Tarif Layanan Badan Layanan Umum Universitas Hasanuddin pada Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi. ...
Pertanggungjawaban atas Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2006.
Pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tah ...
Relevan terhadap
(1) Komisi, gabungan komisi, atau Badan Legislasi sebagai pengusul rancangan undang-undang, diprioritaskan untuk ditugaskan membahas rancangan undang-undang. (2) Komisi, gabungan komisi, Badan Legislasi, atau panitia khusus yang mendapat tugas penyempurnaan rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 ayat (1) langsung bertugas membahas rancangan undang-undang. • Berdasarkan Pasal 130 dan Pasal 131 Tata Tertib DPR di atas maka alat kelengkapan DPR bertugas membahas Rancangan Undang-Undang setelah ada penugasan terlebih dulu dari Badan Musyawarah (BAMUS). Oleh karena itu, menurut Mahkamah, tenggang waktu satu bulan pembahasan RUU APBN-P setelah diajukan oleh Pemerintah adalah setelah alat kelengkapan DPR ditugaskan terlebih dulu oleh BAMUS. Dalam perkara a quo dimulainya pembahasan RUU APBN-P 2012 di DPR adalah pada tanggal 6 Maret 2012 (vide keterangan tertulis DPR) sehingga masa berakhirnya satu bulan adalah 4 April 2012. Dengan demikian, dalil para Pemohon bahwa UU 4/2012 melewati waktu satu bulan adalah tidak beralasan menurut hukum; 138 • Mengenai dalil para Pemohon bahwa persetujuan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan APBN 2012 menjadi Undang-Undang yang dilakukan oleh Rapat Paripurna DPR RI dilakukan pada hari Sabtu, tanggal 31 Maret 2012 yang merupakan hari libur dan bukan hari kerja, menurut Mahkamah, berdasarkan Pasal 219 ayat (2) Tata Tertib DPR yang menyatakan “ penyimpangan dari waktu rapat ditentukan oleh rapat yang bersangkutan ” juncto Pasal 247 ayat (2) Tata Tertib DPR yang menyatakan, “ Ketua rapat menunda penyelesaian acara rapat untuk dibicarakan dalam rapat berikutnya atau meneruskan penyelesaian acara rapat atas persetujuan rapat apabila acara yang ditetapkan untuk suatu rapat belum terselesaikan, sedangkan waktu rapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 219 telah berakhir”. Dengan mendasarkan pada Pasal 219 ayat (2) dan Pasal 247 ayat (2) Tata Tertib DPR-RI, menurut Mahkamah, dalil Pemohon bahwa Undang-Undang APBN Perubahan ditetapkan pada hari libur dan bukan hari kerja adalah tidak beralasan menurut hukum. Hal tersebut sejalan dengan keterangan tertulis DPR, bertanggal Juni 2012, halaman 15 sampai dengan halaman 17; • Berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, menurut Mahkamah, dalil permohonan para Pemohon mengenai pengujian formil UU 4/2012 tidak terbukti dan tidak beralasan menurut hukum; Pengujian Materiil [3.16] Menimbang bahwa dalam UUD 1945 diatur bahwa APBN ditetapkan setiap tahun dengan Undang-Undang. Artinya APBN disusun atas dasar persetujuan bersama antara DPR dan Presiden. Namun, pembentukan Undang- Undang APBN berbeda dengan pembuatan Undang-Undang pada umumnya, RUU APBN selalu berasal dari Presiden yang kemudian dibahas bersama dengan DPR dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah, sedangkan Undang-Undang pada umumnya pengajuan RUU merupakan kewenangan DPR dan juga dapat diajukan oleh Presiden. Undang-Undang APBN mempunyai batas waktu berlaku hanya untuk satu tahun anggaran, hal ini berbeda dengan Undang-Undang pada umumnya yang tidak membatasi jangka berlakunya. UU APBN diperlukan adanya setiap tahun, dan apabila Undang-Undang APBN tidak dapat ditetapkan karena DPR tidak menyetujui RUU APBN yang diajukan oleh Presiden maka Pemerintah menjalankan APBN tahun anggaran sebelumnya. 139 Pemberlakuan APBN sebelumnya dimaksudkan agar tidak terjadi kekosongan hukum, mengingat APBN sangatlah penting untuk menjamin terselenggaranya pemerintahan. Dari segi substansi, Undang-Undang APBN adalah rencana keuangan yang mencerminkan pilihan kebijakan untuk satu tahun anggaran. Pilihan kebijakan tersebut menyangkut perkiraan penerimaan dan pengeluaran yang diharapkan akan terjadi dalam suatu periode di masa depan. Sebagai Undang-Undang yang mempunyai kekuatan mengikat, Undang-Undang APBN mengikat Pemerintah dalam menghimpun pendapatan baik dari aspek jumlah maupun sumber pendapatan tersebut dan demikian juga halnya dalam pembelanjaannya. Sebagai rencana maka Undang-Undang APBN terbuka untuk dilakukan revisi atau perubahan apabila asumsi-asumsi yang digunakan untuk dasar penyusunannya mengalami perubahan, sehingga diperlukan penyesuaian, namun tetap dalam jangka waktu berlakunya APBN, yaitu satu tahun anggaran; [3.17] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, Mahkamah selanjutnya akan mempertimbangkan dalil-dalil para Pemohon sebagai berikut: [3.17.1] Para Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 7 ayat (1) UU 4/2012 bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), Pasal 28H ayat (1) dan ayat (3), Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 dengan alasan yang pada pokoknya; • Bahwa Pemerintah tidak pernah mempublikasikan secara terbuka kepada masyarakat Indonesia mengenai alasan, dasar, dan mekanisme penghitungan perubahan subsidi pada Pasal 7 ayat (1) UU 4/2012 yang pada faktanya nominal yang dialokasikan bertambah dalam jumlah yang besar. Masyarakat Indonesia hanya mengetahui proses Sidang Paripurna yang dilakukan pada tanggal 30 Maret 2012 yang hanya membahas mengenai Pasal 7 ayat (6a) UU 4/2012, sedangkan perubahan pasal lain dalam UU 4/2012 dibahas oleh Badan Anggaran DPR RI dengan mekanisme Sidang Tertutup untuk umum. Hal ini jelas tidak ada mekanisme keterbukaan seperti yang diamanatkan oleh Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 dalam menentukan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; __ • Bahwa terhadap jumlah alokasi dana yang besar tanpa adanya kejelasan tujuan dan keterbukaan, seharusnya Pemerintah mengalokasikan dana tersebut pada sektor-sektor yang lebih membutuhkan demi kesejahteraan setiap warga negara 140 Indonesia yaitu bidang pembangunan sarana transportasi publik, tunjangan perumahan bagi buruh dan rakyat miskin lainnya, serta pendidikan gratis sampai jenjang perguruan tinggi sesuai dengan amanat Pasal 28H ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945; • Dengan Pemerintah menyandarkan jumlah subsidi BBM pada Mid Oil Platt's Singapore (MOPS) yang merupakan mekanisme pasar dalam penentuan harga dan penghitungan subsidi BBM maka secara jelas Pemerintah telah salah dalam menentukan kebijakan ( beleid ) dan telah salah urus, karena seharusnya Pemerintah sesuai dengan amanat Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 tidak menyandarkan jumlah subsidi dengan mekanisme pasar sehingga frasa “ dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat ” tidak akan pernah terwujud. Hal demikian mengakibatkan kerugian bagi buruh dan masyarakat Indonesia pada umumnya karena BBM beserta subsidinya tidak akan pernah dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat; Menimbang bahwa terhadap dalil para Pemohon tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: • Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “ Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat ”. Dari ketentuan tersebut maka proses pembahasan dan penetapan UU 4/2012 menurut Mahkamah telah selaras dengan ketentuan Pasal 20 ayat (2), Pasal 22A, dan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945; __ • Dilihat dari segi substansi UU APBN yang merupakan rencana keuangan yang mencerminkan pilihan kebijakan untuk satu tahun anggaran, dan UU APBN terbuka untuk dilakukan revisi atau perubahan apabila asumsi-asumsi yang digunakan untuk dasar penyusunannya mengalami perubahan, sehingga diperlukan penyesuaian, namun tetap dalam jangka waktu berlakunya APBN, yaitu satu tahun anggaran. Oleh karena itu perubahan jumlah Anggaran tentang subsidi bahan bakar minyak (BBM) jenis tertentu dan bahan bakar gas cair [ liquefied petroleum gas (LPG)] tabung 3 (tiga) kilogram Tahun Anggaran 2012 yang direncanakan sebanyak Rp. 123.599.674.000.000,00 (seratus dua puluh tiga triliun lima ratus sembilan puluh sembilan miliar enam ratus tujuh 141 puluh empat juta rupiah) bertambah menjadi sebanyak Rp 137.379.845.300.000,00 (seratus tiga puluh tujuh triliun tiga ratus tujuh puluh sembilan miliar delapan ratus empat puluh lima juta tiga ratus ribu rupiah), dengan volume BBM jenis tertentu sebanyak 40.000.000 (empat puluh juta) kilo liter dalam Pasal 7 ayat (1) UU 4/2012 adalah dikarenakan asumsi-asumsi yang digunakan untuk dasar penyusunannya mengalami perubahan, sehingga diperlukan penyesuaian. Adapun perubahan APBN dalam UU 4/2012 memiliki dasar pertimbangan sebagai berikut: __ i. Sejak ditetapkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2012, telah terjadi perubahan dan perkembangan pada faktor internal dan eksternal, sehingga asumsi dasar ekonomi makro yang digunakan dalam APBN 2012 sudah tidak relevan dan perlu disesuaikan;
ii. Tingkat inflasi dalam tahun 2012 diperkirakan akan mencapai 6,8% (enam koma delapan persen), lebih tinggi bila dibandingkan dengan laju inflasi yang ditetapkan dalam APBN Tahun 2012. Peningkatan laju inflasi ini selain dipengaruhi oleh meningkatnya harga beberapa komoditas internasional, juga dipengaruhi oleh rencana kebijakan administered price di bidang energi dan pangan; iii. Nilai tukar rupiah dalam tahun 2012 diperkirakan mencapai Rp.9.000,00 (sembilan ribu rupiah) per satu dolar Amerika Serikat, melemah dari asumsinya dalam APBN Tahun Anggaran 2012. Pelemahan ini didorong antara lain oleh ketidakpastian ekonomi global yang diprediksi berlanjut pada tahun 2012;
iv. Harga minyak internasional pada awal tahun 2012 mengalami peningkatan seiring dengan terbatasnya pasokan minyak mentah dunia terkait ketegangan geopolitik di negara-negara teluk yang mempengaruhi pasokan minyak mentah dunia;
Kenaikan tersebut juga terjadi pada ICP, yang cenderung meningkat, jika dibandingkan dengan harga rata-ratanya selama tahun 2011. Perkembangan ini diperkirakan akan berlanjut sepanjang tahun 2012 sehingga asumsi harga rata-rata minyak mentah Indonesia selama tahun 142 2012 diperkirakan mencapai US$105,0 (seratus lima koma nol dolar Amerika Serikat) per barel;
vi. Lifting minyak dalam tahun 2012 diperkirakan mencapai 930 (sembilan ratus tiga puluh) ribu barel per hari, di bawah target dalam APBN Tahun Anggaran 2012. Hal ini antara lain terkait dengan menurunnya kapasitas produksi dari sumur-sumur tua, dan dampak diberlakukannya Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Selain itu, penurunan tersebut juga dipengaruhi faktor unplanned shut down dan hambatan non-teknis seperti permasalahan di daerah dan lain-lain; vii. Perubahan pada besaran asumsi dasar ekonomi makro, pada gilirannya berpengaruh pula pada besaran APBN, dan akan diikuti dengan perubahan kebijakan fiskal dalam upaya untuk menyehatkan APBN melalui pengendalian defisit anggaran pada tingkat yang aman. (vide keterangan tertulis DPR); • Pasal 27 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara juncto Pasal 42 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2012 menyatakan, “ Penyesuaian APBN Tahun Anggaran 2012 dengan perkembangan dan/atau perubahan keadaan dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan Pemerintah dalam rangka penyusunan perkiraan perubahan atas APBN Tahun _Anggaran 2012, apabila terjadi: _ i. perkiraan perkembangan ekonomi makro yang tidak sesuai dengan asumsi _yang digunakan dalam APBN Tahun Anggaran 2012; _ _ii. perubahan pokok-pokok kebijakan fiskal; _ iii. keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran _antarunit organisasi, antarprogram, dan/atau antarjenis belanja; dan/atau _ iv. keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih (SAL) tahun sebelumnya harus digunakan untuk pembiayaan anggaran tahun berjalan” . • Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah dalil para Pemohon bahwa Pasal 7 ayat (1) UU 4/2012 bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 adalah tidak beralasan hukum; 143 • Keinginan para Pemohon mengenai pengalihan subsidi pada sektor-sektor yang lebih membutuhkan demi kesejahteraan setiap warga negara Indonesia yaitu bidang pembangunan sarana transportasi publik, tunjangan perumahan bagi buruh dan rakyat miskin lainnya sebagaimana didalilkan, menurut Mahkamah adalah keinginan yang wajar, namun tidak berarti bahwa subsidi yang termuat dalam Pasal 7 ayat (1) UU 4/2012 menjadi bertentangan dengan Pasal 28H ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945, karena hak yang ditentukan dalam Pasal 28H ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945, tidak hanya menjadi kewajiban Pemerintah untuk memenuhinya tetapi juga kewajiban para Pemohon sendiri untuk mengusahakannya. Pasal 7 ayat (1) UU 4/2012 adalah salah satu cara Pemerintah sebagai representasi negara memenuhi Pasal 28H ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945. Oleh karena itu, menurut Mahkamah dalil para Pemohon adalah tidak beralasan hukum; • Bahwa selanjutnya mengenai dalil para Pemohon bahwa dengan menyandarkan jumlah subsidi BBM pada Mid Oil Platt's Singapore (MOPS) yang merupakan mekanisme pasar dalam penentuan harga dan penghitungan subsidi BBM maka Pasal 7 ayat (1) UU 4/2012 bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945. Menurut Mahkamah, sebagaimana diketahui oleh khalayak ramai ( notoire feiten ), hasil pembahasan antara Pemerintah dengan Dewan Perwakilan Rakyat telah memutuskan untuk memberi kewenangan kepada Pemerintah melakukan penyesuaian harga BBM bersubsidi dalam hal harga rata-rata minyak mentah Indonesia ( Indonesian Crude Price/ICP ) dalam kurun waktu berjalan mengalami kenaikan atau penurunan lebih dari 15% (lima belas persen) dari harga ICP yang diasumsikan dalam APBN-P Tahun 2012. Menurut Mahkamah, justru dengan adanya pembahasan antara Pemerintah dengan DPR tersebut berarti harga BBM bersubsidi tidak diserahkan pada mekanisme pasar atau persaingan usaha, melainkan ditentukan oleh Pemerintah dengan mempertimbangkan perkembangan yang terjadi karena APBN berkaitan dengan banyak aspek. Dengan adanya pembahasan dan persetujuan bersama antara DPR dan Pemerintah berarti penentuan harga BBM bersubsidi tersebut tidak dengan sendirinya mengikuti mekanisme pasar atau persaingan usaha karena penentuan harga BBM bersubsidi telah dimusyawarahkan oleh pembentuk Undang-Undang. Hal itu sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 144 002/PUU-I/2003, tanggal 21 Desember 2004. Terlebih lagi faktanya, yang dikhawatirkan bahwa harga BBM akan mengalami kenaikan juga tidak terjadi. Dengan demikian, alasan pengujian para Pemohon yang menyatakan bahwa ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU 4/2012 yang telah menyerahkan harga BBM bersubsidi kepada mekanisme pasar merupakan dalil yang tidak beralasan hukum; [3.17.2] Para Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 7 ayat (6a) UU 4/2012 bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 dengan alasan yang pada pokoknya sebagai berikut: • Pasal 7 ayat (6a) UU 4/2012 mengizinkan Pemerintah menaikkan harga BBM jika ICP ( Indonesia Crude Price ) naik rata-rata 15% (lima belas persen) dalam enam bulan tanpa persetujuan DPR sebagai wakil rakyat; • Selama Pemerintah menyandarkan penghitungan ICP pada mekanisme pasar maka penggunaan BBM untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat seperti yang diamanatkan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 tidak akan pernah terwujud. Pemerintah hanya akan mengutamakan aspek ekonomi, yaitu laba tertinggi dan akumulasi kapital dalam bisnis minyak dan gas bumi ini daripada kemakmuran rakyat. Hal demikian bertentangan dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat; • Pasal 7 ayat (6a) UU 4/2012 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena mengakibatkan ketidakpastian hukum di masyarakat menyangkut naik atau tidaknya harga BBM dan ketidakjelasan kapan dan berapa jumlah kenaikan harga BBM dalam jangka waktu enam bulan. Ketidakpastian hukum itu sendiri telah mengakibatkan ketidakadilan karena rakyat menjadi korban akibat ketidakpastian harga BBM namun harga-harga non BBM sudah terlanjur banyak yang naik, sedangkan pasar justru menikmati ketidakpastian ini dengan menaikkan harga-harga kebutuhan masyarakat sehingga tetap mendapatkan laba tertinggi dan tetap dapat melakukan akumulasi modal; • Pasal 7 ayat (6a) UU 4/2012 bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, karena harga minyak diserahkan pada mekanisme pasar yang menyebabkan Pemerintah mengutamakan aspek ekonomi yaitu laba tertinggi dan akumulasi kapital dalam bisnis minyak dan gas bumi daripada kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, harus ada kedaulatan negara dalam menentukan harga 145 tanpa bersandar pada mekanisme pasar demi kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian keberlakuan Pasal 7 ayat (6a) UU 4/2012 berpotensi menyebabkan kerugian bagi para Pemohon (buruh) dan masyarakat karena tidak dapat membeli harga BBM dengan harga ekonomis dan mendapatkan fungsi dari BBM yang sejatinya diperuntukkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat; Menimbang bahwa terhadap dalil para Pemohon tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: • Pasal 7 ayat (6a) UU 4/2012 menyatakan, “ Harga jual eceran BBM bersubsidi tidak mengalami kenaikan, kecuali dalam hal harga rata-rata minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP) dalam kurun waktu berjalan mengalami kenaikan atau penurunan lebih dari 15% (lima belas persen) dari harga ICP yang diasumsikan dalam APBN Perubahan Tahun Anggaran 2012, Pemerintah berwenang untuk melakukan penyesuaian harga BBM bersubsidi dan kebijakan pendukungnya ”. Dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (6a) dinyatakan bahwa “ Yang dimaksud dengan harga rata-rata minyak mentah Indonesia dalam kurun waktu berjalan adalah realisasi harga rata-rata minyak mentah Indonesia selama 6 (enam) bulan terakhir ”. Dari Pasal 7 ayat (6a) dan Penjelasannya, menurut Mahkamah, hal tersebut tidak berarti Pemerintah menaikkan harga BBM tanpa persetujuan DPR, karena pemberian wewenang kepada Pemerintah untuk menyesuaikan harga BBM dalam pasal a quo adalah berdasarkan hasil pembahasan antara Pemerintah dan DPR. Waktu enam bulan justru memberikan kepastian hukum, karena Pemerintah harus memperhatikan harga rata-rata minyak mentah Indonesia dalam kurun waktu enam bulan sejak UU 4/2012 tersebut diundangkan (31 Maret 2012) baru dapat menyesuaikan harga BBM. Jika dalam kurun waktu enam bulan tersebut harga rata-rata minyak mentah Indonesia __ tidak mengalami kenaikan atau penurunan lebih dari 15% (lima belas persen) dari harga ICP yang diasumsikan dalam APBN Perubahan Tahun Anggaran 2012 maka harga jual eceran BBM bersubsidi tidak disesuaikan. Terlebih lagi faktanya harga eceran BBM bersubsidi juga tidak mengalami kenaikan. Oleh karena itu, menurut Mahkamah dalil para Pemohon adanya pertentangan antara Pasal 7 ayat (6a) dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 tidak beralasan hukum; 146 • Mengenai Pasal 7 ayat (6a) UU 4/2012 yang oleh para Pemohon didalilkan bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 karena menyandarkan pada mekanisme pasar, menurut Mahkamah dalil tersebut telah dipertimbangkan Mahkamah dalam pertimbangan mengenai Pasal 7 ayat (1) UU 4/2012 dalam paragraf [3.17.1] , sehingga mutatis mutandis juga berlaku untuk dalil permohonan a quo . Dengan demikian permohonan para Pemohon tidak beralasan hukum; [3.17.3] Para Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 15A UU 4/2012 bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), Pasal 28H ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945 dengan alasan yang pada pokoknya sebagai berikut: • Pasal 15A UU 4/2012 tidak dibahas dalam Sidang Paripurna tanggal 30 Maret 2012 dan telah ditentukan terlebih dahulu dalam rapat Badan Anggaran DPR RI yang tertutup untuk umum. Hal demikian mengakibatkan tidak adanya keterbukaan dalam proses penyusunan Pasal 15A UU 4/2012; • Pasal 15A UU 4/2012 tentang besaran alokasi dana Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) menjadi tidak logis dan tidak mempunyai dasar karena telah ditentukan terlebih dahulu sebelum ditentukan masuk atau tidaknya Pasal 7 ayat (6a) dalam UU 4/2012 yang menjadi syarat dari Pasal 15A UU 4/2012. Oleh karena itu, menurut para Pemohon Pasal 15A UU 4/2012 bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945; • Dengan adanya Pasal 15A UU 4/2012 dimana Pemerintah mengalokasikan dana subsidi yang tidak jelas dasar dan tujuan kegunaannya daripada menggunakan dan mengalokasikan dana tersebut untuk sektor-sektor yang lebih membutuhkan demi kesejahteraan setiap warga negara Indonesia mengakibatkan kerugian bagi para Pemohon dan masyarakat Indonesia pada umumnya karena tidak dapat merasakan manfaat secara langsung dari APBN 2012. Hal demikian jelas bertentangan dengan Pasal 28H ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945; Menimbang bahwa terhadap dalil para Pemohon tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: 147 • Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “ Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat ”, menurut Mahkamah frasa “ dilaksanakan secara terbuka ” adalah terhadap pelaksanaan dari APBN yang setiap tahun ditetapkan dengan Undang-Undang, sedangkan yang didalilkan oleh para Pemohon “ dilaksanakan secara terbuka ” adalah berkaitan dengan proses penetapan APBN. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, tafsiran terbuka yang termuat dalam Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 seperti yang didalilkan para Pemohon adalah kurang tepat. Dengan demikian, menurut Mahkamah, keterbukaan yang dimaksudkan oleh para Pemohon tidak ada kaitannya dengan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945, sehingga dalil para Pemohon tidak beralasan hukum; • Mengenai keterbukaan dalam proses pembahasan dan penetapan Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, sebagaimana yang diterangkan oleh DPR dalam keterangan tertulisnya bertanggal Juni 2012, bahwa proses pembahasan dilakukan dalam suatu Rapat Kerja yang bersifat terbuka, sesuai dengan Pasal 240 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Tata tertib DPR Nomor 01/DPR RI/I/2009-2010 dan berdasarkan risalah-risalah Rapat Kerja Badan Anggaran DPR dengan Pemerintah yang diwakili Menteri Keuangan dalam pembahasan RUU APBN Perubahan Tahun Anggaran 2012 bahwa rapat bersifat terbuka dimana masyarakat dapat mengikuti proses rapat dan substansi yang dibahas (vide keterangan tertulis DPR halaman 21). Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah dalil para Pemohon a quo tidak beralasan hukum; • Pasal 15A UU 4/2012 menyatakan, “Dalam rangka membantu masyarakat berpendapatan rendah agar tetap dapat memenuhi kebutuhan dasarnya dan untuk mencegah penurunan taraf kesejahteraan masyarakat berpendapatan rendah akibat gejolak harga, dialokasikan anggaran untuk bantuan langsung sementara masyarakat sebesar Rp. 17.088.400.000.000,00 (tujuh belas triliun 148 delapan puluh delapan miliar empat ratus juta rupiah) termasuk anggaran untuk pengaman pelaksanaan (safeguarding)” . Ketentuan tersebut tidak berdiri sendiri melainkan berkaitan dengan ketentuan pasal sebelumnya, yaitu Pasal 7 ayat (6a) UU 4/2012 karena bantuan langsung sementara masyarakat sebesar Rp.
088.400.000.000,00 (tujuh belas triliun delapan puluh delapan miliar empat ratus juta rupiah) diberikan sebagai akibat gejolak harga ketika Pemerintah menaikkan harga eceran BBM bersubsidi. Hal tersebut sesuai dengan keterangan tertulis Pemerintah tanggal 1 Agustus 2012, halaman 17 yang menerangkan bahwa “ penyesuaian harga BBM bersubsidi tersebut berpotensi menaikkan harga pangan dan menurunnya daya beli dan tingkat kesejahteraan khususnya bagi masyarakat tidak mampu. Penyesuaian harga BBM bersubsidi akan mengakibatkan naiknya inflasi menjadi di atas 7 persen, yang berpotensi menyebabkan peningkatan angka kemiskinan dan pengangguran, serta dapat mengganggu keberlanjutan program pendidikan terutama bagi siswa dari keluarga tidak mampu. Oleh karena itu, dalam ketentuan Pasal 15A UU APBN- P 2012, pembuat undang-undang menetapkan program kompensasi atas penyesuaian harga BBM bersubsidi sebagai langkah antisipasi. Program kompensasi tersebut ditujukan untuk melindungi masyarakat miskin dari kemungkinan kenaikan harga, terutama dari jasa transportasi, serta mengurangi beban biaya hidup rumah tangga dan memberikan kompensasi biaya hidup _yang meningkat”; _ Bahwa Pasal 15A UU 4/2012 adalah pasal tambahan yang sebelumnya tidak terdapat dalam UU 22/2011. Hal demikian dapat dilakukan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 27 ayat (4) Undang-Undang 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang menyatakan, “Dalam keadaan darurat Pemerintah dapat melakukan pengeluaran yang belum tersedia anggarannya, yang selanjutnya diusulkan dalam rancangan perubahan APBN dan/atau disampaikan dalam Laporan Realisasi Anggaran”. Dalam penjelasan ayat tersebut dinyatakan bahwa “ Pengeluaran tersebut dalam ayat ini termasuk belanja untuk keperluan mendesak yang kriterianya ditetapkan dalam Undang-undang tentang APBN yang bersangkutan .” Oleh karena itu, pengalokasian anggaran untuk bantuan langsung 149 sementara masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15A UU 4/2012 merupakan bentuk pengeluaran yang dapat timbul akibat adanya kebijakan kenaikan dan/atau penurunan subsidi harga eceran BBM; Menimbang bahwa selain pertimbangan-pertimbangan yang bersifat substantif tersebut, dalam praktik dan faktanya tidak terjadi kenaikan harga minyak mentah Indonesia (ICP) dalam waktu enam bulan terakhir sejak UU 4/2012 diundangkan sebagaimana ditentukan dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (6a) UU 4/2012. Pemberian wewenang kepada Presiden untuk mengubah harga BBM bersubsidi sesuai dengan Pasal 7 ayat (6a) dan Penjelasannya, sudah terlampaui baik dihitung sejak Januari tahun 2012 maupun dihitung sejak diundangkannya UU 4/2012, tanggal 31 Maret 2012, sehingga pasal tersebut tidak relevan lagi untuk dipertimbangkan. Dengan demikian permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum; [3.18] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan di atas, permohonan para Pemohon tidak terbukti dan tidak beralasan menurut hukum;
KONKLUSI Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana tersebut di atas, Mahkamah berkesimpulan: [4.1] Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan _a quo; _ [4.2] Para Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan permohonan a quo ; [4.3] Permohonan para Pemohon tentang pengujian formil Undang-Undang masih dalam tenggang waktu yang ditentukan; [4.4] Pokok permohonan para Pemohon tidak terbukti dan tidak beralasan hukum; Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi 150 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226) dan Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076);
AMAR PUTUSAN Mengadili, Menyatakan : Dalam Provisi: Menolak permohonan provisi para Pemohon; Dalam Pokok Permohonan: Menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya; Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim yang dihadiri oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu kami, Moh. Mahfud MD selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, Harjono, Maria Farida Indrati, Muhammad Alim, Ahmad Fadlil Sumadi, Hamdan Zoelva, M. Akil Mochtar, dan Anwar Usman, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Rabu, tanggal dua puluh delapan, bulan November, tahun dua ribu dua belas dan diucapkan dalam sidang pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Kamis, tanggal tiga belas, bulan Desember, tahun dua ribu dua belas , selesai diucapkan pukul 15.32 WIB oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu kami, Moh. Mahfud MD selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, Harjono, Maria Farida Indrati, Muhammad Alim, Ahmad Fadlil Sumadi, Hamdan Zoelva, M. Akil Mochtar, dan Anwar Usman, masing-masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Cholidin Nasir sebagai 151 Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh para Pemohon/Kuasanya, Pemerintah atau yang mewakili, serta Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili. KETUA, ttd. Moh. Mahfud MD ANGGOTA-ANGGOTA, ttd. Achmad Sodiki ttd. Harjono ttd. Maria Farida Indrati ttd. Muhammad Alim ttd. Ahmad Fadlil Sumadi ttd. Hamdan Zoelva ttd. M. Akil Mochtar ttd. Anwar Usman PANITERA PENGGANTI, ttd. Cholidin Nasir
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025
Relevan terhadap
Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4700 DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN 1 1.1 Pengantar...……………………………………………………………... 1 1.2 Pengertian...……………………………………………………………... 3 1.3 Maksud dan Tujuan...……………………………………………...... 3 1.4 Landasan...……………………………………………………………... 3 1.5 Tata Urut...……………………………………………………………... 4 BAB II KONDISI UMUM 5 II.1 Kondisi Pada Saat Ini...……………………………………………...... 5 II.2 Tantangan...………………………………………………..................... 21 II.3 Modal Dasar...……………………………………………….................. 34 BAB III VISI DAN MISI PEMBANGUNAN NASIONAL TAHUN 2005–2025 36 BAB IV ARAH, TAHAPAN, DAN PRIORITAS PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG TAHUN 2005–2025 41 IV.1 Arah Pembangunan Jangka Panjang Tahun 2005–2025 .……….. 45 IV.1.1 Mewujudkan Masyarakat yang Berakhlak Mulia, Bermoral, Beretika, Berbudaya, dan Beradab...………………………………… 45 IV.1.2 Mewujudkan Bangsa yang Berdaya-saing....…………………….... 46 IV.1.3 Mewujudkan Indonesia yang Demokratis Berlandaskan Hukum 57 IV.1.4 Mewujudkan Indonesia yang Aman, Damai dan Bersatu...…….. 62 IV.1.5 Mewujudkan Pembangunan yang Lebih Merata dan Berkeadilan...……………………………………………………………… 65 IV.1.6 Mewujudkan Indonesia yang Asri dan Lestari...……………… 70 IV.1.7 Mewujudkan Indonesia menjadi Negara Kepulauan yang Mandiri, Maju, Kuat dan Berbasiskan Kepentingan Nasional.... 74 IV.1.8 Mewujudkan Indonesia yang Berperan Aktif dalam Pergaulan Internasional...…………………………………………………………….. 75 IV.2 Tahapan dan Skala Prioritas...………………………………………… 76 IV.2.1 RPJM ke-1 (2005–2009) .………………………………………………… 77 IV.2.2 RPJM ke-2 (2010–2014)...………………………………………………. 79 IV.2.3 RPJM ke-3 (2015–2019)...………………………………………………. 80 IV.2.4 RPJM ke-4 (2020–2024)...………………………………………………. 82 BAB V PENUTUP 84 LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2007 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG NASIONAL TAHUN 2005–2025 BAB I PENDAHULUAN I.1 PENGANTAR 1. Dengan rahmat Tuhan Yang Maha Esa, bangsa Indonesia telah mengisi kemerdekaan selama 60 tahun sejak Proklamasi 17 Agustus 1945. Dalam era dua puluh tahun pertama setelah kemerdekaan (1945–1965), bangsa Indonesia mengalami berbagai ujian yang sangat berat. Indonesia telah berhasil mempertahankan kemerdekaan dan menegakkan kedaulatan negara. Persatuan dan kesatuan bangsa berhasil pula dipertahankan dengan meredam berbagai benih pertikaian, baik pertikaian bersenjata maupun pertikaian politik diantara sesama komponen bangsa. Pada masa itu para pemimpin bangsa berhasil menyusun rencana pembangunan nasional. Namun, suasana yang penuh ketegangan dan pertikaian telah menyebabkan rencana-rencana tersebut tidak dapat terlaksana dengan baik.
Selanjutnya pada kurun waktu 1969–1997 bangsa Indonesia berhasil menyusun rencana pembangunan nasional secara sistematis melalui tahapan lima tahunan. Pembangunan tersebut merupakan penjabaran dari Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang memberikan arah dan pedoman bagi pembangunan negara untuk mencapai cita-cita bangsa sebagaimana yang diamanatkan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Tahapan pembangunan yang disusun dalam masa itu telah meletakkan dasar-dasar bagi suatu proses pembangunan berkelanjutan dan berhasil meningkatkan kesejahteraan rakyat, seperti tercermin dalam berbagai indikator ekonomi dan sosial. Proses pembangunan pada kurun waktu tersebut sangat berorientasi pada output dan hasil akhir. Sementara itu, proses dan terutama kualitas institusi yang mendukung dan melaksanakan tidak dikembangkan dan bahkan ditekan secara politis sehingga menjadi rentan terhadap penyalahgunaan dan tidak mampu menjalankan fungsinya secara profesional. Ketertinggalan pembangunan dalam sistem dan kelembagaan politik, hukum, dan sosial menyebabkan hasil pembangunan menjadi timpang dari sisi keadilan dan dengan sendirinya mengancam keberlanjutan proses pembangunan itu sendiri.
Pada tahun 1997 terjadi krisis moneter yang berkembang menjadi krisis multidimensi, yang selanjutnya berdampak pada perubahan (reformasi) di seluruh sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Reformasi tersebut memberikan semangat politik dan cara pandang baru sebagaimana tercermin pada perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Perubahan substansial dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang terkait dengan perencanaan pembangunan adalah a) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tidak diamanatkan lagi untuk menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN); b) Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat; dan c) desentralisasi dan penguatan otonomi daerah.
Tidak adanya GBHN akan mengakibatkan tidak adanya lagi rencana pembangunan jangka panjang pada masa yang akan datang. Pemilihan secara langsung memberikan keleluasaan bagi calon Presiden dan calon Wakil Presiden untuk menyampaikan visi, misi, dan program pembangunan pada saat berkampanye. Keleluasaan tersebut berpotensi menimbulkan ketidaksinambungan pembangunan dari satu masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden ke masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden berikutnya. Desentralisasi dan penguatan otonomi daerah berpotensi mengakibatkan perencanaan pembangunan daerah tidak sinergi antara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya serta antara pembangunan daerah dan pembangunan secara nasional.
Untuk itu, seluruh komponen bangsa sepakat menetapkan sistem perencanaan pembangunan melalui Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (UU SPPN) yang di dalamnya diatur perencanaan jangka panjang (20 tahun), jangka menengah (5 tahun), dan pembangunan tahunan.
Belajar dari pengalaman masa lalu dengan mempertimbangkan perubahan- perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diperlukan perencanaan pembangunan jangka panjang untuk menjaga pembangunan yang berkelanjutan dalam rangka mencapai tujuan dan cita- cita bernegara sebagaimana tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu (1) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia;
memajukan kesejahteraan umum;
mencerdaskan kehidupan bangsa; dan
ikut menciptakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Dalam rangka mewujudkan tujuan pembangunan nasional tersebut perlu ditetapkan visi, misi, dan arah pembangunan jangka panjang Indonesia.
Berbagai pengalaman yang didapatkan selama 60 tahun mengisi kemerdekaan merupakan modal yang berharga dalam melangkah ke depan untuk menyelenggarakan pembangunan nasional secara menyeluruh, bertahap, dan berkelanjutan dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. I.2 PENGERTIAN Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional adalah dokumen perencanaan pembangunan nasional yang merupakan jabaran dari tujuan dibentuknya Pemerintahan Negara Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam bentuk visi, misi, dan arah pembangunan nasional untuk masa 20 tahun ke depan yang mencakupi kurun waktu mulai dari tahun 2005 hingga tahun 2025. I.3 MAKSUD DAN TUJUAN Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005 – 2025, selanjutnya disebut RPJP Nasional, adalah dokumen perencanaan pembangunan nasional periode 20 (dua puluh) tahun terhitung sejak tahun 2005 sampai dengan tahun 2025, ditetapkan dengan maksud memberikan arah sekaligus menjadi acuan bagi seluruh komponen bangsa (pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha) di dalam mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional sesuai dengan visi, misi, dan arah pembangunan yang disepakati bersama sehingga seluruh upaya yang dilakukan oleh pelaku pembangunan bersifat sinergis, koordinatif, dan saling melengkapi satu dengan lainnya di dalam satu pola sikap dan pola tindak. I.4 LANDASAN Landasan idiil RPJP Nasional adalah Pancasila dan landasan konstitusional Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sedangkan landasan operasionalnya meliputi seluruh ketentuan peraturan perundang- undangan yang berkaitan langsung dengan pembangunan nasional, yaitu:
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor VII/MPR/2001 Tentang Visi Indonesia Masa Depan;
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara;
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara;
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional;
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. I.5 TATA URUT Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005–2025 disusun dalam tata urut sebagai berikut: Bab I Pendahuluan. Bab II Kondisi Umum. Bab III Visi dan Misi Pembangunan Nasional Tahun 2005–2025. Bab IV Arah, Tahapan, dan Prioritas Pembangunan Jangka Panjang Tahun 2005–2025. Bab V Penutup. BAB II KONDISI UMUM II.1 KONDISI PADA SAAT INI Pembangunan nasional yang telah dilaksanakan selama ini telah menunjukkan kemajuan di berbagai bidang kehidupan masyarakat, yang meliputi bidang sosial budaya dan kehidupan beragama, ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), politik, pertahanan dan keamanan, hukum dan aparatur, pembangunan wilayah dan tata ruang, penyediaan sarana dan prasarana, serta pengelolaan sumber daya alam (SDA) dan lingkungan hidup. Di samping banyak kemajuan yang telah dicapai, masih banyak pula tantangan atau masalah yang belum sepenuhnya terselesaikan. Untuk itu, masih diperlukan upaya mengatasinya dalam pembangunan nasional 20 tahun ke depan. A. Sosial Budaya dan Kehidupan Beragama 1. Pembangunan bidang sosial budaya dan keagamaan terkait erat dengan kualitas hidup manusia dan masyarakat Indonesia. Kondisi kehidupan masyarakat dapat tercermin pada aspek kuantitas dan struktur umur penduduk serta kualitas penduduk, seperti pendidikan, kesehatan, dan lingkungan.
Di bidang kependudukan, upaya untuk mengendalikan laju pertumbuhan penduduk harus terus menerus dilakukan sehingga dari waktu ke waktu laju pertumbuhan penduduk telah dapat diturunkan.
Upaya untuk membangun kualitas manusia tetap menjadi perhatian penting. Sumber daya manusia (SDM) merupakan subjek dan sekaligus objek pembangunan, mencakup seluruh siklus hidup manusia sejak di dalam kandungan hinggá akhir hayat. Kualitas SDM menjadi makin baik yang, antara lain, ditandai dengan meningkatnya indeks pembangunan manusia (IPM) Indonesia menjadi 0,697 pada tahun 2003 ( Human Development Report , 2005). Secara rinci nilai tersebut merupakan komposit dari angka harapan hidup saat lahir (66,8 tahun), angka melek aksara penduduk usia 15 tahun ke atas (87,9 persen), angka partisipasi kasar jenjang pendidikan dasar sampai dengan pendidikan tinggi (66 persen), dan produk domestik bruto (PDB) per kapita yang dihitung berdasarkan paritas daya beli ( purchasing power parity ) sebesar US $3.361. Indeks pembangunan manusia (IPM) Indonesia menempati urutan ke-110 dari 177 negara.
Status kesehatan masyarakat Indonesia secara umum masih rendah dan jauh tertinggal dibandingkan dengan kesehatan masyarakat negara-negara ASEAN lainnya, yang ditandai, antara lain, dengan masih tingginya angka kematian ibu melahirkan, yaitu 307 per 100 ribu kelahiran hidup (Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia/SDKI, 2002–2003), tingginya angka kematian bayi dan balita. Selain itu, gizi kurang terutama pada balita masih menjadi masalah besar dalam upaya membentuk generasi yang mandiri dan berkualitas.
Taraf pendidikan penduduk Indonesia mengalami peningkatan yang, antara lain, diukur dengan meningkatnya angka melek aksara penduduk usia 15 tahun ke atas, meningkatnya jumlah penduduk usia 15 tahun ke atas yang telah menamatkan pendidikan jenjang SMP/MTs ke atas; meningkatnya rata-rata lama sekolah; dan meningkatnya angka partisipasi sekolah untuk semua kelompok usia. Walaupun demikian, kondisi tersebut belum memadai untuk menghadapi persaingan global yang makin ketat pada masa depan. Hal tersebut diperburuk oleh tingginya disparitas taraf pendidikan antarkelompok masyarakat, terutama antara penduduk kaya dan miskin, antara wilayah perkotaan dan perdesaan, antardaerah, dan disparitas gender.
Pemberdayaan perempuan dan anak, telah menunjukkan peningkatan yang tercermin dari peningkatan kualitas hidup perempuan dan anak, tetapi belum di semua bidang pembangunan. Di samping itu, partisipasi pemuda dalam pembangunan juga makin membaik seiring dengan budaya olahraga yang meluas di kalangan masyarakat. Taraf kesejahteraan sosial masyarakat cukup memadai sejalan dengan berbagai upaya pemberdayaan, pelayanan, rehabilitasi, dan perlindungan sosial bagi masyarakat rentan termasuk bagi penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) dan pecandu narkotik dan obat-obat terlarang.
Pembangunan di bidang budaya sudah mengalami kemajuan yang ditandai dengan meningkatnya pemahaman terhadap keberagaman budaya, pentingnya toleransi, dan pentingnya sosialisasi penyelesaian masalah tanpa kekerasan, serta mulai berkembangnya interaksi antarbudaya. Namun, di sisi lain upaya pembangunan jatidiri bangsa Indonesia, seperti penghargaan pada nilai budaya dan bahasa, nilai solidaritas sosial, kekeluargaan, dan rasa cinta tanah air dirasakan makin memudar. Hal tersebut, disebabkan antara lain, karena belum optimalnya upaya pembentukan karakter bangsa, kurangnya keteladanan para pemimpin, lemahnya budaya patuh pada hukum, cepatnya penyerapan budaya global yang negatif, dan kurang mampunya menyerap budaya global yang lebih sesuai dengan karakter bangsa, serta ketidakmerataan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat.
Dalam bidang agama, kesadaran melaksanakan ajaran agama dalam masyarakat tampak beragam. Pada sebagian masyarakat, kehidupan beragama belum menggambarkan penghayatan dan penerapan nilai-nilai ajaran agama yang dianutnya. Kehidupan beragama pada masyarakat itu masih pada tataran simbol-simbol keagamaan dan belum pada substansi nilai-nilai ajaran agama. Akan tetapi, ada pula sebagian masyarakat yang kehidupannya sudah mendekati, bahkan sesuai dengan ajaran agama. Dengan demikian, telah tumbuh kesadaran yang kuat di kalangan pemuka agama untuk membangun harmoni sosial dan hubungan internal dan antarumat beragama yang aman, damai, dan saling menghargai. Namun, upaya membangun kerukunan intern dan antarumat beragama belum juga berhasil dengan baik, terutama di tingkat masyarakat. Ajaran agama mengenai etos kerja, penghargaan pada prestasi, dan dorongan mencapai kemajuan belum bisa diwujudkan sebagai inspirasi yang mampu menggerakkan masyarakat untuk membangun. Selain itu, pesan-pesan moral agama belum sepenuhnya dapat diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. B. Ekonomi 1. Menjelang timbulnya krisis ekonomi pada tahun 1997, pembangunan ekonomi sesungguhnya sedang dalam optimisme yang tinggi sehubungan dengan keberhasilan pencapaian pembangunan jangka panjang pertama. Namun, berbagai upaya perwujudan sasaran pembangunan praktis terhenti akibat krisis yang melumpuhkan perekonomian nasional. Rapuhnya perekonomian di negara-negara kawasan Asia Tenggara menunjukkan bahwa pondasi ekonomi negara-negara di kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia belum kuat menahan gejolak eksternal. Pertumbuhan cukup tinggi yang berhasil dipertahankan cukup lama lebih banyak didorong oleh peningkatan akumulasi modal, tenaga kerja dan pengurasan sumber daya alam daripada peningkatan dalam produktivitas perekonomian secara berkelanjutan. Dari krisis tersebut terangkat kelemahan mendasar bahwa kemajuan selama ini belum diikuti oleh peningkatan efisiensi dan perbaikan tata kelola kelembagaan ekonomi yang akhirnya meruntuhkan kepercayaan para pelaku, baik di dalam maupun di luar negeri. Oleh karena itu, di samping rentan terhadap gangguan eksternal, struktur perekonomian seperti itu akan sulit berkembang jika dihadapkan pada kondisi persaingan yang lebih ketat, baik pada pemasaran hasil produksi maupun pada peningkatan investasi, dalam era perekonomian dunia yang makin terbuka.
Krisis tahun 1997 telah meruntuhkan pondasi perekonomian nasional. Dalam kurun waktu kurang dari satu tahun nilai tukar merosot drastis mencapai sekitar Rp15.000,00 per US $ 1. Implikasinya, utang pemerintah dan swasta membengkak dan mengakibatkan permintaan agregat domestik terus menurun sampai dengan pertengahan 1998. Akibatnya, PDB mengalami kontraksi sekitar 13 persen pada tahun tersebut. Banyaknya perusahaan yang bangkrut mengakibatkan jumlah pengangguran meningkat tajam hampir tiga kali lipat, yaitu sekitar 14,1 juta orang; jumlah masyarakat miskin meningkat hampir dua kali lipat, dari sekitar 28 juta orang pada tahun 1996 menjadi sekitar 53 juta orang pada tahun 1998. Hingga tahun 2004, angka kemiskinan masih tinggi (sekitar 30 juta jiwa) dan jumlah pengangguran masih sekitar 10 juta jiwa.
Dengan berbagai program penanganan krisis yang diselenggarakan selama periode transisi politik, kondisi mulai membaik sejak tahun 2000. Perbaikan kondisi tersebut ditunjukkan dengan beberapa indikator sebagai berikut. Defisit anggaran negara turun dari 3,9 persen PDB pada tahun 1999/2000 menjadi 1,1 persen PDB pada tahun 2004, stok utang Pemerintah/PDB dapat ditekan di bawah 60 persen, dan cadangan devisa terus meningkat dalam empat tahun terakhir menjadi USD 35,4 miliar pada tahun 2004. Nilai tukar dapat distabilkan pada tingkat sekitar Rp9.000,00 per US $ 1 dan inflasi ditekan di angka sekitar 6,0 persen pada tahun 2004. Terkendalinya nilai tukar dan laju inflasi tersebut memberikan ruang gerak bagi kebijakan moneter untuk secara bertahap menurunkan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Penurunan suku bunga SBI tersebut diikuti penurunan suku bunga simpanan perbankan secara signifikan, tetapi belum sepenuhnya diikuti oleh penurunan suku bunga kredit perbankan. Meskipun belum optimal, penurunan suku bunga itu telah dimanfaatkan oleh perbankan untuk melakukan restrukturisasi kredit, memperkuat struktur permodalan, dan meningkatkan penyaluran kredit, terutama yang berjangka waktu relatif pendek. Di sektor riil, kondisi yang stabil tersebut memberikan kesempatan kepada dunia usaha untuk melakukan restrukturisasi keuangan secara internal.
Berbagai kinerja di atas telah berhasil memperbaiki stabilitas ekonomi makro. Walaupun demikian, kinerja tersebut belum mampu memulihkan pertumbuhan ekonomi ke tingkat seperti sebelum krisis. Hal tersebut karena motor pertumbuhan masih mengandalkan konsumsi. Sektor produksi belum berkembang karena sejumlah permasalahan berkenaan dengan tidak kondusifnya lingkungan usaha, yang menyurutkan gairah investasi, di antaranya praktik ekonomi biaya tinggi, termasuk praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) serta berbagai aturan yang terkait dengan pelaksanaan otonomi daerah. Selain itu, sulitnya pemulihan sektor investasi dan ekspor juga disebabkan oleh lemahnya daya saing nasional, terutama dengan makin ketatnya persaingan ekonomi antarnegara. Lemahnya daya saing tersebut, juga diakibatkan oleh rendahnya produktivitas SDM serta rendahnya penguasaan dan penerapan teknologi di dalam proses produksi. Permasalahan lain yang juga punya pengaruh kuat ialah terbatasnya kapasitas infrastruktur di dalam mendukung peningkatan efisiensi distribusi. Penyelesaian yang berkepanjangan dari semua permasalahan sektor riil di atas akan mengganggu kinerja kemajuan dan ketahanan perekonomian nasional, yang pada gilirannya dapat mengurangi kemandirian bangsa.
Walaupun secara bertahap berkurang, jumlah penduduk miskin masih cukup tinggi, baik di kawasan perdesaan maupun di perkotaan, terutama pada sektor pertanian dan kelautan. Oleh karena itu, kemiskinan masih menjadi perhatian penting dalam pembangunan 20 tahun yang akan datang. Luasnya wilayah dan beragamnya kondisi sosial budaya masyarakat menyebabkan masalah kemiskinan di Indonesia menjadi sangat beragam dengan sifat-sifat lokal yang kuat dan pengalaman kemiskinan yang berbeda. Masalah kemiskinan bersifat multidimensi, karena bukan hanya menyangkut ukuran pendapatan, melainkan karena juga kerentanan dan kerawanan orang atau masyarakat untuk menjadi miskin. Selain itu, kemiskinan juga menyangkut kegagalan dalam pemenuhan hak dasar dan adanya perbedaan perlakuan seseorang atau kelompok masyarakat dalam menjalani kehidupan secara bermartabat. C. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi 1. Kemampuan pemanfaatan, pengembangan, dan penguasaan iptek mengalami peningkatan. Berbagai hasil penelitian, pengembangan, dan rekayasa teknologi telah dimanfaatkan oleh pihak industri dan masyarakat. Jumlah publikasi ilmiah terus meningkat meskipun tergolong masih sangat rendah di tingkat internasional. Hal itu mengindikasikan peningkatan kegiatan penelitian, transparansi ilmiah, dan aktivitas diseminasi hasil penelitian dan pengembangan.
Walaupun demikian, kemampuan nasional dalam penguasaan dan pemanfaatan iptek dinilai masih belum memadai untuk meningkatkan daya saing. Hal itu ditunjukan, antara lain, oleh masih rendahnya sumbangan iptek di sektor produksi, belum efektifnya mekanisme intermediasi, lemahnya sinergi kebijakan, belum berkembangnya budaya iptek di masyarakat, dan terbatasnya sumber daya iptek. D. Sarana dan Prasarana Kondisi sarana dan prasarana di Indonesia saat ini masih ditandai oleh rendahnya aksesibilitas, kualitas, ataupun cakupan pelayanan. Akibatnya, sarana dan prasarana yang ada belum sepenuhnya dapat menjadi tulang punggung bagi pembangunan sektor riil termasuk dalam rangka mendukung kebijakan ketahanan pangan di daerah, mendorong sektor produksi, serta mendukung pengembangan wilayah.
Pengembangan prasarana penampung air, seperti waduk, embung, danau, dan situ, masih belum memadai sehingga belum dapat memenuhi penyediaan air untuk berbagai kebutuhan, baik pertanian, rumah tangga, perkotaan, maupun industri terutama pada musim kering yang cenderung makin panjang di beberapa wilayah sehingga mengalami krisis air. Dukungan prasarana irigasi yang mengalami degradasi masih belum dapat diandalkan karena hanya mengandalkan sekitar 10 persen jaringan irigasi yang pasokan airnya relatif terkendali karena berasal dari bangunan- bangunan penampung air, dan sisanya hanya mengandalkan ketersediaan air di sungai. Selain itu, laju pengembangan sarana dan prasarana pengendali daya rusak air juga masih belum mampu mengimbangi laju degradasi lingkungan penyebab banjir sehingga bencana banjir masih menjadi ancaman bagi banyak wilayah. Sejalan dengan perkembangan ekonomi wilayah, banyak daerah telah mengalami defisit air permukaan, sedangkan di sisi lain konversi lahan pertanian telah mendorong perubahan fungsi prasarana irigasi sehingga perlu dilakukan penyesuaian dan pengendalian. Pada sisi pengembangan institusi pengelolaan sumber daya air, lemahnya koordinasi antarinstansi dan antardaerah otonom telah menimbulkan pola pengelolaan sumber daya air yang tidak efisien, bahkan tidak jarang saling berbenturan. Pada sisi lain, kesadaran dan partisipasi masyarakat, sebagai salah satu prasyarat terjaminnya keberlanjutan pola pengelolaan sumber daya air, masih belum mencapai tingkat yang diharapkan karena masih terbatasnya kesempatan dan kemampuan yang dimiliki.
Krisis ekonomi berdampak pada menurunnya kualitas sarana dan prasarana, terutama jalan dan perkeretaapian yang kondisinya sangat memprihatinkan. Pada tahun 2004 sekitar 46,3 persen total panjang jalan mengalami kerusakan ringan dan berat serta terdapat 32,8 persen panjang jalan kereta api yang ada sudah tidak dioperasikan lagi. Selain itu, jaringan transportasi darat dan jaringan transportasi antarpulau belum terpadu. Sebagai negara kepulauan atau maritim, masih banyak kebutuhan transportasi antarpulau yang belum terpenuhi, baik dengan pelayanan angkutan laut maupun penyeberangan. Peran armada nasional menurun, baik untuk angkutan domestik maupun internasional sehingga pada tahun 2004 masing-masing hanya mampu memenuhi 54 persen dan 3,5 persen. Padahal sesuai dengan konvensi internasional yang berlaku, armada nasional berhak atas 40 persen pangsa pasar untuk muatan ekspor-impor dan 100 persen untuk angkutan domestik. Untuk angkutan udara, dengan penerapan kebijakan multi-operator angkutan udara perusahaan penerbangan relatif mampu menyediakan pelayanan dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat. Di samping masalah yang disebabkan oleh krisis ekonomi, pembangunan prasarana transportasi mengalami kendala terutama yang terkait dengan keterbatasan pembiayaan pembangunan, operasi dan pemeliharaan sarana dan prasarana transportasi, serta rendahnya aksesibilitas pembangunan sarana dan prasarana transportasi di beberapa wilayah terpencil belum terpadunya pembangunan transportasi dan pembangunan daerah bagi kelompok masyarakat umum, sehingga penyediaan transportasi terbatas pelayanannya. Demikian pula kualitas pelayanan angkutan umum yang makin menurun, terjadi tingkat kemacetan dan polusi di beberapa kota besar yang makin parah, serta tingkat kecelakaan yang makin tinggi. Di sisi lain, peran serta swasta belum berkembang terkait dengan kelembagaan dan peraturan perundang- undangan yang belum kondusif.
Dalam era globalisasi, informasi mempunyai nilai ekonomi untuk mendorong pertumbuhan serta peningkatan daya saing bangsa. Masalah utama dalam pembangunan pos dan telematika adalah terbatasnya kapasitas, jangkauan, serta kualitas sarana dan prasarana pos dan telematika yang mengakibatkan rendahnya kemampuan masyarakat mengakses informasi. Kondisi itu menyebabkan semakin lebarnya kesenjangan digital, baik antardaerah di Indonesia maupun antara Indonesia dan negara lain. Dari sisi penyelenggara pelayanan sarana dan prasarana pos dan telematika (sisi supply ), kesenjangan digital itu disebabkan oleh (a) terbatasnya kemampuan pembiayaan operator sehingga kegiatan pemeliharaan sarana dan prasarana yang ada dan pembangunan baru terbatas; (b) belum terjadinya kompetisi yang setara dan masih tingginya hambatan masuk ( barrier to entry ) sehingga peran dan mobilisasi dana swasta belum optimal; (c) belum berkembangnya sumber dan mekanisme pembiayaan lain untuk mendanai pembangunan sarana dan prasarana pos dan telematika, seperti kerja sama pemerintah-swasta, pemerintah-masyarakat, serta swasta-masyarakat; (d) masih rendahnya optimalisasi pemanfaatan sarana dan prasarana yang ada sehingga terdapat aset nasional yang tidak digunakan ( idle ); (e) terbatasnya kemampuan adopsi dan adaptasi teknologi; (f) terbatasnya pemanfaatan industri dalam negeri sehingga ketergantungan terhadap komponen industri luar negeri masih tinggi; dan (g) masih terbatasnya industri aplikasi dan materi ( content ) yang dikembangkan oleh penyelenggara pelayanan sarana dan prasarana. Terkait dengan kemampuan masyarakat untuk memanfaatkan pelayanan sarana dan prasarana dari sisi permintaan, kesenjangan digital disebabkan oleh (a) terbatasnya daya beli ( ability to pay ) masyarakat terhadap sarana dan prasarana pos dan telematika; (b) masih rendahnya kemampuan masyarakat untuk memanfaatkan dan mengembangkan teknologi informasi dan komunikasi; dan (c) terbatasnya kemampuan masyarakat untuk mengolah informasi menjadi peluang ekonomi, yaitu menjadikan sesuatu mempunyai nilai tambah ekonomi.
Di bidang sarana dan prasarana energi termasuk kelistrikan, permasalahan pokok yang dihadapi, antara lain masih besarnya kesenjangan antara pasokan dan kebutuhan energi termasuk tenaga listrik yang kondisinya makin kritis di berbagai daerah karena masih rendahnya kemampuan investasi dan pengelolaan penyediaan sarana dan prasarana energi; masih rendahnya efektivitas dan efisiensi pemanfaatan sarana dan prasarana yang sudah terpasang dalam satu dasawarsa terakhir; masih tingginya ketergantungan konsumen terhadap bahan bakar minyak; masih dominannya peralatan dan material penunjang yang harus diimpor; serta adanya regulasi-regulasi yang tidak konsisten. Pemenuhan kebutuhan energi yang tidak merata serta dihadapkan pada luasnya wilayah Indonesia yang berbentuk kepulauan dengan densitas penduduk yang bervariasi cukup menyulitkan pengembangan berbagai jenis sarana dan prasarana energi yang optimal. Hal itu juga dipengaruhi oleh lokasi potensi cadangan energi primer yang tersebar dan sebagian besar jauh dari pusat beban; keterbatasan sumber daya manusia, ilmu pengetahuan dan teknologi; tingginya pertumbuhan permintaan berbagai jenis energi setiap tahun; serta kondisi daya beli masyarakat yang masih rendah.
Dengan bertambahnya jumlah penduduk, kebutuhan perumahan hingga tahun 2020 diperkirakan mencapai lebih dari 30 juta unit sehingga kebutuhan rumah per tahun diperkirakan mencapai 1,2 juta unit. Data tahun 2004 mencatat bahwa sebanyak 4,3 juta jumlah rumah tangga belum memiliki rumah. Penyediaan air minum juga tidak mengalami kemajuan yang berarti. Berdasarkan Data Statistik Perumahan dan Permukiman Tahun 2004, jumlah penduduk (perkotaan dan pedesaan) yang mendapatkan akses pelayanan air minum perpipaan baru mencapai 18,3 persen, hanya sedikit meningkat dibandingkan dengan 10 tahun sebelumnya (14,7 persen). Demikian juga halnya dengan penanganan persampahan di kawasan perkotaan dan perdesaan baru mencapai 18,41 persen atau mencapai 40 juta jiwa, sedangkan cakupan pelayanan drainase baru melayani 124 juta jiwa. E. Politik 1. Perkembangan proses demokratisasi sejak tahun 1998 sampai dengan proses penyelenggaraan Pemilu tahun 2004 telah memberikan peluang untuk mengakhiri masa transisi demokrasi menuju arah proses konsolidasi demokrasi. Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dilaksanakan sebanyak empat kali telah mengubah dasar-dasar konsensus dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara, baik pada tataran kelembagaan negara maupun tataran masyarakat sipil . Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang kemudian memberikan ruang diterbitkannya berbagai peraturan dan perundang-undangan di bidang politik sebagai penjabarannya telah menjadi bagian penting dalam upaya merumuskan format politik baru bagi konsolidasi demokrasi. Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah secara tegas menata kembali struktur dan kewenangan lembaga-lembaga negara termasuk beberapa penyelenggaraan negara tambahan, seperti Komisi Yudisial, Komisi Pemilihan Umum, serta beberapa Komisi lainnya. Adanya penataan tersebut telah memberikan peluang ke arah terwujudnya pengawasan dan penyeimbangan ( checks and balances ) kekuasaan politik. Perubahan format politik tersebut terumuskan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD, serta Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Sebagai negara yang baru beberapa tahun memasuki proses demokratisasi, proses penataan kelembagaan tidak jarang menimbulkan konflik-konflik kepentingan.
Berkenaan dengan Pemilu, keberhasilan penting yang telah diraih adalah telah dilaksanakannya pemilu langsung anggota DPR, DPD, dan DPRD, serta pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung, aman, dan demokratis pada tahun 2004. Selain itu, pemilihan kepala daerah secara langsung pun sudah mampu dilaksanakan secara baik di seluruh Indonesia sejak tahun 2005. Hal itu merupakan modal awal yang penting bagi lebih berkembangnya demokrasi pada masa selanjutnya.
Perkembangan demokrasi selama ini ditandai pula dengan terumuskannya format hubungan pusat-daerah yang baru. Akan tetapi, hal itu terlihat masih berjalan pada konteks yang prosedural dan sifatnya masih belum substansial. Format yang sudah dibangun didasarkan pada Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah serta Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang pada intinya lebih mendorong kemandirian daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan mengatur mengenai hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota, serta hubungan antarpemerintah daerah. Dewasa ini, pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah masih mengalami berbagai permasalahan, antara lain disebabkan kurangnya koordinasi pusat-daerah dan masih belum konsistennya sejumlah peraturan perundangan, baik antardaerah maupun antara pusat dan daerah.
Perkembangan demokrasi ditandai pula dengan adanya konsensus mengenai format baru hubungan sipil-militer yang menjunjung tinggi supremasi sipil dan hubungan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dengan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) terkait dengan kewenangan dalam melaksanakan sistem pertahanan dan keamanan dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia. Meskipun demikian, format baru yang dihasilkan itu masih menghadapi persoalan mengenai pelaksanaannya yang sekadar bersifat prosedural dan harus diperjuangkan lebih lanjut agar dapat terwujud secara lebih substantif. Selanjutnya, perkembangan demokrasi yang lain adalah disahkannya Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian telah terwujud pula suatu kesepakatan nasional baru mengenai netralitas pegawai negeri sipil (PNS), TNI, dan Polri terhadap politik.
Kemajuan demokrasi terlihat pula dengan telah berkembangnya kesadaran- kesadaran terhadap hak-hak masyarakat dalam kehidupan politik, yang dalam jangka panjang diharapkan mampu menstimulasi masyarakat lebih jauh untuk makin aktif berpartisipasi dalam mengambil inisiatif bagi pengelolaan urusan-urusan publik. Kemajuan itu tidak terlepas dari berkembangnya peran partai politik, organisasi non-pemerintah dan organisasi-organisasi masyarakat sipil lainnya. Walaupun demikian, perkembangan visi dan misi partai politik ternyata belum sepenuhnya sejalan dengan perkembangan kesadaran dan dinamika kehidupan sosial politik masyarakat dan tuntutan demokratisasi. Di samping itu, kebebasan pers dan media telah jauh berkembang yang antara lain ditandai dengan adanya peran aktif pers dan media dalam menyuarakan aspirasi masyarakat dan melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan. Walaupun demikian, kalangan pers belum dapat mengatasi dampak dari kebebasan tersebut antara lain masih berpihak pada kepentingan industri daripada kepentingan publik yang lebih luas.
Dalam penyelenggaraan hubungan luar negeri dan perjalanan politik luar negeri, Indonesia telah melakukan banyak hal dan mencapainya dengan baik. Walaupun demikian masih banyak hal yang belum diupayakan secara optimal berdasarkan potensi dan sumber daya yang ada. Apabila tidak dikelola secara memadai, kedudukan geopolitik yang strategis dengan kekayaan sumber daya alam (SDA), populasi, dan proses demokrasi yang semakin baik sebagai keunggulan komparatif untuk membangun kepemimpinan Indonesia di tataran global justru dapat menjadi sumber kerawanan bagi kepentingan Republik Indonesia. Menumbuhkan penguatan citra Indonesia sebagai negara yang mampu memadukan aspirasi umat Islam dengan upaya konsolidasi demokrasi; memberikan perhatian yang sangat serius terhadap persatuan dan kesatuan nasional; meningkatkan penegakan hukum dan penghormatan hak asasi manusia (HAM) yang tidak diskriminatif; dan mendorong pemulihan ekonomi yang lebih menjanjikan serta perlindungan hak-hak dasar warga negara secara lebih konsisten merupakan dasar-dasar kebijakan yang terus dikembangkan. Seluruh pencapaian itu menjadi aset penting bagi pelaksanaan politik luar negeri dan penyelenggaraan hubungan luar negeri Indonesia. Di samping itu, kedudukan Indonesia sebagai negara kepulauan yang mempunyai posisi geopolitik yang strategis dengan kekayaan SDA, populasi, dan proses demokratisasi yang semakin baik merupakan kekuatan dan keunggulan komparatif sebagai potensi untuk membangun kepemimpinan Indonesia pada tataran global melalui inisiatif dan kontribusi pemikiran komitmen Indonesia pada terbentuknya tatanan hubungan internasional yang lebih adil, damai dan berimbang, serta menolak unilateralisme.
Bagi Indonesia, sebagai negara yang baru membangun demokrasi, pilihan kebijakan luar negeri tidak lagi semata-mata menyangkut perspektif luar negeri yang berdiri sendiri. Pertautan dinamika internasional dan domestik cenderung makin mewarnai proses penentuan kebijakan luar negeri. Walaupun demikian, satu hal prinsip yang tetap tidak boleh diabaikan, yakni seluruh proses perumusan kebijakan luar negeri ditujukan bagi pemenuhan kepentingan nasional Indonesia dalam berbagai bidang. Dalam rangka pelaksanaan kebijakan luar negeri yang berorientasi kepada kepentingan nasional, Indonesia berupaya untuk memperkuat kelembagaan regional di tengah kecenderungan menguatnya unilateralisme.
Dengan pesatnya perkembangan globalisasi, maka dalam mengembangkan kehidupan politik demokratis yang berlandaskan hukum, faktor perkembangan pasar dunia mendapatkan perhatian yang lebih khusus karena akan sangat memengaruhi hubungan yang dinamis antara negara dan masyarakat. Dengan demikian, selain faktor negara dan masyarakat, faktor pasar makin tidak mungkin untuk diabaikan begitu saja. F. Pertahanan Keamanan 1. Upaya pertahanan dan keamanan negara telah memberikan kontribusi bagi pembentukan NKRI dan penyelenggaraan pembangunan dalam upaya pencapaian cita-cita negara, seperti yang tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam perjalanan sejarah bangsa dan dalam setiap dinamika arah dan kebijakan politik negara, sistem pertahanan rakyat semesta terbukti telah menjadi sistem yang mampu menegakkan kedaulatan NKRI serta menjaga keutuhan wilayah dan keselamatan bangsa.
Pada masa masyarakat dan bangsa Indonesia mengisi kemerdekaan dengan penyelenggaraan pembangunan, sistem politik telah menjadikan dwifungsi ABRI sebagai bagian dari sistem pertahanan rakyat semesta. Pada awalnya dwifungsi ABRI ini mampu menciptakan stabilitas nasional yang merupakan prasyarat pembangunan. Walaupun demikian, dalam perkembangannya pelaksanaan dwifungsi tersebut berdampak tidak menguntungkan bagi profesionalisme TNI dan Polri serta bersifat kontraproduktif bagi dinamika masyarakat keseluruhan. Pelaksanaan fungsi sosial dan politik tersebut merupakan salah satu faktor yang menyebabkan strategi, teknologi, dan pembiayaan pertahanan-keamanan tidak terarah pada pembentukan kekuatan pertahanan minimal untuk menegakkan kedaulatan NKRI serta menjaga keutuhan wilayah dan keselamatan bangsa. Kemampuan TNI dalam melaksanakan fungsinya di bidang pertahanan negara sampai saat ini masih memperihatinkan. Hal itu ditandai tidak saja menyangkut kondisi alat utama sistem persenjataan (alutsista) yang tidak mencukupi atau mayoritas peralatan yang usang secara umur dan teknologi, tetapi juga menyangkut sumber daya manusia dan tingkat kesejahteraannya. Di samping itu, sebagian proses pengadaan, pemeliharaan, pengoperasian, dan pemenuhan suku cadang alutsista TNI masih memiliki ketergantungan pada negara-negara lain.
Gerakan reformasi pada tahun 90-an menghendaki perubahan secara total di segala bidang penyelenggaraan negara termasuk tuntutan terhadap reposisi TNI dan Polri. Penyempurnaan terhadap reposisi dan peran TNI dan Polri dikukuhkan melalui Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia. Selanjutnya, ketetapan MPR tersebut diperkuat lagi dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Walaupun demikian, reposisi tersebut berdampak pada adanya ketidakterkaitan penanganan masalah pertahanan dan masalah keamanan dalam negeri yang seharusnya bersama-sama dengan keamanan sosial merupakan satu kesatuan dalam keamanan nasional. Dengan demikian, reformasi di bidang pertahanan dan keamanan tidak hanya menyangkut pemisahan antara TNI dan Polri, tetapi juga mengenai penataan lebih lanjut hubungan antara keduanya secara kelembagaan dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya masing- masing. G. Hukum dan Aparatur 1. Dalam era reformasi upaya perwujudan sistem hukum nasional terus dilanjutkan mencakup beberapa hal. Pertama, pembangunan substansi hukum, baik hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis telah mempunyai mekanisme untuk membentuk hukum nasional yang lebih baik sesuai dengan kebutuhan pembangunan dan aspirasi masyarakat, yaitu berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dengan ditetapkannya undang-undang tersebut, proses pembentukan hukum dan peraturan perundang-undangan dapat diwujudkan dengan cara dan metode yang pasti, baku, dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang untuk membuat peraturan perundang-undangan serta meningkatkan koordinasi dan kelancaran proses pembentukan hukum dan peraturan perundang-undangan. Kedua, penyempurnaan struktur hukum yang lebih efektif terus dilanjutkan. Perubahan keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 membawa perubahan mendasar di bidang kekuasaan kehakiman dengan dibentuknya Mahkamah Konstitusi yang mempunyai hak menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Komisi Judisial yang akan melakukan pengawasan terhadap sikap tindak dan perilaku hakim. Peningkatan kemandirian hakim berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman membawa perubahan bagi terselenggaranya check and balances dalam penyelenggaraan negara dengan beralihnya kewenangan administratif, organisasi, dan keuangan lembaga peradilan kepada Mahkamah Agung. Peningkatan kemandirian tidak berarti lepas dari kontrol dan pengawasan. Dengan dibentuknya Komisi Judisial yang komposisi keanggotaannya cukup representatif, pengawasan dan kontrol terhadap kemandirian lembaga peradilan dan pembentukan sistem hukum nasional dapat dilakukan agar lebih berhasil guna, sehingga penyelenggaraan fungsi negara di bidang hukum dapat dilakukan secara lebih efektif dan efisien. Ketiga, pelibatan seluruh komponen masyarakat yang mempunyai kesadaran hukum tinggi untuk mendukung pembentukan sistem hukum nasional yang dicita-citakan.
Hingga saat ini, pelaksanaan program pembangunan aparatur negara masih menghadapi berbagai permasalahan dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Permasalahan tersebut, antara lain masih terjadinya praktik-praktik penyalahgunaan kewenangan dalam bentuk KKN dan belum terwujudnya harapan masyarakat atas pelayanan yang cepat, murah, manusiawi, dan berkualitas. Upaya yang sungguh-sungguh untuk memberantas KKN dan meningkatkan kualitas pelayanan publik sebenarnya telah banyak dilakukan. Walaupun demikian, hasil yang dicapai belum cukup menggembirakan. Kelembagaan pemerintah, baik di pusat maupun di daerah, masih belum terlihat efektif dalam membantu pelaksanaan tugas dan sistem manajemen pemerintahan juga belum efisien dalam menghasilkan dan menggunakan sumber-sumber daya. Upaya- upaya untuk meningkatkan profesionalisme birokrasi masih belum sepenuhnya dapat teratasi mengingat keterbatasan dana pemerintah. H. Wilayah dan Tata Ruang 1. Tata ruang Indonesia saat ini dalam kondisi krisis. Krisis tata ruang terjadi karena pembangunan yang dilakukan di suatu wilayah masih sering dilakukan tanpa mengikuti rencana tata ruang, tidak mempertimbangkan keberlanjutan dan daya dukung lingkungan, serta tidak memerhatikan kerentanan wilayah terhadap terjadinya bencana alam. Keinginan untuk memperoleh keuntungan ekonomi jangka pendek seringkali menimbulkan keinginan untuk mengeksploitasi sumber daya alam secara berlebihan sehingga menurunkan kualitas dan kuantitas sumber daya alam dan lingkungan hidup, serta memperbesar risiko timbulnya korban akibat bencana alam. Selain itu, sering terjadi konflik pemanfaatan ruang antarsektor, contohnya konflik antara kehutanan dan pertambangan. Beberapa penyebab utama terjadinya permasalahan tersebut adalah (a) belum tepatnya kompetensi sumber daya manusia dalam bidang pengelolaan penataan ruang, (b) rendahnya kualitas dari rencana tata ruang, (c) belum diacunya perundangan penataan ruang sebagai payung kebijakan pemanfaatan ruang bagi semua sektor; dan (d) lemahnya penerapan hukum berkenaan dengan pemanfaatan ruang dan penegakan hukum terhadap pelanggaran berkenaan dengan pemanfaatan ruang.
Pada umumnya masyarakat yang berada di wilayah-wilayah tertinggal masih mempunyai keterbatasan akses terhadap pelayanan sosial, ekonomi, dan politik serta terisolir dari wilayah di sekitarnya. Oleh karena itu, kesejahteraan kelompok masyarakat yang hidup di wilayah tertinggal memerlukan perhatian dan keberpihakan pembangunan yang besar dari pemerintah. Permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan wilayah tertinggal, termasuk yang masih dihuni oleh komunitas adat terpencil, antara lain, (1) terbatasnya akses transportasi yang menghubungkan wilayah tertinggal dengan wilayah yang relatif lebih maju;
kepadatan penduduk relatif rendah dan tersebar;
kebanyakan wilayah-wilayah tersebut miskin sumber daya, khususnya sumber daya alam dan manusia;
belum diprioritaskannya pembangunan di wilayah tertinggal oleh pemerintah daerah karena dianggap tidak menghasilkan pendapatan asli daerah (PAD) secara langsung; dan
belum optimalnya dukungan sektor terkait untuk pengembangan wilayah-wilayah tersebut.
Banyak wilayah yang memiliki produk unggulan dan lokasi strategis di luar Pulau Jawa belum dikembangkan secara optimal. Hal itu disebabkan, antara lain (1) adanya keterbatasan informasi pasar dan teknologi untuk pengembangan produk unggulan;
belum adanya sikap profesionalisme dan kewirausahaan dari pelaku pengembangan kawasan di daerah;
belum optimalnya dukungan kebijakan nasional dan daerah yang berpihak pada petani dan pelaku usaha swasta;
belum berkembangnya infrastruktur kelembagaan yang berorientasi pada pengelolaan pengembangan usaha yang berkelanjutan dalam perekonomian daerah;
masih lemahnya koordinasi, sinergi, dan kerja sama diantara pelaku-pelaku pengembangan kawasan, baik pemerintah, swasta, lembaga nonpemerintah, dan masyarakat, serta antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota, dalam upaya meningkatkan daya saing produk unggulan;
masih terbatasnya akses petani dan pelaku usaha skala kecil terhadap modal pengembangan usaha, input produksi, dukungan teknologi, dan jaringan pemasaran, dalam upaya mengembangkan peluang usaha dan kerja sama investasi;
keterbatasan jaringan prasarana dan sarana fisik dan ekonomi dalam mendukung pengembangan kawasan dan produk unggulan daerah; serta (8) belum optimalnya pemanfaatan kerangka kerja sama antarwilayah untuk mendukung peningkatan daya saing kawasan dan produk unggulan.
Wilayah perbatasan, termasuk pulau-pulau kecil terluar memiliki potensi SDA yang cukup besar serta merupakan wilayah yang sangat strategis bagi pertahanan dan keamanan negara. Walaupun demikian, pembangunan di beberapa wilayah perbatasan masih sangat jauh tertinggal dibandingkan dengan pembangunan di wilayah negara tetangga. Kondisi sosial ekonomi masyarakat yang tinggal di daerah tersebut umumnya jauh lebih rendah dibandingkan dengan kondisi sosial ekonomi warga negara tetangga. Permasalahan utama dari ketertinggalan pembangunan di wilayah perbatasan adalah arah kebijakan pembangunan kewilayahan yang selama ini cenderung berorientasi · inward looking · sehingga seolah-olah kawasan perbatasan hanya menjadi halaman belakang dari pembangunan negara. Akibatnya, wilayah-wilayah perbatasan dianggap bukan merupakan wilayah prioritas pembangunan oleh pemerintah pusat maupun daerah. Sementara itu, pulau-pulau kecil yang ada di Indonesia sulit berkembang terutama karena lokasinya sangat terisolasi dan sulit dijangkau, diantaranya banyak yang tidak berpenghuni atau sangat sedikit jumlah penduduknya serta belum banyak tersentuh oleh pelayanan dasar dari pemerintah.
Pertumbuhan kota-kota besar dan metropolitan saat ini masih sangat terpusat di pulau Jawa-Bali, sedangkan pertumbuhan kota-kota menengah dan kecil, terutama di luar Jawa, berjalan lambat dan tertinggal. Pertumbuhan perkotaan yang tidak seimbang ini ditambah dengan adanya kesenjangan pembangunan antarwilayah menimbulkan urbanisasi yang tidak terkendali. Secara fisik, hal itu ditunjukkan oleh (1) meluasnya wilayah perkotaan karena pesatnya perkembangan dan meluasnya kawasan pinggiran ( fringe-area ) terutama di kota-kota besar dan metropolitan;
meluasnya perkembangan fisik perkotaan di kawasan ‘sub-urban’ yang telah ‘mengintegrasi’ kota-kota yang lebih kecil di sekitar kota inti dan membentuk konurbasi yang tak terkendali;
meningkatnya jumlah desa- kota; dan
terjadinya reklasifikasi (perubahan daerah rural menjadi daerah urban, terutama di Jawa). Kecenderungan perkembangan semacam itu berdampak negatif terhadap perkembangan kota-kota besar dan metropolitan itu sendiri maupun kota-kota menengah dan kecil di wilayah lain.
Dampak negatif yang ditimbulkan di kota-kota besar dan metropolitan, antara lain, adalah (1) terjadinya eksploitasi yang berlebihan terhadap sumber daya alam di sekitar kota-kota besar dan metropolitan untuk mendukung dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi;
terjadinya secara terus menerus konversi lahan pertanian produktif menjadi kawasan permukiman, perdagangan, dan industri;
menurunnya kualitas lingkungan fisik kawasan perkotaan akibat terjadinya perusakan lingkungan dan timbulnya polusi;
menurunnya kualitas hidup masyarakat di perkotaan karena permasalahan sosial-ekonomi, serta penurunan kualitas pelayanan kebutuhan dasar perkotaan; serta (5) tidak mandiri dan terarahnya pembangunan kota-kota baru sehingga justru menjadi tambahan beban bagi kota inti. Dampak negatif lain yang ditimbulkan terhadap kota-kota di wilayah lain, yaitu (1) tidak meratanya penyebaran penduduk perkotaan dan terjadinya ‘konsentrasi’ penduduk kota di Pulau Jawa, khususnya di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek), (20 persen dari total jumlah penduduk perkotaan Indonesia tinggal di sana);
tidak optimalnya fungsi ekonomi perkotaan, terutama di kota-kota menengah dan kecil, dalam menarik investasi dan tempat penciptaan lapangan pekerjaan; dan
tidak optimalnya peranan kota dalam memfasilitasi pengembangan wilayah.
Kondisi sosial ekonomi masyarakat yang tinggal di perdesaan umumnya masih jauh tertinggal dibandingkan dengan yang tinggal di perkotaan. Hal itu merupakan konsekuensi dari perubahan struktur ekonomi dan proses industrialisasi, baik investasi ekonomi oleh swasta maupun pemerintah, sehingga infrastruktur dan kelembagaan cenderung terkonsentrasi di daerah perkotaan. Selain itu, kegiatan ekonomi di wilayah perkotaan masih banyak yang tidak sinergis dengan kegiatan ekonomi yang dikembangkan di wilayah perdesaan. Akibatnya, peran kota yang diharapkan dapat mendorong perkembangan perdesaan justru memberikan dampak yang merugikan pertumbuhan perdesaan. I. Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup 1. Sumber daya alam dan lingkungan hidup memiliki peran ganda, yaitu sebagai modal pembangunan dan, sekaligus, sebagai penopang sistem kehidupan. Adapun jasa-jasa lingkungan meliputi keanekaragaman hayati, penyerapan karbon, pengaturan air secara alamiah, keindahan alam, dan udara bersih merupakan penopang kehidupan manusia. Hasil pembangunan sumber daya alam dan lingkungan hidup telah mampu menyumbang 24,8 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) dan 48 persen terhadap penyerapan tenaga kerja. Namun, pengelolaan sumber daya alam tersebut masih belum berkelanjutan dan masih mengabaikan kelestarian fungsi lingkungan hidup sehingga daya dukung lingkungan menurun dan ketersediaan sumber daya alam menipis. Menurunnya daya dukung dan ketersediaan sumber daya alam juga terjadi karena kemampuan iptek yang rendah sehingga tidak mampu mengimbangi laju pertumbuhan penduduk.
Kondisi sumber daya hutan saat ini sudah pada tingkat yang sangat mengkhawatirkan akibat meningkatnya praktik pembalakan liar ( illegal logging ) dan penyelundupan kayu, meluasnya kebakaran hutan dan lahan, meningkatnya tuntutan atas lahan dan sumber daya hutan yang tidak pada tempatnya, meluasnya perambahan dan konversi hutan alam, serta meningkatnya penambangan resmi maupun tanpa izin. Tahun 2004, kerusakan hutan dan lahan di Indonesia sudah mencapai 59,2 juta hektar dengan laju deforestasi setiap tahun mencapai 1,6-2 juta hektar.
Sumber daya kelautan belum dimanfaatkan secara optimal. Hal ini karena beberapa hal, antara lain, (1) belum adanya penataan batas maritim;
adanya konflik dalam pemanfaatan ruang di laut;
belum adanya jaminan keamanan dan keselamatan di laut;
adanya otonomi daerah menyebabkan belum ada pemahaman yang sama terhadap pengelolaan sumber daya kelautan;
adanya keterbatasan kemampuan sumber daya manusia dalam mengelola sumber daya kelautan; dan
belum adanya dukungan riset dan ilmu pengetahuan dan teknologi kelautan.
Pencemaran air, udara, dan tanah juga masih belum tertangani secara tepat karena semakin pesatnya aktivitas pembangunan yang kurang memerhatikan aspek kelestarian fungsi lingkungan. Keberadaan masyarakat adat yang sangat bergantung pada sumber daya alam dan memiliki kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya alam juga belum diakui. Kearifan lokal sangat diperlukan untuk menjamin ketersediaan sumber daya alam dan kelestarian fungsi lingkungan hidup.
Desentralisasi pembangunan dan otonomi daerah juga telah mengakibatkan meningkatnya konflik pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam, baik antarwilayah, antara pusat dan daerah, serta antarpenggunaan. Untuk itu, kebijakan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup secara tepat akan dapat mendorong perilaku masyarakat untuk menerapkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dalam 20 tahun mendatang agar Indonesia tidak mengalami krisis sumber daya alam, khususnya krisis air, krisis pangan, dan krisis energi. II.2 TANTANGAN A. Sosial Budaya dan Kehidupan Beragama 1. Dalam 20 tahun mendatang, Indonesia menghadapi tekanan jumlah penduduk yang makin besar. Jumlah penduduk yang pada tahun 2005 sebesar 219,9 juta orang diperkirakan meningkat mencapai sekitar 274 juta orang pada tahun 2025. Sejalan dengan itu berbagai parameter kependudukan diperkirakan akan mengalami perbaikan yang ditunjukkan dengan menurunnya angka kelahiran, meningkatnya usia harapan hidup, dan menurunnya angka kematian bayi. Meskipun demikian, pengendalian kuantitas dan laju pertumbuhan penduduk penting diperhatikan untuk menciptakan penduduk tumbuh seimbang dalam rangka mendukung terjadinya bonus demografi yang ditandai dengan jumlah penduduk usia produktif lebih besar daripada jumlah penduduk usia non-produktif. Kondisi tersebut perlu dimanfaatkan secara optimal untuk meningkatkan kualitas SDM, daya saing, dan kesejahteraan rakyat. Di samping itu, persebaran dan mobilitas penduduk perlu pula mendapatkan perhatian sehingga ketimpangan persebaran dan kepadatan penduduk antara Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa serta antara wilayah perkotaan dan perdesaan dapat dikurangi.
Rendahnya kualitas sumber daya manusia Indonesia yang diukur dengan indeks pembangunan manusia (IPM) mengakibatkan rendahnya produktivitas dan daya saing perekonomian nasional. Pembangunan kesehatan dan pendidikan memiliki peranan penting dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Di bidang kesehatan tantangan pembangunan yang dihadapi, antara lain, adalah mengurangi kesenjangan status kesehatan masyarakat dan akses terhadap pelayanan kesehatan antarwilayah, tingkat sosial ekonomi, dan gender; meningkatkan jumlah dan penyebaran tenaga kesehatan yang kurang memadai; meningkatkan akses terhadap fasilitas kesehatan; dan mengurangi beban ganda penyakit yaitu pola penyakit yang diderita oleh sebagian besar masyarakat adalah penyakit infeksi menular, namun pada waktu yang bersamaan terjadi peningkatan penyakit tidak menular serta meningkatnya penyalahgunaan narkotik dan obat-obat terlarang. Sementara itu, tantangan yang dihadapi pembangunan pendidikan adalah menyediakan pelayanan pendidikan yang berkualitas untuk meningkatkan jumlah proporsi penduduk yang menyelesaikan pendidikan dasar sampai ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, menurunkan jumlah penduduk yang buta aksara, serta menurunkan kesenjangan tingkat pendidikan yang cukup tinggi antarkelompok masyarakat, termasuk antara penduduk kaya dan penduduk miskin, antara penduduk perkotaan dan perdesaan, antara penduduk di wilayah maju dan tertinggal, dan antarjenis kelamin. Tantangan dalam pembangunan pendidikan lainnya adalah meningkatkan kualitas dan relevansi termasuk mengurangi kesenjangan mutu pendidikan antardaerah, antarjenis kelamin, dan antara penduduk kaya dan miskin sehingga pembangunan pendidikan dapat berperan dalam mendorong pembangunan nasional secara menyeluruh termasuk dalam mengembangkan kebanggaan kebangsaan, akhlak mulia, kemampuan untuk hidup dalam masyarakat yang multikultur, serta meningkatkan daya saing. Pembangunan pendidikan ditantang untuk menyediakan pelayanan pendidikan sepanjang hayat untuk memanfaatkan bonus demografi.
Kualitas hidup dan peran perempuan dan anak di berbagai bidang pembangunan masih rendah. Hal itu, antara lain, ditandai oleh rendahnya angka indeks pembangunan gender (IPG) dan tingginya tindak kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi terhadap perempuan dan anak; serta kurang memadainya kesejahteraan, partisipasi dan perlindungan anak. Dengan demikian, tantangan di bidang pembangunan perempuan dan anak adalah meningkatkan kualitas dan peran perempuan di berbagai bidang pembangunan; menurunkan tindak kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi terhadap perempuan dan anak; serta meningkatkan kesejahteraan dan perlindungan anak. Sementara itu, tantangan di bidang pemuda dan olahraga adalah mengoptimalkan partisipasi pemuda dalam pembangunan serta meningkatkan budaya dan prestasi olahraga. Tantangan lainnya adalah menurunkan beban permasalahan kesejahteraan sosial yang semakin beragam dan meningkat akibat terjadinya berbagai krisis sosial, seperti menipisnya nilai budaya dan agama; menurunkan ekses dan gejala sosial dampak dari disparitas kondisi sosial ekonomi masyarakat dan terjadinya bencana sosial dan bencana alam; dan meningkatkan pemenuhan kebutuhan sosial dasar masyarakat.
Derasnya arus globalisasi yang didorong oleh kemajuan teknologi komunikasi dan informasi menjadi tantangan bangsa Indonesia untuk dapat mempertahankan jati diri bangsa sekaligus memanfaatkannya untuk pengembangan toleransi terhadap keragaman budaya dan peningkatan daya saing melalui penerapan nilai-nilai Pancasila dan penyerapan nilai- nilai universal.
Pembangunan manusia pada intinya adalah pembangunan manusia seutuhnya. Tantangan yang dihadapi dalam pembangunan agama adalah mengaplikasikan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari, mewujudkan kerukunan intern dan antarumat beragama, serta memberikan rasa aman dan perlindungan dari tindak kekerasan. B. Ekonomi 1. Pembangunan ekonomi sampai saat ini, meskipun telah menghasilkan berbagai kemajuan, masih jauh dari cita-citanya untuk mewujudkan perekonomian yang tangguh dan menyejahterakan seluruh lapisan masyarakat. Oleh karena itu, tantangan besar kemajuan perekonomian 20 tahun mendatang adalah meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan berkualitas secara berkelanjutan untuk mewujudkan secara nyata peningkatan kesejahteraan sekaligus mengurangi ketertinggalan dari bangsa-bangsa lain yang lebih maju.
Secara eksternal, tantangan tersebut dihadapkan pada situasi persaingan ekonomi antarnegara yang makin runcing akibat makin pesat dan meluasnya proses globalisasi. Basis kekuatan ekonomi yang masih banyak mengandalkan upah tenaga kerja yang murah dan ekspor bahan mentah dari eksploitasi sumber-sumber daya alam tak terbarukan, untuk masa depan perlu diubah menjadi perekonomian yang produk-produknya mengandalkan keterampilan SDM serta mengandalkan produk-produk yang bernilai tambah tinggi dan berdaya saing global sehingga ekspor bahan mentah dapat dikurangi kemudian digantikan dengan ekspor produk yang bernilai tambah tinggi dan berdaya saing global. Perkembangan ekonomi regional di kawasan Asia Timur dan Asia Selatan yang pesat dengan tumbuhnya raksasa ekonomi global di masa depan, seperti Cina dan India, merupakan salah satu fokus utama yang perlu dipertimbangkan secara cermat di dalam menyusun pengembangan struktur dan daya saing perekonomian nasional. Dengan demikian, integrasi perekonomian nasional ke dalam proses globalisasi dapat mengambil manfaat sebesar-besarnya dan sekaligus dapat meminimalkan dampak negatif yang muncul.
Secara internal, tantangan tersebut dihadapkan pada situasi pertambahan penduduk nasional yang masih relatif tinggi dan rasio penduduk usia produktif yang diperkirakan mencapai tingkat maksimal (sekitar 50 persen dari total penduduk) pada periode tahun 2020–2030. Dalam periode tersebut, angkatan kerja diperkirakan meningkat hampir dua kali lipat jumlahnya dari kondisi saat ini. Dengan komposisi pendidikan angkatan kerja yang pada tahun 2004 sekitar 50 persen berpendidikan setingkat SD, dalam 20 tahun ke depan komposisi pendidikan angkatan kerja diperkirakan akan didominasi oleh angkatan kerja yang berpendidikan setingkat SMP sampai dengan SMU. Dengan demikian, kapasitas perekonomian pada masa depan dituntut untuk mampu tumbuh dan berkembang agar mampu menyediakan tambahan lapangan kerja yang layak.
Tantangan internal yang penting lainnya adalah terlalu teraglomerasinya aktivitas perekonomian di pulau Jawa yang melebihi daya dukung optimal lingkungan hidupnya. Pada masa yang akan datang, perekonomian juga dituntut untuk mampu berkembang secara lebih proporsional di seluruh wilayah tanah air dengan mendorong perkembangan ekonomi di luar pulau Jawa, dalam rangka pemerataan pembangunan untuk mengurangi kesenjangan regional. Selain akan bermanfaat untuk menjaga keseimbangan lingkungan, terutama di pulau Jawa, hal tersebut juga akan berguna untuk memperkuat perekonomian domestik yang ditunjukkan oleh diversifikasi perekonomian sekaligus perbaikan di dalam kesempatan kerja dan berusaha sehingga pada gilirannya akan meningkatkan pemerataan pendapatan masyarakat secara nasional.
Kemajuan ekonomi perlu didukung oleh kemampuan suatu bangsa di dalam mengembangkan potensi dirinya untuk mewujudkan kemandirian. Kepentingan utama dalam pembangunan tersebut adalah mempertahankan kedaulatan perekonomian serta mengurangi ketergantungan ekonomi dari pengaruh luar, tetapi tetap berdaya saing. Dengan pemahaman itu, tantangan utama kemajuan ekonomi adalah mengembangkan aktivitas perekonomian yang didukung oleh penguasaan dan penerapan teknologi serta peningkatan produktivitas SDM, mengembangkan kelembagaan ekonomi yang efisien yang menerapkan praktik-praktik terbaik dan prinsip- prinsip pemerintahan yang baik, serta menjamin ketersediaan kebutuhan dasar dalam negeri.
Pemecahan masalah kemiskinan perlu didasarkan pada pemahaman suara masyarakat miskin dan adanya penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak dasar rakyat secara bertahap, yaitu hak sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Tantangan yang dihadapi, antara lain, yaitu kurangnya pemahaman terhadap hak-hak dasar masyarakat miskin, kurangnya keberpihakan dalam perencanaan dan penganggaran, lemahnya sinergi dan koordinasi kebijakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam berbagai upaya penanggulangan kemiskinan, rendahnya partisipasi dan terbatasnya akses masyarakat miskin terutama perempuan dalam pengambilan keputusan baik dalam keluarga maupun masyarakat, serta keterbatasan pemahaman dalam mengembangkan potensi daerah berpenduduk miskin padahal investasi daerah miskin di pedesaan dan daerah kumuh perkotaan dalam bukti empiris dapat menghasilkan atau mengembangkan potensi bagi sentra kegiatan ekonomi. C. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Persaingan yang makin tinggi pada masa yang akan datang menuntut peningkatan kemampuan dalam penguasaan dan penerapan iptek dalam rangka menghadapi perkembangan global menuju ekonomi berbasis pengetahuan. Dalam rangka meningkatkan kemampuan iptek nasional, tantangan yang dihadapi adalah meningkatkan kontribusi iptek untuk meningkatkan kemampuan dalam memenuhi hajat hidup bangsa; menciptakan rasa aman; memenuhi kebutuhan kesehatan dasar, energi, dan pangan; memperkuat sinergi kebijakan iptek dengan kebijakan sektor lain; mengembangkan budaya iptek di kalangan masyarakat; meningkatkan komitmen bangsa terhadap pengembangan iptek; mengatasi degradasi fungsi lingkungan; mengantisipasi dan menanggulangi bencana alam; serta meningkatkan ketersediaan dan kualitas sumber daya iptek, baik SDM, sarana dan prasarana, maupun pembiayaan iptek. D. Sarana dan Prasarana 1. Pemenuhan kebutuhan penyediaan air baku di berbagai sektor kehidupan menghadapi tantangan utama, yaitu meningkatkan pasokan air baku yang ditempuh melalui pengembangan prasarana penampung air yang dapat dikelola bersama oleh masyarakat. Selain itu, pengembangan sarana dan prasarana pengendali daya rusak air harus mampu mengantisipasi perkembangan daerah-daerah permukiman dan industri baru. Intervensi sarana dan prasarana juga perlu dilakukan untuk mengurangi laju sedimentasi sejalan dengan upaya-upaya konservasi dan reboisasi terutama dengan mengembangkan bangunan-bangunan pengendali sedimen yang dapat dikelola oleh masyarakat. Pengelolaan jaringan irigasi belum diselenggarakan dengan pengutamaan peran masyarakat petani dengan dukungan penuh dari pemerintah dan pihak pengguna air irigasi. Peningkatan kemampuan kelembagaan pengelola sarana dan prasarana sumber daya air harus terus dikembangkan sesuai prinsip-prinsip pengelolaan sumber daya air terpadu ( integrated water resources management ). Upaya mempertahankan kondisi kualitas air yang ada serta pemulihan terhadap kualitas air yang telah tercemar diwujudkan melalui pendekatan pengelolaan lingkungan hidup dan penerapan teknologi.
Tantangan yang dihadapi oleh sektor transportasi pada masa yang akan datang adalah mengembangkan sistem transportasi nasional yang efisien dan efektif, terjangkau, ramah lingkungan, dan berkelanjutan. Untuk itu diperlukan peningkatan transportasi yang terpadu antarmoda dan intramoda serta selaras dengan pengembangan wilayah, mewujudkan pelayanan transportasi yang mendukung pembangunan ekonomi sosial dan budaya, serta mendukung kesatuan dan persatuan NKRI dan perwujudan negara kepulauan. Tantangan utama dalam rangka meningkatkan kapasitas sumber daya agar dapat melaksanakan pembangunan transportasi nasional adalah meningkatkan kapasitas kelembagaan dan peraturan yang kondusif, meningkatkan iklim kompetisi yang sehat, meningkatkan peran serta negara, swasta, dan masyarakat dalam pelayanan tranportasi publik, mengembangkan alternatif pembiayaan dan investasi, dan mengembangkan kapasitas sumber daya manusia dan teknologi transportasi yang tepat guna, hemat energi, dan ramah lingkungan.
Globalisasi, kemajuan teknologi, dan tuntutan kebutuhan masyarakat yang makin meningkat untuk mendapatkan akses informasi menuntut adanya penyempurnaan dalam hal penyelenggaraan pembangunan pos dan telematika. Oleh karena itu, perlu adanya integrasi antara pendidikan dengan teknologi informasi serta sektor-sektor strategis lainnya. Walaupun pembangunan pos dan telematika saat ini telah mengalami berbagai kemajuan, informasi masih merupakan barang yang dianggap mewah dan hanya dapat diakses dan dimiliki oleh sebagian kecil masyarakat. Oleh sebab itu, tantangan utama yang dihadapi dalam sektor itu adalah meningkatkan penyebaran dan pemanfaatan arus informasi dan teledensitas pelayanan pos dan telematika masyarakat pengguna jasa. Tantangan lainnya adalah konvergensi teknologi informasi dan komunikasi yang menghilangkan sekat antara telekomunikasi, teknologi informasi dan penyiaran, pendidikan dan etika moral.
Tantangan utama yang dihadapi dalam sektor energi adalah meningkatkan keandalan pasokan energi, sarana dan prasarana, serta proses dan penyalurannya untuk keperluan domestik karena belum ada kebijakan tarif lokal untuk memenuhi kebutuhan berbagai jenis energi serta sarana dan prasarananya. Di samping itu, lokasi sumber daya energi yang potensial yang sebagian besar berada di luar pulau Jawa, selama ini pengembangannya terbatas hanya untuk menyalurkan energi konvensional dari lokasi sumber daya ke pusat permintaan energi, sedangkan sarana dan prasarana energi lainnya terutama energi terbarukan masih sangat tertinggal.
Tantangan yang dihadapi untuk memenuhi kebutuhan hunian bagi masyarakat dan mewujudkan kota tanpa permukiman kumuh, adalah (a) melakukan reformasi secara serentak, khususnya yang berkaitan dengan perpajakan, retribusi/biaya perizinan daerah, pertanahan dan tata ruang, sebagai upaya untuk menekan dan mengurangi harga rumah sehingga dapat meningkatkan kemampuan daya beli masyarakat; (b) menyempurnakan pola subsidi sektor perumahan yang tepat sasaran, transparan, akuntabel, dan pasti, khususnya subsidi bagi masyarakat berpendapatan rendah; (c) mendorong adanya insentif perpajakan kepada dunia usaha agar berpartisipasi secara langsung dalam penyediaan perumahan; dan (d) melakukan penguatan swadaya masyarakat dalam pembangunan rumah melalui pemberian fasilitas kredit mikro perumahan, fasilitasi untuk pemberdayaan masyarakat, dan bantuan teknis kepada kelompok masyarakat yang berswadaya dalam pembangunan rumah. Dengan demikian, penyediaan perumahan dapat diselenggarakan dengan tidak hanya mempertimbangkan kemampuan daya beli masyarakat, melainkan juga melibatkan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan.
Dengan makin terbatasnya sumber dana yang dapat dimobilisasi oleh pemerintah untuk memenuhi kebutuhan pembangunan sarana dan prasarana, anggaran pemerintah akan lebih difokuskan pada penyediaan sarana dan prasarana yang secara ekonomi dan sosial bermanfaat, tetapi secara finansial kurang layak. Untuk proyek sarana dan prasarana yang layak secara finansial akan dibangun dengan memanfaatkan dana-dana masyarakat dan membuka peluang kerja sama dengan badan usaha, terutama swasta dalam rangka penyelenggaraan pembangunan sarana dan prasarana. Hal itu, merupakan tantangan yang menuntut dilakukannya berbagai penyempurnaan aturan main, terutama yang berkaitan dengan struktur industri penyediaan sarana dan prasarana serta pentingnya reformasi di sektor keuangan guna memfasilitasi kebutuhan akan dana- dana jangka panjang masyarakat yang tersimpan di berbagai lembaga keuangan. E. Politik 1. Tantangan terberat dalam kurun waktu 20 tahun mendatang dalam pembangunan politik adalah menjaga proses konsolidasi demokrasi secara berkelanjutan. Dalam menjaga momentum demokrasi tersebut, tantangan yang akan dihadapi adalah melaksanakan reformasi struktur politik, menyempurnakan proses politik, dan mengembangkan budaya politik yang lebih demokratis agar demokrasi berjalan bersamaan dan berkelanjutan sehingga sasaran tercapainya demokrasi yang bersifat prosedural dan substansial dapat tercapai. Tantangan lain yang dihadapi untuk menjaga konsolidasi demokrasi adalah perlunya menyepakati pentingnya konstitusi yang lebih demokratis. Proses perubahan yang sudah berlangsung 4 (empat) kali masih menyisakan berbagai persoalan ketidaksempurnaan dalam hal filosofi maupun substansi konstitusional, terutama dalam kaitannya dengan pelembagaan dan penerapan nilai-nilai demokrasi secara luas.
Konsolidasi demokrasi memerlukan dukungan seluruh masyarakat Indonesia yang bersatu padu dalam wadah NKRI. Tantangan utamanya adalah meneguhkan kembali makna penting persatuan nasional dengan memerhatikan berbagai keanekaragaman latar belakang dan kondisi. Hal itu meliputi aspek desentralisasi, keadilan sosial, serta sensitif politik yang belum tuntas penyelesaiannya, seperti masalah federalisme, masalah pemberlakuan syariat Islam, dan masalah hubungan negara dan agama. Tantangan lain dalam melaksanakan konsolidasi demokrasi adalah melaksanakan rekonsiliasi nasional untuk menyelesaikan dan menuntaskan persoalan-persoalan yang masih mengganjal pada masa yang lalu, seperti pelanggaran HAM berat dan tindakan-tindakan kejahatan politik yang dilakukan atas nama negara. Terkait dengan telah dirumuskannya format hubungan pusat dan daerah yang baru, tantangan ke depan adalah menciptakan hubungan pusat dengan daerah yang benar-benar mampu memadukan kepentingan dalam upaya memperkuat ikatan NKRI dan tetap menjaga berkembangnya iklim demokrasi hingga ke tingkat lokal atau dinamika di berbagai daerah 3. Tantangan lain untuk menjaga konsolidasi demokrasi adalah perlunya mereformasi birokrasi sipil dan TNI-Polri. Konsolidasi demokrasi memerlukan pelaksana kebijakan yang reformis di dalam pemerintahan dan memerlukan dukungan birokrasi yang memenuhi syarat profesionalisme, kredibilitas dan kapasitas, serta efisiensi dan efektivitas. Di samping itu, salah satu tantangan demokrasi terbesar adalah masih belum kuatnya masyarakat sipil, baik dari segi ekonomi maupun pendidikan. Oleh karena itu, dalam kurun waktu dua puluh tahun ke depan, pendidikan politik akan merupakan alat transformasi sosial menuju demokrasi. Masyarakat sipil yang kuat sangat tergantung kepada kapasitas masyarakat dalam merespon dan memahami dinamika pasar global dan pasar dalam negeri serta saling berinteraksi antara negara, masyarakat sipil, dan pasar dalam mewujudkan negara yang demokratis. Tantangan lain untuk menjaga proses konsolidasi demokrasi adalah mendorong terbangunnya partai politik yang mandiri dan memiliki kapasitas untuk melaksanakan pendidikan politik rakyat, mengagregasi dan menyalurkan aspirasi politik rakyat, serta menyeleksi pimpinan politik yang akan mengelola penyelenggaraan negara secara profesional.
Konsolidasi demokrasi akan dihadapkan pula pada tantangan bagaimana melembagakan kebebasan pers/media massa. Akses masyarakat terhadap informasi yang bebas dan terbuka, dalam banyak hal, akan lebih memudahkan kontrol atas pemenuhan kepentingan publik. Peran media massa yang bebas sangat menentukan dalam proses menemukan, mencegah, mempublikasikan berbagai bentuk penyelewengan kekuasaan dan korupsi. Tantangan lain adalah mengatasi berbagai dampak negatif perkembangan industri pers yang cenderung berpihak pada kepentingan kapitalis dan bukan mengedepankan kepentingan masyarakat luas. Keseluruhan upaya tersebut berada dalam konteks menempatkan peranan pers sebagai salah satu pilar dari perkembangan demokrasi suatu negara.
Berkenaan dengan hubungan luar negeri, tantangan dalam dua puluh tahun mendatang adalah menempatkan posisi Indonesia secara tepat atas isi-isu global dengan memanfaatkan posisi strategis Indonesia secara maksimal bagi kepentingan nasional dan merevitalisasi konsep identitas nasional dalam politik luar negeri. Selain itu, bersama negara-negara berkembang lainnya, diplomasi Indonesia juga perlu terus mendorong ke arah terciptanya tatanan ekonomi dunia yang lebih adil, meningkatnya dukungan dan peran berbagai pelaku dalam menyelenggarakan hubungan luar negeri, dan terlaksananya hubungan politik luar negeri dan diplomasi Indonesia. Sikap Pelaksanaan politik luar negeri RI yang bebas dan aktif ditujukan pula untuk mendukung upaya memperkuat peranan kelembagaan regional, terutama untuk memperjuangkan kepentingan negara-negara berkembang pada tingkat regional. Tantangan lain yang dihadapi adalah melaksanakan strategi yang tepat dalam menghadapi potensi konflik teritorial dengan negara-negara tetangga melalui upaya untuk menindaklanjuti United Nations Convention on Law of the Sea (UNCLOS) 1982 yang merupakan salah satu langkah strategis, baik dalam konteks penguatan perlindungan terhadap kedaulatan wilayah dari segi hukum internasional maupun pemanfaatan nilai-nilai ekonomi karena Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Di samping itu, kecenderungan-kecenderungan unilateralisme ke depan akan dapat menyebabkan lumpuhnya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai institusi utama dalam diplomasi multilateral untuk menegakkan perdamaian dan keamanan internasional. Untuk menghindari hal tersebut, Indonesia perlu ikut menyuarakan dan memperjuangkan makna penting multilateralisme secara global dengan mengedepankan perlunya reformasi dan demokratisasi PBB menjadi tantangan yang harus diwujudkan secara konsisten dan berkelanjutan. F. Pertahanan Keamanan 1. Perubahan geopolitik internasional yang ditandai dengan memudarnya prinsip multilateralisme dan menguatnya pendekatan unilateralisme yang berdampak pada berkembangnya doktrin pertahanan pre-emptive strike akan mengubah sama sekali tataran politik internasional dan dapat menembus batas-batas yurisdiksi sebuah negara di luar kewajaran hukum internasional yang berlaku saat ini. Selain itu, menguatnya kemampuan militer negara tetangga yang secara signifikan melebihi kemampuan pertahanan Republik Indonesia telah melemahkan posisi tawar dalam ajang diplomasi internasional. Oleh karena itu, salah satu tantangan utama pembangunan kemampuan pertahanan dan keamanan yang harus diatasi pada masa mendatang adalah membangun kekuatan pertahanan yang melampaui kekuatan pertahanan minimal, sehingga disegani di kawasan regional dan internasional.
Potensi dan ancaman konflik berintensitas rendah yang didukung dengan perkembangan metode dan alat teknologi tinggi diperkirakan akan makin meningkat pada masa mendatang. Potensi dan ancaman tersebut adalah terorisme, konflik komunal, kejahatan transnasional, kejahatan terhadap kekayaan negara terutama di wilayah yurisdiksi laut Indonesia dan wilayah perbatasan, serta berkembangnya variasi tindak kriminal konvensional. Tantangan lain dalam pembangunan pertahanan dan keamanan adalah meningkatkan profesionalisme Polri seiring dengan peningkatan kesejahteraan anggotanya agar mampu melindungi dan mengayomi masyarakat, mencegah tindak kejahatan, menuntaskan tindak kriminalitas, serta meningkatkan profesionalisme TNI seiring dengan peningkatan kesejahteraan prajurit serta penguatan kapasitas lembaga intelijen dan kontra intelijen dalam rangka menciptakan keamanan nasional.
Ancaman dan gangguan bagi kedaulatan negara, keselamatan bangsa, dan keutuhan wilayah sangat terkait dengan bentang dan posisi geografis yang sangat strategis, kekayaan alam yang melimpah, serta belum tuntasnya pembangunan karakter dan kebangsaan, terutama pemahaman mengenai masalah multikulturalisme yang dapat berdampak pada munculnya gerakan separatisme dan konflik horizontal. Sementara itu, kemampuan pertahanan dan keamanan saat ini dihadapkan pada situasi kekurangan jumlah dan ketidaksiapan alutsista dan alat utama lainnya yang jika tidak dilakukan upaya percepatan penggantian, peningkatan, dan penguatan akan menyulitkan penegakkan kedaulatan negara, penyelamatan bangsa, dan penjagaan keutuhan wilayah di masa mendatang. Keadaan tersebut diperburuk oleh terjadinya kelemahan sistemik komponen cadangan dan pendukung pertahanan yang merupakan prasyarat berfungsinya sistem pertahanan semesta. Oleh karena itu, tantangan yang juga harus diatasi untuk membangun kemampuan pertahanan dan keamanan adalah meningkatkan jumlah dan kondisi alutsista TNI untuk mencapai kekuatan yang melampaui kekuatan pertahanan minimal; mengembangkan alat utama Polri, lembaga intelijen, dan kontra intelijen sesuai dengan kemajuan teknologi; dan meningkatkan kesiapan komponen cadangan dan pendukung pertahanan termasuk membangun kemampuan industri pertahanan nasional. Upaya lebih lanjut dalam pengembangan industri pertahanan nasional memerlukan dukungan berbagai kalangan agar dapat menciptakan kemandirian alutsista TNI dan alat utama (alut) Polri yang dibarengi dengan penataan lebih lanjut pola interaksi antara TNI dan Polri terkait dengan pelaksanaan tugas dan wewenangnya masing-masing.
Upaya memodernkan alutsista TNI secara bertahap terhambat oleh embargo yang dilakukan oleh beberapa negara. Kondisi itu diperparah dengan relatif rendahnya upaya pemanfaatan industri nasional dalam memenuhi kebutuhan peralatan pertahanan dan keamanan. Ketidaksesuaian di antara kebutuhan peralatan di satu sisi serta kemampuan teknis dan finansial industri nasional di sisi lain juga merupakan salah satu penyebab ketertinggalan dan ketergantungan peralatan pertahanan dan keamanan terhadap negara lain. Dengan demikian, untuk mewujudkan kemandirian dalam pembangunan pertahanan dan keamanan diperlukan industri pertahanan dan keamanan nasional yang tangguh. G. Hukum dan Aparatur 1. Tantangan ke depan di dalam mewujudkan sistem hukum nasional yang mantap adalah mewujudkan sistem hukum nasional yang menjamin tegaknya supremasi hukum dan HAM berdasarkan keadilan dan kebenaran.
Saat ini birokrasi belum mengalami perubahan mendasar. Banyak permasalahan belum terselesaikan. Permasalahan itu makin meningkat kompleksitasnya dengan desentralisasi, demokratisasi, globalisasi, dan revolusi teknologi informasi. Proses demokratisasi yang dijalankan telah membuat rakyat makin sadar akan hak dan tanggung jawabnya. Untuk itu, partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan negara termasuk dalam pengawasan terhadap birokrasi perlu terus dibangun dalam rangka mewujudkan tata pemerintahan yang baik. Tingkat partisipasi masyarakat yang rendah akan membuat aparatur negara tidak dapat menghasilkan kebijakan pembangunan yang tepat. Kesiapan aparatur negara dalam mengantisipasi proses demokratisasi perlu dicermati agar mampu memberikan pelayanan yang dapat memenuhi aspek transparansi, akuntabilitas, dan kualitas yang prima dari kinerja organisasi publik. Globalisasi juga membawa perubahan yang mendasar pada sistem dan mekanisme pemerintahan. Revolusi teknologi dan informasi (TI) akan mempengaruhi terjadinya perubahan manajemen penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Pemanfaatan TI dalam bentuk e-government, e-procurement, e-business dan cyber law selain akan menghasilkan pelayanan publik yang lebih cepat, lebih baik, dan lebih murah, juga akan meningkatkan diterapkannya prinsip-prinsip tata kepemerintahan yang baik. H. Wilayah dan Tata Ruang 1. Pengaturan tata ruang sesuai peruntukan merupakan tantangan pada masa yang akan datang yang harus dihadapi untuk mengatasi krisis tata ruang yang telah terjadi. Untuk itu diperlukan penataan ruang yang baik dan berada dalam satu sistem yang menjamin konsistensi antara perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian tata ruang. Penataan ruang yang baik diperlukan bagi (a) arahan lokasi kegiatan, (b) batasan kemampuan lahan, termasuk di dalamnya adalah daya dukung lingkungan dan kerentanan terhadap bencana alam, (c) efisiensi dan sinkronisasi pemanfaatan ruang dalam rangka penyelenggaraan berbagai kegiatan. Penataan ruang yang baik juga harus didukung dengan regulasi tata ruang yang searah, dalam arti tidak saling bertabrakan antarsektor, dengan tetap memerhatikan keberlanjutan dan daya dukung lingkungan, serta kerentanan wilayah terhadap terjadinya bencana.
Pengurangan kesenjangan pembangunan antarwilayah perlu dilakukan tidak hanya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di seluruh wilayah Indonesia, tetapi juga untuk menjaga stabilitas dan kesatuan nasional. Tujuan penting dan mendasar yang akan dicapai untuk mengurangi kesenjangan antarwilayah bukan untuk memeratakan pembangunan fisik di setiap daerah, terutama untuk mengurangi kesenjangan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat, baik di masing- masing daerah maupun antardaerah. Dalam kaitan itu, perlu diperhatikan pemanfaatan potensi dan peluang dari keunggulan sumber daya alam kelautan yang selama ini belum optimal sebagai satu kesatuan pengelolaan sumber daya alam di dalam setiap wilayah.
Sementara itu, dari sisi eksternal secara pasti persaingan global akan semakin kuat berpengaruh pada pembangunan nasional pada masa yang akan datang. Perekonomian nasional akan menjadi lebih terbuka sehingga secara langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh terhadap perkembangan dan pertumbuhan daerah-daerah di Indonesia. Sejak tahun 2003, AFTA telah diberlakukan secara bertahap di lingkup negara-negara ASEAN, dan perdagangan bebas akan berlangsung sepenuhnya mulai tahun 2008. Selanjutnya, mulai tahun 2010 perdagangan bebas di seluruh wilayah Asia Pasifik akan dilaksanakan. Dalam kaitan itu, tantangan bagi daerah-daerah ialah menyiapkan diri menghadapi pasar global untuk mendapatkan keuntungan secara maksimal sekaligus mengurangi kerugian dari persaingan global melalui pengelolaan sumber daya yang efisien dan efektif. Oleh karena itu, tantangannya ialah memanfaatkan potensi dan peluang keunggulan di masing-masing daerah dalam rangka mendukung daya saing nasional sekaligus meminimalkan dampak negatif globalisasi. I. Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup 1. Dengan menelaah kondisi sumber daya alam dan lingkungan hidup saat ini, apabila tidak diantisipasi dengan kebijakan dan tindakan yang tepat akan dihadapkan pada tiga ancaman, yaitu krisis pangan, krisis air, dan krisis energi. Ketiga krisis itu menjadi tantangan nasional jangka panjang yang perlu diwaspadai agar tidak menimbulkan dampak buruk bagi kehidupan masyarakat dan bangsa, yaitu terancamnya persatuan bangsa, meningkatnya semangat separatisme, dan menurunnya kesehatan masyarakat. Meningkatnya jumlah penduduk yang pesat menyebabkan kemampuan penyediaan pangan semakin terbatas. Hal itu disebabkan oleh meningkatnya konversi lahan sawah dan lahan pertanian produktif lainnya, rendahnya peningkatan produktivitas hasil pertanian, dan menurunnya kondisi jaringan irigasi dan prasarana irigasi. Selain itu, praktik pertanian konvensional mengancam kelestarian sumber daya alam dan keberlanjutan sistem produksi pertanian. Di lain pihak, bertambahnya kebutuhan lahan pertanian dan penggunaan lainnya akan mengancam keberadaan hutan dan terganggunya keseimbangan tata air. Memburuknya kondisi hutan akibat deforestasi yang meningkat pesat dan memburuknya penutupan lahan di wilayah hulu daerah aliran sungai menyebabkan menurunnya ketersediaan air yang mengancam turunnya debit air waduk dan sungai pada musim kemarau serta berkurangnya pasokan air untuk pertanian dan pengoperasian pembangkit listrik tenaga air (PLTA). Sementara itu, kelangkaan ketersediaan energi tak terbarukan juga terus terjadi karena pola konsumsi energi masih menunjukkan ketergantungan pada sumber energi tak terbarukan. Tantangan utama dalam penyediaan energi adalah meningkatkan kemampuan produksi minyak dan gas bumi yang sekaligus memperbesar penerimaan devisa, memperbanyak infrastruktur energi untuk memudahkan layanan kepada masyarakat, serta mengurangi ketergantungan terhadap minyak dan meningkatkan kontribusi gas, batubara, serta energi terbarukan seperti biogas, biomassa, panas bumi ( geothermal ), energi matahari, arus laut, dan tenaga angin. Selain itu, terdapat kemungkinan pengembangan energi tenaga nuklir yang memerlukan penelitian mendalam tentang keamanan teknologi yang digunakan, lokasi geografis, dan risiko yang mungkin akan dihadapi.
Kemajuan dapat diperoleh dengan memanfaatkan (a) sumber daya alam daratan (seperti hutan, tambang, dan lahan untuk budidaya yang cakupannya dibatasi oleh wilayah kedaulatan negara) dan (b) sumber daya kelautan, yang tersebar di wilayah laut teritorial, zona ekonomi ekslusif sampai dengan 200 mil laut dan hak pengelolaan di wilayah laut lepas yang jaraknya dapat lebih dari 200 mil laut. Mengoptimalkan pendayagunaan sumber daya kelautan untuk perhubungan laut, perikanan, pariwisata, pertambangan, industri maritim, bangunan laut, dan jasa kelautan menjadi tantangan yang perlu dipersiapkan agar dapat menjadi tumpuan masa depan bangsa. Sumbangan sumber daya kelautan terhadap perekonomian nasional yang cukup besar merupakan urutan kedua setelah jasa-jasa. Bahkan, terdapat kecenderungan daya saing industri pada saat ini telah bergeser ke arah industri berbasis kelautan. Pembangunan kelautan pada masa mendatang memerlukan dukungan politik dan pemihakan yang nyata dari seluruh pemangku kepentingan, yang tentunya menjadi tantangan seluruh komponen bangsa.
Meningkatnya kasus pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh laju pertumbuhan penduduk yang terkonsentrasi di wilayah perkotaan, perubahan gaya hidup yang konsumtif, serta rendahnya kesadaran masyarakat perlu ditangani secara berkelanjutan. Kemajuan transportasi dan industrialisasi, pencemaran sungai dan tanah oleh industri, pertanian, dan rumah tangga memberi dampak negatif yang mengakibatkan terjadinya ketidakseimbangan sistem lingkungan secara keseluruhan dalam menyangga kehidupan manusia. Keberlanjutan pembangunan dalam jangka panjang juga menghadapi tantangan akan adanya perubahan iklim dan pemanasan global yang berdampak pada aktivitas dan kehidupan manusia. Sementara itu, pemanfaatan keanekaragaman hayati belum berkembang sebagaimana mestinya. Pengembangan nilai tambah kekayaan keanekaragaman hayati dapat menjadi alternatif sumber daya pembangunan yang dapat dinikmati, baik oleh generasi sekarang maupun mendatang, sehingga memerlukan berbagai penelitian, perlindungan, dan pemanfaatan secara lestari selain upaya ke arah pematenan (hak atas kekayaan intelektual/HAKI). Oleh karena itu, penyelamatan ekosistem beserta flora-fauna di dalamnya menjadi bagian integral dalam membangun daya saing Indonesia. II.3 MODAL DASAR Modal dasar pembangunan nasional adalah seluruh sumber kekuatan nasional, baik yang efektif maupun potensial, yang dimiliki dan didayagunakan bangsa Indonesia dalam pembangunan nasional.
Wilayah Indonesia, yang dideklarasikan pada tanggal 13 Desember 1957 dan diterima menjadi bagian dari hukum laut internasional (UNCLOS, 1982), menjadikan Indonesia sebagai negara kepulauan dengan wilayah laut terluas, jumlah pulau terbanyak, dan pantai terpanjang kedua di dunia. Letak geografis Indonesia yang berada di khatulistiwa serta di antara dua benua dan dua samudera sangat strategis bagi hubungan antarbangsa di dunia. Wilayah Indonesia yang seperti itu sangat penting disadari karena merupakan kekuatan sekaligus kelemahan dan memberikan peluang serta ancaman yang menjadi basis bagi kebijakan pembangunan di berbagai bidang, baik di bidang sosial dan budaya, ekonomi industri, wilayah, lingkungan hidup, pertahanan keamanan, maupun hukum dan aparatur negara.
Kekayaan alam dan keanekaragaman hayati yang terdapat di darat, laut, udara dan dirgantara terbatas jumlahnya sehingga pendayagunaannya harus dilakukan secara bertanggungjawab untuk kemakmuran rakyat.
Penduduk dalam jumlah besar dengan budaya sangat beragam merupakan sumber daya potensial dan produktif bagi pembangunan nasional.
Perkembangan politik yang telah melalui tahap awal reformasi telah memberikan perubahan yang mendasar bagi demokratisasi di bidang politik dan ekonomi serta desentralisasi di bidang pemerintahan dan pengelolaan pembangunan. BAB III VISI DAN MISI PEMBANGUNAN NASIONAL TAHUN 2005–2025 Berdasarkan kondisi bangsa Indonesia saat ini, tantangan yang dihadapi dalam 20 tahunan mendatang dengan memperhitungkan modal dasar yang dimiliki oleh bangsa Indonesia dan amanat pembangunan yang tercantum dalam Pembukaan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, visi pembangunan nasional tahun 2005–2025 adalah: Visi pembangunan nasional tahun 2005–2025 itu mengarah pada pencapaian tujuan nasional, seperti tertuang dalam Pembukaan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Visi pembangunan nasional tersebut harus dapat diukur untuk dapat mengetahui tingkat kemandirian, kemajuan, keadilan dan kemakmuran yang ingin dicapai. Kemandirian adalah hakikat dari kemerdekaan, yaitu hak setiap bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri dan menentukan apa yang terbaik bagi diri bangsanya. Oleh karena itu, pembangunan, sebagai usaha untuk mengisi kemerdekaan, haruslah pula merupakan upaya membangun kemandirian. Kemandirian bukanlah kemandirian dalam keterisolasian. Kemandirian mengenal adanya kondisi saling ketergantungan yang tidak dapat dihindari dalam kehidupan bermasyarakat, baik dalam suatu negara maupun bangsa. Terlebih lagi dalam era globalisasi dan perdagangan bebas ketergantungan antarbangsa semakin kuat. Kemandirian yang demikian adalah paham yang proaktif dan bukan reaktif atau defensif. Kemandirian merupakan konsep yang dinamis karena mengenali bahwa kehidupan dan kondisi saling ketergantungan senantiasa berubah, baik konstelasinya, perimbangannya, maupun nilai-nilai yang mendasari dan mempengaruhinya. Bangsa mandiri adalah bangsa yang mampu mewujudkan kehidupan sejajar dan sederajat dengan bangsa lain yang telah maju dengan mengandalkan pada kemampuan dan kekuatan sendiri. Oleh karena itu, untuk membangun kemandirian, mutlak harus dibangun kemajuan ekonomi. Kemampuan untuk berdaya saing menjadi kunci untuk mencapai kemajuan sekaligus kemandirian. Kemandirian suatu bangsa tercermin, antara lain, pada ketersediaan sumber daya manusia yang berkualitas dan mampu memenuhi tuntutan kebutuhan dan kemajuan pembangunannya; kemandirian aparatur pemerintah dan aparatur penegak hukum dalam menjalankan tugasnya; ketergantungan pembiayaan pembangunan yang bersumber dari dalam negeri yang makin kokoh sehingga ketergantungan kepada sumber dari luar negeri menjadi kecil; dan kemampuan memenuhi sendiri kebutuhan pokok. Apabila karena sumber daya alam tidak lagi memungkinkan, kelemahan itu diimbangi dengan keunggulan lain sehingga tidak membuat ketergantungan dan kerawanan serta mempunyai daya tahan tinggi terhadap perkembangan dan gejolak ekonomi dunia. Secara lebih mendasar lagi, kemandirian sesungguhnya mencerminkan sikap seseorang atau sebuah bangsa mengenai dirinya, masyarakatnya, serta semangatnya dalam menghadapi tantangan-tantangan. Karena menyangkut sikap, kemandirian pada dasarnya adalah masalah budaya dalam arti seluas- luasnya. Sikap kemandirian harus dicerminkan dalam setiap aspek kehidupan, baik hukum, ekonomi, politik, sosial budaya, maupun pertahanan keamanan. Tingkat kemajuan suatu bangsa dinilai berdasarkan berbagai ukuran. Ditinjau dari indikator sosial, tingkat kemajuan suatu negara diukur dari kualitas sumber daya manusianya. Suatu bangsa dikatakan makin maju apabila sumber daya manusianya memiliki kepribadian bangsa, berakhlak mulia, dan berkualitas pendidikan yang tinggi. Tingginya kualitas pendidikan penduduknya ditandai oleh makin menurunnya tingkat pendidikan terendah serta meningkatnya partisipasi pendidikan dan jumlah tenaga ahli serta profesional yang dihasilkan oleh sistem pendidikan. Kemajuan suatu bangsa juga diukur berdasarkan indikator kependudukan, ada kaitan yang erat antara kemajuan suatu bangsa dengan laju pertumbuhan penduduk, termasuk derajat kesehatan . Bangsa yang sudah maju ditandai dengan laju pertumbuhan penduduk yang lebih kecil; angka harapan hidup yang lebih tinggi; dan kualitas pelayanan sosial yang lebih baik. Secara keseluruhan kualitas sumber daya manusia yang makin baik akan tercermin dalam produktivitas yang makin tinggi. Ditinjau dari tingkat perkembangan ekonomi, kemajuan suatu bangsa diukur dari tingkat kemakmurannya yang tercermin pada tingkat pendapatan dan pembagiannya. Tingginya pendapatan rata-rata dan ratanya pembagian ekonomi suatu bangsa menjadikan bangsa tersebut lebih makmur dan lebih maju. Negara yang maju pada umumnya adalah negara yang sektor industri dan sektor jasanya telah berkembang. Peran sektor industri manufaktur sebagai penggerak utama laju pertumbuhan makin meningkat, baik dalam segi penghasilan, sumbangan dalam penciptaan pendapatan nasional maupun dalam penyerapan tenaga kerja. Selain itu, dalam proses produksi berkembang keterpaduan antarsektor, terutama sektor industri, sektor pertanian, dan sektor-sektor jasa; serta pemanfaatan sumber alam yang bukan hanya ada pada pemanfaatan ruang daratan, tetapi juga ditransformasikan kepada pemanfaatan ruang kelautan secara rasional, efisien, dan berwawasan lingkungan, mengingat Indonesia sebagai negara kepulauan yang berciri nusantara. Lembaga dan pranata ekonomi telah tersusun, tertata, dan berfungsi dengan baik, sehingga mendukung perekonomian yang efisien dengan produktivitas yang tinggi. Negara yang maju umumnya adalah negara yang perekonomiannya stabil. Gejolak yang berasal dari dalam maupun luar negeri dapat diredam oleh ketahanan ekonominya. Selain memiliki berbagai indikator sosial ekonomi yang lebih baik, bangsa yang maju juga telah memiliki sistem dan kelembagaan politik, termasuk hukum yang mantap. Lembaga politik dan kemasyarakatan telah berfungsi berdasarkan aturan dasar, yaitu konstitusi yang ditetapkan oleh rakyatnya. Bangsa yang maju juga ditandai oleh adanya peran serta rakyat secara nyata dan efektif dalam segala aspek kehidupan, baik ekonomi, sosial, politik, maupun pertahanan dan keamanan. Dalam aspek politik, sejarah menunjukkan adanya keterkaitan erat antara kemajuan suatu bangsa dan sistem politik yang dianutnya. Bangsa yang maju pada umumnya menganut sistem demokrasi, yang sesuai dengan budaya dan latar belakang sejarahnya. Bangsa yang maju adalah bangsa yang hak-hak warganya, keamanannya, dan ketenteramannya terjamin dalam kehidupannya. Selain unsur-unsur tersebut, bangsa yang maju juga harus didukung dengan infrastruktur yang maju. Kemandirian dan kemajuan suatu bangsa tidak hanya dicerminkan oleh perkembangan ekonomi semata, tetapi mencakup aspek yang lebih luas. Kemandirian dan kemajuan juga tercermin dalam keseluruhan aspek kehidupan, dalam kelembagaan, pranata-pranata, dan nilai-nilai yang mendasari kehidupan politik dan sosial. Pembangunan bangsa Indonesia bukan hanya sebagai bangsa yang mandiri dan maju, melainkan juga bangsa yang adil dan makmur. Sebagai pelaksana dan penggerak pembangunan sekaligus objek pembangunan, rakyat mempunyai hak, baik dalam merencanakan, melaksanakan, maupun menikmati hasil pembangunan. Pembangunan haruslah dilaksanakan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Oleh karena itu, masalah keadilan merupakan ciri yang menonjol pula dalam pembangunan nasional. Keadilan dan kemakmuran harus tercermin pada semua aspek kehidupan. Semua rakyat mempunyai kesempatan yang sama dalam meningkatkan taraf kehidupan; memperoleh lapangan pekerjaan; mendapatkan pelayanan sosial, pendidikan dan kesehatan; mengemukakan pendapat; melaksanakan hak politik; mengamankan dan mempertahankan negara; serta mendapatkan perlindungan dan kesamaan di depan hukum. Dengan demikian, bangsa adil berarti tidak ada diskriminasi dalam bentuk apapun, baik antarindividu, gender, maupun wilayah. Bangsa yang makmur adalah bangsa yang sudah terpenuhi seluruh kebutuhan hidupnya, sehingga dapat memberikan makna dan arti penting bagi bangsa-bangsa lain di dunia. Dalam mewujudkan visi pembangunan nasional tersebut ditempuh melalui 8 (delapan) misi pembangunan nasional sebagai berikut:
Mewujudkan masyarakat berakhlak mulia , bermoral , beretika , berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila adalah memperkuat jati diri dan karakter bangsa melalui pendidikan yang bertujuan membentuk manusia yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, mematuhi aturan hukum, memelihara kerukunan internal dan antarumat beragama, melaksanakan interaksi antarbudaya, mengembangkan modal sosial, menerapkan nilai-nilai luhur budaya bangsa, dan memiliki kebanggaan sebagai bangsa Indonesia dalam rangka memantapkan landasan spiritual, moral, dan etika pembangunan bangsa.
Mewujudkan bangsa yang berdaya-saing adalah mengedepankan pembangunan sumber daya manusia berkualitas dan berdaya saing; meningkatkan penguasaan dan pemanfaatan iptek melalui penelitian, pengembangan, dan penerapan menuju inovasi secara berkelanjutan; membangun infrastruktur yang maju serta reformasi di bidang hukum dan aparatur negara; dan memperkuat perekonomian domestik berbasis keunggulan setiap wilayah menuju keunggulan kompetitif dengan membangun keterkaitan sistem produksi, distribusi, dan pelayanan termasuk pelayanan jasa dalam negeri.
Mewujudkan masyarakat demokratis berlandaskan hukum adalah memantapkan kelembagaan demokrasi yang lebih kokoh; memperkuat peran masyarakat sipil; memperkuat kualitas desentralisasi dan otonomi daerah; menjamin pengembangan media dan kebebasan media dalam mengomunikasikan kepentingan masyarakat; dan melakukan pembenahan struktur hukum dan meningkatkan budaya hukum dan menegakkan hukum secara adil, konsekuen, tidak diskriminatif, dan memihak pada rakyat kecil.
Mewujudkan Indonesia aman , damai , dan bersatu adalah membangun kekuatan TNI hingga melampui kekuatan esensial minimum serta disegani di kawasan regional dan internasional; memantapkan kemampuan dan meningkatkan profesionalisme Polri agar mampu melindungi dan mengayomi masyarakat; mencegah tindak kejahatan, dan menuntaskan tindak kriminalitas; membangun kapabilitas lembaga intelijen dan kontra- intelijen negara dalam penciptaan keamanan nasional; serta meningkatkan kesiapan komponen cadangan, komponen pendukung pertahanan dan kontribusi industri pertahanan nasional dalam sistem pertahanan semesta.
Mewujudkan pemerataan pembangunan dan berkeadilan adalah meningkatkan pembangunan daerah; mengurangi kesenjangan sosial secara menyeluruh, keberpihakan kepada masyarakat, kelompok dan wilayah/daerah yang masih lemah; menanggulangi kemiskinan dan pengangguran secara drastis; menyediakan akses yang sama bagi masyarakat terhadap berbagai pelayanan sosial serta sarana dan prasarana ekonomi; serta menghilangkan diskriminasi dalam berbagai aspek termasuk gender.
Mewujudkan Indonesia asri dan lestari adalah memperbaiki pengelolaan pelaksanaan pembangunan yang dapat menjaga keseimbangan antara pemanfaatan, keberlanjutan, keberadaan, dan kegunaan sumber daya alam dan lingkungan hidup dengan tetap menjaga fungsi, daya dukung, dan kenyamanan dalam kehidupan pada masa kini dan masa depan, melalui pemanfaatan ruang yang serasi antara penggunaan untuk permukiman, kegiatan sosial ekonomi, dan upaya konservasi; meningkatkan pemanfaatan ekonomi sumber daya alam dan lingkungan yang berkesinambungan; memperbaiki pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup untuk mendukung kualitas kehidupan; memberikan keindahan dan kenyamanan kehidupan; serta meningkatkan pemeliharaan dan pemanfaatan keanekaragaman hayati sebagai modal dasar pembangunan.
Mewujudkan Indonesia menjadi negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat, dan berbasiskan kepentingan nasional adalah menumbuhkan wawasan bahari bagi masyarakat dan pemerintah agar pembangunan Indonesia berorientasi kelautan; meningkatkan kapasitas sumber daya manusia yang berwawasan kelautan melalui pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kelautan; mengelola wilayah laut nasional untuk mempertahankan kedaulatan dan kemakmuran; dan membangun ekonomi kelautan secara terpadu dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumber kekayaan laut secara berkelanjutan.
Mewujudkan Indonesia berperan penting dalam pergaulan dunia internasional adalah memantapkan diplomasi Indonesia dalam rangka memperjuangkan kepentingan nasional; melanjutkan komitmen Indonesia terhadap pembentukan identitas dan pemantapan integrasi internasional dan regional; dan mendorong kerja sama internasional, regional dan bilateral antarmasyarakat, antarkelompok, serta antarlembaga di berbagai bidang. BAB IV ARAH, TAHAPAN, DAN PRIORITAS PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG TAHUN 2005–2025 Tujuan pembangunan jangka panjang tahun 2005–2025 adalah mewujudkan bangsa yang maju, mandiri, dan adil sebagai landasan bagi tahap pembangunan berikutnya menuju masyarakat adil dan makmur dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945. Sebagai ukuran tercapainya Indonesia yang maju, mandiri, dan adil, pembangunan nasional dalam 20 tahun mendatang diarahkan pada pencapaian sasaran-sasaran pokok sebagai berikut. A. Terwujudnya masyarakat Indonesia yang berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab ditandai oleh hal-hal berikut:
Terwujudnya karakter bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, dan bermoral berdasarkan falsafah Pancasila yang dicirikan dengan watak dan perilaku manusia dan masyarakat Indonesia yang beragam, beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi luhur, bertoleran, bergotong royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis, dan berorientasi iptek.
Makin mantapnya budaya bangsa yang tercermin dalam meningkatnya peradaban, harkat, dan martabat manusia Indonesia, dan menguatnya jati diri dan kepribadian bangsa. B. Terwujudnya bangsa yang berdaya saing untuk mencapai masyarakat yang lebih makmur dan sejahtera ditunjukkan oleh hal-hal berikut:
Tercapainya pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan berkesinambungan sehingga pendapatan perkapita pada tahun 2025 mencapai tingkat kesejahteraan setara dengan negara-negara berpenghasilan menengah, dengan tingkat pengangguran terbuka yang tidak lebih dari 5 persen dan jumlah penduduk miskin tidak lebih dari 5 persen.
Meningkatnya kualitas sumber daya manusia, termasuk peran perempuan dalam pembangunan. Secara umum peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia ditandai dengan meningkatnya indeks pembangunan manusia (IPM) dan indeks pembangunan gender (IPG), serta tercapainya penduduk tumbuh seimbang.
Terbangunnya struktur perekonomian yang kokoh berlandaskan keunggulan kompetitif di berbagai wilayah Indonesia. Sektor pertanian, dalam arti luas, dan pertambangan menjadi basis aktivitas ekonomi yang dikelola secara efisien sehingga menghasilkan komoditi berkualitas, industri manufaktur yang berdaya saing global, motor penggerak perekonomian, serta jasa yang perannya meningkat dengan kualitas pelayanan lebih bermutu dan berdaya saing.
Tersusunnya jaringan infrastruktur perhubungan yang andal dan terintegrasi satu sama lain. Terpenuhinya pasokan tenaga listrik yang andal dan efisien sesuai kebutuhan, termasuk hampir sepenuhnya elektrifikasi rumah tangga dan elektrifikasi perdesaan dapat terpenuhi. Terselenggaranya pelayanan pos dan telematika yang efisien dan modern guna terciptanya masyarakat informasi Indonesia. Terwujudnya konservasi sumber daya air yang mampu menjaga keberlanjutan fungsi sumber daya air.
Meningkatnya profesionalisme aparatur negara pusat dan daerah untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik, bersih, berwibawa, dan bertanggung jawab, serta profesional yang mampu mendukung pembangunan nasional. C. Terwujudnya Indonesia yang demokratis , berlandaskan hukum dan berkeadilan ditunjukkan oleh hal-hal berikut:
Terciptanya supremasi hukum dan penegakkan hak-hak asasi manusia yang bersumber pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta tertatanya sistem hukum nasional yang mencerminkan kebenaran, keadilan, akomodatif, dan aspiratif. Terciptanya penegakan hukum tanpa memandang kedudukan, pangkat, dan jabatan seseorang demi supremasi hukum dan terciptanya penghormatan pada hak-hak asasi manusia.
Menciptakan landasan konstitusional untuk memperkuat kelembagaan demokrasi.
Memperkuat peran masyarakat sipil dan partai politik dalam kehidupan politik.
Memantapkan pelembagaan nilai-nilai demokrasi yang menitikberatkan pada prinsip-prinsip toleransi, non-diskriminasi, dan kemitraan.
Terwujudnya konsolidasi demokrasi pada berbagai aspek kehidupan politik yang dapat diukur dengan adanya pemerintah yang berdasarkan hukum, birokrasi yang professional dan netral, masyarakat sipil, masyarakat politik dan masyarakat ekonomi yang mandiri, serta adanya kemandirian nasional. D. Terwujudnya rasa aman dan damai bagi seluruh rakyat serta terjaganya keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan kedaulatan negara dari ancaman baik dari dalam negeri maupun luar negeri ditandai oleh hal-hal berikut:
Terwujudnya keamanan nasional yang menjamin martabat kemanusiaan, keselamatan warga negara, dan keutuhan wilayah dari ancaman dan gangguan pertahanan dan keamanan, baik dari luar negeri maupun dari dalam negeri.
TNI yang profesional, komponen cadangan dan pendukung pertahanan yang kuat terutama bela negara masyarakat dengan dukungan industri pertahanan yang andal.
Polri yang profesional, partisipasi kuat masyarakat dalam bidang keamanan, intelijen, dan kontra intelijen yang efektif, serta mantapnya koordinasi antara institusi pertahanan dan keamanan. E. Terwujudnya pembangunan yang lebih merata dan berkeadilan ditandai oleh hal-hal berikut:
Tingkat pembangunan yang makin merata ke seluruh wilayah diwujudkan dengan peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat, termasuk berkurangnya kesenjangan antarwilayah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kemandirian pangan dapat dipertahankan pada tingkat aman dan dalam kualitas gizi yang memadai serta tersedianya instrumen jaminan pangan untuk tingkat rumah tangga.
Terpenuhi kebutuhan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana pendukungnya bagi seluruh masyarakat yang didukung oleh sistem pembiayaan perumahan jangka panjang yang berkelanjutan, efisien, dan akuntabel untuk mewujudkan kota tanpa permukiman kumuh.
Terwujudnya lingkungan perkotaan dan perdesaan yang sesuai dengan kehidupan yang baik, berkelanjutan, serta mampu memberikan nilai tambah bagi masyarakat. F. Terwujudnya Indonesia yang asri dan lestari ditandai oleh hal-hal berikut:
Membaiknya pengelolaan dan pendayagunaan sumber daya alam dan pelestarian fungsi lingkungan hidup yang dicerminkan oleh tetap terjaganya fungsi, daya dukung, dan kemampuan pemulihannya dalam mendukung kualitas kehidupan sosial dan ekonomi secara serasi, seimbang, dan lestari.
Terpeliharanya kekayaan keragaman jenis dan kekhasan sumber daya alam untuk mewujudkan nilai tambah, daya saing bangsa, serta modal pembangunan nasional.
Meningkatnya kesadaran, sikap mental, dan perilaku masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian fungsi lingkungan hidup untuk menjaga kenyamanan dan kualitas kehidupan. G. Terwujudnya Indonesia sebagai negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat, dan berbasiskan kepentingan nasional ditandai oleh hal-hal berikut:
Terbangunnya jaringan sarana dan prasarana sebagai perekat semua pulau dan kepulauan Indonesia.
Meningkat dan menguatnya sumber daya manusia di bidang kelautan yang didukung oleh pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Menetapkan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, aset-aset, dan hal-hal yang terkait dalam kerangka pertahanan negara.
Membangun ekonomi kelautan secara terpadu dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumber kekayaan laut secara berkelanjutan.
Mengurangi dampak bencana pesisir dan pencemaran laut. H. Terwujudnya peranan Indonesia yang meningkat dalam pergaulan dunia internasional ditandai oleh hal-hal berikut:
Memperkuat dan mempromosikan identitas nasional sebagai negara demokratis dalam tatanan masyarakat internasional.
Memulihkan posisi penting Indonesia sebagai negara demokratis besar yang ditandai oleh keberhasilan diplomasi di fora internasional dalam upaya pemeliharaan keamanan nasional, integritas wilayah, dan pengamanan kekayaan sumber daya alam nasional.
Meningkatnya kepemimpinan dan kontribusi Indonesia dalam berbagai kerja sama internasional dalam rangka mewujudkan tatanan dunia yang lebih adil dan damai.
Terwujudnya kemandirian nasional dalam konstelasi global.
Meningkatnya investasi perusahaan-perusahaan Indonesia di luar negeri. Untuk mencapai tingkat kemajuan, kemandirian, serta keadilan yang diinginkan, arah pembangunan jangka panjang selama kurun waktu 20 tahun mendatang adalah sebagai berikut. IV.1 ARAH PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG TAHUN 2005–2025 IV.1.1 MEWUJUDKAN MASYARAKAT YANG BERAKHLAK MULIA, BERMORAL, BERETIKA, BERBUDAYA, DAN BERADAB Terciptanya kondisi masyarakat yang berakhlak mulia, bermoral, dan beretika sangat penting bagi terciptanya suasana kehidupan masyarakat yang penuh toleransi, tenggang rasa, dan harmonis. Di samping itu, kesadaran akan budaya memberikan arah bagi perwujudan identitas nasional yang sesuai dengan nilai-nilai luhur budaya bangsa dan menciptakan iklim kondusif dan harmonis sehingga nilai-nilai kearifan lokal akan mampu merespon modernisasi secara positif dan produktif sejalan dengan nilai-nilai kebangsaan.
Pembangunan agama diarahkan untuk memantapkan fungsi dan peran agama sebagai landasan moral dan etika dalam pembangunan, membina akhlak mulia, memupuk etos kerja, menghargai prestasi, dan menjadi kekuatan pendorong guna mencapai kemajuan dalam pembangunan. Di samping itu, pembangunan agama diarahkan pula untuk meningkatkan kerukunan hidup umat beragama dengan meningkatkan rasa saling percaya dan harmonisasi antarkelompok masyarakat sehingga tercipta suasana kehidupan masyarakat yang penuh toleransi, tenggang rasa, dan harmonis.
Pembangunan dan pemantapan jati diri bangsa ditujukan untuk mewujudkan karakter bangsa dan sistem sosial yang berakar, unik, modern, dan unggul. Jati diri tersebut merupakan kombinasi antara nilai luhur bangsa, seperti religius, kebersamaan dan persatuan, serta nilai modern yang universal yang mencakup etos kerja dan prinsip tata kepemerintahan yang baik. Pembangunan jati diri bangsa tersebut dilakukan melalui transformasi, revitalisasi, dan reaktualisasi tata nilai budaya bangsa yang mempunyai potensi unggul dan menerapkan nilai modern yang membangun. Untuk memperkuat jati diri dan kebanggaan bangsa, pembangunan olah raga diarahkan pada peningkatan budaya dan prestasi olah raga.
Budaya inovatif yang berorientasi iptek terus dikembangkan agar bangsa Indonesia menguasai iptek serta mampu berjaya pada era persaingan global. Pengembangan budaya iptek tersebut dilakukan dengan meningkatkan penghargaan masyarakat terhadap iptek melalui pengembangan budaya membaca dan menulis, masyarakat pembelajar, masyarakat yang cerdas, kritis, dan kreatif dalam rangka pengembangan tradisi iptek dengan mengarahkan masyarakat dari budaya konsumtif menuju budaya produktif. Bentuk-bentuk pengungkapan kreativitas, antara lain melalui kesenian, tetap didorong untuk mewujudkan keseimbangan aspek material, spiritual, dan emosional. Pengembangan iptek serta kesenian diletakkan dalam kerangka peningkatan harkat, martabat, dan peradaban manusia. IV.1.2 MEWUJUDKAN BANGSA YANG BERDAYA-SAING Kemampuan bangsa untuk berdaya saing tinggi adalah kunci bagi tercapainya kemajuan dan kemakmuran bangsa. Daya saing yang tinggi, akan menjadikan Indonesia siap menghadapi tantangan-tantangan globalisasi dan mampu memanfaatkan peluang yang ada. Untuk memperkuat daya saing bangsa, pembangunan nasional dalam jangka panjang diarahkan untuk (a) mengedepankan pembangunan sumber daya manusia berkualitas dan berdaya saing; (b) memperkuat perekonomian domestik berbasis keunggulan di setiap wilayah menuju keunggulan kompetitif dengan membangun keterkaitan sistem produksi, distribusi, dan pelayanan di dalam negeri; (c) meningkatkan penguasaan, pemanfaatan, dan penciptaan pengetahuan; dan (d) membangun infrastruktur yang maju; serta (e) melakukan reformasi di bidang hukum dan aparatur negara. A. Membangun Sumber Daya Manusia yang Berkualitas 1. Pembangunan sumber daya manusia memiliki peran yang sangat penting dalam mewujudkan manusia Indonesia yang maju dan mandiri sehingga mampu berdaya saing dalam era globalisasi. Dalam kaitan itu, pembangunan sumber daya manusia diarahkan pada peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia yang antara lain ditandai dengan meningkatnya indeks pembangunan manusia (IPM) dan indeks pembangunan gender (IPG), serta tercapainya penduduk tumbuh seimbang yang ditandai dengan angka reproduksi neto (NRR) sama dengan 1, atau angka kelahiran total (TFR) sama dengan 2,1.
Pengendalian jumlah dan laju pertumbuhan penduduk diarahkan pada peningkatan pelayanan keluarga berencana dan kesehatan reproduksi yang terjangkau, bermutu dan efektif menuju terbentuknya keluarga kecil yang berkualitas. Di samping itu, penataan persebaran dan mobilitas penduduk diarahkan menuju persebaran penduduk yang lebih seimbang sesuai dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan melalui pemerataan pembangunan ekonomi dan wilayah dengan memerhatikan keragaman etnis dan budaya serta pembangunan berkelanjutan. Sistem administrasi kependudukan penting pula dilakukan untuk mendukung perencanaan dan pelaksanaan pembangunan di tingkat nasional dan daerah serta mendorong terakomodasinya hak penduduk dan perlindungan sosial.
Pembangunan pendidikan dan kesehatan merupakan investasi dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia sehingga penting perannya dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan menurunkan tingkat kemiskinan dan pengangguran. Pembangunan pendidikan diarahkan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia untuk mendukung terwujudnya masyarakat yang berharkat, bermartabat, berakhlak mulia, dan menghargai keberagaman sehingga mampu bersaing dalam era global dengan tetap berlandaskan pada norma kehidupan masyarakat Indonesia dan tanpa diskriminasi. Komitmen pemerintah terhadap pendidikan harus tercermin pada kualitas sumber daya manusia, peningkatan kualitas ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), serta politik anggaran dan terintegrasinya seluruh pendidikan kedinasan ke dalam perguruan tinggi. Pelayanan pendidikan yang mencakup semua jalur, jenis, dan jenjang pendidikan. Oleh karena itu, perlu disediakan pendidikan dasar yang bermutu dan terjangkau disertai dengan pembebasan biaya pendidikan. Penyediaan pelayanan pendidikan disesuaikan dengan kebutuhan pembangunan sosial ekonomi Indonesia pada masa depan termasuk untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan melalui pendalaman penguasaan teknologi. Pembangunan pendidikan diarahkan pula untuk menumbuhkan kebanggaan kebangsaan, akhlak mulia, serta kemampuan peserta didik untuk hidup bersama dalam masyarakat yang beragam yang dilandasi oleh penghormatan pada hak-hak asasi manusia (HAM). Penyediaan pelayanan pendidikan sepanjang hayat sesuai perkembangan iptek perlu terus didorong untuk meningkatkan kualitas hidup dan produktivitas penduduk Indonesia termasuk untuk memberikan bekal pengetahuan dan keterampilan bagi penduduk usia produktif yang jumlahnya semakin besar.
Pembangunan kesehatan diarahkan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dapat terwujud. Pembangunan kesehatan diselenggarakan dengan berdasarkan perikemanusiaan, pemberdayaan dan kemandirian, adil dan merata, serta pengutamaan dan manfaat dengan perhatian khusus pada penduduk rentan, antara lain ibu, bayi, anak, manusia usia lanjut (manula), dan keluarga miskin. Pembangunan kesehatan dilaksanakan melalui peningkatan upaya kesehatan, pembiayaan kesehatan, sumber daya manusia kesehatan, obat dan perbekalan kesehatan yang disertai oleh peningkatan pengawasan, pemberdayaan masyarakat, dan manajemen kesehatan. Upaya tersebut dilakukan dengan memerhatikan dinamika kependudukan, epidemiologi penyakit, perubahan ekologi dan lingkungan, kemajuan iptek, serta globalisasi dan demokratisasi dengan semangat kemitraan dan kerja sama lintas sektor. Penekanan diberikan pada peningkatan perilaku dan kemandirian masyarakat serta upaya promotif dan preventif. Pembangunan nasional harus berwawasan kesehatan, yaitu setiap kebijakan publik selalu memerhatikan dampaknya terhadap kesehatan. Pembangunan dan perbaikan gizi dilaksanakan secara lintas sektor yang meliputi produksi pangan, pengolahan, distribusi, hingga konsumsi pangan tingkat rumah tangga dengan kandungan gizi yang cukup, seimbang, serta terjamin keamanannya dalam rangka mencapai status gizi yang baik.
Pembangunan pemberdayaan perempuan dan anak diarahkan pada peningkatan kualitas hidup dan peran perempuan, kesejahteraan, dan perlindungan anak di berbagai bidang pembangunan; penurunan jumlah tindak kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi terhadap perempuan dan anak; serta penguatan kelembagaan dan jaringan pengarusutamaan gender dan anak di tingkat nasional dan daerah, termasuk ketersediaan data dan statistik gender.
Pembangunan pemuda diarahkan pada peningkatan kualitas sumber daya manusia, pembangunan karakter kebangsaan ( nation building ) dan partisipasi pemuda di berbagai bidang pembangunan, terutama di bidang ekonomi, sosial budaya, iptek dan politik, serta memiliki wawasan kebangsaan dan beretika bangsa Indonesia. Di samping itu, pembangunan olahraga diarahkan pada peningkatan budaya olahraga dan prestasi olahraga di kalangan masyarakat. B. Memperkuat Perekonomian Domestik dengan Orientasi dan Berdaya Saing Global 7. Perekonomian dikembangkan dengan memperkuat perekonomian domestik serta berorientasi dan berdaya saing global. Untuk itu dilakukan transformasi bertahap dari perekonomian berbasis keunggulan komparatif sumber daya alam menjadi perekonomian yang berkeunggulan kompetitif. Interaksi antardaerah didorong dengan membangun keterkaitan sistem produksi, distribusi, dan pelayanan antardaerah yang kokoh. Upaya tersebut dilakukan dengan prinsip-prinsip dasar: mengelola peningkatan produktivitas nasional melalui inovasi, penguasaan, penelitian, pengembangan dan penerapan iptek menuju ekonomi berbasis pengetahuan serta kemandirian dan ketahanan bangsa secara berkelanjutan; mengelola kelembagaan ekonomi yang melaksanakan praktik terbaik dan kepemerintahan yang baik secara berkelanjutan, dan mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan.
Perekonomian dikembangkan berlandaskan prinsip demokrasi ekonomi yang memerhatikan kepentingan nasional sehingga terjamin kesempatan berusaha dan bekerja bagi seluruh masyarakat dan mendorong tercapainya penanggulangan kemiskinan. Pengelolaan kebijakan perekonomian perlu memerhatikan secara cermat dinamika globalisasi, komitmen nasional di berbagai fora perjanjian ekonomi internasional, dan kepentingan nasional dengan mengutamakan kelompok masyarakat yang masih lemah, serta menjaga kemandirian dan kedaulatan ekonomi bangsa.
Kelembagaan ekonomi dikembangkan sesuai dinamika kemajuan ekonomi dengan menerapkan prinsip-prinsip tata kelola pemerintah yang baik di dalam menyusun kerangka regulasi dan perizinan yang efisien, efektif, dan non-diskriminatif; menjaga, mengembangkan, dan melaksanakan iklim persaingan usaha secara sehat serta melindungi konsumen; mendorong pengembangan standardisasi produk dan jasa untuk meningkatkan daya saing; merumuskan strategi dan kebijakan pengembangan teknologi sesuai dengan pengembangan ekonomi nasional; dan meningkatkan daya saing usaha kecil dan menengah (UKM) di berbagai wilayah Indonesia sehingga menjadi bagian integral dari keseluruhan kegiatan ekonomi dan memperkuat basis ekonomi dalam negeri.
Peranan pemerintah yang efektif dan optimal diwujudkan sebagai fasilitator, regulator, sekaligus sebagai katalisator pembangunan di berbagai tingkat guna efisiensi dan efektivitas pelayanan publik, terciptanya lingkungan usaha yang kondusif dan berdaya saing, dan terjaganya keberlangsungan mekanisme pasar.
Struktur perekonomian diperkuat dengan mendudukkan sektor industri sebagai motor penggerak yang didukung oleh kegiatan pertanian dalam arti luas, kelautan, dan pertambangan yang menghasilkan produk-produk secara efisien, modern, dan berkelanjutan serta jasa-jasa pelayanan yang efektif, yang menerapkan praktik terbaik dan ketatakelolaan yang baik agar terwujud ketahanan ekonomi yang tangguh.
Pengembangan iptek untuk ekonomi diarahkan pada peningkatan kualitas dan kemanfaatan iptek nasional dalam rangka mendukung daya saing secara global. Hal itu dilakukan melalui peningkatan, penguasaan, dan penerapan iptek secara luas dalam sistem produksi barang/jasa, pembangunan pusat-pusat keunggulan iptek, pengembangan lembaga penelitian yang handal, perwujudan sistem pengakuan terhadap hasil pertemuan dan hak atas kekayaan intelektual, pengembangan dan penerapan standar mutu, peningkatan kualitas dan kuantitas SDM iptek, peningkatan kuantitas dan kualitas sarana dan prasarana iptek. Berbagai langkah tersebut dilakukan untuk mendukung pembangunan ekonomi yang berbasis pengetahuan, serta pengembangan kelembagaan sebagai keterkaitan dan fungsional sistem inovasi dalam mendorong pengembangan kegiatan usaha.
Kebijakan pasar kerja diarahkan untuk mendorong terciptanya sebanyak- banyaknya lapangan kerja formal serta meningkatkan kesejahteraan pekerja informal. Pasar kerja yang fleksibel, hubungan industrial yang harmonis dengan perlindungan yang layak, keselamatan kerja yang memadai, serta terwujudnya proses penyelesaian industrial yang memuaskan semua pihak merupakan ciri-ciri pasar kerja yang diinginkan. Selain itu, pekerja diharapkan mempunyai produktivitas yang tinggi sehingga dapat bersaing serta menghasilkan nilai tambah yang tinggi dengan pengelolaan pelatihan dan pemberian dukungan bagi program- program pelatihan yang strategis untuk efektivitas dan efisiensi peningkatan kualitas tenaga kerja sebagai bagian integral dari investasi sumber daya manusia. Sebagian besar pekerja, termasuk tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri, akan dibekali dengan pengakuan kompetensi sesuai dinamika kebutuhan industri dan dinamika persaingan global.
Investasi diarahkan untuk mendukung terwujudnya pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi secara berkelanjutan dan berkualitas dengan mewujudkan iklim investasi yang menarik; mendorong penanaman modal asing bagi peningkatan daya saing perekonomian nasional; serta meningkatkan kapasitas infrastruktur fisik dan pendukung yang memadai. Investasi yang dikembangkan dalam rangka penyelenggaraan demokrasi ekonomi akan dipergunakan sebesar-besarnya untuk pencapaian kemakmuran bagi rakyat.
Efisiensi, modernisasi, dan nilai tambah sektor primer terutama sektor pertanian dalam arti luas, kelautan, dan pertambangan ditingkatkan agar mampu bersaing di pasar lokal dan internasional serta untuk memperkuat basis produksi secara nasional. Hal itu merupakan faktor strategis karena berkenaan dengan pembangunan perdesaan, pengentasan kemiskinan dan keterbelakangan, dan penguatan ketahanan pangan. Semua itu harus dilaksanakan secara terencana dan cermat untuk menjamin terwujudnya transformasi seluruh elemen perekonomian nasional ke arah lebih maju dan lebih kokoh pada era globalisasi.
Peningkatan efisiensi, modernisasi, dan nilai tambah pertanian dalam arti luas dan kelautan dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan petani dan nelayan dengan mengembangkan agribisnis yang dinamis dan efisien, yang melibatkan partisipasi aktif petani dan nelayan. Peningkatan itu diselenggarakan melalui revitalisasi kelembagaan pada tingkat operasional, optimalisasi sumber daya, dan pengembangan sumber daya manusia pelaku usaha agar mampu meningkatkan daya saing melalui peningkatan produktivitas serta merespon permintaan pasar dan memanfaatkan peluang usaha. Selain bermanfaat bagi peningkatan pendapatan masyarakat pedesaan pada umumnya, upaya tersebut dapat menciptakan diversifikasi perekonomian perdesaan yang pada gilirannya meningkatkan sumbangan di dalam pertumbuhan perekonomian nasional. Perhatian perlu diberikan pada upaya-upaya pengembangan kemampuan masyarakat, pengentasan kemiskinan secara terarah, serta perlindungan terhadap sistem perdagangan dan persaingan yang tidak adil.
Pembangunan industri diarahkan untuk mewujudkan industri yang berdaya saing, baik di pasar lokal maupun internasional, dan terkait dengan pengembangan industri kecil dan menengah, dengan struktur industri yang sehat dan berkeadilan serta mendorong perkembangan ekonomi di luar Pulau Jawa. Struktur industri dalam hal penguasaan usaha akan disehatkan dengan meniadakan praktik-praktik monopoli dan berbagai distorsi pasar melalui penegakan persaingan usaha yang sehat dan prinsip-prinsip pengelolaan usaha yang baik dan benar. Struktur industri dalam hal skala usaha akan diperkuat dengan menjadikan industri kecil dan menengah sebagai basis industri nasional yang sehat, sehingga mampu tumbuh dan terintegrasi dalam mata rantai pertambahan nilai dengan industri hilir dan industri berskala besar.
Dalam rangka memperkuat daya saing perekonomian secara global, sektor industri perlu dibangun guna menciptakan lingkungan usaha mikro (lokal) yang dapat merangsang tumbuhnya rumpun industri yang sehat dan kuat melalui (1) pengembangan rantai pertambahan nilai melalui diversifikasi produk (pengembangan ke hilir), pendalaman struktur ke hulunya, atau pengembangan secara menyeluruh (hulu-hilir);
penguatan hubungan antarindustri yang terkait secara horizontal termasuk industri pendukung dan industri komplemen, termasuk dengan jaringan perusahaan multinasional terkait, serta penguatan hubungan dengan kegiatan sektor primer dan jasa yang mendukungnya; dan
penyediaan berbagai infrastruktur bagi peningkatan kapasitas kolektif yang, antara lain, meliputi sarana dan prasarana fisik (transportasi, komunikasi, energi, serta sarana dan prasarana teknologi; prasarana pengukuran, standardisasi, pengujian, dan pengendalian kualitas; serta sarana dan prasarana pendidikan dan pelatihan tenaga kerja industri).
Jasa infrastruktur dan keuangan dikembangkan sesuai dengan kebijakan pengembangan ekonomi nasional agar mampu mendukung secara efektif peningkatan produksi dan daya saing global dengan menerapkan sistem dan standar mengelolanya sesuai dengan praktik terbaik ( the best practice ) internasional, yang mampu mendorong peningkatan ketahanan serta nilai tambah perekonomian nasional dan yang mampu mendukung kepentingan strategis di dalam pengembangan sumber daya manusia di dalam negeri yang meliputi pengembangan keprofesian, penguasaan dan pemanfaatan teknologi nasional, dan peningkatan kepentingan nasional dalam pengentasan kemiskinan dan pengembangan kegiatan perekonomian perdesaan.
Perdagangan luar negeri yang lebih menguntungkan dan mendukung perekonomian nasional agar mampu memaksimalkan manfaat sekaligus meminimalkan efek negatif dari proses integrasi dengan dinamika globalisasi. Upaya tersebut diselenggarakan melalui (a) perkuatan posisi nasional di dalam berbagai fora kerja sama perdagangan internasional (skala global, regional, bilateral, dan multilateral) untuk meningkatkan daya saing dan akses pasar ekspor nasional sekaligus mengamankan kepentingan strategis nasional dalam rangka mengentaskan kemiskinan, menurunkan tingkat pengangguran, mengembangkan perdesaan, dan melindungi aktivitas perekonomian nasional dari persaingan dan praktik perdagangan internasional yang tidak sehat, dan (b) pengembangan citra, standar produk barang dan jasa nasional yang berkualitas internasional, serta fasilitasi perdagangan internasional yang berdaya saing.
Perdagangan dalam negeri diarahkan untuk memperkokoh sistem distribusi nasional yang efisien dan efektif yang menjamin kepastian berusaha untuk mewujudkan (a) berkembangnya lembaga perdagangan yang efektif dalam perlindungan konsumen dan persaingan usaha secara sehat, (b) terintegrasinya aktivitas perekonomian nasional dan terbangunnya kesadaran penggunaan produksi dalam negeri, (c) meningkatnya perdagangan antar wilayah/daerah, dan (d) terjaminnya ketersediaan bahan pokok dan barang strategis lainnya dengan harga yang terjangkau.
Kepariwisataan dikembangkan agar mampu mendorong kegiatan ekonomi dan meningkatkan citra Indonesia, meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal, serta memberikan perluasan kesempatan kerja. Pengembangan kepariwisataan memanfaatkan keragaman pesona keindahan alam dan potensi nasional sebagai wilayah wisata bahari terluas di dunia secara arif dan berkelanjutan, serta mendorong kegiatan ekonomi yang terkait dengan pengembangan budaya bangsa.
Pengembangan usaha kecil dan menengah (UKM) diarahkan agar menjadi pelaku ekonomi yang makin berbasis iptek dan berdaya saing dengan produk impor, khususnya dalam menyediakan barang dan jasa kebutuhan masyarakat sehingga mampu memberikan kontribusi yang signifikan dalam perubahan struktural dan memperkuat perekonomian domestik. Untuk itu, pengembangan UKM dilakukan melalui peningkatan kompetensi perkuatan kewirausahaan dan peningkatan produktivitas yang didukung dengan upaya peningkatan adaptasi terhadap kebutuhan pasar, pemanfaatan hasil inovasi dan penerapan teknologi dalam iklim usaha yang sehat. Pengembangan UKM secara nyata akan berlangsung terintegrasi dalam modernisasi agribisnis dan agroindustri, termasuk yang mendukung ketahanan pangan, serta perkuatan basis produksi dan daya saing industri melalui pengembangan rumpun industri, percepatan alih teknologi, dan peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Sektor keuangan dikembangkan agar senantiasa memiliki kemampuan di dalam menjaga stabilitas ekonomi dan membiayai tujuan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas serta mampu memiliki daya tahan terhadap kemungkinan gejolak krisis melalui implementasi sistem jaring pengaman sektor keuangan Indonesia, peningkatan kontribusi lembaga jasa keuangan bank dan non-bank dalam pendanaan pembangunan terutama peningkatan akses pendanaan bagi keluarga miskin, baik di perdesaan maupun di perkotaan, serta peningkatan kualitas pertumbuhan perbankan nasional. Dengan demikian, setiap jenis investasi, baik jangka pendek maupun jangka panjang, akan memeroleh sumber pendanaan yang sesuai dengan karakteristik jasa keuangan. Selain itu, semakin beragamnya lembaga keuangan akan memberikan alternatif pendanaan lebih banyak bagi seluruh lapisan masyarakat.
Perbaikan pengelolaan keuangan negara bertumpu pada sistem anggaran yang transparan, bertanggung jawab, dan dapat menjamin efektivitas pemanfaatan. Dalam rangka meningkatkan kemandirian, peran pinjaman luar negeri dijaga pada tingkat yang aman. Sementara itu, sumber utama dalam negeri yang berasal dari pajak terus ditingkatkan efektivitasnya. Kepentingan utama pembiayaan pemerintah adalah penciptaan pembiayaan pembangunan yang dapat menjamin kemampuan peningkatan pelayanan publik, baik di dalam penyediaan pelayanan dasar, prasarana dan sarana fisik serta ekonomi, maupun mendukung peningkatan daya saing ekonomi. C. Penguasaan, Pengembangan, dan Pemanfaatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi 26. Pembangunan iptek diarahkan untuk menciptakan dan menguasai ilmu pengetahuan baik ilmu pengetahuan dasar maupun terapan, serta mengembangkan ilmu sosial dan humaniora untuk menghasilkan teknologi dan memanfaatkan teknologi hasil penelitian, pengembangan, dan perekayasaan bagi kesejahteraan masyarakat, kemandirian, dan daya saing bangsa melalui peningkatan kemampuan dan kapasitas iptek yang senantiasa berpedoman pada nilai agama, nilai budaya, nilai etika, kearifan lokal, serta memerhatikan sumber daya dan kelestarian fungsi lingkungan hidup.
Pembangunan iptek diarahkan untuk mendukung ketahanan pangan dan energi; penciptaan dan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi; penyediaan teknologi transportasi, kebutuhan teknologi pertahanan, dan teknologi kesehatan; pengembangan teknologi material maju; serta peningkatan jumlah penemuan dan pemanfaatannya dalam sektor produksi. Dukungan tersebut dilakukan melalui pengembangan sumber daya manusia iptek, peningkatan anggaran riset, pengembangan sinergi kebijakan iptek lintas sektor, perumusan agenda riset yang selaras dengan kebutuhan pasar, peningkatan sarana dan prasarana iptek, dan pengembangan mekanisme intermediasi iptek. Dukungan tersebut dimaksudkan untuk penguatan sistem inovasi dalam rangka mendorong pembangunan ekonomi yang berbasis pengetahuan. Di samping itu, diupayakan peningkatan kerja sama penelitian domestik dan internasional antarlembaga penelitian dan pengembangan (litbang), perguruan tinggi dan dunia usaha serta penumbuhan industri baru berbasis produk litbang dengan dukungan modal ventura. D. Sarana dan Prasarana yang Memadai dan Maju 28. Peran pemerintah akan lebih difokuskan pada perumusan kebijakan pembangunan sarana dan prasarana, sementara peran swasta dalam penyediaan sarana dan prasarana akan makin ditingkatkan terutama untuk proyek-proyek yang bersifat komersial. Kerja sama dengan swasta dalam pembangunan sarana dan prasarana diarahkan untuk (a) menyediakan sarana dan prasarana transportasi untuk pelayanan distribusi komoditi perdagangan dan industri serta pergerakan penumpang dan barang, baik dalam lingkup nasional maupun internasional; (b) menghilangkan kesenjangan antara pasokan dan kebutuhan serta efektivitas dan efisiensi tenaga listrik; (c) meningkatkan teledensitas pelayanan telematika masyarakat pengguna jasa; dan (d) memenuhi kebutuhan hunian bagi masyarakat dan mewujudkan kota tanpa permukiman kumuh.
Pembangunan prasarana sumber daya air diarahkan untuk mewujudkan fungsi air sebagai sumber daya sosial ( social goods ) dan sumber daya ekonomi ( economic goods ) yang seimbang melalui pengelolaan yang terpadu, efisien, efektif, berkeadilan, dan berkelanjutan sehingga dapat menjamin kebutuhan pokok hidup dan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Keseimbangan antara pasokan dan kebutuhan diwujudkan melalui pendekatan pengelolaan kebutuhan ( demand management ) yang ditujukan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi penggunaan, pengonsumsian air, dan pendekatan pengelolaan pasokan ( supply management ) yang ditujukan untuk meningkatkan kapasitas dan keandalan pasokan air. Pengelolaan prasarana sumber daya air diarahkan untuk mewujudkan peningkatan keandalan layanan melalui kemitraan dengan dunia usaha tanpa membebani masyarakat, penguatan kelembagaan masyarakat, dan memerhatikan pelestarian fungsi lingkungan hidup. Selain itu, pola hubungan hulu-hilir akan terus dikembangkan agar pola pengelolaan yang lebih berkeadilan dapat tercapai. Pengembangan dan penerapan sistem pemanfaatan terpadu ( conjunctive use ) antara air permukaan dan air tanah akan digalakkan terutama untuk menciptakan sinergi dan menjaga keberlanjutan ketersediaan air tanah. Pengendalian daya rusak air mengutamakan pendekatan nonkonstruksi melalui konservasi sumber daya air dan keterpaduan pengelolaan daerah aliran sungai. Peningkatan partisipasi masyarakat dan kemitraan di antara pemangku kepentingan terus diupayakan tidak hanya pada saat bencana, tetapi juga pada tahap pencegahan serta pemulihan pascabencana.
Pembangunan transportasi diarahkan untuk mendukung kegiatan ekonomi, sosial, dan budaya serta lingkungan dan dikembangkan melalui pendekatan pengembangan wilayah agar tercapai keseimbangan dan pemerataan pembangunan antardaerah; membentuk dan memperkukuh kesatuan nasional untuk memantapkan pertahanan dan keamanan nasional; serta membentuk struktur ruang dalam rangka mewujudkan sasaran pembangunan nasional. Untuk itu, pembangunan transportasi dilaksanakan dengan mengembangkan jaringan pelayanan secara antarmoda dan intramoda; menyelaraskan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penyelenggaraan transportasi yang memberikan kepastian hukum dan iklim usaha yang kondusif; mendorong seluruh pemangku kepentingan untuk berpartisipasi dalam penyediaan pelayanan; meningkatkan iklim kompetisi secara sehat agar dapat meningkatkan efisiensi dan memberikan alternatif bagi pengguna jasa dengan tetap mempertahankan keberpihakan pemerintah sebagai regulator terhadap pelayanan umum yang terjangkau kepada masyarakat; menyediakan pelayanan angkutan umum masal di daerah perkotaan yang didukung pelayanan pengumpan, yang aman, nyaman, tertib, terjangkau dan ramah lingkungan serta bersinergi dengan kebijakan tata guna lahan; serta meningkatkan budaya berlalu lintas yang tertib dan disiplin. Untuk pelayanan transportasi di daerah perbatasan, terpencil, dan perdesaan dikembangkan sistem transportasi perintis yang berbasis masyarakat ( community based ) dan wilayah. Untuk mendukung daya saing dan efisiensi angkutan penumpang dan barang diarahkan pada perwujudan kebijakan yang menyatukan persepsi dan langkah para pelaku penyedia jasa transportasi dalam konteks pelayanan global; mempercepat dan memperlancar pergerakan penumpang dan barang melalui perbaikan manajemen transportasi antarmoda; meningkatkan pembangunan jalan bebas hambatan pada koridor-koridor strategis; meningkatkan pangsa angkutan barang melalui kereta api, angkutan barang antarpulau, baik melalui sistem Ro-Ro maupun angkutan laut konvensional yang didukung oleh peningkatan peran armada nasional serta angkutan komoditi khusus dengan moda transportasi udara ( fresh good and high value ); mengembangkan sistem transportasi nasional yang andal dan berkemampuan tinggi yang bertumpu pada aspek keselamatan, dan keterpaduan antarmoda, antarsektor, antarwilayah, aspek sosial budaya, dan profesionalitas sumber daya manusia transportasi serta menerapkan dan mengembangkan teknologi transportasi yang tepat guna, hemat energi, dan ramah lingkungan.
Pembangunan pos dan telematika diarahkan untuk mendorong terciptanya masyarakat berbasis informasi ( knowledge-based society ) melalui penciptaan landasan kompetisi jangka panjang penyelenggaraan pos dan telematika dalam lingkungan multioperator; pengantisipasian implikasi dari konvergensi telekomunikasi, teknologi informasi, dan penyiaran, baik mengenai kelembagaan maupun peraturan termasuk yang terkait dengan isu keamanan, kerahasiaan, privasi, dan integritas informasi; penerapan hak kekayaan intelektual; peningkatan legalitas yang nantinya dapat mengakibatkan konvergensi pasar dan industri; pengoptimalan pembangunan dan pemanfaatan prasarana pos dan telematika dan prasarana nontelekomunikasi dalam penyelenggaraan telematika; penerapan konsep teknologi netral yang responsif terhadap kebutuhan pasar dan industri dengan tetap menjaga keutuhan sistem yang telah ada; peningkatan sinergi dan integrasi prasarana jaringan menuju next generation network ; peningkatan pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap potensi pemanfaatan telematika serta pemanfaatan dan pengembangan aplikasi berbasis teknologi informasi dan komunikasi; pengembangan industri dalam negeri; dan industri konten sebagai upaya penciptaan nilai tambah dari informasi.
Pembangunan sarana dan prasarana energi dan ketenagalistrikan diarahkan pada pengembangan sarana dan prasarana energi untuk meningkatkan akses dan pelayanan konsumen terhadap energi melalui (1) pengembangan kemampuan pemenuhan kebutuhan tenaga listrik nasional secara memadai dan dapat memiliki kehandalan yang tinggi melalui rehabilitasi dan repowering pembangkit yang ada serta pembangkit baru;
pengembangan sistem penyediaan tenaga listrik yang memiliki sistem tata kelembagaan yang terstruktur dengan mengoptimalkan dalam sistem dan proses pengelolaan ketenagalistrikan yang berfungsi secara efisien, produktif, dan profesional, sehingga dapat memberikan peluang yang lebih luas dan kondusif bagi investasi swasta yang terpisah dari misi sosial, serta mampu melibatkan secara luas peran pemerintah daerah, khususnya untuk wilayah nonkomersial;
pengembangan diversifikasi energi untuk pembangkit listrik yang baru terutama pada pembangkit listrik yang berbasis batubara dan gas secara terbatas dan bersifat jangka menengah agar dapat menggantikan penggunaan bahan bakar minyak dan dalam jangka panjang akan mengedepankan energi terbarukan, khususnya bioenergi, geothermal, tenaga air, tenaga angin, tenaga surya, bahkan tenaga nuklir dengan mempertimbangkan faktor keselamatan secara ketat;
pengembangan industri penunjang ketenagalistrikan nasional yang mengedepankan peningkatan kandungan lokal, pengembangan daya guna iptek yang melibatkan dunia usaha, pendidikan, pemerintah, dan masyarakat secara terintegrasi dan bersifat strategis berbasis transfer pengetahuan ( knowledge transfer ) termasuk pengembangan standarisasi produk dan sertifikasi kelistrikan nasional;
pengembangan sistem ketenagalistrikan yang berwawasan lingkungan (6) pembangunan jaringan pipanisasi BBM, kilang, depot, dan terminal transit;
pembangunan jaringan pipanisasi gas yang terintegrasi;
pembangunan sarana dan prasarana transportasi batubara dari lokasi pertambangan ke pelabuhan serta sarana dan prasarana distribusinya; serta (9) pengembangan sarana dan prasarana pembangkit panas bumi dan energi alternatif terbarukan, terutama mikrohidro dan energi surya.
Pembangunan dan penyediaan air minum dan sanitasi diarahkan untuk mewujudkan terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat serta kebutuhan sektor-sektor terkait lainnya, seperti industri, perdagangan, transportasi, pariwisata, dan jasa sebagai upaya mendorong pertumbuhan ekonomi. Pemenuhan kebutuhan tersebut dilakukan melalui pendekatan tanggap kebutuhan ( demand responsive approach ) dan pendekatan terpadu dengan sektor sumber daya alam dan lingkungan hidup, sumber daya air, serta kesehatan. E. Reformasi Hukum dan Birokrasi 34. Pembangunan hukum diarahkan untuk mendukung terwujudnya pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan; mengatur permasalahan yang berkaitan dengan ekonomi, terutama dunia usaha dan dunia industri; serta menciptakan kepastian investasi, terutama penegakan dan perlindungan hukum. Pembangunan hukum juga diarahkan untuk menghilangkan kemungkinan terjadinya tindak pidana korupsi serta mampu menangani dan menyelesaikan secara tuntas permasalahan yang terkait kolusi, korupsi, nepotisme (KKN). Pembangunan hukum dilaksanakan melalui pembaruan materi hukum dengan tetap memerhatikan kemajemukan tatanan hukum yang berlaku dan pengaruh globalisasi sebagai upaya untuk meningkatkan kepastian dan perlindungan hukum, penegakan hukum dan hak-hak asasi manusia (HAM), kesadaran hukum, serta pelayanan hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran, ketertiban dan kesejahteraan dalam rangka penyelenggaraan negara yang makin tertib, teratur, lancar, serta berdaya saing global.
Pembangunan aparatur negara dilakukan melalui reformasi birokrasi untuk meningkatkan profesionalisme aparatur negara dan untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik, di pusat maupun di daerah agar mampu mendukung keberhasilan pembangunan di bidang-bidang lainnya. IV.1.3 MEWUJUDKAN INDONESIA YANG DEMOKRATIS BERLANDASKAN HUKUM Demokratis yang berlandaskan hukum merupakan landasan penting untuk mewujudkan pembangunan Indonesia yang maju, mandiri dan adil. Demokrasi dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam berbagai kegiatan pembangunan, dan memaksimalkan potensi masyarakat, serta meningkatkan akuntabilitas dan transparansi dalam penyelenggaraan negara. Hukum pada dasarnya bertujuan untuk memastikan munculnya aspek-aspek positif dan menghambat aspek negatif kemanusiaan serta memastikan terlaksananya keadilan untuk semua warga negara tanpa memandang dan membedakan kelas sosial, ras, etnis, agama, maupun gender. Hukum yang ditaati dan diikuti akan menciptakan ketertiban dan keterjaminan hak-hak dasar masyarakat secara maksimal. Untuk mewujudkan Indonesia yang demokratis dan adil dilakukan dengan memantapkan pelembagaan demokrasi yang lebih kokoh; memperkuat peran masyarakat sipil sehingga proses pembangunan partisipatoris yang bersifat bottom up bisa berjalan; menumbuhkan masyarakat tanggap ( responsive community) yang akan mendorong semangat sukarela ( spirit of voluntarism ) yang sejalan dengan makna gotong royong; memperkuat kualitas desentralisasi dan otonomi daerah; menjamin perkembangan dan kebebasan media dalam mengomunikasikan kepentingan masyarakat; melakukan pembenahan struktur hukum dan meningkatkan budaya hukum dan menegakkan hukum secara adil, konsekuen, tidak diskriminatif, dan memihak pada rakyat kecil.
Penyempurnaan struktur politik yang dititikberatkan pada proses pelembagaan demokrasi dilakukan dengan (a) mempromosikan dan menyosialisasikan pentingnya keberadaan sebuah konstitusi yang kuat dan memiliki kredibilitas tinggi sebagai pedoman dasar bagi sebuah proses demokratisasi berkelanjutan; (b) menata hubungan antara kelembagaan politik, kelembagaan pertahanan keamanan dalam kehidupan bernegara; (c) meningkatkan kinerja lembaga-lembaga penyelenggara negara dalam menjalankan kewenangan dan fungsi-fungsi yang diberikan oleh konstitusi dan peraturan perundangan; (d) memantapkan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah serta mencegah disintegrasi wilayah dan perpecahan bangsa; (e) melaksanakan rekonsiliasi nasional secara tuntas; dan (f) menciptakan pelembagaan demokrasi lebih lanjut untuk mendukung berlangsungnya konsolidasi demokrasi secara berkelanjutan.
Penataan peran negara dan masyarakat dititikberatkan pada pembentukan kemandirian dan kedewasaan masyarakat serta pembentukan masyarakat madani yang kuat dalam bidang ekonomi dan pendidikan. Di samping itu, penataan peran negara dan masyarakat diarahkan pada penataan fungsi- fungsi yang positif dari pranata-pranata kemasyarakatan, lembaga adat, dan partai politik untuk membangun kemandirian masyarakat dalam mengelola berbagai potensi konflik sosial yang dapat merusak serta memberdayakan berbagai potensi positif masyarakat bagi pembangunan. Upaya untuk mendorong perwujudan masyarakat sipil yang kuat perlu juga memerhatikan pengaruh pasar dalam kehidupan sosial politik nasional agar tidak terjadi ekses-ekses negatif dan kesenjangan sosial yang merugikan kehidupan masyarakat.
Penataan proses politik yang dititikberatkan pada pengalokasian/ representasi kekuasaan diwujudkan dengan (a) meningkatkan secara terus menerus kualitas proses dan mekanisme seleksi publik yang lebih terbuka bagi para pejabat politik dan publik serta (b) mewujudkan komitmen politik yang tegas terhadap pentingnya kebebasan media massa serta keleluasaan berserikat, berkumpul, dan berpendapat setiap warganegara berdasarkan aspirasi politiknya masing-masing.
Pengembangan budaya politik yang dititikberatkan pada penanaman nilai- nilai demokratis diupayakan melalui (a) penciptaan kesadaran budaya dan penanaman nilai-nilai politik demokratis, terutama penghormatan nilai- nilai HAM, nilai-nilai persamaan, anti kekerasan, serta nilai-nilai toleransi, melalui berbagai wacana dan media serta (b) upaya mewujudkan berbagai wacana dialog bagi peningkatan kesadaran mengenai pentingnya memelihara persatuan bangsa.
Peningkatan peranan komunikasi dan informasi yang ditekankan pada pencerdasan masyarakat dalam kehidupan politik dilakukan dengan (a) mewujudkan kebebasan pers yang lebih mapan, terlembaga serta menjamin hak masyarakat luas untuk berpendapat dan mengontrol jalannya penyelenggaraan negara secara cerdas dan demokratis; (b) mewujudkan pemerataan informasi yang lebih besar dengan mendorong munculnya media-media massa daerah yang independen; (c) mewujudkan deregulasi yang lebih besar dalam bidang penyiaran sehingga dapat lebih menjamin pemerataan informasi secara nasional dan mencegah monopoli informasi; (d) menciptakan jaringan informasi yang bersifat interaktif antara masyarakat dan kalangan pengambil keputusan politik untuk menciptakan kebijakan yang lebih mudah dipahami masyarakat luas; (e) menciptakan jaringan teknologi informasi dan komunikasi yang mampu menghubungkan seluruh link informasi yang ada di pelosok nusantara sebagai suatu kesatuan yang mampu mengikat dan memperluas integritas bangsa; (f) memanfaatkan jaringan teknologi informasi dan komunikasi secara efektif agar mampu memberikan informasi yang lebih komprehensif kepada masyarakat internasional supaya tidak terjadi kesalahpahaman yang dapat meletakkan Indonesia pada posisi politik yang menyulitkan: serta (g) meningkatkan peran lembaga independen di bidang komunikasi dan informasi untuk lebih mendukung proses pencerdasan masyarakat dalam kehidupan politik dan perwujudan kebebasan pers yang lebih mapan.
Pembangunan hukum diarahkan pada makin terwujudnya sistem hukum nasional yang mantap bersumber pada Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, yang mencakup pembangunan materi hukum, struktur hukum termasuk aparat hukum, sarana dan prasarana hukum; perwujudan masyarakat yang mempunyai kesadaran dan budaya hukum yang tinggi dalam rangka mewujudkan negara hukum; serta penciptaan kehidupan masyarakat yang adil dan demokratis. Pembangunan hukum dilaksanakan melalui pembaruan hukum dengan tetap memerhatikan kemajemukan tatanan hukum yang berlaku dan pengaruh globalisasi sebagai upaya untuk meningkatkan kepastian dan perlindungan hukum, penegakan hukum dan HAM, kesadaran hukum, serta pelayanan hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran, ketertiban, dan kesejahteraan dalam rangka penyelenggaraan negara yang makin tertib dan teratur sehingga penyelenggaraan pembangunan nasional akan makin lancar.
Pembangunan materi hukum diarahkan untuk melanjutkan pembaruan produk hukum untuk menggantikan peraturan perundang-undangan warisan kolonial yang mencerminkan nilai-nilai sosial dan kepentingan masyarakat Indonesia serta mampu mendorong tumbuhnya kreativitas dan melibatkan masyarakat untuk mendukung pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan nasional yang bersumber pada Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang mencakup perencanaan hukum, pembentukan hukum, penelitian dan pengembangan hukum. Di sisi lain, perundang-undangan yang baru juga harus mampu mengisi kekurangan/kekosongan hukum sebagai pengarah dinamika lingkungan strategis yang sangat cepat berubah. Perencanaan hukum sebagai bagian dari pembangunan materi hukum harus diselenggarakan dengan memerhatikan berbagai aspek yang memengaruhi, baik di dalam masyarakat sendiri maupun dalam pergaulan masyarakat internasional yang dilakukan secara terpadu dan meliputi semua bidang pembangunan sehingga produk hukum yang dihasilkan dapat memenuhi kebutuhan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara serta dapat mengantisipasi perkembangan zaman. Pembentukan hukum diselenggarakan melalui proses terpadu dan demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta sehingga menghasilkan produk hukum beserta peraturan pelaksanaan yang dapat diaplikasikan secara efektif dengan didukung oleh penelitian dan pengembangan hukum yang didasarkan pada aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Penelitian dan pengembangan hukum diarahkan pada semua aspek kehidupan sehingga hukum nasional selalu dapat mengikuti perkembangan dan dinamika pembangunan yang sesuai dengan aspirasi masyarakat, baik kebutuhan saat ini maupun masa depan. Untuk meningkatkan kualitas penelitian dan pengembangan hukum diperlukan kerja sama dengan berbagai komponen lembaga terkait, baik di dalam maupun di luar negeri.
Pembangunan struktur hukum diarahkan untuk memantapkan dan mengefektifkan berbagai organisasi dan lembaga hukum, profesi hukum, dan badan peradilan sehingga aparatur hukum mampu melaksanakan tugas dan kewajibannya secara profesional. Kualitas dan kemampuan aparatur hukum dikembangkan melalui peningkatan kualitas dan profesionalisme melalui sistem pendidikan dan pelatihan dengan kurikulum yang akomodatif terhadap setiap perkembangan pembangunan serta pengembangan sikap aparatur hukum yang menunjung tinggi kejujuran, kebenaran, keterbukaan dan keadilan, bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme, serta bertanggung jawab dalam bentuk perilaku yang teladan. Aparatur hukum dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya secara profesional perlu didukung oleh sarana dan prasarana hukum yang memadai serta diperbaiki kesejahteraannya agar di dalam melaksanakan tugas dan kewajiban aparatur hukum dapat berjalan dengan baik dan terhindar dari pengaruh dan intervensi pihak-pihak dalam bentuk korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Penerapan dan penegakan hukum dan hak asasi manusia (HAM) dilaksanakan secara tegas, lugas, profesional, dan tidak diskriminatif dengan tetap berdasarkan pada penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia (HAM), keadilan, dan kebenaran, terutama dalam penyelidikan, penyidikan, dan persidangan yang transparan dan terbuka dalam rangka mewujudkan tertib sosial dan disiplin sosial sehingga dapat mendukung pembangunan serta memantapkan stabilitas nasional yang mantap dan dinamis. Penegakan hukum dan hak-hak asasi manusia (HAM) dilakukan terhadap berbagai tindak pidana, terutama yang akibatnya dirasakan langsung oleh masyarakat luas, antara lain tindak pidana korupsi, kerusakan lingkungan, dan penyalahgunaan narkotik. Dalam rangka menjaga keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, penegakan hukum di laut secara terus-menerus harus ditingkatkan sesuai dengan kewenangan yang diatur dalam perundang-undangan nasional dan hukum internasional. Pemantapan lembaga peradilan sebagai implikasi satu atap dengan lembaga Mahkamah Agung secara terus-menerus melakukan pengembangan lembaga peradilan; peningkatan kualitas dan profesionalisme hakim pada semua lingkungan peradilan; dukungan serta perbaikan sarana dan prasarana pada semua lingkungan peradilan sehingga dapat mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap citra lembaga peradilan sebagai benteng terakhir pencari keadilan.
Peningkatan perwujudan masyarakat yang mempunyai kesadaran hukum yang tinggi terus ditingkatkan dengan lebih memberikan akses terhadap segala informasi yang dibutuhkan oleh masyarakat, dan akses kepada masyarakat terhadap pelibatan dalam berbagai proses pengambilan keputusan pelaksanaan pembangunan nasional sehingga setiap anggota masyarakat menyadari dan menghayati hak dan kewajibannya sebagai warga negara. Akibatnya, akan terbentuk perilaku warga negara Indonesia yang mempunyai rasa memiliki dan taat hukum. Peningkatan perwujudan masyarakat yang mempunyai kesadaran hukum yang tinggi harus didukung oleh pelayanan dan bantuan hukum dengan biaya yang terjangkau, proses yang tidak berbelit, dan penetapan putusan yang mencerminkan rasa keadilan.
Penuntasan penanggulangan penyalahgunaan kewenangan aparatur negara dicapai dengan penerapan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik pada semua tingkat, lini pemerintahan, dan semua kegiatan; pemberian sanksi yang seberat-beratnya kepada pelaku penyalahguna kewenangan sesuai dengan ketentuan yang berlaku; peningkatan intensitas dan efektivitas pengawasan aparatur negara melalui pengawasan internal, pengawasan fungsional, dan pengawasan masyarakat; serta peningkatan etika birokrasi dan budaya kerja serta pengetahuan dan pemahaman para penyelenggara negara terhadap prinsip-prinsip ketatapemerintahan yang baik. IV.1.4 MEWUJUDKAN INDONESIA YANG AMAN, DAMAI DAN BERSATU Dengan potensi ancaman yang tidak ringan serta kondisi sosial, ekonomi, dan budaya yang beragam, bangsa dan negara Indonesia memerlukan kemampuan pertahanan negara yang kuat untuk menjamin tetap tegaknya kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Adanya gangguan keamanan dalam berbagai bentuk kejahatan dan potensi konflik horisontal akan meresahkan dan berakibat pada pudarnya rasa aman masyarakat. Terjaminnya keamanan dan adanya rasa aman bagi masyarakat merupakan syarat penting bagi terlaksananya pembangunan di berbagai bidang.
Keamanan nasional diwujudkan melalui keterpaduan pembangunan pertahanan, pembangunan keamanan dalam negeri, dan pembangunan keamanan sosial yang diselenggarakan berdasarkan kondisi geografi, demografi, sosial, dan budaya serta berwawasan nusantara.
Pembangunan pertahanan yang mencakup sistem dan strategi pertahanan, postur dan struktur pertahanan, profesionalisme TNI, pengembangan teknologi pertahanan dalam mendukung ketersediaan alutsista, komponen cadangan, dan pendukung pertahanan diarahkan pada upaya terus- menerus untuk mewujudkan kemampuan pertahanan yang melampaui kekuatan pertahanan minimal agar mampu menegakkan kedaulatan negara dan menjaga keselamatan bangsa serta keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat yang tersebar dan beragam termasuk pulau-pulau terluar, wilayah yurisdiksi laut hingga meliputi Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia dan landasan kontinen, serta ruang udara nasional. Selanjutnya, kemampuan pertahanan tersebut terus ditingkatkan agar memiliki efek penggentar yang disegani untuk mendukung posisi tawar dalam ajang diplomasi.
Sistem dan strategi pertahanan nasional secara terus menerus disempurnakan untuk mewujudkan sistem pertahanan semesta berdasarkan kapabilitas pertahanan agar secara simultan mampu mengatasi ancaman dan memiliki efek penggentar. Dalam sistem pertahanan semesta tersebut, pertahanan nasional akan didesain agar mempunyai kemampuan menangkal ancaman di wilayah terluar Indonesia dan kemampuan untuk mempertahankan wilayah daratan serta mengawasi dan melindungi wilayah yurisdiksi laut Indonesia dan ruang udara nasional.
Postur dan struktur pertahanan diarahkan untuk dapat menjawab berbagai kemungkinan tantangan, permasalahan aktual, dan pembangunan kapabilitas jangka panjang yang sesuai dengan kondisi geografis dan dinamika masyarakat. Postur dan struktur pertahanan matra darat diarahkan untuk mampu mengatasi kondisi medan dan topografis yang beragam, melakukan pergerakan cepat antarwilayah dan antarpulau dan mengatasi ancaman dengan efisien. Postur dan struktur matra laut diarahkan untuk membangun kemampuan untuk mengatasi luasnya wilayah laut nusantara di permukaan dan kedalaman dan memberikan dukungan dan kompatibilitas terhadap pergerakan matra darat dan udara. Postur dan struktur matra udara diarahkan untuk dapat mengawasi terutama ruang udara nasional dan sebagian ruang udara regional, mampu melampui kebutuhan minimal penjagaan ruang udara nasional, memulai pemanfaatan ruang angkasa, dan memberikan dukungan operasi bersama antarmatra.
Peningkatan profesionalisme Tentara Nasional Indonesia dilaksanakan dengan tetap menjaga netralitas politik dan memusatkan diri pada tugas- tugas pertahanan dalam bentuk operasi militer untuk perang maupun operasi militer selain perang melalui fokus pengembangan sumber daya manusia dan pembangunan alutsista. Sebagai komponen utama pertahanan, sumber daya manusia TNI disiapkan dengan memenuhi kecukupan jumlah personil setiap matra yang diwujudkan dalam kondisi selalu terlatih; memiliki penguasaan lapangan yang tinggi; memiliki penguasaan operasional dan perawatan peralatan perang modern; memiliki doktrin dan organisasi militer yang solid; memiliki manajemen pribadi yang baik; mampu mengemban pelaksanaan tugas kemanusiaan, tanggap terhadap kemajuan teknologi dan perkembangan sosial masyarakat; serta memiliki kompetensi dalam masa purna tugas. Peningkatan profesionalisme dari sumber daya manusia TNI tersebut dimbangi dengan meningkatkan kesejahteraan melalui kecukupan gaji, penyediaan dan fasilitasi rumah tinggal, jaminan kesehatan, peningkatan pendidikan, dan penyiapan skema asuransi masa tugas.
Peningkatan kondisi dan jumlah alutsista setiap matra dilaksanakan menurut validasi postur dan struktur pertahanan untuk dapat melampaui kebutuhan kekuatan pertahanan minimal. Pemenuhan kebutuhan alutsista dipenuhi secara bertahap sejalan dengan kemampuan keuangan negara atas dasar perkembangan teknologi, prinsip kemandirian, kemudahan interoperabilitas dan perawatan, serta aliansi strategis. Pengembangan alutsista diarahkan dengan strategi akuisisi alat teknologi tinggi dengan efek deterrence dan pemenuhan kebutuhan dasar operasional secara efektif dan efisien dengan mendayagunakan dan mengembangkan potensi dalam negeri, termasuk industri pertahanan nasional dalam prinsip keberlanjutan.
Pemantapan komponen cadangan dan pendukung pertahanan negara dalam kerangka basis strategi teknologi, dan pembiayaan terus ditingkatkan dalam proses yang bersifat kontinyu maupun terobosan. Peningkatan kemampuan komponen dukungan pertahanan tersebut meliputi penguasaan kemampuan pemanfaatan kondisi sumber daya alam dan buatan, sinkronisasi pembangunan sarana dan prasarana nasional terhadap kepentingan pertahanan, partisipasi masyarakat madani dalam penyusunan kebijakan pertahanan, komponen bela negara masyarakat, dukungan mutualisme industri pertahanan nasional secara langsung maupun kemampuan konversi industri, serta keberlanjutan pembiayaan melalui rekayasa keuangan.
Perlindungan wilayah yurisdiksi laut Indonesia ditingkatkan dalam upaya melindungi sumber daya laut bagi kemakmuran sebesar-besarnya rakyat. Perlindungan terhadap wilayah yurisdiksi laut Indonesia dilakukan dengan meningkatkan kekuatan dan kemampuan pertahanan untuk melakukan pengawasan dan penegakan hukum internasional serta meningkatkan kemampuan deteksi dan penangkalan di laut. Perlindungan wilayah yurisdiksi udara Indonesia ditingkatkan sebagai upaya untuk menjaga kedaulatan nasional secara menyeluruh dengan membangun sistem pemantauan dan deteksi nasional di wilayah udara serta meningkatkan kemampuan menangkal penerbangan illegal.
Pembangunan keamanan diarahkan untuk meningkatkan profesionalisme Polri beserta institusi terkait dengan masalah keamanan dan meningkatkan peran serta masyarakat dalam rangka mewujudkan terjaminnya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, serta terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan masyarakat.
Peningkatan profesionalisme Polri dicapai melalui pembangunan kompetensi pelayanan inti, perbaikan rasio polisi terhadap penduduk, pembinaan sumber daya manusia, pemenuhan kebutuhan alat utama, serta peningkatan pengawasan dan mekanisme kontrol lembaga kepolisian. Arah pengembangan organisasi dan fungsi kepolisian disesuaikan dengan perubahan kondisi lingkungan strategis faktor pengendali utamanya adalah antisipasi perkembangan karakter kewilayahan dan faktor-faktor demografis. Profesionalisme sumber daya manusia kepolisian ditingkatkan melalui penyempurnaan seleksi, perbaikan pendidikan dan pelatihan, dan pembangunan spirit of the corps . Peningkatan profesionalisme tersebut diikuti oleh peningkatan bertahap kesejahteraan aparat kepolisian melalui kenaikan penghasilan, penyediaan dan fasilitasi rumah tinggal, jaminan kesehatan, dan tunjangan purna tugas. Peran serta masyarakat dalam penciptaan keamanan masyarakat akan dibangun melalui mekanisme pemolisian masyarakat. Pemolisian masyarakat berarti masyarakat turut bertanggung jawab dan berperan aktif dalam penciptaan keamanan dan ketertiban dalam bentuk kerja sama dan kemitraan dengan polisi dalam menjaga keamanan dan ketertiban.
Peningkatan profesionalisme lembaga intelijen dan kontra intelijen dalam mendeteksi, melindungi, dan melakukan tindakan pencegahan berbagai ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan yang berpengaruh terhadap kepentingan keamanan nasional. IV.1.5 MEWUJUDKAN PEMBANGUNAN YANG LEBIH MERATA DAN BERKEADILAN Pembangunan yang merata dan dapat dinikmati oleh seluruh komponen bangsa di berbagai wilayah Indonesia akan meningkatkan partisipasi aktif masyarakat dalam pembangunan, mengurangi gangguan keamanan, serta menghapuskan potensi konflik sosial untuk tercapainya Indonesia yang maju, mandiri dan adil.
Pengembangan wilayah diselenggarakan dengan memerhatikan potensi dan peluang keunggulan sumberdaya darat dan/atau laut di setiap wilayah, serta memerhatikan prinsip pembangunan berkelanjutan dan daya dukung lingkungan. Tujuan utama pengembangan wilayah adalah peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat serta pemerataannya. Pelaksanaan pengembangan wilayah tersebut dilakukan secara terencana dan terintegrasi dengan semua rencana pembangunan sektor dan bidang. Rencana pembangunan dijabarkan dan disinkronisasikan ke dalam rencana tata ruang yang konsisten, baik materi maupun jangka waktunya.
Percepatan pembangunan dan pertumbuhan wilayah-wilayah strategis dan cepat tumbuh didorong sehingga dapat mengembangkan wilayah-wilayah tertinggal di sekitarnya dalam suatu sistem wilayah pengembangan ekonomi yang sinergis, tanpa mempertimbangkan batas wilayah administrasi, tetapi lebih ditekankan pada pertimbangan keterkaitan mata- rantai proses industri dan distribusi. Upaya itu dapat dilakukan melalui pengembangan produk unggulan daerah, serta mendorong terwujudnya koordinasi, sinkronisasi, keterpaduan dan kerja sama antarsektor, antarpemerintah, dunia usaha, dan masyarakat dalam mendukung peluang berusaha dan investasi di daerah.
Keberpihakan pemerintah ditingkatkan untuk mengembangkan wilayah- wilayah tertinggal dan terpencil sehingga wilayah-wilayah tersebut dapat tumbuh dan berkembang secara lebih cepat dan dapat mengurangi ketertinggalan pembangunannya dengan daerah lain. Pendekatan pembangunan yang perlu dilakukan, selain dengan pemberdayaan masyarakat secara langsung melalui skema pemberian dana alokasi khusus, termasuk jaminan pelayanan publik dan keperintisan, perlu pula dilakukan penguatan keterkaitan kegiatan ekonomi dengan wilayah-wilayah cepat tumbuh dan strategis dalam satu ‘sistem wilayah pengembangan ekonomi’.
Wilayah-wilayah perbatasan dikembangkan dengan mengubah arah kebijakan pembangunan yang selama ini cenderung berorientasi inward looking menjadi outward lookin g sehingga dapat dimanfaatkan sebagai pintu gerbang aktivitas ekonomi dan perdagangan dengan negara tetangga. Pendekatan pembangunan yang dilakukan, selain menggunakan pendekatan yang bersifat keamanan, juga diperlukan pendekatan kesejahteraan. Perhatian khusus diarahkan bagi pengembangan pulau- pulau kecil di perbatasan yang selama ini luput dari perhatian.
Pembangunan kota-kota metropolitan, besar, menengah, dan kecil diseimbangkan pertumbuhannya dengan mengacu pada sistem pembangunan perkotaan nasional. Upaya itu diperlukan untuk mencegah terjadinya pertumbuhan fisik kota yang tidak terkendali ( urban sprawl & conurbation ), seperti yang terjadi di wilayah pantura Pulau Jawa, serta untuk mengendalikan arus migrasi masuk langsung dari desa ke kota-kota besar dan metropolitan, dengan cara menciptakan kesempatan kerja, termasuk peluang usaha, di kota-kota menengah dan kecil, terutama di luar Pulau Jawa. Oleh karena itu, perlu dilakukan peningkatan keterkaitan kegiatan ekonomi sejak tahap awal.
Pertumbuhan kota-kota besar dan metropolitan dikendalikan dalam suatu sistem wilayah pembangunan metropolitan yang kompak, nyaman, efisien dalam pengelolaan, serta mempertimbangkan pembangunan yang berkelanjutan melalui (1) penerapan manajemen perkotaan yang meliputi optimasi dan pengendalian pemanfaatan ruang serta pengamanan zona penyangga di sekitar kota inti dengan penegakan hukum yang tegas dan adil, serta peningkatan peran dan fungsi kota-kota menengah dan kecil di sekitar kota inti agar kota-kota tersebut tidak hanya berfungsi sebagai kota tempat tinggal ( dormitory town ) saja, tetapi juga menjadi kota mandiri;
pengembangan kegiatan ekonomi kota yang ramah lingkungan seperti industri jasa keuangan, perbankan, asuransi, dan industri telematika serta peningkatan kemampuan keuangan daerah perkotaan; dan
perevitalan kawasan kota yang meliputi pengembalian fungsi kawasan melalui pembangunan kembali kawasan; peningkatan kualitas lingkungan fisik, sosial, budaya; serta penataan kembali pelayanan fasilitas publik, terutama pengembangan sistem transportasi masal yang terintegrasi antarmoda.
Percepatan pembangunan kota-kota kecil dan menengah ditingkatkan, terutama di luar Pulau Jawa, sehingga diharapkan dapat menjalankan perannya sebagai ‘motor penggerak’ pembangunan wilayah-wilayah di sekitarnya maupun dalam melayani kebutuhan warga kotanya. Pendekatan pembangunan yang perlu dilakukan, antara lain, memenuhi kebutuhan pelayanan dasar perkotaan sesuai dengan tipologi kota masing-masing.
Peningkatan keterkaitan kegiatan ekonomi di wilayah perkotaan dengan kegiatan ekonomi di wilayah perdesaan didorong secara sinergis (hasil produksi wilayah perdesaan merupakan backward linkages dari kegiatan ekonomi di wilayah perkotaan) dalam suatu ‘sistem wilayah pengembangan ekonomi’. Peningkatan keterkaitan tersebut memerlukan adanya perluasan dan diversifikasi aktivitas ekonomi dan perdagangan (nonpertanian) di pedesaan yang terkait dengan pasar di perkotaan.
Pembangunan perdesaan didorong melalui pengembangan agroindustri padat pekerja, terutama bagi kawasan yang berbasiskan pertanian dan kelautan; peningkatan kapasitas sumber daya manusia di perdesaan khususnya dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya; pengembangan jaringan infrastruktur penunjang kegiatan produksi di kawasan perdesaan dan kota-kota kecil terdekat dalam upaya menciptakan keterkaitan fisik, sosial dan ekonomi yang saling komplementer dan saling menguntungkan; peningkatan akses informasi dan pemasaran, lembaga keuangan, kesempatan kerja, dan teknologi; pengembangan social capital dan human capital yang belum tergali potensinya sehingga kawasan perdesaan tidak semata-mata mengandalkan sumber daya alam saja; intervensi harga dan kebijakan perdagangan yang berpihak ke produk pertanian, terutama terhadap harga dan upah.
Rencana tata ruang digunakan sebagai acuan kebijakan spasial bagi pembangunan di setiap sektor, lintas sektor, maupun wilayah agar pemanfaatan ruang dapat sinergis, serasi, dan berkelanjutan. Rencana Tata Ruang Wilayah disusun secara hierarki. Dalam rangka mengoptimalkan penataan ruang perlu ditingkatkan (a) kompetensi sumber daya manusia dan kelembagaan di bidang penataan ruang, (b) kualitas rencana tata ruang, dan (c) efektivitas penerapan dan penegakan hukum dalam perencanaan, pemanfaatan, maupun pengendalian pemanfaatan ruang.
Menerapkan sistem pengelolaan pertanahan yang efisien, efektif, serta melaksanakan penegakan hukum terhadap hak atas tanah dengan menerapkan prinsip-prinsip keadilan, transparansi, dan demokrasi. Selain itu, perlu dilakukan penyempurnaan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah melalui perumusan berbagai aturan pelaksanaan land reform serta penciptaan insentif/disinsentif perpajakan yang sesuai dengan luas, lokasi, dan penggunaan tanah agar masyarakat golongan ekonomi lemah dapat lebih mudah mendapatkan hak atas tanah. Selain itu, menyempurnakan sistem hukum dan produk hukum pertanahan melalui inventarisasi dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan pertanahan dengan mempertimbangkan aturan masyarakat adat, serta peningkatan upaya penyelesaian sengketa pertanahan baik melalui kewenangan administrasi, peradilan, maupun alternative dispute resolution . Selain itu, akan dilakukan penyempurnaan kelembagaan pertanahan sesuai dengan semangat otonomi daerah dan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, terutama yang berkaitan dengan peningkatan kapasitas sumber daya manusia bidang pertanahan di daerah.
Kapasitas pemerintah daerah terus dikembangkan melalui peningkatan kapasitas aparat pemerintah daerah, kapasitas kelembagaan pemerintah daerah, kapasitas keuangan pemerintah daerah, serta kapasitas lembaga legislatif daerah. Selain itu, pemberdayaan masyarakat akan terus dikembangkan melalui peningkatan pengetahuan dan keterampilan; peningkatan akses pada modal usaha dan sumber daya alam; pemberian kesempatan luas untuk menyampaikan aspirasi terhadap kebijakan dan peraturan yang menyangkut kehidupan mereka; serta peningkatan kesempatan dan kemampuan untuk mengelola usaha ekonomi produktif yang mendatangkan kemakmuran dan mengatasi kemiskinan.
Peningkatan kerja sama antardaerah akan terus ditingkatkan dalam rangka memanfaatkan keunggulan komparatif maupun kompetitif setiap daerah; menghilangkan ego pemerintah daerah yang berlebihan; serta menghindari timbulnya inefisiensi dalam pelayanan publik. Pembangunan kerja sama antardaerah melalui sistem jejaring antardaerah akan sangat bermanfaat sebagai sarana berbagi pengalaman, berbagi keuntungan dari kerja sama, maupun berbagi tanggung jawab pembiayaan secara proporsional, baik dalam pembangunan dan pemeliharaan sarana dan prasarana maupun dalam pembangunan lainnya.
Sistem ketahanan pangan diarahkan untuk menjaga ketahanan dan kemandirian pangan nasional dengan mengembangkan kemampuan produksi dalam negeri yang didukung kelembagaan ketahanan pangan yang mampu menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup di tingkat rumah tangga, baik dalam jumlah, mutu, keamanan, maupun harga yang terjangkau, yang didukung oleh sumber-sumber pangan yang beragam sesuai dengan keragaman lokal.
Koperasi yang didorong berkembang luas sesuai kebutuhan menjadi wahana yang efektif untuk meningkatkan posisi tawar dan efisiensi kolektif para anggotanya, baik produsen maupun konsumen di berbagai sektor kegiatan ekonomi sehingga menjadi gerakan ekonomi yang berperan nyata dalam upaya peningkatan kesejahteraan sosial dan ekonomi masyarakat. Sementara itu, pemberdayaan usaha mikro menjadi pilihan strategis untuk meningkatkan pendapatan kelompok masyarakat berpendapatan rendah dalam rangka mengurangi kesenjangan pendapatan dan kemiskinan melalui peningkatan kapasitas usaha dan ketrampilan pengelolaan usaha serta sekaligus mendorong adanya kepastian, perlindungan, dan pembinaan usaha.
Dalam rangka pembangunan berkeadilan, pembangunan kesejahteraan sosial juga dilakukan dengan memberi perhatian yang lebih besar pada kelompok masyarakat yang kurang beruntung, termasuk masyarakat miskin dan masyarakat yang tinggal di wilayah terpencil, tertinggal, dan wilayah bencana.
Pembangunan kesejahteraan sosial dalam rangka memberikan perlindungan pada kelompok masyarakat yang kurang beruntung disempurnakan melalui penguatan lembaga jaminan sosial yang didukung oleh peraturan-peraturan perundangan, pendanaan, serta sistem nomor induk kependudukan (NIK). Pemberian jaminan sosial dilaksanakan dengan mempertimbangkan budaya dan kelembagaan yang sudah berakar di masyarakat.
Sistem perlindungan dan jaminan sosial disusun, ditata, dan dikembangkan untuk memastikan dan memantapkan pemenuhan hak-hak rakyat akan pelayanan sosial dasar. Sistem jaminan sosial nasional (SJSN) yang sudah disempurnakan bersama sistem perlindungan sosial nasional (SPSN) yang didukung oleh peraturan perundang–undangan dan pendanaan serta sistem Nomor Induk Kependudukan (NIK) dapat memberikan perlindungan penuh kepada masyarakat luas. secara bertahap sehingga Pengembangan SPSN dan SJSN dilaksanakan dengan memperhatikan budaya dan sistem yang sudah berakar di kalangan masyarakat luas.
Pemenuhan perumahan beserta prasarana dan sarana pendukungnya diarahkan pada (1) penyelenggaraan pembangunan perumahan yang berkelanjutan, memadai, layak, dan terjangkau oleh daya beli masyarakat serta didukung oleh prasarana dan sarana permukiman yang mencukupi dan berkualitas yang dikelola secara profesional, kredibel, mandiri, dan efisien;
penyelenggaraan pembangunan perumahan beserta prasarana dan sarana pendukungnya yang mandiri mampu membangkitkan potensi pembiayaan yang berasal dari masyarakat dan pasar modal, menciptakan lapangan kerja, serta meningkatkan pemerataan dan penyebaran pembangunan; dan
pembangunan pembangunan perumahan beserta prasarana dan sarana pendukungnya yang memperhatikan fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup.
Pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat yang berupa air minum dan sanitasi diarahkan pada (1) peningkatan kualitas pengelolaan aset ( asset management ) dalam penyediaan air minum dan sanitasi;
pemenuhan kebutuhan minimal air minum dan sanitasi dasar bagi masyarakat;
penyelenggaraan pelayanan air minum dan sanitasi yang kredibel dan profesional; dan
penyediaan sumber-sumber pembiayaan murah dalam pelayanan air minum dan sanitasi bagi masyarakat miskin.
Penanggulangan kemiskinan diarahkan pada penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak dasar rakyat secara bertahap dengan mengutamakan prinsip kesetaraan dan nondiskriminasi. Sejalan dengan proses demokratisasi, pemenuhan hak dasar rakyat diarahkan pada peningkatan pemahaman tentang pentingnya mewujudkan hak-hak dasar rakyat. Kebijakan penanggulangan kemiskinan juga diarahkan pada peningkatan mutu penyelenggaraan otonomi daerah sebagai bagian dari upaya pemenuhan hak-hak dasar masyarakat miskin. IV.1.6 MEWUJUDKAN INDONESIA YANG ASRI DAN LESTARI Sumber daya alam dan lingkungan hidup merupakan modal pembangunan nasional dan, sekaligus sebagai penopang sistem kehidupan. Sumber daya alam yang lestari akan menjamin tersedianya sumber daya yang berkelanjutan bagi pembangunan. Lingkungan hidup yang asri akan meningkatkan kualitas hidup manusia . Oleh karena itu, untuk mewujudkan Indonesia yang maju, mandiri, dan adil, sumber daya alam dan lingkungan hidup harus dikelola secara seimbang untuk menjamin keberlanjutan pembangunan nasional. Penerapan prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan di seluruh sektor dan wilayah menjadi prasyarat utama dalam pelaksanaan berbagai kegiatan pembangunan.
Mendayagunakan Sumber Daya Alam yang Terbarukan. Sumber daya alam terbarukan, baik di darat dan di laut, harus dikelola dan dimanfaatkan secara rasional, optimal, efisien, dan bertanggung jawab dengan mendayagunakan seluruh fungsi dan manfaat secara seimbang. Pengelolaan sumber daya alam terbarukan yang sudah berada dalam kondisi kritis diarahkan pada upaya untuk merehabilitasi dan memulihkan daya dukungnya yang selanjutnya diarahkan pada pemanfaatan jasa lingkungan sehingga tidak semakin merusak dan menghilangkan kemampuannya sebagai modal bagi pembangunan yang berkelanjutan. Hasil atau pendapatan yang berasal dari pemanfaatan sumber daya alam terbarukan diinvestasikan kembali guna menumbuhkembangkan upaya pemulihan, rehabilitasi, dan pencadangan untuk kepentingan generasi sekarang maupun generasi mendatang. Di samping itu, pemanfaatan sumber daya alam yang terbarukan akan diarahkan untuk memenuhi kebutuhan energi dalam negeri dengan memanfaatkan sumber daya berbasis kelautan dan hasil-hasil pertanian sebagai energi alternatif.
Mengelola Sumber Daya Alam yang Tidak Terbarukan. Pengelolaan sumber daya alam tak terbarukan, seperti bahan tambang, mineral, dan sumber daya energi diarahkan untuk tidak dikonsumsi secara langsung, melainkan diperlakukan sebagai masukan, baik bahan baku maupun bahan bakar, untuk proses produksi yang dapat menghasilkan nilai tambah yang optimal di dalam negeri. Selain itu, sumber daya alam tak terbarukan pemanfaatannya harus seefisien mungkin dan menerapkan strategi memperbesar cadangan dan diarahkan untuk mendukung proses produksi di dalam negeri. Pemanfaatan sumber daya energi yang tidak terbarukan, seperti minyak dan gas bumi, terutama diarahkan untuk memenuhi kebutuhan energi yang terjangkau masyarakat di dalam negeri dan untuk mendukung industri berbasis hidrokarbon, seperti industri petrokimia, industri pupuk dalam mendukung sektor pertanian di dalam negeri. Keluarannya ( output ) diarahkan untuk dapat dijadikan sebagai modal kumulatif. Hasil atau pendapatan yang diperoleh dari kelompok sumber daya alam tersebut diarahkan untuk percepatan pertumbuhan ekonomi dengan diinvestasikan pada sektor-sektor lain yang produktif, juga untuk upaya reklamasi, konservasi, dan memperkuat pendanaan dalam pencarian sumber-sumber energi alternatif yang menjadi jembatan dari energi fosil ke energi yang terbarukan, seperti energi yang memanfaatkan nuklir dan panas bumi dan atau bahan substitusi yang terbarukan dan atau bahan substitusi yang terbarukan seperti biomassa, biogas, mikrohidro, energi matahari, arus laut, panas bumi ( geothermal ) dan tenaga angin yang ramah lingkungan. Pengembangan sumber-sumber energi alternatif itu disesuaikan dengan kondisi masyarakat dengan tetap mempertimbangkan kelestarian lingkungan. Di samping itu, pengembangan energi juga mempertimbangkan harga energi yang memperhitungkan biaya produksi, menginternalisasikan biaya lingkungan, serta mempertimbangkan kemampuan ekonomi masyarakat. Dengan demikian, pembangunan energi terus diarahkan kepada keragaman energi dan konservasi energi dengan memerhatikan kelestarian fungsi lingkungan hidup. Pengembangan energi juga dilaksanakan dengan memerhatikan komposisi penggunaan energi (diversifikasi) yang optimal bagi setiap jenis energi.
Menjaga Keamanan Ketersediaan Energi. Menjaga keamanan ketersediaan energi diarahkan untuk menyediakan energi dalam waktu yang terukur antara tingkat ketersediaan sumber- sumber energi dan tingkat kebutuhan masyarakat.
Menjaga dan Melestarikan Sumber Daya Air. Pengelolaan sumber daya air diarahkan untuk menjamin keberlanjutan daya dukungnya dengan menjaga kelestarian fungsi daerah tangkapan air dan keberadaan air tanah; mewujudkan keseimbangan antara pasokan dan kebutuhan melalui pendekatan demand management yang ditujukan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi penggunaan dan konsumsi air dan pendekatan supply management yang ditujukan untuk meningkatan kapasitas dan keandalan pasokan air; serta memperkokoh kelembagaan sumber daya air untuk meningkatkan keterpaduan dan kualitas pelayanan terhadap masyarakat.
Mengembangkan Potensi Sumber Daya Kelautan. Arah pembangunan ke depan perlu memerhatikan pendayagunaan dan pengawasan wilayah laut yang sangat luas. Dengan cakupan dan prospek sumber daya kelautan yang sangat luas, arah pemanfaatannya harus dilakukan melalui pendekatan multisektor, integratif, dan komprehensif agar dapat meminimalkan konflik dan tetap menjaga kelestariannya. Di samping itu, mengingat kompleksnya permasalahan dalam pengelolaan sumber daya laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil, pendekatan keterpaduan dalam kebijakan dan perencanaan menjadi prasyarat utama dalam menjamin keberlanjutan proses ekonomi, sosial, dan lingkungan. Selain itu, kebijakan dan pengelolaan pembangunan kelautan harus merupakan keterpaduan antara sektor lautan dan daratan serta menyatu dalam strategi pembangunan nasional sehingga kekuatan darat dan laut dapat dimanfaatkan secara optimal untuk kesejahteraan bangsa.
Meningkatkan Nilai Tambah atas Pemanfaatan Sumber Daya Alam Tropis yang Unik dan Khas. Diversifikasi produk dan inovasi pengolahan hasil sumber daya alam terus dikembangkan agar mampu menghasilkan barang dan jasa yang memiliki nilai tambah yang tinggi, termasuk untuk pengembangan mutu dan harga yang bersaing dalam merebut persaingan global. Arah ini harus menjadi acuan bagi pengembangan industri yang berbasis sumber daya alam selain tetap menekankan pada pemeliharaan sumber daya alam yang ada dan sekaligus meningkatkan kualitas dan kuantitasnya. Perhatian khusus diberikan kepada masyarakat lokal agar dapat memeroleh akses yang memadai dan menikmati hasil dari pemanfaatan sumber daya alam yang ada di wilayahnya. Dengan demikian, pembangunan pada masa yang akan datang tidak hanya berlandaskan pada peningkatan pertumbuhan ekonomi semata, melainkan juga keberpihakan kepada aspek sosial dan lingkungan.
Memerhatikan dan Mengelola Keragaman Jenis Sumber Daya Alam yang Ada di Setiap Wilayah. Kebijakan pengembangan sumber daya alam yang khas pada setiap wilayah dilaksanakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal, mengembangkan wilayah strategis dan cepat tumbuh, serta memperkuat kapasitas dan komitmen daerah untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan. Peningkatan partisipasi masyarakat akan pentingnya pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan hidup dilakukan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah antara lain melalui pemberdayaan terhadap berbagai institusi sosial dan ekonomi di tingkat lokal, serta pengakuan terhadap hak-hak adat dan ulayat atas sumber daya alam. Pengelolaan sumber daya alam di luar pulau Jawa, terutama di kawasan tertinggal diberikan perhatian khusus agar dapat dikembangkan potensinya untuk percepatan pembangunan wilayah, tetapi tetap mengedepankan aspek keberlanjutan bagi generasi mendatang. Untuk itu, diperlukan tata ruang wilayah yang mantap disertai penegakan agar menjadi pedoman pemanfaatan sumber daya alam yang optimal dan lestari.
Mitigasi Bencana Alam Sesuai dengan Kondisi Geologi Indonesia. Secara geografis Indonesia berada di wilayah pertemuan tiga lempeng tektonik. Kebijakan pembangunan berwawasan lingkungan memberikan ruang untuk mengembangkan kemampuan dan penerapan sistem deteksi dini serta sosialisasi dan diseminasi informasi secara dini terhadap ancaman kerawanan bencana alam kepada masyarakat. Untuk itu, perlu ditingkatkan identifikasi dan pemetaan daerah-daerah rawan bencana agar dapat diantisipasi secara dini. Hal itu dapat memberikan manfaat besar bagi masyarakat dan memberikan perlindungan terhadap manusia dan harta benda karena adanya perencanaan wilayah yang peduli/peka terhadap bencana alam.
Mengendalikan Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan. Dalam rangka meningkatkan kualitas lingkungan hidup yang baik perlu penerapan prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan secara konsisten di segala bidang. Pembangunan ekonomi diarahkan pada pemanfaatan jasa lingkungan yang ramah lingkungan sehingga tidak mempercepat terjadinya degradasi dan pencemaran lingkungan. Pemulihan dan rehabilitasi kondisi lingkungan hidup diprioritaskan pada upaya peningkatan daya dukung lingkungan dalam menunjang pembangunan berkelanjutan.
Meningkatkan Kapasitas Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup. Kebijakan pengelolaan sumber daya alam perlu didukung oleh peningkatan kelembagaan pengelola sumber daya alam dan lingkungan hidup; penegakan hukum lingkungan yang adil dan tegas serta sistem politik yang kredibel dalam mengendalikan konflik; peningkatan sumber daya manusia yang berkualitas; perluasan penerapan etika lingkungan; serta perkembangan asimilasi sosial budaya yang makin mantap sehinggga lingkungan dapat memberikan kenyamanan dan keindahan dalam kehidupan. Selanjutnya, cara pandang terhadap lingkungan hidup yang berwawasan etika lingkungan perlu didorong melalui internalisasi ke dalam kegiatan produksi dan konsumsi, dengan cara menanamkan nilai dan etika lingkungan dalam kehidupan sehari-hari termasuk proses pembelajaran sosial, serta pendidikan formal pada semua tingkatan.
Meningkatkan Kesadaran Masyarakat untuk Mencintai Lingkungan Hidup. Kebijakan itu diarahkan terutama bagi generasi muda sehingga tercipta sumber daya manusia yang berkualitas dan peduli terhadap isu sumber daya alam dan lingkungan hidup. Dengan demikian, pada masa yang akan datang mereka mampu berperan sebagai penggerak bagi penerapan konsep pembangunan berkelanjutan dalam kehidupan sehari-hari. IV.1.7 MEWUJUDKAN INDONESIA MENJADI NEGARA KEPULAUAN YANG MANDIRI, MAJU, KUAT DAN BERBASISKAN KEPENTINGAN NASIONAL Pembangunan kelautan pada masa yang akan datang diarahkan pada pola pembangunan berkelanjutan berdasarkan pengelolaan sumber daya laut berbasiskan ekosistem, yang meliputi aspek-aspek sumber daya manusia dan kelembagaan, politik, ekonomi, lingkungan hidup, sosial budaya, pertahanan keamanan, dan teknologi.
Membangkitkan wawasan dan budaya bahari, antara lain, melalui (a) pendidikan dan penyadaran masyarakat tentang kelautan yang dapat diwujudkan melalui semua jalur, jenis, dan jenjang pendidikan; (b) melestarikan nilai-nilai budaya serta wawasan bahari serta merevitalisasi hukum adat dan kearifan lokal di bidang kelautan; dan (c) melindungi dan menyosialisasikan peninggalan budaya bawah air melalui usaha preservasi, restorasi, dan konservasi.
Meningkatkan dan menguatkan peranan sumber daya manusia di bidang kelautan yang diwujudkan, antara lain, dengan (a) mendorong jasa pendidikan dan pelatihan yang berkualitas di bidang kelautan untuk bidang-bidang keunggulan yang diimbangi dengan ketersediaan lapangan kerja dan (b) mengembangkan standar kompetensi sumber daya manusia di bidang kelautan. Selain itu, perlu juga dilakukan peningkatan dan penguatan peranan ilmu pengetahuan dan teknologi, riset, dan pengembangan sistem informasi kelautan.
Menetapkan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, aset-aset, dan hal-hal terkait di dalamnya, termasuk kewajiban-kewajiban yang telah digariskan oleh hukum laut United Nation Convention on the Law Of Sea (UNCLOS) 1982. Indonesia telah meratifikasi UNCLOS pada tahun 1986 sehingga mempunyai kewajiban, antara lain, (a) menyelesaikan hak dan kewajiban dalam mengelola sumber daya kelautan berdasarkan ketentuan UNCLOS 1982; (b) menyelesaikan penataan batas maritim (perairan pedalaman, laut teritorial, zona tambahan, zona ekonomi eksklusif, dan landas kontinen); (c) menyelesaikan batas landas kontinen di luar 200 mil laut; (d) menyampaikan laporan data nama geografis sumber daya kelautan kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa. Di sisi lain, Indonesia juga perlu pengembangan dan penerapan tata kelola dan kelembagaan nasional di bidang kelautan, yang meliputi (a) pembangunan sistem hukum dan tata pemerintahan yang mendukung ke arah terwujudnya Indonesia sebagai Negara Kepulauan serta (b) pengembangan sistem koordinasi, perencanaan, monitoring, dan evaluasi.
Melakukan upaya pengamanan wilayah kedaulatan yurisdiksi dan aset Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang meliputi (a) peningkatan kinerja pertahanan dan keamanan secara terpadu di wilayah perbatasan; (b) pengembangan sistem monitoring, control, and survaillance (MCS) sebagai instrumen pengamanan sumber daya, lingkungan, dan wilayah kelautan; (c) pengoptimalan pelaksanaan pengamanan wilayah perbatasan dan pulau- pulau kecil terdepan; dan (d) peningkatan koordinasi keamanan dan penanganan pelanggaran di laut.
Mengembangkan industri kelautan secara sinergi, optimal, dan berkelanjutan yang meliputi (a) perhubungan laut; (b) industri maritim; (c) perikanan; (d) wisata bahari; (e) energi dan sumber daya mineral; (f) bangunan laut; dan (g) jasa kelautan.
Mengurangi dampak bencana pesisir dan pencemaran laut dilakukan melalui (a) pengembangan sistem mitigasi bencana; (b) pengembangan early warning system ; (c) pengembangan perencanaan nasional tanggap darurat tumpahan minyak di laut; (d) pengembangan sistem pengendalian hama laut, introduksi spesies asing, dan organisme laut yang menempel pada dinding kapal; serta (e) pengendalian dampak sisa-sisa bangunan dan aktivitas di laut.
Meningkatkan kesejahteraan keluarga miskin di kawasan pesisir dilakukan dengan mengembangkan kegiatan ekonomi produktif skala kecil yang mampu memberikan lapangan kerja lebih luas kepada keluarga miskin. IV.1.8 MEWUJUDKAN INDONESIA YANG BERPERAN AKTIF DALAM PERGAULAN INTERNASIONAL Melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial merupakan amanat konstitusi yang harus diperjuangkan secara konsisten. Sebagai negara yang besar secara geografis dan jumlah penduduk, Indonesia sesungguhnya memiliki peluang dan potensi untuk mempengaruhi dan membentuk opini internasional dalam rangka memperjuangkan kepentingan nasional. Dalam rangka mewujudkan Indonesia maju, mandiri, adil dan makmur, Indonesia sangat penting untuk berperan aktif dalam politik luar negeri dan kerja sama lainnya baik di tingkat regional maupun internasional, mengingat konstelasi politik dan hubungan internasional lainnya yang terus mengalami perubahan-perubahan yang sangat cepat.
Peranan hubungan luar negeri terus ditingkatkan dengan penekanankan pada proses pemberdayaan posisi Indonesia sebagai negara, termasuk peningkatan kapasitas dan integritas nasional melalui keterlibatan di organisasi-organisasi internasional, yang dilakukan melalui optimalisasi pemanfaatan diplomasi dan hubungan luar negeri dengan memaknai secara positif berbagai peluang yang menguntungkan bagi kepentingan nasional yang muncul dari perspektif baru dalam hubungan internasional yang dinamis.
Penguatan kapasitas dan kredibilitas politik luar negeri dalam rangka ikut serta menciptakan perdamaian dunia, keadilan dalam tata hubungan internasional, dan ikut berupaya mencegah timbulnya pertentangan yang terlalu tajam di antara negara-negara yang berbeda ideologi, dan sistem politik maupun kepentingan agar tidak mengancam keamanan internasional sekaligus mencegah munculnya kekuatan yang terlalu bersifat hegemonik-unilateralistik di dunia.
Peningkatan kualitas diplomasi di fora internasional dalam upaya pemeliharaan keamanan nasional, integritas wilayah, dan pengamanan kekayaan sumber daya alam, baik daratan maupun lautan, serta antisipasi terhadap berbagai isu baru dalam hubungan internasional yang akan ditangani dengan parameter utamanya adalah pencapaian secara optimal kepentingan nasional.
Peningkatan efektivitas dan perluasan fungsi jaringan kerjasama yang ada demi membangun kembali solidaritas Association of South East Asian Nation (ASEAN) di bidang politik, ekonomi, kebudayaan, dan keamanan menuju terbentuknya komunitas ASEAN yang lebih solid.
Pemeliharaan perdamaian dunia melalui upaya peningkatan saling pengertian politik dan budaya, baik antarnegara maupun antarmasyarakat dunia serta peningkatan kerja sama internasional dalam membangun tatanan hubungan dan kerja sama ekonomi internasional yang lebih seimbang.
Penguatan jaringan hubungan dan kerja sama yang produktif antar aktor- aktor negara dan aktor-aktor nonnegara yang menyelenggarakan hubungan luar negeri. IV. 2 TAHAPAN DAN SKALA PRIORITAS Untuk mencapai sasaran pokok sebagaimana dimaksud di atas, pembangunan jangka panjang membutuhkan tahapan dan skala prioritas yang akan menjadi agenda dalam rencana pembangunan jangka menengah. Tahapan dan skala prioritas yang ditetapkan mencerminkan urgensi permasalahan yang hendak diselesaikan, tanpa mengabaikan permasalahan lainnya. Oleh karena itu, tekanan skala prioritas dalam setiap tahapan berbeda-beda, tetapi semua itu harus berkesinambungan dari periode ke periode berikutnya dalam rangka mewujudkan sasaran pokok pembangunan jangka panjang. Setiap sasaran pokok dalam delapan misi pembangunan jangka panjang dapat ditetapkan prioritasnya dalam masing-masing tahapan. Prioritas masing-masing misi dapat diperas kembali menjadi prioritas utama. Prioritas utama menggambarkan makna strategis dan urgensi permasalahan. Atas dasar tersebut, tahapan dan skala prioritas utama dapat disusun sebagai berikut. IV.2.1 RPJM ke-1 (2005 – 2009) Berlandaskan pelaksanaan dan pencapaian pembangunan tahap sebelumnya, RPJM I diarahkan untuk menata kembali dan membangun Indonesia di segala bidang yang ditujukan untuk menciptakan Indonesia yang aman dan damai, yang adil dan demokratis, dan yang tingkat kesejahteraan rakyatnya meningkat. Indonesia yang aman dan damai ditandai dengan meningkatnya rasa aman dan damai serta terjaganya NKRI berdasarkan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika melalui tertanganinya berbagai kerawanan dan tercapainya landasan pembangunan kemampuan pertahanan nasional, serta meningkatnya keamanan dalam negeri termasuk keamanan sosial sehingga peranan Indonesia dalam menciptakan perdamaian dunia semakin meningkat. Kondisi itu didukung oleh berkembangnya nilai baru yang positif dan produktif pada setiap aspek kehidupan dalam rangka memantapkan budaya nasional, termasuk wawasan dan budaya bahari; menguat dan meluasnya pemahaman tentang identitas nasional sebagai negara demokrasi dalam tatanan masyarakat internasional; dan meningkatnya pelestarian serta pengembangan kekayaan budaya untuk memperkokoh kedaulatan NKRI berlandaskan falsafah Pancasila. Indonesia yang adil dan demokratis ditandai dengan meningkatnya keadilan dan penegakan hukum; terciptanya landasan hukum untuk memperkuat kelembagaan demokrasi; meningkatnya kesetaraan gender di berbagai bidang pembangunan; terciptanya landasan bagi upaya penegakan supremasi hukum dan penegakan hak-hak asasi manusia yang bersumber pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan tertatanya sistem hukum nasional. Bersamaan dengan itu, pelayanan kepada masyarakat makin membaik dengan meningkatnya penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah yang tercermin dengan terjaminnya konsistensi seluruh peraturan pusat dan daerah dan tidak bertentangan dengan peraturan dan perundang-undangan yang lebih tinggi; serta tertatanya kelembagaan birokrasi dalam mendukung percepatan terwujudnya tata kepemerintahan yang baik. Meningkatnya kesejahteraan masyarakat Indonesia ditandai dengan menurunnya angka pengangguran dan jumlah penduduk miskin sejalan dengan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas; berkurangnya kesenjangan antarwilayah, termasuk meningkatnya pengelolaan pulau-pulau kecil terdepan; meningkatnya kualitas sumber daya manusia, termasuk sumber daya manusia di bidang kelautan yang didukung oleh pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; dan membaiknya pengelolaan sumber daya alam dan mutu lingkungan hidup. Kondisi itu dicapai dengan mendorong pertumbuhan ekonomi melalui penciptaan iklim yg lebih kondusif, termasuk membaiknya infrastruktur. Percepatan pembangunan infrastruktur lebih didorong melalui peningkatan peran swasta dengan meletakkan dasar-dasar kebijakan dan regulasi serta reformasi dan restrukturisasi kelembagaan, terutama untuk sektor transportasi, energi dan kelistrikan, serta pos dan telematika. Bersamaan dengan itu dilaksanakan revitalisasi kelembagaan pusat-pusat pertumbuhan yang memiliki lokasi strategis, antara lain kawasan ekonomi khusus (KEK) dan kawasan andalan. Peningkatan kualitas sumber daya manusia, antara lain, ditandai oleh meningkatnya indeks pembangunan manusia (IPM) dan indeks pembangunan gender (IPG) yang diarahkan untuk membangun bangsa yang berkarakter cerdas, adil dan beradab, berkepribadian nasional, tangguh, kompetitif, bermoral, dan berdasarkan falsafah Pancasila yang dicirikan dengan watak dan perilaku manusia dan masyarakat Indonesia yang beragama, beriman, dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berbudi luhur, toleran terhadap keberagaman, bergotong-royong, patriotik, dinamis, dan berorientasi iptek; meningkatkan kualitas dan akses masyarakat terhadap pelayanan pendidikan dan kesehatan; meningkatkan kesejahteraan dan perlindungan perempuan dan anak; dan mengendalikan jumlah dan laju pertumbuhan penduduk. Bersamaan dengan hal tersebut ditingkatkan mitigasi bencana alam sesuai dengan kondisi geologi Indonesia. Pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan didukung oleh meningkatnya kesadaran masyarakat untuk mencintai lingkungan hidup dan menyadari keadaan wilayah yang rawan bencana sehingga makin peduli dan antisipatif. Hal itu didukung oleh pengembangan kelembagaan dan peningkatan kapasitas di setiap tingkatan pemerintahan dalam rangka penanggulangan bencana serta diacunya rencana tata ruang secara hierarki dari tingkatan nasional, pulau, provinsi, hingga kabupaten/kota sebagai payung kebijakan spasial semua sektor dalam rangka mencegah dampak kerusakan lingkungan hidup dan meminimalkan dampak bencana. IV.2.2 RPJM ke-2 (2010 – 2014) Berlandaskan pelaksanaan, pencapaian, dan sebagai keberlanjutan RPJM ke-1, RPJM ke-2 ditujukan untuk lebih memantapkan penataan kembali Indonesia di segala bidang dengan menekankan upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia termasuk pengembangan kemampuan ilmu dan teknologi serta penguatan daya saing perekonomian. Kondisi aman dan damai di berbagai daerah Indonesia terus membaik dengan meningkatnya kemampuan dasar pertahanan dan keamanan negara yang ditandai dengan peningkatan kemampuan postur dan struktur pertahanan negara serta peningkatan kemampuan lembaga keamanan negara. Kondisi itu sejalan dengan meningkatnya kesadaran dan penegakan hukum, tercapainya konsolidasi penegakan supremasi hukum dan penegakan hak asasi manusia, serta kelanjutan penataan sistem hukum nasional. Sejalan dengan itu, kehidupan bangsa yang lebih demokratis semakin terwujud ditandai dengan membaiknya pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah serta kuatnya peran masyarakat sipil dan partai politik dalam kehidupan bangsa. Posisi penting Indonesia sebagai negara demokrasi yang besar makin meningkat dengan keberhasilan diplomasi di fora internasional dalam upaya pemeliharaan keamanan nasional, integritas wilayah, dan pengamanan kekayaan sumber daya alam nasional. Selanjutnya, kualitas pelayanan publik yang lebih murah, cepat, transparan, dan akuntabel makin meningkat yang ditandai dengan terpenuhinya standar pelayanan minimum di semua tingkatan pemerintah. Kesejahteraan rakyat terus meningkat ditunjukkan oleh membaiknya berbagai indikator pembangunan sumber daya manusia, antara lain meningkatnya pendapatan per kapita; menurunnya angka kemiskinan dan tingkat pengangguran sejalan dengan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas disertai dengan berkembangnya lembaga jaminan sosial; meningkatnya tingkat pendidikan masyarakat yang didukung dengan pelaksanaan sistem pendidikan nasional yang mantap; meningkatnya derajat kesehatan dan status gizi masyarakat; meningkatnya kesetaraan gender; meningkatnya tumbuh kembang optimal, kesejahteraan, dan perlindungan anak; terkendalinya jumlah dan laju pertumbuhan penduduk; menurunnya kesenjangan kesejahteraan antarindividu, antarkelompok masyarakat, dan antardaerah; dipercepatnya pengembangan pusat-pusat pertumbuhan potensial di luar Jawa; serta makin mantapnya nilai-nilai baru yang positif dan produktif dalam rangka memantapkan budaya dan karakter bangsa. Daya saing perekonomian meningkat melalui penguatan industri manufaktur sejalan dengan penguatan pembangunan pertanian dan peningkatan pembangunan kelautan dan sumber daya alam lainnya sesuai potensi daerah secara terpadu serta meningkatnya pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; teknologi; percepatan pembangunan infrastruktur dengan lebih meningkatkan kerja sama antara pemerintah dan dunia usaha; peningkatan kualitas dan relevansi pendidikan; serta penataan kelembagaan ekonomi yang mendorong prakarsa masyarakat dalam kegiatan perekonomian. Kondisi itu didukung oleh pengembangan jaringan infrastruktur transportasi, serta pos dan telematika; peningkatan pemanfaatan energi terbarukan, khususnya bioenergi, panas bumi, tenaga air, tenaga angin, dan tenaga surya untuk kelistrikan; serta pengembangan sumber daya air dan pengembangan perumahan dan permukiman. Bersamaan dengan itu, industri kelautan yang meliputi perhubungan laut, industri maritim, perikanan, wisata bahari, energi dan sumber daya mineral dikembangkan secara sinergi, optimal, dan berkelanjutan. Dalam kerangka pencapaian pembangunan yang berkelanjutan, pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian fungsi lingkungan hidup makin berkembang melalui penguatan kelembagaan dan peningkatan kesadaran masyarakat yang ditandai dengan berkembangnya proses rehabilitasi dan konservasi sumber daya alam dan lingkungan hidup yang disertai dengan menguatnya partisipasi aktif masyarakat; terpeliharanya keanekaragaman hayati dan kekhasan sumber daya alam tropis lainnya yang dimanfaatkan untuk mewujudkan nilai tambah, daya saing bangsa, serta modal pembangunan nasional pada masa yang akan datang; mantapnya kelembagaan dan kapasitas antisipatif serta penanggulangan bencana di setiap tingkatan pemerintahan; serta terlaksananya pembangunan kelautan sebagai gerakan yang didukung oleh semua sektor. Kondisi itu didukung dengan meningkatnya kualitas perencanaan tata ruang serta konsistensi pemanfaatan ruang dengan mengintegrasikannya ke dalam dokumen perencanaan pembangunan terkait dan penegakan peraturan dalam rangka pengendalian pemanfaatan ruang. IV.2.3 RPJM ke-3 (2015 – 2019) Berlandaskan pelaksanaan, pencapaian, dan sebagai keberlanjutan RPJM ke-2, RPJM ke-3 ditujukan untuk lebih memantapkan pembangunan secara menyeluruh di berbagai bidang dengan menekankan pencapaian daya saing kompetitif perekonomian berlandaskan keunggulan sumber daya alam dan sumber daya manusia berkualitas serta kemampuan ilmu dan teknologi yang terus meningkat. Sejalan dengan kondisi aman dan damai yang makin mantap di seluruh wilayah Indonesia, kemampuan pertahanan nasional dan keamanan dalam negeri makin menguat yang ditandai dengan terbangunnya profesionalisme institusi pertahanan dan keamanan negara serta meningkatnya kecukupan kesejahteraan prajurit serta ketersediaan alat utama sistem persenjataan TNI dan alat utama Polri melalui pemberdayaan industri pertahanan nasional. Kehidupan demokrasi bangsa makin mengakar dalam kehidupan bangsa sejalan dengan makin mantapnya pelembagaan nilai-nilai demokrasi dengan menitikberatkan pada prinsip toleransi, nondiskriminasi dan kemitraan dan semakin mantapnya pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah. Kondisi itu mendorong tercapainya penguatan kepemimpinan dan kontribusi Indonesia dalam berbagai kerja sama internasional dalam rangka mewujudkan tatanan dunia yang lebih adil dan damai dalam berbagai aspek kehidupan. Bersamaan dengan itu kesadaran dan penegakan hukum dalam berbagai aspek kehidupan berkembang makin mantap serta profesionalisme aparatur negara di pusat dan daerah makin mampu mendukung pembangunan nasional. Kesejahteraan rakyat terus membaik, meningkat sebanding dengan tingkat kesejahteraan negara-negara berpenghasilan menengah, dan merata yang didorong oleh meningkatnya pertumbuhan ekonomi yang berkualitas yang disertai terwujudnya lembaga jaminan sosial. Kualitas sumber daya manusia terus membaik ditandai oleh meningkatnya kualitas dan relevansi pendidikan, termasuk yang berbasis keunggulan lokal dan didukung oleh manajemen pelayananan pendidikan yang efisien dan efektif; meningkatnya derajat kesehatan dan status gizi masyarakat; meningkatnya kesetaraan gender; meningkatnya tumbuh kembang optimal, serta kesejahteraan dan perlindungan anak; tercapainya kondisi penduduk tumbuh seimbang; dan mantapnya budaya dan karakter bangsa. Pelaksanaan pembangunan berkelanjutan yang semakin mantap dicerminkan oleh terjaganya daya dukung lingkungan dan kemampuan pemulihan untuk mendukung kualitas kehidupan sosial dan ekonomi secara serasi, seimbang, dan lestari; terus membaiknya pengelolaan dan pendayagunaan sumber daya alam yang diimbangi dengan upaya pelestarian fungsi lingkungan hidup dan didukung oleh meningkatnya kesadaran, sikap mental, dan perilaku masyarakat; serta semakin mantapnya kelembagaan dan kapasitas penataan ruang di seluruh wilayah Indonesia. Daya saing perekonomian Indonesia semakin kuat dan kompetitif dengan semakin terpadunya industri manufaktur dengan pertanian, kelautan dan sumber daya alam lainnya secara berkelanjutan; terpenuhinya ketersediaan infrastruktur yang didukung oleh mantapnya kerja sama pemerintah dan dunia usaha, makin selarasnya pembangunan pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi dan industri serta terlaksananya penataan kelembagaan ekonomi untuk mendorong peningkatan efisiensi, produktivitas, penguasaan dan penerapan teknologi oleh masyarakat dalam kegiatan perekonomian. Ketersediaan infrastruktur yang sesuai dengan rencana tata ruang ditandai oleh berkembangnya jaringan infrastruktur transportasi; terpenuhinya pasokan tenaga listrik yang handal dan efisien sesuai kebutuhan sehingga elektrifikasi rumah tangga dan elektrifikasi perdesaan dapat tercapai, serta mulai dimanfaatkannya tenaga nuklir untuk pembangkit listrik dengan mempertimbangkan faktor keselamatan secara ketat; terselenggaranya pelayanan pos dan telematika yang efisien dan modern guna terciptanya masyarakat informasi Indonesia; terwujudnya konservasi sumber daya air yang mampu menjaga keberlanjutan fungsi sumber daya air dan pengembangan sumber daya air serta terpenuhinya penyediaan air minum untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. Selain itu, pengembangan infrastruktur perdesaan akan terus dikembangkan, terutama untuk mendukung pembangunan pertanian. Sejalan dengan itu, pemenuhan kebutuhan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana pendukung bagi seluruh masyarakat terus meningkat karena didukung oleh sistem pembiayaan perumahan jangka panjang dan berkelanjutan, efisien, dan akuntabel. Kondisi itu semakin mendorong terwujudnya kota tanpa permukiman kumuh. IV.2.4 RPJM ke-4 (2020 – 2024) Berlandaskan pelaksanaan, pencapaian, dan sebagai keberlanjutan RPJM ke-3, RPJM ke-4 ditujukan untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang mandiri, maju, adil, dan makmur melalui percepatan pembangunan di berbagai bidang dengan menekankan terbangunnya struktur perekonomian yang kokoh berlandaskan keunggulan kompetitif di berbagai wilayah yang didukung oleh SDM berkualitas dan berdaya saing. Kelembagaan politik dan hukum telah tercipta ditandai dengan terwujudnya konsolidasi demokrasi yang kokoh dalam berbagai aspek kehidupan politik serta supremasi hukum dan penegakan hak-hak asasi manusia ; terwujudnya rasa aman dan damai bagi seluruh rakyat ; serta terjaganya keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan kedaulatan negara dari ancaman, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Kondisi itu didukung oleh mantapnya kemampuan pertahanan dan keamanan negara yang ditandai oleh terwujudnya TNI yang profesional dengan komponen cadangan dan pendukung pertahanan yang kuat; terwujudnya sinergi kinerja antara POLRI dan partisipasi masyarakat dalam bidang keamanan, intelijen, dan kontra intelijen yang efektif yang disertai kemampuan industri pertahanan yang handal; terwujudnya sistem hukum nasional yang mantap yang bersumber pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam mendorong supremasi hukum; terwujudnya tata kepemerintahan yang baik, bersih dan berwibawa yang berdasarkan hukum, serta birokrasi yang profesional dan netral; terwujudnya masyarakat sipil, masyarakat politik, dan masyarakat ekonomi yang mandiri, serta terwujudnya kemandirian nasional dalam konstelasi gobal. Kesejahteraan masyarakat yang terus meningkat ditunjukkan oleh makin tinggi dan meratanya tingkat pendapatan masyarakat dengan jangkauan lembaga jaminan sosial yang lebih menyeluruh; mantapnya sumber daya manusia yang berkualitas dan berdaya saing, antara lain ditandai oleh meningkat dan meratanya akses, tingkat kualitas, dan relevansi pendidikan seiring dengan makin efisien dan efektifnya manajemen pelayanan pendidikan; meningkatnya kemampuan Iptek; meningkatnya derajat kesehatan dan status gizi masyarakat; meningkatnya tumbuh kembang optimal, kesejahteraan dan perlindungan anak; dan terwujudnya kesetaraan gender; bertahannya kondisi dan penduduk tumbuh seimbang. Sejalan dengan tingkat kemajuan bangsa, sumber daya manusia Indonesia diharapkan berkarakter cerdas, tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral berdasarkan falsafah Pancasila yang dicirikan dengan watak dan perilaku manusia dan masyarakat Indonesia yang beragama, beriman, dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi luhur, toleran terhadap keberagaman, bergotong royong, patriotik, dinamis dan berorientasi Iptek. Kesadaran, sikap mental, dan perilaku masyarakat makin mantap dalam pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian fungsi lingkungan hidup untuk menjaga kenyamanan dan kualitas kehidupan sehingga masyarakat mampu berperan sebagai penggerak bagi konsep pembangunan berkelanjutan dalam kehidupan sehari-hari. Struktur perekonomian makin maju dan kokoh ditandai dengan daya saing perekonomian yang kompetitif dan berkembangnya keterpaduan antara industri, pertanian, kelautan dan sumber daya alam, dan sektor jasa. Lembaga dan pranata ekonomi telah tersusun, tertata, serta berfungsi dengan baik. Kondisi itu didukung oleh keterkaitan antara pelayanan pendidikan, dan kemampuan Iptek yang makin maju sehingga mendorong perekonomian yang efisien dan produktivitas yang tinggi; serta berkembangnya usaha dan investasi dari perusahaan-perusahaan Indonesia di luar negeri termasuk di zona ekonomi eksklusif dan lautan bebas dalam rangka peningkatan perekonomian nasional. Sejalan dengan itu, pertumbuhan ekonomi yang semakin berkualitas dan berkesinambungan dapat dicapai sehingga pendapatan per kapita pada tahun 2025 mencapai kesejahteraan setara dengan negara-negara berpendapatan menengah dengan tingkat pengangguran terbuka dan jumlah penduduk miskin yang makin rendah. Kondisi maju dan sejahtera makin terwujud dengan terselenggaranya jaringan transportasi pos dan telematika yang andal bagi seluruh masyarakat yang menjangkau seluruh wilayah NKRI; tercapainya elektrifikasi perdesaan dan elektrifikasi rumah tangga; serta terpenuhinya kebutuhan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana pendukung bagi seluruh masyarakat yang didukung oleh sistem pembiayaan perumahan jangka panjang dan berkelanjutan, efisien, dan akuntabel sehingga terwujud kota tanpa permukiman kumuh. Dalam rangka memantapkan pembangunan yang berkelanjutan, keanekaragaman hayati dan kekhasan sumber daya alam terus dipelihara dan dimanfaatkan untuk terus mempertahankan nilai tambah dan daya saing bangsa serta meningkatkan modal pembangunan nasional pada masa yang akan datang. BAB V PENUTUP Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005–2025 yang berisi visi, misi, dan arah pembangunan nasional merupakan pedoman bagi pemerintah dan masyarakat di dalam penyelenggaraan pembangunan nasional 20 tahun ke depan. RPJPN ini juga menjadi acuan di dalam penyusunan RPJP Daerah dan menjadi pedoman bagi calon Presiden dan calon Wakil Presiden dalam menyusun visi, misi, dan program prioritas yang akan menjadi dasar dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) lima tahunan dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP). Keberhasilan pembangunan nasional dalam mewujudkan visi Indonesia yang mandiri , maju , adil , dan makmur perlu didukung oleh (1) komitmen dari kepemimpinan nasional yang kuat dan demokratis;
konsistensi kebijakan pemerintah;
keberpihakan kepada rakyat; dan
peran serta masyarakat dan dunia usaha secara aktif. ttd DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga.
Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. ...
Relevan terhadap
Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4737 A. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG PENDIDIKAN SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Kebijakan 1. Kebijakan dan Standar 1.a.Penetapan kebijakan nasional pendidikan.
Koordinasi dan sinkronisasi kebijakan operasional dan program pendidikan antar provinsi.
Perencanaan strategis pendidikan nasional.
a.Penetapan kebijakan operasional pendidikan di provinsi sesuai dengan kebijakan nasional.
Koordinasi dan sinkronisasi kebijakan operasional dan program pendidikan antar kabupaten/kota.
Perencanaan strategis pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan nonformal sesuai dengan perencanaan strategis pendidikan nasional.
a. Penetapan kebijakan operasional pendidikan di kabupaten/kota sesuai dengan kebijakan nasional dan provinsi.
Ɇ c. Perencanaan operasional program pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan nonformal sesuai dengan perencanaan strategis tingkat provinsi dan nasional. LAMPIRAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 38 Tahun 2007 TANGGAL : 9 Juli 2007 SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2.a. Pengembangan dan penetapan standar nasional pendidikan (isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan).
Sosialisasi standar nasional pendidikan dan pelaksanaannya pada jenjang pendidikan tinggi.
Penetapan pedoman pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, pendidikan tinggi, dan pendidikan nonformal.
a. Ɇ b. Sosialisasi dan pelaksanaan standar nasional pendidikan di tingkat provinsi.
Koordinasi atas pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan, pengembangan tenaga kependidikan dan penyediaan fasilitas penyelenggaraan pendidikan lintas kabupaten/kota, untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah.
a. Ɇ b. Sosialisasi dan pelaksanaan standar nasional pendidikan di tingkat kabupaten/kota.
Pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan nonformal. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Penetapan kebijakan tentang satuan pendidikan bertaraf internasional dan satuan pendidikan berbasis keunggulan lokal.
a.Pemberian izin pendirian serta pencabutan izin perguruan tinggi.
Pemberian izin pendirian serta pencabutan izin satuan pendidikan dan/atau program studi bertaraf internasional.
Penyelenggaraan dan/atau pengelolaan satuan pendidikan dan/atau program studi bertaraf internasional 4. — 5.a. Ɇ b.— c.Penyelenggaraan dan/atau pengelolaan satuan pendidikan dan/atau program studi bertaraf internasional pada jenjang pendidikan dasar dan menengah.
— 5.a.Pemberian izin pendirian serta pencabutan izin satuan pendidikan dasar, satuan pendidikan menengah dan satuan/penyelenggara pendidikan nonformal.
— c.Penyelenggaraan dan/atau pengelolaan satuan pendidikan sekolah dasar bertaraf internasional. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA d. Ɇ e. Ɇ 6. Pengelolaan dan/atau penyelenggaraan pendidikan tinggi.
Pemantauan dan evaluasi satuan pendidikan bertaraf internasional.
Penyelenggaraan sekolah Indonesia di luar negeri.
Ɇ e. Ɇ 6. Pemberian dukungan sumber daya terhadap penyelenggaraan perguruan tinggi.
Pemantauan dan evaluasi satuan pendidikan bertaraf internasional.
Ɇ d.Pemberian izin pendirian serta pencabutan izin satuan pendidikan dasar dan menengah berbasis keunggulan lokal.
Penyelenggaraan dan/atau pengelolaan pendidikan berbasis keunggulan lokal pada pendidikan dasar dan menengah.
Pemberian dukungan sumber daya terhadap penyelenggaraan perguruan tinggi.
Pemantauan dan evaluasi satuan pendidikan sekolah dasar bertaraf internasional.
Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 9. Pemberian izin pendirian, pencabutan izin penyelenggaraan, dan pembinaan satuan pendidikan Asing di Indonesia.
a. Pengembangan sistem informasi manajemen pendidikan secara nasional. b. Peremajaan data dalam sistem informasi manajemen pendidikan nasional untuk tingkat nasional.
Ɇ 10. a. Ɇ b. Peremajaan data dalam sistem infomasi manajemen pendidikan nasional untuk tingkat provinsi.
Ɇ 10. a. Ɇ b. Peremajaan data dalam sistem infomasi manajemen pendidikan nasional untuk tingkat kabupaten/kota.
Pembiayaan 1.a.Penetapan pedoman pembiayaan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, pendidikan tinggi, pendidikan nonformal.
a. Ɇ 1.a. Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b.Penyediaan bantuan biaya penyelenggaraan pendidikan tinggi sesuai kewenangannya.
Pembiayaan penjaminan mutu satuan pendidikan sesuai kewenangannya.
Penyediaan bantuan biaya penyelenggaraan pendidikan bertaraf internasional sesuai kewenangannya.
Pembiayaan penjaminan mutu satuan pendidikan sesuai kewenangannya.
Penyediaan bantuan biaya penyelenggaraan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan nonformal sesuai kewenangannya.
Pembiayaan penjaminan mutu satuan pendidikan sesuai kewenangannya.
Kurikulum 1.a. Penetapan kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar dan pendidikan menengah.
Sosialisasi kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
a. Koordinasi dan supervisi pengembangan kurikulum tingkat satuan pendidikan pada pendidikan menengah.
Sosialisasi kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
a. Koordinasi dan supervisi pengembangan kurikulum tingkat satuan pendidikan pada pendidikan dasar.
Sosialisasi kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c. Penetapan standar isi dan standar kompetensi lulusan pendidikan dasar dan menengah, dan sosialisasinya.
a.Pengembangan model kurikulum tingkat satuan pendidikan pada pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan nonformal.
Sosialisasi dan fasilitasi implementasi kurikulum tingkat satuan pendidikan.
Pengawasan pelaksanaan kurikulum tingkat satuan pendidikan pada pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Sosialisasi dan implementasi standar isi dan standar kompetensi lulusan pendidikan menengah.
a. Ɇ b.Sosialisasi dan fasilitasi implementasi kurikulum tingkat satuan pendidikan pada pendidikan menengah.
Pengawasan pelaksanaan kurikulum tingkat satuan pendidikan pada pendidikan menengah.
Sosialisasi dan implementasi standar isi dan standar kompetensi lulusan pendidikan dasar.
a. Ɇ b.Sosialisasi dan fasilitasi implementasi kurikulum tingkat satuan pendidikan pada pendidikan anak usia dini dan pendidikan dasar.
Pengawasan pelaksanaan kurikulum tingkat satuan pendidikan pada pendidikan dasar. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Sarana dan Prasarana 1.a.Monitoring dan evaluasi pelaksanaan dan pemenuhan standar nasional sarana dan prasarana pendidikan.
Pengawasan pendayagunaan bantuan sarana dan prasarana pendidikan.
a.Pengawasan terhadap pemenuhan standar nasional sarana dan prasarana pendidikan menengah.
Pengawasan pendayagunaan bantuan sarana dan prasarana pendidikan.
a. Pengawasan terhadap pemenuhan standar nasional sarana dan prasarana pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan nonformal.
Pengawasan pendayagunaan bantuan sarana dan prasarana pendidikan.
a.Penetapan standar dan pengesahan kelayakan buku pelajaran.
Ɇ 2.a. Ɇ b. Pengawasan penggunaan buku pelajaran pendidikan menengah .
a. Ɇ b.Pengawasan penggunaan buku pelajaran pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan nonformal. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Pendidik dan Tenaga Kependidikan 1.a. Perencanaan kebutuhan dan pengadaan pendidik dan tenaga kependidikan secara nasional.
Ɇ 2. Pemindahan pendidik dan tenaga kependidikan PNS antar provinsi.
a. Perencanaan kebutuhan pendidik dan tenaga kependidikan untuk pendidikan bertaraf internasional sesuai kewenangannya.
Pengangkatan dan penempatan pendidik dan tenaga kependidikan PNS untuk satuan pendidikan bertaraf internasional.
Pemindahan pendidik dan tenaga kependidikan PNS antar kabupaten/kota.
a. Perencanaan kebutuhan pendidik dan tenaga kependidikan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan nonformal sesuai kewenangannya.
Pengangkatan dan penempatan pendidik dan tenaga kependidikan PNS untuk pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan nonformal sesuai kewenangannya 2. Pemindahan pendidik dan tenaga kependidikan PNS di kabupaten/ kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Peningkatan kesejahteraan, penghargaan, dan perlindungan pendidik dan tenaga kependidikan.
a. Perencanaan kebutuhan, pengangkatan, dan penempatan pendidik dan tenaga kependidikan bagi unit organisasi di lingkungan departemen yang bertanggungjawab di bidang kependidikan.
Pemberhentian pendidik dan tenaga kependidikan PNS karena pelanggaran peraturan perundang- undangan.
Peningkatan kesejahteraan, penghargaan, dan perlindungan pendidik dan tenaga kependidikan pendidikan bertaraf internasional.
a. Pembinaan dan pengembangan pendidik dan tenaga kependidikan pendidikan bertaraf internasional.
Pemberhentian pendidik dan tenaga kependidikan PNS pada pendidikan bertaraf internasional selain karena alasan pelanggaran peraturan perundang- undangan 3. Peningkatan kesejahteraan, penghargaan, dan perlindungan pendidik dan tenaga kependidikan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan nonformal.
a. Pembinaan dan pengembangan pendidik dan tenaga kependidikan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan nonformal.
Pemberhentian pendidik dan tenaga kependidikan PNS pada pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan nonformal selain karena alasan pelanggaran peraturan perundang-undangan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Ɇ 6. Sertifikasi pendidik.
Pengalokasian tenaga potensial pendidik dan tenaga kependidikan di daerah.
Ɇ 5. Ɇ 6. Ɇ 6. Pengendalian Mutu Pendidikan 1. Penilaian Hasil Belajar 1. Penetapan pedoman, bahan ujian, pengendalian pemeriksaan, dan penetapan kriteria kelulusan ujian nasional.
Pelaksanaan ujian nasional pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan nonformal.
Koordinasi, fasilitasi, monitoring, dan evaluasi pelaksanaan ujian nasional.
Penyediaan blanko ijazah dan/atau sertifikat ujian nasional.
ɔ 2. Membantu pelaksanaan ujian nasional pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan nonformal.
Koordinasi, fasilitasi, monitoring, dan evaluasi pelaksanaan ujian sekolah skala provinsi.
Ɇ 1. ɔ 2. Membantu pelaksanaan ujian nasional pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan nonformal.
Koordinasi, fasilitasi, monitoring, dan evaluasi pelaksanaan ujian sekolah skala kabupaten/kota.
Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Penyediaan biaya penyelenggaraan ujian nasional.
Penyediaan biaya penyelenggaraan ujian sekolah skala provinsi.
Penyediaan biaya penyelenggaraan ujian sekolah skala kabupaten/kota.
Evaluasi 1.a.Penetapan pedoman evaluasi terhadap pengelola, satuan, jalur, jenjang dan jenis pendidikan.
Pelaksanaan evaluasi nasional terhadap pengelola, satuan, jalur, jenjang dan jenis pendidikan.
a.Penetapan pedoman evaluasi pencapaian standar nasional pendidikan.
a. Ɇ b.Pelaksanaan evaluasi pengelola, satuan, jalur, jenjang, dan jenis pendidikan pada pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan nonformal skala provinsi.
a. Ɇ 1.a. Ɇ b.Pelaksanaan evaluasi pengelola, satuan, jalur, jenjang, dan jenis pendidikan pada pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan nonformal skala kabupaten/kota.
a. Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Pelaksanaan evaluasi pencapaian standar nasional pendidikan.
Pelaksanaan evaluasi pencapaian standar nasional pendidikan pada pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan nonformal skala provinsi.
Pelaksanaan evaluasi pencapaian standar nasional pendidikan pada pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan nonformal skala kabupaten/kota.
Akreditasi 1.a.Penetapan pedoman akreditasi pendidikan jalur pendidikan formal dan non formal.
Pelaksanaan akreditasi pendidikan jalur pendidikan formal dan nonformal.
a. Ɇ b. Membantu pemerintah dalam pelaksanaan akreditasi pendidikan dasar dan menengah.
a. Ɇ b. Membantu pemerintah dalam akreditasi pendidikan nonformal.
Penjaminan Mutu 1. Penetapan pedoman penjaminan mutu satuan pendidikan.
a. Supervisi dan fasilitasi satuan pendidikan dalam pelaksanaan penjaminan mutu untuk memenuhi 1. ɔ 2.a. ɔ 1. ɔ 2.a. Supervisi dan fasilitasi satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA standar nasional pendidikan.
Supervisi dan fasilitasi satuan pendidikan bertaraf internasional dalam penjaminan mutu untuk memenuhi standar internasional.
ɔ d. Evaluasi pelaksanaan dan dampak penjaminan mutu satuan pendidikan skala nasional.
Supervisi dan fasilitasi satuan pendidikan bertaraf internasional dalam penjaminan mutu untuk memenuhi standar internasional.
ɔ d. Evaluasi pelaksanaan dan dampak penjaminan mutu satuan pendidikan skala provinsi. nonformal dalam penjaminan mutu untuk memenuhi standar nasional pendidikan.
Supervisi dan fasilitasi satuan pendidikan bertaraf internasional dalam penjaminan mutu untuk memenuhi standar internasional.
Supervisi dan Fasilitasi satuan pendidikan berbasis keunggulan lokal dalam penjaminan mutu.
Evaluasi pelaksanaan dan dampak penjaminan mutu satuan pendidikan skala kabupaten/kota. B. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KESEHATAN SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Upaya Kesehatan 1. Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit 1. Pengelolaan survailans epidemiologi kejadian luar biasa skala nasional.
Pengelolaan pencegahan dan penanggulangan penyakit menular berpotensial wabah, dan yang merupakan komitmen global skala nasional dan internasional.
Pengelolaan pencegahan dan penanggulangan penyakit tidak menular tertentu skala nasional.
Penanggulangan masalah kesehatan akibat bencana dan wabah skala nasional.
Penyelenggaraan survailans epidemiologi, penyelidikan kejadian luar biasa skala provinsi.
Penyelenggaraan pencegahan dan penanggulangan penyakit menular skala provinsi.
Penyelenggaraan pencegahan dan penanggulangan penyakit tidak menular tertentu skala provinsi.
Pengendalian operasional penanggulangan masalah kesehatan akibat bencana dan wabah skala provinsi.
Penyelenggaraan survailans epidemiologi, penyelidikan kejadian luar biasa skala kabupaten/kota.
Penyelenggaraan pencegahan dan penanggulangan penyakit menular skala kabupaten/kota.
Penyelenggaraan pencegahan dan penanggulangan penyakit tidak menular tertentu skala kabupaten/kota.
Penyelenggaraan operasional penanggulangan masalah kesehatan akibat bencana dan wabah skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Pengelolaan karantina kesehatan skala nasional. 5. Ɇ 5. Ɇ 2. Lingkungan Sehat 1. Pengelolaan pencegahan dan penanggulangan pencemaran lingkungan skala nasional.
Ɇ 1. Penyelenggaraan pencegahan dan penanggulangan pencemaran lingkungan skala provinsi.
Ɇ 1. Penyelenggaraan pencegahan dan penanggulangan pencemaran lingkungan skala kabupaten/kota.
Penyehatan lingkungan.
Perbaikan Gizi Masyarakat 1. Pengelolaan survailans kewaspadaan pangan dan gizi buruk skala nasional.
a.Pengelolaan penanggulangan gizi buruk skala nasional.
Ɇ 1. Penyelenggaraan survailans gizi buruk skala provinsi.
a.Pemantauan penanggulangan gizi buruk skala provinsi.
Ɇ 1. Penyelenggaraan survailans gizi buruk skala kabupaten/ kota.
a.Penyelenggaraan penanggulangan gizi buruk skala kabupaten/kota.
Perbaikan gizi keluarga dan masyarakat. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Pelayanan Kesehatan Perorangan dan Masyarakat 1. Pengelolaan pelayanan kesehatan haji skala nasional.
Pengelolaan upaya kesehatan dan rujukan nasional.
Pengelolaan upaya kesehatan pada daerah perbatasan, terpencil, rawan dan kepulauan skala nasional.
Bimbingan dan pengendalian pelayanan kesehatan haji skala provinsi.
Pengelolaan pelayanan kesehatan rujukan sekunder dan tersier tertentu.
Bimbingan dan pengendalian upaya kesehatan pada daerah perbatasan, terpencil, rawan dan kepulauan skala provinsi.
Penyelenggaraan pelayanan kesehatan haji skala kabupaten/kota.
Pengelolaan pelayanan kesehatan dasar dan rujukan sekunder skala kabupaten/kota.
Penyelenggaraan upaya kesehatan pada daerah perbatasan, terpencil, rawan dan kepulauan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Registrasi, akreditasi, sertifikasi sarana kesehatan sesuai peraturan perundang-undangan.
a.Pemberian izin sarana kesehatan tertentu.
Ɇ 4. Registrasi, akreditasi, sertifikasi sarana kesehatan sesuai peraturan perundang-undangan.
a.Pemberian rekomendasi izin sarana kesehatan tertentu yang diberikan oleh pemerintah.
Pemberian izin sarana kesehatan meliputi rumah sakit pemerintah Kelas B non pendidikan, rumah sakit khusus, rumah sakit swasta serta sarana kesehatan penunjang yang setara.
Registrasi, akreditasi, sertifikasi sarana kesehatan sesuai peraturan perundang-undangan.
a. Pemberian rekomendasi izin sarana kesehatan tertentu yang diberikan oleh pemerintah dan provinsi.
Pemberian izin sarana kesehatan meliputi rumah sakit pemerintah Kelas C, Kelas D, rumah sakit swasta yang setara, praktik berkelompok, klinik umum/spesialis, rumah bersalin, SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA klinik dokter keluarga/dokter gigi keluarga, kedokteran komplementer, dan pengobatan tradisional, serta sarana penunjang yang setara.
Pembiayaan Kesehatan 1. Pembiayaan Kesehatan Masyarakat 1.a.Penetapan norma, standar, prosedur dan kriteria bidang jaminan pemeliharaan kesehatan.
Pengelolaan jaminan pemeliharaan kesehatan nasional.
a.Pengelolaan/penyelenggara an, bimbingan, pengendalian jaminan pemeliharaan kesehatan skala provinsi.
Bimbingan dan pengendalian penyelenggaraan jaminan pemeliharaan kesehatan nasional (Tugas Pembantuan).
a.Pengelolaan/penyelenggara- an, jaminan pemeliharaan kesehatan sesuai kondisi lokal.
Penyelenggaraan jaminan pemeliharaan kesehatan nasional (Tugas Pembantuan). SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Sumber Daya Manusia Kesehatan 1. Peningkatan Jumlah, Mutu dan Penyebaran Tenaga Kesehatan 1. Pengelolaan tenaga kesehatan strategis.
Pendayagunaan tenaga kesehatan makro skala nasional.
Pembinaan dan pengawasan pendidikan dan pelatihan (diklat) dan Training Of Trainer (TOT) tenaga kesehatan skala nasional.
Penempatan tenaga kesehatan strategis, pemindahan tenaga tertentu antar kabupaten/kota skala provinsi.
Pendayagunaan tenaga kesehatan skala provinsi.
Pelatihan diklat fungsional dan teknis skala provinsi.
Pemanfaatan tenaga kesehatan strategis.
Pendayagunaan tenaga kesehatan skala kabupaten/kota.
Pelatihan teknis skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Registrasi, akreditasi, sertifikasi tenaga kesehatan skala nasional sesuai peraturan perundang- undangan.
Pemberian izin tenaga kesehatan asing sesuai peraturan perundang-undangan.
Registrasi, akreditasi, sertifikasi tenaga kesehatan tertentu skala provinsi sesuai peraturan perundang-undangan.
Pemberian rekomendasi izin tenaga kesehatan asing.
Registrasi, akreditasi, sertifikasi tenaga kesehatan tertentu skala kabupaten/kota sesuai peraturan perundang- undangan.
Pemberian izin praktik tenaga kesehatan tertentu.
Obat dan Perbekalan Kesehatan 1. Ketersediaan, Pemerataan, Mutu Obat dan Keterjangkauan Harga Obat Serta Perbekalan Kesehatan 1. Penyediaan dan pengelolaan bufferstock obat nasional, alat kesehatan tertentu, reagensia tertentu dan vaksin tertentu skala nasional.
Penyediaan dan pengelolaan bufferstock obat provinsi, alat kesehatan, reagensia dan vaksin lainnya skala provinsi.
Penyediaan dan pengelolaan obat pelayanan kesehatan dasar, alat kesehatan, reagensia dan vaksin skala kabupaten/kota SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2.a.Registrasi, akreditasi, sertifikasi komoditi kesehatan sesuai peraturan perundang-undangan.
— c.— d.— 3.a.Pemberian izin industri komoditi kesehatan, alat kesehatan dan Pedagang Besar Farmasi (PBF).
a.Sertifikasi sarana produksi dan distribusi alat kesehatan, Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga (PKRT) Kelas II.
— c.— d.— 3.a.Pemberian rekomendasi izin industri komoditi kesehatan, PBF dan Pedagang Besar Alat Kesehatan (PBAK).
a.Pengambilan sampling/contoh sediaan farmasi di lapangan.
Pemeriksaan setempat sarana produksi dan distribusi sediaan farmasi.
Pengawasan dan registrasi makanan minuman produksi rumah tangga.
Sertifikasi alat kesehatan dan PKRT Kelas I.
a.Pemberian rekomendasi izin PBF Cabang, PBAK dan Industri Kecil Obat Tradisional (IKOT). SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Ɇ b.Pemberian izin PBF Cabang dan IKOT. b.Pemberian izin apotik, toko obat.
Pemberdayaan Masyarakat 1. Pemberdayaan Individu, Keluarga dan Masyarakat Berperilaku Hidup Sehat dan Pengembangan Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM) 1. Pengelolaan promosi kesehatan skala nasional. 1. Penyelenggaraan promosi kesehatan skala provinsi. 1. Penyelenggaraan promosi kesehatan skala kabupaten/kota.
Manajemen Kesehatan 1. Kebijakan 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria bidang kesehatan.
Bimbingan dan pengendalian norma, standar, prosedur, dan kriteria bidang kesehatan.
Penyelenggaraan, bimbingan dan pengendalian operasionalisasi bidang kesehatan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Penelitian dan Pengembangan Kesehatan 1.a.Pengelolaan penelitian dan pengembangan kesehatan strategis dan terapan, serta penapisan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) kesehatan skala nasional.
Ɇ c. Ɇ 1.a.Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan kesehatan yang mendukung perumusan kebijakan provinsi.
Pengelolaan survei kesehatan daerah (surkesda) skala provinsi.
Pemantauan pemanfaatan Iptek kesehatan skala provinsi.
a.Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan kesehatan yang mendukung perumusan kebijakan kabupaten/kota.
Pengelolaan surkesda skala kabupaten/kota.
Implementasi penapisan Iptek di bidang pelayanan kesehatan skala kabupaten/kota.
Kerjasama Luar Negeri 1. Pengelolaan kerjasama luar negeri di bidang kesehatan skala nasional.
Penyelenggaraan kerjasama luar negeri skala provinsi. 1. Penyelenggaraan kerjasama luar negeri skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Peningkatan Pengawasan dan Akuntabilitas 1. Pembinaan, monitoring, evaluasi dan pengawasan skala nasional.
Pembinaan, monitoring, evaluasi dan pengawasan skala provinsi.
Pembinaan, monitoring, evaluasi dan pengawasan skala kabupaten/kota.
Pengembangan Sistem Informasi Kesehatan (SIK) 1. Pengelolaan dan pengembangan SIK skala nasional dan fasilitasi pengembangan sistem informasi kesehatan daerah.
Pengelolaan SIK skala provinsi. 1. Pengelolaan SIK skala kabupaten/kota. C. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG PEKERJAAN UMUM SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Sumber Daya Air 1. Pengaturan 1. Penetapan kebijakan nasional sumber daya air. 1. Penetapan kebijakan pengelolaan sumber daya air provinsi.
Penetapan kebijakan pengelolaan sumber daya air kabupaten/kota.
Penetapan pola pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional.
Penetapan pola pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota.
Penetapan pola pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota.
Penetapan rencana pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional.
Penetapan rencana pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai kabupaten/kota.
Penetapan rencana pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota.
Penetapan dan pengelolaan kawasan lindung sumber air pada wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional.
Penetapan dan pengelolaan kawasan lindung sumber air pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota.
Penetapan dan pengelolaan kawasan lindung sumber air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Pembentukan Dewan Sumber Daya Air Nasional, wadah koordinasi sumber daya air wilayah sungai lintas provinsi, dan wadah koordinasi sumber daya air wilayah sungai strategis nasional.
Pembentukan wadah koordinasi sumber daya air di tingkat provinsi dan/atau pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota.
Pembentukan wadah koordinasi sumber daya air di tingkat kabupaten/kota dan/atau pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota.
Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) pengelolaan sumber daya air.
— 6. — 7. Penetapan wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota, wilayah sungai lintas kabupaten/kota, wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional.
— 7. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 8. Penetapan status daerah irigasi yang sudah dibangun yang menjadi wewenang dan tanggung jawab Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota.
— 8. — 9. Pengesahan pembentukan komisi irigasi antar provinsi 9. Pembentukan komisi irigasi provinsi dan pengesahan pembentukan komisi irigasi antar kabupaten/kota.
Pembentukan komisi irigasi kabupaten/kota 2. Pembinaan 1. Penetapan dan pemberian izin atas penyediaan, peruntukan, penggunaan, dan pengusahaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional.
Penetapan dan pemberian izin atas penyediaan, peruntukan, penggunaan, dan pengusahaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota.
Penetapan dan pemberian izin atas penyediaan, peruntukan, penggunaan, dan pengusahaan sumber daya air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Penetapan dan pemberian rekomendasi teknis atas penyediaan, peruntukan, penggunaan, dan pengusahaan air tanah pada cekungan air tanah lintas provinsi dan cekungan air tanah lintas negara.
Penetapan dan pemberian rekomendasi teknis atas penyediaan, pengambilan, peruntukan, penggunaan dan pengusahaan air tanah pada cekungan air tanah lintas kabupaten/kota.
Penetapan dan pemberian izin penyediaan, peruntukan, penggunaan, dan pengusahaan air tanah.
Menjaga efektivitas, efisiensi, kualitas, dan ketertiban pelaksanaan pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional.
Menjaga efektivitas, efisiensi, kualitas, dan ketertiban pelaksanaan pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota.
Menjaga efektivitas, efisiensi, kualitas, dan ketertiban pelaksanaan pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota.
Pemberian bantuan teknis dalam pengelolaan sumber daya air kepada provinsi dan kabupaten/kota.
Pemberian bantuan teknis dalam pengelolaan sumber daya air kepada kabupaten/kota.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Fasilitasi penyelesaian sengketa antar provinsi dalam pengelolaan sumber daya air.
Fasilitasi penyelesaian sengketa antar kabupaten/kota dalam pengelolaan sumber daya air.
— 6. Pemberian izin pembangunan, pemanfaatan, pengubahan, dan/atau pembongkaran bangunan dan/atau saluran irigasi pada jaringan irigasi primer dan sekunder dalam daerah irigasi lintas provinsi, daerah irigasi lintas negara, dan daerah irigasi strategis nasional.
Pemberian izin pembangunan, pemanfaatan, pengubahan, dan/atau pembongkaran bangunan dan/atau saluran irigasi pada jaringan irigasi primer dan sekunder dalam daerah irigasi lintas kabupaten/kota.
Pemberian izin pembangunan, pemanfaatan, pengubahan, dan/atau pembongkaran bangunan dan/atau saluran irigasi pada jaringan irigasi primer dan sekunder dalam daerah irigasi yang berada dalam satu kabupaten/kota.
Pemberdayaan para pemilik kepentingan dalam pengelolaan sumber daya air tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota.
Pemberdayaan para pemilik kepentingan dalam pengelolaan sumber daya air tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
Pemberdayaan para pemilik kepentingan dalam pengelolaan sumber daya air tingkat kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 8. Pemberdayaan kelembagaan sumber daya air tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota.
Pemberdayaan kelembagaan sumber daya air tingkat provinsi dan kabupaten/ kota.
Pemberdayaan kelembagaan sumber daya air tingkat kabupaten/kota.
Pembangunan/ Pengelolaan 1. Konservasi sumber daya air pada wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional.
Konservasi sumber daya air pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota.
Konservasi sumber daya air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota.
Pendayagunaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas provinsi,wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional.
Pendayagunaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota.
Pendayagunaan sumber daya air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota.
Pengendalian daya rusak air yang berdampak skala nasional.
Pengendalian daya rusak air yang berdampak skala provinsi.
Pengendalian daya rusak air yang berdampak skala kabupaten/kota.
Penyelenggaraan sistem informasi sumber daya air tingkat nasional.
Penyelenggaraan sistem informasi sumber daya air tingkat provinsi.
Penyelenggaraan sistem informasi sumber daya air tingkat kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Pembangunan dan peningkatan sistem irigasi primer dan sekunder pada daerah irigasi lintas provinsi, daerah irigasi lintas negara, dan daerah irigasi strategis nasional.
Pembangunan dan peningkatan sistem irigasi primer dan sekunder pada daerah irigasi lintas kabupaten/kota.
Pembangunan dan peningkatan sistem irigasi primer dan sekunder pada daerah irigasi dalam satu kabupaten/kota.
Operasi, pemeliharaan dan rehabilitasi sistem irigasi primer dan sekunder pada daerah irigasi yang luasnya lebih dari 3.000 ha atau pada daerah irigasi lintas provinsi, daerah irigasi lintas negara, dan daerah irigasi strategis nasional.
Operasi, pemeliharaan dan rehabilitasi sistem irigasi primer dan sekunder pada daerah irigasi yang luasnya 1.000 ha sampai dengan 3.000 ha atau pada daerah irigasi yang bersifat lintas kabupaten/kota.
Operasi, pemeliharaan dan rehabilitasi sistem irigasi primer dan sekunder pada daerah irigasi dalam satu kabupaten/kota yang luasnya kurang dari 1.000 ha.
Operasi, pemeliharaan dan rehabilitasi pada sungai, danau, waduk dan pantai pada wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara dan wilayah sungai strategis nasional.
Operasi, pemeliharaan dan rehabilitasi pada sungai, danau, waduk dan pantai pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota.
Operasi, pemeliharaan dan rehabilitasi pada sungai, danau, waduk dan pantai pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Pengawasan dan Pengendalian 1. Pengawasan pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional.
Pengawasan pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota.
Pengawasan pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai dalam kabupaten/kota.
Bina Marga 1. Pengaturan 1. Pengaturan jalan secara umum:
Pembentukan peraturan perundang-undangan sesuai dengan kewenangannya.
Perumusan kebijakan perencanaan.
Pengendalian penyelenggaraan jalan secara makro.
— a. — b. — c. — 1. — a. — b. — c. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA d. Penetapan norma, standar, prosedur dan kriteria pengaturan jalan.
Pengaturan jalan nasional:
— b.— d. — 2. Pengaturan jalan provinsi:
Perumusan kebijakan penyelenggaraan jalan provinsi berdasarkan kebijakan nasional di bidang jalan.
Penyusunan pedoman operasional penyelenggaraan jalan provinsi dengan memperhatikan keserasian antar wilayah provinsi.
— 2. Pengaturan jalan kabupaten/kota:
Perumusan kebijakan penyelenggaraan jalan kabupaten/desa dan jalan kota berdasarkan kebijakan nasional di bidang jalan dengan memperhatikan keserasian antar daerah dan antar kawasan.
Penyusunan pedoman operasional penyelenggaraan jalan kabupaten/desa dan jalan kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c.Penetapan fungsi jalan arteri dan jalan kolektor yang menghubungkan antar ibukota provinsi dalam sistem jaringan jalan primer.
Penetapan status jalan nasional.
Penyusunan perencanaan umum dan pembiayaan jaringan jalan nasional.
Penetapan fungsi jalan dalam sistem jaringan jalan sekunder dan jalan kolektor yang menghubungkan ibukota provinsi dengan ibukota kabupaten, antar ibukota kabupaten, jalan lokal, dan jalan lingkungan dalam sistem jaringan jalan primer.
Penetapan status jalan provinsi.
Penyusunan perencanaan umum dan pembiayaan jaringan jalan provinsi.
— d.Penetapan status jalan kabupaten/desa dan jalan kota.
Penyusunan perencanaan umum dan pembiayaan jaringan jalan kabupaten/desa dan jalan kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Pengaturan jalan tol:
Perumusan kebijakan perencanaan, penyusunan perencanaan umum, penetapan ruas jalan tol dan pembentukan peraturan perundang- undangan.
Pemberian rekomendasi tarif awal dan penyesuaiannya, serta pengambilalihan jalan tol pada akhir masa konsesi dan pemberian rekomendasi pengoperasian selanjutnya.
— a.— b.— 3. — a.— b.— 2. Pembinaan 1. Pembinaan jalan secara umum dan jalan nasional:
Pengembangan sistem bimbingan, penyuluhan serta pendidikan dan pelatihan di bidang jalan.
Pembinaan jalan provinsi:
— 1. Pembinaan jalan kabupaten/kota:
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Pemberian bimbingan, penyuluhan dan pelatihan para aparatur di bidang jalan.
Pengkajian serta penelitian dan pengembangan teknologi bidang jalan dan yang terkait.
Pemberian fasilitasi penyelesaian sengketa antar provinsi dalam penyelenggaraan jalan.
Penyusunan dan penetapan norma, standar, kriteria dan pedoman pembinaan jalan.
Pemberian bimbingan penyuluhan serta pendidikan dan pelatihan para aparatur penyelenggara jalan provinsi dan aparatur penyelenggara jalan kabupaten/kota.
Pengkajian serta penelitian dan pengembangan teknologi bidang jalan untuk jalan provinsi.
Pemberian fasilitasi penyelesaian sengketa antar kabupaten/kota dalam penyelenggaraan jalan.
— b. Pemberian bimbingan penyuluhan serta pendidikan dan pelatihan para aparatur penyelenggara jalan kabupaten/desa dan jalan kota.
— d. — e. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA f. — 2. Pengembangan teknologi terapan di bidang jalan untuk jalan kabupaten/kota.
Pembinaan jalan tol: Penyusunan pedoman dan standar teknis, pelayanan, pemberdayaan serta penelitian dan pengembangan.
— 2. Pengembangan teknologi terapan di bidang jalan untuk jalan kabupaten/desa dan jalan kota.
— f. Pemberian izin, rekomendasi, dispensasi dan pertimbangan pemanfaatan ruang manfaat jalan, ruang milik jalan, dan ruang pengawasan jalan.
Pengembangan teknologi terapan di bidang jalan untuk jalan kabupaten/desa dan jalan kota.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Pembangunan dan Pengusahaan 1. Pembangunan jalan nasional:
Pembiayaan pembangunan jalan nasional.
Perencanaan teknis, pemrograman dan penganggaran, pengadaan lahan, serta pelaksanaan konstruksi jalan nasional.
Pengoperasian dan pemeliharaan jalan nasional.
Pengembangan dan pengelolaan sistem manajemen jalan nasional.
Pembangunan jalan provinsi:
Pembiayaan pembangunan jalan provinsi.
Perencanaan teknis, pemrograman dan penganggaran, pengadaan lahan, serta pelaksanaan konstruksi jalan provinsi.
Pengoperasian dan pemeliharaan jalan provinsi.
Pengembangan dan pengelolaan sistem manajemen jalan provinsi.
Pembangunan jalan kabupaten/kota:
Pembiayaan pembangunan jalan kabupaten/desa dan jalan kota.
Perencanaan teknis, pemrograman dan penganggaran, pengadaan lahan, serta pelaksanaan konstruksi jalan kabupaten/desa dan jalan kota.
Pengoperasian dan pemeliharaan jalan kabupaten/desa dan jalan kota.
Pengembangan dan pengelolaan manajemen jalan kabupaten desa dan jalan kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pengusahaan jalan tol:
Pengaturan pengusahaan jalan tol meliputi kegiatan pendanaan, perencanaan teknis, pelaksanaan konstruksi, pengoperasian, dan/atau pemeliharaan.
Persiapan pengusahaan jalan tol, pengadaan investasi dan pemberian fasilitas pembebasan tanah.
— a. — b. — 2. — a. — b. — 4. Pengawasan 1. Pengawasan jalan secara umum:
Evaluasi dan pengkajian pelaksanaan kebijakan penyelengaraan jalan.
— a. — 1. — a. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Pengendalian fungsi dan manfaat hasil pembangunan jalan.
Pengawasan jalan nasional:
Evaluasi kinerja penyelenggaraan jalan nasional.
Pengendalian fungsi dan manfaat hasil pembangunan jalan nasional.
Pengawasan jalan tol:
Pemantauan dan evaluasi pengaturan dan pembinaan jalan tol.
— 2. Pengawasan jalan provinsi:
Evaluasi kinerja penyelenggaraan jalan provinsi.
Pengendalian fungsi dan manfaat hasil pembangunan jalan provinsi.
— a. — b. — 2. Pengawasan jalan kabupaten/kota:
Evaluasi kinerja penyelenggaraan jalan kabupaten/desa dan jalan kota.
Pengendalian fungsi dan manfaat hasil pembangunan jalan kabupaten/desa dan jalan kota.
— a. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Pemantauan dan evaluasi pengusahaan jalan tol dan terhadap pelayanan jalan tol.
— b. — 1. Pengaturan 1. Penetapan kebijakan dan strategi nasional pembangunan perkotaan dan perdesaan .
Penetapan kebijakan dan strategi wilayah provinsi dalam pembangunan perkotaan dan perdesaan (mengacu kebijakan nasional).
Penetapan kebijakan dan strategi pembangunan perkotaan dan perdesaan wilayah kabupaten/kota (mengacu kebijakan nasional dan provinsi).
Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengembangan perkotaan dan perdesaan.
Penetapan peraturan daerah provinsi mengenai pengembangan perkotaan dan perdesaan mengacu NSPK nasional.
Penetapan peraturan daerah kabupaten/kota mengenai pengembangan perkotaan dan perdesaan berdasarkan NSPK.
Perkotaan dan Perdesaan 2. Pembinaan 1. Fasilitasi peningkatan kapasitas manajemen pembangunan dan pengelolaan Prasarana dan Sarana (PS) perkotaan dan pedesaan tingkat nasional.
Fasilitasi peningkatan kapasitas manajemen pembangunan dan pengelolaan PS perkotaan dan pedesaan tingkat provinsi.
Fasilitasi peningkatan kapasitas manajemen pembangunan dan pengelolaan PS perkotaan dan pedesaan tingkat kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Fasilitasi pemberdayaan masyarakat dan dunia usaha dalam pembangunan perkotaan dan perdesaan secara nasional.
Fasilitasi pemberdayaan masyarakat dan dunia usaha dalam pembangunan perkotaan dan perdesaan di wilayah provinsi.
Pemberdayaan masyarakat dan dunia usaha dalam pembangunan perkotaan dan perdesaan di wilayah kabupaten/kota.
Pembangunan 1. Fasilitasi perencanaan program pembangunan sarana dan prasarana perkotaan dan perdesaan jangka panjang dan jangka menengah.
Fasilitasi kerjasama/kemitraan tingkat nasional antara pemerintah/daerah dalam pengelolaan dan pembangunan sarana dan prasarana perkotaan dan perdesaan.
Fasilitasi penyiapan program pembangunan sarana dan prasarana perkotaan dan perdesaan jangka panjang dan jangka menengah kota/kabupaten di wilayah.
Fasilitasi kerjasama/ kemitraan antara pemerintah/daerah dalam pengelolaan dan pembangunan sarana dan prasarana perkotaan dan perdesaan di lingkungan provinsi.
Penyiapan program pembangunan sarana dan prasarana perkotaan dan perdesaan jangka panjang dan jangka menengah kabupaten/kota dengan mengacu pada RPJP dan RPJM nasional dan provinsi.
Penyelenggaraan kerjasama/ kemitraan antara pemerintah daerah/dunia usaha/ masyarakat dalam pengelolaan dan pembangunan sarana dan prasarana perkotaan dan perdesaan di lingkungan kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penyelenggaraan pembangunan PS perkotaan dan perdesaan di kawasan strategis nasional.
— 3. Penyelenggaraan pembangunan PS perkotaan dan perdesaan lintas kabupaten/kota di lingkungan wilayah provinsi.
Fasilitasi pembentukan lembaga/badan pengelola pembangunan perkotaan dan perdesaan lintas kabupaten/kota.
Penyelenggaraan pembangunan PS perkotaan dan perdesaan di wilayah kabupaten/kota 4. Pembentukan lembaga/badan pengelola pembangunan perkotaan dan perdesaan di kabupaten/kota.
Pengawasan dan pengendalian program pembangunan dan pengelolaan kawasan perkotaan dan perdesaan secara nasional.
Pengawasan dan pengendalian terhadap pembangunan dan pengelolaan kawasan perkotaan dan perdesaan di provinsi.
Pengawasan dan pengendalian terhadap pelaksanaan pembangunan dan pengelolaan kawasan perkotaan dan perdesaan di kabupaten/kota.
Pengawasan 2. Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK. 2. Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK 2. Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Air Minum 1. Pengaturan 1. Penetapan kebijakan dan strategi nasional pengembangan pelayanan air minum.
Penetapan peraturan daerah provinsi mengenai kebijakan dan strategi pengembangan air minum lintas kabupaten/kota di wilayahnya.
Penetapan peraturan daerah kabupaten/kota mengenai kebijakan dan strategi pengembangan air minum di daerah kabupaten/kota.
Pembentukan Badan Pendukung Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (BPP-SPAM).
— 2. — 3. Penetapan BUMN penyelenggara SPAM lintas provinsi.
Penetapan BUMD provinsi sebagai penyelenggara SPAM lintas kabupaten/kota.
Penetapan BUMD sebagai penyelenggara SPAM di kabupaten/kota.
Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria pelayanan PS air minum secara nasional termasuk penetapan Standar Pelayanan Minimal (SPM).
Penetapan peraturan daerah NSPK pelayanan PS air minum berdasarkan SPM yang disusun pemerintah.
Penetapan peraturan daerah NSPK pelayanan PS air minum berdasarkan SPM yang disusun pemerintah dan provinsi. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Memberikan izin penyelenggaraan pelayanan PS air minum lintas provinsi.
Memberikan izin penyelenggaraan untuk lintas kabupaten/kota.
Memberikan izin penyelenggaraan pengembangan SPAM di wilayahnya.
Penentuan alokasi air baku untuk kebutuhan pengembangan SPAM.
— 6. — 2. Pembinaan 1. Fasilitasi penyelesaian masalah dan permasalahan antar provinsi, yang bersifat khusus, strategis, baik yang bersifat nasional maupun internasional.
Penyelesaian masalah dan permasalahan yang bersifat lintas kabupaten/kota.
Penyelesaian masalah dan permasalahannya di dalam wilayah kabupaten/kota.
Fasilitasi peningkatan kapasitas teknis dan manajemen pelayanan air minum secara nasional.
Peningkatan kapasitas teknis dan manajemen pelayanan air minum di lingkungan wilayah provinsi.
Peningkatan kapasitas teknis dan manajemen pelayanan air minum di wilayah kabupaten/kota termasuk kepada Badan Pengusahaan Pelayanan (operator) BUMD. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penetapan standar kompetensi teknis SDM untuk kelompok ahli dan terampil bidang air minum.
— 3. — 3. Pembangunan 1. Fasilitasi pemenuhan kebutuhan air baku untuk kebutuhan pengembangan SPAM secara nasional.
Penetapan kebutuhan air baku untuk kebutuhan pengembangan SPAM di lingkungan wilayah provinsi.
Penetapan pemenuhan kebutuhan air baku untuk kebutuhan pengembangan SPAM di wilayah kabupaten/kota.
— 2. — 2. Pengembangan SPAM di wilayah kabupaten/kota untuk pemenuhan SPM.
Fasilitasi penyelenggaraan bantuan teknis penyelenggaraan pengembangan SPAM secara nasional.
Fasilitasi penyelenggaraan (bantuan teknis) penyelenggaraan pengembangan SPAM di wilayah provinsi.
Fasilitasi penyelenggaraan (bantuan teknis) kepada kecamatan, pemerintah desa, serta kelompok masyarakat di wilayahnya dalam penyelenggaraan pengembangan SPAM. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Penyusunan rencana induk pengembangan SPAM wilayah pelayanan lintas provinsi.
Penyusunan rencana induk pengembangan SPAM wilayah pelayanan lintas kabupaten/kota setelah berkoordinasi dengan daerah kabupaten/kota.
Penyusunan rencana induk pengembangan SPAM wilayah administrasi kabupaten/kota.
Fasilitasi penyediaan prasarana dan sarana air minum dalam rangka kepentingan strategis nasional.
Penyediaan PS air minum untuk daerah bencana dan daerah rawan air skala provinsi.
Penyediaan PS air minum untuk daerah bencana dan daerah rawan air skala kabupaten/kota.
Penanganan bencana alam tingkat nasional. 6. Penanganan bencana alam tingkat provinsi 6. Penanganan bencana alam tingkat kabupaten/kota.
Pengawasan 1. Pengawasan terhadap seluruh tahapan penyelenggaraan pengembangan SPAM secara nasional.
Pengawasan terhadap seluruh tahapan penyelenggaraan pengembangan SPAM yang berada di wilayah provinsi.
Pengawasan terhadap seluruh tahapan penyelenggaraan pengembangan SPAM yang berada di wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Evaluasi kinerja pelayanan penyelenggaraan pengembangan SPAM secara nasional.
Evaluasi kinerja pelayanan air minum di lingkungan wilayah provinsi.
Evaluasi terhadap penyelenggaraan pengembangan SPAM yang utuh di wilayahnya.
Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK.
Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK.
Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK.
Pengaturan 1. Penetapan kebijakan dan strategi nasional pengembangan PS air limbah.
Penetapan peraturan daerah kebijakan pengembangan PS air limbah di wilayah provinsi mengacu pada kebijakan nasional.
Penetapan peraturan daerah kebijakan pengembangan PS air limbah di wilayah kabupaten/kota mengacu pada kebijakan nasional dan provinsi.
Air Limbah 2. Pembentukan lembaga penyelenggara pelayanan PS air limbah lintas provinsi.
Pembentukan lembaga tingkat provinsi sebagai penyelenggara PS air limbah di wilayah provinsi.
Pembentukan lembaga tingkat kabupaten/kota sebagai penyelenggara PS air limbah di wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria pelayanan PS air limbah secara nasional termasuk SPM.
Penetapan peraturan daerah NSPK berdasarkan SPM yang ditetapkan oleh pemerintah.
Penetapan peraturan daerah berdasarkan NSPK yang ditetapkan oleh pemerintah dan provinsi.
Memberikan izin penyelenggaraan PS air limbah yang bersifat lintas provinsi.
Memberikan izin penyelenggaraan PS air limbah lintas kabupaten/kota.
Memberikan izin penyelenggaraan PS air limbah di wilayah kabupaten/kota.
Penetapan standar kompetensi teknis SDM untuk kelompok ahli dan terampil bidang air limbah.
— 5. — 2. Pembinaan 1. Fasilitasi penyelesaian permasalahan antar provinsi yang bersifat khusus, strategis baik yang bersifat nasional maupun internasional.
Fasilitasi penyelesaian masalah yang bersifat lintas kabupaten/kota.
Penyelesaian masalah pelayanan di lingkungan kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Fasilitasi peran serta dunia usaha tingkat nasional dalam penyelenggaraan pengembangan PS air limbah.
Fasilitasi peran serta dunia usaha dan masyarakat dalam penyelenggaraan pengembangan PS air limbah kabupaten/kota.
Pelaksanaan kerjasama dengan dunia usaha dan masyarakat dalam penyelenggaraan pengembangan PS air limbah kabupaten/kota.
Fasilitasi penyelenggaraan (bantek) pengembangan PS air limbah.
Fasilitasi penyelenggaraan (bantek) pengembangan PS air limbah lintas kabupaten/kota.
Penyelenggaraan (bantek) pada kecamatan, pemerintah desa, serta kelompok masyarakat di wilayahnya dalam penyelenggaraan PS air limbah.
Pembangunan 1. Fasilitasi pengembangan PS air limbah skala kota untuk kota-kota metropolitan dan kota besar dalam rangka kepentingan strategis nasional.
Fasilitasi pengembangan PS air limbah lintas kabupaten/kota di wilayah provinsi.
Penyelenggaraan pembangunan PS air limbah untuk daerah kabupaten/kota dalam rangka memenuhi SPM. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Penyusunan rencana induk pengembangan PS air limbah lintas provinsi.
Penyusunan rencana induk pengembangan PS air limbah lintas kabupaten/kota.
Penyusunan rencana induk pengembangan PS air limbah kabupaten/kota.
Penanganan bencana alam tingkat nasional. 3. Penanganan bencana alam tingkat provinsi. 3. Penanganan bencana alam tingkat lokal (kabupaten/kota).
Pengawasan 1. Pengendalian dan pengawasan atas penyelenggaraan pengembangan PS air limbah.
Melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan PS air limbah di wilayahnya.
Monitoring penyelenggaraan PS air limbah di kabupaten/kota.
Evaluasi atas kinerja pengelolaan PS air limbah secara nasional.
Evaluasi atas kinerja pengelolaan PS air limbah di wilayah provinsi lintas kabupaten/kota.
Evaluasi terhadap penyelenggaraan pengembangan air limbah di kabupaten/kota.
Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK.
Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK.
Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan SPM. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Pengaturan 1. Penetapan kebijakan dan strategi nasional pengembangan PS persampahan.
Penetapan peraturan daerah kebijakan pengembangan PS persampahan lintas kabupaten/kota di wilayah provinsi mengacu pada kebijakan nasional.
Penetapan peraturan daerah kebijakan pengembangan PS persampahan di kabupaten/kota mengacu pada kebijakan nasional dan provinsi.
Penetapan lembaga tingkat nasional penyelenggara pengelolaan persampahan (bila diperlukan).
Penetapan lembaga tingkat provinsi penyelenggara pengelolaan persampahan lintas kabupaten/kota di wilayah provinsi.
Penetapan lembaga tingkat kabupaten/kota penyelenggara pengelolaan persampahan di wilayah kabupaten/kota.
Penetapan NSPK pengelolaan persampahan secara nasional termasuk SPM.
Penetapan peraturan daerah NSPK pengelolaan persampahan mengacu kepada SPM yang ditetapkan oleh pemerintah.
Penetapan peraturan daerah berdasarkan NSPK yang ditetapkan oleh pemerintah dan provinsi.
Persampahan 4. Memberikan izin penyelenggara pengelolaan persampahan lintas provinsi.
Memberikan izin penyelenggara pengelolaan persampahan lintas kabupaten/kota.
Pelayanan perizinan dan pengelolaan persampahan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pembinaan 1. Fasilitasi penyelesaian masalah dan permasalahan antar provinsi.
Fasilitasi penyelesaian masalah dan permasalahan antar kabupaten/kota.
— 2. Peningkatan kapasitas manajemen dan fasilitasi kerjasama pemda/dunia usaha dan masyarakat dalam penyelenggaraan pengembangan PS persampahan.
Peningkatan kapasitas manajemen dan fasilitasi kerjasama pemda/dunia usaha dan masyarakat dalam penyelenggaraan pengembangan PS persampahan lintas kabupaten/kota.
Peningkatan kapasitas manajemen dan fasilitasi kerjasama dunia usaha dan masyarakat dalam penyelenggaraan pengembangan PS persampahan kabupaten/kota.
Fasilitasi bantuan teknis penyelenggaraan pengembangan PS persampahan.
Memberikan bantuan teknis dan pembinaan lintas kabupaten/kota.
Memberikan bantuan teknis kepada kecamatan, pemerintah desa, serta kelompok masyarakat di kabupaten/kota.
Pembangunan 1. Fasilitasi penyelenggaraan dan pembiayaan pembangunan PS persampahan secara nasional (lintas provinsi).
Fasilitasi penyelenggaraan dan pembiayaan pembangunan PS persampahan secara nasional di wilayah provinsi.
Penyelengaraan dan pembiayaan pembangunan PS persampahan di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Penyusunan rencana induk pengembangan PS persampahan lintas provinsi.
Penyusunan rencana induk pengembangan PS persampahan lintas kabupaten/kota.
Penyusunan rencana induk pengembangan PS persampahan kabupaten/kota.
Pengawasan 1. Pengawasan dan pengendalian pengembangan persampahan secara nasional.
Pengawasan dan pengendalian pengembangan persampahan di wilayah provinsi.
Pengawasan terhadap seluruh tahapan pengembangan persampahan di wilayah kabupaten/kota.
Evaluasi kinerja penyelenggaraan PS persampahan secara nasional.
Evaluasi kinerja penyelenggaraan yang bersifat lintas kabupaten/kota.
Evaluasi kinerja penyelenggaraan di wilayah kabupaten/kota.
Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK.
Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK.
Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Pengaturan 1. Penetapan kebijakan dan strategi nasional dalam penyelenggaraan drainase dan pematusan genangan.
Penetapan peraturan daerah kebijakan dan strategi provinsi berdasarkan kebijakan dan strategi nasional.
Penetapan peraturan daerah kebijakan dan strategi kabupaten/kota berdasarkan kebijakan nasional dan provinsi.
Penetapan NSPK penyelenggaraan drainase dan pematusan genangan.
Penetapan peraturan daerah NSPK provinsi berdasarkan SPM yang ditetapkan oleh pemerintah di wilayah provinsi.
Penetapan peraturan daerah NSPK drainase dan pematusan genangan di wilayah kabupaten/kota berdasarkan SPM yang disusun pemerintah pusat dan provinsi.
Pembinaan 1. Fasilitasi bantuan teknis pembangunan, pemeliharaan dan pengelolaan drainase.
Bantuan teknis pembangunan, pemeliharaan dan pengelolaan).
— 7. Drainase 2. Peningkatan kapasitas teknik dan manajemen penyelenggara drainase dan pematusan genangan secara nasional.
Peningkatan kapasitas teknik dan manajemen penyelenggara drainase dan pematusan genangan di wilayah provinsi.
Peningkatan kapasitas teknik dan manajemen penyelenggara drainase dan pematusan genangan di wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Pembangunan 1. Fasilitasi penyelesaian masalah dan permasalahan operasionalisasi sistem drainase dan penanggulangan banjir lintas provinsi.
Fasilitasi penyelesaian masalah dan permasalahan operasionalisasi sistem drainase dan penanggulangan banjir lintas kabupaten/kota.
Penyelesaian masalah dan permasalahan operasionalisasi sistem drainase dan penanggulangan banjir di wilayah kabupaten/kota serta koordinasi dengan daerah sekitarnya.
Fasilitasi penyelenggaraan pembangunan dan pemeliharaan PS drainase dan pengendalian banjir di kawasan khusus dan strategis nasional.
Fasilitasi penyelenggaraan pembangunan dan pemeliharaan PS drainase di wilayah provinsi.
Penyelenggaraan pembangunan dan pemeliharaan PS drainase di wilayah kabupaten/kota.
Fasilitasi penyusunan rencana induk penyelenggaraan prasarana sarana drainase dan pengendalian banjir skala nasional.
Penyusunan rencana induk PS drainase skala regional/lintas daerah.
Penyusunan rencana induk PS drainase skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Pengawasan 1. Evaluasi kinerja penyelenggaraan sistem drainase dan pengendali banjir secara nasional.
Evaluasi di provinsi terhadap penyelenggaraan sistem drainase dan pengendali banjir di wilayah provinsi.
Evaluasi terhadap penyelenggaraan sistem drainase dan pengendali banjir di wilayah kabupaten/kota.
Pengawasan dan pengendalian penyelenggaraan drainase dan pengendalian banjir secara lintas provinsi.
Pengawasan dan pengendalian penyelenggaraan drainase dan pengendalian banjir lintas kabupaten/kota.
Pengawasan dan pengendalian penyelenggaraan drainase dan pengendalian banjir di kabupaten/kota.
Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK.
Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK.
Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 8. Permukiman 1. Kawasan Siap Bangun (Kasiba) dan Lingkungan Siap Bangun (Lisiba) yang berdiri sendiri:
Pengaturan 1. Penetapan kebijakan teknis Kasiba dan Lisiba nasional. 1. Penetapan peraturan daerah kebijakan dan strategi Kasiba/Lisiba di wilayah provinsi.
Penetapan peraturan daerah kebijakan dan strategi Kasiba/Lisiba di wilayah kabupaten/kota.
Penyusunan NSPK Kasiba dan Lisiba secara nasional. 2. Penetapan Peraturan Daerah NSPK Kasiba dan Lisiba di wilayah provinsi.
Penetapan Peraturan Daerah NSPK Kasiba dan Lisiba di wilayah kabupaten/kota.
Pembinaan 1. Fasilitasi peningkatan kapasitas daerah dalam pembangunan Kasiba dan Lisiba.
Fasilitasi peningkatan kapasitas manajemen dalam pembangunan Kasiba dan Lisiba.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Fasilitasi penyelesaian masalah Kasiba/Lisiba yang terkait dengan pelaksanaan kebijakan nasional.
Fasilitasi penyelesaian pembangunan Kasiba/Lisiba antar kabupaten/kota.
— c.Pembangunan 1. Fasilitasi penyelenggaraan pembangunan Kasiba/Lisiba strategis nasional.
Fasilitasi penyelenggaraan pembangunan Kasiba/Lisiba lintas kabupaten/kota.
Penyelenggaraan pembangunan Kasiba/Lisiba di kabupaten/kota.
Fasilitasi kerjasama swasta, masyarakat tingkat nasional dalam pembangunan Kasiba/Lisiba.
Fasilitasi kerjasama swasta, masyarakat tingkat nasional dalam pembangunan Kasiba/Lisiba lintas kabupaten/kota.
Pelaksanaan kerjasama swasta, masyarakat tingkat nasional dalam pembangunan Kasiba/Lisiba.
— 3. Penetapan izin lokasi Kasiba/Lisiba lintas kabupaten/kota.
Penetapan izin lokasi Kasiba/Lisiba di kabupaten/kota.
Pengawasan 1. Pengawasan dan pengendalian kebijakan nasional penyelenggaraan Kasiba dan Lisiba.
Pengawasan pelaksanaan kelayakan program Kasiba dan Lisiba di provinsi.
Pengawasan dan pengendalian penyelenggaraan Kasiba dan Lisiba di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Evaluasi kebijakan nasional penyelenggaraan pembangunan Kasiba dan Lisiba.
Evaluasi penyelenggaraan pembangunan Kasiba dan Lisiba di provinsi.
Evaluasi penyelenggaraan pembangunan Kasiba dan Lisiba di kabupaten/kota.
Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK.
Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK di provinsi.
Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK di kabupaten/kota.
Permukiman Kumuh/ Nelayan:
Pengaturan 1. Penetapan kebijakan nasional tentang penanggulangan permukiman kumuh perkotaan dan nelayan.
— 1. Penetapan peraturan daerah kebijakan dan strategi penanggulangan permukiman kumuh/nelayan di wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Penyusunan NSPK kawasan permukiman. 2. — 2. Penetapan peraturan daerah tentang pencegahan timbulnya permukiman kumuh di wilayah kabupaten/kota.
Pembinaan 1. Fasilitasi peningkatan kapasitas daerah dalam pembangunan dalam penanganan permukiman kumuh secara nasional. (bantuan teknis) 1. Fasilitasi peningkatan kapasitas manajemen dalam penanganan permukiman kumuh di wilayah provinsi.
— c. Pembangunan 1. Fasilitasi program penanganan permukiman kumuh bagi lokasi yang strategis secara nasional.
Fasilitasi penyelenggaraan penanganan permukiman kumuh di wilayahnya.
Penyelenggaraan penanganan kawasan kumuh perkotaan di kabupaten/kota.
Fasilitasi dan bantuan teknis untuk peremajaan/perbaikan permukiman kumuh/nelayan dengan Rumah Susun Sewa (RUSUNAWA).
Fasilitasi peremajaan/ perbaikan permukiman kumuh/nelayan.
Pengelolaan peremajaan/ perbaikan permukiman kumuh/nelayan dengan rusunawa. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA d. Pengawasan 1. Melaksanakan pengawasan dan pengendalian penanganan permukiman kumuh nasional.
— 1. Melaksanakan pengawasan dan pengendalian permukiman kumuh di wilayah kabupaten/kota.
Evaluasi kebijakan nasional penanganan permukiman kumuh.
Monitoring evaluasi pelaksanaan program penanganan permukiman kumuh di wilayahnya.
Evaluasi pelaksanaan program penanganan permukiman kumuh di kabupaten/kota.
Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK .
Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK di provinsi.
Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK di kabupaten/kota.
Pembangunan Kawasan a.Pengaturan 1. Penetapan kebijakan pembangunan kawasan strategis nasional.
— 1. Penetapan peraturan daerah kebijakan dan strategi pembangunan kawasan di wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Penyusunan NSPK pembangunan kawasan strategis nasional.
— 2. Penetapan peraturan daerah NSPK pembangunan kawasan di wilayah kabupaten/kota.
Pembinaan 1. Fasilitasi peningkatan kapasitas daerah dalam pembangunan kawasan strategis nasional.
— 1. — 2. Fasilitasi penyelesaian masalah pembangunan kawasan yang terkait dengan pelaksanaan kebijakan nasional.
Fasilitasi penyelesaian masalah pembangunan kawasan di wilayah provinsi.
— c.Pembangunan 1. Fasilitasi penyelenggaraan pembangunan kawasan strategis nasional.
— 1. Penyelenggaraan pembangunan kawasan strategis nasional.
Pengawasan 1. Pengawasan dan pengendalian pembangunan kawasan strategis nasional.
Pengawasan dan pengendalian pembangunan kawasan di wilayah provinsi.
Melaksanakan pengawasan dan pengendalian pembangunan kawasan di wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Evaluasi kebijakan nasional program pembangunan kawasan nasional.
Evaluasi pelaksanaan program pembangunan kawasan di provinsi.
Evaluasi pelaksanaan program pembangunan kawasan di kabupaten/kota.
Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK.
Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK di provinsi.
Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK di kabupaten/kota.
Pengaturan 1. Penetapan peraturan perundang-undangan, norma, standar, prosedur dan kriteria/bangunan gedung dan lingkungan 1. Penetapan peraturan daerah Provinsi, mengenai bangunan gedung dan lingkungan mengacu pada norma, standar, prosedur dan kriteria nasional.
Penetapan peraturan daerah kabupaten/kota, mengenai bangunan gedung dan lingkungan mengacu pada norma, standar, prosedur dan kriteria nasional.
Bangunan Gedung dan Lingkungan 2. Penetapan kebijakan dan strategi nasional bangunan gedung dan lingkungan.
Penetapan kebijakan dan strategi wilayah provinsi mengenai bangunan gedung dan lingkungan.
Penetapan kebijakan dan strategi kabupaten/kota mengenai bangunan gedung dan lingkungan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penetapan kebijakan pembangunan dan pengelolaan gedung dan rumah negara.
— 3. Penetapan kelembagaan bangunan gedung di kabupaten/kota.
Penyelenggaraan IMB gedung fungsi khusus. 4. — 4. Penyelenggaraan IMB gedung.
— 5. — 5. Pendataan bangunan gedung.
— 6. — 6. Penetapan persyaratan administrasi dan teknis untuk bangunan gedung adat, semi permanen, darurat, dan bangunan gedung yang dibangun di lokasi bencana.
— 7. — 7. Penyusunan dan penetapan Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL). SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pembinaan 1. Pemberdayaan kepada pemerintah daerah dan penyelenggara bangunan gedung dan lingkungannya.
Pemberdayaan kepada pemerintah daerah dan penyelenggara bangunan gedung dan lingkungannya.
Pemberdayaan kepada masyarakat dalam penyelenggaraan bangunan gedung dan lingkungannya.
Fasilitasi peningkatan kapasitas manajemen dan teknis Pemerintah daerah untuk bangunan gedung dan lingkungan.
Fasilitasi penyelenggaraan bangunan gedung dan lingkungan.
Pemberdayaan masyarakat dalam penyelenggaraan bangunan gedung dan lingkungan.
Pembangunan 1. Fasilitasi bantuan teknis penyelenggaraan bangunan gedung dan lingkungan.
Penyelenggaraan model bangunan gedung dan lingkungan.
Penyelenggaraan bangunan gedung dan lingkungan dengan berbasis pemberdayaan masyarakat.
Pembangunan dan pengelolaan bangunan gedung dan rumah negara yang menjadi aset pemerintah.
Pembangunan dan pengelolaan bangunan gedung dan rumah negara yang menjadi aset pemerintah provinsi.
Pembangunan dan pengelolaan bangunan gedung dan rumah negara yang menjadi aset pemerintah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penetapan status bangunan gedung dan lingkungan yang dilindungi dan dilestarikan yang berskala nasional atau internasional.
Penetapan status bangunan gedung dan lingkungan yang dilindungi dan dilestarikan yang berskala provinsi atau lintas kabupaten/kota.
Penetapan status bangunan gedung dan lingkungan yang dilindungi dan dilestarikan yang berskala lokal.
Pengawasan 1. Pengawasan secara nasional terhadap pelaksanaan peraturan perundang- undangan, pedoman, dan standar teknis bangunan gedung dan lingkungannya, serta gedung dan rumah negara.
Pengawasan secara regional terhadap pelaksanaan peraturan perundang- undangan, pedoman dan standar teknis bangunan gedung dan lingkungannya gedung dan rumah negara.
Pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan, pedoman dan standar teknis dalam penyelenggaraan bangunan gedung dan lingkungannya.
Pengawasan dan penertiban pembangunan dan pemanfaatan bangunan gedung fungsi khusus.
— 2. Pengawasan dan penertiban pembangunan, pemanfaatan, dan pembongkaran bangunan gedung.
Pengawasan dan penertiban pelestarian bangunan gedung dan lingkungan yang 3. Pengawasan dan penertiban pelestarian bangunan gedung dan lingkungan yang 3. Pengawasan dan penertiban pelestarian bangunan gedung dan lingkungan yang SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA dilindungi dan dilestarikan yang berskala nasional atau internasional. dilindungi dan dilestarikan yang berskala provinsi atau lintas kabupaten/kota. dilindungi dan dilestarikan yang berskala lokal.
Jasa Konstruksi 1. Pengaturan 1. Penetapan dan penerapan kebijakan nasional pengembangan usaha, termasuk upaya mendorong kemitraan fungsional sinergis.
Fasilitasi untuk mendapatkan dukungan lembaga keuangan dalam memberikan prioritas pelayanan, kemudahan dan akses untuk memperoleh pendanaan.
Penetapan dan penerapan kebijakan nasional pengembangan penyelenggaraan konstruksi.
Fasilitasi untuk mendapatkan dukungan lembaga pertanggungan dalam memberikan prioritas, 1. Pelaksanaan kebijakan pembinaan jasa konstruksi yang telah ditetapkan.
— 3. — 4. — 1. Pelaksanaan kebijakan pembinaan jasa konstruksi yang telah ditetapkan.
— 3. — 4. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA pelayanan, kemudahan dan akses untuk memperoleh jaminan pertanggungan resiko.
Penetapan dan penerapan kebijakan nasional pengembangan keahlian dan teknik konstruksi.
Penetapan dan penerapan kebijakan nasional pengembangan SDM bidang konstruksi.
— 6. — 5. — 6. — 2. Pemberdayaan 1. Pemberdayaan Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) Nasional serta asosiasi badan usaha dan profesi tingkat nasional.
Peningkatan kemampuan teknologi, sistem informasi, penelitian dan 1. Pengembangan sistem informasi jasa konstruksi dalam wilayah provinsi yang bersangkutan.
Penelitian dan pengembangan jasa konstruksi dalam wilayah 1. Pengembangan sistem informasi jasa konstruksi dalam wilayah kabupaten/kota yang bersangkutan.
Penelitian dan pengembangan jasa konstruksi dalam wilayah SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA pengembangan teknologi bidang konstruksi.
Pemberdayaan penerapan keahlian dan teknik konstruksi kepada LPJK nasional serta asosiasi profesi tingkat nasional.
Perintisan penyelenggaraan pelatihan tenaga terampil konstruksi sebagai model.
Fasilitasi proses sertifikasi tenaga terampil konstruksi.
— provinsi yang bersangkutan.
Pengembangan sumber daya manusia bidang jasa konstruksi di tingkat provinsi.
Peningkatan kemampuan teknologi jasa konstruksi dalam wilayah provinsi yang bersangkutan.
Pelaksanaan pelatihan, bimbingan teknis dan penyuluhan dalam wilayah provinsi.
Pelaksanaan pemberdayaan terhadap LPJK daerah dan asosiasi di provinsi yang bersangkutan. kabupaten/kota yang bersangkutan.
Pengembangan sumber daya manusia bidang jasa konstruksi di tingkat kabupaten/kota.
Peningkatan kemampuan teknologi jasa konstruksi dalam wilayah kabupaten/kota yang bersangkutan 5. Melaksanakan pelatihan, bimbingan teknis dan penyuluhan dalam wilayah kabupaten/kota.
Penerbitan perizinan usaha jasa konstruksi. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Pengawasan 1. Pengawasan guna tertib usaha mengenai persyaratan perizinan dan ketentuan ketenagakerjaan.
Pengawasan terhadap LPJK- Nasional serta asosiasi badan usaha dan profesi tingkat nasional.
Pengawasan guna tertib penyelenggaraan dan tertib pemanfaatan pekerjaan konstruksi (ketentuan keteknikan, K3, keselamatan umum,lingkungan, tata ruang, tata bangunan dan ketentuan lainnya yang berkaitan dengan penyelenggaraan konstruksi).
Pengawasan tata lingkungan yang bersifat lintas kabupaten/kota.
Pengawasan sesuai kewenangannya untuk terpenuhinya tertib penyelenggaraan pekerjaan konstruksi.
Pengawasan terhadap LPJK daerah dan asosiasi di provinsi yang bersangkutan.
Pengawasan tata lingkungan dalam wilayah kabupaten/kota yang bersangkutan.
Pengawasan sesuai kewenangannya untuk terpenuhinya tertib penyelenggaraan pekerjaan konstruksi.
— D. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG PERUMAHAN SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Pembiayaan 1. Pembangunan Baru 1. Penetapan kebijakan, strategi, dan program nasional di bidang pembiayaan perumahan.
Penetapan kebijakan, strategi, dan program provinsi di bidang pembiayaan perumahan.
Penetapan kebijakan, strategi, dan program kabupaten/kota di bidang pembiayaan perumahan.
Penyusunan norma, standar, pedoman, dan manual (NSPM) nasional bidang pembiayaan perumahan.
Penyusunan NSPM provinsi bidang pembiayaan perumahan.
Penyusunan NSPM kabupaten/kota bidang pembiayaan perumahan.
Pengembangan sistem pembiayaan dan instrumen pembiayaan.
Koordinasi penyelenggaraan dan mendorong terciptanya pengaturan instrumen pembiayaan dalam rangka penerapan sistem pembiayaan perumahan.
Pelaksanaan, penerapan dan penyesuaian pengaturan instrumen pembiayaan dalam rangka penerapan sistem pembiayaan.
Fasilitasi bantuan teknis bidang pembiayaan perumahan kepada para pelaku di tingkat nasional.
Fasilitasi bantuan teknis bidang pembiayaan perumahan kepada para pelaku di tingkat provinsi.
Fasilitasi bantuan teknis bidang pembiayaan perumahan kepada para pelaku di tingkat kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Pemberdayaan pelaku pasar dan pasar perumahan di tingkat nasional.
Pemberdayaan pelaku pasar dan pasar perumahan di tingkat provinsi.
Pemberdayaan pelaku pasar dan pasar perumahan di tingkat kabupaten/kota.
Fasilitasi bantuan pembiayaan pembangunan dan pemilikan rumah serta penyelenggaraan rumah sewa.
Fasilitasi bantuan pembiayaan pembangunan dan pemilikan rumah serta penyelenggaraan rumah sewa.
Fasilitasi bantuan pembiayaan pembangunan dan pemilikan rumah serta penyelenggaraan rumah sewa.
Pengendalian penyelenggaraan bidang pembiayaan perumahan di tingkat nasional.
Pengendalian penyelenggaraan bidang pembiayaan perumahan di tingkat provinsi.
Pengendalian penyelenggaraan bidang pembiayaan perumahan di tingkat kabupaten/kota.
Melakukan evaluasi penyelenggaraan bidang pembiayaan perumahan di tingkat nasional.
Melakukan evaluasi penyelenggaraan bidang pembiayaan perumahan di tingkat provinsi.
Melakukan evaluasi penyelenggaraan bidang pembiayaan perumahan di tingkat kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Perbaikan 1. Penetapan kebijakan, strategi, dan program nasional di bidang pembiayaan perumahan.
Penetapan kebijakan, strategi, dan program provinsi di bidang pembiayaan perumahan 1. Penetapan kebijakan, strategi, dan program kabupaten/kota di bidang pembiayaan perumahan.
Penyusunan NSPM nasional bidang pembiayaan perumahan.
Penyusunan NSPM provinsi bidang pembiayaan perumahan.
Penyusunan NSPM kabupaten/kota bidang pembiayaan perumahan.
Pengembangan sistem pembiayaan dan instrumen pembiayaan.
Koordinasi penyelenggaraan dan mendorong terciptanya pengaturan instrumen pembiayaan dalam rangka penerapan sistem pembiayaan perumahan.
Pelaksanaan, penerapan dan penyesuaian pengaturan instrumen pembiayaan dalam rangka penerapan sistem pembiayaan.
Fasilitasi bantuan teknis bidang pembiayaan perumahan kepada para pelaku di tingkat nasional.
Fasilitasi bantuan teknis bidang pembiayaan perumahan kepada para pelaku di tingkat provinsi.
Fasilitasi bantuan bidang pembiayaan perumahan kepada para pelaku di tingkat kabupaten/kota.
Pemberdayaan pelaku pasar dan pasar perumahan di tingkat nasional.
Pemberdayaan pelaku pasar dan pasar perumahan di tingkat provinsi.
Pemberdayaan pelaku pasar dan pasar perumahan di tingkat kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Fasilitasi bantuan pembiayaan perbaikan/pembangunan rumah swadaya milik.
Fasilitasi bantuan pembiayaan perbaikan/pembangunan rumah swadaya milik.
Fasilitasi bantuan pembiayaan perbaikan/pembangunan rumah swadaya milik.
Pengendalian penyelenggaraan bidang pembiayaan perumahan di tingkat nasional.
Pengendalian penyelenggaraan bidang pembiayaan perumahan di tingkat provinsi.
Pengendalian penyelenggaraan bidang pembiayaan perumahan di tingkat kabupaten/kota.
Melakukan evaluasi penyelenggaraan bidang pembiayaan perumahan di tingkat nasional.
Melakukan evaluasi penyelenggaraan bidang pembiyaan perumahan di tingkat provinsi.
Melakukan evaluasi penyelenggaraan bidang pembiayaan perumahan di tingkat kabupaten/kota.
Pembinaan Perumahan Formal 1. Pembangunan Baru 1.a.Penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan.
a.Koordinasi masukan penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan di kabupaten/kota.
a.Memberikan masukan penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b.— b.Koordinasi peninjauan kembali (review) kesesuaian dengan peraturan perundang- undangan bidang perumahan di kabupaten/kota dengan peraturan perundang- undangan terkait.
Peninjauan kembali kesesuaian peraturan perundang-undangan bidang perumahan di kabupaten/kota dengan peraturan perundang- undangan di atasnya.
Perumusan kebijakan dan strategi nasional pembangunan dan pengembangan perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional pembangunan dan pengembangan pada skala provinsi.
Pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional pembangunan dan pengembangan pada skala kabupaten/kota.
Penyusunan pedoman efisiensi pasar dan industri perumahan.
Koordinasi upaya efisensi pasar dan industri perumahan skala provinsi.
Pelaksanaan upaya efisiensi pasar dan industri perumahan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Sosialisasi peraturan perundang-undangan, produk NSPM, serta kebijakan dan Strategi nasional perumahan.
Koordinasi pelaksanaan sosialisasi peraturan perundang-undangan, produk NSPM, serta kebijakan dan strategi nasional perumahan skala provinsi.
Pelaksanaan peraturan perundang-undangan, produk NSPM, serta kebijakan dan strategi nasional perumahan.
Bantuan teknis penyelenggaraan perumahan (basis kawasan, lembaga pendampingan, kelompok masyarakat).
Koordinasi pelaksanaan bantuan teknis penyelenggaraan perumahan.
Pelaksanaan teknis penyelenggaraan perumahan.
Fasilitasi terhadap badan usaha pembangunan perumahan, baik Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), Koperasi, perorangan maupun swasta, yang bergerak di bidang usaha industri bahan bangunan, 6. Pembinaan terhadap badan usaha pembangunan perumahan, baik BUMD, koperasi, perorangan maupun swasta, yang bergerak di bidang usaha industri bahan bangunan, industri komponen bangunan, konsultan, kontraktor dan 6. Memanfaatkan badan usaha pembangunan perumahan, baik BUMN,BUMD, koperasi, perorangan maupun swasta, yang bergerak di bidang usaha industri bahan bangunan, industri komponen banguan, konsultan, kontraktor dan pengembang. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA industri komponen bangunan, konsultan, kontraktor dan pengembang. pengembang.
Penyusunan standar, pedoman dan manual (SPM) perencanaan, pembangunan dan pemeliharaan Prasarana, Sarana, Utilitas (PSU).
Penyusunan pedoman perencanaan, pembangunan dan pemeliharaan PSU lintas kabupaten/kota.
Penyusunan pedoman dan manual perencanaan, pembangunan dan pengelolaan PSU skala kabupaten/kota.
Sosialisasi peraturan perundang-undangan, produk SPM, serta kebijakan dan strategi nasional perumahan.
Koordinasi pelaksanaan sosialisasi peraturan perundang-undangan, produk SPM, serta kebijakan dan strategi nasional perumahan dan provinsi bersangkutan.
Melaksanakan hasil sosialisasi.
Fasilitasi peningkatan kapasitas penyelenggara dan pelaku pembangunan perumahan (pemerintah, swasta dan masyarakat).
Koordinasi pelaksanaan peningkatan kapasitas penyelenggara dan pelaku pembangunan perumahan.
Pelaksanaan kegiatan melalui pelaku pembangunan perumahan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 10. Bantuan teknis penyelenggaraan perumahan (basis kawasan, lembaga pendampingan, kelompok masyarakat).
Koordinasi pelaksanaan bantuan teknis penyelenggaraan perumahan.
Penyelenggaraan perumahan sesuai teknik pembangunan.
Pembinaan terhadap badan usaha pembangunan perumahan, baik BUMN, BUMD, Koperasi, perorangan maupun swasta, yang bergerak di bidang usaha ngunan, industri komponen bangunan, konsultan, kontraktor dan pengembang tingkat nasional.
Pembinaan terhadap badan usaha pembangunan perumahan, baik BUMD, koperasi, perorangan maupun swasta, yang bergerak di bidang usaha industri bahan bangunan, industri komponen bangunan, konsultan, kontraktor dan pengembang di provinsi.
Pembinaan dan kerjasama dengan badan usaha pembangunan perumahan, baik BUMN,BUMD, koperasi, perorangan maupun swasta, yang bergerak di bidang usaha industri bahan bangunan, industri komponen bangunan, konsultan, kontraktor dan pengembang di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 12. Fasilitasi pelaksanaan tindakan turun tangan dalam penyelenggaraan pembangunan perumahan dan PSU yang berdampak regional.
Fasilitasi pelaksanaan tindakan turun tangan dalam penyelenggaraan pembangunan perumahan dan PSU yang berdampak lintas kabupaten/kota.
Fasilitasi pelaksanaan tindakan turun tangan dalam penyelenggaraan pembangunan perumahan dan PSU yang berdampak lokal.
Perumusan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) nasional.
Perumusan RPJP dan RPJM provinsi. 13. Perumusan RPJP dan RPJM kabupaten/kota.
Fasilitasi percepatan pembangunan perumahan secara nasional.
Fasilitasi percepatan pembangunan perumahan skala provinsi.
Fasilitasi percepatan pembangunan perumahan skala kabupaten/kota.
Pengalokasian pendanaan pembangunan Rumah Susun Sewa (Rusunawa) dan Rumah Susun Milik (Rusunami) sebagai stimulan di perkotaan, 15. Pelaksanaan pembangunan Rusunawa dan Rusunami sebagai stimulan di perkotaan, perbatasan internasional, pusat kegiatan 15. Pembangunan Rusunawa dan Rusunami lengkap dengan penyediaan tanah, PSU dan melakukan pengelolaan dan pemeliharaan diperkotaan, perbatasan internasional, SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA perbatasan internasional, pusat kegiatan perdagangan/produksi. perdagangan/produksi dan fasilitasi pengelolaan, pemeliharaan kepada kabupaten/kota. pusat kegiatan, perdagangan/produksi.
Pengalokasian pendanaan pembangunan prasarana, sarana dan utilitas umum sebagai stimulan di RSH, rumah susun (Rusun) dan rumah khusus (Rusus).
Pelaksanaan pembangunan prasarana, sarana dan utilitas umum sebagai stimulan di RSH, Rusun, Rusus dan fasilitasi pengelolaan, pemeliharaan kepada kabupaten/kota.
Pembangunan prasarana, sarana dan utilitas umum sebagai stimulan di RSH, Rusun dan Rusus dengan melaksanakan pengelolaan dan pemeliharaan.
Pengalokasian pendanaan untuk pembangunan rumah contoh (RSH) sebagai stimulan pada daerah terpencil dan uji coba.
Pelaksanaan pembangunan rumah contoh (RSH) sebagai stimulan pada daerah terpencil dan uji coba serta fasilitasi pengelolaan, pemeliharaan kepada kabupaten/kota.
Pembangunan rumah contoh (RSH) sebagai stimulan pada daerah terpencil dan uji coba serta fasilitasi pengelolaan, pemeliharaan kepada kabupaten/kota, penyediaan tanah, PSU umum. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 18. Pengalokasian pendanaan untuk pembangunan rumah untuk korban bencana dan khusus lainnya serta penyiapan depo pada daerah rawan bencana.
Pembangunan rumah untuk korban bencana dan khusus lainnya serta pengelolaan depo dan pendistribusiannya.
Pelaksanaan pembangunan rumah untuk korban bencana dan khusus lainnya serta pengelolaan depo dan pendistribusian logistik penyediaan lahan, pengaturan, pemanfaatan seluruh bantuan.
Perbaikan 1. Perumusan kebijakan dan strategi nasional pembangunan dan pengembangan perumahan.
Perumusan kebijakan dan strategi pembangunan dan pengembangan perumahan skala provinsi.
Perumusan kebijakan dan strategi pembangunan dan pengembangan perumahan skala kabupaten/kota.
Perumusan Standar, Prosedur dan Operasi (SPO) baku penanganan pengungsi akibat bencana nasional (alam maupun konflik sosial).
Perumusan SPO baku penanganan pengungsi akibat bencana skala provinsi.
Pelaksanaan SPO baku penanganan pengungsi akibat bencana skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Perumusan kebijakan Public Service Obligation (PSO) perumahan.
— 3. — 4. Penyusunan SPM perumahan dan PSU pesisir dan pantai serta pulau kecil, khususnya di perbatasan internasional.
Penyusunan SPM perumahan dan PSU pesisir dan pantai serta pulau kecil, khususnya di perbatasan antar kabupaten/kota.
Pelaksanaan SPM perumahan dan PSU pesisir dan pantai serta pulau kecil, di kabupaten/kota.
Penyusunan dan penyelenggaraan skema bantuan perumahan tidak susun, susun, khusus dan PSU.
Koordinasi penetapan sasaran penerima bantuan perumahan dan pengawasannya.
Pelaksanaan dan atau penerima bantuan perumahan.
Penyusunan pedoman pengendalian harga sewa rumah (tidak susun, susun khusus).
Koordinasi pengendalian penetapan harga sewa rumah.
Penetapan harga sewa rumah. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 7. Fasilitasi pembangunan perumahan untuk penampungan pengungsi.
Koordinasi usulan pembangunan perumahan untuk penampungan pengungsi lintas kabupaten/kota.
Pelaksanaan pembangunan perumahan untuk penampungan pengungsi lintas kawasan se- kabupaten/kota.
Pemanfaatan 1. Penyelenggaraan bantuan pembangunan dan kelembagaan perumahan melalui format anggaran khusus (dana dekonsenterasi, dana tugas pembantuan dan dana alokasi khusus).
Koordinasi usulan penerima bantuan pembangunan dan kelembagaan perumahan di provinsi serta penyelenggaraan perumahan dengan dana dekonsentrasi.
Pelaksanaan bantuan pembangunan dan kelembagaan serta penyelenggaraan perumahan dengan dana tugas pembantuan.
Penyelenggaraan bantuan investasi rumah susun untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) rumah khusus, rumah nelayan, perbatasan internasional dan pulau-pulau kecil.
Koordinasi penetapan penerima bantuan investasi rumah susun untuk MBR dan rumah khusus, rumah nelayan, perbatasan internasional dan pulau-pulau kecil.
Pelaksanaan pembangunan rumah susun untuk MBR dan rumah khusus, rumah nelayan, perbatasan internasional dan pulau-pulau kecil. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penyelenggaraan bantuan pembangunan PSU. 3. Koordinasi penetapan penerima bantuan PSU. 3. Pengelolaan PSU bantuan pusat.
Fasilitasi pembentukan kelembagaan perumahan skala nasional.
Fasilitasi pembentukan kelembagaan perumahan skala provinsi.
Pembentukan kelembagaan perumahan kabupaten/kota.
Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional pengembangan perumahan.
Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional pengembangan perumahan di provinsi.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan pembangunan dan pengelolaan perumahan.
Penyusunan SPM pembangunan, penghunian dan pengelolaan perumahan nasional (Rumah Tidak Susun, Rusun, dan Rusus).
Koordinasi penyusunan pedoman pembangunan, penghunian dan pengelolaan perumahan lintas kabupaten/kota.
Penyusunan pedoman dan manual penghunian, dan pengelolaan perumahan setempat dengan acuan umum SPM nasional. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 7. Monitoring dan evaluasi terhadap penghunian dan pengelolaan rusun dan rusus penerima bantuan investasi.
Pengawasan langsung terhadap penghunian dan pengelolaan rusun dan rusus penerima bantuan investasi ke kabupaten/kota.
Pengawasan dan pengendalian pengelolaan rusun dan rusus.
Pembinaan Perumahan Swadaya 1. Pembangunan Baru 1. Perumusan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Perumusan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Perumusan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Penyusunan RPJP dan RPJM nasional tentang perumahan swadaya.
Penyusunan RPJP dan RPJM provinsi tentang perumahan swadaya.
Penyusunan RPJP dan RPJM kabupaten/kota tentang perumahan swadaya.
Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya tingkat nasional.
Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya di provinsi.
Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di tingkat pusat.
Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di pusat.
Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di kabupaten/kota.
Pengkajian kebijakan dan peraturan yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya.
Pengkajian kebijakan dan peraturan daerah provinsi yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya.
Pengkajian kebijakan dan peraturan daerah kabupaten/kota yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pemugaran 1. Perumusan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Perumusan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Perumusan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Penyusunan RPJP dan RPJM nasional perumahan swadaya.
Penyusunan RPJP dan RPJM provinsi perumahan swadaya.
Penyusunan RPJP dan RPJM kabupaten/kota perumahan swadaya.
Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya tingkat nasional.
Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya di provinsi.
Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya di kabupaten/kota.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas 4. Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas 4. Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA pelaku pembangunan perumahan swadaya. pelaku pembangunan perumahan swadaya. pembangunan perumahan swadaya.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi Kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 7. Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di tingkat pusat.
Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di tingkat provinsi.
Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di tingkat kabupaten/kota.
Pengkajian kebijakan dan peraturan yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya.
Pengkajian kebijakan dan peraturan daerah provinsi yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya.
Pengkajian kebijakan dan peraturan daerah kabupaten/kota yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya.
Perbaikan 1. Perumusan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Perumusan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Perumusan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Penyusunan RPJP dan RPJM nasional perumahan swadaya.
Penyusunan RPJP dan RPJM provinsi perumahan swadaya.
Penyusunan RPJP dan RPJM kabupaten/kota perumahan swadaya. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya tingkat nasional.
Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya di provinsi.
Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya di kabupaten/kota.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di tingkat pusat.
Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di provinsi.
Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di kabupaten/kota.
Pengkajian kebijakan dan peraturan yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya.
Pengkajian kebijakan dan peraturan daerah provinsi yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya.
Pengkajian kebijakan dan peraturan daerah kabupaten/kota yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Perluasan 1. Perumusan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Perumusan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Perumusan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Penyusunan RPJP dan RPJM nasional perumahan swadaya.
Penyusunan RPJP dan RPJM provinsi perumahan swadaya.
Penyusunan RPJP dan RPJM kabupaten/kota perumahan swadaya.
Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya tingkat nasional.
Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya tingkat provinsi.
Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya tingkat kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di tingkat pusat.
Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di provinsi.
Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di kabupaten/kota.
Pengkajian kebijakan dan peraturan yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya.
Pengkajian kebijakan dan peraturan daerah provinsi yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya.
Pengkajian kebijakan dan peraturan daerah kabupaten/kota yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Pemeliharaan 1. Perumusan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Perumusan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Perumusan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Penyusunan RPJP dan RPJM nasional perumahan swadaya.
Penyusunan RPJP dan RPJM provinsi perumahan swadaya.
Penyusunan RPJP dan RPJM kabupaten/kota perumahan swadaya.
Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya tingkat nasional.
Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya di provinsi.
Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di tingkat pusat.
Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di provinsi.
Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di kabupaten/kota.
Pengkajian kebijakan dan peraturan yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya.
Pengkajian kebijakan dan peraturan daerah provinsi yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya.
Pengkajian kebijakan dan peraturan daerah kabupaten/kota yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Pemanfaatan 1. Perumusan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Perumusan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Perumusan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Penyusunan RPJP dan RPJM nasional perumahan swadaya.
Penyusunan RPJP dan RPJM provinsi perumahan swadaya.
Penyusunan RPJP dan RPJM kabupaten/kota perumahan swadaya.
Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya tingkat nasional.
Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya di provinsi.
Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di tingkat pusat.
Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di provinsi.
Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di kabupaten/kota.
Pengkajian kebijakan dan peraturan yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya.
Pengkajian kebijakan dan peraturan daerah provinsi yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya.
Pengkajian kebijakan dan peraturan daerah kabupaten/kota yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Pengembangan Kawasan 1. Sistem Pengembangan Kawasan 1. Penetapan kebijakan dan strategi nasional dan NSPM dalam pengembangan kawasan.
Penetapan kebijakan dan strategi provinsi dalam pengembangan kawasan.
Penetapan kebijakan dan strategi kabupaten/kota dalam pengembangan kawasan.
Penyusunan Rencana Nasional dalam Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Permukiman (RP4- Nasional).
Penyusunan Rencana Provinsi dalam Pembangunan Dan Pengembangan Perumahan dan Permukiman Daerah (RP4D-Provinsi).
Penyusunan Rencana Kabupaten/Kota dalam Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Permukiman Daerah (RP4D-Kabupaten/Kota).
Pembinaan teknis penyusunan RP4D. 3. Pembinaan teknis penyusunan RP4D di wilayahnya.
Pembinaan teknis penyusunan RP4D di wilayahnya.
Fasilitasi dan bantuan teknis penyusunan RP4D. 4. Fasilitasi dan bantuan teknis penyusunan RP4D di wilayahnya.
Penyusunan RP4D di wilayahnya. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional pengembangan kawasan dan RP4D.
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan kebijakan dan strategi pengembangan kawasan dan RP4D skala provinsi.
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan kebijakan dan strategi pengembangan kawasan dan RP4D di skala kabupaten/kota.
Pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional dalam pengembangan kawasan dan penyusunan RP4D.
Pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi pengembangan kawasan dan RP4D di wilayahnya.
Pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi pengembangan kawasan dan RP4D di wilayahnya.
Kawasan Skala Besar 1. Penetapan kebijakan dan strategi nasional dan NSPM dalam penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan skala besar.
Penetapan kebijakan dan strategi provinsi dalam penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan skala besar.
Penetapan kebijakan dan strategi kabupaten/kota dalam penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan skala besar. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pembinaan teknis pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan skala besar.
Pembinaan teknis pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan skala besar di wilayahnya.
Pembinaan teknis pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan skala besar di wilayahnya.
Fasilitasi, bantuan teknis dan bantuan stimulan pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan skala besar.
Fasilitasi, bantuan teknis dan bantuan stimulan pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan skala besar di wilayahnya.
Pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan skala besar di wilayahnya.
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional dalam penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan skala besar.
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan skala besar di wilayahnya.
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan skala besar di wilayahnya. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional dalam penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan skala besar.
Pengendalian pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan khusus di wilayahnya.
Pengendalian pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan skala besar di wilayahnya.
Kawasan Khusus 1. Penetapan kebijakan dan strategi nasional dan NSPM dalam penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan khusus.
Penetapan kebijakan dan strategi provinsi dalam penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan khusus.
Penetapan kebijakan dan strategi kabupaten/kota dalam penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan khusus.
Pembinaan teknis pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan khusus.
Pembinaan teknis pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan skala khusus di wilayahnya.
Pembinaan teknis pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan khusus di wilayahnya. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Fasilitasi, bantuan teknis dan bantuan stimulan pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan khusus.
Fasilitasi, bantuan teknis dan bantuan stimulan pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan khusus di wilayahnya.
Pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan khusus di wilayahnya.
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional dalam penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan khusus.
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan khusus di wilayahnya.
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan khusus di wilayahnya.
Pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional dalam penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan khusus.
Pengendalian pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan khusus di wilayahnya.
Pengendalian pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan khusus di wilayahnya. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Keterpaduan Prasarana Kawasan 1. Penetapan kebijakan dan strategi nasional dan NSPM dalam penyelenggaraan keterpaduan prasarana kawasan.
Penetapan kebijakan dan strategi provinsi dalam penyelenggaraan keterpaduan prasarana kawasan.
Penetapan kebijakan dan strategi kabupaten/Kota dalam penyelenggaraan keterpaduan prasarana kawasan.
Pembinaan teknis pelaksanaan penyelenggaraan keterpaduan prasarana kawasan.
Pembinaan teknis pelaksanaan penyelenggaraan keterpaduan prasarana kawasan di wilayahnya.
Pembinaan teknis pelaksanaan penyelenggaraan keterpaduan prasarana kawasan di wilayahnya.
Fasilitasi dan bantuan teknis pelaksanaan penyelenggaraan keterpaduan prasarana kawasan.
Fasilitasi dan bantuan teknis pelaksanaan penyelenggaraan keterpaduan prasarana kawasan di wilayahnya.
Pelaksanaan penyelenggaraan keterpaduan prasarana kawasan di wilayahnya.
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan penyelenggaraan keterpaduan prasarana kawasan.
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan penyelenggaraan keterpaduan prasarana kawasan di wilayahnya.
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan penyelenggaraan keterpaduan prasarana kawasan di wilayahnya. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional dalam penyelenggaraan keterpaduan prasarana kawasan.
Pengendalian pelaksanaan penyelenggaraan keterpaduan prasarana kawasan di wilayahnya.
Pengendalian pelaksanaan penyelenggaraan keterpaduan prasarana kawasan di wilayahnya.
Keserasian Kawasan 1. Penetapan kebijakan dan strategi nasional dan NSPM dalam penyelenggaraan keserasian kawasan dan lingkungan hunian berimbang.
Penetapan kebijakan dan strategi provinsi dalam penyelenggaraan keserasian kawasan dan lingkungan hunian berimbang.
Penetapan kebijakan dan strategi kabupaten/kota dalam penyelenggaraan keserasian kawasan dan lingkungan hunian berimbang.
Pembinaan teknis pelaksanaan penyelenggaraan keserasian kawasan dan lingkungan hunian berimbang.
Pembinaan teknis pelaksanaan penyelenggaraan keserasian kawasan dan lingkungan hunian berimbang di wilayahnya.
Pembinaan teknis pelaksanaan penyelenggaraan keserasian kawasan dan lingkungan hunian berimbang di wilayahnya. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Fasilitasi dan bantuan teknis pelaksanaan penyelenggaraan keserasian kawasan dan lingkungan hunian berimbang.
Fasilitasi dan bantuan teknis pelaksanaan penyelenggaraan keserasian kawasan dan lingkungan hunian berimbang di wilayahnya.
Pelaksanaan penyelenggaraan keserasian kawasan dan lingkungan hunian berimbang di wilayahnya.
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional dalam penyelenggaraan keserasian kawasan dan lingkungan hunian berimbang.
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan penyelenggaraan keserasian kawasan dan lingkungan hunian berimbang di wilayahnya.
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan penyelenggaraan keserasian kawasan dan lingkungan hunian berimbang di wilayahnya.
Pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional dalam penyelenggaraan keserasian kawasan dan lingkungan hunian berimbang.
Pengendalian pelaksanaan penyelenggaraan keserasian kawasan dan lingkungan hunian berimbang di wilayahnya.
Pengendalian pelaksanaan penyelenggaraan keserasian kawasan dan lingkungan hunian berimbang di wilayahnya. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Pembinaan Hukum, Peraturan Perundang- undangan dan Pertanahan untuk 1. Pembangunan Baru 1. Penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan.
Koordinasi penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang- undangan bidang perumahan di tingkat provinsi.
Pelaksanaan penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan di tingkat kabupaten/kota. Perumahan 2. Evaluasi peraturan perundang-undangan bidang perumahan.
Peninjauan kembali (review) kesesuaian peraturan daerah kabupaten/kota dengan peraturan perundang- undangan terkait di bidang perumahan.
Pelaksanaan kesesuaian peraturan daerah kabupaten/kota dengan peraturan perundang- undangan terkait di bidang perumahan.
Koordinasi dan sosialisasi peraturan perundang- undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan dan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim.
Sosialisasi peraturan perundang-undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim di provinsi.
Pelaksanaan sosialisasi peraturan perundang- undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan.
Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan di provinsi.
Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang- undangan bidang perumahan di kabupaten/kota.
Pengkajian, perumusan kebijakan dan koordinasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di provinsi.
Pelaksanaan kebijakan dan penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di kabupaten/kota.
Fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan.
Koordinasi fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di provinsi.
Pelaksanaan fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di kabupaten/kota.
Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan.
Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan di tingkat provinsi.
Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan di tingkat kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 8. Penyusunan dan sosialisasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan.
Koordinasi dan sosialiasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan tingkat provinsi lintas kabupaten/kota.
Pelaksanaan dan sosialisasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan di kabupaten/kota.
Perumusan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan lintas kabupaten/kota.
Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan di kabupaten/kota.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 11. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Fasilitasi penyelesaian eksternasitas pembangunan perumahan lintas provinsi.
Fasilitasi penyelesaian eksternasitas pembangunan perumahan lintas kabupaten/kota.
Fasilitasi penyelesaian eksternasitas pembangunan perumahan di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pemugaran 1. Penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan.
Koordinasi penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang- undangan bidang perumahan di tingkat provinsi.
Pelaksanaan penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan di tingkat kabupaten/kota.
Evaluasi peraturan perundang-undangan bidang perumahan.
Peninjauan kembali (review) kesesuaian peraturan daerah kabupaten/kota dengan peraturan perundang- undangan terkait di bidang perumahan.
Pelaksanaan kesesuaian peraturan daerah kabupaten/kota dengan peraturan perundang- undangan terkait di bidang perumahan.
Koordinasi dan sosialisasi peraturan perundang- undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan dan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim.
Sosialisasi peraturan perundang-undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim di provinsi.
Pelaksanaan sosialisasi peraturan perundang- undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan kepastin hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan.
Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan di provinsi.
Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang- undangan bidang perumahan di kabupaten/kota.
Pengkajian, perumusan kebijakan dan koordinasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan penangangan masalah dan sengketa bidang perumahan di provinsi.
Pelaksanaan kebijakan dan penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di kabupaten/kota.
Fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan.
Koordinasi fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di provinsi.
Pelaksanaan fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di kabupaten/kota.
Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan.
Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan di tingkat provinsi.
Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan di tingkat Kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 8. Penyusunan dan sosialisasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan.
Koordinasi dan sosialiasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan tingkat provinsi lintas kabupaten/kota.
Pelaksanaan dan sosialisasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan di Kabupaten/kota.
Perumusan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan lintas kabupaten/kota.
Pelaksanaan kebijakan Kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan di kabupaten/kota.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Pelaksanaan kebijakan Kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 11. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan Kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Fasilitasi penyelesaian eksternalitas pembangunan perumahan lintas provinsi.
Fasilitasi penyelesaian eksternalitas pembangunan perumahan lintas kabupaten/kota.
Fasilitasi penyelesaian eksternalitas pembangunan perumahan di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Perbaikan 1. Penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan.
Koordinasi penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang- undangan bidang perumahan di tingkat provinsi.
Pelaksanaan penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan di tingkat kabupaten/kota.
Evaluasi peraturan perundang-undangan bidang perumahan.
Peninjauan kembali (review) kesesuaian peraturan daerah kabupaten/kota dengan peraturan perundang- undangan terkait di bidang perumahan.
Pelaksanaan kesesuaian peraturan daerah kabupaten/kota dengan peraturan perundang- undangan terkait di bidang perumahan.
Koordinasi dan sosialisasi peraturan perundang- undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan dan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim.
Sosialisasi peraturan perundang-undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim di provinsi.
Pelaksanaan sosialisasi peraturan perundang- undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan kepastin hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan.
Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan di provinsi.
Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang- undangan bidang perumahan di kabupaten/kota.
Pengkajian, perumusan kebijakan dan koordinasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di provinsi.
Pelaksanaan kebijakan dan penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di kabupaten/kota.
Fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan.
Koordinasi fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di provinsi.
Pelaksanaan fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di kabupaten/kota.
Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan.
Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan di tingkat provinsi.
Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan di tingkat kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 8. Penyusunan dan sosialisasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan.
Koordinasi dan sosialisasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan tingkat provinsi lintas kabupaten/kota.
Pelaksanaan dan sosialisasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan di kabupaten/kota.
Perumusan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang Pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan lintas kabupaten/kota.
Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan di kabupaten/kota.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 11. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Fasilitasi penyelesaian eksternasitas pembangunan perumahan lintas provinsi.
Fasilitasi penyelesaian eksternasitas pembangunan perumahan lintas kabupaten/kota.
Fasilitasi penyelesaian eksternasitas pembangunan perumahan di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Perluasan 1. Penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan.
Koordinasi penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang- undangan bidang perumahan di tingkat provinsi.
Pelaksanaan penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan di tingkat kabupaten/kota.
Evaluasi peraturan perundang-undangan bidang perumahan.
Peninjauan kembali (review) kesesuaian peraturan daerah kabupaten/kota dengan peraturan perundang- undangan terkait di bidang perumahan.
Pelaksanaan kesesuaian peraturan daerah kabupaten/kota dengan peraturan perundang- undangan terkait di bidang perumahan.
Koordinasi dan sosialisasi peraturan perundang- undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan dan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim.
Sosialisasi peraturan perundang-undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim di provinsi.
Pelaksanaan sosialisasi peraturan perundang- undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan kepastin hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan.
Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan di provinsi.
Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang- undangan bidang perumahan di kabupaten/kota.
Pengkajian, perumusan kebijakan dan koordinasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di provinsi.
Pelaksanaan kebijakan dan penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di kabupaten/kota.
Fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan.
Koordinasi fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di Provinsi.
Pelaksanaan fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di kabupaten/kota.
Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan.
Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan di tingkat provinsi.
Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan di tingkat kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 8. Penyusunan dan sosialisasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan.
Koordinasi dan sosialiasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan tingkat provinsi lintas kabupaten/kota.
Pelaksanaan dan sosialisasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan di kabupaten/kota.
Perumusan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan lintas kabupaten/kota.
Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan di kabupaten/kota.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 11. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Fasilitasi penyelesaian eksternalitas pembangunan perumahan lintas provinsi.
Fasilitasi penyelesaian eksternalitas pembangunan perumahan lintas kabupaten/kota.
Fasilitasi penyelesaian eksternalitas pembangunan perumahan di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Pemeliharaan 1. Penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan.
Koordinasi penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang- undangan bidang perumahan di tingkat provinsi.
Pelaksanaan penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan di tingkat kabupaten/kota.
Evaluasi peraturan perundang-undangan bidang perumahan.
Peninjauan kembali (review) kesesuaian peraturan daerah kabupaten/kota dengan peraturan perundang- undangan terkait di bidang perumahan.
Pelaksanaan kesesuaian peraturan daerah kabupaten/kota dengan peraturan perundang- undangan terkait di bidang perumahan.
Koordinasi dan sosialisasi peraturan perundang- undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan dan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim.
Sosialisasi peraturan perundang-undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim di provinsi.
Pelaksanaan sosialisasi peraturan perundang- undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan kepastin hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan.
Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan di provinsi.
Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang- undangan bidang perumahan di kabupaten/kota.
Pengkajian, perumusan kebijakan dan koordinasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan penangangan masalah dan sengketa bidang perumahan di provinsi.
Pelaksanaan kebijakan dan penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di kabupaten/kota.
Fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan.
Koordinasi fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di provinsi.
Pelaksanaan fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di kabupaten/kota.
Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan.
Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan di tingkat provinsi.
Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan di tingkat kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 8. Penyusunan dan sosialisasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan.
Koordinasi dan sosialiasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan tingkat provinsi lintas kabupaten/kota.
Pelaksanaan dan sosialisasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan di kabupaten/kota.
Perumusan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan lintas kabupaten/kota.
Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan di kabupaten/kota.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 11. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Fasilitasi penyelesaian eksternasitas pembangunan perumahan lintas provinsi.
Fasilitasi penyelesaian eksternasitas pembangunan perumahan lintas kabupaten/kota.
Fasilitasi penyelesaian eksternasitas pembangunan perumahan di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Pemanfaatan 1. Penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan.
Koordinasi penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang- undangan bidang perumahan di tingkat provinsi.
Pelaksanaan penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan di tingkat kabupaten/kota.
Evaluasi peraturan perundang-undangan bidang perumahan.
Peninjauan kembali (review) kesesuaian peraturan daerah kabupaten/kota dengan peraturan perundang- undangan terkait di bidang perumahan.
Pelaksanaan kesesuaian peraturan daerah kabupaten/kota dengan peraturan perundang- undangan terkait di bidang perumahan.
Koordinasi dan sosialisasi peraturan perundang- undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan dan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim.
Sosialisasi peraturan perundang-undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim di provinsi.
Pelaksanaan sosialisasi peraturan perundang- undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan.
Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan di provinsi.
Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang- undangan bidang perumahan di kabupaten/kota.
Pengkajian, perumusan kebijakan dan koordinasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di provinsi.
Pelaksanaan kebijakan dan penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di kabupaten/kota.
Fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan.
Koordinasi fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di provinsi.
Pelaksanaan fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di kabupaten/kota.
Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan.
Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan di tingkat provinsi.
Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan di tingkat kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 8. Penyusunan dan sosialisasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan.
Koordinasi dan sosialiasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan tingkat provinsi lintas kabupaten/kota.
Pelaksanaan dan sosialisasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan di kabupaten/kota.
Perumusan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan Provinsi tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan lintas kabupaten/kota.
Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan di kabupaten/kota.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 11. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Fasilitasi penyelesaian eksternasitas pembangunan perumahan lintas provinsi.
Fasilitasi penyelesaian eksternasitas pembangunan perumahan lintas kabupaten/kota.
Fasilitasi penyelesaian eksternasitas pembangunan perumahan di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Pembinaan Teknologi dan Industri 1. Pembangunan Baru 1. Perumusan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan pemanfaatan hasil teknologi bahan bangunan, sosial ekonomi budaya serta PSU pendukung perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pemugaran 1. Perumusan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan pemanfaatan hasil teknologi bahan bangunan, sosial ekonomi budaya serta PSU pendukung perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Perbaikan 1. Perumusan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan pemanfaatan hasil teknologi bahan bangunan, sosial ekonomi budaya serta PSU pendukung perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Pemeliharaan 1. Perumusan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan pemanfaatan hasil teknologi bahan bangunan, sosial ekonomi budaya serta PSU pendukung perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Pemanfaatan 1. Perumusan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan pemanfaatan hasil teknologi bahan bangunan, sosial ekonomi budaya serta PSU pendukung perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 7. Pengembangan Pelaku Pembangunan Perumahan, Peranserta Masyarakat dan 1. Pembangunan Baru 1. Perumusan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. Sosial Budaya 2. Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Fasilitasi kemitraan antara pemerintah daerah, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan.
Koordinasi fasilitasi kemitraan antara pemerintah daerah kabupaten/kota, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan.
Melaksanakan kemitraan antara pemerintahan daerah, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan.
Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat.
Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat di tingkat provinsi.
Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pemugaran 1. Perumusan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan .
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Fasilitasi kemitraan antara pemerintah daerah, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan.
Koordinasi fasilitasi kemitraan antara pemerintah daerah kabupaten/kota, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan.
Melaksanakan kemitraan antara pemerintahan daerah, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan.
Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat.
Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat di tingkat provinsi.
Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Perbaikan 1. Perumusan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Fasilitasi kemitraan antara pemerintah daerah, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan.
Koordinasi fasilitasi kemitraan antara pemerintah daerah kabupaten/kota, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan.
Melaksanakan kemitraan antara pemerintahan daerah, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan.
Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat.
Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat di tingkat provinsi.
Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Perluasan 1. Perumusan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Fasilitasi kemitraan antara pemerintah daerah, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan.
Koordinasi fasilitasi kemitraan antara pemerintah daerah kabupaten/kota, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan.
Melaksanakan kemitraan antara pemerintahan daerah, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan.
Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat.
Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat di tingkat provinsi.
Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Pemeliharaan 1. Perumusan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Fasilitasi kemitraan antara pemerintah daerah, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan.
Koordinasi fasilitasi kemitraan antara pemerintah daerah kabupaten/kota, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan.
Melaksanakan kemitraan antara pemerintahan daerah, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan.
Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat.
Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat di tingkat provinsi.
Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Pemanfaatan 1. Perumusan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Fasilitasi kemitraan antara pemerintah daerah, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan.
Koordinasi fasilitasi kemitraan antara pemerintah daerah kabupaten/kota, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan.
Melaksanakan kemitraan antara pemerintahan daerah, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan.
Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat.
Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat di tingkat provinsi.
Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat di kabupaten/kota. E. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG PENATAAN RUANG SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Pengaturan 1. Penetapan peraturan perundang- undangan bidang penataan ruang 2. Penetapan Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK) bidang penataan ruang.
Penetapan penataan ruang perairan di luar 12 (dua belas) mil dari garis pantai.
Penetapan kriteria penentuan dan kriteria perubahan fungsi ruang suatu kawasan yang berskala besar dan berdampak penting dalam rangka penyelenggaraan penataan ruang.
Penetapan peraturan daerah bidang penataan ruang tingkat provinsi 2. Penetapan pedoman pelaksanaan NSPK bidang penataan ruang.
Penetapan penataan ruang perairan di luar 4 (empat) mil sampai 12 (dua belas) mil dari garis pantai.
Penetapan kriteria penentuan dan perubahan fungsi ruang kawasan lintas kabupaten/kota dalam rangka penyusunan tata ruang khususnya untuk menjaga keseimbangan ekosistem, sesuai dengan kriteria yang ditentukan oleh pemerintah.
Penetapan peraturan daerah bidang penataan ruang di tingkat kabupaten/kota 2. — 3. Penetapan penataan ruang perairan sampai dengan 4 (empat) mil dari garis pantai.
Penetapan kriteria penentuan dan perubahan fungsi ruang kawasan/lahan wilayah dalam rangka penyelenggaraan penataan ruang. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Penetapan kawasan strategis nasional.
Penetapan kawasan-kawasan andalan.
Penetapan Standar Pelayanan Minimal (SPM) bidang penataan ruang.
Penetapan kawasan strategis provinsi.
Pemberian arahan pengelolaan kawasan andalan sebagai bagian RTRWP.
— 5. Penetapan kawasan strategis kabupaten/kota 6. — 7. — 2. Pembinaan 1. Koordinasi penyelenggaraan penataan ruang pada semua tingkatan wilayah.
Sosialisasi NSPK bidang penataan ruang.
Sosialisasi SPM bidang penataan ruang.
Koordinasi penyelenggaraan penataan ruang wilayah kabupaten/kota.
Sosialisasi NSPK bidang penataan ruang.
Sosialisasi SPM bidang penataan ruang.
— 2. Sosialisasi NSPK bidang penataan ruang.
Sosialisasi SPM bidang penataan ruang. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Pemberian bimbingan, supervisi, dan konsultasi pelaksanaan penataan ruang terhadap pemerintah provinsi dan kabupaten/kota.
Pendidikan dan pelatihan.
Penelitian dan pengembangan.
Pengembangan sistem informasi dan komunikasi penataan ruang nasional.
Penyebarluasan informasi penataan ruang kepada masyarakat.
Pengembangan kesadaran dan tanggungjawab masyarakat.
Koordinasi dan fasilitasi penataan ruang lintas provinsi.
Pemberian bimbingan, supervisi, dan konsultasi pelaksanaan penataan ruang terhadap kabupaten/kota.
Pendidikan dan pelatihan.
Penelitian dan pengembangan.
Pengembangan sistem informasi dan komunikasi penataan ruang provinsi.
Penyebarluasan informasi penataan ruang kepada masyarakat.
Pengembangan kesadaran dan tanggungjawab masyarakat.
Koordinasi dan fasilitasi penataan ruang lintas kabupaten/kota.
— 5. Pendidikan dan pelatihan.
Penelitian dan pengembangan.
Pengembangan sistem informasi dan komunikasi penataan ruang kabupaten/kota.
Penyebarluasan informasi penataan ruang kepada masyarakat.
Pengembangan kesadaran dan tanggungjawab masyarakat.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 11. Pembinaan penataan ruang untuk lintas provinsi. 11.Pembinaan penataan ruang untuk lintas kabupaten/kota. 11. — 3. Pembangunan a. Perencanaan Tata Ruang 1. Penyusunan dan penetapan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN).
Penyusunan dan penetapan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional.
Penetapan rencana detail tata ruang untuk RTRWN b. Pemanfaatan Ruang 1. Penyusunan program dan anggaran nasional di bidang penataan ruang, serta fasilitasi dan koordinasi antar provinsi.
Penyusunan dan penetapan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP).
Penyusunan dan penetapan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Provinsi.
Penetapan rencana detail tata ruang untuk RTRWP.
Penyusunan program dan anggaran provinsi di bidang penataan ruang , serta fasilitasi dan koordinasi antar kabupaten/kota.
Penyusunan dan penetapan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota (RTRWK).
Penyusunan dan penetapan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis kabupaten/kota.
Penetapan rencana detail tata ruang untuk RTRWK.
Penyusunan program dan anggaran kabupaten/kota di bidang penataan ruang. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pemanfaatan kawasan strategis nasional.
— 4. Pemanfaatan kawasan andalan sebagai bagian dari RTRWN 5. Pemanfaatan investasi di kawasan andalan dan kawasan strategis nasional serta kawasan lintas provinsi bekerjasama dengan pemerintah daerah, masyarakat dan dunia usaha.
Pemanfaatan SPM di bidang penataan ruang.
Pemanfaatan kawasan strategis provinsi.
— 4. Pemanfaatan kawasan andalan sebagai bagian dari RTRWP.
Pemanfaatan investasi di kawasan strategis provinsi dan kawasan lintas kabupaten/kota bekerjasama dengan pemerintah daerah, masyarakat dan dunia usaha.
Pemanfaatan SPM di bidang penataan ruang.
Pemanfaatan kawasan strategis kabupaten/kota.
Pemanfaatan NSPK bidang penataan ruang.
Pemanfaatan kawasan andalan sebagai bagian dari RTRWK.
Pemanfaatan investasi di kawasan strategis kabupaten/kota dan kawasan lintas kabupaten/kota bekerjasama dengan pemerintah daerah, masyarakat dan dunia usaha.
Pemanfaatan SPM di bidang penataan ruang. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 7. Penyusunan neraca penatagunaan tanah, neraca penatagunaan sumber daya air, neraca penatagunaan udara, neraca penatagunaan sumberdaya alam lainnya.
Perumusan kebijakan strategis operasionalisasi RTRWN dan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional.
Perumusan program sektoral dalam rangka perwujudan struktur dan pola pemanfaatan ruang wilayah nasional dan kawasan strategis nasional.
— 8. Perumusan kebijakan strategis operasionalisasi RTRWP dan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Provinsi.
Perumusan program sektoral dalam rangka perwujudan struktur dan pola pemanfaatan ruang wilayah provinsi dan kawasan strategis provinsi.
— 8. Perumusan kebijakan strategis operasionalisasi RTRWK dan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis kabupaten/kota.
Perumusan program sektoral dalam rangka perwujudan struktur dan pola pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota dan kawasan strategis kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 10. Pelaksanaan pembangunan sesuai program pemanfaatan ruang wilayah nasional dan kawasan strategis nasional.
Pengendalian Pemanfaatan Ruang.
Pengendalian pemanfaatan ruang wilayah nasional termasuk lintas provinsi.
Pengendalian pemanfaatan ruang kawasan strategis nasional.
Penyusunan peraturan zonasi sebagai pedoman pengendalian pemanfaatan ruang nasional.
Pelaksanaan pembangunan sesuai program pemanfaatan ruang wilayah provinsi dan kawasan strategis provinsi.
Pengendalian pemanfaatan ruang wilayah provinsi termasuk lintas lintas kabupaten/kota.
Pengendalian pemanfaatan ruang kawasan strategis provinsi.
Penyusunan peraturan zonasi sebagai pedoman pengendalian pemanfaatan ruang provinsi.
Pelaksanaan pembangunan sesuai program pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota dan kawasan strategis kabupaten/kota.
Pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota.
Pengendalian pemanfaatan ruang kawasan strategis kabupaten/kota.
Penyusunan peraturan zonasi sebagai pedoman pengendalian pemanfaatan ruang kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Pemberian izin pemanfaatan ruang yang sesuai dengan RTRWN.
Pembatalan izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan RTRWN.
Pengambilalihan kewenangan pemerintah provinsi dalam hal pemerintah provinsi tidak dapat memenuhi SPM di bidang penataan ruang.
Pemberian pertimbangan atau penyelesaian permasalahan penataan ruang yang tidak dapat diselesaikan pada tingkat provinsi.
Pemberian izin pemanfaatan ruang yang sesuai dengan RTRWP.
Pembatalan izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan RTRWP.
Pengambilalihan kewenangan pemerintah kabupaten/kota dalam hal pemerintah kabupaten/kota tidak dapat memenuhi SPM di bidang penataan ruang.
Pemberian pertimbangan atau penyelesaian permasalahan penataan ruang yang tidak dapat diselesaikan pada tingkat kabupaten/kota.
Pemberian izin pemanfaatan ruang yang sesuai dengan RTRWK.
Pembatalan izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan RTRWK.
— 7. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 8. Fasilitasi penyelesaian perselisihan dalam pelaksanaan penataan antara provinsi dengan kabupaten/kota.
— 8. Fasilitasi penyelesaian perselisihan dalam pelaksanaan penataan antar kabupaten/kota.
Pembentukan lembaga yang bertugas melaksanakan pengendalian pemanfaatan ruang tingkat provinsi.
— 9. Pembentukan lembaga yang bertugas melaksanakan pengendalian pemanfaatan ruang tingkat kabupaten/kota.
Pengawasan 1. Pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang di wilayah nasional.
Pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang di wilayah provinsi.
Pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang di wilayah kabupaten/kota.
Pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang di wilayah provinsi.
Pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang di wilayah .
— 1. Pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang di wilayah kabupaten/kota.
— 3. — F. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG PERENCANAAN PEMBANGUNAN SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Perencanaan dan Pengendalian Pembangunan Daerah 1. Perumusan Kebijakan 1.a.Penetapan pedoman dan standar perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian pembangunan daerah.
Ɇ c. Ɇ 2. Penetapan pedoman Standar Pelayanan Minimal (SPM).
a.Penetapan petunjuk pelaksanaan perencanaan pembangunan daerah pada skala provinsi.
Pelaksanaan perencanaan pembangunan daerah provinsi.
Ɇ 2. Pelaksanaan SPM provinsi.
a.Penetapan petunjuk pelaksanaan perencanaan dan pengendalian pembangunan daerah pada skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan perencanaan pembangunan daerah kabupaten/kota.
Penetapan pedoman dan standar perencanaan pembangunan daerah kecamatan/desa.
Pelaksanaan SPM kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penetapan pedoman dan standar pelaksanaan kerjasama pembangunan antar daerah dan antara daerah dengan swasta, dalam dan luar negeri.
Penetapan pedoman dan standar pengelolaan data dan informasi pembangunan daerah skala nasional.
a.Penetapan pedoman dan standar pengelolaan kawasan dan lingkungan perkotaan skala nasional.
— 3. Pelaksanaan kerjasama antara provinsi dengan swasta mengacu pada pedoman yang ditetapkan Pemerintah.
Pelaksanaan pengelolaan data dan informasi pembangunan daerah skala provinsi.
a.Penetapan petunjuk pelaksanaan pengelolaan kawasan dan lingkungan perkotaan skala provinsi.
Pelaksanaan/penjabaran petunjuk pelaksanaan pengelolaan kawasan dan lingkungan perkotaan skala provinsi.
Pelaksanaan kerjasama pembangunan antar daerah kabupaten/kota dan antara daerah kabupaten/kota dengan swasta, dalam dan luar negeri.
Pelaksanaan pengelolaan data dan informasi pembangunan daerah skala kabupaten/kota.
a.Penetapan petunjuk pelaksanaan pengelolaan kawasan dan lingkungan perkotaan skala kabupaten/ kota.
Pelaksanaan petunjuk pelaksanaan pengelolaan kawasan dan lingkungan perkotaan skala kabupaten/ kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6.a.Penetapan pedoman dan standar keserasian pengembangan perkotaan dan perdesaan skala nasional.
Ɇ 7. Penetapan pedoman dan standar manajemen dan kelembagaan pengembangan wilayah dan kawasan skala nasional.
a.Penetapan pedoman dan standar pelayanan perkotaan.
a.Penetapan pedoman dan standar keserasian pengembangan perkotaan dan pedesaan skala provinsi.
Pelaksanaan petunjuk pelaksanaan keserasian pengembangan perkotaan dan kawasan perdesaan skala provinsi.
Penetapan petunjuk pelaksanaan manajemen dan kelembagaan pengembangan wilayah dan kawasan skala provinsi.
a.Penetapan petunjuk pelaksanaan pelayanan perkotaan skala provinsi.
a.Penetapan keserasian pengambangan perkotaan dan perdesaan skala kabupaten/ kota.
Pelaksanaan petunjuk pelaksanaan keserasian pengembangan perkotaan dan kawasan perdesaan skala kabupaten/kota.
Penetapan petunjuk pelaksanaan manajemen dan kelembagaan pengembangan wilayah dan kawasan skala kabupaten/kota.
a.Pelaksanaan pedoman dan standar pelayanan perkotaan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Ɇ 9.a.Penetapan pedoman dan standar pengembangan pembangunan perwilayahan skala nasional.
Ɇ 10. Penetapan pedoman dan standar pengembangan wilayah tertinggal, perbatasan, pesisir dan pulau-pulau kecil skala nasional.
Pelaksanaan petunjuk pelaksanaan pelayanan perkotaan skala provinsi.
a.Penetapan petunjuk pelaksanaan pengembangan pembangunan perwilayahan skala provinsi.
Pelaksanaan pedoman dan standar pengembangan pembangunan perwilayahan skala provinsi.
Pengembangan wilayah tertinggal, perbatasan, pesisir dan pulau-pulau kecil skala provinsi.
Pelaksanaan petunjuk pelaksanaan pelayanan perkotaan skala kabupaten/ kota.
a.Penetapan petunjuk pelaksanaan pengembangan pembangunan perwilayahan skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan pedoman dan standar pengembangan pembangunan perwilayahan skala kabupaten/kota.
Pengembangan wilayah tertinggal, perbatasan, pesisir dan pulau-pulau kecil skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 11. Penetapan pedoman dan standar pengembangan kawasan prioritas, cepat tumbuh dan andalan skala nasional.
Pengembangan kawasan prioritas, cepat tumbuh dan andalan skala provinsi.
Pengembangan kawasan prioritas, cepat tumbuh dan andalan skala kabupaten/ kota.
Bimbingan, Konsultasi dan Koordinasi 1. Koordinasi perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian pembangunan daerah skala nasional.
Bimbingan, supervisi dan konsultasi perencanaan dan pengendalian pembangunan daerah skala nasional.
a.Bimbingan, supervisi dan konsultasi pelaksanaan kerjasama pembangunan antar daerah dan antara daerah dengan swasta, dalam dan luar negeri skala nasional.
Koordinasi perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian pembangunan daerah skala provinsi.
Konsultasi perencanaan dan pengendalian pembangunan daerah skala provinsi.
a.Konsultasi pelaksanaan kerjasama pembangunan antar daerah dan antara daerah dengan swasta, dalam dan luar negeri skala provinsi.
Koordinasi perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian pembangunan daerah skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan konsultasi perencanaan dan pengendalian pembangunan daerah skala kabupaten/kota.
a.Kerjasama pembangunan antar daerah dan antara daerah dengan swasta, dalam dan luar negeri skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Ɇ 4.a.Bimbingan, supervisi dan konsultasi pengelolaan kawasan dan lingkungan perkotaan skala nasional.
Ɇ 5.a.Bimbingan supervisi dan konsultasi pelayanan perkotaan skala nasional.
Ɇ 4.a.Bimbingan, supervisi dan konsultasi pengelolaan kawasan dan lingkungan perkotaan skala provinsi.
Ɇ 5.a.Konsultasi pelayanan perkotaan skala provinsi.
Bimbingan, supervisi dan konsultasi kerjasama pembangunan antar kecamatan/desa dan antara kecamatan/desa dengan swasta, dalam dan luar negeri skala kabupaten/kota.
a.Konsultasi pengelolaan kawasan dan lingkungan perkotaan skala kabupaten/ kota.
Bimbingan, supervisi dan konsultasi pengelolaan kawasan dan lingkungan perkotaan di daerah kecamatan/desa.
a.Konsultasi pelayanan perkotaan skala kabupaten/ kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Ɇ 6.a.Bimbingan, supervisi dan konsultasi keserasian pengembangan perkotaan dan perdesaan skala nasional.
Ɇ 7. Bimbingan, supervisi dan konsultasi pengembangan wilayah tertinggal, pesisir dan pulau-pulau kecil skala nasional.
Ɇ 6.a.Pelaksanaan konsultasi keserasian pengembangan perkotaan dan perdesaan skala provinsi.
Ɇ 7. Pengembangan wilayah tertinggal, pesisir dan pulau- pulau kecil skala provinsi.
Bimbingan, supervisi dan konsultasi pelayanan perkotaan di kecamatan/ desa.
a.Konsultasi keserasian pengembangan perkotaan dan perdesaan skala kabupaten/ kota.
Bimbingan, supervisi dan konsultasi keserasian pengembangan perkotaan dan perdesaan di kecamatan/ desa.
Pengembangan wilayah tertinggal, pesisir dan pulau- pulau kecil skala kabupaten/ kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 8.a.Bimbingan, supervisi dan konsultasi pengembangan kawasan prioritas, cepat tumbuh dan andalan skala nasional.
Ɇ 9.a.Bimbingan, supervisi dan konsultasi terhadap kelembagaan dan manajemen pengembangan wilayah dan kawasan skala nasional.
Ɇ 8.a.Konsultasi pengembangan kawasan prioritas, cepat tumbuh dan andalan skala provinsi.
Ɇ 9.a.Konsultasi terhadap kelembagaan dan manajemen pengembangan wilayah dan kawasan skala provinsi.
Ɇ 8.a.Konsultasi pengembangan kawasan prioritas, cepat tumbuh dan andalan skala kabupaten/kota.
Perencanaan kelembagaan dan manajemen pengembangan wilayah dan kawasan di kecamatan/desa.
a.Konsultasi terhadap kelembagaan dan manajemen pengembangan wilayah dan kawasan skala kabupaten/ kota.
Perencanaan kelembagaan dan manajemen pengembangan wilayah dan kawasan di kecamatan/desa. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Monitoring dan Evaluasi (Monev) 1.a.Monitoring dan evaluasi pelaksanaan pembangunan daerah skala nasional.
Ɇ c. Ɇ 2. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan kerjasama pembangunan antar daerah dan antara daerah dengan swasta, dalam dan luar negeri skala nasional.
a.Pelaksanaan monitoring dan evaluasi pelaksanaan pembangunan daerah skala provinsi.
Ɇ c. Ɇ 2. Pelaksanaan monitoring dan evaluasi pelaksanaan kerjasama pembangunan antar daerah kabupaten/kota dan antara daerah kabupaten/kota dengan swasta, dalam dan luar negeri skala provinsi.
a.Pelaksanaan monitoring dan evaluasi pelaksanaan pembangunan daerah skala kabupaten/kota.
Penetapan petunjuk teknis pembangunan skala kecamatan/desa.
Pelaksanaan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan pembangunan daerah kecamatan/desa.
Pelaksanaan monitoring dan evaluasi pelaksanaan kerjasama pembangunan antar kecamatan/desa dan antara kecamatan/desa dengan swasta, dalam dan luar negeri skala kabupaten/ kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan pengelolaan kawasan dan lingkungan perkotaan skala nasional.
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan pengembangan wilayah tertinggal, pesisir dan pulau-pulau kecil skala nasional.
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan pengembangan kawasan prioritas, cepat tumbuh dan andalan skala nasional.
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan pengelolaan kawasan dan lingkungan perkotaan skala provinsi.
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan pengembangan wilayah tertinggal, pesisir dan pulau-pulau kecil skala provinsi.
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan pengembangan kawasan prioritas, cepat tumbuh dan andalan skala provinsi.
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan pengelolaan kawasan dan lingkungan perkotaan skala kabupaten/ kota.
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan pengembangan wilayah tertinggal, pesisir dan pulau-pulau kecil skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan monitoring dan evaluasi pelaksanaan pengembangan kawasan prioritas, cepat tumbuh dan andalan skala kabupaten/ kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan keserasian pengembangan perkotaan dan kawasan perdesaan skala nasional.
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan terhadap kelembagaan dan manajemen pengembangan wilayah dan kawasan skala nasional.
Pelaksanaan monitoring dan evaluasi pelaksanaan keserasian pengembangan perkotaan dan kawasan perdesaan skala provinsi.
Pelaksanaan monitoring dan evaluasi pelaksanaan terhadap kelembagaan dan manajemen pengembangan wilayah dan kawasan skala provinsi.
Pelaksanaan monitoring dan evaluasi pelaksanaan keserasian pengembangan perkotaan dan kawasan perdesaan skala kabupaten/ kota.
Pelaksanaan monitoring dan evaluasi pelaksanaan terhadap kelembagaan dan manajemen pengembangan wilayah dan kawasan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Perhubungan Darat 1. Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) 1. Pedoman dan penetapan tata cara penyusunan dan penetapan rencana umum jaringan transportasi jalan.
— 1. — 2. Penyusunan dan penetapan rencana umum jaringan transportasi jalan nasional.
Penyusunan dan penetapan rencana umum jaringan transportasi jalan provinsi.
Penyusunan dan penetapan rencana umum jaringan transportasi jalan kabupaten/kota.
Pedoman tata cara penyusunan dan penetapan kelas jalan. 3. — 3. — 4. Pedoman persyaratan penentuan lokasi, rancang bangun, dan penyelenggaraan terminal penumpang.
— 4. — 5. Pedoman tata cara penyusunan dan penetapan jaringan lintas angkutan barang.
— 5. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Penetapan persyaratan teknis dan laik jalan kendaraan bermotor, kereta gandengan dan kereta tempelan.
— 6. — 7. Pedoman penetapan persyaratan teknis dan laik jalan kendaraan tidak bermotor.
— 7. — 8. Pedoman tata cara pelaksanaan pengujian tipe kendaraan bermotor.
— 8. — 9. Pedoman tata cara penerbitan dan pencabutan sertifikat kompetensi penguji kendaraan bermotor.
— 9. — 10. Pedoman persyaratan dan kriteria teknis unit pengujian berkala kendaraan bermotor.
— 10. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 11. Pedoman tata cara pelaksanaan pengujian berkala kendaraan bermotor.
— 11. — 12. Pedoman tata cara pelaksanaan kalibrasi peralatan uji kendaraan bermotor.
— 12. — 13. Pedoman tata cara pelaksanaan pemeriksaaan kendaraan bermotor di jalan.
— 13. — 14. Pedoman dan tata cara pelaksanaan pemeriksaan kendaraan bermotor (STNK dan BPKB).
— 14. — 15. Pedoman persyaratan teknis dan tata cara penyelenggaraan bengkel umum kendaraan bermotor.
— 15. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 16. Pedoman penyelenggaraan angkutan penumpang dengan kendaraan umum.
— 16. — 17. Pedoman penyelenggaraan angkutan barang. 17.— 17. — 18. Pedoman penyelenggaraan angkutan barang berbahaya, alat berat dan peti kemas serta angkutan barang khusus.
— 18. — 19. Pedoman perhitungan tarif angkutan penumpang. 19.— 19. — 20. Pedoman persyaratan teknis, rancang bangun, dan tata cara pengoperasian serta kalibrasi alat penimbangan kendaraan bermotor.
— 20. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 21. Pedoman persyaratan teknis, tata cara, penentuan lokasi, rancang bangun, dan pengoperasian fasilitas parkir untuk umum.
— 21 Pemberian izin penyelenggaraan dan pembangunan fasilitas parkir untuk umum.
Pedoman analisis dampak lalu lintas. 22. — 22. — 23. Pedoman tata cara penggunaan jalan selain untuk kepentingan lalu lintas. 23 — 23. — 24. — 24. Pengawasan dan pengendalian operasional terhadap penggunaan jalan selain untuk kepentingan lalu lintas di jalan nasional dan jalan provinsi.
Pengawasan dan pengendalian operasional terhadap penggunaan jalan selain untuk kepentingan lalu lintas di jalan kabupaten/kota.
Pedoman penyidikan pelanggaran lalu lintas dan angkutan jalan oleh PPNS.
— 25. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 26. Pedoman penyelenggaraan pendidikan dan latihan mengemudi. 26 — 26. Pengawasan penyelenggaraan pendidikan dan latihan mengemudi.
Pedoman penyelenggaraan dan tata cara memperoleh dan pencabutan Surat Izin Mengemudi (SIM).
— 27. — 28. Pedoman tata cara dan persyaratan penerbitan serta pencabutan sertifikat pengemudi angkutan penumpang umum dan barang tertentu.
— 28. — 29. Pedoman pengumpulan, pengolahan dan analisis kecelakaan lalu lintas.
— 29. — 30. Pedoman penyelenggaraan manajemen dan rekayasa lalu lintas.
— 30. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 31. Penetapan lokasi terminal penumpang Tipe A. 31. Penetapan lokasi terminal penumpang Tipe B. 31. Penetapan lokasi terminal penumpang Tipe C.
Penetapan norma, standar, kriteria, dan pengesahan rancang bangun terminal penumpang Tipe A.
Pengesahaan rancang bangun terminal penumpang Tipe B.
Pengesahaan rancang bangun terminal penumpang Tipe C.
Persetujuan pengoperasian terminal penumpang Tipe A. 33.Persetujuan pengoperasian terminal penumpang Tipe B.
Pembangunan pengoperasian terminal penumpang Tipe A, Tipe B, dan Tipe C.
Penetapan norma, standar, kriteria rancang bangun terminal angkutan barang.
— 34. — 35.— 35.— 35. Pembangunan terminal angkutan barang.
— 36.— 36. Pengoperasian terminal angkutan barang. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 37.Pelaksanaan uji tipe dan penerbitan sertifikat uji tipe kendaraan bermotor.
— 37. — 38.Registrasi uji tipe bagi kendaraan bermotor, serta penerbitan dan pencabutan sertifikat registrasi uji tipe bagi kendaraan bermotor yang tipenya sudah mendapatkan sertifikat uji tipe.
— 38. — 39.Penelitian dan pengesahan rancang bangun dan rekayasa kendaraan bermotor untuk karoseri, bak muatan, kereta gandengan, kereta tempelan dan kendaraan bermotor yang dimodifikasi berupa perubahan sumbu dan jarak sumbu.
— 39. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 40.Meregistrasi kendaraan bermotor dan menerbitkan sertifikat registrasi uji tipe bagi kendaraan bermotor yang dibuat berdasarkan rancang bangun yang sudah disahkan.
— 40. — 41.Penerbitan dan pencabutan sertifikat kompetensi penguji dan tanda kualifikasi teknis tenaga penguji.
— 41. — 42.Pembangunan fasilitas dan peralatan uji tipe. 42. — 42. — 43.Akreditasi unit pengujian berkala kendaraan bermotor. 43. — 43. — 44.Penerbitan sertifikat tanda lulus uji tipe. 44. — 44. — 45.Pelaksanaan kalibrasi peralatan uji kendaraan bermotor. 45. — 45. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 46.Akreditasi unit pelaksana pendaftaran kendaraan bermotor.
— 46. — 47.Penyusunan jaringan trayek dan penetapan kebutuhan kendaraan untuk angkutan yang wilayah pelayanannya melebihi satu wilayah provinsi atau lintas batas negara.
Penyusunan jaringan trayek dan penetapan kebutuhan kendaraan untuk angkutan yang wilayah pelayanannya melebihi wilayah kabupaten/kota dalam satu provinsi.
Penyusunan jaringan trayek dan penetapan kebutuhan kendaraan untuk kebutuhan angkutan yang wilayah pelayanannya dalam satu kabupaten/kota.
Penyusunan dan penetapan kelas jalan pada jaringan jalan nasional.
Penyusunan dan penetapan kelas jalan pada jaringan jalan provinsi.
Penyusunan dan penetapan kelas jalan pada jaringan jalan kabupaten/kota.
Pemberian izin trayek angkutan lintas batas negara dan antar kota antar provinsi.
Pemberian izin trayek angkutan antar kota dalam provinsi.
Pemberian izin trayek angkutan perdesaan/angkutan kota.
Penyusunan dan penetapan jaringan lintas angkutan barang pada jaringan jalan nasional.
Penyusunan dan penetapan jaringan lintas angkutan barang pada jaringan jalan provinsi.
Penyusunan dan penetapan jaringan lintas angkutan barang pada jaringan jalan kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 51.Pemberian izin trayek angkutan perkotaan yang wilayah pelayanannya melebihi satu wilayah provinsi.
Pemberian izin trayek angkutan perkotaan yang wilayah pelayanannya melebihi satu wilayah kabupaten/kota dalam satu provinsi.
— 52.Penetapan wilayah operasi dan kebutuhan kendaraan untuk angkutan taksi yang melayani lebih dari satu wilayah provinsi.
Penetapan wilayah operasi dan kebutuhan kendaraan untuk angkutan taksi yang wilayah pelayanannya melebihi kebutuhan kabupaten/kota dalam satu provinsi.
Penetapan wilayah operasi dan kebutuhan kendaraan untuk angkutan taksi yang wilayah pelayanannya dalam satu kabupaten/kota.
Pemberian izin operasi angkutan taksi yang melayani khusus untuk pelayanan ke dan dari tempat tertentu yang memerlukan tingkat pelayanan tinggi/wilayah operasinya lebih dari satu provinsi.
Pemberian izin operasi angkutan taksi yang melayani khusus untuk pelayanan ke dan dari tempat tertentu yang memerlukan tingkat pelayanan tinggi/wilayah operasinya melebihi wilayah kabupaten/kota dalam satu provinsi.
Pemberian izin operasi angkutan taksi yang melayani wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 54.Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria serta pemberian izin operasi angkutan sewa.
Pemberian izin operasi angkutan sewa. 54. Pemberian rekomendasi operasi angkutan sewa.
Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria serta pemberian izin operasi angkutan pariwisata.
Pemberian rekomendasi izin operasi angkutan pariwisata.
Pemberian izin usaha angkutan pariwisata.
Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria pemberian izin usaha angkutan barang.
— 56. Pemberian izin usaha angkutan barang.
Pemberian persetujuan pengangkutan barang berbahaya, beracun dan alat berat.
— 57. — 58.Penetapan tarif dasar penumpang kelas ekonomi antar kota antar provinsi.
Penetapan tarif penumpang kelas ekonomi antar kota dalam provinsi.
Penetapan tarif penumpang kelas ekonomi angkutan dalam kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 59.Penetapan persyaratan teknis dan tata cara penempatan, pengadaan, pemasangan, pemeliharaan dan penghapusan rambu lalu lintas, marka jalan dan alat pemberi isyarat lalu lintas, alat pengendalian dan pengaman pemakai jalan, alat pengawasan dan pengamanan jalan serta fasilitas pendukung di jalan.
— 59. — 60.Penentuan lokasi, pengadaan, pemasangan, pemeliharaan dan penghapusan rambu lalu lintas, marka jalan dan alat pemberi isyarat lalu lintas, alat pengendali dan pengamanan pemakai jalan serta fasilitas pendukung di jalan nasional.
Penentuan lokasi, pengadaan, pemasangan, pemeliharaan dan penghapusan rambu lalu lintas, marka jalan dan alat pemberi isyarat lalu lintas, alat pengendali dan pengamanan pemakai jalan serta fasilitas pendukung di jalan provinsi.
Penentuan lokasi, pengadaan, pemasangan, pemeliharaan dan penghapusan rambu lalu lintas, marka jalan dan alat pemberi isyarat lalu lintas, alat pengendali dan pengamanan pemakai jalan serta fasilitas pendukung di jalan kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 61.Penetapan lokasi alat pengawasan dan pengamanan jalan.
— 61. — 62.Akreditasi unit penimbangan kendaraan bermotor. 62. — 62. — 63.Sertifikasi petugas unit penimbangan kendaraan bermotor.
— 63. — 64.Kalibrasi alat penimbangan kendaraan bermotor. 64. — 64. — 65.Pengawasan terhadap pengoperasian unit penimbangan kendaraan bermotor.
Pengoperasian dan pemeliharaan unit penimbangan kendaraan bermotor.
— 66.Penyelenggaraan manajemen dan rekayasa lalu lintas di jalan nasional.
Penyelenggaraan manajemen dan rekayasa lalu lintas di jalan provinsi.
Penyelenggaraan manajemen dan rekayasa lalu lintas di jalan kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 67.Penyelenggaraan analisis dampak lalu lintas (andalalin) di jalan nasional.
Penyelenggaraan andalalin di jalan provinsi. 67. Penyelenggaraan andalalin di jalan kabupaten/kota.
Sertifikasi kompentensi penilai andalalin. 68. — 68. — 69.Penetapan persyaratan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) bidang LLAJ.
— 69. — 70.Pengusulan pengangkatan dan pemberhentian PPNS bidang LLAJ.
— 70. — 71.Pengawasan pelaksanaan penyidikan bidang LLAJ. 71. — 71. — 72.Penetapan kualifikasi tenaga instruktur sekolah mengemudi. 72. — 72. — 73.Akreditasi pendidikan dan latihan mengemudi. 73. — 73. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 74.Penetapan kualifikasi pengemudi. 74. — 74. — 75.Akreditasi unit pelaksana penerbitan Surat Izin Mengemudi (SIM).
— 75. — 76.Penyelenggaraan pemberian SIM dan pendaftaran kendaraan bermotor.
— 76. — 77.Penyelenggaraan pemberian SIM internasional. 77. — 77. — 78.Akreditasi unit pelaksana penerbitan sertifikat kompetensi pengemudi angkutan penumpang umum dan barang tertentu.
— 78. — 79.Sertifikasi pengemudi angkutan penumpang umum. 79. — 79. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 80.Sertifikasi pengemudi dan pembantu pengemudi kendaraan pengangkut barang berbahaya dan beracun serta barang khusus.
— 80. — 81.Penyelenggaraan pencegahan dan penanggulangan kecelakaan lalu lintas di jalan nasional dan jalan tol.
Penyelenggaraan pencegahan dan penanggulangan kecelakaan lalu lintas di jalan provinsi.
Penyelenggaraan pencegahan dan penanggulangan kecelakaan lalu lintas di jalan kabupaten/kota.
Penelitian dan pelaporan kecelakaan lalu lintas di jalan yang mengakibatkan korban meninggal dunia dan/atau yang menjadi isu nasional.
Penelitian dan pelaporan kecelakaan lalu lintas di jalan yang mengakibatkan korban meninggal dunia dan/atau yang menjadi isu provinsi.
Penelitian dan pelaporan kecelakaan lalu lintas di jalan yang mengakibatkan korban meninggal dunia dan/atau yang menjadi isu kabupaten/kota.
Pedoman persyaratan tenaga auditor keselamatan jalan nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.
— 83. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 84.Pedoman persyaratan tenaga investigator kecelakaan lalu lintas nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.
— 84. — 85.Penerbitan dan pencabutan sertifikat tenaga auditor keselamatan jalan nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.
— 85. — 86.Penerbitan dan pencabutan sertifikat tenaga investigator kecelakaan lalu lintas jalan nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.
— 86. — 87.Penerbitan sertifikat registrasi uji tipe untuk rancang bangun kendaraan bermotor.
— 87. — 88.Pemeriksaan mutu rancang bangun kendaraan bermotor, kereta gandengan dan kereta tempelan.
— 88. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 89.Pengesahan modifikasi kendaraan bermotor dengan tidak mengubah tipe.
— 89. — 90.Penelitian dan penilaian kesesuaian fisik kendaraan bermotor, kereta gandengan, dan kereta tempelan dengan Surat Keputusan (SK) rancang bangun kendaraan bermotor yang diterbitkan oleh pemerintah.
— 90. — 91.Penerbitan surat keterangan bebas uji berkala pertama kali. 91. — 91. — 92.Pengawasan pelaksanaan pengujian berkala kendaraan bermotor.
— 92. Pelaksanaan pengujian berkala kendaraan bermotor.
Penilaian kinerja tenaga penguji berkala kendaraan bermotor. 93. — 93. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 94.Pemeriksaan kendaraan di jalan sesuai kewenangannya. 94. Pemeriksaan kendaraan di jalan sesuai kewenangannya.
Pemeriksaan kendaraan di jalan sesuai kewenangannya.
— 95. Pemberian izin operasi angkutan sewa berdasarkan kuota yang ditetapkan pemerintah.
— 96.— 96. Pengoperasian alat penimbang kendaraan bermotor di jalan.
— 97.Perizinan penggunaan jalan selain untuk kepentingan lalu lintas di jalan nasional kecuali jalan tol.
Perizinan penggunaan jalan selain untuk kepentingan lalu lintas di jalan provinsi.
Perizinan penggunaan jalan selain untuk kepentingan lalu lintas di jalan kabupaten/kota.
Pelaksanaan penyidikan pelanggaran ketentuan pidana Undang-undang tentang LLAJ.
Pelaksanaan penyidikan pelanggaran:
Perda provinsi bidang LLAJ.
Pelaksanaan penyidikan pelanggaran:
Perda kabupaten/kota bidang LLAJ. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Pemenuhan persyaratan teknis dan laik jalan.
Pelanggaran ketentuan pengujian berkala.
Perizinan angkutan umum.
Pemenuhan persyaratan teknis dan laik jalan.
Pelanggaran ketentuan pengujian berkala.
Perizinan angkutan umum.
Pengawasan pemberian SIM, pendaftaran kendaraan bermotor, dan sertifikat pengemudi angkutan penumpang umum dan barang tertentu.
— 99. — 100.Pengumpulan, pengolahan data, dan analisis kecelakaan lalu lintas tingkat nasional.
Pengumpulan, pengolahan data, dan analisis kecelakaan lalu lintas di wilayah provinsi.
Pengumpulan, pengolahan data, dan analisis kecelakaan lalu lintas di wilayah kabupaten/kota.
— 101. — 101.Pelaksanaan pengujian berkala kendaraan bermotor. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 102. — 102. — 102. Pemberian izin usaha bengkel umum kendaraan bemotor.
— 103. — 103. Pemberian izin trayek angkutan kota yang wilayah pelayanannya dalam satu wilayah kabupaten/kota.
— 104. — 104. Penentuan lokasi fasilitas parkir untuk umum di jalan kabupaten/kota.
— 105. — 105. Penentuan lokasi fasilitas parkir untuk umum di jalan kabupaten/kota.
— 106. — 106. Pengoperasian fasilitas parkir untuk umum di jalan kabupaten/kota.
— 107. — 107. Pemberian izin usaha mendirikan pendidikan dan latihan mengemudi. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Lalu Lintas Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (LLASDP) 1. Penyusunan dan penetapan rencana umum jaringan sungai dan danau antar provinsi.
Penyusunan dan penetapan rencana umum jaringan sungai dan danau antar kabupaten/kota dalam provinsi.
Penyusunan dan penetapan rencana umum jaringan sungai dan danau dalam kabupaten/kota.
Penyusunan dan penetapan rencana umum lintas penyeberangan yang terletak pada jaringan jalan nasional, dan antar negara, serta jaringan jalur kereta api nasional dan antar negara.
Penyusunan dan penetapan rencana umum lintas penyeberangan antar kabupaten/kota dalam provinsi yang terletak pada jaringan jalan provinsi.
Penyusunan dan penetapan rencana umum lintas penyeberangan dalam kabupaten/kota yang terletak pada jaringan jalan kabupaten/kota.
Pedoman penetapan lintas penyeberangan. 3. — 3. — 4. Penetapan lintas penyeberangan yang terletak pada jaringan jalan nasional, dan antar negara dan jaringan jalur kereta api dan antar negara.
Penetapan lintas penyeberangan antar kabupaten/kota dalam provinsi yang terletak pada jaringan jalan provinsi.
Penetapan lintas penyeberangan dalam kabupaten/kota yang terletak pada jaringan jalan kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Pedoman rancang bangun kapal Sungai, Danau, dan Penyeberangan (SDP).
— 5. — 6. Pengadaan kapal SDP. 6. Pengadaan kapal SDP. 6. Pengadaan kapal SDP.
Pedoman registrasi kapal sungai dan danau. 7. — 7. — 8. Pedoman pengoperasian kapal SDP. 8. — 8. — 9. Pedoman persyaratan pelayanan kapal SDP. 9. — 9. — 10. Pedoman pemeliharaan/ perawatan kapal SDP. 10.— 10.— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 11. Pedoman tata cara pengawasan terhadap pemberian surat ukur, surat tanda pendaftaran dan tanda pendaftaran, sertifikat kelaikan kapal, sertifikat pengawakan kapal, dan surat tanda kebangsaan kapal sungai dan danau.
— 11.— 12. Pengawasan terhadap pemberian surat ukur, surat tanda pendaftaran dan tanda pendaftaran, sertifikat kelaikan kapal, sertifikat pengawakan kapal, dan surat tanda kebangsaan kapal sungai dan danau 7 GT.
Pengawasan terhadap pemberian surat ukur, surat tanda pendaftaran dan tanda pendaftaran, sertifikat kelaikan kapal, sertifikat pengawakan kapal, dan surat tanda kebangsaan kapal sungai dan danau < 7 GT.
— 13. Pedoman penyelenggaraan pelabuhan SDP. 13.— 13.— 14. Pedoman penetapan lokasi pelabuhan SDP. 14.— 14.— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 15. Penetapan lokasi pelabuhan penyeberangan. 15.Rekomendasi lokasi pelabuhan penyeberangan. 15.Rekomendasi lokasi pelabuhan penyeberangan.
— 16.— 16.Penetapan lokasi pelabuhan sungai dan danau.
Pedoman pembangunan pelabuhan SDP. 17.— 17.— 18. Pembangunan pelabuhan SDP. 18.Pembangunan pelabuhan SDP. 18.Pembangunan pelabuhan SDP.
Penyelenggaraan pelabuhan penyeberangan. 19.— 19.Penyelenggaraan pelabuhan penyeberangan.
Pengawasan penyelenggaraan pelabuhan penyeberangan pada jaringan jalan nasional dan antar negara serta jaringan jalur kereta api nasional dan antar negara.
— 20.— 21. — 21.— 21.Penyelenggaraan pelabuhan sungai dan danau. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 22. Pedoman penyusunan rencana induk, Daerah Lingkungan Kerja (DLKr)/Daerah Lingkungan Kepentingan (DLKp) pelabuhan SDP.
— 22. — 23. — 23.Pemberian rekomendasi rencana induk pelabuhan penyeberangan, DLKr/DLKp yang terletak pada jaringan jalan nasional dan antar negara serta jaringan jalur kereta api.
Pemberian rekomendasi rencana induk, DLKr/DLKp pelabuhan penyeberangan yang terletak pada jaringan jalan provinsi, nasional dan antar negara.
Penetapan rencana induk, DLKr/DLKp pelabuhan Penyeberangan yang terletak pada jaringan jalan nasional dan antar negara serta jaringan jalur kereta api nasional dan antar negara.
Penetapan rencana induk, DLKr/DLKp pelabuhan penyeberangan yang terletak pada jaringan jalan provinsi 24. Penetapan rencana induk, DLKr/DLKp pelabuhan SDP yang terletak pada jaringan jalan kabupaten/kota.
Pedoman sertifikasi pelabuhan SDP. 25.— 25. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 26. Penetapan sertifikasi pelabuhan SDP. 26.— 26. — 27. Pedoman pemeliharaan/ perawatan pelabuhan SDP. 27.— 27. — 28. Pedoman penetapan kelas alur pelayaran sungai dan danau. 28.— 28. — 29. — 29.Penetapan kelas alur pelayaran sungai. 29. — 30. Pedoman tata cara berlalu lintas di sungai dan danau. 30.— 30. — 31. Pedoman perambuan sungai, danau dan penyeberangan. 31.— 31. — 32. Pengadaan, pemasangan dan pemeliharaan rambu penyeberangan.
Pengadaan, pemasangan dan pemeliharaan rambu penyeberangan.
Pengadaan, pemasangan dan pemeliharaan rambu penyeberangan SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 33. — 33.— 33. Izin pembuatan tempat penimbunan kayu (logpon), jaring terapung dan kerambah di sungai dan danau.
Pemetaan alur sungai untuk kebutuhan transportasi. 34.Pemetaan alur sungai lintas kabupaten/kota dalam provinsi untuk kebutuhan transportasi.
Pemetaan alur sungai kabupaten/kota untuk kebutuhan transportasi.
Pembangunan, pemeliharaan, pengerukan alur pelayaran sungai dan danau.
Pembangunan, pemeliharaan, pengerukan alur pelayaran sungai dan danau.
Pembangunan, pemeliharaan, pengerukan alur pelayaran sungai dan danau kabupaten/kota.
— 36.Izin pembangunan prasarana yang melintasi alur sungai dan danau.
— 37. Pedoman penyelenggaraan angkutan SDP. 37.— 37. — 38. Pedoman tarif angkutan SDP. 38.— 38. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 39. Penetapan tarif angkutan penyeberangan kelas ekonomi pada lintas penyeberangan yang terletak pada jaringan jalan nasional dan antar negara, serta jaringan jalur kereta api nasional dan antar negara.
Penetapan tarif angkutan penyeberangan kelas ekonomi pada lintas penyeberangan yang terletak pada jaringan jalan provinsi.
Penetapan tarif angkutan penyeberangan kelas ekonomi pada lintas penyeberangan dalam kabupaten/kota yang terletak pada jaringan jalan kabupaten/kota.
Penetapan tarif angkutan sungai dan danau kelas ekonomi pada lintas antar provinsi dan antar negara.
Penetapan tarif angkutan sungai dan danau kelas ekonomi antar kabupaten/kota dalam provinsi.
Penetapan tarif angkutan sungai dan danau kelas ekonomi dalam kabupaten/kota.
Pengawasan pelaksanaan tarif angkutan SDP pada jaringan jalan nasional dan antar negara.
Pengawasan pelaksanaan tarif angkutan SDP antar kabupaten/kota dalam provinsi yang terletak pada jaringan jalan provinsi.
Pengawasan pelaksanaan tarif angkutan SDP dalam kabupaten/kota yang terletak pada jaringan jalan kabupaten/kota.
Pedoman tarif jasa kepelabuhanan SDP. 42. — 42. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 43. Penetapan tarif jasa pelabuhan SDP yang tidak diusahakan yang dikelola pemerintah.
— 43. Penetapan tarif jasa pelabuhan SDP yang tidak diusahakan yang dikelola kabupaten/kota.
Pedoman/persyaratan pelayanan angkutan SDP. 44. — 44. — 45. Pemberian persetujuan pengoperasian kapal untuk lintas penyeberangan pada jaringan jalan nasional dan antar negara.
Pemberian persetujuan pengoperasian kapal untuk lintas penyeberangan antar kabupaten/kota dalam provinsi pada jaringan jalan provinsi.
Pemberian persetujuan pengoperasian kapal untuk lintas penyeberangan dalam kabupaten/kota pada jaringan jalan kabupaten/kota 46. Pengawasan pengoperasian penyelenggaraan angkutan sungai dan danau.
Pengawasan pengoperasian penyelenggaraan angkutan sungai dan danau.
Pengawasan pengoperasian penyelenggaran angkutan sungai dan danau.
Pengawasan pengoperasian penyelenggaraan angkutan penyeberangan pada lintas antar provinsi dan antar negara.
Pengawasan pengoperasian penyelenggaraan angkutan penyeberangan antar kabupaten/kota dalam provinsi pada jaringan jalan provinsi.
Pengawasan pengoperasian penyelenggaraan angkutan penyeberangan dalam kabupaten/kota pada jaringan jalan kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 48. Pengawasan angkutan barang berbahaya dan khusus melalui angkutan SDP.
Pengawasan angkutan barang berbahaya dan khusus melalui angkutan SDP.
— 2. Perkeretaapian 1. Penetapan rencana induk perkeretaapian nasional. 1. Penetapan rencana induk perkeretaapian provinsi;
Penetapan rencana induk perkeretaapian kabupaten/kota.
Pembinaan yang dilakukan oleh Pemerintah meliputi :
Penetapan sasaran dan arah kebijakan pengembangan sistem perkeretaapian tingkat nasional dan perkeretaapian lokal yang jaringannya melebihi satu provinsi;
Pembinaan yang dilakukan oleh pemerintah provinsi meliputi:
Penetapan sasaran dan arah kebijakan pengembangan sistem perkeretaapian provinsi dan perkeretaapian kabupaten /kota yang jaringannya melebihi wilayah kabupaten /kota;
Pembinaan yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota meliputi :
Penetapan sasaran dan arah kebijakan pengembangan sistem perkeretaapian kabupaten/kota yang jaringannya berada di wilayah kabupaten/kota; SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Penetapan persyaratan, norma, pedoman, standar, kriteria dan prosedur penyelenggaraan perkeretaapian yang berlaku secara nasional;
Pelaksanaan perwujudan pengembangan sistem perkeretaapian tingkat nasional;
Penetapan kompetensi Pejabat yang melaksanakan fungsi di bidang perkeretaapian, pemberian arahan, bimbingan, pelatihan, dan bantuan teknis kepada pemerintah daerah dan masyarakat;dan e. Pengawasan terhadap pelaksanaan norma, persyaratan, pedoman, b. Pemberian arahan, bimbingan, pelatihan dan bantuan teknis kepada kabupaten/kota, pengguna dan penyedia jasa; dan
Pengawasan terhadap pelaksanaan perkeretaapian provinsi.
— e.— b. Pemberian arahan, bimbingan, pelatihan dan bantuan teknis kepada pengguna dan penyedia jasa; dan
Pengawasan terhadap pelaksanaan perkeretaapian kabupaten /kota.
— e. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA standar, kriteria dan prosedur yang dilakukan oleh pemerintah daerah dan masyarakat dan pengawasan terhadap pelaksanaan perwujudan pengembangan sistem perkeretaapian tingkat nasional.
Penetapan persyaratan kelaikan operasi prasarana kereta api umum.
— 3. — 4. Pengusahaan prasarana kereta api umum yang tidak dilaksanakan oleh badan usaha prasarana kereta api.
Pengusahaan prasarana kereta api umum yang tidak dilaksanakan oleh badan usaha prasarana kereta api.
Pengusahaan prasarana kereta api umum yang tidak dilaksanakan oleh badan usaha prasarana kereta api.
Penetapan persyaratan perawatan prasarana kereta api. 5. — 5. — 6. Penetapan persyaratan kelaikan operasi sarana kereta api. 6. — 6. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 7. Penetapan izin penyelenggaraan perkeretaapian khusus yang jaringan jalurnya melebihi wilayah satu provinsi.
Penetapan izin penyelenggaraan perkeretaapian khusus yang jaringan jalurnya melebihi wilayah satu kabupaten/ kota dalam satu provinsi.
Penetapan izin penyelenggaraan perkeretaapian khusus yang jaringan jalurnya dalam kabupaten/kota.
Penetapan jalur kereta api khusus yang jaringan melebihi satu provinsi.
Penetapan jalur kereta api khusus yang jaringan melebihi satu wilayah kabupaten/kota dalam provinsi.
Penetapan jalur kereta api khusus yang jaringan dalam wilayah kabupaten /kota.
Pengujian prasarana kereta api. 9. — 9. — 10. Penetapan akreditasi atau lembaga penguji berkala prasarana kereta api.
— 10. — 11. Pemberian sertifikat prasarana kereta api yang telah dinyatakan lulus uji pertama dan uji berkala.
— 11. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 12. Pemberian sertifikat tenaga tanda kecakapan pengoperasian prasarana kereta api.
— 12. — 13. Penetapan penunjukan badan hukum atau lembaga lain yang menyelenggarakan pendidikan dan/atau pelatihan tenaga pengoperasian prasarana kereta api.
— 13. — 14.Penetapan persyaratan dan kualifikasi tenaga perawatan prasarana kereta api.
— 14. — 15. — 15. Penutupan perlintasan untuk keselamatan perjalanan kereta api dan pemakai jalan perlintasan sebidang yang tidak mempunyai izin dan tidak ada penanggungjawabnya, dilakukan oleh pemilik dan/atau Pemerintah Daerah.
Penutupan perlintasan untuk keselamatan perjalanan kereta api dan pemakai jalan perlintasan sebidang yang tidak mempunyai izin dan tidak ada penanggungjawabnya, dilakukan oleh pemilik dan/atau Pemerintah Daerah. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 16.Pelaksanaan uji pertama dan uji berkala sarana kereta api. 16. — 16. — 17. Pemberian sertifikat kelaikan sarana kereta api yang telah dinyatakan lulus uji pertama dan uji berkala.
— 17. — 18. Pelimpahan wewenang kepada badan usaha atau lembaga untuk melaksanakan pengujian berkala sarana kereta api.
— 18. — 19. Penerbitan sertifikat tenaga penguji sarana kereta api yang memenuhi persyaratan dan kualifikasi tertentu.
— 19. — 20. Penetapan persyaratan perawatan sarana kereta api. 20. — 20. — 21. Penetapan persyaratan dan kualifikasi tenaga perawatan 21. — 21. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA sarana kereta api.
Pemberian sertifikat tanda kecakapan awak kereta api. 22. — 22. — 23. Penunjukan untuk melaksanakan pendidikan dan/atau pelatihan awak sarana kereta api kepada badan hukum atau lembaga 23. — 23. — 24. Penetapan jaringan pelayanan kereta api antar kota lintas batas negara, antar kota melebihi satu provinsi.
Penetapan jaringan pelayanan kereta api antar kota melebihi satu kabupaten/kota dalam satu provinsi.
Penetapan jaringan pelayanan kereta api dalam satu kabupaten/ kota.
Penetapan jaringan pelayanan kereta api perkotaan melampaui satu provinsi.
Penetapan jaringan pelayanan kereta api perkotaan melampaui satu kabupaten/kota dalam satu provinsi.
Penetapan jaringan pelayanan kereta api perkotaan berada dalam kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 26. Penetapan persetujuan angkutan orang dengan menggunakan gerbong kereta api dalam kondisi tertentu.
Penetapan persetujuan angkutan orang dengan menggunakan gerbong kereta api dalam kondisi tertentu yang pengoperasian di dalam wilayah kabupaten/kota dalam satu provinsi.
Penetapan persetujuan angkutan orang dengan menggunakan gerbong kereta api dalam kondisi tertentu yang pengoperasian di dalam wilayah kabupaten/kota.
Pemberian izin usaha kegiatan angkutan orang dan/atau barang dengan kereta api umum.
— 27. — 28. Izin operasi kegiatan angkutan orang dan/atau barang dengan kereta api umum untuk pelayanan angkutan lintas batas negara berdasarkan perjanjian antar negara dan untuk pelayanan angkutan antar kota dan perkotaan yang melintas layanannya melebihi 28. Izin operasi kegiatan angkutan orang dan/atau barang dengan kereta api umum untuk pelayanan angkutan antar kota dan perkotaan yang lintas pelayanannya melebihi satu kabupaten/kota dalam satu provinsi.
Izin operasi kegiatan angkutan orang dan/atau barang dengan kereta api umum untuk pelayanan angkutan antar kota dan perkotaan yang lintas pelayanannya dalam satu kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA satu provinsi.
Penetapan tarif penumpang kereta api dalam hal pelayanan angkutan yang merupakan kebutuhan pokok masyarakat dan pelayanan angkutan yang disediakan untuk pengembangan wilayah, untuk layanan angkutan lintas batas negara berdasarkan perjanjian antar negara dan untuk pelayanan angkutan antar kota dan perkotaan yang lintas pelayanannya melebihi satu provinsi.
Penetapan tarif penumpang kereta api dalam hal pelayanan angkutan yang merupakan kebutuhan pokok masyarakat dan pelayanan angkutan yang disediakan untuk pengembangan wilayah, untuk pelayanan angkutan antar kota dan perkotaan yang lintas pelayanannya melebihi satu kabupaten/kota dalam satu provinsi.
Penetapan tarif penumpang kereta api dalam hal pelayanan angkutan yang merupakan kebutuhan pokok masyarakat dan pelayanan angkutan yang disediakan untuk pengembangan wilayah, untuk pelayanan angkutan antar kota dan perkotaan yang lintas pelayanannya dalam satu kabupaten/kota.
Pembentukan badan untuk pemeriksaan dan penelitian mengenai penyebab setiap kecelakakaan kereta api.
— 30. — 31. Penetapan persyaratan PPNS bidang perkeretaapian. 31. — 31. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 32. Pengangkatan dan pemberhentian PPNS bidang perkeretaapian.
— 32. — 3. Perhubungan Laut 1. Kapal berukuran tonase kotor sama dengan atau lebih dari 7 (GT 7) yang berlayar hanya di perairan daratan (sungai dan danau):
Kapal berukuran tonase kotor sama dengan atau lebih dari 7 (GT 7) yang berlayar hanya di perairan daratan (sungai dan danau):
Kapal berukuran tonase kotor sama dengan atau lebih dari 7 (GT 7) yang berlayar hanya di perairan daratan (sungai dan danau):
Penetapan standar laik air serta pedoman keselamatan kapal.
— a. — b. Penetapan prosedur pengawasan keselamatan kapal.
— b. — c. Pemberian izin pembangunan dan pengadaan kapal di atas GT 300.
Pemberian izin pembangunan dan pengadaan kapal sampai dengan GT 300 ditugaspembantuankan c. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA kepada provinsi.
Pengaturan pengukuran kapal. d. Pelaksanaan pengukuran kapal sampai dengan GT 300 ditugaspembantuankan kepada provinsi.
— e. Pengaturan pendaftaran kapal. e. — e. — f. Pengaturan pas kapal perairan daratan. f. — f. — g. Menetapkan tanda panggilan ( call sign ) kapal. g. — g. — h. — h. Pelaksanaan pengawasan keselamatan kapal.
— i. — i. Pelaksanaan pemeriksaan radio/elektronika kapal.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA j. — j. Pelaksanaan pengukuran kapal. j. — k. — k. Penerbitan pas perairan daratan. k. — l. — l. Pencatatan kapal dalam buku register pas perairan daratan.
— m. — m. Pelaksanaan pemeriksaan konstruksi. m. — n. — n. Pelaksanaan pemeriksaan permesinan kapal.
— o. — o. Penerbitan sertifikat keselamatan kapal. o. — p. — p. Pelaksanaan pemeriksaan perlengkapan kapal.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA q. — q. Penerbitan dokumen pengawakan kapal. q. — r. — r. — r. Pemberian surat izin berlayar.
Kapal berukuran tonase kotor kurang dari 7 (GT <7) yang berlayar hanya di perairan daratan (sungai dan danau):
Kapal berukuran tonase kotor kurang dari 7 (GT <7) yang berlayar hanya di perairan daratan (sungai dan danau):
Kapal berukuran tonase kotor kurang dari 7 (GT <7) yang berlayar hanya di perairan daratan (sungai dan danau):
Penetapan standar laik air serta pedoman keselamatan kapal.
— a. — b. Penetapan prosedur pengawasan keselamatan kapal.
— b. — c. Pengaturan pengukuran kapal. c. — c. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA d. Pengaturan pas kapal perairan daratan. d. — d. — e. — e. Pemberian izin pembangunan dan pengadaan kapal.
— f. — f. — f. Pelaksanaan pengawasan keselamatan kapal.
— g. — g. Pelaksanaan pengukuran kapal.
— h. — h. Penerbitan pas perairan daratan.
— i. — i. Pencatatan kapal dalam buku register pas perairan daratan.
— j. — j. Pelaksanaan pemeriksaan konstruksi kapal. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA k. — k. — k. Pelaksanaan pemeriksaan permesinan kapal.
— l. — l. Pelaksanaan pemeriksaan perlengkapan kapal.
— m. — m. Penerbitan sertifikat keselamatan kapal.
— n. — n. Penerbitan dokumen pengawakan kapal.
— o. — o. Pemberian surat izin berlayar.
Kapal berukuran tonase kotor lebih dari atau sama dengan GT 7 (GT 7) yang berlayar di laut:
Kapal berukuran tonase kotor lebih dari atau sama dengan GT 7 (GT 7) yang berlayar di laut:
Kapal berukuran tonase kotor lebih dari atau sama dengan GT 7 (GT 7) yang berlayar di laut:
Penetapan standar laik air serta pedoman keselamatan kapal.
— a. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Penetapan prosedur pengawasan keselamatan kapal.
— b. — c. Pemberian izin pembangunan dan pengadaan kapal. c. — c. — d. Pengawasan pelaksanaan keselamatan kapal. d. — d. — e. Pelaksanaan pengukuran kapal. e. — e. — f. Pelaksanaan pendaftaran kapal. f. — f. — g. Penetapan tanda panggilan ( call sign ) kapal. g. — g. — h. Penerbitan surat tanda kebangsaan kapal. h. — h. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA i. Pencatatan kapal dalam buku register surat tanda kebangsaan kapal.
— i. — j. Penerbitan pas kecil. j. — j. — k. Pencatatan kapal dalam buku register pas kecil. k. — k. — l. Pelaksanaan pemeriksaan konstruksi kapal. l. — l. — m. Pelaksanaan pemeriksaan permesinan kapal. m. — m. — n. Penerbitan sertifikat keselamatan kapal. n. — n. — o. Pelaksanaan pemeriksaan perlengkapan kapal. o. — o. — p. Pelaksanaan pemeriksaan radio/elektronika kapal. p. — p. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA q. Penerbitan dokumen pengawakan kapal. q. — q. — r. Pemberian surat izin berlayar. r. — r. — 4. Kapal berukuran tonase kotor kurang dari GT 7 (GT < 7) yang berlayar di laut:
Kapal berukuran tonase kotor kurang dari GT 7 (GT < 7) yang berlayar di laut:
Kapal berukuran tonase kotor kurang dari GT 7 (GT < 7) yg berlayar di laut:
Penetapan standar laik air serta pedoman keselamatan kapal.
— a. — b. Penetapan prosedur pengawasan keselamatan kapal.
— b. — c. Pengaturan pengukuran kapal. c. — c. — d. Pengaturan surat tanda kebangsaan kapal (pas kecil). d. — d. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA e. — e. Pemberian izin pembangunan dan pengadaan kapal.
— f. — f. — f. Pelaksanaan pengawasan keselamatan kapal.
g. — g. Pelaksanaan pengukuran kapal.
— h. — h. Penerbitan pas kecil .
— i. — i. Pencatatan kapal dalam buku register pas kecil.
— j. — j. Pelaksanaan pemeriksaan konstruksi kapal.
— k. — k. Pelaksanaan pemeriksaan permesinan kapal.
— l. — l. Penerbitan sertifikat keselamatan kapal. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA m. — m. — m. Pelaksanaan pemeriksaan perlengkapan kapal.
— n. — n. Penerbitan dokumen pengawakan kapal.
Pemberian surat izin berlayar. o. — o. — 5. Persetujuan lokasi pelabuhan laut. 5. — 5. Penetapan penggunaan tanah lokasi pelabuhan laut.
Penetapan rencana induk pelabuhan laut internasional hub, internasional dan nasional.
— 6. — 7. Pengelolaan pelabuhan laut internasional hub, internasional dan nasional lama.
Pengelolaan pelabuhan regional lama. 7. Pengelolaan pelabuhan lokal lama.
Pengelolaan pelabuhan baru yang dibangun oleh pemerintah. 8. Pengelolaan pelabuhan baru yang dibangun oleh provinsi.
Pengelolaan pelabuhan baru yang dibangun oleh kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 9. Penetapan daerah lingkungan kerja dan daerah lingkungan kepentingan pelabuhan laut internasional hub, internasional dan nasional.
— 9. — 10.Penetapan keputusan pelaksanaan pembangunan pelabuhan laut internasional hub, internasional dan nasional.
— 10. — 11.Penetapan keputusan pelaksanaan pengoperasian pelabuhan laut internasional hub, internasional dan nasional.
— 11. — 12.Pertimbangan teknis penambahan dan atau pengembangan fasilitas pokok pelabuhan laut internasional hub, internasional, dan nasional.
— 12. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 13.Penetapan pengoperasian 24 (dua puluh empat) jam pelabuhan laut internasional hub, internasional dan nasional.
— 13. — 14.Penetapan pelabuhan laut untuk melayani angkutan peti kemas. 14. — 14. — 15.Pertimbangan teknis penetapan pelabuhan laut untuk melayani curah kering dan curah cair.
— 15. — 16.Persetujuan pengelolaan Dermaga Untuk Kepentingan Sendiri (DUKS) yang berlokasi di dalam DLKr/DLKp pelabuhan laut internasional hub, internasional dan nasional.
— 16. — 17.Pemberian izin kegiatan pengerukan dan/atau reklamasi di dalam DLKr/DLKp pelabuhan laut internasional hub, 17. — 17. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA internasional dan nasional.
Penetapan pelabuhan yang terbuka bagi perdagangan luar negeri.
— 18. — 19.— 19. Rekomendasi penetapan rencana induk pelabuhan laut internasional hub, internasional dan nasional.
Rekomendasi penetapan rencana induk pelabuhan laut internasional hub, internasional dan nasional.
— 20. Penetapan rencana induk pelabuhan laut regional. 20. — 21.— 21. — 21. Penetapan rencana induk pelabuhan lokal.
— 22. Rekomendasi penetapan lokasi pelabuhan umum. 22. Rekomendasi penetapan lokasi pelabuhan umum.
— 23. Rekomendasi penetapan lokasi pelabuhan khusus. 23. Rekomendasi penetapan lokasi pelabuhan khusus.
— 24. Penetapan keputusan pelaksanaan pembangunan 24. Penetapan keputusan pelaksanaan pembangunan SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA pelabuhan laut regional. pelabuhan laut lokal.
— 25. Penetapan pelaksanaan pembangunan pelabuhan khusus regional.
Penetapan pelaksanaan pembangunan pelabuhan khusus lokal.
— 26. Penetapan keputusan pelaksanaan pengoperasian pelabuhan laut regional.
Penetapan keputusan pelaksanaan pengoperasian pelabuhan laut lokal.
— 27. Penetapan izin pengoperasian pelabuhan khusus regional.
Penetapan izin pengoperasian pelabuhan khusus lokal.
— 28. Rekomendasi penetapan DLKr/DLKp pelabuhan laut internasional hub.
Rekomendasi penetapan DLKr/DLKp pelabuhan laut internasional hub.
— 29. Rekomendasi penetapan DLKr/DLKp pelabuhan laut internasional.
Rekomendasi penetapan DLKr/DLKp pelabuhan laut internasional.
— 30. Rekomendasi penetapan DLKr/DLKp pelabuhan laut nasional.
Rekomendasi penetapan DLKr/DLKp pelabuhan laut nasional. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 31.— 31. — 31. Rekomendasi penetapan DLKr/DLKp pelabuhan laut regional.
— 32. Penetapan DLKr/DLKp pelabuhan laut regional. 32. Penetapan DLKr/DLKp pelabuhan laut lokal.
— 33. Izin kegiatan pengerukan di dalam DLKr/DLKp pelabuhan laut regional.
— 34.— 34. Izin reklamasi di dalam DLKr/DLKp pelabuhan laut regional.
— 35.— 35. Pertimbangan teknis terhadap penambahan dan/atau pengembangan fasilitas pokok pelabuhan laut regional.
— 36.— 36. — 36. Pertimbangan teknis terhadap penambahan dan/atau pengembangan fasilitas pokok SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA pelabuhan laut lokal.
— 37. Penetapan pelayanan operasional 24 (dua puluh empat) jam pelabuhan laut regional.
— 38.— 38. Izin kegiatan pengerukan di wilayah perairan pelabuhan khusus regional.
Izin kegiatan pengerukan di wilayah perairan pelabuhan khusus lokal.
— 39. Izin kegiatan reklamasi di wilayah perairan pelabuhan khusus regional.
Izin kegiatan reklamasi di wilayah perairan pelabuhan khusus lokal.
— 40. Penetapan pelayanan operasional 24 (dua puluh empat) jam pelabuhan khusus regional.
— 41.— 41. Penetapan DUKS di pelabuhan regional. 41. Penetapan DUKS di pelabuhan lokal. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 42.— 42. — 42. Pelaksanaan rancang bangun fasilitas pelabuhan bagi pelabuhan dengan pelayaran lokal (kabupaten/kota).
— 43. — 43. Izin kegiatan pengerukan di dalam DLKr/DLKp pelabuhan laut lokal.
— 44. — 44. Izin kegiatan reklamasi di dalam DLKr/DLKp pelabuhan laut lokal.
— 45. — 45. Penetapan pelayanan operasional 24 (dua puluh empat) jam pelabuhan laut lokal.
— 46. — 46. Penetapan pelayanan operasional 24 (dua puluh empat) jam pelabuhan khusus lokal. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 47.— 47. Rekomendasi penetapan pelabuhan yang terbuka bagi perdagangan luar negeri.
Rekomendasi penetapan pelabuhan yang terbuka bagi perdagangan luar negeri.
— 48. — 48. Penetapan besaran tarif jasa kepelabuhanan pada pelabuhan lokal yang diselenggarakan oleh pemerintah kabupaten/kota.
Izin usaha perusahaan angkutan laut bagi perusahaan yang berdomisili dan beroperasi pada lintas pelabuhan antar provinsi dan internasional.
Izin usaha perusahaan angkutan laut bagi perusahaan yang berdomisili dan beroperasi pada lintas pelabuhan antar kabupaten/kota dalam wilayah provinsi setempat.
Izin usaha perusahaan angkutan laut bagi perusahaan yang berdomisili dan beroperasi pada lintas pelabuhan dalam kabupaten/kota setempat.
— 50. Izin usaha pelayaran rakyat bagi perusahaan yang berdomisili dan beroperasi pada lintas pelabuhan 50. Izin usaha pelayaran rakyat bagi perusahaan yang berdomisili dan beroperasi pada lintas pelabuhan dalam SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA antar kabupaten/kota wilayah kabupaten/kota dalam wilayah provinsi setempat, pelabuhan antar/provinsi dan internasional (lintas batas). setempat.
— 51. Pemberitahuan pembukaan kantor cabang perusahaan angkutan laut nasional yang lingkup kegiatannya melayani lintas pelabuhan antar kabupaten/kota dalam satu provinsi.
Pemberitahuan pembukaan kantor cabang perusahaan angkutan laut nasional yang lingkup kegiatannya melayani lintas pelabuhan dalam satu kabupaten/kota.
— 52. Pemberitahuan pembukaan kantor cabang perusahaan pelayaran rakyat yang lingkup kegiatannya 52. Pemberitahuan pembukaan kantor cabang perusahaan pelayaran rakyat yang lingkup kegiatannya melayani SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA melayani lintas pelabuhan antar kabupaten/kota dalam satu provinsi, lintas pelabuhan antar provinsi serta lintas pelabuhan internasional (lintas batas). lintas pelabuhan dalam satu kabupaten/kota.
— 53. Pelaporan pengoperasian kapal secara tidak tetap dan tidak teratur ( tramper ) bagi perusahaan angkutan laut yang berdomisili dan beroperasi pada lintas pelabuhan antar kabupaten/kota dalam satu provinsi.
Pelaporan pengoperasian kapal secara tidak tetap dan tidak teratur ( tramper ) bagi perusahaan angkutan laut yang berdomisili dan beroperasi pada lintas pelabuhan dalam wilayah kabupaten/kota setempat.
— 54. Pelaporan penempatan kapal dalam trayek tetap dan teratur ( liner ) dan pengoperasian kapal secara 54. Pelaporan penempatan kapal dalam trayek tetap dan teratur ( liner ) dan pengoperasian kapal secara SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA tidak tetap dan tidak teratur ( tramper ) bagi perusahaan pelayaran rakyat yang berdomisili dan beroperasi pada lintas pelabuhan antar kabupaten/kota dalam wilayah provinsi setempat, pelabuhan antar provinsi dan internasional (lintas batas). tidak tetap dan tidak teratur ( tramper ) bagi perusahaan pelayaran rakyat yang berdomisili dan beroperasi pada lintas pelabuhan dalam wilayah kabupaten/kota setempat.
Izin operasi angkutan laut khusus. 55. — 55. — 56. — 56. Izin usaha tally di pelabuhan. 56. Izin usaha tally di pelabuhan.
— 57. Izin usaha bongkar muat barang dari dan ke kapal. 57. Izin usaha bongkar muat barang dari dan ke kapal.
— 58. Izin usaha ekspedisi/ Freight 58. Izin usaha ekspedisi/ Freight Forwarder . SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA Forwarder .
— 59. Izin usaha angkutan perairan pelabuhan. 59. — 60. — 60. Izin usaha penyewaan peralatan angkutan laut/ peralatan penunjang angkutan laut.
— 61. — 61. Izin usaha depo peti kemas. 61. — 62. Penetapan tarif angkutan laut dalam negeri untuk penumpang kelas ekonomi.
— 62. — 63. Penyusunan jaringan trayek angkutan laut dalam negeri. 63. — 63. — 64. Penetapan trayek angkutan laut perintis dan penempatan kapalnya.
— 64. — 65. — 65. — 65. Penetapan lokasi pemasangan dan pemeliharaan alat SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA pengawasan dan alat pengamanan (rambu-rambu), danau dan sungai lintas kabupaten/kota 66. — 66. — 66. Pemberian rekomendasi dalam penerbitan izin usaha dan kegiatan salvage serta persetujuan Pekerjaan Bawah Air (PBA) dan pengawasan kegiatannya dalam kabupaten/kota.
Penetapan perairan pandu luar biasa. 67. — 67. — 68. Penetapan perairan wajib pandu. 68. — 68. — 69. Pelimpahan kewenangan pemanduan. 69. — 69. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Perhubungan Udara 1. Angkutan Udara 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang angkutan udara.
Penerbitan izin usaha angkutan udara niaga.
Penerbitan izin kegiatan angkutan udara.
Penetapan persetujuan rute penerbangan.
— 1. — 2. Pemantauan terhadap pelaksanaan kegiatan izin usaha angkutan udara niaga dan melaporkan ke Pemerintah.
Pemantauan terhadap pelaksanaan kegiatan izin kegiatan angkutan udara dan melaporkan ke pemerintah.
Pemantauan terhadap pelaksanaan kegiatan Jaringan dan Rute Penerbangan dan melaporkan ke pemerintah.
Mengusulan rute penerbangan baru ke dari daerah yang bersangkutan.
— 2. — 3. — 4. — 5. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Persetujuan penambahan atau pengurangan kapasitas angkutan udara rute penerbangan.
— 8. Persetujuan terbang Flight Approval (FA) untuk:
Penerbangan ke dan/dari luar negeri.
Perubahan jadwal penerbangan dalam negeri bagi perusahaan angkutan 6. Pemantauan pelaksanaan persetujuan rute penerbangan dan melaporkan ke pemerintah.
Pemantauan terhadap pelaksanaan persetujuan penambahan atau pengurangan kapasitas angkutan udara dan melaporkan ke pemerintah.
Pemantauan terhadap pelaksanaan persetujuan izin terbang/FA yang dikeluarkan oleh pemerintah dan melaporkan ke pemerintah.
— 7. — 8. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA udara berjadwal.
Penerbangan dalam negeri bagi perusahaan angkutan udara tidak berjadwal antar provinsi dengan pesawat udara di atas 30 tempat duduk.
— 10. — 9. Persetujuan izin terbang/FA perusahaan angkutan udara tidak berjadwal antar kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi dengan pesawat udara di atas 30 tempat duduk dan melaporkan ke Pemerintah.
Pemantauan terhadap pelaksanaan persetujuan izin terbang/FA perusahaan angkutan udara non berjadwal antar kabupaten/kota dalam 1 9. — 10.— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 11. Penetapan tarif angkutan udara (batas atas) dan tarif referensi angkutan udara.
Pemberian Sertifikasi personil petugas pengamanan operator penerbangan.
Sertifikasi personil pasasi. (satu) provinsi dengan pesawat udara diatas 30 tempat duduk dan melaporkan ke pemerintah.
Pemantauan terhadap pelaksanaan tarif angkutan udara (batas atas) dan tarif referensi angkutan udara dan melaporkan ke pemerintah.
Pemantauan terhadap personil petugas pengamanan operator penerbangan dan personil petugas pasasi dan melaporkan ke pemerintah.
— 11.— 12.— 13.— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 14. Penerbitan izin general sales agent .
— 16. — 17. — 18. — 14.Pemantauan terhadap pelaksanaan kegiatan general sales agent dan melaporkan ke pemerintah.
Pemberian izin Ekspedisi Muatan Pesawat Udara (EMPU).
Pemberian arahan dan petunjuk terhadap kegiatan Ekspedisi Muatan Pesawat Udara (EMPU).
Pemantauan, penilaian, dan tindakan korektif terhadap pelaksanaan kegiatan EMPU dan melaporkan kepada pemerintah.
Pengawasan dan pengendalian izin EMPU.
— 15.— 16.— 17.— 18.— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 19. Penetapan standar dan persyaratan peralatan pelayanan keamanan dan keselamatan perusahaan angkutan udara.
Pengawasan dan pengendalian berlakunya standar dan persyaratan peralatan pelayanan keamanan dan keselamatan perusahaan angkutan udara:
Pemeriksaan secara berkala dan insidentil terhadap berlakunya standar dan persyaratan peralatan pelayanan keamanan dan keselamatan perusahaan angkutan udara;
Pemberian rekomendasi atau teguran apabila tidak sesuai dengan standar yang 19.— 20.— 19.— 20.— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA telah ditetapkan;
Pemberian arahan, petunjuk pelaksanaan, bimbingan dan penyuluhan berlakunya standar dan persyaratan peralatan pelayanan keamanan dan keselamatan perusahaan angkutan udara;
— 21.Pengusulan bandar udara yang terbuka untuk melayani angkutan udara ke/dari luar negeri. Pengusulan bandar udara di wilayah kerjanya yang terbuka untuk angkutan udara ke/dari luar negeri disertai alasan dan data 21.— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 22. Penetapan besaran tarif jasa kebandarudaraan pada bandar udara pusat penyebaran dan bandar udara bukan pusat penyebaran yang ruang udara disekitarnya dikendalikan.
Pengawasan tarif jasa kebandarudaraan pada bandar udara pusat penyebaran dan bandar udara bukan pusat penyebaran yang ruang udara di sekitarnya dikendalikan. Pemantauan penilaian dan tindakan korektif terhadap pelaksanaan tarif jasa bandar dukung yang memadai. Mengusulkan penetapan tersebut kepada pemerintah.
— 23.— 22.— 23.— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pesawat Udara udara, bagi bandar udara di wilayah kerjanya. Memberikan laporan secara periodik kepada pemerintah atas hasil kegiatan pengawasan pelaksanaan tarif jasa bandar udara bagi bandar udara di wilayah kerjanya.
Pemberian tindakan korektif terhadap pelanggaran ketentuan-ketentuan di bidang angkutan udara.
Pemberian tanda kebangsaan dan pendaftaran pesawat udara.
— 2. — 1. — 2. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Sertifikasi kelaikan udara.
Sertifikasi tipe pesawat udara.
Sertifikasi tipe validasi pesawat udara.
Sertifikasi tipe tambahan pesawat udara.
Sertifikasi produksi.
Sertifikasi operator pesawat udara.
Sertifikasi pengoperasian pesawat udara.
Sertifikasi perekayasaan produk aeronautika.
Sertifikasi pendaftaran pesawat udara.
— 4. — 5. — 6. — 7. — 8. — 9. — 10. — 11. — 3. — 4. — 5. — 6. — 7. — 8. — 9. — 10. — 11. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 12. Dokumen limitasi produksi.
Sertifikasi distributor produk aeronautika.
Sertifikasi penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan penerbangan (penerbang, teknik, flight engineer, flight operation officer dan awak kabin).
Sertifikasi penerbang.
Sertifikasi teknik.
Sertifikasi juru mesin pesawat udara.
Sertifikasi navigasi pesawat udara.
Sertifikasi awak kabin.
— 13. — 14. — 15. — 16. — 17. — 18. — 19. — 12. — 13. — 14. — 15. — 16. — 17. — 18. — 19. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 20. Sertifikasi personil ahli perawatan pesawat udara.
Sertifikasi personil penunjang operasi pesawat udara/ Flight Operation Officer (FOO).
Sertifikasi Ground Support Equipment (GSE).
Penerbitan izin pengadaan pesawat udara.
Sertifikasi persetujuan izin organisasi perawatan pesawat udara.
Sertifikasi penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan penerbangan (penerbangan, teknik, flight engineer, flight operation officer dan awak 20. — 21. — 22. — 23. — 24. — 25. — 20. — 21. — 22. — 23. — 24. — 25. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA kabin).
Persetujuan rancang bangun komponen pesawat udara.
Persetujuan izin persetujuan rancang bangun perubahan pesawat udara.
Penetapan standar laik udara serta pedoman keselamatan pesawat udara, auditing management keselamatan udara, penyidikan, penanggulangan kecelakaan, bencana pesawat udara. 29. Pemeriksaan dokumen dan persyaratan administrasi pengoperasian pesawat udara sesuai CASR 21 meliputi pemeriksaan FA, C of A,C of R, flight plan , wether forcase , loading cargo , dispach report .
Membantu pelaksanaan ramp 26. — 27. — 28. — 29. — 30. — 26. — 27. — 28. — 29. — 30. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA check dengan persyaratan SDM sebagai berikut: Min. D-II penerbang, teknik pesawat udara, S-1 teknik aeronautika, mesin, umum dan telah mengikuti airworthiness course , mengikuti dasar penerbangan bagi S-1 umum.
Pemeriksaan dokumen dan persyaratan administrasi awak sesuai CASR 61 & 65 meliputi pemeriksaan:
Licensi Captain , Cockpit ;
Lisensi Pramugari dan Pramugara;
Manifest;
Fuel Quantity pesawat udara.
Membantu pelaksanaan ramp 31. — 32. — 31. — 32. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Bandar Udara check dengan persyaratan SDM sebagai berikut:
Min D-II penerbang, D-II teknik pesawat udara, S-1 teknik aeronautika, mesin umum;
Telah mengikuti airworthiness course , mengikuti dasar-dasar penerbangan bagi S-1 umum.
Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang bandar udara.
Penetapan lokasi bandar udara umum.
— 1. — 2. Pemberian rekomendasi penetapan lokasi bandar udara umum.
Pemantauan terhadap 1. — 2. Pemberian rekomendasi penetapan lokasi bandar udara umum.
Pemantauan terhadap SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Penetapan/izin pembangunan bandar udara umum yang melayani pesawat udara 30 tempat duduk.
— pelaksanaan keputusan penetapan lokasi bandar udara umum dan melaporkan ke pemerintah, pada bandar udara yang belum terdapat kantor adbandara.
Pemberian rekomendasi penetapan/izin pembangunan bandar udara umum yang melayani pesawat udara 30 tempat duduk.
Pemantauan terhadap penetapan/izin pembangunan bandar udara umum yang melayani pesawat udara 30 tempat duduk dan melaporkan ke pemerintah pada bandar udara yang belum terdapat kantor pelaksanaan keputusan penetapan lokasi bandar udara umum dan melaporkan ke pemerintah, pada bandar udara yang belum terdapat kantor adbandara.
Penetapan/izin pembangunan bandar udara umum yang melayani pesawat udara < 30 tempat duduk.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Penetapan/izin pembangunan bandar udara khusus yang melayani pesawat udara 30 tempat duduk.
Pemberian sertifikat operasi bandar udara.
Sertifikasi pengatur pergerakan pesawat udara di appron. adbandara.
Pemantauan terhadap pelaksanaan penetapan/izin pembangunan bandar udara khusus yang melayani pesawat udara 30 tempat duduk dan melaporkan kepada pemerintah.
— 8. Pemantauan terhadap pelaksanaan kegiatan pengatur pesawat udara di apron, Pertolongan Kecelakaan Penerbangan- Pemadam Kebakaran (PKP- PK), salvage , pengamanan bandar udara dan GSE, pada bandar udara yang 6. — 7. — 8. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 9. Sertifikasi PKP-PK dan salvage .
Sertifikasi petugas pengamanan bandar udara.
Pemberian sertifikasi personil teknik bandar udara.
Penetapan bandar udara internasional.
Pengunaan bandar udara belum terdapat kantor adbandara.
— 10. — 11. Pemantauan terhadap personil teknik bandar udara dan melaporkan ke pemerintah, pada bandar udara yang belum terdapat kantor adbandara.
Pemantauan terhadap pelaksanaan penetapan bandar udara internasional dan melaporkan ke pemerintah, pada bandar udara yang belum terdapat kantor adbandara.
— 9. — 10. — 11. — 12. — 13. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA khusus untuk umum.
Pembentukan Komite Nasional Fasilitasi (KOMNASFAL) Udara.
Pembentukan Komite Fasilitasi (KOMFAL) bandar udara.
Penetapan batas-batas kawasan keselamatan operasi bandar udara umum yang melayani pesawat udara 30 tempat duduk.
— 14. — 15. Dapat menjadi anggota KOMFAL apabila bandar udara berdekatan dengan wilayah kerjanya.
Pemantauan terhadap pelaksanaan penetapan batas-batas kawasan keselamatan operasi bandar udara umum yang melayani pesawat udara 30 tempat duduk dan melaporkan ke pemerintah, pada bandar udara yang belum terdapat kantor adbandara.
Pemantauan terhadap pelaksanaan penetapan 14. — 15. — 16. — 17. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 18. Pemberian tindakan korektif terhadap pelanggaran ketentuan-ketentuan di bidang bandar udara.
Penetapan standar dan persyaratan peralatan penunjang operasi pesawat udara.
Pengawasan dan pengendalian berlakunya standar dan persyaratan peralatan pengoperasian bandar udara: batas-batas kawasan keselamatan operasi bandar udara umum yang melayani pesawat udara 30 tempat duduk dan melaporkan ke pemerintah, pada bandar udara yang belum terdapat kantor adbandara.
— 19. — 20. — 18. — 19. — 20. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA a. Pemantauan terhadap kelengkapan sertifikat kelayakan operasi peralatan penunjang pelayanan darat pesawat udara.
Penilaian terhadap kemampuan peralatan penunjang operasi bandar udara.
Tindakan korektif terhadap peralatan penunjang operasi bandar udara dengan cara memberikan laporan kepada pemerintah.
Sertifikat kelaikan operasi peralatan penunjang pelayanan darat pesawat udara diterbitkan oleh pemerintah.
— b. — c. — d. — a. — b. — c. — d. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA e. Pelaksanaan pemeriksaan terhadap peralatan pelayanan darat pesawat udara dapat dilaksanakan oleh badan hukum yang memenuhi persyaratan.
Pemberian arahan, petunjuk pelaksanaan, bimbingan dan penyuluhan berlakunya standar dan persyaratan peralatan pengoperasian bandar udara.
Penetapan standar dan persyaratan peralatan pengoperasian bandar udara.
Pengawasan dan pengendalian berlakunya standar dan persyaratan peralatan penunjang operasi pesawat udara:
— f. — 21. — 22. — e. — f. — 21. — 22. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA a. Pemeriksaan secara berkala dan insidentil terhadap berlakunya standar dan persyaratan peralatan penunjang operasi pesawat udara.
Pemberian rekomendasi atau teguran apabila tidak sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.
Pemberian arahan dan petunjuk pelaksanaan berlakunya standar dan persyaratan peralatan penunjang operasi pesawat udara.
Pemberian bimbingan dan penyuluhan terhadap a. — b. — c. — d. — a. — b. — c. — d. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA berlakunya standar dan persyaratan peralatan penunjang operasi pesawat udara.
Pengawasan dan pengendalian berlakunya standar dan persyaratan peralatan pengoperasian bandar udara.
Pemantauan terhadap kelengkapan sertifikat kelayakan operasi peralatan penunjang pelayanan darat pesawat udara.
Penilaian terhadap kemampuan peralatan penunjang operasi bandar udara.
Tindakan korektif terhadap peralatan penunjang operasi bandar udara dengan cara memberikan laporan kepada 23. — a. — b. — c. — 23. — a. — b. — c. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA pemerintah.
Sertifikat kelaikan operasi peralatan penunjang pelayanan darat pesawat udara diterbitkan oleh pemerintah.
Pelaksanaan pemeriksaan terhadap peralatan pelayanan darat pesawat udara dapat dilaksanakan oleh badan hukum yang memenuhi persyaratan.
Pemberian arahan, petunjuk pelaksanaan, bimbingan dan penyuluhan berlakunya standar dan persyaratan peralatan pengoperasian bandar udara.
— d. — e. — f. — 24. Ijin pembangunan bandar udara khusus yang d. — e. — f. — 24. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 25. Penetapan tatanan kebandarudaraan nasional.
Pengawasan dan pengendalian pembangunan bandar udara umum.
Tindakan korektif terhadap penyimpangan rencana melayani pesawat udara dengan kapasitas < 30 (tiga puluh) tempat duduk dan ruang udara disekitarnya tidak dikendalikan dan terletak dalam 2 (dua) kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi, sesuai dengan batas kewenangan wilayahnya. Pemberitahuan pemberian ijin pembangunan bandar udara khusus.
— 26. — 27. — 25. — 26. — 27. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA pembangunan/pengembangan dari ketetapan tatanan kebandarudaraan.
— 29. Pengaturan sistem pendukung penerbangan di bandar udara 28. Pemberian arahan dan petunjuk pelaksanaan kepada penyelenggara bandar udara, serta kantor terkait lainnya tentang tatanan kebandarudaraan dan memberikan perlindungan hukum terhadap lokasi tanah dan/atau perairan serta ruang udara untuk penyelenggaraan bandar udara umum serta pengoperasian bandar udara dalam bentuk Peraturan Pemerintah Daerah.
— 28. — 29. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA (peralatan penunjang penerbangan dan penunjang operasi bandar udara).
Pengawasan dan pengendalian sistem pendukung penerbangan di bandar udara (peralatan penunjang penerbangan dan penunjang operasi bandar udara).
Pemeriksaan secara berkala dan insidentil terhadap sistem pendukung penerbangan di bandar udara (peralatan penunjang penerbangan dan penunjang operasi bandar udara).
Pemberian rekomendasi/ teguran apabila sistem pendukung penerbangan di bandar udara (peralatan penunjang penerbangan dan 30. — 31. — 32. — 30. — 31. — 32. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA penunjang operasi bandar udara) tidak sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.
Pemberian arahan, petunjuk pelaksanaan, bimbingan dan penyuluhan berlakunya sistem pendukung penerbangan di bandar udara (peralatan penunjang penerbangan dan penunjang operasi bandar udara).
Penetapan standar rencana induk bandar udara, Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan (KKOP) di sekitar bandar udara, kawasan kebisingan dan daerah lingkungan kerja di sekitar bandar udara.
— 34. — 33. — 34. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Keselamatan Penerbangan (Kespen) 35. Rekomendasi mendirikan bangunan pada rencana induk bandar udara, KKOP di sekitar bandar udara, kawasan kebisingan di sekitar bandar udara dan DLKr yang telah ditetapkan pada bandar udara pusat penyebaran dan bukan pusat penyebaran yang ruang udara di sekitarnya dikendalikan.
Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang kespen.
Audit terkait dengan sertifikasi operasi bandar udara.
Sertifikasi personil fasilitas/peralatan elektronika dan listrik penerbangan.
— 1. — 2. — 3. Pemantauan terhadap personil fasilitas/peralatan elektonika dan listrik 35. — 1. — 2. — 3. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Sertifikasi fasilitas/peralatan elektronika dan listrik penerbangan.
Sertifikasi fasilitas/peralatan GSE.
Sertifikasi personil navigasi penerbangan. penerbangan dan melaporkan ke pemerintah, pada bandar udara yang belum terdapat kantor adbandara.
Pemantauan terhadap sertifikasi fasilitas/peralatan elektonika dan listrik penerbangan dan melaporkan ke pemerintah, pada bandar udara yang belum terdapat kantor adbandara. 5. Pemantauan terhadap kegiatan GSE dan melaporkan ke pemerintah, pada bandar udara yang belum terdapat kantor adbandara.
— 4. — 5. — 6. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 7. Melakukan pemantauan terhadap personil navigasi penerbangan.
Sertifikasi personil GSE.
Penetapan persetujuan pemberian izin (pengangkutan angkutan bahan dan/atau barang berbahaya).
Penetapan standar persyaratan pengangkutan bahan dan/atau barang berbahaya.
Penetapan/izin operasi bandar 7. — 8. Pemantauan terhadap personil GSE dan melaporkan ke pemerintah, pada bandar udara yang belum terdapat kantor adbandara.
— 10. — 11. Pemantauan terhadap 7. — 8. — 9. — 10. — 11. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA udara umum yang melayani pesawat udara 30 tempat duduk.
Penetapan/izin operasi bandar udara khusus yang melayani pesawat udara 30 tempat duduk.
Penetapan standar operasi prosedur yang terkait dengan pengamanan bandar udara. pelaksanaan penetapan/izin operasi bandar udara umum yang melayani pesawat udara 30 tempat duduk dan melaporkan ke pemerintah, pada bandar udara yang belum terdapat kantor adbandara.
Pemantauan terhadap pelaksanaan penetapan/izin operasi bandar udara khusus yang melayani pesawat udara 30 tempat duduk dan melaporkan ke pemerintah, pada bandar udara yang belum terdapat kantor adbandara.
Pemantauan terhadap pelaksanaan standar operasi prosedur yang 12. — 13. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 14. Penetapan standar dan persyaratan peralatan pelayanan navigasi penerbangan.
Pengawasan dan pengendalian berlakunya standar dan persyaratan peralatan pelayanan navigasi penerbangan:
Pemeriksaan secara berkala dan insidentil terhadap berlakunya standar dan persyaratan peralatan pelayanan navigasi penerbangan. terkait dengan pengamanan bandar udara dan melaporkan ke pemerintah, pada bandar udara yang belum terdapat kantor adbandara.
— 15. — a. — 14. — 15. — a. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Pemberian rekomendasi atau teguran apabila tidak sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.
Pemberian arahan, petunjuk pelaksanaan, bimbingan dan penyuluhan berlakunya standar dan persyaratan peralatan pelayanan navigasi penerbangan.
Penetapan pelayanan navigasi penerbangan di bandar udara.
Sertifikat personil pengangkutan bahan dan/atau barang berbahaya:
Pemerintah melakukan supervisi dalam proses b. — c. — 16. — 17. — a. — b. — c. — 16. — 17. — a. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA pelaksanaan penerbitan sertifikat.
Pemerintah dapat melakukan tindakan korektif (peringatan, pembekuan atau pencabutan) bilamana terdapat pelanggaran dari kewenangan yang diberikan.
Dalam melakukan supervisi pemerintah dapat langsung berhubungan dengan Dinas Perhubungan Provinsi atau personil yang diberikan otorisasi.
Sertifikasi peralatan penunjang operasi pesawat udara.
Sertifikasi peralatan pengoperasian bandar udara.
— c. — 18. — 19. — b. — c. — 18. — 19. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 20. Sertifikasi peralatan pelayanan keamanan dan keselamatan perusahaan angkutan udara.
Sertifikasi personil operasi pesawat udara.
Sertifikasi personil pelayanan pengoperasian bandar udara.
Pemerintah melakukan supervisi dalam proses pelaksanaan penerbitan sertifikat.
Pemerintah dapat melakukan tindakan korektif (peringatan, pembekuan atau pencabutan) bilamana terdapat pelanggaran dari kewenangan yang diberikan.
Dalam melakukan supervisi pemerintah dapat langsung 20. — 21. — 22. — a. — b. — c. — 20. — 21. — 22. — a. — b. — c. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA berhubungan dengan Dinas Provinsi atau Personil yang diberikan otorisasi.
Sertifikasi personil pelayanan keamanan dan keselamatan perusahaan angkutan udara:
Pemerintah melakukan supervisi dalam proses pelaksanaan penerbitan sertifikat.
Pemerintah dapat melakukan tindakan korektif (peringatan, pembekuan atau pencabutan) bilamana terdapat pelanggaran dari kewenangan yang diberikan.
Dalam melakukan supervisi Pemerintah dapat langsung 23. — a. — b. — c. — 23. — a. — b. — c. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA berhubungan dengan Dinas Provinsi atau Personil yang diberikan otorisasi.
Pengesahan program penanggulangan gawat darurat di bandar udara:
Dalam melakukan supervisi Pemerintah dapat langsung berhubungan dengan Dinas Perhubungan Provinsi atau Personil yang diberikan otorisasi.
Personil yang memiliki kualifikasi yang dibuktikan dengan letter of authorization /sertifikat otorisasi pemerintah. Masa berlaku otorisasi 1 tahun dan dapat diperpanjang.
Pengesahan program 24. — a. — b. — 25. — 24. — a. — b. — 25. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA pengamanan bandar udara:
Pemerintah melakukan supervisi dalam proses pelaksanaan pengesahan sertifikat.
Pemerintah dapat melakukan tindakan korektif (peringatan, pembekuan atau pencabutan) bilamana terdapat pelanggaran dari kewenangan yang diberikan.
Dalam melakukan supervisi pemerintah dapat langsung berhubungan dengan Dinas Perhubungan Provinsi atau Personil yang diberikan otorisasi.
Penelitian awal terhadap insiden di appron berdasarkan a. — b. — c. — 26. Membantu kelancaran pemeriksaan pendahuluan a. — b. — c. — 26. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA peraturan pemerintah. kecelakaan pesawat udara:
Membantu kelancaran Tim investigasi dalam pencapaian lokasi kecelakaan.
Membantu kelancaran dalam melaksanakan tugas monitor pesawat udara milik pemerintah dan dalam melaksanakan koordinasi dengan unit terkait.
Membantu kelancaran keimigrasian Tim Investigasi warga asing. H. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG LINGKUNGAN HIDUP SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Pengendalian Dampak Lingkungan 1. Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) 1. Menetapkan kebijakan mengenai pengelolaan Limbah B3 yang antara lain mencakup:
Penetapan Limbah B3 berdasarkan sumber spesifik, karakteristik, Lethal Dose Fifty (LD50), Toxicity Characteristic Leaching Procedure (TCLP), kronis, dan list (daftar).
Penetapan status B3.
Tempat penyimpanan sementara, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan, dan penimbunan limbah B3.
Ɇ a. — b. — c. — 1. Ɇ a. — b. — c. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA d. Notifikasi B3 dan limbah B3.
Pengawasan pengelolaan limbah B3.
Pengawasan pelaksanaan sistem tanggap darurat skala nasional.
Pengawasan penanggulangan kecelakaan pengelolaan limbah B3 skala nasional.
Pengawasan pelaksanaan pengelolaan limbah B3.
Menyelenggarakan registrasi B3.
Pengawasan pengelolaan (B3).
— e. — f. — g. — 2. Pengawasan pelaksanaan pengelolaan limbah B3 skala provinsi.
— 4. — d. — e. — f. — g. — 2. Pengawasan pelaksanaan pengelolaan Limbah B3 skala kabupaten/kota.
— 4. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Memberikan rekomendasi pengangkutan limbah B3.
Izin pengumpulan limbah B3 skala nasional.
Izin pemanfaatan limbah B3.
Izin pengolahan limbah B3.
Izin operasi peralatan pengolahan limbah B3.
Izin operasi penimbunan limbah B3.
Pengawasan pelaksanaan pemulihan akibat pencemaran limbah B3 skala nasional.
— 6. Izin pengumpulan limbah B3 skala provinsi ( sumber limbah lintas kabupaten/kota) kecuali minyak pelumas/oli bekas.
— 8. — 9. — 10. — 11. Pengawasan pelaksanaan pemulihan akibat pencemaran limbah B3 pada skala provinsi.
— 6. Izin pengumpulan limbah B3 pada skala kabupaten/kota kecuali minyak pelumas/oli bekas.
— 8. — 9. — 10. — 11. Pengawasan pelaksanaan pemulihan akibat pencemaran limbah B3 pada skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 12. — 13. — 14. — 15. — 16. Ɇ 12. Rekomendasi izin pengumpulan limbah B3 skala nasional.
Pengawasan pelaksanaan sistem tanggap darurat skala provinsi.
Pengawasan penanggulangan kecelakaan pengelolaan limbah B3 skala provinsi.
— 16. Ɇ 12. — 13. Pengawasan pelaksanaan sistem tanggap darurat skala kabupaten/kota.
Pengawasan penanggulangan kecelakaan pengelolaan limbah B3 kabupaten/kota.
Izin lokasi pengolahan limbah B3.
Izin penyimpanan sementara limbah B3 di industri atau usaha suatu kegiatan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) 1. Pengaturan dan penetapan pedoman penerapan AMDAL dan Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL/ UPL).
Penilaian AMDAL bagi jenis usaha dan/atau kegiatan:
Strategis dan/atau menyangkut pertahanan keamanan negara.
Berlokasi lebih dari satu wilayah provinsi.
Berlokasi di wilayah sengketa dengan negara lain.
Penilaian AMDAL bagi jenis usaha dan/atau kegiatan yang mempunyai dampak penting terhadap lingkungan hidup di provinsi, sesuai dengan standar, norma, dan prosedur yang ditetapkan oleh pemerintah.
Pembinaan dan pengawasan terhadap penilaian AMDAL di kabupaten/kota.
— b. — c. — 1. Penilaian AMDAL bagi jenis usaha dan/atau kegiatan yang mempunyai dampak penting terhadap lingkungan hidup di kabupaten/ kota, sesuai dengan standar, norma, dan prosedur yang ditetapkan oleh pemerintah.
Pemberian rekomendasi UKL dan UPL.
— b. — c. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA d. Berlokasi di wilayah laut di luar kewenangan daerah.
Berlokasi di lintas batas Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pengawasan terhadap pelaksanaan penilaian AMDAL oleh provinsi dan pengawasan terhadap pelaksanaan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup bagi usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi AMDAL dalam rangka uji petik.
Pembinaan terhadap pelaksanaan penilaian AMDAL dan pelaksanaan pengawasan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup yang dilakukan oleh provinsi.
— e. — 3. Pengawasan terhadap pelaksanaan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup bagi jenis usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi AMDAL dalam wilayah provinsi dalam rangka uji petik.
Pengawasan terhadap pelaksanaan pemberian rekomendasi UKL/UPL yang dilakukan oleh kabupaten/kota dalam wilayah Provinsi.
— e. — 3. Pengawasan terhadap pelaksanaan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup bagi jenis usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi AMDAL dalam wilayah kabupaten/kota.
Pengawasan terhadap pelaksanaan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup bagi seluruh jenis usaha dan/atau kegiatan di luar usaha dan/atau kegiatan SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Pembinaan terhadap pelaksanaan pengawasan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup yang dilakukan oleh kabupaten/kota bagi usaha dan/atau yang wajib dilengkapi AMDAL yang menjadi urusan wajib pemerintah.
Pengaturan AMDAL, UKL dan UPL.
Pembinaan terhadap pelaksanaan pengawasan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup yang dilakukan oleh kabupaten/kota bagi jenis usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi AMDAL dan UKL/UPL dalam wilayah provinsi.
Pembinaan terhadap pelaksanaan pemberian rekomendasi UKL/UPL yang dilakukan oleh kabupaten/kota dalam wilayah provinsi. yang wajib dilengkapi AMDAL dalam wilayah kabupaten/kota.
— 6. ² SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air 1. Pengelolaan kualitas air skala nasional dan/atau lintas batas negara.
Penetapan kelas air pada sumber air skala nasional dan/atau merupakan lintas batas wilayah negara.
Koordinasi dan pelaksanaan pemantauan kualitas air pada sumber air skala nasional dan/atau merupakan lintas batas negara.
Pengendalian pencemaran air pada sumber air skala nasional dan/atau lintas batas negara.
Koordinasi pengelolaan kualitas air skala provinsi.
Penetapan kelas air pada sumber air skala provinsi.
Koordinasi pemantauan kualitas air pada sumber air skala provinsi.
Penetapan pengendalian pencemaran air pada sumber air skala provinsi.
Pengelolaan kualitas air skala kabupaten/kota.
Penetapan kelas air pada sumber air skala kabupaten/kota.
Pemantauan kualitas air pada sumber air skala kabupaten/kota.
Pengendalian pencemaran air pada sumber air skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Pengawasan pengendalian pencemaran air skala nasional.
Penetapan baku mutu air lebih ketat dan/atau penambahan parameter pada air skala nasional dan/atau lintas batas negara.
Penerapan paksaan pemerintahan atau uang paksa terhadap pelaksanaan penanggulangan pencemaran air skala nasional pada keadaan darurat dan/atau keadaan yang tidak terduga lainnya.
Pengawasan pelaksanaan pengendalian pencemaran air skala provinsi.
Penetapan baku mutu air lebih ketat dan/atau penambahan parameter dari kriteria mutu air skala provinsi.
Penerapan paksaan pemerintahan atau uang paksa terhadap pelaksanaan penanggulangan pencemaran air skala provinsi pada keadaan darurat dan/atau keadaan yang tidak terduga lainnya skala provinsi.
Pengawasan terhadap penaatan persyaratan yang tercantum dalam izin pembuangan air limbah ke air atau sumber air.
Penerapan paksaan pemerintahan atau uang paksa terhadap pelaksanaan penanggulangan pencemaran air skala kabupaten/kota pada keadaan darurat dan/atau keadaan yang tidak terduga lainnya.
Pengaturan pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 8. Pengaturan pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air.
Pengaturan baku mutu air limbah untuk berbagai kegiatan.
Penetapan baku mutu dan peruntukan sungai lintas provinsi.
Pengaturan pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air skala provinsi.
Penetapan baku mutu air limbah untuk berbagai kegiatan sama atau lebih ketat dari pemerintah.
Pembinaan, pengawasan dan evaluasi pelaksanaan pemberian izin pembuangan limbah cair lintas kabupaten/kota.
Perizinan pembuangan air limbah ke air atau sumber air.
Perizinan pemanfaatan air limbah ke tanah untuk aplikasi pada tanah.
— 4. Pengelolaan Kualitas Udara dan Pengendalian Pencemaran Udara.
Pengelolaan Kualitas Udara skala Nasional dan/atau lintas batas negara.
Penetapan baku mutu udara ambien nasional, kebisingan dan getaran lingkungan.
Ɇ 2. Penetapan baku mutu udara ambien daerah lebih ketat atau sama dengan baku mutu udara ambien nasional.
Ɇ 2. Pemantauan kualitas udara ambien, emisi sumber bergerak dan tidak bergerak skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penetapan baku mutu emisi udara sumber tidak bergerak, ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor lama.
Penetapan baku tingkat kebisingan dan getaran sumber tidak bergerak dan baku tingkat kebisingan kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor lama skala nasional.
Penetapan Indeks Standar Pencemar Udara.
Penetapan status mutu udara ambien daerah.
Penetapan baku mutu emisi udara sumber tidak bergerak, ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor lama dan penetapan baku tingkat kebisingan dan getaran sumber tidak bergerak dan baku tingkat kebisingan kendaraan bermotor lama skala provinsi.
Pelaksanaan koordinasi operasional pengendalian pencemaran udara skala provinsi.
Ɇ 4. Pengujian emisi gas buang dan kebisingan kendaraan bermotor lama secara berkala.
Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Koordinasi dan pelaksanaan pemantauan kualitas udara lintas provinsi atau lintas batas negara atau skala global (asap kebakaran hutan, hujan asam dan gas rumah kaca) skala nasional.
Pengaturan pengelolaan kualitas udara dan pengendalian pencemaran udara skala nasional.
Pengawasan terhadap penaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang dapat menyebabkan terjadinya pencemaran 6. Koordinasi dan pelaksanaan pemantauan kualitas udara skala provinsi.
Pembinaan dan pengawasan baku mutu emisi udara sumber tidak bergerak, ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor lama dan penetapan baku tingkat kebisingan dan getaran sumber tidak bergerak dan baku tingkat kebisingan kendaraan bermotor lama skala provinsi.
Pengawasan terhadap penaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang dapat menyebabkan terjadinya pencemaran udara skala 6. Koordinasi dan pelaksanaan pemantauan kualitas udara skala kabupaten/kota 7. — 8. Pengawasan terhadap penaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang dapat menyebabkan terjadinya SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA udara.
Penetapan standar pengelolaan kualitas udara dalam ruangan. provinsi.
Pemantauan kualitas udara dalam ruangan. pencemaran udara dari sumber bergerak dan tidak bergerak skala kabupaten/kota.
Pemantauan kualitas udara ambien dan dalam ruangan.
Pengendalian Pencemaran dan/atau Kerusakan Pesisir dan Laut 1. Penetapan baku mutu air laut skala nasional.
Penetapan kriteria baku kerusakan lingkungan pesisir dan laut skala nasional.
Pemberian izin dumping ke laut.
Penetapan baku mutu air laut skala provinsi.
Penetapan kriteria baku kerusakan lingkungan pesisir dan laut skala provinsi.
Penetapan lokasi dalam pengelolaan konservasi laut skala provinsi.
Pengaturan terhadap pencegahan pencemaran dan perusakan wilayah pesisir dan laut skala kabupaten/kota.
Pengaturan terhadap pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan wilayah pesisir dan laut skala kabupaten/kota.
Penetapan lokasi untuk pengelolaan konservasi laut. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Koordinasi dalam pengelolaan konservasi laut.
Pengawasan terhadap kegiatan pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan oleh provinsi dan kabupaten/kota.
Pemantauan kualitas lingkungan wilayah pesisir dan laut skala nasional.
Pengaturan pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan wilayah pesisir dan laut yang bersifat lintas provinsi atau lintas negara.
Pengawasan terhadap kegiatan pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan oleh kabupaten/kota.
Pemantauan kualitas lingkungan wilayah pesisir dan laut skala provinsi.
Pengaturan pengendalian pencemaran dan kerusakan wilayah pesisir dan laut skala provinsi.
Penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah provinsi atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah.
Pengawasan penaatan instrumen pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan skala kabupaten/kota. 5. Pemantauan kualitas lingkungan wilayah pesisir dan laut skala kabupaten/kota.
Pengaturan pelaksanaan terhadap monitoring kualitas lingkungan pesisir dan laut skala kabupaten/kota.
Penegakan hukum terhadap peraturan pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan pesisir laut yang dikeluarkan oleh daerah kabupaten/kota atau yang dilimpahkan SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA kewenangannya oleh pemerintah.
Pengendalian Pencemaran dan/atau Kerusakan Tanah Akibat Kebakaran Hutan dan/atau Lahan 1. Penetapan kriteria umum baku kerusakan lingkungan hidup nasional yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan.
Penetapan kriteria teknis baku kerusakan lingkungan hidup nasional yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan.
Pengkoordinasian penanggulangan dampak dan pemulihan dampak lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan skala nasional dan/atau lintas batas negara.
— 2. Penetapan kriteria teknis baku kerusakan lingkungan hidup skala provinsi yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan.
Pengkoordinasian penanggulangan kebakaran hutan dan/atau lahan skala provinsi.
— 2. Penetapan kriteria teknis baku kerusakan lingkungan hidup skala kabupaten/kota yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan.
Penanggulangan kebakaran hutan dan/atau lahan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Pengawasan atas pelaksanaan pengendalian kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan yang berdampak atau diperkirakan dapat berdampak skala nasional.
— 4. Pengawasan atas pengendalian kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan yang berdampak atau diperkirakan dapat berdampak skala provinsi.
Pengendalian kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan yang dampaknya skala provinsi.
Pengawasan atas pengendalian kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan yang berdampak atau diperkirakan dapat berdampak skala kabupaten/kota.
Pengendalian kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan skala kabupaten/kota.
Pengendalian Pencemaran dan/atau Kerusakan Tanah Untuk Kegiatan 1. Penetapan kriteria nasional baku kerusakan lahan dan/atau tanah nasional untuk kegiatan pertanian, perkebunan dan hutan 1. Penetapan kriteria provinsi baku kerusakan lahan dan/atau tanah provinsi untuk kegiatan pertanian, perkebunan dan hutan 1. Penetapan kriteria kabupaten/kota baku kerusakan lahan dan/atau tanah kabupaten/kota untuk SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA Produksi Biomassa tanaman.
— 3. Pengawasan atas pelaksanaan pengendalian kerusakan tanah yang berdampak atau diperkirakan dapat berdampak skala nasional.
Pengaturan pengendalian kerusakan lahan dan/atau tanah untuk produksi biomassa skala nasional. tanaman berdasarkan kriteria baku kerusakan tanah nasional.
— 3. Pengawasan atas pengendalian kerusakan lahan dan/atau tanah akibat kegiatan yang berdampak atau yang diperkirakan dapat berdampak skala provinsi.
Pengaturan pengendalian kerusakan lahan dan/atau tanah untuk produksi biomassa skala provinsi. kegiatan pertanian, perkebunan dan hutan tanaman berdasarkan kriteria baku kerusakan tanah nasional.
Penetapan kondisi lahan dan/atau tanah.
Pengawasan atas pengendalian kerusakan lahan dan/atau tanah akibat kegiatan yang berdampak atau yang diperkirakan dapat berdampak skala kabupaten/kota.
Pengaturan pengendalian kerusakan lahan dan/atau tanah untuk produksi biomassa skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 8. Penanggulangan Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Akibat Bencana 1. Penetapan pedoman mekanisme penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan akibat bencana.
— 3. — 1. Penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan akibat bencana skala provinsi.
Penetapan kawasan yang beresiko rawan bencana.
— 1. Penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan akibat bencana skala kabupaten/kota.
Penetapan kawasan yang beresiko rawan bencana skala kabupaten/kota.
Penetapan kawasan yang beresiko menimbulkan bencana lingkungan skala kabupaten/kota.
Standar Nasional Indonesia (SNI) dan Standar Kompetensi Personil Bidang Lingkungan Hidup 1. Penetapan kebijakan, koordinasi penerapan, pembinaan dan pengawasan umum dalam SNI dan standar kompetensi personil bidang pengelolaan lingkungan hidup.
Pembinaan dan pengawasan penerapan SNI dan standar kompetensi personil bidang pengelolaan lingkungan hidup pada skala provinsi.
Pembinaan dan pengawasan penerapan SNI dan standar kompetensi personil bidang pengelolaan lingkungan hidup pada skala kabupaten/kota.
Pengembangan Perangkat 1. Penetapan kebijakan pengembangan instrumen 1. Penetapan peraturan daerah di bidang penerapan 1. Penetapan peraturan daerah di bidang SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA Ekonomi Lingkungan ekonomi dan pedoman penerapannya dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan.
Pembinaan dan pengawasan penerapan instrumen ekonomi dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan.
— instrumen ekonomi yang bersifat lintas kabupaten/kota dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan.
Pembinaan dan pengawasan penerapan instrumen ekonomi yang bersifat lintas kabupaten/kota dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan.
— penerapan instrumen ekonomi untuk pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan kabupaten/kota.
Pembinaan dan pengawasan penerapan instrumen ekonomi dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan untuk daerah yang bersangkutan.
Penerapan instrumen ekonomi dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan.
Penerapan Sistem Manajemen Lingkungan, Ekolabel, 1. Penetapan kebijakan, koordinasi penerapan, pembinaan dan pengawasan umum sistem manajemen lingkungan, ekolabel, 1. Pembinaan dan pengawasan penerapan sistem manajemen lingkungan, ekolabel, produksi bersih, dan teknologi berwawasan lingkungan yang 1. Pembinaan dan pengawasan penerapan sistem manajemen lingkungan, ekolabel, produksi bersih, dan SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA Produksi Bersih, dan Teknologi Berwawasan Lingkungan produksi bersih, dan teknologi berwawasan lingkungan yang mendukung pola produksi dan konsumsi yang berkelanjutan. mendukung pola produksi dan konsumsi yang berkelanjutan pada skala provinsi. teknologi berwawasan lingkungan yang mendukung pola produksi dan konsumsi yang berkelanjutan pada skala kabupaten/kota.
Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) 1. Penetapan kebijakan diklat di bidang lingkungan hidup.
Penyelenggaraan diklat di bidang lingkungan hidup yang bersifat strategis.
Penetapan kurikulum/materi ajar di bidang lingkungan hidup yang berlaku secara nasional.
Penyelenggaraan diklat di bidang lingkungan hidup sesuai permasalahan lingkungan hidup skala provinsi.
Penetapan kurikulum/materi ajar tambahan di bidang lingkungan hidup sesuai dengan karakteristik dan permasalahan provinsi.
— 1. Evaluasi hasil pelaksanaan diklat di kabupaten/kota.
Penyelenggaraan diklat di bidang lingkungan hidup sesuai permasalahan lingkungan hidup skala kabupaten/kota.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Penetapan pedoman penyelenggaraan diklat. 4. — 4. — 13. Pelayanan Bidang Lingkungan Hidup 1. Penetapan standar pelayanan minimal di bidang pengendalian lingkungan hidup.
Penyelenggaraan pelayanan di bidang pengendalian lingkungan hidup skala provinsi.
Penyelenggaraan pelayanan di bidang pengendalian lingkungan hidup skala kabupaten/kota.
Pembinaan dan Pengawasan atas Penyelenggaraan Otonomi Daerah Bidang Lingkungan 1. Pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah di bidang pengendalian lingkungan hidup.
Pengawasan atas pelaksanaan urusan pemerintahan daerah di bidang pengendalian lingkungan hidup.
Pengawasan terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala daerah di bidang pengendalian lingkungan hidup.
— 2. — 3. — 1. — 2. — 3. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 15. Penegakan Hukum Lingkungan 1. Penegakan hukum lingkungan. 1. Penegakan hukum lingkungan skala provinsi. 1. Penegakan hukum lingkungan skala kabupaten/kota.
Perjanjian Internasional di Bidang Pengendalian Dampak Lingkungan 1. Pelaksanaan komitmen perjanjian internasional di bidang pengendalian dampak lingkungan yang meliputi pengesahan, pemantauan penaatan, serta dokumentasi dan diseminasi.
Pengawasan pengendalian pelaksanaan konvensi dan protokol.
Pelaksanaan dan pemantauan penaatan atas perjanjian internasional di bidang pengendalian dampak lingkungan skala provinsi.
Pemantauan pengendalian pelaksanaan konvensi dan protokol skala provinsi.
Pelaksanaan dan pemantauan penaatan atas perjanjian internasional di bidang pengendalian dampak lingkungan skala kabupaten/kota.
Pemantauan pengendalian pelaksanaan konvensi dan protokol skala kabupaten/kota.
Perubahan Iklim dan Perlindungan Atmosfir 1. Penetapan kebijakan pengendalian dampak perubahan iklim.
Penetapan kebijakan pelaksanaan pengendalian dampak perubahan iklim skala provinsi.
Penetapan kebijakan pelaksanaan pengendalian dampak perubahan iklim skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Penetapan kebijakan perlindungan lapisan ozon dan deposisi asam serta pemantauan.
— 2. Penetapan kebijakan perlindungan lapisan ozon dan pemantauan skala provinsi.
Pemantauan dampak deposisi asam skala provinsi.
Penetapan kebijakan perlindungan lapisan ozon dan pemantauan skala kabupaten/kota.
Pemantauan dampak deposisi asam skala kabupaten/kota.
Laboratorium Lingkungan 1. Penetapan kebijakan di bidang laboratorium lingkungan.
Pembinaan dan pengawasan terhadap laboratorium lingkungan.
Penunjukan laboratorium lingkungan yang telah diakreditasi/direkomendasi untuk melakukan analisis lingkungan.
Pembinaan laboratorium lingkungan.
Penyediaan laboratorium lingkungan sesuai dengan kebutuhan daerah.
— 2. Konservasi Sumber Daya Alam (SDA) 1. Keanekaragaman Hayati 1. Koordinasi dalam perencanaan konservasi keanekaragaman hayati skala nasional.
Koordinasi dalam perencanaan konservasi keanekaragaman hayati skala provinsi.
Koordinasi dalam perencanaan konservasi keanekaragaman hayati skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Penetapan kebijakan konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan keanekaragaman hayati skala nasional.
Penetapan kebijakan pengendalian kemerosotan keanekaragaman hayati skala nasional.
Pemantauan dan pengawasan pelaksanaan konservasi keanekaragaman hayati skala nasional.
Penetapan dan pelaksanaan kebijakan konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan keanekaragaman hayati skala provinsi.
Penetapan dan pelaksanaan pengendalian kemerosotan keanekaragaman hayati skala provinsi.
Pemantauan dan pengawasan pelaksanaan konservasi keanekaragaman hayati skala provinsi.
Penetapan dan pelaksanaan kebijakan konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan keanekaragaman hayati skala kabupaten/kota.
Penetapan dan pelaksanaan pengendalian kemerosotan keanekaragaman hayati skala kabupaten/kota.
Pemantauan dan pengawasan pelaksanaan konservasi keanekaragaman hayati skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Pengaturan dan penyelesaian konflik dalam pemanfaatan keanekaragaman hayati skala nasional.
Pengembangan manajemen sistem informasi dan pengelolaan database keanekaragaman hayati skala nasional.
Penyelesaian konflik dalam pemanfaatan keanekaragaman hayati skala provinsi.
Pengembangan manajemen sistem informasi dan pengelolaan database keanekaragaman hayati skala provinsi.
Penyelesaian konflik dalam pemanfaatan keanekaragaman hayati skala kabupaten/kota.
Pengembangan manajemen sistem informasi dan pengelolaan database keanekaragaman hayati skala kabupaten/kota. I. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG PERTANAHAN SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Izin Lokasi 1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur, dan kriteria izin lokasi.
a. Pemberian izin lokasi lintas provinsi.
Ɇ c. Ɇ d. Ɇ 1. Ɇ 2.a. Penerimaan permohonan dan pemeriksaan kelengkapan persyaratan.
Kompilasi bahan koordinasi.
Pelaksanaan rapat koordinasi.
Pelaksanaan peninjauan lokasi.
Ɇ 2.a. Penerimaan permohonan dan pemeriksaan kelengkapan persyaratan.
Kompilasi bahan koordinasi.
Pelaksanaan rapat koordinasi.
Pelaksanaan peninjauan lokasi. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA e. Ɇ f. Ɇ g. Ɇ h. Pembatalan ijin lokasi atas usulan pemerintah provinsi dengan pertimbangan kepala kantor wilayah BPN provinsi e. Penyiapan berita acara koordinasi berdasarkan pertimbangan teknis pertanahan dari kantor wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) provinsi dan pertimbangan teknis lainnya dari instansi terkait.
Pembuatan peta lokasi sebagai lampiran surat keputusan izin lokasi yang diterbitkan.
Penerbitan surat keputusan izin lokasi.
Pertimbangan dan usulan pencabutan izin dan pembatalan surat keputusan izin lokasi atas usulan kabupaten/kota e. Penyiapan berita acara koordinasi berdasarkan pertimbangan teknis pertanahan dari kantor pertanahan kabupaten/kota dan pertimbangan teknis lainnya dari instansi terkait.
Pembuatan peta lokasi sebagai lampiran surat keputusan izin lokasi yang diterbitkan.
Penerbitan surat keputusan izin lokasi.
Pertimbangan dan usulan pencabutan izin dan pembatalan surat keputusan izin lokasi dengan pertimbangan kepala kantor SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Pembinaan, pengendalian dan monitoring terhadap pelaksanaan izin lokasi. dengan pertimbangan kepala kantor wilayah BPN provinsi;
Monitoring dan pembinaan perolehan tanah.
Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum 1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur, dan kriteria pengadaan tanah untuk kepentingan umum 2. Pengadaan tanah untuk pembangunan lintas provinsi.
Ɇ b. Ɇ 1. Ɇ 2. Pengadaan tanah untuk pembangunan lintas kabupaten/kota.
Penetapan lokasi.
Pembentukan panitia pengadaan tanah sesuai dengan peraturan 1. Ɇ 2.a. Penetapan lokasi.
Pembentukan panitia pengadaan tanah sesuai dengan SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c. Ɇ d. Ɇ e. Ɇ f. Ɇ g. Ɇ h. Ɇ perundang-undangan.
Pelaksanaan penyuluhan.
Pelaksanaan inventarisasi.
Pembentukan Tim Penilai Tanah (khusus DKI).
Penerimaan hasil penaksiran nilai tanah dari Lembaga/Tim Penilai Tanah.
Pelaksanaan musyawarah.
Penetapan bentuk dan besarnya ganti kerugian. peraturan perundang- undangan.
Pelaksanaan penyuluhan.
Pelaksanaan inventarisasi.
Pembentukan Tim Penilai Tanah f. Penerimaan hasil penaksiran nilai tanah dari Lembaga/Tim Penilai Tanah.
Pelaksanaan musyawarah.
Penetapan bentuk dan besarnya ganti kerugian. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA i. Ɇ j. — k. — 3. Pembinaan, pengendalian dan monitoring terhadap pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum.
Pelaksanaan pemberian ganti kerugian.
Penyelesaian sengketa bentuk dan besarnya ganti kerugian.
Pelaksanaan pelepasan hak dan penyerahan tanah di hadapan kepala kantor pertanahan kabupaten/kota.
— i. Pelaksanaan pemberian ganti kerugian.
Penyelesaian sengketa bentuk dan besarnya ganti kerugian.
Pelaksanaan pelepasan hak dan penyerahan tanah di hadapan kepala kantor pertanahan kabupaten/kota.
— 3. Penyelesaian Sengketa Tanah Garapan 1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur, dan kriteria penyelesaian 1. — 1. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA sengketa tanah garapan.
— 2. Penyelesaian sengketa tanah garapan lintas kabupaten/kota dan untuk Provinsi DKI Jakarta:
Penerimaan dan pengkajian laporan pengaduan sengketa tanah garapan.
Penelitian terhadap obyek dan subyek sengketa.
Pencegahan meluasnya dampak sengketa tanah garapan.
Koordinasi dengan instansi terkait untuk menetapkan langkah- langkah 2.a.Penerimaan dan pengkajian laporan pengaduan sengketa tanah garapan.
Penelitian terhadap obyek dan subyek sengketa.
Pencegahan meluasnya dampak sengketa tanah garapan.
Koordinasi dengan kantor pertanahan untuk menetapkan langkah-langkah SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Pembinaan, pengendalian dan monitoring terhadap pelaksanaan penanganan sengketa tanah garapan. penanganannya.
Fasilitasi musyawarah antar pihak yang bersengketa untuk mendapatkan kesepakatan para pihak.
— penanganannya.
Fasilitasi musyawarah antar pihak yang bersengketa untuk mendapatkan kesepakatan para pihak.
Ɇ 4. Penyelesaian Masalah Ganti Kerugian dan Santunan Tanah Untuk Pembangunan 1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur, dan kriteria penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan.
Ɇ 1. Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Ɇ 3. — 4. Pembinaan, pengendalian dan monitoring terhadap pelaksanaan pemberian ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan.
— 3. Penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan.
Pembinaan dan pengawasan pemberian ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan.
Pembentukan tim pengawasan pengendalian.
Penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan.
— 5. Penetapan Subyek dan Obyek Redistribusi Tanah, serta Ganti Kerugian Tanah Kelebihan Maksimum dan Tanah Absentee 1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur, dan kriteria penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah 1. — 1. Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA kelebihan maksimum dan tanah absentee.
a.Pembentukan panitia pertimbangan landreform nasional.
Ɇ c. Ɇ d. Ɇ 2.a. Pembentukan panitia pertimbangan landreform provinsi.
Penyelesaian permasalahan penetapan subyek dan obyek tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee.
— d. — 2.a. Pembentukan panitia pertimbangan landreform dan sekretariat panitia.
Pelaksanaan sidang yang membahas hasil inventarisasi untuk penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee.
Pembuatan hasil sidang dalam berita acara.
Penetapan tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee sebagai obyek SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA e. Ɇ f. Ɇ 3. Pembinaan, pengendalian dan monitoring terhadap pelaksanaan penetapan subyek dan obyek tanah, ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee.
— f. — 3. Pembinaan penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee. landreform berdasarkan hasil sidang panitia.
Penetapan para penerima redistribusi tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee berdasarkan hasil sidang panitia.
Penerbitan surat keputusan subyek dan obyek redistribusi tanah serta ganti kerugian.
Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Penetapan Tanah Ulayat 1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur, dan kriteria penetapan dan penyelesaian masalah tanah ulayat.
Ɇ 1. — 2.a. Pembentukan panitia peneliti lintas kabupaten/kota.
Penelitian dan kompilasi hasil penelitian.
Pelaksanaan dengar pendapat umum dalam rangka penetapan tanah ulayat.
Pengusulan rancangan peraturan daerah provinsi tentang penetapan tanah ulayat.
— 2.a. Pembentukan panitia peneliti.
Penelitian dan kompilasi hasil penelitian.
Pelaksanaan dengar pendapat umum dalam rangka penetapan tanah ulayat.
Pengusulan rancangan peraturan daerah tentang penetapan tanah ulayat. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Pembinaan, pengendalian dan monitoring terhadap pelaksanaan penetapan dan penyelesaian masalah tanah ulayat.
Penanganan masalah tanah ulayat melalui musyawarah dan mufakat.
Ɇ 3. — e. Pengusulan pemetaan dan pencatatan tanah ulayat dalam daftar tanah kepada kantor pertanahan kabupaten/kota.
Penanganan masalah tanah ulayat melalui musyawarah dan mufakat.
— 7. Pemanfaatan dan Penyelesaian Masalah Tanah Kosong 1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur, dan kriteria serta pelaksanaan pembinaan dan pengendalian 1. — 1. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong.
Ɇ 2. Penyelesaian masalah tanah kosong. 2.a. Inventarisasi dan identifikasi tanah kosong untuk pemanfaatan tanaman pangan semusim.
Penetapan bidang- bidang tanah sebagai tanah kosong yang dapat digunakan untuk tanaman pangan semusim bersama dengan pihak lain berdasarkan perjanjian.
Penetapan pihak-pihak yang memerlukan tanah untuk tanaman pangan semusim dengan mengutamakan masyarakat setempat.
Fasilitasi perjanjian SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Pembinaan, pengendalian dan monitoring terhadap pelaksanaan 3. Pembinaan pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong. kerjasama antara pemegang hak tanah dengan pihak yang akan memanfaatkan tanah dihadapan/diketahui oleh kepala desa/lurah dan camat setempat dengan perjanjian untuk dua kali musim tanam.
Penanganan masalah yang timbul dalam pemanfaatan tanah kosong jika salah satu pihak tidak memenuhi kewajiban dalam perjanjian.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong.
Izin Membuka Tanah 1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur, dan kriteria serta pelaksanaan pembinaan dan pengendalian pemberian izin membuka tanah.
— 1. — 2. Penyelesaian permasalahan pemberian izin membuka tanah.
— 2.a. Penerimaan dan pemeriksaan permohonan.
Pemeriksaan lapang dengan memperhatikan kemampuan tanah, status tanah dan Rencana Umum Tata Ruang Wilayah (RTRW) kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Pembinaan, pengendalian dan monitoring terhadap pelaksanaan ijin membuka tanah.
Pengawasan dan pengendalian pemberian izin membuka tanah. (Tugas Pembantuan) c. Penerbitan izin membuka tanah dengan memperhatikan pertimbangan teknis dari kantor pertanahan kabupaten/kota.
Pengawasan dan pengendalian penggunaan izin membuka tanah.
— (Tugas Pembantuan) SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 9. Perencanaan Penggunaan Tanah Wilayah Kabupaten/Kota 1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur, dan kriteria perencanaan penggunaan tanah di wilayah kabupaten/kota.
— 1. Perencanaan penggunaan tanah lintas kabupaten/kota yang berbatasan.
— 1. — 2.a. Pembentukan tim koordinasi tingkat kabupaten/kota.
Kompilasi data dan informasi yang terdiri dari :
Peta pola Penatagunaan tanah atau peta wilayah tanah usaha atau peta persediaan tanah dari kantor pertanahan setempat. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2) Rencana Tata Ruang Wilayah.
Rencana pembangunan yang akan menggunakan tanah baik rencana pemerintah, pemerintah kabupaten/kota, maupun investasi swasta.
Analisis kelayakan letak lokasi sesuai dengan ketentuan dan kriteria teknis dari instansi terkait.
Penyiapan draft rencana letak kegiatan penggunaan tanah.
Pelaksanaan rapat koordinasi terhadap draft rencana letak SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA kegiatan penggunaan tanah dengan instansi terkait.
Konsultasi publik untuk memperoleh masukan terhadap draft rencana letak kegiatan penggunaan tanah.
Penyusunan draft final rencana letak kegiatan penggunaan tanah.
Penetapan rencana letak kegiatan penggunaan tanah dalam bentuk peta dan penjelasannya dengan keputusan bupati/walikota.
Sosialisasi tentang rencana letak kegiatan penggunaan tanah kepada instansi terkait. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Pembinaan, pengendalian dan monitoring terhadap pelaksanaan perencanaan penggunaan tanah di wilayah kabupaten/ kota.
— j. Evaluasi dan penyesuaian rencana letak kegiatan penggunaan tanah berdasarkan perubahan RTRW dan perkembangan realisasi pembangunan.
— J. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KEPENDUDUKAN DAN CATATAN SIPIL SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Kebijakan 1. Penetapan kebijakan pendaftaran penduduk skala nasional.
Penetapan norma, standar, prosedur dan kriteria penyelenggaraan pendaftaran penduduk skala nasional.
Penetapan kebijakan pendaftaran penduduk skala provinsi.
— 1. Penetapan kebijakan pendaftaran penduduk skala kabupaten/kota.
— 2. Sosialisasi 1. Fasilitasi, sosialisasi, bimbingan teknis, advokasi, supervisi, dan konsultasi pelaksanaan pendaftaran penduduk dan pemutakhiran data penduduk skala nasional.
Fasilitasi, sosialisasi, bimbingan teknis, advokasi, supervisi, dan konsultasi pelaksanaan pendaftaran penduduk dan pemutakhiran data penduduk skala provinsi.
Fasilitasi, sosialisasi, bimbingan teknis, advokasi, supervisi, dan konsultasi pelaksanaan pendaftaran penduduk skala kabupaten/kota.
Pendaftaran Penduduk 3. Penyelenggaraan 1. Koordinasi penyelenggaraan pendaftaran penduduk skala nasional.
Koordinasi penyelenggaraan pendaftaran penduduk skala provinsi.
Koordinasi penyelenggaraan pendaftaran penduduk skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. — 2. — 2. Penyelenggaraan pelayanan pendaftaran penduduk dalam sistem administrasi kependudukan skala kabupaten/kota, meliputi:
Pencatatan dan pemutakhiran biodata penduduk serta penerbitan Nomor Induk Kependudukan (NIK);
Pendaftaran perubahan alamat;
Pendaftaran pindah datang penduduk dalam wilayah Republik Indonesia;
Pendaftaran Warga Negara Indonesia tinggal sementara;
Pendaftaran pindah datang Antarnegara; SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA f. Pendaftaran penduduk yang tinggal di perbatasan Antarnegara;
Pendataan penduduk rentan Administrasi Kependudukan;
Penerbitan dokumen kependudukan hasil pendaftaran penduduk;
Penatausahaan pendaftaran penduduk.
Pemantauan dan Evaluasi 1. Pemantauan, evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pendaftaran penduduk skala nasional.
Pemantauan, evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pendaftaran penduduk skala provinsi.
Pemantauan, evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pendaftaran penduduk skala kabupaten/kota.
Pembinaan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia 1. Pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia pengelola pendaftaran penduduk skala nasional.
Pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia pengelola pendaftaran penduduk skala provinsi.
Pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia pengelola pendaftaran penduduk skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Pengawasan 1. Pengawasan atas penyelenggaraan pendaftaran penduduk skala nasional.
Pengawasan atas penyelenggaraan pendaftaran penduduk skala provinsi.
Pengawasan atas penyelenggaraan pendaftaran penduduk skala kabupaten/kota.
Kebijakan 1. Penetapan kebijakan pencatatan sipil skala nasional.
Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria penyelenggaraan pencatatan sipil skala nasional.
Penetapan kebijakan pencatatan sipil skala provinsi.
— 1. Penetapan kebijakan pencatatan sipil skala kabupaten/kota.
— 2. Sosialisasi 1. Fasilitasi, sosialisasi, bimbingan teknis, advokasi, supervisi, dan konsultasi pelaksanaan pencatatan sipil skala nasional.
Fasilitasi, sosialisasi, bimbingan teknis, advokasi, supervisi, dan konsultasi pelaksanaan pencatatan sipil skala provinsi.
Fasilitasi, sosialisasi, bimbingan teknis, advokasi, supervisi, dan konsultasi pelaksanaan pencatatan sipil skala kabupaten/kota.
Pencatatan Sipil 3. Penyelenggaraan 1. Koordinasi penyelenggaraan pencatatan sipil skala nasional. 1. Koordinasi penyelenggaraan pencatatan sipil skala provinsi. 1. Koordinasi penyelenggaraan pencatatan sipil skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. — 2. — 2. Penyelenggaraan pelayanan pencatatan sipil dalam sistem administrasi kependudukan skala kabupaten/kota meliputi:
Pencatatan kelahiran;
Pencatatan lahir mati;
Pencatatan perkawinan;
Pencatatan perceraian;
Pencatatan kematian;
Pencatatan pengangkatan anak, pengakuan anak dan pengesahan anak;
Pencatatan perubahan nama;
Pencatatan perubahan status kewarganegaraan; SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA i. Pencatatan peristiwa penting lainnya;
Pencatatan perubahan dan pembatalan akta;
Penerbitan dokumen kependudukan hasil pencatatan sipil;
Penatausahaan dokumen pencatatan sipil.
Pemantauan dan Evaluasi 1. Pemantauan, evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pencatatan sipil skala nasional.
Pemantauan, evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pencatatan sipil skala provinsi.
Pemantauan, evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pencatatan sipil skala kabupaten/kota.
Pembinaan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia 1. Pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia pengelola pencatatan sipil skala nasional.
Pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia pengelola pencatatan sipil skala provinsi.
Pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia pengelola pencatatan sipil skala kabupaten/kota.
Pengawasan 1. Pengawasan atas penyelenggaraan pencatatan sipil skala nasional. 1. Pengawasan atas penyelenggaraan pencatatan sipil skala provinsi.
Pengawasan atas penyelenggaraan pencatatan sipil skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Kebijakan 1. Penetapan kebijakan pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala nasional.
Penetapan norma, standar, prosedur dan kriteria penyelenggaraan pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala nasional.
Penetapan kebijakan pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala provinsi.
— 1. Penetapan kebijakan pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala kabupaten/kota.
— 2. Sosialisasi 1. Fasilitasi, sosialisasi, bimbingan teknis, advokasi, supervisi, dan konsultasi pelaksanaan pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala nasional.
Fasilitasi, sosialisasi, bimbingan teknis, advokasi, supervisi, dan konsultasi pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala provinsi.
Fasilitasi, sosialisasi, bimbingan teknis, advokasi, supervisi, dan konsultasi pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala kabupaten/kota.
Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan 3. Penyelenggaraan 1. Koordinasi penyelenggaraan pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala nasional.
Koordinasi pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala provinsi.
Koordinasi pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pembangunan dan pengembangan jaringan komunikasi data.
— 4. Penyelenggaraan komunikasi data kependudukan skala nasional.
Pembangunan dan pengembangan perangkat lunak.
a.Pembangunan bank data kependudukan nasional.
Pembangunan dan pengembangan jaringan komunikasi data skala provinsi.
Penyediaan perangkat keras dan perlengkapan lainnya serta sarana jaringan komunikasi data di provinsi.
Penyelenggaraan komunikasi data kependudukan skala provinsi.
Pembangunan replikasi data kependudukan di provinsi.
a.Pembangunan bank data kependudukan provinsi.
Pembangunan dan pengembangan jaringan komunikasi data skala kabupaten/kota.
Penyediaan perangkat keras dan perlengkapan lainnya serta jaringan komunikasi data sampai dengan tingkat kecamatan atau kelurahan sebagai tempat pelayanan dokumen penduduk.
Pelaksanaan sistem informasi administrasi kependudukan.
Pembangunan replikasi data kependudukan di kabupaten/kota.
a.Pembangunan bank data kependudukan kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Ɇ 7. — 8. Penyajian dan diseminasi informasi penduduk skala nasional.
a.Perlindungan data pribadi penduduk pada bank data kependudukan nasional.
Ɇ b. Ɇ 7. Ɇ 8. Penyajian dan diseminasi informasi penduduk skala provinsi.
a.Perlindungan data pribadi penduduk pada bank data kependudukan provinsi.
Ɇ b. Pembangunan tempat perekaman data kependudukan di kecamatan.
Perekaman data hasil pelayanan pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil serta pemutakhiran data penduduk menggunakan sistem informasi administrasi kependudukan.
Penyajian dan diseminasi informasi penduduk.
a.Perlindungan data pribadi penduduk pada bank data kependudukan kabupaten/ kota.
Perlindungan data pribadi penduduk dalam proses dan hasil pendaftaran penduduk serta pencatatan sipil. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Pemantauan dan Evaluasi 1. Pemantauan dan evaluasi pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala nasional.
Pemantauan dan evaluasi pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala provinsi.
Pemantauan dan evaluasi pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala kabupaten/kota.
Pembinaan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia 1. Pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia pengelola informasi administrasi kependudukan skala nasional.
Pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia pengelola informasi administrasi kependudukan skala provinsi.
Pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia pengelola informasi administrasi kependudukan skala kabupaten/kota.
Pengawasan 1. Pengawasan atas pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala nasional.
Pengawasan atas pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala provinsi.
Pengawasan atas pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Kebijakan 1. Penetapan kebijakan perkembangan kependudukan skala nasional.
Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria penyelenggaraan pengendalian kuantitas, pengembangan kualitas, pengarahan mobilitas dan persebaran penduduk serta perlindungan penduduk skala nasional.
Penetapan kebijakan perkembangan kependudukan skala provinsi.
Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria penyelenggaraan pengendalian kuantitas, pengembangan kualitas, pengarahan mobilitas dan persebaran penduduk serta perlindungan penduduk skala provinsi.
Penetapan kebijakan perkembangan kependudukan skala kabupaten/kota.
Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria penyelenggaraan pengendalian kuantitas, pengembangan kualitas, pengarahan mobilitas dan persebaran penduduk serta perlindungan penduduk skala kabupaten/ kota.
Perkembangan Kependudukan 2. Sosialisasi 1. Sosialisasi dan koordinasi pelaksanaan kebijakan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/penataan persebaran penduduk, perlindungan penduduk serta pembangunan berwawasan kependudukan skala nasional.
Sosialisasi dan koordinasi pelaksanaan kebijakan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/penataan persebaran penduduk, perlindungan penduduk serta pembangunan berwawasan kependudukan skala provinsi.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penyelenggaraan 1. Pengkajian efektivitas kebijakan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/penataan persebaran penduduk dan perlindungan penduduk serta pembangunan berwawasan kependudukan skala nasional.
— 1. Pengkajian efektivitas kebijakan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/penataan persebaran penduduk dan perlindungan penduduk serta pembangunan berwawasan kependudukan skala provinsi.
— 1. Pelaksanaan kebijakan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/ penataan persebaran penduduk, perlindungan penduduk dalam konteks pembangunan berwawasan kependudukan skala kabupaten/kota.
Pembuatan analisis pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/ penataan persebaran penduduk dan perlindungan penduduk serta pembangunan berwawasan kependudukan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. — 4. — 3. — 4. Pelaporan pelaksanaan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/penataan persebaran penduduk, dan perlindungan penduduk dalam konteks pembangunan berwawasan kependudukan skala provinsi.
Koordinasi dan kerjasama antar daerah dalam pelaksanaan kebijakan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/penataan persebaran penduduk, perlindungan penduduk serta pembangunan berwawasan kependudukan.
Pelaporan pelaksanaan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/ penataan persebaran penduduk, dan perlindungan penduduk dalam konteks pembangunan berwawasan kependudukan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Pemantauan dan Evaluasi 1. Pemantauan dan evaluasi kebijakan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/penataan persebaran penduduk, perlindungan penduduk serta pembangunan berwawasan kependudukan skala nasional.
Pemantauan dan evaluasi kebijakan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/penataan persebaran penduduk, perlindungan penduduk serta pembangunan berwawasan kependudukan skala provinsi.
Pemantauan dan evaluasi kebijakan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/penataan persebaran penduduk, perlindungan penduduk serta pembangunan berwawasan kependudukan skala kabupaten/kota.
Pembinaan dan Fasilitasi 1. Pembinaan dan fasilitasi kebijakan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/penataan persebaran penduduk, perlindungan dan penyerasian penduduk dalam konteks pembangunan berwawasan kependudukan skala nasional.
Pembinaan dan pelaksanaan kebijakan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/penataan persebaran penduduk, perlindungan penduduk dalam konteks pembangunan berwawasan kependudukan skala provinsi.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Pengawasan 1. Pengawasan kebijakan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/penataan persebaran penduduk, perlindungan penduduk, dan pembangunan berwawasan kependudukan skala nasional.
Pengawasan kebijakan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/penataan persebaran penduduk, perlindungan penduduk, dan pembangunan berwawasan kependudukan skala provinsi.
Pengawasan kebijakan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/penataan persebaran penduduk, perlindungan penduduk, dan pembangunan berwawasan kependudukan skala kabupaten/kota.
Perencanaan Kependudukan 1. Kebijakan 1. Penetapan kebijakan perencanaan kependudukan skala nasional.
Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria indikator kependudukan, proyeksi penduduk dan analisis dampak kependudukan.
Penetapan kebijakan perencanaan kependudukan skala provinsi.
— 1. Penetapan kebijakan perencanaan kependudukan skala kabupaten/kota.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Sosialisasi 1. Fasilitasi dan sosialisasi indikator kependudukan, proyeksi penduduk dan analisis dampak kependudukan, serta penyerasian kebijakan kependudukan skala nasional.
Fasilitasi dan sosialisasi indikator kependudukan, proyeksi penduduk dan analisis dampak kependudukan, serta penyerasian kebijakan kependudukan skala provinsi.
— 3. Penyelenggaraan 1.a.Penyerasian dan harmonisasi kebijakan kependudukan pada tataran horizontal, vertikal, dan diagonal antar lembaga pemerintah dan lembaga non pemerintah pengelola bidang kependudukan skala nasional.
— 1.a.Penyerasian dan harmonisasi kebijakan kependudukan pada tataran horizontal, vertikal, dan diagonal antar lembaga pemerintah dan lembaga non pemerintah pengelola bidang kependudukan skala provinsi.
— 1.a.Penyerasian dan harmonisasi kebijakan kependudukan antar dan dengan lembaga pemerintah dan non pemerintah pada skala kabupaten/kota.
Penyelenggaraan kerjasama dengan organisasi kemasyarakatan dalam rangka tertib administrasi kependudukan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Penetapan dan pengembangan indikator kependudukan, proyeksi penduduk, dan analisis dampak kependudukan skala nasional.
Koordinasi dan sosialisasi hasil penyusunan indikator, proyeksi, dan analisis dampak kependudukan serta kebijakan kependudukan kepada khalayak sasaran skala nasional.
Penilaian dan pelaporan kinerja pembangunan kependudukan secara periodik.
Penetapan indikator kependudukan, proyeksi penduduk, dan analisis dampak kependudukan skala provinsi.
Koordinasi dan sosialisasi hasil penyusunan indikator, proyeksi, dan analisis dampak kependudukan serta kebijakan kependudukan kepada khalayak sasaran skala provinsi.
Penilaian dan pelaporan kinerja pembangunan kependudukan secara periodik.
Penetapan indikator kependudukan, proyeksi penduduk, dan analisis dampak kependudukan skala kabupaten/kota.
Koordinasi dan sosialisasi hasil penyusunan indikator, proyeksi, dan analisis dampak kependudukan serta kebijakan kependudukan kepada khalayak sasaran.
Penilaian dan pelaporan kinerja pembangunan kependudukan secara periodik. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Pendayagunaan informasi atas indikator kependudukan dan analisis dampak kependudukan untuk perencanaan pembangunan berbasis penduduk skala nasional.
Pendayagunaan informasi atas indikator kependudukan dan analisis dampak kependudukan untuk perencanaan pembangunan berbasis penduduk skala provinsi.
Pendayagunaan informasi atas indikator kependudukan dan analisis dampak kependudukan untuk perencanaan pembangunan berbasis penduduk skala kabupaten/kota.
Pemantauan dan Evaluasi 1. Pemantauan, evaluasi, dan pelaporan indikator kependudukan, proyeksi penduduk dan analisis dampak kependudukan, serta penyerasian kebijakan kependudukan skala nasional.
Pemantauan, evaluasi, dan pelaporan indikator kependudukan, proyeksi penduduk dan analisis dampak kependudukan, serta penyerasian kebijakan kependudukan skala provinsi.
Pemantauan, evaluasi, dan pelaporan indikator kependudukan, proyeksi penduduk dan analisis dampak kependudukan, serta penyerasian kebijakan kependudukan skala kabupaten/kota.
Pembinaan 1. Bimbingan teknis, advokasi, fasilitasi, dan sosialisasi indikator kependudukan, proyeksi penduduk dan analisis dampak kependudukan, serta penyerasian kebijakan kependudukan skala nasional.
Bimbingan teknis, advokasi, fasilitasi, dan sosialisasi indikator kependudukan, proyeksi penduduk dan analisis dampak kependudukan, serta penyerasian kebijakan kependudukan skala provinsi.
Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Pengawasan 1. Pengawasan indikator kependudukan, proyeksi penduduk dan analisis dampak kependudukan, serta penyerasian kebijakan kependudukan skala nasional.
Pengawasan indikator kependudukan, proyeksi penduduk dan analisis dampak kependudukan, serta penyerasian kebijakan kependudukan skala provinsi.
Pengawasan indikator kependudukan, proyeksi penduduk dan analisis dampak kependudukan, serta penyerasian kebijakan kependudukan skala kabupaten/kota. K. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN\KOTA 1. Pengarusutamaan Gender (PUG) 1. Kebijakan Pelaksanaan PUG 1. Penetapan kebijakan nasional pelaksanaan PUG.
Koordinasi, fasilitasi, dan mediasi pelaksanaan kebijakan PUG skala nasional.
Penetapan kebijakan daerah pelaksanaan PUG di provinsi.
Koordinasi, fasilitasi dan mediasi pelaksanaan kebijakan PUG skala provinsi.
Penetapan kebijakan daerah pelaksanaan PUG di kabupaten/ kota.
Koordinasi, fasilitasi dan mediasi pelaksanaan PUG skala kabupaten/kota.
Kelembagaan PUG 1. Fasilitasi penguatan kelembagaan dan pengembangan mekanisme PUG pada lembaga pemerintahan, Pusat Studi Wanita (PSW), lembaga penelitian dan pengembangan, lembaga non pemerintah skala nasional.
Fasilitasi penguatan kelembagaan dan pengembangan mekanisme PUG pada lembaga pemerintahan, PSW, lembaga penelitian dan pengembangan, lembaga non pemerintah skala provinsi.
Fasilitasi penguatan kelembagaan dan pengembangan mekanisme PUG pada lembaga pemerintahan, PSW, lembaga penelitian dan pengembangan, lembaga non pemerintah skala kabupaten/ kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN\KOTA 2. Pengembangan dan fasilitasi pelaksanaan kebijakan, program dan kegiatan yang responsif gender skala nasional.
Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan PUG secara nasional dan provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi pelaksanaan kebijakan, program dan kegiatan yang responsif gender skala provinsi.
Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan PUG skala provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi kebijakan, program dan kegiatan yang responsif gender skala kabupaten/kota.
Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan PUG skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan PUG 1. Pemberian bantuan teknis dan fasilitasi pelaksanaan PUG (penetapan panduan umum analisis gender , perencanaan anggaran yang responsif gender , materi Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) PUG) skala nasional.
Pemberian bantuan teknis, fasilitasi pelaksanaan PUG (analisis gender , perencanaan anggaran yang responsif gender , dan pengembangan materi KIE PUG) skala provinsi.
Pelaksanaan analisis gender , perencanaan anggaran yang responsif gender , dan pengembangan materi KIE PUG skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN\KOTA 2. Pelaksanaan PUG yang terkait dengan bidang pembangunan terutama di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) dan politik skala nasional.
Fasilitasi penyediaan data terpilah menurut jenis kelamin skala nasional.
Pelaksanaan PUG yang terkait dengan bidang pembangunan terutama di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum dan HAM dan politik skala provinsi.
Fasilitasi penyediaan data terpilah menurut jenis kelamin skala provinsi.
Pelaksanaan PUG yang terkait dengan bidang pembangunan terutama di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum dan HAM dan politik skala kabupaten/kota.
Fasilitasi penyediaan data terpilah menurut jenis kelamin skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN\KOTA 2. Kualitas Hidup dan Perlindungan Perempuan 1. Kebijakan Kualitas Hidup Perempuan 1.Penetapan kebijakan nasional peningkatan kualitas hidup perempuan yang terkait dengan bidang pembangunan terutama bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum dan HAM, politik, lingkungan, dan sosial budaya skala nasional.
Penyelenggaraan kebijakan provinsi peningkatan kualitas hidup perempuan yang terkait dengan bidang pembangunan terutama bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum dan HAM, politik, lingkungan, dan sosial budaya skala provinsi.
Penyelenggaraan kebijakan kabupaten/kota peningkatan kualitas hidup perempuan yang terkait dengan bidang pembangunan terutama dibidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum dan HAM, politik, lingkungan, dan sosial budaya skala kabupaten/kota.
Pengintegrasian Kebijakan Kualitas Hidup Perempuan 1. Fasilitasi pengintegrasian isu gender dalam kebijakan bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum dan HAM, politik, lingkungan, dan sosial budaya skala nasional.
Fasilitasi pengintegrasian upaya peningkatan kualitas hidup perempuan dalam kebijakan bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum dan HAM, politik, lingkungan, dan sosial budaya skala provinsi.
Pengintegrasian upaya peningkatan kualitas hidup perempuan dalam kebijakan bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum dan HAM, politik, lingkungan, dan sosial budaya skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN\KOTA 3. Koordinasi Pelaksanaan Kebijakan Kualitas Hidup Perempuan 1. Koordinasi pelaksanaan kebijakan kualitas hidup perempuan dalam bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum dan HAM, politik, lingkungan, dan sosial budaya skala nasional.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan kualitas hidup perempuan dalam bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum dan HAM, politik, lingkungan, dan sosial budaya skala provinsi.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan kualitas hidup perempuan dalam bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum dan HAM, politik, lingkungan, dan sosial budaya skala kabupaten/kota.
Kebijakan Perlindungan Perempuan 1. Penetapan kebijakan nasional perlindungan perempuan terutama perlindungan terhadap kekerasan, tenaga kerja perempuan, perempuan lanjut usia dan penyandang cacat, dan perempuan di daerah konflik dan daerah yang terkena bencana.
Penyelengaraan kebijakan provinsi perlindungan perempuan terutama perlindungan terhadap kekerasan, tenaga kerja perempuan, perempuan lanjut usia dan penyandang cacat, dan perempuan di daerah konflik dan daerah yang terkena bencana skala provinsi.
Penyelenggaraan kebijakan kabupaten/kota perlindungan perempuan terutama perlindungan terhadap kekerasan, tenaga kerja perempuan, perempuan lanjut usia dan penyandang cacat, dan perempuan di daerah konflik dan daerah yang terkena bencana skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN\KOTA 5. Pengintegrasian Kebijakan Perlindungan Perempuan 1. Fasilitasi pengintegrasian kebijakan nasional perlindungan perempuan terutama perlindungan terhadap kekerasan, tenaga kerja perempuan, perempuan lanjut usia dan penyandang cacat, dan perempuan di daerah konflik dan daerah yang terkena bencana.
Fasilitasi pengintegrasian kebijakan provinsi perlindungan perempuan terutama perlindungan terhadap kekerasan, tenaga kerja perempuan, perempuan lanjut usia dan penyandang cacat, dan perempuan di daerah konflik dan daerah yang terkena bencana skala provinsi.
Fasilitasi pengintegrasian kebijakan kabupaten/kota perlindungan perempuan terutama perlindungan terhadap kekerasan, tenaga kerja perempuan, perempuan lanjut usia dan penyandang cacat, dan perempuan di daerah konflik dan daerah yang terkena bencana skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN\KOTA 6. Koordinasi Pelaksanaan Kebijakan Perlindungan Perempuan 1. Koordinasi pelaksanaan kebijakan perlindungan perempuan terutama perlindungan terhadap kekerasan, tenaga kerja perempuan, perempuan lanjut usia dan penyandang cacat, dan perempuan di daerah konflik dan daerah yang terkena bencana skala nasional.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan perlindungan perempuan terutama perlindungan terhadap kekerasan, tenaga kerja perempuan, perempuan lanjut usia dan penyandang cacat, dan perempuan di daerah konflik dan daerah yang terkena bencana skala provinsi.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan perlindungan perempuan terutama perlindungan terhadap kekerasan, tenaga kerja perempuan, perempuan lanjut usia dan penyandang cacat, dan perempuan di daerah konflik dan daerah yang terkena bencana skala kabupaten/kota.
Perlindungan Anak 1. Kebijakan Kesejahteraan dan Perlindungan Anak 1. Penetapan kebijakan nasional dalam rangka kesejahteraan dan perlindungan anak.
Ɇ 1. Pelaksanaan kebijakan dalam rangka kesejahteraan dan perlindungan anak skala provinsi.
Penetapan kebijakan daerah tentang kesejahteraan dan perlindungan anak skala provinsi.
Pelaksanaan kebijakan dalam rangka kesejahteraan dan perlindungan anak skala kabupaten/kota.
Penetapan kebijakan daerah untuk kesejahteraan dan perlindungan anak skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN\KOTA 2. Pengintegrasian Hak-Hak Anak dalam Kebijakan dan Program Pembangunan 1. Pengintegrasian hak-hak anak dalam kebijakan dan program pembangunan nasional.
Pengintegrasian hak-hak anak dalam kebijakan dan program pembangunan skala provinsi.
Pengintegrasian hak-hak anak dalam kebijakan dan program pembangunan skala kabupaten/ kota.
Koordinasi Pelaksanaan Kesejahteraan dan Perlindungan Anak 1. Koordinasi pelaksanaan kesejahteraan dan perlindungan anak skala nasional.
Koordinasi pelaksanaan kesejahteraan dan perlindungan anak skala provinsi.
Koordinasi pelaksanaan kesejahteraan dan perlindungan anak skala kabupaten/kota.
Pemberdayaan Lembaga Masyarakat dan Dunia Usaha 1. Penguatan Lembaga/ Organisasi Masyarakat dan Dunia Usaha untuk Pelaksanaan PUG dan Peningkatan Kesejahteraan dan Perlindungan Anak 1. Fasilitasi penguatan lembaga/organisasi masyarakat dan dunia usaha untuk pelaksanaan PUG dan peningkatan kesejahteraan dan perlindungan anak skala nasional.
Fasilitasi penguatan lembaga/organisasi masyarakat dan dunia usaha untuk pelaksanaan PUG dan peningkatan kesejahteraan dan perlindungan anak skala provinsi.
Fasilitasi penguatan lembaga/organisasi masyarakat dan dunia usaha untuk pelaksanaan PUG dan peningkatan kesejahteraan dan perlindungan anak skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN\KOTA 2. Pengembangan dan Penguatan Jaringan Kerja Lembaga Masyarakat dan Dunia Usaha untuk Pelaksanaan PUG, Kesejahteraan dan Perlindungan Anak 1. Fasilitasi pengembangan dan penguatan jaringan kerja lembaga masyarakat dan dunia usaha untuk pelaksanaan PUG, kesejahteraan dan perlindungan anak skala nasional.
Penetapan strategi rekayasa sosial untuk mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) dan perlindungan anak.
Fasilitasi pengembangan dan penguatan jaringan kerja lembaga masyarakat dan dunia usaha untuk pelaksanaan PUG, kesejahteraan dan perlindungan anak skala provinsi.
Fasilitasi lembaga masyarakat untuk melaksanakan rekayasa sosial untuk mewujudkan KKG dan perlindungan anak skala provinsi.
Fasilitasi pengembangan dan penguatan jaringan kerja lembaga masyarakat dan dunia usaha untuk pelaksanaan PUG, kesejahteraan dan perlindungan anak skala kabupaten/kota.
Fasilitasi lembaga masyarakat untuk melaksanakan rekayasa sosial untuk mewujudkan KKG dan perlindungan anak skala kabupaten/kota.
Data dan Informasi Gender dan Anak 1. Data Terpilah menurut Jenis Kelamin dari di Setiap Bidang Terkait 1. Pengembangan dan penetapan kebijakan nasional sistem informasi gender dan anak.
Penjabaran dan penetapan kebijakan sistem informasi gender dan anak skala provinsi dengan merujuk pada kebijakan nasional.
Penjabaran dan penetapan kebijakan sistem informasi gender dan anak skala kabupaten/kota dengan merujuk pada kebijakan nasional. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN\KOTA 2. Data dan Informasi Gender dan Anak 1. Pengembangan dan penyusunan panduan umum, mekanisme pengumpulan, pengolahan, analisis, diseminasi dan dokumentasi sistem informasi gender dan anak.
Advokasi, mediasi dan fasilitasi pelaksanaan sistem infomasi gender dan anak.
Koordinasi pelaksanaan sistem informasi gender dan anak skala provinsi.
Fasilitasi pelaksanaan sistem informasi gender dan anak.
Pelaksanaan pengumpulan, pengolahan dan analisis, pemanfaatan dan penyebarluasan sistem informasi gender dan anak skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan pengumpulan, pengolahan dan analisis, pemanfaatan dan penyebarluasan sistem informasi gender dan anak.
Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) 1. Promosi dan advokasi data dan informasi terpilah menurut jenis kelamin, khusus perempuan dan anak skala nasional.
Kompilasi data terpilah menurut jenis kelamin, khusus perempuan dan anak skala provinsi.
Analisis, pemanfaatan, penyebarluasan dan pendokumentasian data terpilah menurut jenis kelamin, khusus perempuan dan anak skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN\KOTA 2. Kompilasi data terpilah menurut jenis kelamin, khusus perempuan, dan anak skala nasional.
Pengembangan metode analisis gender dan penyusunan model informasi data skala nasional.
Analisis, pemanfaatan dan penyebarluasan, pendokumentasian data terpilah menurut jenis kelamin, khusus perempuan dan anak skala nasional.
Pemantauan dan evaluasi kebijakan dan pelaksanaan pendataan dan sistem informasi gender skala nasional.
Analisis, pemanfaatan dan penyebarluasan, pendokumentasian data terpilah menurut jenis kelamin, khusus perempuan dan anak skala provinsi.
Penyusunan model informasi data (mediasi dan advokasi) skala provinsi.
Pemantauan dan evaluasi serta pelaporan pelaksanaan pendataan dan sistem informasi gender dan anak skala provinsi.
Ɇ 2. Pemantauan dan evaluasi serta pelaporan pelaksanaan pendataan dan sistem informasi gender dan anak skala kabupaten/kota.
Penyusunan model informasi data (mediasi dan advokasi) skala kabupaten/kota.
Ɇ 5. Ɇ L. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KELUARGA BERENCANA DAN KELUARGA SEJAHTERA SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Pelayanan Keluarga Berencana (KB) dan Kesehatan Reproduksi 1. Kebijakan dan Pelaksanaan Jaminan dan Pelayanan KB, Peningkatan Partisipasi Pria, Penanggulangan Masalah Kesehatan Reproduksi, serta Kelangsungan Hidup Ibu, Bayi dan Anak 1.a.Penetapan kebijakan dan pengembangan pelayanan KB, peningkatan partisipasi pria, penanggulangan masalah kesehatan reproduksi, dan kelangsungan hidup ibu, bayi, dan anak skala nasional.
Ɇ 1.a.Penetapan kebijakan jaminan dan pelayanan KB, peningkatan partisipasi pria, penanggulangan masalah kesehatan reproduksi serta kelangsungan hidup ibu, bayi, dan anak skala provinsi.
Pemberian dukungan operasional jaminan dan pelayanan KB, peningkatan partisipasi pria, penanggulangan masalah kesehatan reproduksi, serta kelangsungan hidup ibu, bayi dan anak skala provinsi.
a. Penetapan kebijakan jaminan dan pelayanan KB, peningkatan partisipasi pria, penanggulangan masalah kesehatan reproduksi, serta kelangsungan hidup ibu, bayi, dan anak skala kabupaten/ kota.
Penyelenggaraan dukungan pelayanan rujukan KB dan kesehatan reproduksi, operasionalisasi jaminan dan pelayanan KB, peningkatan partisipasi pria, penanggulangan masalah kesehatan reproduksi, serta kelangsungan hidup ibu, bayi dan anak skala kabupaten/ kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c. Ɇ 2.a.Penetapan pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria dan pengembangan jaminan dan pelayanan KB, peningkatan partisipasi pria, penanggulangan masalah kesehatan reproduksi, serta kelangsungan hidup ibu, bayi dan anak skala nasional.
Ɇ 2.a. Pemberian dukungan pelaksanaan pedoman upaya peningkatan jaminan dan pelayanan KB, peningkatan partisipasi pria, penanggulangan masalah kesehatan reproduksi, serta kelangsungan hidup ibu, bayi dan anak skala provinsi.
Penetapan dan pengembangan jaringan pelayanan KB dan kesehatan reproduksi, termasuk pelayanan KB di rumah sakit skala kabupaten/kota.
a. Penetapan perkiraan sasaran pelayanan KB, sasaran peningkatan perencanaan kehamilan, sasaran peningkatan partisipasi pria, sasaran “ Unmet Need ”, sasaran penanggulangan masalah kesehatan reproduksi, serta sasaran kelangsungan hidup ibu, bayi dan anak skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Ɇ 3.a.Pengelolaan jaminan dan pelayanan KB, peningkatan partisipasi pria, penanggulangan masalah kesehatan reproduksi serta kelangsungan hidup ibu, bayi dan anak skala nasional.
Ɇ b. Ɇ 3.a.Pengelolaan jaminan dan pelayanan KB, peningkatan partisipasi pria, penanggulangan masalah kesehatan reproduksi, serta kelangsungan hidup ibu, bayi dan anak skala provinsi.
Ɇ b. Penyerasian dan penetapan kriteria serta kelayakan tempat pelayanan KB dan kesehatan reproduksi, peningkatan partisipasi pria, penanggulangan masalah kesehatan reproduksi, serta kelangsungan hidup ibu, bayi dan anak skala kabupaten/ kota.
a. Pelaksanaan jaminan dan pelayanan KB, peningkatan partisipasi pria, penanggulangan masalah kesehatan reproduksi, serta kelangsungan hidup ibu, bayi dan anak skala kabupaten/ kota.
Pemantauan tingkat drop out peserta KB. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c. Ɇ d. Ɇ e. Ɇ f. Ɇ g. Ɇ c. Ɇ d. Ɇ e. Ɇ f. Ɇ g. Ɇ c. Pengembangan materi penyelenggaraan jaminan dan pelayanan KB dan pembinaan penyuluh KB.
Perluasan jaringan dan pembinaan pelayanan KB.
Penyelenggaraan dukungan pelayanan rujukan KB dan kesehatan reproduksi.
Penyelenggaraan dan fasilitasi upaya peningkatan kesadaran keluarga berkehidupan seksual yang aman dan memuaskan, terbebas dari HIV/AIDS dan Infeksi Menular Seksual (IMS).
Pembinaan penyuluh KB. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA h. Ɇ 4.a. Penyediaan sarana, alat, obat, dan cara kontrasepsi skala nasional.
Ɇ c. Ɇ h. Ɇ 4.a. Penyediaan sarana, alat, obat, dan cara kontrasepsi skala provinsi.
Ɇ c. Ɇ h. Peningkatan kesetaraan dan keadilan gender terutama partisipasi KB pria dalam pelaksanaan program pelayanan KB dan kesehatan reproduksi.
a. Penyediaan sarana dan prasarana pelayanan kontrasepsi mantap dan kontrasepsi jangka panjang yang lebih terjangkau, aman, berkualitas dan merata skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan distribusi dan pengadaan sarana, alat, obat, dan cara kontrasepsi, dan pelayanannya dengan prioritas keluarga miskin dan kelompok rentan skala kabupaten/kota.
Penjaminan ketersediaan sarana, alat, obat, dan cara kontrasepsi bagi peserta mandiri skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5.a. Penetapan pedoman dan pengembangan model promosi pemenuhan hak-hak reproduksi dan promosi kesehatan reproduksi skala nasional.
Ɇ 5.a. Pemberian dukungan penyelenggaraan promosi pemenuhan hak-hak reproduksi dan promosi kesehatan reproduksi skala provinsi.
Ɇ 5.a. Pelaksanaan promosi pemenuhan hak-hak reproduksi dan promosi kesehatan reproduksi skala kabupaten/ kota.
Pelaksanaan informed choice dan informed consent dalam program KB.
Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR) 1. Kebijakan dan Pelaksanaan KRR dan Perlindungan Hak-Hak Reproduksi 1.a.Penetapan kebijakan dan pengembangan KRR, pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya Narkotika, Alkohol, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA) skala nasional.
Ɇ 1.a.Penetapan kebijakan KRR, pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA skala provinsi.
Pemberian dukungan operasional KRR, pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA skala provinsi.
a. Penetapan kebijakan KRR, pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA skala kabupaten/ kota.
Penyelenggaraan dukungan operasional KRR, pencegahan HIV/AIDS, IMS dan NAPZA skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2.a. Penetapan pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria dan pengembangan KRR, pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA skala nasional.
Ɇ 3.a. Pengelolaan KRR, pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA skala nasional.
a. Fasilitasi pelaksanaan pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria KRR, pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA skala provinsi.
Ɇ 3.a. Pengelolaan KRR, pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA skala provinsi.
a.Penetapan perkiraan sasaran pelayanan KRR, pencegahan HIV/AIDS, IMS dan NAPZA skala kabupaten/kota.
Penyerasian dan penetapan kriteria serta kelayakan tempat pelayanan KRR termasuk pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA skala kabupaten/ kota.
a. Penyelenggaraan pelayanan KRR termasuk pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA skala kabupaten/ kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Ɇ c. Ɇ d. Ɇ e. Ɇ b. Ɇ c. Ɇ d. Ɇ e. Ɇ b. Penyelenggaraan kemitraan pelaksanaan KRR termasuk pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA baik antara sektor pemerintah dengan sektor Lembaga Swadaya Organisasi Masyarakat (LSOM) skala kabupaten/kota.
Penetapan fasilitas pelaksanaan KRR termasuk pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA baik antara sektor pemerintah dengan sektor LSOM skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan KRR termasuk pencegahan HIV/AIDS, IMS dan NAPZA baik antara sektor pemerintah dengan sektor LSOM skala kabupaten/kota.
Penetapan sasaran KRR termasuk pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA f. Ɇ 4. Pengembangan SDM pengelola, pendidik sebaya dan konselor sebaya KRR termasuk pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA baik antara sektor pemerintah dengan sektor LSOM skala nasional.
Ɇ 4. Pendayagunaan SDM pengelola, pendidik sebaya dan konselor sebaya KRR termasuk pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA baik antara sektor pemerintah dengan sektor LSOM skala provinsi. f .Penetapan prioritas kegiatan KRR termasuk pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA skala kabupaten/kota.
Pemanfaatan tenaga SDM pengelola, pendidik sebaya dan konselor sebaya KRR termasuk pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA baik antara sektor pemerintah dengan sektor LSOM skala kabupaten/kota.
Ketahanan dan Pemberdayaan Keluarga 1. Kebijakan dan Pelaksanaan Pengembangan Ketahanan dan Pemberdayaan Keluarga 1.a.Penetapan kebijakan dan pengembangan ketahanan dan pemberdayaan keluarga skala nasional.
Ɇ 1.a. Penetapan kebijakan dan pengembangan ketahanan dan pemberdayaan keluarga skala provinsi.
Ɇ 1.a. Penetapan kebijakan dan pengembangan ketahanan dan pemberdayaan keluarga skala kabupaten/kota.
Penyelenggaraan dukungan pelayanan ketahanan dan pemberdayaan keluarga skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2.a. Penetapan pedoman, norma, standar, prosedur, kriteria, dan pengembangan ketahanan dan pemberdayaan keluarga skala nasional.
Ɇ 3.a. Pengelolaan ketahanan dan pemberdayaan keluarga skala nasional.
Ɇ 2.a. Fasilitasi pelaksanaan pedoman, norma, standar, prosedur, kriteria, dan pengembangan ketahanan dan pemberdayaan keluarga skala provinsi.
Ɇ 3.a. Pengelolaan operasional ketahanan dan pemberdayaan keluarga skala provinsi.
Ɇ 2.a. Penyerasian penetapan kriteria pengembangan ketahanan dan pemberdayaan keluarga skala kabupaten/kota.
Penetapan sasaran Bina Keluarga Balita (BKB), Bina Keluarga Remaja (BKR), dan Bina Keluarga Lansia (BKL) skala kabupaten/ kota.
a. Penyelenggaraan BKB, BKR, dan BKL termasuk pendidikan pra- melahirkan skala kabupaten/ kota.
Pelaksanaan ketahanan dan pemberdayaan keluarga skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c. Ɇ d. Ɇ e. Ɇ f. Ɇ c. Ɇ d. Ɇ e. Ɇ f. Ɇ c. Pelaksanaan model-model kegiatan ketahanan dan pemberdayaan keluarga skala kabupaten/kota.
Pembinaan teknis peningkatan pengetahuan, keterampilan, kewirausahaan dan manajemen usaha bagi keluarga pra sejahtera dan keluarga sejahtera I alasan ekonomi dalam kelompok Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera (UPPKS) skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan pendampingan/ magang bagi para kader/anggota kelompok UPPKS skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan kemitraan untuk aksesibilitas permodalan, teknologi, dan manajemen serta pemasaran guna peningkatan UPPKS skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA g. Ɇ g. Ɇ g. Peningkatan kualitas lingkungan keluarga skala kabupaten/kota.
Penguatan Pelembagaan Keluarga Kecil Berkualitas 1. Kebijakan dan Pelaksanaan Penguatan Pelembagaan Keluarga Kecil Berkualitas dan Jejaring Program 1.a. Penetapan kebijakan dan pengembangan penguatan pelembagaan keluarga kecil berkualitas dan jejaring program skala nasional.
Ɇ 2.a. Penetapan pedoman, norma, standar, prosedur dan kriteria dan pengembangan penguatan pelembagaan keluarga kecil berkualitas dan jejaring program skala nasional.
a. Penetapan kebijakan dan pengembangan penguatan pelembagaan keluarga kecil berkualitas dan jejaring program skala provinsi.
Ɇ 2.a.Fasilitasi pelaksanaan pedoman, norma, standar, prosedur dan kriteria penguatan pelembagaan keluarga kecil berkualitas dan jejaring program skala provinsi.
a. Penetapan kebijakan dan pengembangan penguatan pelembagaan keluarga kecil berkualitas dan jejaring program skala kabupaten/kota.
Penyelenggaraan dukungan operasional penguatan pelembagaan keluarga kecil berkualitas dan jejaring program skala kabupaten/kota.
a.Penetapan perkiraan sasaran pengembangan penguatan pelembagaan keluarga kecil berkualitas dan jejaring program skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Ɇ c. Ɇ d. Ɇ e. Ɇ f. Ɇ b. Ɇ c. Ɇ d. Ɇ e. Ɇ f. Ɇ b. Pemanfaatan pedoman pelaksanaan penilaian angka kredit jabatan fungsional penyuluh KB.
Penetapan petunjuk teknis pengembangan peran Institusi Masyarakat Pedesaan/Perkotaan (IMP) dalam program KB nasional.
Penetapan formasi dan sosialisasi jabatan fungsional penyuluh KB.
Pendayagunaan pedoman pemberdayaan dan penggerakan institusi masyarakat program KB nasional dalam rangka kemandirian.
Penetapan petunjuk teknis peningkatan peran serta mitra program KB nasional. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. a. Pengelolaan penguatan pelembagaan keluarga kecil berkualitas dan jejaring program skala nasional.
Ɇ c. Ɇ d. Ɇ e. Ɇ 3.a. Pengelolaan operasional penguatan pelembagaan keluarga kecil berkualitas dan jejaring program skala provinsi.
Penyiapan pelaksanaan pengkajian dan pengembangan program KB nasional, serta pemanfaatan hasil kajian dan penelitian.
Ɇ d. Ɇ e. Ɇ 3.a. Pelaksanaan pengelolaan personil, sarana dan prasarana dalam mendukung program KB nasional, termasuk jajaran medis teknis tokoh masyarakat dan tokoh agama.
Penyediaan dan pemberdayaan tenaga fungsional penyuluh KB.
Penyediaan dukungan operasional penyuluh KB.
Penyediaan dukungan operasional IMP dalam program KB nasional.
Pelaksanaan pembinaan teknis IMP dalam program KB nasional. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA f. Ɇ g. Ɇ h. Ɇ i. Ɇ j. Ɇ f. Ɇ g. Ɇ h. Ɇ i. Ɇ j. Ɇ f. Pelaksanaan peningkatan kerjasama dengan mitra kerja program KB nasional dalam rangka kemandirian.
Penyiapan pelaksanaan pengkajian dan pengembangan program KB nasional di kabupaten/kota.
Pemanfaatan hasil kajian dan penelitian.
Pendayagunaan kerjasama jejaring pelatih terutama pelatihan klinis kabupaten/kota.
Pendayagunaan SDM program terlatih, serta perencanaan dan penyiapan kompetensi SDM program yang dibutuhkan kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA k. Ɇ k. Ɇ k. Pendayagunaan bahan pelatihan sesuai dengan kebutuhan program peningkatan kinerja SDM.
Advokasi dan Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) 1. Kebijakan dan Pelaksanaan Advokasi dan KIE 1.a. Penetapan kebijakan dan pengembangan advokasi, KIE, serta konseling program KB nasional.
– 2.a. Penetapan pedoman, norma, standar, prosedur dan kriteria pengembangan advokasi dan KIE skala nasional.
Ɇ 1.a. Penetapan kebijakan dan pengembangan advokasi dan KIE skala provinsi.
Fasilitasi operasional advokasi dan KIE skala provinsi.
a. Fasilitasi pelaksanaan pedoman pengembangan advokasi dan KIE skala nasional.
Ɇ 1.a. Penetapan kebijakan dan pengembangan advokasi dan KIE skala kabupaten/kota.
Penyelenggaraan operasional advokasi KIE skala kabupaten/ kota.
a. Penetapan perkiraan sasaran advokasi dan KIE skala kabupaten/kota.
Penyerasian dan penetapan kriteria advokasi dan KIE skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3.a. Pengelolaan advokasi dan KIE skala nasional.
Ɇ c. Ɇ d. Ɇ 3.a. Pengelolaan pengembangan advokasi dan KIE skala provinsi.
Ɇ c. Ɇ d. Ɇ 3.a. Pelaksanaan advokasi, KIE, serta konseling program KB dan KRR.
Pelaksanaan KIE ketahanan dan pemberdayaan keluarga, penguatan kelembagaan dan jaringan institusi program KB.
Pemanfaatan prototipe program KB/Kesehatan Reproduksi (KR), KRR, ketahanan dan pemberdayaan keluarga, penguatan pelembagaan keluarga kecil berkualitas.
Pelaksanaan promosi KRR termasuk pencegahan HIV/AIDS, IMS, dan bahaya NAPZA dan perlindungan hak-hak reproduksi. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Informasi dan Data Mikro Kependudukan dan Keluarga 1. Kebijakan dan Pelaksanaan Data Mikro Kependudukan dan Keluarga 1.a. Penetapan kebijakan dan pengembangan informasi serta data mikro kependudukan dan keluarga skala nasional.
Ɇ 2.a. Penetapan pedoman, norma, standar, prosedur, kriteria dan pengembangan informasi serta data mikro kependudukan dan keluarga skala nasional.
Ɇ 1.a. Penetapan kebijakan dan pengembangan informasi serta data mikro kependudukan dan keluarga skala provinsi.
Fasilitasi operasional pengelolaan informasi serta data mikro kependudukan dan keluarga skala provinsi.
a. Fasilitasi pelaksanaan pedoman pengembangan informasi dan data mikro kependudukan dan keluarga skala provinsi.
Ɇ 1.a. Penetapan kebijakan dan pengembangan informasi serta data mikro kependudukan dan keluarga skala kabupaten/kota.
Penyelenggaraan informasi serta data mikro kependudukan dan keluarga skala kabupaten/kota.
a. Penetapan perkiraan sasaran pengembangan informasi serta data mikro kependudukan dan keluarga skala kabupaten/kota.
Informasi serta data mikro kependudukan dan keluarga skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3.a. Pengelolaan informasi serta data mikro kependudukan dan keluarga skala nasional.
Ɇ c. Ɇ d. Ɇ e. Ɇ 3.a. Pengelolaan pengembangan informasi serta data mikro kependudukan dan keluarga skala provinsi.
Ɇ c. Ɇ d. Ɇ e. Ɇ 3.a. Pelaksanaan operasional sistem informasi manajemen program KB nasional.
Pemutakhiran, pengolahan, dan penyediaan data mikro kependudukan dan keluarga.
Pengelolaan data dan informasi program KB nasional serta penyiapan sarana dan prasarana.
Pemanfaaan data dan informasi program KB nasional untuk mendukung pembangunan daerah.
Pemanfaatan operasional jaringan komunikasi data dalam pelaksanaan e-government dan melakukan diseminasi informasi. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 7. Keserasian Kebijakan Kependudukan 1. Penyerasian dan Keterpaduan Kebijakan Kependudukan 1. Penetapan kebijakan terpadu antara perkembangan kependudukan (aspek kuantitas, kualitas, dan mobilitas) dengan pembangunan di bidang ekonomi, sosial budaya dan lingkungan.
Pengkajian dan penyempurnaan peraturan perundang- undangan yang mengatur perkembangan dan dinamika kependudukan.
Pelaksanaan kebijakan terpadu antara perkembangan kependudukan (aspek kuantitas, kualitas, dan mobilitas) dengan pembangunan di bidang ekonomi, sosial budaya dan lingkungan.
Pengkajian dan penyempurnaan peraturan daerah yang mengatur perkembangan dan dinamika kependudukan di provinsi.
Penyelenggaraan kebijakan teknis operasional dan pelaksanaan program kependudukan terpadu antara perkembangan kependudukan (aspek kuantitas, kualitas, dan mobilitas) dengan pembangunan di bidang ekonomi, sosial budaya dan lingkungan di daerah kabupaten/kota.
Pengkajian dan penyempurnaan peraturan daerah yang mengatur perkembangan dan dinamika kependudukan di daerah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3.a. Pengelolaan dan penyerasian isu kependudukan ke dalam program pembangunan sektoral dan daerah.
Ɇ 3.a. Penyerasian isu kependudukan ke dalam program pembangunan di provinsi.
Ɇ 3.a. Penyerasian isu kependudukan ke dalam program pembangunan di daerah kabupaten/kota.
Pengkajian dan penyempurnaan peraturan daerah yang mengatur perkembangan dan dinamika kependudukan di daerah kabupaten/kota.
Pembinaan 1. Kebijakan dan Pelaksanaan Pembinaan 1. Pengembangan dan penetapan kebijakan pembinaan, dan penyelenggaraan monitoring, evaluasi, fasilitasi, asistensi, dan supervisi pelaksanaan program KB nasional.
Dukungan pelaksanaan monitoring, evaluasi, asistensi, fasilitasi, dan supervisi pelaksanaan program KB nasional.
Monitoring, evaluasi, asistensi, fasilitasi, dan supervisi pelaksanaan program KB nasional di kabupaten/kota. M. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG SOSIAL SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Kebijakan Bidang Sosial 1. Penetapan kebijakan bidang sosial skala nasional. 1. Penetapan kebijakan bidang sosial skala provinsi mengacu pada kebijakan nasional.
Penetapan kebijakan bidang sosial skala kabupaten/kota mengacu pada kebijakan provinsi dan/atau nasional.
Perencanaan Bidang Sosial 1. Penyusunan perencanaan bidang sosial skala nasional.
Penyusunan perencanaan bidang sosial skala provinsi.
Penyusunan perencanaan bidang sosial skala kabupaten/kota.
Kerjasama Bidang Sosial 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria kerjasama bidang sosial.
Penyelenggaraan kerjasama bidang sosial skala provinsi. 1. Penyelenggaraan kerjasama bidang sosial skala kabupaten/kota.
Pembinaan Bidang Sosial 1. Koordinasi pemerintahan di bidang sosial skala nasional.
Penetapan pedoman dan standarisasi.
Koordinasi pemerintahan di bidang sosial skala provinsi.
Sinkronisasi dan harmonisasi pelaksanaan pedoman dan standarisasi.
Koordinasi pemerintahan di bidang sosial skala kabupaten/kota.
Sinkronisasi dan harmonisasi pelaksanaan pedoman dan standarisasi. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penetapan akreditasi dan sertifikasi.
Pemberian bimbingan, monitoring, supervisi, konsultasi, dan fasilitasi bidang sosial skala nasional.
Pengajuan usulan dan rekomendasi untuk penetapan akreditasi dan sertifikasi.
Pemberian bimbingan, monitoring, supervisi, konsultasi, dan fasilitasi bidang sosial skala provinsi.
Seleksi dan kelengkapan bahan usulan untuk penetapan akreditasi dan sertifikasi.
Pemberian bimbingan, monitoring, supervisi, konsultasi, dan fasilitasi bidang sosial skala kabupaten/kota.
Identifikasi dan Penanganan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial 1. Penetapan jenis dan kriteria sasaran penanggulangan masalah sosial skala nasional.
Identifikasi sasaran penanggulangan masalah sosial skala provinsi.
Identifikasi sasaran penanggulangan masalah sosial skala kabupaten/kota.
Pengembangan dan Pendayagunaan Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) 1. Penetapan pedoman, jenis, standar dan kriteria PSKS skala nasional.
Pengembangan dan pendayagunaan PSKS skala nasional.
Penggalian dan pendayagunaan PSKS skala provinsi.
Pengembangan dan pendayagunaan PSKS skala provinsi.
Penggalian dan pendayagunaan PSKS skala kabupaten/kota.
Pengembangan dan pendayagunaan PSKS skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 7. Pelaksanaan Program/Kegiatan Bidang sosial 1. Pelaksanaan program/ kegiatan bidang sosial meliputi uji coba, percontohan, kerjasama luar negeri, dan penanggulangan masalah sosial skala nasional.
Pelaksanaan program/ kegiatan bidang sosial skala provinsi dan atau kerjasama antar kabupaten/kota.
Pelaksanaan program/ kegiatan bidang sosial skala kabupaten/kota.
Pengawasan Bidang Sosial 1. Pengawasan atas pelaksanaan urusan pemerintahan, dan kebijakan bidang sosial.
Pengawasan atas pelaksanaan urusan pemerintahan bidang sosial, dan kebijakan skala provinsi.
Pengawasan atas pelaksanaan urusan pemerintahan bidang sosial skala kabupaten/ kota.
Pelaporan Pelaksanaan Program di Bidang Sosial 1. Pelaporan pelaksanaan program di bidang sosial skala nasional kepada Presiden.
Pelaporan pelaksanaan program bidang sosial skala provinsi kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri dengan tembusan kepada Menteri Sosial.
Pelaporan pelaksanaan program bidang sosial skala kabupaten/kota kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur dengan tembusan kepada Menteri Sosial. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 10. Sarana dan Prasarana Sosial 1. Penyediaan sarana dan prasarana sosial skala nasional.
Penyediaan sarana dan prasarana sosial skala provinsi.
Penyediaan sarana dan prasarana sosial skala kabupaten/kota.
Pembinaan Tenaga Fungsional Pekerja Sosial 1. Pengangkatan dan pemberhentian pejabat fungsional pekerja sosial skala nasional.
Penyelenggaraan pendidikan profesi pekerjaan sosial skala nasional.
Pendidikan dan pelatihan jabatan fungsional pekerja sosial skala nasional.
Pengangkatan dan pemberhentian pejabat fungsional pekerja sosial skala provinsi.
Pengusulan calon peserta pendidikan profesi pekerjaan sosial skala provinsi.
Pengusulan calon peserta pendidikan dan profesi pekerja sosial skala provinsi.
Pengangkatan dan pemberhentian pejabat fungsional pekerja sosial skala kabupaten/kota.
Pengusulan calon peserta pendidikan profesi pekerjaan sosial skala kabupaten/kota.
Pengusulan calon peserta pendidikan dan pelatihan pekerja sosial skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 12. Sistem Informasi Kesejahteraan Sosial 1. Penetapan pedoman sistem informasi kesejahteraan sosial.
Pengembangan jaringan sistem informasi kesejahteraan sosial skala nasional.
— 2. Pengembangan jaringan sistem informasi kesejahteraan sosial skala provinsi.
— 2. Pengembangan jaringan sistem informasi kesejahteraan sosial skala kabupaten/kota.
Penganugerahan Tanda Kehormatan 1. Pengusulan dan pemberian rekomendasi kepada Presiden untuk penganugerahan satya lencana kebaktian sosial.
Penganugerahan penghargaan Menteri Sosial.
Pengusulan dan pemberian rekomendasi atas usulan penganugerahan satya lencana kebaktian sosial kepada Presiden melalui Menteri Sosial.
Pemberian penghargaan di bidang sosial skala provinsi.
Penyiapan bahan kelengkapan usulan penganugerahan satya lencana kebaktian sosial kepada Presiden melalui Gubernur dan Menteri Sosial.
Pemberian penghargaan di bidang sosial skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Pelestarian Nilai-Nilai 1. Penetapan pedoman pelestarian nilai-nilai kepahlawanan, keperintisan kejuangan dan kesetiakawanan sosial.
Pelestarian nilai-nilai kepahlawanan, keperintisan dan kejuangan serta nilai- nilai kesetiakawanan sosial sesuai pedoman skala provinsi.
Pelestarian nilai-nilai kepahlawanan, keperintisan dan kejuangan serta nilai-nilai kesetiakawanan sosial sesuai pedoman yang ditetapkan oleh pusat atau provinsi skala kabupaten/kota.
Pemeliharaan Taman Makam Pahlawan (TMP) 1. Standarisasi, pemeliharaan, dan perbaikan TMP Nasional.
Pembangunan, perbaikan, pemeliharaan, TMP di provinsi.
Pembangunan, perbaikan, pemeliharaan, TMP di kabupaten/kota.
Pemeliharaan Makam Pahlawan Nasional (MPN) 1. Standarisasi, pemeliharaan dan perbaikan MPN. 1. — 1. — 14. Nilai-nilai Kepahlawanan, Keperintisan Kejuangan dan Kesetiakawanan Sosial 4. Penganugerahan Gelar Pahlawan dan Perintis Kemerdekaan 1. Pengusulan dan pemberian rekomendasi kepada Presiden untuk penetapan dan penganugerahan gelar Pahlawan Nasional dan Perintis Kemerdekaan.
Pemberian rekomendasi atas usulan pengangkatan gelar Pahlawan Nasional dan Perintis Kemerdekaan.
Penyiapan bahan kelengkapan usulan penganugerahan gelar Pahlawan Nasional dan Perintis Kemerdekaan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Penyelenggaraan Peringatan Hari Pahlawan dan Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional 1. Penanggungjawab penyelenggaraan Hari Pahlawan dan Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional.
Penanggungjawab penyelenggaraan Hari Pahlawan dan Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional tingkat provinsi.
Penanggungjawab penyelenggaraan Hari Pahlawan dan Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional tingkat kabupaten/kota.
Penanggulangan Korban Bencana 1. Penetapan pedoman penanggulangan bencana.
Penanggulangan bencana skala dan/atau berdampak nasional.
Penanggulangan korban bencana skala provinsi.
— 1. Penanggulangan korban bencana skala kabupaten/kota.
— 16. Pengumpulan Uang atau Barang (Sumbangan Sosial) 1. Penetapan kebijakan dan pemberian izin pengumpulan uang atau barang skala nasional.
Pengendalian pengumpulan uang atau barang skala nasional.
Pemberian izin pengumpulan uang atau barang skala provinsi.
Pengendalian pengumpulan uang atau barang skala provinsi.
Pemberian izin pengumpulan uang atau barang skala kabupaten/kota.
Pengendalian pengumpulan uang atau barang skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Pengelolaan (penerimaan dan penyaluran) sumbangan sosial masyarakat baik dalam maupun luar negeri.
— 3. — 17. Undian 1. Penetapan kebijakan dan pemberian izin undian skala nasional.
Pengendalian dan pengawasan serta pemantauan pelaksanaan undian di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota.
Pemberian rekomendasi izin undian skala provinsi.
Pengendalian dan pengawasan pelaksanaan undian di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
Pemberian rekomendasi izin undian skala kabupaten/kota bila diperlukan.
Pengendalian dan pelaksanaan undian di tingkat kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 18. Jaminan Sosial bagi Penyandang Cacat Fisik dan Mental, dan Lanjut Usia Tidak Potensial Terlantar, yang berasal dari Masyarakat Rentan dan Tidak Mampu 1. Penetapan pedoman penyelenggaraan jaminan sosial.
Pelaksanaan pemberian jaminan sosial bagi penyandang cacat fisik dan mental, lanjut usia tidak potensial terlantar, yang berasal dari masyarakat rentan dan tidak mampu skala nasional.
— 2. Pelaksanaan dan pengembangan jaminan sosial bagi penyandang cacat fisik dan mental, lanjut usia tidak potensial terlantar yang berasal dari masyarakat rentan dan tidak mampu skala provinsi.
— 2. Pelaksanaan dan pengembangan jaminan sosial bagi penyandang cacat fisik dan mental, lanjut usia tidak potensial terlantar yang berasal dari masyarakat rentan dan tidak mampu skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 19. Pengasuhan dan Pengangkatan Anak 1. Penetapan organisasi sosial/yayasan yang diberi izin untuk pengasuhan anak.
Pemberian izin pengangkatan anak bagi anak yang berada dalam asuhan organisasi sosial antar Warga Negara Indonesia (WNI) dan antara WNI dengan Warga Negara Asing (WNA).
— 2. Pemberian izin pengangkatan anak antar WNI.
— 2. Pemberian rekomendasi pengangkatan anak skala kabupaten/kota. N. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Ketenagakerjaan 1. Kebijakan, Perencanaan, Pembinaan, dan Pengawasan 1. Penetapan dan pelaksanaan kebijakan, pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala nasional.
Pembinaan (pengawasan, pengendalian, monitoring, evaluasi, dan pelaporan) penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala nasional.
Pelaksanaan kebijakan pusat dan penetapan kebijakan daerah serta pelaksanaan strategi penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala provinsi.
Pembinaan (pengawasan, pengendalian, monitoring, evaluasi, dan pelaporan) penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala provinsi.
Pelaksanaan kebijakan pusat dan provinsi, penetapan kebijakan daerah dan pelaksanaan strategi penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala kabupaten/kota.
Pembinaan (pengawasan, pengendalian, monitoring, evaluasi, dan pelaporan) penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Koordinasi dan pengintegrasian penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala nasional.
Penetapan kebijakan, pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria pembentukan kelembagaan/Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) bidang ketenagakerjaan skala nasional.
Perencanaan tenaga kerja nasional, pembinaan perencanaan tenaga kerja daerah provinsi dan kabupaten/kota, 3. Penanggungjawab penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala provinsi.
Pembentukan kelembagaan SKPD bidang ketenagakerjaan di provinsi.
Perencanaan tenaga kerja daerah provinsi, pembinaan perencanaan tenaga kerja mikro, pembinaan dan penyelenggaraan sistem 3. Penanggungjawab penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala kabupaten/kota.
Pembentukan kelembagaan SKPD bidang ketenagakerjaan di kabupaten/kota.
Perencanaan tenaga kerja daerah kabupaten/kota, pembinaan perencanaan tenaga kerja mikro pada instansi/tingkat perusahaan, pembinaan dan penyelenggaraan SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA sektoral, dan mikro serta pembinaan dan pengembangan sistem informasi ketenagakerjaan nasional. informasi ketenagakerjaan, serta pembinaan perencanaan tenaga kerja dan sistem informasi ketenagakerjaan kabupaten/kota skala provinsi. sistem informasi ketenagakerjaan skala kabupaten/kota.
Pembinaan Sumber Daya Manusia (SDM) Aparatur 1. Penetapan kebijakan, pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria monitoring evaluasi pembinaan SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala nasional.
Perencanaan formasi, karir, dan pendidikan dan pelatihan (diklat) 1. Pelaksanaan kebijakan, pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria monitoring evaluasi pembinaan SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala provinsi.
Perencanaan formasi, karir, dan diklat SDM aparatur pelaksana 1. Pelaksanaan kebijakan, pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria monitoring evaluasi pembinaan SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala kabupaten/kota.
Perencanaan formasi, karir, dan diklat SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala nasional. urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan di provinsi. ketenagakerjaan di kabupaten/kota.
Pembinaan, penyelenggaraan, pengawasan, dan pengendalian, serta evaluasi pengembangan SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala nasional.
Penetapan kriteria dan standar pemangku jabatan perangkat daerah yang melaksanakan urusan 3. Pembinaan, penyelenggaraan, pengawasan, dan pengendalian, serta evaluasi pengembangan SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala provinsi.
Pengangkatan dan pemberhentian pejabat perangkat daerah yang menangani bidang ketenagakerjaan skala 3. Pembinaan, penyelenggaraan, pengawasan, pengendalian, serta evaluasi pengembangan SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala kabupaten/kota.
Pengangkatan dan pemberhentian pejabat perangkat daerah yang menangani bidang ketenagakerjaan skala SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA pemerintahan bidang ketenagakerjaan.
Pembinaan, pengangkatan, dan pemberhentian pejabat fungsional bidang ketenagakerjaan di instansi pusat. provinsi.
Pembinaan, pengangkatan, dan pemberhentian pejabat fungsional bidang ketenagakerjaan di instansi provinsi. kabupaten/kota.
Pembinaan, pengangkatan, dan pemberhentian pejabat fungsional bidang ketenagakerjaan di instansi kabupaten/kota.
Pembinaan Pelatihan dan Produktivitas Tenaga Kerja 1.a.Standarisasi kompetensi dan penyelenggaraan pelatihan kerja skala nasional.
— 2.a.Standarisasi, pelatihan dan pelaksanaan pengukuran 1.a.Pembinaan dan penyelenggaraan pelatihan kerja skala provinsi.
Pelatihan diseminasi program untuk kabupaten/kota di wilayah provinsi.
a.Pelaksanaan pelatihan dan pengukuran produktivitas skala 1.a.Pembinaan dan penyelenggaraan pelatihan kerja skala kabupaten/kota.
— 2.a.Pelaksanaan pelatihan dan pengukuran produktivitas skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA produktivitas skala nasional.
Pembinaan dan penyelenggaraan kerja sama internasional dalam rangka peningkatan produktivitas. provinsi.
Pelaksanaan program peningkatan produktivitas di wilayah provinsi.
Pelaksanaan program peningkatan produktivitas di wilayah kabupaten/kota.
Pengawasan pelaksanaan perizinan/ pendaftaran lembaga pelatihan kerja serta penerbitan perizinan magang ke luar negeri.
Pengawasan pelaksanaan sertifikasi kompetensi dan akreditasi lembaga 3. Pengawasan pelaksanaan perizinan/ pendaftaran lembaga pelatihan kerja serta penerbitan rekomendasi perizinan magang ke luar negeri.
Pengawasan pelaksanaan sertifikasi kompetensi dan akreditasi lembaga 3. Penyelenggaraan perizinan/ pendaftaran lembaga pelatihan serta pengesahan kontrak/perjanjian magang dalam negeri.
Koordinasi pelaksanaan sertifikasi kompetensi dan akreditasi lembaga pelatihan kerja skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA sertifikasi profesi dan lembaga pelatihan kerja skala nasional. pelatihan kerja skala provinsi.
Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri 1.a.Penyusunan sistem dan penyebarluasan informasi pasar kerja secara nasional.
Pemberian pelayanan informasi pasar kerja dan bimbingan jabatan kepada pencaker dan pengguna tenaga kerja skala nasional.
Pembinaan dan penyusunan sistem pemberdayaan pengantar kerja berskala nasional.
a.Penyusunan sistem dan penyebarluasan informasi pasar kerja di wilayah provinsi.
Pemberian pelayanan informasi pasar kerja dan bimbingan jabatan kepada pencaker dan pengguna tenaga kerja skala provinsi.
Pembinaan, monitoring, evaluasi, dan pendataan jabatan fungsional pengantar kerja tingkat provinsi.
a.Penyebarluasan informasi pasar kerja dan pendaftaran pencari kerja (pencaker) dan lowongan kerja.
Penyusunan, pengolahan dan penganalisisan data pencaker dan data lowongan kerja skala kabupaten/kota.
Pemberian pelayanan informasi pasar kerja, bimbingan jabatan kepada pencaker dan pengguna tenaga kerja skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA d.Monitoring, evaluasi, dan sosialisasi jabatan fungsional pengantar kerja.
Penilaian angka kredit jabatan fungsional pengantar kerja berskala nasional.
— e.Penilaian angka kredit jabatan fungsional pengantar kerja tingkat provinsi.
Pembinaan pejabat fungsional pengantar kerja.
Penilaian angka kredit jabatan fungsional pengantar kerja di wilayah kerja kabupaten/kota.
a. Penerbitan dan pengendalian izin pendirian Lembaga Bursa Kerja/Lembaga Penempatan Tenaga Kerja Swasta (LPTKS) dan Lembaga Penyuluhan dan Bimbingan Jabatan lintas provinsi/berskala nasional.
a. Penerbitan dan pengendalian izin pendirian Lembaga Bursa Kerja/LPTKS dan Lembaga Penyuluhan dan Bimbingan Jabatan skala provinsi.
a.Penerbitan dan pengendalian izin pendirian Lembaga Bursa Kerja/LPTKS dan Lembaga Penyuluhan dan Bimbingan Jabatan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b.— 3. Pemberian rekomendasi kepada swasta dalam penyelenggaraan pameran bursa kerja/ job fair skala nasional.
Penerbitan rekomendasi untuk perizinan pendirian LPTKS dan lembaga penyuluhan dan bimbingan jabatan yang akan melakukan kegiatan skala provinsi.
Pemberian rekomendasi kepada swasta dalam penyelenggaraan pameran bursa kerja/ job fair skala provinsi.
Penerbitan rekomendasi untuk perizinan pendirian LPTKS dan lembaga penyuluhan dan bimbingan jabatan yang akan melakukan kegiatan skala kabupaten/kota.
Pemberikan rekomendasi kepada swasta dalam penyelenggaraan pameran bursa kerja/ job fair skala kabupaten/kota.
Sosialisasi dan evaluasi penempatan tenaga kerja penyandang cacat, lanjut usia (lansia) dan perempuan skala nasional.
Fasilitasi dan pembinaan penempatan bagi pencari kerja penyandang cacat, lansia dan perempuan skala provinsi.
Fasilitasi penempatan bagi pencari kerja penyandang cacat, lansia dan perempuan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5.a.Penerbitan Surat Persetujuan Penempatan (SPP) Antar Kerja Antar Daerah (AKAD) skala nasional.
— 6.a.Penerbitan izin operasional Tenaga Kerja Sukarela (TKS) Luar Negeri, TKS Indonesia, lembaga sukarela luar negeri dan lembaga sukarela Indonesia.
a.Penerbitan SPP AKAD skala provinsi.
— 6.a.Penerbitan rekomendasi izin operasional TKS Luar Negeri, TKS Indonesia, lembaga sukarela Indonesia yang akan beroperasi lebih dari 1 (satu) kabupaten/kota dalam satu provinsi.
a.Penyuluhan, Rekrutmen, seleksi dan pengesahan pengantar kerja, serta penempatan tenaga kerja AKAD/Antar Kerja Lokal (AKL).
Penerbitan SPP AKL skala kabupaten/kota.
a.Penerbitan rekomendasi izin operasional TKS Luar Negeri, TKS Indonesia, lembaga sukarela Indonesia yang akan beroperasi pada 1 (satu) kabupaten/kota.
Pembinaan, pengawasan, dan pengendalian pendayagunaan TKS, b.Pelaksanaan pembinaan, pengendalian, dan pengawasan b.Pelaksanaan pembinaan, pengendalian, dan pengawasan pendayagunaan TKS dan lembaga sukarela skala SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA Tenaga Kerja Mandiri (TKM), dan lembaga sukarela skala nasional.
— 7.a.Pengesahan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) baru.
Pengesahan RPTKA perpanjangan lintas provinsi. pendayagunaan TKS dan lembaga sukarela skala provinsi.
Koordinasi, integrasi dan sinkronisasi program pendayagunaan TKM skala provinsi.
a.— b.Pengesahan RPTKA perpanjangan yang tidak mengandung perubahan jabatan, jumlah orang, dan lokasi kerjanya dalam 1 (satu) wilayah provinsi. kabupaten/kota.
Pendaftaran dan fasilitasi pembentukan TKM.
a.— b.— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c.Pengesahan RPTKA perubahan seperti perubahan jabatan, perubahan lokasi, perubahan jumlah Tenaga Kerja Asing (TKA) dan perubahan kewarganegaraan.
a. Pemberian rekomendasi visa kerja dan penerbitan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA) baru.
Penerbitan IMTA perpanjangan untuk TKA yang lokasi kerjanya lebih dari 1 (satu) wilayah provinsi.
— 8.a. — b.Penerbitan IMTA perpanjangan untuk TKA yang lokasi kerjanya lintas kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi.
— 8.a. — b.Penerbitan IMTA perpanjangan untuk TKA yang lokasi kerjanya dalam wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c.Penyusunan jabatan terbuka atau tertutup bagi TKA.
— c.— 9. Pembinaan dan pengendalian penggunaan TKA skala nasional.
Pembinaan penerapan teknologi tepat guna skala nasional.
Pembinaan model-model perluasan dan pengembangan kesempatan secara nasional antara lain melalui usaha mandiri 9. Monitoring dan evaluasi penggunaan TKA yang lokasi kerjanya lebih dari 1 (satu) kabupaten/kota dalam wilayah provinsi.
Pembinaan dan penerapan teknologi tepat guna skala provinsi.
Koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi pelaksanaan program usaha mandiri dan sektor informal serta program padat karya 9. Monitoring dan evaluasi penggunaan TKA yang lokasi kerjanya dalam wilayah kabupaten/kota yang bersangkutan.
Pelaksanaan pelatihan/bimbingan teknis, penyebarluasan dan penerapan teknologi tepat guna skala kabupaten/kota.
Penyelenggaraan program perluasan kerja melalui bimbingan usaha mandiri dan sektor informal serta program padat karya skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA dan sektor informal, serta program padat karya. skala provinsi.
Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja Luar Negeri 1.a.Pembinaan, pengendalian, dan pengawasan penempatan TKI ke luar negeri.
Pelaksanaan penempatan TKI oleh pemerintah.
Pembuatan perjanjian/pelaksanaan kerjasama bilateral dan multilateral dengan negara-negara penempatan TKI.
a.Monitoring dan evaluasi penempatan TKI ke luar negeri yang berasal dari wilayah provinsi.
— 2. Fasilitasi pelaksanaan perjanjian kerjasama bilateral dan multilateral penempatan TKI yang pelaksanaannya di wilayah provinsi.
a.Pelaksanaan penyuluhan , pendaftaran dan seleksi calon TKI di wilayah kabupaten/kota.
Pengawasan pelaksanaan rekrutmen calon TKI di wilayah kabupaten/kota.
Fasilitasi pelaksanaan perjanjian kerjasama bilateral dan multilateral penempatan TKI yang pelaksanaannya di wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penerbitan Surat Izin Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (SIPPTKIS)/ Surat Izin Usaha Penempatan (SIUP)- Perusahaan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) dan rekomendasi rekrutmen calon TKI serta Penerbitan Surat Izin Pengerahan (SIP).
Verifikasi dokumen TKI, penerbitan Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri (KTKLN), penerbitan rekomendasi paspor TKI yang bersifat khusus dan crash program .
Penerbitan perizinan pendirian kantor cabang di wilayah provinsi dan rekomendasi perpanjangan SIPPTKIS/PPTKIS.
Verifikasi dokumen TKI di wilayah provinsi.
Penerbitan rekomendasi izin pendirian kantor cabang PPTKIS di wilayah kabupaten/kota.
Penerbitan rekomendasi paspor TKI di wilayah kabupaten/kota berdasarkan asal/alamat calon TKI. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Penyelenggaraan Sistem Komputerisasi Terpadu Penempatan TKI di Luar Negeri (SISKO TKLN) dan pengawasan penyetoran dana perlindungan TKI.
a.Penentuan standar perjanjian kerja, penelitian terhadap substansi perjanjian kerja serta pengesahan perjanjian kerja.
— 5. Penyebarluasan sistem informasi penempatan TKI dan pengawasan penyetoran dana perlindungan TKI di wilayah provinsi.
a.Sosialisasi substansi perjanjian kerja penempatan TKI ke luar negeri skala provinsi.
— 5. Penyebarluasan sistem informasi penempatan TKI dan pengawasan penyetoran dana perlindungan TKI di wilayah kabupaten/kota.
a.Sosialisasi terhadap substansi perjanjian kerja penempatan TKI ke luar negeri skala kabupaten/kota.
Penelitian dan pengesahan perjanjian penempatan TKI ke luar negeri. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 7. Penyelenggaraan Pembekalan Akhir Pemberangkatan (PAP) (pelaksanaannya dapat didekonsentrasikan kepada Gubernur).
a.Penyelenggaraan program perlindungan, pembelaan, dan advokasi TKI.
Penentuan standar tempat penampungan calon TKI dan Balai Latihan Kerja Luar Negeri (BLK-LN).
Penetapan standar dan penunjukan lembaga- lembaga yang terkait 7. Fasilitasi penyelenggaraan PAP.
a.Pembinaan, pengawasan penempatan dan perlindungan TKI di wilayah provinsi.
Penerbitan perizinan tempat penampungan di wilayah provinsi.
— 7. — 8.a.Pembinaan, pengawasan, dan monitoring penempatan maupun perlindungan TKI di kabupaten/kota.
Penerbitan rekomendasi perizinan tempat penampungan di wilayah kabupaten/kota.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA dengan program penempatan TKI (lembaga asuransi, perbankan, dan sarana kesehatan).
Fasilitasi kepulangan dan pemulanganTKI secara nasional.
Fasilitasi kepulangan TKI di pelabuhan debarkasi di wilayah provinsi.
Pelayanan kepulangan TKI yang berasal dari kabupaten/kota.
Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja 1.a.Fasilitasi penyusunan serta pengesahan peraturan perusahaan yang skala berlakunya lebih dari satu provinsi.
a.Fasilitasi penyusunan serta pengesahan peraturan perusahaan yang skala berlakunya lebih dari satu kabupaten/kota dalam satu provinsi.
a.Fasilitasi penyusunan serta pengesahan peraturan perusahaan yang skala berlakunya dalam satu wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b.Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama (PKB), yang skala berlakunya lebih dari 1 (satu) wilayah provinsi.
Pencatatan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) pada perusaha- an yang skala berlakunya lebih dari 1 (satu) provinsi.
Pendaftaran PKB, perjanjian pekerjaan antara perusahaan pemberi kerja dengan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang skala berlakunya lebih dari satu wilayah kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi.
Pencatatan PKWT pada perusahaan yang skala berlakunya lebih dari satu kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi.
Pendaftaran PKB, perjanjian pekerjaan antara perusahaan pemberi kerja dengan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang skala berlakunya pada 1 (satu) wilayah kabupaten/kota.
Pencatatan PKWT pada perusahaan yang skala berlakunya dalam 1 (satu) wilayah kabupaten/kota.
a.Pendaftaran Perjanjian Pekerjaan antara Perusahaan Pemberi Kerja dengan 2.a.Pendaftaran Perjanjian Pekerjaan antara Perusahaan Pemberi Kerja dengan 2.a. Penerbitan izin operasional perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang berdomisili di kabupaten/kota dan SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh yang skala berlakunya lebih dari 1 (satu) provinsi.
Penerbitan rekomendasi pencabutan izin operasional perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang skala berlakunya lebih dari 1 (satu) provinsi.
Pencegahan dan penyelesaian perselisih- an hubungan industrial, mogok kerja, dan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh yang skala berlakunya lebih dari 1 (satu) kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi.
Penerbitan rekomendasi pencabutan izin operasional perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang skala berlakunya lebih dari satu kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi.
Pencegahan dan penyelesaian perselisih- an hubungan indus- trial, mogok kerja, dan pendaftaran perjanjian pekerjaan antara perusahaan pemberi kerja dengan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang skala berlakunya dalam 1 (satu) wilayah kabupaten/kota.
Pencabutan izin operasional perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang berdomisili di kabupaten/kota atas rekomendasi pusat dan atau provinsi.
Pencegahan dan penyelesaian perselisihan hubungan industrial, mogok kerja, dan penutupan perusahaan di SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA penutupan perusahaan skala nasional.
Pembinaan SDM dan lembaga penyelesaian perselisihan di luar pengadilan skala nasional.
Koordinasi penyusunan formasi, pendaftaran dan seleksi calon arbiter dan konsiliator, pengangkatan dan pemberhentian serta penerbitan legitimasi mediator, konsiliator, dan arbiter. penutupan perusahaan skala provinsi.
Pembinaan SDM dan lembaga penyelesaian perselisihan di luar pengadilan skala provinsi.
Penyusunan formasi, pendaftaran dan seleksi calon mediator, arbiter, dan konsiliator di wilayah provinsi. wilayah kabupaten/kota.
Pembinaan SDM dan lembaga penyelesaian perselisihan di luar pengadilan skala kabupaten/kota.
Penyusunan dan pengusulan formasi serta melakukan pembinaan mediator, konsiliator, arbiter di wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Pendaftaran dan seleksi calon hakim ad-hoc hubungan industrial pada Mahkamah Agung.
a.Bimbingan aplikasi pengupahan skala nasional.
Penetapan kebijakan pengupahan nasional dan penelaahan terhadap upah minimum yang ditetapkan pemerintah provinsi.
Pendaftaran dan seleksi calon hakim ad-hoc pengadilan hubungan industrial yang wilayahnya meliputi provinsi.
a.Bimbingan aplikasi pengupahan lintas kabupaten/kota dalam satu provinsi.
Penyusunan dan penetapan upah minimum provinsi, kabupaten/kota, dan melaporkan kepada menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
Pendaftaran dan seleksi calon hakim ad-hoc pengadilan hubungan industrial yang wilayahnya meliputi kabupaten/ kota.
a.Bimbingan aplikasi pengupahan di perusahaan skala kabupaten/kota.
Penyusunan dan pengusulan penetapan upah minimum kabupaten/kota kepada gubernur. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 8.a.Koordinasi pembinaan penyelenggaraan jaminan sosial, fasilitas, dan kesejahtaraan tenaga kerja/buruh skala nasional.
— 9. Pembinaan pelaksanaan sistem dan kelembagaan serta pelaku hubungan industrial skala nasional.
a.Koordinasi pembinaan kepesertaan jaminan sosial tenaga kerja skala provinsi.
Koordinasi pembinaan penyelenggaraan fasilitas dan kesejahteraan tenaga kerja skala provinsi.
Pembinaan pelaksanaan sistem dan kelembagaan serta pelaku hubungan industrial skala provinsi.
a.Pembinaan kepesertaan jaminan sosial tenaga kerja di wilayah kabupaten/kota.
Pembinaan penyelenggaraan fasilitas dan kesejahteraan di perusahaan skala kabupaten/kota.
Pembinaan pelaksanaan sistem dan kelembagaan serta pelaku hubungan industrial skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 10. Koordinasi pelaksanaan verifikasi keanggotaan Serikat Pekerja/Serikat Buruh (SP/SB) skala nasional.
Koordinasi hasil pencatatan organisasi pengusaha dan organisasi pekerja/buruh dari provinsi.
Penetapan organisasi pengusaha dan organisasi pekerja/buruh untuk duduk dalam lembaga- lembaga ketenagakerjaan nasional berdasarkan 10. Koordinasi pelaksanaan verifikasi keanggotaan SP/SB skala provinsi.
Koordinasi hasil pencatatan organisasi pengusaha dan organisasi pekerja/buruh skala provinsi dan melaporkannya kepada pemerintah.
Penetapan organisasi pengusaha dan organisasi pekerja/buruh skala provinsi untuk duduk dalam lembaga-lembaga ketenagakerjaan provinsi berdasarkan 10. Verifikasi keanggotaan SP/SB skala kabupaten/kota.
Pencatatan organisasi pengusaha dan organisasi pekerja/buruh skala kabupaten/kota dan melaporkannya kepada provinsi.
Penetapan organisasi pengusaha dan organisasi pekerja/buruh untuk duduk dalam lembaga- lembaga ketenagakerjaan kabupaten/kota berdasarkan hasil verifikasi. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA hasil verifikasi. hasil verifikasi.
Pembinaan Ketenagaker- jaan 1. Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan norma ketenagakerjaan skala nasional.
Pemeriksaan/pengujian terhadap perusahaan dan obyek pengawasan ketenagakerjaan skala nasional.
Penerbitan/rekomendasi (izin) terhadap obyek pengawasan ketenagakerjaan skala nasional.
Penanganan kasus/melakukan penyidikan terhadap 1. Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan norma ketenagakerjaan skala provinsi.
Pemeriksaan/pengujian terhadap perusahaan dan obyek pengawasan ketenagakerjaan skala provinsi.
Penerbitan/rekomendasi (izin) terhadap obyek pengawasan ketenagakerjaan skala provinsi.
Penanganan kasus/melakukan penyidikan terhadap 1. Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan norma ketenagakerjaan skala kabupaten/kota.
Pemeriksaan/pengujian terhadap perusahaan dan obyek pengawasan ketenagakerjaan skala kabupaten/kota.
Penerbitan/rekomendasi (izin) terhadap obyek pengawasan ketenagakerjaan skala kabupaten/kota.
Penanganan kasus/melakukan penyidikan terhadap SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA pengusaha yang melanggar norma ketenagakerjaan skala nasional.
a.Penetapan rencana tahunan audit dan sertifikasi Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3).
— 6. Pengkajian dan perekayasaan bidang norma ketenagakerjaan, hygiene perusahaan, ergonomi, keselamatan dan kesehatan kerja pengusaha yang melanggar norma ketenagakerjaan skala provinsi.
a.Pelaksanaan penerapan SMK3 skala provinsi.
Pelaksanaan koordinasi dan audit SMK3 skala provinsi.
Pengkajian dan perekayasaan bidang norma ketenagakerjaan, hygiene perusahaan, ergonomi, kesehatan dan keselamatan kerja perusahaan dan pengusaha yang melanggar norma ketenagakerjaan skala kabupaten/kota.
a.Pelaksanaan penerapan SMK3 skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan koordinasi dan audit SMK3 skala kabupaten/kota.
Pengkajian dan perekayasaan bidang norma ketenagakerjaan, hygiene perusahaan, ergonomi, keselamatan kerja yang bersifat strategis skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA yang bersifat strategis dan berskala nasional.
Pelayanan dan pelatihan serta pengembangan bidang norma ketenagakerjaan, hygiene perusahaan, ergonomi, keselamatan dan kesehatan kerja yang bersifat strategis dan berskala nasional.
Pemberdayaan fungsi dan kegiatan personil dan kelembagaan pengawasan ketenagakerjaan skala nasional. yang bersifat strategis skala provinsi.
Pelayanan dan pelatihan serta pengembangan bidang norma ketenagakerjaan, keselamatan dan kesehatan kerja yang bersifat strategis skala provinsi.
Pemberdayaan fungsi dan kegiatan personil dan kelembagaan pengawasan ketenagakerjaan skala provinsi.
Pelayanan dan pelatihan serta pengembangan bidang norma ketenagakerjaan, keselamatan dan kesehatan kerja yang bersifat strategis skala kabupaten/kota.
Pemberdayaan fungsi dan kegiatan personil dan kelembagaan pengawasan ketenagakerjaan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 9. Fasilitasi pembinaan pengawasan ketenagakerjaan skala nasional.
Penyelenggaraan ketatalaksanaan pengawasan ketenagakerjaan skala nasional.
a. Penyelenggaraan diklat teknis/fungsional pengawasan ketenagakerjaan.
— 9. Fasilitasi penyelenggaraan pembinaan pengawasan ketenagakerjaan skala provinsi.
Penyelenggaraan ketatalaksanaan pengawasan ketenagakerjaan skala provinsi.
a. Pengusulan calon peserta diklat pengawasan ketenagakerjaan kepada pemerintah.
Bekerjasama dengan pusat menyelenggarakan diklat teknis 9. Fasilitasi pembinaan pengawasan ketenagakerjaan skala kabupaten/kota.
Penyelenggaraan ketatalaksanaan pengawasan ketenagakerjaan skala kabupaten/kota.
a. Pengusulan calon peserta diklat pengawasan ketenagakerjaan kepada pemerintah dan/atau pemerintah provinsi.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 12. Penunjukan, pengangkatan, dan pemberhentian pegawai pengawas ketenagakerjaan.
Penerbitan kartu legitimasi bagi pengawas ketenagakerjaan.
Penerbitan kartu Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) bidang ketenagakerjaan. pengawasan ketenagakerjaan.
Pengusulan calon pegawai pengawas ketenagakerjaan skala provinsi kepada pemerintah.
Pengusulan penerbitan kartu legitimasi bagi pengawas ketenagakerjaan skala provinsi kepada pemerintah.
Pengusulan kartu PPNS bidang ketenaga- kerjaan skala provinsi kepada pemerintah.
Pengusulan calon pegawai pengawas ketenagakerjaan skala kabupaten/kota kepada pemerintah.
Pengusulan penerbitan kartu legitimasi bagi pengawas ketenagakerjaan skala kabupaten/kota kepada pemerintah.
Pengusulan kartu PPNS bidang ketenagakerjaan skala kabupaten/kota kepada pemerintah. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 15. Penetapan sertifikasi, penunjukan, penerbitan lisensi bagi lembaga personil, dan kader ketenagakerjaan.
— 15. — 2. Ketransmigra- sian 1. Kebijakan, Perencanaan, Pembinaan, dan Pengawasan 1. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan, pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian.
Pembinaan (pengawasan, pengendalian, monitoring, evaluasi, dan pelaporan) penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang 1. Pelaksanaan kebijakan pusat dan perumusan kebijakan daerah serta pelaksanaan strategi penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian skala provinsi.
Pengendalian, evaluasi, dan pelaporan penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang ketransmigrasian skala provinsi.
Pelaksanaan kebijakan pusat dan provinsi, perumusan kebijakan daerah dan pelaksanaan strategi penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian skala kabupaten/kota.
Pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang ketransmigrasian skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA ketransmigrasian skala nasional.
Koordinasi dan integrasi penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian skala nasional.
Perumusan kebijakan pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria pembentukan kelembagaan SKPD bidang ketransmigrasian skala nasional.
Sinkronisasi dan pengendalian pelaksanaan urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian skala provinsi.
Pembentukan kelembagaan SKPD bidang ketransmigrasian skala provinsi berdasarkan kebijakan, pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan pemerintah.
Integrasi pelaksanaan urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian skala kabupaten/kota.
Pembentukan kelembagaan SKPD bidang ketransmigrasian skala kabupaten/kota berdasarkan kebijakan, pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan pemerintah. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Perancangan pembangunan transmigrasi nasional, serta pembinaan dan pengembangan sistem informasi ketransmigrasian skala nasional.
Pemberdayaan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian.
Perancangan pembangunan transmigrasi daerah provinsi, serta pembinaan dan penyelenggaraan sistem informasi ketransmigrasian skala provinsi.
Pemberdayaan pemerintah daerah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian skala provinsi.
Perancangan pembangunan transmigrasi daerah kabupaten/kota, serta pembinaan dan penyelenggaraan sistem informasi ketransmigrasian skala kabupaten/kota.
Peningkatan kapasitas pemerintah daerah dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian skala kabupaten/kota.
Pembinaan SDM Aparatur 1. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan, pedoman, norma, standar, prosedur, 1. Pelaksanaan kebijakan, pedoman, norma, standar, prosedur, kriteria, dan monitoring, 1. Pelaksanaan kebijakan, pedoman, norma, standar, prosedur, kriteria, dan monitoring, evaluasi pembinaan SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA kriteria, dan monitoring, evaluasi pembinaan SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian skala nasional.
Perencanaan formasi, karir, dan diklat SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian skala nasional.
Pembinaan, penyelenggaraan, pengawasan, dan pengendalian, serta evaluasi pengembangan SDM aparatur evaluasi pembinaan SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian di pemerintahan daerah provinsi.
Perencanaan formasi, karir, dan diklat SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian di pemerintah daerah provinsi.
Pembinaan, penyelenggaraan, pengawasan, dan pengendalian, serta evaluasi pengembangan SDM aparatur SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian di pemerintah daerah kabupaten/kota.
Perencanaan formasi, karir, dan diklat SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian di pemerintah daerah kabupaten/kota.
Pembinaan, penyelenggaraan, pengawasan, dan pengendalian, serta evaluasi pengembangan SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian di pemerintah SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA pelaksana urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian skala nasional.
Perumusan kriteria dan standar pemangku jabatan perangkat daerah yang melaksanakan urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian.
Pembinaan, pengangkatan, dan pemberhentian pejabat fungsional di bidang ketransmigrasian di instansi pusat. pelaksana urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian di pemerintah daerah provinsi.
Pengangkatan dan pemberhentian pejabat perangkat daerah yang menangani bidang ketransmigrasian skala pemerintah daerah provinsi.
Pembinaan, pengangkatan, dan pemberhentian pejabat fungsional di bidang ketransmigrasian instansi provinsi. daerah kabupaten/kota.
Pengangkatan dan pemberhentian pejabat perangkat daerah yang menangani bidang ketransmigrasian skala pemerintah daerah kabupaten/kota.
Pembinaan, pengangkatan, dan pemberhentian pejabat fungsional di bidang ketransmigrasian instansi kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penyiapan Permukiman dan Penempatan 1.a.Perencanaan penyiapan permukiman dan penempatan transmigrasi untuk kepentingan nasional dan daerah.
— 1.a. Pengusulan rencana lokasi pembangunan Wilayah Pengembangan Transmigrasi (WPT) atau Lokasi Permukiman Transmigrasi (LPT) skala provinsi berdasarkan hasil pembahasan dengan pemerintah daerah kabupaten/kota.
Pengusulan rencana pengarahan, perpindahan, dan penempatan transmigrasi skala provinsi berdasarkan hasil pembahasan dengan pemerintah daerah kabupaten/kota.
a.Pengalokasian tanah untuk pembangunan WPT atau LPT di wilayah kabupaten/kota.
Pengusulan rencana lokasi pembangunan WPT atau LPT skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c.— d.— 2.a.Penyediaan tanah untuk pembangunan WPT atau LPT untuk kepentingan nasional dan daerah.
— c.— d.— 2.a.Koordinasi penyediaan tanah untuk pembangunan WPT atau LPT skala provinsi.
— c.Pengusulan rencana kebutuhan SDM untuk mendukung pembangunan WPT atau LPT skala kabupaten/kota.
Pengusulan rencana pengarahan dan perpindahan transmigrasi skala kabupaten/kota.
a.Penyelesaian legalitas tanah untuk rencana pembangunan WPT atau LPT skala kabupaten/kota.
Penetapan alokasi penyediaan tanah untuk rencana pembangunan WPT dan LPT skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penyusunan dan penetapan rencana teknis pembangunan WPT atau LPT dalam rangka kepentingan nasional dan daerah.
Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) ketransmigrasian dalam rangka kepentingan nasional dan daerah.
a.Pengembangan dan pelayanan investasi dan kemitraan dalam rangka pembangunan WPT atau LPT skala nasional dan daerah.
— 3. Pengusulan rancangan rencana teknis pembangunan WPT atau LPT skala provinsi.
KIE ketransmigrasian skala provinsi.
a.Penyediaan informasi pengembangan investasi dalam rangka pembangunan WPT atau LPT skala provinsi.
Mediasi dan koordinasi pelayanan investasi dalam rangka 3. Penyediaan data untuk penyusunan rencana teknis pembangunan WPT atau LPT skala kabupaten/kota.
KIE ketransmigrasian skala kabupaten/kota.
a.Penyediaan informasi pengembangan investasi dalam rangka pembangunan WPT atau LPT skala kabupaten/kota.
Pelayanan investasi dalam rangka pembangunan WPT atau LPT skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6.a.Pengembangan kerjasama antar daerah dalam perpindahan dan penempatan transmigrasi skala nasional.
— 7. Pembangunan WPT atau LPT dalam rangka kepentingan nasional dan daerah.
a.Penyiapan calon transmigran skala nasional. pembangunan WPT atau LPT skala provinsi.
a.Mediasi kerjasama antar daerah dalam perpindahan dan penempatan transmigrasi skala provinsi.
— 7. Koordinasi pelaksanaan pembangunan WPT atau LPT skala provinsi.
a.Koordinasi pelaksanaan penyiapan calon transmigran skala provinsi.
a.Penjajagan kerjasama dengan daerah kabupaten/kota lain.
Pembuatan naskah kerjasama antar daerah dalam perpindahan dan penempatan transmigrasi.
Sinkronisasi pembangunan WPT atau LPT dengan wilayah sekitar skala kabupaten/kota.
a.Pendaftaran dan seleksi calon transmigran skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. — 9. Peningkatan ketrampilan dan keahlian calon transmigran skala nasional.
Fasilitasi perpindahan dan penempatan transmigran skala nasional.
Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan penyiapan permukiman dan penempatan b. — 9. Koordinasi pelaksanaan peningkatan ketrampilan dan keahlian calon transmigran skala provinsi.
Koordinasi pelaksanaan pelayanan perpindahan dan penempatan transmigran skala provinsi.
Pengendalian dan supervisi penyiapan permukiman dan penempatan transmigran skala b.Penetapan status calon transmigran skala kabupaten/kota berdasarkan kriteria pemerintah.
Peningkatan ketrampilan dan keahlian calon transmigran skala kabupaten/kota.
Pelayanan penampungan calon transmigran skala kabupaten/kota.
Pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan penyiapan permukiman dan penempatan transmigran di wilayah SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA transmigran skala nasional. provinsi. kabupaten/kota.
Pengembangan Masyarakat dan Kawasan Transmigrasi 1. Perencanaan pengembangan masyarakat dan kawasan transmigrasi skala nasional.
Peningkatan kapasitas SDM dan masyarakat di WPT atau LPT skala nasional.
Pengembangan usaha masyarakat di WPT atau LPT skala nasional.
Sinkronisasi dan pengusulan rencana pengembangan masyarakat dan kawasan transmigrasi skala provinsi.
Koordinasi pelaksanaan peningkatan kapasitas SDM dan masyarakat di WPT atau LPT skala provinsi.
Koordinasi pelaksanaan pengembangan usaha masyarakat di WPT atau LPT skala provinsi.
Pengusulan rencana pengembangan masyarakat dan kawasan transmigrasi skala kabupaten/kota.
Sinkronisasi peningkatan kapasitas SDM dan masyarakat di WPT atau LPT dengan wilayah sekitar dalam skala kabupaten/kota.
Sinkronisasi pengembangan usaha masyarakat di WPT atau LPT dengan wilayah sekitar dalam skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Pemeliharaan dan pengembangan infrastruktur WPT atau LPT skala nasional.
Penyerasian pengembangan masyarakat dan kawasan WPT atau LPT dengan wilayah sekitar.
a.Evaluasi dan pengukuran tingkat keberhasilan pembangunan transmigrasi dan pengalihan 4. Koordinasi pelaksanaan pemeliharaan dan pengembangan infrastruktur WPT atau LPT skala provinsi.
Koordinasi pelaksanaan penyerasian pengembangan masyarakat dan kawasan WPT atau LPT dengan wilayah sekitar skala provinsi.
a.Koordinasi dan sinkronisasi penyajian data dan informasi tentang perkembangan WPT atau LPT skala provinsi.
Sinkronisasi pemeliharaan dan pengembangan infrastruktur WPT atau LPT dengan wilayah sekitar dalam skala kabupaten/kota.
Sinkronisasi penyerasian pengembangan masyarakat dan kawasan WPT atau LPT dengan wilayah sekitar skala kabupaten/kota.
a.Penyediaan data dan informasi tentang perkembangan WPT dan LPT skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA tanggungjawab pembinaan khusus WPT atau LPT skala nasional.
— 7. Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan pengembangan masyarakat dan kawasan transmigrasi skala nasional.
Pengusulan calon WPT atau LPT yang dapat dialihkan tanggungjawab pembinaan khususnya dalam skala provinsi.
Pengendalian dan supervisi pelaksanaan pengembangan masyarakat dan kawasan transmigrasi skala provinsi.
Pengusulan calon WPT atau LPT yang dapat dialihkan tanggungjawab pembinaan khususnya dalam skala kabupaten/kota.
Pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan pengembangan masyarakat dan kawasan transmigrasi di wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Pengarahan Dan Fasilitasi Perpindahan Transmigrasi 1.a.Fasilitasi, bimbingan teknis, dan pelaksanaan Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) ketransmigrasian skala nasional.
Penyediaan dan pelayanan informasi ketransmigrasian skala nasional.
— 1.a.Fasilitasi, bimbingan teknis, dan pelaksanaan Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) ketransmigrasian skala provinsi.
Penyediaan dan pelayanan informasi ketransmigrasian skala provinsi.
— 1.a.Pelaksanaan Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) ketransmigrasian skala kabupaten/kota.
Penyediaan dan pelayanan informasi ketransmigrasian skala kabupaten/kota.
Peningkatan motivasi perpindahan transmigrasi skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA d.— 2.a.Fasilitasi, bimbingan teknis, dan penyerasian rencana pengarahan dan fasilitasi perpindahan transmigrasi lintas provinsi.
— d.— 2.a.Fasilitasi, bimbingan teknis, penyusunan dan penyerasian rencana pengarahan dan fasilitasi perpindahan transmigrasi skala provinsi.
— d.Penyamaan persepsi, kesepahaman, kesepakatan mengenai pembangunan ketransmigrasian skala kabupaten/kota.
a.Identifikasi dan analisis keserasian penduduk dengan daya dukung alam dan daya tampung lingkungan skala kabupaten/kota.
Pemilihan dan penetapan daerah dan kelompok sasaran perpindahan transmigrasi skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c.— c.— c.Penyusunan rencana pengarahan dan fasilitasi perpindahan transmigrasi skala kabupaten/kota.
Fasilitasi kerjasama perpindahan transmigrasi dan penataan persebaran transmigrasi yang serasi dan seimbang dengan daya dukung alam dan daya tampung skala nasional.
a.Fasilitasi, bimbingan teknis, dan pelayanan perpindahan transmigrasi skala nasional.
Mediasi kerjasama perpindahan transmigrasi dan penataan persebaran transmigrasi yang serasi dan seimbang dengan daya dukung alam dan daya tampung skala provinsi.
a.Fasilitasi, bimbingan teknis, dan pelayanan perpindahan transmigrasi skala provinsi.
Pelaksanaan kerjasama perpindahan transmigrasi dan penataan persebaran transmigrasi yang serasi dan seimbang skala kabupaten/kota.
a.Pelayanan pendaftaran dan seleksi perpindahan transmigrasi dan penataan persebaran transmigrasi. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. — c. — d. — e. — b. — c. — d. — e. — b.Pelayanan pelatihan dalam rangka penyesuaian kompetensi perpindahan transmigrasi.
Pelayanan penampungan, permakanan, kesehatan, perbekalan, dan informasi perpindahan transmigrasi.
Pelayanan pengangkutan dalam proses perpindahan transmigrasi.
Pelayanan dan pengaturan penempatan, adaptasi lingkungan dan konsoliasi penempatan transmigrasi. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan pengarahan dan fasilitasi perpindahan transmigrasi skala nasional.
Pengendalian dan supervisi pelaksanaan pengarahan dan fasilitasi perpindahan transmigrasi skala provinsi.
Pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan pengarahan dan fasilitasi perpindahan transmigrasi di wilayah kabupaten/kota. O. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Kelembagaan Koperasi 1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pembentukan, penggabungan dan peleburan, serta pembubaran koperasi.
a.Pengesahan dan pengumuman akta pendirian koperasi.
— 3. Pengesahan dan perubahan Anggaran Dasar (AD) yang menyangkut penggabungan, pembagian dan perubahan bidang koperasi.
Pelaksanaan kebijakan pembentukan, penggabungan, dan peleburan, serta pembubaran koperasi.
a.Pengesahan pembentukan, penggabungan dan peleburan, serta penetapan pembubaran koperasi lintas kabupaten/kota. (Tugas Pembantuan) b.Fasilitasi pelaksanaan pengesahan dan pengumuman akta pendirian koperasi lintas kabupaten/kota.
Fasilitasi pelaksanaan pengesahan dan perubahan AD yang menyangkut penggabungan, pembagian dan perubahan bidang usaha koperasi lintas kabupaten/kota.
Pelaksanaan kebijakan pembentukan, penggabungan, dan peleburan, serta pembubaran koperasi.
a.Pengesahan pembentukan, penggabungan dan peleburan, serta pembubaran koperasi dalam wilayah kabupaten/kota. (Tugas Pembantuan) b.Fasilitasi pelaksanaan pengesahan dan pengumuman akta pendirian koperasi dalam wilayah kabupaten/kota.
Fasilitasi pelaksanaan pengesahan perubahan AD yang menyangkut penggabungan, pembagian dan perubahan bidang usaha koperasi dalam wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Penetapan pembubaran koperasi.
a.Pembinaan dan Pengawasan Koperasi Simpan Pinjam (KSP) dan Unit Simpan Pinjam (USP) Koperasi di tingkat nasional.
ɔ 4. Fasilitasi pelaksanaan pembubaran koperasi di tingkat provinsi.
a.Pembinaan dan pengawasan KSP dan USP koperasi di tingkat provinsi.
Fasilitasi pelaksanaan tugas dalam pengawasan KSP dan USP Koperasi di tingkat provinsi (Tugas Pembantuan) .
Fasilitasi pelaksanaan pembubaran koperasi di tingkat kabupaten/kota sesuai dengan pedoman pemerintah di tingkat kabupaten/kota.
a.Pembinaan dan pengawasan KSP dan USP koperasi di tingkat kabupaten/kota.
Fasilitasi pelaksanaan tugas dalam pengawasan KSP dan USP Koperasi di tingkat kabupaten/kota (Tugas Pembantuan).
Pemberdayaan Koperasi 1. Penetapan kebijakan pemberdayaan koperasi meliputi:
Prinsip kesehatan dan prinsip kehati-hatian usaha KSP dan USP;
Pelaksanaan kebijakan pemberdayaan koperasi meliputi:
Penciptaan usaha simpan pinjam yang sehat di tingkat provinsi sesuai dengan kebijakan pemerintah;
Pelaksanaan kebijakan pemberdayaan koperasi meliputi:
Penciptaan usaha simpan pinjam yang sehat di tingkat kabupaten/kota sesuai dengan kebijakan pemerintah; SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b.Tata cara penyampaian laporan tahunan bagi KSP dan USP;
Tata cara pembinaan KSP dan USP;
Pembubaran dan penyelesaian akibat pembubaran KSP dan USP;
Pemberian sanksi administratif kepada KSP dan USP yang tidak melaksanakan kewajibannya;
Bimbingan dan penyuluhan koperasi dalam pembuatan laporan tahunan KSP dan USP lintas kabupaten/kota;
Pembinaan KSP dan USP lintas kabupaten/kota;
Fasilitasi pelaksanaan pembubaran dan penyelesaian akibat pembubaran KSP dan USP lintas kabupaten/kota;
Pemberian sanksi administratif kepada KSP dan USP lintas kabupaten/kota yang tidak melaksanakan kewajibannya;
Bimbingan dan penyuluhan koperasi dalam pembuatan laporan tahunan KSP dan USP dalam wilayah kabupaten/kota;
Pembinaan KSP dan USP dalam wilayah kabupaten/kota;
Fasilitasi pelaksanaan pembubaran dan penyelesaian akibat pembubaran KSP dan USP dalam wilayah kabupaten/kota;
Pemberian sanksi administratif kepada KSP dan USP dalam wilayah kabupaten/kota yang tidak melaksanakan kewajibannya; SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pengembangan iklim serta kondisi yang mendorong pertumbuhan dan pemasyarakatan koperasi.
Pemberian bimbingan dan kemudahan koperasi.
Perlindungan kepada koperasi.
Pengembangan iklim serta kondisi yang mendorong pertumbuhan dan pemasyarakatan koperasi dalam wilayah provinsi.
Pemberian bimbingan dan kemudahan koperasi lintas kabupaten/kota.
Perlindungan kepada koperasi dalam wilayah provinsi.
Pengembangan iklim serta kondisi yang mendorong pertumbuhan dan pemasyarakatan koperasi dalam wilayah kabupaten/kota.
Pemberian bimbingan dan kemudahan koperasi dalam wilayah kabupaten/kota.
Perlindungan kepada koperasi dalam wilayah kabupaten/kota.
Pemberdayaan UKM 1. Penetapan kebijakan pemberdayaan UKM dalam penumbuhan iklim usaha bagi usaha kecil di tingkat nasional meliputi:
Pendanaan/penyediaan sumber dana, tata cara dan syarat pemenuhan kebutuhan dana;
Penetapan kebijakan pemberdayaan UKM dalam penumbuhan iklim usaha bagi usaha kecil di tingkat provinsi meliputi:
Pendanaan/penyediaan sumber dana, tata cara dan syarat pemenuhan kebutuhan dana;
Penetapan kebijakan pemberdayaan UKM dalam penumbuhan iklim usaha bagi usaha kecil di tingkat kabupaten/kota meliputi:
Pendanaan/penyediaan sumber dana, tata cara dan syarat pemenuhan kebutuhan dana; SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b.Persaingan;
Prasarana;
Informasi;
Kemitraan;
Perijinan;
Perlindungan.
Pembinaan dan pengembangan usaha kecil di tingkat nasional meliputi:
Produksi;
Pemasaran;
Sumber daya manusia;
Teknologi.
Persaingan;
Prasarana;
Informasi;
Kemitraan;
Perijinan;
Perlindungan.
Pembinaan dan pengembangan usaha kecil di tingkat provinsi meliputi:
Produksi;
Pemasaran;
Sumber daya manusia;
Teknologi.
Persaingan;
Prasarana;
Informasi;
Kemitraan;
Perijinan;
Perlindungan.
Pembinaan dan pengembangan usaha kecil di tingkat kabupaten/kota meliputi:
Produksi;
Pemasaran;
Sumber daya manusia;
Teknologi. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Fasilitasi akses penjaminan dalam penyediaan pembiayaan bagi UKM di tingkat nasional meliputi:
Kredit perbankan;
Penjaminan lembaga bukan bank;
Modal ventura;
Pinjaman dari dana pengasihan sebagai laba BUMN;
Hibah;
Jenis pembiayaan lain.
Fasilitasi akses penjaminan dalam penyediaan pembiayaan bagi UKM di tingkat provinsi meliputi:
Kredit perbankan;
Penjaminan lembaga bukan bank;
Modal ventura;
Pinjaman dari dana pengasihan sebagai laba BUMN;
Hibah;
Jenis pembiayaan lain.
Fasilitasi akses penjaminan dalam penyediaan pembiayaan bagi UKM di tingkat kabupaten/kota meliputi:
Kredit perbankan;
Penjaminan lembaga bukan bank;
Modal ventura;
Pinjaman dari dana pengasihan sebagai laba BUMN;
Hibah;
Jenis pembiayaan lain.
Pengawasan, Monitoring, dan Evaluasi 1. Pengawasan, monitoring, dan evaluasi upaya pemberdayaan koperasi dan UKM.
Pengawasan, monitoring, dan evaluasi upaya pemberdayaan Koperasi dan UKM lintas kabupaten/kota.
Pengawasan, monitoring, dan evaluasi upaya pemberdayaan Koperasi dan UKM dalam wilayah kabupaten/kota. P. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG PENANAMAN MODAL SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Kebijakan Penanaman Modal 1. Kebijakan Penanaman Modal 1. Menyusun dan menetapkan kebijakan pengembangan penanaman modal Indonesia dalam bentuk rencana umum penanaman modal nasional dan rencana strategis nasional sesuai dengan program pembangunan nasional.
Menyusun dan menetapkan kebijakan pengembangan penanaman modal daerah provinsi dalam bentuk rencana umum penanaman modal daerah dan rencana strategis daerah sesuai dengan program pembangunan daerah provinsi, berkoordinasi dengan Pemerintah.
Menyusun dan menetapkan kebijakan pengembangan penanaman modal daerah kabupaten/kota dalam bentuk rencana umum penanaman modal daerah dan rencana strategis daerah sesuai dengan program pembangunan daerah kabupaten/kota, berkoordinasi dengan pemerintah provinsi. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Merumuskan dan menetapkan pedoman, pembinaan, dan pengawasan dalam skala nasional terhadap penyelenggaraan kebijakan dan perencanaan pengembangan penanaman modal.
Mengoordinasikan, merumuskan, menetapkan dan melaksanakan kebijakan nasional dibidang penanaman modal meliputi:
Merumuskan dan menetapkan pedoman, pembinaan, dan pengawasan dalam skala provinsi terhadap penyelenggaraan kebijakan dan perencanaan pengembangan penanaman modal, berkoordinasi dengan Pemerintah.
Mengoordinasikan, merumuskan, menetapkan dan melaksanakan kebijakan daerah provinsi di bidang penanaman modal meliputi:
Merumuskan dan menetapkan pedoman, pembinaan, dan pengawasan dalam skala kabupaten/kota terhadap penyelenggaraan kebijakan dan perencanaan pengembangan penanaman modal, berkoordinasi dengan pemerintah provinsi.
Mengoordinasikan, merumuskan, menetapkan dan melaksanakan kebijakan daerah kabupaten/kota di bidang penanaman modal meliputi: SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA (1) Bidang usaha yang tertutup.
Bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan.
Bidang usaha yang menjadi prioritas tinggi dalam skala nasional.
Penyiapan usulan bidang- bidang usaha yang perlu dipertimbangkan tertutup.
Penyiapan usulan bidang- bidang usaha yang perlu dipertimbangkan terbuka dengan persyaratan.
Penyiapan usulan bidang- bidang usaha yang perlu dipertimbangkan mendapat prioritas tinggi dalam skala provinsi.
Penyiapan usulan bidang-bidang usaha yang perlu dipertimbangkan tertutup.
Penyiapan usulan bidang-bidang usaha yang perlu dipertimbangkan terbuka dengan persyaratan.
Penyiapan usulan bidang-bidang usaha yang perlu dipertimbangkan mendapat prioritas tinggi di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA (4) Penyusunan peta investasi Indonesia, potensi sumber daya nasional termasuk pengusaha mikro, kecil, menengah, koperasi, dan besar.
Usulan pemberian fasilitas fiskal dan non fiskal.
Penyusunan peta investasi daerah provinsi dan potensi sumber daya daerah terdiri dari sumber daya alam, kelembagaan dan sumber daya manusia termasuk pengusaha mikro, kecil, menengah, koperasi, dan besar berdasarkan masukan dari daerah kabupaten/kota.
Usulan dan pemberian fasilitas penanaman modal di luar fasilitas fiskal dan non fiskal nasional yang menjadi (4) Penyusunan peta investasi daerah kabupaten/kota dan identifikasi potensi sumber daya daerah kabupaten/kota terdiri dari sumber daya alam, kelembagaan dan sumber daya manusia termasuk pengusaha mikro, kecil, menengah, koperasi, dan besar.
Usulan dan pemberian insentif penanaman modal di luar faslitas fiskal dan non fiskal nasional yang menjadi SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pelaksanaan Kebijakan Penanaman Modal 1. Kerjasama Penanaman Modal 4. Mengkaji, merumuskan dan menyusun, dan menetapkan kebijakan dan ketentuan peraturan perundang- undangan dibidang penanaman modal.
Mengkaji, merumuskan, menyusun kebijakan, mengoordinasikan dan melaksanakan kerjasama dengan dunia usaha di bidang penanaman modal. kewenangan provinsi.
Menetapkan peraturan daerah provinsi tentang penanaman modal dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku.
Mendorong, melaksanakan, mengajukan usulan materi dan memfasilitasi kerjasama dunia usaha di bidang penanaman modal di tingkat provinsi. kewenangan kabupaten/kota.
Menetapkan peraturan daerah kabupaten/kota tentang penanaman modal dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku.
Melaksanakan, mengajukan usulan materi dan memfasilitasi kerjasama dengan dunia usaha di bidang penanaman modal di tingkat kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Promosi Penanaman Modal 2. Mengkaji, merumuskan, menyusun kebijakan, mengoordinasikan dan melaksanakan kerjasama internasional di bidang penanaman modal.
Mengkaji, merumuskan dan menyusun kebijakan teknis pelaksanaan pemberian bimbingan dan pembinaan dalam promosi penanaman modal.
Mendorong, melaksanakan, mengajukan usulan materi dan memfasilitasi kerjasama internasional di bidang penanaman modal di tingkat provinsi.
Mengkaji, merumuskan, dan menyusun kebijakan teknis pelaksanaan pemberian bimbingan dan pembinaan promosi penanaman modal di tingkat provinsi.
Melaksanakan, mengajukan usulan materi dan memfasilitasi kerjasama internasional di bidang penanaman modal di tingkat kabupaten/kota.
Mengkaji, merumuskan, dan menyusun kebijakan teknis pelaksanaan pemberian bimbingan dan pembinaan promosi penanaman modal di tingkat kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Pelayanan Penanaman Modal 2. Mengoordinasikan dan melaksanakan promosi penanaman modal baik di dalam negeri maupun ke luar negeri.
Mengoordinasikan, mengkaji, merumuskan dan menyusun materi promosi skala nasional.
Mengkaji, merumuskan, dan menyusun pedoman tata cara dan pelaksanaan pelayanan terpadu satu pintu kegiatan penanaman modal.
Mengoordinasikan dan melaksanakan promosi penanaman modal daerah Provinsi baik di dalam negeri maupun ke luar negeri yang melibatkan lebih dari satu kabupaten/kota.
Mengoordinasikan, mengkaji, merumuskan dan menyusun materi promosi skala Provinsi.
Mengkaji, merumuskan, dan menyusun pedoman tata cara dan pelaksanaan pela yananan terpadu satu pintu kegiatan penanaman modal 2. Melaksanakan promosi penanaman modal daerah kabupaten/kota baik di dalam negeri maupun ke luar negeri.
Mengkaji, merumuskan, dan menyusun materi promosi skala kabupaten/kota.
Mengkaji, merumuskan, dan menyusun pedoman tata cara dan pelaksanaan pelayanan terpadu satu pintu kegiatan penanaman SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Melayani dan memfasilitasi:
Penanaman modal terkait dengan sumber daya alam yang tidak terbarukan dengan tingkat resiko kerusakan lingkungan yang tinggi; yang bersifat lintas kabupaten/kota berdasarkan pedoman tata cara dan pelaksanaan pelayanan terpadu satu pintu kegiatan penanaman modal yang ditetapkan oleh Pemerintah.
— modal yang menjadi kewenangan kabupaten/kota berdasarkan pedoman tata cara dan pelaksanaan pelayanan terpadu satu pintu kegiatan penanaman modal yang ditetapkan oleh Pemerintah.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b.Penanaman modal pada bidang industri yang merupakan prioritas tinggi pada skala nasional;
Penanaman modal yang terkait pada fungsi pemersatu dan penghubung antar wilayah atau ruang lingkupnya lintas provinsi;
Penanaman modal yang terkait pada pelaksanaan strategi pertahanan dan keamanan nasional; SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA e.Penanaman modal asing dan penanam modal yang menggunakan modal asing, yang berasal dari pemerintah negara lain, yang didasarkan perjanjian yang dibuat oleh Pemerintah dan pemerintah negara lain; dan
Bidang penanaman modal lain yang menjadi urusan Pemerintah menurut undang-undang. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Pemberian izin usaha kegiatan penanaman modal dan nonperizinan yang menjadi kewenangan Pemerintah.
Melaksanakan pelayanan terpadu satu pintu berdasarkan pendelegasian atau pelimpahan wewenang dari lembaga atau instansi yang memeiliki kewenangan perizinan dan nonperizinan yang menjadi kewenangan Pemerintah.
Pemberian izin usaha kegiatan penanaman modal dan nonperizinan yang menjadi kewenangan provinsi.
Melaksanakan pelayanan terpadu satu pintu berdasarkan pendelegasian atau pelimpahan wewenang dari lembaga atau instansi yang memiliki kewenangan perizinan dan nonperizinan yang menjadi kewenangan provinsi.
Pemberian izin usaha kegiatan penanaman modal dan non perizinan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota.
Melaksanakan pelayanan terpadu satu pintu berdasarkan pendelegasian atau pelimpahan wewenang dari lembaga atau instansi yang memiliki kewenangan perizinan dan nonperizinan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal 5. Pemberian persetujuan fasilitas fiskal nasional, bagi penanaman modal.
Mengkaji, merumuskan, dan menyusun kebijakan teknis pengendalian pelaksanaan penanaman modal skala nasional.
Melaksanakan pemantauan, bimbingan, dan pengawasan pelaksanaan penanaman modal, berkoordinasi dengan pemerintah provinsi atau 5. Pemberian usulan persetujuan fasilitas fiskal nasional, bagi penanaman modal yang menjadi kewenangan provinsi.
Mengkaji, merumuskan, dan menyusun kebijakan teknis pengendalian pelaksanaan penanaman modal di provinsi.
Melaksanakan pemantauan, bimbingan, dan pengawasan berkoordinasi dengan Pemerintah atau pemerintah 5. Pemberian usulan persetujuan fasilitas fiskal nasional, bagi penanaman modal yang menjadi kewenangan kabupaten/kota.
Mengkaji, merumuskan, dan menyusun kebijakan teknis pengendalian pelaksanaan penanaman modal di kabupaten/kota.
Melaksanakan pemantauan, bimbingan, dan pengawasan pelaksanaan penanaman modal, berkoordinasi dengan Pemerintah dan SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Pengelolaan Data dan Sistem Informasi Penanaman Modal pemerintah kabupaten/kota.
Mengkaji, merumuskan, dan menyusun pedoman tata cara pembangunan dan pengembangan sistem informasi penanaman modal skala nasional.
Membangun dan mengembangkan sistem informasi penanaman modal yang terintegrasi dengan sistem informasi penanaman modal pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. kabupaten/kota.
Mengkaji, merumuskan, dan menyusun pedoman tata cara pembangunan dan pengembangan sistem informasi penanaman modal skala provinsi.
Membangun dan mengembangkan sistem informasi penanaman modal yang terintegrasi dengan sistem informasi penanaman modal Pemerintah dan pemerintah kabupaten/kota. pemerintah provinsi.
Mengkaji, merumuskan dan menyusun pedoman tata cara pembangunan dan pengembangan sistem informasi penanaman modal skala kabupaten/kota.
Membangun dan mengembangkan sistem informasi penanaman modal yang terintegrasi dengan sistem informasi penanaman modal Pemerintah dan pemerintah provinsi. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Penyebar- luasan, Pendidikan dan Pelatihan Penanaman Modal 3. Mengoordinasikan pengumpulan dan pengolahan data kegiatan usaha penanaman modal dan realisasi proyek penanaman modal skala nasional.
Memutakhirkan data dan informasi penanaman modal nasional.
Membina dan mengawasi pelaksanaan penanaman modal di tingkat provinsi dan kabupaten/kota di bidang sistem informasi penanaman modal.
Mengumpulkan dan mengolah data kegiatan usaha penanaman modal dan realisasi proyek penanaman modal skala provinsi.
Memutakhirkan data dan informasi penanaman modal daerah.
Membina dan mengawasi pelaksanaan instansi penanaman modal kabupaten/kota di bidang sistem informasi penanaman modal.
Mengumpulkan dan mengolah data kegiatan usaha penanaman modal dan realisasi proyek penanaman modal skala kabupaten/kota.
Memutakhirkan data dan informasi penanaman modal daerah.
Membina dan mengawasi pelaksanaan di bidang sistem informasi penanaman modal. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Mengoordinasikan pelaksanaan sosialisasi atas kebijakan dan perencanaan pengembangan, perjanjian kerjasama internasional di bidang penanaman modal baik kerjasama bilateral, sub regional, regional, dan multilateral, promosi, pemberian pelayanan perizinan, pengendalian pelaksanaan, dan sistem informasi penanaman modal skala nasional kepada aparatur pemerintah dan dunia usaha;
Mengoordinasikan pelaksanaan sosialisasi atas kebijakan dan perencanaan pengembangan, kerjasama luar negeri, promosi, pemberian pelayanan perizinan, pengendalian pelaksanaan, dan sistem informasi penanaman modal skala provinsi kepada aparatur pemerintah dan dunia usaha.
Melaksanakan sosialisasi atas kebijakan dan perencanaan pengembangan, kerjasama luar negeri, promosi, pemberian pelayanan perizinan, pengendalian pelaksanaan, dan sistem informasi penanaman modal skala kabupaten/ kota kepada aparatur pemerintah dan dunia usaha. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Mengoordinasikan dan melaksanakan pendidikan dan pelatihan penanaman modal skala nasional.
Mengoordinasikan dan melaksanakan pendidikan dan pelatihan penanaman modal skala provinsi.
Melaksanakan pendidikan dan pelatihan penanaman modal skala kabupaten/ kota. Q. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Kebijakan Bidang Kebudayaan 1. Kebudayaan 1. Rencana induk pengembangan kebudayaan nasional.
Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di bidang kebudayaan.
Kriteria nasional sistem pemberian penghargaan/anugerah bagi insan/lembaga yang berjasa di bidang kebudayaan.
Rencana induk pengembangan kebudayaan skala provinsi.
Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi mengenai perlindungan HKI bidang kebudayaan.
Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi mengenai kriteria sistem pemberian penghargaan/anugerah bagi insan/lembaga yang berjasa di bidang kebudayaan .
Rencana induk pengembangan kebudayaan skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan kebijakan nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota mengenai perlindungan HKI bidang kebudayaan.
Pelaksanaan kebijakan nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota mengenai kriteria sistem pemberian penghargaan/anugerah bagi insan/lembaga yang berjasa di bidang kebudayaan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Kerjasama luar negeri bidang kebudayaan. 4. Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi mengenai kerja sama luar negeri di bidang kebudayaan skala provinsi.
Pelaksanaan kebijakan nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota mengenai kerja sama luar negeri di bidang kebudayaan skala kabupaten/ kota.
Tradisi 1. Penanaman nilai-nilai tradisi, pembinaan karakter dan pekerti bangsa.
Pembinaan lembaga kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan lembaga adat skala nasional.
Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi di bidang penanaman nilai-nilai tradisi, pembinaan karakter dan pekerti bangsa.
Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi dalam pembinaan lembaga kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan lembaga adat skala provinsi.
Pelaksanaan kebijakan nasional/provinsi serta penetapan kebijakan kabupaten/kota di bidang penanaman nilai-nilai tradisi, pembinaan karakter dan pekerti bangsa.
Pelaksanaan kebijakan nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota dalam pembinaan lembaga kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan lembaga adat skala kabupaten/kota . SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Perfilman 1. Penetapan kebijakan nasional bidang perfilman.
Pemberian izin usaha terhadap pembuatan film oleh tim asing.
Usaha perfilman, yang meliputi produksi, pengedaran, dan penayangan film.
Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan operasional perfilman skala provinsi.
Pemberian izin usaha terhadap pembuatan film oleh tim asing skala provinsi.
Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi di bidang usaha perfilman yang meliputi produksi, pengedaran, penayangan film.
Pelaksanaan kebijakan nasional/provinsi dan penetapan kebijakan operasional perfilman skala kabupaten/kota.
Pemberian izin usaha terhadap pembuatan film oleh tim asing skala kabupaten/kota.
Pemberian perizinan usaha perfilman di bidang pembuatan film, pengedaran film, penjualan dan penyewaan film (VCD, DVD), pertunjukan film (bioskop), pertunjukan film keliling, penayangan film melalui media elektronik, dan tempat hiburan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Standarisasi di bidang profesi, dan teknologi perfilman.
Kerjasama luar negeri di bidang perfilman.
Kebijakan peredaran, pertunjukan dan penayangan film serta rekaman video.
Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi di bidang standarisasi profesi dan teknologi perfilman.
Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi mengenai kerjasama luar negeri di bidang perfilman.
Pengawasan peredaran film dan rekaman video (VCD/DVD) skala provinsi.
Pelaksanaan kebijakan nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota di bidang kegiatan standarisasi profesi dan teknologi perfilman.
Pelaksanaan kebijakan nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota mengenai kerjasama luar negeri di bidang perfilman.
Pengawasan dan pendataan film dan rekaman video yang beredar, perusahaan persewaan dan penjualan rekaman video serta kegiatan evaluasi dan laporan pelaksanaan kebijakan perfilman skala kabupaten/ kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 7. Standarisasi nasional di bidang peningkatan produksi dan apresiasi film.
Monitoring dan evaluasi pengembangan perfilman skala nasional.
Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi mengenai kegiatan standarisasi di bidang peningkatan produksi dan apresiasi film skala provinsi.
Monitoring dan evaluasi pengembangan perfilman skala provinsi.
Pelaksanaan kebijakan nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota mengenai kegiatan standarisasi di bidang peningkatan produksi dan apresiasi film skala kabupaten/ kota.
Monitoring dan evaluasi pengembangan perfilman skala kabupaten/kota.
Kesenian 1. Standarisasi pemberian izin untuk pengiriman dan penerimaan delegasi asing di bidang kesenian.
Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi mengenai standarisasi pemberian izin pengiriman dan penerimaan delegasi asing di bidang kesenian.
Pelaksanaan kebijakan nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota mengenai standarisasi pemberian izin pengiriman dan penerimaan delegasi asing di bidang kesenian. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Izin pengiriman/ penerimaan misi kesenian dalam rangka kerjasama luar negeri skala nasional.
Penetapan kriteria dan prosedur penyelenggaraan festival, pameran, dan lomba tingkat nasional dan internasional.
Standar Pelayanan Minimal (SPM) di bidang kesenian.
Penetapan pedoman dan pemberian penghargaan kepada seniman yang telah berjasa kepada bangsa dan negara.
Penerbitan rekomendasi pengiriman misi kesenian dalam rangka kerjasama luar negeri skala provinsi.
Penetapan kriteria dan prosedur penyelenggaraan festival, pameran, dan lomba tingkat provinsi.
Penerapan dan monitoring implementasi SPM bidang kesenian skala provinsi.
Pemberian penghargaan kepada seniman yang telah berjasa kepada bangsa dan negara skala provinsi.
Penerbitan rekomendasi pengiriman misi kesenian dalam rangka kerjasama luar negeri skala kabupaten/kota.
Penetapan kriteria dan prosedur penyelenggaraan festival, pameran, dan lomba tingkat kabupaten/kota.
Penerapan dan monitoring implementasi SPM bidang kesenian skala kabupaten/ kota.
Pemberian penghargaan kepada seniman yang telah berjasa kepada bangsa dan negara skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Penetapan pedoman penyelenggaraan kegiatan pendidikan dan pelatihan bidang kesenian skala nasional.
Penetapan prosedur perawatan dan pengamanan aset atau benda kesenian (karya seni).
Penetapan pedoman nasional pembentukan dan/atau pengelolaan infrastruktur bidang kesenian (misalnya galeri nasional Indonesia dan pusat kebudayaan Indonesia).
Penyelenggaraan kegiatan pendidikan dan pelatihan kesenian skala provinsi.
Penerapan dan pelaksanaan prosedur perawatan dan pengamanan aset atau benda kesenian (karya seni) skala provinsi.
Pelaksanaan pembentukan dan/atau pengelolaan pusat kegiatan kesenian skala provinsi (misalnya taman budaya).
Penyelenggaraan kegiatan pendidikan dan pelatihan kesenian skala kabupaten/ kota.
Penerapan dan pelaksanaan prosedur perawatan dan pengamanan aset atau benda kesenian (karya seni) skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan pembentukan dan/atau pengelolaan pusat kegiatan kesenian skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 9. Penetapan kebijakan nasional peningkatan bidang apresiasi seni tradisional dan non tradisional.
Perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan kesenian skala nasional.
Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi peningkatan bidang apresiasi seni tradisional dan non tradisional.
Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi dalam rangka perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan kesenian skala provinsi.
Pelaksanaan kebijakan nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota peningkatan bidang apresiasi seni tradisional dan non tradisional.
Pelaksanaan kebijakan nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota dalam rangka perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan kesenian skala kabupaten/kota.
Sejarah 1. Penetapan pedoman penulisan sejarah nasional, sejarah wilayah, sejarah lokal, dan sejarah kebudayaan.
Pelaksanaan pedoman nasional dan penetapan kebijakan provinsi, di bidang penulisan sejarah lokal dan sejarah kebudayaan daerah skala provinsi.
Pelaksanaan pedoman nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota di bidang penulisan sejarah lokal dan sejarah kebudayaan daerah skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Penetapan pedoman pemahaman sejarah nasional, sejarah wilayah, sejarah lokal dan sejarah kebudayaan.
Penetapan pedoman inventarisasi dan dokumentasi sumber sejarah dan publikasi sejarah.
Penetapan pedoman pemberian penghargaan tokoh yang berjasa terhadap pengembangan sejarah tingkat nasional.
Pelaksanaan pedoman nasional dan penetapan kebijakan provinsi di bidang pemahaman sejarah nasional, sejarah wilayah, sejarah lokal dan sejarah kebudayaan daerah.
Pelaksanaan pedoman nasional dan penetapan kebijakan provinsi dan di bidang inventarisasi dan dokumentasi sumber sejarah dan publikasi sejarah.
Pelaksanaan pedoman nasional dan penetapan kebijakan provinsi pemberian penghargaan tokoh yang berjasa terhadap pengembangan sejarah.
Pelaksanaan pedoman nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota di bidang pemahaman sejarah nasional, sejarah wilayah, sejarah lokal dan sejarah kebudayaan daerah.
Pelaksanaan pedoman nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota di bidang inventarisasi dan dokumentasi sumber sejarah dan publikasi sejarah.
Pelaksanaan pedoman nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota pemberian penghargaan tokoh yang berjasa terhadap pengembangan sejarah. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Penetapan pedoman peningkatan pemahaman sejarah dan wawasan kebangsaan.
Penetapan pedoman penanaman nilai-nilai sejarah dan kepahlawanan nasional.
Penetapan pedoman database dan sistem informasi geografi sejarah.
Penetapan pedoman koordinasi dan kemitraan pemetaan sejarah.
Penerapan pedoman peningkatan pemahaman sejarah dan wawasan kebangsaan skala provinsi.
Pelaksanaan pedoman penanaman nilai-nilai sejarah dan kepahlawanan skala provinsi.
Pelaksanaan pedoman nasional dan penetapan kebijakan provinsi mengenai database dan sistem informasi geografi sejarah.
Pelaksanaan pedoman nasional dan penetapan kebijakan provinsi mengenai koordinasi dan kemitraan pemetaan sejarah skala provinsi.
Penerapan pedoman peningkatan pemahaman sejarah dan wawasan kebangsaan skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan pedoman penanaman nilai-nilai sejarah dan kepahlawanan skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan pedoman nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota mengenai database dan sistem informasi geografi sejarah.
Pelaksanaan pedoman nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota mengenai koordinasi dan kemitraan pemetaan sejarah skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 9. Penetapan pedoman penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan (diklat) bidang sejarah.
Pelaksanaan pedoman dan penetapan kebijakan provinsi penyelenggaraan diklat bidang sejarah skala provinsi.
Pelaksanaan pedoman nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota penyelenggaraan diklat bidang sejarah skala kabupaten/kota.
Purbakala 1. Penetapan pedoman pelaksanaan hasil ratifikasi konvensi internasional "Cultural Diversity, Protection on Cultural Landscape, Protection on Cultural and Natural Heritage ".
Penetapan dan pelaksanaan kebijakan perlindungan, pemeliharaan, dan pemanfaatan Benda Cagar Budaya (BCB)/situs skala nasional.
Pelaksanaan pedoman mengenai hasil ratifikasi konvensi internasional "Cultural Diversity, Protection on Cultural Landscape, Protection on Cultural and Natural Heritage" skala provinsi.
Penerapan kebijakan perlindungan, pemeliharaan, dan pemanfaatan BCB/situs skala provinsi.
Pelaksanaan pedoman mengenai hasil ratifikasi konvensi internasional "Cultural Diversity, Protection on Cultural Landscape, Protection on Cultural and Natural Heritage" skala kabupaten/kota.
Penerapan kebijakan perlindungan, pemeliharaan, dan pemanfaatan BCB/situs skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penetapan BCB/situs skala nasional.
Penetapan kebijakan permuseuman.
Penetapan pedoman penelitian arkeologi.
Penetapan pedoman pendirian museum.
Penetapan pedoman hasil pengangkatan peninggalan bawah air sesuai peraturan perundang- undangan.
Penetapan BCB/situs skala provinsi.
Penerapan kebijakan penyelenggaraan dan pengelolaan museum di provinsi.
Penerapan pedoman penelitian arkeologi.
Penerapan pedoman pendirian museum yang dimiliki provinsi.
Penerapan pedoman hasil pengangkatan peninggalan bawah air skala provinsi.
Penetapan BCB/situs skala kabupaten/kota.
Penerapan kebijakan penyelenggaraan dan pengelolaan museum di kabupaten/kota.
Penerapan pedoman penelitian arkeologi.
Penerapan pedoman pendirian museum yang dimiliki kabupaten/kota.
Penerapan pedoman hasil pengangkatan peninggalan bawah air skala kabupaten/ kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pelaksanaan Bidang Kebudayaan 1. Penyelenggaraan 1. Penyelenggaraan perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan kebudayaan skala nasional, meliputi:
Penanaman nilai-nilai tradisi serta pembinaan watak dan pekerti bangsa.
Pembinaan lembaga kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan lembaga adat.
Pengembangan jaringan informasi kebudayaan.
Penyelenggaraan perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan kebudayaan skala provinsi, meliputi:
Penanaman nilai-nilai tradisi serta pembinaan watak dan pekerti bangsa.
Pembinaan lembaga kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan lembaga adat.
Pengembangan jaringan informasi kebudayaan.
Penyelenggaraan perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan kebudayaan skala kabupaten/kota, meliputi:
Penanaman nilai-nilai tradisi serta pembinaan watak dan pekerti bangsa.
Pembinaan lembaga kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan lembaga adat.
Pengembangan jaringan informasi kebudayaan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA d. Peningkatan kemitraan dengan berbagai pihak terkait, lembaga kepercayaan dan lembaga adat.
Advokasi lembaga kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan lembaga adat.
Monitoring dan evaluasi kegiatan skala nasional meliputi:
Pelaksanaan dan hasil kegiatan.
Pengendalian dan pengawasan kegiatan.
Peningkatan kemitraan dengan berbagai pihak terkait, lembaga adat dan masyarakat.
Advokasi lembaga kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan lembaga adat.
Monitoring dan evaluasi kegiatan skala provinsi meliputi:
Pelaksanaan dan hasil kegiatan.
Pengendalian dan pengawasan kegiatan.
Peningkatan kemitraan dengan berbagai pihak terkait, lembaga adat dan masyarakat.
Advokasi lembaga kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan lembaga adat.
Monitoring dan evaluasi kegiatan skala kabupaten/kota meliputi:
Pelaksanaan dan hasil kegiatan.
Pengendalian dan pengawasan kegiatan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c. Pelaksanaan kebijakan nasional, norma dan standar serta pedoman penanaman nilai-nilai budaya bangsa di bidang tradisi pada masyarakat.
Peningkatan apresiasi seni tradisional dan non tradisional tingkat nasional.
Peningkatan produksi, peredaran, ekspor impor, festival, pekan film dan apresiasi film.
Pelaksanaan kebijakan sejarah nasional.
Pelaksanaan kebijakan nasional, norma dan standar serta pedoman penanaman nilai-nilai budaya bangsa di bidang tradisi pada masyarakat.
Pelaksanaan peningkatan apresiasi seni tradisional dan non tradisional tingkat provinsi.
Pelaksanaan peningkatan apresiasi film skala provinsi.
Pelaksanaan kebijakan sejarah daerah skala provinsi.
Pelaksanaan kebijakan nasional, norma dan standar serta pedoman penanaman nilai-nilai budaya bangsa di bidang tradisi pada masyarakat.
Pelaksanaan peningkatan apresiasi seni tradisional dan non tradisional tingkat kabupaten/kota.
Pelaksanaan peningkatan apresiasi film skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan kebijakan sejarah lokal skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penerbitan rekomendasi pembebasan fiskal untuk kegiatan misi kesenian ke luar negeri.
Penyelenggaraan kegiatan revitalisasi dan kajian seni di berbagai daerah untuk kepentingan nasional dan internasional.
Koordinasi kegiatan peningkatan apresiasi seni tradisional dan modern secara nasional.
Koordinasi dan sinkronisasi kebijakan operasional dan program perfilman.
Pengajuan usul rekomendasi pembebasan fiskal untuk kegiatan misi kesenian Indonesia ke luar negeri dari provinsi.
Penyelenggaraan kegiatan revitalisasi dan kajian seni di provinsi.
Penyelenggaraan koordinasi kegiatan peningkatan apresiasi seni tradisional dan modern di provinsi.
Koordinasi dan sinkronisasi kebijakan operasional perfilman skala provinsi.
Pengajuan usul rekomendasi pembebasan fiskal untuk kegiatan misi kesenian Indonesia ke luar negeri dari kabupaten/kota.
Penyelenggaraan kegiatan revitalisasi dan kajian seni di kabupaten/kota.
Penyelenggaraan pembinaan dan pengembangan peningkatan apresiasi seni tradisional dan modern di kabupaten/kota.
Koordinasi dan sinkronisasi kebijakan operasional perfilman skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 7. Penyelenggaraan kegiatan festival pameran dan lomba berskala nasional yang dilaksanakan secara berkala dan berkesinambungan.
Pemberian izin pembuatan film kepada tim produksi asing di Indonesia.
Pemberian rekomendasi penyelenggaraan festival film internasional dan festival film Indonesia.
Koordinasi dan fasilitasi organisasi/lembaga perfilman.
Penapisan dan pengawasan peredaran film dan rekaman video.
Penyelenggaraan kegiatan festival pameran dan lomba secara berjenjang dan berkala di tingkat provinsi.
Koordinasi dan pengawasan pembuatan film oleh tim asing di provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi pelaksanaan kegiatan- kegiatan festival film dan pekan film daerah di provinsi.
Fasilitasi organisasi/lembaga perfilman di provinsi.
Penapisan dan pengawasan peredaran film dan rekaman video di provinsi.
Penyelenggaraan kegiatan festival pameran dan lomba secara berjenjang dan berkala di tingkat kabupaten/kota.
Pengawasan pembuatan film oleh tim asing di kabupaten/ kota.
Pemberian izin pelaksanaan kegiatan-kegiatan festival film dan pekan film di kabupaten/ kota.
Fasilitasi organisasi/lembaga perfilman di kabupaten/kota.
Penapisan dan pengawasan peredaran film dan rekaman video di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 12. Fasilitasi advokasi pengembangan perfilman.
Perizinan membawa BCB keluar wilayah Republik Indonesia.
Penyebarluasan informasi sejarah nasional.
Pemberian penghargaan bidang sejarah tingkat nasional.
Pelaksanaan kongres sejarah tingkat nasional.
Pelaksanaan lawatan sejarah tingkat nasional.
Fasilitasi advokasi pengembangan perfilman di tingkat provinsi.
Perizinan membawa BCB ke luar provinsi.
Penyebarluasan informasi sejarah lokal di provinsi.
Pelaksanaan pemberian penghargaan bidang sejarah lokal di provinsi.
Pelaksanaan kongres sejarah tingkat daerah di provinsi.
Pelaksanaan lawatan sejarah tingkat lokal di provinsi.
Fasilitasi advokasi pengembangan perfilman di tingkat kabupaten/kota.
Perizinan membawa BCB ke luar kabupaten/kota dalam satu provinsi.
Penyebarluasan informasi sejarah lokal di kabupaten/ kota.
Pelaksanaan pemberian penghargaan bidang sejarah lokal di kabupaten/kota.
Pelaksanaan kongres sejarah tingkat daerah di kabupaten/ kota.
Pelaksanaan lawatan sejarah tingkat lokal di kabupaten/ kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 18. Pelaksanaan seminar dalam perspektif sejarah nasional.
Pelaksanaan musyawarah kerja nasional bidang sejarah.
Pengkajian dan penulisan sejarah nasional, sejarah kebudayaan dan sejarah wilayah.
Pemetaan sejarah nasional.
Koordinasi dan kemitraan bidang sejarah antar departemen/kementerian instansi pusat dan antar daerah.
Pelaksanaan seminar/ lokakarya sejarah lokal dalam perspektif nasional di provinsi.
Pelaksanaan musyawarah kerja daerah bidang sejarah skala provinsi.
Pengkajian dan penulisan sejarah daerah dan sejarah kebudayaan daerah di provinsi.
Pemetaan sejarah skala provinsi.
Koordinasi dan kemitraan bidang sejarah di provinsi.
Pelaksanaan seminar/ lokakarya sejarah lokal dalam perspektif nasional di kabupaten/kota.
Pelaksanaan musyawarah kerja daerah bidang sejarah skala kabupaten/kota.
Pengkajian dan penulisan sejarah daerah dan sejarah kebudayaan daerah di kabupaten/kota.
Pemetaan sejarah skala kabupaten/kota.
Koordinasi dan kemitraan bidang sejarah di kabupaten/ kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 23. Penanganan perlindungan, pemeliharaan dan pemanfaatan BCB/situs warisan budaya dunia.
Registrasi BCB/situs dan kawasan skala nasional.
Pengusulan penetapan warisan budaya dunia dan penetapan BCB/situs skala nasional.
Penyelenggaraan kerjasama bidang perlindungan, pemanfaatan BCB/situs peringkat nasional dan warisan budaya dunia skala internasional.
Penanganan perlindungan, pemeliharaan dan pemanfaatan BCB/situs warisan budaya dunia skala provinsi.
Registrasi BCB/situs dan kawasan provinsi.
Pengusulan penetapan BCB/situs nasional kepada pusat dan penetapan BCB/situs skala provinsi.
Penyelenggaraan kerjasama bidang perlindungan, pemeliharaan, pemanfaatan BCB/situs skala provinsi.
Penanganan perlindungan, pemeliharaan dan pemanfaatan BCB/situs warisan budaya dunia skala kabupaten/kota.
Registrasi BCB/situs dan kawasan skala kabupaten/ kota.
Pengusulan penetapan BCB/situs provinsi kepada provinsi dan penetapan BCB/situs skala kabupaten/ kota.
Penyelenggaraan kerjasama bidang perlindungan, pemeliharaan, pemanfaatan BCB/situs skala kabupaten/ kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 27. Koordinasi, dan peningkatan peranserta masyarakat dalam perlindungan, pemeliharaan dan pemanfaatan BCB/situs.
Perizinan survei dan pengangkatan BCB/situs bawah air lebih dari 12 (duabelas) mil laut.
Pengembangan dan pemanfaatan museum nasional.
Registrasi museum dan koleksi.
Penyelenggaraan akreditasi museum.
Koordinasi, dan fasilitasi peningkatan peranserta masyarakat dalam perlindungan pemeliharaan dan pemanfaatan BCB/situs skala provinsi.
Perizinan survei dan pengangkatan BCB/situs di atas 4 (empat) sampai dengan 12 (duabelas) mil laut dari garis pantai atas rekomendasi pemerintah.
Pengembangan dan pemanfaatan museum provinsi.
Registrasi museum dan koleksi di provinsi.
Penyelenggaraan akreditasi museum di provinsi.
Koordinasi, dan fasilitasi, peningkatan peranserta masyarakat dalam perlindungan pemeliharaan dan pemanfaatan BCB/situs skala kabupaten/kota.
Perizinan survei dan pengangkatan BCB/situs bawah air sampai dengan 4 (empat) mil laut dari garis pantai atas rekomendasi pemerintah.
Pengembangan dan pemanfaatan museum kabupaten/kota.
Registrasi museum dan koleksi di kabupaten/kota.
Penyelenggaraan akreditasi museum di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 32. Penambahan dan penyelamatan koleksi museum nasional.
Penambahan dan penyelamatan koleksi museum di provinsi.
Penambahan dan penyelamatan koleksi museum di kabupaten/kota.
Kebijakan Bidang Kepariwisa- taan 1. Kebijakan 1. Penetapan kebijakan:
Rencana Induk Pengembangan Pariwisata (RIPP) nasional.
Pengembangan sistem informasi pariwisata nasional.
Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan skala provinsi:
RIPP provinsi.
Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi dalam pengembangan sistem informasi pariwisata.
Pelaksanaan kebijakan nasional, provinsi dan penetapan kebijakan skala kabupaten/kota:
RIPP kabupaten/kota.
Pelaksanaan kebijakan nasional, provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota dalam pengembangan sistem informasi pariwisata. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c. Standarisasi bidang pariwisata.
Pedoman manajemen pengembangan destinasi pariwisata.
Pedoman pembinaan dan penyelenggaraan izin usaha pariwisata.
Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi dalam penerapan standarisasi bidang pariwisata.
Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan pedoman pengembangan destinasi pariwisata skala provinsi.
Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi dalam pembinaan usaha dan penyelenggaraan usaha pariwisata skala provinsi.
Pelaksanaan kebijakan nasional dan provinsi serta penetapan kebijakan kabupaten/kota dalam penerapan standarisasi bidang pariwisata.
Pelaksanaan kebijakan nasional dan provinsi serta penetapan pedoman pengembangan destinasi pariwisata skala kabupaten/ kota.
Pelaksanaan kebijakan nasional dan provinsi serta penetapan kebijakan dalam pembinaan usaha dan penyelenggaraan usaha pariwisata skala kabupaten/ kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA f. Pedoman perencanaan pemasaran.
Pedoman partisipasi dan penyelenggaraan pameran/ event budaya dan pariwisata.
Pedoman dan penyelenggaraan widya wisata (familiarization trip/tour). i. Pedoman kerjasama pemasaran nasional dan internasional.
Penetapan dan pelaksanaan pedoman perencanaan pemasaran skala provinsi.
Penetapan dan pelaksanaan pedoman partisipasi dan penyelenggaraan pameran/ event budaya dan pariwisata skala provinsi.
Penetapan dan pelaksanaan pedoman dan penyelenggaraan widya wisata skala provinsi.
Penetapan dan pelaksanaan pedoman kerjasama pemasaran skala provinsi.
Penetapan dan pelaksanaan pedoman perencanaan pemasaran skala kabupaten/kota.
Penetapan dan pelaksanaan pedoman partisipasi dan penyelenggaraan pameran/ event budaya dan pariwisata skala kabupaten/ kota.
Penetapan dan pelaksanaan pedoman dan penyelenggaraan widya wisata skala kabupaten/ kota.
Penetapan dan pelaksanaan pedoman kerjasama pemasaran skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pemberian izin usaha pariwisata skala nasional.
Fasilitasi kerjasama internasional pengembangan destinasi pariwisata.
Fasilitasi kerjasama pengembangan destinasi pariwisata skala nasional.
Monitoring dan evaluasi pengembangan pariwisata skala nasional.
Pemberian izin usaha pariwisata skala provinsi.
Pelaksanaan kerjasama internasional pengembangan destinasi pariwisata skala provinsi.
Fasilitasi kerjasama pengembangan destinasi pariwisata skala provinsi.
Monitoring dan evaluasi pengembangan pariwisata skala provinsi.
Pemberian izin usaha pariwisata skala kabupaten/ kota.
Pelaksanaan kerjasama internasional pengembangan destinasi pariwisata skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan kerjasama pengem-bangan destinasi pariwisata skala kabupaten/ kota.
Monitoring dan evaluasi pengembangan pariwisata skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan Bidang Kepariwisa- taan 1. Penyelenggaraan 1. Penyelenggaraan promosi skala nasional dan internasional :
Penyelenggaraan widya wisata (familiarization 1. Penyelenggaraan promosi skala provinsi :
Penyelenggaraan widya wisata skala provinsi serta 1. Penyelenggaraan promosi skala kabupaten/kota:
Penyelenggaraan widya wisata skala kabupaten/kota SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA trip/tour) skala nasional dan internasional.
Penyelenggaraan pameran/ event, roadshow skala nasional.
Pengadaan sarana pemasaran skala nasional/kawasan/ internasional.
Pembentukan perwakilan kantor promosi pariwisata di luar negeri.
Pembentukan pusat pelayanan informasi pariwisata skala nasional. mengirim dan menerima peserta grup widya wisata.
Peserta/penyelenggara pameran/ event, roadshow bekerja sama dengan pemerintah.
Pengadaan sarana pemasaran skala provinsi.
Pembentukan perwakilan kantor promosi pariwisata di dalam negeri skala provinsi.
Penyediaan informasi pariwisata ke pusat pelayanan informasi pariwisata nasional dan pembentukan pusat serta mengirim dan menerima peserta grup widya wisata.
Peserta/penyelenggara pameran/ event, roadshow bekerja sama dengan pemerintah/provinsi.
Pengadaan sarana pemasaran skala kabupaten/ kota.
Pembentukan perwakilan kantor promosi pariwisata di dalam negeri skala kabupaten/kota.
Penyediaan informasi pariwisata ke pusat pelayanan informasi pariwisata provinsi dan pembentukan pusat SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA f. Pelaksanaan event promosi di luar negeri.
Pengembangan sistem informasi pemasaran pariwisata skala nasional.
Penetapan branding pariwisata skala nasional. pelayanan informasi pariwisata skala provinsi.
Pelaksanaan event promosi di luar negeri dengan koordinasi pemerintah.
Pengembangan sistem informasi pemasaran pariwisata skala provinsi.
Penerapan branding pariwisata nasional dan penetapan tagline pariwisata skala provinsi. pelayanan informasi pariwisata skala kabupaten/ kota.
Pelaksanaan event promosi di luar negeri dengan koordinasi pemerintah dan provinsi.
Pengembangan sistem informasi pemasaran pariwisata skala kabupaten/kota.
Penerapan branding pariwisata nasional dan penetapan tagline pariwisata skala kabupaten/ kota.
Kebijakan Bidang Kebudayaan dan Pariwisata 1. Rencana induk pengembangan sumber daya kebudayaan dan pariwisata nasional.
Rencana induk pengembangan sumber daya kebudayaan dan pariwisata skala provinsi.
Rencana induk pengembangan sumber daya kebudayaan dan pariwisata nasional skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Kebijakan pengembangan sumber daya manusia kebudayaan dan pariwisata nasional.
Kebijakan penelitian kebudayaan dan pariwisata nasional.
Rancangan induk penelitian arkeologi nasional.
Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi dalam pengembangan sumber daya manusia kebudayaan dan pariwisata skala provinsi.
Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi penelitian kebudayaan dan pariwisata skala provinsi.
Pelaksanaan rancangan induk penelitian arkeologi nasional oleh provinsi berkoordinasi dengan Balai Arkeologi.
Pelaksanaan kebijakan nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota dalam pengembangan sumber daya manusia kebudayaan dan pariwisata skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan kebijakan nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota penelitian kebudayaan dan pariwisata skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan rancangan induk penelitian arkeologi nasional oleh kabupaten/kota berkoordinasi dengan Balai Arkeologi. R. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KEPEMUDAAN DAN OLAH RAGA SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Kepemudaan 1. Kebijakan di bidang Kepemudaan 1. Penetapan kebijakan di bidang kepemudaan skala nasional :
Pengembangan keserasian kebijakan dan pemberdayaan.
Pengembangan kemitraan pemerintah dengan masyarakat dalam pembangunan.
Peningkatan peranserta secara lintas bidang dan sektoral.
Pengembangan manajemen, wawasan dan kreativitas.
Penetapan kebijakan di bidang kepemudaan skala provinsi :
Pengembangan keserasian kebijakan dan pemberdayaan.
Pengembangan kemitraan pemerintah dengan masyarakat dalam pembangunan.
Peningkatan peranserta secara lintas bidang dan sektoral.
Pengembangan manajemen, wawasan dan kreativitas.
Penetapan kebijakan di bidang kepemudaan skala kabupaten/kota :
Pengembangan keserasian kebijakan dan pemberdayaan.
Pengembangan kemitraan pemerintah dengan masyarakat dalam pembangunan.
Peningkatan peranserta secara lintas bidang dan sektoral.
Pengembangan manajemen, wawasan dan kreativitas. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA e. Kemitraan dan kewirausahaan.
Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dan keimanan ketaqwaan (IMTAQ).
Peningkatan profesionalisme, kepemimpinan dan kepeloporan.
Pengaturan sistem penganugerahan prestasi.
Peningkatan dan pembangunan prasarana dan sarana.
Pengembangan jaringan dan sistem informasi.
Kemitraan dan kewirausahaan.
Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dan keimanan ketaqwaan (IMTAQ).
Peningkatan profesionalisme, kepemimpinan dan kepeloporan.
Pengaturan sistem penganugerahan prestasi.
Peningkatan prasarana dan sarana.
Pengembangan jaringan dan sistem informasi.
Kemitraan dan kewirausahaan.
Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dan keimanan ketaqwaan (IMTAQ).
Peningkatan profesionalisme, kepemimpinan dan kepeloporan.
Pengaturan sistem penganugerahan prestasi.
Peningkatan prasarana dan sarana.
Pengembangan jaringan dan sistem informasi. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pelaksanaan k. Kriteria dan standarisasi lembaga kepemudaan.
Pembangunan kapasitas dan kompetensi lembaga kepemudaan.
Pencegahan dan perlindungan bahaya distruktif.
Hubungan internasional.
Pelaksanaan kebijakan di bidang kepemudaan skala nasional :
Aktivitas kepemudaan yang berskala nasional dan internasional.
Kriteria dan standarisasi lembaga kepemudaan.
Pembangunan kapasitas dan kompetensi lembaga kepemudaan.
Pencegahan dan perlindungan bahaya distruktif.
Ɇ 1. Pelaksanaan kebijakan di bidang kepemudaan skala provinsi :
Aktivitas kepemudaan yang berskala provinsi.
Kriteria dan standarisasi lembaga kepemudaan.
Pembangunan kapasitas dan kompetensi lembaga kepemudaan.
Pencegahan dan perlindungan bahaya distruktif.
Ɇ 1. Pelaksanaan kebijakan di bidang kepemudaan skala kabupaten/kota :
Aktivitas kepemudaan yang berskala kabupaten/kota, provinsi, nasional dan internasional. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Fasilitasi dan dukungan aktivitas kepemudaan lintas provinsi.
Pembangunan pusat pemberdayaan pemuda berskala nasional.
Pendidikan dan pelatihan kepemudaan tingkat nasional.
Kerjasama antar provinsi dan internasional.
Fasilitasi dan dukungan aktivitas kepemudaan lintas kabupaten/kota.
Pembangunan pusat pemberdayaan pemuda.
Pendidikan dan pelatihan kepemudaan tingkat provinsi.
Kerjasama antar kabupaten/kota skala provinsi, pemerintah dan internasional b. Fasilitasi dan dukungan aktivitas kepemudaan lintas kecamatan skala kabupaten/kota.
Pembangunan pusat pemberdayaan pemuda.
Pendidikan dan pelatihan kepemudaan tingkat kabupaten/kota.
Kerjasama antar kecamatan skala kabupaten/kota, provinsi, pemerintah dan internasional. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Koordinasi 1. Koordinasi bidang kepemudaan skala nasional :
Koordinasi antar Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND).
Koordinasi dengan lembaga non pemerintah.
Koordinasi antar pemerintah dan daerah.
Koordinasi antar negara.
Koordinasi bidang ke- pemudaan skala provinsi :
Koordinasi antar dinas instansi terkait.
Koordinasi dengan lembaga non pemerintah.
Koordinasi antar provinsi dan kabupaten/kota.
Ɇ 1. Koordinasi bidang kepemudaan skala kabupaten/kota :
Koordinasi antar dinas instansi terkait.
Koordinasi dengan lembaga non pemerintah.
Koordinasi antar kecamatan skala kabupaten/kota.
Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Pembinaan dan Pengawasan 1. Pembinaan dan pengawasan di bidang kepemudaan skala nasional:
Pembinaan terhadap organisasi kepemudaan.
Pembinaan terhadap kegiatan kepemudaan.
Pembinaan koordinasi pemerintahan antar susunan pemerintahan di bidang kepemudaan.
Pembinaan, penyusunan pemberian pedoman dan standar pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang kepemudaan.
Pembinaan dan pengawasan di bidang kepemudaan skala provinsi:
Pembinaan terhadap organisasi kepemudaan.
Pembinaan terhadap kegiatan kepemudaan.
Pembinaan koordinasi pemerintahan antar susunan pemerintahan di bidang kepemudaan.
Pembinaan, penyusunan pemberian pedoman dan standar pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang kepemudaan.
Pembinaan dan pengawasan di bidang kepemudaan skala kabupaten/kota:
Pembinaan terhadap organisasi kepemudaan.
Pembinaan terhadap kegiatan kepemudaan.
Pembinaan koordinasi pemerintahan antar susunan pemerintahan di bidang kepemudaan.
Pembinaan, penyusunan pemberian pedoman dan standar pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang kepemudaan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA e. Pembinaan pemberian bimbingan, supervisi dan konsultasi urusan pemerintahan di bidang kepemudaan.
Pembinaan pendidikan dan pelatihan di bidang kepemudaan.
Pembinaan perencanaan, penelitian, pengembangan, pemantauan dan evaluasi pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang kepemudaan.
Pembinaan pemberian bimbingan, supervisi dan konsultasi urusan pemerintahan di bidang kepemudaan.
Pembinaan pendidikan dan pelatihan di bidang kepemudaan.
Pembinaan perencanaan, penelitian, pengembangan, pemantauan dan evaluasi pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang kepemudaan.
Pembinaan pemberian bimbingan, supervisi dan konsultasi urusan pemerintahan di bidang kepemudaan.
Pembinaan pendidikan dan pelatihan di bidang kepemudaan.
Pembinaan perencanaan, penelitian, pengembangan, pemantauan dan evaluasi pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang kepemudaan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Olahraga 1. Kebijakan di Bidang Keolahragaan h. Pengaturan pengawasan terhadap pelaksanaan norma dan standar di bidang kepemudaan.
Penetapan kebijakan di bidang keolahragaan skala nasional :
Pengembangan dan keserasian kebijakan olahraga.
Penyelenggaraan keolahragaan.
Pembinaan dan pengembangan keolahragaan.
Pengelolaan keolahraagaan.
Pengaturan pengawasan terhadap pelaksanaan norma dan standar di bidang kepemudaan.
Penetapan kebijakan di bidang keolahragaan skala provinsi :
Pengembangan dan keserasian kebijakan olahraga.
Penyelenggaraan keolahragaan.
Pembinaan dan pengembangan keolahragaan.
Pengelolaan keolahragaan.
Pengaturan pengawasan terhadap pelaksanaan norma dan standar di bidang kepemudaan.
Penetapan kebijakan di bidang keolahragaan skala kabupaten/kota :
Pengembangan dan keserasian kebijakan olahraga.
Penyelenggaraan keolahragaan.
Pembinaan dan pengembangan keolahragaan.
Pengelolaan keolahragaan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA e. Penyelenggaraan pekan dan kejuaraan olahraga.
Pembangunan dan peningkatan prasarana dan sarana olahraga.
Pendidikan dan pelatihan keolahragaan.
Pendanaan keolahragaan.
Pengembangan IPTEK keolahragaan.
Pengembangan kerjasama dan informasi keolahragaan.
Penyelenggaraan pekan dan kejuaraan olahraga.
Pembangunan dan peningkatan prasarana dan sarana olahraga.
Pendidikan dan pelatihan keolahragaan.
Pendanaan keolahragaan.
Pengembangan IPTEK keolahragaan.
Pengembangan kerjasama dan informasi keolahragaan.
Penyelenggaraan pekan dan kejuaraan olahraga.
Pembangunan dan peningkatan prasarana dan sarana olahraga.
Pendidikan dan pelatihan keolahragaan.
Pendanaan keolahragaan.
Pengembangan IPTEK keolahragaan.
Pengembangan kerjasama dan informasi keolahragaan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA k. Pengembangan kemitraan pemerintah dengan masyarakat dalam pembangunan olahraga.
Peningkatan peranserta secara lintas bidang dan sektoral serta masyarakat.
Pengembangan manajemen olahraga.
Kemitraan industri dan kewirausahaan olahraga.
Pengembangan IPTEK olahraga.
Pengembangan kemitraan pemerintah dengan masyarakat dalam pembangunan olahraga.
Peningkatan peranserta secara lintas bidang dan sektoral serta masyarakat.
Pengembangan manajemen olahraga.
Kemitraan industri dan kewirausahaan olahraga.
Pengembangan IPTEK olahraga.
Pengembangan kemitraan pemerintah dengan masyarakat dalam pembangunan olahraga.
Peningkatan peranserta secara lintas bidang dan sektoral serta masyarakat.
Pengembangan manajemen olahraga.
Kemitraan industri dan kewirausahaan olahraga.
Pengembangan IPTEK olahraga. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA p. Peningkatan profesionalisme atlit, pelatih, manager dan pembina olahraga.
Pembangunan dan pengembangan industri olahraga.
Pengaturan sistem penganugerahan, penghargaan dan kesejahteraan pelaku olahraga.
Pengaturan standarisasi, akreditasi dan sertifikat keolahragaan.
Peningkatan dan pembangunan prasarana dan sarana olahraga.
Peningkatan profesionalisme atlit, pelatih, manager dan pembina olahraga.
Pembangunan dan pengembangan industri olahraga.
Pengaturan sistem penganugerahan, penghargaan dan kesejahteraan pelaku olahraga.
Pengaturan pelaksanaan standarisasi, akreditasi dan sertifikat keolahragaan.
Peningkatan dan pembangunan prasarana dan sarana olahraga.
Peningkatan profesionalisme atlit, pelatih, manager dan pembina olahraga.
Pembangunan dan pengembangan industri olahraga.
Pengaturan sistem penganugerahan, penghargaan dan kesejahteraan pelaku olahraga.
Pengaturan pelaksanaan standarisasi, akreditasi dan sertifikat keolahragaan.
Peningkatan dan pembangunan prasarana dan sarana olahraga. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA u. Pengembangan jaringan dan sistem informasi keolahragaan.
Kriteria lembaga keolahragaan.
Pemberdayaan dan pemasyarakatan olahraga serta peningkatan kebugaran jasmani masyarakat.
Hubungan internasional di bidang keolahragaan.
Pengembangan jaringan dan sistem informasi keolahragaan.
Kriteria lembaga keolahragaan.
Pemberdayaan dan pemasyarakatan olahraga serta peningkatan kebugaran jasmani masyarakat.
Ɇ u. Pengembangan jaringan dan sistem informasi keolahragaan.
Kriteria lembaga keolahragaan.
Pemberdayaan dan pemasyarakatan olahraga serta peningkatan kebugaran jasmani masyarakat.
Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pelaksanaan 1. Pelaksanaan kebijakan di bidang keolahragaan skala nasional :
Aktivitas keolahragaan skala nasional dan internasional.
Fasilitasi dan dukungan aktivitas keolahragaan lintas provinsi.
Kerjasama antar provinsi dan internasional.
Pembangunan dan penyediaan prasarana dan sarana olahraga.
Pelaksanaan kebijakan di bidang keolahragaan skala provinsi :
Aktivitas keolahragaan skala provinsi, nasional dan internasional.
Fasilitasi dan dukungan aktivitas keolahragaan lintas kabupaten/kota.
Kerjasama antar kabupaten/kota skala provinsi, pemerintah dan internasional.
Pembangunan dan penyediaan prasarana dan sarana olahraga.
Pelaksanaan kebijakan di bidang keolahragaan skala kabupaten/kota :
Aktivitas keolahragaan skala kabupaten/kota, provinsi, nasional dan internasional.
Fasilitasi dan dukungan aktivitas keolahragaan lintas kecamatan skala kabupaten/kota.
Kerjasama antar kecamatan skala kabupaten/kota, provinsi, pemerintah dan internasional.
Pembangunan dan penyediaan prasarana dan sarana olahraga. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Koordinasi e. Pendanaan keolahragaan.
Pendidikan dan pelatihan keolahragaan.
Pembangunan sentra pembinaan prestasi olahraga.
Koordinasi bidang keolahragaan skala nasional :
Koordinasi antar Departemen/LPND.
Koordinasi dengan lembaga non pemerintah.
Pendanaan keolahragaan.
Pendidikan dan pelatihan keolahragaan.
Pembangunan sentra pembinaan prestasi olahraga.
Koordinasi bidang keolahragaan skala provinsi:
Koordinasi antar dinas/instansi terkait.
Koordinasi dengan lembaga non pemerintah dan masyarakat.
Pendanaan keolahragaan.
Pendidikan dan pelatihan keolahragaan.
Pembangunan sentra pembinaan prestasi olahraga.
Koordinasi bidang keolahragaan skala kabupaten/kota :
Koordinasi antar dinas/instansi terkait.
Koordinasi dengan lembaga non pemerintah dan masyarakat. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Pembinaan dan Pengawasan c. Koordinasi antara pemerintah dan daerah serta masyarakat.
Koordinasi pihak luar negeri/internasional.
Pembinaan dan pengawasan di bidang keolahragaan skala nasional :
Pembinaan terhadap organisasi keolahragaan.
Pembinaan terhadap kegiatan keolahragaan.
Koordinasi antara provinsi dan kabupaten/kota.
Ɇ 1. Pembinaan dan pengawasan di bidang keolahragaan skala provinsi:
Pembinaan terhadap organisasi keolahragaan.
Pembinaan terhadap kegiatan keolahragaan.
Koordinasi antara kabupaten/kota dan kecamatan.
Ɇ 1. Pembinaan dan pengawasan di bidang keolahragaan skala kabupaten/kota :
Pembinaan terhadap organisasi keolahragaan.
Pembinaan terhadap kegiatan keolahragaan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c. Pembinaan pengelolaan olahraga dan tenaga keolahragaan.
Pembinaan dan pengembangan prestasi olahraga termasuk olahraga unggulan.
Pembinaan koordinasi pemerintahan antar pemerintah/ departemen, LPND dan daerah.
Pembinaan pendidikan dan pelatihan di bidang keolahragaan.
Pembinaan pengelolaan olahraga dan tenaga keolahragaan.
Pembinaan dan pengembangan prestasi olahraga termasuk olahraga unggulan.
Pembinaan koordinasi pemerintahan antar susunan pemerintahan di provinsi.
Pembinaan pendidikan dan pelatihan di bidang keolahragaan.
Pembinaan pengelolaan olahraga dan tenaga keolahragaan.
Pembinaan dan pengembangan prestasi olahraga termasuk olahraga unggulan.
Pembinaan koordinasi pemerintahan antar susunan pemerintahan di kabupaten/ kota.
Pembinaan pendidikan dan pelatihan di bidang keolahragaan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA g. Pembinaan perencanaan, penelitian, pengembangan, pemantauan dan evaluasi pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang keolahragaan.
Pengaturan pengawasan terhadap pelaksanaan norma dan standar di bidang keolahragaan.
Pembinaan dan pengembangan industri olahraga.
Pengawasan terhadap penyelenggaraan olahraga.
Pembinaan perencanaan, penelitian, pengembangan, pemantauan dan evaluasi pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang keolahragaan.
Pengaturan pengawasan terhadap pelaksanaan norma dan standar di bidang keolahragaan.
Pembinaan dan pengembangan industri olahraga.
Pengawasan terhadap penyelenggaraan olahraga. g Pembinaan perencanaan, penelitian, pengembangan, pemantauan dan evaluasi pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang keolahragaan.
Pengaturan pengawasan terhadap pelaksanaan norma dan standar di bidang keolahragaan.
Pembinaan dan pengembangan industri olahraga.
Pengawasan terhadap penyelenggaraan olahraga. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA k. Pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran/dana.
Pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran/dana.
Pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran/dana. S. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KESATUAN BANGSA DAN POLITIK DALAM NEGERI SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Bina Ideologi dan Wawasan Kebangsaan 1. Penetapan Kebijakan Penyelenggaraan Pemerintahan 1. Penetapan kebijakan umum di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala nasional.
Penetapan kebijakan teknis (merujuk kepada kebijakan umum nasional) di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala provinsi.
Penetapan kebijakan operasional (merujuk kepada kebijakan umum nasional dan kebijakan teknis provinsi) di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan Kegiatan 1. Pelaksanaan dan fasilitasi kegiatan di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala nasional.
Pelaksanaan dan fasilitasi kegiatan di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala provinsi.
Pelaksanaan kegiatan di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Pembinaan Penyelenggaraan Pemerintahan 1. Koordinasi dan fasilitasi pembinaan penyelenggaraan pemerintahan (bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian, pemantauan, pengembangan dan evaluasi) di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala nasional.
Koordinasi dan fasilitasi pembinaan penyelenggaraan pemerintahan (bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian, pemantauan, pengembangan dan evaluasi) di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala provinsi.
Pembinaan dan penyelenggaraan pemerintahan di kecamatan, kelurahan, desa dan masyarakat (bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian, pemantauan, pengembangan dan evaluasi) di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala kabupaten/kota.
Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan 1. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan 1. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan 1. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan di kecamatan, kelurahan, desa dan masyarakat di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA skala nasional. penghargaan kebangsaan skala provinsi. nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala kabupaten/kota.
Peningkatan Kapasitas Aparatur 1. Fasilitasi dan peningkatan kapasitas aparatur kesatuan bangsa dan politik (kesbangpol) di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala nasional.
Fasilitasi dan peningkatan kapasitas aparatur kesbangpol di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala provinsi.
Peningkatan kapasitas aparatur kesbangpol di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala kabupaten/kota.
Kewaspadaan Nasional 1. Penetapan Kebijakan Penyelenggaraan Pemerintahan 1. Koordinasi penetapan kebijakan umum di bidang kewaspadaan dini, kerjasama intelijen keamanan (intelkam), bina masyarakat perbatasan dan tenaga kerja, penanganan konflik pemerintahan, 1. Koordinasi penetapan kebijakan teknis (merujuk kepada kebijakan umum nasional) di bidang kewaspadaan dini, kerjasama intelkam, bina masyarakat, perbatasan dan tenaga kerja, penanganan konflik 1. Koordinasi penetapan kebijakan operasional (merujuk kepada kebijakan umum nasional dan kebijakan teknis provinsi) di bidang kewaspadaan dini, kerjasama intelkam, bina masyarakat, perbatasan SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA penanganan konflik sosial, pengawasan orang asing dan lembaga asing skala nasional. pemerintahan, penanganan konflik sosial, pengawasan orang asing dan lembaga asing skala provinsi. dan tenaga kerja, penanganan konflik pemerintahan, penanganan konflik sosial, pengawasan orang asing dan lembaga asing skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan Kegiatan 1. Fasilitasi dan pelaksanaan kegiatan di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala nasional.
Fasilitasi dan pelaksanaan kegiatan di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala provinsi.
Pelaksanaan kegiatan di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala kabupaten/kota.
Pembinaan Penyelenggaraan Pemerintahan 1. Koordinasi dan fasilitasi pembinaan penyelenggaraan pemerintahan (bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian, pemantauan, pengembangan dan 1. Koordinasi dan fasilitasi pembinaan penyelenggaraan pemerintahan (bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian, pemantauan, pengembangan dan 1. Pembinaan dan penyelenggaraan pemerintahan di kecamatan, kelurahan, desa dan masyarakat (koordinasi, bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian, SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA evaluasi) di bidang kewaspadaan dini, kerjasama intelkam, bina masyarakat, perbatasan dan tenaga kerja, penanganan konflik pemerintahan, penanganan konflik sosial, pengawasan orang asing dan lembaga asing skala nasional. evaluasi) di bidang kewaspadaan dini, kerjasama intelkam, bina masyarakat, perbatasan dan tenaga kerja, penanganan konflik pemerintahan, penanganan konflik sosial, pengawasan orang asing dan lembaga asing skala provinsi. pemantauan, pengembangan dan evaluasi) di bidang kewaspadaan dini, kerjasama intelkam, bina masyarakat, perbatasan dan tenaga kerja, penanganan konflik pemerintahan, penanganan konflik sosial, pengawasan orang asing dan lembaga asing skala kabupaten/kota.
Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan 1. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan di bidang kewaspadaan dini, kerjasama intelkam, bina masyarakat perbatasan dan tenaga kerja, penanganan konflik pemerintahan, penanganan konflik sosial, pengawasan orang asing dan lembaga asing 1. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan di bidang kewaspadaan dini, kerjasama intelkam, bina masyarakat perbatasan dan tenaga kerja, penanganan konflik pemerintahan, penanganan konflik sosial, pengawasan orang asing dan lembaga asing 1. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan di kecamatan, kelurahan, desa dan masyarakat di bidang kewaspadaan dini, kerjasama intelkam, bina masyarakat perbatasan dan tenaga kerja, penanganan konflik pemerintahan, SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA skala nasional. skala provinsi. penanganan konflik sosial, pengawasan orang asing dan lembaga asing skala kabupaten/kota.
Peningkatan Kapasitas Aparatur 1. Fasilitasi dan peningkatan kapasitas aparatur kesbangpol di bidang kewaspadaan dini, kerjasama intelkam, bina masyarakat perbatasan dan tenaga kerja, penanganan konflik pemerintahan, penanganan konflik sosial, pengawasan orang asing dan lembaga asing skala nasional.
Fasilitasi dan peningkatan kapasitas aparatur kesbangpol di bidang kewaspadaan dini, kerjasama intelkam, bina masyarakat perbatasan dan tenaga kerja, penanganan konflik pemerintahan, penanganan konflik sosial, pengawasan orang asing dan lembaga asing skala provinsi.
Peningkatan kapasitas aparatur kesbangpol di bidang kewaspadaan dini, kerjasama intelkam, bina masyarakat, perbatasan dan tenaga kerja, penanganan konflik pemerintahan, penanganan konflik sosial, pengawasan orang asing dan lembaga asing skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Penetapan Kebijakan Penyelenggaraan Pemerintahan 1. Koordinasi penetapan kebijakan umum di bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan, penanganan masalah sosial kemasyarakatan skala nasional.
Koordinasi penetapan kebijakan teknis (merujuk kepada kebijakan umum nasional) di bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan, penanganan masalah sosial kemasyarakatan skala provinsi.
Koordinasi penetapan kebijakan operasional (merujuk kepada kebijakan umum nasional dan kebijakan teknis provinsi) di bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan, penanganan masalah sosial kemasyarakatan skala kabupaten/kota.
Ketahanan Seni, Budaya, Agama dan Kemasyarakatan 2. Pelaksanaan Kegiatan 1. Fasilitasi dan pelaksanaan kegiatan di bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan, penanganan masalah sosial kemasyarakatan 1. Fasilitasi dan pelaksanaan kegiatan di bidang di bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan, penanganan masalah 1. Pelaksanaan kegiatan di bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan, penanganan masalah sosial kemasyarakatan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA skala nasional/ internasional. sosial kemasyarakatan skala provinsi.
Pembinaan Penyelenggaraan Pemerintahan 1. Koordinasi dan fasilitasi pembinaan penyelenggaraan pemerintahan (bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian, pemantauan, pengembangan dan evaluasi) di bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan dan penanganan masalah sosial kemasyarakatan skala nasional.
Koordinasi dan fasilitasi pembinaan penyelenggaraan pemerintahan (bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian, pemantauan, pengembangan dan evaluasi) di bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan dan penanganan masalah sosial kemasyarakatan skala provinsi.
Pembinaan dan penyelenggaraan pemerintahan di kecamatan, kelurahan, desa dan masyarakat (koordinasi, bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian, pemantauan, pengembangan dan evaluasi) di bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan dan penanganan masalah sosial kemasyarakatan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan 1. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan, penanganan masalah sosial kemasyarakatan skala nasional.
Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan, penanganan masalah sosial kemasyarakatan skala provinsi.
Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan di kecamatan, kelurahan, desa dan masyarakat bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan, penanganan masalah sosial kemasyarakatan skala kabupaten/kota.
Peningkatan Kapasitas Aparatur 1. Fasilitasi dan peningkatan kapasitas aparatur kesbangpol di bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan dan penanganan masalah sosial kemasyarakatan 1. Fasilitasi dan peningkatan kapasitas aparatur kesbangpol di bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan dan penanganan masalah sosial kemasyarakatan 1. Peningkatan kapasitas aparatur kesbangpol di bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan dan penanganan masalah sosial kemasyarakatan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA skala nasional. skala provinsi.
Politik Dalam Negeri 1. Penetapan Kebijakan Penyelenggaraan Pemerintahan 1. Koordinasi penetapan kebijakan umum di bidang sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan pendidikan politik, fasilitasi pemilihan umum (pemilu), pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan kepala daerah (pilkada) skala nasional.
Koordinasi penetapan kebijakan teknis (merujuk kepada kebijakan umum nasional) di bidang sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan pendidikan politik, fasilitasi pemilu, pilpres dan pilkada skala provinsi.
Koordinasi penetapan kebijakan operasional (merujuk kepada kebijakan umum nasional dan kebijakan teknis provinsi) sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan pendidikan politik, fasilitasi pemilu, pilpres dan pilkada skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan Kegiatan 1. Fasilitasi dan pelaksanaan kegiatan di bidang sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan 1. Fasilitasi dan pelaksanaan kegiatan di bidang sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan 1. Pelaksanaan kegiatan di bidang sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan pendidikan politik, SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA pendidikan politik, pemilu, pilpres dan pilkada skala nasional. pendidikan politik, pemilu, pilpres dan pilkada skala provinsi. fasilitasi pemilu, pilpres dan pilkada skala kabupaten/kota.
Pembinaan Penyelenggaraan Pemerintahan 1. Koordinasi dan fasilitasi pembinaan penyelenggaraan pemerintahan (bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian, pemantauan, pengembangan dan evaluasi) di bidang sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan pendidikan politik, pemilu, pilpres dan pilkada skala nasional.
Koordinasi dan fasilitasi pembinaan penyelenggaraan pemerintahan (bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian, pemantauan, pengembangan dan evaluasi) di bidang sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan pendidikan politik, pemilu, pilpres dan pilkada skala provinsi.
Pembinaan dan penyelenggaraan pemerintahan di kecamatan, kelurahan, desa dan masyarakat (koordinasi, bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian, pemantauan, pengembangan dan evaluasi) di bidang sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan pendidikan politik, fasilitasi pemilu, pilpres dan pilkada skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan 1. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan bidang sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan pendidikan politik, fasilitasi pemilu, pilpres dan pilkada skala nasional.
Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan bidang kesbangpol dan sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan pendidikan politik, fasilitasi pemilu, pilpres dan pilkada skala provinsi.
Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan di kecamatan, kelurahan, desa dan masyarakat bidang sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan pendidikan politik, fasilitasi pemilu, pilpres dan pilkada skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Peningkatan Kapasitas Aparatur 1. Fasilitasi dan peningkatan kapasitas aparatur kesbangpol di bidang sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan pendidikan politik, pemilu, pilpres dan pilkada skala nasional.
Fasilitasi dan peningkatan kapasitas aparatur kesbangpol di bidang sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan pendidikan politik, pemilu, pilpres dan pilkada skala provinsi.
Peningkatan kapasitas aparatur kesbangpol di bidang sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan pendidikan politik, fasilitasi pemilu, pilpres dan pilkada skala kabupaten/kota.
Ketahanan Ekonomi 1. Penetapan Kebijakan Penyelenggaraan Pemerintahan 1. Koordinasi penetapan kebijakan umum di bidang ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga usaha ekonomi, kebijakan dan ketahanan organisasi kemasyarakatan (ormas) perekonomian skala 1. Koordinasi penetapan kebijakan teknis (merujuk kepada kebijakan umum nasional) di bidang ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga usaha ekonomi, kebijakan dan ketahanan ormas perekonomian 1. Koordinasi penetapan kebijakan operasional (merujuk kepada kebijakan umum nasional dan kebijakan teknis provinsi) di bidang ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga usaha ekonomi, SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA nasional. skala provinsi. kebijakan dan ketahanan ormas perekonomian skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan Kegiatan 1. Fasilitasi dan pelaksanaan kegiatan di bidang kebijakan dan ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga usaha ekonomi, kebijakan dan ketahanan ormas perekonomian skala nasional/ internasional.
Fasilitasi dan pelaksanaan kegiatan di bidang kebijakan dan ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga usaha ekonomi, kebijakan dan ketahanan ormas perekonomian skala provinsi.
Pelaksanaan kegiatan di bidang kebijakan dan ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga usaha ekonomi, kebijakan dan ketahanan ormas perekonomian skala kabupaten/kota.
Pembinaan Penyelenggaraan Pemerintahan 1. Koordinasi dan fasilitasi pembinaan penyelenggaraan pemerintahan (bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian, pemantauan, 1. Koordinasi dan fasilitasi pembinaan penyelenggaraan pemerintahan (bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian, pemantauan, 1. Pembinaan dan penyelenggaraan pemerintahan di kecamatan, kelurahan, desa dan masyarakat (koordinasi, bimbingan, supervisi dan konsultasi, SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA pengembangan dan evaluasi) di bidang kebijakan dan ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga usaha ekonomi, kebijakan dan ketahanan ormas perekonomian skala nasional. pengembangan dan evaluasi) di bidang kebijakan dan ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga usaha ekonomi, kebijakan dan ketahanan ormas perekonomian skala provinsi. perencanaan, penelitian, pemantauan, pengembangan dan evaluasi) di bidang kebijakan dan ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga usaha ekonomi, kebijakan dan ketahanan ormas perekonomian skala kabupaten/kota.
Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan 1. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan bidang kebijakan ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga 1. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan bidang kebijakan ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga 1. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan di kecamatan, kelurahan, desa dan masyarakat bidang kebijakan ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA usaha ekonomi, kebijakan dan ketahanan ormas perekonomian skala nasional. usaha ekonomi, kebijakan dan ketahanan ormas perekonomian skala provinsi. perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga usaha ekonomi, kebijakan dan ketahanan ormas perekonomian skala kabupaten/kota.
Peningkatan Kapasitas Aparatur 1. Fasilitasi dan peningkatan kapasitas aparatur kesbangpol di bidang kebijakan dan ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga usaha ekonomi, kebijakan dan ketahanan ormas perekonomian skala nasional.
Fasilitasi dan peningkatan kapasitas aparatur kesbangpol di bidang kebijakan dan ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga usaha ekonomi, kebijakan dan ketahanan ormas perekonomian skala provinsi.
Peningkatan kapasitas aparatur kesbangpol di bidang kebijakan dan ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga usaha ekonomi, kebijakan dan ketahanan ormas perekonomian skala kabupaten/kota. T. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG OTONOMI DAERAH, PEMERINTAHAN UMUM, ADMINISTRASI KEUANGAN DAERAH, PERANGKAT DAERAH, KEPEGAWAIAN, DAN PERSANDIAN SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Otonomi Daerah 1. Urusan Pemerintahan:
Kebijakan b. Pembinaan, Sosialisasi Bimbingan, Konsultasi, Supervisi, Koordinasi, Monitoring dan Evaluasi serta Pengawasan Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan 1. Penetapan kebijakan nasional pembagian urusan pemerintahan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria penyelenggaraan urusan pemerintahan skala nasional.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria pembinaan, sosialisasi, bimbingan, konsultasi, supervisi, koordinasi, monitoring dan evaluasi serta pengawasan penyelenggaraan urusan pemerintahan.
Ɇ 2. Penetapan kebijakan penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah skala provinsi.
Pelaksanaan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria pembinaan, sosialisasi, bimbingan, konsultasi, supervisi, koordinasi, monitoring dan evaluasi serta pengawasan penyelenggaraan urusan pemerintahan.
Ɇ 2. Penetapan kebijakan penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria pembinaan, sosialisasi, bimbingan, konsultasi, supervisi, koordinasi, monitoring dan evaluasi serta pengawasan penyelenggaraan urusan pemerintahan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c. Harmonisasi d. Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (LPPD) 2. Penyelenggaraan pembinaan, sosialisasi, bimbingan, konsultasi, supervisi, koordinasi, monitoring dan evaluasi serta pengawasan urusan pemerintahan.
— 2. Harmonisasi antar bidang urusan pemerintahan pada masing-masing lintas Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND).
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria LPPD.
Penyelenggaraan pembinaan sosialisasi, bimbingan, konsultasi, supervisi, koordinasi, monitoring dan evaluasi serta pengawasan urusan pemerintahan di wilayah provinsi.
Harmonisasi peraturan daerah dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Harmonisasi antar bidang urusan pemerintahan daerah provinsi dengan pemerintah.dan pemerintahan daerah kabupaten/kota.
Penyusunan LPPD provinsi.
Penyelenggaraan pembinaan sosialisasi, bimbingan, konsultasi, supervisi, koordinasi, monitoring dan evaluasi serta pengawasan urusan pemerintahan di wilayah kabupaten/kota.
Harmonisasi peraturan daerah dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Harmonisasi antar bidang urusan pemerintahan dalam wilayah kabupaten/kota dengan pemerintah dan pemerintahan daerah provinsi.
Penyusunan LPPD kabupaten/kota SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA e. Database 2. Ɇ 3. Evaluasi LPPD skala nasional.
Pengolahan database LPPD skala nasional.
Penyampaian LPPD provinsi kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri.
Evaluasi LPPD kabupaten/kota.
Pengolahan database LPPD skala provinsi.
Penyampaian LPPD kabupaten/kota kepada Menteri Dalam Negeri melalui gubernur.
Ɇ 1. Pengolahan database LPPD skala kabupaten/kota.
Penataan Daerah dan Otonomi Khusus (Otsus):
Kebijakan 1. Penetapan kebijakan penataan daerah dan otsus.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria perubahan batas, nama dan pemindahan ibukota provinsi dan/atau kabupaten.
Pengusulan penataan daerah dan otsus skala provinsi.
Pelaksanaan kebijakan perubahan batas, nama dan/atau pemindahan ibukota provinsi dan/atau kabupaten.
Pengusulan penataan daerah skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan kebijakan perubahan batas, nama dan/atau pemindahan ibukota daerah dalam rangka penataan daerah. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Pembentukan Daerah 3. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria pembentukan, penghapusan dan penggabungan daerah.
Pembentukan, penghapusan dan penggabungan daerah.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria pembentukan kecamatan.
a.Penetapan perubahan batas, nama, dan pemindahan ibukota daerah.
Ɇ 3. Pelaksanaan kebijakan pembentukan, penghapusan dan penggabungan daerah.
Pengusulan pembentukan, penghapusan dan penggabungan daerah.
Evaluasi terhadap rancangan peraturan daerah tentang pembentukan kecamatan.
a.Pengusulan perubahan batas provinsi, nama dan pemindahan ibukota daerah.
Pelaksanaan perubahan batas, nama dan pemindahan ibukota provinsi.
Pelaksanaan kebijakan pembentukan, penghapusan dan penggabungan daerah.
Pengusulan pembentukan, penghapusan dan penggabungan daerah.
Pembentukan kecamatan.
a.Pengusulan perubahan batas kabupaten/kota, nama dan pemindahan ibukota daerah.
Pelaksanaan perubahan batas, nama kabupaten/kota dan pemindahan ibukota kabupaten. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c. Pembinaan, Sosialisasi, Observasi dan Pengkajian Penataan Daerah dan Otsus d. Monitoring dan Evaluasi serta Pengawasan dan Pengendalian Penataan Daerah dan Otsus 1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria pembinaan, sosialisasi, observasi dan pengkajian penyelenggaraan penataan daerah dan otsus.
Penyelenggaraan pembinaan, sosialisasi, observasi dan pengkajian penyelenggaraan penataan daerah dan otsus.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria monitoring dan evaluasi serta pengawasan dan pengendalian penataan daerah dan otsus.
Penyelenggaraan monitoring dan evaluasi penataan daerah dan otsus.
Pelaksanaan kebijakan pembinaan, sosialisasi, observasi dan pengkajian penyelenggaraan penataan daerah dan otsus.
Penyelenggaraan pembinaan, sosialisasi, observasi dan pengkajian penyelenggaraan penataan daerah dan otsus dalam wilayah provinsi.
Ɇ 2. Penyelenggaraan monitoring dan evaluasi penataan daerah dan otsus dalam wilayah provinsi.
Pelaksanaan kebijakan pembinaan, sosialisasi, observasi dan pengkajian penyelenggaraan penataan daerah.
Penyelenggaraan pembinaan, sosialisasi, observasi dan pengkajian penyelenggaraan penataan daerah dan otsus.
Ɇ 2. Penyelenggaraan monitoring dan evaluasi penataan daerah dan otsus dalam wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA e. Pembangunan Sistem ( Database ) Penataan Daerah dan Otsus f. Pelaporan 3. Penyelenggaraan pengawasan dan pengendalian penataan daerah dan otsus.
Pembangunan dan pengelolaan database penataan daerah dan otsus skala nasional.
Ɇ 1. Penetapan pedoman, norma, standar, prosedur dan kriteria laporan penataan daerah dan otsus.
Pengolahan data penataan daerah dan otsus skala nasional.
Penyelenggaraan pengawasan dan pengendalian penataan daerah dan otsus dalam wilayah provinsi.
Pembangunan dan pengelolaan database penataan daerah dan otsus skala provinsi.
Penyampaian data dan informasi penataan daerah skala provinsi ke pemerintah.
Menindaklanjuti pedoman, norma, standar, prosedur dan kriteria laporan penataan daerah dan otsus.
Pengolahan database laporan penataan daerah dan otsus skala provinsi.
Penyelenggaraan pengawasan dan pengendalian penataan daerah dan otsus dalam wilayah kabupaten/kota.
Pembangunan dan pengelolaan database penataan daerah dan otsus skala kabupaten/kota.
Penyampaian data dan informasi penataan daerah skala kabupaten/kota ke provinsi dan pemerintah.
Menindaklanjuti pedoman, norma, standar, prosedur dan kriteria laporan penataan daerah.
Pengolahan database laporan penataan daerah skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penyampaian laporan penataan daerah dan otsus skala nasional kepada Presiden.
Penyampaian laporan penataan daerah dan otsus skala provinsi kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri.
Penyampaian laporan penataan daerah skala kabupaten/kota kepada Menteri Dalam Negeri melalui gubernur.
Fasilitasi Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) dan Hubungan Antar Lembaga (HAL):
DPOD 1. Penetapan norma, standar, prosedur dan kriteria berkaitan dengan DPOD.
Pertimbangan formulasi perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Penyiapan bahan masukan pembentukan, penghapusan dan penggabungan daerah provinsi untuk sidang DPOD.
Penyusunan tata tertib bahan masukan penetapan Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) provinsi bagi sidang DPOD.
Penyiapan bahan masukan pembentukan, penghapusan dan penggabungan daerah kabupaten/kota untuk sidang DPOD.
Penyusunan tata tertib bahan masukan penetapan DAU dan DAK bagi sidang DPOD. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Penyusunan Peraturan Daerah (Perda) c. Fasilitasi Asosiasi Daerah/Badan Kerjasama Daerah 1. Penetapan norma, standar, prosedur dan kriteria berkaitan dengan tata cara penyusunan Perda, Peraturan/Keputusan Kepala Daerah (KDH) dan Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)/Pimpinan DPRD.
Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) provinsi tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), pajak daerah, retribusi daerah dan tata ruang daerah.
Pengawasan Perda provinsi, kabupaten/kota.
Penetapan pembentukan Asosiasi/Badan Kerjasama Daerah.
Penyusunan Perda provinsi.
Pengajuan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) provinsi tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), pajak daerah, retribusi daerah dan tata ruang daerah kepada pemerintah.
Penyampaian Perda kepada pemerintah untuk dievaluasi.
Membentuk Asosiasi/Badan Kerjasama Daerah.
Penyusunan Perda kabupaten/kota.
Pengajuan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) provinsi tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), pajak daerah, retribusi daerah dan tata ruang daerah kepada gubernur.
Menyampaikan Perda kepada pemerintah untuk dievaluasi.
Membentuk Asosiasi Daerah/Badan Kerjasama Daerah. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Fasilitasi Pemberdayaan Asosiasi/Badan Kerjasama Daerah.
Fasilitasi pembentukan Asosiasi Daerah/Badan Kerjasama Daerah membentuk Asosiasi Daerah/Badan Kerjasama kabupaten/kota.
— 4. Pengembangan Kapasitas dan Evaluasi Kinerja Daerah:
Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM) :
Kebijakan (2) Pembinaan 1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria SPM.
Pembinaan penerapan SPM.
Penetapan perencanaan, penganggaran, dan penerapan SPM skala provinsi.
Monitoring dan evaluasi penerapan dan pencapaian SPM skala provinsi.
Penetapan perencanaan, penganggaran, dan penerapan SPM skala kabupaten/kota.
Penerapan SPM kabupaten/ kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah:
Monitoring dan evaluasi penerapan dan pencapaian SPM.
Pengembangan kapasitas penerapan dan pencapaian SPM.
a.Penetapan kebijakan tentang norma, standar, prosedur dan kriteria evaluasi mengenai:
Pengukuran kinerja.
Pengembangan sistem informasi evaluasi.
Kriteria pembinaan evaluasi daerah.
Pelaksanaan evaluasi terhadap provinsi.
Monitoring dan evaluasi penerapan dan pencapaian SPM kabupaten/kota.
Fasilitasi dan supervisi penerapan dan pencapaian SPM kabupaten/kota.
a. Ɇ b. Pelaksanaan evaluasi terhadap kabupaten/kota mengenai:
— 3. — 1.a.— b. Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c. Pengembangan Kapasitas Daerah :
Kebijakan (2) Pelaksanaan 1. Penetapan kerangka nasional pengembangan kapasitas daerah.
Pedoman penyusunan rencana tindak peningkatan kapasitas daerah.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan pengembangan kapasitas daerah.
Pengukuran kinerja.
Pengembangan sistem informasi evaluasi.
Kriteria pembinaan evaluasi daerah.
Penetapan perencanaan dan penganggaran pengembangan kapasitas daerah.
Penetapan rencana tindak peningkatan kapasitas provinsi.
Implementasi rencana tindak peningkatan kapasitas provinsi.
Penetapan perencanaan dan penganggaran pengembangan kapasitas daerah.
Penetapan rencana tindak peningkatan kapasitas kabupaten/kota.
Implementasi rencana tindak peningkatan kapasitas kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA (3) Pembinaan 2. Fasilitasi pedoman penyusunan rencana tindak peningkatan kapasitas daerah.
Monitoring dan evaluasi pengembangan kapasitas provinsi.
Koordinasi nasional pengembangan kapasitas daerah.
Fasilitasi implementasi rencana tindak provinsi.
Monitoring dan evaluasi pengembangan kapasitas kabupaten/kota.
Koordinasi pengembangan kapasitas provinsi.
Fasilitasi implementasi rencana tindak kabupaten/kota.
Ɇ 2. Koordinasi pengembangan kapasitas kabupaten/kota.
Pejabat Negara:
Tata Tertib DPRD:
Kebijakan (2) Pembinaan 1. Penetapan pedoman tata tertib DPRD.
Fasilitasi penyusunan tata tertib DPRD provinsi.
Monitoring dan evaluasi tata tertib DPRD provinsi.
Penetapan pedoman tata tertib DPRD provinsi.
Fasilitasi penyusunan tata tertib DPRD kabupaten/kota.
Monitoring dan evaluasi tata tertib DPRD kabupaten/kota.
Penetapan pedoman tata tertib DPRD kabupaten/kota.
— 2. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Peresmian Pengangkatan dan Pemberhentian Anggota DPRD Provinsi/Kabupaten /Kota.
Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah (KDH) dan Wakil KDH:
Kebijakan (2) Pelaksanaan 1. Peresmian pengangkatan dan pemberhentian anggota DPRD provinsi.
Penetapan Pedoman Tata Cara Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan dan Pemberhentian KDH dan Wakil KDH.
Pengesahan, pengangkatan, dan pemberhentian KDH dan Wakil KDH.
Peresmian pengangkatan dan pemberhentian anggota DPRD kabupaten/kota.
— 1. Fasilitasi pemilihan gubernur dan wakil gubernur.
— 1. — 1. Fasilitasi pemilihan bupati dan wakil bupati/walikota dan wakil walikota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA d. Kedudukan Protokoler dan Keuangan DPRD:
Kebijakan (2) Pembinaan 2. Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan pemilihan KDH dan Wakil KDH.
Penetapan pedoman kedudukan protokoler dan keuangan DPRD.
Fasilitasi penyusunan kedudukan protokoler dan keuangan DPRD provinsi.
Monitoring dan evaluasi kedudukan protokoler dan keuangan DPRD provinsi.
Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan pemilihan bupati dan wakil bupati/walikota dan wakil walikota.
Pelaksanaan pedoman kedudukan protokoler dan keuangan DPRD provinsi.
Fasilitasi penyusunan kedudukan protokoler dan keuangan DPRD kabupaten/kota.
Monitoring dan evaluasi kedudukan protokoler dan keuangan DPRD kabupaten/kota.
— 1. Pelaksanaan pedoman kedudukan protokoler dan keuangan DPRD kabupaten/kota.
Ɇ 2. Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA e. Kedudukan Keuangan KDH dan Wakil KDH:
Kebijakan (2) Pembinaan f. Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) KDH:
Kebijakan (2) Pembinaan 1. Penetapan pedoman kedudukan keuangan KDH dan Wakil KDH.
Fasilitasi kedudukan keuangan gubernur dan wakil gubernur.
Penetapan pedoman LKPJ.
Fasilitasi penyusunan LKPJ gubernur.
Pelaksanaan pedoman kedudukan keuangan gubernur dan wakil gubernur.
Fasilitasi kedudukan keuangan bupati dan wakil bupati/walikota dan wakil walikota.
Pelaksanaan pedoman LKPJ gubernur.
Fasilitasi penyusunan LKPJ bupati/walikota.
Pelaksanaan pedoman kedudukan keuangan bupati dan wakil bupati/walikota dan wakil walikota.
— 1. Pelaksanaan pedoman LKPJ bupati/walikota.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA g. Tugas dan Wewenang serta Kedudukan Keuangan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah :
Kebijakan (2) Pembinaan 2. Monitoring dan evaluasi LKPJ gubernur.
Penetapan pedoman tata cara pelaksanaan tugas dan wewenang serta kedudukan keuangan gubernur sebagai wakil pemerintah.
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan tugas dan wewenang gubernur sebagai wakil pemerintah.
Monitoring dan evaluasi LKPJ bupati/walikota.
Pelaksanaan tugas dan wewenang gubernur sebagai wakil pemerintah.
— 2. — 1. — 1. — 2. Pemerintahan Umum 1. Fasilitasi Dekonsentrasi, Tugas Pembantuan dan Kerjasama: SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA a. Fasilitasi Dekonsentrasi b. Fasilitasi Tugas Pembantuan 1. Penetapan kebijakan nasional penyelenggaraan dekonsentrasi.
Koordinasi dan fasilitasi urusan pemerintahan dalam penyelenggaraan dekonsentrasi.
Ɇ 1. Penetapan kebijakan nasional penyelenggaraan tugas pembantuan.
Gubernur melaksanakan dan melaporkan penyelenggaraan urusan pemerintahan yang didekonsentrasikan.
Gubernur mengkoordinasikan penyelenggaraan urusan pemerintahan di daerah provinsi dan kabupaten/ kota.
Koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan dekonsentrasi di daerah provinsi dan kabupaten/kota.
Pelaksanaan dan pelaporan penyelenggaraan urusan pemerintahan yang ditugaspembantuankan oleh pemerintah.
Ɇ 2. Ɇ 3. Ɇ 1. Pelaksanaan dan pelaporan penyelenggaraan tugas pembantuan oleh pemerintah dan/atau pemerintah provinsi. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c. Fasilitasi Kerjasama Daerah dengan Pihak Ketiga 2. Koordinasi dan fasilitasi urusan pemerintahan yang ditugaspembantuankan kepada provinsi/kabupaten/kota/desa.
Koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan dari provinsi kepada kabupaten/kota/desa.
Penetapan kebijakan nasional di bidang kerjasama dengan pihak ketiga.
Pelaksanaan kerjasama pemerintah dengan pihak ketiga.
Koordinasi dan fasilitasi urusan pemerintahan yang ditugaspembantuankan kepada kabupaten/kota/desa.
Koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan dari kabupaten/kota kepada desa.
Penetapan kebijakan provinsi di bidang kerjasama dengan pihak ketiga.
Pelaksanaan kerjasama provinsi dengan pihak ketiga.
Koordinasi dan fasilitasi urusan pemerintahan yang ditugaspembantuankan kepada desa.
Ɇ 1. Penetapan kebijakan kabupaten/kota di bidang kerjasama dengan pihak ketiga.
Pelaksanaan kerjasama kabupaten/kota dengan pihak ketiga. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA d. Kerjasama Antar Daerah 3. Koordinasi dan fasilitasi kerjasama provinsi dengan pihak ketiga.
Pelaksanaan monitoring dan evaluasi kerjasama provinsi dengan pihak ketiga.
Ɇ 1. Penetapan kebijakan kerjasama antar daerah.
Fasilitasi kerjasama antar provinsi.
Pelaksanaan monitoring dan evaluasi penyelenggaraan kerjasama antar daerah.
Koordinasi dan fasilitasi kerjasama kabupaten/kota dengan pihak ketiga.
Pelaksanaan monitoring dan evaluasi kerjasama kabupaten/kota dengan pihak ketiga.
Pelaporan pelaksanaan kerjasama provinsi dengan pihak ketiga kepada pemerintah.
Pelaksanaan kerjasama antar provinsi.
Fasilitasi kerjasama antar kabupaten/kota.
Pelaksanaan monitoring dan evaluasi kerjasama antar kabupaten/kota.
Ɇ 4. Ɇ 5. Pelaporan pelaksanaan kerjasama pemerintah kabupaten/kota dengan pihak ketiga kepada provinsi.
Pelaksanaan kerjasama antar kabupaten/kota.
Ɇ 3. Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA e. Pembinaan Wilayah 4. Ɇ 1. Penetapan kebijakan harmonisasi hubungan antar susunan pemerintahan.
Koordinasi dan fasilitasi harmonisasi hubungan antar susunan pemerintahan.
Koordinasi dan fasilitasi penyelesaian konflik antar provinsi.
Pelaporan pelaksanaan kerjasama antar provinsi kepada pemerintah.
Penetapan kebijakan harmonisasi hubungan antar susunan pemerintahan di provinsi dengan berpedoman kepada kebijakan pemerintah.
Koordinasi dan fasilitasi harmonisasi hubungan antar kabupaten/kota di wilayahnya.
Koordinasi dan fasilitasi penyelesaian konflik antar kabupaten/kota.
Pelaporan pelaksanaan kerjasama antar kabupaten/kota kepada provinsi.
Penetapan kebijakan harmonisasi hubungan antar susunan pemerintahan di kabupaten/kota dengan berpedoman kepada kebijakan pemerintah dan provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi harmonisasi hubungan antar kecamatan/desa/kelurahan di wilayahnya.
Koordinasi dan fasilitasi penyelesaian konflik antar kecamatan/desa/kelurahan di wilayahnya. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA f. Koordinasi Pelayanan Umum 4. Koordinasi penetapan kebijakan dan fasilitasi usaha kecil dan menengah skala nasional.
Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan urusan pemerintahan sisa.
Koordinasi dan fasilitasi kebijakan nasional dalam bidang pelayanan umum.
Pelaksanaan dan fasilitasi usaha kecil dan menengah skala provinsi.
Penyelenggaraan urusan pemerintahan sisa skala provinsi.
Pelaksanaan pelayanan umum skala provinsi.
Pelaksanaan dan fasilitasi kebijakan usaha kecil dan menengah skala kabupaten/kota.
Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan urusan pemerintahan sisa skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan pelayanan umum skala kabupaten/kota.
Trantibum dan Linmas a. Ketentraman, Ketertiban Umum, dan Perlindungan Masyarakat 1. Penetapan kebijakan nasional dalam bidang: (a) Ɇ 1. Penetapan kebijakan provinsi dengan merujuk kebijakan nasional dalam bidang: (a) Penegakan Perda/Peraturan Kepala Daerah.
Penetapan kebijakan kabupaten/kota dengan merujuk kebijakan nasional dalam bidang: (a) Penegakan Perda/Peraturan Kepala Daerah. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA (b) Ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat. (c) Kepolisipamongprajaan dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). (d) Perlindungan masyarakat.
Pelaksanaan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat skala nasional.
Pembinaan kepolisipamongprajaan dan PPNS.
Pelaksanaan perlindungan masyarakat skala nasional. (b) Ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat. (c) Kepolisipamongprajaan dan PPNS. (d) Perlindungan masyarakat.
Pelaksanaan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat skala provinsi.
Pelaksanaan kepolisipamongprajaan dan PPNS skala provinsi.
Pelaksanaan perlindungan masyarakat skala provinsi. (b) Ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat. (c) Kepolisipamongprajaan dan PPNS. (d) Perlindungan masyarakat.
Pelaksanaan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan kepolisipamongprajaan dan PPNS skala kabupaten/ kota.
Pelaksanaan perlindungan masyarakat skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Koordinasi Perlindungan dan Penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) 3. Wilayah Perbatasan:
Pengelolaan Perbatasan Antar Negara 5. Koordinasi antar instansi terkait.
Koordinasi penegakan HAM skala nasional.
Penetapan kebijakan pengelolaan perbatasan antar negara.
Pelaksanaan pengelolaan perbatasan antar negara.
Koordinasi pengelolaan perbatasan antar negara.
Koordinasi dengan instansi terkait skala provinsi.
Koordinasi penegakan HAM skala provinsi.
– 2. Dukungan pelaksanaan kebijakan pengelolaan perbatasan antar negara.
Dukungan koordinasi antar kabupaten/kota yang berbatasan dengan negara lain.
Koordinasi dengan instansi terkait skala kabupaten/ kota.
Koordinasi penegakan HAM skala kabupaten/kota.
– 2. Dukungan pelaksanaan kebijakan pengelolaan perbatasan antar negara.
Dukungan koordinasi antar kecamatan/desa/kelurahan yang berbatasan dengan negara lain. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Perbatasan Daerah c. Toponimi dan Pemetaan Wilayah 4. Pelaksanaan penyelesaian perselisihan perbatasan antar negara.
Penetapan kebijakan, pelaksanaan, dan penegasan perbatasan daerah.
Penetapan kebijakan toponimi dan pemetaan wilayah.
Pengelolaan toponimi dan pemetaan skala nasional.
Inventarisasi laporan toponimi dan pemetaan.
– 1. Dukungan pelaksanaan penegasan perbatasan provinsi dan kabupaten/kota di wilayah provinsi.
Penetapan kebijakan provinsi mengacu pada kebijakan nasional mengenai toponimi dan pemetaan wilayah provinsi.
Pengelolaan toponimi dan pemetaan skala provinsi.
Inventarisasi dan laporan toponimi dan pemetaan skala provinsi.
Penetapan kebijakan dan pelaksanaan perbatasan kecamatan dan desa/kelurahan di kabupaten/kota.
Penetapan kebijakan kabupaten/kota mengacu pada kebijakan nasional mengenai toponimi dan pemetaan wilayah kabupaten/kota.
Pengelolaan toponimi dan pemetaan skala kabupaten/kota.
Inventarisasi dan laporan toponimi dan pemetaan skala kabupaten/ kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA d. Pengembangan Wilayah Perbatasan e. Penetapan Luas Wilayah 1. Penetapan kebijakan pengembangan wilayah perbatasan.
Pengelolaan pengembangan wilayah perbatasan antar negara dan antar provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi pengembangan wilayah perbatasan antar negara dan antar provinsi.
Penetapan kebijakan luas wilayah.
Koordinasi dan fasilitasi penetapan luas wilayah provinsi, kabupaten/kota.
Penetapan kebijakan pengembangan wilayah perbatasan antar kabu- paten/kota skala provinsi.
Pengelolaan pengembangan wilayah perbatasan skala provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi pengembangan wilayah perbatasan provinsi.
Inventarisasi perubahan luas wilayah provinsi yang diakibatkan oleh alam antara lain delta, abrasi.
Pemetaan luas wilayah sesuai peruntukannya.
Penetapan kebijakan pengembangan wilayah perbatasan skala kabupaten/kota.
Pengelolaan pengembangan wilayah perbatasan skala kabupaten/kota.
Koordinasi dan fasilitasi pengembangan wilayah perbatasan kabupaten/kota.
Inventarisasi perubahan luas wilayah kabupaten/kota yang diakibatkan oleh alam antara lain delta, abrasi.
Pemetaan luas wilayah sesuai peruntukannya. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Kawasan Khusus:
Kawasan Sumber Daya Alam; Kehutanan, Energi dan Sumber Daya Mineral b. Kawasan Sumber Daya Buatan; Pelabuhan, Bandar Udara, Perkebunan, Peternakan, Industri, Pariwisata, Perdagangan, Otorita, Bendungan dan Sejenisnya 1. Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan kawasan sumber daya alam.
Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan kawasan sumber daya buatan.
Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan kawasan sumber daya alam skala provinsi.
Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan kawasan sumber daya buatan skala provinsi.
Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan kawasan sumber daya alam skala kabupaten/kota.
Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan kawasan sumber daya buatan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c. Kawasan Kepentingan Umum; Kawasan Fasilitas Sosial dan Umum d. Kawasan Kelautan dan Kedirgantaraan 1. Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan kawasan kepentingan umum.
Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan kawasan kelautan dan kedirgantaraan.
Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan kawasan kepentingan umum skala provinsi.
Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan kawasan kelautan dan kedirgantaraan skala provinsi.
Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan kawasan kepentingan umum skala kabupaten/kota.
Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan kawasan kelautan dan kedirgantaraan skala kabupaten/kota.
Manajemen Pencegahan dan Penanggulangan Bencana:
Mitigasi Pencegahan Bencana 1. Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan mitigasi/ pencegahan bencana.
Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan mitigasi/pencegahan bencana skala provinsi.
Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan mitigasi/pencegahan bencana skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Penanganan Bencana c. Penanganan Pasca Bencana d. Kelembagaan e. Penanganan Kebakaran 1. Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan penanganan bencana.
Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi penanganan pasca bencana.
Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi kelembagaan penanganan bencana.
Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi penanganan kebakaran.
Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi penanganan bencana skala provinsi.
Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi penanganan pasca bencana skala provinsi.
Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi kelembagaan penanganan bencana skala provinsi.
Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi penanganan kebakaran skala provinsi.
Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi penanganan bencana skala kabupaten/kota.
Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi penanganan pasca bencana skala kabupaten/kota.
Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi kelembagaan penanganan bencana skala kabupaten/ kota.
Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi penanganan kebakaran skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Organisasi dan Kelembagaan Pengelolaan Keuangan Daerah 1. Penetapan dan fasilitasi pelaksanaan kebijakan organisasi, kelembagaan dan pembinaan sumber daya aparatur pengelola keuangan daerah.
Pelaksanaan penataan organisasi, kelembagaan dan peningkatan kapasitas sumber daya aparatur pengelola keuangan daerah provinsi dan kabupaten/ kota.
Pelaksanaan penataan organisasi, kelembagaan dan peningkatan kapasitas sumber daya aparatur pengelola keuangan daerah kabupaten/kota.
Administrasi Keuangan Daerah 2. Anggaran Daerah 1. Penetapan pedoman rancangan peraturan daerah (Raperda) tentang pokok-pokok pengelolaan keuangan daerah.
Penetapan kebijakan standar satuan harga dan analisis standar belanja daerah.
Penetapan pedoman perencanaan anggaran penanganan urusan pemerintahan provinsi dan kabupaten/ kota.
Penetapan peraturan daerah (Perda) tentang pokok-pokok pengelolaan keuangan daerah.
Penetapan standar satuan harga dan analisis standar belanja daerah provinsi.
Perencanaan anggaran penanganan urusan pemerintahan provinsi.
Penetapan Perda tentang pokok-pokok pengelolaan keuangan daerah.
Penetapan standar satuan harga dan analisis standar belanja daerah kabupaten/kota.
Perencanaan anggaran penanganan urusan pemerintahan kabupaten/ kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Penetapan pedoman penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan perubahan APBD.
Penetapan pedoman evaluasi APBD dan perubahan APBD provinsi.
Evaluasi Raperda tentang APBD, dan perubahan APBD provinsi.
Penetapan kebijakan keseimbangan fiskal antar provinsi.
Penetapan Perda tentang APBD dan perubahan APBD.
Penetapan pedoman evaluasi APBD dan perubahan APBD kabupaten/kota, sesuai dengan pedoman evaluasi yang ditetapkan pemerintah.
Evaluasi Raperda tentang APBD, dan perubahan APBD kabupaten/ kota.
Penetapan kebijakan keseimbangan fiskal antar kabupaten/kota.
Penetapan Perda tentang APBD dan perubahan APBD.
Penetapan pedoman evaluasi Anggaran Pendapatan dan Belanja (APB) Desa, sesuai dengan pedoman evaluasi yang ditetapkan pemerintah.
Evaluasi Rancangan Peraturan Desa (Raperdes) tentang APB Desa.
Penetapan kebijakan keseimbangan fiskal antar desa. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 8. Penetapan kebijakan pendanaan urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab bersama (urusan concurrent ) antara pemerintah dan provinsi.
Penetapan kebijakan pendanaan kerjasama pemerintahan daerah antar provinsi.
Fasilitasi perencanaan dan penganggaran daerah.
Penetapan kebijakan pendanaan urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab bersama (urusan concurrent ) antara provinsi dan kabupaten/ kota.
Penetapan kebijakan pendanaan kerjasama pemerintahan daerah antar kabupaten/kota.
Fasilitasi perencanaan dan penganggaran daerah kabupaten/kota.
Penetapan kebijakan pendanaan urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab bersama (urusan concurrent ) antara kabupaten/kota dan desa.
Penetapan kebijakan pendanaan kerjasama pemerintahan antar desa.
Fasilitasi perencanaan dan penganggaran pemerintahan desa. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Pendapatan dan Investasi Daerah :
Pajak dan Retribusi Daerah 1.a.Penetapan kebijakan umum dan khusus tentang norma, standar, prosedur dan kriteria pengelolaan pajak daerah, retribusi daerah dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) lainnya.
— c.Fasilitasi, supervisi, monitoring dan evaluasi pelaksanaan kebijakan umum dan khusus pajak dan retribusi daerah, serta PAD lainnya.
a.Penetapan kebijakan pengelolaan pajak dan retribusi daerah provinsi.
Pelaksanaan pengelolaan pajak dan retribusi daerah provinsi.
Fasilitasi, supervisi, monitoring dan evaluasi pelaksanaan pajak dan retribusi daerah serta PAD lainnya kabupaten/kota.
a.Penetapan kebijakan pengelolaan pajak dan retribusi daerah kabupaten/kota.
Pelaksanaan pengelolaan pajak dan retribusi daerah kabupaten/ kota.
Fasilitasi, supervisi, monitoring dan evaluasi pelaksanaan retribusi desa. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Investasi dan Aset Daerah 2. Pembinaan dan pengawasan pajak dan retribusi daerah.
Evaluasi Raperda pajak, retribusi daerah provinsi, dan Perda pajak dan retribusi daerah, dan pungutan lainnya provinsi dan kabupaten/kota.
Penetapan kebijakan umum dan khusus tentang norma, standar, prosedur dan kriteria pengelolaan investasi dan aset daerah.
Fasilitasi, monitoring dan evaluasi pelaksanaan kebijakan umum dan khusus tentang pengelolaan investasi dan aset daerah.
Pembinaan dan pengawasan pajak dan retribusi daerah skala provinsi.
Evaluasi Raperda pajak, retribusi daerah dan pungutan lainnya kabupaten/kota.
Penetapan kebijakan pengelolaan investasi dan aset daerah provinsi.
Pelaksanaan pengelolaan investasi dan aset daerah provinsi.
Pembinaan dan pengawasan pajak dan retribusi daerah skala kabupaten/kota.
Evaluasi Raperdes tentang retribusi dan pungutan lainnya.
Penetapan kebijakan pengelolaan investasi dan aset daerah kabupaten/kota.
Pelaksanaan pengelolaan investasi dan aset daerah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dan Lembaga Keuangan Mikro 3. Pembinaan dan pengawasan pengelolaan investasi dan aset daerah provinsi.
Fasilitasi pengelolaan aset daerah pemekaran skala nasional.
Penetapan kebijakan umum dan khusus tentang norma, standar, prosedur dan kriteria pengelolaan BUMD dan lembaga keuangan mikro.
Fasilitasi, monitoring dan evaluasi, pelaksanaan kebijakan umum dan khusus pengelolaan BUMD dan lembaga keuangan mikro.
Pembinaan dan pengawasan pengelolaan investasi dan aset daerah kabupaten/ kota.
Fasilitasi pengelolaan aset daerah pemekaran skala provinsi.
Penetapan kebijakan pengelolaan BUMD dan lembaga keuangan mikro provinsi.
Pelaksanaan pengelolaan BUMD dan lembaga keuangan mikro provinsi.
Pengawasan pengelolaan investasi dan aset daerah kabupaten/kota.
Fasilitasi pengelolaan aset daerah pemekaran skala kabupaten/kota.
Penetapan kebijakan pengelolaan BUMD dan lembaga keuangan mikro kabupaten/kota.
Pelaksanaan pengelolaan BUMD dan lembaga keuangan mikro kabupaten/ kota, serta pembinaan dan pengawasan Badan Usaha Milik Desa. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA d. Pinjaman Daerah 3. Pembinaan dan pengawasan pengelolaan BUMD dan lembaga keuangan mikro provinsi.
Penetapan kebijakan umum tentang norma, standar, prosedur dan kriteria pengelolaan pinjaman dan obligasi daerah, serta Badan Layanan Umum (BLU) daerah.
Fasilitasi, monitoring, evaluasi dan pelaksanaan pinjaman dan obligasi daerah, serta BLU daerah.
Pembinaan dan pengawasan pinjaman dan obligasi daerah, serta BLU provinsi.
Pembinaan dan pengawasan pengelolaan BUMD dan lembaga keuangan mikro kabupaten/kota.
Penetapan kebijakan pengelolaan pinjaman dan obligasi daerah, serta BLU provinsi.
Pelaksanaan pengelolaan pinjaman dan obligasi daerah, serta BLU provinsi.
Pembinaan dan pengawasan pinjaman dan obligasi daerah, serta BLU kabupaten/kota.
Pengawasan pengelolaan BUMD dan lembaga keuangan mikro kabupaten/kota, serta pembinaan dan pengawasan Badan Usaha Milik Desa.
Penetapan kebijakan pengelolaan pinjaman dan obligasi daerah, serta BLU kabupaten/kota.
Pelaksanaan pengelolaan pinjaman dan obligasi daerah, serta BLU kabupaten/kota.
Pengawasan pinjaman dan obligasi daerah, serta BLU kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Dana Perimbangan :
Dana Alokasi Umum (DAU) b. Dana Alokasi Khusus (DAK) 1. Penetapan formula penghitungan alokasi DAU provinsi/kabupaten/kota.
Penetapan pedoman umum pengelolaan DAU.
Monitoring dan evaluasi pengelolaan DAU.
Penetapan kebijakan DAK dan kriteria penghitungannya.
Penghitungan dan penetapan alokasi DAK.
Pengelolaan data dasar penghitungan alokasi DAU provinsi dan koordinasi data dasar penghitungan alokasi DAU kabupaten/kota.
Pengelolaan DAU provinsi.
Pelaporan pengelolaan DAU provinsi, dan monitoring serta evaluasi penggunaan DAU kabupaten/kota.
Usulan program dan kegiatan provinsi untuk didanai dari DAK serta koordinasi usulan DAK kabupaten/kota.
— 1. Pengelolaan data dasar penghitungan alokasi DAU kabupaten/kota.
Pengelolaan DAU kabupaten/ kota.
Pelaporan pengelolaan DAU kabupaten/kota.
Usulan program dan kegiatan kabupaten/kota untuk didanai dari DAK.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c. Dana Bagi Hasil (DBH) 3. Penetapan petunjuk teknis (juknis) pengelolaan DAK.
Monitoring dan evaluasi pengelolaan DAK provinsi dan kabupaten/kota.
Pengendalian dan pengkajian pengelolaan DAK provinsi dan kabupaten/kota 1. Penetapan kebijakan DBH.
Penetapan daerah penghasil Sumber Daya Alam (SDA).
Penghitungan dan penetapan alokasi DBH bagi provinsi dan kabupaten/kota.
Pengelolaan DAK (bagi provinsi yang menerima DAK).
Monitoring dan evaluasi pengelolaan DAK kabupaten/kota.
Pengendalian dan pelaporan pengelolaan DAK.
Penyiapan data realisasi penerima DBH provinsi.
Fasilitasi kabupaten/kota terhadap konflik penentuan daerah penghasil SDA.
Penetapan alokasi DBH di kabupaten/kota.
Pengelolaan DAK (bagi kabupaten/kota yang menerima DAK).
— 5. Pengendalian dan pelaporan pengelolaan DAK.
Penyiapan data realisasi penerima DBH kabupaten/kota.
— 3. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Evaluasi laporan pengelolaan DBH. 4. Pengendalian dan pelaporan pengelolaan DBH. 4. Pengendalian dan pelaporan pengelolaan DBH.
Pelaksanaan, Penatausahaan, Akuntansi dan Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD 1. Penetapan kebijakan norma, standar prosedur dan kriteria pelaksanaan, penatausahaan, akuntansi pengelolaan keuangan daerah dan desa.
Penetapan pedoman penyusunan laporan keuangan daerah/desa dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD provinsi, kabupaten/kota dan APB desa.
Penetapan pedoman evaluasi laporan keuangan dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD provinsi, kabupaten/kota dan APB desa.
Penetapan kebijakan tentang sistem dan prosedur akuntansi pengelolaan keuangan daerah provinsi.
Penyusunan laporan keuangan dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD provinsi.
— 1. Penetapan kebijakan tentang sistem dan prosedur akuntansi pengelolaan keuangan daerah kabupaten/kota dan desa.
Penyusunan laporan keuangan dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kabupaten/kota dan APB desa.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Evaluasi pertanggungjawaban pelaksanaan APBD provinsi.
Penetapan kebijakan laporan keuangan dan pertanggungjawaban pelaksanaan pendanaan urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab bersama (urusan concurrent ).
Fasilitasi penyusunan laporan keuangan dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD dan APB desa.
Evaluasi pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kabupaten/ kota.
Penetapan kebijakan laporan keuangan dan pertanggung-jawaban pelaksanaan pendanaan urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab bersama (urusan concurrent ).
Fasilitasi penyusunan laporan keuangan dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kabupaten/kota.
Evaluasi laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APB desa.
Penetapan kebijakan laporan keuangan dan pertanggungjawaban pelaksanaan pendanaan urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab bersama (urusan concurrent ).
Fasilitasi penyusunan laporan keuangan dan pelaksanaan APB desa. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Perangkat Daerah 1. Kebijakan 1. Penetapan pedoman umum tentang perangkat daerah.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria pembentukan perangkat daerah.
Penetapan pedoman teknis perangkat daerah.
Penetapan pedoman tatalaksana perangkat daerah.
Penetapan pedoman analisis jabatan perangkat daerah.
Pelaksanaan pedoman umum tentang perangkat daerah provinsi.
Pelaksanaan kebijakan pembentukan perangkat daerah skala provinsi.
Pelaksanaan pedoman teknis perangkat daerah provinsi.
Pelaksanaan pedoman tatalaksana perangkat daerah provinsi.
Pelaksanaan pedoman analisis jabatan perangkat daerah provinsi.
Pelaksanaan pedoman umum tentang perangkat daerah kabupaten/kota.
Pelaksanaan kebijakan pembentukan perangkat daerah skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan pedoman teknis perangkat daerah kabupaten/kota.
Pelaksanaan pedoman tatalaksana perangkat daerah kabupaten/kota.
Pelaksanaan pedoman analisis jabatan perangkat daerah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pengembangan Kapasitas 1. Penetapan kebijakan tentang pengembangan kapasitas kelembagaan perangkat daerah.
Koordinasi pelaksanaan pengembangan kapasitas perangkat daerah.
Pelaksanaan pengembangan kapasitas kelembagaan perangkat daerah provinsi.
Koordinasi pelaksanaan pengembangan kapasitas perangkat daerah kabupaten/kota.
Pelaksanaan pengembangan kapasitas kelembagaan perangkat daerah kabupaten/kota.
Pelaksanaan pengembangan kapasitas perangkat daerah.
Fasilitasi 1. Penetapan kebijakan fasilitasi penataan kelembagaan perangkat daerah, yang meliputi pemberian bimbingan, supervisi, pelatihan, dan kerjasama.
Fasilitasi penataan kelembagaan perangkat daerah kabupaten/kota.
— 4. Pembinaan dan Pengendalian 1. Penetapan kebijakan pembinaan dan pengendalian organisasi perangkat daerah.
Pelaksanaan pembinaan dan pengendalian organisasi perangkat daerah provinsi.
Pelaksanaan pembinaan dan pengendalian organisasi perangkat daerah kabupaten/kota.
— 1. Penerapan dan pengendalian organisasi perangkat daerah.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Pembatalan peraturan daerah tentang perangkat daerah. 3. — 3. — 5. Monitoring dan Evaluasi 1. Penetapan kebijakan monitoring dan evaluasi perangkat daerah.
Pelaksanaan monitoring dan evaluasi perangkat daerah provinsi.
Penetapan databas e perangkat daerah skala nasional.
— 2. Pelaksanaan monitoring dan evaluasi perangkat daerah kabupaten/kota.
Koordinasi penyusunan database perangkat daerah skala provinsi.
— 2. Penyediaan bahan monitoring dan evaluasi perangkat daerah.
Penyediaan bahan database perangkat daerah skala kabupaten/kota.
Kepegawaian 1. Formasi Pegawai Negeri Sipil (PNS) 1. Penetapan kebijakan formasi PNS secara nasional setiap tahun anggaran.
Penetapan persetujuan formasi Pegawai Negeri Sipil Pusat (PNSP) di lingkungan Departemen/LPND setiap tahun anggaran.
Penyusunan formasi Pegawai Negeri Sipil Daerah (PNSD) di provinsi setiap tahun anggaran.
Penetapan formasi PNSD di provinsi setiap tahun anggaran.
Penyusunan formasi PNSD di kabupaten/kota setiap tahun anggaran.
Penetapan formasi PNSD di kabupaten/kota setiap tahun anggaran. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penetapan formasi PNSP/Departemen/LPND/ Kesekretaritan lembaga dan Daerah setiap tahun anggaran.
Koordinasi usulan penetapan formasi PNSD di kabupaten/kota setiap tahun anggaran.
Usulan formasi PNSD di kabupaten/kota setiap tahun anggaran.
Pengadaan Pegawai Negeri Sipil (PNS) 1. Penetapan norma, standar, prosedur dan kriteria pengadaan PNS.
Pelaksanaan pengadaan PNSP di lingkungan Departemen/LPND.
Koordinasi pelaksanaan pengadaan PNS secara nasional.
Pelaksanaan pengadaan PNSD Provinsi 2. Usulan penetapan Nomor Induk Pegawai (NIP) 3. Koordinasi pelaksanaan pengadaan PNSD kabupaten/kota.
Pelaksanaan pengadaan PNSD kabupaten/kota 2. Usulan penetapan NIP 3. Ɇ 3. Pengangkatan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) 1. Penetapan norma, standar, prosedur dan kriteria pengangkatan CPNS.
Pelaksanaan pengangkatan CPNSP di lingkungan Departemen/LPND/ Kesekretaritan lembaga.
Pelaksanaan pengangkatan CPNSP di lingkungan provinsi.
Penempatan Calon Pegawai Negeri Sipil Daerah (CPNSD) provinsi.
Penetapan kebijakan pengangkatan CPNSD di lingkungan kabupaten/kota.
Pelaksanaan pengangkatan CPNSP di lingkungan kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Ɇ 3. Pelaksanaan orientasi tugas dan pra jabatan, sepanjang telah memiliki lembaga diklat yang telah terakreditasi.
Pelaksanaan orientasi tugas dan pra jabatan, sepanjang telah memiliki lembaga diklat yang telah terakreditasi.
Pengangkatan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) 1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria pengangkatan CPNS menjadi PNS.
Penetapan CPNSP menjadi PNSP Departemen/LPND/ Kesekretaritan lembaga.
– 4. Penetapan menjadi PNSP dan PNSD bagi CPNSP dan CPNSD yang tewas atau cacat karena dinas 1. Ɇ 2. Penetapan CPNSD menjadi PNSD di lingkungan provinsi.
Koordinasi pelaksanaan pengangkatan CPNSD menjadi PNSD kabupaten/kota.
Ɇ 1. Ɇ 2. Penetapan CPNSD menjadi PNSD di lingkungan kabupaten/kota.
Ɇ 4. Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) 1. Penetapan norma, standar, prosedur dan kriteria diklat jabatan PNS.
Penetapan sertifikasi lembaga diklat pemerintah.
Koordinasi dan pelaksanaan diklat di lingkungan Departemen/LPND/ Kesekretaritan lembaga dan daerah.
Penetapan kebutuhan diklat PNSD provinsi.
Usulan penetapan sertifikasi lembaga diklat provinsi.
Koordinasi dan pelaksanaan diklat skala provinsi.
Penetapan kebutuhan diklat PNSD kabupaten/kota.
Usulan penetapan sertifikasi lembaga diklat kabupaten/ kota.
Pelaksanaan diklat skala kabupaten/kota.
Kenaikan Pangkat 1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria kenaikan pangkat.
a.Penetapan kenaikan pangkat PNSP dan PNSD menjadi gol/ruang I/b s/d IV/b.
Ɇ 2.a.Penetapan kenaikan pangkat PNSD provinsi menjadi gol/ruang I/b s/d IV/b.
Ɇ 2.a.Penetapan kenaikan pangkat PNSD kabupaten/kota menjadi golongan ruang I/b s/d III/d. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Penetapan kenaikan pangkat PNSP dan PNSD menjadi golongan/ruang IV/c, IV/d, dan IV/e.
Koordinasi pelaksanaan kenaikan pangkat di lingkungan Departemen/LPND/ Kesekretaritan lembaga dan daerah.
Penetapan kenaikan pangkat anumerta dan pengabdian.
Penetapan kenaikan pangkat PNSD kabupaten/kota menjadi gol/ruang IV/a dan IV/b.
Koordinasi pelaksanaan kenaikan pangkat di lingkungan kabupaten/kota.
Usulan penetapan kenaikan pangkat PNSD provinsi/kab/kota menjadi golongan ruang IV/c, IV/d, dan IV/e dan kenaikan pangkat anumerta dan pengabdian.
Ɇ 3. Ɇ 4. Usulan penetapan kenaikan pangkat anumerta dan pengabdian.
Pengangkatan, Pemindahan dan Pemberhentian dalam dan dari Jabatan 1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian dalam dan dari jabatan.
Penetapan pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian PNS provinsi dalam dan dari jabatan struktural eselon II kebawah atau jabatan 1. Penetapan pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian PNS kabupaten/kota dalam dan dari jabatan struktural eselon II atau jabatan SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Penetapan pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian dalam dan dari jabatan struktural eselon I PNSP dan PNSD dan jabatan fungsional jenjang utama.
Konsultasi/koordinasi pengangkatan sekda kabupaten/kota 4. Penetapan pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian dalam dan dari jabatan struktural eselon II ke bawah atau jabatan fungsional jenjang setingkat, PNSP fungsional yang jenjangnya setingkat.
a. Penetapan pengangkatan sekretaris daerah kabupaten/kota.
Usulan pengangkatan dan pemberhentian sekda provinsi 3. Usulan konsultasi pengangkatan dan pemberhentian sekda Kabupaten/kota 4. Koordinasi pengangkatan, pemindahan dalam dan dari jabatan struktural eselon II di lingkungan kabupaten/kota. fungsional yang jenjangnya setingkat, kecuali pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian sekda kabupaten/kota.
usulan pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian sekda kabupaten/kota.
Usulan konsultasi pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian eselon II PNS kabupaten/kota 4. Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA Departemen/LPND/ Kesekretariatan lembaga.
Perpindahan Pegawai Negeri Sipil (PNS) Antar Instansi 1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria perpindahan PNS antar instansi.
Penetapan perpindahan PNS antar kabupaten/kota dan antar provinsi.
Penetapan perpindahan PNS provinsi/kabupaten/kota ke Departemen/LPND atau sebaliknya.
Penetapan perpindahan PNSP antar Departemen ke LPND/kesekretariatan lembaga atau sebaliknya.
Penetapan perpindahan PNSD antar kab/kota dalam satu provinsi.
Penetapan perpindahan PNSD dari kabupaten/kota ke provinsi atau sebaliknya dalam satu provinsi.
Penetapan perpindahan PNSD dilingkungan provinsi 4. Ɇ 1. Penetapan perpindahan PNSD kabupaten/kota.
Ɇ 3. Ɇ 4. Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 9. Pemberhentian Sementara dari Jabatan Negeri 1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria pemberhentian sementara dari jabatan negeri.
Penetapan pemberhentian sementara dari jabatan negeri bagi PNS yang menduduki jabatan struktural eselon I, jabatan fungsional jenjang utama, kecuali sekda provinsi.
Penetapan pemberhentian sementara bagi PNSP di lingkungannya yang menduduki jabatan struktural eselon II ke bawah atau jabatan fungsional setingkat.
Penetapan pemberhentian sementara dari jabatan negeri bagi PNSD provinsi yang menduduki jabatan struktural eselon I kebawah dan jabatan struktural eselon II ke bawah dan jabatan fungsional yang setingkat.
Ɇ 3. Ɇ 1. Penetapan pemberhentian sementara dari jabatan negeri bagi semua PNSD di kabupaten/kota.
Ɇ 3. Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 10.Pemberhentian Sementara Pegawai Negeri Sipil (PNS) Akibat Tindak Pidana 1. Pemberhentian sementara PNS untuk golongan IV/c ke atas. 1. Pemberhentian sementara PNSD untuk golongan IV/c ke bawah.
Pemberhentian sementara PNSD untuk golongan III/d ke bawah.
Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) 1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria pemberhentian PNS atau CPNS.
Penetapan pemberhetian PNS dan PNSD golongan ruang IV/c, IV/d dan IV/e.
Penetapan pemberhentian PNS yang tewas, cacat karena dinas atau mencapai batas usia pensiun gol/ruang IV/c, IV/d dan IV/e.
Penetapan pemberhentian PNSD provinsi gol/ruang IV/b ke bawah dan pemberhentian sebagai calon PNSD provinsi.
Penetapan pemberhentian PNSD kabupaten/kota Gol/ruang IV/a s/d IV/b dan pemberhentian dengan hormat sebagai calon PNSD provinsi yang tidak memenuhi syarat diangkat menjadi PNS.
Ɇ 1. Penetapan pemberhentian PNSD kabupaten/kota gol/ruang III/d ke bawah dan pemberhentian sebagai CPNSD kabupaten/kota.
Ɇ 3. Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Penetapan pemberhentian PNSP gol/ruang IV/b ke bawah. pensiun.
Ɇ 4. Ɇ 12.Pemutakhiran Data Pegawai Negeri Sipil (PNS) 1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria pemutakhiran data PNS.
Penyelenggaraan dan pemiliharaan informasi kepegawaian.
Koordinasi pelaksanaan pemutakhiran data PNS secara nasional.
Pelaksanaan pemutakhiran data PNS di provinsi.
– 3. Koordinasi pelaksanaan pemutakhiran data PNS di kabupaten/kota.
Pelaksanaan pemutakhiran data PNSD di kabupaten/ kota.
Ɇ 3. Ɇ 13.Pengawasan dan Pengendalian 1. Penetapan norma, standar, prosedur dan kriteria pengawasan dan pengendalian kepegawaian.
Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian skala provinsi.
Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian.
Koordinasi pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian.
Melakukan tindakan administratif atas pelanggaran pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian.
Koordinasi dalam pelaksanaan tindakan administratif atas pelanggaran pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian.
Koordinasi pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian di lingkungan kabupaten/ kota.
Ɇ 4. Ɇ 5. Ɇ 2. Ɇ 3. Ɇ 4. Ɇ 5. Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Penetapan sangsi terhadap pelanggaran administrasi kepegawaian di daerah.
Ɇ 6. Ɇ 14.Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Manajemen Pegawai Negeri Sipil (PNS) 1. Penetapan norma, standar, prosedur dan kriteria pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan manajemen PNS.
Penyelenggaraan manajemen PNS meliputi perencaan, pengembangan kualitas sumber daya PNS, administrasi kepegawaian, pengawasan dan pengendalian.
Melakukan perumusan kesejahteraan PNS.
Koordinasi pembinaan dan pengawasan manajemen PNSP dan PNSD skala nasional.
Menyelenggarakan pembinaan dan pengawasan manajemen PNS dilingkungan provinsi.
Koordinasi pembinaan dan pengawasan manajemen PNSD skala provinsi.
Ɇ 4. Ɇ 1. Menyelenggarakan pembinaan dan pengawasan manajemen PNS dilingkungan kabupaten/ kota.
Ɇ 3. Ɇ 4. Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Kebijakan 1. Penetapan kebijakan dan pembinaan SDM persandian nasional.
Penetapan kebijakan dan pembinaan peralatan sandi (palsan) nasional.
Penetapan kebijakan dan pembinaan sistem sandi (sissan) nasional.
Penetapan kebijakan dan pembinaan kelembagaan persandian nasional.
Penyelenggaraan pembinaan SDM persandian skala provinsi.
Penyelenggaraan pembinaan palsan skala provinsi.
Penyelenggaraan pembinaan sissan skala provinsi.
Penyelenggaraan pembinaan kelembagaan persandian skala provinsi.
Penyelenggaraan persandian skala kabupaten/kota.
Penyelenggaraan palsan skala kabupaten/kota.
Penyelenggaraan sissan skala kabupaten/kota.
Penyelenggaraan kelembagaan persandian skala kabupaten/kota.
Persandian 2. Pembinaan SDM 1. Perencanaan kebutuhan SDM persandian nasional.
Rekrutmen SDM persandian nasional.
Perencanaan kebutuhan SDM persandian skala provinsi.
Rekrutmen calon SDM persandian skala provinsi.
Perencanaan kebutuhan SDM persandian skala kabupaten/kota.
Rekrutmen calon SDM persandian skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penyelenggaraan diklat sandi skala nasional.
Pemberian akreditasi lembaga diklat sandi:
Pemberian izin penyelenggaraan lembaga diklat sandi.
Persetujuan program diklat sandi.
Persetujuan SDM lermbaga diklat sandi.
Fasilitasi/persetujuan tenaga pengajar dan widyaiswara sandi.
Pemberian/pencabutan sertifikasi profesi/tenaga ahli:
Penentuan standar jabatan persandian.
Penyelenggaraan diklat sandi skala provinsi.
Usulan akreditasi lembaga diklat sandi:
Usulan izin penyelenggaraan lembaga diklat sandi.
Usulan program diklat sandi.
Usulan SDM lembaga diklat sandi.
Usulan persetujuan tenaga pengajar dan widyaiswara sandi.
Usulan sertifikasi profesi/tenaga ahli:
— 3. — 4. — a. — b. — c. — d. — 5. — a. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Penentuan dan penilaian jabatan fungsional (jabfung) sandiman/ Operator Transmisi Sandi (OTS).
Pemberian tanda penghargaan bidang persandian.
Pembinaan dan pengawasan bagi SDM purna tugas.
Pembentukan Tim Penilai Instansi untuk melakukan penilaian terhadap pejabat fungsional sandiman/OTS skala provinsi.
Usulan pemberian tanda penghargaan bidang persandian.
Pembinaan dan pengawasan bagi SDM purna tugas.
Ɇ 6. Usulan pemberian tanda penghargaan bidang persandian.
— 3. Pembinaan Palsan 1. Penentuan standarisasi dan perencanaan kebutuhan palsan skala nasional.
Pengkajian dan uji coba laboratorium dan lapangan.
Perencanaan kebutuhan palsan skala provinsi.
— 1. Perencanaan kebutuhan palsan skala kabupaten/kota.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penyelenggaraan pengadaan palsan melalui karya mandiri dan mitra skala nasional.
Pemeliharaan palsan tingkat II s/d tingkat III.
Penentuan penghapusan palsan skala nasional.
Penyelenggaraan pengadaan palsan melalui karya mandiri dan mitra skala provinsi.
Pemeliharaan palsan tingkat I.
Penghapusan palsan skala provinsi.
Penyelenggaraan pengadaan palsan melalui karya mandiri dan mitra skala kabupaten/kota.
Pemeliharaan palsan tingkat O.
Penghapusan palsan skala kabupaten/kota.
Pembinaan Sissan 1. Penentuan standarisasi dan perencanaan kebutuhan sissan skala nasional.
Penentuan prototype dan uji coba sissan.
Pengadaan sissan untuk jaring persandian nasional.
Penentuan prosedur tetap (protap) penyimpanan sissan skala nasional.
Perencanaan kebutuhan sissan skala provinsi.
— 3. Pengadaan sissan untuk jaring persandian skala provinsi.
Penyelenggaraan protap penyimpanan sissan skala provinsi.
Perencanaan kebutuhan sissan skala kabupaten/kota.
Ɇ 3.Pengadaan sissan untuk jaring persandian skala kabupaten/kota.
Penyelenggaraan protap penyimpanan sissan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Penentuan pemberlakuan/penggantian Sissan jaring persandian skala nasional.
Penentuan penghapusan palsan tingkat pusat.
Penentuan pemberlakuan/penggantian sissan jaring persandian skala provinsi.
Penyiapan palsan tingkat provinsi dan kabupaten/ kota untuk penghapusan.
Penentuan pemberlakuan/penggantian sissan jaring persandian skala kabupaten/kota.
— 5. Pembinaan Kelembagaan 1. Penetapan kebijakan kelembagaan dan pola hubungan komunikasi persandian antara instansi pemerintah.
Penetapan kebijakan pola hubungan komunikasi persandian pemerintah dengan daerah.
Penetapan kebijakan Jaring Komunikasi Sandi (JKS).
— 2. Penyelenggaraan hubungan komunikasi persandian antara pemerintah provinsi dengan pemerintah dan/atau kabupaten/kota.
— 1. — 2. Penyelenggaraan hubungan komunikasi persandian antara pemerintah provinsi dengan pemerintah dan/atau kabupaten/kota.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Pengawasan dan Pengendalian (Wasdal) 1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria wasdal persandian instansi pemerintah dan daerah.
Pengawasan dan pengendalian operasional persandian nasional dan provinsi.
— 2. Pengawasan operasional persandian bidang tertentu kabupaten/kota di wilayahnya.
— 2. — 7. Pengkajian 1. Pengkajian SDM persandian nasional meliputi palsan, sissan, dan kelembagaan persandian nasional.
— 1. — U. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DAN DESA SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Pemerintahan Desa dan Kelurahan 1. Kebijakan 1. Penetapan kebijakan nasional.
Penetapan pedoman, norma, standar, prosedur dan kriteria penyelenggaraan pemerintahan desa dan kelurahan skala nasional.
Penetapan kebijakan daerah skala provinsi.
Penyelenggaraan pemerintahan desa dan kelurahan skala provinsi.
Penetapan kebijakan daerah skala kabupaten/ kota.
Penyelenggaraan pemerintahan desa dan kelurahan skala kabupaten/kota.
Administrasi Pemerintahan Desa dan Kelurahan 1. Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan administrasi pemerintahan desa dan kelurahan skala nasional.
Pembinaan, pengawasan dan supervisi penyelenggaraan administrasi pemerintahan desa dan kelurahan skala nasional.
Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan administrasi pemerintahan desa dan kelurahan skala provinsi.
Pembinaan, pengawasan dan supervisi penyelenggaraan administrasi pemerintahan desa dan kelurahan skala provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan administrasi pemerintahan desa dan kelurahan skala kabupaten/kota.
Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan administrasi pemerintahan desa dan kelurahan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Monitoring dan evaluasi penyelenggaraan administrasi pemerintahan desa dan kelurahan skala nasional.
Data base penyelenggaraan administrasi pemerintahan desa dan kelurahan skala nasional.
Monitoring dan evaluasi serta pelaporan penyelenggaraan administrasi pemerintahan desa dan kelurahan skala provinsi.
Data base penyelenggaraan administrasi pemerintahan desa dan kelurahan skala provinsi.
Monitoring dan evaluasi serta pelaporan penyelenggaraan administrasi pemerintahan desa dan kelurahan skala kabupaten/kota.
Data base penyelenggaraan administrasi pemerintahan desa dan kelurahan skala kabupaten/kota.
Pengembangan Desa dan Kelurahan 1. Penetapan pedoman pembentukan, pemekaran, penggabungan dan penghapusan serta batas desa dan kelurahan skala nasional.
Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan pembentukan, pemekaran, penggabungan dan penghapusan desa dan kelurahan skala nasional.
Fasilitasi pembentukan, pemekaran, penggabungan dan penghapusan, batas desa dan kelurahan skala provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan pembentukan, pemekaran, penggabungan dan penghapusan desa dan kelurahan skala provinsi.
Penyelenggaraan pembentukan, pemekaran, penggabungan dan penghapusan, batas desa dan kelurahan skala kabupaten/kota.
Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan pembentukan, pemekaran, penggabungan dan penghapusan desa dan kelurahan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Pembinaan, pengawasan dan supervisi penyelenggaraan pembentukan, pemekaran, penggabungan dan penghapusan desa dan kelurahan skala nasional.
Monitoring dan evaluasi penyelenggaraan pembentukan, pemekaran, penggabungan dan penghapusan desa dan kelurahan skala nasional.
Pembinaan, pengawasan dan supervisi penyelenggaraan pembentukan, pemekaran, penggabungan dan penghapusan desa dan kelurahan skala provinsi.
Monitoring dan evaluasi serta penyelenggaraan pembentukan, pemekaran, penggabungan dan penghapusan desa dan kelurahan skala provinsi.
Pembinaan, pengawasan dan supervisi penyelenggaraan pembentukan, pemekaran, penggabungan dan penghapusan desa dan kelurahan skala kabupaten/kota.
Monitoring dan evaluasi serta pelaporan penyelenggaraan pembentukan, pemekaran, penggabungan dan penghapusan desa dan kelurahan skala kabupaten/kota.
Badan Permusyawaratan Desa (BPD) 1.a.Penetapan pedoman peran BPD dan kelurahan dalam penyelenggaraan pemerintahan desa.
a.Penetapan pedoman peran BPD dan kelurahan dalam penyelenggaraan pemerintahan desa skala provinsi.
a.Penetapan pedoman peran BPD dan kelurahan dalam penyelenggaraan pemerintahan desa skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b.— 2. Pembinaan, pengawasan, supervisi dan fasilitasi BPD skala nasional.
Monitoring dan evaluasi peran BPD skala nasional.
— 2. Pembinaan, pengawasan, supervisi dan fasilitasi BPD skala provinsi.
Monitoring dan evaluasi serta pelaporan peran BPD skala provinsi.
Penyelenggaraan bimbingan, konsultasi, pelatihan dan pendidikan bagi anggota BPD.
Pembinaan, pengawasan, supervisi dan fasilitasi BPD skala kabupaten/ kota.
Monitoring dan evaluasi serta pelaporan peran BPD skala kabupaten/kota.
Keuangan dan Aset Desa 1. Penetapan pedoman pengelolaan keuangan dan aset desa.
Koordinasi dan fasilitasi pengelolaan keuangan dan aset desa skala nasional.
Penetapan pedoman pengelolaan keuangan dan aset desa skala provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi pengelolaan keuangan dan aset desa skala provinsi.
Penetapan pedoman pengelolaan keuangan dan aset desa skala kabupaten/kota.
Koordinasi dan fasilitasi pengelolaan keuangan dan aset desa skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Pembinaan, pengawasan dan supervisi pengelolaan keuangan dan aset desa skala nasional.
Monitoring dan evaluasi pengelolaan keuangan dan aset desa skala nasional.
Pembinaan, pengawasan dan supervisi pengelolaan keuangan dan aset desa skala provinsi.
Monitoring dan evaluasi serta pelaporan pengelolaan keuangan dan aset desa skala provinsi.
Pembinaan, pengawasan dan supervisi pengelolaan keuangan dan aset desa skala kabupaten/kota.
Monitoring dan evaluasi serta pelaporan pengelolaan keuangan dan aset desa skala kabupaten/kota.
Pengembangan Kapasitas Pemerintah Desa dan Kelurahan 1.a.Penetapan pedoman pengembangan kapasitas pemerintah desa dan kelurahan skala nasional.
— 1.a.Penetapan pedoman pengembangan kapasitas pemerintah desa dan kelurahan skala provinsi.
— 1.a.Penetapan pedoman pengembangan kapasitas pemerintah desa dan kelurahan skala kabupaten/kota.
Penyelenggaraan bimbingan, konsultasi, pelatihan dan pendidikan bagi pemerintah desa dan kelurahan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Koordinasi dan fasilitasi pengembangan kapasitas pemerintah desa dan kelurahan skala nasional.
Monitoring dan evaluasi pengembangan kapasitas pemerintah desa dan kelurahan skala nasional.
Koordinasi dan fasilitasi pengembangan kapasitas pemerintahan desa dan kelurahan skala provinsi.
Monitoring dan evaluasi serta pelaporan pengembangan kapasitas pemerintah desa dan kelurahan skala provinsi.
Pembinaan, pengawasan, supervisi dan fasilitasi pengembangan kapasitas pemerintah desa dan kelurahan skala kabupaten/kota.
Monitoring dan evaluasi serta pelaporan pengembangan kapasitas pemerintah desa dan kelurahan skala kabupaten/kota.
Penguatan Kelembagaan dan Pengembangan Partisipasi Masyarakat 1. Kebijakan 1. Penetapan kebijakan skala nasional.
Penetapan pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang penguatan kelembagaan dan pengembangan partisipasi masyarakat skala nasional.
Penetapan kebijakan daerah skala provinsi.
Penetapan pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang penguatan kelembagaan dan pengembangan partisipasi masyarakat skala provinsi.
Penetapan kebijakan daerah skala kabupaten/ kota.
Penetapan pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang penguatan kelembagaan dan pengembangan partisipasi masyarakat skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pemantapan Data Profil Desa dan Profil Kelurahan 1. Koordinasi dan fasilitasi pemantapan data profil desa dan profil kelurahan skala nasional.
Pembinaan dan supervisi pemantapan data profil desa dan profil kelurahan skala nasional.
Monitoring dan evaluasi penyelenggaraan pemantapan data profil desa dan profil kelurahan skala nasional.
Koordinasi dan fasilitasi pengolahan data profil desa dan profil kelurahan skala provinsi.
Pembinaan dan supervisi pengolahan data profil desa dan profil kelurahan skala provinsi.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan pengolahan data profil desa dan profil kelurahan skala provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi pengolahan data profil desa dan profil kelurahan skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan pegolahan data profil desa dan profil kelurahan skala kabupaten/kota.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan pengolahan data profil desa dan profil kelurahan skala kabupaten/kota.
Penguatan Kelembagaan Masyarakat 1. Koordinasi dan fasilitasi penguatan kelembagaan masyarakat skala nasional.
Pembinaan dan supervisi penguatan kelembagaan masyarakat skala nasional.
Koordinasi dan fasilitasi penguatan kelembagaan masyarakat skala provinsi.
Pembinaan dan supervisi penguatan kelembagaan masyarakat skala provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi penguatan kelembagaan masyarakat skala kabupaten/kota.
Penyelenggaraan penguatan kelembagaan masyarakat skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Monitoring dan evaluasi penguatan kelembagaan masyarakat skala nasional.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan penguatan kelembagaan masyarakat skala provinsi.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan penguatan kelembagaan masyarakat skala kabupaten/kota.
Pelatihan Masyarakat 1. Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan pelatihan masyarakat skala nasional.
Pembinaan dan supervisi penyelenggaraan pelatihan masyarakat skala nasional.
Monitoring dan evaluasi penyelenggaraan pelatihan masyarakat skala nasional.
Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan pelatihan masyarakat skala provinsi.
Pembinaan dan supervisi penyelenggaraan pelatihan masyarakat skala provinsi.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pelatihan masyarakat skala nasional.
Koordinasi dan fasilitasi pelaksanaan pelatihan masyarakat skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan pelatihan masyarakat skala kabupaten/kota.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan pelatihan masyarakat skala kabupaten/kota.
Pengembangan Manajemen Pembangunan Partisipatif 1. Koordinasi dan fasilitasi pengembangan manajemen pembangunan partisipatif masyarakat skala nasional.
Koordinasi dan fasilitasi pengembangan manajemen pembangunan partisipatif masyarakat skala provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi pengembangan manajemen pembangunan partisipatif masyarakat skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pembinaan dan supervisi pemantapan manajemen pembangunan partisipatif masyarakat skala nasional.
Monitoring dan evaluasi pemantapan manajemen pembangunan partisipatif masyarakat skala nasional.
Pembinaan dan supervisi pemantapan manajemen pembangunan partisipatif masyarakat skala provinsi.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan pemantapan manajemen pembangunan partisipatif masyarakat skala provinsi.
Pelaksanaan pengembangan manajemen pembangunan partisipatif masyarakat skala kabupaten/kota.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan pemantapan manajemen pembangunan partisipatif masyarakat skala kabupaten/kota.
Peningkatan Peran Masyarakat dalam Penataan dan Pendayagunaan Ruang Kawasan Perdesaan 1. Koordinasi dan fasilitasi peningkatan peran masyarakat dalam penataan dan pendayagunaan ruang kawasan perdesaan skala nasional.
Pembinaan dan supervisi peningkatan peran masyarakat dalam penataan dan pendayagunaan ruang kawasan perdesaan skala nasional.
Koordinasi dan fasilitasi peningkatan peran masyarakat dalam penataan dan pendayagunaan ruang kawasan perdesaan skala provinsi.
Pembinaan dan supervisi peningkatan peran masyarakat dalam penataan dan pendayagunaan ruang kawasan perdesaan skala provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi peningkatan peran masyarakat dalam penataan dan pendayagunaan ruang kawasan perdesaan skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan peningkatan peran masyarakat dalam penataan dan pendayagunaan ruang kawasan perdesaan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Monitoring dan evaluasi peningkatan peran masyarakat dalam penataan dan pendayagunaan ruang kawasan perdesaan skala nasional.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan peningkatan peran masyarakat dalam penataan dan pendayagunaan ruang kawasan perdesaan skala provinsi.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan peningkatan peran masyarakat dalam penataan dan pendayagunaan ruang kawasan perdesaan skala kabupaten/kota.
Pemberdayaan Adat dan Pengembangan Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat 1. Kebijakan 1. Penetapan kebijakan nasional.
Penetapan pedoman, norma, standar, kriteria dan prosedur di bidang pemberdayaan adat dan pengembangan kehidupan sosial budaya masyarakat skala nasional.
Penetapan kebijakan daerah skala provinsi.
Penetapan pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang pemberdayaan adat dan pengembangan kehidupan sosial budaya masyarakat skala provinsi.
Penetapan kebijakan daerah skala kabupaten/ kota.
Penetapan pedoman, norma, standar, kriteria dan prosedur di bidang pemberdayaan adat dan pengembangan kehidupan sosial budaya masyarakat skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pemberdayaan Adat Istiadat dan Budaya Nusantara 1. Koordinasi dan fasilitasi pemberdayaan adat istiadat dan budaya nusantara skala nasional.
Pembinaan dan supervisi pemberdayaan adat istiadat dan budaya nusantara skala nasional.
Monitoring dan evaluasi pemberdayaan adat istiadat dan budaya nusantara skala nasional.
Koordinasi dan fasilitasi pemberdayaan lembaga adat dan budaya skala provinsi.
Pembinaan dan supervisi pemberdayaan lembaga adat dan budaya skala provinsi.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan pemberdayaan lembaga adat dan budaya skala provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi pemberdayaan lembaga adat dan budaya skala kabupaten/kota.
Pembinaan dan supervisi pemberdayaan lembaga adat dan budaya skala kabupaten/kota.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan pemberdayaan lembaga adat dan budaya skala kabupaten/kota.
Pemberdayaan Perempuan 1. Koordinasi dan fasilitasi pemberdayaan perempuan skala nasional.
Pembinaan dan supervisi pemberdayaan perempuan skala nasional.
Koordinasi dan fasilitasi pelaksanaan pemberdayaan perempuan skala provinsi.
Pembinaan dan supervisi pelaksanaan pemberdayaan perempuan skala provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi pelaksanaan pemberdayaan perempuan skala kabupaten/kota.
Pembinaan dan supervisi pelaksanaan pemberdayaan perempuan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Monitoring dan evaluasi pemberdayaan perempuan skala nasional.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan pemberdayaan perempuan skala provinsi.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan pemberdayaan perempuan skala kabupaten/kota.
Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK) 1. Koordinasi dan fasilitasi PKK skala nasional.
Pembinaan dan supervisi PKK skala nasional.
Monitoring dan evaluasi PKK skala nasional.
Koordinasi dan fasilitasi pelaksanaan PKK skala provinsi.
Pembinaan dan supervisi pelaksanaan PKK skala provinsi.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan PKK skala provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi pelaksanaan gerakan PKK skala kabupaten/kota.
Pembinaan dan supervisi pelaksanaan gerakan PKK skala kabupaten/kota.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan gerakan PKK skala kabupaten/kota.
Peningkatan Kesejahteraan Sosial 1. Koordinasi dan fasilitasi peningkatan kesejahteraan sosial skala nasional.
Pembinaan dan supervisi peningkatan kesejahteraan sosial skala nasional.
Koordinasi dan fasilitasi peningkatan kesejahteraan sosial skala provinsi.
Pembinaan dan supervisi peningkatan kesejahteraan sosial skala provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi pelaksanaan peningkatan kesejahteraan sosial skala kabupaten/kota.
Pembinaan dan supervisi pelaksanaan peningkatan kesejahteraan sosial skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Monitoring dan evaluasi peningkatan kesejahteraan sosial skala nasional.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan peningkatan kesejahteraan sosial skala provinsi.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan peningkatan kesejahteraan sosial skala kabupaten/ kota.
Pengembangan dan Perlindungan Tenaga Kerja 1. Koordinasi dan fasilitasi pengembangan dan perlindungan tenaga kerja skala nasional.
Pembinaan dan supervisi pengembangan dan perlindungan tenaga kerja skala nasional.
Monitoring dan evaluasi pengembangan dan perlindungan tenaga kerja skala nasional.
Koordinasi dan fasilitasi pengembangan dan perlindungan tenaga kerja skala provinsi.
Pembinaan dan supervisi pengembangan dan perlindungan tenaga kerja skala provinsi.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan pengembangan dan perlindungan tenaga kerja skala provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi pelaksanaan perlindungan tenaga kerja skala kabupaten/kota.
Pembinaan dan supervisi pelaksanaan perlindungan tenaga kerja skala kabupaten/kota.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan perlindungan tenaga kerja skala kabupaten/kota.
Pemberdayaan Usaha Ekonomi Masyarakat 1. Kebijakan 1. Penetapan kebijakan nasional. 1. Penetapan kebijakan daerah skala provinsi. 1. Penetapan kebijakan daerah skala kabupaten/ kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Penetapan pedoman, norma, stándar, prosedur dan kriteria pemberdayaan usaha ekonomi masyarakat skala nasional.
Penyelenggaraan pemberdayaan usaha ekonomi masyarakat skala provinsi.
Penyelenggaraan pemberdayaan usaha ekonomi masyarakat skala kabupaten/kota.
Pemberdayaan Ekonomi Penduduk Miskin 1. Koordinasi dan fasilitasi pemberdayaan ekonomi penduduk miskin skala nasional.
Pembinaan dan supervisi pemberdayaan ekonomi penduduk miskin skala nasional.
Monitoring dan evaluasi pemberdayaan ekonomi penduduk miskin skala nasional.
Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan pemberdayaan ekonomi penduduk miskin skala provinsi.
Pembinaan dan supervisi penyelenggaraan pemberdayaan ekonomi penduduk miskin skala provinsi.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pemberdayaan ekonomi penduduk miskin skala provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan pemberdayaan ekonomi penduduk miskin skala kabupaten/kota.
Penyelenggaraan pemberdayaan ekonomi penduduk miskin skala kabupaten/kota.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pemberdayaan ekonomi penduduk miskin skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Pengembangan Usaha Ekonomi Keluarga dan Kelompok Masyarakat 1. Koordinasi dan fasilitasi pengembangan usaha ekonomi keluarga dan kelompok masyarakat skala nasional.
Pembinaan dan supervisi pengembangan usaha ekonomi keluarga dan kelompok masyarakat skala nasional.
Monitoring dan evaluasi pengembangan usaha ekonomi keluarga dan kelompok masyarakat skala nasional.
Koordinasi dan fasilitasi pengembangan usaha ekonomi keluarga dan kelompok masyarakat skala provinsi.
Pembinaan dan supervisi pengembangan usaha ekonomi keluarga dan kelompok masyarakat skala provinsi.
Monitoring evaluasi dan pelaporan pengembangan usaha ekonomi keluarga dan kelompok masyarakat skala provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan pengembangan usaha ekonomi keluarga dan kelompok masyarakat skala kabupaten/kota.
Penyelenggaraan pengembangan usaha ekonomi keluarga dan kelompok masyarakat skala kabupaten/kota.
Monitoring evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pengembangan usaha ekonomi keluarga dan kelompok masyarakat skala kabupaten/ kota.
Pengembangan Lembaga Keuangan Mikro Perdesaan 1. Koordinasi dan fasilitasi pengembangan lembaga keuangan mikro perdesaan skala nasional.
Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan pengembangan lembaga keuangan mikro perdesaan skala provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan pengembangan lembaga keuangan mikro perdesaan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pembinaan dan supervisi pengembangan lembaga keuangan mikro perdesaan skala nasional.
Monitoring dan evaluasi pengembangan lembaga keuangan mikro perdesaan skala nasional.
Pembinaan dan supervisi penyelenggaraan pengembangan lembaga keuangan mikro perdesaan skala provinsi.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pengembangan lembaga keuangan mikro perdesaan skala provinsi.
Penyelenggaraan pengembangan lembaga keuangan mikro perdesaan skala kabupaten/kota.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pengembangan lembaga keuangan mikro perdesaan skala kabupaten/kota.
Pengembangan Produksi dan Pemasaran Hasil Usaha Masyarakat 1. Koordinasi dan fasilitasi pengembangan produksi dan pemasaran hasil usaha masyarakat skala nasional.
Pembinaan dan supervisi pengembangan produksi dan pemasaran hasil usaha masyarakat skala nasional.
Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan pengembangan produksi dan pemasaran hasil usaha masyarakat skala provinsi.
Pembinaan dan supervisi penyelenggaraan pengembangan produksi dan pemasaran hasil usaha masyarakat skala provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan pengembangan produksi dan pemasaran hasil usaha masyarakat skala kabupaten/kota.
Penyelenggaraan pengembangan produksi dan pemasaran hasil usaha masyarakat skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Monitoring dan evaluasi pengembangan produksi dan pemasaran hasil usaha masyarakat skala nasional.
Monitoring evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pengembangan produksi dan pemasaran hasil usaha masyarakat skala provinsi.
Monitoring evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pengembangan produksi dan pemasaran hasil usaha masyarakat skala kabupaten/kota.
Pengembangan Pertanian Pangan dan Peningkatan Ketahanan Pangan Masyarakat 1. Koordinasi dan fasilitasi pengembangan pertanian pangan dan peningkatan ketahanan pangan masyarakat skala nasional.
Pembinaan dan supervisi pengembangan pertanian pangan dan peningkatan ketahanan pangan masyarakat skala nasional.
Koordinasi dan fasilitasi pengembangan pertanian pangan dan peningkatan ketahanan pangan masyarakat skala provinsi.
Pembinaan dan supervisi pengembangan pertanian pangan dan peningkatan ketahanan pangan masyarakat skala provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan pengembangan pertanian pangan dan peningkatan ketahanan pangan masyarakat skala kabupaten/kota.
Penyelenggaraan pengembangan pertanian pangan dan peningkatan ketahanan pangan masyarakat skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Monitoring dan evaluasi pengembangan pertanian pangan dan peningkatan ketahanan pangan masyarakat skala nasional.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan pengembangan pertanian pangan dan peningkatan ketahanan pangan masyarakat skala provinsi.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pengembangan pertanian pangan dan peningkatan ketahanan pangan masyarakat skala kabupaten/kota.
Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Teknologi Tepat Guna 1. Kebijakan 1. Penetapan kebijakan nasional.
Penetapan pedoman, norma, standar, prosedur dan kriteria penyelenggaraan pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam dan teknologi tepat guna skala nasional.
Penetapan kebijakan daerah skala provinsi.
Penyelenggaraan pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam dan teknologi tepat guna skala provinsi.
Penetapan kebijakan daerah skala kabupaten/ kota.
Penyelenggaraan pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam dan teknologi tepat guna skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Fasilitasi Konservasi dan Rehabilitasi Lingkungan 1. Koordinasi dan fasilitasi konservasi dan rehabilitasi lingkungan skala nasional.
Pembinaan, pengawasan dan supervisi konservasi dan rehabilitasi lingkungan skala nasional.
Monitoring dan evaluasi penyelengaraan konservasi dan rehabilitasi lingkungan skala nasional.
Koordinasi dan fasilitasi konservasi dan rehabilitasi lingkungan skala provinsi.
Pembinaan, pengawasan dan supervisi konservasi dan rehabilitasi lingkungan skala provinsi.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan penyelengaraan konservasi dan rehabilitasi lingkungan skala provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi pelaksanaan konservasi dan rehabilitasi lingkungan skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan fasilitasi konservasi dan rehabilitasi lingkungan skala kabupaten/kota.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan fasilitasi konservasi dan rehabilitasi lingkungan lingkup skala kabupaten/ kota.
Fasilitasi Pemanfataan Lahan dan Pesisir Pedesaan 1. Koordinasi dan fasilitasi terhadap fasilitasi pemanfataan lahan dan pesisir pedesaan skala nasional.
Koordinasi dan fasilitasi pemanfataan lahan dan pesisir pedesaan skala provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi pelaksanaan pemanfaatan lahan dan pesisir pedesaan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pembinaan, pengawasan dan supervisi peraturan kebijakan nasional dalam fasilitasi pemanfataan lahan dan pesisir pedesaan skala nasional.
Monitoring dan evaluasi penyelengaraan fasilitasi pemanfataan lahan dan pesisir pedesaan skala nasional.
Pembinaan, pengawasan dan supervisi pelaksanaan pemanfaatan lahan dan pesisir pedesaan skala provinsi.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan penyelengaraan pemanfaatan lahan dan peisisr di pedesaan skala provinsi.
Pelaksanaan pemanfaatan lahan dan pesisir perdesaan skala kabupaten/kota.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan penyelengaraan pemanfaatan lahan dan pesisir pedesaan skala kabupaten/kota.
Fasilitasi Prasarana dan Sarana Pedesaan 1. Koordinasi dan fasilitasi prasarana dan sarana pedesaan serta pemeliharaan air bersih dan penyehatan lingkungan skala nasional.
Koordinasi dan fasilitasi pemeliharaan prasarana dan sarana pedesaan serta pemeliharaan air bersih dan penyehatan lingkungan skala provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi pemeliharaan prasarana dan sarana pedesaan serta pemeliharaan air bersih dan penyehatan lingkungan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pembinaan, pengawasan dan supervisi fasilitasi pemeliharaan prasarana dan sarana pedesaan serta pemeliharaan air bersih dan penyehatan lingkungan skala nasional.
Monitoring dan evaluasi fasilitasi pemeliharaan prasarana dan sarana pedesaan serta pemeliharaan air bersih dan penyehatan lingkungan skala nasional.
Pembinaan, pengawasan dan supervisi pemeliharaan prasarana dan sarana pedesaan serta pemeliharaan air bersih dan penyehatan lingkungan skala provinsi.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan penyelengaraan pemeliharaan prasarana dan sarana pedesaan serta pemeliharaan air bersih dan penyehatan lingkungan skala provinsi.
Pembinaan, pengawasan dan supervisi pemeliharaan prasarana dan sarana pedesaan serta pemeliharaan air bersih dan penyehatan lingkungan skala kabupaten/kota.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan penyelengaraan fasilitasi pemeliharaan prasarana dan sarana pedesaan serta pemeliharaan air bersih dan penyehatan lingkungan skala kabupaten/kota.
Fasilitasi Pemetaan Kebutuhan dan Pengkajian Teknologi Tepat Guna 1. Koordinasi dan fasilitasi pemetaan kebutuhan teknologi tepat guna dan pengkajian teknologi tepat guna skala nasional.
Koordinasi dan fasilitasi pemetaan kebutuhan teknologi tepat guna dan pengkajian teknologi tepat guna skala provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi kebutuhan teknologi teknologi tepat guna skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pembinaan, pengawasan dan supervisi kebutuhan teknologi tepat guna skala nasional.
Monitoring dan evaluasi kebutuhan teknologi tepat guna skala nasional.
Pembinaan dan supervisi kebutuhan teknologi tepat guna skala provinsi.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan kebutuhan teknologi tepat guna skala provinsi.
Pembinaan dan supervisi pemanfaatan teknologi tepat guna skala kabupaten/kota.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan pemanfaatan teknologi tepat guna skala kabupaten/kota.
Pemasyarakatan dan Kerjasama Teknologi Pedesaan 1. Koordinasi dan fasilitasi pemasyarakatan dan kerjasama teknologi pedesaan skala nasional.
Pembinaan, pengawasan dan supervisi pemasyarakatan dan kerjasama teknologi pedesaan skala nasional.
Monitoring dan evaluasi pemasyarakatan dan kerjasama teknologi pedesaan skala nasional.
Koordinasi dan fasilitasi pemasyarakatan dan kerjasama teknologi pedesaan skala provinsi.
Pembinaan, pengawasan dan supervisi pemasyarakatan dan kerjasama teknologi pedesaan skala provinsi.
Monitoring evaluasi dan pelaporan pemasyarakatan dan kerjasama teknologi pedesaan skala provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi pemasyarakatan dan kerjasama teknologi pedesaan skala kabupaten/kota.
Penyelenggaraan pemasyarakatan dan kerjasama teknologi pedesaan skala kabupaten/kota.
Monitoring evaluasi dan pelaporan pemasyarakatan dan kerjasama teknologi pedesaan skala kabupaten/kota. V. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG STATISTIK SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAH DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Statistik Umum 1. Kebijakan 2. Pengawasan, Monitoring dan Evaluasi 3. Fasilitasi dan pembinaan 1. Penetapan pedoman sistem dan prosedur, norma, konsep, definisi, standarisasi, dan ukuran– ukuran.
Pelaksanaan pengawasan, monitoring dan evaluasi penyelenggaraan statistik daerah.
Pelaksanaan fasilitasi dan pembinaan penyelenggaraan statistik daerah.
Penyelenggaraan kerjasama antar lembaga untuk mengembangkan statistik skala provinsi.
Pelaksanaan pengawasan, monitoring dan evaluasi penyelenggaraan statistik skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan fasilitasi dan pembinaan penyelenggaraan statistik skala kabupaten/kota.
Penyelenggaraan kerjasama antar lembaga untuk mengembangkan statistik skala kabupaten/kota.
Ɇ 1. Ɇ 2. Statistik Dasar 1. Statistik dasar meliputi:
Sensus 1. Penyelenggaraan statistik dasar meliputi:
Sensus penduduk (akhiran angka nol).
Pemberian dukungan penyelenggaraan statistik dasar skala provinsi:
Ɇ 1. Pemberian dukungan penyelenggaraan statistik dasar skala kabupaten/kota:
Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAH DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Survei Antar Sensus b. Sensus pertanian (akhiran angka tiga).
Sensus ekonomi (akhiran angka enam).
Penyelenggaraan survei antar sensus:
Survei penduduk antar sensus (akhiran angka lima).
Survei pertanian antar sensus (akhiran angka delapan).
Survei ekonomi antar sensus (akhiran angka satu).
Ɇ c. Ɇ 1. Pemberian dukungan penyelenggaraan survei antar sensus skala provinsi:
Ɇ b. Ɇ c. Ɇ b. Ɇ c. Ɇ 1. Pemberian dukungan penyelenggaraan survei antar sensus skala kabupaten/ kota:
Ɇ b. Ɇ c. Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAH DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c. Survei Berskala Nasional d. Survei Sosial dan Ekonomi 2. Statistik Lintas Sektor Berskala Nasional 1. Penyelenggaraan survei berskala nasional:
Survei-survei bidang ekonomi.
Survei-survei bidang kesejahteraan rakyat.
Penyelenggaraan survei sosial dan ekonomi:
Survei-survei sosial dan ekonomi lain untuk memperoleh indikator- indikator sosial dan ekonomi.
Penyelenggaraan statistik lintas sektor berskala nasional.
Pemberian dukungan survei berskala nasional di tingkat provinsi di bidang ekonomi dan kesejahteraan rakyat:
Ɇ b. Ɇ 1. Pemberian dukungan survei sosial dan ekonomi:
— 1. — 1. Pemberian dukungan survei berskala nasional di tingkat kabupaten/kota di bidang ekonomi dan kesejahteraan rakyat:
Ɇ b. Ɇ 1. Pemberian dukungan survei sosial dan ekonomi:
— 1. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAH DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Statistik Sektoral 1. Koordinasi Statistik Antar Sektoral 1. Koordinasi statistik antar sektoral.
Pelaksanaan fasilitasi dan pembinaan penyelenggaraan statistik sektoral, provinsi dan kabupaten/kota.
Penyelenggaraan statistik sektoral skala provinsi.
— 1. Penyelenggaraan statistik sektoral skala kabupaten/ kota.
— 4. Statistik Khusus 1. Pengembangan Jejaring Statistik Khusus 1. Pengembangan jejaring statistik khusus. 1. Pengembangan jejaring statistik khusus skala provinsi. 1. Pengembangan jejaring statistik khusus skala kabupaten/kota. W. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KEARSIPAN SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Kearsipan 1. Kebijakan 1. Penetapan norma, standar dan pedoman yang berisi kebijakan kearsipan secara nasional, meliputi :
Penetapan norma, standar dan pedoman penyelenggaraan kearsipan di lingkungan provinsi berdasarkan kebijakan kearsipan nasional meliputi :
Penetapan norma, standar dan pedoman penyelenggaraan kearsipan di lingkungan kabupaten/kota berdasarkan kebijakan kearsipan nasional, meliputi :
Penetapan norma, standar dan pedoman yang berisi kebijakan penyelenggaraan kearsipan dinamis secara nasional.
Penetapan peraturan dan kebijakan penyelenggaraan arsip dinamis di lingkungan provinsi sesuai dengan kebijakan nasional.
Penetapan peraturan dan kebijakan penyelenggaraan kearsipan dinamis di lingkungan kabupaten/kota sesuai dengan kebijakan nasional.
Penetapan norma, standar dan pedoman yang berisi kebijakan penyelenggaraan kearsipan secara statis.
Penetapan peraturan dan kebijakan penyelenggaraan kearsipan statis di lingkungan provinsi sesuai dengan kebijakan nasional.
Penetapan peraturan dan kebijakan penyelenggaraan kearsipan statis di lingkungan kabupaten/kota sesuai dengan kebijakan nasional. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c. Penetapan kebijakan dan pengembangan sistem kearsipan secara nasional.
Penetapan peraturan dan kebijakan penyelenggaraan sistem kearsipan di lingkungan provinsi sesuai dengan kebijakan nasional.
Penetapan peraturan dan kebijakan penyelenggaraan sistem kearsipan di lingkungan kabupaten/kota sesuai dengan kebijakan nasional.
Penetapan kebijakan dan pengembangan jaringan kearsipan secara nasional.
Penetapan peraturan dan kebijakan penyelenggaraan jaringan kearsipan di lingkungan provinsi sesuai dengan kebijakan nasional.
Penetapan peraturan dan kebijakan penyelenggaraan jaringan kearsipan di lingkungan kabupaten/kota sesuai dengan kebijakan nasional.
Penetapan kebijakan dan pengembangan sumber daya manusia kearsipan secara nasional.
Penetapan peraturan dan kebijakan pengembangan sumber daya manusia kearsipan di lingkungan provinsi sesuai dengan kebijakan nasional.
Penetapan peraturan dan kebijakan pengembangan sumber daya manusia kearsipan di lingkungan kabupaten/ kota sesuai dengan kebijakan nasional.
Penetapan kebijakan pembentukan dan pengembangan organisasi kearsipan secara nasional.
Penetapan peraturan dan kebijakan pengembangan organisasi kearsipan di lingkungan provinsi sesuai dengan kebijakan nasional.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA g. Penetapan kebijakan di bidang sarana dan prasarana kearsipan secara nasional.
Penetapan peraturan dan kebijakan penggunaan sarana dan prasarana kearsipan di lingkungan provinsi sesuai dengan kebijakan nasional.
Penetapan peraturan dan kebijakan penggunaan sarana dan prasarana kearsipan di lingkungan kabupaten/ kota sesuai dengan kebijakan nasional.
Pembinaan 1. Pembinaan kearsipan terhadap lembaga negara dan badan pemerintahan tingkat pusat, lembaga vertikal, provinsi dan kabupaten/ kota.
Pembinaan kearsipan terhadap perangkat daerah provinsi, badan usaha milik daerah provinsi dan kabupaten/kota.
Pembinaan kearsipan terhadap perangkat daerah kabupaten/kota, badan usaha milik daerah kabupaten/kota, kecamatan dan desa/kelurahan.
Penyelamatan, Pelestarian dan Pengamanan 1. Pemberian persetujuan jadwal retensi arsip. 1. Pemberian persetujuan jadwal retensi arsip kabupaten/kota terhadap arsip yang telah memiliki pedoman retensi.
— 2. Pemberian persetujuan pemusnahan arsip. 2. Pemberian persetujuan pemusnahan arsip kabupaten/kota terhadap arsip yang telah memiliki pedoman retensi.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Pengelolaan arsip statis lembaga negara dan badan pemerintahan tingkat pusat, badan usaha milik negara, perusahaan swasta dan perorangan berskala nasional.
Pengelolaan arsip statis perangkat daerah provinsi, lintas daerah kabupaten/kota, badan usaha milik daerah provinsi serta swasta dan perorangan berskala provinsi.
Pengelolaan arsip statis perangkat daerah kabupaten/kota, badan usaha milik daerah kabupaten/kota, perusahaan swasta dan perorangan berskala kabupaten/kota.
Akreditasi dan Sertifikasi 1. Pemberian akreditasi dan sertifikasi kearsipan. 1. — 1. ³ 5. Pengawasan/Supervisi 1. Pengawasan/supervisi terhadap penyelenggaraan kearsipan lembaga negara dan badan pemerintahan tingkat pusat, lembaga vertikal serta provinsi.
Pengawasan/supervisi terhadap penyelenggaraan kearsipan perangkat daerah provinsi dan lembaga kearsipan kabupaten/kota.
Pengawasan/supervisi terhadap penyelenggaraan kearsipan perangkat daerah kabupaten/kota, kecamatan dan desa/kelurahan.
Pengawasan/supervisi terhadap penyelenggaraan pembinaan kearsipan oleh lembaga kearsipan provinsi.
Pengawasan/supervisi terhadap penyelenggaraan pembinaan oleh lembaga kearsipan kabupaten/kota.
— X. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG PERPUSTAKAAN SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Perpustakaan 1. Kebijakan 1. Penetapan norma, standar dan pedoman yang berisi kebijakan perpustakaan secara nasional, meliputi :
Penetapan norma, standar dan pedoman yang berisi kebijakan penyelenggaraan perpustakaan.
Penetapan norma, standar dan pedoman yang berisi kebijakan dan pengembangan sistem perpustakaan secara nasional.
Penetapan norma, standar dan pedoman yang berisi kebijakan provinsi berpedoman kebijakan nasional, meliputi :
Penetapan peraturan dan kebijakan penyelenggaraan perpustakaan di skala provinsi berdasarkan kebijakan nasional.
Ɇ 1. Penetapan norma, standar dan pedoman yang berisi kebijakan kabupaten/kota berpedoman kebijakan provinsi dan nasional, meliputi :
Penetapan peraturan dan kebijakan penyelenggaraan perpustakaan di skala kabupaten/kota berdasarkan kebijakan nasional.
Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c. Penetapan kebijakan dan pengembangan jaringan perpustakaan secara nasional.
Penetapan kebijakan dan pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) perpustakaan secara nasional.
Penetapan kebijakan pembentukan dan pengembangan organisasi perpustakaan secara nasional.
Penetapan kebijakan di bidang sarana dan prasarana perpustakaan secara nasional.
Penetapan peraturan dan kebijakan penyelenggaraan jaringan perpustakaan skala provinsi sesuai kebijakan nasional.
Penetapan peraturan dan kebijakan pengembangan SDM perpustakaan skala provinsi sesuai kebijakan nasional.
Penetapan peraturan dan kebijakan pengembangan organisasi perpustakaan skala provinsi sesuai kebijakan nasional.
Penetapan paraturan dan kebijakan di bidang sarana dan prasarana perpustakaan skala provinsi sesuai kebijakan nasional.
Penetapan peraturan dan kebijakan penyelenggaraan jaringan perpustakaan skala kabupaten/kota sesuai kebijakan nasional.
Penetapan peraturan dan kebijakan pengembangan SDM perpustakaan skala kabupaten/kota sesuai kebijakan nasional.
Penetapan peraturan dan kebijakan pengembangan organisasi perpustakaan skala kabupaten/kota sesuai kebijakan nasional.
Penetapan dan peraturan kebijakan di bidang sarana dan prasarana perpustakaan skala kabupaten/kota sesuai kebijakan nasional. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pembinaan Teknis Perpustakaan 1. Pembinaan teknis semua jenis perpustakaan :
Pengelolaan perpustakaan sesuai standar.
Pengembangan SDM.
Pengembangan sarana dan prasarana sesuai standar.
Kerjasama dan jaringan perpustakaan.
Pengembangan minat baca.
Pembinaan teknis semua jenis perpustakaan di wilayah provinsi :
Pengelolaan perpustakaan sesuai standar.
Pengembangan SDM.
Pengembangan sarana dan prasarana sesuai standar.
Kerjasama dan jaringan perpustakaan.
Pengembangan minat baca.
Pembinaan teknis semua jenis perpustakaan di wilayah kabupaten/kota :
Pengelolaan perpustakaan sesuai standar.
Pengembangan SDM.
Pengembangan sarana dan prasarana sesuai standar.
Kerjasama dan jaringan perpustakaan.
Pengembangan minat baca.
Penyelamatan dan Pelestarian Koleksi Nasional 1. Penetapan kebijakan pelestarian koleksi nasional. 1. Penetapan kebijakan pelestarian koleksi daerah provinsi berdasarkan kebijakan nasional.
Penetapan kebijakan pelestarian koleksi daerah kabupaten/kota berdasarkan kebijakan nasional. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pelestarian Karya Cetak dan Karya Rekam, terkait koleksi nasional.
Koordinasi pelestarian tingkat nasional, regional, dan internasional.
Pelaksanaan Serah-Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam, terkait koleksi daerah provinsi dan kabupaten/kota.
Koordinasi pelestarian tingkat daerah provinsi.
– 3. Koordinasi pelestarian tingkat daerah kabupaten/kota.
Pengembangan Jabatan Fugsional Pustakawan 1. Penetapan kebijakan pengembangan jabatan fungsional pustakawan secara nasional.
Penetapan kebijakan penilaian angka kredit pustakawan.
Penilaian dan penetapan angka kredit pustakawan madya dan pustakawan utama.
Penetapan peraturan dan kebijakan pengembangan jabatan fungsional pustakawan di skala provinsi sesuai kebijakan nasional.
Ɇ 3. Penilaian dan penetapan angka kredit pustakawan pelaksana sampai dengan pustakawan penyelia dan pustakawan pertama sampai dengan pustakawan muda.
Penetapan peraturan dan kebijakan pengembangan jabatan fungsional pustakawan di skala kabupaten/kota sesuai kebijakan nasional.
Ɇ 3. Penilaian dan penetapan angka kredit pustakawan pelaksana sampai dengan pustakawan penyelia dan pustakawan pertama sampai dengan pustakawan muda. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Penetapan standar kompetensi jabatan fungsional pustakawan.
Ɇ 4. Ɇ 5. Akreditasi Perpustakaan dan Sertifikasi Pustakawan 1. Pemberian akreditasi perpustakaan.
Pemberian sertifikasi pustakawan.
Pemberian akreditasi perpustakaan di wilayah provinsi.
Pemberian sertifikasi pustakawan di wilayah provinsi.
Ɇ 2. Ɇ 6. Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) Teknis dan Fungsional Perpustakaan 1. Pengembangan dan penetapan kurikulum dan modul diklat teknis dan fungsional perpustakaan.
Pemberian akreditasi diklat teknis dan fungsional perpustakaan.
Penyelenggaraan diklat teknis dan fungsional perpustakaan.
Penyelenggaraan diklat teknis dan fungsional perpustakaan.
Ɇ 3. Ɇ 1. Penyelenggaraan diklat teknis dan fungsional perpustakaan.
Ɇ 3. Ɇ Y. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Pos dan Telekomunikasi 1. Pos 1. Perumusan kebijakan di bidang produk dan tarif pos, operasi pos, penyelenggara pos, prangko dan filateli.
— 1. — 2. Perumusan pengaturan norma, kriteria, pedoman dan prosedur di bidang produk dan tarif pos, operasi pos, penyelenggara pos, prangko dan filateli.
— 2. — 3. Pemberian bimbingan teknis bidang produk pos, operasi pos, penyelenggara pos, prangko dan filateli.
— 3. — 4. — 4.— 4. Penyelenggaraan pelayanan pos di perdesaan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. — 5.— 5. Pemberian rekomendasi untuk pendirian kantor pusat jasa titipan.
Pemberian perizinan penyelenggaraan jasa titipan.
Pemberian izin jasa titipan untuk kantor cabang.
Pemberian izin jasa titipan untuk kantor agen.
— 7. Penertiban jasa titipan untuk kantor cabang. 7. Penertiban jasa titipan untuk kantor agen.
Pelaksanaan analisa dan evaluasi penyelenggaraan kegiatan di bidang produk dan tarif pos, operasi pos, penyelenggara pos, prangko dan filateli serta penertiban penyelenggaraan pos dan jasa titipan.
— 8. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Telekomunikasi 1. Perumusan kebijakan di bidang tarif dan sarana telekomunikasi, pelayanan telekomunikasi, operasi telekomunikasi, telekomunikasi khusus dan kewajiban pelayanan universal.
— 1. — 2. Perumusan norma, kriteria, pedoman dan prosedur di bidang tarif dan sarana telekomunikasi, pelayanan telekomunikasi, operasi telekomunikasi, telekomunikasi khusus dan kewajiban pelayanan universal.
— 2. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Pemberian bimbingan teknis di bidang tarif dan sarana telekomunikasi, pelayanan telekomunikasi, operasi telekomunikasi, telekomunikasi khusus dan kewajiban pelayanan universal.
Pemberian bimbingan teknis di bidang sarana telekomunikasi, pelayanan telekomunikasi, kinerja operasi telekomunikasi, telekomunikasi khusus dan kewajiban pelayanan universal skala wilayah.
— 4. Pemberian perizinan penyelenggaraan jaringan telekomunikasi, jasa telekomunikasi, telekomunikasi khusus dan penyelenggaraan kewajiban pelayanan universal.
— 4. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. — 5.Pemberian izin penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk keperluan pemerintah dan badan hukum yang cakupan areanya provinsi sepanjang tidak menggunakan spektrum frekuensi radio.
Pemberian izin penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk keperluan pemerintah dan badan hukum yang cakupan areanya kabupaten/kota sepanjang tidak menggunakan spektrum frekuensi radio.
— 6.Pengawasan layanan jasa telekomunikasi. 6. — 7. — 7. Pemberian rekomendasi terhadap permohonan izin penyelenggaraan jaringan tetap lokal wireline (end to end) cakupan provinsi.
Pemberian rekomendasi terhadap permohonan izin penyelenggaraan jaringan tetap tertutup lokal wireline (end to end) cakupan kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 8. — 8. Koordinasi dalam rangka pembangunan kewajiban pelayanan universal di bidang telekomunikasi.
Pemberian rekomendasi wilayah prioritas untuk pembangunan kewajiban pelayanan universal di bidang telekomunikasi.
— 9. — 9. Pemberian izin terhadap Instalatur Kabel Rumah/Gedung (IKR/G).
Pelaksanaan evaluasi penyelenggaraan kegiatan di bidang tarif dan sarana telekomunikasi, pelayanan telekomunikasi, operasi telekomunikasi, telekomunikasi khusus dan kewajiban pelayanan universal dan teknologi informasi.
Pengawasan/ pengendalian terhadap penyelenggaraan telekomunikasi yang cakupan areanya provinsi.
Pengawasan/pengendalian terhadap penyelenggaraan telekomunikasi yang cakupan areanya kabupaten/kota, pelaksanaan pembangunan telekomunikasi perdesaan, penyelenggaraan warung telekomunikasi, warung seluler atau sejenisnya. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 11. Pemberian Izin Amatir Radio (IAR) dan Izin Penguasaan Perangkat Radio Amatir (IPPRA), termasuk untuk warga negara asing, Izin Komunikasi Radio Antar Penduduk (IKRAP) dan Izin Penguasaan Perangkat Komunikasi Radio Antar Penduduk (IPPKRAP).
— 11. — 12. Pelaksanaan penyelenggaraan ujian amatir radio.
— 12. — 13. — 13. Pemberian izin kantor cabang dan loket pelayanan operator.
Pemberian izin kantor cabang dan loket pelayanan operator. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 14. Pedoman penyelenggaraan warung telekomunikasi/ warung internet/ warung seluler atau sejenisnya.
— 14. — 15. Pedoman panggilan darurat telekomunikasi.
— 15. Penanggung jawab panggilan darurat telekomunikasi.
Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit (Orsat) 1. Perumusan kebijakan di bidang penataan, penetapan, operasi, sarana frekuensi radio dan orsat.
— 1. — 2. Perumusan norma, kriteria, pedoman dan prosedur di bidang penataan, penetapan, operasi, sarana frekuensi radio dan orsat.
— 2. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Pelaksanaan penataan, penetapan, operasi, sarana frekuensi radio dan orsat.
— 3. — 4. Pemberian perizinan penggunaan frekuensi radio dan orsat.
— 4. — 5. Pelaksanaan analisa dan evaluasi di bidang operasi frekuensi radio dan orsat.
— 5. — 6. Perumusan rencana dan alokasi spektrum frekuensi radio dan orsat.
— 6. — 7. Penetapan tabel alokasi spektrum frekuensi radio Indonesia dan orsat.
— 7. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 8. Penyusunan rencana induk frekuensi radio. 8. — 8. — 9. Penyusunan dan penetapan kajian teknis sistem alat dan atau perangkat yang menggunakan frekuensi radio.
— 9. — 10.Penetapkan persetujuan alokasi frekuensi radio (allotment). 10. — 10.— 11.Pelaksanaan koordinasi penggunaan spektrum frekuensi radio dan orsat dalam forum skala bilateral, regional dan internasional.
— 11.— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 12.Perumusan hasil koordinasi forum tersebut untuk dapat dilaksanakan sesuai ketentuan internasional.
— 12.— 13.Penghimpunan dan tindak lanjut pengaduan negara lain tentang adanya gangguan interferensi frekuensi radio yang bersumber dari Indonesia.
— 13.— 14.Tindak lanjut pengaduan adanya interferensi yang bersumber dari negara lain.
— 14.— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 15.Pelaksanaan penetapan (assignment) penggunaan frekuensi radio sesuai alokasi frekuensi radio.
— 15.— 16.Pelaksanaan teknikal analisis. 16.— 16.— 17.Pengelolaan loket penerimaan berkas izin frekuensi radio.
— 17.— 18.Penetapan ketentuan dan persyaratan perizinan frekuensi radio.
— 18.— 19.Pelaksanaan penetapan biaya hak penggunaan frekuensi radio.
— 19.— 20.Penerbitan izin stasiun radio. 20.— 20.— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 21.Pelaksanaan verifikasi izin stasiun radio. 21.— 21.— 22.Pelaksanaan penugasan kepada unit pelaksana teknis untuk monitoring spektrum frekuensi radio.
— 22.— 23.Pelaksanaan inspeksi instalasi alat/perangkat yang menggunakan spektrum dan kesesuaian standarnya.
— 23.— 24.Pelaksanaan penegakan hukum. 24.— 24.— 25.Pelaksanaan rekayasa teknik spektrum. 25.— 25.— 26.Pengelolaan sarana dan prasarana monitoring frekuensi radio dan orsat.
— 26.— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 27.Pengelolaan database frekuensi radio Indonesia.
— 27.— 28.Penetapan peraturan, standar pedoman penggunaan spektrum frekuensi radio dan orsat.
— 28.— 29.Pedoman pembangunan sarana dan prasarana menara telekomunikasi.
— 29.— 30.Penetapan pedoman kriteria pembuatan tower .
— 30.Pemberian Izin Mendirikan Bangunan (IMB) menara telekomunikasi sebagai sarana dan prasarana telekomunikasi.
— 31.Pemberian izin galian untuk keperluan penggelaran kabel telekomunikasi lintas kabupaten/kota atau jalan provinsi.
Pemberian izin galian untuk keperluan penggelaran kabel telekomunikasi dalam satu kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 32.— 32. — 32.Pemberian izin Hinder Ordonantie (Ordonansi Gangguan).
— 33. — 33.Pemberian izin instalansi penangkal petir.
— 34. — 34. Pemberian izin instalansi genset.
Bidang Standarisasi Pos dan Telekomunikasi 1. Perumusan kebijakan di bidang teknik pos dan telekomunikasi, teknik komunikasi radio, pelayanan pos dan telekomunikasi, penerapan standar pos dan telekomunikasi.
— 1. — 2. Perumusan standar di bidang teknik pos dan telekomunikasi, teknik komunikasi radio, pelayanan pos dan telekomunikasi, penerapan standar pos dan telekomunikasi.
— 2. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Pemberian bimbingan teknis di bidang standar pos dan telekomunikasi, standar teknik komunikasi radio, standar pelayanan pos dan telekomunikasi, penerapan standar pos dan telekomunikasi.
Pemberian bimbingan teknis di bidang standar pos dan telekomunikasi, standar teknik komunikasi radio, standar pelayanan pos dan telekomunikasi, penerapan standar pos dan telekomunikasi.
— 4. Pemantauan dan penertiban standar pos dan telekomunikasi.
— 4. — 5. Perumusan persyaratan teknis dan standar pelayanan alat/perangkat pos dan telekomunikasi.
— 5. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Pengawasan penerapan standar teknis dan standar pelayanan alat/perangkat pos dan telekomunikasi skala nasional.
Pengawasan terhadap penerapan standar teknis dan standar pelayanan alat/ perangkat pos dan telekomunikasi skala provinsi.
Pengendalian dan penertiban terhadap pelanggaran standarisasi pos dan telekomunikasi.
Kerjasama standar teknik tingkat internasional.
— 7. — 8. — 8. — 8. Pemberian izin usaha perdagangan alat perangkat telekomunikasi.
Kelembagaan Internasional Pos dan Telekomunikasi 1. Perumusan kebijakan di bidang kelembagaan dan penanganan fora multilateral, regional dan bilateral di bidang pos, telekomunikasi, informatika, standarisasi serta frekuensi radio dan orsat.
— 1. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Perumusan pedoman, norma, kriteria dan prosedur di bidang kelembagaan dan penanganan fora multilateral, regional dan bilateral di bidang pos, telekomunikasi, informatika, standarisasi serta frekuensi radio dan orsat.
— 2. — 3. Pelaksanaan kerjasama kelembagaan multilateral, regional dan bilateral di bidang pos, telekomunikasi informatika, standarisasi serta frekuensi radio dan orsat.
— 3. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. — 4. Fasilitasi pelaksanaan koordinasi penyelenggaraan pos dan telekomunikasi serta penggunaan frekuensi radio di daerah perbatasan dengan negara tetangga.
Fasilitasi pelaksanaan koordinasi penyelenggaraan pos dan telekomunikasi serta penggunaan frekuensi radio di daerah perbatasan dengan negara tetangga.
Pemberian bimbingan teknis dan evaluasi pelaksanaan kebijakan kelembagaan internasional dan kegiatan fora internasional di bidang pos, telekomunikasi informatika, standarisasi serta frekuensi radio dan orsat.
— 5. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Sarana Komunikasi Dan Diseminasi Informasi 1. Penyiaran 1. Penetapan arah kebijakan penyelenggaraan penyiaran dengan mempertimbangkan perkembangan teknologi penyiaran, kecenderungan permintaan pasar, ekonomi, sosial, budaya dan kondisi lingkungan lainnya.
— 1. — 2. Penetapan tata cara dan persyaratan perizinan penyelenggaraan penyiaran.
Evaluasi persyaratan administrasi dan data teknis terhadap permohonan izin penyelenggaraan penyiaran.
— 3. — 3. Pemberian rekomendasi persyaratan administrasi dan kelayakan data teknis terhadap permohonan izin penyelenggaraan televisi.
Pemberian rekomendasi persyaratan administrasi dan kelayakan data teknis terhadap permohonan izin penyelenggaraan radio. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Penerbitan izin penyelenggaraan penyiaran radio dan televisi bagi seluruh lembaga penyiaran.
— 4. Pemberian izin lokasi pembangunan studio dan stasiun pemancar radio dan/atau televisi.
Penetapan pedoman teknis pelaksanaan uji coba siaran radio dan televisi.
— 5. — 6. Penetapan kebijakan pemusatan kepemilikan dan penguasaan lembaga penyiaran swasta dan lembaga penyiaran berlangganan oleh salah satu orang atau satu badan hukum, baik di satu wilayah siaran maupun di beberapa wilayah siaran.
— 6. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 7. Penetapan kebijakan kepemilikan silang antara lembaga penyiaran swasta jasa penyiaran radio, lembaga penyiaran swasta jasa penyiaran televisi, perusahaan media cetak, dan lembaga penyiaran berlangganan baik langsung maupun tidak langsung.
— 7. — 8. Penetapan kebijakan kepemilikan modal asing pada lembaga penyiaran swasta dan lembaga penyiaran berlangganan.
— 8. — 9. Pemetaan usaha penyiaran radio dan televisi.
— 9. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 10.Penetapan wilayah layanan penyiaran radio dan televisi.
— 10. — 11.Pengaturan dan penetapan sistem stasiun jaringan penyiaran radio dan televisi.
— 11. — 12. Penetapan standar teknologi penyiaran radio dan televisi.
— 12. — 13. Penetapan pedoman teknis sarana dan prasarana penyiaran radio dan televisi.
— 13. — 2. Kelembagaan Komunikasi Sosial 1. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi serta pelaksanaan di bidang lembaga media tradisional.
Koordinasi dan fasilitasi pemberdayaan komunikasi sosial skala provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi pemberdayaan komunikasi sosial skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi serta pelaksanaan di bidang lembaga komunikasi perdesaan.
— 2. — 3. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi serta pelaksanaan di bidang lembaga profesi.
— 3. — 4. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi serta pelaksanaan di bidang lembaga pemantau media.
— 4. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Kelembagaan Komunikasi Pemerintah 1. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan, standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi di bidang politik, hukum dan keamanan.
— 1. — 2. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan, standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi di bidang perekonomian.
— 2. — 3. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan, standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi di bidang kesejahteraan rakyat.
— 3. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan, standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi di bidang badan usaha milik negara.
— 4. — 4. Kelembagaan Komunikasi Pemerintah Daerah 1. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan, standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi serta pelaksanaan kerjasama diseminasi informasi dengan lembaga komunikasi pemerintah daerah wilayah I.
— 1. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan, standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi serta pelaksanaan kerjasama diseminasi informasi dengan lembaga komunikasi pemerintah daerah wilayah II.
— 2. — 3. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan, standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi serta pelaksanaan kerjasama diseminasi informasi dengan lembaga komunikasi pemerintah daerah wilayah III.
— 3. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan, standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi serta pelaksanaan kerjasama diseminasi informasi dengan lembaga komunikasi pemerintah daerah wilayah IV.
— 4. — 5. Penerbitan panduan paket informasi nasional.
Koordinasi dan pelaksanaan diseminasi informasi nasional.
Pelaksanaan diseminasi informasi nasional.
Kemitraan Media 1. Perumusan pelaksanaan kebijakan, standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi serta pelaksanaan di bidang kemitraan media radio, media televisi dan media cetak.
— 1. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Perumusan pelaksanaan kebijakan, standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi serta pelaksanaan di bidang kemitraan media komunitas.
Koordinasi dan fasilitasi pengembangan kemitraan media skala provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi pengembangan kemitraan media skala kabupaten/kota. Z. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG PERTANIAN DAN KETAHANAN PANGAN SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Lahan Pertanian 1. Penetapan kebijakan, pedoman dan bimbingan pengembangan, rehabilitasi, konservasi, optimasi dan pengendalian lahan pertanian tingkat nasional.
Penetapan kebijakan, pedoman dan bimbingan pengembangan, rehabilitasi, konservasi, optimasi dan pengendalian lahan pertanian tingkat provinsi.
Penetapan kebijakan, pedoman dan bimbingan pengembangan, rehabilitasi, konservasi, optimasi dan pengendalian lahan pertanian tingkat kabupaten/kota.
Penetapan peta pengembangan, rehabilitasi, konservasi, optimasi dan pengendalian lahan pertanian nasional (lintas provinsi).
Penyusunan peta pengembangan, rehabiltasi, konservasi, optimasi dan pengendalian lahan pertanian wilayah provinsi (lintas kabupaten).
Penyusunan peta pengembangan, rehabilitasi, konservasi, optimasi dan pengendalian lahan pertanian wilayah kabupaten/kota.
Pengembangan, rehabilitasi, konservasi, optimasi dan pengendalian lahan pertanian nasional (lintas provinsi).
Pengembangan, rehabilitasi, konservasi, optimasi dan pengendalian lahan pertanian provinsi (lintas kabupaten).
Pengembangan, rehabilitasi, konservasi, optimasi dan pengendalian lahan pertanian wilayah kabupaten/kota.
Tanaman Pangan dan Hortikultura 4. Penetapan dan pengawasan tata ruang dan tata guna lahan pertanian nasional.
Penetapan dan pengawasan tata ruang dan tata guna lahan pertanian wilayah provinsi.
Penetapan dan pengawasan tata ruang dan tata guna lahan pertanian wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5.a. — b. — 6. — 7. — 8. Penetapan sasaran areal tanam nasional.
Penetapan luas baku lahan pertanian yang dapat diusahakan sesuai kemampuan sumberdaya lahan yang ada pada skala nasional .
a. Pemetaan potensi dan pengelolaan lahan pertanian wilayah provinsi.
— 6. Pengaturan dan penerapan kawasan pertanian terpadu wilayah provinsi.
Penetapan sentra komoditas pertanian wilayah provinsi.
Penetapan sasaran areal tanam wilayah provinsi.
Penetapan luas baku lahan pertanian yang dapat diusahakan sesuai kemampuan sumberdaya lahan yang ada pada skala provinsi.
a. Pemetaan potensi dan pengelolaan lahan pertanian wilayah kabupaten/ kota.
Pengembangan lahan pertanian wilayah kabupaten/kota.
Pengaturan dan penerapan kawasan pertanian terpadu wilayah kabupaten/kota.
Penetapan sentra komoditas pertanian wilayah kabupaten/kota.
Penetapan sasaran areal tanam wilayah kabupaten/kota.
Penetapan luas baku lahan pertanian yang dapat diusahakan sesuai kemampuan sumberdaya lahan yang ada pada skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Air Irigasi 1. Penetapan kebijakan, pedoman dan bimbingan pemanfaatan air irigasi.
a. — b.— 3. — 4.a. Penetapan kebijakan pengembangan dan pembinaan pemberdayaan kelembagaan petani pemakai air.
— 1. Bimbingan pengembangan jaringan irigasi.
a. Pemantauan dan evaluasi pemanfaatan air irigasi.
— 3. Bimbingan teknis pengelolaan sumber-sumber air dan air irigasi.
a. Pemantauan dan evaluasi pengembangan dan pembinaan pemberdayaan kelembagaan petani pemakai air.
— 1. Pembangunan dan rehabilitasi pemeliharaan jaringan irigasi di tingkat usaha tani dan desa.
a. Bimbingan dan pengawasan pemanfaatan dan pemeliharaan jaringan irigasi.
Bimbingan dan pengawasan pemanfaatan sumber-sumber air dan air irigasi.
— 4.a. Bimbingan pengembangan dan pemberdayaan Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) dan Perkumpulan Petani Pemakai Air Tanah (P3AT).
Bimbingan dan pelaksanaan konservasi air irigasi. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Penetapan kebijakan dan pengembangan teknologi optimalisasi pengelolaan dan pemanfaatan air untuk usaha tani dan desa.
Pemantauan dan evaluasi pengembangan teknologi optimalisasi pengelolaan air untuk usaha tani.
Bimbingan penerapan teknologi optimalisasi pengelolaan air untuk usaha tani.
Pupuk 1. Penetapan kebijakan dan pedoman penggunaan pupuk.
Pendaftaran dan pengawasan formula pupuk.
a.Penetapan pedoman pengawasan pengadaan, peredaran dan penggunaan pupuk.
— c. — 1. Pemantauan dan evaluasi penggunaan pupuk.
— 3.a.Pengawasan pengadaan, peredaran dan penggunaan pupuk wilayah provinsi.
— c. — 1. Bimbingan penggunaan pupuk.
— 3.a.Pengawasan pengadaan, peredaran dan penggunaan pupuk wilayah kabupaten/kota.
Pengembangan dan pembinaan unit usaha pelayanan pupuk.
Bimbingan penyediaan, penyaluran dan penggunaan pupuk. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. — 5. Penetapan standar mutu pupuk.
Pemantauan dan evaluasi ketersediaan pupuk.
Pengawasan standar mutu pupuk.
Pelaksanaan peringatan dini dan pengamanan terhadap ketersediaan pupuk.
Bimbingan penerapan standar mutu pupuk.
Pestisida 1. Penetapan kebijakan dan pedoman penggunaan pestisida.
Pendaftaran dan pengawasan formula pestisida.
a.Penetapan pedoman pengawasan pengadaan, peredaran dan penggunaan pestisida.
— c. — 1. Pelaksanaan kebijakan penggunaan pestisida wilayah provinsi.
— 3.a.Pengawasan pengadaan, peredaran dan penggunaan pestisida wilayah provinsi.
— c. — 1. Pelaksanaan kebijakan penggunaan pestisida wilayah kabupaten/kota.
— 3.a.Pengawasan pengadaan, peredaran dan penggunaan pestisida wilayah kabupaten/kota.
Pengembangan dan pembinaan unit pelayanan pestisida.
Bimbingan penyediaan, penyaluran dan penggunaan pestisida. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. — 5. Penetapan standar mutu pestisida.
Pemantauan dan evaluasi ketersediaan pestisida.
Pengawasan standar mutu pestisida.
Pelaksanaan peringatan dini dan pengamanan terhadap ketersediaan pestisida.
Bimbingan penerapan standar mutu pestisida.
Alat dan Mesin Pertanian 1. Penetapan kebijakan alat dan mesin pertanian.
— 3. Pendaftaran prototipe alat dan mesin pertanian.
Penetapan standar mutu alat dan mesin pertanian.
Pengujian mutu alat dan mesin pertanian dalam rangka standarisasi.
Pelaksanaan kebijakan alat dan mesin pertanian wilayah provinsi.
Identifikasi dan inventarisasi kebutuhan alat dan mesin pertanian wilayah provinsi.
Penentuan kebutuhan prototipe alat dan mesin pertanian.
Penerapan standar mutu alat dan mesin pertanian.
— 1. Pelaksanaan kebijakan alat dan mesin pertanian wilayah kabupaten/kota.
Identifikasi dan inventarisasi kebutuhan alat dan mesin pertanian di wilayah kabupaten/kota.
Pengembangan alat dan mesin pertanian sesuai standar.
Penerapan standar mutu alat dan mesin pertanian.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6.a.Penetapan pedoman pengawasan produksi, peredaran, penggunaan dan pengujian alat dan mesin pertanian.
— c. — d. — e. — f. — 6.a. Pembinaan dan pengawasan standar mutu alat dan mesin pertanian wilayah provinsi.
— c. — d. — e. — f. — 6.a. Pengawasan standar mutu dan alat mesin pertanian wilayah kabupaten/kota.
Pembinaan dan pengembangan jasa alat dan mesin pertanian.
Pemberian izin pengadaan dan peredaran alat dan mesin pertanian.
Analisis teknis, ekonomis dan sosial budaya alat dan mesin pertanian sesuai kebutuhan lokalita.
Bimbingan penggunaan dan pemeliharaan alat dan mesin pertanian.
Pembinaan dan pengembangan SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA bengkel/pengrajin alat dan mesin pertanian.
Benih Tanaman 1.a.Penetapan kebijakan dan pedoman perbenihan tanaman.
— 2. Pelepasan dan penarikan varietas tanaman.
Pengaturan pemasukan dan pengeluaran benih dari dan keluar wilayah negara RI.
Penetapan standar mutu dan pedoman pengawasan dan sertifikasi benih.
— 1.a.Pemantauan dan evaluasi penerapan pedoman perbenihan tanaman.
Penyusunan kebijakan benih antar lapang.
Identifikasi dan pengembangan varietas unggul lokal.
Pemantauan benih dari luar negeri di wilayah provinsi.
Pengawasan penerapan standar mutu benih wilayah provinsi.
Pengaturan penggunaan benih wilayah provinsi.
a. Bimbingan penerapan pedoman perbenihan tanaman wilayah kabupaten/kota.
Penyusunan kebijakan benih antar lapang wilayah kabupaten/kota.
— 3. Pemantauan benih dari luar negeri di wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan penerapan standar mutu benih wilayah kabupaten/kota.
Pengaturan penggunaan benih wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6.a.— b.— c.— d.— e.— f. — g.— 6.a.Pengawasan dan sertifikasi benih.
— c. — d. — e. — f. — g. — 6.a.Pembinaan dan pengawasan penangkar benih.
Pembinaan dan pengawasan perbanyakan peredaran dan penggunaan benih.
Bimbingan dan pemantauan produksi benih.
Bimbingan penerapan standar teknis perbenihan yang meliputi sarana, tenaga dan metode.
Pemberian izin produksi benih.
Pengujian dan penyebarluasan benih varietas unggul spesifik lokasi.
Perbanyakan dan penyaluran mata tempel dan benih tanaman. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA h.— i. — j. — 7.a.— b.— h. — i. — j. — 7.a.Pembangunan dan pengelolaan balai benih wilayah provinsi.
— h. Pelaksanaan dan bimbingan dan distribusi pohon induk.
Penetapan sentra produksi benih tanaman.
Pengembangan sistem informasi perbenihan.
a.Pembangunan dan pengelolaan balai benih wilayah kabupaten/kota.
Pembinaan dan pengawasan balai benih milik swasta.
Pembiayaan 1.a.Penetapan kebijakan dan pedoman pembiayaan dari lembaga keuangan perbankan, non perbankan dan dana yang bersumber dari masyarakat.
a.Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan pedoman pembiayaan dari lembaga keuangan perbankan, non perbankan dan dana yang bersumber dari masyarakat wilayah provinsi.
a.Bimbingan pengembangan dan pemanfaatan sumber-sumber pembiayaan/kredit agribisnis. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b.— c.— d.— b.— c.— d.— b.Bimbingan penyusunan rencana usaha agribisnis.
Bimbingan pemberdayaan lembaga keuangan mikro pedesaan.
Pengawasan penyaluran, pemanfaatan dan pengendalian kredit wilayah kabupaten/kota.
Perlindungan Tanaman 1. Penetapan kebijakan perlindungan tanaman.
Pengaturan dan penetapan norma dan standar teknis pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) dan analisis mitigasi dampak fenomena iklim.
— 2. Pengamatan, identifikasi, pemetaan, pengendalian dan analisis dampak kerugian OPT/fenomena iklim wilayah provinsi.
— 2. Pengamatan, identifikasi, pemetaan, pengendalian dan analisis dampak kerugian OPT/fenomena iklim wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. — 4. — 5. — 6. — 7. — 3. Bimbingan pemantauan, pengamatan, dan peramalan OPT/fenomena iklim wilayah provinsi.
Penyebaran informasi keadaan serangan OPT/fenomena iklim dan rekomendasi pengendaliannya di wilayah provinsi.
Pemantauan dan pengamatan daerah yang diduga sebagai sumber OPT/fenomena iklim wilayah provinsi.
Penyediaan dukungan pengendalian, eradikasi tanaman dan bagian tanaman wilayah provinsi.
Pemantauan, peramalan, pengendalian dan penanggulangan eksplosi OPT/fenomena iklim wilayah 3. Bimbingan pemantauan, pengamatan, dan peramalan OPT/fenomena iklim wilayah kabupaten/kota.
Penyebaran informasi keadaan serangan OPT/fenomena iklim dan rekomendasi pengendaliannya di wilayah kabupaten/kota.
Pemantauan dan pengamatan daerah yang diduga sebagai sumber OPT/fenomena iklim wilayah kabupaten/kota.
Penyediaan dukungan pengendalian, eradikasi tanaman dan bagian tanaman wilayah kabupaten/kota.
Pemantauan, peramalan, pengendalian dan penanggulangan eksplosi OPT/fenomena iklim wilayah SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 8. Penetapan dan penanggulangan wabah hama dan penyakit tanaman skala nasional. provinsi.
Pengaturan dan pelaksanaan penanggulangan wabah hama dan penyakit tanaman wilayah provinsi. kabupaten/kota.
Pengaturan dan pelaksanaan penanggulangan wabah hama dan penyakit tanaman wilayah kabupaten/kota.
Perizinan Usaha 1. Penetapan pedoman perizinan usaha tanaman pangan dan hortikultura.
— 1. Pemberian izin usaha tanaman pangan dan hortikultura wilayah provinsi.
Pemantauan dan pengawasan izin usaha tanaman pangan dan hortikultura wilayah provinsi.
Pemberian izin usaha tanaman pangan dan hortikultura wilayah kabupaten/kota.
Pemantauan dan pengawasan izin usaha tanaman pangan dan hortikultura wilayah kabupaten/kota.
Teknis Budidaya 1. Penetapan pedoman teknis budidaya tanaman pangan dan hortikultura.
— 1. Bimbingan penerapan pedoman teknis pola tanam, perlakuan terhadap tanaman pangan dan hortikultura wilayah provinsi.
Bimbingan peningkatan mutu hasil tanaman pangan dan hortikultura wilayah provinsi.
Bimbingan penerapan pedoman teknis pola tanam, perlakuan terhadap tanaman pangan dan hortikultura wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan peningkatan mutu hasil tanaman pangan dan hortikultura wilayah SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA kabupaten/kota.
Pembinaan Usaha 1. Penetapan pedoman pembinaan usaha tanaman pangan dan hortikultura.
— 3. — 1. Bimbingan kelembagaan usaha tani, manajemen usaha tani dan pencapaian pola kerjasama usaha tani wilayah provinsi.
Bimbingan pemantauan dan pemeriksaan hygiene dan sanitasi lingkungan usaha tanaman pangan dan hortikultura wilayah provinsi.
Pelaksanaan studi analis mengenai dampak lingkungan (amdal)/Upaya Pengelolaan Lingkungan hidup (UKL)-Upaya Pemantauan Lingkungan hidup (UPL) di bidang tanaman pangan dan hortikultura wilayah provinsi.
Bimbingan kelembagaan usaha tani, manajemen usaha tani dan pencapaian pola kerjasama usaha tani wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pemantauan dan pemeriksaan hygiene dan sanitasi lingkungan usaha tanaman pangan dan hortikultura wilayah kabupaten/kota.
Pelaksanaan studi amdal/UKL- UPL di bidang tanaman pangan dan hortikultura wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. — 5. Penetapan pedoman kompensasi karena eradikasi dan jaminan penghasilan bagi petani yang mengikuti program pemerintah.
Penetapan program kerjasama/kemitraan usaha tanaman pangan dan hortikultura.
Bimbingan pelaksanaan amdal wilayah provinsi.
Bimbingan penerapan pedoman kompensasi karena eradikasi dan jaminan penghasilan bagi petani yang mengikuti program pemerintah wilayah provinsi.
Bimbingan penerapan pedoman/kerjasama kemitraan usaha tanaman pangan dan hortikultura wilayah provinsi.
Bimbingan pelaksanaan amdal wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan penerapan pedoman kompensasi karena eradikasi dan jaminan penghasilan bagi petani yang mengikuti program pemerintah wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan penerapan pedoman/kerjasama kemitraan usaha tanaman pangan dan hortikultura wilayah kabupaten/kota.
Panen, Pasca Panen dan Pengolahan Hasil 1.a.Penetapan kebijakan penanganan panen, pasca panen dan pengolahan hasil tanaman pangan dan hortikultura.
— 1.a.Pemantauan dan evaluasi penanganan panen, pasca panen dan pengolahan hasil tanaman pangan dan hortikultura wilayah provinsi.
Bimbingan peningkatan mutu hasil tanaman pangan dan hortikultura wilayah provinsi.
a.Bimbingan penanganan panen, pasca panen dan pengolahan hasil tanaman pangan dan hortikultura wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan peningkatan mutu hasil tanaman pangan dan hortikultura wilayah SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Penetapan pedoman perkiraan kehilangan tanaman pangan dan hortikultura.
Penetapan standar unit pengolahan, alat transportasi, unit penyimpanan dan kemasan hasil tanaman pangan dan hortikultura.
a.Penetapan pedoman teknologi panen, pasca panen dan pengolahan hasil.
— 2. Bimbingan penghitungan perkiraan kehilangan hasil tanaman pangan dan hortikultura wilayah provinsi.
Pengawasan standar unit pengolahan, alat transportasi, unit penyimpanan dan kemasan hasil tanaman pangan dan hortikultura wilayah provinsi.
a.Penyebarluasan dan pemantauan penerapan teknologi panen, pasca panen dan pengolahan hasil wilayah provinsi.
— kabupaten/kota.
Penghitungan perkiraan kehilangan hasil tanaman pangan dan hortikultura wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan penerapan standar unit pengolahan, alat transportasi, unit penyimpanan dan kemasan hasil tanaman pangan dan hortikultura wilayah kabupaten/kota.
a.Penyebarluasan dan pemantauan penerapan teknologi panen, pasca panen dan pengolahan hasil wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan penerapan teknologi panen, pasca panen dan pengolahan hasil wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 13. Pemasaran 1. Penetapan pedoman pemasaran hasil tanaman pangan dan hortikultura.
Promosi komoditas tanaman pangan dan hortikultura tingkat nasional dan internasional.
Penyebarluasan informasi pasar dalam dan luar negeri.
Penetapan kebijakan harga komoditas tanaman pangan dan hortikultura.
Pemantauan dan evaluasi pemasaran hasil tanaman pangan dan hortikultura wilayah provinsi.
Promosi komoditas tanaman pangan dan hortikultura wilayah provinsi.
Penyebarluasan informasi pasar wilayah provinsi.
Pemantauan dan evaluasi harga komoditas tanaman pangan dan hortikultura wilayah provinsi.
Bimbingan pemasaran hasil tanaman pangan dan hortikultura wilayah kabupaten/kota.
Promosi komoditas tanaman pangan dan hortikultura wilayah kabupaten/kota.
Penyebarluasan informasi pasar wilayah kabupaten/kota.
Pengawasan harga komoditas tanaman pangan dan hortikultura wilayah kabupaten/kota.
Sarana Usaha 1.a. Penetapan kebijakan dan pedoman pengembangan sarana usaha.
— 1.a.Pemantauan dan evaluasi pengembangan sarana usaha wilayah provinsi.
Bimbingan teknis pembangunan dan sarana 1.a.Bimbingan pengembangan sarana usaha wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan teknis pembangunan dan sarana fisik SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA fisik (bangunan) penyimpanan, pengolahan dan pemasaran sarana produksi serta pemasaran hasil tanaman pangan wilayah provinsi. (bangunan) penyimpanan, pengolahan dan pemasaran sarana produksi serta pemasaran hasil tanaman pangan wilayah kabupaten/ kota.
Pengembangan Statistik dan Sistem Informasi Tanaman Pangan dan Hortikultura 1. Penetapan kebijakan dan pedoman perstatistikan tanaman pangan dan hortikultura.
Pembinaan dan pengelolaan data dan statistik serta sistem informasi tanaman pangan dan hortikultura.
Penyusunan statistik tanaman pangan dan hortikultura wilayah provinsi.
Bimbingan penerapan sistem informasi tanaman pangan dan hortikultura wilayah provinsi.
Penyusunan statistik tanaman pangan dan hortikultura wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan penerapan sistem informasi tanaman pangan dan hortikultura wilayah kabupaten/kota.
Pengawasan dan Evaluasi 1. Pengawasan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan, norma, standar, kriteria, pedoman dan prosedur di bidang tanaman pangan dan hortikultura.
— 1. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Perkebunan 1. Lahan Perkebunan 1.a.Penetapan kebijakan, pedoman dan bimbingan pengembangan, rehabilitasi, konservasi, optimasi dan pengendalian lahan perkebunan.
— c. — 2.a.Penetapan dan pengawasan tata ruang dan tata guna lahan perkebunan nasional.
a.Bimbingan dan pengawasan pengembangan, rehabilitasi, konservasi, optimasi dan pengendalian perkebunan.
Penyusunan peta pengembangan, rehabilitasi, konservasi, optimasi dan pengendalian lahan perkebunan.
Pengembangan, rehabilitasi, konservasi, optimasi dan pengendalian lahan perkebunan.
a. Penetapan dan pengawasan tata ruang dan tata guna lahan perkebunan wilayah provinsi.
a.Penetapan kebutuhan dan pengembangan lahan perkebunan wilayah kabupaten/kota.
Penyusunan peta pengembangan, rehabilitasi, konservasi, optimasi, dan pengendalian lahan perkebunan wilayah kabupaten/kota.
Pengembangan, rehabilitasi, konservasi, optimasi dan pengendalian lahan perkebunan wilayah kabupaten/kota.
a.Penetapan dan pengawasan tata ruang dan tata guna lahan perkebunan wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. — c. — d. — e. — 3. Penetapan sasaran areal tanam nasional.
Pemetaan potensi dan pengelolaan lahan perkebunan wilayah provinsi.
— d. Pengaturan dan penerapan kawasan perkebunan terpadu wilayah provinsi.
— 3. Penetapan sasaran areal tanam wilayah provinsi.
Pemetaan potensi dan pengelolaan lahan perkebunan wilayah kabupaten/kota.
Pengembangan lahan perkebunan wilayah kabupaten/kota.
Pengaturan dan penerapan kawasan perkebunan terpadu wilayah kabupaten/kota.
Penetapan sentra komoditas perkebunan wilayah kabupaten/kota.
Penetapan sasaran areal tanam wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pemanfaatan Air Untuk Perkebunan 1.a.Penetapan kebijakan, pedoman, bimbingan dan evaluasi pemanfaatan air untuk perkebunan.
— c. — 2.a.Penetapan kebijakan pengembangan teknologi dan evaluasi pemanfaatan air untuk perkebunan.
— 1.a.Bimbingan pemanfaatan sumber-sumber air untuk perkebunan.
Bimbingan pemanfaatan air permukaan dan air tanah untuk perkebunan.
Pemantauan dan evaluasi pemanfaatan air untuk perkebunan.
a.Bimbingan pengembangan sumber-sumber air untuk perkebunan.
Bimbingan pengembangan teknologi irigasi air permukaan dan air bertekanan untuk perkebunan.
a.Pemanfaatan sumber-sumber air untuk perkebunan.
Pemanfaatan air permukaan dan air tanah untuk perkebunan.
Pemantauan dan evaluasi pemanfaatan air untuk perkebunan.
a.Pengembangan sumber- sumber air untuk perkebunan.
Pengembangan teknologi irigasi air permukaan dan irigasi bertekanan untuk perkebunan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c. — c. Pemantauan dan evaluasi pengembangan air untuk perkebunan.
Pemantauan dan evaluasi pengembangan air untuk perkebunan.
Pupuk 1. Penetapan kebijakan dan pedoman penggunaan pupuk.
Pendaftaran dan pengawasan formula pupuk.
a.Penetapan pedoman pengawasan pengadaan, peredaran dan penggunaan pupuk.
Pemantauan dan evaluasi penggunaan pupuk.
— 3.a.Pengawasan pengadaan, peredaran dan penggunaan pupuk wilayah provinsi.
Bimbingan penggunaan pupuk.
— 3.a.Pengawasan pengadaan, peredaran dan penggunaan pupuk wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. — c. — d. — 4. Penetapan standar mutu pupuk.
— c. — d. Pemantauan dan evaluasi ketersediaan pupuk.
Pengawasan standar mutu pupuk.
Pengembangan dan pembinaan unit usaha pelayanan pupuk.
Bimbingan penyediaan, penyaluran dan penggunaan pupuk.
Pelaksanaan peringatan dini dan pengamanan terhadap ketersediaan pupuk.
Bimbingan penerapan standar mutu pupuk. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Pestisida 1. Penetapan kebijakan dan pedoman penggunaan pestisida.
Pendaftaran dan pengawasan formula pestisida.
a.Penetapan pedoman pengawasan pengadaan, peredaran dan penggunaan pestisida.
— c. — d. — 4. Penetapan standar mutu pestisida.
Pelaksanaan kebijakan penggunaan pestisida wilayah provinsi.
— 3.a.Pengawasan pengadaan, peredaran dan penggunaan pestisida wilayah provinsi.
— c. — d. Pemantauan dan evaluasi ketersediaan pestisida.
Pengawasan standar mutu pestisida.
Pelaksanaan kebijakan penggunaan pestisida wilayah kabupaten/kota.
— 3.a.Pengawasan pengadaan, peredaran dan penggunaan pestisida wilayah kabupaten/kota.
Pengembangan unit usaha pelayanan pestisida.
Bimbingan penyediaan, penyaluran dan penggunaan pestisida.
Pelaksanaan peringatan dini dan pengamanan terhadap ketersediaan pestisida.
Bimbingan penerapan standar mutu pestisida. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Alat dan Mesin Perkebunan 1. Penetapan kebijakan alat dan mesin perkebunan.
— 3. Pendaftaran prototipe alat dan mesin perkebunan.
Penetapan kebijakan standar mutu alat dan mesin perkebunan.
Pengujian mutu alat dan mesin perkebunan dalam rangka standarisasi.
a.Penetapan pedoman pengawasan produksi, peredaran, penggunaan dan pengujian alat dan mesin 1. Pelaksanaan kebijakan alat dan mesin perkebunan wilayah provinsi.
Identifikasi dan inventarisasi kebutuhan alat dan mesin perkebunan wilayah provinsi.
Penentuan kebutuhan prototipe alat dan mesin perkebunan.
Penerapan standar mutu alat dan mesin perkebunan.
— 6.a.Pembinaan dan pengawasan standar mutu alat dan mesin perkebunan wilayah provinsi.
Pelaksanaan kebijakan alat dan mesin perkebunan wilayah kabupaten/kota.
Identifikasi dan inventarisasi kebutuhan alat dan mesin perkebunan wilayah kabupaten/kota.
Pengembangan alat dan mesin perkebunan sesuai standar.
Penerapan standar mutu alat dan mesin perkebunan.
— 6.a.Pengawasan standar mutu dan alat mesin perkebunan wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA perkebunan.
— c. — d. — e. — f. — b. — c. — d. — e. — f. — b. Pembinaan dan pengembangan jasa alat dan mesin perkebunan.
Pemberian izin pengadaan dan peredaran alat dan mesin perkebunan.
Analisis teknis, ekonomis dan sosial budaya alat dan mesin perkebunan sesuai kebutuhan lokalita.
Bimbingan penggunaan dan pemeliharaan alat dan mesin perkebunan.
Pembinaan dan pengembangan bengkel/pengrajin alat dan mesin perkebunan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Benih Perkebunan 1.a.Penetapan kebijakan dan pedoman perbenihan perkebunan.
— 2. Pelepasan dan penarikan varietas perkebunan.
Pengaturan pemasukan dan pengeluaran benih perkebunan dari dan keluar wilayah negara RI.
a.Penetapan standar mutu pengawasan dan sertifikasi benih perkebunan.
a.Pemantauan dan evaluasi penerapan pedoman perbenihan perkebunan.
Penyusunan kebijakan benih perkebunan antar lapang (antar kabupaten).
Identifikasi dan pengembangan varietas unggul lokal.
Pemantauan benih impor wilayah provinsi.
a.Pengawasan penerapan standar mutu benih perkebunan wilayah provinsi.
a.Bimbingan penerapan pedoman perbenihan perkebunan wilayah kabupaten/kota.
Penerapan kebijakan dan pedoman perbenihan perkebunan wilayah kabupaten/kota.
Identifikasi dan pengembangan varietas unggul lokal.
Pemantauan benih impor wilayah kabupaten/kota.
a.Bimbingan penerapan standar mutu benih perkebunan wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. — c. — d. — e. — f. — g. — h. — b. Pengaturan penggunaan benih perkebunan wilayah provinsi.
Pengawasan dan sertifikasi benih perkebunan.
— e. — f. — g. — h. — b. Pengaturan penggunaan benih perkebunan wilayah kabupaten/kota.
Pembinaan dan pengawasan penangkar benih perkebunan.
Pembinaan dan pengawasan perbanyakan peredaran dan penggunaan benih perkebunan.
Bimbingan dan pemantauan produksi benih perkebunan.
Bimbingan penerapan standar teknis perbenihan perkebunan yang meliputi sarana, tenaga dan metode.
Pemberian izin produksi benih perkebunan.
Pengujian dan penyebarluasan benih perkebunan varietas unggul spesifik lokasi. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA i. — j. — k. — l. — m.— n. — i. — j. — k. — l. — m.Pembangunan dan pengelolaan balai benih wilayah provinsi.
— i. Perbanyakan dan penyaluran mata tempel dan benih perkebunan tanaman.
Pelaksanaan dan bimbingan dan distribusi pohon induk.
Penetapan sentra produksi benih perkebunan.
Pengembangan sistem informasi perbenihan perkebunan.
Pembangunan dan pengelolaan balai benih wilayah kabupaten/kota.
Pembinaan dan pengawasan balai benih milik swasta. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 7. Pembiayaan 1.a.Penetapan kebijakan dan pedoman pembiayaan bidang perkebunan dari lembaga keuangan perbankan, non perbankan dan dana yang bersumber dari masyarakat.
— c.— d.— 1.a.Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan pedoman pembiayaan dari lembaga keuangan perbankan, non perbankan dan dana yang bersumber dari masyarakat wilayah provinsi.
— c.— d.— 1.a.Bimbingan pengembangan dan pemanfaatan sumber-sumber pembiayaan/kredit perkebunan.
Bimbingan penyusunan rencana usaha perkebunan.
Bimbingan pemberdayaan lembaga keuangan mikro pedesaan.
Pengawasan penyaluran, pemanfaatan dan pengendalian kredit wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 8. Perlindungan Perkebunan 1. Penetapan kebijakan perlindungan perkebunan.
a.Pengaturan dan penetapan norma dan standar teknis pengendalian OPT dan analisis mitigasi dampak fenomena iklim.
— c. — d. — 1. — 2.a.Pengamatan, identifikasi, pemetaan, pengendalian dan analisis dampak kerugian OPT/fenomena iklim wilayah provinsi.
Bimbingan pemantauan, pengamatan, dan peramalan OPT/fenomena iklim wilayah provinsi.
Penyebaran informasi keadaan serangan OPT/fenomena iklim dan rekomendasi pengendaliannya di wilayah provinsi.
Pemantauan dan pengamatan daerah yang diduga sebagai sumber OPT/fenomena iklim wilayah provinsi.
— 2.a.Pengamatan, identifikasi, pemetaan, pengendalian dan analisis dampak kerugian OPT/fenomena iklim wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pemantauan, pengamatan, dan peramalan OPT/fenomena iklim wilayah kabupaten/kota.
Penyebaran informasi keadaan serangan OPT/fenomena iklim dan rekomendasi pengendaliannya di wilayah kabupaten/kota.
Pemantauan dan pengamatan daerah yang diduga sebagai sumber OPT/fenomena iklim wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA e. — f. — 3. Penetapan dan penanggulangan wabah OPT skala nasional.
Penanganan gangguan usaha perkebunan skala nasional.
Penyediaan dukungan pengendalian, eradikasi tanaman dan bagian tanaman wilayah provinsi.
Pemantauan, peramalan, pengendalian dan penanggulangan eksplosi OPT/fenomena iklim wilayah provinsi.
Pengaturan dan pelaksanaan penanggulangan wabah hama dan penyakit menular tanaman wilayah provinsi.
Penanganan gangguan usaha perkebunan wilayah provinsi.
Penyediaan dukungan pengendalian, eradikasi tanaman dan bagian tanaman wilayah kabupaten/kota.
Pemantauan, peramalan, pengendalian dan penanggulangan eksplosi OPT/fenomena iklim wilayah kabupaten/kota.
Pengaturan dan pelaksanaan penanggulangan wabah hama dan penyakit menular tanaman wilayah kabupaten/kota.
Penanganan gangguan usaha perkebunan wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 9. Perizinan Usaha 1.a.Penetapan pedoman perizinan usaha perkebunan (budidaya dan industri pengolahan).
— 1.a.Pemberian izin usaha perkebunan lintas kabupaten/kota.
Pemantauan dan pengawasan izin usaha perkebunan lintas kabupaten/kota.
a.Pemberian izin usaha perkebunan wilayah kabupaten/kota.
Pemantauan dan pengawasan izin usaha perkebunan di wilayah kabupaten/kota.
Teknis Budidaya 1. Penetapan pedoman teknis budidaya perkebunan. 1. Bimbingan penerapan pedoman teknis budidaya perkebunan wilayah provinsi.
Bimbingan penerapan pedoman teknis budidaya perkebunan wilayah kabupaten/kota.
Pembinaan Usaha 1.a. Penetapan pedoman pembinaan usaha perkebunan.
— 1.a. Bimbingan kelembagaan usaha tani, manajemen usaha tani dan pencapaian pola kerjasama usaha tani wilayah provinsi.
Bimbingan pemantauan dan pemeriksaan hygiene dan sanitasi lingkungan usaha perkebunan wilayah provinsi.
a. Bimbingan kelembagaan usaha tani, manajemen usaha tani dan pencapaian pola kerjasama usaha tani wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pemantauan dan pemeriksaan hygiene dan sanitasi lingkungan usaha perkebunan wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c. — d. — 2. Penetapan program kerjasama/kemitraan usaha perkebunan.
Pelaksanaan studi amdal/UKL- UPL di bidang perkebunan wilayah provinsi.
Bimbingan pelaksanaan amdal wilayah provinsi.
Bimbingan penerapan pedoman/kerjasama kemitraan usaha perkebunan wilayah provinsi.
Pelaksanaan studi amdal/UKL- UPL di bidang perkebunan wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pelaksanaan amdal wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan penerapan pedoman/kerjasama kemitraan usaha perkebunan.
Panen, Pasca Panen dan Pengolahan Hasil 1.a.Penetapan kebijakan penanganan panen, pasca panen dan pengolahan hasil perkebunan.
— 2. Penetapan pedoman perkiraan kehilangan hasil perkebunan.
a.Pemantauan dan evaluasi penanganan panen, pasca panen dan pengolahan hasil perkebunan wilayah provinsi.
Bimbingan peningkatan mutu hasil perkebunan wilayah provinsi.
Bimbingan penghitungan perkiraan kehilangan hasil perkebunan wilayah provinsi.
a.Bimbingan penanganan panen, pasca panen dan pengolahan hasil perkebunan wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan peningkatan mutu hasil perkebunan wilayah kabupaten/kota.
Penghitungan perkiraan kehilangan hasil perkebunan wilayah kabupaten/ kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penetapan standar unit pengolahan, alat transportasi, unit penyimpanan dan kemasan hasil perkebunan.
a.Penetapan pedoman teknologi panen, pasca panen dan pengolahan hasil.
— 3. Pengawasan standar unit pengolahan, alat transportasi, unit penyimpanan dan kemasan hasil perkebunan wilayah provinsi.
a.Penyebarluasan dan pemantauan penerapan teknologi panen, pasca panen dan pengolahan hasil wilayah provinsi.
— 3. Bimbingan penerapan standar unit pengolahan, alat transportasi, unit penyimpanan dan kemasan hasil perkebunan wilayah kabupaten/kota.
a.Penyebarluasan dan pemantauan penerapan teknologi panen, pasca panen dan pengolahan hasil wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan penerapan teknologi panen, pasca panen dan pengolahan hasil wilayah kabupaten/kota.
Pemasaran 1. Penetapan pedoman pemasaran hasil perkebunan.
Promosi komoditas perkebunan tingkat nasional dan internasional.
Pemantauan dan evaluasi pemasaran hasil perkebunan wilayah provinsi.
Promosi komoditas perkebunan wilayah provinsi.
Bimbingan pemasaran hasil perkebunan wilayah kabupaten/kota.
Promosi komoditas perkebunan wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penyebarluasan informasi pasar dalam dan luar negeri.
Penetapan kebijakan harga komoditas perkebunan.
Penyebarluasan informasi pasar wilayah provinsi.
Pemantauan dan evaluasi harga komoditas perkebunan wilayah provinsi.
Penyebarluasan informasi pasar wilayah kabupaten/kota.
Pengawasan harga komoditas perkebunan wilayah kabupaten/kota.
Sarana Usaha 1.a.Penetapan kebijakan dan pedoman pengembangan sarana usaha.
— 1.a.Pemantauan dan evaluasi pengembangan sarana usaha wilayah provinsi.
Bimbingan teknis pembangunan dan sarana fisik (bangunan) penyimpanan, pengolahan dan pemasaran sarana produksi serta pemasaran hasil perkebunan wilayah provinsi.
a.Bimbingan pengembangan sarana usaha wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan teknis pembangunan dan sarana fisik (bangunan) penyimpanan, pengolahan dan pemasaran sarana produksi serta pemasaran hasil perkebunan wilayah kabupaten/kota.
Pengembangan Statistik dan Sistem Informasi Perkebunan 1. Penetapan kebijakan dan pedoman perstatistikan perkebunan.
Pembinaan dan pengelolaan 1. Penyusunan statistik perkebunan wilayah provinsi.
Bimbingan penerapan sistem 1. Penyusunan statistik perkebunan wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan penerapan sistem SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA data dan statistik serta sistem informasi perkebunan. informasi perkebunan wilayah provinsi. informasi perkebunan wilayah kabupaten/kota.
Pengawasan dan Evaluasi 1. Pengawasan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan, norma, standar, kriteria, pedoman dan prosedur di bidang perkebunan.
— 1. — 3. Peternakan dan Kesehatan Hewan 1. Kawasan Peternakan 1. Penetapan pedoman tata cara penetapan dan pengawasan kawasan peternakan.
a.Penetapan peta potensi peternakan.
— c.— 1. Penetapan dan pengawasan kawasan peternakan wilayah provinsi.
a.Penetapan peta potensi peternakan wilayah provinsi.
Penetapan dan pengawasan kawasan peternakan wilayah provinsi.
Penetapan peta potensi peternakan wilayah provinsi.
Penetapan dan pengawasan kawasan peternakan wilayah kabupaten/kota.
a.Penetapan peta potensi peternakan wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan penetapan kawasan industri peternakan rakyat.
Pengembangan lahan hijauan pakan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penetapan pedoman penetapan padang pengembalaan. 3. Penerapan pedoman penetapan padang pengembalaan.
Penetapan padang pengembalaan.
Alat dan Mesin Peternakan dan Kesehatan Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner (Kesmavet) 1.a.Penetapan kebijakan alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet.
— 2. Penetapan pedoman dan standar mutu kebijakan alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet.
a.Penetapan pedoman pengawasan produksi, peredaran, penggunaan dan 1.a. Penerapan kebijakan alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet wilayah provinsi.
Pemantauan, identifikasi dan inventarisasi kebutuhan alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet.
Penerapan standar mutu dan alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan dan Kesmavet wilayah provinsi.
a. Pembinaan dan pengawasan standar mutu alat dan mesin peternakan dan kesehatan 1.a.Penerapan kebijakan alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet wilayah kabupaten/ kota.
Identifikasi dan inventarisasi kebutuhan alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet.
Pengawasan penerapan standar mutu alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet.
a.Pengawasan penerapan standar mutu alat dan mesin peternakan dan kesehatan SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA pengujian alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet.
— c.— d.— hewan dan kesmavet wilayah provinsi.
Penerapan pedoman pengawasan produksi, peredaan, penggunaan dan pengujian alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet wilayah provinsi.
Pembinaan dan pengawasan kebijakan alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet wilayah provinsi.
— hewan dan kesmavet wilayah kabupaten/kota.
Pengawasan produksi, peredaran, penggunaan dan pengujian alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet wilayah kabupaten/kota.
Pembinaan dan pengembangan pelayanan jasa alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet wilayah kabupaten/ kota.
Analisis teknis, ekonomis dan sosial budaya alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan sesuai kebutuhan lokalita wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA e.— f. — g.— h.— e. Penerapan standar dukungan rekayasa teknologi peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet wilayah provinsi.
Pembinaan dan pengawasan penerapan standar teknis alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet wilayah provinsi.
Pembinaan dan pengawasan rekayasa dan pemeliharaan alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet wilayah provinsi.
Pengawasan penerapan teknologi bidang peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet wilayah provinsi.
Bimbingan penggunaan dan pemeliharaan alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet wilayah kabupaten/kota.
Pembinaan dan pengembangan bengkel/ pengrajin alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet kabupaten/kota.
Pelaksanaan temuan-temuan teknologi baru di bidang peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet wilayah kabupaten/kota.
Pelaksanaan kajian, pengenalan dan pengembangan teknologi tepat guna bidang peternakan dan SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA i. — i. Pembinaan kerjasama teknologi bidang peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet wilayah provinsi. kesehatan hewan dan kesmavet wilayah kabupaten/kota.
Pelaksanaan kerjasama dengan lembaga-lembaga teknologi peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet kabupaten/kota.
Pemanfaatan Air untuk Peternakan dan Kesehatan Hewan dan Kesmavet 1. Penetapan pedoman pemanfaatan air untuk usaha peternakan, kesehatan hewan dan kesmavet.
Penetapan kebijakan dan pengembangan teknologi optimalisasi pengelolaan pemanfaatan air untuk usaha peternakan, kesehatan hewan dan kesmavet.
Bimbingan pemanfaatan air untuk usaha peternakan, kesehatan hewan dan kesmavet wilayah provinsi.
Pemantauan dan evaluasi pengembangan teknologi optimalisasi pengelolaan pemanfaatan air untuk usaha peternakan, kesehatan hewan dan kesmavet.
Bimbingan pemanfaatan air untuk usaha peternakan, kesehatan hewan dan kesmavet wilayah kabupaten/ kota. 2. Bimbingan penerapan teknologi optimalisasi pengelolaan pemanfaatan air untuk usaha peternakan, kesehatan hewan dan kesmavet.
Obat hewan, Vaksin, Sera dan Sediaan 1. Penetapan kebijakan obat hewan. 1. Penerapan kebijakan obat hewan wilayah provinsi. 1. Penerapan kebijakan obat hewan wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA Biologis 2. Penerbitan sertifikat Cara Pembuatan Obat Hewan yang Baik (CPOHB).
a.Penetapan standar mutu obat hewan.
— c. — 4. Pengawasan produksi dan peredaran obat hewan di tingkat produsen dan importir.
Penetapan pedoman produksi, peredaran dan penggunaan obat hewan.
Pemetaan identifikasi dan inventarisasi kebutuhan obat hewan wilayah provinsi.
a. Penerapan dan pengawasan standar mutu obat hewan wilayah provinsi.
— c. — 4. Pembinaan dan pengawasan peredaran obat hewan di tingkat distributor.
Pembinaan dan pengawasan peredaran obat hewan di tingkat distributor.
Identifikasi dan inventarisasi kebutuhan obat hewan wilayah kabupaten/kota.
a.Penerapan standar mutu obat hewan wilayah kabupaten/kota.
Pengawasan peredaran dan penggunaan obat hewan tingkat depo, toko, kios dan pengecer obat hewan wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pemakaian obat hewan di tingkat peternak.
Bimbingan peredaran obat hewan tingkat depo, toko, kios dan pengecer obat hewan wilayah kabupaten/kota.
Pemeriksaan, pengadaan, penyimpanan, pemakaian dan peredaran obat hewan wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6.a.Pengujian mutu dan sertifikasi obat hewan.
— c. — d. — e. — f. — 6.a. — b. — c. — d. — e. — f. — 6.a. Pelaksanaan pemeriksaan penanggung jawab wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan penyimpanan dan pemakaian obat hewan.
Pelaksanaan penerbitan perizinan bidang obat hewan wilayah kabupaten/kota.
Pelaksanaan penerbitan penyimpanan mutu dan perubahan bentuk obat hewan wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pelaksanaan pemeriksaan bahan produk asal hewan dari residu obat hewan (daging, telur dan susu) wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pemakaian, penyimpanan, penggunaan sediaan vaksin, sera dan SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA g. — h. — i. — g. — h. — i. — bahan diagnostik biologis untuk hewan wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pelaksanaan pemeriksaan sediaan premik wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pelaksanaan pendaftaran obat hewan tradisional/pabrikan wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan kelembagaan/Asosiasi bidang Obat Hewan (ASOHI) wilayah kabupaten/kota.
Pakan Ternak 1. Penetapan kebijakan pakan ternak.
a.Penetapan pedoman produksi pakan ternak (konsentrat dan 1. Penerapan kebijakan pakan ternak di wilayah provinsi.
a. Bimbingan produksi pakan ternak dan bahan baku 1. Penerapan kebijakan pakan ternak wilayah kabupaten/kota.
a. Bimbingan produksi pakan dan bahan baku pakan ternak SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA hijauan pakan) dan bahan baku pakan.
— 3.a.Penetapan standar mutu pakan ternak.
— c. — 4.a.Penetapan pedoman pengawasan mutu pakan ternak.
— pakan ternak wilayah provinsi.
— 3.a. Penerapan standar mutu pakan ternak wilayah provinsi.
Pembinaan dan pengawasan labelisasi dan sertifikasi pakan ternak wilayah provinsi.
Labelisasi dan sertifikasi mutu pakan ternak.
a. Pengawasan mutu pakan dan bahan baku pakan wilayah provinsi.
Pengadaan, perbanyakan dan penyaluran benih hijauan wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan penerapan teknologi pakan ternak wilayah kabupaten/kota.
a. Bimbingan standar mutu pakan ternak wilayah kabupaten/kota.
— c. — 4.a. Pengawasan mutu pakan ternak wilayah kabupaten/kota.
Pengadaan, perbanyakan dan penyaluran benih hijauan SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c. — d.— e. — f. — g. — pakan wilayah provinsi.
— d. Pembinaan dan pengawasan produksi pakan dan bahan baku pakan wilayah provinsi.
— f. — g. — pakan wilayah kabupaten/kota.
Penyelenggaraan kebun benih hijauan pakan.
Bimbingan pembuatan, penggunaan dan peredaran pakan jadi wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pembuatan, penggunaan dan peredaran pakan konsentrat wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pembuatan, penggunaan dan peredaran pakan tambahan dan pelengkap pengganti (additive and supplement) wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan usaha mini feedmil pedesaan (home industry) SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA h.— i. — j. — k.— l. — h. — i. — j. — k. — l. — wilayah kabupaten/kota.
Pelaksanaan pemeriksaan pakan jadi wilayah kabupaten/kota.
Pelaksanaan pemeriksaan pakan konsentrat wilayah kabupaten/kota.
Pelaksanaan pemeriksaan pakan tambahan dan pengganti (additive and supplement) wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan produksi benih hijauan pakan ternak wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan kerjasama perluasan produksi hijauan pakan ternak wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Bibit Ternak 1.a.Penetapan kebijakan perbibitan ternak.
— 2.a.Penetapan pedoman perbibitan (standar mutu, sertifikasi) dan plasma nutfah.
— c. — d. — 1.a. Penerapan dan pengawasan pelaksanaan kebijakan perbibitan ternak wilayah provinsi.
Penerapan dan pengawasan standar perbibitan ternak wilayah provinsi.
a. Pembinaan dan pengawasan produksi ternak bibit wilayah provinsi.
Penerapan dan pengawasan pedoman perbibitan (standar mutu) wilayah provinsi.
Penetapan sertifikasi dan penetapan standar mutu genetik bibit ternak wilayah provinsi.
— 1.a. — b. — 2.a. Bimbingan seleksi ternak bibit wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan penerapan standar perbibitan dan plasma nutfah wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan registrasi/pencatatan ternak bibit wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pembuatan dan pengesahan silsilah ternak. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Pengaturan pemasukan dan pengeluaran bibit/benih ternak.
a. Produksi ternak bibit murni dan unggul.
— 5. Penetapan pedoman dan pengaturan pengelolaan plasma nutfah peternakan.
a.Produksi semen beku dan embrio ternak bibit unggul.
— 3. Pengawasan peredaran lalu lintas bibit/benih ternak di wilayah provinsi.
a. Penetapan kabupaten/kota sebagai lokasi penyebaran ternak bibit wilayah provinsi.
Penetapan penggunaan bibit unggul wilayah provinsi.
Penerapan kebijakan konservasi (pelestarian) ternak bibit murni dan unggul/plasma nutfah peternakan wilayah provinsi.
a.Pembinaan dan pengadaan semen beku wilayah provinsi.
Pembinaan dan pemantauan pelaksanaan inseminasi buatan, progeny test dan 3. Pengawasan peredaran bibit/benih ternak wilayah kabupaten/kota.
a. Penetapan lokasi dan penyebaran bibit ternak wilayah kabupaten/kota.
Penetapan penggunaan bibit unggul wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pelestarian plasma nutfah peternakan wilayah kabupaten/kota.
a.Pengadaan/produksi dan pengawasan semen beku wilayah kabupaten/kota.
Pelaksanaan inseminasi buatan wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c. — d. — e. — 7.a.Penetapan pedoman pengawasan dan produksi bibit ternak.
— transfer embrio wilayah provinsi.
— d. — e. Pembinaan distribusi mani beku (straw) wilayah provinsi.
a.Pemantauan dan pengawasan penerapan standar teknis mutu bibit Day Old Chick Final Stock wilayah provinsi.
Pemantauan dan pengawasan penerapan standar teknis mutu bibit ternak wilayah c. Bimbingan dan pengawasan pelaksanaan inseminasi buatan oleh masyarakat.
Produksi mani beku ternak lokal (lokal spesifik) wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan produksi mani beku lokal (lokal spesifik) untuk kabupaten/kota.
a.Bimbingan penerapan standar-standar teknis dan sertifikasi perbibitan meliputi sarana, tenaga kerja, mutu dan metode wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan peredaran mutu bibit wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c. — d. — e. — f. — g. — provinsi.
Pengaturan kawasan sumber- sumber bibit dan plasma nutfah wilayah provinsi.
Pembinaan dan pengawasan sertifikasi produksi bibit ternak wilayah provinsi.
Penetapan sertifikasi rekayasa teknologi mutu genetik (inseminasi buatan, embrio transfer) wilayah provinsi.
Penetapan sertifikasi tenaga ahli perbibitan (surat ijin melakukan inseminasi buatan, pemeriksaan kebuntingan, asisten reproduksi) wilayah provinsi.
Pembinaan pembibitan ternak di unit pelaksana teknis dinas c. Pelaksanaan penetapan penyaluran ternak bibit yang dilakukan oleh swasta wilayah kabupaten/kota.
Pelaksanaan registrasi hasil inseminasi buatan wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan kastrasi ternak non bibit wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan perizinan produksi ternak bibit wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pelaksanaan pengadaan dan/atau produksi SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA h. — i. — j. — k. — wilayah provinsi.
Pembinaan dan pengadaan bibit ternak wilayah provinsi.
Pembinaan mutu genetik ternak dengan rekayasa teknologi tepat guna (inseminasi buatan dan embrio transfer) wilayah provinsi.
Penetapan sertifikasi embrio ternak wilayah provinsi.
Penetapan sertifikasi embrio ternak wilayah provinsi. mudigah, alih mudigah serta pemantauan pelaksanaan dan registrasi hasil mudigah wilayah kabupaten/kota.
Pengadaan dan pengawasan bibit ternak wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pelaksanaan inseminasi buatan yang dilakukan oleh swasta wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan sertifikasi pejantan unggul sebagai pemacek wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pemantauan produksi mani beku ternak lokal (lokal spesifik) wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA l. — m.— n. — o. — p. — l. Penetapan sertifikasi produksi benih mani beku wilayah provinsi.
Pembinaan sumber bibit ternak (hasil inseminasi buatan crossing ) wilayah provinsi.
Pembinaan sumber bibit ternak (hasil inseminasi buatan crossing ) wilayah provinsi.
Pembinaan dan pengawasan breeding replacement melalui rearing cool (mempercepat penyediaan bibit) wilayah provinsi.
Pembinaan dan pengawasan penyaringan bibit di kawasan produksi peternakan wilayah provinsi.
Bimbingan pengadaan produksi mani beku ternak produksi dalam negeri wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pelaksanaan penyebaran bibit unggul wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pelaksanaan penyebaran bibit unggul wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pelaksanaan uji reformans recording dan seleksi wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pelaksanaan identifikasi perbibitan wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 7. Pembiayaan 1.a.Penetapan kebijakan dan pedoman pengembangan investasi dan permodalan melalui lembaga perbankan dan non perbankan dan dana yang bersumber dari masyarakat.
— c. — d. — e. — 1.a.Penerapan kebijakan dan pemantauan pengembangan investasi dan kebijakan permodalan melalui lembaga perbankan dan non perbankan wilayah provinsi.
— c. — d. — e. Pengawasan penyaluran, pemanfaatan dan kredit program wilayah provinsi.
a.Penerapan kebijakan dan pedoman pembiayaan dari lembaga keuangan perbankan dan non perbankan wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pengembangan dan pemanfaatan sumber-sumber pembiayaan/kredit program wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan penyusunan rencana usaha agribisnis wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pemberdayaan lembaga keuangan mikro pedesaan wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan dan pengawasan penyaluran, pemanfaatan dan kredit program wilayah SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA f. — f. Pembinaan dan pengawasan penyaluran, pemanfaatan dan kredit program wilayah provinsi. kabupaten/kota.
— 8. Kesehatan Hewan (Keswan), Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewan 1.a.Penetapan kebijakan dan pedoman keswan, kesmavet dan kesejahteraan hewan.
— c. — d. — 1.a.Penerapan kebijakan dan pedoman keswan, kesmavet dan kesejahteraan hewan wilayah provinsi.
Pembinaan dan pengawasan praktek hygiene -sanitasi produsen Produk Asal Hewan (PAH).
Sertifikasi dan surveilans Nomor Kontrol Veteriner (NKV) unit usaha PAH yang memenuhi syarat.
Pengawasan peredaran lalu lintas produk hewan dari/ke wilayah provinsi dan lintas kabupaten/kota.
a.Penerapan kebijakan dan pedoman keswan, kesmavet dan kesejahteraan hewan wilayah kabupaten/kota.
Pembinaan dan pengawasan praktek hygiene -sanitasi pada produsen dan tempat penjajaan PAH.
Monitoring penerapan persyaratan hygiene -sanitasi pada unit usaha PAH yang mendapat NKV.
Pengawasan lalu lintas produk ternak dari/ke wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA e. — f. — g. — 2.a.Pengamatan, penyidikan dan pemetaan penyakit hewan nasional.
— e. Pembinaan penerapan kesejahteraan hewan.
— g. — 2.a.Pengamatan, penyidikan dan pemetaan penyakit hewan wilayah provinsi.
— e. Bimbingan dan penerapan kesejahteraan hewan.
Bimbingan pembangunan dan pengelolaan pasar hewan dan unit-unit pelayanan keswan wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pemantauan dan pengawasan pembangunan dan operasional pasar hewan dan unit-unit pelayanan keswan wilayah kabupaten/kota.
a.Pengamatan, penyidikan dan pemetaan penyakit hewan wilayah kabupaten/kota.
Pengawasan kesehatan masyarakat veteriner. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3.a.Pengaturan dan penetapan norma, standar teknis pelayanan keswan, kesmavet serta kesejahteraan hewan.
— 4. Pembinaan pembangunan dan pengelolaan laboratorium keswan dan laboratorium kesmavet skala nasional.
a.Penetapan dan penanggulangan wabah termasuk zoonosis tertentu berskala nasional.
— 3.a.Penerapan dan pengawasan norma standar teknis pelayanan keswan, kesmavet serta kesejahteraan hewan wilayah provinsi.
— 4. Pembangunan dan pengelolaan laboratorium keswan dan laboratorium kesmavet wilayah provinsi.
a.Penanggulangan wabah dan penyakit hewan menular wilayah provinsi.
Pemantauan dan pengawasan pelaksanaan penanggulangan wabah dan penyakit hewan menular wilayah provinsi.
a.Penerapan dan pengawasan norma, standar teknis pelayanan keswan, kesmavet serta kesejahteraan hewan wilayah kabupaten/kota.
Pengawasan urusan kesejahteraan hewan.
Bimbingan pembangunan dan pengelolaan laboratorium keswan dan laboratorium kesmavet wilayah kabupaten/kota.
a.Penanggulangan wabah dan penyakit hewan menular wilayah kabupaten/kota.
Pemantauan dan pengawasan pelaksanaan penanggulangan wabah dan penyakit hewan menular wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c. — d. — e. — 6. Penetapan standar teknis minimal Rumah Potong Hewan (RPH) dan Rumah Potong Unggas (RPU) keamanan dan mutu produk hewan, laboratorium kesmavet, satuan pelayanan peternakan terpadu, rumah sakit hewan dan pelayanan keswan.
Pencegahan penyakit hewan menular wilayah provinsi.
Penutupan dan pembukaan kembali status daerah wabah tingkat provinsi.
Pengaturan dan pengawasan pelaksanaan pelarangan pemasukan hewan, bahan asal hewan ke/dari wilayah Indonesia antar provinsi di wilayah provinsi.
Penetapan dan identifikasi kebutuhan standar teknis minimal RPH/RPU, keamanan dan mutu produk hewan, laboratorium kesmavet, satuan pelayanan peternakan terpadu, rumah sakit hewan dan pelayanan keswan.
Pencegahan penyakit hewan menular wilayah kabupaten/kota.
Penutupan dan pembukaan kembali status daerah wabah kabupaten/kota.
Pengaturan dan pengawasan pelaksanaan pelarangan pemasukan hewan, bahan asal hewan ke/dari wilayah Indonesia antar provinsi di wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan penerapan dan standar teknis minimal RPH/RPU, keamanan dan mutu produk hewan, laboratorium kesmavet, satuan pelayanan peternakan terpadu, rumah sakit hewan dan pelayanan keswan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 7. Penetapan pedoman pengawasan lalu lintas ternak, produk ternak dan hewan kesayangan.
a.Penetapan pedoman pelayanan keswan.
— c.— 7. Pengawasan lalu lintas ternak, produk ternak dan hewan kesayangan dari/ke wilayah provinsi dan lintas kabupaten/kota.
a.Pembinaan dan pengawasan pelayanan keswan.
— c. — 7. Pengawasan lalu lintas ternak, produk ternak dan hewan kesayangan dari/ke wilayah kabupaten/kota.
a.Bimbingan pelaksanaan unit pelayanan keswan (pos keswan, praktek dokter hewan mandiri, klinik hewan).
Bimbingan dan pelaksanaan pengamatan, pemetaan, pencatatan kejadian dan penanggulangan penyakit hewan.
Bimbingan pelaksanaan penyidikan epidemiologi penyakit hewan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA d.— e.— f. — g.— d. — e. Pembinaan dan pengawasan penerapan standar teknis RPH dan RPU, rumah sakit hewan/unit pelayanan keswan terpadu, pet shop , poultry shop dan distributor obat hewan.
— g. — d. Bimbingan pelayanan kesehatan hewan pada lembaga-lembaga maupun perorangan yang mendapat ijin konservasi satwa liar.
Bimbingan dan pengawasan pelayanan keswan, kesmavet di RPH, tempat pemotongan hewan sementara, tempat pemotongan hewan darurat dan usaha susu.
Bimbingan pengaturan pelayanan kesehatan hewan pada lalu lintas tata niaga hewan (hewan besar, sedang dan kecil).
Bimbingan pelaksanaan sosialisasi dan surveilance Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP). SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA h.— i. — j. — k.— l. — h. Pembinaan dan pengawasan RPH dan RPU.
— j. — k.Pemeriksaan dan pengawasan residu produk pangan asal hewan.
Pembinaan dan sertifikasi pelayanan medik veteriner (dokter hewan praktek, klinik hewan dan rumah sakit hewan).
Bimbingan pelaksanaan standarisasi jagal hewan.
Bimbingan pelaksanaan pelaporan dan pendataan penyakit individual/menular yang mewabah.
Bimbingan pelaksanaan penutupan wilayah pada penyakit hewan yang menular yang mewabah.
Bimbingan pelaksanaan pemeriksaan peredaran produk pangan asal hewan dan pengolahan produk pangan asal hewan.
Bimbingan pelaksanaan dan pengawasan larangan pemotongan ternak betina produktif. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA m. — n.— o.— p.— q.— m. Pembinaan, pengawasan dan pengujian ternak dan bahan asal hewan untuk tujuan ekspor (ternak, daging, susu, hewan kesayangan, hewan liar, dll).
— o. Pembinaan dan pengawasan penyidikan penyakit hewan.
Pembinaan penyidikan dan epidemiologi penyakit hewan, parasit, bakteri, virus dan penyakit hewan lainnya.
Pembinaan pemberantasan dan pencegahan wabah m.Bimbingan pelaksanaan pemantauan penyakit zoonosis.
Bimbingan pelaksaaan peredaran produk pangan asal hewan dan produk hewani non pangan.
Bimbingan pengamatan dan penyidikan epidemiologi penyakit hewan parasit, bakteri, virus dan penyakit hewan lainnya.
— q. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA r. — s.— t. — u. — v.— w. — penyakit hewan menular strategis mewabah.
Pembinaan peramalan wabah penyakit hewan menular wilayah provinsi.
Pembinaan penutupan dan pembukaan kembali wilayah penyakit hewan menular lintas kabupaten/kota.
Pembinaan pembuatan peta situasi penyebaran penyakit hewan di provinsi.
Pembinaan dan pengawasan dan pemantauan penyakit hewan zoonosis.
Pembinaan pelayanan dan pengamanan wilayah terpadu pada kejadian wabah/epidemik.
Pembinaan penerapan r. — s. Penutupan dan pembukaan kembali wilayah penyakit hewan menular skala kabupaten/kota.
— u. — v. — w. Bimbingan penerapan norma, SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA x.— y.— z. — 9.a.Penetapan pedoman dan standar dan sertifikasi pelayanan medik/paramedik veteriner.
— standar teknis pelayanan keswan, kesmavet serta kesejahteraan hewan wilayah provinsi.
— y. — z. — 9.a.Pembinaan dan pelaporan pelayanan medik/paramedik veteriner di lembaga-lembaga pemerintahan dan unit-unit pelayanan medik/paramedik veteriner di tingkat provinsi.
— standar teknis pelayanan keswan, kesmavet serta kesejahteraan hewan wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan dan pengawasan urusan kesejahteraan hewan.
Sertifikasi keswan yang keluar/masuk wilayah kabupaten/kota.
Sertifikasi kesehatan bahan asal hewan yang keluar/masuk wilayah kabupaten/kota.
a.Pelaksanaan pelayanan medik/paramedik veteriner di kabupaten/kota.
Pelaporan pelayanan medik/ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 10.a. Pedoman, standar dan norma penyidikan penyakit hewan.
— c.— 10.a.Pembinaan dan pengawasan penyidikan penyakit hewan.
Pembinaan penyidikan dan epidemiologi penyakit hewan, parasit, bakteri dan penyakit hewan lainnya.
— paramedik veteriner dalam pencegahan dan penanggulangan penyakit hewan menular/non menular, penyakit individual, penyakit parasiter, virus, bakteri, penyakit reproduksi dan gangguan reproduksi.
a.Bimbingan pengamatan dan penyidikan epidemiologi penyakit hewan parasit, bakteri, virus dan penyakit hewan lainnya.
Bimbingan penerapan norma, standar teknis pelayanan kesehatan hewan.
Sertifikasi kesehatan hewan yang keluar/masuk wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 9. Penyebaran dan Pengembangan Peternakan 1.a.Penetapan kebijakan dan pedoman penyebaran dan pengembangan peternakan.
— 2.a.Penetapan pedoman lalu lintas ternak antar daerah.
— c. — 3.a. — 1.a.Penerapan dan pengawasan pelaksanaan kebijakan dan pedoman penyebaran dan pengembangan peternakan wilayah provinsi.
— 2.a.Pemantauan lalu lintas ternak wilayah provinsi.
— c. — 3.a. Pembinaan penetapan pedoman lalu lintas ternak bibit wilayah provinsi.
a.Pelaksanaan kebijakan penyebaran pengembangan peternakan wilayah kabupaten/kota.
Pemantauan penyebaran ternak yang dilakukan swasta wilayah kabupaten/kota.
a.Pemantauan lalu lintas ternak wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan melaksanakan kebijakan penyebaran dan pengembangan peternakan wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pemantauan dan penyebaran ternak yang dilakukan swasta.
a. Bimbingan pelaksanaan penetapan penyebaran ternak wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. — 4. — 5. — 6. — 7. — 8. — b. — 4. — 5. — 6. — 7. — 8. — b. Bimbingan pelaksanaan penetapan penyebaran, registrasi dan redistribusi ternak wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pelaksanaan identifikasi dan seleksi ternak wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pelaksanaan identifikasi calon penggaduh wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pelaksanaan seleksi lokasi.
Bimbingan pelaksanaan seleksi calon penggaduh.
Pelaksanaan identifikasi lokasi terhadap penyebaran ternak. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 9. — 10. — 9. — 10. — 9. Bimbingan pelaksanaan sistem dan pola penyebaran ternak.
Bimbingan pelaksanaan evaluasi pelaporan penyebaran dan pengembangan ternak.
Perizinan/ Rekomendasi 1.a.Penetapan pedoman pendaftaran perijinan usaha peternakan dan kesehatan hewan.
— c. — d. — e. — 1.a.Pembinaan pemberian perizinan usaha di bidang peternakan dan kesehatan hewan di wilayah provinsi.
— c. — d. — e. — 1.a.Pemberian izin usaha budidaya peternakan wilayah kabupaten/kota.
Pemberian izin rumah sakit hewan/pasar hewan.
Pemberian izin praktek dokter hewan.
Pemberian izin laboratorium keswan dan laboratorium kesmavet.
Pendaftaran usaha peternakan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA f. — g. — 2. Penetapan pedoman, norma dan standar pelayanan medik veteriner.
Pendaftaran mutu pakan.
a.Pendaftaran prototipe alat dan mesin peternakan dan keswan.
— f. — g. — 2. Pembinaan dan sertifikasi pelayanan medik veteriner (dokter hewan praktek, klinik hewan dan rumah sakit hewan).
Rekomendasi pendaftaran mutu pakan.
a.Penentuan kebutuhan prototipe alat dan mesin peternakan dan keswan wilayah provinsi.
— f. Pemberian izin usaha RPH/RPU.
Pemantauan dan pengawasan pelaksanaan izin usaha peternakan.
— 3. — 4.a.Pemberian izin pengadaan dan peredaran alat dan mesin peternakan dan keswan wilayah kabupaten/kota.
Pengembangan alat dan mesin peternakan dan keswan sesuai standar wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Pendaftaran obat hewan.
Pemberian izin usaha obat hewan sebagai produsen dan importir.
a.Pemberian izin pemasukan dan pengeluaran bibit ternak dari dan keluar negeri.
— 8.a.Pemberian persetujuan pemasukan hewan dan produk hewan dari luar negeri serta sertifikat pengeluaran dan produk hewan ke luar negeri.
— 5. — 6. Pemberian izin usaha obat hewan sebagai distributor wilayah provinsi.
a.Pemberian izin pengeluaran ternak bibit dan potong dari dan ke wilayah provinsi.
Pemantauan dan rekomendasi pemasukan dan pengeluaran dari dan keluar negeri.
a.Pemberian rekomendasi pemasukan/ pengeluaran hewan/ternak dan produk hewan dari dan antar provinsi/pulau.
— 5. — 6. Pemberian izin usaha obat hewan di tingkat depo, toko, kios dan pengecer obat hewan, poultry shop dan pet shop wilayah kabupaten/kota.
a.— b. Bimbingan dan pemantauan ternak bibit asal impor wilayah kabupaten/ kota.
a.Pemberian surat keterangan asal hewan dan produk hewan.
Pemberian surat keterangan asal/kesehatan bahan asal SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 9. Penetapan instalasi karantina hewan sementara.
Penetapan pedoman usaha budidaya hewan kesayangan.
Penetapan pedoman, standar alat angkut/transportasi produk peternakan.
a.Penetapan pedoman pemberian NKV.
— 9. Pemberian rekomendasi instalasi karantina hewan di wilayah provinsi.
Pembinaan izin usaha budidaya hewan kesayangan wilayah provinsi.
Pembinaan usaha alat angkut/transportasi produk peternakan.
a.Pembinaan dan pemberian NKV untuk unit usaha produk pangan asal hewan wilayah provinsi.
— ternak dan hasil bahan asal ternak.
Pemberian rekomendasi instalasi karantina hewan di wilayah kabupaten/kota.
Pembinaan izin usaha budidaya hewan kesayangan kabupaten/kota.
Pemberian izin usaha alat angkut/transportasi produk peternakan.
a.Bimbingan standar teknis unit usaha produk pangan asal hewan wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pelaksanaan penerapan NKV wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 11.Pembinaan Usaha 1. Penetapan pedoman kerjasama/kemitraan usaha peternakan.
Penerapan dan pengawasan pelaksanaan pedoman kerjasama/kemitraan usaha peternakan wilayah provinsi.
Penerapan dan pengawasan pelaksanaan pedoman kerjasama/kemitraan usaha peternakan wilayah kabupaten/kota.
a.Penetapan pedoman pembinaan usaha peternakan yang meliputi budidaya pembinaan mutu, pengolahan hasil peternakan dan hasil bahan asal hewan, penetapan tarif pemasaran dan kelembagaan usaha.
a.Pembinaan dan pengawasan penerapan standar teknis pembinaan mutu dan pengolahan hasil peternakan dan hasil bahan asal hewan wilayah provinsi.
a.Bimbingan penerapan standar-standar teknis, pembinaan mutu dan pengolahan hasil peternakan wilayah kabupaten/kota.
— b. Pembinaan dan pengawasan lembaga sistem mutu produk peternakan dan hasil bahan asal hewan wilayah provinsi.
Bimbingan pemantauan dan pengawasan lembaga sistem mutu produk peternakan dan hasil bahan asal wilayah kabupaten/kota.
— c. Pembinaan dan pengawasan peningkatan mutu hasil peternakan dan hasil bahan asal hewan wilayah provinsi.
Bimbingan peningkatan mutu hasil peternakan dan hasil bahan asal hewan wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA d. — d. Pembinaan dan pengawasan pengelolaan unit pengolahan alat transportasi, unit penyimpanan hasil bahan asal hewan wilayah provinsi.
Bimbingan pengelolaan unit pengolahan, alat transportasi, unit penyimpanan hasil bahan asal hewan wilayah kabupaten/kota.
— e. Promosi komoditas peternakan wilayah provinsi. e. Promosi komoditas peternakan wilayah kabupaten/kota.
— f. Pembinaan analisis usaha tani dan pemasaran hasil peternakan wilayah provinsi.
Bimbingan analisis usaha tani dan pemasaran hasil peternakan wilayah kabupaten/kota.
— g. Pembinaan kelembagaan usaha tani, manajemen usaha tani dan pencapaian pola kerjasama usaha tani wilayah provinsi.
Bimbingan kelembagaan usaha tani, manajemen usaha tani dan pencapaian pola kerjasama usaha tani wilayah kabupaten/kota.
— h. Pembinaan dan pengawasan penerapan standar teknis peternakan dan kesehatan hewan, pembinaan mutu dan pengelolaan hasil peternakan, h. Bimbingan pelaksanaan standardisasi teknis analisa usaha, pembinaan mutu dan pengolahan hasil serta pemasaran. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA i. — j. — k. — l. — kelembagaan usaha tani, pelayanan dan izin usaha.
— j. Pembinaan dan pengawasan penerapan teknologi panen, pasca panen dan pengolahan hasil peternakan wilayah provinsi.
Pembinaan dan pengawasan pemeriksaan hygiene dan sanitasi lingkungan usaha peternakan wilayah provinsi.
Pembinaan dan pelaksanaan studi amdal/UKL-UPL di bidang peternakan wilayah provinsi.
Pembinaan mutu dan pengelolaan hasil produk olahan peternakan dan keswan.
Bimbingan penerapan teknologi panen, pasca panen dan pengolahan hasil peternakan wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pemantauan dan pemeriksaan hygiene dan sanitasi lingkungan usaha peternakan wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan dan pelaksanaan studi amdal/UKL-UPL di bidang peternakan wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA m.— m.Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan amdal wilayah provinsi.
Bimbingan pelaksanaan amdal wilayah kabupaten/kota.
Penetapan pedoman kerjasama/kemitraan usaha peternakan.
Pembinaan dan pengawasan penerapan pedoman kerjasama/kemitraan usaha peternakan wilayah provinsi.
Bimbingan penerapan pedoman kerjasama/kemitraan usaha peternakan wilayah kabupaten/kota.
Sarana Usaha 1.a.Penetapan kebijakan, pedoman, norma dan standar sarana usaha.
— 1.a.Bimbingan penerapan pedoman, norma, standar sarana usaha wilayah provinsi.
Bimbingan teknis pembangunan sarana fisik (bangunan), penyimpanan, pengolahan dan pemasaran sarana produksi serta pemasaran hasil peternakan wilayah provinsi.
a.Bimbingan penerapan pedoman, norma, standar sarana usaha wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan teknis pembangunan sarana fisik (bangunan), penyimpanan, pengolahan dan pemasaran sarana produksi serta pemasaran hasil peternakan wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 13. Panen, Pasca Panen dan Pengolahan Hasil 1. Penetapan kebijakan penanganan panen, pasca panen dan pengolahan hasil peternakan.
Penetapan metode perkiraan kehilangan hasil budidaya peternakan.
Penetapan standar unit pengolahan, alat transportasi dan unit penyimpanan dan kemasan hasil peternakan.
a.Penetapan pedoman panen, pasca panen dan pengolahan hasil peternakan.
— 1. Pemantauan dan evaluasi penanganan panen, pasca panen dan pengolahan hasil peternakan wilayah provinsi.
Bimbingan perhitungan perkiraan kehilangan hasil budidaya peternakan wilayah provinsi.
Pengawasan standar unit pengolahan, alat transportasi dan unit penyimpanan dan kemasan hasil peternakan wilayah provinsi.
a.Penyebarluasan dan pemantauan penerapan teknologi panen, pasca panen dan pengolahan hasil peternakan wilayah provinsi.
— 1. Bimbingan penanganan panen, pasca panen dan pengolahan hasil peternakan wilayah kabupaten/kota.
Perhitungan perkiraan kehilangan hasil budidaya peternakan wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan penerapan standar unit pengolahan, alat transportasi dan unit penyimpanan dan kemasan hasil peternakan wilayah kabupaten/kota.
a.Penyebarluasan dan pemantauan penerapan teknologi panen, pasca panen dan pengolahan hasil peternakan wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan penerapan teknologi panen, pasca panen SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA dan pengolahan hasil peternakan wilayah kabupaten/kota.
Pemasaran 1. Penetapan pedoman pemasaran hasil peternakan.
Promosi komoditas peternakan nasional dan internasional.
Penyebarluasan informasi pasar dalam dan luar negeri.
Pemantauan dan evaluasi pemasaran hasil peternakan wilayah provinsi.
Promosi komoditas peternakan wilayah provinsi.
Penyebarluasan informasi pasar wilayah provinsi.
Bimbingan pemasaran hasil peternakan wilayah kabupaten/kota.
Promosi komoditas peternakan wilayah kabupaten/kota.
Penyebarluasan informasi pasar wilayah kabupaten/kota.
Pengembangan sistem statistik dan informasi peternakan dan keswan 1. Penetapan kebijakan pengembangan sistem statistik dan informasi peternakan nasional.
Bimbingan penerapan sistem perstatistikan dan informasi peternakan wilayah provinsi.
Penerapan sistem perstatistikan dan informasi peternakan wilayah kabupaten/kota.
Pembinaan dan pengelolaan sistem statistik dan informasi peternakan nasional.
Pengolahan sistem statistik dan informasi peternakan wilayah provinsi.
Pengumpulan, pengolahan dan analisis data peternakan wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penetapan kebijakan dan pedoman perstatistikan peternakan dan keswan nasional.
Pembinaan dan pengawasan penerapan perstatistikan peternakan dan keswan wilayah provinsi.
Bimbingan penerapan perstatistikan peternakan dan keswan wilayah kabupaten/kota.
a.Pembinaan dan pengelolaan sistem statistik dan informasi peternakan dan kesehatan hewan nasional.
a.Pembinaan dan pengawasan penerapan sistem informasi wilayah provinsi.
a.Bimbingan penerapan sistem informasi wilayah kabupaten/kota.
— b. Pembinaan dan pengawasan pengumpulan, pengelolaan, analisis, penyajian dan pelayanan data dan statistik peternakan dan kesehatan hewan wilayah provinsi.
— c. — c. Pembinaan dan pengawasan manajemen pengumpulan, pengolahan data komoditas/produksi peternakan dan sumberdaya strategis lintas kabupaten/kota.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA d. — d. Pembinaan dan pengawasan pengumpulan, pengolahan, analisis, penyajian dan pelayanan data dan statistik komoditas strategis.
— e. — e. Pembinaan dan pengawasan pelayanan informasi pembangunan peternakan dan keswan wilayah provinsi.
— f. — g. — f. Pembinaan dan pengawasan terminal cyber space agribisnis peternakan dan keswan wilayah provinsi.
Pembinaan dan pengawasan pengumpulan, analisis dan informasi kebutuhan produk peternakan dan keswan wilayah provinsi.
— g. — 16. Pengawasan dan Evaluasi 1. Pengawasan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan, norma, standar, kriteria, pedoman dan 1. — 1. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA prosedur di bidang peternakan dan keswan dan kesmavet.
Ketahanan Pangan 1. Ketahanan Pangan 1.a.Pengaturan, pengawasan dan pembinaan peningkatan ketersediaan dan keragaman pangan.
— c. — d. — 2.a.Pengaturan dan koordinasi cadangan pangan pemerintah 1.a.Identifikasi ketersediaan dan keragaman produk pangan.
Identifikasi kebutuhan produksi dan konsumsi masyarakat.
Koordinasi pencegahan dan pengendalian masalah pangan sebagai akibat menurunnya ketersediaan pangan karena berbagai sebab.
— 2.a.Pembinaan cadangan pangan masyarakat.
a.Identifikasi potensi sumberdaya dan produksi pangan serta keragaman konsumsi pangan masyarakat.
Pembinaan peningkatan produksi dan produk pangan berbahan baku lokal.
Pembinaan pengembangan penganekaragaman produk pangan.
Pencegahan dan pengendalian masalah pangan sebagai akibat menurunnya ketersediaan pangan.
a.Identifikasi cadangan pangan masyarakat. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA dan pembinaan cadangan pangan masyarakat.
— c. — 3.a.Pengaturan dan pengawasan peningkatan akses pangan untuk masyarakat miskin dan rawan pangan.
— c. — b. Pengembangan dan pengaturan cadangan pangan pokok tertentu provinsi.
Koordinasi dan pengendalian cadangan pangan pemerintah dan masyarakat.
a.Koordinasi penanganan kerawanan pangan provinsi.
Koordinasi pencegahan dan penanggulangan masalah pangan sebagai akibat menurunnya mutu, gizi dan keamanan pangan.
Pengendalian kerawanan pangan wilayah provinsi.
Pengembangan dan pengaturan cadangan pangan pokok tertentu kabupaten/kota.
Pembinaan dan monitoring cadangan pangan masyarakat.
a.Penanganan dan penyaluran pangan untuk kelompok rawan pangan tingkat kabupaten/kota.
Pencegahan dan penanggulangan masalah pangan sebagai akibat menurunnya mutu, gizi dan keamanan pangan.
Identifikasi kelompok rawan pangan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4.a.Peningkatan infrastruktur distribusi dan koordinasi pengendalian stabilitas harga pangan strategis.
— c. — d. — e. — 4.a.Identifikasi infrastruktur distribusi pangan.
Pengembangan infrastruktur distribusi pangan provinsi dan koordinasi pengembangan infrastruktur provinsi.
Koordinasi pencegahan penurunan akses pangan masyarakat dan peningkatan akses pangan masyarakat.
Informasi harga di provinsi.
Pengembangan jaringan pasar di wilayah provinsi.
a.Identifikasi infrastruktur distribusi pangan kabupaten/kota.
Pengembangan infrastruktur distribusi pangan kabupaten/kota.
Pencegahan dan pengendalian masalah pangan sebagai akibat penurunan akses pangan.
Informasi harga di kabupaten/kota.
Pembangunan pasar untuk produk pangan yang dihasilkan masyarakat kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5.a.Pembinaan peningkatan keragaman konsumsi serta mutu, gizi dan keamanan pangan.
— c. — d. — e. — f. — 5.a.Identifikasi pangan pokok masyarakat.
— c. Pembinaan peningkatan mutu konsumsi masyarakat menuju gizi seimbang berbasis bahan baku lokal.
Pembinaan mutu dan keamanan produk pangan pabrikan di provinsi.
— f. — 5.a.Identifikasi pangan pokok masyarakat.
Peningkatan mutu konsumsi masyarakat.
— d. Pembinaan dan pengawasan mutu dan keamanan produk pangan masyarakat.
Analisis mutu, gizi dan keamanan produk pangan masyarakat.
Analisis mutu dan gizi konsumsi masyarakat. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA g. — 6.a.Fasilitasi peran serta masyarakat dan bekerja sama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
— c. — d. — 7. Pengendalian pemantapan ketahanan pangan nasional.
Pengembangan kelembagaan sertifikasi produk pangan segar dan pabrikan skala kecil/rumah tangga.
a.Identifikasi LSM dan tokoh masyarakat provinsi.
Pengembangan dan fasilitasi forum masyarakat provinsi.
Pengembangan µ trust fund µ provinsi.
Pengalokasian APBD provinsi untuk ketahanan pangan.
Pengumpulan dan analisis informasi ketahanan pangan provinsi.
Pembinaan dan pengawasan produk pangan segar dan pabrikan skala kecil/rumah tangga.
a.Identifikasi LSM dan tokoh masyarakat kabupaten/kota.
Pengembangan dan fasilitasi forum masyarakat kabupaten/kota.
Pengembangan µ trust fund µ di kabupaten/kota.
Pengalokasian APBD kabupaten/kota untuk ketahanan pangan.
Pengumpulan dan analisis informasi ketahanan pangan kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Keamanan Pangan 1. Perumusan standar Batas Minimum Residu (BMR).
Penyusunan modul pelatihan inspektur, fasilitator, Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) keamanan pangan.
Pembinaan sistem manajemen laboratorium uji mutu dan keamanan pangan nasional.
a.Monitoring otoritas kompeten provinsi.
— 1. Pembinaan penerapan standar BMR wilayah provinsi.
Pelatihan inspektur, fasilitator, PPNS keamanan pangan wilayah provinsi.
Pembinaan sistem manajemen laboratorium uji mutu dan keamanan pangan provinsi.
a.Monitoring otoritas kompeten kabupaten/kota.
Pelaksanaan sertifikasi dan pelabelan prima wilayah provinsi.
Penerapan standar BMR wilayah kabupaten/kota.
Pelatihan inspektur, fasilitator, PPNS keamanan pangan wilayah kabupaten/kota.
Pembinaan sistem manajemen laboratorium uji mutu dan keamanan pangan kabupaten/kota.
a.— b. Pelaksanaan sertifikasi dan pelabelan prima wilayah kabupaten/kota.
Penunjang 1. Karantina Pertanian 1. Penetapan kebijakan dan pedoman perkarantinaan pertanian (hewan dan tumbuhan).
— 1. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pelaksanaan perkarantinaan pertanian (hewan dan tumbuhan).
— 2. — 2. Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) Pertanian 1. Penetapan kebijakan SDM pertanian tingkat nasional.
Penetapan persyaratan jabatan pada institusi pertanian.
Perencanaan, pengembangan, mutasi jabatan fungsional (rumpun ilmu hayat dan non rumpun ilmu hayat) nasional.
Pengkajian SDM pertanian.
Penetapan norma, standarisasi kelembagaan pendidikan keahlian pertanian.
Penetapan kebijakan SDM pertanian tingkat provinsi.
Penerapan persyaratan jabatan pada institusi pertanian di wilayah provinsi.
Perencanaan, pengembangan, mutasi jabatan fungsional (rumpun ilmu hayat dan non rumpun ilmu hayat) wilayah provinsi.
— 5. — 1. Penetapan kebijakan SDM pertanian tingkat kabupaten/kota.
Penerapan persyaratan jabatan pada institusi pertanian di wilayah kabupaten/kota.
Perencanaan, pengembangan, mutasi jabatan fungsional (rumpun ilmu hayat dan non rumpun ilmu hayat) di wilayah kabupaten/kota.
— 5. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Penyelenggaraan pendidikan keahlian pertanian.
Penetapan norma, standar dan akreditasi kelembagaan pendidikan keterampilan pertanian.
Penetapan dan pelaksanaan persyaratan, sertifikasi dan akreditasi jabatan tenaga fungsional pendidikan keahlian dan keterampilan pertanian.
Penetapan standar dan prosedur sistem dan metode pendidikan dan keahlian dan keterampilan pertanian.
Penetapan norma dan standar kelembagaan pelatihan pertanian.
Penyelenggaraan pendidikan keterampilan pertanian.
Penerapan norma, standar dan akreditasi kelembagaan pendidikan keterampilan pertanian.
Penetapan sertifikasi dan akreditasi jabatan fungsional pendidikan keterampilan pertanian.
Penerapan standarisasi dan prosedur sistem dan metode pendidikan keterampilan.
Penerapan norma dan standar kelembagaan pelatihan pertanian.
Penyiapan tenaga didik/peserta pendidikan keahlian dan keterampilan.
— 8. — 9. — 10.— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 11. Penyelenggaraan pelatihan keahlian pertanian.
Penetapan dan pelaksanaan persyaratan, sertifikasi dan akreditasi jabatan tenaga fungsional widyaiswara pertanian.
Penetapan standar dan prosedur sistem dan metode pelatihan pertanian.
Penyelenggaraan pelatihan keterampilan pertanian.
Pelaksanaan akreditasi jabatan fungsional widyaiswara.
Perencanaan dan standarisasi dan prosedur sistem dan metode pelatihan pertanian.
— 12.— 13.— 3. Penyuluhan Pertanian 1. Penetapan kebijakan dan pedoman penyuluhan pertanian.
Pembinaan penyelenggaraan penyuluhan pertanian provinsi.
Penetapan, norma dan standar kelembagaan penyuluhan pertanian.
Penerapan kebijakan dan pedoman penyuluhan pertanian.
Pembinaan penyelenggaraan penyuluhan pertanian wilayah kabupaten/kota.
Penetapan kelembagaan penyuluhan pertanian di provinsi sesuai norma dan standar.
Penerapan kebijakan dan pedoman penyuluhan pertanian.
Pembinaan penyelenggaraan penyuluhan pertanian wilayah kecamatan/desa.
Penetapan kelembagaan penyuluhan pertanian di kabupaten/kota sesuai norma dan standar. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Penetapan persyaratan, sertifikasi dan akreditasi jabatan penyuluh pertanian.
a Penetapan standar dan prosedur sistem kerja penyuluhan pertanian.
— 6. Penyelenggaraan penyuluhan pertanian di tingkat nasional.
Penerapan persyaratan, sertifikasi dan akreditasi jabatan penyuluh pertanian.
a Penerapan standar dan prosedur sistem kerja penyuluhan pertanian.
— 6. Penyelenggaraan penyuluhan pertanian di tingkat provinsi.
Penerapan persyaratan, sertifikasi dan akreditasi jabatan penyuluh pertanian.
a Penerapan standar dan prosedur sistem kerja penyuluhan pertanian.
Perencanaan penyuluhan pertanian di tingkat desa, kecamatan dan kabupaten/kota.
Penyelenggaraan penyuluhan pertanian di tingkat kabupaten/kota.
Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pertanian 1. Penetapan kebijakan arah dan prioritas penelitian dan pengembangan pertanian.
Penelitian yang menghasilkan teknologi di bidang pertanian.
— 2. Pemantauan dan pengawasan penerapan teknologi pertanian spesifik lokasi.
— 2. Bimbingan, pendampingan dan pengawasan penerapan teknologi hasil penelitian dan pengkajian. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Pembinaan, supervisi dan fasilitasi pengkajian, diseminasi dan penerapan teknologi/hasil pertanian.
Pembinaan, supervisi dan fasilitasi pengembangan dan penerapan hasil pengkajian teknologi spesifik lokasi.
— 5. Perlindungan Varietas 1. Pengawasan penerapan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di bidang Perlindungan Varietas Tanaman (PVT).
Pengaturan dan pemberian hak PVT kepada penemu varietas baru.
Pemberian nama dan pendaftaran varietas lokal yang sebaran geografisnya meliputi lintas provinsi.
Izin penggunaan varietas lokal untuk pembuatan varietas turunan esensial yang sebaran geografisnya meliputi lintas provinsi.
— 2. — 3. Pemberian nama dan pendaftaran varietas lokal yang sebaran geografisnya meliputi lintas kabupaten/kota.
Izin penggunaan varietas lokal untuk pembuatan varietas turunan esensial yang sebaran geografisnya meliputi lintas kabupaten/kota.
— 2. — 3. Pemberian nama dan pendaftaran varietas lokal yang sebaran geografisnya pada satu kabupaten/kota.
Izin penggunaan varietas lokal untuk pembuatan varietas turunan esensial yang sebaran geografisnya pada satu kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Sumber Daya Genetik (SDG) 1.a.Menetapkan kebijakan pengelolaan (pelestarian dan pemanfaatan) sumber daya genetik yang berkaitan dengan akses dan pembagian keuntungan yang diperoleh dari pemanfaatan SDG secara berkelanjutan.
— 2. Pengaturan pemasukan dan pengeluaran plasma nutfah Convention on International Trade Endanger Species (CITES).
a.Pengaturan pembagian keuntungan yang diperoleh dari pemanfaatan SDG yang terdapat di beberapa kabupaten/kota yang ada di provinsi tersebut.
Pengawasan penyusunan perjanjian akses terhadap pembagian keuntungan dari pemanfaatan SDG yang ada di provinsi tersebut (kalau satu jenis SDG terdapat di beberapa kabupaten/kota).
— 1.a.Pengaturan hasil pembagian keuntungan yang diperoleh untuk konservasi SDG dan kesejahteraan masyarakat.
Pengawasan penyusunan perjanjian akses terhadap pembagian keuntungan dari pemanfaatan SDG yang ada di wilayahnya.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 7. Standarisasi dan Akreditasi 1. Perumusan kebijakan sektor pertanian di bidang standarisasi.
Penyusunan rencana dan penetapan program standarisasi sektor pertanian.
Koordinasi standarisasi nasional sektor pertanian.
Perumusan rancangan Standar Nasional Indonesia (SNI) sektor pertanian melalui konsensus untuk ditetapkan sebagai SNI.
Penetapan pemberlakuan SNI wajib.
Rekomendasi usulan kebijakan sektor pertanian di bidang standarisasi sesuai pengalaman di daerah.
Rekomendasi aspek teknis, sosial dan ekonomi dalam penyusunan rencana dan program standarisasi sektor pertanian.
Koordinasi standarisasi sektor pertanian di provinsi.
Koordinasi pengusulan kebutuhan standar yang akan dirumuskan sesuai kebutuhan daerah.
Rekomendasi aspek teknis, sosial dan bisnis dalam rencana pemberlakuan wajib SNI serta memberikan usulan pemberlakuan wajib SNI.
Rekomendasi usulan kebijakan sektor pertanian di bidang standarisasi sesuai pengalaman di daerah.
Rekomendasi aspek teknis, sosial dan ekonomi dalam penyusunan rencana dan program nasional di bidang standarisasi di daerah.
Koordinasi standarisasi sektor pertanian di kabupaten/kota.
Pengusulan kebutuhan standar yang akan dirumuskan.
Rekomendasi aspek teknis, sosial dan bisnis dalam rencana pemberlakuan wajib SNI serta mengusulkan usulan pemberlakuan wajib SNI. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Fasilitasi kelembagaan sektor pertanian yang akan mengajukan akreditasi.
Penilaian kesesuaian terhadap pemohon akreditasi di sektor pertanian.
Penetapan sistem dan pelaksanaan sertifikasi sektor pertanian.
Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan sistem sertifikasi sektor pertanian.
Pembinaan laboratorium penguji dan lembaga inspeksi dalam lingkungan pertanian.
Pembinaan dan pengawasan lembaga sertifikasi dan 6. Penerapan sistem manajemen mutu kelembagaan dalam rangka proses akreditasi di provinsi.
— 8. Penerapan sistem sertifikasi yang mendukung standarisasi sektor pertanian di provinsi.
— 10. Dukungan pengembangan laboratorium penguji dan lembaga inspeksi sektor pertanian di provinsi.
Kerjasama standarisasi dan penyampaian rekomendasi 6. Penerapan sistem manajemen mutu kelembagaan dalam rangka proses akreditasi di kabupaten/kota.
— 8. Penerapan sistem sertifikasi yang mendukung standarisasi sektor pertanian di kabupaten/kota.
— 10. Pengembangan pembinaan laboratorium penguji dan lembaga inspeksi sektor pertanian di kabupaten/kota.
Kerjasama standarisasi dalam rangka penerapan standar dan SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA laboratorium penguji dalam mendukung penerapan standarisasi di sektor pertanian.
Pengembangan dokumentasi dan informasi standarisasi sektor pertanian.
Menyusun dan melaksanakan program pemasyarakatan standarisasi sektor pertanian.
Penyelenggaraan program pendidikan dan pelatihan standarisasi sektor pertanian. teknis dalam rangka penerapan standar dan peningkatan daya saing produk pertanian.
Fasilitasi penyebaran dokumentasi dan informasi standarisasi sektor pertanian di provinsi.
Fasilitasi pelaksanaan program pemasyarakatan standarisasi di provinsi.
Fasilitasi penyelenggaraan program pendidikan dan pelatihan standarisasi sektor pertanian sesuai kebutuhan di provinsi. peningkatan daya saing produk pertanian.
Fasilitasi penyebaran dokumentasi dan informasi standarisasi sektor pertanian di kabupaten/kota.
Fasilitasi pelaksanaan program pemasyarakatan standarisasi di kabupaten/kota.
Fasilitasi penyelenggaraan program pendidikan dan pelatihan standarisasi sektor pertanian sesuai kebutuhan di kabupaten/kota. AA. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KEHUTANAN SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Inventarisasi Hutan 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria inventarisasi hutan, dan inventarisasi hutan kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, taman buru dan inventarisasi hutan daerah aliran sungai (DAS) skala nasional.
Penyelenggaraan inventarisasi hutan produksi, hutan lindung dan taman hutan raya dan skala DAS lintas kabupaten/kota.
Penyelenggaraan inventarisasi hutan produksi dan hutan lindung dan skala DAS dalam wilayah kabupaten/kota.
Pengukuhan Kawasan Hutan Produksi, Hutan Lindung, Kawasan Pelestarian Alam, Kawasan Suaka Alam dan Taman Buru 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pelaksanaan pengukuhan kawasan hutan produksi, hutan lindung, kawasan pelestarian alam, kawasan suaka alam dan taman buru.
— 1. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penunjukan Kawasan Hutan, Hutan Produksi, Hutan Lindung, Kawasan Pelestarian Alam, Kawasan Suaka Alam dan Taman Buru 1. Pelaksanaan penunjukan kawasan hutan produksi, hutan lindung, kawasan pelestarian alam, kawasan suaka alam dan taman buru.
Pemberian pertimbangan teknis penunjukan kawasan hutan produksi, hutan lindung, kawasan pelestarian alam, kawasan suaka alam dan taman buru.
Pengusulan penunjukan kawasan hutan produksi, hutan lindung, kawasan pelestarian alam, kawasan suaka alam dan taman buru.
Penataan Batas dan Pemetaan Kawasan Hutan Produksi, Hutan Lindung, Kawasan Pelestarian Alam, Kawasan Suaka Alam dan Taman Buru 1. Penyelenggaraan tata batas, penataan dan pemetaan kawasan hutan produksi, hutan lindung, kawasan pelestarian alam, kawasan suaka alam dan taman buru.
— 1. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Penetapan Kawasan Hutan Produksi, Hutan Lindung, Kawasan Pelestarian Alam, Kawasan Suaka Alam dan Taman Buru 1. Pelaksanaan penetapan kawasan hutan produksi, hutan lindung, kawasan pelestarian alam, kawasan suaka alam dan taman buru.
— 1. — 6. Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan penetapan pengelola kawasan hutan dengan tujuan khusus untuk masyarakat hukum adat, penelitian dan pengembangan, pendidikan dan pelatihan kehutanan, lembaga sosial dan keagamaan.
Pengusulan dan pertimbangan teknis pengelolaan kawasan hutan dengan tujuan khusus untuk masyarakat hukum adat, penelitian dan pengembangan, pendidikan dan pelatihan kehutanan, lembaga sosial dan keagamaan untuk skala provinsi.
Pengusulan pengelolaan kawasan hutan dengan tujuan khusus untuk masyarakat hukum adat, penelitian dan pengembangan, pendidikan dan pelatihan kehutanan, lembaga sosial dan keagamaan untuk skala kabupaten/kota dengan pertimbangan gubernur. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 7. Penatagunaan Kawasan Hutan 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria penatagunaan kawasan hutan, pelaksanaan penetapan fungsi, perubahan status dan fungsi hutan serta perubahan hak dari lahan milik menjadi kawasan hutan, pemberian perizinan penggunaan dan tukar menukar kawasan hutan.
Pertimbangan teknis perubahan status dan fungsi hutan, perubahan status dari lahan milik menjadi kawasan hutan, dan penggunaan serta tukar menukar kawasan hutan.
Pengusulan perubahan status dan fungsi hutan dan perubahan status dari lahan milik menjadi kawasan hutan, dan penggunaan serta tukar menukar kawasan hutan.
Pembentukan Wilayah Pengelolaan Hutan 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pelaksanaan penetapan pembentukan wilayah pengelolaan hutan, penetapan wilayah pengelolaan dan institusi wilayah pengelolaan, serta arahan pencadangan.
Pelaksanaan penyusunan rancang bangun, pembentukan dan pengusulan penetapan wilayah pengelolaan hutan lindung dan hutan produksi serta pertimbangan teknis institusi wilayah pengelolaan hutan.
Pertimbangan penyusunan rancang bangun dan pengusulan pembentukan wilayah pengelolaan hutan lindung dan hutan produksi, serta institusi wilayah pengelolaan hutan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 9. Rencana Pengelolaan Jangka Panjang (Dua Puluh Tahunan) Unit Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pengesahan rencana pengelolaan jangka panjang unit KPHP.
Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan jangka panjang unit kesatuan pengelolaan hutan produksi KPHP.
Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan jangka panjang unit KPHP.
Rencana Pengelolaan Jangka Menengah (Lima Tahunan) Unit KPHP 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pengesahan rencana pengelolaan jangka menengah unit KPHP.
Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan jangka menengah unit KPHP.
Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan jangka menengah unit KPHP.
Rencana Pengelolaan Jangka Pendek (Tahunan) Unit KPHP 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria rencana pengelolaan jangka pendek unit KPHP.
Pengesahan rencana pengelolaan jangka pendek unit KPHP.
Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan jangka pendek unit KPHP. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 12. Rencana Kerja Usaha Dua Puluh Tahunan Unit Usaha Pemanfaatan Hutan Produksi 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria dan pengesahan rencana kerja usaha dua puluh tahunan unit usaha pemanfaatan hutan produksi.
Pertimbangan teknis pengesahan rencana kerja usaha dua puluh tahunan unit usaha pemanfaatan hutan produksi.
Pertimbangan teknis pengesahan rencana kerja usaha dua puluh tahunan unit usaha pemanfaatan hutan produksi.
Rencana Pengelolaan Lima Tahunan Unit Usaha Pemanfaatan Hutan Produksi 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pengesahan rencana kerja lima tahunan unit usaha pemanfaatan hutan produksi.
Pertimbangan teknis pengesahan rencana kerja lima tahunan unit pemanfaatan hutan produksi.
Pertimbangan teknis pengesahan rencana kerja lima tahunan unit pemanfaatan hutan produksi.
Rencana Pengelolaan Tahunan (Jangka Pendek) Unit Usaha Pemanfaatan Hutan Produksi 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria rencana pengelolaan tahunan (jangka pendek) unit usaha pemanfaatan hutan produksi.
Penilaian dan pengesahan rencana pengelolaan tahunan (jangka pendek) unit usaha pemanfaatan hutan produksi.
Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan tahunan (jangka pendek) unit usaha pemanfaatan hutan produksi. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 15. Penataan Batas Luar Areal Kerja Unit Usaha Pemanfaatan Hutan Produksi 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pengesahan penataan batas luar areal kerja unit pemanfaatan hutan produksi.
— 1. Pertimbangan teknis untuk pengesahan, koordinasi dan pengawasan pelaksanaan penataan batas luar areal kerja unit pemanfaatan hutan produksi lintas kabupaten/kota.
Pengawasan terhadap pelaksanaan penataan batas luar areal kerja unit pemanfaatan hutan produksi dalam kabupaten/kota 1. Pertimbangan teknis untuk pengesahan, dan pengawasan pelaksanaan penataan batas luar areal kerja unit pemanfaatan hutan produksi dalam kabupaten/kota.
— 16. Rencana Pengelolaan Dua Puluh Tahunan (Jangka Panjang) Unit Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pengesahan rencana pengelolaaan dua puluh tahunan (jangka panjang) unit KPHL.
Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaaan dua puluh tahunan (jangka panjang) unit KPHL.
Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaaan dua puluh tahunan (jangka panjang) unit KPHL. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 17. Rencana Pengelolaan Lima Tahunan (Jangka Menengah) Unit KPHL 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pengesahan rencana pengelolaan lima tahunan (jangka menengah) unit KPHL.
Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan lima tahunan (jangka menengah) unit KPHL.
Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan lima tahunan (jangka menengah) unit KPHL.
Rencana Pengelolaan Tahunan (Jangka Pendek) Unit KPHL 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria rencana pengelolaan tahunan (jangka pendek) unit KPHL.
Pengesahan rencana pengelolaan tahunan (jangka pendek) unit KPHL.
Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan tahunan (jangka pendek) unit KPHL.
Rencana Kerja Usaha (Dua Puluh Tahunan) Unit Usaha Pemanfaatan Hutan Lindung 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pengesahan rencana kerja usaha (dua puluh tahunan) unit usaha pemanfaatan hutan lindung.
Pertimbangan teknis pengesahan rencana kerja usaha (dua puluh tahunan) unit usaha pemanfaatan hutan lindung.
Pertimbangan teknis pengesahan rencana kerja usaha (dua puluh tahunan) unit usaha pemanfaatan hutan lindung. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 20. Rencana Pengelolaan Lima Tahunan (Jangka Menengah) Unit Usaha Pemanfaatan Hutan Lindung 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pengesahan rencana pengelolaan lima tahunan (jangka menengah) unit usaha pemanfaatan hutan lindung.
Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan lima tahunan (jangka menengah) unit usaha pemanfaatan hutan lindung.
Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan lima tahunan (jangka menengah) unit usaha pemanfaatan hutan lindung.
Rencana Pengelolaan Tahunan (Jangka Pendek) Unit Usaha Pemanfaatan Hutan Lindung 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria rencana pengelolaan tahunan (jangka pendek) unit usaha pemanfaatan hutan lindung.
Penilaian dan pengesahan rencana pengelolaan tahunan (jangka pendek) unit usaha pemanfaatan hutan lindung.
Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan tahunan (jangka pendek) unit usaha pemanfaatan hutan lindung.
Penataan Areal Kerja Unit Usaha Pemanfaatan Hutan Lindung 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pengesahan penataan areal kerja unit usaha pemanfaatan hutan lindung.
Pertimbangan teknis pengesahan penataan areal kerja unit usaha pemanfaatan hutan lindung kepada pemerintah 1. Pertimbangan teknis pengesahan penataan areal kerja unit usaha pemanfaatan hutan lindung kepada provinsi. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 23. Rencana Pengelolaan Dua Puluh Tahunan (Jangka Panjang) Unit Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi (KPHK) 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pengesahan rencana pengelolaan dua puluh tahunan (jangka panjang) unit KPHK.
Pertimbangan teknis rencana pengelolaan dua puluh tahunan (jangka panjang) unit KPHK.
Pertimbangan teknis rencana pengelolaan dua puluh tahunan (jangka panjang) unit KPHK.
Rencana Pengelolaan Lima Tahunan (Jangka Menengah) Unit KPHK 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pengesahan rencana pengelolaan lima tahunan (jangka menengah) unit KPHK.
Pertimbangan teknis rencana pengelolaan lima tahunan (jangka menengah) unit KPHK.
Pertimbangan teknis rencana pengelolaan lima tahunan (jangka menengah) unit KPHK.
Rencana Pengelolaan Jangka Pendek (Tahunan) Unit KPHK 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pengesahan rencana pengelolaan jangka pendek (tahunan) unit KPHK.
Pertimbangan teknis rencana pengelolaan jangka pendek (tahunan) unit KPHK.
Pertimbangan teknis rencana pengelolaan jangka pendek (tahunan) unit KPHK. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 26. Rencana Pengelolaan Jangka Panjang (Dua Puluh Tahunan) Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Wisata Alam dan Taman Buru 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan penyusunan serta pengesahan rencana pengelolaan jangka panjang cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman wisata alam dan taman buru.
Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan jangka panjang (dua puluh tahunan) untuk cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman wisata alam dan taman buru skala provinsi.
Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan jangka panjang (dua puluh tahunan) untuk cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman wisata alam dan taman buru skala kabupaten/kota.
Rencana Pengelolaan Jangka Menengah Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Wisata Alam dan Taman Buru 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan penyusunan serta pengesahan rencana pengelolaan jangka menengah untuk cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman wisata alam dan taman buru.
Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan jangka menengah untuk cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman wisata alam dan taman buru skala provinsi.
Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan jangka menengah untuk cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman wisata alam dan taman buru skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 28. Rencana Pengelolaan Jangka Pendek Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Wisata Alam dan Taman Buru 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan penyusunan serta pengesahan rencana pengelolaan jangka pendek untuk cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman wisata alam, dan taman buru.
Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan jangka pendek untuk cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman wisata alam, dan taman buru skala provinsi.
Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan jangka pendek untuk cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman wisata alam dan taman buru skala kabupaten/kota 29. Penataan Blok (Zonasi) Cagar Alam, Suaka Marga Satwa, Taman Nasional, Taman Wisata Alam dan Taman Buru 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pelaksanaan penataan blok (zonasi) cagar alam, suaka marga satwa, taman nasional, taman wisata alam dan taman buru.
— 1. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 30. Pengelolaan Taman Hutan Raya 1. Pengesahan rencana pengelolaan jangka menengah (lima tahunan) dan jangka panjang (dua puluh tahunan).
Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria:
Pemanfaatan taman hutan raya b. Penataan blok c. Rehabilitasi 1. Pengelolaan taman hutan raya, penyusunan rencana pengelolaan (jangka menengah dan jangka panjang) dan pengesahan rencana pengelolaan jangka pendek serta penataan blok (zonasi) dan pemberian perizinan usaha pemanfaatan serta rehabilitasi di taman hutan raya skala provinsi.
— 1. Pengelolaan taman hutan raya, penyusunan rencana pengelolaan dan penataan blok (zonasi) serta pemberian perizinan usaha pariwisata alam dan jasa lingkungan serta rehabilitasi di taman hutan raya skala kabupaten/kota.
— 31. Rencana Kehutanan 1. Penetapan sistem perencanaan kehutanan dan penyusunan rencana-rencana kehutanan tingkat nasional.
Penyusunan rencana-rencana kehutanan tingkat provinsi.
Penyusunan rencana-rencana kehutanan tingkat kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 32. Sistem Informasi Kehutanan (Numerik dan Spasial) 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan penyusunan sistem informasi kehutanan (numerik dan spasial) tingkat nasional.
Penyusunan sistem informasi kehutanan (numerik dan spasial) tingkat provinsi.
Penyusunan sistem informasi kehutanan (numerik dan spasial) tingkat kabupaten/kota.
Pemanfaatan Hasil Hutan pada Hutan Produksi 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, dan pemberian serta perpanjangan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan produksi.
Pertimbangan teknis kepada menteri untuk pemberian dan perpanjangan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan produksi kecuali pada kawasan hutan negara pada wilayah kerja PERUM Perhutani.
Pertimbangan teknis kepada gubernur untuk pemberian dan perpanjangan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu serta pemberian perizinan usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu pada hutan produksi kecuali pada kawasan hutan negara pada wilayah kerja PERUM Perhutani.
Pemungutan Hasil Hutan pada Hutan Produksi 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria pemberian izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu pada hutan produksi.
Pemberian perizinan pemungutan hasil hutan kayu dan pemungutan hasil hutan bukan kayu pada hutan produksi skala provinsi kecuali pada kawasan hutan negara pada wilayah kerja PERUM Perhutani.
Pemberian perizinan pemungutan hasil hutan kayu dan pemungutan hasil hutan bukan kayu pada hutan produksi skala kabupaten/kota kecuali pada kawasan hutan negara pada wilayah kerja PERUM Perhutani. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 35. Pemanfaatan Kawasan Hutan dan Jasa Lingkungan pada Hutan Produksi 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria pemberian izin usaha pemanfaatan kawasan hutan dan jasa lingkungan.
Pemberian izin usaha pemanfaatan kawasan hutan dan jasa lingkungan skala provinsi kecuali pada kawasan hutan negara pada wilayah kerja PERUM Perhutani.
Pemberian izin usaha pemanfaatan kawasan hutan dan jasa lingkungan skala kabupaten/kota kecuali pada kawasan hutan negara pada wilayah kerja PERUM Perhutani.
Industri Pengolahan Hasil Hutan 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria industri primer hasil hutan dan pemberian izin industri primer hasil hutan kayu dengan kapasitas produksi > 6.000 m ^3 .
Pemberian izin industri primer hasil hutan kayu dengan kapasitas produksi 6.000 m ^3 serta pertimbangan teknis izin industri primer dengan kapasitas > 6.000 m ^3 .
Pertimbangan teknis pemberian izin industri primer hasil hutan kayu.
Penatausahaan Hasil Hutan 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pelaksanaan pengaturan penatausahaan hasil hutan.
Pengawasan dan pengendalian penatausahaan hasil hutan skala provinsi.
Pengawasan dan pengendalian penatausahaan hasil hutan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 38. Pemanfaatan Kawasan Hutan pada Hutan Lindung 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan penyelenggaraan perizinan pemanfaatan kawasan hutan dan pemungutan hasil hutan bukan kayu yang tidak dilindungi dan tidak termasuk ke dalam Lampiran (Appendix) Convention on International Trade Endangered Species (CITES) serta pemanfaatan jasa lingkungan skala nasional.
Pemberian perizinan pemanfaatan kawasan hutan dan pemungutan hasil hutan bukan kayu yang tidak dilindungi dan tidak termasuk ke dalam Lampiran (Appendix) CITES, dan pemanfaatan jasa lingkungan skala provinsi kecuali pada kawasan hutan negara pada wilayah kerja PERUM Perhutani.
Pemberian perizinan pemanfaatan kawasan hutan, pemungutan hasil hutan bukan kayu yang tidak dilindungi dan tidak termasuk ke dalam Lampiran (Appendix) CITES, dan pemanfaatan jasa lingkungan skala kabupaten/kota kecuali pada kawasan hutan negara pada wilayah kerja PERUM Perhutani.
Penerimaan Negara Bukan Pajak Bidang Kehutanan 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pemungutan penerimaan negara bukan pajak.
— 1. Pelaksanaan pemungutan penerimaan negara bukan pajak skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 40. Perencanaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Termasuk Hutan Mangrove 1. Penetapan pola umum, norma, standar, prosedur, dan kriteria rehabilitasi hutan dan lahan serta lahan kritis.
Penetapan lahan kritis skala nasional.
Penyusunan dan penetapan rencana rehabilitasi hutan dan lahan DAS/Sub DAS.
Penetapan rencana pengelolaan rehabilitasi hutan dan lahan, rencana tahunan dan rancangan rehabilitasi hutan pada hutan konservasi kecuali cagar alam dan zona inti taman nasional.
— 2. Penetapan lahan kritis skala provinsi.
Pertimbangan teknis rencana rehabilitasi hutan dan lahan DAS/Sub DAS.
Penetapan rencana pengelolaan rehabilitasi hutan, rencana tahunan dan rancangan rehabilitasi hutan pada taman hutan raya skala provinsi.
— 2. Penetapan lahan kritis skala kabupaten/kota.
Pertimbangan teknis rencana rehabilitasi hutan dan lahan DAS/Sub DAS.
Penetapan rencana pengelolaan, rencana tahunan dan rancangan rehabilitasi hutan pada hutan taman hutan raya skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 41. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai 5. Ɇ 1. Penetapan pola umum, norma, standar, prosedur, dan kriteria pengelolaan DAS, penetapan kriteria dan urutan DAS/Sub DAS prioritas serta penyusunan rencana pengelolaan DAS terpadu.
Penetapan rencana pengelolaan, rencana tahunan dan rancangan rehabilitasi hutan pada hutan produksi, hutan lindung yang tidak dibebani izin pemanfaatan/pengelolaan hutan dan lahan di luar kawasan hutan skala provinsi.
Pertimbangan teknis penyusunan rencana pengelolaan, penyelenggaraan pengelolaan DAS skala provinsi.
Penetapan rencana pengelolaan, rencana tahunan dan rancangan rehabilitasi hutan pada hutan produksi, hutan lindung yang tidak dibebani izin pemanfaatan/pengelolaan hutan dan lahan di luar kawasan hutan skala kabupaten/kota.
Pertimbangan teknis penyusunan rencana pengelolaan, penyelenggaraan pengelolaan DAS skala kabupatan/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 42. Pelaksanaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Termasuk Hutan Mangrove 1. Pelaksanaan rehabilitasi dan pemeliharaan hasil rehabilitasi hutan konservasi kecuali cagar alam dan zona inti taman nasional.
— 1. Pelaksanaan rehabilitasi hutan dan pemeliharaan hasil rehabilitasi hutan pada taman hutan raya skala provinsi.
Pelaksanaan rehabilitasi hutan dan pemeliharaan hasil rehabilitasi hutan pada hutan produksi, hutan lindung yang tidak dibebani izin pemanfaatan/pengelolaan hutan, dan lahan di luar kawasan hutan skala provinsi.
Pelaksanaan rehabilitasi hutan dan pemeliharaan hasil rehabilitasi hutan pada taman hutan raya skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan rehabilitasi hutan dan pemeliharaan hasil rehabilitasi hutan pada hutan produksi, hutan lindung yang tidak dibebani izin pemanfaatan/pengelolaan hutan, dan lahan di luar kawasan hutan skala kabupaten/kota.
Reklamasi Hutan pada Areal yang Dibebani Izin Penggunaan Kawasan Hutan 1. Penyusunan pola umum, norma, standar, prosedur, dan kriteria reklamasi hutan serta penilaian hasil reklamasi hutan.
Pengesahan rencana reklamasi hutan.
Pertimbangan teknis rencana reklamasi dan pemantauan pelaksanaan reklamasi hutan SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 44. Reklamasi Hutan Areal Bencana Alam 1. Penyusunan pola umum, norma, standar, prosedur, dan kriteria reklamasi hutan serta penyelenggaraan reklamasi hutan pada areal bencana alam skala nasional.
Penyusunan rencana dan pelaksanaan reklamasi hutan pada areal bencana alam skala provinsi 1. Penyusunan rencana dan pelaksanaan reklamasi hutan pada areal bencana alam skala kabupaten/kota.
Pemberdayaan Masyarakat Se- tempat di Dalam dan di Sekitar Hutan 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria pemberdayaan masyarakat setempat di dalam dan di sekitar kawasan hutan.
Pemantauan, evaluasi dan fasilitasi pemberdayaan masyarakat setempat di dalam dan di sekitar kawasan hutan.
Bimbingan masyarakat, pengembangan kelembagaan dan usaha serta kemitraan masyarakat setempat di dalam dan di sekitar kawasan hutan.
Pengembangan Hutan Hak dan Aneka Usaha Kehutanan 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengembangan hutan hak dan aneka usaha kehutanan.
Pemantauan, evaluasi dan fasilitasi hutan hak dan aneka usaha kehutanan.
Penyusunan rencana, pembinaan pengelolaan hutan hak dan aneka usaha kehutanan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 47. Hutan Kota 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria hutan kota.
Pembangunan, pengelolaan, pemeliharaan, pemanfaatan, perlindungan dan pengamanan hutan kota (khusus DKI), fasilitasi, pemantauan dan evaluasi hutan kota.
Pembangunan, pengelolaan, pemeliharaan, pemanfaatan, perlindungan dan pengamanan hutan kota.
Perbenihan Tanaman Hutan 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria perbenihan tanaman hutan, penetapan dan pembangunan sumberdaya genetik, pemberian izin ekspor/impor, karantina dan sertifikasi sumber benih dan mutu benih/bibit serta akreditasi lembaga sertifikasi benih/bibit tanaman hutan.
Pertimbangan teknis calon areal sumber daya genetik, pelaksanaan sertifikasi sumber benih dan mutu benih/bibit tanaman hutan.
Inventarisasi dan identifikasi serta pengusulan calon areal sumberdaya genetik, pembinaan penggunaan benih/bibit, pelaksanaan sertifikasi sumber benih dan mutu benih/bibit tanaman hutan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 49. Pengusahaan Pariwisata Alam pada Kawasan Pelestarian Alam, dan Pengusahaan Taman Buru, Areal Buru dan Kebun Buru 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria serta pemberian perizinan usaha pariwisata alam pada kawasan pelestarian alam dan pengusahaan taman buru.
Pertimbangan teknis pengusahaan pariwisata alam dan taman buru serta pemberian perizinan pengusahaan kebun buru skala provinsi.
Pertimbangan teknis pengusahaan pariwisata alam dan taman buru serta pemberian perizinan pengusahaan kebun buru skala kabupaten/kota.
Pengelolaan Kawasan Suaka Alam, Kawasan Pelestarian Alam, dan Taman Buru 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria serta pengelolaan kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam serta taman buru.
— 1. — 51. Pengawetan Tumbuhan dan Satwa Liar 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria serta penyelenggaraan pengawetan tumbuhan dan satwa liar dilindungi dan tidak dilindungi.
— 1. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 52. Pemanfaatan Tumbuhan dan Satwa Liar 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar.
Pemberian perizinan pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi serta pengendalian pemanfaatan tumbuhan satwa liar yang tidak dilindungi skala nasional.
Pengawasan pemberian izin pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi dan tidak termasuk dalam Lampiran (Appendix) CITES.
— 1. Pemberian perizinan pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi dan tidak termasuk dalam Lampiran (Appendix) CITES.
— 53. Lembaga Konservasi 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria serta pemberian perizinan kegiatan lembaga konservasi (antara lain kebun binatang, taman safari).
Pertimbangan teknis izin kegiatan lembaga konservasi (antara lain kebun binatang, taman safari) skala provinsi.
Pertimbangan teknis izin kegiatan lembaga konservasi (antara lain kebun binatang, taman safari) skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 54. Perlindungan Hutan 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria serta penyelenggaraan perlindungan hutan pada hutan negara skala nasional.
Pemberian fasilitasi, bimbingan dan pengawasan dalam kegiatan perlindungan hutan pada hutan yang dibebani hak dan hutan adat skala nasional.
Pelaksanaan perlindungan hutan pada hutan produksi, hutan lindung yang tidak dibebani hak dan hutan adat serta taman hutan raya skala provinsi.
Pemberian fasilitasi, bimbingan dan pengawasan dalam kegiatan perlindungan hutan pada hutan yang dibebani hak dan hutan adat skala provinsi.
Pelaksanaan perlindungan hutan pada hutan produksi, hutan lindung yang tidak dibebani hak dan hutan adat serta taman hutan raya skala kabupaten/kota.
Pemberian fasilitasi, bimbingan dan pengawasan dalam kegiatan perlindungan hutan pada hutan yang dibebani hak dan hutan adat skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 55. Penelitian dan Pengembangan Kehutanan 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria serta penyelenggaraan penelitian dan pengembangan kehutanan, pemberian perizinan penelitian oleh lembaga asing, pemberian perizinan penelitian pada kawasan hutan konservasi dan kawasan hutan dengan tujuan khusus penelitian dan pengembangan, pemantauan dan evaluasi kegiatan penelitian yang dilakukan oleh asing, provinsi dan kabupaten/kota.
Koordinasi dan penyelenggaraan penelitian dan pengembangan kehutanan di tingkat provinsi dan/atau yang memiliki dampak antar kabupaten/kota dan pemberian perizinan penelitian pada hutan produksi dan hutan lindung yang tidak ditetapkan sebagai kawasan hutan dengan tujuan khusus skala provinsi.
Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan kehutanan di tingkat kabupaten/kota dan pemberian perizinan penelitian pada hutan produksi serta hutan lindung yang tidak ditetapkan sebagai kawasan hutan dengan tujuan khusus skala kabupaten/kota.
Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) Kehutanan 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria serta penyelenggaraan diklat teknis dan fungsional kehutanan serta akreditasi lembaga diklat kehutanan.
Pelaksanaan diklat teknis dan fungsional kehutanan skala provinsi.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 57. Penyuluhan Kehutanan 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria serta penyelenggaraan penyuluhan kehutanan.
Penguatan kelembagaan dan penyelenggaraan penyuluhan kehutanan skala provinsi.
Penguatan kelembagaan dan penyelenggaraan penyuluhan kehutanan skala kabupaten/kota.
Pembinaan dan Pengendalian Bidang Kehutanan 1. Koordinasi, bimbingan, supervisi, konsultasi, pemantauan dan evaluasi bidang kehutanan skala nasional.
Koordinasi, bimbingan, supervisi, konsultasi, pemantauan dan evaluasi bidang kehutanan skala provinsi.
Bimbingan, supervisi, konsultasi, pemantauan dan evaluasi bidang kehutanan skala kabupaten/kota.
Pengawasan Bidang Kehutanan 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria serta penyelenggaraan pengawasan terhadap tugas dekonsentrasi dan pembantuan, pinjaman dan hibah luar negeri serta efektivitas pelaksanaan pembinaan penyelenggaraan pemerintahan daerah di bidang kehutanan.
Pengawasan terhadap efektivitas pelaksanaan pembinaan penyelenggaraan oleh kabupaten/kota dan kinerja penyelenggara provinsi serta penyelenggaraan oleh kabupaten/kota di bidang kehutanan.
Pengawasan terhadap efektivitas pelaksanaan pembinaan penyelenggaraan oleh desa/masyarakat, kinerja penyelenggara kabupaten/kota dan penyelenggaraan oleh desa/masyarakat di bidang kehutanan. BB. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Mineral, Batu Bara, Panas Bumi, dan Air Tanah 1. Penetapan kebijakan pengelolaan mineral, batubara, panas bumi dan air tanah nasional.
Pembuatan peraturan perundang-undangan di bidang mineral, batubara, panas bumi, dan air tanah.
Pembuatan dan penetapan standar nasional, pedoman, dan kriteria di bidang pengelolaan pertambangan mineral, batubara, panas bumi dan air tanah serta kompetensi kerja pertambangan.
Ɇ 2. Pembuatan peraturan perundang-undangan daerah provinsi di bidang mineral, batubara, panas bumi, dan air tanah.
Ɇ 1. Ɇ 2. Pembuatan peraturan perundang-undangan daerah kabupaten/kota di bidang mineral, batubara, panas bumi, dan air tanah.
Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Penetapan kriteria kawasan pertambangan dan wilayah kerja usaha pertambangan mineral dan batubara serta panas bumi setelah mendapat pertimbangan dan/atau rekomendasi provinsi dan kabupaten/kota.
Penetapan cekungan air tanah setelah mendapat pertimbangan provinsi dan kabupaten/kota.
Pemberian rekomendasi teknis untuk izin pengeboran, izin penggalian dan izin penurapan mata air pada cekungan air tanah lintas provinsi.
Penyusunan data dan informasi usaha pertambangan mineral dan batubara serta panas bumi lintas kabupaten/kota.
Penyusunan data dan informasi cekungan air tanah lintas kabupaten/kota.
Pemberian rekomendasi teknis untuk izin pengeboran, izin penggalian dan izin penurapan mata air pada cekungan air tanah lintas kabupaten/kota.
Penyusunan data dan informasi wilayah kerja usaha pertambangan mineral dan batubara serta panas bumi skala kabupaten/kota.
Penyusunan data dan informasi cekungan air tanah skala kabupaten/kota.
Pemberian rekomendasi teknis untuk izin pengeboran, izin penggalian dan izin penurapan mata air pada cekungan air tanah pada wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 7. Pemberian izin usaha pertambangan mineral dan batubara, panas bumi, pada wilayah lintas provinsi dan di wilayah laut dan di luar 12 (dua belas) mil.
Pemberian izin usaha pertambangan mineral, dan batubara untuk operasi produksi, yang berdampak lingkungan langsung lintas provinsi dan/atau dalam wilayah laut dan di luar 12 (dua belas) mil laut.
Pemberian izin usaha pertambangan mineral, batubara dan panas bumi pada wilayah lintas kabupaten/kota dan paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan.
Pemberian izin usaha pertambangan mineral, dan batubara untuk operasi produksi, yang berdampak lingkungan langsung lintas kabupaten/kota dan paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan.
Pemberian izin usaha pertambangan mineral, batubara dan panas bumi pada wilayah kabupaten/kota dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi.
Pemberian izin usaha pertambangan mineral, dan batubara untuk operasi produksi, yang berdampak lingkungan langsung pada wilayah kabupaten/kota dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 9. Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan izin usaha pertambangan mineral, batubara, dan panas bumi pada wilayah lintas provinsi dan di wilayah laut dan di luar 12 (dua belas) mil.
Pembuatan dan penetapan klasifikasi, kualifikasi serta pedoman usaha jasa pertambangan mineral, batubara, panas bumi dan air tanah.
Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan izin usaha pertambangan mineral, batubara dan panas bumi pada wilayah lintas kabupaten/kota dan paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan.
Ɇ 9. Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan izin usaha pertambangan mineral, batubara dan panas bumi, pada wilayah kabupaten/kota dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi.
Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 11. Pemberian izin badan usaha jasa pertambangan mineral, batubara, dan panas bumi dalam rangka Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) serta yang mempunyai wilayah kerja lintas provinsi.
Pengelolaan, pembinaan dan pengawasan pelaksanaan izin usaha jasa pertambangan mineral, batubara, dan panas bumi dalam rangka penanaman modal.
Pemberian izin badan usaha jasa pertambangan mineral, batubara, dan panas bumi dalam rangka PMA dan PMDN lintas kabupaten/kota.
Pengelolaan, pembinaan dan pengawasan pelaksanaan izin usaha jasa pertambangan mineral, batubara, dan panas bumi dalam rangka penanaman modal lintas kabupaten/kota.
Pemberian izin badan usaha jasa pertambangan mineral, batubara, dan panas bumi dalam rangka PMA dan PMDN di wilayah kabupaten/kota.
Pengelolaan, pembinaan dan pengawasan pelaksanaan izin usaha jasa pertambangan mineral, batubara, dan panas bumi dalam rangka penanaman modal di wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 13. Pembinaan dan pengawasan keselamatan dan kesehatan kerja, lingkungan pertambangan termasuk reklamasi lahan pasca tambang, konservasi dan peningkatan nilai tambah terhadap usaha pertambangan mineral, batubara, dan panas bumi, pada wilayah lintas provinsi atau yang berdampak nasional dan di wilayah laut.
Pembinaan dan pengawasan keselamatan dan kesehatan kerja, lingkungan pertambangan termasuk reklamasi lahan pasca tambang, konservasi dan peningkatan nilai tambah terhadap usaha pertambangan mineral, batubara dan panas bumi, pada wilayah lintas kabupaten/kota atau yang berdampak regional.
Pembinaan dan pengawasan keselamatan dan kesehatan kerja, lingkungan pertambangan termasuk reklamasi lahan pasca tambang, konservasi dan peningkatan nilai tambah terhadap usaha pertambangan mineral, batubara dan panas bumi, pada wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 14. Pembinaan dan pengawasan pengusahaan Kuasa Pertambangan (KP) lintas provinsi, Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang diterbitkan berdasarkan Undang- Undang tentang Ketentuan Pokok-Pokok Pertambangan.
Pembinaan dan pengawasan keselamatan dan kesehatan kerja, lingkungan pertambangan termasuk reklamasi lahan pasca tambang, konservasi dan peningkatan nilai tambah terhadap KK dan PKP2B yang telah 14. Pembinaan dan pengawasan pengusahaan KP lintas kabupaten/kota.
Pembinaan dan pengawasan keselamatan dan kesehatan kerja, lingkungan pertambangan termasuk reklamasi lahan pasca tambang, konservasi dan peningkatan nilai tambah terhadap KP lintas kabupaten/kota.
Pembinaan dan pengawasan pengusahaan KP dalam wilayah kabupaten/kota.
Pembinaan dan pengawasan Keselamatan dan Kesehatan Kerja, lingkungan pertambangan termasuk reklamasi lahan pasca tambang, konservasi dan peningkatan nilai tambah terhadap KP dalam wilayah SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA dikeluarkan berdasarkan Undang-Undang tentang Ketentuan Pokok-Pokok Pertambangan.
Penetapan wilayah konservasi dan pencadangan sumber daya mineral, batubara dan panas bumi nasional serta air tanah.
Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan izin usaha pertambangan mineral, dan batubara untuk operasi produksi, serta panas bumi yang berdampak lingkungan langsung lintas provinsi dan/atau dalam wilayah laut.
Penetapan wilayah konservasi air tanah lintas kabupaten/kota.
Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan izin usaha pertambangan mineral, dan batubara untuk operasi produksi, serta panas bumi yang berdampak lingkungan langsung lintas kabupaten/kota. kabupaten/kota.
Penetapan wilayah konservasi air tanah dalam wilayah kabupaten/kota.
Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan izin usaha pertambangan mineral, dan batubara untuk operasi produksi, serta panas bumi yang berdampak lingkungan langsung dalam wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 18. Pengelolaan, pembinaan, dan pengawasan wilayah kerja KP dan kontrak kerja sama pengusahaan pertambangan panas bumi yang dikeluarkan sebelum diterbitkannya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi yang berdampak nasional.
Penetapan kebijakan batasan produksi mineral, batubara dan panas bumi.
Penetapan kebijakan batasan pemasaran dan pemanfaatan mineral, batubara dan panas bumi.
Ɇ 19. Ɇ 20. Ɇ 18. Ɇ 19. Ɇ 20. Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 21. Penetapan kebijakan kemitraan dan kerjasama serta pengembangan masyarakat dalam pengelolaan mineral, batubara dan panas bumi.
Perumusan dan penetapan tarif iuran tetap dan iuran produksi mineral, batubara dan panas bumi.
Penetapan kebijakan pemanfaatan dan penggunaan dana pengembangan batubara dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Ɇ 22. Ɇ 23. Ɇ 21. Ɇ 22. Ɇ 23. Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 24. Penetapan pedoman nilai perolehan air tanah pada cekungan air tanah lintas provinsi dan lintas negara.
Pengelolaan data dan informasi mineral, batubara, panas bumi dan air tanah serta pengusahaan dan Sistem Informasi Geografis (SIG) wilayah kerja pertambangan nasional.
Penetapan potensi panas bumi dan air tanah serta neraca sumber daya dan cadangan mineral dan batubara nasional.
Penetapan nilai perolehan air tanah pada cekungan air tanah lintas kabupaten/kota.
Pengelolaan data dan informasi mineral, batubara, panas bumi dan air tanah serta pengusahaan dan SIG wilayah kerja pertambangan di wilayah provinsi.
Penetapan potensi panas bumi dan air tanah serta neraca sumber daya dan cadangan mineral dan batubara di wilayah provinsi.
Penetapan nilai perolehan air tanah pada cekungan air tanah dalam wilayah kabupaten/ kota.
Pengelolaan data dan informasi mineral, batubara, panas bumi dan air tanah serta pengusahaan dan SIG wilayah kerja pertambangan di wilayah kabupaten/kota.
Penetapan potensi panas bumi dan air tanah serta neraca sumber daya dan cadangan mineral dan batubara di wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 27. Pengangkatan dan pembinaan inspektur tambang serta pembinaan jabatan fungsional.
Pengangkatan dan pembinaan inspektur tambang serta pembinaan jabatan fungsional provinsi.
Pengangkatan dan pembinaan inspektur tambang serta pembinaan jabatan fungsional kabupaten/kota.
Geologi 1. Penetapan kebijakan nasional bidang geologi.
Pelaksanaan pemetaan geologi dan peta tematik, inventarisasi geologi dan sumber daya mineral, panas bumi, migas, air tanah nasional dan kawasan pengembangan yang bersifat strategis serta pelaksanaan eksplorasi panas bumi.
Penetapan kawasan karst dan kawasan lindung geologi nasional.
Ɇ 2. Pelaksanaan inventarisasi geologi dan sumber daya mineral, batubara, panas bumi, migas dan air tanah pada wilayah provinsi.
Pelaksanaan inventarisasi kawasan karst dan kawasan lindung geologi pada wilayah provinsi.
Ɇ 2. Pelaksanaan inventarisasi geologi dan sumber daya mineral, batubara, panas bumi, migas dan air tanah pada wilayah kabupaten/kota.
Pelaksanaan inventarisasi kawasan karst dan kawasan lindung geologi pada wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Penetapan kriteria pemanfaatan kawasan karst dan kawasan lindung geologi.
Penetapan pedoman, kriteria norma, standar, prosedur geologi, lingkungan geologi, geologi teknik, kebencanaan dan kawasan lingkungan geologi.
Pelaksanaan inventarisasi geologi, lingkungan geologi, geologi teknik, kebencanaan dan kawasan lingkungan geologi secara nasional dan kawasan pengembangan strategis.
Penetapan zonasi pemanfaatan kawasan karst dan kawasan lindung geologi pada wilayah lintas kabupaten/kota.
Penetapan pengelolaan lingkungan geologi, geologi teknik, kawasan rawan bencana dan kawasan lingkungan geologi di wilayah lintas kabupaten/kota.
Pelaksanaan inventarisasi lingkungan geologi, geologi teknik, kawasan rawan bencana dan kawasan lingkungan geologi pada wilayah provinsi.
Penetapan zonasi pemanfaatan kawasan karst dan kawasan lindung geologi pada wilayah kabupaten/kota.
Penetapan pengelolaan lingkungan geologi, geologi teknik, kawasan rawan bencana dan kawasan lingkungan geologi di wilayah kabupaten/kota.
Pelaksanaan inventarisasi lingkungan geologi, geologi teknik, kawasan rawan bencana dan kawasan lingkungan geologi pada wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 7. Penetapan kebijakan dan pengaturan mitigasi bencana geologi serta pedoman pengelolaan kawasan lindung geologi dan kawasan rawan bencana.
Inventarisasi, pemetaan, pemeriksaan, pemantauan, penyelidikan dan penelitian, dan kawasan rawan bencana geologi daerah vital serta strategis dan/atau memiliki dampak nasional.
Pemberian peringatan dini bencana gunung api dan gempa bumi/tsunami dan penetapan langkah- langkah mitigasi untuk bencana geologi.
Pelaksanaan kebijakan mitigasi bencana geologi pada wilayah lintas kabupaten/kota.
Inventarisasi dan pengelolaan, kawasan rawan bencana geologi pada wilayah provinsi dan/atau memiliki dampak lintas kabupaten/kota.
Pelaksanaan koordinasi mitigasi bencana geologi pada wilayah lintas kabupaten/kota.
Pelaksanaan kebijakan mitigasi bencana geologi pada wilayah kabupaten/kota.
Inventarisasi dan pengelolaan, kawasan rawan bencana geologi, pada wilayah kabupaten/kota.
Pelaksanaan koordinasi mitigasi bencana geologi pada wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 10. Pengelolaan data dan informasi bencana geologi.
Pembinaan tenaga fungsional penyelidik bumi nasional dan pengamat gunung api.
Pengelolaan data dan informasi geologi nasional.
Pengelolaan informasi bencana geologi pada wilayah lintas kabupaten/kota.
Pelaksanaan pembinaan fungsional penyelidik bumi nasional pada wilayah provinsi.
Pengelolaan data dan informasi geologi pada wilayah provinsi.
Pengelolaan informasi bencana geologi pada wilayah kabupaten/kota.
Pelaksanaan pembinaan fungsional penyelidik bumi nasional pada wilayah kabupaten/kota.
Pengelolaan data dan informasi geologi pada wilayah kabupaten/kota.
Ketenagalistrikan 1. Penetapan kebijakan pengelolaan energi dan ketenagalistrikan nasional.
Penetapan peraturan perundang-undangan di bidang energi dan ketenagalistrikan.
Ɇ 2. Penetapan peraturan daerah provinsi di bidang energi dan ketenagalistrikan.
Ɇ 2. Penetapan peraturan daerah kabupaten/kota di bidang energi dan ketenagalistrikan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penetapan pedoman, standar dan kriteria pengelolaan energi dan ketenagalistrikan.
Penetapan Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN), dan Jaringan Transmisi Nasional (JTN).
Pemberian izin usaha ketenagalistrikan yang dilakukan Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan (PKUK).
Ɇ 4. Penetapan Rencana Umum Ketenagalistrikan Daerah (RUKD) regional.
Ɇ 3. Ɇ 4. Penetapan Rencana Umum Ketenagalistrikan Daerah (RUKD) kabupaten/kota.
Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Pemberian Izin Usaha Ketenagalistrikan untuk Kepentingan Umum (IUKU) yang sarana maupun energi listriknya lintas provinsi dan usaha penyediaan tenaga listrik yang terhubung ke dalam JTN.
Pengaturan harga jual tenaga listrik untuk konsumen PKUK dan pemegang IUKU yang izin usahanya dikeluarkan oleh pemerintah.
Pengaturan harga jual tenaga listrik kepada PKUK dan pemegang IUKU yang izinnya dikeluarkan oleh pemerintah.
Pemberian IUKU yang sarana maupun energi listriknya lintas kabupaten/kota.
Pengaturan harga jual tenaga listrik untuk konsumen pemegang IUKU yang izin usahanya dikeluarkan oleh provinsi.
Pengaturan harga jual tenaga listrik kepada pemegang IUKU yang izinnya dikeluarkan oleh provinsi.
Pemberian IUKU yang sarana maupun energi listriknya dalam kabupaten/kota.
Pengaturan harga jual tenaga listrik untuk konsumen pemegang IUKU yang izin usahanya dikeluarkan oleh kabupaten/kota.
Pengaturan harga jual tenaga listrik kepada pemegang IUKU yang izinnya dikeluarkan oleh kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 9. Pemberian Izin Usaha penyediaan tenaga listrik untuk Kepentingan Sendiri (IUKS) yang sarana instalasinya mencakup lintas provinsi.
Pemberian persetujuan penjualan kelebihan tenaga listrik oleh pemegang IUKS kepada PKUK dan pemegang IUKU yang izinnya dikeluarkan oleh pemerintah.
Pemberian izin usaha jasa penunjang tenaga listrik bagi badan usaha asing/mayoritas sahamnya dimiliki oleh penanam modal asing.
Pemberian IUKS yang sarana instalasinya mencakup lintas kabupaten/kota.
Pemberian persetujuan penjualan kelebihan tenaga listrik oleh pemegang IUKS kepada pemegang IUKU yang izinnya dikeluarkan oleh provinsi.
Ɇ 9. Pemberian IUKS yang sarana instalasinya dalam kabupaten/kota.
Pemberian persetujuan penjualan kelebihan tenaga listrik oleh pemegang IUKS kepada pemegang IUKU yang izinnya dikeluarkan oleh kabupaten/kota.
Pemberian izin usaha jasa penunjang tenaga listrik bagi badan usaha dalam negeri/mayoritas sahamnya dimiliki oleh penanam modal dalam negeri. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 12. Pembinaaan dan pengawasan pelaksanaan sertifikasi bidang ketenagalistrikan dan pelaksanaan usaha ketenagalistrikan yang izinnya dikeluarkan oleh pemerintah.
Penetapan kebijakan dan penyediaan listrik pedesaan secara nasional.
Pengangkatan dan pembinaan inspektur ketenagalistrikan serta pembinaan jabatan fungsional.
Penetapan pedoman, standar dan kriteria penerangan jalan umum.
Pembinaaan dan pengawasan pelaksanaan usaha ketenagalistrikan yang izinnya diberikan oleh provinsi.
Koordinasi dan penyediaan listrik pedesaan pada wilayah regional.
Pengangkatan dan pembinaan inspektur ketenagalistrikan serta pembinaan jabatan fungsional provinsi.
Ɇ 12. Pembinaaan dan pengawasan pelaksanaan usaha ketenagalistrikan yang izinnya diberikan oleh kabupaten/kota.
Penyediaan listrik pedesaan di wilayah kabupaten/kota.
Pengangkatan dan pembinaan inspektur ketenagalistrikan serta pembinaan jabatan fungsional kabupaten/kota.
Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (Migas) 1. Penetapan mekanisme penyampaian laporan produksi penghitungan (lifting) bagian daerah.
Penetapan wilayah kerja kontrak kerja sama bidang minyak dan gas bumi.
Penetapan standar dan norma untuk izin pembukaan kantor perwakilan perusahaan.
Penghitungan produksi dan realisasi lifting minyak bumi dan gas bumi bersama pemerintah.
Pemberian rekomendasi penggunaan wilayah kerja kontrak kerja sama untuk kegiatan lain di luar kegiatan migas pada lintas kabupaten/kota.
Ɇ 1. Penghitungan produksi dan realisasi lifting minyak bumi dan gas bumi bersama pemerintah.
Pemberian rekomendasi penggunaan wilayah kerja kontrak kerja sama untuk kegiatan lain di luar kegiatan migas pada wilayah kabupaten/kota.
Pemberian izin pembukaan kantor perwakilan perusahaan di sub sektor migas.
Minyak dan Gas Bumi 2. Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi 1. Pemberian izin usaha pada kegiatan usaha hilir minyak dan gas bumi, yang terdiri dari kegiatan usaha pengolahan, pengangkutan, penyimpanan dan niaga.
Pengawasan jumlah armada pengangkut Bahan Bakar Minyak (BBM) di daerah provinsi yang meliputi jumlah armada dan kapasitas pengangkutan BBM.
Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Ɇ 3. Ɇ 4. Ɇ 2. Inventarisasi jumlah badan usaha kegiatan hilir yang beroperasi di daerah provinsi.
Penetapan harga bahan bakar minyak jenis minyak tanah pada tingkat konsumen rumah tangga dan usaha kecil.
Pengawasan pencantuman Nomor Pelumas Terdaftar (NPT) pada pelumas yang beredar di pasaran sesuai peraturan perundang-undangan.
Ɇ 3. Ɇ 4. Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Ɇ 6.a.Pengaturan dan pelaksanaan penyediaan dan pendistribusian BBM di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Ɇ 5. Koordinasi pengawasan pengendalian pendistribusian dan tata niaga bahan bakar minyak dari agen dan pangkalan dan sampai konsumen di wilayah provinsi.
a.Pemantauan dan inventarisasi penyediaan, penyaluran dan kualitas harga BBM serta melakukan analisa dan evaluasi terhadap kebutuhan/penyediaan BBM lintas kabupaten/kota.
Ɇ 5. Pengawasan pengendalian pendistribusian dan tata niaga bahan bakar minyak dari agen dan pangkalan dan sampai konsumen akhir di wilayah kabupaten/kota.
a.Pemantauan dan inventarisasi penyediaan, penyaluran dan kualitas harga BBM serta melakukan analisa dan evaluasi terhadap kebutuhan/penyediaan BBM di wilayah kabupaten/kota.
Pemberian rekomendasi lokasi pendirian kilang dan tempat penyimpanan migas. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c. Ɇ c. Ɇ c.Pemberian izin lokasi pendirian Stasiun Pengisian Bahan Bakar untuk Umum (SPBU).
Kegiatan Usaha Jasa Penunjang Minyak dan Gas Bumi 1. Pemberian rekomendasi Pembelian dan Penggunaan (P2) dan Pemilikan Penguasaan dan Penyimpanan (P3) bahan peledak untuk kegiatan migas.
Pemberian rekomendasi pendirian gudang bahan peledak dalam rangka kegiatan usaha migas di daerah operasi daratan dan di daerah operasi paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan.
Pemberian rekomendasi pendirian gudang bahan peledak dalam rangka kegiatan usaha migas di daerah operasi daratan dan di daerah operasi pada wilayah kabupaten/kota dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan izin usaha penunjang migas.
Pengangkatan dan pembinaan inspektur migas serta pembinaan jabatan fungsional.
Pengawasan terhadap kegiatan usaha perusahaan jasa penunjang minyak dan gas bumi untuk bidang usaha jasa penyediaan komoditi dan jasa boga dan bidang usaha jasa penyediaan material dan peralatan termasuk pelayanan purna jual yang berdomisili di provinsi yang bersangkutan.
Pengangkatan dan pembinaan inspektur migas serta pembinaan jabatan fungsional provinsi.
Ɇ 3. Pengangkatan dan pembinaan inspektur migas serta pembinaan jabatan fungsional kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) 1. Penetapan pedoman dan standar penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan teknis dan fungsional tertentu sektor energi dan sumber daya mineral.
Penetapan pedoman akreditasi bagi lembaga diklat penyelenggara diklat teknis dan fungsional tertentu sektor energi dan sumber daya mineral.
Penetapan standar kurikulum berbasis kompetensi diklat teknis dan fungsional tertentu sektor energi dan sumber daya mineral.
Ɇ 2. Pengusulan lembaga diklat provinsi agar terakreditasi sebagai penyelenggara pendidikan dan pelatihan teknis dan fungsional tertentu sektor energi dan sumber daya mineral.
Ɇ 1. Ɇ 2. Ɇ 3. Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Fasilitasi penyelenggaraan assessment melalui lembaga assessment Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (DESDM) bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) dinas daerah provinsi/kabupaten/ kota.
Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan teknis untuk kepala dinas provinsi dan kabupaten/kota yang mengelola sektor energi dan sumber daya mineral.
Penyertaan dan atau memfasilitasi penyelenggaraan assessment bekerjasama dengan lembaga assessment DESDM.
Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan teknis untuk kepala sub dinas kabupaten/kota dan kepala seksi dinas kabupaten/kota yang mengelola sektor energi dan sumber daya mineral setelah lembaga diklat terakreditasi.
Penyertaan dan atau memfasilitasi penyelenggaraan assessment bekerjasama dengan lembaga assessment DESDM.
Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan teknis sektor energi dan sumber daya mineral bagi perangkat daerah yang mengelola sektor energi dan sumber daya mineral.
Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan teknis sektor energi dan sumber daya mineral bagi perangkat daerah yang mengelola sektor energi dan sumber daya mineral berdasarkan pedoman dan standar penyelenggaraan, kurikulum/silabus dan lembaga diklat terakreditasi.
Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 7. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan fungsional tertentu untuk pengangkatan pertama kali dan jenjang madya inspektur tambang/ minyak dan gas bumi/ ketenagalistrikan/ penyelidik bumi.
Pemberian bimbingan dan konsultasi diklat teknis dan fungsional tertentu di sektor energi dan sumber daya mineral lingkup nasional, provinsi dan kabupaten/kota.
Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan fungsional tertentu untuk pengangkatan pertama kali dan jenjang muda inspektur tambang/ minyak dan gas bumi/ ketenagalistrikan/ penyelidik bumi berdasarkan pedoman dan standar penyelenggaraan, kurikulum/silabus dan lembaga pendidikan dan pelatihan (diklat) terakreditasi.
Pemberian bimbingan dan konsultasi diklat teknis dan fungsional tertentu di sektor energi dan sumber daya mineral lingkup provinsi dan kabupaten/kota.
Ɇ 8. Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 9. Koordinasi penyusunan kebutuhan dan penyelenggaraan diklat teknis dan fungsional tertentu sektor energi dan sumber daya mineral dalam skala nasional.
Pembinaan dan pemantauan dan evaluasi lembaga diklat daerah dalam penyelenggaraan diklat sektor ESDM.
Koordinasi penyusunan kebutuhan dan penyelenggaraan diklat teknis dan fungsional tertentu sektor energi dan sumber daya mineral dalam skala provinsi.
Ɇ 9. Penyusunan kebutuhan dan penyelenggaraan diklat teknis dan fungsional tertentu sektor energi dan sumber daya mineral dalam skala kabupaten/kota.
Ɇ CC. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KELAUTAN DAN PERIKANAN SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Kelautan 1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengelolaan sumberdaya kelautan dan ikan di wilayah laut nasional, Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) dan landas kontinen serta sumberdaya alam yang ada di bawahnya meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian dan pengawasan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria penataan ruang laut sesuai dengan peta potensi laut.
Pelaksanaan kebijakan pengelolaan sumberdaya kelautan dan ikan di wilayah laut kewenangan provinsi.
Pelaksanaan dan koordinasi kebijakan penataan ruang laut sesuai dengan peta potensi laut di wilayah laut kewenangan provinsi.
Pelaksanaan kebijakan pengelolaan sumberdaya kelautan dan ikan di wilayah laut kewenangan kabupaten/kota.
Pelaksanaan penataan ruang laut sesuai dengan peta potensi laut di wilayah laut kewenangan kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil termasuk sumberdaya alam yang ada di dalamnya.
Penetapan kebijakan, norma, standar, prosedur, dan kriteria pengawasan dan penegakan hukum di wilayah laut nasional, ZEEI dan landas kontinen.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengelolaan terpadu sumberdaya laut antar daerah.
Pelaksanaan dan koordinasi kebijakan dalam rangka pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil termasuk sumberdaya alam di wilayah laut kewenangan provinsi.
Pelaksanaan pengawasan dan penegakan hukum di wilayah laut kewenangan provinsi dan pemberian informasi apabila terjadi pelanggaran di luar batas kewenangan provinsi.
Pelaksanaan kebijakan pengelolaan terpadu dan pemanfaatan sumberdaya laut antar kabupaten/kota dalam wilayah kewenangan provinsi.
Pelaksanaan kebijakan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil termasuk sumberdaya alam di wilayah laut kewenangan kabupaten/kota.
Pelaksanaan pengawasan dan penegakan hukum di wilayah laut kewenangan kabupaten/kota dan pemberian informasi apabila terjadi pelanggaran di luar batas kewenangan kabupaten/kota.
Koordinasi pengelolaan terpadu dan pemanfaatan sumberdaya laut di wilayah kewenangan kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria perizinan terpadu pengelolaan dan pemanfaatan wilayah laut dan sumberdaya alam yang ada di dalamnya.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pemberdayaan masyarakat pesisir.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria penyerasian riset kelautan meliputi riset, survei dan eksplorasi sumberdaya hayati dan non hayati, teknologi dan pengembangan jasa kelautan.
Pelaksanaan kebijakan perizinan terpadu pengelolaan dan pemanfaatan wilayah laut kewenangan provinsi.
Pelaksanaan kebijakan dalam rangka pemberdayaan masyarakat pesisir antar kabupaten/kota dalam wilayah kewenangan provinsi.
Pelaksanaan dan koordinasi penyerasian riset kelautan di wilayah kewenangan laut provinsi dalam rangka pengembangan jasa kelautan.
Pelaksanaan dan koordinasi perizinan terpadu pengelolaan dan pemanfaatan wilayah laut.
Pemberdayaan masyarakat pesisir di wilayah kewenangan kabupaten/kota.
Pelaksanaan sistem perencanaan dan pemetaan serta riset potensi sumberdaya dalam rangka optimalisasi pemanfaatan sumberdaya kelautan di wilayah kewenangan kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 9. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengelolaan, pemanfaatan dan perlindungan sumberdaya alam kelautan termasuk benda berharga dari kapal tenggelam.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengelolaan dan konservasi sumberdaya alam hayati dan perairan laut.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria peningkatan kapasitas kelembagaan dan Sumberdaya Manusia (SDM) bidang kelautan dan perikanan.
Pelaksanaan pengawasan pemanfaatan benda berharga dari kapal tenggelam berdasarkan wilayah kewenangannya dengan pemerintah dan kabupaten/kota.
Penetapan kebijakan dan pengaturan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut di wilayah laut kewenangan provinsi.
Pelaksanaan kebijakan peningkatan kapasitas kelembagaan dan SDM di bidang kelautan dan perikanan.
Pelaksanaan koordinasi pengawasan dan pemanfaatan benda berharga dari kapal tenggelam berdasarkan wilayah kewenangannya dengan pemerintah dan provinsi.
Pemberian bimbingan teknis pelaksanaan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut di wilayah laut kewenangan kabupaten/kota.
Peningkatan kapasitas kelembagaan dan SDM di bidang kelautan dan perikanan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 12.Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria reklamasi pantai dan mitigasi bencana alam di wilayah pesisir dan laut.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria batas-batas wilayah maritim yang meliputi batas-batas wilayah laut pengelolaan daerah dan batas-batas wilayah laut antar negara.
Pengesahan pemberlakuan perjanjian internasional di bidang kelautan.
Penetapan dan pelaksanaan kebijakan reklamasi pantai dan mitigasi bencana alam di wilayah pesisir dan laut dalam kewenangan provinsi.
Pelaksanaan koordinasi dalam hal pengaturan batas-batas wilayah maritim yang berbatasan dengan wilayah antar negara di perairan laut dalam kewenangan provinsi.
— 12. Pelaksanaan kebijakan reklamasi pantai dan mitigasi bencana alam di wilayah pesisir dan laut dalam kewenangan kabupaten/kota.
Pelaksanaan koordinasi dan kerjasama dengan daerah lain terutama dengan wilayah yang berbatasan dalam rangka pengelolaan laut terpadu.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 15. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pemetaan potensi wilayah dan sumberdaya kelautan nasional.
Pengharmonisasian peraturan pengelolaan wilayah dan sumberdaya laut.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengelolaan wilayah laut di luar 12 (dua belas) mil.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pencegahan pencemaran dan kerusakan sumberdaya ikan serta lingkungannya.
Pelaksanaan dan koordinasi pemetaan potensi sumberdaya kelautan di wilayah perairan laut kewenangan provinsi.
Pelaksanaan penyerasian dan pengharmonisasian pengelolaan wilayah dan sumberdaya laut kewenangan provinsi.
Pelaksanaan dan koordinasi pengelolaan wilayah laut di dalam kewenangan provinsi.
Pelaksanaan dan koordinasi pencegahan pencemaran dan kerusakan sumberdaya ikan serta lingkungannya.
Pelaksanaan pemetaan potensi sumberdaya kelautan di wilayah perairan laut kewenangan kabupaten/kota.
Pelaksanaan penyerasian dan pengharmonisasian pengelolaan wilayah dan sumberdaya laut kewenangan kabupaten/kota.
Pelaksanaan dan koordinasi pengelolaan wilayah laut di dalam kewenangan kabupaten/kota.
Pelaksanaan pencegahan pencemaran dan kerusakan sumberdaya ikan serta lingkungannya. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 19. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria rehabilitasi dan peningkatan sumberdaya ikan serta lingkungannya.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria jenis ikan yang dilarang untuk diperdagangkan, dimasukkan dan dikeluarkan ke dan dari wilayah Republik Indonesia.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria jenis ikan yang dilindungi.
Pelaksanaan kebijakan rehabilitasi dan peningkatan sumberdaya ikan serta lingkungannya antar kabupaten/kota di wilayah laut provinsi.
Pelaksanaan dan koordinasi penetapan jenis ikan yang dilarang untuk diperdagangkan, dimasukkan dan dikeluarkan ke dan dari wilayah Republik Indonesia.
Pelaksanaan dan koordinasi penetapan jenis ikan yang dilindungi.
Pelaksanaan koordinasi antar kabupaten/kota dalam hal pelaksanaan rehabilitasi dan peningkatan sumberdaya ikan serta lingkungannya.
Pelaksanaan penetapan jenis ikan yang dilarang untuk diperdagangkan, dimasukkan dan dikeluarkan ke dan dari wilayah Republik Indonesia.
Pelaksanaan perlindungan jenis ikan yang dilindungi. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 22. Pelaksanaan mitigasi kerusakan lingkungan pesisir dan laut.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengelolaan jasa kelautan dan kemaritiman.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengelolaan dan konservasi plasma nutfah spesifik lokasi.
Pelaksanaan dan koordinasi mitigasi kerusakan lingkungan pesisir dan laut di wilayah laut kewenangan provinsi.
Pelaksanaan koordinasi pengelolaan jasa kelautan dan kemaritiman di wilayah laut kewenangan provinsi.
Pelaksanaan koordinasi pengelolaan dan konservasi plasma nutfah spesifik lokasi di wilayah laut kewenangan provinsi.
Pelaksanaan mitigasi kerusakan lingkungan pesisir dan laut di wilayah laut kewenangan kabupaten/kota.
Pengelolaan jasa kelautan dan kemaritiman di wilayah laut kewenangan kabupaten/kota.
Pengelolaan dan konservasi plasma nutfah spesifik lokasi di wilayah laut kewenangan kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 25. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pemanfaatan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan perairan danau, sungai, rawa dan wilayah perairan lainnya.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria penyusunan zonasi dan tata ruang perairan di wilayah laut nasional.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, kriteria, dan pengelolaan kawasan konservasi perairan dan rehabilitasi perairan di wilayah laut nasional.
Pelaksanaan koordinasi eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan perairan danau, sungai, rawa dan wilayah perairan lainnya di wilayah provinsi.
Pelaksanaan dan koordinasi penyusunan zonasi dan tata ruang perairan dalam wilayah kewenangan provinsi.
Pelaksanaan dan koordinasi pengelolaan kawasan konservasi perairan dan rehabilitasi perairan di wilayah kewenangan provinsi.
Pelaksanaan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan perairan danau, sungai, rawa dan wilayah perairan lainnya di wilayah kabupaten/kota.
Pelaksanaan dan koordinasi penyusunan zonasi dan tata ruang perairan dalam wilayah kewenangan kabupaten/kota.
Pelaksanaan dan koordinasi pengelolaan kawasan konservasi perairan dan rehabilitasi perairan di wilayah kewenangan kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 28. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria perencanaan, pemanfaatan, pengawasan dan pengendalian tata ruang laut nasional.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengelolaan konservasi sumberdaya ikan dan lingkungan sumberdaya ikan di perairan laut nasional dan ZEEI.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria rehabilitasi sumberdaya pesisir, pulau-pulau kecil dan laut.
Perencanaan, pemanfaatan pengawasan dan pengendalian tata ruang laut wilayah kewenangan provinsi.
Pelaksanaan dan koordinasi pengelolaan konservasi sumberdaya ikan dan lingkungan sumberdaya ikan kewenangan provinsi.
Rehabilitasi sumberdaya pesisir, pulau-pulau kecil dan laut di wilayah kewenangan provinsi.
Perencanaan, pemanfaatan pengawasan dan pengendalian tata ruang laut wilayah kewenangan kabupaten/kota.
Pelaksanaan pengelolaan konservasi sumberdaya ikan dan lingkungan sumberdaya ikan kewenangan kabupaten/kota.
Rehabilitasi kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil yang mengalami kerusakan (kawasan mangrove, lamun dan terumbu karang). SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Umum 1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, kriteria dan pelaksanaan perkarantinaan ikan domestik dan internasional.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan skala nasional.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria penyelenggaraan program, pelaksanaan penelitian dan pengembangan teknologi di bidang perikanan.
Perencanaan pembangunan perikanan skala nasional.
— 2. Pelaksanaan dan koordinasi pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dalam wilayah kewenangan provinsi.
Koordinasi penyelenggaraan program, pelaksanaan penelitian dan pengembangan teknologi di bidang perikanan skala provinsi.
Perencanaan pembangunan perikanan skala provinsi.
— 2. Pelaksanaan dan koordinasi pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dalam wilayah kewenangan kabupaten/kota.
Koordinasi penyelenggaraan program, pelaksanaan penelitian dan pengembangan teknologi di bidang perikanan skala kabupaten/kota.
Perencanaan dan pelaksanaan pembangunan perikanan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria akreditasi lembaga sertifikasi sistem mutu hasil perikanan dan fasilitasi teknis.
Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria pola kerjasama pemanfaatan terpadu sumberdaya ikan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria zonasi lahan dan perairan untuk kepentingan perikanan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, kriteria, dan pelaksanaan kerjasama internasional di bidang perikanan skala nasional.
Bimbingan teknis pelaksanaan standarisasi, akreditasi lembaga sertifikasi sistem mutu hasil perikanan.
Bimbingan teknis kerjasama pemanfaatan terpadu sumberdaya ikan antar kabupaten/kota.
Penyusunan zonasi lahan dan perairan untuk kepentingan perikanan dalam wilayah provinsi.
Penyusunan rencana dan pelaksanaan kerjasama internasional bidang perikanan skala provinsi.
Pelaksanaan teknis standarisasi, akreditasi lembaga sertifikasi sistem mutu hasil perikanan.
Pelaksanaan kerjasama pemanfaatan terpadu sumberdaya ikan dalam wilayah kabupaten/kota.
Pemberian bimbingan teknis pelaksanaan penyusunan zonasi lahan dan perairan untuk kepentingan perikanan dalam wilayah kabupaten/kota.
Penyusunan rencana dan pelaksanaan kerjasama internasional bidang perikanan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 9. Pengembangan sistem, pengumpulan, analisis, penyajian dan penyebaran data informasi statistik perikanan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria peningkatan kapasitas kelembagaan dan SDM bidang kelautan dan perikanan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengembangan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Bimbingan dan pelaksanaan pengumpulan, pengolahan, analisis dan penyajian data dan statistik serta informasi bidang perikanan di wilayah laut kewenangan provinsi.
Peningkatan kapasitas kelembagaan dan SDM bidang kelautan dan perikanan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan pengembangan wilayah pesisir dan pulau- pulau kecil.
Pelaksanaan sistem informasi perikanan di wilayah kabupaten/kota.
Pelaksanaan bimbingan teknis dalam peningkatan kapasitas kelembagaan dan SDM bidang kelautan dan perikanan di wilayah kewenangan kabupaten/kota.
Pelaksanaan kebijakan pengembangan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 12. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pelaksanaan penelitian dan pengembangan sumberdaya kelautan dan perikanan.
Peragaan, penyebarluasan dan bimbingan penerapan teknologi perikanan.
Koordinasi pelaksanaan penelitian dan pengembangan sumberdaya kelautan dan perikanan di wilayah perairan kewenangan provinsi.
Peragaan, penyebarluasan dan bimbingan penerapan teknologi perikanan.
Pelaksanaan penelitian dan pengembangan sumberdaya kelautan dan perikanan di wilayah perairan kabupaten/kota.
Peragaan, penyebarluasan dan bimbingan penerapan teknologi perikanan.
Perikanan Tangkap 1. Pengelolaan dan pemanfaatan perikanan di wilayah laut di luar 12 mil.
Estimasi stok ikan nasional dan jumlah tangkapan ikan yang diperbolehkan (JTB).
Pengelolaan dan pemanfaatan perikanan di wilayah laut kewenangan provinsi.
Koordinasi dan pelaksanaan estimasi stok ikan di wilayah perairan kewenangan provinsi.
Pengelolaan dan pemanfaatan perikanan di wilayah laut kewenangan kabupaten/kota.
Koordinasi dan pelaksanaan estimasi stok ikan di wilayah perairan kewenangan kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Fasilitasi kerjasama pengelolaan dan pemanfaatan perikanan antar provinsi.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan plasma nutfah sumberdaya ikan.
Pembuatan dan penyebarluasan peta pola migrasi dan penyebaran ikan di perairan nasional termasuk ZEEI dan landas kontinen.
Fasilitasi kerjasama pengelolaan dan pemanfaatan perikanan antar kabupaten/kota.
Pelaksanaan dan koordinasi perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan plasma nutfah sumberdaya ikan kewenangan provinsi.
Dukungan pembuatan dan penyebarluasan peta pola migrasi dan penyebaran ikan di perairan wilayah kewenangan provinsi.
— 4. Pelaksanaan dan koordinasi perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan plasma nutfah sumberdaya ikan kewenangan kabupaten/kota.
Dukungan pembuatan dan penyebarluasan peta pola migrasi dan penyebaran ikan di perairan wilayah kewenangan kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Pemberian izin penangkapan dan/atau pengangkutan ikan yang menggunakan kapal perikanan berukuran di atas 30 GT dan di bawah 30 GT yang menggunakan tenaga kerja asing.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, kriteria, dan pelaksanaan pungutan perikanan kewenangan pemerintah.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria usaha perikanan tangkap.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pemberdayaan nelayan kecil.
Pemberian izin penangkapan dan/atau pengangkutan ikan yang menggunakan kapal perikanan berukuran di atas 10 GT sampai dengan 30 GT serta tidak menggunakan tenaga kerja asing.
Penetapan kebijakan dan pelaksanaan pungutan perikanan kewenangan provinsi.
Pelaksanaan kebijakan usaha perikanan tangkap dalam wilayah kewenangan provinsi.
Pelaksanaan kebijakan pemberdayaan nelayan kecil.
Pemberian izin penangkapan dan/atau pengangkutan ikan yang menggunakan kapal perikanan sampai dengan 10 GT serta tidak menggunakan tenaga kerja asing.
Penetapan kebijakan dan pelaksanaan pungutan perikanan kewenangan kabupaten/kota.
Pelaksanaan kebijakan usaha perikanan tangkap dalam wilayah kewenangan kabupaten/kota.
Pelaksanaan kebijakan pemberdayaan nelayan kecil. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 10. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria peningkatan kelembagaan dan ketenagakerjaan perikanan tangkap.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria sistem permodalan, promosi, dan investasi di bidang perikanan tangkap.
a.Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria penetapan lokasi pembangunan serta pengelolaan pelabuhan perikanan.
Pelaksanaan kebijakan peningkatan kelembagaan dan ketenagakerjaan perikanan tangkap kewenangan provinsi.
Pelaksanaan kebijakan sistem permodalan, promosi, dan investasi di bidang perikanan tangkap kewenangan provinsi.
a.Pelaksanaan dan koordinasi kebijakan penetapan lokasi pembangunan serta pengelolaan pelabuhan perikanan kewenangan provinsi.
Pelaksanaan kebijakan peningkatan kelembagaan dan ketenagakerjaan perikanan tangkap kewenangan kabupaten/kota.
Pelaksanaan kebijakan sistem permodalan, promosi, dan investasi di bidang perikanan tangkap kewenangan kabupaten/kota.
a.Pelaksanaan dan koordinasi kebijakan penetapan lokasi pembangunan serta pengelolaan pelabuhan perikanan kewenangan kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Ɇ 13. Pembangunan dan pengelolaan pelabuhan perikanan pada wilayah perbatasan dengan negara lain.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria operasional dan penempatan Syahbandar di pelabuhan perikanan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pembangunan kapal perikanan.
Ɇ 13. Dukungan pembangunan dan pengelolaan pelabuhan perikanan pada wilayah perbatasan dengan negara lain.
— 15. Pelaksanaan kebijakan pembangunan kapal perikanan.
Pengelolaan dan penyelenggaraan pelelangan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI).
Dukungan pembangunan dan pengelolaan pelabuhan perikanan pada wilayah perbatasan dengan negara lain.
— 15. Pelaksanaan kebijakan pembangunan kapal perikanan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 16. Pelaksanaan pendaftaran kapal perikanan di atas 30 GT.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pembuatan alat penangkapan ikan.
Pemberian persetujuan pengadaan, pembangunan dan pemasukan kapal perikanan dari luar negeri (impor).
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria produktivitas kapal penangkap ikan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria penggunaan peralatan bantu dan penginderaan jauh untuk penangkapan ikan.
Pendaftaran kapal perikanan di atas 10 GT sampai dengan 30 GT.
Pelaksanaan kebijakan pembuatan alat penangkap ikan.
— 19. Dukungan dalam penetapan kebijakan produktivitas kapal penangkap ikan.
Pelaksanaan kebijakan penggunaan peralatan bantu dan penginderaan jauh untuk penangkapan ikan.
Pendaftaran kapal perikanan sampai dengan 10 GT.
Pelaksanaan kebijakan pembuatan alat penangkap ikan.
— 19. Dukungan dalam penetapan kebijakan produktivitas kapal penangkap ikan.
Pelaksanaan kebijakan penggunaan peralatan bantu dan penginderaan jauh untuk penangkapan ikan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 21. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pemeriksaan fisik kapal perikanan serta pelaksanaan pemeriksaan fisik kapal perikanan berukuran di atas 30 GT.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria kelaikan kapal perikanan dan penggunaan alat tangkap ikan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pemanfaatan dan penempatan rumpon di perairan laut nasional.
Pelaksanaan kebijakan pemeriksaaan fisik kapal perikanan berukuran di atas 10 GT sampai dengan 30 GT.
Pelaksanaan kebijakan dan standarisasi kelaikan kapal perikanan dan penggunaan alat tangkap ikan yang menjadi kewenangan provinsi.
Pelaksanaan dan koordinasi kebijakan pemanfaatan dan penempatan rumpon di perairan laut kewenangan provinsi.
Pelaksanaan kebijakan pemeriksaan fisik kapal perikanan berukuran sampai dengan 10 GT.
Pelaksanaan kebijakan dan standarisasi kelaikan kapal perikanan dan penggunaan alat tangkap ikan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota.
Pelaksanaan dan koordinasi kebijakan pemanfaatan dan penempatan rumpon di perairan laut kewenangan kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 24. Rekayasa dan teknologi penangkapan ikan. 24. Dukungan rekayasa dan pelaksanaan teknologi penangkapan ikan.
Dukungan rekayasa dan pelaksanaan teknologi penangkapan ikan.
Perikanan Budidaya 1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pembudidayaan ikan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria produk pembenihan perikanan di air tawar, air payau dan laut.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria mutu benih/induk ikan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria balai benih ikan air tawar, air payau dan laut.
Pelaksanaan kebijakan pembudidayaan ikan.
Pelaksanaan kebijakan produk pembenihan perikanan di air tawar, air payau dan laut.
Pelaksanaan kebijakan mutu benih/induk ikan.
Pelaksanaan kebijakan, pembangunan dan pengelolaan balai benih ikan air tawar, air payau dan laut.
Pelaksanaan kebijakan pembudidayaan ikan.
Pelaksanaan kebijakan produk pembenihan perikanan di air tawar, air payau dan laut.
Pelaksanaan kebijakan mutu benih/induk ikan.
Pelaksanaan kebijakan, pembangunan dan pengelolaan balai benih ikan air tawar, air payau dan laut. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengadaan, penggunaan dan peredaran serta pengawasan obat ikan, bahan kimia, bahan biologis dan pakan ikan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria akreditasi lembaga sertifikasi perbenihan ikan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pembinaan tata pemanfaatan air dan tata lahan pembudidayaan ikan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengelolaan penggunaan sarana dan prasarana pembudidayaan ikan.
Pelaksanaan kebijakan pengadaan, penggunaan dan peredaran serta pengawasan obat ikan, bahan kimia, bahan biologis dan pakan ikan.
Pelaksanaan kebijakan akreditasi lembaga sertifikasi perbenihan ikan.
Pelaksanaan kebijakan pembinaan tata pemanfaatan air dan tata lahan pembudidayaan ikan.
Pelaksanaan kebijakan pengelolaan penggunaan sarana dan prasarana pembudidayaan ikan.
Pelaksanaan kebijakan pengadaan, penggunaan dan peredaran serta pengawasan obat ikan, bahan kimia, bahan biologis dan pakan ikan.
Pelaksanaan kebijakan akreditasi lembaga sertifikasi perbenihan ikan.
Pelaksanaan kebijakan pembinaan tata pemanfaatan air dan tata lahan pembudidayaan ikan.
Pelaksanaan kebijakan pengelolaan penggunaan sarana dan prasarana pembudidayaan ikan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 9. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria rekomendasi ekspor, impor, induk dan benih ikan.
Penetapan potensi dan alokasi lahan pembudidayaan ikan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria teknis pelepasan dan penarikan varietas induk/benih ikan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria teknis perbanyakan dan pengelolaan induk penjenis, induk dasar dan benih alam.
Pelaksanaan kebijakan rekomendasi ekspor, impor, induk dan benih ikan.
Pelaksanaan potensi dan alokasi lahan pembudidayaan ikan.
Pelaksanaan teknis pelepasan dan penarikan varietas induk/benih ikan.
Pelaksanaan teknis perbanyakan dan pengelolaan induk penjenis, induk dasar dan benih alam.
Pelaksanaan kebijakan rekomendasi ekspor, impor, induk dan benih ikan.
Pelaksanaan potensi dan alokasi lahan pembudidayaan ikan.
Pelaksanaan teknis pelepasan dan penarikan varietas induk/benih ikan.
Pelaksanaan teknis perbanyakan dan pengelolaan induk penjenis, induk dasar dan benih alam. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 13. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria perizinan usaha perikanan serta penerbitan Izin Usaha Perikanan (IUP) di bidang pembudidayaan ikan menggunakan tenaga kerja asing.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pemasukan, pengeluaran, pengadaan, pengedaran dan/atau pemeliharaan ikan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pembudidayaan ikan dan perlindungannya.
Pelaksanaan kebijakan perizinan dan penerbitan IUP di bidang pembudidayaan ikan yang tidak menggunakan tenaga kerja asing di wilayah provinsi.
Pelaksanaan kebijakan pemasukan, pengeluaran, pengadaan, pengedaran dan/atau pemeliharaan ikan.
Pelaksanaan kebijakan pembudidayaan ikan dan perlindungannya.
Pelaksanaan kebijakan perizinan dan penerbitan IUP di bidang pembudidayaan ikan yang tidak menggunakan tenaga kerja asing di wilayah kabupaten/kota.
Pelaksanaan kebijakan pemasukan, pengeluaran, pengadaan, pengedaran dan/atau pemeliharaan ikan.
Pelaksanaan kebijakan pembudidayaan ikan dan perlindungannya SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 16. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengawasan alat pengangkut, unit penyimpanan hasil produksi budidaya ikan dan unit pengelolaan kesehatan ikan dan lingkungannya serta pelaksanaan pengelolaan kesehatan ikan dan lingkungannya.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria wabah dan wilayah wabah penyakit ikan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria sistem informasi benih ikan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria teknologi pembudidayaan ikan.
Pelaksanaan kebijakan pengawasan alat pengangkut, unit penyimpanan hasil produksi budidaya ikan dan unit pengelolaan kesehatan ikan dan lingkungannya serta pelaksanaan pengelolaan kesehatan ikan dan lingkungannya.
Koordinasi dan pelaksanaan kebijakan wabah dan wilayah wabah penyakit ikan.
Koordinasi dan pelaksanaan sistem informasi benih ikan lintas kabupaten/kota.
Koordinasi dan pelaksanaan teknologi pembudidayaan ikan.
Pelaksanaan kebijakan pengawasan alat pengangkut, unit penyimpanan hasil produksi budidaya ikan dan unit pengelolaan kesehatan ikan dan lingkungannya serta pelaksanaan pengelolaan kesehatan ikan dan lingkungannya.
Koordinasi dan pelaksanaan kebijakan wabah dan wilayah wabah penyakit ikan.
Pelaksanaan sistem informasi benih ikan di wilayah kabupaten/kota.
Pelaksanaan teknologi pembudidayaan ikan spesifik lokasi. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 20. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria higienitas dan sanitasi lingkungan usaha pembudidayaan ikan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria kerja sama kemitraan usaha pembudidayaan ikan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria keramba jaring apung.
Koordinasi dan pelaksanaan kebijakan higienitas dan sanitasi lingkungan usaha pembudidayaan ikan.
Koordinasi dan pelaksanaan kebijakan kerja sama kemitraan usaha pembudidayaan ikan.
Pelaksanaan kebijakan keramba jaring apung di perairan umum lintas kabupaten/kota dan wilayah laut kewenangan provinsi.
Pemberian bimbingan, pemantauan dan pemeriksaan higienitas dan sanitasi lingkungan usaha pembudidayaan ikan.
Pembinaan dan pengembangan kerja sama kemitraan usaha pembudidayaan ikan.
Pelaksanaan kebijakan keramba jaring apung di perairan umum dan wilayah laut kewenangan kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Pengawasan dan Pengendalian 1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengawasan pemanfaatan dan perlindungan plasma nutfah perikanan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengawasan perbenihan, pembudidayaan ikan dan sistem pengendalian hama dan penyakit ikan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pembinaan, pemantauan dan pengawasan lembaga sertifikasi perbenihan ikan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengawasan mutu benih dan induk, pakan ikan, obat ikan dan bahan bakunya.
Pengawasan pemanfaatan dan perlindungan plasma nutfah perikanan.
Pengawasan perbenihan, pembudidayaan ikan dan sistem pengendalian hama dan penyakit ikan.
Pembinaan, pemantauan dan pengawasan lembaga sertifikasi perbenihan ikan.
Pengawasan mutu benih dan induk, pakan ikan, obat ikan dan bahan bakunya.
Pengawasan pemanfaatan dan perlindungan plasma nutfah perikanan.
Pengawasan perbenihan, pembudidayaan ikan dan sistem pengendalian hama dan penyakit ikan.
Pembinaan, pemantauan dan pengawasan lembaga sertifikasi perbenihan ikan.
Pengawasan mutu benih dan induk, pakan ikan, obat ikan dan bahan bakunya. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengawasan Penerapan Manajemen Mutu Terpadu (PMMT) atau Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) di unit pengolahan hasil perikanan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengawasan mutu ekspor hasil perikanan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengawasan pemanfaatan dan perlindungan sumberdaya di pulau-pulau kecil.
Pengawasan PMMT atau HACCP di unit pengolahan hasil perikanan.
Pengawasan mutu ekspor hasil perikanan.
Koordinasi pelaksanaan pengawasan pemanfaatan dan perlindungan sumberdaya di pulau- pulau kecil di wilayah kewenangan provinsi.
Pengawasan PMMT atau HACCP di unit pengolahan, alat transportasi dan unit penyimpanan hasil perikanan.
Pemantauan mutu ekspor hasil perikanan.
Pengawasan pemanfaatan dan perlindungan sumberdaya di pulau- pulau kecil di wilayah kewenangan kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 8. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengawasan pemanfaatan sumberdaya ikan di wilayah laut 8. Pengawasan pemanfaatan sumberdaya ikan di wilayah laut kewenangan provinsi.
Pengawasan pemanfaatan sumberdaya ikan di wilayah laut kewenangan kabupaten/kota.
Pengolahan dan Pemasaran 1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengolahan hasil perikanan dan pemasarannya.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pembangunan dan pengelolaan pusat pemasaran ikan.
a.Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria akreditasi pengawasan mutu dan pengolahan hasil perikanan.
Pelaksanaan kebijakan pengolahan hasil perikanan dan pemasarannya.
Pelaksanaan kebijakan pembangunan dan pengelolaan pusat pemasaran ikan.
a.Pelaksanaan kebijakan penerbitan sertifikat kesehatan dan/atau sertifikat mutu terhadap produk perikanan dalam rangka jaminan mutu dan jaminan pangan.
Pelaksanaan kebijakan pengolahan hasil perikanan dan pemasarannya.
Pembangunan, perawatan dan pengelolaan pasar ikan.
a.— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b.Pembinaan pengujian mutu secara laboratoris terhadap produk hasil perikanan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengendalian mutu di unit pengolahan, alat transportasi dan unit penyimpanan hasil perikanan sesuai prinsip PMMT atau HACCP.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pembangunan dan pengelolaan laboratorium pengujian dan pengolahan mutu hasil perikanan.
Pelaksanaan pengujian mutu secara laboratoris terhadap produk hasil perikanan.
Pelaksanaan kebijakan pengendalian mutu di unit pengolahan, alat transportasi dan unit penyimpanan hasil perikanan sesuai prinsip PMMT atau HACCP.
Pelaksanaan kebijakan pembangunan dan pengelolaan laboratorium pengujian dan pengolahan mutu hasil perikanan.
— 4. Pelaksanaan pengendalian mutu di unit pengolahan, alat transportasi dan unit penyimpanan hasil perikanan sesuai prinsip PMMT atau HACCP.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengawasan monitoring residu antibiotik dan cemaran mikroba dan bahan berbahaya lainnya serta perairan/lingkungan tempat ikan hidup.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria investasi dan pengembangan usaha hasil perikanan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria perizinan usaha pengolahan dan pemasaran hasil perikanan.
Bimbingan pengawasan monitoring residu antibiotik dan cemaran mikroba dan bahan berbahaya lainnya serta perairan/lingkungan tempat ikan hidup.
Pelaksanaan kebijakan dan bimbingan investasi dan pengembangan usaha hasil perikanan.
Pelaksanaan kebijakan dan bimbingan perizinan usaha pengolahan dan pemasaran hasil perikanan di provinsi.
Pelaksanaan kebijakan pengawasan monitoring residu antibiotik dan cemaran mikroba dan bahan berbahaya lainnya serta perairan/lingkungan tempat ikan hidup.
Pelaksanaan kebijakan investasi dan pengembangan usaha hasil perikanan.
Pelaksanaan kebijakan perizinan usaha pengolahan dan pemasaran hasil perikanan di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 7. Penyuluhan dan Pendidikan 1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pembinaan serta penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan (diklat) fungsional, teknis, keahlian, manajemen dan kepemimpinan di bidang kelautan dan perikanan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria penyuluhan kelautan dan perikanan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria akreditasi dan sertifikasi diklat bidang kelautan dan perikanan.
Pelaksanaan kebijakan pembinaan serta penyelenggaraan diklat fungsional, teknis, keahlian, manajemen dan kepemimpinan bidang kelautan dan perikanan di provinsi.
Pelaksanaan kebijakan dan bimbingan penyuluhan kelautan dan perikanan di provinsi.
Pelaksanaan kebijakan akreditasi dan sertifikasi diklat bidang kelautan dan perikanan di provinsi.
Pelaksanaan kebijakan pembinaan serta penyelenggaraan diklat fungsional, teknis, keahlian, manajemen dan kepemimpinan bidang kelautan dan perikanan di kabupaten/kota.
Pelaksanaan penyuluhan kelautan dan perikanan di kabupaten/kota.
Pelaksanaan kebijakan akreditasi dan sertifikasi diklat bidang kelautan dan perikanan di kabupaten/kota. DD. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG PERDAGANGAN SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Perdagangan Dalam Negeri 1. Penetapan pedoman serta pembinaan dan pengawasan pemberian izin usaha perdagangan (SIUP).
Penetapan pedoman dan fasilitasi serta pemberian izin perdagangan jasa bisnis (survey, broker, properti), jasa distribusi (waralaba, penjualan langsung, keagenan/distributor, perwakilan perusahaan perdagangan asing) dan jasa lainnya di bidang perdagangan tertentu.
Pembinaan dan pengawasan dalam pelaksanaan pemberian izin usaha perdagangan.
Pembinaan dan pengawasan perdagangan jasa bisnis, jasa distribusi dan jasa lainnya di bidang perdagangan di wilayah provinsi.
Pemberian izin usaha perdagangan di wilayah kabupaten/kota.
Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan izin/pendaftaran jasa bisnis dan jasa distribusi di wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penetapan pedoman, pembinaan dan pengawasan, monitoring dan evaluasi, serta pemberian izin perdagangan barang kategori dalam pengawasan skala nasional (SIUP Minuman Beralkohol golongan B dan C untuk Importir, Distributor dan Subdistributor, SIUP Bahan Berbahaya untuk Distributor, Pengakuan Pedagang Gula dan Kayu antar Pulau, serta komoditi lain yang akan ditetapkan sebagai barang yang perdagangannya diawasi atau diatur tataniaganya).
Pembinaan dan pengawasan, monitoring dan evaluasi serta pemberian izin perdagangan barang kategori dalam pengawasan skala provinsi (SIUP Minuman Beralkohol golongan B dan C untuk Toko Bebas Bea, SIUP Bahan Berbahaya untuk Pengecer dan Rekomendasi SIUP Minuman Beralkohol untuk Distributor dan Subdistributor, Rekomendasi SIUP Bahan Berbahaya untuk Distributor).
Pembinaan dan pengawasan, monitoring dan evaluasi serta pemberian izin perdagangan barang kategori dalam pengawasan skala kabupaten/kota (SIUP Minuman Beralkohol golongan B dan C untuk Pengecer, Penjualan Langsung untuk diminum di tempat, Pengecer dan Penjualan Langsung untuk diminum di tempat untuk Minuman Beralkohol mengandung Rempah sampai dengan 15%, Rekomendasi SIUP Bahan Berbahaya, Rekomendasi Pengakuan Pedagang Kayu antar Pulau). SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Penetapan pedoman, pembinaan Sumber Daya Manusia (SDM), koordinasi, pengendalian, pengawasan penyelenggaraan dan penyajian informasi wajib daftar perusahaan skala nasional.
Penetapan pedoman, pembinaan dan pengawasan, monitoring dan evaluasi serta fasilitasi kegiatan perdagangan di wilayah perbatasan, pedalaman, terpencil dan pulau terluar.
Koordinasi, pengendalian, pengawasan, pelaporan dan penyajian informasi hasil penyelenggaraan wajib daftar perusahaan skala provinsi.
Koordinasi, dukungan pelaksanaan, pembinaan dan pengawasan, fasilitasi, monitoring dan evaluasi kegiatan perdagangan di wilayah perbatasan, pedalaman, terpencil dan pulau terluar di provinsi.
Pengawasan, pelaporan pelaksanaan dan penyelenggaraan serta penyajian informasi pelaksanaan wajib daftar perusahaan skala kabupaten/kota.
Dukungan pelaksanaan, pembinaan dan pengawasan, monitoring dan evaluasi kegiatan perdagangan di daerah perbatasan, pedalaman, terpencil dan pulau terluar di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Penetapan pedoman pembinaan dan pengawasan, pemberian izin, monitoring, evaluasi; pemberian izin sarana perdagangan (pasar/toko modern) dan sarana penunjang perdagangan (jasa pameran, konvensi, dan seminar dagang) tertentu skala nasional dan internasional.
Penetapan pedoman, pembinaan dan pengawasan, monitoring dan evaluasi kegiatan informasi pasar dan stabilisasi harga.
Koordinasi, pembinaan dan pengawasan, monitoring dan evaluasi sarana perdagangan (pasar/toko modern dan gudang) dan persetujuan penyelenggaraan sarana penunjang perdagangan (jasa pameran, konvensi, dan seminar dagang) skala nasional.
Penyelenggaraan, pembinaan dan pengawasan, monitoring dan evaluasi kegiatan informasi pasar dan stabilisasi harga di provinsi.
Pembinaan dan pengawasan, pemberian izin dan rekomendasi skala tertentu, monitoring dan evaluasi sarana perdagangan (pasar/toko modern dan gudang) dan sarana penunjang perdagangan (jasa pameran, konvensi, dan seminar dagang) skala lokal.
Penyelenggaraan, pembinaan dan pengawasan, monitoring dan evaluasi kegiatan informasi pasar dan stabilisasi harga di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 8. Penetapan pedoman, pembinaan dan pengawasan, monitoring dan evaluasi kegiatan peningkatan penggunaan produksi dalam negeri skala nasional.
Penetapan pedoman dan petunjuk teknis pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen.
Sosialisasi, informasi dan publikasi tentang perlindungan konsumen.
Pelayanan dan penanganan penyelesaian sengketa konsumen skala nasional.
Pembinaan dan pengawasan, monitoring dan evaluasi kegiatan peningkatan penggunaan produksi dalam negeri skala provinsi.
Pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen di provinsi.
Sosialisasi, informasi dan publikasi tentang perlindungan konsumen.
Pelayanan dan penanganan penyelesaian sengketa konsumen skala provinsi.
Pembinaan dan pengawasan, monitoring dan evaluasi kegiatan peningkatan penggunaan produksi dalam negeri skala kabupaten/kota.
Pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen di kabupaten/kota.
Sosialisasi, informasi dan publikasi tentang perlindungan konsumen.
Pelayanan dan penanganan penyelesaian sengketa konsumen skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 12.Pembinaan dan Pemberdayaan Motivator dan Mediator Perlindungan Konsumen Skala Nasional.
Fasilitasi operasional Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN).
Fasilitasi pembentukan Perwakilan Badan Perlindungan Konsumen Nasional (PBPKN) provinsi.
Penetapan kebijakan dan pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).
Pembinaan dan Pemberdayaan Motivator dan Mediator Perlindungan Konsumen skala provinsi.
— 14.Koordinasi pembentukan dan fasilitasi operasional PBPKN provinsi.
Koordinasi pembentukan BPSK dengan kabupaten/kota di wilayah provinsi.
Pembinaan dan Pemberdayaan Motivator dan Mediator Perlindungan Konsumen skala kabupaten/kota.
— 14.— 15.Pengusulan pembentukan BPSK di kabupaten/kota kepada pemerintah berkoordinasi dengan provinsi dan fasilitasi operasional BPSK. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 16.Penetapan kebijakan dan petunjuk teknis pembinaan Lembaga Pemberdayaan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM).
Koordinasi dan kerjasama internasional serta lintas sektoral dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen.
Pengkajian dan evaluasi implementasi penyelenggaraan perlindungan konsumen.
Penetapan kebijakan, pedoman, petunjuk pelaksanaan/petunjuk teknis dan atau tatacara pengawasan barang beredar dan jasa.
Koordinasi kegiatan LPKSM dengan kabupaten/kota di wilayah provinsi.
Koordinasi dan kerjasama dengan instansi terkait skala provinsi dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen.
Koordinasi evaluasi implementasi penyelenggaraan perlindungan konsumen.
Pelaksanaan kebijakan, pedoman, petunjuk pelaksanaan/petunjuk teknis pengawasan barang beredar dan jasa.
Pendaftaran dan pengembangan LPKSM.
Koordinasi dan kerjasama dengan instansi terkait skala kabupaten/kota dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen.
Evaluasi implementasi penyelenggaraan perlindungan konsumen.
Pelaksanaan kebijakan, pedoman, petunjuk pelaksanaan/petunjuk teknis pengawasan barang beredar dan jasa. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 20.Pembinaan dan pengawasan barang beredar dan jasa serta penegakan hukum skala nasional.
Koordinasi pengawasan barang beredar dan jasa skala nasional.
Sosialisasi kebijakan pengawasan barang beredar dan jasa skala nasional.
Pembinaan dan pemberdayaan Petugas Pengawas Barang Beredar dan Jasa (PPBJ) skala nasional.
Pembinaan dan pengawasan barang beredar dan jasa serta penegakan hukum skala provinsi.
Koordinasi pelaksanaan pengawasan barang beredar dan jasa skala provinsi.
Sosialisasi kebijakan pengawasan barang beredar dan jasa skala provinsi.
Pembinaan dan pemberdayaan PPBJ skala provinsi.
Pengawasan barang beredar dan jasa serta penegakan hukum skala kabupaten/kota.
Koordinasi pelaksanaan pengawasan barang beredar dan jasa skala kabupaten/kota.
Sosialisasi kebijakan pengawasan barang beredar dan jasa skala kabupaten/kota.
Pembinaan dan pemberdayaan PPBJ skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 24.Pembinaan dan pemberdayaan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perlindungan Konsumen (PPNS-PK) skala nasional.
Penetapan dan penyelenggaraan pendaftaran petunjuk penggunaan (manual) dan kartu jaminan/garansi dalam bahasa Indonesia bagi produk teknologi informasi dan elektronika skala nasional.
Pembinaan dan pemberdayaan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Wajib Daftar Perusahaan (PPNS- WDP) skala nasional.
Pembinaan dan pemberdayaan PPNS-PK skala provinsi.
Koordinasi, penyelenggaraan dan pelaporan pemberian rekomendasi atas pendaftaran petunjuk penggunaan (manual) dan kartu jaminan/garansi dalam bahasa Indonesia bagi produk teknologi informasi dan elektronika skala provinsi.
Pembinaan dan pemberdayaan PPNS-WDP skala provinsi.
Pembinaan dan pemberdayaan PPNS-PK skala kabupaten/kota.
Penyelenggaraan, pelaporan dan rekomendasi atas pendaftaran petunjuk penggunaan (manual) dan kartu jaminan/garansi dalam bahasa Indonesia bagi produk teknologi informasi dan elektronika skala kabupaten/kota.
Pembinaan dan pemberdayaan PPNS- WDP skala kabupaten/ kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 27.Penetapan pedoman dan fasilitasi sistem informasi perdagangan, dan penyusunan potensi usaha di sektor perdagangan skala nasional.
Fasilitasi dan pelaporan pelaksanaan sistem informasi perdagangan dan penyusunan potensi usaha di sektor perdagangan skala provinsi.
Pelaksanaan dan pelaporan sistem informasi perdagangan dan penyusunan potensi usaha di sektor perdagangan skala kabupaten/kota.
Metrologi Legal 1. Penetapan dan pembinaan sistem metrologi legal.
Pembinaan dan pengembangan SDM metrologi legal.
Pembinaan dan pengendalian pembangunan metrologi legal skala provinsi.
Fasilitasi, koordinasi, penyelenggaraan, pengawasan dan pengendalian SDM metrologi skala provinsi.
Fasilitasi dan pelaksanaan kegiatan metrologi legal setelah memperoleh penilaian dari pemerintah yang didasarkan rekomendasi provinsi.
Fasilitasi dan pembinaan serta pengendalian SDM metrologi skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3.a.Pengelolaan dan penilaian standar ukuran dan laboratorium metrologi legal.
Ɇ c. Ɇ 4. Pelaksanaan kegiatan metrologi legal yang memerlukan penanganan khusus.
a.Koordinasi, rekomendasi penilaian standar ukuran dan laboratorium metrologi legal kabupaten/kota.
Pelaksanaan verifikasi standar satuan ukuran milik provinsi dan kabupaten/kota.
Penyelenggaraan interkomparasi skala provinsi.
Koordinasi dan pelaksanaan kegiatan tera dan tera ulang alat-alat Ukur, Takar, Timbang, dan Perlengkapannya (UTTP) di wilayah kabupaten/kota.
a.Fasilitasi standar ukuran dan laboratorium metrologi legal.
Ɇ c. Ɇ 4. Pelayanan tera dan tera ulang UTTP setelah melalui penilaian standar ukuran dan laboratorium metrologi legal oleh pemerintah. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Penyelenggaraan kerjasama internasional metrologi legal.
Fasilitasi penyuluhan dan pengamatan UTTP, Barang Dalam Kemasan Terbungkus (BDKT) dan Satuan Internasional (SI).
Pembinaan dan penerbitan izin tipe UTTP, izin tanda pabrik UTTP.
Fasilitasi dan penyelenggaraan kerjasama metrologi legal skala provinsi.
Fasilitasi dan penyelenggaraan penyuluhan dan pengamatan UTTP, BDKT dan SI.
Koordinasi dan pembinaan pembuat UTTP, importir UTTP dan merekomendasikan pelaksanaan permohonan izin tipe dan izin tanda pabrik serta menerbitkan perpanjangan izin tanda pabrik dan izin reparatir UTTP.
Fasilitasi penyelenggaraan kerjasama metrologi legal skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan penyuluhan dan pengamatan UTTP, BDKT dan SI.
Pembinaan operasional reparatir UTTP. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 8. Pengawasan dan penyidikan tindak pidana Undang- Undang Metrologi Legal (UUML).
Penetapan dan pembinaan sistem metrologi legal untuk pemerintah daerah khusus yang ditunjuk berdasarkan peraturan perundang- undangan.
Pengawasan dan penyidikan tindak pidana UUML.
Daerah Khusus Ibukota Jakarta yang ditunjuk secara khusus oleh undang-undang maka koordinasi, fasilitasi dan penyelenggaraan metrologi legal menjadi urusan provinsi.
Pengawasan dan penyidikan tindak pidana UUML.
— 3. Perdagangan Luar Negeri 1. Penetapan kebijakan dan pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria bidang ekspor meliputi:
Barang yang diatur ekspornya;
Barang yang diawasi ekspornya;
Penyediaan bahan masukan sebagai bahan pertimbangan perumusan kebijakan bidang ekspor.
Penyediaan bahan masukan sebagai bahan pertimbangan perumusan kebijakan bidang ekspor. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c. Barang yang dilarang ekspornya.
Koordinasi dan sosialisasi kebijakan bidang ekspor skala nasional.
Pelaksanaan kebijakan bidang ekspor meliputi:
Barang yang diatur ekspornya;
Barang yang diawasi ekspornya;
Barang yang dilarang ekspornya.
Penetapan kebijakan dan pedoman pelaksanaan bidang impor meliputi:
Koordinasi dan sosialisasi kebijakan bidang ekspor skala provinsi.
Monitoring dan pelaporan pelaksanaan kebijakan bidang ekspor.
Penyediaan bahan masukan untuk perumusan kebijakan bidang impor.
Koordinasi dan sosialisasi kebijakan bidang ekspor skala kabupaten/kota.
Monitoring dan pelaporan pelaksanaan kebijakan bidang ekspor.
Penyediaan bahan masukan untuk perumusan kebijakan bidang impor. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA a. Barang yang diatur tata niaganya;
Barang yang dilarang impornya.
Pelaksanaan kebijakan bidang impor meliputi:
Barang yang diatur tata niaganya;
Barang yang dilarang impornya.
Koordinasi dan sosialisasi kebijakan bidang impor skala nasional.
Pengawasan dan pengendalian mutu barang meliputi:
Penyediaan bahan masukan sebagai bahan pertimbangan perumusan kebijakan bidang impor.
Koordinasi dan pelaksanaan kebijakan bidang impor skala provinsi.
Pengambilan contoh, pengujian, inspeksi teknis dan sertifikasi mutu barang meliputi:
Penyediaan bahan masukan sebagai bahan pertimbangan perumusan kebijakan bidang impor.
Koordinasi dan pelaksanaan kebijakan bidang impor skala kabupaten/kota.
Pengambilan contoh, pengujian, inspeksi teknis dan sertifikasi mutu barang meliputi: SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA a. Penetapan kebijakan dan mekanisme pengawasan untuk membuktikan kesesuaian barang terhadap standar;
Penelusuran teknis terhadap penilaian kesesuaian yang dilaksanakan oleh lembaga penguji, inspeksi teknis dan sertifikasi;
Registrasi terhadap lembaga penilaian kesesuaian.
Pengambilan contoh yang dilakukan oleh Petugas Pengambil Contoh (PPC) yang teregistrasi;
Pengujian, inspeksi teknis dan sertifikasi dilakukan oleh lembaga uji, inspeksi teknis, sertifikasi yang terakreditasi dan teregistrasi.
— a. Pengambilan contoh yang dilakukan oleh PPC yang teregistrasi;
Pengujian, inspeksi teknis dan sertifikasi dilakukan oleh lembaga uji, inspeksi teknis, sertifikasi yang terakreditasi dan teregistrasi.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 8. Pembinaan dan pengembangan SDM Penguji Mutu Barang (PMB) meliputi pengaturan, penentuan kriteria, uji kompetensi, registrasi, pendidikan dan latihan, penilaian dan penetapan angka kredit, bimbingan teknis, monitoring dan evaluasi PMB.
Penetapan kebijakan, petunjuk pelaksanaan penerbitan Surat Keterangan Asal (SKA) barang ekspor, penunjukan instansi penerbitan SKA dan penelusuran asal barang, pelatihan dan sertifikasi petugas penandatangan SKA.
Penilaian dan pelaporan angka kredit PMB tingkat provinsi.
Penyediaan bahan masukan untuk perumusan kebijakan penerbitan SKA dan penelusuran asal barang.
Penilaian dan pelaporan angka kredit PMB tingkat kabupaten/kota.
Penyediaan bahan masukan untuk perumusan kebijakan penerbitan SKA dan penelusuran asal barang. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 10.Sosialisasi, evaluasi, penerbitan SKA dan penelusuran asal barang oleh daerah.
Penetapan kebijakan penerbitan Angka Pengenal Importir (API).
Sosialisasi kebijakan, monitoring dan evaluasi penerbitan API.
Sosialisasi, penerbitan dan pelaporan penerbitan SKA penelusuran asal barang di tingkat provinsi yang ditunjuk.
Penerbitan API.
Sosialisasi kebijakan dan pelaporan penerbitan API.
Sosialisasi, penerbitan dan pelaporan penerbitan SKA penelusuran asal barang di tingkat kabupaten/kota yang ditunjuk.
Penyediaan bahan masukan untuk penerbitan API.
Sosialisasi kebijakan dan pelaporan penerbitan API. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 13.Penetapan kebijakan dan fasilitasi ekspor dan impor, sosialisasi, koordinasi pelaksanaan, monitoring dan evaluasi.
Partisipasi dan penetapan kesepakatan dalam sidang komoditi internasional.
Sosialisasi, monitoring dan evaluasi pelaksanaan kesepakatan.
Penyediaan bahan masukan, sosialisasi, fasilitasi, koordinasi pelaksanaan, monitoring dan pelaporan, penyediaan informasi potensi ekspor daerah sebagai bahan pertimbangan perumusan kebijakan.
Penyediaan bahan masukan dalam rangka penetapan kesepakatan dalam sidang komoditi internasional.
Sosialisasi, monitoring dan evaluasi, pelaporan pelaksanaan kesepakatan skala provinsi.
Penyediaan bahan masukan, sosialisasi, fasilitasi, koordinasi pelaksanaan monitoring dan pelaporan, penyediaan informasi potensi ekspor daerah sebagai bahan pertimbangan perumusan kebijakan.
Penyediaan bahan masukan dalam rangka penetapan kesepakatan dalam sidang komoditi internasional.
Sosialisasi, monitoring dan evaluasi, pelaporan pelaksanaan kesepakatan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 16.Pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang perdagangan luar negeri.
Fasilitasi pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang perdagangan luar negeri.
Fasilitasi pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang perdagangan luar negeri.
Kerjasama Perdagangan Internasional 1. Penetapan kebijakan, kesepakatan, pelaksanaan, koordinasi, sosialisasi, monitoring dan evaluasi kerjasama perdagangan multilateral.
Penetapan kebijakan, kesepakatan, pelaksanaan, koordinasi, sosialisasi, monitoring dan evaluasi kerjasama perdagangan regional seperti: kerjasama Association of South East Asian Nation (ASEAN), Asia Pasific Economic Conference (APEC), Asia Europe Meeting (ASEM), dan kerjasama ekonomi sub regional.
Monitoring dan sosialisasi hasil-hasil kesepakatan kerjasama perdagangan internasional.
Monitoring dan sosialisasi hasil-hasil kesepakatan kerjasama perdagangan internasional dan koordinasi kerjasama ekonomi sub regional.
Monitoring dan sosialisasi hasil-hasil kesepakatan kerjasama perdagangan internasional.
Monitoring dan sosialisasi hasil-hasil kesepakatan kerjasama perdagangan internasional. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Pengaturan, penetapan kebijakan, kesepakatan, pelaksanaan, koordinasi, sosialisasi, monitoring dan evaluasi kerjasama perdagangan bilateral, seperti:
Free Trade Agreement (FTA);
Economic Partnership Agreement (EPA) ;
Comprehensive Trade and Economic Partnership (CTEP);
Comprehensive Economic Partnership (CEP);
Trade and Investment Framework (TIF);
Trade and Investment Council (TIC);
Monitoring dan sosialisasi hasil-hasil kesepakatan kerjasama perdagangan bilateral dan sosialisasi kerjasama perdagangan lintas batas.
Monitoring dan sosialisasi hasil-hasil kesepakatan kerjasama perdagangan bilateral. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA g. Trade and Investment Framework Agreement (TIFA);
Pengaturan, penetapan kebijakan, kesepakatan, pelaksanaan, koordinasi, sosialisasi, monitoring dan evaluasi pengamanan perdagangan meliputi: dumping , subsidi, dan safeguard .
Monitoring dan sosialisasi dumping , subsidi, dan safeguard .
Monitoring dan sosialisasi dumping , subsidi, dan safeguard. 5. Pengembangan Ekspor Nasional 1. Penetapan kebijakan bidang pengembangan ekspor secara nasional.
Pelaksanaan kegiatan pengembangan ekspor skala nasional maupun internasional.
Penyediaan bahan kebijakan pengembangan ekspor skala provinsi.
Pelaksanaan kegiatan pengembangan ekspor skala provinsi.
Penyediaan bahan kebijakan pengembangan ekspor skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan kegiatan pengembangan ekspor skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Perdagangan Berjangka Komoditi, Alternatif Pembiayaan Sistem Resi Gudang, Pasar Lelang 1. Pembinaan, pengaturan dan pengawasan perdagangan berjangka komoditi.
Pembinaan, pengaturan dan pengawasan sistem resi gudang.
Pembinaan, pengaturan dan pengawasan penyelenggaraan pasar lelang.
Koordinasi dengan aparat penegak hukum dalam penanganan kasus-kasus yang berkaitan dengan perdagangan berjangka komoditi.
Pembinaan komoditas dalam rangka memperoleh akses pembiayaan resi gudang.
Pembinaan, pengaturan dan pengawasan yang bersifat teknis terhadap penyelenggaraan dan pelaku pasar lelang skala provinsi.
Koordinasi dengan aparat penegak hukum dalam penanganan kasus-kasus yang berkaitan dengan perdagangan berjangka komoditi.
Pembinaan komoditas dalam rangka memperoleh akses pembiayaan resi gudang.
Pembinaan, pengaturan dan pengawasan yang bersifat teknis terhadap penyelenggaraan dan pelaku pasar lelang skala kabupaten/kota. EE. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG PERINDUSTRIAN SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Perizinan 1. Penetapan kebijakan Izin Usaha Industri (IUI) dan kawasan industri.
Penerbitan IUI bagi industri yang mengolah dan menghasilkan Bahan Beracun Berbahaya (B3), industri minuman beralkohol, industri teknologi tinggi yang strategis, industri kertas berharga, industri senjata dan amunisi.
Penerbitan IUI yang lokasinya lintas provinsi.
Penerbitan izin kawasan industri yang lokasinya lintas provinsi.
— 2. Penerbitan IUI skala investasi di atas Rp 10 milyar tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.
Penerbitan rekomendasi IUI yang diterbitkan oleh pemerintah.
Penerbitan izin kawasan industri yang lokasinya lintas kabupaten/kota.
— 2. Penerbitan tanda daftar industri dan IUI skala investasi s/d Rp 10 miliar tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.
Penerbitan berita acara pemeriksaan dalam rangka penerbitan IUI oleh pemerintah dan provinsi.
Penerbitan izin usaha kawasan industri yang lokasinya di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Usaha Industri 1. Penetapan bidang usaha industri prioritas nasional, cabang industri yang penting dan strategis bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak.
Penetapan pengelompokan bidang usaha industri atau skala usaha.
Penetapan bidang usaha industri yang terbuka dan tertutup untuk penanaman modal dan yang dicadangkan untuk industri kecil.
Penetapan bidang usaha industri prioritas provinsi.
— 3. — 1. Penetapan bidang usaha industri prioritas kabupaten/kota.
— 3. — 3. Fasilitas Usaha Industri 1. Penetapan kebijakan pemberian fasilitas/insentif fiskal dan moneter dalam rangka pengembangan industri tertentu.
Pemberian fasilitas usaha dalam rangka pengembangan Industri Kecil Menengah (IKM).
— 2. Pemberian fasilitas usaha dalam rangka pengembangan IKM di provinsi.
— 2. Pemberian fasilitas usaha dalam rangka pengembangan IKM di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Perlindung- an Usaha Industri 1. Perumusan kebijakan dan penetapan tarif bea masuk impor.
Perumusan dan penetapan kebijakan perlindungan bagi industri.
— 2. Pemberian perlindungan kepastian berusaha terhadap usaha industri lintas kabupaten/kota.
— 2. Pemberian perlindungan kepastian berusaha terhadap usaha industri di kabupaten/kota.
Perencana- an dan Program 1. Penyusunan rencana jangka panjang pembangunan industri nasional.
Penyusunan Rencana Strategis (Renstra) di bidang industri.
Penyusunan rencana pembangunan tahunan industri nasional.
Penyusunan rencana jangka panjang pembangunan industri provinsi.
Penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) provinsi di bidang industri.
Penyusunan rencana kerja provinsi di bidang industri.
Penyusunan rencana jangka panjang pembangunan industri kabupaten/kota.
Penyusunan RPJM SKPD kabupaten/kota di bidang industri.
Penyusunan rencana kerja kabupaten/kota di bidang industri. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Pemasaran 1. Penetapan kebijakan peningkatan pemasaran produk industri dalam negeri.
Promosi produk industri nasional.
— 2. Promosi produk industri provinsi .
— 2. Promosi produk industri kabupaten/kota.
Teknologi 1. Penetapan kebijakan penelitian, pengembangan dan penerapan teknologi di bidang industri.
Pelaksanaan penelitian, pengembangan dan penerapan teknologi di bidang industri.
— 1. — 2. Pelaksanaan penelitian, pengembangan dan penerapan teknologi di bidang industri di provinsi.
Fasilitasi pemanfaatan hasil penelitian, pengembangan dan penerapan teknologi di bidang industri termasuk lintas kabupaten/kota.
— 2. Pelaksanaan penelitian, pengembangan dan penerapan teknologi di bidang industri di kabupaten/kota.
Fasilitasi pemanfaatan hasil penelitian, pengembangan dan penerapan teknologi di bidang industri. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Sosialisasi hasil penelitian, pengembangan dan penerapan teknologi di bidang industri.
Sosialisasi hasil penelitian, pengembangan dan penerapan teknologi di bidang industri.
Sosialisasi hasil penelitian, pengembangan dan penerapan teknologi di bidang industri.
Standarisasi 1. Penetapan kebijakan standarisasi berdasarkan sistem standarisasi nasional.
Perumusan, fasilitasi penerapan dan pengawasan standar.
Kerjasama nasional, regional dan internasional bidang standarisasi.
— 2. Fasilitasi dan pengawasan terhadap penerapan standar yang akan dikembangkan di provinsi.
Kerjasama bidang standarisasi tingkat provinsi.
— 2. Fasilitasi dan pengawasan terhadap penerapan standar yang akan dikembangkan di kabupaten/kota.
Kerjasama bidang standarisasi tingkat kabupaten/kota.
Sumber Daya Manusia (SDM) 1. Penetapan kebijakan pembinaan dan pengembangan SDM industri dan aparatur pembina industri.
— 1. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Penetapan standar kompetensi dan kurikulum pendidikan dan pelatihan (diklat) SDM industri dan aparatur pembina industri.
Pelaksanaan diklat SDM industri dan aparatur pembina industri lintas provinsi.
Penerapan standar kompetensi SDM industri dan aparatur pembina industri di provinsi.
Pelaksanaan diklat SDM industri dan aparatur pembina industri lintas kabupaten/kota.
Penerapan standar kompetensi SDM industri dan aparatur pembina industri di kabupaten/kota.
Pelaksanaan diklat SDM industri dan aparatur pembina industri di kabupaten/kota.
Permodalan 1. Perumusan kebijakan bantuan pendanaan untuk pemberdayaan industri melalui bank dan lembaga keuangan bukan bank.
Fasilitasi akses permodalan bagi industri melalui bank dan lembaga keuangan bukan bank di provinsi.
Fasilitasi akses permodalan bagi industri melalui bank dan lembaga keuangan bukan bank di kabupaten/kota.
Lingkungan Hidup 1. Penetapan kebijakan pembinaan industri yang berwawasan lingkungan dan pengawasan pencemaran yang diakibatkan oleh industri.
Pemberian bantuan teknis kepada kabupaten/kota dalam rangka pencegahan pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh industri.
Pembinaan industri dalam rangka pencegahan pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh industri tingkat kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Fasilitasi kerjasama internasional di bidang industri yang terkait dengan lingkungan hidup.
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan pembinaan industri bersih yang dilakukan oleh kabupaten/kota dalam rangka pencegahan pencemaran lingkungan.
Pengawasan terhadap pencemaran lingkungan yang diakibatkan kegiatan industri di kabupaten/kota.
Kerjasama Industri 1. Penetapan kebijakan untuk peningkatan kemitraan antara industri kecil, menengah dan industri besar serta sektor ekonomi lainnya.
Penetapan pola kemitraan antara industri dengan sektor ekonomi lainnya.
Koordinasi dan fasilitasi kemitraan antara industri kecil, menengah dan industri besar serta sektor ekonomi lainnya lintas kabupaten/kota.
Koordinasi dan fasilitasi kerjasama pengembangan industri melalui pola kemitraan usaha lintas kabupaten/kota.
Fasilitasi kemitraan antara industri kecil, menengah dan industri besar serta sektor ekonomi lainnya di kabupaten/kota.
Fasilitasi kerjasama pengembangan industri melalui pola kemitraan usaha di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penetapan kebijakan kerjasama luar negeri, kerjasama lintas sektoral dan regional bidang industri.
Koordinasi dan fasilitasi kerjasama luar negeri, kerjasama lintas sektoral dan regional untuk pemberdayaan industri lintas kabupaten/kota.
Pelaksanaan hasil-hasil kerjasama luar negeri, kerjasama lintas sektoral dan regional untuk pemberdayaan industri di kabupaten/kota.
Kelembaga- an 1. Pembinaan asosiasi industri/dewan tingkat nasional dan internasional.
Penetapan kebijakan pengembangan lembaga pendukung/unit pelaksana teknis penelitian dan pengembangan (litbang), diklat dan pelayanan pada IKM.
Pembentukan dan pembinaan unit pelaksana teknis tingkat nasional dan membantu unit pelaksana teknis tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
Pembinaan asosiasi industri/dewan tingkat provinsi.
— 3. Pembentukan dan pembinaan unit pelaksana teknis tingkat provinsi dan membantu unit pelaksana teknis tingkat kabupaten/kota.
Pembinaan asosiasi industri/dewan tingkat kabupaten/kota.
— 3. Pembentukan dan pembinaan unit pelaksana teknis tingkat kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 14. Sarana dan Prasarana 1. Penetapan kebijakan pengembangan wilayah-wilayah pusat pertumbuhan industri dan lokasi pembangunan industri termasuk kawasan industri dan sentra industri kecil.
Penyusunan tata ruang provinsi industri dalam rangka pengembangan pusat- pusat industri yang terintegrasi serta koordinasi penyediaan sarana dan prasarana (jalan, air, listrik, telepon, unit pengolahan limbah IKM) untuk industri yang mengacu pada tata ruang nasional.
Penyusunan tata ruang kabupaten/kota industri dalam rangka pengembangan pusat-pusat industri yang terintegrasi serta koordinasi penyediaan sarana dan prasarana (jalan, air, listrik, telepon, unit pengolahan limbah IKM) untuk industri yang mengacu pada tata ruang regional (provinsi).
Informasi Industri 1. Penetapan kebijakan informasi industri.
Penyusunan pedoman dan pengumpulan, analisis dan diseminasi data nasional bidang industri.
— 2. Pengumpulan, analisis dan diseminasi data bidang industri tingkat provinsi dan pelaporan kepada pemerintah.
— 2. Pengumpulan, analisis dan diseminasi data bidang industri tingkat kabupaten/kota dan pelaporan kepada provinsi. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 16. Pengawasan Industri 1. Pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan industri dalam rangka desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan di daerah.
Perumusan sistem, pembinaan dan pengaturan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah di bidang industri.
Pengawasan terhadap pelaksanaan tugas desentralisasi bidang industri tingkat provinsi.
— 1. Pengawasan terhadap pelaksanaan tugas desentralisasi bidang industri tingkat kabupaten/kota.
— 17. Monitoring, Evaluasi, dan Pelaporan 1. Monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang perindustrian nasional.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang perindustrian di provinsi.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang perindustrian di kabupaten/kota. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Penggolongan dan Kodefikasi Barang Milik Negara.
Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga dan Penyusunan, Penelaahan, Pengesahan dan Pelaksanaan Daftar ...
Pengujian UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan [Pasal 4 ayat (2), Pasal 7 ayat (3), Pasal 14 ayat (1), (7), Pasal 17 ayat (2), huruf a, c, d ...
Relevan terhadap
ayat (1) 1 untuk diri Wajib Pajak 2.880.000,00 12.000.000,00 13.200.000,00 15.840,000,00 2 Tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin 1.440.000,00 1.200.000,00 1.200.000,00 1.320.000,00 3 Tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya digabung dgn penghasilan suami 2.880.000,00 12.000.000,00 13.200.000,00 15.840.000,00 4 Tambahan untuk setiap tanggungan 1.440.000,00 1.200.000,00 1.200.000,00 1.320.000,00 Dengan memperhatikan data pada tabel tersebut di atas dapat ditegaskan bahwa secara keseluruhan, besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak berdasarkan UU PPh Tahun 2008 jauh lebih besar jika dibandingkan dengan besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak menurut UU PPh Tahun 1983 maupun UU PPh Tahun 2000 berikut aturan pelaksanaannya. Selain itu, dapat ditegaskan pula bahwa perubahan terhadap besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak tidak harus dilakukan dengan mengubah Undang-Undang, tetapi cukup dengan menggunakan Peraturan Menteri Keuangan sebagai pelaksanaan 88 amanat Pasal 7 ayat (3) UU PPh Tahun 2008, yang memberikan delegasi wewenang kepada Menteri Keuangan untuk menyesuaikan besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak yang terlebih dahulu dikonsultasikan dengan DPR sebagai representasi dari seluruh rakyat Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa permasalahan mengenai besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak merupakan permasalahan implementasi suatu Undang-Undang (dalam hal ini Undang-Undang a quo ), yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan isu konstitusionalitas. Bahwa atas Pasal 7 ayat (3) UU PPh Tahun 2008 telah diuji materiil di Mahkamah Konstitusi dengan Putusan Nomor 1/PUU-VII/2009 tanggal 20 Mei 2009 yang amar putusannya menyatakan bahwa permohonan Pemohon ditolak. Oleh karena itu sudah sepatutnya pengujian terhadap pasal dimaksud dikesampingkan.
Pasal 14 ayat (1) Dalam rangka pengenaan pajak yang adil dan wajar sesuai dengan kemampuan ekonomis Wajib Pajak dibutuhkan informasi yang benar dan lengkap tentang penghasilan Wajib Pajak. Untuk dapat menyajikan informasi dimaksud, Wajib Pajak harus menyelenggarakan pembukuan. Namun, disadari bahwa tidak semua Wajib Pajak mampu menyelenggarakan pembukuan. Oleh karena itu perlu diberikan kemudahan melalui mekanisme lain yang tidak didasarkan pada pembukuan yaitu melalui penerapan norma penghitungan penghasilan netto. Pasal 14 ayat (1) UU PPh Tahun 2008 mengamanatkan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk membuat Norma Penghitungan Penghasilan Netto bagi Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau melakukan pekerjaan bebas yang tidak mampu menyelenggarakan pembukuan. Dalam menentukan besarnya Norma Penghitungan Penghasilan Neto, Direktur Jenderal Pajak harus mendasarkan pada hasil penelitian, atau data lain dan dengan memperhatikan kewajaran. Untuk lebih mencerminkan tingkat kewajaran dari kondisi usaha Wajib Pajak, besarnya Norma Penghitungan Penghasilan Netto perlu dilakukan penyempurnaan secara terus menerus. Adapun peraturan pelaksanaan yang berkenaan dengan Pasal 14 ayat (1) adalah Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-536/PJ./2000. (Bukti Pemt.42) 4. Pasal 14 ayat (7) Berdasarkan Pasal 14 ayat (2) UU PPh Tahun 2008, Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang peredaran brutonya dalam 1 89 (satu) tahun kurang dari Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) boleh menghitung penghasilan netto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto. (Bukti Pemt. 2e) Berdasarkan Pasal 14 Ayat (7) UU PPh Tahun 2008 Menteri Keuangan dapat melakukan penyesuaian batasan peredaran bruto sebesar Rp 4.800.000.000,00 di atas dengan memperhatikan perkembangan ekonomi dan kemampuan masyarakat Wajib Pajak untuk menyelenggarakan pembukuan.
Pasal 17 ayat (2) Tarif tertinggi untuk Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sebesar 30% (tiga puluh persen) dapat diturunkan menjadi paling rendah 25% (dua puluh lima persen) yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. Penurunan tarif ini dilakukan oleh Pemerintah bersama dengan DPR pada saat pembahasan dalam rangka menyusun Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Pasal 17 ayat (2) huruf a Tarif tertinggi untuk Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap sebesar 28% mulai tahun pajak 2010 diturunkan menjadi 25% yang telah diatur dalam Pasal 17 ayat (2) huruf a UU PPh Tahun 2008. Bahwa norma Pasal 17 ayat (2) huruf a sama sekali tidak mengatur mengenai pelimpahan kewenangan untuk mengatur lebih lanjut mengenai besarnya tarif ataupun hal lain terkait dengan pasal tersebut. Oleh karena itu sudah sepatutnya Majelis mengesampingkan pengujian terhadap pasal dimaksud.
Pasal 17 ayat (2) huruf c dan ayat (2) huruf d Pengenaan pajak atas penghasilan berupa dividen yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri diatur dengan Peraturan Pemerintah. Berdasarkan amanat Pasal 17 ayat (2) huruf c besarnya pajak atas penghasilan berupa dividen tersebut diberikan batasan paling tinggi 10% dan bersifat final. Adapun peraturan pelaksanaan yang berkenaan dengan Pasal 17 ayat (2) huruf c dan ayat (2) huruf d adalah Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2009. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2009 tersebut telah mengatur besarnya pajak atas penghasilan berupa dividen sebesar 10% (Bukti Pemt.43) . Tarif sebesar 10% tersebut tidak melebihi batas tarif tertinggi yang ditentukan oleh Undang- Undang. Dengan demikian sangatlah jelas bahwa peraturan pemerintah tersebut tidak menambah berat beban Wajib Pajak.
Pasal 17 ayat (3) 90 Besarnya lapisan Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri berdasarkan Pasal 17 ayat (1) UU PPh Tahun 2008 adalah sebesar sebagai berikut: Tabel 4 Lapisan Penghasilan Kena Pajak Berdasarkan Pasal 17 ayat (1) UU PPh Tahun 2008 untuk Wajib Pajak Orang Pribadi Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif s.d. Rp 50.000.000,00 5% Di atas Rp 50.000.000,00 s.d. Rp 250.000.000,00 15% Di atas Rp 250.000.000,00 s.d.Rp 500.000.000,00 25% Di atas Rp 500.000.000,00 30% (Untuk Wajib Pajak Badan tidak terdapat adanya lapisan penghasilan kena pajak) Bahwa besarnya lapisan penghasilan kena pajak tersebut berdasarkan Pasal 17 ayat (3) dapat diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan disesuaikan dengan faktor penyesuaian yang didasarkan pada kondisi perkembangan perekonomian antara lain tingkat inflasi.
Pasal 17 ayat (7) Penetapan tarif tersendiri atas jenis-jenis penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dibatasi tidak melebihi tarif tertinggi bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yaitu sebesar 30% dan tarif tertinggi bagi Wajib Pajak badan yaitu sebesar 28%. Dalam ketentuan Pasal ini Pemerintah diberikan kewenangan oleh undang-undang untuk menetapkan besarnya tarif tersendiri berkenaan dengan pelaksanaan ketentuan UU PPh Tahun 2008 Pasal 4 ayat (2). Meskipun demikian Pemerintah dalam melaksanakan kewenangan menetapkan besarnya tarif tersendiri untuk Pasal 4 ayat (2) harus memenuhi syarat sebagai berikut: 91 1. Tidak lebih tinggi dari tarif pajak tertinggi bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri (tidak lebih tinggi dari 30%) dan tarif tertinggi bagi Wajib Pajak badan (tahun pajak 2009 tidak lebih tinggi dari 28% dan mulai tahun pajak 2010 tidak lebih tinggi dari 25%).
Dengan mempertimbangkan aspek kesederhanaan, keadilan, dan pemerataan dalam pengenaan pajak.
Pasal 19 ayat (2) Menteri Keuangan berdasarkan Pasal ini diberi wewenang menetapkan peraturan tentang penilaian kembali aktiva tetap (revaluasi) dengan mempertimbangkan:
Perkembangan harga yang mencolok; atau
Perubahan kebijakan di bidang moneter, yang dapat menyebabkan ketidaksesuaian antara unsur-unsur biaya dan penghasilan, sehingga mengakibatkan timbulnya beban pajak yang kurang wajar. Namun demikian, Menteri Keuangan dalam menetapkan besarnya tarif pajak tersendiri atas penilaian kembali aktiva tetap dibatasi yaitu tidak lebih tinggi dari tarif pajak tertinggi bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri (tidak lebih tinggi dari 30%) dan tarif tertinggi bagi Wajib Pajak badan (tahun pajak 2009 tidak lebih tinggi dari 28% dan mulai tahun pajak 2010 tidak lebih tinggi dari 25%).
Pasal 21 ayat (5) Pada prinsipnya pemotongan Pajak Penghasilan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dipotong pajak berdasarkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh Tahun 2008. Namun demikian dalam rangka kelancaran dan kemudahan pemenuhan kewajiban perpajakan untuk Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri dalam kondisi tertentu, dengan kuasa Undang-Undang, Pemerintah diberikan wewenang melalui Peraturan Pemerintah untuk mengatur pengenaan pajak dengan tarif tersendiri. Adapun peraturan pelaksanaan yang berkenaan dengan Pasal 21 ayat (5) adalah sebagai berikut:
Pajak Penghasilan Bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, Anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, dan Para Pensiunan atas 92 Penghasilan yang Dibebankan Kepada Keuangan Negara atau Keuangan Daerah. • Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1994. (Bukti Pemt. 44) b. Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua yang Dibayarkan Sekaligus. • Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2009. (Bukti Pemt. 45) 12. Pasal 22 ayat (1) huruf c dan ayat (2) Dalam rangka pengenaan pajak yang adil dan wajar sesuai dengan kemampuan ekonomis Wajib Pajak, sudah sewajarnya terhadap Wajib Pajak yang mempunyai kemampuan ekonomis yang lebih tinggi dikenakan pajak lebih dibandingkan dengan yang mempunyai kemampuan ekonomis lebih rendah. Dengan dasar pemikiran tersebut, berdasarkan Pasal ini Menteri Keuangan diberikan wewenang:
Menetapkan Wajib Pajak badan tertentu untuk memungut pajak dari pembeli atas penjualan barang yang memenuhi kriteria tertentu sebagai barang yang tergolong sangat mewah, baik dilihat dari jenis barangnya maupun harganya, seperti kapal pesiar, rumah sangat mewah, apartemen dan kondominium sangat mewah, serta kendaraan sangat mewah.
Menetapkan dasar pemungutan, kriteria, sifat, dan besarnya pungutan pajak dari penjualan barang sebagaimana dimaksud pada angka 1. Namun demikian, dalam melaksanakan wewenang tersebut Menteri Keuangan harus mempertimbangkan, antara lain:
Penunjukan pemungut pajak secara selektif, demi pelaksanaan pemungutan pajak secara efektif dan efisien;
Tidak mengganggu kelancaran lalu lintas barang; dan
Prosedur pemungutan yang sederhana sehingga mudah dilaksanakan. Adapun peraturan pelaksanaan yang berkenaan dengan Pasal 22 ayat (1) huruf c dan ayat (2) adalah sebagai berikut: • Peraturan Menteri Keuangan Nomor 253/PMK.03/2008 (Bukti Pemt. 46) ; dan • Keputusan Menteri Keuangan Nomor 254/KMK.03/2001 stdtd Peraturan Menteri Keuangan Nomor 210/PMK.03/2008. (Bukti Pemt.47 ) 13. Pasal 25 ayat (8) 93 Berdasarkan pasal ini Pemerintah diberikan kewenangan untuk mengatur pengenaan pajak atas orang pribadi yang bertolak ke luar negeri. Pengenaan pajak tersebut adalah dalam rangka mendorong partisipasi setiap Warga Negara untuk ikut membiayai pembangunan melalui pembayaran pajak. Dengan demikian sudah selayaknya Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak dan telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun yang bertolak ke luar negeri wajib membayar pajak. Walaupun demikian dengan Peraturan Pemerintah diatur mengenai Wajib Pajak orang pribadi yang bertolak ke luar negeri yang dikecualikan dari kewajiban membayar pajak sepanjang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan antara lain pelajar yang menuntut ilmu di luar negeri dan pekerja yang akan berangkat ke luar negeri. Pemungutan Fiskal Luar Negeri bersifat pembayaran di muka, yang dibayarkan ketika seseorang yang memenuhi ketentuan akan berangkat ke luar negeri ( pay as you go ), jadi bukan jenis pungutan pajak baru. Hanya metode memungut pajak, how to collect taxes through event (misalnya ke luar negeri). Adapun peraturan pelaksanaan yang berkenaan dengan Pasal 25 ayat (8) adalah sebagai berikut: • Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2008 (Bukti Pemt.48 ) ; • Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-51/PJ/2008 (Bukti Pemt.49 ) ; dan • Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-53/PJ/2008 stdtd PER-14/PJ/2009. (Bukti Pemt. 50) VII. Penjelasan Mengenai Pokok Permohonan Pengujian Materiil UU PPh Tahun 2008 Bahwa terhadap ketentuan pasal-pasal dalam UU PPh Tahun 2008 yang diajukan permohonan pengujian materiil, pemerintah berpendapat sebagai berikut:
Pemohon dalam positanya mendalilkan, bahwa pasal-pasal dalam undang- undang a quo bertentangan dengan Pasal 23A, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945. Namun dalam petitumnya Pemohon meminta agar pasal-pasal dalam undang-undang a quo dinyatakan bertentangan dengan Pasal 23A dan Pasal 28D UUD 1945. Disitu terlihat 94 adanya inkonsistensi antara posita dengan petitum yang tertuang dalam surat permohonan Pemohon. Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menyatakan “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” Pasal-pasal dalam undang-undang a quo justru untuk memberikan perlindungan hukum yang adil kepada setiap Wajib Pajak. Pasal-Pasal a quo justru dimaksudkan untuk memberi kejelasan dan kepastian hukum sehingga setiap Wajib Pajak akan terhindar dari perlakuan sewenang-wenang. Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 menyatakan “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.” Dalam surat Permohonannya Pemohon tidak menguraikan secara jelas dalam hal apa dan dalam situasi yang seperti apa pasal-pasal aquo dapat mengancam kehormatan, martabat, dan harta benda Pemohon. Pemohon hanya mengatakan secara umum pasal-pasal a quo melanggar Pasal 28G ayat (1) UUD 1945. Padahal sebagaimana dikemukakan di atas pasal-pasal aquo memberikan pendelegasian wewenang kepada pemerintah justru untuk menjalankan amanah yang diperintahkan oleh Undang-Undang a quo yang merupakan hasil kesepakatan bersama Pemerintah dan DPR. Pasal-Pasal a quo justru untuk memberikan kepastian hukum yang adil kepada tiap Wajib Pajak. Itu berarti perlindungan tiap Wajib Pajak dari perlakuan sewenang- wenang dari aparat Pemerintah. Itu berarti pula sejalan dengan Pasal 28 D ayat (1) dan dengan demikian sejalan dengan Pasal 28 G ayat (1) UUD 1945. Dalam bagian posita surat permohonannya Pemohon menyatakan, bahwa Peraturan Pemerintah 131 Tahun 2000 tidak adil dan tidak sesuai dengan Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 dan Dasar Negara Pancasila,“ karena andaikata yang membayar bunga tersebut “orang kaya” maka seharusnya (sesuai dengan Pasal 17 ayat (1) UU PPh Tahun 2008) dikenakan dengan tarif pajak 35 %, tetapi kenyataannya tetap dikenakan pajak dengan tarif 20 %.” (Lihat Surat Permohonan halaman 11). Pernyataan Pemohon ini menjadi tidak jelas, apakah Pemohon sedang mengajukan 95 pengujian peraturan pemerintah terhadap UUD 1945 atau peraturan pemerintah terhadap Undang-Undang, yang keduanya jelas diluar kompetensi Mahkamah Konstitusi. Pemohon tidak pula menjelaskan dalam hal bagaimana dan dalam situasi seperti apa Peraturan Pemerintah Nomor 131 Tahun 2000 itu melanggar Pasal 28G ayat 1. Padahal sebagaimana di atas telah dikemukakan, bahwa pasal- pasal a quo justru untuk memberikan perlindungan hukum kepada setiap Wajib Pajak, yaitu kepastian hukum yang adil sebagaimana yang diamanatkan oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Itu berarti tidak melanggar Pasal 28G ayat (1) UUD 1945. Pemohon mendalilkan pula, bahwa pasal-pasal a quo melanggar Pasal 28H ayat 4 UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang- wenang oleh siapapun.” Pemohon dalam surat permohonannya tidak menjelaskan, dalam hal apa dan bagaimana pasal-pasal dalam Undang-Undang a quo telah melanggar atau bertentangan dengan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945. Pasal-pasal dalam undang-undang a quo tidak mengandung substansi hukum yang dapat digunakan sebagai dasar untuk melarang Wajib Pajak mempunyai hak milik, atau bahkan mengambil alih miliknya secara sewenang-wenang. Pasal-pasal dalam Undang-Undang a quo sekali lagi, justru merupakan pelaksanaan amanah yang diperintahkan oleh UUD 1945 yang merupakan dasar hukum bagi negara yaitu pemerintah untuk mengenakan pajak kepada Wajib Pajak. Jadi, tidak benar bila pembebanan pajak kepada Wajib Pajak yang didasarkan kepada Undang-Undang dan peraturan perundang-undangan yang jelas, dinilai sebagai mengambil alih hak milik Wajib Pajak secara sewenang-wenang. Ini jelas keliru dan menyesatkan. Undang-Undang dan peraturan perundang-undangan yang jelas sebagaimana tertuang dalam pasal-pasal dalam Undang-Undang a quo, justru dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum yang adil bagi setiap Wajib Pajak. Karena itu pasal-pasal dalam Undang-Undang a quo tidak melanggar Pasal 28H ayat (4) UUD 1945. 96 2. Terhadap pengujian Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 17 ayat (7) UU PPh Tahun 2008, yang mengatur sebagai berikut: Pasal 4 ayat (2) _“Penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final: _ a. penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh _koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi; _ _b. penghasilan berupa hadiah undian; _ c. penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima _oleh perusahaan modal ventura; _ d. Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah _dan/atau bangunan; dan _ e. Penghasilan tertentu lainnya yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.” Pasal 17 ayat (7) “Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan tarif pajak tersendiri atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi sebagaimana tersebut pada ayat (1)” . Pemerintah berpendapat bahwa pelimpahan wewenang pengaturan pengenaan pajak secara final terhadap penghasilan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 ayat (2) UU PPh Tahun 2008 kepada peraturan pemerintah tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945, karena menurut Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 memberikan wewenang kepada Presiden untuk menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya. Selain itu dalam praktek ketatanegaraan dan tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia dikenal sistem hirarki dan delegasi wewenang sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyebutkan sebagai berikut: _“Jenis dan hirarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut : _ _a) UUD 1945; _ _b) Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang; _ 97 _c) Peraturan Pemerintah; _ _d) Peraturan Presiden; dan _ e) Peraturan Daerah.” __ Sebagaimana diketahui bahwa dalam hierarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia, peraturan tertinggi di bawah UUD 1945 selalu berbentuk Undang-Undang, dimana yang berwenang membentuk Undang-Undang adalah DPR atas persetujuan bersama dengan Presiden. Apabila ketentuan dalam Undang-Undang masih belum cukup dan masih diperlukan pengaturan lebih lanjut, maka pendelegasian kewenangan pengaturan baru dapat dilakukan dengan tiga alternatif syarat, yaitu:
Adanya perintah yang tegas mengenai subyek lembaga pelaksana yang diberi delegasi kewenangan, dan bentuk peraturan pelaksana untuk menuangkan materi pengaturan yang didelegasikan;
Adanya perintah yang tegas mengenai bentuk peraturan pelaksana untuk menuangkan materi pengaturan yang didelegasikan; atau
Adanya perintah yang tegas mengenai pendelegasian kewenangan dari Undang- Undang atau lembaga pembentuk Undang-Undang kepada lembaga penerima delegasi kewenangan, tanpa penyebutan bentuk peraturan yang mendapat delegasi; Ketiga persyaratan tersebut bersifat alternatif dan salah satunya harus ada dalam rangka pemberian delegasi kewenangan pengaturan (rule-making power). Lembaga pelaksana Undang-Undang, baru dapat memiliki kewenangan untuk menetapkan sesuatu peraturan yang mengikat umum jika oleh Undang-Undang sebagai “primary legislation” memang diperintahkan atau diberi kewenangan untuk itu (Bukti Pemt.
13d) . Di Indonesia sendiri, dewasa ini, ada Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah. Juga ada Peraturan Menteri dan bahkan masih banyak Peraturan Direktur Jenderal yang masih berlaku sebagai peraturan perundang-undangan yang mengikat umum yang masih disebut sebagai Surat Keputusan, seperti Keputusan Dirjen Bea Cukai, Keputusan Direktur Jenderal Pajak, dan sebagainya. Sudah menjadi konvensi ketatanegaraan di Indonesia bahwa berbagai Undang- Undang yang mengatur pajak dan pungutan lain itu memberikan mandat atau delegasi wewenang kepada pemerintah untuk membuat peraturan-peraturan pelaksanaan dalam rangka menjalankan norma-norma hukum yang terkandung dalam Undang-Undang tersebut, seperti: 98 1. Pasal 4 ayat 2 Undang-Undang a quo yang memberi delegasi kepada pemerintah untuk membuat Peraturan Pemerintah, berkaitan dengan pajak bersifat final atas a.penghasilan berupa deposito;
Penghasilan berupa hadiah undian;
Penghasilan dari transaksi saham;
..dst;
Pasal 17 ayat (7);
Pasal 14 ayat (1);
Pasal 14 ayat (7); dst, sebagaimana didalilkan Pemohon. Pendelegasian wewenang oleh Undang-Undang kepada pemerintah, yakni Presiden, Menteri-Menteri dari suatu departemen untuk membuat suatu peraturan atau norma umum adalah suatu praktek pemerintahan yang sudah lazim dan diterima sebagai sebuah konvensi pemerintahan. Dalam kaitannya dengan hal itu, ahli hukum Tata Negara Hans Kelsen menyatakan pendapatnya sebagai berikut : “ Kadang-kadang pembentukan norma-norma umum itu dibagi kedalam dua tahapan atau lebih. Sejumlah konstitusi memberikan wewenang pembuatan norma-norma umum kepada otoritas adminstratif tertentu, seperti kepala negara (presiden) atau menteri kabinet, guna menjabarkan ketentuan Undang-Undang. Norma-norma umum semacam ini, yang tidak dikeluarkan oleh organ legislatif melainkan oleh organ lain atas dasar norma-norma umum yang dikeluarkan oleh legislatif disebut peraturan atau ordonansi. Menurut sejumlah konstitusi, organ-organ administratif tertentu----- terutama kepala negara (presiden) atau menteri kabinet sebagai pimpinan departemen pemerintahan tertentu----- di bawah keadaan-keadaan luar biasa, diberi wewenang membuat norma-norma umum untuk mengatur masalah- masalah yang biasanya diatur oleh organ legislatif melalui Undang-Undang .” Sejalan dengan pemikiran itu maka norma hukum yang lebih tinggi dapat menentukan:
Organ dan prosedur pembuatan norma hukum yang lebih rendah;
Substansi norma hukum yang lebih rendah. Dalam konteks perkembangan hubungan konstitusi dengan proses pembuatan Undang-Undang, ahli konstitusi CF. Strong menyatakan sebagai berikut: “Bahwa sejumlah hukum dasar yang diadopsi atau dirancang oleh para penyusun konstitusi dengan tujuan untuk memberikan ruang lingkup seluas mungkin bagi 99 proses Undang-Undang biasa untuk mengembangkan konstitusi itu dalam aturan- aturan yang sudah disiapkan.” (Bukti Pemt. 52) Dengan demikian sebuah konstitusi menggariskan prinsip umum yang mendasari hubungan hak dan kewajiban antara negara, yaitu pemerintah, dengan rakyat, berkenaan dengan pajak dan pungutan lain. Prinsip umum ini kemudian dikembangkan melalui proses pembuatan Undang-Undang dan peraturan pelaksanaanya. Pasal 23A UUD 1945, sesungguhnya meletakkan prinsip umum, yaitu “pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang .” Itu bermakna, bahwa pemerintah selaku pihak yang mewakili negara dapat mengenakan pajak dan pungutan lain kepada rakyat atas dasar Undang-Undang. Atas dasar prinsip umum itulah Pemerintah dan DPR menyetujui berbagai Undang-Undang Pajak dan pungutan lainnya. Selanjutnya atas dasar Undang-Undang tersebut dikeluarkan berbagai peraturan pelaksanaan untuk tujuan menjalankan amanah yang tertuang dalam norma Undang-Undang Pajak dan pungutan lain itu. Bahwa norma hukum yang tertuang dalam Undang-Undang dapat didelegasikan pelaksanaannya kepada peraturan-peraturan yang kedudukannya lebih rendah daripada Undang-Undang, baik secara implisit maupun eksplisit dibenarkan oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang tersebut mengatur sebagai berikut: “ _Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut : _ a. _UUD 1945; _ b. _Undang-Undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; _ c. _Peraturan Pemerintah; _ d. _Peraturan Presiden; _ e. Peraturan Daerah.” Penjelasan Pasal 7 ayat (4) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 menyatakan bahwa: “Jenis Peraturan Perundang-undangan selain dalam ketentuan ini, antara lain, peraturan yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Bank Indonesia, Menteri, kepala badan, 100 lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk oleh Undang-Undang atau pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.” Berkaitan dengan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 17 ayat (7), kedua ketentuan tersebut memuat secara tegas bentuk peraturan perundang-undangan yang didelegasikan dan muatan materi yang diatur sehingga memenuhi syarat pendelegasian. Berkaitan dengan muatan materi yang didelegasikan berupa penentuan tarif termasuk tarif yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 131 Tahun 2000, Pemerintah berpendapat bahwa, penentuan tarif tersebut tidak terlepas dan berdiri sendiri dari pengaturan dalam Undang-Undang. Sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (7) UU PPh Tahun 2008, tarif yang ditentukan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 131 Tahun 2000 tersebut terikat pada ketentuan Pasal 17 ayat (1) yaitu tidak diperkenankan lebih tinggi dari tarif tertinggi yang diatur dalam Pasal 17 ayat (1). Berdasarkan penjelasan di atas, sudah jelas bahwa Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 17 ayat (7) UU PPh Tahun 2008 tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945 .
Terhadap pengujian Pasal 7 ayat (3) UU PPh Tahun 2008, yang berbunyi “ Penyesuaian besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan setelah dikonsultasikan dengan DPR ” Pemerintah dapat menjelaskan bahwa pelimpahan kewenangan menetapkan Penghasilan Tidak Kena Pajak dengan Peraturan Menteri Keuangan setelah dikonsultasikan dengan DPR merupakan amanat/perintah yang tegas dari UU PPh Tahun 2008. UU PPh Tahun 2008 itu sendiri merupakan produk bersama antara Presiden dan DPR sebagai wakil rakyat, sehingga Pelimpahan kewenangan untuk menetapkan Penghasilan Tidak Kena Pajak dengan Peraturan Menteri Keuangan adalah sudah sepengetahuan dan sudah mendapat persetujuan DPR. UU PPh Tahun 2008 sendiri merupakan amanat langsung dari Pasal 23A UUD 1945. Sehingga kedudukan Pasal 7 ayat (3) UU PPh Tahun 2008 tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945. Penyesuaian besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak dilaksanakan dengan mempertimbangkan perkembangan ekonomi dan moneter serta perkembangan 101 harga kebutuhan pokok setiap tahunnya yang dinamis. Dewasa ini perubahan ekonomi dan moneter dunia berlangsung begitu cepatnya. Krisis ekonomi yang melanda negara-negara maju berimbas juga kepada perekonomian negara berkembang yang juga dirasakan oleh rakyat Indonesia. Dengan perubahan perekonomian dan moneter yang begitu cepat, apabila sekiranya aturan-aturan yang ada dalam UU PPh Tahun 2008 dirasakan memberatkan bagi Wajib Pajak, maka Menteri Keuangan diberikan wewenang untuk mengatur lebih lanjut penyesuaian Penghasilan Tidak Kena Pajak. Penghasilan Tidak Kena Pajak tersebut dimaksudkan untuk memberikan keringanan bagi Wajib Pajak dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya. Baik UU PPh Tahun 1983, UU PPh Tahun 2000 maupun UU PPh Tahun 2008 menetapkan batasan jumlah penghasilan yang tidak dikenakan pajak atau dikenal dengan istilah Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagai pengurang penghasilan untuk menghitung besarnya Pajak Penghasilan yang harus dibayar. Adapun ketentuan mengenai Penghasilan Tidak Kena Pajak diatur dalam Pasal 7 baik dalam Pasal 7 UU PPh Tahun 1983, Pasal 7 UU PPh Tahun 2000 maupun Pasal 7 UU PPh Tahun 2008. Untuk memperoleh gambaran yang objektif mengenai ketentuan Penghasilan Tidak Kena Pajak dalam rumusan Pasal 7 baik dalam UU PPh Tahun 1983, UU PPh Tahun 2000 dan UU PPh Tahun 2008, di bawah ini disajikan tabel: Tabel 5 Perbandingan Rumusan Pasal 7 UU PPh Tahun1983, UU PPh Tahun 2000 dan UU PPh Tahun 2008 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 102 (1) Kepada orang pribadi atau perseorangan sebagai Wajib Pajak dalam negeri diberikan pengurangan berupa penghasilan tidak kena pajak yang besarnya :
Rp 960.000,- (sembilan ratus enam puluh ribu rupiah) untuk diri Wajib Pajak;
Rp 480.000,- (empat ratus delapan puluh ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin;
Rp 960.000,- (sembilan ratus enam puluh ribu rupiah) tambahan untuk seorang isteri yang mempunyai penghasilan dari usaha atau dari pekerjaan yang tidak ada hubungannya dengan usaha suami atau anggota keluarga lain;
Rp 480.000,- (empat ratus delapan puluh ribu rupiah) tambahan untuk setiap orang keluarga sedarah dan semenda dalam garis keturunan lurus, serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga. Penghasilan Tidak Kena Pajak per tahun diberikan sebesar:
Rp 2.880.000,00 (dua juta delapan ratus delapan puluh ribu rupiah) untuk diri Wajib Pajak orang pribadi;
Rp 1.440.000,00 (satu juta empat ratus empat puluh ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin; Rp 2.880.000,00 (dua juta delapan ratus delapan puluh ribu rupiah) tambahan untuk seorang isteri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1); dan
Rp 1.440.000,00 (satu juta empat ratus empat puluh ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga. Penghasilan Tidak Kena Pajak per tahun diberikan paling sedikit sebesar:
Rp15.840.000,00 (lima belas juta delapan ratus empat puluh ribu rupiah) untuk diri Wajib Pajak orang pribadi;
Rp1.320.000,00 (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin; Rp15.840.000,00 (lima belas juta delapan ratus empat puluh ribu rupiah) tambahan untuk seorang isteri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1); dan
Rp1.320.000,00 (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga.
Penerapan ayat (1) ditentukan oleh keadaan pada permulaan tahun pajak atau pada permulaan menjadi Subyek Pajak dalam negeri. Penerapan ayat (1) ditentukan oleh keadaan pada awal tahun pajak atau awal bagian tahun pajak. Penerapan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan oleh keadaan pada awal tahun pajak atau awal bagian tahun pajak. Besarnya penghasilan tidak kena pajak tersebut dalam ayat (1) akan disesuaikan dengan suatu faktor penyesuaian yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan. Penyesuaian besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan . Penyesuaian besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan setelah dikonsultasikan dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Berdasarkan pada tabel tersebut di atas, materi yang diatur dalam ketiga rumusan tersebut pada prinsipnya adalah mengatur hal yang sama, yaitu mengatur mengenai besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak ( vide ayat (1)) , ketentuan bahwa penerapan Penghasilan Tidak Kena Pajak adalah kondisi pada awal tahun pajak ( vide ayat (2)) , dan ketentuan bahwa besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak pada dasarnya dapat disesuaikan dengan menggunakan Peraturan Menteri Keuangan ( vide ayat (3)) . Dapat disampaikan pula bahwa Pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan telah 2 (dua) kali mengubah besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk 103 disesuaikan dengan perkembangan kehidupan sosial, politik dan ekonomi serta sebagai bagian dari kebijakan fiskal pemerintah, yaitu melalui Keputusan Menteri Keuangan Nomor 564/KMK.03/2004 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 137/PMK.03/2005. Menurut Pemerintah, besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak berdasarkan UU PPh Tahun 2008 lebih besar dibandingkan dengan besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak menurut UU PPh Tahun 2000, baik secara sendiri- sendiri maupun secara keseluruhan. Hal ini dapat digambarkan dalam tabel berikut. Tabel 6 Penghasilan Tidak Kena Pajak Berdasarkan UU PPh Tahun 2000 Dan UU PPh Tahun 2008 No Keterangan UU PPh 2000 UU PPh 2008 Pasal 7 ayat (1) KMK No. 564/KMK.03/ 2004 %) PMK No. 137/PMK.03/ 2005 %) Pasal 7 ayat (1) %) (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) 1 untuk diri Wajib Pajak 2.880.000,00 12.000.000 317 13.200.000 10 15.840.000 20 2 Tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin 1.440.000,00 1.200.000 (17) 1.200.000 0 1.320.000 10 Jumlah 1+2 4.320.000 13.200.000 206 14.400.000 9 17.160.000 19 3 Tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami 2.880.000 12.000.000 317 13.200.000 10 15.840.000 20 Jumlah 1+2+3 7.200.000 25.200.000 250 27.600.000 10 33.000.000 20 4 Tambahan untuk setiap tanggungan (paling banyak 3 orang) 1.440.000 1.200.000 (17) 1.200.000 0 1.320.000 10 Jumlah 1+2+3+4 8.640.000 26.400.000 205 28.800.000 9 34.320.000 19 Keterangan: *) kenaikan (kolom 4:
**) kenaikan (kolom 6:
***) kenaikan (kolom 8:
104 Menurut tabel tersebut di atas, dapat dilihat adanya kenaikan besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak sejak diberlakukannya UU PPh Tahun 2000 sampai dengan UU PPh Tahun 2008, dengan uraian sebagai berikut:
Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk diri Wajib Pajak, berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 564/KMK.03/2004 sebagai pelaksanaan dari Pasal 7 ayat (3) UU PPh Tahun 2000, telah disesuaikan dari Rp 2.880.000,00 berdasarkan UU PPh Tahun 2000 menjadi Rp 12.000.000,00 dan kemudian disesuaikan kembali dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 137/PMK.03/ 2005 menjadi Rp13.200.000,00. Berdasarkan UU PPh Tahun 2008 besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk diri Wajib Pajak adalah sebesar Rp15.840.000,00.
Besarnya tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk Wajib Pajak Kawin, berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 564/KMK.03/2004 sebagai pelaksanaan dari Pasal 7 ayat (3) UU PPh Tahun 2000, telah disesuaikan dari Rp1.440.000,00 berdasarkan UU PPh Tahun 2000 menjadi Rp1.200.000,00 dan tetap tidak berubah berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 137/PMK.03/2005. Berdasarkan UU PPh Tahun 2008 besarnya tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk Wajib Pajak Kawin meningkat menjadi Rp1.320.000,00.
Besarnya tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk seorang istri bekerja yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami, berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 564/KMK.03/2004 sebagai pelaksanaan dari Pasal 7 ayat (3) UU PPh Tahun 2000, telah disesuaikan dari Rp2.880.000,00 berdasarkan UU PPh Tahun 2000 menjadi Rp12.000.000,00 dan kemudian disesuaikan kembali dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 137/PMK.03/2005 menjadi Rp13.200.000,00. Berdasarkan UU PPh Tahun 2008 besarnya tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk istri bekerja yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami adalah sebesar Rp15.840.000,00.
Besarnya tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk tanggungan Wajib Pajak paling banyak 3 (tiga) orang, berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 564/KMK.03/2004 sebagai pelaksanaan dari Pasal 7 ayat (3) UU PPh Tahun 2000, telah disesuaikan dari Rp1.440.000,00 per orang, berdasarkan UU PPh Tahun 2000 menjadi Rp1.200.000,00 per orang, dan tetap tidak berubah berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 137/PMK.03/2005. Berdasarkan UU PPh Tahun 2008 105 besarnya tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk tanggungan Wajib Pajak paling banyak 3 (tiga) orang meningkat menjadi Rp1.320.000,00 per orang. Dengan memperhatikan fakta-fakta tersebut di atas dapat ditegaskan bahwa secara keseluruhan, besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak berdasarkan UU PPh Tahun 2008 jauh lebih besar jika dibandingkan dengan besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak menurut UU PPh Tahun 1983 maupun UU PPh Tahun 2000 berikut aturan pelaksanaannya. Selain itu, dapat ditegaskan pula bahwa perubahan terhadap besaran Penghasilan Tidak Kena Pajak tidak harus dilakukan dengan mengubah Undang-Undang, tetapi cukup dengan menggunakan Peraturan Menteri Keuangan sebagai pelaksanaan amanat Pasal 7 ayat (3) UU PPh Tahun 2008, yang memberikan kewenangan atributif kepada Menteri Keuangan untuk menyesuaikan besarnya Penghasilan Tidak kena Pajak yang terlebih dahulu dikonsultasikan dengan DPR sebagai representasi dari seluruh rakyat Indonesia. Perlu kami sampaikan pula bahwa atas Pasal 7 ayat (3) UU PPh Tahun 2008 telah diuji materiil di Mahkamah Konstitusi dengan putusan Nomor 1/PUU-VII/2009 tanggal 20 Mei 2009 yang amar putusannya menyatakan bahwa permohonan Pemohon ditolak. Oleh karena itu sudah sepatutnya pengujian terhadap pasal dimaksud dikesampingkan.
Terhadap Pasal 14 Ayat (1) UU PPh Tahun 2008, yang mengatur “ Norma Penghitungan Penghasilan Netto untuk menentukan penghasilan netto dibuat dan disempurnakan terus menerus serta diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak ” dan Pasal 14 Ayat (7) UU PPh Tahun 2008, yang mengatur “ besarnya peredaran bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan” , Pemerintah berpendapat bahwa dalam rangka pengenaan pajak yang adil dan wajar sesuai dengan kemampuan ekonomis Wajib Pajak, diperlukan informasi yang benar dan lengkap tentang penghasilan Wajib Pajak. Untuk dapat menyajikan informasi tersebut, Wajib Pajak harus menyelenggarakan pembukuan. Akan tetapi pada kenyataannya tidak semua Wajib Pajak mampu menyelenggarakan pembukuan. Bagi Wajib Pajak Badan dan Bentuk Usaha Tetap diwajibkan menyelenggarakan pembukuan. Akan tetapi, Wajib Pajak Orang Pribadi yang menjalankan usaha atau melakukan pekerjaan bebas dengan jumlah peredaran bruto tertentu tidak diwajibkan untuk menyelenggarakan pembukuan. 106 Untuk memberikan kemudahan dalam menghitung besarnya penghasilan neto bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran bruto tertentu, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan norma penghitungan. Norma Penghitungan Penghasilan Netto sangat membantu bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan jumlah peredaran bruto tertentu yang belum mampu menyelenggarakan pembukuan untuk menghitung penghasilan Netto. Norma Penghitungan disusun berdasarkan hasil penelitian, kondisi ekonomi, atau data lain dan dengan memperhatikan kewajaran. Sebagaimana diketahui bahwa perubahan perekonomian global pada saat ini begitu cepat, seperti krisis ekonomi dan moneter yang melanda negara-negara maju yang dampaknya juga dirasakan oleh negara-negara berkembang. Untuk merespon perkembangan perekonomian yang begitu cepat diperlukan pengaturan sesegera mungkin. Sebagai contoh, apabila terjadi perubahan ekonomi yang begitu cepat, sedangkan Norma Penghitungan Penghasilan Netto dan batas peredaran bruto yang ada sudah tidak sesuai dengan keadaan perekonomian dan kemampuan Wajib Pajak, maka diperlukan pengaturan sesegera mungkin agar pembebanan pajak kepada masyarakat tidak turut menambah kesulitan hidup rakyat banyak khususnya Wajib Pajak. Penggunaan Norma Penghitungan Penghasilan Netto bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan pekerjaan bebas bukan merupakan kewajiban, hal ini hanya suatu pilihan. Apabila Wajib Pajak Orang Pribadi merasa dirugikan dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto maka dapat memilih alternatif lain yaitu dengan menyelenggarakan pembukuan yang sesuai dengan prinsip-prinsip akuntansi untuk menentukan penghasilan Netto. Pelimpahan kewenangan untuk menyesuaikan Norma Penghitungan Penghasilan Netto oleh Direktur Jenderal Pajak dan penyesuaian besarnya batas peredaran bruto dengan Peraturan Menteri Keuangan merupakan amanat dan perintah tegas UU PPh Tahun 2008. UU PPh Tahun 2008 sendiri merupakan amanat langsung dari Pasal 23A UUD 1945. Sehingga Pasal 14 Ayat (1) dan Pasal 14 ayat (7) UU PPh Tahun 2008 tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945 .
Terhadap Pasal 17 Ayat (2) UU PPh Tahun 2008, yang mengatur “ Tarif tertinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diturunkan menjadi paling rendah 25% (dua puluh lima persen) yang diatur dengan Peraturan Pemerintah ”; 107 Pasal 17 Ayat (2a) UU PPh Tahun 2008, yang mengatur “ Tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b menjadi 25% (dua puluh lima persen) yang mulai berlaku sejak tahun 2010 ”; Pasal 17 Ayat (2c) UU PPh Tahun 2008, yang mengatur “ Tarif yang dikenakan atas penghasilan berupa deviden yang dibagikan kepada Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen) dan bersifat final ’; dan Pasal 17 Ayat (2d) UU PPh Tahun 2008, yang mengatur “ Ketentuan lebih lanjut mengenai besarnya tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (2c) diatur dengan Peraturan Pemerintah ”, Pemerintah berpendapat bahwa perubahan tarif sebagaimana dimaksud pada Pasal 17 ayat (2) dan Pasal 17 ayat (2a) UU PPh Tahun 2008 bertujuan untuk mengurangi beban pajak yang harus ditanggung masyarakat. Menurut penjelasan Pasal 17 ayat (2) UU PPh Tahun 2008, pembahasan perubahan tarif tersebut dikemukakan oleh Pemerintah kepada DPR untuk dibahas dalam rangka penyusunan RAPBN. Jadi walaupun perubahan tarif tersebut diatur dengan Peraturan Pemerintah, DPR sebagai wakil rakyat tetap ikut serta untuk membahasnya. Pelimpahan wewenang pengaturan perubahan atau penurunan tarif kepada Peraturan Pemerintah diperbolehkan karena hal tersebut merupakan amanat/perintah dari UU PPh Tahun 2008. UU PPh Tahun 2008 sendiri merupakan amanat langsung dari Pasal 23A UUD 1945. Sehingga ketentuan dalam Pasal 17 ayat (2) dan Pasal 17 ayat (2a) UU PPh Tahun 2008 tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945.
Terhadap Pasal 17 Ayat (3) UU PPh Tahun 2008, yang mengatur “ Besarnya lapisan Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan ”, Pemerintah berpendapat bahwa penyesuaian besarnya lapisan Penghasilan Kena Pajak dilakukan dengan mempertimbangkan perkembangan ekonomi dan tingkat inflasi setiap tahunnya. Dewasa ini perubahan ekonomi dan moneter dunia berlangsung begitu cepat. Krisis ekonomi yang melanda negara-negara maju berimbas juga kepada perekonomian negara berkembang yang juga dirasakan oleh rakyat Indonesia. Dengan perubahan perekonomian dan moneter yang begitu cepat, perlu kiranya respon yang cepat dari pemerintah untuk pengaturan pajak agar bisa dihindari potensi kerugian pajak. Oleh karena itu sekiranya aturan-aturan yang ada dalam UU PPh Tahun 2008 dirasakan memberatkan Wajib Pajak, maka Menteri Keuangan diberikan wewenang untuk 108 mengatur lebih lanjut penyesuaian lapisan Penghasilan Kena Pajak. Kebijakan pemerintah mengenai lapisan Penghasilan Kena Pajak, selama ini memberikan banyak kemudahan-kemudahan bagi Wajib Pajak. Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi tarif tertinggi diturunkan dari 35% menjadi 30% dan menghapus lapisan tarif 10%, sehingga lapisan tarif berkurang dari 5 (lima) menjadi menjadi 4 (empat) lapisan serta memperluas lapisan penghasilan kena pajak ( income bracket ) yang semula lapisan tertinggi di atas Rp 200.000.000,00 menjadi di atas Rp 500.000.000,00, untuk lapisan terendah yang semula Rp 0,00 s.d. Rp 25.000.000,00 menjadi Rp 0,00 s.d. Rp 50.000.000,00. Lebih rinci mengenai perubahan tarif tersebut tampak pada tabel sebagai berikut: Tabel 7 Perbandingan Tarif PPh Wajib Pajak Orang Pribadi antara UU PPh Tahun 2000 dengan UU PPh Tahun 2008 Undang-Undang PPh Tahun 2000 Undang-Undang PPh Tahun 2008 Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif S.d Rp 25.000.000,00 5% S.d. Rp 50.000.000,00 5% Di atas Rp25.000.000,00 s.d. Rp 50.000.000,00 10% Di atas Rp50.000.000,00 s.d. Rp 100.000.000,00 15% Di atas Rp50.000.000,00 s.d. Rp 250.000.000,00 15% Di atas Rp100.000.000,00 s.d.Rp200.000.000,00 25% Di atas Rp250.000.000,00 s.d.Rp500.000.000,00 25% Di atas Rp200.000.000,00 35% Di atas Rp500.000.000,00 30% Dari tabel tersebut di atas, perubahan lapisan penghasilan kena pajak dan tarif dalam UU PPh Tahun 2008 banyak memberikan kemudahan bagi Wajib Pajak. Hal ini baru ditinjau dari sudut tarif dan lapisan penghasilan kena pajak, masih banyak lagi kemudahan bagi Wajib Pajak, antara lain:
Kenaikan batasan Penghasilan Tidak Kena Pajak;
Penurunan Tarif Dividen;
Penambahan batasan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang menggunakan Norma Penghitungan;
Pembebasan pembayaran Fiskal Luar Negeri; dan
Penetapan angsuran untuk pengusaha tertentu. 109 Pelimpahan kewenangan pengaturan penyesuaian besarnya lapisan Penghasilan Kena Pajak kepada Keputusan Menteri Keuangan merupakan amanat langsung UU PPh Tahun 2008. Hal itu diperbolehkan sepanjang dalam Undang-Undang secara tegas memerintahkan mengenai bentuk peraturan pelaksanaan atau subyek lembaga pelaksana untuk menuangkan materi pengaturan pendelegasian. Sedangkan UU PPh Tahun 2008 merupakan amanat atau perintah langsung dari UUD 1945. Jadi Pasal 17 Ayat (3) UU PPh Tahun 2008 tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945 .
Terhadap Pasal 19 Ayat (2) UU PPh Tahun 2008, yang mengatur “Atas selisih penilaian kembali aktiva sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterapkan tarif pajak tersendiri dengan Peraturan Menteri Keuangan sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1)”, Pemerintah berpendapat bahwa pelimpahan kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan untuk menetapkan tarif pajak tersendiri atas selisih penilaian aktiva tetap ini bertujuan untuk mengantisipasi perubahan harga yang mencolok atau perubahan kebijakan di bidang moneter yang dapat menyebabkan kekurangserasian antara biaya dan penghasilan, yang dapat mengakibatkan timbulnya beban biaya yang kurang wajar. Jadi penerbitan Peraturan Menteri Keuangan ini bertujuan untuk melindungi Wajib Pajak dari beban pajak yang melebihi kemampuan Wajib Pajak dan Pelimpahan kewenangan pengaturan tarif tersendiri terhadap selisih revaluasi aset kepada Peraturan Menteri Keuangan merupakan amanat langsung UU PPh Tahun 2008 yang sudah melalui pembahasan dengan DPR sebagai representasi warga negara. Hal itu diperbolehkan sepanjang dalam Undang-Undang secara tegas memerintahkan mengenai bentuk peraturan pelaksana atau subyek lembaga pelaksana untuk menuangkan materi pengaturan pendelegasian. Oleh karena itu Pasal 19 Ayat (2) UU PPh Tahun 2008 tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945.
Terhadap Pasal 21 Ayat (5) UU PPh Tahun 2008, yang mengatur “ Tarif pemotongan atas penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tarif pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a, kecuali ditetapkan lain dengan Peraturan Pemerintah ”, Pemerintah berpendapat bahwa pelimpahan wewenang pengaturan tarif pemotongan atas penghasilan sebagaimana dimaksud 110 pada Pasal 21 ayat (1) UU PPh Tahun 2008 kepada peraturan pemerintah bertujuan untuk kelancaran dan kemudahan pemenuhan kewajiban perpajakan untuk Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri dalam kondisi tertentu, dengan kuasa Undang- Undang, Pemerintah diberikan wewenang melalui Peraturan Pemerintah untuk mengatur pengenaan pajak dengan tarif tersendiri. Adapun peraturan pelaksanaan yang berkenaan dengan Pasal 21 ayat (5) adalah sebagai berikut:
Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1994 tentang Pajak Penghasilan Bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, Anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, dan Para Pensiunan atas Penghasilan yang Dibebankan Kepada Keuangan Negara atau Keuangan Daerah. Dengan pertimbangan bahwa pemotongan tersebut akan mengurangi gaji, upah, uang pensiun, dan sebagainya yang diterima atau diperoleh para Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, Pensiunan termasuk janda atau duda dan/atau anak-anaknya, sedangkan pada umumnya penghasilan yang diterima atau diperoleh dari Keuangan Negara atau Keuangan Daerah tersebut belum mencapai suatu tingkat yang memadai, maka pemerintah selaku pemberi kerja memandang perlu untuk menanggung Pajak Penghasilan yang terutang oleh Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, dan pensiunan atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan atau pensiunan yang diterima secara tetap yang dananya dibebankan kepada Keuangan Negara atau Keuangan Daerah.
Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2009 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua yang Dibayarkan Sekaligus. Penghasilan berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus pada umumnya jumlahnya relatif besar dibandingkan penghasilan rutin yang diterima sebelumnya. Oleh karena itu Presiden menerbitkan Peraturan Pemerintah yang mengatur penerapan tarif progresif yang lebih rendah dari ketentuan umum tarif pajak penghasilan agar manfaat yang diperoleh menjadi lebih besar dan memberikan keringanan, kemudahan, kesederhanaan, dan kepastian hukum. 111 Jadi pelimpahan wewenang pengaturan tarif pemotongan atas penghasilan sebagaimana dimaksud pada Pasal 21 ayat (1) UU PPh Tahun 2008 kepada peraturan pemerintah tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 yang memberikan wewenang kepada Presiden untuk menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya. Lembaga pelaksana undang-undang baru dapat memiliki kewenangan untuk menetapkan sesuatu peraturan yang mengikat umum jika oleh undang-undang sebagai “primary legislation” memang diperintahkan atau diberi kewenangan untuk itu. Selain itu dalam praktek ketatanegaraan dan tata urutan perundang-undangan di Indonesia dikenal sistem hirarki dan delegasi wewenang sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Terhadap Pasal 22 Ayat (1) huruf c UU PPh Tahun 2008, yang mengatur “ Menteri Keuangan dapat menetapkan: Wajib Pajak badan tertentu untuk memungut pajak dari pembeli atas penjualan barang yang tergolong sangat mewah ” dan Pasal 22 Ayat (2) UU PPh Tahun 2008, yang mengatur bahwa “Ketentuan mengenai dasar pemungutan, kriteria, sifat, dan besarnya pungutan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan” , Pemerintah berpendapat bahwa pemungutan pajak berdasarkan ketentuan ini dimaksudkan untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengumpulan dana melalui sistem pembayaran pajak dan untuk tujuan kesederhanaan, kemudahan, dan pengenaan pajak yang tepat waktu. Pelimpahan kewenangan pengaturan pemungutan pajak dari pembeli atas penjualan barang yang tergolong sangat mewah merupakan amanat/perintah tegas dari UU PPh Tahun 2008. Pemungutan PPh Pasal 22 ini bersifat sebagai pembayaran di muka, yang diperhitungkan dengan Pajak Penghasilan di akhir tahun. Jadi bukan bukan PPh final. Ini hanya metode how to collect taxes through others (withholding system) . Hal itu diperbolehkan sepanjang dalam undang-undang secara tegas memerintahkan mengenai bentuk peraturan pelaksanaan atau subjek lembaga pelaksana untuk menuangkan materi pengaturan pendelegasian. Sehingga Pasal 22 ayat (1) dan Pasal 22 Ayat (2) UU PPh Tahun 2008 tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945 . 112 10.Terhadap Pasal 25 Ayat (8) UU PPh Tahun 2008, yang mengatur bahwa “ Wajib Pajak orang pribadi yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak dan telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun yang bertolak keluar negeri wajib membayar pajak yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah ”, Pemerintah berpendapat bahwa pengenaan Fiskal Luar Negeri terhadap Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri yang tidak memiliki NPWP dan telah berusia 21 tahun bertujuan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Dalam Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai Fiskal Luar Negeri tersebut, diatur juga pengecualian pembayaran Fiskal Luar Negeri bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang akan bertolak ke luar negeri. Tidak semua Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri yang bertolak ke luar negeri diwajibkan membayar Fiskal Luar Negeri. Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri yang memiliki NPWP dibebaskan dari kewajiban membayar Fiskal Luar Negeri demikian pula pelajar yang menuntut ilmu di luar negeri tidak diwajibkan membayar Fiskal Luar Negeri sepanjang memenuhi syarat yang ditentukan. Hal tersebut berlaku pula bagi pekerja yang akan berangkat ke luar negeri juga dibebaskan dari Fiskal Luar Negeri asalkan memenuhi syarat- syarat yang ditentukan. Pemungutan Fiskal Luar Negeri juga bersifat pembayaran di muka, yang dibayarkan ketika seseorang akan berangkat ke luar negeri ( pay as you go ), jadi bukan jenis pungutan pajak baru. Hanya metode memungut pajak, how to collect taxes through event (misalnya ke luar negeri). Fiskal luar negeri bukan jenis pajak bersifat final. Perlu disampaikan juga bahwa menurut Pasal 25 ayat (8) huruf a UU PPh Tahun 2008, pengenaan Fiskal Luar Negeri hanya berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2010. Bahwa pasal-pasal dari Undang-Undang a quo yang diminta oleh Pemohon untuk dinyatakan bertentangan dengan Pasal 23A dan Pasal 28D UUD 1945, justru sebaliknya, yaitu, bahwa pasal-pasal dari Undang-Undang a quo merupakan pelaksanaan amanah Pasal 23A dan Pasal 28D UUD 1945. Pasal-Pasal dalam Undang-Undang a quo (UU PPh Tahun 2008) justru untuk menjamin dan melindungi hak asasi manusia, yaitu hak tiap orang atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Secara keseluruhan pasal-pasal yang dimohonkan untuk diuji adalah mengenai pelimpahan wewenang pengaturan kepada Peraturan Pemerintah, Peraturan 113 Menteri Keuangan dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak. Pada prinsipnya pengaturan lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Keuangan dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tersebut diperbolehkan karena merupakan amanat/perintah tegas dari UU PPh Tahun 2008. Hal itu diperbolehkan sepanjang undang-undang secara tegas memerintahkan mengenai bentuk peraturan pelaksanaan atau subjek lembaga pelaksana untuk menuangkan materi pengaturan pendelegasian. Selain itu Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 menyebutkan bahwa Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya. Jadi Pasal 25 ayat (8) UU PPh Tahun 2008 tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945 . Selanjutnya mengenai pokok permohonan pengujian materiil terhadap 15 norma UU PPh Tahun 2008 mengenai pelimpahan/pendelegasian wewenang pengaturan lebih lanjut dari UU PPh Tahun 2008 kepada Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Keuangan, Peraturan Direktur Jenderal Pajak dan sebagainya. Pemerintah berpendapat bahwa dalam rangka pemungutan pajak yang berlandaskan peraturan perundang-undangan, serta sesuai dengan kemampuan Wajib Pajak dan keadaan perekonomian bangsa Indonesia, diperlukan pembuatan pengaturan pemungutan pajak yang cepat dan sesederhana mungkin. Pembuatan pengaturan melalui Undang-Undang dirasa akan memakan waktu lama sehingga diperlukan fleksibilitas pengaturan yang tinggi agar dapat mengakomodir kepentingan pengamanan penerimaan negara dari pajak. Hal ini menimbulkan pemikiran untuk menerapkan prinsip efisiensi dalam pembuatan aturan-aturan yang menjadi landasan pemungutan pajak. Efisiensi dalam pembuatan aturan di bidang perpajakan menyangkut beberapa aspek antara lain aspek prosedur, biaya, sumber daya, dan kegunaan.
Prosedur Pembuatan Untuk membuat suatu Undang-Undang dibutuhkan prosedur yang panjang dan melalui proses yang melibatkan berbagai pihak baik dari eksekutif maupun legislatif. Proses yang panjang dari pembuatan suatu Undang-Undang yang tidak mampu mengakomodir perubahan dalam masyarakat tentu berdampak negatif pada banyak hal termasuk rasa keadilan dalam masyarakat terkait pembebanan pajak. Di sisi Pemerintah, ketidakselarasan tersebut berdampak pada kepentingan penerimaan negara yang pada akhirnya mempengaruhi kepentingan nasional dalam hal 114 pembiayaan belanja negara. Tidak demikian halnya dengan pembuatan sebuah peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang yang tidak terlalu membutuhkan proses yang panjang dan tidak terlalu menuntut keterlibatan banyak pihak. Pemilihan bentuk atau jenis peraturan perundang-undangan dalam bidang perpajakan terlepas dari muatan atau isi pengaturan, dapat dikatakan mengedepankan efisiensi dalam prosedur pembuatannya dan terpenuhinya rasa keadilan bagi Wajib Pajak. Namun demikian, pertimbangan efisiensi tidak diharapkan berubah bentuk menjadi kesewenang-wenangan. Oleh karena itu, untuk dapat menjalankan prinsip efisiensi ini, diperlukan koridor dari Undang-Undang itu sendiri sebagai batasan terhadap kewenangan yang diberikan.
Biaya Pengukuran pada biaya biasanya berbanding lurus dengan prosedur pembuatan. Semakin pendek prosedur yang dilewati maka akan semakin kecil biaya yang diperlukan sehingga efisiensi dari biaya akan dapat diperoleh. Biaya yang dibutuhkan dalam pembuatan Peraturan Direktur Jenderal Pajak dapat dikatakan akan lebih sedikit dibanding biaya yang diperlukan dalam pembuatan sebuah Undang-Undang.
Sumber Daya Prinsip efisiensi mengedepankan pemanfataan sumber daya minimal dengan pencapaian tujuan yang optimal. Dalam pembuatan peraturan perpajakan dalam bentuk Peraturan Direktur Jenderal Pajak kebutuhan sumber daya diharapkan tidak sebesar kebutuhan dalam pembuatan Undang-Undang.
Kegunaan Suatu peraturan perundang-undangan haruslah memiliki kegunaan atau manfaat. Salah satu kegunaan suatu peraturan pemungutan pajak adalah memberikan legitimasi secara hukum kepada otoritas perpajakan dalam melakukan pemungutan pajak. Jenis atau bentuk pengaturan tidak menjadi masalah sepanjang peraturan perundang-undangan tersebut dapat diterapkan dan memiliki manfaat yang diharapkan. Perkembangan aktivitas ekonomi yang sangat cepat, dapat menimbulkan potensi kehilangan sumber penerimaan pajak. Untuk itu diperlukan pengaturan secepat mungkin yang akan mengakomodasi perkembangan ekonomi, menutup celah 115 penghindaran pemajakan, dan yang terpenting mengamankan penerimaan negara yang menampung kepentingan rakyat banyak. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Gustav Radbruch yang menguraikan adanya tiga unsur dalam pembentukan hukum yaitu: filosofi (keadilan), sosiologis (kemanfaatan), dan yuridis (kepastian hukum). Radbruch berpendapat bahwa sepanjang tidak bertentangan dengan ketidakadilan yang tidak dapat ditoleransi lagi suatu peraturan hukum memiliki validitas. Selain prinsip efisiensi di atas, prinsip lain yang mendukung pendelegasian wewenang dalam pengaturan pemungutan pajak adalah diterapkannya asas kesederhanaan, baik dari struktur tarif maupun tata cara pemungutannya. Melalui penerapan prinsip efisiensi dan kesederhaan maka biaya pemungutan bagi administrasi perpajakan dan juga biaya yang dikeluarkan Wajib Pajak dalam rangka pelaksanaan kewajiban pembayaran pajak dapat ditekan. Hal ini berdampak positif terhadap tingkat kepatuhan Wajib Pajak dan pada akhirnya kepada penerimaan dari pajak itu sendiri. Berdasarkan uraian di atas, menurut Pemerintah, pelimpahan/pendelegasian wewenang pengaturan lebih lanjut dari UU PPh Tahun 2008 kepada Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Keuangan, Peraturan Direktur Jenderal Pajak dan sebagainya diperbolehkan dengan alasan fleksibilitas dengan memperhatikan efisiensi dan kesederhaan sepanjang pengaturan tersebut tidak menimbulkan ketidakadilan yang tidak dapat ditolerir dan tidak secara nyata dilarang oleh UUD 1945 . VIII.Dampak Seandainya Permohonan Pengujian Materiil UU PPh Tahun 2008 Dikabulkan. Berdasarkan penjelasan tersebut di atas Pemerintah kembali menyimpulkan bahwa Pemohon telah keliru dalam memahami pasal-pasal dalam UU PPh Tahun 2008 yang diajukan permohonan pengujian materiil, sebab tidak benar telah ada ketidakpastian hukum sehubungan dengan pendelegasian atau pelimpahan kewenangan pengaturan lebih lanjut UU PPh Tahun 2008 kepada peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang. Pendelegasian atau pelimpahan kewenangan pengaturan kepada peraturan perundang-undangan di bawah undang- undang tersebut merupakan persetujuan bersama pembuat undang-undang yaitu DPR sebagai wakil rakyat dan Pemerintah, melalui Undang-Undang yang secara 116 tegas mengamanatkan untuk membuat peraturan perundang-undangan pelaksanaan UU PPh Tahun 2008. Sebaliknya, apabila permohonan pengujian pasal-pasal dalam UU PPh Tahun 2008 yang diajukan Pemohon dikabulkan dengan menyatakan pasal-pasal dalam UU PPh Tahun 2008 tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat maka hal tersebut justru akan menimbulkan dampak buruk berupa:
Bila pasal-asal a quo dalam UU PPh Tahun 2008 oleh Mahkamah Konstitusi dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum, maka akibatnya sudah sangat jelas, yaitu tidak ada dasar hukum yang memadai bagi peraturan pemerintah, Menteri Keuangan, dan Direktur Jenderal Pajak untuk mengenakan pajak kepada para Wajib Pajak. Yang akibat lebih jauhnya adalah merosotnya pendapatan negara dari pajak. Bila hal itu terjadi, maka kemampuan negara untuk mengadakan dan membiayai pelayanan masyarakat (publik) seperti pembangunan dan pemeliharaan fasilitas publik, seperti jalan, irigasi, pendidikan, kesehatan, perumahan, dan lain sebagainya akan merosot pula. Padahal pengadaan dan pemeliharaan fasilitas-fasilitas umum itu sangat vital dan essensial bagi pemenuhan hak-hak asasi manusia, utamanya hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Berkenaan dengan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, UUD 1945, antara lain, mengatur sebagai berikut :
Pasal 27 ayat (2) : “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.” b. Pasal 28A : “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.” c. Pasal 28C ayat (1) : “ Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia. ” d. Pasal 28D ayat (2) : “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.” e. Pasal 28H ayat (1) : 117 “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” f. Pasal 28H ayat (3) : “Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.” g. Pasal 28 I ayat (3) : “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.” h. Pasal 28 I ayat (4) : “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.” __ Selain hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya yang tertuang dalam Pasal 28 UUD 1945 tersebut di atas, pemerintah mempunyai kewajiban di bawah hukum internasional, yakni Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (KIHESB) yang sudah diratifikasi oleh Republik Indonesia. Berdasarkan ketentuan hukum internasional itu, Pemerintah Republik Indonesia mempunyai kewajiban untuk memenuhi hak-hak ekonomi, sosial dan budaya sebagai berikut: (Bukti Pemt. 53) 1. Pasal 6 : Hak atas pekerjaan;
Pasal 7 : Hak untuk menikmati kondisi kerja yang adil dan menguntungkan;
Pasal 8 : Hak-hak serikat pekerja;
Pasal 9 : Hak atas jaminan sosial dan asuransi sosial;
Pasal 10 : Hak-hak keluarga;
Pasal 11 : Hak atas standar kehidupan yang layak;
Pasal 12 : Hak untuk menikmati standar tertinggi kesehatan fisik dan mental;
Pasal 13-14 : Hak atas Pendidikan;
Pasal 15 : Hak atas kehidupan budaya dan manfaat kemajuan ilmu pengetahuan. Pasal 15 KIHESB tersebut di atas, negara, yakni pemerintah, merupakan pihak yang dibebani kewajiban untuk melindungi, memajukan, melaksanakan penegakan dan 118 pemenuhan Hak Asasi Manusia, yaitu dalam hal ini adalah hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Pemerintah jelas membutuhkan biaya yang besar untuk pengadaan dan pemeliharaan fasilitas umum, seperti infrastruktur jalan, irigasi, fasilitas-fasilitas pendidikan, kesehatan, dan perumahan, yang selain dapat membuka lapangan kerja juga untuk memenuhi hak-hak rakyat atas pelayanan kesehatan, pendidikan, sosial lainnya. Pemerintah memerlukan biaya yang besar pula untuk fasilitasi program- program pengembangan kebudayaan masyarakat. Uraian panjang tersebut di atas membawa kita pada suatu pengertian, bahwa pasal- pasal dari Undang-Undang a quo yang diminta oleh Pemohon untuk dinyatakan bertentangan dengan Pasal 23A dan Pasal 28D UUD 1945, justru sebaliknya, yaitu, bahwa pasal-pasal dari Undang-Undang a quo merupakan pelaksanaan amanah Pasal 23A dan Pasal 28D UUD 1945. Pasal-pasal dalam Undang-Undang a quo (UU PPh Tahun 2008) justru untuk menjamin dan melindungi hak asasi manusia, yaitu hak tiap orang atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.
Lebih dari 30 (tiga puluh) peraturan pelaksanaan UU PPh Tahun 2008, ratusan peraturan pelaksanaan perundang-undangan pajak lainnya (PPN dan PPn BM, PBB, BPHTB dan Bea Meterai) dan ratusan peraturan daerah yang mengatur pungutan yang bersifat memaksa, harus dicabut dan diatur kembali dalam bentuk pasal-pasal di dalam Undang-Undang, hanya untuk memenuhi keinginan Pemohon, agar tidak terjadi kekosongan hukum.
Berdasarkan analisa perhitungan penerimaan negara, apabila permohonan pengujian materiil UU PPh Tahun 2008 dikabulkan, maka diperkirakan negara akan berpotensi kehilangan penerimaan kurang lebih sebesar Rp 69 Triliun (Enam Puluh Sembilan Triliun Rupiah) untuk Tahun Pajak 2010 (Bukti Pemt. 54) hanya untuk Pajak Penghasilan saja. Hal ini akan menghambat laju pembangunan dan menghalangi terwujudnya tujuan negara untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Dana sebesar Rp 69 Triliun apabila dipergunakan untuk kepentingan rakyat dapat dipergunakan:
Untuk membangun sekolah dasar inpres sebanyak 53.076 sekolah dasar inpres, b. Untuk membangun jalan beraspal sepanjang 138.000 km, c. Untuk membangun Puskesmas didaerah terpencil sebanyak 92.000 puskesmas. (Bukti Pemt. 55) 119 IX. KESIMPULAN Berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang memeriksa, memutus dan mengadili permohonan pengujian ( constitutional review ) Pasal 4 ayat (2), Pasal 7 ayat (3), Pasal 14 ayat (1), Pasal 14 ayat (7), Pasal 17 ayat (2), Pasal 17 ayat (2) huruf a, Pasal 17 ayat (2) huruf c, Pasal 17 ayat (2) huruf d, Pasal 17 ayat (3), Pasal 17 ayat (7), Pasal 19 ayat (2), Pasal 21 ayat (5), Pasal 22 ayat (1) huruf c, Pasal 22 ayat (2) dan Pasal 25 ayat (8) UU PPh Tahun 2008 terhadap Pasal 23A, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945, dan untuk selanjutnya memberikan putusan sebagai berikut:
Menyatakan Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum, (legal standing). 2. Menolak permohonan pengujian Pemohon seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan pengujian Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).
Menyatakan ketentuan Pasal 4 ayat (2), Pasal 7 ayat (3), Pasal 14 ayat (1), Pasal 14 ayat (7), Pasal 17 ayat (2), Pasal 17 ayat (2) huruf a, Pasal 17 ayat (2) huruf c, Pasal 17 ayat (2) huruf d, Pasal 17 ayat (3), Pasal 17 ayat (7), Pasal 19 ayat (2), Pasal 21 ayat (5), Pasal 22 ayat (1) huruf c, Pasal 22 ayat (2) dan Pasal 25 ayat (8) UU PPh Tahun 2008 tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 23A, Pasal 28D ayat (1),Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945. Namun demikian apabila Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia berpendapat lain, mohon putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya ( ex aequo et bono). __ [2.4] Menimbang bahwa untuk menguatkan dalil-dalinya, Pemerintah telah mengajukan alat bukti tertulis yang diberi tanda Bukti P-1 sampai dengan Bukti P-55 sebagai berikut:
Bukti Pemt-1 : Fotokopi UUD 1945 beserta Amandemen;
Pasal 23;
Pasal 23A;
Pasal 23B;
Pasal 23C;
Pasal 23D;
Pasal 24A ayat (1);
Pasal 24C ayat (1);
Pasal 28D ayat (1);
Pasal 28G ayat (1);
Pasal 28 H ayat (4).
Bukti Pemt-2 : Fotokopi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 120 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan;
Pasal 2 ayat (1);
Pasal 4 ayat (2) c. Pasal 7 ayat (3), d. Pasal 14 ayat (1), d. Pasal 14 ayat (2), e. Pasal 14 ayat (7), f. Pasal 17 ayat (2), g. Pasal 17 ayat (2) huruf a, h. Pasal 17 ayat (2) huruf c, i. Pasal 17 ayat (2) huruf d, j. Pasal 17 ayat (3), k. Pasal 17 ayat (7), l. Pasal 19 ayat (2), m. Pasal 20 ayat (2), n. Pasal 21 ayat (5), o. Pasal 22 ayat (1c), p. Pasal 22 ayat (2), q. Pasal 25 ayat (8) 3. Bukti Pemt-3 :
Pasal 10 ayat (1);
Pasal 51 ayat (1) 4. Bukti Pemt-4 : Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009:
Pasal 1, angka 1;
Pasal 38;
Pasal 39A;
Pasal 39;
Pasal 40;
Pasal 41 A;
Pasal 41 B;
Pasal 41 C;
Pasal 43.
Bukti Pemt-5 : Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 6. Bukti Pemt-6 : Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 42 Tahun 2009 7. Bukti Pemt-7 : Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No 12 Tahun 1994 8. Bukti Pemt-8 : Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 9. Bukti Pemt-9 : Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa sebagimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 121 10. Bukti Pemt-10 : Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai 11. ^Bukti Pemt-11 : Peraturan Pemerintah Nomor 131 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan atas Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia 12. ^Bukti Pemt-12 : Prof.Dr.Maria Farida Indrati S.,S.H.,M.H., dalam bukunya “Ilmu Perundang-undangan 1, Jenis, Fungsi dan Materi Muatan”, Penerbit Kanisius, Cetakan Ke-5, Tahun 2007:
Hal 18 “Norma merupakan suatu ukuran yang harus dipatuhi oleh seseorang dalam hubungannya dengan sesamanya atau lingkungannya.”;
Hal 20 Hans kelsen dalam bukunya “ General Theory Of Law and States ”, New York, Russel and Russel, menyatakan bahwa ada dua system norma yaitu norma yang static ( nomostatics ) dan norma yang dinamik ( nomodynamics );
Hal 35-37 DWP Ruiter dalam kepustakaan di Eropa Kontinental, peraturan perundang undangan atau wet in materiele zin mengandung tiga unsur… d. Hal 215-232 Fungsi dari pelaksanaan peraturan perundang- undangan… 13. Bukti Pemt-13 : Prof.Dr.Jimly Asshidiqie, buku perihal Undang-Undang di Indonesia, Sekjen & kepaniteraan MK Jakarta, Penerbit Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Cetakan Pertama Tahun 2006:
Hal 32 Jeremy Bentham dan John Austin, misalnya Hal 33 122 b. Prof. Dr. Jimly Asshidiqie, S.H., dalam buku “Perihal Undang-Undang Di Indonesia”, c. hal 377 “kewenangan yang dimiliki oleh suatu lembaga negara dapat berpindah kepada....” d. hal 381 ”Apabila Undang-Undang dirasakan belum cukup mengatur, dan masih diperlukan pengaturan lebih lanjut, dapat dilakukan pendelegasian kewenangan pengaturan dengan memperhatikan tiga syarat alternativ yaitu: …” e. hal 396 “…pendelegasian kewenangan pengaturan baru dapat dilakukan dengan tiga alternativ syarat: …” 14. ^Bukti Pemt-14 : Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan:
Pasal 7 ayat 1, b. Pasal 7 ayat 4 15. ^Bukti Pemt-15 : Nasakah Komprehensif Perubahan UUD 1945, Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999 – 2000, Buku VII, Keuangan, Perekonomian Nasional, dan Kesejahteraan Sosial, Penerbit Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Tahun 2008. Hal 39- 113 16. ^Bukti Pemt-16 : Heru Subiyantoro dan Singgih Riphat (ed), Kebijakan Fiskal, Pemikiran, konsep dan Implementasi, (Kompas, 2004) hal 130 17. Bukti Pemt-17 : Kebijakan Ekonomi Publik Di Indonesia Subtansi dan Urgensi, kumpulan Tulisan Dr. Guritno Mangkoesoebroto, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 1994 Hal 107 18. Bukti Pemt-18 : Nota Keuangan dan APBN 2000, Departemen Keuangan RI 19. Bukti Pemt-19 : Laporan Penerimaan Pajak DJPBn dan APBN-P Tahun 123 20. ^Bukti Pemt-20 : R.santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu Hukum Perpajakan, Refika Aditama, Bandung, 2003:
Hal 2, “pengertian pajak menurut Prof.DR.PJA.Adriani sebagaimana dikutip oleh R.Santoso Brotodihardjo dalam bukunya yang berjudul Pengantar Ilmu Hukum Perpajakan, menyatakan bahwa pajak adalah iuran kepada negara........” b. Hal 3 “ Leroy Baeulieu, dalam bukunya traite de la science des Finances . Tahun 1906... “ c. Hal 5 “Soeparman Soemahamidjaja dalam disertasinya yang berjudul Pajak berdasarkan asas gotong royong,Universitas Padjadjaran, Bandung, 1964, sebagaimana dikutip oleh R.santoso Brotodihardjo, “Pajak adalah iuran wajib, berupa uang atau barang........” d. hal 212 “Pajak mempunyai dua fungsi yaitu.... “ 21. ^Bukti Pemt-21 : IBFD international Tax Glossary yang diterbitkan oleh IBFD tahun 2005 Hal 393 “pajak didefinisikan sebagai “a government levy which is not....” 22. Bukti Pemt-22 : H.Bohari,S.H., Pengantar Hukum Pajak. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,2001 :
Hal 41 ”Adam Smith dalam bukunya Wealth of Nations b. Hal 42 ”W.J de langen seorang ahli pajak kebangsaan Belanda .......yang menyebutkan 7 asas pokok perpajakan sebagai berikut : 124 c. Hal 43 ”Dalam literatur yang sama Adolf Wagner mempunyai dimensi yang lain dalam memandang asas pemungutan pajak.......empat postulat untuk terpenuhinya prinsip pemungutan pajak yang ideal yaitu....“ 23. ^Bukti Pemt-23 : Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara :
Pasal 1 angka 1;
Pasal 2 huruf a;
Pasal 3 ayat (1);
Pasal 6;
Pasal 8;
Pasal 11 ayat (3);
^Bukti Pemt-24 : Keputusan Menteri Keuangan Nomor 51/KMK.04/2001 tentang pemotongan Pajak Penghasilan atas Bunga Deposito dan tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank .Indonesia;
Bukti Pemt-25 : Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan atas bunga simpanan yang dibayarkan oleh Koperasi kepada Anggota Koperasi Orang Pribadi;
^Bukti Pemt-26 : Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan berupa Bunga Obligasi;
Bukti Pemt-27 : Peraturan Pemerintah Nomor 132 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan atas hadiah undian;
Bukti Pemt-28 : Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP - 395/PJ/2001 tentang pengenaan Pajak Penghasilan atas hadiah dan penghargaan;
Bukti Pemt-29 : Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1994 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1997 tentang Pajak Penghasilan atas penghasilan dari transaksi penjualan saham di Bursa Efek;
Bukti Pemt-30 : Keputusan Menteri Keuangan Nomor 282/KMK.04/1997 tentang pelaksanaan pemungutan Pajak Penghasilan atas penghasilan dari transaksi penjualan saham di Bursa Efek;
Bukti Pemt-31 : Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2009 tentang 125 Pajak Penghasilan atas penghasilan dari transaksi derivatif berupa kontrak berjangka yang diperdagangkan di Bursa;
^Bukti Pemt-32 : Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 stdd PP Nomor 71 Tahun 2008 (perubahan ketiga) tentang pembayaran Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan;
^Bukti Pemt-33 : Keputusan Menteri Keuangan Nomor 635/KMK.04/1994 sebagimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/PMK.03/2008 (perubahan kedua) tentang pelaksanaan pembayaran dan pemungutan Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan;
^Bukti Pemt-34 : Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-28/PJ/ 2009 tentang pelaksanaan Ketentuan Peralihan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang pembayaran Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan;
^Bukti Pemt-35 : Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-30/PJ/ 2009 tentang tata cara pemberian pengecualian dari kewajiban pembayaran atau Pemungutan Pajak Penghasilan atas .penghasilan dari pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan 36. ^Bukti Pemt-36 : Peraturan Pemerintah No 51 Tahun 2008 stdd PP No 40 tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan atas penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi 37. Bukti Pemt-37 : Peraturan Menteri Keuangan Nomor 187/PMK.03/2008 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 153/PMK.03/2009 tentang Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, Pelaporan dan Penatausahaan Pajak Penghasilan atas penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi 126 38. Bukti Pemt-38 : Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2002 tentang pembayaran pajak atas penghasilan dari persewaan Tanah dan/atau Bangunan 39. ^Bukti Pemt-39 : Keputusan Menteri Keuangan Nomor 394/KMK.04/1996 sebgaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 120/KMK.03/2002 tentang pelaksanaan pembayaran dan pemotongan Pajak Penghasilan atas penghasilan dari persewaan Tanah Dan/Atau Bangunan 40. ^Bukti Pemt-40 : Keputusan Menteri Keuangan Nomor 564/KMK.03/2004 tentang Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak 41. ^Bukti Pemt-41 : Peraturan Menteri Keuangan Nomor 137/PMK.03/2005 tentang penyesuaian besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak 42. ^Bukti Pemt-42 : Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP- 536/PJ./2000 tentang Norma Penghitungan Penghasilan Neto bagi Wajib Pajak yang dapat menghitung Penghasilan Neto dengan menggunakan Norma Penghitungan 43. Bukti Pemt-43 : Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan atas deviden yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri 44. Bukti Pemt-44 : Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1994 tentang Pajak Penghasilan bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, Anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, dan para Pensiunan atas Penghasilan yang dibebankan kepada Keuangan Negara atau Keuangan Daerah 45. Bukti Pemt-45 : Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2009 tentang Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus 46. Bukti Pemt-46 : Peraturan Menteri Keuangan Nomor 253/PMK.03/2008 127 tentang Wajib Pajak Badan Tertentu sebagai Pemungut Pajak Penghasilan dari Pembeli atas penjualan barang yang tergolong sangat mewah 47. ^Bukti Pemt-47 : Keputusan Menteri Keuangan Nomor 254/KMK.03/2001 sebagimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 210/PMK.03/2008 tentang Penunjukan Pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22, Sifat dan Besarnya Pungutan serta Tata Cara Penyetoran dan Pelaporannya 48. ^Bukti Pemt-48 : Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri Yang bertolak ke luar negeri 49. ^Bukti Pemt-49 : Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER 51/PJ/2008 tentang tata cara pendaftaran Nomor Pokok Wajib Pajak bagi Anggota Keluarga 50. ^Bukti Pemt-50 : Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER 53/PJ/2008 sebagaimana telah diubah dengan PER-14/PJ/2009 tentang tata cara pembayaran, pengecualian pembayaran dan pengelolaan administrasi Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri yang akan bertolak ke Luar Negeri 51. Bukti Pemt-51 : Hans Kelsen, teori umum tentang hukum dan negara. Nusamedia dan nuansa, Bandung,2006 Hal 187-191 : “Kadang kadang pembentukan norma norma umum itu dibagi kedalam dua tahapan atau lebih....” 52. Bukti Pemt-52 : CF Strong, Konstitusi konstitusi politik modern kajian tentang sejarah dan bentuk bentuk konstitusi Dunia, Nusamedia dan nuansa, Bandung, 2004,Hal 91 : “dalam konteks perkembangan hubungan konstitusi.......menyatakan sebagai berikut : bahwa sejumlah hukum dasar yang diadopsi atau dirancang oleh para penyusun konstitusi 53. Bukti Pemt-53 : Kovenan Internasional Hak – Hak ekonomi, sosial, dan 128 budaya (KIHESB) yang sudah diratifikasi oleh Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on economic Social and Cultural Rights :
Pasal 6 ;
Pasal 7;
Pasal 8;
Pasal 9;
Pasal 10;
Pasal 11;
Pasal 12;
Pasal 13;
Pasal 14;
Pasal 15.
^Bukti Pemt-54 : Realisasi Penerimaan Tahun 2007-2008, Estimasi Penerimaan Tahun 2009, dan Potensial Loss Penerimaan Pajak Tahun 2010 Terkait Permohonan Uji Materiil Undang-Undang PPh Tahun 2008 55. ^Bukti Pemt-55 : Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 45/PRT/M/2007 tentang pedoman teknis pembangunan gedung Negara Selain itu, untuk menguatkan keterangannya, Pemerintah mengajukan 5 (lima) orang ahli yang telah didengar keterangannya di bawah sumpah dalam persidangan tanggal 12 Januari 2010 yang kemudian dilengkapi dengan keterangan tertulis sebagai berikut: Keterangan Ahli Pemerintah 1. Ahli Pemerintah Prof.DR. Philipus. M. Hadjon, S.H., LL.M. Ø Bahwa intinya adalah pajak dan semua pungutan yang sifatnya memaksa oleh negara harus diatur dengan Undang-Undang; Ø Bahwa dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 mengenai pendelegasian itu ada dua istilah hukum yang digunakan; “dengan” atau “berdasarkan”; Ø Bahwa rumusan yang ada di dalam Pasal 23A itu mengenai pajak; Ø Bahwa dari sudut pandang hukum tata negara pajak di situ pertama-tama adalah menyangkut objek pajak; Ø Bahwa apa saja yang bisa dikenakan pajak oleh negara, intinya dari Pasal 23A tadi; Ø Bahwa titik tolak dari sana yang diperintahkan oleh Undang-Undang Dasar untuk diatur dengan Undang-Undang ialah objek pajak; 129 Ø Bahwa mengenai objek pajak itu sendiri sejak awal termasuk Undang-Undang taat apa yang bisa dipungut pajak itu ditetapkan oleh Undang-Undang termasuk pajak daerah pun harus ditetapkan dengan Undang-Undang tidak bisa daerah menentukan sendiri apa yang menjadi pajak daerah; Ø Bahwa perlu dicermati dulu dari ketentuan Pasal 23A mengenai pendelegasian wewenang; Ø Bahwa pendelegasian wewenang merupakan hal yang lazim sekali apabila kaitkan dengan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 17 ayat (7) pendelegasian di sini ini bukan pendelegasian penetapan tarif karena tarifnya sudah diatur dalam Pasal 4 ayat (1); Ø Bahwa yang didelegasikan itu adalah suatu diskresi. Konsep diskresi itu karena ada kata “dapat”, jadi dalam hukum tata negara dan hukum administrasi kalau kewenangan itu diawali dengan kata “dapat” itu menunjukkan disreksi; Ø Bahwa bagi yang berwenang dalam bidang ini punya pilihan untuk berkaitan dengan tarif. Tapi di sini bukan delegasi blanko, karena ada batasannya. Sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi, sebetulnya delegasi ini tidak melanggar ketentuan UUD; Ø Bahwa yang dipermasalahkan oleh Pemohon juga PP Nomor 131 Tahun 2000; Ø Bahwa yang berwenang menguji peraturan perundang-undangan dibawah UUD adalah Mahkamah Agung, bukan Mahkamah Konstitusi. Jadi tidak pada tempatnya kalau mempermasalahkan konstitusionalitas PP. Kalau persoalan PP bukan persoalan konstitusionalitas tetapi persoalan legalitas, dan parameternya adalah Undang-Undang dan bukan parameter UUD; Ø Bahwa menyangkut Pasal 7 ayat (3), apakah penyesuaian besarnya penghasilan tidak kena pajak tidak dapat didelegasikan kepada Menteri Keuangan; Ø Bahwa penyesuaian besarnya penghasilan tidak kena pajak berada dalam ranah teknik, dan di sisi lain bukan delegasi blanko karena harus dikonsultasikan dengan DPR ini satu yang sifatnya imperatif mengenai kewenangan; Ø Bahwa menyangkut Pasal 14 ayat (1) juncto Pasal 14 ayat (7) rasio legis delegasi kewenangan dalam Pasal 14 ayat (1) dan ayat (7) adalah Pendelegasian kewenangan dalam Pasal 14 ayat (1) dan ayat (7) di satu sisi merupakan hal teknis dan di sisi lain mengantisipasi kondisi yang berubah-ubah; Ø Bahwa menyangkut Pasal 17 ayat (2), ayat (2) huruf a, ayat (2) huruf c dan ayat (2) huruf d. Pertanyaannya apakah pendelegasian kewenangan penurunan tarif itu 130 inkonstitusional? Rasio legis pengaturan pajak dengan Undang-Undang adalah pajak adalah perampasan atas kekayaan pribadi. Kekayaan pribadi merupakan hak kodrat jadi sifatnya _nalienable right; _ Ø Bahwa untuk kepentingan publik hak bisa kodrat dirampas hanya dengan persetujuan rakyat. Instrumen hukum dalam hukum tata negara adalah Undang- Undang. Dalam pasal-pasal ini tarif tertinggi telah ditetapkan oleh Undang-Undang sehingga delegasi kepada peraturan pemerintah untuk penurunan tarif pajak ini tidak bertentangan dengan rasio legis pengaturan pajak dengan Undang-Undang, dan Pasal 23A itu sebetulnya mengenai objek pajaknya yang paling utama; Ø Bahwa menyangkut Pasal 17 ayat (3) ketentuan Pasal 17 ayat (3) bertentangan rasio legis pengaturan pajak harus dengan Undang-Undang besarnya penghasilan kena pajak hal teknis, oleh karena itu delegasi kewenangan tidaklah inkonstitusional; Ø Bahwa Pasal 17 ayat (3) dan Pasal 21 ayat (5) menyangkut pasal ini perkecualian adalah penetapan tarif pajak inkonstitusional? Ini juga prinsipnya sama pendelegasian kewenangan dalam Pasal 19 ayat (2), Pasal 21 ayat (5) bukan delegasi blanko karena dibatasi dengan ketentuan, dapat dilihat dalam Pasal 19 ayat (2) “sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi,” Pasal 21 ayat (5) kecuali ditetapkan lain dengan peraturan pemerintah; Ø Bahwa menyangkut Pasal 22 ayat (1) huruf e dan ayat (2) adalah karakteristik wewenang tersebut dalam Pasal 22 ayat (1) huruf e; Ø Bahwa Pasal 22 ayat (1), dari ketentuan ini dapat mencirikan adanya wewenang diskresi. Diskresi mengandung makna ada pilihan choice dalam penggunaan wewenang; Ø Bahwa rasio legis ketentuan a quo adalah peran serta masyarakat dalam mengumpulkan pajak dan bukan menyangkut PPh final; Ø Bahwa kewenangan adalah konsep hukum publik, kewenangan DPR lahir secara atribusi, wewenang DPR itu diberikan oleh Undang-Undang Dasar; Ø Bahwa DPR itu wakil rakyat tapi janganlah dirumuskan wewenang DPR adalah juga wewenang rakyat, ini analogis sesat. Rakyat itu mempunyai hak dan kewajiban bukan kewenangan sehingga kalau bicara soal wewenang memutus tidak pada rakyat dalam konteks pajak, Undang-Undang Pajak. Wewenang memutus itu ada pada DPR jadi tidak bisa dikatakan wewenang DPR adalah juga wewenang rakyat; Ø Bahwa Pasal 25 ayat (8) apa rasio legis pasal ini? Pasal ini bertujuan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat untuk memenuhi kewajiban perpajakannya; 131 Ø Bahwa berdasarkan analisi yang dilakukan materi muatan pasal-pasal Undang- Undang Nomor 36 Tahun 2008 yang diajukan permohonan uji materil Perkara Nomor 128/PUU-VII/2009 tidaklah inkonstitusional;
Ahli Pemerintah Drs. A. Anshari Ritonga, S.H., M.H. Ø Bahwa pelimpahan wewenang melalui Undang-Undang kepada pemerintah, Menteri Keuangan dan kepada Direktorat Jenderal Pajak dalam menentukan tarif, menentukan lapisan penghasilan kena pajak untuk dikenakan tarif dan penetuan pajak fiskal bagi orang yang tidak memiliki NPWP dan penentuan norma yang ditugaskan kepada Direktorat Jenderal Pajak; Ø Bahwa tinjauan hukum dalam rangka konsepsional sumber hukum dan tata perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dan adalah tinjauan terhadap ketentuan yang diatur dalam pasal-pasal yang diajukan pengujian; Ø Bahwa terhadap tindakan hukum sebagai sumber hukum dan tata urutan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia itu mengacu kepada TAP MPRS Nomor 20 Tahun 1966 yang kemudian dikukuhkan dengan TAP MPR Nomor 5 Tahun 1973 pada waktu itu masih ditentukan mulai dari Undang-Undang Dasar, undang-undang, Keputusan MPR, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang, Peraturan Pemerintah baru peraturan pelaksanaan termasuk instruksi Menteri Keuangan, Peraturan Menteri Keuangan dan peraturan lainnya; Ø Bahwa hal itu kemudian diperbaiki beberapa kali dengan Putusan MPR sehingga terakhir dengan Keputusan MPR Nomor 3 Tahun 2000 dimana urutannya menjadi Undang-Undang Dasar, Ketetapan MPR, undang-undang dan atau setara dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah dan Peraturan Daerah; Ø Bahwa dengan direvisi Undang-Undang Dasar 1945 khusunya Pasal 2 dimana struktur, fungsi dan kewenangan MPR berubah maka Ketetapan MPR tidak menjadi sumber hukum lagi sehingga urutannya Undang-Undang Dasar, undang-undang sekaligus memang dengan Perppu atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang baru Peraturan Pemerintah, Peraturan Daerah; Ø Bahwa tata urutan tersebut kalau dikaji atau ditinjau dengan pendekatan hukum ini secara teori berjenjang yang dikemukakan oleh Kelsen dan ditindak lanjuti oleh Hansnafiaski {sic} dimana menyebut sebagai urutan itu adalah sebagai staat fundamental norm sebagai dasar-dasar pokok, dimana oleh Kelsen sebenarnya 132 grundnorm sebagai asas yang disebut sebenarnya Hamid Atamimi adalah Pancasila itu sebagai grund fundamental staat grundnorm tetapi oleh Hans Kelsen dipisahkan antara staat fundamental norm dengan staat grund gescheit sebagai Undang- Undang Dasar; Ø Bahwa kalau dikaitkan dengan staat fundamental norm sebagai pembukaan UUD 1945 staat gescheit sebagai UUD baru formale gescheit sebagai Undang-Undang dan sebagai peraturan pelaksanaannya ini yang berlaku, yang disebutnya sebagai urutan yang berjenjang yang berlaku ketentuan yang lebih rendah harus mengacu dan tidak bertentangan dengan ketentuan atau Undang-Undang yang lebih tinggi; Ø Bahwa dengan demikian yang diatur dalam tata norma hukum, sumber hukum dan tata perundang-undangan sudah sejalan dengan teori yang berlaku tersebut; Ø Bahwa sekarang pendelegasian yang diberikan dalam Undang-Undang semua tercantum dalam pasal-pasal tersebut sesuai dengan fungsi DPR, Pasal 20 UUD 1945 mengatakan DPR sebagai hak budgetnya sebagai legislator sebagai pembuat Undang-Undang, maka kewenangan DPR untuk membuat dan menetapkan Undang-Undang tentu sudah mengkaji segala dampak dan segala kemungkinan, sehingga ditetapkan ada pendelegasian tersebut, ini sesuai dengan Pasal 20 ayat (2); Ø Bahwa oleh karena itu adanya pendelegasian wewenang dalam Undang-Undang kepada pemerintah untuk menetapkan melalui Peraturan Pemerintah kepada Menteri Keuangan sebenarnya sudah sejalan dengan norma hukum atau sumber hukum dan tata perundang-undangan yang berlaku di Indonesia; Ø Bahwa pelimpahan wewenang diberikan kepada pemerintah melalui peraturan pemerintah atau Menteri Keuangan atau Direktur Pajak dikatakan bertentangan dengan Pasal 23A; Ø Bahwa Pasal 23A bagian dari pada hal-hal mengenai keuangan yang diatur dalam UUD. Hal-hal yang mengenai UUD itu ada 5 pasal, Pasal 23 mengenai APBN dan Pasal 23A mengenai Pajak untuk negara sedangkan Pasal 23B dalam macam harga dan mata uang ditetapkan dalam Undang-Undang, lalu Pasal 23C hal-hal lain mengenai keuangan negara diatur dengan Undang-Undang, lalu Pasal 23D mengenai negara memiliki bank sesuai kedudukannya diatur dengan Undang- Undang; Ø Bahwa dari seluruh hal-hal yang mengenai keuangan yang diatur dengan UUD seluruhnya diatur dengan Undang-Undang; 133 Ø Bahwa dalam pelaksanaanya Pasal 23 tersebut dan Pasal 73 juga ada pelimpahan kepada Menteri Keuangan atau kepada pemerintah. Pasal 23 yaitu mengenai APBN disebutkan Pasal 8 ayat (2) dalam Undang-Undang APBN Tahun 2005. Rincian lebih lanjut dalam anggaran belanja pemerintah pusat sebagaimana Pasal 7 diatur dengan Keputusan Presiden. Dalam APBN 2010 Nomor 40 tahun 2009 Pasal 10 ayat (3) juga pengaturan lebih lanjut dari di DIPA sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh presiden. Pasal 9 ayat (2) menyebutkan ketentuan lebih lanjut mengenai pembagian dan perimbangan DAU diatur oleh Menteri Keuangan. Jadi dalam hal ini dalam Pasal 23 juga semua ada pendelegasian yang diatur melalui Undang-Undang; Ø Bahwa Pasal 23B dan Pasal 23D mengenai mata uang juga di situ disebutkan mata uang itu harus bagaimana nominalnya atau bagaimana materilnya, bagaimana nilainya intrisiknya; Ø Bahwa dengan demikian maka pengaturan pada Pasal 23A yaitu pajak diatur dengan Undang-Undang adalah juga sejalan dengan pasal Undang-Undang yang diatur dalam tata urutan tersebut; Ø Bahwa pelaksanaan Pasal 23C, jelas di situ adalah hal-hal lain untuk mengatur mengenai keuangan negara diatur Undang-Undang. Mengenai keuangan negara termasuk pemungutan pajak semuanya dan sebagainya, dimana dalam Pasal 6, Pasal 8 dan Pasal 9 Undang-Undang Keuangan Negara, Pasal 17 Undang-Undang Nomor 17 mengenai Keuangan Negara menyebut presiden selaku kepala pemerintahan memegang kekuasaan pengelolanya dan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. Dan kekuasaan yang dimaksud dikuasakan kepada Menteri Keuangan selaku pengelola fiskal dan wakil pemerintah dalam pemilikan kekayaan negara; Ø Bahwa Pasal 8 disebut dalam rangka pelaksanaan kekuasaan pengelolaan fiskal tersebut Menteri Keuangan melakukan pemungutan pendapatan negara yang telah ditetapkan dengan Undang-Undang dan Pasal 9, Menteri pemimpin lembaga sebagai pengguna anggaran atau kementrian negara dalam melaksanakan tugasnya melaksanakan pemungutan penerimaan negara bukan pajak dan menyetorkannya ke kas negara. Jadi di situ juga ada pendelegasian baik kepada pemerintah, baik kepada Menteri Keuangan; Ø Bahwa Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 17 UUD 1945 menyebut Pasal 4 ayat (1) Presiden memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD 1945 dan Pasal 5 ayat 134 (2) Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya. Dan Pasal 17 ayat (1) Presiden dibantu oleh Menteri Keuangan; Ø Bahwa pengeluaran Peraturan Pemerintah dalam mengatur melaksanakan Undang- Undang adalah sejalan dengan Pasal 4, Pasal 5 UUD 1945 tersebut, dengan demikian tentu tidak bertentangan dengan Pasal 23 ayat (2) dimaksud oleh Pemohon; Ø Bahwa terkait dengan Pasal 23A, pasal-pasal yang diajukan pengujiannya oleh Pemohon, khusunya mengenai penentuan tarif final atau tarif pajak; Ø Bahwa pada dasarnya tarif pajak itu ditentukan dengan Undang-Undang, yaitu Pasal 17 ayat (1) sudah jelas menurut kelipatan pajaknya, hanya memang dalam pengurangan ditentukan pajak itu akan diturunkan pajaknya yang sekarang maksimum 30% menjadi 25%. Penurunan itu yang didelegasikan kepada pemerintah sehingga tarif yang diharapkan bukan semakin naik pasti semakin turun, jadi semakin rendah, artinya beban pajak yang ditentukan kepada masyarakat akibat kewenangan yang diberikan kepada pemerintah tidak akan menambah beban pajak. Jadi kerugian nyata atau kerugian aktual tidak akan terjadi atas kewenangan dari pemerintah tersebut; Ø Bahwa Penentuan lapisan tarif juga sama di berikan kewenangan kepada pemerintah pusat lapisan tarif, dalam arti menikmati tarif yang lebih rendah dengan PKB yang lebih besar. Artinya akan mengurangi pajak bagi wajib pajak bukan menambah beban pajak; Ø Bahwa pajak fiskal luar negeri atau bagi orang pergi keluar negeri yang tidak memiliki nomor pokok diberikan pajak, itu adalah alternatif artinya apabila masyarakat menganggap dengan kena fiskal itu karena kewajiban maka sebenarnya sesuai ketentuan semua orang harus mendaftarkan diri,dengan mendaftarkan diri otomatis memang tidak akan kena fiskal luar negeri; Ø Bahwa sedangkan pemberian wewenang norma juga itu adalah alternatif, artinya bagi orang yang memilih alternatif tidak menyelenggarakan pembukuan maka tidak bisa dihitung penghasilan Nettonya, maka harus dibuatkan norma. Oleh karena itu apabila dengan diberikan kewenangan kepada pemerintah atau Dirjen Pajak menentukan norma Pemohon atau wajib pajak merasa dirugikan, maka akan mengikuti alternatif melaksanakan, menyelenggarakan pembukuan. Dimana pada prinsipnya Pasal 28 mengatakan seluruh wajib menyelenggarakan pembukuan, 135 tetapi karena memang bagi wajib pajak yang golongan kecil dianggap melaksanakan pembukuan dengan membutuhkan biaya maka diberikan alternatif boleh tidak menyelenggarakan pembukuan maka ditetapkan norma; Ø Bahwa norma tersebut bermacam-macam banyak sekali, untuk jenis pajak antara dokter spesialis dengan yang bukan spesialis normanya berbeda. Izin usaha yang satu dengan yang lain normanya berbeda. Berbeda harga pokok berbeda bahan mentah, berbeda pemilikan modal, berbeda treatment- nya maka normanya akan berbeda; Ø Bahwa kalau norma itu diatur dengan Undang-Undang bisa dikatakan bagaimana Undang-Undang harus berubah. Dengan pertimbangan itu maka diberikan pendelegasian kepada pemerintah tetapi apabila dengan wewenang yang diberikan didelegasikan norma itu kepada Direktur Jenderal Pajak, wajib pajak atau Pemohon merasa dirugikan maka bisa mengambil alternatif dengan cara menyelenggarakan pembukuan. Karena pada prinsipnya seluruh wajib pajak menyelenggarakan pembukuan. Dengan menyelenggarakan pembukuan tentu tidak ada kerugian materil, tentu ada kerugian norma;
Ahli Pemerintah Prof. DR. Gunadi, M.SC. Ak. Ø Bahwa yuridiksi itu merupakan atribut dari kedaulatan, dan negara yang berdaulat mempunyai yusdiksi termasuk juridiksi pemajakan sehubungan dengan orang atau objek yang berada di wilayahnya; Ø Bahwa di beberapa negara seperti Amerika Serikat, Belanda, Indonesia menyuratkan yuridiksi pemajakan dalam konstitusinya. Sedangkan beberapa negara lain termasuk Inggris tidak. Walaupun demikian ketentuan pajak di Inggris juga mendasarkan pada prinsip legalitas dengan berpedoman pada yuridiksi no tax _without representation; _ Ø Bahwa sesuai dengan asas legalitas tersebut maka tidak ada pembayaran pajak atau beban lainnya tanpa adanya persetujuan berupa Undang-Undang oleh parlemen; Ø Bahwa prinsip tersebut merupakan salah satu pilar mekanisme sistem demokrasi dalam arti persetujuan yang diberikan para wakil pembayar pajak dalam parlemen dianggap sebagai garansi demokrasi atas pemajakan yang dipungut pemerintah; Ø Bahwa Undang-Undang Perpajakan merupakan peraturan yang sering mengalami perubahan karena mengikuti realita kehidupan ekonomi dan sosial serta lingkungan 136 termasuk sistem dan metode serta kebijakan pemajakan yang dinamis dan selalu berubah dari waktu ke waktu. Walaupun dalam negara demokrasi ada doktrin pemisahan kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif dan sesuai dengan asas legalitas, perpajakan harus diatur dengan Undang-Undang; Ø Bahwa salah satu hal yang paling membingungkan yang dihadapi eksekutif dan legislatif adalah seberapa detail ketentuan yang harus diatur dalam Undang-Undang dan bagaimana distribusi kewenangan penyusunan perpajakan antara legislatif dan eksekutif; Ø Bahwa penerapan atas pertanyaan ini dapat berbeda untuk tiap negara tergantung kepada tradisi, kebiasaan, konstitusi, hukum administrasi praktik hukum tiap negara dan ketentuan dalam Undang-Undang Pajak yang telah disetujui lembaga legislatif negara dimaksud. Kadangkala ketentuan dasar pengatur legalitas delegasi kewenangan, menyusun ketentuan perpajakan dapat bersifat elastis; Ø Bahwa membuat peraturan berbagai masalah yang memerlukan fleksibilitas tinggi, kesigapan dan kecepatan bertindak. Walaupun pada umumnya Undang-Undang Pajak yang disusun bagi wajib pajak, transaksi kena pajak, tarif pajak, sanksi dan pemungutan. Namun berdasar delegasi dalam konstitusi terutama Undang-Undang Pajak itu sendiri lembaga eksekutif dapat memberikan peraturan pelaksanaan; Ø Bahwa yang dapat diatur termasuk ketentuan detail berdasar delegasi Undang- Undang, prosedur dantata cara administrasi untuk menjalankan ketentuan Undang- Undang; Ø Bahwa setelah delegasi pengaturan demikian, sepertinya menunjukan adanya suatu ketidakpastian atau indefiniteness atau kekurang lengkapan dalam pengaturan perpajakan. Kekuranglengkapan ini umumnya dapat dianggap sebagai suatu intensive policy atau kebijakan yang diinginkan oleh para pembuat Undang-Undang. Dan proses demikian disebut flying in the general cost. Ini berlaku baik di negara penganut common law maupun di negara penganut sistem kontinental; Ø Bahwa yurisdiksi pemajakan Indonesia disuratkan pada Pasal 23A UUD 1945 yagn berbunyi “p ajak dan Pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara _diatur dengan undang-undang.”; _ Ø Bahwa __ dengan merujuk pada asas legalitas dalam UUD 1945 tersebut, disusunlah Undang-Undang Perpajakan termasuk Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagai dasar hukum pemungutan pajak penghasilan 137 yang sampai sekarang sudah empat kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008; Ø Bahwa sebagaimana terjadi di semua hampir negara pemungut pajak dan berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 serta beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Perpajakan itu sendiri atau praktik ketatanegaran dan peraturan perundang-undangan yang berlaku maupun semangat flying in the general cost terutama dalam pengaturan yang membutuhkan fleksibilitas yang tinggi dan kesigapan serta kecepatan bertindak dalam masalah-masalah yang mungkin timbul, maka terdapat delegasi pengaturan dalam Undang-Undang kepada peraturan pemerintah Menteri Keuangan atau Direktur Jenderal Pajak; Ø Bahwa secara konstitusional berdasarkan Pasal 5 ayat (2) untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya, pemerintah diberi wewenang untuk membuat peraturan berdasarkan perintah dalam Undang-Undang. Karena itu pelimpahan wewenang pengaturan lebih lanjut pelaksanaan pajak penghasilan dalam UU PPh 2008 adalah pengaturan yang merupakan kebijakan delegasi kewenangan yang diinginkan atau intentional policy oleh para pembentuk Undang- Undang melalui prosedur dan proses yang valid dan _legitimate; _ Ø Bahwa melalui prosedur dan proses legislatif yang valid dan legitimate karena sesuai dengan ketentuan Pasal 20 UUD 1945 Undang-Undang telah dibahas dan dapat persetujuan dari Pemerintah dan DPR sebagai representasi dari rakyat termasuk para pembayar pajak, walaupun dari segi materi suatu pengaturan pendelegasian tidak dapat mengubah materi yang ada dalam Undang-Undang, yang dijalankannya peraturan pemerintah adalah sarana yang disediakan UUD 1945 untuk menjalankan atau mengatur lebih lanjut atas satu atau beberapa ketentuan Undang-Undang; Ø Bahwa garis-garis besar ketentuan tersebut diatur di dalam Undang-Undang yang dibentuk oleh Presiden dengan persetujuan DPR. Namun, rinciannya atau garis kecilnya dibentuk oleh Pemerintah berdasar garis besar tanpa memerlukan persetujuan DPR lagi, yang telah menyetujui garis besarnya; Ø Bahwa dalam bahasa Pasal 23 UUD 1945 DPR sebagai representasi rakyat termasuk para pembayar pajak yang semua di sini terutama yang membayar PBB bersama Pemerintah telah melaksanakan ketentuan Pasal 23 UUD 1945 yaitu yang mengatur pungutan pajak penghasilan dengan Undang-Undang, yang antara lain telah terjadi pengaturan mengenai subjek, objek, tarif, sanksi, dan pungutan pajak 138 paling kurang dalam garis-garis besar, termasuk pelimpahan pengaturan pelaksanaan garis-garis besar tersebut di dalam peraturan yang lebih rendah; Ø Bahwa pengaturan berdasarkan pendelegasian demikian sesuai dengan tata urutan peraturan perundang-undangan dalam praktik ketatanegaraan maupun Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Tata Urutan Peraturan Perundang- undangan; Ø Bahwa pendelegasian peraturan tersebut dapat dibenarkan berdasarkan pemikiran dalam menjalankan tata pemerintahan negara pengaturan tidak cukup hanya dengan Undang-Undang saja namun Undang-Undang dapat mendelegasikan kewenangan pengaturan kepada peraturan yang lebih rendah; Ø Bahwa sehubungan dengan Pasal 4 ayat (2), Pasal 17 ayat (7) Undang-undang merupakan kebijakan tertulis dan bersifat makro, umum, dan mendasar karena itu UU PPh dapat mewujudkan arah dan pelaksanaan kebijakan pemajakan atas suatu kategori penghasilan di Indonesia. Berdasar strukturnya terdapat tiga tipe pemajakan atas penghasilan yaitu global, unitary atau synthetic income tax systems yaitu memajaki semua kategori penghasilan dari berbagai sumber dari satu formula tarif dengan schedular atau analytical income tax systems yaitu memajaki berbagai kategori penghasilan dari berbagai sumber dengan berbagai formula tarif yang berbeda dengan maksud pembedaan beban pemajakan atas capital atau passive income yang umumnya lebih berat dibandingkan dengan active income termasuk penghasilan dari kekaryaan dan dual sticks atau composite audit income tax _systems; _ Ø Bahwa definisi objek pajak atau penghasilan secara umum paling kurang terdapat dua konsep yaitu recent concept , konsep pertambahan kemampuan ekonomis yang komprehensif sebagaimana terdapat dalam Pasal 4 ayat (1) UU PPh. Yang kedua adalah source concept , ini konsep kanalisasi kategori penghasilan. Menurut beberapa sumber secara limitatif sebagaimana terdapat dalam Pasal 2 huruf b ayat (1) Ordonansi Pajak Penghasilan 1944; Ø Bahwa di dalam UU PPh ini sekaligus ingin menerapkan dua konsep tadi, yaitu pemajakan secara global dan pemajakan secara scheduler , yaitu jenis-jenis penghasilan dikenakan satu formula tarif. Karena di dalam UU PPh ini dimunculkan Pasal 4 ayat (2) sehingga dengan demikian Pasal 4 ayat (2) ini merupakan suatu legal policy dan sekaligus internal policy daripada pembuat Undang-Undang untuk merumuskan sistem perpajakan tersebut; 139 Ø Bahwa aplikasi dari semangat flying the general cost ini terutama dalam pengaturan yang membutuhkan fleksibilitas yang tinggi dan kesigapan serta kecepatan bertindak atas beberapa kategori objek pajak dan masalah lain besaran tarif pajak maka dimunculkan sekaligus delegasi peraturan kepada Peraturan Pemerintah dalam Pasal 17 ayat (7) yang garis-garis besarnya tarif ini ada dirumuskan di situ dengan ketentuan maksimal adalah sebesar tarif menurut Pasal 31 yaitu 30% orang pribadi dan 20% wajib pajak badan; Ø Bahwa sehubungan dengan validitas hukum terdapat tiga elemen yang harus dijelaskan. Yang pertama adalah justice atau keadilan, yang kedua legal , yang ketiga adalah ekspediansi atau kegunaan atau kemanfaatan; Ø Bahwa pendelegasian pengaturan schedule yang bersifat final dalam bentuk peraturan pemerintah ini sekurang-kurangnya, berdasarkan prinsip ekspediensi yaitu ekspediensi pengaturan, kepastian penerimaan dan hukum pemajakan, kesederhanaan dan kemudahan, murahnya biaya transportasi dan kekuatan perpajakan serta kenyamanan bayar pajak dapat dibenarkan dan karenanya dapat dianggap cukup valid. Walaupun mungkin dirasa belum sepenuhnya sesuai dengan prinsip keadilan; Ø Bahwa dikatakan belum sepenuhnya memenuhi prinsip keadilan karena di dalam teori ada dua keadilan yaitu horisontal dan vertikal, walupun secara vertical lequited dapat diperdebatkan karena schedule tax system memang tujuannya adalah untuk memberikan sesuatu pembedaan pemajakan antara capital income termasuk bunga deposito dengan active income termasuk penghasilan dari jasa kekayaan; Ø Bahwa system final tax system pemajakakan dengan tarif tunggal sepadan dan final agar mudah dan sederhana memang sengaja mengesampingkan kompleksitas tarif progresif sebagai pewujudan dari prinsip vertical equaty , namun dari sisi horisontal equaty dan efisiensi of tax system ini schedule dengan tax system bagaimana diperkenalkan dalam Pasal 4 ayat (2) UU PPh,secara rasional dapat diterima; Ø Bahwa sehubungan dengan ketentuan di Pasal 4 ayat (2) huruf e yang menyebutkan penghasilan tertentu itu lainnya nampak pendelegasian itu bukannya tanpa batas; Ø Bahwa sebetulnya kepastian hukum dan terbatasnya ketentuan flying in the general cost dalam ayat tersebut dapat pada kata tertentu yang harus dibaca merujuk pada beberapa kriteria kategori penghasilan, yang dapat menjadi sasaran scheduler final _income tax system; _ 140 Ø Bahwa __ beberapa kriteria yang merupakan garis-garis besar ini ada di dalam penjelasan mengenai pajak penghasilan dapat mendorong investasi atas masyarakat; Ø Bahwa kesederhanaan pemungutan pajak atas penghasilan; Ø Bahwa efisiensi pemungutan pajak yaitu murahnya biaya administrasi dan kepatuhan pajak; Ø Bahwa pemerataan dalam pemungutan pajak dari semua wajib pajak penghasilan; Ø Bahwa terdapat pengaruh perkembangan ekonomi dan moneter dari pemajakan sebagaimana dimaksud. Dengan demikian hanya kategori penghasilan yang paling kurang memenuhi kelima syarat tersebut yang dibenarkan untuk dijadikan kategori penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) UU PPh; Ø Bahwa kategori penghasilan selain yang memenuhi persyaratan 5 tadi harus dimasukan dalam kelompok kategori penghasilan komprehensif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 yang menjadi sasaran dari _unitary tax system; _ Ø Bahwa sehubungan dengan Pasal 7 ayat (3) pemberian kelonggaran personal berupa pembebasan sejumlah penghasilan dari pengenaan pajak yang dihubungkan dengan wajib pajak dalam Pasal 7 UU PPh, yang dalam disebut sebagai penghasilan tidak kena pajak ini menunjukan karakteristik daripada penghasilan orang pribadi sebagai pajak obyektif personal; Ø Bahwa ada beberapa fungsi daripada P3P yang pertama adalah membebaskan kelompok small hard to tax income dari __ sistem PPh secara tidak langsung. Yang kedua efisiensi perpajakan dengan mengecualikan mereka dari pengenaan PPh dan NPWP serta serta menyampaikan SPT dan yang ketiga sistem pajak penghasilan membebaskan sebagian penghasilan sebesar dari semua wajib pajak orang pribadi dengan dari pengenaan pajak. Karena besaran PTKP akan mempengaruhi jumlah pajak yang terhutang bagi sebagian dan mengurangi penerimaan dan anggaran belanja negara sebesar penerimaan pajak dari sebagian yang lain, maka untuk kepastian hukum besaran nominal jumlah inisial TKP diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU PPh; Ø Bahwa sedangkan perubahannya ini karena menyangkut bidang tugas dari Menteri Keuangan ini maka didelegasikan pada Menteri keuangan dan sekaligus dasar policy dari pembuat Undang-Undang untuk kesalahan tersebut. Namun garis-garis besarnya juga diatur di dalam Undang-Undang yaitu; yang pertama setelah konsultasi dengan DPR karena akan mempengaruhi jumlah penerimaan pajak dan 141 penerimaannegara, yang kedua mempertimbangkan perkembangan ekonomi dan moneter dan ketiga perkembangan harga kebutuhan pokok setiap tahunnya; Ø Bahwa istilah perkembangan harga setiap tahunnya. Sepertinya membuka peluang besaran PTKP yang terjadi adalah perubahan kenaikan PTKP. Kenaikan PTKP ini akan mengurangi beban pajak, bukan menambah beban pajak masyarakat sehingga pengaturan kepada Menteri Keuangan tidak bertentangan dengan Pasal 23 UUD 1945; Ø Bahwa mengenai Pasal 14 ayat (1) dan Pasal 14 ayat (7) ini menyangkut norma penghasilan dapat disampaikan norma penghasilan ini adalah merupakan standar assesment {sic} yaitu tuntunan pada wajib pajak yang belum mampu untuk melaksanakan kewajiban pembukuan untuk melakukan kewajiban perpajakan dengan baik sesuai dengan prinsip self assesment. Dan ini karena namanya standar self assesment terkait. Jadi kemudahan kepada wajib pajak untuk tidak menggunakan pembukuan tapi harus menyelenggarakan catatan; Ø Bahwa dari catatan ini dirasa belum cukup memberikan suatu data dan informasi untuk menghitung penghasilan Netto kena pajak. Oleh karena itu penghasilan Netto kena pajaknya dihitung berdasarkan norma penghasilan, jadi sifatnya norma penghasilan ini memberikan satu kemudahan kepada wajib pajak; Ø Bahwa apa yang berlaku di sini adalah bukannya suatu pemajakan yang optimal tapi suatu adalah the theory of the second best . Jadi kalau tidak bisa terjadi pemajakan yang optimal maka dicarikan suatu kebijakan yang sub optimal, yaitu dengan pemberian norma penghitungan. Sehingga dengan demikian prinsip keadilan ini akan dikesampingkan. Jadi kalau wajib pajak ingin dapatkan keadilan yang penuh maka jangan memakai norma tetapi kembali kepada sistem yang pokok pada main row yaitu mengadakan pembukuan dan menghitung penghasilan kena pajaknya berdasarkan actual income menurut pembukuan. Dengan demikian akan tercapai adalah adanya suatu kesepakatan; Ø Bahwa karena norma ini setiap tahun perlu ada suatu perubahan sesuai dengan perubahan dan sebagainya, ini agak bersifat teknis maka kewenangan untuk mengadakan perubahan didelegasikan kepada Direktur Jenderal Pajak dan ini juga sudah sesuai dengan kaidah pembuatan Undang-Undang karena sudah secara bersama-sama disetujui antara Pemerintah dan DPR dalam membuat Undang- Undang; 142 Ø Bahwa sehubungan dengan Pasal 19 ayat (2) ini merupakan suatu policy yang akan ditempuh oleh perpajakan apabila terjadi suatu devaluasi atau suatu summary. Jadi suatu inflasi yang jumlahnya cukup besar. Untuk menghadapai hal yang sebenarnya ini didelegasikan kepada Menteri Keuangan sesuai dengan bidang pemerintahannya. Ini yang dilakukan sesuai dengan derevaluasi perketat dan indeksasi bea dan penghasilan; Ø Bahwa tarifnya sekaligus diberikan kepada wewenang kepada Menteri Keuangan, ini merupakan suatu intens policy dari para legislator dan di sini diberikan suatu garis-garis besar atau suatu kriteria yaitu tarifnya tersendiri tidak melebihi pajak tertinggi sebagaimana di maksud Pasal 19; Ø Bahwa di dalam teori ini akan terdapat suatu gejala tingkat inflasi ini akan menyebabkan keuntungan dari guidance ini __ akan menyebabkan suatu pembuncitan atau bouncing effect ini maka harus dihilangkan pembuncitan ini dengan suatu indeksasi; Ø Bahwa pendelegasian yang diberikan Menteri Keuangan itu kecenderungannya akan mengurangi jumlah penghasilan kena pajak sekaligus tarifnya juga dikurangkan untuk mengurangi over take action dari adanya suatu inflasi; Ø Bahwa delegasi pengaturan dalam Pasal 19 ayat (2) UU PPh ini sejalan dengan memberikan garis-garis besar yang jelas dan berpotensi pajak masyarakat; Ø Bahwa selain pengaturan tersebut legitimate juga dapat dikatakan tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945 karena justru akan meringankan beban pajak masyarakat; Ø Bahwa dalam Pasal 25 ayat (8) ini sifatnya sanksi policy karena ini berlaku sampai dengan akhir tahun 2010 dan ini merupakan cara lain di dalam sistem perpajakan; Ø Bahwa pajak atas penghasilan berdasarkan prinsip ability to pay bisa diukur juga selain dari penghasilan juga dari expediture. Jadi di sini Pasal 25 ayat (8) itu memperkenalkan suatu sistem pemajakan berdasarkan _expediture; _ Ø Bahwa hakekatnya pajak ini bersifat optional karena dapat dihindari apabila yang berpergian dimaksud mendaftarkan diri untuk ber-NPWP. Dengan demikian ketentuan ini berpotensi tidak menimbulkan beban pajak sehingga bukan kompetensi Pasal 23A UUD 1945; Ø Bahwa seandainya yang bersangkutan dengan berbagai alasan kurang suka berurusan dengan NPWP sehingga suka membayar beban pajak secara sistematis menurut Pasal 24 ayat (1) mengenai Pajak ini bukan merupakan beban final tetapi 143 sebagai angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan,yang menurut Pasal 28 ayat (1) huruf e dapat dikreditkan dengan utang pajak yang bersangkutan dalam tahun pajak tersebut; Ø Bahwa dengan demikian pembayaran pajak menurut Pasal 25 ayat (8) merupakan bagian dari pungutan pajak penghasilan yang diatur dalam UU PPh Tahun 2008 atas kuasa Pasal 23 UUD 1945; Ø Bahwa betapa kurang mudahnya untuk mengalami peraturan perundang-undang pajak sehingga sedikit orang dapat memahami peraturan perpajakan tetapi banyak orang mengetahui apa yang kurang benar dengan peraturan perpajakan;
Ahli Pemerintah Abdul Hakim Garuda Nusantara. S.H., LL.M. Ø Bahwa dalam surat permohonannya Pemohon tidak menguraikan secara jelas dalam hal apa dan dalam situasi yang seperti apa, pasal-pasal a quo dapat mengancam kehormatan, martabat dan harta benda Pemohon. Pemohon hanya mengatakan secara umum pasal-pasal a quo melanggar Pasal 28G ayat (1), padahal sebagaimana dikemukakan di atas pasal-pasal a quo memberikan delegasi wewenang kepada pemerintah justru untuk menjalankan amanah yang diperintahkan oleh Undang-Undang a quo yang merupakan hasil kesepakatan bersama Pemerintah dan DPR-RI; Ø Bahwa pasal-pasal a quo justru untuk memberikan kepastian hukum yang adil kepada setiap wajib pajak, itu berarti perlindungan tiap wajib pajak dari perlakuan sewenang-wenang dari aparat pemerintah, itu berarti pula sejalan dengan Pasal 28D ayat (1). Dan dengan demikian sejalan dengan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945; Ø Bahwa Pemohon tidak pula menjelaskan dalam hal bagaimana dan dalam situasi seperti apa hak-hak Pemohon sebagaimana tertuang dalam Pasal 28G ayat (1) dilanggar; Ø Bahwa Pemohon dalam surat permohonannya tidak menjelaskan dalam hal apa dan bagaimana pasal-pasal a quo dalam Undang-Undang a quo telah melanggar atau bertentangan dengan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945; Ø Bahwa Pasal-Pasal a quo dalam Undang-Undang a quo tidak mengandung substansi hukum yang dapat digunakan sebagai dasar untuk melarang wajib pajak mempunyai hak milik atau bahkan mengambil alih miliknya secara sewenang- wenang. Pasal-Pasal a quo sekali lagi justru merupakan pelaksanaan amanah yang diperintahkan oleh Undang-Undang a quo , yang merupakan dasar hukum bagi 144 negara yaitu pemerintah untuk mengenakan pajak kepada wajib pajak. Jadi, tidak benar bila pembebanan pajak kepada wajib pajak yang didasarkan kepada undang- undang dan peraturan perundang-undangan yang jelas, dinilai sebagai mengambil alih hak milik wajib pajak secara sewenang-wenang. Ini jelas keliru dan menyesatkan. Undang-Undang dan Peraturan Perundang-undangan yang jelas sebagaimana tertuang dalam Pasal-Pasal a quo dalam Undang-Undang a quo justru dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum yang adil bagi setiap wajib pajak. Karena itu Pasal-Pasal a quo dalam Undang-Undang a quo tidak melanggar Pasal 28H ayat (4) UUD 1945; Ø Bahwa bila pasal-pasal a quo dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan oleh MK dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum, maka akibatnya sudah sangat jelas yaitu tidak ada dasar hukum yang memadai bagi Dirjen Pajak untuk mengenakan pajak kepada para wajib pajak. Yang akibat lebih jauhnya adalah merosotnya pendapatan negara dari pajak. Bila hal itu terjadi, maka kemampuan negara untuk mengadakan dan membiayai pelayanan masyarakat (publik) seperti, pembangunan dan pemeliharaan fasilitas publik, seperti, jalan, irigasi, pendidikan, kesehatan, perumahan, dan lain sebagainya akan merosot pula. Padahal pengadaan dan pemeliharaan fasilitas-fasilitas umum itu sangat vital dan esensial bagi pemenuhan hak-hak asasi manusia utamanya hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya; Ø Bahwa berkenaan dengan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya itu UUD 1945, antara lain, mengatur sebagai berikut :
Pasal 28A: “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.” b. Pasal 28C ayat (1): “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.” c. Pasal 28D ayat (2): “ Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.” d. Pasal 27 (2) : “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.” 145 e. Pasal 28H ayat (1): “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” f. Pasal 28H ayat (3): “Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia bermartabat.” g. Pasal 28I ayat (3): “ Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.” h. Pasal 28I ayat (4): “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.”; Ø Bahwa selain hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya yang tertuang dalam Pasal 28 UUD 1945 tersebut di atas, pemerintah mempunyai kewajiban di bawah hukum internasional, yakni Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya yang sudah diratifikasi oleh Republik Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005; Ø Bahwa berdasarkan ketentuan hukum internasional itu, Pemerintah mempunyai kewajiban untuk memenuhi hak-hak ekonomi, sosial dan budaya sebagai berikut: - Hak atas pekerjaan, hak untuk menikmati kondisi kerja yang adil dan menguntungkan, hak-hak serikat pekerjaan, hak atas jaminan sosial dan asuransi sosial, hak-hak keluarga, hak atas standar kehidupan yang layak, hak untuk menikmati standar tertinggi kesehatan fisik dan mental, hak atas Pendidikan, hak atas kehidupan budaya dan manfaat kemajuan ilmu pengetahuan. Ø Bahwa dalam kutipan Pasal 28 UUD 1945 dan Pasal 6 sampai dengan Pasal 15 Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, negara, yakni pemerintah merupakan pihak yang dibebani kewajiban untuk melindungi, memajukan, menegakan dan pemenuhan HAM, yaitu dalam hal ini hak-hak ekonomi, sosial dan budaya; Ø Bahwa pemerintah jelas membutuhkan biaya yang besar untuk pengadaan dan pemeliharaan fasilitas umum seperti infrastruktur jalan, irigasi, fasilitas-fasilitas pendidikan, kesehatan, dan perumahan, yang selain dapat membuka lapangan kerja juga untuk memenuhi hak-hak rakyat atas pelayanan kesehatan, pendidikan, sosial lainnya; Ø Bahwa Pemerintah memerlukan biaya yang besar pula untuk fasilitasi program- program pengembangan kebudayaan masyarakat; 146 Ø Bahwa bila pasal-pasal a quo dalam Undang-Undang a quo dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum akan membawa akibat tidak ada dasar hukum yang memadai bagi pemerintah untuk mengenakan pajak penghasilan bagi wajib pajak dan akibat lanjutannya merosotnya pendapatan negara dari sektor pajak yang hal itu akan membuat kemampuan pemerintah untuk memenuhi hak-hak asasi manusia yaitu hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya menjadi merosot pula. Ini akan membawa akibat terabaikannya bahkan terlanggarnya hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya rakyat;
Ahli Pemerintah Prof. Anna Erliyana, S.H., M.H. Ø Bahwa Pemohon mengajukan empat pasal dari UUD 1945, yaitu Pasal 23A, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28H ayat (4); Ø Bahwa berkenaan dengan Pasal 23A teori-teori pajak sangat menunjang pasal ini karena pada intinya pajak itu sumber pembangunan untuk Pemerintah. Jadi dengan upaya paksa pemerintah dibolehkan untuk memungut pajak karena tanpa pajak tidak akan ada finance untuk public goods dan service seperti penerangan jalan maupun kebersihan secara umum; Ø Bahwa pemungutan pajak pada intinya bergantung pada pendapatan, jadi tidak mungkin orang yang tidak punya pendapatan akan dipajaki dan orang yang mempunyai pendapatan dengan tingkat pendapatan tertentu baru bisa dipajaki. Sedangkan Pasal 28D ayat (1) itu mengenai jaminan perlindungan hukum berdasarkan Undang-Undang Perpajakan itu sudah ada jaminan perlindungan hukum bagi setiap warga negara; Ø Bahwa Pasal 28G ayat (1) itu intinya adalah hak atas rasa aman. Kalau ditelusuri hak atas aman itu sangat erat kaitannya dengan konsep-konsep yang tercantum dalam Undang-Undang Pidana khususnya KUHP dan sepuluh hak atas rasa aman yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999. Jadi di situ kaitannya adalah ketentuan-ketentuan pidana bagaimana seseorang rasa amannya terganggu karena ada ancaman pembunuhan, ada ancaman penganiayaan, ada ancaman kesusilaan, ada pencemaran nama baik, dan seterusnya. Jadi tidak ada kaitannya dengan ketentuan-ketentuan Undang-Undang Perpajakan; Ø Bahwa pajak itu masuk dalam kaitannya dengan hukum publik. Yang sangat menarik di situ yang disoroti adalah macam kewenangan hukum publik di bidang legislatif dan eksekutif. Legislatif dan eksekutif selalu bekerja sama, dalam arti tidak 147 ada satu perundang-undangan yang diterbitkan oleh lembaga legislatif yang bisa dilaksanakan tanpa bantuan eksekutif. Legislatif menerbitkan undang-undang dengan materi dengan membentuk Undang-Undang dengan penciptaan hukum sedangkan eksekutif bisa menteri dengan materi dan menciptakan hukum baru yang masih bersifat umum dan abstrak; Ø Bahwa Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 memberikan delegasi untuk mengatur lebih lanjut Undang-Undang Perpajakan dalam bentuk Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Keuangan, dan Peraturan Direktur Dirjen Pajak. Dari 15 pasal-pasal itu baru tujuh ada peraturan pelaksanaannya. Kemudian dari 15 itu juga, dua seharusnya tidak dimasukan dalam pengujian yaitu Pasal 17 ayat (2a) karena tidak mengatur lebih lanjut. Sedangkan Pasal 7 ayat (3) pernah dilakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi pada 20 Mei 2009; Ø Bahwa delegasi peraturan ada 19 (sembilan belas) ketentuan ternyata dari 19 (sembilan belas) ketentuan baru 4 (empat) PP yang terbit. Dan selanjutnya dapat mencermati Pasal 4 ayat (2), karena dari 15 pasal yang diajukan pengujian ini yang paling penting adalah Pasal 4 ayat (2) karena ini erat kaitannya dengan legal standing Pemohon. Apakah Pemohon melampirkan;
Penghasilan berupa bunga deposito tabungan, obligasi dan b. Surat utang negara, penghasilan berupa hadiah undian, c. Penghasilan dari transaksi saham dan seterusnya sampai d. Jadi legal standing Pemohon dapat terlihat titik tumpunya pada Pasal 4 ayat (2); Ø Bahwa delegasi peraturan berikutnya adalah melalui Peraturan Menteri Keuangan meliputi 31 ketentuan dan baru diterbitkan dua. Sehubungan dengan Pasal 7 ayat (3) dan Pasal 22 ayat (2); Ø Bahwa pemerintah sebetulnya masih malas mengatur lebih lanjut, demikian juga delegasi peraturan menyebut Direktur Jenderal Pajak meliputi delapan ketentuan, baru terbit satu yaitu berdasarkan Pasal 14 ayat (1); Ø Bahwa dari seluruh peraturan pelaksana yang terbit, itu pun setelah dicermati lagi separuh atau sebagian besar terbit bukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, artinya peraturan yang lahir lebih lama lagi; Ø Bahwa delegasi kewenangan itu memang penting sekali dalam pelaksanaan ketatanegaraan dan pelaksanaan pemerintahan; 148 Ø Bahwa ada pleksibiliti, peraturan yang dibuat pemerintah lebih luwes dibanding peraturan yang dibuat badan legislatif. Kemudian juga ada time Phrasal {sic} pemerintah perlu segera melaksanakan berbagai urusan pemerintahan; Ø Bahwa dalam hukum pajak inilah sebenarnya diantara berbagai cabang hukum administrasi negara, maka hukum pajak adalah keterwakilan yang paling ke depan karena dia mencerminkan un an codified branch and civil law system. Karena akan terasa sekali dalam hukum pajak itu kebertingkatan atau hierarkis peraturan itu bisa diterapkan; [2.5] Menimbang bahwa Pemohon telah menyampaikan Kesimpulan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 26 Januari 2010 yang pada pokoknya tetap pada dalil permohonannya; [2.6] Menimbang bahwa Pemerintah telah menyampaikan Kesimpulan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 26 Januari 2010 yang pada pokoknya tetap pada dalil permohonannya; [2.7] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian putusan ini, maka segala sesuatu yang terjadi dipersidangan cukup ditunjuk dalam Berita Acara Persidangan dan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan Putusan ini. 149 3 . PERTIMBANGAN HUKUM [3.1] Menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan a quo ialah menguji konstitusionalitas Pasal 4 ayat (2), Pasal 17 ayat (7), Pasal 7 ayat (3), Pasal 14 ayat (1), Pasal 14 ayat (7), Pasal 17 ayat (2), Pasal 17 ayat (2) huruf a, Pasal 17 ayat (2) huruf c, Pasal 17 ayat (2) huruf d, Pasal 17 ayat (3), Pasal 19 ayat (2), Pasal 21 ayat (5), Pasal 22 ayat (1) huruf c, Pasal 22 ayat (2), dan Pasal 25 ayat (8) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893, selanjutnya disebut UU 36/2008 juncto UU Nomor 17/2000 juncto UU Nomor 10/94 juncto UU Nomor 7/91 juncto UU Nomor 7/83) terhadap Pasal 23A, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945; [3.2] Menimbang bahwa sebelum memasuki pokok permohonan, Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) terlebih dahulu akan mempertimbangkan:
kewenangan Mahkamah untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan _a quo; _ b. kedudukan hukum ( legal standing ) para Pemohon; Terhadap kedua hal tersebut di atas, Mahkamah berpendapat sebagai berikut; Kewenangan Mahkamah [3.3] Menimbang bahwa menurut Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316, selanjutnya disebut UU MK) juncto Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076), Mahkamah berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang- Undang terhadap UUD 1945; 150 [3.4] Menimbang bahwa permohonan Pemohon adalah untuk menguji konstitusionalitas norma Pasal 4 ayat (2), Pasal 17 ayat (7), Pasal 7 ayat (3), Pasal 14 ayat (1), Pasal 14 ayat (7), Pasal 17 ayat (2), Pasal 17 ayat (2) huruf a, Pasal 17 ayat (2) huruf c, Pasal 17 ayat (2) huruf d, Pasal 17 ayat (3), Pasal 19 ayat (2), Pasal 21 ayat (5), Pasal 22 ayat (1) huruf c, Pasal 22 ayat (2), dan Pasal 25 ayat (8) UU 36/2008 terhadap Pasal 23A, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945, sehingga oleh karenanya Mahkamah berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a quo ; Kedudukan Hukum ( Legal Standing ) [3.5] Menimbang bahwa Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia (Bukti P-3) yang juga adalah seorang akademikus (Bukti P-4) yang dikenakan beban kewajiban membayar pajak penghasilan sebagaimana yang diatur dalam UU 36/2008 juncto UU Nomor 17/2000 juncto UU Nomor 10/94 juncto UU Nomor 7/91 juncto UU Nomor 7/83 Pemohon merasa sangat berkepentingan dan dirugikan hak konstitusionalnya oleh sejumlah materi/muatan dalam pasal-pasal yang dimohonkan pengujian a quo karena: • Pengenaan pajak secara final sebesar 20% untuk deposito yang diatur dalam PP Nomor 131 Tahun 2000; • Pemohon merasa berdosa telah mengajarkan sesuatu yang salah karena UU Pajak Penghasilan bertentangan dengan UUD 1945; • Pelimpahan pengaturan itu menyebabkan Pemohon tidak dapat menentukan atau mengatur sendiri (melalui DPR) mengenai pajak; • Jika ini dikabulkan maka warga negara tidak akan dirugikan; [3.6] Bahwa pasal-pasal a quo karena didelegasikan lebih lanjut kepada peraturan perundang-undangan yang lebih rendah, maka sangat merugikan Pemohon, yaitu hak konstitusional Pemohon yang dijamin oleh Pasal 23A, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 telah dilanggar. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas maka Pemohon mempunyai kedudukan hukum ( legal standing ). 151 Pokok Permohonan [3.7] Menimbang bahwa pasal-pasal yang dimohonkan pengujian a quo telah merugikan hak-hak konstitusional Pemohon: a. Pasal 4 ayat (2) _”Penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final: _ _a. penghasilan berupa bunga deposito ...; _ _b. penghasilan berupa hadiah undian ...; _ _c. penghasilan dari transaksi saham ...; _ _d. penghasilan dari transaksi pengalihan harta ...; dan _ _e. penghasilan tertentu lainnya; _ yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.” __ b. Pasal 17 ayat (7) __ ”Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan tarif pajak tersendiri atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi sebagaimana tersebut pada ayat (1).” c. Pasal 7 ayat (3) __ ”Penyesuaian besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan setelah dikonsultasikan dengan Dewan Perwakilan Rakyat.” d. Pasal 14 ayat (1) __ ”Norma Penghitungan Penghasilan Netto untuk menentukan penghasilan Netto, dibuat dan disempurnakan terus-menerus serta diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak.” e. Pasal 14 ayat (7) __ ”Besarnya peredaran bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan.” f. Pasal 17 ayat (2) __ ”Tarif tertinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diturunkan menjadi paling rendah 25% (dua puluh lima persen) yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.” __ __ 152 g. Pasal 17 ayat (2) huruf a __ ”Menurunkan tarif pajak tertinggi menjadi paling rendah 25% dengan Peraturan Pemerintah.” h. Pasal 17 ayat (2) huruf c __ ”Tarif yang dikenakan atas penghasilan berupa dividen yang dibagikan kepada Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri adalah paling tinggi 10% (sepuluh persen) dan bersifat final.” i. Pasal 17 ayat (2) huruf d: __ ”Ketentuan lebih lanjut mengenai besarnya tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c diatur dengan Peraturan Pemerintah.” j. Pasal 17 ayat (3): ”Besarnya lapisan Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan.” k. Pasal 19 ayat (2): ”Atas selisih penilaian kembali aktiva sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterapkan tarif pajak tersendiri dengan Peraturan Menteri Keuangan sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1).” l. Pasal 21 ayat (5): ”Tarif pemotongan atas penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tarif pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) kecuali ditetapkan lain dengan Peraturan Pemerintah.” m. Pasal 22 ayat (1) huruf c: ”Menteri Keuangan dapat menetapkan: Wajib Pajak badan tertentu untuk memungut pajak dari pembeli atas penjualan barang yang tergolong sangat mewah.” n. Pasal 22 ayat (2): ”Ketentuan mengenai dasar pemungutan, kriteria, sifat dan besarnya pungutan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.” __ __ __ 153 o. Pasal 25 ayat (8): ”Bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak dan telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun yang bertolak ke luar negeri wajib membayar pajak yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.” Pasal-pasal tersebut di atas telah menyebabkan kerugian konstitusional Pemohon karena: • Penetapan pajak harus dengan Undang-Undang bukan dengan peraturan yang lebih rendah (Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Keuangan, Keputusan Menteri Keuangan, Direktur Jenderal Pajak); • Tidak memenuhi unsur materi pajak, karena peraturan di bawah Undang- Undang tidak dapat menetapkan subjek, objek, beban dan sanksi pajak; • Pengenaan pajak tanpa persetujuan DPR adalah perampokan, karenanya harus diatur dalam Undang-Undang; • PP 131/2000 tidak adil karena tidak membedakan antara yang kaya dengan yang miskin; • Pangaturan tarif pajak dengan PP tidak menjamin kepastian hukum yang adil; Pasal-pasal tersebut di atas bertentangan dengan UUD 1945: • Pasal 23A __ ”Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur _dengan Undang-Undang”; _ • Pasal 28D ayat (1) ”Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum” ; • Pasal 28G ayat (1) __ ”Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat _sesuatu yang merupakan hak asasi”; _ • Pasal 28H ayat (4) __ ”Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak _boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun”; _ __ 154 [3.8] Menimbang bahwa untuk mendukung dalil-dalilnya, Pemohon telah mengajukan bukti-bukti tertulis (Bukti P-1 sampai dengan Bukti P-5) dan dua orang ahli, yaitu Drs. Abi Kusno, M.M. dan Prof. Dr. Mohammad Zein yang pada pokoknya memberikan keterangan sebagai berikut:
Ahli Drs. Abi Kusno, MM. Ø bahwa berdasarkan Pasal 23A UUD 1945, pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dalam Undang-Undang. Tetapi memang secara eksplisit tidak dijelaskan lebih lanjut bagaimana cara penetapannya. Masalah yang dihadapi sekarang, Undang-Undang Pajak yang berlaku adalah Undang- Undang yang terbaru tahun 2008 yang memberikan pendelegasian wewenang yang sangat besar kepada Pemerintah untuk menetapkan tarif pajak, subjek pajak dan objek pajak, karena kewenangan ini sangat luas diberikan kepada Pemerintah, inilah yang dapat menimbulkan kerugian seperti yang disebutkan oleh Pemohon;
Ahli Prof. Dr. Mohammad Zein Ø bahwa keadilan dalam perpajakan itu adalah masalah pertimbangan nilai (value judgement), sehingga tidaklah mungkin untuk melakukan suatu scientific validity terhadap keadilan. Dalam Undang-Undang Perpajakan terlihat lebih banyak diatur oleh Pemerintah, karena DPR seolah memberi kuasa kepada Pemerintah untuk mengatur segala sesuatunya. Pengaturan itu, karena keadaan, tidak disertai rambu- rambu yang jelas. Hal yang dianggap kurang adil adalah pajak penghasilan yang final, seolah-olah wajib pajak hilang haknya untuk menghitung pajak berdasarkan pembukuannya. Hal ini tidak dipersoalkan apakah wajib pajak memperoleh laba atau rugi, tetap saja harus bayar pajak. Bahwa wajib pajak kehilangan haknya untuk melakukan pengkreditan pajak-pajak yang dibayarkan terlebih dahulu; [3.9] Menimbang bahwa Pemerintah menyadari bahwa yang akan diuji adalah terbatas pada apakah suatu Undang-Undang, sebagian atau seluruhnya, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar atau tidak; khususnya apabila pengujian yang dimohonkan adalah pengujian isi atau muatan Undang-Undang, atau yang disebut sebagai pengujian materiil, seperti permohonan pengujian yang sedang diajukan oleh Pemohon. 155 Rumusan Undang-Undang pada umumnya lebih memusatkan perhatian pada kerangka dan garis besar kebijakan yang bersifat mendasar dalam menjalankan roda dan fungsi-fungsi pemerintahan sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Pengaturan yang lebih lanjut dari suatu kebijakan dalam Undang-Undang diatur oleh Pemerintah atau lembaga pelaksana Undang-Undang lainnya dalam bentuk peraturan perundang- undangan yang lebih rendah. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya”. Namun karena kewenangan legislatif itu pada intinya ada di tangan rakyat yang berdaulat maka kewenangan untuk membentuk peraturan pelaksana Undang-Undang juga harus dipahami berasal dari rakyat. Untuk itu Pemerintah dan lembaga pelaksana Undang-Undang lainnya tidak menetapkan sesuatu peraturan perundang-undangan apapun kecuali atas dasar perintah atau delegasi kewenangan mengatur yang diberikan oleh DPR melalui Undang-Undang. Dapat dipahami bersama UU 36/2008 juga dibuat oleh DPR yang merupakan representasi dari seluruh warga negara bersama dengan Pemerintah yang telah menyepakati adanya pendelegasian kewenangan atributif kepada peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang termasuk melalui pasal-pasal yang saat ini diajukan pengujian materinya; UU 36/2008 juga sama sekali tidak memuat suatu larangan ataupun pengurangan hak dari wakil-wakil Pemohon di DPR untuk mengatur mengenai pajak. Oleh karena itu sangat tidak beralasan apabila Pemohon menyatakan bahwa pasal- pasal UU 36/2008 yang dimohonkan pengujian bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945. Oleh karena itu pelimpahan wewenang lebih lanjut oleh UU 36/2008 in casu tentang pengaturan perpajakan adalah norma yang merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk Undang-Undang yang tidak dapat diuji kecuali dalam pembahasannya terdapat muatan yang bersifat sewenang-wenang ( willekeur ) dan melampaui kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang yang berlaku atau semena-mena ( detournement de pouvoir ); [3.10] Menimbang bahwa untuk memperkuat dalil-dalilnya, Pemerintah mengajukan Ahli yang memberikan keterangan pada pokoknya sebagai berikut: 156 1. Ahli Prof. Dr. Philipus M. Hadjon, S.H. Ø bahwa pendelegasian wewenang merupakan hal yang lazim sekali apabila dikaitkan dengan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 17 ayat (7) UU 36/2008. Pendelegasian di sini bukan pendelegasian penetapan tarif karena tarifnya sudah diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UU 36/2008, yang didelegasikan itu adalah suatu diskresi. Konsep diskresi itu karena ada kata “dapat”, jadi dalam Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara kalau kewenangan itu diawali dengan kata “dapat” itu menunjukkan diskresi. Bagi yang berwenang dalam bidang ini mempunyai pilihan untuk menentukan isi yang berkaitan dengan tarif, akan tetapi di sini bukan delegasi blanko, karena ada batasannya. Sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi, sebetulnya delegasi ini tidak melanggar ketentuan UUD 1945, sedangkan yang dipermasalahkan oleh Pemohon terhadap PP Nomor 131 Tahun 2000, dalam hal ini yang berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah UUD 1945 adalah Mahkamah Agung, bukan Mahkamah Konstitusi. Jadi tidak pada tempatnya kalau mempermasalahkan konstitusionalitas PP. Persoalan PP bukan persoalan konstitusionalitas tetapi persoalan legalitas, dan parameternya adalah Undang-Undang dan bukan parameter UUD 1945;
Ahli Drs. A. Anshari Ritonga, S.H., M.H. Ø bahwa sekarang pendelegasian yang diberikan dalam Undang-Undang semua tercantum dalam pasal-pasal tersebut sesuai dengan fungsi DPR. Pasal 20 UUD 1945 menyatakan bahwa DPR mempunyai hak budget dan mempunyai hak legislasi, atau sebagai pembentuk Undang-Undang. Pelaksanaan kewenangan DPR untuk membentuk Undang-Undang tentu sudah didasarkan pada kajian atas segala dampak dan kemungkinan, sehingga dilaksanakanlah pendelegasian tersebut. Hal ini sesuai dengan Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 ( sic ). Oleh karena itu adanya pendelegasian wewenang dari Undang-Undang kepada Pemerintah untuk menetapkan melalui Peraturan Pemerintah dan/atau Peraturan Menteri Keuangan, sebenarnya sudah sejalan dengan norma hukum atau sumber hukum dan tata perundang-undangan yang berlaku di Indonesia;
Ahli Prof. Dr. Gunadi, M.Sc. Ak. Ø bahwa pembuatan peraturan untuk berbagai masalah memerlukan fleksibilitas tinggi, kesigapan dan kecepatan bertindak, walaupun pada umumnya Undang- 157 Undang Pajak yang disusun bagi wajib pajak, transaksi kena pajak, tarif pajak, sanksi dan pemungutan. Namun berdasar delegasi dalam konstitusi terutama Undang-Undang Pajak itu sendiri lembaga eksekutif dapat membuat peraturan pelaksanaan; Ø bahwa yang dapat diatur termasuk ketentuan detail berdasar delegasi Undang- Undang, prosedur dan tata cara administrasi untuk menjalankan ketentuan Undang- Undang; Ø bahwa setelah delegasi pengaturan demikian, sepertinya menunjukkan adanya suatu ketidakpastian ( indefiniteness ) atau kekuranglengkapan ( incompleteness ) dalam pengaturan perpajakan. Kekuranglengkapan ini umumnya dapat dianggap sebagai suatu intentional policy atau kebijakan yang diinginkan oleh para pembuat Undang-Undang dan proses demikian disebut flying in the general clause. Ini berlaku baik di negara penganut common law maupun di negara penganut sistem kontinental; Ø bahwa pendelegasian pengaturan schedule yang bersifat final dalam bentuk Peraturan Pemerintah ini sekurang-kurangnya berdasarkan prinsip ekspediensi, yaitu ekspediensi pengaturan, kepastian penerimaan dan hukum pemajakan, kesederhanaan dan kemudahan, murahnya biaya transportasi dan kekuatan perpajakan, serta kenyamanan bayar pajak dapat dibenarkan dan karenanya dapat dianggap cukup valid, walaupun mungkin dirasa belum sepenuhnya sesuai dengan prinsip keadilan;
Ahli Abdul Hakim Garuda Nusantara, S.H., LL.M. Ø bahwa bila pasal-pasal dalam Undang-Undang a quo dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum akan membawa akibat tidak ada dasar hukum yang memadai bagi Pemerintah untuk mengenakan pajak penghasilan bagi wajib pajak, dan akibat lanjutannya merosotnya pendapatan negara dari sektor pajak. Hal itu akan membuat kemampuan pemerintah untuk memenuhi hak-hak asasi manusia, yaitu hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya menjadi merosot pula. Ini akan membawa akibat terabaikannya bahkan terlanggarnya hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya rakyat;
Ahli Prof. Anna Erliyana, S.H., M.H. Ø bahwa hukum pajak itu masuk dalam kelompok hukum publik yang mengatur hubungan hukum antara penguasa dengan rakyatnya. Hal yang sangat menarik, di 158 situ yang disoroti adalah macam kewenangan hukum publik di bidang legislatif dan eksekutif. Legislatif (DPR) dan eksekutif (Presiden) selalu bekerja sama, dalam arti tidak ada satu perundang-undangan yang diterbitkan oleh lembaga legislatif yang dapat dilaksanakan tanpa bantuan eksekutif. Legislatif membentuk Undang-Undang dengan menciptakan hukum baru, sedangkan eksekutif, misalnya menteri, dapat menciptakan hukum baru yang masih bersifat umum dan abstrak; [3.11] Menimbang bahwa salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945, bukan menguji Peraturan Pemerintah. Oleh karena permohonan Pemohon adalah keberatan terhadap Peraturan Pemerintah maka permohonan Pemohon yang berkenaan dengan Peraturan Pemerintah tidak termasuk kewenangan Mahkamah Konstitusi; Pendapat Mahkamah [3.12] Menimbang bahwa Mahkamah telah memeriksa dan menilai bukti-bukti surat serta keterangan ahli dari Pemohon dan Pemerintah serta kesimpulan Pemohon dan Pemerintah yang diterima Mahkamah, maka Mahkamah akan mempertimbangkan dua isu hukum yaitu: • Apakah pendelegasian wewenang penetapan pajak oleh Undang-Undang kepada peraturan yang lebih rendah bertentangan dengan hukum; • Apakah kerugian konstitusional Pemohon diakibatkan oleh bentuk peraturannya yang bukan Undang-Undang ataukah karena substansi peraturan yang lebih rendah dari Undang-Undang; [3.13] Menimbang bahwa sebelum menjawab dua isu pokok tersebut di atas Mahkamah akan mengemukakan tugas dan kewajiban negara kesejahteraan ( welfare state ) atau negara hukum materiil serta dalam rangka memenuhi tuntutan masyarakat. Bahwa fungsi hukum dalam upaya mewujudkan kesejahteraan umum telah tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan, “ Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang 159 berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia ”; Terdapat dua hal penting dalam kutipan tersebut di atas, yaitu prinsip ‘ the rule of law ’ dan prinsip ‘fungsi hukum’ ( legal function ). Masalahnya adalah bagaimana dalam rangka mencapai tujuan tersebut di atas, kedua prinsip tersebut dapat berjalan seimbang, artinya dalam masyarakat yang serba kompleks ini prinsip the rule of law tetap menjadi landasan dalam upaya mencapai tujuan negara yang harus memenuhi kepentingan umum secara efisien, cepat dan pantas ( sensibly ). The welfare and regulatory state is state commited to programs, government is a problem solver, as well as the guardian of law. Kenyataannya, semakin negara dapat memenuhi tuntutan ( demands) masyarakat semakin bertambah pula tuntutan masyarakat yang acap kali tidak seimbang dengan kemampuan negara untuk memenuhinya ( state action creates expectation, demands increase faster than the systems’s ability to meet them ). Harapan masyarakat tumbuh secara konstan. Pola pertumbuhan ekspektasi masyarakat seperti halnya pola pertumbuhan kepentingan sangat sulit berubah, hal ini seringkali menuju pada situasi keadaan kritis sehingga ‘ modern welfare state is ungovernable’ . Meningkatnya harapan masyarakat secara eksesif tidak selalu dapat dipenuhi oleh negara, seiring pula dengan tidak selalu tersedianya kebutuhan negara akan peraturan perundang-undangan sebagai sarana dan landasan pemenuhan tuntutan masyarakat tersebut. Seringkali lahir suatu peraturan perundang-undangan yang lebih rendah mendahului lahirnya Undang-Undang, misalnya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975 tentang Ketentuan-ketentuan mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah, Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum telah lahir lebih dahulu dari Undang-Undang tentang Hak Milik. Padahal baik ketentuan pembebasan tanah maupun pengadaan tanah seringkali menyangkut hak milik atas tanah yang seharusnya menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok-Pokok Agraria. Hal itu semata-mata untuk memenuhi kebutuhan negara mendapatkan landasan hukum yang diperlukan, karena proses pembentukan peraturan di bawah Undang-Undang lebih cepat dibandingkan proses pembentukan Undang-Undang. Melalui pendelegasian wewenang kepada peraturan yang lebih rendah ( delegated regulations ), maka tercapainya tujuan ( doelmatigheid ) untuk memenuhi tuntutan masyarakat menjadi hal yang diutamakan. Pendelegasian wewenang tersebut merupakan hal yang lazim dan 160 dibolehkan dalam penyelenggaraan negara, oleh sebab itu tidak bertentangan dengan hukum; [3.14] Menimbang bahwa ketentuan hukum dalam Peraturan Pemerintah harus tetap memenuhi asas-asas pemerintahan yang baik dan bersih sebagaimana dimaksud oleh Pasal 5 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, antara lain tidak boleh melanggar asas keterbukaan, kepastian hukum, dan keadilan. Bahwa kerugian yang Pemohon alami dengan diberikannya kewenangan oleh UU 36/2008 kepada Pemerintah, Menteri Keuangan, dan Direktur Jenderal Pajak adalah karena Pemohon sebagai warga negara (melalui DPR) tidak dapat menentukan pengaturan atas pajak sebagaimana yang dikehendaki oleh UUD 1945 tidak beralasan hukum. Pembuatan Peraturan Pemerintah pun tidak lepas dari pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat. Pemohon sendiri sebagai warga negara tidak dapat langsung menentukan pajaknya, karena yang mempunyai wewenang legislasi adalah Dewan Perwakilan Rakyat; [3.15] Menimbang bahwa atas dasar pemikiran demikian, maka Mahkamah menilai: __ [3.15.1] Bahwa pendelegasian wewenang Undang-Undang untuk mengatur lebih lanjut oleh peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya adalah suatu kebijakan pembentuk Undang-Undang yakni DPR dengan persetujuan Pemerintah ( legal policy ), sehingga dari sisi kewenangan kedua lembaga itu tidak ada ketentuan UUD 1945 yang dilanggar, artinya produk hukumnya dianggap sah. Pengaturan lebih lanjut dalam bentuk Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri Keuangan dan Keputusan Direktur Jenderal Pajak, di samping untuk memenuhi kebutuhan Pemerintah dengan segera supaya ada landasan hukum yang lebih rinci dan operasional, sekaligus juga merupakan diskresi yang diberikan oleh Undang- Undang kepada Pemerintah yang dibenarkan oleh hukum administrasi. Dengan demikian maka pasal-pasal yang diuji konstitusionalnya tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945, sehingga dalil Pemohon tidak beralasan hukum. [3.15.2] Bahwa isu hukum kerugian konstitusional terkait dengan pengenaan pajak sebagai akibat pengaturan dengan peraturan di bawah Undang-Undang (Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Keuangan dan Keputusan Direktur Jenderal Pajak), tidaklah beralasan hukum, karena pelimpahan pengaturan tersebut merupakan delegasi kewenangan yang sah. Selain itu, pengujian terhadap peraturan tersebut bukanlah kewenangan konstitusional Mahkamah. Memang tidak mustahil dapat terjadi pada 161 suatu negara yang pemerintahannya otoriter, muncul Peraturan Pemerintah atau peraturan perundang-undangan yang lebih rendah yang bertentangan dengan UUD, sehingga pasal yang bersifat demokratis dibelenggu oleh ketentuan yang lebih rendah yang otoriter ( nucleus of norms, be surrounded by corona of highly oppressive norms, imposed upon the people as a whole). Misalnya, kebebasan pers seperti yang dijamin dalam Pasal 28 UUD 1945 dapat diberangus dengan Keputusan Menteri jika kepentingan penguasa terganggu ( press censorship ). Namun di dalam tata hukum Indonesia sudah ada mekanisme judicial review , sehingga seandainya pun terdapat Peraturan Pemerintah yang mengandung ketidakadilan sebagaimana didalilkan oleh Pemohon, maka bagi Pemohon sebagai warga negara yang dirugikan terbuka peluang untuk mengajukan pengujian materiil ( judicial review ) kepada Mahkamah Agung; [3.16] Menimbang pula bahwa Mahkamah sependapat dengan ahli Philipus M Hadjon yang menyatakan bahwa pendelegasian wewenang merupakan hal yang wajar apabila dikaitkan dengan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 17 ayat (7) UU 36/2008. Pendelegasian di sini bukan pendelegasian penetapan tarif karena tarifnya sudah diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UU 36/2008, yang didelegasikan adalah suatu diskresi. Bagi Pemerintah yang memperoleh kewenangan untuk memilih kebijakan yang berkaitan dengan tarif melalui delegasi, akan tetapi bukan delegasi blanko, karena ada batasannya. Sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi, sebetulnya delegasi ini tidak melanggar ketentuan UUD 1945. Dengan demikian pasal-pasal yang diujikan konstitusionalitasnya tidak bertentangan dengan Pasal 23A, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (4), Pasal 28G ayat (1) sehingga dalil-dalil Pemohon tidak beralasan hukum; [3.17] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan dan penilaian hukum pada paragraf [3.12] dan paragraf [3.15] , maka menurut Mahkamah dalil Pemohon tidak beralasan hukum;
KONKLUSI Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas Mahkamah berkesimpulan: [4.1] Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo ; [4.2] Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing) ; 162 [4.3] Dalil-dalil Pemohon tidak beralasan hukum. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan mengingat Pasal 56 ayat (5) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316);
AMAR PUTUSAN Mengadili, Menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya. Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim yang dihadiri oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Moh. Mahfud MD., selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, M. Akil Mochtar, M. Arsyad Sanusi, Maria Farida Indrati, Muhammad Alim, Harjono, Ahmad Fadlil Sumadi, dan Hamdan Zoelva, masing-masing sebagai Anggota pada hari Rabu tanggal tiga bulan Maret tahun dua ribu sepuluh, dan diucapkan dalam Sidang Pleno terbuka untuk umum pada hari Kamis tanggal sebelas bulan Maret tahun dua ribu sepuluh, oleh delapan Hakim Konstitusi yaitu Moh. Mahfud MD., selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, M. Akil Mochtar, Maria Farida Indrati, Muhammad Alim, Harjono, Ahmad Fadlil Sumadi, dan Hamdan Zoelva, masing-masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Ina Zuchriyah Tjando sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh Pemohon/Kuasanya, Pemerintah atau yang mewakili, dan tanpa dihadiri oleh Dewan Perwakilan Rakyat. KETUA, ttd. Moh. Mahfud MD. ANGGOTA-ANGGOTA, ttd Achmad Sodiki ttd M. Akil Mochtar 163 ttd. Maria Farida Indrati ttd Muhammad Alim ttd Harjono ttd tt Ahmad Fadlil Sumadi ttd Hamdan Zoelva Panitera Pengganti ttd Ina Zuchriyah Tjando