Pengujuan UU no. 11 tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak (Pasal 1 angka 1 dan angka 7, Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 ayat (1), Pasal 4, Pasal 5, Pasal 1 ...
Relevan terhadap
masyarakat miskin. Setidaknya ada tiga manfaat pengampunan pajak yang akan menguntungkan perekonomian nasional, yang tentunya juga akan memberikan keuntungan kepada seluruh lapisan masyarakat, termasuk masyarakat berpenghasilan rendah. Pertama , bahwa uang yang masuk ke Indonesia melalui repatriasi aset keuangan dari luar negeri dapat menggerakan perekonomian. Kedua , uang tebusan yang dihasilkan oleh pengampunan pajak bisa digunakan secara langsung bagi pembangunan yang pro rakyat, termasuk pendidikan, kesehatan, perumahan, dan penciptaan lapangan pekerjaan untuk seluruh lapisan masyarakat. Ketiga, dalam jangka panjang akan menjamin penerimaan pajak secara berkelanjutan karena kebijakan pengampunan pajak akan menciptakan subjek (ekstensifikasi) dan objek pajak baru (intensifikasi). Dengan meningkatnya pertumbuhan di berbagai sektor perekonomian dan meningkatnya penerimaan negara dari perpajakan sebagai konsekuensi dari diberlakukannya UU Pengampunan Pajak, maka akan tercipta lapangan pekerjaan, suku bunga kredit yang rendah, kurs rupiah menguat, yang pada akhirnya juga meningkatkan daya beli masyarakat. Hal yang demikian tentunya tidak merugikan masyarakat miskin, namun justru sangat bermanfaat bagi masyarakat miskin. Oleh karena itu, UU Pengampunan Pajak yang semata-mata bertujuan untuk memajukan kesejahteraan umum demi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia jelas-jelas tidak mengakibatkan kerugian konstitusional bagi siapapun. Selain itu, Pemerintah berpendapat bahwa kerugian hak konstitusional yang didalilkan oleh para Pemohon tidak memenuhi persyaratan sebagaimana yang telah ditentukan oleh Mahkamah Konstitusi sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 serta putusan- putusan selanjutnya, dikarenakan: a. kerugian hak konstitusional yang didalilkan oleh para Pemohon dalam masing-masing permohonannya tidak bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; Hal tersebut dikarenakan para Pemohon tidak dapat membuktikan dirinya sebagai Wajib Pajak yang taat membayar pajak, sehingga kerugian hak konstitusional berupa adanya perlakuan yang tidak sama di hadapan Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
pelaksanaan fungsi pemerintahan ( sturende functie ) oleh Pemerintah sebagai fiscus. Ditinjau secara horizontal, UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak telah sesuai dengan tujuan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia melalui pemanfaatan dana yang terkumpul dari pelaksanaan Pengampunan Pajak tersebut untuk membiayai seluruh program/kegiatan yang ditujukan guna mewujudkan kesejahteraan rakyat. Hal itu artinya UU Nomor 11 Tahun 2016 memiliki koherensi tujuan dan prinsip-prinsip dengan berbagai Undang-Undang lain yang bertujuan memberikan pelayanan publik dan meningkatkan kesejahteraan bagi rakyat seluas-luasnya di bidang perpajakan, kesejahteraan, pendidikan, kesehatan, pelayanan publik, infrastruktur publik dan lain-lain. Pada akhirnya, sebagai penutup inspirasi dari Oliver Wendell Holmes sangat menarik untuk direnungkan, yaitu bahwa “ Taxes are the price we pay for civilization ” (pajak adalah harga yang kita bayar untuk suatu peradaban). 12. Dr. Maruarar Siahaan, S.H., Pendahuluan Undang-Undang Tax Amnesty yang mendapat tantangan dalam bentuk judicial review ini, sangat layak ditanggapi dengan serious, berkenaan dengan argumen inkonstitusionalitas norma yang diajukan bukan saja sekaligus oleh 6 (enam) Pemohon, melainkan juga dari segi urgensi kebijakan pemerintahan dalam rangka melanjutkan program pembangunan yang berupaya menjalankan amanat konstitusi untuk membangun daerah pinggiran atau terluar yang selama ini tertinggal. Konsentrasi penyelenggaraan pembangunan selama ini masih terfokus di wilayah barat yaitu Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi. Argumen Pemerintah yang melihat kurangnya pendapatan dari pajak yang juga disebabkan tingkat ketaatan membayar pajak dari warga negara dan korporasi yang seharusnya secara patuh untuk membayar pajak. Jumlah wajib pajak yang relevan dengan jumlah pekerja dan korporasi yang melakukan kegiatan ekonomi yang kena pajak, masih sangat rendah, sehingga pendapatan negara dari sektor pajak dapat dikatakan tidak memadai dibanding denga negara lain yang setara tingkat pertumbuhannya dengan Indonesia. Alasan-Alasan Inkonstitusionalitas UU Tax Amnesty . Keberatan yang diajukan oleh empat permohonan pengujian Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2016, pada dasarnya menyangkut hal-hal berikut: Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 217/PMK.01/2018 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan ...
Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 234/PMK.01/2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan. ...
Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 219/PMK.05/2013 tentang Kebijakan Akuntansi Pemerintah Pusat. ...
Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.03/2017 tentang Petunjuk Teknis Mengenai Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpa ...
Uji Materi Pasal 27 Perppu 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Diseas ...
Relevan terhadap
USAHA-USAHA - Untuk mencapai maksud dan tujuan tersebut, maka Perkumpulan ini menjadikan segala usaha dan kegiatan yang diperbolehkan Undang- Undang dan tidak bertentangan dengan peraturan yang berlaku antara lain:
Melakukan Pendampingan Masyarakat terkait dengan penegakan hukum publik secara profesional;
Memberikan Layanan Masyarakat di bidang hukum secara profesional;
Memberikan pengetahuan hukum pada masyarakat terkait dengan kebijakan pemerintah dalam lingkup formal maupun informal untuk menumbuhkan kesadaran hukum masyarakat dalam bentuk presentasi, seminar, diskusi, penyuluhan, simulasi dan dalam bentuk lain terkait aturan-aturan yang berlaku yang merupakan realitas baku dan nyata dalam hukum.
Mengajukan upaya hukum Pra Peradilan, Judicial Review , Gugatan Perdata, Gugatan Tata Usaha Negara dan upaya hukum lainnya terkait dengan hal-hal yang menjadi sengketa dalam masyarakat melalui jalur Pengadilan terkait dengan perkara-perkara yang bertajuk pada kepentingan Publik dalam hal penegakan hukum dan hal lain terkait dengan kebijakan Pemerintah secara mandiri dalam kedudukannya sebagai Pihak Ketiga yang berkepentingan berkaitan dengan maksud dan tujuan Lembaga.
Usaha-usaha lain yang tidak mengikat dan tidak bertentangan dengan yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia. - Dalam melaksanakan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sampai dengan ayat (5), Pekumpulan ini dapat melakukan 17 kerjasama dengan Perkumpulan dan badan usaha lainnya, baik didalam maupun di luar wilayah Republik Indonesia. - Perkumpulan ini harus menyusun Rencana Kerja Jangka Panjang (business plan) dan Rencana Kerja Jangka Pendek (tahunan) serta disahkan oleh Rapat Anggota;
Bahwa PARA PEMOHON selama ini aktif dalam upaya Penegakan Hukum, Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi serta memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan sebagaimana bukti telah mengajukan permohonan praperadilan perkara TPPU Korupsi Jiwasraya yang tercatat dalam register putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor: 15/Pid.Prap/2020/PN.Jkt.Sel (masuk dalam daftar bukti); - https: //news.detik.com/berita/d-4967361/maki-ajukan-praperadilan- minta-kejagung-usut-tppu-jiwasraya 17. Bahwa PARA PEMOHON selama ini aktif dalam upaya Penegakan Hukum, Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi serta memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan tergabung dalam Organisasi Masyarakat yang telah dan akan dirugikan hak-hak konstitusionalnya dengan berlakunya Pasal 27 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (PERPPU) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan di mana Pasal 27 Perppu a quo menjadikan penguasa kebal hukum, tidak bisa dituntut secara hukum perdata, pidana maupun PTUN;
Bahwa PARA PEMOHON sebagai badan hukum juga menyandang hak dan kewajiban dalam sistem hukum NKRI, sama halnya dengan orang, demikian juga halnya dalam perkara permohonan pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik lndonesia Tahun 1945, mungkin saja badan hukum baik yang bersifat privat maupun publik mengalami kerugian yang mempengaruhi hak konstitusionalnya karena berlakunya atau diundangkannya suatu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang a quo ; 18 19. Bahwa hal ini sejalan dengan Yurisprudensi Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-I/2003 yang diajukan oleh beberapa organisasi yang bergerak di bidang radio dan televisi maupun organisasi wartawan dalam mengajukan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, di antaranya Asosiasi Televisi Siaran Indonesia (ATVSI) dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) yang mengklaim diri sebagai badan hukum serta dalam hal ini Mahkamah Konstitusi mengakuinya dan mempunyai legal standing sebagai Badan Hukum. Juga hal ini termasuk Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap kasus keabsahan Wakil Menteri yang diajukan Gerakan Nasional Pemberantasan Korupsi (GNPK) ( PUTUSAN NOMOR 79/PUU- IX/2011). Berdasarkan hal tersebut di atas maka terbukti bahwa PARA PEMOHON dibentuk dengan tujuan untuk memperjuangkan kepentingan umum (Public interest advocacy) dibidang pencegahan dan pemberantasan korupsi, penegakan hukum atas dasar persamaan dihadapan hukum, dan memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan rakyat sehingga PARA PEMOHON sudah tepat untuk menguji Pasal 27 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (PERPPU) No. 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6485) yang belum sepenuhnya menjamin tegaknya hukum dan keadilan sebagaimana amanat UUD 1945. Dengan demikian PARA PEMOHON sebagai Badan Hukum mempunyai legal standing dalam mengajukan permohonan a quo ke Mahkamah Konstitusi, hal ini diatur dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. III. KERUGIAN PARA PEMOHON 1. Bahwa pokok permasalahan dalam Permohonan ini adalah PARA PEMOHON telah dirugikan oleh berlakunya dalam hal ini bunyi Pasal 27 Perppu Nomor 1 Tahun 2020 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 19 2020 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6485):
Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara.
Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara.
Bahwa dengan berlakunya Pasal 27 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6485) di mana Pasal 27 Perppu a quo menjadikan penguasa atau pejabat yang disebut seperti KKSK akan menjadi kebal hukum, tidak bisa dituntut secara hukum perdata, pidana maupun PTUN dengan dalih itikad baik dan bukan merupakan kerugian negara sehingga ketentuan a quo akan menjadikan penguasa/pejabat menjadi manusia 20 setengah dewa, otoriter, tidak demokratis dan dijamin tidak khilaf atau salah padahal apapun manusia tidak ada yang sempurna, tidak lepas khilaf dan salah dan untuk memastikan tidak ada penyimpangan dan korupsi maka semua tindakan harus dapat diuji melalui persidangan yang terbuka dan fair sehingga kekebalan ini akan mencederai rasa keadilan terhadap seluruh rakyat termasuk PARA PEMOHON;
Bahwa hak-hak Para Pemohon yang dijamin UUD 1945 menjadi hilang dengan berlakunya Pasal 27 Perppu Nomor 1 Tahun 2020 dan akan pulih apabila uji materi a quo dikabulkan adalah: - Hak Para Pemohon atas hidup dalam suatu bentuk negara yang berdasar hukum menjadi hilang dikarenakan Perppu Corona menjadikan negara berdasar kekuasaan yang mengarah otoriter dan totaliter. Jika ini dibiarkan maka yakinlah negara akan dibawa dalam kekuasaan tunggal dan langgeng serta nantinya akan memaksakan jabatan presiden menjadi seumur hidup demi melanggengkan kekuasaan dan tidak mau dikoreksi oleh pejabat penggantinya (Pasal 1 ayat (3) UUD 1945); - Hak Persamaan Hukum menjadi hilang dengan berlakunya Perppu karena pejabat menjadi kebal dan tidak bisa dituntut secara hukum meskipun telah salah dan merugikan rakyatnya (Pasal 27 dan Pasal 28 UUD 1945); - Hak kontrol Para Pemohon melalui DPR menjadi hilang karena penguasa menjadi superpower dan tidak bisa dikontrol, padahal sekelas Presiden dapat dijatuhkan apabila melanggar UU dan UUD 1945 (Pasal 7A UUD 1945); - Hak menikmati keuangan secara adil dan sejahtera menjadi hilang karena keuangan negara tidak dapat diaudit oleh BPK serta orang yang merugikan keuangan negara menjadi tidak bisa dituntut akibat hilangnya fungsi BPK (Pasal 23E UUD 1945); - Hak untuk memperoleh keadilan berdasar proses hukum yang adil, independen dan terbuka serta berdasar ketentuan yang berlaku menjadi hilang dengan berlakunya Perppu dikarenakan Pejabat menjadi tidak bisa dituntut secara pidana, perdata dan PTUN meskipun pejabat telah melakukan perbuatan melawan hukum dan merugikan rakyatnya (Pasal 24 ayat (1) UUD 1945); 21 IV. NORMA-NORMA YANG DIAJUKAN UNTUK DIUJI:
NORMA MATERIIL Berlakunya Pasal 27 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (PERPPU) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6485), berbunyi:
Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara.
Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara.
NORMA UNDANG-UNDANG DASAR TAHUN 1945 YANG MENJADI PENGUJI, YAITU:
Pasal 1 ayat (3) berbunyi: “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”; Prinsip dan azas negara hukum adalah semua berdasar hukum, hukum untuk mencapai keadilan, sehingga semua proses hukum adalah terciptanya keadilan di masyarakat. Dengan demikian Pasal 27 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (PERPPU) 22 Nomor 1 Tahun 2020 yang mengandung kekebalan tidak bisa dituntut dengan dalih itikad baik dan bukan kerugian negara bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945;
Pasal 7A “Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.” Hal ini selaras dengan penjelasan kekuasaan Presiden tidak tak terbatas, artinya jika melakukan pelanggaran hukum, korupsi, penyuapan maka dapat diminta pertanggungjawaban dalam bentuk diberhentikan ( impeach ). Presiden saja tidak kebal, namun Pejabat Keuangan malah kebal yaitu pemberlakuan Pasal 27 Perppu Nomor 1 tahun 2020 jelas-jelas memberikan kekebalan terhadap pejabat keuangan termasuk tidak dapat dituntut dan tidak dapat diberhentikan karena keputusannya bukan obyek Tata Usaha Negara. Dalam keadaan normal, seorang pejabat dapat dituntut pemecatan jika melakukan pelanggaran dengan pola negatif positif yaitu seseorang atau badan hukum dapat meminta pejabat atasan memecat pejabat bawahan yang melakukan kesalahan, jika pejabat atasan membuat keputusan menolak pemecatan maka keputusan penolakan pemecatan tersebut dapat digugat melalui mekanisme Pengadilan Tata Usaha Negara.
Pasal 23E yang berbunyi: “(1) __ Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri.” (2) Hasil pemeriksaan keuangan negara diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sesuai dengan kewenangannya. 23 (3) Hasil pemeriksaan tersebut ditindaklanjuti oleh lembaga perwakilan dan/atau badan sesuai dengan undang-undang.” BPK ditugaskan oleh konstitusi untuk memeriksa pengelolaan keuangan negara secara bebas dan mandiri, dalam kondisi apapun termasuk pengelolaan keuangan negara ketika ada bencana alam seperti bencana alam tsunami Aceh atau bencana gempa-tsunami Sulawesi Tengah. Kemudian, BPK harus dapat memberi penilaian dan/atau penetapan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh semua pihak penyelenggara pengelolaan keuangan negara. Hasil pemeriksaan BPK atas pengelolaan keuangan negara harus diserahkan kepada DPR, salah satu alasan karena DPR harus melaksanakan fungsi pengawasan sesuai Pasal 20A ayat (1) UUD NRI.
Pasal 24 ayat (1) yang berbunyi: “(1) Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 mengandung arti bahwa sebagai konsekuensi dari pilihan Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum, maka kekuasaan lembaga kehakiman adalah tempat ditegakkannya hukum dan keadilan terhadap rakyat dan penguasa secara sama dan sederajad. Dengan demikian kita harus yakin dan patuh sistem peradilan yang meliputi keseluruhan proses integrated justice system yang dimulai sejak penyelidikan, penyidikan, penuntutan, proses persidangan, sampai penjatuhan dan pelaksanaan hukuman untuk mempertanggungjawabkan semua perbuatan dalam bermasyarakat dan bernegara sehingga rakyat dan penguasa tidak boleh kebal hukum dan dapat dimintai pertanggungjawaban jika melakukan penyimpangan; e. Pasal 27 ayat (1) yang berbunyi: __ “(1) Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” 24 Pasal 27 ayat 1 UUD 1945 mengandung makna bahwa semua warga negara Indonesia memiliki kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama dalam hukum, pasal tersebut juga mengandung makna bahwa adanya kepedulian dan persamaan kedudukan tentang hak asasi manusia dalam bidang hukum dan politik. f. Pasal 28D ayat (1) berbunyi: __ “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”; Pasal 28D ayat (1) jelas menyatakan perlakuan yang sama di hadapan hukum sehingga kekebalan yang termuat dalam Pasal 27 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (PERPPU) Nomor 1 Tahun 2020 jelas-jelas bertentangan dengan konstitusi, akan mencederai perlindungan, pemberian jaminan dan pengakuan perlakuan yang sama di hadapan hukum. Kekebalan hukum tidak memberikan sumbangan apa-apa bagi kesejahteraan umat manusia karena akan cenderung korup dan anti kritik. V. ALASAN-ALASAN PARA PEMOHON DENGAN BERLAKUNYA PASAL 27 PERPPU NOMOR 1 TAHUN 2020 BERTENTANGAN DENGAN UNDANG- UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945: A. Pasal 27 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (PERPPUU) Nomor 1 Tahun 2020 (secara umum):
Bahwa Pasal 27 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (PERPPU) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6485) adalah pasal yang superbody yang memberikan kekebalan absolut bagi Penguasa. Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara bukan merupakan kerugian negara padahal sumber keuangan berasal dari negara dan memberikan 25 imunitas kepada aparat pemerintahan untuk tidak bisa dituntut atau dikoreksi melalui lembaga pengadilan sehingga pasal 27 Perppu Nomor 1 Tahun 2020 jelas bertentangan dengan UUD 1945 yang menyatakan Indonesia adalah negara hukum sehingga semestinya semua penyelenggaraan pemerintahan dapat diuji atau dikontrol oleh hukum baik secara pidana, perdata dan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Bahwa untuk memahami maksud dan tujuan sebuah produk perundang-undangan termasuk Perppu maka dapat dibaca dari konsideran, pengaturan umum dan penjelasan ( Memorie van Toelichting ), namun hal ini sulit ditemukan pada Perppu Nomor 1 Tahun 2020 dikarenakan tidak adanya Bab/Pasal awal yang memuat ketentuan umum dan kenyataannya langsung mengatur ruang lingkup. Demikian juga untuk memahami frasa “iktikad baik” menjadi sangat sulit dikarenakan tidak adanya Penjelasan Pasal 27 Perppu a quo . Ibarat kata langsung melamar seorang wanita tanpa ta’aruf atau pacaran terlebih dahulu namun juga tidak ada perjanjian pernikahan dan talaq takliq . Kami menyadari legal drafting Perppu a quo sangat buruk sehingga menyulitkan para Pemohon untuk menyusun uji materi a quo secara runut, teoritis dan logis;
Bahwa Perppu a quo adalah bukan untuk penyelamatan bangsa, namun untuk penyelamatan bank (stabilitas sistem keuangan) akibat adanya corona . Penguasa berpegang pada teori jika perusahaan jasa keuangan (bank, asuransi dan lain-lain) hancur maka perekonomian rakyat akan hancur dan Pemerintah tidak peduli atas keselamatan dan kesehatan jasmani dan rohani dari seluruh rakyat Indonesia. Fokus pemerintah adalah semata-mata penyelamatan sistem keuangan dengan pembahasan awal adalah defisit anggaran, utang negara dan penyelamatan pajak serta menambah kewenangan lembaga keuangan (KSSK, OJK, BI dan LPS) termasuk satu-satunya pasal yang mengatur pidana hanya tindak pidana menghalangi tugas OJK. Semua fokus kemudian diwujudkan dalam belanja tambahan dengan total sebesar Rp 405,1 triliun, yang terdiri dari:
Rp 75 triliun untuk intervensi penanggulangan Covid-19 berupa tambahan belanja kesehatan, pemberian insentif tenaga kesehatan, 26 dan pemberian alat kesehatan termasuk Alat Pelindung Diri (APD) bagi seluruh 132 rumah sakit rujukan.
Rp 110 Triliun untuk memperkuat jaring pengaman sosial. Program tersebut antara lain kenaikan anggaran Keluarga Harapan (PKH), perluasan Program kartu sembako, peningkatan Kartu Pra Kerja sebanyak 2 kali lipat untuk masyarakat yang terkena PHK, pembebasan tagihan listrik selama 3 (tiga) bulan untuk 24 juta pelanggan 450VA, dan pemberian diskon 50 persen selama 3 bulan untuk 7 juta pelanggan 900VA bersubsidi. Juga diberikan Dukungan logistik sembako dan kebutuhan pokok bagi daerah yang mengalami pembatasan sosial luas atau karantina.
Rp 70,1 triliun dukungan insentif dan relaksasi perpajakan bagi sektor dunia usaha yang terdampak dan termasuk penundaan pembayaran cicilan Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan Ultra Mikro dan Penundaan pembayaran pinjaman terutama untuk Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dan pelaku ekonomi kecil lainnya. Pemerintah juga melakukan penurunan tarif PPh badan dari 25 persen menjadi 22 persen.
Dukungan pembiayaan anggaran untuk penanganan Covid-19 sebesar Rp150 triliun dalam rangka mendukung Program Pemulihan Ekonomi Nasional (https: //money.kompas.com/read/2020/04/13/060600326/perppu- nomor-1-tahun-2020-tak-membuat-penyelenggara-negara-kebal- hukum?page=all.) 4. Bahwa kita sebagai manusia yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, akan mempertanggungjawabkan perbuatan baik dan buruk kelak di akherat dan tidak akan pernah bisa membela diri semua perbuatan adalah atas dasar niat baik yang karenanya semua menuntut pahala. Klaim sepihak niat baik, tidak dapat dituntut dan tidak merugikan keuangan negara jelas bertentangan dengan Sila Pertama dari Pancasila;
Bahwa alasan imunitas oleh pejabat keuangan yang diatur Perppu Nomor 1 Tahun 2020 adalah pejabat yang bersangkutan takut dikriminalisasi, hal ini jelas contoh buruk bagi rakyat karena tidak percaya dengan proses hukum yang berlaku di Negara Republik 27 Indonesia. Alasan-alasan takut kriminalisasi dikumukakan oleh Yustinus Prastowo (Staff Khusus Menkeu) yang menekankan, poin tersebut akan menjadi landasan yang bagus agar pejabat berani membuat keputusan terbaik, terutama di tengah tekanan pandemi Covid-19 saat ini. "Agar mereka tidak takut kriminalisasi atau hal-hal lain yang akan berpotensi merugikan dirinya di masa mendatang," katanya ketika dihubungi Republika.co.id, Selasa (28/4).sebagaimana link berita berikut: - https: //republika.co.id/berita/q9hl0l370/stafsus-pasal-27-perppu- covid-bukan-tentang-imunitas-hukum - https: //www.news.lentera.co.id/perppu-covid-bukan-imunitas- hukum/ 6. Bahwa program Kartu Prakerja adalah contoh kasus dari carut marutnya pengelolaan keuangan negara disaat pandemi corona yang menjadi dasar terbitnya Perppu 1 Tahun 2020 (Corona), proyek kartu prakerja hanya menguntungkan pengusaha dan saat ini telah ditelaah oleh KPK atas dasar laporan dari Pemohon I ( MAKI): - https: //www.cnnindonesia.com/nasional/20200505134331-12- 500241/kpk-telaah-laporan-maki-soal-dugaan-korupsi-kartu- prakerja - https: //nasional.kompas.com/read/2020/05/05/16140831/kpk- dalami-laporan-maki-soal-dugaan-korupsi-kartu-prakerja - https: //news.detik.com/berita/d-5002969/diminta-maki-kawal- program-kartu-pra-kerja-ini-respons-kpk - https: //www.cnnindonesia.com/ekonomi/20200422140133-92- 496105/indef-untung-8-platform-kerja-sama-kartu-prakerja-rp37-t - https: //katadata.co.id/telaah/2020/04/30/sengkarut-kartu-prakerja- sebelum-lahir-hingga-lari-di-tengah-pandemi 7. Bahwa tidak ditemukan satu negarapun yang menggunakan pola membuat UU baru bersifat darurat khusus untuk sektor keuangan. Malaysia tetap menggunakan Undang-Undang lama tahun 1988 (Akta 343 Pencegahan dan Pengawalan Penyakit Berjangkit) dan Filipina hanya sekedar mengancam akan menggunakan Darurat Militer berdasar UU yang sudah ada. 28 - https: //internasional.kontan.co.id/news/banyak-yang-langgar- lockdown-duterte-ancam-terapkan-darurat-militer - https: //fajar.co.id/2020/03/27/lockdown-hingga-14-april-wni-di- malaysia-terancam-kelaparan/ 8. Bahwa imunitas tidak layak diberikan kepada BI, OJK, LPS dan pejabat Kemenkeu karena selama ini kinerja buruk dan banyak skandal (BLBI, Century, Korupsi TPPI Honggo Wendratno dan Korupsi Jiwasraya akibat teledornya pengawasan OJK terhadap Jiwasraya);
Bahwa jika mengacu kedudukan Presiden Republik Indonesia adalah tetap manusia biasa yan mungkin saja tidak luput salah dan khilaf sehingga terdapat sarana pemakzulan ( impeach ) apabila diduga telah melanggar ketentuan UU atau UUD sehingga sekelas Presiden tidak kebal termasuk tetap dapat dituntut hukum apabila melanggar hukum baik dalam keadaan normal maupun bencana, hal ini jelas berbeda dengan kekebalan para pejabat keuangan yang tidak dapat dituntut hukum sebagaimana diatur oleh Pasal 27 Perppu Nomor 1 tahun 2020;
Bahwa pada jaman pemerintahan Presiden SBY tahun 2008 pernah menerbitkan Perppu yang sejenis namun ditolak oleh DPR (Perppu Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan) sehingga semestinya tidak pernah ada lagi Perppu yang memberikan kekebalan penyelenggara pemerintahan terkait keuangan negara.
Bahwa kekebalan hukum bertentangan dengan azas universal sebagaimana ketentuan Pasal 14 (1) ICCPR yang telah diratifikasi Pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Konvensi Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik menyebutkan: All persons shall be equal before the courts and tribunals. In the determination of any criminal charge againts him, or of his rights and obligations in a suit at law, everyone shall be entitled to a fair and public hearing by a competent, independent and impartial tribunal established _ 12. Bahwa kekebalan hukum bertentangan dengan pengertian independent of judiciary menurut Basic Principles on the Independence of the Judiciary ( Adopted by the Seventh United Nations Congress on the 29 Prevention of Crime and the Treatment of Offenders held at Milan from 26 August to 6 September 1985 and endorsed by General Assembly resolutions 40/32 of 29 November 1985 and 40/146 of 13 December 1985) di antaranya meliputi sebagai berikut: 1) The independence of the judiciary shall be guaranteed by the State and enshrined in the Constitution or the law of the country. It is the duty of all governmental and other institutions to respect and _observe the independence of the judiciary; _ 2) The judiciary shall decide matters before them impartially, on the basis of facts and in accordance with the law, without any restrictions, improper influences, inducements, pressures, threats or interferences, direct or indirect, from any quarter or for any reason. 13. Kekebalan tidak bisa dituntut dengan alasan itikad baik yang tidak melalui proses persidangan yang terbuka dan fair jelas bertentangan dengan Prinsip Equality Before the Law . Bahwa UUD 1945 telah mengadopsi prinsip-prinsip equality before the law atau persamaan di depan hukum, sebagaimana diatur di dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945; Bahwa Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 berbunyi, "Segala Warga Negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya"; Bahwa Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 berbunyi, "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum "; Bahwa baik Pasal 27 ayat (1) maupun Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 adalah sejalan dengan prinsip equality before the law yang sudah diakui secara universal, sebagaimana dipikirkan oleh para filusof mulai abad pencerahan hingga abad 18 dan juga telah dipraktikkan di negara-negara lain; Bahwa pengertian equality before the law menurut The Free Dictionary by Farlex adalah the right to equal protection of the laws ;
Bahwa kekebalan hukum bertentangan dengan pengertian equality before the law menurut The Free Dictionary by Farlex adalah “the right to equal protection of the laws” ; 30 15. Bahwa kekebalan hukum bertentangan dengan prinsip equality before the law menurut Russel Madden yaitu “ that each citizen should receive equal treatment by the legal system of this country enjoys a long tradition of respect The notion that no one is to be dealt with in either a preferential or prejudiced manner by the police, courts, or other governmental agencies is enshrined in both the Declaration of Independence and the Constitution” ;
Bahwa kekebalan hukum bertentangan dengan filosofi Thomas Jefferson yang berpendapat bahwa " that all men are created equal" in terms of their basic societal rights ;
Bahwa kekebalan hukum bertentangan dengan The Fourteenth Amendment of the U.S. Constitution adalah states that all people will have "the equal protection of the laws" ;
Bahwa kekebalan hukum bertentangan dengan tujuan dari perjuangan equality before the law yaitu untuk menjamin masyarakat yang lemah agar mendapatkan kedudukan dan perlakuan yang sama dengan masyarakat yang kuat, di depan hukum.
Bahwa setiap orang berhak atas persamaan di depan hukum dan tidak kekebalan bagi siapapun termasuk penguasa sehingga mengandung arti bahwa hukum tidak boleh diskriminasi dan aparat penegak hukum tidak boleh bertindak diskriminatif di dalam penegakan hukum. (Putusan Komite HAM PBB di dalam perkara hukum Zwan de-Vries v. the Netherlands, Broeks v. The Netherlands ). Hal ini diperkuat oleh Pasal 7 Deklarasi Hak Asasi Manusia (HAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 26 ICCPR sebagaimana diratifikasi oleh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang mengakui hak setiap orang atas persamaan di depan hukum;
Bahwa kekebalan hukum bertentangan dengan Pasal 7 Deklarasi HAM PBB "Semua orang sama di depan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi semua berhak atas perlindungan yang sama terhadap setiap bentuk diskriminasi yang bertentangan dengan Deklarasi ini, dan terhadap segala hasutan yang mengarah pada diskriminasi semacam ini" 31 21. Bahwa kekebalan hukum bertentangan dengan pengaturan non diskriminasi diatur dalam General Comment Nomor 18 ICCPR, yang berbunyi: Non-discrimination, together with equality before the law and equal protection of the law without any discrimination, constitute a basic and general principle relating to the protection of human rights. Thus, article 2, paragraph 1, of the International Covenant on Civil and Political Rights obligates each State party to respect and ensure to all persons within its territory and subject to its jurisdiction the rights recognized in the Covenant without distinction of any kind, such as race, colour, sex, language, religion, political or other opinion, national or social origin, property, birth or other status. Article 26 not only entities all persons to equality before the law as well as equal protection of the law but also prohibits any discrimination under the law and guarantees to all persons equal and effective protection against discrimination on any ground such as race, colour, sex, language, religion, political or other opinion, national or social origin, property, birth or other status” .
Bahwa Komite HAM PBB menegaskan di dalam persamaan di depan hukum berlaku prinsip bahwa di dalam kondisi yang setara maka harus diperlakukan setara, dan sebaliknya di dalam kondisi yang tidak setara maka harus diperlakukan tidak setara ( in an equal condition must be treated equally, in an unqual conditon must be acted unequally ). Jika hal tersebut dilanggar, maka akan terjadi diskriminasi. Hal mana dilarang menurut Pasal 7 Deklarasi HAM PBB, Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 26 ICCPR; Bahwa di dalam perkara hukum, Zwaan de-Vries v. The Netherlands dan Broeks V. The Netherlands , di mana Pasal 13 ayat 1 bagian ke 1 Undang- Undang Jaminan Untuk Pengangguran di Belanda ( Unemployment Benefit Act ) mensyaratkan bahwa seorang perempuan untuk memperoleh jaminan yang sama denga laki-laki”; Secara sosial harus membuktikan bahwa dia adalah seorang pencari nafkah di keluarganya ( the breadwinner ). Namun demikian, aturan ini tidak diterapkan terhadap laki-laki. PARA PEMOHON, yang merupakan perempuan, mengganggap diskriminatif terhadap perempuan. Komite HAM PBB memutuskan bahwa Pasal 13 ayat 1 bagian ke 1 Undang- Undang Jaminan Untuk Pengangguran di Belanda bertentangan 32 dengan prinsip persamaan di depan hukum. Lebih jauh, Komite HAM PBB menjelasakan bahwa di dalam perkara ini Undang-Undang Jaminan Untuk Pengangguran telah menempatkan perempuan di dalam posisi yang tidak menguntungkan dibandingkan dengan laki-laki. Perbedaan perlakuan antara perempuan dan laki-laki tersebut adalah tidak layak ( unreasonable ) menurut Pasal 26 Kovenan Intemasional Hak Sipil dan Politik (UU 12/2005); Bahwa di dalam sebuah negara hukum (t he rule of law ), negara harus mengakui perlindungan HAM setiap individu, sehingga semua orang memiliki hak untuk diperlakukan sama di depan hukum. Persamaan di depan hukum harus diartikan secara dinamis dan tidak statis, artinya kalau ada persamaan hukum maka harus diimbangi juga dengan persamaan perlakuan ( equal treatment ) (Frans Hendra Winarta, Hak Konstitusional Fakir Miskin Untuk Memperoleh Bantuan Hukum Dalam Rangka Pembangunan Hukum Nasional 1:
;
Bahwa klaim bukan merupakan kerugian negara dan itikad baik yang tidak bisa dituntut hukum (pidana, perdata dan PTUN) tidak hanya menimbulkan kekebalan hukum tapi bisa saja menimbulkan kekebalan politik sehingga wakil rakyat (DPR) juga tidak akan bisa melakukan kontrol, check and balance terhadap penguasa keuangan berdasar Perppu No. 1 Tahun 2020 sehingga Perppu a quo perlu dibatalkan demi menjaga eksistensi NKRI harga mati; B. Pasal 27 ayat (1) Perppu Nomor 1 Tahun 2020:
Bahwa umur Perppu Corona belum seumur jagung namun sudah lahir kontroversi program KARTU PRAKERJA sehingga dalam setiap program pemerintah selalu ada peluang salah dan penyimpangan tahap perencanaan, pelaksanaan dan pertanggungjawaban sehingga dalil biaya yang dikeluarkan bukan merupakan kerugian negara adalah sesuatu yang keliru dan bertentangan dengan prinsip bahwa semua uang yang berasal atau milik rakyat harus dipertanggungjawabkan penggunaannya setiap rupiahnya. Bisa jadi biaya yang dikeluarkan adalah salah perencanaan sehingga tidak efisien dan tidak tepat sasaran, salah pelaksanaan sehingga terjadi mark up (pemahalan) atau 33 salah pertanggungjawaban karena sengaja dicuri atau adanya suap sehingga merugikan negara dan keuangan negara;
Bahwa biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara jika dilakukan secara melawan hukum dan penyalahgunaan wewenang dalam kategori korupsi/rasuah/menggelapkan/mencuri uang negara maka sudah pasti merugikan keuangan negara. Frasa “bukan merupakan kerugian negara” derajatnya sama dengan ayat-ayat kitab suci yang tidak bisa diganggu gugat. Frasa “bukan merupakan kerugian negara” jelas-jelas kedudukannya diatas konstitusi sehingga sudah seharusnya dibatalkan karean tidak cocok dalam negara hukum dan demokrasi yang selalu membutuhkan kontrol, check and balance ;
Bahwa kita semua tidak ingin terulang skandal BLBI dan Century. Dalil BLBI dan Century selalu disandarkan dengan istilah kebijakan yang tidak bisa dituntut meskipun telah merugikan keuangan negara. Kami yang selalu mengawal BLBI dan Century dalam bentuk pernah menang praperadilan kasus BLBI dan Century tidak ingin terulang skandal BLBI dan Century yang merugikan keuangan negara ratusan trilyun.
Bahwa dalam perkara korupsi Bank Century, Mahkamah Agung dalam pertimbangan putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor 861 K/Pid.Sus/2015 pada halaman 826 dengan jelas menolak alasan Kasasi yang diajukan Budi Mulya dalil “kebijakan tidak dapat dituntut”. Mahkamah Agung telah memberikan alasan berupa “perbuatan terdakwa yang menyetujui penetapan Bank Century sebagai bank Gagal Berdampak Sistemik yang mengakibatkan kerugian keuangan Negara merupakan tindak pidana Korupsi”. Dengan demikian kebijakan yang diambil Dewan Gubernur Bank Indonesia dalam melakukan penyelamatan Bank Century telah dinyatakan penyalahgunaan wewenang , itikad tidak baik dan merugikan negara (vide Putusan Nomor 21/PID.SUS/TPK/2014/PN.JKT.PST);
Pasal 27 ayat (1) PERPPU 1/2020 menyatakan bahwa semua biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk 34 kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara.
Berdasarkan Pasal 23E ayat (1) UUD NRI, BPK ditugaskan oleh konstitusi untuk memeriksa pengelolaan keuangan negara secara bebas dan mandiri, dalam kondisi apapun termasuk pengelolaan keuangan negara ketika ada bencana alam seperti bencana alam tsunami Aceh atau bencana gempa-tsunami Sulawesi Tengah. Kemudian, BPK harus dapat memberi penilaian dan/atau penetapan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh semua pihak penyelenggara pengelolaan keuangan negara. Hasil pemeriksaan BPK atas pengelolaan keuangan negara harus diserahkan kepada DPR, salah satu alasan karena DPR harus melaksanakan fungsi pengawasan sesuai Pasal 20A ayat (1) UUD NRI. Oleh karena itu, Pasal 27 Ayat (1) Perppu Nomor 1/2020 bertentangan dengan Pasal 23E dan Pasal 20A UUD NRI.
Bahwa Pasal 27 Ayat (1) ini juga bertentangan dengan TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang penyelenggara negara yang bersih dan bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme, khususnya Pasal 3 ayat (3) bahwa upaya pemberantasan tindak pidana korupsi dilakukan secara tegas dengan melaksanakan secara konsisten undang-undang tindak pidana korupsi, dan Pasal 4 yang menegaskan bahwa upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga, dan kroninya maupun pihak swasta/konglomerat, dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak-hak asasi manusia.
Bahwa Pasal 7A UUD 1945 secara tegas menyatakan bahkan Presiden dan Wakil Presiden dapat diberhentikan dari jabatannya apabila, antara lain, terlibat korupsi. Artinya pengelolaan keuangan negara harus bersih dan bebas korupsi, sehingga semua biaya harus dapat dipertanggung jawabkan, dan diperiksa oleh BPK; 35 32. Bahwa Pasal 27 ayat (1) bertentangan dengan UU No 31/1999, Pasal 3 ayat (3) dan Pasal 4 TAP MPR XI/MPR 1998, dan Pasal 23E UUD 1945. C. Pasal 27 Ayat (2) Perppu Nomor 1 Tahun 2020 33. Bahwa dalil kebijakan dengan itikad baik dan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku harus diuji melalui proses hukum yang fair dan terbuka, tidak boleh ada istilah itikad baik berdasar penilaian subyektif oleh pelaku penyelenggara pemerintahan sendiri. Bisa saja ternyata klaim itikad baik ternyata kemudian terbukti itikad buruk sehingga tetap harus bisa dituntut hukum dalam sebuah proses Penyidikan dan Penuntutan dalam sebuah persidangan yang terbuka untuk membuktikan itikad baik atau itikad buruk dalam setiap kebijakan atau tindakan penguasa dalam mengelola keuangan negara baik dalam keadaan normal maupun dalam keadaan bencana seperti bencana virus Covid-19 saat ini;
Bahwa itikad Baik bukanlah istilah atau unsur yang dikenal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia (Selanjutnya akan disebut KUHP), Untuk menggambarkan adanya kesengajaan dalam suatu delik, KUHP lebih sering menggunakan istilah-istilah selain itikad baik, antara lain: “dengan sengaja”, “mengetahui bahwa”, “tahu tentang”, dan “dengan maksud”. Mengenai “itikad baik” dikenal dalam tindak pidana yang tersebar di luar KUHP dan dalam Kitab Undang- Undang Hukum Perdata (Selanjutnya akan disebut KUHPer). Mengenai itikad baik dalam KUHPer Pasal 1338 ayat 3dinyatakan bahwa: "… Suatu perjanjian hanya dilaksanakan dengan itikad baik", selain tentang itikad baik dalam Pasal 531 KUHPer dinyatakan sebagai berikut: “Kedudukan itu beritikad baik, manakala si yang memegangnya memperoleh kebendaan tadi dengan cara memperoleh hak milik, dalam mana tak tahulah dia akan cacat cela yang terkandung dalamnya”. Dalam perjanjian dikenal asas itikad baik, yang artinya setiap orang yang membuat perjanjian harus dilakukan dengan itikad baik. Dinyatakan oleh Muhammaad Faiz bahwa [1]: "Itikad baik adalah suatu pengertian yang abstrak dan sulit untuk dirumuskan, sehingga orang lebih banyak merumuskannya melalui peristiwa-peristiwa di pengadilan. 36 Itikad baik dalam pelaksanaan perjanjian berkaitan dengan masalah kepatutan dan kepantasan". Kesulitan dalam perumusan mengenai definisi itikad baik tersebut tidak menjadikan itikad baik sebagi suatu istilah yang asing, melainkan hanya terlihat pada perbedaan definisi yang diberikan oleh beberapa ahli, termasuk dalam Black's Law Dictionary . Itikad baik menurut M.L Wry adalah: “Perbuatan tanpa tipu daya, tanpa tipu muslihat, tanpa cilat-cilat, akal-akal, tanpa mengganggu pihak lain, tidak dengan melihat kepentingan sendiri saja, tetapi juga dengan melihat kepentingan orang lain”. Dalam Black’s Law Dictionary Itikad baik didefenisikan sebagai: “ In or with good faith, honestly, openly and sincerely, without deceit or fraud truly, actually, without simulation or pretense .”[3]. Selanjutnya, Sutan Remy Sjahdeini secara umum menggambarkan itikad baik sebagai berikut [4]: "Itikad baik adalah niat dari pihak yang satu dalam suatu perjanjian untuk tidak merugikan mitra janjinya maupun tidak merugikan kepentingan umum". Mengenai pembagian asas itikad baik, diuraikan oleh Muliadi Nur sebagai berikut: Asas itikad baik ini dapat dibedakan atas itikad baik yang subjektif dan itikad baik yang objektif. Itikad baik dalam pengertian yang subjektif dapat diartikan sebagai kejujuran seseorang atas dalam melakukan suatu perbuatan hukum, yaitu apa yang terletak pada sikap batin seseorang pada saat diadakan suatu perbuatan hukum. Sedang itikad baik dalam pengertian yang objektif dimaksudkan adalah pelaksanaan suatu perjanjian yang harus didasarkan pada norma kepatutan atau apa yang dirasakan patut dalam suatu masyarakat. Itikad baik secara subjektif menunjuk pada sikap batin atau unsur yang ada dalam diri pembuat, sedangkan itikad baik dalam arti objektif lebih pada hal-hal diluar diri pelaku. Mengenai pengertian itikad baik secara subyektif dan obyektif, dinyatakn oleh Muhamad Faiz bahwa [6]: " Itikad baik subjektif, yaitu apakah yang bersangkutan sendiri menyadari bahwa tindakannya bertentangan dengan itikad baik, sedangkan itikad baik objektif adalah kalau pendapat umum menganggap tindakan yang demikian adalah bertentangan dengan itikad baik". 37 Itikad baik dalam sebuah penjanjian harus ada sejak perjanjian baru akan disepakati, artinya itikad baik ada pada saat negosiasi prakesepakatan perjanjian, dinyatakan oleh Ridwan Khairandy bahwa [7]: " Itikad baik sudah harus ada sejak fase prakontrak dimana para pihak mulai melakukan negosiasi hingga mencapai kesepakatan dan fase pelaksanaan kontrak". Itikad baik seharusnya dimiliki oleh setiap individu sebagai bagian dari makhluk sosial yang tidak dapat saling melepaskan diri dari ketergantungan sosial terhadap individu lain untuk saling bekerjasama, saling menghormati dan menciptakan suasana tenteram bersama- sama. Melepaskan diri dari keharusan adanya itikad baik dalam setiap hubungan dengan masyarakat adalah pengingkaran dari kebutuhannya sendiri; kebutuhan akan hidup bersama, saling menghormati dan saling memenuhi kebutuhan pribadi dan sosial. Keberadaan itikad baik dalam setiap hubungan dengan masyarakat memberi arti penting bagi ketertiban masyarakat, itikad baik sebagai sikap batin untuk tidak melukai hak orang lain menjadi jaminan bagi hubungan masyarakat yang lebih tertib. Ketiadaan itikad baik dalam hubungan masyarakat mengarah pada perbuatan yang secara umum dicela oleh masyarakat, celaan datang dari sikap batin pembuat yang tidak memiliki itikad baik, sikap batin di sini mengarah pada ‘kesengajaan sebagai bentuk kesalahan’ pembuat yang secara psikologis menyadari perbuatannya serta akibat yang melekat atau mungkin timbul dari pada perbuatan tersebut. - (http: //lbh-madani.blogspot.com/2013/02/itikad-baik-menurut- hukum.html) 35. Bahwa itikad baik atau sebaliknya itikad buruk hanya bisa dinilai oleh orang luar dan dalam sistem negara hukum kita hanya bisa dinilai oleh majelis hakim mulai tingkat pertama, banding, kasasi dan upaya hukum luar biasa (Peninjauan Kembali), sehingga dengan demikian itikad baik tidak boleh berdasarkan penilaian subyektif oleh diri sendiri apalagi oleh penguasa yang selalu dimungkinkan terjadi penyalahgunaan wewenang atau perbuatan melawan hukum. Rakyat tidak mungkin melakukan penyalahgunaan wewenang; 38 36. Bahwa dalam sistem hukum dikenal istilah Mens Rea (sikap batin pelaku) yang biasanya dikaitkan dengan niat jahat. Jika ada niat jahat maka ada sebaliknya niat baik. Kita semua pasti sulit menakar kedalaman niat baik dan juga sebaliknya niat jahat ini, sehingga niat jahat ini menjadi bagian yang diperdebatkan, terkait apakah merupakan unsur dari tindak pidana atau urusan “wakil” Tuhan untuk membuktikannya di pengadilan. Niat jahat menjadi satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dengan tindakan seseorang. Dalam mewujudkan suatu tindakan, ada kalanya tindakan tersebut dilakukan dengan niat jahat adakalanya juga dengan tanpa niat jahat. Namun siapa yang tahu niat seseorang hanyalah pelaku dan Tuhan (dalam sistem hukum adalah Hakim sebagai wakil Tuhan) sehingga dalam sistem negara hukum niat baik atau sebaliknya niat jahat tidak mungkin diputuskan oleh diri pelaku, pasti harus melalui proses hukum yaitu majelis hakim;
Bahwa dalam Literatur hukum pidana Indonesia tidak banyak mengulas mengenai niat jahat, namun yang lebih banyak dibahas adalah ajaran kesalahan. Meski demikian, niat jahat ini dapat diidentikkan dengan ajaran kesalahan. Kesalahan sendiri diartikan sebagai sikap batin seseorang yang diwujudkan dalam bentuk kelakuan, dan kelakuan tersebut mendapat celaan. Dalam konteks ini sikap batin tersebut selalu diwujudkan dalam bentuk kelakuan, karena sangat sulit menakar sikap batin yang jahat tersebut. Kesalahan sebagai sikap batin yang buruk, diartikan sebagai kemampuan untuk menduga akibat yang terlarang. Seseorang sudah dapat menduga bahwa akibat terlarang dari perbuatan tersebut akan muncul, tetapi dia tidak mencegah perbuatan tersebut. Kesalahan juga diartikan sebagai maksud atau keinginan untuk melakukan kejahatan. Maksud atau keinginan dapat diwujudkan dalam perbuatan, artinya maksud atau keinginan melakukan kejahatan ini tidak akan pernah kelihatan jika kejahatan tersebut tidak pernah diwujukan. Ada juga ahli yang mengatakan kesalahan ini sebagai sikap kurang hati-hati atau sembrono sehingga merugikan orang lain. (AHMAD SOFIAN - https: //business-law.binus.ac.id/2016/04/18/niat- jahat/) 39 38. Bahwa pejabat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan jelas-jelas berbanding terbalik dengan track record pejabat keuangan yang tidak bersih dan berselimutkan skandal, misal BLBI, Century dan yang terbaru kasus Jiwasraya akibat teledornya pengawasan dari OJK.
Bahwa kasus BLBI 1998 dan Bank Century 2008 dapat menjadi pelajaran bahwa di dalam krisis justru pengawasan pengelolaan keuangan negara harus diperketat karena kondisi krisis dapat dimanfaatkan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab untuk kepentingan pribadi atau kelompok;
Bahwa Pasal 27 ayat (2) terkait erat dengan pasal 27 ayat (1). Kalau Pasal 27 ayat (1) gugur dan BPK dapat melakukan pemeriksaan terhadap semua pihak pengelola anggaran negara, dan BPK dapat menilai atau menetapkan kerugian negara apabila ada, maka Pasal 27 ayat (2) secara otomatis akan gugur juga atau setidaknya batal secara bersyarat dengan pemaknaan yang rigid dan tidak multitafsir.
Bahwa Pasal 27 ayat (2) Perppu 1/2020 bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD NRI: Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Pasal ini juga bertentangan dengan Pasal 28D UUD NRI: Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.
Bahwa Pasal ini juga bertentangan dengan UU 31/1999 tentang Pemberantasan Korupsi yang memuat materi bahwa setiap orang, termasuk pegawai negeri dan korporasi, yang melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup 40 atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan;
Bahwa Perbuatan Melawan Hukum ( onrechtmatige daad ) dalam konteks perdata diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau Burgerlijk Wetboek (“BW”), dalam Buku III BW, pada bagian “Tentang perikatan-perikatan yang dilahirkan demi Undang- Undang”, yang berbunyi: “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.” Menurut Rosa Agustina, dalam bukunya Perbuatan Melawan Hukum, terbitan Pasca Sarjana FH Universitas Indonesia (2003), hal. 117, dalam menentukan suatu perbuatan dapat dikualifisir sebagai melawan hukum, diperlukan 4 syarat:
Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku 2. Bertentangan dengan hak subjektif orang lain 3. Bertentangan dengan kesusilaan 4. Bertentangan dengan kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian.
Bahwa kekebalan pejabat secara perdata tidak hanya sekedar melanggar perundan-undangan yang berlaku, namun termasuk juga melanggar kepatutan, kesusilaan, dan agama sehingga tidak bisa dituntutnya pejabat keuangan secara perdata haruslah dimaknai termasuk tidak melanggar Norma kepatutan, kesusilaan, dan agama;
Bahwa Mahkamah Agung telah menerbitkan Perma Nomor 2 tahun 2019 yang memberikan arahan kepada Pengadilan ditingkat bawahnya untuk cermat merumuskan perbuatan melawan hukum oleh penguasa, namun hal ini tidak membatasi Pengadilan untuk memeriksa gugatan perdata dengan dalil perbuatan melawan hukum oleh penguasa yang merugikan secara materiel atau materiel secara mandiri atau berdasar putusan PTUN; 41 46. Bahwa imunitas pejabat sebagaimana dirumuskan pasal 27 Ayat 2 Perppu jelas bertentangan dengan prinsip Hakim mengadili berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa dan prinsip Hakim memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Prinsip ini juga dirumuskan dalam: Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (“UU 48/2009”) yang berbunyi: “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.” Pasal 5 ayat (1) UU 48/2009 yang berbunyi: “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.” 47. Bahwa moral kekuasaan tidak boleh diserahkan pada niat, iktikad ataupun sifat -sifat pribadi seseorang yang kebetulan sedang memegangnya. Iktikad baik tidak bisa membuat seseorang mendapat keistimewaan hukum dan kebal hukum baik secara perdata maupun pidana. Iktikad baik hanya bisa menjadi pertimbangan dalam menetapkan tingkat hukuman.
Bahwa hak imunitas pejabat atau profesi terdapat dalam beberapa peraturan yaitu UU Kejaksaan, UU Advokat, UU MD3 DPR/MPR, Undang-undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPSK), UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, namun imunitas yang diatur terdapat filter berupa ijin atasan atau ijin pihak lain, adanya kode etik, atau terdapat pemaknaan menyangkut itikad baik berdasar UU yang berlaku. Hal ini jelas berbeda dengan Pasal 27 ayat (2) Perppu dikarenakan menyebut kebal terhadap gugatan perdata dan pidana, tidak adanya filter dan dewan etik sehingga haruslah dibatasi dengan penafsiran yang jelas dan rigid mencegah penyalahgunaan dan multi tafsir ;
Bahwa Pasal 22 UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak telah memberikan makna iktikad baik dalam penjelasannya 42 “Dalam melaksanakan tugasnya didasarkan pada iktikad baik jika Menteri, Wakil Menteri, pegawai Kementerian Keuangan, dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengampunan Pajak, dalam melaksanakan tugasnya tidak untuk mencari keuntungan bagi diri sendiri, keluarga, kelompok, dan/atau tindakan lain yang berindikasi korupsi, kolusi, dan/atau nepotisme” sehingga hal ini dapat dijadikan acuan dalam uji materi batal secara bersyarat Pasal 27 ayat (2) Perppu a quo ;
Bahwa pasal 22 UU Nomor 11 Tahun 2016 disebutkan bahwa Menteri, Wakil Menteri, pegawai Kementerian Keuangan, dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengampunan Pajak, tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut, baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Adapun itikad baik dimaknai dalam Penjelasan Pasal 22 UU No. 11 tahun 2016 yaitu “apabila dalam melaksanakan tugasnya tidak untuk mencari keuntungan bagi diri sendiri, keluarga, kelompok, dan/atau tindakan lain yang berindikasi korupsi, kolusi, dan/atau nepotisme”. Penjelasan ini setidaknya dapat dipakai dalam pemaknaan Pasal 27 ayat (2) Perpuu No. 1 Tahun 2020 sehingga tidak akan ambigu dan multi tafsir;
Bahwa Presiden/Pemerintah dapat berdalih Pasal 27 ayat (2) Perppu a quo telah menyisipkan frasa “jika” untuk mengelak dari tuduhan kebal hukum, namun frasa “jika” __ akan multi tafsir dan pasti pejabat/pelaku akan berlindung frasa __ “itikad baik” untuk menjadi tameng dan dalil lepas dari tuntutan hukum dikarenakan penilaian subjektif dari pelaku/pejabat tentang itikad baik. Apapun dalih itikad baik yang berpotensi itikad buruk dalam mengambil kebijakan tetap harus diuji oleh lembaga peradilan dan tidak boleh menjadi monopoli pejabat untuk menafsirkannya. Dengan demikian demi keadilan, persamaan hukum, demokrasi dan kesejahteraan, Pasal 27 Perppu a quo harus dibatalkan secara bersyarat untuk dimaknai secara tegas dalam rangka menghindarkan ambigu dan multi tafsir; 43 52. Bahwa Pasal 27 ayat (2) Perppu Nomor 1 Tahun 2020 frasa “iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan“ untuk menghindari ambigu dan multi tafsir serta bertentangan dengan UUD 1945 haruslah dimaknai “ apabila dalam melaksanakan tugasnya tidak untuk mencari keuntungan bagi diri sendiri, keluarga, kelompok, dan/atau tindakan lain yang berindikasi korupsi, kolusi, dan/atau nepotisme” , dan terdapat pemaknaan terhadap tidak dapat digugat perdata selain tidak melanggar Undang- Undang haruslah termasuk tidak melanggar kepatutan, susila dan agama sehingga ditambah pemaknaan secara satu nafas dengan iktikad baik yaitu “ tidak melanggar norma kepatutan, norma susila dan norma agama” serta frasa “itikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” tidak boleh dimaknai sepihak penguasa sehingga menghalangi ranah pembuktian dalam proses penegakan hukum;
Bahwa itikad baik penguasa dengan maksud tidak menguntungkan diri sendiri namun dalam prakteknya menguntungkan orang lain dan merugikan negara terdapat contoh sesorang selama ini dianggap tidak melakukan korupsi untuk dirinya namun senyatanya tetap korupsi yaitu: - Pada saat jadi Pengusaha telah memakai uang pinjaman dari Bank milik UKM , semestinya UKM menjadi binaan Pengusaha tersebut tapi senyatanya uang hak UKM dipakai kepentingan pribadi si Pengusaha; - Pada saat menjabat kepala daerah telah memberikan tanah dan bangunan milik negara kepada tim suksesnya tanpa melalui prosedur dan kemudian menguntungkan tim suksesnya; - Pada saat menjabat kepala daerah telah membentuk ULP untuk menampung bantuan luar negeri proyek urbant development dengan menunjuk tim suksesnya untuk mengelola, namun kenyataannya uang bantuan dipakai untuk kepentingan pribadi pengelola tanpa bisa dicegah oleh kepala daerah; - Pada saat menjabat kepala daerah lebih tinggi telah salah melakukan perencanaan dalam pengadaan angkutan masal namun 44 keliru hendak memberikan kendaraan kepada swasta dan telah menimbulkan kerugian negara atas pembayaran uang muka 20%; - Pada maju kontestasi jabatan yang lebih tinggi, orang yang dianggap tidak pernah korupsi tersebut ternyata menerima uang sumbangan kampanye yang berasal dari hasil korupsi penyumbangnya; D. Pasal 27 ayat (3) Perppu Nomor 1 Tahun 2020 54. Bahwa demi persamaan hukum dan pemerintahan (Pasal 27 dan 28 UUD 1045) maka semua keputusan penguasa (pejabat pemerintah) harus dapat diuji di Pengadilan Tata Usaha Negara yang merupakan cabang kekuasaan kehakiman turunan Pasal 24 UUD 1945, sehingga ketentuan Pasal 27 ayat (3) Perppu Nomor 1 Tahun 2020 jelas bertentangan dengan UUD 1945 dan harus dibatalkan;
Bahwa berdasarkan Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, diskresi adalah keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang- undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan. Dasar diterbitkannya keputusan diskresi adalah adanya “keadaan mendesak”, dan pengujian terhadap keputusan diskresi oleh Pengadilan Tata Usaha Negara dilakukan tidak dengan menggunakan peraturan perundang-undangan yang berlaku, melainkan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB) kemudian, produk hukum dari badan/pejabat pemerintahan yang dapat dijadikan objek segketa dan diuji pada pengadilan Tata Usaha Negara berupa keputusan ( beschikking );
Sebagai negara yang bertujuan untuk memajukan kesejahteraan umum, melekatnya fungsi memajukan kesejahteraan umum dalam welfare state (negara kesejahteraan) menimbulkan beberapa konsekuensi terhadap penyelenggaraan pemerintahan yaitu pemerintah harus berperan aktif mencampuri bidang kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Untuk itu kepada pemerintah dilimpahkan bestuurszorg 45 atau public service agar servis publik dapat dilaksanakan dan mencapai hasil maksimal, kepada administrasi negara diberikan suatu kemerdekaan tertentu untuk bertindak atas inisiatif sendiri menyelesaikan berbagai permasalahan pelik yang membutuhkan penanganan secara cepat, sementara terhadap permasalahan itu tidak ada, atau masih belum dibentuk suatu dasar hukum penyelesaiannya oleh lembaga legislatif (Patuan Sinaga, 2001) yang kemudian dalam hukum administrasi negara diberikan kewenangan bebas berupa diskresi;
Bahwa dengan adanya tambahan kewenangan untuk menguji perkara-perkara yang berkaitan dengan tindakan badan atau pejabat pemerintahan dan atau badan hukum lainnya yang menimbulkan kerugian material maupun immaterial, maka semakin lengkap fungsi Pengadilan Tata Usaha Negara sebagai fungsi kontrol yuridis terhadap pemerintah sehingga tidak semestinya dihapuskan atau dikecualikan oleh Pasal 27 ayat (3) Perppu Nomor 1 Tahun 2020. Lintong Oloan Siahaan (2006) mengatakan bahwa Pemerintah sebagai pelayan ( public service ) mempunyai kekuasaan ( power ) untuk melaksanakan tugas pelayanannya tadi, yang apabila disalahgunakan akan menjadi fatal akibatnya dari segi hukum. Untuk itu perlu adanya kontrol, yang dengan demikian kemungkinan akan adanya penyalahgunaan kekuasaan, kesewenang-wenangan dan lain-lain dapat dihindari atau diperkecil kemungkinan. Di dalam literatur yang lain beliau menyebutkan bahwa kontrol yuridis merupakan bagian dari kontrol lain-lainnya terhadap pemerintah seperti kontrol politis, kontrol melalui tromol-tromol pos, kontrol intern administrasi, kontrol ekstern organisasi/lembaga baik yang struktural maupun non struktural (Lintong Oloan Siahaan, 2005). Selanjutnya sebagai dasar untuk melakukan pengujian terhadap keputusan diskresi, Pengadilan Tata Usaha Negara yang akan diamanatkan oleh pasal 1 angka 10 Undang- undang Peradilan Tata Usaha Negara, pasal 1 angka 18 dan Pasal 87 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang menyebutkan keputusan dan/atau tindakan Pejabat Pemerintah dan atau Badan Hukum lainnya yang menggunakan 46 diskresi dapat diuji melalui gugatan di Peradilan Tata Usaha Negara. Selanjutnya mengenai dasar pengujian Pengadilan Tata Usaha Negara dalam memeriksa suatu perkara termasuk di dalamnya adalah terhadap keputusan yang berupa keputusan diskresi adalah pertama-tama dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 1 angka 12 Undang- Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang menyebutkan bahwa Tergugat adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya, yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata;
Bahwa imunitas pejabat tidak dapat digugat melalui PTUN sebagaimana dirumuskan pasal 27 ayat (3) Perppu jelas bertentangan dengan prinsip Hakim mengadili berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa dan prinsip Hakim memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Prinsip ini juga dirumuskan dalam: Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (“UU 48/2009”) yang berbunyi: “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.” Pasal 5 ayat (1) UU 48/2009 yang berbunyi: “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.” 59. Bahwa dengan demikian, berdasarkan alasan-alasan Permohonan tersebut, PARA PEMOHON memohon kepada Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi agar menyatakan Pasal 27 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (PERPPU) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID- 19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan bertentangan dengan konstitusi UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; 47 Berdasarkan uraian-uraian PEMOHON diatas kiranya Yang Mulia Ketua/Wakil Ketua dan Anggota Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Rl berkenan untuk menetapkan dan memutuskan: PETITUM 1. Menerima permohonan PARA PEMOHON seluruhnya;
Menyatakan Pasal 27 ayat (1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6485) bertentangan dengan Undang Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
Menyatakan Pasal 27 ayat (2) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6485) bertentangan dengan Undang Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “ iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan “tidak dimaknai “apabila dalam melaksanakan tugasnya tidak untuk mencari keuntungan bagi diri sendiri, keluarga, kelompok, dan/atau tindakan lain yang berindikasi korupsi, kolusi, dan/atau nepotisme, serta tidak melanggar norma kepatutan , norma susila dan norma agama” 4. Menyatakan Pasal 27 ayat (3) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 87, 48 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6485) bertentangan dengan Undang Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya; _ATAU; _ Apabila Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, _mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono); _ __ [2.2] Menimbang bahwa untuk membuktikan permohonannya, para Pemohon telah mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-29 sebagai berikut:
Bukti P-1 : Fotokopi Akta pendirian Notaris Ikke Lucky A, SH Nomor: 175 tanggal 30 April 2007;
Bukti P-2 : Fotokopi Kartu Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) Ormas Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI):
424.324.7- 532.000 tgl 25-11-2011;
Bukti P-3 : Fotokopi Surat Keterangan Terdaftar (SKT) Kemendagri No: 01-00-00/0115/D.III.4/XI/2012 tgl 9 November 2012;
Bukti P-4 : Fotokopi Akta Pendirian Yayasan Mega Bintang Solo Indonesia 1997, No. 19, tanggal 22 Februari 2014, yang dibuat oleh Eret Hartanto, S.H., Notaris di Kota Surakarta;
Bukti P-5 : Fotokopi Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor: AHU-1158.AH.01.04.TAHUN 2014, tertanggal 04 Maret 2014;
Bukti P-6 : Fotokopi Akta Pendirian Lembaga Kerukunan Masayarakat Abdi Keadilan Indonesia (KEMAKI) Nomor 31, tanggal 30 Desember 2019, dibuat oleh Eret Hartanto, S.H., Notaris di Kota Surakarta;
Bukti P-7 : Fotokopi Akta Pendirian LP3HI Nomor 01, Tanggal 6 September 2014 dibuat oleh Hafid, S.H., Notaris di Kota Surakarta;
Bukti P-8 : Fotokopi Surat Keterangan Terdaftar Nomor: 01-00- 00/001/I/2020, tanggal 6 Januari 2020; 49 9. Bukti P-9 : Fotokopi Akta Pendirian PEKA No. 02, Tanggal 25 Oktober 2016 yang dibuat oleh Hafid, S.H., Notaris di Kota Surakarta;
Bukti P-10 : Fotokopi Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor: AHU-0077592.AH.01.07.TAHUN 2016, tertanggal 04 November 2016;
Bukti P-11 : Fotokopi KTP Boyamin;
Bukti P-12 : Fotokopi KTP Komaryono;
Bukti P-13 : Fotokopi KTP Arif Sahudi;
Bukti P-14 : Fotokopi KTP Marselinus Edwin Hardian, S.H.;
Bukti P-15 : Fotokopi KTP Roberto Bellarmino Raynaldy Hardian;
Bukti P-16 : Fotokopi KTP Sapto Dumadi Ragil Raharjo, S.H.;
Bukti P-17 : Fotokopi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan;
Bukti P-18 : Fotokopi Putusan Kasasi Mahkamah Agung No. 861 K/Pid.Sus/2015 pada halaman 826;
Bukti P-19 : Fotokopi KTP Abdul Rochim;
Bukti P-20 : Fotokopi KTP Prijatno;
Bukti P-21 : Fotokopi KTP Emilia Sulistiawati;
Bukti P-22 : Fotokopi SIM A Kurniawan Adi Nugroho, S.H.;
Bukti P-23 : Fotokopi KTP Utomo Kurniawan;
Bukti P-24 : Fotokopi KTP Dwi Nurdiansyah Santoso;
Bukti P-25 : Fotokopi KTP Imron Supomo, S.H.;
Bukti P-26 : Fotokopi Salinan Putusan Praperadilan Nomor 15/Pid.Pra/2020/PN.Jkt.Sel. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan;
Bukti P-27 : Fotokopi Salinan Putusan Praperadilan Nomor 24/Pid.Pra/2018/PN.Jkt.Sel. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan; 50 28. Bukti P-28 : Fotokopi Putusan Praperadilan Nomor 04/Pid.Prap/2008/PN.Jkt.Sel. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan;
Bukti P-29 : Fotokopi Putusan Nomor 2042/Pid.B/2001/PN.Jkt.Pst. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, atas nama Terpidana Paul Soetopo Tjokronegoro, S.E., M.E., M.PE. [2.3] Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon, Presiden menyampaikan keterangan dalam persidangan tanggal 20 Mei 2020, yang pada pokoknya mengemukakan hal-hal sebagai berikut: Bahwa Dewan Perwakilan Rakyat dalam Rapat Paripurna pada tanggal 12 Mei 2020 telah menyetujui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan. Selanjutnya Presiden pada tanggal 16 Mei 2020 telah mengesahkan Perpu tersebut menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6516, selanjutnya disebut UU 2/2020). Untuk mendukung keterangannya, Presiden/Pemerintah menyerahkan dokumen berupa surat dari Kementerian Sekretariat Negara Republik Indonesia Nomor B-184/Kemensetneg/D-1/HK.00.02/05/2020, bertanggal 18 Mei 2020. perihal “Permohonan Pengundangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia”, yang ditujukan kepada Menteri Hukum dan HAM up Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM. [2.4] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, segala sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam Berita Acara 51 Persidangan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini.
PERTIMBANGAN HUKUM Kewenangan Mahkamah [3.1] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya disebut UU MK), dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076), Mahkamah berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945; [3.2] Menimbang bahwa oleh karena permohonan para Pemohon adalah pengujian konstitusionalitas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan (selanjutnya disebut Perpu 1/2020) terhadap UUD 1945 maka Mahkamah perlu mengutip kembali Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009, bertanggal 8 Februari 2010, sebagaimana telah dipertimbangkan pula dalam Putusan Nomor 1-2/PUU-XII/2014, bertanggal 13 Februari 2014. Mahkamah dalam Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009 yang dalam pertimbangannya, antara lain, pada Paragraf [3.13] menyatakan, “...Perpu melahirkan norma hukum dan sebagai norma hukum baru akan dapat menimbulkan: (a) status hukum baru, (b) hubungan hukum baru, dan (c) akibat hukum baru. Norma hukum tersebut lahir sejak Perpu disahkan dan nasib dari norma hukum tersebut tergantung kepada persetujuan DPR untuk menerima atau menolak norma hukum Perpu, namun demikian sebelum adanya pendapat DPR 52 untuk menolak atau menyetujui Perpu, norma hukum tersebut adalah sah dan berlaku seperti Undang-Undang. Oleh karena dapat menimbulkan norma hukum yang kekuatan mengikatnya sama dengan Undang-Undang maka terhadap norma yang terdapat dalam Perpu tersebut Mahkamah dapat menguji apakah bertentangan secara materiil dengan UUD 1945. Dengan demikian Mahkamah berwenang untuk menguji Perpu terhadap UUD 1945 sebelum adanya penolakan atau persetujuan oleh DPR, dan setelah adanya persetujuan DPR karena Perpu tersebut telah menjadi Undang-Undang”. [3.3] Menimbang bahwa oleh karena permohonan yang diajukan dalam permohonan a quo adalah pengujian konstitusionalitas Perpu 1/2020 yang pada saat pengajuan permohonan dan pada sidang pertama Mahkamah dengan agenda pemeriksaan pendahuluan, Perpu 1/2020 belum disetujui atau tidak disetujui oleh DPR maka Mahkamah berwenang untuk menguji Perpu 1/2020. Kedudukan Hukum para Pemohon [3.4] Menimbang bahwa berkenaan dengan pengujian konstitusionalitas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu), oleh karena Mahkamah telah berpendapat bahwa Mahkamah berwenang menguji konstitusionalitas Perpu maka ketentuan tentang kedudukan hukum para Pemohon dalam pengujian konstitusionalitas undang-undang juga berlaku dalam pengujian konstitusionalitas Perpu; [3.5] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu Undang-Undang, yaitu:
perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama);
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
badan hukum publik atau privat;
lembaga negara; 53 Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian Undang-Undang, in casu Perpu, terhadap UUD 1945 harus menjelaskan terlebih dahulu:
kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK;
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian; [3.6] Menimbang pula bahwa Mahkamah sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007 bertanggal 20 September 2007, serta putusan- putusan selanjutnya berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi lima syarat, yaitu:
adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab-akibat ( causal verband ) antara kerugian dimaksud dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; [3.7] Menimbang bahwa berdasarkan uraian sebagaimana tersebut pada Paragraf [3.5] dan Paragraf [3.6] di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan mengenai kedudukan hukum para Pemohon sebagai berikut: [3.7.1] Bahwa Pemohon I, Perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), adalah organisasi masyarakat berbadan hukum berbentuk perkumpulan sebagaimana dibuktikan dengan Akta Pendirian Perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia yang dibuat dihadapan Notaris Ikke Lucky A, S.H. Nomor 175 tanggal 30 April 2007 dan telah didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Sukoharjo Nomor 8/2007/PN.SKH. tanggal 3 Mei 2007 yang berdasarkan Pasal 4 54 Akta Pendirian memiliki maksud dan tujuan membantu Pemerintah dan Negara dalam bidang pemberdayaan masyarakat untuk menegakkan hukum, keadilan, dan hak asasi manusia serta mencegah dan memberantas segala bentuk korupsi, kolusi, dan nepotisme [bukti P-1]. Pemohon I juga memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak/NPWP [bukti P-2] dan terdaftar sebagai Organisasi Masyarakat di Kementerian Dalam Negeri [bukti P-3]. Pemohon I dalam permohonan ini diwakili oleh Boyamin Bin Saiman selaku Koordinator dan Pendiri, Komaryono, S.H. selaku Deputi, dan Abdul Rochim selaku Bendahara, kesemuanya adalah badan pengurus perkumpulan yang berdasarkan Pasal 12 Akta Pendirian adalah sah dan berwenang bertindak untuk dan atas nama Perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) selaku Pemohon dalam permohonan a quo ; [3.7.2] Bahwa Pemohon II, Yayasan Mega Bintang Solo Indonesia 1997, adalah yayasan berbadan hukum sebagaimana dibuktikan dengan Akta Pendirian Yayasan Mega Bintang Solo Indonesia 1997 yang dibuat dihadapan Notaris Eret Hartanto, S.H., Nomor 19, tanggal 22 Februari 2014 yang berdasarkan Pasal 2 dan Pasal 3 Akta Pendirian mempunyai maksud, tujuan, dan kegiatan di bidang sosial dan kemanusian [bukti P-4]. Akta pendirian tersebut kemudian disahkan oleh Kementerian Hukum dan HAM berdasarkan Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor AHU-1158.AH.01.04.TAHUN 2014, tertanggal 04 Maret 2014 [bukti P-5]. Pemohon II dalam permohonan ini diwakili oleh Boyamin Bin Saiman selaku Ketua, Arif Sahudi, S.H., M.H. selaku Sekretaris, dan Prijatno selaku Bendahara, kesemuanya adalah pengurus yang berdasarkan Pasal 16 Akta Pendirian adalah sah dan berwenang bertindak untuk dan atas nama Yayasan Mega Bintang Solo Indonesia 1997 selaku Pemohon dalam permohonan a quo ; [3.7.3] Bahwa Pemohon III, Lembaga Kerukunan Masyarakat Abdi Keadilan Indonesia (KEMAKI), adalah organisasi masyarakat berbadan hukum sebagaimana dibuktikan dengan Akta Lembaga Kemasyarakatan Kerukunan Masyarakat Abdi Keadilan Indonesia yang dibuat dihadapan Notaris Eret Hartanto, S.H., Nomor 31, tanggal 30 Desember 2019, yang berdasarkan Pasal 4 Akta Lembaga mempunyai maksud dan tujuan membantu pemerintah dan Negara Republik Indonesia dalam bidang pemberdayaan masyarakat untuk bersama- sama secara rukun untuk menegakkan keadilan hukum dan pelayanan pemerintahan dengan prinsip mengabdi pemenuhan hak asasi manusia guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat [bukti P-6]. Pemohon III dalam 55 permohonan ini diwakili oleh Marselinus Edwin Hardian, S.H. selaku Ketua, Roberto Bellarmino Raynaldy Hardian selaku Sekretaris, dan Emilia Sulistiawati selaku Bendahara, kesemuanya adalah termasuk pengurus yang berdasarkan Pasal 7 Akta Lembaga adalah sah dan berwenang bertindak untuk dan atas nama Lembaga Kemasyarakatan Kerukunan Masyarakat Abdi Keadilan Indonesia (KEMAKI) selaku Pemohon dalam permohonan a quo ; [3.7.4] Bahwa Pemohon IV, Lembaga Pengawasan, Pengawalan, dan Penegakan Hukum Indonesia (LP3HI), adalah organisasi kemasyarakatan berbadan hukum sebagaimana dibuktikan dengan Akta Lembaga Pengawasan, Pengawalan, dan Penegakan Hukum Indonesia yang dibuat dihadapan Notaris Hafid, S.H., M.H., Nomor 01, tanggal 06 September 2014, yang berdasarkan Pasal 3 Akta Lembaga memiliki maksud dan tujuan salah satunya mengawasi/memantau/mengontrol pelaksanaan Penegakan Hukum yang dilakukan oleh Pejabat yang berwenang [bukti P-7]. Pemohon IV juga telah terdaftar sebagai Organisasi Kemasyarakatan di Kementerian Dalam Negeri [bukti P-8]. Pemohon IV dalam permohonan ini diwakili oleh Arif Sahudi, S.H., M.H. selaku Ketua, Kurniawan Adi Nugroho, S.H. selaku Wakil Ketua, Utomo Kurniawan selaku Sekretaris, dan Dwi Nurdiansyah Santoso selaku Bendahara, kesemuanya adalah badan pengurus yang berdasarkan Pasal 10 Akta Lembaga adalah sah dan berwenang bertindak untuk dan atas nama Lembaga Pengawasan, Pengawalan, dan Penegakan Hukum Indonesia (LP3HI) selaku Pemohon dalam permohonan a quo ; [3.7.5] Bahwa Pemohon V, Perkumpulan Bantuan Hukum Peduli Keadilan (PEKA), adalah organisasi masyarakat berbadan hukum berbentuk perkumpulan sebagaimana dibuktikan dengan Akta Pendirian Perkumpulan Bantuan Hukum Peduli Keadilan yang dibuat dihadapan Hafid, S.H., M.H., Nomor 02 tanggal 25 Oktober 2016 yang berdasarkan Pasal 8 Akta Pendirian memiliki maksud dan tujuan sebagai wadah bagi mereka yang peduli terhadap nilai-nilai negara hukum dan martabat serta hak-hak asasi manusia pada umumnya dan meninggikan kesadaran hukum dalam masyarakat pada khususnya, baik kepada pejabat maupun warga negara biasa, agar supaya mereka sadar akan hak-hak dan kewajiban-kewajiban sebagai subjek hukum [bukti P-9]. Akta pendirian tersebut kemudian disahkan oleh Kementerian Hukum dan HAM berdasarkan Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor AHU- 56 0077592.AH.01.07.TAHUN 2016, tertanggal 04 November 2016 [bukti P-10]. Pemohon V dalam permohonan ini diwakili oleh Arif Sahudi, S.H., M.H. selaku Ketua, Sapto Dumadi Ragil Raharjo, S.H. selaku Sekretaris, dan Imron Supomo, S.H. selaku Bendahara, kesemuanya adalah pengurus yang berdasarkan Pasal 26 Akta Pendirian adalah sah dan berwenang bertindak untuk dan atas nama Perkumpulan Bantuan Hukum Peduli Keadilan (PEKA) selaku Pemohon dalam permohonan a quo ; [3.7.6] Bahwa berdasarkan uraian pada paragraf [3.7.1] sampai dengan paragraf [3.7.5] di atas telah ternyata keseluruhan Pemohon adalah badan hukum (untuk selanjutnya disebut para Pemohon); [3.7.7] Bahwa dalam menjelaskan anggapannya perihal kerugian hak konstitusionalnya yang disebabkan oleh berlakunya ketentuan atau norma Perpu 1/2020 yang dimohonkan pengujian, yaitu hak-hak sebagaimana tertera dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 7A, Pasal 23E, Pasal 24 ayat (1), Pasal 27, dan Pasal 28 UUD 1945 yang disebabkan oleh norma Pasal 27 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Perpu 1/2020, para Pemohon menerangkan sebagai berikut:
menurut para Pemohon, berlakunya Pasal 27 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Perpu 1/2020 yang menjadikan penguasa atau pejabat yang disebut KKSK [sic!] akan menjadi kebal hukum, tidak dapat dituntut secara hukum baik perdata, pidana maupun PTUN dengan dalih itikad baik dan bukan kerugian negara, sehingga kekebalan tersebut menciderai rasa keadilan seluruh rakyat termasuk para Pemohon;
menurut para Pemohon, hak-hak konstitusionalnya yang dirugikan akibat berlakunya Pasal 27 Perpu 1/2020 tidak akan terjadi dengan dikabulkannya permohonan yakni hak para Pemohon atas hidup dalam suatu bentuk negara yang berdasar hukum, hak persamaan hukum, hak kontrol para Pemohon melalui DPR, hak menikmati keuangan secara adil dan sejahtera, dan hak memperoleh keadilan berdasar proses hukum yang adil, independen dan terbuka; Berdasarkan uraian para Pemohon dalam menerangkan kedudukan hukumnya di atas, Mahkamah berpendapat bahwa, terlepas dari terbukti atau tidaknya dalil para Pemohon mengenai inkonstitusionalitas norma Pasal 27 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Perpu 1/2020 yang dimohonkan pengujian, bahwa para 57 Pemohon telah secara spesifik menjelaskan hak konstitusionalnya yang oleh para Pemohon dianggap dirugikan karena berlakunya Pasal 27 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Perpu 1/2020, di mana telah terlihat pula kausalitas anggapan para Pemohon perihal potensi kerugian hak konstitusional dimaksud dengan norma Pasal 27 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Perpu 1/2020 yang dimohonkan pengujian sehingga jika permohonan dikabulkan, kerugian demikian tidak akan terjadi. Dengan demikian, para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian Pasal 27 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Perpu 1/2020. [3.8] Menimbang bahwa meskipun para Pemohon mempunyai kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo , namun sebelum mempertimbangkan pokok permohonan para Pemohon, Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan fakta hukum baru terkait permohonan pengujian Pasal 27 Perpu 1/2020 a quo . Fakta hukum baru demikian berupa adanya perubahan status hukum Perpu 1/2020; [3.9] Menimbang bahwa dalam persidangan pemeriksaan pada tanggal 20 Mei 2020 Mahkamah mengagendakan untuk meminta keterangan kepada Presiden dan DPR perihal persetujuan Perpu 1/2020 menjadi undang-undang. Dalam sidang pemeriksaan tersebut kuasa hukum Presiden menerangkan Perpu 1/2020 telah disetujui oleh DPR menjadi undang-undang. Bahwa, menurut kuasa hukum Presiden, Perpu 1/2020 yang mendapat persetujuan DPR untuk menjadi undang-undang dan kemudian telah disahkan oleh Presiden pada tanggal 16 Mei 2020. Selanjutnya, diundangkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia pada tanggal 18 Mei 2020 menjadi Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6516, selanjutnya disebut UU 2/2020). Untuk mendukung keterangan tersebut, kuasa hukum Presiden telah menyerahkan dokumen berupa surat dari Kementerian 58 Sekretariat Negara Republik Indonesia Nomor B-184/Kemensetneg/D- 1/HK.00.02/05/2020, bertanggal 18 Mei 2020, perihal “Permohonan Pengundangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia”, yang ditujukan kepada Menteri Hukum dan HAM up Direktur Jenderal Peraturan Perundang- undangan Kementerian Hukum dan HAM. Oleh karena itu, berdasarkan fakta hukum tersebut di atas Mahkamah meyakini bahwa Perpu 1/2020 telah menjadi UU 2/2020; [3.10] Menimbang bahwa dengan diundangkannya UU 2/2020 maka Perpu 1/2020 sudah tidak lagi ada secara hukum. Hal demikian berakibat permohonan para Pemohon yang diajukan untuk pengujian konstitusionalitas Perpu 1/2020 telah kehilangan objek; [3.11] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo dan para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo , namun disebabkan permohonan para Pemohon telah kehilangan objek, maka Mahkamah tidak akan mempertimbangkan pokok permohonan para Pemohon dan hal-hal lain yang terkait dengan permohonan tidak pula dipertimbangkan.
KONKLUSI Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan: [4.1] Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo ; [4.2] Para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo ; [4.3] Permohonan para Pemohon kehilangan objek; [4.4] Pokok permohonan para Pemohon dan hal-hal lain tidak dipertimbangkan. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang 59 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), serta Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5076).
AMAR PUTUSAN Mengadili , Menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima. Demikian diputus dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi, yaitu Anwar Usman, selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto, Wahiduddin Adams, Daniel Yusmic P. Foekh, Arief Hidayat, Enny Nurbaningsih, Manahan M.P. Sitompul, Saldi Isra, dan Suhartoyo, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Senin, tanggal lima belas, bulan Juni, tahun dua ribu dua puluh , yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Selasa, tanggal dua puluh tiga, bulan Juni, tahun dua ribu dua puluh , selesai diucapkan pukul 11.57 WIB , oleh sembilan Hakim Konstitusi, yaitu Anwar Usman, selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto, Wahiduddin Adams, Daniel Yusmic P. Foekh, Arief Hidayat, Enny Nurbaningsih, Manahan M.P. Sitompul, Saldi Isra, dan Suhartoyo, masing-masing sebagai Anggota, dibantu oleh Syukri Asy’ari sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh para Pemohon/kuasanya, Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili, dan Presiden atau yang mewakili. KETUA, ttd. Anwar Usman ANGGOTA-ANGGOTA, 60 ttd. Aswanto ttd. Wahiduddin Adams ttd. Daniel Yusmic P. Foekh ttd. Arief Hidayat ttd. Enny Nurbaningsih ttd. Manahan M.P. Sitompul ttd. Saldi Isra ttd. Suhartoyo PANITERA PENGGANTI, ttd. Syukri Asy’ari
Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 217/PMK.01/2018 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan. ...
Pengujuan UU no. 11 tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak (Pasal 1 angka 1 dan angka 7, Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 ayat (1), Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6 ...
Pengujuan UU no. 11 tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak (Pasal 1 angka 1, Pasal 3 ayat (3), Pasal 4, Pasal 21 ayat (2), Pasal 22, dan pasal ayat (2 ...