Kebijakan Sistem Manajemen Keamanan Informasi di Lingkungan Direktorat Jenderal Perbendaharaan
Relevan terhadap
Unit harus membangun, menerapkan, memelihara, dan meningkatkan kebijakan SMKI secara berkelanjutan.
Kebijakan SMKI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan pedoman teknis penerapan kebijakan SMKI.
Unit menyusun pedoman teknis penerapan kebijakan SMKI sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan berbasis risiko.
Pedoman teknis penerapan kebijakan SMKI sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun dengan mempertimbangkan : (I a. isu eksternal dan internal Direktorat Jenderal Perbendaharaan dalam keamanan informasi;
kebutuhan pihak yang berkepentingan dalam penerapan kebijakan SMKI; dan
hubungan dan ketergantungan antara kegiatan yang dilakukan oleh internal Direktorat Jenderal Perbendaharaan dan kegiatan yang dilakukan oleh pihak yang berkepentingan dalam penerapan kebijakan SMKI.
Pimpinan Unit dan pimpinan Instansi di lingkungan DJPb hams berkomitmen dalam penerapan kebijakan SMKI sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Komitmen dalam penerapan kebijakan SMKI sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilaksanakan dengan langkah- langkah antara lain: memastikan kebijakan dan sasaran keamanan informasi ditetapkan dan selaras dengan arah strategis Direktorat Jenderal Perbendaharaan;
memastikan penerapan ketentuan SMKI ke dalam proses bisnis Direktorat Jenderal Perbendaharaan; memastikan ketersediaan sumber daya yang digunakan untuk penerapan SMKI;
mengkomunikasikan pentingnya pengelolaan keamanan informasi yang efektif dan kesesuaiannya dengan ketentuan SMKI; memastikan penerapan SMKI mencapai sasaran yang telah ditentukan;
memberi arahan dan dukungan kepada pegawai untuk berkontribusi terhadap penerapan SMKI yang efektif; memastikan peningkatan berkelanjutan atas penerapan SMKI; dan
mendukung peran Direktorat Jenderal Perbendaharaan untuk memberikan kontribusi sesuai dengan tanggung jawabnya.
g- (1 risiko dengan menerapkan memperhatikan ketentuan yang diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan mengenai manajemen risiko di lingkungan Kementerian Keuangan.
Penerapan manajemen risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dilaksanakan dengan mempertimbangkan kerahasiaan, keutuhan, dan ketersediaan Aset Informasi (7) Unit manajemen Direktorat Jenderal Perbendaharaan.
Unit menentukan sasaran keamanan informasi dan menyusun perencanaan untuk mencapai sasaran keamanan informasi.
Unit dan Instansi menetapkan dan menyediakan sumber daya yang dibutuhkan untuk membangun, menerapkan, memelihara, dan meningkatkan berkelanjutan.
Unit bertanggung jawab untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan kepedulian seluruh pegawai terhadap keamanan informasi.
Unit menetapkan rencana komunikasi internal dan eksternal yang terkait dengan SMKI.
Unit mengelola dokumen SMKI Direktorat Jenderal Perbendaharaan untuk menjaga kemutakhiran dokumen, efektivitas pelaksanaan operasional, menghindarkan dari segala jenis kerusakan, dan mencegah akses oleh pihak yang tidak berwenang.
Unit dan Instansi melaksanakan pengendalian SMKI.
Unit melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan SMKI paling sedikit sekali dalam setahun untuk menjamin efektivitas dan meningkatkan keamanan informasi.
Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (15) dilakukan melalui:
pemantauan, pengukuran, analisis, dan evaluasi penerapan SMKI;
audit internal SMKI, yaitu audit yang dilakukan oleh unit kepatuhan internal Direktorat Jenderal Perbendaharaan dan/atau SMKI secara oleh unit yang 9 mengkoordinasikan fungsi pengawasan internal di lingkungan Kementerian Keuangan; dan
rapat tinjauan manajemen, yaitu rapat pembahasan yang dilaksanakan secara berkala untuk meninjau penerapan SMKI.
Berdasarkan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (15), Unit melaksanakan tindak lanjut basil evaluasi pelaksanaan SMKI serta melakukan peningkatan berkelanjutan.
Peraturan Menteri Keuangan tentang Mekanisme Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban atas Pajak Ditanggung Pemerintah ...
Relevan terhadap
bahwa untuk memberikan stimulus perekonomian, pemerintah mengalokasikan belanja subsidi dalam rangka pemberian insentif fiskal pajak ditanggung pemerintah sebagai salah satu kebijakan fiskal;
bahwa agar pajak ditanggung pemerintah dapat ditatausahakan dan dikelola secara lebih tertib dan transparan sesuai dengan peraturan perundang- undangan, serta berdasarkan kewenangan Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara untuk menetapkan kebijakan dan pedoman pelaksanaan anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, perlu mengganti Peraturan Menteri Keuangan Nomor 228/PMK.05/2010 tentang Mekanisme Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban atas Pajak Ditanggung Pemerintah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 237/PMK.05/2011 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 228/PMK.05/2010 tentang Mekanisme Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban atas Pajak Ditanggung Pemerintah;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Mekanisme Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban atas Pajak Ditanggung Pemerintah;
Penambahan Investasi Pemerintah Republik Indonesia pada Lembaga Keuangan Internasional Tahun Anggaran 2017. ...
Relevan terhadap
Pelaksanaan penambahan Investasi Pemerintah pada LKI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dilakukan oleh Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral, Badan Kebijakan Fiskal, selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) Bendahara Umum Negara (BUN) pengelolaan Investasi Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Komite Pengawas Perpajakan
Relevan terhadap 1 lainnya
Dalam rangka mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi Komwasjak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Badan Kebijakan Fiskal, Direktorat Jenderal Pajak, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, dan Inspektorat Jenderal memiliki tanggung jawab untuk memberikan informasi terkait:
kebijakan dan administrasi Perpajakan; dan
pengaduan terkait Perpajakan dan tindak lanjut penanganannya.
Badan Kebijakan Fiskal, Direktorat Jenderal Pajak, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, dan Inspektorat Jenderal, sesuai kewenangannya, menyampaikan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) bulan atau sewaktu- waktu berdasarkan permintaan Komwasjak.
Komwasjak mengadakan rapat koordinasi secara berkala paling sedikit 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) bulan dengan Badan Kebijakan Fiskal, Direktorat Jenderal Pajak, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, dan Inspektorat Jenderal.
Rapat koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk:
mengomunikasikan hasil kajian di bidang Perpajakan;
mengomunikasikan hasil evaluasi risiko strategis terkait kebijakan dan administrasi Perpajakan;
mengomunikasikan masukan atas rencana strategis Perpajakan dan strategi pencapaiannya;
memantau tindak lanjut penanganan pengaduan dan rekomendasi Komwasjak;
mengharmonisasikan bahan laporan kepada Menteri; dan
mendapatkan tanggapan dan masukan dari Badan Kebijakan Fiskal, Direktorat Jenderal Pajak, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, dan Inspektorat Jenderal.
Penerusan pengaduan terkait Perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf d, disampaikan kepada:
Badan Kebijakan Fiskal, Direktorat Jenderal Pajak, dan/atau Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, untuk pengaduan terkait kebijakan Perpajakan dan pelaksanaan administrasi Perpajakan; dan
Inspektorat Jenderal, untuk pengaduan terkait aparatur Kementerian.
Hasil tindak lanjut penanganan pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a disampaikan oleh Badan Kebijakan Fiskal, Direktorat Jenderal Pajak, dan/atau Direktorat Jenderal Bea dan Cukai kepada pengadu dan ditembuskan kepada Komwasjak.
Hasil tindak lanjut penanganan pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b disampaikan oleh Inspektorat Jenderal kepada pihak-pihak terkait sesuai dengan ketentuan penanganan pengaduan yang berlaku pada Kementerian dan dapat diinformasikan kepada Komwasjak.
Pemantauan tindak lanjut penanganan pengaduan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf d dilakukan dalam bentuk:
rapat koordinasi; dan/atau
korespondensi.
Harmonisasi Kebijakan Fiskal Nasional
Relevan terhadap 8 lainnya
Ketentuan mengenai penilaian kesesuaian antara rancangan KUA dan rancangan PPAS dengan KEM PPKF sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dilaksanakan mulai tahun 2024. Pasal 99 Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar Agar setiap pengundangan penempatannya Indonesia. orang mengetahuinya, memerintahkan Peraturan Pemerintah ini dengan dalam Lembaran Negara Republik Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 2 Januari 2024 ttd. JOKO WIDODO Diundangkan di Jakarta pada.tan ggaL 2 Januari 2024 MENTERI SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, PRATIKNO I PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2024 TENTANG HARMONISASI KEBIJAKAN FISKAL NASIONAL UMUM Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, Pemerintah telah meletakkan dasar-dasar penyempurnaan dan penguatan tata kelola hubungan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah. Hal ini merupakan upaya untuk menciptakan alokasi sumber daya nasional yang efektif dan efisien dalam pencapaian tujuan bernegara. Upaya tersebut dimanifestasikan dalam berbagai redesain instrumen utama desentralisasi fiskal yang tidak hanya melalui TKD, pajak daerah, dan retribusi daerah, melainkan juga melalui sinergi kebijakan fiskal nasional, Pembiayaan Utang Daerah, DAD, dan Sinergi Pendanaan. Peraturan Pemerintah ini disusun untuk melaksanakan beberapa amanat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah khususnya mengenai sinergi kebijakan fiskal nasional, Pembiayaan Utang Daerah, DAD, dan Sinergi Pendanaan. Penggabungan beberapa muatan pengaturan tersebut sebagai upaya simplifikasi dan optimalisasi regulasi dalam suatu harmonisasi kebijakan fiskal nasional. Harmonisasi kebijakan fiskal nasional merupakan proses atau upaya untuk menyelaraskan, menyerasikan, dan/atau menyesuaikan kebijakan fiskal antara Pemerintah dengan Pemerintahan Daerah di dalam pengelolaan dan pengaturan pendapatan, belanja, dan pembiayaan negara dan Daerah untuk menjalankan fungsi alokasi dan distribusi dalam rangka menjaga stabilitas, pertumbuhan ekonomi, pelayanan publik, dan kesejahteraan masyarakat, serta untuk mengoptimalkan pelaksanaan Pembiayaan Utang Daerah, penyelenggaraan DAD, pelaksanaan Sinergi Pendanaan, dan penerapan sinergi kebijakan fiskal nasional dalam kerangka hubungan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah.
Sinergi 1. Sinergi Kebijakan Fiskal Nasional Sinergi kebijakan fiskal nasional dilaksanakan melalui penyelarasan kebijakan fiskal pusat dan Daerah, penetapan batas maksimal defisit APBD dan Pembiayaan Utang Daerah, pengendalian dalam kondisi darurat, serta sinergi BAS. Sinergi kebijakan fiskal nasional tersebut juga didukung dengan penyajian dan konsolidasi Informasi Keuangan Daerah secara nasional dan pemantauan serta evaluasi pendanaan desentralisasi yang dilaksanakan dalam suatu platform digital sinergi kebijakan fiskal nasional. Pengaturan mengenai penyelarasan kebijakan fiskal pusat dan Daerah dalam Peraturan Pemerintah ini menyempurnakan harmonisasi pengaturan perencanaan, penganggaran, dan pelaksanaan anggaran di tingkat pusat dan Daerah. Penyelarasan fiskal tersebut dilakukan antara lain melalui penyelarasan tahap perencanaan dan penganggaran seperti penyelarasan KUA dan PPAS dengan KEM PPKF, dan penyelarasan tahap pelaksanaan APBD. Penyelarasan KUA dan PPAS dengan KEM PPKF merupakan upaya peningkatan kualitas kebijakan fiskal Daerah yang selaras dengan kebijakan fiskal nasional. KEM PPKF yang berisi skenario arah kebijakan ekonomi dan fiskal dijadikan acuan oleh Pemerintah Daerah dalam perumusan KUA dan PPAS. Upaya penyelarasan KUA dan PPAS dengan KEM PPKF tersebut diharapkan dapat meningkatkan sinergisitas kebijakan fiskal nasional yang antara lain berupa keselarasan target kinerja makro dan kinerja program, kepastian pendanaan program prioritas dan pemenuhan Belanja Wajib, serta keselarasan arah pelaksanaan anggaran. Penyelarasan fiskal nasional tersebut tentunya akan mengoptimalkan fungsi utama kebijakan fiskal yaitu alokasi, distribusi, dan stabilisasi. Pelaksanaan sinergi kebijakan fiskal nasional dalam Peraturan Pemerintah ini selain ditujukan untuk meningkatkan kualitas kebijakan fiskal Daerah, juga diharapkan mampu mendorong peningkatan kualitas Belanja Daerah dalam mendukung perbaikan kualitas keluaran (outputl dan dampak (outcomel layanan publik di Daerah. Peningkatan kualitas Belanja Daerah dalam Peraturan Pemerintah ini dilakukan melalui penguatan belanja produktif di Daerah dan harmonisasi belanja pusat dan Belanja Daerah yang akan didukung melalui sinergi BAS. Dengan adanya sinergi BAS, Pemerintah Pemerintah dapat menyelaraskan program, kegiatan, dan keluaran agar kebijakan fiskal yang diambil lebih terukur dan meningkatkan keselarasan belanja pusat dan Belanja Daerah.
Pembiayaan Utang Daerah dan Sinergi Pendanaan Dalam rangka mendukung Daerah dalam pembangunan dan penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat, Daerah dapat mengakses sumber-sumber Pembiayaan Utang Daerah baik yang berskema konvensional maupun syariah, meliputi Pinjaman Daerah, Obligasi Daerah, dan Sukuk Daerah. Sebagai dasar pelaksanaan Pembiayaan Utang Daerah, Peraturan Pemerintah ini mengatur seluruh aspek mengenai Pembiayaan Utang Daerah, antara lain mulai dari prinsip umum, prosedur dan tahapan, pengelolaan, pertanggungiawaban dan pelaporan, pemantauan dan evaluasi, hingga kewajiban dan sanksi atas pelaksanaan Pembiayaan Utang Daerah. Pengaturan tersebut menjadi dasar bagi Daerah dalam mengembangkan dan memanfaatkan Pembiayaan Utang Daerah. Selain itu, dengan terbatasnya pendanaan pembangunan Infrastruktur Daerah, melalui Peraturan Pemerintah ini, Pemerintah juga mendorong Pemerintah Daerah untuk mewujudkan adanya sinergi antar-sumber pendapatan dan/atau Pembiayaan Utang Daerah, baik dari PAD, TKD, Pembiayaan Utang Daerah, kerja sama antar-Daerah, dan kerja sama antara Pemerintah Daerah dengan badan usaha, sehingga diharapkan setiap program dan kegiatan pembangunan terlaksana secara tersinergi, sehingga alokasi sumber daya dapat dimanfaatkan secara lebih efisien.
DAD Peraturan Pemerintah ini memberikan ruang bagi Daerah yang memiliki kapasitas fiskal memadai dan telah memenuhi Urusan Pemerintahan wajib yang terkait dengan pelayanan dasar publik, untuk dapat membentuk DAD. Pembentukan DAD diharapkan dapat memberikan berbagai manfaatyang bersifat lintas generasi. Selain itu, hasil pengelolaan DAD juga akan menambah penerimaan Daerah. DAD diharapkan dapat membantu Daerah mengoptimalkan kapasitas fiskal yang dimiliki, termasuk SiLPA yang tinggi, untuk mendukung pendanaan penyelenggaraan pelayanan publik dan pembangunan lintas generasi di Daerah dengan tetap menjaga kesinambungan fiskal. REPUBUK INDONESIA -4- Dalam rangka memberikan dasar pelaksanaan pembentukan dan pengelolaan DAD bagi Daerah, Peraturan Pemerintah ini mengatur pokok-pokok pengaturan pembentukan dan pengelolaan DAD, seperti mulai dari persiapan DAD hingga pemilihan instrumen investasi dan pemanfaatan hasil pengelolaan DAD. Dengan mengelola DAD, diharapkan Daerah dapat memperbaiki kualitas perencanaan, penganggaran, dan pelaksanaan anggaran di Daerah sehingga menghasilkan belanja yang berkualitas. IT. PASAL DEMI PASAL
Platform digital sinergi kebijakan fiskal nasional meliputi:
penyelenggaraan platform digital;
data dan informasi digital;
digitalisasi pengelolaan hubungan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah;
konsolidasi informasi keuangan Pemerintah Daerah; dan
penyajian Informasi Keuangan Daerah. Paragraf 2 Penyelenggaraan Platform Digital Pasal 22 (1) Pemerintah membangun sistem informasi pembangunan Daerah, pengelolaan Keuangan Daerah, dan informasi lainnya melalui platform digital. (2) Sistem informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terinterkoneksi dengan sistem informasi konsolidasi kebijakan fiskal nasional. (3) Sistem informasi konsolidasi kebijakan fiskal nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (21 dilaksanakan dalam bentuk SIKD secara nasional dan digitalisasi hubungan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah yang diselenggarakan oleh Menteri. Pasal 23 (1) Menteri menyelenggarakan SIKD secara nasional (21 Penyelenggaraan SIKD secara nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk:
mendukung perlrmusan kebijakan hubungan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah, kebijakan Keuangan Daerah, dan pengendalian fiskal nasional;
menyajikan b. menyajikan Informasi Keuangan Daerah secara nasional;
mendukung konsolidasi informasi keuangan Pemerintah dan Pemerintah Daerah dan pengelolaan TKD yang efektif;
mendukung percepatan dan perluasan digitalisasi Daerah selaras dengan kebijakan transformasi digital nasional;
memperkuat perumusan kebijakan dengan memanfaatkan kebijakan berbasis data (data driuen policgl; dan
melakukan pemantauan, pengendalian, dan evaluasi implementasi kebijakan hubungan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah, pengelolaan Keuangan Daerah, pengelolaan kinerja, dan pengelolaan fiskal Daerah lainnya. Pasal 24 (1) Pemerintah Daerah menyelenggarakan sistem informasi terintegrasi melalui platform digital untuk menghasilkan data dan informasi digital. (21 Sistem informasi yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terinterkoneksi dengan SIKD dalam rangka mendukung sinergi kebijakan fiskal nasional. Paragraf 3 Data dan Informasi Digital Pasal 25 (1) Pemerintah Daerah wajib menyediakan data dan/atau informasi digital. (21 Data dan/atau informasi digital sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
lnformasi Keuangan Daerah;
informasi kinerja Daerah, termasuk data transaksi Pemerintah Daerah; dan
informasi lainnya. Pasal 26 (1) Informasi Keuangan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (21 huruf a minimal memuat informasi:
perencanaan;
penganggaran;
pelaksanaan;
penatausahaan;
pelaporan; dan
pertanggungjawaban. (21 Informasi Keuangan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk:
merLlmuskan kebijakan Keuangan Daerah;
menyelenggarakan pengelolaan Keuangan Daerah;
melakukan evaluasi kinerja Keuangan Daerah;
menyediakan statistik keuangan Pemerintah Daerah;
mendukung keterbukaan informasi kepada masyarakat;
mendukung penyelenggaraan SIKD;
melakukan evaluasi pengelolaan Keuangan Daerah; dan
menyusun Kapasitas Fiskal Daerah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai Kapasitas Fiskal Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf h diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 27 (1) Pemerintah Daerah menyampaikan data dan/atau informasi digital sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 kepada Menteri dan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri. (21 Data dan/atau informasi digital sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diselaraskan dengan BAS untuk Pemerintah Daerah. (3) Data dan/atau informasi digital sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (21 dapat dibagipakaikan dengan sistem informasi lain. Paragraf 4 Digitalisasi Pengelolaan Hubungan Keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah Pasal 28 (1) Menteri menyelenggarakan digitalisasi pengelolaan hubungan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah dalam rangka sinergi kebijakan fiskal nasional. (21 Digitalisasi pengelolaan hubungan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan melalui:
penyiapan rumusan tata kelola dan kebijakan teknis di bidang digitalisasi pengelolaan hubungan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah;
pembangunan, pengembangan, dan pemeliharaan digitalisasi pengelolaan hubungan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah;
penyusunan standar dan pembakuan digitalisasi pengelolaan hubungan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah; dan
penyajian informasi digitalisasi pengelolaan hubungan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah kepada masyarakat. Pasal 29 (1) Digitalisasi pengelolaan hubungan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dilakukan dengan menghubungkan berbagai sistem informasi dan ekosistem digital. (21 Dalam rangka menghubungkan berbagai sistem informasi dan ekosistem digital sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kementerian yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang Keuangan Negara dapat melakukan koordinasi dengan kementerian/lembaga dan Daerah serta pemangku kepentingan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Paragraf 5 Konsolidasi lnformasi Keuangan Pemerintah Daerah Pasal 30 (1) Menteri menJrusun konsolidasi informasi keuangan Pemerintah Daerah secara nasional, berdasarkan data dan/atau informasi digital sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27. (21 Konsolidasi informasi keuangan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal digunakan dalam rangka sinergi kebijakan fiskal nasional, pen5rusunan statistik keuangan pemerintah, dan pen5rusunan laporan keuangan secara nasional yang selaras dan terkonsolidasi. Paragraf 6 Penyajian lnformasi Keuangan Daerah Pasal 31 (1) Menteri menyajikan Informasi Keuangan Daerah secara nasional dan bersifat terbuka melalui situs resmi dan/atau menggunakan berbagai platform digital. (21 Setiap Pemerintah Daerah menyajikan lnformasi Keuangan Daerah dan bersifat terbuka melalui situs resmi dan/atau menggunakan berbagai platform digital. Pasal 32 Ketentuan lebih lanjut mengenai platform digital sinergi kebijakan fiskal nasional diatur dengan Peraturan Menteri.
Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Rumah Tapak dan Saturan Rumah Susun yang Ditanggung Pemerintah Tahun Anggaran 2024 ...
Relevan terhadap
bahwa untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia perlu adanya upaya menstimulasi daya beli masyarakat pada sektor perumahan, untuk itu diperlukan dukungan pemerintah berupa kebijakan pemberian insentif fiskal;
bahwa dukungan pemerintah berupa kebijakan insentif fiskal di sektor perumahan pada tahun 2023 sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 120 Tahun 2023 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Rumah Tapak dan Satuan Rumah Susun yang Ditanggung Pemerintah Tahun Anggaran 2023, perlu untuk dilanjutkan pada tahun 2024;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Rumah Tapak dan Satuan Rumah Susun yang Ditanggung Pemerintah Tahun Anggaran 2024;
Untuk dapat memanfaatkan insentif PPN ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pengusaha Kena Pajak harus telah melakukan pendaftaran melalui aplikasi di kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perumahan dan kawasan permukiman dan/atau Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat paling lambat 1 Juli 2024.
Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disertai dengan keterangan yang paling sedikit memuat:
rincian atas jumlah ketersediaan rumah tapak dan satuan rumah susun yang sudah jadi 100% (seratus persen) dan siap diserahterimakan atau pekerjaan sudah selesai;
rincian atas jumlah ketersediaan rumah tapak dan satuan rumah susun yang masih dalam proses pembangunan yang siap diserahterimakan atau pekerjaan sudah selesai dalam periode insentif; dan
perkiraan Harga Jual rumah tapak dan satuan rumah susun sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b.
Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perumahan dan kawasan permukiman dan/atau Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat menyampaikan data pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Direktorat Jenderal Pajak, Direktorat Jenderal Anggaran, dan Badan Kebijakan Fiskal.
Penyampaian data sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan secara elektronik.
Ketentuan mengenai format penyampaian data sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Pengelolaan Pembiayaan Proyek melalui Penerbitan Surat Berharga Syariah Negara
Relevan terhadap
Direktur Jenderal menyampaikan bahan penyusunan pagu indikatif rancangan APBN yang bersumber dari SBSN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 kepada:
Direktur Jenderal Anggaran sebagai bahan penyusunan pagu indikatif rancangan APBN; dan
Deputi bidang pendanaan pembangunan pada Kementerian Perencanaan dengan tembusan kepada Deputi bidang lain yang terkait pada Kementerian Perencanaan sebagai bahan pertimbangan dalam penyusunan Daftar Prioritas Proyek SBSN.
Bahan penyusunan pagu indikatif rancangan APBN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a ditetapkan sebagai pagu indikatif rancangan APBN dengan mempertimbangkan kondisi keuangan negara dan/atau aspek kebijakan fiskal yang terkait penyusunan rancangan APBN.
Pagu indikatif rancangan APBN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan jumlah nilai tertinggi rencana anggaran belanja pembiayaan Proyek yang bersumber dari SBSN untuk setiap Kementerian/Lembaga.
Pagu indikatif rancangan APBN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat ditetapkan lebih rendah dari BMP SBSN, berdasarkan pertimbangan kondisi keuangan negara dan/atau aspek kebijakan fiskal yang terkait penyusunan rancangan APBN.
Direktur Jenderal menetapkan usulan bahan pagu anggaran rancangan APBN yang bersumber dari SBSN berdasarkan rekomendasi usulan bahan pagu anggaran hasil Rapat TM II sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dengan pertimbangan minimal berupa:
pagu indikatif rancangan APBN untuk tahun anggaran yang direncanakan;
BMP SBSN;
kebijakan pembiayaan dan aspek fiskal lain, termasuk rencana program pembiayaan dari berbagai sumber dana lain dalam APBN; dan
perkembangan kebijakan dalam penyusunan rancangan APBN.
Usulan bahan pagu anggaran rancangan APBN yang bersumber dari SBSN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan usulan jumlah nilai tertinggi untuk rencana anggaran belanja pembiayaan Proyek bagi masing-masing Kementerian/Lembaga.
Usulan bahan pagu anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditetapkan lebih rendah dari BMP SBSN berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf c, dan huruf d.
Direktur Jenderal menetapkan usulan bahan pagu indikatif rancangan APBN yang bersumber dari SBSN berdasarkan rekomendasi usulan bahan pagu indikatif hasil Rapat TM I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.
Penetapan usulan bahan pagu indikatif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan oleh Direktur Jenderal dengan mempertimbangkan:
BMP SBSN;
kebijakan pembiayaan dan aspek fiskal lain, termasuk rencana program pembiayaan APBN dari sumber dana lain dalam APBN; dan
perkembangan kebijakan dalam penyusunan rancangan APBN.
Usulan bahan pagu indikatif rancangan APBN yang bersumber dari SBSN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan usulan jumlah nilai tertinggi untuk rencana anggaran belanja pembiayaan Proyek bagi masing-masing Kementerian/Lembaga.
Usulan bahan pagu indikatif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditetapkan lebih rendah dari nilai BMP SBSN, berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf c.
Tata Cara Penundaan dan/atau Pemotongan Penyaluran Dana Transfer ke Daerah atas Pemenuhan Belanja Wajib dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah ...
Relevan terhadap
bahwa daerah otonom diwajibkan untuk mengalokasikan belanja wajib untuk mendanai urusan pemerintahan daerah yang besarannya telah ditetapkan sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2024 tentang Harmonisasi Kebijakan Fiskal Nasional;
bahwa daerah yang tidak melaksanakan kewajiban pengalokasian belanja wajib sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dapat dikenai sanksi penundaan dan/atau pemotongan penyaluran dana transfer ke daerah yang tidak ditentukan penggunaannya;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 50 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Penundaan dan/atau Pemotongan Penyaluran Dana Transfer ke Daerah atas Pemenuhan Belanja Wajib dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
Pemberian Dukungan Fiskal melalui Kerangkan Pendanaan dan Pembiayaan dalam Rangka Percepatan Transisi Energi di Sektor Ketenagalistrikan ...
Relevan terhadap 3 lainnya
Dalam rangka percepatan transisi energi di sektor Ketenagalistrikan, pemerintah memberikan dukungan fiskal melalui kerangka pendanaan dan pembiayaan.
Peraturan Menteri ini bertujuan untuk mewujudkan penyelenggaraan kebijakan transisi energi yang berkeadilan dan terjangkau oleh pemerintah, dengan:
pengaturan mekanisme pendanaan dan pembiayaan termasuk blended finance , melalui Platform Transisi Energi;
pemberian dukungan fiskal melalui Platform Transisi Energi; dan
pengaturan mekanisme yang terkoordinasi dan terintegrasi yang diperlukan untuk pengelolaan Platform Transisi Energi.
Struktur Komite Pengarah terdiri atas:
ketua;
wakil ketua merangkap anggota; dan
anggota.
Ketua Komite Pengarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan pimpinan tinggi madya di lingkungan Kementerian Keuangan yang melaksanakan tugas di bidang kebijakan fiskal, termasuk kebijakan pendanaan dan pembiayaan transisi energi.
Wakil Ketua Komite Pengarah merangkap anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan pimpinan tinggi madya di lingkungan Kementerian Keuangan yang melaksanakan tugas di bidang pengelolaan pembiayaan dan risiko.
Anggota Komite Pengarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan pejabat paling rendah setingkat pimpinan tinggi madya yang berasal dari unsur:
kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara;
kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral;
kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang BUMN;
kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup dan kehutanan;
kementerian yang menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang kemaritiman dan investasi; dan
kementerian yang menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang perekonomian.
bahwa berdasarkan Pasal 3 ayat (9) Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik, pemerintah dapat memberikan dukungan fiskal melalui kerangka pendanaan dan pembiayaan, termasuk blended finance yang ditujukan untuk mempercepat transisi energi;
bahwa guna mewujudkan transisi energi yang berkeadilan dan terjangkau serta mempercepat pencapaian target bauran energi terbarukan dalam bauran energi nasional sesuai dengan Kebijakan Energi Nasional, perlu memberikan dukungan fiskal melalui kerangka pendanaan dan pembiayaan untuk percepatan pengakhiran waktu operasi pembangkit listrik tenaga uap, percepatan pengakhiran waktu operasi kontrak perjanjian jual beli listrik pembangkit listrik tenaga uap, dan/atau pengembangan pembangkit energi terbarukan;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 3 ayat (10) Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Pemberian Dukungan Fiskal melalui Kerangka Pendanaan dan Pembiayaan dalam rangka Percepatan Transisi Energi di Sektor Ketenagalistrikan;
Tata Cara Pemberian Pinjaman yang Bersumber dari Dana Saldo Anggaran Lebih
Relevan terhadap
bahwa untuk mendukung kebijakan pemerintah dan menjaga keberlanjutan fiskal, Bendahara Umum Negara dapat mengoptimalkan dana saldo anggaran lebih melalui penempatan dana saldo anggaran lebih selain di Bank Indonesia berdasarkan amanat Undang-Undang mengenai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan;
bahwa optimalisasi pengelolaan dana saldo anggaran lebih sebagaimana dimaksud dalam huruf a dapat dilakukan dalam bentuk pinjaman dana saldo anggaran lebih, yang diberikan kepada Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah/pemerintah daerah atau badan hukum lainnya yang mendapatkan penugasan pemerintah untuk melaksanakan kebijakan nasional;
bahwa untuk memberikan pedoman dalam pelaksanaan optimalisasi pengelolaan dana saldo anggaran lebih dalam bentuk pinjaman dana saldo anggaran lebih sebagaimana dimaksud dalam huruf b dan sesuai kewenangan Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, perlu mengatur tata cara pemberian pinjaman yang bersumber dari dana saldo anggaran lebih;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Pemberian Pinjaman yang Bersumber dari Dana Saldo Anggaran Lebih;