentingan masyarakat; _ d. Persero yang bergerak di bidang usaha sumber daya alam yang secara tegas berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dilarang untuk diprivatisasi. 8. Bahwa yang dimaksud dengan Perusahaan Perseroan yang selanjutnya disebut Persero berdasarkan Pasal 1 angka 2 UU BUMN 19/2003 adalah: 16 “ BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan.” 9. Bahwa selanjutnya yang dimaksud dengan Privatisasi berdasarkan Pasal 1 angka 12 UU BUMN 19/2003 adalah: “penjualan saham Persero, baik sebagian maupun seluruhnya , kepada pihak lain dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat, serta memperluas pemilikan saham oleh masyarakat.” 10. Bahwa sejalan dengan berjalannya waktu, persaingan usaha dalam bidang perekonomian global semakin ketat, untuk itu Pemerintah Republik Indonesia memiliki strategi untuk menguatkan daya saing, peningkatan nilai, perluasan jaringan usaha dan kemandirian pengelolaan Badan Usaha Milik Negara yaitu dengan membentuk perusahaan induk BUMN/Perusahaan Grup/ Holding Company . Bahwa dengan demikian saat ini Persero yang dilarang untuk di privatisasi berdasarkan ketentuan dalam Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN 19/2003 telah berkembang menjadi sebuah Perusahaan Grup/ Holding Company bukan hanya sekedar sebuah Perusahaan Perseroan tunggal, Perusahaan-Perusahaan Persero pada saat ini telah memiliki anak-anak perusahaan bahkan cucu perusahaan (Perusahaan milik PT. Persero) ; __ 11. Bahwa Perusahaan Grup/ Holding Company menurut pendapat ahli dapat diartikan sebagai berikut: Menurut Raajimakers, perusahaan kelompok atau group company secara umum dapat diberi pengertian sebagai suatu susunan dari perusahaan- perusahaan yang secara yuridis tetap mandiri dan yang satu dengan yang lain merupakan suatu kesatuan ekonomi yang dipimpin oleh suatu perusahaan induk. Menurut Prof. Emmy Pangaribuan, S.H. perusahaan grup/konsern adalah suatu gabungan atau susunan dari perusahaan-perusahaan yang secara yuridis mandiri, yang terkait satu dengan yang lain begitu erat sehingga membentuk suatu kesatuan ekonomi yang tunduk pada suatu pimpinan dari suatu perusahaan induk sebagai sentral. Menurut Ray August, holding company adalah perusahaan yang dimiliki oleh induk perusahaan atau beberapa induk perusahaan yang bertugas untuk mengawasi, mengoordinasi, dan mengendalikan kegiatan usaha anak-anak perusahaannya. __ 17 12. Bahwa berdasarkan pengertian mengenai Perusahaan Grup dari para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa, perusahaan grup/ holding company /konsern merupakan suatu gabungan dari perusahaan- perusahaan yang masing- masing mandiri secara yuridis, memiliki hubungan yang erat, memiliki hubungan ekonomi antara yang satu dengan yang lain, dimana induk perusahaan mengawasi, mengoordinasi, dan mengendalikan kegiatan usaha anak-anak perusahaannya;
Bahwa pengertian Anak Perusahaan dari Perusahaan Persero dapat ditemukan dalam Pasal 1 angka 2 Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor: PER-03/MBU/2012 Tentang Pedoman Pengangkatan Anggota Direksi dan Anggota Dewan Komisaris Anak Perusahaan Badan Usaha Milik Negara yaitu: “ Anak Perusahaan BUMN, yang selanjutnya disebut Anak Perusahaan adalah perseroan terbatas yang sebagian besar sahamnya dimiliki oleh BUMN atau perseroan terbatas yang dikendalikan oleh BUMN.” Bahwa dengan demikian Anak Perusahaan dari Perusahaan Persero tersebut bukanlah suatu Perusahaan Persero, melainkan Perseroan Terbatas biasa;
Bahwa apabila melihat penjelasan dalam Pasal 2A ayat (7) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2005 Tentang Tata Cara Penyertaan Dan Penatausahaan Modal Negara Pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas disebutkan bahwa: “ Anak Perusahaan BUMN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) _diperlakukan sama dengan BUMN untuk hal sebagai berikut: _ a. Mendapatkan penugasan Pemerintah atau melaksanakan _pelayanan umum; dan/atau _ b. Mendapatkan kebijakan khusus negara dan/atau Pemerintah, termasuk dalam pengelolaan sumber daya alam dengan perlakuan tertentu sebagaimana diberlakukan bagi BUMN. __ __ __ 18 Penjelasan Pasal 2A ayat (7) Yang termasuk dalam perlakukan yang sama dalam kebijakan khusus negara da/atau pemerintah antara lain terkait dengan proses dan bentuk perizinan, hak untuk memperoleh HPL, kegiatan perluasan lahan dan/atau keikutsertaan dalam kegiatan-kegiatan kenegaraan atau pemerintah yang melibatkan BUMN. __ 15. Bahwa untuk memberi gambaran kepada Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Pemohon akan memberikan ilustrasi mengenai pembentukan holding dan subholding yang terjadi pada PT. Pertamina Persero dengan uraian-uraian sebagai berikut:
1 Bahwa Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Melalui Rapat Umum Pemegang Saham Perusahaan Perseroan (Persero) PT Pertamina, menerbitkan Surat Keputusan Nomor: SK- 198/MBU/06/2020 tanggal 12 Juni 2020 tentang Pemberhentian, Perubahan Nomenklatur Jabatan, Pengalihan Tugas, dan Pengangkatan Anggota-Anggota Direksi Perusahaan Perseroan (Persero) PT Pertamina. Melalui SK tersebut diatas ditetapkan beberapa hal yakni; Mengubah nomenklatur jabatan anggota- anggota Direksi Perusahaan Perseroan Persero) PT Pertamina. Delapan direktur dalam organisasi pertamina sebelumnya dibubarkan, selanjutnya digabungkan ke dalam tiga direktorat yakni direktur penunjang bisnis, Direktur Logistik dan lnfrastruktur, serta Direktur Strategi, Portofolio, dan Pengembangan Usaha 2.1 Bahwa Kebijakan Menteri BUMN tersebut ditindaklanjuti berdasarkan SK Direktur Utama Pertamina nomor Kpts- 18/C00000/2020-S0 yang salah satu keputusanya adalah membentuk dan menetapkan sub Holding anak perusahaan PT pertamina Persero yang terdiri dari 1) sub holding upstream ; yang akan digambarkan sebagai berikut: 19 atau lebih sederhananya seperti bagian di bawah ini 3.1 Bahwa Dari dua bagan di atas terlihat bahwa yang dijadikan Sub Holding adalah Seluruh Bisnis Inti Pertamina dari Hulu ke Hilir, dari Eksplorasi hingga Pemasaran, jadi core business Pertamina menjadi Anak Perusahaan Pertamina. Bahwa saat ini struktur Perusahaan Grup PT. Pertamina (Persero) dapat digambarkan sebagai berikut sebagai berikut. 20 21 4.1 Bahwa apabila melihat Struktur Perusahaan Grup PT Pertamina (PERSERO), anak-anak perusahaan PT Pertamina (PERSERO) yaitu PT Pertamina EP, PT Pertamina Hulu Energi, PT. Pertamina Geothermal Energy, PT Pertamina Drilling, PT PGN, dsb melakukan pengelolaan sumber daya alam, dimana kegiatan usaha tersebut merupakan kegiatan usaha yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN 19/2003.
Bahwa berdasarkan ilustrasi pada PT Pertamina (Persero) tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa anak-anak perusahaan dari perusahaan persero yang berbentuk Perseroan Terbatas biasa oleh Pemerintah Republik Indonesia terbukti diberikan izin untuk melaksanakan pelayanan umum dan/atau pengelolaan sumber daya alam, dimana kegiatan usaha tersebut merupakan kegiatan usaha yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN 19/2003 yaitu:
Persero yang bergerak di sektor tertentu yang oleh pemerintah diberikan tugas khusus untuk melaksanakan kegiatan tertentu _yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat; dan _ d. Persero yang bergerak di bidang usaha sumber daya alam yang secara tegas berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan dilarang untuk diprivatisasi 17. Bahwa pembentukan Perusahaan Grup/ Holding Company pada dasarnya dilakukan sebagai strategi untuk menguatkan daya saing, peningkatan nilai, perluasan jaringan usaha dan kemandirian pengelolaan Badan Usaha Milik Negara;
Bahwa hal tersebut di atas hanya dapat dilakukan apabila Induk Perusahaan yaitu PT Persero menguasai seluruh/sebagian besar saham dari anak-anak perusahaannya/Perusahaan milik PT Persero tersebut, sehingga Induk Perusahaan yaitu PT Persero sebagai implementasi Negara mampu untuk melakukan pengelolaan terhadap Anak-Anak Perusahaan/Perusahaan milik Persero yang bidang usahanya mengelola cabang-cabang produksi yang penting dan sumber daya alam negara;
Bahwa Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN 19/2003 secara limitatif hanya mengatur secara tegas Persero yang tidak dapat di privatisasi, namun tidak mengatur secara tegas mengenai Perusahaan Milik 22 Persero/Anak Perusahaan Persero yang memiliki kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 UU BUMN 19/2003;
Bahwa apabila larangan privatisasi dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN 19/2003 hanya diberlakukan secara limitatif terhadap Persero dan tidak diberlakukan juga terhadap __ Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero, maka akan berpotensi terjadinya Privatisasi bahkan hilangnya eksistensi terhadap Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan dari Persero, karena Anak Perusahaan dari Perusahaan Persero tersebut bukanlah suatu Perusahaan Persero, melainkan Perseroan Terbatas biasa. Anak Perusahaan persero tidak diatur pada UU BUMN 19/2003;
Bahwa privatisasi PT Pertamina (Persero) melalui anak perusahaanya dengan terlebih dahulu membentuk sub holding dan mengalihkan core business /bisnis inti pertamina dari hulu ke hilir kepada sub holding akan menghambat usaha PT Pertamina persero untuk mendapatkan prioritas dalam memperoleh usaha kerja sesuai Pasal 5 ayat (4) dan ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 Tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi menyatakan ayat 4 Dalam hal PT Pertamina (Persero) mengajukan permohonan kepada Menteri untuk mendapatkan Wilayah Kerja terbuka tertentu, Menteri dapat menyetujui permohonan tersebut dengan mempertimbangkan program kerja, kemampuan teknis dan keuangan PT. Pertamina (Persero) sepanjang saham PT. Pertamina (Persero) 100% (seratus per seratus) dimiliki oleh Negara. ayat 5 PT Pertamina (Persero) sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) tidak dapat mengajukan permohonan untuk wilayah kerja yang telah ditawarkan. 22. Bahwa berdasarkan ketentuan dalam Pasal 5 ayat (4) dan ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 Tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, PT Pertamina (Persero) seharusnya tidak diperbolehkan untuk melepaskan saham ke publik/swasta/perorangan, sebab apabila sahamnya tidak seratus persen milik negara maka PT. 23 Pertamina Persero tidak akan bisa lagi untuk mendapatkan wilayah kerja terbuka tertentu;
Bahwa ketentuan dalam Pasal 5 ayat (4) dan ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 Tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, yang menyatakan bahwa PT Pertamina (Persero) hanya dapat mengajukan permohonan untuk mendapatkan wilayah kerja apabila sahamnya masih 100% dimiliki negara merupakan bentuk pelaksanaan amanat Pasal 33 UUD 1945 yang menyatakan cabang- cabang produksi yang penting dan sumber daya alam harus dikuasai oleh negara sepenuhnya, tidak dibagi-bagi dengan swasta/perorangan, dengan tujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Bahwa hal tersebut telah sejalan dengan pendapat Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung dalam putusannya yang menyatakan:
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor: 36/PUU-X/2012 yang menyatakan bahwa Wilayah Kerja-Wilayah Kerja migas hanya boleh dikelola oleh BUMN sebagai wujud penguasaan negara. Hal ini merupakan perwujudan dari amanat Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 di mana negara melalui Pemerintah dan DPR, berkuasa untuk membuat kebijakan, mengurus, mengatur, mengelola dan mengawasi. Mahkamah Konstitusi menegaskan, khusus untuk aspek pengelolaan, penguasaan negara tersebut dijalankan oleh pemerintah melalui BUMN.
Putusan Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor 69 P/HUM/2018 yang menyatakan bahwa pemberian pengelolaan wilayah kerja Migas yang akan berakhir kontrak kerjasamanya, BUMN sebagai perwujudan penguasaan negara in casu PT Pertamina (Persero) harus didahulukan ( voorerecht ) sepenuhnya untuk mengelola sumber daya energi Migas tersebut;
Bahwa Minyak dan Gas Bumi merupakan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, hal tersebut dapat dilihat dalam ketentuan peraturan perundang-undangan diantaranya yaitu: 24 a. Bagian menimbang huruf b. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi menyatakan : “ bahwa minyak dan gas bumi merupakan sumber daya alam strategis tidak terbarukan yang dikuasai oleh negara serta merupakan komoditas vital yang menguasai hajat hidup orang banyak dan mempunyai peranan penting dalam perekonomian nasional sehingga pengelolaannya harus dapat secara maksimal memberikan _kemakmuran dan kesejahteraan rakyat; _ b. Daftar Lampiran Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2016 Tentang Bidang Usaha yang terbuka dan tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan di bidang penanaman modal disebutkan bahwa “Sektor Energi dan Sumber Daya Mineral masuk dalam kategori terbuka dengan persyaratan” bukan bidang usaha yang terbuka. Bahwa minyak dan gas bumi merupakan cabang produksi yang penting bagi negara dalam peraturan perundang-undangan telah dikuatkan dengan penafsiran dari Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor: 36/PUU-X/2012 tersebut di atas;
Bahwa dengan demikian seharusnya PT Pertamina Persero maupun anak-anak perusahaan/perusahaan milik PT Pertamina (Persero) tidak dapat di privatisasi karena mengelola cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak yaitu minyak dan gas;
Bahwa sebagaimana telah Pemohon jelaskan sebelumnya di atas, saat ini seluruh Bisnis Inti (core business) Pertamina dari Hulu ke Hilir, dari Eksplorasi hingga Pemasaran telah dilimpahkan kepada Sub Holding/ anak perusahaan dari PT Pertamina Persero yang notabene anak perusahaan PT Pertamina Persero tersebut hanya berbentu Perseroan Terbatas biasa, bukan PT Persero, selain itu dapat disimpulkan pula bahwa Bisnis Inti (core bisnis) PT Pertamina tersebut telah dilakukan secara terpisah/tidak terintegrasi oleh badan usaha yang berbeda yang tentunya ini adalah UNBUNDLING PERTAMINA. Dengan terpecahnya sistem integrasi Pertamina karena sektor intinya menjadi 25 Anak Perusahaan maka berpotensi menyebabkan masalah-masalah yang akan timbul dari tidak terintegrasinya pengelolaan minyak dan gas bumi;
Bahwa masalah-masalah yang akan timbul dengan dilakukannya unbundling pada Badan Usaha Milik Negara/Persero yang mengelola cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak diantaranya adalah:
Potensi nyata untuk dilakukan pelepasan seluruh atau sebagai besar saham anak-anak perusahaan BUMN/Persero yang mengelola cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak kepada pihak swasta/perorangan (Privatisasi). Bahwa hal tersebut tentunya berpotensi menghilangkan Hak Menguasai Negara untuk melakukan pengelolaan langsung terhadap cabang-cabang produksi yang penting bagi negara.
Potensi nyata menjadi persaingan bisnis antar sektor usaha pada badan usaha yang berbeda. Bahwa masalah-masalah tersebut tentunya akan membuat BUMN/Persero yang mengelola cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak menjadi terpuruk dan sangat berpotensi menyebabkan Negara Kehilangan Hak Menguasai yaitu kewenangan untuk melakukan pengelolaan _(beheersdaad); _ __ 28. Bahwa sebenarnya Mahkamah Konstitusi pernah memutus perkara yang berkaitan dengan pilihan bundling ataukah unbundling dalam penyediaan listrik di Indonesia. Pada Putusan Nomor 001-021-022/PUU-I/2003, bertanggal 15 Desember 2004, Mahkamah Konstitusi dalam putusannya menyatakan bahwa Sistem unbundling dalam restrukturisasi usaha listrik justru tidak menguntungkan dan tidak selalu efisien dan malah menjadi beban berat bagi negara, sehingga oleh karenanya Mahkamah berpendapat bahwa hal tersebut bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945;
Bahwa selain itu Pembentukan sub holding anak perusahaan persero maupun unbundling inilah yang mejadi celah hukum dan tidak adanya kepastian hukum untuk anak-anak perusahaan Persero termasuk namun 26 tidak terbatas pada anak-anak perusahaan PT Pertamina Persero untuk dilakukan privatisasi, karena dengan terbentuknya sub holding dan/atau unbundling maka terbukalah peluang dari anak-anak perusahaan/perusahaan milik Persero untuk melantai di bursa, sebagaimana yang telah terjadi dengan Perusahaan Gas Negara (PGN);
Bukan tanpa dasar, terbukti dengan secara terbuka Menteri Badan Usaha Milik Negara (Erick Thohir) melalui berbagai media menyatakan target khusus yang dibebankan pada jajaran direksi baru Pertamina yakni satu atau dua anak usaha Pertamina harus mampu melakukan Initial Public Offering (IPO) dalam dua tahun ke depan;
Bahwa pelepasan saham anak perusahaan PT Pertamian persero sama halnya dengan perdagangan organ tubuh manusia. Bahwa bila di ilustrasikan dengan utuh terhadap Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN 19/2003 ibarat seekor sapi betina yang dilarang di jual untuk menjaga dan menjamin pasokan susu bagi pemiliknya, tentunya sapi itu harus sehat dan utuh agar bisa menghasilkan susu dan sapi itu haruslah tetap milik si empunya sapi agar susunya bisa dinikmati yang punya sapi. Namun bila dikaitkan dengan pembentukan sub hoding PT Pertamina, si sapi itu di potong-potong di mana sebagian organ tubuhnya di jual ke orang lain;
Bahwa siasat pelepasan saham kepada swasta/perorangan terhadap anak-anak perusahaan PT Pertamina Persero dapat diibaratkan halnya dengan pencuri sepeda motor yang kemudian menjual terpisah bagian- bagian dari motor tersebut kepada orang lain. Bahwa mencuri dan menjual motor curian kepada orang lain merupakan tindak pidana, namun untuk menyiasatinya agar tidak ketahuan maka pencuri tersebut menjual terpisah bagian-bagian dari sepeda motor tersebut hingga habis tidak tersisa;
Bahwa menurut hemat Pemohon anak-anak perusahaan/perusahaan milik PT Persero seharusnya diperlakukan sama dengan Induk Perusahaannya yaitu PT Persero, sebab antara Induk Perusahaannya yaitu PT Persero dengan anak-anak perusahaannya/Perusahaan milik Persero sama-sama memiliki keterkaitan bidang usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN 19/2003 27 sehingga seharusnya baik Induk Perusahaan (PT Persero) maupun anak-anak perusahaanya/Perusahaan milik PT Persero tidak dapat diprivatisasi;
Bahwa dengan demikian akibat seluruh dan/atau sebagian besar saham Anak-Anak Perusahaan/perusahaan milik PT Persero dimiliki oleh swasta/perorangan akibat dari tindakan privatisasi Anak Perusahaan Perseroan akan menimbulkan kerugian konstitusional bagi Pemohon dan Negara yaitu, berpotensi nyata menyebabkan Negara tidak lagi memiliki kewenangan untuk melakukan pengelolaan (beheersdaad) terhadap anak perusahaan/perusahaan milik Persero yang memiliki bidang usaha mengelola cabang-cabang produksi yang penting dan sumber daya alam negara, hal tersebut disebabkan karena sebagian besar saham/seluruh saham Anak-Anak Perusahaan/Perusahaan Persero telah dimiliki oleh swasta dan/atau perorangan;
Bahwa yang menjadi keberatan Pemohon sehingga Pemohon merasa dirugikan hak konstitusionalnya dengan diberlakukannya Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN 19/2003 sepanjang larangan privatisasi dalam Pasal 77 huruf c dan d hanya diberlakukan secara limitatif terhadap Persero dan tidak diberlakukan juga terhadap __ Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero adalah apabila anak-anak Perusahaan/Perusahaan milik PT Persero yang dilarang untuk diprivatisasi berdasarkan Pasal 77 huruf c dan d dapat di privatisasi dengan melepas saham ke publik/swasta/perorangan;
Bahwa dengan demikian apabila larangan privatisasi dalam Pasal 77 huruf c dan d hanya diberlakukan secara limitatif terhadap Persero dan tidak diberlakukan juga terhadap __ Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero , maka __ tidak menutup kemungkinan Anak Perusahaan Perseroan/Perusahaan milik Persero tersebut seluruh dan/atau sebagian besar sahamnya dapat dikuasai oleh swasta/perorangan akibat dari tindakan privatisasi Anak Perusahaan Perseroan;
Bahwa terhadap penerapan Pasal 77 huruf c dan d Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik berpotensi 28 menyebabkan kerugian yang nyata bagi rakyat dan Negara apabila larangan privatisasi dalam Pasal 77 huruf c dan d hanya diberlakukan secara limitatif terhadap Persero dan tidak diberlakukan juga terhadap __ Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero akan menyebabkan Negara kehilangan “hak menguasai negara/HMN” dalam melakukan pengelolaan (beheersdaad) yang menyebabkan pihak swasta dan/atau perorangan dapat menguasai dan/atau mengelola c abang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang . Hal tersebut tentunya sangat bertentangan dengan amanat Konstitusi dalam Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945; B. Pasal 77 huruf c dan huruf d Bertentangan Dengan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang larangan privatisasi dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d hanya diberlakukan secara limitatif terhadap Persero dan tidak diberlakukan juga terhadap __ Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero.
Bahwa Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan: 3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. 39. Bahwa prinsip sebesar-besarnya kemakmuran rakyat telah mendapatkan penafsiran dari Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor: 3/PUU- VIII/2010 tentang uji materiil Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, telah membuat tolak ukur pengelolaan kekayaan alam untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, antara lain: _1. Kemanfaatan sumber daya alam bagi rakyat; _ _2. Tingkat kemerataan sumber daya alam bagi rakyat; _ 3. Tingkat partisipasi rakyat dalam menentukan manfaat sumber daya _alam; _ 4. Penghormatan terhadap hak rakyat yang bersifat turun-temurun dalam memanfaatkan sumber daya alam. 40. Bahwa tujuan utama dibentuknya BUMN adalah untuk mencari keuntungan dan menyediakan barang dan jasa yang bermutu tinggi bagi 29 sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana tersirat dalam Pasal 2 UU BUMN 19/2003;
Bahwa selain itu tujuan awal dibentuknya PT. Pertamina Persero dapat dilihat dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minjak dan Gas Bumi Negara yaitu: Pasal 5 “Tudjuan Perusahaan adalah membangun dan melaksanakan pengusahaan minjak dan gas bumi dalam arti seluas-luasnja untuk sebesar-besar kemakmuran Rakjat dan Negara serta mentjiptakan Ketahanan Nasional.” 42. Bahwa selain itu berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 Tentang Energi menyatakan; “dalam rangka mendukung pembangunan nasional berkelanjutan dan meningkatkan ketahanan energi nasional, maka sumber daya energi fosil, panas bumi, hidro skala besar, dan sumber energi nuklir dikuasai negara dan dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” .
Bahwa untuk memberi gambaran kepada Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Pemohon akan memberikan ilustrasi mengenai proses bisnis Pertamina yakni pengolahan energy utamanya Migas dari hulu ke hilir hingga dapat dinikmati oleh masyarakat Indonesia yang selama ini dilaksanakan oleh Perusahaan Grup/ Holding PT. Pertamina Persero sebagai berikut: A. Bisnis pertamina terintegrasi hulu ke hilir 30 Secara sederhana, proses bisnis Pertamina dapat dilihat pada gambar berikut: Kedudukan/bisnis Pertamina yang secara terintegrasi dapat menjamin security of supply dalam penyediaan pemenuhan energy negeri yang menopang ketahanan energy. Dengan integrasi bisnis hulu ke hilir, maka jalur koordinasi perusahaan menjadi sangat jelas dan gamblang dalam satu kesatuan PT Pertamina (Persero) sebagai representative Negara. Kedudukan/bisnis Pertamina yang secara terintegrasi dapat menjamin security of supply dalam penyediaan pemenuhan energi negeri yang menopang ketahanan energi. Dengan integrasi bisnis hulu ke hilir, maka jalur koordinasi perusahaan menjadi sangat jelas dan gamblang dalam satu kesatuan PT Pertamina (Persero) sebagai representative Negara. Adapun secara ringkas beginilah penjesalan masing-masing proses bisnis tersebut: 31 a. Hulu / Eksplorasi / Upstream Proses penyediaan energi terutama migas dimulai dari penyediaan minyak mentah yang akan diolah menjadi produk jadi maupun antara. Minyak mentah tersebut menjadi bahan baku dalam penyediaan produk tersebut. Proses penyediaan minyak mentah dalam perut bumi Indonesia dimulai dengan tahapan eksplorasi. Tahapan ini adalah pencarian minyak Bumi melalui suatu kajian panjang yang melibatkan beberapa bidang kajian kebumian dan ilmu eksak. Untuk kajian dasar, riset dilakukan oleh para geologis, yaitu orang-orang yang menguasai ilmu kebumian yang mencari lokasi hidrokarbon/minyak dan gas yang dapat diproduksi. Tahapan-tahapannya adalah: • Survey – Penilaian – Development : Menemukan volume hidrokarbon baru dengan demikian menggantikan volume yang sedang diproduksi atau dengan kata lain adalah proses penemuan ladang minyak baru hingga tahapan layak dan dapat diproduksi termasuk penyediaan sarana dan fasilitas produksi (pompa angguk, pemisahan impurities dan air, pipanisasi dan pertangkian). • Produksi: Setelah sebuah area yang sudah dinyatakan layak produksi dari hasil survey dan kajian. Dalam proses produksi tersebut, minyak dalam perut bumi “diangkat” dari sumur ke permukaan melalui fasilitas pengangkatan yang kemudian melalui proses pemisahan dari impurities dan air sehingga didapatkan minyak bumi yang sesuai spesifikasi migas yang ditampung ke dalam Tangki. • Distribusi Migas Setelah tahapan penyimpanan dalam tangki tersebut, maka dilakukan pendistribusian minyak mentah tersebut ke proses pengolahan melalu media transportasi. Adapun media pendistribusian ke kilang/pengolahan dapat melalui pipanisasi dan atau kapal tangker. Lokasi dari ekplorasi dan produksi minyak mentah dapat di daratan ( onshore ) atau laut lepas ( offshore ). Adapun pemenuhan minyak mentah Indonesia berasal dari Domestik maupun impor. Gambaran porsi produksi Minyak Mentah domestik sbb: 32 o 56.7% produksi Pertamina menjadi porsi perusahaan o 52.55% dari total produksi hulu diolah di kilang Pertamina b. Pengolahan/Kilang/ Refinery Kilang minyak adalah pabrik/fasilitas industri yang mengolah minyak mentah menjadi produk petroleum yang bisa langsung digunakan maupun produk-produk lain yang menjadi bahan baku bagi industri petrokimia. Adapun kebutuhan pengolahan Minyak mentah yang diolah di Kilang Pertamina berasal dari Domestik (baik Penugasan Pemerintah atau 3 ^rd Party) sebesar 56% dan Import sebesar 44%. (data tahun 2016) PT Pertamina (Persero) memiliki terdapat 6 kilang/Refinery Minyak dan Petrokimia yaitu:
Refinery Unit – II Dumai 2) Refinery Unit – III Plaju 3) Refinery Unit – IV Cilacap 33 4) Refinery Unit – V Balikpapan 5) Refinery Unit – VI Balongan 6) Refinery Unit – VII Sorong Serta beberapa kilang lain yaitu Cepu, Mundu, dan TPPI Tuban. Setelah melalui tahapan eksplorasi di Upstream, minyak __ mentah disalurkan baik via pipa maupun kapal tangker ke kilang-kilang yang dimiliki Pertamina. Minyak mentah tersebut diolah melalui beberapa tahapan yaitu pemisahan berdasarkan titik didih, pemisahaan secara konversi, dan pemisahan terhadap impurities sehingga dihasilkan produk jadi yang bisa langsung dipakai atau produk antara yang menjadi bahan baku industry petrokimia. Adapun produk tersebut diantaranya Solar, Premium, Pertamax, Pertalite, Dexlite, avtur, kerosene, LPG, serta produk Petrokimia seperti Propylene, Aspal, Lube Base (pelumas), Paraxylene, Benzene, dsb. Semua produk tersebut akan ditampung terlebih dahulu dalam tangki sebelum disalurkan ke costumer (baik Industri maupun end user /masyarakat).
Pemasaran/ Marketing & Trading Proses bisnis integrasi Pertamina selanjutnya adalah Pemasaran/ Marketing & Trading . Setelah minyak mentah/ crude oil diolah menjadi produk jadi di kilang Pertamina, maka dilakukan tahapan selanjutnya yaitu penyaluran kepada pelanggan baik industry maupun masyarakat. Proses tersebut dilakukan oleh fungsi Pemasaran. Produk dari kilang akan disalurkan ke Pemasaran melalui Depot BBM dan LPG atau langsung ke Industri melalui perpipaan maupun kapal tangker. Produk jadi tersebut akan ditambung di depot-depot seluruh seantero Indonesia dari Sabang sampai Merauke. 34 ALUR DISTRIBUSI BAHAN BAKAR MINYAK (BBM) DAN LPG Berdasarkan alur distribusi BBM dan LPG tersebut Pertamina memastikan ketersediaan BBM dan LPG seluruh Indonesia via darat, laut, dan udara. Adapun total kebutuhan produk BBM dan LPG secara konsolidasi sebesar 60% berasal dari Kilang Sendiri dan 40% berasal dari impor. (data tahun 2016).
Distribusi/Transportasi & Perkapalan Proses bisnis Pertamina yang tidak kalah penting adalah jaminan tersampainya minyak mentah dari Eksplorasi & Produksi maupun Impor menuju Kilang Pertamina serta tersalurkannya produk kilang ke Pemasaran yang kemudian didistribusikan ke Industri dan end user . Keunggulannya proses integrasi bisnis Pertamina dari Hulu ke Hilir adalah jaminan tersebut dikelola oleh Negara yang diwakili oleh Pertamina termasuk proses distribusinya. Peran perkapalan/ shipping Pertamina inilah yang sangat penting. Dengan geografis Indonesia yang 70%nya adalah perairan, maka peran perkapalan sangat besar dalam proses distribusi. Shipping sangat berperan dalam supply chain Pertamina. Peran kapal dalam menghubungkan satu pulau dengan pulau lainnya sangat berdampak besar terhadap aktivitas perekonomian Indonesia. Hal yang tidak kalah penting, kapal berperan menstimulus pertumbuhan ekonomi 35 daerah tertinggal sehingga mampu memperkecil adanya gap antara kawasan berkembang dengan kawasan tertinggal Seperti yang tergambar pada gambar di atas terlihat bahwa transportasi via kapal dimulai dari proses hulu/ upstream sampai dengan ke depot- depot Pertamina. Sejatinya lingkup kerja Shipping sangatlah kompleks, namun apabila disederhanakan dapat mencakup beberapa aspek sebagai berikut: o Luasnya wilayah operasi distribusi energi yang dilayani terbentang dari Sabang sampai Merauke. Bahkan sejak 2015, Shipping mendapat amanah dalam pengangkutan kargo impor FOB dari wilayah Regional maupun Internasional. o Kapal yang dioperasikan cukup banyak dan beragam ukuran. Sampai dengan akhir 2015, Shipping mengoperasikan lebih dari 200 kapal mulai dari ukuran 1000 DWT sampai dengan 300.000 DWT. o Karakteristik pelabuhan yang berbeda sehingga beragam kendala dan hambatan yang dihadapi akan berbeda untuk masing-masing pelabuhan. Tercatat saat ini terdapat lebih dari 100 pelabuhan khusus 36 (pelsus) yang terletak di ratusan pulau di seluruh pelosok tanah air baik di kilang, depot, maupun sumur minyak. o Besarnya volum dan jenis kargo yang diangkut, dimana setiap kargo memiliki karakteristik dan penanganan yang berbeda. Kargo yang diangkut meliputi: minyak mentah, premium, kerosene, solar, avtur, avigas, pertamax, pertamax plus, LPG, lube base, paraxylene, asphalt, fame, sampai minyak bakar. o Kondisi perairan yang meliputi laut dan sungai. Seringkali pengangkutan yang melewati sungai tidak bisa diprediksi karena adanya luapan, banjir, maupun surut yang mengharuskan kapal menunggu agar bisa kembali berlayar. Selain itu terdapat beberapa rute dengan berbagi peringatan karena adanya indikasi perompakan, pencurian sampai separatism. o Tuntutan operasional akibat minimnya infrastruktur yang mengakibatkan kapal harus dapat dioperasikan sebagai tanki timbun atau floating storage serta kegiatan Ship to Ship transfer. Selain dengan kapal, pendistribusian produk BBM dan LPG di daratan melalui perpipaan dan mobil-mobil tangki yang menghubungkan tiap-tiap wilayah Indonesia mulai dari kota sampai daerah terpencil.
Bahwa sebelumnya seluruh Bisnis Inti Pertamina dari Hulu ke Hilir, dari Eksplorasi hingga Pemasaran sebagaimana disebutkan di atas dikelola langsung oleh PT Pertamina Persero sebagai Holding sedangkan anak- anak perusahaan berperan membantu proses bisnis tersebut, namun saat ini seluruh Bisnis Inti Pertamina dari Hulu ke Hilir, dari Eksplorasi hingga Pemasaran telah dilakukan secara terpisah ( Unbundling ) oleh badan usaha yang berbeda dengan membentuk Sub Holding;
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya mengenai undbundling Mahkamah Konstitusi pernah memutus perkara yang berkaitan dengan pilihan bundling ataukah unbundling dalam penyediaan listrik di Indonesia. Pada Putusan Nomor 001-021-022/PUU-I/2003, bertanggal 15 Desember 2004, Mahkamah Konstitusi membatalkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan secara keseluruhan. Pokok permohonan para Pemohon dalam perkara tersebut pada 37 dasarnya menyangkut kompetisi dalam kegiatan usaha ketenagalistrikan yang dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan dilakukan secara terpisah ( unbundling ) oleh badan usaha yang berbeda. Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa ketentuan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 yang memerintahkan sistem pemisahan/pemecahan usaha ketenagalistrikan ( unbundling system ) dengan pelaku usaha yang berbeda akan semakin membuat terpuruk BUMN yang akan bermuara kepada tidak terjaminnya pasokan listrik kepada semua lapisan masyarakat, baik yang bersifat komersial maupun non-komersial. Dengan demikian akan merugikan masyarakat, bangsa dan negara. Sistem unbundling dalam restrukturisasi usaha listrik justru tidak menguntungkan dan tidak selalu efisien dan malah menjadi beban berat bagi negara, sehingga oleh karenanya Mahkamah berpendapat bahwa hal tersebut bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945;
Bahwa selain itu dengan dibentuknya Perusahaan Grup BUMN/ Holding BUMN dan/atau unbundling tidak menutup kemungkinan Anak Perusahaan Perseroan/Perusahaan milik Persero yang bidang usahanya mengelola sumber daya alam tersebut, seluruh dan/atau sebagian besar sahamnya dapat dikuasai oleh swasta/perorangan akibat dari tindakan privatisasi Anak Perusahaan Perseroan, apabila larangan privatisasi dalam Pasal 77 huruf c dan d hanya diberlakukan secara limitatif terhadap Persero dan tidak diberlakukan juga terhadap __ Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero;
Bahwa sama seperti halnya dalam ketenagalistrikan, PT Pertamina Persero yang mengelola sumber daya alam minyak dan gas bumi cepat atau lambat akan berbagi kekuasaan dengan swasta dalam seluruh rantai usaha mereka. Mulai dari hulu, pengolahan, ritel, hingga pasar keuangan. Bahwa Hal tersebut jelas sangat berdampak bagi masyarakat luas, yang mana apabila Pertamina menjadi perusahaan go public dengan mekanisme IPO, maka berpotensi dikuasainya asset negara oleh Swasta (Swastanisasi). Dampak secara gamblang, apakah penentuan harga BBM dan LPG akan seperti sekarang dimana penentuannya murni untuk kepentingan Negara? Tentu berpotensi juga mendengarkan suara 38 sang pemilik saham lainnya dalam Perusahaan nantinya yang menuntut Perusahaan untuk untung-seuntungnya tanpa memikirkan kemampuan daya beli masyarakat. Harga berpotensi naik dan tentunya berdampak pada sektor kehidupan lainnya;
Bahwa selain itu seharusnya seluruh keuntungan-keuntungan yang diperoleh dari anak perusahaan/perusahaan milik PT Persero dari hasil mengelola cabang-cabang produksi yang penting dan sumber daya alam Negara diberikan seluruhnya kepada Negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, namun akibat adanya potensi dilakukannya privatisasi terhadap anak perusahaan/perusahaan milik PT Persero maka keuntungan dari anak perusahaan/perusahaan milik PT Persero menjadi tidak sepenuhnya diberikan kepada Negara tetapi diberikan juga untuk pihak swasta/perorangan yang memiliki saham pada anak perusahaan/perusahaan milik PT Persero;
Bahkan yang paling mengkhawatirkan akibat potensi dilakukannya privatisasi terhadap anak perusahaan/perusahaan milik PT Persero yang mengelola cabang-cabang produksi yang penting dan sumber daya alam negara adalah seluruh saham milik anak perusahaan tersebut dilepas seluruhnya kepada pihak swasta/perorangan, sehingga hasil pengelolaan cabang-cabang produksi yang penting dan sumber daya alam negara tersebut hanya dinikmati oleh pihak swasta dan/atau perorangan;
Bahwa seharusnya Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (3) Undang- Undang Dasar 1945 seharusnya “DIKUASAI OLEH NEGARA” untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” __ 51. Bahwa c abang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak serta Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya tidak boleh dikuasai dan/atau dikelola oleh pihak swasta maupun perorangan untuk keuntungan dan _kemakmuran pihak swasta maupun orang perorangan; _ 52. Bahwa logika sederhana terhadap penerapan Pasal 77 huruf c dan d Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik 39 Negara adalah adanya potensi kerugian yang nyata bagi rakyat dan Negara apabila larangan privatisasi dalam Pasal 77 huruf c dan d hanya diberlakukan secara limitatif terhadap Persero dan tidak diberlakukan juga terhadap __ Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero, akan menyebabkan Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya __ bukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang tentunya sangat bertentangan dengan amanat Konstitusi dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. IV. PETITUM Berdasarkan urain diatas dapat disimpulkan bahwa Bahwa Pasal 77 huruf c dan d Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara Bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang larangan privatisasi dalam Pasal 77 huruf c dan d hanya diberlakukan secara limitatif terhadap Persero dan tidak diberlakukan juga terhadap __ Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero karena berpotensi mengakibatkan negara kehilangan hak menguasai negara yaitu mengelola cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dan sumber daya alam diperuntukan tidak sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat; DALAM POKOK PERKARA 1. Menerima dan mengabulkan permohonan Pemohon;
Menyatakan Pasal 77 huruf c dan d Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang larangan privatisasi dalam Pasal 77 huruf c dan d hanya diberlakukan secara limitatif terhadap Persero dan tidak diberlakukan juga terhadap __ Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero;
Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. [2.2] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalilnya, para Pemohon telah mengajukan alat bukti surat/tulisan dan video yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-39 sebagai berikut: 40 1. Bukti P-1 : Fotokopi Tanda Bukti Pencatatan Nomor 260/I/N/IV/2003 tanggal 9 April 2003; ,2. Bukti P-2 : Fotokopi Keputusan Musyawarah Nasional Nomor: Kpts- 04/MUNAS-VI/FSPPB/2018 tentang Perubahan Ke-Tujuh Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB);
Bukti P-3 : Fotokopi Keputusan Musyawarah Nasional Nomor Kpts- 06/MUNAS-VI/FSPPB/2018 tentang Penetapan Presiden FSPPB Periode 2018-2021;
Bukti P-4 : Fotokopi Surat Keputusan Nomor 001/KU.FSPPB/IV/2018 Tentang Susunan Pengurus Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) Periode 2018 – 2021;
Bukti P-5 : Fotokopi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Amandemen I sampai dengan Amandemen IV);
Bukti P-6 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara;
Bukti P-7 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara;
Bukti P-8 : Fotokopi Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor PER-03/MBU/2012 tentang Pedoman Pengangkatan Anggota Direksi dan Anggota Dewan Komisaris Anak Perusahaan Badan Usaha Milik Negara;
Bukti P-9 : Fotokopi Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyertaan Dan Penatausahaan Modal Negara Pada Badan Usaha Milik Negara dam Perseroan Terbatas;
Bukti P-10 : Fotokopi Keputusan Menteri Badan Usaha Milik Negara Selaku Rapat Umum Pemegang Saham Perusahaan Perseroan (Persero) PT. Pertamina Nomor SK- 198/MBU/06/2020 tentang Pemberhentian, Perubahan Nomenklatur Jabatan, Pengalihan Tugas dan Pengangkatan Anggota-Anggota Direksi Perusahaan Perseroan (Persero) PT. Pertamina, tanggal 12 Juni 2020;
Bukti P-11 : Fotokopi Surat Keputusan Direksi Pertamina (PERSERO) Nomor Kpts-18/C00000/2020-SO tentang Struktur Organisasi Dasar PT. Pertamina (PERSERO), tanggal 12 Juni 2020; 41 12. Bukti P-12 : Fotokopi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 58/PUU- VI/2008;
Bukti P-13 : Hasil cetak berita dengan judul “Dirut Pertamina Bantah Soal Isu Privatisasi Lewat Subholding Migas.” https: //tirto.id/dirut-pertamina-bantah-soal-isu-privatisasi- lewat-subholding-migas-fMhi diunduh pada tanggal 13 Juli 2020;
Bukti P-14 : Hasil cetak berita dengan judul “Rencana Dan Target IPO Anak Usaha Pertamina Yang Ditolak DPR.” https: //katadata.co.id/berita/2020/06/30/rencana-dan- target-ipo-anak-usaha-pertamina-yang-ditolak-dpr diunduh pada tanggal 13 Juli 2020;
Bukti P-15 : Fotokopi Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi;
Bukri P-16 : Fotokopi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 69 P/HUM/2018 mengenai Permohonan Hak Uji Materiil terhadap: “Pasal 2 Peraturan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2018 Tentang Pengelolaan Wilayah Kerja Minyak Dan Gas Bumi Yang Akan Berakhir Kontrak Kerjasamanya”;
Bukti P-17 : Fotokopi Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2016 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup Dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal;
Bukti P-18 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi;
Bukti P-19 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi;
Bukti P-20 : Fotokopi Kajian Hukum terhadap Rencana Restrukturisasi Pertamina dan IPO oleh Sub-Holding Pertamina tanggal 16 Juni 2020 yang dibuat oleh Melli Darsa & Co.;
Bukti P-21 : Hasil cetak berita pada halaman Tribun News dengan judul “Fraksi PKS DPR Minta Pemerintah Kaji Ulang IPO Subholding Pertamina”; 42 Sumber: https: //www.tribunnews.com/nasional/2020/08/06/fraksi- pks-dpr-minta-pemerintah-kaji-ulang-ipo-subholding- pertamina Diunduh pada tanggal 12 Agustus 2020;
Bukti P-22 : Hasil cetak berita pada halaman Kompas.com dengan judul “Soal IPO Anak Perusahaan, Ini Alasannya Kata Dirut Pertamina”. Sumber: https: //money.kompas.com/read/2020/07/27/090800226/s oal-ipo-anak-perusahaan-ini-alasannya-kata-dirut- pertamina Diunduh pada tanggal 12 Agustus 2020;
Bukti P-23 : Hasil cetak berita pada halaman CNBC Indonesia dengan judul “Erick Minta IPO 2 Anak Usaha, Begini Bocoran Pertamina”. Sumber: https: //www.cnbcindonesia.com/market/20200630071548 -17-168927/erick-minta-ipo-2-anak-usaha-begini- bocoran-pertamina Diunduh pada tanggal 12 Agustus 2020;
Bukti P-24 : Hasil cetak berita pada halaman iNews.id dengan judul: “Pertamina akan Privatisasi 2 Anak Usaha” Sumber: https: //www.inews.id/finance/bisnis/pertamina-akan- privatisasi-2-anak-usaha Diunduh pada tanggal 12 Agustus 2020;
Bukti P-25 : Hasil cetak berita pada halaman Opini Indonesia dengan judul: “Melawan Rencana Initial Public Offering (IPO) Anak Usaha Pertamina (1)”Sumber: https: //opiniindonesia.com/2020/07/09/melawan-rencana- ipo-anak-usaha-pertamina-1/ Diunduh pada tanggal 18 Agustus 2020;
Bukti P-26 : Hasil cetak berita pada halaman Kontan.co.id dengan judul: “Pengamat: IPO Pertamina Bakal Berdampak Pada Kemampuan Subsidi dan Inti Bisnis” 43 Sumber: https: //industri.kontan.co.id/news/pengamat-ipo- pertamina-bakal-berdampak-pada-kemampuan-subsidi- dan-inti-bisnis Diunduh pada tanggal 14 Agustus 2020;
Bukti P-27 : Hasil cetak berita pada halaman Republika.co.id dengan judul: “Serikat Pekerja dan Pengamat Tanggapi Rencana IPO Pertamina” Sumber: https: //republika.co.id/berita/qf63qo320/serikat-pekerja- dan-pengamat-tanggapi-rencana-ipo-pertamina Diunduh pada tanggal 18 Agustus 2020;
Bukti P-28 : Hasil cetak berita pada halaman Sindo News dengan judul: “Rocky Gerung: IPO Subholding Pertamina Ibarat Perdagangan Organ Tubuh” Sumber: https: //nasional.sindonews.com/read/135408/12/rocky- gerung-ipo-subholding-pertamina-ibarat-perdagangan- organ-tubuh-1597594124 Diunduh pada tanggal 18 Agustus 2020;
Bukti P-29A : Video dari Akun YouTube “Bensin Kita”, dipublikasi pada tanggal 13 Juni 2020 dengan judul: “Target Menteri BUMN Usai Merombak Struktur Direksi PT. Pertamina”. Sumber: https: //www.youtube.com/watch?v=fvag6W__ms0 Diunduh pada tanggal 12 Agustus 2020; Bukti P-29B : Video dari Akun Youtube CNN Indonesia yang dipublikasikan Pada 10 Maret 2019 dengan judul: “IPO 9 Anak Usaha BUMN”. Sumber: https: //www.youtube.com/watch?v=ILk6OcAZ-Rs Diunduh pada tanggal 18 Agustus 2020;
Bukti P-30 : Hasil cetak Berita pada halaman Tribun News dengan judul: “Pengamat Nilai IPO Pertamina Berpengaruh pada Kemampuan Subsidi dan Inti Bisnis” 44 Sumber: https: //www.tribunnews.com/bisnis/2020/08/16/pengamat -nilai-ipo-pertamina-berpengaruh-pada-kemampuan- subsidi-dan-inti-bisnis?page=2 Diunduh pada tanggal 18 Agustus 2020;
Bukti P-31 : Fotokopi Surat Keputusan No. Kpts-29/C00000/2016-S0 tentang Proses Bisnis Pertamina, tertanggal 2 Agustus 2016;
Bukti P-32 : Hasil cetak Berita pada halaman Tirto.id dengan judul: “Kemelut Saham Garuda Indonesia yang Masih Terpuruk Sejak IPO”. Sumber: https: //tirto.id/kemelut-saham-garuda-indonesia-yang- masih-terpuruk-sejak-ipo-em51 Diunduh pada tanggal 14 Agustus 2020;
Bukti P-33 : Hasil cetak Berita pada halaman Bisnis.com dengan judul: “Usai PHK 677 Karyawan, Saham Indosat (ISAT) Anjlok”. Sumber: https: //market.bisnis.com/read/20200217/7/1202260/usai- phk-677-karyawan-saham-indosat-isat- anjlok#: ~: text=Saham%20Indosat%20sempat%20jeblos %205,level%20Rp1.985%20per%20saham.&text=Bisnis. com%2C%20JAKARTA%20%2D%20Saham,17%2F2%2 F2020 ). Diunduh pada tanggal 14 Agustus 2020;
Bukti P-34 : Hasil cetak Berita pada halaman website Bigalpha.id dengan judul: “Saham KRAS, Kian Jauh Tinggalkan Harga IPO”. Sumber: https: //bigalpha.id/news/saham-kras-kian-jauh-tinggalkan- harga-ipo Diunduh pada tanggal 14 Agustus 2020;
Bukti P-35 : Hasil cetak Artikel pada halaman Hukum Online dengan judul: “MK: Praktik Unbundling Penyediaan Listrik Harus Dikontrol Negara”. 45 Sumber: https: //www.hukumonline.com/berita/baca/lt58523f42c82 60/mk--praktik-iunbundling-i-penyediaan-listrik-harus- dikontrol-negara/ Diunduh pada tanggal 12 Agustus 2020;
Bukti P-36 : Fotokopi Jurnal Konstitusi dengan judul “Inkonstitusional Sistem Unbundling dalam Usaha Penyediaan Listrik” yang dituliskan oleh Jefri Porkonanta Tarigan Sumber: https: //media.neliti.com/media/publications/238262- inkonstitusionalitas-sistem-unbundling-d-450a4d64.pdf Diunduh pada tanggal 12 Agustus 2020.
Bukti P-37 : Hasil cetak Berita pada halaman Berita Satu dengan judul: “PGN: Kebijakan “Unbundling” Dorong Kenaikan Harga Gas”. https: //www.beritasatu.com/ekonomi/138872-pgn- kebijakan-unbundling-dorong-kenaikan-harga-gas Diunduh pada tanggal 12 Agustus 2020;
Bukti P-38 : Fotokopi Keterangan Ahli Gunawan dalam Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Miik Negara di Mahkamah Konstitusi;
Bukti P-39 : Fotokopi Keterangan Ahli Marwan Batubara tentang Menyoal Rencana IPO Sub-Holding Pertamina. Selain itu untuk mendukung permohonannya Pemohon juga mengajukan dua orang ahli bernama Prof. Dr. Juajir Sumardi, S.H., M.H., dan Dr. Kurtubi, S.E., M.Sp., M.Sc. yang masing-masing didengarkan keterangannya dalam persidangan Mahkamah tanggal 23 November 2020 dan 14 Desember 2020, serta saksi bernama drg. Ugan Gandar yang didengarkan keterangannya dalam persidangan Mahkamah tanggal 22 April 2021. Pemohon juga menyampaikan keterangan tertulis ahli Gunawan dan Dr. Marwan Batubara yang dijadikan bukti (bukti P-38 dan bukti P-39) dan keterangan tertulis saksi Ir. Faisal Yusra SH., MM., QIA., CFrA yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: 46 Ahli Pemohon 1. Prof. Dr. Juajir Sumardi, S.H., M.H. A. DASAR HUKUM 1. Surat dari Advokat dan Asisten Advokat Janses E. Sihaloho, S.H., dan Imelda, S.H., berkantor pada SIHALOHO & CO. LAW FIRM yang berkedudukan hukum (domisili) di Gedung Menara Hijau, 5 ^th __ Floor Suite 501B, Jalan M.T. Haryono __ Kav. 33 Jakarta Selatan 12770, selaku kuasa hukum Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB), tanggal surat 06 Oktober 2020 Perihal Daftar Pertanyaan Terkait dengan Pengujian Materiil Pasal 77 huruf c dan d Undang- Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara terhadap UUD 1945. 2. Surat Penugasan Ketua Pusat Studi Hukum Ekonomi dan Pembangunan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Nomor 017/PUSHEP-FHUH/X/22020 Tertanggal 14 Oktober 2020. __ B. PETA KASUS Bahwa berdasarkan surat dari Advokat dan Asisten Advokat Janses E. Sihaloho, S.H., dan Imelda, S.H., berkantor pada SIHALOHO & CO. LAW FIRM yang berkedudukan hukum (domisili) di Gedung Menara Hijau, 5 ^th Floor Suite 501B, Jalan M.T. Haryono Kav. 33 Jakarta Selatan 12770, selaku kuasa hukum Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB), tanggal surat 06 Oktober 2020 Perihal Daftar Pertanyaan Terkait dengan Pengujian Materiil Pasal 77 huruf c dan d Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara terhadap UUD 1945, maka dapat dikemukakan garis besar peta kasus dalam kaitannya dengan Uji Materi Pasal 77 huruf c dan huruf d Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara terhadap UUD-1945 adalah sebagai berikut:
Bahwa pada tanggal 12 Juni 2020 Pertamina melakukan restrukturisasi Holding dengan disertai pembentukan subholding-subholding.
Bahwa sebelum pembentukan subholding pada tanggal 12 Juni 2020, Struktur Organisasi perusahaan PT. Pertamina (Persero) terdiri dari 10 Direktorat yaitu:
Direktorat Hulu;
Direktorat Pengolahan; 47 c. Direktorat Pemasaran Korporat;
Direktorat Pemasaran Retail;
Direktorat Keuangan;
Direktorat SDM;
Direktorat Logistik, Supply Chain dan Infrastruktur;
Direktorat Megaproyek Pengolahan dan Petrokimia;
Direktorat Perancanaan Investasi dan Manajemen Risiko;
Direktorat Manajemen Aset. Dengan demikian, sebelum pembentukan Sub-holding pada tanggal 12 Juni 2020 maka Struktur Direksi yang berada dalam lingkup PT. Pertamina (Persero) adalah sebanyak 11 orang, termasuk Direktur Utama.
Dengan dilakukannya restrukturisasi Organisasi dan/kelembagaan PT. Pertamina (Persero) menjadi Holding Pertamina yang disertai dengan pembentukan Subholding-Subholding pada tanggal 12 Juni 2020, maka struktur Organisasi/Kelembagaan Badan Hukum PT. Pertamina (Persero) sejak terbentuknya Holding Pertamina telah berkonsekuensi terjadinya perubahan struktur Direktorat yang ada pada PT. Pertamina (Persero) yang semula terdiriri dari 10 Direktorat diperkecil menjadi 5 Direktorat saja yaitu:
Direktorat Strategi, Portofolio dan Pengembangan Usaha.
Direktorat Keuangan.
Direktorat Sumber Daya Manusia.
Direktorat Logistik & Infrastruktur.
Direktorat Penunjang Bisnis. Dengan demikian, setelah dibentuknya Holding Pertamina maka jumlah Direksi yang berada dalam lingkup PT. Pertamina (Persero) menjadi 6 orang termasuk Direktur Utama.
Adapun Subholding-Subholding baru yang dibentuk bersamaan dengan dilakukannya restrukturisasi Holding Pertamina adalah sebagai berikut:
PT. Pertamina Hulu Energi (PHE) sebagai Subholding Hulu (Upstream). PHE akan menjadi induk dari PT. Pertamina EP (PEP), PT. Pertamina EP Cepu (PEPC), PT. Pertamina Hulu Indonesia (PHI) dan PT. Pertamina Hulu Rokan (PHR). 48 b. PT. Patra Niaga (Patra Niaga) sebagai Subholding Pemasaran ( Commercial & Trading ). Patra Niaga akan menjalankan bisnis yang dulunya dijalankan oleh 3 __ Direktorat di Holding lama ( Direktorat Pemasaran Korporat, Direktorat Pemasaran Retail, Direktorat Logistik, Supply Chain dan Infrastruktur).
PT. Kilang Pertamina Internasional (KPI) sebagai Subholding Kilang dan Petrokimia ( Refinery & Petrochemical ). KPI akan menjalankan bisnis yang dulunya dijalankan oleh 2 Direktorat di Holding Pertamina sebelumnya yaitu Direktorat Pengolahan dan Direktorat Megaproyek Pengolahan dan Petrokimia.
PT. Pertamina Power Indonesia (PPI) sebagai subholding Listrik dan Energi Baru & Terbarukan ( Power & New and Renewable Energy ). Yang akan masuk menjadi anak perusahaan dari PPI adalah PT. Pertamina Geothermal Energi (PGE).
PT. Perusahaan Gas Negara sebagai Subholding Gas ( ikut diumumkan sebagai Subholding Gas meskipun lebih dahulu sudah terbentuk sebagai Subholding Gas ). Bahwa pembentukan Subholding-Subholding menurut pertimbangan pihak Pemerintah dan Direksi PT. Pertamina (Persero) dimaksudkan untuk tujuan yang sebagai berikut:
Membangun organisasi yang lean, agile and efficient (ramping, lincah dan efisien).
Meningkatkan o perational excellence , meningkatkan daya saing, mengembangkan kapabilitas best-in-class dalam industrinya.
Mempercepat pengembangan bisnis saat ini dan bisnis baru.
Meningkatkan fleksibilitas partnership dan pendanaan.
Memperbaharui organisasi, talenta dan mindset selaras dengan sebuah perusahaan energi world-class .
Memenuhi mandat lokomotif pengembangan sosial guna mencapai kedaulatan energi. Praktis dengan struktur organisasi Holding Pertamina yang baru ini maka PT. Pertamina (Persero) sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mengalami perubahan sangat fundamental dari Operation Holding menjadi Investment Holding yang sama sekali tanpa melakukan kegiatan operasi apapun. 49 Konsultan yang dipercaya oleh PT. Pertamina (Persero) dalam proses pendirian Holding Pertamina dan pembentukan Subholding-Subholding yang berada dalam struktur Holding Pertamina adalah PricewaterhouseCoopers (PwC), sebuah Konsultan Management/Akuntan Publik Amerika. Untuk pembuatan kajian hukum maka kajian tersebut dibuat oleh Melli Darsa & Co., Advocates and Legal Consultants Indonesia yang berafiliasi dengan PwC. PwC terlibat sejak persiapan hingga proses pembentukan subholding, bahkan masih terlibat dalam proses sosialiasi dan pengorganisasian subholding hingga sekarang ini. C. ISU HUKUM Berdasarkan peta kasus serta akibat hukum dan bisnis yang dimungkinkan dari pembentukan Subholding-Subholding Pertamina sebagaimana diuraikan diatas, maka issu hukum yang perlu untuk dicermati dalam kaitannya dengan uji materi Pasal 77 huruf c dan huruf d dari Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara dapat dikemukakan sebagai berikut:
Bagaimanakah hakikat dan prinsip “Dikuasai Negara” yang terdapat di dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 apabila dikaitkan dengan tujuan PT Pertamina (Persero) sebagai Perusahaan BUMN? 2. Apakah hakikat yang mendasari diberlakukannya ketentuan Pasal 77 huruf c dan huruf d Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara bila dikaitkan dengan kedudukan PT Pertamina (Persero) sebagai Badan Usaha Milik Negara? 3. Bagaimana perlindungan hukum terhadap PT. Pertamina (Persero) sebagai Badan Usaha Milik Negara yang mengelola sumber daya alam yang menguasai hajat hidup orang banyak untuk sebesar-besarnya kemamumaran rakyat sebagaimana yang diamanahkan di dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 4. Apakah pembentukan subholding-subholding yang dilakukan oleh PT. Pertamina (Persero) tersebut sesuai dan sejalan dengan amanah UUD 1945 yang terkandung di dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945? 50 D. PENDAPAT HUKUM/KETERANGAN AHLI D.1 Hakikat Prinsip “Dikuasai Negara” yang terdapat di dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 dikaitkan dengan tujuan PT Pertamina (Persero) sebagai Perusahaan BUMN Tafsir terhadap prinsip “penguasaan oleh negara” dalam Pasal 33 UUD 1945 pertama kali dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan MK 001-021- 022/PUU-I/2003 tentang Pengujian Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi terhadap Undang-Undang Dasar. Dalam putusan a quo , frasa “dikuasai oleh negara” diterjemahkan melalui uraian sebagai berikut: “Konsepsi penguasaan oleh negara merupakan konsepsi hukum publik yang berkaitan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dianut dalam UUD 1945, baik di bidang politik (demokrasi politik) maupun ekonomi (demokrasi ekonomi). Dalam paham kedaulatan rakyat itu, rakyatlah yang diakui sebagai sumber, pemilik, dan sekaligus pemegang kekuasaan tertinggi dalam kehidupan bernegara, sesuai dengan doktrin “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Dalam pengertian kekuasaan tertinggi tersebut tercakup pula pengertian pemilikan publik oleh rakyat secara kolektif. Bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalam wilayah hukum negara pada hakikatnya adalah milik publik seluruh rakyat secara kolektif yang dimandatkan kepada negara untuk menguasainya guna dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran bersama. Karena itu, Pasal 33 ayat (3) menentukan “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Bahwa jika pengertian “dikuasai oleh negara” hanya diartikan sebagai pemilikan dalam arti perdata (privat), maka hal dimaksud tidak mencukupi dalam menggunakan penguasaan itu untuk mencapai tujuan “sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”, yang dengan demikian berarti amanat untuk “memajukan kesejahteraan umum” dan “mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” dalam Pembukaan UUD 1945 tidak mungkin diwujudkan. Namun demikian, konsepsi kepemilikan perdata itu sendiri harus diakui sebagai salah satu konsekuensi logis penguasaan oleh negara yang mencakup juga pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud. Pengertian “dikuasai oleh negara” juga tidak dapat diartikan hanya sebatas sebagai hak untuk mengatur, karena hal demikian sudah dengan sendirinya melekat dalam fungsi-fungsi negara tanpa harus disebut secara khusus dalam undang undang dasar. Sekiranya pun Pasal 33 tidak tercantum dalam UUD 1945, sebagaimana lazimnya di banyak negara yang menganut paham ekonomi liberal yang tidak mengatur norma-norma dasar perekonomian dalam konstitusinya, sudah dengan 51 sendirinya negara berwenang melakukan fungsi pengaturan. Karena itu, pengertian “dikuasai oleh negara” tidak mungkin direduksi menjadi hanya kewenangan negara untuk mengatur perekonomian saja. Dengan demikian, baik pandangan yang mengartikan penguasaan oleh negara identik dengan pemilikan dalam konsepsi perdata maupun pandangan yang menafsirkan pengertian penguasaan oleh negara itu hanya sebatas kewenangan pengaturan oleh negara, keduanya ditolak oleh Mahkamah. Argumentasi tersebut menunjukkan bahwa pengertian dalam frasa “penguasaan oleh negara” merupakan konsepsi hukum publik. Konsepsi ini terkait dengan prinsip daulat rakyat yang dianut dalam UUD 1945, baik di bidang politik (demokrasi politik) maupun ekonomi (demokrasi ekonomi). Bila, pengertian “dikuasai oleh negara” hanya dimaknai sebagai kepemilikan dalam arti perdata (privat), maka hal dimaksud tidak mencukupi dalam menggunakan penguasaan itu untuk mencapai tujuan “sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”, terlebih lagi “memajukan kesejahteraan umum” dan “mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Atas dasar tersebut, Mahkamah Konstitusi memberikan penafsiran terhadap frasa ini. Lebih lanjut, berikut penjelasan MK terhadap prinsip penguasaan oleh negara. Bahwa berdasarkan uraian tersebut, pengertian “dikuasai oleh negara” haruslah diartikan mencakup makna penguasaan oleh negara dalam arti luas yang bersumber dan diturunkan dari konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya”, termasuk pula di dalamnya pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud. Rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan Tindakan pengurusan (bestuursdaad),pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad),dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk __ tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Perkembangan selanjutnya terkait dengan prinsip “penguasaan oleh negara” dapat dilihat dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-X/2012 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi terhadap Undang-Undang Dasar. Dalam putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi merumuskan bahwa untuk mewujudkan tujuan penguasaan negara yaitu “sebesar- besarya kemakmuran rakyat”, jika keempat bentuk penguasaan oleh negara tidak dimaknai sebagai satu kesatuan tindakan, maka harus dimaknai secara bertingkat berdasarkan efektifitasnya untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 52 Menurut Mahkamah Konstitusi, bentuk “penguasaan oleh negara” diberi peringkat berdasarkan kemampuan negara menghadirkan kemakmuran rakyat. Peringkat pertama dan yang paling penting dari bentuk penguasaan oleh negara adalah melakukan pengelolaan secara langsung atas sumber daya alam. Penguasaan negara pada peringkat kedua adalah negara membuat kebijakan dan pengurusan guna mencapai tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Adapun peringkat terakhir dari bentuk penguasaan negara adalah negara melaksanakan fungsi pengaturan dan pengawasan. Dari konstruksi pemaknaan secara berjenjang tersebut, memperlihatkan upaya Mahkamah Konstitusi menafsirkan Pasal 33 UUD 1945 secara komprehensif, sehingga tujuan penguasaan negara, “untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” dapat termanifestasikan dengan baik. Dalam kaitannya dengan tujuan PT. Pertamina (Persero) sebagai perusahaan BUMN, maka dapat dikatakan bahwa prinsip “penguasaan negara” dalam peringkat pertama yaitu melakukan pengelolaan secara langsung atas sumber daya alam minyak dan gas bumi (serta sumber daya energi lainnya) dilakukan dan/atau diwakili oleh PT. Pertamina (Persero) sebagai Badan Usaha Milik Negara. Agar pengelolaan minyak dan gas bumi serta sumber daya energi lainnya dapat memberikan konstribusi bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat sebagaimana yang diamanahkan di dalam UUD-1945 dan sesuai dengan tafsir prinsip “penguasaan negara” atas sumber daya alam yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi, maka pengelolaan minyak dan gas bumi serta sumber daya energi lainnya yang dilakukan oleh PT. Pertamina (Persero) sebagai wakil negara dalam kapasitas negara sebagai Iure Gestionis (negara sebagai entrepreneur ) haruslah diarahkan untuk memberikan pendapatan yang optimal bagi negara dalam rangka mewujudkan tujuan negara yaitu mengupayakan kemakmuran dan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia. Pada hakikatnya pendirian PT. Pertamina (Persero) sebagai Badan Usaha Milik Negara secara konstitusional merupakan perwujudan dari pelaksanaan fungsi negara dalam pengelolaan sumber daya alam untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, dalam operasionalisasi pengelolaan sumber daya alam di bidang minyak dan gas bumi serta sumber energi lainnya, maka PT. Pertamina (Persero) harus dapat menjadi “ agent of development” di satu sisi, dan di sisi lain 53 juga harus menjadi “ agent of profit ” bagi negara. Hal ini sesuai dengan tujuan pendirian badan usaha milik negara dalam bentuk persero yang di atur di dalam Pasal 12 Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara yang menegaskan sebagai berikut: _Maksud dan tujuan pendirian Persero adalah: _ a. menyediakan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan berdaya saing _kuat; _ b. mengejar keuntungan guna meningkatkan nilai perusahaan. Berdasarkan tujuan pendirian Badan Usaha Milik Negara dalam bentuk Persero sebagaimana yang ditegaskan di dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, maka sebagai konsekuensi logis adalah PT. Pertamina (Persero) dituntut untuk dapat memberikan konstribusi keuntungan yang maksimal sebagai salah satu sumber pendapatan Negara. Untuk itu, setiap kebijakan yang dilakukan oleh Direksi PT. Pertamina (Persero) yang berpotensi untuk mengurangi dan/atau menghilangkan keuntungan yang dapat diperoleh PT. Pertamina (Persero) sebagai BUMN merupakan kebijakan yang bertentangan dengan amanah konstitusi (UUD-1945) dan melanggar prinsip “penguasaan negara” atas sumber daya alam sesuai dengan tafsir yang diberikan oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Demikian pula kebijakan Direksi PT. Pertamina (Persero) yang menghilangkan dan/atau mengurangi otoritas dan/atau posisi dominan negara dalam menentukan arah kebijakan dalam proses pengelolaan sumber daya minyak dan gas bumi serta sumber daya energi lainnya merupakan suatu kebijakan yang bertentangan dengan UUD-1945. D.2 Hakikat yang Terkandung di dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d Undang- Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara bila dikaitkan dengan kedudukan PT Pertamina (Persero) sebagai Badan Usaha Milik Negara Pasal 77 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara mengatur sebagai berikut: _Persero yang tidak dapat diprivatisasi adalah: _ a. Persero yang bidang usahanya berdasarkan ketentuan peraturan _perundang- undangan hanya boleh dikelola oleh BUMN; _ b. Persero yang bergerak di sektor usaha yang berkaitan dengan pertahanan _dan keamanan negara; _ 54 c. Persero yang bergerak di sektor tertentu yang oleh pemerintah diberikan tugas khusus untuk melaksanakan kegiatan tertentu yang berkaitan dengan _kepentingan masyarakat; _ d. Persero yang bergerak di bidang usaha sumber daya alam yang secara tegas berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dilarang untuk diprivatisasi. Hakikat yang terkandung di dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d Undang- Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara sebagaimana dikemukakan di atas menurut pendapat ahli merupakan pelembagaan kembali adanya kehendak negara untuk menjabarkan prinsip “dikuasai negara” yang terdapat pada Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD-1945 terhadap pengelolaan negara atas sumber daya alam. Dalam kaitan ini, negara menyadari bahwa Persero yang bergerak di sektor tertentu yang oleh pemerintah diberikan tugas khusus untuk melaksanakan kegiatan tertentu yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat, serta Persero yang bergerak di bidang usaha sumber daya alam yang secara tegas berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, sejatinya merupakan penjabaran dari adanya fungsi dan peran negara untuk merealisasikan prinsip “penguasaan negara” terhadap cabang-cabang produksi yang penting bagi negara serta terhadap sumber daya alam yang menguasai hajat hidup orang banyak sebagaimana yang diamanahkan di dalam UUD-1945. Untuk itulah BUMN dalam bentuk Persero yang menjalankan kegiatan yang termasuk dalam muatan Pasal 77 huruf c dan huruf d Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara dilarang untuk diprivatisasi, karena negara hendak menjalankan amanah untuk mewujudkan prinsip “penguasaan negara” demi untuk mencapai sebesar- besar kemakmuran rakyat. Adanya larangan untuk melakukan privatisasi terhadap Persero tertentu sebagaimana yang diatur dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d UU No. 19 Tahun 2003 Tentang BUMN, menurut pendapat ahli mengandung maksud agar Persero yang menjalankan tugas dan fungsi sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN tersebut dapat melakukan pengelolaan sumber daya alam sepenunya secara optimal agar dapat memberikan konstribusi sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, Persero tersebut dituntut untuk melakukan kegiatan pengelolaan sumber daya alam secara efisien dan efektif untuk memperoleh keuntungan optimal yang dimungkinkan dalam pengelolaan sumber daya alam yang pada analisis akhir akan berkonstribusi untuk meningkatkan pendapatan negara. 55 PT. Pertamina (Persero) yang didirikan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2003 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (Pertamina) menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) yang menjalankan tugas dan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, secara mutatis mutandis merupakan Persero yang tidak dapat dilakukan privatisasi. Oleh karena itu, dalam menjalankan kegiatannya dituntut untuk mendapatkan keuntungan sehingga kebijakan yang dilakukan oleh Direksi haruslah diarahkan pada kebijakan yang mendorong terjadinya maksimalisasi produksi untuk meningkatkan keuntungan perusahaan yang menjadi salah satu sumber pendapatan negara. Sebagai konsekuensi dari adanya tujuan Persero adalah untuk mengejar keuntungan guna meningkatkan nilai perusahaan sebagaimana yang diatur di __ dalam Pasal 12 UU No. 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara, maka kebijakan Direksi PT. Pertamina (Persero) yang membangun dan/atau mendirikan Subholding-Subholding Pertamina dalam bentuk Perseroan Terbatas (PT) yang secara kelembagaan menjadi badan hukum yang terpisah dari PT. Pertamina (Persero) sebagai BUMN, maka kebijakan tersebut berpotensi mengurangi dan/atau menghilangkan keuntungan bagi PT. Pertamina (Persero) sebagai representasi negara dalam menjalankan fungsi pengelolaan sumber daya alam untuk sebesar- besar kemakmuran rakyat, dan sekaligus mengurangi posisi “penguasaan negara” atas pengelolaan cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak serta penguasaan negara atas bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. D.3 Perlindungan Hukum terhadap PT. Pertamina (Persero) sebagai Badan Usaha Milik Negara yang Mengelola Sumber Daya Alam yang Menguasai Hajat Hidup Orang Banyak Di dalam Pembukaan UUD-1945 ditegaskan bahwa salah satu tujuan dari pembentukan Negara Republik Indonesia adalah “ melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpa darah Indonesia serta memajukan kesejahteraan umum” . Tujuan ini mengharuskan negara yang diwakili oleh __ pemerintah harus menyelenggaraan pengelolaan sumber daya alam untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat serta melakukan penguasaan terhadap cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang. 56 Oleh karena minyak dan gas bumi merupakan sumber daya alam yang menguasai hajat hidup orang banyak, maka cabang produksi minyak dan gas bumi merupakan cabang produksi yang penting bagi negara. Untuk itu, pengelolaan minyak dan gas bumi yang dilakukan oleh PT. Pertamina (Persero) sebagai Badan Usaha Milik Negara menjadi sangat krusial dan strategis, sehingga negara wajib untuk memberikan perlindungan hukum terhadap pengelolaan sumber daya minyak dan gas bumi yang diselenggarakan oleh PT. Pertamina (Persero). Kedudukan PT. Pertamina (Persero) dalam pengusahaan dan/atau pengelolaan minyak dan gas bumi pada hakikatnya adalah perwujudan dari adanya peran negara sebagai “entrepreneur” yang menjalankan fungsi pengelolaan sumber daya alam untuk mewujudkan tujuan negara dalam mensejahterakan rakyatnya. Oleh karena itu, berdasarkan tafsir tentang prinsip “penguasaan negara” yang terdapat di dalam Pasal 33 Ayat (2) dan Ayat (3) UUD-1945 yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi, maka makna penguasaan negara tersebut harus lebih diutamakan pada Tindakan negara dalam melakukan pengelolaan untuk mewujudkan kemakmuran dan/atau kesejahteraan rakyat. Bung Hatta dalam beberapa buku dan pidatonya mengemukakan bahwa bangunan ekonomi Indonesia diformasikan seperti Piramida yang di dalamnya terdapat 3 (tiga) pelaku utama ekonomi Indonesia yaitu: Negara, Swasta, dan Koperasi. Menurutnya, Negara membangun dari atas ke bawah, Koperasi membangun dari bawah ke atas, sedangkan Swasta melakukan pembangunan di medan pertengahan. Negara dalam melakukan pembangunan ekonomi dapat diwakilkan kepada BUMN dan BUMD dan melakukan pembangunan untuk bidang- bidang ekonomi yang besar-besar, khususnya yang menguasai hajat hidup orang banyak. Oleh karena kedudukan BUMN merupakan wakil negara dalam kapasitasnya sebagai “ Iure Gestionis ” atau negara sebagai pelaku bisnis (sesuai dengan fungsi dan peran negara sebagai “ entrepreneur” berdasarkan Mix Economic Theory yang dikemukakan oleh Wolfgang Friedman), maka kedudukan PT. Pertamina (Persero) sebagai salah satu BUMN yang menyelenggarakan pengelolaan sumber daya alam minyak dan gas bumi wajib untuk mendapat perlakuan khusus dari pemerintah. Perlakuan khusus tersebut termanifestasikan dalam bentuk ketentuan hukum tentang adanya larangan untuk melakukan privatisasi terhadap Persero yang mengelola sumber daya alam tertentu. 57 Perlakuan khusus ( special treatment ) Pemerintah atas PT. Pertamina (Persero) merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh Pemerintah agar cabang produksi yang dikelola dan/atau dijalankan oleh PT. Pertamina (Persero) dapat secara maksimal memberikan konstribusi pendapat yang optimal bagi negara sehingga Pemerintah dapat merealisasikan amanat untuk mensejahterakan rakyat sesuai dengan UUD-1945. Untuk itu, negara harus mempertahankan posisi dominan yang dimilikinya dalam mengarahkan kebijakan direksi PT. Pertamina (Persero). Menurut pandangan ahli, salah satu wujud dari upaya mempertahankan posisi dominan negara sesuai dengan prinsip “penguasaan negara atas sumber daya alam” berdasarkan UUD-1945 adalah menjaga dan mempertahankan keutuhan pengelolaan sumber daya minyak dan gas bumi secara terintegrasi yang selama ini dilakukan oleh PT. Pertamina (Persero), serta mencegah terjadinya praktik pemecahan/pemisahan pengelolaan minyak dan gas bumi ( unbundling ) sehingga pengelolaan minyak dan gas bumi yang dilakukan oleh PT. Pertamina (Persero) tidak lagi secara terintegrasi dan membuka ruang bagi timbulnya kerugian dan/atau berkurangnya pendapatan negara yang diperoleh dari keuntungan PT. Pertamina (Persero). D.4 Pembentukan Subhold ing-Subholding yang Dilakukan oleh PT. Pertamina (Persero) Tidak Sejalan dengan Amanah UUD 1945 dan Hakikat Prinsip Penguasaan Negara yang terkandung di dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD-1945 Jimly Asshiddiqie menjelaskan terdapat 12 prinsip pokok negara hukum, yang salah satunya adalah negara hukum berfungsi sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan Kesejahteraan (Welfare Rechtsstaat ), sebagaimana dikemukakan sebagai berikut: “Hukum adalah sarana untuk mencapai tujuan yang diidealkan bersama. Cita- cita hukum itu sendiri, baik yang dilembagakan melalui gagasan negara demokrasi (democracy) maupun yang diwujudkan melalaui gagasan negara hukum (nomocrasy) dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan umum. Bahkan sebagaimana cita-cita nasional Indonesia yang dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945, tujuan bangsa Indonesia bernegara adalah dalam rangka melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social. Negara Hukum berfungsi sebagai sarana untuk mewujudkan dan mencapai keempat tujuan negara Indonesia tersebut. Dengan demikian, pembangunan negara Indonesia tidak akan terjebak menjadi sekedar „rule-driven‟, melainkan tetap „mission driven‟, tetapi „mission driven‟ yang tetap didasarkan atas aturan.” 58 (sumber: http: //www.jimly.com/pemikiran/view/11 ) Berkaitan dengan Negara Kesejahteraan, maka menurut Bagir Manan selain menjaga keamanan dan ketertiban juga sebagai pemikul utama tanggung jawab mewujudkan keadilan sosial, kesejahteraan umum dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sedangkan ciri Negara hukum kesejahteraan menurut Bachsan Mustafa adalah:
Corak Negara adalah Welfare State yaitu Negara yang mengutamakan kepentingan rakyat;
Negara ikut campur dalam semua lapangan kehidupan masyarakat;
Ekonomi liberal telah diganti dengan sistem ekonomi yang lebih dipimpin oleh pemerintah pusat tugas dari welfare state yaitu menyelenggarakan kepentingan umum;
Tugas Negara adalah menjaga keamanan dalam arti luas, yaitu keamanan di segala lapangan kehidupan masyarakat Jika kita melihat substansi yang terkandung di dalam Pembukaan UUD-1945 dan Batang Tubuhnya, maka tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia telah menegaskan dirinya sebagai Negara Hukum yang bertujuan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Untuk mewujudkan tujuan negara dalam memajukan kesejahteraan umum, maka menurut hukum internasional negara memiliki kedaulatan permanen terhadap sumber daya alamnya ( permanent sovereignty over natural resources ). Masyarakat Internasional mengakui bahwa setiap negara memiliki kedaulatan permanen terhadap sumberdaya alamnya. Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa- Bangsa Nomor 1803 (XVII) tanggal 14 Desember 1962, secara tegas memberikan kedaulatan permanen terhadap negara atas sumberdaya alamnya. Hal ini sesuai pula dengan apa yang diamanatkan di dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menegaskan bahwa “bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Oleh karena kedudukan “pengelolaan minyak dan gas bumi” sebagai wujud dari peran negara dalam pengusahaan atas sumber daya alam, maka hal tersebut 59 menjadi salah satu atribut kedaulatan negara ( permanent sovereignty over natural resources ), maka secara mutatis mutandis sesuai dengan hakikat dari suatu __ kedaulatan negara, pengelolaan minyak dan gas bumi tersebut menjadi bersifat tunggal, asli, dan tidak dapat dibagi-bagi . Sehingga pengelolaannya __ oleh PT. Pertamina (Persero) harus dilakukan secara terintegrasi mulai dari sector hulu hingga hilir agar hakikat kedaulatan negara terhadap sumber daya alamnya tetap terjaga dan negara dapat dengan mudah mengarahkan kebijakan BUMN kearah penguasaan negara atas sumber daya alam untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat sebagaimana yang diamanatkan oleh UUD 1945. Kebijakan Direksi yang telah melakukan pembentukan Subholding Hulu yaitu dengan memposisikan PT PHE menjadi Holding (Induk Perusahaan) dari PT. Pertamina EP (PEP), PT Pertamina EP Cepu (PEPC), PT Pertamina Hulu Indonesia (PHI) dan PT Pertamina Hulu Rokan (PHR), yang selama ini posisi PEP, PEPC, PHI dan PHR langsung dibawah Direktur Hulu Pertamina sehingga secara langsung berada dalam pengendalian langsung dari PT Pertamina (Persero), kini pembentukan Sub-Holding PT PHE telah memutus posisi dominan dan/atau pengendalian secara langsung PT Pertamina (Persero) sebagai BUMN terhadap PT Pertamina EP (PEP), PT Pertamina EP Cepu (PEPC), PT Pertamina Hulu Indonesia (PHI) dan PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) yang telah menjadi anak perusahaan dari PT PHE. Struktur Subholding PHE seperti ini membuka peluang terjadinya go public ( initial public offering-IPO ) atas anak-anak perusahaan tersebut. Praktik pembentukan Subholding ini jelas menjadi strategi untuk menghindarkan larangan privatisasi PT. Pertamina (Persero) sebagaimana yang ditentukan oleh Pasal 77 huruf c dan huruf d Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara. Demikian pula pembentukan Subholding Refinery & Petrochemical PT. Kilang Pertamina Internasional (KPI) dan Subholding Pemasaran PT Pertamina Patra Niaga (Patra Niaga), telah mendudukan PT KPI sebagai Subholding Kilang dan PT Patra Niaga sebagai Subholding pemasaran dan trading yang dulunya dijalankan oleh Direktorat Pengolahan dan Direktorat Megaproyek Pengolahan dan Petrokimia dari PT Pertamina (Persero). Hal ini berpotensi menimbulkan kerawanan dalam pengelolaan minyak dan gas bumi yang diamanahkan negara kepada PT. Pertamina (Persero) sebagai representasi negara dalam menjalankan fungsi negara sebagai “ enterpreneur ” untuk melaksanakan amanat Pasal 33 ayat (3) UUD-1945. 60 Pembentukan Patra Niaga sebagai Subholding Pemasaran ( Commercial & Trading ) yang menjalankan bisnis yang dulunya dijalankan oleh 3 Direktorat __ dalam struktur organisasi PT Pertamina (Persero) yaitu Direktorat Pemasaran Korporat, Direktorat Pemasaran Retail, Direktorat Logistik, Supply Chain dan Infrastruktur, yang sebelumnya berasal dari 1 Direktorat yang bernama Direktorat Pemasaran & Niaga secara praktis telah menghilangkan fungsi “penguasaan negara” atas pengelolaan sektor hilir minyak dan gas bumi yang selama ini berada dalam struktur PT. Pertamina (Persero) sebagai BUMN sehingga negara masih dapat melakukan kontrol secara langsung terhadap kebijakan bisnis retail atas minyak dan gas bumi yang menguasai hajat hidup orang banyak. Potensi kerawanan dalam pengelolaan minyak dan gas bumi yang dapat menimbulkan kesulitan bagi negara ke depannya dapat dikemukakan contoh sebagai berikut: Subholding Refinery & Petrochemical (KPI) menjual Bahan Bakar Minyak (BBM) ke Subholding Commercial & Trading/Pemasaran yaitu PT Patra Niaga yang tentunya harus menjual BBM dengan harga pasar. Oleh karena PT KPI dikenakan pajak penjualan maka tidak mungkin PT KPI menjual produk dibawah harga keekonomian sehingga akan berpengaruh juga pada harga jual BBM yang dijual oleh PT Patra Niaga kepada masyarakat sebagai konsekuensi bisnis yang harus mengambil keuntungan. Kondisi tersebut membuka peluang bagi PT Patra Niaga untuk melakukan Impor BBM supaya dapat harga lebih murah, dari pada membeli ke PT KPI dengan harga mahal. Demikian pula jika harga crude oil produk Subholding Hulu (PT PHE) mahal maka PT KPI tidak akan membeli crude oil ke PT PHE atau anak perusahaannya, cukup impor saja crude yang lebih murah yang dapat mengakibatkan kilang milik PT KPI yang jadi asset terbesar PT Pertamina (Persero) selama ini menjadi nganggur dan tidak dapat berproduksi. Selain itu, PT KPI terbebani pembangunan proyek kilang yang luar biasa besarnya (cost center) sehingga berkonsekuensi pada kinerja keuangan PT KPI yang dapat dipastikan mengalami kesulitan sehingga keinginan untuk membangun kemitraan dan/atau kerja sama dalam pembangunan kilang akan mengalami hambatan. Sangat berbeda jikalau produksi dan pemasaran masih berada dalam satu body/entitas seperti dulu di Holding PT Pertamina (Persero) maka akan lebih mudah untuk mencari mitra kerja sama dalam proses pembangunan kilang. Dengan demikian pembentukan subholding Pertamina ini sangat jelas mempermainkan masa depan 61 PT Pertamina (Persero) sebagai BUMN yang berada dalam pengendalian langsung oleh negara. Sehubungan dengan substansi Pasal 77 huruf c dan huruf d Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara yang menegaskan hanya Perusahaan Persero saja yang tidak dapat privatisasi (dalam hal ini hanya PT. Pertamina (Persero) saja yang tidak dapat diprivatisasi), sedangkan pasal tersebut tidak mengatur larangan privatisasi terhadap anak perusahaan (subholding- subholding Pertamina yang berbentuk Perseroan Terbatas dan bukan BUMN Persero) maka jelaslah pembentukan Subholding-Subholding yang dilakukan oleh Direksi PT. Pertamina (Persero) dapat mengakibatkan hal-hal sebagai berikut:
Negara kehilangan status BUMN pada Subholding dan anak perusahaannya yang tidak berstatus sebagai Persero atau BUMN sehingga membuka peluang untuk melakukan initial public offering ( go public ) karena tidak dilarang berdasarkan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN.
Dengan status hukum bukan sebagai Persero (BUMN) karena sahamnya tidak lagi dimiliki oleh Negara, maka Subholding dan anak-anak perusahaan yang dibentuk tidak lagi berada dalam kekuasaan dan kontrol negara secara langsung, sehingga Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menjadi kehilangan kompetensinya untuk melakukan pemeriksaan terhadap Subholding dan anak- anak perusahaannya yang tidak berstatus sebagai BUMN.
Dengan tidak adanya saham negara pada Subholding dan anak-anak perusahaannya yang dibentuk maka pengelolaan minyak dan gas bumi sebagai cabang produksi yang penting bagi negara menjadi tidak sepenuhnya berada dalam kekuasaan negara (negara kehilangan control langsung). Hal ini tidak sesuai dengan amanat yang terkandung di dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, dan menjadikan kedaulatan energi nasional menjadi terancam.
Pembentukan Subholding dan anak-anak perusahaan menjadi ancaman terhadap kelangsungan bisnis dan eksistensi dari PT Pertamina (Persero) sebagai BUMN, karena Subholding dan Anak-Anak Perusahaan yang dibentuk sebenarnya merupakan praktik “Unbundling” terhadap PT Pertamina (Persero) sebagai BUMN yang secara konstitusional diamanahkan untuk menjalankan 62 fungsi “enterpreneur” dari negara dalam kapasitas sebagai negara hukum yang bertanaggungjawab untuk menciptakan kesejahteraan bagi rakyatnya.
Dengan adanya pembentukan Subholding dan anak-anak perusahaan maka berkonsekuensi pada kualitas hidup dan kesejahteraan bagi Pegawai atau karyawan PT Pertamina (Persero) sebagai BUMN beserta keluarganya akan tidak terjamin karena negara menjadi kehilangan kontrol langsung atas Subholding dan anak-anak perusahannya sebagai konsekuensi negara tidak lagi sebagai pemegang saham pada Subholding dan anak-anak perusahaannya.
Sumber daya minyak dan gas bumi sebagai sumber daya alam yang strategis dan menguasai hajat hidup orang banyak yang seharusnya dikuasai Negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat berpotensi tidak terwujud, karena dengan pembentukan Subholding beserta anak-anak perusahaan dari Subholding Pertamina maka minyak dan gas bumi menjadi dikelola oleh Subholding dan anak-anak perusahaan yang tidak berstatus sebagai Persero (BUMN). Hal ini telah meniadakan penguasaan oleh negara c.q. Pemerintah sebagai penentu utama kebijakan usaha dalam cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak. 7. Bahwa penerapan Pasal 77 huruf c dan huruf d Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara berpotensi meniadakan penguasaan oleh negara c.q. Pemerintah sebagai penentu utama kebijakan usaha dalam cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak, __ serta berpotensi menimbulkan kerugian __ yang nyata bagi rakyat dan Negara apabila frasa “ Persero” tidak diartikan sebagai keseluruhan entity perusahaan yaitu “Persero beserta Anak Perusahaan Persero” sehingga dapat menyebabkan Bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya __ bukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat __ yang tentunya sangat bertentangan dengan amanat Konstitusi dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. E . PENUTUP Demikian pokok-pokok pikiran ini dibuat untuk memenuhi permintaan kuasa hukum pemohon uji materi Pasal 77 hurut c dan huruf d Undang-Undang 63 Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara terhadap Undang- Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Semoga pokok-pokok pikiran ini dapat menjadi bahan bagi Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dalam memutus perkara yang diajukan kepadanya. Semoha Tuhan Yang Maha Esa memberikan keberkahan dan hidayah-Nya kepada kita semua untuk menegakkan amanah UUD 1945 dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dr. Kurtubi, S.E., M.Sp., M.Sc. Acuan konstitusi dari tata kelola migas berdasarkan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Dari sisi hulu bahwa bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipakai untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Artinya cadangan minyak dan gas yang ada di perut bumi harus dikuasai negara dan dipakai untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sedangkan dari sisi hilir, cabang produksi penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai negara. Ahli berpendapat sektor migas ini sangat penting, sehingga diatur oleh Konstitusi dari hulu sampai hilir, karena kekayaan alam lainnya tidak ada yang diatur dari hulu sampai hilir. Karena itu struktur pengelolaannya harus dalam struktur teori ekonomi mikro sebagai bentuk monopoli alamiah. Monopoli alamiah jauh lebih efisien daripada bentuk struktur persaingan pasar. Hal ini karena yang hendak dipenuhi adalah adalah kebutuhan bahan bakar minyak seluruh rakyat Indonesia, sehingga skalanya sangat besar. Berbeda dengan air yang bersifat renewable , tapi minyak nonrenewable , sehingga harus dikuasai negara dari hulu ke hilir. Selain itu juga harus ada pengaturan mengenai cadangan minyak di perut bumi yang dimiliki oleh negara. Sektor hulu artinya mencari dan menghasilkan minyak mendah, mengeksplorasi, dan eksploitasi. Lalu minyak mentah dialirkan ke kilang minyak, untuk diubah menyadi BBM, untuk selanjutnya dialirkan dan diangkut sampai ke SPBU, sampai ke konsumen akhir. Oleh karena itu makna Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) ini harus terintegrasi, menyatu di bawah satu perusahaan dari hulu sampai hilir, sehingga memperkecil biaya. Jika penguasaan minyak dalam satu perusahaan dari hulu ke hilir maka akan mudah untuk melakukan proses dari hulu ke hilir. Sedangkan jika perusahaan minya unbundling , berbeda perusahaan, dari hulu sampai ke hilir maka dari hulu ke hilir 64 harus ada trust action cost , atau biaya antar segmen, berapa harga minyak mentah dan sebagainya. Dengan perusahaan minyak yang terintegrasi maka tidak ada biaya segmen hulu dan hilir, sehingga perusahaan negara yang mengelola migas statusnya menjadi natural monopoly . Di mana natural monopoly sangat efisien sehingga memaksimumkan pengelolaan migas sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dalam rangka menglola migas bermanfaat bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat, negara harus membentuk perusahaan negara, sehingga penguasaan migas ada di tangan pemerintah. Pertamina yang terintegrasi secara vertical dan economies of skill sangat besar, apapun statusnya holding, subholdinng, atau cucu perusahaan, tetapi mengelola hulu-hilir sesuai amanah konstitusi sehingga menjadi natural monopoly . Konsep monopoli demikian bukan berarti perusahaan asing dan nasional tidak boleh masuk berinvestasi dan berkontrak dengan pertamina. Namun Pertamina mewakili negara memegang kuasa pertambangan. Dengan konsep ini seluruh Indonesia yang berhak menambang migas hanya negara. Investor bisa datang membawa dana untuk mencari minyak tapi dia berkontrak dengan perusahan negara yaitu Pertamina. Diakui di dunia bahwa Indonesia sebagai negara paling efisien dalam menarik investasi migas dan ditiru oleh banyak negara. Namun sejak UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas disahkan atas desakan IMF, sistem yang telah ada menjadi rusak. Kuasa pertambangan dari Pertamina dipindahkan ke pemerintah/ESDM. Lalu pemerintah yang berkontrak dengan investor. Pemerintah menjadi sejajar menempatkan diri dengan perusahaan asing dan swasta nasional. Punya hak dankewajiban yang sama dalam kontrak. Izin untuk implementasi dan contradicted sharing contract oleh para kontraktor izinnya diurus sendiri-sendiri. Akibatnya setelah UU Migas disahkan, investasi eksplorasi anjlok, tidak ada penimbun cadangan baru. Produksi hanya mengandalkan lapangan tua dari gudang ke gudang. UU Migas selama 20 tahun telah menyebabkan industry migas nasional menjadi terpuruk. Pertamina tidak lagi dihargai di dunia migas internasional. Sebelum UU Migas disahkan Pertamina yang memegang kuasa pertambangan tidak membutuhkan uang satu sen pun dari APBN, pembiayaan untuk membangun LNG Plant di Arun dan LNG Plant di Bontang dibiayai oleh bank karena memang pertamina dipercaya. 65 Pertamina meskipun dalam bentuk PT (Persero) tetap diberikan tugas oleh pemerintah untuk memenuhi kebutuhan BBM nasional. Namun menurut ahli alasan privatisasi agar Pertamina bisa mendapat sumber pendanaan adalah alasan yang tidak tepat karena Pertamina bisa membuat sumber pendanaan dengan dana mulus dari bank-bank internasional jika pertamina memegang kuasa pertambangan. Privatisasi anak perusahaan Pertamina adalah salah Langkah, karena walaupun statusnya subholding namun tetap dia mencari dan memproduksi minyak mentah kekayaan perut bumi yang seharusnya dikuasai negara untuk memenuhi kebutuhan BBM. Jika ada kepemilikan saham oleh siapa pun dalam bentuk anak perusahaan tetapi substansinya adalah mengusahakan hulu sampai hilir migas maka berpotensi mengurangi penerimaan negara yang berasal dari keuntungan perusahaan minyak sehingga menyebabkan tidak tercapainya sebesar-besar kemakmuran rakyat. Jadi natural monopoly akan dirusak jika Pertamina substansi pekerjaan usahanya diprivatisasi baik hulu, tengah maupun hilir. Hal ini menyebabkan tidak terpenuhinya Pertamina sebagai natural monopoly . Karena itu status monopoli alamiah Pertamina dalam mengelola kekayaan hulu sampai ke cabang produksi penting BBM tidak boleh dijual tidak boleh diprivatisasi. Ahli menghimbau pemerintah untuk tidak menjual asset negara dalam bentuk saham-saham yang perusasahaan yang mengelola kekayaan migas dari hulu sampai hilir. Larangan terhadap privatisasi untuk perusahaan yang mengurus migas nasional, larangan dua-duanya, baik dalam status sebagai PT Persero ataupun sebagai anak perusahaan atau sebagau induk persudahaan. Ahli melihat pemerintah memiliki strategi untuk meloloskan privatisasinya dengan mengubah PT Persero yang ada itu, dengan anak perusahaan, jadi holding menjadi subholding. Menurut ahli hal ini tidak benar karena pada akhirnya akan memprivatisasi kegiatan dari hulu sampai ke hilir industry migas nasional yang menurut Konstitusi seharusnya dikuasai oleh negara. Menurut Ahli jika Pertamina diprivatisasi siapa yang akan memenuhi keutuhan BBM masyarakat dari Sabang sampai Merauke. Jika Pertamina diprivatisasi maka stakeholder pemilik perusahaan akan keberatan jika ada kerugian yang terjadi seperti BBM satu harga seperti yang saat ini diterapkan. Monopoli alami yang terjadi sebelum UU migas di sektor hulu adalah dengan tetap mengundang investor, namun tetap melalui Pertamina sebagai pemegang 66 kuasa pertambangan. Sedangkan di sisi hilir pemerintah mengeluarkan kebijakan harga meskipun siapapun bisa membuka SPBU. Harga BBM adalah kewenangan pemerintah bukan Pertamina. Jika ada perbaikan UU, Ahli menyarankan agar dihidupkan lagi kuasa pertambangan, karena sistem perijinan tidak perlu berbelit-belit. Kembalikan kuasa pertambangan ke tangan Pertamina, BP Migas yang sekarang menjadi SKK Migas. Ahli setuju dilakukan IPO sepanjang niatnya baik, jadi perusahaan tidak dijual tapi IPO, tetap ada kewajiban-kewajiban perusahaan IPO yang harus dilakukan, mengeluarkan laporan keuangan sesuai dengan ketentuan pasar modal. Hal ini justru bisa menghindari Pertamina dari ajang korupsi.
Gunawan Pertamina (Persero) adalah perwujudan dari pengertian pengelolaan secara langsung dari penguasaan negara dalam cabang produksi minyak dan gas sebagaimana pendapat Mahkamah Konstitusi. Disebutkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor 36/PUU-X/2012 bahwa: Di dalam pengertian penguasaan itu tercakup pula pengertian kepemilikan perdata sebagai instrumen untuk mempertahankan tingkat penguasaan oleh Negara, c.q. Pemerintah, dalam pengelolaan cabang-cabang produksi minyak dan gas bumi. Dengan demikian, konsepsi kepemilikan privat oleh negara atas saham dalam badan-badan usaha yang menyangkut cabang- cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak tidak dapat didikotomikan atau dialternatifkan dengan konsepsi pengaturan oleh negara. Keduanya bersifat kumulatif dan tercakup dalam pengertian penguasaan oleh negara. Oleh sebab itu, negara tidak berwenang mengatur atau menentukan aturan yang melarang dirinya sendiri untuk memiliki saham dalam suatu badan usaha yang menyangkut cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak sebagai instrumen atau cara negara mempertahankan penguasaan atas sumber-sumber kekayaan dimaksud untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Menimbang bahwa dalam rangka mencapai tujuan sebesar-besar kemakmuran rakyat, kelima peranan negara/pemerintah dalam pengertian penguasaan negara, jika tidak dimaknai sebagai satu kesatuan tindakan, harus dimaknai secara bertingkat berdasarkan efektifitasnya untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Menurut Mahkamah, bentuk penguasaan negara peringkat pertama dan yang paling penting adalah negara melakukan pengelolaan secara langsung atas sumber daya alam, sehingga negara mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari pengelolaan sumber daya alam. Penguasaan negara pada peringkat kedua adalah negara membuat kebijakan dan pengurusan, dan fungsi negara dalam peringkat ketiga adalah fungsi pengaturan dan pengawasan. 67 Sepanjang negara memiliki kemampuan baik modal, teknologi, dan manajemen dalam mengelola sumber daya alam maka negara harus memilih untuk melakukan pengelolaan secara langsung atas sumber daya alam. Dengan pengelolaan secara langsung, dipastikan seluruh hasil dan keuntungan yang diperoleh akan masuk menjadi keuntungan negara yang secara tidak langsung akan membawa manfaat lebih besar bagi rakyat. Pengelolaan langsung yang dimaksud di sini, baik dalam bentuk pengelolaan langsung oleh negara (organ negara) melalui Badan Usaha Milik Negara. Pada sisi lain, jika negara menyerahkan pengelolaan sumber daya alam untuk dikelola oleh perusahaan swasta atau badan hukum lain di luar negara, keuntungan bagi negara akan terbagi sehingga manfaat bagi rakyat juga akan berkurang. Dari pengertian pengelolaan secara langsung sebagaimana pendapat Mahkamah Konstitusi tersebut di atas, yang perlu digarisbawahi yaitu: Pertama , tercakup pula pengertian kepemilikan perdata sebagai __ instrumen untuk mempertahankan tingkat penguasaan oleh Negara, c.q. Pemerintah, dalam pengelolaan cabang-cabang produksi minyak dan gas bumi. Kedua . Kepemilikan saham dalam suatu badan usaha yang menyangkut __ cabang- cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak sebagai instrumen atau cara negara mempertahankan penguasaan atas sumber-sumber kekayaan dimaksud untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Ketiga . bentuk penguasaan negara peringkat pertama dan yang paling __ penting adalah negara melakukan pengelolaan secara langsung atas sumber daya alam, sehingga negara mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari pengelolaan sumber daya alam. Keempat . Dengan pengelolaan secara langsung, dipastikan seluruh hasil __ dan keuntungan yang diperoleh akan masuk menjadi keuntungan negara yang secara tidak langsung akan membawa manfaat lebih besar bagi rakyat. Pada sisi lain, jika negara menyerahkan pengelolaan sumber daya alam untuk dikelola oleh perusahaan swasta atau badan hukum lain di luar negara, keuntungan bagi negara akan terbagi sehingga manfaat bagi rakyat juga akan berkurang. PT Pertamina (Persero) adalah bentuk dari pengelolaan langsung oleh negara (organ negara) melalui Badan Usaha Milik Negara sebagaimana pendapat Mahkamah Konstitusi sebagaimana tersebut di atas dalam pengelolaan cabang produksi minyak dan gas bumi PT Pertamina (Persero) dalam kenyataan sejarah dan berdasarkan ketentuan perundang-undangan di Indonesia, bergerak dalam 68 usaha minyak dan gas bumi sejak eksplorasi, dan eksploitasi, pengolahan, penyimpanan, pengangkutan, hingga penjualan atau niaga. Pertamina dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1968 tentang Pendirian Perusahaan Negara Pertambangan Minjak dan Gas Bumi Nasional (P.N. Pertamina). Pertamina merupakan peleburan dari Perusahaan Negara Pertambangan Minyak Indonesia dan Perusahaan Negara Pertambangan Minyak Nasional. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971 kemudian memberikan landasan kerja baru guna meningkatkan kemampuan dan menjamin usaha-usaha lebih lanjut bagi Pertamina. Berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, Pertamina menjadi Perseroan. Berdasarkan Pasal 72 (1) UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (selanjutnya disebut UU BUMN), restrukturisasi perusahaan BUMN dilakukan dengan maksud untuk menyehatkan BUMN agar dapat beroperasi secara efisien, transparan, dan profesional. Adapun salah satu tujuan restrukturisasi sebagaimana diatur dalam Pasal 72 (2) d UU BUMN adalah memudahkan pelaksanaan privatisasi. Pasal 77 UU BUMN telah memberikan batasan BUMN yang tidak dapat diprivatisasi. Persero yang tidak dapat diprivatisasi adalah:
Persero yang bidang usahanya berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan hanya boleh dikelola oleh BUMN;
Persero yang bergerak di sektor usaha yang berkaitan dengan pertahanan dan keamanan negara;
Persero yang bergerak di sektor tertentu yang oleh pemerintah diberikan tugas khusus untuk melaksanakan kegiatan tertentu yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat;
Persero yang bergerak di bidang usaha sumber daya alam yang secara tegas berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dilarang untuk diprivatisasi Pertamina (Persero) adalah BUMN yang memenuhi kriteria tidak dapat diprivatisasi sebagaimana diatur dalam Pasal 77 UU BUMN. Pertama , Pertamina (Persero), bergerak di sektor usaha minyak dan gas bumi __ yang memiliki kaitan dengan pertahanan dan keamanan negara; 69 Kedua , Pertamina (Persero) bergerak di sektor tertentu yaitu minyak dan gas __ bumi, yang oleh pemerintah diberikan tugas khusus untuk melaksanakan kegiatan pertambangan, pengolahan, pengangkutan, penyimpanan dan penjualan yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat yaitu jaminan dari pemerintah dalam hal ketersediaan dan jaminan harga minyak dan gas bumi yang tidak berdasarkan mekanisme pasar; Ketiga , Pertamina (Persero) bergerak di bidang usaha sumber daya alam __ minyak dan gas bumi yang secara tegas berdasarkan UU Migas harus di bawah Penguasaan Negara melalui pengelolaan secara langsung. Pertamina (Persero) bergerak dari hulu dan hilir usaha minyak dan gas bumi secara terintegrasi. Oleh karenanya pembatasan privatisasi tidak hanya di BUMN Persero, tapi juga di anak perusahaan persero yang bergerak di hulu dan hilir usaha minyak dan gas bumi. Sebagai BUMN, Pertamina (Persero), bergerak secara terintegrasi dari hulu ke hilir usaha minyak dan gas bumi, hal tersebut mempersyaratkan bahwa pembentukan holding dan sub holding Pertamina (Persero) tidak boleh menjadikan usaha minyak dan gas bumi yang dilakukan Pertamina (Persero) menjadi sistem usaha minyak dan gas bumi yang terpisah sehingga potensial menghambat tujuan dari penguasaan negara atas minyak dan gas bumi. Oleh karenanya pembatasan privatisasi tidak hanya di BUMN Persero, tapi juga di anak perusahaan persero. Mahkamah Konstitusi dalam putusan Undang-Undang Ketenagalistrikan (Putusan Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 dalam pengujian UU No. 20 Tahun 2002 dan Putusan Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 dalam pengujian UU No. 30 Tahun 2009) menolak sistem unbundling dalam usaha ketenagalistrikan dan kaitannya dengan Perusahaan Listrik Negara (Pesero) sebagai BUMN. Dalam kasus usaha minyak dan gas bumi, serta kaitannya dengan Pertamina (Persero), bahwa upaya restrukturisasi Pertamina (Persero) melalui pembentukan holding dan subholding haruslah dicegah menjadi praktik unbundling dalam usaha minyak dan gas bumi. Pertamina lahir sebagai perusahaan negara dari peleburan perusahan-perusahan minyak nasional, sehingga menjadi ironi sejarah bila restrukturisasi Pertamina (Persero) justru malah melemahkan peran negara dan memecah Pertamina. 70 4. Dr. Marwan Batubara Pada prinsipnya kami mendukung upaya FSPPB melakukan JR terhadap Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN No.19/2003 kepada MK. JR terhadap ketentuan UU tersebut perlu dan mendesak dilakukan terutama karena Pasal 77 huruf c dan UU BUMN No.19/2003 tidak cukup komprehensif menjelaskan bahwa anak-anak dan cucu perusahaan Pertamina termasuk dalam kategori badan usaha dalam lingkup sebuah BUMN yang dilarang diprivatisasi sesuai konstitusi. Di sisi lain, rencana privatsiasi anak-anak usaha Pertamina telah dinyatakan secara terbuka, baik oleh Menteri BUMN Erick Thohir maupun Dirut Pertamina Nicke Widyawati (12/6/2020). Rencana tesebut akan dijalankan oleh pemerintah dengan sangat confident, terutama karena yakin dapat memanfaatkan celah hukum yang “tersedia” dalam ketentuan Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN No.19/2003. Keyakinan bahkan semakin bertambah dengan menjadikan privatisasi PGN dan Elnusa sebagai rujukan. Padahal menurut hemat kami baik induk, anak maupun cucu perusahaan sebuah BUMN yang menjalankan fungsi penguasaan negara dan menyangkut hajat hidup orang banyak sesuai Pasal 33 UUD 1945, merupakan satu kesatuan usaha yang tidak boleh diprivatisasi. Karena itu, upaya optimal perlu dilakukan agar ketentuan Pasal 77 huruf c dan d tersebut dapat diperjelas dan dirubah sedemikian rupa oleh MK, sehingga tidak menjadi multi tafsir dan diselewengkan oleh penyelenggara negara yang sangat bernafsu melakukan privatisasi anak-anak usaha Pertamina. MK perlu segera membuat keputusan agar rencana IPO oleh pemerintah yang melanggar konstitusi dan merugikan rakyat tersebut dapat segera dicegah dan dihentikan. Hal-hal yang menjadi argumentasi kita sebagai anak bangsa untuk menghambat rencana privatisasi tersebut akan diuraikan lebih lanjut dalam tulisan berikut.
Ketentuan Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN No.19/2003 Dikaitkan dengan PT Pertamina Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN No.19/2003 berbunyi sebagai berikut: _Persero yang tidak dapat diprivatisasi adalah: _ 71 (c). Persero yang bergerak di sektor tertentu yang oleh pemerintah diberikan tugas khusus untuk melaksanakan kegiatan tertentu yang berkaitan dengan _kepentingan masyarakat; _ (d). Persero yang bergerak di bidang usaha sumber daya alam yang secara tegas berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dilarang untuk diprivatisasi . Menurut Pasal 33 UUD 1945 Pertamina merupakan BUMN yang mendapat mandat dari negara untuk menjalankan fungsi pengelolaan sumber daya alam (SDA), termasuk minyak, gas dan panas bumi, guna memperoleh manfaat bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dua aspek penting dalam ayat (2) dan ayat (3) Pasal 33 UUD 1945 adalah:
penguasaan negara, dan dengan penguasaan negara tersebut akan dicapai:
sebesar-besar kemakmuran rakyat. Sejak berdirinya Pertamina pada Agustus 1968 dan diperkuat pula dengan dibentuknya UU No. 8/1971, bangsa dan pemerintah Indonesia sudah mengenal fungsi dan peran Pertamina sebagai badan usaha milik negara (BUMN) yang mengelola bisnis sektor hilir minyak dan gas (migas) guna melayani kebutuhan publik atau masyarakat. Pada saat yang sama, Pertamina menjalankan pula fungsi dan peran sisi hulu migas guna mengeksploitasi SDA migas milik negara, agar bermanfaat bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Sesuai fungsi dan peran sebagai pengelola usaha hilir migas, maka tak dapat disangkal Pertamina merupakan organ negara berupa BUMN yang bertugas melaksanakan kegiatan tertentu yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat. Oleh sebab itu, sesuai Pasal 77 huruf c di atas, sangat jelas ditetapkan bahwa Pertamina tidak dapat diprivatisasi karena fungsinya menjalankan kegiatan usaha yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat, yakni kepentingan untuk memenuhi kebutuhan minyak/BBM dan gas. Pada sisi hulu, Pertamina berperan pula mengelola bisnis berupa kegiatan eksploitasi SDA migas negara. Tujuannya adalah agar dengan pengelolaan tersebut diperoleh manfaat bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Pasal 77 huruf (d) UU BUMN No.19/2003 dengan gamblang menyatakan BUMN-lah yang menjalankan kegiatan usaha di bidang SDA tersebut dan dilarang untuk diprivatisasi. Ada dua aspek konstitusional yang sangat penting dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN No.19/2003 yang mendesak diklarifikasi, yaitu kegiatan berkaitan 72 dengan a) kepentingan masyarakat dan b) kegiatan usaha SDA. Kedua aspek usaha tersebut memperoleh jaminan dan perlindungan khusus dalam konstitusi untuk dijalankan secara khusus pula tanpa boleh diprivatisasi. Artinya, sepanjang menyangkut kegiatan kepentingan masyarakat dan kegiatan pengelolaan SDA, maka hanya BUMN yang 100% sahamnya dimiliki negara-lah yang berhak melakukannya. Sepanjang objek dalam kedua kegiatan usaha di atas masih utuh berada dalam satu kesatuan usaha Pertamina sebagai induk, maka kami meyakini Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN No.19/2003 tidak bermasalah secara konstitusional. Namun jika sebagian dari objek kegiatan tersebut dipisahkan dari Pertamina untuk dijalankan oleh subjek badan usaha lain, maka Pasal 77 huruf c dan d harus dilengkapi dengan penjelasan atau dirubah sedemikian rupa agar tidak terjadi multi tafsir yang berujung pada pelanggaran terhadap konstitusi. Orientasi dan objek penting yang mendapat jaminan konstitusi untuk dikelola 100% oleh BUMN (artinya tidak boleh diprivatisasi) sebagai subjek adalah kegiatan kepentingan masyarakat dan kegiatan eksploitasi SDA. Subjek pengelola dan kedua objek kegiatan tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak boleh dipisahkan. Sepanjang menyangkut dua kegiatan kepentingan masyarakat dan eksploitasi SDA, maka pengelolanya hanyalah BUMN yang 100% sahamnya dimiliki nagara. Jika salah satu dari objek kegiatan tersebut melibatkan subjek yang bukan BUMN, maka dapat dinyatakan telah terjadi pelanggaran terhadap konstitusi, Pasal 33 UUD 1945. Sejalan dengan hal-hal yang diuraikan di atas, demi optimasi dan efektivitas manajemen pengelolaan bisnis, Pertamina bisa saja melakukan perubahan organisasi, termasuk membentuk sejumlah sub-holding atau anak-anak usaha. Selama ini pun Pertamina telah memiliki puluhan anak-anak dan cucu-cucu usaha. Namun, perubahan dan pembentukan sub-holding tersebut harusnya bukan direkayasa dan dimaksudkan untuk memuluskan jalan bagi terlaksananya rencana privatisasi. Apalagi jika hal tersebut dijalankan karena adanya motif perburuan rente dan dominasi oligarki pengusas-pengusaha. Karena itu, dapat dirangkum 2 hal penting. Pertama berdasarkan ketentuan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BMUN No. 19/2003 yang berlaku saat ini, karena subjek pelaku dan objek kegiatan dijamin oleh konstitusi sebagai satu kesatuan yang utuh, maka privatisasi anak atau cucu usaha tidak boleh dilakukan, karena 73 melanggar konstitusi. Kedua, guna mencegah moral hazard dan terjadinya privatisasi melalui IPO anak atau cucu usaha, maka MK dituntut untuk segera merubah atau memberi penjelasan tambahan atas Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN No. 19/2003, guna melidungi dan mengamankan kepentingan rakyat memperoleh manfaat tersbesar dari kegiatan usaha yang dikelola oleh Pertamina.
Pembentukan Holding dan Subholding untuk Privatisasi Seperti diuraikan di atas, guna mencapai efisiensi, optimasi dan efektivitas sebagai induk Holding BUMN Migas, Pertamina dapat saja melakukan perubahan organisasi dan aksi-aksi korporasi, termasuk melakukan konsolidasi bisnis, divestasi, sinergi, strategic partnership , dan lain-lain. Dalam hal ini, langkah pembentukan sub-holding dan privatisasi dapat saja perlu dilakukan. Namun, sepanjang menyangkut core business yang merupakan bagian utama dari rantai bisnis Pertamina, aksi-aksi korporasi tersebut tetap dan harus berpegang kepada konstitusi. Pembentukan berbagai sub-holding dapat didukung guna mencapai target-target manajemen korporasi, tapi tidak untuk memenuhi kepentingan segelintir orang atau kelompok yang ingin mendapat keuntungan bisnis dari rantai bisnis Pertamina melalui proses privatisasi atau IPO. Jika tujuan pembentukan sub-holding dilakukan untuk melapangkan jalan bagi terjadinya privatisasi anak-anak usaha Pertamina, terutama pada sektor kegiatan yang menyangkut kepentingan publik dan pengelolaan SDA, maka kami menyatakan penolakan. Alasan terpenting penolakan karena migas adalah sektor strategis menyangkut hidup rayat yang harus dikuasai negara melalui pengelolaan oleh BUMN seperti diuraikan pada Bagian 1 di atas. Hal ini bukan saja telah menjadi tekad dan amanat pendiri bangsa, terutama Bung Karno dan Bung Hatta, tetapi juga telah diperkuat oleh Putusan Mahkamah Konstitusi No. 36/2012 dan No. 85/2013. Alasan lain adalah bahwa para investor asing dan pengusaha liberal-kapitalis sangat berminat memperoleh manfaat besar dari sejumlah mata rantai bisnis sektor migas yang menguntungkan. Untuk itu, bekerjasama dengan oknum-oknum penguasa oligarkis, mereka biasanya menyiapkan kebijakan, aturan dan upaya sedemikian rupa, sehingga sebagian saham dari mata rantai bisnis yang menguntungkan tersebut dapat dikuasai. Caranya adalah melalui skema IPO seperti telah dicanangkan oleh Menteri BUMN Erick Thohir untuk dapat terwujud dalam 2 tahun ke depan. 74 Kesimpulannya, sepanjang dilakukan untuk perbaikan pengeloaan dan peningkatan kinerja bisnis korporasi, kami dapat menerima pembentukan sub- holding oleh Pertamina. Namun, jika pembentukan sub-holding tersebut terutama dimaksudkan untuk membuka jalan bagi terwujudnya privatisasi anak-anak usaha yang eksistensinya diatur dan dijamin oleh Pasal 33 UUD 1945, maka kami dengan tegas menyatakan penolakan.
Perlindungan hukum terhadap Pertamina dalam Mengelola SDA Sesuai Pasal 33 UDD 1945 Pengaruh dan intervensi penguasa dan pihak asing sangat menentukan dalam pengelolaan sektor migas dan energi di Indonesia. Hal ini salah satunya dapat ditelusuri dari pembentukan perundang-undangan sektor tersebut sejak Indonesia merdeka hingga sekarang. Pengaruh tersebut tentu saja dirasakan dampaknya oleh Pertamina. Padahal agar Pertamina dapat mengelola sektor migas sesuai konstitusi, maka UU Migas baru harus segera ditetapkan. Salah satu peraturan yang dapat dianggap konsisten dengan Pasal 33 UUD 1945 adalah UU No. 8/1971 tentang Pertambangan Migas Negara. Namun karena adanya penyelewengan oleh oknum-oknum penyelenggara negara pada era orde baru, UU yang sudah baik tersebut tidak berjalan optimal. Di sisi lain, karena kuatnya kepentingan asing untuk dapat mengambil manfaat dari sektor migas nasional, UU No. 8/1971 merupakan salah satu dari sejumlah UU yang harus direvisi sebagai syarat dikucurkannya pinjaman IMF dan BD kepada pemerintah Indonesia menghadapi krisis moneter 1997-1998. Maka lahirlah UU Migas No. 22/2001 yang berisi ketentuan liberal dan pro swasta/asing dan tidak sejalan dengan Pasal 33 UUD 1945. Setelah Indonesia bebas dari kewajiban utang kepada IMF dan BD, terbuka kesempatan untuk melakukan revisi terhadap UU Migas No. 22/2001. Revisi ini menjadi semakin mendesak setelah ditetapkannya Putusan MK No. 36/2012 atas Judicial Review UU Migas No. 22/2001 pada awal 2012. Di sisi lain, sebelumnya sebagai salah satu rekomendasi Pansus BBM DPR RI (periode 2004-2009) adalah UU Migas pun harus direvisi. Karena itu, DPR pun telah menyiapkan draft RUU Migas pada tahun 2009. Ternyata setelah lebih dari 10 tahun, UU Migas baru pengganti UU No. 22/2001 tak kunjung ditetapkan. DPR sebagai initiator RUU Migas dan juga pemerintah, tidak 75 merasa penting untuk segera menyelesaikan RUU tersebut. Penyelenggara negara merasa telah cukup nyaman untuk tetap menggunakan UU Migas yang merupakan produk pro swasta/asing dan pro oligarki tersebut. Penyelenggara negara pun tidak merasa penting untuk melindungi Pertamina sebagai pengemban tugas konstitusional pengelolaan migas nasional melalui pembentukan UU Migas baru tersebut. Artinya, sebagai salah satu landasan hukum yang akan melindungi Pertamina menjalankan pengelolaan migas sesuai Pasal 33 UUD 1945 tampaknya justru terkendala oleh sikap DPR dan pemerintah yang lebih memilih kondisi status quo . Dengan demikian, agenda-agenda oligarkis yang bernuansa moral hazard dapat berjalan seperti biasa tanpa hambatan. Cara atau mekanisme lain yang dapat dilakukan untuk melindungi Pertamina mengemban tugas konstitusionalnya adalah dengan melakukan perbaikan dan meningkatkan penerapan prinsip good corporate governance (GCG). Seperti disampaikan oleh Erick Thohir pada 12 Juni 2020, IPO diperlukan untuk meraih governance yang lebih baik. Kata Erick, Pertamina perlu IPO-kan 1-2 sub-holding sebagai bagian dari transparansi dan kejelasan akuntabilitas. Namun kami yakin IPO bukan satu-satunya jalan untuk meraih GCG. Banyak cara meningkatkan GCG di Pertamina tanpa harus IPO. Salah satu yang terpenting adalah menjadikan Pertamina sebagai non-listed public company (NLPC). NPLC adalah pola dimana Pertamina menjadi perusahan terdaftar di bursa (BEI), namun tidak ada (1% pun) saham yang dijual. Dengan terdaftar di BEI, Pertamina menjadi perusahaan terbuka yang diawasi publik, namun pemilikan negara di Pertamina tetap 100%. Sehingga, BUMN dapat dikelola sesuai konstitusi, saham 100% milik negara, dan tanpa prospek negara menjadi minoritas seperti halnya terjadi pada privatisasi PT Indosat. Salah satu aspek penting dalam GCG adalah bagaimana mengendalikan dan mencegah intervensi pejabat pemerintah terhadap BUMN sebagaimana terjadi selama ini. Faktanya, selama ini Pertamina telah menjadi korban kebijakan pemerintah yang merugikan keuangan korporasi, misalnya terkait harga untuk kebijakan harga crude domestic , penerapan signature bonus Blok Rokan, kebijakan harga BBM, kebijakan subsids LPG 3kg, dan lain-lain. Terkait crude domestik, signature bonus dan lapangan migas luar negeri, Pertamina harus mengeluarkan dana bernilai triliun Rp, sebagai beban biaya operasi 76 “tambahan”. Sedangkan terkait harga BBM, sejak April 2017 hingga Desember 2019, Pertamina harus menanggung beban public service obligation (PSO) lebih dahulu sekitar Rp 95 triliun yang hingga Mei 2020 belum dilunasi. Akibat beban PSO, kondisi keuangan dan cash flow perusahaan terganggu, sehingga Pertamina harus menerbitkan obligasi. Akibat kebijakan pemerintah yang melanggar UU dan prinsip GCG di atas, minimal Pertamina harus menanggung beban:
biaya “tambahan” puluhan triliun Rp dan, (2) beban bunga obligasi akibat tugas PSO yang nilainya juga puluhan triliun Rp. Beban kerugian tersebut bisa bertambah jika credit rating Pertamina turun akibat pemerintah melanggar GCG. Bahkan Pertamina bisa mengalami gagal bayar atau default atas utang jatuh tempo tahun 2020 ini, jika pemerintah tidak segera melunasi piutang Pertamina tersebut. Artinya, yang lebih mendesak dilakukan adalah penegakan GCG oleh pajabat pemerintah dibanding IPO untuk perbaikan GCG. Terbukti, karena pejabat pemerintah bermasalah, meskipun telah menjadi perusahaan terbuka (telah IPO), GCG tetap dilanggar seperti pada kasus Laporan Keuangan Garuda 2018-2019, kasus Krakatau Steel atau kasus Jiwasraya. Seperti diungkap manajemen Pertamina pada RDPU dengan Komisi VII DPR (29/6/2020), Pertamina perlu melakukan IPO karena membutuhkan dana yang sangat besar. Namun di sisi lain, uraian di atas menunjukkan bahwa keuangan Pertamina bermasalah akibat kebijakan intervensi dan kesewenang-wenangan pemerintah. Artinya, jika akhirnya IPO terlaksana, maka salah sebab tergadainya sebagian saham milik negara di Pertamina adalah sikap pemerintah yang menjadikan Pertamina sebagai sapi perah, serta sekaligus melanggar UU yang berlaku dan prinsip-prinsip GCG. Jika kita kembali merujuk pernyataan Erick Thohir, maka IPO bukanlah cara yang tepat untuk meraih transparansi dan akuntabilitas. Bahkan melakukan IPO saja seperti diuraikan pada Bagian 1 dan Bagian 2 di atas, sudah merupakan pelanggaran konstitusi. Tetapi yang paling relevan dan mendesak untuk perbaikan GCG adalah menertibkan dan mengendalikan pejabat tertinggi di istana negara dan sejumlah menteri di beberapa kementrian yang justru membuat kebijakan bermasalah dan melanggar aturan, sehingga secara faktual telah merugikan negara 77 dan keuangan korporasi. Sejalan dengan itu, Erick pun perlu segera menjadikan Pertamina (juga PLN) sebagai non-listed public company . Sebagai rangkuman dapat dinyatakan bahwa guna melindungi Pertamina menjalankan tugas-tugasnya mengelola sektor migas nasional sesuai Pasal 33 UUD 1945, maka langkah terpenting dan mendesak adalah meminta pemerintah membuat kebijakan terhadap Pertamina yang pro rakyat, konsisten dengan peraturan, mematuhi prinsip-prinsip GCG, dan menghilangkan sikap otoriter semau gue yang menjadikan Pertamina sebagai sapi perah bagi kepentingan politik dan oligarki kekuasaan. Selanjutnya, DPR dan Pemerintah harus segera menuntaskan pembentukan UU Migas baru yang telah direncanakan sejak 2009 yang lalu, dimana salah aspek penting dalam UU baru tersebut adalah jaminan pengelolaan migas harus sesuai prinsip penguasaan negara sesuai konstitusi. Dalam hal ini UU Migas baru tersebut harus bersifat khusus, lex specialist terhadap Pertamina. Terakhir, karena mendesaknya aspek GCG, pemerintah perlu segera menerbitkan peraturan khusus tentang peran dan fungsi Pertamina sebagai non-listed public company (NLPC). Prinsip-prinsip NPLC tersebut, kelak dapat pula dituangkan dalam UU Migas baru.
Rencana Unbundling Bisnis Pertamina Kami memahami secara umum ada beberapa tujuan sebuah perusahaan melakukan IPO, seperti: a) mendapatkan akses pendanaan murah, b) akses dana jangka panjang, c) memperoleh citra yang baik, d) meningkatkan nilai perusahaan dan e) memperoleh insentif pajak. Namun untuk itu, mata rantai dalam rantai bisnis atau anak usaha yang paling menguntungkanlah ( cream de la cream ) yang biasanya dijual terlebih dahulu. Jika dilihat dari sisi lain, seandainya profitabiitas dan prospek bisnis anak usaha yang akan dijual tersebut tidak jelas, tentu tidak akan ada investor yang berminat. Sebaliknya, dengan melepas atau “mempreteli” satu per satu mata rantai bisnis yang menguntungkan dari BUMN/Pertamina sesuai skenario kapitalis-liberal, atau dikenal juga dengan istilah unbundling, maka lambat laun sebagian besar anak-anak usaha Pertamina yang profitable akan terjual. Sehingga Pertamina kelak hanya akan “menikmati” bisnis ampas yang kurang menguntungkan atau malah merugikan. Sedangkan keuntungan terbesar dari mata rantai bisnisnya kelak akan lebih dinikmati asing atau para pengusaha kapitalis-liberal. 78 Padahal jika semua mata rantai dalam lini bisnisnya berjalan utuh secara “bundled”, maka seluruh keuntungan bisnis Pertamina akan dinikmati semua rakyat sesuai Pasal 33 UUD 1945. Selain itu, Pertamina dapat pula melakukan fungsi- fungsi strategis negara secara optimal, terutama melakukan fungsi cross-subsidy antar wilayah dan antar konsumen. Dalam hal ini Pertamina dapat membangun infrastruktur dan menyediakan pelayanan ke seluruh wilayah negara guna mengurangi kesenjangan menuju pemerataan berkeadilan. Salah satu contoh ironis yang dilakukan pemerintahan pro-asing pro-kapitalis- liberal saat ini adalah membiarkan SPBU-SPBU asing/swasta berbisnis di kota-kota besar di Indonesia, sementara Pertamina wajib menyediakan BBM hingga pelosok negeri dengan beban biaya sangat besar. Dengan bisnisnya dibiarkan digerogoti asing, maka kemampuan Pertamina melakukan cross subsidy semakin berkurang, sehingga sebagian dana untuk penyediaan pelayanan tersebut malah harus ditanggung APBN. Kami tidak anti modal asing dan dapat saja menerima skema IPO agar BUMN dapat memperoleh dana/modal. Namun jika modal dan citra diperoleh dengan melanggar konstitusi, serta mengorbankan kedaulatan dan prinsip-prinsip strategis negara yang bernilai “kualitatif”, maka hal tersebut harus ditolak. Selain itu, jika aspek moral hazard dan nuansa perburuan rente seputar IPO dan proses IPO ikut diperhitungkan, maka keuntungan “kuantitatif” akses dana murah dan dana jangka yang diperoleh melalui skema IPO pun justru akan sirna. Tegaknya kedaulatan, berjalannya konstitusi, terjaganya ketahanan energi dan meratanya pembangunan melalui cross-subsidy oleh BUMN yang dikelola tanpa IPO, tidak layak diperbandingkan dengan keuntungan akses dana murah yang diperoleh dari melakukan IPO. Keuntungan nilai dana murah yang diperoleh dari IPO sangat minim jika dibandingkan dengan besarnya manfaat strategis yang diperoleh jika BUMN dikelola sesuai konstitusi tanpa IPO. Salah faktor yang sangat merugikan adalah bahwa dengan IPO, profit yang dapat diraih akan berkurang sesuai berapa persen besar saham yang dijual. Faktor lain, sebagai pelaksana tugas perintisan dan pembangunan daerah, lambat laun BUMN akan kehilangan kemampuan cross-subsidy karena anak-anak usaha yang menguntungkan ( cream de la cream ) akan segera dijual, sehingga menyisakan anak-anak usaha yang kurang profitable . 79 Saksi Pemohon 1. drg. Ugan Gandar Bahwa PT. Pertamina (Persero) mendapatkan keistimewaan dari Negara untuk mendapatkan wilayah kerja terbuka tertentu melalui penunjukan langsung. Bahwa syarat untuk mendapatkan wilayah kerja tersebut, salah satunya yang terpenting adalah saham PT. Pertamina ( Persero) harus 100% dimiliki oleh Negara. Bahwa apabila saham PT. Pertamina (Persero) tidak lagi 100% dimiliki oleh negara karena dilakukan Initial Public Offering (IPO), maka akan menghambat usaha PT Pertamina (Persero) untuk memperoleh wilayah kerja terbuka tertentu, sebagaimana telah diatur dalam Pasal 5 ayat (4) dan ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 Tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi menyatakan: Ayat 4 Dalam hal PT Pertamina (Persero) mengajukan permohonan kepada Menteri untuk mendapatkan Wilayah Kerja terbuka tertentu, Menteri dapat menyetujui permohonan tersebut dengan mempertimbangkan program kerja, kemampuan teknis dan keuangan PT. Pertamina (Persero) sepanjang saham PT. Pertamina (Persero) 100% (seratus per seratus) dimiliki oleh Negara. __ Ayat 5 PT. Pertamina (Persero) sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) tidak dapat mengajukan permohonan untuk wilayah kerja yang telah ditawarkan. __ Bahwa dengan PT. Pertamina ( Persero) menjadi prioritas untuk mendapatkan wilayah kerja terbuka tertentu karena sahamnya 100% dimiliki oleh Negara, maka sudah seharusnya anak perusahaan PT. Pertamina Persero/Perusahaan Milik PT. Pertamina ( Persero ) yang ditunjuk Pertamina untuk mengelola wilayah kerja terbuka tertentu tersebut sahamnya harus 100% milik PT. Pertamina ( Persero) atau dengan kata lain harus tetap 100% dikuasai oleh Negara. Bahwa sudah sepatutnya Negara mengontrol 100% wilayah kerja yang dikelola oleh PT. Pertamina ( Persero ) maupun anak perusahaan/perusahaan milik PT. Pertamina ( Persero ) hasil dari penunjukkan langsung pada wilayah kerja tersebut. Bahwa hal tersebut tentunya berbeda apabila yang dijual hanyalah Participating Interest (PI) atas suatu ladang minyak dan gas hasil tunjuk langsung ke Pertamina, hal tersebut diperbolehkan dan sudah lazim dilakukan karena yang berkurang hanya 80 Partisipasing Interest-nya saja, bukan porsi kepemilikan saham dalam PT. Pertamina (Persero) maupun anak perusahaan milik PT. Pertamina Persero. Bahwa Saham perusahaan pengelola wilayah kerja hulu migas yang boleh dijual ke bursa itu hanya perusahaan yang mendapatkan wilayah kerja dari BP Migas / SKK Migas melalui prinsip-prinsip komersial /persaingan bebas.
KENAPA BISNIS PERTAMINA HARUS TERINTEGRASI Pertamina (Persero) adalah Perusahaan saat ini bisnisnya meliputi usahan minyak dari hulu sampai ke Hilir. Ada beberapa hal pentingnya kenapa Bisnis Pertamina ini harus terintegrasi dan tidak terpecah pecah. Antara lain:
Jika suatu saat ada krisis yang mengakibatkan harga minyak mentah jatuh maka jika pertamina ini menjadi satu kesatuan utuh maka akan sangat membantu untuk saling menutupi kerugian yang terjadi antar lini bisnis. Bisnis hulu rugi tetapi bisnis hilir untung sehingga saling menutupi.
Begitupun juga sebaliknya jika harga Crude naik dan karena kebijakan pemerintah yang tidak ingin rakyat indonesia semakin terbebani sehingga harga BBM harus ditahan tidak boleh naik maka Bisnis Hilir yang rugi tetapi bisnis Hulu yang untung. Sehingga bisa saling menutupi.
Akan sangat merugikan keuangan negara karena potensi jika Harga ICP lebih tinggi dibandingkan harga MOPS maka Refinery Pertamina (jika sudah IPO) tentunya akan memilih membeli Produk yang lebih murah.
Jika semua lini bisnis terpecah pecah seperti Hulu, Shipping, Pengolahan dan Pemasaran terpecah pecah dan saham sudah dikuasi oleh Swasta. Maka yang terjadi adalah setiap entitas tidak peduli dengan entitas lain. Hal ini akan sangat berbahaya bagi keberlangsungan penyaluran energi ke pelosok negeri. Karena semuanya akan berusaha mengambil profit Contoh :
Dari Pemasaran akan berusaha hanya akan melayani daerah daerah yang dianggap profitable. Untuk daerah 3T yang secara feasibility tidak masuk tidak akan dilayani. Sehingga rawan mengakibatkan kerusuhan karena langkanya BBM. Atau tersedia BBM dengan harga yang cukup tinggi 2. Dari pemasaran hanya akan mengambil supply BBM dari supplier yang murah. Jika harga COGS Refinery yang sudah IPO lebih mahal dari 81 harga MOPS untuk landed Cost nya maka tentu produk Refinery akan ditinggalkan oleh Pertamina. Dan hal ini bisa mengakibatkan kerugian yang sangat besar bagi Refinery. Bisa Collaps. Dan Chain efeknya tentu akan sangat Besar. Bisnis Kilang Tutup, PHK Masal, Rekanan Bangkrut, dan Pengangguran massive akan terjadi.
Dari sisi refinery tentunya juga akan begitu hanya akan mencari Supplier Crude yang murah dan menguntungkan. Jika harga ICP lebih mahal dibandingkan harga Crude di pasaran luar negeri dan perhitungan landed cost sampai di Refinery lebih murah tentunya Crude Dalam negeri jadi tidak terserap dan pendapatan negara menjadi berkurang.
Dari sisi Perkapalan. Jika lini ini terpisah dan berdiri sendiri maka tentunya akan berusaha sebesar besarnya dan kurang mau take risk. Di cuaca yang sangat buruk dan diujung negeri ada lokasi yang BBM kritis karena Sense of Nasionalitynya sudah berkurang maka Bisnis Perkapalan hanya akan mementingkan dirinya sendiri. Jadi bodo amat sama krisis energi di Ujung negeri. Yang penting bisnis lancar.
Dan yang paling paling bahaya adalah seperti chart berikut : Dengan kondisi diatas maka Hulu akan ambil Profit , Shipping ambil Profit, Refinery ambil Profit Maka yang terjadi adalah harga BBM dari Customer akan sangat mahal, Belum lagi adanya Tax disetiap Transaksi BBM karena sudah beda entitas. Yang akan terjadi nanti bisa seperti ini Dengan kondisi diatas sudah terlihat siapa yang diuntungkan dan siapa yang akan dirugikan sehingga implementasi dari Pasal 33 Undang-Undang Dasar tidak dapat direalisasikan dan hanya konteks semata. Singapore (minyak jadi) Minyak jadi Shippin g Pemasaran Hulu Pengolahan Shippin g Shippin g Pemasaran 82 2. PERTAMINA TIDAK TERINTEGRASI APAKAH BERDAMPAK DENGANIMPLEMENTASI DARI PASAL 33 UNDANG – UNDANG DASAR 1945 Atas apa yang telah diuraikan diatas maka secara langsung dan tidak langsung akan berdampak kepada tujuan dari implementasi Pasal 33 Undang – Undang Dasar 1945 dimana salah satu isi dari pasal tersebut yaitu cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara, dan Bumi, air dan kekayaan alam didalamnya dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat tidak akan pernah tercapai sehingga cita-cita dari “the Founding Fathers” akan menjadi mimpi dan tidak pernah terealisasi. Dilain sisi dengan dibentuknya Pertamina sebagai salah satu BUMN memiliki tujuan untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat dengan memperhatikan dari perkembangan zaman dimana pelayanan (service) serta kemajuan tekhnologi Informasi yang serba digital harus diselaraskan dan diimplementasi guna bisa bersaing 3. PERTAMINA (HOLDING DAN SUBHOLDING) BERENCANA AKAN DIMILIKI OLEH SWASTA BAGAIMANA DENGAN KEDAULATAN DAN KETAHANAN ENERGI Kedaulatan dan ketahanan merupakan kunci penting dalam sebuah negara. Kemampuan bangsa untuk menetapkan kebijakan, mengawasi pelaksanaan serta memastikan jaminan ketersediaan energi merupakan arti dari kedaulatan dan selaras dengan tujuan berdirinya Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dimana kepemilikan saham masih dimiliki oleh negara yaitu Pertamina. Bilamana kepemilikan atas saham dari holding maupun sub holding Pertamina dialihkan atau dimiliki oleh swasta maka patut diduga kemampuan negara yang diwakili oleh Kementerian BUMN atau ESDM sebagai pemegang saham dalam membuat sebuah kebijakan akan tidak semata – mata berorientasi untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat tetapi akan berpotensi terjadinya intervensi dari pemegang saham lain atau swasta.Seperti diketahui bersama kebijakan 1 harga BBM yang saat ini terjadi karena kepemilikan sahamnya masih 100% negara dan belum dibentuknya holding dan subholding Pertamina. Dibentuknya holding dan subholding Pertamina bisa kemungkinan kebijakan 1 harga BBM akan ditiadakan atau dicabut dimana pemilik saham bukan seluruhnya negara melainkan ada kepemilikan swasta , sedangkan kita ketahui bersama bila kepemilikan saham 83 dimiliki pihak swasta atas saham subholding Pertamina patut diduga hanya menginginkan keuntungan semata, sehingga yang dirugikan adalah rakyat.
Ir. Faisal Yusra SH., MM., QIA., CFrA Minyak dan Gas Bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa cair atau padat maupun fasa gas, termasuk aspal, lilin mineral atau ozokerit, dan bitumen yang diperoleh dari proses penambangan, tetapi tidak termasuk batubara atau endapan hidrokarbon lain yang berbentuk padat yang diperoleh dari kegiatan yang tidak berkaitan dengan kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi. Di dalam definisi ini terkandung makna Minyak dan Gas Bumi (Migas) adalah proses yang menyeluruh mencakup kegiatan hulu dan hilir secara terintegrasi untuk mendapatkan nilai tambah yang optimal. Dalam konteks Indonesia, optimalisasi pengelolaan migas akan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat sehingga wajib dikuasai oleh negara sesuai Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3). Pengelolaan bisnis migas yang seimbang antara pengelolaan sektor hulu dan hilir migas menjadi kebijakan strategis yang diimplementasikan oleh berbagai perusahaan migas besar dunia. Merger/penggabungan perusahaan migas dunia seperti BP dan AMOCO, Total, Fina dan Elf, Exxon dengan Mobil, maupun Conoco dan Philips adalah dalam rangka mencapai tujuan optimalisasi keuntungan bisnis dengan menyeimbangkan volume/kapasitas bisnis Hulu dan Hilir Perusahaan. Dalam hal harga minyak mentah dunia turun, maka sektor hilirnya dioptimalkan produksinya sebagai sektor yang menghasilkan kentungan perusahaan. Pada situasi ini, akan menimbulkan permasalahan kinerja bagi perusahaan yang hanya bergerak di sektor hulu saja. Demikian pula sebaliknya, ketika harga minyak mentah naik tinggi, maka perusahaan akan bertahan karena sektor hulu akan menjadi tulang punggung dalam menghasilkan revenue maupun keuntungan. Pada situasi ini, akan menimbulkan permasalahan kinerja bagi perusahaan yang hanya bergerak di sektor hilir saja. Dengan penguasaan dan pengelolaan hulu migas Pertamina sekitar 200 – 300 ribu barrel per hari yang amat timpang dengan penguasaan dan pengelolaan sektor hilir sekitar 1.6 – 1.7 juta barrel per hari, maka pemisahan (unbundling) 84 pengelolaan sektor hulu dan hilir Pertamina menjadi entitas bisnis perusahaan yang berdiri sendiri maka akan menimbulkan potensi masalah kinerja bisnis bagi Pertamina, dan pada gilirannya akan mengganggu kontribusinya sebagai penghasil devisa strategis bagi negara. Ketika harga minyak mentah dunia naik sangat tinggi, biaya operasi perusahaan sektor hilir akan mengalami tekanan karena adanya berbagai situasi seperti kebijakan pemerintah untuk tidak menaikkan harga atau menetapkan harga tidak dengan nilai keekonomian, sementara sektor hulu tidak dapat membantu dalam bentuk subsidi silang karena sudah menjadi entitas bisnis yang terpisah dan berdiri sendiri. Karakteristik bisnis yang terintegrasi (bundling) sektor hulu dan hilir telah disusun menjadi suatu proses bisnis yang dijadikan pedoman pengelolaan bisnis dengan menegaskan di dalam SK Direksi Pertamina Nomor Kpts.-29/C00000/2016- S0 tanggl 2 Agustus 2016 bahwa pengelolaan sektor hulu (explore, exploit, and produce hydrocarbone, and geothermal) dan sektor hilir (refine and produce fuel, nonfuel, an new & renewable energi, market dan sell produce and service) adalah bisnis inti (core processes) yang tentunya wajib dikelola sendiri dalam satu entitas bisnis. Di dalam surat keputusan tersebut juga diatur tentang kegiatan penunjang (support) yang dikategorikan dalam dua fungsi proses yaitu proses kritikal dan proses pendukung. Penyusunan proses bisnis disusun dengan memperhatikan best practise dari American Productivity and Quality Center (APQC) dan disesuaikan dengan karateristik bisnis Pertamina yang mencakup bisnis minyak, gas, geothermal serta energi baru dan terbarukan. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3) yang menegaskan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Konsep penguasaan dimaksud dimaknai dengan dimiliki atau dikuasai, dikelola dan dikendalikan secara oleh negara melalui perusahaan milik negara yakni Pertamina sehingga negara dapat memberikan penugasan apapun termasuk pelayanan penyediaan BBM dengan harga terjangkau dalam rangka memberikan kemakmuran bagi rakyat. Dengan adanya penugasan tersebut dan Pertamina yang 100% sahamnya dimiliki negara maka negara memberikan keistimewaan (privilage) seperti yang dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 Pasal 5 ayat (4) yang 85 berbunyi: Dalam hal PT Pertamina (Persero) mengajukan permohonan kepada Menteri untuk mendapatkan Wilayah Kerja terbuka tertentu, Menteri dapat menyetujui permohonan tersebut dengan mempertimbangkan program kerja, kemarnpuan teknis dan keuangan PT Pertamina (Persero) dan sepanjang saham PT Pertamina (Persero) 100% (seratus per seratus) dimiliki oleh Negara. Dalam hal perusahaan pengelolaan migas Pertamina tidak lagi 100% milik negara maka keistimewaan yang ada akan dicabut maka semua proses akan berjalan sebagai bisnis swasta murni dan berpotensi menimbulkan ketidakpastian bisnis. Demikian pula dalam hal pengelolaan bisnis migas Indonesia diselenggarakan oleh entitas bisnis yang terpisah-pisah (hulu dan hilir) dalam bentuk masing-masing perseroan terbatas maka akan menimbulkan kesulitan dalam pengaturan penyediaan BBM dengan harga yang terjangkau bagi masyarakat karena tidak adanya mekanisme subsidi silang seperti yang dapat dilakukan oleh perusahaan yang terintegrasi. Program BBM Satu Harga dulunya diawali dengan adanya keuntungan Pertamina yang didominasi oleh keuntungan sektor hulu yang disisihkan dan menjadi kompensasi harga BBM di daerah terdepan, terpencil dan tertinggal yang disamakan dengan Pulau Jawa. Oleh karena sektor hulu dan hilir Pertamina di dalam satu pengelolaan keuangan di PT Pertamina (Persero) tentunya pengurangan pendapatan akibat BBM Satu Harga tidak menjadikan kondisi keuangan perusahaan menjadi buruk. Lain halnya apabila setiap bisnis migas Pertamina dalam bentuk perusahaan yang berdiri sendiri dan tidak 100% milik negara tentunya kebijakan subsidi silang dimaksud tidak dapat dilakukan dan perusahaan yang mengelolanya (Pemasaran/Ritail/Sektor Hilir) tidak akan bersedia menanggung kerugian sebagai kinerja perusahaan. Dengan demikian, program BBM Satu Harga tentunya akan terganggu. Bila hal ini terjadi, maka amanat penyelenggaraan kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi yang berasaskan ekonomi kerakyatan, keterpaduan, manfaat, keadilan, keseimbangan, pemerataan, kemakmuran bersama dan kesejahteraan rakyat banyak, keamanan, keselamatan, dan kepastian hukum serta berwawasan lingkungan bagi rakyat Indonesia tidak akan tercapai. [2.3] Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon tersebut, Dewan Perwakilan Rakyat telah menyampaikan keterangan bertanggal 8 Juni 2021 86 yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada 10 Juni 2021 yang pada pokoknya sebagai berikut: I. KETENTUAN UU BUMN YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN TERHADAP UUD NRI TAHUN 1945 Dalam permohonan a quo , Pemohon __ mengajukan pengujian materiil terhadap Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN yang berketentuan sebagai berikut: Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN _Persero yang tidak dapat diprivatisasi adalah: _ c. Persero yang bergerak di sektor tertentu yang oleh pemerintah diberikan tugas khusus untuk melaksanakan kegiatan tertentu yang berkaitan _dengan kepentingan masyarakat; _ d. Persero yang bergerak di bidang usaha sumber daya alam yang secara tegas berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dilarang untuk diprivatisasi. Pemohon mengemukakan bahwa ketentuan Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN dianggap bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD NRI Tahun 1945 yang berketentuan sebagai berikut: Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pemohon menyatakan kerugian konstitusionalnya yang pada intinya adalah:
Bahwa ketentuan Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN membuka peluang/berpotensi dapat diprivatisasinya anak perusahaan dari perusahaan persero tersebut yang hanya berbentuk perseroan terbatas biasa, padahal anak perusahaan tersebut memiliki kegiatan di bidang usaha yang berkaitan dengan bidang usaha induk perusahaannya yang notabene induk perusahaannya dilarang diprivatisasi karena bidang usahanya termasuk yang disebutkan dalam Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN ( vide Perbaikan Permohonan hal. 9).
Bahwa akibat tidak diaturnya anak perusahaan persero/perusahaan milik persero dalam ketentuan Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN. Pemohon dirugikan hak konstitusionalnya yaitu ( vide Perbaikan Permohonan hal. 11): 87 a. Negara berpotensi nyata kehilangan hak menguasai cabang-cabang produksi penting bagi negara, menguasai hajat hidup orang banyak dan sumber daya alam termasuk sumber daya alam minyak dan gasnya sebagaimana diamanatkan Pasal 33 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Bahwa dalam hal ini kedaulatan energi nasional menjadi terancam sehingga hak konstitusional Pemohon sangat berpotensi nyata dirugikan dan harus diperjuangkan oleh Pemohon sebagaimana telah diatur dalam anggaran dasar FSPPB.
Berpotensi nyata sumber daya alam tidak ditujukan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat termasuk namun tidak terbatas pada para pekerja pertamina sebagaimana diamanatkan Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 karena negara kehilangan hak menguasai sumber daya alam akibat diperbolehkannya swasta/perorangan anak perusahaan BUMN yang mengelola sumber daya alam.
Menjadi ancaman terhadap kelangsungan bisnis dan eksistensi dari PT. Pertamina Persero maupun anak-anak perusahaannya akibat potensi terjadinya privatisasi, yang seharusnya dilarang untuk di privatisasi karena bergerak di bidang usaha pengelolaan sumber daya alam dan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan masyarakat.
Berpotensi nyata para pekerja pada anak-anak perusahaan Pertamina kehilangan statusnya sebagai pekerja BUMN dan menjadi pekerja swasta biasa akibat pelepasan seluruh saham anak perusahaan PT Pertamina Persero kepada pihak swasta/perorangan.
Kualitas hidup dan kesejahteraan pegawai perusahaan grup PT Pertamina Persero/BUMN beserta keluarganya akan tidak terjamin apabila anak-anak perusahaan PT Pertamina Persero/BUMN tidak dikontrol dengan baik oleh negara.
Berpotensi dilakukannya Pemutusan Hubungan Kerja terhadap para pekerja anak-anak perusahaan Pertamina akibat pelepasan seluruh saham/sebagian besar saham anak-anak perusahaan Pertamina kepada pihak swasta/perorangan, hal ini sangat beralasan mengingat dalam Pasal 163 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memungkinkan perusahaan/pengusaha 88 melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap peekrja karena adanya perubahan kepemilikan saham perusahaan. Bahwa Pemohon dalam petitumnya memohon sebagai berikut:
Menerima dan mengabulkan permohonan Pemohon;
Menyatakan Pasal 77 huruf c dan d Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara bertentangan dengan Undang- Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang larangan privatisasi dalam Pasal 77 huruf c dan d hanya diberlakukan secara limitatif terhadap Persero dan tidak diberlakukan juga terhadap Perusahaan milik Persero/Anak Persero;
Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Jika yang mulia Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia memiliki pandangan lain, mohon putusan yang seadil-adilnya ( ex aequo et bono ). II. KETERANGAN DPR A. KEDUDUKAN HUKUM ( LEGAL STANDING ) PEMOHON Terhadap kedudukan hukum ( legal standing ) Pemohon, DPR berpandangan berdasarkan 5 (lima) batasan kerugian konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu undang-undang sebagaimana dinyatakan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011/PUU-V/2007 sebagai berikut:
Terkait adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945 Bahwa Pemohon mendalilkan memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. DPR menerangkan bahwa Pasal a quo justru telah mencerminkan pemenuhan kewajiban negara sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 karena adanya larangan bagi persero untuk dapat diprivatisasi, salah satunya adalah persero yang bergerak di bidang usaha sumber daya alam. Larangan tersebut menunjukkan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran 89 rakyat. Selain itu ketentuan dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 tidak mengatur terkait dengan hak konstitusional, melainkan mengatur mengenai kewajiban negara dalam menguasai bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan untuk cabang-cabang produksi yang penting tersebut dikuasai oleh negara. Oleh karena itu tidak terdapat hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon dalam ketentuan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 dan tidak tepat untuk dijadikan batu uji dalam Permohonan a quo .
Terkait adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang Terkait dengan doktrin organizational legal standing yang didalilkan oleh Pemohon, DPR berpandangan bahwa tidak semua organisasi dapat bertindak mewakili kepentingan anggotanya untuk beracara di pengadilan, khususnya di pengadilan Mahkamah Konstitusi. Bahwa ketentuan Pasal 87 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial menyatakan bahwa Serikat pekerja/serikat buruh dan organisasi pengusaha dapat bertindak sebagai kuasa hukum untuk beracara di Pengadilan Hubungan Industrial untuk mewakili anggotanya dan ketentuan Pasal 25 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh menyatakan bahwa Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang telah mempunyai nomor bukti pencatatan berhak mewakili pekerja/buruh dalam menyelesaikan perselisihan industrial. Berdasarkan ketentuan- ketentuan tersebut, maka organizational legal standing yang diberikan kepada Pemohon sebagai federasi serikat pekerja adalah terkait dengan penyelesaian perselisihan industrial, termasuk untuk beracara di pengadilan hubungan industrial, dan bukan untuk mengajukan Permohonan a quo di Mahkamah Konstitusi yang sama sekali tidak berkaitan dengan perselisihan hubungan industrial. Selain itu DPR menerangkan bahwa berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, terkait dengan anak 90 perusahaan BUMN memang tidak tunduk pada ketentuan dalam UU BUMN melainkan tunduk pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, hal tersebut dikarenakan saham untuk anak perusahaan BUMN merupakan milik BUMN dan bukan milik negara karena pada hakekatnya penyertaan modal tersebut merupakan kekayaan negara yang sudah dipisahkan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, berbeda dengan induk perusahaannya yang merupakan BUMN. Berdasarkan uraian tersebut, maka ketentuan Pasal UU a quo sama sekali tidak melanggar hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon.
Terkait adanya kerugian hak konstitusional yang bersifat spesifik dan aktual, atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi Bahwa Pemohon mendalilkan mengalami kerugian yang pada intinya ketentuan Pasal a quo yang tidak mengatur terkait dengan anak perusahaan persero membuka peluang bagi anak perusahaan untuk diprivatisasi sehingga akan menghilangkan kekuasaan negara untuk menguasai sumber daya alam yang menguasai hajat hidup orang banyak. Terhadap dalil Pemohon tersebut, DPR menerangkan bahwa Pemohon adalah federasi serikat pekerja yang mempunyai kepedulian perlindungan terhadap para pekerja PT Pertamina (Persero) dan oleh karenanya bertindak untuk kepentingan pekerja PT Pertamina (Persero) ( vide Perbaikan Permohonan hal. 9). Oleh karenanya seharusnya Pemohon dalam Permohonan a quo menguraikan adanya kerugian konstitusional yang dialami langsung oleh pekerja PT Pertamina (Persero) untuk kemudian menjadi dasar diajukannya Permohonan a quo . Namun dalam permohonannya, Pemohon hanya menguraikan kekhawatirannya terhadap hilangnya hak menguasai negara dalam melakukan pengelolaan yang menyebabkan pihak swasta dan/atau perorangan dapat menguasai dan/atau mengelola anak perusahaan PT Pertamina (Persero) tanpa mencerminkan adanya kerugian yang ditimbulkan dari berlakunya Pasal a quo terhadap kesejahteraan pekerja. 91 Oleh karena tidak ada pertautan langsung antara kerugian yang didalilkan oleh Pemohon dengan tugas dan peranan Pemohon untuk melaksanakan kegiatan penegakan hak-hak pekerja PT Pertamina (Persero), maka sudah dapat dipastikan tidak ada satupun kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi.
Terkait adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian hak konstitusional dengan undang-undang yang dimohonkan pengujian Bahwa sebagaimana telah dikemukakan pada angka 1, 2, dan 3, berlakunya ketentuan Pasal a quo sama sekali tidak menimbulkan kerugian terhadap hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang bersifat spesifik, aktual, maupun potensial. Kerugian yang didalilkan oleh Pemohon tidak memiliki hubungan sebab-akibat dengan ketentuan Pasal a quo UU BUMN.
Terkait adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi Bahwa karena tidak ada hubungan sebab akibat ( causal verband ) maka sudah dapat dipastikan bahwa pengujian a quo tidak akan berdampak apa pun pada Pemohon. Dengan demikian menjadi tidak relevan lagi bagi Mahkamah Konsitusi untuk memeriksa dan memutus permohonan a quo , karena Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) sehingga sudah sepatutnya Mahkamah Konstitusi tidak mempertimbangkan pokok perkara. Bahwa terkait dengan kepentingan hukum Pemohon, DPR memberikan pandangan senada dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU- XIV/2016 yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari tanggal 15 Juni 2016, yang pada pertimbangan hukum [3.5.2] Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa menurut Mahkamah: 92 ...Dalam asas hukum dikenal ketentuan umum bahwa tiada kepentingan maka tiada gugatan yang dalam bahasa Perancis dikenal dengan point d’interest, point d’action dan dalam bahasa Belanda dikenal dengan zonder belang geen rechtsingang. Hal tersebut sama dengan prinsip yang terdapat dalam Reglement op de Rechtsvordering (Rv) khususnya Pasal 102 yang menganut ketentuan bahwa “tiada gugatan tanpa hubungan hukum“ (no action without legal connection). __ Berdasarkan pada hal-hal yang telah disampaikan tersebut DPR berpandangan bahwa Pemohon secara keseluruhan tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) karena tidak memenuhi ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi dan penjelasannya, serta tidak memenuhi persyaratan kerugian konstitusional yang ditentukan dalam putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu. Selain itu, Pemohon dalam permohonan a quo tidak menguraikan secara konkrit mengenai hak dan/atau kewenangan konstitusionaInya yang dianggap dirugikan atas berlakunya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji, sehingga sudah sepatutnya Mahkamah tidak mempertimbangkan pokok perkara karenanya permohonan Pemohon dinyatakan tidak dapat diterima. Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, terhadap kedudukan hukum ( legal standing ) Pemohon, DPR menyerahkan sepenuhnya kepada Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilai apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi dan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 006/PUU- III/2005 dan Putusan perkara Nomor 011/PUU-V/2007 mengenai parameter kerugian konstitusional. B. PANDANGAN UMUM DPR 1. Sesuai dengan angka IV Penjelasan Umum UU BUMN yang menyatakan: “ Peningkatan efisiensi dan produktifitas BUMN harus dilakukan melalui langkah-langkah restrukturisasi dan privatisasi. Restrukturisasi sektoral dilakukan untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif sehingga tercapai efisiensi dan pelayanan yang optimal. Sedangkan restrukturisasi perusahaan yang meliputi penataan kembali bentuk badan usaha, kegiatan usaha, organisasi, manajemen, dan keuangan. Privatisasi bukan semata-mata dimaknai sebagai penjualan perusahaan, melainkan menjadi alat dan cara pembenahan BUMN untuk mencapai beberapa sasaran 93 sekaligus, termasuk didalamnya adalah peningkatan kinerja dan nilai tambah perusahaan, perbaikan struktur keuangan dan manajemen, penciptaan struktur industri yang sehat dan kompetitif, pemberdayaan BUMN yang mampu bersaing dan berorientasi global, penyebaran kepemilikan oleh publik serta pengembangan pasar modal domestik. Dengan dilakukannya privatisasi BUMN, bukan berarti kendali atau kedaulatan negara atas BUMN yang bersangkutan menjadi berkurang atau hilang karena sebagaimana dinyatakan di atas, negara tetap menjalankan fungsi penguasaan melalui regulasi sektoral dimana BUMN yang diprivatisasi melaksanakan kegiatan usahanya. ” 2. Bahwa memajukan kesejahteraan bagi seluruh rakyat sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 yang diatur lebih rinci dalam Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945 merupakan tugas konstitusional bagi seluruh komponen bangsa. Khususnya ayat (2) dan ayat (3) yang membangun logika bernegara yaitu negara melakukan penguasaan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara dan atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sehingga berdasarkan hal tersebut dirasa perlu untuk meningkatkan penguasaan seluruh kekuatan ekonomi nasional baik melalui regulasi sektoral maupun kepemilikan negara terhadap unit-unit usaha tertentu dengan maksud memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Bahwa konsepsi “dikuasai oleh negara” sebagaimana termuat dalam Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 telah ditafsirkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 01- 021-022/PUU-I/2003 mengenai pengujian UU Nomor 20 Tahun 2002 dan 02/PUU-I/2003 mengenai pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Minyak dan Gas Bumi, tanggal 1 Desember 2004, yang memaknai bahwa penguasaan negara tersebut adalah sesuatu yang lebih tinggi atau lebih luas daripada pemilikan dalam konsepsi hukum perdata.
Salah satu bentuk restrukturisasi perusahaan dilakukan melalui pembentukan holding BUMN, yaitu mengalihkan kepemilikan negara pada satu atau beberapa BUMN menjadi tambahan modal saham negara pada satu BUMN lainnya, sehingga BUMN tersebut menjadi 94 holding (induk). Sebagaimana dinyatakan dalam pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 yang pada intinya menyatakan cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, sehingga oleh karenanya menurut pasal 33 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 harus tetap dikuasai oleh negara, dalam arti harus dikelola oleh negara melalui perusahaan negara yang didanai oleh pemerintah (negara) atau dengan kemitraan bersama swasta nasional atau asing yang menyertakan dana pinjaman dari dalam dan luar negeri atau dengan melibatkan modal swasta nasional/asing dengan sistem kemitraan yang baik dan saling menguntungkan dan demi efisiensi BUMN sebagai holding company dapat berbagi tugas dengan BUMN lainnya atau BUMD. Oleh karenanya __ pembentukan holding company adalah salah satu bentuk penguatan BUMN dengan bersinergi dengan BUMN lainnya, sehingga tidak lagi membebani APBN. Namun demikian, pembentukan holding tetap harus ditetapkan dengan peraturan pemerintah ( vide Pasal 2A jo. Pasal 3 PP 44/2005 jo. PP 72/2016) C. KETERANGAN DPR TERHADAP POKOK PERMOHONAN 1. Dalam permohonannya Pemohon mendalilkan bahwa anak-anak perusahaan/perusahaan milik PT. Persero seharusnya diperlakukan sama dengan Induk Perusahaannya yaitu PT. Persero, sebab antara induk perusahaannya dengan anak-anak perusahaannya/perusahaan milik Persero sama-sama memiliki keterkaitan bidang usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal a quo sehingga seharusnya sama- sama tidak dapat diprivatisasi ( vide Perbaikan Permohonan hal. 25 poin 33). Terhadap dalil tersebut DPR menerangkan sebagai berikut:
Bahwa merujuk pada ketentuan dalam Pasal 1 angka 1 UU BUMN yang mendefinisikan BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Selanjutnya Pasal 1 angka 2 UU BUMN mendefinisikan Perusahaan Perseroan, yang selanjutnya disebut Persero, adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51 % (lima puluh satu 95 persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan.
Sedangkan definisi anak perusahaan BUMN dapat dilihat dalam Keputusan Presiden Nomor 122 Tahun 2011 tentang Tim Kebijakan Privatisasi BUMN dan Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor Per- 03/MBU/2012 tentang Pedoman Pengangkatan Anggota Direksi dan Anggota Dewan Komisaris Anak Perusahaan Badan Usaha Milik Negara. Dalam peraturan tersebut menyatakan bahwa anak perusahaan BUMN adalah perseroan terbatas yang sebagian besar sahamnya dimiliki oleh BUMN atau perseroan terbatas yang dikendalikan oleh BUMN.
Terlebih lagi dalam Pasal 4 ayat (2) UU BUMN menyatakan bahwa setiap penyertaan modal negara dalam rangka pendirian BUMN atau perseroan terbatas yang dananya berasal dari anggaran pendapatan dan belanja negara ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Sedangkan pendirian anak perusahaan BUMN yang merupakan perseroan terbatas tunduk kepada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut UU PT) dan tidak ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
Berdasarkan uraian di atas, maka terdapat perbedaan fundamental terkait dengan kepemilikan saham, kendali perseroan, dan pendirian perseroan antara BUMN dengan anak perusahaan BUMN. Oleh karena itu jelas terlihat bahwa BUMN dan anak perusahaan BUMN tidak dapat dipersamakan dan dalil Pemohon yang menyatakan seharusnya baik induk perusahaan maupun anak perusahan yang memiliki keterkaitan bidang usaha sebagaimana diatur dalam Pasal a quo harus diperlakukan sama adalah tidak beralasan menurut hukum.
In casu dalam Perkara a quo, saham PT Pertamina (Persero) dimiliki oleh Negara, sedangkan saham Anak perusahaan PT Pertamina (Persero) merupakan saham milik PT Pertamina (Persero). Perbedaan subyek pemilik saham tersebut mengakibatkan perbedaan pemberlakuan hukum antara BUMN 96 Persero (dalam hal ini PT Pertamina (Persero)) dengan Anak Perusahaannya, yaitu untuk Persero berlaku ketentuan mengenai BUMN dan Perseroan Terbatas sedangkan untuk Anak Perusahaannya berlaku ketentuan mengenai Perseroan Terbatas.
Penegasan bahwa anak perusahaan BUMN bukanlah BUMN juga terlihat dalam pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam putusan permohonan uji materril Nomor 01/PHPU-PRES/XVII/2019, dimana dalam pertimbangan hukum Majelis halaman 1936 menyatakan sebagai berikut: “Bahwa modal atau saham Bank BNI Syariah dimiliki oleh PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk dan PT BNI Life Insurance (bukti PT-20). Adapun komposisi pemegang saham Bank Syariah Mandiri adalah PT Bank Mandiri (Persero) Tbk dan PT Mandiri Sekuritas (bukti PT-21). Dengan demikian, oleh karena tidak ada modal atau saham dari negara yang bersifat langsung yang jumlahnya sebagian besar dimiliki oleh negara maka kedua bank tersebut tidak dapat didefinisikan sebagai BUMN, melainkan berstatus anak perusahaan BUMN karena didirikan melalui penyertaan saham yang dimiliki oleh BUMN atau dengan kata lain modal atau saham kedua bank tersebut sebagian besar dimiliki oleh BUMN.” 2. Terhadap dalil Pemohon yang mengutip ketentuan Pasal 2A ayat (7) PP 72/2016) dan menyimpulkan bahwa anak-anak perusahaan PT. Pertamina (Persero) yang meskipun berbentuk perseroan terbatas, namun diberikan izin untuk melaksanakan pelayanan umum dan/atau pengelolaan sumber daya alam, sehingga anak perusahaan BUMN tersebut dapat diperlakukan sama dengan BUMN ( vide Perbaikan Permohonan hal. 20), DPR memberikan penjelasan sebagai berikut:
Bahwa berdasarkan Penjelasan Umum UU BUMN menyatakan peningkatan efisiensi dan produktivitas BUMN harus dilakukan melalui restrukturisasi dan privatisasi. Salah satu bentuk restrukturisasi perusahaan dilakukan melalui pembentukan holding BUMN, yaitu mengalihkan kepemilikan negara pada satu atau beberapa BUMN menjadi tambahan modal saham negara pada satu BUMN lainnya, sehingga BUMN tersebut menjadi holding (induk).
Bahwa PP 72/2016 merupakan ketentuan untuk mendukung salah satu strategi Pemerintah dalam pembentukan perusahaan induk 97 BUMN, yaitu dengan melakukan Penyertaan Modal Negara yang bersumber dari pergeseran saham milik negara pada BUMN dan/atau Perseroan Terbatas tertentu kepada BUMN dan/atau Perseroan Terbatas lainnya.
Pada sektor migas, pembentukan holding dilakukan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2018 tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia ke dalam Modal Saham Perusahaan Perseroan (Persero) PT Pertamina (selanjutnya disebut PP 6/2018) dimana Negara melakukan pengalihan ( inbreng ) saham dari PT. Perusahaan Gas Negara (Persero), Tbk. ke PT. Pertamina (Persero). Berdasarkan ketentuan tersebut, maka status PT Perusahaan Gas Negara, Tbk. berubah dari persero menjadi perseroan terbatas yang tunduk sepenuhnya pada UU PT ( vide Pasal 4 huruf a PP 6/2018).
Dengan terjadinya pengalihan ( inbreng ) saham tersebut, PT. Pertamina (Persero) melakukan restrukturisasi anak perusahaan dengan pengelompokan anak perusahaan ( sub-holding ) pada enam bidang, yaitu:
PT Pertamina Hulu Energi sebegai Sub-Holding Upstream ;
PT Kilang Pertamina Internasional sebagai Sub-Holding Refinery & Petrochemical ;
PT Pertamina Patra Niaga sebagai Sub-Holding Commercial & Trading ;
PT Pertamina Power Indonesia sebagai Sub-Holding Power, New & Renewable Energy ;
PT Perusahaan Gas Negara, Tbk. sebagai Sub-Holding Gas; dan 6) PT Pertamina International Shipping sebagai Shipping Company .
Setelah dilakukannya restrukturisasi tersebut maka PT. Perusahaan Gas Negara, Tbk. yang sebelumnya merupakan BUMN berubah menjadi anak perusahaan PT Pertamina (Persero) dan memiliki kedudukan yang sejajar dengan perusahaan sub-holding atau anak perusahaan lainnya. Namun meskipun demikian, PT Perusahaan 98 Gas Negara, Tbk. memilki karakteristik yang berbeda dengan perusahaan sub-holding lainnya berdasarkan PP 6/2018 jo . PP 72/2016, yaitu:
Negara melakukan kontrol terhadap PT Perusahaan Gas Negara, Tbk. dengan kepemilikan saham Seri A Dwi Warna (Pasal 3 PP 6/2018) dengan hak istimewa yang diatur dalam anggaran dasar ( vide Pasal 2A ayat (2) dan Penjelasannya PP 72/2016).
PT Perusahaan Gas Negara, Tbk. sebagai anak perusahaan BUMN diperlakukan sama dengan BUMN untuk hal sebagai berikut: (Pasal 2A ayat (7) dan Penjelasannya PP 72/2016) a) mendapatkan penugasan Pemerintah atau melaksanakan pelayanan umum; dan/atau b) mendapatkan kebijakan khusus negara dan/atau Pemerintah, termasuk dalam pengelolaan sumber daya alam dengan perlakuan tertentu sebagaimana diberlakukan bagi BUMN, antara lain terkait dengan proses dan bentuk perizinan, hak untuk memperoleh HPL, kegiatan perluasan lahan dan/atau keikutsertaan dalam kegiatan-kegiatan kenegaraan atau pemerintahan yang melibatkan BUMN.
Berdasarkan uraian di atas, maka dari keenam anak perusahaan atau sub-holding PT Pertamina (Persero), perlakuan yang sama dengan BUMN hanya diberikan kepada PT Perusahaan Gas Negara, Tbk. dan perlakuan yang sama tersebut tidak termasuk larangan privatisasi sebagaimana diatur dalam Pasal a quo . Oleh karena itu Pemohon tidak dapat menjadikan ketentuan Pasal 2A ayat (7) PP 72/2016 dan Penjelasannya sebagai dasar bahwa seluruh anak perusahaan Persero diperlakukan sama dengan Persero terkait dengan larangan privatisasi dalam ketentuan Pasal a quo . Menyamakan hal yang berbeda dan membedakan hal yang sama adalah sama saja dengan ketidakadilan. Mengutip pendapat Bagir Manan yang menyatakan bahwa: “ Ada adagium lama yang diketahui oleh setiap ahli hukum yang mengatakan, “Menyamakan sesuatu yang berbeda atau tidak sama, sama tidak adilnya dengan membedakan yang sama.” 99 Dengan bahasa yang lebih mudah, dalam keadaan tertentu membedakan atau unequal treatment itu, justru merupakan syarat dan cara mewujudkan keadilan, sebaliknya dalam keadaan tertentu membuat segala sesuatu serba sama sedangkan didapati berbagai perbedaan juga akan menimbulkan dan melukai rasa keadilan. Kalau demikian, apakah ada syarat objektif agar suatu perbedaan atau unequal itu menjadi syarat untuk mewujudkan keadilan. (Vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU-X/2012: hlm.57). 3. Terkait dalil Pemohon yang pada intinya menyatakan bahwa pembentukan sub-holding anak perusahaan persero merupakan celah hukum dan tidak adanya kepastian hukum untuk anak-anak perusahaan persero termasuk namun tidak terbatas pada anak-anak perusahaan PT. Pertamina (Persero) untuk dilakukan privatisasi melalui initial public offering (IPO) ( vide Perbaikan Permohonan hal. 24), DPR menerangkan sebagai berikut:
Privatisasi dalam praktiknya memang dimungkinkan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan tetap memperhatikan persyaratan-persyaratan tertentu untuk dapat melakukan privatisasi. Privatisasi sendiri bertujuan untuk dapat mengoptimalkan produktifitas dan efisiensi dari suatu BUMN. Namun peraturan perundang-undangan juga mengatur pengecualian terhadap persero yang tidak dapat diprivatisasi, dan cara serta prosedur privatisasi. Sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya bahwa anak perusahaan BUMN tidaklah tunduk pada ketentuan dalam UU BUMN, sehingga memang privatisasi terhadap anak perusahaan BUMN dimungkinkan terjadi karena pada prinsipnya bisnis inti perusahaan yang bergerak di sektor sumber daya alam harus tetap berada pada induknya dan tidak dikendalikan oleh anak perusahaan. Sehingga anggapan Pemohon yang menyatakan apabila anak perusahaan PT Pertamina (Persero) akan menjadi perusahaan go public melalui mekanisme IPO maka akan berpotensi dikuasainya aset negara oleh swasta adalah tidak tepat. Karena peraturan perundang-undangan sudah mengatur secara jelas terkait dengan persero yang dapat dan tidak dapat diprivatisasi. 100 b. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Direktur Utama PT Pertamina (Persero) dalam rapat kerja bersama Komisi VI DPR pada tanggal 22 Juni 2020 yang menyampaikan bahwa rencana pelepasan sebagian saham anak usaha melalui mekanisme IPO bukan upaya privatisasi. Hal itu karena IPO dilakukan oleh anak perusahaan Pertamina sehingga hanya berdampak pada pengelolaan aset. Lebih lanjut dijelaskan pula bahwa pengelolaan aset yang dimaksud adalah aset dalam Wilayah Kerja (WK) minyak dan gas tetap dimiliki oleh negara namun yang diserahkan adalah hak pengelolaan. Setelah jangka waktu pengelolaan WK yang disepakati selesai, aset itu akan dikembalikan ke negara.
Bahwa kepemilikan negara di Pertamina tidak akan berkurang dalam IPO tersebut. Hal itu karena yang menggelar IPO adalah anak usaha atau sub-holding . Rencana IPO sub-holding , dinilai tidak melanggar aturan, karena yang diatur dalam UU BUMN adalah Pertamina sebagai induknya, begitu juga di UU PT bahwa aksi korporasi IPO adalah hal wajar dan jamak dilakukan oleh badan usaha, termasuk BUMN, misalnya PT Waskita Beton serta PT Presisi yang juga go public . Beberapa anak perusahaan Pertamina pun sudah go public sejak lama, seperti PT Elnusa, Tbk., PT Asuransi Tugu Pratama Indonesia, Tbk., bahkan salah satu sub- holding Pertamina yaitu PT Perusahaan Gas Negara, Tbk. sudah go public . Rencana IPO sub-holding Pertamina justru sesuai dengan kebutuhan Pertamina sebagai holding , karena BUMN itu harus mengembangkan perusahaan.
Adapun terkait dengan rencana PT Pertamina (Persero) untuk melakukan divestasi saham pada 2 (dua) anak perusahaannya melalui IPO, hal tersebut tentu bertujuan untuk meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat serta memperluas pemilikan saham oleh masyarakat. Terlebih dalam peraturan perundang-undangan tidak ada ketentuan yang melarang BUMN untuk melakukan divestasi saham pada anak perusahaan BUMN. 101 e. Bahwa IPO akan mendatangkan keuntungan yaitu adanya transparansi dan memberikan kesempatan yang sama bagi semua pihak untuk ikut membeli saham BUMN, termasuk investor asing. Pihak manajemen perusahaan harus melakukan full disclosure atas kinerja yang telah dilakukannya agar masyarakat mengetahui dan dapat mengambil kebijakan berkaitan dengan kepemilikannya atas perusahaan tersebut dan nantinya akan berpengaruh terhadap harga saham yang bersangkutan. ( vide Indra Bastian. 2002. Privatisasi di Indonesia: Teori dan Implementasi . Jakarta, hal.172- 173) 4. Terhadap dalil Pemohon yang menganggap penerapan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN akan menyebabkan Negara kehilangan “hak menguasai negara/HMN” dalam melakukan pengelolaan ( beheersdaad ) karena menyebabkan pihak swasta dan/atau perorangan dapat menguasai dan/atau mengelola cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak ( vide Perbaikan Permohonan hal. 26), DPR memberikan penjelasan sebagai berikut:
Bahwa konsepsi “dikuasai oleh negara” sebagaimana termuat dalam Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 telah ditafsirkan oleh Mahkamah Konstitusi merupakan sesuatu yang lebih luas daripada pemilikan dalam konsepsi hukum perdata, dimana tercakup pula pengertian kepemilikan publik rakyat secara kolektif. Dalam Putusan Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa: “...pengertian dikuasai oleh negara dalam Pasal 33 UUD 1945 mengandung pengertian yang lebih tinggi atau lebih luas daripada pemilikan dalam konsepsi hukum perdata. Konsepsi penguasaan oleh negara merupakan konsepsi hukum publik yang berkaitan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dianut dalam UUD 1945, baik dibidang politik (demokrasi politik) maupun ekonomi (demokrasi ekonomi). Dalam paham kedaulatan rakyat itu, rakyatlah yang diakui sebagai sumber, pemilik dan sekaligus pemegang kekuasaan tertinggi dalam kehidupan bernegara, sesuai dengan doktrin “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Dalam pengertian tersebut, tercakup pula pengertian kepemilikan publik oleh rakyat secara kolektif.” 102 b. Lebih lanjut Mahkamah Konstitusi menguraikan bahwa kepemilikan publik oleh rakyat secara kolektif dikonstruksikan oleh UUD NRI Tahun 1945 dengan memberikan mandat kepada negara untuk melakukan 5 (lima) hal, yaitu:
mengadakan kebijakan ( beleid );
tindakan pengurusan ( bestuursdaad ) dilakukan oleh pemerintah dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas perizinan, lisensi, dan konsesi;
pengaturan ( regelendaad ) dilakukan melalui kewenangan legislasi oleh DPR bersama dengan Pemerintah, dan regulasi oleh Pemerintah;
pengelolaan ( beheersdaad ) dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham dan/atau keterlibatan langsung dalam manajemen BUMN; dan
pengawasan ( toezichthoudensdaad ) dilakukan oleh Pemerintah dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan oleh negara atas cabang produksi yang penting dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak dimaksud benar-benar dilakukan untuk sebesar- besarnya kemakmuran seluruh rakyat.
Berdasarkan uraian mengenai konsepsi “dikuasai oleh negara” di atas, maka meskipun pemaknaan Pasal a quo tidak mencakup anak perusahaan Persero, hal tersebut tidak mengurangi kelima fungsi negara dalam menguasai cabang produksi yang penting dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak. Terlebih dalam fungsi pengelolaan ( beheersdaad ) yang dikhawatirkan Pemohon akan hilang dengan dilakukannya privatisasi terhadap anak perusahaan Persero, perlu DPR tegaskan bahwa jikapun terdapat penjualan saham anak perusahaan Persero, maka saham yang dijual tersebut merupakan milik Persero dan bukan milik Negara. Sedangkan Mahkamah Konstitusi telah menguraikan bahwa fungsi pengelolaan ( beheersdaad ) dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham di dalam BUMN, bukan saham di dalam anak perusahaan BUMN. Oleh karena itu pemaknaan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN 103 yang tidak mencakup anak perusahaan Persero tidak akan menyebabkan Negara kehilangan “hak menguasai negara/HMN”.
Jikapun Pemohon merujuk anak perusahaan Persero kepada PT Perusahaan Gas Negara, Tbk. yang sebelumnya merupakan BUMN, DPR menjelaskan bahwa Negara masih memiliki saham dwiwarna dengan hak istimewa yang ditetapkan dalam anggaran dasar. Hak istimewa tersebut menyebabkan Negara masih memiliki kontrol terhadap PT Perusahaan Gas Negara, Tbk. meskipun telah tidak lagi berstatus sebagai BUMN ( vide Pasal 3 PP 6/2018). Hal ini selaras dengan pendapat Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa penguasaan negara dalam arti privat tidak mutlak selalu harus 100% asalkan Negara tetap menjadi penentu kebijakan dalam dalam badan usaha yang bersangkutan. Dalam Putusan Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa: “...penguasaan dalam arti pemilikan privat itu juga harus dipahami bersifat relatif dalam arti tidak mutlak selalu harus 100%, asalkan penguasaan oleh negara c.q. Pemerintah atas pengelolaan sumber-sumber kekayaan dimaksud tetap terpelihara sebagaimana mestinya. Meskipun Pemerintah hanya memiliki saham mayoritas relatif, asalkan tetap menentukan dalam proses pengambilan keputusan atas penentuan kebijakan dalam badan usaha yang bersangkutan, maka divestasi ataupun privatisasi atas kepemilikan saham Pemerintah dalam badan usaha milik negara yang bersangkutan tidak dapat dianggap bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945. Dengan demikian, Mahkamah berpendapat, ketentuan Pasal 33 UUD 1945 tidaklah menolak privatisasi, sepanjang privatisasi itu tidak meniadakan penguasaan negara c.q Pemerintah, untuk menjadi penentu utama kebijakan usaha dalam cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak” 5. Terkait dengan dalil Pemohon yang menyatakan bahwa anak perusahaan PT Pertamina (Persero) tidak dapat diprivatisasi, DPR menerangkan sebagai berikut:
Bahwa definisi dari privatisasi berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 12 UU BUMN adalah “Penjualan saham persero, baik sebagian maupun seluruhnya, kepada pihak lain dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai dari perusahaan, memperbesar manfaat bagi 104 negara dan masyarakat, serta memperluas kepemilikan saham oleh masyarakat”. Adapun maksud privatisasi adalah memperluas kepemilikan masyarakat atas persero, meningkatkan efisiensi dan produktivitas perusahaan, menciptakan struktur keuangan dan manajemen keuangan yang baik/kuat, menciptakan struktur industri yang sehat dan kompetitif, menciptakan persero yang berdaya saing dan menumbuhkan iklim usaha ekonomi makro dan kapasitas pasar. Bahwa tujuan dari privatisasi itu sendiri adalah dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat serta memperluas pemilikan saham oleh masyarakat. Privatisasi dilakukan dengan memperhatikan prinsip-prinsip transparansi, kemandirian, akuntabilitas, pertanggungjawaban, dan kewajaran.
Bahwa BUMN merupakan kepanjangan tangan dari negara dalam menjalankan sebagian dari fungsi negara untuk mencapai tujuan negara, salah satunya yaitu memajukan kesejahteraan umum. Dari perspektif permodalan, sebagian atau seluruh modal BUMN berasal dari keuangan negara maka BUMN tidak dapat sepenuhnya dianggap sebagai badan hukum privat. Sedangkan arti dari privatisasi itu sendiri dapat dimaknai sebagai suatu proses pengalihan kepemilikan yang semula milik umum (publik) menjadi milik pribadi (privat). Berdasarkan hal tersebut maka yang diprivatisasi adalah yang semula perusahaan publik, yaitu BUMN, menjadi privat atau dimiliki sebagian oleh swasta.
Bahwa istilah privatisasi tidak dapat digunakan untuk pengalihan kepemilikan saham anak perusahaan BUMN karena anak perusahan BUMN sejak semula sudah bersifat privat dengan modal yang tidak berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan melainkan berasal dari kekayaan BUMN induknya. Sehingga jika Pemohon mendalilkan untuk anak perusahaan BUMN dimasukan pemaknaannya ke dalam Pasal a quo adalah tidak tepat karena pasal tersebut memang ditujukan untuk perusahaan publik yaitu BUMN, dan bukan ditujukan untuk anak perusahaan BUMN yang berstatus sebagai perseroan terbatas (perusahaan privat). 105 d. Bahwa ketentuan Pasal 76 ayat (1) UU BUMN menyatakan bahwa persero yang dapat diprivatisasi harus sekurang-kurangnya memenuhi kriteria industri/sektor usahanya kompetitif yang kemudian dijelaskan bahwa sektor tersebut tidak semata-mata dikhususkan untuk BUMN. Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi menyatakan bahwa kegiatan usaha hulu (yang mencakup eksplorasi dan eksploitasi) dan kegiatan usaha hilir (yang mencakup pengolahan, pengangkutan, penyimpanan, dan niaga) dapat dilaksanakan oleh BUMN, BUMD, koperasi usaha kecil, dan badan usaha swasta. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka sektor kegiatan usaha minyak dan gas bumi tidak semata-mata dikhususkan untuk BUMN dan bahkan terbuka untuk dilaksanakan oleh badan usaha swasta.
Bahwa hal tersebut juga diperkuat oleh pertimbangan Mahkamah Konstitusi atas pengujian UU Migas pada halaman 110 dan halaman 111 butir 3.17 Putusan MK Nomor 36/PUU-X/2012 yang pada intinya menurut Mahkamah __ Pasal 9 UU Migas dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada perusahaan nasional baik Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Koperasi, usaha kecil, badan usaha swasta untuk berpartispasi dalam kegiatan usaha minyak dan gas bumi.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 76 ayat (2) UU BUMN, terhadap BUMN/Persero yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan untuk dipertahankan dan BUMN/Persero yang melaksanakan penugasan Pemerintah, tetap dapat melakukan pemisahan sebagian asetnya untuk dijadikan anak perusahaan, dan selanjutnya anak perusahaan tersebut dapat dilakukan penjualan sahamnya. Jelas bahwa UU BUMN telah membolehkan BUMN Persero yang bergerak di bidang usaha yang penting bagi Negara, untuk membentuk anak perusahaan yang selanjutnya saham dapat dijual. Bagaimana nilai suatu anak perusahaan bagi induknya, merupakan suatu hal yang dari waktu ke waktu berpotensi berubah, sesuai dengan kajian usaha terhadap anak perusahaan. Sehingga, sangat tidak logis apabila suatu 106 BUMN yang mengemban peran Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945 wajib mempertahankan seluruh anak perusahaannya, apabila berdasarkan perkembangan zaman perlu melakukan restrukturisasi anak-anak perusahaannya termasuk dengan penjualan saham anak-anak perusahaan.
Meskipun dalam permohonannya Pemohon menyatakan terdapat perbedaan uji materiil yang diajukan oleh Pemohon dengan uji materiil yang telah diputus sebelumnya oleh Mahkamah Konstitusi sebagaimana dapat dilihat dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 58/PUU-VI/2008 sehingga tidak bersifat nebis in idem , DPR menerangkan bahwa dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 58/PUU-VI/2008 tersebut tegas bahwa Mahkamah menyatakan ketentuan dalam Pasal 77 tidaklah bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945, dimana privatisasi itu sendiri memang tidak dilarang sepanjang berkesesuaian dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur terkait dengan hal tersebut. Terlebih lagi ketentuan dalam Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945 tidaklah menolak privatisasi sepanjang privatisasi tersebut tidak meniadakan penguasaan negara c.q Pemerintah, oleh karena itu maka Mahkamah tidak boleh terjebak dengan menerima dan mengabulkan pengujian norma dari sebuah undang-undang apabila akan berakibat berubahnya pendirian Mahkamah dalam putusan sebelumnya tanpa adanya argumen yang kuat untuk mengubah pendirian mahkamah.
Bahwa terkait dengan uraian argumentasi Pemohon (Posita), Pemohon tidak konsisten dalam memberikan dasar uraian kerugian yang sedang dialami atau kerugian yang berpotensi dialami oleh Pemohon. Dalam awal uraian permohonannya, Pemohon menguraikan mengenai adanya potensi pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja pada anak-anak perusahaan PT Pertamina (Persero), tetapi uraian tersebut tidak diperkuat dengan argumentasi yang dibangun lebih lanjut, sedangkan dalam uraian selanjutnya Pemohon malah lebih banyak menguraikan mengenai potensi hilangnya hak menguasai negara yang sama sekali tidak dikaitkan dengan potensi pemutusan hubungan kerja, berkurangnya kualitas hidup, dan kesejahteraan pekerja pada anak 107 perusahaan PT Pertamina (Persero) yang sedang diperjuangkan oleh Pemohon sebagai federasi serikat pekerja. C. RISALAH UU BUMN 1. Keterangan Menteri Badan Usaha Milik Negara Mewakili Pemerintah Mengenai Rancangan Undang-Undang Tentang Badan Usaha Milik Negara (Jakarta, 2 Juli 2002) (pdf. hlm. 143. Page 121) ..... Untuk kedepan, program privatisasi perlu diarahkan dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai tambah perusahaan serta meningkatkan peran serta masyarakat dalam pemilikan saham BUMN dan perlu dilandaskan pada suatu Undang-Undang yaitu dimasukan dalam Undang-Undang BUMN. Privatisasi juga dilaksanakan dengan pertimbangan strategis bahwa asas kemanfaatan lebih diutamakan dari pada asas kepemilikan. Dalam kenyataannya, Persero yang telah diprivatisasi memberikan manfaat yang jauh lebih besar daripada Persero yang belum diprivatisasi, baik dalam bentuk pembayaran pajak kepada negara, deviden maupun dalam penyerapan tenaga kerja. Dengan dilakukan privatisasi Persero, bukan berarti kendali atau kedaulatan negara menjadi berkurang atau hilang, negara tetap memegang kendali melalui regulasi sektoral. __ Sidang Dewan yang terhormat, __ Dalam Undang-Undang ini tidak dilakukan pembahasan khusus mengenai makna Pasal 33 UUD 1945 dimana ditentukan antara lain adanya penguasaan kekayaan alam yang akan dimanfaarkan setinggi- tingginya untuk kemakmuran rakyat. Walaupun penguasaan tidak harus selalu berarti hanya sebagai pemilikan, tetapi juga termasuk di dalamnya penguasaan melalui regulasi. Pada dasarnya kegiatan BUMN maupun badan usaha milik swasta adalah sama yaitu dalam upaya mengoptimalkan manfaat sumber daya yang kita miliki bagi kepentingan rakyat banyak. Namun demikian penafsiran terhadap Pasal 33 UUD 1945 tersebut sepenuhnya merupakan kewenangan MPR. 2. Jawaban Pemerintah Atas Pemandangan Umum DPR-RI Mengenai Rancangan Undang-Undang Tentang Badan Usaha Milik Negara, Tanggal 18 November 2002 (pdf hlm 273, Page 212) .......... 14. menanggapi pertanyaan mengenai program dan kebijakan pemerintah agar masyarakat dalam negeri memperoleh kesempatan lebih besar untuk memiliki saham BUMN dan syarat-syarat apa saja yang ditentukan dan harus dijamin perusahaan asing pembeli saham BUMN bagi terciptanya peningkatan kinerja, nilai tambah dan peningkatan manfaat BUMN tanpa adanya PHK dan kenaikan harga _barang dan jasa dikemudian hari, kiranya dapat kami sampaikan bahwa: _ 108 a. kami sependapat bahwa masyarakat/invenstor dalam negeri harus diberikan kesempatan yang lebih besar untuk ikut serta dalam kepemilikan saham BUMN. Namun karena IPO bersifat terbuka, maka siapa saja termasuk investor asing dapat membeli saham BUMN. Disamping itu, apabila kapasitas pasar dalam negeri tidak dapat menampung, maka diundanglah invenstor asing, karena selain alasan daya serap pasar, Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional yang terikat dalam berbagai kesepakatan seperti GATT, WTO, dan AFTA, tidak dapat melakukan proteksi atau diskriminasi terhadap invenstor asing. b. sebagaimana telah kami kemukan bahwa privatisasi BUMN, baik melaui IPO maupun Strategic Sales dilaksanakan secara terbuka. Dalam hal privatisasi melalui strategic sales dilakukan melaui tender terbuka (open bidding) disertai dengan persyaratan tertentu yang harus dimiliki/dipenuhi oleh strategic partner, seperti modal, teknologi dan expertise. Dalam kenyataannya, hal-hal yang stategis tersebut yang diperlukan oleh perusahaan, kebetulan dimiliki oleh investor asing. __ Disamping itu, dalam rangka mengamankan kepentingan Pemerintah di masa yang akan datang. Maka untuk itu perlu dilakukan hal-hal yang sifatnya melindungi kepentingan pemerintah (ring fencing). Pemerintah harus tetap juga memperhatikan perlindungan terhadap kepentingan karyawan dan stakeholders lainnya maupun hal-hal yang berkaitan dengan transfer of technology. Hal-hal tersebut biasanya dicantumkan dalam shareholders agreement dan atau share and purchase agreement. Dengan privatisasi terbukti bahwa kinerja perusahaan meningkat, kontribusi perusahaan terhadap negara seperti pajak dan dividen pun meningkat, demikiran pula kesejahteraan karyawan, daya serap terhadap terhadap tenaga kerja meningkat setelah diprivatisasi. Peningkatan kinerja tersebut karena perusahaan dikelola secara efisien dan prinsip-prinsip Good Corporate Governance benar-benar diterapkan sehingga dengan demikian, privatisasi dapat dirasakan manfaat oleh seluruh masyarakat. 3. Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Pakar Ekonomi Prof. Dr. Didik J. Rachbini, Drs. Revrisond Baswir SE. MBA, dan Faisal Basri, SE, MA. Rapat Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1969 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1969 tentang Bentuk-Bentuk Usaha Negara Menjadi Undang-Undang tanggal 13 Juni 2002 (Pdf hlm 568, Page 426) Pakar (Revrison Baswir) ........ Bagi saya memang begini kalau saya mencoba belajar yang saya gali habis-habisan itu adalah antara lain tulisan-tulisannya Bung Hatta, sebagaimana beliau dulu mencoba menjabarkan Pasal 33 ayat 1,2,3 109 dan seterusnya gitu, dan memang dari penjelasan-penjelasan Bung Hatta dan hampir semua artikel Beliau. Beliau mengatakan bahwa yang dimaksud dengan dikuasai oleh negara tidak berarti negara itu sendiri berusaha, berkali-kali di tegaskan, tidak berarti negara itu sendiri terjun ke dalam dunia bisnis tidak gitu, yang dimaksud dengan dikuasai oleh negara itu adalah negara mengatur, adapun operasi kegiatannya dapat diserahkan kepada badan lain, bisa berbentuk swasta bisa berbentuk BUMN, jadi BUMN itu hanya soal kepemilikan saham bukan soal apakah itu negara yang berbisnis gitu, ga harus begitu. Jadi, sahamnya di miliki seperti tadi dijelaskan oleh Mas Didik ya, sahamnya di miliki oleh negara tetapi dia di pisahkan dari pemerintahan ya, dipisahkan dari pemerintahan lalu di kelola secara independen bahkan dalam satu BUMN pun yang itu bisa dilakukan gitu, andaikata misalnya dilakukan kontrakting out dalam pengelolaan manajemen, manajemennya di serahkan ke swasta sahamnya tetap di miliki oleh negara gitu, dan saya sebeneranya kalau bicara mengenai pengelolaan BUMN dalam konteks Undang-Undang BUMN mungkin tidak secara langsung berkaitan dengan usulan privatisasi ya tapi BUMN secara keseluruhan. 4. Rapat Kerja Senin 14 April 2003 Pukul 11.10 Anggota Fraksi Reformasi (Ir.Afni Achmad) (hal. 804 pdf, hal. 217 file rapat) “Saya mendukung pernyataan Pak Barliana tadi, tetapi saya ingatkan bahwa inipun terkait nanti kepada proses Privatisasi Pak. Jadi Kalimat- kalimat “menguasai dan dimiliki” itu nanti akan turun di dalam proses pembahasan tentang Privatisasi. Apa artinya, artinya berarti kita sudah sepakat yang kita katakana BUMN adalah yang dimiliki secara penuh atau yang sebagaian besar kita miliki. Oleh sebab itu berarti yang hanya pemilikan kita kecil itu sama sekali tidak berkuasa dalam konteks kepemilikan. Oleh sebab itu mari kita hubugan dengan Pasal 33 “menguasai hajat hidup orang banyak”ini proses Pak di dalam Privatisasi tadi. Jadi ini hati- hati konteks kepemilikan dan penguasaan di dalam saham dan konteks semangat Pasal 33 soal hajat hidup orang banyak.” 5. Rapat Panja Selasa 15 April 2003 Pukul 11.10 Anggota Fraksi Partai Golkar (H. Ariady Achmad, B.Ac) (hal. 1062 pdf, hal. 476 file rapat) “F-PG ini ada tiga poin yang secara substansi sampaikan perubahannya itu pada.” __ __ __ 110 _“Persero yang tidak boleh diprivatisasi adalah: _ a. Persero yang bergerak dalam industry pengolahan sumber daya alam yang produknya merupakan hajat hidup orang banyak dan terkait langsung dengan perekonomian nasional b. Persero yang dinyatakan sehat dan berkinerja baik serta sedang memberikan kontribusi yang nyata pada penerimaan negara.” III. PETITUM DPR Bahwa berdasarkan keterangan tersebut di atas, DPR memohon agar kiranya, Yang Mulia Ketua dan Majelis Hakim Konstitusi memberikan amar putusan sebagai berikut:
Menyatakan bahwa Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum ( legal standing ) sehingga permohonan a quo harus dinyatakan tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard );
Menolak permohonan a quo untuk seluruhnya;
Menerima keterangan DPR secara keseluruhan;
Menyatakan bahwa Pasal 77 huruf c dan d Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4297) tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tetap memiliki kekuatan hukum mengikat. Apabila Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya ( ex aequo et bono ). [2.4] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon tersebut, Presiden telah memberikan keterangan dalam persidangan tanggal 14 Oktober 2020 yang dilengkapi dengan keterangan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 12 Oktober 2020, serta tambahan keterangan tertulis bertanggal yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 11 Desember 2020 yang pada pokoknya sebagai berikut: I. POKOK PERMOHONAN PEMOHON Bahwa ketentuan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN menurut Pemohon bertentangan dengan ketentuan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI 1945 sepanjang larangan privatisasi dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d hanya 111 diberlakukan secara limitatif terhadap Persero dan tidak diberlakukan juga terhadap Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero dengan alasan sebagai berikut:
Apabila larangan privatisasi dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN hanya diberlakukan secara limitatif terhadap Persero dan tidak diberlakukan juga terhadap Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero, maka akan berpotensi terjadinya privatisasi bahkan hilangnya eksistensi terhadap Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero, karena Anak Perusahaan dari Perusahaan Persero tersebut bukanlah suatu Perusahaan Persero melainkan Perseroan Terbatas biasa. Oleh karena itu, tidak menutup kemungkinan Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero tersebut seluruh dan/atau sebagian besar sahamnya dapat dikuasai oleh swasta/perorangan akibat dari tindakan privatisasi Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero.
Ketentuan dalam Pasal 5 ayat (4) dan ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (selanjutnya disebut PP 35/2004), yang menyatakan bahwa PT Pertamina (Persero) hanya dapat mengajukan permohonan untuk mendapatkan wilayah kerja apabila sahamnya masih 100% (seratus persen) dimiliki negara merupakan bentuk pelaksanaan amanat Pasal 33 UUD 1945 yang menyatakan cabang-cabang produksi yang penting dan sumber daya alam harus dikuasai oleh negara sepenuhnya, tidak dibagi-bagi dengan swasta/ perorangan, dengan tujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Telah terjadi unbundling Pertamina karena seluruh bisnis inti ( core business ) dari hulu ke hilir, dari eksplorasi hingga pemasaran, telah dilakukan secara terpisah/tidak terintegrasi oleh sub holding /anak perusahaan yang berbeda- beda dari PT Pertamina (Persero) yang merupakan Perseroan Terbatas Biasa. Unbundling pada BUMN yang mengelola cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak berpotensi untuk dilakukan pelepasan seluruh atau sebagian besar saham anak-anak perusahaan BUMN tersebut kepada swasta/perorangan (privatisasi) di mana hal tersebut berpotensi menghilangkan hak menguasai negara. Selain itu, berpotensi juga menjadi persaingan bisnis antar sektor usaha badan usaha yang berbeda. 112 II. KEDUDUKAN HUKUM ( LEGAL STANDING ) PEMOHON Bahwa Pasal 51 ayat (1) UU MK telah jelas mengatur Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang, yang meliputi:
Perorangan Warga Negara Indonesia;
Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
Badan hukum publik atau privat; atau
Lembaga Negara. Bahwa berdasarkan ketentuan tersebut, agar Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan suatu permohonan uji materiil Undang-Undang terhadap UUD 1945, maka harus dibuktikan bahwa:
Pemohon memenuhi kualifikasi untuk mengajukan permohonan sesuai dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK; dan
Hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon dirugikan akibat berlakunya Undang-Undang yang diuji. Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 010/PUU-III/2005 telah berpendapat bahwa kerugian konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu Undang-Undang menurut Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi 5 (lima) syarat kumulatif, yaitu:
Adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
Adanya hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu Undang-Undang yang diuji;
Kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
Adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji; dan
Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Dalam perkara a quo ini, ijinkan Pemerintah memberikan tanggapan terhadap kedudukan hukum ( legal standing) Pemohon yaitu bahwa menurut Pemerintah, 113 Pemohon dalam hal ini tidak dalam posisi dirugikan, dikurangi, atau setidak- tidaknya dihalang-halangi hak konstitusionalnya dengan keberlakuan ketentuan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN dengan alasan sebagai berikut:
Tidak ada hak konstitusional Pemohon yang dirugikan atas berlakunya ketentuan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN dengan alasan sebagai berikut:
Pemohon mempunyai hak konstitusional sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI 1945, bahwa Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI 1945 pada intinya mengatur hak menguasai negara atas cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak dan hak menguasai negara atas bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya yang dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat;
Tetapi Pemohon dalam permohonan a quo mendalilkan bahwa kerugian hak konstitusional Pemohon karena keberlakuan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN bahwa perusahaan Pemohon yang merupakan Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero (BUMN) yang bergerak di usaha pengelolaan sumber daya alam minyak dan gas bumi (selanjutnya disebut migas) terancam diprivatisasi. Sedangkan Pemohon berharap dengan dimasukkannya perusahaan Pemohon yang merupakan Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero ke dalam ketentuan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN akan mengakibatkan perusahaan Pemohon tidak dapat dilakukan privatisasi.
Bentuk penguasaan negara dalam ketentuan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI 1945 diamanatkan agar dilakukan melalui penguasaan negara secara langsung atau dengan cara membentuk BUMN. Sedangkan Pemohon dalam permohonannya justru berusaha menambah norma yang pada intinya menjadikan perusahaan Pemohon yang merupakan Perseroan Terbatas (karena merupakan Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero) menjadi diperlakukan sama dengan BUMN dalam hal tidak dapat diprivatisasi. Hal ini menunjukkan bahwa fokus atau kekhawatiran utama yang didalilkan oleh Pemohon adalah “agar Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero tidak 114 dapat diprivatisasi” dan bukan pada usaha melindungi hak menguasai negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI 1945.
Antara kerugian yang didalilkan oleh Pemohon dengan keberlakuan ketentuan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN tidak mempunyai hubungan sebab akibat ( causal verband ) karena ketentuan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI 1945 mengamanatkan hak menguasai ada di tangan negara yang kemudian diimplementasikan ke dalam pembentukan BUMN, sedangkan perusahaan Pemohon bukanlah BUMN karena merupakan Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero yang tunduk pada pengaturan mengenai Perseroan Terbatas.
Kerugian konstitusional yang didalilkan oleh Pemohon tidak bersifat spesifik dengan alasan bahwa di satu sisi Pemohon menggunakan ketentuan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI 1945 dalam mendasarkan hak konstitusionalnya dirugikan karena ketentuan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN yang dianggap akan meniadakan hak menguasai negara, namun dalam permohonannya berulang kali Pemohon menyampaikan bahwa dirinya khawatir perusahaan tempat dirinya bekerja diprivatisasi. Sehingga patut dipertanyakan apakah kerugian Pemohon terkait dengan potensi ketiadaan hak menguasai negara atau kekhawatiran perusahaan Pemohon akan diprivatisasi? 4. Terkait dengan kerugian Pemohon dalam mendapatkan kualitas hidup dan kesejahteraan Pemohon atas berlakunya ketentuan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN, hal tersebut hanyalah merupakan dalil kerugian Pemohon yang tidak berdasar, dengan alasan sebagai berikut:
Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 tidak diperuntukkan untuk menjamin kualitas hidup dan kesejahteraan Pemohon. Bahwa Pemohon tidak menjadikan sebagai batu uji Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan “ Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan ”, sehingga tidak relevan keberlakuan ketentuan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN menyebabkan kualitas hidup dan kesejahteraan pegawai Perusahaan Grup PT Pertamina (Persero)/BUMN beserta keluarganya akan tidak 115 terjamin apabila anak-anak perusahaan PT Pertamina (Persero)/BUMN tidak dikontrol dengan baik oleh Negara.
Penjualan saham anak perusahaan kepada pihak lain bukan merupakan privatisasi, karena yang dijual adalah saham anak perusahaan, bukan saham Persero. Hal ini sesuai dengan Pasal 1 angka 12 UU BUMN yang menyatakan: “ Privatisasi adalah penjualan saham Persero, baik sebagian maupun seluruhnya, kepada pihak lain dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat, serta memperluas pemilikan saham oleh masyarakat ”.
Kelangsungan bisnis dan eksistensi PT Pertamina (Persero) tidak terancam. Penjualan saham anak perusahaan PT Pertamina (Persero) harus didasarkan pada perhitungan/kajian bisnis yang bertujuan meningkatkan kemampuan/kinerja dan nilai perusahaan, dalam hal ini anak perusahaan, yang pada akhirnya mendukung kinerja PT Pertamina (Persero). Penjualan saham anak perusahaan PT Pertamina (Persero) harus dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang perseroan terbatas dan peraturan perundang- undangan lainnya termasuk di bidang ketenagakerjaan.
Penjualan saham anak perusahaan tidak menyebabkan kemakmuran hanya untuk sebesar-besarnya kemakmuran swasta/perorangan. Kemakmuran harus diartikan secara luas, tidak terbatas pada keuntungan yang diperoleh perusahaan dalam hal ini Anak Perusahaan dan PT Pertamina (Persero) saja, namun kemakmuran yang dirasakan oleh masyarakat melalui antara lain penerimaan pajak, ketersediaan barang dan jasa di bidang migas. Seandainya dilakukan penjualan saham anak perusahaan yang telah melalui perhitungan/kajian bisnis yang bertujuan meningkatkan kemampuan/kinerja dan nilai anak perusahaan serta mendukung kinerja PT Pertamina (Persero), maka kegiatan PT Pertamina (Persero) dan anak perusahaannya secara langsung dan tidak langsung akan meningkatkan kemakmuran bagi karyawan dan masyarakat, bukan hanya swasta atau perorangan. 116 5. Dalam menguraikan kerugian terhadap hak konstitusionalnya di atas, Pemohon hanya mendasarinya dengan kekhawatiran dan asumsi yang tidak berdasar. Meskipun Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 010/PUU-III/2005 telah berpendapat bahwa kerugian konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu Undang-Undang menurut Pasal 51 ayat (1) UU MK salah satunya adalah “ kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi ”, namun bukan berarti syarat kerugian tersebut dapat terpenuhi dengan mendasarkannya hanya pada kekhawatiran dan asumsi yang tak berdasar. Berdasarkan hal tersebut di atas, Pemerintah berpendapat Pemohon dalam permohonan ini tidak memenuhi kualifikasi sebagai pihak yang memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) sebagaimana ditentukan dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011, maupun berdasarkan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu ( vide Putusan Nomor: 006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007). Oleh karena itu, menurut Pemerintah adalah tepat dan beralasan dan sudah sepatutnyalah jika Ketua dan Majelis Hakim Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). __ Namun demikian Pemerintah dalam hal ini menyerahkan sepenuhnya kepada Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Konstitusi yang memeriksa perkara a quo untuk mempertimbangkan dan menilai apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) atau tidak. III. KETERANGAN PEMERINTAH ATAS MATERI PERMOHONAN YANG DIMOHONKAN UNTUK DIUJI Sebelum Pemerintah menyampaikan keterangan terkait norma materi muatan yang dimohonkan untuk diuji oleh Pemohon, Pemerintah terlebih dahulu menyampaikan landasan filosofis UU BUMN sebagai berikut: 117 Sesuai dengan angka IV Penjelasan Umum UU BUMN yang menyatakan: “ Untuk dapat mengoptimalkan perannya dan mampu mempertahankan keberadaannya dalam perkembangan ekonomi dunia yang semakin terbuka dan kompetitif, BUMN perlu menumbuhkan budaya korporasi dan profesionalisme antara lain melalui pembenahan pengurusan dan pengawasannya. Pengurusan dan pengawasan BUMN harus dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip tata-kelola perusahaan yang baik (good corporate governance). Peningkatan efisiensi dan produktifitas BUMN harus dilakukan melalui langkah-langkah restrukturisasi dan privatisasi. Restrukturisasi sektoral dilakukan untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif sehingga tercapai efisiensi dan pelayanan yang optimal. Sedangkan restrukturisasi perusahaan yang meliputi penataan kembali bentuk badan usaha, kegiatan usaha, organisasi, manajemen, dan keuangan. Privatisasi bukan semata- mata dimaknai sebagai penjualan perusahaan, melainkan menjadi alat dan cara pembenahan BUMN untuk mencapai beberapa sasaran sekaligus, termasuk didalamnya adalah peningkatan kinerja dan nilai tambah perusahaan, perbaikan struktur keuangan dan manajemen, penciptaan struktur industri yang sehat dan kompetitif, pemberdayaan BUMN yang mampu bersaing dan berorientasi global, penyebaran kepemilikan oleh publik serta pengembangan pasar modal domestik. Dengan dilakukannya privatisasi BUMN, bukan berarti kendali atau kedaulatan negara atas BUMN yang bersangkutan menjadi berkurang atau hilang karena sebagaimana dinyatakan di atas, negara tetap menjalankan fungsi penguasaan melalui regulasi sektoral dimana BUMN yang diprivatisasi melaksanakan kegiatan usahanya. ” Berdasarkan angka IV Penjelasan Umum UU BUMN tersebut di atas, sebagai upaya untuk meningkatkan efisiensi dan produktifitas BUMN, dapat dilakukan restrukturisasi dan privatisasi. Salah satu bentuk restrukturisasi perusahaan dilakukan melalui pembentukan holding BUMN, yaitu mengalihkan kepemilikan negara pada satu atau beberapa BUMN menjadi tambahan modal saham negara pada satu BUMN lainnya, sehingga BUMN tersebut menjadi holding (induk). Sebagaimana dinyatakan dalam pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 yang menyatakan sebagai berikut: “ Menimbang bahwa Mahkamah berpendapat pembuat undang-undang juga menilai bahwa tenaga listrik hingga saat ini masih merupakan cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, sehingga oleh karenanya menurut Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 harus tetap dikuasai oleh negara, dalam arti harus dikelola oleh negara melalui perusahaan negara yang didanai oleh pemerintah (negara) atau dengan kemitraan bersama swasta nasional atau asing yang menyertakan dana pinjaman dari dalam dan luar negeri atau dengan melibatkan modal swasta nasional/asing dengan sistem kemitraan yang baik dan saling menguntungkan. Hal ini berarti bahwa hanya BUMN yang boleh mengelola 118 usaha tenaga listrik, sedangkan perusahaan swasta nasional atau asing hanya ikut serta apabila diajak kerjasama oleh BUMN, baik dengan kemitraan, penyertaan saham, pinjaman modal dan lain-lain. Persoalannya adalah apakah yang dimaksud dengan perusahaan negara pengelola tenaga listrik hanyalah BUMN, dalam hal ini PLN, ataukah bisa dibagi dengan perusahaan negara yang lain, bahkan dengan perusahaan daerah (BUMD) sesuai dengan semangat otonomi daerah? Mahkamah berpendapat, jika PLN memang masih mampu dan bisa lebih efisien, tidak ada salahnya jika tugas itu tetap diberikan kepada PLN, tetapi jika tidak, dapat juga berbagi tugas dengan BUMN lainnya atau BUMD dengan PLN sebagai “holding company”. ” Berdasarkan pertimbangan Mahkamah Konstitusi tersebut di atas, maka pembentukan holding company adalah salah satu bentuk penguatan BUMN, khususnya dalam rangka melaksanakan penugasan yang diberikan oleh Pemerintah kepada BUMN selaku agen pembangunan ( agent of development), dimana penguatan BUMN tersebut dapat mempergunakan potensi BUMN lain dengan bersinergi, sehingga tidak lagi membebani APBN. Mengingat untuk pembentukan holding merupakan pengalihan saham milik negara pada BUMN lain (kekayaan negara yang sudah dipisahkan), sehingga tidak lagi membebani APBN atau tidak ada lagi pemisahan kekayaan negara dari APBN, maka untuk melakukan pembentukan holding tidak lagi dilakukan melalui mekanisme APBN. Namun demikian, pembentukan holding tetap harus melalui kajian Pemerintah dan ditetapkan melalui PP (Pasal 2A, Pasal 3 PP 44/2005 jo . PP 72/2016). Sedangkan privatisasi semata-mata bukan dimaknai sebagai penjualan perusahaan, melainkan alat dan cara pembenahan BUMN dengan kepesertaan modal mitra strategis atau investor lainnya, termasuk investor finansial, manajemen dan/atau karyawan BUMN. Namun demikian tidak semua BUMN dapat diprivatisasi. Privatisasi menurut ketentuan Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2005 tentang Tata Cara Privatisasi Perusahaan Perseroan (Persero) (selanjutnya disebut PP 33/2005) diartikan sebagai penjualan saham persero baik sebagian atau seluruhnya kepada pihak lain dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi masyarakat serta memperluas kepemilikan saham oleh masyarakat. 119 BUMN yang akan diprivatisasi haruslah dipastikan tidak termasuk dalam BUMN yang dilarang privatisasinya oleh ketentuan peraturan perundangan-undangan sektoral, (yaitu peraturan perundang-undangan yang mengatur kegiatan usaha yang dilakukan oleh BUMN yang bersangkutan). Peraturan perundang- undangan sektoral tersebut tentunya ditetapkan berdasarkan kewenangan Pemerintah (Menteri Teknis/Sektoral dalam hal berbentuk PP atau Peraturan Menteri), atau berdasarkan kesepakatan antara Pemerintah dengan DPR selaku pembuat Undang-Undang. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa Menteri BUMN tidak dapat dengan semena-mena menetapkan privatisasi suatu BUMN. Pasal 77 UU BUMN mengatur bahwa: “ _Persero yang tidak dapat diprivatisasi adalah: _ a. Persero yang bidang usahanya berdasarkan ketentuan peraturan _perundang-undangan hanya boleh dikelola oleh BUMN; _ b. Persero yang bergerak di sektor usaha yang berkaitan dengan _pertahanan dan keamanan negara; _ c. Persero yang bergerak di sektor tertentu yang oleh pemerintah diberikan tugas khusus untuk melaksanakan kegiatan tertentu yang _berkaitan dengan kepentingan masyarakat; _ d. Persero yang bergerak di bidang usaha sumber daya alam yang secara tegas berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dilarang untuk diprivatisasi. ” Sehubungan dengan dalil Pemohon dalam permohonannya, Pemerintah memberikan tanggapan sebagai berikut:
Terhadap dalil Pemohon yang menyatakan apabila larangan privatisasi dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN hanya diberlakukan secara limitatif terhadap Persero dan tidak diberlakukan juga terhadap Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero, maka akan berpotensi terjadinya privatisasi bahkan hilangnya eksistensi terhadap Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero, karena Anak Perusahaan dari Perusahaan Persero tersebut bukanlah suatu Perusahaan Persero melainkan Perseroan Terbatas biasa. Oleh karena itu, tidak menutup kemungkinan Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero tersebut seluruh dan/atau sebagian besar sahamnya dapat dikuasai oleh swasta/perorangan akibat dari tindakan privatisasi Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero, Pemerintah memberikan keterangan sebagai berikut: 120 Privatisasi Tidak Dilakukan Terhadap Anak Perusahaan a. Penjualan saham anak perusahaan kepada pihak lain bukan merupakan privatisasi, karena yang dijual adalah saham anak perusahaan, bukan saham Persero . Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 12 UU BUMN yang menyatakan: “ Privatisasi adalah penjualan saham Persero, baik sebagian maupun seluruhnya, kepada pihak lain dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat, serta memperluas pemilikan saham oleh masyarakat ”. Mengenai definisi dari Persero dapat dilihat dari ketentuan Pasal 1 angka 2 UU BUMN yang menyatakan: “ Perusahaan Perseroan, yang selanjutnya disebut Persero, adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51 % (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan .” Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat dipahami bahwa PT Pertamina (Persero) merupakan BUMN Persero karena seluruh sahamnya dimiliki oleh Negara, sedangkan anak perusahaan PT Pertamina (Persero) bukanlah BUMN Persero, karena paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) sahamnya tidak dimiliki oleh Negara. Saham PT Pertamina (Persero) dimiliki oleh Negara, sedangkan saham Anak perusahaan PT Pertamina (Persero) merupakan saham milik PT Pertamina (Persero). Perbedaan subyek pemilik saham tersebut mengakibatkan perbedaan pemberlakuan hukum antara BUMN Persero (dalam hal ini PT Pertamina (Persero)) dengan Anak Perusahaannya, yaitu untuk Persero berlaku ketentuan mengenai BUMN dan Perseroan Terbatas sedangkan untuk Anak Perusahaannya berlaku ketentuan mengenai Perseroan Terbatas. Pemohon juga telah menyadari bahwa anak perusahaan PT Pertamina (Persero) bukanlah BUMN Persero. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa penjualan saham BUMN Persero disebut privatisasi yang tunduk dalam ketentuan UU BUMN dan 121 Perseroan Terbatas, sedangkan penjualan saham anak perusahaannya tunduk pada ketentuan di bidang perseroan terbatas. Penegasan bahwa anak perusahaan BUMN bukan merupakan BUMN juga dapat dilihat dalam pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam putusan permohonan uji materiil Nomor 01/PHPU- PRES/XVII/2019, dimana dalam pertimbangan hukum Majelis halaman 1936 menyatakan sebagai berikut: Bahwa Pasal 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN) mendefinisikan BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Berdasarkan definisi tersebut maka untuk dapat mengetahui apakah Bank BNI Syariah dan Bank Syariah Mandiri merupakan BUMN atau bukan salah satunya adalah dengan cara mengetahui komposisi modal _atau saham dari kedua bank tersebut; _ Bahwa modal atau saham Bank BNI Syariah dimiliki oleh PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk dan PT BNI Life Insurance (bukti PT-20). Adapun komposisi pemegang saham Bank Syariah Mandiri adalah PT Bank Mandiri (Persero) Tbk dan PT Mandiri Sekuritas (bukti PT-21). Dengan demikian, oleh karena tidak ada modal atau saham dari negara yang bersifat langsung yang jumlahnya sebagian besar dimiliki oleh negara maka kedua bank tersebut tidak dapat didefinisikan sebagai BUMN, melainkan berstatus anak perusahaan BUMN karena didirikan melalui penyertaan saham yang dimiliki oleh BUMN atau dengan kata lain modal atau saham kedua bank tersebut sebagian besar dimiliki _oleh BUMN; _ Pelaksanaan Penguasaan Negara Tidak Dilakukan oleh Anak Perusahaan BUMN/Persero a. Penguasaan negara terhadap cabang-cabang yang penting oleh negara dilakukan oleh negara dan/atau BUMN, bukan oleh anak perusahaan .
Penguasaan cabang-cabang yang penting oleh Negara, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (selanjutnya disebut UU Migas) yang pada intinya menyatakan bahwa sektor migas sebagai sumber daya alam strategis dikuasasi oleh negara, diselenggarakan oleh Pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan dengan membentuk Badan Pelaksana. 122 Konstitusionalitas ketentuan dimaksud juga telah dikuatkan oleh Mahkamah Konstitusi melalui pertimbangan majelis pada halaman 223 dan 224 butir 2 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 002/PUU- I/2003 yang menyatakan: “ Pemohon mendalilkan bahwa pengertian Kuasa Pertambangan dalam Pasal 1 angka 5 undang-undang a quo yang hanya mencakup kegiatan eksplorasi dan eksploitasi, sementara kegiatan pemurnian/pengilangan, pengangkutan, dan penjualan bahan bakar minyak tidak termasuk di dalamnya, bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945. Menurut Pemohon, ketentuan Pasal 1 angka 5 tersebut telah meniadakan penguasaan oleh negara atas cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak. Terhadap dalil Pemohon ini, Mahkamah berpendapat, untuk menilai ada tidaknya penguasaan oleh negara, pasal dimaksud tidak dapat dinilai secara berdiri sendiri melainkan harus dihubungkan dengan pasal-pasal lain secara sistematis. Pasal 1 angka 5 undang- undang a quo yang berbunyi, “Kuasa Pertambangan adalah wewenang yang diberikan Negara kepada Pemerintah untuk menyelenggarakan kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi”, hanyalah memberikan pengertian tentang Kuasa Pertambangan dan sama sekali belum menggambarkan implementasi pengertian “dikuasai oleh negara” dalam Pasal 33 UUD 1945. Lagipula, dalam hubungannya dengan minyak dan gas bumi, yang juga harus dinilai adalah bahwa tujuan penguasaan oleh negara itu, sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, bukanlah untuk penguasaan an sich melainkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, dalam memeriksa dalil Pemohon ini, Mahkamah harus mempertimbangkan secara sistematis konteks pengertian Kuasa Pertambangan dimaksud tatkala diimplementasikan dalam pasal- pasal lain dari undang-undang a quo. Jika pengertian Kuasa Pertambangan dimaksud dihubungkan dengan ketentuan Pasal 4 ayat (1), (2), (3), Pasal 6 ayat (1), (2), dan Pasal 7 ayat (1) _tampak jelas hal-hal sebagai berikut: _ - _bahwa minyak dan gas bumi dikuasai oleh negara; _ - penyelenggara penguasaan oleh negara dimaksud adalah _Pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan; _ - Pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan membentuk Badan Pelaksana, yaitu suatu badan yang dibentuk untuk melakukan pengendalian Kegiatan Usaha _Hulu di bidang minyak dan gas bumi (Pasal 1 angka 23); _ - Pelaksanaan kegiatan usaha eksplorasi dan eksploitasi (Kegiatan Usaha Hulu) dilaksanakan dan dikendalikan melalui Kontrak Kerja Sama, yaitu Kontrak Bagi Hasil atau bentuk kontrak kerja sama lain dalam kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi yang lebih menguntungkan Negara dan 123 hasilnya dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran _rakyat (Pasal 1 angka 19); _ - Kontrak Kerja Sama dimaksud, paling sedikit harus memuat persyaratan: (a) kepemilikan sumber daya alam tetap di tangan Pemerintah sampai pada titik penyerahan (yaitu titik penjualan minyak atau gas bumi); (b) pengendalian manajemen operasi berada pada Badan Pelaksana; (c) modal dan risiko ditanggung Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap. Yang dimaksud “pengendalian manajemen operasi” menurut Penjelasan Pasal 6 ayat (2) adalah pemberian persetujuan atas rencana kerja dan anggaran, rencana pengembangan lapangan, serta pengawasan _terhadap realisasi dari rencana tersebut; _ - Pelaksanaan kegiatan pengolahan, pengangkutan, penyimpanan, dan niaga (Kegiatan Usaha Hilir) dilaksanakan _dengan Izin Usaha; _ Uraian di atas menunjukkan bahwa semua unsur yang terkandung dalam pengertian “penguasaan oleh negara”, yaitu mengatur (regelen), mengurus (bestuuren), mengelola (beheeren), dan mengawasi (toezichthouden) masih tetap berada di tangan Pemerintah, sebagai penyelenggara “penguasaan oleh negara” dimaksud, atau badan-badan yang dibentuk untuk tujuan itu. Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat, dalil Pemohon harus dinyatakan tidak beralasan dan karenanya harus ditolak .” 2) Penguasaan cabang-cabang yang penting oleh BUMN, hal ini sesuai dengan Pertimbangan Majelis Hakim halaman 110 dan 111 butir 3.17 pada Nomor 36/PUU-X/2012 “Posisi BUMN [3.17] Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan Pasal 9 UU Migas sepanjang kata “dapat” bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945. Menurut Pemohon, ketentuan tersebut menunjukan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) hanya menjadi salah satu pemain saja dalam pengelolaan Migas, dan BUMN harus bersaing di negaranya sendiri untuk dapat mengelola Migas. Menurut Mahkamah Pasal 9 UU Migas a quo dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada perusahaan nasional baik Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Koperasi, usaha kecil, badan usaha swasta untuk berpartispasi dalam kegiatan usaha minyak dan gas bumi. Mahkamah dalam putusan Nomor 002/PUU-I/2003, tanggal 21 Desember 2004 telah mempertimbangkan, antara lain, “.... harus mendahulukan (voorrecht) Badan Usaha Milik Negara. Karena itu, Mahkamah menyarankan agar jaminan hak mendahulukan dimaksud diatur dalam Peraturan Pemerintah sebagaimana mestinya”. Lagi pula dengan dinyatakan bahwa semua ketentuan mengenai BP Migas dalam Undang-Undang a quo bertentangan 124 dengan konstitusi sebagaimana dipertimbangan dalam paragraf [3.13.1] sampai dengan paragraf [3.13.5], maka posisi BUMN menjadi sangat strategis karena akan mendapatkan hak pengelolaan dari Pemerintah dalam bentuk izin pengelolaan atau bentuk lainnya dalam usaha hulu Migas. Dengan demikian, anggapan Pemohon bahwa BUMN harus bersaing di negaranya sendiri merupakan dalil yang tidak tepat. Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah, dalil _Pemohon tersebut tidak beralasan menurut hukum;
”_ BUMN/Persero Yang Dapat Diprivatisasi dan BUMN/Persero Yang Tidak Dapat Diprivatisasi a. Bahwa salah satu titik berat permohonan Pemohon menurut Pemerintah adalah pada dapat atau tidaknya suatu BUMN diprivatisasi. Untuk memahami dan membedakan mana BUMN yang dapat diprivatisasi dan mana BUMN yang tidak dapat diprivatisasi, Pemerintah merasa perlu untuk menjelaskan ketentuan Pasal 76 dan Pasal 77 UU BUMN yang menyatakan sebagai berikut: Pasal 76 (1) Persero yang dapat diprivatisasi harus sekurang-kurangnya _memenuhi kriteria: _ _a. industri/sektor usahanya kompetitif; atau _ b. industri/sektor usaha yang unsur teknologinya cepat berubah. (2) Sebagian aset atau kegiatan dari Persero yang melaksanakan kewajiban pelayanan umum dan/atau yang berdasarkan Undang-undang kegiatan usahanya harus dilakukan oleh BUMN, dapat dipisahkan untuk dijadikan penyertaan dalam pendirian perusahaan untuk selanjutnya apabila diperlukan dapat diprivatisasi. Penjelasan ayat (1) Yang dimaksud dengan industri/sektor usaha kompetitif adalah industri/sektor usaha yang pada dasarnya dapat diusahakan oleh siapa saja, baik BUMN maupun swasta. Dengan kata lain tidak ada peraturan perundang-undangan (kebijakan sektoral) yang melarang swasta melakukan kegiatan di sektor tersebut, atau tegasnya sektor tersebut tidak semata-mata dikhususkan untuk BUMN. Yang dimaksud dengan industri/sektor usaha yang unsur teknologi cepat berubah adalah industri/sektor usaha kompetitif dengan ciri utama terjadinya perubahan teknologi yang sangat cepat dan memerlukan investasi yang sangat besar untuk mengganti teknologinya. __ 125 Pasal 77 _Persero yang tidak dapat diprivatisasi adalah: _ a. Persero yang bidang usahanya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan hanya boleh dikelola oleh _BUMN; _ b. Persero yang bergerak di sektor usaha yang berkaitan dengan _pertahanan dan keamanan negara; _ c. Persero yang bergerak di sektor tertentu yang oleh pemerintah diberikan tugas khusus untuk melaksanakan kegiatan tertentu _yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat; _ d. Persero yang bergerak di bidang usaha sumber daya alam yang secara tegas berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan dilarang untuk diprivatisasi. b. Dari ketentuan tersebut, maka sangat jelas bahwa UU BUMN telah memahami pentingnya penguasaan negara melalui BUMN untuk melaksanakan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI 1945 yang menyatakan: Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI 1945 (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. c. Untuk itu, BUMN/Persero yang dapat diprivatisasi haruslah BUMN/Persero yang industri/sektor usahanya kompetitif atau industri/sektor usaha yang unsur teknologinya cepat berubah. Industri/sektor usaha kompetitif adalah yang pada dasarnya dapat diusahakan oleh siapa saja, baik BUMN maupun swasta, atau dengan kata lain tidak ada peraturan perundang-undangan (kebijakan sektoral) yang melarang swasta melakukan kegiatan di sektor tersebut, atau tegasnya sektor tersebut tidak semata-mata dikhususkan untuk BUMN. Yang dimaksud dengan industri/sektor usaha yang unsur teknologi cepat berubah adalah industri/sektor usaha kompetitif dengan ciri utama terjadinya perubahan teknologi yang sangat cepat dan memerlukan investasi yang sangat besar untuk mengganti teknologinya. 126 d. Penafsiran atas sektor mana yang wajib untuk mempertahankan keberadaan BUMN di dalamnya, diserahkan kepada peraturan perundang-undangan sektoral itu sendiri. Hal itu didasari pemahaman bahwa tidak semua sektor usaha merupakan sektor yang strategis untuk dikuasai oleh Negara melalui BUMN, dan dari waktu ke waktu senantiasa terjadi perubahan. Di samping itu, dipahami pula kepentingan negara untuk mempertahankan BUMN yang melaksanakan penugasan Pemerintah. Hal ini terlihat sangat tegas diatur dalam Pasal 77 UU BUMN e. Bahwa karena Pasal 76 ayat (1) UU BUMN merujuk kepada Undang- Undang sektoral, maka Pemerintah dalam hal ini akan merujuk pada UU Migas sesuai dengan sektor usaha dari perusahaan Pemohon bekerja. Berikut ini ketentuan UU Migas yang menjadi rujukan Pemerintah: Pasal 1 angka 17 dan angka 18 UU Migas _Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan: _ 17. Badan Usaha adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang menjalankan jenis usaha bersifat tetap, terus-menerus dan didirikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta bekerja dan berkedudukan dalam wilayah Negara _Kesatuan Republik Indonesia; _ 18. Bentuk Usaha Tetap adalah badan usaha yang didirikan dan berbadan hukum di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang melakukan kegiatan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan wajib mematuhi peraturan _perundang-undangan yang berlaku di Republik Indonesia; _ Pasal 5 UU Migas _Kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi terdiri atas: _ _1. Kegiatan Usaha Hulu yang mencakup: _ _a. Eksplorasi; _ b. Eksploitasi. _2. Kegiatan Usaha Hilir yang mencakup: _ _a. Pengolahan; _ _b. Pengangkutan; _ _c. Penyimpanan; _ d. Niaga. 127 Pasal 9 UU Migas (1) Kegiatan Usaha Hulu dan Kegiatan Usaha Hilir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 1 dan angka 2 dapat dilaksanakan _oleh: _ _a. badan usaha milik negara; _ _b. badan usaha milik daerah; _ _c. koperasi; _ d. badan usaha swasta. (2) Bentuk Usaha Tetap hanya dapat melaksanakan Kegiatan Usaha Hulu. f. Berdasarkan ketentuan Pasal 5 dan Pasal 9 UU Migas di atas, kegiatan usaha migas bukan merupakan sektor usaha yang semata-mata dikhususkan untuk BUMN saja, sehingga sektor usaha migas termasuk ke dalam sektor usaha kompetitif sebagaimana diatur di dalam ketentuan Pasal 76 ayat (1) UU BUMN beserta penjelasannya, karena ada badan usaha lainnya yang dapat ikut serta melaksanakannya.
Bahwa hal tersebut juga diperkuat oleh pertimbangan Mahkamah Konstitusi atas pengujian UU Migas pada halaman 110 dan halaman 111 butir 3.17 Putusan MK Nomor 36/PUU-X/2012 sebagai berikut: [3.17] Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan Pasal 9 UU Migas sepanjang kata “dapat” bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945. Menurut Pemohon, ketentuan tersebut menunjukan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) hanya menjadi salah satu pemain saja dalam pengelolaan Migas, dan BUMN harus bersaing di negaranya sendiri untuk dapat mengelola Migas. Menurut Mahkamah Pasal 9 UU Migas a quo dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada perusahaan nasional baik Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Koperasi, usaha kecil, badan usaha swasta untuk berpartispasi dalam kegiatan usaha minyak dan gas bumi. Mahkamah dalam putusan Nomor 002/PUU-I/2003, tanggal 21 Desember 2004 telah mempertimbangkan, antara lain, “.... harus mendahulukan (voorrecht) Badan Usaha Milik Negara. Karena itu, Mahkamah menyarankan agar jaminan hak mendahulukan dimaksud diatur dalam Peraturan Pemerintah sebagaimana mestinya”. Lagi pula dengan dinyatakan bahwa semua ketentuan mengenai BP Migas dalam Undang-Undang a quo bertentangan dengan konstitusi sebagaimana dipertimbangan dalam paragraf [3.13.1] sampai dengan paragraf [3.13.5], maka posisi BUMN menjadi sangat strategis karena akan mendapatkan hak pengelolaan dari Pemerintah dalam bentuk izin pengelolaan atau bentuk lainnya dalam usaha hulu Migas. Dengan demikian, anggapan Pemohon 128 bahwa BUMN harus bersaing di negaranya sendiri merupakan dalil yang tidak tepat. Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah, dalil Pemohon tersebut tidak beralasan menurut hukum. Terhadap anak perusahaan BUMN/Persero dapat dilakukan penjualan saham h. Sesuai dengan ketentuan Pasal 76 ayat (2) UU BUMN, terhadap BUMN/Persero yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan untuk dipertahankan dan BUMN/Persero yang melaksanakan penugasan Pemerintah, tetap dapat melakukan pemisahan sebagian asetnya untuk dijadikan anak perusahaan, dan selanjutnya anak perusahaan tersebut dapat dilakukan penjualan sahamnya. Jelas bahwa UU BUMN telah membolehkan BUMN Persero yang bergerak di bidang usaha yang penting bagi Negara, untuk membentuk anak perusahaan yang selanjutnya saham dapat dijual. Selanjutnya, dapat kami sampaikan pula bahwa PT Pertamina (Persero) memiliki anak perusahaan yang sebelumnya merupakan BUMN, yaitu PT Perusahaan Gas Negara Tbk (“PT PGN Tbk”). Negara masih memiliki saham seri A dwiwarna pada PT PGN Tbk. Berdasarkan Pasal 2A ayat (7) PP No.72 Tahun 2016, terhadap PT PGN Tbk masih terdapat perlakuan khusus, yaitu masih dapat diberikan penugasan oleh pemerintah dan mengelola sumber daya alam dengan perlakuan tertentu sebagaimana diberlakukan bagi BUMN. Di samping itu, PT Pertamina (Persero) memiliki anak perusahaan:
yang berasal dari pemisahan unit/aset PT Pertamina (Persero), 2) yang didirikan untuk melaksanakan tugas yang berdasarkan ketentuan harus dilaksanakan oleh entitas usaha tersendiri.
yang merupakan perusahaan baru lainnya yang didirikan untuk mendukung usaha PT Pertamina (Persero). Bagaimana nilai suatu anak perusahaan bagi induknya, merupakan suatu hal yang dari waktu ke waktu berpotensi berubah, sesuai dengan kajian usaha terhadap anak perusahaan . Sehingga, sangat tidak logis apabila suatu BUMN yang mengemban peran Pasal 33 UUD 1945 wajib 129 mempertahankan seluruh anak perusahaannya, apabila berdasarkan perkembangan zaman perlu melakukan restrukturisasi anak-anak perusahaannya termasuk dengan penjualan saham anak-anak perusahaan. Dalam sejarahnya, PT Pertamina (Persero) pernah melakukan penjualan saham anak perusahaannya, yaitu PT Elnusa, pada tahun 2008 melalui IPO. Setelah melakukan IPO terjadi peningkatan revenue selama 3 tahun berturut-turut sampai tahun 2011. Kemudian pada periode tahun 2011 – 2019 Elnusa tetap mampu membukukan pertumbuhan pendapatan dari Rp. 4.7 trilliun hingga Rp. 8.3 Trilliun dengan Laju Pertumbuhan Majemuk Tahunan (Compound Annual Growth Rate/CAGR) sebesar 7.5%. Bahkan dalam situasi ekonomi makro yang tidak stabil akibat pandemi di tahun 2020, PT Elnusa, Tbk masih mampu membagikan deviden kepada pemegang saham.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa BUMN/Persero yang merupakan induk dari perusahaan tempat Pemohon bekerja pada dasarnya merupakan BUMN yang bergerak dalam industri/usaha yang kompetitif sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 76 ayat (1) UU BUMN. Sehingga menjadi tidak relevan lagi ketika Pemohon menginginkan tambahan norma ke dalam ketentuan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN namun pada kenyataannya dirinya masuk dalam cakupan ketentuan Pasal 76 ayat (1) UU BUMN. Dengan demikian, dapat Pemerintah simpulkan bahwa ketentuan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN tidak dapat dan tidak diperlukan untuk diberlakukan terhadap penjualan saham anak perusahaan.
Terhadap dalil Pemohon yang menyatakan ketentuan dalam Pasal 5 ayat (4) dan ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (selanjutnya disebut PP 35/2004), yang menyatakan bahwa PT Pertamina (Persero) hanya dapat mengajukan permohonan untuk mendapatkan wilayah kerja apabila sahamnya masih 100% (seratus persen) dimiliki negara merupakan bentuk pelaksanaan amanat Pasal 33 UUD 1945 yang menyatakan cabang-cabang produksi yang penting dan sumber daya alam harus dikuasai oleh negara 130 sepenuhnya, tidak dibagi-bagi dengan swasta/perorangan, dengan tujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, Pemerintah memberikan keterangan sebagai berikut:
PT Pertamina (Persero) adalah BUMN yang 100% (seratus persen) sahamnya dimiliki oleh Negara. Apabila dikaitkan dengan ketentuan Pasal 5 ayat (4) dan ayat (5) PP 35/2004, maka tidak terdapat kendala dari sudut kepemilikan negara pada PT Pertamina (Persero) untuk mengajukan permohonan wilayah kerja kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. Ketidakberlakuan Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN terhadap anak perusahaan PT Pertamina (Persero) tidak ada sangkut pautnya dengan syarat yang diatur dalam Pasal 5 ayat (4) dan ayat (5) PP 35/2004.
Bahwa apabila PT Pertamina (Persero) mendapatkan wilayah kerja berdasarkan Pasal 5 ayat (4) dan ayat (5) PP 35/2004, dan dalam perjalanannya PT Pertamina (Persero) melakukan penjualan saham anak perusahaannya, hal ini tidak dapat dikatakan mengabaikan Pasal 33 UUD 1945, sehingga tidak boleh dibagi-bagi kepada swasta/perorangan. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa Penguasaan terhadap usaha migas dilakukan oleh Negara secara langsung dan dilakukan melalui BUMN, dalam hal ini PT Pertamina (Persero). Selanjutnya, Pasal 9 UU Migas dan Pertimbangan Majelis Hakim halaman 110 dan 111 butir 3.17 pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-X/2012 pada intinya menyatakan bahwa dalam bidang minyak dan gas bumi terbuka kesempatan bagi BUMN, badan usaha milik daerah, koperasi, dan badan usaha milik swasta. PT Pertamina (Persero) sebagai BUMN mendapat perlakuan diutamakan sebagai wujud penguasaan Negara dalam bidang migas. Di samping itu, apabila dilakukan penjualan saham anak perusahaan PT Pertamina (Persero), maka harus dilakukan berdasarkan kajian untuk meningkatkan kinerja anak perusahaan yang pada akhirnya meningkatkan kinerja PT Pertamina (Persero). Berdasarkan penjelasan tersebut Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN tidak dapat diberlakukan terhadap anak perusahaan PT Pertamina (Persero) dengan maksud menghalangi partisipasi swasta/perorangan. UU BUMN 131 menyerahkan sepenuhnya pengaturan mengenai partisipasi masyarakat dalam suatu bidang usaha untuk diatur dalam peraturan perundang- undangan yang mengatur bidang usaha tersebut.
Terhadap dalil Pemohon yang menyatakan telah terjadi unbundling Pertamina karena seluruh bisnis inti ( core business ) dari hulu ke hilir, dari eksplorasi hingga pemasaran, telah dilakukan secara terpisah/tidak terintegrasi oleh sub holding /anak perusahaan yang berbeda-beda dari PT Pertamina (Persero) yang merupakan Perseroan Terbatas Biasa. Unbundling pada BUMN yang mengelola cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak berpotensi untuk dilakukan pelepasan seluruh atau sebagian besar saham anak-anak perusahaan BUMN tersebut kepada swasta/perorangan (privatisasi) dimana hal tersebut berpotensi menghilangkan hak menguasai negara. Selain itu, berpotensi juga menjadi persaingan bisnis antar sektor usaha badan usaha yang berbeda, Pemerintah memberikan keterangan sebagai berikut:
Pemerintah memahami konsepsi penguasaan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 UUD 1945, dan telah ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 002/PUU-I/2003, khususnya dalam Pertimbangan Majelis Hakim butir 2 halaman 223 dan 224 yang telah kami sampaikan di atas, yang pada intinya menyatakan “ bahwa semua unsur yang terkandung dalam pengertian “penguasaan oleh negara”, yaitu mengatur (regelen), mengurus (bestuuren), mengelola (beheeren), dan mengawasi (toezichthouden) masih tetap berada di tangan Pemerintah, sebagai penyelenggara “penguasaan oleh negara” dimaksud, atau badan-badan yang dibentuk untuk tujuan itu ”.
Bahwa yang dilakukan oleh PT Pertamina (Persero) adalah melakukan restrukturisasi melalui pembentukan anak perusahaan sebagai sub holding , yaitu: Gas Subholding (PT PGN Tbk), Upstream Subholding (PT Pertamina Hulu Energi), Refinery & Petrochemical Subholding (PT Kilang Pertamina International), Power & NRE Subholding (PT Pertamina Power Indonesia), dan Commercial & Trading Subholding (PT Patra Niaga). Di samping itu, bisnis perkapalan akan dijalankan PT Pertamina International Shipping. Restrukturisasi ini bertujuan menjadi untuk meningkatkan efektivitas perusahaan. 132 PT Pertamina (Persero) apabila melakukan penjualan saham pada anak perusahaan, dalam hal ini subholding yang merupakan pendukung core business -nya, maka harus dilakukan berdasarkan kajian untuk meningkatkan kinerja anak perusahaan yang pada akhirnya meningkatkan kinerja PT Pertamina (Persero) dalam pelaksanaan kegiatan usaha pengelolaan migas.
Bahwa mengenai penguasaan Negara di bidang migas, kembali kami menegaskan bahwa hal tersebut dilakukan secara langsung oleh Negara dan dilakukan oleh Negara melalui BUMN, dalam hal ini oleh PT Pertamina (Persero), bukan dilakukan melalui anak perusahaan PT Pertamina (Persero). Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya bahwa Pasal 9 UU Migas dan Pertimbangan Majelis Hakim halaman 110 dan 111 butir 3.17 pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-X/2012 pada intinya menyatakan bahwa dalam bidang minyak dan gas bumi terbuka kesempatan bagi BUMN, badan usaha milik daerah, koperasi, dan badan usaha milik swasta. PT Pertamina (Persero) sebagai BUMN mendapat perlakuan diutamakan sebagai wujud penguasaan Negara dalam bidang migas. Berdasarkan penjelasan tersebut, Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN tidak dapat diberlakukan terhadap anak perusahaan PT Pertamina (Persero) dengan maksud menghalangi partisipasi swasta/perorangan. UU BUMN menyerahkan sepenuhnya pengaturan mengenai partisipasi masyarakat atau penguasaan negara dalam suatu bidang usaha untuk diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur bidang usaha tersebut. IV. PETITUM Berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Konstitusi Republik Indonesia yang memeriksa, mengadili dan memutus permohonan pengujian ( constitusional review ) ketentuan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN terhadap UUD 1945, dapat memberikan putusan sebagai berikut: __ 1. Menyatakan bahwa Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum ( legal standing ); 133 2. Menolak permohonan pengujian Pemohon untuk seluruhnya atau setidak- tidaknya menyatakan permohonan pengujian Pemohon tidak dapat diterima ( niet onvankelijk verklaard );
Menerima Keterangan Presiden secara keseluruhan;
Menyatakan ketentuan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, atau dalam hal Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi di Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang bijaksana dan yang seadil-adilnya ( ex aequo et bono ). KETERANGAN TAMBAHAN PRESIDEN I. Pertanyaan Yang Mulia Hakim Mahkamah Konstitusi Dr. Suhartoyo, S.H., M.H.
Terkait dengan salah satu kriteria Persero yang dapat diprivatisasi yaitu “industri atau sektor usahanya kompetitif” dan keterangan Pemerintah yang menyatakan Pemohon bekerja pada Perseroan yang kompetitif, mohon dijelaskan apakah sisi kompetitinya ada di induk perusahaan atau di anak perusahaan? Karena Pemohon dalam permohonannya mewakili pederasi. Penjelasan/Tanggapan:
Mengenai Pasal 76 ayat (1) huruf a UU BUMN yang menyatakan Persero yang dapat diprivatisasi harus sekurang-kurangnya memenuhi kriteria industri/sektor usahanya kompetitif, dapat kami sampaikan bahwa sesuai dengan Penjelasan Pasal 76 ayat (1) UU BUMN dinyatakan: “Yang dimaksud dengan industri/sektor usaha kompetitif adalah industri/sektor usaha yang pada dasarnya dapat diusahakan oleh siapa saja, baik BUMN maupun swasta. Dengan kata lain tidak ada peraturan perunsang-undangan (kebijakan sektoral) yang melarang swasta melakukan kegiatan di sektor tersebut, atau tegasnya sektor tersebut tidak semata-mata dikhususkan untuk BUMN. Yang dimaksud dengan industri/sektor usaha yang unsur teknologi cepat berubah adalah industri/sektor usaha kompetitif dengan ciri utama terjadinya perubahan teknologi yang sangat cepat dan memerlukan investasi yang sangat besar untuk mengganti teknologinya.” b. Selanjutnya, Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (selanjutnya disebut UU Migas) menyatakan: 134 “(1) Kegiatan Usaha Hulu dan Kegiatan Usaha Hilir sebagaimana dimaksud dalam Pasl 5 angka 1 dan angka 2 dapat dilaksanakan oleh:
Badan usaha milik negara;
Badan udaha milik daerah;
Koperasi;
Badan usaha swasta.” Berdasarkan ketentuan Pasal 76 ayat (1) huruf a UU BUMN dan Pasal 9 ayat (1) UU Migas, maka sisi kompetitifnya berada baik pada induk perusahaan maupun anak perusahaan, karena dalam industri/sektor usaha tersebut undang-undang sektoral telah membuka kesempatan kepada badan usaha lain untuk melakukan kegiatan usaha bersama-sama dengan BUMN. Namun demikian, Pasal 76 ayat (1) huruf a UU BUMN merupakan ketentuan yang hanya berlaku terhadap Persero.
Mengenai Federasi, mohon dijelaskan federasi apakah di level serikat yang mewakili setiap anak perusahaan atau di level sekumpulan anak perusahaan yang membentuk serikat yang kemudian di atasnya ada federasi? Penjelasan/Tanggapan: Federasi Serikar Pekerja Pertamina Bersatu pada dasarnya bukanlah wadah organisasi yang secara langsung menaungi pekerja PT Pertamina (Persero) dan perusahaan milik/anak perusahaan PT Pertamina (Persero), melainkan wadah yang menaungi serikat-serikat para pekerja, sehingga tidak memiliki hubungan hukum secara langsung dengan para pekerja. Para pekerja memiliki hubungan hukum secara langsung dengan serikat pekerja (yang merupakan anggota FSPPB/Pemohon) bukan dengan FSPPB itu sendiri. Selain itu, dalam perkara ini Pemohon menyampaikan permohonan uji materiil terhadap Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN yang tidak berlaku bagi anak perusahaan, sehingga timbul kekhawatiran anak perusahaan PT Pertamina (Persero) diprivatisasi. Dengan demikian, menurut Pemerintah Pemohon mencoba mengklaim mewakili kepentingan pekerja dari perusahaan milik/anak perusahaan PT Pertamina (Persero), yaitu adanya kekhawatiran terjadinya privatisasi terhadap anak-anak perusahaan PT Pertamina (Persero). Mengenai legal standing Pemohon, seperti telah kami sampaikan dalam Keterangan Presiden dalam siding tanggal 14 Oktober 2020 bahwa kerugian 135 konstitusional yang didalilkan oleh Pemohon menggunakan ketentuan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI 1945 dalam mendasarkan hak konstitusionalnya dirugikan karena ketentuan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN yang dianggap akan meniadakan hak menguasai negara, namun dalam permohonannya berulang kali Pemohon menyampaikan bahwa dirinya khawatir anak perusahaan PT Pertamina (Persero) diprivatisasi. Sehingga patut dipertanyakan apakah kerugian Pemohon terkait dengan potensi ketiadaan hak menguasai negara atau kekhawatiran anak perusahaan PT Pertamina (Persero) akan diprivatisasi. Apabila kekhawatiran privatisasi anak perusahaan PT Pertamina (Persero) dalam perkara ini dimohonkan bukan oleh pegawai/karyawan anak perusahaan yang bersangkutan atau yang mewakilinya, maka legal standing Pemohon sudah seharusnya dipertanyakan, Selanjutnya, terkait hal ini kami menyerahkan sepenuhnya kepada Yang Mulia Majelis Hakim untuk mempertimbangkan dan memutuskan. II. Pertanyaan Yang Mulia Hakim Mahkamah Konstitusi Prof. Arief Hidayat, S.H., M.S. Ada perbedaan penguasaan negara kepada perusahaan induk dan penguasaan negara terhadap anak perusahaan. Mohon dijelaskan dalam kasus-kasus atau dalam contoh-contoh bagaimana negara menguasai anak-anak perusahaan yang ada pada BUMN di Indonesia. Penjelasan/Tanggapan Pertimbangan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 001- 021-022/PUU-I/2003 halaman 334 menyatakan: “Menimbang bahwa berdasarkan rangkaian pendapat dan uraian di atas, maka dengan demikian, perkataan “dikuasai oleh negara” haruslah diartikan mencakup makna penguasaan oleh negara dalam arti luas yang bersumber dan berasal dari konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya”, termasuk pula di dalamnya pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud. Rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan Tindakan pengurusan ( bestuurdaad ), pengaturan ( regelendaad ), pengelolaan ( beheersdaad ) dan pengawasan ( toezichthoundensdaad ) untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Fungsi pengurusan ( bestuursdaad ) oleh negara dilakukan oleh pemerintah dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut 136 fasilitas perizinan ( vergunning ), lisensi ( licentie ), dan konsesi ( concessie ). Fungsi pengaturan oleh negara ( regelendaad ) dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham ( share-holding ) dan/atau melalui keterlibatan langsung dalam manajemen Badan Usaha Milik Negara atau Badan Hukum Milik Negara sebagai instrumen kelembagaan melalui mana negara c.q. Pemerintah mendayagunakan penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan itu untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Demikian pula fungsi pengawasan oleh negara ( toezichthoudensdaad ) dilakukan oleh negara c.q. Pemerintah dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan oleh negara atas cabang produksi yang penting dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak dimaksud benar-benar dilakukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat.” Berdasarkan pertimbangan tersebut:
Fungsi pengurusan (bestuursdaad) oleh negara dilakukan oleh pemerintah dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas perizinan ( vergunning ), lisensi ( licentie ), dan konsesi ( concessive );
Fungsi pengaturan oleh negara ( regelendaad ) dilakukan melalui kewenangan legislasi oleh DPR bersama dengan Pemerintah;
Fungsi regulasi oleh Pemerintah (eksekutif);
Fungsi pengelolaan ( beheersdaad ) dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham ( share-holding ) dan/atau melalui keterlibatan langsung dalam manajemen Badan Usaha Milik Negara atau Badan Hukum Milik Negara sebagai instrument kelembagaan melalui mana negara c.q. Pemerintah mendayagunakan penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan itu untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; dan
Fungsi pengawasan oleh negara (toezichthoudensdaad) dilakukan oleh negara c.q. Pemerintah dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan oleh negara atas cabang produksi yang penting dan/atau yang menguasasi hajat hidup orang banyak dimaksud benar-benar dilakukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dapat disimpulkan bahwa terhadap anak perusahaan BUMN, penguasaan negara dalam sektor usaha tetap dilakukan oleh negara melalui fungsi pengurusan ( bestuursdaad ), fungsi pengaturan ( regelandaad ), fungsi regulasi, dan fungsi pengawasan ( toezichthodensdaad ). Fungsi-fungsi ini dilakukan antara lain melalui peraturan perundang-undangan, perizinan dan pengawasan langsung oleh Lembaga dan/atau otoritas negara. Hal ini juga telah disampaikan 137 oleh Pihak Terkait, PT Pertamina (Persero) dalam keterangannya tanggal 9 November 2020 pada angka 37 yaitu bahwa dalam sektor penguasaan migas, SKK MIgas melakukan regulasi dan pengawasan pengelolaan usaha migas walaupun badan usaha regulasi dan pengawasan pengelolaan usaha migas walaupun badan usaha yang melakukan usaha di bidang migas adalah BUMN, anak perusahaan BUMN, BUMD, koperasi, dan badan usaha swasta, sehingga penguasaan negara tetap dapat dilakukan. Bahwa fungsi pengelolaan ( beheersdaad ) dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham ( share-holding ) tidak dapat dilakukan secara langsung oleh negara kepada anak perusahaan PT Pertaminan (Persero), mengingat pemilikan saham pada anak perusahaan dilakukan oleh PT Pertamina (Persero) secara langsung, bukan oleh negara. Terhadap anak perusahaan BUMN, kepentingan Pemerintah dilakukan melalui BUMN induknya yang dilakukan dengan tunduk sepenuhnya pada mekanisme hukum korporasi. Sesuai dengan mekanisme korporasi, Menteri BUMN sebagai wakil Pemerintah selaku RUPS/Pemegang Saham BUMN Persero, memiliki kewenangan untuk memberikan persetujuan terhadap rencana Direksi BUMN Persero untuk melakukan restrukturisasi anak perusahaan BUMN Persero. Kewenangan tersebut diatur dalam anggaran dasar BUMN Persero yang mewajibkan adanya persetujuan RUPS antara lain terhadap tindakan:
Mendirikan anak perusahaan;
Melakukan penyertaan modal pada perseroan lain;
Melepaskan penyertaan pada anak perusahaan;
Melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, pemisahan dan pembubaran anak perusahaan. Di samping itu, terhadap BUMN yang dijadikan anak perusahaan BUMN lain (misalnya PT PGN Tbk., PT Aneka Tambang Tbk, PT Bukti Asam Tbk, PT Timah Tbk, PT Perkebunan Nusantara I, II, IV s.d. XIV), Pemerintah masih melakukan penguasaan secara langsung atas saham minoritas yang memiliki hak istimewa (dalam anggaran dasar disebut saham minoritas yang memiliki hak istimewa (dalam anggaran dasar disebut saham seri A dwi warna). Hak istimewa tersebut 138 diatur dalam anggaran dasar anak perusahaan eks BUMN tersebut. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas, Pasal 2A ayat (2) dan Penjelasannya yang menyatakan:
Dalam hal kekayaan negara berupa saham milik negara pada BUMN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN lain sehingga Sebagian besar saham dimiliki oleh BUMN lain, maka BUMN tersebut menjadi anak perusahaan BUMN dengan ketentuan negara wajib memiliki saham dengan hak istimewa yang diatur dalam anggaran dasar. Penjelasan Pasal 2A ayat (2): “Yang dimaksud dengan hak istimewa yang diatur dalam anggaran dasar antara lain hak untuk menyetujui:
Pengangkatan anggota Direksi dan anggota Komisaris;
Perubahan anggaran dasar;
Perubahan struktur kepemilikan saham;
Penggabungan, peleburan, pemisahan, dan pembubaran, serta pengambilalihan perusahaan oleh perusahaan lain.” Terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016, khususnya Pasal 2A tersebut di atas, Mahkamah Agung telah memberikan Putusan Nomor 21P/HUM/2017 atas permohonan judicial review yang diajukan oleh Majelis Nasional Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI), Yayasan Re-Ide Indonesia, Dr. Ahmad Redi, S.H., M.H., Dr. Suparji, S.H., M.H., dan Dr. M. Alfan Alfian, M. Dalam Putusannya tersebut Mahkamah Agung menyatakan bahwa holdingisasi tidaklah sama dengan privatisasi karena privatisasi bertujuan salah satunya adalah memperluas kepemilikan masyarakat, namun dalam holdingisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2A ayat (2) kepemilikan saham mayoritas masih di tangan negara melalui BUMN induk dan dalam prakteknya holdingisasi beberapa BUMN pernah dilakukan pemerintah terhadap beberapa BUMN yang sejenis. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dapat kami tegaskan bahwa terhadap anak perusahaan BUMN, penguasaan negara dalam sektor usaha tetap dilakukan oleh Negara melalui fungsi pengurusan ( bestuursdaad ), fungsi pengaturan ( regelendaad ), fungsi regulasi, dan fungsi pengawasan ( toezichthoudensdaad ). Sedangkan penguasaan melalui pengelolaan ( beheersdaad ) terhadap anak 139 perusahaan BUMN tidak lagi dilakukan secara mutlak, namun dilakukan melalui mekanisme korporasi, tang tetap memperhatikan eksistensi anak perusahaan tersebut. III. Pertanyaan Yang Mulia Hakim Mahkamah Konstitusi Prof. Dr. Saldi Isra, S.H., MPA.
Apa kriteria sebuah anak perusahaan yang karena perkembangan jaman perlu dilakukan restrukturisasi atau perlu melakukan langkah lain? 2. Apakah di anak-anak perusahaan PT Pertamina (Persero) telah diklasifikasikan menurut cabang-cabang produksi yang penting? Sehingga berdasarkan pengklasifikasian tersebut dapat dipilih pilihan kebijakan yang dapat diambil. Penjelasan/Tanggapan: Sebagaimana telah disampaikan dalam keterangan sebelumnya, pada saat ini PT Pertamina (Persero) melakukan restrukturisasi melalui pembentukan anak perusahaan sebagai subholding , yaitu: Gas Subholding (PT PGN Tbk), Upstream Subholding (PT Pertamina Hulu Energi), Refinery & Petrochemical Subholding (PT Kilang Pertamina International), Power & NRE Subholding (PT Pertamina Power Indonesia), dan Commercial & Trading Subholding (PT Patra Niaga). Di samping itu, pembentukan subholding tersebut juga dilakukan untuk memfokuskan pengelolaan terhadap perusahaan-perusahaan yang didirikan khusus untuk memenuhi amanah peraturan perundang-undangan di bidang migas yang mengatur kegiatan tertentu harus dilakukan oleh suatu entitas usaha tersendiri. Bahwa PT Pertamina (Persero) berkepentingan untuk menjaga eksistensi anak- anak perusahaannya. Seiring dengan perkembangan dalam kegiatan usaha masing-masing subholding sebagai anak perusahaan PT Pertamina (Persero), tidak tertutup kemungkinan diperlukan restrukturisasi perusahaan. Restrukturisasi tersebut harus dilandaskan pada kajian bahwa restrukturisasi dilakukan untuk meningkatkan kinerja anak perusahaan. Dengan peningjatan kinerja anak perusahaan tersebut, diharapkan pada akhirnya meningkatkan kinerja PT Pertamina (Persero) dalam pelaksanaan kegiatan usaha pengelolaan migas. Restrukturusisasi ini dilakukan berdasarkan ketentuan Undang-Undang 140 Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut UU PT). Beberapa hal yang tentunya menjadi pertimbangan sebuah perusahaan melakukan restrukturisasi antara lain dikarenakan adanya tujuan untuk pemenuhan terhadap kewajiban sesuai undang-undang (misalnya restrukturisasi anak perusahaan yang bergerak pada kegiatan usaha hulu yang diwajibkan oleh undang-undang); penambahan modal/pendanaan untuk ekspansi bisnis baik pendanaan jangka Panjang ataupun jangka pendek, meningkatkan/memperbaiki citra perusahaan/anak perusahaan, meningkatkan nilai perusahaan/anak perusahaan secara keseluruhan, kepentingan insentif pajak, dan sebagainya. Dapat kami tambahkan bahwa berdasarkan ketentuan anggaran dasar PT Pertamina (Persero), penjualan saham anak perusahaan PT Pertamina (Persero) harus dimuat dalam RKAP yang disahkan oleh Menteri BUMN selaku Rapat Umum Pemegang Saham. Dengan demikian, restrukturisasi anak perusahaan PT Pertamina (Persero) tersebut didasarkan atas kajian bisnis yang matang yang bertujuan untuk meningkatkan kinerja anak perusahaan yang pada akhirnya meningkatkan kinerja PT Pertamina (Persero). Dapat kami tambahkan juga bahwa Kementerian BUMN mengelompokkan BUMN berdasarkan kegiatan usahanya. Selanjutnya, masing-masing BUMN memiliki anak-anak perusahaan yang kegiatan usahanya mendukung BUMN induknya. Sebagai contoh, pada tahun 2011 PT Pelayaran Bahtera Adhiguna direstrukturisasi menjadi anak perusahaan PT PLN (Persero). Hal ini dimaksudkan untuk mendukung kinerja PT PLN (Persero) melalui transportasi batubara sebagai salah satu sumber energi yang digunakan oleh PT PLN (Persero) serta sekaligus mempertahankan kelangsungan bisnis PT Pelayaran Bahtera Adhiguna. IV. Pertanyaan Yang Mulia Hakim Mahkamah Konstitusi Prof. Dr. Aswanto, S.H., M.Si., DFM. Agar dapat disediakan data akurat mengenai apakah ada anak Persero atau anak perusahaan yang sahamnya 100% (serratus persen) atau lebih dari 50% (lima puluh persen) dimiliki oleh swasta? Apabila Pertamina saja harus 100% 141 (seratus persen) sahamnya dimiliki oleh negara untuk mendapatkan penambahan wilayah kerja berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (4) dan ayat (5) PP 35/2004, bagaimana dengan anak perusahaan? Penjelasan/Tanggapan: Sebagaimana telah kami sampaikan dalam Keterangan Presiden sebelumnya, bahwa terhadap PT Elnusa, anak perusahaan PT Pertamina (Persero), telah dilakukan penjualan saham. Dapat kami informasikan bahwa saat ini PT Pertamina (Persero) memiliki saham sebesar 41,10% dan Dana Pensiun Pertamina memiliki 14,9% dan sisanya sebesar 44% dimiliki oleh publik. PT Elnusa bergerak di bidang jasa hulu migas dan melakukan investasi saham pada anak perusahaan dan perusahaan joint venture baik di industri migas hulu maupun hilir. PT Elnusa Tbk berdasarkan laporan keuangan 3 tahun terakhir yang telah diaudit memperoleh keuntungan dan memberikan deviden kepada PT Pertamina (Persero) (pemilik 41,1% saham) sebagai berikut: TB 2017 TB 2018 TB 2019 Dividen ELSA (juta IDR) 37.701 69.078 89.119 Laba Bersih ELSA (juta IDR) 247.140 276.314 356.474 Dividen Payout Ratio 15% 25% 25% Dividen yang diterima Pertamina (saham 41,1%) (dalam juta IDR) 15.236 28.391 36.628 Beberapa data mengenai anak perusahaan BUMN lain yang dilakukan penjualan saham: PT Telekomunikasi Selular (Telkomsel), penjualan (divestasi) sahamnya dimulai tahun 2001. Saat ini kepemilikan sahamnya adalah PT Telkom (Persero) sebesar 65% dan Singtel sebesar 35%. 142 TB 2015 (Rp miliar) TB 2016 (Rp miliar) TB 2017 (Rp miliar) TB 2018 (Rp miliar) TB 2019 (Rp miliar) Laba 22.338 28.194 30.395 25.536 25.798 Dividen 20.104 26.785 28.875 24.259 25.153 PT Wika Beton Tbk., penjualan sahamnya melalui pasar modal (IPO) dilakukan bulan April 2014. Saat ini susunan kepemilikan sahamnya adalah PT Wijaya Karya (Persero) Tbk., sebesar 60%, Koperasi Karya Mitra Satya (KKMS) sebesar 5,9%, Yayasan Wijaya Karya sebesar 0,99%, dan publik sebesar 33,11%. (Rp miliar) TB 2011 TB 2012 TB 2013 TB 2014 TB 2015 TB 2016 TB 2018 TB 2019 TB 2020 Laba 144,42 179,37 241,21 322,4 171,78 282,15 340,46 486,64 510,71 Dividen 36,83 50,55 62,63 20 98,56 52,19 81,72 101,14 145,92 PT PP Properti, Tbk, penjualan sahamnya melalui pasar modal (IPO) dilakukan semester I 2015. Saat ini susunan kepemilikan sahamnya adalah PT Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk sebesar 64,96%, YKPP sebesar 0,06%, dan publik sebesar 34,98%. TB 2014 TB 2015 TB 2016 TB 2017 TB 2018 TB 2019 Laba 106.120 300.325 365.382 444.679 471.257 342.695 Dividen - 60.065 73.076 88.935 94.251 34.269 Mengenai penguasaan negara terhadap cabang-cabang yang penting bagi negara, dapat kami sampaikan Kembali bahwa penguasaan negara melalui fungsi pengelolaan (beheersdaad) dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham negara pada BUMN atau Badan Hukum Milik Negara, bukan pemilikan saham BUMN pada anak perusahaan. Hal ini sesuai dengan Pertimbangan 143 Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 001-021-022/PUU- I/2003 halaman 334 yang menyatakan: “… fungsi pengelolaan ( beheersdaad ) dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham ( share-holding ) dan/atau melalui keterlibatan langsung dalam manajemen Badan Usaha Milik Negara atau Badan Hukum Milik Negara sebagai instrument kelembagaan melalui mana negara c.q. Pemerintah mendayagunakan penguasaaannya atas sumber-sumber kekayaan itu untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat…” Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa anak perusahaan bukan salah satu bentuk penguasaan negara dalam fungsi pengelolaan ( beheersdaad ). Penguasaan negara terhadap cabang-cabang yang penting bagi negara tertap dilakukan melalui fungsi regulasi, dan fungsi pengawasan ( toezichthoudensdaad ). Namun demikian, Pemerintah tetap berusaha melakukan penguasaan terhadap anak-anak perusahaan BUMN melalui mekanisme korporasi, yaitu berdasarkan ketentuan anggaran dasar BUMN induknya dan anggaran dasar anak perusahaan yang terdapat saham seri A dwiwarna, termasuk memperhatikan eksistensi anak-anak perusahaan tersebut. Terhadap anak-anak perusahaan PT Pertamina (Persero) restrukturisasi akan dilakukan apabila berdasarkan kajian terdapat tujuan untuk pemenuhan terhadap kewajiban sesuai undang-undang (misalnya restrukturisasi anak perusahaan yang bergerak pada kegiatan usaha hulu yang diwajibkan oleh undang-undang); penambahan modal/pendanaan untuk ekspansi bisnis baik pendanaan jangka Panjang ataupun jangka pendek, meningkatkan/memperbaiki citra perusahaan/anak perusahaan, meningkatkan nilai perusahaan/anak perusahaan secara keseluruhan, kepentingan insentif pajak, dan sebagainnya. Pemerintah tetap akan memperhatikan kelangsungan anak-anak perusahaan melalui mekanisme korporasi sebagaimana telah kami sampaikan di atas, yaitu:
Berdasarkan ketentuan anggaran dasar BUMN induknya yang antara lain mengatur kewajiban mendapatkan persetujuan RUPS untuk melakukan:
Mendirikan anak perusahaan;
Melakukan penyertaan modal pada perseroan lain; 144 3) Melepaskan penyertaan pada anak perusahaan;
Melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, pemisahan dan pembubaran anak perusahaan.
Anggaran dasar anak perusahaan yang terdapat seri A dwiwarna, yang mengatur hak istimewa Pemegang Saham seri A dwiwarna untuk menyetujui:
Pengangkatan anggota Direksi dan anggota Komisaris;
Perubahan anggaran dasar;
Perubahan struktur kepemilikan saham;
Penggabungan, peleburan, pemisahan, dan pembubaran, serta pengambilalihan perusahaan oleh perusahaan lain.” Mengenai Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (selanjutnya disebut PP 35/2004), khususnya Pasal 5 ayat (4) dan ayat (5);
Penawaran Wilayah Kerja kepada Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap dilakukan oleh Menteri.
Dalam pelaksanaan penawaran Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Menteri melakukan koordinasi dengan Badan Pelaksana.
Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap dapat mengajukan permohona kepada Menteri untuk mendapatkan Wilayah Kerja.
Dalam hal PT Pertamina (Persero) mengajukan permohonan kepada Menteri untuk mendapatkan Wilayah Kerja terbuka tertentu, Menteri dapat menyetujui permojhonan tersebut dengan mempertimbangkan program kerja, kemampuan teknis dan keuangan PT Pertamina (Persero) dan sepanjang saham PT Pertamina (Persero) 100% (seratur per serratus) dimiliki oleh negara.
PT Pertamina (Persero) sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), tidak dapat mengajukan permohonan untuk wilayah kerja yang telah ditawarkan.” Pada dasarnya proses penunjukan untuk wilayah kerja dilakukan melalui seleksi/pelelangan yang terbuka bagi seluruh badan usaha migas. Namun demikian, berdasarkan ketentuan PP 35/2004, diatur perlakuan khusus bagi PT Pertamina (Persero) untuk mendapatkan wilayah kerja terbuka melalui penunjukan langsung. Ketentuan khusus tersebut tidak berlaku terhadap anak perusahaan PT Pertamina (Persero), sehingga dalam mendapatkan wilayah kerja, anak 145 perusahaan tersebut mempunyai mekanisme yang sama dengan badan usaha lainnya (BUMD, koperasi dan swasta). Apabila dilakukan penjualan saham anak perusahaan PT Pertamina (Persero), hal tersebut tidak mengubah mekanisme perolehan wilayah kerja oleh anak perusahaan yang bersangkutan. V. Pertanyaan Yang Mulia Hakim Mahkamah Konstitusi Dr. Wahiduddin Adams., S.H., M.A. Mohon agar ditambahkan dalam keterangan tambahan mengenai petitum yang dimonta oleh Pemohon yaitu ketentuan Pasal 77 huruf c dan huruf d diberi persyaratan mengikat sepanjanng larangan provatisasi diberlakukan secara limitative terhadap Persero dan tidak diberlakukan terhadap perusahaan milik persero. Dalam positanya Pemohon menyatakan kekhawatiran akibat potensi dilakukannya privatisasi terhadap anak perusahaan, artinya perusahaan milik PT (persero) yang mengelola cabang-cabang produksi yang penting dan sumber daya alam negara adalah seluruh saham milik anak perusahaan tersebut dilepas secara seluruhnya kepada pihak swasta/perorangan, sehingga hasil pengelolaan cabang-cabang produksi yang penting dan sumber daya alam negara tersebut hanya dinikmati oleh pihak swasta dan/atau perseorangan. Penjelasan/Tanggapan:
Mengenai kekhawatiran akibat potensi dilakukannya privatisasi terhadap anak perusahaan, artinya perusahaan milik PT Pertamina (Persero) yang mengelola cabang-cabang produksi yang penting dan sumber daya alam negara adalah seluruh saham milik anak perusahaan tersebut dilepas secara seluruhnya kepada pihak swasta/perorangan: Dapat kami sampaikan Kembali bahwa sesuai dengan pertimbangan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 001-021-022/PUU- I/2003 halaman 334, pada intinya menyatakan penguasaan negara terhadap cabang-cabang yang penting bagi negara dilakukan melalui pemilikan saham pada BUMN/BHMN sebagai fungsi pengelolaan ( beheersdaad ), melalui fungsi pengurusan ( bestuursdaad ), pengaturan ( regelendaad ), dan/atau pengawasan ( toezichthoudensdaad ). Dalam hal migas sebagaimana diatur dalam UU Migas, penguasaan negara dalam bidang migas dilakukan melalui: 146 - Penyelenggaraan oleh Pemerintah sebagai pemegang kuasa pertambahan sesuai Pasal 4 ayat (2) UU MIgas. - Pemerintah bertanggung jawab atas pengaturan dan pengawasan kegiatan usaha ketersediaan dan kelancaran pendistribusian BBM sesuai Pasal 8 ayat (4) UU Migas. - Pengusahaan oleh badan usaha milik negara bersama-sama dengan badan usaha lainnya sesuai Pasal 9 UU Migas. Dapat kami sampaikan Kembali bahwa terhdap anak-anak perusahaan PT Pertamina (Persero), restrukturisasi akan dilakukan apabila berdasarkan kajina terdapat tujuan untuk pemenuhan terhadap kewajiban sesuai undang- undang (misalnya restrukturisasi anak perusahana yang bergerak pada kegiatan usaha hulu yang diwajibkan oleh undang-undang); penambahan modal/pendanaan untuk ekspansi bisnis baik pendanaan jangka Panjang ataupun jangka pendek, meningkatkan/memperbaiki citra perusahaan/anak perusahaan, meningkatkan nilai perusahaan/anak perusahaan secara keseluruhan, kepentingan insentif pajak, dan sebagainya. Dengan demikian, walaupun terhadap anak-anak perusahaan PT Pertamina (Persero) tidak lagi memenuhi kriteria definisi penguasaan negara )beheersdaad) sebagaimana dimaksud dalam pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 halaman 334, namun demikian Pemerintah tetap melakukan penguasaan melalui mekasnisme korporasi, dan apabila dilakukan restrukturisasi maka harus berdasarkan kajian untuk meningkatkan konerja anak peprusahaan itu sendiri dan/atau PT Pertamina (Persero).
Mengenai kekhawatiran hasil pengelolaan cabang-cabang produksi yang penting dan sumber daya alam negara tersebut hanya dinikmati oleh pihak swasta dan/atau perorangan: Bahwa kinerja anak perusahaan PT Pertamina (Persero) dimaksudkan untuk menunjang kinerja PT Pertamina (Persero). Apabila suatu saat terjadi restrukturisasi anak perusahaan, maka restrukturusisasi tersebut harus memberikan kontribusi bagi anak perusahaan itu sendiri, dan juga bagi PT Pertamina (Persero). Bahwa apabila suatu saat restrukturisasi dilakukan melalui penjualan saham anak perusahaan, maka penjualan saham anak 147 perusahaan tersebut juga harus berdasarkan kajian bahwa penjualan saham itu akan meningkatkan kinerja anak perusahaan dan kinerja PT Pertamina (Persero) meningkat, maka pengelolaan usaha-usaha tersebut akan dinikmati oleh negara, PT Pertamina (Persero), anak perusahaan itu sendiri, karyawan, investor/mitra, swasta, dan seluruh pihak yang terkait dengan kegiatan usaha tersebut, serta masyarakat yang menikmati barang/jasanya. Sebagaimana telah kami sampaikan mengenai kinerja PT Elnusa Tbk., berdasarkan laporan keuangan 3 tahun terakhir telah memperoleh keuntungan dan memberikan dividen kepada PT Pertamina (Persero) (pemilik 41,1% saham) sebagai berikut: TB 2017 TB 2018 TB 2019 Dividen ELSA (juta IDR) 37.701 69.078 89.119 Laba Bersih ELSA (juta IDR) 247.140 276.314 356.474 Dividen Payout Ratio 15% 25% 25% Dividen yang diterima Pertamina (saham 41,1%) (dalam juta IDR) 15.236 28.391 36.628 Dengan demikian, apabila dilakukan restrukturisasi anak-anak perusahaan, hasilnya diharapkan untuk dapat dinikmati oleh negara, PT Pertamina (Persero), anak perusahaan itu sendiri, karyawan, investor/mitra, swasta, dan seluruh pihak yang terkait dengan kegiatan usaha tersebut, serta masyarakat yang menikmati barang/jasanya. VI. Pertanyaan Yang Mulia Hakim Mahkamah Konstitusi Prof. Dr. Enny Nurbaningsih, S.H., M.Hum.
Mohon agar diperjelas apa yang dimaksud dengan Persero yang bergerak di sektor tertentu? Apakah kriterianya? Sektor-sektor mana yang dimaksud dengan sektor tertentu itu? Apakah itu terkait dengan penguasaaan sebesar- 148 besarnya tadi atau ada kriteria lain yang kemudian oleh pemerintah diberi tugas khusus untuk melaksanakan kegiatan tertentu pula di situ? Penjelasan/Tanggapan: Pasal 77 huruf c UU BUMN menyatakan: “Persero yang tidak dapat diprivatisasi adalah:
Persero yang bergerak di sektor tertentu yang oleh pemerintah diberikan tugas khusus untuk melaksanakan kegiatan tertenti yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat; ” Bahwa salah satu maksud dan tujuan Persero adalah mengejar keuntungan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b UU BUMN. Namun demikian, dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) huruf b UU BUMN dinyatakan: “Meskipun maksud dan tujuan Persero adalah untuk mengejar keuntungan, namun dalam hal-hal tertentu untuk melakukan pelayanan umum, Persero dapat diberikan tugas khusus dengan memperhatikan prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan yang sehat. Dengan demikian, penugasan pemerintah harus disertai dengan pembiayaannya (kompensasi) berdasarkan perhitungan bisnis atau komersial, sedangkan untuk Perum yang tujuannya menyediakan barang dan jasa untuk kepentingan umum, dalam pelaksanaannya harus memperhatikan prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan yang sehat.” Persero yang diberi tugas sebagaimana dimaksud dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1), yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat, inilah yang tidak dapat diprivatisasi berdasarkan Pasal 77 huruf c UU BUMN. Lebih lanjut, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2005 tentang Tata Cara Privatisasi Perusahaan Perseroan (Persero) (selanjutnya disebut PP 33/2005) dalam Pasal 9 huruf c dan Penjelasannya dinyatakan:
Sebagian aset atau kegiatan dari Persero yang melaksanakan kewajiban pelayanan umum dan/atau yang berdasarkan undang- undang kegiatan usahanya harus dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara, dapat dipisahkan untuk dijadikan penyertaan dalam pendirian perusahaan untuk selanjutnya apabila diperlukan dapat diprivatisasi.
Aset atau kegiatan Persero sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah aset atau kegiatan yang bersifat komersial dengan memperhatikan ketentuan Pasal 7. 150 3. Terkait dengan pertanyaan proses privatisasi yang sudah berjalan ada kecenderungan meningkatkan pertumbuhan pendapatan, apakah ada datanya? Apakah semua yang sudah diprivatisasi kemudian berkencenderungan pertumbuhan pendapatannya meningkat atau sebaliknya? Penjelasan/Tanggapan: Sebagaimana telah kami sampaikan dalam Keterangan Pemerintah sebelumnya, bahwa PT Elnusa, pada tahun 2008 melakukan penjualan sahamnya melalui IPO. Setelah melakukan IPO terjadi peningkatan revenue selama 3 tahun berturut-turut sampai tahun 2011. Kemudian pada periode tahun 2011-2019 Elnusa tetap mampu membukukan pertumbuhan pendapatan dari Rp. 4.7 trilliun hingga Rp. 8.3 Trilliun dengan Laju Pertumbuhan Majemuk Tahunan (Compound Annual Growth Rate/CAGR) sebesar 7.5%. Bahkan dalam situasi ekonomi makro yang tidak stabil akibat pandemi di tahun 2020, PT Elnusa, Tbk masih mampu membagikan deviden kepada pemegang saham. Penjualan saham merupakan salah satu upaya restrukturisasi yang dimaksudkan untuk meningkatkan kinerja anak perusahaan yang bersangkutan dan BUMN induknya. Di samping itu, penjualan saham anak perusahaan yang dilakukan melalui pasar modal (IPO) akan memberikan nilai tambah dimana terdapat pemegang saham publik dan otoritas pasar modal yang ikut mengawasi jalannya perusahaan. Namun demikian, dalam dunia usaha sebagaimana Yang Mulia Majelis Hakim maklumi, investasi tidak selalu memberikan hasil yang diharapkan mengingat adanya faktor-faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan suatu investasi balk dari eksternal maupun internal. Mengenai data kinerja anak perusahaan BUMN yang dilakukan penjualan saham, telah kami sampaikan dalam keterangan tambahan atas pertanyaan Yang Mulia Hakim Mahkamah Konstitusi Prof. Dr. Aswanto, S.H., M.Si., DFM. [2.5] Menimbang bahwa untuk mendukung keterangannya, Presiden mengajukan tiga orang ahli bernama Prof. Dr. Nindyo Pramono, S.H., M.S., Dr. Bayu Dwi Anggono, S.H., M.H., dan Dr. Oce Madril S.H., M.A., yang 151 keterangannya didengar dalam persidangan Mahkamah tanggal 24 Mei 2021, yang pada pokoknya menerangkan hal sebagai berikut:
Prof. Dr. Nindyo Pramono, S.H., M.S. UMUM Selanjutnya ijinkan saya mengutarakan rujukan saya tentang hal umum berkaitan dengan Hak Menguasai Negara dalam BUMN. Saya merujuk apa yang dikatakan oleh para pendahulu pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kita cintai ini dan para ahli senior yang tidak diragukan lagi kapasitas dan kemampuannya, terkait dengan ketentuan Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 yang sampai saat ini sudah mengalami beberapa kali perubahan tersebut. Mohammad Hatta, Wakil Presiden Pertama Republik Indonesia mengatakan bahwa dari kalimat “dikuasai oleh negara” dalam ketentuan Pasal 33 ayat (2) dan (3) tersebut, negara tidak harus secara langsung ikut mengelola atau menyelenggarakan cabang produksi, akan tetapi hal itu dapat diserahkan kepada usaha koperasi dan swasta. Tugas negara hanyalah membuat peraturan dan melakukan pengawasan guna kelancaran jalannya ekonomi demi untuk menjamin terciptanya kesejahteraan rakyat. Menguasai tidak harus diartikan sebagai memiliki [Mubyarto (1988), Sri Edi Swasono (1996)]. Dari pandangan para pendahulu bangsa dan para pakar senior yang tidak diragukan lagi kepakarannya tersebut, dapat disimpulkan bahwa hak menguasai oleh negara atas cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak tersebut, dapat diselenggarakan oleh BUMN, Swasta dan Koperasi. Dalam kerangka Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, negara bisa mendirikan BUMN yang tunduk pada ketentuan perundang-undangan yang menguasai sistem hukum privaat, seperti halnya Koperasi dan Usaha Swasta lainnya. Negara – dalam hal ini – Pemerintah hanya sebagai kuasa usaha untuk menyelenggarakan dan/atau mengusahakan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak yang meliputi aspek pengaturan, aspek pengendalian dan aspek pengawasan (Aminudin Ilmar, 2012). Salah satu caranya adalah negara (Pemerintah) dapat membentuk atau mendirikan BUMN (Perum dan Persero) melalui pembentukan perundang-undangan BUMN. Hadirnya BUMN melalui pembentukan UU BUMN merupakan kepanjangan tangan negara (Pemerintah) dalam menjalankan hak menguasai negara tersebut. 152 Mekanisme hak menguasai negara tentunya tunduk pada UU BUMN dan UU Privat lainnya, seperti: UU Perseroan Terbatas, UU Perbankan, UU Pasar Modal dan sebagainya. Berkaitan dengan uraian yang saya kemukakan di atas, kehadiran UU BUMN sebagai wujud dari keinginan negara (Pemerintah) untuk mengatur, mengendalikan dan mengawasi penyelenggaraan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, menuntut adanya kepastian hukum dalam mengusahakan kegiatan badan usaha tersebut yang mustinya wajib diperlakukan sejajar dengan badan usaha swasta dan koperasi. KHUSUS Memenuhi permintaan dari Kementeriaan Negara Badan Usaha Milik Negara, ijinkan saya menyampaikan Pendapat Hukum saya terkait dengan Pasal-pasal yang dimintakan Uji Materiil oleh Pemohon dalam Perkara a quo , sebagai berikut:
Bahwa menurut Pemohon, ketentuan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN bertentangan dengan ketentuan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI 1945 sepanjang larangan privatisasi dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d hanya diberlakukan secara limitatif terhadap Persero dan tidak diberlakukan juga terhadap Perusahaan milik Persero/anak perusahaan Persero dengan alasan sebagai berikut: “apabila larangan privatisasi dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN hanya diberlakukan secara limitatif terhadap Persero dan tidak diberlakukan juga terhadap perusahaan milik Persero/anak perusahaan Persero, maka akan berpotensi terjadinya privatisasi bahkan hilangnya eksistensi terhadap perusahaan milik Persero/anak perusahaan Persero, karena anak perusahaan dari perusahaan Persero tersebut bukanlah suatu perusahaan Persero melainkan Perseroan Terbatas biasa. Oleh karena itu, tidak menutup kemungkinan perusahaan milik Persero/anak perusahaan Persero tersebut seluruh dan/atau sebagian besar sahamnya dapat dikuasai oleh swasta/perorangan akibat dari tindakan privatisasi perusahaan milik Persero/anak perusahaan Persero. Pendapat saya sebagai berikut: Pasal 77 UU BUMN menyatakan bahwa : Persero yang tidak dapat diprivatisasi adalah:
Persero yang bidang usahanya berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan hanya boleh dikelola oleh BUMN; 153 b. Persero yang bergerak di sektor usaha yang berkaitan dengan pertahanan dan keamanan negara;
Persero yang bergerak di sektor tertentu yang oleh pemerintah diberikan tugas khusus untuk melaksanakan kegiatan tertentu yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat;
Persero yang bergerak di bidang usaha sumber daya alam yang secara tegas berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dilarang untuk diprivatisasi. Pasal 1 angka 12 UU BUMN menyatakan bahwa: “ Privatisasi adalah penjualan saham Persero, baik sebagian maupun seluruhnya, kepada pihak lain dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat, serta memperluas pemilikan saham oleh masyarakat ”. Menurut ketentuan Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2005 tentang Tata Cara Privatisasi Perusahaan Perseroan (Persero) (selanjutnya disebut PP 33/2005) Privatisasi diartikan sebagai penjualan saham persero baik sebagian atau seluruhnya kepada pihak lain dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi masyarakat serta memperluas kepemilikan saham oleh masyarakat. Merujuk pada pengertian privatisasi sebagaimana tersebut pada Pasal 1 angka 12 UU BUMN dan BUMN mana yang dilarang diprivatisasi sebagaimana dikutip di atas, maka penjualan saham anak perusahaan kepada pihak lain bukan merupakan privatisasi, karena yang dijual adalah saham anak perusahaan, bukan saham Persero. Yang tunduk pada UU BUMN dan UUPT adalah PT (Persero) Pertamina, sedangkan anak perusahaan PT (Persero) Pertamina adalah PT biasa atau PT tertutup dalam istilah UUPT yang sepenuhnya tunduk pada UU PT Nomor 40 Tahun 2007. Adapun penegasan bahwa anak perusahaan BUMN bukan merupakan BUMN juga dapat dilihat dalam pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam putusan permohonan uji materiil Nomor 01/PHPU-PRES/XVII/2019. Dalam teori hukum perseroan, privatisasi sebenarnya hal biasa terjadi dalam kinerja perseroan untuk tujuan peningkatan kinerja, nilai perusahaan dan efisiensi. Pengalaman internasional memperlihatkan bahwa tujuan utama privatisasi ada 2 (dua). Pertama, untuk mengurangi deficit fiscal dan/atau mencukupi kewajiban-kewajiban (utang-utang) pemerintah yang jatuh tempo. Kedua, untuk mendorong kinerja ekonomi makro atau efisiensi makro. Tujuan pertama umumnya diadopsi oleh negara-negara maju (industri) dan tujuan 154 kedua umumnya diadopsi oleh negara-negara berkembang, utamanya dalam kerangka tujuan jangka pendek (Ika Syahrir dan Agunan P Samosir, dalam Prasetio, 2014, halaman 95). Negara-negara maju yang menggulirkan program privatisasi dengan tujuan utama adalah efisiensi makro ekonomi, yaitu: Inggris (1979, 1984 dan 1997), Perancis (1986, 1988 dan 1977), Jepang (1980, 1987, 1988). State Owened Enterprises (SOEs), yang mereka privatisasi umumnya dimulai dari sector telekomunikasi: British Telecom (Inggris), France Telecom (Perancis) dan Nippon Telegraph and Telephone NTT (Jepang). Adapun negara-negara berkembang yang mengadopsi program privatisasi dengan tujuan utama untuk menutupi deficit fiscal dan/atau untuk menutupi kewajiban-kewajiban (utang- utang) pemerintah yang jatuh tempo, yaitu: RRC (1999), Chile (Telefones de Chile) (1990), Meksiko (1982, 1992), Brasil (1998), Bolivia (1998), dan Afrika Selatan (1995) (vide, Meggison dan Netter, 2001, dala: Prasetio, Ibid ). Adapun privatisasi BUMN biasanya dilaksanakan dengan memilih strategi yang paling cocok dengan tujuan privatisasi, jenis BUMN, kondisi BUMN serta situasi sosial politik dari negara bersangkutan. Di Indonesia dengan pembatasan sebagaimana diatur dalam Pasal 77 UU BUMN tersebut. Beberapa strategi yang dapat dipilih, antara lain: public offering (IPO), private sale , new private investment , sale of assets , fragmentation , manajemen/ employee buyout , kontrak manajemen, kontrak/sewa asset atau likuidasi ( Ibid ). Dalam beberapa strategi di atas, strategi yang paling sering digunakan dalam privatisasi BUMN di Indonesia adalah dengan cara IPO, seperti yang dilakukan pada PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk, PT Indosat, Tbk, PT Krakatau Steel, Tbk, dan PT- PT Perbankan Tbk (Plat Merah; Noted Ahli). Secara khusus Ahli akan menyoroti persoalan IPO yang juga disinggung oleh Ahli dari Pihak Pemohon. IPO ( Initial Public Offering ) atau penawaran umum adalah kegiatan penawaran efek yang dilakukan oleh emiten untuk menjual efek kepada masyarakat berdasarkan tata cara yang diatur dalam undang- undang ini dan peraturan pelaksanaannya (Vide Pasal 1 angka 15 UU No. 6 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal, disingkat UUPM). Emiten adalah pihak yang melakukan penawaran umum tersebut (Pasal 1 angka (6) UUPM. Rata-rata saham emiten yang dilepas dalam rangka IPO melalui Bursa Efek Indonesia hanyalah 20%. (vide: https: //finance.detik.com/bursa-dan-valas/d- 155 2471659/aturan-minimum-besaran-saham-ipo-batasi-perusahaan-go-public, diunduh: 20/05/2021, jam. 14.14). Dari data di atas, dengan IPO yang dipilih sebagai cara privatisasi pun tidak perlu dikawatirkan bahwa saham anak perusahaan BUMN akan dikuasai investor swasta. Investor di Bursa Efek itu orientasinya adalah capital gain atau dividen, jarang yang berorientasi akuisisi misalnya. Privatisasi dapat merupakan sarana perbaikan kinerja BUMN dan peningkatan value , mendorong terbentuknya good corporate governance dan mengurangi beban negara. Oleh sebab itu, BUMN yang kompetitif – dalam arti siapapun dapat melakukan kegiatan usaha atau core business ) seperti telekomunikasi, boleh dan bahkan perlu dilakukan privatisasi. Yang menguasai hajat hidup rakyat banyak seperti core business nya PT (Persero) Pertamina, dilakukan pembatasan sebagaimana diatur dalam Pasal 77 UU BUMN. Jadi menurut Ahli, dalil Pemhon dalam hal ini menjadi lemah, jika anak perusahaan BUMN – dalam hal ini – anak perusahaan PT. Pertamina (Persero) yang sepenuhnya tunduk pada UUPT dan merupakan bentuk hukum PT Biasa yang tunduk pada UUPT “dibenturkan “dan/atau diukur melalui norma Pasal 77 UU BUMN yang berlaku pada PT (Persero).
Bahwa menurut Pemohon ketentuan dalam Pasal 5 ayat (4) dan ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (selanjutnya disebut PP 35/2004), yang menyatakan bahwa PT Pertamina (Persero) hanya dapat mengajukan permohonan untuk mendapatkan wilayah kerja apabila sahamnya masih 100% (seratus persen) dimiliki negara merupakan bentuk pelaksanaan amanat Pasal 33 UUD 1945 yang menyatakan cabang-cabang produksi yang penting dan sumber daya alam harus dikuasai oleh negara sepenuhnya, tidak dibagi-bagi dengan swasta/ perorangan, dengan tujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pendapat Hukum Ahli sebagai berikut: Dalil Pemohon menurut hemat Ahli tidak tepat dan terlalu jauh membuat penafsiran atas norma sebuah Pasal peraturan perundang-undangan. Jika merujuk pada uraian umum yang Ahli sampaikan pada awal keterangan Ahli ini, dipahami bahwa amanat penguasaan negara terhadap cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup rakyat banyak dilaksanakan 156 oleh negara dan bisa disubstitusikan kepada BUMN, tegas disebut BUMN. Jika kemudian BUMN ditafsirkan sedemikian luas termasuk anak perusahaan BUMN, maka pemahaman demikian menimbulkan ketidakpastian hukum tentang Lembaga yang disebut BUMN itu. Jelas tidak tepat, apalagi sebagaimana Ahli kemukakan di atas bahwa anak perusahaan BUMN menurut Mahkamah Konstitusi dalam Putusannya Nomor 01/PHPU-PRES/XVII/2019 yang lalu, tidak masuk dalam pengertian BUMN. Demikian selanjutnya, jika merujuk pada ketentuan Pasal 4 UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (selanjutnya disebut UU Migas) dipahami bahwa sektor migas sebagai sumber daya alam strategis dikuasasi oleh negara, diselenggarakan oleh Pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan dengan membentuk Badan Pelaksana. Konstitusionalitas ketentuan dimaksud juga telah dikuatkan oleh Mahkamah Konstitusi melalui pertimbangan Majelis pada halaman 223 dan 224 butir 2 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 002/PUU-I/2003. Jadi menurut Ahli tidak tepat jika norma tersebut dipahami demikian luas, sehingga persoalan anak perusahaan BUMN (Persero) dirujuk menjadi bagian yang mendapat mandat atau wewenang penguasaan negara pada sumber daya alam yang strategis, sebagaimana hal itu diamanatkan kepada BUMN.
Dr. Bayu Dwi Anggono, S.H., M.H.
Bahwa pokok permohonan dalam perkara ini adalah ketentuan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN yang menurut Pemohon bertentangan dengan ketentuan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 sepanjang larangan privatisasi dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN hanya diberlakukan secara limitatif terhadap persero dan tidak diberlakukan juga terhadap anak perusahaan persero. Pasal 77 huruf c dan huruf d mengatur: Persero yang tidak dapat diprivatisasi adalah: …..c. Persero yang bergerak di sektor tertentu yang oleh pemerintah diberikan tugas khusus untuk melaksanakan kegiatan tertentu yang berkaitan dengan _kepentingan masyarakat;
Persero yang bergerak di bidang usaha_ sumber daya alam yang secara tegas berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dilarang untuk diprivatisasi ; 157 2. Bahwa dalam petitumnya pemohon meminta supaya MK menyatakan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak mengartikan kata “Persero” sebagai “Persero dan Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan”;
Bahwa atas perkara ini maka ahli akan menerangkan beberapa hal: (i) Pertama, apakah sejak awal penyusunannya materi muatan UU BUMN dan Peraturan Perundang-undangan turunannya sudah membedakan konsepsi dan kedudukan antara BUMN dan Perusahaan milik BUMN/Anak Perusahaan BUMN; (ii) Kedua, bagaimana putusan pengadilan (Mahkamah Konstitusi) membedakan kedudukan antara BUMN dan anak perusahaan BUMN; (iii) Ketiga, bagaimana kekuatan mengikat putusan pengadilan (Mahkamah Konstitusi) yang telah memberikan tafsir konstitusional yang membedakan antara BUMN dan anak perusahaan BUMN; dan (iv) Keempat, apakah pengaturan mengenai privatisasi dalam UU BUMN yaitu maksud dan tujuan privatisasi, prinsip privatisasi, dan kriteria perusahaan yang dapat di privatisasi, serta tata cara privatisasi ditujukan khusus untuk BUMN ataukah termasuk di dalamnya juga mengatur anak perusahaan BUMN;
Bahwa terhadap isu pertama dapat diterangkan penyusun UU BUMN melalui Pasal 14 ayat (3) dan Penjelasan Pasal 22 ayat (1) dengan sengaja membedakan antara anak perusahaan BUMN dengan BUMN. Pasal 14 ayat (3) mengatur: Pihak yang menerima kuasa dari Menteri untuk mewakili dalam RUPS Persero, wajib terlebih dahulu mendapat persetujuan _Menteri untuk mengambil keputusan dalam RUPS mengenai:
..g._ pembentukan anak perusahaan atau penyertaan . Penjelasan Pasal 22 ayat (1): Rancangan rencana kerja dan anggaran _perusahaan memuat antara lain:
...c. proyeksi keuangan Persero dan anak_ perusahaannya . Pasal 14 ayat (3) merupakan norma yang memberikan peluang BUMN untuk dapat membentuk anak perusahaan BUMN. Sementara Penjelasan Pasal 22 ayat (1) tidak dapat dilepaskan dari keberadaan Pasal 22 ayat (1) yang pada intinya mengatur bahwa apabila Persero memiliki anak perusahaan maka rancangan rencana kerja dan anggaran Persero yang merupakan penjabaran tahunan wajib memuat proyeksi keuangan persero dan anak perusahaannya; 158 5. Bahwa UU BUMN mengatur perbedaan antara BUMN dengan anak perusahaan BUMN melalui definisi dari BUMN sebagaimana diatur pada Pasal 1 angka 1 UU BUMN. Definisi BUMN menurut Pasal 1 angka 1 UU BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan . Mengenai definisi kekayaan negara yang dipisahkan diatur dalam Pasal 1 angka 10 UU BUMN yang menyebutkan: “ Kekayaan Negara yang dipisahkan adalah kekayaan negara yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk dijadikan penyertaan modal Negara pada Persero dan/atau Perum serta perseroan terbatas lainnya ”. Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU BUMN memberikan penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan dipisahkan: Yang dimaksud dengan dipisahkan adalah pemisahan kekayaan negara dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN untuk selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya tidak lagi didasarkan pada sistem Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, namun pembinaan dan pengelolaannya didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat ;
Bahwa mengenai definisi anak perusahaan BUMN dapat dilihat dari ketentuan Peraturan perundang-undangan di bawah UU. Pasal 2A ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2005 Tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara Pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016 Tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2005 mengatur: Dalam hal kekayaan negara berupa saham milik negara pada BUMN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN lain sehingga sebagian besar saham dimiliki oleh BUMN lain, maka BUMN tersebut menjadi anak perusahaan BUMN dengan ketentuan negara wajib memiliki saham dengan hak istimewa yang diatur dalam anggaran dasar . Definisi anak perusahaan persero (BUMN) juga dapat merujuk kepada Pasal 1 angka 2 Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor: PER- 03 /MBU/2012 Tentang Pedoman Pengangkatan Anggota Direksi Dan Anggota Dewan Komisaris Anak Perusahaan Badan Usaha Milik Negara 159 yang mendefinisikan Anak Perusahaan BUMN, adalah perseroan terbatas yang sebagian besar sahamnya dimiliki oleh BUMN atau perseroan terbatas yang dikendalikan oleh BUMN ;
Bahwa sangat nyata terdapat perbedaan antara BUMN dengan anak perusahaan BUMN. Yang menentukan suatu badan usaha merupakan BUMN adalah sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung, sedangkan anak perusahaan BUMN didirikan melalui penyertaan saham milik negara pada BUMN pada perseroan terbatas sehingga menjadikan perseroan terbatas tersebut sebagian besar sahamnya dimiliki oleh BUMN (penyertaan modal negara secara tak langsung). Dengan demikian antara BUMN dengan anak perusahaan BUMN merupakan entitas hukum yang berbeda;
Bahwa Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor PER- 03/MBU/08/2017 tentang Pedoman Kerja Sama Badan Usaha Milik Negara sebagaimana diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara NOMOR PER-07/MBU/04/2021 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor PER-03/MBU/08/2017 Tentang Pedoman Kerja Sama Badan Usaha Milik Negara mengatur di Pasal 1 angka 3: Mitra adalah pihak yang bekerja sama dengan BUMN yang terdiri dari BUMN, anak perusahaan BUMN, perusahaan terafiliasi BUMN, Lembaga Pengelola Investasi yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, dan/atau pihak lain . Berdasarkan definisi Mitra ini maka status hukum anak perusahaan BUMN berbeda/terpisah dengan BUMN induknya, karena anak perusahaan BUMN dapat diletakkan sebagai salah satu dari mitra yang melakukan kerjasama dengan BUMN disamping mitra yang lain yaitu BUMN, perusahaan terafiliasi BUMN, Lembaga Pengelola Investasi yang dibentuk berdasarkan Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, dan/atau pihak lain;
Bahwa terhadap isu Kedua bagaimana putusan pengadilan (Mahkamah Konstitusi) memaknai perbedaan kedudukan antara BUMN dan anak perusahaan BUMN maka dapat diterangkan terdapat putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 01/PHPU-PRES/XVII/2019 tentang perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2019. Dalam pertimbangan putusan ini MK menyatakan Pasal 1 UU BUMN mendefinisikan 160 BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Berdasarkan definisi tersebut maka untuk dapat mengetahui apakah suatu perseroan terbatas merupakan BUMN atau bukan salah satunya adalah dengan cara mengetahui komposisi modal atau saham dari perseroan terbatas tersebut;
Bahwa dalam Putusan Nomor 01/PHPU-PRES/XVII/2019 MK dengan mengambil contoh Bank BNI Syariah dan Bank Syariah Mandiri menerangkan bahwa modal atau saham Bank BNI Syariah dimiliki oleh PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk dan PT BNI Life Insurance. Adapun komposisi pemegang saham Bank Syariah Mandiri adalah PT Bank Mandiri (Persero) Tbk dan PT Mandiri Sekuritas. Dengan demikian, oleh karena tidak ada modal atau saham dari negara yang bersifat langsung yang jumlahnya sebagian besar dimiliki oleh negara maka kedua bank tersebut tidak dapat didefinisikan sebagai BUMN, melainkan berstatus anak perusahaan BUMN karena didirikan melalui penyertaan saham yang dimiliki oleh BUMN atau dengan kata lain modal atau saham kedua bank tersebut sebagian besar dimiliki oleh BUMN;
Bahwa terhadap isu Ketiga bagaimana kekuatan mengikat putusan pengadilan (Mahkamah Konstitusi) yang telah memberikan tafsir konstitusional yang membedakan antara persero dan anak perusahaan persero maka dapat diterangkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyebutkan: Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum . Sementara Pasal 24C ayat (2) UUD 1945 menyebutkan: Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar . Jika Pasal tersebut dicermati dapat dijelaskan bahwa MK merupakan badan peradilan tingkat pertama dan terakhir, atau dapat dikatakan, badan peradilan satu-satunya yang putusannya bersifat final dan mengikat, untuk mengadili 161 perkara pengujian UU, sengketa lembaga negara yang kewenangannya diberikan UUD, pembubaran partai politik, dan perselisihan hasil pemilihan umum. Dengan demikian, dalam hal pelaksanaan kewenangannya, MK tidak mengenal adanya mekanisme banding atau kasasi. ( Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 1999-2002, Buku VI Kekuasaan Kehakiman , Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi; Edisi Revisi, Juli 2010, hlm. 594 - 595);
Bahwa dengan demikian __ pengertian tingkat pertama dan terakhir di Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 adalah di bawah maupun di atas MK tidak ada badan pengadilan lain, sehingga putusan MK langsung sebagai putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap ( in kracht van gewijsde vonnis ). Untuk itu tidak ada upaya hukum lainnya, baik berupa banding atau kasasi yang dapat ditempuh dan menjadikan putusannya bersifat final. ( Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 1999-2002, Buku VI Kekuasaan Kehakiman , Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi; Edisi Revisi, Juli 2010, hlm. 718); __ 13. Bahwa lain halnya dengan kewajiban MK untuk memberikan putusan atas pendapat DPR, terhadap dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden. Dalam hal ini, UUD 1945 tidak menyatakan MK sebagai peradilan tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final dan mengikat. MK hanya diletakkan sebagai salah satu mekanisme yang harus dilalui dalam proses pemberhentian ( impeachment ) Presiden dan/atau Wakil Presiden. Kewajiban konstitusional MK adalah untuk membuktikan dari sudut pandang hukum, mengenai benar tidaknya dugaan pelanggaran hukum Presiden dan/atau Wakil Presiden. ( Naskah Komprehensif Perubahan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 1999-2002, Buku VI Kekuasaan Kehakiman , Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi; Edisi Revisi, Juli 2010, hlm. 594 - 595); __ 14. Bahwa apa yang dimaksud putusan MK bersifat final kemudian diperjelas dan dipertegas melalui Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang 162 Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Pasal 47 UU MK menyebutkan: Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum, artinya putusan MK telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan secara langsung memperoleh kekuatan mengikat untuk dilaksanakan serta membawa akibat hukum bagi semua pihak yang berkaitan dengan putusan sejak putusan selesai diucapkan dalam sidang pleno;
Bahwa dengan demikian jawaban atas pertanyaan bagaimana sifat putusan Mahkamah Konstitusi setelah melihat risalah perubahan UUD 1945 dan UU MK dapat disimpulkan putusan MK bersifat final yang sifat final ini menunjukkan sekurang-kurangnya 3 (tiga) hal, yaitu: Pertama, bahwa Putusan MK secara langsung memperoleh kekuatan hukum; Kedua; karena telah memperoleh kekuatan hukum maka Putusan MK memiliki akibat hukum bagi semua pihak yang berkaitan dengan putusan. Hal ini karena Putusan MK berbeda dengan putusan peradilan umum yang hanya mengikat para pihak berperkara ( interparties ). Semua pihak wajib mematuhi dan melaksanakan Putusan MK karena putusan MK tidak hanya mengikat bagi pihak yang mengajukan perkara di MK, melainkan mengikat juga semua warga negara seperti halnya UU mengikat secara umum bagi semua warga negara ( erga omnes ). Ketiga; karena merupakan pengadilan pertama dan terakhir, maka tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh. Sebuah putusan apabila tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh berarti telah mempunyai kekuatan hukum tetap ( in kracht van gewijsde ) dan memperoleh kekuatan mengikat ( resjudicata pro veritate habetur );
Bahwa pendapat MK yang menyatakan anak perusahaan BUMN bukanlah BUMN termuat dalam pertimbangan putusan Nomor 01/PHPU- PRES/XVII/2019 (nomor 3.65) dan bukan di bagian amar putusan. Meskipun bukan terletak di bagian amar namun pertimbangan putusan MK merupakan bagian dari putusan yang juga mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dasarnya adalah Pasal 48 ayat (2) UU MK yang mengatur: Setiap putusan Mahkamah Konstitusi harus memuat: • kepala putusan berbunyi: “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”; 163 • identitas pihak; • ringkasan permohonan; • pertimbangan terhadap fakta yang terungkap dalam persidangan; • pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan; • amar putusan; dan • hari, tanggal putusan, nama hakim konstitusi, dan panitera. Secara jelas sesuai ketentuan Pasal 48 ayat (2) huruf e UU MK pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan harus dimuat dalam putusan dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Putusan;
Bahwa terdapat dua asas dalam pengambilan keputusan oleh hakim, yang pertama adalah asas precedent . Asas ini bermakna bahwa seseorang hakim terikat oleh hakim lain, baik yang sederajat maupun yang lebih tinggi. Hakim dalam mengadili dan memutuskan perkara tidak boleh menyimpang dari hakim lain, baik yang sederajat maupun yang lebih tinggi. Berikutnya adalah asas bebas, asas ini bermakna bahwa seorang hakim tidak terikat oleh putusan hakim lain, baik yang sederajat maupun yang lebih tinggi. Perkataan tidak terikat disini diartikan bahwa seorang hakim, dalam memutuskan suatu perkara boleh mengikuti putusan hakim terdahulu, baik yang sederajat atau yang lebih tinggi, boleh juga tidak mengikuti. (Oly Viana Agustine, Jurnal Konstitusi, Volume 15, Nomor 3, September 2018 Keberlakuan Yurisprudensi pada Kewenangan Pengujian Undang-Undang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi);
Bahwa meskipun tidak menganut asas precedent namun terdapat beberapa putusan MK dalam pengujian Undang-Undang yang kemudian diikuti oleh putusan-putusan setelahnya. Salah satunya tentang makna Hak Menguasai Negara melalui putusan permohonan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan Nomor 001-021-022/PUU-I/2003, pengujian Undang-Undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dalam putusan Nomor 002/PUU-I/2003, dan Putusan permohonan Undang-Undang No 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air melalui putusan Nomor 058-059- 060-063/PUU-II/2004. Dalam berbagai putusan tersebut yang dimaksud dengan hak menguasai negara mencakup lima pengertian. Negara merumuskan kebijakan ( beleid) , termasuk melakukan pengaturan ( regelen daad ), melakukan pengurusan ( bestuurdaad ), melakukan pengelolaan 164 ( beheer daad ) dan melakukan pengawasan ( toezicht houden daad ) untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat;
Bahwa terkait dengan isu keempat yaitu apakah pengaturan mengenai privatisasi dalam UU BUMN yaitu maksud dan tujuan privatisasi, prinsip privatisasi, dan kriteria perusahaan yang dapat di privatisasi, serta tata cara privatisasi ditujukan khusus untuk BUMN ataukah termasuk di dalamnya juga mengatur anak perusahaan BUMN, maka dapat diterangkan UU BUMN di bagian dasar hukum pembentukannya (UU BUMN) menyebutkan Pasal 23 ayat (4), dan Pasal 33 UUD 1945 sebagai Peraturan Perundang-undangan yang memerintahkan pembentukan UU BUMN. Pasal 23 ayat (4) UUD 1945 sebelum amandemen mengatur: Hal keuangan negara selanjutnya diatur dengan undang-undang . Pasal 33 UUD 1945 mengatur: (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. (4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang. 20. Bahwa mengenai BUMN serta ketentuan privatisasi BUMN meliputi maksud dan tujuan privatisasi, prinsip privatisasi, dan kriteria perusahaan yang dapat di privatisasi, serta tata cara privatisasi __ maka UUD 1945 tidak mengaturnya melainkan dimandatkan untuk diatur melalui UU. Pasal 33 ayat (5) UUD 1945 mengatur: Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang. Konsekuensi UUD 1945 tidak mengatur mengenai BUMN dan bagaimana ketentuan privatisasi BUMN maka dengan demikian mengenai BUMN dan ketentuan privatisasi BUMN merupakan materi muatan/materi pengaturan Undang-Undang. __ 165 Dengan demikian sesuai ketentuan Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 yang menyebutkan: Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama , maka mengenai BUMN serta ketentuan privatisasi BUMN meliputi meliputi maksud dan tujuan privatisasi, prinsip privatisasi, dan kriteria perusahaan yang dapat di privatisasi, serta tata cara privatisasi merupakan kewenangan sepenuhnya bagi DPR dan Presiden untuk menentukannya/mengaturnya;
Bahwa dalam UU BUMN tepatnya di Pasal 1 angka 12 diatur mengenai peluang dilakukannya privatisasi bagi BUMN. Pasal 1 angka 12 mendefinisikan privatisasi sebagai penjualan saham Persero, baik sebagian maupun seluruhnya, kepada pihak lain dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat, serta memperluas pemilikan saham oleh masyarakat . Mengenai maksud dan tujuan privatisasi, prinsip privatisasi, kriteria perusahaan yang dapat diprivatisasi, tata cara privatisasi diatur dalam Bab VIII UU BUMN dengan judul Bab Restrukturisasi dan Privatisasi. Dalam Bab VIII ketentuan privatisasi diatur di Pasal 74 sampai dengan Pasal 86; __ 22. Bahwa dengan melihat kepada ketentuan Pasal 1 angka 12 serta Pasal 74 sampai dengan Pasal 86 maka kebijakan hukum yang diambil oleh pembentuk UU BUMN adalah ketentuan pengaturan privatisasi hanya dimaksudkan diberlakukan kepada BUMN dan tidak meliputi Anak Perusahaan BUMN. Dengan menggunakan penafsiran sistematis UU yaitu penafsiran menurut sistem yang ada dalam rumusan hukum itu sendiri ( systematische interpretative ) atau menghubungkan ketentuan antar norma dalam suatu UU, maka ketentuan yang mengatur mengenai privatisasi yaitu maksud dan tujuan privatisasi, prinsip privatisasi, kriteria perusahaan yang dapat diprivatisasi, tata cara privatisasi __ dalam Pasal 74 sampai dengan Pasal 86 yang hanya ditujukan bagi BUMN dan tidak termasuk anak perusahaan BUMN merupakan konsekuensi keberadaan Pasal 1 angka 12 UU BUMN yang memang membatasi ketentuan Privatisasi hanya bagi Persero (BUMN); __ 23. Bahwa keberadaan Pasal 76 UU BUMN yang mengatur __ kriteria Persero yang dapat diprivatisasi dan Pasal 77 UU BUMN yang mengatur kriteria Persero yang tidak dapat di privatisasi pada dasarnya memang pengaturannya hanya 166 ditujukan bagi Persero (BUMN) dan bukan ditujukan kepada anak perusahaan BUMN. Keberadaan Pasal 76 dan Pasal 77 adalah konsekuensi dari adanya ketentuan Pasal 1 angka 12 UU BUMN yang memang membatasi ketentuan Privatisasi hanya bagi Persero (BUMN). Untuk itu terhadap permohonan yang ingin menjadikan larangan privatisasi dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d juga diberlakukan terhadap perusahaan milik BUMN/ anak perusahaan BUMN tentu tidak sesuai dengan maksud adanya Pasal 1 angka 12 UU BUMN sebagai ketentuan umum yang telah membatasi pengertian dari Privatisasi itu sendiri; __ 24. Bahwa keinginan menjadikan kata “Persero” diartikan sebagai “Persero dan Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan” di Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN juga tidak sesuai dengan pengertian BUMN dalam UU BUMN beserta peraturan perundang-undangan turunannya dan juga Putusan MK Nomor 01/PHPU-PRES/XVII/2019 yang telah menyatakan anak perusahaan BUMN bukanlah BUMN. Mengingat anak perusahaan BUMN bukanlah BUMN maka tidak tepat apabila kata “Persero” di Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN __ juga dimaknai mencakup “Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan”. Jika logika ini yang dipakai maka tidak hanya Pasal 77 huruf c dan huruf d yang akan terdampak melainkan juga pasal-pasal lain dalam Bab VIII tentang ketentuan privatisasi BUMN yaitu Pasal 74 sampai dengan Pasal 86 yang kata Persero harus dimaknai juga sebagai “Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan” mengingat Pasal 77 huruf c dan huruf d tidak berdiri sendiri melainkan juga sangat terkait dengan Pasal-Pasal lain di Bab VIII; __ 25. Bahwa pengaturan dalam Bab VIII UU BUMN Pasal 74 sampai Pasal 86 yang mengatur __ maksud dan tujuan privatisasi, prinsip privatisasi, kriteria perusahaan yang dapat diprivatisasi, serta tata cara privatisasi pada dasarnya masuk kategori kebijakan hukum terbuka pembentuk UU. Kebijakan pembentukan UU dikatakan bersifat terbuka ketika UUD 1945 sebagai norma hukum yang lebih tinggi tidak mengatur atau tidak memberikan batasan jelas mengenai apa dan bagaimana materi tertentu harus diatur oleh UU. Secara berkebalikan, kebijakan pembentukan UU dikatakan bersifat tertutup manakala UUD 1945 telah memberikan batasan jelas mengenai apa dan bagaimana suatu materi harus diatur dalam UU; __ 167 26. Bahwa Kebijakan hukum terbuka dapat diartikan sebagai tindakan pembentuk UU dalam menentukan subyek, obyek, perbuatan, peristiwa, dan/atau akibat untuk diatur dalam UU, dimana terdapat kebebasan bagi pembentuk UU untuk mengambil kebijakan hukum karena UUD 1945 tidak mengatur atau tidak memberikan batasan jelas;
Bahwa UUD 1945 menyerahkan pengaturan mengenai BUMN serta ketentuan privatisasi BUMN meliputi maksud dan tujuan, prinsip privatisasi, dan kriteria BUMN yang dapat di privatisasi, serta tata cara privatisasi kepada pembentuk UU sebagaimana diatur Pasal 33 ayat (5) UUD 1945 yang mengatur: Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang. Konsekuensi adanya ketentuan Pasal 33 ayat (5) UUD 1945 ini adalah pembentuk UU diberikan kewenangan memilih kebijakan pengaturan mengenai BUMN serta ketentuan privatisasi BUMN meliputi maksud dan tujuan, prinsip privatisasi, dan kriteria BUMN yang dapat di privatisasi, serta tata cara privatisasi. Konsekuensi UUD 1945 tidak mengatur mengenai BUMN dan bagaimana ketentuan privatisasi BUMN maka dengan demikian mengenai BUMN dan ketentuan privatisasi BUMN sepenuhnya menjadi kebijakan hukum terbuka pembentuk Undang-Undang untuk mengaturnya;
Bahwa ketika suatu norma UU masuk ke dalam kategori kebijakan hukum terbuka maka selama ini menurut MK norma tersebut berada di wilayah yang bernilai konstitusional. Hal ini karena selama ini dalam praktik pengujian konstitusional di MK suatu norma UU dapat dinilai: (i) sesuai dengan UUD 1945; (ii) tidak bertentangan dengan UUD 1945; atau (iii) bertentangan dengan UUD 1945;
Bahwa Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN tentang kriteria Persero yang tidak dapat diprivatisasi meskipun tidak masuk kategori “sesuai dengan UUD 1945” oleh karena tidak ada ketentuan dalam UUD 1945 yang mengatur tentang BUMN, maksud dan tujuan, prinsip privatisasi, dan kriteria BUMN yang dapat di Privatisasi, serta tata cara privatisasi, namun Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN setidaknya masuk kategori “tidak bertentangan dengan UUD 1945” karena pasal dan/atau ayat UUD 1945 sebagai norma 168 hukum yang lebih tinggi tidak mengatur atau tidak memberikan batasan jelas mengenai BUMN dan privatisasi BUMN;
Bahwa sebuah kebijakan hukum terbuka dalam pelaksanaannya menurut MK tetap perlu diberilkan batasan-batasan agar tidak berubah menjadi kewenang-wenangan yang merugikan masyarakat. Batasan yang diberikan oleh MK dinyatakan dalam Pertimbangan Putusan Nomor 86/PUU-XI/2012 tentang pengujian UU Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. MK dalam putusan ini menyatakan: ”... pengaturan atau pembatasan oleh pembentuk Undang-Undang tidak dapat pula dilakukan dengan sebebas- bebasnya, melainkan, antara lain, harus memperhatikan tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum ”;
Bahwa kebijakan pembentuk Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN tentang Kriteria Persero yang tidak dapat diprivatisasi yang sebatas mengatur hanya untuk BUMN dan tidak termasuk anak perusahaan BUMN tidaklah melanggar batasan-batasan bagi sebuah kebijakan hukum terbuka yaitu tidak melanggar tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum. Hal ini dikarenakan terdapat alasan logis dan rasional mengapa kebijakan hukum ini diambil yaitu konsekuensi dari adanya ketentuan Pasal 1 angka 12 UU BUMN yang memang membatasi ketentuan Privatisasi hanya bagi BUMN.
Dr. Oce Madril S.H., M.A. Pokok Permohonan Pemohon Bahwa dalam permohonannya, pemohon mengajukan pengujian ketentuan Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN, yang mengatur: _Persero yang tidak dapat diprivatisasi adalah: _ a...... b...... c. Persero yang bergerak di sektor tertentu yang oleh pemerintah diberikan tugas khusus untuk melaksanakan kegiatan tertentu yang berkaitan _dengan kepentingan masyarakat; _ d. Persero yang bergerak di bidang usaha sumber daya alam yang secara tegas berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dilarang untuk diprivatisasi. terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3), yang berbunyi: 169 Pasal 33 ayat (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara Pasal 33 ayat (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat Dalam Petitum , pemohon menyatakan bahwa ketentuan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN bertentangan dengan ketentuan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI 1945 sepanjang larangan privatisasi dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d hanya diberlakukan secara limitatif terhadap Persero dan tidak diberlakukan juga terhadap Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero, karena berpotensi mengakibatkan negara kehilangan hak menguasai negara yaitu mengelola cabang- cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dan sumber daya alam tidak diperuntukkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Pendapat Ahli I. Konsep Penguasaan oleh Negara 1. Pengelolaan sumberdaya alam (SDA), jika dilihat dari sudut pandang teoritik hukum administrasi negara, pada mulanya adalah sepenuhnya urusan perorangan maupun kolektif warga negara untuk mencari penghidupannya masing-masing. Namun, karena satu dan lain hal, negara merasa perlu untuk campur tangan ke dalam urusan ini. Hukum administrasi negara, dalam kaitan itu, adalah hukum yang mengatur mengenai alasan-alasan mengapa negara harus campur tangan ke dalam urusan pengelolaan SDA. Alasan-alasan itulah yang kelak menjadi dasar hukum wewenang negara dalam pengelolaan SDA. Dasar hukum itu pada hakikatnya membatasi apa- apa yang boleh dicampuri oleh negara dan ranah apa saja yang tetap merupakan urusan perorangan atau kelompok warga negara. Kemudian, hukum administrasi negara berkaitan dengan hukum yang mengatur mengenai bagaimana negara melaksanakan wewenangnya, bagaimana negara akan turut mengurus pengelolaan SDA, termasuk kelembagaan 170 yang diberikan wewenang (Bono Budi Priambodo, Aspek HAN dalam Pengelolaan SDA;
;
Apabila dikaitkan dengan konsep negara welfare state , maka keterlibatan negara (intervensi negara) dibutuhkan untuk menjamin kesejahteraan mendasar rakyatnya. Negara welfare state menerapkan konsep pemerintahan dimana negara memainkan peran kunci dalam menjaga dan memajukan kesejahteraan ekonomi dan sosial warga negaranya. Sebagaimana telah dirumuskan secara eksplisit dalam Pasal 33 UUD 1945 ayat (3) bahwa “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Disini terlihat jelas bahwa tujuan yang hendak dicapai negara dalam penguasaan SDA sebagaimana ketentuan Pasal 33 ayat (3) adalah sebesar-besarnya kemakmuran rakyat;
Pengaturan pengelolaan SDA yang tercantum dalam konstitusi Indonesia, memuat ketentuan penting, terutama pada poin cabang-cabang produksi yang penting bagi negara. Demi mewujudkan tujuan kesejahteraan, cabang- cabang produksi penting harus dikuasi oleh negara. Lebih lanjut menurut Mahfud MD, penguasaan negara membawa konsekuensi bahwa negara harus secara aktif mengambil inisiatif bagi upaya-upaya menuju kesejahteraan masyarakat (Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia;
;
Konsep “dikuasai oleh negara” berasal dari ketentuan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945. Pasal 33 berada dalam BAB XIV Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial. Ketentuan Pasal 33 ayat (2) Undang- Undang Dasar 1945, menyatakan bahwa “ Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”. Kemudian Pasal 33 ayat (3) menyatakan bahwa “ Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” ;
Ketentuan Pasal 33 UUD 1945 selaras dengan pemahaman yang dibangun oleh para pendiri bangsa yang mengamanatkan pelaksanaan demokrasi ekonomi atas dasar falsafah kekeluargaan, bukan falsafah individualistik. Sukarno menyatakan, falsafah ekonomi individualistik hanya akan berimbas 171 pada prinsip ekonomisch liberalisme . Ancaman nyata yang ditimbulkan dengan falsafah ekonomi liberal justru akan melahirkan paham kapitalisme yang berorientasi “ laisser faire, leiseez passer ”. Segala kekayaan alam yang penting untuk kepentingan negara dikuasai oleh negara. Paham ini sesuai dengan aliran pikiran bahwa negara sebagai keluarga besar, yang mengatasi paham golongan dan paham perseorangan (AB. Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar;
.
Mohammad Hatta menegaskan, dalam paham kolektivisme tidak ada pertentangan antara masyarakat dan negara. Negara adalah alat masyarakat untuk menyempurnakan kesejahteraan umum. Oleh karena tanah kepunyaan masyarakat, maka dengan sendirinya pemerintah menjadi juru kuasa mengurusnya dan mempergunakannya untuk kesejahteraan umum. Hatta kemudian mengemukakan bahwa cita-cita kesejahteraan umum dapat diwujudkan dengan adanya penguasaan aset oleh negara, kontrol terhadap swasta dan tumbuhnya perekonomian rakyat yang mandiri. Penguasaan negara atas aset nasional tidak hanya produk listrik, telepon, air minum dan kereta api, tetapi juga kekuasaan atas industri-industri strategis seperti pertambangan, kehutanan, bahkan perbankan. Sehingga negara benar-benar memegang kontrol atas cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak (M. Hatta, Politik, Kebangsaan dan Ekonomi 1926-1977;
.
Konsep penguasaan oleh negara memberi konsekuensi negara berdiri atas dasar kebutuhan untuk tetap dapat menjamin pelayanan publik serta memastikan negara dapat menjaminkan kepengurusan seluruh kekayaan negara agar dapat digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Soepomo menyatakan bahwa perekonomian Indonesia harus didasarkan pada cita-cita tolong menolong dan usaha bersama. Pada dasarnya perusahaan yang besar yang menguasai hajat hidup orang banyak, mestilah di bawah kekuasaan pemerintah dan dikuasai oleh negara. Apabila hanya dikelola berdasarkan pasar dan kepentingan beberapa orang partikulir saja dan hanya berpedoman pada keuntungan semata-mata, akan bertentangan dengan prinsip keadilan sosial. Oleh karena itu, tidak heran jika pemerintah dalam hal ini menjadi pengawas serta regulator terhadap roda 172 perekonomian yang menguasai hajat hidup orang banyak (Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI, Sekretariat Negara;
.
Lebih lanjut M. Hatta –sebagaimana dikutip oleh Aminuddin Ilmar– menyatakan bahwa hak penguasaan negara tidak hanya dalam bentuk membuat peraturan-peraturan semata untuk menegakkan perekonomian, melainkan juga membentuk badan usaha negara. Selain itu, konsep dikuasai oleh negara tidak hanya diartikan bahwa negara tidak boleh mengusahakannya melalui Kerjasama dengan pihak swasta, tetapi dapat dikelola oleh pihak swasta asalkan dengan pengawasan negara demi kesejahteraan rakyat (Aminuddin Ilmar, Hak Menguasai Negara dalam Privatisasi BUMN;
;
Mengenai konsep “dikuasai oleh negara”, Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Perkara Nomor 001-021-022/PUU-I/2003, pada halaman 332-333, menyatakan bahwa: “Menimbang bahwa dengan memandang UUD 1945 sebagai sistem sebagaimana dimaksud, maka pengertian “dikuasai oleh negara” dalam Pasal 33 UUD 1945 mengandung pengertian yang lebih tinggi atau lebih luas daripada pemilikan dalam konsepsi hukum perdata. Konsepsi penguasaan oleh negara merupakan konsepsi hukum publik yang berkaitan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dianut dalam UUD 1945, baik di bidang politik (demokrasi politik) maupun ekonomi (demokrasi ekonomi). Dalam paham kedaulatan rakyat itu, rakyatlah yang diakui sebagai sumber, pemilik dan sekaligus pemegang kekuasaan tertinggi dalam kehidupan bernegara, sesuai dengan doktrin “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”. Dalam pengertian kekuasaan tertinggi tersebut, tercakup pula pengertian kepemilikan publik oleh rakyat secara kolektif; ” “ Menimbang bahwa jika pengertian kata “dikuasai oleh negara” hanya diartikan sebagai pemilikan dalam arti perdata (privat), maka hal dimaksud tidak akan mencukupi dalam menggunakan penguasaan itu untuk mencapai tujuan “sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”, yang dengan demikian berarti amanat untuk “memajukan kesejahteraan umum” dan “mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” dalam Pembukaan UUD 1945 tidak mungkin diwujudkan. Namun demikian, konsepsi kepemilikan perdata itu sendiri harus diakui sebagai salah satu konsekuensi logis penguasaan oleh negara yang mencakup juga pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud. Pengertian “dikuasai oleh negara” juga tidak dapat diartikan hanya sebatas sebagai hak untuk mengatur, karena hal dimaksud sudah dengan sendirinya melekat dalam fungsi-fungsi negara tanpa harus disebut secara khusus dalam undang-undang dasar. Sekiranyapun Pasal 33 tidak tercantum dalam UUD 1945, sebagaimana lazim di banyak negara 173 yang menganut paham ekonomi liberal yang tidak mengatur norma- norma dasar perekonomian dalam konstitusinya, sudah dengan sendirinya negara berwenang melakukan fungsi pengaturan. Karena itu, perkataan “dikuasai oleh negara” tidak mungkin direduksi pengertiannya hanya berkaitan dengan kewenangan negara untuk mengatur perekonomian. Oleh karena itu, baik pandangan yang mengartikan perkataan penguasaan oleh negara identik dengan pemilikan dalam konsepsi perdata maupun pandangan yang menafsirkan pengertian penguasaan oleh negara itu hanya sebatas kewenangan pengaturan oleh negara, kedua- duanya ditolak oleh Mahkamah; ” 10. Kemudian masih dalam putusan yang sama, Mahkamah Konstitusi membuat pemaknaan atas kata “dikuasai oleh negara”, sebagaimana tercantum pada halaman 334, sebagai berikut: “…perkataan “dikuasai oleh negara” haruslah diartikan mencakup makna penguasaan oleh negara dalam arti luas yang bersumber dan berasal dari konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya”, termasuk pula di dalamnya pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud. Rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad) dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Fungsi pengurusan (bestuursdaad) oleh negara dilakukan oleh pemerintah dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas perizinan (vergunning), lisensi (licentie), dan konsesi (concessie). Fungsi pengaturan oleh negara (regelendaad) dilakukan melalui kewenangan legislasi oleh DPR bersama dengan Pemerintah, dan regulasi oleh Pemerintah (eksekutif). Fungsi pengelolaan (beheersdaad) dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham (share- holding) dan/atau melalui keterlibatan langsung dalam manajemen Badan Usaha Milik Negara atau Badan Hukum Milik Negara sebagai instrumen kelembagaan melalui mana negara c.q. Pemerintah mendayagunakan penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan itu untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Demikian pula fungsi pengawasan oleh negara (toezichthoudensdaad) dilakukan oleh negara c.q. Pemerintah dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan oleh negara atas cabang produksi yang penting dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak dimaksud benar-benar dilakukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat; ” 11. Apa dan kapan suatu cabang produksi itu dinilai penting bagi negara dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak, terpulang kepada Pemerintah bersama lembaga perwakilan rakyat untuk menilainya ( open 174 legal policy ). Cabang produksi yang pada suatu waktu penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, pada waktu yang lain dapat berubah menjadi tidak penting lagi bagi negara dan tidak lagi menguasai hajat hidup orang banyak. MK kemudian membuat 3 (tiga) kriteria cabang- cabang produksi yang harus dikuasai oleh negara yaitu: (i) cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, (ii) penting bagi negara tetapi tidak menguasai hajat hidup orang banyak, atau (iii) tidak penting bagi negara tetapi menguasai hajat hidup orang banyak. Ketiganya harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat (halaman 335 putusan perkara nomor 001- 021-022/PUU-I/2003);
Sementara berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam Minyak dan Gas Bumi, dalam putusan perkara nomor 36/PUU-X/2012 halaman 101 paragraf [3.12], Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa: “Menimbang bahwa dalam rangka mencapai tujuan sebesar-besar kemakmuran rakyat, kelima peranan negara/pemerintah dalam pengertian penguasaan negara sebagaimana telah diuraikan di atas, jika tidak dimaknai sebagai satu kesatuan tindakan, harus dimaknai secara bertingkat berdasarkan efektifitas untuk mencapai sebesar- besarnya kemakmuran rakyat. Menurut Mahkamah, bentuk penguasaan negara peringkat pertama dan yang paling penting adalah negara melakukan pengelolaan secara langung atas sumber daya alam, dalam hal ini Migas, sehingga negara mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari pengelolaan sumber daya alam. Penguasaan negara pada peringkat kedua adalah negara membuat kebijakan dan pengurusan dan fungsi negara dalam peringkat ketiga adalah fungsi pengaturan dan pengawasan. Sepanjang negara memiliki kemampuan baik modal, teknologi dan manajemen dalam mengelola sumber daya alam, maka negara harus memilih untuk melakukan pengelolaan secara langsung atas sumber daya alam. Dengan pengelolaan secara langsung, dipastikan seluruh hasil dan keuntungan yang diperoleh akan masuk menjadi keuntungan negara yang secara tidak langsung akan membawa manfaat lebih besar bagi rakyat. Pengelolaan langsung yang dimaksud disini, baik dalam bentuk pengelolaan langsung oleh negara (organ negara) melalui Badan Usaha Milik Negara. Pada sisi lain, jika negara menyerahkan pengelolaan sumber daya alam untuk dikelola oleh perusahaan swasta atau badan hukum lain diluar negara, keuntungan bagi negara akan terbagi sehingga manfaat bagi rakyat juga akan berkurang. Pengelolaan secara langsung inilah yang menjadi maksud dari Pasal 33 UUD 1945…” 175 13. Terlihat dalam beberapa putusan MK bahwa perkataan “dikuasai oleh negara” harus diartikan secara luas dan mencakup kepemilikan publik atas sumber daya alam, yang melahirkan wewenang bagi negara untuk mengadakan kebijakan ( beleid ) dan tindakan pengurusan ( bestuursdaad ), pengaturan ( regelendaad ), pengelolaan ( beheersdaad ) dan pengawasan ( toezichthoudensdaad ) untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Penguasaan oleh negara ini juga bersifat dinamis, bisa dilakukan sebagai satu kesatuan tindakan atau bisa juga dilakukan secara bertingkat tergantung kemampuan negara, sebagaimana terlihat dalam putusan perkara nomor 36/PUU-X/2012;
Idealnya, negara melakukan pengelolaan secara langsung atas sumber daya alam (Migas), supaya negara mendapatkan keuntungan yang lebih besar dan membawa manfaat lebih besar bagi rakyat. Negara memerlukan entitas badan usaha yang mampu mengelola sehingga bermanfaat bagi kesejahteraan rakyat. Pengelolaan langsung dilakukan melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN), melalui mekanisme pemilikan saham ( share- holding ) dan/atau melalui keterlibatan langsung dalam manajemen BUMN. Sebagai kepanjangan tangan negara, BUMN memiliki peran sebagai agent of development yang bertugas mengelola dan memanfaatkan kekayaan negara yang dikuasai untuk kesejahteraan rakyat;
Hadirnya BUMN bukanlah semata-mata sebagai perpanjangan tangan negara dalam rangka melaksanakan prinsip penguasaan oleh negara terhadap cabang- cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak maupun perpanjangan tangan negara dalam melaksanakan prinsip penguasaan oleh negara terhadap bumi dan air dan seluruh kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, melainkan juga sekaligus sebagai pelaku ekonomi dalam sistem perekonomian negara yang tujuan akhirnya adalah mewujudkan kemakmuran rakyat (vide halaman 212- 213 putusan Mahkamah Konstitusi nomor 14/PUU-XVI/2018;
Dalam hal sumber daya alam berupa Minyak dan Gas Bumi, Undang- Undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, sebenarnya tidak hanya mengatur peran BUMN, tetapi juga peran badan usaha lainnya . Sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 9 UU Migas bahwa (1) Kegiatan 176 Usaha Hulu dan Kegiatan Usaha Hilir sebagaimana dimaksud dalam Pasal _5 angka 1 dan angka 2 dapat dilaksanakan oleh:
badan usaha milik_ _negara;
badan usaha milik daerah;
koperasi;
badan usaha swasta._ Dalam ayat (2) dinyatakan bahwa Bentuk Usaha Tetap hanya dapat _melaksanakan Kegiatan Usaha Hulu; _ 17. Ketentuan Pasal 9 UU Migas tersebut tidaklah mengurangi hak penguasaan negara terhadap sumber daya alam Migas. Ketentuan Pasal 9 ini telah pernah diuji oleh Mahkamah Konstitusi. Dalam Putusan Nomor 36/PUU- X/2012, halaman 110-111 paragraf 3.17, Mahkamah menyatakan: “Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan Pasal 9 UU Migas sepanjang kata “dapat” bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945. Menurut Pemohon, ketentuan tersebut menunjukan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) hanya menjadi salah satu pemain saja dalam pengelolaan Migas, dan BUMN harus bersaing di negaranya sendiri untuk dapat mengelola Migas. Menurut Mahkamah Pasal 9 UU Migas a quo dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada perusahaan nasional baik Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Koperasi, usaha kecil, badan usaha swasta untuk berpartispasi dalam kegiatan usaha minyak dan gas bumi. Mahkamah dalam putusan Nomor 002/PUU-I/2003, tanggal 21 Desember 2004 telah mempertimbangkan, antara lain, “....harus mendahulukan (voorrecht) Badan Usaha Milik Negara. Karena itu, Mahkamah menyarankan agar jaminan hak mendahulukan dimaksud diatur dalam Peraturan Pemerintah sebagaimana mestinya”. Lagi pula dengan dinyatakan bahwa semua ketentuan mengenai BP Migas dalam Undang-Undang a quo bertentangan dengan konstitusi sebagaimana dipertimbangan dalam paragraf [3.13.1] sampai dengan paragraf [3.13.5], maka posisi BUMN menjadi sangat strategis karena akan mendapatkan hak pengelolaan dari Pemerintah dalam bentuk izin pengelolaan atau bentuk lainnya dalam usaha hulu Migas…” 18. Penguasaan negara di bidang Migas terlihat dari keterlibatan pemerintah dan BUMN dalam pengelolaan sumber daya alam Migas. Pemerintah membentuk Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) dan PT. Pertamina (Persero) terlibat langsung dalam kegiatan pengelolaan Migas. Pada praktiknya, kegiatan usaha di bidang Migas dapat dilakukan tidak hanya oleh BUMN, juga oleh BUMD, koperasi dan badan usaha swasta serta anak perusahaan BUMN. Prinsipnya, penguasaan negara tidak boleh hilang, yaitu melalui fungsi kebijakan ( beleid ) dan pengurusan (bestuursdaad), fungsi pengaturan 177 (regelendaad), fungsi pengelolaan (beheersdaad) , dan fungsi pengawasan (toezichthoudensdaad). II. Kedudukan Anak Perusahaan BUMN 1. Pengertian BUMN diatur dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara. Dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 dinyatakan bahwa “Badan Usaha Milik Negara, yang selanjutnya disebut BUMN, adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan”;
Berdasarkan definisi BUMN menurut UU BUMN, maka untuk dapat dikatakan sebagai BUMN, haruslah memenuhi kriteria:
seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara, (2) terdapat penyertaan modal secara langsung dari negara, dan (3) penyertaan modal tersebut berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan;
BUMN terdiri dari Persero dan Perum. Perusahaan Perseroan, yang selanjutnya disebut Persero, adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan. Sementara, Perusahaan Umum, yang selanjutnya disebut Perum, adalah BUMN yang seluruh modalnya dimiliki negara dan tidak terbagi atas saham, yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan sekaligus mengejar keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan;
Selain terminologi BUMN, peraturan perundang-undangan juga mengenal istilah Perusahaan Negara. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara mengatur definisi tentang perusahaan negara. Dalam ketentuan umum Pasal 1 angka 5 dinyatakan bahwa Perusahaan Negara adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya dimiliki oleh Pemerintah Pusat;
Terdapat perbedaan definisi BUMN dalam UU BUMN dan perusahaan negara berdasarkan UU Keuangan Negara. Definisi BUMN dalam UU BUMN menyatakan kata “seluruh atau sebagian besar” modalnya dimiliki 178 negara, sedangkan definisi perusahaan negara dalam UU Keuangan Negara menyatakan “seluruh atau sebagian” modalnya dimiliki oleh Pemerintah Pusat. UU BUMN menambahkan kata “sebagian besar”, sedangkan UU Keuangan Negara hanya memberikan kata “sebagian” saja. UU BUMN menetapkan syarat untuk dapat dikatakan sebagai BUMN, maka negara harus mempunyai seluruh atau sebagian besar modalnya. Sedangkan UU Keuangan Negara hanya menentukan sebagian saja tanpa menjelaskan lebih lanjut sebagian kecil atau sebagian besar. Persamaannya, modalnya sama-sama dimiliki oleh negara/pemerintah;
Bagaimana dengan anak perusahaan BUMN? UU BUMN tidak memberikan pengertian mengenai anak perusahaan BUMN. Kata anak perusahaan hanya ditemukan dalam ketentuan Pasal 14 UU BUMN berkaitan dengan kewenangan RUPS. Ketentuan Pasal 14 ayat (3) huruf g UU BUMN mengatur bahwa pihak yang menerima kuasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), wajib terlebih dahulu mendapat persetujuan Menteri untuk mengambil keputusan dalam RUPS: mengenai pembentukan anak perusahaan atau penyertaan;
Selanjutnya, pengertian anak perusahaan BUMN ditemukan dalam peraturan perundang-undangan lain (di bawah Undang-Undang), yaitu Peraturan Menteri BUMN. Ketentuan Pasal 1 angka 2 Peraturan Menteri BUMN Nomor 03/ MBU/2012 tentang Pedoman Pengangkatan Anggota Direksi dan Anggota Dewan Komisaris Anak Perusahaan Badan Usaha Milik Negara, menyatakan bahwa Anak Perusahaan BUMN adalah perseroan terbatas yang sebagian besar sahamnya dimiliki oleh BUMN atau perseroan terbatas yang dikendalikan oleh BUMN;
Peraturan Menteri BUMN Nomor: Per-13/MBU/09/2014 Tentang Pedoman Pendayagunaan Aset Tetap Badan Usaha Milik Negara, dalam bagian lampirannya memberi penjelasan pengertian anak perusahaan yaitu:
Anak Perusahaan yang sahamnya minimum 90% dimiliki oleh BUMN yang bersangkutan;
Anak Perusahaan yang sahamnya minimum 90% dimiliki oleh BUMN lain;
Perusahaan patungan dengan jumlah gabungan kepemilikan saham BUMN minimum 90%; 179 9. Peraturan Menteri BUMN Nomor 03/ MBU/2012 tidak mengatur prosentase kepemilikan saham sebagaimana pengaturan dalam Peraturan Menteri BUMN Nomor: Per-13/MBU/09/2014;
Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas, memberi satu kejelasan mengenai kriteria anak perusahaan BUMN. Dalam ketentuan Pasal 2A ayat (2) PP tersebut diatur bahwa dalam hal kekayaan negara berupa saham milik negara pada BUMN dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN lain sehingga sebagian besar saham dimiliki oleh BUMN lain, maka BUMN tersebut menjadi anak perusahaan BUMN dengan ketentuan negara wajib memiliki saham dengan hak istimewa yang diatur dalam anggaran dasar;
Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa anak perusahaan BUMN tidak dapat didefinisikan sebagai BUMN. Dalam halaman 1936 putusan nomor 01/PHPU- PRES/XVII/2019, Mahkamah mempertimbangkan: “bahwa Pasal 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN) mendefinisikan BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Berdasarkan definisi tersebut maka untuk dapat mengetahui apakah Bank BNI Syariah dan Bank Syariah Mandiri merupakan BUMN atau bukan salah satunya adalah dengan cara mengetahui komposisi modal atau saham dari kedua _bank tersebut; _ bahwa modal atau saham Bank BNI Syariah dimiliki oleh PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk dan PT BNI Life Insurance. Adapun komposisi pemegang saham Bank Syariah Mandiri adalah PT Bank Mandiri (Persero) Tbk dan PT Mandiri Sekuritas. Dengan demikian, oleh karena tidak ada modal atau saham dari negara yang bersifat langsung yang jumlahnya sebagian besar dimiliki oleh negara, maka kedua bank tersebut tidak dapat didefinisikan sebagai BUMN, melainkan berstatus anak perusahaan BUMN karena didirikan melalui penyertaan saham yang dimiliki oleh BUMN atau dengan kata lain modal atau saham kedua bank tersebut sebagian besar dimiliki oleh BUMN; ” 12. Putusan MK tersebut di atas menggunakan ukuran komposisi (kepemilikan) modal/saham, apakah dimiliki oleh negara atau BUMN. Berdasarkan ukuran 180 tersebut, anak perusahaan BUMN sahamnya dimiliki oleh BUMN, sedangkan perusahaan BUMN sahamnya dimiliki oleh negara;
Berkaitan dengan kepemilikan modal/saham ini, dalam perspektif hukum keuangan negara, tergambar relasi antara negara dengan badan usaha. BUMN memiliki relasi langsung dengan negara, sebab modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Sementara anak perusahaan BUMN tidak memiliki relasi dengan negara. Anak perusahaan BUMN hanya memiliki relasi dengan korporasi induknya;
Kedudukan anak perusahaan BUMN bukanlah BUMN juga terlihat dari ketentuan Pasal 2A ayat (7) PP 72 Tahun 2016. Dalam ketentuan tersebut dinyatakan bahwa Anak perusahaan BUMN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diperlakukan sama dengan BUMN untuk hal sebagai berikut:
mendapatkan penugasan Pemerintah atau melaksanakan pelayanan umum; dan/atau
mendapatkan kebijakan khusus negara dan/atau Pemerintah, termasuk dalam pengelolaan sumber daya alam dengan perlakuan tertentu sebagaimana diberlakukan bagi BUMN.
Ketentuan Pasal 2A ayat (7) PP 72/2016 di atas, secara a contrario pada dasarnya menegaskan bahwa anak perusahaan BUMN bukanlah BUMN. Oleh karena itulah, perlu dinyatakan secara jelas bahwa dalam hal-hal tertentu, anak perusahaan BUMN itu dapat diperlakukan sama dengan BUMN;
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kedudukan anak perusahaan BUMN bukanlah sebagai BUMN, melainkan sebagai perseroan terbatas biasa yang tunduk pada Undang-Undang Perseroan Terbatas. UU BUMN tidak diberlakukan bagi anak perusahaan BUMN. Penegasan bahwa kedudukan anak perusahaan BUMN bukan sebagai BUMN dibuktikan dengan konsep BUMN berdasarkan UU BUMN, termasuk konsep perusahaan negara dalam UU Keuangan Negara, ketentuan PP 72 tahun 2016 dan Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 01/PHPU- PRES/XVII/2019; 181 17. Oleh karena anak perusahaan BUMN bukanlah BUMN dan UU BUMN tidak diberlakukan bagi anak perusahaan BUMN, maka ketentuan Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN yang menjadi objek permohonan, tidak dapat diberlakukan bagi anak perusahaan BUMN. III. Konstitusionalitas Privatisasi 1. Privatisasi BUMN telah diatur dalam UU BUMN. Dalam ketentuan Pasal 1 angka 12 dinyatakan bahwa Privatisasi adalah penjualan saham Persero, baik sebagian maupun seluruhnya, kepada pihak lain dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat, serta memperluas pemilikan saham oleh masyarakat;
Prinsip privatisasi dan kriteria perusahaan yang dapat diprivatisasi diatur dalam Pasal 75, bahwa Privatisasi dilakukan dengan memperhatikan prinsip- prinsip transparansi, kemandirian, akuntabilitas, pertanggungjawaban, dan kewajaran;
Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 76 diatur mengenai Persero yang dapat diprivatisasi yang sekurang-kurangnya harus memenuhi kriteria:
industri/sektor usahanya kompetitif; atau
industri/sektor usaha yang unsur teknologinya cepat berubah.
Sebagian aset atau kegiatan dari Persero yang melaksanakan kewajiban pelayanan umum dan/atau yang berdasarkan Undang- undang kegiatan usahanya harus dilakukan oleh BUMN, dapat dipisahkan untuk dijadikan penyertaan dalam pendirian perusahaan untuk selanjutnya apabila diperlukan dapat diprivatisasi;
Selanjutnya, dalam ketentuan Pasal 77 diatur bahwa Persero yang tidak dapat diprivatisasi adalah:
Persero yang bidang usahanya berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan hanya boleh dikelola oleh BUMN;
Persero yang bergerak di sektor usaha yang berkaitan dengan pertahanan dan keamanan negara;
Persero yang bergerak di sektor tertentu yang oleh pemerintah diberikan tugas khusus untuk melaksanakan kegiatan tertentu yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat; 182 d. Persero yang bergerak di bidang usaha sumber daya alam yang secara tegas berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dilarang untuk diprivatisasi.
Mekanisme (tata kelola) privatisasi diatur lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 78 sampai Pasal 86 UU BUMN. Diantaranya bahwa pemerintah harus membentuk Komite Investasi yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden, larangan benturan kepentingan dan kewajiban menjaga kerahasiaan informasi bagi pihak-pihak yang terlibat dalam proses privatisasi. Pengaturan lebih lanjut mengenai privatisasi diatur dengan Peraturan Pemerintah;
Mengenai isu konstitusionalitas privatisasi telah pernah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Perkara Nomor 001-021-022/PUU- I/2003. Pendapat Mahkamah Konstitusi dapat ditemukan pada halaman 336-337 bahwa: “Menimbang bahwa di samping itu, untuk menjamin prinsip efisiensi berkeadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (4) UUD 1945, yang menyatakan, “perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional“, maka penguasaan dalam arti pemilikan privat itu juga harus dipahami bersifat relatif dalam arti tidak mutlak selalu harus 100%, asalkan penguasaan oleh negara c.q. Pemerintah atas pengelolaan sumber-sumber kekayaan dimaksud tetap terpelihara sebagaimana mestinya. Meskipun Pemerintah hanya memiliki saham mayoritas relatif, asalkan tetap menentukan dalam proses pengambilan keputusan atas penentuan kebijakan dalam badan usaha yang bersangkutan, maka divestasi ataupun privatisasi atas kepemilikan saham Pemerintah dalam badan usaha milik negara yang bersangkutan tidak dapat dianggap bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945.” 7. Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa ketentuan Pasal 33 UUD 1945 tidaklah menolak privatisasi, sepanjang privatisasi itu tidak meniadakan penguasaan negara c.q. Pemerintah untuk menjadi penentu utama kebijakan usaha dalam cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak. Pasal 33 UUD 1945 juga tidak menolak ide kompetisi di antara para pelaku usaha, sepanjang kompetisi itu tidak meniadakan penguasaan oleh negara yang mencakup kekuasaan untuk mengatur ( regelendaad ), mengurus ( bestuursdaad ), mengelola 183 ( beheersdaad ), dan mengawasi ( toezichthoudensdaad ) cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau yang mengusai hajat hidup orang banyak untuk tujuan sebesar- besarnya kemakmuran rakyat;
Dalam pertimbangan selanjutnya, halaman 346, Mahkamah menyatakan bahwa: “…pemilikan saham Pemerintah dalam badan usaha yang menyangkut cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak dimaksud, dapat bersifat mayoritas mutlak (di atas 50%) atau bersifat mayoritas relatif (di bawah 50%) sepanjang Pemerintah sebagai pemegang saham mayoritas relatif tersebut secara hukum tetap memegang kedudukan menentukan dalam pengambilan keputusan di badan usaha dimaksud. Hal tersebut harus dipahami bahwa meskipun Pemerintah hanya memiliki saham mayoritas relatif dalam BUMN akan tetapi harus dipertahankan posisi negara untuk tetap sebagai pihak yang menentukan dalam proses pengambilan keputusan atas penentuan kebijakan dalam badan usaha yang bersangkutan yang menggambarkan penguasaan negara yang mencakup pengaturan, pengurusan, pengelolaan, dan pengawasan.” 9. Pertimbangan hukum yang disampaikan Mahkamah Konstitusi dalam putusan di atas memberikan jawaban atas pertanyaan konstitusionalitas privatisasi BUMN. Memang, pertimbangan hukum tersebut relevan dengan isu privatisasi BUMN, tidak mencakup isu privatisasi anak perusahaan BUMN. Akan tetapi, pada pinsip pokoknya, privatisasi itu tidak dilarang. Dalam konteks penguasaan oleh negara berdasarkan Pasal 33 UUD 1945 pun, privatisasi tidak dilarang dengan catatan, privatisasi tersebut tidak membuat negara kehilangan penguasaan atas pengelolaan sumber daya alam. Kesimpulan 1. Pada prinsipnya, negara tidak boleh kehilangan penguasaan atas pengelolaan sumber daya alam, dalam hal ini Migas. Penguasaan oleh negara diwujudkan dengan keterlibatan BUMN dalam pengelolaan Migas.
Anak perusahaan BUMN bukanlah BUMN, sehingga UU BUMN tidak dapat diberlakukan bagi anak perusahaan BUMN.
Privatisasi adalah kebijakan yang konstitusional, asalkan tidak membuat negara kehilangan penguasaan atas pengelolaan sumber daya alam. [2.6] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon tersebut, PT Pertamina (Persero) mengajukan permohonan sebagai Pihak Terkait dan ditetapkan oleh 184 Mahkamah sebagai Pihak Terkait, selanjutnya memberikan keterangan tertulis pada 8 September 2020, yang diperbaiki dan perbaikannya diterima Kepaniteraan Mahkamah pada 6 November 2020. Keterangan dimaksud dibacakan dalam persidangan pada 9 November 2020, yang pada pokoknya sebagai berikut: I. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI 1. Bahwa perubahan ketiga UUD NRI Tahun 1945 pada Pasal 24C ayat (1) telah menyatakan, “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar.” __ Dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, wewenang yang sama juga ditegaskan dalam Pasal 29 ayat (1), yakni “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: (a) menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.” 2. Bahwa dalam undang-undang pembentukannya, yakni Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (“UU MK”) kembali ditegaskan dalam Pasal 10 ayat (1), yakni “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.” Sementara Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan pada Pasal 9 ayat (1) menyatakan, “Dalam hal suatu undang-undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. ” 3. Bahwa Perbaikan Keterangan Pihak Terkait a quo diajukan terhadap Perbaikan Permohonan Pengujian Pasal 77 Huruf c dan d UU BUMN yang senyatanya tergolong sebagai peraturan perundang-undangan berbentuk undang-undang. Sebagaimana telah dijabarkan oleh angka 1 dan 2 di atas dapat diketahui bahwa pengujian atas peraturan perundang-undangan berbentuk undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945 merupakan 185 wewenang Mahkamah Konstitusi. Atas dasar itu, jelaslah Mahkamah Konstitusi memiliki wewenang untuk menerima, memeriksa dan memutus Keterangan Pihak Terkait a quo. II. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING ) PIHAK TERKAIT 4. Bahwa UU MK menyatakan, “Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang- undang, ” di antaranya adalah, “Perorangan warga negara Indonesia,” __ dan “Badan hukum publik atau privat. ” Dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor: 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang khususnya Pasal 14 ayat (1) disebutkan, “Pihak Terkait adalah pihak yang berkepentingan langsung atau tidak langsung dengan pokok permohonan. ” Ayat (2) menyebutkan, “Pihak Terkait yang berkepentingan langsung adalah pihak yang hak dan/atau kewenangannya terpengaruh oleh pokok permohonan.” __ Sementara ayat (3) ketentuan yang sama menegaskan, “Pihak Terkait sebagaimana dimaksud ayat (2) dapat diberikan hak-hak yang sama dengan Pemohon dalam persidangan dalam hal keterangan dan alat bukti yang diajukannya belum cukup terwakili dalam keterangan dan alat bukti yang diajukan oleh Presiden/Pemerintah, DPR dan/atau DPD.” 5. Bahwa Pihak Terkait adalah Perusahaan Negara (PN) yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1968 tentang Pendirian Perusahaan Negara Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Nasional (PN PERTAMINA). Dari yang semula bentuk Perusahaan Negara (PN) dan kemudian berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2003 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (Pertamina) menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) sehingga setelah lahirnya UU BUMN, Pihak Terkait bertransformasi menjadi PT Pertamina (Persero) melalui Akta Pendirian Nomor 20 tanggal 17 September 2003 di hadapan Lenny Janis Ishak, S.H., Notaris di Jakarta.
Bahwa selanjutnya pada tahun 2018 Pihak Terkait mengalami perubahan anggaran dasar melalui Akta Perubahan Nomor 29 tanggal 13 April 2018 di hadapan Aulia Taufani, S.H., Notaris di Jakarta yang telah disahkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia melalui Keputusan Nomor AHU- 186 0008395.AH.01.02 Tahun 2018 tanggal 13 April 2018 yang mana Pihak Terkait dapat menjalankan usaha utama di antaranya:
melaksanakan kegiatan eksplorasi minyak dan gas bumi;
melaksanakan kegiatan eksploitasi minyak dan gas bumi;
menyelenggarakan kegiatan di bidang energi listrik, termasuk tetapi tidak terbatas pada eksplorasi dan eksploitasi energi panas bumi, pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTPB), pembangkit listrik tenaga gas (PLTG) dan energi listrik yang dihasilkan perseroan;
melaksanakan kegiatan pengelolaan yang menghasilkan bahan bakar minyak (BBM), bahan bakar khusus, bahan bakar non-minyak, Petrokimia, bahan bakar diesel, gas alam cair (LNG) dan gas cair (GTL) maupun produk-produk intermedia;
melaksanakan kegiatan penyediaan bahan baku, pengolahan, pengangkutan, penyimpanan dan niaga bahan bakar nabati ( Biofuel );
melaksanakan kegiatan pengangkutan yang meliputi kegiatan pemindahan minyak bumi, gas bumi, BBM, bahan bakar gas dan/atau hasil/produk lainnya untuk tujuan komersil;
melaksanakan kegiatan penyimpanan yang meliputi kegiatan penerimaan, pengumpulan, penampungan dan pengeluaran minyak bumi, BBM, bahan bakar gas dan/atau hasil/produk lainnya untuk tujuan komersil;
melaksanakan kegiatan niaga yang meliputi kegiatan pembelian, penjualan, ekspor, impor minyak bumi, BBM, bahan bakar gas dan/atau hasil/produk lainnya, penyaluran gas bumi melalui pipa termasuk niaga energi listrik yang dihasilkan perseroan; dan
melaksanakan kegiatan pengembangan, eksplorasi, produksi dan niaga energi baru dan terbarukan, coal bed methane (CBM), batu bara cair, batu bara tergaskan ( Gasifired Coal ), shale gas , shale oil , bahan bakar nabati, energi surya, energi angin dan biomasa.
Bahwa Pasal 1 angka 1 UU BUMN menyatakan, “Badan Usaha Milik Negara yang selanjutnya disebut BUMN, adalah Badan Usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.” __ Pihak Terkait adalah perseroan yang 100% (seratus persen) sahamnya dimiliki 187 oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui kepemilikan saham atas nama Kementerian Badan Usaha Milik Negara dengan sahamnya yang 100% (seratus persen) dimiliki oleh pemerintah maka Pihak Terkait jelaslah berstatus sebagai Badan Usaha Milik Negara.
Bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007 dan putusan-putusan setelahnya telah memberikan pengertian dan batasan kumulatif tentang apa yang dimaksud dengan “kerugian konstitusional” dengan berlakunya suatu norma undang-undang, yaitu:
adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945;
bahwa hak konstitusional tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang dan peraturan pemerintah pengganti undang-undang yang diuji;
kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual, atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab-akibat ( causal verband ) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji; dan
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya Perbaikan Permohonan, maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.
Bahwa Pihak Terkait berkepentingan secara langsung dengan pengujian a quo karena Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN yang menegaskan bahwa Persero yang tidak dapat diprivatisasi adalah, “Persero yang bergerak di sektor tertentu yang oleh pemerintah diberikan tugas khusus untuk melaksanakan kegiatan tertentu yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat, ” serta “Persero yang bergerak di bidang usaha sumber daya alam yang secara tegas berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan dilarang untuk diprivatisasi.” __ Oleh karena Pihak Terkait __ berstatus sebagai persero maka dapat dipastikan akan ada hak-hak Pihak Terkait yang akan terpengaruh, terkurangi atau bahkan hilang apabila Perbaikan Permohonan a quo dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Bahwa lebih jauh lagi, permintaan tafsir konstitusional yang diajukan Pemohon dalam petitumnya yang meminta Mahkamah Konstitusi agar, “Menyatakan Pasal 77 huruf c dan d Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara bertentangan dengan Undang-Undang 188 Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang larangan privatisasi dalam Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN hanya diberlakukan secara limitatif terhadap Persero dan tidak diberlakukan juga terhadap Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero,” __ secara nyata akan menghilangkan hak Pihak Terkait/Anak Perusahaan untuk melakukan rencana-rencana pengembangan usaha/ekspansi untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat antara lain melalui restrukturisasi agar Pihak Terkait lebih ramping, efisien serta meningkatkan kinerja untuk dapat melakukan privatisasi di masa yang akan datang. Dengan demikian, kerugian Pihak Terkait memanglah bersifat potensial karena baru muncul jika Perbaikan Permohonan Pemohon dikabulkan Mahkamah Konstitusi, akan tetapi dalam penalaran yang wajar dapat dipastikan kerugian itu tidak akan pernah terjadi apabila Perbaikan Permohonan Pemohon itu tidak dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Bahwa oleh karena terdapat hubungan sebab-akibat ( causal verband ) antara kerugian konstitusional __ yang akan menimpa Pihak Terkait dengan Perbaikan Permohonan Pemohon atas pengujian Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN jika dikabulkan Mahkamah Konstitusi, maka Pihak Terkait jelas memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan Perbaikan Keterangan Pihak Terkait atas Perbaikan Permohonan pengujian yang diajukan Pemohon a quo . III. DALAM EKSEPSI 1. EKSEPSI KEDUDUKAN HUKUM ( LEGAL STANDING ): PEMOHON TIDAK MEMILIKI KEPENTINGAN HUKUM DENGAN OBJEK PENGUJIAN 12. Bahwa pada poin 16 halaman 11 bagian kedudukan hukum Perbaikan Permohonan Pemohon, Pemohon mendalilkan potensi kerugian-kerugian konstitusional akibat ketentuan Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN yang pada pokoknya sebagai berikut: A. Negara berpotensi nyata kehilangan hak menguasai cabang-cabang produksi penting bagi negara, menguasai hajat hidup orang banyak dan sumber daya alam termasuk sumber daya alam minyak dan gasnya sebagaimana diamanatkan Pasal 33 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Bahwa dalam hal ini kedudukan energi nasional menjadi terancam 189 sehingga hak konstitusional Pemohon sangat berpotensi nyata dirugikan dan harus diperjuangkan oleh Pemohon sebagaimana telah diatur dalam anggaran dasar dari FSPPB. B. Berpotensi nyata sumber daya alam tidak ditujukan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat termasuk namun tidak terbatas pada para pekerja Pertamina sebagaimana diamanatkan Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 karena negara kehilangan hak menguasai sumber daya alam akibat diperbolehkannya pelepasan seluruh saham kepada pihak swasta/perorangan anak perusahaan BUMN yang mengelola sumber daya alam. C. Menjadi ancaman terhadap kelangsungan bisnis dan eksistensi dari PT Pertamina (Persero) maupun anak-anak perusahaannya akibat potensi nyata terjadinya privatisasi dan/atau pelepasan seluruh saham anak- anak perusahaan ke pihak perorangan/swasta. Bahwa seharusnya anak perusahaan persero yang bergerak di bidang usaha pengelolaan sumber daya alam dan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan masyarakat dilarang untuk diprivatisasi. D. Berpotensi nyata para pekerja pada anak-anak perusahaan Pertamina kehilangan statusnya sebagai pekerja BUMN dan menjadi pekerja swasta biasa akibat pelepasan seluruh saham anak perusahaan PT Pertamina (Persero) kepada pihak swasta/perorangan. E. Kualitas hidup dan kesejahteraan para pekerja pada perusahaan grup PT Pertamina (Persero) dan/atau BUMN beserta keluarganya akan tidak terjamin apabila anak-anak perusahaan PT Pertamina (Persero)/BUMN tidak dikontrol dengan baik oleh negara. F. Berpotensi dilakukannya pemutusah hubungan kerja terhadap para pekerja anak-anak perusahaan Pertamina akibat pelepasan seluruh saham/sebagian besar saham anak-anak perusahaan Pertamina kepada pihak swasta/perorangan, hal ini sangat beralasan mengingat dalam Pasal 163 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memungkinkan perusahaan/pengusaha melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja karena adanya perubahan kepemilikan saham perusahan. 190 13. Bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007 dan putusan-putusan setelahnya telah memberikan pengertian dan batasan kumulatif tentang apa yang dimaksud dengan “kerugian konstitusional” dengan berlakunya suatu norma undang-undang, yaitu:
adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945;
bahwa hak konstitusional tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang dan peraturan pemerintah pengganti undang-undang yang diuji;
kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual, atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab-akibat ( causal verband ) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji; dan
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya Perbaikan Permohonan, maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.
Bahwa faktanya, dalil-dalil yang Pemohon uraikan dalam Perbaikan Permohonan a quo tidak menjelaskan tentang kerugian konstitusional Pemohon sebagaimana pengertian kerugian konstitusional yang telah dijelaskan di Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007. Alih-alih menguraikan hak dasar yang dijamin UUD NRI Tahun 1945 yang telah dilanggar, Pemohon justru mendasarkan kerugian konstitusionalnya dengan mengklaim pertentangan pasal 77 huruf c dan d UU BUMN dengan pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD NRI Tahun 1945 sebagai kerugian konstitusionalnya. Pasal 33 ayat (2) dan (3) bukanlah pasal yang mengatur hak-hak konstitusional Pemohon guna membuktikan Pemohon berkedudukan hukum untuk mengajukan Permohonan a quo , melainkan sudah masuk bagian persoalan norma yang harus dibuktikan Pemohon pada bagian pokok perkara.
Bahwa dengan tidak menguraikan pasal berapa dari UUD NRI Tahun 1945 jaminan hak konstitusional Pemohon itu telah dilanggar, maka dapat Pihak Terkait tegaskan sejatinya tidak ada satu pun hak konstitusional Pemohon yang secara spesifik/aktual maupun potensial yang telah dirugikan oleh pasal 77 huruf c dan d UUD NRI Tahun 1945. Dengan ketiadaan kerugian 191 konstitusional itu, Pemohon jelas tidak memiliki kepentingan hukum untuk mempermasalahkan pasal 77 huruf c dan d UUD NRI Tahun 1945 dalam perbaikan permohonannya, sehingga cukup alasan bagi Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo. 16. Bahwa pada posita Perbaikan Permohonan Pemohon angka 10 bagian II tentang Kedudukan Hukum dan Kepentingan Hukum, Pemohon telah menguraikan tugas organisasi Pemohon di antaranya, “(1) memperjuangkan, melindungi, membela hak dan kepentingan anggota beserta keluarganya;
meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan pekerja beserta keluarganya;
menjaga kelangsungan bisnis dan eksistensi perusahaan; dan
memperjuangkan kedaulatan energi nasional.” Kesemua tugas itu tertuang dalam Anggaran Dasar Organisasi Pemohon selaku Federasi Serikat Pekerja dalam lingkungan Pihak Terkait.
Bahwa meskipun Pemohon mencantumkan dalam anggaran dasar organisasinya tugas-tugas yang salah satunya adalah “menjaga kelangsungan bisnis dan eksistensi perusahaan”, __ akan tetapi Pemohon tetap tidak memiliki kepentingan hukum atas pasal-pasal yang dimohonkan untuk diuji karena __ Pemohon bukanlah pihak yang diberikan hak ataupun dibebankan kewajiban oleh hukum untuk menjaga kelangsungan bisnis dan eksistensi perusahaan in casu Pihak Terkait maupun anak/perusahaan milik Pihak Terkait. Peraturan perundang-undangan yang berlaku telah menentukan bahwa yang berhak dan sekaligus berkewajiban menjaga kelangsungan bisnis dan eksistensi perusahaan adalah organ pengurus perusahaan sendiri, yakni direksi. Untuk perseroan atau badan usaha milik negara misalnya, Pasal 5 ayat (2) UU BUMN menegaskan bahwa, “Direksi bertanggung jawab penuh atas pengurusan BUMN serta mewakili BUMN, baik di dalam maupun di luar pengadilan.” __ Begitu pun dalam Pasal 21 UU BUMN disebutkan, “Direksi wajib menyiapkan rancangan rencana jangka panjang yang merupakan rencana strategis yang memuat sasaran dan tujuan Persero yang hendak dicapai dalam jangka waktu 5 (lima) tahun. ” 18. Bahwa begitu pun halnya untuk perusahaan swasta sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UU PT”) di mana tanggung jawab menjaga kelangsungan bisnis dan 192 eksistensi perusahaan juga menjadi tanggung jawab direksi. Dalam Pasal 92 ayat (1) dan (2) UU PT dijabarkan tanggung jawab direksi, yakni “Direksi menjalankan pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan,” serta “Direksi berwenang menjalankan pengurusan ... sesuai dengan kebijakan yang dipandang tepat, dalam batas yang ditentukan dalam undang-undang ini dan/atau anggaran dasar.” 19. Bahwa atas dasar itu meskipun Pemohon mengklaim memiliki hak karena telah mencantumkan tugas organisasi yang salah satunya adalah untuk “menjaga kelangsungan bisnis dan eksistensi perusahaan”, __ akan tetapi Pemohon sendiri bukanlah organ perusahaan yang oleh hukum dibebankan hak dan/atau kewajiban untuk itu. Bahkan UU BUMN yang dimohonkan Pemohon untuk diuji dalam perbaikan permohonannya juga tidak memberikan hak dan/atau kewajiban untuk itu.
Bahwa selain alasan kelangsungan bisnis dan eksistensi perusahaan, Pemohon juga mendasarkan Perbaikan Permohonan Pemohon a quo kepada salah satu tugas organisasinya yang dicantumkan dalam anggaran dasar, yakni “Meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan pekerja beserta keluarganya.” __ Dengan dasar itu, pada poin 16 huruf e halaman 11 bagian kedudukan hukum Perbaikan Permohonan Pemohon, Pemohon mendalilkan bahwa Pemohon memiliki kerugian konstitusional dengan berlakunya Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN karena mengakibatkan, “Kualitas hidup dan kesejahteraan Pegawai Perusahaan Group PT Pertamina (Persero)/BUMN beserta keluarganya akan tidak terjamin apabila anak-anak perusahaan PT Pertamina (Persero)/BUMN tidak dikontrol baik oleh negara.” 21. Bahwa quod non, jika pun benar Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN memberikan akibat hukum kepada kualitas hidup dan kesejahteraan pegawai perusahaan group PT Pertamina (Persero)/BUMN beserta keluarganya, maka yang akan terkena akibat langsung maupun tidak langsung atas akibat hukum tersebut bukan Pemohon, sebab Pemohon bukanlah pribadi-pribadi ( natuurlijk persoon ) pekerja yang bekerja pada PT Pertamina (Persero) (Pihak Terkait) dan perusahaan milik/anak perusahaan 193 PT Pertamina (Persero). Pemohon hanyalah wadah (federasi) yang menaungi serikat-serikat pekerja sebagai anggotanya.
Bahwa sebagai organisasi berbentuk federasi, Pemohon bukanlah wadah organisasi yang menaungi pekerja PT Pertamina (Persero) dan perusahaan milik/anak perusahaan PT Pertamina (Persero) secara langsung, melainkan hanya wadah yang menaungi serikat-serikat para pekerja. Dengan posisi demikian, Pemohon tidak dapat mengklaim bertindak mewakili dan tidak pula dapat mempertahankan hak-hak pekerja secara langsung sebab antara Pemohon dengan pekerja sejatinya tidak terjalin hubungan hukum secara langsung. Yang memiliki hubungan hukum secara langsung dengan pekerja justru adalah para serikat pekerja (anggota FSPPB/Pemohon).
Bahwa terkait dalil Pemohon yang memandang memiliki organization standing dengan menukilkan dua pengujian yang pernah diajukan dan telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi tidak serta-merta dapat dijadikan acuan untuk membuktikan bahwa Pemohon juga memiliki kedudukan hukum dalam Perbaikan Permohonan Pemohon a quo. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUU-IX/2011 misalnya, Pemohon jelas memiliki kedudukan hukum untuk menguji Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan karena pokok permohonan dalam pengujian itu memang mengenai hak-hak serikat pekerja sehingga Pemohon untuk mengurusi hak-hak anggotanya (serikat pekerja).
Bahwa begitu pula dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU- X/2012, sebagaimana pertimbangan [3.8] dan [3.9] halaman 70. Diterimanya kedudukan hukum Pemohon permohonan tersebut dikarenakan pasal-pasal yang dimohonkan diuji berpotensi membawa dampak ekonomi biaya tinggi terhadap pelaksanaan usaha minyak dan gas bumi sehingga berpotensi berpengaruh secara langsung kepada kesejahteraan pekerja yang diwakili oleh serikat pekerja. Sementara dalil kerugian konstitusional yang diajukan Pemohon dalam Perbaikan Permohonan Pemohon a quo jelas berbeda dan tidak spesifik seperti dua permohonan sebelumnya.
Bahwa penegasan organisasi atau badan hukum tidak selamanya memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan juga dapat ditemui 194 dalam putusan Mahkamah Konstitusi, salah satunya dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XII/2014 yang memutus Pengujian Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan khususnya mengenai kewenangan pemerintah daerah dalam mengelola hutan. APKASI (Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia) selaku pemohon dalam perkara tersebut dinyatakan Mahkamah Konstitusi tidak memiliki kedudukan hukum karena wewenang untuk mewakili kepentingan daerah termasuk soal pengelolaan hutan telah diberikan undang-undang kepada pemerintahan daerah (Bupati bersama DPRD Kabupaten) dan bukan kepada APKASI. Begitu pula dengan Perbaikan Permohonan Pemohon a quo, meskipun Pemohon mencantumkan tugas-tugas organisasinya untuk meyakinkan Mahkamah Konstitusi bahwa Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ), akan tetapi kerugian konstitusional yang didalilkan itu bukan hak dan/atau kewajiban Pemohon bahkan sama sekali tidak dialami oleh Pemohon.
Bahwa berdasarkan uraian angka 12 sampai dengan 25 di atas, selain karena tidak menguraikan secara spesifik hak konstitusionalnya yang mana yang telah dirugikan oleh berlakunya pasal 77 huruf c dan d UU BUMN, dapat disimpulkan pula hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara dalil kerugian konstitusional Pemohon dengan berlakunya pasal-pasal yang dimohonkan untuk diuji tidak terbukti sehingga Pemohon tidak memiliki kepentingan hukum atas objek pengujian. Oleh karena Pemohon tidak memiliki kepentingan atas pasal-pasal yang dimohonkan dalam perbaikan permohonannya, maka telah cukup dasar dan alasan hukumnya bagi Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan Perbaikan Permohonan __ Pemohon a quo sehingga cukup pula dasar dan alasan hukumnya untuk menyatakan Perbaikan Permohonan Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard ) . 2. EKSEPSI PERMOHONAN KABUR ( OBSCUUR LIBEL ): PIHAK YANG MENDERITA KERUGIAN KONSTITUSIONAL TIDAK JELAS 27. Bahwa Pihak Terkait memandang tidak terdapat keselarasan antara fundamentum petendi atau posita yang diuraikan oleh Pemohon dalam perbaikan permohonannya dengan hal yang diminta kepada Mahkamah 195 Konstitusi untuk diputuskan pada bagian petitum perbaikan permohonannya. Pada bagian posita, khususnya bagian yang menguraikan kedudukan hukum, Pemohon menguraikan dalil kerugian konstitusional di mana kepentingan hukum yang coba dipertahankan oleh Pemohon agar tidak menjadi kerugian konstitusional di kemudian hari adalah kepentingan hukum organisasinya ( organization standing ). Pemohon menganggap Pasal 77 huruf c dan d berpotensi menghalangi Pemohon melaksanakan tugas organisasi yang telah dicantumkan dalam anggaran dasar yang di antaranya: “(1) memperjuangkan, melindungi, membela hak dan kepentingan anggota beserta keluarganya;
meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan pekerja beserta keluarganya;
menjaga kelangsungan bisnis dan eksistensi perusahaan; dan
memperjuangkan kedaulatan energi nasional.” 28. Bahwa pada bagian posita yang lain khususnya yang menguraikan alasan- alasan yang mendasari Perbaikan Permohonan Pemohon ternyata lebih banyak menguraikan potensi kerugian konstitusional negara dan kerugian konstitusional masyarakat luas apabila Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN tetap diberlakukan. Pada dalil posita angka 16 huruf a halaman 10 - 11 Perbaikan Permohonan Pemohon, Pemohon menyatakan, “Negara berpotensi nyata kehilangan hak menguasai cabang-cabang produksi penting bagi negara, menguasai hajat hidup orang banyak dan sumber daya alam termasuk sumber daya alam minyak dan gasnya sebagaimana diamanatkan Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Bahwa dalam hal ini kedaulatan Energi Nasional menjadi terancam sehingga hak konstitusional Pemohon sangat berpotensi nyata dirugikan dan harus diperjuangkan oleh Pemohon sebagaimana telah diatur dalam anggaran dasar FSPPB.” __ Begitu pun pada dalil posita angka 16 huruf b halaman 11, Pemohon menyatakan, “….berpotensi nyata Sumber Daya Alam tidak ditujukan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat termasuk namun tidak terbatas pada para pekerja Pertamina sebagaimana diamanatkan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 karena negara kehilangan hak menguasai sumber daya alam akibat diperbolehkannya pelepasan seluruh saham kepada pihak 196 swasta/perorangan anak perusahaan BUMN yang mengelola sumber daya alam. ” 29. Berdasarkan uraian angka 27 dan 28 di atas, jelaslah terdapat ketidakselarasan di antara bagian-bagian dalam posita permohonan Pemohon di mana tidak diketahui secara pasti sebetulnya kerugian konstitusional siapa yang coba dipertahankan oleh Pemohon melalui Perbaikan Permohonan Pemohon a quo . Apakah kerugian konstitusional organisasi Pemohon selaku FSPPB? Apakah kerugian konstitusional para pekerja pada PT Pertamina (Persero) dan anak perusahaan atau perusahaan milik PT Pertamina (Persero) yang serikat-serikatnya bernaung di bawah Pemohon? Apakah kerugian konstitusional negara yang berpotensi kehilangan hak penguasaannya? Ataukah kerugian konstitusional masyarakat umum secara luas? Pemohon sendiri hanya berkedudukan sebagai federasi dari serikat-serikat pekerja sehingga hanya berhak bertindak dan mewakili serikat pekerja yang menjadi anggotanya saja. Dengan berbagai klaim kerugian yang berbeda-beda itu, maka menjadi tidak jelas pula untuk siapa dan pada posita bagian yang mana petitum Perbaikan Permohonan Pemohon itu diminta untuk dikabulkan.
Bahwa oleh karena tidak terdapat kejelasan antara apa yang didalilkan dalam posita Perbaikan Permohonan Pemohon dengan petitum yang diminta untuk dikabulkan, maka terdapat cukup dasar dan alasan hukumnya bagi Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan Perbaikan Permohonan Pemohon kabur dan tidak jelas atau obscuur libel serta menyatakannya tidak dapat diterima ( niet ontvankelijke verklaard ). IV. DALAM POKOK PERMOHONAN Bahwa apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat Perbaikan Permohonan Pemohon memenuhi syarat formil sehingga dapat diteruskan dalam pemeriksaan pokok perkara, maka sebelum menguraikan dalil-dalil bantahan atas pokok Perbaikan Permohonan Pemohon, Pihak Terkait terlebih dahulu mengaskan bahwa ketentuan norma Pasal 77 Huruf c dan d UU BUMN tidak bertentangan terhadap Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD NRI Tahun 1945. Ketentuan norma Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN tidak bertentangan karena tidak mereduksi penguasaan negara dalam bentuk pengelolaan ( beheersdaad ) 197 atas cabang-cabang produksi penting yang menguasai hajat hidup orang banyak dan karena tidak mereduksi penguasaan negara untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Berikut ini Pihak Terkait uraikan argumentasi yuridis yang mendasari dalil bantahan Pihak Terkait: IV.1 ARGUMENTASI YURIDIS I: PASAL 77 HURUF C DAN D UU BUMN TIDAK BERTENTANGAN DENGAN PASAL 33 AYAT (2) UUD NRI TAHUN 1945 KARENA TIDAK MEREDUKSI PENGUASAAN NEGARA DALAM BENTUK PENGELOLAAN ( BEHEERSDAAD ) ATAS CABANG- CABANG PRODUKSI PENTING YANG MENGUASAI HAJAT HIDUP ORANG BANYAK 31. Bahwa Pihak Terkait membantah dalil-dalil Pemohon yang diuraikan pada angka 1 sampai dengan angka 37 halaman 13 - 26 perbaikan permohonannya, yang pada pokoknya menyatakan Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan, “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. ” Di antara dalil Pemohon tersebut menyatakan sebagai berikut: • bahwa hak menguasai negara salah satunya berbentuk pengelolaan, yaitu hak pengelolaan itu dilakukan oleh BUMN; • bahwa hak menguasai negara untuk mengelola cabang-cabang produksi yang penting dalam Pasal 33 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 dilakukan dengan membentuk Badan Usaha Milik Negara berdasarkan UU BUMN; • bahwa kegiatan Perusahaan Group PT Pertamina (Persero) dan anak- anak perusahaannya adalah sama sebagaimana dimaksud Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN; • bahwa apabila larangan privatisasi dalam Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN 19/2003 hanya diberlakukan secara limitatif terhadap persero dan tidak diberlakukan juga terhadap perusahaan milik persero/anak perusahaan persero akan berpotensi terjadinya privatisasi dan hilangnya eksistensi terhadap perusahaan milik persero/anak perusahaan dari persero karena anak perusahaan persero bukan perusahaan persero melainkan perseroan terbatas biasa sehingga tidak 198 tunduk pada UU BUMN dan tunduk sepenuhnya pada UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; dan • bahwa apabila larangan privatisasi dalam Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN 19/2003 hanya diberlakukan secara limitatif terhadap persero dan tidak diberlakukan juga terhadap perusahaan milik persero/anak perusahaan persero akan berpotensi menyebabkan negara tidak memiliki kewenangan untuk melakukan pengelolaan ( beheersdaad ) karena sebagian besar sahamnya dapat dikuasai oleh swasta/perorangan akibat dari tindakan privatisasi.
Bahwa berdasarkan uraian dalilnya di atas, Pemohon pada pokoknya menyampaikan kekhawatiran apabila larangan privatisasi dalam Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN hanya diberlakukan secara limitatif terhadap persero dan tidak diberlakukan juga terhadap perusahaan milik persero/anak perusahaan persero akan berpotensi menyebabkan negara tidak memiliki kewenangan untuk melakukan pengelolaan ( beheersdaad ) karena sebagian besar sahamnya dikhawatirkan akan dikuasai oleh swasta/perorangan akibat dari tindakan privatisasi. Dalam uraian yang disampaikan Pemohon pada bagian ini, Pemohon sama sekali tidak mendukung dalil-dalilnya dengan teori ataupun argumentasi hukum yang cukup untuk mendasari kekhawatirannya itu memang besar kemungkinan akan terjadi di kemudian hari. Dengan kata lain, Pihak Terkait dapat menegaskan bahwa kekhawatiran Pemohon diuraikan dalam perbaikan permohonannya itu tidak beralasan hukum sama sekali.
Bahwa hak menguasai negara yang diwujudkan dengan hak pengelolaan ( beheersdaad ) adalah satu dari sekian wujud penguasaan oleh negara untuk memanfaatkan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak. Penguasaan untuk kemaslahatan orang banyak itu tiada lain untuk mencapai tujuan bernegara yang dituangkan dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945, yaitu “Memajukan kesejahteraan umum.” Hak menguasai itu diperoleh negara dari konsepsi kedaulatan rakyat sebagai konsekuensi sistem demokrasi perwakilan yang telah kita pilih sesuai Pasal 1 ayat (2) UUD Tahun 1945, yakni bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Oleh karena demikian, pelaksanaan 199 pengelolaan ( beheersdaad ) atas cabang-cabang produksi penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak adalah bentuk implementasi kedaulatan rakyat yang sah menurut UUD NRI Tahun 1945.
Bahwa ketentuan Pasal 33 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan, “Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.” __ Dengan demikian, pelaksanaan pengelolaan ( beheersdaad ) atas cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak itu diatur lebih detail dalam produk hukum peraturan perundang-undangan berbentuk undang-undang. Ketentuan pasal 20 ayat (2) UUD Tahun 1945 telah menegaskan, “Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.” __ Atas dasar itu, untuk menentukan pengelolaan ( beheersdaad ) atas cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak sepenuhnya menjadi wewenang pemerintah bersama DPR (pembuat undang-undang). Presiden dan DPR lah yang diberikan kewajiban hukum untuk menilai dan menentukan bentuk pengelolaan ( beheersdaad ) atas cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak itu, termasuk di antaranya adalah menentukan pengelolaannya adalah dalam konteks pelaksanaan privatisasi.
Bahwa kekhawatiran Pemohon pada perusahaan perseroan dan perusahaan milik perseroan/anak perusahaan perseroan yang dilakukan privatisasi akan menggerus hak menguasai negara dalam bentuk pengelolaan ( beheersdaad ) bukanlah persoalan baru. Hal itu telah telah diputuskan Mahkamah Konstitusi secara komprehensif dalam putusan- putusannya yang lalu. Selain menjabarkan ruang lingkup penguasaan negara yang lebih detail, Mahkamah Konstitusi bahkan menegaskan hak untuk menentukan bentuk dan momentum pengelolaan ( beheersdaad ) atas setiap cabang-cabang produksi penting bagi negara secara berbeda/tidak seragam satu sama lain dan sepenuhnya menjadi wewenang pembentuk undang-undang (Presiden dan DPR) untuk menentukan apakah tetap perlu melakukan penguasaan 100% (seratus persen) atau dapat melibatkan sebagian pengelolaannya dengan pihak swasta melalui privatisasi. 200 36. Bahwa dalil Pemohon yang menyatakan pelepasan saham PT Pertamina (Persero) kepada publik/swasta/perorangan sehingga menyebabkan PT Pertamina (Persero) terhambat dalam memperoleh prioritas usaha kerja tidaklah relevan dengan kondisi yang saat ini terjadi. Perlu kami tegaskan proses restrukturisasi PT Pertamina (Persero) tidak mempengaruhi keberlakuan Pasal 5 ayat (4) dan ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (“PP 35/2004”) karena PT Pertamina (Persero) selaku BUMN sahamnya tetap dimiliki oleh negara sebanyak 100% (seratus persen). Lebih daripada itu, Peraturan Pemerintah adalah peraturan pelaksana dari peraturan perundang-undangan yang ada di atasnya sebagai wujud dari politik hukum pemerintah dalam menjalankan suatu undang-undang. Selain sebagai pemegang saham 100% (seratus persen) Pihak Terkait, pemerintah juga berwenang menentukan politik hukum pelaksanaan undang-undang sepanjang tidak bertengan dengan ketentuan perundang-undangan di atasnya;
Bahwa kekhawatiran Pemohon terhadap pelepasan seluruh atau sebagian besar saham anak-anak perusahaan BUMN kepada swasta/perorangan (privatisasi) yang berpotensi menghilangkan hak menguasai negara tidaklah berdasar. Penguasaan terhadap usaha migas tetap dilakukan secara langsung oleh negara melalui badan yang disebut dengan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Minyak dan Gas (SKK Migas). PT Pertamina (Persero) dalam melakukan restrukturisasi telah sesuai dengan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (“UU Migas”) dan Pertimbangan Majelis Hakim halaman 110 dan 111 butir 3.17 pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-X/2012 yang pada intinya menyatakan dalam bidang minyak dan gas bumi terbuka kesempatan bagi BUMN, badan usaha milik daerah, koperasi, dan badan usaha milik swasta.
Bahwa Pemohon keliru mendasarkan argumentasi hukum yang menyamakan masalah penggabungan ( bundling ) __ dan pemecahan ( unbundling ) __ cabang produksi migas dengan cabang produksi listrik sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 001/PUU-I/2003. Perbandingan putusan yang Pemohon buat tidak relevan, mengingat 201 unbundling listrik tidak dapat disamakan terhadap unbundling migas. Oleh karena itu, rujukan Putusan Mahkamah Konstitusi soal ketenagalistrikan, yakni Putusan Nomor 001/PUU-I/2003 yang dipergunakan Pemohon untuk menguatkan dalil perbaikan permohonannya tidak tepat. Pemohon semestinya menggunakan rujukan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 002/PUU-I/2003 karena objek permasalahan yang diujikan dalam putusan tersebut dengan permohonan Pemohon adalah sama-sama persoalan minyak dan gas.
Bahwa dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 001/PUU-I/2003, Mahkamah Konstitusi berpendirian bahwa privatisasi listrik dengan sistem unbundling kepada pengelola yang berbeda tidak tepat untuk diterapkan karena kondisi pasar tenaga listrik yang terpusat di Pulau Jawa, Madura, dan Bali. Jika bisnis tenaga listrik yang padat modal dipaksa menerapkan unbundling maka yang dirugikan justru negara dan masyarakat karena pengembangan itu hanya akan terpusat di pasar-pasar yang sudah terbentuk tadi dan tidak akan berkembang pada daerah lain yang pasarnya belum terbentuk. Akibatnya pemerataan manfaat untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat yang menjadi tujuan negara tidak akan tercapai. Hal ini ditegaskan Mahkamah dalam pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 001/PUU-I/2003 halaman 347: “Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, Mahkamah berpendapat bahwa untuk menyelamatkan dan melindungi serta mengembangkan lebih lanjut perusahaan negara (BUMN) sebagai aset negara dan bangsa agar lebih sehat yang selama ini telah berjasa memberikan pelayanan kelistrikan kepada masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia, baik yang beraspek komersiil maupun non-komersiil sebagai wujud penguasaan negara, sehingga ketentuan Pasal 16 UU No. 20 Tahun 2002 yang memerintahkan sistem pemisahan/pemecahan usaha ketenagalistrikan (unbundling system) dengan pelaku usaha yang berbeda akan semakin membuat terpuruk BUMN yang akan bermuara kepada tidak terjaminnya pasokan listrik kepada semua lapisan masyarakat, baik yang bersifat komersial maupun non-komersial. Dengan demikian yang akan merugikan masyarakat, bangsa dan negara. Keterangan ahli yang diajukan pemohon telah menjelaskan pengalaman empiris yang terjadi di Eropa, Amerika Latin, Korea, dan Meksiko, sistem unbundling dalam restrukturisasi usaha listrik justru tidak menguntungkan dan tidak selalu efisien dan malah menjadi beban berat bagi negara sehingga oleh karenanya Mahkamah berpendapat bahwa hal tersebut bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945.” 202 40. Bahwa berbeda dengan karakter cabang produksi ketenagalistrikan, dalam cabang produksi minyak dan gas, unbundling dan pelibatan pihak swasta melalui privatisasi justru mendatangkan efisiensi yang berkeadilan sehingga pengelolaan ( beheersdaad ) oleh negara dapat memaksimalkan pemanfaatannya untuk kepentingan hajat hidup orang banyak. Oleh karenanya, untuk membantah kekhawatiran Pemohon atas privatisasi dalam Perbaikan Permohonan a quo, oleh karena konteks perseroan dan perusahaan milik perseroan/anak perusahaan perseroan yang dijabarkan sebagai contoh adalah PT Pertamina (Persero) dan perusahaan milik/anak perusahaan PT Pertamina (Persero) maka Putusan Mahkamah Konstitusi atas UU Migas dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 002/PUU- I/2003 lebih relevan untuk dijadikan acuan untuk menilai persoalan a quo . Dalam putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi telah menguraikan tafsir pengelolaan negara ( beheersdaad ) sebagai berikut:
Mahkamah Konstitusi Kembali Menegaskan Penguasaan oleh Negara Bersumber dari Kedaulatan Rakyat yang Pelaksanaannya Dilakukan Menurut UUD NRI Tahun 1945 Pertimbangan Mahkamah Konstitusi halaman 207 menyatakan: “....konsepsi penguasaan oleh negara merupakan konsepsi hukum publik yang berkaitan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dianut dalam UUD 1945, baik di bidang politik (demokrasi politik) maupun ekonomi (demokrasi ekonomi). Dalam paham kedaulatan rakyat itu, rakyatlah yang diakui sebagai sumber, pemilik, sekaligus pemegang kekuasaan tertinggi dalam kehidupan bernegara, sesuai dengan doktrin ‘dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.” Dari pertimbangan Mahkamah Konstitusi tersebut, dapatlah dipahami bahwa penguasaan cabang-cabang produksi penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak berpusat kepada kepentingan pemilik kedaulatan bernegara yakni rakyat. Oleh karenanya, motivasi penguasaan cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak oleh negara semata untuk mencapai tujuan bernegara “memajukan kesejahteraan umum” sekaligus wujud pelaksanaan kedaulatan rakyat itu sendiri. 203 b. Mahkamah Konstitusi Kembali Menegaskan Pengelolaan ( Beheersdaad ) adalah Salah Satu Bentuk Penguasaan Negara Pertimbangan Mahkamah Konstitusi halaman 208 – 209 menyatakan: “....rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan ( beleid ) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan ( regelendaad ), pengelolaan ( beheersdaad ), dan pengawasan ( toezichthoudensdaad ) untuk tujuan sebesar- besarnya kemakmuran rakyat. Fungsi pengurusan ( bestuursdaad ) oleh negara dilakukan oleh Pemerintah dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas perijinan ( vergunning ), lisensi ( licentie ), dan konsesi ( consessie ). Fungsi pengaturan oleh negara ( regelendaad ) dilakukan melalui kewenangan legislasi oleh DPR bersama Pemerintah, dan regulasi oleh Pemerintah. Fungsi pengelolaan ( beheersdaad ) dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham ( share-holding ) dan/atau melalui keterlibatan langsung dalam manajemen Badan Usaha Milik Negara atau Badan Hukum Milik Negara sebagai instrumen kelembagaan, yang melaluinya Negara, c.q. Pemerintah, mendayagunakan penguasaannya atas sumber- sumber kekayaan itu untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat....” Berdasarkan pertimbangan Mahkamah Konstitusi di atas, dapat dipahami bahwa penguasaan oleh negara termasuk salah satunya peran negara dalam melakukan pengelolaan ( beheersdaad ) di mana negara dapat melakukannya dengan mekanisme pemilikan saham dan/atau terlibat secara langsung dalam struktur BUMN atau BUMN sebagai instrumen kelembagaan yang dengan peran pengelolaannya itu negara melalui pemerintah mendayagunakan sumber-sumber kekayaan itu untuk kepentingan hajat hidup orang banyak.
Mahkamah Konstitusi Menegaskan Bentuk Pengelolaan ( Beheersdaad ) Masing-Masing Cabang Produksi Berbeda Satu Sama Lain dan Sepenuhnya Menjadi Wewenang Pemerintah dan DPR untuk Menentukan ( Open Legal Policy ) Pertimbangan Mahkamah Konstitusi pada halaman 209 menyatakan: “Bahwa dalam kerangka pengertian yang demikian, penguasaan dalam arti kepemilikan perdata (privat) yang bersumber dari konsepsi kepemilikan publik berkenaan dengan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak yang menurut ketentuan Pasal 33 ayat (2) 204 dikuasai oleh negara, tergantung pada dinamika perkembangan kondisi kekayaan masing-masing cabang produksi.” Mahkamah Konstitusi melanjutkan: “....yang harus dikuasai oleh negara adalah jika: (i) cabang- cabang produksi itu penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak; atau (ii) penting bagi negara tetapi tidak menguasai hajat hidup orang banyak; atau (iii) tidak penting bagi negara tetapi menguasai hajat hidup orang banyak. Ketiganya harus dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat. Namun, terpulang kepada pemerintah bersama lembaga perwakilan rakyat untuk menilai apa dan kapan suatu cabang produksi itu dinilai penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak. Cabang produksi yang pada suatu waktu penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, pada waktu yang lain dapat berubah menjadi tidak penting bagi negara dan/atau tidak lagi menguasai hajat hidup orang banyak.” Selanjutnya pada Pertimbangan Mahkamah Konstitusi halaman 210 ditegaskan: “Menimbang bahwa atas dasar kerangka pemikiran demikian, jikalau cabang produksi minyak dan gas bumi, yang adalah juga kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi Indonesia sebagaimana dimaksud oleh Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, oleh Pemerintah dan DPR dinilai telah tidak lagi penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak, maka dapat saja cabang-cabang produksi minyak dan gas bumi itu diserahkan pengaturan, pengurusan, pengelolaan, dan pengawasannya kepada pasar. Namun, jikalau cabang-cabang produksi dimaksud oleh Pemerintah dan DPR dinilai masih penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak, maka Negara, c.q. Pemerintah, tetap diharuskan menguasai cabang produksi yang bersangkutan dengan cara mengatur, mengurus, mengelola, dan mengawasinya agar sungguh-sungguh dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Bahwa berdasarkan pertimbangan Mahkamah Konstitusi pada halaman 209 dan 210 di atas, dapatlah dipahami bahwa sumber penguasaan negara atas cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak berasal dari konsepsi kedaulatan rakyat. Sebagai organ negara yang diserahi tugas mengemban dan melaksanakan kedaulatan rakyat itu, pemerintah bersama DPR berhak sekaligus berkewajiban menentukan, sesuai dengan perkembangan kondisi cabang produksi masing-masing, bagaimana penguasaan 205 negara dalam bentuk pengelolaan ( beheersdaad ) itu akan dilakukan, apakah tetap dikuasai pengelolaannya 100% (seratus persen) ataukah dapat melibatkan pihak swasta dengan mekanisme pasar. Dengan demikian, keputusan untuk menentukan bentuk pengelolaannya, termasuk kebijakan privatisasi atasnya murni merupakan kebijakan hukum terbuka ( open legal policy ) dari pemerintah bersama DPR.
Mahkamah Konstitusi Kembali Menegaskan Penguasaan Negara dalam Kepemilikan Privat Bersifat Relatif sehingga Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945 Tidak Menolak Privatisasi dan Ide Kompetisi di antara Pelaku Usaha Pertimbangan Mahkamah Konstitusi pada halaman 211 menyatakan: “Menimbang bahwa di samping itu untuk menjamin prinsip efisiensi yang berkeadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan, ‘perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan dan kesatuan ekonomi nasional’, maka penguasaan dalam arti kepemilikan privat itu juga harus dipahami bersifat relatif, dalam arti tidak mutlak harus 100 persen, asalkan penguasaan oleh Negara, c.q. Pemerintah, atas pengelolaan sumber-sumber kekayaan dimaksud tetap terpelihara sebagaimana mestinya. Meskipun Pemerintah hanya memiliki saham mayoritas relatif, asalkan tetap menentukan dalam proses pengambilan atas penentuan kebijakan badan usaha yang bersangkutan, maka divestasi ataupun privatisasi atas kepemilikan saham Pemerintah dalam badan usaha milik negara yang bersangkutan tidak dapat dianggap bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945.” __ Mahkamah Konstitusi kembali menegaskan: “Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat, ketentuan Pasal 33 UUD 1945 tidaklah menolak privatisasi, asalkan privatisasi itu tidak meniadakan penguasaan Negara, c.q. Pemerintah, untuk menjadi penentu utama kebijakan usaha dalam cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau menguasai orang banyak. Pasal 33 UUD 1945 juga tidak menolak ide kompetisi di antara para pelaku usaha, asalkan kompetisi itu tidak meniadakan penguasaan oleh negara yang mencakup kekuasaan untuk mengatur ( regelendaad ), mengurus ( bestuursdaad ), mengelola ( beheersdaad ), dan mengawasi ( toezichthoudensdaad ) cabang- cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” 206 Berdasarkan pertimbangan Mahkamah di atas dapatlah dipahami bahwa penguasaan negara berbentuk pengelolaan ( beheersdaad ) dalam artian penguasaan kepemilikan perdata atas saham dalam cabang produksi yang diusahakan tidak harus mutlak 100% (seratus persen) melainkan mayoritas relatif sepanjang penguasaan negara atas sumber-sumber kekayaan itu dapat terpelihara sebagaimana mestinya. Mahkamah juga telah menegaskan bahwa UUD NRI Tahun 1945 sama sekali tidak menolak privatisasi dan kompetisi sepanjang tidak meniadakan bentuk-bentuk penguasaan negara secara kumulatif. Terlebih jika privatisasi ternyata memberikan manfaat yang lebih baik bagi kemampuan negara untuk mendatangkan manfaat lebih besar bagi hajat hidup orang banyak.
Mahkamah Konstitusi Menegaskan Konsep Penguasaan Negara dalam UU Migas sudah Cukup Jelas sehingga Pengelolaannya ( Beheersdaad ) termasuk Privatisasi Tidak Bertentangan dengan Konstitusi Pada pertimbangan halaman 221, Mahkamah Konstitusi menegaskan: “Menimbang bahwa berdasarkan pengertian ‘penguasaan oleh negara’ yang telah menjadi pendirian Mahkamah dalam hubungannya dengan Pasal 33 UUD 1945 sebagaimana diuraikan di atas, ditambah dengan keterangan lisan dan tertulis Pemerintah maupun Dewan Perwakilan Rakyat serta pendapat para ahli, telah nyata bagi Mahkamah bahwa dalil-dalil yang diajukan oleh Para Pemohon tidak cukup beralasan, sehingga tidak terbukti pula undang-undang a quo secara keseluruhan bertentangan dengan UUD 1945. Karena substansi penguasaan oleh negara tampak cukup jelas dalam alur pikiran undang- undang a quo baik pada sektor hulu maupun hilir, kendati pun menurut Mahkamah masih ada hal-hal yang harus dipastikan jaminan penguasaan oleh negara tersebut sebagaimana nanti akan tampak dalam butir-butir pertimbangan Mahkamah atas pasal-pasal yang didalilkan Para Pemohon. Hal tersebut berbeda dengan Undang-undang Ketenagalistrikan yang telah diuji oleh Mahkamah dengan Putusan Perkara Nomor 001-021-022/PUU- I/2003 yang dibacakan pada tanggal 15 Desember 2004, yang alur pikir tentang prinsip penguasaan negara dimaksud tidak tampak dengan jelas penjabarannya dalam pasal-pasal Undang- undang Ketenagalistrikan tersebut yang seharusnya menjadi acuan pertama dan utama sesuai dengan amanat Pasal 33 UUD 1945. Perbedaan alur pikir dimaksud tercermin dalam konsiderans ‘Menimbang’ kedua undang-undang yang bersangkutan, yang kemudian dijabarkan dalam pasal-pasal kedua undang-undang a quo .” 207 Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, menjadi jelas bahwa Mahkamah kembali mempertegas konsep penguasaan negara pada setiap cabang-cabang produksi tidak seragam dan bergantung kepada kondisi masing-masing. Konteks penguasaan negara pada cabang produksi kelistrikan tidak dapat disamakan dengan konteks penguasaan negara pada cabang produksi minyak dan gas sehingga begitu pun dengan perbaikan permohonan yang diajukan oleh Pemohon a quo. Konteks penguasaan negara yang semestinya dijadikan rujukan oleh Pemohon bukanlah penguasaan negara secara penuh layaknya cabang produksi kelistrikan sebagaimana diputuskan Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 001-021-022/PUU-I/2003, melainkan penguasaan negara pada minyak dan gas bumi sebagaimana telah diputuskan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 002/PUU-I/2003. Dalam putusan yang terakhir a quo, Mahkamah Konstitusi telah menegaskan bahwa privatisasi dalam bidang cabang produksi migas telah nyata tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.
Mahkamah Konstitusi Menegaskan Unbundling pada Cabang Produksi Minyak dan Gas Tidak Mengurangi Penguasaan oleh Negara justru Menghindari Praktik Monopoli Migas yang Merugikan Masyarakat Pertimbangan Mahkamah Konstitusi pada halaman 225 menyatakan: “Para Pemohon mendalilkan, pola industri minyak dan gas nasional yang memisahkah antara kegiatan hulu dan hilir ( unbundling ), sebagaimana diatur dalam Pasal 10 undang- undang a quo , akan berakibat lebih mahalnya biaya/harga produk bahan bakar minyak dan non-bahan bakar minyak karena setiap sektor kegiatan mempunyai biaya dan profit tersendiri. Hal ini, oleh Para Pemohon, juga dinilai bertentangan dengan trend industri minyak dan gas dunia. Pasal 10 dimaksud menyatakan, ‘(1) Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang melakukan Kegiatan Usaha Hulu dilarang melakukan Kegiatan Usaha Hilir. (2) Badan Usaha yang melakukan Kegiatan Usaha Hilir tidak dapat melakukan Kegiatan Usaha Hulu’. Adanya Pasal 10 haruslah dipahami agar supaya tidak terjadi pemusatan penguasaan minyak dan gas bumi di satu tangan sehingga mengarah kepada monopoli yang merugikan kepentingan masyarakat. Namun, ketentuan pasal dimaksud harus ditafsirkan tidak berlaku terhadap badan usaha yang telah dimiliki oleh negara yang justru harus diberdayakan agar penguasaan negara menjadi semakin kuat. Pasal 61 yang termasuk dalam Ketentuan 208 Peralihan harus ditafsirkan bahwa peralihan dimaksud terbatas pada status Pertamina untuk menjadi persero dan tidak menghapuskan keberadaannya sebagai Badan Usaha yang masih tetap melakukan kegiatan usaha hulu dan kegiatan usaha hilir, meskipun untuk usaha hilir dan hulu tersebut harus dilakukan oleh dua Badan Usaha ‘Pertamina Hulu’ dan ‘Pertamina Hilir’ yang keduanya tetap dikuasai oleh negara. Dengan alur pikir demikian, kekhawatiran Para Pemohon menjadi tidak beralasan.” Berdasarkan pertimbangan tersebut, Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa unbundling pada cabang produksi migas tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Pelaksanaan usaha hulu dan hilir melalui badan hukum terpisah tetap dikuasai oleh negara. Dengan logika yang sama, privatisasi jelas bukan hal yang terlarang dilakukan sepanjang posisi mayoritas relatif negara dipertahankan dan tidak mengganggu negara untuk menjaga pelaksanaan sektor migas untuk penguasaan hajat hidup orang banyak.
Bahwa berdasarkan seluruh uraian di atas, selain berfungsi sebagai penjaga konstitusi atau guardian of constitution, Mahkamah Konstitusi sejatinya adalah satu-satunya penafsir tunggal konstitusi atau the sole interpreter of constitution. Oleh karena itu, untuk persoalan norma-norma yang telah dipertimbangkan dan diputuskan tafsirnya oleh Mahkamah Konstitusi dalam putusannya yang bersifat final dan mengikat sejatinya telah tertutup ruang bagi siapa pun untuk memperdebatkannya kembali. Mahkamah Konstitusi telah mempertimbangkan dan memutus tafsir atas persoalan a quo dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 002/PUU-I/2003 di atas. Bahwa cabang produksi migas tidak terlarang untuk dilakukan unbundling dan privatisasi, bahkan privatisasi itu sendiri adalah salah satu wujud penguasaan negara dalam bentuk pengelolaan ( beheersdaad ) di mana penguasaan negara atas kepemilikan cabang produksi dalam ranah hukum perdata tidak harus 100% (seratus persen) mutlak, melainkan sepanjang ia tetap mayoritas relatif dan menjamin negara tetap berada dalam posisi yang menentukan keputusan. Dari sini kita dapat memahami bahwa apa yang dimohonkan oleh Pemohon mengenai tafsir privatisasi a quo bukanlah persoalan konstitusionalitas yang sama sekali baru, melainkan persoalan yang telah pernah diperiksa dan diputus oleh Mahkamah Konstitusi 209 sehingga dalil-dalil Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk dikabulkan.
Bahwa oleh karena telah jelas apa yang didalilkan Pemohon dalam perbaikan permohonannya tidak berdasar dan beralasan hukum sehingga telah cukup dasar dan alasan hukumnya bagi Mahkamah Konstitusi untuk menolak Perbaikan Permohonan Pemohon untuk seluruhnya. IV.2 ARGUMENTASI YURIDIS II: PASAL 77 HURUF C DAN D UU BUMN TIDAK BERTENTANGAN DENGAN PASAL 33 AYAT (3) UUD NRI TAHUN 1945 KARENA TIDAK MEREDUKSI PENGUASAAN NEGARA UNTUK MEMBERIKAN MANFAAT SEBESAR-BESAR KEMAKMURAN RAKYAT 43. Bahwa Pihak Terkait membantah dalil-dalil Pemohon dalam Perbaikan Permohonan Pemohon angka 38 sampai 52 pada halaman 27 - 38 yang pada pokoknya menyatakan: • Pemohon menguraikan penafsiran Mahkamah atas tolok ukur pengelolaan kekayaan alam untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VIII/2010, yakni:
kemanfaatan sumber daya alam bagi rakyat;
tingkat kemerataan sumber daya alam bagi rakyat;
tingkat partisipasi rakyat dalam menentukan manfaat sumber daya alam; dan
penghormatan terhadap hak rakyat yang bersifat turun-temurun dalam memanfaatkan sumber daya alam; • Pemohon menguraikan tujuan pembentukan BUMN adalah untuk menyediakan barang dan jasa yang bermutu tinggi bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat, namun akibat privatisasi tidak menutup kemungkinan dengan privatisasi keuntungan perusahaan tidak sepenuhnya diberikan kepada negara tetapi diberikan kepada pihak perorangan/swasta; • Pemohon menguraikan dengan adanya privatisasi tidak tertutup kemungkinan seluruh saham milik perseroan/anak perusahaan dilepas seluruhnya kepada pihak swasta/perorangan di mana sesuai Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 cabang-cabang produksi penting dan menguasai hajat hidup orang banyak serta bumi, air dan kekayaan alam 210 seharusnya dikuasai negara dan tidak boleh dikuasai dan/atau dikelola pihak swasta maupun perorangan; dan • Pemohon menguraikan potensi kerugian yang nyata bagi rakyat dan negara apabila larangan privatisasi dalam Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN hanya diberlakukan secara limitatif terhadap persero dan tidak diberlakukan juga terhadap perusahaan milik persero/anak perusahaan persero akan menyebabkan bumi, air dan kekayaan alam terkandung di dalamnya bukan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat yang tentunya sangat bertentangan dengan Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945.
Bahwa sama halnya dengan uraian alasan permohonan pada bagian III. A Perbaikan Permohonan Pemohon, uraian alasan permohonan pada bagian III. B Perbaikan Permohonan Pemohon juga tidak didukung argumentasi hukum yang cukup untuk menguatkan klaim Pemohon mengenai tidak tercapainya tujuan bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Pemohon hanya menguraikan kekhawatiran-kekhawatiran saja tanpa menjelaskan uraian dasar dan alasan-alasan hukum yang mendasari permohonan Pemohon. Dengan kata lain, Pihak Terkait dapat menegaskan bahwa kekhawatiran Pemohon yang telah diuraikan juga tidak beralasan hukum untuk dikabulkan.
Bahwa sebagaimana telah Pihak Terkait uraikan dalam bagian sebelumnya, penguasaan negara dalam bentuk pengelolaan ( beheersdaad ) adalah wujud dari pelaksanaan kedaulatan negara atas cabang-cabang produksi penting dan menguasai hajat hidup orang banyak, termasuk pula atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Hal ini adalah konsekuensi pengakuan kita sebagai negara hukum sehingga penguasaan dalam bentuk pengelolaan ( beheersdaad ) itu bukanlah didasarkan pada kekuasaan semata ( maachstaat ) melainkan oleh hukum (konstitusi). Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai negara bukan dalam konteks kepemilikan, melainkan oleh hukum diberikan hak menguasai dalam bentuk perumusan kebijakan ( beleid ), pengaturan ( regelendaad ), pengurusan ( bestuurdaad ), pengelolaan ( beheersdaad ), dan pengawasan 211 ( toezichthoudendaad ). Dari mana negara memperoleh kekuasaan itu? Dari rakyat melalui konsepsi kedaulatan rakyat.
Bahwa Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 telah menegaskan sumber penguasaan itu, yakni “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” __ Di dalam pembukaannya, UUD NRI Tahun 1945 telah menentukan arah tujuan pelaksanaan kedaulatan itu salah satunya untuk: “Memajukan kesejahteraan umum.” __ Dalam bahasa yang lebih spesifik, penguasaan negara atas bumi, air dan kekayaan alam terkandung di dalamnya “dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. __ Atas dasar itu, negara menguasai bumi, air dan kekayaan alam di dalamnya bukanlah untuk kepentingan negara sendiri melainkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dengan kata lain, penguasaan negara dalam bentuk pengelolaan ( beheersdaad ) tidak dapat dinilai secara sempit dalam batas-batas kerangka kepemilikan perdata semata di mana penguasaan oleh negara seolah terhenti sesuai porsi kepemilikan negara pada suatu perseroan atau perusahaan milik/anak perseroan semata. Tolok ukur yang harus dijadikan acuan bukanlah besar kecil porsi kepemilikan keperdataan negara, melainkan bagaimana negara dalam pengelolaannya itu dapat memaksimalkan peran mengejar sebesar- besar kemakmuran rakyat.
Bahwa sebagaimana telah diuraikan dalam bantahan sebelumnya, UUD NRI Tahun 1945 jelas tidak menolak privatisasi, terlebih privatisasi pada cabang produksi minyak dan gas sebagaimana diuraikan Pemohon dalam Perbaikan Permohonan a quo. Mahkamah telah pula menegaskan bahwa patokan penguasaan negara berbentuk pengelolaan ( beheersdaad ) dalam bentuk penyertaan saham pada pengusahaan cabang produksi itu tidak harus mayoritas mutlak 100% (seratus persen), melainkan mayoritas relatif sepanjang negara tetap dapat berposisi menentukan dalam proses pengambilan atas penentuan kebijakan badan usaha yang bersangkutan. Dalam pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 002/PUU- I/2003, Mahkamah telah menegaskan: “Menimbang bahwa di samping itu untuk menjamin prinsip efisiensi yang berkeadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan, ‘perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip 212 kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan dan kesatuan ekonomi nasional’, maka penguasaan dalam arti kepemilikan privat itu juga harus dipahami bersifat relatif, dalam arti tidak mutlak harus 100 persen, asalkan penguasaan oleh Negara, c.q. Pemerintah, atas pengelolaan sumber-sumber kekayaan dimaksud tetap terpelihara sebagaimana mestinya. Meskipun Pemerintah hanya memiliki saham mayoritas relatif, asalkan tetap menentukan dalam proses pengambilan atas penentuan kebijakan badan usaha yang bersangkutan, maka divestasi ataupun privatisasi atas kepemilikan saham Pemerintah dalam badan usaha milik negara yang bersangkutan tidak dapat dianggap bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945.” Berdasarkan pertimbangan Mahkamah di atas, jangankan privatisasi, bahkan divestasi atas kepemilikan saham pemerintah dalam badan usaha milik negara tidak dapat dipandang sebagai tindakan yang bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 sepanjang negara tetap memiliki posisi menentukan dalam proses pengambilan atas penentuan kebijakan badan usaha yang bersangkutan. Dengan penegasan Mahkamah a quo, kekhawatiran Pemohon akan bahaya privatisasi yang mengancam pencapaian sebesar-besar kemakmuran rakyat menjadi tidak beralasan.
Bahwa dengan penafsiran yang telah disampaikan di atas, dapatlah dipahami dengan jelas bahwa privatisasi pada dasarnya adalah salah satu instrumen atau strategi yang sah dan konstitusional yang justru diadakan untuk mengejar sebesar-besar kemakmuran rakyat. Konsiderans menimbang huruf b UU BUMN yang dimohonkan Pemohon untuk diuji telah menegaskan, “Bahwa Badan Usaha Milik Negara mempunyai peranan penting dalam penyelenggaraan perekonomian nasional guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat.” __ Lagipula, Pasal 1 angka 12 UU BUMN juga telah mendefinisikan privatisasi dengan sangat baik, yakni “Privatisasi adalah penjualan saham Persero baik sebagian maupun seluruhnya kepada pihak lain dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat, serta memperluas saham oleh masyarakat.” 49. Bahwa berdasarkan seluruh uraian di atas, menjadi jelas bahwa apa yang dimohonkan Pemohon tidaklah berdasar dan beralasan menurut hukum. Oleh karena telah jelas apa yang didalilkan Pemohon dalam Perbaikan Permohonan Pemohon tidak berdasar dan beralasan hukum sehingga telah 213 cukup dasar dan alasan hukumnya bagi Mahkamah untuk menolak Perbaikan Permohonan Pemohon untuk seluruhnya. V. PETITUM Berdasarkan uraian sebagaimana tersebut di atas, Pihak Terkait memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk menjatuhkan putusan sebagai berikut: DALAM EKSEPSI 1. Mengabulkan eksepsi Pihak Terkait;
Menyatakan Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo ;
Menyatakan Permohonan Pemohon tidak dapat diterima; atau setidak-tidaknya: DALAM POKOK PERKARA 1. Menolak Permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
Menyatakan bahwa Pasal 77 huruf c dan d Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara tidak bertentangan terhadap Pasal 33 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tetap sah berlaku mengikat; dan
Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam berita negara sebagaimana mestinya. Apabila Majelis Hakim berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya ( ex aequo et bono ). [2.7] Menimbang bahwa untuk mendukung keterangannya Pihak Terkait PT Pertamina (Persero) mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti PT- 1 sampai dengan bukti PT-2 sebagai berikut:
Bukti PT-1 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara;
Bukti PT-2 : Fotokopi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Selain mengajukan bukti, Pihak Terkait PT Pertamina (Persero) juga mengajukan seorang ahli bernama Dr. Tri Hayati S.H., M.H., yang keterangannya 214 didengarkan dalam persidangan Mahkamah tanggal 7 Juni 2021, pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: Berkaitan dengan pengujian ketentuan Pasal 77 huruf c dan d Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN) terhadap Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3), yang berbunyi: _Pasal 33 ayat (2): _ Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. _Pasal 33 ayat (3): _ Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya __ dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN, mengatur Persero yang tidak dapat _diprivatisasi adalah: a…..; b…..;
Persero yang bergerak di sektor tertentu yang_ oleh pemerintah diberikan tugas khusus untuk melaksanakan kegiatan tertentu yang _berkaitan dengan kepentingan masyarakat;
Persero yang bergerak di bidang_ usaha sumber daya alam yang secara tegas berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dilarang untuk diprivatisasi ; Dalam Petitum, pemohon menyatakan bahwa ketentuan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN bertentangan dengan ketentuan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI 1945, sepanjang larangan privatisasi dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d hanya diberlakukan secara limitatif terhadap Persero dan tidak diberlakukan juga terhadap Anak Perusahaan Persero, sehingga berpotensi hilangnya Hak Menguasai Negara dalam mengelola cabang-cabang produksi yang penting bagi negara, menguasai hajat hidup orang banyak dan sumber daya alam. Pendapat sebagai Ahli terkait dengan permohonan uji materi Pasal 77 Huruf c dan huruf d UU BUMN dalam Perkara No. Register 61/PUU-XVIII/2020, sebagai berikut:
Konsep Hak Menguasai Negara Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Pasal 33 UUD 1945 mengatur tentang dasar-dasar sistem perekonomian atau tata susunan perekonomian dan kegiatan-kegiatan perekenomian yang dihendaki dalam negara Republik Indonesia. Dasar-dasar perekonomian dan kegiatan perekonomian sangat berkaitan dengan kesejahteraan sosial, maka Pasal 33 ditempatkan di dalam Bab XIV di bawah judul Kesejahteraan Sosial. Konsep Hak 215 Menguasai Negara terdapat dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI 1945. Tentunya kedua konsep hak mengusai negara tersebut memiliki gradasi yang berbeda. Dilihat dari teori property rights, Hak Menguasai Negara sebagaimana tercantum dalam Pasal 33 ayat (2) UUD NRI 1945 mengandung makna adanya sifat kepentingan publik ( public goods ) terhadap cabang-cabang produksi yang penting. Sedangkan Hak Mengusasi Negara sebagaimana tercantum dalam pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945, mengandung makna adanya sifat kepentingan sosial dan ada kepemilikan oleh Rakyat ( public ownership goods ) terhadap bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. (Anthony I. Ogus, Regulations Legal Form and Economic Theory. Portland, Oregon: Hart Publishing, 2004, halaman. 227.) Public Goods mengandung pengertian bahwa barang tersebut mempunyai makna kepentingan umum dan barang tersebut tidak ada kepemilikan, sehingga Pemerintah berkewajiban untuk mengendalikan terhadap pemanfaatannya melalui berbagai perizinan dalam bentuk vergunning ( Izin Publik biasa ) . Sedangkan Public ownership goods mengandung pengertian bahwa barang tersebut mempunyai makna kepentingan sosial (lebih tinggi dari kepentingan umum) dan barang tersebut ada hak kepemilikan, yaitu milik Rakyat, sehingga pengusahaannya harus dapat memberikan manfaat dan kesejahteraan bagi rakyat. Oleh karena itu Pemerintah sebagai penerima mandat dari Rakyat, pada dasarnya harus melaksanakan sendiri. Namun bila Pemerintah belum mampu atau tidak mampu melaksanakannya sendiri, maka diberikan pada pihak ketiga dalam bentuk konsesi , dimana pengendalian harus tetap dilaksanakan oleh Pemerintah. Konsesi ( concessie) sebenarnya merupakan bentuk khusus dari beschikking merupakan sebuah izin yang diberikan pada suatu aktivitas yang pada umumnya terpaut dengan kepentingan umum (publik) dan orang banyak, namun diberikan kepada swasta atau BUMN/BUMD. Menurut Van Wijk (D.L.T.M. Hagenaars – Dankers, Ibid. , Hal.16.) concessie diberikan bagi aktivitas yang berkaitan dengan “ openbaar belang ” yang tidak mampu dijalankan sendiri oleh Pemerintah, lalu diserahkan kepada perusahaan swasta. Dengan demikian penerima konsesi pada hakekatnya mengambil alih sebagian misi dari bestuurszorg dari administrasi negara sehubungan dengan tipe negara kesejahteraan modern ( modern welfare state ), karena itu pemegang konsesi perlu ditegaskan hak dan kewajibannya dalam sebuah perjanjian, sebagai pengendliannya. 216 Jadi pada dasarnya penggunaan atau pemanfaatan terhadap barang/kebendaan yang mengandung makna kepentingan umum (terkait Pasal 33 ayat 2 UUD 1945) dan kepentingan sosial (terkait Pasal 33 ayat 3 UUD 1945), harus dikendalikan oleh pemerintah agar tidak terjadi monopoli terhadap objek yang bernilai kepentingan umum dan kepentingan sosial tersebut. Makna itu kemudian diejawantahkan pada Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN, yang menyatakan bahwa, c. Persero yang bergerak di sektor tertentu yang oleh pemerintah diberikan tugas khusus untuk melaksanakan kegiatan tertentu yang berkaitan dengan _kepentingan masyarakat;
Persero yang bergerak di bidang usaha sumber daya_ alam yang secara tegas berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dilarang untuk diprivatisasi . Paradigma larangan terhadap privatisasi ini sebenarnya cocok diterapkan pada saat UUD 1945 sebelum diamandemen, dimana terdapat larangan privatisasi untuk kegiatan yang menyangkut kepentingan umum dan hajat hidup orang banyak serta SDA (penjelasan pasal 33 UUD 1945). Pasal 33 ayat (3) mengamanatkan Konsep Hak Menguasai Negara dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kedua aspek tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama lain, keduanya merupakan satu kesatuan sistematik. Hak Menguasai Negara merupakan instrumen (bersifat instrumental), sedangkan “ dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat ” merupakan tujuan ( objectives ). Perlu dikemukakan pendapat Hatta terkait makna Hak Menguasai Negara, bahwa pengertian “dikuasai” bukan secara otomatis dikelola langsung oleh negara atau pemerintahan, akan tetapi dapat menyerahkan pada pihak swasta yang disertai dengan pengawasan Pemerintah. Hatta menolak dengan tegas konsep kapitalis yang mengedepankan prinsip perseorangan yang mengutamakan diri sendiri dari kepentingan orang lain. Selain itu, Hatta dengan berpangkal tolak dari ketentuan Pasal 33 UUD NRI 1945 kemudian membagi bidang ekonomi ke dalam tiga sektor usaha, yakni koperasi, usaha negara, dan usaha asing. Dalam kaitannya dengan usaha negara, Hatta berpendapat bahwa negara tidak perlu menjadi pengusaha atau ondernemer . Lebih tepat dikatakan bahwa hak penguasaan negara terdapat pada pembuat peraturan guna kelancaran jalan ekonomi, peraturan yang melarang pula penghisapan orang yang lemah oleh orang yang bermodal. Jika hal tersebut dipandang perlu dan menentukan bagi kesejahteraan masyarakat, maka tidak ada salahnya negara ikut serta mengelola atau menyelenggarakannya. Dengan demikian Negara tidak harus terjun langsung 217 sebagai pelaku usaha, akan tetapi dapat saja diserahkan kepada pihak ketiga, dan peran Negara sebagai pemegang HMN lebih tertuju pada pembuatan peraturan guna kelancaran jalan ekonomi.
Hak Menguasai Negara sektor SDA Landasan filosofi pengelolaan sumber daya alam di Indonesia adalah Pasal 33 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia 1945, yang menyatakan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat . Pengertian Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945 yang menunjuk pengertian dikuasai negara, harus diartikan mencakup makna dikuasai Negara dalam arti luas , dimana didalamnya termasuk juga kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas Sumber Daya Alam. Rakyat secara kolektif memberi mandat kepada Negara untuk membuat Kebijakan ( Beleid ), tindakan Pengurusan ( bestuursdaad ), Pengaturan ( Regelensdaad ), Pengelolaan ( beheersdaad ) dan Pengawasan ( toezichthoudensdaad ). Seluruh kegiatan tersebut ditujukan untuk tujuan sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat. Makna HMN merujuk pada Hak penguasaan ( authority right ) atas sumber daya alam berada di tangan Negara, dan hak pengelolaan oleh Pemerintah ( mining right ). Pemerintah, dapat melakukan kerjasama pengusahaan SDA dengan pihak lain (investor) sebagai pelaksana pengusahaan pertambangan ( economic right ). Makna dikuasai oleh negara, berarti Negara sebagai pemegang hak penguasaan ( Authority Right ) terhadap sumber daya alam. Negara hanya sebatas hak penguasaan saja, tidak dalam arti memiliki sumber daya alam. Hak kepemilikian ( mineral right ) terhadap sumber daya alam yang berada di perut bumi adalah miliki seluruh rakyat Indonesia. Merujuk pendapat Hatta, dapat disimpulkan bahwa pengertian frasa “ dikuasai oleh negara ” dalam Pasal 33 ayat (2) UUD NRI 1945 adalah negara tidak harus secara langsung ikut mengelola atau menyelenggarakan cabang produksi, akan tetapi hal itu dapat diserahkan kepada usaha koperasi dan swasta. Tugas negara hanyalah membuat peraturan dan melakukan pengawasan guna kelancaran jalannya ekonomi demi menjamin terciptanya kesejahteraan rakyat. Tidak adanya keharusan bagi negara untuk menyelenggarakan cabang-cabang produksi tersebut menurut Hatta, memberikan peluang bagi swasta untuk menyelenggarakan cabang- 218 cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak.
Pergeseran Makna Hak Menguasai Negara 3.1. Sebelum Amandemen UUD 1945 Pergeseran makna dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 terjadi setelah era Reformasi, dimana ditandai dengan berlakunya UUD NRI 1945 yang telah diamandemen sebanyak 4 (empat) kali. Terdapat perbedaan makna “Hak Menguasai Negara” (HMN) sebelum dan sesudah amandemen UUD 1945. Sebelum amandemen, makna Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 jelas melarang keterlibatan pihak ketiga untuk melakukan pengelolaan kegiatan di bidang sumber daya alam. Hal ini dinyatakan dalam Penjelasan Pasal 33, yang melarang pihak swasta atau orang perorangan turut serta dalam pengelolaan sumber daya alam. Dengan demikian makna konsep dikuasai Negara adalah memang dalam arti luas, yaitu memberikan kekuasaan kepada Negara untuk mengatur (sebagai Regulator) dan mengurus (sebagai operator/pelaksanaan langsung oleh Pemerintah) serta memanfaatkan kekayaan alam tersebut dengan sebaik-baiknya untuk kemakmuran rakyat. Dapat ditarik makna bahwa pada dasarnya privatisasi di sektor sumber daya alam adalah dilarang, karena secara konstitusional dilarang dalam penjelasan pasal 33 UUD 1945. Sehingga pada dasarnya Negaralah yang harus turun langsung menyelenggarakan kegiatan penambangan melalui badan-badan usaha pemerintah sendiri. Selain sebagai pelaksanan, Negara yang dalam hal ini diselenggarakan oleh Pemerintah, juga melaksanakan tugas pengendalian melalui pembuatan berbagai Regulasi. Dengan berbagai regulasi, ditujukan untuk mengarahkan dan mengendalikan dalam pengelolaan sumber daya alam (SDA) agar mencapai tujuan kemakmuran sebagaimana diamanatkan pasal 33 UUD NRI 1945. Selain itu Negara juga diharapkan bertindak sebagai pelaksana sendiri dari kegiatan penambangan SDA secara langsung, sebagaimana diamanatkan dalam penjelasan Pasal 33 UUD 1945. Namun demikian dalam berbagai undang-undang di sektor SDA, memberikan pengecualian terhadap kewajiban Negara tersebut. Peran sebagai penyelenggara penambangan, dapat saja dikerjasamakan dengan pihak ketiga lainnya sebagai kontraktor, apabila Pemerintah belum mampu atau tidak mampu melaksanakannya. 219 Hal ini disebabkan bahwa kegiatan penambangan di sektor SDA merupakan kegiatan yang padat modal, padat teknologi dan tinggi risiko.
Pengelolaan Migas dalam Hubungan dengan Hak Menguasai Negara 4.1. Politik Hukum Pengelolaan Migas 1960 Awal mula regulasi pengelolan migas diatur dalam Undang-Undang Nomor 44 prp. Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan gas Bumi (UU Migas 1960). Implementasi HMN Pasal 33 ayat (3) diakui dalam undang-undang tersebut bahwa “Segala bahan galian minyak dan gas bumi yang ada di dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia merupakan kekayaan nasional yang yang dikuasai oleh Negara”. Selanjutnya sebagai implementasi dari HMN tersebut, pemerintah 220 menunjuk usaha pertambangan minyak dan gas bumi dilaksanakan oleh Perusahaan Negara semata-mata (Pasal 4 UU Migas 1960), untuk melakukan kegiatan a. eksplorasi;
eksplotasi;
pemurnian dan pengolahan;
pengangkutan; dan e. penjualan. Perusahaan Negara sebagaimana dimaksud Pasal 4 UU Migas 1960 diberikan “Kuasa Pertambangan” yang ditetapkan dan diatur dalam peraturan yang mendirikan perusahaan itu. Merujuk pada kebijakan yang diinginkan Penguasa pada saat UU Migas 1960, makna HMN sebagaimana tercantum dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, diartikan bahwa Pemerintahlah sebagai pembuatan kebijakan (regulator) dan sebagai pelaku usahanya (operator). Pada saat itu paradigma privatisasi memang dilarang (sebagaimana dinyatakan dalam penjelasan Pasal 33 UUD 1945). Karena itu disebutkan dalam UU Migas 1960, hanya perusahaan Negara semata yang melaksanakan pengusahaan minyak dan gas bumi, yang pada dasarnya dilarang dilakukan privatisasi di sektor minyak dan gas bumi. Untuk mengimplementasikan HMN melalui Perusahaan Negara sebagai amanat UU Migas 1960, dibentuklah Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi (PERTAMINA) berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971. PERTAMINA adalah badan hukum yang berhak melakukan usaha-usahanya berdasarkan Undang- undang ini, yang meliputi eksplorasi, eksploitasi, pemurnian dan pengolahan, pengangkutan dan penjualan. Adapun tujuan Perusahaan adalah membangun dan melaksanakan pengusahaan minyak dan gas bumi dalam arti seluas-luasnya untuk sebesar-besar kemakmuran Rakyat dan Negara serta menciptakan Ketahanan Nasional. Kemudian ditentukan bahwa modal Perusahaan adalah kekayaan Negara yang dipisahkan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebesar yang ditanam dalam P.N. PERTAMINA sampai saat pembubarannya, yang jumlahnya tercantum dalam Neraca Pembukaan yang akan disahkan oleh Menteri Keuangan dan modal Perusahaan tersebut tidak terbagi atas saham-saham (Pasal 7 UU PERTAMINA). Berdasarkan UU PERTAMINA tersebut tampak bahwa, memang PERTAMINA sebagai satu-satunya Perusahaan Negara yang melakukan pengusahaan minyak dan gas bumi di Indonesia dengan diberikannya “Kuasa Pertambangan” sebagai perwujudan dari HMN Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Seharusnya PERTAMINA sendiri yang melakukan pengusahaan minyak dan gas bumi, namun karena kegiatan pengusahaan padat modal, tinggi teknologi dan tinggi 221 resiko, maka diberikan pengecualian, apabila Pemerintah cq PERTAMINA belum mampu, maka Menteri dapat menunjuk kontraktor untuk melakukannya. Hal ini diatur dalam pasal 6 UU Migas 1960, yang menyatakan bahwa: “Menteri dapat menunjuk pihak lain sebagai kontraktor untuk perusahaan negara apabila diperlukan untuk melaksanakan pekerjaa-pekerjaan yang belum atau tidak dapat dilaksanakan sendiri oleh perusahaan negara yang bersangkutan selaku pemegang kuasa pertambangan”. Jadi politik hukum pada saat berlakunya UU Migas 1960, memang menganut paham Nasionalisme bahwa pengaturan, pengelolaan dan pengusahaan migas harus dilakukan sendiri oleh Pemerintah, tidak boleh dilakukan privatisasi. Hal ini dipertegas dengan kebijakan yang menyatakan bahwa modal Perusahaan tidak terbagi atas saham-saham. Kondisi pengelolaan migas berwawasan nasionalisme ini berlangsung hingga Era Reformasi berjalan menggantikan Era Orde Baru.
Kegiatan Usaha Hulu yang mencakup: Eksplorasi, Eksploitasi;
Kegiatan Usaha Hilir yang mencakup: Pengolahan, Pengangkutan, Penyimpanan, Niaga. Kegiatan Usaha Hulu dilaksanakan dan dikendalikan melalui Kontrak Kerja Sama, sedangkan Kegiatan Usaha Hilir dilaksanakan dengan Izin Usaha (Pasal 11 UU Migas 2001). Kepemilikan sumber daya alam tetap di tangan Pemerintah sampai pada titik penyerahan. Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang melakukan Kegiatan Usaha Hulu dilarang melakukan Kegiatan Usaha Hilir, dan Badan Usaha yang melakukan Kegiatan Usaha Hilir tidak dapat melakukan Kegiatan Usaha Hulu (Pasal 10 UU Migas 2001). Kontrak Kerja Sama (KKS) adalah Kontrak Bagi Hasil atau bentuk kontrak kerja sama lain dalam kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi yang lebih menguntungkan Negara dan hasilnya dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Pada KKS, modal dan risiko seluruhnya ditanggung Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap, dimana pengembalian biaya operasional disebut sebagai cost recovery . Bagi hasil pada KKS mengalami perkembangan sejak generasi pertama sampai generasi keempat. Selanjutnya diambil kebijakan Pemerintah yang baru, yaitu berdasarkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 08 Tahun 2017 ditetapkan bentuk baru yaitu Kontrak Bagi Hasil Gross Split. KONTRAK BAGI HASIL GROSS SPLIT adalah suatu Kontrak Bagi Hasil dalam kegiatan Hulu Migas berdasarkan prinsip pembagian gross produksi TANPA mekanisme pengembalian biaya operasi. Selanjutnya bagaimana kedudukan PERTAMINA yang setelah UU Migas 2001 tidak lagi memegang “Kuasa Pertambangan”? Sehingga jika Pertamina melakukan Privatisasi, maka tidak ada lagi hubungan dengan HMN sebagaimana diamanatkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Di sinilah perlu dicermati bahwa, saat ini Pertamina hanya sebagai pelaku usaha yang kedudukannya sama dengan kontraktor Migas pada umumnya. Hanya yang membedakan dengan kontraktor lainnya adalah bahwa modalnya berasal dari kekayaan Negara yang dipisahkan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Dengan demikian Pertamina saat ini merupakan entitas bisnis pada umumnya, yang modalnya berasal dari Negara. Dengan demikian, jika dilakukan privatisasi pada tubuh Pertamina tentu tidak akan 223 mendegradasi HMN, karena memang saat ini Pertamina bukan lagi sebagai Pemegang Kuasa Pertambangan seperti pada saat UU Nomor 8 Tahun 1971 berlaku.
Kesimpulan 1) Makna Hak Menguasai Negara terdapat Pada Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3), yang gradasinya berbeda dilihat dari Kebendaannya;
Terjadi pergeseran Makna dari konsep HMN sebelum dan sesudah amandemen UUD 1945 di Era Reformasi. Sebelum amandemen, dengan adanya larangan privatisasi untuk sektor yang menyangkut kepentingan umum dan hajat hidup orang banyak, berarti peran Pemerintah selaku Regulator dan Operator (pelaku usaha melalui BUMN PERTAMINA). Sesudah amandemen, larangan privatisasi sudah tidak diberlakukan lagi, namun HMN tetap berlaku. Sehingga makna HMN bagi Pemerintah lebih tertuju sebagai Regulator saja, sedangkan sebagai Operator dapat diprivatisasikan.
Setelah amandemen UU Migas 1960 ke UU Migas 2001, terjadi perubahan kedudukan Pertamina yang semula sebagai pemegang Kuasa Pertambangan (KP) sebagai perwujudan dari HMN, kemudian Pertamina tidak lagi memegang KP, tetapi dialihkan kepada Pemerintah sebagai pemegang KP.
Dengan demikian bila pada Pertamina dilakukan privatisasi, maka tidak akan mendegradasi HMN, karena memang tidak ada hubungannya dengan HMN. [2.8] Menimbang bahwa Pemohon, Presiden, dan Pihak Terkait PT Pertamina (Persero) telah menyampaikan kesimpulan yang pada pokoknya masih dalam pendiriannya; [2.9] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, segala sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam berita acara persidangan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini. 224 3. PERTIMBANGAN HUKUM Kewenangan Mahkamah [3.1] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 216, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6554, selanjutnya disebut UU MK), dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076), Mahkamah berwenang, antara lain, mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945; [3.2] Menimbang bahwa oleh karena permohonan a quo adalah permohonan untuk menguji konstitusionalitas norma undang-undang, in casu Pasal 77 huruf c dan huruf d Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4297, yang selanjutnya disebut UU 19/2003) terhadap UUD 1945 maka Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo ; Kedudukan Hukum Pemohon [3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang, yaitu:
perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama); 225 b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
badan hukum publik atau privat; atau
lembaga negara; Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan terlebih dahulu:
kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK;
ada tidaknya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian dalam kedudukan sebagaimana dimaksud pada huruf a; [3.4] Menimbang bahwa Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 tanggal 20 September 2007 serta putusan-putusan selanjutnya, telah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu:
adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh para Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab-akibat antara kerugian dimaksud dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; [3.5] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.3] dan Paragraf [3.4] di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan kedudukan hukum Pemohon sebagai berikut: 226 1. Bahwa Pemohon mengajukan pengujian norma yang terdapat dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d UU 19/2003, selengkapnya menyatakan sebagai berikut: Pasal 77 huruf c dan huruf d UU 19/2003 Persero yang tidak dapat diprivatisasi adalah:
Persero yang bergerak di sektor tertentu yang oleh pemerintah diberikan tugas khusus untuk melaksanakan kegiatan tertentu yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat;
Persero yang bergerak di bidang usaha sumber daya alam yang secara tegas berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dilarang untuk diprivatisasi. __ 2. Bahwa Pemohon menguraikan kedudukan hukumnya sebagai federasi serikat pekerja, yaitu Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) yang telah tercatat di Suku Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Administrasi Jakarta Pusat dengan Bukti Pencatatan Nomor 260/I/N/IV/2003 tertanggal 9 April 2003 (vide bukti P-1). Sebagai sebuah badan hukum, Pemohon diwakili oleh Arie Gumilar selaku Presiden FSPPB berdasarkan Surat Keputusan Musyawarah Nasional Nomor Kpts-06MUNAS-VI/FSPPB/2018. Secara hukum, berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat (3) Anggaran Dasar FSPPB (vide bukti P-2), Presiden FSPPB memiliki kewenangan mewakili organisasi dalam beracara di Pengadilan. Pemohon merupakan perwakilan dari Lembaga atau Badan atau Organisasi yang mempunyai kepedulian perlindungan terhadap para Pekerja PT Pertamina (Persero) yang tergabung dalam berbagai serikat pekerja di PT Pertamima dan oleh karenanya bertindak untuk kepentingan pekerja PT Pertamina (Persero).
Bahwa bentuk dari Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu dalam Pasal 3 Anggaran FSPPB Perubahan ke 6 tanggal 16 Januari 2015 disebutkan: “FSPBB berbentuk FEDERASI yang menghimpun dan terbuka bagi serikat pekerja-serikat pekerja di lingkungan PERTAMINA termasuk Anak Perusahaan yang memenuhi syarat-syarat dan ketentuan yang diatur dalam Anggaran Rumah Tangga . 4. Bahwa tugas dan peranan Pemohon dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan penegakan hak-hak pekerja sangat jelas dapat dilihat dalam tugas pendirian FSPPB sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Anggaran Dasar Pendirian FSPPB Perubahan ke-6 tertanggal 16 Januari 2015, yaitu:
Untuk memperjuangkan, melindungi, membela hak dan kepentingan anggota beserta keluarganya; 227 2) Meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan pekerja beserta keluarganya; dan
Menjaga kelangsungan Bisnis dan eksistensi perusahaan.
Memperjuangkan kedaulatan Energi Nasional.
Bahwa menurut Pemohon Pasal 77 huruf c dan huruf d UU 19/2003 yang hanya mengatur secara tegas mengenai larangan Perusahaan Persero untuk diprivatisasi yaitu Perusahaan Persero yang bidang usahanya disebutkan dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d UU 19/2003 menimbulkan kerugian karena faktanya Anak Perusahaan dari Perusahaan Persero tersebut hanya berbentuk Perseroan Terbatas biasa, sehingga tidak terikat pada ketentuan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU 19/2003. Hal tersebut membuka peluang dapat diprivatisasinya anak perusahaan dari Perusahaan Persero tersebut, padahal anak perusahaan tersebut memiliki kegiatan di bidang usaha yang berkaitan dengan bidang usaha induk perusahaannya;
Bahwa PT Pertamina (Persero) merupakan Perusahaan Persero sebagaimana dimaksud dalam UU 19/2003. Berdasarkan RUPS tanggal 24 November 2016 tentang Perubahan Anggaran Dasar Perusahaan Perseroan (Persero) PT Pertamina, pada akta Nomor 27 tanggal 19 Desember 2016 dinyatakan, PT Pertamina (Persero) memiliki kegiatan usaha di bidang penyelenggaraan usaha energi, yaitu minyak dan gas bumi, energi baru dan terbarukan, serta kegiatan lain yang terkait atau menunjang kegiatan usaha di bidang energi, serta pengembangan optimalisasi sumber daya yang dimiliki perusahaan. Oleh karenanya PT Pertamina (Persero) termasuk dalam Perusahaan Persero yang dilarang untuk diprivatisasi berdasarkan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU 19/2003;
Bahwa akibat tidak diaturnya anak perusahaan persero/perusahaan milik Persero dalam ketentuan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU 19/2003 menyebabkan celah hukum dan ketidakpastian hukum untuk dilakukannya privatisasi/pelepasan seluruh saham ke pihak perorangan/swasta terhadap Perusahaan Milik Persero/Anak Perusahaan Persero yang bergerak di bidang usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d UU 19/2003 sehingga Pemohon dirugikan hak konstitusionalnya yaitu:
Negara berpotensi kehilangan hak menguasai cabang-cabang produksi penting bagi negara, menguasai hajat hidup orang banyak dan sumber daya 228 alam minyak dan gas sebagaimana diamanatkan Pasal 33 ayat (2) UUD 1945. Kedaulatan energi nasional menjadi terancam yang potensial berdampak pada hak konstitusional Pemohon yang harus diperjuangkan oleh Pemohon sebagaimana telah di atur dalam Anggaran Dasar FSPPB;
Sumber daya alam potensial tidak ditujukan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 karena negara kehilangan hak menguasai sumber daya alam akibat diperbolehkannya pelepasan seluruh saham kepada pihak swasta/perorangan anak perusahaan BUMN;
Menjadi ancaman terhadap kelangsungan bisnis dan eksistensi dari PT Pertamina (Persero) maupun anak-anak perusahaannya jika terjadi privatisasi dan/atau pelepasan seluruh saham anak-anak perusahaan ke pihak perorangan/swasta;
Para pekerja pada anak-anak perusahaan PT Pertamina potensial kehilangan statusnya sebagai pekerja BUMN dan menjadi pekerja swasta biasa akibat pelepasan seluruh saham anak perusahan PT Pertamina (Persero) kepada pihak swasta/perorangan;
Kualitas hidup dan kesejahteraan para pekerja pada Perusahaan Grup PT Pertamina (Persero) beserta keluarganya akan tidak terjamin apabila anak- anak perusahaannya tidak dikontrol dengan baik oleh negara;
Berpotensi dilakukannya Pemutusan Hubungan Kerja terhadap para pekerja anak-anak perusahaan Pertamina akibat pelepasan seluruh saham/sebagian besar saham anak-anak perusahaan Pertamina kepada Pihak Swasta/Perorangan. Potensi kerugian yang disebutkan di atas, menurut Pemohon menjadi tugas dan tanggung jawab Pemohon untuk memperjuangkan, melindungi, membela hak dan kepentingan anggota dan atau pekerja, meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan pekerja beserta keluarganya, menjaga kelangsungan bisnis dan eksistensi Perusahaan dan memperjuangkan kedaulatan Energi Nasional sebagaimana dinyatakan dalam Anggaran Dasar FSPPB. Sehingga, Pemohon sangat berkepentingan untuk mengajukan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi sebagai akibat dari adanya ketidakpastian hukum dalam ketentuan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU 19/2003. Selama ini Pemohon juga telah memperjuangkan kepentingan hukumnya sebagaimana 229 dinyatakan dalam AD/ART baik melalui gugatan Pengadilan Hubungan Industrial maupun judicial review Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi ke Mahkamah Konstitusi; Bahwa berdasarkan seluruh uraian Pemohon dalam menjelaskan kedudukan hukumnya sebagaimana diuraikan di atas, menurut Mahkamah, dalam kualifikasinya sebagai badan hukum, sesuai dengan Pasal 3 Anggaran Dasar FSPPB menghimpun beberapa serikat pekerja, bukan hanya yang berada di lingkungan PT Pertamina (Persero) namun juga serikat pekerja di lingkungan anak perusahaan PT Pertamina (Persero). Sebagai sebuah federasi, FSPPB merupakan wadah berhimpun yang terbuka bagi serikat pekerja-serikat pekerja di lingkungan Pertamina termasuk anak perusahaan. Bahwa FSPPB mewakili pekerja-pekerja yang terhimpun dalam serikat-serikat pekerja yang menggabungkan diri dalam FSPPB juga terlihat dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang dibuat antara PT Pertamina (Persero) dengan FSPPB periode 2019-2021 yang telah mendapatkan Keputusan dari Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor KEP.099/PHIJSK-PK/PKB/IV/2019. Dalam PKB 2019-2021 dengan tegas disebutkan bahwa FSPPB diwakili oleh Arie Gumilar selaku Presiden FSPPB yang selanjutnya disebut sebagai wakil pekerja. Di mana dalam Pasal 4 PKB 2019-2021 juga disebutkan bahwa keluhan pekerja dari setiap anggota Serikat Pekerja yang tergabung dalam FSPPB akan mendapat prioritas untuk segera ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dengan demikian, terlihat ada hubungan hukum antara FSPPB sebagai federasi yang menghimpun serikat pekerja dengan para pekerja yang tergabung dalam serikat-serikat pekerja dimaksud. Bahwa Pemohon diwakili oleh Presidennya Arie Gumilar, sebagaimana Pasal 18 ayat (3) Anggaran Dasar FSPPB yang menyatakan Presiden FSPPB memiliki kewenangan untuk mewakili organisasi dalam beracara di pengadilan. Arie Gumilar ditetapkan sebagai Presiden FSPPB berdasarkan Surat Keputusan Musyawarah Nasional Nomor 06/MUNAS-VI/FSPPB/2018 tentang Penetapan Presiden FSPPB periode 2018-2021 (vide bukti P-3). Bahwa selanjutnya oleh karena Pemohon telah dapat menerangkan adanya keterkaitan antara FSPPB sebagai federasi yang menghimpun serikat pekerja di lingkungan PT Pertamina (Persero) dan anak-anak perusahaannya, dalam 230 menjelaskan kewenangannya untuk memperjuangkan kepentingan pekerja yang berhimpun dalam serikat-serikat pekerja yang tergabung dalam FSPPB. Pemohon telah pula menguraikan potensi kerugian konstitusional yang akan dialami jika terjadi privatisasi anak perusahaan PT Pertamina (Persero) yang oleh Pasal 77 huruf c dan huruf d UU 19/2003 tidak dibatasi. Pemohon juga telah menerangkan hak-hak konstitusionalnya yang dianggap dirugikan oleh berlakunya norma undang-undang yang dimohonkan pengujian yaitu hak atas jaminan kedaulatan energi dan penguasaan sumber daya alam sehingga Pemohon yang mewakili pekerja di lingkungan PT Pertamina (Persero) termasuk anak perusahaannya dapat pula terjamin kelangsungan hidupnya. Potensi kerugian yang Pemohon anggap akan terjadi berkaitan erat dengan aturan privatisasi anak perusahaan PT Pertamina (Persero) yang tidak diatur dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d UU 19/2003. Bahwa selain yang dikemukakan di atas, apabila dikaitkan dengan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh (UU 21/2000), Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh bertujuan memberikan perlindungan, pembelaan hak dan kepentingan, serta meningkatkan kesejahteraan yang layak bagi pekerja/serikat dan keluarganya. Selanjutnya, dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b UU 21/2000 disebutkan bahwa salah satu fungsi serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh adalah sebagai wakil pekerja/buruh dalam lembaga kerja sama di bidang ketenagakerjaan sesuai dengan tingkatannya. Kemudian, dalam Pasal 4 ayat (2) huruf d dan huruf f UU 21/2000 juga menyatakan fungsi lain dari organisasi dimaksud adalah sebagai penyalur aspirasi dalam memperjuangkan hak kepentingan anggotanya dan sekaligus sebagai wakil pekerja/buruh dalam memperjuangkan kepemilikan saham di perusahaan; Bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, terlepas dari terbukti atau tidaknya inkonstitusionalitas norma Pasal 77 huruf c dan huruf d UU 19/2003 yang dimohonkan pengujian, Pemohon telah mampu menguraikan kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya, atau setidak-tidaknya potensi kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK. Oleh karenanya, Mahkamah berpendapat Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo . 231 [3.6] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo dan Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon maka selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan. Pokok Permohonan [3.7] Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU 19/2003 bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 dengan argumentasi sebagaimana selengkapnya telah dimuat dalam bagian Duduk Perkara yang pada pokoknya sebagai berikut:
Bahwa menurut Pemohon, bisnis inti ( core business ) PT. Pertamina telah dilakukan secara terpisah/tidak terintegrasi oleh badan usaha yang berbeda yang tentunya ini adalah unbundling Pertamina. Dengan terpecahnya sistem integrasi Pertamina karena sektor intinya menjadi anak perusahaan maka berpotensi menyebabkan masalah-masalah yang akan timbul dari tidak terintegrasinya pengelolaan minyak dan gas bumi antara lain:
pelepasan seluruh atau sebagian besar saham anak-anak perusahaan BUMN/Persero yang mengelola cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak kepada pihak swasta/perorangan (Privatisasi). b. persaingan bisnis antar sektor usaha pada badan usaha yang berbeda;
Bahwa menurut Pemohon, pembentukan subholding anak perusahaan persero maupun unbundling menjadi celah hukum dan tidak adanya kepastian hukum untuk Anak-Anak Perusahaan Persero termasuk Anak- Anak Perusahaan PT Pertamina (Persero) untuk dilakukan privatisasi, karena dengan terbentuknya sub holding dan/atau unbundling maka terbukalah peluang dari Anak-Anak Perusahaan/Perusahaan milik Persero untuk melantai di bursa, sebagaimana yang telah terjadi dengan Perusahaan Gas Negara (PGN);
Bahwa menurut Pemohon, jika larangan privatisasi dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d UU 19/2003 hanya diberlakukan secara limitatif terhadap Persero dan tidak diberlakukan juga terhadap Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero akan menyebabkan Negara kehilangan “hak menguasai negara/HMN” dalam melakukan pengelolaan ( beheersdaad ) yang 232 menyebabkan pihak swasta dan/atau perorangan dapat menguasai dan/atau mengelola cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang sehingga bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) UUD 1945;
Bahwa menurut Pemohon, dibentuknya Perusahaan Grup BUMN/Holding BUMN dan/atau unbundling tidak menutup kemungkinan Anak Perusahaan Perseroan/Perusahaan milik Persero tersebut seluruh dan/atau sebagian besar sahamnya dapat dikuasai oleh swasta/perorangan akibat dari tindakan privatisasi Anak Perusahaan Perseroan. Sehingga PT Pertamina (Persero) cepat atau lambat akan berbagi kekuasaan dengan swasta dalam seluruh rantai usaha mereka;
Bahwa menurut Pemohon, seharusnya seluruh keuntungan-keuntungan yang diperoleh dari Anak Perusahaan/Perusahaan milik PT Pertamina (Persero) dari hasil mengelola cabang-cabang produksi yang penting dan sumber daya alam Negara diberikan seluruhnya kepada Negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, namun akibat adanya potensi dilakukannya privatisasi terhadap Anak Perusahaan/Perusahaan milik PT Persero maka keuntungan dari Anak Perusahaan/Perusahaan milik PT Persero menjadi tidak sepenuhnya diberikan kepada Negara tetapi diberikan juga untuk pihak swasta/perorangan yang memiliki saham pada Anak Perusahaan/Perusahaan milik PT Pertamina (Persero);
Bahwa menurut Pemohon, dengan demikian ketentuan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU 19/2003 yang hanya diberlakukan secara limitatif terhadap Persero dan tidak diberlakukan juga terhadap Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero, akan menyebabkan Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya bukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, sehingga bertentangan dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945;
Bahwa berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, Pemohon memohon kepada Mahkamah agar menyatakan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU 19/2003 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang larangan privatisasi dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d UU 19/2003 hanya diberlakukan secara limitatif terhadap Persero dan tidak 233 diberlakukan juga terhadap __ Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero. [3.8] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalil permohonannya, para Pemohon telah mengajukan bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-39 (sebagaimana selengkapnya termuat pada bagian Duduk Perkara), serta mengajukan dua orang ahli bernama Prof. Dr. Juajir Sumardi, S.H., M.H., dan Dr. Kurtubi, S.E., M.Sp., M.Sc., yang masing-masing didengarkan keterangannya dalam persidangan Mahkamah tanggal 23 November 2020 dan 14 Desember 2020, serta saksi bernama drg. Ugan Gandar yang didengarkan keterangannya dalam persidangan Mahkamah tanggal 22 April 2021. Pemohon juga menyampaikan keterangan tertulis ahli Gunawan dan Dr. Marwan Batubara yang dijadikan bukti (bukti P-38 dan bukti P-39) dan keterangan tertulis saksi Ir. Faisal Yusra S.H., M.M., QIA., CFrA [selengkapnya telah termuat dalam bagian Duduk Perkara]. [3.9] Menimbang bahwa Dewan Perwakilan Rakyat telah menyampaikan keterangan bertanggal 8 Juni 2021 yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 10 Juni 2021 yang pada pokoknya menerangkan bahwa Pasal 77 huruf c dan huruf d tidak bertentangan dengan UUD 1945 karena privatisasi tidak dilarang sepanjang berkesesuaian dengan peraturan perundang-undangan yang mengaturnya; [3.10] Menimbang bahwa Presiden telah memberikan keterangan dalam persidangan tanggal 14 Oktober 2020 yang dilengkapi dengan keterangan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 12 Oktober 2020, serta tambahan keterangan tertulis bertanggal 10 Desember 2020 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 11 Desember 2020 yang pada pokoknya berpendapat Pemohon dalam permohonan ini tidak memenuhi kualifikasi sebagai pihak yang memiliki kedudukan hukum. Penjualan saham anak perusahaan kepada pihak lain bukan merupakan privatisasi, karena yang dijual adalah saham anak perusahaan, bukan saham Persero. Pelaksanaan Penguasaan Negara Tidak Dilakukan oleh Anak Perusahaan BUMN/Persero. Terhadap anak perusahaan BUMN/Persero dapat dilakukan penjualan saham. Untuk mendukung keterangannya Presiden mengajukan tiga orang ahli bernama Prof. Dr. Nindyo Pramono, S.H., M.S., 234 Dr. Bayu Dwi Anggono, S.H., M.H., dan Dr. Oce Madril S.H., M.A., yang keterangannya didengar dalam persidangan Mahkamah tanggal 24 Mei 2021 [selengkapnya telah termuat pada bagian Duduk Perkara]; [3.11] Menimbang bahwa PT Pertamina (Persero) mengajukan permohonan sebagai Pihak Terkait dan ditetapkan oleh Mahkamah sebagai Pihak Terkait, selanjutnya memberikan keterangan tertulis yang diterima Kepaniteraan Mahkamah tanggal 8 September 2020, yang diperbaiki dan perbaikan keterangannya diterima Kepaniteraan Mahkamah tanggal 8 November 2020. Keterangan dimaksud kemudian dibacakan dalam persidangan tanggal 9 November 2020, yang pada pokoknya menerangkan bahwa Pasal 77 huruf c dan huruf d UU 19/2003 tidak bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 karena tidak mereduksi penguasaan negara dalam bentuk pengelolaan ( beheersdaad ) atas cabang-cabang produksi penting yang menguasai hajat hidup orang banyak. Untuk mendukung keterangannya, Pihak Terkait PT Pertamina (Persero) mengajukan bukti PT-1 sampai dengan PT-2, dan seorang ahli bernama Dr. Tri Hayati S.H., M.H., yang keterangannya didengarkan dalam persidangan Mahkamah tanggal 7 Juni 2021 [selengkapnya telah termuat pada bagian Duduk Perkara]; [3.12] Menimbang bahwa setelah membaca dan memeriksa secara saksama dalil-dalil Pemohon, inti permohonan a quo sesungguhnya bertumpu pada persoalan: benarkah jika larangan privatisasi dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d UU 19/2003 hanya diberlakukan secara limitatif terhadap Persero dan tidak diberlakukan juga terhadap Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero akan menyebabkan negara kehilangan “hak menguasai negara”. Dalam hal ini, ketiadaan larangan tersebut menyebabkan negara menjadi kehilangan hak menguasai dan/atau mengelola cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak sehingga bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945. Terhadap dalil pokok/inti permohonan Pemohon tersebut, Mahkamah terlebih dahulu mengemukakan hal-hal sebagai berikut: Bahwa Mahkamah telah memutus dalam putusan-putusan sebelumnya terkait dengan sumber daya alam, yaitu dalam Pengujian UU Ketenagalistrikan, UU Mineral dan Batubara, UU tentang Minyak dan Gas Bumi, UU Pengelolaan Wilayah 235 Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan UU tentang Sumber Daya Air. Kesemua pengujian tersebut telah menafsirkan frasa “cabang-cabang produksi yang penting bagi negara”, frasa “dikuasai negara”, dan frasa “sebesar-besar kemakmuran rakyat” sebagaimana termuat dalam Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara” dan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan ”bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunaakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”, yang mana oleh Pemohon dijadikan dasar pengujian dalam permohonannya. Selanjutnya, dalam mempertimbangkan permohonan a quo Mahkamah perlu mencermati kembali putusan Mahkamah sebelumnya yang terkait dengan isu konstitusional dalam permohonan Pemohon a quo .
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan, bertanggal 15 Desember 2004. Dalam putusan a quo , Mahkamah memberi makna pada frasa “cabang-cabang produksi yang penting bagi negara”, yaitu: “Yang harus dikuasai oleh negara adalah cabang-cabang produksi yang dinilai penting bagi negara dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak, yaitu: (i) cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, (ii) penting bagi negara tetapi tidak menguasai hajat hidup orang banyak, atau (iii) tidak penting bagi negara tetapi menguasai hajat hidup orang banyak. Ketiganya harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Namun, terpulang kepada Pemerintah bersama lembaga perwakilan rakyat untuk menilainya apa dan kapan suatu cabang produksi itu dinilai penting bagi negara dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak. Cabang produksi yang pada suatu waktu penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, pada waktu yang lain dapat berubah menjadi tidak penting lagi bagi negara dan tidak lagi menguasai hajat hidup orang banyak…; Bahwa dalam Putusan ini, Mahkamah membuat 3 (tiga) kategorisasi cabang produksi” yang harus dikuasai oleh negara, yaitu, pertama , cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak. Kedua , cabang produksi yang penting bagi negara tetapi tidak menguasai hajat hidup orang banyak. Ketiga , cabang produksi yang tidak penting bagi negara tetapi menguasai hajat hidup orang banyak. Ketiga kategorisasi cabang produksi inilah yang kesemuanya harus dikuasai oleh negara. Akan tetapi, Mahkamah menyerahkan kepada pemerintah bersama lembaga perwakilan 236 rakyat untuk menilai manakah cabang produksi yang masuk ke dalam 3 (tiga) kategorisasi cabang produksi yang penting bagi negara sehingga harus semuanya dikuasai oleh negara. Cabang produksi yang pada suatu waktu penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, pada waktu yang lain dapat berubah menjadi tidak penting bagi negara dan tidak menguasai hajat hidup orang banyak. Ketiga kategorisasi cabang produksi inilah yang kesemuanya harus dikuasai oleh negara. Sementara itu frasa “dikuasai oleh negara” memiliki makna sebagai berikut: “…perkataan “dikuasai oleh negara” haruslah diartikan mencakup makna penguasaan oleh negara dalam arti luas yang bersumber dan berasal dari konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan “ bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya ”, termasuk pula di dalamnya pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud. Rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan ( bestuursdaad ), pengaturan ( regelendaad ), pengelolaan ( beheersdaad ) dan pengawasan ( toezichthoudensdaad ) untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Fungsi pengurusan ( bestuursdaad ) oleh negara dilakukan oleh pemerintah dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas perizinan (vergunning) , lisensi (licentie) , dan konsesi (concessie) . Fungsi pengaturan oleh negara ( regelendaad ) dilakukan melalui kewenangan legislasi oleh DPR bersama dengan Pemerintah, dan regulasi oleh Pemerintah (eksekutif) . Fungsi pengelolaan ( beheersdaad ) dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham ( share-holding ) dan/atau melalui keterlibatan langsung dalam manajemen Badan Usaha Milik Negara atau Badan Hukum Milik Negara sebagai instrumen kelembagaan melalui mana negara c.q. Pemerintah mendayagunakan penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan itu untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Demikian pula fungsi pengawasan oleh negara ( toezichthoudensdaad ) dilakukan oleh negara c.q. Pemerintah dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan oleh negara atas cabang produksi yang penting dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak dimaksud benar-benar dilakukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat 2. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 002/PUU-I/2003 mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, bertanggal 21 Desember 2004. Dalam putusan a quo terkait pengujian Undang- Undang Migas, Mahkamah kembali menafsirkan frasa “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara” dan frasa “dikuasai oleh negara”. Namun, karakteristik pengelolaan ketenagalistrikan berbeda dengan pengelolaan minyak dan gas 237 bumi seperti yang dikemukakan di atas. Menurut Mahkamah, pengelolaan minyak dan gas bumi sebagai berikut: “…jikalau cabang produksi minyak dan gas bumi, yang adalah juga kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi Indonesia sebagaimana dimaksud oleh Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, oleh Pemerintah dan DPR dinilai telah tidak lagi penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak, maka dapat saja cabang-cabang produksi minyak dan gas bumi itu diserahkan pengaturan, pengurusan, pengelolaan, dan pengawasannya kepada pasar. Namun, jikalau cabang-cabang produksi dimaksud oleh Pemerintah dan DPR dinilai masih penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak, maka Negara, c.q. Pemerintah, tetap diharuskan menguasai cabang produksi yang bersangkutan dengan cara mengatur, mengurus, mengelola, dan mengawasinya agar sungguh-sungguh dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Dalam putusan ini pula Mahkamah memaknai Pasal 33 ayat (4) UUD 1945, yakni: “…untuk menjamin prinsip efisiensi yang berkeadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan, “perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan dan kesatuan ekonomi nasional” , maka penguasaan dalam arti kepemilikan privat itu juga harus dipahami bersifat relatif, dalam arti tidak mutlak harus 100 persen, asalkan penguasaan oleh negara, c.q. Pemerintah, atas pengelolaan sumber-sumber kekayaan dimaksud tetap terpelihara sebagaimana mestinya. Meskipun Pemerintah hanya memiliki saham mayoritas relatif, asalkan tetap menentukan dalam proses pengambilan atas penentuan kebijakan badan usaha yang bersangkutan, maka divestasi ataupun privatisasi atas kepemilikan saham Pemerintah dalam badan usaha milik negara yang bersangkutan tidak dapat dianggap bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945. Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat, ketentuan Pasal 33 UUD 1945 tidaklah menolak privatisasi, asalkan privatisasi itu tidak meniadakan penguasaan Negara, c.q. Pemerintah, untuk menjadi penentu utama kebijakan usaha dalam cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau menguasai orang banyak. Pasal 33 UUD 1945 juga tidak menolak ide kompetisi di antara para pelaku usaha, asalkan kompetisi itu tidak meniadakan penguasaan oleh negara yang mencakup kekuasaan untuk mengatur ( regelendaad ), mengurus ( bestuursdaad ), mengelola ( beheersdaad ), dan mengawasi ( toezichthoudensdaad ) cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Dengan demikian, menjadi jelas bahwa dalam pengelolaan minyak dan gas bumi, Pasal 33 UUD 1945 tidak menolak ide privatisasi dan juga tidak 238 menolak ide kompetisi sepanjang tidak meniadakan penguasaan negara. Kepemilikan privat dalam badan usaha juga bersifat relatif dan negara c.q. pemerintah tidak harus memiliki saham 100%. Dengan perkataan lain, apabila pemerintah hanya memiliki saham mayoritas relatif, maka sepanjang tidak meniadakan penguasaan negara, c.q. Pemerintah untuk menjadi penentu utama kebijakan usaha dalam cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, hal demikian tidaklah bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VIII/2010 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, bertanggal 16 Juni 2011. Dalam Putusan a quo Mahkamah mempertimbangkan berdasarkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Dalam Putusan a quo , Mahkamah berpendapat penguasaan oleh negara atas bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, berarti bahwa negara berwenang dan diberi kebebasan untuk mengatur, membuat kebijakan, mengelola serta mengawasi pemanfaatan bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dengan ukuran konstitusional yaitu “untuk sebesar- besar kemakmuran rakyat”. Berdasarkan ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 a quo , kebebasan negara untuk mengatur dan membuat kebijakan atas bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dibatasi dengan prinsip “untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” dengan mempergunakan empat tolok ukur yaitu: (i) kemanfaatan sumber daya alam bagi rakyat, (ii) tingkat pemerataan manfaat sumber daya alam bagi rakyat, (iii) tingkat partisipasi rakyat dalam menentukan manfaat sumber daya alam, serta (iv) penghormatan terhadap hak rakyat secara turun temurun dalam memanfaatkan sumber daya alam. “Menurut Mahkamah untuk menghindari pengalihan tanggung jawab penguasaan negara atas pengelolaan perairan pesisir dan pulau-pulau kecil kepada pihak swasta, maka negara dapat memberikan hak pengelolaan tersebut melalui mekanisme perizinan. Pemberian izin kepada pihak swasta tersebut tidak dapat diartikan mengurangi wewenang negara untuk membuat kebijakan ( beleid ), melakukan pengaturan ( regelendaad ), melakukan pengurusan (bestuursdaad), melakukan pengelolaan ( beheersdaad ), dan melakukan pengawasan ( toezichthoudensdaad ) untuk tujuan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Di samping itu, negara tetap dimungkinkan menguasai dan mengawasi secara utuh seluruh pengelolaan wilayah perairan pesisir dan pulau- pulau kecil. Melalui mekanisme perizinan, pemberian hak pengelolaan kepada swasta tidak merupakan pemberian hak kebendaan yang 239 mengalihkan penguasaan negara secara penuh kepada swasta dalam kurun waktu tertentu.” 4. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-X/2012 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, bertanggal 13 November 2012. Dalam putusan a quo , Mahkamah memberikan makna yang lebih mendalam terkait Pasal 33 UUD 1945. Hal inilah yang membedakan putusan ini dengan putusan-putusan sebelumnya. Dalam putusan ini Mahkamah memaknai frasa “dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” __ sebagaimana termaktub dalam Pasal 33 UUD 1945. Mahkamah berpendapat sebagai berikut: “...dengan adanya anak kalimat “dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” maka sebesar-besar kemakmuran rakyat itulah yang menjadi ukuran bagi negara dalam menentukan tindakan pengurusan, pengaturan, atau pengelolaan atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya...” ( vide paragraf [3.15.4] hal. 158 putusan Mahkamah Nomor 3/PUU-VIII/2010). Apabila penguasaan negara tidak dikaitkan secara langsung dan satu kesatuan dengan sebesar-besar kemakmuran rakyat maka dapat memberikan makna konstitusional yang tidak tepat . Artinya, negara sangat mungkin melakukan penguasaan terhadap sumber daya alam secara penuh tetapi tidak memberikan manfaat sebesar-besar kemakmuran rakyat. Di satu sisi negara dapat menunjukkan kedaulatan pada sumber daya alam, namun di sisi lain rakyat tidak serta merta mendapatkan sebesar-besar kemakmuran atas sumber daya alam. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, kriteria konstitusional untuk mengukur makna konstitusional dari penguasaan negara justru terdapat pada frasa “ untuk sebesar- besar kemakmuran rakyat ”; Berdasarkan pertimbangan di atas, maka frasa “dikuasai negara” tidak dapat dipisahkan dari frasa “untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”, sehingga kedua hal ini merupakan satu kesatuan yang utuh . Karena boleh jadi negara menguasai sumber daya alam, dalam hal ini minyak dan gas bumi, tetapi tidak mendatangkan manfaat untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat sebab negara mengalami keterbatasan dalam mengelolanya. Oleh karena itu, hak menguasai negara harus mempertimbangkan betul makna dan tujuan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dalam putusan ini pula Mahkamah memaknai peringkat hak menguasai negara. Peringkat pertama adalah negara melakukan penguasaan secara langsung atas sumber daya alam. Kedua, negara membuat kebijakan dan pengurusan, ketiga , negara melakukan fungsi pengaturan dan pengawasan. Berikut pendapat Mahkamah selengkapnya. 240 “Menurut Mahkamah, bentuk penguasaan negara peringkat pertama dan yang paling penting adalah negara melakukan pengelolaan secara langsung atas sumber daya alam, dalam hal ini Migas, sehingga negara mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari pengelolaan sumber daya alam. Penguasaan negara pada peringkat kedua adalah negara membuat kebijakan dan pengurusan, dan fungsi negara dalam peringkat ketiga adalah fungsi pengaturan dan pengawasan. Sepanjang negara memiliki kemampuan baik modal, teknologi, dan manajemen dalam mengelola sumber daya alam maka negara harus memilih untuk melakukan pengelolaan secara langsung atas sumber daya alam. Dengan pengelolaan secara langsung, dipastikan seluruh hasil dan keuntungan yang diperoleh akan masuk menjadi keuntungan negara yang secara tidak langsung akan membawa manfaat lebih besar bagi rakyat. Pengelolaan langsung yang dimaksud di sini, baik dalam bentuk pengelolaan langsung oleh negara (organ negara) melalui Badan Usaha Milik Negara. Pada sisi lain, jika negara menyerahkan pengelolaan sumber daya alam untuk dikelola oleh perusahaan swasta atau badan hukum lain di luar negara, keuntungan bagi negara akan terbagi sehingga manfaat bagi rakyat juga akan berkurang. Pengelolaan secara langsung inilah yang menjadi maksud dari Pasal 33 UUD 1945 seperti diungkapkan oleh Muhammad Hatta salah satu founding leaders Indonesia yang mengemukakan, “... Cita-cita yang tertanam dalam Pasal 33 UUD 1945 ialah produksi yang besar-besar sedapat-dapatnya dilaksanakan oleh Pemerintah dengan bantuan kapital pinjaman dari luar. Apabila siasat ini tidak berhasil, perlu juga diberi kesempatan kepada pengusaha asing menanam modalnya di Indonesia dengan syarat yang ditentukan Pemerintah... Apabila tenaga nasional dan kapital nasional tidak mencukupi, kita pinjam tenaga asing dan kapital asing untuk melancarkan produksi. Apabila bangsa asing tidak bersedia meminjamkan kapitalnya, maka diberi kesempatan kepada mereka untuk menanam modalnya di Tanah Air kita dengan syarat-syarat yang ditentukan oleh Pemerintah Indonesia sendiri. Syarat-syarat yang ditentukan itu terutama menjamin kekayaan alam kita, seperti hutan kita dan kesuburan tanah, harus tetap terpelihara. Bahwa dalam pembangunan negara dan masyarakat bagian pekerja dan kapital nasional makin lama makin besar, bantuan tenaga dan kapital asing, sesudah sampai pada satu tingkat makin lama makin berkurang”... (Mohammad Hatta, Bung Hatta Menjawab, hal. 202 s.d. 203, PT. Toko Gunung Agung Tbk. Jakarta 2002). Dalam pendapat Muhammad Hatta tersebut tersirat bahwa pemberian kesempatan kepada asing karena kondisi negara/pemerintah belum mampu dan hal tersebut bersifat sementara. Idealnya, negara yang sepenuhnya mengelola sumber daya alam;
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, bertanggal 18 Februari 2015. Dalam putusan a quo , Mahkamah menyatakan pengelolaan atas sumber daya air berdasarkan sifat dan karakteristik yang khas, karena terdapat sisi hak asasi atas air (right to water) yang sangat mendasar dalam pengelolaan sumber daya air. Oleh karena itu, perlu ada pembatasan yang ketat untuk 241 menjaga kelestarian dan keberlanjutan ketersediaan air bagi kehidupan bangsa. Pendapat Mahkamah dalam Putusan a quo pada pokoknya sebagai berikut: “…air adalah salah satu unsur yang sangat penting dan mendasar dalam hidup dan kehidupan manusia atau menguasai hajat hidup orang banyak. Sebagai salah satu unsur penting dalam kehidupan manusia yang menguasai hajat hidup orang banyak, air haruslah dikuasai oleh negara [vide Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945]. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka dalam pengusahaan air harus ada pembatasan yang sangat ketat sebagai upaya untuk menjaga kelestarian dan keberlanjutan ketersediaan air bagi kehidupan bangsa [vide Pasal 33 ayat (4) UUD 1945]; [3.19] Menimbang bahwa pembatasan pertama adalah setiap pengusahaan atas air tidak boleh mengganggu, mengesampingkan, apalagi meniadakan hak rakyat atas air karena bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya selain harus dikuasai oleh negara, juga peruntukannya adalah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat; [3.20] Menimbang sebagai pembatasan kedua adalah bahwa negara harus memenuhi hak rakyat atas air. Sebagaimana dipertimbangkan di atas, akses terhadap air adalah salah satu hak asasi tersendiri maka Pasal 28I ayat (4) menentukan, “ Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. ” [3.21] Menimbang bahwa sebagai pembatasan ketiga , harus mengingat kelestarian lingkungan hidup, sebab sebagai salah satu hak asasi manusia, Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 menentukan, “ Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. ” [3.22] Menimbang bahwa pembatasan keempat adalah bahwa sebagai cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak yang harus dikuasai oleh negara [vide Pasal 33 ayat (2) UUD 1945] dan air yang menurut Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat maka pengawasan dan pengendalian oleh negara atas air sifatnya mutlak; [3.23] Menimbang bahwa pembatasan kelima adalah sebagai kelanjutan hak menguasai oleh negara dan karena air merupakan sesuatu yang sangat menguasai hajat hidup orang banyak maka prioritas utama yang diberikan pengusahaan atas air adalah Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah; [3.24] Menimbang bahwa apabila setelah semua pembatasan tersebut di atas sudah terpenuhi dan ternyata masih ada ketersediaan air, Pemerintah masih dimungkinkan untuk memberikan izin kepada usaha swasta untuk melakukan pengusahaan atas air dengan syarat-syarat tertentu dan ketat; Kelima batasan pengelolaan SDA tersebut mengindikasikan pengelolaan SDA bersifat mutlak diselenggarakan oleh negara, sedangkan swasta hanya mendapatkan peran sisa (residu) tatkala pengusahaan atas air yang dilakukan 242 oleh BUMN/BUMD sebagai perusahaan prioritas yang diberi amanat untuk melakukan pengusahaan atas air oleh negara, tidak dapat melakukan fungsinya tersebut. Berdasarkan uraian di atas pertimbangan tentang pengelolaan sumber daya alam, sebagai implementasi atas prinsip hak dikuasai oleh negara sebagaimana diatur dalam Pasal 33 UUD 1945 dan dimaknai oleh Mahkamah sebagai kekuasaan untuk mengadakan kebijakan ( beleid ) dan tindakan pengurusan ( bestuursdaad ), pengaturan ( regelendaad ), pengelolaan ( beheersdaad ) dan pengawasan ( toezichthoudenaad ) untuk tujuan sebesar-besar kemakmuran rakyat antar-tiap jenis pengelolaan sumber daya alam memiliki karakteristik berbeda yang disesuaikan dengan sifat yang khas dari sumber daya alam dimaksud. Namun demikian, syarat absolut yang harus dipenuhi dan harus diperhatikan oleh negara dalam pengelolaan semua jenis sumber daya alam adalah pengelolaan harus dilakukan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dengan kata lain, frasa “untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” digunakan untuk menilai konstitusionalitas pengelolaan sumber daya alam yang dilakukan oleh negara apakah sudah dilakukan untuk tujuan sebesar-besar kemakmuran rakyat atau belum. Dalam menjelaskan perihal fungsi pengelolaan ( beheersdaad ), Mahkamah mempertimbangkan, “…dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham ( share- holding ) dan/atau melalui keterlibatan langsung dalam manajemen Badan Usaha Milik Negara atau Badan Hukum Milik Negara sebagai instrumen kelembagaan, melalui negara, cq . Pemerintah, mendayagunakan penguasaannya atas sumber- sumber kekayaan itu untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” [3.13] Menimbang bahwa terhadap dalil inti permohonan a quo sesungguhnya bertumpu pada persoalan jika larangan privatisasi dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d UU 19/2003 hanya diberlakukan secara limitatif terhadap Persero dan tidak diberlakukan juga terhadap Perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero menyebabkan negara kehilangan hak menguasai negara, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: Bahwa Pemohon memberikan gambaran perihal stuktur perusahaaan PT Pertamina dan sub holding/holding company/ anak perusahaan yang dikembangkan dalam rangka peningkatan pendapatan perusahaan serta adanya dorongan dari Menteri BUMN untuk menyegerakan anak perusahaan BUMN melakukan initial 243 public offering (IPO) sebagai salah satu bentuk privatisasi, merupakan penjualan saham persero, baik sebagian maupun seluruhnya kepada pihak lain dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat, serta memperluas pemilikan saham oleh masyarakat. Dalam hal ini, sebagaimana telah berkali-kali ditegaskan Mahkamah, ketentuan Pasal 33 UUD 1945 tidaklah menolak privatisasi, asalkan privatisasi itu tidak meniadakan penguasaan negara, c.q. Pemerintah, untuk menjadi penentu utama kebijakan usaha dalam cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak. Dengan demikian, privatitasi tidak perlu dikhawatirkan sepanjang bertahan dengan prinsip “tidak menyebabkan hilangnya penguasaan negara, c.q. Pemerintah, untuk menjadi penentu utama kebijakan usaha dalam cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak. Terlebih lagi, anak perusahaan yang berada di bawah persero yang dikelola BUMN akan tetap berada di “bawah kendali” persero BUMN yang terikat dengan prinsip “privatisasi tidak meniadakan penguasaan negara”, salah satunya dengan cara pengaturan penjualan saham yang tetap dapat mempertahankan prinsip penguasaan oleh negara. Bahwa jikalau diletakkan dalam konteks permohonan a quo , privatisasi dapat dimaknai, BUMN merupakan badan usaha yang modalnya sebagian besar adalah berasal dari keuangan negara. Dalam hal BUMN melakukan privatisasi, modal yang berasal dari perusahaan induk untuk membentuk anak perusahaan tidaklah serta-merta dapat dianggap sebagai keuangan negara karena berasal dari portofolio keuangan yang terpisah. Dengan demikian, anak perusahaan yang dibentuk oleh perusahaan BUMN tidak dapat dikatakan sebagai BUMN karena modalnya tidak berasal dari keuangan negara namun dari keuangan perusahaan induk yang pengelolaannya terpisah dari keuangan negara yang ditempatkan pada BUMN perusahaan induk. Bahwa berkenaan dengan anak perusahaan BUMN yang sejatinya bukanlah BUMN, tanpa dilakukan privatisasi pun dengan sendirinya bentuk usahanya yang dikelola menggunakan prinsip business judgement rules. Terhadap anak perusahaan BUMN yang jenis usahanya strategis, privatisasi tidak dilarang namun perlu dikendalikan dan dilakukan pengawasan/kontrol dari negara. Bentuk pengendalian oleh negara dapat dilaksanakan di antaranya dengan tidak membuka peluang untuk penjualan saham secara keseluruhan kepada publik dalam IPO . 244 Fungsi kontrol tetap dapat dilakukan dengan adanya kepemilikan saham mayoritas dari perusahaan induk (BUMN) dapat menjaga agar tetap dimilikinya voting control (kontrol atas suara terbanyak karena kepemilikan saham mayoritas) dalam menghasilkan keputusan-keputusan dan kebijakan terkait pengelolaan perusahaan. Hal ini dapat menjadi perwujudan peran negara dalam melaksanakan pengawasan pengelolaan BUMN. Bahwa menurut Mahkamah kekhawatiran Pemohon dengan adanya privatisasi anak perusahaan menyebabkan norma Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang berorientasi untuk tercapainya sebesar-besar kemakmuran rakyat akan hilang atau berkurang karena dikaitkan dengan holding . Dalam hal ada “ holdingisasi ” di antara BUMN dan anak perusahaan BUMN, maka hal ini tidak dapat dikatakan antara induk dengan anak atau antara anak dengan anak perusahaan menjadi terpisah-pisah dan bahkan saling bersaing dalam menjalankan kegiatan bisnis. Sekalipun misalnya kemudian sebagian saham pada anak perusahaan dialihkan ke pihak swasta sehingga saham pada BUMN induk menjadi berkurang, tetapi negara selalu bisa menggunakan hak kepemilikan saham yang disebut sebagai golden share . Adapun golden share ini dapat menentukan bahwa negara atau induk perusahaan BUMN mempunyai hak veto untuk tujuan mengamankan posisi negara dalam mengendalikan anak perusahaan BUMN agar tidak menyimpang dari tujuan usaha demi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Di sisi lain, dalam hukum perseroan, privatisasi sebenarnya hal yang tidak dapat dihindarkan akan terjadi dalam kinerja perseroan untuk tujuan peningkatan kinerja, nilai perusahaan, dan efisiensi yang pada praktiknya telah banyak dijalankan. Bahwa kebijakan politik hukum pemerintah yang saat ini dilakukan, meskipun nantinya akan ada saham swasta dalam anak perusahaan BUMN, anak perusahaan BUMN tersebut masih dalam penguasaan negara untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Tanpa bermaksud menilai legalitas peraturan pelaksana, prinsip tersebut telah diimplementasikan dalam ketentuan Pasal 2A ayat (2) dan ayat (7) Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016, yang pada pokoknya menyatakan bahwa negara wajib memiliki saham dengan hak istimewa (saham dwiwarna/ golden share ) dalam anak perusahaan BUMN dan anak perusahaan BUMN tersebut tetap 245 diperlakukan sama dengan BUMN agar mendapatkan penugasan pemerintah atau melaksanakan pelayanan umum. [3.14] Menimbang bahwa kekhawatiran lain Pemohon mengenai ketidakpastian hukum atau ketidakjelasan status karyawan dari perusahaan dan anak perusahaan BUMN yang melakukan privatisasi tentunya menjadi sesuatu yang harus mendapat perhatian. Namun demikian, sebagai salah satu aset penting yang dimiliki perusahaan, meskipun privatisasi salah satunya bertujuan untuk melakukan efisiensi, sedapat mungkin tidak sampai menimbulkan keresahan bagi karyawan. Oleh karena itu, dalam melaksanakan privatisasi sejauh mungkin perlu diupayakan agar tidak terjadi pemutusan hubungan kerja (vide Penjelasan Pasal 74 UU 19/2003). Apabila dalam penggabungan, peleburan, pengambilalihan, dan pembubaran BUMN harus terjadi PHK maka hal itu merupakan upaya terakhir, dan harus diselesaikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan; Bahwa hal tersebut sejalan dengan pertimbangan Mahkamah Konstitusi sebelumnya, dalam hal ini berkaitan dengan PHK yang diatur dalam Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Mahkamah telah menegaskan pendiriannya dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PUU- IX/2011, bertanggal 20 Juni 2012 bahwa PHK merupakan pilihan terakhir sebagai upaya untuk melakukan efisiensi perusahaan setelah sebelumnya dilakukan upaya lain dalam rangka efisiensi tersebut. Selain itu Mahkamah dalam putusan a quo juga menegaskan bahwa pada hakikatnya tenaga kerja harus dipandang sebagai salah satu aset perusahaan, maka efisiensi saja tanpa penutupan perusahaan tidak dapat dijadikan alasan untuk melakukan PHK. Bahwa mengenai status karyawan BUMN, Pasal 87 ayat (1) UU 19/2003 telah menentukan bahwa karyawan BUMN merupakan pekerja BUMN yang pengangkatan, pemberhentian, kedudukan, hak dan kewajibannya ditetapkan berdasarkan perjanjian kerja bersama sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan. Dengan demikian, hal ini berkaitan erat dengan perjanjian kerja bersama. Perjanjian kerja bersama dimaksud dibuat antara pekerja dengan pemberi kerja yaitu manajemen BUMN. Oleh karenanya dalam penyusunan perjanjian kerja prinsip-prinsip hubungan kerja yang 246 saling menguntungkan antara pemberi kerja dengan pekerja harus menjadi perhatian utama, sehingga dapat memberikan kepastian hukum bagi semua pihak. Demikian juga dengan status karyawan anak perusahaan BUMN yang diprivatisasi, seperti halnya karyawan BUMN keduanya sama-sama tunduk pada aturan yang ditentukan dalam UU 13/2003. [3.15] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, ketiadaan larangan untuk melakukan privatisasi perusahaan milik Persero/Anak Perusahaan Persero sebagaimana termaktub dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d UU 19/2003 tidaklah menyebabkan negara kehilangan hak menguasai negara. Terlebih lagi, sejumlah peraturan perundang-undangan serta putusan Mahkamah telah memberi koridor hukum bahwa langkah tersebut dapat dilakukan sepanjang tidak meniadakan penguasaan negara untuk menjadi penentu utama dan pengendali kebijakan usaha dalam cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak. Artinya, sejauh dan sepanjang dilakukan dalam koridor dimaksud, norma dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d UU 19/2003 tidaklah bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945. Dengan demikian, permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum.
KONKLUSI Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan: [4.1] Mahkamah berwenang mengadili permohonan _a quo; _ [4.2] Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan _a quo; _ [4.3] Pokok permohonan tidak beralasan menurut hukum; Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 216, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6554) dan Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara 247 Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076);
AMAR PUTUSAN Mengadili: Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya.
PENDAPAT BERBEDA (DISSENTING OPINION) Terhadap putusan Mahkamah tersebut, terdapat seorang hakim konstitusi yang memiliki pendapat berbeda ( dissenting opinion), yaitu Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh, sebagai berikut: Dalam Perkara a quo mayoritas hakim memberikan alas kedudukan hukum bagi Pemohon untuk mengajukan permohonan pengujian Pasal 77 huruf c dan huruf d UU 19/2003. Terhadap hal tersebut, saya Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh memiliki pendapat yang berbeda ( dissenting opinion ) dengan pertimbangan sebagai berikut:
bahwa Pemohon adalah Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (selanjutnya disebut FSPPB), yang telah tercatat di Suku Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Administrasi Jakarta Pusat dengan Bukti Pencatatan Nomor 260/I/N/IV/2003 tertanggal 9 April 2003, yang dalam hal ini diwakili oleh Arie Gumilar selaku Presiden FSPPB berdasarkan Surat Keputusan Musyawarah Nasional Nomor Kpts-06/MUNAS-VI/FSPPB/2018. Presiden FSPBB memiliki kewenangan untuk mewakili Organisasi dalam beracara di Pengadilan berdasarkan Pasal 18 ayat (3) Anggaran Dasar FSPPB;
bahwa telah menjadi pendirian Mahkamah sejak awal bahwa organisasi non- pemerintah dapat diterima kedudukan hukumnya dalam pengujian konstitusionalitas undang-undang sepanjang maksud dan tujuan pendirian serta aktivitasnya berkait dengan substansi undang-undang yang dimohonkan pengujian dan diwakili oleh pihak yang menurut ketentuan internal organisasi yang bersangkutan diberikan hak untuk mewakili organisasi tersebut di dalam maupun di luar pengadilan (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU- 248 XVII/2019, hlm. 68-69). Lebih lanjut, Mahkamah juga berpendirian bahwa suatu organisasi yang telah berkali-kali diterima kedudukan hukumnya tidaklah serta- merta memeroleh kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian undang-undang karena setiap perkara memiliki karakteristik yang berbeda (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 75/PUU-XVII/2019, hlm. 28-29). Selain itu, Mahkamah juga pernah tidak memberikan kedudukan hukum bagi Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI) selaku organisasi para kepala daerah (bupati) sebagai Pemohon dalam pengujian Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Menurut Mahkamah, untuk mengajukan permohonan pengujian undang-undang yang mewakili kepentingan daerah di hadapan Mahkamah haruslah pemerintahan daerah yang terdiri atas bupati dan ketua DPRD (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XII/2014, hlm. 28-29). Dengan demikian, pemberian kedudukan hukum bagi Pemohon dalam permohonan pengujian undang-undang oleh Mahkamah bersifat kasuistis dan tidak dapat disamaratakan (generalisasi);
bahwa meskipun Mahkamah dalam putusan-putusan sebelumnya tidak membedakan secara trikotomis antara konfederasi, federasi, dan serikat pekerja/serikat buruh dalam memberikan kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan permohonan pengujian undang-undang yang berkaitan dengan ketenagakerjaan atau serikat pekerja/serikat buruh, namun fakta penjenjangan terhadap ketiga organisasi tersebut dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh (UU 21/2000), bukanlah tanpa alasan. Baik konfederasi serikat pekerja/serikat buruh, federasi serikat pekerja/serikat buruh, maupun serikat pekerja/serikat buruh merupakan tiga badan hukum yang berbeda dalam arti bahwa ketiganya memiliki pengurus, harta kekayaan, tujuan, legalitas pendirian, serta hak dan kewajiban masing- masing. Lagi pula, setiap serikat pekerja/serikat buruh bersifat otonom sebagaimana kata “berhak” dalam ketentuan Pasal 6 ayat (1) UU 21/2000 yang berbunyi “Serikat pekerja/serikat buruh berhak membentuk dan menjadi anggota federasi serikat pekerja/serikat buruh”. Kata “berhak” menunjukkan tidak ada kewajiban bagi organisasi serikat pekerja/serikat buruh dari setiap perusahaan untuk bergabung dengan federasi tertentu, selain itu sifat keanggotaan federasi pun tidak mengikat, di mana setiap serikat pekerja/serikat buruh yang menjadi anggota dari satu federasi serikat pekerja/serikat buruh 249 berhak mengundurkan diri ataupun pindah ke federasi lain. Di sisi lain, anggota dari federasi serikat pekerja/serikat buruh adalah badan hukum serikat pekerja/serikat buruh, bukan perorangan pekerja atau buruh, sehingga FSPPB tidak bisa mengklaim atas nama pekerja atau buruh dari serikat pekerja/serikat buruh Anak Perusahaan PT Pertamina (Persero) yang tidak menjadi anggota Federasi (FSPPB);
bahwa diferensiasi secara trikotomis antara konfederasi, federasi, dan serikat pekerja/serikat buruh seharusnya menjadi tolok ukur kerugian konstitusional yang menjadi pintu masuk atas pengujian norma undang-undang, yakni siapa atau pihak mana yang terkena dampak secara langsung atas keberlakuan norma a quo . Dalam hal ini, Mahkamah telah menegaskan mengenai 5 (lima) syarat kerugian konstitusional yang harus terpenuhi secara kumulatif sebagaimana yurisprudensi putusan-putusan Mahkamah Konstitusi (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007, dan putusan-putusan selanjutnya);
bahwa bentuk federasi dan konfederasi sesungguhnya dimaksudkan agar serikat pekerja/serikat buruh memiliki kekuatan dan dukungan yang lebih besar. Baik federasi maupun konfederasi sama-sama tidak memiliki akses langsung dengan pekerja/buruh. Adapun anggota dari federasi adalah serikat pekerja/serikat buruh (vide Pasal 6 ayat (2) UU 21/2000), sedangkan anggota dari konfederasi adalah federasi (vide Pasal 7 UU 21/2000). Sehingga jelas berbeda dengan organisasi serikat pekerja/serikat buruh yang anggotanya adalah pekerja atau buruh di perusahaannya. Dengan demikian, klaim dari FSPPB mengatasnamakan pekerja atau buruh pada anak perusahaan tidak sejalan dengan semangat UU 21/2000;
bahwa berkenaan dengan status anak perusahaan, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 01/PHPU.PRES-XVII/2019 (hlm. 1936) menyatakan:
... 2. bahwa modal atau saham Bank BNI Syariah dimiliki oleh PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk dan PT BNI Life Insurance (bukti PT-20). Adapun komposisi pemegang saham Bank Syariah Mandiri adalah PT Bank Mandiri (Persero) Tbk dan PT Mandiri Sekuritas (bukti PT-21). Dengan demikian, oleh karena tidak ada modal atau saham dari negara yang bersifat langsung yang jumlahnya sebagian besar dimiliki oleh negara maka kedua bank tersebut tidak dapat didefinisikan sebagai BUMN, melainkan berstatus anak 250 perusahaan BUMN karena didirikan melalui penyertaan saham yang dimiliki oleh BUMN atau dengan kata lain modal atau saham kedua bank tersebut sebagian besar dimiliki oleh BUMN;
... bahwa konsekuensi logis dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 01/PHPU.PRES-XVII/2019 adalah bahwa, Anak Perusahaan dari Perusahaan Persero akan tunduk pada ketentuan-ketentuan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU 40/2007). Antara anak perusahaan BUMN dan BUMN memiliki entitas hukum yang berbeda, sehingga berbeda pula tata kelola dan regulasinya. Lebih lanjut, dengan dipisahkannya kekayaan negara pada BUMN yang dijadikan penyertaan modal pada anak perusahaan BUMN, maka aktiva anak perusahaan BUMN merupakan kekayaan yang terpisah dari perusahaan BUMN tersebut;
bahwa Pemohon dalam menguraikan kedudukan hukumnya menyatakan bahwa faktanya Anak Perusahaan dari Perusahaan Persero tersebut hanya berbentuk Perseroan Terbatas biasa, sehingga tidak terikat pada ketentuan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU 19/2003. Hal tersebut tentunya membuka peluang/potensi dapat diprivatisasinya perusahaan atau persero tersebut padahal anak perusahaan tersebut memiliki kegiatan di bidang usaha yang berkaitan dengan bidang usaha induk perusahaannya yang notabene induk perusahaannya dilarang diprivatisasi karena bidang usahanya termasuk yang disebutkan dalam Pasal 77 huruf c dan huruf d UU 19/2003 (vide poin 12 Perbaikan Permohonan, hlm. 9-10). Terhadap hal tersebut, jika dikaitkan dengan Pasal 3 Anggaran Dasar FSPPB, organisasi FSPPB berbentuk Federasi yang menghimpun dan terbuka bagi serikat pekerja-serikat pekerja di lingkungan PT Pertamina (Persero), termasuk anak perusahaan, yang memenuhi syarat dan ketentuan yang diatur dalam Anggaran Rumah Tangga. Dengan demikian, kekhawatiran Pemohon mengenai peluang/potensi dapat diprivatisasinya anak perusahaan PT Pertamina (Persero), kontradiksi dengan norma Pasal 3 Anggaran Dasar FSPPB yang terbuka bagi Anak Perusahaan. Hal ini semakin menunjukkan ketidakjelasan kerugian konstitusional Pemohon;
bahwa kekhawatiran Pemohon anak-anak perusahaan PT Pertamina (Persero)/BUMN tidak dikontrol dengan baik oleh negara, hal ini sangat berlebihan karena Pemohon telah mengambil-alih tanggung jawab direksi. 251 Menurut Pasal 1 angka 5 UU 40/2007, Direksi adalah Organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar. Dengan demikian, tanggung jawab pengurusan sebuah perseroan ada pada direksi. Selama direksi perseroan menjalankan tugasnya dengan prinsip duty of care (kewajiban untuk kehati-hatian), duty of loyalty (kewajiban untuk loyal kepada perseroan dan pemegang saham), dan taat asas pada prinsip Good Corporate Governance (tata kelola perusahaan yang baik) maka perusahaan akan maju dan kesejahteraan karyawan pun akan meningkat, sehingga kekhawatiran Pemohon menjadi tidak beralasan;
bahwa berdasarkan seluruh uraian di atas, Pemohon tidak mengalami kerugian konstitusional dan tidak memiliki kepentingan langsung dengan norma Pasal 77 huruf c dan huruf d UU 19/2003 yang dimohonkan pengujian sehingga tidak terdapat hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara berlakunya norma a quo dengan kerugian konstitusional yang dialami oleh Pemohon. Dengan demikian, Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo dan Mahkamah seharusnya menjatuhkan putusan dengan amar yang menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima ( niet ontvankelijke verklaard ). *** Demikian diputus dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Anwar Usman selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto, Saldi Isra, Wahiduddin Adams, Manahan M.P Sitompul, Suhartoyo, Arief Hidayat, Enny Nurbaningsih, dan Daniel Yusmic P. Foekh, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Senin , tanggal enam , bulan September, tahun dua ribu dua puluh satu , yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Rabu , tanggal dua puluh sembilan , bulan September, tahun dua ribu dua puluh satu , selesai diucapkan pukul 11.09 WIB , oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Anwar Usman selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto, Saldi Isra, Wahiduddin Adams, Manahan M.P Sitompul, Suhartoyo, Arief Hidayat, Enny Nurbaningsih, dan Daniel Yusmic P. Foekh, masing-masing sebagai Anggota, dengan dibantu oleh Yunita Rhamadani sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri 252 oleh Pemohon dan/atau kuasanya, Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili, Presiden atau yang mewakili, dan Pihak Terkait PT Pertamina (Persero) dan/atau kuasanya. KETUA, ttd. Anwar Usman ANGGOTA-ANGGOTA, ttd. Aswanto ttd. Saldi Isra ttd. Wahiduddin Adams ttd. Manahan MP Sitompul ttd. Enny Nurbaningsih ttd. Arief Hidayat ttd. Suhartoyo ttd. Daniel Yusmic P. Foekh PANITERA PENGGANTI, tt ttd. d. Yunita Rhamadani
Pengujian UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan terhadap UUD Negara RI Tahun 1945
Relevan terhadap
(Pihak lain dilarang melakukan segala bentuk campur tangan terhadap pelaksanaan tugas Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Bank Indonesia wajib menolak dan mengabaikan segala campur tangan dari pihak manapun dalam pelaksanaan tugasnya). Pasal 48 (Anggota Dewan Gubernur tidak dapat diberhentikan dalam masa jabatannya kecuali karena yang bersangkutan mengundurkan diri, terbukti melakukan tindak pidana kejahatan, atau berhalangan) dimaksudkan untuk memperkukuh Pasal 7, Pasal 8 dan Pasal 9 di atas. Ketika saya membaca Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9 dan Pasal 48 UU Nomor 23 Tahun 1999 itu, instinct saya mendorong saya untuk berkesimpulan negatif: "Ini negara di dalam negara!" Hal ini berdasar keraguan saya tentang bagaimana mungkin bisa menjadi sangat ekslusif, bahwa Bank Indonesia sekaligus menetapkan dan melaksanakan kebijaksaan moneter (secara independen). Ibaratnya pemerintah menjadi terbungkam, disisihkan peran aktifhya untuk mengatur kebijaksanaan ekonomi yang pasti selalu mengandung kebijaksanaan moneter sebagai derivatnya. Entah dari mana datangnya naskah Undang-Undang Bank Indonesia semacam itu. Pernah diberitakan naskah itu datang dari Jerman yang berhaluan Bundesbank. Kalau benar demikian memang tak mengherankan terasa benar adanya semacam "kediktatoran" ala Jerman. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 50 Dari pengantar di atas tentulah menjadi lumrah bahwa saat ini telah terjadi "kerunyaman" ( absurdity ) dalam hubungan antara Bank Indonesia dan Pemerintah. Kemelut besar yang saat ini melanda Bank Indonesia tak terlepas dari kedudukan independensinya yang tidak dapat diterima, baik oleh pemerintah maupun oleh sebagian masyarakat yang tidak menghendaki adanya dualisme soverenitas. Tentu kemelut besar di Bank Indonesia itu terjadi pula karena alasan intern. Kemelut semacam ini telah menjelaskan sendiri ( self-explanatory ), bahwa sebenamya Bank Indonesia telah gagal melaksanakan peran dan tugasnya secara optimal sebagaimana ditentukan oleh Penjelasan Pasal 23 UUD 1945, dan Pasal 7, Pasal 8 dan Pasal 9 UU Nomor 23 Tahun 1999. Bank Indonesia terbukti tidak mampu memelihara kestabilan nilai rupiah, tidak mampu menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter secara tepat. Mengatur dan menjaga kelancaran sistim pembayaran pun tidak jelas arah dan ujudnya. Lebih dari itu Bank Indonesia jelas telah gagal dalam mengatur dan mengawasi bank-bank. Perbankan Indonesia menjadi berantakan dan terpuruk seperti yang kita lihat saat ini tidak terlepas dari tidak efektifnya pengawasan Bank Indonesia. Undang-Undang tentang Bank Indonesia ini sudah berlaku satu setengah tahun, lebih tua dari usia pemerintahan Gus Dur, namun tidak ada tanda-tanda akan bisa efektif. Untuk sedikit lebih bersahabat dalam menanggapi independensi Bank Indonesia sebagaimana ditetapkan oleh UU Nomor 23 Tahun 1999, dapatlah kiranya dikemukakan sebagai berikut ini. Keinginan untuk memberikan kedudukan independensi kepada Bank Indonesia tentulah tidak terlepas dari pengalaman sejarah, betapapun pendek sejarah ini. Memang pemerintahan Orde Baru yang totalitarian telah menyalahgunakan kekuasaannya dan menjadikan Bank Indonesia sebagai suatu alat kekuasaan rezim. Bank Indonesia tidak lagi menjadi suatu lembaga terhormat untuk melaksanakan tugas dan wewenangnya yang mulia demi kemaslahatan bangsa dan negara, tetapi telah menjadi alat kekuasaan bagi para penguasa negara. Jadi independensi bank dimaksudkan untuk menghindari dapat terjadinya campur tangan kotor dari pemerintahan yang tidak bersih, yang penuh dengan pelanggaran dan penyalah-gunaan kekuasaan. Dari sinilah lahir citacita independensi untuk bank sentral itu dan sekaligus melebar ke tingkat ekstrimitasnya, sehingga mengabaikan posisi sub-ordinasi terhadap pemeritahan negara. Sampai-sampai secara eksplisit tersurat ketentuan yang menetapkan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 51 bahwa "pihak lain dilarang melakukan segala macam campur tangan" dan juga bahwa "Bank Indonesia wajib menolak dan mengabaikan segala campur tangan dari pihak manapun ". Ini yang absurd sekali ! Di dalam independensi ini tersurat dan tersirat kuat adanya sikap apriori bahwa setiap pemerintah (pemerintahan negara) pastilah akan selalu kotor, akan selalu menyeleng dan menyalahgunakan kekuasaan serta korup. Seolah-olah tidak pernah terbayangkan bahwa suatu pemerintahan dapat pula akan baik, bersih dan berwibawa, sebagaimana reformasi mencita-citakannya. Sebaliknya, independensi itu dilandasi oleh suatu pandangan apriori menyakini bahwa bank sentral kita pastilah akan merupakan suatu lembaga yang tangguh, bersih, bebas dari penyelewengan dan penyalahgunaan kekuasaannya, serba baik, dan terhormat, patut diseganai dan profesional dan seterusnya, Andaikata demikian ini yang digambarkan tentang Bank Indonesia, dengan segala kepatutannya untuk menyandang independensi, maka kita tidak perlu terperanjat melihat kenyataan semrawut yang ada, yang pasti akan menjadi bahan tertawaan. Bank Indonesia telah kebobolan, kecolongan, telah menjadi "sarang penyamun" sebagaimana Anwar Nasution pernah menggambarkannya. Dengan independensinya itu, pimpinan Bank Indonesia bahkan cenderung arogan. Independensi Bank Indonesia terkesan telah menumbuhkan semacam superiority complex dan sekaligus mendorong pimpinan Bank Indonesia lebih berani ngawur dalam membuat pemyataan-pemyataan kebijaksanaan yang sebenamya memerlukan kedalaman pemikiran (misalnya saja mengenai pasar-bebas, spekulasi dan intervensi) belum lama ini. Dengan mutu profesionalisme dan kepemimpinan semacam itu independensi Bank Indonesia dapat saja berubah menjadi malapetaka nasional. Patut diragukan, mampukah Bank Indonesia membendung krisis moneter yang saat ini masih terus mengintai Indonesia. Ibaratnya Bank Indonesia, ataupun pihak-pihak yang menghendaki independensi Bank Indonesia, telah menuding kebobrokan pemerintah, tanpa mampu mawas diri bahwa Bank Indonesia sebenamya sedang menjadi tudingan masyarakat. Mengenai Presiden Abdurrahman Wahid dan gaya kepemimpinannya dalam penyelenggaraan pemerintahan negara yang "otoritarian". Dengan mudah dapat dipahami bahwa Presiden Abdurrahman Wahid pasti akan "berselisih" dengan Bank Indonesia berkaitan dengan independensi Bank Indonesia semacam itu. Memang untuk alasan apapun, tentu diharapkan alasan yang baik (reformasi), Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 52 independensi Bank Indonesia macam ini akan memasung dinamika dan kreativitas penyelenggaraan negara. Pemerintah akan merasakan, seperti diungkapkan di atas, adanya negara di dalam negara. Hal ini sempat ahli (sebagai pembicara utama) kemukakan dalam suatu diskusi reformatif yang diprakarsai oleh Salahuddin Wahid beberapa waktu yang lalu dan mendapat tanggapan positif dan kurang lebihnya afirmatif. Belum lagi kalau penyakit lama kambuh, bahwa pemerintah benar-benar akan main kayu, mencampuradukkan antara reformasi dan deformasi sekaligus, maka independensi Bank Indonesia akan merupakan sumber perselisihan yang akut. Seperti dapat diduga, inilah yang terjadi saat ini. Lebih dari itu, bukan saja tentang independensi Bank Indonesia yang kini dipermasalahkan, tetapi juga tentang posisi dan kekuasaan Bank Indonesia telah menjadi suatu perebutan yang memalukan. Independensi Bank Indonesia semacam itu tentu akan menarik bagi kekuatan (partai-partai) oposisi. Independensi akan bisa menjadi sarana perebutan kekuatan antara pemerintah dengan pihak oposisi, dengan menggunakan otoritas Bank Indonesia sebagai benteng perlawanan politik. Inipun kiranya sedang terjadi pada saat ini. Antara Pemerintah dan Bank Indonesia seharusnyalah terjadi suatu koordinasi integral. Indonesia menganut faham " Penta Politica ", pemisahan kekuasaan antara lima (penta) kekuasaan negara, yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif, yudikatif, advisori (DPA) dan auditori (BPK). Bank Indonesia tidak ada kaitannya dengan penta politica ini. Dalam posisi semacam ini maka Bank Indonesia haruslah terkoordinasi dalam pemerintahan negara yang diselenggarakan oleh Pemerintah, di dalam suatu tingkat sub-ordinasi tertentu. Selanjutnya biarlah lembaga legislatif melakukan pengawasan efektifnya terhadap Pemerintah. Dengan kata lain independensi Bank Indonesia perlu di redefinisi, harus menjadi lebih supel dan fleksible, sehingga tidak terjadi dualisme otoritas dan kebijaksanaan antara pemerintah dan Bank Indonesia. Tanpa itu maka kemelut ekonomi dan moneter di lapangan akan sulit diatasi. Independensi yang menumbuhkan dualisme otoritas semacam itu memang peka akan pertarungan. Dalam pertarungan antara keduanya tentulah akan menguntungkan pihak ketiga yang dapat mempermainkan dan menggerogoti perekonomian nasional kita. Pertengkaran antara pemerintah dan Bank Indonesia saat ini pasti akan lebih Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 53 memperpuruk rupiah kita, mendorong capital flight, melambungkan tingkat suku bunga, menghambat investasi dan tentulah menunda pembukaan lapangan kerja bagi rakyat. Penyelewengan KLBI dan BLBI akan makin sulit terlacak, pencetakan uang palsu akan makin sukar diungkap. Sementara itu ahli menghargai sikap konsekuen dan taat hukum Syahril Sabirin sampai UU Nomor 23 Tahun 1999 itu di amendemen secara jujur (tanpa ada udang di balik batu). Saya pun menghargai sikap Pemerintah yang tidak menghendaki dualisme soverenitas, yang tidak mustahil dualisme ini merupakan suatu skenario politik besar terhadap Indonesia; Landasan hukum pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Pasal 34 (1) Tugas mengawasi bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan Undang-Undang. (2) Pembentukan lembaga pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2002; Selanjutnya dalam UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bagian Menimbang: Butir a. menyatakan "bahwa untuk mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, diperlukan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan yang terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat". Boleh ditanyakan kepada jajaran pimpinan OJK yang ada di ruang ini, bagaimana melaksanakan tugas negara ini secara independen. Butir b. "Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam butir a, diperlukan otoritas jasa keuangan yang memiliki fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan di dalam sektor jasa keuangan secara terpadu, independen, dan akuntabel". Boleh ditanyakan pula kepada jajaran pimpinan OJK yang ada di ruang ini bagaimana OJK bisa akuntabel, terhadap siapa, terhadap Bank Indonesia, terhadap Kementerian Keuangan atau kepada DPR, atau kepada diri sendiri? Menurut website OJK, fungsi OJK adalah menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 54 sektor jasa keuangan. Mengulangi presentasi tertulis saya yang disampaikan di ruang ini pada tanggal 18 September 2014, saya ingin menegaskan ulang tentang OJK sebagai lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur-tangan oihak lain, yang menjadikannya sebagai super-body dalam dunia keuangan Indonesia. Peran OJK dalam perekonomian nasional adalah sangat sektoral, yaitu menyangkut sektor jasa keuangan saja. Selanjutnya sesuai dengan UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK tidak dipersoalkan kaitan OJK dengan tugas nasional sesuai dengan Pasal 33 dan Pasal 34 UUD 1945, serta masalah Sila ke-5 Pancasila, yaitu "keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia". Tugas sektoral OJK di dalam sektor jasa keuangan yang adil, transparan dan akuntabel untuk mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil serta mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat secara independen, sama sekali tidak menjamin dan bahkan dapat bertentangan dengan tugas-tugas spesifik sesuai dengan doktrin kebangsaan (nasionalisme) dan doktrin kerakyatan yang dianut oleh Negara Republik Indonesia; Memang barangkali OJK dapat melaksanakan tugas sektoralnya secara teratur, adil, transparan dan akuntabel serta mewujudkan sistem keuangan tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, namun tanpa merasa terikat (misalnya) dengan masalah riil yang dihadapi oleh bangsa Indonesia, yaitu makin melebarnya kesenjangan antara kaya dan miskin (Gini ratio 2005 0,34% dan sekarang 2014 0,46%), makin dominannya investasi asing terhadap perekonomian nasional dan makin terdesaknya investor nasional dan ekonomi rakyat. Lebih dari itu meskipun pertumbuhan ekonomi di atas 5,5% (ini pun tidak terlalu tinggi), namun Indonesia makin kehilangan kedaulatan ekonomi: kita makin tidak berdaulat dalam pertanian khususnya pangan dan bibit, obat-obat dasar, teknik industri, teknologi dan energi. Dan lebih hebat lagi kita tidak berdaulat dalam penguasaan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya [ayat (3) Pasal 33 UUD 1945] karena berlakunya sistem keuangan yang liberalistik dan kapitalistik, yang OJK berdasar tugasnya malahan dapat mengukuhkan penyelewengan konstitusional ini. Sektor keuangan dapat tetap adil, transparan dan akuntabel serta tumbuh berkelanjutan dan stabil serta melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat sesuai dengan konsideran UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK, namun Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 55 independensi yang menjadikan OJK " super body " tidak memungkinkan OJK dapat mengatasi tantangan-tantangan dan keprihatinan perekonomian di atas, bahkan dengan wewenangnya sebagai super body bisa malah mengabaikan dan membahayakan kepentingan nasional demi kestabilan sektor jasa keuangan belaka. Oleh karena itu, peran OJK hendaknya dikembalikan kepada Bank Indonesia atau ke Departemen Keuangan agar terkait dengan tugas-tugas menyelamatkan perekonomian nasional dan kepentingan nasional Indonesia. Janganlah sampai dengan tugas sektoral OJK tadi yang terjadi adalah pembangunan di Indonesia, dan bukan pembangunan Indonesia artinya bangsa Indonesia hanya menjadi penonton atau menjadi kuli di negeri sendiri. Demikian pula jangan sampai dengan pengutamaan kestabilan dan pertumbuhan jasa keuangan maka pembangunan menjadi penggusuran terhadap orang miskin, bukan penggusuran kemiskinan;
Dr. Margarito Kamis, S.H., M.H. Apabila Undang-Undang OJK dikenali secara utuh agak sulit untuk tidak berkesimpulan bahwa ini tampak seperti negara dalam negara. Ahli ingin mengatakan bahwa Pasal 23D UUD 1945 menyatakan, “Negara memiliki suatu Bank Central yang susunan kedudukan, kewenangan, tanggungjawab, dan independensi-nya diatur dengan undang-undang” , tidak dapat dan/atau tidak bermakna bahwa independensi atau Bank Indonesia atau Bank Central itu sebagian kewenangannya mesti diserahkan kepada organ lain yang tidak diperintahkan oleh konstitusi. Makna independensi dalam Pasal 23D UUD 1945 harus dimaknai sebagai patokan penentu relasi antar Bank Indonesia dengan Pemerintah. Jadi, derajat relasi hukum antara fungsi antara pemerintah dengan Bank Indonesia itu yang dimaksud dengan Pasal 23D UUD 1945 bukan mengurangi sebagian kewenangan Bank Indonesia dan kewenangan itu diserahkan kepada lembaga lain di luarnya. Itu sebabnya saya mengawali dengan mengatakan bahwa bila dikenali betul Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2012 ini secara konstitusional terlalu sulit untuk tidak menyatakan OJK tampak seperti negara dalam negara; Ahli ingin memperkuatnya dengan mengenali beberapa atau mengungkapkan beberapa saja diantaranya sebab tidak mungkin itu diungkapkan semua karena ahli yakin betul bahwa Majelis pun memiliki penilaian yang tidak mungkin dan/atau sebagaimana yang telah terefleksi dalam risalah sidang, tampak memiliki Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 56 kemiripan dengan apa yang ahli kemukakan; OJK dengan prinsip independensi melalui Undang-Undang ini dapat mengatur sendiri, membuat sendiri peraturan, dan melaksanakan Undang-Undang. Padahal mestinya ini dilaksanakan dengan Peraturan Pemerintah kecuali hal-hal lain yang memang tidak bisa diatur dan/atau tidak diatur dalam Undang-Undang. Karena keadaan hukum dengan fungsi mereka membutuhkan pengaturan barulah dilakukan, tetapi ini tidak dilakukan. Apa saja yang kan diatur dapat diatur dengan sendirinya oleh mereka tanpa bisa dicampuri oleh Pemerintah, tanpa dapat dicek (dikontrol) oleh DPR. Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung yang yang merupakan pelaksana kekuasan kehakiman pengaturan mengenai gaji pun diatur dengan Peraturan Presiden. Bagaimana OJK dapat mengatur dirinya sendiri, gaji pun diatur sendiri. Betapa luar biasanya OJK ini seperti lembaga negara di dalam negara; Menurut ahli tidak ada lembaga negara yang mempunyai 2 sumber keuangan pendanaan, namun OJK ini dibiayai dengan APBN dan pungutan yang dipungut sendiri dari bank dan jasa keuangan lainnya. Apa argumen konstitusionalnya sehingga dapat membenarkan tindakan tersebut? Siapa yang berani memastikan bahwa tidak ada potensi penyalahgunaan dan bagaimana mungkin bisa dipastikan akuntabilitas dan transparansi OJK dengan kewenangan seperti itu? Padahal bukankah negara hukum yang demokratis yang di atur dalam Undang-Undang Dasar 1945 menghendaki akuntabilitas dan transparansi dalam penyelenggaraan kekuasaan negara? Menurut ahli bahwa pengawasan oleh OJK dimaksudkan untuk perlindungan konsumen dan adanya independensi OJK tidak diperoleh titik relasi dengan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945. Bagaimana dapat mengusahakan perekonomian nasional dengan prinsip kekeluargaan dan gotong royong, kalau salah satu organ negara (lembaga negara) mempunyai fungsi yang begitu strategis tidak dapat dicek (dikontrol), dan bekerja semau-maunya karena diatur dalam Undang-Undang. Dengan demikian keberadaan OJK bertentangan dengan prinsip negara hukum [Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 33 UUD 1945]; [2.3] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon tersebut, Presiden dalam persidangan tanggal 5 Mei 2014 menyampaikan keterangan lisan dan keterangan tertulis bertanggal 30 April 2014 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 21 Oktober 2014 yang menguraikan hal-hal sebagai berikut: Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 57 I. Pokok Permohonan Bahwa para Pemohon mengajukan permohonan pengujian materiil Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37 dan frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan ..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU OJK terhadap UUD 1945. Merujuk kepada permohonan para Pemohon, pada pokoknya para Pemohon menganggap hak konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya ketentuan UU OJK, khususnya ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
Pasal 1 angka 1 yang menyatakan "OJK, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini." b. Pasal 5 yang menyatakan "OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan." c. Pasal 34 yang menyatakan: (1) “Dewan Komisioner menyusun dan menetapkan rencana kerja dan anggaran OJK. (2) Anggaran OJK bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau pungutan dari pihak lain yang melakukan kegiatan _di sektor jasa keuangan; _ (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai rencana kerja dan anggaran OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Dewan Komisioner." d. Pasal 37 yang menyatakan:
“ OJK mengenakan pungutan kepada pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. (2) Pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan wajib membayar pungutan yang dikenakan OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penerimaan OJK. (4) OJK menerima, mengelola, dan mengadministrasikan pungutan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 58 sebagaimana dimaksud pada ayat (3) secara akuntabel dan mandiri. (5) Dalam hal pungutan yang diterima pada tahun berjalan melebihi kebutuhan OJK untuk tahun anggaran berikutnya, kelebihan tersebut disetorkan ke Kas Negara. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah." e. Frasa dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65, Pasal 66 yang menyatakan "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan ..." Merujuk pada dalil-dalil dalam permohonan, para Pemohon pada pokoknya menyatakan bahwa dengan diberlakukannya ketentuan-ketentuan a quo , telah mengakibatkan terjadinya kerugian konstitusional yang dialami oleh Para Pemohon, dengan alasan:
Pasal 23D UUD 1945 yang menyatakan, "Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan Undang-Undang ". Menurut para Pemohon hanya bank sentral yang dijelaskan secara eksplisit di UUD 1945 yang boleh independen, sehingga frasa independen OJK tidak menemukan pembenaran secara konstitusional.
Pasal 33 UUD 1945, yang menurut para Pemohon berdasarkan Pasal 33 UUD 1945 OJK diharuskan untuk terintegrasi dengan sistem perekonomian yang diamanatkan konstitusi, sehingga tidak mungkin independen dan bebas dari campur tangan pihak lain. Dengan demikian, OJK dipaksa dan diarahkan untuk independen dan terpisah dari sistem besar ketatanegaraan yang termaktub dalam konstitusi.
Secara konstitusional aspek pengaturan dan pengawasan OJK juga tidak jelas di UUD 1945 mendapat mandat atau turunan dari pasal berapa, dimana masing-masing kewenangan yang diperoleh OJK berasal dari turunan yang asimetris. Pasal 5 UU OJK juga dapat menimbulkan konsekuensi adanya penumpukan kewenangan dalam satu badan sehingga dapat menimbulkan potensi moral hazard .
Penggunaan APBN yang digunakan sebagai biaya operasional secara konstitusional tidak memiliki landasan hukum dikarenakan OJK tidak berada dalam struktur ketatanegaraan yang rigid dan juga sifat OJK yang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 59 independen sehingga terdapat potensi penyalahgunaan kewenangan keuangan negara. Selain itu, jika terjadi krisis di sektor industri keuangan, bukan tidak mungkin dana APBN akan dipakai untuk menalangi krisis dan seberapa banyak dana publik dan/atau APBN yang boleh dikucurkan masih belum diatur.
Pasal 37 UU OJK akan menimbulkan dampak: (a) mengurangi kemandirian OJK karena OJK merupakan badan publik dengan amanat yang diberikan oleh rakyat melalui DPR; (b) sumber pendanaan dari jasa keuangan di pihak lain juga akan membalik akuntabilitas substantif OJK dari kepentingan publik dan konsumen kepada kepentingan kepada kepentingan industri jasa dan keuangan, f. Para Pemohon menginginkan agar pungutan yang mengatasnamakan negara haruslah jelas dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan, sebagaimana telah diatur dalam Pasal 23A UUD 1945 yang menyatakan bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan Negara diatur dalam Undang-Undang. II. Kewenangan Mahkamah Konstitusi dan Kedudukan Hukum ( Legal Standing ) Para Pemohon A. Kewenangan Mahkamah Konstitusi Pembentukan OJK Merupakan Opened Legal Policy Berdasarkan Pasal 33 ayat (5) UUD 1945 Sebelum menanggapi lebih lanjut mengenai materi permohonan para Pemohon, Pemerintah akan terlebih dahulu membahas apakah terhadap ketentuan Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37 dan frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan ..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66 UU OJK ini telah tepat dan benar dapat diajukan pengujian konstitusional ( constitutional review ) ke Mahkamah Konstitusi. Mengingat pentingnya pengaturan mengenai sistem perekonomian nasional maka UUD 1945 mengatur mengenai perekonomian nasional diatur dalam Bab tersendiri yaitu Bab XIV Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Nasional. Bab XIV terdiri dari dua pasal yaitu Pasal 33 dan Pasal 34 UUD 1945, mengenai pengaturan Perekonomian Nasional diatur dalam Pasal 33 UUD 1945. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 60 Sebagaimana telah diketahui bersama prinsip-prinsip dasar pengelolaan perekonomian nasional terdapat dalam Pasal 33 UUD 1945 dan Pasal 33 ayat (5) UUD 1945 juga telah mengamanatkan kepada pembentuk Undang-Undang pengaturan lebih lanjut mengenai pelaksanaan prinsip- prinsip pada Pasal 33 UUD 1945 diatur dalam Undang-Undang. Oleh karena itu, dalam rangka menjalankan amanat konstitusi tersebut maka telah diterbitkan perundang-undangan mengenai pengelolaan perekonomian nasional berdasarkan prinsip-prinsip dasar sebagaimana termaktub dalam Pasal 33 UUD 1945, yang salah satunya adalah UU OJK. Pembentukan UU OJK secara keseluruhan oleh pembentuk Undang- Undang adalah dalam rangka mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh dengan stabil dan berkelanjutan, menciptakan kesempatan kerja yang luas dan seimbang di semua sektor perekonomian, serta memberikan kesejahteraan secara adil dan makmur kepada seluruh rakyat Indonesia. Sebagaimana amanat Pasal 33 ayat (5) UUD 1945 yang secara tegas menyatakan bahwa "Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam Undang-Undang ", maka DPR bersama Pemerintah telah menyusun UU OJK sehingga pembentukan UU OJK merupakan suatu pilihan kebijakan yang bebas dan terbuka ( opened legal policy ) bagi pembuat Undang-Undang. Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, maka pembentukan UU OJK adalah tepat berdasarkan amanat UUD 1945 khususnya pada Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 33 UUD 1945. Oleh karena itu, sudah sepatutnya permohonan uji materiil ketentuan Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37 dan frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan ..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU OJK tersebut tidak dapat diajukan pengujian materiil di Mahkamah Konstitusi. Hai ini sesuai dengan pendapat Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimuat dalam Putusan Nomor 26/PUU-VII/2009 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden terhadap UUD 1945 yang menyatakan sebagai berikut: Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 61 "Bahwa Mahkamah dalam fungsinya sebagai pengawal konstitusi tidak mungkin untuk membatalkan Undang-Undang atau sebagian isinya, jikalau norma tersebut merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk Undang-Undang. Meskipun seandainya isi suatu Undang-Undang dinilai buruk, maka Mahkamah tidak dapat membatalkannya, sebab yang dinilai buruk tidak selalu berarti inkonstitusional, kecuali kalau produk legal policy tersebut jelas-jelas melanggar moralitas, rasionalitas dan ketidakadilan yang intolerable . Sepanjang pilihan kebijakan tidak merupakan hal yang melampaui kewenangan pembentuk Undang-Undang, tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, serta tidak nyata-nyata bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka pilihan kebijakan demikian tidak dapat dibatalkan oleh Mahkamah; dan Putusan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden terhadap UUD 1945, yang menyatakan sebagai berikut: "Menimbang bahwa Mahkamah dalam fungsinya sebagai pengawal konstitusi tidak mungkin untuk membatalkan Undang-Undang atau sebagian isinya, jikalau norma tersebut merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk Undang-Undang. Pandangan hukum yang demikian sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 010/PUU-III/2005 bertanggal 31 Mei 2005 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan sepanjang pilihan kebijakan tidak merupakan hal yang melampaui kewenangan pembentuk Undang- Undang, tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, serta tidak nyata-nyata bertentangan dengan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka pilihan kebijakan demikian tidak dapat dibatalkan oleh Mahkamah". Selain itu, pokok-pokok permasalahan yang diajukan oleh para Pemohon sangat tidak tepat diuji oleh Mahkamah Konstitusi, karena dalil-dalil permohonan menyangkut mengenai implementasi dari norma bukan kesalahan atau pertentangan norma dengan UUD 1945 sebagaimana disampaikan oleh Prof. Arief Hidayat dalam sidang pane! pemeriksaan pendahuluan tanggal 25 Maret 2014 yang pada pokoknya menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi tidak memiliki kewenangan untuk mengadili apa yang dilakukan oleh suatu lembaga negara dalam suatu pengujian Undang-Undang tetapi mengadili norma yang bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karena itu, sudah sepatutnya permohonan pengujian Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37 dan frasa "... tugas pengaturan dan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 62 pengawasan di sektor perbankan ..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU OJK yang diajukan oleh para Pemohon dinyatakan tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard ). B. Tinjauan Kedudukan Hukum ( Legal Standing ) Para Pemohon Legal Standing Sebagai Pembayar Pajak Harus Dibuktikan Oleh Pemohon Dengan Menyertakan Bukti SPT Dan Bukti Pembayaran Kewajiban Pajak Pemohon Berdasarkan ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (untuk selanjutnya disebut "UU Mahkamah Konstitusi") disebutkan bahwa para Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang. Ketentuan tersebut dipertegas dalam penjelasannya, bahwa yang dimaksud dengan "hak konstitusional adalah hak-hak yang diatur dalam UUD 1945. Dengan demikian agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai Para pemohon yang memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) dalam permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 maka terlebih dahulu harus menjelaskan dan membuktikan:
kualifikasinya dalam permohonan a quo sebagaimana disebut dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi;
hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dalam kualifikasi dimaksud yang dianggap telah dirugikan oleh berlakunya Undang- Undang yang diuji;
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Para pemohon sebagai akibat berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian. Lebih lanjut Mahkamah Konstitusi sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007, serta putusan-putusan selanjutnya, telah memberikan pengertian dan batasan secara kumulatif tentang kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi harus memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu:
adanya hak konstitusional para Pemohon yang diberikan oleh UUD Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 63 1945;
hak konstitusional para Pemohon tersebut dianggap oleh para Pemohon telah dirugikan oleh suatu Undang-Undang yang diuji;
bahwa kerugian konstitusional para Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Karena itu, Pemerintah berpendapat bahwa para Pemohon tidak memenuhi syarat kedudukan hukum (legal standing) dan tidak dirugikan hak konstitusionalnya oleh berlakunya Undang-Undang a quo , sehingga para Pemohon tidak memenuhi syarat sebagai pemohon uji materiil sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 51 UU Mahkamah Konstitusi tersebut. Menurut pendapat Pemerintah, legal standing sebagai pembayar pajak yang patuh, tidak dapat diterima begitu saja dengan memiliki dan melampirkan Nomor Pajak Wajib Pajak (NPWP) sebagai bukti. Dengan memiliki NPWP tidak secara serta merta para Pemohon telah membayar pajak, maka seharusnya para Pemohon juga turut menyertakan bukti Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak dan juga pembayaran kewajiban Pajak yang merupakan pelaporan perhitungan dan pembayaran pajak oleh, objek pajak, dan/atau bukan objek pajak dan/atau harta atau kewajiban, menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Tidak Ada Hak Konstitusional Pemohon Yang Dilanggar Dengan Berlakunya Ketentuan UU OJK Yang Diuji Selain itu, Pemerintah tidak melihat adanya pelanggaran hak konstitusional para Pemohon yang sebagaimana didalilkan dalam permohonan para Pemohon yaitu dengan berlakunya ketentuan Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37 dan frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan ..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU OJK telah merugikan hak Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 64 konstitusionalitasnya sebagai perserorangan warga negara Indonesia dengan didasarkan pada: Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan "Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggungjawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat." dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan "Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya". Bahwa para Pemohon dalam permohonan uji materiilnya tidak secara jelas menguraikan mengenai kerugian konstitusional dan hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian konstitusional Pemohon secara spesifik, aktual atau setidaknya potensial yang dapat dipastikan akan terjadi dikarenakan berlakunya norma yang terkandung dalam ketentuan Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37 dan frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan ..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU OJK. Bahwa ketentuan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 bukan merupakan hak-hak dasar atau hak konstitusional warga negara in casu hak para Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945. Hal ini dikarenakan ketentuan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 merupakan salah satu bentuk pelaksanaan kedaulatan rakyat. Penetapan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) setiap tahunnya dengan Undang-Undang mempunyai pengertian bahwa dalam penyusunan Undang-Undang APBN, haruslah mendapatkan persetujuan rakyat yang dalam hal ini diwakili oleh DPR. Selain itu, penggunaan ketentuan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 sebagai batu uji permohonan a quo sangat tidak tepat dan tidak berdasar hukum. Ketentuan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 merupakan prinsip persamaan dalam hukum dan pemerintahan ( equality before the law ), prinsip kewajiban menjunjung hukum tidak hanya harus dilaksanakan oleh negara, namun juga wajib dijunjung tinggi oleh seluruh warga negara Indonesia. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 65 Bahwa penggunaan Pasal 23 ayat (1) dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 tidak dapat dijadikan dasar kedudukan hukum oleh para Pemohon dikarenakan bukan hak konstitusional para Pemohon, namun merupakan suatu kewajiban bagi seluruh rakyat Indonesia untuk menerapkan prinsip persamaan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara dan sebagai pembayar pajak tidak serta merta dapat dasar dalam pengajuan uji materiil suatu Undang-Undang. Permohonan Pemohon merupakan permohonan yang Obscuur Libel Selain itu, permohonan para Pemohon merupakan permohonan yang obscuur libel yaitu nampak pada tidak sesuainya antara posita permohonan para Pemohon dan petitum yang dimintakan oleh para Pemohon dalam permohonannya. Para Pemohon tidak menjelaskan mengapa frasa "...tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan.." bertentangan dengan UUD 1945, namun tetap meminta petitum agar Mahkamah Konstitusi menyatakan frasa dimaksud bertentangan dengan UUD 1945. Para Pemohon juga telah melakukan kesalahan yang menyebabkan permohonan Para Pemohon menjadi tidak jelas dan tidak fokus ( obscuur libel ) yaitu pada angka 2 petitum permohonannya yang meminta agar Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34 dan Pasal 37 UU OJK bertentangan dengan UUD 1945, namun pada angka 3 para Pemohon meminta kepada Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 7, Pasal 34 dan Pasal 37 UU OJK tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Bahwa berdasarkan uraian di atas, Pemerintah berpendapat permohonan para Pemohon tidak jelas, tidak cermat, tidak fokus dan kabur ( obscuur libel ), utamanya dalam mengkonstruksikan kerugian konstitusional seperti apa yang dialami oleh para Pemohon sebagai individu perseorangan warga negara Indonesia. Oleh karena itu, Pemerintah memohon agar Ketua/Majelis Hakim Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan Para pemohon ditolak atau setidak-tidaknya tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard ). Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 66 III. Penjelasan Pemerintah Atas Permohonan Para Pemohon A. Penjelasan Pemerintah Atas Permohonan Putusan Provisi Para Pemohon Tidak Ada Alasan Yang Spesifik Dan Aktual Serta Penting Dan Mendesaknya Permohonan Provisi Pemohon Harus Dikabulkan Oleh Mahkamah Konstitusi Istilah provisionil dikenal luas dengan istilah "provisionllels vonnis", "provisoire", "voorlopige", "provisionaf, "voorlaufig", "provissorich ainstwelling", "bij vooraad' dan Iain-Iain. Istilah-istilah dimaksud pada pokoknya menjelaskan bahwa putusan provisi adalah putusan yang sifatnya sangat segera dan mendesak untuk dilakukan oleh hakim terhadap salah satu pihak dan bersifat sementara di samping adanya tuntutan pokok dalam surat gugatan. Dalam Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, putusan provisi hanya dikenal pada perkara Sengketa Kewenangan Lembaga Negara yang diatur dalam Pasal 63 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang mengatur "Mahkamah Konstitusi dapat mengeluarkan penetapan yang memerintahkan pada pemohon dan/atau termohon untuk menghentikan sementara pelaksanaan kewenangan yang dipersengketakan sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi". Namun demikian, dalam sejarahnya Mahkamah Konstitusi pernah mengabulkan permohonan provisi yang diajukan oleh Bibit S. Rianto dan Chandra M. Hamzah dalam perkara Nomor 133/PUUA/1I/2009 tentang pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK). Permohonan provisi yang dikabulkan sebagian oleh Mahkamah Konstitusi terkait dengan penundaan penerapan Pasal 32 ayat (1) huruf c juncto Pasal 32 ayat (3) UU KPK oleh Presiden yakni mengenai tindakan administratif berupa penghentian pimpinan KPK yang menjadi terdakwa karena melakukan tindak pidana kejahatan. Dalam Putusan Nomor 133/PUU-VII/2009, Mahkamah Konstitusi memberikan pendapat sebagai berikut: "Bahwa dalam praktik pemeriksaan perkara pengujian undang-undang seringkali untuk kasus-kasus tertentu dirasakan perlunya putusan sela dengan tujuan melindungi pihak yang hak konstitusionalnya amat sangat Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 67 terancam sementara pemeriksaan atas pokok pemohonan sedang berjalan". Berdasarkan pertimbangan Mahkamah Konstitusi sebagaimana disebutkan di atas, maka terdapat unsur-unsur yang harus dapat dipenuhi dan dijelaskan secara spesifik dan aktual oleh para Pemohon dalam permohonannya. Terhadap permohonan provisi para Pemohon, Pemerintah berpendapat bahwa para Pemohon tidak dapat menjelaskan secara spesifik dan aktual terkait dengan alasan pentingnya dan mendesaknya mengapa permohonan provisi para Pemohon harus dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi dan akibatnya apabila permohonan provisi para Pemohon tidak dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi. Sampai dengan saat ini, OJK telah melakukan kewenangannya untuk melakukan pengaturan dan pengawasan dalam sektor jasa keuangan serta mengadvokasi kepentingan para konsumen. Dalam melakukan kewenangannya tersebut, tidak terdapat kendala yang berarti dan tidak ada hak konstitusional dari para Pemohon yang telah dilanggar atau terancam untuk dilanggar dengan adanya pelaksanaan kewenangan OJK dimaksud. Dikabulkannya permohonan provisi dapat menimbulkan kerancuan hukum bahkan ketidakpastian hukum di sektor jasa keuangan Selain itu, dalam Putusan Nomor 133/PUU-VI1/2009 Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan: "Bahwa Mahkamah berpendapat putusan sela perlu untuk diterapkan apabila dengan putusan tersebut tidak akan menimbulkan kerancuan hukum di satu pihak, sementara di pihak lain justru akan memperkuat perlindungan hukum". Dengan adanya pertimbangan Mahkamah Konstitusi sebagaimana disebutkan di atas, maka sesungguhnya Mahkamah Konstitusi telah menetapkan batasan dikabulkannya permohonan provisi dari para Pemohon pengujian Undang-Undang yaitu apabila dengan putusan tersebut tidak akan menimbulkan kerancuan hukum di satu pihak. Pemerintah berpendapat bahwa apabila permohonan provisi para Pemohon dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi akan dapat menimbulkan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 68 kerancuan hukum bahkan ketidakpastian hukum bagi para pelaku pasar dan para konsumen di sektor jasa keuangan secara umum dan khususnya di pihak OJK. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka seyogianya Mahkamah Konstitusi menolak permohonan provisi dari para Pemohon dikarenakan tidak ada keadaan yang sangat mendesak untuk dikabulkannya permohonan provisi dimaksud dan apabila dikabulkan dapat menimbulkan kerancuan hukum dan ketidakpastian hukum bagi para pelaku pasar dan para konsumen di sektor jasa keuangan secara umum dan khususnya di pihak OJK. B. Penjelasan Pemerintah Atas Pendapat Para Pemohon Yang Menyatakan Pasal 1 Angka 1 UU OJK Bertentangan Dengan UUD 1945 OJK Merupakan Lembaga Negara Yang Memiliki Sifat Constitutional Importance Secara yuridis pembentukan UU OJK dilandasi oleh Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 33 UUD 1945. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 UUD 1945 memberikan kewenangan konstitusional kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk membentuk suatu Undang- Undang, sedangkan Pasal 33 UUD 1945 merupakan landasan konstitusional dibentuknya UU OJK; Pembentukan UU OJK merupakan pengejawantahan tujuan konstitusional dibentuknya Negara Indonesia, yang terdapat dalam Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945 yang menentukan salah satu tujuan negara ( common virtues ) yaitu memajukan kesejahteraan umum yang perlu diwujudkan melalui pelembagaan negara Indonesia, dan amanat konstitusional Pasal 33 UUD 1945, yaitu dalam rangka mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh dengan stabil dan berkelanjutan, menciptakan kesempatan kerja yang luas dan seimbang di semua sektor perekonomian dan memberikan kesejahteraan secara adil kepada seluruh rakyat Indonesia, maka program pembangunan nasional harus dilaksanakan secara komprehensif dan mampu menggerakkan kegiatan perekonomian nasional yang memiliki jangkauan yang luas dan menyentuh keseluruh sektor riil dari perekonomian masyarakat Indonesia. Pengaturan mengenai perekonomian nasional sebagaimana diamanatkan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 69 pada Pasal 33 UUD 1945 terkait erat dengan sistem keuangan untuk menunjang berbagai kegiatan produktif di dalam perekonomian nasional sehingga diperlukan lembaga-lembaga keuangan untuk menopang perekonomian nasional sehingga diperlukan lembaga yang memiliki fungsi pengaturan dan pengawasan lembaga-lembaga keuangan dimaksud dalam rangka menjalankan tujuan konstitusional dibentuknya Negara Indonesia dan amanat konstitusional Pasal 33 UUD 1945. Konstitusionalitas suatu norma dalam Undang-Undang tidak hanya dapat diukur melalui pasal-pasal yang terdapat dalam batang tubuh UUD 1945 melainkan juga melalui Pembukaan UUD 1945 yang mana di dalamnya terdapat tujuan dibentuknya Negara Indonesia. Mengingat konstitusionalitas suatu norma dalam Undang-Undang tidak hanya dapat diukur melalui pasal-pasal yang terdapat dalam batang tubuh UUD 1945 melainkan juga melalui Pembukaan UUD 1945 yang mana di dalamnya terdapat tujuan dibentuknya Negara Indonesia, maka berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut di atas Pemerintah berpendapat bahwa OJK merupakan suatu lembaga negara independen yang memiliki sifat constitutional importance dikarenakan merupakan salah satu instrument untuk mencapai tujuan bernegara dan amanat konstitusional dalam Pembukaan dan Pasal 33 UUD 1945. Sebagaimana disampaikan oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. dalam bukunya "Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi", bahwa ragam struktur organisasi kekuasaan negara dewasa ini sudah berkembang sangat bervariasi, sehingga yang dinamakan organ negara atau lembaga negara tidak lagi hanya terbatas pada tiga fungsi menurut doktrin klasik yang dikembangkan sejak abad ke-18. Lembaga-lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Penyiaran Indonesia, Badan Pengawas Pemilu, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Komisi Pengawas Persaingan Usaha, dan sebagainya merupakan contoh lembaga dan/atau komisi baru yang bersifat independen dan memiliki fungsi campuran dan dibentuk berdasarkan Undang-Undang, namun tetap memiliki sifat constitutional importance . Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 70 Sifat Independensi OJK Merupakan Hal Yang Tidak Terpisahkan Dengan Pembentukan OJK Selain itu, pembentukan UU OJK juga merupakan amanat Pasal 34 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 (selanjutnya disebut UU Bank Indonesia) yang mengamanatkan bahwa "(1) Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan Undang-Undang". Lebih lanjut penjelasan Pasai 34 ayat (1) UU Bank Indonesia menyatakan "(1) Lembaga pengawasan jasa keuangan yang akan dibentuk melakukan pengawasan terhadap Bank dan perusahaan-perusahaan sektor jasa keuangan lainnya yang meliputi asuransi, dana pensiun, sekuritas, modal ventura, dan perusahaan pembiayaan, serta badan-badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat." Dengan adanya Pasal 34 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 34 ayat (1) UU Bank Indonesia sebagaimana disebutkan di atas, maka sejak semula independensi OJK merupakan hal yang tidak terpisahkan dengan pembentukan OJK. Namun demikian, meskipun dalam menjalankan tugasnya dan kedudukannya berada di luar pemerintah OJK tetap berkewajiban menyampaikan laporan kepada Badan Pemeriksa Keuangan dan Dewan Perwakilan Rakyat. Independensi OJK merupakan suatu keharusan dan hal ini disadari oleh pembentuk Undang-Undang yaitu Pemerintah dan DPR, dikarenakan sebagai otoritas yang melaksanakan fungsi pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan OJK hams memiliki independensi. Hal ini disebabkan OJK mengawasi kegiatan jasa keuangan dan transaksi keuangan oleh entitas bisnis yang dapat berpotensi terjadinya benturan kepentingan serta berpotensi mempengaruhi kepentingan pihak-pihak tertentu, termasuk pihak Pemerintah dengan tetap berada dalam koridor hukum yang juga menjamin bahwa independensi tersebut dapat dimintakan pertanggungjawabannya. Independensi OJK diwujudkan dalam 2 (dua) hal. Pertama, secara kelembagaan OJK tidak berada di bawah otoritas lain di dalam sistem Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 71 Pemerintah Negara Republik Indonesia yang dimaknai bahwa OJK tidak menjadi bagian dari kekuasaan Pemerintah. Namun tidak menutup kemungkinan adanya unsur-unsur perwakilan Pemerintah karena pada hakikatnya Otortias Jasa Keuangan merupakan otoritas di sektor jasa keuangan yang memiliki relasi dan keterkaitan yang kuat dengan otoritas lain, dalam hal ini otoritas fiskal dan moneter. Oleh karena itu, OJK melibatkan keterwakilan unsur-unsur dari kedua otoritas dimaksud, secara Ex-Officio . Keberadaan Ex-Officio ini dimaksudkan dalam rangka koordinasi, kerja sama, dan harmonisasi kebijakan di bidang fiscal, moneter, dan sektor jasa keuangan. Keberadaan Ex-Officio juga diperlukan guna memastikan terpeliharanya kepentingan nasional dalam rangka persaingan global dan kesepakatan internasional, kebutuhan koordinasi, dan pertukaran informasi dalam rangka menjaga dan memelihara stabilitas sistem keuangan. Kedua, independensi OJK tercermin dalam kepemimpinan OJK. Secara orang perseorangan, pimpinan OJK memiliki kepastian masa jabatan dan tidak dapat diberhentikan, kecuali memenuhi alasan yang secara tegas diatur dalam UU OJK. Di samping itu, untuk mendapatkan pimpinan OJK yang tepat, Undang-Undang OJK mengatur seleksi yang unsur-unsurnya terdiri atas Pemerintah, Bank Indonesia, dan masyarakat sektor jasa keuangan. C. Penjelasan Pemerintah Atas Pendapat Para Pemohon Yang Menyatakan Pasal 5 Dan Frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan ..." Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66 UU OJK Bertentangan Dengan UUD 1945 Dalam posita permohonannya para Pemohon, tidak menjelaskan mengapa frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan..." bertentangan dengan UUD 1945, namun para Pemohon tetap meminta petitum kepada Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan bahwa frasa dimaksud bertentangan dengan UUD 1945 sehingga menyebabkan permohonan para Pemohon menjadi tidak jelas dan tidak fokus ( Obscuur Libel ). Namun demikian Pemerintah tetap akan menjelaskan mengapa frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU OJK tidak Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 72 bertentangan dengan UUD 1945 dengan digabungkan pada Penjelasan Pemerintah terkait Pasal 5 UU OJK dikarenakan memiliki keterkaitan yaitu mengenai kewenangan pengaturan dan pengawasan OJK yang terintegrasi terhadap seluruhh kegiatan di dalam sektor jasa keuangan termasuk tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan. Pengaturan dan Pengawasan Sektor Jasa Keuangan Yang Terintegrasi Merupakan Kebutuhan Untuk Meningkatkan Efektivitas Dan Efisiensi Dalam Menghadapi Globalisasi dan Konglomerasi Sektor Jasa Keuangan Secara historis pembentukan UU OJK didasarkan pada terjadinya Asian Financial Crisis tahun 1997-1998 yang berdampak sangat berat terhadap Indonesia, khususnya sektor perbankan. Krisis pada tahun 1997-1998 berawal dari krisis nilai tukar di Thailand, krisis tersebut menjalar dengan cepat ke negara-negara tetangga, seperti Malaysia, Filipina, Indonesia, dan Korea Selatan serta berkembang menjadi krisis perbankan. Krisis perbankan yang melanda Indonesia diakibatkan karena banyak bank yang mengalami krisis likuiditas, yang kemudian berkembang menjadi krisis ekonomi dan politik sehingga secara keseluruhan menjadi krisis multidimensi sehingga menyebabkan krisis di Indonesia beriangsung lebih lama dibandingkan negara-negara Asia lainnya dan menyebabkan beban fiskal yang sangat besar, mencapai Rp. 600 triliun. Tidak hanya Asian Financial Crisis tahun 1997-1998, Global Crisis pada tahun 2008 juga memiliki peran mengapa diperlukan pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi dalam sektor jasa keuangan. Pada saat krisis global tahun 2008, Indonesia sebagai salah satu negara yang sistem keuangannya berinteraksi di pasar global tidak luput dari tekanan dan ancaman krisis, sehingga menyebabkan salah satu bank di Indonesia harus di- bailout untuk menghindari pengulangan akibat-akibat yang disebabkan Asian Financial Crisis tahun 1997-1998. Krisis pada tahun 1997-1998 dan juga krisis pada tahun 2008 menunjukkan kelemahan dalam hal kelembagaan dan pengaturan pada sektor jasa keuangan bukan hanya dalam sektor perbankan saja. Reformasi di bidang hukum sektor jasa keuangan diharapkan menjadi salah satu solusi untuk menciptakan sistem penyelesaian dan pencegahan krisis keuangan di masa yang akan datang. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 73 Filosofi pembentukan UU OJK bertujuan agar kegiatan sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan, akuntabel, mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, serta mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat, mengingat sistem keuangan merupakan salah satu komponen penting dalam sistem perekonomian nasional dan seluruh kegiatan jasa keuangan yang menjalankan fungsi intermediasi bagi berbagai kegiatan produktif di dalam perekonomian nasional dan memberikan kontribusi yang cukup signifikan dalam penyediaan dana untuk pembiayaan pembangunan ekonomi nasional. Berdasarkan landasan filosofis dimaksud, perlu dilakukan penataan agar dapat tercapai mekanisme koordinasi yang lebih efektif di dalam menangani permasalahan yang timbul dalam sistem keuangan sehingga dapat lebih menjamin tercapainya stabilitas sistem keuangan. Pengaturan dan pengawasan terhadap keseluruhan kegiatan jasa keuangan tersebut harus dilakukan secara terintegrasi. Oleh karena itu, Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah, memandang diperlukan OJK yang memiliki fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan di dalam sektor jasa keuangan secara terpadu, independen, dan akuntabel. Secara filosofi, OJK sebagai otoritas yang melaksanakan fungsi pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan harus memiliki independensi di dalam melaksanakan tugasnya. Hal ini disebabkan OJK mengawasi kegiatan jasa keuangan dan transaksi keuangan oleh entitas bisnis yang dapat berpotensi terjadinya benturan kepentingan serta berpotensi mempengaruhi kepentingan pihak-pihak tertentu, termasuk pihak Pemerintah. Untuk itu, dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, OJK harus independen atau bebas dari intervensi pihak- pihak berkepentingan, tentunya dalam koridor hukum yang juga menjamin bahwa independensi tersebut dapat dimintakan pertanggungjawabannya. Mengenai landasan sosiologis dapat Pemerintah sampaikan bahwa pembentukan OJK dilatarbelakangi oleh fakta bahwa terjadinya proses globalisasi dalam sistem keuangan dan pesatnya kemajuan di bidang teknologi informasi dan inovasi finansial telah menciptakan sistem keuangan yang sangat kompleks, dinamis, dan saling terkait antar masing- Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 74 masing subsektor keuangan baik dalam hal produk maupun kelembagaan. Di samping itu, adanya lembaga keuangan yang memiliki hubungan kepemilikan di berbagai subsektor keuangan (konglomerasi) telah menambah kompleksitas transaksi dan interaksi antar lembaga-lembaga keuangan di dalam sistem keuangan. Kemudian, banyaknya permasalahan lintas sektoral di sektor jasa keuangan, yang meliputi tindakan moral hazard , belum optimalnya perlindungan konsumen jasa keuangan, dan terganggunya stabilitas sistem keuangan semakin mendorong diperlukannya pembentukan lembaga pengawasan di sektor jasa keuangan yang terintegrasi. Berdasarkan fakta-fakta tersebut, pembentukan OJK didasarkan pula atas pertimbangan perlunya dilakukan penataan kembali struktur pengorganisasian dari lembaga-lembaga yang melaksanakan fungsi pengaturan dan pengawasan di industri jasa keuangan yang mencakup bidang perbankan, pasar modal dan industri jasa keuangan non bank; Penataan dimaksud dilakukan agar dapat dicapai pengawasan sektor jasa keuangan menjadi terintegrasi dan koordinasi di antara subsektor jasa keuangan menjadi lebih mudah sehingga pengawasan dan regulasinya menjadi lebih efektif sehingga dapat lebih menjamin tercapainya stabilitas sistem keuangan dan juga perlindungan konsumen sektor jasa keuangan yang lebih kuat, mengingat semakin rumitnya transaksi dan interaksi antar lembaga-lembaga keuangan di dalam sistem keuangan. Pasal 23D UUD 1945 Merupakan Opened Legal Policy dari Pembuat Undang-Undang dan Pasal 5 dan frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 64, Pasai 65 dan Pasal 66 UU OJK Tidak Bertentangan Dengan Konstitusi Terhadap dalil para Pemohon yang mendalilkan bahwa kewenangan pengaturan dan pengawasan perbankan merupakan turunan langsung dari Pasal 23D UUD 1945, menurut Pemerintah hal tersebut tidak beralasan dan tidak berdasar hukum dikarenakan sebagaimana disampaikan oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. dalam bukunya "Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi" pada halaman 92 yang menyatakan: "Selain itu, nama dan kewenangan bank sentral juga tidak tercantum Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 75 eksplisit dalam UUD 1945. Ketentuan Pasal 23D UUD 1945 hanya menyatakan "Negara memiliki bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan Undang-Undang”. Bahwa bank sentral itu diberi nama seperti yang sudah dikenal seperti selama ini, yaitu "Bank Indonesia", maka hal itu adalah urusan pembentuk Undang-Undang. Demikian pula dengan kewenangan bank sentral itu, menurut Pasal 23D tersebut, akan diatur dengan Undang-Undang." maka kewenangan Bank Indonesia sebagai bank sentral dapat ditentukan oleh pembentuk Undang-Undang melalui Undang-Undang yang dibentuknya dikarenakan Pasal 23D UUD 1945 merupakan ketentuan open legal policy dari pembuat Undang-Undang. Oleh karena itu apabila pembentuk Undang-Undang merasa perlu ada yang diperbaharui dari sistem sektor jasa keuangan termasuk kewenangan suatu lembaga hal tersebut dapat saja dilakukan dan tidak bertentangan dengan konstitusi. Berdasarkan penjelasan tersebut di atas dan mengingat pentingnya sektor jasa keuangan sebagai salah satu komponen penting dalam sistem perekonomian nasional yang menjalankan fungsi intermediasi dalam rangka pembiayaan pembangunan ekonomi nasional agar dapat tercapainya tujuan konstitusional dibentuknya Negara Indonesia dan amanat konstitusional Pasal 33 UUD 1945, maka menurut Pemerintah kewenangan OJK dalam melakukan pengaturan dan pengawasan dalam sektor jasa keuangan sebagaimana termaktub dalam Pasal 5 dan frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU OJK merupakan kewenangan yang tidak melanggar konstitusi dan kewenangan tersebut menunjukkan bahwa OJK memiliki sifat constitutional importance dikarenakan merupakan salah satu instrumen untuk mencapai tujuan dan amanat konstitusional dalam Pembukaan dan Pasal 33 UUD 1945. Apabila para Pemohon mengkhawatirkan adanya penumpukan kewenangan dalam OJK dan dapat menimbulkan potensi moral hazard , menurut pendapat Pemerintah hal tersebut tidak perlu dikhawatirkan dikarenakan UU OJK juga telah memisahkan fungsi pengaturan dengan pengawasan sebagai unsur check and balances di dalam OJK. Hal ini diwujudkan dengan melakukan pemisahan yang jelas antara fungsi pengaturan dan fungsi pengawasan. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 76 Fungsi pengaturan dilakukan oleh Dewan Komisioner (vide Pasal 8) sedangkan fungsi pengawasan dilakukan masing-masing oleh Pengawas Perbankan, Pengawas Pasar Modal dan Pengawas Industri Keuangan Non Bank (vide Pasal 9 huruf b). Dewan Komisioner sebagai organ tertinggi dalam OJK selain menjalankan fungsi pengaturan, juga berperan untuk memastikan masing-masing Pengawas melaksanakan tugasnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun demikian perlu dicatat bahwa Penjelasan Pasal 9 huruf b menyatakan bahwa pengawasan Dewan Komisioner terhadap pelaksanaan tugas Kepala Eksekutif ditujukan untuk mengevaluasi dan memperbaiki kinerja dari Kepala Eksekutif. Pengawasan tersebut tidak dimaksudkan untuk memberi kewenangan kepada Dewan Komisioner untuk mengintervensi atau turut campur terhadap pelaksanaan tugas dan wewenang setiap Kepala Eksekutif. Lebih lanjut, dalam rangka check and balances, di internal OJK terdapat Komite Etik, yaitu organ pendukung Dewan Komisioner yang bertugas mengawasi kepatuhan Dewan Komisioner, pejabat dan pegawai OJK terhadap kode etik. (vide Pasal 1 angka 21). Anggota Dewan Komisioner melanggar kode etik dapat diberhentikan sebelum masa jabatannya berakhir. Pelanggaran kode etik dalam ketentuan ini adalah pelanggaran yang dikategorikan pelanggaran berat dan dilaporkan oleh Dewan Komisioner kepada Dewan Perwakilan Rakyat. (vide Pasal 17 ayat (1)). Dewan Komisioner menetapkan Peraturan Dewan Komisioner mengenai kode etik dan menegakkan kode etik OJK (vide Pasal 32). D. Penjelasan Pemerintah Atas Pendapat Para Pemohon Yang Menyatakan Pasal 34 dan Pasal 37 UU OJK Bertentangan Dengan UUD 1945 Pengaturan Pungutan OJK Dimaksud Telah Sejalan Dengan Ketentuan Pasal 23A UUD 1945 Pengembangan sektor jasa keuangan yang merupakan bagian dari upaya pembangunan nasional dalam rangka upaya peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia ditempuh melalui usaha mewujudkan keseluruhan kegiatan sektor jasa keuangan yang terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 77 keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 33 UUD 1945. UU OJK dibentuk dengan tujuan sebagaimana disebutkan di atas, namun guna mencapai tujuan tersebut diperlukan adanya jaminan sumber pembiayaan yang mampu mendukung efektivitas pelaksanaan tugas dan fungsi sebagai salah satu unsur yang dapat menjadikan OJK sebagai lembaga yang independen dalam pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan. Berdasarkan hal tersebut, maka pembentuk Undang-Undang yaitu DPR dan Pemerintah sepakat dalam hal anggaran OJK bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan sebagaimana termaktub dalam Pasal 34 ayat (2) UU OJK. Ketentuan tersebut bermakna bahwa pembiayaan kegiatan OJK, sewajarnya didanai secara mandiri yang pendanaannya bersumber dari pungutan kepada pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. Selain itu, dalam Pasal 37 UU OJK mengatur bahwa OJK mengenakan pungutan kepada pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan, dan pungutan tersebut merupakan penerimaan OJK. Sebagaimana telah dijelaskan pula dalam penjelasan pasal tersebut yang menyatakan bahwa pembiayaan kegiatan OJK sewajarnya didanai secara mandiri yang pendanaannya bersumber dari pungutan kepada pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. Penetapan besaran pungutan tersebut dilakukan dengan tetap memperhatikan kemampuan pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan serta kebutuhan pendanaan OJK. Pengaturan pungutan OJK dimaksud telah sejalan dengan ketentuan Pasal 23A UUD 1945 yang mengatur bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk kepentingan Negara diatur dengan undang- undang. Sejalan dengan hal tersebut, UU OJK memberikan kewenangan kepada OJK untuk memungut biaya dari industri jasa keuangan, pungutan tersebut merupakan penerimaan OJK dan OJK berwenang untuk menerima, mengelola, dan mengadministrasikan pungutan tersebut Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 78 secara akuntabel dan mandiri. Namun demikian, jika jumlah pungutan telah melebihi kebutuhan pembiayaan OJK, maka kelebihan tersebut disetor ke kas negara sebagai penerimaan negara. Praktik pungutan atau iuran dalam sistem hukum sektor jasa keuangan Indonesia juga telah dikenal sebelumnya dengan adanya Pasal 9 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal yang menyatakan (3) “Bursa Efek dapat menetapkan biaya pencatatan Efek, iuran keanggotaan, dan biaya transaksi berkenaan dengan jasa yang _diberikan; _ (4) Biaya dan iuran sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) disesuaikan menurut kebutuhan pelaksanaan fungsi Bursa Efek. Selain itu, pungutan, iuran atau premi juga dikenal di dalam Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan khususnya pada Bagian Ketiga mengenai Premi. Oleh karena itu, pungutan, iuran, atau premi yang dikenakan kepada para pelaku pasar merupakan praktik yang lazim dalam sistem hukum sektor jasa keuangan di Indonesia dan telah sejalan dengan ketentuan Pasal 23A UUD 1945. Oleh karena itu, Pemerintah berpendapat bahwa dalil Para Pemohon yang menyatakan Pungutan yang dilakukan oleh OJK tidak sesuai dengan UUD 1945 adalah tidak beralasan dan tidak berdasar hukum dikarenakan telah sesuai dengan Pasal 23A UUD 1945. Mekanisme Penganggaran Dan Pungutan OJK Telah Akuntabel Dan Sesuai Dengan Konstitusi Mengingat pada masa awal pembentukan OJK memerlukan pembiayaan dan OJK masih dalam tahap membangun regulasi dan standard operating procedure dalam kelembagaannya, maka untuk memenuhi kebutuhan OJK diberikan alternatif sumber pembiayaan OJK dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Dalam Pasal 34 UU OJK telah menentukan bahwa penetapan rencana dan anggaran OJK oleh Dewan Komisioner harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Memperhatikan hal tersebut, maka sepanjang masih terdapat unsur APBN dalam pembiayaan kegiatan OJK, maka proses penyediaan APBN untuk Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 79 pembiayaan tersebut tidak dapat terlepas dari mekanisme penyusunan dan penetapan APBN yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, beserta peraturan pelaksanaannya. Mengenai penetapan besaran pungutan tersebut dilakukan dengan tetap memperhatikan kemampuan pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan serta kebutuhan pendanaan OJK dan harus dibebankan kepada pihak yang secara langsung menerima manfaat dari efektifnya fungsi pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan oleh OJK, serta standar biaya yang lazim digunakan oleh sektor jasa keuangan atau regulator sektor jasa keuangan sejenis, baik domestik maupun internasional. Hal ini dilakukan agar OJK dapat mengimbangi tuntutan dan dinamika sektor jasa keuangan, baik secara domestik maupun internasional. Pengaturan mengenai pelaporan dan akuntabilitas OJK telah diatur di dalam Pasal 38 UU OJK, yang mengatur bahwa OJK menyusun laporan keuangan dan kegiatan secara periodik atau insidentil apabila DPR memerlukan penjelasan. Terkait laporan keuangan, OJK diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan dan wajib diumumkan kepada publik melalui media cetak dan media elektronik. Selain pengawasan eksternal, mekanisme mengenai pengawasan internal OJK juga telah diatur dalam UU OJK dengan adanya dewan audit sebagai salah satu anggota dewan komisioner. Pungutan OJK Merupakan International Best Practices Agar OJK Dapat Mengimbangi Tuntutan Dan Dinamika Sektor Jasa Keuangan, Baik Secara Domestik Maupun Internasional Selain itu, dapat Pemerintah jelaskan pula bahwa pembiayaan kegiatan pengatur dan pengawas sektor jasa keuangan oleh industri jasa keuangan dalam bentuk pungutan merupakan praktik yang lazim di banyak negara. Sebagai contoh, Office of the Comptroler of the Currency (OCC) di Amerika Serikat (USA) memungut biaya dari bank secara semi-annuaily yang didasarkan pada skala usaha bank sesuai dengan total asetnya. Selain itu terdapat tambahan pungutan dengan persentase tertentu sesuai dengan peringkat risiko bank. Selain hal tersebut di atas, OCC Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 80 memperoleh pendapatan dari memproses aplikasi perusahaan, Investasi terutama pada US-Treasury, pungutan atas pemeriksaan khusus/investigasi tertentu ( special examination ), pungutan atas perizinan, serta pendapatan lainnya (kegiatan seminar, penjualan publikasi, dan sebagainya). Tidak terlalu berbeda dengan OCC, Office Of Superintendent Of Financial Institute (OSFI) di Kanada memiliki pendanaan bersumber dari pungutan atas penilaian terhadap lembaga keuangan yang diperhitungkan baik berbasis total aset, berbasis premi, maupun berbasis keanggotaan. Pungutan terhadap bank berbasis total aset, pungutan terhadap asuransi berbasis premi. pungutan terhadap loan company (seperti BPR) berbasis keanggotaan. Di samping itu, OSFI juga memperoleh bantuan dari Canadian International Development Agency (CIDA) terutama untuk asistensi internasional, pendapatan dari pemerintah daerah (dalam hal OSFI membantu melakukan pengawasan terhadap beberapa institusi di Pemerintah Daerah berdasarkan kontrak), dan pendapatan dari lembaga pemerintahan. Di belahan benua Asia, Financial Services Supervisory (FSS) Korea selatan memperoleh pendanaan dari Supervisory Fee , yaitu pungutan yang dikenakan kepada lembaga keuangan sehubungan dengan kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh FSS, termasuk pemeriksaan yang dilakukan oleh FSS selain Supervisory Fee , FSS juga memungut Issuer Regulatory Fee , yaitu pungutan yang dikenakan kepada Issuer ( Emiten ) sehubungan dengan pengajuan perizinan kepada FSC-Korea sesuai dengan Exchange Act ( Capital Market ). Supervisory Fee dikenakan berdasarkan pada kewajiban ( debt liabilities ) dari institusi lembaga keuangan, sementara Issuer Regulatory Fee dikenakan berdasarkan pada jumlah dan jenis dari surat berharga/sekuritas yang diterbitkan; Selain contoh negara-negara di atas, terdapat banyak contoh negara yang pembiayaan OJKnya sepenuhnya dilakukan melalui pungutan dari industri, misalnya Belgia, Bolivia, Bosnia, Ekuador, Jerman, Hungaria, Islandia, Latvia, Norwegia, Luxemburg, Malta, Mexico, Panama, Swedia, Peru, Switzerland, Turki dan Inggris; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 81 Sementara itu, terdapat juga regulator di beberapa negara yang kegiatannya dibiayai oleh industri dan anggaran negara, misalnya Austria, El-Salvador, Guatelama, Nikaragua, dan Venezuela. Sedangkan regulator yang sepenuhnya dibiayai oleh negara antara lain Chile, China, Costa Rica, Kazakhstan, Lebanon, Jepang dan Uruguay. IV. Dampak Jika Dikabulkannya Permohonan Para Pemohon Dikabulkannya Permohonan A Quo Dapat Mengganggu Pelaksanaan Tugas-Tugas Pengawasan Dan Pengaturan Di Sektor Jasa Keuangan Dan Akan Membahayakan Industri Perbankan Dan Kosumen Serta Perekonomian Nasional Berdasarkan penjelasan yang telah disampaikan di atas, dan mengingat peran penting Otoritas Jasa Keuangan sebagai pengatur dan pengawas sektor jasa keuangan yang merupakan salah satu komponen penting dalam sistem perekonomian nasional yang menjalankan fungsi intermediasi bagi berbagai kegiatan produktif di dalam perekonomian nasional dan memberikan kontribusi yang cukup signifikan dalam penyediaan dana untuk pembiayaan pembangunan ekonomi nasional terutama dalam rangka menjalankan tujuan konstitusional dibentuknya Negara Indonesia dan amanat konstitusional Pasal 33 UUD 1945. Oleh karena itu, apabila dikabulkannya permohonan a quo dan diterimanya argumentasi para Pemohon, maka hal tersebut akan mengganggu pelaksanaan tugas-tugas pengawasan di perbankan dan akan membahayakan industri perbankan dan kosumen. Selain itu, dikabulkannya permohonan a quo dapat menimbulkan risiko bagi perekonomian akibat lemahnya pengawasan terhadap konglomerasi sektor jasa keuangan dan produk-produk lintas sektor jasa keuangan, sehingga pada akhirnya perlindungan terhadap konsumen di sektor jasa keuangan menjadi terbengkalai. Selain itu berdasarkan ketentuan peralihan Pasal 55 UU Otoritas Jasa Keuangan, kewenangan pengaturan dan pengawasan di bidang pasar modal dan lembaga keuangan telah beralih dari Menteri Keuangan dan Bapepam-LK kepada Otoritas Jasa Keuangan sejak 31 Desember 2012 dan kewenangan pengaturan dan pengawasan di bidang perbankan telah beralih dari Bank Indonesia kepada Otoritas Jasa Keuangan sejak 31 Desember 2013. Berdasarkan hal tersebut, apabila permohonan Pemohon dikabulkan maka Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 82 akan menghambat tugas dan fungsi pengawasan pasar modal, lembaga keuangan dan perbankan dikarenakan pengalihan kewenangan pengaturan dan pengawasan dari Otoritas Jasa Keuangan kepada Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan dapat menyebabkan kekosongan hukum di pengawasan dan pengaturan sektor jasa keuangan sehingga akan berdampak sangat negatif pada perekonomian nasional dan para pelaku pasar. Selain itu, dampak dikabulkannya permohonan Pemohon akan menimbulkan konsekuensi pengawasan sektor jasa keuangan akan kembali menjadi pengawasan sektoral yang tidak terintegrasi, yang berpotensi menimbulkan risiko bagi perekenomian akibat lemahnya pengawasan terhadap konglomerasi sektor jasa keuangan dan produk-produk lintas sektor jasa keuangan, sehingga pada akhirnya perlindungan terhadap konsumen di sektor jasa keuangan akan menjadi terbengkalai. V. Kesimpulan Berdasarkan keterangan dan argumentasi tersebut di atas, dapat Pemerintah sampaikan kesimpulan sebagai berikut:
Bahwa para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan permohonan pengujian ketentuan Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37 dan frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan ..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasai 55, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU OJK karena permohonan para Pemohon tidak terkait dengan konstitusionalitas norma.
Permohonan provisi para Pemohon tidak beralasan dan tidak berdasar hukum dikarenakan para Pemohon tidak dapat menjelaskan secara spesifik terkait keadaan yang mendesak mengapa Mahkamah Konstitusi harus mengeluarkan putusan provisi dalam perkara a quo . Selain itu, dikabulkannya permohonan provisi para Pemohon dapat menimbulkan kerancuan dan ketidakpastian hukum bagi para pelaku pasar di sektor jasa keuangan dan konsumen termasuk dalam OJK.
Ketentuan Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37 dan frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan ..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU OJK sama sekali tidak bertentangan dengan UUD 1945. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 83 Oleh karena itu, Pemerintah memohon kepada yang terhormat Ketua/Majelis Hakim Konstitusi yang memeriksa dan memutus permohonan uji materiil Pasai 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37 dan frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan ..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU OJK, dapat memberikan putusan sebagai berikut:
Menyatakan bahwa para pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum ( legal standing );
Menolak Permohonan Provisi para Pemohon untuk seluruhnya;
Menolak permohonan pengujian para Pemohon seluruhnya atau setidak- tidaknya menyatakan permohonan pengujian para Pemohon tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard );
Menerima Keterangan Presiden secara keseluruhan;
Menyatakan ketentuan Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37, dan frasa "... tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan..." dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU OJK tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan tetap berlaku di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; Namun demikian apabila Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya ( ex aequo etbono ). [2.4] Menimbang bahwa untuk membuktikan keterangannya, Presiden dalam persidangan tanggal 8 Oktober 2014, tanggal 28 Oktober 2014, tanggal 12 November 2014, dan tanggal 1 Desember 2014 mengajukan 13 (tiga belas) ahli yakni Prof. Dr. Saldi Isra, S.H., MPA., Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum., Dr. Maruarar Siahaan, S.H., Dr. Zainal Arifin Moechtar, S.H., LL.M., Prof. Erman Rajagukguk, S.H., LL.M., Ph.D., Dr. Sihabudin, S.H., M.H., Refly Harun, S.H., LL.M., Dr. Mulia P.Nasution, D.E.S.S., Dr. Harjono, S.H., MCL., Prof. Achmad Zen Umar Purba, S.H., LL.M, Prof. Dr. Yuliandri, S.H., M.H., Prof. Wihana Kirana Jaya, MsocSc., PhD, dan Prof. Dr. Nindyo Pramono, S.H., MS., yang memberikan keterangan lisan di bawah sumpah/janji dalam persidangan tersebut dan/atau menyerahkan keterangan tertulis yang mengemukakan hal-hal sebagai berikut:
Prof. Dr. Saldi Isra, S.H., MPA Apabila hendak disederhanakan, pokok permohonan pengujian Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK) adalah Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 84 perihal konstitusionalitas kehadiran/keberadaan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai salah satu lembaga atau komisi negara independen. Sebagai lembaga negara baru yang secara umum diberi tugas melakukan pengawasan secara terintegrasi terhadap seluruh kegiatan pada sektor jasa keuangan, kehadiran OJK dinilai Pemohon (1) tidak memiliki landasan konstitusional (karena tidak memiliki cantolan di dalam UUD 1945), (2) kehadiran OJK hanya dimandatkan dalam UU tentang Bank Indonesia, (3) fungsi pengawasan Bank Indonesia terhadap bank direduksi oleh OJK, (4) independensi OJK, (5) terjadinya penumpukan kewenangan pada OJK sehingga akan menjadi lembaga super-body , dan (6) kehadiran OJK dinilai merugikan pihak yang meiakukan kegiatan di sektor jasa keuangan karena adanya pungutan. Semua alasan tersebutlah yang menjadi alasan atau dasar bagi Pemohon untuk mempersoalkan konstitusionalitas keberadaan OJK; Sehubungan dengan pokok permohonan pengujian ini, secara terbatas, saya hanya akan menjelaskan sisi kelembagaan yang meliputi:
kedudukan, (2) sumber kewenangan, (3) pemindahan fungsi pengawasan bank dari Bl ke OJK, dan terakhir (4) independensi OJK. Adapun perihal pungutan yang dilakukan OJK dalam rangka melaksanakan tugas dan kewenangannya sebagaimana juga dipersoalkan Pemohon tidak akan diulas. Sebab, menurut ahli masalah itu hanyalah sebuah konsekuensi dari kehadiran sebuah lembaga, di mana jika UU memberi kewenangan untuk itu, maka tidak beralasan untuk mempersoalkan konstitusionalitasnya. Lagi pula, apabila soal kelembagaan OJK telah diselesaikan, masalah kewenangan (termasuk melakukan pungutan) dengan sendirinya akan terurai; Sehubungan dengan masalah kelembagaan, saya akan menerangkan empat pokok pembahasan terkait OJK. Pertama, kedudukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai lembaga negara. OJK, sama halnya dengan Bank Indonesia berkedudukan sebagai lembaga negara. Dalam UU 21/2011 didefenisikan, OJK adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan. Adapun Bank Indonesia didefenisikan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagai lembaga negara yang independen, bebas dari campur tangan Pemerintah dan atau pihak-pihak lainnya, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 85 Undang-Undang ini; Dari sisi defenisi, memang terdapat sedikit perbedaan antara OJK dan Bank Indonesia terkait penggunaan kata "negara". Di mana, untuk defenisi Bank Indonesia digunakan frasa "lembaga negara" yang independen. Sedangkan OJK hanya disebut sebagai "lembaga" yang independen. Tanpa ada kata "negara"; Hanya saja, pendefenisian seperti itu (tanpa menggunakan frasa "lembaga negara") tidak saja untuk OJK, tetapi juga dipakai mendefenisikan lembaga- lembaga negara lain. Di antaranya, Komisi Pemilihan Umum didefenisikan sebagai, lembaga penyelenggara Pemilu...dst. Tanpa ada kata "negara". Demikian juga dengan Badan Pengawas Pemilu dalam UU 15/2011 yang didefenisikan sebagai, lembaga penyelenggara Pemilu...dst. Hal yang sama juga ditemukan dalam Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga didefenisikan sebagai dengan frasa lembaga mandiri...dst; Pertanyaannya, apakah defenisi yang menggunakan frasa "lembaga negara" atau hanya kata "lembaga" menunjukkan perbedaan status atau kedudukan lembaga tersebut? Dalam arti, hanya lembaga yang menggunakan frasa "lembaga negara" saja yang berkedudukan sebagai lembaga negara, sedangkan yang menggunakan kata "lembaga" tidak berkedudukan sebagai lembaga negara? Apakah demikian? Pada dasarnya adanya frasa "lembaga negara" atau hanya kata "lembaga" tidak mempengaruhi status dan kedudukan sebuah lembaga sebagai lembaga negara. Sebab, sepanjang suatu lembaga dibentuk untuk melaksanakan fungsi- fungsi negara mengamini pendapat Hans Kelsen-, maka lembaga dimaksud adalah lembaga negara. Sejalan dengan soal itu, mengutip Jimly Asshiddiqie, baik "lembaga pemerintahan", "lembaga non-pemerintahan", "lembaga negara" atau "lembaga" saja, semuanya termasuk dalam kategori lembaga negara; Oleh karena itu, sekalipun OJK hanya didefenisikan dengan kata "lembaga" saja, bukan berarti OJK tidak berkedudukan sebagai lembaga negara. Sebab, sudah sangat tegas dinyatakan dalam UU 21/2011 bahwa salah satu tujuan OJK adalah terselenggaranya sektor jasa keuangan secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel yang merupakan bagian dari fungsi negara. Adapun OJK dibentuk untuk menjalankan fungsi dimaksud, yaitu untuk mengawasi berjalannya sektor jasa keuangan. Sehingga tidak perlu diragukan lagi bahwa OJK berkedudukan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 86 sebagai lembaga negara, sama halnya dengan Bl yang juga berkedudukan sebagai lembaga negara; Walaupun sama-sama berkedudukan sebagai lembaga negara, OJK dan Bank Indonesia memiliki derajat kedudukan yang berbeda sebagai lembaga negara. Bank Indonesia merupakan lembaga yang dibentuk sebagai konsekuensi ketentuan Pasal 23D UUD 1945 yang menyatakan, negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan UU. Dalam hal ini, kehadiran bank sentral yang kemudian diberi nama dengan Bank Indonesia merupakan mandat UUD 1945. Artinya, sumber norma yang menjadi dasar keberadaan Bank Indonesia adalah UUD 1945; Sedangkan kehadiran OJK merupakan konsekuensi Pasal 34 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang menyatakan, tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan Undang-Undang. Lalu, berdasarkan ketentuan tersebut dibentuklah lembaga pengawas sektor jasa keuangan yang diberi nama dengan OJK; Perbedaan dasar hukum pembentukan Bl dan OJK memiliki konsekuensi terhadap tidak samanya kekuatan keduanya. Dalam arti, karena dasar pembentukan Bl berasal dari UUD 1945, maka lembaga ini tidak dapat dibubarkan hanya karena kebijakan pembentuk Undang-Undang. Jika hendak membubarkan Bl atau bank sentral, harus melalui perubahan UUD 1945. Inilah yang menyebabkan keberadaan Bl menjadi kuat. Sementara kedudukan OJK tidak sekuat Bl. Sebab, kekuatan lembaga ini hanya berbasis pada Undang-Undang. Di mana, jika pembentuk Undang-Undang sepakat membubarkan OJK, maka cukup hanya melalui perubahan atau pencabutan Undang-Undang. Artinya, pembubaran OJK tidak harus melalui perubahan UUD 1945 yang jauh lebih sulit; Perbedaan sumber norma pembentukan dua lembaga tersebut tidak dapat dijadikan dasar penilaian konstitusionalitas atau tidaknya lembaga yang ada. Sebab, baik lembaga yang dibentuk karena perintah UUD 1945 maupun lembaga yang hadir karena perintah Undang-Undang sama-sama konstitusional sepanjang dibuat oleh lembaga yang berwenang dan sesuai wewenang yang dimilikinya. Jadi, perbedaan dasar hukum tidak menjadi alasan mempersoalkan konstitusionalitas sebuah lembaga atau komisi negara; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 87 Selain itu, apabila ukuran konstitusionalitas keberadaan sebuah lembaga negara hanya atas dasar ada tidaknya perintah UUD 1945 sebagaimana didalilkan Pemohon, tentunya bukan hanya OJK yang akan dikatakan inkonstitusional. Sebab, banyak lembaga/komisi negara lainnya yang kehadirannya tidak diperintahkan UUD 1945, melainkan hadir melalui sebuah UU atau bahkan hanya peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang. Misalnya KPK hadir berdasarkan UU No 30/2002 dan tidak satupun norma dalam UUD 1945 yang memerintahkan pembentukannya. Begitu juga dengan Bawaslu, tidak ditemukan adanya norma yang secara eksplit memerintahkan pembentukannya. Dua lembaga terakhir tersebut juga hadir atas dasar Undang-Undang dan bukan perintah langsung UUD 1945. Di mana, keberadaan dua lembaga tersebut adalah konstitusional. Jadi, akan menjadi sangat keliru jika dasar penilaian konstitusionalitas sebuah lembaga hanya atas kategori ada tidaknya perintah atau cantolan ketentuan UUD 1945 sebagai dasar membentuknya; Selanjutnya yang Kedua, sumber kewenangan Bl dan OJK. Baik Bl maupun OJK sama-sama lembaga negara yang kewenangannya diberikan melalui Undang-Undang, bukan UUD 1945. Terkait kewenangan bank sentral/BI, Pasal 23D UUD 1945 menyatakan, ...suatu bank sentral yang kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan Undang-Undang. Pasal 23D UUD 1945 mendelegasikan pengaturan tentang kewenangan Bl kepada Undang-Undang. Artinya, kewenangan Bl akan diatur dalam Undang-Undang yang mengatur tentang Bl. Dengan demikian, sumber kewenangan Bl adalah Undang-Undang, bukan UUD 1945. Dalam hal ihwal ini, Bl masuk dalam kategori lembaga negara yang keberadaanya diatur di dalam UUD 1945, tetapi kewenangannya diatur dalam UU, yaitu UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bl; Dalam konteks sumber kewenangan, derajat kedudukan OJK menyamai Bl. Sebab, kewenangan OJK juga berasal dari UU, yaitu UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK. Dalam hal ini, sekalipun pengakuan keberadaannya tidak bersumber dari UUD 1945, tetapi semua hal terkait keberadaan, kedudukan dan kewenangannya bersumber dari Undang-Undang. Dalam hal sumber kewenangan inilah posisi Bl dan OJK dapat disebandingkan; Ketiga, terkait keabsahan pemindahan fungsi pengaturan dan pengawasan bank dari Bl kepada OJK melalui UU Bank Indonesia. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, pengaturan segala tugas dan wewenang Bl diserahkan kepada Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 88 pembentuk Undang-Undang. Terkait hal itu, pembentuk UU berwenang menentukan apa saja yang akan diatur sebagai kewenangan Bl. Karena itu, tugas, wewenang dan fungsi Bl sebagai bank sentral sepenuhnya menjadi kewenangan DPR dan Presiden (sebagai pembentuk Undang-Undang) menentukannya. Artinya, bila terdapat wewenang yang diberikan kepada bank sentral, lalu kemudian wewenang tersebut diambil atau dialihkan kepada lembaga lain yang juga dibentuk berdasarkan kewenangan pembentuk Undang-Undang, maka hal itu tidak dapat dipersoalkan konstitusionalitasnya; Sehubungan dengan itu, dalam kaitannya dengan keberadaan Bl dan OJK, di mana Pemohon menilai bahwa Bl lebih memiliki landasan konstitusional dibanding-kan OJK dalam melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan bank adalah tidak tepat. Sebab, penentuan kewenangan bank sentral merupakan wewenang pembentuk Undang-Undang. Apakah wewenang tertentu diberikan kepada Bl atau mungkin dicabut atau dialihkan dari Bl, berdasarkan Pasal 23D UUD 1945 sepenuhnya menjadi hak DPR dan Presiden. Termasuk memindahkan sebagian kewenangan Bl kepada OJK yang dibentuk berdasarkan mandat Pasal 34 ayat (1) UU Bl; Oleh karena itu, pemindahan kewenangan tersebut konstitusional adanya. Apalagi pemindahan kewenangan dimaksud dilakukan melalui Undang-Undang. Keberadaan OJK yang dibentuk dengan Undang-Undang dan kedudukan Bl yang dibentuk berdasarkan UUD 1945 sama-sama konstitusional. Di mana, apapun kewenangan yang diberikan pada kedua lembaga negara tersebut tidak dapat dipersoalkan konstitusionalitasnya sepanjang dilakukan sesuai kewenang Presiden dan DPR sebagai primary legislator ; Terakhir atau yang Keempat adalah persoalan independensi OJK. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, OJK itu adalah sebuah lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya...dst. Harus dipahami, bahwa frasa "independen" menunjuk pada kedudukan OJK sebagai lembaga negara yang berada di luar kekuasaan Pemerintah. Dalam hal ini, independensi OJK menunjukkan lembaga ini bukan institusi yang berada di bawah Presiden, melainkan sebuah lembaga negara yang diberikan kewenangan menjalankan fungsi negara yang diberikan kepadanya. Independensi OJK sama dengan Bl. Dalam hal ini, misalnya Bl, jika diletakkan dalam rumpun lembaga negara, Bl berada dalam rumpun eksekutif. Upaya memberikan label " independent " dilakukan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 89 untuk memberikan jarak dengan pemegang kekuasaan eksektif agar terhindar dari pengaruh dinamika politik. Jimly Asshiddiqie (2007) menggambarkan hal itu dilakukan sebagai bentuk kesengajaan melepaskan Bank Sentral dari kewenangan mutlak pemegang atau kepala pemerintahan. Karenanya, dengan memberi tambahan independen, BS hadir menjadi semacam a quasi executive entity . Begitu juga OJK, kehadirannya secara konstitusional didasarkan atas ketentuan 33 UUD 1945 dan UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang merupakan turunan dari Pasal 23D UUD 1945. Jadi, sifat independensi bank sentral juga dapat dilekatkan kepada OJK; Kehadiran berbagai komisi negara independen bukan fenomena yang hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga terjadi di banyak negara di dunia, seperti Inggris, Afrika Selatan, Thailand dan Amerika Serikat. Secara umum, hadirnya komisi negara independen ditujukan untuk menyempurnakan proses demo-kratisasi yang terus berkembang seiring dengan perubahan kondisi sosial politik yang terjadi; Di sisi lain, keberadaan lembaga negara atau komisi negara independen di berbagai negara juga merupakan bentuk koreksi atas kemapanan peng- klasifikasian kekuasaan pemerintah negara yang ada sebelumnya. Di mana, cabang kekuasaan negara hanya dikelompokkan menjadi tiga, yaitu kekuasaan membuat Undang-Undang (legislatif), kekuasaan pemerintah (eksekutif) dan kekuasaan kehakiman (yudisial). Ketika cabang kekuasaan yang telah ada tersebut dianggap tidak lagi mampu, bahkan sebagiannya dinilai menurun kredibilitasnya dalam melaksanakan tugasnya, sehingga membutuhkan institusi di luar cabang kekuasaan tersebut untuk menutupi kelemahan yang ada; Terkait dengan hal tersebut, Asimow dalam bukunya Administrative Law (2002) menyatakan most administrative agencies fall in the executive branch, but some important agencies are independent . Organ negara ( state organs ) yang diidealkan independen dan karenanya berada di luar cabang kekuasaan eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Dalam hal ini, William F. Funk & Richard H. Seamon mengatakan, lembaga independen itu tidak jarang mempunyai kekuasan " quasi legislative ", " quasi executive " dan " quasi judicial ". Sementara itu, komisi yang berada di bawah eksekutif sering disebut dengan executive agencies. Namun executive agencies tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai lembaga independen karena pada prinsipnya dibentuk menjalankan tugas-tugas eksekutif; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 90 Sebuah lembaga negara/komisi negara dikatakan independen bila dinyatakan secara tegas (eksplisit) dalam dasar hukum pembentukkannya, baik yang diatur dalam UUD atau Undang-Undang. Kemudian, pengisian pimpinan lembaga bersangkutan tidak dilakukan oleh satu lembaga saja. Selanjutnya, sebagaimana dikemukakan Asimov, dalam teori hukum tata negara, sebuah lembaga dikatakan independen apabila pemberhentian anggota lembaga yang hanya dapat dilakukan berdasarkan sebab-sebab yang diatur dalam Undang- Undang pembentukan lembaga yang bersangkutan Ciri lainnya menurut William J Fox Junior, presiden dibatasi untuk tidak secara bebas memutuskan ( discretionary decision ) pemberhentian sang pimpinan lembaga. Tidak hanya itu, Funk and Seamon menambahkan bahwa lembaga negara independen bila pimpinan yang kolektif, tidak dikuasai/mayoritas berasal dari partai politik tertentu; dan masa jabatan para pemimpin tidak habis secara bersamaan, tetapi bergantian ( staggered terms ); Dalam konsep atau teori itulah sebetulnya indepensi OJK harus dipahami. Independensi OJK bukan bermakna bahwa peran negara dalam penyelenggaraan perekonomian nasional menjadi berkurang. Sebab, kehadiran OJK bukan dalam rangka menarik keluar urusan yang seharusnya menjadi fungsi pemerintahan negara, melainkan tetap dilakukan oleh negara melalui pembagian urusan terkait perbankan dan perekonomian nasional kepada beberapa lembaga negara. Di mana, awalnya hanya menjadi kewenangan Bl semata, sekarang sebagiannya diserahkan kepada OJK; Selain itu, sekalipun ditempatkan sebagai lembaga negara independen, pelaksanaan tugas OJK juga tetap terikat dan terkait dengan pelaksanaan tugas pemerintah dan Bank Indonesia. Di mana, secara struktural keterkaitan pelaksanaan tugas OJK diwujudkan dalam bentuk dijabatnya dua Komisioner OJK secara ex-oficio oleh pejabat eleson I pada Kementerian Keuangan dan Anggota Dewan Gubernur Bl. Sedangkan 7 orang anggota Dewan Komisioner lainnya diisi melalui proses seleksi. Hal itu menunjukkan bahwa sifat independensi OJK tetap dalam kerangka keterkaitan tugasnya mengawal perekonomian nasional bersama Kementerian Keuangan dan Bl; Selanjutnya, posisi OJK sebagai sebuah lembaga negara yang independen juga memiliki konsekuensi logis terhadap kewenangan yang dimilikinya. Salah satunya, kewenangan membentuk atau menerbitkan berbagai peraturan yang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 91 berkedudukan sebagai peraturan pelaksana Undang-Undang. Di mana, peraturan- peraturan yang dibuat mengikat seluruh pihak dan berlaku ke luar dan ke dalam. Bahkan merujuk pada sistem perundang-undangan kita, lembaga negara/komisi negara mempunyai ruang untuk membentuk peraturan yang sifatnya regeling ; Lalu, bagaimana indepensi OJK jika dikaitkan dengan Pasal 33 UUD 1945 sebagai dasar konstitusional pembentukannya? Karena terintegrasi dengan sistem perekonomian, apakah kemudian independensinya tidak akan terjaga? Dalam hal ini, dapat dipastikan bahwa tugas dan fungsi OJK terkait erat dengan penyelenggaraan perekonomian nasional. Namun bukan berarti hal itu secara serta merta akan merusak atau menghilangkan indenpendensi OJK. Harus diingat, independen adalah sifat objektif kelembagaan OJK dalam melaksanakan fungsinya sebagaimana telah disinggung sebelumnya. Hanya saja, dalam pelaksanaan fungisnya tentu saja terbuka ruang untuk terjadi penyimpangan. Walaupun demikian, persoalan ini tentu bukan masalah konstitusionalitas norma Undang-Undang OJK, melainkan soal pelaksanaan norma oleh pejabat di lembaga tersebut; Sebelum mengakhiri keterangan ini, ahli juga akan menyinggung bagaimana hubungan antara Kementerian Keuangan, Bl, dan OJK. Di mana, tiga institusi tersebut memiliki kewenangan yang saling bersinggungan satu sama lain. Lebih-lebih lagi Bl dengan OJK. Secara struktural, Bl dan Kementerian Keuangan menjadi bagian dari Dewan Komisioner OJK. Dengan demikian, kedua institusi tersebut sekalipun bukan mayoritas di OJK, tetapi tetap memiliki kewenangan untuk turut mempengaruhi keputusan-keputusan yang akan dibuat OJK. Selain mempengaruhi, kehadiran Bl dan Kementerian Keuangan juga dapat memastikan langkah-langkah pengawasan jasa keuangan yang dilakukan OJK terintegrasi atau terkoordinasi dengan agenda-agenda urusan keuangan yang diurus oleh Pemerintah dan Bank Indonesia; Dari segi tujuan, Kementerian Keuangan bertujuan untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan. Adapun OJK hadir untuk teraturnya sektor jasa keuangan, terwujudnya sistem keuangan yang stabil serta terlindunginya kepentingan konsumen. Sedangkan Bl bertujuan untuk memelihara kestabilan nilai rupiah. Tujuan ketiga lembaga tersebut saling terkait satu sama lain. Di mana, semua akan mendukung pencapaian mewujudkan pemajuan kesejahteraan umum yang dimaksud dalam Pembukaan UUD 1945; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 92 Dengan tujuan yang saling berhubungan serta ada jaminan terkoordinasinya tugas tiga lembaga tersebut secara struktural, maka kehadiran OJK justru akan dapat menutupi berbagai kelemahan yang ada sebelumnya. Dengan begitu, pandangan yang menyatakan bahwa kehadiran OJK telah mereduksi dan melemahkan peran Bl justru kehilangan relevansinya. Hal yang terjadi justru sebaliknya, di mana kehadiran OJK akan dapat memperkuat pelaksanaan tugas pengawasan jasa keuangan yang ada. Pada saat bersamaan juga dapat membantu terselenggaranya urusan pemerintahan dibidang keuangan secara lebih baik;
Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M.HUM Hadirnya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam sistem tata kelola keuangan di Indonesia ( finance governance ) memberikan harapan positif terhadap upaya penguatan sektor jasa keuangan, agar dapat tumbuh menjadi sektor jasa yang profesional dan berorientasi untuk melayani serta melindungi masyarakat pengguna jasa keuangan secara lebih baik. Tugas pemerintah dalam negara hukum modern ( moderne rechsstaat ) menurut Hughes (1994:
meliputi 7 (tujuh) macam, yaitu: 1 . _Providing economic insfrastructure;
Provision of various_ _collectieve goods and service;
The resolution and adjustment of group conflicts; _ _4. The maintanance of competititon;
Protection of natural resources;
Provision_ _for minimum access by individuals to the goods and services of the economy;
_ Stabilisation of the economy. Jika merujuk pendapat tersebut, kehadiran OJK kiranya dapat memenuhi fungsi untuk mewujudkan stabilitas ekonomi melalui tujuan dari pembentukan OJK sebagaimana diatur pada Pasal 4 UU Nomor 21 Tahun 2011, yaitu agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan:
terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel;
mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan
mampu melindungi kepentingan Konsumen dan masyarakat; Sesuai dengan amanah Pasal 34 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia, telah lahir Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Lembaga Otoritas Jasa Keuangan (OJK). UU tersebut diberlakukan mulai 1 Januari 2013. Lembaga independen tersebut ditugaskan untuk mengatur dan mengawasi lembaga keuangan bank dan non-bank. Lembaga keuangan non-bank yang diawasi oleh OJK adalah Asuransi, Dana Pensiun, Bursa Effek/Pasar Modal, Modal Ventura, Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 93 Perusahaan Anjak Piutang, reksadana, perusahaan pembiayaan. Dengan mulai beroperasinya Lembaga tersebut, maka sejak republik ini berdiri baru pertama kalinya lahir Lembaga Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang mengawasi lembaga secara terintegrasi yaitu lembaga keuangan bank dan non bank. Lembaga independen tersebut mengambil alih tugas pengawasan lembaga keuangan bank dan non bank yang selama ini dilakukan oleh Bank Indonesia sebagai pengawas Bank dan Bapepam-LK untuk lembaga keuangan non bank. Pola pembentukan institusi OJK menyerupai pembentukan KPK dan cukup banyak state auxiliary agencies lain yang sifatnya constitutionally important. Artinya, dengan memahami hakikat makna ketentuan-ketentuan dalam konstitusi untuk mewujudkan sistem tatakelola perekonomian yang baik, maka hal itu mendasari konsiderasi pembentukan OJK. Meskipun, sama halnya dengan landasan eksistensi KPK dan beberapa state auxiliary agencies lain, tidak semua hal yang diperlukan dalam kehidupan ketatanegaraan dan pemerintahan harus diatur secara eksplisit dan rinci dalam konstitusi, mengingat cakupan ruang lingkup materi muatan konstitusi yang lazimnya bersifat terbatas sebagai norma dasar tertinggi dalam suatu negara. Namun, dalam suatu hal yang bersifat urgen terdapat hal-hal yang secara konstitusional dianggap penting untuk dibentuk/dilaksanakan dalam praksis ketatanegaraan; Kiranya, konsiderasi UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK sudah konsisten dengan dasar pengaturan bagi lahirnya OJK dan maksud pembentuk UUD Negara RI 1945 untuk mewujudkan tata kelola perekonomian yang baik sebagaimana diatur pada Pasal 34 UU Bank Indonesia yaitu:
. untuk mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, diperlukan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan yang terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat;
. berdasarkan pertimbangan tersebut, diperlukan otoritas jasa keuangan yang memiliki fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan serta pengawasan terhadap kegiatan di dalam sektor jasa keuangan secara terpadu, independen, dan akuntabel. Penjabaran kewenangan OJK dalam substansi UU OJK juga telah konsisten secara intensional maupun gramatikal dengan delegasi kewenangan yang diberikan terhadap UU Nomor 21 Tahun 2011; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 94 Urgensi OJK Krisis keuangan yang terjadi di Asia merupakan implikasi kelemahan kualitas sistem keuangan di Asia. Pada bulan Juli 1997, Indonesia mulai terkena dampaknya karena struktur ekonomi nasional Indonesia yang masih lemah untuk menghadapi krisis global tersebut. Hal itu menyebabkan kurs rupiah terhadap dolar AS melemah pada tanggal 1 Agustus 1997 dan diikuti penutupan 16 bank bermasalah oleh pemerintah pada bulan November 1997. Kemudian, pemerintah dan Bank Indonesia membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) untuk mengawasi 40 bank bermasalah lainnya dan mengeluarkan kebijakan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dalam rangka membantu bank-bank bermasalah tersebut. Kebijakan BLBI tersebut tidak berjalan efektif karena dana bantuan tersebut disalahgunakan oleh sejumlah pihak. Hal itu memperburuk citra perbankan dan sistem pengawasan perbankan yang dilakukan oleh BI. Bank Indonesia yang bertindak sebagai pengatur dan pengawas di sektor perbankan diarahkan untuk mengoptimalkan fungsi perbankan Indonesia agar tercipta sistem perbankan yang sehat secara menyeluruh maupun individual, dan mampu memelihara kepentingan masyarakat dengan baik, berkembang secara wajar serta bermanfaat bagi perekonomian nasional. Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997-1998 yang dialami Indonesia mengharuskan pemerintah melakukan pembenahan di sektor perbankan dalam rangka melakukan stabilisasi sistem keuangan dan mencegah terulangnya krisis. Pada tahun 1999-2004, pemerintah melakukan program penyehatan perbankan, rekapitalisasi bank umum dan restrukturisasi kredit perbankan, serta pemantapan ketahanan sistem perbankan dan prinsip kehati-hatian bank, yang meliputi pengembangan infrastruktur perbankan, peningkatan Good Corporate Governance dan penyempurnaan pengaturan serta sistem pengawasan bank. Pada tahun 2004, pemerintah memulai implementasi Arsitektur Perbankan Indonesia (API) yang merupakan landasan dan arah kebijakan perbankan dalam jangka panjang serta beberapa program dalam Arsitektur Keuangan Indonesia (ASKI), guna menciptakan landasan dalam membangun sistem keuangan yang kokoh dan mampu menunjang kegiatan perekonomian nasional secara berkesinambungan (Herry Rocky, 2012, Perkembangan Perbankan 1990-2010 (http: //herryrocky.blogspot.com/2012/03/perkembangan-perbankan-1990- 2010.html, diakses 9 Juli 2012); Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 95 Pengalaman Indonesia menghadapi krisis ekonomi pada tahun 1997-1998 dan tahun 2008 yang mengakibatkan terjadinya krisis multidimensi yang berdampak sangat besar terhadap perekonomian nasional, memberikan gambaran pentingnya peranan jasa keuangan dalam mendukung perekonomian nasional. Oleh karena itu, pengelolaan sektor jasa keuangan yang baik menjadi penting untuk mencegah terjadinya krisis, sehingga krisis yang pernah dialami diharapkan tidak akan terjadi lagi. Untuk itu, diperlukan keberadaan Otoritas Jasa Keuangan dalam mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil. Best Practices OJK di Beberapa Negara Lain dan Kontribusinya bagi Pembentukan OJK di Indonesia Pembentukan OJK kiranya juga merupakan hasil belajar dari best practices sistem pengawasan oleh institusi tunggal dan independen di beberapa negara lain. Beberapa diantaranya dapat disebutkan disini; Pada tanggal 25 Januari 2001, Menteri Keuangan Jerman, Hans Eichel mengumumkan pembentukan otoritas pengawas keuangan terintegrasi, yaitu Bundesanstalt für Finanzdienstleistungsaufsicht (BaFin) dan mulai beroperasi pada tanggal 1 Mei 2002 berdasarkan hukum otoritas jasa keuangan pengawasan tunggal ( Gesetz über die integrierte Finanzdienstleistungsaufsicht ). BaFin merupakan gabungan dari lembaga pengawas terpisah untuk perbankan ( Bundesaufsichtsamt für das Kreditwesen -BAKred), asuransi ( Bundesaufsichtsamt für das VersicherungswesenB AV) dan sekuritas ( Bundesaufsichtsamt für den Wertpapierhandel -BAWe). BaFin memiliki wewenang terkait pengawasan lembaga kredit, perusahaan asuransi, perusahaan investasi dan lembaga keuangan lainnya. BaFin bertujuan untuk menjamin stabilitas dan integritas sistem keuangan Jerman secara menyeluruh, dengan dua tujuan utama yaitu menjaga solvabilitas bank, penyedia jasa keuangan dan perusahaan asuransi dan perlindungan konsumen dan investor. Setelah BaFin dibentuk, Deutsche Bundesbank (Bundesbank) bertugas sebagai otoritas moneter dan sistem pembayaran. Bundesbank merumuskan kebijakan moneter dan perbankan, menjaga nilai mata uang, mempertahankan tingkat kecukupan cadangan aset/siklus kas dan pengelolaan uang kertas, memantau perkembangan bisnis dan menganalisis spektrum yang luas dari masalah ekonomi, serta menjamin kelancaran fungsi pembayaran domestik dan asing dengan menyediakan layanan jasa kliring; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 96 Otoritas Jasa Keuangan di Australia diperankan oleh The Australian Prudential Regulation Authorihy (APRA). Lembaga-lembaga yang diatur oleh APRA diantaranya adalah bank, asuransi, penyedia retirement saving accounts, trustee of superannuation entity. Organisasi APRA terdiri dari sebuah dewan ( board ), seorang pemimpin operasi ( chief executive officer) didukung para staf. Di Australia, APRA dibiayai dari kontribusi (levy) lembaga yang diawasi. APRA mengambil alih tugas dari Reserve Bank of Australia (RBA) dan Insurance and Superannuation Committee (ISC). Lembaga yang dibentuk pada tanggal 1 Juli 1998 tersebut menjalankan fungsi pengawasan micro-prudential lembaga keuangan yang terdiri dari bank, credit union, building society dan perusahaan asuransi. Selain itu, APRA juga mengawasi industri dana pensiun ( superannuation Funds ); Krisis keuangan yang dialami oleh Korea pada tahun 1997-1998 mengakibatkan beberapa konglomerat bisnis besar mengalami kesulitan keuangan, kredit macet di bank-bank Korea meningkat tajam, sehingga melemahkan kesehatan keuangan lembaga perbankan domestik, yang berdampak pada ketidakstabilan keuangan Korea. Hal ini mendorong pemerintah Korea untuk melakukan reformasi kelembagaan dan kebijakan keuangan, maka dibentuklah Korea Deposit Insurance Corporation (KDIC), Financial Supervisory Commission (FSC)/ Financial Supervisory Services (FSS) yang memiliki wewenang sebagai lembaga pengawas tunggal untuk perbankan dan non-perbankan. Dengan perubahan ini Ministry of Finance and Economy (MOFE), FSC/FSS, Bank of Korea (BOK), dan KDIC adalah empat lembaga publik yang bertanggung jawab untuk menjaga stabilitas dan efisiensi sistem keuangan Korea; Masih cukup banyak negara lain yang juga membentuk institusi semacam OJK untuk melaksanakan fungsi pengaturan dan pengawasan sektor keuangan secara terpadu. Meskipun latar belakang pendirian lembaga pengawas jasa keuangan terpadu berbeda di setiap negara, terdapat beberapa faktor yang memicu dilakukannya perubahan terhadap struktur kelembagaan pengawas jasa keuangan. Pertama, munculnya konglomerasi keuangan dan mulai diterapkannya universal banking di banyak negara. Kondisi ini menyebabkan regulasi yang didasarkan atas sektor menjadi tidak efektif karena terjadi gap dalam regulasi dan supervisi. Kedua, stabilitas sistem keuangan telah menjadi isu utama bagi lembaga pengawas (dan lembaga pengawas) yang awalnya belum memperhatikan masalah Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 97 stabilitas sistem keuangan, mulai mencari struktur kelembagaan yang tepat untuk meningkatkan stabilitas sistem keuangan. Ketiga, kepercayaan dan keyakinan pasar terhadap lembaga pengawas menjadi komponen utama good governance. Guna __ meningkatkan good governance pada lembaga pengawas jasa keuangan, banyak negara melakukan revisi struktur lembaga pengawas jasa keuangannya; Adapun alasan pendirian OJK sebagaimana tercantum dalam penjelasan umum UU OJK adalah telah terjadinya proses globalisasi dalam sistem keuangan dan pesatnya kemajuan di bidang teknologi informasi serta inovasi finansial menciptakan sistem keuangan menjadi kompleks, dinamis, dan saling terkait antar- subsektor keuangan baik dalam hal produk maupun kelembagaan. Di samping itu, adanya lembaga jasa keuangan yang memiliki hubungan kepemilikan di berbagai subsektor keuangan (konglomerasi) telah menambah kompleksitas transaksi dan interaksi antarlembaga jasa keuangan di dalam sistem keuangan. Selain itu, banyaknya permasalahan lintas sektoral di sektor jasa keuangan, yang meliputi tindakan moral hazard , belum optimalnya perlindungan konsumen jasa keuangan, dan terganggunya stabilitas sistem keuangan; Pembentukan Undang-Undang OJK ini dimaksudkan untuk memisahkan fungsi pengawasan perbankan dari bank sentral ke sebuah badan atau lembaga yang independen di luar bank sentral. Dasar hukum pemisahan fungsi pengawasan tesebut yaitu Pasal 34 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, yang menyatakan:
Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan Undang-Undang. (2) Pembentukan lembaga pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2010. Pengawasan tersebut dilakukan terhadap bank dan perusahaan-perusahaan sektor jasa keuangan lainnya yang meliputi asuransi, dana pensiun, sekuritas, modal ventura, dan perusahaan pembiayaan, serta badan-badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat. Lembaga ini bersifat independen dalam menjalankan tugasnya dan kedudukannya berada di luar pemerintah serta berkewajiban menyampaikan laporan kepada Badan Pemeriksa Keuangan serta Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam melakukan tugasnya, lembaga yang dinisbatkan menjadi supervisory board ini melakukan koordinasi dan kerjasama dengan Bank Indonesia sebagai Bank Sentral yang diatur dalam Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 98 Undang-Undang pembentukan lembaga pengawasan dimaksud. Lembaga pengawasan ini dapat mengeluarkan ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pengawasan Bank melalui koordinasi dengan Bank Indonesia dan meminta penjelasan dari Bank Indonesia terkait keterangan serta data makro yang diperlukan; Lahirnya Otoritas Jasa Keuangan sebagai amanat Pasal 34 Undang- undang Bank Indonesia didasarkan pada prinsip-prinsip reformasi keuangan, yaitu: independensi, terintegrasi dan menghindari benturan kepentingan. Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, OJK berlandaskan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik ( Good Coorporate Governance ). Bank Indonesia memberikan pengertian tentang pemerintahan yang baik tersebut adalah suatu hubungan yang sinergis dan konstruktif di antara negara, sektor swasta, dan masyarakat. Asas-asas tersebut adalah independensi, kepastian hukum, kepentingan umum, keterbukaan, profesionalitas, dan integritas. Perspektif Hukum Adminstrasi Negara Fungsi OJK Fungsi OJK tidak lepas dari fungsi pemerintahan ( sturen ) yang melekat pada wewenang pemerintah ( bestuursbevoegdheid ). Dalam melaksanakan fungsi sturen , pemerintah diberikan kewenangan untuk melaksanakan fungsi pengawasan dan penegakan hukum administrasi negara. Pengawasan dilaksanakan melalui kewenangan perijinan ( vergunning ) yang dilekatkan pada kewenangan OJK seperti yang diantaranya diatur pada Pasal 7 huruf h UU Nomor 21 Tahun 2011, yaitu memberikan dan/atau mencabut:
izin usaha;
izin orang perseorangan;
efektifnya pernyataan pendaftaran;
surat tanda terdaftar;
persetujuan melakukan kegiatan usaha;
pengesahan;
persetujuan atau penetapan pembubaran; dan
penetapan lain, sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundangundangan di sektor jasa keuangan. Kewenangan tersebut dalam hukum administrasi diiperlukan sebagai upaya pentaatan terhadap norma hukum administrasi negara; Dimensi perlindungan hukum ( rechtsbescherming ) dalam pelaksanaan fungsi sturen ( sturende functie ) yang antara lain terdapat pada Pasal 7, Pasal 8 dan Pasal 9 UU Nomor 21 Tahun 2011, pada intinya dimaksudkan untuk melindungi rakyat yang menjadi konsumen/pengguna jasa sektor keuangan dari praktik-praktik yang melanggar prinsip-prinsip tatakelola keuangan perbankan dan non perbankan yang baik ( good financial governance ). Hal itu terlihat dari Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 99 kewenangan OJK untuk melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap:
kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan;
kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal; dan
kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya (Pasal 6 UU Nomor 21 Tahun 2011). Kewenangan tersebut ditujukan guna mewujudkan tujuan pemerintahan ( bestuursdoeleinden ) sebagaimana diatur pada Pasal 4 UU Nomor 21 Tahun 2011, yaitu bahwa OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan:
terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel;
mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan
mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Tujuan tersebut selaras dengan konsiderasi pembentukan UU Nomor 21 Tahun 2011 sebagaimana telah diuraikan di atas. Kewenangan yang diatribusikan kepada OJK sebagaimana terdapat pada Padal 7, Pasal 8 dan Pasal 9 UU Nomor 21 Tahun 2011 merupakan derivasi dari Pasal 34 ayat (1) UU BI Nomor 3 Tahun 2004 yang mengatur bahwa tugas mengawasi bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan Undang-Undang. Dengan demikian, dalam isu konstitusionalitas, karakter constitutionally important dari UU OJK dapat ditelusuri melalui Pasal 34 UU BI yang bersumber pada Pasal 23D UUD 1945, yang mengatur bahwa negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan Undang-Undang. Bahkan, secara sistematik, dapat pula ditelusuri landasan konstitusionalnya dalam Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 yang mengatur bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Atribusi kewenangan OJK dalam UU OJK dan pengaturan mengenai institusionalitas OJK merupakan manifestasi dari jiwa konstitusi, khususnya dengan memahami dialektika Pasal 23D dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945; Fungsi utama lembaga keuangan seperti OJK bertujuan untuk mencapai empat tujuan ( goals ) secara umum. Empat tujuan tersebut meliputi:
keamanan dan ketahanan ( safety and soundness ) lembaga keuangan;
pencegahan risiko sistemik;
keadilan dan efisiensi pasar;
perlindungan terhadap konsumen Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 100 dan investor. Tujuan pertama dicapai melalui penerapan peraturan yang ketat dan prinsip kehati-hatian yang mengedepankan pendekatan persuasi. Tujuan pencegahan risiko sistemik merupakan tantangan bagi pengawas yang diberi mandat karena penyebab risiko sistemik tidak dapat diprediksi. Walaupun demikian, pengawas tersebut dapat mengurangi kemungkinan risiko sistemik melalui penerapan aturan yang telah dibentuk. Pencapaian tujuan ketiga lebih kepada pendekatan penegakan aturan ( enforcements ) yang meliputi sanksi, denda, pembekuan usaha, pencabutan izin usaha, dan hukuman lainnya. Kiranya, tujuan tersebut selaras dengan Pasal 4 UU Nomor 21 Tahun 2011, yaitu OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan:
terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel;
mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan
mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat; Kewenangan pengaturan ( regelende bevoegdheid ) dan kewenangan pemerintahan ( besturende bevoegdheid ) yang tercermin dari kewenangan- kewenangan yang diatribusikan kepada OJK dalam teori hukum administrasi negara mencerminkan karakter hukum administrasi negara: norm (norma), instrument (sarana) dan waarborg (jaminan). Hal itu dapat dibandingkan dengan pendapat de Haan, dkk. (1986:
, bahwa: " Minstens zo nauw als het verband tussen norm en instrument is dat tussen norm en waarborg. Ook hier weer nemen wij achtereenvolgens de normering van het overherheidsgedraag en die van het gedrag van burgers tot uitgangspunt. De overheidsnormering vraagt primair om bestuurlijke waarborgen, terwijl de rechtsnormen die het gedrag van burgers beinvloden, rechtsbescerming noodzakelijk maken ". Pengaturan mengenai OJK dalam UU Nomor 21 Tahun 2011 telah memenuhi dimensi norma, sarana dan jaminan yang menjadi dimensi utama Hukum Administrasi Negara. Hal itu selain menjadi dasar teoretis bagi pengaturan kewenangan OJK, juga merupakan amanah konstitusi yang harus diwujudkan melalui fungsi dan kewenangan OJK. OJK dimaksudkan untuk memberikan jaminan pemerintah ( bestuurlijke waarborgen) terhadap masyarakat konsumen/pengguna OJK yang melakukan aktivitas di sektor jasa keuangan. Fungsi jaminan itu diwujudkan melalui instrumen perijinan terhadap aktivitas keuangan bagi penyelenggara jasa perbankan maupun non perbankan. Kewenangan penetapan peraturan perundang-undangan di sektor keuangan merupakan salah satu fungsi penormaan pemerintah Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 101 ( bestuursnormering ) yang diarahkan pada upaya memberikan jaminan pemerintahan (bestuurlijke waarborg ) untuk memberikan petlindungan hukum ( rechtsbescherming ) terhadap masyarakat pengguna jasa keuangan; Perkembangan mutakhir dalam hukum administrasi negara menunjukkan adanya arah penyelenggaraan fungsi pemerintsh yang semakin berfokus pada pengguna pelayanan/konsumen. Dikatakan oleh John McMillan (2009) bahwa: "Compliance with legal standards is the starting premise in all codes of good administration, but the newer codes go further. An emerging principle or standard is the need for agencies to be customer focus delivery of citizen-centred services … Deliver high-quality programs and services that put the citizen first’.The reason for this new emphasis is that people now interact wiath government differently, more frequently, and with heightened expectations. This is a product of the expansion in government benefits, subsidies, licences, taxes, contracts, authorisations, sanctions, penalties, services and regulatory programs. People now relate to government in many ways – as citizens, clients, consumers and customersssed – or, as Prime Minister Rudd recently described it, to engage in." Hadirnya OJK bisa diharapkan akan menjafi institusi independen yang berfokus pada perlindungan masyarakat/ konsumen jasa keuangan. Hal itu juga dinyatakan melalui tujuan pembentukan OJK sebagaimana diatur pada Pasal 4 UU Nomor 21 Tahun 2011, yaitu agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan:
terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel;
mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan
mampu melindungi kepentingan Konsumen dan masyarakat. Hal itu akan berimplikasi terhadap pelayanan publik pemerintah di sektor jasa keuangan yang semakin "customer focus delivery of citizen-centred services." Tujuan itu dilaksanakan melalui berbagai kewenangan pengawasan dan perijinan vide Pasal 7, Pasal 8 dan Pasal 9 UU Nomor 21 Tahun 2011, termasuk kewenangan pencabutan ijin yang merupakan salah satu bentuk sanksi dalam hukum administrasi negara, Hal itu diharapkan dapat memperkuat dan melindungi sektor keuangan Indonesia dari potensi terjadinya krisis keuangan melalui peranan OJK untuk mendorong penguatan fondasi sektor keuangan; Kedudukan Pungutan OJK Dalam Pasal 23A UUD 1945 diatur bahwa Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 102 Rumusan itu merupakan hasil dari Perubahan III UUD 1945 tanggal 9 November 2001. Berkaitan dengan keuangan guna membiayai operasional kinerja darI OJK, Pasal 37 UU Nomor 21 Tahun 2011 mengatur beberapa hal prinsip terkait keuangan OJK, sebagai berikut:
OJK mengenakan pungutan kepada pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan;
Pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan wajib membayar pungutan yang dikenakan OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
Pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penerimaan OJK;
OJK menerima, mengelola, dan mengadministrasikan pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) secara akuntabel dan mandiri;
Dalam hal pungutan yang diterima pada tahun berjalan melebihi kebutuhan OJK untuk tahun anggaran berikutnya, kelebihan tersebut disetorkan ke Kas Negara. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah; UU OJK mengatur norma yang bersifat mandatory mengenai kewenangan OJK dalam melaksanakan kewenangan pungutan kepada pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. Legalitas ( rechtsmatigheid ) pungutan tersebut dapat diukur dari sifat koherensi norma hukum UU OJK dengan Pasal 23 dan Pasal 23A UUD 1945. Kewenangan untuk melakukan pungutan tersebut merupakan implikasi pengaturan Pasal 34 ayat (2) UU OJK, yang mengatur bahwa Anggaran OJK bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. Sifat norma hukum tersebut pada hakikatnya merupakan legal policy yang memberikan kewenangan bagi OJK untuk melakukan pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor keuangan yang bisa bersifat tambahan dari keuangan yang bersumber dari APBN atau menjadi alternatif dari keuangan OJK yang diperoleh dari APBN. Jika dibandingkan dengan OJK di beberapa negara lain, sumber keuangan OJK-OJK tersebut pada umumnya bersumber dari pihak- pihak yang bergerak di sektor jasa keuangan atas konsiderasi untuk menumbuhkan kemandirian OJK; Jika Pasal 34 ayat (2) juncto Pasal 37 UU OJK ditarik koherensinya secara vertikal ke atas sampai di ranah konstruksi Pasal 23A UUD 1945, maka norma hukum mengenai pungutan dalam UU OJK tersebut memenuhi syarat dan kriteria Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 103 dari pungutan sebagaimana diatur pada Pasal 23A UUD 1945 tersebut. Selanjutnya, apabila Pasal 34 ayat (2) juncto Pasal 37 UU OJK dikaitkan dengan ketentuan-ketentuan berikutnya antara lain Pasal 38 UU OJK yang mengatur pelaporan dan akuntabilitas OJK, maka, pada hakikatnya pengaturan mengenai keuangan serta pungutan dalam UU OJK tetap memenuhi asas kelengkapan ( volledigheid , universalitas) dan asas berkala (periodisitas) sebagai asas-asas klasik yang diakui oleh UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; Asas kelengkapan ( volledigheid ) pada intinya merupakan asas yang mempertahankan hak budget parlemen secara lengkap sehingga penguasa publik tidak terlepas dari pengawasan DPR; Asas berkala (periodisitas) mengandung makna bahwa pemberian otorisasi dan pengawasan rakyat dengan perantaraanwakilnya secara berkala dalam kebijaksanaan pemerintah guna memenuhi fungsinya. Dengan periodisitas ini memungkinkan pemberian otorisasi dan pengawasan rakyat berjalan secara teratur. Periodisitas ini tidak menghilangkan pengawasan rakyat, tetapi juga harus diperhatikan agar kesempatan pemerintah untuk menjalankan rencananya tetap berlaku. Kedua hal ini merupakan persyaratan pencapaian tujuan demokrasi dalam hukum tata negara. Beberapa ketentuan dalam Pasal 38 UU Nomor 21 Tahun 2012 menunjukkan tetap dipenuhinya asas kelengkapan ( volledigheid ) dan asas berkala dalam pengaturan mengenai keuangan OJK;
OJK wajib menyusun laporan keuangan yang terdiri atas laporan keuangan semesteran dan tahunan;
OJK wajib menyusun laporan kegiatan yang terdiri atas laporan kegiatan bulanan, triwulanan, dan tahunan;
Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat memerlukan penjelasan, OJK wajib menyampaikan laporan;
Periode laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tanggal 1 Januari sampai dengan 31 Desember;
OJK wajib menyampaikan laporan kegiatan triwulanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada masyarakat;
Laporan kegiatan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat; Pengaturan mengenai pengelolaan keuangan dalam OJK baik yang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 104 bersumber dari APBN dan/atau pungutan dari masyarakat tersebut tetap memenuhi asas-asas yang terkandung dalam Pasal 23 UUD 1945. Pasal 23 UUD 1945 itu mengandung 3 (tiga) asas yang saling berkaitan secara erat, yaitu:
Asas berkala ( periodiciteit beginsel), yaitu anggaran negara tersebut dianggarkan untuk jangka waktu tertentu. 2. Asas terbuka ( openbaar beginsel), yaitu prosedur pembahasan anggaran negara oleh DPR dan Pemerintah dilakukan secara terbuka baik melalui sidang terbatas pemerintah dengan Komisi APBN maupun dalam sidang Pleno (mencerminkan pula asas demokrasi). 3. Asas kedaulatan ( souvereiniteit beginsel), yaitu unsur kedaulatan rakyat melalui perwakilannya merupakan syarat mutlak terciptanya rencana anggaran negara tahunan ( jaarlijke machtiging) ; Ditinjau dari segi pengelolaan keuangan negara yang dikelola oleh OJK, baik yang bersumber dari UU APBN maupun pungutan dari pihak pengelola jasa keuangan, juga sudah memenuhi standar pengelolaan keuangan negara dalam UU Keuangan Negara yang didasarkan atas-asas pengelolaan keuangan negara yang merupakan pencerminan best practices (penerapan kaidah-kaidah yang baik) dalam pengelolaan keuangan negara, antara lain: • akuntabilitas berorientasi pada hasil; • profesionalitas; • proporsionalitas; • keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara; • pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri PP Nomor 11 Tahun 2014 yang mengatur mengenai Pungutan oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagai implementasi dari Pasal 37 ayat (6) UU OJK dimaksudkan untuk memenuhi asas-asas pengelolaan keuangan negara tersebut dalam pelaksanaan pungutan oleh OJK. Pada intinya, pungutan yang dilaksanakan dan dikelola oleh OJK tidak menyimpang dari kaidah pengelolaan keuangan negara dalam APBN, kecuali yang memang diatur secara khusus dalam UU OJK berkaitan dengan kedudukan dan kewenangan OJK yang bersifat khusus, sebagaimana diatur pada Pasal 35 UU OJK yang mengatur kekhususan berikut:
Anggaran OJK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat digunakan untuk membiayai kegiatan operasional, administratif, pengadaan aset serta kegiatan pendukung lainnya.
Anggaran dan penggunaan anggaran untuk membiayai kegiatan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 105 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan standar yang wajar di sektor jasa keuangan dan dikecualikan dari standar biaya umum, proses pengadaan barang dan jasa, dan sistem remunerasi sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang terkait dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, pengadaan barang dan jasa Pemerintah, dan sistem remunerasi; Namun, kekhususan tersebut tidak menyebabkan terputusnya ikatan norma hukum tersebut dengan Pasal 23 dan Pasal 23A UUD 1945 sebagaimana juga diatur pada Pasal 38 ayat (8) UU OJK yang menentukan bahwa Laporan keuangan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan atau Kantor Akuntan Publik yang ditunjuk oleh Badan Pemeriksa Keuangan. Dengan demikian, pengaturan mengenai keuangan dan pungutan dalam UU OJK tetap dilaksanakan berdasarkan sistem pengelolaan keuangan negara dalam sistem ketatanegaraan sebagaimana diatur dalam UUD 1945.
Dr. Maruarar Siahaan, S.H I. Legal Standing Pandangan kami tentang ketidak cukupan legal standing untuk menguji pasal-pasal dalam Undang-Undang Ototritas Jasa Keuangan, kami utarakan dalam hal-hal sebagai berikut:
Meskipun Pemohon telah mencoba menguraikan dasar argumen legal standing nya dalam permohonan pengujian ini, dapat dirasakan bahwa sesungguhnya dengan dasar bahwa Pemohon sebagai pembayar pajak dan aktivis yang juga melakukan advokasi di bidang APBN, tidak terlihat urgensi dan relevansinya. Dasar hukum legal standing harus dikembalikan kepada jurisprudensi tetap Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 006/PUU- III/2005 dengan 5 (lima) syarat yang memuat adanya hak konstitusional yang diberikan UUD 1945, dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian, kerugiannya spesifik dan aktual, atau setidaknya bersifat potensial, yang terjadi karena ada hubungan kausal antara kerugian konstitusional dengan undang-undang yang diuji dan adanya kemungkinan jika permohonan dikabulkan, kerugian hak konstitusional tidak akan terjadi lagi. Norma dalam Putusan tersebutlah seharusnya yang digunakan sebagai dasar pengakuan legal standing untuk mengajukan permohonan pengujian di MK, agar terdapat konsistensi dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 106 Pembayar pajak sebagai dasar hukum legal standing di MK, sesungguhnya baru berdasarkan putusan yang terbatas secara individual yang berdiri sendiri, yang masih diperdebatkan karena umumnya kedudukan demikian jikalau dikaitkan dengan jurisprudensi tetap MK soal legal standing , sesungguhnya masih diakui secara terbatas, dan belum merupakan jurisprudensi tetap yang mengikat;
Indikator bahwa standing untuk mengajukan pengujian dilihat dari aspek kerugian hak konstitusional khususnya jaminan hak atas rasa aman berdasar Pasal 27 UUD 1945, yang berbunyi “ Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan tanpa ada kecuali ” , dan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945: “ Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan Undang-Undang __ dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat ”. Kedua pasal yang dikutip tidak merujuk tentang hak konstitusional, sebagai hak yang diberikan kepada warga negara oleh konstitusi, dan dengan demikian justru memberikan kewajiban pada negara untuk memenuhi hak konstitusional;
Seandainyapun permohonan Pemohon dikabulkan maka tidak tampak bahwa kerugian hak konstitusional yang disebut mempunyai causal verband dengan pasal-pasal dalam Undang-Undang yang dimohon untuk diuji, karena menurut hemat kami, kerugian yang diklaim Pemohon, tetap akan terjadi jikalau persoalan tentang hak konstitusi yang disebut dalam UUD 1945, yaitu kerugian konstitutional dalam hubungan dengan hak atas persamaan di depan hukum dan pemerintahan serta hak konstitusi atas “ anggaran ditetapkan dengan Undang-Undang serta dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat ”, tetap terjadi, dan Pemohon tidak dapat menjelaskan dan menguraikan hilangnya kerugian konstitusional yang terjadi jika Undang-Undang OJK dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
Petunjuk bahwa bukanlah para Pemohon yang seharusnya mempunyai legal standing untuk mengajukan pengujian atas UU OJK, dapat dilihat dari seluruh ukuran yang ditentukan dalam jurisprudensi tetap MK yang telah menjadi bagian dari hukum acara, khususnya causal verband antara kerugian Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 107 konstitusional Pemohon yang dinyatakan dalam permohonan dengan dibentuknya OJK. MK perlu menegaskan sikap dalam pendirian tentang legal standing berdasarkan dalih tax payer tersebut; II. Permohonan Putusan Provisi Dalam tahap pemeriksaan permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 saat ini, terlepas dari ketiadaan norma hukum acara, baik dalam UU MK maupun dalam jurisprudensi MK yang mengenal pengaturan provisionel eis , baik karena sisi urgensi kepentingan konstitusional yang harus dilindungi oleh berlakunya satu norma, maupun karena pengaturan yang ada dalam UU MK sendiri yang memuat asas presumption of constitutionality , yang menentukan bahwa semua Undang-Undang yang telah diperlakukan harus dipandang konstitusional sampai dengan dibatalkannya Undang-Undang tersebut dengan alasan bertentangan dengan UUD 1945, maka tidak relevan lagi berbicara tentang provisi. Secara eksplisit diatur dalam Pasal 58 UU MK, yang menegaskan bahwa: “ Undang-Undang yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi tetap berlaku, sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun _1945”; _ Dengan pengaturan demikian, memang jelas bahwa kepentingan konstitusional yang dijamin oleh UUD 1945 melalui cara bekerjanya lembaga- lembaga jasa keuangan dengan jumlah taruhan yang sungguh besar, suatu kemungkinan saja untuk menghentikan bekerjanya OJK tanpa melalui putusan provisi melainkan putusan akhir, tidak terbayangkan akibatnya, karena dapat menjadi kekacauan atau disaster yang berantai, yang dapat memicu krisis ekonomi. Jikalau lembaga baru i.c. OJK dihentikan sementara saja, akan menimbulkan kerugian yang jauh lebih besar, karena beragamnya produk jasa keuangan yang menciptakan sistem keuangan yang sangat kompleks dan saling terkait antara produk dan lembaga jasa keuangan, baik di bidang perbankan, asuransi, dana pensiun, modal ventura, obligasi, SUN dan lain-lain. Tanpa pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi, dengan jumlah dana besar yang bergulir, akan menimbulkan kekacauan besar-besaran, yang boleh jadi mengakibatkan kolapsnya sistem perekonomian dan keuangan Indonesia. Putusan yang bersifat sementara atau permanen demikian akan sangat berbahaya. Oleh karenanya, terkadang menyebabkan timbulnya pikiran bahwa dalam kebijakan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 108 publik dalam bentuk Undang-Undang yang menyangkut Undang-Undang dengan regulasi suatu bidang ekonomi dengan pengaruh yang mendasar bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, tampaknya kemungkinan digunakannya mekanisme pengujian suatu RUU yang telah disetujui bersama sebelum diundangkan – mekanisme yang dikenal dengan judicial preview – di mana semua pihak dapat menumpahkan pikiran dan pendapatnya tentang suatu kebijakan publik yang mendasar, tidak dibayangi ketakutan akan dampak yang timbul secara dahsyat, seandainya suatu Undang-Undang tertentu dinyatakan inkonstitusional dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, dalam suatu proses judicial review ; III. Materi Muatan Konstitusi Sebagai Grundnorm dan Constitutional Boundaries Konstitusi modern yang menjadi hukum tertinggi dan menjadi pedoman dalam politik hukum penyelenggaraan negara, bukan hanya memuat norma-norma dasar yang secara kongkrit dirumuskan, melainkan juga memuat prinsip atau asas konstitusi yang terumuskan secara umum dan hanya dalam garis besar. Lebih dari sebagai suatu dokumen yang ringkas dan supel khususnya UUD 1945 – setelah perubahanpun – dengan pembukaan yang merupakan jiwa dan filosofi di atas mana negara Republik Indonesia dibentuk serta tujuan dibentuknya negara R.I. yang diproklamirkan tanggal 17 Agustus 1945, menunjukkan bahwa dia lebih dari sekedar dokumen juridis. Dari Pembukaan UUD 1945, yang menentukan arah dan tujuan dibentuknya negara R.I., sangat jelas bahwa tujuan tersebut didasari oleh suatu pandangan bangsa tentang suatu negara yang disebut sebagai negara kesejahteraan atau welfare state . Bertolak belakang dengan konsep negara dalam pemilikiran liberalisme, dengan peran negara yang terbatas dan bahkan dirumuskan dalam satu kurun waktu sejarah hanya sebagai penjaga malam, maka dalam konsep negara kesejahteraan, peran negara dalam mengupayakan kesejahteraan menjadi sedemikian luasnya, sehingga keberadaan lembaga negara yang ada dalam organisasi kekuasaan, menjadi tidak memadai lagi. Oleh karena besarnya peran negara dalam konsep negara kesejahteraan tersebut, muncul kebutuhan akan lembaga negara yang tidak dikenal dalam praktik semula, dan kemudian terbentuk dalam lembaga negara yang independen; Kebutuhan akan organ yang akan menjalankan kewenangan tertentu dalam rangka mencapai kesejahteraan rakyat mengalami perkembangan, sehingga untuk memenuhi hal itu berdasarkan organ-organ negara yang secara tradisional Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 109 ada, tidak lagi memadai. Akibatnya perkembangan organ atau lembaga yang independen merupakan kecenderungan yang terjadi secara universal, bahkan di negara-negara yang menganut paham liberalisme yang sangat mempraktikkan peran negara secara terbatas, justru mempelopori kelahiran lembaga-lembaga negara yang independen tersebut. Oleh karenanya, norma dasar konstitusi yang seyogianya mengatur pembentukan organ-organ negara secara ekplisit dan tegas sehingga dapat membentuk struktur organisasi kekuasaan negara dalam konstitusi sepanjang mengenai lembaga negara yang menerima kewenangannya langsung dari konstitusi, tidak lagi mampu memberi gambaran yang total tentang organ-organ yang menerima kewenangannya dari undang-undang dasar, dan berdasarkan delegated auhority of legislation dikuasakan pembentukannya dalam satu Undang-Undang. Secara analogis kita dapat melihat keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dibentuk dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002; Dasar konstitusionalitas kelembagaan yang diperlukan untuk menyelenggarakan pemerintahan, dalam suatu negara kesejahteraan tidak selalu hanya merujuk kepada suatu norma fundamental konstitusi yang secara eksplisit ditemukan dalam UUD 1945, karena tugas, fungsi dan tujuan negara secara filosofis, sosiologis dan juridis dapat menjadi landasan pembentukan kebijakan dan peraturan perundangan yang diperlukan dalam penyelenggaran pemerintahan. Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan secara jelas menyebut bahwa Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum. Jikalau norma fundamental dalam UUD 1945 menjadi sumber hukum dan validitas norma hukum dibawahnya yang diperlukan dalam penyelengaraan negara, maka norma fundamental tersebut bersumber pada Grundnorm yang menjadi landasan politik hukum yang selalu menjadi orientasi kedepan, upaya memperbaharui ius constitutum kearah _ius constituendum; _ Untuk menemukan landasan politik hukum dalam pembentukan organ negara yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas pemerintahan tertentu yang tidak memadai lagi untuk diserahkan kepada lembaga yang secara tradisional ada dalam organisasi kekuasaan negara, maka untuk mencegah atau mengantisipasi timbulnya kondisi atau keadaan yang dapat menimbulkan pelanggaran terhadap konstitusi ketika mandate konstitusi tidak dapat ditemukan secara tegas, maka melalui suatu naskah akademis, diperhitungkan adanya suatu ruang yang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 110 memungkinkan diskresi pembuat kebijakan dapat terlaksana secara bebas dan baik. Dalam ruang lingkup demikian dengan batas-batas yang diperhitungkan tidak dapat dilanggar pembuat kebijakan, maka dengan konstruksi. Dapat dibangun apa yang disebut ruang dalam mana diskresi pembuat kebijakan bergerak secara bebas. Jikalau kebijakan atau politik hukum yang dipilih untuk dilaksanakan tersebut tampak melampaui batas konstitusi ( constitutional boundary) yang dirumuskan, maka kebijakan demikian dihindari, karena potensil diuji dan dapat dinyatakan bertentangan dengan konstitusi serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Indikator konstitusionalitas tersebut dapat dirumuskan melalui interpretasi, konstruksi dan penghalusan terhadap:
Pembukaan UUD 1945, yg memuat pandangan hidup bangsa dalam Pancasila;
Tujuan Bernegara dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945;
Norma Konstitusi yang bersifat HAM dan Bukan, dalam Batang Tubuh UUD 1945. Dengan pencarian makna melalui interpretasi dan konstruksi untuk membentuk ruang gerak dengan batas yang ditentukan untuk tidak dilampaui, maka dapat ditemukan suatu ruang yang bebas bagi diskresi pembuat Undang- Undang, untuk membentuk kebijakan publik berdasar politik hukum yang mengacu pada konstitusi sebagai hukum dasar. Undang-Undang OJK menurut pendapat saya masih dalam ruang yang tidak melanggar constitutional boundary tersebut; IV. Pokok Permohonan 1. Umum Setiap penyelenggara negara berhak dan wajib untuk menafsirkan konstitusi atau UUD 1945 sebelum melaksanakan tugasnya dalam penyelenggaraan Negara, baik sebagai legislator dalam pembuatan Undang- Undang atau dalam pengujian Undang-Undang tersebut. UUD 1945 sebagai konstitusi tertulis, menyiratkan adanya kostitusi yang tidak tertulis sebagai bagian yang dianggap tidak terpisah, yang ditemukan dalam Pembukaan UUD 1945, dalam filosofi kehidupan bernegara dan berbangsa serta dalam tujuan yang ditetapkan kearah mana suatu negara yang terbentuk itu akan berjalan. Seluruh konstitusi yang termuat dalam pembukaan dan batang tubuh tersebut juga memuat dan membentuk asas-asas konstitusi yang harus ditemukan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 111 dengan interpretasi, konstruksi dan penghalusan hukum ( rechtsverfijning ), untuk dapat dijabarkan dalam peraturan perundang-undangan yang dipandang serasi dengan konstitusi, sebagai kebijakan yang sumber keabsahan atau validitas dan legitimasinya dapat ditetapkan tidak bertentangan dengan UUD 1945; Konsepsi negara kesejahteraan ( welfare state ) yang mewajibkan adanya state intervention dalam penyelenggaran negara untuk mencapai peningkatan kesejahteraan umum dan perlindungan segenap bangsa, merupakan hal yang sangat terbuka dalam mandat konstitusi bagi penyelenggara negara, sehingga lingkungan strategis lokal, nasional dan global harus menjadi pertimbangan dalam mengambil keputusan apakah suatu kebijakan harus dilakukan yang perlu dalam kerangka penyelenggaraan negara bagi kehidupan masyarakat dan bangsa, dan apakah kebijakan demikian masih dalam kerangka constitutional boundaries yang ditetapkan dalam UUD 1945. __ Ruang dalam kerangka constitutional boundaries tersebut akan memberi petunjuk seberapa jauh pembuat Undang-Undang boleh bergerak dalam melakukan regulasi yang diperlukan untuk menyesuaikan kondisi nasional dengan perkembangan global, yang tidak dapat dielakkan karena interdependensi bagian-bagian dari dunia dengan dunia luar, yang turut menentukan keberhasilan untuk perlindungan dan kesejahteraan warga negara. Diskresi pembuat Undang-Undang harus juga digunakan untuk bergerak dalam ruang constitutional boundaries yang disebut di atas. Keberadaan dan praktik BI dalam pengawasan jasa keuangan, telah menjadi titik tolak disekresi yang berada dalam constitutional boundaries yang dimaksud; Oleh karenanya menentukan mandate konstitusi tidak cukup hanya dengan merujuk suatu pasal tertentu dalam UUD 1945 sebagai dasar dalam menentukan konstitusionalitas norma atau kebijakan yang akan dibentuk, melainkan harus menemukannya dengan tafsir, hermeneutika, konstruksi dan penghalusan. Terlebih lagi bahwa suatu norma konstitusi yang telah memuat suatu perintah secara tegas dalam konstitusi pun memerlukan kehati-hatian, karena suatu norma konstitusi yang biasanya terumuskan secara general (umum) dan hanya mengandung asas, dalam implementasinya mengalirkan norma turunan secara derivative , yang meskipun tidak secara tegas disebut Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 112 sebagai norma konstitusi, tetapi merupakan hal yang tidak dapat dikesampingkan demikian saja sebagai bagian dari konstitusi, terutama jika ada delegated authority of legislation yang diberikan kepada pembuat Undang- Undang. Oleh karenanya apa yang disebut sebagai norma yang konstitusional tidak dapat dilihat secara tunggal melainkan harus secara integral dalam doktrin kesatuan konstitusi, dari pembukaan sampai batang tubuh secara tidak terpisah satu dengan yang lain; Pengalaman menunjukkan krisis perbankan yang terjadi bukan berasal dari perbankan, melainkan dari bidang-bidang lain yang merembet kepada perbankan. Produk-produk jasa keuangan yang sudah demikian besar (dari sisi size), dari sisi keterkaitan konglomerasi, dan terakhir dari sisi kompleksitas masalah jasa keuangan, tampaknya menyebabkan BI tidak lagi tepat dan tidak mampu melakukan hal itu semua secara sendirian. Ketidak mampuan BI merespon perkembangan yang pesat di bidang jasa keuangan sudah menjadi kenyataan yang menjadi pengalaman kita sehingga keberadaan BLBI dan lain- lainnya menjadi problem yang harus dipikul sekarang ini. Oleh karenanya membesarnya tugas yang timbul dalam penyelenggaraan negara, dibidang pengawasan dan pengaturan jasa keuangan menjadi keniscayaan.
Lembaga Negara Independen Ketika tugas negara yang terbagi dalam organisasi kekuasaan yang tradisional seperti eksekutif, legislatif dan judikatif dalam menyelenggarakan tugas-tugas pemerintahan dirasakan tidak mencukupi lagi, terasa kebutuhan untuk melakukan perluasan organ tersebut tetapi dengan membentuk badan- badan atau lembaga yang independen. Independensi lembaga tersebut terwujud dalam struktur yang berada di luar organisasi penyelenggara pemerintahan yaitu eksekutf, yudikatif dan legislatif. Kecenderungan untuk menetapkan organ baru yang muncul karena kebutuhan dalam penyelenggaraan pemerintahan, juga boleh lahir dari sikap yang ingin membebaskan lembaga baru dari keterpasungan birokrasi lama, melainkan memulai sesuatu yang baru, dengan ciri yaitu adanya kewenangan regulasi dan pengawasan dalam organ yang sama tetapi dalam mekanisme checks and balance ; Salah satu gejala yang sangat umum dewasa ini diseluruh dunia, adalah banyaknya lahir organ-organ atau lembaga baru yang menjalankan juga tugas Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 113 dan kewenangan pemerintahan dan penyelenggaraan negara, diluar organisasi atau struktur kekuasaan yang lazim atau utama, baik disebut secara khusus dalam UUD, maupun dalam Undang-Undang atau hanya dengan peraturan yang lebih rendah. Hal ini terjadi karena semakin luasnya tugas-tugas pemerintahan dalam penyelenggaraan kepentingan umum, akan tetapi yang dirasakan perlu dilakukan melalui partisipasi publik yang luas dan demokratis maupun sebagai mekanisme pengawasan yang lebih luas. Badan- atau organ yang bertumbuh tersebut sering disebut sebagai komisi negara atau lembaga negara pembantu (auxiliary state organ) . Bahkan sebelum reformasi pun, organ seperti ini, sudah sangat banyak dan sering dibentuk sebagai jawaban atas permasalahan yang dihadapi, meskipun dalam kenyataan jawaban dengan organ baru demikian, boleh jadi merupakan beban secara keuangan, justru menambah kerumitan dalam penyelesaian masalah. Organ atau badan atau lembaga-lembaga independen ini, baik di negara maju maupun negara berkembang, bertumbuh dengan kewenangan yang bersifat regulatif, pengawasan dan monitoring, bahkan tugas-tugas yang bersifat eksekutif. Bahkan kadang-kadang lembaga independen demikian menjalankan ketiga fungsi sekaligus. Hal ini dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan untuk merampingkan organisasi Pemerintahan akibat tuntutan zaman untuk mengurangi peran pemerintahan yang sentralistis tetapi penyelenggaran negara dan pemerintahan dapat berlangsung effektif, effisien dan demokratis dalam memenuhi pelayanan publik. Jimly Asshiddiqie mencatat bahwa di Amerika Serikat lembaga-lembaga independen dengan kewenangan regulasi, pengawasan atau monitoring ini lebih dari 30-an ( Jimly Asshidiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Sekretariat jenderal dan Kepaniteraan MKRI, 2006, hal 8) . Akan tetapi, seperti ditulis oleh Kenneth F. Warren, pada awal Pemerintahan di Amerika tidak ada badan independen yang memiliki kewenangan mengatur, namun karena sentimen masyarakat terhadap penyalahgunaan ekonomi pasar bebas yang terjadi pada 1800an, Pemerintah menjawab tuntutan masyarakat dengan pertama kalinya membentuk Interstate Commerce Commission, dan sejak itu sampai abad keduapuluh, badan-badan independen demikian telah bertumbuh seperti raksasa dan sangat berkuasa, yang mencerminkan problem dan tantangan yang kompleks dari satu perubahan masyarakat Amerika pada abad Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 114 baru ekplorasi ruang angkasa ( Kenneth F. Warren Administrative Law In The Political System,,Prentice hall, Upper Saddle River, New Jersey 07458, Third Edition, 1996, hal 78) . Indonesia menurut catatan kami memiliki kurang lebih 44 lembaga, badan atau komisi-komisi negara semacam ini, yang kemungkinan banyak diantaranya sudah tidak aktif lagi karena memang ada yang dibentuk oleh pemerintahan masa lalu, yang mungkin tidak memperoleh anggaran yang cukup lagi untuk mendukung kegiatannya, atau barangkali tidak dipandang relevan lagi; Semua badan, organ atau lembaga demikian, apakah bernama dewan, komisi atau badan, yang menyelenggarakan (sebagian) fungsi pemerintahaan, secara umum disebut juga lembaga negara, yang dibedakan dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang disebut juga non-govermental organization (NGO). Istilah-istilah lembaga, badan atau organ sering dianggap identik, sehingga meskipun sesungguhnya dapat berbeda makna dan hakikatnya satu sama lain, orang dapat menggunakan satu istilah untuk arti yang lain. Dalam pembicaraan kita sekarang ini, yang penting untuk dibedakan apakah lembaga atau badan itu merupakan lembaga yang dibentuk oleh dan untuk negara atau oleh dan untuk masyarakat. Lembaga apa saja yang dibentuk bukan sebagai lembaga masyarakat dapat kita sebut sebagai lembaga negara . Dalam ”Sengketa Kewenangan Lembaga Negara”, maka kata lembaga negara termuat hanya dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, yang mengatur tentang kewenangan Mahkamah Konstitusi, dimana satu diantaranya adalah ” memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar”, hal mana dengan kata-kata yang sama diulangi lagi dalam Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003 juncto UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi. Kejelasan tentang organ mana yang disebut sebagai lembaga negara menurut UUD 1945 sebelum perubahan, baru dapat terlihat secara tegas dalam ketetapan MPRS, baik Nomor XX/MPRS/1966, Nomor XIV/MPRS/1966, Nomor X/MPRS/1969 dan Nomor III/MPR/1978. Dari ketetapan MPRS dan MPR tersebut kita dapat melihat adanya kualifikasi lembaga negara yang berbeda yaitu Lembaga Tertinggi Negara yang disebut MPR dan Lembaga Tinggi Negara yaitu Presiden, DPA, DPR, BPK, dan Mahkamah Agung. MPR dalam UUD 1945 sebelum perubahan adalah penjelmaan seluruh rakyat sebagai pemegang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 115 kedaulatan, dan dalam realitasnya MPRlah yang memegang kekuasaan negara yang tertinggi . Setelah UUD 1945 mengalami perubahan, kita juga tidak dapat menemukan kejelasan definisi lembaga negara. Kalau dilakukan inventarisasi dalam UUD 1945 setelah perubahan kita memang menemukan lembaga-lembaga negara yang disebut, baik secara tegas yang dibentuk dan menerima kewenangan dari UUD 1945, atau yang hanya disebut adanya satu lembaga untuk fungsi tertentu, yang kemudian nama dan wewenangnya diatur dalam Undang-Undang mengenai lembaga negara tersebut. Misalnya Pasal 22 ayat (5) yang mengatur bahwa ” pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri” dan ayat (6) menentukan bahwa ” ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang-undang”. Demikian juga Pasal 23D UUD 1945 hanya menyebut adanya satu bank sentral, yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan Undang-Undang; Dari ketentuan tersebut juga dapat diketahui bahwa penyebutan adanya lembaga negara dalam UUD belum dengan sendiri menentukan bahwa lembaga yang akan dibentuk itu merupakan organ konstitusi sebagai lembaga negara yang memperoleh kewenangannya dari UUD 1945. Ada kalanya penyebutan dalam UUD 1945 merupakan penugasan kepada pembuat Undang-Undang untuk membentuk lembaga negara, dan mengatur hal-hal yang menyangkut kewenangan, susunan, kedudukan dan tanggung jawabnya dalam satu Undang-Undang. Dalam hal demikian dia menjadi organ atau lembaga negara yang memperoleh kewenangannya dari Undang-Undang, namun tetap merupakan lembaga negara yang konstitusional. Konsep Independensi Independensi suatu lembaga sesungguhnya diberikan karena dibutuhkan untuk dijadikan dasar dari suatu sikap netral ( impartial ) dan boleh membebaskan diri dari kungkungan conflict of interest diantara subjek pengawasan dan yang memiliki kepentingan lain. Independensi, merupakan prasyarat bagi terwujudnya sikap netral dan merupakan jaminan bagi tegaknya hukum dan keadilan. Kemandirian dan kemerdekaan lembaga, dengan menempatkannya tidak dibawah kekuasaan eksekutif, legislatif __ maupun yudikatif, tidak menyebabkan bahwa lembaga tersebut menjadi superbody , karena mekanisme pengawasan secara hukum pidana, maupun administrasi Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 116 dan tatanegara, merupakan hal yang terjadi secara mekanis dalam proses checks and balances . Baik komisioner OJK sendiri-sendiri maupun sebagai institusi, independensi dirumuskan sebagai kebebasan dari pelbagai pengaruh, yang berasal dari luar diri lembaga, baik sebagai intervensi yang bersifat mempengaruhi secara langsung atau tidak langsung, maupun berupa bujuk rayu, tekanan, paksaan, ancaman atau tindakan balasan karena kepentingan politik, atau ekonomi tertentu dari siapapun, dengan imbalan atau janji imbalan berupa keuntungan jabatan, keuntungan ekonomi atau bentuk lain; Mekanisme masa jabatan dan pemilihan pejabat yang duduk dalam lembaga independen tersebut umumnya menjadi metode yang sering digunakan untuk menunjukkan independensi lembaga tersebut, ysng akan terjamin jika secara konsisten dilaksanakan. Seorang yang diangkat dengan mekanisme pemilihan yang biasanya dilakukan oleh DPR, juga dijamin kedudukannya dalam masa jabatan tertentu tidak dapat dihentikan, kecuali karena adanya pelanggaran pidana yang berat menyebabkan pejabat yang bersangkutan harus diberhentikan dari jabatannya. Otoritas Jasa Keuangan yang dibentuk dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011, memuat seluruh persyaratan sebagai lembaga Negara yang independen; Integrasi Kewenangan Regulasi dan Pengawasan. Tampaknya integrasi kewenangan regulasi dan pengawasan dalam satu lembaga merupakan ciri dari lembaga independen, di mana kewenangan eksekutif, legislatif dan yudikatifnya disatukan dalam satu lembaga. Jika hal demikian terdapat pada OJK, maka menurut hemat kami, tidak mengganggu derajat independensi lembaga induk (BI), yaitu kewenangan BI yang seharusnya tidak boleh diambil tetapi diambil, sehingga berkurang sentralitasnya, dan juga tidak mengurangi kewenangan lembaga induk serta ciri dan fungsi utama lembaga induk atau BI, tidak dikurangi dalam hal sentralitas BI dalam UUD. Sistem keuangan dan perekonomian nasional, terutama berkembangnya lembaga jasa keuangan dengan fungsi utama sebagai intermediasi dengan innovasi finansial, telah menciptakan sistem yang kompleks, dan dalam perkembangannya yang pesat didorong oleh proses globalisasi. Hal tersebut telah mengakibatkan tugas tersebut tidak lagi dapat diserahkan kepada BI sebagai Bank Sentral dengan tugas pokok sebagai Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 117 otoritas moneter. Pengalaman masa lalu ketika BI sebagai Bank Sentral menggunakan instrument moneter berupa bantuan liquiditas untuk menyehatkan kondisi bank yang diawasi adalah disebabkan karena bank sentral keinginannya menutupi kelemahan akibat pelanggaran terhadap prudential banking [Naskah Akademik Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) hal. 10] . Hal ini telah mengakibatkan masalah yang tidak dapat dipandang selesai sampai saat ini; Adanya kewenangan yang meliputi fungsi regulasi dan pengawasan bahkan sering ajudikasi sebagai fungsi judikatif terjadi dalam lembaga Negara independen secara universal. Dengan kompleksitas masalah dalam bidang jasa keuangan dengan produknya yang beragam dan pemain yang meliputi asing dengan jumlah dana yang besar, menyebabkan perlunya dilakukan pengaturan dan pengawasan terhadap seluruh kegiatan jasa keuangan secara lebih terintegrasi ( ibid, hal.3) Kesewenang-wenangan yang mungkin dapat timbul dalam hal demikian, dapat dicegah dengan membangun system checks and balances baik secara internal maupun melalui lembaga lain secara eksternal dalam judicial review dan mekanisme hukum lain yang tersedia. Dampak Globalisasi Terhadap Ekonomi dan Keuangan Nasional Globalisasi, sebagai satu proses transformasi meliputi seluruh aspek kehidupan. Hal itu semakin dirasakan membawa pengaruh mendalam baik dalam kehidupan pribadi secara individual maupun secara kelembagaan dalam kehidupan negara dan masyarakat, ketika gagasan, dana dan nilai-nilai kultural masuk kedalam ruang-ruang kita secara mudah menembus batas ruang dan waktu. Komunikasi yang amat mudah dengan kecepatan tinggi dan transportasi yang murah membawa proses globalisasi tersebut mentransformasi kehidupan manusia dan lembaga yang dikenal dalam negara dan masyarakat. Interaksi sosial, politik, ekonomi, finansial, ilmu pengetahuan, teknologi dan kultural antara satu bagian dunia dengan bagian dunia lain, terjadi dan berlangsung demikian saja dengan satu tekanan klik pada perangkat elektronik. Akibatnya dikatakan bahwa dunia ini telah menjadi rata ( the world is flat ) [ Thomas L. Friedman, The World is Flat, The Globalized World in the Twenty First Century, Penguin Books 2006, hal 7 ]. Globalisasi ada kaitannya dengan dalil bahwa kita sekarang hidup dalam satu dunia ( Anthony Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 118 Giddens, Run Away World, How Globalisation is Reshaping Our Lives,Profile Books,h. 7 ). Dibawah pengaruh globalisasi, kedaulatan negara telah menjadi semakin kabur atau tidak jelas, karena kekuatan global dapat mempengaruhi kehidupan warganegara disatu teritorial tertentu; Meskipun begitu banyak dimensi yang dapat diperlihatkan oleh kata Globalisasi , dan dimana-mana orang mengatakan bahwa kita hidup dalam zaman dengan kehidupan sosial yang sebagian besar ditentukan oleh proses global, dimana garis batas budaya nasional, ekonomi nasional dan wilayah nasional yang semakin kabur, akan tetapi inti dari persepsi ini adalah terjadinya proses globalisasi ekonomi yang muncul dan berjalan dengan sangat cepat ( Paul Hirst & Grahame Thomson, Globalization in Question, dialih bahasakan P. Sumitro, Globalisasi Adalah Mitos: Sebuah Kesangsian Terhadap Konsep Globalisasi Ekonomi Dunia Dan Kemungkinan Aturan Mainnya, Yayasan Obor Indonesia 2001, hal 1 ). Dikatakan lebih lanjut, bahwa telah muncul, atau sedang muncul, suatu sistem ekonomi yang benar-benar global, dimana didalamnya tercakup ekonomi nasional dan, karena itu strategi pengelolaan ekonomi nasional, semakin memerlukan kreativitas untuk bertahan. Dinamika dasar ekonomi dunia telah mencakup seluruh dunia; ekonomi dunia dikuasai oleh kekuatan pasar bebas yang tak terkendali, dengan perusahaan-perusahaan transnasional sebagai pelaku utama dan pembawa perubahan ( ibid) . Satu ciri dari globalisasi ekonomi dapat ditunjuk kebebasan modal bergerak dari satu negara kenegara lain, sehingga dalam keadaan tertentu pergerakan jangka pendek modal memasuki satu negara, dan ketika kemudian tiba-tiba ditarik kembali, akan terjadi gangguan besar bagi sistem moneter negara tersebut. Meski kebijakan moneter Amerika tidak diterapkan keseluruh dunia akan tetapi mata uang dollar menjadi alat pembayaran utama dalam sistem perdagangan internasional. Sistim nilai tukar mengambang dan pusat pusat pasar modal di Amerika sangat berpengaruh pada pasar modal diseluruh dunia, sehingga fluktuasi yang terjadi secara berantai akan membawa dampak ke pasar modal negara lain ( Tetapi saat ini mata uang dollar tidak lagi perkasa, dan terutama karena krisis yang dipicu oleh prime mortgage, orang mulai beralih kemata uang euro (Harian Kompas Oktober 2007 ). Tidak ada pemerintah nasional yang dapat menjalankan dengan effektif Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 119 tata aturan ekonomi apapun, bila tata aturan itu menyimpang dari standar internasional dan merugikan kepentingan TNC yang beroperasi diwilayahnya (Paul Hirst & Grahame Thomson, op.cit hal 19 _); _ Satu transformasi, yaitu perubahan dalam struktur, tampilan atau karakter terjadi secara luas dan besar-besaran, sebagai akibat proses globalisasi. Semua negara, wilayah, lembaga, masyarakat dan individu terkena dampaknya, yang juga mengakibatkan terjadinya perubahan besar dalam interaksi dan interelasi secara kelembagaan, wilayah dan antar masyarakat serta individu. Respon yang memadai terhadapnya tidak dapat diabaikan sama sekali, karena penetrasi yang terjadi secara global telah melampaui dengan mudah batas-batas negara, bahkan-batas-batas yang ingin dijaga dalam rumah keluarga-keluarga. Meskipun proses globalisasi sesungguhnya mempunyai banyak dimensi-sebagaimana telah diuraikan dibagian awal-akan tetapi sesungguhnya orang lebih banyak berbicara tentang proses dan dampaknya dalam bidang ekonomi. Hal itu terjadi karena dampak globalisasi dibidang ekonomi dapat menyengsarakan rakyat diwilayah atau negara tertentu secara signifikan, karena tidak siap dan tidak mampu menghadapi perubahan yang terjadi secara global tersebut. Umumnya negara- negara yang miskin dan sedang berkembang, dengan kemampuan ekonomi dan teknologi yang rendah tidak siap menghadapinya. Apalagi jika kebijakan yang diambil tidak dapat memperhitungkan keadaan domestik secara sosial, ekonomi dan kultural yang tidak memiliki kesiapan yang memadai, diharuskan bersaing secara bebas dan terbuka dengan aktor asing yang lebih canggih. Sesungguhnya transformasi yang terjadi dengan globalisasi sekarang menyebabkan hampir seluruh dunia, sedikit banyak terhubung kedalam sistem dunia yang semakin terintegrasi, dimana parameter pasar mendominasi; Pasal 33 UUD 1945 dan Kebijakan Ekonomi Globalisasi dan integrasi dunia melalui perdagangan bebas dengan filosofi pasar bebas, mau tidak sangat mempengaruhi kondisi perekonomian dan keuangan Indonesia. Dalam hal demikian perlindungan yang diperlukan dalam menjaga segenap bangsa semakin menjadi besar. Memang kemungkinan UU OJK merupakan salah satu yang diajukan oleh IMF sebagai persyaratan untuk bantuan membenahi ekonomi Indonesia, tetapi tidak selalu Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 120 dapat disimpulkan secara sederhana bahwa hanya karena demikian saja UU OJK tersebut bertentangan dengan UUD 1945; UUD 1945, yang memuat konstitusi Ekonomi, yang telah beberapa kali dijadikan batu penguji terhadap kebijakan ekonomi yang tertuang dalam undang-undang yang dimohonkan review oleh Mahkamah Konstitusi. Pasal 33 UUD 1945 yang menentukan prinsip penguasaan negara, demokrasi ekonomi dan kebersamaan, effisiensi berkeadilan, dan pembangunan yang sustainable serta berwawasan lingkungan oleh Mahkamah diartikan bahwa penguasaan itu tidak selalu dalam arti mutlak 100%, sepanjang penguasaan atas pengelolalan tersebut memberi pada negara posisi yang menentukan dalam proses pengambilan keputusan untuk menentukan kebijakan, sehingga oleh karenanya juga divestasi ataupun privatisasi atas kepemilikan saham Pemerintah dalam BUMN yang mengelola sumber daya alam tidak dapat dianggap bertentangan dengan UUD 1945 [ _Pasal 33 ayat (4) UUD 1945: _ “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional] , sepanjang penguasaan negara efti atas cabang produksi strategis dan menguasai hajat hidup orang banyak, serta sumber daya alam, dan sepanjang Negara memiliki posisi dominan dalam policy making badan usaha melalui komposisi saham. Dengan kata lain dalam tafsiran Mahkamah, privatisasi dan kompetisi sepanjang tidak meniadakan penguasaan negara dalam arti posisi yang menentukan dalam pengambilan keputusan kebijakan tetap, dalam tangan negara, dapat diterima dan tidak bertentangan dengan UUD 1945 ( Ibid, hal 336-349 _); _ Dalam krisis keuangan yang dapat menimbulkan krisis global, yang dikatakan seperti tsunami, bagi Indonesia dampak ”globalisasi” secara buruk kelihatannya berjalan satu arah. Kita tidak mampu memberi perlawanan, dan menjadi korban. Sejak era Pemerintah Orde Baru, dua kekuatan utama telah menelan Indonesia, yaitu pertama ”kekuatan deregulasi” yang memaksa keterbukaan akses pasar nasional, yang awalnya hanya meliputi perdagangan, tetapi kemudian meliputi investasi asing. Kedua, pertumbuhan perjanjian dagang regional, ternyata telah menggeser proses regulasi kearah Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 121 skala yang berbeda ( Kami menggunakan dua kekuatan itu dari Paul Dickens, op.cit hal 427 _); _ Kritik Stiglitz, yang mengecam pendekatan IMF “ one-size-fits-all”, yang dianggap memberikan solusi dengan cara yang sama dengan tidak mempertimbangkan keadaan nasional yang berbeda, menyatakan l dengan cara yang lugas: ”... Especially at the International Monetary Fund , decisions were made on the basis of what seemed a curious blend of ideology and bad economics, dogma that sometimes seemed to be thinly veiling special interest… While no one was happy about the suffering that often accompanied the IMF programs, inside the IMF, it was simply assumed that whatever suffering occurred was a necessary part of the pain countries had to experience on the way to becoming a successful market economy, and that the measures would, in fact reduced the pain the country would have to face in the long run. The hypocrisy of pretending to help developing countries by forcing them to open up their market to the goods of advanced industrial countries while keeping their own market protected, policies that make the rich richer and the poor more impoverished and increasingly angry (Joseph E. Stiglitz, Globalization And Its Discontents, Allen Lane Penguin Books 2002, hal xiii,xiv dan xv). Dibagian lain Siglitz menyebutkan bahwa kenyataan tidak adanya mekanisme pasar yang sempurna dapat disimak dari pernyataan Joseph Stiglitz : ” presumption that markets, by themselves, lead to efficient outcomes, failed to allow for desirable government interventions in the market and make everyone better off ” ( Putusan MK op.cit hal 330-331 ) _; _ Banyak dimensi yang dapat diperlihatkan oleh kata Globalisasi , dan dimana-mana orang mengatakan bahwa kita hidup dalam zaman dengan kehidupan sosial yang sebagian besar ditentukan oleh proses global, dimana garis batas budaya nasional, ekonomi nasional dan wilayah nasional yang semakin kabur, akan tetapi inti dari persepsi ini adalah terjadinya proses globalisasi ekonomi yang muncul dan berjalan dengan sangat cepat ( Paul Hirst & Grahame Thomson, Globalization in Question, dialih bahasakan P. Sumitro, Globalisasi Adalah Mitos: Sebuah Kesangsian Terhadap Konsep Globalisasi Ekonomi Dunia Dan Kemungkinan Aturan Mainnya, Yayasan Obor Indonesia 2001, hal 1) . Dikatakan lebih lanjut, bahwa telah muncul, atau Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 122 sedang muncul, suatu sistem ekonomi yang benar-benar global, dimana didalamnya ekonomi nasional dan, karena itu strategi pengelolaan ekonomi nasional, semakin terpengaruh. Dinamika dasar ekonomi dunia telah mencakup seluruh dunia; ekonomi dunia dikuasai oleh kekuatan pasar bebas yang tak terkendali, dengan perusahaan-perusahaan transnasional sebagai pelaku utama dan pembawa perubahan ( _ibid); _ Mahkamah Konstitusi yang diberi mandat untuk mengawal konstitusi, memberi tafsiran atas pasal 33 UUD 1945 sebagai batu ujian konstitusionalitas kebijakan ekonomi yang diadopsi dalam undang-undang yang dimohonkan pengujian, dengan memperhitungkan juga lingkungan strategis global yang berubah. Mahkamah Konstitusi secara khusus telah memberi pengertian ”penguasaan oleh negara” dalam putusan-putusannya sebagai berikut ini : ” ...dengan memandang UUD 1945 sebagai sebuah sistem...,maka penguasaan oleh negara dalam Pasal 33 memiliki pengertian yang lebih tinggi atau lebih luas dari pada pemilikan dalam konsepsi hukum perdata. Konsepsi penguasaan oleh negara merupakan konsepsi hukum publik yang berkaitan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dianut dalam UUD 1945, baik dibidang politik (demokrasi politik) maupun ekonomi (demokrasi ekonomi). Dalam paham kedaulatan rakyat itu, rakyatlah yang diakui sebagai sumber, pemilik dan sekaligus pemegang kekuasaan tertinggi dalam kehidupan bernegara, sesuai dengan doktrin ”dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”. Dalam pengertian kekuasaan tertinggi tersebut tercakup pula pengertian pemilikan publik oleh rakyat secara kolektif. Bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalam wilayah negara, pada hakikatnya adalah milik publik seluruh rakyat secara kolektif yang dimandatkan kepada negara untuk menguasainya guna dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran bersama. Karena itu Pasal 33 ayat (3) menentukan ”bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sesesar-besar kemakmuran rakyat”. ”...pengertian ”dikuasai negara” haruslah diartikan mencakup makna penguasaan oleh negara dalam arti luas yang bersumber dan diturunkan dari konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan ”bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya, termasuk pula didalamnya pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber sumber kekayaan yang dimaksud. Rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 123 1945 memberikan mandat kepada negara untuk melakukan fungsinya dalam mengadakan kebijakan (beleid), tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad)” (Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 01-02-022/PUU- I/2003 ). Ini memperkuat keyakinan kita akan apa yang disebut ketidak sempurnaan pasar dan perlunya intervensi Pemerintah sebagaimana disebut Joseph Stiglitz: ” Behind the free market ideology there is a model, often attributed to Adam Smith, which argues that market forces-the profit motive-drive the economy to efficient outcomes as if by invisible hand. One of the great achievements of modern economics is to show the sense in which, and the conditions under which Smith’s conclusion is correct. It turns out that these conditions are highly restrictive. Indeed, more recent advances in economic theory-ironically occurring precisely during the period of the most relentless pursuit of the Washington consensus policies-have shown that whenever information is imperfect and market incomplete, which is to say always, and especially in developing countries, then the invisible hand works most imperfectly. Significantly, there are desirable government interventions which, in principle, can improve upon the efficiency of the market. These restrictions on the conditions under which markets result in efficiency are important-many of the key activities of government can be understood as responses to the resulting market failure” (Joseph E. Stiglitz, op.cit hal 73-74 ). __ Oleh karenanya Pasal 33 UUD 1945 sebagai konstitusi ekonomi Indonesia yang membentuk paradigma negara kesejahteraan ( Kita tidak menyebut paradigma sosialis, untuk menghindari kesan kembali mempertahankan kebijakan ekonomi yang dianut negara-negara komunisme dalam masa perang dingin, yang secara mutlak telah mengalami kekalahan dari sistem kapitalisme) , dengan tafsir mutakhir yang dilakukan Mahkamah Konstitusi, kami yakini dapat diterapkan di Indonesia, dengan memperhatikan tingkat perkembangan kondisi sosial, kultural dan ekonomi dari Negara dan bangsa Indonesia. Dalam menata dan melaksanakan tugasnya dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang didasarkan pada UUD 1945, kami melihat bahwa pemerintah pusat dan lokal dalam tugas pokoknya untuk menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, ekonomi, dan pembangunan yang effektif dan effisien untuk mendukung terwujudnya Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 124 perekonomian nasional yang berfihak pada ekonomi kerakyatan, yang merata, mandiri, handal, berkeadilan dan mampu bersaing dikancah perekonomian Internasional harus dapat memperhatikan paradigma negara kesejahteraan ( welfare state). Pembentukan OJK hemat kami sesuai dengan konsep pengawasan dan intervensi yang dibutuhkan untuk melindungi rakyat dan perekonomian Indonesia dari praktik di bidang jasa keuangan yang merugikan perekonomian masyarakat dan negara, karena sebagai lembaga negara yang independen, OJK adalah bagian dari organ negara, yang memenuhi syarat dalam tugas pengawasan dan pengaturan lembaga jasa keuangan, yang didalilkan Pemohon bertentangan dengan UUD 1945. Justru dia menjadi bagian dari campur tangan negara untuk mengawasi dan mengatur jasa keuangan di Indonesia, dengan cara yang independen dan dibebaskan dari benturan kepentingan yang mungkin terjadi, yang menjadi amanat Pasal 33 UUD 1945 dan Pembukaan UUD 1945, sebagaimana telah ditasfirkan oleh Mahkamah Konstitusi; Sekali lagi kami memohon kehati-hatian Majelis yang Mulia Hakim MK, suatu putusan yang meniadakan lembaga OJK seperti yang terjadi pada BP Migas, membawa akibat yang sangat berbeda, karena akan menghilangkan kepastian hukum, kepercayaan investor asing, yang akan terdorong untuk menarik dana besar mereka secara mendadak, sehingga dapat menimbulkan panik dan kekacauan secara berantai, yang boleh menjadi krisis ekonomi; Kesimpulan 1. Pemohon tidak mempunyai dasar legal standing yang memadai untuk memohon pengujian UU OJK;
Karena keterkaitan ekonomi global dengan ekonomi Indonesia, maka Putusan MK, sekalipun hanya menghentikan untuk sementara kegiatan OJK, justru dapat menimbulkan krisis ekonomi di Indonesia;
UU OJK tidak melanggar constitutional boundary Dalam UUD 1945;
Dr. Zainal Arifin Moechtar, S.H., LL.M Pada dasarnya, pengujian atas UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (lebih lanjut disebut UU OJK) dilakukan oleh karena Pemohon menganggap bahwa; Pertama , OJK ini bukanlah lembaga yang sah secara konstitusional dan karenanya tidak dapat disematkan sifat keindependenan padanya. Kedua , OJK telah mengambil alih peran dan fungsi Bank Indonesia, padahal menurut Pemohon, hanya Bank Indonesia-lah yang memiliki sifat-sifat Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 125 sebagai bank sentral dengan segala tugas dan fungsinya sehingga tidaklah tepat jika OJK diperbolehkan untuk memiliki fungsi menyelenggarakan sistem pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana yang dimaksud di dalam UU OJK. Ketiga , pembentukan OJK menimbulkan banyak kerugian oleh karena OJK mengadakan pungutan terhadap perusahaan sektor jasa keuangan yang dijadikan sumber pendanaan OJK. Karena ini berarti entitas yang diawasi malah menjadi sumber dana dan akan mengganggu independensi OJK, khususnya OJK akan lebih memperhatikan industri jasa dan keuangan dibanding kepentingan publik; Dalam kapasitas sebagai ahli dan untuk merespon permohonan Pemohon tersebut, akan menjelaskan hal-hal sebagai berikut; Pertama, seperti apa sesungguhnya lembaga negara independen secara teoritik dan praktik. Kedua, makna relasi OJK dengan lembaga bank sentral; Ketiga, pungutan yang dilakukan terhadap jasa keuangan apakah dengan serta merta dapat dianggap melanggar prinsip Pasal 23A UUD 1945; Dalam kapasitas sebagai ahli dengan menyatakan sebagai berikut; Perihal Independensi OJK dan Lembaga Negara Independen Tentu saja tak dapat dimungkiri bahwa OJK adalah lembaga negara independen sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 angka 1, UU OJK itu sendiri. Dapat digolongkan sebagai lembaga negara oleh karena merupakan lembaga yang dibentuk oleh negara dan dalam rangka menjalankan tugas negara di sektor pengawasan terhadap perbankan. Kemudian, diberikan sifat independen oleh karena diharapkan bebas dari campur tangan pihak lain. Oleh karena itu, OJK kemudian dijadikan lembaga negara yang bersifat independen; Lembaga negara independen seringkali diterjemahkan menjadi lembaga negara tersendiri yang terpisah dari cabang kekuasaan yang lainnya. Lembaga yang menjadi independen atas lembaga negara lainnya dan menjalankan fungsi- fungsi tertentu secara permanen (state independent agencies) , maupun yang hanya bersifat menunjang (state auxiliary agencies) , sehingga padanya disematkan kewenangan kelembagaan kuat untuk menjalankan fungsi campuran antara regulatif, administratif, pengawasan, dan fungsi penegakan hukumnya ( Lihat: Jimly Ashiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara , Rajawali Pers, Jakarta, 2009, halaman 338-339 _); _ Bahwa menurut Milakovich dan Gordon, komisi negara independen pada Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 126 hakikatnya memiliki karakter kepemimpinan yang bersifat kolegial, sehingga keputusan-keputusannya diambil secara kolektif. Selain itu, anggota atau para komisioner lembaga ini tidak melayani apa yang menjadi keinginan presiden sebagaimana jabatan yang dipilih oleh presiden lainnya ( Michael E.Milakovich, dan George J. Gordon , Public Administration in America , Seventh Edition, USA, Wadsworth and Thomson Learning, 2001 ). Perihal independen ini, Funk dan Seamon menjelaskannya dalam arti anggota bebas dari kontrol presiden, walaupun independensi itu sifatnya relatif, tidak mutlak ( William F Funk and Seamon, 2001 Administrative Law, Examples and Explanations , Aspen Law and Bussiness, New York _); _ Di samping itu, periode jabatannya bersifat ”staggered ”. Artinya, setiap tahun setiap komisioner berganti secara bertahap dan oleh karena itu, seorang presiden tidak bisa menguasai secara penuh kepemimpinan lembaga-lembaga terkait, karena periodesasi jabatan komisioner tidak mengikuti periodesasi politik kepresidenan. Demikian juga perihal jumlah anggota atau komisioner ini bersifat ganjil dan keputusan diambil secara majoritas suara. Selain itu, keanggotaan lembaga ini biasanya menjaga keseimbangan perwakilan yang bersifat partisan ( ibid). Dengan karakter seperti di atas, maka komisi independen relatif memiliki posisi yang leluasa dalam melakukan fungsinya karena tidak berada di bawah kontrol kekuasaan manapun secara mutlak; Ditambahkan Gordon dan Milakovich, perihal nomenklatur kelembagaan bisa ditarik dalam kesimpulan penggunaan istilah regulatory agencies merujuk kepada semua jenis dependent and independent regulatory boards , commissions, law enforcemen agencies dan executive department yang memiliki kewenangan pengaturan (Op.Cit Gordon and Milakovich). __ Lebih lanjut dijelaskan bahwa: The term of regulatory agencies will refer to a regulatory bodies headed by single individual (most commonly a director); a regulatory commissions is headed by group of commissioners (or sometimes, board member) and both regulatory bodies will refer to both kinds of structures (ibid) . Dikatakan, sebagai pembedaan yang akan menunjukkan perbedaan type of regulators, in their _operational as well as their formal structures (ibid); _ Masih dalam hal yang sama, Funk dan Seamon menjelaskan secara lebih rinci bahwa karakteristik lembaga independen ini adalah, Pertama , dikepalai oleh multi-member groups, yang berbeda dari yang mengepalai agency . Kedua , tidak Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 127 boleh dikuasai secara simple majority oleh partai tertentu, yang artinya bebas dari penguasaan partai tertentu. Ketiga , para komisionernya punya masa jabatan yang fixed dengan cara berjenjang ( staggered terms ), yang artinya mereka tidak berhenti secara bersamaan. Keempat , para anggota hanya bisa diberhentikan dari jabatan menurut apa yang ditentukan di dalam dalam aturan dan tidak dengan cara yang ditentukan oleh Presiden seperti di lembaga eksekutif ( Op.Cit., Funk dan Seamon _); _ Sementara itu, Michael R. Asimov, komisi negara disebutnya sebagai administrative agencies dengan pengertian sebagai units of government created by statute to carry out specific tasks in implementing the statute. Most administrative agencies fall in the executive branch, but some important agencies are independent ( Michael R. Asimov 2002, Administrative Law , Chicago: The BarBri Group ) . Mengenai watak dari sebuah komisi, apakah tergantung pada satu cabang kekuasaan tertentu, atau bersifat independen, Asimov melihatmya dari segi mekanisme pengangkatan dan pemberhentian anggota komisi negara tersebut. Menurutnya, pemberhentian anggota komisi negara independen hanya dapat dilakukan berdasarkan sebab-sebab yang diatur dalam Undang-Undang pembentukan komisi bersangkutan. Sedangkan anggota komisi negara biasa, sewaktu-waktu diberhentikan oleh presiden, melalui mekanisme pengaturan yang dimiliki presiden ( _bid); _ Sementara William F. Fox, Jr mengemukakan bahwa komisi negara adalah bersifat independen apabila dinyatakan secara tegas di dalam undang-undang komisi bersangkutan, yang dibuat oleh Congress . Atau, bilamana terdapat pembatasan kewenangan presiden untuk tidak bisa secara bebas memutuskan ( discretionary decision ) pemberhentian pimpinan komisi negara tersebut ( William F. Fox, Jr., Understanding Administrative Law , Danvers: Lexis Publishing, 2000 _); _ Sebuah komisi negara independen adalah lembaga publik yang memiliki independensi, otonomi dan kompetensi pengaturan dalam menjalankan ruang publik yang sensitif, seperti perlindungan persaingan, supervisi capital market , dan pengaturan pelayanan kepentingan ekonomi secara umum . Keberadaan komisi negara independen ini, dijustifikasi oleh adanya kompleksitas pengaturan hal-hal tertentu, serta tugas-tugas yang bersifat supervisory dan sangat membutuhkan keahlian khusus. Kebutuhan untuk Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 128 implementasi secara cepat kewenangan publik di sektor tertentu dan juga bebas dari campur tangan politik dalam pelaksanaan tugas. Bahwa dari berbagai pengertian tersebut, OJK menemukan fungsi independennya secara sangat kuat. Pertama, oleh karena adanya kepentingan dan tugas tertentu yang diinginkan negara untuk dijalankan secara lebih independen dan bebas dari campur tangan mana pun menjadi. Khususnya mengenai kepentingan untuk melakukan pengawasan perbankan secara independen. Dan oleh karena adanya kebutuhan untuk melakukan pengasan secara lebin independen itulah maka UU Bank Indonesia sendiri telah mengamanatkan dibentuknya lembaga tersendiri yang independen dalam melakukan pengawasan sektor jasa keuangan; Kedua , OJK telah memiliki hampir semua ciri keindependenan yang dimaksudkan sebagai ciri penegas dari keindependenan suatu lembaga negara independen. Tentu saja tidak semua, apalagi memang tidak satupun lembaga negara independen di Indonesia yang mengikuti berbagai ciri teoritik untuk lembaga negara independen tersebut. Misalnya soal pergantian yang berjenjang ( staggered terms ). Sampai saat ini, tidak satupun lembaga negara independen yang memiliki sifat pergantian berjenjang. Lagipula, kepentingan pergantian berjenjang adalah untuk mengecilkan kemungkinan penguasaan suatu lembaga negara independen oleh partai politik tertentu. Tetapi selebihnya, OJK dapat dikatakan menjalankan penuh sifat-sifat keindependenan sebagaimana ciri teoritik; Ketiga , haruslah diingat bahwa keindependenan dapat diukur kepentingan konstitusionalnya melalui fungsi yang ingin dikerjakan. Jika ada suatu tugas yang negara ingin lakukan, sangat penting, serta adanya kemungkinan conflict of interest dengan kepentingan Pemerintah, maka disitulah lahir kepentingan konstitusional untuk mengindependenkan tugas tersebut ke suatu lembaga tersendiri dengan harapan tidak akan dipengaruhi oleh cabang kekuasaan manapun. Bank Indonesia dan OJK Perihal OJK telah mengambil alih peran dan fungsi Bank Indonesia, memang merupakan hal yang menarik. Sesungguhnya harus diingat beberapa hal yang melatari lahirnya UU Bank Indonesia yang mencantumkan pemisahannya dari Bank Indonesia. Salah satunya krisis yang terjadi di tahun 1997-1998, dan menimbulkan kesimpulan kala itu bahwa terjadi ketidakefektifan pengawasan yang dilakukan oleh Bank Indonesia. Oleh karenanya, dipisahkanlah fungsi regulasi dan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 129 pengawasannya. Pemisahan ini tentunya adalah open legal policy pembentuk Undang-Undang yang melihat adanya persoalan pengawasan perbankan. Karenanya, pembentukan OJK adalah bagian dari ijtihan negara untuk melakukan perbaikan sektor pengawasan jasa keuangan; Kedua , perihal makna terintegrasi. Makna kata terintegrasi secara hukum tidaklah dapat dikatakan bahwa terintegrasi itu haruslah dipegang oleh satu lembaga saja. Terintegrasi tentu saja bermakna dapatjuga dilakukan oleh multi-pihak, sepanjang dilakukan secara terkordinatif dengan relasi yang baik dan jelas. Sekedar mencontohkan, integrated criminal justice system menjelaskan bahwa sistem penegakan hukum pidana yang terintegrasi tidaklah berarti hanya harus ada satu lembaga yang mengerjakan penegakan hukum pidana. Tetapi dapat juga dengan beberapa lembaga yang diupayakan terformat secara terintegrasi. Inilah yang dapat dilihat dalam relasi antara Bank Indonesia dan OJK dalam pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan. Tidaklah harus dilakukan oleh satu lembaga saja, tetapi dapat juga dengan multi-pihak. Disinilah peran pembentuk Undang- Undang untuk merumuskan legal policy apa yang akan diambil dalam artian menjelaskan sistem perekonomian yang terintegrasi tersebut. Masih perihal terintegrasi tentunya tidak dapat diterjemahkan sebagai membiarkan adanya campur tangan satu pihak atas pihak yang lain sehingga mengganggu independensi. Terintegrasi memiliki makna kuat termasuk saling kontrol. Seperti layaknya suatu _checks and balances system; _ Karenanya, seharusnya dibalik logikanya bahwa dengan kehadiran OJK bukanlah memperlemah fungsi bank sentral yang sesungguhnya yakni memelihara kestabilan nilai rupiah dengan melaksanakan kebijakan moneter yang berkelanjutan, konsisten, transparan dan mempertimbangkan kebijakan umum pemerintah dalam bidang perekonomian. Dalam tugas tersebut, OJK sangat berfungsi untuk membantu kebijakan secara keseluruhan dalam kaitan menjaga sistem perekonomian nasional yang dikerjakan oleh Pemerintah, OJK, maupun Lembaga Penjamin Simpanan yang memang penting untuk saling bahu-membahu menjaga kestabilan perekonomian nasional; Perihal Pungutan OJK Pada dasarnya, Pasal 34 ayat (2), Pasal 37 ayat (1) s.d. ayat (6) serta penjelasannya mengatur bahwa anggaran OJK bersumber dari APBN dan/atau pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. Dan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 130 kemudian juga diatur bahwa yang dimaksud dengan pungutan antara lain adalah pungutan untuk biaya perizinan, persetujuan, pendaftaran, dan pengesahan, biaya pengaturan, pengawasan, pemeriksaan serta penelitian dan transaksi perdagangan efek; Aturan ini bermakna banyak. Pertama , pendanaan OJK sesungguhnya dapat dilakukan dengan hanya menggunakan APBN. Dapat juga hanya menggunakan pungutan. Dapan juga dengan menggunakan keduanya. Hal yang sebagai konsekuensi dari penggunaan kata “dan/atau” dalam aturan sebagaimana yang dimaksud di atas. Hanya dibebankan ke APBN tentu tidak tepat oleh karena memang ada pungutan yang seharusnya dibayarkan oleh pihak yang berkepentingan seperti yang diatur di atas. Hanya menggunakan pungutan juga tidak mungkin oleh karena OJK harus beroperasi dari awal dan belum memiliki pendanaan. Maka yang paling mungkin adalah dengan menggabungkan kemungkinan keduanya digunakan. Oleh karena itulah hadir kata “dan/atau”; Kedua , tidaklah dapat dikatakan dengan serta merta bahwa dengan pungutan ini akan mengganggu independensi. Mencontohkan biaya-biaya persidangan perkara yang diatur di Mahkamah Agung dan peradilan di bawahnya. Hal tersebut diatur dalam Perma Nomor 3 Tahun 2012. Dalam Perma tersebut diatur secara jelas perihal biaya-biaya yang dimaksudkan untuk membayar kepentingan pencari keadilan khususnya untuk membiayai kepaniteraan; proses peradilan itu sendiri dan biaya pemberkasan. Bahkan diatur biaya penyelesaian perkara yang berkisar antara Rp. 250.000-Rp. 10.000.000,- Dan kemudian diatur disesuaikan dengan keadaan pengadilan setempat tersebut. Bahkan di beberapa pengadilan, jika ada yang tidak mampu membayar dengan membuktikan bahwa ia benar-benar tidak mampu membayar karena termasuk golongan miskin, maka pengadilan dapat membebaskan dari biaya perkara tersebut; Artinya, pada dasarnya tidaklah dapat dikatakan melakukan pembayaran untuk mengurus biaya perkara dalam proses peradilan dapat mengganggu independensi lembaga tersebut dalam menegakkan keadilan. Sepanjang, hal tersebit diatur dengan jelas dan terang sehingga tidak ada lagi biaya-biaya lain selain dari biaya yang diatur dalam peraturan yang mendasarinya. Hal yang sama dapat dilihat ke konteks OJK. Bahwa sesungguhnya apa yang dibayarkan oleh asa keuangan merupakan bagian dari yang tidak dapat dikatakan akan mengganggu independensi OJK dalam melaksanakan tugas. Hal tersebut bagian dari biaya Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 131 yang harus dibayarkan oleh pelaku jasa keuangan untuk membiayai proses yang dikerjakan OJK. Tentu tidak mengganggu independensi OJK sepanjang ditetapkan melalui biaya yang sudah diatur dengan detail, bahkan diguanakan untuk pembiayaan apa saja serta yang paling penting adalah transparansi penggunaannya; Ketiga , perihal pungutan ini melanggar ketentuan UUD 1945 terkhusus Pasal 23A yang menyatakan “pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang” , sesungguhnya tidak serta merta dapat dikatakan melanggar. Apalagi, aturan mengenai pajak dan pungutan bersifat memaksa di negara ini tidaklah diatur secara terkodifikasi dalam satu Undang- Undang yang khusus mengenai pajak dan pungutan bersifat memaksa. Jika dikatakan bahwa harus dengan Undang-Undang tersendiri juga akan sangat repot karena harus membuat begitu banyak Undang-Undang khusus dan tersendiri yang mengatur soal pungutan. Termasuk Undang-Undang khusus pungutan OJK maupun Mahkamah Agung, serta seluruh lembaga-lembaga lainnya yang menggunakan pungutan ataupun pajak; Karenanya, pengaturan lebih lanjut dengan menggunakan aturan pelaksana dari Undang-Undang yang membolehkan pungutan secara praktik masih dapat diterima dan menjadi open legal policy dalam besaran jumlah pungutan sepanjang, -mengutip Putusan MK No. 26/PUU-VII/2009 tentang sifat open legal policy , yakni sepanjang isinya tidak melanggar moralitas, rasionalitas dan ketidakadilan yang intolerable (tidak dapat ditoleransi). Maka sepanjang pungutan tersebut tidak melanggar moralitas, masih rasional jumlahnya serta tidak menimbulkan ketidakdilan, maka masih dapat dibenarkan. Meskipun pada saat yang sama harus memperhatikan kondisi dari pihak yang dipunguti biaya tersebut. Seperti yang diatur dalam Perma untuk biaya perkara maupun Peraturan OJK untuk pungutan atas jasa keuangan; Keempat , jikalaupun dianggap melanggar prinsip Pasal 23A UUD 1945 yang mengamatkan harus diatur dalam Undang-Undang tersendiri, maka harus dapat dilakukan dengan mengupayakan adanya kodifikasi atas keseluruhan pajak dan pungutan bersifat memaksa lainnya. Atau sekurang-kurangnya semua pungutan yang terjadi di MA, LPS, Pemerintah melalui PNBP, maupun OJK dan berbagai lembaga lain haruslah dibuatkan Undang-Undang nya masing-masing. Hal yang tentu mustahil karena mengingat kompleksitas soal hal tersebut; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 132 5. Prof. Erman Rajagukguk, S.H., LL.M., PH.D Pertanyaan yang mendasar adalah, apakah Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37 dan frasa “… tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan...” dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), Pasal 23A dan Pasal 34D Undang-Undang Dasar 1945 ? Dengan perkataan lain pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut:
Apakah filosofi pemisahan kewenangan stabilitas moneter dan pengawasan perbankan? 2. Apakah filosofi penggabungan pengawasan perbankan dan lembaga keuangan non-bank? 3. Apakah artinya independensi dan bebas dari campur tangan pihak lain dalam kelembagaan OJK? 4. Bagaimanakah hubungan kelembagaan antara Pemerintah dalam hal ini Departemen Keuangan, Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam sistem perekonomian Indonesia? 5. Apakah filosofi pembiayaan OJK dilakukan dengan pungutan dari para pelaku pasar? Pendapat Hukum ahli atas pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas adalah sebagai berikut ini: Filosofi pemisahan kewenangan menjaga stabilitas moneter dan pengawasan perbankan adalah agar keseluruhan kegiatan jasa keuangan di dalam sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang berkelanjutan dan stabil, mampu melindungi kepentingan konsumen atau masyarakat. Hal ini juga merupakan amanat Pasal 34 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang telah memperkirakan perkembangan transaksi sektor jasa keuangan yang tidak bisa dilakukan secara partial, namun harus secara terintegrasi dari berbagai sub sektor jasa keuangan; Filosofi penggabungan pengawasan perbankan dan lembaga keuangan non-bank adalah untuk melindungi kepentingan konsumen atau masyarakat. OJK sebagai otoritas yang melaksanakan fungsi pengaturan dan pengawasan di sektor jasa Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 133 keuangan harus memiliki independensi didalam melaksanakan tugasnya. Hal ini disebabkan OJK mengawasi kegiatan jasa keuangan dan transaksi keuangan oleh entititas bisnis yang dapat berpotensi terjadinya benturan kepentingan serta berpotensi pula mempengaruhi pihak-pihak tertentu, termasuk pihak Pemerintah. Terjadinya proses globalisasi dalam sistem keuangan dan pesatnya kemajuan di bidang teknologi dan informasi serta inovasi finansial telah menciptakan sistem keuangan yang sangat kompleks, dinamis dan saling terkait antar masing-masing sub sektor keuangan baik dalam hal produk maupun kelembagaan. Disamping itu adanya lembaga keuangan yang memiliki hubungan kepemilikan di berbagai sub sektor keuangan (konglomerasi) telah menambah kompleksitas transaksi dan interaksi antara lembaga-lembaga keuangan seperti bank, perusahaan- perusahaan yang go publik (sektor Pasar Modal), Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya; Independensi dan bebas dari campur tangan pihak lain dalam kelembagaan OJK tidak berarti independensi secara mutlak. Independensi tersebut harus diimbangi dengan check and balance , artinya bukan lembaga yang memiliki kebebasan yang tidak terbatas. Independensi dalam arti mengatur sendiri ( self-regulatory bodies ) seperti komisi lain yang ada: Komisi Penyiaran Indonesia, Komisi Pemilihan Umum, dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Independensi OJK artinya juga bahwa OJK tidak berada dibawah otoritas lain atau tidak menjadi bagian dari Pemerintah. Namun OJK tetap wajib menyusun laporan kegiatan secara berkala dan melaporkannya kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan OJK harus tetap memberikan laporan keuangan tahunannya serta diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau Kantor Akuntan Publik yang ditunjuk oleh BPK. Selanjutnya OJK wajib mengumumkan laporan keuangan tersebut kepada publik melalui media cetak dan media elektronik; Dalam hal OJK mengidentifikasikan bank tertentu mengalami kesulitan likuiditas dan/atau kondisi kesehatan bank tersebut memburuk, maka OJK dapat mengajukan ke Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK) untuk segera dilakukan rapat guna memutuskan langkah-langkah pencegahan atau penanganan krisis. Anggota FKSSK yaitu Menteri Keuangan, Bank Indonesia, OJK dan LPS melakukan pertukaran informasi terkait dengan tugas dan fungsi dari masing-masing lembaga; Filosofi pembiayaan OJK yang berasal dari APBN dan/atau pelaku pasar adalah Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 134 sebagai pembiayaan bagi OJK karena bertugas mengatur dan mengawasi kegiatan jasa keuangan disektor perbankan, Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan dan Lembaga Jasa Keuangan lainnya, dimana pelaku pasar juga akan memperoleh manfaat dari jasa pengawasan yang dilakukan oleh OJK; Berdasarkan uraian saya tersebut di atas, maka Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34, Pasal 37 dan frasa “… tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan …” dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan tidak bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), Pasal 23A dan Pasal 34D Undang- Undang Dasar 1945; Menurut Pendapat Hukum saya, apabila permohonan Pemohon dikabulkan mengembalikan semua kegiatan pengawasan perbankan kembali ke Bank Indonesia; tidak semudah membalikkan telapak tangan dan membawa implikasi yang besar dalam sektor jasa keuangan; Akan tetapi pengembalian kewenangan pengawasan perbankan tersebut membutuhkan pengaturan baru yang memakan waktu yang panjang sehingga terjadi kekosongan hukum yang mengakibatkan ketidakpastian hukum. Ketidakpastian hukum akan menyebabkan investor-investor melepaskan surat- surat berharga yang dimiliknya, hal ini dapat menyebabkan penjualan surat-surat berharga yang dimiliki oleh investor karena harganya yang akan terus merosot akibat adanya ketidakpastian hukum. Keadaan tersebut akan mempengaruhi kondisi fiskal perekonomian negara dikarenakan ABPN yang masih dalam keadaan defisit membutuhkan alternatif pembiayaan untuk menutupi defisit dimaksud dengan menerbitkan surat berharga negara, namun nilai surat berharga dimaksud menjadi berkurang, tidak laku dan pemerintah dapat mengalami keadaan default dalam arti pinjaman menjadi tidak terbayarkan dan defisit tidak dapat ditutup; Hal tersebut akan mengakibatkan krisis keuangan dan perekonomian yang pada akhirnya dapat menyebabkan krisis pemerintahan; Dengan perkataan lain, tindakan hukum yang demikian yaitu mengembalikan fungsi pengawasan perbankan akan membawa akibat negatif bagi ekonomi bangsa; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 135 6. Dr. Sihabudin, S.H., M.H I. Analisis Umum Ketentuan mengenai keuangan negara pertama kali diatur di dalam Konstitusi sejak 18 Agustus 1945 oleh BPUPKI. Namun belum ada satupun pasal yang membahas mengenai kedudukan apalagi kewenangan dari Bank Sentral maupun Bank Indonesia. Pada Pasal 23 UUD 1945 pada saat itu hanya berisi lima pasal mengenai APBN, perpajakan, mata uang, dan pembentukan lembaga tinggi Negara BPK-RI (Badan Pemeriksa Keuangan). Pada Konstitusi RIS Bab IV mengenai Pemerintahan Pasal 165 mulai mengatur mengenai BANK SIRKULASI yang diatur dalam undang-undang Federal dan hanya dibentuk satu di ibukota negara. Kemudian pada masa pemberlakuan UUDS 1950 pengaturan mengenai bank sentral mulai diatur pada Pasal 109 ayat (4) dan Pasal 110 , meski masih menggunakan nama BANK SIRKULASI ; Bank Indonesia mulai diberikan independensi dan diakui secara konstitusional sebagaimana hasil amandemen UUD 1945 pada era reformasi dan disahkannya UU Nomor. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Dalam Undang- Undang tersebut berisi penegasan BI sebagai bank sentral yang independen dan bebas dari campur tangan pemerintah maupun pihak lain. BI diberikan kewenangan pemberian izin usaha bank, pembinaan dan pengawasan perbankan, meski muncul perdebatan di MPR yang meminta fungsi pengawasan bank dialihkan pada lembaga terpisah dari BI (yang dalam UU BI disebut LPJK), sedangkan kewenangan perizinan dan pengaturan masih tetap di bawah BI, dan permintaan itu dikabulkan. Hal tersebut dalam pembahasan amandemen kedua UUD 1945 (6 Desember 1999) menjadi perdebatan anggota MPR, dimana saya kutip salah satu pendapat dari Jubir F-KB, Abdul Khaliq Ahmad: “sebagai Bank Sentral, BI memiliki kewenangan di bidang penetapan dan pelaksanaan kebijakan moneter. BI juga mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran serta pengaturan dan pengawasan bank. Dengan demikian, kedudukan BI akan menjadi lembaga tinggi Negara sederajat dengan lembaga-lembaga tinggi negara yang sudah ada.. Oleh karena itu dengan dimasukkannya pengaturan tentang BI dalam UUD, independensi BI sebagai Bank Sentral diharapkan akan semakin kukuh dan bebas dari intervensi kekuatan lain. Merebaknya kasus-kasus besar perbankan akhir- akhir ini makin menyadarkan kita bahwa saatnya sekarang meningkatkan kinerja BI dengan pengaturannya secara eksplisit dalam UUD”. Seiring dengan terjadinya proses globalisasi dalam sistem keuangan dan pesatnya kemajuan di bidang teknologi informasi dan inovasi finansial, Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 136 menciptakan sistem keuangan yang kompleks, dinamis dan saling terkait antar masing-masing subsektor keuangan baik dalam hal produk maupun kelembagaan. Di samping itu, adanya lembaga keuangan yang memiliki hubungan kepemilikan di berbagai subsektor keuangan atau yang disebut konglomerasi keuangan menambah kompleksitas transaksi dan interaksi antar lembaga keuangan dalam sistem keuangan. Hal tersebut yang menyebabkan perlunya untuk membentuk lembaga baru agar keseluruhan pengawasan kegiatan keuangan dapat terintegrasi, meski dalam permohonan disebutkan kebutuhan membentuk OJK adalah karena desakan ekonomis dari IMF terhadap pemerintah Indonesia yang disebabkan BI dianggap gagal fungsi; Dasar pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK):
Landasan yuridis: Pasal 34 UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, yang mengamanatkan pembentukan lembaga pengawas sektor keuangan yang mencakup perbankan, lembaga keunagan non bank, perusahaan pembiayaan dan badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat;
Landasan filsafati: pemenuhan prinsip-prinsip good governance dengan menciptakan spesialisasi dalam pengawasan, pengembangan metode pengawasan yang tepat serta mengurangi luasnya rentang kendali pengawasan agar dalam pengambilan keputusan menjadi efisien dan efektif;
Landasan sosiologis: peran pengaturan dan pengawasan yang dilakukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) harus diarahkan untuk menciptakan efisiensi, persaingan yang sehat, perlindungan konsumen, dan memelihara mekanisme pasar yang sehat melalui prinsip kesetaraan ( level playing field ); II. ANALISIS BUTIR-BUTIR PERMOHONAN 1. Mengenai kedudukan hukum atau legal standing Pemohon, sesuai ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi yang menyatakan: “ Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang ”. Dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi berbeda dengan hukum acara yang dikenal dan diberlakukan dalam praktik peradilan umum, karena hukum acara Mahkamah Konsitusi mengandung kekhususan-kekhusuan tertentu yang tidak ditemukan dalam praktik di peradilan umum. Salah satu kekhususan dalam hukum acara Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 137 Mahkamah Konstitusi, adalah adanya syarat kerugian konstitusional bagi Pemohon yang mengajukan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 45. Dalam pikiran saya, konsep kerugian pada dasarnya adalah domain hukum perdata ( private law ), bukan domain hukum konstitusi. Jika dalam hukum perdata kerugian dimaknai sebagai hilang atau terganggunya hak-hak perdata seseorang yang diakibatkan oleh perbuatan orang lain yang melanggar hak tersebut atau yang melawan hukum. Sedangkan dalam hukum konstitusi Pertama , adanya hak konstitusional yang bersangkutan yang diberikan oleh UUD 45, Kedua , hak konstitusional tersebut dianggap oleh yang bersangkutan telah dirugikan oleh Undang-Undang yang dimohonkan pengujian. Ketiga , kerugian konstitusional tersebut bersifat khusus dan aktual atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi. Keempat , adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian tersebut dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji. Terakhir, adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Walaupun sekilas tampak bahwa ‘penganuliran’ terhadap pasal atau materi tertentu dari suatu undang-undang merupakan remedy terhadap kerugian konstitusional yang terjadi sebagai akibat dari berlakunya pasal atau materi tertentu dari Undang-Undang tersebut, sesungguhnya ‘penganuliran’ tersebut bukanlah akibat langsung dari adanya kerugian konstitusional tersebut, melainkan akibat dari adanya pertentangan antara pasal atau materi tertentu dari undang-undang tersebut dengan UUD 45 [lihat Pasal 57 ayat (1)] Jika secara perdata, ada atau tidaknya kepentingan tersebut dapat dibuktikan secara formil berdasarkan, salah satunya, ada atau tidaknya hubungan hukum, maka bagaimana membuktikan adanya ‘kepentingan’ dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi. Dapat disimpulkan bahwa pemohon dapat dikatakan memenuhi legal standing dalam permohonan tersebut, meski masih menimbulkan multi tafsir dalam pemaknaan kerugian secara konstitusional. Dalam permohonan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 138 tersebut para penggugat juga belum menunjukkan secara jelas apa kerugian konstitusional yang mereka dapatkan, apakah unsur “kepentingan” sudah dianggap mewakili? Sehingga Pemohon hanya menjabarkan hak konstitusional yang belum sesuai dengan alasan mereka mengajukan permohonan (seperti: membayar pajak, pemberi aspirasi, kedudukan dalam hukum dan apa dasar OJK disebut melakukan pemborosan sehingga mereka mengalami kerugian secara konstitusional).
Pada angka 24 tidak perlu menyebutkan Undang-undang nomor 13 tahun 1968 khususnya di Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) mengenai kewenangan Pemerintah dan Dewan Moneter yang sudah dihapuskan sejak Undang- Undang tersebut dicabut dan digantikan dengan UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang BI. Sehingga tidak tepat apabila angka 24 dijadikan landasan yuridis permohonan oleh pemohon terhadap UU OJK;
Pada angka 25, memang dibentuknya OJK dalam rangka mengurangi tugas BI dan agar terjadinya distribusi tanggung jawab yang seimbang. BI sebagai Pembina jangan sekaligus menjadi pengawas. Harapannya Bank Sentral berfungsi sebagai lembaga moneter, sehingga terhindar konflik interest;
Pada angka 31, Pemohon menggunakan istilah “perkawinan” untuk memaknai konglomerasi keuangan, sehingga dalam legal drafter hal ini menyalahi interpretasi gramatikal. Pada butir ini juga menjelaskan mengenai unit link dan penggabungan produk bank dengan asuransi dan produk lembaga keuangan lain yang dikatakan belum ada dalam UU Asuransi dan RUU nya. Padahal terkait hal ini, perbankan diberikan kebebasan dengan membentuk self regulation terkait produknya akibat konglomerasi keuangan yang disebut bancassurance dan ini juga dasar dibentuknya UU OJK bukan sebaliknya. Pada ketentuan peralihan sudah diatur bahwa ‘saat OJK terbentuk, tugas dan wewenang Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam UU tentang Usaha Perasuransian menjadi tugas dan wewenang OJK, jadi hal ini secara legalitas telah memberikan peralihan kewenangan kepada OJK terkait usaha asuransi;
Pada angka 32, angka 38 dan angka 39, dikatakan secara konstitusional, cantolan OJK tidak jelas di UUD 1945 dan berasal dari turunan yang asimetris. Dalam UUD 1945, khususnya pada pasal 23D mengatur mengenai bank sentral yang tidak secara khusus menyebutkan BI atau OJK. Bunyi Pasal 23D, Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 139 “ Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab dan independensinya diatur dengan undang-undang ”. Tidak ada kata “bank Indonesia” yang awalnya diperdebatkan dimasukkan atau cukup menggunakan kata “bank sentral”, dengan ketakutan apabila menggunakan langsung “bank Indonesia” apabila lembaga ini “sakit” akan terganggu kestabilan bank sentral. Jadi Pasal 23D UUD 45 memberikan kedudukan dan kewenangan bagi bank sentral yang nantinya muncul turunan dengan pengaturan di dalam UU bank sentral yang melahirkan UU Bank Indonesia. Perlu digarisbawahi juga adalah pendirian lembaga tinggi atau lembaga Negara tidak harus menggunakan konstitusi sebagai dasar pendirian atau pembentukannya, namun bisa menggunakan Undang-Undang. OJK pendiriannya didasarkan pada UU BI yang mendasarkan pada Pasal 23D UUD 1945. Mengenai OJK yang berasal dari turunan yang asimetris, yaitu OJK berdasarkan PasaL 34 UU BI hanya diberikan kewenangan untuk mengawasi perbankan mengambil alih kewenangan BI saja bukan Menkeu dan Bapepam- LK. Pasal 34 UU BI ayat (1) hanya berbunyi: Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen dan dibentuk dengan Undang-Undang . Dalam legal drafting , dalam pasal ini tidak disebutkan OJK secara langsung, tetapi karena penamaan lembaga menggunakan huruf kecil yakni “ lembaga pengawasan sector jasa keuangan ” dimaknai pembuat Undang-Undang tidak memberikan nama lembaga tertentu, sehingga penggunaan nama OJK diperkenankan. Kedua , Pasal 34 UU BI memang hanya menyebutkan bahwa pembentukan LPJK/OJK hanya untuk mengawasi bank yang awalnya kewenangan dari BI, namun di dalam penjelasan Pasal 34 UU BI ( penjelasan merupakan bagian dan satu kesatuan dengan batang tubuh sehingga tidak dapat dimaknai secara terpisah ) menjelaskan mengenai kewenangan OJK tidak hanya mengawasi bank tetapi juga mengawasi lembaga keuangan lainnya dan mengenai sifat independensi OJK.
Angka 37, munculnya mandat yuridis dalam Pasal 34 UU BI merupakan big planning dari IMF dan inspirasi dari FSA inggris ( Finantial Suoervisory Agency of United Kingdom ) yang gagal. Suatu catatan bahwa gagalnya FSA-UK bukan konsepnya yang salah, konsepnya sudah benar dan bagus, hanya persoalan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 140 menangani krisi tidak terjadi koordinasi yang baik dari pihak terkait. Perlu ditekankan bahwa Politik Hukum pembentukan OJK bukan murni dari “permintaan”, namun dari pendekatan historis, hal ini dipengaruhi keadaan politik hukum pada masa reformasi, yaitu muncul pada masa pemerintahan Presiden BJ. Habibie sebagai pengganti rezim Soeharto. BJ Habiibie yang menimba ilmu di Jerman tertarik dengan metode yang digunakan oleh Bundesanstalt fur finanzdienstleistungsaufsicht yang memiliki kewenangan mengawasi Bank, perusahaan asuransi, dan dealer sekuritas atas masukan dari Bundesbank (Bank sentral jerman) pada saat itu. Metode ini dikenal dengan metode integrated dengan pendekatan twin peaks . Ini juga bertujuan agar pengawasan berjalan efektif. Memang benar bahwa Financial supervisory authority (FSA) gagal di Inggris, namun percontohan model integrated di Indonesia meniru Jepang dan Korea Selatan, hal ini bisa dibuktikan dengan adanya dokumen kunjungan kerja delegasi pansus RUU OJK pada tanggal 31 Oktober s.d. 6 November 2010. Secara historis munculnya Pasal 34 UU BI ini sebenarnya bukan karena desakan IMF. IMF yang mempunyai anggota 168 (seratus enam puluh delapan) negara, berperan hanya memberi saran yang sifatnya umum, dan letter of intent dibuat oleh Indonesia sendiri, dan juga atas permitaan BI sejak diberikan independensi dalam UU Nomor 23 Tahun 1999.
Angka 40, perlu menjadi catatan bahwa tidak ada Undang-Undang di bidang ekonomi yang lebih kuat antara satu dengan lainnya, kecuali memiliki strata lebih tinggi ( stuffenbaw theory Hans Kelsen dan asas lex superiori derogate legi inferiori ). Namun apabila ada UU yang lebih khusus akan mengalahkan UU yang lebih umum ( lex specialis derogate legi generalis ). Perlu diingat, bahwa hirarkhi peraturan perundang-undangan di Indonesia tidak mengenal yang disebut dengan Undang-Undang Payung yang dapat dijadikan dasar secara umum bagi Undang-Undang khusus di bawahnya. Meski pernah dalam prolegnas akan dibentuk RUU tentang Demokrasi Ekonomi namun sampai sekarang masih menjadi perdebatan. Jadi antara UU Perbankan, UU Asuransi, UU Pasar Modal dan sebagainya memiliki derajat yang sama. Pasal 34 UU BI sebagai landasan yuridis BI mengawasi perbankan karena merupakan turunan dari Pasal 23D UUD 1945 namun telah memberikan kewenangannya kepada Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 141 OJK melalui UU OJK pada Pasal 6, Pasal 7 hingga ketentuan peralihan dan penjelasan sebagai satu kesatuan norma.
Angka 44, isi permohonan tersebut kurang memahami perbedaan antara makroprudensial dan mikroprudensial. Meski kewenangan BI sebagian mengenai microprudensial telah diserahkan kepada OJK melalui UU OJK, namun BI masih tetap secara konstitusional merupakan Bank Sentral Republik Indonesia berdasarkan Pasal 23D UUD 1945 dan UU Nomor 23 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2004 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 6 Tahun 2009. Sehingga dalam forum bank sentral dunia dalam hal ini Basel Committee (BI sampai sekarang bukan anggota Basel Committee namun mengikuti ketentuan Basel Committee dalam hal pengawasan mulai Basel I hingga Basel III) masih tetap dipegang Bank Indonesia sebagai pemegang kewenangan Macroprudensial sebagai Bank Sentral.
Angka 46, pada Konsideran mengingat UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK disebutkan landasan yuridisnya adalah Pasal 33 UUD 1945. Tidak tepat kalau pemohon menghubungkan dengan Pasal 33 ayat (1) karena berbeda sistem dengan OJK, namun Pemohon melupakan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 dimana ditemukan ASAS KEMANDIRIAN, dimana kemandirian diartikan sebagai independensi. Hal ini yang dapat menjadi landasan yuridis pembentukan lembaga Negara yaitu OJK yang bersifat independen sebagaimana diatur dalam batang tubuh dan penjelasan Undang-Undang ini.
Angka 51, Pemohon belum memahamii perbedaan antara stabilitas moneter dengan stabilitas sistem keuangan, dimana keduanya memiliki perbedaan yang signifikan. Stabilitas moneter yang dipegang oleh BI merupakan kestabilan mata uang untuk mengendalikan inflasi, sedangkan stabilitas sistem keuangn yang dipegang OJK merupakan stabilitas institusi dan pasar uang untuk menghindari tekanan dan pergerakan harga yang menyebabkan guncangan ekonomi (Aspach O, et al tahun 2006 dalam searching for a metric for financial stability ). Sehingga dengan adanya pemisahan antara macro dan microprudensial mengembalikan fungsi BI sebagai otoritas moneter selaku Bank Sentral di Indonesia. Menurut Jordan (2010), tujuan dari bank sentral berfokus pada instrument makroprudensial dan moneter untuk stabilitas harga sebagaimana bagan berikut : Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 142 Dapat disimpulkan bahwa kewenangan OJK tidak akan bias karena OJK berperan dalam stabilitas sistem keuangan sedangkan BI akan fokus sebagai otoritas moneter dan stabilitas moneter.
Untuk permohonan mengenai Pasal 37 UU OJK, tentang pembiayaan OJK melalui APBN dan/atau pungutan terhadap bank dan lembaga keuangan, bahwa pungutan itu dalam ilmu ekonomi merupakan hal yang wajar, dimana pungutan itu merupakan pemberian atas jasa otoritas yang telah melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap lembaga keuangan tersebut, apalagi sistem pungutan ini diatur dan ditentukan oleh Pemerintah, bukan OJK yang menentukan. Ada informasi, bahwa ada 100 (seratus) negara yang memungut biaya untuk operasional kegiatan seperti OJK ini.
Hal yang masih sumir juga adalah mengenai pertanyaan: siapa yang akan mengawasi OJK? Sebenarnya itu pertanyaan klasik, dimana siapa yang akan mengawasi lembaga pengawas? Padahal BI sempat diragukan hingga dibentuklah Badan Supervisi BI di dalam tubuh BI. Pengawasan akan tetap dilakukan yang merupakan fungsi BPK. Sebenarnya Hal pengawasan OJK sudah diatur Pasal 38 UU 21/2011. Hal ini sekaligus menjawab bahwa indepensi OJK bukan bebas sebebas-bebasnya, melainkan ada tanggung jawab dan pengawasan.
Sebagai penutup tanggapan saya adalah jika pengawasan yang sudah berjalan dilakukan oleh OJK sebagai pengawas independen dihentikan beberapa waktu saja, maka akan terjadi dampak ketidak percayaan pada lembaga-lembaga keuangan yang ada, yang berakibat terjadinya gangguan geraknya lembaga keungan dan berdampak sistemik perekonomian dan keuangan nasional. Apalagi jika Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keungan yang dibatalkan, maka akan berdampak negatif (berisiko) yang sangat besar. Microprudential Policy Capital and Liquidity Buffer Macroprudential Risk and Monetary Policy 1. __ Countercylical Capital Buffer and new instruments 2. __ Interest Rate Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 143 7. Refly Harun, S.H., LL.M 1. Sepanjang yang dapat ahli catat, Pemohon dalam permohonan ini mempersoalkan tiga hal, yaitu (1) keberadaan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai lembaga independen, (2) kewenangan OJK, dan (3) sumber keuangan OJK;
Sebelum membahas lebih jauh mengenai ketentuan yang dipersoalkan tersebut, izinkanlah ahli mengemukakan pendapat yang terkait dengan legal standing Pemohon. Menurut ahli, Pemohon tidak memiliki kerugian konstitusional yang nyata, baik aktual maupun potensial. Seharusnya yang mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang adalah lembaga atau pihak-pihak yang secara konkret merasa dirugikan dengan ketentuan a quo baik secara potensial maupun aktual. Sepanjang yang dapat ahli simak, Mahkamah terlalu longgar memberikan legal standing terhadap permohonan-permohonan seperti ini. Namun, semua itu terpulang kepada Mahkamah untuk mempertimbangkan hal tersebut. Ahli tidak dalam kapasitas untuk masuk terlalu jauh dalam persoalan ini;
Pemohon mempersoalkan kata "independen" dalam Pasal 1 angka 1 UU OJK yang berbunyi, " Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini ";
Alasannya, antara lain, frase "independen" dan "independensi" hanya dikenal oleh UUD 1945 melalui ketentuan Pasal 23D yang berbunyi, " Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan undang-undang ". Dengan demikian, menurut Pemohon, hanya bank sentral yang boleh independen;
Menurut ahli, tidak benar UUD 1945 hanya menyematkan kata "independen" kepada bank sentral. Dalam UUD 1945, kata yang maknanya setara dengan "independen" juga digunakan untuk lembaga-lembaga lain di UUD 1945, yaitu menggunakan kata "mandiri" atau "bebas" atau gabungan keduanya sebagaimana terlihat dalam pasal-pasal berikut: - Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 144 yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri [Pasal 22E ayat (5) Perubahan Ketiga]; - Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri [Pasal 23E ayat (1) Perubahan Ketiga]; - Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim [Pasal 24B ayat (1) Perubahan Ketiga].
Dilihat dari sifatnya, lembaga-lembaga negara di luar lembaga negara utama, yang kita kenal sebagai bagian dari sistem pembagian atau pemisahan kekuasaan negara (MPR, DPR, DPD, Presiden, MA, MK, dan BPK), dapat dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu Dependent Regulatory Agencies dan Independent Regulatory Boards and Commissions (Michael E. Milakovich dan George J. Gordon);
Disebut Dependent Regulatory Agencies bila lembaga yang ada merupakan bagian dari departemen atau kabinet atau struktur eksekutif lainnya, seperti Komisi Hukum Nasional (KHN), Komisi Kepolisian, dan Komisi Kejaksaan, Dewan Riset Nasional, Badan Narkotika Nasional (BNN), Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah, dan Iain-Iain;
Disebut Independent Regulatory Boards and Commissions bila lembaga yang ada memiliki ciri-ciri sebagai lembaga yang independen atau mandiri, yaitu: (Michael E. Milakovich dan George J. Gordon) - Memiliki karakter kepemimpinan yang bersifat kolegial; - Anggota atau para komisioner tidak melayani keinginan presiden sebagaimana jabatan yang dipilih oleh presiden; - Bersifat independen, relatif bebas dari kontrol presiden; - Masa jabatan komisioner biasanya definitif dan cukup panjang; - Periode jabatan bersifat " staggered '. Komisioner berganti secara bertahap sehingga presiden tidak bisa menguasai secara penuh kepemimpinan lembaga tersebut. - Jumlah komisioner bersifat ganjil dan keputusan diambil secara mayoritas suara. - Keanggotaan lembaga biasanya menjaga keseimbangan perwakilan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 145 yang bersifat partisan.
Di Indonesia sejak era Reformasi telah bermunculan banyak lembaga independen, seperti Komisi Yudisial (KY), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Komisi Informasi Pusat (KIP), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi keuangan (PPATK), dan sebagainya;
Di antara lembaga-lembaga tersebut bahkan ada yang keberadaan dan kewenangannya disebut dalam UUD 1945 secara jelas dan tegas seperti KY. Ada yang keberadaannya saja yang disebut, tetapi kewenangannya tidak jelas disebut, seperti bank sentral. Ada pula yang sebaliknya, kewenangannya disebut tetapi keberadaannya tidak disebut secara tegas, seperti KPU yang disebut dengan hurup kecil dengan frase "suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri", yang dalam praktiknya memunculnya dua lembaga, yaitu KPU dan Bawaslu;
Namun, lebih banyak lagi lembaga-lembaga independen yang baik keberadaan maupun wewenangnya tidak disebut dalam UUD 1945, seperti DKPP, KIP, Komnas HAM, dan sebagainya. OJK termasuk salah satu di antaranya;
Lembaga-lembaga independen yang tidak disebut dalam UUD 1945, baik keberadaan maupun kewenangannya, tidak bisa dikatakan inkonstitusional sepanjang tidak ada pasal-pasal dalam UUD 1945 yang dilanggar. Dalam konteks OJK, misalnya, patut dipertanyakan apakah OJK mengambil alih fungsi bank sentral sebagaimana disebut dalam Pasal 23D yang berbunyi, " Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan undang-undang ";
Perlu digarisbawahi bahwa UUD 1945 tidak menyebut secara eksplisit lembaga yang berfungsi sebagai bank sentral - dari sisi original intent ada penolakan untuk mempermanenkan Bank Indonesia dalam konstitusi. Bahkan, ketika pembahasan pasal tentang bank sentral dibahas ada suara-suara untuk membubarkan Bl dan menggantikannya dengan institusi Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 146 lain. Selain itu, UUD 1945 juga tidak mengatur kewenangan bank sentral, melainkan menyerahkannya kepada ketentuan Undang-Undang;
Merujuk pada ketentuan tentang "suatu komisi pemilihan umum" dalam Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 yang melahirkan dua lembaga dalam praktiknya, yaitu KPU dan Bawaslu, hal yang sama bukan tidak mungkin diberlakukan pula pada ketentuan "suatu bank sentral" dalam Pasal 23D UUD 1945;
Secara teoretis dan didasarkan pada putusan Mahkamah terdahulu tentang frase "suatu komisi pemilihan umum" bisa saja fungsi bank sentral dijalankan lebih dari satu lembaga. Bisa pula bank sentral tersebut tidak bernama "Bank Indonesia". Hal-hal tersebut diserahkan kepada pembentuk Undang-Undang untuk mengaturnya. UUD 1945 hanya mengamanatkan bahwa harus ada bank sentral;
Munculnya lembaga-lembaga independen dalam dunia modem adalah suatu kondisi yang tak terelakkan. Paling tidak dua hal ini menjadi pertimbangan kuat bagi munculnya lembaga-lembaga independen tersebut, yaitu (1) karena pranata yang lama sudah tidak memuaskan kinerjanya, tidak independen, bahkan terlibat korupsi-kolusi;
Karena kebutuhan akan spesialisasi dan profesionalisme sebagai akibat bertambah kompleksnya tugas yang diemban;
Terkait dengan independensi suatu lembaga seperti OJK, terdapat dua aspek yang harus digarisbawahi, yaitu independen dari campur tangan politik dan independen dari industri finansial yang diawasi itu sendiri;
Pentingnya independensi pengaturan dan pengawasan finansial dapat dipelajari dari kasus Korea dan Jepang. Krisis tahun 1997 yang juga melanda Korea merupakan akibat dari tidak independennya pengawasan sektor finansial. Pengawasan bank khusus dan lembaga keuangan non- bank berada di bawah kewenangan langsung dari kementerian keuangan dan ekonomi (Lindgren dkk, " Financial Sector Crisis and Restructuring : Lesson from Asia ", IMF Occasional Paper, No. 188, 1999);
Di Jepang juga terjadi permasalahan serupa. Kekuasaan Kementerian Keuangan Jepang pada tahun 1995 sangat luas, mencakup perencanaan keuangan, kewenangan membuat aturan, inspeksi keuangan, dan pemeriksaan/ pengawasan lembaga keuangan. Hal ini menyebabkan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 147 rentan terjadinya korupsi oleh pejabatnya. Pada Juni 1998, Jepang mengeluarkan fungsi pengawas lembaga keuangan dari kementerian dan dialihkan kepada Financial Supervisory Authority (FSA), lembaga independen yang memiliki wewenang untuk mengatur dan mengawasi lembaga keuangan seperti perbankan, pasar modal, dan asuransi (Lihat Takeo Hoshi dan Takahisho Ito, Financial Regulation in Japan; Fifth Year Review of the Financial Services Agency , 2002, revised 2003 , hal 1-2);
Keberadaan suatu otoritas independen adalah salah satu faktor utama yang mempengaruhi keefektifan sistem pengawasan di sektor jasa keuangan. Argumen ini terkait dengan fungsi/kemampuan otoritas tersebut untuk melindungi diri baik dari intervensi pasar keuangan yang diawasinya maupun campur tangan politik. Hal ini diperlukan agar otoritas tersebut dapat mengembangkan fungsi dan tugasnya, mewujudkan transparansi dan pencapaian tujuan stabiltas keuangan ( Steeven Seelig and Alica Novoa, "Governance Practice at Financial Regulatory and Supervisory Agencies. IMF Working Paper Monitory and Capital Market Departements wp/09/135, Juli 2009 , hal.10);
Otoritas yang independen di sektor keuangan akan lebih mampu menghasilkan regulasi yang efektif, membuat operasi di dalam pasar menjadi lebih efisien, dan yang lebih penting menciptakan sistem dan fungsi pengawasan yang lebih baik dibandingkan ketika berada di bawah lembaga pemerintahan/kementerian (Kenneth Kaoma Mwenda, " Legal Aspects of Financial Services Regulation and The Concept of A United Regulator", the World Bank-Law Justice and Development Series 2006 , hal. 31);
Penting dicatat bahwa ada ketidakkonsistenan Pemohon ketika mempersoalkan kewenangan OJK dalam pengawasan lembaga keuangan bukan bank. Menurut Pemohon, mandat yang diberikan oleh Pasal 34 UU 23/1999 yang telah diubah dengan UU 3/2004 adalah pengawasan bank. Namun, dalam bagian petitum justru pengawasan bank itulah yang diminta untuk dibatalkan (dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat). Petitum itu justru menimbulkan tanda tanya mengenai siapa yang sesungguhnya berkepentingan terhadap permohonan ini; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 148 23. Dari sisi sejarah, pembentukan OJK sebenamya memang hasil kompromi untuk menghindari jalan buntu pembahasan Undang-Undang tentang Bank Indonesia oleh DPR. Pada awal pemerintahan Presiden Habibie, pemerintah mengajukan RUU Bank Indonesia yang memberikan independensi kepada bank sentral. Pada waktu RUU tersebut diajukan muncul penolakan dari Bl dan DPR. Sebagai kompromi maka disepakati bahwa lembaga yang akan menggantikan Bank Indonesia dalam mengawasi bank tersebut juga harus bertugas mengawasi lembaga keuangan lainnya. Hal ini agar tidak terlihat bahwa pemisahan fungsi pengawasan tersebut adalah memangkas kewenangan bank sentral (lihat Zulkarnain Sitompul, "Menyambut Kehadiran OJK", Pilars No. 02/Th. Vll/12-18 Januari 2004);
Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, ahli menyatakan bahwa keberadaan OJK tidak bisa dikatakan bertentangan dengan UUD 1945;
Untuk menutup keterangan ini, ahli ingin mengutip Direktur Finance Research Eko B. Supriyanto dalam opini di Kompas tanggal 4 Maret 2014. "Jika ada pihak-pihak yang hendak melakukan uji materi terhadap UU OJK ke Mahkamah Konstitusi, di satu sisi ini merupakan kebebasan, tetapi di sisi lain ini "kegenitan" semata. Selama ini, proses pembentukan OJK sudah makan waktu teramat panjang sejak 1999 dengan naskah akademi yang memadai, dan pembahasan yang mendalam di DPR dan Pemerintah serta Bl sendiri; Jika uji materi diterima dan dikabulkan MK, akan menimbulkan kekacauan dalam industri keuangan dan perbankan yang melibatkan aset Rp 12.000 triliun. Harus diketahui, OJK bukan seperti SKK Migas yang dapat dimatikan begitu saja. Ini menyangkut sektor perbankan dan keuangan yang ada risiko sistemiknya. Lembaga kepercayaan yang harus dijaga. Saat ini, konglomerasi sektor keuangan butuh lembaga OJK yang independen, dan sudah sewajarnya kita semua mendorong kredibilitas OJK seperti layaknya KPK." 8. Dr. Mulia P. Nasution, D.E.S.S Sehubungan dengan permohonan pengujian ( constitutional review ) Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 34, Pasal 37, Pasal 55, Pasal 64,Pasal 65 dan Pasal 66 UU OJK terhadap UUD 1945" yang dimohonkan oleh para Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 149 Pemohon, yaitu Salamuddin, dkk, perkenankan kami menyampaikan Keterangan Ahli mengenai 2 hal, yaitu: pentingnya OJK sebagai lembaga yang menyelenggarakan pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di sektor keuangan dan pengelolaan keuangan OJK, sebagai berikut: I. Pentingnya Otoritas Jasa Keuangan Keberadaan OJK adalah suatu keniscayaan bagi negara kita pada masa kini. Pembentukan OJK adalah hasil dari suatu proses transformasi kelembagaan yang telah berlangsung dalam kurun waktu yang sangat panjang, yaitu lebih dari satu dekade (1998-2011) di negara kita. Berawal dari kelemahan pengawasan perbankan nasional yang sangat dirasakan pada saat terjadinya Asian Financial Crisis pada tahun 1997-1998, gagasan pembentukan suatu lembaga pengawas jasa keuangan yang independen muncul sebagai upaya memperbaiki penyelenggaraan pengaturan dan pengawasan terhadap industri jasa keuangan. Pelaksanaan transformasi kelembagaan tersebut diperlukan untuk mencegah agar tidak terulang kembali krisis seperti yang pernah terjadi pada masa yang lalu dan agar lebih mampu menghadapi berbagai permasalahan dan tantanganyang semakin berat sebagai akibat dari perkembangan dan dinamika di sektor industri jasa keuangandi masa depan; Pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan hanya dapat terlaksana secara profesional, apabila lembaga yang diberikan mandat untuk melaksanakan tugas tersebut bersifat mandiri, tidak berada di bawah kekuasaan dan pengaruh lembaga eksekutif maupun lembaga legislatif. Krisis perbankan yang melanda Indonesia yang kemudian meluas menjadi krisis ekonomi dan politik pada awal dekade yang lalu, menunjukkan kepada kita betapa pentingnya keberadaan suatu lembaga pengawas jasa keuangan yang independen dalam penyelenggaraan fungsi pengaturan dan fungsi pengawasan. Oleh karena itu, para pembuat Undang-Undang di negara kita persis 10 tahun yang lalu menyepakati untuk mencantumkan amanat pembentukan dengan undang-undang suatu lembaga pengawas sektor jasa keuangan yang independen dalam Pasal 34 Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia; Namun, proses pembentukan lembaga tersebut tidaklah berjalan mulus. Walaupun Undang-Undang telah mengamanatkan pembentukan lembaga Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 150 dimaksud akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2010, urgensi untuk membentuk suatu lembaga pengawas perbankan yang independen di luar Bank Indonesia tidak sepenuhnya mendapat dukungan dari beragam pemangku kepentingan. Dari segi konsep, model lembaga independen yang akan dibentuk masih terus dalam pembahasan dan perdebatan, baik di kalangan akademisi, maupun di lingkungan pemerintah sendiri. Secara politik, walaupun proses konsolidasi fiskal, yang berjalan sejak tahun 2000 telah berhasil membawa stabilisasi di bidang perbankan dan keuangan negara, prioritas utama pemerintahan Presiden SBY pada awal periode 2004-2009 adalah melaksanakan berbagai kegiatan yang mendesak yang dapat menggerakkan kembali roda perekonomian, setelah 5 tahun mengalami stagnasi, bahkan sempat mengalami kemunduran, melalui program Pro-Growth, Pro-Job dan Pro-Poor yang dicanangkan oleh Pemerintah. Sampai terjadinya krisis keuangan global pada tahun 2008, konsep pembentukan OJK masih tetap dalam perdebatan. Perdebatan tersebut bukanlah mengenai perlunya independensi lembaga tersebut, karena sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999, Bank Indonesia telah menjadi lembaga yang independen, tetapi terutama urgensi keberadaan lembaga baru di luar Bank Indonesia untuk mengatur dan mengawasi sektor perbankan; Seiring dengan berjalannya waktu, sektor industri jasa keuangan semakin berkembang dan mengalami dinamika yang luar biasa. Tidak terkecuali di negara kita. Dalam kurun waktu tersebut, seiring dengan pemulihan ekonomi dan semakin berkembangnya kegiatan perekonomian di negara kita, produk-produk industri jasa keuangan muncul semakin beragam dan kompleks. Selain itu, sebagaimana juga di sektor industri yang lain, di sektor jasa keuangan juga terjadi konglomerasi, baik secara vertikal, maupun horizontal. Demikian pula, industri jasa keuangan mengalami proses globalisasi yang berdampak signifikan terhadap konsumen, pemilik modal, perekonomian dan publik. Proses globalisasi tersebut dipermudah terutama dengan kemajuan di bidang teknologi informasi dan komunikasi dan berlakunya norma dan standar yang bersifat internasional, terutama di sektor perbankan. Pada gilirannya, kemudahan untuk beroperasi secara global memperlancar langkah-langkah, konsolidasi, pembentukan holding company , mergers and acquisitions oleh para pelaku industri terutama yang berinduk di luar negeri untuk dapat meningkatkan efisiensi, memperbesar market share atau untuk Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 151 mendominasi pasar demi meraih pertumbuhan usaha dan memaksimalkan profit perusahaan mereka di Indonesia. Pengaturan dan pengawasan yang tidak dilakukan secara terintegrasi akan dapat menyulitkan upaya pencegahan dan penanganan kasus-kasus pelanggaran yang terjadi di sektor jasa keuangan; Sejalan dengan perkembangan tersebut, konsep pembentukan OJK mengalami dinamika, pergeseran, penyesuaian dan penyempurnaan. Menjadi penting agar seluruh sektor jasa keuangan dapat diatur dan diawasi secara terintegrasi. Agar lebih efektif, pengaturan dan pengawasan tersebut perlu dilakukan oleh satu lembaga, yaitu OJK. Dengan demikian, ruang lingkup OJK yang pembentukannya akan ditetapkan dengan Undang-Undang berkembang menjadi lebih luas, yaitu tidak hanya mencakup sektor perbankan, tetapi termasuk pengaturan dan pengawasan sektor industri jasa keuangan secara keseluruhan; Namun sampai terjadinya Global Crisis yang terutama melanda beberapa negara industri pada tahun 2008 yang berdampak terhadap sektor keuangan di Indonesia, agenda untuk menyatukan pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan di dalam satu lembaga belum menjadi prioritas nasional yang mendesak untuk dilaksanakan, walaupun sudah diamanatkan oleh undang-undang. Dalam dinamika proses perumusan dan penyiapan RUU OJK, pemikiran untuk tidak mengeluarkan fungsi pengaturan dan pengawasan mikro prudential dari Bank Indonesia memiliki alasan yang kuat. Pertama , melakukan transformasi kelembagaan sangat berisiko sehingga perlu dilakukan secara berhati-hati, karena dapat berdampak terhadap industri jasa keuangan yangberperan sangat strategis dalam sistem perekonomian nasional. Kedua , menyiapkan perangkat hukum, struktur organisasi baru, sumber daya manusiaakan membutuhkan waktu yang tidak sedikit, perencanaan yang matang dan pelaksanaan secara seksama. Setelah lembaga baru terbentuk, perlu disusun prosedur kerja ( Standard Operating Procedure atau SOP) dan disiapkan dukungan anggaran dan logistik yang diperlukan, agar organisasi tersebut dapat beroperasi secara penuh. Ketiga , pengalaman di beberapa negara lain menunjukkan bahwa keberadaan lembaga pengawas industri jasa keuangan yang independen di luar bank sentral atau di luar pemerintah tidaklahmenjadi jaminan tidak akan terjadi permasalahan atau kasus- kasus di sektor jasa keuangan. Contohnya, di Inggris dan di Amerika Serikat; Terjadinya krisis keuangan global pada tahun 2008 menyebabkan pentingnya memprioritaskan pembentukan OJK. Sementara itu, dari segi konsep, Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 152 dalam kurun waktu 2004-2008, pembahasan mengenai kedudukan dan bentuk kelembagaan OJK telah melalui due process dan diskusi yang mendalam, baik di lingkungan pemerintah, maupun pada pertemuan-pertemuan ( public hearings ) yang diselenggarakan oleh tim pemerintah dengan berbagai pemangku kepentingan. Berbagai masukan telah diperoleh pemerintah untuk menyempurnakan naskah RUU OJK yang akan diajukan kepada DPR. Pertukaran informasi dan pengalaman mengenai sistem dan kelembagaan pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan di beberapa negara juga dilakukan oleh pemerintah untuk memperkaya referensi dan menjadi bahan pertimbangandalam penyusunan organisasi OJK; Kendati demikian, pembentukan OJK baru dapat terselesaikan pada tahun 2011 setelah krisis berlalu dan melalui proses pembahasan yang panjang dan meleiahkan. Namun ada hikmah dari proses pembahasan yang cukup lama tersebut. Pembahasan Undang-Undang yang dilakukan secara terburu-buru sering kurang mendalam.Sebaliknya pembentukan UU OJK yang menjadi salah satu proses legislasi terlama di negara kita, telah melalui proses diskusi yang mendalam dan pertimbangan yang matang, sehingga diharapkan dapat memenuhi kebutuhan negara akan suatu lembaga pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan secara terintegrasi. Pengaturan dan pengawasan secara terintegrasi tersebut sangat dibutuhkan pada masa ini dan di masa yang akan datang, karena:
koordinasi otoritas fiskal, moneter dan sektor keuangan perlu diperkuat;
ii. sumber krisis semakin beragam (perbankan, pasar modal, lembaga keuangan non-bank, fiskal; iii. sektor jasa keuangan saling berhubungan ( interconnected );
iv. konglomerasi keuangan semakin dominan;
struktur produk keuangan semakin kompleks ( hybrid products );
vi. fungsi pengawasan lembaga keuangan dengan fungsi pengelolaan moneter dan fiskal memiliki potensi konflik kepentingan; vii. pemisahan fungsi pengawasan sektor keuangan dari otoritas moneter dan otoritas fiskal sesuai dengan trend global terkini. II. Pengelolaan keuangan OJK OJK adalah lembaga yang dibentuk dan mendapatkan pelimpahan sebagian kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan ( pouvoir public ) untuk mengatur dan mengawasi sektor jasa keuangan. Pembentukan dan pelimpahan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 153 kekuasaan tersebut tidak tercantum dalam UUD, namun dari perjalanan panjang dan dinamika dalam penyelenggaraan pemerintahan di negara kita, keberadaan lembaga yang bertugas untuk mengatur dan mengawasi sektor jasa keuangan tersebut terbukti constitutionally important . Oleh karena itu, untuk memberikan landasan hukum yang kuat, pembentukan OJK tersebut ditetapkan dengan Undang-Undang; Sebagai bagian dari sistem pemerintahan negara, OJK diamanatkan untuk bertugas mengatur dan mengawasi sektor jasa keuangan. Untuk dapat melaksanakan tugas tersebut dengan sebaik-baiknya, OJK perlu diberikan kedudukan dan status hukum yang sepadan, serta kewenangan, prasarana dan sarana yang diperlukan. Salah satu sarana utama yang diperlukan oleh OJK adalah dana. Berbeda dengan bank sentral yang memiliki sumber pendapatan dari pengelolaan moneter dan sistem pembayaran, OJK tidak mempunyai sumber pendapatan sendiri. Oleh karena itu, OJK memerlukan sumber pendanaan dari iuar.Dana tersebut dapat bersumber dari APBN, maupun dari luar APBN, berupa iuran yang dipungut dari sektor industri yang diawasi oleh OJK; Berkenaan dengan sumber pendanaan OJK ini, setidaknya ada dua pertanyaan mendasar. Pertama, manakah yang lebih baik, apakah OJK dibiayai dari APBN atau semata-mata dari pungutan.Apabila OJK dibiayai dari APBN, alokasi anggaran bagi OJK tersebut akan mengurangi dana APBN yang sudah demikian terbatas untuk membiayai penyelenggaraan tugas kementerian negara dan lembaga pemerintahan lainnya. Sehingga apabila dimungkinkan untuk memperoleh pendanaan dari sumber lain, seyogianya OJK tidak tergantung dari sumber penerimaan dari APBN; Oleh karena itu, muncul pertanyaan kedua, yaitu apabila dana tersebut bersumber dari APBN, apakah pengelolaannya oleh OJK selaku Pengguna Anggaran, harus mengikuti pengelolaan anggaran yang berlaku pada umumnya seragam bagi setiap kementerian negara. Jawabannya adalah tidak harus selalu demikian. Sebagaimana kita fahami bersama bahwa dalam pengelolaan anggaran oleh kementerian negara dan lembaga pemerintahan ditetapkan ketentuan- ketentuan yang pada umumnya seragam mulai dari proses perencanaan dan penyusunan anggaran, sampai pada pelaporan dan pertanggungjawaban. Keseragaman dalam ketentuan pengelolaan keuangan APBN tersebut merupakan penerapan dari asas-asas umum yang dianut dalam Undang-Undang di bidang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 154 keuangan negara, yaitu Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan atas Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, yaitu Asas Tahunan, Asas Universalitas, Asas Kesatuan dan Asas Spesialitas; Namun di dalam doktrin hukum perbendaharaan negara yang juga dianut dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dikenal asas-asas umum lainnya, yaitu Asas Akuntabilitas berorientasi pada hasil, Asas Profesionalitas, dan Asas Proporsionalitas. Asas-asas ini pada hakekatnya memberikan fleksibilitas bagi pengguna anggaran untuk membelanjakan danayang telah diamanatkan kepadanya untuk menghasilkan ouput yang telah ditetapkan dengan cara yang sebaik-baiknya. Dengan demikian pemberian fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan yang bersumber dari APBN kepada OJK sebagaimana ditetapkan dalam UU OJK adalah sejalan dengan semangat anggaran berbasis kinerja yang dianut dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; Sebagai suatu organisasi yang dituntut untuk menjalankan tugasnya secara independen dengan standar profesionalitas yang tinggi, pemberlakuan aturan dan mekanisme yang seragam dengan yang berlaku bagi kementerian negara dapat menjadi kendala dalam proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan kegiatan operasional OJK. Oleh karena itu prinsip " let manager manages " yang menjadi semangat dalam sistem pengelolaan keuangan negara sesudah dimulai reformasi pada tahun 2003 perlu benar-benar-benar dihayati dalam pengaturan pengelolaan keuangan OJK. Sehingga dalam dokumen usulan anggaran yang diajukan oleh OJK kepada pemerintah untuk memperoleh dana APBN, rencana pengeluaran yang akan dilakukan oleh OJK tidak perlu diuraikan secara terperinci seperti halnyauraian usulan anggaran yang diajukan oleh satuan kerja kementerian negara. Demikian pula pada tahap pelaksanaan anggaran, pencairan anggaran yang bersumber dari APBN dapat dilakukan secara berkala berdasarkan rencana penggunaan dana dan realisasi anggaran untuk masing-masing jenis belanja. Sudah barang tentu, hal ini akan mengurangi informasi yang diperoleh Bendahara Umum Negara atas pengelolaan dana APBN tersebut oleh OJK. Oleh karena itu sangat penting peranan pemeriksaan oleh Badan Pemeriksa Keuangan atas pengelolaan keuangan OJK. Karena dari laporan berkala yang wajib disampaikan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 155 oleh OJK kepada BPK sebagai auditor negara dan laporan pertanggungjawaban tahunan oleh OJK dapat diperoleh informasi mengenai berbagai pengeluaran- pengeluaran tersebut, dan BPK pada saat memeriksa laporan keuangan OJK, dapat melakukan penelusuran rincian dan bukti-bukti dari setiap pengeluaran. Fleksibilitas dalam proses pengusulan anggaran, pencairan dana, pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan anggaran yang demikian pada hakekatnya serupa dengan yang diterapkan kepada Badan Usaha Milik Negara yang mendapatkan dana untuk menyelenggarakan Public Service Obligation ; Apabila OJK membiayai dirinya dari pungutan, sudah barang tentu tidak diperlukan keterikatan kepada ketentuan sebagaimana yang berlaku bagi kementerian negara. Penerimaan dan pengeluaran iuran dikelola oleh OJK terpisah dari APBN. OJK memiliki kewenangan untuk mengatur sistem pengelolaan keuangan yang berlaku. Namun demikian, gambaran secara ringkas mengenai kondisi keuangan OJK perlu disampaikan dalam Nota Keuangan sebagai bagian dari sistem pengelolaan keuangan negara dan informasi kepada publik yang mencerminkan asas keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara; Oleh karena itu, menyangkut pengenaan pungutan oleh OJK, hal utama yang perlu menjadi pertimbangan adalah kewajaran mengenai besarnya iuran tersebut, dan penerapan asas proporsionalitas dalam pengenaannya terhadap masing-masing sektor industri. Karena pada akhirnya setiap pungutan kepada sektor industri, akan menjadi tambahan biaya bagi industri yang dapat dialihkan menjadi beban konsumen. Penutup Sebagai ahli, berusaha untuk memberikan keterangan seobyektif mungkin. Walaupun sebagai mantan Ketua Tim Pelaksana Persiapan Pembentukan OJK, sulit bagi kami untuk tidak terpengaruh suasana hati dalam memberikan keterangan ini. Mengingat penyiapan organisasi OJK adalah tugas yang diamanahkan kepada kami menjelang akhir pengabdian di Kementerian Keuangan. Kami membayangkan, alangkah sedihnya apabila organisasi yang baru saja dibentuk harus dirombak, tanpa alasan yang kuat dan mendesak, padahal keberadaannya pada hakikatnya sejalan dengan semangat UUD untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik dan dapat berperan sangat positif untuk kemajuan sektor jasa keuangan di negara kita. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 156 Menurut ahli akan lebih baik, apabila kita memprioritaskan penuntasan proses transformasi kelembagaan dengan menyelesaikan agenda amandemen beberapa undang-undang di sektor keuanganyang sangat krusial untuk penataan dan harmonisasi pengaturan di sektor jasa keuangan. Demikian pula meiakukan secara internal, bagi OJK, menuntaskan proses transformasi kelembagaan, dengan melengkapi berbagai Peraturan OJK dan SOP yang diperlukan bagi pelaksanaan kegiatan operasional, manajemen SDM dan keuangan, serta sistem dan teknologi informasi dan komunikasi; Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta ke 9 (1966-1977) pernah mengatakan: "Manusia tanpa cita-cita adalah mati, cita-cita tanpa kerja adalah mimpi dan idaman yang menjadi kenyataan adalah kebahagian". Proses transformasi kelembagaan tidaklah mudah dan tidak ada organisasi yang sempurna, tidak terkecuali institusi OJK yang masih baru. Namun dengan bekerja, bekerja dan bekerja dengan sebaik-baiknya, niscaya OJK akan dapat menjadi lembaga idaman;
Dr. Harjono, S.H., MCL Keberadaan Otoritas Jasa Keuangan Dari Aspek Konstitusi OJK merupakan lembaga negara baru yang tugasnya melakukan pengaturan dan pengawasan pada lembaga keuangan, maka konstitusionalitasnya seringkali dikaitkan dengan independensi bank sentral, sebagaimana diatur oleh Pasal 23D Undang-Undang Dasar 1945. Ahli berpendapat bahwa perlu untuk dikaji posisi bank sentral yang sebenarnya dalam Undang-Undang Dasar 1945 karena dengan diketahui posisi bank sentral, sebagaimana dimaksud oleh Pasal 23D UUD 1945 maka secara langsung pula dapat diketahui kedudukan OJK secara hukum. Bahwa Undang-Undang Dasar 1945 mengatur lembaga negara di dalamnya, antara lain MPR, DPR, DPD, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, BPK, KY, KPU, yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945. Namun di samping itu, disebut juga adanya lembaga negara oleh Undang-Undang Dasar 1945 yang pembentukannya diserahkan kepada Presiden, yang akan diatur oleh Undang-Undang, yaitu Dewan Pertimbangan Presiden, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 23D Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa negara memiliki sebuah bank sentral. Jadi hubungan antara bank sentral dengan negara adalah hubungan kepemilikan. Bank sentral tidak dimaksudkan sebagai lembaga Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 157 negara untuk melaksanakan fungsi utama kenegaraan, sebagaimana dikenal kekuasaan pembuat undang-undang legislatif, eksekutif, dan kekuasaan yudisial; Meskipun bank sentral adalah lembaga negara dalam pengertian lembaga yang dibentuk oleh kekuasaan negara, dan mempunyai kewenangan publik, namun kedudukannya berbeda dengan lembaga negara MPR, DPR, DPD, Mahkamah Konstitusi, KY, dan KPU. Sebagai Contoh untuk menyebut keberadaan Mahkamah Konstitusi lembaga negara yang melangsungkan fungsi utama kenegaraan lainnya, Undang-Undang Dasar tidak menggunakan kata memiliki Mahkamah Konstitusi, sebagaimana digunakan untuk menyebut bank sentral. Undang-Undang Dasar 1945 tidak menyatakan bahwa negara memiliki Mahkamah Konstitusi dan lain sebagainya. Bank sentral lebih sebagai lembaga yang kegiatannya dalam bidang perbankan yang susunan, kedudukan dan kewenangan, tanggung jawab, dan independency-nya diatur Undang-Undang. Artinya, bank sentral adalah lembaga bentukan negara yang kewenangan dan independency - nya ditentukan oleh Undang-Undang dan bukan Undang-Undang Dasar 1945, meskipun Undang-Undang Dasar 1945 menentukan hal apa saja yang perlu diatur dalam Undang-Undang tentang lembaga bank sentral tersebut; Frasa negara memiliki satu bank sentral dalam Pasal 23D UUD 1945 adalah tepat, tetapi tidak tepat untuk menyebut dalam Undang-Undang Dasar 1945 bahwa negara memiliki MPR, DPR, dan lain sebagainya. Berdasarkan hasil studi dengan memperbandingkan konstitusi negara-negara lain, tidak menemukan ketentuan sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 23D Undang-Undang Dasar 1945, yaitu pengaturan bank sentral yang dicantumkan dalam pasal konstitusi. Federal Reserve Bank of New York, bank terbesar di dunia yang sangat berpengaruh dalam perekonomian dunia tidak diatur dalam konstitusi Amerika Serikat. Bahkan untuk kurun waktu yang lama, Amerika Serikat tidak mempunyai bank sentral. Federal Reserve Bank of New York sebagai bank sentral Amerika Serikat baru dibentuk dengan undang-undang pada masa pemerintahan Presiden Woodrow Wilson tahun 1931, padahal sejak 1778 Konstitusi Amerika Serikat sudah berlaku; Dari kajian ini tampak jelas bahwa bank sensral meskipun statusnya adalah lembaga negara, artinya dibentuk oleh kewenangan publik dan untuk melaksanakan kekuasaan publik, namun bukanlah sebuah lembaga konstitusi yang diperlukan untuk melaksanakan fungsi utama alat kelengkapan negara. Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 158 Independency bank sentral dalam Undang-Undang Dasar 1945 disebut dalam Pasal 23D yang dari rumusan pasal tersebut sangat jelas bahwa isinya atau content -nya akan ditentukan oleh Undang-Undang dan bukan ditentukan Undang- Undang Dasar 1945; Undang-Undang Dasar 1945 mempunyai pilihan kata yang bervariasi untuk menggambarkan sifat kewenangan yang dimiliki oleh satu lembaga negara yang diatur di dalam Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 23D digunakan kata independency untuk bank sentral. Pasal 23E digunakan kata bebas dan mandiri untuk BPK. Pasal 24, kata kekuasaan yang merdeka atau kekuasaan kehakiman . Pasal 22E dengan kata mandiri untuk KPU dan Pasal 24 digunakan kata mandiri untuk KY. Dari pilihan kata yang berbeda-beda yang digunakan itu ada makna yang sama terkandung dalam kata pilihan, yaitu bahwa satu lembaga negara dalam menjalankan kewenangannya wajib untuk tidak dipengaruhi oleh pihak luar manapun dan pihak luar dilarang untuk memengaruhi lembaga negara tersebut ketika lembaga negara yang bersangkutan melaksanakan kewenangan. Kewenangan yang tidak boleh dipengaruhi oleh pihak luar tersebut adalah kewenangan inti, yaitu kewenangan fungsional, artinya kewenangan yang ditempatkan dalam relasi dengan kewenangan fungsional yang dimiliki oleh lembaga negara yang lain; Prinsip bahwa kewenangan adalah terbatas dan prinsip kemandirian dan kebebasan dalam menjalankan kewenangan fungsionalnya adalah prinsip yang mendasari good governance atau tata pemerintahan yang baik, yang tujuannya adalah untuk menghindari abuse of power pemegang kekuasaan dan untuk mempersempit moral hazard . Hal itu sangat sejalan dengan peringatan Lord Acton bahwa power tends to corrupt and absolute power corrupt absolutely ; Conselor democracy state ( negara hukum) good governance ( pemerintahan yang baik), itu semuanya adalah konsep yang di dalamnya mengandung unsur untuk menghindari konsentrasi kemenangan, yaitu dengan cara melakukan pendistribusian kewenangan fungsional sangat terbatas, serta untuk menjamin bahwa setiap produk kewenangan terhindar dari interact pihak tertentu; Apakah dari prinsip independency bank sentral, sebagaimana yang disebut dalam Pasal 23D Undang-Undang Dasar 1945 tersebut harus melekat pada kewenangan bank sentral untuk melakukan pengawasan terhadap lembaga keuangan bank lainnya. Kewenangan tersebut merupakan kewenangan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 159 konstitusional, artinya kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana dimaksud oleh Pasal 51 Undang-Undang MK, sehingga akan menjadi kerugian konstitusional kalau pengawasan tersebut tidak dilaksanakan. Sebagaimana telah ternyata sebelumnya bahwa independency bank sentral menurut Pasal 23D akan diatur Undang-Undang, sehingga independency bukan hak konstitusional, dalam arti hak yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945, tetapi yang akan ditentukan dan diatur oleh Undang-Undang. Karenanya, kalaupun seandainya kewenangan pengawasan harus melekat kepada independency , maka yang akan mengatur adalah Undang-Undang dan bukan Undang-Undang Dasar 1945; Perbandingan Penguasaan Lembaga Keuangan Di Beberapa Negara Tentang pengaturan struktur pengawasan untuk industri keuangan, termasuk lembaga perbankan yang dipraktikkan oleh negara-negara di dunia, Federal Reserve Bank of San Fransisco membedakan dalam 3 pendekatan, yakni:
Single agent . Pengawas tunggal untuk mengawasi industri keuangan, termasuk bank, asuransi, dan pasar modal;
Separate agencies . Pengawas yang terpisah untuk setiap industri keuangan;
Pengawasan dengan struktur hybrid atau penggabungan antara pendekatan nomor 1 dan nomor 2; Dalam masing-masing pendekatan tersebut, peranan dari bank sentral negara bervariasi antara pendekatan yang satu dengan yang lain. Pendekatan pengawasan tunggal dilakukan oleh Jepang dan Singapura. Di Jepang pengawasan dilakukan oleh GPSA yang didirikan tahun 1998 setelah banyak bank besar yang gagal dan karena timbulnya ketidakpercayaan publik kepada kementerian keuangan. GPSA adalah otoritas pengawas keuangan yang utama yang berada di luar bank sentral dan kewenangannya semakin bertambah dan kuat semenjak tahun 2001; Singapura yang menganut otoritas tunggal yang dilaksanakan oleh Monetary Authority of Singapore , namun berbeda dengan Jepang, Monetary Authority of Singapore juga melakukan fungsi bank sentral. Pendekatan pengawasan oleh otoritas yang terpisah dipraktikkan di Tiongkok dan India. Industri keuangan bank, asuransi, dan pasar modal di India dan Tiongkok diawasi oleh otoritas yang berbeda-beda. Pendekatan hybrid mengombinasikan elemen pengawasan satu otoritas dan elemen pengawasan terpisah dipraktikkan di Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 160 Malaysia diawasi oleh otoritas yang sama. Sedangkan untuk industri pasar modal diawasi oleh otoritas yang lain; Pada tahun 1999, Korea Selatan mendirikan Korean Financial Supervisory Service (KFSS) melalui sebuah Undang-Undang. Setelah adanya krisis moneter yang melanda Asia. KFSS dibentuk dari kombinasi empat otoritas pengawas yang sebelumnya ada di Korea, yakni 1) banking supervisory authority ;
security supervisory board ;
insurance supervisory board ; dan
nonbank supervisory authority . Sejak tahun 2008 setelah melakukan reorganisasi, KFSS diawasi oleh financial service commission . Kewenangan financial service commission sebelumnya dimiliki oleh Kementerian Keuangan Korea. Berdasarkan KFSS, keberadaan KFSS berada di luar bank sentral; Dari uraian dan perbandingan dalam praktik negara lain dapat ditentukan fakta hukum sebagai berikut.
Menurut Undang-Undang Dasar 1945, bank sentral adalah suatu fungsi yang akan diatur oleh Undang-Undang;
Bank sentral adalah lembaga negara yang dimiliki oleh negara;
Sebagai lembaga negara, bank sentral kedudukannya sangat berbeda dengan lembaga negara utama yang kewenangannya diberikan Undang-Undang Dasar;
Independency bank sentral akan diatur dan ditentukan kontennya oleh Undang-Undang. Tidak terdapat ketentuan Undang-Undang Dasar bahwa independency bank sentral haruslah disertai hak pengawasan oleh bank sentral kepada lembaga keuangan bank. Undang-Undanglah yang akan mengatur, apakah bank sentral diberi kewenangan untuk melakukan pengawasan kepada lembaga keuangan bank atau tidak diberi kewenangan untuk melaksanakan pengawasan kepada lembaga keuangan bank; Penyatuan pengawasan atau pemisahan pengawasan terhadap lembaga keuangan, baik bank, asuransi, dan pasar modal adalah kewenangan pembuat Undang-Undang untuk mengaturnya. Pembuat Undang-Undang yang terdiri atas Presiden dan DPR adalah lembaga yang tepat untuk mengatur sistem pengawasan kepada lembaga keuangan karena kedua lembaga, yaitu Presiden dan DPR terlibat secara langsung dalam urusan bidang keuangan negara. Sehingga mempunyai informasi dan data yang akurat dan mengetahui pilihan yang baik untuk mengaturnya dan bukan ditentukan oleh lembaga peradilan; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 161 Pembuatan Undang-Undang berhak dan bahkan wajib untuk melakukan perubahan apabila ternyata dalam pelaksanaannya diperlukan perubahan pengaturan atas pengawasan lembaga keuangan agar supaya tercipta tata pengawasan yang lebih baik dalam pengelolaan lembaga keuangan demi terciptanya kestabilan keuangan dan perlindungan kepada konsumen; Perubahan tidak dapat dilakukan apabila peradilan yang menetapkan sistem pengawasan yang harus diterapkan karena dasarnya adalah sistem yang sah dan sistem yang melanggar hukum dan melakukan perubahan untuk penyempurnaan dapat dikategorikan sebagai perbuatan melanggar hukum. Perubahan sistem pengawasan dilakukan oleh banyak negara pada saat mengalami krisis keuangan global yang pernah terjadi di sekitar tahun 1997 dan di awal tahun 2000 sekitar tahun 2008; Kesimpulan Ahli berkesimpulan bahwa keberadaan OJK tidak bertentangan secara konstitusional dengan pengaturan bank sentral yang terdapat dalam Pasal 23D Undang-Undang Dasar 1945 dan keberadaannya diberlakukan untuk menciptakan lembaga keuangan yang sehat serta diperlukan bagi perlindungan konsumen lembaga keuangan di Indonesia; Isu konstitusionalitas lainnya tentang OJK menyangkut kewenangan untuk melakukan pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan jasa keuangan, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang OJK. Ketentuan Pasal 23A Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan, “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.” Ahli berpendapat bahwa ketentuan pasal ini bermaksud untuk memberi dasar hukum yang jelas dan demi kepastian hukum atas pemungutan yang dilakukan dengan alasan untuk keperluan negara. Pasal ini tidak bermaksud untuk melarang negara melakukan... yang bersifat memaksa kalau memang negara memerlukannya. Dalam praktik, pemungutan ini memang telah dilakukan oleh negara dalam berbagai bentuk, sebagai contoh adalah apa yang disebut sebagai Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Dalam transaksi pemindahan hak atas tanah dan bangungan, nilai BPHTB ini dapat dikatakan sangatlah besar karena 5% dari nilai transaksi; Ketentuan Pasal 23A menggunakan rumusan diatur dengan undang- undang yang ditafsirkan harus ada Undang-Undang tersendiri atau khusus yang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 162 mengaturnya yang berbeda dengan rumusan diatur dalam Undang-Undang yang pengaturannya dapat tersebar dalam berbagai Undang-Undang. Dalam kenyataannya sampai sekarang, belum ada undang-undang yang secara khusus mengatur pungutan lain yang bersifat memaksa. Ahli berpendapat bahwa tujuan adanya Undang-Undang tersendiri tidaklah hanya bersifat membuat perbedaan formal belaka, yaitu apakah telah terpenuhinya adanya Undang-Undang tersendiri, tetapi juga menyangkut persoalan-persoalan substantif dari Undang-Undang tersebut; Undang-Undang OJK memungkinkan OJK untuk melakukan pungutan dan jelas bahwa pungutan digunakan untuk keperluan negara. Karena OJK dalam bernegara yang melakukan tugas negara, yaitu tugas yang tidak dapat secara hukum dilakukan oleh lembaga yang bukan lembaga negara; Dari segi kebutuhan, pungutan tersebut dibatasi jumlah yang diperlukan. Artinya, tidak memungut tanpa batas, tanpa dasar berapa jumlah yang akan dipungut. Karena jumlahnya sebatas jumlah yang diperlukan untuk anggaran tahunan yang harus disusun lebih dulu dan mendapat persetujuan DPR. Pasal 36 Undang-Undang OJK menegaskan apabila hasil pungutan melebihi kebutuhan OJK, maka kelebihan tersebut disetor ke kas negara. OJK sebagai lembaga negara harus membuat laporan keuangan secara transparan dan akuntabel, sebagaimana diharuskan oleh undang-undang; Secara substansi, aturan keuangan OJK telah mempertimbangkan pengelolaan keuangan negara yang baik. Ahli berpendapat bahwa Pasal 23A Undang-Undang Dasar 1945 tidak hanya perlu formalitas adanya Undang-Undang tersendiri saja, tetapi juga substansi, yaitu menyangkut pengelolaan keuangan negara yang jelas peruntukannya, artinya transparan dan akuntabel. Undang- Undang OJK yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan telah mempertimbangkan transparansi, akuntabilitas, serta pembatasan yang rasional, proporsional tentang jumlah yang boleh dipungut; Dengan demikian, meskipun Undang-Undang yang dimaksud oleh Pasal 23A Undang-Undang Dasar 1945 belum ada, namun substansi yang seharusnya terdapat pada undang-undang tersebut telah diakomodasi dalam Undang-Undang OJK. Apabila Mahkamah menetapkan bahwa pemungutan keuangan yang terdapat dalam Undang-Undang OJK dan pengelolaannya bertentangan dengan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 163 Undang-Undang Dasar 1945, hanya sekadar bahwa belum dibuatnya Undang- Undang secara khusus dan harus dibatalkan, maka akibatnya akan banyak pungutan-pungutan lainnya, antara lain BPHTB harus juga batal; Sebagaimana ahli uraikan di atas maka sebagai penafsir Konstitusi, Mahkamah dapat menambahkan hal-hal yang diperlukan agar ketentuan tentang keuangan yang terdapat dalam Undang-Undang OJK menjadi sempurna dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, atau melakukan penafsiran conditionally constitutional pada aspek substansinya. Sementara itu, Mahkamah dapat memberikan kriteria konstitusionalitas terhadap Undang-Undang yang diperlukan untuk melaksanakan Pasal 23A Undang-Undang Dasar 1945 dan hal ini pernah dilakukan oleh Mahkamah dalam beberapa kali putusannya, termasuk mengenai BHP dan juga mengenai peradilan Tipikor;
Prof. Achmad Zen Umar Purba, S.H., LL.M. I. Ada empat isu pokok yang perlu ditanggapi terlebih dahulu, yaitu:
Pemisahan kewenangan stabilitas moneter dan pengawasan perbankan serta penggabungan pengawasan antara sistem perbankan dan lembaga keuangan non bank;
Independensi dan bebas dari campur tangan pihak lain dalam kelembagaan OJK;
Pembiayaan OJK (APBN dan pungutan dari pelaku pasar);
Pelaporan dan akuntabilitas OJK. II. Mengenai isu pertama, pemisahan kewenangan, secara mendasar kita harus memahami pertumbuhan sektor perbankan dan jasa keuangan sebagai sarana kebutuhan kehidupan modern yang berada pada era globalisasi. Lebih-lebih bagi Indonesia, karena tahun depan ia bersama dengan negara-negara ASEAN lain akan memasuki ASEAN Market Community . Sementara itu lahirnya lembaga jasa keuangan yang memiliki hubungan konglomerasi kepemilikan di sektor keuangan telah menambah kompleksitas transaksi dan interaksi antar lembaga jasa keuangan. Pembentukan OJK dilandasi dengan prinsip-prinsip tata kelola yang baik ( good governance ), yang meliputi independensi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, transparansi, dan kewajaran ( fairness ). Khusus mengenai pengawasan di bidang perbankan, OJK memiliki tugas yang Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 164 berbeda dari Bank Indonesia ("Bl") sebagai bank sentral seperti diamanatkan oleh UUD 1945, sebagaimana yang telah diubah ("UUD 1945"). Dalam situasi demikian, peran sektor perbankan dan keuangan menjadi amat penting. Oleh sebab itu diperlukan satu konsep yang jelas; Apa yang dilakukan UU OJK adalah melakukan pemisahan pengawasan terhadap bank, yang tidak lagi dilakukan oleh Bl. Pengawasan oleh pihak di luar bank sendiri dimaksudkan untuk menjaga kualitas pihak yang diawasi demi kepentingan masyarakat, termasuk kepentingan konsumen yang berurusan dengan bank. Perlindungan konsumen adalah salah satu fungsi pengawasan OJK; Selanjutnya jasa keuangan harus dibuat terintegrasi. Itulah filosofinya mengapa OJK bukan saja mengawasi bank, tetapi juga sektor-sektor non bank, dalam hal ini pasar modal asuransi, dana pensiun, lembaga pembiayaan serta lembaga keuangan lain; Jika sektor perbankan dan sektor keuangan non bank sehat, transaksi bisnis yang lain akan lancar pula, nasional maupun transnasional. Indonesia yang berekonomi kuat hanya akan lahir, jika sektor keuangan dan perbankan juga dilandasi sistem pengawasan yang kuat; III. Dalam masalah kedua, yang berkaitan dengan independensi, menurut Para Pemohon, hanya Bl yang berhak memakai status "independen" karena ada "cantolannya" ada di Pasal 23D UUD 1945. OJK samasekali tidak memiliki "cantolan" dalam UUD 1945. Pada hemat ahli, Pemohon telah menggunakan alurpikir yang salah. Sebab "independen" bukanlah istilah yang dapat dimonopoli. Jadi dapat saja satu lembaga menyatakan dirinya "independen" tanpa harus melihat ada pegangannya dalam UUD 1945. Komisi Pengawas Pesaingan Usaha, misalnya mendeklarasikan dirinya sebagai "suatu lembaga independen yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan Pemerintah serta pihak lain. [Pasal 30 ayat (2) UU No.5/1999] Demikian juga bagi OJK, independen di sini berarti bebas dari pengaruh siapapun, terutama Pemerintah; IV. Mengenai isu Pembiayaan (Penggunaan APBN dan Pungutan OJK), OJK sebagian dibiayai oleh dana dari APBN dan selebihnya dari dana yang dipungut dari masyarakat yang merupakan pengguna jasa OJK [Pasal (2) UU OJK]. Oleh Para Pemohon, aturan dalam UU OJK ini dipersoalkan karena Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 165 mereka khawatir akan terjadi " abuse of power " Sebagai WNI mereka tidak mau APBN menjadi tergerus akibat digunakan oleh OJK. Tentang hak OJK untuk memungut, para Pemohon bertanya*. "Bagaimana mungkin lembaga yang melakukan pengawasan memungut dari yang diawasinya?" (butir 66 Permohonan). Mengenai APBN, Pemohon tampak bersikap a priori , padahal kalau dibaca Pasal 38 UU OJK, jelas diatur tentang masalah pertanggungjawaban — yang akan diuraikan di bawah. Otoritas di beberapa negara antara lain di Hongkong, Estonia dan Slovakia juga menerapkan pungutan kepada para pelaku kegiatan di sektor jasa keuangan dalam rangka membiayai operasionalnya; Filosofi dari pendanaan ini adalah bahwa lembaga resmi negara, yang independen 1) dapat dibiayai dari APBN dan 2) dengan kekuatan Undang- Undang dibenarkan memungut dengan pertanggungjawaban dan akuntabilitas sebagaimana diatur dalam Pasal 38 UU OJK; Pungutan menjadi sumber dana operasional OJK, sehingga segala kegiatan yang berkaitan dengan pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan dapat dilakukan dengan lebih independen, mengingat secara kelembagaan, OJK berada di luar Pemerintah. Pungutan terhadap pihak yang melakukan kegiatan di sektor keuangan yang dilakukan OJK sudah sejalan dengan UUD 1945 karena pungutan tersebut didasarkan pada Undang- Undang. V. Isu terakhir berkaitan dengan sistem Pelaporan dan Akuntabilitas. Secara filosofis pelaporan dan akuntabilitas ini harus diikuti dengan ketentuan- ketentuan dalam Pasal 38 UU OJK yang dijabarkan dalam 10 ayat, menyangkut mengenai: - laporan keuangan serta laporan kegiatan; - laporan ke DPR dan Presiden Rl dengan standar dan kebijakan akuntansi yang ditetapkan OJK; - audit yang dilakukan oleh BPK; dan pengumuman laporan tahunan OJK kepada publik melalui media; Pengaturan rinci itu menurut saya telah cukup menjawab kekhawatiran para Pemohon dengan sekalian memahami filosofi konsep pelaporan dan akuntabilitas OJK tersebut; Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id 166 VI. Secara umum saya ingin menyampaikan bahwa permohonan tidak ditopang argumentasi yang kuat, juga tidak didukung bukti. Berbagai pernyataan yang terdapat dalam permohonan bersifat simplistik, menggampangkan persoalan, dangkal, a priori dan kategori lain semacam itu. Dengan demikian semua tuntutan dalam permohonan sangat patut untuk ditolak.
Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 217/PMK.01/2018 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan ...
Pemohon keberatan dengan berlakunya pasal 6 ayat (3) UU No. 40 Tahun 2013 tentang Perasuransian dengan alasan pasal tersebut bertentangan dengan pasal ...
Relevan terhadap
Bab X Pembubaran, Likuidasi, dan Kepailitan: Pasal 43, 44, 46 s.d. 49. Bab XIII Pengaturan dan Pengawasan: Pasal 60 s.d. 63 Bab XIV Ketentuan Pidana: Pasal 74. Pemerintah dan/atau DPR dapat saja berpendapat bahwa mereka telah melaksanakan ketentuan Pasal 7 ayat (3) UU No. 2/1992 yang 57 mengamanatkan ketentuan tentang usaha perasuransian berbentuk usaha bersama (Mutual) diatur lebih lebih lanjut dengan undang-undang. Jika undang-undang yang dimaksud adalah sebuah undang-undang yang secara khusus mengatur tentang asuransi usaha bersama, maka perintah atau amanat dari ketentuan Pasal 7 ayat (3) UU No. 2/1992 belum lah dilaksanakan. Akan tetapi jika undang-undang yang dimaksud adalah sebuah undang- undang tentang perasuransian dimana juga terdapat ketentuan mengenai asuransi usaha bersama, maka UU No. 40/2014 adalah juga sebagai pelaksanaan dari ketentuan Pasal 7 ayat (3) UU No. 2/1992, dengan demikian Pemerintah dan DPR telah melaksanakan perintah atau amanat dari Pasal 7 ayat (3) UU No. 2/1992. Penjelasan Pasal 7 ayat (3) UU No. 2/1992 tidak memberikan penjelasan mengenai undang-undang yang dimaksud, apakah sebuah undang- undang yang secara khusus mengatur tentang asuransi usaha bersama atau sebuah undang-undang tentang perasuransian. Kelima Solusi Untuk mengatasi Permasalahan Permodalan untuk memperkuat, memajukan AJB 1912 dan kaitannya dengan ketentuan Pasal 6 ayat (3) UU No. 40/2014 Diperlukan landasan hukum atau payung hukum yang kuat beberupa sebuah undang-undang yang secara khusus mengatur asuransi usaha bersama atau sebuah undang-undang yang secara khusus mengatur tentang AJB 1912, sebagaimana dilakukan oleh beberapa Negara mengundangkan undang-undang yang secara khusus mengatur tentang asuransi usaha bersama untuk memajukan perusahaan asuransi jiwa bersama dan asuransi umum bersama (mutual life insurace and mutual general atau casualtly insurance) yang ada di negara tersebut . Hingga saat ini, undang-undang yang secara khusus mengatur asuransi usaha bersama atau secara khusus untuk AJB 1912 belum ada, tetapi dalam bentuk Peraturan Pemerintah yang berada di bawah Undang- Undang, sehingga kurang kuat landasan hukumnya dan mudah dilakukan perubahan di mata investor, sehingga kurang memberikan kepastian 58 hukum untuk investasi jangka panjang, sementara sifat investasi di perusahaan asuransi dan terlebih untuk asuransi jiwa sangatlah jangka panjang. Sementara landasan hukum dan perundangan yang khusus mengatur perusahaan asuransi yang berbentuk Perseoran Terbatas (PT) sudah diatur dalam undang-undang sejak tahun 1992 dengan diundangkannya UU No. 2 tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian yang kemudian telah diperbaharui dan diganti dengan UU 40/2014 tentang Perasuransian. UU No. 40/2014 dibuat karena adanya urgensi harmonisasi peraturan perundangan karena Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah dibentuk dan mulai menjalankan peran dan fungsinya sejak tahun 2012/2013. Seandainya OJK belum dibentuk, ahli tidak yakin bahwa Pemerintah dan DPR akan menjadikan hal itu sebagai prioritas. Karena menurut ahli, adalah suatu yang nyata bahwa perhatian dari Pemerintah dan DPR terhadap sektor asuransi sebelum dibentuk OJK, masih kurang dibandingkan dengan sektor jasa keuangan yang lain seperti sektor perbankan dan pasar modal. Karena itupula lah, pada saat OJK hendak dibentuk, ahli memberikan dukungan yang pertama dari semua sektor jasa keuangan, karena kebetulan pada waktu itu ahli sebagai ketua Dewan Asuransi Indonesia (DAI) dan Ketua Asosiasi Asuransi Umum Indonesiad (AAUI), dengan harapan OJK akan memberikan perhatian besar terhadap sektor asuransi. Sementara sektor perbankan dan jasa keuangan yang lain tidak langsung memberikan dukungan terhadap pembentukan OJK pada waktu itu. Dan menurut ahli, OJK saat ini telah memberikan dukungan yang lebih besar untuk sektor asuransi. Kekosongan sebuah undang-undang tentang asuransi usaha bersama juga turut menimbulan hambatan dalam pengembangan AJB 1912, meskipun masih ada faktor lain. Akibatnya AJB 1912 kurang mempuyai daya tarik yang baik dan akses yang baik untuk pemodal atau investor asing. Padahal banyak investor yang berminat untuk berinvestasi di sektor perasuransian khususnya di asuransi jiwa seperti yang sudah terjadi selama ini. 59 Selanjutnya Putusan MK Nomor 32/PUU-XI/2013 yang bersifat final yang memerintahkan agar dibentuk Undang-Undang tersendiri yang mengatur mengenai usaha perasuransian yang berbentuk Usaha Bersama (Mutual) paling lambat dua tahun enam bulan setelah putusan MK diucapkan, ahli melihat Putusan MK ini sebagai dukungan MK akan pentingnya suatu undang-undang yang secara khusus mengatur tentang asuransi usaha bersama. UU No.40/2014 telah mengubah norma mengenai pengaturan usaha perasuransian yang berbentuk Usaha Bersama (Mutual), yang di Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang 2 Tahun 1992 diamanatkan atau diperintahkan supaya diatur lebih lanjut dengan ‘Undang-Undang’ dan oleh Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang 40 Tahun 2014 diubah menjadi diatur lebih lanjut dengan ‘Peraturan Pemerintah’. Ketentuan Pasal tersebut telah dilaksanakan oleh Pemerintah dengan diundangkannya Peraturan Pemerintah No.87 Tahun 2019 tentang Perusahaan Asuransi Berbentuk Usaha Bersama. Ini berarti tingkatan hierarki perundangan yang mengatur secara khusus asuransi usaha bersama berada di bawah undang-undang, sehingga menimbulkan ketidak setaraan dan ivestor dapat melihatnya sebagai kurang memberikan kepastian hukum untuk jangka panjang jika dibandingkan dengan investasi pada perusahaan asuransi berbadan hukum Perseroan Terbatas (PT). Dari uraian dan analisis yang ahli kemukakan di atas, ahli menyimpulkan:
. Diperlukan suatu Undang-Undang yang khusus mengatur asuransi usaha bersama;
. Ketentuan Pasal 6 ayat (3) UU No. 40/2014 yang selengkapnya berbunyi: Pasal 6 ayat (3) “Ketentuan lebih lanjut mengenai badan hukum usaha bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah” . 60 Ketentuan Pasal 6 ayat (3) __ ini tidak diartikan sebagai larangan bagi Pemerintah dan DPR untuk membuat satu undang-undang yang khusus mengatur tentang asuransi usaha bersama. Oleh karena itu, ahli berpendapat adalah perlu, penting Pemerintah dan DPR membuat satu undang-undang yang secara khusus mengatur tentang asuransi usaha bersama, sebagaimana telah lama dilakukan oleh beberapa negara asing, untuk mendorong kemajuan asuransi usaha bersama di Indonesia. Ahli pun menyampaikan keterangan tambahan yang disampaikan pula dalam persidangan, pada pokoknya adalah sebagai berikut: − Pengaturan asuransi usaha bersama dalam UU 40/2014 hanya terdapat dalam beberapa pasal saja. Pengaturan perasuransian dalam UU 40/2014 jika dilihat lebih lanjut menitikberatkan pada asuransi dalam bentuk perseroan terbatas saja, namun demikian dikarenakan terdapat keteuan yang mengatakan sepanjang relevan dengan bentuk badan usaha bersama maka ketentuan tersebut berlaku. Menurut Ahli, pengaturan asuransi usaha bersama dalam UU 40/2014 tidak dapat dikatakan cukup, namun materi-materi yang terdapat didalamnya dapat dijadikan bahan untuk membentuk undang-undang tersendiri terkait dengan asuransi dalam bentuk badan usaha bersama tersebut. − Terkait dengan permodalan yang terbatas yang menyebabkan asuransi dalam bentuk badan usaha bersama ini lebih sulit maju dibandingkan dengan bentuk badan usaha perseoran , ahli tidak memiliki pendapat terkait itu. Namun, jika melihat pada sisi investor, tentu tidak menutup kemungkinan adanya investor yang tertarik untuk berinvestasi pada asuransi usaha bersama namun menurut investor tentunya jika diatur dalam peraturan pemerintah menjadi kurang kuat keberadaannya sehingga perlu dibuat undang-undang tersendiri. − Asuransi dalam bentuk usaha bersama di negara lain, sepengetahuan Ahli, tetap memakai bentuk mutual insurance dan pengaturannya diatur dalam undang-undang dimana dinyatakan sebagai incorporated company (Skotlandia). Jika bentuk usaha bersama ini akan dicarikan bentuk hukum lain sehingga memiliki akses permodalan yang mudah, menurut ahli berdasarkan kajian yang pernah dilakukan maka dapat berbentuk perkumpulan. 61 [2.3] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon, Dewan Perwakilan Rakyat memberikan keterangan yang didengarkan dalam persidangan pada tanggal 8 September 2020, yang keterangan tertulisnya diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 22 September 2020, yang pada pokoknya mengemukakan hal sebagai berikut: A. KEDUDUKAN HUKUM ( LEGAL STANDING ) PARA PEMOHON Terkait kedudukan hukum ( legal standing ) para Pemohon dalam pengujian UU a quo secara materiil, DPR RI memberikan pandangan dengan 5 (lima) batas kerugian konstitusional berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 011/PUU-V/2007 mengenai parameter kerugian konstitusional sebagai berikut:
Terkait adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon yang diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945 a. Bahwa para Pemohon mendalilkan memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional berdasarkan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, DPR RI berpandangan bahwa Pasal a quo tidak mengurangi hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon untuk mendapatkan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, karena apa pun bentuk dari pengaturan asuransi usaha bersama, para Pemohon dapat melaksanakan hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagai Anggota BPA Asuransi Bersama Bumiputera 1912.
Bahwa para Pemohon mendalilkan bekerja sebagai Anggota DPRD, Pegawai Negeri Sipil, Guru, Dosen, Wiraswasta, Pensiunan dan secara keseluruhan para Pemohon mendalilkan sebagai Pemegang Polis Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 dan Anggota BPA. DPR RI berpandangan para Pemohon bukanlah subjek yang dituju dalam ketentuan Pasal a quo karena ketentuan a quo ditujukan oleh pembentuk undang-undang kepada pemerintah untuk mengatur lebih lanjut mengenai Badan Hukum Usaha Bersama dalam Peraturan Pemerintah.
Bahwa dalam positanya, para Pemohon banyak memberikan argumentasi tentang kedudukan para Pemohon sebagai Anggota BPA Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 dalam mengemban tugas dan 62 amanahnya sebagaimana diamanatkan dalam Anggaran Dasar Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912. Terhadap pernyataan para Pemohon tersebut perlu untuk diperjelas apakah para Pemohon bertindak untuk mewakili BPA Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 atau hanya sebagai perseorangan warga negara Indonesia pemegang polis Asuransi Jiwa Bersama Bumiputra 1912? Jika para Pemohon sebagai BPA Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912, maka para Pemohon harus membuktikan terlebih dahulu sebagai pihak yang mewakili BPA Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912. Sedangkan jika para Pemohon mengajukan diri sebagai perorangan warga negara Indonesia pemegang polis, maka para Pemohon tidak bisa mengajukan pengujian Pasal a quo karena Pasal a quo mengatur tentang pendelegasian dari pembentuk undang-undang kepada pemerintah untuk mengatur mengenai badan hukum usaha bersama dalam peraturan pemerintah. Oleh karenanya para Pemohon bukanlah pihak yang menjadi subjek ( addressat norm ) dari ketentuan Pasal a quo , sehingga para Pemohon tidak memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional untuk mengajukan Permohonan a quo karena tidak memiliki kepentingan hukum langsung terhadap Pasal a quo .
Terkait adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dianggap oleh para Pemohon telah dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang a. para Pemohon merasa dirugikan karena dengan berlakunya frasa “ diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah ” dalam Pasal a quo UU Perasuransian telah menimbulkan ketidakpastian hukum dan tidak sejalan dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013. DPR RI berpandangan bahwa para Pemohon tidak mampu menjelaskan keterkaitan antara keberlakuan Pasal a quo dengan kerugian yang didalilkan oleh para Pemohon karena kerugian yang didalilkan para Pemohon tersebut adalah asumsi yang tidak ada pertautannya dengan ketentuan Pasal a quo sehingga dengan demikian, kerugian yang didalilkan para Pemohon tersebut tidak beralasan hukum. 63 b. para Pemohon merasa dirugikan hak dan/atau kewenangan konstitusional atas adanya PP 87/2019 karena keberadaan Peraturan Pemerintah tersebut bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013. DPR RI berpandangan bahwa jika para Pemohon beranggapan bahwa materi yang ada di dalam PP 87/2019 tersebut merugikan para Pemohon maka hukum telah menyediakan suatu mekanisme untuk mengujikan Peraturan Pemerintah tersebut ke Mahkamah Agung. Dengan demikian kerugian yang didalilkan oleh para Pemohon tidak benar dan hanya asumsi para Pemohon.
Terkait adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang bersifat spesifik (khusus) dan aktual, atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi Bahwa para Pemohon tidak dapat menguraikan kerugian yang dianggap sebagai kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon dengan ketentuan Pasal yang dimohonkan pengujian. para Pemohon dalam permohonannya lebih menguraikan substansi dalam PP 87/2019 dan tidak fokus terhadap ketentuan Pasal a quo sehingga tidak jelas pertautan antara kerugian para Pemohon dengan pasal a quo . Oleh karenanya tidak terdapat kerugian hak dan/atau konstitusional yang bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial.
Terkait adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional dengan undang- undang yang dimohonkan pengujian Bahwa sebagaimana yang telah diuraikan oleh DPR RI dalam angka 1, 2, dan 3, kerugian yang didalilkan oleh para Pemohon bukan merupakan kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon melainkan hanya asumsi para Pemohon saja. Selain itu para Pemohon tidak dapat menguraikan pertautan antara kerugian yang didalilkan dengan ketentuan Pasal a quo sehingga sudah dapat dipastikan tidak ada hubungan sebab akibat ( causal verband) antara kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan oleh para Pemohon dengan Pasal a quo . 64 5. Terkait adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Bahwa karena tidak adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) maka sudah dapat dipastikan bahwa pengujian a quo tidak akan berdampak apapun terhadap para Pemohon. Dengan demikian menjadi tidak relevan lagi bagi Mahkamah Konsitusi untuk memeriksa dan memutus permohonan a quo , karena para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) sehingga sudah sepatutnya Mahkamah Konstitusi tidak mempertimbangkan pokok perkara . Bahwa terkait dengan kedudukan hukum ( legal standing ) para Pemohon, DPR RI memberikan pandangan selaras dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-IX/2011 yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari tanggal 15 Juni 2016, yang pada pertimbangan hukum [3.5.2] Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa menurut Mahkamah: ...Dalam asas hukum dikenal ketentuan umum bahwa tiada kepentingan maka tiada gugatan yang dalam bahasa Perancis dikenal dengan point d’interest, point d’action dan dalam bahasa Belanda dikenal dengan zonder belang geen rechtsingang. Hal tersebut sama dengan prinsip yang terdapat dalam Reglement op de Rechtsvordering (Rv) khususnya Pasal 102 yang menganut ketentuan bahwa “tiada gugatan tanpa hubungan hukum“ (no action without legal connection. Berdasarkan pada hal-hal yang telah disampaikan tersebut DPR RI berpandangan bahwa para Pemohon secara keseluruhan tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) karena tidak memenuhi ketentuan Pasal 51 ayat (1) dan Penjelasan Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi, serta tidak memenuhi persyaratan kerugian konstitusional yang diputuskan dalam putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu. Bahwa para Pemohon dalam permohonan a quo tidak menguraikan secara konkrit mengenai hak dan/atau kewenangan konstitusionaInya yang dianggap dirugikan atas berlakunya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji, utamanya dalam mengkonstruksikan adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusionaInya yang dirugikan atas berlakunya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji tersebut. 65 Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, terhadap kedudukan hukum (legal standing ) para Pemohon, DPR RI menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua dan Anggota Majelis Hakim Konstitusi Yang Mulia untuk mempertimbangkan dan menilai apakah para Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 011/PUU-V/2007 mengenai parameter kerugian konstitusional. B. PANDANGAN DPR RI TERHADAP POKOK PERMOHONAN 1. Bahwa dalam industri perasuransian, baik secara nasional maupun global, terjadi perkembangan yang pesat yang ditandai dengan meningkatnya volume usaha dan bertambahnya pemanfaatan layanan jasa perasuransian oleh masyarakat. Layanan jasa perasuransian pun semakin bervariasi sejalan dengan perkembangan kebutuhan masyarakat akan pengelolaan risiko dan pengelolaan investasi yang semakin tidak terpisahkan, baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam kegiatan usaha. Pengaturan dalam UU Perasuransian juga mencerminkan perhatian dan dukungan besar bagi upaya pelindungan konsumen jasa perasuransian, upaya antisipasi lingkungan perdagangan jasa yang lebih terbuka pada tingkat regional, dan penyesuaian terhadap praktik terbaik ( best practices ) di tingkat internasional untuk penyelenggaraan, pengaturan, dan pengawasan industri perasuransian.
Bahwa berdasarkan Naskah Akademik RUU tentang Usaha Perasuransian yang digunakan sebagai dasar pembentukan undang-undang a quo, dapat dikemukakan bahwa pada saat ini, Indonesia tidak memiliki undang-undang khusus mengenai badan hukum usaha bersama. Satu-satunya perusahaan asuransi berbentuk usaha bersama melandaskan keberadaannya pada Keputusan Kerajaan Belanda tanggal 28 Maret 1870 No. 2 Stb. 64 sesuai Sekretaris Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 6 April 1915, yang belum pernah diperbaharui. Ketiadaan undang-undang yang mengatur usaha bersama mengakibatkan ketidakjelasan tata kelola badan usaha ini dan dapat menimbulkan keraguan akan perlindungan hak-hak para pemangku kepentingan. Usaha bersama juga menghadapi tantangan dan hambatan yang sama seperti koperasi dalam hal penyediaan modal yang 66 cukup untuk penyelenggaraan usaha asuransi atau usaha reasuransi, mengingat ketiadaan atau ketidakjelasan mekanisme penambahan modal dengan atau tanpa penambahan anggota baru di dalam usaha bersama tersebut. Perkembangan yang terjadi di negara lain berkenaan dengan penyelenggaraan usaha asuransi menggunakan badan usaha bersama juga mendapat perhatian. Walaupun sejumlah usaha bersama di bidang perasuransian tercatat sebagai perusahaan besar di negara-negara seperti Jepang dan Kanada, banyak di antara mereka sedang menggagas upaya untuk lebih berkembang dengan mengubah diri menjadi Perseroan Terbatas sehingga dapat menggumpulkan modal lebih besar. Sampai dengan saat ini satu-satunya perusahaan perasuransian yang berbentuk usaha bersama di Indonesia, yaitu Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912, sedangkan perusahaan perasuransian yang lain berbentuk Perseroan Terbatas. Mempertimbangkan hal-hal tersebut di atas, dalam RUU Usaha Perasuransian diusulkan agar perusahaan perasuransian berbentuk Perseroan Terbatas. ( Vide Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Usaha Perasuransian hlm. 49-50) 3. Bahwa UU Perasuransian telah mengakomodir bentuk usaha bersama ( mutual ) dalam Pasal 6 ayat (1) UU a quo , bentuk badan hukum penyelenggara usaha perasuransian adalah: a) Perseroan terbatas; b) Koperasi; atau c) Usaha bersama yang telah ada pada saat undang-undang ini di undangkan. Bahwa dengan adanya ketentuan tersebut menunjukkan pembentuk undang-undang masih mengakui adanya usaha perasuransian yang berbentuk usaha bersama dan ketentuan tersebut telah memberi kepastian hukum, dan usaha bersama yang dimaksud adalah AJB Bumiputera 1912 yang menjadi satu-satunya usaha perasuransian berbadan usaha bersama sampai dengan saat ini yang dinyatakan sebagai badan hukum (Naskah Akademik RUU tentang Usaha Perasuransian hlm 50). Bahwa berdasarkan fakta hukum tersebut pembentuk undang-undang menentukan politik hukum pengaturan mengenai ketentuan lebih lanjut mengenai teknis badan usaha 67 bersama didelegasikan kepada Peraturan Pemerintah ( vide Risalah Pembahasan hlm 57-58).
Bahwa para Pemohon mendalilkan: “...hak konstitusional para Pemohon telah dilanggar oleh pembentuk undang-undang tidak menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013 yang memerintahkan agar dibentuk undang- undang tersendiri yang mengatur mengenai usaha perasuransian yang berbentuk usaha bersama (mutual).” Terhadap dalil tersebut, DPR RI memberikan pandangan sebagai berikut:
Bahwa dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013, menyatakan: Frasa “ ... diatur lebih lanjut dengan undang-undang ” dalam Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Tahun 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945, sepanjang tidak dimaknai “...diatur lebih lanjut dengan undang-undang dilakukan paling lambat dua tahun enam bulan setelah putusan Mahkamah ini diucapkan” .
Bahwa putusan Mahkamah Konstitusi tersebut mengamanatkan adanya kepastian hukum mengenai pengaturan lebih lanjut tentang usaha bersama ( mutual ), yaitu paling lambat dua tahun enam bulan setelah putusan Mahkamah ini diucapkan. Pembentuk undang-undang segera menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dengan merumuskan ketentuan Pasal 91 UU a quo yang menyatakan: “Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan terhitung sejak Undang- Undang ini diundangkan. Dengan adanya ketentuan tersebut, maka UU a quo telah memberikan kepastian hukum kepada masyarakat terutama para Pemohon mengenai dasar hukum asuransi usaha perasuransian yang berbentuk badan usaha bersama ( mutual ), dan pembentuk undang-undang telah mengikuti putusan Mahkamah Konstitusi yang menghendaki adanya kepastian hukum yang mengatur mengenai badan usaha bersama ( mutual ) perasuransian.
Bahwa DPR RI berpandangan dalam amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013 tersebut tidak memerintahkan 68 kepada pembentuk undang-undang untuk membuat undang-undang tentang asuransi badan usaha bersama ( mutual ) secara khusus dalam undang-undang tersendiri.
Bahwa pembentuk undang-undang dalam menyusun undang-undang tentunya harus berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU 12/2011) sebagai pedoman utama dalam membentuk peraturan perundang- undangan.
Bahwa terkait dengan norma pengaturan pendelegasian kewenangan telah diatur berdasarkan Lampiran UU 12/2011 mulai dari angka 198 sampai dengan angka 216. Berdasarkan ketentuan tersebut bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat mendelegasikan lebih lanjut kepada peraturan perundang-undangan yang lebih rendah. Dari teknis segi bahasa, pendelegasian kewenangan dengan menggunakan frasa “diatur dengan” dan “diatur dalam” tidak dimaksudkan untuk memiliki konsekuensi pendelegasian pengaturan lebih lanjut dalam undang-undang tersendiri, tetapi lebih kepada “jumlah materi muatan” yang akan didelegasikan kepada peraturan perundang- undangan yang lebih rendah. Berdasarkan Lampiran angka 205 UU 12/2011 disebutkan bahwa , jika terdapat beberapa materi muatan yang didelegasikan dan materi muatan tersebut tercantum dalam beberapa pasal atau ayat tetapi akan didelegasikan dalam suatu peraturan perundang-undangan gunakan kalimat...”Ketentuan mengenai…diatur dalam…”.
Bahwa sebelum diundangkannya UU 40/2014, Pembentuk undang- undang telah mempertimbangkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013. Namun dalam menindaklanjuti Putusan MK tersebut kedalam undang-undang selain berdasarkan Putusan MK tentunya pembentuk undang-undang memiliki pertimbangan politik hukum tersendiri dengan memperhatikan dinamika hukum yang berkembang dalam masyarakat. Hal ini telah dirundingkan oleh DPR dan Tim Pemerintah dalam Rapat Panja dengan Tim Kementerian Keuangan (Kepala BKF), OJK dan LPS Jumat, 29 Agustus 2014 dan dalam Rapat Panja RUU tentang Usaha Perasuransian dan Rapat 69 Panja dengan Tim Kementerian Keuangan (Kepala BKF), OJK, Sabtu, 30 Agustus 2014. Bahwa dalam rapat-rapat tersebut pada intinya DPR RI setuju dengan usulan Tim Pemerintah yang memandang bahwa kedepannya lebih didorong agar perusahaan asuransi berbadan hukum perseroan untuk dapat memberikan perlindungan terhadap perusahaan dan konsumen asuransi, namun khusus untuk perusahaan asuransi mutual yang telah ada (Bumiputra 1912) tetap diakui keberadaannya. Sedangkan untuk mengakomodir putusan MK Nomor 32/PUU-XI/2013, Pembentuk undang-undang sepakat untuk mengatur perusahaan asuransi mutual dalam UU a quo yang ketentuan teknisnya didelegasikan kedalam peraturan pemerintah. Hal ini dikarenakan jika diatur secara detail dalam UU a quo , akan menimbulkan kemungkinan untuk dijadikan preseden lahirnya perusahaan-perusahaan asuransi mutual lainnya yang memiliki banyak kelemahan dalam tatakelolanya yang juga sudah banyak ditinggalkan oleh banyak negara lain di dunia. Selengkapnya tertulis pada bagian risalah.
Oleh karena itu dalil para Pemohon yang menyatakan bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013 mengenai pengaturan asuransi usaha bersama ( mutual ) harus ditindaklanjuti dengan undang-undang tersendiri dan tidak diperhatikan oleh Pembentuk Undang-Undang adalah tidak beralasan hukum.
Bahwa dalam positanya para Pemohon banyak menguraikan materi muatan dalam PP 87/2019 yang dianggap menghilangkan eksistensi dan kewenangan Badan Perwakilan Anggota Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 dalam mengelola AJB Bumiputera 1912. Terhadap uraian para Pemohon tersebut DPR RI berpandangan bahwa jika para Pemohon merasa dirugikan dengan ketentuan dalam PP 87/2019 maka para Pemohon seharusnya tidak mengujikannya ke Mahkamah Konstitusi melainkan ke Mahkamah Agung yang memiliki kewenangan menguji Peraturan Perundang-undangan di bawah undang-undang. Oleh karena itu terlihat jelas bahwa permohonan a quo adalah permohonan yang memiliki kesalahan objek ( error in objecto ). 70 C. RISALAH PEMBAHASAN PASAL A QUO UU PERASURANSIAN Selain pandangan secara konstitusional, teoritis, dan yuridis, sebagaimana telah diuraikan di atas, DPR RI melampirkan risalah pembahasan UU Perasuransian yang relevan dengan substansi dalam Permohonan a quo sebagai berikut: • Masa Persidangan I Rapat Panja dengan Tim Kementerian Keuangan (Kepala BKF), OJK, dan LPS dalam Rapat Panja RUU tentang Usaha Perasuransian (Jumat, 29 Agustus 2014) - STAF AHLI KEMENTERIAN KEUANGAN (ISA RAHMATAWARTA):
.. Mengenai mutual, kami mempunyai pemikiran pada waktu itu ada 2 yang terpenting : pertama, tidak ada undang-undang yang memberikan landasan hukum yang baik untuk badan hukum mutuall di Indonesia karena itu lah pada waktu itu memang ada perintah untuk dibuatkan undang-undang tersendiri mengenai hal tersebut. Tapi nyatanya pada saat kami menyelesaikan rancangan undang-undang ini, undang-undang itu tidak pernah ada dan artinya badan mutuall ini, badan usaha bersama ini tidak memiliki landasan hukum mengenai keberadaannya, eksistensinya apalagi mengatur mengenai tata kelola. Jadi kalau tadi yang disampaikan oleh Pak Firdaus bahwa tidak ada, sulit untuk mengatur menata tata kelola mereka pada walaupun sekarang OJK sudah berusaha untuk melakukan hal tersebut. Pada saat ini tidak ada landasan hukum untuk melakukan bagaimana mutuall atau usaha bersama ini menyelenggarakan kegiatan hukumnya sebagai suatu entitas hukum. Kemudian yang kedua yang kami pertimbangkan pada waktu itu sebagaimana sudah dikemukakan oleh Pak Firdaus, perusahaan yang ada saat ini satu-satunya yang ada memang memiliki masalah. Dan kami pada waktu itu dengan tulus, dengan sejujurnya kami sampaikan sebetulnya keinginan kami untuk mengatakan semuanya PT adalah memberikan mekanisme elegan dimana disepakati di DPR ini untuk menyelamatkan perusahaan ini dengan mengubahnya menjadi PT sebagai suatu upaya penyelamatan sebetulnya tapi melalui kewajiban di undang-undang. Nah, demikian mungkin saya ingin tadi itu adalah gambaran mengapa Pemerintah mengusulkan didalam rancangan undang-undang akhirnya hany PT. Perkembangannya tadi Undang-Undang Koperasi yang baru dibatalkan secara keseluruhan. Kemudian ada Mahkamah Konstitusi yang mengatakan tidak boleh ditutup ruang untuk upaya usaha bersama ini untuk tetap hidup di Indonesia karena itu juga sesuai dengan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Kami dari Pemerintah ingin dan sangat menghormati keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut karena itu, kami sekarang berada pada posisi dan kami ingin tetap menghormati keputusan itu artinya memang kita perlu atur bagaimana usaha bersama ini. Kemudian saya sependapat dengan Pak Harry Azhar kalau usaha bersama yang saat ini landasan hukumnya saja minimun, bisa dibilang tidak ada diakomodasi, kita tentu juga harus fair kepada koperasi jadinya. Itu pikiran logis saja, cara berpikir 71 logisnya. Karena itu, Pemerintah sendiri saat ini secara umum melihat oke kami akan bisa menerima kalau koperasi ditambahkan disitu kembali. Tetapi kalau yang usaha bersama kami ingin mengusulkan kita tidak memperluas pada kemungkinan usaha-usaha bersama yang baru. Kami ingin usulkan oke usaha bersama yang ada kita akui bahkan kami bisa berikan misalnya oke kita berdasarkan undang-undang ini kita berikan status badan hukum khusus kepada yang ada sekarang ini. Tapi selain itu kami ingin menambahkan didalam undang-undang ini sebagai konsekuensinya adalah aturan-aturan lain, aturan-aturan prudensial yang akan bisa membantu OJK nanti yang betul-betul ya tidak mungkin ada koperasi baru yang menjalankan kegiatan usaha asuransi, kalau usaha bersama tadi kami usulnya betul-betul kita batasi Pak berdasarkan undang-undang ini hanya itu saja yang kita ini. Kita tidak membuka ruang usaha bersama yang baru. Kalau ada yang mirip-mirip seperti itu jadi koperasi saja karena koperasi sudah kita sudah punya landasan hukum undang-undang yang jelas mengenai hal itu. Untuk yang ada oke, kita akui bahkan kita usulkan, kita berikan status badan hukumnya tapi untuk koperasi maupun usaha bersama khusus yang eksisting ini seandainya tetap kita sepakati untuk kita pertahankan, kami mohon untuk dapat ditambahkan aturan-aturan baru, misalnya yang kami mungkin bisa sampaikan pertama koperasi dan usaha bersama tidak boleh menjual polis asuransi kepada non anggota, dia hanya boleh menjual kepada anggotanya. Mungkin akan ada pertanyaan kalau gitu tidak bisa berkembang. Tentu bisa, kalau dia bisa menarik orang terlebih dahulu menjadi anggotanya baru kemudian menjual polis kepada yang bersangkutan. Yang kedua, yang kami mungkin ingin usulkan adalah, saya menggunakan kata mungkin nanti karena didalam diskusi mungkin berkembang yang lain. Yang kedua, bahwa untuk menjadi anggota ini seseorang ini harus membayar iuran pokok atau iuran wajib apapun namanya yang akan kita sebut. Jadi dengan demikian, setiap perkembangan bisnis dengan bertambahnya anggota ini koperasi atau pun usaha bersama ini sudah terlebih dahulu di back up dengan tambahan modal dari calon pemegang polis tersebut. Kemudian yang ketiga, yang ingin kami usulkan adalah ada ketentuan yang secara tegas disini disampaikan bahwa keuntungan itu dinikmati bersama tentunya secara proporsional, kerugian juga harus ditanggung bersama oleh para anggota. Mengenai aturan pembagiannya pengenaan, pembebanannya dan sebagainya kita bisa serahkan kepada OJK mengenai hal tersebut. Nah, dengan adanya usulan yang ketiga ini apabila dapat diterima ini juga sekaligus mendorong, mendesak pada asuransi usaha bersama pada saat ini itu juga men-declear keuntungannya berapa dan kerugiannya berapa akumulasinya saat ini. Dan kemudian mendorong mereka untuk mengemukakan kepada anggota ini loh akumulasi keuntungan yang bisa dibagi atau ini akumulasi kerugian yang harus ditanggung bersama sehingga dengan demikian OJK juga akan mempunyai kekuasaan atau kewenangan untuk melakukan diskresi nah ternyata seperti ini situasinya, 72 pilihan ada. ini juga akan meng-involve.....(mic bermasalah) pengawasan dan koreksi terhadap perusahaan asuransi ....usaha bersama...... - STAF AHLI KEMENTERIAN KEUANGAN (ISA RAHMATAWARTA): Usaha bersama ini kami sekali ingin mengusul hanya usaha bersama yang ada saat ini tidak untuk dikembangkan lagi. • Terkait dengan Pasal 6 ayat (3) sepanjang frasa “Badan Hukum Usaha Bersama” UU PERASURANSIAN dalam Masa Persidangan I Rapat Panja dengan Tim Kementerian Keuangan (Kepala BKF), OJK dan LPS Jumat, 29 Agustus 2014. Dalam Rapat Panja RUU tentang Usaha Perasuransian: - KETUA RAPAT (H. ANDI RAHMAT, SE): Saya skors ya pak sekitar 2 menit untuk memberikan kesempatan kepada Bank Indonesia keluar dari ruangan ini __ (RAPAT DISKORS) Terima Kasih Pak. (SKORS DICABUT) Selanjutnya Bapak-bapak yang kami muliakan dan saya hormati, ini kita akan lanjutkan sedikit penjelasan dari Bapak Komisioner OJK ini berkaitan dengan bentuk dan badan hukum dari asuransi Pak. Jadi dalam RUU ini ada 2 bentuk saja yang ditawarkan oleh Pemerintah: yang pertama itu koperasi dan kedua adalah perseroan terbatas oh yang perseroan terbatas koperasi dari, kalau saya tidak salah itu koperasi itu usulannya F-PG kalau tidak salah ya, pokoknya paling banyak F-PG yang paling banyak usulannya sampai lupa mengusulkan. Bapak-bapak sekalian, Jadi ada 2 yang saya putuskan dan ini ada tambahan berkaitan dengan mutuall fund ya, lebih spesifik lagi mutuall fund yang di Indonesia ini cuma ada satu Pak yaitu asuransi AJB dan ini yang kita minta penjelasan kepada OJK karena sampai sekarang ini dan sekarang sudah sampai dalam pengawasan OJK Pak. Kita mau lihat bagaimana OJK mengatasi isu yang berkaitan dengan asuransi Bumiputera ini AJB/Asuransi Jasa Bumiputera. Silahkan Pak firdaus ya. Saya kira langsung saja Pemerintah ya langsung kepada Komisionernya saja. Silahkan Pak Firdaus. - OJK (FIRDAUS) : Bismillahirahmanirahim. Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Yang saya hormati Pimpinan Panja RUU Asuransi, Yang saya hormati Bapak-bapak Anggota Panja RUU Asuransi dari Komisi XI, Pertama-tama saya mohon maaf agak terlambat, banyak acara Pak dari habis Magrib itu, ada 2 dulu baru saya jalan agak macet lagi. Bapak-bapak sekalian, Kalau kita baca dari RUU Undang-Undang Asuransi yang lama yang tahun ’92 itu, itu kan memang disitu ada 3 Badan Hukum bentuk asuransi yaitu PT, kemudian Koperasi dan mutuall meskipun waktu tahun ’92 kita bikin memang ada perusahaan asuransi yang berbadan hukum koperasi 1 73 waktu itu tapi kemudian kita cabut izin usahanya oleh Pemerintah itu di tahun 2010 kira-kira dicabut koperasi 1. Kemudian 1 lagi memang berbentuk mutuall. Didalam undang-undang kalau kita baca Undang-Undang Asuransi yang tahun ’92 itu memang disana untuk mutuall kita memberikan amanat bahwa Pemerintah akan membuatkan undang-undang khusus mutuall sehingga belum ada waktu itu pelaksanaannya kita atur dengan peraturan pemerintah. Namun sampai saat ini memang belum dibuatkan undang- undang untuk mutuall. Kemarin ketika ada yang bawa ke Mahkamah Konstitusi maka Mahkamah Konstitusi mengamanatkan agar Pemerintah membuatkan dalam waktu 2,5 tahun sejak keputusan Mahkamah Konstitusi yang keluar 3 bulan yang lalu kira-kira begitu. Nah,sekarang saya ingin katakan bagaimana perkembangannya. Jadi dari 95 asuransi umum, 45 asuransi jiwa dan 41 asuransi itu tidak ada satu pun yang berbentuk koperasi karena memang telah kita cabut. Kalau kita lihat sejarah di perbankan sama Pak di lembaga keuangan lain. Di perbankan juga saat ini juga hanya ada 1 BPR berbentuk koperasi yang lainnya di bank umum maupun BPR yang jumlah lebih dari 1.900 baik yang konvensional maupun yang syariah hanya 1 yang berbentuk koperasi, yang lainnya tidak ada. Yang mutual kita punya juga cuma 1 yaitu ..... Asuransi Bumiputera. Saya ingat ada 2 bank umum : Bukopin pernah bentuk koperasi tapi di tahun ’90 berapa kita ubah, kita rekap itu berubah menjadi PT karena memang ketidakmampuan dari waktu itu pemilik Bukopin adalah juga koperasi-koperasi yang tidak mampu untuk menitip modal sehingga masuk lah pemodal entah itu dari Pemerintah, entah itu dari swasta sehingga berubah menjadi PT Bukopin meskipun kita tetap mempertahankannya namanya Bukopin. Nah, saya bisa mengerti ketika Pemerintah mengajukan itu dalam RUU ini awalnya adalah dalam bentuk PT saja. Kalau lihat kita lihat pernah kita buat juga yang kita yang Pemerintah dan DPR lahirkan yaitu Undang- Undang mengenai Bank Syariah, itu juga hanya berbentuknya PT saja karena kalau kita lihat begini Pak. Koperasi juga sekarang ini kan misalnya itu badan hukum PT, Koperasi, maupun mutuall itu kan tetap saja. Ketika didirikan baru katakanlah dia tetap harus memiliki persyaratan memenuhi persyaratan modal minimum. Kalau koperasi misalnya ketika mau didirikan berarti dia juga harus punya modal misalnya kalau sekarang berlaku ketentuan minimal 100 milyar maka dia harus artinya kalau memang ada koperasi yang mau didirikan asuransi dalam ....koperasi itu harus ada iuran anggota, iuran pokok, dan iuran sukarela dari anggota itu totalnya 100 milyar. Meskipun mungkin bisa tapi rasanya kalau koperasi itu dibentuk barangkali oleh pihak-pihak yang besar mungkin bisa tapi kalau dari masyarakat biasa membentuk koperasi mengumpulkan 100 milyar untuk menjadi modal setor katakanlah begitu untuk sebuah perusahaan asuransi agaknya berat begitu. Mutuall kita lihat Pak. Mutuall itu sejarahnya adalah kalau kita lihat di dunia ini mutuall itu tinggal histori Pak, tinggal sejarah. Kita lihat mutuall-mutuall yang ada di Eropa, ada di Jepang, ada di Canada, ada di Amerika itu memang lahir 200 tahun yang lalu, 150 tahun yang lalu tidak ada yang lahir lagi. Terakhir lagi sebetulnya itu mutuall itu adalah di Fililpina tahun sekitar ‘87 Pak. Itu pun karena begini, ada sebuah perusahaan asuransi BUMN 74 sebetulnya punya anak perusahaan sebetulnya target juga PT limited company. Tapi tiba-tiba dalam rangka agak politis anak perusahaan itu kemudian sahamnya diberikan kepada pemegang polis sehingga diubah dari PT menjadi mutuall karena ciri-ciri dari mutuall itu pemegang polis adalah pemegang saham. Ini terakhir di Filipina tahun ’85-’87. Setelah itu tidak ada lagi di dunia, selain itu usianya memang ratusan tahun. Dia memang kalau survive, survive benar ya seperti di Jepang. Ada yang tidak survive tapi dia di-merger dengan mutuall lainnya karena kalau tidak di-merger dengan mutuall lainnya agak sulit. Nah, kenapa mutuall-mutuall baru tidak lahir lagi di dunia ini? memang kalau kita lihat sekarang di negara lain juga kan modal untuk mendirikan sebuah perusahaan asuransi kan besar sekali Pak. Mungkin juga puluhan triliun, di kita saja yang 100 milyar. Kami bayangkan Pak kalau misalnya ada sebuah mutuall baru mau didirikan agak bayangan kami itu agak imposible. Bagaimana kalau kita lihat menilik sejarah ini misalnya : Bumiputera. Lahir dari 3 orang guru, dia tarifnya cuma kumpul bertiga seperti arisan bilang kalau diantara kita ada yang meninggal ini dari ini ya dari kumpulan kita yang tiap bulan kita bayar sisihkan dari gaji terus berkembang-berkembang. Nah, kalau kita lihat tahun 1912 belum ada pengaturan Pak mengenai persyaratan modal minimum yang harus dipenuhi. Kalau sekarang bagaimana mutuall bisa terbentuk misalnya ketika harus memiliki persyaratan modal 100 milyar yang barangkali yang saya dengar kan dari baik itu dari wacananya kan ingin kedepan ini modal minimum untuk sebuah perusahaan nasional yang baru pun harus dinaikkan karena rasanya 100 milyar sudah tidak cukup sekalian mau menciptakan entry barier hambatan masuk supaya yang masuk di industri asuransi ini tidak lagi perusahaan-perusahaan..... karena kalau kita ingin besarkan usia asuransi kita Pak memang modalnya mahal industri asuransi ini karena memang IT-nya mahal, pengembangan SDM- nya mahal, infrastruktur yang dibangun lain juga mahal. Apalagi kalau kita mau bersaing di dalam kawasan ASEAN ketika berlaku masyarakat ekonomi ASEAN agak sulit kalau ada lahir baru perusahaan-perusahaan asuransi yang modalnya .......tidak besar. Jadi hampir impossible Pak misalnya ada mutuall baru lahir ketika ada pemegang polis yang sepakat untuk kumpulkan uang kira-kira 100 milyar atau lebih untuk mendirikan perusahaan asuransi baru. Sebetulnya ada jalan keluar Pak. Seandainya ini memang tidak ada lagi mutual, mungkin kan dikatakan lah aturan transisinya peralihannya kan bisa dinyatakan bahwa mutuall yang ada tidak dianggap tetap diakui seperti undang-undang yang sekarang berlaku kan dinyatakan bahwa mutuall yang ada tetap dianggap telah memiliki izin dan dianggap sebagai badan hukum ya. Meskipun barangkali perlu dipikirkan saya tidak tahu nanti keputusan Mahkamah Konstitusi menyatakan 2,5 tahun harus dibikinkan undang-undang Mutuall. Memang begini Pak, ketika sebuah asuransi mutuall itu tidak sehat pilihannya tinggal 2, dia tidak bisa suntik modal karena memang perusahaan asuransi mutuall itu kan memang perusahaan yang kita bilang less equity jadi tidak ada ekuitasnya perusahaan asuransi. Kalau PT kan selalu ada Pak, ada aset kemudian ada kewajiban, ada ekuitas. Kalau perusahaan mutuall itu tidak ada ekuitas karena pemegang saham adalah meskipun perusahaan mutual-nya untung seperti negara Jepang mungkin saja ada tapi ekuitasnya dari laba 75 Pak, laba ditahan bukan dari modal. Ketika sebuah mutuall tidak sehat pilihannya ada 3 : apakah dia kalau disuntik sudah tidak bisa, apakah dia itu didapat mutualisasi, diubah badan hukumnya menjadi PT sehingga bisa mengundang pihak investor bisa masuk itu .....mutualisasi, atau kalau tidak dimutualisasi barangkali dia bisa di-merger dengan perusahaan mutuall lainnya sedangkan sekarang kita kan cuma satu-satunya Bumiputera atau dilakukan begini tinggal bilang, pemerintah tinggal bilang kepada pemegang polis yang merangkap juga sebagai pemegang saham karena perusahaan ini rugi, perusahaan ini bermasalah. - KETUA RAPAT : Di AJB itu berapa yang .....berapa sekarang Pak? - OJK (FIRDAUS) : 5 juta Pak. Jadi gini Pak ketika mutuall tidak sehat sebetulnya regulator bisa bilang begini kepada pemegang polis yang sekaligus artinya dia menjadi pemegang saham, dia bilang: “anda nambah artinya membayar premi tambahan untuk menutupi kerugiannya”. Ini kan kalau sebagai pemegang saham kan ada bagi keuntungan, ada bagi rugi kira-kira begitu Pak”. Nah, kalau dia untung dia dapat deviden sebagai pemegang saham. Nah, kalau dia rugi dia harus bagi rugi, bagi rugi kan bisa artinya dia harus nambah preminya untuk menutupi kerugian atau nilai tunai dari polis dia dikurangi, pilihannya itu. Nah, terhadap perusahaan mutuall yang ada tadi ini untuk di ruangan kita saja Pak, memang harus diakui sekarang penyakit yang lama sekali yang sulit sekali mutuall di kita ini kan strukturnya itu ada yang kalau sekarang di Bumipetera ini Pak, ini ada direksi, ada komisaris, ada BPA. BPA itu kan Badan Perwakilan Anggota, dia badan yang mewakili pemegang polis, dipilih itu berdasarkan regional jadi ada katakanlah regional Sumatera, regional Jawa, regional Kalimantan, dan Indonesia bagian timur gitu. Nah, dahulu memang ini tidak tersentuh oleh Pemerintah sehingga mekanisme atau tata kelola pemilihan BPA ini menurut kami ini tidak bagus sehingga siapa yang terpilih menjadi anggota kita itu yang kebanyakan mungkin hampir semuanya tidak ngerti asuransi meksipun dia mungkin barangkali pemegang polis. Siapa BPA itu sekarang? Gubernur, walikota, bupati, rektor, kayak-kayak gitu lah yang jadi Pak yang dianggap barangkali oleh direksi itu mewakili tokoh daerah yang diharapkan dapat menambah bisnis di daerah. Tapi dia sebagai pengambil kebijakan tertinggi karena sidang BPA itu sama dengan RUPS Pak. Semua keputusan-keputusan penting termasuk pertanggungjawaban itu, pergantian direksi dan komisaris itu diputus di Rapat BPA yang kalau di PT adalah RUPS. Nah, mekanisme ini sekarang kami sedang benahi Pak, kami ingin terhadap Bumiputera ini pemilihan BPA misalnya itu harus melalui tata kelola yang benar, yang independen, tidak hanya menunjuk orang yang hanya sekedar tokoh yang tidak mengerti padahal fungsinya sangat penting sebagai itu. Itu didalam struktur organisasi mutuall seperti itu. Nah, kedepan ini memang kami benahi termasuk kami sudah keluarkan aturan OJK ini bahwa BPA yang akan dipilih itu nanti harus lulus fit and proper oleh OJK sehingga kami bisa membantu menyeleksi Pak. __ 76 - KETUA RAPAT : POJK-nya sudah ada Pak? - OJK (FIRDAUS) : Sudah ada Pak POJK-nya sehingga pantas kah dia duduk sebagai BPA karena pengambil keputusan itu menjadi penting. Nah, jadi yang kami sekarang ini apa yang kami lakukan terhadap terus terang memang Bumiputera ini kurang sehat Pak tetapi kami OJK dari dulu dan Pemerintah bertekad tetap harus Bumiputera ini harus eksis karena pemegang polis jumlahnya 5 juta ini Pak karena kejatuhan ini bisa menjatuhkan industri asuransi kira-kira begitu Pak. Kita sering bercanda tetangga dekat kayak Bu, kalau herritage ini kayak Borobudur, dia harus kita pertahankan itu. Jadi ini menjadi sebuah sesuatu yang harus kita pertahankan kira-kira begitu. Tapi kan dia bukan hanya sekedar mempertahankan tapi bagaimana menyebabkan dia harus eksis, harus mampu berbisnis, mampu bersaing kedepan. Nah, kami memang ada rencana beberapa strategi Pak bagaimana menyelamatkan Bumiputera ini karena terus terang kalau kita melakukan the mutualisasi pada Bumiputera agak sulit karena kita belum memiliki Undang-Undang Mutuall. Biasanya proses atau program atau SOP the mutualisasi itu harus kita tempatkan di undang-undang Mutuall. Jadi kalau undang-undang Mutuall itu belum ada, agak sulit kita melakukan the mutualisasi. ...... lain, seperti negara-negara lain .......Pak, ini sekedar gambaran. Misalnya kita akan cari katakan investor strategis dalam negeri Pak, syukur-syukur ini bisa katakanlah misalnya coba cari investor strategisnya katakanlah perusahaan yang mungkin BUMN atau anak perusahaan BUMN. Jadi ini katakan lah BUMN atau anak perusahaan BUMN dia punya asuransi kemudian kita ingin memindahkan ini portofolio bisnis Bumiputera ini kepada anak ini. Ini kita tidak melakukan mutualisasi, ini kita biarkan tetap atau apa induk saja Pak tapi bisnisnya kita kosongkan, portofolionya kita pindahkan kesini sehingga kekurangannya ini kita carikan disini investor yang bisa masuk dana karena dia sudah pindahkan bisnisnya ke anak perusahaan, disini dikosongkan. Hanya dengan begitu Pak, baru kita bisa ini perusahaan asuransi yang dibentuk oleh dalam negeri ini bisa disuntik. Kalau dananya cukup besar barangkali berarti kita coba carikan investor lain bergabung disini entah dari lokal kalau misalnya ada perusahaan asuransi yang mau ikut disini tapi tidak mayority, kita kasih minoritas karena sekedar untuk menutupi lobang yang ada ini katakan lah ketidakseimbangan antara aset dengan liabililties. Nah, kondisinya seperti itu Pak. Tapi percaya lah bahwa kita saat ini sampai saat ini kita tidak ada niatan untuk menghabiskan atau menutup itu tapi justru kita ingin selamat. Tapi lagi dicari kan ini investor strategis yang mau nanti menutup lobang ini dengan cara itu karena kalau langsung masuk Bumiputera tidak bisa Pak, dia sebagai mutuall tidak bisa disuntik. Yang ideal yang sekarang ini lebih mudah kalau tidak dilakukan mutualisasi seperti yang saya ulangi lagi adalah mengalihkan ....... portofolio bisnisnya. OJK diberi wewenang Pak diundang, dia berwenang untuk katakanlah. Kan kita punya wewenang yang namanya bisa menempatkan pengelola statuter, mengganti manajemen. Kalau ada 77 sebuah lembaga keuangan yang sebetulnya masih punya prospek baik tapi kemudian pengelolanya tidak bagus kita minta diganti pemegang sahamnya ga mau ganti karena mungkin ribut bisa saja ini terjadi Pak karena terjadi di sebuah... itu maka OJK seperti yang dikasih wewenang di undang-undang itu bisa mengganti manajemen dengan pengelolaan statuter. OJK juga diberi wewenang seperti yang Bapak-bapak berikan kepada OJK memberikan perintah tertulis, perintah tertulis untuk apa? Memerintahkan perusahaan untuk merger, memaksa perusahaan untuk merger, meminta perusahaan untuk katakanlah kita minta memindahkan portofolio bisnisnya ke perusahaan asuransi sejenis. Kalau bank mungkin ke bank sejenis, dalam upaya apa? Ini semata-mata untuk menyelamatkan pemegang polis. Kalau di bank barangkali untuk menyelamatkan deposan, kita bisa pindahkan portofolio bisnisnya ke lembaga sejenis, jadi itu Pak. Kalau misalnya sekarang ini ada suara-suara misalnya apakah itu kita tetap mengasih izin di undang-undang baru ini PT, kemudian tetap ada koperasi, tetap ada mungkin semangat ’45 nya kemudian ada mutuall katakan seperti yang sekarang ada. Sebetulnya kalau kita bicara realita Pak kedepan pun saya yakin yang akan lahir walaupun ada baru itu hanya PT tapi kalau hanya sekedar menempatkan ya ga ganggu juga bagi kami OJK, toh tidak akan perkirakan kami tidak akan lahir lagi karena yang bentuknya koperasi maupun PT. Sebagai gambaran Pak, kami atau .... mutuall. Kami didatangi oleh katakanlah beberapa koperasi besar. Dia bilang, kami akan bikin asuransi. Saya bilang bentuk hukumnya apa? Malah dia bilang kami akan bentuknya PT Pak anak perusahaan koperasi izinnya karena dia tidak mau bikin perusahaan asuransi bentuknya koperasi, dia bilang nantinya sulit Pak ketika harus nambah modal meminta lagi kepada anggota sulit. Jadi kami akan bikin tapi bentuknya PT sebagai anak perusahaan koperasi, itu sebagai gambaran. Kira-kira begitu Pak kondisinya apa yang sedang kami kerjakan tentang Bumiputera ini. Terus terang kami sekarang melakukan pendekatan kepada investor strategis untuk bisa nantinya menyuntik dalam arti ketika kita gunakan misalnya mekanisme mau memindahkan portofolio bisnis ini ke sebuah perusahaan asuransi yang sudah ada kemudian bisa menyuntik. Yang penting kemudian adalah bagaimana 5 juta pemegang polis Bumiputera ini bisa terselamatkan. Terima Kasih. - KETUA RAPAT : Bapak-bapak sekalian, Tadi sudah ada penjelasan ya dari Pak Firdaus tentang situasi yang dihadapi oleh satu-satunya industri asuransi yang berbadan hukum mutuall fund di Republik ini. Dan berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi ya Pak ya kalau tidak salah juga saya selalu dikasih oleh Pak Isa ini sudah ada keputusan Mahkamah Konstitusi-nya Pak karena kalau saya tadi kan semangatnya PT saja sesuai dengan RUU tapi Pak Isa selalu bilang ada keputusan Mahkamah Konstitusi. Jadi itu memang organ-organ ini tidak bertentangan juga dengan undang-undang gitu. Malah oleh Mahkamah Konstitusi diminta kita untuk mengatur yang namanya mutuall fund ini, kan begitu Pak ya. 78 Nah, sekarang Bapak-bapak sekalian kebetulan asuransi namanya mutuall fund ini namanya Bumiputera. Mungkin Pak Firdaus karena takut dilaporkan buka rahasia, tidak sampaikan kepada kita terus menerus apa yang terjadi didalam Bumiputera ini tetapi kita sama-sama paham lah, tidak perlu disampaikan dalam forum ini bahwa memang ada problem serius di insurance ini sebabnya malam ini kita undang beliau secara khusus disini supaya waktu kita ambil keputusan Pak karena ini terekam semuanya karena sudah mendengarkan apa yang disampaikan. Jadi kalau resiko-resiko berikutnya didalam itu tentu akan dipertanggungjawabkan sesuai dengan aturan undang-undang lah, saya kira begitu ya. Begitu Pak Basuki ya. Bapak -bapak sekalian yang saya hormati, Ini saya mau bertanya kepada Bapak-bapak sekalian, apakah kita akan segera mengambil keputusan atau mendiskusikan materi ini atau kita akan simpan sampai mata kita lebih terang besok pagi? Saya lihat Pak, ini Bapak Edwin saja kondisi kesehatannya masih bagus-bagusnya, ini mengatakan kita ambil keputusan saja. Bagaimana Pak? Memang itu kan yang diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi itu usaha bersama tapi tafsir yang diapakan di Undang-Undang Dasar secara bersama juga koperasi. Jadi kalau kita tutup itu, kalau di perbankan kita tidak tutup memang artinya tidak boleh ada lagi usaha perbankan, koperasi, dan usaha bersama. Itu artinya kita mematikan Undang-Undang Dasar. Bahwa realitasnya yang tadi disampaikan Pak Firdaus itu tidak jadi masalah, kita yang penting memang tidak melawan Undang-Undang Dasar. __ Jadi saya kira semangat Undang-Undang Dasar itu tidak boleh kita matikan di, kebetulan ini asuransi dibandingkan perbankan memang relatif agak kecil. Siapa tahu nanti muncul tokoh-tokoh mudah yang punya rasa kekeluargaan lebih bagus dari kita sekarang ini. Jadi jangan dimatikan itu yang anunya tetap saja kita apakan, apakah kita nanti diatur oleh undang- undang tersendiri atau apa kita berikan kewenangan kembali kepada OJK untuk mengaturnya seperti didalam Undang-Undang OJK. Kalau usaha bersama itu kan sudah jelas perintah Mahkamah Konstitusi tapi kalau koperasi itu tidak ada perintah atau apa, apakah kita memasukkan dia menjadi menu saja sepanjang Undang-Undang Dasar kita tidak berubah menurut saya menu ini tidak boleh kita matikan. Jadi artinya kalau kita matikan berarti mungkin barangkali 50 tahun yang akan datang kita ubah Undang-Undang Dasar itu kalau seluruh perundang-undanganya kemudian tidak boleh koperasi, tidak boleh mutuall fund. Jadi terjemahan Undang-Undang Dasar menjadi mati didalam undang-undang. - KETUA RAPAT : Ya, pak biasanya Pasal 1 sampai Pasal 4 itu Pak seingat saya. Bapak- bapak sekalian, Ini clear Pak ya. Jadi kita ambil berdasarkan urutan saja Pak. Saya kira bisa kita ambil keputusan ini ya. Bisa ya pak ya? Pemerintah? Oke, silakan kalau mau ada yang ditanggapi. 79 - STAF AHLI KEMENTERIAN KEUANGAN (ISA RAHMATAWARTA) : Terima kasih. Bapak Pimpinan, Bapak-bapak Anggota yang kami hormati, Sedikit saja mengklarifikasi karena memang pasal ini, DIM ini, ini langsung kita masukkan ke buku III Pak pada waktu itu. Jadi kami belum memberikan gambaran mengenai itu tapi dengan penjelasan dari Pak Firdaus tadi tentu kami akan tentu akan ringkaskan penjelasan. __ Pada saat kami menyusun rancangan undang-undang ini, kami memperhitungkan seperti yang tadi disampaikan oleh Pak Firdaus bahwa didalam praktek nanti tidak mudah bagi koperasi dan usaha bersama atau mutuall ini untuk bisa mendapatkan modal yang cukup untuk berusaha di bidang asuransi. Apalagi kalau kemudian dia menghadapi masalah kekurangan modal dan sebagainya yang tidak mempunyai mekanisme untuk menambah modal dia. Kemudian didalam perkembangannya, kami terus terang memang tergoda untuk melihat cara pandang yang lain dengan Undang-Undang Koperasi yang baru yang pada akhirnya dicabut secara keseluruhan oleh Mahkamah Konstitusi. Pada saat Undang- Undang Koperasi yang baru itu ada, ada mekanisme-mekanisme dimana koperasi dimungkinkan untuk menambah modal dengan menerbitkan sertifikat modal koperasi atau apa namanya begitu. Jadi memang cenderung menyerupai mekanisme-mekanisme yang bisa diterapkan di koperasi cenderung menyerupai PT pada saat Undang-Undang Koperasi yang terbaru waktu itu masih ada. Karena itu kami waktu itu membuka kembali diskusi dan pada saat itu kami pun mempertimbangkan untuk menyetujui usulan dari beberapa fraksi didalam DIM yang menginginkan koperasi tetap ada disitu. Tentu kami pemikiran ini menjadi sulit bagi kami setelah Undang-Undang Koperasi ini yang terbaru itu dibatalkan secara keseluruhan dan kita kembali kepada Undang-Undang Koperasi yang lama yang tahun ’92. Mengenai mutuall, kami mempunyai pemikiran pada waktu itu ada 2 yang terpenting : pertama, tidak ada undang-undang yang memberikan landasan hukum yang baik untuk badan hukum mutuall di Indonesia karena itu lah pada waktu itu memang ada perintah untuk dibuatkan undang-undang tersendiri mengenai hal tersebut. Tapi nyatanya pada saat kami menyelesaikan rancangan undang-undang ini, undang-undang itu tidak pernah ada dan artinya badan mutuall ini, badan usaha bersama ini tidak memiliki landasan hukum mengenai keberadaan, eksistensinya apalagi mengatur tata kelola. Jadi kalau tadi yang disampaikan oleh Pak Firdaus bahwa tidak ada, sulit untuk mengatur menata tata kelola mereka pada walaupun sekarang OJK sudah berusaha untuk melakukan hal tersebut. Pada saat ini tidak ada landasan hukum untuk melakukan bagaimana mutuall atau usaha bersama ini menyelenggarakan kegiatan hukumnya sebagai suatu entitas hukum. Kemudian yang kedua yang kami pertimbangkan pada waktu itu sebagaimana sudah dikemukakan oleh Pak Firdaus, perusahaan yang ada saat ini satu-satunya yang ada memang memiliki masalah. Dan kami pada waktu itu dengan tulus, dengan sejujurnya kami sampaikan sebetulnya keinginan kami untuk mengatakan semuanya PT adalah memberikan 80 mekanisme elegan dimana disepakati di DPR ini untuk menyelamatkan perusahaan ini dengan mengubahnya menjadi PT sebagai suatu upaya penyelamatan sebetulnya tapi melalui kewajiban di undang-undang. Nah, demikian mungkin saya ingin tadi itu adalah gambaran mengapa Pemerintah mengusulkan didalam rancangan undang-undang akhirnya hany PT. Perkembangannya tadi Undang-Undang Koperasi yang baru dibatalkan secara keseluruhan. Kemudian ada Mahkamah Konstitusi yang mengatakan tidak boleh ditutup ruang untuk upaya usaha bersama ini untuk tetap hidup di Indonesia karena itu juga sesuai dengan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Kami dari Pemerintah ingin dan sangat menghormati keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut karena itu, kami sekarang berada pada posisi dan kami ingin tetap menghormati keputusan itu artinya memang kita perlu atur bagaimana usaha bersama ini. Kemudian saya sependapat dengan Pak Harry Azhar kalau usaha bersama yang saat ini landasan hukumnya saja minimun, bisa dibilang tidak ada diakomodasi, kita tentu juga harus fair kepada koperasi jadinya. Itu pikiran logis saja, cara berpikir logisnya. Karena itu, Pemerintah sendiri saat ini secara umum melihat oke kami akan bisa menerima kalau koperasi ditambahkan disitu kembali. Tetapi kalau yang usaha bersama kami ingin mengusulkan kita tidak memperluas pada kemungkinan usaha-usaha bersama yang baru. Kami ingin usulkan oke usaha bersama yang ada kita akui bahkan kami bisa berikan misalnya oke kita berdasarkan undang-undang ini kita berikan status badan hukum khusus kepada yang ada sekarang ini. Tapi selain itu kami ingin menambahkan didalam undang-undang ini sebagai konsekuensinya adalah aturan-aturan lain, aturan-aturan prudensial yang akan bisa membantu OJK nanti yang betul-betul ya tidak mungkin ada koperasi baru yang menjalankan kegiatan usaha asuransi, kalau usaha bersama tadi kami usulnya betul-betul kita batasi Pak berdasarkan undang-undang ini hanya itu saja yang kita ini. Kita tidak membuka ruang usaha bersama yang baru. Kalau ada yang mirip-mirip seperti itu jadi koperasi saja karena koperasi sudah kita sudah punya landasan hukum undang-undang yang jelas mengenai hal itu. Untuk yang ada oke, kita akui bahkan kita usulkan, kita berikan status badan hukumnya tapi untuk koperasi maupun usaha bersama khusus yang eksisting ini seandainya tetap kita sepakati untuk kita pertahankan, kami mohon untuk dapat ditambahkan aturanaturan baru, misalnya yang kami mungkin bisa sampaikan pertama koperasi dan usaha bersama tidak boleh menjual polis asuransi kepada non anggota, dia hanya boleh menjual kepada anggotanya. Mungkin akan ada pertanyaan kalau gitu tidak bisa berkembang. Tentu bisa, kalau dia bisa menarik orang terlebih dahulu menjadi anggotanya baru kemudian menjual polis kepada yang bersangkutan. Yang kedua , yang kami mungkin ingin usulkan adalah, saya menggunakan kata mungkin nanti karena didalam diskusi mungkin berkembang yang lain. Yang kedua, bahwa untuk menjadi anggota ini seseorang ini harus membayar iuran pokok atau iuran wajib apapun namanya yang akan kita sebut. Jadi dengan demikian, setiap 81 perkembangan bisnis dengan bertambahnya anggota ini koperasi atau pun usaha bersama ini sudah terlebih dahulu di back up dengan tambahan modal dari calon pemegang polis tersebut. Kemudian yang ketiga , yang ingin kami usulkan adalah ada ketentuan yang secara tegas disini disampaikan bahwa keuntungan itu dinikmati bersama tentunya secara proporsional, kerugian juga harus ditanggung bersama oleh para anggota. Mengenai aturan pembagiannya pengenaan, pembebanannya dan sebagainya kita bisa serahkan kepada OJK mengenai hal tersebut. Nah, dengan adanya usulan yang ketiga ini apabila dapat diterima ini juga sekaligus mendorong, mendesak pada asuransi usaha bersama pada saat ini itu juga men-declear keuntungannya berapa dan kerugiannya berapa akumulasinya saat ini. Dan kemudian mendorong mereka untuk mengemukakan kepada anggota ini loh akumulasi keuntungan yang bisa dibagi atau ini akumulasi kerugian yang harus ditanggung bersama sehingga dengan demikian OJK juga akan mempunyai kekuasaan atau kewenangan untuk melakukan kekuasaan atau kewenangan untuk melakukan diskresi nah ternyata seperti ini situasinya, pilihan ada. ini juga akan meng-involve.....(mic bermasalah) pengawasan dan koreksi terhadap perusahaan asuransi ....usaha bersama...... Apa yang di 3 tadi, Pak Isa coba diulangi? - STAF AHLI KEMENTERIAN KEUANGAN (ISA RAHMATAWARTA) : Pertama Pak, kami usulkan pertama dia tidak boleh menjual polis kepada non anggota. Kedua, untuk menjadi anggota orang harus melihat......, yang ketiga ...... akumulasi keuntungan atau akumulasi kerugian .... ( suara tidak terdengar ) - KETUA RAPAT: Bapak-bapak sekalian, Sudah nyala belum Pak? - F-PG (DR. H. HARRY AZHAR AZIS, M.A.): Kalau perlu kita berikan kewenangan kepada OJK untuk penjelasan atau ketentuan lebih lanjut kita berikan kewenangan kepada OJK untuk membuat dalam bentuk POJK itu. Saya kira dengan demikian tapi bentuknya dia sebagai menu tetap hidup tapi OJK jangan kecendrungannya untuk mematikan. Jadi justru dalam peraturan OJK itu bagaimana merangsang artinya ada insentif-insentif orang lebih tertarik menjadi anggota usaha bersama atau anggota koperasi. Itu yang harus diapakan. Bahwa dia tidak hidup ya itu realitas yang ada memang tapi jangan kita berikan kewenangan nanti kecendrungan OJK justru mematikan gitu atau meniadakan. Itu yang harus kita kasih pesan yang kuat gitu. Jadi apakah nanti insentif-insentif itu nanti akan apa itu silakan OJK memikirkannya, jangan kita lah yang memikirkannya. - STAF AHLI KEMENTERIAN KEUANGAN (ISA RAHMATAWARTA) : Terima kasih Pak. 82 Kami memang sependapat kalau memang dibuka menunya tentu tidak boleh kemudian secara diskriminatif atau pun secara tendesius gitu kemudian tetap dimatikan tentu kita harus fair gitu. Tapi juga kami nanti tentu mengharapkan OJK juga tidak membuatnya menjadi begitu mudah sehingga malah mengganggu kesehatan perusahaan itu sendiri jadi tetap harus seimbang antara kemudahan dan juga kemampuan perusahaan itu nantinya untuk menjaga kesehatan untuk menjaga keseimbangan antara kewajiban dan sebagainya didalam pelaksanaannya. Kalau begitu kita masukkan juga. Jadi ada semacam konversi pengertian kesehatan di PT itu konversinya di kesehatan koperasi, konversinya di kesehatan di usaha bersama itu kita minta OJK merumuskannya. Konversi mengenai good governance tadi misalnya pernyataan Pak Firdaus, BPA itu menjadi RUPS, nah itu bagaimana konversinya. Itu harus dibuat menjadi governance betul. Nah, kalau di perbankan itu ada satu tambahan yaitu kontribusinya bagi perekonomian nasional mana yang lebih besar. Nah, itu yang nanti orang pada akhirnya itu berebut dan itu kan tujuan dari Undang-Undang Dasar kita dulu yang seperti itu yang sampai sekarang masih hidup jiwanya, tubuhnya saja tidak ada, jiwanya masih ada. Jadi kalau kita sepakat saya kira tinggal dirumuskan bagaimana, nanti baru dalam tim perumus kita apakan. STAF AHLI KEMENTERIAN KEUANGAN (ISA RAHMATAWARTA) : Bapak Pimpinan yang kami hormati, Bapak-bapak Anggota Panja, Ada satu sedikit hal lagi. Ini yang mungkin satu hal lagi yang kami mohon pertimbangan juga yaitu segala hal yang terkait dengan ini masih terbuka untuk diskusi, segala hal yang terkait dengan prudensial dari perusahaan asuransi yang berbentuk koperasi atau usaha bersama ini sudah jelas itu adalah wilayah OJK. Jadi mengenai ketentuan kesehatannya, mengenai berapa kira-kira iuran pokok atau iuran wajib yang harus dibayarkan sebelum menjadi anggota dan sebagainya karena itu terkait dengan kekuatan perusahaan, kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban dan sebagainya. __ Hal yang spesifik yang ingin kami sampaikan adalah terkait dengan status badn hukumnya dan juga mengenai hal-hal isu yang meyangkut tata kelolanya. Dalam pandangan sementara kami, melihat kesetaraan- kesetaraan juga bagaimana PT, koperasi, itu mengenai ke- badanhukuman-nya itu adalah tetap itu tetap adalah Pemerintah yang memberikan status dan sebagainya itu. Tapi bahwa izin usaha dan sebagainya ada di otoritas. Jadi kami ingin mengusulkan bahwa aspek badan hukum dan tata kelola ini tetap ada pada Pemerintah ya, tetap pada Pemerintah dalam hal ini nanti lebih spesifik sebetulnya nanti adalah Kementerian Hukum dan HAM yang mengenai hal ini. Tapi hal-hal lain yang menyangkut isu kesehatan keuangan kemudian persyaratan untuk menjadi anggota yang sebetulnya yang tentunya berpengaruh kepada kesehatan perusahaan tentu adalah wilayah OJK untuk mengaturnya lebih lanjut. __ Demikian mungkin sedikit tambahan usulan mengenai hal tersebut Pak. 83 - KETUA RAPAT : Bapak-bapak sekalian, Saya kira hal ini sudah padat sekali penjelasannya Pak ya. Sampai- sampai saya ini sudah penjelasan tambahan kayaknya sudah lewat saja, sudah tidak nampung lagi kepala saya, sudah terlalu banyak betul penjelasannya. Jadi sudah tidak muat kepala ini. __ Bapak-bapak sekalian, Mungkin kita bisa ambil keputusan Pak kelihatannya ini. Jadi kita masuk ke bentuk badan hukum ya, bentuk badan hukum itu yang pertama Perseroan Terbatas ya Pak ya, penguasa gimana Pak? penguasa sendiri tidak, penguasan itu sendiri, bagaimana penguasa setuju? Setuju Pak ya? __ (RAPAT : SETUJU) Penguasa sendiri saja duduk, belum mau bagi-bagi sama kita kekuasaan ya. Yang kedua, usaha koperasi, setuju Pak ya? Nah, ini lain ini ada pendapat? Silakan Pak. __ Terima kasih. Didalam Undang-Undang Dasar memang dimungkinkan adanya usaha bersama tapi apakah artinya luas, artinya semua kegiatan usaha memberikan peluang terbukanya usaha bersama atau kah kita bisa batasi bahwa tidak semua jenis usaha harus dilakukan secara bersama kan tidak berarti semua harus dibuka seluas-luasnya untuk bersama kan? Bia tidak diartikan demikian? kalau bisa diartikan demikian maka apakah asuransi merupakan salah satu jenis usaha yang tidak dilakukan bersama? Ini hanya sebagai .....saja. - KETUA RAPAT : Pak, saya perlu ini barangkali ini ada buku menarik ini. Doktor Muhammad Hatta, penjabaran Pasal 33 Undang-Undang Dasar ’45, ini buku sudah tua sekali Pak sampai warnanya saja sudah berubah, tadi saya dikasih dari belakang. Saya kira perlu ini Pak, kuliah ekonomi juga mestinya kasih buku begini kalau.....konstitusi ini. Saya ......oleh Doktor pendiri negara kita ini, Pasal 33 Undang-Undang Dasar kita tidak bersumber kepada falsafat pragmatisme demikian itu melainkan bersumber kepada falsafat negara Pancasila kita. Dengan jelas ayat (1) dimulai dengan ketegasan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Ada 2 keywords, ada 2 kata kunci disini yaitu kata usaha bersama dan kata asas kekeluargaan dirangkaikan menjadi satu kalimat maka kata kunci itu tidak mungkin memberikan tafsiran lain daripada bahwa yang dimaksud dalam ayat itu adalah usaha dan aktivitas koperasi. Jelas ini Muhammad Hatta yang tulis tapi bukan Hatta kita ini kalau Hatta kita ini belum nulis buku dia, sebab kedua istilah itu berasal dari dunia pergerakan koperasi baik didalam maupun didalam negeri. Jadi menarik buku ini, saya sudah copy buku ini nanti dibagi-bagi semua ini termasuk Pak Firdaus, jangan terlalu liberal Pak Firdaus. Kalau Pak Isa ini sudah jelas alirannya agak sosialis Pak Isa. ini. Ya, oke itu Pak ya kalau begitu Pak ya koperasi, setuju Pak? 84 (RAPAT : SETUJU) Yang ketiga adalah usaha bersama, bahasanya ini jadi mutuall Pak. Bagaimana Pak? - STAF AHLI KEMENTERIAN KEUANGAN (ISA RAHMATAWARTA) : Usaha bersama ini kami sekali ingin mengusul hanya usaha bersama yang ada saat ini tidak untuk dikembangkan lagi. - KETUA RAPAT : Jadi usaha bersama yang ada sekarang ini, begitu Pak ya. Yang eksisting ini saja ya AJB nanti dimasukkan dalam penjelasannya ya Pak usaha bersama yang dimaksud. Dengan catatan kalau muncul lagi itu diarahkan ke bentuk usaha koperasi. Nah, itu tadi pengertiannya Pak Edwin itu tadi. Jadi kita batasi didalam undang-undang ini tapi yang sudah ada kita tidak matikan ya. - KETUA RAPAT : Begitu Pak ya? oke. __ (RAPAT : SETUJU) Jadi usaha bersama dengan catatan penjelasan bahwa yang dimaksudkan itu dengan eksiting sekarang ini dan mendorong agar supaya di masa mendatang kalau ada yang menghendaki jenis usaha yang sama agar mengambil badan hukum yang berbentuk koperasi. Kira-kira begitu lah Pak ya, nanti kita formulasikan bahasanya. - KETUA RAPAT : Bapak-bapak sekalian, Ini ada saya mau urutannya ini keputusannya terurut ya Pak ya. Jadi kembali kepada tadi perseroan terbatas, koperasi, dan usaha bersama Pak ya yang ada saat ini, begitu ya keputusannya ya. __ (RAPAT : SETUJU) Dan kemudian ada beberapa keputusan tambahan karena itu berkaitan dengan materinya Pak ya, materi yang pertama berkaitan dengan pengaturan tambahan mengenai koperasi usaha bersama. Ini akan kita diskusikan besok pagi Pak ya karena kalau didiskusikan ini malam, ini juga sudah tidak jelas kemana ini. Setuju Pak Isa ya? Jadi peraturan lebih lanjut mengenai koperasi usaha bersama ini akan kita diskusikan besok. Saya harap teman-teman OJK ini, Bapak-bapak OJK ini bisa masih hadir besok tapi Pak Firdaus ini rupanya besok wisuda, anak apa cucu Pak? oh anak makanya saya kaget juga ini, ini jangan salah pilih kita ini, kakek- kakek kita pilih ya tidak Pak ya? selamat Pak wisuda anaknya, selamat, besok ada wisuda. Saya kira Pak Dumoli sama Pak Alim harus tetap bertahan disini. Gitu Pak ya? jadi peraturan lebih lanjutnya lagi akan kita lanjutkan. Mengenai PP Pak ini tambahan saja Pak sekedar pertimbangan 85 juga sebelum besok kita masuk, saya dibisiki dari staf ahli saya juga mungkin dari MenkumHAM juga bisa kasih pertimbangan. Perintah petita- nya Mahkamah Konstitusi itu mengatakan membentuk Undang-Undang tentang Usaha Bersama Pak kalau tidak salah. Jadi kalau saya dikasih masukan, apakah tidak mendegradasi keputusan kalau kita bikinnya itu memerintahkan lagi kepada PP gitu jadi harus dicari celahnya menurut saya gitu ya yang mungkin kita atur ini adalah celahnya gitu tentang usaha bersama ini. Tapi tentu yang kita bicarakan disini usaha bersama dibidang asuransi ya kan, asuransi usaha bersama di bidang non asuransi ada ga Pak? ga ada. Mutuall fund sebenarnya dikenal dalam bidang keuangan tetapi bukan asuransi Pak, itu pengumpulan dana apa yang disebut dengan mutuall fund itu di Amerika itu banyak juga perusahaannya tapi bukan asuransi. Kalau tidak salah saya di Amerika itu bentuknya bukan asuransi istilahnya disebut sebagai mutuall fund, mutuall fund juga ya untuk investasi, fund saja gitu loh. Jadi gitu ya dipertimbangkan saja. - STAF AHLI KEMENTERIAN KEUANGAN (ISA RAHMATAWARTA): Terima kasih Pimpinan. Saya sekedar ini saja untuk kita diskusikan besok mengenai hal tersebut. Keputusan Mahkamah Konstitusi itu menambahkan saja frasa setelah kalimat yang ada di UndangUndang Nomor 2 tahun ’92. Saat ini undang- undang ini tanpa tambahan dari Mahkamah Konstitusi bunyinya : ”ketentuan tentang usaha perasuransian yang berbentuk usaha bersama diatur lebih lanjut dengan undang-undang”. Jadi yang diperintahkan diatur dengan undang-undang ini adalah ketentuan mengenai usaha perasuransian oleh usaha bersama bukan mengenai usaha bersamanya sendiri. Itu satu. Kemudian Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Konstitusi menambahkan anak kalimat setelah itu paling lama 2 tahun 6 bulan sejak putusan Mahkamah Konstitusi, kira-kira 3 bulan yang lalu Pak. Jadi kalau kita membaca ini secara lengkap, ketentuan tentang usaha perasuransian yang berbentuk usaha bersama diatur lebih lanjut dengan undang-undang paling lama 2 tahun bulan setelah atau sejak, nanti kita cek, putusan Mahkamah Konstitusi dibacakan atau diucapkan. Dengan demikian kami sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011, kami melihat ada peluang kita menjalankan keputusan Mahkamah Konstitusi itu dengan mengatur mengenai usaha perasuransian yang dilakukan oleh usaha bersama dengan undang-undang yang akan kita buat ini. Tapi boleh besok pagi kita eksplor lebih lanjut pandangan hukumnya. Itu pandangan kami, kajian-kajian yang kami lakukan secara internal di Kementerian Keuangan. __ Adapun mengenai bentuk hukum dari usaha bersama sendiri, ini bukan secara spesifik menjadi aspek yang diatur diperintahkan oleh Pasal 7 ayat (3) undang-undang yang ada sekarang. Jadi seandainya toh kita atur mengenai usaha perasuransian berbentuk usaha bersama didalam undang-undang yang akan kita buat ini, menurut hemat kami itu dapat kita lakukan. Jadi sekaligus kita penuhi juga keputusan Mahkamah Konstitusi. Kemudian khusus mengenai aspek ke-badanhukuman-nya ya undang- undang ini bisa mendelegasikan kepada siapa saja dan hal ini usulan kami 86 adalah kepada Peraturan Pemerintah. Tapi kami tetap terbuka kalau besok ada diskusi-diskusi lebih lanjut dari aspek legal mengenai hal ini. Terima kasih Pak Pimpinan. __ - KETUA RAPAT : Bapak-bapak sekalian, Saya kita itu sekedar tambahan saja. Kita sudah ada keputusan, badan hukumnya ada 3 : perseroan terbatas, koperasi, usaha bersama ....catatannya tadi itu ada diatas Pak. Selanjutnya besok kita akan membicarakan lebih detail lagi mengenai aspek-aspek tambahan dalam Undang-Undang Koperasi itu Pak ya materinya. __ Saya kira kita skors rapat kita ini sampai besok pagi jam 09.00 ya, betul Pak? ya, 09.35 lah kira-kira begitu ya. Jadi kita skors sampai jam 09.30 besok pagi. • Terkait dengan Pasal 6 ayat (3) sepanjang frasa “Badan Hukum Usaha Bersama” UU PERASURANSIAN dalam Masa Persidangan IV Rapat Panja dengan Tim Kementerian Keuangan (Kepala BKF), OJK, Sabtu, 30 Agustus 2014. Dalam Rapat Panja RUU tentang Usaha Perasuransian: - KETUA RAPAT: Bapak-bapak sekalian yang saya hormati, Kita dapat tugas tadi malam untuk melanjutkan materi yang berkaitan dengan usaha bersama ini. Jadi ini masih ada ......soal usaha bersama ini, interpretasinya ini soal undang-undang atau apakah kita undang- undangkan atau cukup Peraturan Pemerintah. Saya kira silakan Pemerintah. - STAF AHLI KEMENTERIAN KEUANGAN (ISA RAHMATAWARTA): Bapak Pimpinan, Bapak-bapak yang saya hormati, __ Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Berkenaan dengan pandangan mengenai peraturan lebih detail mengenai bentuk badan hukum atau mengenai badan hukum....... kami sebagaimana kami kemukakan tadi malam juga berpandangan bahwa pertama keputusan Mahkamah Konstitusi sebetulnya adalah tidak mengubah secara signifikan dari ketentuan Pasal 7 ayat (3) tahun.........kecuali menambahkan jangka waktu atau harus diselesaikannya undang-undang yang mengatur mengenai usaha perasuransian berbentuk usaha bersama. Jadi sekali lagi kami sampaikan bahwa kalau kemudian kita membaca Pasal 7 ayat (3) yang sudah dilengkapi dengan hasil keputusan Mahkamah Konstitusi maka kita akan mendapatkan kalimat ketentuan tentang usaha perasuransian yang berbentuk usaha bersama. Jadi yang perlu diatur adalah usaha perasuransian oleh badan usaha yang berbentuk usaha bersama diatur lebih lanjut dengan undang-undang, paling lama 2 tahun 6 bulan setelah atau sejak dibacakannya putusan Mahkamah Konstitusi. Dari kalimat tersebut, pemahaman kami adalah yang perlu diatur dengan undang-undang itu adalah ketentuan mengenai usaha perasuransian oleh usaha bersama, tidak secara spesifik mengenai badan hukum usaha bersamanya itu sendiri tapi mengenai usaha perasuransian oleh badan 87 hukum yang berbentuk usaha bersama karena itu sepanjang kita sudah memuat beberapa aturan pokok mengenai kegiatan usaha perasuransian yang dilakukan oleh usaha bersama maka undang-undang ini juga bisa dipakai sebagai bukti bahwa DPR dan Pemerintah sudah memenuhi keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut karena disini juga digunakan, diatur dengan undang-undang. Artinya tidak harus spesifik undang-undang khusus mengenai hal tersebut, bisa dilakukan di undang-undang mana pun. Ada pun yang kami pandang sebagai aturan mengenai usaha perasuransian oleh usaha bersama itu bisa aturannya spesifik, bisa juga aturan yang diberlakukan sama untuk usaha bersama maupun untuk badan-badan usaha lain PT, koperasi dan sebagainya. Dengan kata lain, didalam undang-undang ini bisa jadi ada peraturan-peraturan yang spesifik mengenai pengaturan usaha perasuransian oleh usaha bersama, kami kemarin juga sudah sampaikan beberapa pemikiran yang mungkin bisa ditambahkan disitu yang merupakan kekhasan dari usaha perasuransian oleh usaha bersamam dan koperasi. Semalam kami usulkan ada 3 hal yaitu bahwa dia tidak boleh menjual polis kepada non anggota, kemudian untuk menjadi anggota orang diminta untuk membayar iuran pokok atau iuran apa pun nanti namanya, kemudian yang ketiga akumulasi keuntungan, akumulasi kerugian itu pada dasarnya harus didistribusikan secara merata kepada seluruh anggota. Itu adalah aturan-aturan mengenai usaha perasuransian yang sifatnya khas, yang sifatnya spesifik bagi usaha bersama. Yang kebetulan nanti kita terapkan untuk koperasi. Sementara aturan yang lain mengenai tingkat solvabilitas, mengenai kewajiban untuk mendapatkan izin usaha, kewajiban untuk memiliki tata kelola membuat aturan tertentu yang ditetapkan oleh OJK. Seluruhnya mungkin kita bisa persamakan antara PT dan koperasi dan usaha bersama atau ya nanti tergantung kita serahkan diskresi kepada OJK didalam peraturan-peraturan pelaksanaannya, peraturan OJKnya apakah memang perlu dibedakan antara PT, usaha bersama dan koperasi. Oleh karena itu, Bapak Pimpinan, Bapak-bapak Anggota Panja yang kami hormati, dalam pandangan kami kalau kita sudah membuat pengaturan pertama menyatakan bahwa badan usaha bersama ini adalah badan hukum dan dapat tetap melanjutkan kegiatan usaha perasuransiannya. Kemudian kita menambahkan 3 atau mungkin beberapa yang nanti spesifik mengenai usaha perasuransian. Kemudian kita mendelegasikan pengaturan lebih lanjut mengenai tata kelola, mengenai tata cara perubahan bentuk badan hukum dan sebagainya kepada PP dan mengenai aturan-aturan prudensial lain kepada POJK. Menurut kami itu sudah menunjukkan DPR dan Pemerintah sudah membuat undang- undang, ketentuan didalam undang-undang yang mengatur mengenai usaha perasuransian oleh badan hukum berbentuk usaha bersama. Demikian mungkin pandangan-pandangan dan argumen yang kami sampaikan sehingga dalam pandangan kami oh ada satu lagi Bapak Pimpinan, Bapak-bapak yang kami hormati. Kalau untuk misalnya saya sangat mengerti argumen kita harus membuat sebetulnya ketentuan mengenai satu badan hukum, paling tepat idealnya adalah undang- undang. Saya bisa memahami logika itu. Tapi karena kita juga semalam sudah bersepakat, kita tidak membuka usaha bersama yang lain hanya 88 yang eksisting ini dan di kemudian hari kalau ada yang ingin menerapkan pola yang serupa kita dorong untuk menggunakan koperasi. Akan terlalu mahal kita Pak untuk kita mengupayakan undang-undang yang hanya mengatur satu badan hukum private di Indonesia ini. Itu argumen lain yang ingin kami sampaikan sehingga kami melihat bahwa ini bisa kita akomodasi di undang-undang ini, pernyataan badan hukumnya ada di undang-undang yaitu undang-undang ini memang ini satu kekhususan. Kemudian pengaturan-pengaturan lain kita serahkan kepada Peraturan Pemerintah menyangkut tata kelola dan POJK untuk yang menyangkut prudensial di bidang usaha perasuransian. Demikian Pak. Terima Kasih. - KETUA RAPAT : Bapak-bapak sekalian, Intinya kita sudah mengadopsi keberadaan usaha bersama ini. Soal undang-undangnya nanti juga saya perhatikan perseroan terbatas kan sudah ada undang-undang, koperasi juga sudah ada undang-undang. Nah, usaha bersama ini belum ada, akan dibentuk 2,5 tahun. Ini kan putusannya kapan? 2014? Masih lama Pak, masih ada 2 tahun lagi. Jadi kita ga perlu tambahkan didalam undang-undang ini frasa untuk memerintahkan membentuk lagi undang-undang begitu loh, itu hanya menimbulkan konflik dengan keputusan yang lebih tinggi daripada kita. Jadi cukup kita mengatur bahwa badan usaha didalam asuransi itu ada 3 bentuk hukumnya : perseroan terbatas, koperasi, usaha bersama sudah begitu Pak. Usaha bersama itu ya memang sudah ada memang untuk memberikan alasan hukum saja kepada asuransi, saya juga sudah baca salinan putusan Mahkamah Konstitusi itu walaupun sekilas memang ya sudah begitu Pak. Dan kedua, Pak Isa sebetulnya sih undang-undang ini yang mengatur satu jenis usaha itu banyak Pak, misalnya : BPJS itu kan Jamsostek saja itu yang berubah kan misalnya diubah menjadi BPJS, macam-macam. Jadi ada banyak kan, undang-undang 32, 34 itu tentang pengendara juga cuma satu juga kan. Jadi biarlah itu menjadi materi yang diperintahkan oleh Mahkamah Konstitusi dan menjadi PR Pemerintah dan DPR ya untuk membentuk Undang-Undang tentang Usaha Bersama, apakah nanti itu diputuskan hanya untuk mutuall fund Bumiputera atau apakah nanti Pemerintah baru dia pikir-pikir karena perlu juga mutuall fund yang lain lagi, silakan saja itu kita kasih kesempatan bagi mereka untuk memikirkan. Yang pasti kita dalam undang-undang ini cukup bahwa yang ada sekarang ini sudah kita kasih alas hukum dan oleh karena itu mereka tidak perlu merasa terdiskriminasi lagi. Dan tadi malam sudah dijelaskan Pak Firdaus jan road map penyelesaiannya itu, kalau tidak selesai-selesai ya OJK-nya yang kita ikut ini ya Pak Sugi ya kalau tidak selesai-selesai juga biar.... namanya asuransi jasa Bumiputera. Kalau tidak bisa juga OJK baru kita kirim Pak Isa untuk beresin itu, apakah likuidasi atau ya kan gitu kira-kira. Jadi Pak ya oke ya. Nah, sekarang yang ketiga saya ingin tambahkan Pak ini untuk usaha bersama ini menurut saya ada satu pasal yang mesti kita masukkan tambahan sedikit khusus untuk usaha bersama ini. Kalau koperasi ini banyak di dalam catatan saya ini ada beberapa materi yang akan kita putuskan untuk koperasi dan usaha bersama harus ada pengaturan yang 89 jelas mengenai: satu, polis hanya dapat dijual kepada anggota ya Pak ya? _begitu Pak ya? jadi materi yang mau kita atur itu:
Polis hanya dapat_ dijual kepada anggota. Cuma dalam catatan hukum teman-teman tadi malam itu tidak masalah ya? itu polis hanya dapat dijual kepada anggota, tadi malam sudah dijelaskan Pak Isa. Ada tanggapan Pak? Ga apa-apa ya? kita ketok palu ini kalau tidak ada tanggapan? Pak Isa, mau diubah pendapatnya? Bapak tidak ragu-ragu? Ya, sudah yakin ya sudah kita ketok palu. Jadi materinya itu polis hanya dapat dijual kepada anggota yang kita atur dalam bentuk pasal sendiri ya nantinya, ketentuan sendiri. (RAPAT : SETUJU) PETITUM DPR RI Bahwa berdasarkan keterangan tersebut di atas, DPR RI memohon agar kiranya, Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi memberikan amar putusan sebagai berikut:
Menyatakan bahwa para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) sehingga Permohonan a quo harus dinyatakan tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard );
Menolak Permohonan a quo untuk seluruhnya;
Menerima keterangan DPR RI secara keseluruhan;
Menyatakan Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618) tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tetap memiliki kekuatan hukum mengikat; dan
Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita negara republik Indonesia sebagaimana mestinya. Apabila Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya ( ex aequo et bono ). [2.4] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon, Presiden memberikan keterangan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 18 Agustus 2020 dan didengarkan dalam persidangan pada tanggal 19 Agustus 2020, serta keterangan tambahan yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 7 September 2020, yang pada pokoknya mengemukakan hal sebagai berikut: 90 TENTANG KEDUDUKAN HUKUM ( LEGAL STANDING ) PARA PEMOHON Sebelum memberikan penjelasan mengenai pokok permasalahannya, perlu kiranya terlebih dahulu dilakukan pengujian terhadap aspek formal yakni legal standing para Pemohon. Untuk itu perkenankan kami memberikan pendapat sebagai berikut:
Bahwa dalam permohonannya, para Pemohon keberatan terhadap keberlakuan pasal a quo karena pengaturan lebih lanjut mengenai badan hukum Perusahaan Asuransi berbentuk Usaha Bersama ke dalam Peraturan Pemerintah, dianggap bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi No. 32/PUU-XI/2013 yang bersifat final dan mengikat.
Bahwa oleh karena yang dijadikan batu uji para Pemohon adalah putusan Mahkamah Konstitusi No. 32/PUU-XI/2013, maka perkenankan terlebih dahulu kami menyampaikan hal-hal terkait dengan putusan dimaksud:
Bahwa permohonan uji materi tersebut diajukan oleh para Pemegang Polis (Pemilik Badan Usaha) Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera terhadap ketentuan Pasal 7 ayat (3) UU No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian dengan alasan ketentuan pasal tersebut mengamanatkan pengaturan tentang usaha perasuransian dengan bentuk Usaha Bersama diatur dengan undang-undang, sedangkan sampai dengan permohonan uji materi tersebut diajukan, masih belum diterbitkan undang-undang tersebut.
Bahwa terhadap permohonan tersebut, Mahkamah Konstitusi telah menerbitkan putusan yang amarnya pada pokoknya menyatakan bahwa ketentuan Pasal 7 ayat (3) UU 2 Tahun 1992 yang diajukan permohonan uji materinya tersebut, dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “... diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang’ dilakukan paling lambat dua tahun enam bulan setelah putusan Mahkamah ini diucapkan.
Bahwa dapat kami sampaikan, pada saat putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dibacakan, sedang dilakukan pembahasan perubahan UU 2 Tahun 1992. Oleh karena itu, putusan Mahkamah Konstitusi dimaksud, juga dijadikan sebagai dasar pertimbangan dalam perumusan perubahan UU 2 Tahun 1992, yang selanjutnya kami kutip sebagai berikut: “… dengan mempertimbangkan putusan MK tersebut, kepastian hukum bagi badan hukum asuransi Usaha Bersama akan terpenuhi jika amanat 91 putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dilaksanakan. Oleh karena itu, pengakuan atau penetapan perusahaan asuransi berbentuk Usaha Bersama sebagai suatu badan hukum, perlu dituangkan dalam undang- undang ini, untuk mengakomodir keberadaan satu-satunya perusahaan asuransi berbentuk Usaha Bersama yang sudah ada di Indonesia, yaitu Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912. Di samping itu, ketentuan mengenai tata kelola, persyaratan, tata cara persyaratan menjadi badan hukum perseoran terbatas atau koperasi, dan tata cara pembubaran serta ketentuan lain bagi perusahaan perasuransian yang berbentuk badan hukum Usaha Bersama, akan diatur dalam bentuk Peraturan Pemerintah ( vide Naskah Akademik RUU tentang Perasuransian halaman 63 alinea 3).
Bahwa apabila dikaitkan dengan tenggang waktu yang diamanatkan oleh Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dalam putusan No.32/PUU-XI/2013, maka Pembuat Undang-Undang sebelum tenggang waktu 2 tahun 6 bulan sejak putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dibacakan, tepatnya pada tanggal 17 Oktober 2014, telah menetapkan UU Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (UU 40 Tahun 2014) yang didalamnya juga mengatur tentang usaha perasuransian dengan bentuk Usaha Bersama. Sehingga Pemerintah telah menjalankan amanat putusan Mahkamah Konstitusi tersebut di atas dengan menerbitkan UU 40 Tahun 2014 dalam jangka waktu sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi.
Bahwa berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, maka maksud dari permohonan para Pemohon, telah terpenuhi yakni dengan telah diakuinya perusahaan asuransi berbentuk Usaha Bersama yang telah ada pada saat UU 40 Tahun 2014 diundangkan, sebagai badan hukum penyelenggara Usaha Perasuransian. Selain itu, permohonan para Pemohon juga telah terpenuhi dengan diaturnya usaha perasuransian dengan bentuk Usaha Bersama dalam UU 40 Tahun 2014.
Bahwa dengan terpenuhinya permohonan para Pemohon tersebut, maka apabila dikaitkan dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 tahun 2011, yang mensyaratkan Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang , maka para Pemohon a quo tidak 92 memenuhi syarat-syarat tersebut, karena pada kenyataannya putusan Mahkamah Konstitusi No.32/PUU-XI/2013 telah ditaati oleh pembuat UU 40 Tahun 2014 sebagaimana telah kami kemukakan di atas.
Bahwa selain tidak memenuhi legal standing , permohonan a quo juga telah kehilangan obyek dengan telah diaturnya jenis usaha perasuransian yang berbentuk Usaha Bersama dalam UU 40 Tahun 2014. PENJELASAN PEMERINTAH ATAS MATERI PERMOHONAN YANG DIMOHONKAN UNTUK DIUJI A. Latar Belakang Lahirnya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian Sebagaimana telah kami sebutkan sebelumnya, Pada saat putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dibacakan, Pembentuk Undang-Undang tengah melakukan pembahasan perubahan UU 2 Tahun 1992. Oleh karena itu, putusan Mahkamah Konstitusi dimaksud, juga dijadikan sebagai dasar pertimbangan dalam perumusan perubahan UU 2 Tahun 1992, sebagaimana disebutkan dalam halaman 63 alinea 3 Naskah Akademik RUU tentang Perasuransian. Bahwa selain itu, lahirnya UU 40 Tahun 2014, dilatarbelakangi oleh suatu keadaan dimana peraturan perundang-undangan sektor jasa keuangan yang ada pada saat itu, khususnya di bidang perasuransian telah tertinggal dibanding dengan kemajuan dan perkembangan di industri maupun standar di praktek internasional. Akibatnya, banyak celah hukum yang apabila tidak segera ditangani dan diantisipasi, berpotensi menimbulkan keadaan yang merugikan masyarakat dan kontra produktif bagi pertumbuhan dan perkembangan industri perasuransian serta sektor jasa keuangan dan perekonomian nasional pada umumnya. Oleh karena itu, Pembuat Undang-Undang, pada saat itu pembentukan UU 40 Tahun 2014, telah melakukan identifikasi masalah, dalam rangka menyusun kerangka pembaharuan peraturan perundang-undangan di bidang perasuransian. Ada beberapa hal yang menjadi perhatian dalam pembaharuan peraturan bidang perasuransian, yakni:
Perlunya Penyesuaian Pengaturan Dan Pengawasan Industri Perasuransian Di Indonesia Yang Selaras Dengan Standar Praktik Terbaik ( Best Practices ) Yang Berlaku Secara Internasional. Standar praktik terbaik internasional di bidang perasuransian adalah Insurance Core Principles, Standards, Guidance and Assesment Methodology 93 (selanjutnya disebut ICPs) yang diterbitkan oleh International Association of Insurance Supervisors (selanjutnya disebut IAIS), selaku organisasi internasional yang menaungi para regulator atau supervisor di bidang perasuransian. ICPS tersebut ditetapkan pada tahun 2000 dan terakhir kali diperbaharui pada Oktober 2011. ICPs telah menjadi panduan bagi regulator atau pengawas perasuransian di seluruh dunia dalam melaksanakan fungsi pengaturan dan pengawasan terhadap industri perasuransian. Sebagai bagian dari komunitas global, Indonesia harus berkomitmen agar pelaksanaan fungsi pengaturan dan pengawasan industri perasuransian selaras dengan standar praktik terbaik ( best-practice standard ), sebagaimana ditetapkan dalam ICPs. Dalam upaya meningkatkan daya saing industri perasuransian di Indonesia, baik di kawasan regional maupun internasional, penerapan standar praktik terbaik baik pada sisi pengaturan maupun pengawasannya, merupakan hal yang tidak dapat dihindari lagi. Oleh karena itu, peraturan terkait perasuransian harus memuat pengaturan mengenai prinsip-prinsip dasar asuransi sesuai dengan ICPs yang telah ditetapkan oleh IAIS. Sistim Pengawasan Usaha Perasuransian di Indonesia Sebagaimana telah kami kemukakan di atas, bahwa usaha perasuransian sangat memerlukan pengawasan dan tidak terkecuali usaha perasuransian di Indonesia. Agar sesuai dengan standar internasional, maka sistem pengawasan asuransi di Indonesia, yang sebelumnya dilakukan oleh Bapepam-LK di bawah Kementerian Keuangan, juga dilakukan penyempurnaan dengan membentuk lembaga baru yang independen yakni Otoritas Jasa Keuangan, yang diatur dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK). Dengan telah disahkannya UU OJK, maka sistem pengaturan dan pengawasan menjadi terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan, dalam hal ini termasuk usaha perasuransian di Indonesia. Dengan demikian, diharapkan keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan dan akuntabel, sehingga mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil serta mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. 94 Usaha perasuransian senantiasa mengalami dinamika, tentunya hal ini juga membawa konsekuensi perlu diimbangi dengan dinamika pengaturan dan pengawasannya, agar pelaksanaannya tidak merugikan masyarakat pengguna jasa asuransi. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pengawasan yang dilakukan oleh OJK sejatinya adalah merupakan upaya pemerintah untuk melakukan pengawasan terhadap seluruh bentuk usaha perasuransian, baik perseroan terbatas, koperasi dan Usaha Bersama, agar tercipta iklim asuransi yang sehat yang dapat melindungi seluruh masyarakat sebagaimana acuan standar praktik terbaik ( best-practice standard ) internasional di bidang perasuransian. Sehingga hendaknya tidak semata-mata diartikan sebagai bentuk intervensi Pemerintah dalam pengurusan internal suatu perusahaan perasuransian.
Perlindungan Hukum Kepada Masyarakat Pengguna Jasa Perasuransian Perlindungan hukum kepada masyarakat pengguna jasa asuransi juga merupakan salah satu hal yang diperhatikan oleh pembuat undang-undang. Ketersediaan perlindungan dimaksud ditujukan kepada masyarakat pemegang polis, tertanggung atau peserta secara proporsional dan tepat sasaran. Kedudukan pemegang polis, tertanggung atau peserta dalam perjanjian yang disepakati relatif lemah, karena pengikatannya yang bersifat sukarela dari tertanggung kepada penanggung untuk menyerahkan sejumlah uang berupa premi asuransi dengan harapan Penanggung akan melakukan penggantian kepada Tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung, yang timbul dari peristiwa tidak pasti di kemudian hari. Dalam beberapa kasus, ternyata masyarakat pemegang polis, tertanggung atau peserta berpotensi kehilangan haknya atas manfaat ekonomis secara material dan signifikan ketika perusahaan asuransi bubar, likuidasi atau pailit. Terjadinya pembubaran, likuidasi atau pailitnya perusahaan asuransi umumnya disebabkan oleh kekeliruan dan kesalahan pelaksanaan prinsip- prinsip tata Kelola perusahaan yang baik (good corporate governance ) sehingga menyebabkan perusahaan mengalami kondisi keuangan yang tidak sehat ( insolvent ). Pada tingkat tertentu, kondisi tersebut dapat mengakibatkan 95 ketidakpercayaan masyarakat ( public distrust) dalam memanfaatkan perusahaan perasuransian untuk tujuan memproteksi risiko-risikonya. Kekhawatiran serupa, khususnya di sektor perbankan, dapat dikurangi dengan keberadaan Lembaga Penjamin Simpanan (selanjutnya disebut LPS) yang berfungsi untuk melindungi dan menjamin dana para nasabah perbankan. Oleh karenanya, dalam rangka meningkatkan kepercayaan masyarakat ( public confidence ) dan memberikan arena berkompetisi ( level playing field ) yang setara di antara lembaga-lembaga keuangan di Indonesia, dipandang perlu agar industri perasuransian dilengkapi dengan sistem dan mekanisme perlindungan bagi pemegang polis, tertanggung, atau peserta secara proporsional dan tepat sasaran, baik semasa perusahaan perasuransian masih beroperasi normal maupun saat dibubarkan, dilikuidasi atau dipailitkan.
Kepastian Hukum Bagi Penyelenggara Usaha Perasuransian UU 40 Tahun 2014 yang dimaksudkan sebagai pengganti UU 2 Tahun 1992, pada dasarnya merupakan salah satu upaya untuk lebih memperkuat industri perasuransian di Indonesia, baik penguatan pada sisi industrinya itu sendiri maupun penguatan pada sisi pengawasannya. Penguatan pada sisi industri diharapkan akan menghasilkan industri perasuransian yang sehat, dapat diandalkan, amanah, dan kompetitif sehingga tahan dari goncangan ekonomi, mampu bersaing dengan industri perasuransian lain, baik secara regional maupun internasional, serta menjadi industri yang senantiasa mampu memberikan pelayanan yang terbaik bagi para pihak yang berkepentingan, khususnya kepada pemegang polis, tertanggung, atau peserta. Sebagai bagian dari strategi dalam rangka penguatan industri perasuransian, UU 40 Tahun 2014 juga diharapkan dapat lebih memberikan kepastian hukum bagi para pelaku usaha asuransi. Selain itu, kepastian hukum diperlukan juga dalam upaya memberikan perlindungan bagi pemegang polis, tertanggung, atau peserta. Hal ini didasari oleh pertimbangan bahwa kekuatan industri perasuransian di Indonesia, pada akhirnya, sangat dipengaruhi oleh kepercayaan masyarakat pengguna jasa usaha perasuransian. Peningkatan kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap industri perasuransian salah satunya dapat dilakukan melalui keberadaan program penjaminan bagi pemegang polis, tertanggung, atau peserta dan penyelesaian 96 sengketa antara pemegang polis, tertanggung, atau peserta dengan perusahaan dengan bantuan lembaga mediasi yang independen dan imparsial. Undang-Undang No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian mengusulkan adanya program penjaminan bagi pemegang polis, tertanggung, atau peserta dan penguatan keberadaan lembaga mediasi yang independen dan imparsial. Berdasarkan ketiga hal yang menjadi perhatian dalam pembaharuan peraturan bidang perasuransian tersebut di atas, Pembuat Undang-Undang menyadari bahwa untuk meciptakan iklim perasuransian yang sehat, yang dapat melindungi seluruh masyarakat, haruslah memenuhi ketiga hal pokok tersebut di atas, oleh karena itu, seluruh usaha perasuransian harus memiliki peraturan tentang standar tata kelola yang baik, yang dituangkan dalam suatu peraturan perundang- undangan. B. Perusahaan Asuransi Berbentuk Usaha Bersama Merupakan Bagian Dari Industri Asuransi. Pembuat UU 2 Tahun 1992 juga telah memikirkan bentuk badan hukum usaha perasuransian, termasuk jenis usaha asuransi yang berbentuk Usaha Bersama, selain usaha asuransi berbentuk perseroan terbatas dan koperasi. Sehingga, dalam UU 2 Tahun 1992 terdapat tiga bentuk usaha asuransi yang diakui, yaitu perseroan terbatas, koperasi dan Usaha Bersama. Bahwa ketiga bentuk badan usaha tersebut di atas memiliki karakteristik yang berbeda, yakni:
Karakteristik usaha asuransi berbentuk perseroan terbatas antara lain:
Kelangsungan perusahaan lebih terjamin karena tidak tergantung pada milik tertentu.
Kepemilikan dapat berubah dengan cara memindah atau menjual sahamnya kepada pihak lain.
Perusahaan dapat diperbesar dengan cara dilakukan penambahan modal dengan mengeluarkan saham baru. Kepentingan para pemangku kepentingan dapat terlindungi dengan baik karena kejelasan tata kelolanya.
Telah terdapat undang-undang sendiri yakni Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Karakteristik usaha asuransi berbentuk koperasi antara lain:
Penerapan asas kekeluargaan kebersamaan dan keadilan. 97 b. Telah memiliki undang-undang sendiri yakni UU No. 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian.
Pengelolaan dilakukan secara demokratis.
Pembagian sisa hasil usaha dilakukan secara adil dan sebanding dengan besar jasa masing-masing anggota, dan lain-lain.
Usaha asuransi berbentuk Usaha Bersama: Saat itu, Indonesia belum memiliki pengaturan mengenai badan hukum Usaha Bersama. Satu-satunya perusahaan asuransi yang berbentuk Usaha Bersama, melandaskan keberadaannya pada Keputusan Kerajaan Belanda tanggal 28 Maret 1870 No. 2 Stb. 64 sesuai dengan Sekretaris Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 6 April 1915. Usaha Bersama, meskipun telah diakui di dalam UU 2 Tahun 1992, namun dari sisi tata kelola masih menghadapi tantangan mengingat pada saat itu, belum terdapat ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang status badan hukum termasuk tata kelola perusahaan asuransi berbentuk Usaha Bersama sebagaimana halnya usaha perasuransian berbentuk perseroan terbatas dan koperasi. Pembuat undang-undang, saat pembentukan UU 40 Tahun 2014, berpendapat dari ketiga bentuk badan hukum tersebut di atas, perseroan terbatas merupakan bentuk yang paling ideal dalam menjalankan usaha perasuransian, dengan pertimbangan bahwa mekanisme tata kelolanya telah diatur, sebagaimana telah kami sebut di atas. Demikian juga halnya usaha perasuransian berbentuk koperasi. Namun demikian, Pembuat Undang-Undang Perasuransian tetap berkomitmen untuk melindungi dan mengakui seluruh bentuk usaha asuransi yang telah ada dengan tetap memerikan ruang bagi asuransi Usaha Bersama. Oleh karena itu, dalam UU 40 Tahun 2014, Pembentuk Undang-Undang sepakat untuk memberikan pengakuan hukum kepada usaha asuransi berbentuk Usaha Bersama sebagai salah satu bentuk badan hukum perusahaan perasuransian di Indonesia. ( vide pasal 6 ayat (2) UU 40 Tahun 2014. Hal tersebut seharusnya telah memberikan kepastian hukum bagi AJB Bumiputera dalam menyelanggarakan usaha asuransi dengan bentuk Usaha Bersama di Indonesia. 98 C. Perusahaan Asuransi Usaha Bersama dalam Undang-Undang No.40 Tahun 2014 tentang Perasuransian Usaha Bersama yang telah ada sebagai salah satu bentuk usaha perasuranasian mendapatkan pengesahan sebagai salah satu badan hukum usaha perasuransian di Indonesia sebagaimana disebutkan dalam pasal 6 ayat (2) UU 40 Tahun 2014. Pembuat UU telah menetapkan pilihan kebijakan ( open legal policy ) bahwa berlakunya UU 40 Tahun 2014untuk menjamin kepentingan masyarakat sebagai pemegang polis, maka usaha bersama yang dapat menjalankan usaha perasuransian hanya usaha bersama yang telah ada. Dengan klasul “usaha bersama yang telah ada” maka open legal policy Pembuat Undang- Undang tidak lagi memberi peluang lahirnya usaha bersama yang baru yang akan menjalankan usaha perasuransian. Dengan demikian AJB Bumi Putera adalah satu-satunya usaha bersama yang menjalankan usaha perasuransian. Dari sisi tata kelola, usaha perasuransian berbentuk Usaha Bersama masih menghadapi tantangan mengingat sebelum UU 40 Tahun 2014 diterbitkan, belum terdapat ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tata kelola perusahaan asuransi berbentuk Usaha Bersama sebagaimana halnya usaha perasuransian berbentuk perseroan terbatas dan koperasi. Tata kelola suatu perusahaan merupakan hal yang sangat penting. Dalam kasus tertentu, kesalahan tata Kelola atau kecurangan ( fraud ) dalam pengurusan perusahaan asuransi, akan lebih memperbesar peluang timbulnya ketidakmampuan perusahaan asuransi dalam memenuhi kewajiban sebagaimana tertuang dalam polis asuransi yang telah diterbitkan. Secara umum, penyelesaian permasalahan kesehatan keuangan perusahaan asuransi berbentuk perseroan terbatas adalah dengan kewajiban untuk menambah modal sehingga rasio kesehatan keuangan memenuhi persyaratan otoritas. Dalam Usaha Bersama, penambahan modal tidak dapat dilakukan karena karakteristik Usaha Bersama tidak membolehkan adanya penambahan modal dari pihak luar selain dari anggota. Disisi lain, karakteristik usaha perasuransian adalah bisnis yang memerlukan modal usaha besar. Dengan mempertimbangkan keterbatasan kemampuan Usaha Bersama dalam menambah modal, dengan pemahaman Usaha Bersama sebagai kumpulan pihak dan bukan kumpulan modal, sementara di sisi lain Usaha Bersama tetap harus 99 memastikan kemampuannya untuk memenuhi kewajiban kepada Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta, maka terhadap Perasuransian Berbentuk Usaha Bersama yang telah ada, agar dapat tetap menjalankan usaha dengan memiliki standar perusahaan asuransi yang ideal, perlu diatur pembatasan ruang lingkup asuransi Usaha Bersama dan penyempurnaan ketentuan mengenai tata kelola perusahaan perusahaan asuransi Usaha Bersama. Menyikapi kebutuhan pengaturan akan tata kelola usaha perasuransian berbentuk Usaha Bersama, selain pengakuan atas eksistensi satu-satunya perusahaan asuransi berbentuk Usaha Bersama sebagai suatu badan hukum yang menyelenggarakan usaha perasuransian, di dalam UU 40 Tahun 2014 juga memuat mandat pengaturan ketentuan mengenai tata kelola usaha perasuransian berbentuk Usaha Bersama dalam batang tubuhnya, diantaranya sebagai berikut: Pasal 35 ayat (1) UU 40 Tahun 2014: Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah berbentuk koperasi atau Usaha Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c hanya dapat menyelenggarakan jasa asuransi atau jasa asuransi syariah bagi anggotanya . Pasal 35 ayat (2) UU 40 Tahun 2014: Setiap anggota dari Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah berbentuk koperasi atau anggota Usaha Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c wajib menjadi Pemegang Polis dari perusahaan yang bersangkutan . Pasal 35 ayat (3) UU 40 Tahun 2014: Keanggotaan pada Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah berbentuk koperasi atau keanggotaan pada Usaha Bersama sebagaimana _dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c berakhir apabila: _ a. anggota meninggal dunia ;
anggota tidak lagi memiliki polis asuransi dari Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah yang bersangkutan selama 6 (enam) bulan _berturut-turut; _ atau c. sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan, keanggotaan harus berakhir . Pasal 35 ayat (4) UU 40 Tahun 2014: Anggota dari Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah berbentuk koperasi atau anggota dari Usaha Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c berhak atas seluruh keuntungan dan wajib menanggung seluruh kerugian dari kegiatan usaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan . 100 Pasal 35 ayat (5) UU 40 Tahun 2014: Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan keuangan untuk menjadi anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) serta pemanfaatan keuntungan oleh anggota dan pembebanan kerugian di antara anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dari Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah berbentuk koperasi atau anggota dari Usaha Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan . D. Penguatan Tata Kelola Perusahaan Asuransi Usaha Bersama dalam Undang-Undang No.40 Tahun 2014 tentang Perasuransian Bahwa UU 40 Tahun 2014 telah mengakomodir kebutuhan hukum perusahaan asuransi berbentuk Usaha Bersama pada pasal-pasal dalam batang tubuhnya, meskipun demikian, sebagai upaya penguatan terhadap Perusahaan asuransi berbentuk Usaha Bersama yang telah ada agar memiliki standar sebagai perusahaan perasuransian yang ideal serta memberikan perlindungan bagi para anggotanya, maka Pembuat Undang-Undang juga memperhatikan hal tersebut dengan mengatur lebih lanjut mengenai badan hukum Usaha Perasuransian berbentuk Usaha Bersama dengan Peraturan Pemerintah. E. Penerbitan PP 87/2019 Merupakan Bentuk Perlindungan Hukum Bagi para Pemegang Polis Yang Merupakan Anggota Usaha Perasuransian Berbentuk Usaha Bersama Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, asuransi sebagai industri yang menggalang dana dari masyarakat, memerlukan sistem pengawasan terintegrasi, baik eksternal, yang selama ini dilakukan oleh OJK, maupun sistem kontrol dari mekanisme pengambilan keputusan organ perusahaan asuransi itu sendiri. Sistem kontrol pada perusahaan asuransi berbentuk PT dapat dilihat dari adanya pembatasan kekuasaan organ/pengurus perusahaan, antara lain dalam hal pengambilan keputusan oleh direksi pada level tertentu, harus mendapatkan persetujuan dari pemegang saham. Selain itu, direksi yang karena kelalaiannya menyebabkan kerugian bagi perusahaan, bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian tersebut. Pada koperasi, adanya sistem kontrol internal dapat dilihat dari adanya mekanisme pengambilan keputusan yang melibatkan anggota koperasi melalui Rapat Anggota dengan mengutamakan musyawarah mufakat, dan apabila tidak tercapai, maka dilakukan dengan suara terbanyak. Pengambilan keputusan dengan 101 musyawarah mufakat dianggap sebagai cara yang paling baik, karena keputusan yang dihasilkan diharapkan membawa keuntungan bagi seluruh pemegang polis. Dari kedua bentuk usaha PT maupun koperasi, telah terbentuk adanya mekanisme sistem kontrol pengambilan keputusan bagi organ perusahaan, sehingga diharapkan keputusan yang dihasilkan bukan hanya membawa dampak positif bagi kelangsungan perusahaan tetapi juga memberikan perlindungan hukum bagi seluruh anggota polis. Sebelum UU 40 Tahun 2014 dan PP Usaha Bersama diterbitkan, belum terdapat sistem kontrol pada bentuk Usaha Bersama sebagaimana telah diatur dalam usaha perasuransian berbentuk PT maupun Koperasi. Padahal keberadaan sistem kontrol dalam suatu perusahaan sangat diperlukan sebagai salah satu indikator bahwa suatu perusahaan telah dikelola berdasarkan pada prinsip tata kelola perusahaan yang baik ( Good Corporate Governance ). Untuk mengatasi hal tersebut, dalam PP Usaha Bersama, diatur pembatasan terhadap organ Usaha Bersama. Aturan mengenai pembatasan ini diharapkan tidak hanya dipandang dari sisi Pemohon sebagai anggota pengurus Usaha Bersama, melainkan harus dipandang sebagai upaya Pemerintah agar mekanisme pengambilan keputusan pada usaha perasuransian berbentuk Usaha Bersama benar-benar dilakukan bukan hanya untuk kepentingan konstituen semata, melainkan untuk kepentingan dan kesejahteraan seluruh anggota pemegang polis. Bahwa apabila kemudian para Pemohon mempermasalahkan PP 87/2019 dan dianggap menimbulkan ketidakpastian hukum, menurut pendapat kami hal tersebut tidak tepat karena PP 87/2019 tersebut tidak mengurangi pemberian kepastian hukum bagi Usaha Bersama yang telah ada pada saat UU 40 Tahun 2014 diundangkan dalam menyelenggarakan usahanya, tetapi justru memberikan kejelasan mengenai teknis penyelenggaraan usaha asuransi berbentuk Usaha Bersama sehingga diharapkan dapat memberikan perlindungan hukum bagi para pemegang polis. Bahwa Penerbitan PP 87/2019 yang merupakan delegasi dari pasal 6 ayat (3) UU No. 40 tahun 2014 tentang Perasuransian tidak bertentangan dengan Undang-Undang No. 11 tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan, serta merupakan bentuk perlindungan hukum bagi para pemegang polis yang merupakan anggota Usaha Bersama. 102 F. Pemohon Telah Keliru Dalam Memaknai Putusan Mahkamah Konstitusi No. 32/PUU-XI/2013 Bahwa para Pemohon telah keliru memaknai putusan Mahkamah Konstitusi No. 32/PUU-XI/2013 seolah-olah Mahkamah Konstitusi mengamanatkan semua hal yang terkait dengan asuransi Usaha Bersama diatur dalam undang-undang tersendiri. Bahwa amar putusan Mahkamah Konstitusi No. 32/PUU-XI/2013 antara lain berbunyi, “Frasa ".... diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang" dalam Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3467), bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sepanjang tidak dimaknai ".... ’diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang' dilakukan paling lambat dua tahun enam bulan _setelah putusan Mahkamah ini diucapkan"; _ Bahwa amar putusan tersebut, mengamanatkan pembentuk undang-undang untuk merealisasikan ketentuan Pasal 7 ayat (3) UU No. 2 Tahun 1992 yaitu untuk mengatur usaha perasuransian yang berbentuk Usaha Bersama (Mutual) ke dalam undang-undang dalam kurun waktu paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan setelah putusan Mahkamah diucapkan. G. Pemerintah Telah Melaksanakan Putusan Mahkamah Konstitusi perkara Nomor 32/PUU-XI/2013 tertanggal 3 April 2014 Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013 tanggal 3 April 2014 sejatinya telah ditindaklanjuti dengan wujud konkrit dari Pembuat Undang-Undang, yaitu dengan merumuskan dan mengatur ketentuan terkait usaha asuransi berbentuk Usaha Bersama dalam batang tubuh UU 40 Tahun 2014, diantaranya:
Penegasan mengenai status Usaha Bersama yang telah ada pada saat UU 40 Tahun 2014 diundangkan sebagai badan hukum penyelenggara usaha perasuransian, dalam ketentuan Pasal 6 ayat (1) dan (2);
Perizinan usaha Usaha Bersama, dalam ketentuan Pasal 8;
Penyelenggaraan usaha perasuransian (termasuk Usaha Bersama) sesuai dengan tata kelola yang baik, dalam Pasal 11;
Pengaturan kewajiban organ perusahaan (termasuk Usaha Bersama) untuk memenuhi persyaratan kemampuan dan kepatutan, dalam Pasal 12; 103 5. Pengaturan mengenai prinsip dasar penyelenggaraan Usaha Bersama, dalam Pasal 35;
Larangan bagi organ perusahaan (termasuk Usaha Bersama) jika izin usaha perusahaan perasuransian dicabut dalam Pasal 43;
Kewenangan organ perusahaan (termasuk Usaha Bersama) jika tim likuidasi telah terbentuk, dalam Pasal 46;
Kewenangan OJK untuk menonaktifkan organ perusahaan (termasuk Usaha Bersama) dan menetapkan pengelola statuter; serta mengatur mengenai pengenaan sanksi bagi perusahaan perasuransian dan organ perusahaan yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan, dalam Pasal 60;
Pemeriksaan perusahaan asuransi baik secara berkala atau sewakutu-waktu, dalam Pasal 61;
Kewenangan OJK untuk memerintahkan penggantian direksi, dewan komisaris, dalam Pasal 72;
Ketentuan pidana bagi organ perusahaan yang melanggar ketentuan dalam UU 40 Tahun 2014, dalam Pasal 74; dan
Ketentuan peralihan bagi Usaha Bersama, dalam Pasal 86. Bahwa dengan demikian, berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Pemohon telah keliru menafsirkan putusan Mahkamah Konstitusi No. 32/PUU-XI/2013 dan dengan telah diakomodirnya pengaturan tentang kebutuhan hukum usaha perasuransian dengan bentuk Usaha Bersama dalam UU 40 Tahun 2014 sebagaimana telah kami uraikan tersebut di atas, maka amanat putusan Mahkamah Konstitusi No. 32/PUU-XI/2013 tanggal 3 April 2014 dimaksud untuk mengatur ketentuan tentang usaha perasuransian yang berbentuk Usaha Bersama dengan Undang-undang dalam kurun waktu paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan, telah terpenuhi. KESIMPULAN Berdasarkan keterangan dan argumentasi tersebut di atas, dapat kami sampaikan kesimpulan bahwa kami berpendapat para Pemohon tidak memenuhi persyaratan kedudukan hukum ( legal standing ) sebagaimana yang telah ditentukan dalam ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011, dan tidak memenuhi syarat kerugian konstitusional sebagaimana pendirian Mahkamah Konstitusi sejak Putusan Mahkamah Konstitusi 104 Nomor 006/PUU-III/2005 tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007 tanggal 20 September 2007. Selanjutnya, berdasarkan seluruh uraian tersebut di atas menurut kami tidak terdapat alasan yang tepat untuk menyatakan bahwa ketentuan Pasal 6 ayat (3) UU No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian inkonstitusional, apalagi bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Oleh karena itu, Pemerintah mohon agar Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang memeriksa, mengadili dan memutuskan permohonan pengujian Pasal 6 ayat (3) UU No.40 Tahun 2014 tentang Perasuransian beserta penjelasannya, dapat memberikan putusan sebagai berikut:
Menyatakan para Pemohon tidak memiliki dan tidak memenuhi persyaratan kedudukan hukum ( legal standing );
Menolak permohonan para Pemohon seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima;
Menyatakan ketentuan Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. POKOK-POKOK TAMBAHAN KETERANGAN PRESIDEN Bahwa pada persidangan hari Rabu tanggal 19 Agustus 2020, Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi meminta kepada Pemerintah untuk memberi tambahan Keterangan Presiden atas beberapa pertanyaan sebagai berikut:
Terkait pertanyaan mengenai pertimbangan dan pilihan politik hukum dari Pembuat Undang-Undang yang tidak mengatur Usaha Bersama dalam suatu undang-undang tersendiri, dapat kami jelaskan sebagai berikut:
Pada saat perumusan Rancangan Undang-undang No. 40 Tahun 2014, undang-undang Usaha Perasuransian yang lama yakni Undang-undang No. 2 Tahun 1992 tentang Perasuransian telah berusia dua puluh tahun lebih, sehingga harus segera disesuaikan dengan tantangan, situasi terkini dan kondisi perkembangan sektor jasa keuangan, yang membutuhkan kepastian hukum dan jaminan perlindungan hak-hak nasabah.
Penyesuaian tersebut membuat adanya perbedaan pilihan kebijakan ( open legal policy ) yang dirumuskan Pembuat Undang-Undang dalam penyusunan norma Pasal 7 ayat (3) UU 2 Tahun 1992 dengan pasal 6 UU 105 40 Tahun 2014 mengenai pengaturan badan hukum Usaha Bersama sebagai badan hukum yang menyelenggarakan usaha perasuransian.
Norma yang terdapat dalam Pasal 7 ayat (1) UU 2 Tahun 1992 UU 2 Tahun 1992 membuka pintu selebar-lebarnya bagi lahirnya Usaha Bersama sebagai badan hukum yang menyelenggarakan usaha perasuransian, sebagaimana tercermin dalam rumusannya yang tidak memberi batasan apapun pada usaha bersama sebagai badan hukum penyelenggara usaha perasuransian, sejajar dengan norma bagi koperasi dan perusahaan perseroan.
Namun demikian, saat uji materi 32/2013 diajukan, dan saat yang sama dilakukan penyusunan perubahan UU 2/1992, ternyata AJB Bumiputera yang telah ada sejak tahun 1912, merupakan satu-satunya perusahaan perasuransian berbentuk Usaha Bersama yang menjalankan usaha perasuransian di Indonesia. Dengan adanya kondisi ini, ditambah terbitnya putusan MK No.32/2013, mendorong Pembuat Undang-Undang yang saat itu sedang melakukan pembahasan RUU perubahan UU 2/1992 untuk melakukan kajian. Salah satu yang menjadi perhatian adalah bentuk badan hukum usaha perasuransian, yakni:
Perusahaan asuransi merupakan perusahaan padat modal, sehingga perlu dipikirkan apabila perusahaan tersebut mengalami kebangkrutan dan memerlukan suntikan modal.
ii. Sistim pertanggungjawaban pengurus yang terpisah dari pemegang polis sebagai konsumen.
Setelah dilakukan kajian, agar tujuan tersebut di atas tercapai, maka bentuk badan hukum yang paling ideal / yang paling tepat bagi perusahaan perasuransian ke depan diarahkan berbentuk Perseroan Terbatas, dengan pertimbangan :
Dari sisi permodalan sesuai dengan karakteristiknya, usaha asuransi merupakan bentuk usaha yang memerlukan modal besar untuk operasional usahannya. Kebutuhan modal yang besar tersebut dimaksudkan agar perusahaan asuransi dapat terus melakukan ekspansi usaha dan memastikan bahwa kewajiban perusahaan kepada pemegang polis dapat dipenuhi. 106 Pemenuhan kebutuhan modal tersebut hanya dapat dipenuhi apabila badan hukum tersebut memiliki mekanisme penambahan modal dari investor atau pemegang saham, dimana mekanisme tersebut tidak memungkinkan untuk dilakukan oleh bentuk badan hukum usaha bersama. Dalam hal perusahaan asuransi sedang menghadapi permasalahan kesehatan keuangan maka investor atau pemegang saham dapat melakukan penambahan modal sesuai dengan rencana penyehatan keuangan perusahaan. Dengan adanya mekanisme tersebut maka keberlangsungan usaha dapat tetap terjaga. Selain itu, peluang pengembangan usaha perasuransian yang sehat, dapat diandalkan, amanah dan kompetitif sehingga mampu bersaing dalam era globalisasi dan perdagangan bebas dapat terwujud dengan struktur permodalan yang kuat. Praktek di negara-negara maju seperti Jepang dan Kanada, banyak di antara mereka yang sedang menggagas upaya untuk lebih berkembang dengan mengubah diri menjadi Perseroan Terbatas, sehingga dapat mengumpulkan modal lebih besar.
ii. Dari sisi perlindungan terhadap pemegang polis Pada bentuk Perseroan Terbatas atas Koperasi, pertanggung jawaban perusahaan ada pada pengurus perusahaan dan pemegang saham, sedangkan pemegang polis bukan merupakan pemilik atau pemagang saham perusahaan sehingga tidak ikut menanggung kerugian. Sehingga apabila terjadi kesalahan tata kelola oleh pengurus yang merugikan konsumen, maka hanya pengurus dan pemegang saham dapat dimintakan pertanggungjawaban. Berbeda dengan bentuk Usaha Bersama, pemegang polis merupakan anggota usaha bersama yang berhak atas keuntungan dan wajib menanggung seluruh kerugian dari kegiatan usaha Usaha Bersama. Dengan demikian posisi pemegang polis, selain merupakan anggota juga merupakan pemilik usaha bersama sehingga dalam hal usaha bersama mengalami permasalahan kesehatan keuangan maka sebagai pemilik, pemegang polis juga ikut bertanggung jawab dalam upaya penyehatannya, padahal yang mengendalikan perusahaan 107 usaha bersama hanya beberapa pemegang polis yang dipilih menjadi Badan Perwakilan Anggota (BPA). Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, Pembuat undang-undang menganggap karakteristik Usaha Bersama tidak tepat dengan kebutuhan pengembangan usaha perasuransian, sehingga dengan mempertimbangkan perkembangan situasi sektor jasa keuangan, yang membutuhkan kepastian hukum dan jaminan perlindungan hak-hak nasabah, maka Pembuat Undang-Undang menetapkan open legal policy dengan membatasi penyelenggaraan usaha perasuransian oleh badan hukum usaha bersama hanya untuk perusahaan berbentuk badan hukum usaha bersama yang telah ada pada saat UU Nomor 40 Tahun 2004 diundangkan, yang tercermin dalam rumusan Pasal 6 ayat (1) UU 40/2014. Mempertimbangkan hanya terdapat satu perusahaan asuransi berbentuk usaha bersama yang diperbolehkan untuk menyelenggarakan usaha asuransi maka Pembuat Undang-Undang tidak melihat adanya kebutuhan untuk mengatur perusahaan asuransi berbentuk badan hukum Usaha Bersama dalam undang-undang tersendiri.
Namun demikian, Pembuat Undang-undang berkomitmen untuk tetap mengakui dan melindungi keberadaan usaha Perasuransian dalam bentuk Usaha Bersama yang telah ada, dengan mengatur Usaha Bersama dalam beberapa pasal dalam undang-undang No. 40 tahun 2014 tentang Perasuransian (UU 40/2014) termasuk memperkuat tata kelolanya.
Mengingat tata kelola tersebut juga menyangkut hal-hal yang bersifat teknis, maka pembuat Undang-Undang memandang hal tersebut diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah, in casu Peraturan Pemerintah No.87 Tahun 2019 tentang Perusahaan Asuransi Berbentuk Usaha Bersama (PP 87/2019).
Terkait pertanyaan Majelis Hakim mengenai pembatasan-pembatasan yang diatur dalam PP 87/2019, dapat kami sampaikan penjelasan sebagai berikut:
Sebagaimana telah kami kemukakan di atas, sebelum pembentukan UU Nomor 40 Tahun 2014, perusahaan asuransi berbentuk usaha bersama belum memiliki pengaturan mengenai tata kelola penyelenggaran usaha oleh Usaha Bersama. Oleh karena itu, sesuai dengan penjelasan Pasal 6 ayat (3) UU Nomor 40 Tahun 2014, dalam PP 87/2019 diatur mengenai tata kelola, 108 persyaratan dan tata cara perubahan menjadi badan hukum perseroan terbatas atau koperasi, serta persyaratan dan tata cara pembubaran badan hukum usaha bersama, termasuk pembatasan-pembatasan wewenang Peserta Rapat Umum Anggota (sebelumnya BPA) dengan tujuan agar Peserta RUA dalam menjalankan tugasnya dapat bertindak secara independen dan terbebas dari konflik kepentingan.
Terkait dengan pengawasan dari OJK, yang dianggap sebagai intervensi terhadap kewenangan Peserta Rapat Umum Anggota (sebelumnya BPA). Dapat kami sampaikan bahwa pengawasan yang dilakukan oleh OJK tersebut sejatinya adalah merupakan upaya pemerintah untuk melakukan perbaikan dan pembenahan atas penyelenggaran usaha asuransi oleh satu- satunya perusahaan asuransi berbentuk Usaha Bersama. Diharapkan dengan upaya tersebut dapat tercipat tercipta iklim asuransi yang sehat yang dapat melindungi kepentingan masyarakat khususnya pemegang polis sebagaimana acuan standar praktik terbaik ( best-practice standard ) internasional di bidang perasuransian. Sehingga hendaknya pengaturan pengawasan oleh OJK dalam PP-87/2019 tidak semata-mata diartikan sebagai bentuk intervensi Pemerintah dalam pengurusan internal suatu perusahaan perasuransian.
Terkait dengan pertanyaan Majelis Hakim mengenai AJB Bumiputera menjadi satu-satunya usaha bersama yang tersisa, dapat kami berikan penjelasan bahwa hal tersebut telah tertulis pada halaman 62 aline 3 Naskah Akademik Rancangan Undang-undang tentang Perasuransian Tahun 2014, yakni “… Satu-satunya Perusahaan Asuransi yang berbentuk Usaha Bersama, melandaskan keberadaannya pada Keputusan Kerajaan Belanda tanggal 28 Maret 1870 No. 2 Stb. 64 sesuai Sekretaris Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 6 April 1915, yang belum pernah diperbaharui. Sejak tahun 2013, yakni pada saat kewenangan pengawasan perusahaan asuransi beralih dari Kementerian Keuangan kepada Otoritas Jasa Keuangan hingga periode Juni 2020, AJB Bumiputera merupakan perusahaan asuransi berbentuk badan hukum Usaha Bersama. Sebagai satu-satunya Perusahaan Asuransi berbadan hukum usaha bersama, posisi AJB Bumiputera di industri asuransi jiwa berdasarkan aset perusahaan selama kurun waktu tahun 2013 hingga Juni 2020, dapat terlihat sebagaimana tabel di bawah ini. 109 Uraian 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019* Juni 2020* Jumlah Pelaku Asuransi (Termasuk Syariah) ● Bentuk Badan Hukum Perseroan 134 135 140 140 146 145 144 146 - Asuransi Jiwa 48 49 54 54 60 59 59 60 - Asuransi Umum 82 81 80 80 79 79 78 79 - Reasuransi 4 5 6 6 7 7 7 7 ● Bentuk Badan Hukum Usaha Bersama 1 1 1 1 1 1 1 1 - AJB Bumiputera 1912 1 1 1 1 1 1 1 1 Jumlah Aset Industri Asuransi Komersial (Termasuk Syariah) ● Total Aset Industri Asuransi Komersial(dala m Triliun Rp)**) 388,8 482,5 504,5 582,5 688,8 716,4 769,0 720,9 ● Total Aset Industri Asuransi Jiwa Komersial (dalam Triliun Rp) *) 281,4 355,7 365,7 438,7 534,3 543,0 578,4 522,8 ● Total Aset AJB Bumiputera 1912 (dalam Triliun Rp) ) 10,9 14,2 15,0 13,4 11,9 10,5 10,2 10,1 ● Aset Share AJB Bumiputera 1912 di Industri Asuransi Komersial 2,8% 2,9% 3,0% 2,3% 1,7% 1,5% 1,3% 1,3% ● Aset Share AJB Bumiputera 1912 di Industri Asuransi Jiwa Komersial __ 3,9% 4,0% 4,1% 3,1% 2,2% 1,9% 1,8% 1,8% ● Peringkat Aset AJB Bumiputera Diantara Industri Asuransi Jiwa) 9 10 9 10 13 12 16 16 110 Keterangan: *) berdasarkan laporan keuangan anaudited **) Jumlah Aset Industri Asuransi Komersial, total aset industri asuransi jiwa komersial, dan aset AJB Bumiputera 1912 tidak termasuk aset lain berupa cadangan premi yang ditangguhkan AJB Bumiputera 1912 sebesar Rp12,34 triliun. ***) penentuan posisi peringkat aset AJB Bumiputera 1912 tidak memasukan aset lain berupa cadangan premi yang ditangguhkan AJB Bumiputera 1912 sebesar Rp12,34 triliun. Selain dari sisi aset, jumlah peserta yang menjadi tertanggung dalam polis AJB Bumiputera 1912, dapat kami sampaikan bahwa terdapat kecenderungan penurunan jumlah peserta yang menjadi tertanggung dalam polis AJB Bumiputera 1912 berdasarkan data dari periode tahun 2017 hingga Juni 2020, sebagaimana tercatat sebagai berikut: No Portofolio Peserta Desember 2017 Desember 2018 Desember 2019 Juni 2020 1 Asuransi Perorangan 2.927.050 2.521.233 2.204.934 2.008.470 2 Asuransi Kumpulan 2.014.736 1.470.877 983.775 847.246 3 Jumlah (1+2) 4.941.786 3.992.110 3.188.709 2.855.716 4. Terkait dengan pertanyaan Majelis Hakim mengenai kapan naskah akademik diterbitkan, apakah setelah putusan MK atau sebelum putusan MK. Terhadap hal tersebut dapat kami sampaikan bahwa pada saat putusan Mahkamah Konstitusi tersebut diucapkan, Pemerintah sedang melakukan perumusan perubahan UU Nomor 2 Tahun 1992. Oleh karena itu, putusan Mahkamah Konstitusi dimaksud, juga dijadikan sebagai dasar pertimbangan dalam perumusan Rancangan Undang-Undang Perasuransian sebagaimana tertuang dalam halaman 63 alinea 3 Naskah Akademik, sebagai berikut: “… dengan mempertimbangkan putusan MK tersebut, kepastian hukum bagi badan hukum asuransi Usaha Bersama akan terpenuhi jika amanat putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dilaksanakan. Oleh karena itu, pengakuan atau penetapan perusahaan asuransi berbentuk Usaha Bersama sebagai suatu badan hukum, perlu dituangkan dalam undang- undang ini, untuk mengakomodir keberadaan satu-satunya perusahaan asuransi berbentuk Usaha Bersama yang sudah ada di Indonesia, yaitu Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912. Di samping itu, ketentuan mengenai tata kelola, persyaratan, tata cara persyaratan menjadi badan hukum perseoran terbatas atau koperasi, dan tata cara pembubaran serta 111 ketentuan lain bagi perusahaan perasuransian yang berbentuk badan hukum Usaha Bersama, akan diatur dalam bentuk Peraturan Pemerintah. Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat dilihat bahwa dalam naskah akademis terdapat respon Pembuat Undang-Undang atas Putusan MK No. 32/2013. Pembuat Undang-Undang menghormati Putusan MK No. 32/2013 dengan mengakui dan mengatur secara umum bentuk badan hukum usaha bersama (yang telah ada pada saat UU Nomor 40 Tahun 2014 diundangkan) dalam suatu undang-undang, yaitu UU Nomor 40 Tahun 2014 itu sendiri. Sedangkan, peraturan lebih lanjutnya diatur dalam suatu peraturan pemerintah. Dengan demikian, konsep pilihan hukum yang dituangkan dalam naskah akademis sudah barang tentu memperhatikan putusan MK No. 32/2013. Selain itu, untuk mendukung keterangannya, Presiden juga mengajukan keterangan saksi atas nama Isa Rachmatarwata dan Wicipto Setiadi , yang masing-masing didengarkan keterangannya dalam persidangan pada tanggal 20 Oktober 2020 dan 5 November 2020, yang pada pokoknya adalah sebagai berikut: A. Isa Rachmatarwata − Saksi merupakan salah satu penyusun UU 40/2014 dan pada saat itu saksi merupakan Kepala Biro Perasuransian di Bapepam-LK; − Latar belakang dibentuknya UU 40/2014 adalah pemerintah merasa perlu untuk melakukan perbaikan dalam hal pengaturan maupun pengawasan dalam penyelenggaraan usaha perasuransian. Penyelenggaraan usaha perasuransian pada waktu itu harus dibenahi agar kualitas penyelenggaraannya meningkat, pertama, dalam hal permodalan UU 40/2014 dapat memberikan kepastian hukum baik bagi pemodal maupun konsumen, dengan adanya UU a quo diharapkan dapat mendatangkan modal yang berasal dari investor lebih banyak terhadap usaha perasuransian di Indonesia karena Indonesia tidak boleh menutup kemungkinan masuknya investor kedalam industri usaha asuransi apapun bentuknya, pemerintah dalam hal ini memberikan berbagai pengukutan tingkat kesehatan perusahaan asuransi dalam hal permodalan juga dimana hal ini perlu dilakukan dalam rangka meningkatkan kualitas industri perasuransian di Indonesia. Kedua adalah risk management , dimana pemerintah menginginkan seluruh perusahaan asuransi yang sudah ada, apapun 112 bentuknya, dapat meningkat kualitas risk management- nya karena investor terutama investor asing tentunya mempertimbangkan hal tersebut ketika akan menanamkan modalnya pada perusahaan asuransi. Ketiga , pemerintah juga perlu menyediakan exit strategy untuk perusahaan-perusahaan asuransi yang tidak mampu memenuhi persyaratan baik dalam hal permodalan, manajemen resiko dan lain-lain supaya dapat meninggalkan industri asuransi dengan baik dan tetap menjaga kepentingan para pemegang polis. Keempat, pengawasan dalam industri perasuransian pun dibenahi, apakah tetap berada pada Kementerian Keuangan atau beralih kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK)? Keempat hal tersebut merupakan beberapa hal yang dibenahi terkait dengan industri perasuransian yang diatur dalam UU 40/2014. − Terkait dengan Asuransi Usaha Bersama, merupakan salah satu bentuk badan usaha asuransi yang paling terbatas akses terhadap permodalan, hal ini tentunya berbeda dengan asuransi yang berbentuk perseroan terbatas dan juga koperasi terlebih lagi pengaturan terhadap badan usaha asuransi berbentuk usaha bersama sebelum UU 40/2014 belum diatur baik dalam UU 2/1992 maupun peraturan perundang-undangan dibawahnya. Padahal bentuk badan usaha asuransi usaha bersama ini juga membutuhkan modal dalam rangka memperkuat usahanya. Dalam perkembangannya, salah satu perusahaan yang menjalankan usaha asuransi usaha bersama yaitu AJB Bumiputera mengalami kesulitan untuk menyesuaikan diri terhadap ketentuan kesehatan perusahaan asuransi dan karena itu kemudia pemerintah membentuk UU 40/2014 yang memberikan pengaturan terhadap asuransi usaha bersama. − Saksi menjelaskan terkait dengan usulan pengaturan dari pemerintah mengenai bentuk badan usaha bersama, dimana pada konsep UU yang dibuat oleh pemerintah dan kemudian disampaikan kepada DPR, bentuk badan hukum yang disampaikan memang hanya 2 bentuk yaitu perseroan terbatas dan koperasi, namun di dalam peraturan peralihan, pemerintah tetap mengakui keberadaan AJB Bumiputera yang merupakan satu-satunya bentuk badan usaha bersama yang telah ada. Setelah beberapa kali diskusi yang dilakukan di DPR bersama dengan sejumlah perwakilan industri, pemerintah mendapatkan masukan bahwa asuransi dalam bentuk usaha 113 bersama harus dimuat dalam ketentuan pokok dan kemudian pemerintah kemudian menyetujui dan bersama dengan DPR bersepakat untuk menambahkan usaha bersama sebagai salah satu badan usaha asuransi. Namun, dikarenakan pengaturan dalam UU a quo cukup banyak dan tidak mungkin mengatur secara detil terkait tata kelola badan usaha asuransi usaha bersama ini dalam UU a quo maka kemudian dalam Pasal 6 ayat (3) UU a quo dimuat pengaturan terkait tata kelola lebih lanjut dalam peraturan pemerintah. Sedangkan pengawasan terhadap asuransi usaha bersama, pada saat itu pembentuk undang-undang meyakini OJK dapat mengaturnya di dalam peraturan perundang-undangan yang bisa diterbitkan oleh OJK. − Menurut saksi, pada saat disusunnya UU 40/2014, tidak ada lagi usaha asuransi dalam bentuk usaha koperasi. Pernah ada, namun asuransi berbentuk koperasi tersebut tidak mampu memenuhi beberapa kewajibannya dan tidak mampu mendapatkan modal tambahan untuk dapat memenuhi kewajiban-kewajiban tersebut. B. Wicipto Setiadi − Saksi menjabat sebagai kepala BPHN dan sebelumnya menjabat sebagai Direktur Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan di Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan pada saat UU 40/2014 disusun. − Rancangan UU 40/2014 merupakan inisiatif pemerintah dan merupakan salah satu RUU yang dimasukan dalam prolegnas pada waktu itu. − Pada saat pembahasan terkait dengan asuransi usaha bersama memang terjadi diskusi terkait pengaturannya dan pemerintah harus menaati putusan Mahkamah yang ada, diskusi pun akhirnya tertuju pada apakah diatur dengan undang-undang tersendiri atau tidak. Namun, atas kajian dari Kementerian Keuangan serta stakeholder yang mengatur bisnis perasuransian pada saat itu, keberadaan asuransi usaha bersama hanya terdapat satu dan sesuai dengan diskusi yang berkembang pada saat itu menjadi tidak efektif jika diatur dalam undang-undang tersendiri. Atas dasar pertimbangan tersebut maka asuransi usaha bersama dalam UU 40/2014 tetap diakui keberadaannya dan disepakati pula untuk ketentuan lebih lanjut diatur dengan peraturan pemerintah. Dan hasil dari rancangan UU 40/2014 pada waktu itu pula disepakati pada saat rancangan undang-undang a quo dibahas di DPR. 114 − Pertimbangan untuk tidak mengatur asuransi usaha bersama dalam undang- undang tersendiri sebenarnya terkait dengan perkembangan dari bisnis asuransi usaha bersama tersebut, karena dari hasil kajian bersama nampaknya pemerintah tidak akan membuka lagi asuransi dalam bentuk badan usaha bersama. Jika keadaannya demikian maka pengaturan terkait asuransi dalam bentuk badan usaha bersama telah diatur dalam UU 40/2014 dan pengaturan tata kelola sajalah yang diatur dalam peraturan pemerintah, hal demikian dianggap lebih efektif serta efisien dibanding dengan membentuk undang-undang tersendiri, karena jika memang harus dalam undang-undang maka pada waktu itu belum tentu dapat dimasukan dalam prolegnas sehingga membutuhkan waktu lagi untuk membentuk undang- undang terkait asuransi usaha bersama tersebut. [2.5] Menimbang bahwa Mahkamah telah menerima kesimpulan para Pemohon yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 13 November 2020, yang pada pokoknya para Pemohon tetap pada pendiriannya; [2.6] Menimbang bahwa Mahkamah telah menerima kesimpulan Presiden yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 13 November 2020, yang pada pokoknya Presiden tetap pada pendiriannya; [2.7] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, segala sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam berita acara persidangan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini.
PERTIMBANGAN HUKUM Kewenangan Mahkamah [3.1] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 216, Tambahan 115 Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6554, selanjutnya disebut UU MK) dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076, selanjutnya disebut UU Nomor 48/2009). Salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945; [3.2] Menimbang bahwa oleh karena permohonan para Pemohon adalah permohonan untuk menguji konstitusionalitas norma undang-undang, in casu Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618, selanjutnya disebut UU 40/2014) terhadap UUD 1945, Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo ; Kedudukan Hukum Pemohon [3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang, yaitu:
perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama);
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
badan hukum publik atau privat; atau
lembaga negara; Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan terlebih dahulu:
kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK; 116 b. ada tidaknya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian dalam kedudukan sebagaimana dimaksud pada huruf a; [3.4] Menimbang bahwa Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 tanggal 20 September 2007 serta putusan-putusan selanjutnya, telah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi lima syarat, yaitu:
adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh para Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab-akibat antara kerugian dimaksud dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; [3.5] Menimbang bahwa berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksudkan Pasal 51 ayat (1) UU MK dan syarat-syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana diuraikan dalam Paragraf [3.3] dan Paragraf [3.4] di atas, selanjutnya Mahkamah mempertimbangkan kedudukan hukum para Pemohon sebagai berikut:
Bahwa norma undang-undang yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya dalam permohonan a quo adalah frasa “diatur dalam Peraturan Pemerintah” dalam Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 terhadap Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yang rumusannya sebagai berikut: Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 Ketentuan lebih lanjut mengenai badan hukum usaha bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam peraturan pemerintah. 117 2. Bahwa Pemohon I sampai dengan Pemohon VIII (selanjutnya disebut sebagai para Pemohon) adalah perseorangan warga negara Indonesia yang juga merupakan pemegang polis Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1912 dan juga anggota Badan Perwakilan Anggota (BPA) AJB Bumiputera 1912. Kedudukan para Pemohon baik sebagai pemegang polis asuransi maupun sebagai anggota BPA AJB Bumiputera 1912 tidak dapat dipisahkan. Hal tersebut merupakan konsekuensi logis dari bentuk usaha perasuransian AJB Bumiputera 1912 yang berbentuk Asuransi Usaha Bersama ( mutual insurance ) dimana pemegang polis sekaligus sebagai pemilik dari AJB Bumiputera 1912 dan sama-sama memiliki hak suara untuk memilih maupun dipilih sebagai anggota BPA.
Dalam kualifikasinya tersebut para Pemohon menganggap hak konstitusionalnya atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 terhalangi dengan berlakunya frasa “diatur dalam Peraturan Pemerintah” dalam Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014. Seperti diterangkan para Pemohon, ketentuan dalam norma a quo telah menyebabkan para Pemohon baik sebagai pemegang polis maupun sebagai anggota BPA AJB Bumiputera 1912 tidak memiliki kepastian hukum dan juga perlakuan tidak adil atas penyelenggaraan usaha perasuransian dalam bentuk Asuransi Usaha Bersama ( mutual insurance ).
Bahwa untuk membuktikan kualifikasinya sebagai perseorangan warga negara Indonesia yang juga merupakan pemegang polis asuransi juwa bersama (AJB) Bumiputera 1912 dan juga anggota Badan Perwakilan Anggota (BPA) AJB Bumiputera 1912, para Pemohon mengajukan alat bukti berupa identitas diri yaitu fotokopi kartu tanda penduduk (KTP) [vide bukti P-3], fotokopi Surat Pemegang Polis [vide bukti P-8 sampai dengan bukti P-12 dan bukti P-14 serta bukti P-15] dan Akta Pernyataan Keputusan Sidang Luar Biasa Badan Perwakilan Anggota Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 Nomor 05 tanggal 02 Agustus 2016 [vide bukti P-4]. Bahwa berdasarkan uraian dari para Pemohon tersebut di atas, baik dalam kualifikasi para Pemohon sebagai pemegang polis maupun anggota Badan Perwakilan anggota (BPA) AJB Bumiputera 1912, menurut Mahkamah secara faktual para Pemohon telah dapat menjelaskan hak-hak konstitusional yang 118 dimilikinya dan hak dimaksud dapat dianggap dirugikan dan anggapan kerugian dimaksud menurut penalaran wajar dapat dipastikan akan terjadi apabila para Pemohon tetap menjalankan usaha perasuransian AJB Bumiputera 1912 yang didasarkan pada norma yang dimohonkan pengujian. Di samping uraian pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah para Pemohon juga telah dapat menjelaskan adanya hubungan sebab-akibat (kausalitas) antara kerugian hak-hak konstitusional yang dimilikinya yang dianggap dirugikan dengan berlakunya frasa “diatur dalam Peraturan Pemerintah” dalam Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 yang dimohonkan pengujian. Oleh karena itu para Pemohon beranggapan bahwa jika permohonan ini dikabulkan maka kerugian sebagaimana diuraikan di atas tidak akan terjadi. Dengan demikian terlepas terbukti atau tidaknya dalil permohonan para Pemohon berkaitan dengan pokok permohonan, Mahkamah berpendapat, para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam Permohonan a quo . [3.6] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo dan para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan a quo , selanjutnya Mahkamah mempertimbangkan pokok permohonan. Pokok Permohonan [3.7] Menimbang bahwa dalam mendalilkan inkonstitusionalitas norma frasa “diatur dalam Peraturan Pemerintah” dalam Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014, para Pemohon mengemukakan dalil-dalil (selengkapnya telah dimuat dalam bagian Duduk Perkara) yang pada pokoknya sebagai berikut:
Bahwa menurut para Pemohon dalam permohonannya, AJB Bumiputera 1912 merupakan asuransi yang berbentuk usaha bersama dan satu-satunya di Indonesia, dimana dengan bentuk usaha bersama tersebut memiliki perbedaan pengelolaan dengan asuransi yang berbentuk perseroan terbatas;
Bahwa menurut para Pemohon dalam permohonannya, terkait dengan isu pengaturan usaha perasuransian berbentuk usaha bersama yang sebelumnya termuat dalam Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang 119 Usaha Perasuransian (UU 2/1992) telah pernah diajukan ke Mahkamah dan telah diputus melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013, dan Mahkamah telah menegaskan terhadap ketentuan tentang usaha perasuransian yang berbentuk usaha bersama diatur lebih lanjut dengan undang-undang. Namun, hal tersebut tidak dilakukan oleh pembentuk undang- undang ketika membentuk UU 40/2014 dimana substansi yang diatur dalam Pasal 7 ayat (3) UU 2/1992 diubah dengan Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 yang mengatur ketentuan lebih lanjut mengenai badan hukum penyelenggara usaha perasuransian yang berbentuk usaha bersama diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah. Sehingga norma a quo tersebut justru bertentangan dengan Putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 32/PUU-XI/2013;
Bahwa menurut para Pemohon dalam permohonannya, dengan berlakunya Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 tersebut yang justru bertentangan dengan Putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 32/PUU-XI/2013 selain berdampak pada kewibawaan lembaga pemutusnya juga berdampak pada penegakan hukum serta konstitusi yang sedang berlangsung dimana dalam hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum serta keadilan bagi para Pemohon yang sebelumnya telah mendapatkannya dalam Putusan Mahkamah sebelumnya menjadi terhalangi.
Bahwa berdasarkan dalil-dalil tersebut di atas, para Pemohon memohon agar Mahkamah menyatakan frasa “diatur dalam Peraturan Pemerintah” dalam Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “diatur dengan Undang- Undang”. [3.8] Menimbang bahwa untuk mendukung dalil-dalil permohonannya, para Pemohon telah mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-15 dan keterangan ahli, atas nama Dr. Bayu Dwi Anggono, S.H., M.H., Dr. Margarito Kamis, S.H., M.Hum, dan Dr. Kornelius Simanjuntak, S.H., M.H., AAIK., yang masing-masing didengarkan keterangannya dalam persidangan pada tanggal 8 September 2020, 24 September 2020, dan 20 Oktober 2020, selain itu para Pemohon pun menyerahkan kesimpulan yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 13 November 2020 (selengkapnya termuat dalam bagian Duduk Perkara); 120 [3.9] Menimbang bahwa Dewan Perwakilan Rakyat telah menyampaikan keterangan yang didengarkan dalam persidangan pada tanggal 8 September 2020 beserta keterangan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 22 September 2020 (selengkapnya termuat dalam bagian Duduk Perkara); [3.10] Menimbang bahwa Presiden telah menyampaikan keterangan tertulis yang diterima oleh Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 18 Agustus 2020 dan didengar dalam persidangan pada tanggal 19 Agustus 2020, dan telah mengajukan 2 (dua) orang saksi, yaitu Isa Rachmatarwata dan Wicipto Setiadi yang masing- masing didengar keterangannya dalam persidangan pada tanggal 20 Oktober 2020 dan 5 November 2020, serta telah menyerahkan kesimpulan yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 13 November 2020 (selengkapnya termuat dalam bagian Duduk Perkara); [3.11] Menimbang bahwa setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama permohonan para Pemohon, keterangan DPR, keterangan Presiden, keterangan ahli para Pemohon, keterangan saksi Presiden, bukti-bukti surat/tulisan yang diajukan oleh para Pemohon, kesimpulan tertulis para Pemohon, dan kesimpulan tertulis Presiden sebagaimana termuat pada bagian Duduk Perkara, Mahkamah selanjutnya mempertimbangkan dalil-dalil permohonan para Pemohon. [3.12] Menimbang bahwa para Pemohon pada pokoknya mendalilkan Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 yang menyatakan, “Ketentuan lebih lanjut mengenai badan hukum usaha bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah, bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum ”, menurut para Pemohon, Pasal 6 ayat (3) tersebut tidak sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013, tanggal 3 April 2014 yang dalam pertimbangan hukum dan amarnya memerintahkan kepada Pembentuk undang-undang untuk membuat norma bahwa Asuransi Usaha Bersama diatur lebih lanjut dengan undang- undang, dan Mahkamah memberi waktu dua tahun enam bulan kepada Pembentuk undang-undang untuk membentuk Undang-Undang tentang Asuransi Usaha Bersama. Namun, ternyata Perubahan Undang-Undang tentang Perasuransian, in casu UU 40/2014 tidak mengakomodir Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 121 32/PUU-XI/2013, yang menyatakan bahwa Asuransi Usaha Bersama diatur dengan undang-undang. Pembentuk undang-undang justru mendegradasinya menjadi mengatur dengan peraturan pemerintah. Oleh karena itu menurut para Pemohon, ketentuan Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945; [3.13] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih lanjut mengenai konstitusionalitas norma Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014, Mahkamah terlebih dahulu mempertimbangkan hal-hal berikut: [3.13.1] Bahwa berkenaan dengan perekonomian sebagai ‘Usaha Bersama’, sebagaimana diatur dalam Pasal 33 UUD 1945 , Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan, “Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial...”. Pembukaan UUD 1945 tersebut kemudian dijabarkan salah satunya dalam Pasal 33 UUD 1945, khususnya ayat (1) yang menyatakan Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Artinya, perekonomian Indonesia harus disusun sebagai usaha bersama dengan asas kekeluargaan, namun tidak menutup ruang usaha dalam bentuk lain. Lebih lanjut Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 merupakan pedoman bagi negara untuk menyusun perekonomian sebagai usaha bersama yang berasaskan kekeluargaan dengan tujuan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum sebagaimana dimaktubkan dalam Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945. Dari aspek historis, sebagaimana termuat dalam lampiran UUD 1945 (sebelum perubahan), Pasal 33 dicantumkan untuk menegaskan bahwa kemakmuran masyarakat adalah utama, perekonomian disusun berdasar asas kekeluargaan, cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai Negara, hanya cabang produksi yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak yang boleh ada di tangan individu/swasta, sedangkan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya adalah termasuk cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak itu. 122 Mohammad Hatta selaku perancang Pasal 33 UUD 1945 menyatakan bahwa kemunculan norma pasal tersebut dilatarbelakangi oleh semangat kolektivitas yang didasarkan pada semangat tolong-menolong ( Mohammad Hatta , Beberapa Fasal Ekonomi: Djalan Keekonomian dan Koperasi, Jakarta: Perpustakaan Perguruan Kementerian PP&K, 1954, __ halaman 265 ). Selain Mohammad Hatta, Soepomo sebagai salah seorang founding fathers berpandangan __ bahwa ..the private sectors may be involved only in non-startegic sectors-that do not effect the lives of most people...if the state does not control the strategic sectors, they will fall under the control of private-individuals and the people will be oppressed by them” (terjemahan bebas, sektor swasta mungkin hanya terlibat dalam sektor non strategis yang tidak mempengaruhi kehidupan kebanyakan orang ... jika negara tidak mengontrol sektor-sektor strategis, mereka akan berada di bawah kendali swasta-individu dan rakyat akan ditindas oleh mereka (Jurnal Konstitusi, Volume 7 Nomor 1, Februari Tahun 2010, hlm. 121). Bahwa selain itu, Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 28/PUU-XI/2013, tanggal 8 Mei 2014, (alinea pertama hlm. 240) telah mempertimbangkan makna usaha bersama sebagai berikut: Berdasarkan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 beserta Penjelasannya tersebut, koperasi merupakan bagian penting dari tata susunan ekonomi nasional atau tata susunan ekonomi Indonesia. Suatu tata susunan ekonomi mesti dirancang sesuai dengan nilai yang dijunjung tinggi oleh bangsa yang membentuk negara ini, nilai yang kemudian menjadi karakternya sebagaimana diuraikan di muka, yaitu nilai dan karakter kolektif, yang merupakan kebalikan dari nilai individualistik yang tidak dianut oleh UUD 1945. Koperasi sebagai bagian dari suatu tata susunan ekonomi mesti didesain, disosialisasikan, diperjuangkan, dan dilaksanakan, bukan tata susunan yang diserahkan kepada mekanisme pasar, meski pasar harus menjadi perhatian penting dalam percaturan perekonomian internasional. Dengan demikian maka sistem perekonomian nasional adalah merupakan sistem perekonomian yang berkarakter. Nilai yang dijunjung tinggi yang kemudian menjadi karakternya tersebut telah dirumuskan dalam Pasal 33 ayat (1) UUD 1945, yaitu suatu tata susunan ekonomi sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Artinya, nilai sosial yang dijunjung tinggi dan diimplementasikan oleh bangsa yang kemudian menjadi karakternya tersebut di dalam UUD 1945 dirumuskan menjadi demokrasi ekonomi yang bertumpu pada dasar usaha bersama dan asas kekeluargaan. Dengan demikian, berdasarkan uraian pertimbangan di atas, maka telah jelas bahwa usaha bersama sebagaimana dimaksud Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 adalah amanat tegas agar negara membentuk perekonomian dengan asas kekeluargaan yang saling bergotong-royong untuk meningkatkan perekonomian 123 demi memajukan kesejahteraan umum, bukan individu semata sebagai perwujudan tujuan dari Pembukaan UUD 1945. [3.13.2] Bahwa lebih lanjut berkaitan dengan Perusahaan Asuransi Usaha Bersama ( mutual insurance) sebagaimana praktik yang sudah berlangsung, yaitu adanya Asuransi Usaha Bersama seperti AJB Bumi Putera 1912, telah ternyata membuktikan bahwa perusahaan usaha bersama tersebut tidak hanya berbentuk koperasi melainkan juga perusahaan asuransi, yaitu asuransi jiwa bersama. Penegasan tersebut sebagaimana telah dipertimbangkan dalam Putusan Nomor 32/PUU-XI/2013, tanggal 3 April 2014, dalam Paragraf [3.10.3] , khususnya baris terakhir menyatakan: … Bahwa eksistensi Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumi Putera 1912 sebagai salah satu bukti sejarah konsep asuransi dengan prinsip dan asas kebersamaan atau usaha bersama ( mutual ). Dengan demikian, sejarah perasuransian di Indonesia untuk pertama kali telah dibentuk perusahaan Asuransi Usaha Bersama ( mutual insurance ) yang dikenal dengan AJB Bumi Putera 1912 yang bertahan sampai saat ini. Artinya, Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 telah diejawantahkan bahwa usaha bersama yang dapat berbentuk koperasi maupun usaha bersama yang berbentuk perusahaan Asuransi Usaha Bersama yang dibentuk dengan tujuan untuk meningkatkan derajat bangsa Indonesia (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013). Bahwa sesuai fakta sejarah mengenai Asuransi Usaha Bersama ( mutual insurance ) yang ada sejak sebelum Indonesia merdeka tersebut, pembentuk undang-undang dalam Undang-Undang Perasuransian sebelum dilakukan perubahan telah memberi penguatan terhadap Asuransi Usaha Bersama ( mutual insurance ), yaitu dalam Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian yang menyatakan, “Ketentuan tentang usaha perasuransian yang berbentuk Usaha Bersama ( mutual ) diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang“ . Dengan demikian, keberadaan Asuransi Usaha Bersama ( mutual insurance ) diakui dan diberi penguatan oleh pembentuk undang-undang untuk berkembang dan bersaing baik dengan usaha asuransi dalam bentuk perseroan maupun usaha asuransi dalam bentuk koperasi, dan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013 semakin mengukuhkan penguatan Asuransi Usaha Bersama ( mutual insurance ) dengan memerintahkan pembentuk 124 undang-undang dalam waktu dua tahun enam bulan sejak putusan diucapkan untuk membentuk dan mengundangkan Undang-Undang tentang Asuransi Usaha Bersama di luar undang-undang tentang usaha perasuransian. Oleh karena itu berdasarkan uraian pertimbangan di atas, maka Asuransi Usaha Bersama merupakan usaha yang harus dibentuk dengan undang-undang sebagai amanah Pasal 33 ayat (1) UUD 1945. [3.13.3] Bahwa lebih lanjut, praktik usaha asuransi berbentuk usaha bersama di Indonesia memang hanya dimiliki oleh AJB Bumiputera. Namun, usaha asuransi berbentuk usaha bersama di negara lain berkembang dan maju menjadi perusahaan asuransi yang besar seperti di Jepang, Perancis, Denmark, Norwegia, Swedia, Belgia, Finlandia, Polandia, Slovenia, Spanyol, Amerika Serikat, serta di Afrika Selatan. Di Selandia Baru justru diadopsi dan didominasi oleh perusahaan asuransi jiwa. Bahkan perusahaan asuransi yang mengadopsi bentuk usaha bersama justru berkembang dengan sukses dan menjadi perusahaan multi-nasional yang memiliki cabang di banyak negara, seperti The Folksam Group di negara Swedia, Liberty Mutual Insurance di Amerika Serikat, The MACIF Group di negara Perancis, dan Old Mutual Life Assurance Company di negara Afrika Selatan. Keberhasilan perusahaan asuransi dalam bentuk usaha bersama di berbagai negara tersebut didukung dengan memberikan ruang pengaturannya dalam bentuk undang-undang, antara lain seperti: Selandia Baru, dengan Insurance (Prudential Supervision) Act 2010 dan Farmers’ Mutual Group Act 2007 Number 1 Private Act , Kanada, dengan Mutual Insurance Companies Act Chapter 306 of Revised Statutes 1989 dan Mutual Fire Insurance Companies Act 1960- Chapter 262, Inggris dan Scotlandia (United Kingdom), dengan Friendly Societies Act 1992, Perancis, dengan Code de la Mutualié, Jerman, dengan Versichegerungsaufsichtsgezetz yang telah diubah terakhir pada Tahun 2020. Dengan demikian, maka terlihat dengan jelas bahwa untuk mendukung Asuransi Usaha Bersama perlu diatur dengan undang-undang; [3.13.4] Bahwa selain penegasan tersebut di atas, hal yang tidak dapat diabaikan adalah kekuatan eksekutorial putusan badan peradilan. Sebagaimana diketahui bahwa secara universal putusan pengadilan dimaksudkan untuk menyelesaikan suatu persoalan atau sengketa dan menetapkan hak atau hukumnya, ini tidak berarti semata-mata hanya menetapkan hak atau hukumnya 125 saja, melainkan juga pelaksanaannya atau eksekusinya secara paksa. Suatu putusan dapat dilaksanakan apabila kepala putusan atau disebut irah-irah memuat kalimat yang berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” , pencantuman irah-irah ini memberikan kekuatan eksekutorial pada putusan tersebut. Sehingga, peniadaan irah-irah tersebut mengakibatkan putusan menjadi batal demi hukum. Selain itu, pada asasnya, putusan yang dapat dieksekusi adalah putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, karena dalam putusan yang telah berkekuatan hukum yang tetap telah terkandung wujud hubungan hukum yang tetap dan pasti serta mengikat antara para pihak yang berperkara. Bahwa terkait dengan kekuatan eksekutorial putusan badan peradilan, secara doktriner, bahwa putusan badan peradilan yang memerlukan eksekusi nyata (riil) adalah amar putusan yang bersifat condemnatoir (penghukuman), sedangkan putusan yang bersifat constitutief atau declaratoir tidak memerlukan eksekusi nyata (riil). Namun demikian terhadap putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan norma dari undang-undang adalah inkonstitusional dan kemudian diikuti amar yang memerintahkan kepada pembentuk undang-undang dalam jangka waktu tertentu untuk membentuk undang-undang sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013, maka kedua amar tersebut di samping mengandung amar yang bersifat constitutief atau declaratoir juga memuat amar yang bersifat penghukuman ( condemnatoir) . Artinya, amar putusan Mahkamah Konstitusi tersebut juga memuat perintah untuk melakukan suatu tindakan, yaitu membentuk undang-undang yang baru/tersendiri dalam jangka waktu dua setengah tahun sejak putusan itu diucapkan. Dalam konteks Putusan Mahkamah Konstitusi, putusan yang berkekuatan hukum tetap tercermin dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar,...”. Kemudian Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 tersebut ditegaskan kembali dalam Pasal 10 ayat (1) UU MK yang menyatakan, “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Kata “final” dalam kedua pasal tersebut di atas, dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 10 ayat (1) UU MK, yaitu: 126 Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, yakni putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat ( final and binding ). Dengan demikian, putusan Mahkamah Konstitusi merupakan putusan yang berkekuatan hukum tetap dan mengikat bagi semua pihak sejak putusan itu diucapkan, terutama dalam hal ini pembentuk undang-undang. Artinya, semua putusan Mahkamah Konstitusi merupakan putusan yang mempunyai kekuatan eksekutorial, terlebih terhadap putusan yang disertai amar yang bersifat penghukuman ( condemnatoir ), sebagaimana diuraikan di atas. Bahwa oleh karena itu persoalan yang menjadi pertanyaan penting dan fundamental adalah apa akibat hukum apabila putusan Mahkamah Konstitusi yang amarnya mengabulkan permohonan para Pemohon bahkan terkandung permintaan agar pembentuk undang-undang atau pihak lain untuk melakukan perbuatan tertentu tidak ditaati. Menurut Mahkamah, tindakan tidak mentaati putusan adalah ‘pembangkangan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi yang juga merupakan bentuk pembangkangan terhadap konstitusi’. Hal tersebut berakibat adanya ketidakpastian hukum yang telah dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi. Akibat lainnya adalah terjadinya penundaan keadilan ( constitutionalism justice delay ) yang basisnya adalah nilai-nilai konstitusi Indonesia. Akibat hukum lain yang dapat ditimbulkan adalah ketidaktaatan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi yang dapat memunculkan rivalitas lembaga negara yang diperlihatkan oleh DPR dan Presiden melalui pembentukan undang-undang yang dikeluarkan seolah mengabaikan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu, keadaan demikian tentu dapat menyebabkan ketidakstabilan negara hukum utamanya penegakan nilai-nilai konstitusi sebagaimana tertuang dalam UUD 1945. Bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi adalah hukum yang dibentuk oleh badan peradilan yang kewenangannya didasarkan langsung dari UUD 1945, di mana ketika Mahkamah Konstitusi mengadili suatu perkara mendasarkan pada pasal-pasal yang termuat di dalam UUD 1945 sebagai hukum materiil. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan Indonesia adalah negara hukum. Kata hukum dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 tidak hanya UUD 1945 serta peraturan perundang-undangan di bawahnya melainkan juga termasuk putusan pengadilan. 127 Sehingga ketidaktaatan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi adalah pengabaian terhadap UUD 1945. Bahwa dalam hal putusan Mahkamah Konstitusi karena alasan-alasan yang bersifat kekinian sehingga tidak tepat lagi untuk diakomodir/dipenuhi atau tidak dapat dilaksanakan oleh pembentuk undang-undang ataupun pihak lain, sepanjang alasan tersebut berkaitan dengan konstitusionalitas suatu norma, bukan semata- mata alasan yang bersifat teknis dan pragmatis, maka terhadap putusan Mahkamah Konstitusi demikian dapat diajukan pengujian kembali untuk dilakukan ‘peninjauan’ terhadap putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, sebagaimana hal demikian telah pernah dikabulkan oleh Mahkamah. Bukan dengan sengaja menafsirkan putusan dimaksud dan selanjutnya tidak mentaatinya. [3.13.5] Bahwa selanjutnya berkaitan dengan konstitusionalitas norma Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 yang dipersoalkan oleh para Pemohon yang sangat terkait dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013. Menurut Mahkamah, sesungguhnya dalam putusan tersebut, baik dalam pertimbangan hukum maupun amarnya secara expressis verbis memerintahkan Pembentuk undang-undang untuk membentuk Undang-Undang tentang Asuransi Usaha Bersama dalam dua tahun enam bulan sejak putusan diucapkan. Selengkapnya amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013 menyatakan: Mengadili, Menyatakan:
Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;
Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya. Bahwa sesuai amar Putusan Mahkamah tersebut maka pembentuk undang-undang diberi waktu dua tahun enam bulan untuk membentuk Undang- Undang tentang Asuransi Usaha Bersama ( Mutual Insurance ). Namun, kenyataannya pembentuk undang-undang bukan membentuk undang-undang sebagaimana perintah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013 melainkan hanya memuat satu pasal dalam UU 40/2014 bahkan pembentuk undang-undang mendegradasi amanah Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 yang kemudian oleh Mahkamah juga telah diputus bahwa Asuransi Usaha Bersama dibentuk dengan undang-undang. Bahwa dalam persidangan baik Presiden maupun Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan yang pada pokoknya:
Perusahaan AJB Bumi Putera 1912 hanya satu-satunya dan tidak dimungkinkan akan ada penambahan perusahaan Asuransi Usaha Bersama ( mutua l) lagi di Indonesia.
Dalam Usaha Bersama, penambahan modal tidak dapat dilakukan karena karakteristik Usaha Bersama tidak membolehkan adanya penambahan modal dari pihak luar selain dari anggota. Di sisi lain, karakteristik usaha perasuransian adalah bisnis yang memerlukan modal usaha besar.
Dengan mempertimbangkan keterbatasan kemampuan Usaha Bersama dalam menambah modal, dengan pemahaman Usaha Bersama sebagai kumpulan pihak dan bukan kumpulan modal, sementara di sisi lain Usaha Bersama tetap harus memastikan kemampuannya untuk memenuhi kewajiban kepada Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta, maka terhadap Perasuransian Berbentuk Usaha Bersama yang telah ada, agar dapat tetap menjalankan usaha dengan memiliki standar perusahaan asuransi yang ideal, perlu diatur pembatasan ruang lingkup Asuransi Usaha Bersama dan penyempurnaan ketentuan mengenai tata kelola perusahaan-perusahaan Asuransi Usaha Bersama.
Bahwa UU 40/2014 telah mengakomodir kebutuhan hukum perusahaan asuransi berbentuk Usaha Bersama pada pasal-pasal dalam batang tubuhnya, meskipun demikian, sebagai upaya penguatan terhadap perusahaan asuransi 129 berbentuk Usaha Bersama yang telah ada agar memiliki standar sebagai perusahaan perasuransian yang ideal serta memberikan perlindungan bagi para anggotanya, maka pembuat undang-undang juga memperhatikan hal tersebut dengan mengatur lebih lanjut mengenai badan hukum Usaha Perasuransian berbentuk Usaha Bersama dengan Peraturan Pemerintah. Bahwa penjelasan Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat tersebut, menurut Mahkamah telah menafsirkan lain dari maksud Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013. Putusan Mahkamah Konstitusi a quo sangat jelas dan gamblang menyatakan bahwa frasa “...diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang” dalam Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “... ‘diatur lebih lanjut dengan Undang- Undang’ dilakukan paling lambat dua tahun enam bulan setelah putusan Mahkamah ini diucapkan ”. Artinya, ketentuan tentang usaha perasuransian yang berbentuk Usaha Bersama ( Mutual ) harus diatur lebih lanjut dengan Undang- Undang tersendiri terpisah dari asuransi berbentuk perseroan dan asuransi berbentuk koperasi. Bahwa tindakan pembentuk undang-undang yang menafsirkan berbeda dari maksud Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013 merupakan tindakan yang keliru bahkan secara faktual tindakan pembentuk undang-undang yang tidak melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi yang memiliki kekuatan eksekutorial merupakan bentuk ketiadaktaatan terhadap hukum. Terlebih lagi, pembentuk undang-undang secara sadar menafsirkan lain yang justru mendegradasi amanah Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 yang telah dipertimbangkan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013. Tindakan menafsirkan amar suatu putusan badan peradilan adalah juga merupakan bentuk pengingkaran terhadap asas universal ‘ res judicata pro viratate habetur’ yang menjadi landasan setiap putusan hakim yang harus dianggap benar, sepanjang putusan itu tidak dibatalkan kemudian oleh putusan hakim yang lain. Dengan kata lain, putusan hakim tidak boleh ditafsirkan lain dan harus dilaksanakan sebagaimana bunyi amar putusannya dan bunyi amar putusan dimaksud dianggap benar hingga dibatalkan oleh putusan hakim yang lainnya. 130 Bahwa alasan pembentuk undang-undang sebagaimana telah diuraikan di atas, bukan merupakan alasan konstitusional melainkan alasan teknis-pragmatis belaka. Seharusnya pembentuk undang-undang membuat undang-undang mengenai Asuransi Usaha Bersama agar menjadi maju dan berkembang sehingga dapat bersaing dengan asuransi perseroan dan asuransi koperasi. Sebagaimana di negara-negara lain seperti yang telah Mahkamah uraikan dalam Paragraf [3.13.3] , terlebih untuk Indonesia yang secara fakta sejarah telah memiliki Asuransi Usaha Bersama dalam hal ini AJB Bumiputera 1912 yang sampai saat ini keberadaannya masih diakui, justru harus didorong agar dapat mengembangkan industri perasuransian dengan bentuk usaha bersama, apalagi hal itu merupakan amanah Pasal 33 ayat (1) UUD 1945. Di samping alasan tersebut di atas, penguatan eksistensi Asuransi Usaha Bersama juga mencerminkan adanya tekad dari negara dalam mempertahankan warisan kultur dan semangat gotong royong ( legacy ) dalam membangun perekonomian yang hingga saat ini masih relevan dibutuhkan yang menjadi ciri utama falsafah bangsa Indonesia. Sebab, mengakomodir pengaturan asuransi sebagai usaha bersama ( mutual) , sebagaimana AJB Bumi Putera 1912 di dalam undang-undang adalah juga bagian dari bentuk legitimasi bangsa Indonesia terhadap aspek legacy tersebut di atas. [3.14] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian tersebut di atas, menurut Mahkamah permohonan para Pemohon mengenai ketentuan Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 bertentangan dengan UUD 1945 beralasan menurut hukum, yaitu mengganti frasa yang semula berbunyi “diatur dalam Peraturan Pemerintah” menjadi “diatur dengan undang-undang”, sehingga ketentuan Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 selengkapnya berbunyi, “Ketentuan lebih lanjut mengenai badan hukum usaha bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Undang- Undang”. Perubahan norma dimaksud semata-mata agar tidak bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Pasal 33 ayat (1) yang telah dipertimbangkan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013. Oleh karenanya, adalah tindakan inkonstitusional jika pembentuk undang-undang menafsirkan lain atau berbeda dengan apa yang telah diputuskan oleh Mahkamah. [3.15] Menimbang bahwa untuk menyelesaikan pembentukan Undang-Undang tentang Asuransi Usaha Bersama sebagaimana dikemukakan di atas, Mahkamah berpendapat diperlukan jangka waktu paling lama dua tahun sejak putusan ini 131 diucapkan. Waktu dua tahun adalah waktu yang cukup bagi pembentuk undang- undang (DPR dan Presiden) untuk menyelesaikan Undang-Undang tentang Asuransi Usaha Bersama ( mutual insurance ). [3.16] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan di atas, menurut Mahkamah, dalil permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum 4. KONKLUSI Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan: [4.1] Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan _a quo; _ __ [4.2] Para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo ; [4.3] Permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 216, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6554), dan Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076).
AMAR PUTUSAN Mengadili, 1. Mengabulkan permohonan para Pemohon;
1 Menyatakan frasa “... diatur dalam Peraturan Pemerintah ” dalam Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618 ), bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum 132 mengikat; __ __ 1.2 Menyatakan frasa “... diatur dalam Peraturan Pemerintah ” dalam Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618 ), diubah sehingga menjadi diatur dengan Undang-Undang, sehingga selengkapnya Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618 ), menjadi “ Ketentuan lebih lanjut mengenai badan hukum usaha bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Undang- Undang”. __ 1.3 Memerintahkan DPR dan Presiden untuk menyelesaikan Undang-Undang tentang Asuransi Usaha Bersama dalam waktu paling lama dua tahun sejak putusan ini diucapkan. __ 2. Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. -------------------------------------------------------------------------------- 6. PENDAPAT BERBEDA ( DISSENTING OPINION ) Terhadap putusan Mahkamah ini, terdapat dua orang Hakim Konstitusi yaitu Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams yang memiliki pendapat berbeda ( dissenting opinion ) sebagai berikut: [6.1] Menimbang bahwa para Pemohon pada pokoknya mempersoalkan frasa “diatur dalam Peraturan Pemerintah” dalam ketentuan Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014. Para Pemohon memohonkan agar pasal a quo dimaknai menjadi “diatur dengan Undang-Undang” sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu yaitu Putusan Nomor 32/PUU-XI/2013, bertanggal 3 April 2014, yang amarnya menyatakan “ diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang dilakukan paling lambat dua tahun enam bulan setelah putusan Mahkamah ini diucapkan”. Berkenaan dengan permohonan para Pemohon tersebut, Kami memberikan pendapat berbeda. 133 [6.2] Menimbang bahwa setelah dicermati secara saksama, para Pemohon menerangkan kedudukan hukumnya sebagai perseorangan warga negara Indonesia, Pemegang Polis AJB Bumiputera 1912 serta sebagai Anggota Badan Perwakilan Anggota (BPA) dari berbagai daerah perwakilan. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013 para Pemohon sebagai perseorangan dan pemegang polis diberikan kedudukan hukum karena pemilik badan usaha adalah para Pemegang Polis sebagaimana diatur dan disebutkan dalam Anggaran Dasar AJB Bumiputera 1912 pada bagian Mukadimah, maupun dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 5, Pasal 7, dan Pasal 36 sampai dengan Pasal 45. Namun demikian, pemberian kedudukan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013 tidaklah serta merta dapat diberikan untuk perkara a quo dikarenakan pada saat Perkara Nomor 32/PUU-XI/2013 diajukan belum ada kejelasan status badan hukum usaha bersama. Namun, setelah diundangkannya UU 40/2014 usaha bersama yang telah ada dikukuhkan statusnya sebagai badan hukum usaha bersama dan organ badan hukum usaha bersama diatur dalam peraturan pelaksana UU 40/2014 yaitu PP 87/2019. Ketentuan Pasal 1 angka 8 PP 87/2019 mengatur adanya organ direksi, di mana direksi sebagai organ usaha bersama berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan usaha bersama untuk kepentingan usaha bersama, sesuai dengan maksud dan tujuan usaha bersama, serta mewakili usaha bersama baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan PP a quo dan anggaran dasar usaha bersama. Ketentuan Pasal 1 angka 8 PP 87/2019 dikuatkan kembali dalam Pasal 54 ayat (1) PP a quo yang menyatakan bahwa “Direksi baik sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama berwenang mewakili usaha bersama baik di dalam maupun di luar pengadilan”. Kewenangan Direksi untuk mewakili usaha bersama tidak terbatas dan tidak bersyarat, kecuali ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan, Anggaran Dasar, atau keputusan Rapat Umum Anggota (RUA). Bahwa selanjutnya, terkait dengan anggapan kerugian hak konstitusionalnya, para Pemohon menjelaskan kedudukannya sebagai Badan Perwakilan Anggota (BPA) untuk berbagai daerah pemilihan. Namun, pada saat UU 40/2014 dan PP 87/2019 berlaku sudah tidak ada lagi istilah BPA karena ketentuan Pasal 120 ayat (3) PP 87/2019 menyatakan bahwa BPA usaha bersama yang telah ada pada saat PP 87/2019 diundangkan, dinyatakan sebagai RUA dan memiliki tugas serta kewenangan sesuai dengan ketentuan dalam PP a quo . Adapun anggota 134 BPA __ yang telah ada pada saat PP a quo diundangkan, tanggal 26 Desember 2019, dinyatakan sebagai Peserta RUA [vide Pasal 120 ayat (4) PP 87/2019]. [6.3] Menimbang bahwa dengan mencermati secara saksama uraian para Pemohon dalam menjelaskan kedudukan hukumnya telah ternyata tidak tampak adanya hubungan kausal ( causal verband ) antara anggapan kerugian konstitusional yang diderita para Pemohon dengan berlakunya norma Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014. Karena, pada pokoknya yang dipersoalkan para Pemohon adalah beberapa ketentuan dalam PP 87/2019 yang dianggap para Pemohon telah menghilangkan eksistensi BPA karena mengubahnya menjadi RUA, dan mengurangi kewenangan BPA dalam mengelola AJB Bumiputera 1912. Termasuk di dalamnya para Pemohon juga mempersoalkan masa jabatan anggota BPA yang beralih menjadi anggota RUA sebagaimana termaktub dalam ketentuan Pasal 120 PP a quo yang menentukan selama satu tahun. Menurut para Pemohon, ketentuan demikian merugikan karena semula masa jabatan anggota BPA adalah lima tahun dan dapat dipilih kembali untuk maksimal dua periode berturut-turut. [6.3.1] Bahwa Jika mencermati secara saksama PP 87/2019, masa jabatan anggota RUA tersebut pada prinsipnya sama dengan anggota BPA yakni lima tahun dan dapat dipilih kembali. Ketentuan satu tahun yang dipersoalkan para Pemohon sebagai anggapan kerugian konstitusional tersebut hanyalah Ketentuan Peralihan dari anggota BPA menjadi anggota RUA yang sifatnya sementara waktu ( temporary ) sampai terbentuknya anggota RUA (vide Pasal 120 ayat (4) dan ayat (5) PP 87/2019). Selain itu, para Pemohon juga mempersoalkan anggapan kerugian yang dialaminya dikaitkan dengan tidak dibolehkannya anggota/pengurus partai politik, calon/anggota legislatif, calon kepala/wakil kepala daerah, atau kepala/wakil kepala daerah menjadi peserta RUA sebagaimana termaktub dalam Pasal 31 ayat (3) PP 87/2019 yang dikaitkan dengan adanya pembatasan terhadap hak seseorang, in casu anggota/pengurus partai politik, calon/anggota legislatif, calon kepala/wakil kepala daerah, atau kepala/wakil kepala daerah untuk menjadi pemegang polis. [6.3.2] Bahwa uraian alasan para Pemohon yang mengait-kaitkan hak untuk menjadi anggota (pemegang polis) dan syarat untuk menjadi anggota RUA dalam batas penalaran yang wajar sungguh sulit untuk dipahami korelasinya dengan anggapan kerugian hak konstitusional yang dialaminya. Karena, pada prinsipnya 135 siapapun dapat menjadi pemegang polis AJB Bumiputera atau anggota sepanjang memenuhi syarat keanggotaan yaitu perseorangan berkewarganegaraan Indonesia atau pemegang polis badan hukum, lembaga, kelompok, atau perkumpulan yang tunduk pada hukum Indonesia (vide Pasal 8 PP 87/2019). Sementara itu, pembatasan yang dipersoalkan oleh para Pemohon pada prinsipnya pembatasan atau syarat menjadi anggota RUA. Salah satu pembatasan tersebut adalah tidak membolehkan anggota/pengurus partai politik, calon/anggota legislatif, calon kepala/wakil kepala daerah, atau kepala/wakil kepala daerah. Pembatasan demikian adalah wajar dan tidak bertentangan dengan konstitusi di mana secara filosofis bertujuan untuk menjamin agar keputusan yang diambil oleh RUA dalam melaksanakan kewenangannya, yang tidak dimiliki oleh direksi atau dewan komisaris, tidak berafiliasi dengan kepentingan politik apapun atau independen. [6.3.3] Bahwa Lebih lanjut, para Pemohon juga menjelaskan anggapan kerugian hak konstitusionalnya dikaitkan dengan adanya kewenangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang dianggap para Pemohon telah mengintervensi kewenangan BPA AJB Bumiputera 1912 sebagaimana menurut para Pemohon intervensi tersebut termaktub antara lain dalam ketentuan Pasal 5 ayat (2), Pasal 7 ayat (2), Pasal 19, Pasal 23 ayat (4), ayat (5), ayat (6), Pasal 24 ayat (6), ayat (7), ayat (8), Pasal 35 UU 40/2014 sehingga menurut para pemohon intervensi demikian dapat memperlambat proses pengambilan keputusan RUA (vide. permohonan para Pemohon hlm. 14 sampai dengan hlm. 17). Istilah RUA yang dimaksud dulunya adalah BPA. Berkenaan dengan uraian para Pemohon tersebut, penting ditegaskan bahwa pada saat BPA dibentuk tidak ada keterlibatan OJK dalam penyelenggaraan asuransi karena OJK sendiri baru dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU 21/2011). Artinya, pada saat BPA dibentuk memang belum ada OJK sebagai lembaga independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang memiliki fungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan (Pasal 5 UU 21/2011). Sebagai lembaga pengatur dan pengawas sektor jasa keuangan OJK berwenang mengatur dan mengawasi perusahaan asuransi apapun dalam rangka memberikan perlindungan bagi para anggotanya, termasuk di dalamnya mengatur dan mengawasi badan hukum usaha bersama AJB Bumiputera 1912. 136 [6.4] Menimbang bahwa berdasarkan uraian kedudukan hukum di atas, telah jelas para Pemohon tidak dapat menguraikan apa sesungguhnya kerugian hak konstitusional yang dialami para Pemohon dengan berlakunya norma Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014, sehingga tidak ada hubungan kausal ( causal verband ) antara kerugian para Pemohon dengan berlakunya norma pasal a quo . Dengan demikian seharusnya Mahkamah menyatakan para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian norma Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014. [6.5] Menimbang bahwa uraian/pendapat hukum mengenai PP 87/2019 di atas bukan ditujukan untuk menilai keabsahan (legalitas) PP 87/2019 terhadap Undang- Undang atau bahkan terhadap UUD 1945, melainkan semata-mata karena para Pemohon dalam menjelaskan kerugian konstitusionalnya selalu merujuk pada PP 87/2019 a quo. [6.6] Menimbang bahwa andaipun para Pemohon memiliki kedudukan hukum, quod non, tidak terdapat pula persoalan konstitusionalitas norma Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 dikarenakan Pasal 6 ayat (1) UU 40/2014 menentukan bentuk badan hukum penyelenggara usaha perasuransian adalah perseroan terbatas, koperasi, dan usaha bersama. Badan hukum usaha bersama dimaksud adalah usaha bersama yang telah ada pada saat UU 40/2014 diundangkan yang dikukuhkan oleh UU a quo sebagai badan hukum usaha bersama. Sampai saat UU a quo diundangkan hanya ada satu badan hukum usaha bersama yaitu AJB Bumiputera 1912. UU a quo telah ternyata tidak hanya mengukuhkan AJB Bumiputera 1912 sebagai badan hukum usaha bersama tetapi juga mengatur secara garis besar mengenai tata kelola penyelenggara perasuransian oleh badan hukum usaha bersama. Pengaturan tersebut meliputi perizinan usaha bersama (Pasal 8 UU 40/2014); penerapan tata kelola perusahaan asuransi yang baik, termasuk usaha bersama (Pasal 11 UU 40/2014); pengaturan kewajiban organ perusahaan perasuransian, termasuk usaha bersama untuk memenuhi persyaratan kemampuan dan kepatutan (Pasal 12 UU 40/2014); pengaturan prinsip dasar penyelenggaraan usaha bersama (Pasal 35 UU 40/2014); larangan bagi organ perusahaan asuransi, termasuk usaha bersama jika izin usaha perusahaan dicabut (Pasal 43 UU 40/2014); kewenangan organ perusahaan, termasuk usaha bersama, jika tim likuidasi telah dibentuk (Pasal 46 UU 40/2014); kewenangan OJK menonaktifkan 137 organ perusahaan, termasuk usaha bersama, dan menetapkan pengelola statuter, serta mengatur mengenai pengenaan sanksi bagi perusahaan perasuransian dan organ perusahaan yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 60 UU 40/2014); pemeriksanaan perusahaan perasuransian secara berkala atau sewaktu-waktu (Pasal 61 UU 40/2014); kewenangan OJK untuk memerintahkan penggantian direksi dan dewan komisaris (Pasal 72 UU 40/2014); ketentuan pidana bagi organ perusahaan yang melanggar UU 40/2014, dan ketentuan peralihan untuk penyesuaian usaha bersama dalam kurun waktu paling lama tiga tahun (Pasal 86 UU 40/2014). [6.6.1] Bahwa lebih lanjut, UU 40/2014 menjelaskan bahwa apabila di kemudian hari setelah UU 40/2014 diundangkan ada pihak-pihak yang akan menyelenggarakan usaha asuransi umum, usaha asuransi jiwa, usaha asuransi umum syariah, atau usaha asuransi jiwa syariah dengan bentuk usaha bersama, UU a quo menjelaskan agar bentuk badan hukumnya didorong berbentuk koperasi dengan pertimbangan kejelasan tata kelola dan prinsip usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan (vide Penjelasan Pasal 6 UU 40/2014). Artinya, dengan UU 40/2014 pembentuk undang-undang telah mengukuhkan AJB Bumiputera 1912 sebagai satu-satunya badan hukum usaha bersama. Namun, ke depannya usaha bersama apabila ada lagi oleh UU a quo didorong dalam bentuk koperasi. Koperasi pada hakikatnya adalah wadah usaha bersama untuk memenuhi aspirasi dan kebutuhan ekonomi. Bentuk badan usaha bersama ( mutual ) ini sejiwa dengan badan usaha koperasi sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan, yang dalam usahanya bertumpu kepada kemampuan anggotanya serta berorientasi pada peningkatan kesejahteraan para anggotanya, bukan seperti perusahaan yang lebih berpihak dan menguntungkan para pemilik modal. Dengan demikian, bentuk koperasi untuk usaha bersama seandainya ke depan akan dibentuk adalah sejalan dengan amanat Pasal 33 ayat (1) UUD 1945. [6.6.2] Bahwa berdasarkan pengaturan tersebut di atas maka pembentuk undang- undang, in casu Pembentuk UU 40/2014 pada prinsipnya telah melaksanakan amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013 walaupun tidak diatur dalam undang-undang tersendiri. Selain itu, UU 40/2014 tidak hanya mengukuhkan status badan hukum usaha bersama tetapi juga mengatur tata kelolanya, di mana untuk pengaturan lebih lanjutnya ditetapkan dalam PP 87/2019. 138 Dengan penjelasan dan argumentasi di atas dapat disimpulkan bahwa Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 tidak bertentangan dengan Konstitusi karena status hukum bagi usaha bersama yang ada yaitu AJB Bumiputera 1912 sebagai badan hukum telah ditegaskan dalam UU 40/2014 [vide Pasal 6 ayat (1) huruf c dan ayat (2)]. Selain telah memberikan kepastian hukum bahwa perusahaan asuransi berbentuk usaha bersama adalah badan hukum dan ditegaskan pula bahwa AJB Bumiputera 1912 merupakan satu-satunya usaha bersama yang menyelenggarakan usaha perasuransian; telah diaturnya prinsip-prinsip umum tata kelola suatu perusahaan asuransi yang berlaku bagi usaha bersama dalam UU 40/2014 dan kekhususan bidang AJB Bumiputera 1912 di bidang asuransi; serta adanya fakta hukum bahwa hanya ada satu objek hukum atas pengaturan tata kelola usaha bersama, maka kebijakan pembentuk undang-undang (Presiden dan DPR) yang mendelegasikan pengaturan tata kelola usaha bersama ke dalam Peraturan Pemerintah telah didasarkan pada landasan hukum dan pemikiran yang jelas dan berdaya guna serta berhasil guna sesuai dengan asas pembentukan peraturan perundang-undangan [vide Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan] sehingga memberikan kepastian hukum. Dengan demikian tidak terdapat persoalan konstitusionalitas norma Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 sebagaimana didalilkan para Pemohon. [6.7] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut, Kami berpendapat bahwa para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum, oleh karenanya seharusnya permohonan para Pemohon tidak diterima. Seandainyapun para Pemohon memiliki kedudukan hukum, quod non , seharusnya Mahkamah menyatakan pokok permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum. *** Demikian diputus dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Anwar Usman selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto, Suhartoyo, Enny Nurbaningsih, Daniel Yusmic P. Foekh, Manahan M.P. Sitompul, Wahiduddin Adams, Arief Hidayat, dan Saldi Isra, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Kamis, tanggal sepuluh, bulan Desember, tahun dua ribu dua puluh , yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum 139 pada hari Kamis, tanggal empat belas, bulan Januari, tahun dua ribu dua puluh satu , selesai diucapkan pukul 13.26 WIB , oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Anwar Usman selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto, Suhartoyo, Enny Nurbaningsih, Daniel Yusmic P. Foekh, Manahan M.P. Sitompul, Wahiduddin Adams, Arief Hidayat, dan Saldi Isra, masing-masing sebagai Anggota, dengan dibantu oleh Dian Chusnul Chatimah sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh para Pemohon atau kuasanya, Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili, dan Presiden atau yang mewakili. KETUA, ttd. Anwar Usman ANGGOTA-ANGGOTA, ttd. Aswanto ttd. Suhartoyo ttd. Enny Nurbaningsih ttd. Daniel Yusmic P. Foekh ttd. Manahan M.P. Sitompul ttd. Wahiduddin Adams ttd. Arief Hidayat ttd. Saldi Isra PANITERA PENGGANTI, ttd. Dian Chusnul Chatimah
“Peserta RUA memiliki masa tugas selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali”. Bahwa hal tersebut menunjukkan ketidak selarasan dalam membuat sebuah Peraturan, yang mana menurut para Pemohon Peraturan Pemerintah tersebut sudah sewajarnya tidak diterbitkan, karena hal tersebut tidak sesuai dengan Putusan MK Nomor 32/PUU-XI/2013 yaitu Ketentuan lebih lanjut mengenai asuransi berbentuk usaha bersama diatur dengan undang-undang dan bukan dengan Peraturan Pemerintah. Untuk itu apabila permohonan para Pemohon dikabulkan yaitu Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang 40/2014 dinyatakan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat maka segala kerugian para Pemohon seperti dalam uraian di atas dapat dihindarkan atau tidak lagi terjadi.
Persyaratan umum untuk dapat dipilih menjadi Peserta RUA sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (3) Peraturan Pemerintah No. 87 Tahun 2019 berbeda dengan persyaratan yang telah ada dalam Anggaran Dasar AJB Bumiputera 1912 untuk dapat menjadi anggota BPA. para Pemohon keberatan dengan adanya Pasal 31 ayat (3) huruf d Peraturan Pemerintah No. 87 Tahun 2019 tentang Perusahaan Asuransi Berbentuk Usaha Bersama yang menyebutkan: “Untuk dapat dipilih menjadi Peserta RUA, Anggota harus _memenuhi persyaratan umum sebagai berikut: _ _a. warga negara Indonesia; _ _b. sehat jasmani dan rohani; _ _c. memiliki pengalaman organisasi; _ 11 d. tidak menjadi anggota/pengurus partai politik, calon/anggota legislatif, calon kepala/wakil kepala daerah, atau kepala/wakil _kepala daerah; _ e. tidak sedang menjadi tersangka atau terdakwa dalam proses _peradilan; dan _ f. tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan”. Bahwa Peraturan Pemerintah No. 87 Tahun 2019 tentang Perusahaan Asuransi Berbentuk Usaha Bersama dalam Pasal 31 ayat (3) huruf d tersebut sangatlah bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) Peraturan Pemerintah No. 87 Tahun 2019 tentang Perusahaan Asuransi Berbentuk Usaha Bersama yang menyebutkan “ Anggota adalah pemegang polis pada usaha bersama ”, hal ini sangat tidak adil bagi orang yang menjadi anggota tetapi tidak dapat menjadi peserta RUA yang mana RUA merupakan Rapat Umum Anggota. para Pemohon melihat hal tersebut adalah bentuk diskriminasi hak-hak anggota pemegang polis. Yang menjadi pertanyaan mendasar para Pemohon adalah, Apakah anggota/pengurus partai politik, calon/anggota legislatif, calon kepala/wakil kepala daerah, atau kepala/wakil kepala daerah tidak boleh menjadi pemegang polis di dalam Asuransi Usaha Bersama? 5) Bahwa Pasal 31 ayat (3) huruf d Peraturan Pemerintah No. 87 Tahun 2019 tersebut juga bertentangan dengan larangan rangkap jabatan oleh anggota DPR sebagaimana diatur dalam Pasal 236 Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (“Undang-Undang MD3”): _(1). Anggota DPR dilarang merangkap jabatan sebagai: _ _a. pejabat negara lainnya; _ _b. hakim pada badan peradilan; atau _ c. pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian Negara Republik Indonesia, pegawai pada badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan lain yang anggarannya bersumber dari APBN/APBD. (2). Anggota DPR dilarang melakukan pekerjaan sebagai pejabat struktural pada lembaga pendidikan swasta, akuntan publik, konsultan, advokat atau pengacara, notaris, dan pekerjaan lain yang ada hubungannya dengan wewenang dan tugas DPR serta hak sebagai anggota DPR. 12 (3). Anggota DPR dilarang melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Bahwa berdasarkan hal tersebut secara eksplisit tidak ada peraturan yang melarang anggota DPR/DPRD untuk menjadi Anggota Pemegang Polis karena bahwasanya anggota/pengurus partai politik, calon/anggota legislatif, calon kepala/wakil kepala daerah, atau kepala/wakil kepala daerah juga manusia biasa yang membutuhkan asuransi jiwa seperti Asuransi Jiwa Berbentuk Badan Usaha Bersama (AJB Bumiputera 1912) tetapi dengan adanya pasal 31 ayat (3) butir d Peraturan Pemerintah No. 87 Tahun 2019 tentang Perusahaan Asuransi Berbentuk Usaha Bersama yang menyebutkan larangan kepada Calon Kepala/Wakil kepala daerah atau Kepala/Wakil kepala daerah untuk melakukan pemegangan polis tersebut, sehingga sangat membatasi hak pemegang polis dan menciptakan ketidak adilan, terhadap hak-hak pemegang polis sebagai anggota Badan Perwakilan Anggota yang dalam Peraturan Pemerintah No. 87 Tahun 2019 disebut dengan Rapat Umum Anggota.
Bahwa dengan adanya Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang No. 40 tahun 2014 tentang Perasuransian dan adanya Peraturan Pemerintah No. 87 Tahun 2019 tentang Perusahaan Asuransi Berbentuk Usaha Bersama, Pihak OJK (Otoritas Jasa Keuangan) terlalu intervensi terhadap kewenangan BPA Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912, hal tersebut tertuang di Pasal-Pasal, sebagai berikut:
Pasal 5 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 87 Tahun 2019 menyebutkan Perubahan Anggaran Dasar yang telah di Tetapkan RUA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Harus disampaikan oleh Direksi kepada OJK paling lama 7 hari kerja setelah ditetapkan RUA untuk mendapatkan persetujuan , Pasal 5 ayat (3) OJK memberikan persetujuan atau penolakan atas perubahan Anggaran Dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pasal 5 ayat (4) Perubahan Anggaran Dasar telah mendapatkan persetujuan OJK wajib dinyatakan dalam akta notaris dalam bahasa Indonesia paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak mendapatkan persetujuan OJK . 13 b. Pasal 7 ayat (2) Peraturan Pemerintah No.87 Tahun 2019 menyebutkan; OJK dapat memerintah usaha bersama untuk melakukan perubahan anggaran dasar sesuai dengan prinsip tata kelola perusahaan yang baik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam peraturan pemerintah ini dan peraturan perundang – undangan di bidang perasuransian, Pasal 7 ayat (3) Usaha bersama wajib menjalankan perintah dari OJK untuk melakukan perubahan anggaran dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Pasal 19 Peraturan Pemerintah No.87 Tahun 2019 menyebutkan:
Direksi menyampaikan agenda RUA kepada OJK untuk mendapatkan persetujuan.
OJK memberikan jawaban atas permohonan persetujuan agenda RUA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak tanggal diterimanya permohonan.
Pasal 23 ayat (4), ayat (5) dan ayat (6) Peraturan Pemerintah No. 87 Tahun 2019 yang menyebutkan bahwa:
Dalam hal Dewan Komisaris tidak menyelenggarakan RUA luar biasa yang merupakan usulan Peserta RUA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (6) huruf a dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (21) Peserta RUA mengajukan permohonan izin penyelenggaraan RUA dan menyampaikan agenda RUA kepada OJK untuk memperoleh persetujuan.
OJK dapat memberikan izin atas penyelenggaraan RUA luar biasa dan persetujuan agenda RUA yang diajukan oleh Peserta RUA sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
Dalam hal OJK memberikan izin atas penyelenggaraan RUA luar biasa sebagaimana dimaksud pada ayat (5), surat persetujuan OJK tersebut paling sedikit memuat ketentuan mengenai:
tanggal, waktu, dan tempat dilaksanakannya RUA; dan
agenda RUA.
Pasal 24 ayat (6), ayat (7), ayat (8) Peraturan Pemerintah No. 87 Tahun 2019 menyebutkan: 14 (6) Dalam hal RUA kedua tidak memenuhi kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (21) OJK menetapkan batasan kuorum untuk RUA ketiga berdasarkan permohonan Usaha Bersama.
Pemanggilan Peserta RUA untuk RUA ketiga harus disampaikan paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah tanggal penetapan kuorum oleh OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (6).
Dalam pemanggilan Peserta RUA untuk RUA ketiga harus disebutkan bahwa RUA kedua telah dilaksanakan dan tidak mencapai kuorum dan RUA ketiga akan dilaksanakan.
Pasal 35 Peraturan Pemerintah No.87 Tahun 2019 menyebutkan:
Direksi menyampaikan 1 (satu) orang calon Peserta RUA urutan pertama dari setiap wilayah pemilihan kepada OJK untuk mendapatkan persetujuan.
Dalam hal calon Peserta RUA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mendapatkan persetujuan OJK, Direksi menyampaikan kembali kepada OJK 1 (satu) orang calon Peserta RUA urutan berikutnya dari wilayah pemilihan yang sama untuk mendapatkan persetujuan.
Persetujuan oleh OJK diberikan setelah dilakukan penilaian kemampuan dan kepatutan kepada calon Peserta RUA.
Dalam hal seluruh calon Peserta RUA dari setiap wilayah pemilihan telah disetujui oleh OJK, Direksi menyelenggarakan RUA untuk mengesahkan Peserta RUA.
Direksi mengumumkan Peserta RUA yang telah disahkan dalam RUA melalui media elektronik dan cetak nasional yang beredar di setiap wilayah pemilihan.
Tata cara mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan serta pemberian persetujuan OJK terhadap calon Peserta RUA sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan di sektor jasa keuangan. 15 7) Bahwa hal-hal sebagaimana tersebut pada point di atas menunjukkan sebagian kecil intervensi OJK atas kewenangan BPA AJB Bumiputera 1912 sebagai satu-satunya Usaha Bersama di Indonesia dan tentunya masih banyak lagi pasal-pasal lain yang menunjukkan secara gamblang bentuk Intervensi OJK di dalam Peraturan Pemerintah No. 87 Tahun 2019 tentang Perusahaan Asuransi Berbentuk Usaha Bersama. Bahwa banyaknya pasal-pasal yang menunjukkan intervensi dari OJK yang menurut hemat para Pemohon hal tersebut menghilangkan marwah AJB Bumiputera 1912 sebagai Asuransi yang bersifat Usaha Bersama (Mutual), berdiri sebelum Repubik Indonesia ini merdeka dan sangat memberatkan eksistensi dan keberadaan AJB Bumiputera 1912 yang bersifat Usaha Bersama (Mutual) dimana berdasarkan Anggaran Dasar AJB Bumiputera 1912 kekuasaan tertinggi diwakili oleh Badan Perwakilan Anggota, seharusnya dalam menetapkan dan mengambil setiap kebijakan membutuhkan proses yang cepat dan tepat dengan birokrasi yang sederhana, seperti contohnya di dalam Pasal 35 Peraturan Pemerintah No. 87 Tahun 2019 tentang Perusahaan Asuransi Berbentuk Usaha Bersama, jelas nampak adanya birokrasi yang membutuhkan waktu dan proses yang lama dan hal ini tentu sangat memberatkan para Pemohon dan AJB Bumiputera 1912 dikarenakan pada suatu perusahaan dalam memutuskan suatu kebijakan yang penting dan krusial untuk kelancaran kinerja Perusahaan dalam hal ini adalah AJB Bumiputera 1912. Bahwa dengan adanya Peraturan Pemerintah No. 87 Tahun 2019 tentang Perusahaan Asuransi Berbentuk Usaha Bersama, maka para Pemohon tidak dapat memutuskan suatu kebijakan yang dianggap penting dan krusial secara cepat dikarenakan harus ada persetujuan melalui OJK, padahal pada kenyataannya pembahasan-pembahasan penting setiap saat dapat terjadi.
Bahwa segala kerugian yang dialami oleh para Pemohon mulai dari tidak adanya undang-undang khusus yang mengatur tentang asuransi berbentuk usaha bersama maupun adanya PP 87 Tahun 2019 yang mengatur berbeda dengan Anggaran Dasar AJB Bumiputera 1912 tidak akan terjadi apabila 16 pengaturan Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang 40 Tahun 2014 mengikuti Putusan MK Nomor 32/PUU-XI/2013 yaitu Ketentuan lebih lanjut mengenai asuransi berbentuk usaha bersama diatur dengan undang-undang dan bukan dengan Peraturan Pemerintah (PP). Untuk itu apabila permohonan para Pemohon dikabulkan yaitu Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang 40 Tahun 2014 dinyatakan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka segala kerugian para Pemohon seperti dalam uraian di atas dapat dihindarkan atau tidak lagi terjadi;
Bahwa untuk mencegah terjadinya kekosongan hukum, jika Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang No. 40 Tahun 2014 dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara keseluruhan, agar tidak merugikan operasionalisasi asuransi berbentuk usaha bersama (AJB Bumiputera 1912), maka ketentuan Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang 40 Tahun 2014 yang berbunyi: Ketentuan lebih lanjut mengenai badan hukum usaha bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah , dapat diberikan putusan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi yaitu Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang 40 Tahun 2014 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan mengikat sepanjang frasa “ diatur dalam Peraturan Pemerintah” tidak dimaknai sebagai “diatur dengan undang- undang”;
Bahwa berdasarkan uraian di atas, maka para Pemohon telah memenuhi kualitas maupun kapasitas sebagai Pemohon Pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, Peraturan Mahkamah Konstitusi, maupun sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi yang memberikan penjelasan mengenai syarat-syarat untuk menjadi Pemohon pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945. Bahwa kedudukan para Pemohon selaku Pemegang Polis dan sebagai Anggota Badan Perwakilan Anggota (BPA) Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1912 dalam konstitusionalitasnya ibarat “dua sisi mata uang” yang tidak dapat terpisahkan antara satu dengan lainnya karena Anggota BPA AJB Bumiputera 1912 adalah harus Pemegang Polis dan Pemegang Polis mempunyai hak suara memilih maupun dipilih sebagai anggota BPA inilah ciri khas atau karakteristik dari Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera yang tidak dimiliki oleh perusahaan lain. 17 C. POKOK PERMOHONAN 1. Bahwa Undang-Undang 40/2014 yang diuji adalah ketentuan pada Pasal 6 ayat (3) yang memuat ketentuan sebagai berikut: Ketentuan lebih lanjut mengenai badan hukum usaha bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah. 2. Bahwa para Pemohon mendalilkan ketentuan Pasal 6 ayat (3) Undang- Undang 40/2014 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang selengkapnya mengatur sebagai berikut: Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. 3. Bahwa AJB Bumiputera 1912 adalah perusahaan asuransi terkemuka di Indonesia yang berdiri tanggal 12 Pebruari 1912, dalam perjalanannya telah mengalami beberapa kali perubahan Anggaran Dasar dan telah pernah diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia, berturut-turut: - Tertanggal 12-121967 Nomor : 99, tambahan Lembaran Negara Nomor: 16/1967; - Tertanggal 05-03-1999 Nomor : 19, tambahan Lembaran Negara Nomor: 1/1999; Berdasarkan hasil Sidang Luar Badan Perwakilan Anggota (BPA) memutuskan serta mengesahkan Perubahan Anggaran Dasar Asuransi Jiwa Bersama 1912 dan kemudian berdasarkan Keputusan Sidang Luar Biasa tersebut yang dibuat dihadapan Notaris Agus Madjid, SH pada tanggal 10 Mei 2011 Notaris di Jakarta, dengan Akta No. 15 menetapkan berlakunya Anggaran Dasar Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912;
Bahwa Berdasarkan ketentuan Anggaran Dasar No. 15 Bab IV Pasal 8 ayat (1) secara tegas-tegas menyebutkan bahwa; Badan Perwakilan Anggota (BPA) merupakan Lembaga tertinggi di AJB. Bumiputera 1912. Anggaran Dasar Pasal 8 ayat (2): “ Badan Perwakilan Anggota (BPA) mengangkat dan memberhentikan Dewan Komisaris dan Direksi ”;
Bahwa AJB. Bumiputera 1912 bersifat Usaha bersama (Mutual Insurence ) yang dikelola dengan prinsip-prinsip dasar berlakunya konsep dan praktik Good Corporate Governance dari ketentuan Anggaran Dasar tersebut diatas, kedudukan dan posisi Badan Perwakilan Anggota (BPA) dalam Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 sangat dominan dan kuat serta mempunyai hak 18 otoritas untuk mengendalikan jalannya perusahaan tersebut. Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 adalah satu-satunya Perusahaan Asuransi Jiwa yang berbentuk “mutual” di Indonesia dan oleh karenanya Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 tidak memiliki akses modal sebagaimana halnya Perusahaan Asuransi yang berbentuk Perseroan Terbatas; Bahwa hal tersebut sejalan dan sesuai dengan pertimbangan Majelis Hakim dalam Perkara PUU No.32/PUU-XI/2013 pada point (3.10.3) – point (3.10.4) halaman 90 - 91, adapun pertimbangan Majelis Hakim Pemeriksa dalam Perkara PUU No.32/PUU-XI/2013 pada point (3.10.3,) dan point (3.10.4) sebagai berikut:
Point (3.10.3) Menimbang bahwa dalam sejarah perasuransian di Indonesia, salah satu jasa perasuransian adalah Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1912. Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1912 merupakan usaha Asuransi Jiwa Nasional yang lahir di masa pergerakan nasional yang bertujuan untuk meningkatkan derajat ekonomi bangsa. Selain itu, kebutuhan akan jasa usaha perasuransian juga merupakan salah satu sarana finansial dalam tata kehidupan ekonomi rumah tangga, baik dalam menghadapi risiko finansial yang timbul sebagai akibat dari risiko yang paling mendasar, yaitu risiko alamiah datangnya kematian, maupun dalam menghadapi berbagai risiko atas harta benda yang dimiliki. Kebutuhan akan hadirnya usaha perasuransian juga dirasakan oleh dunia usaha mengingat disatu pihak terdapat berbagai risiko yang sacara sadar dan rasional dirasakan dapat mengganggu kesinambungan kegiatan usahanya, dilain pihak dunia usaha sering kali tidak dapat menghindarkan diri dari suatu sistem yang memaksanya untuk menggunakan jasa usaha perasuransian. Usaha perasuransian telah cukup lama hadir dalam perekonomian Indonesia dan berperang dalam perjalanan sejarah bangsa berdampingan dengan sektor kegiatan lainnya. Bahwa eksistensi Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1912 sebagai salah satu bukti sejarah konsep asuransi dengan prinsip asas kebersamaan atau usaha bersama (mutual).
Point (3.10.4) Menimbang bahwa usaha bersama (mutual) sangat berbeda dengan perusahaan perseroan dimana Perusahaan perseroan merupakan persekutuan modal yang melakukan kegiatan usaha berdasar 19 pada akumulasi modal dengan tujuan mencari keuntungan sedangkan usaha bersama (mutual) merupakan persekutuan orang yaitu kebersamaan para anggotanya dengan tujuan menyejahterakan seluruh anggotanya. Menurut Mahkamah, badan usaha bersama (mutual) telah sesuai dengan bentuk usaha yang dimanatkan oleh Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 yang menegaskan, “perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan”. Ketentuan tersebut sesuai dengan prinsip usaha bersama (mutual), karena bentuk usaha bersama (mutual) mempunyai peran dalam menyusun perekonomian yang berdasar atas asas kekeluargaan dan demokrasi ekonomi yang mengutamakan kemakmuran bersama para anggotanya atau masyarakat. Hal tersebut berbeda dengan apabila dibandingkan dengan perusahaan perseroan yang lebih mengutamakan akumulasi modal dari pemegang saham dan keuntungannyapun merupakan keuntungan individu pemegang saham. Bahwa dari pertimbangan Majelis Pemeriksa dalam PUU Nomor 32/PUU- XI/2013 sebagaimana tersebut di atas, dapatlah ditarik suatu asumsi kesimpulan sebagai berikut:
Bahwa Mahkamah Konsitusi mengakui keberadaan asuransi jiwa bersama yang bersifat usaha bersama (mutual) sebagai warisan sejarah perjuangan bangsa Indonesia dalam menghadapi kapitalis para penjajah. Hal tersebut dilihat dari kehendak para pendiri selaku pejuang dalam mendirikan usaha asuransi yang bersifat usaha bersama (mutual) yang sekarang bernama “Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1912”.
Mahkamah Konstitusi tetap konsen mempertahankan keberadaan asuransi berbentuk usaha bersama (mutual) dalam hal ini adalah Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1912 untuk diatur dengan suatu peraturan perundang-undangan bersifat “Lex Spesialis” sama halnya dengan usaha koperasi yang diatur dengan undang-undang tersendiri.
Bahwa Mahkamah Konstitusi tidak menghendaki bentuk usaha bersama (AJB. Bumiputera 1912) sebagaimana yang diamanatkan dalam ketentuan Pasal 33 UUD 1945 hilang tergerus dengan modernisasi perekonomian yang bersifat kapitalis di negara Republik Indonesia serta perekonomian yang berbentuk usaha bersama (AJB. Bumiputera 1912) dapat bersaing 20 dengan perusahaan-perusahaan yang berbentuk perseroan terbatas dalam sistem perekonomian bangsa Indonesia ke depan.
Bahwa Pemerintah bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia dalam merubah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian menjadi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian utamanya mengenai bentuk peraturan perundang-undangan untuk mengatur lebih lanjut mengenai asuransi berbentuk usaha bersama telah melakukan langkah mundur yang fundamental. Dimana dalam Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang 2/1992 yang awalnya mengatur: Ketentuan tentang usaha perasuransian yang berbentuk Usaha Bersama (Mutual) diatur lebih lanjut dengan Undang-undang . Kemudian diubah oleh Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang 40/2014 menjadi: Ketentuan lebih lanjut mengenai badan hukum usaha bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah . Padahal Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013 tertanggal 03 April 2014 telah memerintahkan bahwa Ketentuan tentang usaha perasuransian yang berbentuk Usaha Bersama (Mutual) harus diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang tersendiri dan dilakukan paling lambat dua tahun enam bulan setelah putusan Mahkamah ini diucapkan. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013 tertanggal 03 April 2014 amarnya berbunyi: _1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian; _ 1.1. Frasa ”…diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang” dalam Pasal 7 ayat (3) Undang-undang Nomor 2 tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3467), bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sepanjang tidak dimaknai “…’diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang’ dilakukan paling lambat dua tahun enam bulan setelah putusan Mahkamah ini diucapkan”. 1.2. Frasa “…diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang” dalam Pasal 7 ayat (3) Undang-undang Nomor 2 tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3467), tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “…’diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang’ dilakukan paling lambat dua tahun enam bulan setelah Putusan Mahkamah ini _diucapkan” ; _ __ 21 2. Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik _Indonesia sebagaimana mestinya; _ 3. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya”. Bahwa perbuatan membentuk Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian dan Peraturan Pemerintah No. 87 Tahun 2019 tentang Perusahaan Asuransi Berbentuk Usaha Bersama, bertentangan sama sekali dengan Putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana tersebut diatas yang dengan jelas-jelas mewajibkan dan memerintahkan agar Pemerintah dan DPR membentuk Undang-Undang tersendiri guna mengatur tentang Asuransi Usaha Bersama atau Mutual Insurance , namun Undang- Undang yang mengatur Usaha Bersama ini sampai dengan sekarang (permohonan pengujian Undang-Undang diajukan) belum terealisasi dan justru Pemerintah mengeluarkan Peraturan yang mengatur tentang Asuransi yang berbentuk Usaha Bersama cq . AJB. Bumiputera 1912 diatur dengan Peraturan Pemerintah No. 87 Tahun 2019 tentang Perusahaan Asuransi Berbentuk Usaha Bersama dengan mengacu pada ketentuan Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang 40/2014; Bahwa menurut para Pemohon, perubahan Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian menjadi Undang-Undang No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian yang dilakukan oleh Pemerintah bersama DPR RI bukanlah melaksanakan perintah Putusan PUU No. 32/PUU-XI/2013, dimana dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian mengatur tentang Perasuransian secara umum dan tidak secara spesifik mengatur tentang Usaha Asuransi yang berbentuk Mutual (usaha bersama), hal ini terlihat dalam BAB I Ketentuan Umum Pasal 1 Undang-Undang No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, tidak ada sama sekali memuat dan menjabarkan tentang Asuransi yang berbentuk Usaha Bersama (mutual), ketentuan mengenai Asuransi yang berbentuk Usaha Bersama (mutual) hanya diatur dalam Bab III (Bentuk Badan Hukum dan Kepemilikan Perusahaan Perasuransian) Pasal 6 dan Bab VI (Tata Kelola Usaha Perasuransian Berbentuk Koperasi dan Usaha Bersama) Pasal 35 Undang- Undang No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. 22 Pasal 6 Undang-Undang No.40 Tahun 2014 tentang Perasuransian;
Bentuk Badan Hukum Penyelenggara Usaha Perasuransian adalah;
perseroan terbatas;
koperasi: atau c. usaha bersama yang telah ada pada saat undang-undang ini diundangkan.
Usaha Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 huruf c dinyatakan Sebagai badan hukum berdasarkan Undang-Undang ini.
Ketentuan lebih lanjut mengenai badan hukum usaha bersama Sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah. Pasal 35 Undang-Undang No.40 Tahun 2014 tentang Perasuransian;
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah Berbentuk koperasi atau usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat 1 huruf c hanya dapat menyelenggarakan jasa asuransi atau jasa asuransi syariah bagi anggotanya.
Setiap anggota dari Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah Berbentuk koperasi atau anggota usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat 1 huruf c wajib menjadi Pemegang Polis dari perusahaan yang bersangkutan.
Keanggotaan pada Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah Berbentuk koperasi atau keanggotaan pada usaha bersama sebagaimana Dimaksud dalam Pasal 6 ayat 1 huruf c berakhir apabila ;
anggota meninggal dunia ;
anggota tidak lagi memiliki polis asuransi dari Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi syariah yang bersangkutan selama 6 (enam) bulan berturut-turut ; atau
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, keanggotaan harus berakhir.
Anggota dari Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah berbentuk koperasi atau anggota dari usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat 1 huruf c berhak atas seluruh keuntungan dan wajib menanggung seluruh kerugian dari kegiatan usaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan keuangan untuk menjadi Anggota Sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) sertapemanfaatan keuntungan oleh anggota dan pembebanan kerugian diantara anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dari Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah berbentuk koperasi atau anggota dari usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c diatur dalam peraturan otoritas jasa keuangan. Bahwa menurut para Permohon, Undang-Undang No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian mengatur Asuransi secara umum yang bersifat Lex generalis , sedangkan menurut Putusan Mahkamah Konstitusi RI dalam perkara PUU No. 32/PUU0XI/2013 perlu dibentuk Undang-Undang yang mengatur tentang Asuransi berbentuk usaha besama (mutual) yang bersifat 23 Lex Spesialis, sama halnya dengan Undang-Undang No. 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian. Bahwa para Pemohon telah berusaha untuk mendapatkan Naskah Akademik dalam pembentukan Undang-Undang No. 40 tahun 2014 tentang Perasuransian, akan tetapi mengingat keterbatasan waktu dan kondisi darurat pandemi Covid-19 di Tanah Air dan adanya sistem Work From Home yang dilakukan oleh Instansi Pemerintah termasuk Lembaga DPR RI, terdapat kesulitan bagi para Pemohon untuk bekerja secara maksimal guna mendapatkan Naskah Akademik terhadap Undang-Undang tersebut. para Pemohon telah mengirimkan Surat kepada Pajabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi Sekretariat Jenderal dan Badan Keahlian DPR RI dengan Surat Nomor 29/ZAA-SKL/2020 pada tanggal 29 Mei 2020, yang sampai perbaikan disampaikan tidak ada jawaban sama sekali terhadap Surat para Pemohon tersebut.
Bahwa Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 telah jelas menyebutkan “ Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang- Undang Dasar.” Kemudian Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang MK juga menyebutkan: “ Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: menguji undang- undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 .” Yang dimaksud dengan putusan bersifat final telah diterangkan dalam Penjelasan Pasal 10 ayat (1) UU MK yaitu Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, yakni putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Kemudian Pasal 47 UU MK mengatur: Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum ;
Bahwa Sifat final putusan MK ini menunjukkan setidaknya 3 hal mendasar, yaitu: ^ Pertama, putusan MK secara langsung memperoleh kekuatan hukum. Kedua, putusan MK merupakan tingkat pertama dan terakhir, sehingga tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh, seperti halnya banding ataupun kasasi pada peradilan umum. Putusan yang tidak dapat dilakukan upaya 24 hukum lebih lanjut berarti telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan secara langsung memperoleh kekuatan mengikat. Tidak adanya upaya hukum lebih lanjut ini sengaja dibuat dengan maksud agar Mahkamah Konstitusi melalui putusannya dapat menyelesaikan persoalan dan memberikan kepastian hukum secara cepat sesuai dengan prinsip peradilan cepat dan sederhana. Hal ini mengingat perkara yang diajukan kepada Mahkamah Konstitusi merupakan perkara yang berkaitan dengan ketatanegaraan, sehingga membutuhkan kepastian hukum dan terikat dengan limitasi waktu agar tidak mengganggu keberlangsungan agenda ketatanegaraan. (Fajar Laksono, dkk., “Implikasi dan Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU- X/2012 tentang SBI atau RSBI”, Jurnal Konstitusi, Volume 10, Nomor 4, Desember 2013, h,65) Ketiga, karena telah memperoleh kekuatan hukum, maka putusan Mahkamah Konstitusi memiliki akibat hukum bagi semua pihak yang berkaitan dengan putusan. Pada konteks yang ketiga inilah putusan Mahkamah Konstitusi berbeda dengan putusan pengadilan biasa, tidak hanya meliputi pihak-pihak yang berperkara yaitu Pemohon, Pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)/Dewan Perwakilan Daerah (DPD) ataupun pihak terkait yang diizinkan masuk ke dalam proses perkara, namun juga mengikat bagi semua pihak dan semua orang, lembaga-lembaga negara, serta badan-badan hukum yang berada dalam yurisdiksi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Karena itu, putusan Mahkamah Konstitusi dikatakan bersifat erga omnes, yang ditujukan kepada semua orang. (Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia , Cetakan Pertama, Konstitusi Press, Jakarta, 2005, h. 208-209);
Perbedaan yang sangat mendasar antara putusan yang dikeluarkan oleh MK dengan institusi peradilan lainnya yaitu mengenai upaya hukum lanjutan atas putusannya. Jika putusan yang dikeluarkan oleh institusi peradilan lainnya (Mahkamah Agung dan peradilan di bawahnya) dapat dilakukan upaya hukum lanjutan, baik berupa banding, kasasi, maupun peninjauan kembali, putusan MK tidak mengadopsi mekanisme tersebut. Dikatakan di dalam konstitusi bahwa MK merupakan peradilan tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final. ^ Dipertegas kembali di dalam Pasal 10 UU MK bahwa makna sifat final putusan MK juga mencakup di dalamnya kekuatan 25 mengikat. Artinya, putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh.
Putusan MK dalam pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 adalah wujud dan bentuk judicial control dalam mekanisme cheks and balances di antara cabang kekuasaan negara khususnya checks and balances dari kekuasaan kehakiman terhadap kekuasaan legislatif atau pembuatan undang- undang. Mekanisme pengawasan yang dilakukan didasarkan pada penyelarasan terhadap konstitusi sebagai hukum dasar dan hukum tertinggi yang menjadi sumber legitimasi aturan perundang-undangan yang berada di bawahnya, baik atas perintah UUD 1945 maupun sebagai penjabaran dan pelaksanaannya. Supremasi Konstitusi yang ditegakkan oleh MK melalui kewenangan uji materil terhadap undang-undang yang dihasilkan legislatif adalah untuk menjamin bahwa undang-undang yang dihasilkan tersebut sesuai dengan UUD. Secara tegas UUD 1945 memberi kewenangan tersebut kepada MK dalam kerangka pembagian kekuasaan ( separation of powers ) dan karenanya jikalau MK sewaktu-waktu menyatakan satu undang-undang yang dihasilkan pembuat undang-undang dinyatakan tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat atau batal hal itu dilakukan bukan sebagai indikasi superioritas MK terhadap cabang kekuasaan legislatif melainkan hanya melaksanakan kewajiban suci dan khidmat yang dilimpahkan oleh Konstitusi padanya (Maruarar Siahaan, Jurnal Hukum No. 3 Vol. 16 Juli 2009: h, 357 – 378);
Bahwa tidak dipatuhinya putusan pengadilan termasuk putuan MK tentu saja akan membawa dampak pada kewibawaan lembaga yang memutusnya, serta penegakan hukum dan konstitusi pada umumnya. Secara logis, jika MK merupakan pengawal konstitusi sebagaimana selalu dinyatakan, maka tidak terlaksananya putusan MK sebagaimana mestinya sedikit banyak dapat menimbulkan terjadinya proses deligitimasi terhadap UUD 1945, yang pada hakikatnya dapat menggoyahkan stabilitas penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karenanya menjadi sesuatu hal yang penting untuk memastikan putusan MK dapat terlaksana. (Maruarar Siahaan, Jurnal Hukum No. 3 Vol. 16 Juli 2009: h, 357 – 378);
Bahwa keberadaan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyebutkan: “ Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, 26 dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum” sangat terkait dengan konsekuensi dianutnya prinsip negara hukum Indonesia. Sebagaimana dinyatakan oleh Hamdan Zoelva dari F-PBB sebagai salah satu anggota PAH I BP MPR-RI yaitu: “Negara Hukum sebagai Dasar Negara mengandung arti bahwa pelaksanaan kekuasaan Pemerintahan Negara didasarkan pada hukum dan konstitusi…” Jadi Negara dalam pelaksanaan kekuasaan Pemerintahan Negara harus selalu didasarkan pada hukum dan untuk menghindari jangan sampai hukum ini diterjemahkan sedemikian rupa sesuai dengan keinginan pemerintah atau penguasa. Dengan demikian jelaslah bahwa jaminan hak atas kepastian hukum yang adil dilatarbelakangi oleh keinginan agar jangan sampai hukum ini diterjemahkan sedemikian rupa sesuai dengan keinginan pemerintah atau penguasa ( Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Latar Belakang, Proses dan Hasil Perubahan Buku VIII, Warga Negara dan Penduduk, Hak Asasi dan Agama. Sekretariat Jenderal MKRI, 2010, h. 267);
Bahwa Pandangan doktrinal ahli hukum tentang pemaknaan kepastian hukum adalah kepastian hukum merupakan wujud asas legalitas (legaliteit) yang dimaknai oleh Sudargo Gautama dari dua sisi, yakni : pertama , dari sisi warga negara, sebagai kelanjutan dari prinsip pembatasan kekuasaan negara terhadap perseorangan adalah pelanggaran terhadap hak-hak individual itu hanya dapat dilakukan apabila diperbolehkan dan berdasarkan peraturan-peraturan hukum; dan kedua , dari sisi negara, yaitu tiap tindakan negara harus berdasarkan hukum. Peraturan perundang-undangan yang diadakan terlebih dahulu merupakan batas kekuasaan bertindak negara. (Sudargo Gautama, Pengertian tentang Negara Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1973. h. 9). Pandangan lainnya dari Indroharto konsep kepastian hukum merupakan konsep yang mengharuskan, bahwa hukum objektif yang berlaku untuk setiap orang tersebut, harus jelas dan taati. Di sini, Indroharto menekankan kepastian hukum juga menyangkut kepastian norma hukum. (Indroharto, Rangkuman Asas-Asas Umum Tata Usaha Negara , Jakarta, 1984. h. 212-213).
Bahwa Pasal 56 ayat (3) dan Pasal 57 ayat (1) UU MK menyatakan bahwa dalam hal permohonan dikabulkan, MK sekaligus menyatakan suatu Undang- 27 Undang yang diuji bertentangan dengan UUD 1945 baik seluruhya maupun sebagian dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno yang terbuka untuk umum ( legally null and void ). Dalam praktik diketemukan terdapat model-model lain dalam putusan- putusan MK yang masing-masing memiliki karakteristik. Model putusan konstitusional bersyarat ( conditionally constitutional ) dan model putusan inkonstitusional bersyarat ( conditionally unconstitutional ) pada dasarnya kedua model putusan tersebut merupakan model putusan yang secara hukum tidak membatalkan dan menyatakan tidak berlaku suatu norma, akan tetapi kedua model putusan tersebut memuat atau mengandung adanya penafsiran ( interpretative decision ) terhadap suatu materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian dari Undang-Undang ataupun Undang-Undang secara keseluruhan yang pada dasarnya dinyatakan bertentangan atau tidak bertentangan dengan konstitusi dan tetap mempunyai kekuatan hukum atau tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. (Syukri Asy'ari, Meyrinda Rahmawaty Hilipito, Mohammad Mahrus Ali, Model dan Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian Undang-Undang: Studi Putusan Tahun 2003-2012, h. 1); D. PETITUM Berdasarkan uraian dalil-dalil para Pemohon di atas, izinkanlah para Pemohon meminta kepada Yang Mulai Majelis Hakim Konstitusi yang memeriksa dan mengadili perkara permohonan ini untuk memutus hal-hal sebagai berikut:
Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;
Menyatakan Frasa “diatur dalam Peraturan Pemerintah” dalam Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “... diatur dengan Undang-Undang”;
Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya; Atau Jika Majelis Hakim Konstitusi Republik Indonesia mempunyai keputusan lain, mohon putusan yang seadil-adilnya ex aequo et bono 28 [2.2] Menimbang bahwa untuk mendukung dalilnya, para Pemohon telah mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-15, sebagai berikut:
Bukti P-1 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian;
Bukti P-2 : Fotokopi Undang-Undang Dasar 1945;
Bukti P-3 : Fotokopi identitas para Pemohon;
Bukti P-4 : Fotokopi Akta Notaris Maria Gunarti S.H., M.Kn., Nomor 19 tentang Pernyataan Keputusan Sidang Luar Biasa Badan Perwakilan Anggota Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912, bertanggal 23 April 2015, dan Akta Notaris Maria Gunarti S.H., M.Kn., Nomor 05 tentang Pernyataan Keputusan Sidang Luar Biasa Badan Perwakilan Anggota Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912, bertanggal 02 Agustus 2016;
Bukti P-5 : Fotokopi Peraturan Pemerintah Nomor 87 Tahun 2019 tentang Perusahaan Asuransi Berbentuk Usaha Bersama;
Bukti P-6 : Fotokopi Petikan Keputusan Sidang Luar Biasa Badan Perwakilan Anggota Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 Nomor 15;
Bukti P-7 : Fotokopi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU- XI/2013;
Bukti P-8 : Fotokopi Surat Pemegang Polis Nomor 215100159571 atas nama Ny. Hj. Nurhasanah, S.H., M.H.;
Bukti P-9 : Fotokopi Surat Pemegang Polis Nomor 215100281532, Nomor polis 215100281515, dan Nomor Polis 215100281527 atas nama Prof. DR. H. Ibnu Hajar Damanik, M.Si.;
Bukti P-10 : Fotokopi Surat Pemegang Polis Nomor 212100480756 atas nama DR. Maryono S.Kar., M.Hum.;
Bukti P-11 : Fotokopi Surat Pemegang Polis Nomor 96237496, dan Nomor Polis 211102405277 atas nama Prof. Gede Sri Darma, D.B.A.;
Bukti P-12 : Fotokopi Surat Pemegang Polis Nomor 211103864964 atas nama Khairul Huda; 29 13. Bukti P-13 : Fotokopi Surat Nomor 29/ZAA-SKL/2020 perihal Permohonan Data-Data Pendukung tentang Pembentukan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian;
Bukti P-14 : Fotokopi Surat Pemegang Polis Nomor 215100406711 atas nama Prof. DR. Ir. Achmad Jazidie, M.Eng.;
Bukti P-15 : Fotokopi Surat Pemegang Polis Nomor 214104139695, atas nama Ny. Septina Primawati. Selain itu, untuk mendukung dalil permohonannya, para Pemohon juga mengajukan tiga orang ahli atas nama Dr. Bayu Dwi Anggono, S.H., M.H., Dr. Margarito Kamis, S.H., M.Hum., dan Dr. Kornelius Simanjuntak, S.H., M.H., AAIK., yang masing-masing didengarkan keterangannya dalam persidangan pada tanggal 8 September 2020, tanggal 24 September 2020, dan tanggal 20 Oktober 2020, yang pada pokoknya adalah sebagai berikut: A. Dr. Bayu Dwi Anggono, S.H., M.H. − Bahwa Pokok masalah dalam perkara ini adalah adanya norma hukum di Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 yang substansinya bertentangan dengan Putusan MK yaitu Putusan Nomor 32/PUU-XI/2013 tertanggal 03 April 2014. Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 mengatur: Ketentuan lebih lanjut mengenai badan hukum usaha bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah . Sementara itu amar Putusan MK Nomor 32/PUU-XI/2013 dalam pengujian Pasal 7 ayat (3) Undang- Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian yang putusan ini dibuat lebih dahulu daripada dibentuknya UU 40/2014 menyebutkan Frasa “...diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang” dalam Pasal 7 ayat (3) Undang-undang Nomor 2 tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai __ “…’diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang’ dilakukan paling lambat dua tahun enam bulan setelah Putusan Mahkamah ini diucapkan. − Bahwa telah dinyatakan oleh MK di bagian pertimbangan [3.10.2] Putusan Nomor 32/PUU-XI/2013 yaitu berdasarkan Pasal 7 ayat (1) UU 2/1992, usaha perasuransian dapat dilakukan oleh badan hukum yang berbentuk perusahaan perseroan (PERSERO), koperasi, atau usaha bersama ( mutual ). Kesemuanya itu agar memperoleh perlindungan dan kepastian 30 hukum dalam menjalankan usahanya maka setiap bentuk usaha perasuransian memerlukan pengaturan dalam bentuk Undang-Undang. Kemudian di bagian pertimbangan selanjutnya dalam Putusan MK [3.10.5] disebutkan bahwa Undang-Undang yang mengatur mengenai bentuk usaha bersama ( mutual ) sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 7 ayat (3) UU 2/1992 yang hingga sekarang belum dibentuk dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan bagi penyelenggara asuransi yang berdasarkan usaha bersama ( mutual ) seperti AJB Bumiputera. Pada sisi lain, penyelenggara asuransi yang berdasarkan perusahaan perseroan dan koperasi telah memperoleh kepastian hukum dengan adanya undang- undang yang mengatur khusus untuk itu. Oleh karena itu, menurut MK, untuk menghindari berlarut-larutnya ketidakpastian hukum dan ketidakadilan tersebut, MK harus memastikan batas waktu yang cukup dan adil bagi pembentukan undang-undang dimaksud yaitu dua tahun enam bulan setelah putusan MK ini diucapkan. − Bahwa apa yang diperintahkan oleh MK dalam putusan Nomor 32/PUU- XI/2013 baik di bagian amar putusan maupun pertimbangan hukum ternyata dalam praktiknya tidak ditindaklanjuti oleh Pembentuk UU yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama Presiden ( vide Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945). Sampai saat ini setelah 6 tahun sejak putusan Nomor 32/PUU-XI/2013 ternyata UU yang mengatur tentang usaha perasuransian yang berbentuk Usaha Bersama (Mutual) tidak juga dibentuk. Bahkan tidak hanya tidak membentuk UU yang mengatur tentang usaha perasuransian yang berbentuk Usaha Bersama (Mutual) sebagaimana diperintahkan putusan MK, pembentuk UU saat membentuk UU 40/2014 yang dimaksudkan sebagai pengganti UU 2/1992 justru menurunkan derajat pengaturan mengenai perasuransian yang berbentuk Usaha Bersama yaitu dari awalnya diatur dengan UU diubah menjadi diatur dengan Peraturan Pemerintah sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014. − Bahwa atas permasalahan dalam perkara ini dapat diberikan tinjauan dari beberapa aspek yaitu Pertama , bagaimana sifat putusan MK; Kedua , bagaimana kewajiban pembentuk UU untuk melaksanakan/menindaklanjuti putusan MK; dan Ketiga ; apa upaya 31 hukum yang dapat ditempuh oleh warga negara/para pihak apabila ditemukan UU yang dibentuk bertentangan dengan Putusan MK; dan Keempat ; apa akibat hukum jika suatu UU dibentuk tanpa berdasarkan pada putusan MK. SIFAT PUTUSAN MK − Bahwa terhadap aspek pertama yaitu bagaimana sifat putusan MK maka dapat diberikan keterangan terlebih dahulu tentang kelahiran MK melalui perubahan Ketiga UUD 1945 yaitu Pasal 24C Pada tahun 2001 adalah sejalan dengan dipertegasnya dianutnya paham negara hukum dalam UUD 1945. Dalam negara hukum harus dijaga paham konstitusional. Artinya, tidak boleh ada UU dan peraturan perundang-undangan lainnya yang bertentangan dengan UUD. Hal itu sesuai dengan penegasan bahwa UUD sebagai puncak dalam tata urutan peraturan perundang undangan di Indonesia. (Buku “Panduan Pemasyarakatan UUD 1945 sesuai dengan urutan Bab, Pasal dan ayat”. Sekretariat Jenderal MPR, 2007, hlm. 116). Dalam Naskah Komprehensif Perubahan UUD 1945 disebutkan bahwa Pembentukan MK ini, merupakan salah satu wujud nyata dari perlunya keseimbangan dan kontrol di antara lembaga-lembaga negara. Hal ini, juga sebagai penegasan terhadap prinsip negara hukum dan perlunya perlindungan hak asasi (hak konstitusional) yang telah dijamin konstitusi serta sebagai sarana penyelesaian beberapa permasalahan yang terjadi dalam praktik ketatanegaraan yang sebelumnya tidak ditentukan (hlm. 592 -593) − Bahwa Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyebutkan: Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum . Sementara Pasal 24C ayat (2) UUD 1945 menyebutkan: Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar . 32 Ketentuan-ketentuan tersebut di atas dapat dipahami berdasarkan niat, semangat, atau situasi kebatinan para perumus perubahan UUD 1945 sehingga pada akhirnya menyepakati rumusan mengenai sifat putusan MK yang bersifat final. Dalam rapat Rapat Pleno PAH I ke-51 BP MPR tanggal 29 Juli 2000, Hamdan Zoelva dari F-PBB antara lain menyatakan: Dalam usulan Perubahan UUD ini, kita semua telah sepakat adanya Mahkamah Konstitusi. Kita telah sepakat pula bahwa Mahkamah ini nantinya memiliki wewenang untuk menguji secara materi atas undang- undang, serta memberikan putusan atas pertentangan antar undang- undang. Putusan Mahkamah Konstitusi merupakan putusan tingkat pertama dan tingkat terakhir. Oleh karena itu, putusan Mahkamah Konstitusi tidak dapat dilakukan upaya apapun untuk membatalkannya. Hasil kerja PAH I BP MPR terkait rancangan perubahan Bab IX UUD 1945 dilaporkan pada Rapat ke-5 BP MPR, 23 Oktober 2001. Terkait dengan MK, Jacob Tobing menyampaikan rumusan-rumusan yang dihasilkan PAH I BP MPR, antara lain: Pasal 24A ayat (2) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili perkara dari tingkat pertama dan tingkat terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang- undang (dan peraturan perundang-undangan di bawahnya) terhadap Undang-Undang Dasar, memutuskan perselisihan, kewenangan atau kompetensi antar lembaga (negara), memutuskan pembubaran partai politik (atas tuntutan yang sah) yang memutuskan perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Pada Rapat Paripurna ke-6 MPR, 8 November 2001. Jacob Tobing menyampaikan Rancangan Perubahan Ketiga UUD 1945. Terkait dengan MK, rumusannya telah dikumpulkan ke dalam Pasal 24C yang terdiri atas 6 (enam) ayat. Terkait dengan putusan MK, disebutkan dalam Pasal 24C ayat (1), yaitu: __ Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan hasil tentang hasil pemilihan umum. 33 Rancangan tersebut kemudian dibawa ke Rapat Paripurna ke-7 MPR guna mendapatkan pandangan akhir dari fraksi-fraksi sebelum disahkan menjadi bagian dari Perubahan Ketiga UUD 1945. Secara umum, meskipun memberikan masukan, tetapi pada dasarnya pandangan akhir yang disampaikan fraksi-fraksi secara tegas menyepakati rumusan rancangan yang dilaporkan tersebut. __ Jika Pasal tersebut dicermati dapat dijelaskan bahwa MK merupakan badan peradilan tingkat pertama dan terakhir. Atau dapat dikatakan, badan peradilan satu-satunya yang putusannya bersifat final dan mengikat, untuk mengadili perkara pengujian UU, sengketa lembaga negara yang kewenangannya diberikan UUD, pembubaran partai politik, dan perselisihan hasil pemilihan umum. Dengan demikian, dalam hal pelaksanaan kewenangannya, MK tidak mengenal adanya mekanisme banding atau kasasi. ( Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 1999-2002, Buku VI Kekuasaan Kehakiman , Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi; Edisi Revisi, Juli 2010, hlm. 594 - 595) __ Dengan demikian pengertian tingkat pertama dan terakhir di sini adalah di bawah maupun di atas MK tidak ada badan pengadilan lain, sehingga putusan MK langsung sebagai putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap ( in kracht van gewijsde vonnis ). Untuk itu tidak ada upaya hukum lainnya, baik berupa banding atau kasasi yang dapat ditempuh dan menjadikan putusannya bersifat final. ( Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 1999-2002, Buku VI Kekuasaan Kehakiman , Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi; Edisi Revisi, Juli 2010, hlm. 718) Lain halnya dengan kewajiban MK untuk memberikan putusan atas pendapat DPR, terhadap dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden. Dalam hal ini, UUD tidak menyatakan MK sebagai peradilan tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final dan mengikat. MK hanya diletakkan sebagai salah satu mekanisme yang harus 34 dilalui dalam proses pemberhentian ( impeachment ) Presiden dan/atau Wakil Presiden. Kewajiban konstitusional MK adalah untuk membuktikan dari sudut pandang hukum, mengenai benar tidaknya dugaan pelanggaran hukum Presiden dan/atau Wakil Presiden. ( Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 1999-2002, Buku VI Kekuasaan Kehakiman , Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi; Edisi Revisi, Juli 2010, hlm. 594 - 595) − Bahwa apa yang dimaksud putusan MK bersifat final kemudian diperjelas dan dipertegas melalui Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang (selanjutnya disebut sebagai UU MK). Penjelasan Pasal 10 ayat (1) UU MK menerangkan Putusan MK bersifat final, yakni putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Apabila dikaitkan dengan Pasal 47 UU MK yang menyebutkan: Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum maka putusan MK telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan secara langsung memperoleh kekuatan mengikat untuk dilaksanakan serta membawa akibat hukum bagi semua pihak yang berkaitan dengan putusan sejak putusan selesai diucapkan dalam sidang pleno. − Bahwa Menurut Sri Soemantri, putusan yang bersifat final harus bersifat mengikat dan tidak bisa dianulir oleh lembaga apapun. Dalam bahasa Inggris, pengertian yuridis final dan mengikat itu selalu bersatu, yaitu final and binding . Dengan demikian, jika bersifat final harus diikuti dengan mengikat sehingga sah memiliki kepastian hukum. Kata final itu implisit telah mengikat dan tidak bisa dianulir sehingga tidak perlu ditambahi dengan kata-kata mengikat (Sri Soemantri, “Catatan-catatan Terhadap RUU Mahkamah Konstitusi”, disampaikan pada Seminar di Universitas Islam Indonesia, 11 Mei 2002, hlm. 8, yang dikutip kembali oleh Abdul 35 Rasyid Thalib dalam Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya dalam Sistem Ketatanegaraan RI, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlm.
. Menurut Indroharto, kata final, artinya akibat hukum yang ditimbulkan serta dimaksudkan dengan mengeluarkan penetapan tertulis itu harus benar-benar sudah merupakan akibat hukum yang definitif (Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan, 1991, hlm. 116). − Bahwa mengenai kewenangan MK untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final telah diberikan tafsir konstitusional oleh MK melalui Putusan Nomor 129/PUU-VII/2009 dan putusan Nomor 36/PUU-IX/2011 tentang pengujian Pasal 10 ayat (1) huruf a UU MK. Dalam putusan ini MK menegaskan pasal yang dimohonkan untuk diuji dalam permohonan a quo materinya adalah pemuatan kembali atau pengulangan materi kewenangan MK yang terdapat dalam Pasal 24C UUD 1945. apabila MK menguji materi pasal yang dimohonkan dalam permohonan a quo , maka secara tidak langsung MK akan pula menguji materi yang terdapat dalam Pasal 24C UUD 1945, yang berarti MK akan menguji konstitusionalitas dari materi UUD 1945 dimana MK berpendapat bahwa hal demikian bukan menjadi kewenangan MK. Selain itu keberadaan Pasal 24C UUD 1945 yang menyebutkan kewenangan MK untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final merupakan pilihan dari pembuat UUD 1945 dan MK tidak mempunyai kewenangan untuk menilai pilihan pembuat UUD 1945 tersebut. − Bahwa dengan demikian jawaban atas pertanyaan bagaimana sifat putusan Mahkamah Konstitusi setelah melihat risalah perubahan UUD 1945, UU MK, dan Putusan MK dapat disimpulkan putusan MK bersifat final yang sifat final ini menunjukkan sekurang-kurangnya 3 (tiga) hal, yaitu: Pertama, bahwa Putusan MK secara langsung memperoleh kekuatan hukum; Kedua; karena telah memperoleh kekuatan hukum maka Putusan MK memiliki akibat hukum bagi semua pihak yang berkaitan dengan putusan. Hal ini karena Putusan MK berbeda dengan putusan peradilan umum yang hanya mengikat para pihak berperkara ( interparties ). Semua pihak wajib mematuhi dan melaksanakan Putusan MK karena putusan MK 36 tidak hanya mengikat bagi pihak yang mengajukan perkara di MK, melainkan mengikat juga semua warga negara seperti halnya UU mengikat secara umum bagi semua warga negara ( erga omnes ). Ketiga; karena merupakan pengadilan pertama dan terakhir, maka tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh. Sebuah putusan apabila tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh berarti telah mempunyai kekuatan hukum tetap ( in kracht van gewijsde ) dan memperoleh kekuatan mengikat ( resjudicata pro veritate habetur ). KEWAJIBAN PEMBENTUK UNDANG-UNDANG UNTUK MELAKSANAKAN/ MENINDAKLANJUTI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI − Bahwa Pasal 56 ayat (3) UU MK menyebutkan: Dalam hal permohonan dikabulkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Mahkamah Konstitusi menyatakan dengan tegas materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 . Kemudian Pasal 57 ayat (1) UU MK menyatakan: Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang- undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat . Konstruksi Pasal 56 ayat (3) dan Pasal 57 ayat (1) UU MK ini pada dasarnya merupakan putusan yang berkategori self-implementing . Putusan yang bersifat self-implementing , diartikan bahwa putusan akan langsung efektif berlaku tanpa memerlukan tindak lanjut lebih jauh dalam bentuk kebutuhan berupa langkah-langkah implementasi perubahan undang-undang yang diuji. Dalam hal ini, dengan diumumkannya putusan MK dalam sidang terbuka untuk umum dan diumumkan dalam Berita Negara sebagai norma hukum baru, dapat segera dilaksanakan; − Bahwa dalam model putusan MK yang berkategori self-implementing MK menyatakan secara sekaligus bahwa suatu UU yang diuji bertentangan dengan UUD 1945 baik seluruhya maupun sebagian dan pernyataan bahwa yang telah dinyatakan bertentangan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno yang terbuka untuk umum. Dalam putusan self-implementing MK tidak 37 membuat norma baru karena hanya sebagai negative legislator melalui suatu pernyataan atau deklaratif. Sifat putusan deklaratif tidak membutuhkan satu aparat khusus untuk melaksanakan putusan. Namun demikian, sebagai syarat untuk diketahui secara umum, putusan demikian diumumkan dalam Berita Negara dalam jangka waktu paling 30 (tiga puluh) hari sejak putusan diucapkan (Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi , (Jakarta: Konstitusi Press, 2010, hlm. 250-251); − Bahwa dengan dimuat dalam Berita Negara maka seluruh penyelenggara negara dan warga negara terikat untuk tidak menerapkan dan melaksanakan lagi norma hukum yang telah dinyatakan inkonstitusional dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh MK. Oleh karena itu, jika terdapat suatu perbuatan yang dilakukan atas dasar UU yang sudah dinyatakan oleh MK baik seluruhnya maupun sebagian bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat maka perbuatan tersebut dapat dikualifisir sebagai perbuatan melawan hukum dan demi hukum batal sejak semula ( ad initio ) (Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi , (Jakarta: Konstitusi Press, 2010, hlm 251- 252); − Bahwa dalam beberapa tahun terakhir, terjadi perkembangan yang menarik dalam pengujian UU, khususnya dalam hal putusan yang dijatuhkan MK. Jika semula jenis putusan MK hanya seperti yang diatur dalam Pasal 56 dan Pasal 57 ayat UU MK yaitu berupa amar yang mengabulkan permohonan, menyatakan permohonan tidak dapat diterima, dan menolak permohonan untuk sebagian atau seluruhnya dengan menyatakan suatu undang-undang, pasal, ayat atau frasa bertentangan dengan UUD 1945 dan menyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat ( legally null and void ), maka dalam perkembangannya, MK pun menciptakan varian putusan yakni konstitusional bersyarat ( conditionally constitutional ), inkonstitusional bersyarat ( conditionally unconstitutional ), putusan yang menunda pemberlakuan putusan ( limited constitutional ), dan putusan yang merumuskan norma baru; − Bahwa putusan konstitusional bersyarat ( conditionally constitutional ) artinya adalah permohonan dikabulkan secara bersyarat sesuai yang ditentukan MK. Putusan konstitusional bersyarat bertujuan untuk 38 mempertahankan konstitusionalitas suatu ketentuan dengan syarat-syarat yang ditentukan MK. Putusan inkonstitusional bersyarat ( conditionally unconstitutional ) merupakan kebalikan dari putusan konstitusional bersyarat yang berarti pasal yang dimohonkan untuk diuji, dinyatakan bertentangan secara bersyarat dengan UUD 1945. Artinya, pasal yang dimohonkan diuji tersebut adalah inkonstitusional jika syarat yang ditetapkan oleh MK tidak dipenuhi. Pasal yang dimohonkan diuji tersebut pada saat putusan dibacakan adalah inkonstitusional dan akan menjadi konstitusional apabila syarat sebagaimana ditetapkan oleh MK dipenuhi oleh addresaat putusan MK. − Bahwa model putusan yang pemberlakuannya ditunda ( limited constitutional ) artinya adalah MK menoleransi berlakunya aturan yang sebenarnya bertentangan dengan konstitusi hingga batas waktu tertentu. Model putusan limeted constitustional bertujuan untuk memberi ruang transisi aturan yang bertentangan dengan konstitusi untuk tetap berlaku dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sampai waktu tertentu karena disadarkan atas pertimbangan kemanfaatan. Model putusan yang pemberlakuannya ditunda mengandung perintah kepada pembentuk UU untuk memperbaharui landangan konstitusional yang dibatasi oleh waktu. Adapun model putusan yang merumuskan norma baru adalah MK mengubah atau membuat baru bagian tertentu dari isi suatu UU yang diuji, sehingga norma dari UU itu juga berubah dari yang sebelumnya. Model putusan yang merumuskan norma baru didasarkan suatu keadaan tertentu dan dianggap mendesak untuk segera dilaksanakan. Dengan demikian ada problem implementasi jika putusan MK hanya menyatakan suatu norma bertentangan dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka akan timbul kekosongan norma sementara norma tersebut sedang, akan, bahkan telah diimplementasikan namun menimbulkan persoalan konstitusional terutama dalam penerapannya. − Bahwa secara umum putusan-putusan MK yang bersifat self-implementing dapat diketemukan dari sejumlah putusan MK yang secara hukum membatalkan dan menyatakan tidak berlaku (null and void) ataupun amarnya terdapat perumusan norma. Contoh putusan yang dapat langsung dilaksanakan adalah Putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006 39 yang membatalkan pasal-pasal tentang Penghinaan Presiden dalam KUHP, yaitu Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137. Sejak putusan ini diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum maka tidak seorang pun dapat dipidana berdasarkan pasal-pasal itu. Kepolisian tidak dapat menjadikan pasal-pasal itu sebagai dasar penyelidikan dan penyidikan. Demikian pula penuntutan oleh kejaksaan. Putusan MK berlaku serta merta, meskipun belum ada perubahan terhadap KUHP. Sementara putusan self-implementing dalam model putusan yang merumuskan norma baru contohnya yaitu Putusan Nomor 072-073/PUU-II/2004 perihal pengujian UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah terhadap UUD 1945. Dalam bagian mengadili putusan tersebut, MK menyatakan bagian tertentu dalam pasal-pasal yang diajukan permohonan sebagai bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Akibat dari penghapusan tersebut, maka pasal- pasal tersebut menjadi Pasal 57 ayat (1) UU Nomor 32 tahun 2004 mengatur sebagai berikut “Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah diselenggarakan oleh KPUD yang bertanggung jawab kepada DPR”. Dengan Dengan putusan MK maka pasal tersebut menjadi: ”Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah diselenggarakan oleh KPUD.” − Bahwa meskipun Putusan MK mempunyai kekuatan hukum mengikat sejak selesai dibacakan, namun tidak semua putusan MK yang mengabulkan permohonan Pemohon dapat langsung dilaksanakan ( implementing ), karena untuk pelaksanaan putusan MK tersebut masih memerlukan tindak lanjut dengan pembentukan UU baru atau UU perubahan. Inilah yang putusan yang disebut dengan non-self implementing . Dikatakan demikian karena putusan tersebut mempengaruhi norma-norma lain dan memerlukan revisi atau pembentukan UU baru atau peraturan yang lebih operasional dalam pelaksanannya. − Bahwa putusan non-self implementing/non-self executing dapat diketemukan pada model putusan selain yang membatalkan dan menyatakan tidak berlaku ( null and void ), yaitu pada model putusan konstitusional bersyarat ( conditionally constitutional ), model putusan inkonstitusional bersyarat ( conditionally unconstitutional ), model putusan 40 yang pemberlakuannya ditunda ( limited constitutional ), dan model putusan yang merumuskan norma baru. Contohnya adalah putusan Nomor 102/PUU-VII/2009, MK memutuskan bahwa ketentuan Pasal 28 dan Pasal 111 ayat (1) UU Nomor 42 Tahun 2008 konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) sepanjang tidak menghilangkan hak pilih warga negara yang tidak terdaftar dalam DPT dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Putusan ini juga memberikan pedoman berupa syarat dan cara yang harus dipenuhi bagi warga Negara yang tidak terdaftar dalam DPT apabila akan menggunakan hak pilihnya. Sebagai tindak lanjut dari putusan tersebut, KPU pada tanggal 6 Juli 2009 mengeluarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perubahan Terhadap Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 29 Tahun 2009 tentang Pedoman Teknis Pemungutan Dan Penghitungan Suara Di Tempat Pemungutan Suara Dalam Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden Tahun 2009. Dalam Peraturan tersebut diatur mengenai teknis pelaksanaan penggunaan hak pilih bagi Warga Negara Indonesia yang tidak terdaftar dalam DPT dengan berlandaskan pada putusan MK a quo . − Bahwa terkait dengan putusan yang bersifat non-self implementing dapat difahami bahwa model putusan tersebut masih memerlukan tahapan berikutnya, yaitu tindak lanjut oleh addressat putusan. Hal ini karena implementasi kebijakan publik yang baru tersebut membutuhkan dasar hukum yang baru sebagai dasar pelaksanaan kebijakan publik yang ditetapkan dalam putusan MK. Perubahan hukum yang terjadi dengan putusan atas UU yang diuji MK yang mengharuskan proses pembentukan UU yang baru sesuai dengan politik hukum yang digariskan dalam putusan MK. Kesadaran akan adanya putusan MK yang bersifat non-self implementing telah diakomodir dengan adanya norma dalam Pasal 10 ayat (1) huruf d, UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang mengatur bahwa materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang salah satunya berisi tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi. − Bahwa amar Putusan MK Nomor 32/PUU-XI/2013 tertanggal 03 April 2014 yang menyatakan: Frasa “...diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang” 41 dalam Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “... ‘ diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang’ dilakukan paling lambat dua tahun enam bulan setelah putusan Mahkamah ini diucapkan” merupakan model putusan inkonstitusional bersyarat ( conditionally unconstitutional ) yang membutuhkan tindak lanjut oleh Pembentuk UU. Sejak adanya Putusan MK ini maka Pasal 7 ayat (3) adalah inkonstitusional dan akan menjadi konstitusional apabila syarat sebagaimana ditetapkan oleh MK dipenuhi oleh addressat putusan MK. − Bahwa Putusan MK Nomor 32/PUU-XI/2013 memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan/dibacakan. Meskipun putusan MK mempunyai kekuatan hukum mengikat sejak selesai dibacakan namun Putusan Nomor 32/PUU-XI/2013 yang mengabulkan permohonan pemohon ini tidak dapat langsung dilaksanakan ( self implementing/self executing ), karena untuk pelaksanaan putusan MK tersebut masih memerlukan tindak lanjut dengan pembentukan UU baru. Sesuai dengan Pasal 10 ayat (1) huruf d, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 yang menyebutkan Materi muatan yang harus diatur dengan Undang- Undang _berisi:
tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi_ , dan sesuai dengan Pasal 10 ayat (2) UU 12/2011 yang menyebutkan Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan oleh DPR atau Presiden , maka seharusnya DPR dan Presiden menindaklanjuti Putusan MK Nomor 32/PUU-XI/2013 dengan cara membentuk UU tentang Usaha perasuransian yang Berbentuk Usaha Bersama dalam jangka waktu sebagaimana telah ditentutkan oleh Putusan MK. UPAYA HUKUM APABILA DITEMUKAN UU YANG DIBENTUK BERTENTANGAN DENGAN PUTUSAN MK − Bahwa terhadap putusan MK yang yang menyatakan suatu materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian dari UU yang ditelah dinyatakan inkonstitusional dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat ( legally null and void ) maka pemuatan putusan MK dalam Berita Negara 42 sebagaimana ditentukan dalam pasal 57 ayat (3) UU MK dirasa cukup untuk diketahui secara umum bahwa seluruh penyelenggara negara dan warga negara terikat untuk tidak menerapkan dan melaksanakan lagi materi yang ditelah dinyatakan inkonstitusional dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat tersebut sehingga jika dilanggar dapat dikualifisir sebagai perbuatan melawan hukum dan batal demi hukum sejak semula ( ad initio ); − Bahwa terhadap putusan MK yang berkategori konstitusional bersyarat, putusan inkonstitusional bersyarat, dan putusan yang merumuskan norma baru maka tidak cukup dengan memuat dalam berita Negara sebagaimana ditentukan dalam pasal 57 ayat (3) UU MK untuk diketahui secara umum bahwa seluruh penyelenggara negara dan warga negara, melainkan terhadap putusan ini Addressat putusan MK dituntut untuk membentuk UU melalui proses legislasi dan peraturan perundang-undangan di bawah UU melalui proses regulasi yang sesuai dengan perintah MK melalui putusannya. − Bahwa putusan MK umumnya tidak dilengkapi dengan instrumen yang dapat memaksakan pelaksanaannya, baik melalui kekuatannya sendiri maupun dengan cara-cara lain, implementasi putusan MK menekankan pada self-respect dan kesadaran hukum pihak-pihak yang terkait dengan putusan, apakah itu pembentuk UU atau lembaga-lembaga negara lain selaku adressat putusan. Selain itu, implementasi putusan MK sangat bergantung pada cabang kekuasaan lain atau organ-organ kekuasaan lainnya, apakah putusan-putusannya diterima dan apakah mereka siap untuk mematuhinya (Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi , Edisi Revisi, Jakarta: Mahkamah Konstitusi, 2019, hlm. 48) − Bahwa terlepas dari tidak adanya instrumen pemaksa pada MK untuk memaksakan implementasi putusannya yang belum dilaksanakan, maka MK tentu saja berkepentingan untuk melihat putusannya dilaksanakan. Satu putusan yang tidak terlaksana sebagaimana layaknya dalam jangka waktu yang pantas, tentu saja akan membawa dampak pada kewibawaan lembaga yang memutusnya, serta penegakan hukum dan konstitusi pada umumnya. Secara logis, jika MK merupakan pengawal konstitusi 43 sebagaimana selalu dinyatakan, maka tidak terlaksananya putusan MK sebagaimana mestinya sedikit banyak dapat menimbulkan terjadinya proses deligitimasi terhadap UUD 1945, yang pada hakekatnya dapat menggoyahkan stabilitas penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. (Maruarar Siahaan, “Peran Mahkamah Konstitusi Dalam Penegakan Hukum Konstitusi”, Jurnal Hukum, Volume 16, Nomor 3, Juli 2009, hlm. 363); − Bahwa dalam praktiknya masih ditemukan putusan MK yang tidak dijalankan sebagaimana mestinya ( non-executiable ) oleh pihak yang seharusnya menindaklanjuti putusan tersebut ( addressat ) contohnya adalah Putusan Nomor 92/PUU-X/2012. Melalui putusan tersebut, MK menyatakan bahwa seluruh ketentuan dalam UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, serta UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan yang telah mereduksi kewenangan Dewan Perwakilan Daerah sebagaimana telah ditentukan oleh UUD 1945 atau setidaknya telah mengurangi fungsi, tugas dan kewenangannya yang dikehendaki konstitusi harus dinyatakan inkonstitusional. Melalui putusan itu juga, MK menegaskan bahwa DPD mempunyai hak konstitusional sebagaimana diamanahkan oleh Konstitusi Pasal 22D ayat (1) dan (2), yang di antaranya adalah mengajukan rancangan undang-undang, ikut membahas rancangan undang-undang, penyusunan prolegnas dan pertimbangan terhadap rancangan undang-undang. Faktanya, secara substansial putusan MK tersebut dimuat kembali dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; − Bahwa Addresat putusan MK yang tidak senang atau tidak setuju mempunyai 4 (empat) pilihan menghadapi putusan MK tersebut. Pertama, ia dapat patuh terhadap putusan tersebut dan menerimanya secara sukarela serta melaksanakannya. Atau kedua, dia dapat mengabaikan putusan MK dan berharap bahwa apapun wewenang yang dimiliki MK dan lembaga lain untuk melaksanakan, putusan itu menjadi tidak efektif. 44 Ketiga, dia dapat mencoba membatalkan putusan melalui amandemen UUD atau jika ada prosedur yang tersedia secara resmi menolak putusan. Opsi terakhir dan yang paling ekstrim atau yang keempat adalah dengan menyerang MK sebagai lembaga dengan berupaya mengurangi wewenangnya atau kekuasaan efektifnya (Tom, Judicial Review in New Democracies, Constitutional Court in Asian Cases , Cambridge University Press 2003, hlm. 78-79); − Bahwa Penegakan hukum konstitusi yang tercermin dalam kewenangan MK sebagai bagian dari sistem pemisahan kekuasaan ( separation of powers ) dan checks and balances hanya efektif jikalau putusan MK diterima dan dilaksanakan oleh penyelenggara cabang kekuasaan negara lainnya, terutama Pembentuk UU. Upaya yang bisa dilakukan dalam rangka memastikan Putusan MK dilakukan sebagaimana juga diterapkan di MK beberapa negara seperti Austria dan Afrika Selatan adalah dalam kasus tertentu yang memenuhi persyaratan dilakukan penundaan keberlakuan putusan mengingat pembentuk UU membutuhkan waktu untuk menyusun atau merevisi UU agar sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi. Maka, Adanya penundaan keberlakuan putusan adalah solusi terbaik untuk menanggapi keadaan tersebut. Beberapa putusan MK Indonesia pada prinsipnya telah mengakomodir adanya penundaan pelaksanaan putusan tersebut. Salah satunya dapat dilihat pada Putusan Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 berkaitan dengan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Substansi pasal tersebut adalah pengadilan khusus tindak pidana korupsi, yang diberikan jangka waktu selama 3 (tiga) tahun oleh Mahkamah Konstitusi; − Bahwa Putusan MK Nomor 32/PUU-XI/2013 tertanggal 03 April 2014 yang menyatakan: Frasa “...diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang” dalam Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “... ‘ diatur lebih lanjut dengan Undang- Undang’ dilakukan paling lambat dua tahun enam bulan setelah putusan Mahkamah ini diucapkan” pada dasarnya telah mengkomodir penundaan 45 keberlakuan putusan dalam rangka memberikan waktu kepada pembentuk undang-undang yaitu dua tahun enam bulan untuk menyusun undang- undang sebagaimana perintah putusan Mahkamah Konstitusi. Namun faktanya pembentuk UU justru tidak melaksanakan putusan tersebut dan memilih membuat pengaturan yang berbeda dengan apa yang telah diatur oleh MK; − Bahwa terhadap tindakan pembentuk UU yang mengatur secara berbeda dengan apa yang telah diputuskan oleh MK pada dasarnya merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang telah dijamin oleh UUD 1945 yaitu hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1). Hal ini mengingat pemohon setelah permohonannya dikabulkan oleh MK seharusnya kerugian konstitusional yang didalilkan saat mengajukan permohonan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Namun dengan tidak dilaksanakannya putusan MK hal ini berarti kerugian konstitusionalnya akan tetap terjadi. Selain itu putusan MK telah mempunyai akibat hukum yang jelas dan tegas, serta tidak ada upaya hukum lanjutan sejak putusan tersebut selesai diucapkan dalam sidang pleno yang terbuka untuk umum. sehingga tidak ada pilihan lain bagi Addresat putusan MK selain melaksanakan putusan MK. dengan demikian tidak dilaksanakannya putusan MK oleh addresat putusan MK telah menimbulkan situasi ketidakpastian hukum; − Bahwa dengan tetap terjadinya kerugian konstitusional oleh pemohon dalam perkara yang putusan MK nya tidak ditindaklanjuti oleh Pembentuk UU serta adanya ketidakpastian hukum yang terjadi akibat diabaikannya putusan pengadilan (baca MK) maka sesuai Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 serta Pasal 51 UU MK dan Yurisprudensi tetap MK yang tertuang dalam Putusan Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 juncto Perkara Nomor 11/PUU- V/2007 maka pemohon dalam perkara yang putusan MK nya tidak ditindaklanjuti oleh pembentuk UU bisa mengajukan permohonan pengujian UU ke MK. Selain pemohon maka dengan mengingat sifat putusan MK yang berlaku mengikat tidak hanya bagi pihak yang sedang berperkara di MK melainkan juga mengikat semua pihak (erga omnes) maka dimungkinkan juga pihak selain pemohon dalam perkara 46 sebelumnya untuk mengajukan permohonan sepanjang mempunyai kedudukan hukum. AKIBAT HUKUM JIKA SUATU UU DIBENTUK TANPA BERDASARKAN PADA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI − Bahwa sesuai pertimbangan hukum Putusan MK Nomor 49/PUU-IX/2011 maka MK menyatakan: Bahwa Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan, antara lain, “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final ...”. Ketentuan tersebut jelas bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat umum ( erga omnes ) yang langsung dilaksanakan ( self executing ). Putusan MK sama seperti UU yang harus dilaksanakan oleh negara, seluruh warga masyarakat, dan pemangku kepentingan yang ada. Putusan MK merupakan putusan yang sifatnya final dan mengikat yang harus ditindaklanjuti oleh DPR dan Presiden sebagai bentuk perwujudan sistem ketatanegaraan berdasarkan UUD 1945 sekaligus sebagai konsekuensi faham negara hukum demokratis yang konstitusional. − Bahwa sifat putusan MK adalah final dan mengikat. Kekuatan mengikat putusan MK berbeda dengan putusan pengadilan biasa, tidak hanya meliputi pihak-pihak yang berperkara yaitu pemohon, Pemerintah, DPR/DPD, ataupun pihak-pihak terkait yang diizinkan memasuki proses perkara, tetapi juga putusan tersebut mengikat bagi semua orang, lembaga negara dan badan hukum dalam wilayah Republik Indonesia. Ia berlaku sebagai hukum sebagaimana hukum diciptakan pembuat UU (Ni’matul Huda, Kekuatan Eksekutorial Putusan Mahkamah Konstitusi, FH UII Press, Yogyakarta, 2018, hlm. 193); − Bahwa Dalam kaitannya dengan praktik hasil uji materi UU terhadap UUD 1945 khususnya tatkala MK memberi tafsir terhadap isi ketentuan pasal atau ayat dari undang-undang yang dimohonkan pengujiannya baik yang bersifat conditionally constitutional maupun conditionally unconstitutional juga perumusan norma baru, jika ditelisik lebih jauh, sesungguhnya adalah perintah agar addresat putusan yang terkait dengan pelaksanaan ketentuan UU mematuhi dan melaksanakan persyaratan konstitusional yang dimandatkan oleh MK. 47 − Bahwa UU 12/2011 telah menyediakan sarana/mekanisme bagi DPR dan Presiden untuk dapat menindaklanjuti Putusan MK yaitu melalui Pasal 10 ayat (1) UU P3 yang menyatakan sebagai berikut: “materi muatan yang harus diatur dengan undang-undang salah satunya berisi tentang tindak lanjut atas putusan MK. Selanjutnya di Pasal 10 ayat (2) dinyatakan, tindak lanjut putusan MK tersebut dilakukan oleh DPR atau Presiden. Keberadaan Pasal ini semakin menegaskan bahwa Putusan MK wajib dijadikan rujukan dalam pembentukan UU oleh DPR dan Presiden, hal ini dimaksudkan agar UU yang dibentuk sesuai dengan jiwa putusan MK sehingga materinya tidak bertentangan dengan UUD 1945 Lebih-lebih terhadap putusan yang dinyatakan bersyarat oleh MK, sebab pada tahap inilah peran pembentuk UU dituntut untuk menjaga konsistensi penafsiran putusan MK yang nantinya akan dituangkan dalam bentuk UU; − Bahwa sebagai negara yang menganut demokrasi konstitusional, maka mengandung konsekuensi logis bahwa konstitusi ditempatkan sebagai hukum dasar Negara Indonesia, artinya pada satu sisi UUD 1945 harus dipedomani dan dilaksanakan oleh seluruh seluruh masyarakat dan penyelenggara negara, serta pada sisi yang lain konstitusi harus ditempatkan sebagai rujukan dalam pencarian solusi atas persoalan kenegaraan dan kebangsaan yang muncul. Sebagai lembaga yang melaksanakan tugas dan fungsi untuk menegakkan nilai-nilai konstitusi Indonesia sebagaimana tertuang dalam UUD 1945, sepatutnya setiap putusan MK harus ditaati dan dilaksanakan oleh para pihak yang terkait dengan putusan tersebut termasuk ketaatan seluruh elemen bangsa pada putusan tersebut. Sebab membangun kesetiaan dan ketaatan terhadap konstitusi salah satunya adalah ketaatan terhadap putusan MK juga. − Bahwa Putusan MK yang bersifat non self implementing tidak selalu mudah untuk diimplementasikan. Putusan MK yang telah membentuk hukum atau instrumen hukum baru dengan menyatakan satu UU, pasal, ayat, dan/atau bagian dari undang-undang tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat, tidak didukung dengan suatu instrumen yang dapat memaksakan bahwa putusan tersebut harus dilaksanakan, baik melalui kekuatannya sendiri maupun dengan cara lain-lain yang berada dibawah kendali MK; 48 − Bahwa ketundukan dan ketaatan terhadap putusan MK merupakan bentuk nyata dari kesetiaan terhadap konstitusi itu sendiri, dengan kata lain ketidaktaatan terhadap putusan MK adalah bentuk ketidaksetiaan dan bentuk pembangkangan terhadap konstitusi itu sendiri atau yang disebut sebagai constitution disobedience. Postulat tersebut tentu didasarkan pada pemikiran bahwa MK yang secara fungsional melaksanakan tugas menegakan nilai-nilai konstitusi sebagaimana tertuang dalam UUD 1945, tentu putusan yang dikeluarkan oleh MK merupakan cerminan dari konstitusi yang sedang berlangsung. ^ oleh sebab itu pembangkangan terhadap putusan MK adalah pembangkangan terhadap konstitusi itu sendiri (constitution disobedience). − Bahwa tindakan pembangkangan terhadap putusan MK sebagai bentuk pembangkangan terhadap konstitusi berakibat sebagai berikut; Pertama , tidak dilaksanakannya putusan MK yang mencerminkan adanya pembangkangan terhadap putusan MK dapat mengacaukan kepastian hukum yang telah dikeluarkan oleh MK. Kedua , pembangkangan terhadap putusan MK tersebut berakibat terjadinya constitutionalism justice delay atau penundaan keadilan yang basisnya adalah nilai-nilai konstitusi Indonesia , sebab keadilan terhadap hak-hak konstitusional warga negara yang dilindungi oleh putusan MK tidak dilaksanakan karena adanya pembangkangan terhadap putusan MK. Ketiga, __ terjadinya rivalitas lembaga negara yang diperlihatkan oleh DPR dan Presiden melalui pembentukan UU yang dikeluarkan seolah mengabaikan putusan-putusan Mahkamah konstitusi. Kondisi ini tentu menyebabkan ketidakstabilan negara hukum utamanya penegakan nilai-nilai konstitusi sebagaimana tertuang dalam UUD 1945. − Bahwa fenomena pembangkangan terhadap putusan MK sebagai salah satu bentuk constitution disobedience tidak bisa dibiarkan berkepanjangan dengan bentuk-bentuk pembangkangan yang mulai sering terjadi akhir- akhir ini, sebab akan merusak sistem demokrasi konstitusi yang telah dibangun sejak reformasi Indonesia yang ditandai dengan reformasi konstitusi pada tahun 1999-2002. Pembangkangan terhadap putusan MK akan berakibat fatal, dari potensi terjadinya reduksi fungsi lembaga MK hingga terjadinya constitutional justice delay. Ketaatan terhadap putusan 49 MK tidak bisa hanya bertumpu pada kesadaran hukum masyarakat dan lembaga negara, namun perlu ditunjang juga oleh instrumen “pemaksa” untuk menciptakan situasi taat tersebut. Oleh sebab itu diperlukan berbagai alternatif untuk menjaga stabilitas ketaatan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi yang secara fungsional merupakan pengawal konstitusi. Alternatif yang dapat dipergunakan adalah dengan dilakukan koreksi kembali ( judicial review ) terhadap UU yang substansinya berisikan pengaturan yang bertentangan dengan putusan MK − Bahwa dalam praktiknya MK sudah pernah membatalkan ketentuan dalam UU yang isinya mengatur materi muatan yang bertentangan dengan Putusan MK sebelumnya. MK melalui Putusan Nomor 1-2/PUU-XII/2014 dalam perkara pengujian UU 4/2014 tentang Penetapan Perppu 1/2013 tentang Perubahan kedua UU 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi menjadi UU menyatakan bahwa pelibatan Komisi Yudisial sebagaimana ketentuan UU 4/2014 adalah merupakan bentuk penyelundupan hukum karena hal tersebut secara jelas bertentangan dengan Putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006 tanggal 23 Agustus 2006, yang menegaskan secara konstitusional bahwa hakim Mahkamah Konstitusi tidak terkait dengan Komisi Yudisial yang mendapatkan kewenangan berdasarkan Pasal 24B UUD 1945. Terhadap tindakan penyelundupan hukum yang demikian maupun tindakan yang inkonstitusional lainnya harus dikoreksi oleh MK melalui upaya Judicial Review demi menjaga tegaknya konstitusi. Dalam amar putusan perkara ini menyatakan UU 4/2014 bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. − Bahwa pembatalan ketentuan UU yang substansinya mengatur materi muatan yang bertentangan dengan Putusan MK sebelumnya juga pernah dilakukan oleh MK dalam Putusan Nomor 79/PUU-XII/2014 yang membatalkan beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD. Dalam pertimbangan putusan ini, MK menyatakan bahwa pembentuk UU dalam membentuk UU 17/2014 sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD utamanya menyangkut jaminan atas kewenangan konstitusional DPD dalam proses legislasi ternyata tidak memasukkan putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012 yang telah 50 membatalkan beberapa ketentuan dalam UU 27/2009 karena bertentangan dengan UUD 1945. Putusan MK 79/PUU-XII/2014 merupakan bentuk ketegasan MK atas tindakan pembentuk UU yang sengaja menyimpangi atau mengabaikan Putusan MK Nomor 92/PUU- X/2012 dalam penyusunan UU 17/2014, padahal selayaknya pembentuk UU memperhatikan, mempertimbangkan dan melaksanakan Putusan MK sebagai bagian dari pelaksanaan prinsip negara hukum. Ahli pun menyampaikan keterangan tambahan yang disampaikan pula dalam persidangan, pada pokoknya adalah sebagai berikut: − Bahwa menurut ahli, bagian pertimbangan hukum dari putusan Mahkamah Konstitusi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dan oleh karena itu sifatnya mengikat sama seperti amar putusan. Namun, tidak semua bagian dari pertimbangan Mahkamah tersebut memiliki kekuatan mengikat yang sama dengan amar putusan. Dengan demikian, jika dikaitkan dengan ratio decidendi maka bagian pertimbangan hukum merupakan alasan yang menentukan untuk diambilkan suartu putusan dalam amar, sementara jika obiter dicta merupakan serangkaian pendapat hukum yang tidak berkenaan langsung dengan amar putusan namun hal tersebut berada dalam pertimbangan putusan Mahkamah Konstitusi. − Terkait dengan hak konstitusional warga negara yang diatur dalam undang- undang atau peraturan pemerintah, menurut ahli, peraturan pemerintah merupakan peraturan perundang-undangan yang sifatnya delegasi dari undang- undang sehingga peletakan hak konstitusional warga negara dalam kedua peraturan perundang-undangan tersebut memiliki implikasi yang berbeda terutama terkait dengan aspek jaminan kepastian hukum. Peraturan pemerintah idealnya secara substansi tidak dapat mengatur hal-hal yang tidak didelegasikan dan undang-undang itu sendiri sifat pengaturannya terbuka dan tidak terbatas seperti peraturan pemerintah. − Terkait dengan apakah hakim Mahkamah Konstitusi dapat memiliki pendapat berbeda dari putusan sebelumnya ?, menurut ahli, dari beberapa putusan Mahkamah sendiri hal tersebut dimungkinkan terjadi dengan syarat terdapat alasan baru karena hakim Mahkamah Konstitusi merupakan hakim yang memiliki 51 kemandirian dan tidak terikat dengan lembaga atau apapun terlebih terhadap kemandirian hakim tersebut dijamin dalam UUD 1945. − Terkait dengan frasa “...diatur dengan” dan frasa “...diatur dalam“, menurut ahli, terhadap kedua frasa tersebut Mahkamah sudah pernah membuat tafsir dari kedua frasa tersebut. Tafsiran Mahkamah terhadap frasa “diatur dengan” adalah harus diatur dengan undang-undang sendiri, sedangkan frasa “diatur dalam“ adalah dapat diatur dalam satu undang-undang. Namun, menurut ahli, cara memaknai kedua frasa tersebut dapat dilihat dari makna ketika dirumuskannya norma dimana salah satu frasa itu ada. − Terkait dengan politik hukum Undang-Undang Perasuransian yang mendelegasikan pengaturan Asuransi Usaha Bersama mengapa diatur melalui peraturan pemerintah dan bukan melalui undang-undang sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi, menurut ahli, hal tersebut jelas ada dalam risalah persidangan yang diserahkan oleh DPR namun dalam praktiknya pengingkaran tersebut sudah jamak dilakukan. Hal tersebut menurut ahli dapat dilihat melalui intensif electoral dimana DPR ingin kelihatan berperan oleh konstituennya atau terkait dengan anggaran dari pembentukan undang-undang yang jauh lebih besar daripada pembentukan peraturan pemerintah. Pembentukan peraturan pemerintah walaupun memiliki substansi pengaturan yang sama dengan undang-undangnya namun hal tersebut berbeda, jika asuransi usaha bersama diatur melalui undang-undang tentu rakyat dapat menentukan arah politik hukumnya secara tidak langsung melalui DPR, ruang partisipasi masyarakat tersebut tidak sama ketika diatur melalui peraturan pemerintah. − Kehadiran Mahkamah Konstitusi dalam hal ini bertujuan untuk memastikan agar pembentuk undang-undang dalam membuat peraturan perundang-undangan tetap terikat dengan batasan-batasan atau tidak boleh bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945 atau peraturan perundang-undangan lain sejenis atau yang setingkat. B. Dr. Margarito Kamis, S.H., M.Hum − Bahwa Pasal 7 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 berbeda dengan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2020. Hal tersebut dikarenakan Pasal 7 UU 2/1992 tidak mengatur secara spesifik terkait dengan asuransi usaha bersama sebagai badan hukum. Pasal tersebut hanya mendukung 52 asuransi usaha bersama sebagai salah satu dari tiga jenis usaha asuransi sedangkan terkait dengan badan hukum dari asuransi usaha bersama masih harus diatur lebih lanjut melalui undang-undang. Berbeda dengan Pasal 6 UU 40/2020 yang mengakui asuransi usaha bersama sebagai badan hukum, namun pada Pasal 6 ayat (3) UU 40/2020 pengaturan asuransi usaha bersama lebih lanjut melalui peraturan pemerintah dan hal tersebut justru bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-VIII/2013; − Bahwa menurut ahli, yang dilakukan oleh pembentuk undang-undang terhadap asuransi usaha bersama adalah keliru, hal tersebut karena yang menjadi kehendak dari putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU- VIII/2013 adalah membentuk Undang-Undang Asuransi Usaha Bersama dan tidak dapat ditafsirkan lain. Dengan tidak dilaksanakannya putusan a quo , maka unsur kegotong-royongan yang terdapat di dalam Asuransi Usaha Bersama menjadi hilang perlahan. C. Dr. Kornelius Simanjuntak, S.H., M.H., AAIK Kesatu Sejarah Singkat AJB 1912. Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 adalah satu-satunya di Indonesia sebagai Perusahaan Asuransi Jiwa yang berbentuk Asuransi usaha bersama atau dalam Bahasa Inggeris disebut “Mutual Insurace” yang lahir di masa pergerakan nasional yang pada awalnya bertujuan untuk memberikan kesejahteraan bagi para guru-guru pada saat itu, dan kemudian berkembang menjadi satu perusahaan asuransi yang telah banyak memberikan manfaat dan kesejahteraan masyarakat pemengang polis atau nasabah AJB 1912. Selain memberikan proteksi, perlindungan jaminan asuransi dan kesejahteraan masyarakat pemegang polis dan nasabah, AJB 1912 telah berkembang sedemikan rupa menjadi tempat persemaian dan pelatihan bagi Sumber Daya Manusia (SDM) dalam industri perasuransian nasional, karena:
. AJB 1912 menyelenggarakan pelatihan tentang asuransi dan teknis asuransi khususnya asuransi jiwa bagi SMD atau karyawannya, yang kemudian SMD tersebut menjadi maju, dan sebagian dari mereka tetap bekerja di AJB 1912; dan sebagian lagi pindah ke perusahaan asuransi 53 yang kemudian didirikan oleh pemodal atau investor di bidang asuransi, dan menjadi pimpinan di perusahaan-perusahaan asuransi jiwa.
. Keberadaan dan kesuksesan AJB telah mendorong pemodal mendirikan perusahaan Asuransi di Indonesia; dan
. AJB 1912 telah menjadi tonggak sejarah dalam dunia asuransi dan menjadi asset nasional, serta kebanggaan bagi perasuransian nasional dan juga bagi masyarakat pemegang polis dan nasabah sampai di masa kejayaannya.
. Usia perusahaan 108 tahun adalah perjalanan dan usia perusahaan yang sangat panjang, hal itu menjadi bukti bahwa perusahaan ini dicintai dan diminati oleh masyarakat yang membutuhkan perlindungan dan jaminan asuransi dengan beraneka produk atau lini usaha. Memang saat ini dan beberapa tahun yang lalu AJB 1912 mengalami permasalahan dalam permodalan. Kedua Sifat, Prinsip Asuransi, dan Keuntungan bagi Pemegang Polis dari Perusahaan yang berbentuk Asuransi Jiwa Bersama atau (Mutual Insurance) Sifat dan Prinsip Asuransi Jiwa Bersama adalah gotong royong dan tolong menolong. Karena sesungguhnya semua pemegang polis otomatis menjadi ikut sebagai pemilik perusahaan. Berbeda dengan sifat dan prinsip asuransi komersial berbentuk Perseroan Terbatas atau PT, dimana pemilik nya adalah hanya pemodal atau pemegang saham yaitu mereka yang menyetorkan modal ke perusahaan asuransi. Tujuannya adalah untuk mencari keuntungan sebanyak mungkin bagi pemegang saham atau pemilik modal. Ketiga Asuransi usaha bersama atau Mutual Insurance di beberapa Negara, Peraturan Perundangan yang menjadi landasan hukum dan ketentuan operasional nya dituangkan atau dibuat dalam Undang-undang. Seperti di beberapa Negara di bawah ini: Selandia Baru Mutual Insurance Act 1955 . 54 Canada Mutual Insurance Act Chapter 306 of Revised Statutes 1989 dan Mutual Fire Insurance Companies Act 1960-Chapter 262 . Inggris (United Kingdom) Friendly Societies Act 1992 Scotlandia Friendly Societies Act 1992 yang memuat ketentuan asuransi usaha bersama dapat menjadi Incorporated Organization . Selandia Baru (New Zealand) Mutual Insurance Act 1955 . Farmers’ Mutual Group Act 2007 No. 1 Private Act . Sebuah Undang- undang yang khusus untuk FMG Insurace . Di Negara-negara tersebut di atas asuransi usaha bersama (mutual insurance) telah berkembang maju sudah sejak lama dan menjadi kebanggaan pemegang polis atau pesertanya. Selain di Negara-negara tersebut di atas, Asuransi usaha bersama (Mutual Insurance) berkembang dan maju menjadi perusahaan asuransi yang besar-besar seperti di Jepang, di Perancis, Negara-negara Skandinavia (Denmark, Norwegia, dqan Swedia), di Amerika juga banyak Asuransi usaha bersama. Keempat Apakah perintah atau amanat Pasal 7 ayat (3) UU No. 2/1992 tentang Usaha Perasuransian untuk membuat Undang-Undang tentang asuransi usaha bersama dilakukan atau tidak dilakukan hingga UU No. 2/1992 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku, dan diundangkan UU No. 40/2014 tentang Perasuransian. Mengapa perintah atau amanat Pasal 7 ayat (3) UU No. 2/1992 untuk membuat sebuah undang-undang yang mengatur tentang asuransi usaha bersama tidak dilaksanakan hingga UU No. 2/1992 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku, dan diundangkan UU No. 40/2014 tentang Perasuransian? 55 Menurut ahli hal ini dapat dilihat dari 3 (tiga) sudut pandang: Yang Pertama: Pemerintah dan/atau DPR memandang hal itu bukanlah suatu prioritas pada waktu itu, sehingga baik Pemerintah dan DPR tidak mengajukan suatu rancangan undang-undang (RUU) yang secara khusus mengatur tentang asuransi usaha bersama untuk dibahas dan disetujui untuk diundangkan. Yang Kedua: Pengelola atau Pengurus AJB 1912 juga kurang memberikan perhatian yang besar terhadap hal itu. Karena, jika Pemerintah dan DPR tidak membuat dan mengajukan suatu RUU tentang asuransi usaha bersama, maka Pengelola atau Pengurus AJB 1912 sesungguhnya dapat juga membuat sebuah Draft atau Rancangan Undang-Undang Akademik, dengan meminta bantuan dari ahli-ahli hukum atau dosen-dosen dari Fakultas Hukum. Kemudian diajukan ke Pemerintah dan atau DPR untuk dijadikan sebagai RUU tentang Asuransi usaha bersama, dan selanjutnya dibahas dan dijadikan sebagai UU. Sepanjang pengetahuan saya hal itu tidak dilakukan oleh Pengurus AJB 1912. 22 tahun lamanya dari sejak diundangkan UU No. 2/1992 hingga diundangkan UU No. 40/2014, adalah waktu yang lama. Dalam menjawab tantangan dan kompetisi atau persaingan dalam industri asuransi yang ketat sejak pasar industri asuransi lebih dibuka ke investor asing beberapa tahun yang silam, telah mengakibatkan kekuatan permodalan menjadi satu syarat mutlak untuk dapat maju dan berkembang bagi perusahaan asuransi, selain pengelolaan perusahaan yang baik (good corporate governace) . Jika perusahaan asuransi tidak mempunyai permodalan yang kuat atau tidak mempunyai akses terhadap permodalan melalui investasi dari investor yang kuat dan/atau melalui pasar modal, maka akan sulit perusahaan tersebut untuk dapat bersaing dan semakin maju, sehingga akan dapat memberikan jaminan asuransi dan pelayanan yan semakin baik. Kekurangan permodalan bahkan dapat menurunkan pelayanan 56 perusahaan asuransi dan berdampak buruk terhadap keberlangsungan perusahaan asuransi. Untuk dapat meningkatkan permodalan suatu perusahaan asuransi, terdapat paling tidak ada 2 (dua) cara untuk meningkatkan permodalan yaitu:
. para pemegang saham atau investor menyetorkan uang untuk memperbesar modal perusahaan;
. dilakukan melalui pasar modal dengan cara menerbitkan saham atau saham yang ada diperdagangkan di pasar modal. Untuk meningkatkan permodalan perusahaan melalui satu atau kedua- duanya cara tersebut, diperlukan beberapa persyaratan dan kondisi, antara lain peraturan perundangan yang memberikan kepastian terhadap keamanan dan jaminan investasi yang dilakukan oleh investor yang juga disebut kepastian hukum investasi, terutama bagi investor asing hal ini sangat penting. Dan dalam kenyataannya investor yang kuat untuk industri asuransi adalah investor-investor dari negara-negara asing (foreign investors). Yang Ketiga: Pemerintah dan DPR dapat berpandangan bahwa mereka telah melaksanakan perintah atau amanat dari Pasal 7 ayat (3) UU No. 2/1992. Karena UU No. 40/2014 jika dilihat dari pasal-pasal dan ketentuan yang diatur di dalam nya, juga memuat sejumlah Pasal yang memuat ketentuan tentang asuransi usaha bersama, hal itu bisa dilihat dari Bab- bab dan Pasal-Pasal dari UU No. 40/2014 di bawah ini, yaitu: Bab I Ketentuan Umum: Pasal 1. Bab IV Tata Kelola Usaha Perasuransian Berbentuk Koperasi dan Usaha Bersama: Pasal 35. Bab V Penyelenggaraan Usaha:
Uji Materi Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian
Relevan terhadap
(1) Perusahaan asuransi umum hanya dapat _menyelenggarakan: _ a. Usaha Asuransi Umum, termasuk lini usaha asuransi _kesehatan dan lini usaha asuransi kecelakaan diri; dan _ b. Usaha Reasuransi untuk risiko Perusahaan Asuransi Umum lain. (2) Perusahaan asuransi jiwa hanya dapat menyelenggarakan Usaha Asuransi Jiwa termasuk lini usaha anuitas, lini usaha asuransi kesehatan, dan lini usaha asuransi kecelakaan diri. (3) Perusahaan reasuransi hanya dapat menyelenggarakan Usaha Reasuransi. Pasal 3 __ (1) Perusahaan asuransi syariah hanya dapat _menyelenggarakan: _ a. Usaha Asuransi Umum Syariah, termasuk lini usaha asuransi _kesehatan dan lini usaha asuransi kecelakaan diri; dan _ b. Usaha Reasuransi Syariah untuk risiko Perusahaan Asuransi Umum Syariah lain. (2) Perusahaan asuransi jiwa syariah hanya dapat menyelenggarakan Usaha Asuransi Jiwa termasuk lini usaha anuitas, lini usaha asuransi berdasarkan Prinsip Syriah, lini usaha asuransi kesehatan berdasarkan Prinsip Syariah, dan lini usaha kecelakaan diri berdasarkan Prinsip Syariah. (3) Perusahaan reasuransi syariah hanya dapat menyelenggarakan Usaha Reasuransi syariah. 3.9 Bahwa tampak dengan jelas, Pasal 2 dan Pasal 3 UU No. 40/2014 justru membatasi lini usaha asuransi. Sementara, status suretyship kendati masuk dalam kategori lini usaha yang dapat diperluas menurut Pasal 5 ayat (1) UU No. 40/2014 dengan Peraturan OJK, namun perluasan dalam pasal tersebut tidak secara tegas menyebutkan lini usaha suretyship . 18 3.10 Bahwa muncul persoalan ketidaksesuaian pembentukan norma dengan adanya Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) UU No.1/2016 yang dipastikan menjadi penghalang tidak dapat dilaksanakannya lini usaha suretyship oleh perusahaan asuransi. Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) UU No.1/2016 menyatakan: (Bukti P–3) “ (1) Setiap orang di luar Lembaga Penjamin yang telah melakukan kegiatan penjaminan sebelum berlakunya Undang-Undang ini wajib menyesuaikan dengan Undang-Undang ini paling lambat tiga tahun sejak berlakunya Undang-Undang ”. “(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap kegiatan penjaminan yang dijalankan berdasarkan undang-undang tersendiri.” 3.11 Bahwa adanya ketidaksesuaian pembentukan norma semakin nampak dengan berlakunya undang-undang lain yang lahir kemudian yaitu Undang-Undang Nomor 2 tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi (“UU No.2/2017), suretyship diakui sebagai salah satu lini usaha perusahaan asuransi, selain juga menegaskan adanya lembaga perbankan, dan/atau perusahaan penjaminan seperti yang ditegaskan dalam Pasal 57 ayat (4) yang menyatakan: (Bukti P–4) “ Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dikeluarkan oleh lembaga perbankan, perusahaan asuransi, dan/atau perusahaan penjaminan dalam bentuk bank garansi dan/atau perjanjian terikat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.” 3.12 Bahwa penegasan yang sama tentang pengakuan perusahaan asuransi untuk menyelenggarakan asuransi sebagaimana dinyatakan dalam Peraturan Presiden Nomor 16 tahun 2018 tentang Pengadaan Barang dan Jasa (“Perpres No. 16/2018”) , pada Pasal 30 menyatakan: (Bukti P–5) “ Jaminan dari Bank Umum, Perusahaan Penjaminan, Perusahaan Asuransi, lembaga keuangan khusus yang menjalankan usaha di bidang pembiayaan, penjaminan dan asuransi untuk mendorong Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di lembaga pembiayaan ekspor Indonesia dapat digunakan untuk semua jenis jaminan”. Norma Pasal 5 ayat (1) UU a quo __ Bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 tentang Kepastian Hukum Yang Adil __ 3.13 Bahwa salah satu pilar penting dari terbentuknya negara Indonesia selain bersandar pada prinsip kedaulatan rakyat, juga penegasan pada prinsip negara hukum, hal ini sebagaimana termaktub di dalam ketentuan Pasal 1 19 ayat (3) UUD 1945 yang dengan tegas menyatakan, “ Negara Indonesia adalah Negara Hukum. ” 3.14 Bahwa salah satu unsur dari negara hukum adalah adanya jaminan serta tegaknya prinsip kepastian hukum yang adil, hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Gustav Radbruch yang menjelaskan bahwa cita hukum ( Idee des Rechts ), yang kemudian dilembagakan dalam suatu bentuk negara hukum, dapat diklasifikasikan ke dalam tiga prinsip umum, yaitu: purposiveness— kemanfaatan ( zweckmassigkeit ), __ justice— keadilan ( gerechtigkeit ), dan legal certainty— kepastian hukum ( rechtssicherheit ).
15 Bahwa prinsip ‘kepastian hukum yang adil’ yang dalam tradisi klasik the rule of law disebut sebagai prinsip kepastian hukum (legal certainty) , menurut pendapat dari Friedrich von Hayek dalam Bukunya The Constitution of Liberty, Chapter 14 “The Safeguards of Individual Liberty”, adalah salah satu atribut utama dari the rule of law , selain dua atribut lainnya, yakni atribut berlaku umum ( generality ), dan atribut kesetaraan ( equality ).
16 Bahwa menurut pendapat Hayek kepastian hukum berarti hukum dapat diprediksi, atau memenuhi unsur prediktibilitas, sehingga seorang subjek hukum dapat memperkirakan peraturan apa yang mendasari perilaku mereka, dan bagaimana aturan tersebut ditafsirkan dan dilaksanakan. Kepastian hukum merupakan aspek penting yang sangat terkait dengan kebebasan bertindak dari seseorang.
17 Bahwa sejalan dengan teori mengenai cita hukum tersebut, UUD 1945 juga telah menegaskan adanya jaminan kepastian hukum bagi setiap warga negara dalam ruang negara hukum Indonesia, sebagaimana dituliskan di dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, “ Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum ”.
18 Bahwa merujuk pada pendapat Prof. Dr. Nurhasan Ismail, sebagaimana dikutip dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 3/PUU-VIII/2010 pada Pengujian UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (halaman 74), dikatakan bahwa kepastian hukum didefinisikan adanya kejelasan norma yang menjadi acuan berperilaku 20 bagi setiap orang. Kejelasan norma tentu harus ada indikator dan ukurannya. Tiga indikator untuk menyatakan bahwa sebuah norma itu memberikan kepastian hukum meliput:
Norma mengandung konsistensi, baik secara internal di dalam undang- undang maupun konsistensi horizontal dengan undang-undang yang lain ataupun konsistensi secara vertikal dengan peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi, dalam hal ini adalah dengan UUD 1945;
Konsep penormaannya atau rumusan normanya tidak mengandung multi makna, tidak mengandung multitafsir;
Ada suatu implikasi yang sangat jelas terhadap pilihan-pilihan perilaku yang sudah diatur di dalam undang-undang atau di dalam peratura perundang-undangan.
19 Bahwa selain dalam putusan Mahkamah Konstitusi di atas, salah satu asas dalam membentuk peraturan perundang-undangan dalam UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan adalah kejelasan tujuan dan kejelasan rumusan , yang melalui penjelasan Pasal 5 UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan ini diartikan sebagai:
setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai _tujuan yang jelas yang hendak dicapai; _ 2) setiap Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah , serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya . 3.20 Bahwa Pasal 5 ayat (1) UU No. 40/2014 menyebutkan: “ Ruang lingkup Usaha Asuransi Umum dan Usaha Asuransi Jiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Usaha Asuransi Umum Syariah dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat.” 3.21 Bahwa Pasal 5 ayat (1) UU a quo bersifat multitafsir serta tidak memiliki ukuran yang jelas apa yang dimaksud dengan “dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat”. Keadaan ini telah menimbulkan ketidakpastian hukum bagi para anggota Pemohon untuk menjalankan lini usahanya. Hal ini ditambahkan dengan tidak adanya penjelasan dalam UU a quo mengenai apa yang dimaksud dalam pasal a quo. 21 3.22 Bahwa persoalan mulai menyeruak ketika UU No. 1/2016 disahkan, khususnya dengan adanya pada Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) yang menyatakan: “ (1) Setiap orang di luar Lembaga Penjamin yang telah melakukan kegiatan penjaminan sebelum berlakunya Undang-Undang ini wajib menyesuaikan dengan Undang-Undang ini paling lambat tiga tahun sejak berlakunya Undang-Undang ”. “(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap kegiatan penjaminan yang dijalankan berdasarkan undang-undang tersendiri.” 3.23 Bahwa munculnya Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 1/2016 ini telah menyebabkan ketidakpastian lini usaha suretyship yang menggunakan landasan hukum berdasarkan Pasal 5 ayat (1) UU No. 40/2014 a quo tentang perluasan lini usaha asuransi __ menjadi tidak jelas. Dalam pengertian, kepastian usaha suretyship yang dilakukan perusahaan asuransi terganggu dan tidak pasti keberlangsungan usahanya bahkan terancam dapat dipidana.
24 Bahwa dengan kata lain, lahirnya Pasal 61 ayat (1) ayat (2) UU No. 1/2016 menyebabkan perusahaan asuransi yang sebelumnya dapat menyelenggarakan suretyship atas dasar Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) __ sebagaimana yang diatur dalam Pasal 5 ayat (3) UU No. 40/2014 harus menyesuaikan dalam waktu 3 (tiga) tahun sejak undang-undang tersebut diundangkan, yaitu pada tanggal 19 Januari 2019, padahal hal itu tidak mungkin dilakukan.
25 Bahwa dalam hal ini, perusahaan asuransi harus mempunyai izin usaha sebagai lembaga penjamin atau perusahaan penjaminan terlebih dahulu agar dapat menjalankan suretyship . Sebab, hanya perusahaan yang berizin saja yang akan diakui keabsahannya secara hukum untuk dapat memasarkan lini usaha tersebut. Namun hal itu tidak dapat terjadi, karena perusahaan asuransi nyatanya tidak secara otomatis dapat memperoleh izin usaha sebagai lembaga atau perusahaan penjaminan.
26 Bahwa izin perusahaan asuransi untuk melaksanakan penjaminan dalam bentuk suretyship diterbitkan oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagai lembaga yang diberikan kewenangan atributif untuk mengeluarkan peraturan terkait perizinan usaha tersebut __ sebagaimana Pasal 5 ayat (3) UU No. 40/2014 yang menyatakan: 22 “ Ketentuan lebih lanjut mengenai perluasan ruang lingkup Usaha Asuransi Umum, Usaha Asuransi Jiwa, Usaha Asuransi Umum Syariah, dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.” 3.27 Bahwa sebagai tindak lanjut Pasal 5 ayat (3) UU 40/2014 a quo Otoritas Jasa Keuangan mengeluarkan Peraturan OJK 69/POJK.05/2016 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah (“POJK No.69/2016”) .
28 Bahwa akan tetapi Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 1/2016 yang mewajibkan semua kegiatan penjaminan untuk tunduk pada UU No. 1/2016, kecuali kegiatan penjaminan tersebut dijalankan berdasarkan undang-undang tersendiri, maka dengan demikian POJK yang kedudukannya berada dibawah undang-undang keberlakuannya menjadi tidak efektif karena tidak memiliki kekuatan hierarki yang sejajar dengan Pasal 61 ayat (1) UU a quo .
29 Bahwa situasi tersebut diatas menimbulkan ketidakpastian bagi Pemohon karena membuat OJK sendiri tidak pasti apakah akan mengeluarkan dan/atau memperpanjang izin lini usaha suretyship kepada perusahaan asuransi setelah penyesuaian tiga tahun berakhir pada tanggal 19 Januari 2019.
30 Bahwa inilah persoalan yang merisaukan sebagian besar perusahaan asuransi yang diwakili Pemohon. Situasi ini tentu sangat merugikan perusahaan-perusahaan asuransi yang menjalankan lini usaha suretyship, karena kegiatan usaha di bidang ini menjadi tidak jelas, terhambat, dengan waktu yang tidak bisa diprediksikan kapan persoalan izin tersebut akan diterbitkan oleh OJK.
31 Bahwa kegiatan usaha suretyship semakin tidak memiliki kepastian hukum yang adil, karena perusahaan asuransi terancam pidana dengan hukuman 15 tahun penjara dan denda Rp 100 Milyar sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 57 UU No. 1/2016, jika tetap melaksanakan lini usaha suretyship tersebut. 23 Dengan demikian, Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014 a quo yang multitafsir bertentangan dengan prinsip konstitusi yaitu prinsip kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, karena sejak awal suretyship adalah merupakan lini usaha dari perusahaan asuransi, kemudian terbit UU No. 1/2016 yang tidak membenarkan suretyship dilakukan oleh perusahaan asuransi, namun terbit lagi UU No. 2/2017 dan Perpres No. 16/2018 yang membenarkan suretyship dilakukan oleh perusahaan asuransi. PASAL 5 AYAT (1) UU 40/2014 INKONSTITUSIONAL SEPANJANG TIDAK DIMAKNAI MENCANTUMKAN SURETYSHIP SEBAGAI PERLUASAN __ JENIS USAHA ASURANSI SESUAI DENGAN KEBUTUHAN MASYARAKAT 3.32 Bahwa perusahaan asuransi yang menyelenggarakan suretyship yang memperoleh izin POJK jumlahnya dua kali dua kali lipat lebih banyak dari jumlah perusahaan penjamin baik sebagaimana terlampir dalam data Deputi Komisioner Pengawas IKNB II Otoritas Jasa Keuangan sebagai berikut: (Bukti P–8) DAFTAR PERUSAHAAN ASURANSI YANG DAPAT MEMASARKAN PRODUK SURETY BOND KONSTRUKSI PER 14 AGUSTUS 2018 No. Nama Perusahaan No. Nama Perusahaan 1 PT Arthagraha General Insurance 26 PT Asuransi Rama Satria Wibawa 2 PT Asuransi Adira Dinamika 27 PT Asuransi Ramayana, Tbk 3 PT Asuransi Allianz Utama Indonesia 28 PT Asuransi Sinar 4 PT Asuransi Asoka Mas 29 PT Asuransi Tri Pakarta 5 PT Asuransi Astra Buana 30 PT Asuransi Tugu Kresna Pratama 6 PT Asuransi Bangun Askrida 31 PT Asuransi Umum Bumiputera Muda 1967 7 PT Asuransi Bhakti 32 PT Asuransi Umum Mega 24 Bayangkara 8 PT Asuransi Binagriya Upakara 33 PT Asuransi Umum Videi 9 PT Asuransi Bina Dana Artha, Tbk 34 PT Asuransi Wahana Tata 10 PT Bosowa Asuransi 35 PT Malacca Trust Wuwungan 11 PT Asuransi Bintang, Tbk 36 PT Asuransi Staco Mandiri 12 PT Asuransi Bringin Sejahtera Artha Makmur 37 PT Tugu Pratama Indonesia 13 PT Asuransi Buana Independent 38 PT Victoria Insurance 14 PT Asuransi Central Asia 39 PT Pan Pacific Insurance 15 PT Asuransi Harta Aman Pratama, Tbk 40 PT Chubb General Insurance Indonesia 16 PT Asuransi Himalaya Pelindung 41 PT Berdikari Insurance 17 PT Asuransi Intra Asia 42 PT Lippo General Insurance, Tbk 18 PT Asuransi Jasa Indonesia (Persero) 43 PT Asuransi Kresna Mitra 19 PT Asuransi Jasa Raharja Putera 44 PT Mitra Pelindung Mustika 20 PT Asuransi Jasa Tania, Tbk 45 PT Asuransi Asei Indonesia 21 PT Asuransi Kredit Indonesia (Persero) 46 PT Asuransi Cakrawala Proteksi Indonesia 22 PT Asuransi Mega Pratama 47 PT Mandiri AXA General Insurance 23 PT Asuransi Multi Artha Guna, Tbk 24 PT Asuransi Parolamas 25 25 PT Asuransi Purna Artanugraha Sumber: Surat Deputi Komisioner Pengawas IKNB II Otoritas Jasa Keuangan Nomor: S-595/NB.2/2018, tanggal 4 Oktober 2018. DAFTAR PERUSAHAAN ASURANSI YANG DAPAT MEMASARKAN PRODUK SURETY BOND NON KONSTRUKSI No Nama Perusahaan No Nama Perusahaan 1 PT Arthagraha General Insurance 23 PT Asuransi Purna Artanugraha 2 PT Asuransi Adira Dinamika 24 PT Asuransi Rama Satria Wibawa 3 PT Asuransi Artarindo 25 PT Asuransi Ramayana, Tbk 4 PT Asuransi Asoka Mas 26 PT Asuransi Asei Indonesia 5 PT Asuransi Astra Buana 27 PT Asuransi Cakrawala Proteksi Indonesia 6 PT Asuransi Bangun Askrida 28 PT Asuransi Sinar Mas 7 PT Asuransi Bhakti Bayangkara 29 PT Asuransi Tri Pakarta 8 PT Asuransi Binagriya Upakara 30 PT Asuransi Tugu Kresna Pratama 9 PT Bosowa Asuransi 31 PT Asuransi Umum Bumiputera Muda 1967 10 PT Asuransi Bringin Sejahtera Artha Makmur 32 PT Asuransi Umum Videi 11 PT Asuransi Burma Independent 33 PT Asuransi Wahana Tata 12 PT Asuransi Central Asia 34 PT Asuransi Staco Mandiri 13 PT Harta Aman Pratama, Tbk 35 PT Tugu Pratama Indonesia 26 14 PT Asuransi Himalaya Pelindung 36 PT Victoria Insurance 15 PT Asuransi Intra Asia 37 PT Pan Pacific Insurance 16 PT Asuransi Jasa Indonesia (Persero) 38 PT Mandiri AXA General Insurance 17 PT Asuransi Jasa Raharja Putera 39 PT Chubb General Insurance Indonesia 18 PT Asuransi Jasa Tania, Tbk 40 PT Berdikari Insurance 19 PT Asuransi Kredit Indonesia (Persero) 41 PT Asuransi Kresna Mitra 20 PT Asuransi Mega Pratama 42 PT Mitra Pelindung Mustika 21 PT Asuransi Multi Attila Guna, Tbk 22 PT Asuransi Parolamas DAFTAR PERUSAHAAN PENJAMINAN YANG DAPAT MELAKUKAN PRODUK SURETY BOND KONSTRUKSI No Nama Perusahaan No Nama Perusahaan 1 Perusahaan Umum Jaminan Kredit Indonesia 12 PT Jamkrida Bangka Belitung 2 PT Penjaminan Kredit Pengusaha Indonesia 13 PT Jamkrida Banten 3 PT Jamkrida Jawa Timur 14 PT Jamkrida Kalimantan Timur 4 PT Jamkrida Bali Mandara 15 PT Jamkrida Jawa Tengah 5 PT Jamkrida Riau 16 PT Jamkrida Papua 6 PT Jamkrida Nusa Tenggara Barat Bersaing 17 PT Jamkrida Nusa Tenggara Timur 7 PT Jamkrida Jawa Barat 18 PT Jamkrida Jakarta 8 PT Jamkrida Sumatera Barat 19 PT Jamkrida Sulawesi Selatan 27 D A F T A P PERUSAHAAN PENJAMINAN YANG DAPAT MELAKUKAN PRODUK SURETY BOND NON KONSTRUKSI No Nama Perusahaan No Nama Perusahaan 1 Perusahaan Umum Jaminan Kredit Indonesia 12 PT Jamkrida Bangka Belitung 2 PT Penjaminan Kredit Pengusaha Indonesia 13 PT Jamkrida Banten 3 PT Jamkrida Jawa Timur 14 PT Jamkrida Kalimantan Timur 4 PT Jamkrida Bali Mandara 15 PT Jamkrida Jawa Tengah 5 PT Jamkrida Riau 16 PT Jamkrida Papua 6 PT Jamkrida Nusa Tenggara Barat Bersaing 17 PT Jamkrida Nusa Tenggara Timur 7 PT Jamkrida Jawa Barat 18 PT Jamkrida Jakarta 8 PT Jamkrida Sumatera Barat 19 PT Jamkrida Sulawesi Selatan 9 PT Jamkrida Kalimantan Selatan 20 PT Jamkrida Kalimantan Barat 10 PT Jamkrida Sumatera Selatan 21 PT Jaminan Pembiayaan Askrindo Syariah 11 PT Jamkrida Kalimantan Tengah 22 PT Penjaminan Jamkrindo Syariah 9 PT Jamkrida Kalimantan Selatan 20 PT Jamkrida Kalimantan Barat 10 PT Jamkrida Sumatera Selatan 21 PT Jaminan Pembiayaan Askrindo Syariah 11 PT Jamkrida Kalimantan Tengah 22 PT Penjaminan Jamkrindo Syariah 28 3.33 Bahwa selain perusahaan asuransi, terdapat konsorsium perusahaan asuransi untuk menfasilitasi nilai proyek yang besar yang tidak bisa dilakukan sendiri oleh satu atau dua perusahaan asuransi yang menjalankan suretyship yang terdiri dari 3 (tiga) konsorsium penjaminan, yang seluruh anggotanya adalah perusahaan-perusahaan asuransi seperti yang ada pada tabel berikut: DAFTAR PERUSAHAAN KONSORSIUM PENJAMINAN YANG DAPAT MEMASARKAN PRODUK SURETY BOND KONSTRUKSI No Nama Konsorsium Penjaminan Proyek 1 Konsorsium Penjaminan Proyek yang beranggotakan: • PT Asuransi Sinar Mas (Ketua); • PT Asuransi Purna Arthanugrahra (Anggota); • PT Asuransi Central Asia (Anggota); • PT Asuransi Asei Indonesia (Anggota), • PT Asuransi Cakrawala Proteksi (Anggota); • PT Asuransi Binagriya Upakara (Anggota); • PT Asuransi Bangun Askrida (Anggota); • PT Panin Insurance (Anggota); dan 2 Konsorsium Penjaminan Proyek yang beranggotakan: • PT Jasaraharja Putera (Ketua); • PT Asuransi Kredit Indonesia – Persero (Anggota); • PT Asuransi Wahana Tata (Anggota); • PT Asuransi Astra Buana (Anggota); • PT Asuransi Bringin Sejahtera Artamakmur (Anggota); • PT Asuransi Bintang, Tbk (Anggota); dan • PT Asuransi Umum Videi (Anggota) 3 Konsorsium Penjaminan Proyek yang beranggotakan: • PT Asuransi Jasa Tania (Ketua); 29 • PT Tugu Pratama Indonesia (Anggota); • PT Bosowa Asuransi (Anggota); • PT Asuransi Umum Bumiputera Muda 1967 (Anggota); • PT Asuransi Kresna Mitra, Tbk. (Anggota); • PT Asuransi Bakti Bhayangkara (Anggota); • PT Asuransi Asoka Mas (Anggota); • PT Asuransi Mega Pratama (Anggota); dan • PT Asuransi Tugu Kresna Pratama (Anggota).
34 Bahwa dari data tersebut tampak bahwa sebagian besar pelaku lini usaha suretyship adalah perusahaan-perusahaan asuransi termasuk dengan dibentuknya konsorsium penjaminan yang anggota-anggotanya juga terdiri dari sejumlah perusahaan asuransi, yang tujuan pembentukannya untuk menjamin proyek-proyek bernilai besar, antara lain proyek di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Ini berarti, keberadaan perusahaan asuransi yang menjalankan suretyship merupakan pilihan penting untuk memenuhi kebutuhan masyarakat luas dan kebutuhan proyek pemerintah.
35 Bahwa perusahaan asuransi selaku pelaku usaha memiliki peran yang penting dalam mendukung proses pembangunan sebagaimana yang tertuang dalam Penjelasan UU No. 40/2014 yang menyatakan: “…peran industri perasuransian dalam mendorong pembangunan nasional terjadi apabila industri perasuransian dapat lebih mendukung masyarakat dalam menghadapi risiko yang dihadapinya sehari-hari dan pada saat mereka memulai dan menjalankan kegiatan usaha” “...peran industri perasuransian dalam mendorong pembangunan nasional juga terjadi melalui pemupukan dana jangka panjang dalam jumlah besar, yang selanjutnya menjadi sumber dana pembangunan”. 3.36 Bahwa produk usaha suretyship yang dilakukan oleh perusahaan- perusahaan asuransi sangat vital bagi pembangunan nasional, karena banyak dimanfaatkan untuk menjamin pembangunan infrastruktur di berbagai sektor mulai dari transportasi, sumber daya air, perumahan dan pemukiman, energi hingga informasi dan teknologi. 30 3.37 Bahwa seperti halnya 13 (tiga belas) paket konstruksi yang dicanangkan pemerintah di tahun 2020, salah satu contohnya adalah paket konstruksi pembangunan Bendungan Jragung Jawa Tengah, dengan nilai proyek mencapai Rp 2.72 Triliun. Pembangunan proyek demikian tentu membutuhkan aspek kepastian dan jaminan pelaksanaan yang hanya dapat dilakukan oleh perusahaan asuransi melalui suretyship karena sulit dilaksanakan oleh perusahaan penjaminan dengan kapasitasnya yang ada dan sulit pula dilakukan melalui bank garansi karena adanya kesulitan bagi pelaksana proyek untuk menyediakan uang tunai pada bank yang mengeluarkan bank garansi.
38 Bahwa adanya Pasal 5 ayat (1) UU No. 40/2014 potensial pasti membatasi hak Pemohon untuk turut serta dalam perekonomian nasional yang diselenggarakan berdasarkan atas prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan. Apalagi dengan berlakunya Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 1/2016 yang dapat menegasikan kontribusi perusahaan asuransi yang selama ini telah turut serta memberi jaminan bagi berjalannya proyek-proyek tersebut melalui lini usaha suretyship . Jika suretyship tidak dapat dilakukan oleh perusahaan-perusahaan asuransi dipastikan akan menghambat kelanjutan pembangunan nasional sekaligus terhalangnya proyek pembangunan pemerintah.
39 Bahwa untuk mengisi “Kekosongan Hukum” akibat tidak adanya kepastian hukum pengaturan mengenai suretyship tersebut, Mahkamah Konstitusi diharapkan untuk membentuk norma hukum baru sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 48/PUU-IX/2011, yang menguji Pasal 57 ayat (2a) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang menyebutkan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi tidak memuat:
amar selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2);
perintah kepada pembuat Undang-Undang; dan
rumusan norma sebagai pengganti norma dari Undang-Undang yang dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 31 Dalam Putusannya, Mahkamah Konstitusi menyebutkan, bahwa terhadap permohonan pengujian Pasal 57 ayat (2a) UU 8/2011, Mahkamah memberikan pertimbangan sebagai berikut: “Menurut Mahkamah, ketentuan Pasal 57 ayat (2a) UU 8/2011 tersebut bertentangan dengan tujuan pembentukan Mahkamah untuk menegakkan hukum dan keadilan khususnya dalam rangka menegakkan konstitusionalitas norma Undang-Undang sesuai dengan Undang-Undang Dasar. Adanya Pasal 57 ayat (2a) UU 8/2011 tersebut berakibat terhalangnya Mahkamah untuk (i) menguji konstitusionalitas norma; (ii) mengisi kekosongan hukum sebagai akibat putusan Mahkamah yang menyatakan suatu norma bertentangan dengan Undang-Undang Dasar dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sementara itu, proses pembentukan Undang-Undang membutuhkan waktu yang cukup lama, sehingga tidak dapat segera mengisi kekosongan hukum tersebut; (iii) melaksanakan kewajiban hakim konstitusi untuk menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat;
Pasal 57 ayat (2a) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat”.
40 Bahwa Mahkamah Konstitusi juga pernah mengeluarkan putusan yang mengubah norma hukum atau membuat norma hukum baru, antara lain sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, yang menguji Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”. Selanjutnya Mahkamah Konstitusi dalam putusannya menyebutkan:
Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan: “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu 32 pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya;
Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.
41 Bahwa berdasarkan kedua Putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu tersebut, maka ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU No. 40/2014 adalah inkonstitusional, sepanjang tidak disebutkan secara jelas perluasan usaha yang menjadi ruang lingkup usaha asuransi adalah termasuk suretyship ;
42 Bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut tentu akan dipatuhi oleh pembentuk Undang-Undang, karena berdasarkan Pasal 23 ayat (1) huruf b UU No. 12/2011 yang menyatakan: “Dalam Prolegnas dimuat daftar kumulatif terbuka yang terdiri atas: akibat putusan Mahkamah Konstitusi”. Berdasarkan uraian tersebut beralasan menurut hukum bagi Mahkamah Konstitusi untuk dapat memaknai Pasal 5 ayat (1) UU a quo untuk menyatakan “ Ruang lingkup Usaha Asuransi Umum dan Usaha Asuransi Jiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Usaha Asuransi Umum Syariah dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) dapat diperluas termasuk lini usaha suretyship sesuai dengan kebutuhan masyarakat.” __ __ 33 IV. PETITUM Berdasarkan alasan-alasan yang telah diuraikan di atas Pemohon memohonkan kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa dan memutus uji materil sebagai berikut:
Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
Menyatakan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (Lembaran Negara Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5618) bertentangan dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “ Ruang lingkup Usaha Asuransi Umum dan Usaha Asuransi Jiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Usaha Asuransi Umum Syariah dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) dapat diperluas termasuk lini usaha suretyship sesuai dengan kebutuhan masyarakat.” 3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Atau, apabila Mahkamah berpendapat lain mohon Putusan seadil-adilnya ( ex aequo et bono ). [2.2] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalilnya, para Pemohon telah mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-13 yang telah disahkan dalam persidangan, sebagai berikut:
Bukti P-1 : : Fotokopi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian;
Bukti P-2 : Fotokopi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Bukti P-3 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan;
Bukti P-4 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi;
Bukti P-5 : Fotokopi Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah; 34 6. Bukti P-6 : Fotokopi Akta Pernyataan Keputusan Kongres ke-V Asosiasi Asuransi Umum Indonesia Nomor 2 tanggal 4 Desember 2018 tentang Perubahan Anggaran Dasar, dibuat dihadapan Notaris Felix F.X. Handojo, S.H.;
Bukti P-7 : Fotokopi Akta Pernyataan Keputusan Kongres ke-V Asosiasi Asuransi Umum Indonesia Nomor 3 tanggal 4 Desember 2018 tentang Perubahan Anggaran Rumah Tangga, dibuat dihadapan Notaris Felix F.X. Handojo, S.H.;
Bukti P-8 : Fotokopi Surat Otoritas Jasa Keuangan Nomor S- 595/NB.2/2018 tertanggal 4 Oktober 2018 perihal Daftar Perusahaan Asuransi Umum, Perusahaan Penjaminan dan Konsorsium Yang Dapat Memasarkan Produk Suretyship per 14 Agustus 2018;
Bukti P-9 : Fotokopi Sertifikat Keanggotaan Asosiasi Asuransi Umum Indonesia/General Insurance Association of Indonesia;
Bukti P-10 : Fotokopi Surat Izin Penerbitan Surety Bond Kepada Perusahaan Asuransi;
Bukti P-11 : Fotokopi Akta Nomor 58 tentang Anggaran Dasar Pendirian Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (“AAUI”) yang dibuat dihadapan Notaris Haji Rizul Sudarmadi, S.H. tanggal 18 April 2002;
Bukti P-12 : Fotokopi Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor C-39.HT.01.03.TH.2007 tanggal 4 Mei 2007 tentang Pengesahan Akta Pendirian Asosiasi Asuransi Umum Indonesia disingkat AAUI dalam Bahasa Inggris disebut General Insurance Association of Indoensia;
Bukti P-13 : Fotokopi Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor AHU-0000962.AH.01.08.Tahun 2018 tentang Persetujuan Perubahan Badan Hukum Perkumpulan Perkumpulan Asosiasi Asuransi Umum Indonesia dalam Bahasa Inggris disebut General Insurance Association of Indoensia; 35 Selain itu, Pemohon dalam persidangan tanggal 13 Juli 2020 mengajukan satu orang ahli yakni Prof. Susi Dwi Harijanti, S.H., L.L.M., Ph.D. yang menyampaikan keterangan lisan di bawah sumpah/janji dan dilengkapi keterangan tertulis yang diterima dalam persidangan pada tanggal 13 Juli 2020, dan pada persidangan tanggal 10 September 2020 mengajukan satu orang ahli yakni Dr. Kornelius Simanjuntak, S.H., M.H., AAIK. yang menyampaikan keterangan lisan di bawah sumpah/janji dan dilengkapi keterangan tertulis yang diterima oleh Kepaniteraan Mahkamah tanggal 8 September 2020, serta pada persidangan tanggal 25 Agustus 2020 mengajukan dua orang saksi yakni Tjindra Parma Wignyoprayitno, S.H., M.H., dan Ir. Manahara R. Siahaan , yang menyampaikan keterangan lisan di bawah sumpah/janji pada pokoknya sebagai berikut: Ahli Pemohon 1. Prof. Susi Dwi Harijanti, S.H., L.L.M., Ph.D. Dalam perkara Nomor 5/PUU-XVIII/2020 tentang Pengujian Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian Terhadap Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, terdapat lima permasalahan hukum yang disampaikan oleh Pemohon dan akan ahli coba jawab secara akademik, sebagai berikut:
Apakah undang-undang diperkenankan untuk mendelegasikan kewenangan mengatur kepada institusi pemerintah non-kementerian? Dalam hal ini, Ketentuan Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian yang mendelegasikan pengaturan mengenai perluasan ruang lingkup usaha perasuransian kepada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Untuk menjawab pertanyaan ini, izinkan ahli menyampaikan dengan lengkap bunyi Pasal 5 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian sebagai berikut:
Ruang lingkup Usaha Asuransi Umum dan Usaha Asuransi Jiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Usaha Asuransi Umum Syariah dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat .
Perluasan ruang lingkup Usaha Asuransi Umum , Usaha Asuransi Jiwa, Usaha Asuransi Umum Syariah, dan Usaha Asuransi Jiwa 36 Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa penambahan manfaat yang besarnya didasarkan pada hasil pengelolaan dana .
Ketentuan lebih lanjut mengenai perluasan ruang lingkup Usaha Asuransi Umum, Usaha Asuransi Jiwa, Usaha Asuransi Umum Syariah, dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan . Berdasarkan bunyi ketentuan tersebut, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) diberikan kewenangan oleh undang-undang untuk menentukan bidang usaha asuransi selain yang telah ditetapkan di dalam Pasal 2 dan Pasal 3, sepanjang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan diatur di dalam Peraturan OJK. Berkaitan dengan hal ini, terdapat dua hal yang menjadi catatan ahli. Pertama , secara teori, ketentuan pendelegasian di dalam undang- undang ditujukan untuk mengatur lebih lanjut ketentuan teknis yang dibutuhkan untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya. Dengan demikian, peraturan perundang-undangan yang hadir karena perintah undang-undang untuk mengatur hal-hal yang bersifat teknis, ditujukan untuk mewujudkan apa yang menjadi politik hukum peraturan induknya. Artinya, peraturan pelaksana tidak dapat memuat atau mengandung politik hukum baru. Perwujudan teori ini tercermin di dalam Lampiran II, angka 211 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menyatakan sebagai berikut: “ Pendelegasian kewenangan mengatur dari Undang-Undang kepada menteri, pemimpin lembaga pemerintah nonkementerian, atau pejabat yang setingkat dengan menteri dibatasi untuk peraturan yang bersifat teknis administratif .” Berkaitan dengan hal ini, jika dilihat kembali ketentuan Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Perasuransian, pendelegasian kepada peraturan OJK tidak ditujukan untuk mengatur hal yang bersifat teknis, melainkan untuk menetapkan bidang-bidang usaha asuransi selain yang telah ditetapkan di dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Perasuransian , sepanjang “sesuai dengan kebutuhan masyarakat”. Artinya, OJK memiliki kewenangan 37 untuk mengidentifikasi kebutuhan masyarakat dan menentukan jenis layanan asuransi baru untuk merespon kebutuhan tersebut. Hal ini juga berarti, peraturan OJK tentang perluasan bidang usaha asuransi dapat saja memuat politik hukum baru atas dasar kebutuhan masyarakat. Dengan konstruksi hukum demikian, maka potensi adanya perbedaan politik hukum antara undang-undang perasuransian dengan peraturan OJK sangat dimungkinkan terjadi. Sebenarnya, upaya untuk menjaga politik hukum undang-undang agar tidak bergeser atau berubah akibat kehadiran peraturan pelaksana telah dicantumkan di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pasal 10 ayat (1) huruf e telah secara tegas ( expresis verbis ) menyatakan bahwa merespon kebutuhan hukum masyarakat merupakan materi muatan yang harus diatur dengan undang-undang. Oleh karena itu, peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang memang hanya ditujukan untuk mewujudkan politik hukum yang terkandung di dalam undang-undang tersebut. Selain itu, konstruksi Pasal 5 Undang-Undang Perasuransian yang memberikan kewenangan kepada OJK untuk memperluas ruang lingkup usaha perasuransian jika terdapat kebutuhan dari masyarakat, menurut ahli merupakan konstruksi hukum yang hadir akibat ketidakcermatan pembentuk undang-undang dalam memahami fungsi-fungsi kelembagaan negara. Di dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, dinyatakan bahwa fungsi OJK adalah “menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan”. Tidak ditemukan satupun ketentuan di dalam Undang-Undang tersebut bahwa OJK memiliki fungsi untuk mengagregasi ataupun menyalurkan aspirasi kepentingan masyarakat. Dalam struktur ketatanegaraan Indonesia, sudah umum dipahami bahwa fungsi agregasi kepentingan dan fungsi penyaluran aspirasi masyarakat merupakan fungsi yang melekat pada lembaga Dewan Perwakilan Rakyat. Dengan demikian, maka respon terhadap kebutuhan hukum masyarakat harus dilakukan oleh DPR dengan membentuk undang- undang. 38 Kedua , pada dasarnya peraturan OJK yang mengatur perluasan bidang usaha asuransi, merupakan ketentuan “ pengecualian ” dari ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Perasuransian yang telah mengatur ruang lingkup usaha asuransi secara limitatif dengan konstruksi norma yang bersifat tertutup. Konstruksi “pengecualian” terlihat dengan adanya pra-syarat berupa “kebutuhan masyarakat” yang harus terpenuhi sebelum OJK dapat menambahkan atau memperluas ruang lingkup usaha asuransi. Dalam praktik, delegasi semacam ini semakin sering terjadi. Terdapat beberapa faktor yang melatarbelakangi makin seringnya terjadi pendelegasian, yaitu:
DPR mempunyai keterbatasan waktu untuk membahas serta merumuskan secara rinci hal-hal yang perlu diatur dengan undang- undang.
Faktor penguasaan teknis materi yang dibahas. DPR tidak selalu memiliki anggota-anggota yang benar-benar memiliki pengetahuan khusus di bidang tertentu sehingga dapat melakukan analisis secara mendalam setiap aspek yang akan diatur dalam suatu undang-undang.
Faktor kecepatan atau urgensi. Rangkaian pembahasan dalam pembentukan undang-undang dapat menghambat pada saat ada kebutuhan mendesak untuk membuat undang-undang bidang tertentu.
Faktor fleksibilitas. Mengubah udang-undang tidak semudah mengubah peraturan yang lebih rendah. Menghadapi perubahan yang serba cepat dibutuhkan peraturan perundang-undangan yang mudah diubah untuk disesuaikan dengan kebutuhan dan perkembangan. Meski delegasi diperbolehkan, namun tidak berarti setiap hal dapat didelegasikan atau delegasi dilakukan tanpa batas-batas tertentu. Terdapat beberapa pembatasan dalam mendelegasikan pengaturan, antara lain, tidak boleh ada delegasi pengaturan yang bersifat umum. Konstruksi pendelegasian yang terdapat dalam Pasal 5 ayat (3) menimbulkan problematika mendasar dari sisi ilmu perundang-undangan, yakni berkaitan dengan asas kepastian hukum. Jika kembali merujuk pada ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Perasuransian, tidak ditemukan kriteria mengenai apa yang dimaksud dengan “kebutuhan masyarakat”. Artinya, 39 penilaian terhadap pemenuhan prasyarat yang ditentukan oleh undang- undang berupa “kebutuhan masyarakat”, semata-mata ditentukan oleh penilaian subjektif OJK. Jika ditafsirkan secara a contrario , maka OJK berwenang pula menilai bahwa suatu layanan perasuransian selain yang telah ditentukan di dalam Pasal 2 dan Pasal 3, bukan lagi merupakan layanan yang dibutuhkan masyarakat, dan karenanya dapat dihapus atau dihentikan. Pada tafsir yang demikian, maka keberadaan atau keberlangsungan sebuah layanan perasuransian selain yang ditentukan di dalam Pasal 2 dan Pasal 3, sangat bergantung pada kewenangan diskresif tunggal dari OJK. Bahkan, Undang-Undang juga tidak memberikan kejelasan mengenai sejauh apa perluasan ruang lingkup usaha asuransi dapat dilakukan. Ketentuan pendelegasian semacam ini dapat dikategorikan sebagai pendelegasian yang bersifat open ended atau bentuk delegasi blangko yang secara normatif dilarang untuk dilakukan berdasarkan Lampiran II angka 210, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Karakter delegasi blangko semacam ini tentu tidak memenuhi asas keketatan ( lex stricta ) yang menjadi salah satu elemen dari asas kepastian hukum.
Bagaimana UUD 1945 mengatur tata cara melaksanakan atau menjalankan undang-undang? Untuk menjawab hal ini, maka perlu merujuk pada ketentuan Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya ”. Pada ketentuan tersebut terdapat frasa “…menjalankan undang- undang sebagaimana mestinya”, yang berarti bahwa Peraturan Pemerintah berfungsi untuk mengatur lebih lanjut (rincian) dari ketentuan yang telah terdapat dalam undang-undang. Dengan kata lain, setiap ketentuan di dalam Peraturan Pemerintah harus berkaitan dengan satu atau beberapa ketentuan di dalam sebuah undang-undang. Salah satu cara melihat keterkaitan tersebut adalah dengan melihat apakah terdapat perintah yang tercantum secara tegas ( expresis verbis ) di dalam sebuah undang-undang bahwa suatau ketentuan harus diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. 40 Meskipun demikian, bukan berarti ketiadaan perintah pengaturan lebih lanjut, menjadikan Presiden tidak berwenang untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah. Sepanjang terdapat kebutuhan untuk mengatur hal- hal yang berkaitan dengan pelaksanaan undang-undang, Presiden dapat menerbitkan Peraturan Pemerintah atau menggunakan instrumen hukum lainnya yang berasal dari fungsi pengaturan Presiden sebagai kepala pemerintahan, yakni instrumen Peraturan Presiden. Peraturan Presiden pada dasarnya berasal dari kewenangan yang melekat pada Presiden karena jabatannya sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan. Bahkan di dalam Penjelasan UUD 1945 (sebelum perubahan) dinyatakan bahwa Presiden ialah penyelenggara pemerintahan negara tertinggi. Ketentuan dan penjelasan tersebut menunjukan bahwa Presiden adalah penanggungjawab dan pimpinan penyelenggara pemerintahan sehari-hari atau pemimpin administrasi ( bestuur ), dan salah satu fungsi administrasi negara adalah membuat keputusan (baik yang bersifat penetapan ( beschikking ) maupun yang bersifat mengatur ( regeling ). Selain wewenang administrasi negara, Presiden mempunyai wewenang mandiri dalam membuat aturan-aturan untuk menyelenggarakan pemerintahan (disamping wewenang yang dilakukan bersama DPR membuat undang-undang). Akibatnya, meskipun Peraturan Presiden secara hierarkhis merupakan peraturan perundang-undangan di bawah Peraturan Pemerintah, namun, bukan berarti bahwa Peraturan Presiden hanya dapat diterbitkan untuk menjalankan Peraturan Pemerintah saja. Pasal 13 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyatakan bahwa: “Materi muatan Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang, materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah, atau materi untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan.” Dengan demikian, ruang lingkup materi muatan yang dapat diatur oleh Peraturan Presiden lebih luas dari ruang lingkup pengaturan yang dapat diatur oleh Peraturan Pemerintah. Bahkan, Peraturan Presiden dapat pula diterbitkan untuk melaksanakan atau menjalankan UUD 1945 maupun Tap MPR. 41 Sebagaimana yang telah ahli sampaikan sebelumnya, bahwa meskipun ketiadaan perintah pengaturan lebih lanjut di dalam undang- undang mengakibatkan Presiden dapat memilih menggunakan bentuk hukum Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden untuk menjalankan undang-undang, namun terdapat kondisi dimana Presiden sebaiknya menggunakan bentuk hukum Peraturan Pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya. Kondisi dimaksud yakni jika materi muatan yang hendak diatur merupakan materi yang berkaitan dengan hak dan kewajiban rakyat banyak (misalnya pada perkara a quo dalam bentuk memperluas ruang lingkup usaha asuransi), atau dalam batas-batas tertentu berkaitan dengan hak asasi atau salah satu hak yang dijamin di dalam UUD 1945. Mengutip pendapat Prof. Bagir Manan, praktik di Negeri Belanda, keputusan-keputusan Mahkota ( koninkelijke besluit ) yang mengikat secara umum selalu diatur melalui AMvB ( Algemene Maatsregel van Bestuur/ semacam Peraturan Pemerintah dalam sistem peraturan perundang-undangan di Indonesia). Berdasarkan uraian tersebut, ahli berpendapat bahwa pendelegasian sebagaimana yang terdapat di dalam Pasal 5 Undang-Undang Perasuransian sedapat mungkin dihindari, terutama jika materi yang hendak didelegasikan merupakan materi yang berkaitan dengan hak-hak warga negara, termasuk dalam hal ini boleh atau tidaknya badan usaha penyelenggara jasa asuransi melakukan atau tidak melakukan kegiatan bisnis tertentu. Demi menjaga keteraturan dan ketertiban hukum, pengaturan materi muatan semacam itu seharusnya diletakkan pada bentuk hukum Peraturan Pemerintah untuk memberikan pokok-pokok pengaturan yang penting terlebih dahulu seperti kejelasan makna “kebutuhan masyarakat”, tata cara mengidentifikasinya, kriteria perluasan yang diperkenankan untuk dilakukan, hingga metode evaluasinya. Materi muatan tersebut penting untuk dikemas dalam bentuk Peraturan Pemerintah sebelum didelegasikan kepada pengaturan teknisnya dalam peraturan OJK. Berbeda dengan peraturan OJK yang dalam pembentukannya tidak melibatkan institusi lain secara formal sehingga dapat dikategorikan sebagai diskresi tunggal, pembentukan Peraturan Pemerintah melibatkan institusi pemerintah lintas sektor dalam 42 bentuk Panitia Antar Kementerian dalam mekanisme pembentukannya secara formal. Selain itu, ahli berpendapat sudah saatnya Mahkamah memberikan pendapat yang tegas berkenaan dengan pendelegasian dari undang- undang kepada peraturan menteri atau peraturan lembaga/badan. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, materi peraturan delegasi acapkali mengatur hal-hal yang berdampak pada masyarakat luas, termasuk dunia usaha sebagaimana diatur dalam Pasal a quo . Bila hal semacam ini dibiarkan, dikhawatirkan terjadi ketidakpastian yang akan menimbulkan kerugian di masa-masa mendatang. Dengan demikian, Mahkamah menjadi lembaga yang sangat fundamental menegakkan UU No. 12 Tahun 2011 karena dalam pandangan ahli, UU No. 12 Tahun 2011 merupakan undang- undang organik yang pembentukannya diperintahkan secara langsung oleh UUD 1945.
Apakah Relasi Antara Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian Dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan, merupakan relasi yang menghadirkan kepastian hukum? Untuk menjawab hal tersebut, izinkan ahli menyampaikan beberapa ketentuan yang dapat mengidentifikasi hubungan diantara kedua undang- undang tersebut sebagai berikut:
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian yang berbunyi sebagai berikut: “ Asuransi adalah perjanjian antara dua pihak , yaitu perusahaan asuransi dan pemegang polis, yang menjadi dasar bagi penerimaan premi oleh perusahaan asuransi sebagai imbalan untuk:
memberikan penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti;
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan yang berbunyi sebagai berikut: “Penjaminan adalah kegiatan pemberian jaminan oleh Penjamin atas pemenuhan kewajiban finansial Terjamin kepada Penerima Jaminan.” 43 Berdasarkan kedua ketentuan yang mendefinisikan asuransi dan penjaminan tersebut, ahli berpendapat bahwa pada dasarnya kedua undang-undang mengatur hal yang serupa, yakni pada pokoknya memberikan layanan perlindungan kepada klien atas potensi kerugian akibat ketidakpastian di masa depan. Jikapun terdapat perbedaan, maka perbedaan tersebut bersifat sumir dan gradual. Misalnya, pada definisi asuransi, dinyatakan secara eksplisit bahwa asuransi adalah “perjanjian antara dua pihak”, yakni perusahaan asuransi dan pemegang polis. Frasa ini memperlihatkan karakter hubungan dyadic di dalam hubungan perasuransian. Namun, ditemukan pula frasa “tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga”, yang memperlihatkan pula relasi triadic . Sementara undang-undang penjaminan tidak menyatakan secara tegas karakter keterikatan para pihak di dalam hubungan penjaminan. Namun di dalam ketentuan mengenai definisi penjaminan, terlihat bentuk relasi triadic pula antara penjamin, terjamin, dan penerima jaminan. Di dalam ilmu perundang-undangan, dipahami bahwasanya untuk objek yang sama, tidak dibenarkan diatur dengan peraturan yang berbeda. Oleh karena itu, penting untuk mengidentifikasi politik hukum di kedua undang-undang ini, agar dapat melihat apakah terdapat perbedaan tujuan hukum dari dibentuknya dua undang-undang yang mengatur objek yang serupa tersebut. Untuk dapat mengidentifikasi politik hukum, salah satunya dapat dilakukan dengan pendekatan original intent pembentuk undang- undang. Salah satu caranya dengan melihat pada Bagian Konsideran. Pada Bagian Konsideran huruf b Undang-Undang Perasuransian, dinyatakan bahwa tujuan dibentuknya undang-undang ini adalah: “dalam rangka menyikapi dan mengantisipasi perkembangan industri perasuransian serta perkembangan perekonomian, baik pada tingkat nasional maupun pada tingkat global…”. Di sisi lain, Konsideran huruf b Undang-Undang Penjaminan menyatakan bahwa tujuan pembentukannya adalah: “untuk mewujudkan kemandirian ekonomi, negara harus memberikan perhatian terhadap dunia usaha, khususnya usaha mikro, kecil, dan menengah serta koperasi yang sering kesulitan mendapatkan akses permodalan dalam bentuk kredit, pembiayaan, atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dari lembaga keuangan dan di luar lembaga keuangan karena terbatasnya jaminan”. 44 Dari kedua Konsideran tersebut, terlihat bahwa politik hukum Undang-Undang Penjaminan ditujukan untuk memudahkan akses permodalan bagi usaha mikro, kecil, dan menengah serta koperasi, yang secara faktual sering kali kesulitan mendapatkan kredit atau pembiayaan akibat terbatasnya aset yang dapat dijaminkan. Di sisi lain, Undang-Undang Perasuransian ditujukan untuk meningkatkan daya saing perasuransian nasional sehingga dapat bertahan pada persaingan global. Berdasarkan kedua politik hukum tersebut, maka norma-norma yang dibangung di dalam undang-undang, harus ditujukan untuk memastikan politik hukumnya tercapai dengan baik. Sayangnya, jika diperhatikan pada norma-norma yang mengatur mengenai ruang lingkup usaha pada masing- masing undang-undang, dijumpai konstruksi pengaturan yang berbeda. Perbedaan ini pada sisi Undang-Undang Perasuransian berpotensi menghadirkan ketidakpastian hukum. Misalnya, di dalam Pasal 2 dan Pasal, 3 Undang-Undang Perasuransian, ruang lingkup usaha diatur dengan norma tertutup yang sangat limitatif dengan menggunakan frasa “hanya dapat” . Limitasi ini tentu berpotensi menghambat pertumbuhan dan perkembangan industri asuransi untuk dapat beradaptasi dan merespon dinamika persaingan global. Dengan demikian, frasa “hanya dapat” merupakan ketentuan yang bersifat rigid/kaku yang tidak sejalan dengan politik hukum undang-undang yang dinyatakan pada bagian konsideran, yakni untuk merespon dinamika persaingan global yang membutuhkan keluwesan. Namun, berbeda dengan Undang-Undang Perasuransian yang dirancang dengan konstruksi pasal tertutup, Pasal 4 Undang-Undang Penjaminan mengatur ruang lingkup usaha penjaminan dengan konstruksi pasal terbuka . Hal ini terlihat dari ketentuan Pasal 4 ayat (2) huruf k yang menyatakan bahwa perusahaan penjaminan dapat melakukan “kegiatan usaha lainnya setelah mendapat persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan”. Dengan konstruksi pasal demikian, maka secara normatif dapat ditafsirkan bahwa perkembangan indsutri penjaminan diserahkan pada pelakunya, sementara OJK ditempatkan sebagai lembaga pengawas yang memberikan persetujuan sebagai manifestasi dari fungsi kontrol pemerintah. 45 Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, Undang-undang Perasuransian juga sebenarnya membuka peluang adanya perluasan ruang lingkup usaha perasuransian sebagaimana diatur di dalam Pasal 5 Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2014. Namun, ketentuan Pasal 5 tersebut secara normatif memperlihatkan bahwa inisiasi perluasan ruang lingkup usaha diserahkan pada “ judgment” tunggal OJK untuk menilai kebutuhan masyarakat, dan bukan berasal dari inisiasi dari pelaku usaha. Dengan demikian, secara normatif, konstruksi Pasal 5 Undang-Undang Perasuransian memiliki potensi menghadirkan ketidakpastian jika dihubungkan dengan politik hukum pembentukan Undang-Undang dimaksud. Selain itu, berkaitan dengan lini usaha suretyship atau surety bond yang menjadi pokok permohonan perkara a quo , ahli melihat bahwa undang-undang memang menghendaki jenis usaha ini dapat dilakukan oleh berbagai entitas bisnis. Sebagaimana yang Pemohon uraikan di dalam permohonannya, lini usaha suretyship merupakan hasil perluasan ruang lingkup usaha asuransi yang diatur dalam Peraturan OJK Nomor 69/POJK.05/2016. Pengaturan mengenai objek yang sama juga ditemukan di dalam Pasal 4 ayat (2) huruf d Undang-Undang Penjaminan dengan terminologi “surety bond ”. Dalam Permohonan dinyatakan bahwa Pasal 57 ayat (4) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi juga mengatur objek yang sama dengan terminologi yang lebih umum yakni “jaminan” yang dapat dilakukan oleh lembaga perbankan, perusahaan asuransi, dan/atau perusahaan penjaminan. Dari seluruh ketentuan tersebut, hanya pada rezim Undang-Undang Perasuransian yang memberikan pengaturan “ suretyship/surety bond ” dengan bentuk hukum yang bersifat diskresional, yakni menggunakan Peraturan OJK dengan syarat adanya kebutuhan masyarakat. Sementara pada rezim yang lain, pengaturan mengenai “ suretyship/surety bond ” diatur di dalam bentuk hukum yang lebih ajeg, yakni norma undang-undang dan tanpa ada prasyarat apapun. Dengan demikian, secara hukum layak untuk dipertanyakan, mengapa objek yang sama, diatur dengan bentuk peraturan yang berbeda? 46 4. Apakah Kehadiran Pasal 61 juncto Pasal 57 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan yang mengatur mengenai kewajiban penyesuaian dan ketentuan pidana bagi penyelenggara penjaminan tanpa izin, merupakan ketentuan yang menghadirkan kepastian hukum bagi penyelenggara perasuransian? Pada masyarakat awam, kehadiran hukum tertulis selalu dianggap sebagai bentuk hadirnya kepastian hukum. Padahal, di dalam ilmu perundang-undangan, tetap terdapat prasyarat yang harus terpenuhi agar hukum tertulis dapat menghadirkan kepastian hukum sebagai berikut:
terdapat kejelasan norma/rumusan norma; 2 . norma harus harmonis dan sinkron dengan norma yang lain, baik yang terdapat dalam undang-undang yang bersangkutan maupun undang- undang yang lain yang mengatur materi sejenis; dan
tersedianya infrastruktur penegakan hukum. Ketentuan Pasal 61 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan yang berbunyi sebagai berikut:
Setiap Orang di luar Lembaga Penjamin yang telah melakukan kegiatan penjaminan sebelum berlakunya Undang-Undang ini wajib menyesuaikan dengan UndangUndang ini dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) tahun sejak berlakunya Undang-Undang ini.
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap kegiatan penjaminan yang dijalankan berdasarkan undang-undang tersendiri. Dari aspek kejelasan rumusan, ketentuan tersebut menurut ahli tidak bersifat multi interpretatif. Karenanya, asas kejelasan rumusan telah terpenuhi. Kehadiran ketentuan ini mencerminkan bahwa undang-undang memang mengakui bahwa kegiatan penjaminan dapat saja dilakukan berdasarkan undang-undang yang lain, dan dilakukan oleh pelaku usaha yang berbeda-beda. Namun, pada sisi harmonisasi, ketentuan Pasal 61 ini berpotensi menghadirkan ketidakpastian hukum dalam hal penyelenggaraan suretyship oleh perusahaan asuransi. Hal ini dikarenakan adanya pengecualian kewajiban untuk menyesuaikan dengan undang- undang penjaminan sebagaimana dinyatakan di dalam Pasal 61 ayat (2), melalui frasa hanya diberikan kepada kegiatan-kegiatan “yang dijalankan 47 berdasarkan undang-undang”. Di sisi lain, penyelenggaraan suretyship oleh perusahaan asuransi merupakan kegiatan yang tidak didasarkan pada undang-undang, melainkan pada Peraturan OJK. Dengan demikian, kegiatan suretyship oleh perusahaan asuransi tidak lagi dapat dilakukan kecuali pada sektor jasa konstruksi karena kegiatan tersebut diatur di dalam undang-undang tersendiri, yakni Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi. Dengan kata lain, konstruksi Pasal 61 secara tidak langsung mempersempit ruang lingkup layanan suretyship yang dapat dilakukan oleh perusahaan asuransi. Akibatnya, ketentuan pidana yang terdapat dalam Pasal 57 Undang- Undang Penjaminan, berpotensi dikenakan kepada perusahaan asuransi yang menyelenggarakan kegiatan suretyship di luar sektor jasa konstruksi. Ketidakpastian ini terjadi karena, di satu pihak, penyelenggaraan suretyship oleh perusahaan asuransi didasarkan oleh Peraturan OJK yang secara hukum adalah peraturan yang valid sebagai wujud kewenangan atribusi yang dimiliki OJK berdasarkan Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Perasuransian. Namun, di lain pihak, perusahaan asuransi yang melaksanakan lini usaha suretyship berdasarkan peraturan yang valid, berpotensi terkena ketentuan pidana karena dasar hukum kegiatannya tidak didasarkan pada undang-undang. Ketidakpastian hukum ini menurut ahli bukanlah akibat dari kesalahan perumusan Pasal 61 Undang-Undang Penjaminan. Penggunaan frasa “… yang dijalankan berdasarkan undang-undang” pada Pasal 61 ayat (2) Undang-Undang Penjaminan sebagai pengecualian atas kewajiban penyesuaian terhadap undang-undang penjaminan, disusun dengan asumsi atau penalaran yang wajar bahwa hal-hal yang bersifat pokok dan penting akan diatur secara ajeg di dalam norma undang-undang dan tidak didelegasikan kepada peraturan perundang-undangan yang lain. Menurut ahli, pendelegasian ketentuan yang bersifat pokok dan penting kepada peraturan yang secara hukum hanya dapat mengatur teknis administratif merupakan sebuah anomali. Dengan demikian, masalah utama ketidakpastian hukum ini menurut ahli terletak pada ketidaktaatan asas pada saat pembentukan Undang-Undang Perasuransian, khususnya pada saat merumuskan Pasal 2 dan Pasal 3 yang mengatur ruang lingkup usaha 48 dengan norma tertutup, dan Pasal 5 yang memberikan pengecualian untuk memperluasnya melalui Peraturan OJK dalam bentuk pemberian delegasi blangko.
Agar tercipta kepastian hukum yang adil bagi usaha penerbitan suretyship yang telah berjalan sejak 1978, apakah terdapat cukup alasan konstitusional untuk secara eksplisit mencantum frasa “termasuk lini usaha suretyship ” dari makna “dapat diperluas” dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU No. 40 tahun 2014? Kehadiran Mahkamah Konstitusi seringkali dimaknai sebagai “ the negative legislature ”, yakni institusi yang menjadi penyeimbang dari kekuasaan politik untuk membatalkan produk hukum yang dibentuknya. Namun, seringkali “ the negative legislature ” dimaknai secara sempit bahwa Mahkamah Konstitusi tidak dapat membentuk norma hukum baru, melainkan hanya membatalkan norma hukum dan mengembalikan pembentukannya pada cabang kekuasaan politik. Pandangan ini menurut ahli tidak sepenuhnya tepat, apalagi dengan kompleksitas permasalahan ketatanegaraan yang semakin rumit yang sering kali dihadapi Mahkamah Konstitusi. Aharon Barak di dalam bukunya “Judge in Democracy ” mencoba memberikan jawaban mengenai bagaimana pengadilan seharusnya memposisikan dirinya dalam menghadapi perkara-perkara yang kompleks tersebut. Menurutnya, pengadilan secara inheren dibekali kewenangan untuk melakukan “ judicial discretion ”. “Diskresi” dalam pendapat Aharon Barak tersebut dapat dilakukan dalam bentuk menghadirkan perluasan makna dari norma hukum, perubahan makna dari norma konstitusi, penambahan norma baru, hingga putusan yang bersifat “ ultra vires ”. Mengutip pendapat Chief Justice Lord Hewart: “ It is fundamental importance that justice should not only be done, but should manifestly and undoubtedly be seen to be done ”. Artinya, pengadilan harus memastikan keadilan benar-benar dapat dinikmati setiap warga negara dan tidak semata-mata hanya berbunyi di atas kertas. Pandangan ini sejatinya merupakan pandangan yang menolak gagasan tradisional tentang fungsi kekuasaan kehakiman yang sebatas hanya diposisikan sebagai institusi 49 yang menafsirkan hukum dan seringkali dianggap tidak dapat menyelesaikan masalah. Pandangan mengenai judicial discretion ini memang seringkali dikritik dengan alasan dapat mengakibatkan pengadilan berubah menjadi institusi yang “hiperaktif” dan eksesif, serta mencederai prinsip dasar bernegara, yakni demokrasi dan prinsip pemisahan kekuasaan. Namun, Ran Hirschl, seorang pakar political science dalam sebuah artikel yang berjudul: “Constitutional Courts vs Religious Fundamentalism: Three Middle Eastern Tales ”, mengatakan bahwa kritik-kritik terhadap judicial discretion dan dampak buruknya, umumnya didasarkan pada pemahaman yang keliru. Dalam bantahannya, Hirschl mengatakan bahwa pembentukan pengadilan (terutama pengadilan konstitusional) tidak dapat dipisahkan dari latar belakang kenyataan sosial, budaya, politik, dan ekonomi yang terbentuk dari tatanan sistem politik tertentu. Akibatnya, pengadilan tidak mungkin beroperasi pada dimensi yang vakum akan politik dan ideologi. Bagi Hirschl, pengadilan harus menjadi bagian integral untuk dapat memanifestasikan gagasan dan value politik serta ideologi yang melatar belakangi pembentukannya. Berdasarkan pendapat Ran Hirschl tersebut, ahli berpendapat bahwa jika Mahkamah Konstitusi pada awalnya memang dibentuk sebagai “ the guardian of the constitution, and the protector of human rights ”, maka Mahkamah Konstitusi memiliki kewajiban pula untuk memastikan bahwa fungsi-fungsinya tersebut dapat secara langsung dirasakan oleh masyarakat dalam bentuk menghadirkan remedy bagi mereka yang hak konstitusionalnya terlanggar akibat berlakunya sebuah undang-undang. Oleh karena itu, memberikan tafsir konstitusional bersyarat sebagaimana permohonan pemohon, menurut ahli dapat dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi sepanjang pengadilan memutus berdasarkan hukum. Makna memutus berdasarkan hukum diartikan oleh Mark Elliot sebagai sebuah putusan yang dihasilkan dengan cara-cara yang sejalan dengan prinsip-prinsip umum, baik hukum maupun politik, yang mendasari terbentuknya konstitusi. Mengutip pendapat Sir Edward Coke beberapa abad yang lalu: “ Reason is the life of the law ”, artinya legitimasi putusan pengadilan hanya dapat dilihat atau dinilai melalui alasan atau 50 pertimbangan-pertimbangan yang mendasari mengapa sebuah putusan dijatuhkan. Sejarah dunia telah mencatat berbagai putusan yang bersifat membentuk norma baru, ataupun mengubah makna konstitusi selalu mendapatkan penerimaan dengan baik dari masyarakat, sepanjang memiliki legal reasoning yang memadai, sebagaimana terjadi pada putusan landmark Supreme Court Amerika Serikat di perkara Brown v Board of Education tahun 1954 maupun Roe v Wade tahun 1973. Dalam perkara Brown v Board of Education , diskresi pengadilan mengambil bentuk berupa pembatalan precedent atau putusan sebelumnya yang menjadi dasar segregasi rasial di Amerika melalui doktrin separate but equal yang diputuskan dalam perkara Plessy v Ferguson . Fakta sejarah kemudian menunjukan bahwa putusan ini telah memicu perubahan paradigmatik pada dimensi kebijakan publik Amerika terkait hak-hak masyarakat kulit hitam. Pasca putusan ini, kebijakan publik Amerika cenderung mengarah pada desegregasi dan pemberian kebijakan affirmative action bagi masyarakat kulit hitam. Putusan pengadilan dalam perkara Brown v Board of Education dapat dibaca sebagai sebuah upaya melindungi kebebasan dan persamaan bagi masyarakat kulit hitam yang sejatinya telah dijamin di dalam konstitusi. Begitu pula yang terjadi pada perkara Roe v Wade Tahun 1973. Pengadilan membentuk norma baru yang menjamin kebebasan bagi wanita atas fungsi reproduksinya. Dalam putusannya, pengadilan menyatakan bahwa praktik aborsi dapat dibenarkan pada trimester pertama masa kehamilan dengan alasan-alasan tertentu. Hal ini dapat dibaca sebagai bentuk pemenuhan jaminan atas hak diri pribadi ( privacy rights ) sebagaimana telah dijamin di dalam konstitusi. Di Indonesia, praktik serupa beberapa kali dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi dengan alasan demi menegakan keadilan substantif. Misalnya, dalam perkara Nomor 102/PUU-VII/2009 tentang Pengujian Undang- Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden Dan Wakil Presiden, yang menetapkan bahwa masyarakat yang tidak terdaftar pada Daftar Pemilih Tetap (DPT), tetap dapat memilih dalam pemilihan umum presiden dan wakil presiden dengan menunjukan KTP, KK, ataupun Paspor. 51 Dalam perkara lainnya, yakni perkara Nomor 46/PUU-VIII/2010 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa anak yang lahir di luar perkawinan yang sah tetap dapat memiliki hubungan hukum dengan ayahnya sepanjang dapat dibuktikan secara hukum. Berdasarkan presedent pada perkara terdahulu, dan berdasarkan fungsi-fungsi Mahkamah Konstitusi yang telah diuraikan sebelumnya, ahli berpendapat bahwa pemberian tafsir konstitusional bersyarat dapat dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi sepanjang ditujukan untuk memastikan terciptanya remedy bagi pihak-pihak yang hak konstitusionalnya terlanggar.
Dr. Kornelius Simanjuntak, S.H., M.H., AAIK. Permasalahan: Apakah Ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian tidak cukup kuat dan oleh karenaya mengandung permasalahan hukum, ketidakpastian hukum, dan potensi kerugian dan dapat merambat ke ancaman pidana bagi para Pemohon (yaitu perusahaan-perusahaan asuransi umum) dalam memasarkan dan menerbitkan lini usaha surety bond dan suretyship , sehingga ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian perlu diadakan perubahan. Pertama : Sejarah Singkat Suretyship di Indonesia; Kedua : Definisi Usaha dan Lini Usaha Asuransi Umum; Ketiga : Keunggulan Perusahaan Asuransi dalam memikul risiko dalam produk suretyship ; Keempat : Permasalahan Timbul karena diundangkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Penjaminan, dan Kelima : Potensi Masalah hukum yang dapat merembet ke ranah Pidana bagi direksi dan pejabat perusahaan asuransi umum yang melakukan lini usaha Surety Bond/Suretyship . Pertama: Sejarah Singkat Surety Bond atau Suretyship . Sejak dari awal Tahun 1978 Surety Bond atau Suretyship diadakan di Indonesia, yang diberikan kewenangan untuk melaksanakan dan menerbitkan Surety Bond atau Suretyship adalah Perusahaan Asuransi Umum (dahulu disebut Asuransi Kerugian). 52 Lini usaha atau Produk Surety Bond atau Suretyship sejak diperbolehkan oleh Pemerintah untuk dijalankan di Indonesia pada tahun 1978, yang diberikan hak dan kewenagan untuk melaksanakan, memasarkan, menjual dan menerbitkan lini usaha Surety Bond adalah perusahaan asuransi umum atau asuransi kerugian yaitu PT Jasa Raharja Persero melalui Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1978 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1965 tentang Pendirian Perusahaan Umum Asuransi Kerugian Jasa Raharja. Selanjutnya pada tahun 1980 melalui Keputusan Presiden Nomor 14A Tahun 1980 tentang Pengadaan Barang dan Jasa kemabali ditegaskan bahwa yang dapat menerbitkan Surety Bond adalah Asuransi Kerugian PT Jasa Raharja Persero sebagai Lembaga Keuangan Non Bank atau LKNB. Kemudian pada tahun 1992 perusahaan-perusaan asuransi kerugian (umum) meminta kepada Pemerintah dalam hal ini Departemen Keuangan (sekarang namanya Kementerian Keuangan), supaya pelaksanaan lini usaha Surety Bond tidak dimonopoli oleh perusahaan asuransi kerugian PT Jasa Raharja Persero. Maka pada tahun 1992 dengan diundangkan Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, kepada perusahaan-perusaan asuransi kerugian diberikan izin untuk melaksanakan lini usaha Surety Bond, sementara PT Jasa Raharja Persero dikembalikan fungsi dan tugas pokoknya untuk melaksanakan Asuransi Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1964 dan Asuransi Dana Kecelakaan Lalu lintas Jalan sebagaimana diatur dalam Undang- Undang Nomor 34 Tahun 1964. Artinya selama 42 tahun sejak diperkenalkan dan diperbolehkan Surety Bond di Indonesia, lini usaha atau produk Surety Bond adalah lini usaha atau produk asuransi kerugian atau sekarang juga disebut asuransi umum, dengan izin ekslusif pada awalnya kepada asuransi kerugian PT Jasa Raharja Persero, dan kemudian sejak tahun 1992 lini usaha Surety Bond diberikan kepada perusahaan-perusahaan asuransi kerugian (dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian memakai istilah asuransi umum). Dengan demikian sejak diperkenalkan dan diperbolehkan lini usaha Surety Bond di Indonesia pada tahun 1978, lini 53 usaha Surety Bond tersebut adalah sebagai lini usaha asuransi umum, dan hingga saat ini sudah 42 tahun lini usaha Surety Bond adalah lini usaha dari perusahaan asuransi kerugian atau asuransi umum. Kedua: Ruang Lingkup Usaha dan Lini Usaha Asuransi Umum Bersifat Terbuka Ruang lingkup usaha asuransi sesungguhnya secara universal sifatnya terbuka untuk semua jenis produk atau lini usaha yang tergolong dan masuk sebagai jenis asuransi umum, karena itu sesungguhnya tidak perlu ada penyebutan nama-nama setiap produk atau lini usaha asuransi umum, karena macam dan jenis produk atau lini usaha asuransi umum sangat banyak dan selalu berkembang atau bertambah sesuai perkembangan kemajuan dalam berbagai aspek kehidupan manusia yang juga menimbulkan berbagai ragam jenis dan macan risiko. Pengaturan demikian adalah bersifat universal, dan hal itu sesungguhnya juga sudah diadopsi dan dengan perumusan yang baik dalam Pasal 3 huruf a.1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian. Bunyi selengkapnya adalah sebagai berikut: Pasal 3 huruf a.1 “a.1 Usaha asuransi kerugian yang memberikan jasa dalam penanggulangan risiko atas kerugian, kehilangan manfaat, dan tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga, yang timbul dari peristiwa yang tidak pasti”. Jadi tidak perlu disebutkan satu demi satu jenis produk atau lini usaha seperti asuransi kebakaran rumah, asuransi kendaraan bermotor, asuransi mobil, asuransi pengangkutan, asuransi pencurian, asuransi pesawat terbang, asuransi pengangkutan udara, asuransi penumpang pesawat udara, asuransi kapal laut, asuransi pengangkutan cargo, asuransi pengangkutan penumpang kapal laut, asuransi pengangkutan barang melalui darat dan danau, asuransi pengangkutan barang melalui kereta api, asuransi penumpang kereta api, asuransi tanggung jawab hukum terhadap pihak ketiga, asuransi siber (cyber insurance) , asuransi tanggung jawab hukum siber, dan lain-lain. 54 Tetapi jika ada benturan atau potensi benturan antara dua perusahaan asuransi dengan izin usaha yang berbeda, misalnya antara perusahaan asuransi umum dengan perusahaan asuransi jiwa yang juga dapat secara sah menjual dan menerbitkan produk atau lini usaha yang sama, maka hal itu adalah perlu diatur dalam undang-undang. Pengaturan demikian terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, sebagai berikut: Pasal 2 ayat 1 _(1) Perusahaan asuransi umum hanya dapat menyelenggarakan: _ a. Usaha asuransi umum, termasuk lini usaha asuransi kesehatan, dan lini usaha asuransi kecelakaan diri _; dan _ b. Usaha reasuransi......... (2) Perusahaan asuransi jiwa hanya dapat menyelenggarakan usaha asuransi jiwa termasuk lini usaha anuitas , lini usaha asuransi kesehatan, dan lini usaha asuransi kecelakaan diri. __ Selanjutnya Pasal 3 ayat (1) dan (2) mengatur hal yang sama untuk asuransi umum syariah dan asuransi jiwa syariah. Pada awalnya lini usaha asuransi kesehatan dan asuransi kecelakaan diri adalah produk atau lini usaha dari perusahaan asuransi umum, kemudian dalam perkembangannya perusahaan asuransi jiwa juga melakukan dan menjual lini usaha asuransi kesehatan dan asuransi kecelakaan diri, karena objek asuransinya adalah manusia dan sesuai perkembangan lini-lini usaha asuransi secara universal, maka pemerintah Indonesia juga mengadopsi hal yang sama. Oleh karena itu, adalah penting dan perlu diatur secara tegas dalam undang-undang perasuransian bahwa jika ada dua jenis usaha dari perusahaan asuransi yang sama-sama diberikan hak untuk menjual dan menerbitkan produk atau lini usaha asuransi kesehatan dan lini usaha asuransi kecelakaan diri, dengan demikian tidak akan ada muncul permasalahan di lapangan mengenai apakah perusahaan asuransi jiwa dapat secara sah melakukan dan menerbitkan lini usaha asuransi kesehatan dan lini usaha asuransi kecelakaan diri. Pengaturan demikian menciptakan kepastian hukum, ketertipan dan rasa aman bagi pelaku usaha dalam menjalankan usaha nya masing-masing. 55 Selanjutnya ahli ingin memberikan pendapat dan analisis hukum terhadap ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuansian yang memuat ketentuan tentang ruang lingkup usaha asuransi. Pasal 5 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian berbunyi sebagai berikut: (1) Ruang lingkup Usaha Asuransi Umum dan Usaha Asuransi Jiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Usaha Asuransi Umum Syariah dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat _; _ (2) Perluasan ruang lingkup Usaha Asuransi Umum , Usaha Asuransi Jiwa, Usaha Asuransi Umum Syariah, dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa penambahan manfaat yang besarnya didasarkan pada hasil pengelolaan dana _; _ (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai perluasan ruang lingkup Usaha Asuransi Umum, Usaha Asuransi Jiwa, Usaha Asuransi Umum Syariah, dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 5 ayat (1) tersebut memuat ketentuan bahwa ruang lingkup usaha asuransi umum, asuransi jiwa, baik yang konvensional maupun syariah dapat diperluas sesuai kebutuhan masyarakat. Pasal 5 ayat (3) memuat ketentuan bahwa ruang lingkup usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Dengan ketentuan ini, maka perkembangan produk dan lini usaha asuransi umum yang dapat dilakukan perusahaan asuransi menjadi dibatasi karena hanya dapat dilakukan melalui Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Dengan ketentuan ini macam dan jenis produk atau lini usaha asuransi untuk asuransi umum, asuransi jiwa baik yang konvensional maupun yang syariah yang merupakan bagian dari lingkup usaha menjadi tertutup dan kaku, tidak dapat lagi mengikuti perkembangan kemajuan produk atau lini usaha di industri jasa asuransi yang sangat dinamis dan cepat, karena untuk menerbitkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan akan memakan waktu yang tidak sedikit, dan tidaklah semudah menerbitkan izin usaha produk atau lini usaha. 56 Selama ini setiap kali perusahaan asuransi hendak dan mau melakukan atau memasarkan suatu macan atau jenis produk atau lini usaha, maka perusahaan asuansi wajib dan cukup mengajukan pengajuan dan permohonan izin produk atau lini usaha terlebih dahulu kepada Otoritas Jasa Keuangan untuk mendapatkan izin produk atau lini usaha dan mendaftarkan produk atau lini usaha tersebut di Otoritas Jasa Keuangan. Setelah disetujui oleh Otoritas Jasa Keuangan barulah perusahaan asuransi dapat secara sah melakukan dan memasarkan atau menjual produk atau lini usaha tersebut, ketentuan tersebut telah diatur dalam Pasal 5 ayat (2) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 69/POJK.05/2016 tentang Penyelanggaraan Usaha Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah. Bunyi selengkapnya dari Pasal 5 ayat (2) POJK Nomor 69/POJK.05/2016 tersebut adalah sebagai berikut: “Perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, atau unit syariah pada perusahaan asuransi yang akan melakukan perluasan ruang lingkup usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 wajib terlebih dahulu mendapakan persetujuan dari OJK”. Maka jika memperhatikan dengan cermat bunyi ketentuan Pasal 5 khususnya ayat (3) Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian dan Pasal Pasal 5 ayat (2) POJK Nomor 69/POJK.05/2016 tentang Penyelanggaraan Usaha Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah, maka pengaturan ketentuan yang ideal dan baik adalah yang diatur dalam POJK Nomor 69/POJK.05/2016 tentang Penyelanggaraan Usaha Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah, yang mana untuk melakukan dan memasarkan suatu produk atau lini usaha cukup dengan mengajukan permohonan izin produk kepada OJK dan tidak perlu OJK menerbitkan suatu Peraturan OJK yang khusus untuk setiap produk atau lini usaha. Tetapi jika dianalisis dari hirarkhi peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, maka perluasan lingkup usaha dan lini 57 usaha asuransi untuk produk atau lini usaha Surety Bond/Suretyship seharusnya diatur dalam Undang-Undang Perasuransian supaya tidak menimbulkan ketidak pastian hukum, karena pemberian lingkup usaha untuk menerbitkan produk atau lini usaha Surety Bond/Suretyship kepada perusahaan penjaminan telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan. Oleh karena itu ahli perpendapat bawa permohonan uji materi yang diajukan oleh Para Pemohon sangatlah mempunyai dasar dan alasan yang kuat, karena dengan diundangkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan, menjadi ada dua jenis perusahaan dengan izin usaha yang berbeda dapat melakukan dan menerbitkan lini usaha penjaminan atau Surety Bond yang merupakan bagaian dari Suretyship. Sehingga persaingan yang tidak sehat di lapangan dan potensi permasalahan dapat dihindari, karena ada kepastian hukum, ketertiban, dan rasa aman bagi pelaku usaha yaitu perusahaan asuransi umum dan perusahaan penjaminan yang sama-sama diberikan kewenangan, hak, untuk dapat secara sah melakukan dan menerbitkan lini usaha Surety Bond yang merupakan bagian dari Suretyship. Ketiga: Keunggulan Perusahaan Asuransi Umum dalam memikul risiko dari Produk atau Lini Usaha Surety Bond/Suretyship Ada paling tidak 4 (empat) keunggulan dari Perusahaan Asuransi Umum dalam memikul risiko dari produk atau lini usaha Surety Bond/Suretyship dibandingkan dengan Perusahaan Penjaminan dan lini usaha bank garansi untuk bank, yaitu:
Sistem Reasuransi atau Pertanggungan Ulang;
Sistem Pool Asuransi;
Pangalaman Yang Telah Teruji Dalam Memikul dan Menjamin Nilai Risiko dari projek Yang Besar, dan;
Proses Penerbitan Sertifikat atau Polis yang lebih sederhana dan tidak memerlukan collateral atau jaminan berupa sejumlah uang, atau asset atau sebuah benda berharga; 58 1. Sistem Reasuransi atau Pertanggungan Ulang Reasuransi atau pertanggungan ulang sudah ratusan tahun dikenal dan diterapkan dalam perasuransian secara universal yang dimulai di Negara Inggris sebagai pusat bisnis asuransi dan reasuransi dunia. Melalui mekanisme reasuransi yang menjadi sistem penyebaran risiko secara nasional, regional dan global, sebuah perusahaan asuransi umum akan dapat secara sah dan mampu memberikan jaminan asuransi dan penjaminan surety bond/suretyship dengan baik meskipun nilai asset atau nilai jaminan surety bond/suretyship sangat jauh melebihi nilai asset atau modal setor perusahaan asuransi umum yang bersangkutan. Oleh karena itu, setiap perusahaan asuransi umum oleh peraturan perundangan diwajibkan memiliki program dan sistem sistem reasuransi atau pertanggungan ulang otomatis sebagaimana diatur dalam Pasal 32 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 69/POJK.05/2016 yang mengatur sebagai berikut: “Setiap Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi wajib memiliki dukungan reasuransi dalam bentuk perjanjian reasuransi atau perjanjian syariah otomatis”. Dengan adanya program reasuransi dari perusahaan asuransi umum, maka sebuah perusahaan asuransi umum akan dapat memikul dan memberikan jaminan asuransi atas berbagai risiko dengan nilai yang diasuransikan jauh melebihi permodalan atau asset dari suatu perusahaan asuransi, karena sesuai ketentuan permodalan perusahaan asuransi yang diatur dalam Pasal 6 ayat (1) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 67/POJK.05/2016 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah mengatur: “Perusahaan Asuransi harus memiliki modal disetor pada saat pendirian paling sedikit sebesar Rp150.000.000.000.- (seratus lima puluh miliar rupiah)”. 59 Meskipun modal setor atau nilai asset dari sebuah perusahaan asuransi umum hanya mislanya Rp150.000.000.000.- (seratus limapuluh miliar rupiah, tetapi perusahaan asuransi tersebut akan dapat memberikan jaminan pertanggungan atau penjaminan dengan nilai Rp500.000.000.000.- (lima ratus miliar rupiah) atau bahkan Rp1.000.000.000.000.- (satu triliun rupiah) untuk satu objek risiko. Karena sebagian besar nilai resiko polis asuransi atau Surety Bond/Suretyship akan direasuransikan ke perusahaan reasuransi dalam negeri, regional, dan jika perlu ke perusahaan reasuransi di pasar reasuransi global seperti ke pasar reasuransi London, Swiss, German, dan lain-lain. Sementara di perusahaan penjaminan secara global dan internasional tidak dikenal sistem reasuransi.
Sistem Pool Asuransi Di perusahaan asuransi umum juga terdapat sistem pool asuransi dimana sejumlah perusahaan asuransi bekerja sama untuk memikul dan menjamin suatu risiko dengan nilai yang besar atau karena risiko tersebut mempunyai karakteristik yang mengakibatkan risikonya sangat tinggi. Sistem pool asuransi juga diterapkan untuk lini usaha Surety Bond/Suretyship untuk menjamin proyek-proyek dengan nilai yang besar sekali. Di Indonesia beberapa perusahaan asuransi umum telah membentuk suatu sistem pool asuransi untuk menjamin lini usaha custom bond yang merupakan turunan dari Suretyship. 3. Pengalaman Yang Telah Diuji Dalam Memikul dan Menjamin Nilai Risiko dari Projek Yang Besar Perusahaan-perusahaan asuransi umum telah mempunyai pengalaman selama 42 tahun dalam memasarkan dan menerbitkan lini usaha Surety Bond/Suretyship. Perusahaan asuransi umum adalah yang menjadi pioneer dan pertama melakukan dan menerbitkan lini usaha Surety Bond/Suretyship. Perjalanan dan pengalaman mereka selama 42 tahun telah membuktikan bahwa perusahaan asuransi umum dapat dan mampu dengan baik melakukan lini usaha Surety Bond/Suretyship. Oleh karena itu menurut ahli adalah layak dan pantas jika perusahaan 60 asuransi umum tetap diberikan hak dan kewenangan dalam Undang- Undang Nomor 40 tahun 2014 untuk menerbitkan lini usaha Surety Bond/Suretyship. Dari data yang ahli dapatkan dari Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI), selama 6 tahun terakhir dari tahun 2014 sampai dengan tahun 2019, perusahaan asuransi umum telah memberikan jaminan lini usaha Surety Bond/Suretyship untuk berbagai projek dengan nilai total jaminan Rp 2.688 triliun dari total nilai projek Rp 38.400 triliun dengan demikian rata-rata nilai jaminan setiap tahun adalah sebesar Rp 448 triliun dari total nilai projek sebesar Rp6.400 triliun untuk lebih jelasnya dapat dilihat dari tabel dibawah ini: Data Lini Usaha Surety Bond/Suretyship dari Tahun 2014 s.d. 2019 Sumber: Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) 4. Proses Penerbitan Sertifikat atau Polis Yang Lebih Sederhana dan Tidak Memerlukan Collateral atau Jaminan Berupa Sejumlah Uang atau Asset atau sebuah benda berharga Proses Penerbitan Sertifikat atau Polis yang lebih sederhana dan tidak memerlukan collateral atau jaminan berupa sejumlah uang, atau asset atau sebuah benda berharga, sebagaimana diterapkan oleh perbankan. Dengan sistem seperti itu, maka pengusaha kecil dan menengah yang umumnya mempunyai keterbatasan dalam permodalan usaha, mereka juga terbantu dalam menjalankan usahanya dengan adanya lini usaha surety Bond/Suretyship dari perusahaan asuransi umum. 61 Keempat: Permasalahan Timbul karena diundangkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan Selama 38 tahun sejak tahun 1978 hingga tahun 2016 sebelum diundangkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Penjaminan, tidak ada permasalahan hukum yang timbul bagi perusahaan asuransi umum dalam menjalankan lini usaha Surety Bond/ Suretyship . Permasalahan timbul karena diundangkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Penjaminan, dan karena Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian tidak secara tegas mengatur dalam Pasal 2 ayat (1) a. dan Pasal 3 ayat (1) a. untuk asuransi umum syariah bahwa lini usaha Surety Bond/Suretyship adalah lini usaha yang dapat dijalankan oleh perusahaan asuransi umum. Oleh karena itu ahli berpendapat adalah perlu ditegaskan dalam Pasal- pasal tersebut di atas bahwa perusahaan asuransi umum dapat menjalankan lini usaha Surety Bond/Suretyship sebagaimana diajukan pemohon kepada Yang Mulia Ketua dan Majelis Mahkamah Konstitusi pada Mahkamah Konstitusi Yang Terhormat ini. Hal ini perlu ditegaskan dalam Pasal 2 Undang- Undang Nomor 40 tahun 2014 tentang Perasuransian bahwa usaha assuransi umum dapat menyelenggarakan usaha asuransi umum termasuk lini usaha asuransi kesehatan, lini usaha asuransi kecelakaan diri, dan lini usaha Surety Bond/Suretyship, dengan demikian akan tercipta kepastian hukum bagi perusahaan asuransi umum yang melakukan lini usaha Surety Bond/Suretyship. Karena Undang- Undang Nomor 1 tahun 2016 tentang Penjaminan dalam Pasal 4 ayat (2) memuat ketentuan bahwa perusahaan penjaminan juga dapat melakukan lini usaha Surety Bond, custom bonds yang merupakan bagian dari Suretyship. Kelima: Potensi Masalah hukum dapat merembet ke ranah Pidana bagi direksi dan pejabat perusahaan asuransi umum yang melakukan lini usaha Surety Bond/Suretyship Ketentuan Pasal 61 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan memuat ketentuan sebagai berikut: 62 c. Setiap Orang di luar Lembaga Penjamin yang telah melakukan kegiatan penjaminan sebelum berlakunya Undang-Undang ini wajib menyesuaikan dengan UndangUndang ini dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) tahun sejak berlakunya Undang- Undang ini. d. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap kegiatan penjaminan yang dijalankan berdasarkan undang-undang tersendiri. Ketentuan Pasal 61 tersebut di atas menurut ahli telah menciptakan ketidakpastian hukum untuk perusahaan asuransi umum dalam melakukan dan memasarkan produk atau lini usaha Surety Bond/Suretyship, karena ada kewajiban untuk perusahaan asuransi umum yang sebelum diundangkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan untuk menyesuaikan dengan undang-undang penjaminan sebagaimana dinyatakan di dalam Pasal 61 ayat (1). Dan penyesuaian tersebut haruslah dilakukan melalui undang-undang, tentu bagi perusahaan asuransi adalah Undang-Undang Nomor 40 tahun 2014 tentang Perasuransian. Sementara saat ini, perusahaan asuransi umum melakukan dan memasarkan produk atau lini usaha Surety Bond/Suretyship tidak didasarkan pada undang-undang, akan tetapi didasarkan pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 69/POJK.5/2016 yang diatur dalam Pasal 4. Dan jika ditinjau dari hirarki peraturan perundangan sebagaimana telah dijelaskan ahli sebelumnya, posisi dan kedudukan hukum dari perusahaan asuransi umum tentu termasuk direksi dan pejabatnya adalah lebih rendah dibandingkan dengan perusahaan penjaminan. Akibatnya, Pasal 57 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan yang memuat ketentuan ancaman hukuman pidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan pidana denda paling banyak Rp100.000.000.000.- (seratur miliar rupiah), berpotensi dan dapat dikenakan kepada direksi dan pejabat perusahaan asuransi umum yang melaksanakan produk atau lini usaha Surety Bond/Suretyship. Oleh karena itu menurut ahli perlu diadakan perubahan sebagai penegasan dalam Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, khususnya dalam pasal 2 ayat (1) untuk menegaskan bahawa perusahaan asuraqnsi umum dapat melakukan/menyelenggarakan lini usaha Surety Bond/Suretyship, sebagaimana dimohon oleh Pemohon dalam pengajuan 63 mereka kepada Yang Mulia Ketua dan Anggota Majelis Mahkamah Konstitusi, supaya ada kepastian hukum, rasa kenyamanan, ketertiban, dan keadilan bagi perusahaan asuransi umum yang telah selama 42 tahun melakukan/menyelenggarakan produk atau lini usaha Surety Bond/Suretyship. Mahkamah Konstitusi Yang Terhormat dan Mulia ini, dibentuk sebagai pengawal konstitusi dan untuk melindungi hak asasi manusia dari warganegara Republik Indonesia, maka Mahkamah Konstitusi memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa tugas dan kewajibannya tersebut dapat secara langsung dirasakan oleh masyarakat pelaku usaha asuransi umum dalam bentuk menghadirkan kepastian hukum dan ketenteraman bagi pelaku usaha asuransi umum dalam melakukan lini usaha Surety Bond/Suretyship, yang hak konstitusionalnya mereka rasakan telah terlanggar dan menimbulkan ketidak pastian serta berpotensi menimbulkan ancaman pidana akibat berlakunya sebuah undang-undang, yaitu Undang- Undang Nomor 1 tahun 2016 tentang Penjaminan. Saksi Pemohon 1. Tjindra Parma Wignyoprayitno, S.H., M.H. - Terdapat tujuh permasalahan hukum yang akan Saksi sampaikan, pertama, persoalan yang berkaitan dengan suretyship atau surety bond yang sudah dikenal sejak abad ke-19, pada 1837 di Amerika sudah lahir surety bond ini dan kemudian di Belanda didirikan sebuah perusahaan yang bernama NV Nationale Borg Maskapai pada tahun 1893. Demikian juga, secara mendunia pada tahun 1928 di Swiss didirikan yang namanya International Credit Insurance and Surety Association; __ - Untuk di Indonesia, suretyship atau surety bond ini mulai dikenal pada tahun 1978 dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 34 yang memberikan kesempatan kepada perusahaan asuransi Jasa Raharja untuk mengeluarkan produk yang berupa surety bond yang waktu itu namanya adalah surety atau bonding. Dalam perkembangannya, menteri keuangan mengubah istilah surety bond ini menjadi suretyship pada tahun 2008 dan menetapkan 20 perusahaan asuransi yang boleh mengeluarkan produk suretyship ini; __ 64 - Kemudian di dunia perasuransian lahirlah Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (UU Perasuransian) dan menyusul Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan (UU Penjaminan). Dengan keluarnya kedua undang-undang ini, mulai timbul permasalahan di dalam penerbitan surety bond dan suretyship karena Undang-Undang Perasuransian tidak hanya mendelegasikan pengaturan suretyship ini kepada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK), sedangkan UU Penjaminan menyebut secara rinci apa yang disebut dengan surety bond itu; __ - Bahwa sampai hari ini produk suretyship yang ijin usahanya dikeluarkan oleh OJK masih tetap berlaku, namun kekhawatiran Saksi adalah apabila pihak obligee atau pihak pemberi pekerjaan, pihak pemerintah menanyakan legalitas dari suretyship ini atau memasukkan larangan untuk dipakainya suretyship ini atau memasukkan larangan untuk dipakainya suretyship dalam dokumen lelangnya berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2004 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2005, maka apa yang diharapkan oleh dunia kontraktor menjadi hilang karena suretyship hanya diatur dalam POJK; __ - Saksi mohon agar bisa ketentuan suretyship ini berjalan sesuai dengan apa yang sudah terjadi pada saat ini, maka perlu ada penguatan dari produk hukum dari yang hanya diatur dalam peraturan Otoritas Jasa Keuangan menjadi bagian atau isi daripada Undang-Undang Perasuransian dalam bentuk Keputusan Mahkamah Konstitusi; __ - Perusahaan-perusahaan kontraktor atau prinsipal selalu menggunakan suretyship karena tidak membutuhkan adanya agunan, tidak membutuhkan collateral, dan cukup membayar premi serta sifatnya tetap unconditional. Untuk itu sebetulnya Otoritas Jasa Keuangan telah membentuk tiga konsorsium dari perusahaan asuransi ini, yaitu konsorsium penjaminan proyek, konsorsium jasa surety bond , dan konsorsium penjaminan Indonesia; __ - Di dalam ketiga konsorsium ini bernaung perusahaan-perusahaan asuransi yang bisa memberikan di satu pihak jaminan yang bersifat unconditional, namun di lain pihak perusahaan-perusahaan kontraktor ini tidak 65 memerlukan collateral, tidak memerlukan agunan untuk terbitnya jaminan- jaminan ini. Hal ini yang perlu dikuatkan demi kelangsungan perusahaan asuransi atau juga konsorsium asuransi untuk tetap bisa menerbitkan surety bond agar tidak tunduk kepada ketentuan Undang-Undang Penjaminan karena sangat berbeda produk antara penjaminan di satu pihak dengan asuransi di lain pihak; __ - Bahwa untuk pembangunan-pembangunan yang sedang dilaksanakan sekarang, suretyship yang dikeluarkan oleh perusahaan asuransi dan juga konsorsium asuransi sangat memberikan kemudahan kepada perusahaan kontraktor dan juga jaminan kepada pemerintah, karena suretyship yang dikeluarkan oleh konsorsium asuransi itu bersifat unconditional , tanpa syarat. Apabila ada klaim 14 hari langsung uang cair, dan itulah syarat dalam penggunaan uang pemerintah supaya tidak ada uang yang harus dikejar-kejarlah. Jadi, uangnya tetap hadir dan dapat dipakai untuk kegiatan lain apabila ada permasalahan di dalam perjanjian induk __ 2. Ir. Manahara R. Siahaan - Saksi adalah Ketua Umum Gapeknas sejak tahun 2000 sampa saat ini; - Bahwa pada tahun 1998 lahirlah undang-undang yang menyatakan tidak ada monopoli lagi, saksi adalah salah seorang yang menangkap peluang ini dan mendklarasikan Asosiasi Gapeknas, sehingga di Indonesia tidak lagi ada monopoli asosiasi dan saat ini asosiasi sudah banyak; - Bahwa saksi sebagai kontraktor tunduk kepada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa konstruksi, yang di dalam praktiknya kontraktor membutuhkan empat jenis jaminan; - Bahwa dari pengalaman saksi sebagai Ketua Gapeknas, penggunaan produk suretyship lebih memudahkan para kontraktor dibandingkan dengan bank garansi; __ - Bahwa perusahaan di Indonesia saat ini berjumlah kurang lebih 130.000, terdiri dari 90% adalah perusahaan kecil, menengah, dan sisanya 10% adalah perusahaan besar; __ - Bahwa saksi membutuhkan bank garansi dalam pelaksanaan tender, mulai dari tender sampai dengan penyerahan; __ 66 - Bahwa jika menggunakan fasilitas bank harus diawali dengan kerja sama dengan bank terlebih dahulu, terdapat perjanjian kredit yang harus dibuat dan biasanya biayanya cukup besar; __ - Bahwa bagi perusahaan kecil, ketika bank garansi melakukan perjanjian maka harus memberikan jaminan. Hal inilah yang tidak dimiliki oleh perusahaan kecil, karena umumnya perusahaan kecil tidak memiliki aset untuk diserahkan pada bank; __ - Saksi telah lama mengenal produk asuransi untuk kebutuhan jaminan proyek yaitu melalui surety bond, jadi ketika ada pengajuan penawaran biasanya saksi meminta dari perusahaan asuransi dan bukan dari bank; __ - Saksi butuh kehadiran asuransi sebagaimana diamanatkan dalam Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi khususnya Pasal 57; __ [2.3] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon tersebut, Dewan Perwakilan Rakyat telah memberikan keterangan dalam persidangan tanggal 13 Juli 2020 yang dilengkapi dengan keterangan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 27 Agustus 2020, yang pada pokoknya sebagai berikut: I. KETENTUAN UU PERASURANSIAN YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN TERHADAP UUD NRI TAHUN 1945 Dalam permohonan a quo , Pemohon mengajukan pengujian Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian yang berketentuan sebagai berikut: Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian “Ruang lingkup Usaha Asuransi Umum dan Usaha Asuransi Jiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Usaha Asuransi Umum Syariah dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat.” Pemohon mengemukakan bahwa ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang berketentuan sebagai berikut: Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum” 67 Bahwa kerugian yang didalilkan Pemohon adalah ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian tidak mengatur secara pasti lini usaha suretyship yang sudah dijalankan selama puluhan tahun ( vide Perbaikan Permohonan hal. 24 angka 3.8) dan adanya persoalan ketidaksesuaian pembentukan norma dengan adanya Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan (selanjutnya disebut UU Penjaminan) yang dipastikan menjadi penghalang tidak dapat dilaksanakannya lini usaha suretyship oleh perusahaan asuransi ( vide Perbaikan Permohonan hal. 26 angka 3.10). Bahwa Pemohon memohon dalam petitumnya sebagai berikut:
Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
Menyatakan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (Lembaran Negara Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5618) bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum tetap sepanjang tidak dimaknai “Ruang lingkup Usaha Asuransi Umum dan Usaha Asuransi Jiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Usaha Asuransi Umum Syariah dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) dapat diperluas termasuk lini usaha suretyship sesuai dengan kebutuhan masyarakat.” 3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Atau apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain mohon putusan yang seadil-adilnya ( ex aequo et bono) II. KETERANGAN DPR RI A. Kedudukan Hukum ( Legal Standing ) Pemohon Terkait kedudukan hukum (legal standing) Pemohon dalam pengujian undang-undang secara materiil, DPR RI memberikan pandangan dengan berdasarkan 5 (lima) batasan kerugian konstitusional yang tercantum dalam Putusan Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Perkara Nomor 011/PUU- V/2007 sebagai berikut: 68 1. Terkait adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945 Bahwa Pemohon adalah badan hukum perkumpulan yang mendalilkan memiliki kedudukan hukum organisasi ( organizational legal standing ) sebagai Pemohon pengujian undang-undang, karena para anggotanya adalah perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang perasuransian. Pemohon mendalilkan keberlakuan Pasal a quo telah merugikan hak konstitusional Pemohon yang diakui, dijamin, dan dilindungi oleh UUD NRI Tahun 1945 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Terhadap dalil Pemohon mengenai organizational legal standing tersebut, DPR RI berpandangan bahwa tidak semua organisasi dapat bertindak mewakili kepentingan umum/publik, melainkan hanya organisasi yang memenuhi persyaratan tertentu, sebagaimana ditentukan dalam berbagai peraturan perundang-undangan maupun yurisprudensi. Bahwa Pemohon merupakan perkumpulan asosiasi yang beranggotakan perusahan asuransi umum di Indonesia, sehingga Pemohon hanya mewakili kepentingan anggotanya saja dan bukan kepentingan umum atau kepentingan publik. Doktrin organizational legal standing telah diadopsi dalam peraturan perundangan di Indonesia, seperti Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut UU Perlindungan Konsumen) dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya disebut UU PPLH). Bahwa ketentuan Pasal 46 ayat (1) huruf c UU Perlindungan Konsumen menerangkan bahwa: “gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya” Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 92 UU PPLH menyebutkan bahwa organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup. Sedangkan tidak ada 69 satupun ketentuan dalam UU Perasuransian yang memberikan hak kepada perkumpulan wadah perusahaan asuransi untuk mengajukan gugatan untuk kepentingan publik dalam perasuransian. Bahwa ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU a quo mengatur mengenai ruang lingkup usaha asuransi yang diselenggarakan oleh perusahaan asuransi ( vide Pasal 2 UU a quo ), sehingga addressat dari Pasal a quo adalah perusahaan asuransi. Sedangkan Pemohon sebagaimana diuraikan dalam perbaikan permohonannya adalah badan hukum privat yang didirikan dengan tujuan mewakili kepentingan para anggota Pemohon dalam rangka memajukan industri umum dana reasuransi di Indonesia, sehingga telah jelas bahwa Pemohon tidak menyelenggarakan usaha perasuransian dan bukan merupakan addressat dari ketentuan Pasal a quo . Oleh karena itu Pemohon sebagai perkumpulan tidak memiliki hak konstitusional berdasarkan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang memiliki keterkaitan dengan ketentuan Pasal a quo . Hal tersebut selaras dengan pertimbangan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 53/PUU-VI/2008 yang menyatakan: “ Bahwa subjek hukum yang diatur dalam Pasal 74 ayat (1) UU 40/2007 adalah perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam, tidak menunjuk pada wadah atau himpunan dari perseroan ..... Mahkamah berpendapat bahwa Pemohon I, Pemohon II, dan Pemohon III tidak dirugikan secara langsung oleh berlakunya Pasal a quo. ” 2. Terkait adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang Bahwa Pemohon mendalilkan Pasal a quo telah merugikan hak konstitusional Pemohon karena beragam produk yang lahir dan dikembangkan anggota Pemohon dari bidang usaha suretyship secara potensial tidak dapat dilakukan, padahal produk tersebut sangat dibutuhkan untuk menjamin kelangsungan memajukan industri asuransi umum dan reasuransi. Terhadap dalil Pemohon tersebut, DPR RI menegaskan bahwa sedari awal UU Perasuransian tidak memberikan pengaturan maupun 70 kewenangan apapun kepada asosiasi untuk melaksanakan ketentuan UU a quo , sehingga jika terjadi kerugian yang diakibatkan dari keberlakuan Pasal a quo , maka kerugian tersebut hanya akan berdampak kepada perusahaan asuransi, dan tidak berdampak apa pun kepada perkumpulan asosiasi perusahan asuransi. Bahwa sebagai sebuah perkumpulan, Pemohon tidak dapat mengeluarkan produk- produk suretyship yang didalilkan terancam oleh keberlakuan Pasal a quo . Dalam perbaikan permohonan, Pemohon menyatakan bahwa “ Asosiasi mewakili anggota dalam berbagai forum baik lembaga pemerintah maupun lembaga lainnya ”. Dari pernyataan tersebut, tidak jelas apakah Pemohon sebagai asosiasi dapat mewakili anggotanya di pengadilan ( in casu Mahkamah Konstitusi). Oleh karenanya Pemohon harus dapat membuktikan terlebih dahulu bahwa Pemohon sebagai asosiasi memang diberikan wewenang secara jelas oleh para anggotanya untuk mengajukan Permohonan a quo . Selain itu sesuai dengan ketentuan Pasal 68 ayat (2) UU Perasuransian menyatakan bahwa “ Asosiasi Usaha Perasuransian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapat persetujuan tertulis dari OJK ”, sedangkan Pemohon dalam Perbaikan Permohonannya tidak menguraikan mengenai adanya persetujuan tertulis dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai salah satu asosiasi usaha perasuransian. Oleh karena itu Pemohon harus membuktikan terlebih dahulu bahwa Pemohon telah mendapat persetujuan tertulis dari OJK tersebut. Oleh karena ketentuan Pasal a quo tidak berdampak apapun terhadap Pemohon sebagai asosiasi, Pemohon tidak menunjukkan adanya kewenangan untuk mewakili anggota di persidangan, dan Pemohon juga tidak menunjukkan adanya persetujuan tertulis dari OJK sebagai asosiasi usaha perasuransian dalam uraian Perbaikan Permohonan a quo , maka tidak terdapat hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dirugikan dengan ketentuan Pasal a quo . 71 3. Terkait adanya kerugian hak konstitusional yang bersifat spesifik dan aktual, atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi DPR RI menerangkan bahwa Pemohon sebagai sebuah asosiasi tidak dapat melaksanakan lini usaha suretyship karena yang dapat melaksanakan adalah perusahaan asuransi dan bukan asosiasi, oleh karenanya Pemohon tidak memiliki kerugian konstitusional. Kerugian yang didalilkan oleh Pemohon adalah kerugian yang disampaikan tanpa ada dasar yang jelas karena perusahaan asuransi tetap dapat menjalankan usaha dan mendapat kepastian hukum serta diakui keberadaannya oleh Pemerintah. Oleh karenanya, hak dan/atau kewenangan konstitusional perusahaan asuransi tidak terganggu dengan keberlakuan Pasal a quo . Berdasarkan uraian tersebut, maka tidak terdapat kerugian konstitusional secara spesifik dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi.
Terkait adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian hak konstitusional dengan undang-undang yang dimohonkan pengujian Bahwa sebagaimana telah dikemukakan pada angka 1, 2, dan 3, kerugian yang dimaksud tidak bersifat spesifik, aktual, maupun potensial terhadap Pemohon. Bahwa tidak ada pertautan antara kerugian yang didalilkan oleh Pemohon sebagai asosiasi dengan ketentuan Pasal a quo yang mengatur dan berlaku terhadap perusahaan perasuransian. Begitupun halnya dengan adanya UU Penjaminan tidak berpengaruh apapun terhadap konstitusionalitas ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian. __ Oleh karena itu, jelas tidak ada hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian yang didalilkan oleh Pemohon dengan ketentuan Pasal a quo . __ 5. Terkait adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi Bahwa ada/tidaknya Permohonan a quo ataupun jika Permohonan a quo dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi, hak dan/atau kewenangan 72 konstitusional Pemohon tidak akan terganggu karena tidak adanya kerugian konstitusional. Oleh karena tidak ada hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian konstitusional dengan Pasal 5 ayat (1) UU a quo , maka sudah dapat dipastikan bahwa pengujian a quo tidak berdampak apapun pada Pemohon. Dengan demikian tidak relevan Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa dan memutus permohonan a quo , karena Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ), sehingga sudah sepatutnya Mahkamah Konstitusi tidak mempertimbangkan pokok perkara. Bahwa terkait dengan kedudukan hukum Pemohon, DPR RI memberikan pandangan senada dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XIV/2016 yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari tanggal 15 Juni 2016, yang pada pertimbangan hukum [3.5.2] Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa menurut Mahkamah: ...Dalam asas hukum dikenal ketentuan umum bahwa tiada kepentingan maka tiada gugatan yang dalam bahasa Perancis dikenal dengan point d’interest, point d’action dan dalam bahasa Belanda dikenal dengan zonder belang geen rechtsingang. Hal tersebut sama dengan prinsip yang terdapat dalam Reglement op de Rechtsvordering (Rv) khususnya Pasal 102 yang menganut ketentuan bahwa “tiada gugatan tanpa hubungan hukum “(no action without legal connection). Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, terhadap kedudukan hukum (legal standing ) Pemohon, DPR RI menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua/Majelis Hakim Konstitusi Yang Mulia untuk mempertimbangkan dan menilai apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK dan Putusan MK Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan perkara Nomor 011/PUU-V/2007 mengenai parameter kerugian konstitusional. B. Keterangan DPR RI terhadap Pokok Permohonan 1. Bahwa layanan jasa perasuransian semakin bervariasi sejalan dengan perkembangan kebutuhan masyarakat akan pengelolaan risiko dan pengelolaan investasi yang semakin tidak terpisahkan, baik dalam 73 kehidupan pribadi maupun dalam kegiatan usaha. Perkembangan di berbagai industri jasa keuangan juga mengakibatkan semakin menipisnya batasan dan perbedaan jenis layanan yang diberikan oleh industri jasa keuangan. Oleh karena itu UU a quo dibuat untuk menciptakan industri perasuransian yang lebih sehat, dapat diandalkan, amanah, dan kompetitif serta meningkatkan perannya dalam mendorong pembangunan nasional.
Bahwa definisi usaha perasuransian berdasarkan Pasal 1 angka 4 UU Perasuransian adalah segala usaha menyangkut jasa pertanggungan atau pengelolaan risiko, pertanggungan ulang risiko, pemasaran dan distribusi produk asuransi atau produk asuransi syariah, konsultasi dan keperantaraan asuransi, asuransi syariah, reasuransi, atau reasuransi syariah, atau penilaian kerugian asuransi atau asuransi syariah.
Bahwa definisi usaha asuransi umum berdasarkan Pasal 1 angka 5 UU Perasuransian adalah usaha jasa pertanggungan risiko yang memberikan penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti.
Bahwa perluasan ruang lingkup usaha asuransi umum harus memperhatikan beberapa hal sebagai berikut:
memenuhi asas spesialisasi usaha untuk menghindari adanya perusahaan asuransi umum yang sekaligus menjalankan usaha asuransi jiwa atau sebaliknya;
relevan dengan bisnis utama; dan
perluasan tersebut hanya terbatas pada variasi lini usaha atau produk.
Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 4 huruf a Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 69/POJK.05/2016 tentang Penyelenggaraan Usaha Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah (selanjutnya disebut POJK 69/2016), perusahaan asuransi umum hanya dapat melakukan perluasan ruang lingkup usaha pada: 74 a. kegiatan usaha Produk Asuransi Yang Dikaitkan dengan Investasi (PAYDI);
kegiatan usaha berbasis imbalan jasa ( fee-based );
kegiatan usaha asuransi kredit dan suretyship ; dan/atau
kegiatan usaha lain berdasarkan penugasan dari pemerintah.
Bahwa salah satu ruang lingkup usaha yang diperluas oleh POJK 69/2016 adalah asuransi kredit dan suretyship . Bahwa definisi-definisi yang terkait sesuai dengan yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan dapat disampaikan sebagai berikut:
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 22 POJK 69/2016 bahwa Asuransi Kredit adalah lini usaha asuransi umum yang memberikan jaminan pemenuhan kewajiban finansial penerima kredit apabila penerima kredit tidak mampu memenuhi kewajibannya sesuai dengan perjanjian kredit;
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 23 POJK 69/2016 definisi suretyship adalah lini usaha asuransi umum yang memberikan jaminan atas kemampuan principal dalam melaksanakan kewajiban sesuai perjanjian pokok antara principal dan obligee ;
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU Penjaminan, kegiatan penjaminan didefinisikan sebagai kegiatan pemberian jaminan oleh Penjamin atas pemenuhan kewajiban finansial Terjamin kepada Penerima Jaminan. Dengan merujuk pada definisi-definisi tersebut, maka kegiatan asuransi kredit dan suretyship memenuhi unsur-unsur dari kegiatan penjaminan , yaitu terdapat tiga pihak dan ada perjanjian pokok antara terjamin/ principal dan penerima jaminan/ obligee . Oleh sebab itu lini usaha asuransi kredit dan suretyship lebih mencerminkan usaha penjaminan dibandingkan dengan usaha perasuransian.
Bahwa selama ini dalam praktik terdapat beberapa bentuk suretyship , di antaranya yaitu jaminan penawaran ( bid/tender bond ), jaminan uang muka ( advance payment bond ), jaminan pemeliharaan ( maintenance bond ), jaminan pelaksanaan ( performance bond ), jaminan pembayaran ( payment bond ), dan penjaminan pengadaan barang dan/atau jasa ( surety bond ). Sedangkan jika melihat ketentuan Pasal 4 ayat (2) huruf d 75 UU Penjaminan, salah satu ruang lingkup usaha penjaminan adalah penjaminan pengadaan barang dan/atau jasa ( surety bond ). Dengan demikian pada dasarnya menurut UU Penjaminan, lini usaha suretyship termasuk dalam ruang lingkup usaha penjaminan. Oleh karena itu sudah sepatutnya pelaksanaan suretyship harus tunduk kepada UU Penjaminan.
Bahwa Pemohon mendalilkan ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Perasuransian membatasi lini usaha asuransi dengan adanya frasa “hanya dapat”, sementara status suretyship kendati masuk dalam kategori lini usaha yang dapat diperluas menurut Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian dengan peraturan OJK, namun perluasan dalam pasal tersebut tidak secara tegas menyebutkan lini usaha suretyship ( vide Perbaikan Permohonan hal. 26). Terhadap dalil Pemohon tersebut, DPR RI menerangkan sebagai berikut:
Bahwa Pemohon tidak cermat dalam memahami ketentuan pasal- pasal UU a quo karena ketentuan Pasal 1 angka 4 UU Perasuransian telah mendefinisikan secara jelas apa yang dimaksud dengan usaha perasuransian. Sedangkan ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Perasuransian pada intinya mengatur tentang ruang lingkup usaha perasuransian.
Jika Pemohon menganggap suretyship bisa saja masuk ke dalam makna definisi Usaha Perasuransian dalam Pasal 1 angka 4 UU a quo ( vide Perbaikan Permohonan hal. 24), maka seharusnya Pemohon tidak perlu mengajukan penambahan frasa termasuk lini usaha suretyship dalam Pasal 5 ayat (1) UU a quo . Hal tersebut dikarenakan baik Pasal 2, Pasal 3, maupun Pasal 5 UU a quo , keseluruhannya mengatur mengenai usaha perasuransian, maka secara legal drafting mengacu kepada definisi Usaha Perasuransian yang diatur di dalam Pasal 1 angka 4 UU a quo yang dianggap Pemohon juga termasuk makna suretyship .
Bahwa frasa “hanya dapat” dalam ketentuan Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4 UU a quo dirumuskan oleh pembentuk undang-undang disebabkan karena UU a quo menganut asas spesialisasi usaha, 76 sehingga tiap perusahaan asuransi hanya fokus menjalankan usaha perasuransian sesuai dengan jenis perusahaannya, apakah itu perusahaan asuransi umum, perusahaan asuransi jiwa, perusahaan reasuransi, ataupun perusahaan pialang asuransi. Namun perusahaan asuransi dapat mengembangkan lini usaha selain yang disebutkan dalam UU a quo selama masih termasuk dalam jenis usaha yang sama dan sesuai dengan ketentuan perundang- undangan. Hal ini disampaikan beberapa kali oleh Pemerintah sebagai pengusul RUU Perasuransian dalam rapat-rapat pembahasan berikut ini:
Rapat Panja Senin 10 Februari 2014 Pukul 19.00 • Staf Ahli Kemenkeu (Isa Rahmatawarta) (hal. 60 pdf, hal. 23 file rapat) “... sebetulnya saat ini perusahaan asuransi jiwa maupun perusahaan asuransi umum keduanya boleh menjalankan usaha bisnis asuransi kecelakaan ini maupun asuransi kesehatan. Padahal disisi yang lain, kami ingin mengusulkan azas spesialisasi usaha .” 2) Rapat Panja Senin 24 Februari 2014 Pukul 19.00 • Staf Ahli Kemenkeu (Isa Rahmatawarta) (hal. 129 pdf, hal. 30 file rapat) “Esensi dari komentar atau pun masukan-masukan dari fraksi-fraksi disini adalah penghilangan kata hanya Pak. Nah, ini sekali lagi kami ingin sampaikan bahwa kalau kita mendefinisikan satu kegiatan usaha tentunya harus spesifik, harus limitatif jangan kemudian kita buka menjadi satu usaha yang bisa dikembangkan secara bebas kemana saja. Karena itu penggunaan kata “hanya” itu adalah untuk tujuan tersebut supaya jelas usahanya itu apa limitatif betul, fokusnya itu dimana . Karena itu penggunaan kata “hanya” ini kami pandang tetap diperlukan.” 3) Rapat Panja Jumat 23 Mei 2014 Pukul 20.00 • Staf Ahli Kemenkeu (Isa Rahmatawarta) (hal. 198 pdf, hal. 3 file rapat) “Namun demikian terhadap pendapat dari Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi Partai Golkar untuk menghilangkan kata ‘hanya’ ini Pemerintah berpandangan untuk tetap mempertahankan tambahannya itu mengingat di dalam Undang-undang ini kita memang menganut azas spesialisasi usaha . Jadi kalau perusahaan asuransi 77 umum ya hanya menyelenggarakan usaha asuransi umum. Kemudian perusahaan asuransi jiwa ya hanya menyelenggarakan usaha asuransi jiwa. d. Selain itu ketentuan Pasal 2 ayat (1) huruf a dan Pasal 3 ayat (1) huruf a UU a quo menggunakan kata “termasuk”, artinya ketentuan a quo tidak membatasi lini usaha yang hanya ditentukan dalam Pasal a quo , melainkan mungkin saja terdapat lini usaha asuransi yang lain selama termasuk dalam definisi Usaha Asuransi Umum dan Usaha Asuransi Umum Syariah. Hal ini diperkuat lagi dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU a quo yang memungkinkan perluasan ruang lingkup usaha asuransi umum sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu perusahaan asuransi umum tidak memerlukan adanya suatu rumusan norma baru dalam UU a quo untuk menjalankan kegiatan suretyship sebagaimana yang dimaksud oleh Pemohon.
Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 5 ayat (1) UU a quo bersifat multitafsir serta tidak memiliki ukuran yang jelas apa yang dimaksud dengan “dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat”. Keadaan ini telah menimbulkan ketidakpastian hukum bagi para anggota Pemohon untuk menjalankan lini usahanya ( vide Perbaikan Permohonan hal. 31). Terhadap dalil Pemohon tersebut, DPR RI menerangkan bahwa:
Frasa “dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat” dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU a quo telah diperjelas dengan ketentuan Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3) UU a quo , yaitu perluasan lingkup usaha dapat berupa penambahan manfaat yang besarnya didasarkan pada hasil pengelolaan dana dan ketentuan lebih lanjut mengenai ruang lingkup usaha perasuransian diatur dalam peraturan OJK;
Bahwa kebutuhan masyarakat akan terus berkembang dan hukum akan selalu mengikuti perkembangan tersebut. Undang-undang tidak mungkin selalu dapat mengakomodir seluruh kebutuhan masyarakat sesuai dengan perkembangan, sehingga perlu pengaturan yang lebih detail dan teknis. Oleh karena itu, diperlukan adanya pendelegasian 78 pengaturan lebih lanjut ke peraturan di bawahnya yang mengatur hal yang lebih teknis. Inilah yang disebut dengan konsep delegated legislation. c. Maria Farida Indrati S. berpandangan bahwa delegasi adalah pelimpahan kewenangan membentuk peraturan perundang- undangan yang dilakukan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kepada peraturan perundangundangan yang lebih rendah, baik pelimpahan dinyatakan dengan tegas maupun tidak (Maria Farida Indrati, S, “Hal-hal Khusus Dalam Perundang- undangan”).
Bahwa suatu undang-undang perlu didelegasikan karena tidak hanya memerlukan pengaturan yang lebih detail, tetapi juga memerlukan pemahaman yang mendalam agar sesuai dengan karakter dari bidang yang akan diatur. Oleh karena itu, pendelegasian wewenang dalam UU a quo yang mengatur mengenai perluasan ruang lingkup usaha perasuransian agar diatur lebih lanjut dalam peraturan OJK ( vide Pasal 5 ayat (3) UU a quo ) telah tepat karena OJK merupakan lembaga yang mengatur dan mengawasi usaha jasa keuangan yang salah satunya adalah usaha perasuransian.
Oleh karena itu, perumusan frasa “dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat” dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU a quo telah tepat __ untuk mengakomodir kebutuhan hukum dalam masyarakat dan memajukan usaha perasuransian di Indonesia.
Pemohon mendalilkan bahwa peraturan OJK yang kedudukannya berada di bawah undang-undang keberlakuannya menjadi tidak efektif karena tidak memiliki kekuatan hierarki yang sejajar dengan Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) UU Penjaminan sehingga menimbulkan ketidakpastian bagi Pemohon ( vide Perbaikan Permohonan hal. 34). Terhadap dalil Pemohon tersebut, DPR RI menerangkan bahwa:
Bahwa antara UU Perasuransian dengan UU Penjaminan, meskipun memiliki materi muatan yang bersinggungan namun sesungguhnya saling melengkapi dan tidak bertentangan satu sama lain. Akan tetapi justru keharmonisasian pengaturan antara undang-undang tersebut 79 akan menjadi lebih teratur dengan adanya pengaturan yang ada di dalam POJK 69/2016.
DPR RI berpandangan bahwa kekhawatiran Pemohon tidak beralasan menurut hukum karena perusahaan asuransi termasuk juga lini usaha sebagaimana dimaksud Pemohon sudah diatur secara tersendiri dalam UU Perasuransian. Dengan demikian ketentuan Pasal 61 ayat (1) UU Penjaminan tidak mengikat pada Pemohon sekalipun Pemohon mempunyai lini usaha suretyship .
Terkait dengan dalil Pemohon yang menyatakan bahwa terdapat ketidaksesuaian pembentukan norma dengan adanya Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) UU Penjaminan yang dipastikan menjadi penghalang tidak dapat dilaksanakannya lini usaha suretyship oleh perusahaan asuransi ( vide Perbaikan Permohonan hal. 26 angka 3.10), DPR RI memberikan pandangan sebagai berikut:
Bahwa tidak ada ketentuan yang melarang perusahaan asuransi untuk menjalankan lini usaha suretyship . Sesuai dengan ketentuan Pasal 61 ayat (1) UU Penjaminan yang mengatur bahwa: “Setiap Orang di luar Lembaga Penjamin yang telah melakukan kegiatan penjaminan sebelum berlakunya Undang-Undang ini wajib menyesuaikan dengan Undang-Undang ini dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) tahun sejak berlakunya Undang- Undang ini.” maka perusahaan asuransi yang telah menjalankan lini usaha suretyship sebelum tahun 2016 (dalam hal ini anggota Pemohon yang telah menjalankannya selama puluhan tahun) tetap dapat melakukan kegiatan penjaminan, namun wajib melakukan penyesuaian dengan UU Penjaminan. Selain itu, pembentuk undang- undang juga telah memberikan jangka waktu penyesuaian tersebut paling lambat 3 (tiga) tahun sejak berlakunya UU Penjaminan, yaitu tanggal 19 Januari 2019. Ketentuan Pasal 61 ayat (1) UU Penjaminan tersebut merupakan landasan bagi perusahaan asuransi yang telah melakukan usaha suretyship agar mengikuti ketentuan yang ada dalam UU Penjaminan, meskipun usaha suretyship didefinisikan sebagai lini usaha asuransi umum oleh POJK 69/2016. Oleh karena itu kekhawatiran Pemohon tidak beralasan menurut 80 hukum karena perusahaan asuransi umum tetap dapat menyelenggarakan kegiatan suretyship .
Pemohon tidak perlu khawatir terkait dengan perizinan perusahaan asuransi yang menjalankan lini usaha suretyship akan tetap berlaku seperti perusahaan asuransi biasa, yang wajib menyesuaikan hanya praktik kegiatan penjaminan.
Bahwa pada saat pembahasan RUU Penjaminan, pembentuk undang-undang telah membicarakan praktik usaha penjaminan yang dilakukan oleh perusahaan asuransi umum, berdasarkan Laporan Singkat Rapat Panja RUU Penjaminan pada hari Senin tanggal 7 Desember 2015. Dalam rapat tersebut Pemerintah mengusulkan agar terdapat pengaturan peralihan terkait dengan adanya usaha penjaminan yang dilakukan oleh perusahaan asuransi umum dan asuransi syariah tetap dapat berjalan tanpa ada izin usaha penjaminan. Namun terhadap usulan tersebut, Anggota Panja memberikan tanggapan bahwa perusahaan asuransi yang telah melakukan usaha penjaminan harus memiliki izin usaha penjaminan sebagaimana diatur dalam RUU tentang Penjaminan, untuk penyesuaiannya akan diberikan tenggang waktu selama 3 (tiga) tahun sejak RUU tentang Penjaminan disahkan. Kemudian kesimpulan rapat pada akhirnya menetapkan bahwa terkait dengan praktik perusahaan asuransi yang masih melakukan usaha penjaminan, diberikan tenggat waktu selama 3 (tiga) tahun untuk melakukan penyesuaian berdasarkan RUU tentang Penjaminan dan diatur dalam aturan peralihan. Oleh karena itu jelas terlihat bahwa Pembentuk UU Penjaminan tidak melarang perusahaan asuransi umum untuk menjalankan usaha penjaminan namun tetap harus melakukan penyesuaian dengan ketentuan UU Penjaminan.
Terhadap petitum Pemohon yang menginginkan penambahan frasa “...termasuk lini usaha suretyship...” dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU a quo , DPR RI menerangkan sebagai berikut:
Bahwa jika petitum Pemohon tersebut dikabulkan, maka akan dapat menimbulkan suatu permasalahan hukum yang baru karena di dalam UU a quo belum terdapat definisi suretyship maupun ketentuan yang 81 mendeskripsikan mengenai bidang usaha apa saja yang masuk ke dalam kategori suretyship . Jika pengaturan mengenai suretyship secara tiba-tiba diatur dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU a quo tanpa diatur definisinya terlebih dahulu, maka akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan justru bertentangan dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.
Bahwa petitum Pemohon bukan termasuk kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai negative legislator , DPR RI mengutip pendapat I Dewa Gede Palguna bahwa: “Mahkamah Konstitusi adalah sebagai negative legislator . Artinya, Mahkamah Konstitusi hanya bisa memutus sebuah norma dalam undang-undang bertentangan dengan konstitusi, tanpa boleh memasukkan norma baru ke dalam undang- undang itu. Itu hakikat Mahkamah Konstitusi.” ( Conditionally Constitutional Pintu Masuk Penambahan Norma : www.hukumonline.com). Dengan demikian pada dasarnya MK tidak dapat mengabulkan petitum konstitusional bersyarat yang diajukan oleh Pemohon.
Bahwa jika Permohonan a quo mengenai lini usaha suretyship sebagai pengembangan lini usaha asuransi yang diatur dalam UU a quo ini dikabulkan, hal tersebut akan menjadi suatu kebiasaan buruk di masyarakat dimana jika merasa ada kebutuhan akan pengaturan lini usaha yang baru, maka masyarakat akan kembali mengajukan permohonan pengujian UU a quo ke Mahkamah Konstitusi, namun tidak memberikan masukan legislative review kepada pembentuk undang-undang. Oleh karenanya jika Pemohon ingin adanya ketentuan yang mengatur mengenai lini usaha suretyship dalam UU Perasuransian, maka Pemohon dapat mengajukan legislative review kepada pembentuk undang-undang, yaitu DPR RI, sebagai masukan atau partisipasi dari masyarakat dalam pembentukan undang- undang. C. Risalah Pembahasan Pasal a quo UU Perasuransian Bahwa selain pandangan sebagaimana yang telah diuraikan di atas, dipandang perlu untuk melihat latar belakang perumusan dan pembahasan pasal dalam UU a quo sebagai berikut: 82 1. Rapat Panja Senin 24 Februari 2014 Pukul 15.00 • Ketua Rapat (H. Andi Rahmat, SE) (hal. 83 pdf, hal. 11 file rapat) “Begini Pak, mengenai asuransi kerugian ini tidak diatur detail dalam undang-undang. Kita hanya mengatur tentang sifat umumnya saja dan mengenai pengembangan pengerjaannya itu nanti akan kita diskresi kan ke OJK kan begitu ya Pak ya nanti kalau kita melihat dalam pasal. Coba diingatkan saja nanti pihak Pemerintah supaya begitu kita masuk kedalam pasal yang memberi ruang diskresi itu kita bisa pastikan bahwa kalau ada pengembangan baru itu bisa dilakukan tetap dengan menjaga konsistensi kita terhadap visi undang-undang itu Pak ya.” 2. Rapat Panja Jumat 23 Mei 2014 Pukul 20.00 • Ketua Rapat (H. Andi Rahmat, SE) (hal. 200 pdf, hal. 5 file rapat) “Sebetulnya sih di dalam peraturan-peraturan Pemerintah Pak ya tingkat PP maupun di PMK itu ada banyak materi yang sudah lazim dilakukan dan diatur oleh Pemerintah tetapi perlu untuk kita angkat sedikit ke atas ke perundang-undangan.” ... “ini kan sayang Pak kalau kita tidak, toh di dalam undang-undang ini tidak harus detail tapi saya kira dikasih ruang lah kepada asuransi ini untuk masuk saja ke dalam sektor ini . Bisa saja begitu Pak tentu dengan memberikan kewenangan pengaturan teknisnya itu kepada OJK .” • Staf Ahli Kemenkeu (Isa Rahmatawarta) (hal. 206 pdf, hal. 11 file rapat) “Pak, memang kalau usaha asuransinya, lini usahanya terutama itu berkembang Pak , lini usahanya Pak jadi lini usaha itu contohnya adalah marine insurance, cargo insurance, fire insurance itu berkembang dan dikemudian hari bisa macam-macam. Tetapi pengelompokan mereka menurut karakter usaha rasanya kita sudah cukup definitif gitu Pak ya dipraktek selama ini, asuransi jiwa, asuransi umum, re asuransi. Jadi kalau kita berbicara mengenai perusahaannya Pak ini maka kita sudah cukup limitatif tidak akan ada ide untuk berkembang lagi karena setiap varian dari itu bisa masukan ke salah satu itu Pak.” 3. Rapat Panja Jumat 3 Juni 2014 Pukul 14.00 • Ketua Rapat (H. Andi Rahmat, SE) (hal. 323 pdf, hal. 60 file rapat) “... ada diskusi tambahan, misalnya di Pasal 2 ayat (5) yang memberi diskresi kepada OJK karena perkembangan waktu itu untuk melakukan adjustment terhadap produk-produk itu...” • F-PG (Dr. H. Harry Azhar Azis, MA) (hal. 326 pdf, hal. 63 file rapat) “... pertanyaannya seberapa besar dibolehkan produk asuransi bertransformasi menjadi bagian dari produk non asuransi.” 83 • Ketua Rapat (H. Andi Rahmat, SE) (hal. 326 pdf, hal. 63 file rapat) “Sebetulnya ada rumahnya ini kalau kita mau diskusi di Pasal 2 pak, padahal di Pasal 2 itu ada ketentuan ayat (5) yang memberi diskresi kepada OJK untuk melakukan penyesuaian terhadap industri , jadi saya kira nanti kita diskusikan di sini tetapi kalau materi ini bisa disepakati oleh teman-teman , kalau yang ini kan tidak ada masalah kan ya, yang kita mau batasi ini adalah materi tentang seberapa besar mereka ini bisa berkembang lebih daripada industri aslinya itu kan begitu, nah itu ada rumahnya di Pasal 2 ayat (5) .” (RAPAT SETUJU) 4. Rapat Panja Sabtu 30 Agustus 2014 Pukul 10.05 • F-PDIP (I Gusti Agung Rai Wirajaya, S.E., M.M.) (hal. 562 pdf, hal. 9 file rapat) “Ini sehubungan dengan adanya perkembangan yang kita lihat di lapangan semakin kedepan kita melihat pertimbangan jauh kedepan. Ini bagaimana kita memberikan kesempatan kepada perusahaan asuransi umum, tidak terbatas dalam rangka menanggung resiko ...” • Staf Ahli Kemenkeu (Isa Rahmatawarta) (hal. 563 pdf, hal. 10 file rapat) “... kami mengusulkan kita buka pintu diskresi kepada OJK untuk meng-access apakah masyarakat memang membutuhkan hal tersebut, apakah perusahaan asuransinya sudah mempunyai kapasitas untuk memenuhi kebutuhan tersebut . Kalau ini disepakati kita mungkin bisa masukkan didalam rancangan undang-undang kami ada di Pasal 5 Pak bahwa ruang lingkup usaha perasuransian dapat diperluas sesuai kebutuhan masyarakat berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.” • Ketua Rapat (H. Andi Rahmat, SE) (hal. 563 pdf, hal. 10 file rapat) “... kita tidak tutup pintu dalam undang-undang ini, silakan. Tapi mengenai timing waktunya persyaratannya itu, itu akan diatur oleh sesuai dengan pengamatan OJK .” (RAPAT: SETUJU) 84 III. PETITUM DPR RI Bahwa berdasarkan keterangan tambahan tersebut, DPR RI memohon agar kiranya, Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi memberikan amar putusan sebagai berikut:
Menyatakan bahwa Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum ( legal standing ) sehingga permohonan a quo harus dinyatakan tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard );
Menolak permohonan a quo untuk seluruhnya;
Menerima keterangan DPR RI secara keseluruhan;
Menyatakan bahwa Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618) tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tetap memiliki kekuatan hukum mengikat; Apabila Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya ( ex aequo et bon o). [2.4] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon tersebut, Presiden telah memberikan keterangan dalam persidangan tanggal 3 Maret 2020 yang kemudian dilengkapi dengan keterangan tertulis dan keterangan tertulis tambahan yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 3 Maret 2020 dan 13 Juli 2020, yang pada pokoknya sebagai berikut: I. POKOK PERMOHONAN PEMOHON Merujuk kepada permohonan Pemohon, pada pokoknya Pemohon menganggap hak konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya ketentuan- ketentuan sebagai berikut: Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian, yang berbunyi: “Ruang lingkup Usaha Asuransi Umum dan Usaha Asuransi Jiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Usaha Asuransi Umum Syariah dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat .” Terhadap Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi: “ Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” 85 Pemohon pada pokoknya menyatakan bahwa alasan timbulnya kerugian konstitusional dimaksud adalah:
Pemohon menyatakan yang menjadi permasalahan dalam permohonan a quo adalah mengenai ruang lingkup kegiatan usaha perusahaan asuransi dalam UU Perasuransian yang tidak mencantumkan secara tegas kegiatan usaha suretyship . Menurut Pemohon hal tersebut melanggar dan bertentangan dengan hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil, perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Frasa “ dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat ” dalam Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian tidak mengatur secara tegas tentang suretyship sehingga bersifat multitafsir dan dianggap bertentangan dengan prinsip kepastian hukum dan perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Bahwa kemunculan Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan (UU Penjaminan) telah menyebabkan ketidakpastian penyelenggaraan lini usaha suretyship yang menggunakan landasan hukum berdasarkan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian sehingga kepastian usaha suretyship yang dilakukan oleh perusahaan asuransi terganggu dan tidak pasti keberlangsungan usahanya bahkan terancam dapat dipidana.
Selain itu, Pemohon juga mendalilkan bahwa ketentuan Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) UU Penjaminan telah menyebabkan perusahaan asuransi harus mempunyai izin usaha sebagai lembaga penjamin terlebih dahulu agar dapat menjalankan suretyship , yang mana menurut Pemohon bahwa perusahaan asuransi tidak secara otomatis dapat memperoleh izin usaha sebagai lembaga penjaminan.
Izin perusahaan asuransi untuk melaksanakan penjaminan dalam bentuk suretyship diterbitkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai lembaga yang diberikan kewenangan atributif untuk mengeluarkan peraturan terkait perizinan usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (3) UU Perasuransian.
Bahwa adanya Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) UU Penjaminan telah mewajibkan kegiatan penjaminan untuk mematuhi UU Penjaminan, kecuali kegiatan penjaminan tersebut dijalankan berdasarkan undang-undang tersendiri, sedangkan kedudukan Peraturan OJK Nomor 69/POJK.05/2016 86 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah (POJK Nomor 69/POJK.05/2016) yang merupakan tindak lanjut Pasal 5 ayat (3) UU Persuransian menurut Pemohon adalah di bawah undang-undang sehingga dianggap kedudukannya tidak sejajar dengan Pasal 61 ayat (1) UU Penjaminan.
Pemohon dalam permohonan a quo pada pokoknya meminta penegasan kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk membentuk norma hukum baru dengan memberikan tafsiran Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian yaitu menegaskan perluasan lini usaha asuransi berdasarkan kebutuhan masyarakat adalah termasuk suretyship .
Oleh karena itu, Pemohon dalam permohonan a quo pada pokoknya meminta agar Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian bertentangan dengan Undang-Undang 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Ruang Lingkup Usaha Asuransi Umum dan Usaha Asuransi Jiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Usaha Asuransi Umum Syariah dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) dapat diperluas termasuk lini usaha suretyship sesuai dengan kebutuhan masyarakat”. II. TENTANG LEGAL STANDING PEMOHON 1. Bahwa Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut sebagai UU MK) jelas mengatur Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya suatu Undang- Undang, yang meliputi:
Perorangan Warga Negara Indonesia;
Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
Badan hukum publik atau privat; atau
Lembaga Negara. 87 2. Bahwa berdasarkan ketentuan tersebut, agar Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan suatu permohonan uji materiil Undang-Undang terhadap UUD 1945, maka harus dibuktikan bahwa:
Para Pemohon memenuhi kualifikasi untuk mengajukan permohonan sesuai dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK; dan
Hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon dirugikan akibat berlakunya Undang-Undang yang diuji.
Adapun ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK bersifat imperatif sehingga sekalipun Pemohon memenuhi kualifikasi untuk mengajukan permohonan uji materiil, Pemohon harus mempunyai hak atau kewenangan konstitusional yang dirugikan akibat adanya Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian.
Bahwa Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 010/PUU-III/2005 telah berpendapat bahwa kerugian konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu Undang-Undang menurut Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu: • Adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945; • Adanya hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu Undang-Undang yang diuji; • Kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; • Adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji; • Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Pemerintah menyerahkan sepenuhnya kepada Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilai tentang kewenangan Mahkamah dan kedudukan hukum ( legal standing) Pemohon dalam mengajukan permohonan pengujian UU Perasuransian a quo, sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK maupun putusan-putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu. 88 III. KETERANGAN PEMERINTAH TERHADAP MATERI YANG DIMOHONKAN A. LANDASAN FILOSOFIS 1. Sebelum Pemerintah menyampaikan keterangan terkait norma materi yang dimohonkan untuk diuji oleh Pemohon, terlebih dahulu Pemerintah akan menyampaikan landasan filosofis penyusunan Undang-Undang Perasuransian;
Sesuai amanat founding father yang dicantumkan dalam pembukaan UUD 1945, tujuan negara adalah memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Tujuan bernegara ini diwujudkan dalam landasan idiil sila kelima Pancasila, yaitu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Pencapaian tujuan negara tersebut dilakukan dengan pembangunan berkelanjutan yang melibatkan seluruh masyarakat. Untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam pembangunan diperlukan kondisi yang mendukung aktivitas produktif masyarakat yang salah satunya diwujudkan dengan adanya pihak yang berperan dalam menanggulangi risiko keuangan yang dihadapi masyarakat. Risiko keuangan tersebut timbul dalam berbagai aspek kehidupan dan membutuhkan pihak yang dapat menanggulanginya. Asuransi merupakan pihak pengambil alih risiko yang mempu memberikan perlindungan kepada masyarakat atas kemungkinan kerugian yang terjadi pada harta benda atau kepentingan finansial yang dimilikinya.
Peningkatan peran industri perasuransian dalam mendorong pembangunan nasional terjadi apabila industri perasuransian dapat lebih mendukung masyarakat dalam menghadapi risiko yang dihadapinya sehari hari dan pada saat mereka memulai dan menjalankan kegiatan usaha. Untuk itu, UU Perasuransian mengatur bahwa objek asuransi di Indonesia hanya dapat diasuransikan pada perusahaan asuransi atau perusahaan asuransi syariah di Indonesia dan penutupan objek asuransi tersebut harus memperhatikan optimalisasi kapasitas perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi, dan perusahaan reasuransi syariah dalam negeri. Guna mengimbangi kebijakan ini, Pemerintah dan/atau Otoritas Jasa Keuangan melakukan 89 upaya untuk mendorong peningkatan kapasitas asuransi dan reasuransi dalam negeri.
Dengan adanya perlindungan asuransi diharapkan akan tercipta ketenangan bagi masyarakat dalam menjalankan aktivitas dan mendorong inovasi usaha yang pada akhirnya akan menciptakan kesejahteraan bersama. Perusahaan Perasuransian sebagai suatu institusi keuangan yang melakukan pengumpulan dana masyarakat juga memungkinkan adanya akumulasi dana yang dapat digunakan dalam rangka pembiayaan kegiatan pembangunan nasional. B. SEJARAH DAN KEDUDUKAN PERUSAHAAN ASURANSI DALAM MENJALANKAN LINI USAHA SURETYSHIP 1. Pelaksanaan suretyship oleh perusahaan asuransi telah dilaksanakan sejak tahun 1978 melalui PT Jasa Raharja (Persero). Saat itu, PT Jasa Raharja (Persero) merupakan satu-satunya Lembaga Keuangan Non Bank (LKNB) yang dapat menerbitkan surety bond melalui Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1978 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1965 tentang Pendirian Perusahaan Umum Asuransi Kerugian “Jasa Raharja”.
Pada tahun 1980 melalui Keputusan Presiden Nomor 14A Tahun 1980 tentang Pengadaan Barang dan Jasa yang menegaskan LKNB yang dapat menerbitkan jaminan surety bond adalah PT Jasa Raharja (Persero). Tujuannya adalah tidak terlepas dari peran Pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan pengusaha ekonomi lemah dengan memberikan kemudahan pengurusan penjaminan melalui produk surety bond sebagai alternatif dari Bank Garansi.
Pada tahun 1992, seiring dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, peran PT Jasa Raharja (Persero) dikembalikan sebagai fungsi dan tugas pokoknya sebagai pelaksana Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1964 Tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1964 Tentang Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan dan tidak dapat melaksanakan perluasan usaha seperti Surety Bond . 90 4. Di dalam perkembangannya, kedudukan dan ruang lingkup perusahaan asuransi di dalam menjalankan kegiatan lini usaha asuransi kemudian dipertegas dalam UU Perasuransian.
Asuransi adalah perjanjian antara dua pihak, yaitu perusahaan asuransi dan pemegang polis, yang menjadi dasar bagi penerimaan premi oleh perusahaan asuransi sebagai imbalan untuk:
memberikan penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti; atau
memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggalnya tertanggung atau pembayaran yang didasarkan pada hidupnya tertanggung dengan manfaat yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana.
Selanjutnya, kewenangan perusahaan asuransi di dalam menjalankan lini usaha penjaminan suretyship diberikan peluang dalam Pasal 5 ayat (1) dan (3) UU Perasuransian.
Bahkan dalam melaksanakan amanat Pasal 5 ayat (3) UU Perasuransian, pada Pasal 1 angka 23 POJK Nomor 69/POJK.05/2016 secara tegas diatus bahwa “ Suretyship adalah lini Usaha Asuransi Umum yang memberikan jaminan atas kemampuan principal dalam melaksanakan kewajiban sesuai perjanjian pokok antara principal dan _obligee”; _ 8. Praktik pemberian Suretyship pada umumnya merupakan bentuk penjaminan untuk mendukung pelaksanaan proyek pengadaan barang/jasa seperti misalnya pada proyek infrastruktur atau jasa konstruksi untuk pembuatan jalan raya, jalan tol, rumah sakit, dan lain- lain. Dalam pelaksanaan proyek jasa konstruksi dengan jaminan suretyship ini melibatkan pihak-pihak yaitu pemilik proyek/tender (obligee), pelaksana proyek/tender (principal) dan perusahaan asuransi sebagai penjamin. Peranan perusahaan asuransi dalam suretyship ini terhadap pemilik proyek adalah akan membayar sebesar maksimum nilai jaminan jika pelaksana proyek terbukti wanprestasi. Sedangkan 91 hubungannya dengan pemilik proyek, perusahaan asuransi merupakan pihak yang memberikan jaminan dengan menerbitkan surety bond. 9. Suretyship merupakan produk penjaminan atas proyek pengadaan barang/jasa yang membutuhkan pendanaan yang cukup besar sehingga selama ini terhadap proyek pengadaan barang/jasa yang membutuhkan dana yang besar telah banyak dilakukan oleh perusahaan asuransi guna memastikan terlaksananya proyek pengadaan barang/jasa dimaksud.
Oleh karena itu, dibutuhkan peranan suatu perusahaan dengan kondisi keuangan yang memiliki pendanaan yang cukup besar seperti lembaga asuransi yang mempunyai kemampuan untuk memberikan penjaminan atas proses pengerjaan proyek barang dan jasa yang membutuhkan dana besar.
Beberapa bentuk surety bond yaitu Jaminan Penawaran ( Bid/Tender Bond ), Jaminan Uang Muka ( Advance Payment Bond ), Jaminan Pemeliharaan ( Maintenance Bond ), Jaminan Pelaksanaan ( Performance Bond ), Jaminan Pembayaran ( Payment Bond ), yang berfungsi sebagai jaminan bagi kegiatan suatu proyek sehingga proyek tetap berlangsung sesuai perjanjian yang disepakati.
Pengaturan suretyship di dalam UU Perasuransian dan POJK Nomor 69/POJK.05/2016 menunjukkan bahwa OJK sebagai Lembaga Pengawas atau regulator dapat memberikan peluang untuk dilakukannya perluasan ruang lingkup usaha bagi usaha Asuransi Umum sepanjang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Namun demikian perlu menjadi catatan bahwa perluasan ruang lingkup tersebut harus memperhatikan beberapa hal sebagai berikut: a) memenuhi asas spesialisasi usaha untuk menghindari adanya perusahaan asuransi umum yang sekaligus menjalankan usaha asuransi jiwa atau sebaliknya; b) relevan dengan bisnis utama, dan; c) perluasan tersebut hanya terbatas pada variasi lini usaha atau produk.
Bahwa selanjutnya perluasan ruang lingkup tersebut diterapkan dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian yang dengan tegas mengatur bahwa “ Ruang lingkup Usaha Asuransi Umum dan Usaha 92 Asuransi Jiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Usaha Asuransi Umum Syariah dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat.” __ __ 15. Dalil Pemohon yang menyatakan bahwa frasa “dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat” dapat membatasi hak para perusahaan asuransi untuk turut serta dalam perekonomian nasional yang diselenggarakan berdasarkan atas prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, menunjukkan ketidakpahaman Pemohon dalam memaknai ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian. __ 16. Bahwa pengaturan tentang perluasan ruang lingkup Usaha Asuransi Umum justru telah diatur lebih lanjut pada Pasal 5 ayat (3) UU Perasuransian yang berbunyi, “Ketentuan lebih lanjut mengenai perluasan ruang lingkup Usaha Asuransi Umum, Usaha Asuransi Jiwa, Usaha Asuransi Umum Syariah, dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam _Peraturan Otoritas Jasa Keuangan”; _ 17. Bahwa selanjutnya lebih tegas lagi disebutkan dalam Pasal 4 huruf a POJK Nomor 69/POJK.05/2016 disebutkan: “Perusahaan Asuransi Umum hanya dapat melakukan perluasan _ruang lingkup usaha pada: _ _1. Kegiatan usaha PAYDI; _ _2. Kegiatan usaha berbasis imbalan jasa (fee based); _ _3. Kegiatan usaha Asuransi Kredit dan Suretyship; dan/atau _ 4. Kegiatan usaha lain berdasarkan penugasan dari pemerintah”. 18. Bahwa ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian yang kemudian ditegaskan dalam POJK Nomor 69/POJK.05/2016 tidak membatasi bahkan justru memberikan perluasan penyelenggaraan suretyship oleh perusahaan asuransi umum sebagaimana telah dilakukan oleh perusahaan asuransi umum sebelum berlakunya UU Perasuransian yaitu sejak tahun 1978.
Dapat Pemerintah sampaikan bahwa dengan perluasan usaha perusahaan asuransi umum sebagai salah satu penyelenggara penjaminan pengadaan barang dan jasa baik oleh swasta maupun pemerintah melalui suretyship dikarenakan masih dibutuhkannya kapasitas perusahaan asuransi umum untuk menyelenggarakan 93 penjaminan pengadaan barang dan jasa bersama dengan lembaga penjamin lainnya, sehingga dapat dipastikan penyelenggaraan pengadaaan barang dan jasa untuk pembangunan nasional dapat berjalan sesuai dengan target yang telah ditetapkan. C. PERKEMBANGAN KEGIATAN USAHA ASURANSI KREDIT DAN SURETYSHIP OLEH PERUSAHAAN ASURANSI UMUM 1. Dapat Pemerintah sampaikan juga bahwa perkembangan kegiatan usaha asuransi kredit dan suretyship oleh perusahaan asuransi umum cukup signifikan. Perusahaan asuransi umum telah menjalankan usaha asuransi kredit sejak tahun 1971 oleh PT Asuransi Kredit Indonesia, dan usaha suretyship sejak tahun 1978 oleh PT Jasa Raharja (Persero).
Per 30 November 2019, usaha asuransi kredit dan suretyship telah dilakukan oleh 40 perusahaan asuransi umum. Dari sisi pendapatan premi yang diterima sebesar Rp13,88 triliun atau 20,66% dari total pendapatan premi dalam skala nasional. Hal ini menunjukkan porsi Suretyship dalam skala nasional tidak terlalu besar.
Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) UU Penjaminan menyebabkan ketidakpastian penyelenggaraan lini usaha suretyship oleh perusahaan asuransi umum yang menggunakan landasan hukum Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian tentang perluasan lini usaha asuransi menjadi tidak jelas.
Dalam Pasal 61 ayat (1) UU Penjaminan diatur bahwa pihak di luar Lembaga penjamin yang telah melakukan kegiatan penjaminan agar menyesuaikan dengan Undang-Undang Penjaminan. Namun demkian, di dalam Pasal 61 ayat (2) telah jelas disebutkan bahwa ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap kegiatan penjaminan yang dijalankan berdasarkan undang-undang tersendiri .
Ketentuan Pasal 61 ayat (2) UU Penjaminan tersebut dari sudut pandang Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian justru merupakan landasan hukum berlakunya penyelenggaraan usaha suretyship, yang merupakan penyelenggaraan penjaminan oleh lembaga asuransi umum. Mandat undang-undang perasuransian untuk mengatur perluasan usaha asuransi umum antara lain melalui Suretyship telah secara tegas diatur 94 dalam peraturan POJK Nomor 69/POJK.05/2016 sehingga telah sejalan dengan Pasal 61 ayat (2) UU Penjaminan.
Berdasarkan data yang dimiliki Otoritas Jasa Keuangan, kontribusi perusahaan asuransi umum dan perusahaan penjaminan dalam proyek pembangunan Pemerintah cukup tinggi. Pada tahun 2018, total nilai penjaminan atas produk suretyship oleh perusahaan asuransi umum adalah sebesar Rp 142,9 triliun dan nilai penjaminan oleh perusahaan penjaminan hingga bulan Januari tahun 2020 adalah sebesar Rp 35,6 triliun, sehingga total keduanya adalah sebesar Rp 178,61 triliun atau kurang lebih sekitar 43,48% dari total belanja infrastruktur pada tahun 2018 yang sebesar Rp 410,7 triliun.
Kontribusi perusahaan asuransi khususnya terhadap produk suretyship yang sebesar Rp.142,9 triliun pada tahun 2018 menunjukkan fakta yang tidak dapat diabaikan bahwa adanya kebutuhan masyarakat dalam hal ini khususnya pelaku ekonomi atas pelaksanaan suretyship oleh perusahaan asuransi. Dalam proyek Pemerintah, berdasarkan Keputusan Menteri PUPR juga diambil kebijakan untuk memberikan Suretyship bagi perusahaan asuransi. Hal ini antara lain dilandasi pada pertimbangan perlunya kapasitas dana yang cukup besar oleh perusahaan yang menjalankan _suretyship; _ 8. Dalam memperhatikan kebutuhan penjaminan pengadaan barang dan jasa dalam rangka penyelenggaraan proyek pembangunan nasional, maka OJK sebagai Lembaga pengawas dan regulator telah memebrikan izin kepada 3 (tiga) konsorsium penjamian yang beranggotakan 24 (dua puluh empat) perusahaan asuransi dan 1 (satu) perusahaan penjaminan yaitu Perusahaan Umum Jaminan Kredit Indonesia.
Berdasarkan fakta-fakta dan dasar hukum tersebut, pemberian Suretyship oleh perusahaan asuransi umum masih diperlukan untuk menjamin proyek pembangunan nasional bersama dengan perusahaan penjaminan. IV. PETITUM Berdasarkan penjelasan di atas, Pemerintah memohon kepada Yang Mulia Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan pengujian ( constitutional 95 review ) Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian terhadap UUD 1945, dapat memberikan putusan sebagai berikut:
Menerima Keterangan Presiden secara keseluruhan;
Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
Menyatakan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian sepanjang frasa, “dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat” tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;
Menyatakan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian sepanjang frasa, “dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat” tetap memiliki kekuatan hukum mengikat. Namun demikian, apabila Yang Mulia Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia berpendapat lain, mohon putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya (ex aequo et bono). Keterangan Tertulis Tambahan bertanggal 13 Juli 2020 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 13 Juli 2020 yang pada pokoknya sebagai berikut: I. Pertanyaan dari Yang Mulia Prof. Dr. Enny Nurbaningsih, S.H., M.Hum. A. Apa yang terjadi pada saat pembahasan RUU Perasuransian sehingga pada Pasal 5 ayat (1) terdapat frasa “dapat diperluas sesuai kebutuhan masyarakat” sedangkan dalam ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 terdapat frasa yang membatasi yaitu “hanya dapat”? B. Pada Keterangan Presiden disebutkan bahwa Pasal 61 UU Penjaminan justru memperkuat perusahaan asuransi dalam melaksanakan suretyship dikarenakan perusahaan asuransi memiliki undang-undang tersendiri dan telah dipertegas dengan adanya POJK. Jelaskan maksud dari dari Pasal 61 UU Lembaga Penjaminan kaitannya memberikan penguatan terhadap keberadaan suretyship dalam UU Perasuransian? Jawaban A. Frasa makna “hanya dapat” dari perspektif dengan dapat diperluas 1. Penggunaan frasa “ hanya dapat ” ada pada Pasal 2 dan Pasal 3 UU Perasuransian. Frasa tersebut dimaksudkan untuk memberikan limitasi bahwa ruang lingkup usaha perasuransian terbagi dalam usaha asuransi 96 umum, asuransi jiwa dan reasuransi (sebagaimana diatur dalam Pasal 2) serta usaha asuransi umum syariah, asuransi jiwa syariah dan reasuransi syariah (sebagaimana diatur dalam Pasal 3). Frasa “hanya dapat” pada Pasal 2 dan 3 UU Perasuransian berisi norma agar usaha asuransi umum tidak melakukan usaha asuransi jiwa ataupun reasuransi, kecuali yang secara tegas dinyatakan yaitu untuk asuransi umum termasuk lini usaha asuransi kesehatan dan asuransi kecelakaan diri serta reasuransi untuk risiko Perusahaan Asuransi Umum lain. Pencantuman tersebut karena lini usaha asuransi kesehatan dan asuransi kecelakaan diri merupakan irisan lini usaha asuransi umum dan asuransi jiwa, sehingga diperlukan anak kalimat tambahan untuk mempertegas bahwa lini usaha asuransi kesehatan dan kecelakaan diri dapat dilakukan baik oleh perusahaan asuransi umum maupun oleh perusahaan asuransi jiwa.
Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Perasuransian menjelaskan bahwa “Berdasarkan mekanisme pengelolaan risikonya, lini usaha asuransi kesehatan dan lini usaha asuransi kecelakaan diri lebih tepat digolongkan sebagai Usaha Asuransi Umum. Namun, mengingat Objek Asuransi yang dipertangungkan dalam kedua lini usaha asuransi kecelakaan diri juga dapat digolongkan sebagai Usaha Asuransi Jiwa. Dalam praktiknya, kedua lini usaha asuransi tersebut telah diselenggarakan, baik oleh perusahaan asuransi umum maupun oleh perusahaan asuransi jiwa” .
Adapun perumusan Frasa “ dapat diperluas sesuai kebutuhan masyarakat ” dalam Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian, dimaksudkan menjadi norma yang mengakui bahwa peluang lini usaha asuransi umum akan berkembang seiring dengan perkembangan kebutuhan masyarakat, sehingga UU Asuransi perlu memberikan mandat perluasan lini usaha tersebut dengan batasan sesuai kebutuhan masyarakat dan adanya penambahan manfaatnya bagi masyarakat serta tidak mengganggu core bussiness nya perusahaan asuransi. Pelaksanaan perluasan ini diberikan kewenangan kepada OJK untuk mengatur lebih lanjut. Pengaturan demikian sejalan dengan drafting perumusan UU 97 yang bersifat norma-norma umum tidak mengatur hal-hal teknis yang dapat diuji secara teoritis maupun best practices. 4. Pengaturan norma tersebut juga didasarkan pada fakta bahwa selain core business perusahaan asuransi, juga ternyata terdapat peluang lain bagi perusahaan asuransi yang bukan merupakan core langsung asuransi sepanjang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Sehingga, perluasan ruang lingkup usaha asuransi lain sebagaimana disebutkan dalam norma Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian merupakan open legal policy Pemerintah yang didasarkan pada fakta, pertimbangan sosial dan ekonomis serta best practices di beberapa negara lain . B. Kehadiran UU Penjaminan terhadap Pelaksanaan Suretyship oleh Asuransi Umum Sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan (selanjutnya disebut UU Penjaminan), terbitnya UU Penjaminan dilatarbelakangi keinginan Pemerintah untuk meningkatkan UMKM terhadap akses pembiayaan/kredit. Mengacu Pasal 4 ayat (1) UU Penjaminan, Usaha Penjaminan meliputi:
penjaminan Kredit, Pembiayaan, atau Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah yang diberikan oleh lembaga keuangan, b. penjaminan pinjaman yang disalurkan oleh koperasi simpan pinjam atau koperasi yang mempunyai unit usaha simpan pinjam kepada anggotanya; dan
penjaminan Kredit dan/atau pinjaman program kemitraan yang disalurkan oleh badan usaha milik negara dalam rangka program kemitraan dan bina lingkungan. Adapun penjaminan berupa suretyship diatur dalam Pasal 4 ayat (2) sebagai salah satu bentuk dari usaha lain yang dapat dilakukan perusahaan penjaminan di samping lingkup usaha penjaminan yang diatur dalam Pasal 4 ayat (1). Sejalan dengan prinsip lingkup penjaminan dalam Pasal 4 tersebut, menjadi jelas pilihan open legal policy Pemerintah bersama DPR selaku pembentuk UU menetapkan norma Pasal 61 ayat (2) UU Penjaminan yang mengecualikan kewajiban yang terdapat pada Pasal 61 ayat (1) UU Penjaminan bagi orang atau lembaga yang menjalankan penjaminan di luar perusahaan penjaminan untuk dapat melakukan penyesuaian. Dalam Pasal 61 ayat (2) UU Penjaminan diberikan peluang bagi lembaga yang telah menjalankan penjaminan di luar perusahaan penjaminan tidak wajib tunduk 98 pada Pasal 61 UU Penjaminan sepanjang dijalankan berdasarkan undang- undang tersendiri. Dapat Pemerintah sampaikan norma Pasal 61 ayat (2) berbunyi: “Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap kegiatan penjaminan yang dijalankan berdasarkan undang- undang tersendiri”. Dari sisi legal drafting frasa “dijalankan berdasarkan undang-undang tersendiri” memiliki makna yang berbeda dengan frasa “ dinyatakan dengan undang-undang tersendiri ”. Makna kata “dijalankan” pada frasa tersebut mengandung arti bahwa kegiatan penjaminan tersebut dijalankan berdasarkan amanat dari suatu undang-undang. Dalam hal ini, pelaksanaan suretyship sebagai kegiatan penjaminan oleh perusahaan asuransi umum, merupakan pelaksanaan mandat Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian kepada OJK untuk mengatur perluasan usaha Perusahaan Asuransi Umum dan telah dijalankan dengan terbitnya POJK Nomor 69/POJK.05/2016. Oleh karena itu, Pemerintah memandang berlakunya UU Penjaminan tidak mengakibatkan ketidakpastian atas berlakunya Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian yang dilaksanakan secara tegas dalam POJK sebagai landasan untuk pelaksanaan suretyship oleh Perusahaan Asuransi. Bahkan dengan norma Pasal 61 ayat (2) UU Penjaminan secara tegas diberikan pengecualian pelaksanaan suretyship oleh lembaga bukan penjaminan yang telah melaksanakan penjaminan sebelum berlakunya UU Penjaminan. II. Pertanyaan Yang Mulia Dr. Suhartoyo, S.H., M.H. A. Mengapa pengaturan mengenai suretyship tidak dipertegas dalam UU Perasuransian? Apa yang menjadi pertimbangan pembuat UU tidak menegaskan hal tersebut dalam bentuk norma? B. Pada tahun 1971 telah ada praktik suretyship di PT Jasa Raharja yang merupakan perusahaan asuransi milik Pemerintah. • Apa yang menjadi dasar Pemerintah dalam memberikan kewenangan kepada PT Jasa Raharja untuk melaksanakan Suretyship? • Apa saja persoalan yang muncul tahun 2014 sehingga pada akhirnya PT Jasa Raharja tidak lagi dapat melaksanakan Suretyship? 99 C. Apakah ada database perusahaan-perusahaan asuransi yang merupakan non-asosiasi (Pemohon)? Jawaban A. Sebagaimana telah dijelaskan, Pasal 5 ayat (3) UU Perasuransian dimaksudkan untuk mampu mengikuti perkembangan industri perasuransian sehingga tidak melimitasi bentuk-bentuk usaha yang dapat dilakukan perusahaan asuransi umum. Hal ini tentu akan sangat mendorong perkembangan industri sesuai perkembangan kebutuhan masyarakat. Pembentuk UU menyadari bahwa OJK selaku regulator akan mampu untuk membuat pengaturan yang lebih teknis untuk memastikan bahwa prinsip umum dalam UU Asuransi dan tambahan manfaat yang tercipta bagi masyakarat maupun pemerintah selaku penerima manfaat usaha perasuransian akan tetap menjadi pedoman dalam pengaturan perluasan lini usaha asuransi umum. Saat ini OJK juga telah mengatur bahwa terdapat 14 lini usaha yang dapat diselenggarakan oleh perusahaan asuransi umum yaitu: No. Lini Usaha 2018 Q3. 2019 Premi (Juta IDR) % Premi (Juta IDR) % 1 Harta Benda (Property) 18,873,914 27% 15,082,200 26% 2 Kendaraan Bermotor 18,488,468 26% 13,917,660 24% 3 Pengangkutan (Marine Cargo) 3,472,992 5% 2,636,740 5% 4 Rangka Kapal (Marine Hull) 1,572,860 2% 1,275,380 2% 5 Rangka Pesawat (Aviation Hull) 1,338,139 2% 1,110,900 2% 6 Satelit 16,138 0% 19,460 0% 7 Energi Onshore (Oil and Gas) 140,319 0% 110,440 0% 8 Energi Offshore (Oil and Gas) 1,370,170 2% 1,050,620 2% 9 Rekayasa (Engineering) 2,533,719 4% 1,852,960 3% 10 Tanggung Gugat (Liability) 1,868,051 3% 1,767,120 3% 11 Kecelakaan Diri & Kesehatan 5,627,705 8% 4,987,560 9% 12 Kredit (Credit) 7,796,238 11% 9,448,130 16% 13 Suretyship 1,454,839 2% 1,127,180 2% 14 Aneka 5,347,438 8% 3,518,460 6% 100 Bahwa terhadap 14 lini usaha tersebut juga tidak diatur dengan tegas di dalam UU Perasuransian. Selain itu, UU Perasuransian juga tidak menyebutkan lini usaha lain yang juga dilakukan oleh perusahaan asuransi umum yaitu lini usaha asuransi aneka, satelit dan kredit. UU Perasuransian hanya menyebutkan lini usaha kecelakaan diri dan kesehatan karena lini usaha itu merupakan irisan antara asuransi umum dan asuransi jiwa sehingga untuk memberi kepastian hukum bahwa lini usaha tersebut dapat dilakukan oleh perusahaan asuransi umum maupum asuransi jiwa, perlu ditegaskan dalam UU Asuransi. Adanya perkembangan jumlah lini usaha tersebut menunjukkan bahwa perluasan lini usaha ataupun penggabungan atau pengelompokkan dapat dilakukan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu, kewenangan OJK yang diberikan oleh Pasal 5 ayat (3) UU Perasuransian untuk mengatur perluasan dimaksud adalah agar kiranya perubahan lini usaha tersebut dapat dilakukan secara fleksibel oleh OJK tanpa harus melalui mekanisme perubahan UU Perasuransian. B. Perusahaan asuransi umum telah menjalankan usaha asuransi kredit sejak tahun 1971 oleh PT Asuransi Kredit Indonesia. Sedangkan, usaha suretyship telah dilaksanakan oleh perusahaan asuransi sejak tahun 1978 oleh PT Jasa Raharja Persero dengan berdasarkan pada PP No.34 tahun 1978 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1965 tentang Pendirian Perusahaan Umum Asuransi Kerugian “Jasa Raharja” (PP 34/1978). Berdasarkan PP 34/1978 tersebut, PT Jasa Raharja yang merupakan perusahaan umum asuransi kerugian diberikan mandat tambahan/tugas baru oleh Pemerintah untuk menerbitkan surat jaminan dalam bentuk Surety Bond . Penunjukan tersebut juga telah menjadikan PT Jasa Raharja sebagai pionir penyelenggara surety bond di Indonesia, di saat perusahaan asuransi lain pada umumnya masih bersifat fronting office dari perusahaan surety di luar negeri sehingga menyebabkan terjadi aliran devisa ke luar negeri untuk kepentingan tersebut. Bahwa mengingat PT Jasa Raharja merupakan perusahaan asuransi kerugian sehingga tugas pokoknya adalah melaksanakan amanat dari UU 101 yaitu memberikan perlindungan terkait dana pertanggungjawaban wajib kecelakaan penumpang dan lalu lintas sebagaimana diatur pada UU Nomor 33 dan UU Nomor 34 Tahun 1964. Selanjutnya, sebagai upaya pengemban rasa tanggung jawab sosial kepada masyarakat khususnya bagi masyarakat yang belum memperoleh perlindungan dalam lingkup UU No.33 dan UU No.34 tahun 1964. Pada tahun 1994, Pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian sebagai penjabaran UU No.2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian. Peraturan Pemerintah tersebut mengatur antara lain ketentuan yang melarang Perusahaan Asuransi yang telah menyelenggarakan program asuransi sosial untuk menjalankan asuransi lain selain program asuransi sosial. Sejalan dengan ketentuan tersebut, maka terhitung mulai tanggal 1 Januari 1994 hingga saat ini maka PT Jasa Raharja melepaskan usaha asuransi non wajib dan surety bond untuk lebih fokus dalam menjalankan program asuransi sosial yaitu menyelenggarakan Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang sebagaimana diatur dalam UU. No.33 tahun 1964 dan Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan sebagaimana diatur dalam UU. No.34 tahun 1964. C. Berdasarkan data OJK tahun 2019, terdapat 74 perusahaan asuransi umum yang memperoleh izin untuk menyelenggarakan usaha asuransi umum. Berdasarkan Pasal 68 ayat (1) UU Perasuransian, setiap perusahaan asuransi tersebut (74 perusahaan) wajib menjadi angota asosiasi usaha perasuransian yang sesuai dengan jenis usahanya (AAUI). Namun demikian AAUI juga merupakan asosiasi bagi perusahaan reasuransi, yang berdasarkan data OJK tahun 2019 terdapat 6 perusahaan reasuransi. Dari 74 perusahaan asuransi umum tersebut, berdasarkan laporan statistik OJK tahun 2018 terdapat 47 perusahaan asuransi umum yang memperoleh izin usaha untuk menyelenggarakan suretyship, namun demikian 1 perusahaan asuransi umum yaitu PT Asuransi Himalaya Pelindung telah dicabut izin usaha melalui Keputusan Dewan Komisioner (KDK) Nomor 41/KDK.05/2019 tanggal 30 April 2019 sehingga tersisa 46 perusahaan. 102 Berikut data perusahaan asuransi yang menyelenggarakan Suretyship dan yang tidak menyelenggarakan Suretyship. Perusahaan Asuransi Umum yang menyelenggarakan suretyship (46) 1. PT Asuransi ASEI Indonesia 25. PT CHUBB General Insurance Indonesia 2. PT Asuransi Artarindo 26. PT Asuransi Jasa Indonesia (Persero) 3. PT Arthagraha General Insurance 27. PT Asuransi Jasa Raharja Putera 4. PT Asuransi Astra Buana 28. PT Asuransi Kredit Indonesia (Persero) 5. PT Asuransi Axa Indonesia 29. PT Asuransi Kresna Mitra Tbk.
PT Asuransi Bangun Askrida 30. PT Asuransi Sinar Mas 7. PT Berdikari Insurance 31. PT Tugu Pratama Indonesia 8. PT Asuransi Bhakti Bhayangkara 32. PT Asuransi Videi 9. PT Asuransi Binagriya Upakara 33. PT Pan Pacific Insurance 10. PT Asuransi Bintang Tbk. 34. PT Asuransi Parolamas 11. PT Bosowa Asuransi 35. PT Asuransi Purna Artanugraha 12. PT Asuransi Bringin Sejahtera Artamakmur 36. PT Asuransi Rama Satria Wibawa 13. PT Asuransi Buana Independent 37. PT Asuransi Ramayana Tbk.
PT Asuransi Umum Bumiputera Muda 1967 38. PT Asuransi Staco Mandiri 15. PT Asuransi Cakrawala Proteksi Indonesia 39. PT Asuransi Tri Pakarta 16. PT Asuransi Central Asia 40. PT Asuransi Tugu Kresna Pratama 17. PT Asuransi Intra Asia 41. PT Victoria Insurance Tbk.
PT Asuransi Jasa Tania Tbk. 42. PT Asuransi Wahana Tata 19. PT Asuransi Mega Pratama 43. PT Asuransi Allianz Utama Indonesia 20. PT Asuransi Umum Mega 44. PT Asuransi Harta Aman Pratama Tbk.
PT Asuransi Mitra Pelindung Mustika 45. PT Lippo General Insurance Tbk.
PT Asuransi Multi Artha Guna Tbk.
PT Asuransi Etiqa Internasional Indonesia (dulunya PT Asuransi Asoka Mas) 23. PT Malacca Trust Wuwungan Insurance 24. PT Asuransi Adira Dinamika Perusahaan Asuransi Umum yang tidak menyelenggarakan suretyship (28) 47. PT AIG Insurance Indonesia 61. PT Meritz Korindo Insurance 48. PT Avrist General Insurance 62. PT Great Eastern General Insurance Indonesia 103 49. PT Asuransi Umum BCA 63. PT Kookmin Best Insurance Indonesia 50. PT Bess Central Insurance 64. PT. Asuransi Total Bersama 51. PT Asuransi Bina Dana Arta Tbk. 65. PT Asuransi Raksa Pratikara 52. PT China Taiping Insurance Indonesia 66. PT Asuransi Recapital 53. PT Citra International Underwriters 67. PT Asuransi Reliance Indonesia 54. PT Asuransi Dayin Mitra Tbk. 68. PT Asuransi Samsung Tugu 55. PT Asuransi Eka Lloyd Jaya 69. PT Sarana Lindung Upaya 56. PT Asuransi FPG Indonesia 70. PT Asuransi Simas Net 57. PT KSK Insurance Indonesia 71. PT Sompo Insurance Indonesia 58. PT MNC Asuransi Indonesia 72. PT Asuransi Sumit Oto 59. PT Asuransi MSIG Indonesia 73. PT Asuransi Tokio Marine Indonesia 60. PT Mandiri AXA General Insurance 74. PT Zurich Insurance Indonesia Adapun terhadap perusahaan Asuransi yang menjadi anggota Asosiasi Asuransi Umum namun tidak menjadi pemohon uji materi kiranya dapat disampaikan oleh Pemohon. Dapat Pemerintah sampaikan pula beberapa contoh pelaksanaan Suretyship di negara-negara lain ( Benchmarking ) yaitu:
Canada: suretyship diselenggarakan oleh surety companies dan perusahaan asuransi;
USA: suretyship juga diselenggarakan oleh perusahaan asuransi;
Japan: sebagian besar kontrak suretyship diselenggarakan oleh perusahaan asuransi;
Malaysia: biasanya suretyship diselenggarakan oleh perusahan asuransi;
Korea Selatan: perusahaan asuransi umum dapat menyelenggarakan suretyship. Demikian Keterangan Tambahan yang dapat disampaikan oleh Pemerintah terkait dengan Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi. Oleh sebab itu berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan pengujian ( constitutional review ) terhadap Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian terhadap ketentuan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dapat memberikan putusan sebagai 104 berikut sebagaimana yang telah dimintakan dalam Keterangan Presiden yang telah disampaikan sebelumnya. [2.5] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon tersebut, Pihak Terkait Otoritas Jasa Keuangan telah memberikan keterangan dalam persidangan tanggal 22 Juni 2020 yang dilengkapi dengan keterangan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 22 Juni 2020, serta keterangan tertulis tambahan yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 13 Juli 2020, yang pada pokoknya sebagai berikut: A. Sejarah Pengaturan Kegiatan Usaha Suretyship di Indonesia 1. Bahwa Pemohon berpendapat ruang lingkup kegiatan usaha perusahaan asuransi sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian tidak mencantumkan secara tegas kegiatan usaha suretyship , sehingga menurut Pemohon hal tersebut melanggar dan bertentangan dengan hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, perlakuan yang sama dihadapan hukum, hak dan memajukan diri dalam memperjuangkan hak secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negara, hak untuk melakukan kegiatan perekonomian atas dasar demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan dan efisiensi berkeadilan serta konsepsi negara kesejahteraan (welfare states) sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 . __ 2. Secara historis Indonesia telah mengenal dan mengatur lini usaha suretyship sebagai salah satu produk inovasi perusahaan asuransi guna menjawab tantangan pengambilalihan potensi risiko kerugian yang dapat dialami oleh salah satu pihak dalam perjanjian antara principal dan obligee . Seiring dengan perkembangan pembangunan di Indonesia, Pemerintah semakin menyadari arti penting keberadaan suatu Lembaga Non Perbankan yang dapat menjadi lembaga alternatif untuk memberi jaminan dalam mendukung proyek-proyek pembangunan yang didanai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) mengingat penjaminan yang menggunakan bank garansi memiliki persyaratan cukup berat bagi para penyedia barang dan/atau jasa berupa aset jaminan (full collateral) 100% dari nilai jaminan. __ 105 3. Khusus penerbitan suretyship oleh perusahaan asuransi, sudah dilakukan sejak tahun 1978 yang diatur dalam beberapa peraturan perundang- undangan sebagai berikut: __ a. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1978 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1965 tentang Pendirian Perusahaan Umum Asuransi Kerugian “Jasa Raharja”;
Keppres Nomor 14A tahun 1980 tentang Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; dan
KMK Nomor 271/KMK.011/1980 tentang Penunjukan Bank dan Lembaga Keuangan yang dapat Menerbitkan Jaminan. dalam ketentuan tersebut, Pemerintah telah memberikan kewenangan kepada perusahaan asuransi Jasa Raharja untuk menerbitkan suretyship .
Setelah tahun 1978, dimana sebelumnya penerbitan suretyship hanya bisa dilakukan oleh perusahaan asuransi Jasa Raharja, dalam rangka memperluas usaha penerbitan suretyship Pemerintah melalui Menteri Keuangan menerbitkan:
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 761/KMK.013/1992 Tahun 1992 tentang Penunjukan Bank-Bank Dan Perusahan-Perusahaan Asuransi Yang Dapat Menerbitkan Jaminan; dan
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 951/KMK.01/1993 Tentang Penggunaan Surety Bond/Customs Bond Sebagai Jaminan Pembayaran Pungutan Negara Atas Impor Barang Yang Mendapat Fasilitas Impor; yang pada pokoknya telah memberikan kesempatan kepada beberapa perusahaan asuransi swasta untuk dapat menerbitkan suretyship .
Selanjutnya, Pemerintah melalui beberapa peraturan perundang-undangan sejak tahun 2003 sampai dengan tahun 2017, yaitu:
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 422/KMK.06/2003 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 124/PMK.010/2008 tanggal 3 September 2008 tentang Penyelenggaraan Lini Asuransi Kredit dan Suretyship ; 106 c. Peraturan Presiden Nomor 4 tahun 2015 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa;
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi; dan
Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang Dan Jasa Pemerintah; telah pula mengatur mengenai penerbitan suretyship yang dapat dilakukan oleh perusahaan asuransi.
Berkaitan dengan lini usaha suretyship yang diterbitkan oleh perusahaan penjaminan, sebelum dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 (selanjutnya disebut UU Penjaminan), berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 222/PMK.020/2008 tentang Perusahaan Penjaminan Kredit dan Perusahaan Penjaminan Ulang Kredit yang kemudian diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 99/PMK.010/2011, PT Jamkrindo (Persero) dapat melakukan kegiatan usaha lain yaitu antara lain surety bond . B. Pengertian Suretyship dalam Peraturan Perundang-Undangan 1. Sebagaimana dipahami bersama, secara umum pengertian suretyship adalah suatu bentuk penjaminan dimana surety company (perusahaan asuransi/perusahaan penjaminan) menjamin principal (kontraktor/ supplier ) akan melaksanakan kewajiban atau suatu prestasi kepada obligee (penerima manfaat/ beneficiary ) sesuai kontrak atau perjanjian antara principa l dan obligee .
Pengertian suretyship juga dapat ditemukan pada ketentuan peraturan perundang-undangan diantaranya: __ a. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 124/PMK.010/2008 tentang Penyelenggaraan Lini Asuransi Kredit dan Suretyship (selanjutnya disebut PMK Suretyship ) yang mengatur: __ Pasal 1 angka 3: __ “Suretyship adalah lini usaha asuransi umum yang memberikan jaminan atas kemampuan Principal dalam melaksanakan kewajiban sesuai perjanjian pokok antara Principal dan Obligee.” b. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 69/POJK.05/2016 Tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi 107 Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah (selanjutnya disebut POJK 69/2016) yang mengatur: Pasal 1 angka 23: “Suretyship adalah lini Usaha Asuransi Umum yang memberikan jaminan atas kemampuan principal dalam melaksanakan kewajiban sesuai perjanjian pokok antara principal dan obligee.” c. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi (selanjutnya disebut UU Jasa Konstruksi) yang mengatur: __ Pasal 57 ayat (4): “Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dikeluarkan oleh lembaga perbankan, perusahaan asuransi, dan/atau perusahaan penjaminan dalam bentuk bank garansi dan/atau perjanjian terikat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.” Penjelasan Pasal 57 ayat (4): __ “Yang dimaksud dengan "perjanjian terikat" (surety bond) adalah asuransi penjaminan antara penjamin dengan pelaksana pekerjaan. Penjamin akan menjamin pelaksana pekerjaan atas pekerjaan atau tanggung jawab yang diberikan pemilik proyek kepada pelaksana pekerjaan. Asuransi penjaminan ini biasanya dikeluarkan oleh perusahaan asuransi kerugian.” 3. Lini usaha suretyship yang dipraktikan di beberapa negara seperti Tiongkok, Singapura, Inggris, dan Filipina, tidak merupakan monopoli dari salah satu bidang usaha tertentu saja seperti asuransi atau penjaminan. Di Negara tersebut, suretyship dapat dilakukan oleh perusahaan asuransi, perusahaan penjaminan maupun lembaga lainnya sesuai dengan peraturan perundang- undangan.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, pengertian suretyship maupun pengaturannya baik di Indonesia maupun di berbagai negara lain, pada prinsipnya produk suretyship tidaklah dapat digolongkan atau dibatasi kepada konsep-konsep kegiatan yang hanya dapat dilakukan oleh bidang- bidang usaha tertentu saja seperti perusahaan asuransi atau perusahaan penjaminan, sehingga suretyship dapat dilaksanakan oleh perusahaan penjaminan maupun asuransi. __ C. Lini Usaha Suretyship oleh Perusahaan Asuransi berdasarkan Pasal 5 UU Perasuransian 1. Setelah membaca pokok permohonan pengujian a quo , dalam halaman 23, halaman 26, dan halaman 32 s.d. halaman 34 permohonannya, Pemohon 108 pada pokoknya menganggap Pasal 61 UU Penjaminan telah menghalangi perusahaan asuransi untuk menjalankan lini usaha suretyship .
Pemahaman terhadap Pasal 61 UU Penjaminan haruslah tetap mengacu kepada ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam Pasal 1 angka 1, Pasal 1 angka 11 s.d. angka 13, dan Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) UU Penjaminan sebagai berikut: Pasal 1 angka 1: “Penjaminan adalah kegiatan pemberian jaminan oleh Penjamin atas penuhan kewajiban finansial Terjamin kepada Penerima Jaminan.” Pasal 1 angka 11 __ “Penjamin adalah pihak yang melakukan penjaminan.” Pasal 1 angka 12 “Penerima Jaminan adalah lembaga keuangan atau di luar lembaga keuangan yang telah memberikan Kredit, Pembiayaan, Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah atau kontrak jasa kepada Terjamin.” Pasal 1 angka 13 “Terjamin adalah pihak yang telah memperoleh Kredit, Pembiayaan, Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah, atau kontrak jasa dari lembaga keuangan atau di luar lembaga keuangan yang dijamin oleh Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah.” Pasal 4 ayat (1) _Usaha Penjaminan meliputi: _ a. penjaminan Kredit, Pembiayaan, atau Pembiayaan Berdasarkan _Prinsip Syariah yang diberikan oleh lembaga keuangan; _ b. penjaminan pinjaman yang disalurkan oleh koperasi simpan pinjam atau koperasi yang mempunyai unit usaha simpan pinjam kepada _anggotanya; dan _ c. penjaminan Kredit dan/atau pinjaman program kemitraan yang disalurkan oleh badan usaha milik negara dalam rangka program kemitraan dan bina lingkungan. Pasal 4 ayat (2) Selain usaha Penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) _Perusahaan Penjaminan dapat melakukan: _ _a. penjaminan atas surat utang; _ _b. penjaminan pembelian barang secara angsuran; _ _c. penjaminan transaksi dagang; _ d. penjaminan pengadaan barang dan/atau jasa (surety bond); __ _e. penjaminan bank garansi (kontra bank garansi); _ _f. penjaminan surat kredit berdokumen dalam negeri; _ _g. penjaminan letter of credit; _ h. penjaminan kepabeanan (customs bond); __ _i. penjaminan cukai; _ j. pemberian jasa konsultasi manajemen terkait dengan kegiatan _usaha Penjaminan; dan _ 109 k. kegiatan usaha lainnya setelah mendapat persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan. 3. Apabila melihat definisi Penjaminan, Penjamin, Terjamin, dan Penerima Jaminan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 UU Penjaminan serta ruang lingkup usaha penjaminan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UU Penjaminan, pada dasarnya UU Penjaminan telah mengatur secara khusus ruang lingkup dari kegiatan usaha Lembaga Penjamin yaitu yang berkaitan dengan kegiatan pemberian jaminan oleh Penjamin atas pemenuhan kewajiban finansial sehubungan dengan perjanjian kredit Terjamin kepada Penerima Jaminan.
Oleh karena itu, ruang lingkup usaha penjaminan sebagaimana telah disebutkan dalam Pasal 4 ayat (1) UU Penjaminan, keseluruhannya hanya melingkupi adanya kegiatan penjaminan atas pemenuhan kewajiban finansial dari adanya kredit, pembiayaan oleh lembaga keuangan maupun koperasi, serta program kredit kemitraan dan bina lingkungan yang dilakukan oleh badan usaha milik negara.
Namun demikian, dalam UU Penjaminan, Pemerintah dan DPR telah menyepakati adanya lini usaha lain yang dapat dilakukan oleh Perusahaan Penjaminan yang tidak diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UU Penjaminan (bersifat accesoir ). Kegiatan usaha lain yang bersifat accesoir tersebut adalah kegiatan lini usaha suretyship sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU Penjaminan yang mencakup kegiatan:
penjaminan atas surat utang;
penjaminan pembelian barang secara angsuran;
penjaminan transaksi dagang;
penjaminan pengadaan barang dan/atau jasa _(surety bond); _ e. penjaminan bank garansi (kontra bank garansi);
penjaminan surat kredit berdokumen dalam negeri;
penjaminan _letter of credit; _ h. penjaminan kepabeanan _(customs bond); _ i. penjaminan cukai;
pemberian jasa konsultasi manajemen terkait dengan kegiatan usaha Penjaminan; dan 110 k. kegiatan usaha lainnya setelah mendapat persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan.
Penambahan lini kegiatan usaha penjaminan yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU Penjaminan tersebut di atas, dapat dipahami karena jenis-jenis lini usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU Penjaminan tersebut adalah jenis usaha penjaminan yang bukan merupakan pemenuhan kewajiban finansial dari adanya perjanjian kredit sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 jo. Pasal 4 ayat (1) UU Penjaminan. __ 7. Selanjutnya, Pasal 61 UU Penjaminan telah mengatur: Pasal 61 (1) Setiap Orang di luar Lembaga Penjamin yang telah melakukan kegiatan penjaminan sebelum berlakunya Undang-Undang ini wajib menyesuaikan dengan Undang-Undang ini dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) tahun sejak berlakunya Undang-Undang ini. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap kegiatan penjaminan yang dijalankan berdasarkan undang-undang tersendiri. Penjelasan Pasal 61 (1) Kegiatan penjaminan berdasarkan Undang-Undang ini melibatkan 3 (tiga) pihak, memungut imbal jasa penjaminan, terdapat sertifikat penjaminan, adanya klaim dan pembayaran klaim, serta pengalihan hak tagih. Oleh karena itu, penjaminan yang dilakukan tidak berdasarkan pada prinsip tersebut, tidak masuk dalam kategori penjaminan yang dimaksud dalam Undang-Undang ini. (2) Cukup jelas. 8. Sementara itu, Pasal 1 angka 6 UU Penjaminan telah mengatur: “Lembaga Penjamin adalah Perusahaan Penjaminan, Perusahaan Penjaminan Syariah, Perusahaan Penjaminan Ulang, dan Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah yang menjalankan kegiatan penjaminan.” 9. Berkaitan dengan Pasal 61 UU Penjaminan sebagaimana dalam kutipan di atas, menurut pendapat kami perusahaan asuransi yang merupakan perusahaan di luar Lembaga Penjamin haruslah memenuhi persyaratan sebagai Lembaga Penjamin apabila hendak melakukan kegiatan usaha yang diatur dalam Pasal 1 angka 1 jo. Pasal 4 ayat (1) UU Penjaminan.
Sedangkan kegiatan lini usaha suretyship sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU Penjaminan, dapat dilakukan asuransi berdasarkan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian yang telah mengatur adanya perluasan ruang lingkup kegiatan usaha perasuransian, hal ini mengingat lini usaha 111 suretyship yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU Penjaminan tidaklah memerlukan persyaratan sebagai Lembaga Penjaminan sebagaimana Pasal 1 angka 1 UU Penjaminan.
Ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian adalah ketentuan yang sudah memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 61 UU Penjaminan jika perusahaan asuransi hendak melakukan kegiatan lini usaha suretyship sebagaimana Lembaga Penjaminan juga dapat menjalankannya berdasarkan Pasal 4 ayat (2) UU Penjaminan.
Berdasarkan semua uraian tersebut di atas, menurut pendapat kami kekhawatiran Pemohon dalam pengujian UU a quo yang menganggap kegiatan lini usaha suretyship tidak dapat dilakukan oleh perusahaan asuransi menjadi tidak tepat mengingat kegiatan suretyship adalah kegiatan penjaminan yang merupakan usaha penjaminan selain yang diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UU Penjaminan.
Selain itu, pengaturan mengenai suretyship dalam UU Penjaminan menjadi sejalan dengan pengaturan mengenai surety bond yang diatur dalam pengertian mengenai dalam UU Jasa Konstruksi yang pada pokoknya menyatakan bahwa jaminan dapat dikeluarkan oleh lembaga perbankan, perusahaan asuransi, dan/atau perusahaan penjaminan dalam bentuk antara lain perjanjian terikat [ vide Pasal 57 ayat (4)]. Adapun yang dimaksud dengan “perjanjian terikat” (surety bond) adalah asuransi penjaminan antara penjamin dengan pelaksana pekerjaan atas pekerjaan atau tanggung jawab yang diberikan pemilik proyek kepada pelaksana pekerjaan [ vide Penjelasan Pasal 57 ayat (4)].
Berdaarkan semua uraian di atas, maka semakin jelas kegiatan lini usaha suretyship sebagaimana dimaksud dalam UU Penjaminan dapat dilakukan oleh baik perusahaan penjaminan, perusahaan perasuransian maupun lembaga jasa keuangan lainnya berdasarkan peraturan perundang- undangan. __ 15. Sebagaimana diketahui bersama, Pasal 5 UU Perasuransian telah mengatur beberapa ketentuan yang berkaitan dengan perluasan ruang lingkup kegiatan usaha perusahaan asuransi sebagai berikut: (1) Ruang lingkup Usaha Asuransi Umum dan Usaha Asuransi Jiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Usaha Asuransi Umum Syariah dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah 112 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat. (2) Perluasan ruang lingkup Usaha Asuransi Umum, Usaha Asuransi Jiwa, Usaha Asuransi Umum Syariah, dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa penambahan manfaat yang besarnya didasarkan pada hasil pengelolaan dana. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai perluasan ruang lingkup Usaha Asuransi Umum, Usaha Asuransi Jiwa, Usaha Asuransi Umum Syariah, dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan . 16. Sebagai pelaksanaan amanat Pasal 5 ayat (3) UU Perasuransian, OJK telah menerbitkan POJK 69/2016 yang memberikan kesempatan kepada perusahaan asuransi untuk menjalankan lini usaha suretyship. 17. Namun demikian, lini usaha suretyship sebagaimana diatur dalam POJK 69/2016 hanya diberikan kepada perusahaan asuransi umum dan tidak diberikan kepada perusahaan asuransi umum syariah, perusahaan asuransi jiwa, dan perusahaan asuransi jiwa syariah. Hal ini diatur dalam Pasal 4 huruf a. POJK 69/2016 yang menyatakan: “ Ruang lingkup usaha Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan _masyarakat dengan ketentuan sebagai berikut: _ a. Perusahaan Asuransi Umum hanya dapat melakukan perluasan _ruang lingkup usaha pada: _ _1. kegiatan usaha PAYDI; _ _2. kegiatan usaha berbasis imbalan jasa (fee based); _ 3. kegiatan usaha Asuransi Kredit dan Suretyship _; dan/atau _ 4. _kegiatan usaha lain berdasarkan penugasan dari pemerintah; _ ” 18. Dengan demikian, lini usaha suretyship yang dilakukan oleh perusahaan asuransi berdasarkan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian dan diatur lebih lanjut dalam POJK 69/2016 telah sesuai dengan apa yang telah ditentukan dalam Pasal 61 UU Penjaminan, sehingga perusahaan asuransi yang melakukan lini usaha suretyship tidaklah dapat dikenakan sanksi pidana sebagaimana dikhawatirkan oleh Pemohon.
Ketentuan dalam Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian mengenai frasa “sesuai kebutuhan masyarakat” tidak dapat dipisahkan dari industri perasuransian yang terus berkembang di masyarakat. Dalam Penjelasan Umum UU Perasuransian telah menyebutkan bahwa pengaturan mengenai asuransi dilatarbelakangi oleh perkembangan yang pesat dalam industri 113 perasuransian yang ditandai dengan meningkatnya volume usaha dan bertambahnya pemanfaatan layanan jasa perasuransian oleh masyarakat.
Dengan diaturnya perluasan lini usaha perusahaan asuransi sebagaimana Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian justru untuk mempermudah pengaturan mengenai penambahan lini usaha asuransi sesuai dengan perkembangan kebutuhan masyarakat terhadap asuransi. Hal ini akan memudahkan OJK selaku otoritas yang diberikan kewenangan untuk mengatur lebih lanjut lini- lini usaha tambahan yang dapat dilakukan oleh perusahaan asuransi yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat sebagaimana didelegasikan oleh Pasal 5 ayat (3) UU Perasuransian.
Berkaitan dengan petitum Pemohon dalam permohonan a quo , menurut hemat kami, penyisipan frasa “termasuk lini usaha suretyship” dalam Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian, justru tidak memberikan kepastian hukum bagi perusahaan asuransi untuk dapat melakukan perluasan ruang lingkup usaha. Penyisipan frasa “termasuk lini usaha suretyship” menjadi seolah membatasi kemungkinan adanya perluasan ruang lingkup kegiatan perusahaan asuransi selain lini usaha suretyship . Karena maksud dari Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian adalah perluasan ruang lingkup usaha asuransi haruslah didasarkan pada perkembangan kebutuhan masyarakat yang tidak hanya berkaitan dengan lini usaha suretyship .
Selain hal tersebut di atas, apabila permohonan Pemohon untuk menyisipkan frasa “termasuk lini usaha suretyship” dalam Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian dikabulkan, maka hal tersebut justru menjadi tidak sejalan dengan pengaturan dalam POJK 69/2016 yang hanya memberikan kesempatan bagi asuransi umum untuk melakukan lini usaha suretyship yang tidak diberikan kepada asuransi jiwa, asuransi umum syariah, dan asuransi jiwa syariah. D. Data Perkembangan Produk Suretyship oleh Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Penjaminan 1. Berdasarkan data yang dimiliki oleh OJK, kontribusi perusahaan asuransi umum dan perusahaan penjaminan dalam proyek pembangunan pemerintah cukup tinggi. Berdasarkan data APBN 2020, alokasi anggaran untuk belanja pemerintah pusat pada sektor infrastruktur tahun 2020 mencapai Rp423,3 triliun. Apabila diasumsikan bahwa besarnya nilai premi 114 (biaya jasa/ service charge ) adalah 1% maka nilai jaminan yang dapat ditanggung ( coverage ) oleh perusahaan asuransi umum pada tahun 2019 diperkirakan mencapai Rp158,75 triliun. Nilai jaminan tersebut meningkat jika dibandingkan dengan tahun 2018 yang diperkirakan sebesar Rp144,44 triliun. Sementara itu, nilai penjaminan oleh perusahaan penjaminan per Desember 2019 sebesar Rp71,71 triliun dengan nilai proyek sebesar Rp1.387,43 triliun. __ 2. Dapat kami informasikan, sampai dengan Desember 2019, usaha asuransi kredit dan suretyship yang dilakukan oleh 42 perusahaan asuransi umum menerima 1,98% dari total pendapatan premi dari seluruh lini usaha asuransi umum. Dari 42 perusahaan asuransi umum tersebut terdapat 3 perusahaan asuransi umum yang mendapatkan lebih dari 30% pendapatan preminya yang bersumber dari usaha suretyship . __ 3. Pada perusahaan penjaminan, potensi kapasitas penjaminan dapat dilihat dari ekuitas Perusahaan per Desember 2019 sebesar Rp13,65 triliun, sehingga kemampuan penjaminan maksimum perusahaan penjaminan adalah sebesar Rp273 triliun. Perusahaan penjaminan baru dapat melayani penjaminan kredit produktif dan suretyship sebesar Rp133,98 triliun dengan gearing ratio 9,74 kali. Dengan demikian, berdasarkan gearing ratio per Desember 2019 kapasitas penjaminan oleh perusahaan penjaminan tersedia sebesar Rp140,13 triliun. Adapun imbal jasa penjaminan yang didapatkan dari suretyship per Desember 2019 sebesar Rp511,51 miliar. __ 4. Dalam rancangan teknokratik Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020 - 2024 memuat program prioritas nasional yang salah satunya yaitu Memperkuat Infrastruktur Untuk Mendukung Pengembangan Ekonomi Dan Pelayanan Dasar dengan perkiraan alokasi sebesar Rp2.176,89 triliun. Dengan alokasi dana yang besar perlu kiranya dukungan penjaminan/ suretyship untuk memastikan proyek pembangunan infrastruktur terlaksana dengan baik. __ PERMOHONAN MENGENAI AMAR PUTUSAN __ Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, kami mohon agar Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan pengujian Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian terhadap Pasal 115 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, untuk memberikan putusan sebagai berikut:
Menerima keterangan OJK sebagai Pihak Terkait secara keseluruhan.
Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
Menyatakan, Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian sepanjang frasa “dapat diperluas sesuai kebutuhan masyarakat” tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Menyatakan, Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian sepanjang frasa “dapat diperluas sesuai kebutuhan masyarakat” tetap memiliki kekuatan hukum mengikat. Namun demikian, apabila Yang Mulia Ketua dan Anggota Majelis Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia berpendapat lain, mohon putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya, ex aequo et bono . Keterangan Tertulis Tambahan Berkaitan dengan beberapa pertanyaan dari Ketua dan Anggota Majelis Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia pada persidangan tanggal 22 Juni 2020, yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 13 Juli 2020, yang pada pokoknya sebagai berikut: A. Landasan yang Menjadi Acuan Otoritas Jasa Keuanga dalam Memberikan Izin bagi Perusahaan Perasuransian dalam Melakukan Lini Usaha Suretyship Bahwa terkait pertanyaan Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah mengenai Pasal 5 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, untuk selanjutnya disebut UU Perasuransian, atau Pasal 4 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan, untuk selanjutnya disebut UU Penjaminan, sebagai landasan yang menjadi acuan Perusahaan Perasuransian dalam melakukan lini usaha Suretyship , dapat kami sampaikan hal-hal sebagai berikut:
Secara umum, dalam menjalankan kegiatan usahanya, suatu Perusahaan Perasuransian mengacu pada ketentuan yang berlaku yaitu UU Perasuransian yang kemudian ditindaklanjuti dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 69/POJK.05/2016 tentang Penyelenggaraan Usaha 116 Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, Dan Perusahaan Reasuransi Syariah, untuk selanjutnya disebut POJK No. 69/2016. __ 2. Dalam UU Perasuransian, perluasan ruang lingkup usaha perasuransian telah diatur secara jelas dalam Pasal 5 yang berbunyi: __ 1) Ruang lingkup Usaha Asuransi Umum dan Usaha Asuransi Jiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Usaha Asuransi Umum Syariah dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat. __ 2) Perluasan ruang lingkup Usaha Asuransi Umum, Usaha Asuransi Jiwa, Usaha Asuransi Umum Syariah, dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa penambahan manfaat yang besarnya didasarkan pada hasil pengelolaan dana. 3) Ketentuan lebih lanjut mengenai perluasan ruang lingkup Usaha Asuransi Umum, Usaha Asuransi Jiwa, Usaha Asuransi Umum Syariah, dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. __ Penjelasan: Cukup Jelas 3. Berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian tersebut, dalam frasa ” dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat” pada dasarnya mengandung makna dibuka kesempatan bagi Perusahaan Perasuransian untuk melakukan perluasan usaha selain menyelenggarakan kegiatan usaha yang ditentukan secara limitatif sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan (2) yang diperuntukkan bagi Perusahaan Asuransi Umum dan Pasal 3 ayat (1) dan (2) yang diperuntukkan bagi Perusahaan Asuransi Umum Syariah dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah. __ 4. Selain itu, berdasarkan Pasal 5 ayat (2) UU Perasuransian terdapat pendelegasian pengaturan lebih lanjut mengenai ruang lingkup usaha perasuransian yang diperluas sesuai kebutuhan masyarakat, diatur lebih lanjut dalam POJK No. 69/2016. __ 5. Dapat kami sampaikan, pada bagian ”Mengingat” POJK No. 69/2016 telah disebutkan secara jelas dasar hukum pembentukan POJK No. 69/2016 yaitu: __ 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 117 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia _Nomor 5253); _ 2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, _Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618); _ 6. Penegasan bahwa POJK No. 69/2016 diterbitkan berdasarkan UU Perasuransian juga terlihat di bagian Penjelasan Umum POJK No. 69/2016 dimana beberapa kali disebutkan bahwa UU Perasuransian sebagai dasar hukum diterbitkannya POJK No. 69/2016. ”Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian mengamanatkan penyempurnaan pengaturan dan pengawasan terhadap seluruh kegiatan industri asuransi yang telah berkembang pesat yang ditandai dengan meningkatnya volume usaha, bertambahnya pemanfaatan jasa perasuransian oleh masyarakat, serta layanan jasa perasuransian yang semakin bervariasi sejalan dengan perkembangan kebutuhan masyarakat.” ”Pengaturan mengenai penyelenggaraan usaha Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah adalah salah satu pengaturan yang merupakan penuangan dari amanat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian.” 7. Selanjutnya, terkait dengan lini usaha Suretyship yang merupakan ruang lingkup usaha yang diperluas sesuai kebutuhan masyarakat pada dasarnya telah diatur dalam Pasal 4 huruf a POJK No. 69/2016. __ 8. Oleh sebab itu, yang menjadi landasan utama suatu Perusahaan Perasuransian menjalankan lini usaha Suretyship yaitu Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian, sedangkan Pasal 4 huruf a POJK No. 69/2016 merupakan pengaturan lebih lanjut dari ketentuan dalam UU Perasuransian. Pengaturan lebih lanjut tersebut sesuai dengan pendelegasian kewenangan oleh UU Perasuransian yang mengatur bahwa ketentuan lebih lanjut mengenali perluasan ruang lingkup Usaha Asuransi Umum, Usaha Asuransi Jiwa, Usaha Asuransi Umum Syariah, dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah diatur dalam POJK (vide Pasal 5 ayat (3) UU Perasuransian). __ 9. Perlu kami sampaikan juga, pendelegasian kewenangan pengaturan lebih lanjut dalam POJK sebagaimana dimaksud pada angka 8 sesuai dengan ketentuan dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang mengatur bahwa peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi dapat mendelegasikan kewenangan mengatur lebih lanjut kepada peraturan perundang-undangan yang lebih rendah (vide 118 Bab II Huruf A angka 198). Dengan kata lain, pengaturan Suretyship dalam POJK dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum mengenai cakupan dan ruang lingkup kegiatan usaha perasuransian sesuai dengan kebutuhan masyarakat. __ 10. Dapat kami sampaikan pula bahwa mengenai pengaturan Pasal 4 UU Penjaminan pada dasarnya menguatkan pengaturan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian. __ 11. Pasal 4 ayat (1) UU Penjaminan menjelaskan kegiatan usaha utama yang dilakukan oleh Perusahaan Penjaminan, sedangkan Pasal 4 ayat (2) UU Penjaminan menjelaskan kegiatan usaha tambahan yang dapat dilakukan Perusahaan Penjaminan. __ 12. Adapun pengaturan mengenai kegiatan usaha tambahan dalam Pasal 4 ayat (2) UU Penjaminan, telah sejalan dengan pengaturan mengenai perluasan kegiatan usaha sesuai kebutuhan masyarakat dalam Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian. __ 13. Sedangkan kegiatan lini usaha Suretyship sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU Penjaminan, dapat dilakukan Perusahaan Perasuransian berdasarkan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian yang telah mengatur adanya perluasan ruang lingkup kegiatan usaha perasuransian, mengingat lini usaha Suretyship yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU Penjaminan tidaklah memerlukan persyaratan sebagai Lembaga Penjaminan sebagaimana Pasal 1 angka 1 UU Penjaminan.
Ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian merupakan ketentuan yang sudah memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 61 UU Penjaminan, jika Perusahaan Perasuransian hendak melakukan kegiatan lini usaha Suretyship sebagaimana Lembaga Penjaminan juga dapat menjalankannya berdasarkan Pasal 4 ayat (2) UU Penjaminan.
Dengan demikian landasan hukum mengenai pengaturan lini usaha Suretyship yang dilakukan oleh Perusahaan Perasuransian pada dasarnya mengacu pada Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian yang kemudian ditindaklanjuti dengan POJK No 69/2016 dan sejalan dengan pengaturan pada Pasal 4 ayat (2) UU Penjaminan. __ __ 119 B. Lini Usaha Suretyship Telah Diakomodir dalam Ketentuan UU Penjaminan dan UU Perasuransian Bahwa terkait pertanyaan Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah mengenai alasan OJK menggunakan UU Penjaminan sebagai referensi dalam memberikan keterangan sebagai pihak terkait, dapat kami sampaikan hal-hal sebagai berikut:
Sebagaimana telah OJK sampaikan dalam keterangan sebelumnya, Pemohon berpendapat ruang lingkup kegiatan usaha Perusahaan Perasuransian sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian tidak mencantumkan secara tegas kegiatan usaha Suretyship , sehingga menurut Pemohon hal tersebut melanggar dan bertentangan dengan hak Pemohon __ sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, untuk selanjutnya disebut UUD 1945. __ 2. Pemohon selaku badan hukum yang mewakili anggotanya berupa perusahaan yang bergerak di bidang perasuransian khususnya yang telah menjalankan bidang usaha Suretyship, yang mana praktik Suretyship tersebut telah berlangsung lama selama puluhan tahun dan telah dirasakan manfaatnya bagi pembangunan nasional. __ 3. Di Indonesia, dasar hukum Perusahaan Perasuransian melaksanakan lini usaha Suretyship telah diakomodir sejak tahun 1978 oleh beberapa peraturan terkait, yang kemudian saat ini diakomodir dalam Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian. Namun, menurut Pemohon secara faktual pengaturan mengenai lini usaha Suretyship ini belum diatur secara tegas dalam UU Perasuransian tersebut sehingga berpotensi merugikan hak konstitusional Pemohon yang dilindungi dan dijamin UUD 1945. __ 4. Namun, terkait lini usaha Suretyship , dalam permohonannya juga disebutkan bahwa Perusahaan Penjaminan dapat menjalankan Surety Bond sebagaimana diatur secara tegas dalam Pasal 4 ayat (2) UU Penjaminan. __ Dengan lahirnya UU Penjaminan tersebut dipandang menimbulkan persoalan ketidaksesuaian pembentukan norma, khususnya dengan adanya Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) UU Penjaminan yang dipastikan akan menjadi penghalang tidak dapat dilaksanakannya lini usaha Suretyship oleh 120 Perusahaan Perasuransian, sebagaimana dinyatakan Pemohon pada halaman 10 angka 3.10 Surat Permohonan. __ 5. Dapat kami sampaikan, bahwa Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) UU Penjaminan beserta Penjelasannya menyatakan: __ (1) Setiap Orang di luar Lembaga Penjamin yang telah melakukan kegiatan penjaminan sebelum berlakunya Undang-Undang ini wajib menyesuaikan dengan Undang- Undang ini dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) tahun sejak berlakunya Undang- Undang ini. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap kegiatan penjaminan yang dijalankan berdasarkan undang-undang tersendiri. _Penjelasan: _ Ayat (1) Kegiatan penjaminan berdasarkan Undang-Undang ini melibatkan 3 (tiga) pihak, memungut imbal jasa penjaminan, terdapat sertifikat penjaminan, adanya klaim dan pembayaran klaim, serta pengalihan hak tagih. Oleh karena itu, penjaminan yang dilakukan tidak berdasarkan pada prinsip tersebut, tidak masuk dalam kategori penjaminan yang dimaksud dalam Undang-Undang ini. Ayat (2) __ Cukup Jelas 6. Dengan adanya pengaturan tersebut maka timbul kekhawatiran bahwa dengan munculnya Pasal 61 UU Penjaminan tersebut telah menyebabkan ketidakpastian lini usaha Suretyship yang menggunakan landasan hukum Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian yang mengatur mengenai perluasan lini usaha asuransi. Hal ini dipertegas oleh Pemohon dalam permohonan pengujian a quo , halaman 23, halaman 26, dan halaman 32 s.d. halaman 34 permohonannya, yang pada pokoknya menganggap Pasal 61 UU Penjaminan telah menghalangi Perusahaan Perasuransian untuk menjalankan lini usaha Suretyship .
Selain itu, keberadaan Pasal 61 UU Penjaminan tersebut terkesan menyebabkan Perusahaan Perasuransian yang mendasarkan kegiatan lini usaha pada POJK No. 69/2016, yang merupakan peraturan pelaksana dari UU Perasuransian, harus tunduk pada peraturan UU Penjaminan tersebut.
Oleh karena itu dalam permohonannya, Pemohon bependapat dalam halaman 35 angka 3.31 secara tegas menyatakan adanya pengaturan dalam UU Penjaminan yang melarang pelaksanaan kegiatan lini usaha 121 Suretyship dilakukan oleh Perusahaan Perasuransian, sebagaimana diuraikan oleh Pemohon sebagai berikut: “ Dengan demikian, Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014 a quo yang multitafsir bertentangan dengan prinsip konstitusi yaitu prinsip kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, karena sejak awal suretyship adalah merupakan lini usaha dari perusahaan asuransi, kemudian terbit UU No 1/2016 yang tidak membenarkan suretyship dilakukan oleh perusahan asuransi, namun terbitlah UU No. 2/2017 dan Perpres No.16/2018 yang membenarkan suretyship dilakukan oleh perusahaan asuransi.” 9. Dengan demikian, sudah sepatutnya OJK dalam memberikan Keterangan sebagai Pihak Terkait juga untuk memperhatikan keberadaan hukum UU Penjaminan yang beririsan dengan UU Perasuransian, khususnya pada Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian yang secara khusus mengatur mengenai kegiatan usaha perasuransian yang mencakup lini usaha Suretyship . C. Pembatasan Perusahaan Perasuransian yang Melakukan Lini Usaha Suretyship Berdasarkan POJK 69/2016 1. Ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian merupakan ketentuan yang sudah memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 61 UU Penjaminan, jika Perusahaan Perasuransian hendak melakukan kegiatan lini usaha Suretyship sebagaimana Lembaga Penjaminan juga dapat menjalankannya berdasarkan Pasal 4 ayat (2) UU Penjaminan.
Sebagaimana diketahui bersama, Pasal 5 UU Perasuransian telah mengatur beberapa ketentuan yang berkaitan dengan perluasan ruang lingkup kegiatan usaha Perusahaan Perasuransian sebagai berikut: (1) Ruang lingkup Usaha Asuransi Umum dan Usaha Asuransi Jiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Usaha Asuransi Umum Syariah dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat. (2) Perluasan ruang lingkup Usaha Asuransi Umum, Usaha Asuransi Jiwa, Usaha Asuransi Umum Syariah, dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa penambahan manfaat yang besarnya didasarkan pada hasil pengelolaan dana. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai perluasan ruang lingkup Usaha Asuransi Umum, Usaha Asuransi Jiwa, Usaha Asuransi Umum Syariah, dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan . 122 3. Sebagai pelaksanaan amanat Pasal 5 ayat (3) UU Perasuransian, OJK telah menerbitkan POJK No. 69/2016 yang memberikan kesempatan kepada Perusahaan Perasuransian untuk menjalankan lini usaha Suretyship. 4. Namun demikian, lini usaha Suretyship sebagaimana diatur dalam POJK No. 69/2016 hanya diberikan kepada Perusahaan Asuransi Umum dan tidak diberikan kepada Perusahaan Asuransi Umum Syariah, Perusahaan Asuransi Jiwa, maupun Perusahaan Asuransi Jiwa Syariah. Hal ini diatur dalam Pasal 4 huruf a. POJK No. 69/2016 yang menyatakan: “ Ruang lingkup usaha Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat _dengan ketentuan sebagai berikut: _ a. Perusahaan Asuransi Umum hanya dapat melakukan _perluasan ruang lingkup usaha pada: _ _5. kegiatan usaha PAYDI; _ _6. kegiatan usaha berbasis imbalan jasa (fee based); _ 7. kegiatan usaha Asuransi Kredit dan Suretyship _; dan/atau _ 8. kegiatan usaha lain berdasarkan penugasan dari _pemerintah; _ ” 5. Yang menjadi dasar pertimbangan OJK dalam memberikan pengaturan hanya Perusahaan Asuransi Umum yang dapat melakukan lini usaha Suretyship adalah bahwa ketentuan dalam Pasal 4 huruf a POJK No. 69/2016 dimaksudkan untuk memberikan dasar hukum bagi Perusahaan Asuransi Umum di bawah payung hukum UU Perasuransian dalam menyelenggarakan kegiatan Suretyship , yang telah dilaksanakan selama ini dengan menggunakan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 124/PMK.010/2008 tentang Penyelenggaraan Lini Usaha Asuransi Kredit dan Suretyship (PMK 124/2008).
Dalam PMK 124/2008 tersebut, telah diatur mengenai persyaratan modal sendiri bagi Perusahaan Asuransi Umum yang akan memasarkan produk asuransi pada lini usaha asuransi kredit atau Suretyship yaitu paling sedikit sebesar Rp 250.000.000.000,- (dua ratus lima puluh miliar rupiah) ( vide Pasal 3 PMK 124/2008).
Selain itu, berdasarkan Pasal 37 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor: 72/POJK.05/2016 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi Dan Perusahaan Reasuransi Dengan Prinsip Syariah dan Pasal 34 Peraturan 123 Otoritas Jasa Keuangan Nomor: 71/POJK.05/2016 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi telah mengatur mengenai Ekuitas minimum yang diwajibkan bagi Perusahaan Perasuransian yaitu:
Bagi Perusahaan Asuransi Syariah sebesar Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah);
Bagi Unit Syariah dari Perusahaan Asuransi sebesar Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah); dan
Bagi Perusahaan Asuransi yang memiliki unit Syariah sebesar Rp100.000.000.000,00 (serratus miliar rupiah) ditambah dengan kewajiban ekuitas minimum bagi unit Syariah sebesar Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) sehingga menjadi Rp125.000.000.000,00 (seratus dua puluh lima miliar rupiah).
Oleh sebab itu, mengingat persyaratan modal sendiri bagi Perusahaan Asuransi Syariah dan Unit Usaha Syariah lebih kecil dari persyaratan modal sendiri bagi Perusahaan Perasuransian yang akan menjalankan kegiatan usaha Suretyship dalam PMK 124/2008 serta nilai penjaminan dalam bisnis Suretyship yang umumnya cukup besar, maka kegiatan usaha Suretyship tidak dibuka untuk Perusahaan Asuransi Syariah dan Unit Usaha Syariah.
Selain itu, yang menjadi pertimbangan lain dalam mengatur hanya Perusahaan Asuransi Umum yang dapat melakukan lini usaha Suretyship adalah karena kegiatan usaha Suretyship berpotensi menggerus kemampuan finansial Perusahaan Asuransi Syariah maupun Unit Syariah yang saat ini masih dalam tahap pengembangan ( infant industry) .
Dengan demikian, oleh karena Perusahaan Asuransi Syariah masih dalam tahap pengembangan dengan kemampuan permodalan dipandang masih belum dapat memenuhi ketentuan dalam PMK 124/2008 yang secara khusus mengatur mengenai Suretyship , maka OJK selaku regulator tidak membuka lini usaha Suretyship untuk dilakukan oleh Perusahaan Asuransi Syariah, dan hanya dilakukan oleh Perusahaan Asuransi Umum. 124 D. Data Perbandingan atau Komparasi Model Pengaturan Negara Lain dengan Indonesia Sebagaimana Telah Dijelaskan Dalam Keterangan sebagai Pihak Terkait Bahwa terkait pertanyaan Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah mengenai data perbandingan __ atau komparasi model pengaturan negara lain, dapat kami sajikan dalam tabel sebagai berikut: Tabel Praktik Suretyship di Beberapa Negara Lain No. Negara Pengaturan Keterangan 1. Tiongkok Article 6: “Suretyship as used in this Law means an agreement pursuant __ to which a surety and a creditor __ agree that the surety shall perform the obligation or bear the liability according to the agreement, when the debtor fails to perform his obligation.” Article 7: A legal person, other organization or a citizen capable of assuming debts may act as a surety . Article 8: “No State organ may act as a surety, except in the case of securing loans, for onlending, from a foreign government or an international economic organization as is approved by the State Council.” _Ref: _ Adopted at the 14 ^th Meeting of the Standing Committee of the Eight National People’s Congress on June 30, promulgated by Order No. 50 of the President of the People’s Republic of China on June 30, 1995, and effective as of October 1, 1995, “Guaranty Law”) Article 95: • Pengaturan mengenai Suretyship di Tiongkok berdasarkan Guarantee Law of the People’s Republic of China (1995) tercantum dalam Article 6 Chapter II (Suretyship) yang menyatakan bahwa Suretyship merupakan suatu perjanjian antara penjamin dengan kreditor, dimana penjamin sepakat untuk menanggung atau melakukan kewajiban berdasarkan perjanjian, jika debitur gagal melakukan kewajibannya. • Guarantee Law pada prinsipnya tidak membatasi pihak yang dapat menjadi penjamin kecuali oleh Guarantee Law ditentukan lain/terdapat pengecualian. • Pengaturan Suretyship dalam regulasi di Tiongkok lebih bersifat umum. Lini usaha Suretyship di Tiongkok pada dasarnya meliputi beberapa area seperti banking dan juga asuransi, dengan catatan bahwa sepanjang pihak (person), organisasi lainnya dan warga negara yang secara legal dan mampu menanggung hutang, dapat bertindak sebagai Penjamin (Surety). • Selain itu, dalam Insurance Law of the People’s Republic 125 The scope of business of an insurance company shall be as follows :
Personal insurance, including life insurance, health insurance, accidential injury insurance, etc.;
Property insurance, including property loss or damage insurance, liability insurance, credit insurance and surety bonds, etc.; and (3) Other insurance-related businesses approved by the insurance regulatory body under the State Council. _Ref: _ Adopted at the 14 ^th Meeting of the Standing Committee of the Eight National People’s Congress on June 30 1995, amended three times on 28 October 2002, on 28 February 2009 and on 24 April 2015, Insurance Law) of China (2015) Article 95 diatur bahwa surety bond merupakan jenis usaha yang dapat dilakukan Perusahaan Perasuransian yang tergolong ke dalam jenis usaha asuransi properti. Bahkan Insurance Law (2015 ) juga memberikan keleluasaan kepada Perusahaan Perasuransian untuk menerbitkan produk usaha lainnya selain Surety Bond , dalam hal ini merupakan bentuk Suretyship lainnya). • Terdapat putusan Supreme Court di Tiongkok terhadap suatu kasus terkait accessory principle apply to surety bonds , bahwasanya Suretyship itu sendiri secara nature merupakan bagian dari perasuransian. Sehingga jika dikaitkan lebih lanjut dengan UU Perasuransian dan UU Penjaminan di Indonesia, walaupun dalam UU Perasuransian tidak disebutkan secara clear pengaturan terkait Suretyship, namun secara praktik, sejarah dan by nature (sebagaimana penjelasan di atas) Suretyship di Indonesia merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari industri perasuransian.
Filipina Title 4 SURETYSHIP Sec. 175. A contract of suretyship is an agreement whereby a party called the surety guarantees the performance by another party called the principal or obligor of an obligation or undertaking in favor of a third party called the obligee. It includes official recognizances, stipulations, bonds or undertakings issued by any company by virtue of and under the • Filipina sebagai negara yang menganut sistem Common Law, mengatur mengenai Suretyship baik dalam Insurance Act/Undang-Undang Asuransi (Republic Act No.2427 of 1914), General Banking Act/Undang-Undang Bank Umum (Republic Act No.8791 of 2000), serta Surety Act/Undang-Undang Surety (Republic Act No.2203 of 1913). • Insurance Act No. 2427/1914 126 provisions of Act No. 536, as amended by Act No. 2206. Sec. 176. The liability of the surety or sureties shall be joint and several with the obligor and shall be limited to the amount of the bond. It is determined strictly by the terms of the contract of suretyship in relation to the principal contract between the obligor and the obligee. (As amended by Presidential Decree No. 1455). Ref: Republic Act No. 2427 An Act Revising The Insurance Laws And Regulating Insurance Business In The Philippine Islands, “Insurance Act 1912”) Sect. 29. Powers of a Commercial Bank. — A commercial bank shall have, in addition to the general powers incident to corporations, all such powers as may be necessary to carry on the business of commercial banking, such as accepting drafts and issuing letters of credit ; discounting and negotiating promissory notes, drafts, bills of exchange, and other evidences of debt; accepting or creating demand deposits; receiving other types of deposits and deposit substitutes; buying and selling foreign exchange and gold or silver bullion; acquiring marketable bonds and other debt securities ; and extending credit, subject to such rules as the Monetary Board may promulgate. These rules may include the determination of bonds and other debt securities eligible for investment, the maturities and aggregate amount of such investment. membagi bisnis asuransi di Filipina dalam empat jenis usaha, yaitu: asuransi umum (Chapter 1), asuransi kelautan (Chapter 2), asuransi kebakaran (Chapter 3), serta asuransi jiwa dan kesehatan (Chapter 4). Dalam Insurance Act 1914 tersebut juga dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Suretyship adalah perjanjan dimana penjamin (Surety) menjamin kinerja oleh pihak Prinsipal (obligor) dari kewajiban kepada Obligee. • Penerbitan Suretyship juga dapat dilakukan oleh Bank sebagaimana diatur dalam The General Banking Act of 2000 , yang bertujuan untuk menanggung kewajiban kontrak nasabah kepada bank. • Sementara, secara spesifik Filipina juga mengatur mengenai kegiatan Surety , yaitu dalam Undang-Undang No. 2203/1913 yang merupakan amandemen atas Undang-Undang No.536. Undang-undang ini mengatur Surety namun sebatas pada empat jenis jaminan, yaitu suatu Pengakuan (recognizance), Ketentuan (stipulation), Surat Utang (bond), dan Pelaksanaan Pekerjaan yang Ditentukan (undertaking specified), Undang-Undang tersebut dimaksudkan sebagai upaya menjamin kinerja suatu kondisi saat dieksekusi, atau dijamin semata-mata oleh perusahaan yang didirikan dengan berdasarkan hukum AS atau negara bagiannya, atau perusahaan apapun yang tunduk pada peraturan perundang-undangan Kepulauan Filipina, kecuali 127 Ref: Republic Act No. 8791 An Act Providing For The Regulation Of The Organization And Operations Of Banks, Quasi-Banks, Trust Entities And For Other Purposes “The General Banking Act of 2000”) perusahaan tersebut diizinkan Pemerintah Kepulauan Filipina untuk menjadi penjamin atas keempat hal tersebut. Pada prinsipnya, suatu penjaminan tidak harus dilaksanakan tersendiri oleh suatu Perusahaan Penjaminan maupun Perusahaan Penjaminan khusus.
Singapura Classification of insurance business and construction of references to matters connected with insurance 2.-(1) For the purposes of this Act, insurance business shall be divided into 2 classes — (a) life business, which means all insurance business concerned with life policies, long-term accident and health policies, or both; and [23/2003 wef 01/01/2004] (b) general business, that is to say, all insurance business which is not life business, and shall include the effecting and carrying out by any person, not being a person licensed, approved, designated or otherwise regulated under the Monetary Authority of Singapore Act (Cap. 186), Banking Act (Cap. 19), Finance Companies Act (Cap. 108) or Securities and Futures Act (Cap. 289); of contracts for fidelity bonds, performance bonds, administration bonds, bail bonds or customs bonds or similar contracts of guarantee, being contracts effected by way of business (and not merely incidental to some other business carried on by the person effecting them) in return for the • Suretyship dalam pengaturan hukum di Singapura diatur dalam Ch. 23 The Law of Guarantees . Seperti halnya Tiongkok dan Inggris, Singapura juga tidak membatasi bidang usaha Suretyship , dengan kata lain banking dan asuransi masuk dalam area praktik surertyship tersebut. • Hanya saja dalam pengaturan tersebut Singapura lebih mengedepankan prinsip utama dalam Suretyship law , yaitu perjanjian penjaminan yang dibuat diantara penjamin (Surety) dan debitor utama harus berdasarkan kesepakatan dan persetujuan dari pihak Surety, sehingga apabila perjanjian tersebut dilakukan tanpa persetujuan dari pihak Surety, maka dapat dipastikan pihak Surety harus dibebaskan dari kewajibannya kecuali dalam kontrak penjaminan menyatakan sebaliknya. • Lebih lanjut berdasarkan pengaturan hukum Singapura dalam Insurance Act, Suretyship merupakan lini usaha yang bisa dijalankan oleh Perusahaan Perasuransian yang tergolong ke dalam ruang lingkup usaha asuransi umum. Sama halnya dengan Inggris, pengaturan 128 payment of one or more premiums. Ref: Insurance Act (Chapter 142) (Original Enactment: Act 46 of 1966) Revised Edition 2002 (31st December 2002)) 27.-(1) Every bank in Singapore shall prepare a statement in respect of each quarter of a year, in such form as may be specified by the Authority, showing as at the end of that quarter all the credit facilities from, all the exposures of the bank to, and all the transactions of the bank with — (a) any person in a director group of the bank; (b)...etc. “credit facilities” means — (a) the granting by a bank of advances, loans and other facilities whereby a customer of the bank has access to funds or financial guarantees ; or (b) the incurring by a bank of other liabilities on behalf of a customer; Ref: Banking Act (Chapter 19) (Original Enactment: Act 41 of 1970), Revised Edition 2008 (31st March 2008) mengenai bentuk Suretyship juga diatur antara lain berupa fidelity bonds, performance bonds, administration bonds, bail bonds, atau __ customs bonds. • Singapura juga tidak membatasi penerbitan Suretyship hanya kepada bidang usaha tertentu. Banking Act memperbolehkan Bank untuk memberikan penjaminan. Dalam proyek pembangunan infrastruktur misalnya, Bank di Singapura juga dapat menerbitkan Suretyship. John Phillips, Michelle Chen, “The Law of Guarantees: Balancing the Interests of the Parties, s. (2014). 2013 Jones Day Professorship of Commercial Law Lecture. https: //ink.library.smu.edu.sg/jday _lect/2 4. Inggris Suretyship 15 -(1) Contracts of insurance against the risks of loss to the persons insured arising from their having to perform contracts of guarantee entered into by them.
Fidelity bonds, performance bonds, administration bonds, bail bonds or customs bonds or similar contracts of guarantee , where these are— • Dalam the Financial Services and Markets Act 2000, Suretyship diartikan sebagai salah satu bentuk kontrak asuransi terhadap risiko kerugian bagi orang yang diasuransikan yang timbul dari kewajian dalam kontrak jaminan antara Obligee dengan Principal. __ • Dalam the Financial Services and Markets Act 2000 disebutkan apa saja yang __ termasuk dalam Suretyship antara lain __ fidelity bonds, 129 (a) effected or carried out by a person not carrying on a banking business; (b) not effected merely incidentally to some other business carried on by the person effecting them; and (c) effected in return for the payment of one or more premiums. Instruments creating or acknowledging indebtedness 77.-(1) Subject to paragraph (2), such of the following as do not fall within article 78— (a) debentures; (b) debenture stock; (c) loan stock; (d) Bonds; (e) certificates of deposit; (f) any other instrument creating or acknowledging indebtedness.
If and to the extent that they would otherwise fall within paragraph (1), there are excluded from that paragraph— (a) an instrument acknowledging or creating indebtedness for, or for money borrowed to defray, the consideration payable under a contract for the supply of goods or services; (b) a cheque or other bill of exchange, a banker’s draft or a letter of credit (but not a bill of exchange accepted by a banker); (c) a banknote, a statement showing a balance on a current, performance bonds, bail bonds or customs bonds. Sehingga pengaturan terkait Suretyship tidak hanya berlaku untuk bidang usaha asuransi saja melainkan juga banking area. __ • Central Unit on Procurement (CPU), HM Treasury, pada tahun 1994, juga pernah menerbitkan pedoman No. 48 tentang Bonds and Guarantees , yang di dalamnya memuat mengenai pelaksanaan Suretyship oleh bank atau Surety Company lainnya. Sebagian besar pengaturan mengenai Suretyship timbul dari putusan pengadilan atas perkara- perkara tertentu yang berkaitan dengan Suretyship yang dikeluarkan oleh Perusahaan Perasuransian maupun bank. __ • Selain itu pengaturan suretyship di Inggris merupakan bagian dari asuransi umum, sebagaimana tercantum dalam Regulated Activities Order terkait kontrak asuransi umum (khususnya terkait risiko kerugian). __ • Dalam the Financial Services and Markets Act 2000 juga diatur mengenai ruang lingkup usaha Bank yang antara lain adalah membuat kontrak asuransi yang dapat merujuk pada Suretyship sebagaimana usaha perasuransian dan termasuk juga menerbitkan letter of credit. • Sebagian besar pengaturan mengenai Suretyship timbul dari putusan pengadilan atas perkara-perkara tertentu yang berkaitan dengan Suretyship yang dikeluarkan oleh Perusahaan Perasuransian maupun Bank. __ James Devenney, Lorna Fox & Mel Kenny, “Standing surety in England and Wales: the sphinx 130 deposit or savings account, a lease or other disposition of property, or a heritable security; and (d) a contract of insurance. Ref: the Financial Services and Markets Act 2000 (Regulated Activities) Order 2001 (SI 2001/544). of procedural protection”, Lloyds Maritime and Commercial Law Quarterly. http: //hdl.handle.net/10036/3451 Bahwa dengan demikian, berdasarkan data perbandingan dan model komparasi pengaturan mengenai lini usaha Suretyship yang dipraktikkan di beberapa negara seperti Tiongkok, Filipina, Singapura, dan Inggris, dapat dilakukan oleh Perusahaan Perasuransian, Perusahaan Penjaminan maupun lembaga lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. [2.6] Menimbang bahwa Mahkamah Konstitusi pada persidangan tanggal 10 September 2020 telah menghadirkan satu orang ahli yaitu Irvan Rahardjo, S.E., M.M., yang telah menyampaikan keterangan pada persidangan tanggal 10 September 2020 dan dilengkapi dengan keterangan tertulis yang diterima pada tanggal 10 September 2020, yang pada pokoknya sebagai berikut:
Sejarah lahirnya asuransi dan sejarah asuransi di Indonesia pada umumnya Sejarah asuransi merupakan sejarah panjang ikhtiar umat manusia untuk mengurangi resiko yang lahir dari ketidakpastian dengan membagi atau mengalihkan resiko yang mengancam, pada satu pihak ke pihak lain. Disisi lain, asuransi juga sejarah ikhtiar manusia dalam mengambil keuntungan melalui pengumpulan dana dari masyarakat dengan memberikan janji untuk memberikan manfaat kepada pihak yang hendak menghindarkan diri dari ancaman risiko yang timbul dari ketidakpastian. Dari berbagai sumber diketahui bahwa sejarah awal asuransi sebelum memasuki abad pertengahan dapat dibagi dalam beberapa periode, yaitu masa Babylonia, Yunani dan Romawi. Sejarah asuransi yang tertua dapat ditelusuri sampai sekitar 4000 tahun silam dalam bentuk upaya para pemilik kapal atau para pedagang bangsa Babylonia yang hidup dintara sungai Euphrat dan Tigris - yang sekarang termasuk dalam wilayah Irak-untuk melindungi usaha mereka terhadap ketidakpastian. Pada masa itu mereka dapat meminjam uang dari 131 pedagang lain yang bertindak sebagai kreditor dengan menggunakan kapalnya atau barang dagangan sebagai jaminan. Pemilik kapal atau pedagang akan melunasi hutangnya setelah kapal selamat sampai di tujuan beserta sejumlah biaya tambahan kepada kreditor yang bertindak sebagai penanggung risiko. Peminjam dibebaskan dari hutang apabila kapal atau barang dagangan tidak selamat sampai tujuan. Tambahan biaya tersebut dapat dianggap sebagai premi. Sumber lain menyebutkan bahwa perjanjian dilakukan atas risiko perdagangan dengan angkutan darat ( caravan). Perjanjian yang menggunakan kapal sebagai jaminan pinjaman dan kreditor kehilangan uangnya bila kapal hilang dalam pelayaran tersebut dinamakan bottomry. Bentuk perjanjian tersebut memperoleh kekuatan hukum dibawah Kode Hammurabi (sekitar 2100 sebelum Masehi). Bangsa Phoenicia dan Yunani memberlakukan sistem yang sama bagi perdagangan laut mereka. Berdasarkan sejarah yang lain diketahui pula bahwa untuk mengurangi risiko kehilangan barang selama dalam pelayaran di sungai Hoang Ho di Cina, pada sekian abad sebelum Masehi, para pedagang yang melayari sungai tersebut membagi muatan barang dagangan mereka masing masing kedalam beberapa jung. Apabila dalam setiap pelayaran terdapat jung yang memuat barang mereka mengalami musibah, tingkat kerugian setiap pedagang hanya akan sebatas jumlah barang dagangan yang terdapat didalam jung yang mengalami musibah saja. Pada masa pemerintahan Alexander The Great di Yunani sebagai upaya untuk mengumpulkan dana, pemerintah memberikan jaminan untuk menangkap setiap budak yang melarikan diri atau memberikan penggantian atas harga beli budak yang hilang dengan imbalan pembayaran sejumlah uang. Perjanjian pemberian manfaat tersebut pada dasarnya sama dengan perjanjian asuransi umum dan imbalan uang yang dibayar oleh peserta dapat disebut sebagai premi asuransi. Pada masa tersebut terdapat pula suatu bentuk penjaminan oleh pemerintah yang meminjam uang kepada umum dengan imbalan pemberian bunga setiap bulan sampai pemilik uang wafat dan menyediakan biaya pemakaman bagi pemilik uang. Bentuk penjaminan ini merupakan bentuk asuransi jiwa yang pertama walaupun sebagaimana halnya dengan penjaminan terhadap 132 kehilangan budak, perjanjian ini timbul dari inisiatif pemerintah untuk mengumpulkan dana. Sebagaimana halnya hukum perbankan, hukum asuransi modern berasal dari praktik pedagang pedagang di Genoa, Italia pada awal abad keempat belas yang mengasuransikan kapal kapal dan muatan mereka terhadap risiko perjalanan laut. Perjanjian asuransi atas kapal Santa Clara pada tahun 1347 di Genoa merupakan perjanjian asuransi autentik yang tertua dalam pengertian adanya pengalihan risiko kerugian yang mungkin timbul karena peristiwa yang tidak pasti dengan imbalan sejumlah premi. Pada masa tersebut, lahirlah pribadi pribadi yang bertindak sebagai pihak yang bersedia menanggung sebagian risiko yang dihadapi oleh sesama pedagang dengan imbalan sejumlah bayaran. Praktik ini kemudian diadopsi sebagai dasar model asuransi yang berlaku sampai sekarang di Lloyd’s of London. Selama berabad abad Lloyd’s of London sepenuhnya terdiri dari berbagai sindikat ( syndicate ) yang merupakan pribadi pribadi yang bertindak sebagai underwriter yang melakukan transaksi asuransi, dimulai dari warung kopi Edward Lloyds di masa lalu sampai ke bangunan Lloyds of London saat ini. Pemilik masing masing sindikat memberikan jaminan hak milik pribadi dalam setiap penutupan asuransi. Praktik tersebut akhir akhir ini telah mengalami pergeseran dengan semakin banyaknya sindikat pada Lloyd’s of London yang berbentuk badan hukum dengan tanggung jawab sebatas modal usaha mereka. Penutupan asuransi atau reasuransi oleh Lloyd’s of London hanya dilakukan melalui pialang asuransi yang terdaftar di Lloyd’s of London. Dari perkembangan diatas, nampak bahwa bermula dari perjanjian yang timbul dari peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah, landasan hukum perjanjian berkembang menjadi perjanjian yang dikembangkan sesama pedagang atas jaminan yang diberikan untuk kepentingan komersial. Kegiatan yang semula dilakukan sebagai pekerjaan sambilan akhirnya menjadi perjanjian yang dikeluarkan pribadi pribadi dan perusahaan perusahaan yang sepenuhnya bertindak sebagai penanggung. Kegiatan asuransi di bumi Nusantara dikenal pertama kali mengikuti kegiatan bangsa Belanda dalam usaha perkebunan dan perdagangan di negeri 133 jajahannya. Pada awalnya kegiatan asuransi terbatas untuk melindungi kepentingan Belanda, Inggris dan bangsa Eropa lainnya yang melakukan perdagangan dan usaha perkebunan di Indonesia, terutama untuk asuransi pengangkutan dan kebakaran. Asuransi jiwa nasional pertama adalah Bumiputera 1912 yang didirikan pada tahun 1912 di Magelang atas prakarsa seorang guru yang bernama M.Ng Dwidjosewoyo sebagai perusahaan asuransi yang berbentuk badan usaha bersama ( mutual ) pendirian Bumiputera 1912 didorong oleh keprihatinan yang mendalam terhadap nasib para guru kaoem boemipoetra . Pencapaian penting lainnya dalam tonggak sejarah asuransi Indonesia sejak kemerdekaan antara lain adalah terlaksananya Kongres Asuransi Nasional Seluruh Indonesia (KANSI) pertama pada 25 – 30 November 1956 di Bogor. Tujuan dari kongres tersebut antara lain untuk menyatukan pendapat dan bekerjasama memberikan sumbangan yang bermanfaat bagi perekonomian nasional, mengatasi sisa sisa sistem perekonomian kolonial dan peningkatan kesadaran berasuransi. Kongres tersebut antara lain melahirkan kesepakatan pendirian Dewan Asuransi Indonesia (DAI) pada 1 Februari 1957.
Pengaturan Asuransi Pasal 1313 KUH Perdata menyatakan bahwa sesuatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Menurut Subekti, perjanjian adalah suatu peristiwa yang seorang berjanji kepada seseorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Unsur yang menjadi para pihak dalam suatu perjanjian, kata “orang” dalam pasal 1313 KUH Perdata tersebut, tidak semata mata diartikan “orang per orang” sebagaimana dalam pasal 1792 KUH Perdata tetapi juga “pihak” yakni orang dengan orang, badan dengan orang dan badan dengan badan. Perjanjian asuransi disebutkan sebagai sebuah perjanjian dimana atas imbalan sejumlah premi yang telah disepakati, satu pihak menyanggupi untuk memberikan ganti rugi kepada pihak yang lain atas subyek tertentu sebagai akibat dari bahaya tertentu. 134 3. Sahnya Perjanjian Asuransi Pasal 1320 KUH Perdata menyatakan bahwa terdapat empat syarat sahnya suatu perjanjian yaitu sepakat mereka yang mengikatkannya, adanya kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Ketentuan tersebut dapat dibandingkan dengan elemen elemen perjanjian asuransi pada umumnya yaitu: offer and acceptance, consideration, legal object, competent parties dan legal form. 4. Pengalihan Resiko Dasar hukum perjanjian asuransi sebagaimana diatur dalam Pasal 1774 KUH Perdata menggolongkan perjanjian asuransi kedalam perjanjian untung untungan semata atau bertujuan spekulatif. Sedangkan perjanjian asuransi mempunyai tujuan yang lebih pasti yaitu pengalihan risiko. Namun dengan dimasukkannya asuransi kedalam KUH Dagang menjadikan asuransi sebagai perbuatan ekonomi yang sah oleh hukum dan pengakuan sah tersebut telah diatur dalam berbagai undang undang diluar KUH Dagang antara lain Undang Undang Nomor 2 Tahun 1912 tentang Usaha Perasuransian yang telah diubah dengan Undang Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian.
Lahirnya Perjanjian Asuransi Menurut pasal 1233 KUH Perdata, suatu perikatan dapat dilahirkan karena persetujuan maupun karena undang undang. Asuransi komersial adalah suatu perjanjian yang lahir karena persetujuan dan dapat lahir karena undang undang. Sedangkan asuransi sosial dan jaminan sosial lahir karena undang undang.
Pengertian Asuransi menurut KUH Dagang Robert Bradgate mengatakan dalam konteks industri asuransi di Inggris dan berbagai peraturan yang berlaku disana dan preseden yang ada, karena begitu luasnya risiko yang dapat ditanggung oleh asuransi, penggunaan definisi “asuransi” dapat dipertanyakan walaupun untuk tujuan tujuan tertentu sebuah definisi mungkin bermanfaat. Pertama , mereka yang menjalankan usaha perasuransian harus tunduk kepada peraturan perundang-undangan tertentu. Kedua, beberapa ketentuan hukum tertentu tidak berlaku terhadap perjanjian asuransi. Ketiga, meskipun perjanjian 135 asuransi adalah sebuah perjanjian yang akan tunduk kepada ketentuan perundang-undangan yang umum atas suatu perjanjian, sejumlah ketentuan khusus berlaku atas perjanjian asuransi (dalam sistem common law ) 7. Pasal 247 & 268 KUH Dagang Meskipun pasal 247 KUH Dagang membatasi asuransi hanya merupakan asuransi terhadap bahaya kebakaran, asuransi pertanian, asuransi jiwa, asuransi pengangkutan laut, darat dan sungai namun pasal 268 KUH Dagang menyebutkan suatu pertanggungan dapat mengenai segala kepentingan yng dapat dinilai dengan uang, dapat diancam oleh sesuatu bahaya dan tidak dikecualikan oleh undang undang. 8. Perkembangan Suretyship dan Surety Bond di Indonesia Bidang usaha yang memberikan jaminan dalam bentuk surety bond bukan merupakan bidang usaha yang baru. Luther E. Mackall dalam bukunya “Security Underwriting Manual” menyebutkan bahwa sudah sejak berabad- abad yang lalu ketika mulainya zaman peradaban, seseorang menyediakan diri bagi kawan kawannya sebagai penjamin kepada pihak ketiga yang berhubungan dengan kewajibannya dengan atau tanpa suatu imbalan (Sianipar, 2000). Setelah zaman berganti maka timbulah badan-badan hukum yang didirikan untuk menampung resiko tersebut. Tercatat Amerika Serikat pada tahun 1837, William L. Watkins mengeluarkan pamflet yang mengusulkan pembentukan The New York Guarantee Company. Di Negeri Belanda tepatnya di Amsterdam berdiri N.V. Nationale Borg Maatsccappij pada tahun 1893. Kemudian Pemerintah Amerika Serikat pada tahun 1894 secara resmi mengakui pemberian jaminan oleh perusahaanperusahaan Surety Bonds Corporation yang sudah berdiri di Amerika Serikat (Sianipar, 2000). Seperti diketahui khususnya dalam asuransi kerugian terdapat jenis-jenis asuransi, seperti asuransi kebakaran, asuransi kendaraan, asuransi pengangkutan, asuransi kecelakaan, asuransi rekayasa, asuransi properti, asuransi tanggung jawab hukum serta asuransi jaminan (surety) Bila dikaitkan dengan surety bond maka pengertian surety bond erat terkait dengan asuransi tanggung jawab hukum dan asuransi jaminan. 136 Di Indonesia sebelum tahun 1978 lembaga jaminan yang mirip surety bond selama ini adalah bank garansi. Barulah pada tanggal 6 Desember 1978 pemerintah memberi peluang melalui Peraturan pemerintah RI, No.34 tahun 1978 untuk Asuransi Kerugian Jasa Raharja melakukan perluasan usahanya dari asuransi wajib di bidang pertanggungan wajib kecelakaan penumpang umum dan kecelakaan lalulintas jalan. Adapun perluasan usaha yang dimaksud adalah pemberian jaminan dalam bentuk surety bond. Ketentuan diatas kini tidak berlaku setelah dikeluarkannya Kepres No. 18 tahun 2000 yang mengatur tentang pedoman pelaksanaan pengadaan barang dan jasa instansi pemerintah. Kepres ini kemudian dilengkapi dengan Keputusan Bersama Menteri Keuangan RI dan Kepala Bappenas No. S-42/A/2000 dan No. S-2262/D.2/05/2000 tertanggal 3 Mei 2000, Isi Keputusan Bersama Menteri tersebut menegaskan bahwa perusahaan asuransi harus dari perusahaan asuransi yang mempunyai program asuransi kerugian (surety bonds) dan harus direasuransikan kepada perusahaan asuransi/reasuransi yang bonafid (Sianipar, 2000). Walaupun langkah untuk memperkenalkan dan mendukung penggunaan produk Surety Bond tersebut telah dilakukan oleh pemerintah antara lain melalui Keppres No. 18 Tahun 2000, tentu saja kesuksesan perusahaan asuransi dalam memasarkan produk penjaminan atau penanggungan tersebut akan sangat ditentukan oleh kepastian pembayaran oleh pihak asuransi itu sendiri sebagai penjamin atau yang lebih dikenal dengan Surety. Sebagai contoh, proyek-proyek yang dibiayai oleh pemerintah yang penawaran pengerjaannya kepada para kontraktor selalu dilakukan melalui tender berdasarkan Keppres No.18 tahun 2000 yang pada umumnya selalu mensyaratkan adanya jaminan (tender bond) dari kontraktor yang memenangkan tender tersebut terhadap kepastian kemampuan dan kualitas dari pelaksanaan proyek yang dimenangkannya tersebut sesuai dengan perjanjian yang disepakati. Begitu pula bila pihak pemberi kerja disepakati untuk terlebih dahulu memberikan uang muka kepada kontraktor untuk memulai pekerjaannya, umumnya pemberi kerja akan memproteksi dirinya dengan meminta jaminan (advance bond) terhadap resiko kerugian bila kontraktor yang telah menerima uang muka tersebut ternyata tidak melaksanakan pengerjaan proyek tersebut seperti yang disepakati. 137 Menteri Keuangan sebagai pengawas dan pembina usaha perasuransian di Indonesia, telah menyadari bahwa konsekuensi hukum dari penerbitan surety bond tersebut tidaklah mudah. Oleh karena itu, ijin untuk menerbitkan surety bond dibatasi secara ketat dan pada awalnya Kepres No. 14A tahun 1980 hanya diberikan pada PT. Persero Asuransi Jasa Raharja, yang dalam perkembangannya kemudian ijin penerbitan tersebut melalui Keputusan Menteri Keuangan RI (KMK RI) No. 761/KMK.013/1992 diperluas kepada 20 perusahaan asuransi, yang kemudian berdasarkan Surat Direktur Asuransi No. S 2272/DK/ 2001 tanggal 16 Mei 2001 yang ditujukan ke Pertamina menyatakan adanya 22 perusahaan asuransi yang berhak untuk menerbitkan surety bond. Surety Bond merupakan suatu produk inovatif yang ditawarkan oleh perusahaan asuransi sebagai upaya pengambilalihan potensi resiko kerugian yang mungkin dapat dialami oleh salah satu pihak, umumnya pemilik proyek ( bouheer) atas kepercayaan yang diberikan kepada pihak lain ( kontraktor) dalam pelaksanaan kontrak pemborongan yang telah disepakati oleh mereka. Jaminan tertulis tersebut secara hukum akan menimbulkan kewajiban bagi perusahaan asuransi selaku penjamin (surety) terhadap pihak penerima jaminan ( obligee/Kreditur) sebagai konsekuensi terhadap wanprestasi dari pihak yang dijamin ( principal/ debitu r) tersebut. Perbedaan Suretyship dan Asuransi No. Surety Bond Asuransi 1. Perjanjian Tanggung Renteng/Suretyship (Pasal 1313 KUH Perdata) dan Perjanjian Pertanggungan (Pasal 246 dst KUH Dagang) Perjanjian Pertanggungan (Pasal 246 KUH Dagang dst) 2. Para pihak terdiri dari Principal, Obligee dan Surety company Para Pihak terdiri dari Penanggung dan Tertanggung 3. Menjamin resiko baik yang berasal dari luar dan dari dalam principal (itikad/moral buruk) Para Pihak terdiri dari Penanggung dan Tertanggung 4. Premi dianggap sebagai biaya pelayanan (provisi/ service charge ) Premi dihimpun dari para tertanggung untuk membayar ganti rugi yang mungkin terjadi 5. Perjanjian suretyship bersifat unconditional, artinya Surety wajib membayar claim sebesar yang diperjanjikan. Misalkan Perjanjian Asuransi bersifat Conditional, artinya Asuransi hanya membayar claim yang 138 diperjanjikan bila principal gagal melaksanakan kontrak konstruksi maka claim surety harus dibayar Rp1 miliar. Ternyata Obligee gagal padahal dia sudah mengerjakan dengan biaya Rp500 juta. Maka pencairan kepada obligee tetap Rp1 miliar. benar-benar diderita Tertanggung, misalnya pertanggungan kebakaran Rp1 Miliar tapi terjadi kebakaran sebagian, maka asuransi hanya membayar claim Rp500 juta 6. Claim dibayar setelah principal dinyatakan gagal. Claim dibayar setelah diketahui penyebab yang dijamin dalam polis 9. Norma-norma UU 1/2016 tentang Penjaminan, UU 21/2011 tentang OJK dan UU Nomor 40/2014 tentang Perasuransian Beberapa norma hukum yang berlaku pada ketiga undang undang dimana eko sistem lini usaha suretyship berada dapat dikemukakan sebagai berikut: Aspek Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian Asas Penyelenggaraan usaha penjaminan berdasarkan asas kepentingan nasional; kepastian hukum; keterbukaan; akuntabilitas; profesionalisme; efisiensi berkeadilan; edukasi dan perlindungan konsumen (Pasal 2) Lembaga independen yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas dari campur tangan pihak lain, kecuali secara tegas diatur dalam UU ini (Pasal 2 ayat (1)) Tata kelola usaha yang baik (Pasal 11 ayat (1)) perusahaan perasuransian wajib menerapkan standard perilaku usaha (Pasal 26) Tujuan Bertujuan menunjang kebijakan Agar seluruh kegiatan sektor jasa keuangan Untuk menciptakan industri perasuransian yang 139 pemerintah, mendorong kemandirian usaha; meningkatkan akses bagi dunia usaha; mendorong pertumbuhan pembiayaan; meningkatkan kemampuan produksi nasional; mendukung pertumbuhan perekonomian nasional; meningkatkan tingkat inklusivitas keuangan nasional (Pasal 3) terselenggara secara teratur, adil, transparan dan akuntabel; mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat (Pasal 4) lebih sehat, dapat diandalkan, amanah dan kompetitif serta meningkatkan perannya dalam mendorong pembangunan nasional (Penjelasan) Pengawasan Lembaga penjaminan wajib menerapkan tata kelola perusahaan yang baik; wajib menjaga kondisi kesehatan keuangan (Pasal 26) Berwenang menetapkan kebijakan operasional, melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan memberikan perintah tertulis; menetapkan penggunaan pengelola statuter; menetapkan sanksi administratif; memberikan dan mencabut izin usaha/ izin orang Wajib menerapkan tata kelola perusahaan yang baik (Pasal 11 ayat (1)); anggota direksi, dewan komisaris atau yang setara wajib memenuhi persyaratan kemampuan dan kepatutan (Pasal 11) 140 perorangan/ efektifnya pernyataan pendaftaran (Pasal 9) Reasuransi Lembaga penjaminan wajib melakukan mitigasi risiko dan mereasuransikan (Pasal 42 ayat (1)) n.a Menteri Keuangan menetapkan kebijakan umum dalam rangka pengembangan pemanfaatan asuransi dan reasuransi untuk mendukung perekonomian nasional (Pasal 57 ayat (2)) Klaim Lembaga penjaminan wajib memiliki cadangan klaim dan cadangan umum (Pasal 44) n.a Perusahaan asuransi wajib menjadi peserta program penjaminan polis (Pasal 53 ayat (1)) Retensi Sendiri Lembaga penjaminan wajib memiliki retensi sendiri (Pasal 49) n.a Wajib mengoptimalkan pemanfaatan kapasitas asuransi dalam negeri (Pasal 36) Penyelesaian Sengketa Dilakukan secara musyawarah mufakat; melalui lembaga alternatif penyelesaian sengketa (Pasal 54 ayat (1) dan (2)); kesepakatan Memfasilitasi penyelesaian pengaduan konsumen mediasi (Pasal 29c) 141 bersifat final dan mengikat Ketentuan Penutup Semua ketentuan mengenai penjaminan dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UU ini (Pasal 63) UU No. 2/1992 tentang Usaha Perasuransian; UU No. 7/1992 tentang Perbankan; UU No. 11/1992 tentang Dana Pensiun; UU No. 8/1995 tentang Pasar Modal; UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia; UU No. 21/2008 tentang Perbankan Syariah dan peraturan UU lain di sektor keuangan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangdan belum diganti berdasarkan UU ini (Pasal 70) UU No. 2/1992 tentang Usaha Perasuransian dicabut dan dinyatakan tidak berlaku (Pasal 90a); semua peraturan pelaksanaan dari UU No. 2/1992 dinyatakan masih berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UU ini (Pasal 90c) 10. Kesimpulan Keteterangan Ahli Berdasarkan uraian tersebut diatas Ahli berkesimpulan sebagai berikut:
Asuransi lahir dan tumbuh sebagai hasil dari perikatan antara kedua pihak atau lebih subjek hukum baik perorangan maupun badan hukum dan sebagai hasil dari undang undang yang mengatur berbagai kehidupan ekonomi masyarakat.
Bahwa sejarah asuransi di dunia maupun di dalam negeri bertujuan untuk membagi dan mengalihkan risiko demi menjaga stabilitas keuangan anggota masyarakat pada khususnya dan kesejahteraan bangsa dan negara pada umumnya. 142 c. Bahwa sejak berdirinya industri asuransi nasional bertekad untuk bekerjasama memberikan sumbangan yang bermanfaat bagi perekonomian nasional, mengatasi sisa sisa sistem perekonomian kolonial dan peningkatan kesadaran berasuransi d. Bahwa lini usaha suretyship telah menjadi praktik bisnis perasuransian yang ditekuni sejumlah pelaku jasa keuangan asuransi dibawah pengaturan dan pengawasan Otoritas Jasa Keuangan yang melakukan pengawasan secara terintegrasi seluruh sektor jasa keuangan termasuk penjaminan. [2.7] Menimbang bahwa Pemohon, Presiden, dan Pihak Terkait menyerahkan kesimpulan tertulis yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 17 September 2020 dan 18 September 2020 yang pada pokoknya tetap pada pendiriannya. [2.8] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, segala sesuatu yang terjadi di persidangan merujuk berita acara persidangan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini.
PERTIMBANGAN HUKUM Kewenangan Mahkamah [3.1] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 216, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6554, selanjutnya disebut UU MK), dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076), Mahkamah berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang- Undang terhadap UUD 1945. 143 [3.2] Menimbang bahwa oleh karena permohonan Pemohon adalah permohonan untuk menguji konstitusionalitas norma undang-undang, in casu Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618, selanjutnya disebut UU 40/2014) terhadap UUD 1945, maka Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo . Kedudukan Hukum Pemohon [3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang, yaitu:
perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama);
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
badan hukum publik atau privat; atau
lembaga negara; Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan terlebih dahulu:
kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK;
ada tidaknya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian dalam kedudukan sebagaimana dimaksud pada huruf a; [3.4] Menimbang bahwa Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 tanggal 20 September 2007 serta putusan-putusan selanjutnya, telah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu: 144 a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh para Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab-akibat antara kerugian dimaksud dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; [3.5] Menimbang bahwa berdasarkan uraian ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK dan syarat-syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana diuraikan di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan kedudukan hukum Pemohon sebagai berikut:
Bahwa norma undang-undang yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo adalah Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014 yang rumusannya adalah, (1) Ruang Lingkup Usaha Asuransi Umum dan Usaha Asuransi Jiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Usaha Asuransi Umum Syariah dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat;
...
Bahwa Pemohon adalah Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) yaitu badan hukum perkumpulan yang para anggotanya adalah perusahaan- perusahaan yang bergerak di bidang perasuransian (Badan Hukum Privat) yang dalam hal ini diwakili oleh Ketua Dewan Pengurus Pusat AAUI, Wakil Ketua, Bendahara Dewan Pengurus Pusat AAUI, dan Direktur Eksekutif Dewan Pengurus Pusat AAUI, dan berdasarkan Akta Nomor 02 Pernyataan Keputusan Kongres Asosiasi Asuransi Umum Indonesia tentang Perubahan Anggaran Dasar, tanggal 4 Desember 2018 [vide bukti P-6] yang selanjutnya menyatakan bahwa pihak yang dapat bertindak untuk dan atas nama AAUI berdasarkan Pasal 14 dan berwenang menghadap ke pengadilan atas nama Organisasi AAUI berdasarkan Pasal 18 angka 2 adalah Dewan Pengurus Pusat yang 145 sekurang-kurangnya terdiri dari satu orang Ketua, satu orang Wakil Ketua, satu orang Bendahara, dan satu orang Direktur Eksekutif, dan Akta tersebut selanjutnya disahkan dengan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor AHU-0000962.AH.01.08 Tahun 2018 tentang Persetujuan Perubahan Badan Hukum Perkumpulan Perkumpulan Asosiasi Asuransi Umum Indonesia Dalam Bahasa Inggris Disebut General Insurance Association of Indonesia, tertanggal 18 Desember 2018, yang pada pokoknya menyebutkan nama-nama susunan pengurus dan pengawas AAUI [vide bukti P-13];
Bahwa Pemohon sebagai badan hukum privat perkumpulan yang berazaskan Pancasila dan berlandaskan UUD Negara Republik Indonesia serta sesuai dengan ketentuan Pasal 6 Anggaran Dasar, didirikan dengan tujuan mewakili kepentingan para anggota AAUI sebagai asosiasi nirlaba yang dibentuk dalam rangka memajukan industri asuransi umum dan reasuransi di Indonesia dengan menciptakan iklim usaha yang kondusif, penegakan etika berusaha dalam tatanan percaturan pasar global [vide bukti P-6];
Bahwa berdasarkan sertifikat keanggotaan [vide Bukti P-9], saat ini terdapat 45 perusahaan asuransi yang menjadi anggota Pemohon yang telah menjalankan bidang usaha suretyship berdasarkan izin dari pihak OJK [vide Bukti P-10];
Bahwa Pemohon menjelaskan suretyship yang __ telah dijalankan sebagai terobosan produk asuransi, dan prakteknya telah berlangsung lama tidak secara tegas dinormakan Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014 sehingga bertentangan dengan prinsip kepastian hukum yang adil dan menimbulkan kerugian atau potensial menimbulkan kerugian tidak hanya kepada para anggota dari Pemohon namun juga perusahaan asuransi lainnya yang menjalankan lini usaha suretyship, bahkan telah mengancam lini usaha suretyship yang sudah dijalankan selama puluhan tahun, yang manfaatnya dirasakan bagi pembangunan nasional;
Bahwa Pemohon juga menerangkan Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014 juga telah menyebabkan kerugian bagi anggota Pemohon karena beragam produk yang lahir dan dikembangkan anggota Pemohon dari bidang usaha suretyship seperti jaminan penawaran (bid bond) , jaminan pelaksanaan (performance bond) , jaminan uang muka (advance payment bond) , jaminan pemeliharaan (maintenance bond) , jaminan pembayaran serta jaminan kepabeanan (custom bond), __ secara potensial tidak lagi dapat dilakukan, padahal produk tersebut 146 sangat dibutuhkan untuk menjamin kelangsungan proyek pembangunan dengan skala yang besar baik di bidang konstruksi maupun non konstruksi;
Bahwa oleh karenanya menurut Pemohon, kehadiran Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014 dengan cara langsung maupun tidak langsung potensial pasti merugikan berbagai macam usaha-usaha yang sudah dilakukan secara terus- menerus oleh Pemohon dalam rangka menjalankan tugas dan peranannya untuk memajukan industri asuransi umum dan reasuransi di Indonesia dengan menciptakan iklim usaha yang kondusif, penegakan etika berusaha dalam tatanan percaturan pasar global. Oleh karenanya, norma Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014 yang diajukan dalam Permohonan ini secara faktual atau setidak- tidaknya potensial telah merugikan hak konstitusional Pemohon yang diakui, dijamin, dan dilindungi UUD 1945; Berdasarkan penjelasan Pemohon dalam menerangkan kedudukan hukumnya berkenaan dengan pengujian Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014, Pemohon menyatakan diri sebagai asosiasi yang berbentuk badan hukum yang potensial dirugikan hak konstitusionalnya dengan berlakunya undang-undang a quo, dan Pemohon telah pula menjelaskan kedudukannya di dalam asosiasi tersebut dengan melampirkan ketentuan yang menyatakan pihak yang dapat mewakili asosiasi tersebut untuk bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan. Oleh karena itu menurut Mahkamah berkaitan dengan kedudukan hukum dalam mengajukan permohonan a quo Pemohon telah dapat membuktikan bahwa Pemohon adalah subjek hukum yang dapat mengajukan permohonan a quo dan Pemohon juga telah dapat menjelaskan adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara anggapan kerugian konstitusional yang bersifat potensial yang dialami dengan berlakunya norma dari pasal yang dimohonkan pengujian. Dengan demikian terlepas dari terbukti atau tidaknya dalil permohonan Pemohon perihal pertentangan norma UU 40/2014 yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo, Mahkamah berpendapat, Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan a quo. [3.6] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo dan Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan a quo, maka selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan Pemohon. 147 Pokok Permohonan [3.7] Menimbang bahwa dalam mendalilkan inkonstitusionalitas Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014, Pemohon mengemukakan argumentasi sebagaimana selengkapnya telah dimuat dalam bagian Duduk Perkara yang pada pokoknya sebagai berikut:
Bahwa, menurut Pemohon, pemberian penjaminan di Indonesia saat ini dilayani oleh industri yang berbeda-beda, antara lain, industri perbankan terdapat bank umum yang dapat menerbitkan produk bank garansi. Selain itu, lembaga pembiayaan ekspor Indonesia atau Exim Bank yang juga menerbitkan bank garansi. Berikutnya, perusahaan penjaminan yang menerbitkan surety bond dan industri perasuransian dengan perusahaan asuransi umum yang menerbitkan produk _suretyship; _ 2. Bahwa, menurut Pemohon, dalam konteks peraturan perundang-undangan Indonesia, eksistensi lembaga perbankan dalam menjalankan usaha bank garansi diakomodir secara tegas melalui Undang Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (UU 7/1992) jo. Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (UU 10/1992). Demikian pula dengan perusahaan penjaminan dalam menjalankan lini usaha surety bond telah diatur secara eksplisit dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan (UU 1/2016);
Bahwa, menurut Pemohon, konsep suretyship merupakan salah satu bentuk konsep pertanggungan yang diatur dalam Pasal 1316 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Kegiatan pertanggungan itu sendiri diantaranya meliputi pertanggungan biasa, bank garansi, serta suretyship . Pada dasarnya, jika dibandingkan antara suretyship dengan bank garansi, misalnya, maka keduanya memiliki fungsi yang sama sebagai pertanggungan pelaksanaan proyek, meski masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda. Namun, secara historis sebenarnya perusahaan-perusahaan asuransi telah menjalankan lini usaha suretyship sejak tahun 1978 bahkan pengaturannya telah dituangkan dalam berbagai macam bentuk perundang-undangan;
Bahwa, menurut Pemohon, dalam perkembangannya, ketika ketentuan yang mengatur asuransi secara khusus (lex specialis) diterbitkan melalui Undang- Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (UU 2/1992) 148 hingga UU 40/2014, suretyship masih juga belum diatur secara eksplisit dalam UU a quo , walaupun dalam Pasal 1 angka 4 UU 40/2014 memang disebutkan jasa pertanggungan atau pengelolaan resiko yang bisa saja termasuk makna suretyship, namun tetap saja ruang lingkup lini usaha yang diakui sebagai lini usaha perusahaan asuransi adalah seperti yang ditegaskan pada Pasal 2 dan Pasal 3 UU 40/2014;
Bahwa, menurut Pemohon, tampak dengan jelas, Pasal 2 dan Pasal 3 UU 40/2014 justru membatasi lini usaha asuransi. Sementara, status suretyship kendati masuk dalam kategori lini usaha yang dapat diperluas menurut Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014 dengan Peraturan OJK, namun perluasan dalam pasal tersebut tidak secara tegas menyebutkan lini usaha _suretyship; _ 6. Bahwa, menurut Pemohon, muncul persoalan ketidaksesuaian pembentukan norma dengan adanya Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) UU 1/2016 yang dipastikan menjadi penghalang tidak dapat dilaksanakannya lini usaha suretyship oleh perusahaan asuransi. Selain itu adanya ketidaksesuaian pembentukan norma semakin nampak dengan berlakunya undang-undang lain yang lahir kemudian yaitu Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi (UU 2/2017), suretyship diakui sebagai salah satu lini usaha perusahaan asuransi, selain juga menegaskan adanya lembaga perbankan, dan/atau perusahaan penjaminan seperti yang ditegaskan dalam Pasal 57 ayat (4) UU 2/2017;
Bahwa, menurut Pemohon, Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 serta bersifat multitafsir serta tidak memiliki ukuran yang jelas apa yang dimaksud dengan “dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat”. Keadaan ini telah menimbulkan ketidakpastian hukum bagi para anggota Pemohon untuk menjalankan lini usahanya. Hal ini ditambahkan dengan tidak adanya penjelasan dalam UU a quo mengenai apa yang dimaksud dalam pasal a quo, padahal sejak awal suretyship adalah merupakan lini usaha dari perusahaan asuransi, kemudian terbit UU 1/2016 yang tidak membenarkan suretyship dilakukan oleh perusahaan asuransi, namun terbit lagi UU 2/2017 dan Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Perpres 16/2018) yang membenarkan suretyship dilakukan oleh perusahaan asuransi _; _ 149 8. Bahwa, menurut Pemohon, Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014 berpotensi membatasi hak Pemohon untuk turut serta dalam perekonomian nasional yang diselenggarakan berdasarkan atas prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, dan berkelanjutan. Apalagi dengan berlakunya Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) UU 1/2016 yang dapat menegasikan kontribusi perusahaan asuransi yang selama ini telah turut serta memberi jaminan bagi berjalannya proyek-proyek tersebut melalui lini usaha suretyship . Jika suretyship tidak dapat dilakukan oleh perusahaan-perusahaan asuransi dipastikan akan menghambat kelanjutan pembangunan nasional sekaligus terhalangnya proyek pembangunan pemerintah;
Bahwa, menurut Pemohon, untuk mengisi kekosongan hukum akibat tidak adanya kepastian hukum pengaturan mengenai suretyship tersebut, Mahkamah Konstitusi diharapkan untuk membentuk norma hukum baru sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 48/PUU-IX/2011 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010;
Bahwa berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, Pemohon selanjutnya memohon agar Mahkamah menyatakan Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum tetap sepanjang tidak dimaknai “Ruang lingkup Usaha Asuransi Umum dan Usaha Asuransi Jiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Usaha Asuransi Umum Syariah dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) dapat diperluas termasuk lini usaha suretyship sesuai dengan kebutuhan masyarakat .” [3.8] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalil permohonannya, Pemohon telah mengajukan bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-13 dan dua orang ahli bernama Prof. Susi Dwi Harijanti, S.H., L.L.M., Ph.D. dan Dr. Kornelius Simanjuntak, S.H., M.H., AAIK., yang masing- masing telah didengar keterangannya dalam persidangan dan telah dibaca keterangan tertulisnya, serta dua orang saksi bernama Tjindra Parma Wignyoprayitno, S.H., M.H., dan Ir. Manahara R. Siahaan yang masing-masing telah didengar keterangannya dalam persidangan. Di samping itu Pemohon juga telah menyampaikan kesimpulan yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 18 September 2020 (sebagaimana selengkapnya termuat pada bagian Duduk Perkara). 150 [3.9] Menimbang bahwa Dewan Perwakilan Rakyat telah memberikan keterangan lisan dalam persidangan pada tanggal 13 Juli 2020 dan dilengkapi dengan keterangan tertulis yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 27 Agustus 2020 (sebagaimana selengkapnya termuat pada bagian Duduk Perkara). [3.10] Menimbang bahwa Presiden pada tanggal 3 Maret 2020 telah memberikan keterangan lisan dan dilengkapi dengan keterangan tertulis yang diterima dalam persidangan, serta keterangan tertulis tambahan yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 13 Juli 2020. Di samping itu Presiden juga telah menyampaikan kesimpulan yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 17 September 2020 (sebagaimana selengkapnya termuat pada bagian Duduk Perkara). [3.11] Menimbang bahwa Pihak Terkait Otoritas Jasa Keuangan pada tanggal 22 Juni 2020 telah memberikan keterangan lisan dan dilengkapi dengan keterangan tertulis yang diterima dalam persidangan, serta keterangan tertulis tambahan yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 13 Juli 2020. Di samping itu Pihak Terkait juga telah menyampaikan kesimpulan yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 18 September 2020 (sebagaimana selengkapnya termuat pada bagian Duduk Perkara). [3.12] Menimbang bahwa untuk kepentingan Mahkamah, dalam persidangan tanggal 10 September 2020, Mahkamah telah menghadirkan satu orang ahli bernama Irvan Rahardjo, S.E., M.M. yang keterangan tertulisnya telah diterima Mahkamah pada tanggal 10 September 2020 dan keterangannya telah didengar dalam persidangan sebagaimana tersebut di atas (sebagaimana selengkapnya termuat pada bagian Duduk Perkara). [3.13] Menimbang bahwa setelah membaca secara saksama permohonan Pemohon beserta bukti-bukti yang diajukan, baik bukti tertulis dan keterangan para ahli serta saksi yang diajukan Pemohon, serta kesimpulan Pemohon, keterangan DPR, keterangan dan kesimpulan Presiden, keterangan dan kesimpulan Pihak Terkait, dan keterangan ahli yang dihadirkan oleh Mahkamah, selanjutnya Mahkamah mempertimbangkan dalil-dalil permohonan Pemohon sebagai berikut: 151 [3.13.1] Bahwa persoalan utama yang dipermasalahkan oleh Pemohon adalah konstitusionalitas norma Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014 yang mengatur ruang lingkup kegiatan usaha perusahaan asuransi dengan tidak mencantumkan secara tegas kegiatan suretyship, padahal lini usaha suretyship sejak awal telah diterbitkan oleh perusahaan asuransi, namun saat ini tidak diakomodir di dalam UU 40/2014, selain itu, menurut Pemohon Pasal 61 UU 1/2016 telah menghalangi perusahaan asuransi dalam menjalankan lini usaha _suretyship; _ [3.13.2] Bahwa berkaitan dengan dalil pokok permohonan Pemohon tersebut di atas, sebelum Mahkamah mempertimbangkan lebih jauh, penting bagi Mahkamah untuk mempertimbangkan hal-hal sebagaimana diuraikan di bawah ini. Bahwa perkembangan asuransi di Indonesia menunjukkan angka kemajuan yang cukup baik selama beberapa tahun belakangan ini. Hal tersebut dapat dilihat dengan semakin banyaknya perusahaan asuransi yang tumbuh, di mana semakin hari semakin banyak nasabah yang menggunakan jasa layanan asuransi dengan berbagai varian di dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan data yang ada hingga Desember 2019 , usaha asuransi dengan lini usaha kredit dan suretyship saja __ yang dilakukan oleh 42 perusahaan asuransi umum menerima pendapatan premi sebesar Rp1,59 triliun atau 1,98% dari total pendapatan premi dari seluruh lini usaha asuransi umum. Dari 42 perusahaan asuransi umum tersebut terdapat 3 perusahaan asuransi umum yang mendapatkan lebih dari 30% pendapatan preminya yang bersumber dari usaha suretyship (vide kesimpulan OJK dalam perkara a quo pada hlm. 28). Bahwa berdasarkan contoh data tersebut tentu saja hal ini menunjukkan variabel yang dapat menjadi ukuran besarnya peluang adanya sebuah keuntungan tersendiri bagi perusahaan yang menyediakan layanan asuransi. Peluang yang dimiliki oleh perusahaan asuransi akan semakin luas, baik pasar yang bisa diolah dan dijadikan sebagai sasaran penjualan produk yang mereka miliki maupun jenis produk asuransi yang dibutuhkan masyarakat. Dengan kata lain, kebutuhan akan jenis asuransi akan selalu beriringan dengan perkembangan kebutuhan masyarakat yang dinamikanya cukup cepat, terutama di dalam mengantisipasi hal- hal yang berkenaan dengan kualitas hidup masyarakat. Bahwa oleh karena itu selain tuntutan untuk selalu meningkatkan pelayanan kepada para nasabahnya, perusahaan asuransi juga harus melakukan inovasi di 152 dalam mengembangkan varian lini usaha dengan berbagai jenis usaha untuk bisa memperluas dan memajukan bisnis yang mereka jalankan dalam industri perasuransian. Salah satu langkah yang dilakukan adalah dengan cara mengeluarkan berbagai produk baru dan lebih inovatif bagi nasabahnya. Bahkan saat ini, produk asuransi tidak hanya terbatas pada jenis asuransi jiwa dan asuransi kesehatan saja, karena pada dasarnya kedua produk inilah yang paling banyak dibutuhkan oleh masyarakat luas. Dalam perkembangan selanjutnya, perusahaan asuransi juga mengeluarkan berbagai macam produk yang bisa dipilih dan digunakan sesuai dengan kebutuhan nasabah dan ada banyak jenis produk asuransi yang bisa dipilih oleh nasabah pengguna asuransi, antara lain: asuransi kesehatan, asuransi dana pendidikan, asuransi dana pensiun, asuransi kendaraan bermotor, asuransi properti, hingga asuransi dengan lini usaha surety bond serta beragam jenis asuransi lainnya. Dengan banyaknya produk yang dikeluarkan oleh perusahaan asuransi, maka akan banyak pilihan dan juga pertimbangan yang bisa diambil oleh nasabah yang akan menggunakan asuransi tersebut. Hal ini juga menciptakan perusahaan dengan kualitas persaingan yang baik di antara perusahaan penyedia layanan asuransi, sehingga industri asuransi akan memberikan layanan terbaik di dalam menawarkan produknya. Lebih lanjut berkaitan dengan asuransi suretyship atau surety bond secara universal dapat dijelaskan produk suretyship atau surety bond sejak diakui keberadaannya di Indonesia yaitu pada tahun 1978, kewenangan/hak untuk melaksanakan, memasarkan, menjual dan menerbitkan lini usaha surety bond adalah perusahaan asuransi umum atau asuransi kerugian pada awalnya diberikan kepada PT Jasa Raharja Persero melalui Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1978 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1965 tentang Pendirian Perusahaan Umum Asuransi Kerugian Jasa Raharja. Selanjutnya pada Tahun 1980 melalui Keputusan Presiden Nomor 14A Tahun 1980 tentang Pengadaan Barang dan Jasa kembali ditegaskan bahwa yang dapat menerbitkan surety bond adalah Asuransi Kerugian PT Jasa Raharja Persero sebagai Lembaga Keuangan Non Bank atau LKNB. Namun dalam perkembangannya, persisnya pada tahun 1992 perusahaan-perusahaan asuransi yang membidangi kegiatan usaha menjamin kerugian (umum) meminta kepada Pemerintah, in casu Kementerian Keuangan, agar pelaksanaan asuransi yang 153 mempunyai lini usaha surety bond tidak dilakukan monopoli oleh perusahaan asuransi kerugian PT Jasa Raharja Persero. Bahwa selanjutnya, melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (UU 2/1992), kepada perusahaan-perusaan asuransi kerugian diberikan izin untuk melaksanakan lini usaha asuransi di bidang surety bond . Konsekuensinya PT Jasa Raharja Persero dikembalikan fungsi dan tugas pokoknya, yaitu melaksanakan asuransi khusus yang menangani dana pertanggungan wajib kecelakaan penumpang, sebagaimana diatur dalam Undang- Undang Nomor 33 Tahun 1964 dan juga asuransi dana kecelakaan lalu lintas jalan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1964. Bahwa berdasarkan perjalanan historis sebagaimana diuraikan di atas, terhadap asuransi dengan lini usaha suretyship atau surety bond telah berjalan di Indonesia hingga saat ini sudah kurang lebih 42 tahun sejak diperkenalkan meskipun secara faktual terhadap asuransi kerugian atau umum baru diberikan izin oleh Kementerian Keuangan untuk menjalankan lini usaha suretyship atau surety bond setelah berlakunya UU 2/1992. Dengan demikian asuransi dengan lini usaha suretyship atau surety bond telah mendapat pengakuan dan juga kesempatan untuk dijalankan oleh perusahaan asuransi kerugian (umum) hingga saat ini. [3.13.3] Bahwa berkaitan dengan asuransi dengan lini usaha suretyship atau surety bond, menurut Mahkamah penting juga untuk menyamakan persepsi antara pengertian suretyship atau surety bond di mana berdasarkan fakta hukum yang diperoleh di persidangan, bahwa suretyship adalah istilah yang digunakan untuk salah satu jenis lini usaha yang bersifat generik, sedangkan surety bond adalah jenis produknya. Sementara itu pengertian suretyship adalah “lini usaha asuransi umum yang memberikan jaminan atas kemampuan Principal dalam melaksanakan kewajiban sesuai perjanjian pokok antara Principal dan Obligee ” __ [vide Pasal 1 angka 3 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 124/PMK.010/2008 tentang Penyelenggaraan Lini Usaha Asuransi Kredit dan Pasal 1 angka 23 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 69/POJK.05/2016 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah (POJK 69/POJK.05/2016)]; Selanjutnya berkenaan dengan ruang lingkup penjaminan adalah jenis bidang usaha yang berkaitan dengan kegiatan pemberian jaminan oleh Penjamin 154 atas pemenuhan kewajiban finansial Terjamin kepada Penerima Jaminan. (Vide Pasal 1 angka 1 UU 1/2016). Dengan demikian di dalam Lembaga Penjamin terdapat tiga pihak, yaitu Penjamin, Terjamin, dan Penerima Jaminan. (Vide Pasal 1 angka 11, angka 12, dan angka 13 UU 1/2016). Oleh karena itu di dalam lembaga penjamin yang dalam hal ini juga termasuk asuransi dengan lini usaha suretyship atau surety bond terdapat hubungan hukum antara tiga pihak, yaitu penjamin (surety), penerima jaminan ( obligee /kreditur) dan pihak yang dijamin ( principal /debitur). Oleh karenanya secara sederhana dapat diilustrasikan, bahwa apabila dalam sebuah perjanjian antara penerima jaminan (kreditur) dengan pihak yang dijamin (debitur) terjadi wanprestasi maka penjamin ( surety ) akan mendudukkan diri bersama-sama dengan pihak yang dijamin (debitur) untuk kemudian memenuhi prestasi yang diperjanjikan (vide Pasal 1316 KUH Perdata). Lebih lanjut dapat dijelaskan bahwa dengan telah diperolehnya ciri-ciri dari ruang lingkup lembaga penjamin tersebut, maka dapat diketahui perbedaan yang esensial antara pengertian penjaminan dengan asuransi. Sebab, asuransi pada hakikatnya hanya terdiri dari dua pihak, yaitu Tertanggung dan Perusahaan Asuransi. Namun demikian bukan berarti perusahaan asuransi tidak dapat menjalankan lini usaha suretyship atau surety bond, karena secara empirik di Indonesia sebenarnya perusahaan asuransi yang menjalankan lini usaha __ suretyship atau surety bond telah banyak dan hal tersebut sesungguhnya perusahaan asuransi menjalankan fungsi lini usaha yang sedikit berbeda dengan core business yang dimilikinya, meskipun pada dasarnya suretyship atau surety bond adalah lini usaha dari perusahaan asuransi umum . [3.14] Menimbang bahwa setelah mempertimbangkan hal-hal tersebut di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan persoalan konstitusionalitas norma Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014 yang dimohonkan pengujiannya oleh Pemohon. Bahwa terhadap permasalahan pokok yang dimohonkan Pemohon tersebut, menurut Mahkamah sesungguhnya praktik suretyship atau surety bond yang menjadi bagian dari lini usaha perusahaan asuransi di Indonesia telah berjalan cukup lama, yaitu sejak Tahun 1978 meskipun pada waktu itu masih menjadi monopoli PT Jasa Raharja Persero dan baru secara resmi menjadi lini usaha perusahaan asuransi umum sejak Tahun 1992. Oleh karena itu bagi perusahaan 155 asuransi umum persoalan lini usaha suretyship atau surety bond tersebut pada hakikatnya tidak pernah ada hambatan di dalam menjalankan praktiknya. Sementara itu berkenaan dengan undang-undang yang mengatur lini usaha suretyship atau surety bond sebagaimana __ diatur dalam UU 1/2016 bukan dalam UU 40/2014. Hal tersebut tentunya tidak dapat dilepaskan dari pengertian dan ruang lingkup lini usaha suretyship atau surety bond yang meskipun merupakan jenis dari produk perusahaan asuransi, namun unsur-unsur yang terkandung di dalamnya adalah penjaminan. Oleh karena itu permasalahan penempatan pengaturan demikian sebenarnya tidak serta-merta menjadikan adanya persoalan konstitusionalitas norma dari pasal yang mengatur hal-hal yang berkaitan dengan lini usaha suretyship atau surety bond. Sebab, apabila diatur dalam UU 40/2014 ternyata secara faktual substansi yang diatur adalah bukan berkenaan dengan jenis dari asuransi akan tetapi berkaitan dengan penjaminan, sedangkan apabila diatur dalam UU 1/2016 ternyata secara faktual substansi yang diatur adalah merupakan bagian dari produk asuransi. Terlebih bagi perusahaan asuransi yang akan menjalankan lini usaha suretyship atau surety bond tidak mendapatkan hambatan dengan adanya pengaturan tersebut, meskipun dalam permohonannya Pemohon beralasan hal tersebut merugikan hak konstitusionalnya. Namun demikian sulit bagi Mahkamah untuk berkesimpulan bahwa terdapat persoalan konstitusionalitas terhadap norma Pasal 5 UU 40/2014. Dengan kata lain, apabila dilihat dari pihak yang melakukan lini usaha suretyship atau surety bond yaitu perusahaan asuransi maka tidaklah salah apabila ketentuan mengenai suretyship atau surety bond dimasukkan ke dalam UU 1/2016, karena konsep suretyship atau surety bond sendiri secara umum sama dengan konsep penjaminan, karenanya tidaklah mungkin pengaturannya dimasukkan ke dalam UU 40/2014. Bahwa lebih lanjut dijelaskan, ketentuan dalam norma Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014 mengenai frasa “ sesuai kebutuhan masyarakat ” merupakan ketentuan yang perlu diakomodir dan dipertahankan untuk menyesuaikan perkembangan industri perasuransian di masyarakat, yang apabila dimaknai “termasuk lini usaha suretyship ” sebagaimana yang Pemohon mohonkan di dalam petitum permohonan, justru akan memberikan ketidakpastian hukum bagi perusahaan asuransi untuk dapat melakukan perluasan ruang lingkup usaha dan membatasi kemungkinan adanya perluasan lini usaha lain selain suretyship. Terlebih __ tanpa adanya perluasan makna terhadap frasa “sesuai kebutuhan masyarakat” __ 156 sebagaimana yang dimohonkan Pemohon, sesungguhnya yang diinginkan Pemohon telah terakomodir di dalam UU 1/2016. Oleh karena pengaturan suretyship sudah diatur dalam UU 1/2016 maka sesungguhnya tidak perlu lagi diatur dalam UU 40/2014, sehingga dengan demikian sebenarnya tidak ada persoalan mengenai pengaturan suretyship. Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, dalil Pemohon berkaitan dengan inkonstitusionalitas norma Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014 tidak beralasan menurut hukum. [3.15] Menimbang bahwa berkenaan dengan dalil Pemohon terhadap norma Pasal 61 UU 1/2016, meskipun tidak dimohonkan oleh Pemohon dalam petitum permohonannya, namun oleh karena didalilkan dalam posita permohonannya dan secara substansi adalah hal yang mendasar yaitu Pemohon menganggap norma pasal a quo telah menghalangi perusahaan asuransi dalam menjalankan lini usaha suretyship. Oleh karena itu Mahkamah perlu untuk menanggapi dalil Pemohon tersebut. Bahwa terhadap dalil Pemohon tersebut, setelah dicermati sebenarnya __ hanyalah merupakan kekhawatiran Pemohon karena perusahaan asuransi yang merupakan perusahaan di luar lembaga penjamin haruslah memenuhi persyaratan sebagai lembaga penjamin apabila hendak melakukan kegiatan usaha yang diatur dalam Pasal 1 angka 1 juncto Pasal 4 ayat (1) UU 1/2016. Sedangkan kegiatan lini usaha suretyship (in casu surety bond) sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 ayat (2) UU 1/2016 dapat dilakukan perusahaan asuransi yang bersinergi dengan amanat Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014 yang telah mengatur perluasan ruang lingkup kegiatan usaha perasuransian. Hal demikian mengingat lini usaha suretyship yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU 1/2016 tidaklah memerlukan persyaratan sebagai lembaga penjamin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 UU 1/2016. Sementara itu Pasal 5 ayat (1) UU 40/2014 adalah ketentuan yang mengatur perusahaan asuransi dalam menjalankan lini usaha penjaminan agar menyesuaikan dengan UU 1/2016 berkenaan dengan tenggang waktu sebagaimana ditentukan dalam Pasal 61 ayat (1) UU 1/2016. Dengan demikian, menurut Mahkamah, kekhawatiran Pemohon tidaklah tepat mengingat kegiatan suretyship adalah kegiatan yang mempunyai core business penjaminan yang merupakan lini usaha yang dapat juga dijalankan oleh perusahaan asuransi. 157 Kemudian sebagai pelaksanaan amanat Pasal 5 ayat (3) UU 40/2014, OJK telah menerbitkan POJK 69/2016 yang memberikan kesempatan kepada perusahaan asuransi untuk menjalankan lini usaha suretyship, sehingga telah sesuai dengan apa yang ditentukan dalam Pasal 61 UU 1/2016. Dengan demikian perusahaan asuransi yang melakukan lini usaha suretyship tidaklah dapat dikenakan sanksi pidana sebagaimana kekhawatiran Pemohon; __ [3.16] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
KONKLUSI Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan: [4.1] Mahkamah berwenang mengadili permohonan _a quo; _ [4.2] Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan; [4.3] Pokok permohonan tidak beralasan menurut hukum. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 216, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6554), dan Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076);
AMAR PUTUSAN Mengadili: Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya. 158 Demikian diputus dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Anwar Usman selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto, Suhartoyo, Enny Nurbaningsih, Daniel Yusmic P. Foekh, Arief Hidayat, Manahan M.P. Sitompul, Saldi Isra, dan Wahiduddin Adams, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Kamis, tanggal lima, bulan November, tahun dua ribu dua puluh, yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Rabu, tanggal dua puluh lima, bulan November, tahun dua ribu dua puluh , selesai diucapkan pukul 11.51 WIB , oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Anwar Usman selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto, Suhartoyo, Enny Nurbaningsih, Daniel Yusmic P. Foekh, Arief Hidayat, Manahan M.P. Sitompul, Saldi Isra, dan Wahiduddin Adams, masing-masing sebagai Anggota, dengan dibantu oleh Anak Agung Dian Onita sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh para Pemohon/kuasanya, Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili, Presiden atau yang mewakili, dan Pihak Terkait Otoritas Jasa Keuangan atau yang mewakili. KETUA, ttd. Anwar Usman ANGGOTA-ANGGOTA, ttd. Aswanto ttd. Suhartoyo ttd. Enny Nurbaningsih ttd. Daniel Yusmic P. Foekh 159 ttd. Arief Hidayat ttd. Manahan M.P. Sitompul ttd. Saldi Isra ttd. Wahiduddin Adams PANITERA PENGGANTI, ttd. Anak Agung Dian Onita
Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 217/PMK.01/2018 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan. ...
Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 234/PMK.01/2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan. ...
Standar, Uji, dan Pengembangan Kompetensi Jabatan Fungsional Penilai Pemerintah