Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 219/PMK.05/2013 tentang Kebijakan Akuntansi Pemerintah Pusat. ...
Pemohon keberatan dengan berlakunya pasal 6 ayat (3) UU No. 40 Tahun 2013 tentang Perasuransian dengan alasan pasal tersebut bertentangan dengan pasal ...
Relevan terhadap
Bab X Pembubaran, Likuidasi, dan Kepailitan: Pasal 43, 44, 46 s.d. 49. Bab XIII Pengaturan dan Pengawasan: Pasal 60 s.d. 63 Bab XIV Ketentuan Pidana: Pasal 74. Pemerintah dan/atau DPR dapat saja berpendapat bahwa mereka telah melaksanakan ketentuan Pasal 7 ayat (3) UU No. 2/1992 yang 57 mengamanatkan ketentuan tentang usaha perasuransian berbentuk usaha bersama (Mutual) diatur lebih lebih lanjut dengan undang-undang. Jika undang-undang yang dimaksud adalah sebuah undang-undang yang secara khusus mengatur tentang asuransi usaha bersama, maka perintah atau amanat dari ketentuan Pasal 7 ayat (3) UU No. 2/1992 belum lah dilaksanakan. Akan tetapi jika undang-undang yang dimaksud adalah sebuah undang- undang tentang perasuransian dimana juga terdapat ketentuan mengenai asuransi usaha bersama, maka UU No. 40/2014 adalah juga sebagai pelaksanaan dari ketentuan Pasal 7 ayat (3) UU No. 2/1992, dengan demikian Pemerintah dan DPR telah melaksanakan perintah atau amanat dari Pasal 7 ayat (3) UU No. 2/1992. Penjelasan Pasal 7 ayat (3) UU No. 2/1992 tidak memberikan penjelasan mengenai undang-undang yang dimaksud, apakah sebuah undang- undang yang secara khusus mengatur tentang asuransi usaha bersama atau sebuah undang-undang tentang perasuransian. Kelima Solusi Untuk mengatasi Permasalahan Permodalan untuk memperkuat, memajukan AJB 1912 dan kaitannya dengan ketentuan Pasal 6 ayat (3) UU No. 40/2014 Diperlukan landasan hukum atau payung hukum yang kuat beberupa sebuah undang-undang yang secara khusus mengatur asuransi usaha bersama atau sebuah undang-undang yang secara khusus mengatur tentang AJB 1912, sebagaimana dilakukan oleh beberapa Negara mengundangkan undang-undang yang secara khusus mengatur tentang asuransi usaha bersama untuk memajukan perusahaan asuransi jiwa bersama dan asuransi umum bersama (mutual life insurace and mutual general atau casualtly insurance) yang ada di negara tersebut . Hingga saat ini, undang-undang yang secara khusus mengatur asuransi usaha bersama atau secara khusus untuk AJB 1912 belum ada, tetapi dalam bentuk Peraturan Pemerintah yang berada di bawah Undang- Undang, sehingga kurang kuat landasan hukumnya dan mudah dilakukan perubahan di mata investor, sehingga kurang memberikan kepastian 58 hukum untuk investasi jangka panjang, sementara sifat investasi di perusahaan asuransi dan terlebih untuk asuransi jiwa sangatlah jangka panjang. Sementara landasan hukum dan perundangan yang khusus mengatur perusahaan asuransi yang berbentuk Perseoran Terbatas (PT) sudah diatur dalam undang-undang sejak tahun 1992 dengan diundangkannya UU No. 2 tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian yang kemudian telah diperbaharui dan diganti dengan UU 40/2014 tentang Perasuransian. UU No. 40/2014 dibuat karena adanya urgensi harmonisasi peraturan perundangan karena Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah dibentuk dan mulai menjalankan peran dan fungsinya sejak tahun 2012/2013. Seandainya OJK belum dibentuk, ahli tidak yakin bahwa Pemerintah dan DPR akan menjadikan hal itu sebagai prioritas. Karena menurut ahli, adalah suatu yang nyata bahwa perhatian dari Pemerintah dan DPR terhadap sektor asuransi sebelum dibentuk OJK, masih kurang dibandingkan dengan sektor jasa keuangan yang lain seperti sektor perbankan dan pasar modal. Karena itupula lah, pada saat OJK hendak dibentuk, ahli memberikan dukungan yang pertama dari semua sektor jasa keuangan, karena kebetulan pada waktu itu ahli sebagai ketua Dewan Asuransi Indonesia (DAI) dan Ketua Asosiasi Asuransi Umum Indonesiad (AAUI), dengan harapan OJK akan memberikan perhatian besar terhadap sektor asuransi. Sementara sektor perbankan dan jasa keuangan yang lain tidak langsung memberikan dukungan terhadap pembentukan OJK pada waktu itu. Dan menurut ahli, OJK saat ini telah memberikan dukungan yang lebih besar untuk sektor asuransi. Kekosongan sebuah undang-undang tentang asuransi usaha bersama juga turut menimbulan hambatan dalam pengembangan AJB 1912, meskipun masih ada faktor lain. Akibatnya AJB 1912 kurang mempuyai daya tarik yang baik dan akses yang baik untuk pemodal atau investor asing. Padahal banyak investor yang berminat untuk berinvestasi di sektor perasuransian khususnya di asuransi jiwa seperti yang sudah terjadi selama ini. 59 Selanjutnya Putusan MK Nomor 32/PUU-XI/2013 yang bersifat final yang memerintahkan agar dibentuk Undang-Undang tersendiri yang mengatur mengenai usaha perasuransian yang berbentuk Usaha Bersama (Mutual) paling lambat dua tahun enam bulan setelah putusan MK diucapkan, ahli melihat Putusan MK ini sebagai dukungan MK akan pentingnya suatu undang-undang yang secara khusus mengatur tentang asuransi usaha bersama. UU No.40/2014 telah mengubah norma mengenai pengaturan usaha perasuransian yang berbentuk Usaha Bersama (Mutual), yang di Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang 2 Tahun 1992 diamanatkan atau diperintahkan supaya diatur lebih lanjut dengan ‘Undang-Undang’ dan oleh Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang 40 Tahun 2014 diubah menjadi diatur lebih lanjut dengan ‘Peraturan Pemerintah’. Ketentuan Pasal tersebut telah dilaksanakan oleh Pemerintah dengan diundangkannya Peraturan Pemerintah No.87 Tahun 2019 tentang Perusahaan Asuransi Berbentuk Usaha Bersama. Ini berarti tingkatan hierarki perundangan yang mengatur secara khusus asuransi usaha bersama berada di bawah undang-undang, sehingga menimbulkan ketidak setaraan dan ivestor dapat melihatnya sebagai kurang memberikan kepastian hukum untuk jangka panjang jika dibandingkan dengan investasi pada perusahaan asuransi berbadan hukum Perseroan Terbatas (PT). Dari uraian dan analisis yang ahli kemukakan di atas, ahli menyimpulkan:
. Diperlukan suatu Undang-Undang yang khusus mengatur asuransi usaha bersama;
. Ketentuan Pasal 6 ayat (3) UU No. 40/2014 yang selengkapnya berbunyi: Pasal 6 ayat (3) “Ketentuan lebih lanjut mengenai badan hukum usaha bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah” . 60 Ketentuan Pasal 6 ayat (3) __ ini tidak diartikan sebagai larangan bagi Pemerintah dan DPR untuk membuat satu undang-undang yang khusus mengatur tentang asuransi usaha bersama. Oleh karena itu, ahli berpendapat adalah perlu, penting Pemerintah dan DPR membuat satu undang-undang yang secara khusus mengatur tentang asuransi usaha bersama, sebagaimana telah lama dilakukan oleh beberapa negara asing, untuk mendorong kemajuan asuransi usaha bersama di Indonesia. Ahli pun menyampaikan keterangan tambahan yang disampaikan pula dalam persidangan, pada pokoknya adalah sebagai berikut: − Pengaturan asuransi usaha bersama dalam UU 40/2014 hanya terdapat dalam beberapa pasal saja. Pengaturan perasuransian dalam UU 40/2014 jika dilihat lebih lanjut menitikberatkan pada asuransi dalam bentuk perseroan terbatas saja, namun demikian dikarenakan terdapat keteuan yang mengatakan sepanjang relevan dengan bentuk badan usaha bersama maka ketentuan tersebut berlaku. Menurut Ahli, pengaturan asuransi usaha bersama dalam UU 40/2014 tidak dapat dikatakan cukup, namun materi-materi yang terdapat didalamnya dapat dijadikan bahan untuk membentuk undang-undang tersendiri terkait dengan asuransi dalam bentuk badan usaha bersama tersebut. − Terkait dengan permodalan yang terbatas yang menyebabkan asuransi dalam bentuk badan usaha bersama ini lebih sulit maju dibandingkan dengan bentuk badan usaha perseoran , ahli tidak memiliki pendapat terkait itu. Namun, jika melihat pada sisi investor, tentu tidak menutup kemungkinan adanya investor yang tertarik untuk berinvestasi pada asuransi usaha bersama namun menurut investor tentunya jika diatur dalam peraturan pemerintah menjadi kurang kuat keberadaannya sehingga perlu dibuat undang-undang tersendiri. − Asuransi dalam bentuk usaha bersama di negara lain, sepengetahuan Ahli, tetap memakai bentuk mutual insurance dan pengaturannya diatur dalam undang-undang dimana dinyatakan sebagai incorporated company (Skotlandia). Jika bentuk usaha bersama ini akan dicarikan bentuk hukum lain sehingga memiliki akses permodalan yang mudah, menurut ahli berdasarkan kajian yang pernah dilakukan maka dapat berbentuk perkumpulan. 61 [2.3] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon, Dewan Perwakilan Rakyat memberikan keterangan yang didengarkan dalam persidangan pada tanggal 8 September 2020, yang keterangan tertulisnya diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 22 September 2020, yang pada pokoknya mengemukakan hal sebagai berikut: A. KEDUDUKAN HUKUM ( LEGAL STANDING ) PARA PEMOHON Terkait kedudukan hukum ( legal standing ) para Pemohon dalam pengujian UU a quo secara materiil, DPR RI memberikan pandangan dengan 5 (lima) batas kerugian konstitusional berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 011/PUU-V/2007 mengenai parameter kerugian konstitusional sebagai berikut:
Terkait adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon yang diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945 a. Bahwa para Pemohon mendalilkan memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional berdasarkan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, DPR RI berpandangan bahwa Pasal a quo tidak mengurangi hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon untuk mendapatkan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, karena apa pun bentuk dari pengaturan asuransi usaha bersama, para Pemohon dapat melaksanakan hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagai Anggota BPA Asuransi Bersama Bumiputera 1912.
Bahwa para Pemohon mendalilkan bekerja sebagai Anggota DPRD, Pegawai Negeri Sipil, Guru, Dosen, Wiraswasta, Pensiunan dan secara keseluruhan para Pemohon mendalilkan sebagai Pemegang Polis Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 dan Anggota BPA. DPR RI berpandangan para Pemohon bukanlah subjek yang dituju dalam ketentuan Pasal a quo karena ketentuan a quo ditujukan oleh pembentuk undang-undang kepada pemerintah untuk mengatur lebih lanjut mengenai Badan Hukum Usaha Bersama dalam Peraturan Pemerintah.
Bahwa dalam positanya, para Pemohon banyak memberikan argumentasi tentang kedudukan para Pemohon sebagai Anggota BPA Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 dalam mengemban tugas dan 62 amanahnya sebagaimana diamanatkan dalam Anggaran Dasar Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912. Terhadap pernyataan para Pemohon tersebut perlu untuk diperjelas apakah para Pemohon bertindak untuk mewakili BPA Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 atau hanya sebagai perseorangan warga negara Indonesia pemegang polis Asuransi Jiwa Bersama Bumiputra 1912? Jika para Pemohon sebagai BPA Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912, maka para Pemohon harus membuktikan terlebih dahulu sebagai pihak yang mewakili BPA Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912. Sedangkan jika para Pemohon mengajukan diri sebagai perorangan warga negara Indonesia pemegang polis, maka para Pemohon tidak bisa mengajukan pengujian Pasal a quo karena Pasal a quo mengatur tentang pendelegasian dari pembentuk undang-undang kepada pemerintah untuk mengatur mengenai badan hukum usaha bersama dalam peraturan pemerintah. Oleh karenanya para Pemohon bukanlah pihak yang menjadi subjek ( addressat norm ) dari ketentuan Pasal a quo , sehingga para Pemohon tidak memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional untuk mengajukan Permohonan a quo karena tidak memiliki kepentingan hukum langsung terhadap Pasal a quo .
Terkait adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dianggap oleh para Pemohon telah dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang a. para Pemohon merasa dirugikan karena dengan berlakunya frasa “ diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah ” dalam Pasal a quo UU Perasuransian telah menimbulkan ketidakpastian hukum dan tidak sejalan dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013. DPR RI berpandangan bahwa para Pemohon tidak mampu menjelaskan keterkaitan antara keberlakuan Pasal a quo dengan kerugian yang didalilkan oleh para Pemohon karena kerugian yang didalilkan para Pemohon tersebut adalah asumsi yang tidak ada pertautannya dengan ketentuan Pasal a quo sehingga dengan demikian, kerugian yang didalilkan para Pemohon tersebut tidak beralasan hukum. 63 b. para Pemohon merasa dirugikan hak dan/atau kewenangan konstitusional atas adanya PP 87/2019 karena keberadaan Peraturan Pemerintah tersebut bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013. DPR RI berpandangan bahwa jika para Pemohon beranggapan bahwa materi yang ada di dalam PP 87/2019 tersebut merugikan para Pemohon maka hukum telah menyediakan suatu mekanisme untuk mengujikan Peraturan Pemerintah tersebut ke Mahkamah Agung. Dengan demikian kerugian yang didalilkan oleh para Pemohon tidak benar dan hanya asumsi para Pemohon.
Terkait adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang bersifat spesifik (khusus) dan aktual, atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi Bahwa para Pemohon tidak dapat menguraikan kerugian yang dianggap sebagai kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon dengan ketentuan Pasal yang dimohonkan pengujian. para Pemohon dalam permohonannya lebih menguraikan substansi dalam PP 87/2019 dan tidak fokus terhadap ketentuan Pasal a quo sehingga tidak jelas pertautan antara kerugian para Pemohon dengan pasal a quo . Oleh karenanya tidak terdapat kerugian hak dan/atau konstitusional yang bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial.
Terkait adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional dengan undang- undang yang dimohonkan pengujian Bahwa sebagaimana yang telah diuraikan oleh DPR RI dalam angka 1, 2, dan 3, kerugian yang didalilkan oleh para Pemohon bukan merupakan kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon melainkan hanya asumsi para Pemohon saja. Selain itu para Pemohon tidak dapat menguraikan pertautan antara kerugian yang didalilkan dengan ketentuan Pasal a quo sehingga sudah dapat dipastikan tidak ada hubungan sebab akibat ( causal verband) antara kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan oleh para Pemohon dengan Pasal a quo . 64 5. Terkait adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Bahwa karena tidak adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) maka sudah dapat dipastikan bahwa pengujian a quo tidak akan berdampak apapun terhadap para Pemohon. Dengan demikian menjadi tidak relevan lagi bagi Mahkamah Konsitusi untuk memeriksa dan memutus permohonan a quo , karena para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) sehingga sudah sepatutnya Mahkamah Konstitusi tidak mempertimbangkan pokok perkara . Bahwa terkait dengan kedudukan hukum ( legal standing ) para Pemohon, DPR RI memberikan pandangan selaras dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-IX/2011 yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari tanggal 15 Juni 2016, yang pada pertimbangan hukum [3.5.2] Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa menurut Mahkamah: ...Dalam asas hukum dikenal ketentuan umum bahwa tiada kepentingan maka tiada gugatan yang dalam bahasa Perancis dikenal dengan point d’interest, point d’action dan dalam bahasa Belanda dikenal dengan zonder belang geen rechtsingang. Hal tersebut sama dengan prinsip yang terdapat dalam Reglement op de Rechtsvordering (Rv) khususnya Pasal 102 yang menganut ketentuan bahwa “tiada gugatan tanpa hubungan hukum“ (no action without legal connection. Berdasarkan pada hal-hal yang telah disampaikan tersebut DPR RI berpandangan bahwa para Pemohon secara keseluruhan tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) karena tidak memenuhi ketentuan Pasal 51 ayat (1) dan Penjelasan Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi, serta tidak memenuhi persyaratan kerugian konstitusional yang diputuskan dalam putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu. Bahwa para Pemohon dalam permohonan a quo tidak menguraikan secara konkrit mengenai hak dan/atau kewenangan konstitusionaInya yang dianggap dirugikan atas berlakunya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji, utamanya dalam mengkonstruksikan adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusionaInya yang dirugikan atas berlakunya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji tersebut. 65 Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, terhadap kedudukan hukum (legal standing ) para Pemohon, DPR RI menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua dan Anggota Majelis Hakim Konstitusi Yang Mulia untuk mempertimbangkan dan menilai apakah para Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 011/PUU-V/2007 mengenai parameter kerugian konstitusional. B. PANDANGAN DPR RI TERHADAP POKOK PERMOHONAN 1. Bahwa dalam industri perasuransian, baik secara nasional maupun global, terjadi perkembangan yang pesat yang ditandai dengan meningkatnya volume usaha dan bertambahnya pemanfaatan layanan jasa perasuransian oleh masyarakat. Layanan jasa perasuransian pun semakin bervariasi sejalan dengan perkembangan kebutuhan masyarakat akan pengelolaan risiko dan pengelolaan investasi yang semakin tidak terpisahkan, baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam kegiatan usaha. Pengaturan dalam UU Perasuransian juga mencerminkan perhatian dan dukungan besar bagi upaya pelindungan konsumen jasa perasuransian, upaya antisipasi lingkungan perdagangan jasa yang lebih terbuka pada tingkat regional, dan penyesuaian terhadap praktik terbaik ( best practices ) di tingkat internasional untuk penyelenggaraan, pengaturan, dan pengawasan industri perasuransian.
Bahwa berdasarkan Naskah Akademik RUU tentang Usaha Perasuransian yang digunakan sebagai dasar pembentukan undang-undang a quo, dapat dikemukakan bahwa pada saat ini, Indonesia tidak memiliki undang-undang khusus mengenai badan hukum usaha bersama. Satu-satunya perusahaan asuransi berbentuk usaha bersama melandaskan keberadaannya pada Keputusan Kerajaan Belanda tanggal 28 Maret 1870 No. 2 Stb. 64 sesuai Sekretaris Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 6 April 1915, yang belum pernah diperbaharui. Ketiadaan undang-undang yang mengatur usaha bersama mengakibatkan ketidakjelasan tata kelola badan usaha ini dan dapat menimbulkan keraguan akan perlindungan hak-hak para pemangku kepentingan. Usaha bersama juga menghadapi tantangan dan hambatan yang sama seperti koperasi dalam hal penyediaan modal yang 66 cukup untuk penyelenggaraan usaha asuransi atau usaha reasuransi, mengingat ketiadaan atau ketidakjelasan mekanisme penambahan modal dengan atau tanpa penambahan anggota baru di dalam usaha bersama tersebut. Perkembangan yang terjadi di negara lain berkenaan dengan penyelenggaraan usaha asuransi menggunakan badan usaha bersama juga mendapat perhatian. Walaupun sejumlah usaha bersama di bidang perasuransian tercatat sebagai perusahaan besar di negara-negara seperti Jepang dan Kanada, banyak di antara mereka sedang menggagas upaya untuk lebih berkembang dengan mengubah diri menjadi Perseroan Terbatas sehingga dapat menggumpulkan modal lebih besar. Sampai dengan saat ini satu-satunya perusahaan perasuransian yang berbentuk usaha bersama di Indonesia, yaitu Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912, sedangkan perusahaan perasuransian yang lain berbentuk Perseroan Terbatas. Mempertimbangkan hal-hal tersebut di atas, dalam RUU Usaha Perasuransian diusulkan agar perusahaan perasuransian berbentuk Perseroan Terbatas. ( Vide Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Usaha Perasuransian hlm. 49-50) 3. Bahwa UU Perasuransian telah mengakomodir bentuk usaha bersama ( mutual ) dalam Pasal 6 ayat (1) UU a quo , bentuk badan hukum penyelenggara usaha perasuransian adalah: a) Perseroan terbatas; b) Koperasi; atau c) Usaha bersama yang telah ada pada saat undang-undang ini di undangkan. Bahwa dengan adanya ketentuan tersebut menunjukkan pembentuk undang-undang masih mengakui adanya usaha perasuransian yang berbentuk usaha bersama dan ketentuan tersebut telah memberi kepastian hukum, dan usaha bersama yang dimaksud adalah AJB Bumiputera 1912 yang menjadi satu-satunya usaha perasuransian berbadan usaha bersama sampai dengan saat ini yang dinyatakan sebagai badan hukum (Naskah Akademik RUU tentang Usaha Perasuransian hlm 50). Bahwa berdasarkan fakta hukum tersebut pembentuk undang-undang menentukan politik hukum pengaturan mengenai ketentuan lebih lanjut mengenai teknis badan usaha 67 bersama didelegasikan kepada Peraturan Pemerintah ( vide Risalah Pembahasan hlm 57-58).
Bahwa para Pemohon mendalilkan: “...hak konstitusional para Pemohon telah dilanggar oleh pembentuk undang-undang tidak menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013 yang memerintahkan agar dibentuk undang- undang tersendiri yang mengatur mengenai usaha perasuransian yang berbentuk usaha bersama (mutual).” Terhadap dalil tersebut, DPR RI memberikan pandangan sebagai berikut:
Bahwa dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013, menyatakan: Frasa “ ... diatur lebih lanjut dengan undang-undang ” dalam Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Tahun 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945, sepanjang tidak dimaknai “...diatur lebih lanjut dengan undang-undang dilakukan paling lambat dua tahun enam bulan setelah putusan Mahkamah ini diucapkan” .
Bahwa putusan Mahkamah Konstitusi tersebut mengamanatkan adanya kepastian hukum mengenai pengaturan lebih lanjut tentang usaha bersama ( mutual ), yaitu paling lambat dua tahun enam bulan setelah putusan Mahkamah ini diucapkan. Pembentuk undang-undang segera menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dengan merumuskan ketentuan Pasal 91 UU a quo yang menyatakan: “Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan terhitung sejak Undang- Undang ini diundangkan. Dengan adanya ketentuan tersebut, maka UU a quo telah memberikan kepastian hukum kepada masyarakat terutama para Pemohon mengenai dasar hukum asuransi usaha perasuransian yang berbentuk badan usaha bersama ( mutual ), dan pembentuk undang-undang telah mengikuti putusan Mahkamah Konstitusi yang menghendaki adanya kepastian hukum yang mengatur mengenai badan usaha bersama ( mutual ) perasuransian.
Bahwa DPR RI berpandangan dalam amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013 tersebut tidak memerintahkan 68 kepada pembentuk undang-undang untuk membuat undang-undang tentang asuransi badan usaha bersama ( mutual ) secara khusus dalam undang-undang tersendiri.
Bahwa pembentuk undang-undang dalam menyusun undang-undang tentunya harus berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU 12/2011) sebagai pedoman utama dalam membentuk peraturan perundang- undangan.
Bahwa terkait dengan norma pengaturan pendelegasian kewenangan telah diatur berdasarkan Lampiran UU 12/2011 mulai dari angka 198 sampai dengan angka 216. Berdasarkan ketentuan tersebut bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat mendelegasikan lebih lanjut kepada peraturan perundang-undangan yang lebih rendah. Dari teknis segi bahasa, pendelegasian kewenangan dengan menggunakan frasa “diatur dengan” dan “diatur dalam” tidak dimaksudkan untuk memiliki konsekuensi pendelegasian pengaturan lebih lanjut dalam undang-undang tersendiri, tetapi lebih kepada “jumlah materi muatan” yang akan didelegasikan kepada peraturan perundang- undangan yang lebih rendah. Berdasarkan Lampiran angka 205 UU 12/2011 disebutkan bahwa , jika terdapat beberapa materi muatan yang didelegasikan dan materi muatan tersebut tercantum dalam beberapa pasal atau ayat tetapi akan didelegasikan dalam suatu peraturan perundang-undangan gunakan kalimat...”Ketentuan mengenai…diatur dalam…”.
Bahwa sebelum diundangkannya UU 40/2014, Pembentuk undang- undang telah mempertimbangkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013. Namun dalam menindaklanjuti Putusan MK tersebut kedalam undang-undang selain berdasarkan Putusan MK tentunya pembentuk undang-undang memiliki pertimbangan politik hukum tersendiri dengan memperhatikan dinamika hukum yang berkembang dalam masyarakat. Hal ini telah dirundingkan oleh DPR dan Tim Pemerintah dalam Rapat Panja dengan Tim Kementerian Keuangan (Kepala BKF), OJK dan LPS Jumat, 29 Agustus 2014 dan dalam Rapat Panja RUU tentang Usaha Perasuransian dan Rapat 69 Panja dengan Tim Kementerian Keuangan (Kepala BKF), OJK, Sabtu, 30 Agustus 2014. Bahwa dalam rapat-rapat tersebut pada intinya DPR RI setuju dengan usulan Tim Pemerintah yang memandang bahwa kedepannya lebih didorong agar perusahaan asuransi berbadan hukum perseroan untuk dapat memberikan perlindungan terhadap perusahaan dan konsumen asuransi, namun khusus untuk perusahaan asuransi mutual yang telah ada (Bumiputra 1912) tetap diakui keberadaannya. Sedangkan untuk mengakomodir putusan MK Nomor 32/PUU-XI/2013, Pembentuk undang-undang sepakat untuk mengatur perusahaan asuransi mutual dalam UU a quo yang ketentuan teknisnya didelegasikan kedalam peraturan pemerintah. Hal ini dikarenakan jika diatur secara detail dalam UU a quo , akan menimbulkan kemungkinan untuk dijadikan preseden lahirnya perusahaan-perusahaan asuransi mutual lainnya yang memiliki banyak kelemahan dalam tatakelolanya yang juga sudah banyak ditinggalkan oleh banyak negara lain di dunia. Selengkapnya tertulis pada bagian risalah.
Oleh karena itu dalil para Pemohon yang menyatakan bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013 mengenai pengaturan asuransi usaha bersama ( mutual ) harus ditindaklanjuti dengan undang-undang tersendiri dan tidak diperhatikan oleh Pembentuk Undang-Undang adalah tidak beralasan hukum.
Bahwa dalam positanya para Pemohon banyak menguraikan materi muatan dalam PP 87/2019 yang dianggap menghilangkan eksistensi dan kewenangan Badan Perwakilan Anggota Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 dalam mengelola AJB Bumiputera 1912. Terhadap uraian para Pemohon tersebut DPR RI berpandangan bahwa jika para Pemohon merasa dirugikan dengan ketentuan dalam PP 87/2019 maka para Pemohon seharusnya tidak mengujikannya ke Mahkamah Konstitusi melainkan ke Mahkamah Agung yang memiliki kewenangan menguji Peraturan Perundang-undangan di bawah undang-undang. Oleh karena itu terlihat jelas bahwa permohonan a quo adalah permohonan yang memiliki kesalahan objek ( error in objecto ). 70 C. RISALAH PEMBAHASAN PASAL A QUO UU PERASURANSIAN Selain pandangan secara konstitusional, teoritis, dan yuridis, sebagaimana telah diuraikan di atas, DPR RI melampirkan risalah pembahasan UU Perasuransian yang relevan dengan substansi dalam Permohonan a quo sebagai berikut: • Masa Persidangan I Rapat Panja dengan Tim Kementerian Keuangan (Kepala BKF), OJK, dan LPS dalam Rapat Panja RUU tentang Usaha Perasuransian (Jumat, 29 Agustus 2014) - STAF AHLI KEMENTERIAN KEUANGAN (ISA RAHMATAWARTA):
.. Mengenai mutual, kami mempunyai pemikiran pada waktu itu ada 2 yang terpenting : pertama, tidak ada undang-undang yang memberikan landasan hukum yang baik untuk badan hukum mutuall di Indonesia karena itu lah pada waktu itu memang ada perintah untuk dibuatkan undang-undang tersendiri mengenai hal tersebut. Tapi nyatanya pada saat kami menyelesaikan rancangan undang-undang ini, undang-undang itu tidak pernah ada dan artinya badan mutuall ini, badan usaha bersama ini tidak memiliki landasan hukum mengenai keberadaannya, eksistensinya apalagi mengatur mengenai tata kelola. Jadi kalau tadi yang disampaikan oleh Pak Firdaus bahwa tidak ada, sulit untuk mengatur menata tata kelola mereka pada walaupun sekarang OJK sudah berusaha untuk melakukan hal tersebut. Pada saat ini tidak ada landasan hukum untuk melakukan bagaimana mutuall atau usaha bersama ini menyelenggarakan kegiatan hukumnya sebagai suatu entitas hukum. Kemudian yang kedua yang kami pertimbangkan pada waktu itu sebagaimana sudah dikemukakan oleh Pak Firdaus, perusahaan yang ada saat ini satu-satunya yang ada memang memiliki masalah. Dan kami pada waktu itu dengan tulus, dengan sejujurnya kami sampaikan sebetulnya keinginan kami untuk mengatakan semuanya PT adalah memberikan mekanisme elegan dimana disepakati di DPR ini untuk menyelamatkan perusahaan ini dengan mengubahnya menjadi PT sebagai suatu upaya penyelamatan sebetulnya tapi melalui kewajiban di undang-undang. Nah, demikian mungkin saya ingin tadi itu adalah gambaran mengapa Pemerintah mengusulkan didalam rancangan undang-undang akhirnya hany PT. Perkembangannya tadi Undang-Undang Koperasi yang baru dibatalkan secara keseluruhan. Kemudian ada Mahkamah Konstitusi yang mengatakan tidak boleh ditutup ruang untuk upaya usaha bersama ini untuk tetap hidup di Indonesia karena itu juga sesuai dengan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Kami dari Pemerintah ingin dan sangat menghormati keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut karena itu, kami sekarang berada pada posisi dan kami ingin tetap menghormati keputusan itu artinya memang kita perlu atur bagaimana usaha bersama ini. Kemudian saya sependapat dengan Pak Harry Azhar kalau usaha bersama yang saat ini landasan hukumnya saja minimun, bisa dibilang tidak ada diakomodasi, kita tentu juga harus fair kepada koperasi jadinya. Itu pikiran logis saja, cara berpikir 71 logisnya. Karena itu, Pemerintah sendiri saat ini secara umum melihat oke kami akan bisa menerima kalau koperasi ditambahkan disitu kembali. Tetapi kalau yang usaha bersama kami ingin mengusulkan kita tidak memperluas pada kemungkinan usaha-usaha bersama yang baru. Kami ingin usulkan oke usaha bersama yang ada kita akui bahkan kami bisa berikan misalnya oke kita berdasarkan undang-undang ini kita berikan status badan hukum khusus kepada yang ada sekarang ini. Tapi selain itu kami ingin menambahkan didalam undang-undang ini sebagai konsekuensinya adalah aturan-aturan lain, aturan-aturan prudensial yang akan bisa membantu OJK nanti yang betul-betul ya tidak mungkin ada koperasi baru yang menjalankan kegiatan usaha asuransi, kalau usaha bersama tadi kami usulnya betul-betul kita batasi Pak berdasarkan undang-undang ini hanya itu saja yang kita ini. Kita tidak membuka ruang usaha bersama yang baru. Kalau ada yang mirip-mirip seperti itu jadi koperasi saja karena koperasi sudah kita sudah punya landasan hukum undang-undang yang jelas mengenai hal itu. Untuk yang ada oke, kita akui bahkan kita usulkan, kita berikan status badan hukumnya tapi untuk koperasi maupun usaha bersama khusus yang eksisting ini seandainya tetap kita sepakati untuk kita pertahankan, kami mohon untuk dapat ditambahkan aturan-aturan baru, misalnya yang kami mungkin bisa sampaikan pertama koperasi dan usaha bersama tidak boleh menjual polis asuransi kepada non anggota, dia hanya boleh menjual kepada anggotanya. Mungkin akan ada pertanyaan kalau gitu tidak bisa berkembang. Tentu bisa, kalau dia bisa menarik orang terlebih dahulu menjadi anggotanya baru kemudian menjual polis kepada yang bersangkutan. Yang kedua, yang kami mungkin ingin usulkan adalah, saya menggunakan kata mungkin nanti karena didalam diskusi mungkin berkembang yang lain. Yang kedua, bahwa untuk menjadi anggota ini seseorang ini harus membayar iuran pokok atau iuran wajib apapun namanya yang akan kita sebut. Jadi dengan demikian, setiap perkembangan bisnis dengan bertambahnya anggota ini koperasi atau pun usaha bersama ini sudah terlebih dahulu di back up dengan tambahan modal dari calon pemegang polis tersebut. Kemudian yang ketiga, yang ingin kami usulkan adalah ada ketentuan yang secara tegas disini disampaikan bahwa keuntungan itu dinikmati bersama tentunya secara proporsional, kerugian juga harus ditanggung bersama oleh para anggota. Mengenai aturan pembagiannya pengenaan, pembebanannya dan sebagainya kita bisa serahkan kepada OJK mengenai hal tersebut. Nah, dengan adanya usulan yang ketiga ini apabila dapat diterima ini juga sekaligus mendorong, mendesak pada asuransi usaha bersama pada saat ini itu juga men-declear keuntungannya berapa dan kerugiannya berapa akumulasinya saat ini. Dan kemudian mendorong mereka untuk mengemukakan kepada anggota ini loh akumulasi keuntungan yang bisa dibagi atau ini akumulasi kerugian yang harus ditanggung bersama sehingga dengan demikian OJK juga akan mempunyai kekuasaan atau kewenangan untuk melakukan diskresi nah ternyata seperti ini situasinya, 72 pilihan ada. ini juga akan meng-involve.....(mic bermasalah) pengawasan dan koreksi terhadap perusahaan asuransi ....usaha bersama...... - STAF AHLI KEMENTERIAN KEUANGAN (ISA RAHMATAWARTA): Usaha bersama ini kami sekali ingin mengusul hanya usaha bersama yang ada saat ini tidak untuk dikembangkan lagi. • Terkait dengan Pasal 6 ayat (3) sepanjang frasa “Badan Hukum Usaha Bersama” UU PERASURANSIAN dalam Masa Persidangan I Rapat Panja dengan Tim Kementerian Keuangan (Kepala BKF), OJK dan LPS Jumat, 29 Agustus 2014. Dalam Rapat Panja RUU tentang Usaha Perasuransian: - KETUA RAPAT (H. ANDI RAHMAT, SE): Saya skors ya pak sekitar 2 menit untuk memberikan kesempatan kepada Bank Indonesia keluar dari ruangan ini __ (RAPAT DISKORS) Terima Kasih Pak. (SKORS DICABUT) Selanjutnya Bapak-bapak yang kami muliakan dan saya hormati, ini kita akan lanjutkan sedikit penjelasan dari Bapak Komisioner OJK ini berkaitan dengan bentuk dan badan hukum dari asuransi Pak. Jadi dalam RUU ini ada 2 bentuk saja yang ditawarkan oleh Pemerintah: yang pertama itu koperasi dan kedua adalah perseroan terbatas oh yang perseroan terbatas koperasi dari, kalau saya tidak salah itu koperasi itu usulannya F-PG kalau tidak salah ya, pokoknya paling banyak F-PG yang paling banyak usulannya sampai lupa mengusulkan. Bapak-bapak sekalian, Jadi ada 2 yang saya putuskan dan ini ada tambahan berkaitan dengan mutuall fund ya, lebih spesifik lagi mutuall fund yang di Indonesia ini cuma ada satu Pak yaitu asuransi AJB dan ini yang kita minta penjelasan kepada OJK karena sampai sekarang ini dan sekarang sudah sampai dalam pengawasan OJK Pak. Kita mau lihat bagaimana OJK mengatasi isu yang berkaitan dengan asuransi Bumiputera ini AJB/Asuransi Jasa Bumiputera. Silahkan Pak firdaus ya. Saya kira langsung saja Pemerintah ya langsung kepada Komisionernya saja. Silahkan Pak Firdaus. - OJK (FIRDAUS) : Bismillahirahmanirahim. Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Yang saya hormati Pimpinan Panja RUU Asuransi, Yang saya hormati Bapak-bapak Anggota Panja RUU Asuransi dari Komisi XI, Pertama-tama saya mohon maaf agak terlambat, banyak acara Pak dari habis Magrib itu, ada 2 dulu baru saya jalan agak macet lagi. Bapak-bapak sekalian, Kalau kita baca dari RUU Undang-Undang Asuransi yang lama yang tahun ’92 itu, itu kan memang disitu ada 3 Badan Hukum bentuk asuransi yaitu PT, kemudian Koperasi dan mutuall meskipun waktu tahun ’92 kita bikin memang ada perusahaan asuransi yang berbadan hukum koperasi 1 73 waktu itu tapi kemudian kita cabut izin usahanya oleh Pemerintah itu di tahun 2010 kira-kira dicabut koperasi 1. Kemudian 1 lagi memang berbentuk mutuall. Didalam undang-undang kalau kita baca Undang-Undang Asuransi yang tahun ’92 itu memang disana untuk mutuall kita memberikan amanat bahwa Pemerintah akan membuatkan undang-undang khusus mutuall sehingga belum ada waktu itu pelaksanaannya kita atur dengan peraturan pemerintah. Namun sampai saat ini memang belum dibuatkan undang- undang untuk mutuall. Kemarin ketika ada yang bawa ke Mahkamah Konstitusi maka Mahkamah Konstitusi mengamanatkan agar Pemerintah membuatkan dalam waktu 2,5 tahun sejak keputusan Mahkamah Konstitusi yang keluar 3 bulan yang lalu kira-kira begitu. Nah,sekarang saya ingin katakan bagaimana perkembangannya. Jadi dari 95 asuransi umum, 45 asuransi jiwa dan 41 asuransi itu tidak ada satu pun yang berbentuk koperasi karena memang telah kita cabut. Kalau kita lihat sejarah di perbankan sama Pak di lembaga keuangan lain. Di perbankan juga saat ini juga hanya ada 1 BPR berbentuk koperasi yang lainnya di bank umum maupun BPR yang jumlah lebih dari 1.900 baik yang konvensional maupun yang syariah hanya 1 yang berbentuk koperasi, yang lainnya tidak ada. Yang mutual kita punya juga cuma 1 yaitu ..... Asuransi Bumiputera. Saya ingat ada 2 bank umum : Bukopin pernah bentuk koperasi tapi di tahun ’90 berapa kita ubah, kita rekap itu berubah menjadi PT karena memang ketidakmampuan dari waktu itu pemilik Bukopin adalah juga koperasi-koperasi yang tidak mampu untuk menitip modal sehingga masuk lah pemodal entah itu dari Pemerintah, entah itu dari swasta sehingga berubah menjadi PT Bukopin meskipun kita tetap mempertahankannya namanya Bukopin. Nah, saya bisa mengerti ketika Pemerintah mengajukan itu dalam RUU ini awalnya adalah dalam bentuk PT saja. Kalau lihat kita lihat pernah kita buat juga yang kita yang Pemerintah dan DPR lahirkan yaitu Undang- Undang mengenai Bank Syariah, itu juga hanya berbentuknya PT saja karena kalau kita lihat begini Pak. Koperasi juga sekarang ini kan misalnya itu badan hukum PT, Koperasi, maupun mutuall itu kan tetap saja. Ketika didirikan baru katakanlah dia tetap harus memiliki persyaratan memenuhi persyaratan modal minimum. Kalau koperasi misalnya ketika mau didirikan berarti dia juga harus punya modal misalnya kalau sekarang berlaku ketentuan minimal 100 milyar maka dia harus artinya kalau memang ada koperasi yang mau didirikan asuransi dalam ....koperasi itu harus ada iuran anggota, iuran pokok, dan iuran sukarela dari anggota itu totalnya 100 milyar. Meskipun mungkin bisa tapi rasanya kalau koperasi itu dibentuk barangkali oleh pihak-pihak yang besar mungkin bisa tapi kalau dari masyarakat biasa membentuk koperasi mengumpulkan 100 milyar untuk menjadi modal setor katakanlah begitu untuk sebuah perusahaan asuransi agaknya berat begitu. Mutuall kita lihat Pak. Mutuall itu sejarahnya adalah kalau kita lihat di dunia ini mutuall itu tinggal histori Pak, tinggal sejarah. Kita lihat mutuall-mutuall yang ada di Eropa, ada di Jepang, ada di Canada, ada di Amerika itu memang lahir 200 tahun yang lalu, 150 tahun yang lalu tidak ada yang lahir lagi. Terakhir lagi sebetulnya itu mutuall itu adalah di Fililpina tahun sekitar ‘87 Pak. Itu pun karena begini, ada sebuah perusahaan asuransi BUMN 74 sebetulnya punya anak perusahaan sebetulnya target juga PT limited company. Tapi tiba-tiba dalam rangka agak politis anak perusahaan itu kemudian sahamnya diberikan kepada pemegang polis sehingga diubah dari PT menjadi mutuall karena ciri-ciri dari mutuall itu pemegang polis adalah pemegang saham. Ini terakhir di Filipina tahun ’85-’87. Setelah itu tidak ada lagi di dunia, selain itu usianya memang ratusan tahun. Dia memang kalau survive, survive benar ya seperti di Jepang. Ada yang tidak survive tapi dia di-merger dengan mutuall lainnya karena kalau tidak di-merger dengan mutuall lainnya agak sulit. Nah, kenapa mutuall-mutuall baru tidak lahir lagi di dunia ini? memang kalau kita lihat sekarang di negara lain juga kan modal untuk mendirikan sebuah perusahaan asuransi kan besar sekali Pak. Mungkin juga puluhan triliun, di kita saja yang 100 milyar. Kami bayangkan Pak kalau misalnya ada sebuah mutuall baru mau didirikan agak bayangan kami itu agak imposible. Bagaimana kalau kita lihat menilik sejarah ini misalnya : Bumiputera. Lahir dari 3 orang guru, dia tarifnya cuma kumpul bertiga seperti arisan bilang kalau diantara kita ada yang meninggal ini dari ini ya dari kumpulan kita yang tiap bulan kita bayar sisihkan dari gaji terus berkembang-berkembang. Nah, kalau kita lihat tahun 1912 belum ada pengaturan Pak mengenai persyaratan modal minimum yang harus dipenuhi. Kalau sekarang bagaimana mutuall bisa terbentuk misalnya ketika harus memiliki persyaratan modal 100 milyar yang barangkali yang saya dengar kan dari baik itu dari wacananya kan ingin kedepan ini modal minimum untuk sebuah perusahaan nasional yang baru pun harus dinaikkan karena rasanya 100 milyar sudah tidak cukup sekalian mau menciptakan entry barier hambatan masuk supaya yang masuk di industri asuransi ini tidak lagi perusahaan-perusahaan..... karena kalau kita ingin besarkan usia asuransi kita Pak memang modalnya mahal industri asuransi ini karena memang IT-nya mahal, pengembangan SDM- nya mahal, infrastruktur yang dibangun lain juga mahal. Apalagi kalau kita mau bersaing di dalam kawasan ASEAN ketika berlaku masyarakat ekonomi ASEAN agak sulit kalau ada lahir baru perusahaan-perusahaan asuransi yang modalnya .......tidak besar. Jadi hampir impossible Pak misalnya ada mutuall baru lahir ketika ada pemegang polis yang sepakat untuk kumpulkan uang kira-kira 100 milyar atau lebih untuk mendirikan perusahaan asuransi baru. Sebetulnya ada jalan keluar Pak. Seandainya ini memang tidak ada lagi mutual, mungkin kan dikatakan lah aturan transisinya peralihannya kan bisa dinyatakan bahwa mutuall yang ada tidak dianggap tetap diakui seperti undang-undang yang sekarang berlaku kan dinyatakan bahwa mutuall yang ada tetap dianggap telah memiliki izin dan dianggap sebagai badan hukum ya. Meskipun barangkali perlu dipikirkan saya tidak tahu nanti keputusan Mahkamah Konstitusi menyatakan 2,5 tahun harus dibikinkan undang-undang Mutuall. Memang begini Pak, ketika sebuah asuransi mutuall itu tidak sehat pilihannya tinggal 2, dia tidak bisa suntik modal karena memang perusahaan asuransi mutuall itu kan memang perusahaan yang kita bilang less equity jadi tidak ada ekuitasnya perusahaan asuransi. Kalau PT kan selalu ada Pak, ada aset kemudian ada kewajiban, ada ekuitas. Kalau perusahaan mutuall itu tidak ada ekuitas karena pemegang saham adalah meskipun perusahaan mutual-nya untung seperti negara Jepang mungkin saja ada tapi ekuitasnya dari laba 75 Pak, laba ditahan bukan dari modal. Ketika sebuah mutuall tidak sehat pilihannya ada 3 : apakah dia kalau disuntik sudah tidak bisa, apakah dia itu didapat mutualisasi, diubah badan hukumnya menjadi PT sehingga bisa mengundang pihak investor bisa masuk itu .....mutualisasi, atau kalau tidak dimutualisasi barangkali dia bisa di-merger dengan perusahaan mutuall lainnya sedangkan sekarang kita kan cuma satu-satunya Bumiputera atau dilakukan begini tinggal bilang, pemerintah tinggal bilang kepada pemegang polis yang merangkap juga sebagai pemegang saham karena perusahaan ini rugi, perusahaan ini bermasalah. - KETUA RAPAT : Di AJB itu berapa yang .....berapa sekarang Pak? - OJK (FIRDAUS) : 5 juta Pak. Jadi gini Pak ketika mutuall tidak sehat sebetulnya regulator bisa bilang begini kepada pemegang polis yang sekaligus artinya dia menjadi pemegang saham, dia bilang: “anda nambah artinya membayar premi tambahan untuk menutupi kerugiannya”. Ini kan kalau sebagai pemegang saham kan ada bagi keuntungan, ada bagi rugi kira-kira begitu Pak”. Nah, kalau dia untung dia dapat deviden sebagai pemegang saham. Nah, kalau dia rugi dia harus bagi rugi, bagi rugi kan bisa artinya dia harus nambah preminya untuk menutupi kerugian atau nilai tunai dari polis dia dikurangi, pilihannya itu. Nah, terhadap perusahaan mutuall yang ada tadi ini untuk di ruangan kita saja Pak, memang harus diakui sekarang penyakit yang lama sekali yang sulit sekali mutuall di kita ini kan strukturnya itu ada yang kalau sekarang di Bumipetera ini Pak, ini ada direksi, ada komisaris, ada BPA. BPA itu kan Badan Perwakilan Anggota, dia badan yang mewakili pemegang polis, dipilih itu berdasarkan regional jadi ada katakanlah regional Sumatera, regional Jawa, regional Kalimantan, dan Indonesia bagian timur gitu. Nah, dahulu memang ini tidak tersentuh oleh Pemerintah sehingga mekanisme atau tata kelola pemilihan BPA ini menurut kami ini tidak bagus sehingga siapa yang terpilih menjadi anggota kita itu yang kebanyakan mungkin hampir semuanya tidak ngerti asuransi meksipun dia mungkin barangkali pemegang polis. Siapa BPA itu sekarang? Gubernur, walikota, bupati, rektor, kayak-kayak gitu lah yang jadi Pak yang dianggap barangkali oleh direksi itu mewakili tokoh daerah yang diharapkan dapat menambah bisnis di daerah. Tapi dia sebagai pengambil kebijakan tertinggi karena sidang BPA itu sama dengan RUPS Pak. Semua keputusan-keputusan penting termasuk pertanggungjawaban itu, pergantian direksi dan komisaris itu diputus di Rapat BPA yang kalau di PT adalah RUPS. Nah, mekanisme ini sekarang kami sedang benahi Pak, kami ingin terhadap Bumiputera ini pemilihan BPA misalnya itu harus melalui tata kelola yang benar, yang independen, tidak hanya menunjuk orang yang hanya sekedar tokoh yang tidak mengerti padahal fungsinya sangat penting sebagai itu. Itu didalam struktur organisasi mutuall seperti itu. Nah, kedepan ini memang kami benahi termasuk kami sudah keluarkan aturan OJK ini bahwa BPA yang akan dipilih itu nanti harus lulus fit and proper oleh OJK sehingga kami bisa membantu menyeleksi Pak. __ 76 - KETUA RAPAT : POJK-nya sudah ada Pak? - OJK (FIRDAUS) : Sudah ada Pak POJK-nya sehingga pantas kah dia duduk sebagai BPA karena pengambil keputusan itu menjadi penting. Nah, jadi yang kami sekarang ini apa yang kami lakukan terhadap terus terang memang Bumiputera ini kurang sehat Pak tetapi kami OJK dari dulu dan Pemerintah bertekad tetap harus Bumiputera ini harus eksis karena pemegang polis jumlahnya 5 juta ini Pak karena kejatuhan ini bisa menjatuhkan industri asuransi kira-kira begitu Pak. Kita sering bercanda tetangga dekat kayak Bu, kalau herritage ini kayak Borobudur, dia harus kita pertahankan itu. Jadi ini menjadi sebuah sesuatu yang harus kita pertahankan kira-kira begitu. Tapi kan dia bukan hanya sekedar mempertahankan tapi bagaimana menyebabkan dia harus eksis, harus mampu berbisnis, mampu bersaing kedepan. Nah, kami memang ada rencana beberapa strategi Pak bagaimana menyelamatkan Bumiputera ini karena terus terang kalau kita melakukan the mutualisasi pada Bumiputera agak sulit karena kita belum memiliki Undang-Undang Mutuall. Biasanya proses atau program atau SOP the mutualisasi itu harus kita tempatkan di undang-undang Mutuall. Jadi kalau undang-undang Mutuall itu belum ada, agak sulit kita melakukan the mutualisasi. ...... lain, seperti negara-negara lain .......Pak, ini sekedar gambaran. Misalnya kita akan cari katakan investor strategis dalam negeri Pak, syukur-syukur ini bisa katakanlah misalnya coba cari investor strategisnya katakanlah perusahaan yang mungkin BUMN atau anak perusahaan BUMN. Jadi ini katakan lah BUMN atau anak perusahaan BUMN dia punya asuransi kemudian kita ingin memindahkan ini portofolio bisnis Bumiputera ini kepada anak ini. Ini kita tidak melakukan mutualisasi, ini kita biarkan tetap atau apa induk saja Pak tapi bisnisnya kita kosongkan, portofolionya kita pindahkan kesini sehingga kekurangannya ini kita carikan disini investor yang bisa masuk dana karena dia sudah pindahkan bisnisnya ke anak perusahaan, disini dikosongkan. Hanya dengan begitu Pak, baru kita bisa ini perusahaan asuransi yang dibentuk oleh dalam negeri ini bisa disuntik. Kalau dananya cukup besar barangkali berarti kita coba carikan investor lain bergabung disini entah dari lokal kalau misalnya ada perusahaan asuransi yang mau ikut disini tapi tidak mayority, kita kasih minoritas karena sekedar untuk menutupi lobang yang ada ini katakan lah ketidakseimbangan antara aset dengan liabililties. Nah, kondisinya seperti itu Pak. Tapi percaya lah bahwa kita saat ini sampai saat ini kita tidak ada niatan untuk menghabiskan atau menutup itu tapi justru kita ingin selamat. Tapi lagi dicari kan ini investor strategis yang mau nanti menutup lobang ini dengan cara itu karena kalau langsung masuk Bumiputera tidak bisa Pak, dia sebagai mutuall tidak bisa disuntik. Yang ideal yang sekarang ini lebih mudah kalau tidak dilakukan mutualisasi seperti yang saya ulangi lagi adalah mengalihkan ....... portofolio bisnisnya. OJK diberi wewenang Pak diundang, dia berwenang untuk katakanlah. Kan kita punya wewenang yang namanya bisa menempatkan pengelola statuter, mengganti manajemen. Kalau ada 77 sebuah lembaga keuangan yang sebetulnya masih punya prospek baik tapi kemudian pengelolanya tidak bagus kita minta diganti pemegang sahamnya ga mau ganti karena mungkin ribut bisa saja ini terjadi Pak karena terjadi di sebuah... itu maka OJK seperti yang dikasih wewenang di undang-undang itu bisa mengganti manajemen dengan pengelolaan statuter. OJK juga diberi wewenang seperti yang Bapak-bapak berikan kepada OJK memberikan perintah tertulis, perintah tertulis untuk apa? Memerintahkan perusahaan untuk merger, memaksa perusahaan untuk merger, meminta perusahaan untuk katakanlah kita minta memindahkan portofolio bisnisnya ke perusahaan asuransi sejenis. Kalau bank mungkin ke bank sejenis, dalam upaya apa? Ini semata-mata untuk menyelamatkan pemegang polis. Kalau di bank barangkali untuk menyelamatkan deposan, kita bisa pindahkan portofolio bisnisnya ke lembaga sejenis, jadi itu Pak. Kalau misalnya sekarang ini ada suara-suara misalnya apakah itu kita tetap mengasih izin di undang-undang baru ini PT, kemudian tetap ada koperasi, tetap ada mungkin semangat ’45 nya kemudian ada mutuall katakan seperti yang sekarang ada. Sebetulnya kalau kita bicara realita Pak kedepan pun saya yakin yang akan lahir walaupun ada baru itu hanya PT tapi kalau hanya sekedar menempatkan ya ga ganggu juga bagi kami OJK, toh tidak akan perkirakan kami tidak akan lahir lagi karena yang bentuknya koperasi maupun PT. Sebagai gambaran Pak, kami atau .... mutuall. Kami didatangi oleh katakanlah beberapa koperasi besar. Dia bilang, kami akan bikin asuransi. Saya bilang bentuk hukumnya apa? Malah dia bilang kami akan bentuknya PT Pak anak perusahaan koperasi izinnya karena dia tidak mau bikin perusahaan asuransi bentuknya koperasi, dia bilang nantinya sulit Pak ketika harus nambah modal meminta lagi kepada anggota sulit. Jadi kami akan bikin tapi bentuknya PT sebagai anak perusahaan koperasi, itu sebagai gambaran. Kira-kira begitu Pak kondisinya apa yang sedang kami kerjakan tentang Bumiputera ini. Terus terang kami sekarang melakukan pendekatan kepada investor strategis untuk bisa nantinya menyuntik dalam arti ketika kita gunakan misalnya mekanisme mau memindahkan portofolio bisnis ini ke sebuah perusahaan asuransi yang sudah ada kemudian bisa menyuntik. Yang penting kemudian adalah bagaimana 5 juta pemegang polis Bumiputera ini bisa terselamatkan. Terima Kasih. - KETUA RAPAT : Bapak-bapak sekalian, Tadi sudah ada penjelasan ya dari Pak Firdaus tentang situasi yang dihadapi oleh satu-satunya industri asuransi yang berbadan hukum mutuall fund di Republik ini. Dan berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi ya Pak ya kalau tidak salah juga saya selalu dikasih oleh Pak Isa ini sudah ada keputusan Mahkamah Konstitusi-nya Pak karena kalau saya tadi kan semangatnya PT saja sesuai dengan RUU tapi Pak Isa selalu bilang ada keputusan Mahkamah Konstitusi. Jadi itu memang organ-organ ini tidak bertentangan juga dengan undang-undang gitu. Malah oleh Mahkamah Konstitusi diminta kita untuk mengatur yang namanya mutuall fund ini, kan begitu Pak ya. 78 Nah, sekarang Bapak-bapak sekalian kebetulan asuransi namanya mutuall fund ini namanya Bumiputera. Mungkin Pak Firdaus karena takut dilaporkan buka rahasia, tidak sampaikan kepada kita terus menerus apa yang terjadi didalam Bumiputera ini tetapi kita sama-sama paham lah, tidak perlu disampaikan dalam forum ini bahwa memang ada problem serius di insurance ini sebabnya malam ini kita undang beliau secara khusus disini supaya waktu kita ambil keputusan Pak karena ini terekam semuanya karena sudah mendengarkan apa yang disampaikan. Jadi kalau resiko-resiko berikutnya didalam itu tentu akan dipertanggungjawabkan sesuai dengan aturan undang-undang lah, saya kira begitu ya. Begitu Pak Basuki ya. Bapak -bapak sekalian yang saya hormati, Ini saya mau bertanya kepada Bapak-bapak sekalian, apakah kita akan segera mengambil keputusan atau mendiskusikan materi ini atau kita akan simpan sampai mata kita lebih terang besok pagi? Saya lihat Pak, ini Bapak Edwin saja kondisi kesehatannya masih bagus-bagusnya, ini mengatakan kita ambil keputusan saja. Bagaimana Pak? Memang itu kan yang diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi itu usaha bersama tapi tafsir yang diapakan di Undang-Undang Dasar secara bersama juga koperasi. Jadi kalau kita tutup itu, kalau di perbankan kita tidak tutup memang artinya tidak boleh ada lagi usaha perbankan, koperasi, dan usaha bersama. Itu artinya kita mematikan Undang-Undang Dasar. Bahwa realitasnya yang tadi disampaikan Pak Firdaus itu tidak jadi masalah, kita yang penting memang tidak melawan Undang-Undang Dasar. __ Jadi saya kira semangat Undang-Undang Dasar itu tidak boleh kita matikan di, kebetulan ini asuransi dibandingkan perbankan memang relatif agak kecil. Siapa tahu nanti muncul tokoh-tokoh mudah yang punya rasa kekeluargaan lebih bagus dari kita sekarang ini. Jadi jangan dimatikan itu yang anunya tetap saja kita apakan, apakah kita nanti diatur oleh undang- undang tersendiri atau apa kita berikan kewenangan kembali kepada OJK untuk mengaturnya seperti didalam Undang-Undang OJK. Kalau usaha bersama itu kan sudah jelas perintah Mahkamah Konstitusi tapi kalau koperasi itu tidak ada perintah atau apa, apakah kita memasukkan dia menjadi menu saja sepanjang Undang-Undang Dasar kita tidak berubah menurut saya menu ini tidak boleh kita matikan. Jadi artinya kalau kita matikan berarti mungkin barangkali 50 tahun yang akan datang kita ubah Undang-Undang Dasar itu kalau seluruh perundang-undanganya kemudian tidak boleh koperasi, tidak boleh mutuall fund. Jadi terjemahan Undang-Undang Dasar menjadi mati didalam undang-undang. - KETUA RAPAT : Ya, pak biasanya Pasal 1 sampai Pasal 4 itu Pak seingat saya. Bapak- bapak sekalian, Ini clear Pak ya. Jadi kita ambil berdasarkan urutan saja Pak. Saya kira bisa kita ambil keputusan ini ya. Bisa ya pak ya? Pemerintah? Oke, silakan kalau mau ada yang ditanggapi. 79 - STAF AHLI KEMENTERIAN KEUANGAN (ISA RAHMATAWARTA) : Terima kasih. Bapak Pimpinan, Bapak-bapak Anggota yang kami hormati, Sedikit saja mengklarifikasi karena memang pasal ini, DIM ini, ini langsung kita masukkan ke buku III Pak pada waktu itu. Jadi kami belum memberikan gambaran mengenai itu tapi dengan penjelasan dari Pak Firdaus tadi tentu kami akan tentu akan ringkaskan penjelasan. __ Pada saat kami menyusun rancangan undang-undang ini, kami memperhitungkan seperti yang tadi disampaikan oleh Pak Firdaus bahwa didalam praktek nanti tidak mudah bagi koperasi dan usaha bersama atau mutuall ini untuk bisa mendapatkan modal yang cukup untuk berusaha di bidang asuransi. Apalagi kalau kemudian dia menghadapi masalah kekurangan modal dan sebagainya yang tidak mempunyai mekanisme untuk menambah modal dia. Kemudian didalam perkembangannya, kami terus terang memang tergoda untuk melihat cara pandang yang lain dengan Undang-Undang Koperasi yang baru yang pada akhirnya dicabut secara keseluruhan oleh Mahkamah Konstitusi. Pada saat Undang- Undang Koperasi yang baru itu ada, ada mekanisme-mekanisme dimana koperasi dimungkinkan untuk menambah modal dengan menerbitkan sertifikat modal koperasi atau apa namanya begitu. Jadi memang cenderung menyerupai mekanisme-mekanisme yang bisa diterapkan di koperasi cenderung menyerupai PT pada saat Undang-Undang Koperasi yang terbaru waktu itu masih ada. Karena itu kami waktu itu membuka kembali diskusi dan pada saat itu kami pun mempertimbangkan untuk menyetujui usulan dari beberapa fraksi didalam DIM yang menginginkan koperasi tetap ada disitu. Tentu kami pemikiran ini menjadi sulit bagi kami setelah Undang-Undang Koperasi ini yang terbaru itu dibatalkan secara keseluruhan dan kita kembali kepada Undang-Undang Koperasi yang lama yang tahun ’92. Mengenai mutuall, kami mempunyai pemikiran pada waktu itu ada 2 yang terpenting : pertama, tidak ada undang-undang yang memberikan landasan hukum yang baik untuk badan hukum mutuall di Indonesia karena itu lah pada waktu itu memang ada perintah untuk dibuatkan undang-undang tersendiri mengenai hal tersebut. Tapi nyatanya pada saat kami menyelesaikan rancangan undang-undang ini, undang-undang itu tidak pernah ada dan artinya badan mutuall ini, badan usaha bersama ini tidak memiliki landasan hukum mengenai keberadaan, eksistensinya apalagi mengatur tata kelola. Jadi kalau tadi yang disampaikan oleh Pak Firdaus bahwa tidak ada, sulit untuk mengatur menata tata kelola mereka pada walaupun sekarang OJK sudah berusaha untuk melakukan hal tersebut. Pada saat ini tidak ada landasan hukum untuk melakukan bagaimana mutuall atau usaha bersama ini menyelenggarakan kegiatan hukumnya sebagai suatu entitas hukum. Kemudian yang kedua yang kami pertimbangkan pada waktu itu sebagaimana sudah dikemukakan oleh Pak Firdaus, perusahaan yang ada saat ini satu-satunya yang ada memang memiliki masalah. Dan kami pada waktu itu dengan tulus, dengan sejujurnya kami sampaikan sebetulnya keinginan kami untuk mengatakan semuanya PT adalah memberikan 80 mekanisme elegan dimana disepakati di DPR ini untuk menyelamatkan perusahaan ini dengan mengubahnya menjadi PT sebagai suatu upaya penyelamatan sebetulnya tapi melalui kewajiban di undang-undang. Nah, demikian mungkin saya ingin tadi itu adalah gambaran mengapa Pemerintah mengusulkan didalam rancangan undang-undang akhirnya hany PT. Perkembangannya tadi Undang-Undang Koperasi yang baru dibatalkan secara keseluruhan. Kemudian ada Mahkamah Konstitusi yang mengatakan tidak boleh ditutup ruang untuk upaya usaha bersama ini untuk tetap hidup di Indonesia karena itu juga sesuai dengan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Kami dari Pemerintah ingin dan sangat menghormati keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut karena itu, kami sekarang berada pada posisi dan kami ingin tetap menghormati keputusan itu artinya memang kita perlu atur bagaimana usaha bersama ini. Kemudian saya sependapat dengan Pak Harry Azhar kalau usaha bersama yang saat ini landasan hukumnya saja minimun, bisa dibilang tidak ada diakomodasi, kita tentu juga harus fair kepada koperasi jadinya. Itu pikiran logis saja, cara berpikir logisnya. Karena itu, Pemerintah sendiri saat ini secara umum melihat oke kami akan bisa menerima kalau koperasi ditambahkan disitu kembali. Tetapi kalau yang usaha bersama kami ingin mengusulkan kita tidak memperluas pada kemungkinan usaha-usaha bersama yang baru. Kami ingin usulkan oke usaha bersama yang ada kita akui bahkan kami bisa berikan misalnya oke kita berdasarkan undang-undang ini kita berikan status badan hukum khusus kepada yang ada sekarang ini. Tapi selain itu kami ingin menambahkan didalam undang-undang ini sebagai konsekuensinya adalah aturan-aturan lain, aturan-aturan prudensial yang akan bisa membantu OJK nanti yang betul-betul ya tidak mungkin ada koperasi baru yang menjalankan kegiatan usaha asuransi, kalau usaha bersama tadi kami usulnya betul-betul kita batasi Pak berdasarkan undang-undang ini hanya itu saja yang kita ini. Kita tidak membuka ruang usaha bersama yang baru. Kalau ada yang mirip-mirip seperti itu jadi koperasi saja karena koperasi sudah kita sudah punya landasan hukum undang-undang yang jelas mengenai hal itu. Untuk yang ada oke, kita akui bahkan kita usulkan, kita berikan status badan hukumnya tapi untuk koperasi maupun usaha bersama khusus yang eksisting ini seandainya tetap kita sepakati untuk kita pertahankan, kami mohon untuk dapat ditambahkan aturanaturan baru, misalnya yang kami mungkin bisa sampaikan pertama koperasi dan usaha bersama tidak boleh menjual polis asuransi kepada non anggota, dia hanya boleh menjual kepada anggotanya. Mungkin akan ada pertanyaan kalau gitu tidak bisa berkembang. Tentu bisa, kalau dia bisa menarik orang terlebih dahulu menjadi anggotanya baru kemudian menjual polis kepada yang bersangkutan. Yang kedua , yang kami mungkin ingin usulkan adalah, saya menggunakan kata mungkin nanti karena didalam diskusi mungkin berkembang yang lain. Yang kedua, bahwa untuk menjadi anggota ini seseorang ini harus membayar iuran pokok atau iuran wajib apapun namanya yang akan kita sebut. Jadi dengan demikian, setiap 81 perkembangan bisnis dengan bertambahnya anggota ini koperasi atau pun usaha bersama ini sudah terlebih dahulu di back up dengan tambahan modal dari calon pemegang polis tersebut. Kemudian yang ketiga , yang ingin kami usulkan adalah ada ketentuan yang secara tegas disini disampaikan bahwa keuntungan itu dinikmati bersama tentunya secara proporsional, kerugian juga harus ditanggung bersama oleh para anggota. Mengenai aturan pembagiannya pengenaan, pembebanannya dan sebagainya kita bisa serahkan kepada OJK mengenai hal tersebut. Nah, dengan adanya usulan yang ketiga ini apabila dapat diterima ini juga sekaligus mendorong, mendesak pada asuransi usaha bersama pada saat ini itu juga men-declear keuntungannya berapa dan kerugiannya berapa akumulasinya saat ini. Dan kemudian mendorong mereka untuk mengemukakan kepada anggota ini loh akumulasi keuntungan yang bisa dibagi atau ini akumulasi kerugian yang harus ditanggung bersama sehingga dengan demikian OJK juga akan mempunyai kekuasaan atau kewenangan untuk melakukan kekuasaan atau kewenangan untuk melakukan diskresi nah ternyata seperti ini situasinya, pilihan ada. ini juga akan meng-involve.....(mic bermasalah) pengawasan dan koreksi terhadap perusahaan asuransi ....usaha bersama...... Apa yang di 3 tadi, Pak Isa coba diulangi? - STAF AHLI KEMENTERIAN KEUANGAN (ISA RAHMATAWARTA) : Pertama Pak, kami usulkan pertama dia tidak boleh menjual polis kepada non anggota. Kedua, untuk menjadi anggota orang harus melihat......, yang ketiga ...... akumulasi keuntungan atau akumulasi kerugian .... ( suara tidak terdengar ) - KETUA RAPAT: Bapak-bapak sekalian, Sudah nyala belum Pak? - F-PG (DR. H. HARRY AZHAR AZIS, M.A.): Kalau perlu kita berikan kewenangan kepada OJK untuk penjelasan atau ketentuan lebih lanjut kita berikan kewenangan kepada OJK untuk membuat dalam bentuk POJK itu. Saya kira dengan demikian tapi bentuknya dia sebagai menu tetap hidup tapi OJK jangan kecendrungannya untuk mematikan. Jadi justru dalam peraturan OJK itu bagaimana merangsang artinya ada insentif-insentif orang lebih tertarik menjadi anggota usaha bersama atau anggota koperasi. Itu yang harus diapakan. Bahwa dia tidak hidup ya itu realitas yang ada memang tapi jangan kita berikan kewenangan nanti kecendrungan OJK justru mematikan gitu atau meniadakan. Itu yang harus kita kasih pesan yang kuat gitu. Jadi apakah nanti insentif-insentif itu nanti akan apa itu silakan OJK memikirkannya, jangan kita lah yang memikirkannya. - STAF AHLI KEMENTERIAN KEUANGAN (ISA RAHMATAWARTA) : Terima kasih Pak. 82 Kami memang sependapat kalau memang dibuka menunya tentu tidak boleh kemudian secara diskriminatif atau pun secara tendesius gitu kemudian tetap dimatikan tentu kita harus fair gitu. Tapi juga kami nanti tentu mengharapkan OJK juga tidak membuatnya menjadi begitu mudah sehingga malah mengganggu kesehatan perusahaan itu sendiri jadi tetap harus seimbang antara kemudahan dan juga kemampuan perusahaan itu nantinya untuk menjaga kesehatan untuk menjaga keseimbangan antara kewajiban dan sebagainya didalam pelaksanaannya. Kalau begitu kita masukkan juga. Jadi ada semacam konversi pengertian kesehatan di PT itu konversinya di kesehatan koperasi, konversinya di kesehatan di usaha bersama itu kita minta OJK merumuskannya. Konversi mengenai good governance tadi misalnya pernyataan Pak Firdaus, BPA itu menjadi RUPS, nah itu bagaimana konversinya. Itu harus dibuat menjadi governance betul. Nah, kalau di perbankan itu ada satu tambahan yaitu kontribusinya bagi perekonomian nasional mana yang lebih besar. Nah, itu yang nanti orang pada akhirnya itu berebut dan itu kan tujuan dari Undang-Undang Dasar kita dulu yang seperti itu yang sampai sekarang masih hidup jiwanya, tubuhnya saja tidak ada, jiwanya masih ada. Jadi kalau kita sepakat saya kira tinggal dirumuskan bagaimana, nanti baru dalam tim perumus kita apakan. STAF AHLI KEMENTERIAN KEUANGAN (ISA RAHMATAWARTA) : Bapak Pimpinan yang kami hormati, Bapak-bapak Anggota Panja, Ada satu sedikit hal lagi. Ini yang mungkin satu hal lagi yang kami mohon pertimbangan juga yaitu segala hal yang terkait dengan ini masih terbuka untuk diskusi, segala hal yang terkait dengan prudensial dari perusahaan asuransi yang berbentuk koperasi atau usaha bersama ini sudah jelas itu adalah wilayah OJK. Jadi mengenai ketentuan kesehatannya, mengenai berapa kira-kira iuran pokok atau iuran wajib yang harus dibayarkan sebelum menjadi anggota dan sebagainya karena itu terkait dengan kekuatan perusahaan, kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban dan sebagainya. __ Hal yang spesifik yang ingin kami sampaikan adalah terkait dengan status badn hukumnya dan juga mengenai hal-hal isu yang meyangkut tata kelolanya. Dalam pandangan sementara kami, melihat kesetaraan- kesetaraan juga bagaimana PT, koperasi, itu mengenai ke- badanhukuman-nya itu adalah tetap itu tetap adalah Pemerintah yang memberikan status dan sebagainya itu. Tapi bahwa izin usaha dan sebagainya ada di otoritas. Jadi kami ingin mengusulkan bahwa aspek badan hukum dan tata kelola ini tetap ada pada Pemerintah ya, tetap pada Pemerintah dalam hal ini nanti lebih spesifik sebetulnya nanti adalah Kementerian Hukum dan HAM yang mengenai hal ini. Tapi hal-hal lain yang menyangkut isu kesehatan keuangan kemudian persyaratan untuk menjadi anggota yang sebetulnya yang tentunya berpengaruh kepada kesehatan perusahaan tentu adalah wilayah OJK untuk mengaturnya lebih lanjut. __ Demikian mungkin sedikit tambahan usulan mengenai hal tersebut Pak. 83 - KETUA RAPAT : Bapak-bapak sekalian, Saya kira hal ini sudah padat sekali penjelasannya Pak ya. Sampai- sampai saya ini sudah penjelasan tambahan kayaknya sudah lewat saja, sudah tidak nampung lagi kepala saya, sudah terlalu banyak betul penjelasannya. Jadi sudah tidak muat kepala ini. __ Bapak-bapak sekalian, Mungkin kita bisa ambil keputusan Pak kelihatannya ini. Jadi kita masuk ke bentuk badan hukum ya, bentuk badan hukum itu yang pertama Perseroan Terbatas ya Pak ya, penguasa gimana Pak? penguasa sendiri tidak, penguasan itu sendiri, bagaimana penguasa setuju? Setuju Pak ya? __ (RAPAT : SETUJU) Penguasa sendiri saja duduk, belum mau bagi-bagi sama kita kekuasaan ya. Yang kedua, usaha koperasi, setuju Pak ya? Nah, ini lain ini ada pendapat? Silakan Pak. __ Terima kasih. Didalam Undang-Undang Dasar memang dimungkinkan adanya usaha bersama tapi apakah artinya luas, artinya semua kegiatan usaha memberikan peluang terbukanya usaha bersama atau kah kita bisa batasi bahwa tidak semua jenis usaha harus dilakukan secara bersama kan tidak berarti semua harus dibuka seluas-luasnya untuk bersama kan? Bia tidak diartikan demikian? kalau bisa diartikan demikian maka apakah asuransi merupakan salah satu jenis usaha yang tidak dilakukan bersama? Ini hanya sebagai .....saja. - KETUA RAPAT : Pak, saya perlu ini barangkali ini ada buku menarik ini. Doktor Muhammad Hatta, penjabaran Pasal 33 Undang-Undang Dasar ’45, ini buku sudah tua sekali Pak sampai warnanya saja sudah berubah, tadi saya dikasih dari belakang. Saya kira perlu ini Pak, kuliah ekonomi juga mestinya kasih buku begini kalau.....konstitusi ini. Saya ......oleh Doktor pendiri negara kita ini, Pasal 33 Undang-Undang Dasar kita tidak bersumber kepada falsafat pragmatisme demikian itu melainkan bersumber kepada falsafat negara Pancasila kita. Dengan jelas ayat (1) dimulai dengan ketegasan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Ada 2 keywords, ada 2 kata kunci disini yaitu kata usaha bersama dan kata asas kekeluargaan dirangkaikan menjadi satu kalimat maka kata kunci itu tidak mungkin memberikan tafsiran lain daripada bahwa yang dimaksud dalam ayat itu adalah usaha dan aktivitas koperasi. Jelas ini Muhammad Hatta yang tulis tapi bukan Hatta kita ini kalau Hatta kita ini belum nulis buku dia, sebab kedua istilah itu berasal dari dunia pergerakan koperasi baik didalam maupun didalam negeri. Jadi menarik buku ini, saya sudah copy buku ini nanti dibagi-bagi semua ini termasuk Pak Firdaus, jangan terlalu liberal Pak Firdaus. Kalau Pak Isa ini sudah jelas alirannya agak sosialis Pak Isa. ini. Ya, oke itu Pak ya kalau begitu Pak ya koperasi, setuju Pak? 84 (RAPAT : SETUJU) Yang ketiga adalah usaha bersama, bahasanya ini jadi mutuall Pak. Bagaimana Pak? - STAF AHLI KEMENTERIAN KEUANGAN (ISA RAHMATAWARTA) : Usaha bersama ini kami sekali ingin mengusul hanya usaha bersama yang ada saat ini tidak untuk dikembangkan lagi. - KETUA RAPAT : Jadi usaha bersama yang ada sekarang ini, begitu Pak ya. Yang eksisting ini saja ya AJB nanti dimasukkan dalam penjelasannya ya Pak usaha bersama yang dimaksud. Dengan catatan kalau muncul lagi itu diarahkan ke bentuk usaha koperasi. Nah, itu tadi pengertiannya Pak Edwin itu tadi. Jadi kita batasi didalam undang-undang ini tapi yang sudah ada kita tidak matikan ya. - KETUA RAPAT : Begitu Pak ya? oke. __ (RAPAT : SETUJU) Jadi usaha bersama dengan catatan penjelasan bahwa yang dimaksudkan itu dengan eksiting sekarang ini dan mendorong agar supaya di masa mendatang kalau ada yang menghendaki jenis usaha yang sama agar mengambil badan hukum yang berbentuk koperasi. Kira-kira begitu lah Pak ya, nanti kita formulasikan bahasanya. - KETUA RAPAT : Bapak-bapak sekalian, Ini ada saya mau urutannya ini keputusannya terurut ya Pak ya. Jadi kembali kepada tadi perseroan terbatas, koperasi, dan usaha bersama Pak ya yang ada saat ini, begitu ya keputusannya ya. __ (RAPAT : SETUJU) Dan kemudian ada beberapa keputusan tambahan karena itu berkaitan dengan materinya Pak ya, materi yang pertama berkaitan dengan pengaturan tambahan mengenai koperasi usaha bersama. Ini akan kita diskusikan besok pagi Pak ya karena kalau didiskusikan ini malam, ini juga sudah tidak jelas kemana ini. Setuju Pak Isa ya? Jadi peraturan lebih lanjut mengenai koperasi usaha bersama ini akan kita diskusikan besok. Saya harap teman-teman OJK ini, Bapak-bapak OJK ini bisa masih hadir besok tapi Pak Firdaus ini rupanya besok wisuda, anak apa cucu Pak? oh anak makanya saya kaget juga ini, ini jangan salah pilih kita ini, kakek- kakek kita pilih ya tidak Pak ya? selamat Pak wisuda anaknya, selamat, besok ada wisuda. Saya kira Pak Dumoli sama Pak Alim harus tetap bertahan disini. Gitu Pak ya? jadi peraturan lebih lanjutnya lagi akan kita lanjutkan. Mengenai PP Pak ini tambahan saja Pak sekedar pertimbangan 85 juga sebelum besok kita masuk, saya dibisiki dari staf ahli saya juga mungkin dari MenkumHAM juga bisa kasih pertimbangan. Perintah petita- nya Mahkamah Konstitusi itu mengatakan membentuk Undang-Undang tentang Usaha Bersama Pak kalau tidak salah. Jadi kalau saya dikasih masukan, apakah tidak mendegradasi keputusan kalau kita bikinnya itu memerintahkan lagi kepada PP gitu jadi harus dicari celahnya menurut saya gitu ya yang mungkin kita atur ini adalah celahnya gitu tentang usaha bersama ini. Tapi tentu yang kita bicarakan disini usaha bersama dibidang asuransi ya kan, asuransi usaha bersama di bidang non asuransi ada ga Pak? ga ada. Mutuall fund sebenarnya dikenal dalam bidang keuangan tetapi bukan asuransi Pak, itu pengumpulan dana apa yang disebut dengan mutuall fund itu di Amerika itu banyak juga perusahaannya tapi bukan asuransi. Kalau tidak salah saya di Amerika itu bentuknya bukan asuransi istilahnya disebut sebagai mutuall fund, mutuall fund juga ya untuk investasi, fund saja gitu loh. Jadi gitu ya dipertimbangkan saja. - STAF AHLI KEMENTERIAN KEUANGAN (ISA RAHMATAWARTA): Terima kasih Pimpinan. Saya sekedar ini saja untuk kita diskusikan besok mengenai hal tersebut. Keputusan Mahkamah Konstitusi itu menambahkan saja frasa setelah kalimat yang ada di UndangUndang Nomor 2 tahun ’92. Saat ini undang- undang ini tanpa tambahan dari Mahkamah Konstitusi bunyinya : ”ketentuan tentang usaha perasuransian yang berbentuk usaha bersama diatur lebih lanjut dengan undang-undang”. Jadi yang diperintahkan diatur dengan undang-undang ini adalah ketentuan mengenai usaha perasuransian oleh usaha bersama bukan mengenai usaha bersamanya sendiri. Itu satu. Kemudian Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Konstitusi menambahkan anak kalimat setelah itu paling lama 2 tahun 6 bulan sejak putusan Mahkamah Konstitusi, kira-kira 3 bulan yang lalu Pak. Jadi kalau kita membaca ini secara lengkap, ketentuan tentang usaha perasuransian yang berbentuk usaha bersama diatur lebih lanjut dengan undang-undang paling lama 2 tahun bulan setelah atau sejak, nanti kita cek, putusan Mahkamah Konstitusi dibacakan atau diucapkan. Dengan demikian kami sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011, kami melihat ada peluang kita menjalankan keputusan Mahkamah Konstitusi itu dengan mengatur mengenai usaha perasuransian yang dilakukan oleh usaha bersama dengan undang-undang yang akan kita buat ini. Tapi boleh besok pagi kita eksplor lebih lanjut pandangan hukumnya. Itu pandangan kami, kajian-kajian yang kami lakukan secara internal di Kementerian Keuangan. __ Adapun mengenai bentuk hukum dari usaha bersama sendiri, ini bukan secara spesifik menjadi aspek yang diatur diperintahkan oleh Pasal 7 ayat (3) undang-undang yang ada sekarang. Jadi seandainya toh kita atur mengenai usaha perasuransian berbentuk usaha bersama didalam undang-undang yang akan kita buat ini, menurut hemat kami itu dapat kita lakukan. Jadi sekaligus kita penuhi juga keputusan Mahkamah Konstitusi. Kemudian khusus mengenai aspek ke-badanhukuman-nya ya undang- undang ini bisa mendelegasikan kepada siapa saja dan hal ini usulan kami 86 adalah kepada Peraturan Pemerintah. Tapi kami tetap terbuka kalau besok ada diskusi-diskusi lebih lanjut dari aspek legal mengenai hal ini. Terima kasih Pak Pimpinan. __ - KETUA RAPAT : Bapak-bapak sekalian, Saya kita itu sekedar tambahan saja. Kita sudah ada keputusan, badan hukumnya ada 3 : perseroan terbatas, koperasi, usaha bersama ....catatannya tadi itu ada diatas Pak. Selanjutnya besok kita akan membicarakan lebih detail lagi mengenai aspek-aspek tambahan dalam Undang-Undang Koperasi itu Pak ya materinya. __ Saya kira kita skors rapat kita ini sampai besok pagi jam 09.00 ya, betul Pak? ya, 09.35 lah kira-kira begitu ya. Jadi kita skors sampai jam 09.30 besok pagi. • Terkait dengan Pasal 6 ayat (3) sepanjang frasa “Badan Hukum Usaha Bersama” UU PERASURANSIAN dalam Masa Persidangan IV Rapat Panja dengan Tim Kementerian Keuangan (Kepala BKF), OJK, Sabtu, 30 Agustus 2014. Dalam Rapat Panja RUU tentang Usaha Perasuransian: - KETUA RAPAT: Bapak-bapak sekalian yang saya hormati, Kita dapat tugas tadi malam untuk melanjutkan materi yang berkaitan dengan usaha bersama ini. Jadi ini masih ada ......soal usaha bersama ini, interpretasinya ini soal undang-undang atau apakah kita undang- undangkan atau cukup Peraturan Pemerintah. Saya kira silakan Pemerintah. - STAF AHLI KEMENTERIAN KEUANGAN (ISA RAHMATAWARTA): Bapak Pimpinan, Bapak-bapak yang saya hormati, __ Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Berkenaan dengan pandangan mengenai peraturan lebih detail mengenai bentuk badan hukum atau mengenai badan hukum....... kami sebagaimana kami kemukakan tadi malam juga berpandangan bahwa pertama keputusan Mahkamah Konstitusi sebetulnya adalah tidak mengubah secara signifikan dari ketentuan Pasal 7 ayat (3) tahun.........kecuali menambahkan jangka waktu atau harus diselesaikannya undang-undang yang mengatur mengenai usaha perasuransian berbentuk usaha bersama. Jadi sekali lagi kami sampaikan bahwa kalau kemudian kita membaca Pasal 7 ayat (3) yang sudah dilengkapi dengan hasil keputusan Mahkamah Konstitusi maka kita akan mendapatkan kalimat ketentuan tentang usaha perasuransian yang berbentuk usaha bersama. Jadi yang perlu diatur adalah usaha perasuransian oleh badan usaha yang berbentuk usaha bersama diatur lebih lanjut dengan undang-undang, paling lama 2 tahun 6 bulan setelah atau sejak dibacakannya putusan Mahkamah Konstitusi. Dari kalimat tersebut, pemahaman kami adalah yang perlu diatur dengan undang-undang itu adalah ketentuan mengenai usaha perasuransian oleh usaha bersama, tidak secara spesifik mengenai badan hukum usaha bersamanya itu sendiri tapi mengenai usaha perasuransian oleh badan 87 hukum yang berbentuk usaha bersama karena itu sepanjang kita sudah memuat beberapa aturan pokok mengenai kegiatan usaha perasuransian yang dilakukan oleh usaha bersama maka undang-undang ini juga bisa dipakai sebagai bukti bahwa DPR dan Pemerintah sudah memenuhi keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut karena disini juga digunakan, diatur dengan undang-undang. Artinya tidak harus spesifik undang-undang khusus mengenai hal tersebut, bisa dilakukan di undang-undang mana pun. Ada pun yang kami pandang sebagai aturan mengenai usaha perasuransian oleh usaha bersama itu bisa aturannya spesifik, bisa juga aturan yang diberlakukan sama untuk usaha bersama maupun untuk badan-badan usaha lain PT, koperasi dan sebagainya. Dengan kata lain, didalam undang-undang ini bisa jadi ada peraturan-peraturan yang spesifik mengenai pengaturan usaha perasuransian oleh usaha bersama, kami kemarin juga sudah sampaikan beberapa pemikiran yang mungkin bisa ditambahkan disitu yang merupakan kekhasan dari usaha perasuransian oleh usaha bersamam dan koperasi. Semalam kami usulkan ada 3 hal yaitu bahwa dia tidak boleh menjual polis kepada non anggota, kemudian untuk menjadi anggota orang diminta untuk membayar iuran pokok atau iuran apa pun nanti namanya, kemudian yang ketiga akumulasi keuntungan, akumulasi kerugian itu pada dasarnya harus didistribusikan secara merata kepada seluruh anggota. Itu adalah aturan-aturan mengenai usaha perasuransian yang sifatnya khas, yang sifatnya spesifik bagi usaha bersama. Yang kebetulan nanti kita terapkan untuk koperasi. Sementara aturan yang lain mengenai tingkat solvabilitas, mengenai kewajiban untuk mendapatkan izin usaha, kewajiban untuk memiliki tata kelola membuat aturan tertentu yang ditetapkan oleh OJK. Seluruhnya mungkin kita bisa persamakan antara PT dan koperasi dan usaha bersama atau ya nanti tergantung kita serahkan diskresi kepada OJK didalam peraturan-peraturan pelaksanaannya, peraturan OJKnya apakah memang perlu dibedakan antara PT, usaha bersama dan koperasi. Oleh karena itu, Bapak Pimpinan, Bapak-bapak Anggota Panja yang kami hormati, dalam pandangan kami kalau kita sudah membuat pengaturan pertama menyatakan bahwa badan usaha bersama ini adalah badan hukum dan dapat tetap melanjutkan kegiatan usaha perasuransiannya. Kemudian kita menambahkan 3 atau mungkin beberapa yang nanti spesifik mengenai usaha perasuransian. Kemudian kita mendelegasikan pengaturan lebih lanjut mengenai tata kelola, mengenai tata cara perubahan bentuk badan hukum dan sebagainya kepada PP dan mengenai aturan-aturan prudensial lain kepada POJK. Menurut kami itu sudah menunjukkan DPR dan Pemerintah sudah membuat undang- undang, ketentuan didalam undang-undang yang mengatur mengenai usaha perasuransian oleh badan hukum berbentuk usaha bersama. Demikian mungkin pandangan-pandangan dan argumen yang kami sampaikan sehingga dalam pandangan kami oh ada satu lagi Bapak Pimpinan, Bapak-bapak yang kami hormati. Kalau untuk misalnya saya sangat mengerti argumen kita harus membuat sebetulnya ketentuan mengenai satu badan hukum, paling tepat idealnya adalah undang- undang. Saya bisa memahami logika itu. Tapi karena kita juga semalam sudah bersepakat, kita tidak membuka usaha bersama yang lain hanya 88 yang eksisting ini dan di kemudian hari kalau ada yang ingin menerapkan pola yang serupa kita dorong untuk menggunakan koperasi. Akan terlalu mahal kita Pak untuk kita mengupayakan undang-undang yang hanya mengatur satu badan hukum private di Indonesia ini. Itu argumen lain yang ingin kami sampaikan sehingga kami melihat bahwa ini bisa kita akomodasi di undang-undang ini, pernyataan badan hukumnya ada di undang-undang yaitu undang-undang ini memang ini satu kekhususan. Kemudian pengaturan-pengaturan lain kita serahkan kepada Peraturan Pemerintah menyangkut tata kelola dan POJK untuk yang menyangkut prudensial di bidang usaha perasuransian. Demikian Pak. Terima Kasih. - KETUA RAPAT : Bapak-bapak sekalian, Intinya kita sudah mengadopsi keberadaan usaha bersama ini. Soal undang-undangnya nanti juga saya perhatikan perseroan terbatas kan sudah ada undang-undang, koperasi juga sudah ada undang-undang. Nah, usaha bersama ini belum ada, akan dibentuk 2,5 tahun. Ini kan putusannya kapan? 2014? Masih lama Pak, masih ada 2 tahun lagi. Jadi kita ga perlu tambahkan didalam undang-undang ini frasa untuk memerintahkan membentuk lagi undang-undang begitu loh, itu hanya menimbulkan konflik dengan keputusan yang lebih tinggi daripada kita. Jadi cukup kita mengatur bahwa badan usaha didalam asuransi itu ada 3 bentuk hukumnya : perseroan terbatas, koperasi, usaha bersama sudah begitu Pak. Usaha bersama itu ya memang sudah ada memang untuk memberikan alasan hukum saja kepada asuransi, saya juga sudah baca salinan putusan Mahkamah Konstitusi itu walaupun sekilas memang ya sudah begitu Pak. Dan kedua, Pak Isa sebetulnya sih undang-undang ini yang mengatur satu jenis usaha itu banyak Pak, misalnya : BPJS itu kan Jamsostek saja itu yang berubah kan misalnya diubah menjadi BPJS, macam-macam. Jadi ada banyak kan, undang-undang 32, 34 itu tentang pengendara juga cuma satu juga kan. Jadi biarlah itu menjadi materi yang diperintahkan oleh Mahkamah Konstitusi dan menjadi PR Pemerintah dan DPR ya untuk membentuk Undang-Undang tentang Usaha Bersama, apakah nanti itu diputuskan hanya untuk mutuall fund Bumiputera atau apakah nanti Pemerintah baru dia pikir-pikir karena perlu juga mutuall fund yang lain lagi, silakan saja itu kita kasih kesempatan bagi mereka untuk memikirkan. Yang pasti kita dalam undang-undang ini cukup bahwa yang ada sekarang ini sudah kita kasih alas hukum dan oleh karena itu mereka tidak perlu merasa terdiskriminasi lagi. Dan tadi malam sudah dijelaskan Pak Firdaus jan road map penyelesaiannya itu, kalau tidak selesai-selesai ya OJK-nya yang kita ikut ini ya Pak Sugi ya kalau tidak selesai-selesai juga biar.... namanya asuransi jasa Bumiputera. Kalau tidak bisa juga OJK baru kita kirim Pak Isa untuk beresin itu, apakah likuidasi atau ya kan gitu kira-kira. Jadi Pak ya oke ya. Nah, sekarang yang ketiga saya ingin tambahkan Pak ini untuk usaha bersama ini menurut saya ada satu pasal yang mesti kita masukkan tambahan sedikit khusus untuk usaha bersama ini. Kalau koperasi ini banyak di dalam catatan saya ini ada beberapa materi yang akan kita putuskan untuk koperasi dan usaha bersama harus ada pengaturan yang 89 jelas mengenai: satu, polis hanya dapat dijual kepada anggota ya Pak ya? _begitu Pak ya? jadi materi yang mau kita atur itu:
Polis hanya dapat_ dijual kepada anggota. Cuma dalam catatan hukum teman-teman tadi malam itu tidak masalah ya? itu polis hanya dapat dijual kepada anggota, tadi malam sudah dijelaskan Pak Isa. Ada tanggapan Pak? Ga apa-apa ya? kita ketok palu ini kalau tidak ada tanggapan? Pak Isa, mau diubah pendapatnya? Bapak tidak ragu-ragu? Ya, sudah yakin ya sudah kita ketok palu. Jadi materinya itu polis hanya dapat dijual kepada anggota yang kita atur dalam bentuk pasal sendiri ya nantinya, ketentuan sendiri. (RAPAT : SETUJU) PETITUM DPR RI Bahwa berdasarkan keterangan tersebut di atas, DPR RI memohon agar kiranya, Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi memberikan amar putusan sebagai berikut:
Menyatakan bahwa para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) sehingga Permohonan a quo harus dinyatakan tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard );
Menolak Permohonan a quo untuk seluruhnya;
Menerima keterangan DPR RI secara keseluruhan;
Menyatakan Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618) tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tetap memiliki kekuatan hukum mengikat; dan
Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita negara republik Indonesia sebagaimana mestinya. Apabila Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya ( ex aequo et bono ). [2.4] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon, Presiden memberikan keterangan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 18 Agustus 2020 dan didengarkan dalam persidangan pada tanggal 19 Agustus 2020, serta keterangan tambahan yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 7 September 2020, yang pada pokoknya mengemukakan hal sebagai berikut: 90 TENTANG KEDUDUKAN HUKUM ( LEGAL STANDING ) PARA PEMOHON Sebelum memberikan penjelasan mengenai pokok permasalahannya, perlu kiranya terlebih dahulu dilakukan pengujian terhadap aspek formal yakni legal standing para Pemohon. Untuk itu perkenankan kami memberikan pendapat sebagai berikut:
Bahwa dalam permohonannya, para Pemohon keberatan terhadap keberlakuan pasal a quo karena pengaturan lebih lanjut mengenai badan hukum Perusahaan Asuransi berbentuk Usaha Bersama ke dalam Peraturan Pemerintah, dianggap bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi No. 32/PUU-XI/2013 yang bersifat final dan mengikat.
Bahwa oleh karena yang dijadikan batu uji para Pemohon adalah putusan Mahkamah Konstitusi No. 32/PUU-XI/2013, maka perkenankan terlebih dahulu kami menyampaikan hal-hal terkait dengan putusan dimaksud:
Bahwa permohonan uji materi tersebut diajukan oleh para Pemegang Polis (Pemilik Badan Usaha) Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera terhadap ketentuan Pasal 7 ayat (3) UU No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian dengan alasan ketentuan pasal tersebut mengamanatkan pengaturan tentang usaha perasuransian dengan bentuk Usaha Bersama diatur dengan undang-undang, sedangkan sampai dengan permohonan uji materi tersebut diajukan, masih belum diterbitkan undang-undang tersebut.
Bahwa terhadap permohonan tersebut, Mahkamah Konstitusi telah menerbitkan putusan yang amarnya pada pokoknya menyatakan bahwa ketentuan Pasal 7 ayat (3) UU 2 Tahun 1992 yang diajukan permohonan uji materinya tersebut, dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “... diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang’ dilakukan paling lambat dua tahun enam bulan setelah putusan Mahkamah ini diucapkan.
Bahwa dapat kami sampaikan, pada saat putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dibacakan, sedang dilakukan pembahasan perubahan UU 2 Tahun 1992. Oleh karena itu, putusan Mahkamah Konstitusi dimaksud, juga dijadikan sebagai dasar pertimbangan dalam perumusan perubahan UU 2 Tahun 1992, yang selanjutnya kami kutip sebagai berikut: “… dengan mempertimbangkan putusan MK tersebut, kepastian hukum bagi badan hukum asuransi Usaha Bersama akan terpenuhi jika amanat 91 putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dilaksanakan. Oleh karena itu, pengakuan atau penetapan perusahaan asuransi berbentuk Usaha Bersama sebagai suatu badan hukum, perlu dituangkan dalam undang- undang ini, untuk mengakomodir keberadaan satu-satunya perusahaan asuransi berbentuk Usaha Bersama yang sudah ada di Indonesia, yaitu Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912. Di samping itu, ketentuan mengenai tata kelola, persyaratan, tata cara persyaratan menjadi badan hukum perseoran terbatas atau koperasi, dan tata cara pembubaran serta ketentuan lain bagi perusahaan perasuransian yang berbentuk badan hukum Usaha Bersama, akan diatur dalam bentuk Peraturan Pemerintah ( vide Naskah Akademik RUU tentang Perasuransian halaman 63 alinea 3).
Bahwa apabila dikaitkan dengan tenggang waktu yang diamanatkan oleh Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dalam putusan No.32/PUU-XI/2013, maka Pembuat Undang-Undang sebelum tenggang waktu 2 tahun 6 bulan sejak putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dibacakan, tepatnya pada tanggal 17 Oktober 2014, telah menetapkan UU Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (UU 40 Tahun 2014) yang didalamnya juga mengatur tentang usaha perasuransian dengan bentuk Usaha Bersama. Sehingga Pemerintah telah menjalankan amanat putusan Mahkamah Konstitusi tersebut di atas dengan menerbitkan UU 40 Tahun 2014 dalam jangka waktu sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi.
Bahwa berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, maka maksud dari permohonan para Pemohon, telah terpenuhi yakni dengan telah diakuinya perusahaan asuransi berbentuk Usaha Bersama yang telah ada pada saat UU 40 Tahun 2014 diundangkan, sebagai badan hukum penyelenggara Usaha Perasuransian. Selain itu, permohonan para Pemohon juga telah terpenuhi dengan diaturnya usaha perasuransian dengan bentuk Usaha Bersama dalam UU 40 Tahun 2014.
Bahwa dengan terpenuhinya permohonan para Pemohon tersebut, maka apabila dikaitkan dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 tahun 2011, yang mensyaratkan Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang , maka para Pemohon a quo tidak 92 memenuhi syarat-syarat tersebut, karena pada kenyataannya putusan Mahkamah Konstitusi No.32/PUU-XI/2013 telah ditaati oleh pembuat UU 40 Tahun 2014 sebagaimana telah kami kemukakan di atas.
Bahwa selain tidak memenuhi legal standing , permohonan a quo juga telah kehilangan obyek dengan telah diaturnya jenis usaha perasuransian yang berbentuk Usaha Bersama dalam UU 40 Tahun 2014. PENJELASAN PEMERINTAH ATAS MATERI PERMOHONAN YANG DIMOHONKAN UNTUK DIUJI A. Latar Belakang Lahirnya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian Sebagaimana telah kami sebutkan sebelumnya, Pada saat putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dibacakan, Pembentuk Undang-Undang tengah melakukan pembahasan perubahan UU 2 Tahun 1992. Oleh karena itu, putusan Mahkamah Konstitusi dimaksud, juga dijadikan sebagai dasar pertimbangan dalam perumusan perubahan UU 2 Tahun 1992, sebagaimana disebutkan dalam halaman 63 alinea 3 Naskah Akademik RUU tentang Perasuransian. Bahwa selain itu, lahirnya UU 40 Tahun 2014, dilatarbelakangi oleh suatu keadaan dimana peraturan perundang-undangan sektor jasa keuangan yang ada pada saat itu, khususnya di bidang perasuransian telah tertinggal dibanding dengan kemajuan dan perkembangan di industri maupun standar di praktek internasional. Akibatnya, banyak celah hukum yang apabila tidak segera ditangani dan diantisipasi, berpotensi menimbulkan keadaan yang merugikan masyarakat dan kontra produktif bagi pertumbuhan dan perkembangan industri perasuransian serta sektor jasa keuangan dan perekonomian nasional pada umumnya. Oleh karena itu, Pembuat Undang-Undang, pada saat itu pembentukan UU 40 Tahun 2014, telah melakukan identifikasi masalah, dalam rangka menyusun kerangka pembaharuan peraturan perundang-undangan di bidang perasuransian. Ada beberapa hal yang menjadi perhatian dalam pembaharuan peraturan bidang perasuransian, yakni:
Perlunya Penyesuaian Pengaturan Dan Pengawasan Industri Perasuransian Di Indonesia Yang Selaras Dengan Standar Praktik Terbaik ( Best Practices ) Yang Berlaku Secara Internasional. Standar praktik terbaik internasional di bidang perasuransian adalah Insurance Core Principles, Standards, Guidance and Assesment Methodology 93 (selanjutnya disebut ICPs) yang diterbitkan oleh International Association of Insurance Supervisors (selanjutnya disebut IAIS), selaku organisasi internasional yang menaungi para regulator atau supervisor di bidang perasuransian. ICPS tersebut ditetapkan pada tahun 2000 dan terakhir kali diperbaharui pada Oktober 2011. ICPs telah menjadi panduan bagi regulator atau pengawas perasuransian di seluruh dunia dalam melaksanakan fungsi pengaturan dan pengawasan terhadap industri perasuransian. Sebagai bagian dari komunitas global, Indonesia harus berkomitmen agar pelaksanaan fungsi pengaturan dan pengawasan industri perasuransian selaras dengan standar praktik terbaik ( best-practice standard ), sebagaimana ditetapkan dalam ICPs. Dalam upaya meningkatkan daya saing industri perasuransian di Indonesia, baik di kawasan regional maupun internasional, penerapan standar praktik terbaik baik pada sisi pengaturan maupun pengawasannya, merupakan hal yang tidak dapat dihindari lagi. Oleh karena itu, peraturan terkait perasuransian harus memuat pengaturan mengenai prinsip-prinsip dasar asuransi sesuai dengan ICPs yang telah ditetapkan oleh IAIS. Sistim Pengawasan Usaha Perasuransian di Indonesia Sebagaimana telah kami kemukakan di atas, bahwa usaha perasuransian sangat memerlukan pengawasan dan tidak terkecuali usaha perasuransian di Indonesia. Agar sesuai dengan standar internasional, maka sistem pengawasan asuransi di Indonesia, yang sebelumnya dilakukan oleh Bapepam-LK di bawah Kementerian Keuangan, juga dilakukan penyempurnaan dengan membentuk lembaga baru yang independen yakni Otoritas Jasa Keuangan, yang diatur dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK). Dengan telah disahkannya UU OJK, maka sistem pengaturan dan pengawasan menjadi terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan, dalam hal ini termasuk usaha perasuransian di Indonesia. Dengan demikian, diharapkan keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan dan akuntabel, sehingga mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil serta mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. 94 Usaha perasuransian senantiasa mengalami dinamika, tentunya hal ini juga membawa konsekuensi perlu diimbangi dengan dinamika pengaturan dan pengawasannya, agar pelaksanaannya tidak merugikan masyarakat pengguna jasa asuransi. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pengawasan yang dilakukan oleh OJK sejatinya adalah merupakan upaya pemerintah untuk melakukan pengawasan terhadap seluruh bentuk usaha perasuransian, baik perseroan terbatas, koperasi dan Usaha Bersama, agar tercipta iklim asuransi yang sehat yang dapat melindungi seluruh masyarakat sebagaimana acuan standar praktik terbaik ( best-practice standard ) internasional di bidang perasuransian. Sehingga hendaknya tidak semata-mata diartikan sebagai bentuk intervensi Pemerintah dalam pengurusan internal suatu perusahaan perasuransian.
Perlindungan Hukum Kepada Masyarakat Pengguna Jasa Perasuransian Perlindungan hukum kepada masyarakat pengguna jasa asuransi juga merupakan salah satu hal yang diperhatikan oleh pembuat undang-undang. Ketersediaan perlindungan dimaksud ditujukan kepada masyarakat pemegang polis, tertanggung atau peserta secara proporsional dan tepat sasaran. Kedudukan pemegang polis, tertanggung atau peserta dalam perjanjian yang disepakati relatif lemah, karena pengikatannya yang bersifat sukarela dari tertanggung kepada penanggung untuk menyerahkan sejumlah uang berupa premi asuransi dengan harapan Penanggung akan melakukan penggantian kepada Tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung, yang timbul dari peristiwa tidak pasti di kemudian hari. Dalam beberapa kasus, ternyata masyarakat pemegang polis, tertanggung atau peserta berpotensi kehilangan haknya atas manfaat ekonomis secara material dan signifikan ketika perusahaan asuransi bubar, likuidasi atau pailit. Terjadinya pembubaran, likuidasi atau pailitnya perusahaan asuransi umumnya disebabkan oleh kekeliruan dan kesalahan pelaksanaan prinsip- prinsip tata Kelola perusahaan yang baik (good corporate governance ) sehingga menyebabkan perusahaan mengalami kondisi keuangan yang tidak sehat ( insolvent ). Pada tingkat tertentu, kondisi tersebut dapat mengakibatkan 95 ketidakpercayaan masyarakat ( public distrust) dalam memanfaatkan perusahaan perasuransian untuk tujuan memproteksi risiko-risikonya. Kekhawatiran serupa, khususnya di sektor perbankan, dapat dikurangi dengan keberadaan Lembaga Penjamin Simpanan (selanjutnya disebut LPS) yang berfungsi untuk melindungi dan menjamin dana para nasabah perbankan. Oleh karenanya, dalam rangka meningkatkan kepercayaan masyarakat ( public confidence ) dan memberikan arena berkompetisi ( level playing field ) yang setara di antara lembaga-lembaga keuangan di Indonesia, dipandang perlu agar industri perasuransian dilengkapi dengan sistem dan mekanisme perlindungan bagi pemegang polis, tertanggung, atau peserta secara proporsional dan tepat sasaran, baik semasa perusahaan perasuransian masih beroperasi normal maupun saat dibubarkan, dilikuidasi atau dipailitkan.
Kepastian Hukum Bagi Penyelenggara Usaha Perasuransian UU 40 Tahun 2014 yang dimaksudkan sebagai pengganti UU 2 Tahun 1992, pada dasarnya merupakan salah satu upaya untuk lebih memperkuat industri perasuransian di Indonesia, baik penguatan pada sisi industrinya itu sendiri maupun penguatan pada sisi pengawasannya. Penguatan pada sisi industri diharapkan akan menghasilkan industri perasuransian yang sehat, dapat diandalkan, amanah, dan kompetitif sehingga tahan dari goncangan ekonomi, mampu bersaing dengan industri perasuransian lain, baik secara regional maupun internasional, serta menjadi industri yang senantiasa mampu memberikan pelayanan yang terbaik bagi para pihak yang berkepentingan, khususnya kepada pemegang polis, tertanggung, atau peserta. Sebagai bagian dari strategi dalam rangka penguatan industri perasuransian, UU 40 Tahun 2014 juga diharapkan dapat lebih memberikan kepastian hukum bagi para pelaku usaha asuransi. Selain itu, kepastian hukum diperlukan juga dalam upaya memberikan perlindungan bagi pemegang polis, tertanggung, atau peserta. Hal ini didasari oleh pertimbangan bahwa kekuatan industri perasuransian di Indonesia, pada akhirnya, sangat dipengaruhi oleh kepercayaan masyarakat pengguna jasa usaha perasuransian. Peningkatan kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap industri perasuransian salah satunya dapat dilakukan melalui keberadaan program penjaminan bagi pemegang polis, tertanggung, atau peserta dan penyelesaian 96 sengketa antara pemegang polis, tertanggung, atau peserta dengan perusahaan dengan bantuan lembaga mediasi yang independen dan imparsial. Undang-Undang No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian mengusulkan adanya program penjaminan bagi pemegang polis, tertanggung, atau peserta dan penguatan keberadaan lembaga mediasi yang independen dan imparsial. Berdasarkan ketiga hal yang menjadi perhatian dalam pembaharuan peraturan bidang perasuransian tersebut di atas, Pembuat Undang-Undang menyadari bahwa untuk meciptakan iklim perasuransian yang sehat, yang dapat melindungi seluruh masyarakat, haruslah memenuhi ketiga hal pokok tersebut di atas, oleh karena itu, seluruh usaha perasuransian harus memiliki peraturan tentang standar tata kelola yang baik, yang dituangkan dalam suatu peraturan perundang- undangan. B. Perusahaan Asuransi Berbentuk Usaha Bersama Merupakan Bagian Dari Industri Asuransi. Pembuat UU 2 Tahun 1992 juga telah memikirkan bentuk badan hukum usaha perasuransian, termasuk jenis usaha asuransi yang berbentuk Usaha Bersama, selain usaha asuransi berbentuk perseroan terbatas dan koperasi. Sehingga, dalam UU 2 Tahun 1992 terdapat tiga bentuk usaha asuransi yang diakui, yaitu perseroan terbatas, koperasi dan Usaha Bersama. Bahwa ketiga bentuk badan usaha tersebut di atas memiliki karakteristik yang berbeda, yakni:
Karakteristik usaha asuransi berbentuk perseroan terbatas antara lain:
Kelangsungan perusahaan lebih terjamin karena tidak tergantung pada milik tertentu.
Kepemilikan dapat berubah dengan cara memindah atau menjual sahamnya kepada pihak lain.
Perusahaan dapat diperbesar dengan cara dilakukan penambahan modal dengan mengeluarkan saham baru. Kepentingan para pemangku kepentingan dapat terlindungi dengan baik karena kejelasan tata kelolanya.
Telah terdapat undang-undang sendiri yakni Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Karakteristik usaha asuransi berbentuk koperasi antara lain:
Penerapan asas kekeluargaan kebersamaan dan keadilan. 97 b. Telah memiliki undang-undang sendiri yakni UU No. 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian.
Pengelolaan dilakukan secara demokratis.
Pembagian sisa hasil usaha dilakukan secara adil dan sebanding dengan besar jasa masing-masing anggota, dan lain-lain.
Usaha asuransi berbentuk Usaha Bersama: Saat itu, Indonesia belum memiliki pengaturan mengenai badan hukum Usaha Bersama. Satu-satunya perusahaan asuransi yang berbentuk Usaha Bersama, melandaskan keberadaannya pada Keputusan Kerajaan Belanda tanggal 28 Maret 1870 No. 2 Stb. 64 sesuai dengan Sekretaris Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 6 April 1915. Usaha Bersama, meskipun telah diakui di dalam UU 2 Tahun 1992, namun dari sisi tata kelola masih menghadapi tantangan mengingat pada saat itu, belum terdapat ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang status badan hukum termasuk tata kelola perusahaan asuransi berbentuk Usaha Bersama sebagaimana halnya usaha perasuransian berbentuk perseroan terbatas dan koperasi. Pembuat undang-undang, saat pembentukan UU 40 Tahun 2014, berpendapat dari ketiga bentuk badan hukum tersebut di atas, perseroan terbatas merupakan bentuk yang paling ideal dalam menjalankan usaha perasuransian, dengan pertimbangan bahwa mekanisme tata kelolanya telah diatur, sebagaimana telah kami sebut di atas. Demikian juga halnya usaha perasuransian berbentuk koperasi. Namun demikian, Pembuat Undang-Undang Perasuransian tetap berkomitmen untuk melindungi dan mengakui seluruh bentuk usaha asuransi yang telah ada dengan tetap memerikan ruang bagi asuransi Usaha Bersama. Oleh karena itu, dalam UU 40 Tahun 2014, Pembentuk Undang-Undang sepakat untuk memberikan pengakuan hukum kepada usaha asuransi berbentuk Usaha Bersama sebagai salah satu bentuk badan hukum perusahaan perasuransian di Indonesia. ( vide pasal 6 ayat (2) UU 40 Tahun 2014. Hal tersebut seharusnya telah memberikan kepastian hukum bagi AJB Bumiputera dalam menyelanggarakan usaha asuransi dengan bentuk Usaha Bersama di Indonesia. 98 C. Perusahaan Asuransi Usaha Bersama dalam Undang-Undang No.40 Tahun 2014 tentang Perasuransian Usaha Bersama yang telah ada sebagai salah satu bentuk usaha perasuranasian mendapatkan pengesahan sebagai salah satu badan hukum usaha perasuransian di Indonesia sebagaimana disebutkan dalam pasal 6 ayat (2) UU 40 Tahun 2014. Pembuat UU telah menetapkan pilihan kebijakan ( open legal policy ) bahwa berlakunya UU 40 Tahun 2014untuk menjamin kepentingan masyarakat sebagai pemegang polis, maka usaha bersama yang dapat menjalankan usaha perasuransian hanya usaha bersama yang telah ada. Dengan klasul “usaha bersama yang telah ada” maka open legal policy Pembuat Undang- Undang tidak lagi memberi peluang lahirnya usaha bersama yang baru yang akan menjalankan usaha perasuransian. Dengan demikian AJB Bumi Putera adalah satu-satunya usaha bersama yang menjalankan usaha perasuransian. Dari sisi tata kelola, usaha perasuransian berbentuk Usaha Bersama masih menghadapi tantangan mengingat sebelum UU 40 Tahun 2014 diterbitkan, belum terdapat ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tata kelola perusahaan asuransi berbentuk Usaha Bersama sebagaimana halnya usaha perasuransian berbentuk perseroan terbatas dan koperasi. Tata kelola suatu perusahaan merupakan hal yang sangat penting. Dalam kasus tertentu, kesalahan tata Kelola atau kecurangan ( fraud ) dalam pengurusan perusahaan asuransi, akan lebih memperbesar peluang timbulnya ketidakmampuan perusahaan asuransi dalam memenuhi kewajiban sebagaimana tertuang dalam polis asuransi yang telah diterbitkan. Secara umum, penyelesaian permasalahan kesehatan keuangan perusahaan asuransi berbentuk perseroan terbatas adalah dengan kewajiban untuk menambah modal sehingga rasio kesehatan keuangan memenuhi persyaratan otoritas. Dalam Usaha Bersama, penambahan modal tidak dapat dilakukan karena karakteristik Usaha Bersama tidak membolehkan adanya penambahan modal dari pihak luar selain dari anggota. Disisi lain, karakteristik usaha perasuransian adalah bisnis yang memerlukan modal usaha besar. Dengan mempertimbangkan keterbatasan kemampuan Usaha Bersama dalam menambah modal, dengan pemahaman Usaha Bersama sebagai kumpulan pihak dan bukan kumpulan modal, sementara di sisi lain Usaha Bersama tetap harus 99 memastikan kemampuannya untuk memenuhi kewajiban kepada Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta, maka terhadap Perasuransian Berbentuk Usaha Bersama yang telah ada, agar dapat tetap menjalankan usaha dengan memiliki standar perusahaan asuransi yang ideal, perlu diatur pembatasan ruang lingkup asuransi Usaha Bersama dan penyempurnaan ketentuan mengenai tata kelola perusahaan perusahaan asuransi Usaha Bersama. Menyikapi kebutuhan pengaturan akan tata kelola usaha perasuransian berbentuk Usaha Bersama, selain pengakuan atas eksistensi satu-satunya perusahaan asuransi berbentuk Usaha Bersama sebagai suatu badan hukum yang menyelenggarakan usaha perasuransian, di dalam UU 40 Tahun 2014 juga memuat mandat pengaturan ketentuan mengenai tata kelola usaha perasuransian berbentuk Usaha Bersama dalam batang tubuhnya, diantaranya sebagai berikut: Pasal 35 ayat (1) UU 40 Tahun 2014: Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah berbentuk koperasi atau Usaha Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c hanya dapat menyelenggarakan jasa asuransi atau jasa asuransi syariah bagi anggotanya . Pasal 35 ayat (2) UU 40 Tahun 2014: Setiap anggota dari Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah berbentuk koperasi atau anggota Usaha Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c wajib menjadi Pemegang Polis dari perusahaan yang bersangkutan . Pasal 35 ayat (3) UU 40 Tahun 2014: Keanggotaan pada Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah berbentuk koperasi atau keanggotaan pada Usaha Bersama sebagaimana _dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c berakhir apabila: _ a. anggota meninggal dunia ;
anggota tidak lagi memiliki polis asuransi dari Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah yang bersangkutan selama 6 (enam) bulan _berturut-turut; _ atau c. sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan, keanggotaan harus berakhir . Pasal 35 ayat (4) UU 40 Tahun 2014: Anggota dari Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah berbentuk koperasi atau anggota dari Usaha Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c berhak atas seluruh keuntungan dan wajib menanggung seluruh kerugian dari kegiatan usaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan . 100 Pasal 35 ayat (5) UU 40 Tahun 2014: Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan keuangan untuk menjadi anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) serta pemanfaatan keuntungan oleh anggota dan pembebanan kerugian di antara anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dari Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah berbentuk koperasi atau anggota dari Usaha Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan . D. Penguatan Tata Kelola Perusahaan Asuransi Usaha Bersama dalam Undang-Undang No.40 Tahun 2014 tentang Perasuransian Bahwa UU 40 Tahun 2014 telah mengakomodir kebutuhan hukum perusahaan asuransi berbentuk Usaha Bersama pada pasal-pasal dalam batang tubuhnya, meskipun demikian, sebagai upaya penguatan terhadap Perusahaan asuransi berbentuk Usaha Bersama yang telah ada agar memiliki standar sebagai perusahaan perasuransian yang ideal serta memberikan perlindungan bagi para anggotanya, maka Pembuat Undang-Undang juga memperhatikan hal tersebut dengan mengatur lebih lanjut mengenai badan hukum Usaha Perasuransian berbentuk Usaha Bersama dengan Peraturan Pemerintah. E. Penerbitan PP 87/2019 Merupakan Bentuk Perlindungan Hukum Bagi para Pemegang Polis Yang Merupakan Anggota Usaha Perasuransian Berbentuk Usaha Bersama Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, asuransi sebagai industri yang menggalang dana dari masyarakat, memerlukan sistem pengawasan terintegrasi, baik eksternal, yang selama ini dilakukan oleh OJK, maupun sistem kontrol dari mekanisme pengambilan keputusan organ perusahaan asuransi itu sendiri. Sistem kontrol pada perusahaan asuransi berbentuk PT dapat dilihat dari adanya pembatasan kekuasaan organ/pengurus perusahaan, antara lain dalam hal pengambilan keputusan oleh direksi pada level tertentu, harus mendapatkan persetujuan dari pemegang saham. Selain itu, direksi yang karena kelalaiannya menyebabkan kerugian bagi perusahaan, bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian tersebut. Pada koperasi, adanya sistem kontrol internal dapat dilihat dari adanya mekanisme pengambilan keputusan yang melibatkan anggota koperasi melalui Rapat Anggota dengan mengutamakan musyawarah mufakat, dan apabila tidak tercapai, maka dilakukan dengan suara terbanyak. Pengambilan keputusan dengan 101 musyawarah mufakat dianggap sebagai cara yang paling baik, karena keputusan yang dihasilkan diharapkan membawa keuntungan bagi seluruh pemegang polis. Dari kedua bentuk usaha PT maupun koperasi, telah terbentuk adanya mekanisme sistem kontrol pengambilan keputusan bagi organ perusahaan, sehingga diharapkan keputusan yang dihasilkan bukan hanya membawa dampak positif bagi kelangsungan perusahaan tetapi juga memberikan perlindungan hukum bagi seluruh anggota polis. Sebelum UU 40 Tahun 2014 dan PP Usaha Bersama diterbitkan, belum terdapat sistem kontrol pada bentuk Usaha Bersama sebagaimana telah diatur dalam usaha perasuransian berbentuk PT maupun Koperasi. Padahal keberadaan sistem kontrol dalam suatu perusahaan sangat diperlukan sebagai salah satu indikator bahwa suatu perusahaan telah dikelola berdasarkan pada prinsip tata kelola perusahaan yang baik ( Good Corporate Governance ). Untuk mengatasi hal tersebut, dalam PP Usaha Bersama, diatur pembatasan terhadap organ Usaha Bersama. Aturan mengenai pembatasan ini diharapkan tidak hanya dipandang dari sisi Pemohon sebagai anggota pengurus Usaha Bersama, melainkan harus dipandang sebagai upaya Pemerintah agar mekanisme pengambilan keputusan pada usaha perasuransian berbentuk Usaha Bersama benar-benar dilakukan bukan hanya untuk kepentingan konstituen semata, melainkan untuk kepentingan dan kesejahteraan seluruh anggota pemegang polis. Bahwa apabila kemudian para Pemohon mempermasalahkan PP 87/2019 dan dianggap menimbulkan ketidakpastian hukum, menurut pendapat kami hal tersebut tidak tepat karena PP 87/2019 tersebut tidak mengurangi pemberian kepastian hukum bagi Usaha Bersama yang telah ada pada saat UU 40 Tahun 2014 diundangkan dalam menyelenggarakan usahanya, tetapi justru memberikan kejelasan mengenai teknis penyelenggaraan usaha asuransi berbentuk Usaha Bersama sehingga diharapkan dapat memberikan perlindungan hukum bagi para pemegang polis. Bahwa Penerbitan PP 87/2019 yang merupakan delegasi dari pasal 6 ayat (3) UU No. 40 tahun 2014 tentang Perasuransian tidak bertentangan dengan Undang-Undang No. 11 tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan, serta merupakan bentuk perlindungan hukum bagi para pemegang polis yang merupakan anggota Usaha Bersama. 102 F. Pemohon Telah Keliru Dalam Memaknai Putusan Mahkamah Konstitusi No. 32/PUU-XI/2013 Bahwa para Pemohon telah keliru memaknai putusan Mahkamah Konstitusi No. 32/PUU-XI/2013 seolah-olah Mahkamah Konstitusi mengamanatkan semua hal yang terkait dengan asuransi Usaha Bersama diatur dalam undang-undang tersendiri. Bahwa amar putusan Mahkamah Konstitusi No. 32/PUU-XI/2013 antara lain berbunyi, “Frasa ".... diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang" dalam Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3467), bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sepanjang tidak dimaknai ".... ’diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang' dilakukan paling lambat dua tahun enam bulan _setelah putusan Mahkamah ini diucapkan"; _ Bahwa amar putusan tersebut, mengamanatkan pembentuk undang-undang untuk merealisasikan ketentuan Pasal 7 ayat (3) UU No. 2 Tahun 1992 yaitu untuk mengatur usaha perasuransian yang berbentuk Usaha Bersama (Mutual) ke dalam undang-undang dalam kurun waktu paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan setelah putusan Mahkamah diucapkan. G. Pemerintah Telah Melaksanakan Putusan Mahkamah Konstitusi perkara Nomor 32/PUU-XI/2013 tertanggal 3 April 2014 Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013 tanggal 3 April 2014 sejatinya telah ditindaklanjuti dengan wujud konkrit dari Pembuat Undang-Undang, yaitu dengan merumuskan dan mengatur ketentuan terkait usaha asuransi berbentuk Usaha Bersama dalam batang tubuh UU 40 Tahun 2014, diantaranya:
Penegasan mengenai status Usaha Bersama yang telah ada pada saat UU 40 Tahun 2014 diundangkan sebagai badan hukum penyelenggara usaha perasuransian, dalam ketentuan Pasal 6 ayat (1) dan (2);
Perizinan usaha Usaha Bersama, dalam ketentuan Pasal 8;
Penyelenggaraan usaha perasuransian (termasuk Usaha Bersama) sesuai dengan tata kelola yang baik, dalam Pasal 11;
Pengaturan kewajiban organ perusahaan (termasuk Usaha Bersama) untuk memenuhi persyaratan kemampuan dan kepatutan, dalam Pasal 12; 103 5. Pengaturan mengenai prinsip dasar penyelenggaraan Usaha Bersama, dalam Pasal 35;
Larangan bagi organ perusahaan (termasuk Usaha Bersama) jika izin usaha perusahaan perasuransian dicabut dalam Pasal 43;
Kewenangan organ perusahaan (termasuk Usaha Bersama) jika tim likuidasi telah terbentuk, dalam Pasal 46;
Kewenangan OJK untuk menonaktifkan organ perusahaan (termasuk Usaha Bersama) dan menetapkan pengelola statuter; serta mengatur mengenai pengenaan sanksi bagi perusahaan perasuransian dan organ perusahaan yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan, dalam Pasal 60;
Pemeriksaan perusahaan asuransi baik secara berkala atau sewakutu-waktu, dalam Pasal 61;
Kewenangan OJK untuk memerintahkan penggantian direksi, dewan komisaris, dalam Pasal 72;
Ketentuan pidana bagi organ perusahaan yang melanggar ketentuan dalam UU 40 Tahun 2014, dalam Pasal 74; dan
Ketentuan peralihan bagi Usaha Bersama, dalam Pasal 86. Bahwa dengan demikian, berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Pemohon telah keliru menafsirkan putusan Mahkamah Konstitusi No. 32/PUU-XI/2013 dan dengan telah diakomodirnya pengaturan tentang kebutuhan hukum usaha perasuransian dengan bentuk Usaha Bersama dalam UU 40 Tahun 2014 sebagaimana telah kami uraikan tersebut di atas, maka amanat putusan Mahkamah Konstitusi No. 32/PUU-XI/2013 tanggal 3 April 2014 dimaksud untuk mengatur ketentuan tentang usaha perasuransian yang berbentuk Usaha Bersama dengan Undang-undang dalam kurun waktu paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan, telah terpenuhi. KESIMPULAN Berdasarkan keterangan dan argumentasi tersebut di atas, dapat kami sampaikan kesimpulan bahwa kami berpendapat para Pemohon tidak memenuhi persyaratan kedudukan hukum ( legal standing ) sebagaimana yang telah ditentukan dalam ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011, dan tidak memenuhi syarat kerugian konstitusional sebagaimana pendirian Mahkamah Konstitusi sejak Putusan Mahkamah Konstitusi 104 Nomor 006/PUU-III/2005 tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007 tanggal 20 September 2007. Selanjutnya, berdasarkan seluruh uraian tersebut di atas menurut kami tidak terdapat alasan yang tepat untuk menyatakan bahwa ketentuan Pasal 6 ayat (3) UU No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian inkonstitusional, apalagi bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Oleh karena itu, Pemerintah mohon agar Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang memeriksa, mengadili dan memutuskan permohonan pengujian Pasal 6 ayat (3) UU No.40 Tahun 2014 tentang Perasuransian beserta penjelasannya, dapat memberikan putusan sebagai berikut:
Menyatakan para Pemohon tidak memiliki dan tidak memenuhi persyaratan kedudukan hukum ( legal standing );
Menolak permohonan para Pemohon seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima;
Menyatakan ketentuan Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. POKOK-POKOK TAMBAHAN KETERANGAN PRESIDEN Bahwa pada persidangan hari Rabu tanggal 19 Agustus 2020, Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi meminta kepada Pemerintah untuk memberi tambahan Keterangan Presiden atas beberapa pertanyaan sebagai berikut:
Terkait pertanyaan mengenai pertimbangan dan pilihan politik hukum dari Pembuat Undang-Undang yang tidak mengatur Usaha Bersama dalam suatu undang-undang tersendiri, dapat kami jelaskan sebagai berikut:
Pada saat perumusan Rancangan Undang-undang No. 40 Tahun 2014, undang-undang Usaha Perasuransian yang lama yakni Undang-undang No. 2 Tahun 1992 tentang Perasuransian telah berusia dua puluh tahun lebih, sehingga harus segera disesuaikan dengan tantangan, situasi terkini dan kondisi perkembangan sektor jasa keuangan, yang membutuhkan kepastian hukum dan jaminan perlindungan hak-hak nasabah.
Penyesuaian tersebut membuat adanya perbedaan pilihan kebijakan ( open legal policy ) yang dirumuskan Pembuat Undang-Undang dalam penyusunan norma Pasal 7 ayat (3) UU 2 Tahun 1992 dengan pasal 6 UU 105 40 Tahun 2014 mengenai pengaturan badan hukum Usaha Bersama sebagai badan hukum yang menyelenggarakan usaha perasuransian.
Norma yang terdapat dalam Pasal 7 ayat (1) UU 2 Tahun 1992 UU 2 Tahun 1992 membuka pintu selebar-lebarnya bagi lahirnya Usaha Bersama sebagai badan hukum yang menyelenggarakan usaha perasuransian, sebagaimana tercermin dalam rumusannya yang tidak memberi batasan apapun pada usaha bersama sebagai badan hukum penyelenggara usaha perasuransian, sejajar dengan norma bagi koperasi dan perusahaan perseroan.
Namun demikian, saat uji materi 32/2013 diajukan, dan saat yang sama dilakukan penyusunan perubahan UU 2/1992, ternyata AJB Bumiputera yang telah ada sejak tahun 1912, merupakan satu-satunya perusahaan perasuransian berbentuk Usaha Bersama yang menjalankan usaha perasuransian di Indonesia. Dengan adanya kondisi ini, ditambah terbitnya putusan MK No.32/2013, mendorong Pembuat Undang-Undang yang saat itu sedang melakukan pembahasan RUU perubahan UU 2/1992 untuk melakukan kajian. Salah satu yang menjadi perhatian adalah bentuk badan hukum usaha perasuransian, yakni:
Perusahaan asuransi merupakan perusahaan padat modal, sehingga perlu dipikirkan apabila perusahaan tersebut mengalami kebangkrutan dan memerlukan suntikan modal.
ii. Sistim pertanggungjawaban pengurus yang terpisah dari pemegang polis sebagai konsumen.
Setelah dilakukan kajian, agar tujuan tersebut di atas tercapai, maka bentuk badan hukum yang paling ideal / yang paling tepat bagi perusahaan perasuransian ke depan diarahkan berbentuk Perseroan Terbatas, dengan pertimbangan :
Dari sisi permodalan sesuai dengan karakteristiknya, usaha asuransi merupakan bentuk usaha yang memerlukan modal besar untuk operasional usahannya. Kebutuhan modal yang besar tersebut dimaksudkan agar perusahaan asuransi dapat terus melakukan ekspansi usaha dan memastikan bahwa kewajiban perusahaan kepada pemegang polis dapat dipenuhi. 106 Pemenuhan kebutuhan modal tersebut hanya dapat dipenuhi apabila badan hukum tersebut memiliki mekanisme penambahan modal dari investor atau pemegang saham, dimana mekanisme tersebut tidak memungkinkan untuk dilakukan oleh bentuk badan hukum usaha bersama. Dalam hal perusahaan asuransi sedang menghadapi permasalahan kesehatan keuangan maka investor atau pemegang saham dapat melakukan penambahan modal sesuai dengan rencana penyehatan keuangan perusahaan. Dengan adanya mekanisme tersebut maka keberlangsungan usaha dapat tetap terjaga. Selain itu, peluang pengembangan usaha perasuransian yang sehat, dapat diandalkan, amanah dan kompetitif sehingga mampu bersaing dalam era globalisasi dan perdagangan bebas dapat terwujud dengan struktur permodalan yang kuat. Praktek di negara-negara maju seperti Jepang dan Kanada, banyak di antara mereka yang sedang menggagas upaya untuk lebih berkembang dengan mengubah diri menjadi Perseroan Terbatas, sehingga dapat mengumpulkan modal lebih besar.
ii. Dari sisi perlindungan terhadap pemegang polis Pada bentuk Perseroan Terbatas atas Koperasi, pertanggung jawaban perusahaan ada pada pengurus perusahaan dan pemegang saham, sedangkan pemegang polis bukan merupakan pemilik atau pemagang saham perusahaan sehingga tidak ikut menanggung kerugian. Sehingga apabila terjadi kesalahan tata kelola oleh pengurus yang merugikan konsumen, maka hanya pengurus dan pemegang saham dapat dimintakan pertanggungjawaban. Berbeda dengan bentuk Usaha Bersama, pemegang polis merupakan anggota usaha bersama yang berhak atas keuntungan dan wajib menanggung seluruh kerugian dari kegiatan usaha Usaha Bersama. Dengan demikian posisi pemegang polis, selain merupakan anggota juga merupakan pemilik usaha bersama sehingga dalam hal usaha bersama mengalami permasalahan kesehatan keuangan maka sebagai pemilik, pemegang polis juga ikut bertanggung jawab dalam upaya penyehatannya, padahal yang mengendalikan perusahaan 107 usaha bersama hanya beberapa pemegang polis yang dipilih menjadi Badan Perwakilan Anggota (BPA). Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, Pembuat undang-undang menganggap karakteristik Usaha Bersama tidak tepat dengan kebutuhan pengembangan usaha perasuransian, sehingga dengan mempertimbangkan perkembangan situasi sektor jasa keuangan, yang membutuhkan kepastian hukum dan jaminan perlindungan hak-hak nasabah, maka Pembuat Undang-Undang menetapkan open legal policy dengan membatasi penyelenggaraan usaha perasuransian oleh badan hukum usaha bersama hanya untuk perusahaan berbentuk badan hukum usaha bersama yang telah ada pada saat UU Nomor 40 Tahun 2004 diundangkan, yang tercermin dalam rumusan Pasal 6 ayat (1) UU 40/2014. Mempertimbangkan hanya terdapat satu perusahaan asuransi berbentuk usaha bersama yang diperbolehkan untuk menyelenggarakan usaha asuransi maka Pembuat Undang-Undang tidak melihat adanya kebutuhan untuk mengatur perusahaan asuransi berbentuk badan hukum Usaha Bersama dalam undang-undang tersendiri.
Namun demikian, Pembuat Undang-undang berkomitmen untuk tetap mengakui dan melindungi keberadaan usaha Perasuransian dalam bentuk Usaha Bersama yang telah ada, dengan mengatur Usaha Bersama dalam beberapa pasal dalam undang-undang No. 40 tahun 2014 tentang Perasuransian (UU 40/2014) termasuk memperkuat tata kelolanya.
Mengingat tata kelola tersebut juga menyangkut hal-hal yang bersifat teknis, maka pembuat Undang-Undang memandang hal tersebut diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah, in casu Peraturan Pemerintah No.87 Tahun 2019 tentang Perusahaan Asuransi Berbentuk Usaha Bersama (PP 87/2019).
Terkait pertanyaan Majelis Hakim mengenai pembatasan-pembatasan yang diatur dalam PP 87/2019, dapat kami sampaikan penjelasan sebagai berikut:
Sebagaimana telah kami kemukakan di atas, sebelum pembentukan UU Nomor 40 Tahun 2014, perusahaan asuransi berbentuk usaha bersama belum memiliki pengaturan mengenai tata kelola penyelenggaran usaha oleh Usaha Bersama. Oleh karena itu, sesuai dengan penjelasan Pasal 6 ayat (3) UU Nomor 40 Tahun 2014, dalam PP 87/2019 diatur mengenai tata kelola, 108 persyaratan dan tata cara perubahan menjadi badan hukum perseroan terbatas atau koperasi, serta persyaratan dan tata cara pembubaran badan hukum usaha bersama, termasuk pembatasan-pembatasan wewenang Peserta Rapat Umum Anggota (sebelumnya BPA) dengan tujuan agar Peserta RUA dalam menjalankan tugasnya dapat bertindak secara independen dan terbebas dari konflik kepentingan.
Terkait dengan pengawasan dari OJK, yang dianggap sebagai intervensi terhadap kewenangan Peserta Rapat Umum Anggota (sebelumnya BPA). Dapat kami sampaikan bahwa pengawasan yang dilakukan oleh OJK tersebut sejatinya adalah merupakan upaya pemerintah untuk melakukan perbaikan dan pembenahan atas penyelenggaran usaha asuransi oleh satu- satunya perusahaan asuransi berbentuk Usaha Bersama. Diharapkan dengan upaya tersebut dapat tercipat tercipta iklim asuransi yang sehat yang dapat melindungi kepentingan masyarakat khususnya pemegang polis sebagaimana acuan standar praktik terbaik ( best-practice standard ) internasional di bidang perasuransian. Sehingga hendaknya pengaturan pengawasan oleh OJK dalam PP-87/2019 tidak semata-mata diartikan sebagai bentuk intervensi Pemerintah dalam pengurusan internal suatu perusahaan perasuransian.
Terkait dengan pertanyaan Majelis Hakim mengenai AJB Bumiputera menjadi satu-satunya usaha bersama yang tersisa, dapat kami berikan penjelasan bahwa hal tersebut telah tertulis pada halaman 62 aline 3 Naskah Akademik Rancangan Undang-undang tentang Perasuransian Tahun 2014, yakni “… Satu-satunya Perusahaan Asuransi yang berbentuk Usaha Bersama, melandaskan keberadaannya pada Keputusan Kerajaan Belanda tanggal 28 Maret 1870 No. 2 Stb. 64 sesuai Sekretaris Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 6 April 1915, yang belum pernah diperbaharui. Sejak tahun 2013, yakni pada saat kewenangan pengawasan perusahaan asuransi beralih dari Kementerian Keuangan kepada Otoritas Jasa Keuangan hingga periode Juni 2020, AJB Bumiputera merupakan perusahaan asuransi berbentuk badan hukum Usaha Bersama. Sebagai satu-satunya Perusahaan Asuransi berbadan hukum usaha bersama, posisi AJB Bumiputera di industri asuransi jiwa berdasarkan aset perusahaan selama kurun waktu tahun 2013 hingga Juni 2020, dapat terlihat sebagaimana tabel di bawah ini. 109 Uraian 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019* Juni 2020* Jumlah Pelaku Asuransi (Termasuk Syariah) ● Bentuk Badan Hukum Perseroan 134 135 140 140 146 145 144 146 - Asuransi Jiwa 48 49 54 54 60 59 59 60 - Asuransi Umum 82 81 80 80 79 79 78 79 - Reasuransi 4 5 6 6 7 7 7 7 ● Bentuk Badan Hukum Usaha Bersama 1 1 1 1 1 1 1 1 - AJB Bumiputera 1912 1 1 1 1 1 1 1 1 Jumlah Aset Industri Asuransi Komersial (Termasuk Syariah) ● Total Aset Industri Asuransi Komersial(dala m Triliun Rp)**) 388,8 482,5 504,5 582,5 688,8 716,4 769,0 720,9 ● Total Aset Industri Asuransi Jiwa Komersial (dalam Triliun Rp) *) 281,4 355,7 365,7 438,7 534,3 543,0 578,4 522,8 ● Total Aset AJB Bumiputera 1912 (dalam Triliun Rp) ) 10,9 14,2 15,0 13,4 11,9 10,5 10,2 10,1 ● Aset Share AJB Bumiputera 1912 di Industri Asuransi Komersial 2,8% 2,9% 3,0% 2,3% 1,7% 1,5% 1,3% 1,3% ● Aset Share AJB Bumiputera 1912 di Industri Asuransi Jiwa Komersial __ 3,9% 4,0% 4,1% 3,1% 2,2% 1,9% 1,8% 1,8% ● Peringkat Aset AJB Bumiputera Diantara Industri Asuransi Jiwa) 9 10 9 10 13 12 16 16 110 Keterangan: *) berdasarkan laporan keuangan anaudited **) Jumlah Aset Industri Asuransi Komersial, total aset industri asuransi jiwa komersial, dan aset AJB Bumiputera 1912 tidak termasuk aset lain berupa cadangan premi yang ditangguhkan AJB Bumiputera 1912 sebesar Rp12,34 triliun. ***) penentuan posisi peringkat aset AJB Bumiputera 1912 tidak memasukan aset lain berupa cadangan premi yang ditangguhkan AJB Bumiputera 1912 sebesar Rp12,34 triliun. Selain dari sisi aset, jumlah peserta yang menjadi tertanggung dalam polis AJB Bumiputera 1912, dapat kami sampaikan bahwa terdapat kecenderungan penurunan jumlah peserta yang menjadi tertanggung dalam polis AJB Bumiputera 1912 berdasarkan data dari periode tahun 2017 hingga Juni 2020, sebagaimana tercatat sebagai berikut: No Portofolio Peserta Desember 2017 Desember 2018 Desember 2019 Juni 2020 1 Asuransi Perorangan 2.927.050 2.521.233 2.204.934 2.008.470 2 Asuransi Kumpulan 2.014.736 1.470.877 983.775 847.246 3 Jumlah (1+2) 4.941.786 3.992.110 3.188.709 2.855.716 4. Terkait dengan pertanyaan Majelis Hakim mengenai kapan naskah akademik diterbitkan, apakah setelah putusan MK atau sebelum putusan MK. Terhadap hal tersebut dapat kami sampaikan bahwa pada saat putusan Mahkamah Konstitusi tersebut diucapkan, Pemerintah sedang melakukan perumusan perubahan UU Nomor 2 Tahun 1992. Oleh karena itu, putusan Mahkamah Konstitusi dimaksud, juga dijadikan sebagai dasar pertimbangan dalam perumusan Rancangan Undang-Undang Perasuransian sebagaimana tertuang dalam halaman 63 alinea 3 Naskah Akademik, sebagai berikut: “… dengan mempertimbangkan putusan MK tersebut, kepastian hukum bagi badan hukum asuransi Usaha Bersama akan terpenuhi jika amanat putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dilaksanakan. Oleh karena itu, pengakuan atau penetapan perusahaan asuransi berbentuk Usaha Bersama sebagai suatu badan hukum, perlu dituangkan dalam undang- undang ini, untuk mengakomodir keberadaan satu-satunya perusahaan asuransi berbentuk Usaha Bersama yang sudah ada di Indonesia, yaitu Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912. Di samping itu, ketentuan mengenai tata kelola, persyaratan, tata cara persyaratan menjadi badan hukum perseoran terbatas atau koperasi, dan tata cara pembubaran serta 111 ketentuan lain bagi perusahaan perasuransian yang berbentuk badan hukum Usaha Bersama, akan diatur dalam bentuk Peraturan Pemerintah. Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat dilihat bahwa dalam naskah akademis terdapat respon Pembuat Undang-Undang atas Putusan MK No. 32/2013. Pembuat Undang-Undang menghormati Putusan MK No. 32/2013 dengan mengakui dan mengatur secara umum bentuk badan hukum usaha bersama (yang telah ada pada saat UU Nomor 40 Tahun 2014 diundangkan) dalam suatu undang-undang, yaitu UU Nomor 40 Tahun 2014 itu sendiri. Sedangkan, peraturan lebih lanjutnya diatur dalam suatu peraturan pemerintah. Dengan demikian, konsep pilihan hukum yang dituangkan dalam naskah akademis sudah barang tentu memperhatikan putusan MK No. 32/2013. Selain itu, untuk mendukung keterangannya, Presiden juga mengajukan keterangan saksi atas nama Isa Rachmatarwata dan Wicipto Setiadi , yang masing-masing didengarkan keterangannya dalam persidangan pada tanggal 20 Oktober 2020 dan 5 November 2020, yang pada pokoknya adalah sebagai berikut: A. Isa Rachmatarwata − Saksi merupakan salah satu penyusun UU 40/2014 dan pada saat itu saksi merupakan Kepala Biro Perasuransian di Bapepam-LK; − Latar belakang dibentuknya UU 40/2014 adalah pemerintah merasa perlu untuk melakukan perbaikan dalam hal pengaturan maupun pengawasan dalam penyelenggaraan usaha perasuransian. Penyelenggaraan usaha perasuransian pada waktu itu harus dibenahi agar kualitas penyelenggaraannya meningkat, pertama, dalam hal permodalan UU 40/2014 dapat memberikan kepastian hukum baik bagi pemodal maupun konsumen, dengan adanya UU a quo diharapkan dapat mendatangkan modal yang berasal dari investor lebih banyak terhadap usaha perasuransian di Indonesia karena Indonesia tidak boleh menutup kemungkinan masuknya investor kedalam industri usaha asuransi apapun bentuknya, pemerintah dalam hal ini memberikan berbagai pengukutan tingkat kesehatan perusahaan asuransi dalam hal permodalan juga dimana hal ini perlu dilakukan dalam rangka meningkatkan kualitas industri perasuransian di Indonesia. Kedua adalah risk management , dimana pemerintah menginginkan seluruh perusahaan asuransi yang sudah ada, apapun 112 bentuknya, dapat meningkat kualitas risk management- nya karena investor terutama investor asing tentunya mempertimbangkan hal tersebut ketika akan menanamkan modalnya pada perusahaan asuransi. Ketiga , pemerintah juga perlu menyediakan exit strategy untuk perusahaan-perusahaan asuransi yang tidak mampu memenuhi persyaratan baik dalam hal permodalan, manajemen resiko dan lain-lain supaya dapat meninggalkan industri asuransi dengan baik dan tetap menjaga kepentingan para pemegang polis. Keempat, pengawasan dalam industri perasuransian pun dibenahi, apakah tetap berada pada Kementerian Keuangan atau beralih kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK)? Keempat hal tersebut merupakan beberapa hal yang dibenahi terkait dengan industri perasuransian yang diatur dalam UU 40/2014. − Terkait dengan Asuransi Usaha Bersama, merupakan salah satu bentuk badan usaha asuransi yang paling terbatas akses terhadap permodalan, hal ini tentunya berbeda dengan asuransi yang berbentuk perseroan terbatas dan juga koperasi terlebih lagi pengaturan terhadap badan usaha asuransi berbentuk usaha bersama sebelum UU 40/2014 belum diatur baik dalam UU 2/1992 maupun peraturan perundang-undangan dibawahnya. Padahal bentuk badan usaha asuransi usaha bersama ini juga membutuhkan modal dalam rangka memperkuat usahanya. Dalam perkembangannya, salah satu perusahaan yang menjalankan usaha asuransi usaha bersama yaitu AJB Bumiputera mengalami kesulitan untuk menyesuaikan diri terhadap ketentuan kesehatan perusahaan asuransi dan karena itu kemudia pemerintah membentuk UU 40/2014 yang memberikan pengaturan terhadap asuransi usaha bersama. − Saksi menjelaskan terkait dengan usulan pengaturan dari pemerintah mengenai bentuk badan usaha bersama, dimana pada konsep UU yang dibuat oleh pemerintah dan kemudian disampaikan kepada DPR, bentuk badan hukum yang disampaikan memang hanya 2 bentuk yaitu perseroan terbatas dan koperasi, namun di dalam peraturan peralihan, pemerintah tetap mengakui keberadaan AJB Bumiputera yang merupakan satu-satunya bentuk badan usaha bersama yang telah ada. Setelah beberapa kali diskusi yang dilakukan di DPR bersama dengan sejumlah perwakilan industri, pemerintah mendapatkan masukan bahwa asuransi dalam bentuk usaha 113 bersama harus dimuat dalam ketentuan pokok dan kemudian pemerintah kemudian menyetujui dan bersama dengan DPR bersepakat untuk menambahkan usaha bersama sebagai salah satu badan usaha asuransi. Namun, dikarenakan pengaturan dalam UU a quo cukup banyak dan tidak mungkin mengatur secara detil terkait tata kelola badan usaha asuransi usaha bersama ini dalam UU a quo maka kemudian dalam Pasal 6 ayat (3) UU a quo dimuat pengaturan terkait tata kelola lebih lanjut dalam peraturan pemerintah. Sedangkan pengawasan terhadap asuransi usaha bersama, pada saat itu pembentuk undang-undang meyakini OJK dapat mengaturnya di dalam peraturan perundang-undangan yang bisa diterbitkan oleh OJK. − Menurut saksi, pada saat disusunnya UU 40/2014, tidak ada lagi usaha asuransi dalam bentuk usaha koperasi. Pernah ada, namun asuransi berbentuk koperasi tersebut tidak mampu memenuhi beberapa kewajibannya dan tidak mampu mendapatkan modal tambahan untuk dapat memenuhi kewajiban-kewajiban tersebut. B. Wicipto Setiadi − Saksi menjabat sebagai kepala BPHN dan sebelumnya menjabat sebagai Direktur Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan di Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan pada saat UU 40/2014 disusun. − Rancangan UU 40/2014 merupakan inisiatif pemerintah dan merupakan salah satu RUU yang dimasukan dalam prolegnas pada waktu itu. − Pada saat pembahasan terkait dengan asuransi usaha bersama memang terjadi diskusi terkait pengaturannya dan pemerintah harus menaati putusan Mahkamah yang ada, diskusi pun akhirnya tertuju pada apakah diatur dengan undang-undang tersendiri atau tidak. Namun, atas kajian dari Kementerian Keuangan serta stakeholder yang mengatur bisnis perasuransian pada saat itu, keberadaan asuransi usaha bersama hanya terdapat satu dan sesuai dengan diskusi yang berkembang pada saat itu menjadi tidak efektif jika diatur dalam undang-undang tersendiri. Atas dasar pertimbangan tersebut maka asuransi usaha bersama dalam UU 40/2014 tetap diakui keberadaannya dan disepakati pula untuk ketentuan lebih lanjut diatur dengan peraturan pemerintah. Dan hasil dari rancangan UU 40/2014 pada waktu itu pula disepakati pada saat rancangan undang-undang a quo dibahas di DPR. 114 − Pertimbangan untuk tidak mengatur asuransi usaha bersama dalam undang- undang tersendiri sebenarnya terkait dengan perkembangan dari bisnis asuransi usaha bersama tersebut, karena dari hasil kajian bersama nampaknya pemerintah tidak akan membuka lagi asuransi dalam bentuk badan usaha bersama. Jika keadaannya demikian maka pengaturan terkait asuransi dalam bentuk badan usaha bersama telah diatur dalam UU 40/2014 dan pengaturan tata kelola sajalah yang diatur dalam peraturan pemerintah, hal demikian dianggap lebih efektif serta efisien dibanding dengan membentuk undang-undang tersendiri, karena jika memang harus dalam undang-undang maka pada waktu itu belum tentu dapat dimasukan dalam prolegnas sehingga membutuhkan waktu lagi untuk membentuk undang- undang terkait asuransi usaha bersama tersebut. [2.5] Menimbang bahwa Mahkamah telah menerima kesimpulan para Pemohon yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 13 November 2020, yang pada pokoknya para Pemohon tetap pada pendiriannya; [2.6] Menimbang bahwa Mahkamah telah menerima kesimpulan Presiden yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 13 November 2020, yang pada pokoknya Presiden tetap pada pendiriannya; [2.7] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, segala sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam berita acara persidangan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini.
PERTIMBANGAN HUKUM Kewenangan Mahkamah [3.1] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 216, Tambahan 115 Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6554, selanjutnya disebut UU MK) dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076, selanjutnya disebut UU Nomor 48/2009). Salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945; [3.2] Menimbang bahwa oleh karena permohonan para Pemohon adalah permohonan untuk menguji konstitusionalitas norma undang-undang, in casu Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618, selanjutnya disebut UU 40/2014) terhadap UUD 1945, Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo ; Kedudukan Hukum Pemohon [3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang, yaitu:
perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama);
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
badan hukum publik atau privat; atau
lembaga negara; Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan terlebih dahulu:
kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK; 116 b. ada tidaknya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian dalam kedudukan sebagaimana dimaksud pada huruf a; [3.4] Menimbang bahwa Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 tanggal 20 September 2007 serta putusan-putusan selanjutnya, telah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi lima syarat, yaitu:
adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh para Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab-akibat antara kerugian dimaksud dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; [3.5] Menimbang bahwa berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksudkan Pasal 51 ayat (1) UU MK dan syarat-syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana diuraikan dalam Paragraf [3.3] dan Paragraf [3.4] di atas, selanjutnya Mahkamah mempertimbangkan kedudukan hukum para Pemohon sebagai berikut:
Bahwa norma undang-undang yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya dalam permohonan a quo adalah frasa “diatur dalam Peraturan Pemerintah” dalam Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 terhadap Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yang rumusannya sebagai berikut: Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 Ketentuan lebih lanjut mengenai badan hukum usaha bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam peraturan pemerintah. 117 2. Bahwa Pemohon I sampai dengan Pemohon VIII (selanjutnya disebut sebagai para Pemohon) adalah perseorangan warga negara Indonesia yang juga merupakan pemegang polis Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1912 dan juga anggota Badan Perwakilan Anggota (BPA) AJB Bumiputera 1912. Kedudukan para Pemohon baik sebagai pemegang polis asuransi maupun sebagai anggota BPA AJB Bumiputera 1912 tidak dapat dipisahkan. Hal tersebut merupakan konsekuensi logis dari bentuk usaha perasuransian AJB Bumiputera 1912 yang berbentuk Asuransi Usaha Bersama ( mutual insurance ) dimana pemegang polis sekaligus sebagai pemilik dari AJB Bumiputera 1912 dan sama-sama memiliki hak suara untuk memilih maupun dipilih sebagai anggota BPA.
Dalam kualifikasinya tersebut para Pemohon menganggap hak konstitusionalnya atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 terhalangi dengan berlakunya frasa “diatur dalam Peraturan Pemerintah” dalam Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014. Seperti diterangkan para Pemohon, ketentuan dalam norma a quo telah menyebabkan para Pemohon baik sebagai pemegang polis maupun sebagai anggota BPA AJB Bumiputera 1912 tidak memiliki kepastian hukum dan juga perlakuan tidak adil atas penyelenggaraan usaha perasuransian dalam bentuk Asuransi Usaha Bersama ( mutual insurance ).
Bahwa untuk membuktikan kualifikasinya sebagai perseorangan warga negara Indonesia yang juga merupakan pemegang polis asuransi juwa bersama (AJB) Bumiputera 1912 dan juga anggota Badan Perwakilan Anggota (BPA) AJB Bumiputera 1912, para Pemohon mengajukan alat bukti berupa identitas diri yaitu fotokopi kartu tanda penduduk (KTP) [vide bukti P-3], fotokopi Surat Pemegang Polis [vide bukti P-8 sampai dengan bukti P-12 dan bukti P-14 serta bukti P-15] dan Akta Pernyataan Keputusan Sidang Luar Biasa Badan Perwakilan Anggota Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 Nomor 05 tanggal 02 Agustus 2016 [vide bukti P-4]. Bahwa berdasarkan uraian dari para Pemohon tersebut di atas, baik dalam kualifikasi para Pemohon sebagai pemegang polis maupun anggota Badan Perwakilan anggota (BPA) AJB Bumiputera 1912, menurut Mahkamah secara faktual para Pemohon telah dapat menjelaskan hak-hak konstitusional yang 118 dimilikinya dan hak dimaksud dapat dianggap dirugikan dan anggapan kerugian dimaksud menurut penalaran wajar dapat dipastikan akan terjadi apabila para Pemohon tetap menjalankan usaha perasuransian AJB Bumiputera 1912 yang didasarkan pada norma yang dimohonkan pengujian. Di samping uraian pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah para Pemohon juga telah dapat menjelaskan adanya hubungan sebab-akibat (kausalitas) antara kerugian hak-hak konstitusional yang dimilikinya yang dianggap dirugikan dengan berlakunya frasa “diatur dalam Peraturan Pemerintah” dalam Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 yang dimohonkan pengujian. Oleh karena itu para Pemohon beranggapan bahwa jika permohonan ini dikabulkan maka kerugian sebagaimana diuraikan di atas tidak akan terjadi. Dengan demikian terlepas terbukti atau tidaknya dalil permohonan para Pemohon berkaitan dengan pokok permohonan, Mahkamah berpendapat, para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam Permohonan a quo . [3.6] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo dan para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan a quo , selanjutnya Mahkamah mempertimbangkan pokok permohonan. Pokok Permohonan [3.7] Menimbang bahwa dalam mendalilkan inkonstitusionalitas norma frasa “diatur dalam Peraturan Pemerintah” dalam Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014, para Pemohon mengemukakan dalil-dalil (selengkapnya telah dimuat dalam bagian Duduk Perkara) yang pada pokoknya sebagai berikut:
Bahwa menurut para Pemohon dalam permohonannya, AJB Bumiputera 1912 merupakan asuransi yang berbentuk usaha bersama dan satu-satunya di Indonesia, dimana dengan bentuk usaha bersama tersebut memiliki perbedaan pengelolaan dengan asuransi yang berbentuk perseroan terbatas;
Bahwa menurut para Pemohon dalam permohonannya, terkait dengan isu pengaturan usaha perasuransian berbentuk usaha bersama yang sebelumnya termuat dalam Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang 119 Usaha Perasuransian (UU 2/1992) telah pernah diajukan ke Mahkamah dan telah diputus melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013, dan Mahkamah telah menegaskan terhadap ketentuan tentang usaha perasuransian yang berbentuk usaha bersama diatur lebih lanjut dengan undang-undang. Namun, hal tersebut tidak dilakukan oleh pembentuk undang- undang ketika membentuk UU 40/2014 dimana substansi yang diatur dalam Pasal 7 ayat (3) UU 2/1992 diubah dengan Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 yang mengatur ketentuan lebih lanjut mengenai badan hukum penyelenggara usaha perasuransian yang berbentuk usaha bersama diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah. Sehingga norma a quo tersebut justru bertentangan dengan Putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 32/PUU-XI/2013;
Bahwa menurut para Pemohon dalam permohonannya, dengan berlakunya Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 tersebut yang justru bertentangan dengan Putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 32/PUU-XI/2013 selain berdampak pada kewibawaan lembaga pemutusnya juga berdampak pada penegakan hukum serta konstitusi yang sedang berlangsung dimana dalam hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum serta keadilan bagi para Pemohon yang sebelumnya telah mendapatkannya dalam Putusan Mahkamah sebelumnya menjadi terhalangi.
Bahwa berdasarkan dalil-dalil tersebut di atas, para Pemohon memohon agar Mahkamah menyatakan frasa “diatur dalam Peraturan Pemerintah” dalam Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “diatur dengan Undang- Undang”. [3.8] Menimbang bahwa untuk mendukung dalil-dalil permohonannya, para Pemohon telah mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-15 dan keterangan ahli, atas nama Dr. Bayu Dwi Anggono, S.H., M.H., Dr. Margarito Kamis, S.H., M.Hum, dan Dr. Kornelius Simanjuntak, S.H., M.H., AAIK., yang masing-masing didengarkan keterangannya dalam persidangan pada tanggal 8 September 2020, 24 September 2020, dan 20 Oktober 2020, selain itu para Pemohon pun menyerahkan kesimpulan yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 13 November 2020 (selengkapnya termuat dalam bagian Duduk Perkara); 120 [3.9] Menimbang bahwa Dewan Perwakilan Rakyat telah menyampaikan keterangan yang didengarkan dalam persidangan pada tanggal 8 September 2020 beserta keterangan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 22 September 2020 (selengkapnya termuat dalam bagian Duduk Perkara); [3.10] Menimbang bahwa Presiden telah menyampaikan keterangan tertulis yang diterima oleh Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 18 Agustus 2020 dan didengar dalam persidangan pada tanggal 19 Agustus 2020, dan telah mengajukan 2 (dua) orang saksi, yaitu Isa Rachmatarwata dan Wicipto Setiadi yang masing- masing didengar keterangannya dalam persidangan pada tanggal 20 Oktober 2020 dan 5 November 2020, serta telah menyerahkan kesimpulan yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 13 November 2020 (selengkapnya termuat dalam bagian Duduk Perkara); [3.11] Menimbang bahwa setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama permohonan para Pemohon, keterangan DPR, keterangan Presiden, keterangan ahli para Pemohon, keterangan saksi Presiden, bukti-bukti surat/tulisan yang diajukan oleh para Pemohon, kesimpulan tertulis para Pemohon, dan kesimpulan tertulis Presiden sebagaimana termuat pada bagian Duduk Perkara, Mahkamah selanjutnya mempertimbangkan dalil-dalil permohonan para Pemohon. [3.12] Menimbang bahwa para Pemohon pada pokoknya mendalilkan Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 yang menyatakan, “Ketentuan lebih lanjut mengenai badan hukum usaha bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah, bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum ”, menurut para Pemohon, Pasal 6 ayat (3) tersebut tidak sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013, tanggal 3 April 2014 yang dalam pertimbangan hukum dan amarnya memerintahkan kepada Pembentuk undang-undang untuk membuat norma bahwa Asuransi Usaha Bersama diatur lebih lanjut dengan undang- undang, dan Mahkamah memberi waktu dua tahun enam bulan kepada Pembentuk undang-undang untuk membentuk Undang-Undang tentang Asuransi Usaha Bersama. Namun, ternyata Perubahan Undang-Undang tentang Perasuransian, in casu UU 40/2014 tidak mengakomodir Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 121 32/PUU-XI/2013, yang menyatakan bahwa Asuransi Usaha Bersama diatur dengan undang-undang. Pembentuk undang-undang justru mendegradasinya menjadi mengatur dengan peraturan pemerintah. Oleh karena itu menurut para Pemohon, ketentuan Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945; [3.13] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih lanjut mengenai konstitusionalitas norma Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014, Mahkamah terlebih dahulu mempertimbangkan hal-hal berikut: [3.13.1] Bahwa berkenaan dengan perekonomian sebagai ‘Usaha Bersama’, sebagaimana diatur dalam Pasal 33 UUD 1945 , Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan, “Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial...”. Pembukaan UUD 1945 tersebut kemudian dijabarkan salah satunya dalam Pasal 33 UUD 1945, khususnya ayat (1) yang menyatakan Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Artinya, perekonomian Indonesia harus disusun sebagai usaha bersama dengan asas kekeluargaan, namun tidak menutup ruang usaha dalam bentuk lain. Lebih lanjut Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 merupakan pedoman bagi negara untuk menyusun perekonomian sebagai usaha bersama yang berasaskan kekeluargaan dengan tujuan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum sebagaimana dimaktubkan dalam Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945. Dari aspek historis, sebagaimana termuat dalam lampiran UUD 1945 (sebelum perubahan), Pasal 33 dicantumkan untuk menegaskan bahwa kemakmuran masyarakat adalah utama, perekonomian disusun berdasar asas kekeluargaan, cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai Negara, hanya cabang produksi yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak yang boleh ada di tangan individu/swasta, sedangkan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya adalah termasuk cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak itu. 122 Mohammad Hatta selaku perancang Pasal 33 UUD 1945 menyatakan bahwa kemunculan norma pasal tersebut dilatarbelakangi oleh semangat kolektivitas yang didasarkan pada semangat tolong-menolong ( Mohammad Hatta , Beberapa Fasal Ekonomi: Djalan Keekonomian dan Koperasi, Jakarta: Perpustakaan Perguruan Kementerian PP&K, 1954, __ halaman 265 ). Selain Mohammad Hatta, Soepomo sebagai salah seorang founding fathers berpandangan __ bahwa ..the private sectors may be involved only in non-startegic sectors-that do not effect the lives of most people...if the state does not control the strategic sectors, they will fall under the control of private-individuals and the people will be oppressed by them” (terjemahan bebas, sektor swasta mungkin hanya terlibat dalam sektor non strategis yang tidak mempengaruhi kehidupan kebanyakan orang ... jika negara tidak mengontrol sektor-sektor strategis, mereka akan berada di bawah kendali swasta-individu dan rakyat akan ditindas oleh mereka (Jurnal Konstitusi, Volume 7 Nomor 1, Februari Tahun 2010, hlm. 121). Bahwa selain itu, Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 28/PUU-XI/2013, tanggal 8 Mei 2014, (alinea pertama hlm. 240) telah mempertimbangkan makna usaha bersama sebagai berikut: Berdasarkan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 beserta Penjelasannya tersebut, koperasi merupakan bagian penting dari tata susunan ekonomi nasional atau tata susunan ekonomi Indonesia. Suatu tata susunan ekonomi mesti dirancang sesuai dengan nilai yang dijunjung tinggi oleh bangsa yang membentuk negara ini, nilai yang kemudian menjadi karakternya sebagaimana diuraikan di muka, yaitu nilai dan karakter kolektif, yang merupakan kebalikan dari nilai individualistik yang tidak dianut oleh UUD 1945. Koperasi sebagai bagian dari suatu tata susunan ekonomi mesti didesain, disosialisasikan, diperjuangkan, dan dilaksanakan, bukan tata susunan yang diserahkan kepada mekanisme pasar, meski pasar harus menjadi perhatian penting dalam percaturan perekonomian internasional. Dengan demikian maka sistem perekonomian nasional adalah merupakan sistem perekonomian yang berkarakter. Nilai yang dijunjung tinggi yang kemudian menjadi karakternya tersebut telah dirumuskan dalam Pasal 33 ayat (1) UUD 1945, yaitu suatu tata susunan ekonomi sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Artinya, nilai sosial yang dijunjung tinggi dan diimplementasikan oleh bangsa yang kemudian menjadi karakternya tersebut di dalam UUD 1945 dirumuskan menjadi demokrasi ekonomi yang bertumpu pada dasar usaha bersama dan asas kekeluargaan. Dengan demikian, berdasarkan uraian pertimbangan di atas, maka telah jelas bahwa usaha bersama sebagaimana dimaksud Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 adalah amanat tegas agar negara membentuk perekonomian dengan asas kekeluargaan yang saling bergotong-royong untuk meningkatkan perekonomian 123 demi memajukan kesejahteraan umum, bukan individu semata sebagai perwujudan tujuan dari Pembukaan UUD 1945. [3.13.2] Bahwa lebih lanjut berkaitan dengan Perusahaan Asuransi Usaha Bersama ( mutual insurance) sebagaimana praktik yang sudah berlangsung, yaitu adanya Asuransi Usaha Bersama seperti AJB Bumi Putera 1912, telah ternyata membuktikan bahwa perusahaan usaha bersama tersebut tidak hanya berbentuk koperasi melainkan juga perusahaan asuransi, yaitu asuransi jiwa bersama. Penegasan tersebut sebagaimana telah dipertimbangkan dalam Putusan Nomor 32/PUU-XI/2013, tanggal 3 April 2014, dalam Paragraf [3.10.3] , khususnya baris terakhir menyatakan: … Bahwa eksistensi Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumi Putera 1912 sebagai salah satu bukti sejarah konsep asuransi dengan prinsip dan asas kebersamaan atau usaha bersama ( mutual ). Dengan demikian, sejarah perasuransian di Indonesia untuk pertama kali telah dibentuk perusahaan Asuransi Usaha Bersama ( mutual insurance ) yang dikenal dengan AJB Bumi Putera 1912 yang bertahan sampai saat ini. Artinya, Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 telah diejawantahkan bahwa usaha bersama yang dapat berbentuk koperasi maupun usaha bersama yang berbentuk perusahaan Asuransi Usaha Bersama yang dibentuk dengan tujuan untuk meningkatkan derajat bangsa Indonesia (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013). Bahwa sesuai fakta sejarah mengenai Asuransi Usaha Bersama ( mutual insurance ) yang ada sejak sebelum Indonesia merdeka tersebut, pembentuk undang-undang dalam Undang-Undang Perasuransian sebelum dilakukan perubahan telah memberi penguatan terhadap Asuransi Usaha Bersama ( mutual insurance ), yaitu dalam Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian yang menyatakan, “Ketentuan tentang usaha perasuransian yang berbentuk Usaha Bersama ( mutual ) diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang“ . Dengan demikian, keberadaan Asuransi Usaha Bersama ( mutual insurance ) diakui dan diberi penguatan oleh pembentuk undang-undang untuk berkembang dan bersaing baik dengan usaha asuransi dalam bentuk perseroan maupun usaha asuransi dalam bentuk koperasi, dan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013 semakin mengukuhkan penguatan Asuransi Usaha Bersama ( mutual insurance ) dengan memerintahkan pembentuk 124 undang-undang dalam waktu dua tahun enam bulan sejak putusan diucapkan untuk membentuk dan mengundangkan Undang-Undang tentang Asuransi Usaha Bersama di luar undang-undang tentang usaha perasuransian. Oleh karena itu berdasarkan uraian pertimbangan di atas, maka Asuransi Usaha Bersama merupakan usaha yang harus dibentuk dengan undang-undang sebagai amanah Pasal 33 ayat (1) UUD 1945. [3.13.3] Bahwa lebih lanjut, praktik usaha asuransi berbentuk usaha bersama di Indonesia memang hanya dimiliki oleh AJB Bumiputera. Namun, usaha asuransi berbentuk usaha bersama di negara lain berkembang dan maju menjadi perusahaan asuransi yang besar seperti di Jepang, Perancis, Denmark, Norwegia, Swedia, Belgia, Finlandia, Polandia, Slovenia, Spanyol, Amerika Serikat, serta di Afrika Selatan. Di Selandia Baru justru diadopsi dan didominasi oleh perusahaan asuransi jiwa. Bahkan perusahaan asuransi yang mengadopsi bentuk usaha bersama justru berkembang dengan sukses dan menjadi perusahaan multi-nasional yang memiliki cabang di banyak negara, seperti The Folksam Group di negara Swedia, Liberty Mutual Insurance di Amerika Serikat, The MACIF Group di negara Perancis, dan Old Mutual Life Assurance Company di negara Afrika Selatan. Keberhasilan perusahaan asuransi dalam bentuk usaha bersama di berbagai negara tersebut didukung dengan memberikan ruang pengaturannya dalam bentuk undang-undang, antara lain seperti: Selandia Baru, dengan Insurance (Prudential Supervision) Act 2010 dan Farmers’ Mutual Group Act 2007 Number 1 Private Act , Kanada, dengan Mutual Insurance Companies Act Chapter 306 of Revised Statutes 1989 dan Mutual Fire Insurance Companies Act 1960- Chapter 262, Inggris dan Scotlandia (United Kingdom), dengan Friendly Societies Act 1992, Perancis, dengan Code de la Mutualié, Jerman, dengan Versichegerungsaufsichtsgezetz yang telah diubah terakhir pada Tahun 2020. Dengan demikian, maka terlihat dengan jelas bahwa untuk mendukung Asuransi Usaha Bersama perlu diatur dengan undang-undang; [3.13.4] Bahwa selain penegasan tersebut di atas, hal yang tidak dapat diabaikan adalah kekuatan eksekutorial putusan badan peradilan. Sebagaimana diketahui bahwa secara universal putusan pengadilan dimaksudkan untuk menyelesaikan suatu persoalan atau sengketa dan menetapkan hak atau hukumnya, ini tidak berarti semata-mata hanya menetapkan hak atau hukumnya 125 saja, melainkan juga pelaksanaannya atau eksekusinya secara paksa. Suatu putusan dapat dilaksanakan apabila kepala putusan atau disebut irah-irah memuat kalimat yang berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” , pencantuman irah-irah ini memberikan kekuatan eksekutorial pada putusan tersebut. Sehingga, peniadaan irah-irah tersebut mengakibatkan putusan menjadi batal demi hukum. Selain itu, pada asasnya, putusan yang dapat dieksekusi adalah putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, karena dalam putusan yang telah berkekuatan hukum yang tetap telah terkandung wujud hubungan hukum yang tetap dan pasti serta mengikat antara para pihak yang berperkara. Bahwa terkait dengan kekuatan eksekutorial putusan badan peradilan, secara doktriner, bahwa putusan badan peradilan yang memerlukan eksekusi nyata (riil) adalah amar putusan yang bersifat condemnatoir (penghukuman), sedangkan putusan yang bersifat constitutief atau declaratoir tidak memerlukan eksekusi nyata (riil). Namun demikian terhadap putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan norma dari undang-undang adalah inkonstitusional dan kemudian diikuti amar yang memerintahkan kepada pembentuk undang-undang dalam jangka waktu tertentu untuk membentuk undang-undang sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013, maka kedua amar tersebut di samping mengandung amar yang bersifat constitutief atau declaratoir juga memuat amar yang bersifat penghukuman ( condemnatoir) . Artinya, amar putusan Mahkamah Konstitusi tersebut juga memuat perintah untuk melakukan suatu tindakan, yaitu membentuk undang-undang yang baru/tersendiri dalam jangka waktu dua setengah tahun sejak putusan itu diucapkan. Dalam konteks Putusan Mahkamah Konstitusi, putusan yang berkekuatan hukum tetap tercermin dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar,...”. Kemudian Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 tersebut ditegaskan kembali dalam Pasal 10 ayat (1) UU MK yang menyatakan, “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Kata “final” dalam kedua pasal tersebut di atas, dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 10 ayat (1) UU MK, yaitu: 126 Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, yakni putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat ( final and binding ). Dengan demikian, putusan Mahkamah Konstitusi merupakan putusan yang berkekuatan hukum tetap dan mengikat bagi semua pihak sejak putusan itu diucapkan, terutama dalam hal ini pembentuk undang-undang. Artinya, semua putusan Mahkamah Konstitusi merupakan putusan yang mempunyai kekuatan eksekutorial, terlebih terhadap putusan yang disertai amar yang bersifat penghukuman ( condemnatoir ), sebagaimana diuraikan di atas. Bahwa oleh karena itu persoalan yang menjadi pertanyaan penting dan fundamental adalah apa akibat hukum apabila putusan Mahkamah Konstitusi yang amarnya mengabulkan permohonan para Pemohon bahkan terkandung permintaan agar pembentuk undang-undang atau pihak lain untuk melakukan perbuatan tertentu tidak ditaati. Menurut Mahkamah, tindakan tidak mentaati putusan adalah ‘pembangkangan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi yang juga merupakan bentuk pembangkangan terhadap konstitusi’. Hal tersebut berakibat adanya ketidakpastian hukum yang telah dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi. Akibat lainnya adalah terjadinya penundaan keadilan ( constitutionalism justice delay ) yang basisnya adalah nilai-nilai konstitusi Indonesia. Akibat hukum lain yang dapat ditimbulkan adalah ketidaktaatan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi yang dapat memunculkan rivalitas lembaga negara yang diperlihatkan oleh DPR dan Presiden melalui pembentukan undang-undang yang dikeluarkan seolah mengabaikan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu, keadaan demikian tentu dapat menyebabkan ketidakstabilan negara hukum utamanya penegakan nilai-nilai konstitusi sebagaimana tertuang dalam UUD 1945. Bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi adalah hukum yang dibentuk oleh badan peradilan yang kewenangannya didasarkan langsung dari UUD 1945, di mana ketika Mahkamah Konstitusi mengadili suatu perkara mendasarkan pada pasal-pasal yang termuat di dalam UUD 1945 sebagai hukum materiil. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan Indonesia adalah negara hukum. Kata hukum dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 tidak hanya UUD 1945 serta peraturan perundang-undangan di bawahnya melainkan juga termasuk putusan pengadilan. 127 Sehingga ketidaktaatan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi adalah pengabaian terhadap UUD 1945. Bahwa dalam hal putusan Mahkamah Konstitusi karena alasan-alasan yang bersifat kekinian sehingga tidak tepat lagi untuk diakomodir/dipenuhi atau tidak dapat dilaksanakan oleh pembentuk undang-undang ataupun pihak lain, sepanjang alasan tersebut berkaitan dengan konstitusionalitas suatu norma, bukan semata- mata alasan yang bersifat teknis dan pragmatis, maka terhadap putusan Mahkamah Konstitusi demikian dapat diajukan pengujian kembali untuk dilakukan ‘peninjauan’ terhadap putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, sebagaimana hal demikian telah pernah dikabulkan oleh Mahkamah. Bukan dengan sengaja menafsirkan putusan dimaksud dan selanjutnya tidak mentaatinya. [3.13.5] Bahwa selanjutnya berkaitan dengan konstitusionalitas norma Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 yang dipersoalkan oleh para Pemohon yang sangat terkait dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013. Menurut Mahkamah, sesungguhnya dalam putusan tersebut, baik dalam pertimbangan hukum maupun amarnya secara expressis verbis memerintahkan Pembentuk undang-undang untuk membentuk Undang-Undang tentang Asuransi Usaha Bersama dalam dua tahun enam bulan sejak putusan diucapkan. Selengkapnya amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013 menyatakan: Mengadili, Menyatakan:
Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;
Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya. Bahwa sesuai amar Putusan Mahkamah tersebut maka pembentuk undang-undang diberi waktu dua tahun enam bulan untuk membentuk Undang- Undang tentang Asuransi Usaha Bersama ( Mutual Insurance ). Namun, kenyataannya pembentuk undang-undang bukan membentuk undang-undang sebagaimana perintah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013 melainkan hanya memuat satu pasal dalam UU 40/2014 bahkan pembentuk undang-undang mendegradasi amanah Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 yang kemudian oleh Mahkamah juga telah diputus bahwa Asuransi Usaha Bersama dibentuk dengan undang-undang. Bahwa dalam persidangan baik Presiden maupun Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan yang pada pokoknya:
Perusahaan AJB Bumi Putera 1912 hanya satu-satunya dan tidak dimungkinkan akan ada penambahan perusahaan Asuransi Usaha Bersama ( mutua l) lagi di Indonesia.
Dalam Usaha Bersama, penambahan modal tidak dapat dilakukan karena karakteristik Usaha Bersama tidak membolehkan adanya penambahan modal dari pihak luar selain dari anggota. Di sisi lain, karakteristik usaha perasuransian adalah bisnis yang memerlukan modal usaha besar.
Dengan mempertimbangkan keterbatasan kemampuan Usaha Bersama dalam menambah modal, dengan pemahaman Usaha Bersama sebagai kumpulan pihak dan bukan kumpulan modal, sementara di sisi lain Usaha Bersama tetap harus memastikan kemampuannya untuk memenuhi kewajiban kepada Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta, maka terhadap Perasuransian Berbentuk Usaha Bersama yang telah ada, agar dapat tetap menjalankan usaha dengan memiliki standar perusahaan asuransi yang ideal, perlu diatur pembatasan ruang lingkup Asuransi Usaha Bersama dan penyempurnaan ketentuan mengenai tata kelola perusahaan-perusahaan Asuransi Usaha Bersama.
Bahwa UU 40/2014 telah mengakomodir kebutuhan hukum perusahaan asuransi berbentuk Usaha Bersama pada pasal-pasal dalam batang tubuhnya, meskipun demikian, sebagai upaya penguatan terhadap perusahaan asuransi 129 berbentuk Usaha Bersama yang telah ada agar memiliki standar sebagai perusahaan perasuransian yang ideal serta memberikan perlindungan bagi para anggotanya, maka pembuat undang-undang juga memperhatikan hal tersebut dengan mengatur lebih lanjut mengenai badan hukum Usaha Perasuransian berbentuk Usaha Bersama dengan Peraturan Pemerintah. Bahwa penjelasan Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat tersebut, menurut Mahkamah telah menafsirkan lain dari maksud Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013. Putusan Mahkamah Konstitusi a quo sangat jelas dan gamblang menyatakan bahwa frasa “...diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang” dalam Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “... ‘diatur lebih lanjut dengan Undang- Undang’ dilakukan paling lambat dua tahun enam bulan setelah putusan Mahkamah ini diucapkan ”. Artinya, ketentuan tentang usaha perasuransian yang berbentuk Usaha Bersama ( Mutual ) harus diatur lebih lanjut dengan Undang- Undang tersendiri terpisah dari asuransi berbentuk perseroan dan asuransi berbentuk koperasi. Bahwa tindakan pembentuk undang-undang yang menafsirkan berbeda dari maksud Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013 merupakan tindakan yang keliru bahkan secara faktual tindakan pembentuk undang-undang yang tidak melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi yang memiliki kekuatan eksekutorial merupakan bentuk ketiadaktaatan terhadap hukum. Terlebih lagi, pembentuk undang-undang secara sadar menafsirkan lain yang justru mendegradasi amanah Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 yang telah dipertimbangkan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013. Tindakan menafsirkan amar suatu putusan badan peradilan adalah juga merupakan bentuk pengingkaran terhadap asas universal ‘ res judicata pro viratate habetur’ yang menjadi landasan setiap putusan hakim yang harus dianggap benar, sepanjang putusan itu tidak dibatalkan kemudian oleh putusan hakim yang lain. Dengan kata lain, putusan hakim tidak boleh ditafsirkan lain dan harus dilaksanakan sebagaimana bunyi amar putusannya dan bunyi amar putusan dimaksud dianggap benar hingga dibatalkan oleh putusan hakim yang lainnya. 130 Bahwa alasan pembentuk undang-undang sebagaimana telah diuraikan di atas, bukan merupakan alasan konstitusional melainkan alasan teknis-pragmatis belaka. Seharusnya pembentuk undang-undang membuat undang-undang mengenai Asuransi Usaha Bersama agar menjadi maju dan berkembang sehingga dapat bersaing dengan asuransi perseroan dan asuransi koperasi. Sebagaimana di negara-negara lain seperti yang telah Mahkamah uraikan dalam Paragraf [3.13.3] , terlebih untuk Indonesia yang secara fakta sejarah telah memiliki Asuransi Usaha Bersama dalam hal ini AJB Bumiputera 1912 yang sampai saat ini keberadaannya masih diakui, justru harus didorong agar dapat mengembangkan industri perasuransian dengan bentuk usaha bersama, apalagi hal itu merupakan amanah Pasal 33 ayat (1) UUD 1945. Di samping alasan tersebut di atas, penguatan eksistensi Asuransi Usaha Bersama juga mencerminkan adanya tekad dari negara dalam mempertahankan warisan kultur dan semangat gotong royong ( legacy ) dalam membangun perekonomian yang hingga saat ini masih relevan dibutuhkan yang menjadi ciri utama falsafah bangsa Indonesia. Sebab, mengakomodir pengaturan asuransi sebagai usaha bersama ( mutual) , sebagaimana AJB Bumi Putera 1912 di dalam undang-undang adalah juga bagian dari bentuk legitimasi bangsa Indonesia terhadap aspek legacy tersebut di atas. [3.14] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian tersebut di atas, menurut Mahkamah permohonan para Pemohon mengenai ketentuan Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 bertentangan dengan UUD 1945 beralasan menurut hukum, yaitu mengganti frasa yang semula berbunyi “diatur dalam Peraturan Pemerintah” menjadi “diatur dengan undang-undang”, sehingga ketentuan Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 selengkapnya berbunyi, “Ketentuan lebih lanjut mengenai badan hukum usaha bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Undang- Undang”. Perubahan norma dimaksud semata-mata agar tidak bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Pasal 33 ayat (1) yang telah dipertimbangkan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013. Oleh karenanya, adalah tindakan inkonstitusional jika pembentuk undang-undang menafsirkan lain atau berbeda dengan apa yang telah diputuskan oleh Mahkamah. [3.15] Menimbang bahwa untuk menyelesaikan pembentukan Undang-Undang tentang Asuransi Usaha Bersama sebagaimana dikemukakan di atas, Mahkamah berpendapat diperlukan jangka waktu paling lama dua tahun sejak putusan ini 131 diucapkan. Waktu dua tahun adalah waktu yang cukup bagi pembentuk undang- undang (DPR dan Presiden) untuk menyelesaikan Undang-Undang tentang Asuransi Usaha Bersama ( mutual insurance ). [3.16] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan di atas, menurut Mahkamah, dalil permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum 4. KONKLUSI Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan: [4.1] Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan _a quo; _ __ [4.2] Para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo ; [4.3] Permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 216, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6554), dan Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076).
AMAR PUTUSAN Mengadili, 1. Mengabulkan permohonan para Pemohon;
1 Menyatakan frasa “... diatur dalam Peraturan Pemerintah ” dalam Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618 ), bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum 132 mengikat; __ __ 1.2 Menyatakan frasa “... diatur dalam Peraturan Pemerintah ” dalam Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618 ), diubah sehingga menjadi diatur dengan Undang-Undang, sehingga selengkapnya Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618 ), menjadi “ Ketentuan lebih lanjut mengenai badan hukum usaha bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Undang- Undang”. __ 1.3 Memerintahkan DPR dan Presiden untuk menyelesaikan Undang-Undang tentang Asuransi Usaha Bersama dalam waktu paling lama dua tahun sejak putusan ini diucapkan. __ 2. Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. -------------------------------------------------------------------------------- 6. PENDAPAT BERBEDA ( DISSENTING OPINION ) Terhadap putusan Mahkamah ini, terdapat dua orang Hakim Konstitusi yaitu Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams yang memiliki pendapat berbeda ( dissenting opinion ) sebagai berikut: [6.1] Menimbang bahwa para Pemohon pada pokoknya mempersoalkan frasa “diatur dalam Peraturan Pemerintah” dalam ketentuan Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014. Para Pemohon memohonkan agar pasal a quo dimaknai menjadi “diatur dengan Undang-Undang” sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu yaitu Putusan Nomor 32/PUU-XI/2013, bertanggal 3 April 2014, yang amarnya menyatakan “ diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang dilakukan paling lambat dua tahun enam bulan setelah putusan Mahkamah ini diucapkan”. Berkenaan dengan permohonan para Pemohon tersebut, Kami memberikan pendapat berbeda. 133 [6.2] Menimbang bahwa setelah dicermati secara saksama, para Pemohon menerangkan kedudukan hukumnya sebagai perseorangan warga negara Indonesia, Pemegang Polis AJB Bumiputera 1912 serta sebagai Anggota Badan Perwakilan Anggota (BPA) dari berbagai daerah perwakilan. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013 para Pemohon sebagai perseorangan dan pemegang polis diberikan kedudukan hukum karena pemilik badan usaha adalah para Pemegang Polis sebagaimana diatur dan disebutkan dalam Anggaran Dasar AJB Bumiputera 1912 pada bagian Mukadimah, maupun dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 5, Pasal 7, dan Pasal 36 sampai dengan Pasal 45. Namun demikian, pemberian kedudukan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013 tidaklah serta merta dapat diberikan untuk perkara a quo dikarenakan pada saat Perkara Nomor 32/PUU-XI/2013 diajukan belum ada kejelasan status badan hukum usaha bersama. Namun, setelah diundangkannya UU 40/2014 usaha bersama yang telah ada dikukuhkan statusnya sebagai badan hukum usaha bersama dan organ badan hukum usaha bersama diatur dalam peraturan pelaksana UU 40/2014 yaitu PP 87/2019. Ketentuan Pasal 1 angka 8 PP 87/2019 mengatur adanya organ direksi, di mana direksi sebagai organ usaha bersama berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan usaha bersama untuk kepentingan usaha bersama, sesuai dengan maksud dan tujuan usaha bersama, serta mewakili usaha bersama baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan PP a quo dan anggaran dasar usaha bersama. Ketentuan Pasal 1 angka 8 PP 87/2019 dikuatkan kembali dalam Pasal 54 ayat (1) PP a quo yang menyatakan bahwa “Direksi baik sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama berwenang mewakili usaha bersama baik di dalam maupun di luar pengadilan”. Kewenangan Direksi untuk mewakili usaha bersama tidak terbatas dan tidak bersyarat, kecuali ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan, Anggaran Dasar, atau keputusan Rapat Umum Anggota (RUA). Bahwa selanjutnya, terkait dengan anggapan kerugian hak konstitusionalnya, para Pemohon menjelaskan kedudukannya sebagai Badan Perwakilan Anggota (BPA) untuk berbagai daerah pemilihan. Namun, pada saat UU 40/2014 dan PP 87/2019 berlaku sudah tidak ada lagi istilah BPA karena ketentuan Pasal 120 ayat (3) PP 87/2019 menyatakan bahwa BPA usaha bersama yang telah ada pada saat PP 87/2019 diundangkan, dinyatakan sebagai RUA dan memiliki tugas serta kewenangan sesuai dengan ketentuan dalam PP a quo . Adapun anggota 134 BPA __ yang telah ada pada saat PP a quo diundangkan, tanggal 26 Desember 2019, dinyatakan sebagai Peserta RUA [vide Pasal 120 ayat (4) PP 87/2019]. [6.3] Menimbang bahwa dengan mencermati secara saksama uraian para Pemohon dalam menjelaskan kedudukan hukumnya telah ternyata tidak tampak adanya hubungan kausal ( causal verband ) antara anggapan kerugian konstitusional yang diderita para Pemohon dengan berlakunya norma Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014. Karena, pada pokoknya yang dipersoalkan para Pemohon adalah beberapa ketentuan dalam PP 87/2019 yang dianggap para Pemohon telah menghilangkan eksistensi BPA karena mengubahnya menjadi RUA, dan mengurangi kewenangan BPA dalam mengelola AJB Bumiputera 1912. Termasuk di dalamnya para Pemohon juga mempersoalkan masa jabatan anggota BPA yang beralih menjadi anggota RUA sebagaimana termaktub dalam ketentuan Pasal 120 PP a quo yang menentukan selama satu tahun. Menurut para Pemohon, ketentuan demikian merugikan karena semula masa jabatan anggota BPA adalah lima tahun dan dapat dipilih kembali untuk maksimal dua periode berturut-turut. [6.3.1] Bahwa Jika mencermati secara saksama PP 87/2019, masa jabatan anggota RUA tersebut pada prinsipnya sama dengan anggota BPA yakni lima tahun dan dapat dipilih kembali. Ketentuan satu tahun yang dipersoalkan para Pemohon sebagai anggapan kerugian konstitusional tersebut hanyalah Ketentuan Peralihan dari anggota BPA menjadi anggota RUA yang sifatnya sementara waktu ( temporary ) sampai terbentuknya anggota RUA (vide Pasal 120 ayat (4) dan ayat (5) PP 87/2019). Selain itu, para Pemohon juga mempersoalkan anggapan kerugian yang dialaminya dikaitkan dengan tidak dibolehkannya anggota/pengurus partai politik, calon/anggota legislatif, calon kepala/wakil kepala daerah, atau kepala/wakil kepala daerah menjadi peserta RUA sebagaimana termaktub dalam Pasal 31 ayat (3) PP 87/2019 yang dikaitkan dengan adanya pembatasan terhadap hak seseorang, in casu anggota/pengurus partai politik, calon/anggota legislatif, calon kepala/wakil kepala daerah, atau kepala/wakil kepala daerah untuk menjadi pemegang polis. [6.3.2] Bahwa uraian alasan para Pemohon yang mengait-kaitkan hak untuk menjadi anggota (pemegang polis) dan syarat untuk menjadi anggota RUA dalam batas penalaran yang wajar sungguh sulit untuk dipahami korelasinya dengan anggapan kerugian hak konstitusional yang dialaminya. Karena, pada prinsipnya 135 siapapun dapat menjadi pemegang polis AJB Bumiputera atau anggota sepanjang memenuhi syarat keanggotaan yaitu perseorangan berkewarganegaraan Indonesia atau pemegang polis badan hukum, lembaga, kelompok, atau perkumpulan yang tunduk pada hukum Indonesia (vide Pasal 8 PP 87/2019). Sementara itu, pembatasan yang dipersoalkan oleh para Pemohon pada prinsipnya pembatasan atau syarat menjadi anggota RUA. Salah satu pembatasan tersebut adalah tidak membolehkan anggota/pengurus partai politik, calon/anggota legislatif, calon kepala/wakil kepala daerah, atau kepala/wakil kepala daerah. Pembatasan demikian adalah wajar dan tidak bertentangan dengan konstitusi di mana secara filosofis bertujuan untuk menjamin agar keputusan yang diambil oleh RUA dalam melaksanakan kewenangannya, yang tidak dimiliki oleh direksi atau dewan komisaris, tidak berafiliasi dengan kepentingan politik apapun atau independen. [6.3.3] Bahwa Lebih lanjut, para Pemohon juga menjelaskan anggapan kerugian hak konstitusionalnya dikaitkan dengan adanya kewenangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang dianggap para Pemohon telah mengintervensi kewenangan BPA AJB Bumiputera 1912 sebagaimana menurut para Pemohon intervensi tersebut termaktub antara lain dalam ketentuan Pasal 5 ayat (2), Pasal 7 ayat (2), Pasal 19, Pasal 23 ayat (4), ayat (5), ayat (6), Pasal 24 ayat (6), ayat (7), ayat (8), Pasal 35 UU 40/2014 sehingga menurut para pemohon intervensi demikian dapat memperlambat proses pengambilan keputusan RUA (vide. permohonan para Pemohon hlm. 14 sampai dengan hlm. 17). Istilah RUA yang dimaksud dulunya adalah BPA. Berkenaan dengan uraian para Pemohon tersebut, penting ditegaskan bahwa pada saat BPA dibentuk tidak ada keterlibatan OJK dalam penyelenggaraan asuransi karena OJK sendiri baru dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU 21/2011). Artinya, pada saat BPA dibentuk memang belum ada OJK sebagai lembaga independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang memiliki fungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan (Pasal 5 UU 21/2011). Sebagai lembaga pengatur dan pengawas sektor jasa keuangan OJK berwenang mengatur dan mengawasi perusahaan asuransi apapun dalam rangka memberikan perlindungan bagi para anggotanya, termasuk di dalamnya mengatur dan mengawasi badan hukum usaha bersama AJB Bumiputera 1912. 136 [6.4] Menimbang bahwa berdasarkan uraian kedudukan hukum di atas, telah jelas para Pemohon tidak dapat menguraikan apa sesungguhnya kerugian hak konstitusional yang dialami para Pemohon dengan berlakunya norma Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014, sehingga tidak ada hubungan kausal ( causal verband ) antara kerugian para Pemohon dengan berlakunya norma pasal a quo . Dengan demikian seharusnya Mahkamah menyatakan para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian norma Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014. [6.5] Menimbang bahwa uraian/pendapat hukum mengenai PP 87/2019 di atas bukan ditujukan untuk menilai keabsahan (legalitas) PP 87/2019 terhadap Undang- Undang atau bahkan terhadap UUD 1945, melainkan semata-mata karena para Pemohon dalam menjelaskan kerugian konstitusionalnya selalu merujuk pada PP 87/2019 a quo. [6.6] Menimbang bahwa andaipun para Pemohon memiliki kedudukan hukum, quod non, tidak terdapat pula persoalan konstitusionalitas norma Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 dikarenakan Pasal 6 ayat (1) UU 40/2014 menentukan bentuk badan hukum penyelenggara usaha perasuransian adalah perseroan terbatas, koperasi, dan usaha bersama. Badan hukum usaha bersama dimaksud adalah usaha bersama yang telah ada pada saat UU 40/2014 diundangkan yang dikukuhkan oleh UU a quo sebagai badan hukum usaha bersama. Sampai saat UU a quo diundangkan hanya ada satu badan hukum usaha bersama yaitu AJB Bumiputera 1912. UU a quo telah ternyata tidak hanya mengukuhkan AJB Bumiputera 1912 sebagai badan hukum usaha bersama tetapi juga mengatur secara garis besar mengenai tata kelola penyelenggara perasuransian oleh badan hukum usaha bersama. Pengaturan tersebut meliputi perizinan usaha bersama (Pasal 8 UU 40/2014); penerapan tata kelola perusahaan asuransi yang baik, termasuk usaha bersama (Pasal 11 UU 40/2014); pengaturan kewajiban organ perusahaan perasuransian, termasuk usaha bersama untuk memenuhi persyaratan kemampuan dan kepatutan (Pasal 12 UU 40/2014); pengaturan prinsip dasar penyelenggaraan usaha bersama (Pasal 35 UU 40/2014); larangan bagi organ perusahaan asuransi, termasuk usaha bersama jika izin usaha perusahaan dicabut (Pasal 43 UU 40/2014); kewenangan organ perusahaan, termasuk usaha bersama, jika tim likuidasi telah dibentuk (Pasal 46 UU 40/2014); kewenangan OJK menonaktifkan 137 organ perusahaan, termasuk usaha bersama, dan menetapkan pengelola statuter, serta mengatur mengenai pengenaan sanksi bagi perusahaan perasuransian dan organ perusahaan yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 60 UU 40/2014); pemeriksanaan perusahaan perasuransian secara berkala atau sewaktu-waktu (Pasal 61 UU 40/2014); kewenangan OJK untuk memerintahkan penggantian direksi dan dewan komisaris (Pasal 72 UU 40/2014); ketentuan pidana bagi organ perusahaan yang melanggar UU 40/2014, dan ketentuan peralihan untuk penyesuaian usaha bersama dalam kurun waktu paling lama tiga tahun (Pasal 86 UU 40/2014). [6.6.1] Bahwa lebih lanjut, UU 40/2014 menjelaskan bahwa apabila di kemudian hari setelah UU 40/2014 diundangkan ada pihak-pihak yang akan menyelenggarakan usaha asuransi umum, usaha asuransi jiwa, usaha asuransi umum syariah, atau usaha asuransi jiwa syariah dengan bentuk usaha bersama, UU a quo menjelaskan agar bentuk badan hukumnya didorong berbentuk koperasi dengan pertimbangan kejelasan tata kelola dan prinsip usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan (vide Penjelasan Pasal 6 UU 40/2014). Artinya, dengan UU 40/2014 pembentuk undang-undang telah mengukuhkan AJB Bumiputera 1912 sebagai satu-satunya badan hukum usaha bersama. Namun, ke depannya usaha bersama apabila ada lagi oleh UU a quo didorong dalam bentuk koperasi. Koperasi pada hakikatnya adalah wadah usaha bersama untuk memenuhi aspirasi dan kebutuhan ekonomi. Bentuk badan usaha bersama ( mutual ) ini sejiwa dengan badan usaha koperasi sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan, yang dalam usahanya bertumpu kepada kemampuan anggotanya serta berorientasi pada peningkatan kesejahteraan para anggotanya, bukan seperti perusahaan yang lebih berpihak dan menguntungkan para pemilik modal. Dengan demikian, bentuk koperasi untuk usaha bersama seandainya ke depan akan dibentuk adalah sejalan dengan amanat Pasal 33 ayat (1) UUD 1945. [6.6.2] Bahwa berdasarkan pengaturan tersebut di atas maka pembentuk undang- undang, in casu Pembentuk UU 40/2014 pada prinsipnya telah melaksanakan amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-XI/2013 walaupun tidak diatur dalam undang-undang tersendiri. Selain itu, UU 40/2014 tidak hanya mengukuhkan status badan hukum usaha bersama tetapi juga mengatur tata kelolanya, di mana untuk pengaturan lebih lanjutnya ditetapkan dalam PP 87/2019. 138 Dengan penjelasan dan argumentasi di atas dapat disimpulkan bahwa Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 tidak bertentangan dengan Konstitusi karena status hukum bagi usaha bersama yang ada yaitu AJB Bumiputera 1912 sebagai badan hukum telah ditegaskan dalam UU 40/2014 [vide Pasal 6 ayat (1) huruf c dan ayat (2)]. Selain telah memberikan kepastian hukum bahwa perusahaan asuransi berbentuk usaha bersama adalah badan hukum dan ditegaskan pula bahwa AJB Bumiputera 1912 merupakan satu-satunya usaha bersama yang menyelenggarakan usaha perasuransian; telah diaturnya prinsip-prinsip umum tata kelola suatu perusahaan asuransi yang berlaku bagi usaha bersama dalam UU 40/2014 dan kekhususan bidang AJB Bumiputera 1912 di bidang asuransi; serta adanya fakta hukum bahwa hanya ada satu objek hukum atas pengaturan tata kelola usaha bersama, maka kebijakan pembentuk undang-undang (Presiden dan DPR) yang mendelegasikan pengaturan tata kelola usaha bersama ke dalam Peraturan Pemerintah telah didasarkan pada landasan hukum dan pemikiran yang jelas dan berdaya guna serta berhasil guna sesuai dengan asas pembentukan peraturan perundang-undangan [vide Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan] sehingga memberikan kepastian hukum. Dengan demikian tidak terdapat persoalan konstitusionalitas norma Pasal 6 ayat (3) UU 40/2014 sebagaimana didalilkan para Pemohon. [6.7] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut, Kami berpendapat bahwa para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum, oleh karenanya seharusnya permohonan para Pemohon tidak diterima. Seandainyapun para Pemohon memiliki kedudukan hukum, quod non , seharusnya Mahkamah menyatakan pokok permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum. *** Demikian diputus dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Anwar Usman selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto, Suhartoyo, Enny Nurbaningsih, Daniel Yusmic P. Foekh, Manahan M.P. Sitompul, Wahiduddin Adams, Arief Hidayat, dan Saldi Isra, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Kamis, tanggal sepuluh, bulan Desember, tahun dua ribu dua puluh , yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum 139 pada hari Kamis, tanggal empat belas, bulan Januari, tahun dua ribu dua puluh satu , selesai diucapkan pukul 13.26 WIB , oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Anwar Usman selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto, Suhartoyo, Enny Nurbaningsih, Daniel Yusmic P. Foekh, Manahan M.P. Sitompul, Wahiduddin Adams, Arief Hidayat, dan Saldi Isra, masing-masing sebagai Anggota, dengan dibantu oleh Dian Chusnul Chatimah sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh para Pemohon atau kuasanya, Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili, dan Presiden atau yang mewakili. KETUA, ttd. Anwar Usman ANGGOTA-ANGGOTA, ttd. Aswanto ttd. Suhartoyo ttd. Enny Nurbaningsih ttd. Daniel Yusmic P. Foekh ttd. Manahan M.P. Sitompul ttd. Wahiduddin Adams ttd. Arief Hidayat ttd. Saldi Isra PANITERA PENGGANTI, ttd. Dian Chusnul Chatimah
Uji Formil dan Uji Materi Pasal 2 dan Pasal 27 Perppu Nomor 1 Tahun 2020 mengenai Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penan ...
Relevan terhadap
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Bahwa pasal-pasal UUD NRI Tahun 1945 yang dijadikan batu uji adalah Pasal 1, Pasal 4 ayat (1), Pasal 5 ayat (2), Pasal 18 ayat (2) dan (3), Pasal 20A, 72 Pasal 20A ayat (1), Pasal 22, Pasal 22 ayat (1), Pasal 22D ayat (2), Pasal 23, Pasal 23A, Pasal 23C, Pasal 23D, Pasal 23E, Pasal 24, Pasal 24A ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan (2), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28H ayat (1), Pasal 28I ayat (2) dan Pasal 31 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. II. KETERANGAN DPR RI Dengan ini DPR RI menyampaikan keterangan terhadap permohonan pengujian materiil UU 2/2020 terhadap UUD NRI Tahun 1945 dalam Perkara nomor 37, 42, 43, 45, 47, 49 dan 75/PUU-XVIII/2020 sebagai berikut: A. KEDUDUKAN HUKUM ( LEGAL STANDING ) PARA PEMOHON 1. Kedudukan Hukum ( Legal Standing ) Para Pemohon dalam Pengujian Secara Formil Terkait kedudukan hukum (legal standing) Para Pemohon dalam pengujian undang-undang secara formil, DPR RI memberikan pandangan dengan berdasarkan 2 (dua) batasan kerugian konstitusional yang disimpulkan dari Pertimbangan Hukum dalam Putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 27/PUU-VII/2009, yaitu:
Para Pemohon merupakan perorangan yang telah melaksanakan hak pilih sebagai pemegang kedaulatan yang telah memberikan kepercayaan dan mandat kepada wakil sebagai fiduciary duty dalam pemilihan umum;
Berdasarkan uraian kedudukannya, Pemohon Badan Hukum Perkara 37 dan Para Pemohon Badan Hukum Perkara 75 yang merupakan Badan Hukum tentunya tidak memiliki hak dan/atau kewenangan untuk turut serta dalam pemilihan umum.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 34 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, Pemilih adalah Warga Negara Indonesia yang sudah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih, sudah kawin, atau sudah pernah kawin. Oleh karena itu, Pemohon Badan Hukum Perkara 37 dan Para Pemohon Badan Hukum Perkara 75 telah jelas tidak dapat membuktikan bahwa telah memberikan kepercayaan dan 73 mandat kepada anggota DPR RI masa keanggotaan periode tahun 2014-2019 karena Pemohon Badan Hukum Perkara 37 dan Para Pemohon Badan Hukum Perkara 75 bukanlah perorangan yang telah melaksanakan hak pilih sebagai pemegang kedaulatan yang telah memberikan kepercayaan dan mandat kepada wakil sebagai fiduciary duty dalam pemilihan umum 3) Para Pemohon Perorangan Perkara 37, Para Pemohon Perkara 43, dan Para Pemohon Perorangan Perkara 75 dalam perbaikan permohonannya tidak memberikan uraian argumentasi sebagai perorangan yang telah melaksanakan hak pilih sebagai pemegang kedaulatan dalam Pemilihan Umum. Selain itu, Para Pemohon tersebut diatas juga tidak melampirkan bukti-bukti keikutsertaannya dalam Pemilihan Umum dan menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan anggota DPR RI sebagai bentuk pemberian mandat kepada wakil sebagai fiduciary duty . Hal ini menunjukkan bahwa Para Pemohon tersebut tidak memahami kedudukan hukumnya sebagai perseorangan warga negara yang memiliki hak konstitusional sebagai pemberi mandat dalam Pemilihan Umum dan tidak memperhatikan ketentuan dalam pengujian undang-undang secara formil.
Para Pemohon mempunyai hubungan pertautan yang langsung dengan Undang-Undang yang dimohonkan.
Bahwa terkait dengan pengajuan pengujian UU a quo secara formil, para Pemohon secara keseluruhan tidak menguraikan pertautannya. Namun dapat dipahami dalam uraian dalil- dalilnya, Para Pemohon hanya menyatakan bahwa UU a quo telah menimbulkan ketidakpastian hukum, melahirkan penafsiran yang ambigu, tidak jelas dan multi tafsir serta berpotensi menghambat pemenuhan hak-hak konstitusional Para Pemohon dan warga negara pada umumnya. 74 2) Meskipun demikian, Para Pemohon tidak memberikan uraian yang berkaitan dengan pertautannya secara langsung terhadap UU a quo yang dimohonkan pengujiannya secara formil. Dengan demikian telah jelas, tidak terdapat keterkaitan secara langsung antara Para Pemohon Perkara 37, Para Pemohon Perkara 43, dan Para Pemohon Perkara 75 dengan UU a quo, sehingga Para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) dalam pengujian formil UU a quo terhadap UUD NRI Tahun 1945.
Terhadap kedudukan hukum ( legal standing ) Para Pemohon Perkara 37, Para Pemohon Perkara 43, dan Para Pemohon Perkara 75 dalam pengujian formil, DPR RI memohon kepada Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi agar benar-benar menilai apakah Para Pemohon tersebut memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) dalam pengajuan Permohonan perkara-perkara a quo sesuai dengan parameter kerugian hak dan/atau kerugian konstitusional dalam pengajuan permohonan pengujian formil undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945 sebagaimana disebutkan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dalam Pertimbangan Hukum pada Putusan Nomor 27/PUU-VII/2009.
Kedudukan Hukum ( Legal Standing ) Para Pemohon dalam Pengujian Secara Materiil Terkait kedudukan hukum ( legal standing ) Para Pemohon dalam pengujian undang-undang secara materiil, DPR RI memberikan pandangan dengan berdasarkan 5 (lima) batasan kerugian konstitusional yang tercantum dalam __ Putusan Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Perkara Nomor 011/PUU-V/2007 sebagai berikut:
Perkara Nomor 37/PUU-XVIII/2020 Bahwa Para Pemohon Perkara 37 mendalilkan memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diatur dalam ketentuan 75 Pasal 23 ayat (1), Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Terhadap hal tersebut, DPR RI menerangkan bahwa ketentuan Pasal 23 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 mengatur mengenai APBN yang jelas-jelas tidak mengatur mengenai hak dan/atau kewenangan Warga Negara. Sehingga ketentuan ini tidak memiliki pertautan hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon Perkara 37. Bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon Perkara 37 sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 28C ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 tidak terciderai dengan berlakunya ketentuan pasal-pasal yang dimohonkan pengujiannya karena Para Pemohon Perkara 37 tetap dapat memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya. Terkait dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, Para Pemohon Perkara 37 juga tetap mendapatkan haknya atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Bahwa Para Pemohon Perkara 37 mendalilkan diri sebagai pembayar pajak ( tax payer ), oleh karenanya DPR RI mengutip pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 40/PUU-XVI/2018 pada paragraf [3.7] sebagai berikut: …menurut Mahkamah, para Pemohon sebagai pembayar pajak ( tax payer ) tidak serta merta memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) dalam mengajukan setiap permohonan pengujian undang-undang. Para Pemohon dapat memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) apabila para Pemohon dapat menjelaskan adanya keterkaitan logis dan causal verband bahwa pelanggaran hak konstitusional atas berlakunya undang-undang yang diuji adalah dalam kaitannya dengan status para Pemohon sebagai pembayar pajak ( tax payer ) memang menunjukkan kerugian yang nyata. Dalam permohonan a quo , para Pemohon Perkara 37 dituntut bukan hanya sekedar menyatakan dirinya sebagai pembayar pajak ( tax payer ), tetapi terkait statusnya sebagai pembayar pajak 76 harus dijelaskan adanya keterkaitannya secara logis dengan kerugian konstitusional Para Pemohon Perkara 37 yang diakibatkan dengan berlakunya pasal-pasal a quo . Terkait dengan ketentuan UUD NRI Tahun 1945 yang oleh para Pemohon Perkara 37 dipertentangkan dengan ketentuan dalam UU a quo , Para Pemohon Perkara 37 tidak mengurai pertautan antara keduanya demikian pula terkait dengan pertautannya dengan Para Pemohon Perkara 37. Maka semakin tidak jelas adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon terkait dengan pasal-pasal yang dimohonkan pengujian dan keberadaan hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara dalil kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon Perkara 37 dengan ketentuan pasal-pasal a quo yang dimohonkan pengujiannya.
Perkara Nomor 42/PUU-XVIII/2020 Bahwa Para Pemohon Perkara 42 tidak konsisten dalam menyebutkan batu uji yang digunakan dalam pengujian pasal- pasal a quo dalam uraian kedudukan hukumnya dengan ketentuan UUD NRI Tahun 1945 yang tertulis dalam bagian Pokok Permasalahan. Lebih lanjut, dalam uraian permohonannya, Para Pemohon Perkara 42 mempertentangkan ketentuan pasal- pasal a quo dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 23 ayat (1), (2), (3), dan Pasal 23A UUD NRI Tahun 1945 yang sama sekali tidak mengatur mengenai hak dan/atau kewenangan konstitusional warga negara. Terkait dengan kerugian hak konstitusionalnya yang dijamin dalam ketentuan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, para Pemohon Perkara 42 tidak menguraikan bentuk konkrit (aktual) maupun potensial atas kerugian konstitusional yang didalilkan tersebut dengan diri para Pemohon Perkara 42 dan justru para Pemohon Perkara 42 banyak menyampaikan asumsi-asumsi dan kekhawatirannya atas pemberlakuan pasal-pasal a quo terhadap negara yang jelas 77 sangat mengada-ada. Selain itu, Para Pemohon Perkara 42 tidak dapat menunjukkan adanya pertautan secara langsung dengan ketentuan pasal-pasal a quo sehingga tidak jelas sebab akibat atas dalil kerugian konstitusional yang didalilkan Para Pemohon Perkara 42 dengan berlakunya ketentuan pasal-pasal a quo .
Perkara Nomor Perkara 43/PUU-XVIII/2020 Bahwa Para Pemohon Perkara 43 tersebut masing-masing tidak berdiri dalam posisi yang jelas atas kepentingan siapakah para Pemohon Perkara 43 hendak mengemukakan kerugian konstitusionalnya. Selain itu, Para Pemohon Perkara 43 dalam permohonannya tidak mampu menjelaskan secara spesifik dalam hal apa para Pemohon Perkara 43 dirugikan dengan keberlakuan pasal UU a quo tersebut terhadap diri para Pemohon Perkara 43 maupun terhadap profesi Para Pemohon Perkara 43. Bahwa para Pemohon Perkara 43 dalam permohonannya tidak mampu menjelaskan secara spesifik dalam hal apa Para Pemohon Perkara 43 dirugikan dengan keberlakuan pasal a quo tersebut terhadap diri Para Pemohon Perkara 43 maupun terhadap profesi Para Pemohon Perkara 43 sehingga tidak jelas pula hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian konstitusional yang didalilkan oleh Para Pemohon Perkara 43 dengan pasal-pasal a quo yang dimohonkan pengujiannya terhadap UUD NRI Tahun 1945.
Perkara Nomor Perkara 45/PUU-XVIII/2020 Bahwa ketentuan Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 4 ayat (1), Pasal 5 ayat (2), Pasal 20 ayat (1), Pasal 20A ayat (1),Pasal 23, Pasal 23E, Pasal 24, Pasal 24A ayat (1) dan Pasal 27 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang dijadikan batu uji oleh Pemohon Perkara 45 tidak mengatur mengenai hak konstitusional warga negara, melainkan mengatur mengenai bentuk dan kedaulatan negara, kekuasaan pemerintah, tugas dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat, hal keuangan negara, kelembagaan BPK, 78 Kekuasaan Kehakiman, tanggung jawab negara dalam mengelola keuangan negara yang ditetapkan setiap tahun dengan undang- undang untuk dapat dilaksanakan secara terbuka dan untuk kemakmuran rakyat, dan kewajiban warga negara untuk menjunjung hukum dan pemerintahan tanpa terkecuali. Oleh karena itu tidaklah relevan untuk dijadikan sebagai batu uji dalam Permohonan a quo . Bahwa dalam Permohonan a quo , Pemohon Perkara 45 tidak menguraikan kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon Perkara 45 yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi. Pemohon Perkara 45 hanya menyatakan hak Pemohon sebagai rakyat dalam memantau Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat dan Kekuasaan Kehakiman dapat menjalankan tugas dan fungsinya, tanpa menjelaskan kerugian spesifik apa yang ditimbulkan dari berlakunya ketentuan pasal-pasal a quo . Sehingga jelas kerugian yang didalilkan oleh Pemohon Perkara 45 hanya merupakan asumsi tanpa adanya pertautan dengan hak konstitusional Pemohon Perkara 45.
Perkara Nomor Perkara 47/PUU-XVIII/2020 Bahwa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 telah ditetapkan menjadi undang-undang yakni UU a quo , artinya substansi di dalamnya telah dibahas dan disetujui antara Pemerintah bersama dengan DPR dan telah dilakukan sesuai dengan ketentuan Pasal 23 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Bahwa ketentuan Pasal 23 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 tidak mengatur mengenai hak dan/atau kewenangan konstitusional melainkan mengatur mengenai penetapan, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban APBN. Salah satu fungsi yang dimiliki oleh DPR adalah fungsi anggaran dengan tugas dan wewenang berupa pemberian persetujuan atas RUU tentang 79 APBN yang diajukan oleh Presiden. UU APBN tersebut kemudian dilaksanakan secara terbuka oleh Pemerintah untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat. Para Pemohon Perkara 47 mendalilkan dengan berlakunya pasal a quo , berpotensi dana desa dihentikan, dengan demikian jelas kerugian yang didalilkan tersebut hanya asumsi Para Pemohon Perkara 47, karena kenyataannya dana desa tetap ada meskipun selama penanganan pandemi Covid-19 ini besarannya dikurangi karena adanya kebijakan pengalihan mandatory expenses yang diamanatkan oleh UU Desa.
Perkara Nomor Perkara 49/PUU-XVIII/2020 Bahwa Pemohon Perkara 49 menyatakan memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diatur dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1), (2) dan (3) serta Pasal 23 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 namun dalam uraian Positanya, Pemohon Perkara 49 mendalilkan ketentuan pasal a quo bertentangan dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Meskipun demikian, DPR menerangkan bahwa ketentuan Pasal 1 ayat (1), (2) dan (3) serta Pasal 23 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 tidak mengatur mengenai hak dan/atau kewenangan konstitusional warga Negara. Ketentuan Pasal 1 ayat (1), (2) dan (3) serta Pasal 23 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 mengatur mengenai Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik, kedaulatan berada di tangan rakyat, Indonesia adalah Negara hukum dan APBN sebagai wujud dari pengelolaan keuangan Negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Bahwa Pemohon Perkara 49 dalam perbaikan permohonannya menguraikan memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (1), (2) dan (3) serta Pasal 23 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang jelas-jelas 80 tidak mengatur mengenai hak dan/atau kewenangan warga Negara. Selain itu, Pemohon Perkara 49 tidak menguraikan kerugian konsitusionalnya berdasarkan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 dan hanya mendalilkan pasal a quo bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Pemohon Perkara 49 juga sama sekali tidak menyampaikan argumentasi tentang pertentangan antara pasal yang dimohonkan pengujian dengan pasal-pasal yang menjadi dasar pengujian dalam UUD NRI Tahun 1945. Oleh karena itu, telah sangat jelas Pemohon Perkara 49 tidak memiliki hak dan/atau kewenangan kontitusional yang dirugikan dengan berlakunya UU 2/2020. Bahwa Pemohon Perkara 49 dan banyak menguraikan mengenai asumsi-asumsinya atas pengaturan yang terdapat dalam pasal a quo , maka DPR RI menerangkan tidak terdapat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon Perkara 49 yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi pada Pemohon Perkara 49, maka jelas tidak terdapat hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian.
Perkara Nomor Perkara 75/PUU-XVIII/2020 Bahwa mayoritas para Pemohon Perkara 75 mengajukan kembali Permohonan 51/PUU-XVIII/2020 yang telah ditarik kembali pada tanggal 19 Agustus 2020 dan Mahkamah Konstitusi sudah menerbitkan Ketetapan Putusan Nomor 51/PUU- XVIII/2020 yang diucapkan pada tanggal 27 Agustus 2020. Para Pemohon Perkara 75 berdalil bahwa dapat mengajukan kembali permohonan yang telah ditarik sebelumnya tersebut karena sudah dilakukan perubahan dalam isi materi permohonan sehingga tidak mempunyai kesamaan dalam permohonan sebelumnya baik dalam permohonan pengujian formil maupun 81 materiil yang diajukan sehingga Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memeriksa dan mengadilinya. Terhadap dalil tersebut, DPR RI memberikan pandangan bahwa berdasarkan ketentuan dalam Pasal 35 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan: ayat (1) “Pemohon dapat menarik kembali Permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan”. ayat (1a) “Dalam hal pemohon menarik kembali Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Panitera Mahkamah Konstitusi menerbitkan Akta Pembatalan Registrasi Permohonan dan memberitahukan kepada Pemohon disertai dengan pengembalian berkas Permohonan”. ayat (2) “Penarikan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan Permohonan tidak dapat diajukan kembali”. Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa Permohonan yang sudah ditarik kembali dan sudah diputus tidak dapat diajukan kembali. Selain itu, setelah melihat isi dari permohonan Para Pemohon Perkara 75, baik dari segi formil maupun materiil memiliki materi permohonan yang sama dengan permohonan sebelumnya yang sudah ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi untuk mengabulkan penarikan kembali permohonan perkara 51/PUU-XVIII/2020 tersebut oleh Para Pemohon perkara 51/PUU-XVIII/2020, yang merupakan mayoritas Para Pemohon Perkara 75. Walaupun Para Pemohon Perkara 75 memberikan tambahan batu uji Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), dan Pasal 27 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 namun batu uji Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 tersebut tidak mengatur mengenai hak konstitusional warga negara. Begitupun halnya dengan tambahan batu uji Pasal 27 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, ketentuan yang ada pada UU a quo tidak menghalangi Para Pemohon Perkara 75 untuk mendapatkan hak 82 konstitusionalnya berupa pekerjaan dan penghidupan yang layak. Sehingga tidaklah tepat jika para Pemohon Perkara 75 masih mengajukan permohonan yang sama dengan permohonan yang sudah ditarik kembali dan ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi. Bahwa para Pemohon Perkara 75 juga mendalilkan diri sebagai pembayar pajak ( tax payer ), oleh karenanya DPR RI mengutip pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 40/PUU-XVI/2018 pada paragraf [3.7] sebagai berikut: …menurut Mahkamah, para Pemohon sebagai pembayar pajak ( tax payer ) tidak serta merta memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) dalam mengajukan setiap permohonan pengujian undang-undang. Para Pemohon dapat memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) apabila para Pemohon dapat menjelaskan adanya keterkaitan logis dan causal verband bahwa pelanggaran hak konstitusional atas berlakunya undang-undang yang diuji adalah dalam kaitannya dengan status para Pemohon sebagai pembayar pajak ( tax payer ) memang menunjukkan kerugian yang nyata. Dalam permohonan a quo , para Pemohon Perkara 75 dituntut bukan hanya sekedar menyatakan dirinya sebagai pembayar pajak ( tax payer ), tetapi terkait statusnya sebagai pembayar pajak harus dijelaskan adanya keterkaitannya secara logis dengan kerugian konstitusional para Pemohon Perkara 75 yang diakibatkan dengan berlakunya pasal-pasal a quo . Bahwa terkait dengan kedudukan hukum ( legal standing ) para Pemohon, DPR RI memberikan pandangan selaras dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XIV/2016 yang diucapkan dalam sidang Pleno MK terbuka untuk umum pada tanggal 15 Juni 2016, yang pada pertimbangan hukum [3.5.2] MK menyatakan bahwa menurut Mahkamah:
.. dalam asas hukum dikenal ketentuan umum bahwa tiada kepentingan maka tiada gugatan yang dalam bahasa Perancis dikenal dengan point d’ interest point d’ action dan dalam bahasa Belanda dikenal dengan zonder belang geen rechtsingang . Hal tersebut sama dengan prinsip yang terdapat dalam Reglement op de Rechtsvordering (RV) 83 khususnya Pasal 102 yang menganut ketentuan bahwa “tiada gugatan tanpa hubungan hukum” ( no action without legal connection ). Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, terhadap kedudukan hukum ( legal standing ) Para Pemohon secara materiil, DPR RI menyerahkan sepenuhnya kepada Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilai apakah Para Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi dan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Perkara Nomor 011/PUU- V/2007 mengenai parameter kerugian konstitusional. B. PANDANGAN UMUM DPR 1. Penyebaran COVID-19 terus meluas di seluruh dunia yang didorong oleh mobilitas manusia. Hingga akhir Februari 2020, penyebaran COVID-19 secara global telah mencapai 86.000 kasus dengan jumlah kematian hampir 3.000 orang. Pandemi COVID-19 yang menyebar secara cepat dan mengancam kesehatan publik, mendorong negara- negara untuk mengambil berbagai langkah pencegahan yang ekstrim. Salah satu langkah kebijakan yang diambil hampir semua negara adalah pelarangan atau pembatasan perjalanan ( travel ban/restriction ), penutupan perbatasan, serta memperketat lalu lintas manusia antar wilayah/negara. Di dalam skala domestik, beberapa negara memberlakukan lockdown yakni penutupan wilayah dan penghentian segala aktivitas publik kecuali yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan pangan dan medis. Physical distancing serta karantina mandiri termasuk dengan memindahkan aktivitas kantor, belajar, dan beribadah di rumah juga diimplementasikan di berbagai negara, termasuk Indonesia. Berbagai kegiatan yang bersifat pengumpulan massa dikurangi atau bahkan dilarang dengan pengawasan ketat dari aparat hukum. Di Indonesia, Pemerintah memberlakukan status Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dan menetapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sejak 84 tanggal 31 Maret 2020. Sebelumnya, Pemerintah juga telah memberlakukan larangan penerbangan termasuk dari dan ke Tiongkok, membentuk Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, memberlakukan kebijakan physical distancing , serta menetapkan status keadaan darurat bencana COVID-19. Berbagai himbauan termasuk menganjurkan dan bahkan melarang masyarakat untuk tidak melakukan pulang kampung termasuk dalam rangka mudik Hari Raya Idul Fitri 1441 Hijriah telah dilakukan. Anjuran untuk meningkatkan pola hidup bersih dan sehat juga terus digencarkan. Penyebaran COVID-19 yang terjadi secara cepat dan eksponensial dikhawatirkan juga tidak dapat diimbangi dengan ketersediaan fasilitas kesehatan serta tenaga medis yang ada, sehingga bisa berujung pada krisis kesehatan. Langkah-langkah tersebut diimplementasikan dengan dasar bahwa kesehatan dan keselamatan masyarakat adalah prioritas. Namun demikian, langkah-langkah tersebut menimbulkan penurunan aktivitas ekonomi yang cukup signifikan .
Bentuk perlindungan yang diberikan oleh negara tidak sebatas perlindungan dari ancaman fisik namun juga perlindungan terhadap keseluruhan aspek kehidupan dan keselamatan 269 juta jiwa penduduk Indonesia. Negara harus mampu menjaga ketahanan seluruh elemen bangsa dari segala ancaman yang membahayakan negara dan masyarakat. Dengan segala sumber daya yang ada, kita harus mewujudkan ketahanan negara yang kokoh dari segala ancaman, termasuk ancaman terhadap perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan yang menimbulkan implikasi pada aspek sosial, ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat.
Bahwa penyebaran pandemi COVID-19 yang memberikan dampak dan mengancam pertumbuhan ekonomi Indonesia antara lain karena menurunnya penerimaan negara serta ketidakpastian ekonomi global, memerlukan kebijakan dan langkah-langkah luar biasa di bidang keuangan negara termasuk di bidang perpajakan dan keuangan 85 daerah, dan sektor keuangan, yang harus segera diambil Pemerintah dan lembaga-lembaga terkait guna mengatasi kondisi mendesak tersebut dalam rangka penyelamatan kesehatan, perekonomian nasional, dengan fokus pada belanja kesehatan, jaring pengaman sosial (social safety net), serta pemulihan dunia usaha yang terdampak. Oleh karena itu, diperlukan perangkat hukum yang memadai untuk memberikan landasan yang kuat bagi Pemerintah dan lembaga-lembaga terkait untuk pengambilan kebijakan dan langkah- langkah dimaksud.
Bahwa berdasarkan ketentuan dalam Pasal 22 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan: “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang- undang”. Mengacu pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU- VII/2009, parameter kegentingan yang memaksa dalam rangka penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang antara lain: - karena adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang; - Undang-Undang yang dibutuhkan belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau tidak memadainya Undang-Undang yang saat ini ada; dan - Kondisi kekosongan hukum yang tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa yang memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
Bahwa Perpu 1/2020 telah dikeluarkan oleh Presiden pada tanggal 31 Maret 2020 karena keadaan genting dan kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat dan untuk menyelamatkan perekonomian dari krisis yang diprediksi akan terjadi. Bahwa dalam keadaan mendesak tersebut diperlukan pemberian kewenangan bagi Pemerintah diantaranya agar dapat melakukan 86 realokasi dan refocussing anggaran yang sebelumnya telah dialokasikan dalam APBN tahun 2020. Melalui realokasi dan refocussing yang bersifat segera diharapkan dapat segera memulihkan ekonomi dalam rangka mendukung Program Pemulihan Ekonomi Nasional sebagai akibat dari Pandemi Covid-19. 6. Bahwa oleh karenanya ketentuan dalam UU 2/2020 diharapkan dapat memberi fondasi hukum bagi pemerintah terhadap otoritas perbankan dan otoritas keuangan untuk mengambil langkah luar biasa guna menjamin kesehatan masyarakat, menyelamatkan perekonomian nasional, dan stabilitas sistem keuangan sebagaimana diatur UU a quo yang perlu menetapkan kebijakan keuangan negara dan kebijakan stabilitas sistem keuangan diantaranya dengan menetapkan batasan defisit anggaran, melakukan penyesuaian besaran belanja wajib ( mandatory spending ), dan melakukan pergeseran anggaran antarunit organisasi, antarfungsi, dan/atau antarprogram.
Bahwa urgensi sebagai dasar dibentuknya Perpu 1/2020 merupakan pertimbangan subjektif dari Presiden sebagai pihak yang berhak membentuk suatu perppu. Pertimbangan subjektif tersebut perlu untuk dinilai secara objektif oleh rakyat yang direpresentasikan oleh wakilnya, yaitu DPR, sebagaimana yang telah diamanatkan dalam Pasal 22 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Dengan disahkannya Perpu 1/2020 menjadi UU 2/2020, maka DPR sebagai wakil rakyat telah menilai urgensi tersebut merupakan hal yang nyata dan mendesak sehingga perlu memberikan persetujuan atas Perpu 1/2020 untuk menjadi undang-undang sehingga dapat digunakan Pemerintah sebagai dasar hukum yang lebih kuat untuk bereaksi secara cepat menghadap situasi Pandemi Covid-19. C. KETERANGAN DPR TERHADAP PENGUJIAN FORMIL UU 2/2020 Berdasarkan kewenangan MK yang diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, maka batu uji yang digunakan oleh MK untuk melakukan pengujian formil haruslah berdasarkan Pasal 20 UUD NRI Tahun 1945, terutama Pasal 20 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang 87 menyatakan bahwa “ Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama” . Frasa “ persetujuan bersama” dalam ketentuan tersebut merupakan esensi berlakunya __ asas legalitas sehingga frase “ persetujuan bersama ” merupakan norma yang sangat fundamental sebagai dasar terbentuknya undang-undang. Jika proses pembentukan undang-undang telah memenuhi unsur legalitas, yakni telah adanya “ persetujuan bersama ”, dan tidak adanya kegagalan dalam mendapatkan “ persetujuan bersama ” DPR dan Presiden, maka secara konstitusional undang-undang tersebut menjadi sah secara formil. Sesuai landasan konstitusional kewenangan MK menguji undang- undang terhadap UUD NRI Tahun 1945, maka pengujian undang-undang secara formil hanya dapat dinyatakan cacat prosedur jika telah bertentangan dengan ketentuan Pasal 20 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Namun demikian, jika Yang Mulia Hakim Konstitusi berpendapat lain, maka mohon pertimbangan yang seadil-adilnya, dan DPR tetap bersikap kooperatif dengan menerangkan lebih lanjut hal-hal yang dipermasalahkan oleh Para Pemohon dalam pengujian formil.
Tanggapan DPR terhadap dalil Para Pemohon Perkara 75 mengenai batasan waktu 45 hari dalam pengujian formil undang- undang harus dikesampingkan karena tidak berdasarkan pada UUD NRI Tahun 1945. a) Bahwa Mahkamah Konstitusi dalam konteks ketatanegaraan Indonesia dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi ( the guardian of constitution ) dan sebagai pengawal demokrasi ( the guardian of democracy ) yang diberikan kewenangan oleh UUD NRI Tahun 1945 untuk dapat menguji undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945. Kewenangan ini diberikan sebagai fungsi Mahkamah Konstitusi dalam menegakkan keadilan konstitusional di tengah kehidupan masyarakat. Namun di sisi lain, Mahkamah Konstitusi juga bertugas mendorong dan menjamin agar konstitusi 88 dihormati dan dilaksanakan oleh semua komponen negara secara konsisten dan bertanggungjawab. b) Bahwa undang-undang bersifat mengikat dan memaksa bagi semua warga negara, sehingga agar dapat dilaksanakan harus diundangkan dalam Lembaran Negara agar setiap orang dianggap mengetahui atas undang-undang tersebut. Hal ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum kepada masyarakat atas keberlakuan suatu undang-undang. c) Bahwa untuk menjamin kepastian hukum, pengujian undang- undang terhadap UUD NRI Tahun 1945 diperlukan pembatasan waktu untuk dapat diuji secara formil. Pembatasan waktu ini tidak boleh terlalu lama dari waktu diundangkannya suatu undang- undang dalam Lembaran Negara, karena karakteristik pengujian formil berbeda dengan pengujian materiil yang hanya menguji kata, frasa, ayat dan/atau pasal saja dalam undang-undang atas dasar kerugian konstitusional pemohon. Sedangkan pengujian formil didasarkan atas undang-undang yang merugikan konstitusi yang proses pembentukannya tidak sesuai dengan ketentuan dalam UUD NRI Tahun 1945, sehingga dapat membatalkan keseluruhan undang-undang. d) Bahwa Mahkamah Konstitusi dalam menjaga hal tersebut harus berhati-hati dalam menguji formalitas suatu undang-undang, karena yang menjadi fokus pengujian formil bukanlah atas dasar dalil kerugian pemohon, namun Mahkamah Konstitusi harus mengutamakan keadilan dan kebenaran konstitusional. Mahkamah Konstitusi harus memahami ruh, ide, landasan filosofis, dan suasana kebatinan yang terjadi selama penyusunan undang-undang sehingga dapat memahami urgensi suatu undang-undang harus segera ditetapkan. e) Bahwa Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal konstitusi ( the guardian of constitution ) dan sebagai pengawal demokrasi ( the guardian of democracy ) telah tepat memberikan pembatasan 89 waktu pengujian formil 45 hari setelah suatu undang-undang diundangkan dalam Lembaran Negara dalam menjaga kepastian hukum. Pembatasan ini sebagaimana Putusan Nomor 27/PUU- VII/2009 poin [3.34] yang menyatakan, “Menimbang bahwa terlepas dari putusan dalam pokok permohonan a quo Mahkamah memandang perlu untuk memberikan batasan waktu atau tenggat suatu Undang- Undang dapat diuji secara formil. Pertimbangan pembatasan tenggat ini diperlukan mengingat karakteristik dari pengujian formil berbeda dengan pengujian materiil. Sebuah Undang- Undang yang dibentuk tidak berdasarkan tata cara sebagaimana ditentukan oleh UUD 1945 akan dapat mudah diketahui dibandingkan dengan Undang-Undang yang substansinya bertentangan dengan UUD 1945. Untuk kepastian hukum, sebuah Undang-Undang perlu dapat lebih cepat diketahui statusnya apakah telah dibuat secara sah atau tidak, sebab pengujian secara formil akan menyebabkan Undang-Undang batal sejak awal. Mahkamah memandang bahwa tenggat 45 (empat puluh lima) hari setelah Undang-Undang dimuat dalam Lembaran Negara sebagai waktu yang cukup untuk mengajukan pengujian formil terhadap Undang-Undang; ” f) Bahwa terkait hukum acara pembatasan waktu 45 hari dalam mengajukan pengujian formil di Mahkamah Konstitusi merupakan materi yang seharusnya diatur dalam undang-undang oleh pembentuk undang-undang, namun selama belum diatur dalam undang-undang Mahkamah Konstitusi dapat mengatur hukum acara yang bersifat teknis untuk mengisi kekosongan hukum. Dalam hal ini, UUD NRI Tahun 1945 sebagai Konstitusi tidak mungkin mengatur secara rinci mengenai hal teknis batasan hari seperti yang didalilkan oleh Para Pemohon, karena dibutuhkan Undang-Undang lain untuk mengatur mengenai hal tersebut. Sehingga Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan untuk mengatur sendiri hukum acara yang bersifat teknis dalam sidang pengadilan selama belum diatur dalam Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi. g) Bahwa terhadap pengujian perkara nomor 75/PUU-XVIII/2020 yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi pada tanggal 90 9 September 2020 sesungguhnya telah melewati batas waktu pengujian formil 45 hari sejak diundangkannya UU a quo , yakni pada tanggal 18 Mei 2020 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6516. Oleh karenanya berdasarkan fakta hukum tersebut DPR berpandangan permohonan Perkara nomor 75/PUU-XVIII/2020 tidak memenuhi ketentuan batas waktu 45 hari yang ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi, sehingga sepatutnya Mahkamah Konstitusi menyatakan Permohonan 75/PUU-XVIII/2020 tidak dapat diterima.
Tanggapan DPR terhadap dalil Para Pemohon Perkara 37 dan Perkara 75 mengenai prosedur konstitusional pengesahan telah disimpangi dengan tidak adanya keterlibatan DPD. Bahwa Para Pemohon Perkara 37 dan Perkara 75 dalam perbaikan permohonannya mendalilkan tidak adanya keterlibatan DPD dalam pembahasan Perppu yang telah ditetapkan menjadi UU dengan UU 2/2020 bertentangan dengan prinsip negara hukum, prinsip kedaulatan rakyat dan kewenangan legislasi DPD. Terhadap dalil tersebut DPR menerangkan sebagai berikut: a) Bahwa berdasarkan Pasal 20 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 ditentukan kewenangan untuk membentuk undang-undang ada pada DPR. Adapun terkait UUD NRI Tahun 1945 menghendaki bahwa setiap RUU dibahas antara DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama (Pasal 20 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945). b) Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 22D ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 mengatur bahwa Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan 91 undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama. c) Bahwa keikutsertaan DPD dalam pembahasan RUU hanya sebatas yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Hal ini juga sesuai dengan Pasal 65 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 15 Tahun 2019 (selanjutnya disebut UU 12/2011). d) Bahwa Perpu 1/2020 pada intinya secara garis besar mengatur mengenai kebijakan keuangan negara, apabila dalam pelaksanaannya memiliki dampak terhadap alokasi perimbangan keuangan pemerintah pusat dan pemerintahan daerah, hal itu merupakan konsekuensi bahwa keuangan daerah merupakan bagian dari keuangan negara. Sehingga telah jelas bahwa Perpu tersebut tidak mengatur secara khusus mengenai otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah . Selain itu UU 2/2020 yang dipermasalahkan oleh para Pemohon merupakan pengesahan Perpu 1/2020 sehingga pembentuk undang-undang tidak berkewajiban untuk mengikutsertakan DPD dalam pembahasan RUU penetapan Perppu 1/2020 menjadi undang-undang. e) Berdasarkan Pasal 71 huruf d dan Pasal 249 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 (UU MD3) bahwa DPD ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber 92 daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah . RUU Penetapan Perppu 1/2020 menjadi UU tidak memiliki pertautan dengan bidang yang mengharuskan keikutsertaan DPD dalam pembahasannya melainkan mengenai DPR memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan, sehingga DPD tidak memiliki kewenangan untuk ikut membahas RUU tersebut.
Tanggapan DPR terhadap dalil Para Pemohon Perkara 37, Para Pemohon Perkara 43 dan Para Pemohon Perkara 75 mengenai rapat virtual yang berpotensi dihadiri tidak secara konkret karena kuorum rapat dibuktikan dengan tandatangan sebelum menghadiri rapat. a) Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, Perppu 1/2020 dibentuk pada intinya untuk melakukan penyelamatan kesehatan dan perekonomian nasional yang terdampak dari Pandemi Covid- 19 . Bahwa pada saat Perppu 1/2020 tersebut diajukan oleh Pemerintah kepada DPR untuk menjadi undang-undang, negara dalam kondisi darurat bencana yang menimbulkan kepanikan di masyarakat. b) Dalam kondisi demikian, maka DPR sebagai wakil rakyat harus tetap melaksanakan tugasnya untuk membahas Perppu 1/2020 bersama dengan Pemerintah. Bahwa pada saat itu peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum pembentuk undang-undang melaksanakan tugasnya masih belum menjangkau penggunaan sarana informasi dan teknologi dalam pembahasan dan pengesahan undang-undang. Hal tersebut disebabkan tidak terprediksinya kondisi yang diakibatkan dari penyebaran Pandemi Covid-19 yang begitu masif dan berdampak pada timbulnya korban jiwa. Adapun pada saat munculnya kasus pertama penyebaran Covid-19 di Indonesia hingga saat ini, Pemerintah telah membuat kebijakan mengenai salah satu upaya penanggulangan penyebaran Pandemi Covid-19 adalah dengan 93 melakukan pembatasan sosial berskala besar dengan mengharuskan tiap orang menjaga jarak. c) Adapun salah satu kebijakan Pemerintah dalam upaya penanggulangan penyebaran pandemi Covid-19 adalah dengan melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang dilaksanakan di beberapa daerah di Indonesia. Sebagai lembaga yang berkedudukan di DKI Jakarta yang juga menerapkan PSBB, maka DPR dan Presiden juga harus mengikuti kebijakan yang telah ditetapkan Pemerintah Daerah tersebut. Meskipun demikian, tugas pokok dan fungsi sebagai lembaga tetap harus berjalan, sehingga sebagai alternatif pelaksanaan rapat dan koordinasi supaya tugas dan fungsi DPR dan Presiden tetap berjalan adalah dengan menggunakan sarana informasi dan teknologi berupa video meeting atau virtual meeting. d) Pada saat kondisi demikian agar tugas pembentukan undang- undang tidak terbengkalai, DPR perlu melakukan terobosan hukum, yaitu dengan menetapkan Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib (Tatib DPR 2020) yang mulai berlaku pada tanggal 2 April 2020. Berdasarkan Tatib DPR 2020 tersebut di dalam ketentuan Pasal 254 ayat (4) dinyatakan bahwa: “Semua jenis rapat DPR dihadiri oleh Anggota, kecuali dalam keadaan tertentu, yakni keadaan bahaya, kegentingan yang memaksa, keadaan luar biasa, keadaan konflik, bencana alam, dan keadaan tertentu lain yang memastikan adanya urgensi nasional, rapat dapat dilaksanakan secara virtual dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi.” Dengan menggunakan dasar hukum tersebut, maka DPR melalui Badan Anggaran bersama Pemerintah melakukan Pembahasan Tingkat I UU a quo pada tanggal 4 Mei 2020 dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi melalui rapat virtual. Begitu pun halnya dengan Pembahasan Tingkat II yang menyetujui Perppu 1/2020 menjadi UU pada Rapat Paripurna tanggal 12 Mei 2020 dilaksanakan dengan menggunakan rapat 94 kombinasi secara fisik maupun dengan teknologi informasi dan komunikasi melalui rapat virtual . e) Menanggapi dalil Para Pemohon Perkara 37, Para Pemohon Perkara 43 dan Para Pemohon Perkara 75 tersebut, DPR menerangkan bahwa pelaksanaan rapat yang dihadiri secara virtual telah diatur secara jelas dalam Pasal 279 ayat (6) Tatib DPR 2020 yang menyatakan bahwa: “Dalam hal penandatanganan daftar hadir Anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak dapat dilakukan dan disebabkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 254 ayat (4), kehadiran Anggota dalam semua jenis rapat DPR dilakukan berdasarkan kehadiran secara virtual.” Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 279 ayat (7) Tatib DPR 2020 menyatakan bahwa: “Bukti kehadiran secara virtual sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat dikonfirmasi dan diverifikasi keabsahannya melalui Sekretariat Jenderal DPR.” Oleh karena itu berdasarkan dokumen sebagaimana terlampir dalam Lampiran I, maka Pembahasan Tingkat II yang menyetujui Perppu 1/2020 menjadi UU pada Rapat Paripurna tanggal 12 Mei 2020 yang dilakukan secara virtual tersebut, maka kehadiran pembentuk undang-undang telah memenuhi ketentuan perundang-undangan. f) Oleh karena itu dalil para Pemohon Perkara 37, Para Pemohon Perkara 43 dan Para Pemohon Perkara 75 tersebut hanya merupakan asumsi karena jelas bahwa pembahasan dan pengesahan undang-undang dengan menggunakan sarana teknologi dan informasi telah memiliki dasar hukum melalui Tatib DPR 2020. Selain itu berdasarkan risalah Rapat Paripurna bahwa dengan Pimpinan DPR memberikan keputusan penetapan Perppu 1/2020 menjadi undang-undang artinya memberikan persetujuan dan juga mengikat anggota yang hadir baik secara fisik dan virtual (non fisik) (Lampiran II) 95 4. Tanggapan DPR terhadap dalil Para Pemohon Perkara 43 mengenai UU 2/2020 tidak memenuhi syarat Pasal 22 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 dan Pasal 52 ayat (1) UU 12/2011 terkait frasa “ persidangan yang berikut ”. a) Bahwa di dalam Rapat Kerja Badan Anggaran DPR RI bersama Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Bank Indonesia, dan Lembaga Penjamin Simpanan tertanggal 4 Mei 2020 bahwa pada saat itu terdapat 9 (sembilan) fraksi yang menyetujui Perppu 1/2020 untuk ditetapkan menjadi undang-undang, hanya fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) yang belum menyatakan persetujuannya. Berdasarkan rapat pada saat itu, DPR RI menerangkan bahwa UU a quo disetujui untuk ditetapkan menjadi undang-undang, dari titik tolak pemikiran bahwa Alinea keempat Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 dinyatakan bahwa tujuan dibentuknya Pemerintahan Negara Indonesia adalah untuk melindungi segenap rakyat Indonesia. Dengan demikian asas keselamatan rakyat Indonesia adalah yang diutamakan, untuk memberikan keyakinan bahwa Perppu 1/2020 tersebut harus dibahas segera dan secepatnya untuk memenuhi asas keselamatan rakyat yang diamanatkan di dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 tersebut. b) Bahwa Perpu 1/2020 merupakan kewenangan yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam kondisi darurat yang bersifat fundamental dan krusial yang berdampak pada stabilitas perekonomian nasional jangka panjang, maka pengaturan hal tersebut perlu untuk diberikan dasar legalitas yang lebih kuat dalam bentuk undang-undang. c) Bahwa DPR selain memiliki fungsi legislasi sebagai pembentuk undang-undang berdasarkan Pasal 20A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, juga memiliki fungsi anggaran. Berkaitan dengan Perppu 1/2020 sebagai peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh pemerintah yang berfokus pada penataan ulang anggaran 96 hingga beberapa tahun ke depan yang tentu saja memiliki dampak terhadap APBN, dimana sesuai dengan UUD NRI Tahun 1945 pembahasan dan pengesahan dalam Perppu 1/2020 menjadi UU sangat memerlukan peran DPR dalam melaksanakan fungsi anggaran sebagai kerangka representasi rakyat. Oleh karena itu, penting bagi DPR untuk segera membahas dan menetapkan Perppu 1/2020 menjadi UU dalam waktu yang cepat karena adanya kebutuhan mendesak yang dapat berdampak terhadap stabilitas perekonomian nasional. d) Dengan adanya situasi pandemi Covid-19 tersebut yang memiliki dampak bukan hanya terhadap kesehatan dan keselamatan rakyat, tetapi juga memiliki dampak terhadap perekonomian negara dalam jangka panjang, oleh karenanya proses penetapan Perppu 1/2020 menjadi UU yang harus dilakukan secepatnya oleh DPR merupakan langkah cepat DPR dalam menghadapi keadaan darurat negara. Keadaan darurat tersebut tetap harus dipahami dalam pandangan yang sesuai dengan alas fakta yang terjadi pada saat keadaan darurat, dan tidak menggunakan parameter dan indikator keadaan normal. Oleh sebab itu, keputusan DPR yang secara cepat mengesahkan Perppu 1/2020 menjadi UU merupakan langkah yang tepat dan mencerminkan asas prosesual bahwa penundaan yang tidak beralasan ( undue delay ) harus dihindarkan, hal ini adalah demi kepentingan negara dan kepentingan umum yang harus dilindungi. e) Hal tersebut menunjukkan bahwa DPR memiliki kesamaan pandangan dengan Pemerintah mengenai adanya kegentingan memaksa dan perlunya kebijakan serta tindakan yang harus segera dilakukan dalam menghadapi pandemi Covid-19. Persetujuan DPR dimaksud menjadikan norma tersebut memenuhi amanat UUD NRI Tahun 1945 dan memberikan kepastian hukum bagi keberlanjutan langkah-langkah Pemerintah dalam penanganan situasi extraordinary pandemi Covid-19, yang telah 97 secara nyata menimbulkan pemburukan ekonomi dan ancaman krisis apabila tidak segera ditangani. Dengan adanya legitimasi tersebut, Pemerintah memiliki fleksibilitas melakukan recovery terhadap situasi dan kondisi perekonomian. Semakin mampu Pemerintah menangani dampak yang ditimbulkan oleh pandemi Covid-19 seiring dengan perkembangan/perlambatan penyebaran virus ( flattening the curve ), semakin mempercepat negara keluar dari pemburukan ekonomi. D. KETERANGAN DPR TERHADAP PENGUJIAN MATERIIL UU 2/2020 1. Pandangan DPR RI terhadap pengujian judul UU 2/2020:
Berdasarkan metode penafsiran secara gramatikal yaitu metode penafsiran melalui pendekatan tatabahasa yang ada pada rumusan UU, dalam memahami UU, tanda baca, diksi, dan pola susunan kalimat sedemikan rupa benar benar diperhatikan. Berdasarkan metode penafsiran tersebut judul Lampiran UU 2/2020 sudah jelas, tidak ambigu, memang yang diatur dalam Lampiran UU 2/2020 ini adalah langkah Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Keuangan dikarenakan adanya pandemi Covid 19 yang saat ini terjadi. Bukan mengatur tentang langkah tindakan Pemerintah untuk menangani Covid 19. Yang menjadi subyek dari judul ini adalah Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Covid-19. Dua subyek tersebut adalah dua hal yang berbeda namun satu kesatuan yang diatur dalam Lampiran UU 2/2020 ini.
Judul dan materi muatan sudah sesuai, materi muatan terdiri atas 6 bab yang hampir semuanya mengatur mengenai langkah-langkah kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan yang akan dijalankan pemerintah, dan tidak mengatur mengenai langkah-langkah untuk menangani pandemi Covid-19.
Berdasarkan Ketentuan dalam UU 12/2011 Lampiran II Bagian A mengatur bahwa: 98 ● Judul Peraturan Perundang–undangan memuat keterangan mengenai jenis, nomor, tahun pengundangan atau penetapan, dan nama Peraturan Perundang–undangan; ● Judul Peraturan Perundang-undangan ditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang diletakkan di tengah marjin tanpa diakhiri tanda baca; ● Pada nama Peraturan Pemerintah Pengganti Undang–Undang (Perpu) yang ditetapkan menjadi Undang–Undang, ditambahkan kata penetapan di depan judul Peraturan Perundang–undangan yang ditetapkan dan diakhiri dengan frasa menjadi Undang-Undang; Berdasarkan ketentuan tersebut, judul yang tertulis pada UU 2/2020 maupun Perppu 1/2020 yang merupakan lampiran dari UU 2/2020 telah sesuai dengan ketentuan dalam UU 12/2011.
Pandangan DPR terhadap materi muatan kebijakan pelebaran defisit anggaran sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UU a quo . __ a. Bahwa sesuai amanat konstitusi, APBN digunakan untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat, namun ketika keadaan darurat karena Covid-19 yang telah secara nyata memberikan dampak pada perekonomian negara seperti saat ini maka penggunaan APBN dapat disesuaikan untuk kepentingan yang lebih besar yaitu menyelamatkan perekonomian negara yang mana hal ini justru untuk menciptakan manfaat yang lebih besar.
Implikasi pandemi Covid-19 telah berdampak pula terhadap ancaman semakin memburuknya sistem keuangan yang berisiko pada ketidakstabilan makro ekonomi dan sistem keuangan yang perlu dimitigasi bersama oleh Pemerintah dan lembaga terkait dengan melakukan tindakan antisipasi guna menjaga stabilitas sektor keuangan. Bahwa kedalaman implikasi Covid-19 terhadap perekonomian sulit diukur karena puncak pandemi Covid-19 belum dapat dipastikan waktunya. Implikasi ekonomi yang ditimbulkan oleh Covid-19 terhadap perekonomian sangat dalam sehingga 99 semua skenario perlu disiapkan untuk menghadapi situasi yang paling buruk, bahkan dalam bentuk “ worst case scenario ”. Maka pemerintah dan lembaga terkait perlu mengambil langkah luar biasa dalam rangka penyelamatan perekonomian nasional dengan berbagai kebijakan relaksasi yang berkaitan dengan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dengan melakukan peningkatan belanja untuk kesehatan, jaring pengaman sosial dan pemulihan perekonomian, serta memperkuat kewenangan berbagai lembaga dalam sektor keuangan.
Bahwa Para Pemohon Perkara 37 dan Pemohon Perkara 45 mendalilkan UU a quo melampaui dari ruang lingkup yang diatur di dalam Pasal 1 karenanya senyatanya Pasal 2 ayat (1) huruf a justru mengatur dalam jangka waktu sampai dengan 2022 bahkan sampai 2023. Selain itu, negara-negara lain, pemerintahnya tidak diberi kewenangan khusus dalam bidang anggaran selama bertahun-tahun. Terhadap dalil tersebut, DPR berpandangan sebagai berikut:
Dalam Lampiran UU 2/2020 tetap terdapat pembatasan- pembatasan yaitu: Pertama, kewenangan menetapkan defisit melampaui 3% dari PDB hanya berlaku paling lama sampai dengan berakhirnya Tahun Anggaran 2022 (dalam jangka waktu kurang lebih 2 tahun atau bisa kurang dari waktu tersebut jika recovery ekonomi dapat berjalan lebih cepat); dan penyesuaian besaran defisit tersebut dilakukan secara bertahap. Sebagai perbandingan dengan negara lain, Amerika Serikat, Australia, Singapura, dan Malaysia telah mengeluarkan stimulus fiskal yang mencapai lebih dari 10% PDB-nya. Amerika Serikat hanya dalam waktu kurang dari 3 bulan menambah utang dengan 3 Triliun US$ yang jumlah tersebut sama dengan jumlah 3 kali PDB Indonesia. (Lampiran II). Kedua, pelebaran defisit tersebut tetap dalam koridor jumlah pinjaman yang dapat dilakukan dalam rangka 100 pelaksanaan pelebaran defisit tersebut yaitu di batasi maksimal 60% (enam puluh persen) dari PDB sesuai UU Keuangan Negara 2) Bahwa defisit anggaran yang tidak dapat dihindari tersebut tentunya butuh penanganan sehingga meningkatnya besaran utang negara adalah suatu hal yang pasti terjadi. Solusi ini adalah satu diantara upaya-upaya yang dilakukan oleh Pemerintah selain melakukan penyesuaian besaran belanja wajib, pergeseran anggaran antar unit organisasi, antar fungsi dan/atau antar program dan lain sebagainya sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 2 Lampiran UU 2/2020.
Bahwa konsekuensi dari pelebaran defisit tersebut tentunya berdampak pada tahun-tahun berikutnya. Sehingga penentuan atau pembatasan APBN sampai tahun anggaran 2022 merupakan pilihan kebijakan yang logis. Oleh karena itu Pemerintah memberikan prediksi dengan menetapkan batasan defisit anggaran melampaui 3% dari PDB sampai dengan tahun anggaran 2022. Sedangkan pada tahun anggaran 2023, Pemerintah optimis besaran defisit anggaran akan kembali menjadi paling tinggi sebesar 3% dari PDB. Hal ini merupakan optimisme Pemerintah dalam mengupayakan perbaikan kondisi perekonomian dan keuangan nasional. Hal ini harus dipahami oleh Para Pemohon a quo mengingat kondisi dan kemampuan setiap negara berikut kebijakan- kebijakan yang diambil tidak dapat disamaratakan karena karakteristik dan tren pertumbuhan perekonomiannya yang juga tidak sama.
Bahwa APBN Tahun Anggaran 2021 dan Tahun 2022 dalam lampiran UU 2/2020 ini tidak diatur karena UU APBN Tahun Anggaran 2021 dan Tahun Anggaran 2022 belum disusun dan diundangkan ketika pengundangan UU 2/2020. Dalam penyusunan APBN Tahun Anggaran 2021 dan Tahun 101 Anggaran 2022 tetap diberlakukan mekanisme penyusunan APBN sebagaimana diatur dalam peraturan perundang- undangan sehingga esensi Pasal 23 UUD NRI Tahun 1945 tetap terjaga.
DPR menerangkan pembentukan Perpu merupakan kewenangan konstitusional Presiden sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 22 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Baru selanjutnya diberlakukan ketentuan Pasal 22 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang merupakan kewenangan konstitusional DPR RI untuk memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan atas Perppu yang dibentuk oleh Presiden pada masa sidang yang berikutnya. Karakter hukum UU APBN yang merupakan undang-undang penetapan, berbeda dengan undang-undang pengaturan pada umumnya. Karena sifat hukumnya tersebut, UU APBN sebenarnya merupakan domain pemerintah dalam perumusan dan perencanaannya, yang kemudian membutuhkan hak budget DPR untuk menyetujui atau tidak. Dalam hal kondisi kedaruratan, persetujuan tidak ditempatkan di awal, melainkan sekalian di akhir pelaksanaan dengan maksud terjadinya perubahan konsep hak budget DPR yang sebelumnya menguji pengeluaran negara untuk kebutuhan di tahun berjalan, menjadi menguji pengeluaran negara untuk kemanfataan di tahun berjalan. Keduanya sama-sama tetap menggunakan dan menjalankan hak budget DPR, di mana hak budget keadaan normal, alokasi yang tidak disetujui DPR karena belum menjadi kebutuhan akan dicoret atau ditarik. Sedangkan dalam keadaan darurat, alokasi yang tidak disetujui karena tidak sesuai kemanfaatannya harus dipertanggungjawabkan pemerintah dalam berbagai bentuk, yaitu meminta Badan Pemeriksa Keuangan melakukan pemeriksaan dan melaporkannya kepada DPR, meminta 102 pemerintah melakukan koreksi dan pengembalian sesuai dengan rekomendasi pemeriksaan BPK, atau DPR dapat menggunakan hak yang dimilikinya dalam mengawasi penggunaan APBN keadaan darurat.
Selain itu terkait keinginan Pemohon Perkara 45 agar RUU APBN Tahun 2021 dibahas Pemerintah dengan DPR RI senyatanya sudah disampaikan Pemerintah dalam rangkaian rapat paripurna tertanggal 12 Mei 2020, 14 Juli 2020, dan 14 Agustus 2020 (Lampiran II, Lampiran III dan lampiran IV). Sebagai tambahan informasi, pada 25 September 2020, Kemenkeu selaku yang mewakili Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyepakati Rancangan Undang-Undang (RUU) Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2021 di Banggar dan Pemerintah bersama DPR telah menyetujui defisit anggaran sebesar 5,7% dari PDB pada Rapat Paripurna DPR tanggal 29 September 2020. Semua fraksi DPR juga menyampaikan bahwa kondisi Covid-19 masih belum memberikan kepastian pada tahun 2021, sehingga Pemerintah dengan pimpinan Banggar dan para anggota Banggar bersama-sama memformulasikan RUU APBN 2021 yang disatu sisi memberikan signal kepada masyarakat, dunia usaha bahwa pemerintah terus melakukan support agar mereka bisa pulih dan bangkit kembali, namun di sisi lain juga memberikan sinyal kehati-hatian, sinyal prudent atau kebijakan dalam menjaga keseluruhan dan keberlangsungan APBN.
Oleh karenanya dalil bahwa kewenangan penetapan UU APBN oleh DPR menjadi nihil, (dalam hal ini dalil tersebut juga disampaikan oleh Para Pemohon Perkara 42) adalah anggapan yang salah. Hal ini disebabkan perubahan mekanismenya saja, yang sebelumnya Hak Budget DPR dilakukan di awal menjadi di akhir setelah diterbitkannya 103 LKPP. Selain itu, dalam memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap penetapan Perppu 1/2020 menjadi undang-undang tersebut, tentunya DPR mengkaji terlebih dahulu urgensi dan implikasi pemberlakuan ketentuan dalam Perppu tersebut sebagai undang-undang sebelum dilakukan penetapan Perppu tersebut sebagai undang- undang. Pengaturan dalam Perppu ini tidak berarti menghilangkan mekanisme persetujuan DPR dalam penetapan UU APBN mengingat UU APBN Tahun Anggaran 2020 telah ditetapkan, dan UU APBN Tahun Anggaran 2021 telah dibahas oleh DPR dan Pemerintah, dan UU APBN Tahun Anggaran 2022 masih belum disusun dan belum diajukan oleh Pemerintah kepada DPR RI.
Pandangan DPR terkait penggunaan dana yang bersumber dari Dana Abadi Pendidikan untuk penanganan Pandemi Covid-19, DPR.
Akumulasi dana abadi pendidikan yang dimaksud dalam Pasal a quo adalah akumulasi dana abadi dari tahun-tahun sebelumnya dan tidak termasuk porsi dana abadi pendidikan yang dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun berjalan ( vide Penjelasan Pasal 2 ayat (1) huruf e UU a quo ).
Anggaran dana pendidikan yang sudah dialokasikan dalam UU APBN tahun berjalan tidak termasuk dalam objek yang diatur dalam ketentuan Pasal a quo sehingga kewajiban Pemerintah untuk memenuhi mandatory spending dana pendidikan sebesar 20% tetap dilaksanakan. Oleh karena itu yang dapat digunakan oleh Pemerintah dalam realokasi penggunaan dana abadi pendidikan dan akumulasi dana pendidikan untuk penanganan Pandemi Covid-19 tidak mengganggu alokasi dana pendidikan yang sudah ditetapkan dalam UU APBN sebesar 20%.
Bahwa penggunaan dana abadi sebagai sumber pembiayaan APBN tahun berjalan merupakan salah satu opsi yang 104 dipersiapkan pemerintah dalam penanganan pandemi Covid-19. Opsi tersebut hanya akan dipergunakan apabila seluruh pembiayaan lain yang tersedia tidak memenuhi kebutuhan pembiayaan pemerintah dalam penanganan pandemi Covid-19. Namun demikian, pemanfaatannya akan tetap memperhitungkan efektivitas dan ketepatan dibandingkan dengan surnber-sumber lain yang ada.
Pandangan DPR terkait kewenangan Pemerintah untuk menerbitkan Surat Utang Negara dan/atau Surat Berharga Syariah Negara dengan tujuan tertentu dan independensi Bank Indonesia a. Bahwa dasar hukum penerbitan SUN adalah Pasal 55 Undang- Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (selanjutnya di sebut UU BI), yang berketentuan:
Dalam hal Pemerintah akan menerbitkan surat-surat utang negara, Pemerintah wajib terlebih dahulu berkonsultasi dengan Bank Indonesia.
Sebelum menerbitkan surat utang negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah wajib berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat.
Bank Indonesia dapat membantu penerbitan surat-surat utang negara yang diterbitkan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
.... Dalam penerbitan Surat Utang Negara tersebut, terdapat peran DPR dalam mekanisme penerbitan surat utang negara berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (1) dan ayat (3) UU Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara (UU SUN) yang mengatur bahwa Penerbitan Surat Utang Negara harus terlebih dahulu mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat yang diberikan pada saat pengesahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Mekanisme ini harus tetap dilakukan oleh Pemerintah.
Dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (UU SBSN) diatur bahwa SBSN diterbitkan dengan tujuan untuk membiayai Anggaran Pendapatan 105 dan Belanja Negara termasuk membiayai pembangunan proyek. Kewenangan menerbitkan SBSN berada pada Pemerintah dilaksanakan oleh Menteri dapat dilaksanakan secara langsung oleh Pemerintah atau melalui Perusahaan Penerbit SBSN. Dalam hal akan dilakukan penerbitan SBSN untuk tujuan membiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara termasuk membiayai pembangunan proyek, Menteri terlebih dahulu berkoordinasi dengan Bank Indonesia.
Ketentuan Pasal 8 UU SBSN mengatur bahwa Penerbitan SBSN harus terlebih dahulu mendapat persetujuan DPR pada saat pengesahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diperhitungkan sebagai bagian dari Nilai Bersih Maksimal Surat Berharga Negara yang akan diterbitkan oleh Pemerintah dalam satu tahun anggaran. Dalam rangka kedaruratan penanganan Covid-19 dan implikasinya terhadap kondisi perekonomian nasional, hal ini juga menjadi pertimbangan Presiden dalam penyusunan Perppu 1/2020 dan penetapannya sebagai undang- undang oleh DPR melalui UU 2/2020. Ketentuan Pasal 8 UU SBSN ini tidak disebutkan dalam ketentuan Pasal 28 lampiran UU 2/2020, sehingga masih berlaku dan harus dilaksanakan oleh Pemerintah.
Pasal 2 ayat (1) huruf f, Pasal 16 ayat (1) huruf c, dan Pasal 19 ayat (3) Lampiran UU 2/2020 mengatur bahwa Bl dapat membeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana atau primer. Pengaturan tersebut melengkapi ketentuan Pasal 55 ayat (4) UU Bl yang memberikan kewenangan Bl untuk membeli SUN di pasar primer atau perdana berjangka pendek yang diperlukan oleh Bl untuk operasi pengendalian moneter. Pengaturan pada Pasal 55 ayat (4) UU Bl dimaksudkan untuk menjalankan tugas Bl dalam kondisi normal. Sementara saat ini, Presiden telah memutuskan kondisi kegentingan yang memaksa serta kekosongan hukum karena pandemi Covid-19 sehingga diterbitkan Perppu 1/2020. Dalarn 106 mengatasi kondisi tersebut, diperlukan stimulus fiskal yang dapat berimplikasi pada pelebaran defisit APBN. Oleh karena itu, peran Bl perlu diperluas sehingga Bl dapat melakukan pembelian SUN dan/atau SBSN jangka panjang di pasar perdana khususnya dalam rangka penanganan permasalahan sistem keuangan yang membahayakan perekonomian nasional, termasuk SUN dan/atau SBSN yang diterbitkan dengan tujuan tertentu khususnya dalam rangka pandemi Covid-19.
Ketentuan dalam Pasal 16 ayat (1) hurut c Lampiran UU 2/2020 dimaksudkan untuk memberikan kelengkapan payung hukum bagi Bl untuk menetapkan dan melaksanakan kebijakan pembelian SUN dan/atau SBSN berjangka panjang di pasar perdana untuk penanganan permasalahan sistem keuangan yang membahayakan perekonomian nasional, termasuk SUN dan/atau SBSN yang diterbitkan dengan tujuan tertentu khususnya dalam rangka pandemi Covid-19. Dengan adanya ketentuan-ketentuan dalam Lampiran UU 2/2020, terbuka ruang baru bagi Bl dalam rnerumuskan dan rnelaksanakan kebijakan moneter melalui pembelian SUN di pasar primer atau perdana, baik yang berjangka pendek maupun panjang, untuk digunakan dalam operasi pengendalian moneter maupun yang diperlukan untuk pemulihan ekonomi nasional.
Pembelian SUN dan/atau SBSN oleh Bl di pasar perdana dilakukan untuk membantu pemerintah dalam pemenuhan pembiayaan APBN dan pembiayaan pelaksanaan pemulihan ekonomi nasional termasuk menjaga stabilitas sistem keuangan nasional yang menjadi peran Bl sebagai otoritas moneter dan bukan mengintervensi Bl dalam pelaksanaan tugasnya. Proses untuk membeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana merupakan mandat yang diberikan oleh UU 2/2020 sehingga sama sekali tidak ada intervensi terhadap independensi Bl. 107 g. Perlu dicermati pula bahwa SUN dan/atau SBSN yang diterbitkan oleh Pemerintah tidak wajib untuk dibeli oleh Bl. Rumusan- rumusan ketentuan dalam Lampiran UU 2/2020 terkait kewenangan Bl untuk membeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana memuat kata "dapat". Penggunaan frasa "dapat" dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) huruf f dan Pasal 19 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 dimaknai bahwa tidak ada unsur kewajiban bagi Bl yang dapat menghilangkan independensi Bl sebagai bank sentral untuk memutuskan pembelian SUN dan/atau SBSN di pasar perdana. Pembelian SUN dan/atau SBSN didasarkan sesuai pertimbangan Bl dalam menjalankan tugasnya.
Kewenangan Bl untuk membeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana sebagaimana diatur dalam Lampiran UU 2/2020 dilaksanakan dengan tetap menjaga independensi Bl. Pasal 23D UUD NRI Tahun 1945 jo. Pasal 4 ayat (2) UU Bl telah mengatur bahwa Bl merupakan lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pemerintah dan/atau pihak lain. Pelaksanaan tugas dan wewenang Bl akan tetap berjalan secara efektif dengan berlakunya ketentuan dalam Lampiran UU 2/2020.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (3) UU a quo , kewenangan tersebut harus memenuhi skema dan mekanisme pembelian yang diatur bersama antara Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia dengan Keputusan Bersama Menteri Keuangan dan Gubernur Bl Nomor 190/KMK.08/2020 dan Nomor 22/4/KEP.GBl/2020 tanggal 16 April 2020 dengan menerapkan prinsip:
mengutamakan mekanisme pasar;
mempertimbangkan dampaknya terhadap inflasi secara terukur;
SUN dan/atau SBSN yang dapat dibeli oleh Bl bersifat tradable dan marketable ; dan 108 d. Bl sebagai pembeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana merupakan last resort __ dalam hal kapasitas pasar tidak mampu menyerap dan/atau menyebabkan kenaikan yield yang terlalu tinggi.
Pandangan DPR terkait penetapan sumber-sumber pembiayaan Anggaran yang berasal dari dalam dan/atau luar negeri dan pengaturan perubahan postur APBN melalui Peraturan Presiden sebagaimana diatur dalam UU a quo a. Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. Kekuasaan tersebut meliputi kewenangan yang bersifat umum dan kewenangan yang bersifat khusus. Untuk membantu Presiden dalam penyelenggaraan kekuasaan dimaksud, sebagian dari kekuasaan tersebut dikuasakan kepada Menteri Keuangan selaku Pengelola Fiskal dan Wakil Pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan, serta kepada Menteri/Pimpinan Lembaga selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya. Menteri Keuangan sebagai pembantu Presiden dalam bidang keuangan pada hakekatnya adalah Chief Financial Officer (CFO) Pemerintah Republik Indonesia, sementara setiap menteri/pimpinan lembaga pada hakekatnya adalah Chief Operational Officer (COO) untuk suatu bidang tertentu pemerintahan. Prinsip ini perlu dilaksanakan secara konsisten agar terdapat kejelasan dalam pembagian wewenang dan tanggung jawab, terlaksananya mekanisme checks and balances serta untuk mendorong upaya peningkatan profesionalisme dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan. Sub bidang pengelolaan fiskal meliputi fungsi-fungsi pengelolaan kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro, penganggaran, administrasi perpajakan, administrasi kepabeanan, perbendaharaan, dan pengawasan keuangan. 109 b. Pengecualian Pelaksanaan Kebijakan Keuangan Negara dalam Perppu ini sebagaimana diatur dalam Pasal 12 ayat (2) lampiran UU 2/2020 a quo : “Perubahan postur dan/atau rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara dan langkah-langkah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 11 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden.” Ketentuan tersebut hanya berlaku sepanjang berkaitan dengan kebijakan keuangan negara untuk penanganan penyebaran Covid- 19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan berdasarkan Perppu ini ( Vide Pasal 28 lampiran UU 2/2020). Dalam kondisi kembali normal semua ketentuan dalam UU MD3 berlaku seperti semula termasuk dalam hal mekanisme pembahasan APBN dan APBNP yang harus tetap mendapatkan persetujuan DPR. Selain itu meskipun APBN Perubahan ditetapkan dengan Peraturan Presiden karena situasi yang mendesak berdasarkan Perppu 1/2020 yang selanjutnya menjadi lampiran UU 2/2020, tetapi pertanggungjawaban APBN tetap kepada DPR.
Bahwa terkait dengan sumber-sumber pembiayaan negara, Pasal 12 ayat (3) UU Keuangan Negara mengatur bahwa dalam hal anggaran diperkirakan defisit, ditetapkan sumber-sumber pembiayaan untuk menutup defisit tersebut dalam Undang-undang tentang APBN. Dan penjelasan Pasal 12 ayat (3) UU Keuangan Negara tersebut mengatur bahwa jumlah pinjaman dibatasi maksimal 60% dari Produk Domestik Bruto. Ketentuan dalam penjelasan ini juga menjadi bagian yang dinyatakan tidak berlaku dalam Pasal 28 angka 3 lampiran UU 2/2020. Namun pada dasarnya, penetapan sumber-sumber pembiayaan tersebut diperbolehkan hanya saja batasan yang ada dalam penjelasan pasal tersebut tidak diberlakukan selama penanganan Covid-19 ini atau hingga tahun 2021 . Selain itu, persebaran Covid-19 yang 110 masif dan cepat ini membutuhkan penanganan cepat namun yang tidak dapat dilaksanakan melalui mekanisme APBN, sehingga telah jelas tidak ada pelanggaran prinsip pengelolaan keuangan negara dan tetap sejalan dengan prinsip negara hukum sebagaimana diatur oleh Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945.
Ketentuan Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 sama sekali tidak menghilangkan peran dan fungsi DPR, karena dengan telah disetujui dan ditetapkannya Perppu1/2020 menjadi UU 2/2020, telah menunjukkan bahwa perubahan postur dan/atau rincian APBN dengan Peraturan Presiden yang diatur dalam ketentuan Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 tersebut telah mendapat persetujuan DPR. Selain itu, dalam pembentukan Peraturan Presiden tentang perubahan postur dan/atau rincian APBN, Pemerintah selalu mengkomunikasikannya dan melakukan pembahasan bersama dengan DPR. DPR dapat memberikan masukan dan rekomendasi kepada Pemerintah terkait postur dan/atau rincian APBN tersebut. Oleh karena itu, Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 __ yang mengatur bahwa perubahan postur dan/atau rincian APBN dilakukan dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden, sama sekali tidak menghilangkan peran dan fungsi DPR. Pengaturan perubahan postur dan/atau rincian APBN dalam ketentuan Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 telah diselaraskan dengan dicabutnya ketentuan Pasal 27 ayat (3) UU Keuangan Negara, Pasal 177 huruf c angka 2 dan Pasal 182 UU MD3, serta Pasal 40 UU APBN 2020 (vide ketentuan Pasal 28 angka 3, 10, dan 12 Lampiran UU 2/2020). Pencabutan berbagai ketentuan yang diatur dalam Pasal 28 angka 3, 10, dan 12 Lampiran UU 2/2020 tersebut, merupakan upaya harmonisasi agar tidak ada dualisme aturan atas satu permasalahan. Dengan demikian, ketentuan Pasal 28 angka 3, 10, dan 12 Lampiran UU 2/2020 telah memberikan kepastian hukum atas pelaksanaan ketentuan Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020, yaitu bahwa 111 perubahan postur dan/atau rincian APBN dilakukan dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden.
Pandangan DPR Terhadap Kebijakan Di Bidang Keuangan Daerah sebagaimana diatur dalam UU a quo a. Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945, Pemerintah Daerah telah diberikan kewenangan untuk mengatur dan mengurus sendi r i urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda). Penjelasan umum UU Pemda menyatakan bahwa pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah dilaksanakan berdasarkan prinsip negara kesatuan. Dalam negara kesatuan, kedaulatan hanya ada pada pemerintahan negara atau pemerintahan nasional dan tidak terdapat kedaulatan pada pemerintahan daerah. Oleh karena itu, seluas apapun otonomi yang diberikan kepada daerah, tanggung jawab akhir penyelenggaraan pemerintahan daerah akan tetap ada di tangan pemerintah pusat. Untuk itu pemerintahan daerah pada negara kesatuan merupakan satu kesatuan dengan pemerintahan nasional.
Kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan oleh daerah merupakan bagian integral dari kebijakan nasional. Pembedanya, terletak pada bagaimana memanfaatkan kearifan, potensi, inovasi, daya saing, dan kreativitas daerah untuk mencapai tujuan nasional tersebut di tingkat lokal yang pada gilirannya akan mendukung pencapaian tujuan nasional secara keseluruhan. Pada kondisi pandemi Covid-19, hal yang perlu diperhatikan dalarn pelaksanaan kebijakan keuangan di daerah adalah kecepatan dan ketepatan untuk menyesuaikan anggaran sehingga tepat sasaran. Lebih lanjut, berdasarkan dengan Pasa l 6 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (UU Keuangan Negara), kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari 112 kekuasaan pemerintahan, telah diserahkan kepada kepada gubernur/bupati/wali kota untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili Pemerintah Daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan.
Namun demikian, dalam pelaksanaannya, penyelenggaraan pemerintahan daerah, termasuk keuangan daerah, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam UU Pemda sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015. Dalam ketentuan Pasal 9 ayat (2) UU Pemda disebutkan urusan absolut adalah urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat. Lebih Ianjut dalam ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf e UU Pemda disebutkan jika salah satu urusan pemerintahan absolut tersebut adalah urusan moneter dan fiskal nasional. Dalam menangani pandemi Covid-19 dan menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan, kebijakan yang diterapkan di bidang keuangan negara yang memberikan relaksasi untuk refocusing APBN, sudah seharusnya juga diterapkan pada pemerintahan daerah, khususnya dalam hal relaksasi untuk refocusing APBD. Oleh karena itu, kebersarnaan dan gotong royong oleh pemerintah pusat dan Pemerintah Daerah dapat menuntaskan permasalahan kesehatan dan ekonomi dampak Covid-19.
Sesuai ketentuan Pasal 8 UU Pemda, telah diatur bahwa pembinaan dan pengawasan terhadap urusan penyelenggaraan pemerintahan oleh daerah dikoordinasikan oleh Menteri Dalam Negeri. Hal tersebut dapat menjadi landasan Kementerian Dalam Negeri untuk memberikan petunjuk/pedoman tentang keuangan daerah kepada Pemerintah Daerah agar penggunaan realokasil refocusing seragam dan terarah bagi seluruh daerah. Sebagaimana telah diatur dalam Pasal 280 UU Pemda, dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang diserahkan 113 dan/atau ditugaskan, penyelenggara pemerintahan daerah memiliki kewajiban dalam pengelolaan keuangan daerah antara lain meliputi sinkronisasi pencapaian sasaran program daerah dalam APBD dengan program pemerintah pusat.
Sejalan dengan hal tersebut, guna mencapai penanganan yang bersifat holistik dan terpadu atas pandemi Covid-19 dan dampaknya, maka diperlukan pula peran daerah melalui APBD. Untuk itu, Pemerintah Daerah diberikan kewenangan untuk melakukan refocusing, perubahan alokasi dan penggunaan APBD. Dalam rangka memberikan pedoman/guidance kepada Pemerintah Daerah, maka Kemendagri telah menerbitkan Permendagri Nomor 39 Tahun 2020 tentang Pengutamaan Penggunaan Alokasi Anggaran Untuk Kegiatan Tertentu, Perubahan Alokasi dan Penggunaan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah yang mengatur ketentuan umum dan teknis pelaksanaan refocusing, perubahan alokasi, dan penggunaan APBD untuk penanganan pandemi Covid-19 beserta dampaknya di daerah. Dengan demikian, Permendagri tersebut tidak akan mendikte Pemerintah Daerah dalam melakukan refocusing, perubahan alokasi dan penggunaan APBD, melainkan sebatas memberikan petunjuk dan menciptakan keseragaman tindak lanjut kedaruratan dalam melakukan refocusing guna mencapai tujuan nasional. Selain itu, dengan tidak diajukannya pengujian ketentuan Pasal 3 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 oleh Pemohon, maka Pemohon telah menyadari dan rnernahami bahwa pemberian kewenangan kepada daerah untuk melakukan refocusing, perubahan alokasi, dan penggunaan APBD, merupakan kebijakan yang penting dan diperlukan Pemerintah Daerah dalam penanganan dampak Covid-19. 114 7. Pandangan DPR Terhadap Materi Muatan mengenai “Kebijakan Di Bidang Perpajakan dan Kepabeanan” sebagaimana diatur dalam UU a quo a. Terkait dengan perpajakan, Kementerian keuangan telah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 34/PMK.04/2020 tentang Pemberian Fasilitas Kepabeanan Dan/Atau Cukai Serta Perpajakan Atas Impor Barang Untuk Keperluan Penanganan pandemi Covid-19 sebagaimana telah diubah dengan PMK 83/PMK.04/2020 dengan pertimbangan untuk percepatan pelayanan dalam pemberian fasilitas fiskal atas impor barang yang diperlukan dalarn penanganan pandemi Covid-19, perlu mengatur ketentuan mengenai perlakuan kepabeanan dan/atau cukai serta perpajakan atas impor barang yang diperlukan dalam penanganan pandemi Covid-19. Dalam PMK tersebut diatur Atas impor barang untuk keperluan penanganan pandemi Covid-19 diberikan fasilitas kepabeanan dan/atau cukai serta perpajakan berupa: a) pembebasan bea masuk dan/atau cukai; b) tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah; dan c) dibebaskan dari pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22. terhadap jenis barang yang tercantum dalam Lampiran Huruf A PMK tersebut yang dapat dilakukan melalui pusat logistik berikat.
Pengaturan Pasal 10 lampiran UU 2/2020 ini tidak bertentangan dengan Pasal 25 dan Pasal 26 UU Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan yang telah diubah dengan UU Nomor 17 Tahun 2006 (UU Kepabeanan). Pengaturan perubahan ketentuan Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26 ayat (1) UU Kepabeanan tersebut dalam rangka penanganan Covid-19 ini tentukan diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan tentu tidak dapat serta merta dianggap kesalahan karena anggapan Para Pemohon bahwa ketentuan 115 dalam UU tidak dapat diubah melalui peraturan perundang- undangan yang tidak setara. Hal ini dilakukan karena apa yang terjadi dan butuh penanganan cepat tidak sesuai dan tidak termasuk dalam pengaturan dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26 ayat (1) UU Kepabeanan. Barang-barang tersebut tidak termasuk barang yang dipergunakan untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak termasuk obat-obatan yang pengadaannya menggunakan anggaran keuangan negara.
Perubahan ketentuan Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26 ayat (1) UU Kepabeanan tersebut dengan UU perubahan tentu akan memerlukan waktu yang lama mengingat prosedur penyusunan UU beserta tahapan-tahapannya tidak dapat dilakukan dalam waktu singkat. Penentuan ini juga tentunya memperhatikan pengaturan yang ada dalam Pasal 25 ayat (3) UU Kepabeanan yang menyatakan “ Ketentuan tentang pembebasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri ” dan Pasal 26 ayat (3) UU Kepabeanan yang menyatakan “ Ketentuan mengenai pembebasan atau keringanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan Menteri”. Sejalan dengan adanya amanat pengaturan peraturan pelaksanaan UU sebagaimana dalam Pasal 25 ayat (3) dan Pasal 26 ayat (3) UU Kepabeanan, maka hal ini jelas ditujukan untuk simplifikasi proses dalam kondisi yang genting, yang sudah jelas tidak berarti bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 sebagaimana yang telah didalilkan oleh Para Pemohon Perkara 37.
Tidak adanya pernyataan Presiden bahwa negara dalam kondisi krisis sehingga tidak diperlukan adanya program stabilitasi perekonomian dan keuangan nasional termasuk pengurangan pajak dan bea masuk barang impor sebagaimana yang dinyatakan Para Pemohon Perkara 42, hal tersebut tidaklah benar. Dalam berbagai pidatonya, Presiden, DPR dan Menteri keuangan 116 berulang kali menyampaikan kondisi perekonomian nasional dan kekhawatiran apabila tidak dilakukan upaya penanganan segera tanpa perlu menyatakan “Indonesia dalam keadaan krisis” pun keadaan tersebut dirasakan oleh masyarakat secara luas khususnya setelah adanya pandemi Covid-19. Pengurangan pajak dilakukan karena pajak dipungut dari warga negara dan kondisi perekonomian nasional sedang tidak dalam keadaan baik. Hal ini justru akan membebani masyarakat apabila tidak dilakukan pengurangan pajak. Selain itu, kebijakan terkait bea masuk barang impor tidak diberlakukan pada seluruh objek bea masuk melainkan pada alat-alat kesehatan dan obat-obatan yang dibutuhkan oleh masyarakat dalam rangka penanganan pandemi Covid-19. Oleh karenanya, pengaturan dan pengawasan pengelolaan keuangan negara selama masa pandemi Covid-19 ini terlapor secara jelas kepada DPR dan dilaksanakan sesuai dengan asas-asas pengelolaan keuangan negara dan asas-asas umum penyelenggaraan pemerintahan yang baik.
Bahwa terkait dalil Para Pemohon Perkara 37 yang menyatakan bahwa pemberian keringanan pajak tanpa dibarengi dengan adanya larangan PHK tidaklah tepat. DPR menerangkan bahwa pelarangan PHK tidak dapat diberlakukan oleh Pemerintah mengingat kondisi keuangan setiap perusahaan tidak sama satu sama lain berikut besar skalanya. Keringanan pajak tersebut diberikan dengan harapan mampu menstimulus perkembangan perusahaan sehingga besarnyapun tidak akan sama bagi setiap perusahaan tergantung pada skala perusahaan dan bidang usaha perusahaan tersebut. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) mengatur bahwa Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan perintah. Dalam UU Ketenagakerjaan tersebut telah diatur mengenai pemutusan hubungan kerja dan 117 adanya perjanjian kerja. Selain itu, ketenagakerjaan merupakan hubungan perdata antara pekerja dan pemberi kerja/pengusaha.
Bahwa terkait dalil Para Pemohon Perkara 37 mengenai pajak untuk perdagangan melalui sistem elektronik tidak memenuhi unsur kegentingan yang memaksa dan seharusnya diatur dalam undang- undang, DPR menerangkan bahwa:
Langkah-langkah pencegahan yang relatif ketat untuk membatasi meluasnya penyebaran pandemi Covid-19 menyebabkan turunnya permintaan atas produk nasional. Dampak selanjutnya, banyak perusahaan yang mengalami kesulitan cash flow sehingga menurunkan kemampuan dalam membayar pajak. Akibatnya, penerimaan perpajakan seperti PPh Badan mengalami penurunan secara signifikan. Berkurangnya aktivitas perdagangan internasional secara signifikan juga mengakibatkan turunnya penerimaan pajak dari impor dan bea masuk. Selain itu, penerimaan perpajakan juga mengalami tekanan dari turunnya harga minyak dunia, bahan mineral, dan CPO yang merupakan komponen penting dalam menghitung PPh migas dan bea keluar. Kinerja penerimaan perpajakan diperkirakan akan melemah pada tahun 2020 dengan tax ratio berpotensi berada di bawah 9 persen, terendah dalam dua dekade terakhir.
Menghadapi kondisi perekonomian dan pandemi Covid-19, kebijakan dan strategi perpajakan jangka menengah ditujukan untuk mendorong percepatan pemulihan ekonomi nasional pasca pandemi Covid-19 dan meningkatkan pendapatan negara. Di tengah ketidakpastian akan akhir dari pandemi Covid-19, dukungan terhadap dunia usaha mutlak diperlukan dalam rangka memitigasi dampak ekonomi yang timbul dan mendorong percepatan pemulihan ekonomi nasional. Untuk itu, langkah reformasi perpajakan yang pertama dilakukan adalah dengan memberikan relaksasi perpajakan kepada 118 dunia usaha. Relaksasi perpajakan tersebut dimaksudkan untuk mengurangi beban kegiatan usaha dan membantu meningkatkan kondisi cash flow perusahaan, khususnya selama dan pasca pendemi Covid-19. Perusahaan dapat menggunakan pengurangan atau pembebasan pajak untuk menutupi kenaikan harga bahan input maupun penurunan penjualan sehingga tetap beroperasi secara normal. Efek selanjutnya adalah perusahaan diharapkan tidak melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sehingga karyawan mempunyai gaji untuk memenuhi kebutuhan hidup. Pada gilirannya hal tersebut akan kembali menggairahkan perekonomian nasional, baik dari sisi produksi maupun sisi konsumsi. Melalui penurunan tarif PPh badan, pembebasan PPh impor dan bea masuk sektor tertentu, serta berbagai fasilitas perpajakan lainnya, Pemerintah juga bermaksud meningkatkan daya saing guna mendorong aktivitas investasi sehingga dapat memacu pertumbuhan ekonomi nasional.
Dalam rangka meningkatkan pendapatan negara, khususnya penerimaan perpajakan, Pemerintah melakukan upaya perluasan basis pemajakan dan perbaikan administrasi perpajakan. Penambahan objek pajak baru yang dipungut oleh Negara sangat diperlukan dalam rangka meningkatkan tax ratio . Sebagai tahap awal, Pemerintah akan memungut pajak atas Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) atau yang lebih popular dengan sebutan e-commerce . Dalam beberapa tahun terakhir, transaksi online berkembang begitu cepat dan berpotensi menggantikan pasar konvensional. Selain menjadi sumber pendapatan Negara, pemungutan pajak terhadap sektor PMSE juga dimaksudkan untuk memastikan terpenuhinya prinsip pemajakan yang berkeadilan ( fairness) antara semua pelaku usaha dan menciptakan level of playing field yang sama bagi pengusaha di dalam negeri 119 untuk bertahan dan meningkatkan daya saingnya di tengah pandemi Covid-19. Selama ini, pelaku usaha ekonomi digital luar negeri mendapatkan penghasilan secara signifikan dari Indonesia tanpa perlu membayar pajak di Indonesia. Untuk itu, pemajakan atas PMSE diharapkan mampu menjadi sumber penting pendapatan negara mengingat nilai transaksinya yang besar di masa yang akan datang. Dengan demikian pengaturan obyek pajak baru dan mekanisme mekanisme peningkatan efektifitas pajak menjadi hal yang harus dilakukan untuk memenuhi kebutuhan belanja negara yang semakin tinggi dengan kondisi pemasukan negara yang tidak mencukupi.
Apabila pemajakan terhadap PMSE tidak segera diterapkan di Indonesia maka terjadi kekosongan hukum dan menjadi loopholes untuk penghindaran dan pengelakan pajak yang menyebabkan hilangnya potensi penerimaan pajak. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa akan memerlukan waktu yang cukup lama, apalagi di tengah pandemi Covid-19. Dengan demikian, kebijakan pemajakan PMSE dalam Lampiran UU 2/2020 sangat diperlukan sebagai dasar legal formal pemajakan atas PMSE. Dalam pelaksanaan PMSE tersebut, Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 48/PMK.03/2020 tentang Tata Cara Penunjukan Pemungut, Pemungutan, Dan Penyetoran, Serta Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai Atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud Dan/Atau Jasa Kena Pajak Dari Luar Daerah Pabean Di Dalam Daerah Pabean Melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik. Peraturan tersebut tentunya tidak lepas dari pengaturan dalam Undang- Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali 120 diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009. Maka dengan diaturnya PSME dalam Perppu 1/2020 yang keberlakuannya setara dengan Undang-Undang dan telah ditetapkan sebagai Undang-Undang melalui UU 2/2020, maka dalil Para Pemohon Perkara 37 mengenai PSME harus diatur dalam undang-undang menjadi tidak beralasan menurut hukum.
Pandangan DPR Terhadap Keterbukaan Pemerintah Terhadap Pelaksanaan Kebijakan Keuangan Negara Sebagaimana Diatur dalam Ketentuan UU a quo .
Setiap penyelenggara negara wajib mengelola keuangan negara secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Pengelolaan dimaksud dalam UU Keuangan Negara mencakup keseluruhan kegiatan perencanaan, penguasaan, penggunaan, pengawasan, dan pertanggung-jawaban. Oleh karenanya, APBN, perubahan APBN, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN setiap tahun ditetapkan dengan undang-undang. Sedangkan APBD, perubahan APBD, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD setiap tahun ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Dengan ditetapkannya APBN, Perubahan APBN berikut pertanggungjawaban pelaksanaan APBN dalam Undang-Undang dan APBD, perubahan APBD berikut pertangungjawaban pelaksanaan APBD dalam Peraturan daerah, maka berlakulah fiksi hukum dalam masyarakat. Asas Fiksi Hukum beranggapan bahwa ketika suatu peraturan perundang-undangan telah diundangkan maka pada saat itu setiap orang dianggap tahu ( presumption iures 121 de iure ) dan ketentuan tersebut berlaku mengikat sehingga ketidaktahuan seseorang akan hukum tidak dapat membebaskan/memaafkannya dari tuntutan hukum ( ignorantia jurist non excusat ). Keberadaan asas fiksi hukum, telah dinormakan di dalam penjelasan Pasal 81 ketentuan UU 12/2011 yakni " Dengan diundangkannya Peraturan Perundang-undangan dalam lembaran resmi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini, setiap orang dianggap telah mengetahuinya ". Adapun lembaran resmi yang dimaksud di dalam ketentuan Pasal 81 terdiri dari 7 jenis yakni a. Lembaran Negara Republik Indonesia, b.Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, c.Berita Negara Republik Indonesia, d. Tambahan Berita Negara Republik Indonesia, e.Lembaran Daerah, f. Tambahan Lembaran Daerah, atau g. Berita Daerah.
Dalam rangka akuntabilitas pengelolaan keuangan negara menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota selaku pengguna anggaran/pengguna barang bertanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan yang ditetapkan dalam Undang-undang tentang APBN/Peraturan Daerah tentang APBD, dari segi manfaat/hasil ( outcome ). Sedangkan Pimpinan unit organisasi kementerian negara/lembaga bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan yang ditetapkan dalam undang-undang tentang APBN, demikian pula Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah tentang APBD, dari segi barang dan/atau jasa yang disediakan ( output ).
Oleh karena itu, dalam UU Perbendaharaan Negara diatur sanksi yang berlaku bagi menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/ walikota, serta Pimpinan unit organisasi kementerian negara/lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah yang terbukti melakukan penyimpangan kebijakan/kegiatan yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang tentang APBN/Peraturan 122 Daerah tentang APBD. Ketentuan sanksi tersebut dimaksudkan sebagai upaya preventif dan represif, serta berfungsi sebagai jaminan atas ditaatinya Undang-undang tentang APBN/Peraturan Daerah tentang APBD yang bersangkutan. Selain itu perlu ditegaskan prinsip yang berlaku universal bahwa barang siapa yang diberi wewenang untuk menerima, menyimpan dan membayar atau menyerahkan uang, surat berharga atau barang milik negara bertanggungjawab secara pribadi atas semua kekurangan yang terjadi dalam pengurusannya. Kewajiban untuk mengganti kerugian keuangan negara oleh para pengelola keuangan negara dimaksud merupakan unsur pengendalian intern yang andal.
Anggapan Para Pemohon Perkara 42 dan Para Pemohon Perkara 43 atas tidak terjadinya krisis perekonomian karena tidak adanya pernyataan dari Presiden terkait kondisi tersebut, hal ini sungguh tidak beralasan menurut hukum dan justru menunjukkan sikap ketidakpedulian Para Pemohon Perkara 42 dan Para Pemohon Perkara 43 atas kondisi negara dan kondisi yang ada dalam masyarakat secara umum. Dengan perkembangan teknologi dan akses berita yang mudah dan luas sekarang ini, informasi mengenai keuangan negara dapat diakses dengan mudah. Hal ini merupakan wujud transparansi pengelolaan keuangan negara karena keuangan negara menyangkut kepentingan publik.
Dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dijelaskan bahwa Informasi Publik adalah informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan/atau diterima oleh suatu badan publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara dan/atau penyelenggara dan penyelenggaraan badan publik lainnya yang sesuai dengan Undang-Undang ini serta informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan publik. Salah satu asas dalam UU tersebut adalah bahwa setiap Informasi Publik bersifat terbuka dan 123 dapat diakses oleh setiap Pengguna Informasi Publik, kecuali terdapat ketentuan pengecualiannya. Informasi Publik yang dikecualikan bersifat rahasia sesuai dengan undang-undang, kepatutan, dan kepentingan umum didasarkan pada pengujian tentang konsekuensi yang timbul apabila suatu informasi diberikan kepada masyarakat serta setelah dipertimbangkan dengan saksama bahwa menutup Informasi Publik dapat melindungi kepentingan yang lebih besar daripada membukanya atau sebaliknya. Dalam hal ini, keuangan negara merupakan informasi yang tidak dikecualikan dan dengan jelas diatur adanya mekanisme-mekanisme penyampaian informasi keuangan negara dalam UU Keuangan Negara.
Pandangan DPR terkait penambahan kewenangan terhadap OJK sebagaimana diatur dalam UU a quo a. Setidaknya terdapat tiga kewenangan OJK dalam UU a quo . Salah satu amanat dari UU 2/2020 seperti yang tercantum dalam Pasal 23 ayat (1) yaitu memberi kewenangan dan pelaksanaan kebijakan OJK untuk memberikan perintah tertulis kepada lembaga jasa keuangan melakukan penggabungan , peleburan, pengambilalihan, integrasi dan/atau konversi . Langkah tersebut dapat dilakukan apabila diperlukan untuk mengantisipasi krisis jasa keuangan yang dapat membahayakan perekonomian nasional. Dalam menghadapi kondisi penuh risiko saat ini akibat Covid-19 maka daya tahan lembaga jasa keuangan sangat dibutuhkan khususnya dari sisi permodalan. Sehingga, salah satu cara untuk memperkuat daya tahan lembaga jasa keuangan tersebut dilakukan dengan cara penggabungan atau merger. Aksi merger tersebut diperlukan karena terdapat risiko besar akibat Covid-19 yang mengganggu kemampuan pembayaran perusahaan jasa keuangan khususnya perbankan, meskipun saat ini perbankan tetap masih membayarkan bunga deposito kepada nasabah tepat waktu. Di sisi lain, kemampuan membayar debitur atau peminjam dalam 124 kondisi tidak stabil karena perlambatan ekonomi di berbagai sektor. Sehingga, aksi merger tersebut diharapkan dapat memperkuat daya tahan perusahaan jasa keuangan.
Otoritas Jasa Keuangan mengeluarkan berbagai kebijakan stimulus untuk mengantisipasi dampak pandemi Covid-19 di bidang lembaga jasa keuangan. Sejauh ini, setidaknya OJK telah menerbitkan lima Peraturan OJK (POJK) pada 21 April 2020 sebagai tindak lanjut kewenangan OJK dalam pelaksanaan UU 2/2020 Kebijakan stimulus ini salah satunya adalah Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Corona virus Disease 2019.
Kekhawatiran para Pemohon Perkara 37 dan para Pemohon Perkara 42 terkait potensi kesewenang-wenangan OJK dalam melaksanakan kewenangannya yang diberikan oleh UU 2/2020 tentunya telah diantisipasi oleh Pemerintah dan OJK dengan adanya pedoman pelaksanaan kewenangan-kewenangan tersebut. Selain itu, bagi OJK selaku pelaksana kewenangan yang diberikan oleh UU 2/2020 juga berlaku ketentuan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik sebagaimana diatur dalam UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dan UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
Pandangan DPR terkait pinjaman kepada LPS sebagaimana diatur dalam UU a quo a. Ketentuan Pasal 2 ayat (3) UU LPS, LPS merupakan lembaga yang independen. Sesuai ketentuan tersebut, telah jelas bahwa kedudukan LPS merupakan lembaga independen, bukan merupakan lembaga yang berada di bawah pemerintah. Pemberian kewenangan kepada LPS sebagaimana yang tercantum dalam Lampiran UU 2/2020, pada prinsipnya merupakan kewenangan yang telah diberikan oleh UU LPS, UU OJK , dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang 125 Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (UU PPKSK). Kewenangan yang diberikan kepada LPS sesuai Pasal 20 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 sifatnya lebih mempertegas guna mendukung pelaksanaan fungsi LPS dalam kondisi adanya pandemi Covid-19 dan/atau adanya ancaman perekonomian dan/atau stabilitas sistem keuangan. Kewenangan tersebut sudah jelas melekat dan seharusnya diberikan kepada LPS untuk dapat melaksanakan fungsi LPS sebagaimana diatur dalam UU LPS, yaitu menjamin simpanan nasabah penyimpan dan menjaga stabilitas sistem perbankan. Pemberian kewenangan bagi LPS untuk melaksanakan langkah-langkah penanganan permasalahan stabilitas sistem keuangan juga diiringi dengan wewenang bagi Pemerintah untuk mengatur lebih lanjut pelaksanaan kewenangan tersebut dalam Peraturan Pemerintah (vide Pasal 20 ayat (2) Lampira n UU 2/2020). Adanya atribusi dan mandat untuk melakukan pengaturan dalam peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dimaksudkan untuk memberikan koridor dalam pelaksanaan kewenangan LPS. Hal tersebut dimaksudkan selain untuk memberikan kepastian hukum, juga untuk menghindari LPS menginterpretasikan kewenangan yang diberikan dalam Lampiran UU 2/2020 secara luas yang dapat mengakibatkan penyalahgunaan wewenang.
Berdasarkan UU LPS, fungsi LPS adalah menjamin simpanan nasabah di bank dan turut aktif memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai kewenangannya. Berdasaran ketentuan dalam Pasal 85 ayat (1) UU LPS, dalam hal modal LPS menjadi kurang dari modal awal, Pemerintah dengan persetujuan DPR menutup kekurangan tersebut. Modal awal LPS ditetapkan sekurang- kurangnya Rp 4 triliun dan sebesar-besarnya Rp 8 triliun.
UU 2/2020 memberikan kewenangan kepada LPS yang di antaranya adalah melakukan pemeriksaan penanganan dan peningkatan intensitas persiapan Penanganan Bank bersama OJK 126 dan melakukan pemilihan cara penanganan Bank Selain Bank Sistemik yang dinyatakan sebagai Bank Gagal dengan tidak hanya mempertimbangkan perkiraan biaya yang paling rendah ( least cost test ), tetapi juga mempertimbangkan kondisi perekonomian, kompleksitas permasalahan perbankan, kebutuhan waktu penanganan, ketersediaan investor, dan/atau efektivitas penanganan permasalahan Bank.
Sehubungan dengan kewenangan tersebut, UU 2/2020 mendelegasikan pengaturan kewenangan dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kewenangan LPS dalam Rangka Melaksanakan Langkah-Langkah Penanganan Permasalahan Stabilitas Sistem Keuangan. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah tersebut, LPS melakukan pemeriksaan bersama dalam rangka persiapan Penanganan Bank dan peningkatan intensitas persiapan Penanganan Bank serta melakukan pemilihan cara penanganan Bank Selain Bank Sistemik yang dinyatakan sebagai Bank Gagal.
Berdasarkan kewenangan dimaksud, dalam hal terdapat Bank yang mengalami permasalahan solvabilitas, LPS melakukan pemeriksaan bersama dengan OJK untuk penanganan permasalahan solvabilitas Bank. Disamping itu, selama pemulihan ekonomi sebagai akibat pandemi Covid-19, LPS dapat melakukan penempatan dana pada Bank untuk mengelola dan/atau meningkatkan likuiditas LPS dan/atau mengantisipasi dan/atau melakukan penanganan permasalahan Stabilitas Sistem Keuangan yang dapat menyebabkan terjadinya kegagalan Bank sebagai bagian dari tindakan antisipasi ( forward looking ) LPS untuk menjaga Stabilitas Sistem Keuangan.
Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan Nomor 3 Tahun 2020 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kewenangan Lembaga Penjamin Simpanan Dalam Rangka Melaksanakan Langkah- 127 Langkah Penanganan Permasalahan Stabilitas Sistem Keuangan, juga mengatur bahwa untuk penanganan pandemi Covid-19 untuk mengelola dan/atau meningkatkan likuiditas LPS dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan, LPS dalam rangka pengambilan keputusan untuk melakukan penanganan Bank Selain Bank Sistemik yang dinyatakan sebagai Bank Gagal oleh OJK, tidak hanya mempertimbangkan perkiraan biaya yang paling rendah ( least cost test ) tetapi juga dengan mempertimbangkan kondisi perekonomian, kompleksitas permasalahan bank, kebutuhan waktu penanganan, ketersediaan investor, dan/atau efektivitas dalam rangka penanganan permasalahan bank.
Berdasarkan ketentuan dalam lampiran UU 2/2020, LPS dapat menaikkan nilai penjaminan simpanan dari saat ini Rp 2 miliar per rekening untuk menjamin adanya kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan. LPS juga bisa menambah pembiayaan dengan menerbitkan surat utang. Penambahan pendanaan ini bertujuan untuk membantu LPS apabila mengalami kesulitan likuiditas dalam menangani bank gagal. Pembiayaan dari surat utang merupakan salah satu opsi yang dapat dilakukan LPS untuk menjalankan fungsi penjaminan simpanan maupun penanganan bank berdampak sistemik. Selama ini, LPS mendapatkan pembiayaan dari premi yang dibayarkan dari bank sebesar 0,2 persen per tahun dari rata-rata simpanan. LPS juga bisa mendapatkan biaya dari penanganan bank gagal serta memperoleh pinjaman dari pemerintah apabila modal sudah berada di bawah Rp 4 triliun.
Resiko pembiayaan yang dikeluarkan untuk stabilitas kondisi perekonomian dan keuangan nasional salah satunya adalah kewajiban kontinjensi pemerintah pusat. Kewajiban kontinjensi merupakan kewajiban potensial bagi Pemerintah yang timbul akibat adanya peristiwa masa lalu dan keberadaannya menjadi 128 pasti dengan terjadinya atau tidak terjadinya suatu peristiwa ( event ), yang tidak sepenuhnya. berada dalam kendali Pemerintah. Kewajiban kontinjensi bersumber dari pemberian dukungan dan/atau jaminan pemerintah atas proyek-proyek infrastruktur; program jaminan sosial nasional; kewajiban Pemerintah untuk menambahkan modal jika modal lembaga keuangan, yaitu Bank Indonesia (BI), Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), dan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI), di bawah jumlah yang diatur dalam Undang-Undang; dan tuntutan hukum kepada Pemerintah.
Berbagai opsi pendanaan tambahan ini diperlukan untuk memberikan kepercayaan kepada masyarakat sehingga persoalan solvabilitas bank dapat selesai dengan baik. Oleh karenanya, LPS harus menentramkan masyarakat bahwa dana mereka aman dan mampu memulihkan fungsi intermediasi perbankan. Dengan demikian, kekhawatiran yang didalilkan para Pemohon Perkara 42 dalam permohonannya menjadi hal yang tidak benar karena dalam pelaksanaan pemberian pinjaman terhadap LPS jelas akan dikonsultasikan dengan DPR dan keberadaan pengaturan tersebut adalah salah satu upaya yang terbuka bagi pemerintah apabila kondisi perbankan nasional memburuk.
Pengaturan dalam pasal 20 ayat (1) huruf b UU 2/2020 yang menyatakan bahwa LPS diberikan kewenangan untuk melakukan tindakan (i) penjualan/repo SBN yang dimiliki kepada Bank Indonesia; (ii) penerbitan surat utang; (iii) pinjaman kepada pihak lain; dan/atau (iv) pinjaman kepada Pemerintah, dalam hal LPS diperkirakan akan mengalami kesulitan likuiditas untuk penanganan Bank Gagal, selain memberikan alternatif sumber pendanaan bagi LPS yang berlaku, baik untuk Bank Sistemik dan Bank Selain Bank Sistemik juga diharapkan dapat memberikan waktu yang cukup bagi LPS dalam mempersiapkan sumber dana tersebut sebelum terdapat Bank Gagal. Transaksi antara LPS 129 dengan Bl sebagai salah satu langkah untuk pemenuhan likuiditas LPS yang diperluas sehingga LPS selain dapat melakukan penjualan SBN miliknya, juga dapat melakukan transaksi Repo. Selain penjualan dan/atau repo kepada Bl, LPS juga mempunyai alternatif pendanaan berupa pinjaman kepada pihak lain yang dimaksudkan untuk menjaring pihak-pihak (dalam dan/atau luar negeri) yang mempunyai kemampuan pendanaan sehingga tersedia alternatif pendanaan yang lebih luas bagi LPS. Pinjaman LPS dari pihak lain merupakan salah satu opsi untuk menjaga likuiditas sehingga pemanfaatan dana tersebut untuk melaksanakan tugas dan fungsi LPS sebagai lembaga resolusi perbankan dalam hal terdapat Bank Gagal sesuai tata kelola yang diatur dalarn UU LPS.
Pandangan DPR terkait dalil Para Pemohon mengenai adanya hak imunitas bagi pelaksana kebijakan keuangan dan kerugian yang timbul dari pelaksanaan UU a quo bukan merupakan kerugian negara berdasarkan UU a quo adalah sebagai berikut a. Bahwa dukungan pembiayaan anggaran untuk penanganan Covid- 19 yang besar adalah dalam rangka mendukung Program Pemulihan Ekonomi Nasional. Rincian kebutuhan anggaran ini berdampak pada sisi belanja dan juga pendapatan negara dalam APBN 2020. Biaya yang dikeluarkan pemerintah ini adalah biaya ekonomi yang bertujuan untuk penyelamatan negara dari krisis dan tidak bisa dianggap sebagai merupakan kerugian negara. APBN sebagai alat untuk mencapai tujuan negara, digunakan sepenuhnya untuk kepentingan rakyat. Ketika keadaan mendesak dan darurat, maka APBN sebagai alat tersebut dapat disesuaikan penggunaannya untuk menjadi penolong keselamatan negara. Biaya yang dikeluarkan ini disadari tidak akan sepenuhnya kembali dan juga hilangnya potensi penerimaan negara, namun di sisi lain telah timbul manfaat yang lebih besar yaitu pulihnya perekonomian dan dunia usaha sehingga dapat menyelamatkan ekonomi 130 Indonesia. Sehingga biaya yang dikeluarkan tidak bisa disebut sebagai kerugian negara.
Biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah ini adalah biaya ekonomi yang bertujuan untuk penyelamatan negara dari krisis dan tidak bisa dianggap sebagai merupakan kerugian negara. APBN sebagai alat untuk mencapai tujuan negara, digunakan sepenuhnya untuk kepentingan rakyat. Ketika keadaan mendesak dan darurat, maka APBN sebagai alat tersebut dapat disesuaikan penggunaanya untuk menjadi penolong keselamatan negara. Biaya yang dikeluarkan ini disadari tidak akan sepenuhnya kembali dan juga hilangnya penerimaan negara, namun di sisi lain telah menimbulkan manfaat yang lebih besar yaitu pulihnya perekonomian dan dunia usaha sehingga dapat menyelamatkan ekonomi Indonesia. Sehingga biaya yang dikeluarkan tidak bisa disebut sebagai kerugian negara. Penggunaan biaya ekonomi ini lah yang disebutkan dalam Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 yang dimaksudkan untuk penyelamatan perekonomian dari krisis sehingga bukan merupakan kerugian negara.
Mengutip Pendapat Dr. Dian Puji Nugraha Simatupang dalam tulisannya yang berjudul “ Ekuilibrium Kebijakan __ Keuangan Negara Menghadapi Keadaan Negara Darurat Akibat Penyebaran Covid- 19 Dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang _Nomor 1 Tahun 2020”: _ “Biaya yang telah dialokasikan UU APBN dan/atau realisasi keuangan pemerintah untuk keadaan darurat tidaklah dapat dikategorikan sebagai kerugian negara dengan alasan: Pertama, biaya tersebut dialokasikan dalam UU APBN dan/atau laporan realisasi anggaran sebagai dasar hukum pengeluaran uang sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 2004 j.o. Pasal 27 ayat (4) UU Nomor 17 Tahun 2003; Kedua, biaya tersebut dikeluarkan untuk memenuhi kewajiban pemerintah untuk melindungi segenap tumpah darah rakyat Indonesia atau memenuhi asas kemanfaatan umum (doelmatigheid), dan untuk menghindari situasi dan keadaan yang lebih membahayakan keuangan negara dan perekonomian secara keseluruhan; Ketiga, biaya tersebut tetap diukur dalam satuan yang dikendalikan dan 131 ditetapkan pedomannya oleh pemerintah dengan memperhatikan masukan dari lembaga terkait yang relevan untuk melakukan pengawasan intern. Menyangkut norma dalam Pasal 27 ayat (1) Perpu Nomor 1 Tahun 2020 hakikatnya dimaknai sebagai biaya sebagai sebab terjadinya keadaan darurat uang mempengaruhi stabilitas keuangan negara dan perekonomian nasional. Dalam hukum keuangan publik, hal demikian merupakan biaya resiko yang harus dibebankan ke dalam UU APBN untuk maksud mewujudkan tujuan negara, yaitu melindungi segenap tumpah darah Indonesia. Biaya dalam keadaan darurat merupakan konsekuensi logis dalam upaya mewujudkan tindakan kepemerintahan yang cepat dan luar biasa diperlukan dalam kondisi yang tidak sempurna. Kecepatan dan ketepatan pemerintahan dalam penanganan keadaan darurat Covid-19 tidak dapat menggunakan parameter dan indikator yang biasa karena justru tidak prosesual atau tidak memenuhi ekuilibrium kebijakan keuangan publik jika suatu alas fakta yang berbeda menggunakan syarat prosedur yang normal atau kondisi yang sempurna, padahal alas fakta jelas terdapat perbedaan dan situasi yang darurat.” d. Bahwa dalam memaknai ketentuan Pasal 27 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) Lampiran UU 2/2020 tidak dapat dimaknai secara parsial melainkan harus dimaknai sebagai satu kesatuan. Adanya suatu kerugian keuangan negara, penyalah gunaan kewenangan melalui suatu kebijakan maupun produk hukum lain yang dikeluarkan dalam rangka pelaksanaan UU 2/2020 tetap harus dibuktikan secara hukum dengan parameter yang tentunya tidak bisa disamakan dengan apa yang ada dalam keadaan normal. Adanya frasa “iktikad baik” dan “sesuai peraturan perundang-undangan” merupakan batasan koridor pelaksanaan kewenangan dalam penggunaan keuangan negara dan mengeluarkan suatu produk hukum dalam rangka pelaksanaan UU 2/2020.
Bahwa dalam perspektif hukum keuangan publik, kerugian negara adalah “ kekurangan uang, surat berharga, dan barang yang nyata dan pasti sebagai akibat perbuatan melawan hukum atau kelalaian ,” berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 22 UU Perbendaharaan Negara. Artinya disini kerugian Negara tersebut harus dibuktikan sebagai akibat dari suatu perbuatan yang 132 melawan hukum atau karena kelalaian. Biaya yang telah dialokasikan UU APBN dan/atau realisasi keuangan pemerintah untuk keadaan darurat tidaklah dapat dikatagorikan sebagai kerugian negara dengan alasan: a) biaya tersebut dialokasikan dalam UU APBN dan/atau laporan realisasi anggaran sebagai dasar hukum pengeluaran uang sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) UU Perbendaharaan Negara jo. Pasal 27 ayat (4) UU Keuangan Negara; b) biaya tersebut dikeluarkan untuk memenuhi kewajiban pemerintah untuk melindungi segenap tumpah rakyat Indonesia atau memenuhi asas kemanfaatan umum ( doelmatigheid ), dan untuk menghindari situasi dan keadaan yang lebih membahayakan keuangan negara dan perekonomian nasional secara keseluruhan; c) biaya tersebut tetap diukur dalam satuan yang dikendalikan dan ditetapkan pedomannya oleh pemerintah dengan memperhatikan masukan dari lembaga terkait yang relevan untuk melakukan pengawasan intern;
Bahwa di samping itu, makna kerugian negara juga berkaitan dengan administrasi pemerintahan karena dengan adanya Pasal 20 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU- XIV/2016, kerugian negara juga mempunyai relevansi dengan persoalan hukum administrasi negara dalam hal terjadinya kesalahan administrasi. Bahwa biaya dalam keadaan darurat merupakan konsekuensi logis dalam upaya mewujudkan tindakan kepemerintahan yang cepat dan luar biasa diperlukan dalam kondisi yang tidak sempurna. Kecepatan dan ketepatan pemerintahan dalam penanganan keadaan darurat akibat Covid- 19 tidak dapat menggunakan parameter dan indikator yang biasa karena tidak justru tidak prosesual atau tidak memenuhi 133 ekuilibrium kebijakan keuangan publik jika suatu alas fakta yang berbeda menggunakan syarat prosedur yang normal atau kondisi yang sempurna, padahal alas fakta jelas terdapat perbedaan dan situasi yang darurat. Di samping itu, biaya tersebut juga akan sampai pada muaranya untuk diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan juga hasilnya disampaikan kepada DPR untuk memperoleh persetujuan berkaitan dengan manfaatnya dalam LKPP. Dengan demikian, proses dan sistem pembiayaan tersebut tetap akuntabel dan memenuhi asas umum pemerintahan yang baik dalam suatu syarat prosedur yang darurat.
Bahwa kewenangan BPK sudah sangat tegas diatur dalam Pasal 23E ayat (1) UUD NRI 1945. Dalam ketentuan peraturan perundang-undangan maka BPK juga diatur dalam UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK sesuai dengan fungsi dan kewenangannya serta dikaitkan pula dengan Bab VIII UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang mengatur bahwa pelaksanaan APBN dan APBD diperiksa oleh BPK sebelum akhirnya Presiden/Kepala Daerah menyampaikan RUU/Perda tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBN/APBD kepada DPR/DPRD. Di samping itu, dalam UU a quo harus dipahami dan dicermati bahwa tidak ada satu pun pasal dalam UU a quo yang mengecualikan atau menghalang-halangi fungsi BPK untuk melakukan audit.
Bahwa hal demikian kemudian dilaksanakan dengan iktikad baik bagi pejabat administrasi pemerintahan. Dalam hukum administrasi negara, iktikad baik lebih tepat menggunakan istilah asas-asas umum pemerintahan yang baik. Dalam hal ini pejabat administrasi pemerintahan menjalankan tugas dan wewenangnya sesuai dengan alas hukum dan alas fakta secara memadai, serta keputusan dan kebijakan ditetapkan dengan motivasi untuk melindungi kepentingan umum ( bestuurzorg ). Dengan kondisi demikian, tepat pelaksanaan tindakan kepemerintahan tersebut 134 tidak menjadi objek keputusan tata usaha negara karena peraturan dasarnya telah berubah, tidak pada peraturan dalam keadaan negara normal. Dengan demikian, keputusan tersebut dikecualikan sebagai objek pengadilan tata usaha negara karena validitasnya didasarkan pada peraturan dasar tersendiri yang dibentuk dalam keadaan darurat.
Dalam hal masyarakat atau pihak lain mengajukan keberatan dalam keputusan administrasi pemerintahan dalam masa darurat, dapat menggunakan instrumen administrasi pemerintahan itu sendiri, yang kemudian dapat dilakukan penyelesaian menurut Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2016 tentang Pengenaan Sanksi Administrasi bagi Pejabat Administrasi Pemerintahan dan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2016 tentang Pengenaan Ganti Kerugian oleh Pejabat Bukan Bendahara. Dalam hal keberatan tersebut juga masih ada warga masyarakat dapat mengajukan pengaduan ke DPR dalam rangka pengawasan, sehingga DPR dapat menggunakan seluruh hak yang dimilikinya dalam rangka pengawasan eksternal terhadap tindakan administrasi pemerintahan.
Konsep iktikad baik tetap meletakkan pada aspek pengambilan keputusan dan kebijakan tidak mengandung unsur suap, paksaan/ancaman, dan tipuan guna menguntungkan secara melawan hukum. Akan tetapi, jika pengambilan keputusan dan kebijakan disebabkan adanya kesalahan administrasi, tuntutan pidana tidak dapat dilakukan. Konsep iktikad baik dalam konsep hukum administrasi negara menurut Safri Nugraha dimaknai sebagai wujud asas umum pemerintahan yang baik di mana pelaksanaan pemerintahan dijalankan dengan prinsip akuntabilitas dan transparansi yang mendorong sistem pemerintahan berjalan dengan sistem yang jelas dan terukur. Dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik, pengelolaan dan pertanggungjawaban wewenang pemerintahan akan sejalan motivasinya yang layak. 135 Hal ini sejalan dengan ketentuan dalam Pasal 50 KUHP disebutkan bahwa: “Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dipidana " Selain itu dalam pasal 51 ayat 1 KUHP disebutkan bahwa: “barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana”.
Mengutip Pendapat Dr. Dian Puji Nugraha Simatupang dalam tulisannya yang berjudul “ Ekuilibrium Kebijakan Keuangan Negara Menghadapi Keadaan Negara Darurat Akibat Penyebaran Covid- 19 Dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang _Nomor 1 Tahun 2020”: _ “Adanya norma mengesampingkan tuntutan pidana, gugatan perdata, dan tata usaha negara harus dimaknai secara lengkap adanya syarat itikad baik atau asas-asas umum pemerintahan yang baik dalam hukum administrasi negara. Dengan demikian, ada kejelasan mengenai konsep hukum perdata, hukum administrasi, dan hukum pidana dalam konsep pelaksanaan pengambilan keputusan dan kebijakan dalam kondisi darurat agar pejabat administrasi pemerintahan tidak ragu, cepat, tepat, dan akuntabel untuk melindungi segenap tumpah darah Indonesia” l. Bahwa ketentuan Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 juga bukan merupakan kekebalan absolut karena dalam ketentuan tersebut mereka terdapat parameter “dengan iktikad tidak baik” dan “tidak sesuai peraturan perundang-undangan”. Asas iktikad baik awalnya adalah suatu asas yang berlaku dibidang hukum perjanjian yang kini telah berkembang dan diterima sebagai asas di bidang-bidang atau cabang-cabang hukum yang lain, baik yang sesama keluarga hukum privat maupun yang merupakan bidang hukum publik. Dalam perkembangan hukum, terdapat prinsip- prinsip umum ataupun asas-asas umum yang dijadikan sebagai sumber hukum sekaligus asas yang mendasari pelaksanaan hukum itu sendiri. Oleh karenanya asas iktikad baik yang tadinya merupakan suatu asas hukum khusus kini telah berkembang menjadi suatu asas hukum umum. Selain asas iktikad baik, juga 136 ada frasa “tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan”. Ini adalah 2 parameter yang bersifat kumulatif. Artinya semua pejabat pemerintah yang menjalankan ketentuan pasal tersebut harus berdasarkan 2 kriteria ini secara kumulatif.
Dalam hukum dikenal suatu adagium yang berbunyi “tiada hukum tanpa pengecualian“ atau dalam bahasa belanda dikenal dengan istilah “ geen recht zonder uit zondering ”. Pengecualian dapat dilakukan sepanjang tidak merugikan pihak-pihak yang terkena aturan tersebut karena hukum ditujukan untuk mengayomi dan mensejahterakan masyarakat ( Rosjidi Ranggawidjaja, Ilmu Perundang-undangan, CV Mandar Maju ). Dalam kaitannya dengan hak Presiden untuk mengeluarkan Perpu yang berisi langkah- langkah yang luar biasa dalam keadaan yang memang tidak normal maka meskipun dalam suatu Perpu ada materi-materi yang dipandang tidak lazim, mengenyampingkan, atau memberlakukan ketentuan bersifat pengecualian dari apa yang telah diatur maka pengecualian itu dapat saja diberlakukan atau dapat diadakan pengecualian sepanjang diatur batasannya dalam Perpu itu sendiri.
Adapun frasa “iktikad baik” adalah apabila dalam melaksanakan tugasnya tidak untuk mencari keuntungan bagi diri sendiri, keluarga, kelompok, dan/atau tindakan lain yang berindikasi korupsi, kolusi, dan/atau nepotisme. Bahwa apabila nantinya terbukti itikad baik tersebut dilanggar maka sudah jelas konsekuensinya yaitu mereka harus ditempuh prosedur hukum karena tindakan tersebut mengatur unsur mens rea (adanya niat jahat atau iktikad tidak baik) dan actus reus (perbuatan yang melanggar). Dengan demikian asas equality before the law dan asas kepastian hukum dalam Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945 tetap terjamin.
UU 2/2020 tidak melindungi pejabat negara atau tidak memberikan imunitas kepada pejabat negara. Pasal a quo diperlukan karena 137 para pihak tersebut merupakan orang-orang yang mengambil keputusan penting. Mengutip pandangan Misbakhun selaku Anggota Komisi XI DPR RI dalam program Indonesia Lawyers Club (ILC) 21 April 2020: “Penanganan Covid -19 melalui physical distancing merupakan pukulan yang paling berat bagi masyarakat karena tidak dapat melakukan interaksi sosial dan merupakan pukulan berat bagi perekonomian. Dampak dari pandemi Covid-19 yaitu faktor produksi tidak jalan sedangkan permintaan (demand) tetap ada. Kedalaman implikasi Covid- 19 terhadap perekonomian sulit diukur karena puncak pandemi Covid-19 belum bisa dipastikan waktunya. Implikasi ekonomi yang ditimbulkan oleh Covid-19 terhadap perekonomian sangat dalam sehingga semua skenario perlu disiapkan untuk menghadapi situasi yang paling buruk. Sebelum pandemi Covid-19 ini terjadi struktur perekonomian Indonesia tidak dalam kondisi yang sehat. Hal ini karena perekonomian Indonesia sedang menghadapi dampak perang dagang antara China dengan Amerika. Permasalahannya dalam situasi seperti ini, negara dalam keadaan yang tidak normal. Dalam keadaan yang tidak normal tersebut jangan berhadap statistik ekonomi menjadi bagus. Sehingga menghadapi keadaan yang tidak normal tersebut juga harus diselesaikan dengan cara yang tidak normal. Pihak yang paling terdampak oleh pandemi Covid-19 adalah pekerja harian/pekerja lepas (informal) yang pemenuhan biaya hidupnya ditentukan oleh aktivitas harian. Jika tidak keluar maka mereka tidak dapat makan. Pihak yang terdampak selanjutnya adalah para pelaku UMKM dan kelompok kelas menengah. Kehadiran negara dibutuhkan baik oleh rakyat jelata, pelaku UMKM, masyarakat kelas menengah, maupun masyarakat kelas atas sehingga negara tidak boleh membeda-bedakan. Aktivitas sektor produksi yang menjadi berhenti mengakibatkan permintaan menjadi terbatas. Pemerintah harus memanfaatkan ruang ketatanegaraan yang tersedia untuk mengatasi situasi ini karena UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara mempunyai keterbatasan. Untuk memulihkan perekonomian akibat Covid-19, Pemerintah perlu dana untuk membiayai program-program pemerintah. Satu-satunya cara Pemerintah harus berhutang jika SAL dan dana lainnya tidak mencukupi. Hutang bukan tujuan, tetapi hanya sebagai cara agar dapat keluar dari masalah ini. Negara lain juga menggunakan cara yang sama. Anggaran yang disediakan Pemerintah untuk menangani pandemi Covid-19 sebesar 405 Triliun atau sekitar 2,75% dari PDB. Hal yang utama bukan negara 138 berhutang tetapi hutang tersebut dimanfaatkan seperti menolong rakyat jelata.” p. Keberadaan Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 dimaksudkan untuk memberikan confidence bagi pihak yang dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya sesuai Lampiran UU 2/2020 telah didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal ini sejalan dengan prinsip hukum imunitas terbatas bagi negara dan/atau perwakilannya, bukan imunitas absolut sehingga melanggar asas keadilan dan kesamaan dalam hukum dan pemerintahan sebagaimana pemahaman Para Pemohon. Dari perspektif teori imunitas, perlindungan hukum yang diberikan dalam Pasal 27 ayat (2) termasuk kategori imunitas terbatas. Teori imunitas terbatas ini memberikan perlindungan/imunitas kepada negara dan perwakilannya terhadap upaya hukum pihak lain baik secara pidana ataupun perdata, sepanjang tindakan yang dilakukan memenuhi syarat dalam hal ini harus beriktikad baik dan menjalankan kewenangan serta kebijakannya sesuai peraturan perundang-undangan. Secara a contrario, imunitas tersebut gugur apabila perbuatan yang dilakukan didasarkan atau terdapat niat jahat (mens rea) dan perbuatannya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Sampai dengan saat ini sudah ada UU lain yang mengatur perlindungan hukum kepada otoritas yang berwenang dalam pengambilan kebijakan, contohnya: • Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan. Dalam Pasal 48 ayat (1) UU disebutkan bahwa kecuali terdapat unsur penyalahgunaan wewenang, anggota KSSK dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, BI, OJK dan LPS tidak dapat dituntut, baik secara perdata maupun pidana atas pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang berdasarkan Undang-Undang 139 PPSK. Hal ini untuk melindungi secara hukum kebijakan yang diambil dalam kondisi krisis yang tentu saja tidak bias disamakan dengan kondisi normal. • ^Pasal 22 UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak menyebutkan bahwa Menteri, Wakil Menteri, pegawai Kementerian Keuangan, dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengampunan Pajak, tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut, baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Adapun itikad baik dijelaskan apabila dalam melaksanakan tugasnya tidak untuk mencari keuntungan bagi diri sendiri, keluarga, kelompok, dan/atau tindakan lain yang berindikasi korupsi, kolusi, dan/atau nepotisme. • UU Bank Indonesia disebutkan dalam Pasal 45 yang berbunyi “Gubernur, Deputi Gubernur, dan/atau pejabat Bank Indonesia tidak dapat dihukum karena telah mengambil keputusan atau kebijakan yang sejalan dengan tugas dan wewenangnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini sepanjang dilakukan dengan iktikad baik”. • UU Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman dalam Pasal 10 menyatakan bahwa “Dalam rangka pelaksanaan tugas dan wewenangnya, Ombudsman tidak dapat ditangkap, ditahan, diinterogasi, dituntut, atau digugat di muka pengadilan”. • UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat dalam Pasal 16 menyatakan bahwa Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien dalam sidang pengadilan. • UU MD3 Perlindungan hukum bagi anggota DPR disebutkan dalam Pasal 224 UU ayat (1) yaitu: Anggota DPR tidak dapat 140 dituntut di depan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis di dalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPR. Oleh karena itu pengaturan dalam UU mengenai perlindungan hukum bagi pihak yang menjalankan UU bukanlah hal yang baru, dan dapat dibenarkan selama ada pengaturan mengenai batasan atau kriteria tertentu.
Dengan demikian, perlindungan hukum dalam ketentuan Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 diperlukan untuk memberikan kepastian hukum kepada para pengambil kebijakan bahwa tindakan dan keputusan yang diambil dengan iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan akan dilindungi oleh hukum. Dengan demikian tidak ada hak warga negara yang ditangguhkan dalam ketentuan Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020. Bahkan Pasal 49 UU PTUN telah memberikan imunitas atau perlindungan hukum dari sengketa di peradilan tata usaha negara atas tindakan dan/atau keputusan pejabat tata usaha negara yang dilakukan dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan Pasal 49 UU PTUN ini menjadi landasan untuk diadopsi dalam Pasal 27 ayat (3) UU 2/2020. Sebagaimana Majelis Hakim maklumi, ketentuan perlindungan hukum pernah beberapa kali dilakukan pengujian konstitusionalitasnya di Mahkamah Konstitusi (UU Advokat dan UU Pengampunan Pajak). Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi terdapat pertimbangan sebagai berikut: “pihak-pihak yang disebut dalam ketentuan a quo memang sudah seharusnya tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut, baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada itikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” 141 Sebagai best practices , standar internasional yang ditetapkan oleh lembaga keuangan internasional ( Financial Stability Board, Basel Committee on Banking Supervision , dan IMF) juga menetapkan adanya pengaturan perlindungan hukum bagi pengambil dan pelaksana kebijakan di bidang sektor keuangan.
Pandangan DPR terkait ketentuan UU yang dinyatakan tidak berlaku sepanjang keterkaitan dengan kebijakan keuangan negara untuk penanganan penyebaran Covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan berdasarkan Perppu sebagaimana dimaksud dalam UU a quo .
Bahwa pengaturan Pasal 28 lampiran UU 2/2020, telah sesuai dengan ketentuan Lampiran 137 UU 12/2011 yang mengatur bahwa pada umumnya Ketentuan Penutup memuat ketentuan mengenai:
penunjukan organ atau alat kelengkapan yang melaksanakan Peraturan Perundang-undangan;
nama singkat Peraturan Perundang-undangan;
status Peraturan Perundang- undangan yang sudah ada; dan
saat mulai berlaku Peraturan Perundang-undangan.
Bahwa memang benar bahwa sudah ada beberapa undang- undang yang mungkin dapat menjadi payung hukum penyelesaian masalah yang timbul akibat COVID-19. Hanya saja tidak pula dapat disalahkan, apabila dalam pandangan subjektif Presiden, undang-undang yang telah ada tersebut dianggap belum mampu menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi. Kondisi serupa juga pernah terjadi ketika Presiden menerbitkan beberapa Perppu yang lahir karena tidak memadainya Peraturan Peundang-undangan yang ada, yang kemudian menyimpangi/menyatakan tidak berlaku sebagian materi dari beberapa undang-undang misalnya Perppu Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan menyatakan beberapa ketentuan dalam UU tentang 142 Perbankan dan Perpajakan tidak berlaku sepanjang berkaitan dengan pelaksanaan akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan berdasarkan Perppu tersebut.
Bahwa dalam beberapa undang-undang yang ada tersebut memang telah mengatur berbagai dasar kebijakan keuangan negara materi muatan undang-undang yang sudah ada belum mengatur mengenai kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan untuk penanganan pandemi Covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Selain itu, beberapa ketentuan yang terdapat dalam undang- undang tersebut hanya dapat diberlakukan jika negara dalam keadaan normal, bukan dalam kegentingan/keadaan yang memaksa. Oleh karena itu, Pasal 28 lampiran UU 2/2020 ini tidak memberlakukan beberapa ketentuan dalam undang-undang tersebut sepanjang berkaitan dengan kebijakan keuangan negara untuk penanganan penyebaran Covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan berdasarkan UU 2/2020.
Bahwa tidak diberlakukannya ketentuan undang-undang yang disebutkan dalam Pasal 28 lampiran UU 2/2020 selama pemberlakuan UU 2/2020 dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaan peraturan perundang- undangan dan tidak terjadi disharmoni pengaturan karena adanya dua pengaturan yang berbeda yang mengatur hal yang sama.
Pandangan DPR terkait penyesuaian mandatory spending dana desa a. Bahwa terkait dengan permasalahan dana desa yang disampaikan oleh Para Pemohon Perkara 47, ketentuan Pasal 1 ayat (4) huruf b Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 143 2020 tentang Perubahan Postur dan Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020 (PP 72/2020) tetap menetapkan adanya anggaran Transfer ke Daerah dan Dana Desa sebesar Rp763.925.645.050.000 (tujuh ratus enam puluh tiga triliun sembilan ratus dua puluh lima miliar enam ratus empat puluh lima juta lima puluh ribu rupiah), termasuk tambahan belanja untuk penanganan pandemi Covid-19 sebesar Rp5.000.000.000.000 (lima triliun rupiah). Ketentuan Pasal 3 ayat (4) PP 72/2020 menyatakan bahwa rincian anggaran transfer ke daerah dan dana desa tersebut tercantum dalam Lampiran VI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari PP 72/2020. Dalam Lampiran VI.15 mengenai Rincian Dana Desa Menurut Provinsi/Kabupaten/Kota Tahun Anggaran 2020 menyatakan bahwa seluruh daerah kabupaten para Pemohon Perkara 47 tetap mendapatkan alokasi dana desa. Berdasarkan ketentuan tersebut maka kekhawatiran Para Pemohon Perkara 47 tidak beralasan menurut hukum karena ketentuan Pasal a quo tidak menyebabkan dana desa dihentikan dan desa Para Pemohon tetap mendapatkan alokasi dari anggaran belanja negara.
Bahwa alokasi dari APBN merupakan salah satu sumber pendapatan desa. Berdasarkan ketentuan Pasal 72 ayat (1) UU Desa pendapatan desa bersumber dari pendapatan asli desa, alokasi APBN, bagian dari hasil pajak daerah dan retribusi daerah kabupaten/kota, alokasi dana desa yang merupakan bagian dari dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota, bantuan keuangan dari APBD Provinsi dan APBD Kabupaten/Kota, hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga, dan lain- lain pendapatan desa yang sah. Dengan banyak sumber pendapatan desa tersebut, maka Para Pemohon tidak hanya mengandalkan APBN dan memaksimalkan sumber-sumber pendapatan desa lainnya. Dengan upaya yang maksimal tersebut maka pembangunan yang sudah dicanangkan oleh para 144 Pemohon dan perangkat desa dalam musrenbangdes dan RPJM desa untuk kesejahteraan dan kemakmuran warga desa Para Pemohon tetap dapat terealisasikan.
Bahwa pemohon perkara 47 telah salah dalam mengartikan Pasal 28 angka 8 UU 2/2020, karena Dana Desa tidak dihentikan paska disahkannya UU 2/2020, hal ini tercantum dalam Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2020 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2020 (Permendes 7/2020), yang pada bagian menimbangnya menyatakan: “bahwa berdasarkan Undang–Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang–Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disesase 2019 (COVID- 19) dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan menjadi Undang–Undang, penggunaan Dana Desa dapat digunakan untuk bantuan langsung tunai kepada miskin di Desa” Pada Pasal 8A ayat (1) Permendes 7/2020 disebutkan bahwa, “Bencana Non-alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf d merupakan bencana yang terjadi sebagai akibat kejadian luar biasa berupa penyebaran penyakit yang mengancam dan/atau menimpa warga masyarakat secara luas _atau skala besar, meliputi:
Pandemi Corona Virus Diseases_ 2019” dan pada Pasal 8A ayat (2) Permendes 7/2020 disebutkan bahwa “Penanganan dampak Pandemi Corona Virus Diseases 2019 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat berupa BLT Dana Desa kepada keluarga miskin di Desa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang–undangan. d. Bahwa ketentuan Pasal 28 angka 8 Lampiran UU 2/2020 dimaksudkan untuk menyatakan tidak berlakunya ketentuan mandatory spending alokasi Dana Desa sebesar 10% dari belanja pemerintah pusat, sebagaimana yang disebutkan dalam Penjelasan Pasal 72 ayat (2) UU Desa. Ketidakberlakuan 145 ketentuan mandatory spending dana desa bersifat temporer. Dengan adanya penyesuaian mandatory spending dana desa, Pemerintah dapat memiliki fleksibilitas dalam melakukan refocusing belanja untuk mencegah, menangani, dan memulihkan dampak pandemi Covid-19. Dengan adanya mandat ini maka untuk menjamin fleksibilitas penggunaan dana desa dalam rangka sepanjang masih terdapat kebutuhan untuk penanganan Covid-19 di daerah/desa maka Pasal 72 ayat (2) harus dinyatakan tidak berlaku sehingga tidak terdapat dualisme aturan. Penyesuaian mandatory spending Dana Desa tersebut dimaksudkan agar pelaksanaan program Pemerintah dapat dilakukan lebih efektif, efisien, dan tepat sasaran mengingat penyebaran dampak pandemi Covid-19 bersifat masif di seluruh wilayah Indonesia. Dengan demikian Dana Desa tidak dihentikan namun dialihkan dalam bentuk Bantuan Langsung Tunai dan program–program Dana Desa dibuat skala prioritas yang bertujuan untuk kesejahteraan dan kemakmuran warga desa bukan untuk pembangunan infrastuktur saja. E. KETERANGAN TAMBAHAN Terkait dengan pertanyaan Yang Mulia Hakim Mahkamah Konstitusi mengenai mekanisme pembahasan perppu untuk mencapai persetujuan atau pencabutan perppu, DPR RI menerangkan sebagai berikut:
Bahwa sebagaimana disampaikan oleh Presiden yang diwakili oleh Menteri Keuangan, pembahasan penetapan perppu menjadi Undang- Undang/pencabutan perpu Pasal 71 UU 12/2011 diatur:
Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dilaksanakan melalui mekanisme yang sama dengan pembahasan Rancangan Undang-Undang.
Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang dilaksanakan melalui mekanisme khusus yang dikecualikan dari mekanisme pembahasan Rancangan Undang-Undang. 146 (3) Ketentuan mengenai mekanisme khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dengan tata cara sebagai berikut:
Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang diajukan oleh DPR atau Presiden;
Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan sebagaimana dimaksud dalam huruf a diajukan pada saat Rapat Paripurna DPR tidak memberikan persetujuan atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang diajukan oleh Presiden; dan
Pengambilan keputusan persetujuan terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan sebagaimana dimaksud dalam huruf b dilaksanakan dalam Rapat Paripurna DPR yang sama dengan rapat paripurna penetapan tidak memberikan persetujuan atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut.
Bahwa berdasarkan ketentuan tersebut diatas, pembahasan suatu rancangan Undang-Undang dilakukan melalui 2 (dua) tingkat pembicaraan (vide Pasal 66 UU 12/2011) yang dilakukan oleh DPR bersama Presiden atau menteri yang ditugasi (vide Pasal 65 ayat (1) UU 12/2011) yang diuraikan lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 67- Pasal 70 UU 12/2011).
Bahwa pembicaraan tingkat I dilakukan dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat Badan Legislasi, rapat Badan Anggaran, atau rapat Panitia Khusus dengan kegiatan pengantar musyawarah, pembahasan daftar inventarisasi masalah, dan penyampaian pendapat mini.
Bahwa dalam pembahasan tingkat I tersebut Pemerintah selaku pihak yang mengajukan RUU Penetapan Perppu menjadi Undang- Undang dan juga pihak yang mengeluarkan Perppu tersebut harus menjelaskan kepada DPR RI dalam rapat pembahasan tingkat I yang pelaksanaannya telah dijelaskan oleh DPR RI dalam keterangan ini. Penjelasan tersebutlah yang menjadi pertimbangan DPR RI untuk menyetujui atau tidak menyetujui Perppu tersebut menjadi Undang- Undang.
Bahwa sebagaimana telah disampaikan, Berdasarkan Pasal 71 huruf d dan Pasal 249 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 17 Tahun 147 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 (UU MD3) bahwa DPD ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. RUU Penetapan Perppu 1/2020 menjadi UU tidak memiliki pertautan dengan bidang yang mengharuskan keikutsertaan DPD dalam pembahasannya melainkan mengenai DPR memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan, sehingga DPD tidak memiliki kewenangan untuk ikut membahas RUU tersebut.
Bahwa hal ini juga telah jelas sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang mengatur bahwa Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan yang berikut. Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut. Dalam ketentuan tersebut, tidak diatur bahwa dalam hal penetapan Perppu menjadi Undang- Undang dapat atau bahkan harus mengikutsertakan DPD dalam pembahasannya. Sebaliknya, mengikutsertakan DPD justru menjadi suatu hal yang tidak sesuai dengan apa yang diatur dalam UUD NRI Tahun 1945, UU 12/2011 dan UU MD3. Terkait dengan pertanyaan Yang Mulia Hakim Mahkamah Konstitusi mengenai penetapan Perppu bukan pada “masa sidang yang berikut”, DPR RI menerangkan sebagai berikut: Bahwa sejauh ini DPR belum pernah melakukan penetapan perppu yang dalam masa sidang yang sama atau bukan pada “masa sidang yang berikut”. Setelah dikeluarkannya Perppu 1/2020, Presiden juga telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Ketiga atas Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan 148 Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang yang disahkan pada 4 Mei 2020 dan ditetapkan sebagai Undang-Undang melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang menjadi Undang-Undang yang disahkan dan diundangkan pada 11 Agustus 2020 pada masa sidang ketiga tahun 2020 yang terhitung pada 15 Juni 2020 hingga 13 Agustus 2020. Sehingga penetapan Perppu 1/2020 menjadi Undang-Undang adalah yang pertama kali dilakukan dengan tidak memenuhi ketentuan “masa sidang yang berikut” mengingat urgensi penetapannya yang harus dilakukan dengan segera. Terkait dengan pertanyaan Yang Mulia Hakim Mahkamah Konstitusi mengenai pembahasan RAPBN 2021 yang kemudian disepakati dalam paripurna pada 29 September 2020, DPR RI menerangkan:
Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 13 ayat (1) UU Keuangan Negara, Pemerintah Pusat menyampaikan pokok-pokok kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro tahun anggaran berikutnya kepada Dewan Perwakilan Rakyat selambat-lambatnya pertengahan bulan Mei tahun berjalan. Pasal 15 ayat (1) UU keuangan Negara mengatur bahwa Pemerintah Pusat mengajukan Rancangan Undang-undang tentang APBN, disertai nota keuangan dan dokumen-dokumen pendukungnya kepada Dewan Perwakilan Rakyat pada bulan Agustus tahun sebelumnya. Dan pada ketentuan Pasal 15 ayat (4) dan ayat (6) UU keuangan Negara diatur Pengambilan keputusan oleh Dewan Perwakilan Rakyat mengenai Rancangan Undangundang tentang APBN dilakukan selambat- lambatnya 2 (dua) bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan dilaksanakan dan apabila DPR tidak menyetujui Rancangan Undang-undang tersebut, Pemerintah Pusat dapat 149 melakukan pengeluaran setinggi-tingginya sebesar angka APBN tahun anggaran sebelumnya.
Bahwa penyampaian pokok-pokok kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro tahun anggaran tahun 2021 telah disampaikan oleh pemerintah dalam rapat paripurna DPR RI pada dalam rangkaian rapat paripurna tertanggal 12 Mei 2020, 14 Juli 2020, dan 14 Agustus 2020 (Lampiran II, Lampiran III dan Lampiran IV). Sebagai tambahan informasi, pada 25 September 2020, Kemenkeu selaku yang mewakili Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyepakati Rancangan Undang-Undang (RUU) Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2021 di Banggar dan Pemerintah bersama DPR telah menyetujui defisit anggaran sebesar 5,7% dari PDB pada Rapat Paripurna DPR tanggal 29 September 2020.
Pembahasan RUU APBN 2021 dilakukan di banggar yang pelaksanaannya disampaikan risalahnya (lampiran V, lampiran VI, lampiran VII) F. RISALAH PEMBAHASAN UU 2/2020 Risalah Pembahasan UU 2/2020 ini terlampir berbagai dokumen pendukung mengenai pembahasan UU 2/2020 sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Keterangan DPR ini. III. PETITUM DPR Bahwa berdasarkan dalil-dalil tersebut di atas, DPR memohon agar kiranya Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Konstitusi memberikan amar putusan sebagai berikut:
Menyatakan bahwa Para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) sehingga permohonan a quo harus dinyatakan tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard );
Menolak permohonan a quo untuk seluruhnya;
Menerima keterangan DPR RI secara keseluruhan;
Menyatakan bahwa proses pembentukan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang 150 Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Dan/Atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134; Tambahan Lembaran Negara Republlik Indonesia Nomor 6516) telah sesuai dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan telah memenuhi ketentuan pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 183, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6398);
Menyatakan Judul, Pasal 1 ayat (3); Pasal 1 ayat (5); Pasal 2; Pasal 3 ayat (2); Pasal 4 ayat (1) huruf a; Pasal 4 ayat (1) huruf d; Pasal 4 ayat (2); Pasal 5 ayat (1) huruf a; Pasal 5 ayat (1) huruf b; Pasal 6; Pasal 7; Pasal 9; Pasal 10 ayat (1); Pasal 10 ayat (2); Pasal 11 ayat (3); Pasal 12 ayat (1); Pasal 12 ayat (2); Pasal 14; Pasal 16 ayat (1) huruf c; Pasal 19;
Uji Materi Pasal 2, Pasal 12 ayat (2), Pasal 27 dan Pasal 28 angka 3 dan 10 Lampiran UU Nomor 2 tahun 2020 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 ...
Uji Materi Pasal 28 ayat (8) lampiran UU Nomor 2 tahun 2020Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan ...
Pengujian Formil dan Materiil (Pasal 2 ayat (1), Pasal 6 ayat (12), Pasal 27 dan Pasal 28 Lampiran Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan ...
Relevan terhadap
Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang- undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat;
Rancangan anggaran undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah;
Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara yang diusulkan oleh Presiden, Pemerintah menjalankan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun yang lalu.
Bahwa sudah menjadi communis opinion doctorum , hakikat atau falsafah Keuangan Publik/Anggaran Negara adalah kedaulatan. Pandangan yang demikian di antaranya dikemukakan oleh Rene Stroum, ‘The constitutional right which a nation possesses to authotixe public revenue and expenditures does not originates from the fact that the members of the nation contribute the payments. This right is based on a loftier idea. The idea of sovereignty’ . Pandangan ini menerangkan bahwa kewenangan negara untuk menetapkan anggaran pendapatan dan belanja bukan semata-mata berangkat dari fakta bahwa masyarakat memiliki kontribusi dengan melakukan pembayaran pajak kepada negara, melainkan berangkat dari hal/idea yang lebih tinggi, yang disebut kedaulatan. Pandangan demikian juga diamini dan dirujuk oleh Prof. Arifin P. Soeria Atmadja, yang mengemukakan bahwa hakikat public revenue 29 and expenditure APBN adalah kedaulatan, bukan yang lain. Apabila yang berdaulat adalah raja, maka rajalah yang berhak sepenuhnya untuk menetapkan APBN, sebaliknya jika rakyat yang berdaulat, maka rakyatlah yang berhak menetapkan APBN;
Bahwa sejak negara Indonesia didirikan oleh para pendiri bangsa dan memiliki sebuah konstitusi, sejak itu pula kita mengakui bahwa yang berdaulat adalah rakyat, menurut Pasal (1) ayat (2) UUD 1945 sebelum amandemen. Hal ini bahkan semakin dipertegas dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 setelah amandemen yang menentukan ‘ Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar’. Ketentuan ini merupakan penegasan tentang kedaulatan rakyat dan sekaligus menjadi salah satu asas fundamental dalam hukum tata negara. Jika dalam lapangan politik kedaulatan rakyat sering didengungkan dengan adagium ‘ dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat’, maka dalam konteks anggaran negara, kedaulatan rakyat itu dapat juga didengungkan dengan adagium ‘dari mana sumber uang (pendapatan) dan untuk apa uang digunakan (belanja) harus dilakukan dengan persetujuan rakyat’;
Bahwa kedaulatan rakyat terhadap anggaran negara ini selengkapnya dirumuskan dalam Pasal 23 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, sebagaimana telah dikutip dalam uraian angka ‘4’ di atas. Dalam Pasal a quo, kedaulatan rakyat terhadap anggaran negara ini dikonstruksikan menjadi 3 (tiga) bentuk: Pertama, APBN harus ditetapkan dengan undang-undang, bukan jenis Peraturan Perundang-Undangan yang lain; Kedua, APBN harus mendapatkan persetujuan DPR; Kedua, Undang-Undang APBN bersifat periodik (ditetapkan setiap satu tahun);
Bahwa Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, huruf ‘a’ angka 2, dan huruf ‘a’ angka 3 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk menetapkan batas defisit dengan dua ketentuan: Pertama, membuka batasan defisit di atas 3% dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB) tanpa batas maksimal; dan , Kedua, pemberlakukan batas defisi di atas 3% dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB) sampai dengan tahun anggaran 2022;
Bahwa sekilas materi muatan dalam Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, huruf ‘a’ angka 2, dan huruf ‘a’ angka 3 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 tidak 30 mengatur tentang APBN secara langsung. Akan tetapi jika diselami lebih dalam, pengaturan yang demikian sejatinya telah menjangkau ‘jantungnya’ APBN, karena defisit itu sendiri merupakan selisih kurang dari akumulasi seluruh rencana Pendapatan ( revenue ) dan rencana Pengeluaran ( expenditure );
Bahwa pentingnya pos defisit tidak bisa dilepaskan dari perkembangan format postur Undang-Undang APBN, khususnya setelah pengalaman krisis di penghujung tahun 90-an. Sejak APBN Tahun Anggaran 2000, format postur APBN dari yang sebelumnya disusun dalam bentuk T-account diubah menjadi format I-account . Format ini diterapkan untuk menggantikan dan sekaligus sebagai kritik terhadap berbagai kelemahan dari format dan prinsip APBN pada masa Orde Baru. Sebagaimana diketahui, format postur APBN pada masa Orde Baru hanya terdiri dari ‘Rencana Penerimaan/Pendapatan’ dan ‘Rencana Pengeluaran/Belanja’, yang dalam penyusunannya menekankan prinsip ‘berimbang’. Dengan format dan prinsip demikian, penyusunan APBN diupayakan untuk menyeimbangkan antara pos penerimaan dan pos pengeluaran. Mengingat orientasi kebijakan Orde Baru yang menekankan pada konsep pembangunan ( developmentalism ), sering kali penerimaan dalam negeri tidak mencukupi pengeluaran negara/pengeluaran negara lebih besar dari seluruh penerimaan dalam negeri. Maka, dengan prinsip ‘berimbang’, selisih kurang antara penerimaan dan pengeluaran negara tersebut, kemudian dibuat berimbang (sama) melalui ‘pinjaman luar ngeri’. Artinya, prinsip ‘berimbang’ menjadi dasar bagi pemerintah untuk melakukan pinjaman luar negeri, dengan tujuan menyeimbangkan jumlah antara penerimaan dan pengeluaran;
Bahwa format dan prinsip yang demikian ternyata dalam sejarah APBN di Indonesia, justru menjadi sumber rentannya APBN terhadap terpaan krisis, khususnya pengalaman krisis ekonomi Indonesia di penghujung kekuasaan Orde Baru. Hal ini dikarenakan format dan prinsip APBN tersebut mengandalkan penerimaan pembangunan yang berasal dari luar negeri. Konsekuensi yang terjadi pada APBN adalah meleburnya pinjaman yang digunakan untuk menutup defisit dalam pos penerimaan, sehingga menjadi tidak jelas, mana sumber daya dan dana yang serta-merta menjadi hak milik negara dan mana sumber dana yang harus dikembalikan. Yang dapat 31 diketahui dari format dan prinsip APBN yang demikian, adalah setiap tahun APBN harus mengeluarkan sejumlah dana untuk membayar cicilan utang luar negeri, baik pokok pinjaman maupun bunganya;
Bahwa pengalaman APBN dengan format dan prinsip pada masa Orde Baru, mendorong format/postur APBN kemudian diubah, tepatnya dalam RAPBN tahun anggaran 2000/2001, dari yang sebelumnya menggunakan format T- account menjadi format I-account . Dengan format I-account , postur APBN mengalami pengelompokkan kembali (reklasifikasi) pos-pos pendapatan dan belanja, termasuk pemisahan secara tegas terhadap beberapa komponen pembiayaan anggaran yang selama ini dimasukan kedalam pos-pos pendapatan dan belanja negara. Maka jika dalam format postur APBN masa Orde Baru APBN hanya terdiri dari pos ‘penerimaan’ dan ‘pengeluaran, maka format postur APBN yang terbaru terdiri atas:
Pendapatan;
Belanja;
Keseimbangan Primer;
Surplu/Defisit Anggaran; dan , (5) Pembiayaan;
Bahwa format I-account menjadikan APBN berbasis kinerja, yang konsekuensinya adalah anggaran dapat disusun secara defisit atau surplus, bukan disusun untuk mencapai keseimbangan antara penerimaan dan pengeluaran sebagaimana dalam format T-account . Dengan format yang baru, dimaksudkan untuk meningkatkan akuntabilitas, efisiensi, dan transparansi dalam penyusunan dan pelaksanaan APBN. Hal ini menjadi demikian penting, terutama ketika APBN disusun secara defisit. Pos defisit/surplus menceminkan selisih antara akumulasi pendapatan dan belanja. Manakala dalam penyusunan APBN total pendapatan lebih besar dari pada total pos belanja, maka yang terjadi adalah surplus anggaran. Sebaliknya, jika dalam penyusunan APBN total pos pendapatan lebih kecil dari pada total pos belanja, maka yang terjadi adalah anggaran defisit. Ketika anggaran defisit, maka disinilah fungsi pos pembiayaan untuk menutup defisit anggaran tersebut;
Bahwa pos defisit dalam APBN memiliki posisi yang penting, sebagai alat untuk mengendalikan agar selisih kurang antara total pendapatan dan belanja tidak terlalu besar. Untuk menghindari telalu besarnya selisih kurang antara total pendapatan dan belanja, maka ditentukan bahwa batas maksimal defisit adalah 3% terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Hal ini sebagaimana ditentukan dalam penjelasan Pasal 12 ayat (3) Undang- 32 Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara: “Defisit anggaran dimaksud dibatasi maksimal 3% dari Produk Domestik Bruto. Jumlah pinjaman dibatasi maksimal 60% dari Produk Domestik Bruto.” __ Artinya, walaupun Pemerintah dimungkinkan untuk menyusun anggaran secara defisit, akan tetapi besaran defisit tersebut tidak bisa dibuat terlalu besar, tetapi ada batasannya, yakni maksimal 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Batasan ini ditentukan agar pos pembiayaan yang akan digunakan dalam menutupi defisit juga tidak semakin membesar, baik yang bersumber dari dalam negeri maupun luar negeri;
Bahwa uraian di atas menunjukkan pos defisit yang dibatasi maksimal 3% PDB, sejatinya memiliki posisi yang sama penting dengan pos pendapatan dan pos belanja dalam APBN dengan format I-account . Kedaulatan rakyat terhadap anggaran Negara memiliki nilai yang sama dalam seluruh pos APBN, baik dalam Pos Pendapatan, Pos Belanja, Pos Keseimbangan Primer, Pos Surplu/Defisit Anggaran, dan Pos Pembiayaan. Dalam UU APBN dengan format I-account , pos defisit memiliki posisi yang sangat penting karena beberapa alas an: Pertama, pos defisit mencerminkan selisih kurang antara total seluruh pendapatan dan total seluruh belanja belanja. Sehingga, setiap perubahan pada pos defisit secara langsung seluruh pos dalam APBN, baik Pendapatan, Belanja, Keseimbangan Primer, pos defisit itu sendiri, termasuk pos pembiayaan; Kedua, pos defisit menjadi alat kendali agar selisih kurang antara total seluruh pendapatan dan total seluruh belanja tidak terlalu besar. Apabila selisih kurang antara total seluruh pendapatan dan total seluruh belanja tidak terlalu besar, maka pos pembiayaan juga tidak akan membengkak, terutama pembiayaan terutama yang berasal dari luar negeri. yang dikemudian hari akan menjadi beban bagi APBN di tahun-tahun selanjutnya;
Bahwa berdasarkan alasan tentang pentingnya posisi pos defisit dalam sebuah UU APBN dalam format I-account , maka menjadi jelas bahwa norma dalam Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, huruf ‘a’ angka 2, dan huruf ‘a’ angka 3 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020, telah melegitimasi sebuah Perppu untuk mengatur materi muatan APBN yang seharusnya diatur dalam sebuah Undang-Undang, sebagaimana amanat Pasal 23 ayat (1) UUD 1945; 33 16. Dibukanya keran defisit di atas 3% dalam Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, huruf ‘a’ angka 2, dan huruf ‘a’ angka 3 PERPPU Nomor 1 Tahun 2020, akan berimplikasi pada berubahnya hampir seluruh Pos dalam Undang-Undang APBN Tahun Anggaran 2020, terutama Pos Belanja, Pos Keseimbangan Primer, Pos Defisit itu sendiri, dan yang terpenting adalah Pos Pembiayaan. Terlebih ketentuan tentang batas defisit ini tidak hanya mengingat UU APBN Tahun Anggaran 2020, melainkan menjangkau UU APBN Tahun Anggaran 2021 dan UU APBN Tahun Anggaran 2022;
Bahwa terhadap UU APBN Tahun Anggaran 2021 dan UU APBN Tahun Anggaran 2022, walaupun produk hukumnya belum ditetapkan, akan tetapi berdasarkan Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, huruf ‘a’ angka 2, dan huruf ‘a’ angka 3 UU Nomor 2 Tahun 2020, maka dapat dipastikan bahwa seluruh Pos dalam APBN Tahun Anggaran dua tahun kedepan dengan sendirinya terikat pada ketentuan tentang batasan defisit di atas 3% yang tanpa batas maksimal itu;
Bahwa hal ini secara terang menjelaskan bahwa norma dalam Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, huruf ‘a’ angka 2, dan huruf ‘a’ angka 3 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 secara langsung telah menyusup masuk kedalam materi muatan Undang-Undang APBN, setidaknya untuk 3 (tiga) Tahun Anggaran, dan karenanya adalah jells dan nyata bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 yang mengharuskan APBN ditetapkan dalam sebuah Undang-Undang, bukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
Bahwa disamping APBN harus ditetapkan dalam sebuah Undang-Undang dan bukan PERPPU yang kemudian disahkan menjadi Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020, APBN menurut Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 harus mendapatkan persetujuan DPR, sebagai bentuk kedaualatan rakyat terhadap setiap rupiah yang ada dalam APBN. Persetujuan DPR bersifat mutlak dan tidak bisa dikesampingkan dengan alasan apapun;
Bahwa demikian pentingnya persetujuan DPR, disebabkan hak anggaran ( budget ) itu sendiri merupakan milik DPR. Itulah sebabnya, dalam penyusunan UU APBN, posisi DPR adalah lebih kuat dan lebih menentukan dari pada Pemerintah. Lebih kuatnya posisi DPR, bahkan ditegaskan dalam Pasal 23 ayat (3) UUD 1945, bahwa apabila DPR tidak menyetujuan Ranncangan Undang-Undang tentang APBN yang diajukan oleh Pemerintah, 34 maka Pemerintah tidak punya pilihan lain, selain menggunakan UU APBN tahun sebelumnya. Hal ini merupakan konsekuensi dari prinsip kedaulatan rakyat yang sejak awal telah ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945;
Bahwa dalam ilmu hukum tata negara, persetujuan DPR terhadap UU APBN merupakan sebuah otorisasi (kuasa) yang diberikan kepada pemerintah untuk melakukan pembelanjaan sejumlah uang yang ditentukan dalam UU APBN, serta mencari pendapatan untuk melakukan belanja tersebut. Persetujuan DPR sebagai sebuah otorisasi (kuasa) juga dikemukakan oleh Molenaar, bahwa sebagian besar sarjana hukum di Perancis dan Jerman mengatakan bahwa peretujuan DPR adalah kuasa. Dalam sejarah ketatanegaraan RI, ada keterangan rsmi dari pemerintah yang menyatakan bahwa persetujuan DPR dianggap sebagai ‘kuasa’;
Persetujuan DPR terhadap UU APBN merupakan sebuah otorisasi (kuasa) menurut Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, perlu didudukan dalam kaitannya dengan pelaksanaan APBN. Dalam hal ini dipahami bahwa sebagai sebuah otorisasi (kuasa), maka pemerintah memiliki kewajiban untuk memberikan pertanggungjawaban terhadap pelaksanaan UU APBN itu sendiri;
Bahwa norma dalam Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, huruf ‘a’ angka 2, dan huruf ‘a’ angka 3 Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 telah menjadikan Persetujuan DPR yang menurut Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 bersifat mutlak , berubah menjadi bersifat relatif . Hal ini disebabkan beberapa alasan:
Pasal 2 ayat (1) Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 dirumuskan dengan menggunakan frasa ‘Dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), Pemerintah berwenang’ . Digunakannya frasa ‘pemerintah berwenang’, bermakna bahwa kekuasaan untuk menetapkan batasan defisit anggaran sebagai salah satu pos anggaran yang esensial dalam sisitem APBN dengan format I-account , telah diambil alih menjadi kewenangan eksekutif. Hal ini secara jelas telah mengambil hak mutlak milik DPR oleh cabang kekuasaan eksekutif;
Terhadap UU APBN Tahun Anggaran 2020. Bahwa UU APBN TA 2020 yang telah ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2019 35 tentang Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020 dan telah disetujui oleh DPR justru dimentahkan. Sebagaimana telah dikemukakan pada point ‘17’ alasan permohonan, bahwa dibukanya batas defisit di atas 3% berdasarkan Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, huruf ‘a’ angka 2, dan huruf ‘a’ angka 3 Lampiran UU No. 2 Tahun 2020, akan berimplikasi pada berubahnya hampir seluruh Pos dalam Undang- Undang APBN Tahun Anggaran 2020, terutama Pos Belanja, Pos Keseimbangan Primer, Pos Defisit itu sendiri, dan Pos Pembiayaan. Artinya, dengan berlakunya Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, huruf ‘a’ angka 2, dan huruf ‘a’ angka 3 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020, secara terang dan jelas bertentangan dengan Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3), karena telah merubah arti penting persetujuan DPR terhadap UU APBN yang bersifat ‘mutak’ menjadi bersifat ‘relatif’;
Terhadap UU APBN Tahun Anggaran 2021 dan UU APBN Tahun Anggaran 2022. Sebagaimana diketahui, bahwa kedua UU APBN Anggaran 2021 dan 2022 belum ada prodak hukumnya. Akan tetapi berdasarkan Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, huruf ‘a’ angka 2, dan huruf ‘a’ angka 3 UU Nomor 2 Tahun 2020, kedua UU APBN yang masih berstatus ius constituendum , dalam penyusunannya dikemudian hari akan terikat pada norma Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, huruf ‘a’ angka 2, dan huruf ‘a’ angka 3 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020, yang secara langsung mempengaruhi seluruh pos anggaran pada APBN. Dengan demikian, persetujuan DPR yang dimaksudkan bersifat ‘mutlak’ menurut Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, jelas dilanggar dan dicederai oleh Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, huruf ‘a’ angka 2, dan huruf ‘a’ angka 3 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020.
Bahwa seluruh uraian di atas secara terang dan jelas menunjukkan bahwa norma dalam Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, huruf ‘a’ angka 2, dan huruf ‘a’ angka 3 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 adalah bertentangan dengan Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, dan karenanya adalah beralasan hukum untuk dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi;
Bahwa disamping harus ditetapkan dengan sebuah Undang-Undang dan mendaptakan persetujuan DPR, berdasarkan Pasal 23 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945 meneguhkan bahwa UU APBN memiliki karakter atau 36 ‘periodik’, sebuah hal yang membedakannya dengan undang-undang lain pada umumnya. Dalam kaitanya dengan hal tersebut, Goedhart mendefiniskan anggaran negara sebagai; ‘keseluruhan undang-undang yang ditetapkan secara periodik, yang memberikan kekuasaan eksekutif untuk melaksanakan pengeluaran mengenai periode tertentu dan menunjukkan alat pembiayaan yang diperlukan untuk menutup pengeluaran tersebut’. Pandangan Goedhart di atas, menegaskan bahwa unsur periodik merupakan unsur yang terdapat pada seluruh anggaran Negara;
Bahwa unsur periodik dimaksud terkandung dalam keseluruhan Pasal 23 ayat (1), (2), dan ayat (3) UUD 1945. Dalam ayat (1) ditentukan bahwa APBN ditetapkan setiap tahun (periodik) dengan undang-undang, artinya ada sifat periodik. Selanjutnya dalam ayat (2) dan ayat (3) secara berturut-turut menentukan bahwa UU APBN harus mendapatkan persetujuan DPR, dan apabila terjadi kondisi di mana DPR tidak menyetujui UU APBN, maka pemerintah harus menggunakan UU APBN tahun sebelumnya. Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 ini semakin meneguhkan unsur ‘periodi’ dalam UU APBN, dimana ada masa berlaku APBN setiap satu tahun;
Bahwa norma dalam Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, huruf ‘a’ angka 2, dan huruf ‘a’ angka 3 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 secara jelas menggugurkan karakter periodik dari UU APBN yang diamanatkan oleh Pasal 23 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945. Hal ini dikarenakan dibukanya batasan defisit di atas 3% terhadap PDB, dalam Pasal a quo , adalah diberlakukan terhadap 3 (tiga) tahun anggaran sekaligus, artinya mengikat dan menjangkau tiga Undang-Undang APBN sekaligus. Hal yang demikian jelas menihilkan arti penting unsur periodik Undang-Undang APBN yang harus ditetapkan setiap satu tahun;
Bahwa berasarkan uraian di atas, adalah jelas bahwa norma dalam Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, huruf ‘a’ angka 2, dan huruf ‘a’ angka 3 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 adalah bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945 karena3 (tiga) alasan utama yang telah diuraikan sebelumnya, yakni: Pertama, APBN harus ditetapkan dalam jenis peraturan perundang-undangn yang bernama undang-undang, bukan yang lain, termasuk bukan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; Kedua, Undang-Undang APBN harus mendapatkan persetujuan DPR, dan 37 persetujuan DPR bersifat mutlak sebagai pengenjawantahan kedaulatan rakyat terhadap anggaran negara; dan , ketiga, Undang-Undang APBN memiliki unsur periodik, yakni harus ditetapkan setiap satu tahun;
Bahwa mengacu pada tiga kriteria dari Undang-Undang APBN sebagai amanat Pasal 23 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945 ini, maka menjadi jelas dan terang bahwa pemberian kewenangan bagi pemerintah untuk menetapkan batas defisit anggaran di atas 3% terhadap PDB berdasarkan;
Bahwa disamping bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945, Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, huruf ‘a’ angka 2, dan huruf ‘a’ angka 3 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 berkenaan dengan Kebijakan Keuangan Negara tidak memiliki urgensi dan alasan hukum yang kuat, karena Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara telah mengatur mekanisme pelaksanan APBN dalam keadaan tidak normal atau darurat, tanpa perlu mengeluarkan PERPPU yang memang sama sekali tidak dikenal dalam rezim penyusunan Anggaran Negara/Keuangan Publik yang kemudian dikebut untuk disetujui menjadi UU Nomor 2 Tahun 2020. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang menentukan:
Penyesuaian APBN dengan perkembangan dan/atau perubahan keadaan dibahas bersama DPR dengan Pemerintah Pusat dalam rangka penyusunan prakiraan perubahan atas APBN tahun anggaran yang bersangkutan apabila terjadi:
Perkembangan ekonomi makro yang tidak sesuai dengan asusmsi yang digunakan dalam APBN;
Perubahan pokok-pokok kebijakan fiskal;
Keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran antar unit, organisasi, antar kegiatan, dan antar jenis belanjan;
Keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya harus digunakan untuk pembiayaan anggaran yang berjalan;
Dalam keadaan darurat Pemerintah dapat melakukan pengeluaran yang belum tersedia anggarannya, yang selanjutnya diusulkan dalam rencana perubahan APBN dan/atau disampaikan dalam Laporan Realisasi Anggaran; 38 31. Bahwa berdasarkan ketentuan di atas, rezim perundang-undangan di bidang Keuangan Negara telah menyediakan 2 (dua) mekanisme luar biasa dalam pelaksanaan APBN dengan tetap memperhatikan prinsip kedaulatan rakyat yang menjadi esensi Anggaran Negara/Keuangan Publik. Mekanisme atau skema tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, adalah melalui skema Undang-Undang APBNP (Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Perubahan) manakala terjadi keadaan sebagaimana disebutkan dalam huruf ‘a’ sampai dengan huruf ‘d’ Pasal 27 ayat (3) UU Keuangan Negara. Skema ini memberikan jalan bagi Pemerintah untuk melakukan Perubahan UU APBN dalam periode yang sama, denga ketentuan bahwa setiap perubahan harus terlebidahulu mendapatkan Persetujuan DPR sebelum dilaksanakan, artinya pemerintah diberikan peluang untuk melakukan perubahan dalam tahun anggaran berjalan, tanpa mengesampingkan kedaulatan sebagai esensi anggaran negara yang diamanatkan oleh Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, dan sifat periodik (setiap tahun) UU APBN yang diatur dalam Pasal 23 ayat (1) UUD 1945; Kedua, adalah skema yang digunakan dalam keadaan darurat. Dalam skema ini Pemerintah dalam melakukan pergeseran anggaran, termasuk melakukan Belanja (Pengeluaran) untuk keperluan yang tidak ada pagu anggarannya dalam UU APBN periode yang sedang berjalan. Belanja (Pengeluaran) dalam skema darurat ini dapat dilakukan tanpa perlu mendapat persetujuan DPR terlebih dahulu, dengan ketentuan dipersyaratkan adanya keadaan darurat yang mengancam keselamatan jiwa atau keutuhan negara, seperti darurat kesehatan akibat virus Covid-19 yang saat ini dihadapi Indonesia. Persetujuan DPR dapat dimintakan setelah realisasi anggaran dilakukan, untuk kemudian dituangkan dalam UU APBN Perubahan dan/atau dilaporkan dalam Laporan Realisasi Anggaran.
Kedua skema Pelaksanaan APBN dalam UU Keuangan Negara ini sejatinya dapat menjadi pilihan pemerintah dalam menghadapi kemungkinan permasalahan perekonomian sebagai akibat dari wabah virus Covid-19. Terlebih berbagai kebijakan keuangan negara yang diatur dalam Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 seperti pergeseran anggaran antar unit, antar organisasi, antar kegiatan, dan antar jenis belanja, serta penggunaan saldo 39 anggaran lebih tahun sebelumnya untuk pembiayaan anggaran yang berjalan, telah diakomodasi oleh UU Keuangan Negara;
Satu-satunya yang tidak diakomodir dalam skema ini adalah tentang membuka kemungkinan defisit yang tinggi. Hal ini patut dicurigai sebagai agenda politik anggaran yang disusupkan, agar Pemerintah mendapatkan legitimasi hukum untuk berakrobat dalam menyusun anggaran negara sampai 3 tahun kedepan, khususnya sebagai legitimasi untuk menambah jumlah pinjaman luar negeri yang dianggap sebagai jalan paling rasional untuk melakukan pemulihan ekonomi pasca wabah Covid-19, dengan konsekuensi APBN kita dimasa yang akan datang semakin tergerus dan terbebani untuk melunasi pinjaman luar negeri Indonesia yang semakin membengkak. Terlebih dalam Pasal 27 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 memuat ketentuan yang seolah menciptakan pelindung atau imunitas bagi pelaksanaan Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 untuk kebal dari segala perbuatan melanggara hukum, dan tidak dapat dituntut, baik secara Perdata, Pidana, bahkan tidak bisa diperkarakan di PTUN;
Bahwa dari uraian poin sebelumnya menunjukan bahwa dari tiga hal tersebut tidak terpenuhi dengan keluarnya Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020. Sebab yang dibahas dalam Perppu itu adalah tentang masalah keuangan dan anggaran negara. Sementara Anggaran Negara sudah ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Undang-Undang APBN tidak boleh di Perppu, bukan hanya tidak boleh, tetapi haram, dan hanya boleh direvisi dengan melalui APBN Perubahan apalagi kemudian disahkan menjadi UU melalui UU Nomor 2 Tahun 2020. Sehingga alasan Covid-19 menjadi alasan kekosongan hukum karena tidak ada prosedur hukum, juga tidak terpenuhi. Hadirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan yang sangat jelas dan terang untuk dijadikan sebagai dasar hukum dalam mengambil kebijakan penanganan wabah covid-19. Alasan mendesak pun tidak terpenuhi dalam Perppu ini, sebab DPR masih bersidang dan belum memasuki masa reses, bahkan sampai hari ini masih membahas Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja dan pemindahan ibukota negara. Artinya Pemegang Kekuasaan pembentuk undang-undang masih berfungsi dalam menjalankan tugasnya; 40 35. Bahwa berdasarkan uraian di atas, maka disimpulkan bahwa ketentuan dalam Pasal 1 dan Pasal 2 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020, disamping secara terang dan jelas bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945. B.4. Pasal 6 ayat (12) Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 Bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945.
Bahwa Pasal 23A UUD 1945 menegaskan bahwa, “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang- undang”. Ketentuan dalam Pasal 23A UUD 1945 secara eksplisit dinyatakan secara tegas bahwa pengaturan tentang pajak dan pungutan-pungutan lain yang sifatnya memaksa dan digunakan untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang. Dengan demikian maka produk hokum yang digunakan untuk mengatur pajak dan pungutan-pungutan lain harus menggunakan undang-undang, dan tidak dalam bentuk lainnya.
Bahwa pajak yang sifatnya memaksa tidak bisa diatur dan ditentukan oleh satu lembaga negara saja, melainkan perlu melibatkan lembaga lainnya dalam hal ini adalah DPR dan DPD sebagai representasi dari rakyat. Bila pengaturan pajak yang sifatnya memaksa dan tidak melibatkan lembaga yang merepresentasikan rakyat, maka dapat dipastikan pungutan pajak tersebut bukan atas kehendak rakyat, melainkan lebih pada penggunaan kesewenangan pemerintah.
Bahwa setiap penetapan kebijakan pajak dan pungutan lainnya harus melibatkan DPR dan Pemerintah, serta DPD dalam pembahasannya, sedangkan dalam penetapan keputusan atas kebijakan tersebut, merupakan kewenangan DPR dan Pemerintah, dalam hal ini Presiden. Dengan demikian, kebijakan penetapan pajak dan pungutan lain tidak dibenarkan dalam bentuk selain undang-undang;
Bahwa dalam ketentuan Pasal 6 ayat (12) Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 menyatakan “Besarnya tarif, dasar pengenaan, dan tata cara penghitungan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan pajak transaksi elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (8) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah”. Ketentuan a quo mengatur mengenai pajak yaitu pajak penghasilan dalam hal besarnya tarif, dasar pengenaan, dan tata cara penghitunganya yang diatur dengan atau berdasarkan 41 Peraturan Pemerintah. Produk hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (12) Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 tentu menyalahi ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 23A UUD 1945, karena pengaturan mengenai pajak dan pungutan-pungutan lainnya dinyatakan secara tegas dalam Pasal 23A UUD 1945 harus menggunakan undang-undang yang disetujui oleh DPR, sedangkan di dalam pengaturan Pasal 6 ayat (12) Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 dinyatakan pengaturan pajak diatur dengan Peraturan Pemerintah. B.5.Pasal 6 ayat (12) Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 Bertentangan dengan Pasal 22D ayat (2) UUD 1945.
Bahwa ketentuan Pasal 22D ayat (2) UUD 1945 menentukan “Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama.” Dalam ketentuan Pasal 22D ayat (2) UUD 1945 tersebut diantaranya mengandung makna bahwa DPD diberikan hak dan/atau kewenangan memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak. __ 2. Bahwa dalam ketentuan Pasal 6 ayat (12) Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 yang mengatur perihal pajak ditentukan agar diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. Ketentuan a quo yang merumuskan kebijaan perihal pajak ditentukan agar diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah secara tersirat telah menghilangkan hak dan/atau kewenangan DPD dalam memberikan pertimbangan yang berkaitan dengan pajak.
Bahwa oleh karena DPD sebagai lembaga negara yang berfungsi sebagai pengakomodir aspirasi daerah dan/atau kepentingan daerah, maka dalam hal membahas suatu rancangan undang-undang dapat membawa aspirasi daerah dan/atau kepentingan daerah untuk dijadikan sebagai masukan dalam menyusun suatu rancangan undang-undang dengan cara mengikuti pembahasan suatu rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, 42 dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama.
Bahwa Pemohon I sampai dengan Pemohon LVII merupakan masyarakat yang juga berkepentingan untuk memajukan daerah mengharapkan agar setiap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan daerah, termasuk perihal pajak, pendidikan dan agama, __ DPD dapat menyuarakannya. Namun demikian ketentuan Pasal 6 ayat (12) Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 telah menutup DPD sebagai representasi dari kepentingan daerah untuk turutserta membahasnya, padahal secara tegas dinyatakan dalam Pasal 22D ayat (2) UUD 1945, DPD hal-hal yang diantaranya berkaitan dengan pajak. Dengan demikian, maka ketentuan Pasal 6 ayat (12) Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 tidak selaras dengan ketentuan Pasal 22D ayat (2) UUD 1945. __ B.6. Pasal 27 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 Bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 23, Pasal 23A, Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
Bahwa Pasal 27 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 pada pokoknya mengatur imunitas antara lain sebagai berikut (1) Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara.
Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perrrndang-undangan.
Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara.
Bahwa merujuk kepada Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa “Indonesia adalah negara hukum”. salah satu aspek makna negara hukum 43 adalah adanya pembatasan kekuasaan. Adanya pembatasan kekuasaan Negara dan organ-organ Negara dilakukan dengan cara menerapkan prinsip pembagian kekuasaan secara vertikal atau pemisahan kekuasaan secara horizontal. Sesuai dengan hukum besi kekuasaan, setiap kekuasaan pasti memiliki kecenderungan untuk berkembang menjadi sewenang-wenang, seperti dikemukakan oleh Lord Acton: “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely” . Karena itu, kekuasaan selalu harus dibatasi dengan cara memisah-misahkan kekuasaan ke dalam cabang-cabang yang bersifat ‘checks and balances’ dalam kedudukan yang sederajat dan saling mengimbangi dan mengendalikan satu sama lain. Pembatasan kekuasaan juga dilakukan dengan membagi-bagi kekuasaan ke dalam beberapa organ yang tersusun secara vertical. Dengan begitu, kekuasaan tidak tersentralisasi dan terkonsentrasi dalam satu organ atau satu tangan yang memungkinkan terjadinya kesewenang-wenangan.
Bahwa Pasal 27 pada pokoknya mengatur mengenai hak imunnitas. Hak imunitas atau yang dikenal sebagai Sovereign Immunity merupakan turunan dari asumsi kekuasaan klasik di era common law yaitu raja tidak dapat salah (King can do no wrong). Prinsip klasik ini sudah muncul sejak Raja Edward I, yang berbunyi bahwa The Crown of England has not been sueable unless it has specifically consented to suit . Prinsip ini bertentangan dengan maxim utama dalam negara hukum yaitu: no one, not even the government, is above the law . Konsep Imunitas sendiri bahkan menurut Erwin Chemerinsky dalam karyanya yang berjudul “Against Sovereign Immunity” (Stanford Law Review, Vol 53 No 1201, 2001) dinyatakan olehnya bukan merupakan prinsip yang sesuai dengan konstitusionalisme. Bahkan menurutnya, konsep imunitas harus dianggap bukan sebagai prinsip hukum. hal ini sesungguhnya bersesuaian dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, Pasal 27 dan Pasal 28D (1) UUD 1945 yang menentukan bahwa kedudukan setiap orang sama dihadapan hukum. berdasarkan communis opinio doctorum mengenai konsep immunitas yang tidak memiliki basis konstitusional yang jelas dan bertentangan dengan prinsip-prinsip konstitusionalisme maka Pasal 27 UU No. 2 Tahun 2020 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, Pasal 27 dan Pasal 28D (1) UUD 1945.
Bahwa Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 yang memungkinkan terjadinya potensi tindak pidana korupsi. Karena dalam pasal itu 44 disebutkan biaya yang dikeluarkan pemerintah selama penanganan pandemi Covid-19 termasuk di dalamnya kebijakan bidang perpajakan keuangan daerah dan pemulihan ekonomi nasional bukan merupakan kerugian negara. Ketentuan ini juga bertentangan dengan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang menyatakan: ‘Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.
000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)’. ayat (2) disebutkan ‘Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan’. Selanjutnya, dalam ayat (2) dijelaskan “yang dimaksud dengan ‘keadaan tertentu’ dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku , pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter. ” Ketentuan ini menunjukan bahwa tindak pidana korupsi dalam keadaan bahaya justru mengalami pemberatan bahkan hukuman mati, namun Pasal 27 Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 justru mengeyampingkan dan mengimunitaskan pejabat- pejabat tertentu.
Bahwa dalam upaya penagakkan hukum, terdapat maxim Lucius Calpurnius Piso Caesoninus (43 SM) yang nenyatakan bahwa “Fiat justitia ruat coelum” yang artinya tegakkan keadilan walaupun langit akan runtuh. Adagium tersebut dapat dimaknai bahwa dalam kondisi apapun hukum harus menjunjung tinggi kebenaran yang bernalar (orthos logos) dan keadilan, sehingga tidak ada kejadian atau kondisi apapun yang mentolerir ketidakadilan ada dalam rongga- rongga hukum. Ketentuan Pasal 27 Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 memuat suatu rumusan norma yang menjadikan penegakkan hukum tidaklah adil. Sebab di dalam ketentuan Pasal 27 Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 mengandung rumusan norma yang memberikan perlindungan bagi mereka yang berlaku tidak 45 adil atau melakukan sesuatu yang dapat merugikan bangsa dan Negara. Konstruksi yang demikian ini jelas Pasal 27 Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, Pasal 27 dan Pasal 28D (1) UUD 1945.
Bahwa apabila merujuk kepada pasal 23E ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan ”Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri”; selain itua apabila merujuk kepada Pasal 23E ayat (2) UUD 1945 yang menentukan “hasil pemeriksaan keuangan negara diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sesuai dengan kewenangannya” maka apabila merujuk kepada Pasal 27 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 menujukan bahwa Badan Pemeriksa Kekuangan (BPK) yang diberi amanat oleh UUD untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara tidak dapat melakukan melaksanakan pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara dan secara otomatis DPR tidak dapat mengawasi penggunaan anggaran tersebut. Oleh karena itu jelas Pasal 27 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 ini selain melahirkan kebijakan yang berpotensi merugikan negara juga berpotensi melahirkan kebijakan ekonomi yang otoriter, sehingga Pasal 27 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 bertentangan dengan Pasal 23E ayat (2) UUD 1945.
Bahwa Pasal 27 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 memiliki isi dan makna yang serupa dengan Pasal 29 Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan yang berbunyi “Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, dan/atau pihak yang melaksanakan tugas sesuai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini tidak dapat dihukum karena telah mengambil keputusan atau kebijakan yang sejalan dengan tugas dan wewenangnya sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini”. Pada saat yang sama Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan juga dianggap memberi wewenang di sangat luar batas kepada Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) dalam menetapkan status bank bermasalah dan penanganannya. KSSK hanya terdiri dari Menteri Keuangan sebagai ketua dan Gubernur BI sebagai anggota. Selain itu, kekuasaan yang sangat mutlak ada pada Menteri Keuangan. Karena kalau terjadi selisih pendapat antara Menteri 46 Keuangan sebagai ketua KSSK dengan anggota KSSK yang lain, maka Menteri Keuangan dapat menetapkan keputusan sendiri. Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan juga dianggap memberi wewenang absolut kepada KSSK untuk menghilangkan fungsi dan wewenang DPR terkait keuangan negara. Karena Menteri Keuangan dapat mengeluarkan uang negara atas nama krisis tanpa minta persetujuan DPR. Padahal kewenangan DPR itu telah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945. Akhirnya dari 10 fraksi yang mengikuti Rapat Paripurna Pada Desember 2008, hanya 4 fraksi yang menyetujui RUU JPSK jadi UU. Fraksi itu adalah Fraksi Demokrat, Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (FPPP), Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) dan Fraksi Partai Damai Sejahtera (FPDS). Sisanya, Fraksi Partai Golongkan Karya (F-Golkar), Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDIP), Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB), Fraksi Partai Amanat nasional (FPAN), Fraksi Bintang Pelopor Demokrasi (FBPD) dan Fraksi Bintang Reformasi (FBR), menolak RUU tersebut menjadi UU. Sekarang terbukti keputusan DPR ketika itu ternyata tepat. Dana pinjaman likuiditas yang diberikan kepada Bank Century ternyata bermasalah. Merugikan keuangan negara. Karena Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan tidak disahkan, maka tidak ada pihak yang kebal hukum. Beberapa pihak yang terlibat merugikan keuangan negara diproses secara hukum. Pengadilan menyatakan mereka bersalah, baik dari Bank Century maupun Bank Indonesia.
Bahwa sebagaimana terurai di atas bahwa pemberian hak imunitas sebagaimana dalam Pasal 29 Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan yang kemudian kembali diadopsi dalam Pasal 27 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 berpotensi terjadinya penyalahgunaan wewenang. Selain kasus century yang pernah terjadi, maka kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia pada masa krisis ekonomi tahun 1998 merupakan contoh kelam dari penyalahgunaan keadaan darurat. Ketika itu, Bank Indonesia dikuras untuk menyehatkan perbankan yang katanya mengalami rush tetapi kenyataannya cuma modus dari para pemilik bank untuk mendapatkan dana segar untuk menyelamatkan grup usahanya. Berdasarkan hal tersebut maka Konstruksi yang demikian ini jelas Pasal 27 Lampiran UU 47 Nomor 2 Tahun 2020 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, Pasal 27 dan Pasal 28D (1) UUD 1945.
Bahwa berdasarkan uraian di atas, maka disimpulkan bahwa ketentuan dalam Pasal 27 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, Pasal 27 dan Pasal 28D (1) UUD 1945. B.7. Pasal 28 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Bahwa Pasal 28 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 memuat ketentuan yang menyatakan tidak berlakunya 12 undang-undang sepanjang terkait dengan kebijakan yang ditentukan dalam UU Nomor 2 Tahun 2020 tersebut. Ke-12 undang-undang tersebut masih tetap ada dan berlaku, namun sebagian ketentuan pasal-pasal yang terdapat di dalamnya dinyatakan tidak berlaku sepanjang berkaitan dengan kebijakan keuangan negara untuk penanganan penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-I9) dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang ini. Artinya, dengan Perppu ini, ketentuan pasal-pasal yang tersebut dalam ke-12 undang-undang itu ditangguhkan atau dikesampingkan berlakunya untuk sementara waktu, hingga tujuan tercapai atau krisis Covid-9 dinyatakan sudah berakhir.
Bahwa 12 ketentuan itu antara lain:
ketentuan jangka waktu yang diatur dalam Pasal 11 ayat (21), Pasal 17b ayat (1), Pasal 25 ayat (3), Pasal 26 ayat (1), dan Pasal 36 ayat (1c) Undang- Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 32621 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 49991); 48 b. Pasal 55 ayat (4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Lndonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan undang-undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun l999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 49621;
Pasal 12 ayat (3) beserta penjelasannya, Pasal 15 ayat (5), Pasal 22 ayat (3), Pasal 23 ayat (1), Pasal 27 ayat (3), dan Pasal 28 ayat (3) dalam Undang- Undang Nomor 17 Thun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 4286);
Pasal 3 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355);
Pasal 22 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2004 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 44201 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 49631;
Pasal 27 ayat (1) beserta Penjelasannya, Pasal 36, Pasal 83, dan Pasal 107 ayat (2) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438;
Pasal 171 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063); 49 h. Pasal 72 ayat (2) beserta penjelasannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5495);
Pasal 316 dan Pasal 317 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679;
Pasal 177 huruf c angka 2, pasal 180 ayat (6), dan Pasal 182 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 181, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6396);
Pasal 20 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5872); dan
Pasal 11 ayat (22), Pasal 40, Pasal 42, dan Pasal 46 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2019 tentang Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 nomor 198, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 6410).
Bahwa apabila merujuk kepada pengenyampingan yang ke-12 yaitu penangguhan untuk UU APBN, maka ketentuan ini identik dengan perubahan anggaran, yang menyangkut kewenangan DPR untuk menyatakan setuju atau tidaknya. Presiden tidak boleh secara sepihak menentukan sendiri perubahan 50 anggaran itu, hanya karena ada keadaan kegentingan yang memaksa yang ditafsirkan sendiri secara sepihak oleh Presiden. Pasal 28 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 menyatakan menangguhkan berlakunya 11 undang-undang untuk sementara waktu keadaan darurat Covid-19, dan sekaligus mengubah 1 undang-undang, yaitu undang-undang tentang APBN Tahun Anggaran 2020. Ketentuan ini jelas bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), (2), dan ayat (3) UUD 1945.
Bahwa Pasal 28 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 jelas menerapkan prinsip metode Omnibus. Apabila merujuk kepada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU- VII/2009 tidak memenuhi tiga unsur dan khususnya unsur “Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai”; UU yang telah ada saat ini sudah mumpuni untuk menyelesaikan persoalan darurat yang dihadapi UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan, UU Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, dan UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Hal ini sesungguhnya sejalan dengan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Darurat Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 ( Covid-19 ). Maka apabila lahirnya Pasal 28 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 yang justru menentukan pengeyampingan (tidak berlakunya) UU tertentu, jelas bertentangan dengan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 juncto Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU- VII/2009.
Bahwa apabila merujuk kepada prinsip hukum Islam mengenai masalah batasan darurat yang memperbolehkan sesuatu yang diharamkan ini dikalangan para ulama ahli fiqh dan beberapa pendapat yang maknanya tidak jauh berbeda antara satu dan lainnya diantaranya sebagai berikut:
Menurut ulama dari mazhab Hanafi, makna darurat yang menyangkut rasa lapar ialah seandainya seseorang tidak mau mengkonsumsi barang yang diharamkan dikhawatirkan ia bisa meninggal dunia atau setidaknya ada anggota tubuh yang menjadi cacat. Seseorang yang dipaksa akan di bunuh atau dipotong salah satu anggota tubuhnya apabila ia tidak mau memakan atau meminum sesuatu yang diharamkan, itu berarti ia sedang dalam keadaan darurat yang memperbolehkan ia memakan bangkai, karena ia mengkhawatirkan nyawanya atau salah satu anggota tubuhnya. (Abdul 51 Rosyad Sidiq, Fiqh Darurat, Jakarta, Pustaka Azzam, 2001. hal. 31). Dan berdasarkan syariat ia berdosa kalau memang ia tahu bahwa hal itu sebenarnya bisa menggugurkan keharaman. Tetapi kalau memang ia tidak tahu bahwa hal itu merupakan keringanan baginya, ia masih bisa diharapkan tidak berdosa soalnya ia bermaksud menegakkan kebenaran syariat dengan cara tetap menjaga diri untuk tidak mau melanggar keharaman menurut anggapannya. Keharaman menjadi gugur kalau memang pemaksaannya disertai dengan ancaman yang berisiko sangat menyakitkan tetapi kalau ancamanannya tidak terlalu berat seperti hanya akan ditahan selama setahun atau dihukum dengan di ikat namun masih tetap diberi jatah makan dan minum itu berarti ia masih punya pilihan artinya ia tidak sedang dalam keadaan darurat. Firman Allah Swt dalam surat al-Baqarah: 173, Maka barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya serta tidak melampaui batas maka tiada dosa baginya. Melihat ayat di atas, tidak semua keterpaksaan itu membolehkan yang haram, namun keterpaksaan itu dibatasi dengan keterpaksaan yang benar-benar tiada jalan lain kecuali hanya melakukan itu dalam kondisi ini maka semua haram dapat diperbolehkan memakainya, misalkan seorang dihutan tiada makanan sama sekali kecuali ada babi hutan dan bila ia tidak makan menjadi mati, maka babi hutan itu boleh dimakan sebatas keperluannya.
Menurut ulama dari mazhab Maliki, darurat yang memperbolehkan mengkonsumsi sesuatu yang diharamkan ialah rasa takut akan keselamatan nyawa baik berdasarkan keyakinan atau sekedar dugaan namun ada juga yang berpendapat darurat ialah menjaga jiwa dari kematian atau dari bahaya yang sangat berat, menurut pendapat di atas hal itu tidak disyaratkan harus menunggu sampai benar-benar menjelang kematian, atau sudah dalam keadaan sakaratul maut , karena makan dalam keadaan seperti itu sudah tidak ada gunanya lagi.
Menurut ulama mazhab Syafi’i, sesungguhnya rasa lapar yang teramat sangat itu tidak cukup hanya di atasi dengan memakan bangkai dan sebagainya, seperti halnya ulama-ulama mazhab lain mereka semua sepakat tidak wajib harus menunggu sampai kematian itu sebentar lagi datang. Karena pada saat-saat kritis seperti itu tidak ada gunanya makan bahkan pada sampai batas seperti itu tidak dihalalkan makan karena ia memang tidak 52 ada gunanya. Mereka juga sepakat bahwa seseorang diperbolehkan makan kalau ia mengkhawatirkan dirinya bisa kelaparan, atau tidak kuat berjalan, atau kuat naik kendaraan atau terpisah dari rombongannya atau tersesat dan lain sebagainya, kalau sampai ia tidak makan kekhawatiran seseorang terhadap munculnya penyakit yang menakutkan adalah sama seperti kekhawatiran datangnya kematian, sekalipun ia merasa takut selama sakit.
Menurut para ulama dari mazhab Hambali, darurat yang memperbolehkan seseorang memakan sesuatu yang diharamkan adalah yang membuatnya merasa khawatir dan akan mati kalau sampai ia tidak memakannya. Sedangkan menurut Imam Ahmad, apabila seseorang hanya karena tidak mau makan barang yang haram merasa khawatir dirinya bisa kelaparan atau takut tidak kuat berjalan sehingga terpisah dari rombongannya atau tidak kuat naik kendaraan maka ia harus memakannya tanpa dibatasi waktu tertentu. (Abdul Rosyad Sidiq, Fiqh Darurat, Jakarta, Pustaka Azzam, 2001. hal.
Tiada keharaman bagi darurat dan tiada kemakmuran bagi kebutuhan . __ (Abdul Rosyad Sidiq, Fiqh Darurat, Jakarta, Pustaka Azzam, 2001. hal. 35). Apabila dua mafsadat bertentangan, maka perhatikan mana yang lebih besar madaratnya dengan memilih yang lebih ringan madaratnya . __ Dari pendapat di atas yang menerangkan tentang batasan atau kriteria darurat yang memperbolehkan seseorang memakan sesuatu yang haram mempunyai pengertian yang mirip. Jadi seperti yang dikatakan oleh Imam Hambali, dharurat ialahlah posisi seseorang yang sudah berada dalam batasan maksimal dan tidak ada alternatif lain jika ia tidak mau mengkonsumsi yang dilarang agama ia bisa mati atau hampir mati. (Muhlis Usman, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, Jakarta, Raja Grafindo Persada, cet. Ke-4, 2002, hal. 134). Atau dikhawatirkan salah satu anggota tubuhnya bisa celaka. Pada dasarnya hal itu karena sesuatu yang diharamkan itu tidak boleh dilakukan dan diterjang kecuali karena ada alasan darurat. Darurat itu pun punya standar sendiri apabila seseorang sampai pada batas yang apabila ia tidak mau mengkonsumsi sesuatu yang diharamkan oleh agama ia bisa mati atau hampir mati. Maka itu artinya ia sudah berada pada batas puncak darurat yang berarti ia boleh memakan sesuatu yang diharamkan. 53 Bahwa apabila merujuk lahirnya Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 khususnya berkenaan dengan lahirnya Pasal 28 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 yang mengeyampingkan 12 undang-undang sekaligus tidak memenuhi keadaan darurat karena diterbitkan melalui Perppu Nomor 1 Tahun 2020 sebelum kemudian disahkan menjadi UU Nomor 2 Tahun 2020. Terlepas dari telah berubahnya Perpu tersebut menjadi UU akan tetapi proses pembentukannya bukan UU yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 juncto Pasal 20 UUD 1945. Oleh sebab itu, adanya Pasal 28 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 justru seolah menyatakan tidak ada instrumen hukum sebagai tidak ada alternatif lain dan dalam kondisi maksimal. Padahal instrumen __ hukum yang ada UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan, UU Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, dan UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana serta Pasal 27 ayat (3) UU Nomor 17 Tahun 2003 telah mengakomodir segala kehendak yang dimaksud dalam UU Nomor 2 Tahun 2020.
Bahwa berdasarkan uraian di atas jelas telah Pasal 28 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 berpotensi melahirkan kekuasaan presiden berlebihan yang berpotensi berkembang menjadi kekuasaan absolut dan sewenang-wenang namun berlindung dari kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945. Potensi constitutional dictactorship dalam bentuknya yang negatif akan lebih muncul apabila bentuk pengabaian prinsip-prinsip negara hukum disampingkan dibandingkan merespon keadaan darurat kesehatan dengan mengunakan instrumen hukum yang telah ada yaitu UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan, UU Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, dan UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana serta Pasal 27 ayat (3) UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Bahwa berdasarkan uraian di atas, para Pemohon beranggapan pola constitutional dictactorship dapat dihindari apabila beranggapan Pasal 28 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 22 ayat (1) __ dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. PETITUM Berdasarkan uraian-uraian sebagaimana disebutkan di atas, izinkanlah para Pemohon meminta kepada yang mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang 54 memeriksa dan mengadili permohonan ini untuk memutuskan hal-hal sebagai berikut:
Mengabulkan Permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;
Menyatakan Pembentukan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang terhadap UUD 1945 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6516) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
Menyatakan Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1, huruf a angka 2, dan huruf a angka 3, Pasal 6 ayat (12), Pasal 27 dan Pasal 28 Lampiran Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional da/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang terhadap UUD 1945 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6516), bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya Atau Jika Majelis Hakim Konstitusi Republik Indonesia mempunyai keputusan lain, mohon putusan yang seadil-adilnya, ex aequo et bono. [2.2] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalilnya, Pemohon telah mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-70 sebagai berikut:
Bukti P-1 : Fotokopi KTP M. Sirajuddin Syamsuddin; 55 2. Bukti P-2 : Fotokopi KTP dan NPWP Prof. Dr. Sri Edi Swasono;
Bukti P-3 : Fotokopi KTP dan NPWP Prof. Dr. HM. Amien Rais, MA;
Bukti P-4 : Fotokopi KTP dan NPWP Marwan Batubara;
Bukti P-5 : Fotokopi KTP dan NPWP M. Hatta Taliwang;
Bukti P-6 : Fotokopi KTP dan NPWP Prof. Dr. Daniel M. Rosyid;
Bukti P-7 : Fotokopi KTP dan NPWP Dr. Syamsul Balda, SE., MM., MBA;
Bukti P-8 : Fotokopi KTP dan NPWP Dr. Abdullah Hehamahua;
Bukti P-9 : Fotokopi KTP dan NPWP Dr. H. MS. Kaban, SE., MSI;
Bukti P-10 : Fotokopi KTP dan NPWP Adhie M. Masardi;
Bukti P-11 : Fotokopi KTP dan NPWP Dr. Ahmad Redi, SH., MH;
Bukti P-12 : Fotokopi KTP dan NPWP Dr. Masri Sitanggang, IR., MP;
Bukti P-13 : Fotokopi KTP dan NPWP Ir. Sayuti Asyathri;
Bukti P-14 : Fotokopi KTP dan NPWP Roosalina Berlian;
Bukti P-15 : Fotokopi KTP dan NPWP Ir. Gunawan Adji MSC;
Bukti P-16 : Fotokopi KTP dan NPWP Djoko Edhi Soetjipto;
Bukti P-17 : Fotokopi KTP dan NPWP Ir. H. Ansufri Id Sambo;
Bukti P-18 : Fotokopi KTP dan NPWP Ir. Bambang Tri Puspito;
Bukti P-19 : Fotokopi KTP dan NPWP Slamet Ma’arif;
Bukti P-20 : Fotokopi KTP dan NPWP Dr. Imam Addaruqurni MA;
Bukti P-21 : Fotokopi KTP dan NPWP Agus Solachul Aam;
Bukti P-22 : Fotokopi KTP dan NPWP Auliya Khasanofa;
Bukti P-23 : Fotokopi KTP dan NPWP Abdurrahman Syebubakar;
Bukti P-24 : Fotokopi KTP dan NPWP M. Ramli Kamidin;
Bukti P-25 : Fotokopi KTP Darmayanto;
Bukti P-26 : Fotokopi KTP Indra Wardhana;
Bukti P-27 : Fotokopi KTP Agus Muhammad Mahsum;
Bukti P-28 : Fotokopi KTP Dr. Ma’mun Murod;
Bukti P-29 : Fotokopi KTP dan NPWP Ir. Indra Adil;
Bukti P-30 : Fotokopi KTP dan NPWP Muslim Arbi;
Bukti P-31 : Fotokopi KTP dan NPWP Taufan Maulamin;
Bukti P-32 : Fotokopi KTP Bambang Sutedjo;
Bukti P-33 : Fotokopi KTP dan NPWP Agung Mozin;
Bukti P-34 : Fotokopi KTP dan NPWP Nur Aini;
Bukti P-35 : Fotokopi KTP dan NPWP Edy Mulyadi;
Bukti P-36 : Fotokopi KTP Abdurrahman Tardjo SH; 56 37. Bukti P-37 : Fotokopi KTP dan NPWP Anhar Nasution SE;
Bukti P-38 : Fotokopi KTP dan NPWP Ir. Abdullah Sodik;
Bukti P-39 : Fotokopi KTP H. Moh Ismail;
Bukti P-40 : Fotokopi KTP dan NPWP Hersubeno Arief;
Bukti P-41 : Fotokopi KTP dan NPWP Ir. Irwansyah;
Bukti P-42 : Fotokopi KTP Furqan Jurdi;
Bukti P-43 : Fotokopi KTP dan NPWP Ibnu Tadji H. Nurwendo;
Bukti P-44 : Fotokopi KTP dan NPWP Kisman Latumakulita;
Bukti P-45 : Fotokopi KTP Djudju Purwantoro;
Bukti P-46 : Fotokopi KTP dan NPWP Burhanuddin;
Bukti P-47 : Fotokopi KTP dan NPWP Rina Triningsih;
Bukti P-48 : Fotokopi KTP Yogi Yogaswara;
Bukti P-49 : Fotokopi KTP Atum SH;
Bukti P-50 : Fotokopi KTP dan NPWP M. Mossadeq Nahri;
Bukti P-51 : Fotokopi KTP dan NPWP M. Asri Anas;
Bukti P-52 : Fotokopi KTP dan NPWP Rukminiwati;
Bukti P-53 : Fotokopi KTP dan NPWP Dr. Muh. Mu’inudinillah;
Bukti P-54 : Fotokopi KTP dan NPWP Ratna Ningsih Fatimah;
Bukti P-55 : Fotokopi KTP dan NPWP Mustaris SH;
Bukti P-56 : Fotokopi KTP dan NPWP Narliswandi;
Bukti P-57 : Fotokopi KTP Arief Agus Djunarjanto;
Bukti P-58 : Fotokopi SK Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor AHU-000252.AH.01.08.TAHUN 2015 tentang Persetujuan Perubahan Badan Hukum Perkumpulan Perkumpulan Persatuan Islam; Fotokopi SK Pimpinan Pusat Persatuan Islam Nomor 0001/B.1-C.1/PP/2015 perihal Tasykil Pimpinan Pusat Persatuan Islam (PP. PERSIS) Masa Jihad 2015-2020;
Bukti P-59 : Fotokopi SK Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor AHU-0009540.AH.01.07.TAHUN 2017 tentang Pengesahan Badan Hukum dan Pengurus Wanita Al- Irsyad; Fotokopi SK Pengurus Besar Wanita Al- Irsyad Nomor 025-SK-PBW-1440 tentang Pengesahan dan Pengangkatan Susunan Personalia Pengurus Besar Wanita Al- Irsyad Masa Bakti 1439-1444H/2017-2022M;
Bukti P-60 : Fotokopi SK Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor AHU-234.AH.01.08.Tahun 2013 tentang Persetujuan Perubahan Anngaran Dasar; 57 Fotokopi SK Pengurus Besar Pemuda Al- Irsyad Nomor 025/SK/PB/2020 tentang Perubahan Susunan Dan Personalia Pengurus Besar Pemuda Al-Irsyad Masa Bakti 1439-1444 H/ 2017-2022 M;
Bukti P-61 : Fotokopi Surat Keterangan Nomor 01-00-00/089/ D.IV.1/IX/2016 Terdaftar Dewan Pimpinan Nasional Amanat Kejujuran Untuk Rakyat (AKURAT INDONESIA);
Bukti P-62 : Fotokopi AD/ART Yayasan LBH Catur Bhakti;
Bukti P-63 : Fotokopi SK Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor AHU-0000372.AH.01.08.TAHUN 2020 tentang Persetujuan Perubahan Badan Hukum Perkumpulan Perkumpulan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia; Fotokopi SK Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia Nmor 01/SK/KU.i/KAMMI/II2020 tentang Struktur Pengurus Pusat Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (PP KAMMI) Periode 2019-2021;
Bukti P-64 : Fotokopi SK Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor AHU-0013162.AH.01.07.TAHUN 2018 tentang Pengesahan Pengesahan Badan Hukum Perkumpulan Wanita Islam; Fotokopi SK Pengurus Pusat Wanita Islam Nomor 015/PP/SKEP/SEK/IV/2018 tentang Penyempurnaan Pengurus Pusat Wanita Islam Periode 2016-2021;
Bukti P-65 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional da/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang- Undang terhadap UUD 1945 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6485);
Bukti P-66 : Fotokopi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Bukti P-67 : Fotokopi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 23/PUU- XVIII/2020;
Bukti P-68 : Fotokopi Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib;
Bukti P-69 : Fotokopi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU- VII/2009;
Bukti P-70 : Fotokopi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 004/PUU-I/2003. 58 Selain itu, para Pemohon juga mengajukan 2 (dua) orang ahli yang didengar keterangannya di bawah sumpah dalam persidangan secara daring tanggal 7 Desember 2020 yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut.
Dr. Ir. H. Muhammad Said Didu, M.Si, IPU Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan disahkan menjadi UU pada Sidang Paripurna DPR pada 12 Mei 2020. Perppu Nomor 2/2020 telah ditandatangani dengan segera oleh Presiden Jokowi menjadi UU Nomor 2/2020 pada 16 Mei 2020. Menurut pemerintah UU Nomor 2/2020 atau UU Korona bertujuan merelaksasi sejumlah peraturan yang berlaku saat ini guna menghadapi Covid-19 dan menjaga stabilitas sistem keuangan. Menkeu Sri Mulyani mengatakan UU korona menjadi landasan hukum agar pemerintah dan otoritas terkait dapat mengambil langkah–langkah luar biasa secara cepat dan akuntabel guna menangani pandemi korona. Ditambahkan, upaya tersebut diperlukan mengingat pandemi Covid-19 bukan hanya masalah kesehatan, tetapi juga masalah kemanusiaan yang berdampak pada aspek sosial, ekonomi, dan mempengaruhi fundamental perekonomian nasional (14/4/2020). Kami menganggap pandemi Covid-19 memang masalah serius menyangkut berbagai aspek kehidupan manusia yang dihadapi bukan saja oleh Indonesia tetapi seluruh negara di dunia. Namun, terlepas dari serius dan mendesaknya mangatasi berbagai permasalahan, kami menilai penanganannya harus tetap dilakukan dalam koridor hukum yang berlaku. Untuk itu, penyelenggara negara, terutama pihak eksekutif yang berada dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) harus tetap tunduk kepada konstitusi dan undang-undang berlaku saat ini. Faktanya, berbagai kalangan telah menanggapi dan menganggap bahwa sejumlah ketentuan dan UU Korona melanggar konstitusi dan bertentangan dengan beberapa undang-undang yang berlaku saat ini. Bahkan Pasal 27 UU No.2/2020 memberi hak impunitas kepada eksekutif dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan terkait Covid-19. Oleh sebab itu, tak heran jika sejumlah kalangan pun 59 telah mengajukan judicial review terhadap UU Korona ke Mahkamah Konstitusi (MK), termasuk Koalisi Masyarakat Penegak Kedaulatan (KMPK). Sejalan dengan hal di atas, kami pun telah diminta oleh KMPK untuk menjadi Saksi Ahli atas gugatan judicial review tersebut. Tujuannya adalah untuk menunjukkan bahwa dalam UU Korona terdapat berbagai hal yang dianggap bermasalah dan bertentangan dengan konstitusi, sehingga UU tersebut seharusnya dibatalkan oleh MK. Terlepas dari banyaknya hal -hal lain yang kami anggap bermasalah dan inskonstitusional dalam UU Nomor 2/2020, sebagian dari permasalahan tersebut kami diuraikan berikut ini.
Pembentukan Perppu tidak memenuhi kaidah kegentingan memaksa Pembentukan Perppu/UU Nomor 2/2020 boleh dilakukan saat negara menghadapi kegentingan memaksa. Namun kegentingan memaksa dimaksud, harus memenuhi kaidah dan asas yang diatur dalam UU Nomor 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (P3). Selain itu Perppu tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945, TAP MPR, dan UU lain yang berlaku. Faktanya dasar kegentingan memaksa Perppu Nomor 1/2020 tidak jelas dan tidak memenuhi kaidah UU P3, sehingga seharusnya secara formil UU Korona batal demi hukum.
Tidak terdapat uraian jelas bagaimana pendemi Covid-19 diatasi Dalam butir menimbang UU Korona dinyatakan pandemi korona merupakan penyebab ancaman bahaya perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan. Namun dalam isi Perppu berupa kebijakan dan aturan, tidak ditemukan ketentuan jelas bagaimana pandemi diatasi. Perppu/UU Korona justru sangat dominan membahas ketentuan terkait perekonomian dan stabilitas sistem keuangan yang dinilai sarat kepentingan oligarki yang berada di belakang pemerintah.
Perppu Nomor 1/2020 melanggar batas defisit dan membuat utang naik tak terkendali. Pasal 23 UUD 1945 tentang hak budget DPR berbunyi: 1) APBN sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan UU dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab _untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; _ 2) Rancangan UU APBN diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama DPR _dengan memperhatikan pertimbangan DPD; _ 3) Apabila DPR tidak menyetujui R-APBN yang diusulkan Presiden, Pemerintah menjalankan APBN tahun yang lalu. 60 Ternyata, Pasal 2 Perppu Nomor 1/2020 memberi kewenangan bagi pemerintah menentukan batas defisit anggaran di atas 3% untuk UU APBN sampai 2022. Kewenangan ini jelas bertentangan dengan sifat dan pola ‘priodik’ UU APBN sesuai Pasal 23 ayat (1) UUD 1945, karena: • Pertama, Pasal 2 Perppu tidak menentukan batas maksimal persentase defisit , sehingga membuka peluang Pemerintah menentukan presentase defisit tanpa batas. Hal ini dapat berimplikasi pada membengkaknya Pos Pembiayaan APBN, termasuk meningkatkan jumlah utang negara yang akan menjadi beban rakyat yang sudah sangat tinggi; • Kedua, persentase PDB tanpa batas berlaku sampai 2022. Artinya ketentuan ini beraku dan mengikat 3 (tiga) UU APBN sekaligus, yakni UU APBN TA 2020, UU APBN TA 2021, dan UU APBN TA 2022. Hal ini secara nyata bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945, yang menentukan bahwa APBN ditetapkan setiap tahun. Bahkan UU APBN 2021 dan 2022 belum ada produk hukumnya, sehingga penetapan APBN setiap tahun sesuai konstitusi menjadi tidak bermakna.
Perppu Nomor 1/2020 mengeliminasi Hak DPR menetapkan APBN dan Defisit APBN Pasal 2 Perppu di atas juga bertentangan dengan Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, karena membuka peluang defisit anggaran diatas 3% tanpa batas maksimal dan mengikat. Hal ini secara langsung membatasi kewenangan DPR memberikan persetujuan APBN, khususnya berkenaan dengan defisit anggaran harusnya maksimum 3% PDB. DPR tidak leluasa menggunakan hak, tetapi dipatok dengan batas minimal 3% PBD, tanpa ada batas maksimal. Kewenangan konstitusional DPR dalam menetapkan budget sangat besar dan menentukan seperti tercermin dalam ayat (3) Pasal 23 UUD 1945. Bahkan jika DPR tidak menyetujui suatu RUU APBN, maka Pemerintah harus menggunakan UU APBN tahun sebelumnya. Bagaimana bisa pemerintah melalui Pasal 2 Perppu Nomor 1/2020 melawan konstitusi dan seenaknya menihilkan hak DPR dalam penetapan APBN? Implementasi UU Nomor 2/2020 pro-oligarki kekuasaan adalah terbitnya Perpres Nomor 54/2020 dan Perpres Nomor 72/2020. Kedua Perpres ini berfungsi sebagai APBN-P yang berubah hanya dalam waktu 2 bulan dan telah ditetapkan 61 secara sepihak oleh pemerintah tanpa partisipasi DPR sebagai pemegang hak konstitusional budgeting dan sebagai wakil rakyat untuk memperoleh keadilan dalam pemanfaatan uang negara di APBN. Persetujuan DPR atas APBN sebagai pemegang hak budget dalam konstitusi sangat vital, karena merupakan cermin kedaulatan rakyat. Jika hak budget DPR dieliminasi Perppu Nomor 1/2020, berarti hak dan kedaulatan rakyat pun ikut dihilangkan. Perppu/UU Nomor 2/2020 memang bernuansa oligarkis karena sejak semula direkayasa dan diusulkan pemerintah yang pro oligarki. Artinya pemerintah memilih melindungi oligarki dibanding membela dan melindungi rakyat (lihat Lampiran 1: Melawan Pelumpuhan Hak Budget DPR).
Membuka peluang terjadinya moral hazard dan ketidakadilan sesame anak bangsa. Pasal 11 UU Korona tidak mengatur program pemulihan ekonomi melalui pembiayaan investasi pemerintah berupa modal negara (PMN), penempatan dana investasi dan penjaminan secara rinci , sehingga membuka peluang terjadinya moral hazard. Dalam hal ini antara lain diperlukan kejelasan objek, sektor, parameter, mekanisme, lembaga pelaksana, penjaminan dan sasaran strategisnya. Model pemulihan yang tidak jelas dan terbuka seperti ini membuka peluang moral hazard yang tinggi, sehingga dana penjaminan justru potensial dinikmati sejumlah pihak bagian dari oligarki. Peluang moral hazard juga terbuka karena UU Nomor 2/2020 memuat ketentuan (Pasal 22) di mana guna mencegah krisis sistem keuangan, pemerintah dapat membuat program penjaminan di luar program penjaminan simpanan seperti diatur UU LPS. Karena kriteria tak jelas, yang akan dibantu LPS secara full garanteee justru bisa saja bank dan para pengusaha yang kesulitan likuiditas bukan karena pandemi korona. Hal ini akan membuka peluang moral hazard yang kelak akan menjadi beban keuangan negara. Moral hazard pun potensial terjadi karena dihapusnya berbagai ketentuan dalam “ 12 UU yang berlaku saat ini”, seperti ditetapkan dalam Pasal 28 UU Korona. Dengan begitu, banyak peraturan perundangan yang disusun puluhan tahun oleh sejumlah pemerintahan dan DPR sebelumnya, termasuk yang menjadi amanat reformasi, dinyatakan tidak berlaku! Hal ini akan menimbulkan dampak negatif terhadap sistem otorisasi dan tata kelola APBN, keuangan negara dan 62 moneter. Kondisi ini menjadikan kewenangan Presiden sangat besar dan berpotensi menimbulkan abuse of power . Mengingat peran DPR dihilangkan dan pembentukan dan pelaksanaan UU No.2/2020 berada di tangan segelintir orang dalam oligarki kekukasaan yang cenderung pro-pengusaha dan pro-kapitalis, maka ke depan ekonomi dan kehidupan ratusan juta rakyat berada dalam kondisi ketidakadilan dan jauh dari rasa kebersamaan. Indonesia akan berada dalam cengkeraman segelinitr orang dalam oligarki kekuasaan dan para pemilik modal. Pada gilrannya, hal ini akan mengancam kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara Indonesia. Dengan ketentuan Pasal 2 dan Pasal 28 UU Nomor 2/2020 yang inkonstitusional, maka bukannya terhindar atau bebas moral hazard, UU No.2/2020 justru membuka peluang terjadinya moral hazard dalam pelaksanaan berbagai kebijakan dan program yang berpangkal pada UU tersebut. Dalam hal ini dapat dikatakan pemerintah telah mengawali penanganan pandemi Covid-19 dan dampaknya terhadap permasalahan sosial, keuangan dan perekonomian nasional dengan membuat peraturan yang justru sarat moral hazard! Ternyata saat ini peran oligarki penguasa-pengusaha tetap ada, dan bahkan semakin exist dibanding masa lalu. Atas nama Covid-19, APBN ditetapkan dengan jumlah belanja yang semakin besar karena kebutuhan mengamankan kepentingan para pengusaha. Belanja APBN yang besar ditutup dengan utang yang semakin besar dan tanpa kendali. Dalam hal ini, peran pengusaha dalam oligarki kekuasaan bernuansa moral hazard terasa cukup dominan. Ke depan pola kekuasaan bernauansa moral hazard ini akan berdampak pada kehidupan rakyat yang semakin jauh dari rasa keadilan dan kebersamaan yang diamanatkan Pancasila. Ironi dan nestapa tersebut dapat dicegah jika Mahakamah Konstitusi bisa bekerja bebas “intervensi” memutus gugatan judicial review sejumlah elemen publik terhadap UU Nomor 2/2020, fungsi budget DPR dipulihkan, peran BI dan LPS dijalankan sesuai UU, dan krisis diatasi secara berkeadilan sesuai perintah UU PPKSK, serta pengaruh moral hazard dan dominasi pengusaha dalam oligarki kekuasaan dihilangkan.
Kerugian negara ratusan triliun Rp menangani krisis keuangan 1997-1998 akan terulang. 63 Belajar dari krisis keuangan 1997-1998 dan krisis ekonomi 2008, Pemerintah dan DPR telah melakukan perbaikan dan membangun sistem keuangan yang siap menghadapi krisis sistem keuangan. Upaya perbaikan meliputi penataan kelembagaan, pembentukan dan amendemen UU Nomor 23/1999 tentang BI, pendirian Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sesuai UU Nomor 24/2004 dan pendirian Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sesuai UU Nomor 21/2011. Dibentuk pula UU Nomor 9/2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK). UU ini dipersiapkan dalam rangka memenuhi kebutuhan payung hukum untuk mengatur upaya pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan. Jika dicermati, UU BI dibentuk dan dirubah agar BI dapat menjadi lembaga otonom, independen, dan bebas dari campur tangan pemerintah dan pihak-pihak lain, sehingga pengendalian moneter dapat dilakukan efektif dan efisien. Begitu juga dengan UU-UU tentang LPS, OJK dan PPKSK yang dibentuk dalam upaya mewujudkan stabilitas sistem keuangan yang kuat mencegah dan menangani krisis sistem keuangan, termasuk mencegah moral hazard. UU PPKSK Nomor 9/2016 secara spesifik mengatur prinsip-prinsip dalam pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan yang tidak diatur sebelumnya. UU PPKSK mengatur skema bail-in dalam penanganan bank sistemik dengan mengoptimalkan kemampuan bank baik melalui penambahan modal maupun pengubahan utang atau investasi menjadi penyertaan. Saling keterkaitan sektor jasa keuangan menuntut kebijakan makroprudensial yang bersifat melengkapi kebijakan mikroprudensial dan pengawasan sektor keuangan terintegrasi. Ternyata, meskipun berbagai perangkat dan peraturan mengantisipasi dan menangani krisis ekonomi dan keuangan telah tersedia, pemerintahan Jokowi tidak menggubris dan justru dengan sengaja mengeliminasinya! Secara khusus, pemerintah sengaja mengeliminasi peran UU PPKSK dalam Pasal 28 (poin 11) UU Nomor 2/2020. Padahal, berbagai perangkat tersebut disusun setelah belajar dari dampak negatif penanganan krisis eknomi dan keuangan masa lalu. Saat itu penanganan krisis sangat merugikan keuangan negara, dan penyebab utamanya adalah prilaku moral hazard penyelenggara negara dan para pengusaha. Prilaku pemerintah seperti di atas jelas menunjukkan sikap yang lebih berpihak kepada pengusaha yang menjadi bagian oligarki kekuasaan. Karena itu, tak heran jika UU Nomor 2/2020 lebih banyak memuat ketentuan menangani 64 kepentingan pengusaha dan penyelamatan sistem keuangan dan perbankan. Segelintir pengusaha memperoleh bagian yang besar, termasuk insentif fiskal dan pemotongan pajak, sedang ratusan juta rakyat justru tidak mendapat bagian dan penanganan memadai serta berkeadilan dalam hal keselamatan dan jaring pengaman sosial. Kita telah melihat dan merasakan prilaku moral hazard telah mewaranai dan sangat menentukan kehidupan rakyat di masa lalu dengan perekonomian dan beban utang yang sangat besar. Megaskandal BLBI telah meninggalkan utang negara Rp 640 triliun dan akan menjadi beban APBN dan beban rakyat hingga tahun 2033, itu pun jika pokok utang dilunasi. Megaskandal ini tidak dapat dituntaskan meskipun telah ditangani oleh 4 periode pemerintahan, terutama karena kuatnya pengaruh oligarki pengidap moral hazard (lihat Lampiran 2: UU Korona Nomor 2/2020: Melanjutkan Ketidakadilan Modus Megaskandal BLBI). Lampiran 1 Melawan Pelumpuhan DPR Dalam UU Korona Nomor 2/2020! UU Nomor 2/2020 adalah tentang Penetapan Perppu Nomor 1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan. UU Nomor 2/2020 diyakini melanggar konstitusi karena bertentangan dengan konstitusi. Salah satu pelanggaran terfatal, dilumpuhkannya hak budget DPR dalam Pasal 23 UUD 1945:
APBN sebagai wujud pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan UU dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat;
RUU APBN diajukan Presiden untuk dibahas bersama DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD;
Apabila DPR tidak menyetujui R-APBN yang diusulkan Presiden, Pemerintah menjalankan APBN tahun lalu. Tulisan ini membahas ketentuan UU Nomor 2/2020 yang melanggar konstitusi. Dibahas juga motif yang diyakini ada di balik pelanggaran, terutama Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 12 ayat (2). Pertama , pada Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 2/2020 disebutkan pemerintah berwenang menetapkan batasan defisit:
melampaui 3% dari PDB selama masa penanganan COVID-19 dan/atau untuk menghadapi ancaman membahayakan perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan paling lama sampai 2022;
sejak 2023 besaran defisit akan kembali menjadi paling tinggi sebesar 3% dari PDB; dan, 3) penyesuaian besaran defisit dilakukan bertahap. 65 Pasal 2 UU Nomor 2/2020 bertentangan dengan Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, karena meskipun defisit APBN perlu dinaikkan melebihi 3% dari PDB, DPR sama sekali tidak dilibatkan menentukan batas defisit tersebut. Padahal, persetujuan DPR atas APBN sebagai pemegang hak konstitusional budgeting merupakan cermin kedaulatan rakyat. Jika hak budegt dieliminasi, maka kedaulatan rakyat menentukan APBN pun hilang! Dengan hilangnya hak DPR menentukan defisit, maka nilai maksimum defisit menjadi terbuka tanpa batas. Nilai belanja APBN yang hanya terpusat di tangan pemerintah pun akan ditetapkan nyaris tanpa kontrol. Sehingga, APBN dapat dialokasikan pada program-program pro pengusaha, pro oligarki, tidak prioritas, dan berpotensi moral hazard. Atas nama korona, stabilitas ekonomi dan keuangan, APBN yang sebagian besar ditutup dengan menambah beban utang rakyat, berpotensi diselewengkan dan dikorupsi! Kedua, pada Pasal 12 ayat 2 UU Nomor 2/2020 dinyatakan perubahan postur dan/atau rincian APBN dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara hanya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres). Ini mempertegas niat buruk pemerintah menetapkan APBN secara tunggal, sekaligus menjadi alat menyingkirkan DPR ikut membahas APBN. Pemerintah telah bertindak inskonstitusional dan menghalalkan segala cara. Padahal pada Pasal 23 UUD 1945 disebutkan kedudukan dan status APBN adalah UU yang ditetapkan setiap tahun. RAPBN harus diajukan Presiden untuk dibahas dan disetujui DPR. Dengan pembahasan, terjadi proses check and balances dan APBN dapat pula dialokasikan sesuai prioritas. Ironis, DPR malah menyambut baik UU Korona yang telah melucuti haknya. Terlepas partisipasi DPR dan DPD dalam menetapkan budget mungkin dapat mengurangi kecepatan mengambil keputusan, konstitusi telah menjamin bahwa kedua lembaga memiliki hak ikut membahas dan menetapkan APBN dan APBN-P setiap tahun. Kondisi memaksa yang dipakai melegalkan eliminasi hak DPR seperti diatur Pasal 2 dan Pasal 12 UU Nomor 2/2020 merupakan perbuatan illegal sarat moral hazad. Menurut logika, tidak mungkin konstitusi dibuat sedemikian rupa sehingga ketentuan di dalamnya conflicting satu sama lain, atau bisa saling meniadakan hanya karena adanya satu sebab, seperti kegentingan memaksa Pasal 22 UUD 66 1945. Karena itu banyak kalangan telah menggugat UU Nomor 2/2020 ke Mahkamah Konstitusi, termasuk KMPK. Faktanya, dengan telah ditetapkannya Perppu Nomor 2020 menjadi UU Nomor 2/2020 pada 16 Mei 2020, pemerintah telah menerbitkan Perpres tentang Perubahan UU APBN 2020, yang selama ini dikenal sebagai UU APBN-P sebanyak dua kali, yaitu Perpres Nomor 54/2020 pada 3 April 2020 dan Perpres Nomor 72/2020 pada 24 Juni 2020. Kedua Perpres diterbitkan sewenang-wenang oleh pemerintah dalam kurun waktu tidak sampai 3 bulan, tanpa keterlibatan DPR. Dari kedua Perpres diperoleh biaya penanganan pendemi korona naik dari Rp 405 triliun menjadi Rp 695 triliun. Dana dukuangan bidang usaha (Rp 430T) lebih besar dibanding kesehatan dan jaring pengaman sosial (Rp 291T). Sedangkan defisit APBN naik dari Rp 852 triliun (3,07%) jadi Rp 1039 triliun (6,34%). Karena pandemi, penerimaan negara turun cukup besar dan belanja naik signifikan, sehingga defisit ditutup dengan utang, Rp 1220 triliun. Dalam kondisi keuangan negara yang demikian memprihatinkan, dan mestinya dibahas seluruh lembaga terkait, keputusan justru diambil oleh hanya segelintir pejabat pemerintah. Patut diduga sejumlah lembaga non pemerintah, pengusaha dan konglomerat ikut terlibat mempengaruhi Perpres guna mengamankan kepentingan. DPR sengaja dilumpuhkan agar agenda oligarki yang diduga sarat moral hazard berlangsung mulus. Jika dicermati lebih lanjut, beberapa skandal yang muncul belakangan ini dapat mengkonfirmasi kuatnya peran oligarki dan nuansa moral hazard dalam penyusunan Perpres Nomor 54/2020 atau Nomor 72/2020. Salah satu contoh adalah tentang Program Kartu Prakerja, yang semula mendapat alokasi anggaran berdasar Perpres Nomor 36/2020. Karena banyak protes publik dan temuan penyelewengan KPK, landasan hukum berubah jadi Perpres Nomor 76/2020. Padahal, menjadikan Perpres sebagai landasan legal tanpa adanya rujukan UU merupakan pelanggaran hukum serius. Terjadi rekayasa busuk: uang yang seharusnya diberikan secara utuh kepada rakyat, sebagian malah diberikan tanpa lelang pada 8 provider mitra penyedia pelatihan dengan anggaran Rp1 juta per orang, untuk 5,6 juta orang. Empat di antara provider adalah PMA. Melalui Perpres Nomor 76/2020, pemerintah memaksakan agar sebagian anggaran program dapat dinikmati mitra pelatihan yang sebagian berlatar belakang oligarki! 67 Artinya, program yang berkedok merakyat sebetulnya ditunggangi kepentingan oligarki berburu rente. Padahal modul pelatihan dapat diakses cuma- cuma di internet atau lembaga milik pemerintah. Jika ada empati terhadap penderitaan rakyat terdampak pandemi dan temuan KPK diperhatikan, maka tanpa dituntut program wajar berhenti. Namun karena matinya empati, niat korupsi dan status kebal hukum UU Nomor 2/2020, maka program tetap dilanjutkan. Kasus lain adalah tentang perubahan peran LPS yang wewenangnya ditingkatkan sepihak sesuai PP Nomor 33/2020 melebihi ketentuan dalam UU Nomor 4/2004 tentang LPS. Dengan itu, LPS dapat dimanfaatkan membail-out bank-bank atau perusahaan bermasalah. Pemanfaatan ini akan berjalan lancar karena minimnya prosedur/syarat rujukan dan transparansi. Cara ini mirip megaskandal BLBI, negara menolong bank dan bisnis para pengusaha bermasalah melalui proses yang sarat moral hazard, sehingga mewariskan beban utang besar pada rakyat. Berikutnya adalah pemanfaatan APBN untuk membantu pengusaha melalui dana yang dialokasikan sebagai bantuan UMKM sebesar Rp 123,46 triliun sesuai PP No.23/2020 tentang Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Dana telah diserahkan secara simbolis Rp 1 triliun oleh Presiden Jokowi pada 23 Juli 2020 di Istana Negara. Hal yang dikhawatirkan adalah siapa dan bagaimana cara, syarat serta prosedur bantuan dijalankan, yang minim pengawasan. Konsultasi dan pengawasan oleh DPR tidak optimal, sedangkan dasar kebijakan, peraturan operasional dan syarat pelaksanaan belum tersedia komprehensif dan berpotensi moral hazard. Sehingga, sebagian dana bantuan UMKM dapat berfungsi menjadi dana talangan bagi bank atau kredit macet, termasuk sektor propeti dan kredit lainnya. Padahal kredit macet timbul bukan karena pandemi, tetapi akibat pelanggaran aturan, ignorance, penyimpangan, kegiatan spekulatif, dll. Besarnya dana talangan dapat membesar karena motif untuk luar UMKM. Dalam PP Nomor 23/2020 disebutkan bank peserta meenyediakan dana penyangga liquiditas bagi bank pelaksana yakni bank umum konvensional dan bank syariah. Selain itu bank peserta dapat bertindak sebagai bank pelaksana berfungsi merestrukturisasi kredit dan pembiayaan. Mekanisme seperti ini dapat dianggap sebagai pola talangan atau bailout bank atas nama bantuan UMKM. Bantuan ini 68 tidak mengacu persyaratan kondisi darurat tetapi pada kondisi normal, sehingga bank lebih leluasa mengeruk dana UMKM. Akhirnya, dana bantuan UMKM dapat lebih banyak dinikmati pengusaha besar oligarkis dibanding UMKM. Uraian di atas telah memperlihatkan bagaimana UU Nomor 2/2020 disusun untuk membuka jalan bagi penggunaan APBN pro oligarki yang bernuansa moral hazard. Praktek seperti ini sudah biasa dilakukan para pengusaha berpengalaman dalam berbagai kasus, terutama megaskandal BLBI. Para veteran perampok BLBI ini sangat berpengaruh dan berhasil mengintervensi penguasa untuk menerbitkan Inpres Nomor 8/2002, tentang release and discharge. Dalam buku Skandal BLBI (2008) mantan Menko Ekuin Kwik Kian Gie menceritakan pengalaman betapa kuatnya pengaruh para konglomerat bersama menteri pro-oligarki membahas penyelesaian kasus BLBI pada November- Desember 2002: Ada seorang menteri yang mengatakan supaya jangan main-main dengan para pengusaha pengutang BLBI itu, karena mereka para konglomerat yang sudah bermain di Hongkong dan Singapura dengan jaringannya yang luas. Jadi, mereka sudah merupakan perusahaan multinasional. Akhirnya para konglomerat perampok BLBI memang mendapat status bebas pidana korupsi dari pemerintah yang pro pengusaha melalui Inpres Nomor 8/2002. Mereka ini sekarang tetap berkibar sebagai bagian dari oligarki kekuasaan dan bahkan tumbuh lebih besar. Saat ini, ikatan oligarki penguasa-pengusaha jauh lebih erat dan menentukan dibanding Era Megawati. Buktinya, karpet merah kebijakan dan peraturan bahkan sudah dipersiapkan sejak awal untuk memuluskan agenda para konglomerat, sebelum adanya program! Pada Era Jokowi yang mengusung UU Nomor 2/2020, segalanya mudah bagi oligarki, termasuk melumpuhkan DPR. Bahkan yang dilumpuhkan pun malah senang. Rakyat tak perlu buang waktu untuk heran. Mari bangkit untuk melawan. Lampiran 2 UU Korona Nomor 2/2020: Melanjutkan Ketidakadilan Modus Megaskandal BLBI Salah satu ketentuan yang berpotensi merugikan rakyat dalam UU Korona No.2/2020 adalah tentang perubahan kewenangan Bank Indonesia (BI). Pasal 16 69 (1) UU Korona antara lain memberi BI kewenangan untuk: (a) memberikan pinjaman likuiditas jangka pendek atau pembiayaan likuiditas jangka pendek berdasarkan prinsip syariah kepada Bank Sistemik atau bank selain Bank Sistemik; (b) memberikan Pinjaman Likuiditas Khusus kepada Bank Sistemik yang mengalami kesulitan likuiditas dan tidak memenuhi persyaratan pemberian pinjaman likuiditas jangka pendek atau pembiayaan likuiditas jangka pendek berdasarkan prinsip syariah yang dijamin oleh Pemerintah dan diberikan berdasarkan Keputusan KSSK; dan (d) membeli/repo surat berharga negara yang dimiliki Lembaga Penjamin Simpanan untuk biaya penanganan permasalahan solvabilitas Bank Sistemik dan bank selain Bank Sistemik. Ketentuan Pasal 16 (1) UU Korona membuka peluang terjadinya penyelamatan sektor keuangan melalui skema pemberian dana talangan atau bail- out oleh negara. Kebijakan seperti ini tentu tidak adil bagi seluruh rakyat. Segelintir orang atau pemilik bank memperoleh bantuan khusus negara atas nama penyelamatan sektor keuangan dalam kondisi mayoritas rakyat sedang menderita, yang justru jauh lebih layak memperoleh bantuan. Apalagi jika bank-bank tersebut bermasalah akibat berbagai pelanggaran aturan dan prilaku moral hazard para pemilik. Di sisi lain, guna menyelamatkan sektor keuangan yang diakui dapat berdampak sistemik, tersedia mekanisme lebih adil, yaitu melalui skema bail-in. Dalam skema bail-in, pemegang saham atau group bisnis dalam suatu konglomerasi dapat saling bantu menyelamatkan sektor bisnis yang bermasalah. Ketentuan tentang mekanisme bail-in ini pun telah diatur dalam UU No. 9/2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK). Para pemilik pemilik bank umumnya konglomerat yang berbisnis dibanyak sektor, sehingga akan mampu dan berkeadilan menerapkan skema bail-in . Namun langkah ini diabaikan. Skema bail-out berpotensi melahirkan skandal penyimpangan kekuasaan keuangan negara atas penanganan krisis yang menimbulkan biaya sangat besar bagi negara. Megaskandal BLBI akibat krisis ekonomi 1997-1998 telah membuat negara menanggung beban Rp640.9 triliun, terdiri dari BLBI Rp144,5 triliun, program penjaminan Rp53,8 triliun, penjaminan Bank Exim Rp 20 triliun dan obligasi rekap perbankan Rp422,6 triliun. Beban negara ini harus ditanggung rakyat secara keseluruhan melalui beban pajak dan inflasi yang berkelanjutan hingga sekarang. 70 Ternyata sebagian besar pengusaha dan konglomerat penikmat kebijakan zolim fasilitas BLBI (termasuk obligasi rekap) saat ini bukan saja survive tetapi bahkan tumbuh jauh lebih besar. Posisi mereka sebagai bagian dari oligarki kekuasaan tetap memperoleh berbabagi fasilitas dan hak istimewa dari pemerintah seperti terjadi sebelumnya, sehingga mereka dapat menguasai dan mencengkeram berbagai sektor ekonomi dan keuangan nasional. Bahkan sebagian konglomerat telah merambah sektor sosial dan politik, sehingga dapat mempengaruhi pembuatan aneka kebijakan, undang-undang dan peraturan pro oligarki, seperti UU No. 2/2020. Kombinasi sejumlah ketentuan dalam UU Korona No. 2/2020, yakni Pasal 16 terkait bail-out, Pasal 20 tentang peran LPS, Pasal 22 tentang penjaminan dan Pasal 28 terkait eliminasi ketentuan dalam 12 UU berlaku, akan berpotensi lahirnya kebijakan penjaminan penuh simpanan nasabah kaya ( blanket guarantee ). Di samping tidak adil, berbagai ketentuan tersebut berpotensi memunculkan moral hazard , termasuk oleh pejabat negara, sehingga dapat menimbulkan terulangnya megaskandal BLBI. Pada Pasal 20 UU No. 2/2020 LPS diberikan kewenangan merumuskan dan melaksanakan kebijakan penjaminan simpanan untuk kelompok nasabah dengan mempertimbangkan sumber dana dan/atau peruntukkan simpanan serta besaran nilai yang dijamin bagi kelompok nasabah tersebut yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pada pasal 22 disebutkan guna mencegah krisis sistem keuangan, pemerintah dapat menyelenggarakan program penjaminan di luar program penjaminan simpanan yang diatur dalam UU tentang LPS. Dengan skema penjaminan penuh ( full guarantee ) maka simpanan konglomerat di perbankan seluruhnya dijamin pemerintah yang berpotensi moral hazard . Menurut BPK tindakan moral hazard penguasa, pengusaha dan konglomerat yang mengkorupsi uang negara pada megaskandal BLBI dilakukan dalam berbagai modus. Laporan BPK No. 06/VII/2000 menyimpulkan terjadi berbagai tindak pidana, sehingga para pelakunya harus diproses secara hukum sebagai berikut: • Penggunaan BLBI di luar kepentingan yang telah ditentukan (yaitu untuk pembayaran dana nasabah), seperti untuk melunasi pinjaman dan kewajiban pembayaran yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya, membayar utang kepada kelompok usahanya sendiri, transaksi surat berharga, melunasi dana 71 pihak ketiga yang melanggar ketentuan, membiayai kontrak derivatif baru, membiayai ekspansi kredit, membiayai investasi dalam bentuk aktiva tetap, dan membiayai overhead (biaya operasional bank). Total penyimpangan yang terjadi adalah senilai R84,84 triliun) atau 58,70% dari jumlah BLBI yang dikucurkan per 29 Januari 1999 (sebesar Rp144,5 triliun); • Pelanggaran BMPK (Batas Maksimum Pemberian Kredit), yaitu nilai maksimum kredit yang dapat dikucurkan perbankan pada kelompok usaha sendiri. Pelanggaran BMPK sesuai dengan Pasal 49 ayat (2) jo Pasal 50 juncto Pasal 50 A UU Nomor 10 Tahun 1998, merupakan tindak pidana yang harus diproses hukum; • Pemberian fasilitas oleh BI yang mengizinkan perbankan untuk tetap mengikuti proses kliring walaupun rekening gironya di BI telah bersaldo negatif; • Penggelembungan nilai aset oleh para obligor BLBI untuk menutupi kewajiban yang harus dilunasi dalam skema pola Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham. Salim Group , misalnya, menyatakan nilai seluruh aset yang diserahkan pada 1998 adalah Rp 52 triliun (hal ini diterima oleh konsultan BPPN, yakni Lehman Brothers, PT Danareksa, dan PT Bahana tanpa financial due diligence lebih dulu). Namun, audit PricewaterhouseCoopers pada 2000 ternyata menemukan nilai aset Salim hanya berkisar Rp12 triliun-Rp20 triliun. Temuan BPK di atas menunjukkan tindakan moral hazard dalam megaskandal BLBI, di samping oleh para konglomerat, juga dilakukan pejabat negara baik di BI maupun lembaga terkait lain. BPK juga menemukan berbagai pelanggaran oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) sebagai berikut: • Mengonversi BLBI bank-bank take-over (BTO) menjadi penyertaan modal sementara (PMS); • Mengalihkan utang ke bank pemegang saham pengendali melalui pola penyelesaian kewajiban pemegang saham pengendali (PKPS), dengan menandatangani APU; • Memerankan diri sebagai agen dari pihak penerima bantuan dari pada sebagai wakil pemerintah yang berhak menarik bantuan likuiditas yang telah diberikan; • Aset yang dibayarkan berdasar pengakuan penerima BLBI jauh di atas nilai berlaku. Salah satu contoh, aset tambak udang Dipasena, Lampung milik 72 Sjamsul Nursalim diserahkan kepada BPPN dengan nilai Rp20 triliun. Padahal menurut perhitungan Menko Ekiun masa itu, Kwik Kian Gie, nilai pasar tambak Dipasena hanya Rp 2 triliun • Dalam menjual aset yang dibayarkan penerima bantuan dalam rangka mengonversi aktiva tetap menjadi uang kas kerap jauh di bawah nilai pasar. Kasus BLBI merupakan megaskandal karena menyangkut jumlah dana sangat besar, Rp 640 triliun. Para konglomerat penerima BLBI masa orde baru menguasai perekonomian nasional dari hulu sampai hilir. Ternyata saat ini, dominasi mereka bukan hanya pada sektor ekonomi dan keuangan, tetapi juga merambah hampir seluruh aspek kehidupan. Kalau dulu mereka berhasil mempengaruhi pemerintahan Megawati menerbitkan Inpres No. 8/2002 agar bebas pidana, maka pada pemerintahan Jokowi, cengekraman mereka semakin kuat, sehingga mampu berperan dalam pembentukan UU No. 2/2020 yang berpotensi lebih menyengsarakan rakyat. Akibat megaskandal BLBI yang membuat besarnya beban utang negara, maka guna membayar bunga utang, setiap tahun pemerintah harus mengurangi beberapa pos anggaran untuk sektor-sektor mendasar kehidupan rakyat, termasuk untuk pendidikan dan kesehatan. Akibatnya program pos pelayanan terpadu menghilang, biaya berobat naik, atau biaya pendidikan naik dan harga-harga barang/jasa pun naik. Meskipun mungkin terdapat perdebatan atas terjadinya penurunan anggaran kesejahteraan publik di tingkat makro, namun kian beratnya beban hidup menjadikan puluhan juta rakyat tetap hidup susah dan miskin. Salah satu cara untuk mengurangi kemiskinan adalah menegakkan hukum dan keadilan terhadap para koruptor BLBI. Minimal sebagian aset mereka harus disita untuk didistribusikan kepada rakyat melalui mekanisme APBN. Namun, dengan ditetapkannya UU Korona No. 2/2020, kebijakan dan aturan tersebut bukan saja mengulang kesalahan dan kejahatan sarat moral hazard masa lalu yang semakin memihak konglomerat, tetapi malah akan menambah kesengsaraan rakyat dan jumlah orang miskin itu sendiri. Menurut CORE, pada kuartal-2 2020, akibat pendemi korona penduduk miskin Indonesia akan bertambah sesuai skenario moderat 5,1 juta hingga sangat berat 12,2 juta jiwa. Artinya, akhir 2020 jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan menjadi 37,9 juta jiwa (14,35%). Situasi akan semakin parah jika anggaran 73 perlindungan sosial lebih rendah dibanding anggaran pemulihan ekonomi yang ditengarai pro pengusaha, seperti pada megaskandal BLBI. Rakyat pun harus bangkit menolak UU Korona pro oligarki tersebut.
Prof. Anthony Budiawan, M.Sc., CMA. PENDAHULUAN Pandemi Corona Virus Disease (Covid-19) menyebabkan pertumbuhan ekonomi turun, baik ekonomi dunia maupun ekonomi Indonesia. Dampak pandemi Covid-19 terhadap ekonomi bisa sangat serius. Pertumbuhan ekonomi bahkan bisa terkontraksi, artinya pertumbuhan negatif atau minus. Dalam krisis pandemi Covid-19, ada dua peristiwa yang terjadi di mana peristiwa satu menyebabkan peristiwa lainnya. Artinya, dalam hal ini, ada hubungan sebab dan akibat yang sangat jelas. Pandemi Covid-19 adalah penyebab, dan penurunan pertumbuhan ekonomi adalah akibat. Bukan sebaliknya. Artinya, peristiwa pandemi Covid-19 menyebabkan peristiwa pertumbuhan ekonomi turun. Oleh karena itu, berapa besar penurunan pertumbuhan ekonomi sangat tergantung dari berapa parah dan berapa lama penyebaran pandemi Covid-19 berlangsung. Semakin lama peristiwa pandemi Covid-19 berlangsung maka semakin dalam penurunan pertumbuhan ekonomi yang terjadi. Sebaliknya, apabila penyebaran pandemi Covid-19 dapat segera teratasi, maka penurunan pertumbuhan ekonomi akan lebih ringan. Artinya, penurunan pertumbuhan ekonomi akan terjadi secara gradual seiring berlangsungnya waktu penyebaran dan penanganan pandemi Covid-19. Hubungan sebab-akibat ini juga dinyatakan secara tegas dalam pertimbangan penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem, selanjutnya disebut Perppu No 1/2020, yang ditetapkan pada 31 Maret 2020. Butir Menimbang pada Perppu No 1/2020 menyatakan:
bahwa penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) yang dinyatakan oleh Organisasi Kesehatan Dunia ( World Health Organization ) sebagai pandemi pada sebagian besar negara-negara di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, menunjukkan peningkatan dari waktu ke waktu dan telah menimbulkan korban jiwa, dan kerugian material yang semakin besar, sehingga berimplikasi pada aspek sosial, ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat; 74 b. bahwa implikasi pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) telah berdampak antara lain terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional, penurunan penerimaan negara, dan peningkatan belanja negara dan pembiayaan, sehingga diperlukan berbagai upaya Pemerintah untuk melakukan penyelamatan kesehatan dan perekonomian nasional, dengan fokus pada belanja untuk kesehatan, jaring pengaman sosial (social safety net), serta pemulihan perekonomian termasuk untuk dunia usaha dan masyarakat yang terdampak; Butir Menimbang ini menegaskan bahwa penyebaran Covid-19 merupakan sebab dari perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional. Sedangkan salah satu maksud dan tujuan Perppu Nomor 1/2020 yang tersurat dari judulnya adalah untuk penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Apa yang dimaksud dengan “untuk penanganan pandemi Covid-19” tidak jelas dan tidak diatur sama sekali di dalam Perppu Nomor 1/2020. Tidak ada satu Bab dan Pasal di dalam Perppu Nomor 1/2020 yang mengatur bagaimana menangani Covid-19 yang menjadi sumber permasalahan. Perppu Nomor 1/2020 hanya mengatur tentang penanganan dampak Covid-19 terhadap perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan. Bahwa telah terjadi pandemi Covid-19 yang menimbulkan korban jiwa serta berdampak negatif pada pertumbuhan ekonomi nasional dan kesejahteraan masyarakat adalah sebuah fakta yang tidak terbantahkan. Tetapi, apakah ada hal ihwal kegentingan yang memaksa sehingga Presiden harus menetapkan Perppu Nomor 1/2020 perlu disikapi dan diuji secara lebih hati-hati. Pertama kali diketahui ada pasien terinfeksi Covid-19 di Indonesia pada 2 Maret 2020. Sedangkan pemerintah menetapkan Perppu Nomor 1/2020 pada 31 Maret 2020. Dalam waktu satu bulan, pemerintah menetapkan ada hal ihwal kegentingan yang memaksa sehubungan dengan Covid-19 yang dapat mengancam stabilitas sistem keuangan dan/atau membahayakan perekonomian nasional. Mengingat dampak krisis ekonomi terhadap penurunan ekonomi berlangsung secara gradual, pemerintah seharusnya mempunyai cukup waktu untuk membahas perubahan undang-undang yang perlu diubah bersama DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), misalnya terkait perubahan postur pada anggaran pendapat dan belanja negara, melalui proses normal, melalui pengajuan Rancangan Undang-Undang (RUU). Perlu digaris bawahi, DPR pada tanggal 30 Maret 2020 sudah mulai masuk masa sidang. Menurut pengalaman sebelumnya, pembahasan APBN-P untuk tahun 75 anggaran 2017 hanya memerlukan 24 hari kalender sejak Rancangan APBN-P diterima DPR sampai disetujui, dari 3 Juli 2020 sampai 27 Juli 2007. PANDANGAN UMUM Identifikasi Permasalahan Presiden dapat menetapkan Perppu apabila merasa ada hal ihwal kegentingan yang memaksa atas hal tertentu yang belum ada undang-undangnya, atau ada undang- undangnya tetapi tidak cukup. Dalam hal ini, hal tertentu tersebut adalah kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan nasional. Kemudian, Perppu yang ditetapkan harus disahkan DPR pada masa persidangan berikutnya. Artinya, penetapan Perppu hanya bersifat sementara waktu, yaitu dari tanggal penetapan Perppu sampai tanggal sidang DPR berikutnya. Dalam hal ini, sejak 31 Maret 2020 hingga 12 Mei 2020. Pemerintah khawatir, dalam periode tersebut terjadi permasalahan ekonomi yang tidak bisa ditangani oleh UU yang berlaku, sehingga terdorong menetapkan Perppu. Hal ihwal kegentingan yang memaksa di sini melibatkan dua unsur. Pertama, unsur subjektif Presiden dalam menilai bahwa saat ini tidak ada undang-undang, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai, tentang kebijakan keuangaan negara dan stabilitas sistem keuangan untuk menangani dampak pandemi Covid-19 terhadap perlambatan perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan. Kedua, unsur waktu dan Jumlah di mana dampak pandemi Covid-19 terhadap penurunan pertumbuhan ekonomi dikhawatirkan terjadi dalam waktu cepat, sehingga Presiden tidak bisa menunggu mengubah undang-undang yang dirasa tidak memadai melalui prosedur normal dengan cara mengusulkan Rancangan Undang-Undang kepada DPR untuk dibahas bersama. Krisis Ekonomi Berlangsung Bertahap Perjalanan krisis ekonomi di dunia menunjukkan bahwa krisis ekonomi tidak terjadi secara mendadak bagaikan bencana alam yang bisa mengakibatkan kerusakan seketika. Krisis ekonomi umumnya berlangsung secara bertahap dari waktu ke waktu. Berikut ini diberikan contoh beberapa kasus krisis ekonomi yang dialami Indonesia. Krisis Moneter Asia 1997/1998 krisis moneter Asia berawal dari Thailand pada awal Juli 1997 melalui serangan spekulatif terhadap mata uang baht Thailand, yang kemudian menyebar 76 ke Indonesia, Korea Selatan, Malaysia dan Philipina. Kurs rupiah yang ketika itu menggunakan sistem kurs tetap mendapat serangan spekulatif yang membuat kurs rupiah terdepresiasi tajam. Kurs rupiah terhadap dolar AS pada triwulan III-1997, triwulan IV-1997 dan triwulan I-1998 masing-masing turun 34,5 persen, 69,7 persen dan 56,8 persen: dari Rp 2.431,5 per dolar AS pada 30 Juni 1997 turun menjadi Rp 3.270 per dolar AS pada 30 September 1997, Rp5.550 per dolar AS pada 31 Desember 1997, dan Rp8.000 per dolar AS pada 31 Maret 1998. Krisis sektor finansial berdampak pada perekonomian nasional. Kurs rupiah yang turun tajam membuat banyak perusahaan yang mempunyai utang dalam dolar mengalami gagal bayar dan bangkrut, dan akhirnya menyeret sektor perbankan. Krisis valuta akhirnya menjadi krisis sektor finansial dan krisis ekonomi secara gradual. Pertumbuhan ekonomi pada triwulan III-1997, triwulan IV-1997 dan Triwulan I-1998 masing-masing 5,2 persen, 1,4 persen dan minus 4,9 persen. Indonesia tidak bisa keluar dari krisis valuta ketika itu karena fundamental ekonomi Indonesia sangat lemah. Neraca transaksi berjalan mengalami defisit sangat besar bertahun-tahun lamanya. Dalam kondisi seperti ini, kurs rupiah akan tertekan dan terdepresiasi. Kurs rupiah hanya bisa menguat kalau ada aliran dana (modal atau investasi) asing masuk ke Indonesia untuk membiayai defisit neraca transaksi berjalan tersebut. Aliran dana (modal atau investasi) asing bisa dalam bentuk utang kepada asing (utang luar negeri), penanaman modal asing, atau investasi asing di pasar modal (pasar saham dan pasar surat berharga). Kondisi seperti ini berlangsung cukup lama sehingga uang asing di Indonesia ketika itu terakumulasi sangat besar. Akibatnya, ketika investor dan kreditor asing menarik uangnya kembali secara tiba-tiba maka kurs rupiah terdepresiasi tajam. Dan ini berlanjut terus sampai kondisi cadangan devisa terkuras. Indonesia akhirnya harus mengajukan pinjaman kepada IMF (International Monetary Fund) dan negara asing (bilateral) untuk menutupi keperluan devisa yang ditarik keluar negeri. 77 Krisis Finansial Global 2007/2008 Awal krisis finansial global mulai berkembang sejak April 2007 di sektor kredit perumahan di Amerika Serikat, yang kemudian berkembang menjadi krisis finansial global, meluas ke Eropa dan belahan dunia lainnya pada tahun berikutnya. Pertumbuhan ekonomi dunia mengalami koreksi tajam dari 4,32 persen pada 2007 menjadi 1,85 persen pada 2008 dan minus 1,68 persen pada 2009. Pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat turun tajam dari positif 1,88 persen pada 2007 menjadi minus 0,14 persen pada 2008 dan minus 2,54 persen pada 2009. Pertumbuhan ekonomi Inggris juga turun dari 2,43 persen pada 2007 menjadi minus 0,28 persen pada 2008 dan minus 4,25 persen pada 2009. Pertumbuhan ekonomi Indonesia juga melemah dari 6,35 persen pada 2007 menjadi 6,01 persen pada 2008, dan kemudian menjadi 4,63 persen pada 2009. Tidak terlalu buruk. Meskipun demikian, pemerintah Indonesia menetapkan tiga Perppu hampir bersamaan waktunya untuk mengantisipasi ancaman stabilitas sektor keuangan. Antara lain menetapkan Perppu No 4 tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) pada 15 Oktober 2008, sebagai payung hukum untuk menyelamatkan sektor keuangan dari ancaman krisis keuangan. Penetapan Perppu No 4/2008 sulit dimengerti mengingat waktu penetapan dan sidang DPR berikutnya sangat berdekatan, hanya selisih 2 bulan. Tidak lama setelah penetapan Perppu, Bank Indonesia memberi pinjaman likuiditas kepada Bank Century yang mempunyai masalah likuiditas, dan dianggap sebagai Bank Sistemik. Artinya, permasalahan Bank Century dapat merembet ke bank lainnya yang bisa mengancam stabilitas sistem keuangan, sehingga harus diselamatkan. Tetapi, ternyata penyelamatan Bank Century merugikan keuangan negara, dan pihak yang bersalah dihukum. Perppu Nomor 4/2008 tidak disetujui oleh DPR dalam pembahasan di sidang Paripurna pada 18 Desember 2008. Sepanjang tahun 2009, sektor keuangan Indonesia baik-baik saja. Pertumbuhan ekonomi 2009 juga cukup tinggi, sebesar 4,63 persen. Keputusan DPR tidak mengesahkan Perppu Nomor 4/2008 menjadi UU ternyata tepat. Dua unsur Kegentingan yang memaksa tidak terpenuhi. Ancaman krisis finansial global secara substansi tidak terbukti membuat sektor keuangan Indonesia 78 runtuh dalam waktu singkat. Dalam hal ini dari sejak tanggal penetapan Perppu Nomor 4/2008 pada 15 Oktober 2008 hingga sidang DPR berikutnya pada 18 Desember 2008. Oleh karena itu, pemerintah seharusnya mengajukan Rancangan Undang-Undang untuk mengisi kekosongan undang-undang atau memperbaiki undang-undang yang ada yang dirasakan kurang memadai. Singkatnya, hal ihwal kegentingan yang memaksa tidak terbukti pada krisis finansial global 2007/2008, dan pendapat subyektif Presiden harus disikapi secara hati-hati. Apalagi di dalam Perppu Nomor 4/2008 dimuat pasal-pasal yang mengatur imunitas atau kekebalan hukum para pejabat pemerintah pelaksana Perppu. Pasal imunitas ini seharusnya menjadi bukti ada iktikad tidak baik dalam melaksanakan Perppu tersebut. Hal ini diperkuat dalam kasus penyelamatan Bank Century ternyata terbukti merugikan keuangan negara. PERMASALAHAN HUKUM DALAM PENETAPAN PERPPU NOMOR 1 TAHUN 2020 Kronologis kasus dan penetapan status Covid-19 di Indonesia. Pada 2 Maret 2020 pemerintah mengumumkan ada dua pasien terinfeksi Covid-19. Pada 17 Maret 2020 Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menetapkan Covid-19 sebagai keadaan tertentu darurat bencana wabah penyakit akibat virus Corona dengan durasi sampai 29 Mei 2020. Nampaknya ada perbedaan penetapan status antara Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dengan pemerintah Indonesia. WHO pada 13 Maret 2020 menetapkan Covid-19 sebagai pandemi global. Sedangkan pemerintah Indonesia belum menetapkan status darurat nasional, sebagai tindak lanjut status pandemi global. Pada 31 Maret 2020 pemerintah menetapkan Perppu Nomor 1/2020. Penetapan Perppu Nomor 1/2020 hanya dalam waktu satu bulan setelah kasus pertama Covid-19 diumumkan cukup mengejutkan banyak pihak. Karena sebelumnya pemerintah selalu mengatakan kondisi Indonesia baik-baik saja, dan Indonesia siap menghadapi Covid-19. Mengejutkan karena DPR juga sudah masuk masa persidangan pada 30 Maret 2020 sehingga proses perubahan undang-undang melalui prosedur normal dapat dilakukan. Penetapan Perppu Nomor 1/2020 dirasakan tidak tepat dengan alasan-alasan berikut ini. 79 Covid-19 sebagai Bukan Darurat Nasional Pemerintah tidak pernah menyatakan bahwa Covid-19 merupakan darurat nasional. Oleh karena itu, Covid-19 bukan merupakan bagian dari kegentingan yang memaksa yang menjadi alasan penetapan Perppu Nomor 1/2020. Hal ini diperkuat dengan fakta bahwa tidak ada satu pasal pun di dalam Perppu Nomor 1/2020 yang mengatur penanganan Covid-19. Penetapan Perppu Nomor 1/2020 menjadi tidak tepat karena tanpa ada upaya penanganan Covid-19 secara benar dan secepat-cepatnya sehingga dampak Covid-19 terhadap ekonomi berpotensi semakin memburuk. Akibatnya, biaya untuk menyelamatkan stabilitas sistem keuangan dan perekonomian nasional menjadi tidak menentu. Semakin lama penanganan Covid-19 berlangsung, semakin tinggi biaya krisis ekonomi yang harus ditanggung. Oleh karena itu, pemerintah harus mengintegrasikan kebijakan penanganan Covid- 19 dengan kebijakan ekonomi dengan tujuan memotong mata rantai penyebaran secepat-cepatnya. Ancaman Stabilitas Sistem Keuangan dan Perekonomian Nasional Tidak Tepat sebagai Faktor Kegentingan yang Memaksa Pertama, dalam keadaan mendesak yang mengancam stabilitas sistem keuangan dan perekonomian nasional, pemerintah sudah mempunyai perangkat hukum untuk mengatasi itu, sehingga tidak tepat hal ini dijadikan hal ihwal kegentingan yang memaksa untuk menetapkan Perppu Nomor 1/2020. Untuk mengatasi ancaman stabilitas sistem keuangan dan perekonomian nasional, pemerintah mempunyai undang-undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (UU Nomor 9/2016) yang diundangkan pada 15 April 2016. UU Nomor 9/2016 relatif masih baru untuk dapat menjawab tantangan sistem keuangan terkini. UU Nomor 9/2016 khusus dibuat untuk pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan yang mencakup bidang fiskal, moneter, makroprudensial dan mikroprudensial jasa keuangan, pasar keuangan, infrastruktur keuangan, termasuk sistem pembayaran dan penjaminan simpanan, dan resolusi bank [Pasal 3 ayat (2) UU Nomor 9/2016]. Sesuai Penjelasan atas UU Nomor 9/2016, UU ini dibuat untuk memperbaiki dan membangun sistem keuangan yang tangguh dan siap menghadapi krisis sistem 80 keuangan, berdasarkan pengalaman krisis keuangan 1997-1998 dan krisis keuangan global 2008. Selanjutnya, seperti dikutip dari Penjelasan: “Titik berat Undang-Undang ini terletak pada pencegahan dan penanganan permasalahan bank sistemik sebagai bagian penting dari sistem keuangan. Meskipun demikian, pemantauan, pemeliharaan, dan penanganan permasalahan sistem keuangan dilakukan juga terhadap bidang fiskal, moneter, lembaga jasa keuangan, pasar keuangan, dan infrastruktur keuangan, termasuk sistem pembayaran. Hal ini didasarkan pada dua pertimbangan utama. Pertama, permasalahan bank sistemik dapat menyebabkan gagalnya sistem pembayaran yang mengakibatkan tidak berfungsinya sistem keuangan secara efektif dan berdampak langsung pada jalannya roda perekonomian. Kedua, sebagian besar dana masyarakat saat ini dikelola oleh sektor perbankan, khususnya bank sistemik, dan perlu dijaga keamanannya dari kemungkinan kegagalan bank. Pencegahan dan penanganan permasalahan pasar keuangan dan lembaga jasa keuangan lain dilaksanakan oleh lembaga sesuai dengan wewenang yang diatur dalam Undang-Undang mengenai perbankan, perasuransian, pasar modal, surat utang negara, Lembaga Penjamin Simpanan, Otoritas Jasa Keuangan, dan Bank Indonesia.” Oleh karena itu, pemerintah lebih tepat menggunakan UU Nomor 9/2016 untuk mencegah dan menangani krisis sistem keuangan, sehingga Perppu Nomor 1/2020 tidak tepat untuk menangani ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan. Pasal 6 huruf c UU Nomor 9/2016 menjelaskan bahwa KSSK (Komite Stabilitas Sistem Keuangan) berwenang menetapkan kriteria dan indikator untuk penilaian kondisi Stabilitas Sistem Keuangan. Artinya, pemerintah senantiasa memantau kondisi Stabilitas Sistem Keuangan sehingga dapat mendeteksi kondisi Stabilitas Sistem Keuangan sejak awal dan menyiapkan solusi penanganan yang tepat. Dengan demikian, tidak ada unsur keterdesakan yang dapat dikategorikan kegentingan yang memaksa yang membuat pemerintah menetapkan Perppu Nomor 1/2020. Hingga Perppu Nomor 1/2020 ditetapkan pada 31 Maret 2020, masyarakat tidak mendengar stabilitas sistem keuangan dalam kondisi krisis. Sehingga seharusnya Perppu Nomor 1/2020 tidak memenuhi persyaratan kegentingan yang memaksa. 81 Hal ini diperkuat dengan pernyataan Kepala Eksekutif LPS, salah satu anggota KSSK, pada 20 Maret di media dengan judul Ada Corona, LPS Pastikan Likuiditas Sektor Keuangan RI Aman . ( https: //www.cnbcindonesia.com/market/ ri-aman ). Kemudian, Bank Indonesia, juga sebagai salah satu anggota KSSK, pada 20 Maret 2020 menyatakan Stabilitas sistem keuangan tetap terjaga, meskipun fungsi intermediasi perbankan terus menjadi perhatian . Oleh karena itu, penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 bertentangan dengan pernyataan dua anggota KSSK bahwa stabilitas sistem keuangan dan perekonomian Indonesia masih terjaga dan aman. Dengan kata lain, tidak ada kegentingan memaksa. Penyesuaian Fiskal dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tidak Tepat sebagai Faktor Kegentingan yang Memaksa Kedua, Covid-19 membuat asumsi dasar dan postur APBN 2020 melenceng. Realisasi APBN 2020 diperkirakan akan menyimpang dari target. Oleh karena itu, pemerintah merasa perlu melakukan perubahan APBN untuk tahun anggaran (TA) 2020. Sehubungan dengan Covid-19, pemerintah memilih melakukan perubahan postur APBN (APBN-P) tahun anggaran 2020 melalui penetapan Perppu No 1/2020. Sebenarnya sudah ada mekanisme UU yang mengatur perubahan APBN. Pasal 27 ayat (3) UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (UU Nomor 17/2003) membolehkan pemerintah melakukan penyesuaian APBN dengan kondisi perekonomian terkini. Pasal 27 ayat (4) mengatur kondisi darurat: dalam keadaan darurat pemerintah dapat melakukan pengeluaran yang belum tersedia anggarannya, yang selanjutnya diusulkan dalam rancangan perubahan APBN dan/atau disampaikan dalam Laporan Realisasi Anggaran. UU Nomor 20 Tahun 2019 tentang APBN Tahun Anggaran 2020 (UU Nomor 20/2019) juga memuat mekanisme penyesuaian APBN TA 2020 secara lebih detil, yang harus disampaikan dalam Rancangan Undang-Undang mengenai Perubahan atas UU APBN Tahun Anggaran 2020. Pasal 41 UU Nomor 20/2019 mengatur mekanisme perubahan anggaran dalam keadaan darurat, di mana, dalam hal ini, DPR harus memberikan persetujuan dalam waktu 1 kali 24 jam setelah disampaikan pemerintah. 82 Oleh karena itu, dari unsur waktu, tidak ada alasan yang memadai untuk menetapkan Perppu Nomor 1/2020. Perppu ditetapkan ketika ada kondisi kegentingan yang memaksa, atau darurat. Sedangkan kondisi darurat ini sudah diatur dalam undang-undang tentang Keuangan Negara, khususnya UU Nomor 20/2019, termasuk persetujuan dari DPR yang harus diberikan dalam waktu 1 kali 24 jam. Selanjutnya, pembahasan perubahan APBN juga dapat dilakukan cukup cepat sehingga tidak diperlukan Perppu untuk melakukan perubahan APBN. Hal ini terbukti pada pembahasan Perubahan APBN Tahun Anggaran 2017 yang hanya memerlukan waktu 24 hari kalender. RUU Perubahan APBN diajukan presiden pada 3 Juli 2017 dan disahkan DPR pada 27 Juli 2017. http: //www.anggaran. kemenkeu.go.id/dja/edef-konten-view.asp?id=1291 Untuk dimensi jumlah, alasan kegentingan yang memaksa juga tidak terpenuhi. Target defisit anggaran pada APBN 2020 ditetapkan Rp 307 triliun, atau setara 1,8 persen dari PDB. Menurut UU Keuangan Negara, defisit anggaran boleh mencapai 3 persen dari PDB. Artinya, defisit anggaran pada APBN 2020 bisa ditingkatkan menjadi Rp513 triliun. Jumlah ini seharusnya cukup untuk membiayai APBN hingga RUU Perubahan APBN disahkan melalui prosedur normal. Hal ini juga terbukti, defisit anggaran sampai akhir Juni 2020 hanya Rp257,8 triliun. Jauh lebih rendah dari target defisit anggaran APBN 2020 (Rp307 triliun) maupun target defisit anggaran yang dibolehkan oleh UU (Rp513 triliun). Adapun defisit anggaran sampai Juli dan Agustus 2020 masing-masing Rp330,2 triliun dan Rp500,5 triliun. Masih dalam jangkauan batasan defisit yang dibolehkan menurut UU Keuangan Negara. Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan tidak ada hal ihwal kegentingan yang memaksa yang menjadi prasyarat penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2020. Sebagai konsekuensi, Perppu bisa cacat hukum karena melanggar prasyarat Pasal 22 ayat (1) UUD NRI: Tidak ada kebutuhan mendesak; Tidak ada kekosongan hukum (kecuali batas defisit anggaran 3 persen dari PDB); Kekosongan hukum batas defisit anggaran ini dapat diatasi dengan membuat UU melalui prosedur normal. Bahaya Penetapan Perppu Nomor 1/2020 Terhadap Perekonomian Nasional dan Stabilitas Sistem Keuangan Perubahan APBN 2020 dilakukan melalui penetapan Perppu Nomor 1/2020 untuk tujuan tertentu. Pertama untuk menaikkan batas defisit anggaran maksimal 3 persen dari PDB seperti diatur di dalam UU Nomor 17/2003 tentang Keuangan Negara 83 menjadi defisit anggaran tidak terbatas selama 3 tahun masing-masing untuk anggaran 2020, 2021 dan 2022. Kedua, Perppu Nomor 1/2020 menghapus beberapa pasal dari UU lain seperti tercantum pada pasal 28 butir 1 hingga butir 12. Sedangkan Perppu Nomor 1/2020 akan berlaku permanen setelah disahkan menjadi UU nomor 2 Tahun 2020. Sebagai contoh, • Bank Indonesia boleh seterusnya membeli surat berharga negara di pasar primer akibat Pasal 55 ayat (4) UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang melarang pembelian tersebut dihapus. • APBN tidak perlu lagi terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan dan jenis belanja karena Pasal 15 ayat (5) UU Nomor 17/2003 yang mengharuskan rincian APBN dihapus. • Pemerintah dapat memberikan pinjaman dan/atau hibah kepada pemerintah daerah dan pemerintah/lembaga asing tanpa mendapat persetujuan DPR, karena pasal yang mengatur persetujuan sudah dihapus. • Dan masih banyak lainnya. Begitu juga dengan Pasal 27 Perppu Nomor 1/2020 akan berlaku permanen. Mengakibatkan para pejabat KSSK dan pengguna anggaran APBN tidak bisa dituntut secara perdata maupun pidana serta tidak bisa digugat di peradilan tata usaha negara, dan semua biaya yang telah dikeluarkan dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara. Implikasi Pasal 28 Perppu Nomor 1/2020 Perppu Nomor 1/2020 menghapus banyak pasal-pasal dari berbagai undang- undang lainnya seperti tercantum pada Pasal 28 Perppu Nomor 1/2020. Penghapusan pasal-pasal tersebut mempunyai implikasi bahwa Perppu Nomor 1/2020 berpotensi melanggar undang-undang yang mempunyai hierarki lebih tinggi dari Perppu secara umum, yaitu Undang-Undang Dasar dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR), karena pasal-pasal yang dihapus tersebut sebenarnya penjabaran atau pelaksanaan dari Undang-Undang Dasar atau TAP MPR. 84 Penghapusan pasal-pasal tersebut juga membahayakan perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan. Karena Perppu Nomor 1 Tahun 2020 bukan mengisi kekosongan hukum. Melainkan menghapus peraturan (pasal) terkait ekonomi dan keuangan yang awalnya harmonis menjadi disharmonis. Karena penghapusan peraturan (pasal) tersebut bersifat permanen. PEMBAHASAN PASAL-PASAL PADA PERPPU NOMOR 1 TAHUN 2020 Sehubungan dengan Covid-19, pemerintah perlu menetapkan kebijakan keuangan negara dan kebijakan stabilitas sistem keuangan, yang tertuang dalam Perppu Nomor 1/2020. Di bawah ini membahas pasal-pasal sehubungan dengan kedua kebijakan tersebut dan potensi bertentangan dengan UUD, TAP MPR atau dengan UU lainnya.
Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1 Perppu Nomor 1/2020 Pemerintah berwenang menetapkan batasan defisit anggaran melampaui 3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB)...… paling lama sampai dengan berakhirnya Tahun Anggaran 2022. Pendapat Defist anggaran melampaui 3% dari PDB berarti boleh melampaui tanpa batas. Defisit anggaran tanpa batas bisa membahayakan perekonomian nasional dan keuangan negara. Defisit anggaran berarti pemerintah harus menarik utang baru. Utang pemerintah saat ini sudah sangat besar. Pembayaran bunga pinjaman sangat membebani belanja negara, sehingga rakyat dirugikan karena anggaran belanja untuk kepentingan rakyat jauh berkurang. Hal ini bisa bertentangan dengan Pasal 23 UUD NRI agar pemerintah mengelola keuangan negara untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat . Rasio beban bunga terhadap penerimaan pajak tahun 2019 mencapai 17,9 persen. Rasio ini jauh lebih besar dari rasio menurut prinsip kehati-hatian berdasarkan patokan IMF ( International Monetary Fund ) sebesar 10 persen. Kalau penambahan utang pemerintah melonjak tinggi akibat batas defisit dibuat tanpa batas, rasio beban bunga pinjaman terhadap penerimaan pajak akan naik pesat, sehingga dapat membahayakan ketersediaan anggaran belanja negara untuk kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, defisit anggaran boleh melampaui 3 persen dari PDB tidak bisa diterima karena tanpa ada batasan yang jelas yang dapat membahayakan keuangan negara dan perekonomian nasional. 85 Terkait unsur waktu, batasan defisit anggaran dalam persentase tertentu seharusnya hanya terbatas untuk tahun 2020 saja, mengingat kegentingan yang memaksa yang menjadi dasar penetapan Perppu Nomor 1/2020, yaitu Pasal 22 ayat (1) UUD NRI, harus diatasi secepatnya sesuai persyaratan penetapan Perppu. Artinya, Covid-19 seharusnya sudah dapat diatasi dalam tahun ini, sehingga kondisi kegentingan yang memaksa menjadi tidak relevan lagi pada tahun depan, dan oleh karena itu kondisi fiskal APBN bisa menjadi normal kembali. Sementara itu, untuk tahun-tahun berikutnya, pemerintah bisa menempuh cara wajar dalam pembentukan undang-undang sesuai yang diatur Pasal 20 UUD NRI dengan mengajukan rancangan undang-undang apabila merasa perlu mengubah peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini karena masih banyak waktu untuk membuat perubahan undang-undang yang dapat digunakan mulai tahun 2021. Kesimpulan:
Defisit anggaran melampaui 3 persen dari PDB selama tiga tahun bertentangan dengan Pasal 22 ayat (1) UUD NRI di mana unsur kegentingan yang memaksa, khususnya dimensi waktu, tidak terpenuhi.
Defisit anggaran melampaui 3 persen dari PDB selama tiga tahun tanpa perlu mendapat persetujan DPR bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) UUD NRI di mana APBN harus ditetapkan setiap tahun dengan persetujuan DPR. Penetapan APBN tanpa persetujuan DPR termasuk praktek pengelolaan keuangan negara yang dapat membahayakan perekonomian nasional sehingga unsur untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat tidak terpenuhi seperti dimaksud Pasal 23 ayat (1).
Penetapan defisit anggaran tanpa persetujuan DPR melanggar Pasal 20A UUD NRI karena memangkas wewenang DPR yang diberikan UUD: Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. 2. Pasal 2 ayat (1) huruf c Perppu Nomor 1/2020 Pengelolaan anggaran dan keuangan negara sepatutnya harus terinci sampai unit organisasi, fungsi, dan program seperti berulang kali ditegaskan dalam undang- undang lainnya, seperti Pasal 180 ayat (6) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD, Pasal 14 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 86 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2019 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020. Penghapusan pasal-pasal tersebut di atas yang mewajibkan anggaran disusun sampai unit organisasi, fungsi, dan program pada hakekatnya menghalangi peran dan fungsi BPK sebagai pemeriksa keuangan negara yang ditugaskan oleh UUD NRI. Pasal 9 ayat (1) huruf b menyatakan bahwa dalam melaksanakan tugasnya, BPK berwenang meminta keterangan dan/atau dokumen yang wajib diberikan oleh setiap orang, unit organisasi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara; Dengan tidak ada rincian anggaran sampai unit organisasi, fungsi dan program, maka BPK tidak bisa memeriksa setiap pihak yang mengelola keuangan negara, sehingga BPK tidak bisa menjalankan fungsi dan tugasnya sesuai perintah UU BPK dan UUD NRI. __ Di lain pihak, Pasal 11 ayat (5) UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara mewajibkan belanja negara dirinci menurut organisasi, fungsi dan jenis belanja. Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2019 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020 juga mewajibkan Anggaran Belanja Pemerintah Pusat dikelompokkan menurut fungsi, organisasi, dan program. Kedua pasal ini masih berlaku karena tidak dihapus di dalam Perppu Nomor 1/2020. Sebagai tindak lanjut Perppu Nomor 1/2020, pemerintah sudah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020 (Perpres Nomor 54/2020) beserta Lampirannya. Di dalam Postur Perubahan APBN 2020 tersebut, tidak ada rincian anggaran sampai organisasi, fungsi, dan program. Dalam hal ini, pemerintah melalui menteri keuangan mendapat wewenang yang sangat besar sekali, bahkan dapat dikatakan wewenang absolut, dalam menggunakan anggaran. • Hal ini tersurat di dalam Perpres Nomor 54/2020 di mana Menteri Keuangan dapat menetapkan perubahan atas rincian Perubahan Postur APBN TA 2020 (Pasal 3 ayat (2)) secara sepihak, tanpa perlu mendapat persetujuan DPR. Perubahan atas rincian Perubahan Postur APBN TA 2020 tidak sampai unit 87 organisasi, fungsi, dan program mengakibatkan BPK tidak dapat menjalankan fungsi dan tugasnya sebagaimana perintah UUD. Berdasarkan peraturan perundang-undangan, dalam kondisi apapun, pemerintah tidak bisa menghilangkan fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan DPR serta tidak bisa menghilangkan fungsi dan tugas BPK, seperti yang diamanatkan UUD NRI. Kesimpulan:
Penghapusan rincian anggaran sampai unit organisasi, fungsi, dan program bertentangan dengan Pasal 20A ayat (1) dan Pasal 23E ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI karena membuat BPK tidak bisa melaksanakan tugasnya sesuai Pasal 9 ayat (3) UU Nomor 15/2006 tentang BPK.
Pasal 2 ayat (1) huruf d melakukan tindakan yang berakibat pengeluaran atas beban APBN, yang anggaran untuk membiayai pengeluaran tersebut belum tersedia atau tidak cukup tersedia, serta menentukan proses dan metode pengadaan barang/jasa. Penentuan proses dan metode pengadaan barang dan jasa harus sesuai, dan tidak boleh bertentangan, dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Terkait hal ini, kasus Kartu Prakerja sudah menuai kontroversi dan keresahan di masyarakat. Kartu Prakerja adalah bantuan nontunai dari pemerintah kepada para pihak yang tidak bekerja, atau kepada pihak yang tertarik, untuk digunakan mengikuti pelatihan dengan tujuan meningkatkan kompetensi. Untuk melaksanakan tugas ini, pemerintah bekerja sama dengan rekanan atau mitra untuk pelatihan online (Platform Digital). Kontroversi dan keresahan disebabkan pertama, dari mana sumber anggaran untuk membiayai Kartu Prakerja tersebut. Karena tidak ada rincian anggaran sampai unit organisasi, fungsi dan program akibat dihapus di Perppu Nomor 1/2020, maka BPK akan kesulitan melaksanakan pemeriksaan sampai ke pengelola anggaran sesuai standar pemeriksaan keuangan negara. Kedua, proses pemilihan rekanan atau mitra kerjasama pemerintah dengan 8 platform digital mengandung kontroversi dan tercium aroma KKN yang dilarang di dalam TAP MPR. Kalau pemberian bantuan nontunai adalah hak penerima sesuai kriteria yang ditetapkan, maka pemerintah tidak ada hak lagi untuk mengatur bagaimana penerima atau pemilik nontunai membelanjakan bantuan nontunai 88 tersebut. Terlebih, pemerintah tidak bisa menjalin kerjasama dengan mitra 8 platform dengan mengatasnamakan pihak penerima bantuan nontunai. Perjanjian seperti ini tidak ada dasar hukumnya dan menjadi tidak sah. Kecuali pemerintah mengatakan bantuan nontunai adalah dalam bentuk barang/jasa. Dalam hal ini, pemerintah bisa mengadakan perjanjian kerjasama dengan mitra pemilik 8 platform digital. Sebagai konsekuensi, biaya Kartu Prakerja dan pemilihan mitra dapat diperiksa oleh BPK dan dapat dinilai apakah ada kerugian negara dalam pelaksanaan kerjasama tersebut. Dalam hal ini, mitra juga bisa diperiksa apakah terjadi mark-up yang merugikan keuangan negara. Implikasi Pasal 2 ayat (1) huruf d adalah pemberian wewenang yang sangat besar kepada pemerintah karena dapat melakukan pengeluaran meskipun anggarannya belum cukup tersedia atau tidak tersedia, bahkan dapat menentukan proses dan metode pengadaan barang/jasa. Wewenang yang tidak terkontrol ini bertentangan dengan fungsi DPR seperti tercantum di Pasal 20A ayat (1) UUD NRI dan BPK seperti tercantum di Pasal 23E ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI.
Pasal 2 ayat (1) huruf f Pemerintah berwenang menerbitkan Surat Utang Negara dan/atau Surat Berharga Syariah Negara dengan tujuan tertentu khususnya dalam rangka pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) untuk dapat dibeli oleh Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), investor korporasi, dan/atau investor ritel; Di dalam PERPPU 1/2020 harus dijelaskan tujuan tertentu yang di maksud dalam “penerbitan surat utang negara/surat berharga syariah negara dengan tujuan tertentu khususnya dalam rangka pandemi Covid-19”, sehingga tujuan tertentu tersebut tidak berkembang menjadi banyak tujuan tertentu. Pertama, menurut Pasal 55 ayat (4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (UU 23/1999), yang dihapus bersamaan dengan terbitnya PERPPU 1/2020, Bank Indonesia dilarang membeli surat-surat utang negara untuk diri sendiri di pasar primer, kecuali surat utang negara berjangka pendek yang diperlukan oleh Bank Indonesia untuk operasi pengendalian moneter. Pelarangan pembelian surat- surat utang negara oleh BI di pasar primer sangat penting untuk menjaga independensi BI sesuai perintah Pasal 9 Ketetapan MPR Nomor XVI/MPR/1998 (TAP MPR XVI/MPR/1998) dan Pasal 23D UUD NRI. 89 Pasal 9 TAP MPR XVI/1998 berbunyi: Dalam rangka pengelolaan ekonomi keuangan nasional yang sehat. Bank Indonesia sebagai Bank Sentral harus mandiri, bebas dari campur tangan pemerintah dan pihak luar lainnya dan kinerjanya dapat diawasi dan dipertanggungjawabkan. Pasal 23D UUD NRI berbunyi: Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan undang-undang. Pelaksanaan kedua pasal di atas menghasilkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang mandiri, bebas dari campur tangan pemerintah, dan independen. Nilai-nilai tersebut dicapai melalui Pasal 55 ayat (4) UU Nomor 23/1999 tersebut. Yaitu, Bank Indonesia dilarang membeli untuk diri sendiri surat- surat utang negara kecuali di pasar sekunder. Independensi Bank Indonesia dicapai antara lain melalui pemisahan kebijakan moneter dari kebijakan fiskal yang menjadi tujuan utama Pasal 55 ayat (4) UU 23/1999. Penghapusan Pasal 55 ayat (4) di dalam Perppu Nomor 1/2020 membuat BI boleh membeli surat-surat utang negara secara langsung untuk diri sendiri di pasar primer membuat BI menjadi tidak independen lagi. Pembelian surat utang negara di pasar sekunder oleh BI merupakan bagian dari pelaksanaan tugas dalam menjalankan kebijakan moneter. Kalau BI boleh, dan dipaksa, membeli surat utang negara di pasar primer maka BI kehilangan independensi yang dapat membahayakan kebijakan moneter nasional. Pada hakekatnya, penerbitan surat utang negara oleh pemerintah adalah domein kebijakan fiskal. Sedangkan pembelian surat-surat utang negara oleh BI merupakan domein kebijakan moneter. Pembelian surat utang negara oleh BI secara langsung dari pemerintah di pasar primer berarti BI tidak independen lagi dalam menjalankan kebijakan moneternya. Terlebih lagi bahwa batasan defisit anggaran dalam Perppu Nomor 1/2020 dibuat tanpa batas ( melampaui 3% artinya bisa sebesar-besarnya) sehingga membahayakan perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan. Kebijakan moneter yang tidak independen berdampak negatif terhadap perekonomian nasional. 90 Alasan BI hanya boleh beli surat berharga negara di pasar sekunder agar BI dapat membeli surat berharga negara tersebut sesuai kebutuhan dalam melaksanakan kebijakan moneter yang menjadi tanggung jawabnya. Dengan kata lain, sesuai mandat TAP MPR XVI/MPR/1998 dan UUD NRI. Sebagai konsekuensi, Pasal 2 ayat (1) butir f Perppu Nomor 1/2020 merupakan kemunduran luar biasa pada sektor keuangan pasca krisis 1998, dan mengantar kembali ke sistem moneter era Orde Baru yang turut menjadi penyebab utama terjadinya krisis ekonomi 1997/1998 dan timbulnya kasus bermasalah BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia). Peru digaris bawahi, Perppu Nomor 1/2020 memberi dampak BI boleh membeli surat utang negara di pasar primer untuk jangka waktu tidak terbatas, sehingga kebijakan dan peraturan undang-undang ini menjadi permanen. Mengingat Perppu Nomor 1/2020 diterbitkan karena ada kegentingan yang memaksa, maka implikasi kebijakan menjadi permanen bertentangan dengan alasan diterbitkannya Perppu Nomor 1/2020 yang bersifat sementara. Oleh karena itu, Pasal 2 ayat (1) huruf f Perppu No 1/2020 bertentangan dengan Pasal 9 TAP MPR XVI/MPR/1998 dan Pasal 23D UUD NRI.
Pasal 2 ayat (1) huruf g Pemerintah berwenang menetapkan sumber-sumber pembiayaan Anggaran yang berasal dari dalam dan/atau luar negeri. Sumber pembiayaan terkait penanganan Covid-19 harusnya diperoleh dari dalam negeri, mengingat utang luar negeri pemerintah khususnya, dan utang luar negeri Indonesia secara keseluruhan, sudah dalam tingkat mengkhawatirkan, dan memberi kontribusi besar terhadap instabilitas sistem keuangan dan moneter dewasa ini. Menurut pedoman IMF, batas utang luar negeri yang aman tidak melebihi 30 persen dari PDB. Rasio utang luar negeri Indonesia meningkat terus, mencapai 36,13 persen dari PDB pada akhir 2019. Rasio utang luar negeri terhadap ekspor juga dalam kondisi mengkhawatirkan, mencapai sekitar 242 persen pada akhir 2019. Yang lebih mengkhawatirkan, rasio ini meningkat tajam dalam satu tahun terakhir, dari 210 persen pada 2018 menjadi 242 persen pada 2019. Peningkatan rasio ini menunjukkan kemampuan Indonesia dalam memenuhi kebutuhan mata uang asing untuk membayar utang luar negeri semakin lemah, dan dapat memicu krisis valuta dan mengakibatkan nilai tukar rupiah terdepresiasi tajam, seperti yang terjadi pada 91 awal April 2020 yang lalu di mana kurs rupiah sempat tembus Rp17.000 per dolar AS, yang merupakan kurs terendah sepanjang masa. Anjloknya kurs rupiah membuat harga impor untuk bahan baku, bahan setengah jadi dan barang modal naik. Oleh karena itu, pembatasan utang luar negeri menjadi sangat penting untuk menyelamatkan perekonomian nasional dan stabilitas moneter di waktu yang akan datang, sesuai BAB IV Butir A angka 2 huruf g TAP MPR X/MPR/1998 dan Pasal 10 TAP MPR XVI/MPR/1998. BAB IV Butir A angka 2 huruf g TAP MPR X/MPR/1998 Membentuk sistem pengawasan dan pemantauan utang luar negeri baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun dunia usaha. Pasal 10 TAP MPR XVI/MPR/1998 Seluruh pinjaman luar negeri Pemerintah harus memperkuat perekonomian nasional dilaksanakan oleh Pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dan dimasukan kedalam rencana anggaran tahunan. Oleh karena itu, pembiayaan anggaran seharusnya dari dalam negeri. Sumber pembiayaan dari luar negeri harus sepertujuan DPR sesuai TAP MPR tersebut di atas. Artinya, Pasal 2 ayat (1) huruf g bertentangan dengan TAP MPR di atas. Belum lama berselang, pemerintah sudah menerbitkan surat utang senilai 4,3 miliar dolar AS pada 7 April 2020. Selain itu, Bank Indonesia sudah mengikat perjanjian fasilitas repo (repurchase agreement Line) dengan lembaga asing the Federal Reserve, Bank Sentral Amerika Serikat, senilai 60 miliar dolar AS. Fasilitas repo adalah semacam fasilitas kredit beragunan jangka pendek. Kedua peristiwa tersebut sudah melanggar kedua TAP MPR di atas serta Pasal 11 ayat (2) UUD NRI, karena harus mendapat persetujuan DPR terlebih dahulu.
Pasal 11 Inti Pasal 11 Perpu Nomor 1/2020 adalah pemerintah menjalankan program pemulihan ekonomi nasional, dapat dilaksanakan melalui Penyertaan Modal Negara (PMN), penempatan dana dan/atau investasi Pemerintah, dan/atau kegiatan penjaminan dengan skema yang ditetapkan oleh Pemerintah. PMN dilakukan melalui BUMN yang ditunjuk. Penempatan dana dan/atau investasi Pemerintah dapat dilakukan langsung oleh Pemerintah dan/atau melalui lembaga keuangan, manajer investasi, dan/atau lembaga lain yang ditunjuk. 92 Pasal 24 ayat (7) UU Nomor 17/2003 sudah mengatur, untuk penyelamatan perekonomian nasional, Pemerintah (Pusat) dapat memberikan pinjaman dan/atau melakukan penyertaan modal kepada perusahaan swasta setelah mendapat persetujuan DPR . Oleh karena itu, penyertaan modal atau pinjaman kepada perusahaan swasta tanpa mendapat persetujuan DPR seperti di maksud Pasal 11 Perppu Nomor 1/2020 bertentangan dengan UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Pasal 20A ayat (21) UUD NRI mengenai fungsi pengawasan DPR.
Pasal 12 ayat (1) Pelaksanaan kebijakan keuangan negara dan langkah-langkah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 11 dilakukan dengan tetap memperhatikan tata kelola yang baik. “Memperhatikan tata kelola yang baik” tidak berarti dapat menghilangkan tugas pengawasan dan pemeriksaan dari badan yang berwenang sesuai UUD NRI, yaitu DPR RI dan BPK RI. Sebaliknya, Pasal 27 Perppu Nomor 1/2020 yang memberi kekebalan (imunitas) hukum kepada semua pihak yang disebut dalam pasal tersebut jelas menunjukkan intensi tata kelola keuangan yang tidak baik , dan bertentangan dengan muatan materi pasal 12 ayat (1).
Pasal 13 Penggunaan anggaran dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara dan langkah-langkah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 12 dilaporkan Pemerintah dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat. Berdasarkan UUD NRI, BPK wajib memeriksa Laporan Keuangan Pemerintah Pusat, serta menyatakan apakah ada kerugian negara akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara. Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 15/2006 tentang BPK BPK menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara. 93 Pasal ini merupakan penjabaran dari Pasal 23E UUD NRI mengenai fungsi dan wewenang BPK sehingga pelanggaran atas Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 15/2006 tentang BPK juga akan melanggar Pasal 23E UUD NRI.
Pasal 16 ayat (1) huruf a Bank Indonesia diberikan kewenangan untuk memberikan pinjaman likuiditas jangka pendek atau pembiayaan likuiditas jangka pendek berdasarkan prinsip syariah kepada Bank Sistemik atau bank selain Bank Sistemik. Penyelamatan bank yang mempunyai masalah likuiditas maupun solvabilitas seharusnya menggunakan UU Nomor 9/2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan. Tetapi, Bank Indonesia kemudian memainkan peran lebih aktif terkait pencegahan dan Penanganan krisis sistem keuangan menimbulkan banyak tanda tanya. Tetapi, praktek pemberian pinjaman dan pembiayaan likuiditas seperti dimaksud dalam Perppu Nomor 1/2020 ini bertentangan dengan status independensi Bank Indonesia sesuai amanat Pasal 23D UUD NRI (dan TAP MPR XVI/MPR/1998). Selain itu, praktek pemberian pinjaman dan pembiayaan likuiditas seperti dimaksud dalam Perppu Nomor 1/2020 juga merupakan langkah mundur dalam pengelolaan sektor moneter dan keuangan Indonesia, dan membawa kembali ke dalam praktek Orde Baru di mana Bank Indonesia bisa langsung memberi pinjaman atau pembiayaan likuiditas kepada bank (sistemik atau selain sistemik), yang kemudian berakhir dengan penyalahgunaan BLBI tahun 1998 sebesar Rp138 triliun dari total pinjaman BLBI Rp144,5 triliun. Untuk menjaga agar peristiwa ini tidak terulang, maka dibentuk Lembaga Penjamin Simpanan sebagai lembaga independen untuk menilai dan memutuskan mekanisme pemberian pinjaman kepada bank sistemik maupun tidak sistemik (dan membebankan kepada APBN). Praktek Bank Indonesia kembali ke Orde Baru dapat membahayakan sistem moneter dan keuangan Indonesia sehingga melanggar Pasal 23 ayat (1) UUD NRI.
Pasal 16 ayat (1) huruf b Bank Indonesia diberikan kewenangan memberikan Pinjaman Likuiditas Khusus kepada Bank Sistemik yang mengalami kesulitan likuiditas dan tidak memenuhi persyaratan pemberian pinjaman likuiditas jangka pendek atau pembiayaan 94 likuiditas jangka pendek berdasarkan prinsip syariah yang dijamin oleh Pemerintah dan diberikan berdasarkan Keputusan KSSK. Pasal ini mengatur BI dapat memberi pinjaman kepada bank yang pada prinsipnya mempunyai masalah solvabilitas, yaitu keadaan (mendekati) bangkrut . Wewenang ini sangat rawan disalahgunakan seperti peristiwa BLBI 1998 dan Bank Century 2008. Bank Century ketika itu menghadapi masalah solvabilitas tetapi akhirnya dipaksakan untuk diselamatkan dengan mengubah berbagai peraturan. Seperti diketahui bersama, pinjaman likuiditas ini ternyata disalahgunakan dan merugikan keuangan negara. Atas pembelajaran kasus Bank Century 2008 dan kasus BLBI 1998, maka dibuat Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan. Tetapi, UU yang masih relatif baru tersebut tidak digunakan dalam menghadapi ancaman stabilitas sistem keuangan. Hal ini mengundang tanda tanya, dan seharusnya pemerintah konsistem menerapkan UU Nomor 9/2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan. Penyelamatan bank adalah domein kebijakan fiskal, sehingga BI seharusnya tidak ikut campur untuk mempertahankan independensinya. Bank Indonesia hanya dapat memberi pinjaman likuiditas kepada Bank bermasalah dengan membeli surat berharga bank bersangkutan. Pemerintah dapat memberi pinjaman kepada Bank bermasalah melalui penerbitan surat berharga setelah mendapat persetujuan DPR. Bank bermasalah dapat menjual surat berharga negara tersebut kepada Bank Indonesia. Oleh karena itu, Pasal 16 ayat (1) huruf a dan huruf b bertentangan dengan UU yang mewajibkan Bank Indonesia sebagai bank sentral yang independen sesuai amanat Pasal 23D UUD NRI. Untuk menghadapi kondisi krisis perbankan, hal tersebut diatur Pasal 33 UU BI dan UU Nomor 9/2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan.
Pasal 16 ayat (1) huruf c Bank Indonesia diberikan kewenangan membeli Surat Utang Negara dan/atau Surat Berharga Syariah Negara berjangka panjang di pasar perdana untuk penanganan permasalahan sistem keuangan yang membahayakan perekonomian nasional, 95 termasuk Surat Utang Negara dan/atau Surat Berharga Syariah Negara yang diterbitkan dengan tujuan tertentu khususnya dalam rangka pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Lihat penjelasan butir 4 di atas untuk Pasal 2 ayat (1) huruf f. Sebenarnya, Pasal 16 ayat (1) huruf c ini juga bertentangan dengan pasal 4 ayat (2) UU Nomor 23/1999 tentang Bank Indonesia yang menjelaskan bahwa Bank Indonesia harus bebas independen dan bebas dari campur tangan pemerintah atau pihak lain. Pasal 4 ayat (2) UU Nomor 23 Tahun 1999 Bank Indonesia adalah lembaga negara yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan Pemerintah dan/atau pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam Undang-undang ini. Berdasarkan uraian diatas, pasal 16 ayat (1) huruf c bertentangan dengan Pasal 4 ayat (2) UU Nomor 23/1999, bertentangan dengan Pasal 9 TAP MPR XVI/MPR/1998 serta bertentangan dengan Pasal 23D UUD NRI, untuk membangun Bank Indonesia yang independen dan bebas campur tangan pemerintah dan/atau pihak lain.
Pasal 19 ayat (1) Lihat penjelasan pada butir 9 (Pasal 16 ayat (1) huruf a), butir 10 [Pasal 16 ayat (1) huruf b, butir 11 (Pasal 16 ayat (1) huruf c)] di atas.
Pasal 20 ayat (1) huruf b angka 2 dan angka 3 Pasal 20 ayat (1) huruf b angka 2 dan angka 3 yang memberi wewenang LPS untuk menerbitkan surat utang dan meminjam kepada pihak lain bertentangan dengan Pasal 85 UU Nomor 24/2004 tentang LPS yang mengatur: • Dalam hal LPS mengalami kesulitan likuiditas, LPS dapat memperoleh pinjaman dari Pemerintah. • Dalam hal modal LPS kurang dari modal awal, Pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menutup kekurangan tersebut. Pasal 20 ayat (1) huruf b angka 2 dan angka 3 berpotensi menghilangkan wewenang DPR sehingga bertentangan dengan Pasal 20A UUD NRI. 96 Pasal 85 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2004 Dalam hal modal LPS kurang dari modal awal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (1), Pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menutup kekurangan tersebut. Pasal 85 ayat (2) UU Nomor 24 Tahun 2004 Dalam hal LPS mengalami kesulitan likuiditas, LPS dapat memperoleh pinjaman dari Pemerintah.
Pasal 27 ayat (1) Pasal 27 ayat (1) Perppu 1/2020 menyatakan bahwa semua biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara. Berdasarkan Pasal 23E ayat (1) UUD NRI, BPK ditugaskan oleh konstitusi untuk memeriksa pengelolaan keuangan negara secara bebas dan mandiri, dalam kondisi apapun termasuk pengelolaan keuangan negara ketika ada bencana alam seperti bencana alam tsunami Aceh atau bencana gempa-tsunami Sulawesi Tengah. Kemudian, BPK harus dapat memberi penilaian dan/atau penetapan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh semua pihak penyelenggara pengelolaan keuangan negara. Hasil pemeriksaan BPK atas pengelolaan keuangan negara harus diserahkan kepada DPR, salah satu alasan karena DPR harus melaksanakan fungsi pengawasan sesuai Pasal 20A ayat (1) UUD NRI. Oleh karena itu, pasal 27 ayat (1) Perppu Nomor 1/2020 bertentangan dengan Pasal 23E dan Pasal 20A UUD NRI. Pasal ini juga bertentangan dengan TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang penyelenggara negara yang bersih dan bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme, khususnya Pasal 3 ayat (3) bahwa upaya pemberantasan tindak pidana korupsi dilakukan secara tegas dengan melaksanakan secara konsisten undang-undang tindak pidana korupsi, dan Pasal 4 yang menegaskan bahwa upaya pemberantasan 97 korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga, dan kroninya maupun pihak swasta/konglomerat, dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak-hak asasi manusia. Pasal 27 ayat (1) bertentangan dengan UU No 31/1999, Pasal 3 ayat (3) dan Pasal 4 TAP MPR XI/MPR 1998, dan Pasal 23E UUD NRI. Pasal 7A UUD NRI secara tegas menyatakan bahkan Presiden dan Wakil Presiden dapat diberhentikan dari jabatannya apabila, antara lain, terlibat korupsi. Artinya pengelolaan keuangan negara harus bersih dan bebas korupsi, sehingga semua biaya harus dapat dipertanggung jawabkan, dan diperiksa oleh BPK.
Pasal 27 ayat (2) KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kasus BLBI 1998 dan Bank Century 2008 dapat menjadi pelajaran bahwa di dalam krisis justru pengawasan pengelolaan keuangan negara harus diperketat karena kondisi krisis dapat dimanfaatkan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Pasal 27 ayat (2) terkait erat dengan pasal 27 ayat (1). Kalau Pasal 27 ayat (1) gugur dan BPK dapat melakukan pemeriksaan terhadap semua pihak pengelola anggaran negara, dan BPK dapat menilai atau menetapkan kerugian negara apabila ada, maka Pasal 27 ayat (2) secara otomatis akan gugur juga. Pasal 27 ayat (2) Perppu 1/2020 di atas bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD NRI: Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Pasal ini juga bertentangan dengan Pasal 28D UUD NRI: Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. 98 Pasal ini juga bertentangan dengan UU 31/1999 yang memuat materi bahwa setiap orang , termasuk pegawai negeri dan korporasi, yang melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan. Selanjutnya, moral kekuasaan tidak boleh diserahkan pada niat, itikad ataupun sifat- sifat pribadi seseorang yang kebetulan sedang memegangnya. Iktikad baik tidak bisa membuat seseorang mendapat keistimewaan hukum dan kebal hukum baik secara perdata maupun pidana. Iktikad baik hanya bisa menjadi pertimbangan dalam menetapkan tingkat hukuman.
Pasal 27 ayat (3) ….
Pasal 28 Pasal 28 angka 1 sampai dengan 12 memuat daftar pasal-pasal yang dihapus di 12 undang-undang lainnya. Penghapusan pasal-pasal di 12 undang-undang tersebut membuat Perppu Nomor 1/2020 bertentangan dengan UUD NRI. Karena undang- undang tersebut merupakan penjabaran atau pelaksanaan dari UUD NRI, baik secara langsung maupun tidak langsung. Sedangkan materi muatan pada pasal- pasal yang dihapus merupakan inti dari penjabaran dan pelaksanaan UUD dimaksud. Misalnya, undang-undang tentang Bank Indonesia merupakan pelaksanaan perintah secara langsung dari Pasal 23D UUD NRI. Undang-Undang tentang Bank Sentral yang kemudian dinamakan Bank Indonesia tidak boleh bertentangan dengan Pasl 23D UUD NRI tersebut. Artinya, Bank Indonesia harus independen, yang independensinya diatur di dalam undang-undang tentang Bank Indonesia (bank sentral) tersebut. 99 Pasal 28 angka 2: Dampak Penghapusan Pasal pada UU Lainnya Penghapuasan Pasal 55 ayat (4) UU Nomor 23/1999 Pasal yang mengatur independensi Bank Indonesia terletak di Pasal 55 ayat (4) dan ayat (5) UU Nomor 23/1999 tentang Bank Indonesia. Yaitu:
Bank Indonesia dilarang membeli untuk diri sendiri surat-surat utang negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kecuali di pasar sekunder.
Perbuatan hukum Bank Indonesia membeli surat utang negara untuk diri sendiri tidak di pasar sekunder sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dinyatakan batal demi hukum. Independensi Bank Indonesia dicapai melalui pemisahan kebijakan moneter dan kebijakan fiskal. Penerbitan surat utang negara (di pasar primer) oleh pemerintah merupakan bagian dari kebijakan fiskal. Sedangkan pembelian surat utang negara di pasar sekunder oleh BI merupakan bagian dari kebijakan moneter Bank Indonesia. Surat utang negara yang beredar di pasar sekunder sudah tidak terkait lagi dengan kebijakan fiskal, tetapi bisa berpengaruh terhadap tingkat suku bunga. Oleh karena itu Bank Indonesia berwenang melakukan pembelian surat utang negara di pasar sekunder untuk memberi pengaruh antara lain terhadap tingkat suku bunga. Penghapusan pasal 55 ayat (4) UU Nomor 23/1999 ini membuat Bank Indonesia tidak independen lagi, karena fungsi moneter Bank Indonesia menjadi bagian dari instrumen kebijakan fiskal pemerintah karena BI dalam kondisi tertentu “dipaksa” membeli surat utang negara di pasar primer (perdana). Oleh karena itu, penghapusan Pasal 55 ayat (4) UU Nomor 23/1999 bertentangan dengan Pasal 23D UUD NRI. Dampak Bank Indonesia boleh seterusnya membeli surat berharga negara di pasar primer akibat Pasal 55 ayat (4) UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang melarang pembelian tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi. Pasal 28 butir 3: Penghapusan Pasal 15 ayat (5), Pasal 22 ayat (3), Pasal 23 ayat (1), Pasal 27 ayat (3), dan Pasal 28 ayat (3) dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 100 Pasal 15 ayat (5) dihapus: APBN yang disetujui oleh DPR terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja. Penghapusan pasal ini mengakibatkan APBN tidak perlu terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja. Sedangkan pengelola anggaran ada di satuan detil sampai unit organisasi, fungsi, program, kegiatan dan jenis belanja. Prosedur pengelolaan anggaran negara juga ada di stauan detil tersebut. Penghapusan pasal ini membuat BPK tidak bisa melaksanakan tugasnya secara bebas dan mandiri sesuai perintah Pasal 23E ayat (1) UUD NRI. Akibatnya, BPK tidak bisa menyerahkan hasil pemeriksaan pengelolaan keuangan negara kepada DPR, DPD atau DPRD, sesuai Pasal 23E ayat (2) UUD NRI. Akibatnya, DPR tidak bisa melakukan fungsi pengawasan yang menjadi tugasnya sesuai Pasal 20A ayat (1) UUD NRI. [2.3] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon, Dewan Perwakilan Rakyat menyampaikan keterangan dalam persidangan secara daring tanggal 15 Oktober 2020 dan menyerahkan keterangan tertulis yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 10 Desember 2020 yang pada pokoknya mengemukakan hal-hal sebagai berikut: A. KEDUDUKAN HUKUM ( LEGAL STANDING ) PARA PEMOHON 1. Kedudukan Hukum ( Legal Standing ) para Pemohon dalam Pengujian Secara Formil Terkait kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon dalam pengujian undang-undang secara formil, DPR RI memberikan pandangan dengan berdasarkan 2 (dua) batasan kerugian konstitusional yang disimpulkan dari Pertimbangan Hukum dalam Putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 27/PUU- VII/2009, yaitu:
Para Pemohon merupakan perorangan yang telah melaksanakan hak pilih sebagai pemegang kedaulatan yang telah memberikan kepercayaan dan mandat kepada wakil sebagai fiduciary duty dalam pemilihan umum;
Berdasarkan uraian kedudukannya, Pemohon Badan Hukum Perkara 37 dan para Pemohon Badan Hukum Perkara 75 yang merupakan Badan Hukum tentunya tidak memiliki hak dan/atau kewenangan untuk turut serta dalam pemilihan umum. 101 2) Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 34 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, Pemilih adalah Warga Negara Indonesia yang sudah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih, sudah kawin, atau sudah pernah kawin. Oleh karena itu, Pemohon Badan Hukum Perkara 37 dan para Pemohon Badan Hukum Perkara 75 telah jelas tidak dapat membuktikan bahwa telah memberikan kepercayaan dan mandat kepada anggota DPR RI masa keanggotaan periode tahun 2014-2019 karena Pemohon Badan Hukum Perkara 37 dan para Pemohon Badan Hukum Perkara 75 bukanlah perorangan yang telah melaksanakan hak pilih sebagai pemegang kedaulatan yang telah memberikan kepercayaan dan mandat kepada wakil sebagai fiduciary duty dalam pemilihan umum 3) Para Pemohon Perorangan Perkara 37, para Pemohon Perkara 43, dan para Pemohon Perorangan Perkara 75 dalam perbaikan permohonannya tidak memberikan uraian argumentasi sebagai perorangan yang telah melaksanakan hak pilih sebagai pemegang kedaulatan dalam Pemilihan Umum. Selain itu, para Pemohon tersebut diatas juga tidak melampirkan bukti-bukti keikutsertaannya dalam Pemilihan Umum dan menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan anggota DPR RI sebagai bentuk pemberian mandat kepada wakil sebagai fiduciary duty . Hal ini menunjukkan bahwa para Pemohon tersebut tidak memahami kedudukan hukumnya sebagai perseorangan warga negara yang memiliki hak konstitusional sebagai pemberi mandat dalam Pemilihan Umum dan tidak memperhatikan ketentuan dalam pengujian undang-undang secara formil.
Para Pemohon mempunyai hubungan pertautan yang langsung dengan Undang-Undang yang dimohonkan 1) Bahwa terkait dengan pengajuan pengujian UU a quo secara formil, para Pemohon secara keseluruhan tidak menguraikan pertautannya. Namun dapat dipahami dalam uraian dalil-dalilnya, para Pemohon hanya menyatakan bahwa UU a quo telah menimbulkan ketidakpastian hukum, melahirkan penafsiran yang ambigu, tidak jelas dan multitafsir serta berpotensi menghambat pemenuhan hak-hak konstitusional para Pemohon dan warga negara pada umumnya. 102 2) Meskipun demikian, para Pemohon tidak memberikan uraian yang berkaitan dengan pertautannya secara langsung terhadap UU a quo yang dimohonkan pengujiannya secara formil. Dengan demikian telah jelas, tidak terdapat keterkaitan secara langsung antara Para Pemohon Perkara 37, para Pemohon Perkara 43, dan para Pemohon Perkara 75 dengan UU a quo, sehingga para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) dalam pengujian formil UU a quo terhadap UUD NRI Tahun 1945. Terhadap kedudukan hukum ( legal standing ) para Pemohon Perkara 37, para Pemohon Perkara 43, dan para Pemohon Perkara 75 dalam pengujian formil, DPR RI memohon kepada Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi agar benar-benar menilai apakah Para Pemohon tersebut memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) dalam pengajuan Permohonan perkara-perkara a quo sesuai dengan parameter kerugian hak dan/atau kerugian konstitusional dalam pengajuan permohonan pengujian formil undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945 sebagaimana disebutkan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dalam Pertimbangan Hukum pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-VII/2009.
Kedudukan Hukum ( Legal Standing ) para Pemohon dalam Pengujian Secara Materiil Terkait kedudukan hukum ( legal standing ) para Pemohon dalam pengujian undang-undang secara materiil, DPR RI memberikan pandangan dengan berdasarkan 5 (lima) batasan kerugian konstitusional yang tercantum dalam __ Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011/PUU-V/2007 sebagai berikut:
Perkara Nomor 37/PUU-XVIII/2020 Bahwa para Pemohon Perkara 37 mendalilkan memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diatur dalam ketentuan Pasal 23 ayat (1), Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Terhadap hal tersebut, DPR RI menerangkan bahwa ketentuan Pasal 23 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 mengatur mengenai APBN yang jelas-jelas tidak mengatur mengenai hak dan/atau kewenangan Warga Negara. Sehingga ketentuan ini tidak memiliki pertautan hak dan/atau 103 kewenangan konstitusional para Pemohon Perkara 37. Bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon Perkara 37 sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 28C ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 tidak terciderai dengan berlakunya ketentuan pasal-pasal yang dimohonkan pengujiannya karena para Pemohon Perkara 37 tetap dapat memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya. Terkait dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, para Pemohon Perkara 37 juga tetap mendapatkan haknya atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Bahwa Para Pemohon Perkara 37 mendalilkan diri sebagai pembayar pajak ( tax payer ), oleh karenanya DPR RI mengutip pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 40/PUU-XVI/2018 pada paragraf [3.7] sebagai berikut: …menurut Mahkamah, para Pemohon sebagai pembayar pajak (tax payer) tidak serta merta memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam mengajukan setiap permohonan pengujian undang-undang. Para Pemohon dapat memiliki kedudukan hukum (legal standing) apabila para Pemohon dapat menjelaskan adanya keterkaitan logis dan causal verband bahwa pelanggaran hak konstitusional atas berlakunya undang-undang yang diuji adalah dalam kaitannya dengan status para Pemohon sebagai pembayar pajak (tax payer) memang menunjukkan kerugian yang nyata . Dalam permohonan a quo , para Pemohon perkara 37 dituntut bukan hanya sekedar menyatakan dirinya sebagai pembayar pajak ( tax payer ), tetapi terkait statusnya sebagai pembayar pajak harus dijelaskan adanya keterkaitannya secara logis dengan kerugian konstitusional para Pemohon Perkara 37 yang diakibatkan dengan berlakunya pasal-pasal a quo . Terkait dengan ketentuan UUD NRI Tahun 1945 yang oleh para Pemohon perkara 37 dipertentangkan dengan ketentuan dalam UU a quo , para Pemohon perkara 37 tidak mengurai pertautan antara keduanya demikian pula terkait dengan pertautannya dengan para Pemohon perkara 37. Maka semakin tidak jelas adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon terkait dengan pasal-pasal yang dimohonkan pengujian dan keberadaan hubungan sebab akibat ( causal 104 verband ) antara dalil kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon perkara 37 dengan ketentuan pasal-pasal a quo yang dimohonkan pengujiannya.
Perkara Nomor 42/PUU-XVIII/2020 Bahwa para Pemohon perkara 42 tidak konsisten dalam menyebutkan batu uji yang digunakan dalam pengujian pasal-pasal a quo dalam uraian kedudukan hukumnya dengan ketentuan UUD NRI Tahun 1945 yang tertulis dalam bagian Pokok Permasalahan. Lebih lanjut, dalam uraian permohonannya, para Pemohon perkara 42 mempertentangkan ketentuan pasal-pasal a quo dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 23 ayat (1), (2), (3), dan Pasal 23A UUD NRI Tahun 1945 yang sama sekali tidak mengatur mengenai hak dan/atau kewenangan konstitusional warga negara. Terkait dengan kerugian hak konstitusionalnya yang dijamin dalam ketentuan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, para Pemohon perkara 42 tidak menguraikan bentuk konkrit (aktual) maupun potensial atas kerugian konstitusional yang didalilkan tersebut dengan diri para Pemohon perkara 42 dan justru para Pemohon Perkara 42 banyak menyampaikan asumsi-asumsi dan kekhawatirannya atas pemberlakuan pasal-pasal a quo terhadap negara yang jelas sangat mengada-ada. Selain itu, para Pemohon perkara 42 tidak dapat menunjukkan adanya pertautan secara langsung dengan ketentuan pasal-pasal a quo sehingga tidak jelas sebab akibat atas dalil kerugian konstitusional yang didalilkan para Pemohon perkara 42 dengan berlakunya ketentuan pasal-pasal a quo .
Perkara Nomor 43/PUU-XVIII/2020 Bahwa para Pemohon perkara 43 tersebut masing-masing tidak berdiri dalam posisi yang jelas atas kepentingan siapakah para Pemohon perkara 43 hendak mengemukakan kerugian konstitusionalnya. Selain itu, para Pemohon perkara 43 dalam permohonannya tidak mampu menjelaskan secara spesifik dalam hal apa para Pemohon perkara 43 dirugikan dengan keberlakuan pasal UU a quo tersebut terhadap diri para Pemohon perkara 43 maupun terhadap profesi para Pemohon perkara 43. Bahwa para Pemohon perkara 43 dalam permohonannya tidak mampu menjelaskan secara spesifik dalam hal apa para Pemohon perkara 43 105 dirugikan dengan keberlakuan pasal a quo tersebut terhadap diri para Pemohon perkara 43 maupun terhadap profesi para Pemohon perkara 43 sehingga tidak jelas pula hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian konstitusional yang didalilkan oleh para Pemohon perkara 43 dengan pasal-pasal a quo yang dimohonkan pengujiannya terhadap UUD NRI Tahun 1945.
Perkara Nomor 45/PUU-XVIII/2020 Bahwa ketentuan Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 4 ayat (1), Pasal 5 ayat (2), Pasal 20 ayat (1), Pasal 20A ayat (1),Pasal 23, Pasal 23E, Pasal 24, Pasal 24A ayat (1) dan Pasal 27 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang dijadikan batu uji oleh Pemohon perkara 45 tidak mengatur mengenai hak konstitusional warga negara, melainkan mengatur mengenai bentuk dan kedaulatan negara, kekuasaan pemerintah, tugas dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat, hal keuangan negara, kelembagaan BPK, Kekuasaan Kehakiman, tanggung jawab negara dalam mengelola keuangan negara yang ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang untuk dapat dilaksanakan secara terbuka dan untuk kemakmuran rakyat, dan kewajiban warga negara untuk menjunjung hukum dan pemerintahan tanpa terkecuali. Oleh karena itu, tidaklah relevan untuk dijadikan sebagai batu uji dalam Permohonan a quo . Bahwa dalam Permohonan a quo , Pemohon perkara 45 tidak menguraikan kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon perkara 45 yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi. Pemohon perkara 45 hanya menyatakan hak Pemohon sebagai rakyat dalam memantau Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat dan Kekuasaan Kehakiman dapat menjalankan tugas dan fungsinya, tanpa menjelaskan kerugian spesifik apa yang ditimbulkan dari berlakunya ketentuan pasal-pasal a quo . Sehingga jelas kerugian yang didalilkan oleh Pemohon perkara 45 hanya merupakan asumsi tanpa adanya pertautan dengan hak konstitusional Pemohon perkara 45.
Perkara Nomor 47/PUU-XVIII/2020 Bahwa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 telah ditetapkan menjadi undang-undang yakni UU a quo , artinya 106 substansi di dalamnya telah dibahas dan disetujui antara Pemerintah bersama dengan DPR dan telah dilakukan sesuai dengan ketentuan Pasal 23 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Bahwa ketentuan Pasal 23 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 tidak mengatur mengenai hak dan/atau kewenangan konstitusional melainkan mengatur mengenai penetapan, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban APBN. Salah satu fungsi yang dimiliki oleh DPR adalah fungsi anggaran dengan tugas dan wewenang berupa pemberian persetujuan atas RUU tentang APBN yang diajukan oleh Presiden. UU APBN tersebut kemudian dilaksanakan secara terbuka oleh Pemerintah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Para Pemohon perkara 47 mendalilkan dengan berlakunya pasal a quo , berpotensi dana desa dihentikan, dengan demikian jelas kerugian yang didalilkan tersebut hanya asumsi para Pemohon perkara 47, karena kenyataannya dana desa tetap ada meskipun selama penanganan pandemi Covid-19 ini besarannya dikurangi karena adanya kebijakan pengalihan mandatory expenses yang diamanatkan oleh UU Desa.
Perkara Nomor 49/PUU-XVIII/2020 Bahwa Pemohon Perkara 49 menyatakan memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diatur dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1), (2) dan (3) serta Pasal 23 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 namun dalam uraian Positanya, Pemohon perkara 49 mendalilkan ketentuan pasal a quo bertentangan dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Meskipun demikian, DPR menerangkan bahwa ketentuan Pasal 1 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) serta Pasal 23 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 tidak mengatur mengenai hak dan/atau kewenangan konstitusional warga Negara. Ketentuan Pasal 1 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) serta Pasal 23 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 mengatur mengenai Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik, kedaulatan berada di tangan rakyat, Indonesia adalah Negara hukum dan APBN sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Bahwa Pemohon perkara 49 dalam perbaikan permohonannya menguraikan memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional 107 berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) serta Pasal 23 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang jelas-jelas tidak mengatur mengenai hak dan/atau kewenangan warga negara. Selain itu, Pemohon perkara 49 tidak menguraikan kerugian konsitusionalnya berdasarkan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 dan hanya mendalilkan pasal a quo bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Pemohon perkara 49 juga sama sekali tidak menyampaikan argumentasi tentang pertentangan antara pasal yang dimohonkan pengujian dengan pasal-pasal yang menjadi dasar pengujian dalam UUD NRI Tahun 1945. Oleh karena itu, telah sangat jelas Pemohon perkara 49 tidak memiliki hak dan/atau kewenangan kontitusional yang dirugikan dengan berlakunya UU 2/2020. Bahwa Pemohon perkara 49 dan banyak menguraikan mengenai asumsi- asumsinya atas pengaturan yang terdapat dalam pasal a quo , maka DPR RI menerangkan tidak terdapat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon perkara 49 yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi pada Pemohon perkara 49, maka jelas tidak terdapat hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian.
Perkara Nomor 75/PUU-XVIII/2020 Bahwa mayoritas para Pemohon perkara 75 mengajukan kembali Permohonan 51/PUU-XVIII/2020 yang telah ditarik kembali pada tanggal 19 Agustus 2020 dan Mahkamah Konstitusi sudah menerbitkan Ketetapan Putusan Nomor 51/PUU-XVIII/2020 yang diucapkan pada tanggal 27 Agustus 2020. Para Pemohon perkara 75 berdalil bahwa dapat mengajukan kembali permohonan yang telah ditarik sebelumnya tersebut karena sudah dilakukan perubahan dalam isi materi permohonan sehingga tidak mempunyai kesamaan dalam permohonan sebelumnya baik dalam permohonan pengujian formil maupun materiil yang diajukan sehingga Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memeriksa dan mengadilinya. Terhadap dalil tersebut, DPR RI memberikan pandangan bahwa berdasarkan ketentuan dalam Pasal 35 Undang- 108 Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan: ayat (1) “Pemohon dapat menarik kembali Permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan”. ayat (1a) “Dalam hal pemohon menarik kembali Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Panitera Mahkamah Konstitusi menerbitkan Akta Pembatalan Registrasi Permohonan dan memberitahukan kepada Pemohon disertai dengan pengembalian berkas Permohonan”. ayat (2) “Penarikan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan Permohonan tidak dapat diajukan kembali”. Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa Permohonan yang sudah ditarik kembali dan sudah diputus tidak dapat diajukan kembali. Selain itu, setelah melihat isi dari permohonan para Pemohon Perkara 75, baik dari segi formil maupun materiil memiliki materi permohonan yang sama dengan permohonan sebelumnya yang sudah ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi untuk mengabulkan penarikan kembali permohonan perkara Nomor 51/PUU-XVIII/2020 tersebut oleh para Pemohon perkara Nomor 51/PUU-XVIII/2020, yang merupakan mayoritas para Pemohon perkara 75. Walaupun para Pemohon perkara 75 memberikan tambahan batu uji Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), dan Pasal 27 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 namun batu uji Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 tersebut tidak mengatur mengenai hak konstitusional warga negara. Begitupun halnya dengan tambahan batu uji Pasal 27 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, ketentuan yang ada pada UU __ a quo tidak menghalangi para Pemohon perkara 75 untuk mendapatkan hak konstitusionalnya berupa pekerjaan dan penghidupan yang layak. Sehingga tidaklah tepat jika para Pemohon perkara 75 masih mengajukan permohonan yang sama dengan permohonan yang sudah ditarik kembali dan ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi. Bahwa para Pemohon perkara 75 juga mendalilkan diri sebagai pembayar pajak ( tax payer ), oleh karenanya DPR RI mengutip pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 40/PUU-XVI/2018 pada paragraf [3.7] sebagai berikut: 109 …menurut Mahkamah, para Pemohon sebagai pembayar pajak (tax payer) tidak serta merta memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam mengajukan setiap permohonan pengujian undang-undang. Para Pemohon dapat memiliki kedudukan hukum (legal standing) apabila para Pemohon dapat menjelaskan adanya keterkaitan logis dan causal verband bahwa pelanggaran hak konstitusional atas berlakunya undang-undang yang diuji adalah dalam kaitannya dengan status para Pemohon sebagai pembayar pajak (tax payer) memang menunjukkan kerugian yang nyata . Dalam permohonan a quo , para Pemohon perkara 75 dituntut bukan hanya sekedar menyatakan dirinya sebagai pembayar pajak ( tax payer ), tetapi terkait statusnya sebagai pembayar pajak harus dijelaskan adanya keterkaitannya secara logis dengan kerugian konstitusional para Pemohon perkara 75 yang diakibatkan dengan berlakunya pasal-pasal a quo . Bahwa terkait dengan kedudukan hukum ( legal standing ) para Pemohon, DPR RI memberikan pandangan selaras dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XIV/2016 yang diucapkan dalam sidang Pleno MK terbuka untuk umum pada tanggal 15 Juni 2016, yang pada pertimbangan hukum [3.5.2] MK menyatakan bahwa menurut Mahkamah: ... dalam asas hukum dikenal ketentuan umum bahwa tiada kepentingan maka tiada gugatan yang dalam bahasa Perancis dikenal dengan point d’ interest point d’ action dan dalam bahasa Belanda dikenal dengan zonder belang geen rechtsingang. Hal tersebut sama dengan prinsip yang terdapat dalam Reglement op de Rechtsvordering (RV) khususnya Pasal 102 yang menganut ketentuan bahwa “ tiada gugatan tanpa hubungan hukum” ( no action without legal connection ). Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, terhadap kedudukan hukum ( legal standing ) para Pemohon secara materiil, DPR RI menyerahkan sepenuhnya kepada Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilai apakah para Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011/PUU-V/2007 mengenai parameter kerugian konstitusional. 110 B. PANDANGAN UMUM DPR 1. Penyebaran Covid-19 terus meluas di seluruh dunia yang didorong oleh mobilitas manusia. Hingga akhir Februari 2020, penyebaran Covid-19 secara global telah mencapai 86.000 kasus dengan jumlah kematian hampir 3.000 orang. Pandemi Covid-19 yang menyebar secara cepat dan mengancam kesehatan publik, mendorong negara-negara untuk mengambil berbagai langkah pencegahan yang ekstrim. Salah satu langkah kebijakan yang diambil hampir semua negara adalah pelarangan atau pembatasan perjalanan ( travel ban/restriction ), penutupan perbatasan, serta memperketat lalu lintas manusia antar wilayah/negara. Di dalam skala domestik, beberapa negara memberlakukan lockdown yakni penutupan wilayah dan penghentian segala aktivitas publik kecuali yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan pangan dan medis. Physical distancing serta karantina mandiri termasuk dengan memindahkan aktivitas kantor, belajar, dan beribadah di rumah juga diimplementasikan di berbagai negara, termasuk Indonesia. Berbagai kegiatan yang bersifat pengumpulan massa dikurangi atau bahkan dilarang dengan pengawasan ketat dari aparat hukum. Di Indonesia, Pemerintah memberlakukan status Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dan menetapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sejak tanggal 31 Maret 2020. Sebelumnya, Pemerintah juga telah memberlakukan larangan penerbangan termasuk dari dan ke Tiongkok, membentuk Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, memberlakukan kebijakan physical distancing , serta menetapkan status keadaan darurat bencana Covid-19. Berbagai himbauan termasuk menganjurkan dan bahkan melarang masyarakat untuk tidak melakukan pulang kampung termasuk dalam rangka mudik Hari Raya Idul Fitri 1441 Hijriah telah dilakukan. Anjuran untuk meningkatkan pola hidup bersih dan sehat juga terus digencarkan. Penyebaran Covid-19 yang terjadi secara cepat dan eksponensial dikhawatirkan juga tidak dapat diimbangi dengan ketersediaan fasilitas kesehatan serta tenaga medis yang ada, sehingga bisa berujung pada krisis kesehatan. Langkah-langkah tersebut diimplementasikan dengan dasar bahwa kesehatan dan keselamatan masyarakat adalah prioritas. Namun demikian, langkah-langkah 111 tersebut menimbulkan penurunan aktivitas ekonomi yang cukup signifikan.
Bentuk perlindungan yang diberikan oleh negara tidak sebatas perlindungan dari ancaman fisik namun juga perlindungan terhadap keseluruhan aspek kehidupan dan keselamatan 269 juta jiwa penduduk Indonesia. Negara harus mampu menjaga ketahanan seluruh elemen bangsa dari segala ancaman yang membahayakan negara dan masyarakat. Dengan segala sumber daya yang ada, kita harus mewujudkan ketahanan negara yang kokoh dari segala ancaman, termasuk ancaman terhadap perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan yang menimbulkan implikasi pada aspek sosial, ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat.
Bahwa penyebaran pandemi Covid-19 yang memberikan dampak dan mengancam pertumbuhan ekonomi Indonesia antara lain karena menurunnya penerimaan negara serta ketidakpastian ekonomi global, memerlukan kebijakan dan langkah-langkah luar biasa di bidang keuangan negara termasuk di bidang perpajakan dan keuangan daerah, dan sektor keuangan, yang harus segera diambil Pemerintah dan lembaga-lembaga terkait guna mengatasi kondisi mendesak tersebut dalam rangka penyelamatan kesehatan, perekonomian nasional, dengan fokus pada belanja kesehatan, jaring pengaman sosial (social safety net), serta pemulihan dunia usaha yang terdampak. Oleh karena itu, diperlukan perangkat hukum yang memadai untuk memberikan landasan yang kuat bagi Pemerintah dan lembaga-lembaga terkait untuk pengambilan kebijakan dan langkah-langkah dimaksud.
Bahwa berdasarkan ketentuan dalam Pasal 22 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan: “ Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang ”. Mengacu pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009, parameter kegentingan yang memaksa dalam rangka penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang antara lain: - karena adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan _masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang; _ 112 - Undang-Undang yang dibutuhkan belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau tidak memadainya Undang-Undang _yang saat ini ada; dan _ - Kondisi kekosongan hukum yang tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa yang memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan. 5. Bahwa Perppu 1/2020 telah dikeluarkan oleh Presiden pada tanggal 31 Maret 2020 karena keadaan genting dan kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat dan untuk menyelamatkan perekonomian dari krisis yang diprediksi akan terjadi. Bahwa dalam keadaan mendesak tersebut diperlukan pemberian kewenangan bagi Pemerintah diantaranya agar dapat melakukan realokasi dan refocussing anggaran yang sebelumnya telah dialokasikan dalam APBN tahun 2020. Melalui realokasi dan refocussing yang bersifat segera diharapkan dapat segera memulihkan ekonomi dalam rangka mendukung Program Pemulihan Ekonomi Nasional sebagai akibat dari Pandemi Covid-19. 6. Bahwa oleh karenanya ketentuan dalam UU 2/2020 diharapkan dapat memberi fondasi hukum bagi pemerintah terhadap otoritas perbankan dan otoritas keuangan untuk mengambil langkah luar biasa guna menjamin kesehatan masyarakat, menyelamatkan perekonomian nasional, dan stabilitas sistem keuangan sebagaimana diatur UU a quo yang perlu menetapkan kebijakan keuangan negara dan kebijakan stabilitas sistem keuangan diantaranya dengan menetapkan batasan defisit anggaran, melakukan penyesuaian besaran belanja wajib ( mandatory spending ), dan melakukan pergeseran anggaran antarunit organisasi, antarfungsi, dan/atau antar program.
Bahwa urgensi sebagai dasar dibentuknya Perppu 1/2020 merupakan pertimbangan subjektif dari Presiden sebagai pihak yang berhak membentuk suatu perppu. Pertimbangan subjektif tersebut perlu untuk dinilai secara objektif oleh rakyat yang direpresentasikan oleh wakilnya, yaitu DPR, sebagaimana yang telah diamanatkan dalam Pasal 22 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Dengan disahkannya Perppu 1/2020 menjadi UU 2/2020, maka DPR sebagai wakil rakyat telah menilai urgensi tersebut merupakan hal yang nyata dan mendesak sehingga perlu 113 memberikan persetujuan atas Perppu 1/2020 untuk menjadi undang- undang sehingga dapat digunakan Pemerintah sebagai dasar hukum yang lebih kuat untuk bereaksi secara cepat menghadap situasi Pandemi Covid-19. C. KETERANGAN DPR TERHADAP PENGUJIAN FORMIL UU 2/2020 Berdasarkan kewenangan MK yang diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, maka batu uji yang digunakan oleh MK untuk melakukan pengujian formil haruslah berdasarkan Pasal 20 UUD NRI Tahun 1945, terutama Pasal 20 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama”. Frasa “ persetujuan bersama” dalam ketentuan tersebut merupakan esensi berlakunya __ asas legalitas sehingga frase “persetujuan bersama” merupakan norma yang sangat fundamental sebagai dasar terbentuknya undang- undang. Jika proses pembentukan undang-undang telah memenuhi unsur legalitas, yakni telah adanya “persetujuan bersama”, dan tidak adanya kegagalan dalam mendapatkan “persetujuan bersama” DPR dan Presiden, maka secara konstitusional undang-undang tersebut menjadi sah secara formil. Sesuai landasan konstitusional kewenangan MK menguji undang- undang terhadap UUD NRI Tahun 1945, maka pengujian undang-undang secara formil hanya dapat dinyatakan cacat prosedur jika telah bertentangan dengan ketentuan Pasal 20 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Namun demikian, jika Yang Mulia Hakim Konstitusi berpendapat lain, maka mohon pertimbangan yang seadil-adilnya, dan DPR tetap bersikap kooperatif dengan menerangkan lebih lanjut hal-hal yang dipermasalahkan oleh para Pemohon dalam pengujian formil.
Tanggapan DPR terhadap dalil Para Pemohon Perkara 75 mengenai batasan waktu 45 hari dalam pengujian formil undang-undang harus dikesampingkan karena tidak berdasarkan pada UUD NRI Tahun 1945. a) Bahwa Mahkamah Konstitusi dalam konteks ketatanegaraan Indonesia dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi ( the guardian of constitution ) dan sebagai pengawal demokrasi ( the guardian of 114 democracy ) yang diberikan kewenangan oleh UUD NRI Tahun 1945 untuk dapat menguji undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945. Kewenangan ini diberikan sebagai fungsi Mahkamah Konstitusi dalam menegakkan keadilan konstitusional di tengah kehidupan masyarakat. Namun di sisi lain, Mahkamah Konstitusi juga bertugas mendorong dan menjamin agar konstitusi dihormati dan dilaksanakan oleh semua komponen negara secara konsisten dan bertanggungjawab. b) Bahwa undang-undang bersifat mengikat dan memaksa bagi semua warga negara, sehingga agar dapat dilaksanakan harus diundangkan dalam Lembaran Negara agar setiap orang dianggap mengetahui atas undang-undang tersebut. Hal ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum kepada masyarakat atas keberlakuan suatu undang- undang. c) Bahwa untuk menjamin kepastian hukum, pengujian undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945 diperlukan pembatasan waktu untuk dapat diuji secara formil. Pembatasan waktu ini tidak boleh terlalu lama dari waktu diundangkannya suatu undang-undang dalam Lembaran Negara, karena karakteristik pengujian formil berbeda dengan pengujian materiil yang hanya menguji kata, frasa, ayat dan/atau pasal saja dalam undang-undang atas dasar kerugian konstitusional pemohon. Sedangkan pengujian formil didasarkan atas undang- undang yang merugikan konstitusi yang proses pembentukannya tidak sesuai dengan ketentuan dalam UUD NRI Tahun 1945, sehingga dapat membatalkan keseluruhan undang-undang. d) Bahwa Mahkamah Konstitusi dalam menjaga hal tersebut harus berhati-hati dalam menguji formalitas suatu undang-undang, karena yang menjadi fokus pengujian formil bukanlah atas dasar dalil kerugian pemohon, namun Mahkamah Konstitusi harus mengutamakan keadilan dan kebenaran konstitusional. Mahkamah Konstitusi harus memahami ruh, ide, landasan filosofis, dan suasana kebatinan yang terjadi selama penyusunan undang-undang sehingga dapat memahami urgensi suatu undang-undang harus segera ditetapkan. e) Bahwa Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal konstitusi ( the guardian of constitution ) dan sebagai pengawal demokrasi ( the 115 guardian of democracy ) telah tepat memberikan pembatasan waktu pengujian formil 45 hari setelah suatu undang-undang diundangkan dalam Lembaran Negara dalam menjaga kepastian hukum. Pembatasan ini sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-VII/2009 poin [3.34] yang menyatakan, “Menimbang bahwa terlepas dari putusan dalam pokok permohonan a quo Mahkamah memandang perlu untuk memberikan batasan waktu atau tenggat suatu Undang-Undang dapat diuji secara formil. Pertimbangan pembatasan tenggat ini diperlukan mengingat karakteristik dari pengujian formil berbeda dengan pengujian materiil. Sebuah Undang-Undang yang dibentuk tidak berdasarkan tata cara sebagaimana ditentukan oleh UUD 1945 akan dapat mudah diketahui dibandingkan dengan Undang-Undang yang substansinya bertentangan dengan UUD 1945. Untuk kepastian hukum , sebuah Undang-Undang perlu dapat lebih cepat diketahui statusnya apakah telah dibuat secara sah atau tidak, sebab pengujian secara formil akan menyebabkan Undang-Undang batal sejak awal. Mahkamah memandang bahwa tenggat 45 (empat puluh lima) hari setelah Undang-Undang dimuat dalam Lembaran Negara sebagai waktu yang cukup untuk mengajukan pengujian formil terhadap Undang-Undang; ” f) Bahwa terkait hukum acara pembatasan waktu 45 hari dalam mengajukan pengujian formil di Mahkamah Konstitusi merupakan materi yang seharusnya diatur dalam undang-undang oleh pembentuk undang-undang, namun selama belum diatur dalam undang-undang Mahkamah Konstitusi dapat mengatur hukum acara yang bersifat teknis untuk mengisi kekosongan hukum. Dalam hal ini, UUD NRI Tahun 1945 sebagai Konstitusi tidak mungkin mengatur secara rinci mengenai hal teknis batasan hari seperti yang didalilkan oleh para Pemohon, karena dibutuhkan Undang-Undang lain untuk mengatur mengenai hal tersebut. Sehingga Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan untuk mengatur sendiri hukum acara yang bersifat teknis dalam sidang pengadilan selama belum diatur dalam Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi. g) Bahwa terhadap pengujian perkara Nomor 75/PUU-XVIII/2020 yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi pada tanggal 9 September 2020 sesungguhnya telah melewati batas waktu pengujian formil 45 hari sejak diundangkannya UU a quo , yakni pada tanggal 18 Mei 2020 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134 116 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6516. Oleh karenanya berdasarkan fakta hukum tersebut DPR berpandangan permohonan perkara Nomor 75/PUU-XVIII/2020 tidak memenuhi ketentuan batas waktu 45 hari yang ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi, sehingga sepatutnya Mahkamah Konstitusi menyatakan Permohonan perkara Nomor 75/PUU-XVIII/2020 tidak dapat diterima.
Tanggapan DPR terhadap dalil para Pemohon Perkara 37 dan Perkara 75 mengenai prosedur konstitusional pengesahan telah disimpangi dengan tidak adanya keterlibatan DPD. Bahwa para Pemohon perkara 37 dan perkara 75 dalam perbaikan permohonannya mendalilkan tidak adanya keterlibatan DPD dalam pembahasan Perppu yang telah ditetapkan menjadi UU dengan UU 2/2020 bertentangan dengan prinsip negara hukum, prinsip kedaulatan rakyat dan kewenangan legislasi DPD. Terhadap dalil tersebut DPR menerangkan sebagai berikut: a) Bahwa berdasarkan Pasal 20 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 ditentukan kewenangan untuk membentuk undang-undang ada pada DPR. Adapun terkait UUD NRI Tahun 1945 menghendaki bahwa setiap RUU dibahas antara DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama [Pasal 20 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945]. b) Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 22D ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 mengatur bahwa Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang- undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan _daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; _ pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama. c) Bahwa keikutsertaan DPD dalam pembahasan RUU hanya sebatas yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah . Hal ini juga sesuai dengan Pasal 65 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan 117 Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 15 Tahun 2019 (selanjutnya disebut UU 12/2011). d) Bahwa Perppu 1/2020 pada intinya secara garis besar mengatur mengenai kebijakan keuangan negara, apabila dalam pelaksanaannya memiliki dampak terhadap alokasi perimbangan keuangan pemerintah pusat dan pemerintahan daerah, hal itu merupakan konsekuensi bahwa keuangan daerah merupakan bagian dari keuangan negara. Sehingga telah jelas bahwa Perppu tersebut tidak mengatur secara khusus mengenai otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Selain itu UU 2/2020 yang dipermasalahkan oleh Para Pemohon merupakan pengesahan Perppu 1/2020 sehingga pembentuk undang-undang tidak berkewajiban untuk mengikutsertakan DPD dalam pembahasan RUU penetapan Perppu 1/2020 menjadi undang-undang. e) Berdasarkan Pasal 71 huruf d dan Pasal 249 ayat (1) huruf b Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2019 (UU MD3) bahwa DPD ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. RUU Penetapan Perppu 1/2020 menjadi UU tidak memiliki pertautan dengan bidang yang mengharuskan keikutsertaan DPD dalam pembahasannya melainkan mengenai DPR memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan, sehingga DPD tidak memiliki kewenangan untuk ikut membahas RUU tersebut.
Tanggapan DPR terhadap dalil para Pemohon perkara 37, para Pemohon perkara 43 dan para Pemohon perkara 75 mengenai rapat virtual yang berpotensi dihadiri tidak secara konkret karena kuorum rapat dibuktikan dengan tandatangan sebelum menghadiri rapat. a) Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, Perppu 1/2020 dibentuk pada intinya untuk melakukan penyelamatan kesehatan dan 118 perekonomian nasional yang terdampak dari Pandemi Covid-19. Bahwa pada saat Perppu 1/2020 tersebut diajukan oleh Pemerintah kepada DPR untuk menjadi undang-undang, negara dalam kondisi darurat bencana yang menimbulkan kepanikan di masyarakat. b) Dalam kondisi demikian, maka DPR sebagai wakil rakyat harus tetap melaksanakan tugasnya untuk membahas Perppu 1/2020 bersama dengan Pemerintah. Bahwa pada saat itu peraturan perundang- undangan yang menjadi dasar hukum pembentuk undang-undang melaksanakan tugasnya masih belum menjangkau penggunaan sarana informasi dan teknologi dalam pembahasan dan pengesahan undang- undang. Hal tersebut disebabkan tidak terprediksinya kondisi yang diakibatkan dari penyebaran Pandemi Covid-19 yang begitu masif dan berdampak pada timbulnya korban jiwa. Adapun pada saat munculnya kasus pertama penyebaran Covid-19 di Indonesia hingga saat ini, Pemerintah telah membuat kebijakan mengenai salah satu upaya penanggulangan penyebaran Pandemi Covid-19 adalah dengan melakukan pembatasan sosial berskala besar dengan mengharuskan tiap orang menjaga jarak. c) Adapun salah satu kebijakan Pemerintah dalam upaya penanggulangan penyebaran pandemi Covid-19 adalah dengan melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang dilaksanakan di beberapa daerah di Indonesia. Sebagai lembaga yang berkedudukan di DKI Jakarta yang juga menerapkan PSBB, maka DPR dan Presiden juga harus mengikuti kebijakan yang telah ditetapkan Pemerintah Daerah tersebut. Meskipun demikian, tugas pokok dan fungsi sebagai lembaga tetap harus berjalan, sehingga sebagai alternatif pelaksanaan rapat dan koordinasi supaya tugas dan fungsi DPR dan Presiden tetap berjalan adalah dengan menggunakan sarana informasi dan teknologi berupa video meeting atau virtual meeting. d) Pada saat kondisi demikian agar tugas pembentukan undang-undang tidak terbengkalai, DPR perlu melakukan terobosan hukum, yaitu dengan menetapkan Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib (Tatib DPR 2020) yang mulai berlaku pada tanggal 2 April 2020. 119 Berdasarkan Tatib DPR 2020 tersebut di dalam ketentuan Pasal 254 ayat (4) dinyatakan bahwa: “ Semua jenis rapat DPR dihadiri oleh Anggota, kecuali dalam keadaan tertentu, yakni keadaan bahaya, kegentingan yang memaksa, keadaan luar biasa, keadaan konflik, bencana alam, dan keadaan tertentu lain yang memastikan adanya urgensi nasional, rapat dapat dilaksanakan secara virtual dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi. ” Dengan menggunakan dasar hukum tersebut, maka DPR melalui Badan Anggaran bersama Pemerintah melakukan Pembahasan Tingkat I UU a quo pada tanggal 4 Mei 2020 dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi melalui rapat virtual. Begitu pun halnya dengan Pembahasan Tingkat II yang menyetujui Perppu 1/2020 menjadi UU pada Rapat Paripurna tanggal 12 Mei 2020 dilaksanakan dengan menggunakan rapat kombinasi secara fisik maupun dengan teknologi informasi dan komunikasi melalui rapat virtual . e) Menanggapi dalil para Pemohon perkara 37, para Pemohon perkara 43 dan para Pemohon perkara 75 tersebut, DPR menerangkan bahwa pelaksanaan rapat yang dihadiri secara virtual telah diatur secara jelas dalam Pasal 279 ayat (6) Tatib DPR 2020 yang menyatakan bahwa: “Dalam hal penandatanganan daftar hadir Anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak dapat dilakukan dan disebabkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 254 ayat (4), kehadiran Anggota dalam semua jenis rapat DPR dilakukan berdasarkan kehadiran secara virtual.” Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 279 ayat (7) Tatib DPR 2020 menyatakan bahwa: “Bukti kehadiran secara virtual sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat dikonfirmasi dan diverifikasi keabsahannya melalui Sekretariat Jenderal DPR.” Oleh karena itu berdasarkan dokumen sebagaimana terlampir dalam Lampiran I, maka Pembahasan Tingkat II yang menyetujui Perppu 1/2020 menjadi UU pada Rapat Paripurna tanggal 12 Mei 2020 yang dilakukan secara virtual tersebut, maka kehadiran pembentuk undang- undang telah memenuhi ketentuan perundang-undangan. f) Oleh karena itu dalil para Pemohon perkara 37, para Pemohon perkara 43 dan para Pemohon perkara 75 tersebut hanya merupakan asumsi karena jelas bahwa pembahasan dan pengesahan undang-undang 120 dengan menggunakan sarana teknologi dan informasi telah memiliki dasar hukum melalui Tatib DPR 2020. Selain itu berdasarkan risalah Rapat Paripurna bahwa dengan Pimpinan DPR memberikan keputusan penetapan Perppu 1/2020 menjadi undang-undang artinya memberikan persetujuan dan juga mengikat anggota yang hadir baik secara fisik dan virtual (non fisik) (Lampiran II) 4. Tanggapan DPR terhadap dalil para Pemohon Perkara 43 mengenai UU 2/2020 tidak memenuhi syarat Pasal 22 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 dan Pasal 52 ayat (1) UU 12/2011 terkait frasa “ persidangan yang berikut ”. a) Bahwa di dalam Rapat Kerja Badan Anggaran DPR RI bersama Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Bank Indonesia, dan Lembaga Penjamin Simpanan tertanggal 4 Mei 2020 bahwa pada saat itu terdapat 9 (sembilan) fraksi yang menyetujui Perppu 1/2020 untuk ditetapkan menjadi undang-undang, hanya fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) yang belum menyatakan persetujuannya. Berdasarkan rapat pada saat itu, DPR RI menerangkan bahwa UU a quo disetujui untuk ditetapkan menjadi undang-undang, dari titik tolak pemikiran bahwa Alinea keempat Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 dinyatakan bahwa tujuan dibentuknya Pemerintahan Negara Indonesia adalah untuk melindungi segenap rakyat Indonesia. Dengan demikian asas keselamatan rakyat Indonesia adalah yang diutamakan, untuk memberikan keyakinan bahwa Perppu 1/2020 tersebut harus dibahas segera dan secepatnya untuk memenuhi asas keselamatan rakyat yang diamanatkan di dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 tersebut. b) Bahwa Perppu 1/2020 merupakan kewenangan yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam kondisi darurat yang bersifat fundamental dan krusial yang berdampak pada stabilitas perekonomian nasional jangka panjang, maka pengaturan hal tersebut perlu untuk diberikan dasar legalitas yang lebih kuat dalam bentuk undang-undang. c) Bahwa DPR selain memiliki fungsi legislasi sebagai pembentuk undang- undang berdasarkan Pasal 20A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, juga memiliki fungsi anggaran. Berkaitan dengan Perppu 1/2020 sebagai peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh pemerintah yang 121 berfokus pada penataan ulang anggaran hingga beberapa tahun ke depan yang tentu saja memiliki dampak terhadap APBN, dimana sesuai dengan UUD NRI Tahun 1945 pembahasan dan pengesahan dalam Perppu 1/2020 menjadi UU sangat memerlukan peran DPR dalam melaksanakan fungsi anggaran sebagai kerangka representasi rakyat. Oleh karena itu, penting bagi DPR untuk segera membahas dan menetapkan Perppu 1/2020 menjadi UU dalam waktu yang cepat karena adanya kebutuhan mendesak yang dapat berdampak terhadap stabilitas perekonomian nasional. d) Dengan adanya situasi pandemi Covid-19 tersebut yang memiliki dampak bukan hanya terhadap kesehatan dan keselamatan rakyat, tetapi juga memiliki dampak terhadap perekonomian negara dalam jangka panjang, oleh karenanya proses penetapan Perppu 1/2020 menjadi UU yang harus dilakukan secepatnya oleh DPR merupakan langkah cepat DPR dalam menghadapi keadaan darurat negara. Keadaan darurat tersebut tetap harus dipahami dalam pandangan yang sesuai dengan alas fakta yang terjadi pada saat keadaan darurat, dan tidak menggunakan parameter dan indikator keadaan normal. Oleh sebab itu, keputusan DPR yang secara cepat mengesahkan Perppu 1/2020 menjadi UU merupakan langkah yang tepat dan mencerminkan asas prosesual bahwa penundaan yang tidak beralasan ( undue delay ) harus dihindarkan, hal ini adalah demi kepentingan negara dan kepentingan umum yang harus dilindungi. e) Hal tersebut menunjukkan bahwa DPR memiliki kesamaan pandangan dengan Pemerintah mengenai adanya kegentingan memaksa dan perlunya kebijakan serta tindakan yang harus segera dilakukan dalam menghadapi pandemi Covid-19. Persetujuan DPR dimaksud menjadikan norma tersebut memenuhi amanat UUD NRI Tahun 1945 dan memberikan kepastian hukum bagi keberlanjutan langkah-langkah Pemerintah dalam penanganan situasi extraordinary pandemi Covid-19, yang telah secara nyata menimbulkan pemburukan ekonomi dan ancaman krisis apabila tidak segera ditangani. Dengan adanya legitimasi tersebut, Pemerintah memiliki fleksibilitas melakukan recovery terhadap situasi dan kondisi perekonomian. Semakin mampu 122 Pemerintah menangani dampak yang ditimbulkan oleh pandemi Covid- 19 seiring dengan perkembangan/perlambatan penyebaran virus ( flattening the curve ), semakin mempercepat negara keluar dari pemburukan ekonomi. D. KETERANGAN DPR TERHADAP PENGUJIAN MATERIIL UU 2/2020 1. Pandangan DPR RI terhadap pengujian judul UU 2/2020:
Berdasarkan metode penafsiran secara gramatikal yaitu metode penafsiran melalui pendekatan tatabahasa yang ada pada rumusan UU, dalam memahami UU, tanda baca, diksi, dan pola susunan kalimat sedemikan rupa benar benar diperhatikan. Berdasarkan metode penafsiran tersebut judul Lampiran UU 2/2020 sudah jelas, tidak ambigu, memang yang diatur dalam Lampiran UU 2/2020 ini adalah langkah Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Keuangan dikarenakan adanya pandemi Covid-19 yang saat ini terjadi. Bukan mengatur tentang langkah tindakan Pemerintah untuk menangani Covid-19. Yang menjadi subyek dari judul ini adalah Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Covid-19. Dua subyek tersebut adalah dua hal yang berbeda namun satu kesatuan yang diatur dalam Lampiran UU 2/2020 ini.
Judul dan materi muatan sudah sesuai, materi muatan terdiri atas 6 bab yang hampir semuanya mengatur mengenai langkah-langkah kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan yang akan dijalankan pemerintah, dan tidak mengatur mengenai langkah-langkah untuk menangani pandemi Covid-19.
Berdasarkan Ketentuan dalam UU 12/2011 Lampiran II Bagian A mengatur bahwa: ● Judul Peraturan Perundang–undangan memuat keterangan mengenai jenis, nomor, tahun pengundangan atau penetapan, dan nama Peraturan Perundang–undangan; ● Judul Peraturan Perundang-undangan ditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang diletakkan di tengah marjin tanpa diakhiri tanda baca; ● Pada nama Peraturan Pemerintah Pengganti Undang–Undang (Perpu) yang ditetapkan menjadi Undang–Undang, ditambahkan 123 kata penetapan di depan judul Peraturan Perundang–undangan yang ditetapkan dan diakhiri dengan frasa menjadi Undang-Undang; Berdasarkan ketentuan tersebut, judul yang tertulis pada UU 2/2020 maupun Perppu 1/2020 yang merupakan lampiran dari UU 2/2020 telah sesuai dengan ketentuan dalam UU 12/2011.
Pandangan DPR terhadap materi muatan kebijakan pelebaran defisit anggaran sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UU a quo . __ a. Bahwa sesuai amanat konstitusi, APBN digunakan untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat, namun ketika keadaan darurat karena Covid-19 yang telah secara nyata memberikan dampak pada perekonomian negara seperti saat ini maka penggunaan APBN dapat disesuaikan untuk kepentingan yang lebih besar yaitu menyelamatkan perekonomian negara yang mana hal ini justru untuk menciptakan manfaat yang lebih besar.
Implikasi pandemi Covid-19 telah berdampak pula terhadap ancaman semakin memburuknya sistem keuangan yang berisiko pada ketidakstabilan makro ekonomi dan sistem keuangan yang perlu dimitigasi bersama oleh Pemerintah dan lembaga terkait dengan melakukan tindakan antisipasi guna menjaga stabilitas sektor keuangan. Bahwa kedalaman implikasi Covid-19 terhadap perekonomian sulit diukur karena puncak pandemi Covid-19 belum dapat dipastikan waktunya. Implikasi ekonomi yang ditimbulkan oleh Covid-19 terhadap perekonomian sangat dalam sehingga semua skenario perlu disiapkan untuk menghadapi situasi yang paling buruk, bahkan dalam bentuk “ worst case scenario ”. Maka pemerintah dan lembaga terkait perlu mengambil langkah luar biasa dalam rangka penyelamatan perekonomian nasional dengan berbagai kebijakan relaksasi yang berkaitan dengan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dengan melakukan peningkatan belanja untuk kesehatan, jaring pengaman sosial dan pemulihan perekonomian, serta memperkuat kewenangan berbagai lembaga dalam sektor keuangan.
Bahwa para Pemohon perkara 37 dan Pemohon perkara 45 mendalilkan UU a quo melampaui dari ruang lingkup yang diatur di dalam Pasal 1 karenanya senyatanya Pasal 2 ayat (1) huruf a justru mengatur dalam 124 jangka waktu sampai dengan 2022 bahkan sampai 2023. Selain itu, negara-negara lain, pemerintahnya tidak diberi kewenangan khusus dalam bidang anggaran selama bertahun-tahun. Terhadap dalil tersebut, DPR berpandangan sebagai berikut:
Dalam Lampiran UU 2/2020 tetap terdapat pembatasan-pembatasan yaitu: Pertama, kewenangan menetapkan defisit melampaui 3% dari PDB hanya berlaku paling lama sampai dengan berakhirnya Tahun Anggaran 2022 (dalam jangka waktu kurang lebih 2 tahun atau bisa kurang dari waktu tersebut jika recovery ekonomi dapat berjalan lebih cepat); dan penyesuaian besaran defisit tersebut dilakukan secara bertahap. Sebagai perbandingan dengan negara lain, Amerika Serikat, Australia, Singapura, dan Malaysia telah mengeluarkan stimulus fiskal yang mencapai lebih dari 10% PDB-nya. Amerika Serikat hanya dalam waktu kurang dari 3 bulan menambah utang dengan 3 Triliun US$ yang jumlah tersebut sama dengan jumlah 3 kali PDB Indonesia. ( Lampiran II ). Kedua, pelebaran defisit tersebut tetap dalam koridor jumlah pinjaman yang dapat dilakukan dalam rangka pelaksanaan pelebaran defisit tersebut yaitu di batasi maksimal 60% (enam puluh persen) dari PDB sesuai UU Keuangan Negara 2) Bahwa defisit anggaran yang tidak dapat dihindari tersebut tentunya butuh penanganan sehingga meningkatnya besaran utang negara adalah suatu hal yang pasti terjadi. Solusi ini adalah satu diantara upaya-upaya yang dilakukan oleh Pemerintah selain melakukan penyesuaian besaran belanja wajib, pergeseran anggaran antar unit organisasi, antar fungsi dan/atau antar program dan lain sebagainya sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 2 Lampiran UU 2/2020.
Bahwa konsekuensi dari pelebaran defisit tersebut tentunya berdampak pada tahun-tahun berikutnya. Sehingga penentuan atau pembatasan APBN sampai tahun anggaran 2022 merupakan pilihan kebijakan yang logis. Oleh karena itu Pemerintah memberikan prediksi dengan menetapkan batasan defisit anggaran melampaui 3% dari PDB sampai dengan tahun anggaran 2022. Sedangkan pada tahun anggaran 2023, Pemerintah optimis besaran defisit anggaran 125 akan kembali menjadi paling tinggi sebesar 3% dari PDB. Hal ini merupakan optimisme Pemerintah dalam mengupayakan perbaikan kondisi perekonomian dan keuangan nasional. Hal ini harus dipahami oleh para Pemohon a quo mengingat kondisi dan kemampuan setiap negara berikut kebijakan-kebijakan yang diambil tidak dapat disamaratakan karena karakteristik dan tren pertumbuhan perekonomiannya yang juga tidak sama.
Bahwa APBN Tahun Anggaran 2021 dan Tahun 2022 dalam lampiran UU 2/2020 ini tidak diatur karena UU APBN Tahun Anggaran 2021 dan Tahun Anggaran 2022 belum disusun dan diundangkan ketika pengundangan UU 2/2020. Dalam penyusunan APBN Tahun Anggaran 2021 dan Tahun Anggaran 2022 tetap diberlakukan mekanisme penyusunan APBN sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan sehingga esensi Pasal 23 UUD NRI Tahun 1945 tetap terjaga.
DPR menerangkan pembentukan Perppu merupakan kewenangan konstitusional Presiden sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 22 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Baru selanjutnya diberlakukan ketentuan Pasal 22 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang merupakan kewenangan konstitusional DPR RI untuk memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan atas Perppu yang dibentuk oleh Presiden pada masa sidang yang berikutnya. Karakter hukum UU APBN yang merupakan undang-undang penetapan, berbeda dengan undang-undang pengaturan pada umumnya. Karena sifat hukumnya tersebut, UU APBN sebenarnya merupakan domain pemerintah dalam perumusan dan perencanaannya, yang kemudian membutuhkan hak budget DPR untuk menyetujui atau tidak. Dalam hal kondisi kedaruratan, persetujuan tidak ditempatkan di awal, melainkan sekalian di akhir pelaksanaan dengan maksud terjadinya perubahan konsep hak budget DPR yang sebelumnya menguji pengeluaran negara untuk kebutuhan di tahun berjalan, menjadi menguji pengeluaran negara untuk kemanfataan di tahun berjalan. Keduanya sama-sama tetap menggunakan dan menjalankan hak budget DPR, di mana hak budget keadaan normal, alokasi yang tidak 126 disetujui DPR karena belum menjadi kebutuhan akan dicoret atau ditarik. Sedangkan dalam keadaan darurat, alokasi yang tidak disetujui karena tidak sesuai kemanfaatannya harus dipertanggungjawabkan pemerintah dalam berbagai bentuk, yaitu meminta Badan Pemeriksa Keuangan melakukan pemeriksaan dan melaporkannya kepada DPR, meminta pemerintah melakukan koreksi dan pengembalian sesuai dengan rekomendasi pemeriksaan BPK, atau DPR dapat menggunakan hak yang dimilikinya dalam mengawasi penggunaan APBN keadaan darurat.
Selain itu terkait keinginan Pemohon perkara 45 agar RUU APBN Tahun 2021 dibahas Pemerintah dengan DPR RI senyatanya sudah disampaikan Pemerintah dalam rangkaian rapat paripurna tertanggal 12 Mei 2020, 14 Juli 2020, dan 14 Agustus 2020 (Lampiran II, Lampiran III dan lampiran IV). Sebagai tambahan informasi, pada 25 September 2020, Kemenkeu selaku yang mewakili Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyepakati Rancangan Undang-Undang (RUU) Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2021 di Banggar dan Pemerintah bersama DPR telah menyetujui defisit anggaran sebesar 5,7% dari PDB pada Rapat Paripurna DPR tanggal 29 September 2020. Semua fraksi DPR juga menyampaikan bahwa kondisi Covid-19 masih belum memberikan kepastian pada tahun 2021, sehingga Pemerintah dengan pimpinan Banggar dan para anggota Banggar bersama-sama memformulasikan RUU APBN 2021 yang disatu sisi memberikan signal kepada masyarakat, dunia usaha bahwa pemerintah terus melakukan support agar mereka bisa pulih dan bangkit kembali, namun di sisi lain juga memberikan sinyal kehati-hatian, sinyal prudent atau kebijakan dalam menjaga keseluruhan dan keberlangsungan APBN.
Oleh karenanya dalil bahwa kewenangan penetapan UU APBN oleh DPR menjadi nihil, (dalam hal ini dalil tersebut juga disampaikan oleh para Pemohon perkara 42) adalah anggapan yang salah. Hal ini disebabkan perubahan mekanismenya saja, yang sebelumnya Hak Budget DPR dilakukan di awal menjadi di akhir setelah diterbitkannya 127 LKPP. Selain itu, dalam memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap penetapan Perppu 1/2020 menjadi undang-undang tersebut, tentunya DPR mengkaji terlebih dahulu urgensi dan implikasi pemberlakuan ketentuan dalam Perppu tersebut sebagai undang-undang sebelum dilakukan penetapan Perppu tersebut sebagai undang-undang. Pengaturan dalam Perppu ini tidak berarti menghilangkan mekanisme persetujuan DPR dalam penetapan UU APBN mengingat UU APBN Tahun Anggaran 2020 telah ditetapkan, dan UU APBN Tahun Anggaran 2021 telah dibahas oleh DPR dan Pemerintah, dan UU APBN Tahun Anggaran 2022 masih belum disusun dan belum diajukan oleh Pemerintah kepada DPR RI.
Pandangan DPR terkait penggunaan dana yang bersumber dari Dana Abadi Pendidikan untuk penanganan Pandemi Covid-19, DPR.
Akumulasi dana abadi pendidikan yang dimaksud dalam Pasal a quo adalah akumulasi dana abadi dari tahun-tahun sebelumnya dan tidak termasuk porsi dana abadi pendidikan yang dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun berjalan [vide Penjelasan Pasal 2 ayat (1) huruf e UU a quo ].
Anggaran dana pendidikan yang sudah dialokasikan dalam UU APBN tahun berjalan tidak termasuk dalam objek yang diatur dalam ketentuan Pasal a quo sehingga kewajiban Pemerintah untuk memenuhi mandatory spending dana pendidikan sebesar 20% tetap dilaksanakan. Oleh karena itu, yang dapat digunakan oleh Pemerintah dalam realokasi penggunaan dana abadi pendidikan dan akumulasi dana pendidikan untuk penanganan Pandemi Covid-19 tidak mengganggu alokasi dana pendidikan yang sudah ditetapkan dalam UU APBN sebesar 20%.
Bahwa penggunaan dana abadi sebagai sumber pembiayaan APBN tahun berjalan merupakan salah satu opsi yang dipersiapkan pemerintah dalam penanganan pandemi Covid-19. Opsi tersebut hanya akan dipergunakan apabila seluruh pembiayaan lain yang tersedia tidak memenuhi kebutuhan pembiayaan pemerintah dalam penanganan pandemi Covid-19. Namun demikian, pemanfaatannya akan tetap memperhitungkan efektivitas dan ketepatan dibandingkan dengan surnber-sumber lain yang ada. 128 4. Pandangan DPR terkait kewenangan Pemerintah untuk menerbitkan Surat Utang Negara dan/atau Surat Berharga Syariah Negara dengan tujuan tertentu dan independensi Bank Indonesia a. Bahwa dasar hukum penerbitan SUN adalah Pasal 55 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (selanjutnya di sebut UU BI), yang berketentuan:
Dalam hal Pemerintah akan menerbitkan surat-surat utang negara, Pemerintah wajib terlebih dahulu berkonsultasi dengan Bank Indonesia.
Sebelum menerbitkan surat utang negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah wajib berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat.
Bank Indonesia dapat membantu penerbitan surat-surat utang negara yang diterbitkan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
.... Dalam penerbitan Surat Utang Negara tersebut, terdapat peran DPR dalam mekanisme penerbitan surat utang negara berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (1) dan ayat (3) UU Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara (UU SUN) yang mengatur bahwa Penerbitan Surat Utang Negara harus terlebih dahulu mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat yang diberikan pada saat pengesahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Mekanisme ini harus tetap dilakukan oleh Pemerintah.
Dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (UU SBSN) diatur bahwa SBSN diterbitkan dengan tujuan untuk membiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara termasuk membiayai pembangunan proyek. Kewenangan menerbitkan SBSN berada pada Pemerintah dilaksanakan oleh Menteri dapat dilaksanakan secara langsung oleh Pemerintah atau melalui Perusahaan Penerbit SBSN. Dalam hal akan dilakukan penerbitan SBSN untuk tujuan membiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara termasuk membiayai pembangunan proyek, Menteri terlebih dahulu berkoordinasi dengan Bank Indonesia.
Ketentuan Pasal 8 UU SBSN mengatur bahwa Penerbitan SBSN harus terlebih dahulu mendapat persetujuan DPR pada saat pengesahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diperhitungkan 129 sebagai bagian dari Nilai Bersih Maksimal Surat Berharga Negara yang akan diterbitkan oleh Pemerintah dalam satu tahun anggaran. Dalam rangka kedaruratan penanganan Covid-19 dan implikasinya terhadap kondisi perekonomian nasional, hal ini juga menjadi pertimbangan Presiden dalam penyusunan Perppu 1/2020 dan penetapannya sebagai undang-undang oleh DPR melalui UU 2/2020. Ketentuan Pasal 8 UU SBSN ini tidak disebutkan dalam ketentuan Pasal 28 lampiran UU 2/2020, sehingga masih berlaku dan harus dilaksanakan oleh Pemerintah.
Pasal 2 ayat (1) huruf f, Pasal 16 ayat (1) huruf c, dan Pasal 19 ayat (3) Lampiran UU 2/2020 mengatur bahwa Bl dapat membeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana atau primer. Pengaturan tersebut melengkapi ketentuan Pasal 55 ayat (4) UU Bl yang memberikan kewenangan Bl untuk membeli SUN di pasar primer atau perdana berjangka pendek yang diperlukan oleh Bl untuk operasi pengendalian moneter. Pengaturan pada Pasal 55 ayat (4) UU Bl dimaksudkan untuk menjalankan tugas Bl dalam kondisi normal. Sementara saat ini, Presiden telah memutuskan kondisi kegentingan yang memaksa serta kekosongan hukum karena pandemi Covid-19 sehingga diterbitkan Perppu 1/2020. Dalam mengatasi kondisi tersebut, diperlukan stimulus fiskal yang dapat berimplikasi pada pelebaran defisit APBN. Oleh karena itu, peran Bl perlu diperluas sehingga Bl dapat melakukan pembelian SUN dan/atau SBSN jangka panjang di pasar perdana khususnya dalam rangka penanganan permasalahan sistem keuangan yang membahayakan perekonomian nasional, termasuk SUN dan/atau SBSN yang diterbitkan dengan tujuan tertentu khususnya dalam rangka pandemi Covid-19.
Ketentuan dalam Pasal 16 ayat (1) hurut c Lampiran UU 2/2020 dimaksudkan untuk memberikan kelengkapan payung hukum bagi Bl untuk menetapkan dan melaksanakan kebijakan pembelian SUN dan/atau SBSN berjangka panjang di pasar perdana untuk penanganan permasalahan sistem keuangan yang membahayakan perekonomian nasional, termasuk SUN dan/atau SBSN yang diterbitkan dengan tujuan tertentu khususnya dalam rangka pandemi Covid-19. Dengan 130 adanya ketentuan-ketentuan dalam Lampiran UU 2/2020, terbuka ruang baru bagi Bl dalam rnerumuskan dan rnelaksanakan kebijakan moneter melalui pembelian SUN di pasar primer atau perdana, baik yang berjangka pendek maupun panjang, untuk digunakan dalam operasi pengendalian moneter maupun yang diperlukan untuk pemulihan ekonomi nasional.
Pembelian SUN dan/atau SBSN oleh Bl di pasar perdana dilakukan untuk membantu pemerintah dalam pemenuhan pembiayaan APBN dan pembiayaan pelaksanaan pemulihan ekonomi nasional termasuk menjaga stabilitas sistem keuangan nasional yang menjadi peran Bl sebagai otoritas moneter dan bukan mengintervensi Bl dalam pelaksanaan tugasnya. Proses untuk membeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana merupakan mandat yang diberikan oleh UU 2/2020 sehingga sama sekali tidak ada intervensi terhadap independensi Bl.
Perlu dicermati pula bahwa SUN dan/atau SBSN yang diterbitkan oleh Pemerintah tidak wajib untuk dibeli oleh Bl. Rumusan-rumusan ketentuan dalam Lampiran UU 2/2020 terkait kewenangan Bl untuk membeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana memuat kata "dapat". Penggunaan frasa "dapat" dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) huruf f dan Pasal 19 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 dimaknai bahwa tidak ada unsur kewajiban bagi Bl yang dapat menghilangkan independensi Bl sebagai bank sentral untuk memutuskan pembelian SUN dan/atau SBSN di pasar perdana. Pembelian SUN dan/atau SBSN didasarkan sesuai pertimbangan Bl dalam menjalankan tugasnya.
Kewenangan Bl untuk membeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana sebagaimana diatur dalam Lampiran UU 2/2020 dilaksanakan dengan tetap menjaga independensi Bl . Pasal 23D UUD NRI Tahun 1945 juncto Pasal 4 ayat (2) UU Bl telah mengatur bahwa Bl merupakan lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pemerintah dan/atau pihak lain. Pelaksanaan tugas dan wewenang Bl akan tetap berjalan secara efektif dengan berlakunya ketentuan dalam Lampiran UU 2/2020. 131 i. Sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (3) UU a quo , kewenangan tersebut harus memenuhi skema dan mekanisme pembelian yang diatur bersama antara Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia dengan Keputusan Bersama Menteri Keuangan dan Gubernur Bl Nomor 190/KMK.08/2020 dan Nomor 22/4/KEP.GBl/2020 tanggal 16 April 2020 dengan menerapkan prinsip:
mengutamakan mekanisme pasar;
mempertimbangkan dampaknya terhadap inflasi secara terukur;
SUN dan/atau SBSN yang dapat dibeli oleh Bl bersifat tradable dan marketable ; dan
Bl sebagai pembeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana merupakan last resort dalam hal kapasitas pasar tidak mampu menyerap dan/atau menyebabkan kenaikan yield yang terlalu tinggi.
Pandangan DPR terkait penetapan sumber-sumber pembiayaan Anggaran yang berasal dari dalam dan/atau luar negeri dan pengaturan perubahan postur APBN melalui Peraturan Presiden sebagaimana diatur dalam UU a quo a. Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. Kekuasaan tersebut meliputi kewenangan yang bersifat umum dan kewenangan yang bersifat khusus. Untuk membantu Presiden dalam penyelenggaraan kekuasaan dimaksud, sebagian dari kekuasaan tersebut dikuasakan kepada Menteri Keuangan selaku Pengelola Fiskal dan Wakil Pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan, serta kepada Menteri/Pimpinan Lembaga selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya. Menteri Keuangan sebagai pembantu Presiden dalam bidang keuangan pada hakekatnya adalah Chief Financial Officer (CFO) Pemerintah Republik Indonesia, sementara setiap menteri/pimpinan lembaga pada hakekatnya adalah Chief Operational Officer (COO) untuk suatu bidang tertentu pemerintahan. Prinsip ini perlu dilaksanakan secara konsisten agar terdapat kejelasan dalam pembagian wewenang dan tanggung jawab, terlaksananya mekanisme checks and balances 132 serta untuk mendorong upaya peningkatan profesionalisme dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan. Sub bidang pengelolaan fiskal meliputi fungsi-fungsi pengelolaan kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro, penganggaran, administrasi perpajakan, administrasi kepabeanan, perbendaharaan, dan pengawasan keuangan.
Pengecualian Pelaksanaan Kebijakan Keuangan Negara dalam Perppu ini sebagaimana diatur dalam Pasal 12 ayat (2) lampiran UU 2/2020 a quo : “Perubahan postur dan/atau rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara dan langkah-langkah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 11 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden.” Ketentuan tersebut hanya berlaku sepanjang berkaitan dengan kebijakan keuangan negara untuk penanganan penyebaran Covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan berdasarkan Perppu ini (vide Pasal 28 lampiran UU 2/2020). Dalam kondisi kembali normal semua ketentuan dalam UU MD3 berlaku seperti semula termasuk dalam hal mekanisme pembahasan APBN dan APBNP yang harus tetap mendapatkan persetujuan DPR. Selain itu meskipun APBN Perubahan ditetapkan dengan Peraturan Presiden karena situasi yang mendesak berdasarkan Perppu 1/2020 yang selanjutnya menjadi lampiran UU 2/2020, tetapi pertanggungjawaban APBN tetap kepada DPR.
Bahwa terkait dengan sumber-sumber pembiayaan negara, Pasal 12 ayat (3) UU Keuangan Negara mengatur bahwa dalam hal anggaran diperkirakan defisit, ditetapkan sumber-sumber pembiayaan untuk menutup defisit tersebut dalam Undang-undang tentang APBN. Dan penjelasan Pasal 12 ayat (3) UU Keuangan Negara tersebut mengatur bahwa jumlah pinjaman dibatasi maksimal 60% dari Produk Domestik Bruto. Ketentuan dalam penjelasan ini juga menjadi bagian yang dinyatakan tidak berlaku dalam Pasal 28 angka 3 lampiran UU 2/2020. Namun pada dasarnya, penetapan sumber-sumber pembiayaan tersebut diperbolehkan hanya saja batasan yang ada dalam 133 penjelasan pasal tersebut tidak diberlakukan selama penanganan Covid-19 ini atau hingga tahun 2021. Selain itu, persebaran Covid-19 yang masif dan cepat ini membutuhkan penanganan cepat namun yang tidak dapat dilaksanakan melalui mekanisme APBN, sehingga telah jelas tidak ada pelanggaran prinsip pengelolaan keuangan negara dan tetap sejalan dengan prinsip negara hukum sebagaimana diatur oleh Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945.
Ketentuan Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 sama sekali tidak menghilangkan peran dan fungsi DPR, karena dengan telah disetujui dan ditetapkannya Perppu 1/2020 menjadi UU 2/2020, telah menunjukkan bahwa perubahan postur dan/atau rincian APBN dengan Peraturan Presiden yang diatur dalam ketentuan Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 tersebut telah mendapat persetujuan DPR. Selain itu, dalam pembentukan Peraturan Presiden tentang perubahan postur dan/atau rincian APBN, Pemerintah selalu mengkomunikasikannya dan melakukan pembahasan bersama dengan DPR. DPR dapat memberikan masukan dan rekomendasi kepada Pemerintah terkait postur dan/atau rincian APBN tersebut. Oleh karena itu, Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 __ yang mengatur bahwa perubahan postur dan/atau rincian APBN dilakukan dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden, sama sekali tidak menghilangkan peran dan fungsi DPR. Pengaturan perubahan postur dan/atau rincian APBN dalam ketentuan Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 telah diselaraskan dengan dicabutnya ketentuan Pasal 27 ayat (3) UU Keuangan Negara, Pasal 177 huruf c angka 2 dan Pasal 182 UU MD3, serta Pasal 40 UU APBN 2020 ( vide __ ketentuan Pasal 28 angka 3, 10, dan 12 Lampiran UU 2/2020). Pencabutan berbagai ketentuan yang diatur dalam Pasal 28 angka 3, 10, dan 12 Lampiran UU 2/2020 tersebut, merupakan upaya harmonisasi agar tidak ada dualisme aturan atas satu permasalahan. Dengan demikian, ketentuan Pasal 28 angka 3, 10, dan 12 Lampiran UU 2/2020 telah memberikan kepastian hukum atas pelaksanaan ketentuan Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020, yaitu bahwa perubahan postur dan/atau rincian APBN dilakukan dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden. 134 6. Pandangan DPR Terhadap Kebijakan Di Bidang Keuangan Daerah sebagaimana diatur dalam UU a quo a. Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945, Pemerintah Daerah telah diberikan kewenangan untuk mengatur dan mengurus sendi r i urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda). Penjelasan umum UU Pemda menyatakan bahwa pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah dilaksanakan berdasarkan prinsip negara kesatuan. Dalam negara kesatuan, kedaulatan hanya ada pada pemerintahan negara atau pemerintahan nasional dan tidak terdapat kedaulatan pada pemerintahan daerah. Oleh karena itu, seluas apapun otonomi yang diberikan kepada daerah, tanggung jawab akhir penyelenggaraan pemerintahan daerah akan tetap ada di tangan pemerintah pusat. Untuk itu pemerintahan daerah pada negara kesatuan merupakan satu kesatuan dengan pemerintahan nasional.
Kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan oleh daerah merupakan bagian integral dari kebijakan nasional. Pembedanya, terletak pada bagaimana memanfaatkan kearifan, potensi, inovasi, daya saing, dan kreativitas daerah untuk mencapai tujuan nasional tersebut di tingkat lokal yang pada gilirannya akan mendukung pencapaian tujuan nasional secara keseluruhan. Pada kondisi pandemi Covid-19, hal yang perlu diperhatikan dalarn pelaksanaan kebijakan keuangan di daerah adalah kecepatan dan ketepatan untuk menyesuaikan anggaran sehingga tepat sasaran. Lebih lanjut, berdasarkan dengan Pasa l 6 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (UU Keuangan Negara), kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan, telah diserahkan kepada kepada gubernur/ bupati/wali kota untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili Pemerintah Daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan.
Namun demikian, dalam pelaksanaannya, penyelenggaraan pemerintahan daerah, termasuk keuangan daerah, dilaksanakan sesuai 135 dengan ketentuan dalam UU Pemda sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015. Dalam ketentuan Pasal 9 ayat (2) UU Pemda disebutkan urusan absolut adalah urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat. Lebih Ianjut dalam ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf e UU Pemda disebutkan jika salah satu urusan pemerintahan absolut tersebut adalah urusan moneter dan fiskal nasional. Dalam menangani pandemi Covid-19 dan menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan, kebijakan yang diterapkan di bidang keuangan negara yang memberikan relaksasi untuk refocusing APBN, sudah seharusnya juga diterapkan pada pemerintahan daerah, khususnya dalam hal relaksasi untuk refocusing APBD. Oleh karena itu, kebersarnaan dan gotong royong oleh pemerintah pusat dan Pemerintah Daerah dapat menuntaskan permasalahan kesehatan dan ekonomi dampak Covid-19.
Sesuai ketentuan Pasal 8 UU Pemda, telah diatur bahwa pembinaan dan pengawasan terhadap urusan penyelenggaraan pemerintahan oleh daerah dikoordinasikan oleh Menteri Dalam Negeri. Hal tersebut dapat menjadi landasan Kementerian Dalam Negeri untuk memberikan petunjuk/pedoman tentang keuangan daerah kepada Pemerintah Daerah agar penggunaan realokasil refocusing seragam dan terarah bagi seluruh daerah. Sebagaimana telah diatur dalam Pasal 280 UU Pemda, dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang diserahkan dan/atau ditugaskan, penyelenggara pemerintahan daerah memiliki kewajiban dalam pengelolaan keuangan daerah antara lain meliputi sinkronisasi pencapaian sasaran program daerah dalam APBD dengan program pemerintah pusat.
Sejalan dengan hal tersebut, guna mencapai penanganan yang bersifat holistik dan terpadu atas pandemi Covid-19 dan dampaknya, maka diperlukan pula peran daerah melalui APBD. Untuk itu, Pemerintah Daerah diberikan kewenangan untuk melakukan refocusing, perubahan alokasi dan penggunaan APBD. Dalam rangka memberikan pedoman/ guidance kepada Pemerintah Daerah, maka Kemendagri telah menerbitkan Permendagri Nomor 39 Tahun 2020 tentang Pengutamaan 136 Penggunaan Alokasi Anggaran Untuk Kegiatan Tertentu, Perubahan Alokasi dan Penggunaan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah yang mengatur ketentuan umum dan teknis pelaksanaan refocusing, perubahan alokasi, dan penggunaan APBD untuk penanganan pandemi Covid-19 beserta dampaknya di daerah. Dengan demikian, Permendagri tersebut tidak akan mendikte Pemerintah Daerah dalam melakukan refocusing, perubahan alokasi dan penggunaan APBD, melainkan sebatas memberikan petunjuk dan menciptakan keseragaman tindak lanjut kedaruratan dalam melakukan refocusing guna mencapai tujuan nasional. Selain itu, dengan tidak diajukannya pengujian ketentuan Pasal 3 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 oleh Pemohon, maka Pemohon telah menyadari dan rnernahami bahwa pemberian kewenangan kepada daerah untuk melakukan refocusing, perubahan alokasi, dan penggunaan APBD, merupakan kebijakan yang penting dan diperlukan Pemerintah Daerah dalam penanganan dampak Covid-19.
Pandangan DPR Terhadap Materi Muatan mengenai “Kebijakan Di Bidang Perpajakan dan Kepabeanan” sebagaimana diatur dalam UU a quo a. Terkait dengan perpajakan, Kementerian keuangan telah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 34/PMK.04/2020 tentang Pemberian Fasilitas Kepabeanan Dan/Atau Cukai Serta Perpajakan Atas Impor Barang Untuk Keperluan Penanganan pandemi Covid-19 sebagaimana telah diubah dengan PMK 83/PMK.04/2020 dengan pertimbangan untuk percepatan pelayanan dalam pemberian fasilitas fiskal atas impor barang yang diperlukan dalarn penanganan pandemi Covid-19, perlu mengatur ketentuan mengenai perlakuan kepabeanan dan/atau cukai serta perpajakan atas impor barang yang diperlukan dalam penanganan pandemi Covid-19. Dalam PMK tersebut diatur atas impor barang untuk keperluan penanganan pandemi Covid-19 diberikan fasilitas kepabeanan dan/atau cukai serta perpajakan berupa: a) pembebasan bea masuk dan/atau cukai; b) tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah; dan c) dibebaskan dari pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22. 137 terhadap jenis barang yang tercantum dalam Lampiran Huruf A PMK tersebut yang dapat dilakukan melalui pusat logistik berikat.
Pengaturan Pasal 10 lampiran UU 2/2020 ini tidak bertentangan dengan Pasal 25 dan Pasal 26 UU Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan yang telah diubah dengan UU Nomor 17 Tahun 2006 (UU Kepabeanan). Pengaturan perubahan ketentuan Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26 ayat (1) UU Kepabeanan tersebut dalam rangka penanganan Covid-19 ini tentukan diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan tentu tidak dapat serta merta dianggap kesalahan karena anggapan para Pemohon bahwa ketentuan dalam UU tidak dapat diubah melalui peraturan perundang-undangan yang tidak setara. Hal ini dilakukan karena apa yang terjadi dan butuh penanganan cepat tidak sesuai dan tidak termasuk dalam pengaturan dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26 ayat (1) UU Kepabeanan. Barang- barang tersebut tidak termasuk barang yang dipergunakan untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak termasuk obat-obatan yang pengadaannya menggunakan anggaran keuangan negara.
Perubahan ketentuan Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26 ayat (1) UU Kepabeanan tersebut dengan UU perubahan tentu akan memerlukan waktu yang lama mengingat prosedur penyusunan UU beserta tahapan- tahapannya tidak dapat dilakukan dalam waktu singkat. Penentuan ini juga tentunya memperhatikan pengaturan yang ada dalam Pasal 25 ayat (3) UU Kepabeanan yang menyatakan “Ketentuan tentang pembebasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri” dan Pasal 26 ayat (3) UU Kepabeanan yang menyatakan “Ketentuan mengenai pembebasan atau keringanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan Menteri”. Sejalan dengan adanya amanat pengaturan peraturan pelaksanaan UU sebagaimana dalam Pasal 25 ayat (3) dan Pasal 26 ayat (3) UU Kepabeanan, maka hal ini jelas ditujukan untuk simplifikasi proses dalam kondisi yang genting, yang sudah jelas tidak berarti bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 sebagaimana yang telah didalilkan oleh para Pemohon perkara 37. 138 d. Tidak adanya pernyataan Presiden bahwa negara dalam kondisi krisis sehingga tidak diperlukan adanya program stabilitasi perekonomian dan keuangan nasional termasuk pengurangan pajak dan bea masuk barang impor sebagaimana yang dinyatakan para Pemohon perkara 42, hal tersebut tidaklah benar. Dalam berbagai pidatonya, Presiden, DPR dan Menteri keuangan berulang kali menyampaikan kondisi perekonomian nasional dan kekhawatiran apabila tidak dilakukan upaya penanganan segera tanpa perlu menyatakan “Indonesia dalam keadaan krisis” pun keadaan tersebut dirasakan oleh masyarakat secara luas khususnya setelah adanya pandemi Covid-19. Pengurangan pajak dilakukan karena pajak dipungut dari warga negara dan kondisi perekonomian nasional sedang tidak dalam keadaan baik. Hal ini justru akan membebani masyarakat apabila tidak dilakukan pengurangan pajak. Selain itu, kebijakan terkait bea masuk barang impor tidak diberlakukan pada seluruh objek bea masuk melainkan pada alat-alat kesehatan dan obat-obatan yang dibutuhkan oleh masyarakat dalam rangka penanganan pandemi Covid-19. Oleh karenanya, pengaturan dan pengawasan pengelolaan keuangan negara selama masa pandemi Covid-19 ini terlapor secara jelas kepada DPR dan dilaksanakan sesuai dengan asas-asas pengelolaan keuangan negara dan asas-asas umum penyelenggaraan pemerintahan yang baik.
Bahwa terkait dalil para Pemohon perkara 37 yang menyatakan bahwa pemberian keringanan pajak tanpa dibarengi dengan adanya larangan PHK tidaklah tepat. DPR menerangkan bahwa pelarangan PHK tidak dapat diberlakukan oleh Pemerintah mengingat kondisi keuangan setiap perusahaan tidak sama satu sama lain berikut besar skalanya. Keringanan pajak tersebut diberikan dengan harapan mampu menstimulus perkembangan perusahaan sehingga besarnyapun tidak akan sama bagi setiap perusahaan tergantung pada skala perusahaan dan bidang usaha perusahaan tersebut. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) mengatur bahwa Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan perintah. Dalam UU Ketenagakerjaan tersebut telah diatur mengenai pemutusan 139 hubungan kerja dan adanya perjanjian kerja. Selain itu, ketenagakerjaan merupakan hubungan perdata antara pekerja dan pemberi kerja/pengusaha.
Bahwa terkait dalil para Pemohon perkara 37 mengenai pajak untuk perdagangan melalui sistem elektronik tidak memenuhi unsur kegentingan yang memaksa dan seharusnya diatur dalam undang-undang, DPR menerangkan bahwa:
Langkah-langkah pencegahan yang relatif ketat untuk membatasi meluasnya penyebaran pandemi Covid-19 menyebabkan turunnya permintaan atas produk nasional. Dampak selanjutnya, banyak perusahaan yang mengalami kesulitan cash flow sehingga menurunkan kemampuan dalam membayar pajak. Akibatnya, penerimaan perpajakan seperti PPh Badan mengalami penurunan secara signifikan. Berkurangnya aktivitas perdagangan internasional secara signifikan juga mengakibatkan turunnya penerimaan pajak dari impor dan bea masuk. Selain itu, penerimaan perpajakan juga mengalami tekanan dari turunnya harga minyak dunia, bahan mineral, dan CPO yang merupakan komponen penting dalam menghitung PPh migas dan bea keluar. Kinerja penerimaan perpajakan diperkirakan akan melemah pada tahun 2020 dengan tax ratio berpotensi berada di bawah 9 persen, terendah dalam dua dekade terakhir.
Menghadapi kondisi perekonomian dan pandemi Covid-19, kebijakan dan strategi perpajakan jangka menengah ditujukan untuk mendorong percepatan pemulihan ekonomi nasional pasca pandemi Covid-19 dan meningkatkan pendapatan negara. Di tengah ketidakpastian akan akhir dari pandemi Covid-19, dukungan terhadap dunia usaha mutlak diperlukan dalam rangka memitigasi dampak ekonomi yang timbul dan mendorong percepatan pemulihan ekonomi nasional. Untuk itu, langkah reformasi perpajakan yang pertama dilakukan adalah dengan memberikan relaksasi perpajakan kepada dunia usaha. Relaksasi perpajakan tersebut dimaksudkan untuk mengurangi beban kegiatan usaha dan membantu meningkatkan kondisi cash flow perusahaan, khususnya selama dan pasca pendemi Covid-19. Perusahaan dapat menggunakan pengurangan atau pembebasan pajak untuk menutupi 140 kenaikan harga bahan input maupun penurunan penjualan sehingga tetap beroperasi secara normal. Efek selanjutnya adalah perusahaan diharapkan tidak melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sehingga karyawan mempunyai gaji untuk memenuhi kebutuhan hidup. Pada gilirannya hal tersebut akan kembali menggairahkan perekonomian nasional, baik dari sisi produksi maupun sisi konsumsi. Melalui penurunan tarif PPh badan, pembebasan PPh impor dan bea masuk sektor tertentu, serta berbagai fasilitas perpajakan lainnya, Pemerintah juga bermaksud meningkatkan daya saing guna mendorong aktivitas investasi sehingga dapat memacu pertumbuhan ekonomi nasional.
Dalam rangka meningkatkan pendapatan negara, khususnya penerimaan perpajakan, Pemerintah melakukan upaya perluasan basis pemajakan dan perbaikan administrasi perpajakan. Penambahan objek pajak baru yang dipungut oleh Negara sangat diperlukan dalam rangka meningkatkan tax ratio . Sebagai tahap awal, Pemerintah akan memungut pajak atas Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) atau yang lebih popular dengan sebutan e-commerce . Dalam beberapa tahun terakhir, transaksi online berkembang begitu cepat dan berpotensi menggantikan pasar konvensional. Selain menjadi sumber pendapatan Negara, pemungutan pajak terhadap sektor PMSE juga dimaksudkan untuk memastikan terpenuhinya prinsip pemajakan yang berkeadilan ( fairness) antara semua pelaku usaha dan menciptakan level of playing field yang sama bagi pengusaha di dalam negeri untuk bertahan dan meningkatkan daya saingnya di tengah pandemi Covid-19. Selama ini, pelaku usaha ekonomi digital luar negeri mendapatkan penghasilan secara signifikan dari Indonesia tanpa perlu membayar pajak di Indonesia. Untuk itu, pemajakan atas PMSE diharapkan mampu menjadi sumber penting pendapatan negara mengingat nilai transaksinya yang besar di masa yang akan datang. Dengan demikian, pengaturan objek pajak baru dan mekanisme mekanisme peningkatan efektivitas pajak menjadi hal yang harus dilakukan untuk memenuhi kebutuhan belanja negara yang semakin tinggi dengan kondisi pemasukan negara yang tidak mencukupi. 141 4) Apabila pemajakan terhadap PMSE tidak segera diterapkan di Indonesia maka terjadi kekosongan hukum dan menjadi loopholes untuk penghindaran dan pengelakan pajak yang menyebabkan hilangnya potensi penerimaan pajak. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa akan memerlukan waktu yang cukup lama, apalagi di tengah pandemi Covid-19. Dengan demikian, kebijakan pemajakan PMSE dalam Lampiran UU 2/2020 sangat diperlukan sebagai dasar legal formal pemajakan atas PMSE. Dalam pelaksanaan PMSE tersebut, Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 48/PMK.03/2020 tentang Tata Cara Penunjukan Pemungut, Pemungutan, Dan Penyetoran, Serta Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai Atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud Dan/Atau Jasa Kena Pajak Dari Luar Daerah Pabean Di Dalam Daerah Pabean Melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik. Peraturan tersebut tentunya tidak lepas dari pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2009 dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009. Maka dengan diaturnya PSME dalam Perppu 1/2020 yang keberlakuannya setara dengan Undang-Undang dan telah ditetapkan sebagai Undang- Undang melalui UU 2/2020, maka dalil para Pemohon Perkara 37 mengenai PSME harus diatur dalam undang-undang menjadi tidak beralasan menurut hukum.
Pandangan DPR Terhadap Keterbukaan Pemerintah Terhadap Pelaksanaan Kebijakan Keuangan Negara Sebagaimana Diatur dalam Ketentuan UU a quo .
Setiap penyelenggara negara wajib mengelola keuangan negara secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Pengelolaan dimaksud dalam UU Keuangan Negara 142 mencakup keseluruhan kegiatan perencanaan, penguasaan, penggunaan, pengawasan, dan pertanggung-jawaban. Oleh karenanya, APBN, perubahan APBN, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN setiap tahun ditetapkan dengan undang-undang. Sedangkan APBD, perubahan APBD, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD setiap tahun ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Dengan ditetapkannya APBN, Perubahan APBN berikut pertanggungjawaban pelaksanaan APBN dalam Undang-Undang dan APBD, perubahan APBD berikut pertangungjawaban pelaksanaan APBD dalam Peraturan daerah, maka berlakulah fiksi hukum dalam masyarakat. Asas Fiksi Hukum beranggapan bahwa ketika suatu peraturan perundang- undangan telah diundangkan maka pada saat itu setiap orang dianggap tahu ( presumption iures de iure ) dan ketentuan tersebut berlaku mengikat sehingga ketidaktahuan seseorang akan hukum tidak dapat membebaskan/memaafkannya dari tuntutan hukum ( ignorantia jurist non excusat ). Keberadaan asas fiksi hukum, telah dinormakan di dalam Penjelasan Pasal 81 ketentuan UU 12/2011 yakni "Dengan diundangkannya Peraturan Perundang-undangan dalam lembaran resmi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini, setiap orang dianggap telah mengetahuinya". Adapun lembaran resmi yang dimaksud di dalam ketentuan Pasal 81 terdiri dari 7 jenis yakni a. Lembaran Negara Republik Indonesia, b.Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, c.Berita Negara Republik Indonesia, d. Tambahan Berita Negara Republik Indonesia, e.Lembaran Daerah, f. Tambahan Lembaran Daerah, atau g. Berita Daerah.
Dalam rangka akuntabilitas pengelolaan keuangan negara menteri/ pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota selaku pengguna anggaran/ pengguna barang bertanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan yang ditetapkan dalam Undang-undang tentang APBN/Peraturan Daerah tentang APBD, dari segi manfaat/hasil ( outcome ). Sedangkan Pimpinan unit organisasi kementerian negara/lembaga bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan yang ditetapkan dalam undang-undang tentang APBN, demikian pula Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan yang ditetapkan dalam Peraturan 143 Daerah tentang APBD, dari segi barang dan/atau jasa yang disediakan ( output ).
Oleh karena itu, dalam UU Perbendaharaan Negara diatur sanksi yang berlaku bagi menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota, serta Pimpinan unit organisasi kementerian negara/lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah yang terbukti melakukan penyimpangan kebijakan/kegiatan yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang tentang APBN/Peraturan Daerah tentang APBD. Ketentuan sanksi tersebut dimaksudkan sebagai upaya preventif dan represif, serta berfungsi sebagai jaminan atas ditaatinya Undang-undang tentang APBN/Peraturan Daerah tentang APBD yang bersangkutan. Selain itu perlu ditegaskan prinsip yang berlaku universal bahwa barang siapa yang diberi wewenang untuk menerima, menyimpan dan membayar atau menyerahkan uang, surat berharga atau barang milik negara bertanggungjawab secara pribadi atas semua kekurangan yang terjadi dalam pengurusannya. Kewajiban untuk mengganti kerugian keuangan negara oleh para pengelola keuangan negara dimaksud merupakan unsur pengendalian intern yang andal.
Anggapan para Pemohon perkara 42 dan para Pemohon perkara 43 atas tidak terjadinya krisis perekonomian karena tidak adanya pernyataan dari Presiden terkait kondisi tersebut, hal ini sungguh tidak beralasan menurut hukum dan justru menunjukkan sikap ketidakpedulian para Pemohon perkara 42 dan para Pemohon perkara 43 atas kondisi negara dan kondisi yang ada dalam masyarakat secara umum. Dengan perkembangan teknologi dan akses berita yang mudah dan luas sekarang ini, informasi mengenai keuangan negara dapat diakses dengan mudah. Hal ini merupakan wujud transparansi pengelolaan keuangan negara karena keuangan negara menyangkut kepentingan publik.
Dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dijelaskan bahwa Informasi Publik adalah informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan/atau diterima oleh suatu badan publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara dan/atau penyelenggara dan penyelenggaraan badan publik lainnya yang sesuai dengan Undang-Undang ini serta informasi lain yang 144 berkaitan dengan kepentingan publik. Salah satu asas dalam UU tersebut adalah bahwa setiap Informasi Publik bersifat terbuka dan dapat diakses oleh setiap Pengguna Informasi Publik, kecuali terdapat ketentuan pengecualiannya. Informasi Publik yang dikecualikan bersifat rahasia sesuai dengan undang-undang, kepatutan, dan kepentingan umum didasarkan pada pengujian tentang konsekuensi yang timbul apabila suatu informasi diberikan kepada masyarakat serta setelah dipertimbangkan dengan saksama bahwa menutup Informasi Publik dapat melindungi kepentingan yang lebih besar daripada membukanya atau sebaliknya. Dalam hal ini, keuangan negara merupakan informasi yang tidak dikecualikan dan dengan jelas diatur adanya mekanisme-mekanisme penyampaian informasi keuangan negara dalam UU Keuangan Negara.
Pandangan DPR terkait penambahan kewenangan terhadap OJK sebagaimana diatur dalam UU a quo a. Setidaknya terdapat tiga kewenangan OJK dalam UU a quo . Salah satu amanat dari UU 2/2020 seperti yang tercantum dalam Pasal 23 ayat (1) yaitu memberi kewenangan dan pelaksanaan kebijakan OJK untuk memberikan perintah tertulis kepada lembaga jasa keuangan melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, integrasi dan/atau konversi. Langkah tersebut dapat dilakukan apabila diperlukan untuk mengantisipasi krisis jasa keuangan yang dapat membahayakan perekonomian nasional. Dalam menghadapi kondisi penuh risiko saat ini akibat Covid-19 maka daya tahan lembaga jasa keuangan sangat dibutuhkan khususnya dari sisi permodalan. Sehingga, salah satu cara untuk memperkuat daya tahan lembaga jasa keuangan tersebut dilakukan dengan cara penggabungan atau merger. Aksi merger tersebut diperlukan karena terdapat risiko besar akibat Covid-19 yang mengganggu kemampuan pembayaran perusahaan jasa keuangan khususnya perbankan, meskipun saat ini perbankan tetap masih membayarkan bunga deposito kepada nasabah tepat waktu. Di sisi lain, kemampuan membayar debitur atau peminjam dalam kondisi tidak stabil karena perlambatan ekonomi di berbagai sektor. Sehingga, aksi merger tersebut diharapkan dapat memperkuat daya tahan perusahaan jasa keuangan. 145 b. Otoritas Jasa Keuangan mengeluarkan berbagai kebijakan stimulus untuk mengantisipasi dampak pandemi Covid-19 di bidang lembaga jasa keuangan. Sejauh ini, setidaknya OJK telah menerbitkan lima Peraturan OJK (POJK) pada 21 April 2020 sebagai tindak lanjut kewenangan OJK dalam pelaksanaan UU 2/2020 Kebijakan stimulus ini salah satunya adalah Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Corona Virus Disease 2019.
Kekhawatiran para Pemohon perkara 37 dan para Pemohon perkara 42 terkait potensi kesewenang-wenangan OJK dalam melaksanakan kewenangannya yang diberikan oleh UU 2/2020 tentunya telah diantisipasi oleh Pemerintah dan OJK dengan adanya pedoman pelaksanaan kewenangan-kewenangan tersebut. Selain itu, bagi OJK selaku pelaksana kewenangan yang diberikan oleh UU 2/2020 juga berlaku ketentuan Asas- Asas Umum Pemerintahan yang Baik sebagaimana diatur dalam UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dan UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
Pandangan DPR terkait pinjaman kepada LPS sebagaimana diatur dalam UU a quo a. Ketentuan Pasal 2 ayat (3) UU LPS, LPS merupakan lembaga yang independen. Sesuai ketentuan tersebut, telah jelas bahwa kedudukan LPS merupakan lembaga independen, bukan merupakan lembaga yang berada di bawah pemerintah. Pemberian kewenangan kepada LPS sebagaimana yang tercantum dalam Lampiran UU 2/2020, pada prinsipnya merupakan kewenangan yang telah diberikan oleh UU LPS, UU OJK , dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (UU PPKSK). Kewenangan yang diberikan kepada LPS sesuai Pasal 20 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 sifatnya lebih mempertegas guna mendukung pelaksanaan fungsi LPS dalam kondisi adanya pandemi Covid-19 dan/atau adanya ancaman perekonomian dan/atau stabilitas sistem keuangan. Kewenangan tersebut sudah jelas melekat dan seharusnya diberikan kepada LPS untuk dapat melaksanakan fungsi LPS sebagaimana diatur dalam UU LPS, yaitu menjamin simpanan nasabah penyimpan dan menjaga stabilitas sistem 146 perbankan. Pemberian kewenangan bagi LPS untuk melaksanakan langkah-langkah penanganan permasalahan stabilitas sistem keuangan juga diiringi dengan wewenang bagi Pemerintah untuk mengatur lebih lanjut pelaksanaan kewenangan tersebut dalam Peraturan Pemerintah [vide Pasal 20 ayat (2) Lampira n UU 2/2020]. Adanya atribusi dan mandat untuk melakukan pengaturan dalam peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dimaksudkan untuk memberikan koridor dalam pelaksanaan kewenangan LPS. Hal tersebut dimaksudkan selain untuk memberikan kepastian hukum, juga untuk menghindari LPS menginterpretasikan kewenangan yang diberikan dalam Lampiran UU 2/2020 secara luas yang dapat mengakibatkan penyalahgunaan wewenang.
Berdasarkan UU LPS, fungsi LPS adalah menjamin simpanan nasabah di bank dan turut aktif memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai kewenangannya. Berdasaran ketentuan dalam Pasal 85 ayat (1) UU LPS, dalam hal modal LPS menjadi kurang dari modal awal, Pemerintah dengan persetujuan DPR menutup kekurangan tersebut. Modal awal LPS ditetapkan sekurang-kurangnya Rp 4 triliun dan sebesar-besarnya Rp 8 triliun.
UU 2/2020 memberikan kewenangan kepada LPS yang di antaranya adalah melakukan pemeriksaan penanganan dan peningkatan intensitas persiapan Penanganan Bank bersama OJK dan melakukan pemilihan cara penanganan Bank Selain Bank Sistemik yang dinyatakan sebagai Bank Gagal dengan tidak hanya mempertimbangkan perkiraan biaya yang paling rendah ( least cost test ), tetapi juga mempertimbangkan kondisi perekonomian, kompleksitas permasalahan perbankan, kebutuhan waktu penanganan, ketersediaan investor, dan/atau efektivitas penanganan permasalahan Bank.
Sehubungan dengan kewenangan tersebut, UU 2/2020 mendelegasikan pengaturan kewenangan dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kewenangan LPS dalam Rangka Melaksanakan Langkah-Langkah Penanganan Permasalahan Stabilitas Sistem Keuangan. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah tersebut, LPS melakukan pemeriksaan bersama dalam rangka persiapan Penanganan 147 Bank dan peningkatan intensitas persiapan Penanganan Bank serta melakukan pemilihan cara penanganan Bank Selain Bank Sistemik yang dinyatakan sebagai Bank Gagal.
Berdasarkan kewenangan dimaksud, dalam hal terdapat Bank yang mengalami permasalahan solvabilitas, LPS melakukan pemeriksaan bersama dengan OJK untuk penanganan permasalahan solvabilitas Bank. Disamping itu, selama pemulihan ekonomi sebagai akibat pandemi Covid-19, LPS dapat melakukan penempatan dana pada Bank untuk mengelola dan/atau meningkatkan likuiditas LPS dan/atau mengantisipasi dan/atau melakukan penanganan permasalahan Stabilitas Sistem Keuangan yang dapat menyebabkan terjadinya kegagalan Bank sebagai bagian dari tindakan antisipasi ( forward looking ) LPS untuk menjaga Stabilitas Sistem Keuangan.
Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan Nomor 3 Tahun 2020 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kewenangan Lembaga Penjamin Simpanan Dalam Rangka Melaksanakan Langkah-Langkah Penanganan Permasalahan Stabilitas Sistem Keuangan, juga mengatur bahwa untuk penanganan pandemi Covid-19 untuk mengelola dan/atau meningkatkan likuiditas LPS dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan, LPS dalam rangka pengambilan keputusan untuk melakukan penanganan Bank Selain Bank Sistemik yang dinyatakan sebagai Bank Gagal oleh OJK, tidak hanya mempertimbangkan perkiraan biaya yang paling rendah ( least cost test ) tetapi juga dengan mempertimbangkan kondisi perekonomian, kompleksitas permasalahan bank, kebutuhan waktu penanganan, ketersediaan investor, dan/atau efektivitas dalam rangka penanganan permasalahan bank.
Berdasarkan ketentuan dalam lampiran UU 2/2020, LPS dapat menaikkan nilai penjaminan simpanan dari saat ini Rp2 miliar per rekening untuk menjamin adanya kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan. LPS juga bisa menambah pembiayaan dengan menerbitkan surat utang. Penambahan pendanaan ini bertujuan untuk membantu LPS apabila mengalami kesulitan likuiditas dalam menangani bank gagal. 148 Pembiayaan dari surat utang merupakan salah satu opsi yang dapat dilakukan LPS untuk menjalankan fungsi penjaminan simpanan maupun penanganan bank berdampak sistemik. Selama ini, LPS mendapatkan pembiayaan dari premi yang dibayarkan dari bank sebesar 0,2 persen per tahun dari rata-rata simpanan. LPS juga bisa mendapatkan biaya dari penanganan bank gagal serta memperoleh pinjaman dari pemerintah apabila modal sudah berada di bawah Rp4 triliun.
Resiko pembiayaan yang dikeluarkan untuk stabilitas kondisi perekonomian dan keuangan nasional salah satunya adalah kewajiban kontinjensi pemerintah pusat. Kewajiban kontinjensi merupakan kewajiban potensial bagi Pemerintah yang timbul akibat adanya peristiwa masa lalu dan keberadaannya menjadi pasti dengan terjadinya atau tidak terjadinya suatu peristiwa ( event ), yang tidak sepenuhnya. berada dalam kendali Pemerintah. Kewajiban kontinjensi bersumber dari pemberian dukungan dan/atau jaminan pemerintah atas proyek-proyek infrastruktur; program jaminan sosial nasional; kewajiban Pemerintah untuk menambahkan modal jika modal lembaga keuangan, yaitu Bank Indonesia (BI), Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), dan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI), di bawah jumlah yang diatur dalam Undang-Undang; dan tuntutan hukum kepada Pemerintah.
Berbagai opsi pendanaan tambahan ini diperlukan untuk memberikan kepercayaan kepada masyarakat sehingga persoalan solvabilitas bank dapat selesai dengan baik. Oleh karenanya, LPS harus menentramkan masyarakat bahwa dana mereka aman dan mampu memulihkan fungsi intermediasi perbankan. Dengan demikian, kekhawatiran yang didalilkan para Pemohon perkara 42 dalam permohonannya menjadi hal yang tidak benar karena dalam pelaksanaan pemberian pinjaman terhadap LPS jelas akan dikonsultasikan dengan DPR dan keberadaan pengaturan tersebut adalah salah satu upaya yang terbuka bagi pemerintah apabila kondisi perbankan nasional memburuk.
Pengaturan dalam Pasal 20 ayat (1) huruf b UU 2/2020 yang menyatakan bahwa LPS diberikan kewenangan untuk melakukan tindakan (i) penjualan/repo SBN yang dimiliki kepada Bank Indonesia; (ii) penerbitan surat utang; (iii) pinjaman kepada pihak lain; dan/atau (iv) pinjaman 149 kepada Pemerintah, dalam hal LPS diperkirakan akan mengalami kesulitan likuiditas untuk penanganan Bank Gagal, selain memberikan alternatif sumber pendanaan bagi LPS yang berlaku, baik untuk Bank Sistemik dan Bank Selain Bank Sistemik juga diharapkan dapat memberikan waktu yang cukup bagi LPS dalam mempersiapkan sumber dana tersebut sebelum terdapat Bank Gagal. Transaksi antara LPS dengan Bl sebagai salah satu langkah untuk pemenuhan likuiditas LPS yang diperluas sehingga LPS selain dapat melakukan penjualan SBN miliknya, juga dapat melakukan transaksi Repo. Selain penjualan dan/atau repo kepada Bl, LPS juga mempunyai alternatif pendanaan berupa pinjaman kepada pihak lain yang dimaksudkan untuk menjaring pihak-pihak (dalam dan/atau luar negeri) yang mempunyai kemampuan pendanaan sehingga tersedia alternatif pendanaan yang lebih luas bagi LPS. Pinjaman LPS dari pihak lain merupakan salah satu opsi untuk menjaga likuiditas sehingga pemanfaatan dana tersebut untuk melaksanakan tugas dan fungsi LPS sebagai lembaga resolusi perbankan dalam hal terdapat Bank Gagal sesuai tata kelola yang diatur dalarn UU LPS.
Pandangan DPR terkait dalil para Pemohon mengenai adanya hak imunitas bagi pelaksana kebijakan keuangan dan kerugian yang timbul dari pelaksanaan UU a quo bukan merupakan kerugian negara berdasarkan UU a quo adalah sebagai berikut a. Bahwa dukungan pembiayaan anggaran untuk penanganan Covid-19 yang besar adalah dalam rangka mendukung Program Pemulihan Ekonomi Nasional. Rincian kebutuhan anggaran ini berdampak pada sisi belanja dan juga pendapatan negara dalam APBN 2020. Biaya yang dikeluarkan pemerintah ini adalah biaya ekonomi yang bertujuan untuk penyelamatan negara dari krisis dan tidak bisa dianggap sebagai merupakan kerugian negara. APBN sebagai alat untuk mencapai tujuan negara, digunakan sepenuhnya untuk kepentingan rakyat. Ketika keadaan mendesak dan darurat, maka APBN sebagai alat tersebut dapat disesuaikan penggunaannya untuk menjadi penolong keselamatan negara. Biaya yang dikeluarkan ini disadari tidak akan sepenuhnya kembali dan juga hilangnya potensi penerimaan negara, namun di sisi lain 150 telah timbul manfaat yang lebih besar yaitu pulihnya perekonomian dan dunia usaha sehingga dapat menyelamatkan ekonomi Indonesia. Sehingga biaya yang dikeluarkan tidak bisa disebut sebagai kerugian negara.
Biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah ini adalah biaya ekonomi yang bertujuan untuk penyelamatan negara dari krisis dan tidak bisa dianggap sebagai merupakan kerugian negara. APBN sebagai alat untuk mencapai tujuan negara, digunakan sepenuhnya untuk kepentingan rakyat. Ketika keadaan mendesak dan darurat, maka APBN sebagai alat tersebut dapat disesuaikan penggunaanya untuk menjadi penolong keselamatan negara. Biaya yang dikeluarkan ini disadari tidak akan sepenuhnya kembali dan juga hilangnya penerimaan negara, namun di sisi lain telah menimbulkan manfaat yang lebih besar yaitu pulihnya perekonomian dan dunia usaha sehingga dapat menyelamatkan ekonomi Indonesia. Sehingga biaya yang dikeluarkan tidak bisa disebut sebagai kerugian negara. Penggunaan biaya ekonomi ini lah yang disebutkan dalam Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 yang dimaksudkan untuk penyelamatan perekonomian dari krisis sehingga bukan merupakan kerugian negara.
Mengutip Pendapat Dr. Dian Puji Nugraha Simatupang dalam tulisannya yang berjudul “Ekuilibrium Kebijakan Keuangan Negara Menghadapi Keadaan Negara Darurat Akibat Penyebaran Covid-19 Dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020”: “Biaya yang telah dialokasikan UU APBN dan/atau realisasi keuangan pemerintah untuk keadaan darurat tidaklah dapat dikategorikan sebagai kerugian negara dengan alasan : Pertama, biaya tersebut dialokasikan dalam UU APBN dan/atau laporan realisasi anggaran sebagai dasar hukum pengeluaran uang sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 2004 j.o. Pasal 27 ayat (4) UU Nomor 17 Tahun 2003; Kedua, biaya tersebut dikeluarkan untuk memenuhi kewajiban pemerintah untuk melindungi segenap tumpah darah rakyat Indonesia atau memenuhi asas kemanfaatan umum (doelmatigheid), dan untuk menghindari situasi dan keadaan yang lebih membahayakan keuangan negara dan perekonomian secara keseluruhan; Ketiga , biaya tersebut tetap diukur dalam satuan yang dikendalikan dan ditetapkan pedomannya oleh pemerintah dengan memperhatikan masukan dari lembaga terkait yang relevan untuk melakukan pengawasan intern. Menyangkut norma dalam Pasal 27 ayat (1) Perpu Nomor 1 Tahun 2020 hakikatnya dimaknai sebagai biaya sebagai sebab terjadinya keadaan darurat uang mempengaruhi stabilitas keuangan negara dan perekonomian nasional. Dalam 151 hukum keuangan publik, hal demikian merupakan biaya resiko yang harus dibebankan ke dalam UU APBN untuk maksud mewujudkan tujuan negara, yaitu melindungi segenap tumpah darah Indonesia. Biaya dalam keadaan darurat merupakan konsekuensi logis dalam upaya mewujudkan tindakan kepemerintahan yang cepat dan luar biasa diperlukan dalam kondisi yang tidak sempurna. Kecepatan dan ketepatan pemerintahan dalam penanganan keadaan darurat Covid-19 tidak dapat menggunakan parameter dan indikator yang biasa karena justru tidak prosesual atau tidak memenuhi ekuilibrium kebijakan keuangan publik jika suatu alas fakta yang berbeda menggunakan syarat prosedur yang normal atau kondisi yang sempurna, padahal alas fakta jelas terdapat perbedaan dan situasi yang darurat.” d. Bahwa dalam memaknai ketentuan Pasal 27 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) Lampiran UU 2/2020 tidak dapat dimaknai secara parsial melainkan harus dimaknai sebagai satu kesatuan. Adanya suatu kerugian keuangan negara, penyalah gunaan kewenangan melalui suatu kebijakan maupun produk hukum lain yang dikeluarkan dalam rangka pelaksanaan UU 2/2020 tetap harus dibuktikan secara hukum dengan parameter yang tentunya tidak bisa disamakan dengan apa yang ada dalam keadaan normal. Adanya frasa “iktikad baik” dan “sesuai peraturan perundang- undangan” merupakan batasan koridor pelaksanaan kewenangan dalam penggunaan keuangan negara dan mengeluarkan suatu produk hukum dalam rangka pelaksanaan UU 2/2020.
Bahwa dalam perspektif hukum keuangan publik, kerugian negara adalah “kekurangan uang, surat berharga, dan barang yang nyata dan pasti sebagai akibat perbuatan melawan hukum atau kelalaian,” berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 22 UU Perbendaharaan Negara. Artinya disini kerugian Negara tersebut harus dibuktikan sebagai akibat dari suatu perbuatan yang melawan hukum atau karena kelalaian. Biaya yang telah dialokasikan UU APBN dan/atau realisasi keuangan pemerintah untuk keadaan darurat tidaklah dapat dikatagorikan sebagai kerugian negara dengan alasan: a) biaya tersebut dialokasikan dalam UU APBN dan/atau laporan realisasi anggaran sebagai dasar hukum pengeluaran uang sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) UU Perbendaharaan Negara jo. Pasal 27 ayat (4) UU Keuangan Negara; 152 b) biaya tersebut dikeluarkan untuk memenuhi kewajiban pemerintah untuk melindungi segenap tumpah rakyat Indonesia atau memenuhi asas kemanfaatan umum ( doelmatigheid ), dan untuk menghindari situasi dan keadaan yang lebih membahayakan keuangan negara dan perekonomian nasional secara keseluruhan; c) biaya tersebut tetap diukur dalam satuan yang dikendalikan dan ditetapkan pedomannya oleh pemerintah dengan memperhatikan masukan dari lembaga terkait yang relevan untuk melakukan pengawasan intern;
Bahwa di samping itu, makna kerugian negara juga berkaitan dengan administrasi pemerintahan karena dengan adanya Pasal 20 Undang- undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016, kerugian negara juga mempunyai relevansi dengan persoalan hukum administrasi negara dalam hal terjadinya kesalahan administrasi. Bahwa biaya dalam keadaan darurat merupakan konsekuensi logis dalam upaya mewujudkan tindakan kepemerintahan yang cepat dan luar biasa diperlukan dalam kondisi yang tidak sempurna. Kecepatan dan ketepatan pemerintahan dalam penanganan keadaan darurat akibat Covid-19 tidak dapat menggunakan parameter dan indikator yang biasa karena tidak justru tidak prosesual atau tidak memenuhi ekuilibrium kebijakan keuangan publik jika suatu alas fakta yang berbeda menggunakan syarat prosedur yang normal atau kondisi yang sempurna, padahal alas fakta jelas terdapat perbedaan dan situasi yang darurat. Di samping itu, biaya tersebut juga akan sampai pada muaranya untuk diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan juga hasilnya disampaikan kepada DPR untuk memperoleh persetujuan berkaitan dengan manfaatnya dalam LKPP. Dengan demikian, proses dan sistem pembiayaan tersebut tetap akuntabel dan memenuhi asas umum pemerintahan yang baik dalam suatu syarat prosedur yang darurat.
Bahwa kewenangan BPK sudah sangat tegas diatur dalam Pasal 23E ayat (1) UUD NRI 1945. Dalam ketentuan peraturan perundang-undangan maka BPK juga diatur dalam UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK sesuai dengan fungsi dan kewenangannya serta dikaitkan pula dengan Bab VIII UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang 153 mengatur bahwa pelaksanaan APBN dan APBD diperiksa oleh BPK sebelum akhirnya Presiden/Kepala Daerah menyampaikan RUU/Perda tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBN/APBD kepada DPR/DPRD. Di samping itu, dalam UU a quo harus dipahami dan dicermati bahwa tidak ada satu pun pasal dalam UU a quo yang mengecualikan atau menghalang-halangi fungsi BPK untuk melakukan audit.
Bahwa hal demikian kemudian dilaksanakan dengan iktikad baik bagi pejabat administrasi pemerintahan. Dalam hukum administrasi negara, iktikad baik lebih tepat menggunakan istilah asas-asas umum pemerintahan yang baik. Dalam hal ini pejabat administrasi pemerintahan menjalankan tugas dan wewenangnya sesuai dengan alas hukum dan alas fakta secara memadai, serta keputusan dan kebijakan ditetapkan dengan motivasi untuk melindungi kepentingan umum (bestuurzorg). Dengan kondisi demikian, tepat pelaksanaan tindakan kepemerintahan tersebut tidak menjadi objek keputusan tata usaha negara karena peraturan dasarnya telah berubah, tidak pada peraturan dalam keadaan negara normal. Dengan demikian, keputusan tersebut dikecualikan sebagai objek pengadilan tata usaha negara karena validitasnya didasarkan pada peraturan dasar tersendiri yang dibentuk dalam keadaan darurat.
Dalam hal masyarakat atau pihak lain mengajukan keberatan dalam keputusan administrasi pemerintahan dalam masa darurat, dapat menggunakan instrumen administrasi pemerintahan itu sendiri, yang kemudian dapat dilakukan penyelesaian menurut Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2016 tentang Pengenaan Sanksi Administrasi bagi Pejabat Administrasi Pemerintahan dan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2016 tentang Pengenaan Ganti Kerugian oleh Pejabat Bukan Bendahara. Dalam hal keberatan tersebut juga masih ada warga masyarakat dapat mengajukan pengaduan ke DPR dalam rangka pengawasan, sehingga DPR dapat menggunakan seluruh hak yang dimilikinya dalam rangka pengawasan eksternal terhadap tindakan administrasi pemerintahan.
Konsep iktikad baik tetap meletakkan pada aspek pengambilan keputusan dan kebijakan tidak mengandung unsur suap, paksaan/ancaman, dan tipuan guna menguntungkan secara melawan hukum. Akan tetapi, jika 154 pengambilan keputusan dan kebijakan disebabkan adanya kesalahan administrasi, tuntutan pidana tidak dapat dilakukan. Konsep iktikad baik dalam konsep hukum administrasi negara menurut Safri Nugraha dimaknai sebagai wujud asas umum pemerintahan yang baik di mana pelaksanaan pemerintahan dijalankan dengan prinsip akuntabilitas dan transparansi yang mendorong sistem pemerintahan berjalan dengan sistem yang jelas dan terukur. Dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik, pengelolaan dan pertanggungjawaban wewenang pemerintahan akan sejalan motivasinya yang layak. Hal ini sejalan dengan ketentuan dalam Pasal 50 KUHP disebutkan bahwa: “Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dipidana" Selain itu dalam Pasal 51 ayat (1) KUHP disebutkan bahwa: “Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana”.
Mengutip Pendapat Dr. Dian Puji Nugraha Simatupang dalam tulisannya yang berjudul “Ekuilibrium Kebijakan Keuangan Negara Menghadapi Keadaan Negara Darurat Akibat Penyebaran Covid-19 __ Dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020”: “Adanya norma mengesampingkan tuntutan pidana, gugatan perdata, dan tata usaha negara harus dimaknai secara lengkap adanya syarat itikad baik atau asas-asas umum pemerintahan yang baik dalam hukum administrasi negara. Dengan demikian, ada kejelasan mengenai konsep hukum perdata, hukum administrasi, dan hukum pidana dalam konsep pelaksanaan pengambilan keputusan dan kebijakan dalam kondisi darurat agar pejabat administrasi pemerintahan tidak ragu, cepat, tepat, dan akuntabel untuk melindungi segenap tumpah darah Indonesia ” l. Bahwa ketentuan Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 juga bukan merupakan kekebalan absolut karena dalam ketentuan tersebut mereka terdapat parameter “dengan iktikad tidak baik” dan “tidak sesuai peraturan perundang-undangan”. Asas iktikad baik awalnya adalah suatu asas yang berlaku dibidang hukum perjanjian yang kini telah berkembang dan diterima sebagai asas di bidang-bidang atau cabang- cabang hukum yang lain, baik yang sesama keluarga hukum privat maupun yang merupakan bidang hukum publik. Dalam perkembangan hukum, terdapat prinsip-prinsip umum ataupun asas-asas umum yang 155 dijadikan sebagai sumber hukum sekaligus asas yang mendasari pelaksanaan hukum itu sendiri. Oleh karenanya asas iktikad baik yang tadinya merupakan suatu asas hukum khusus kini telah berkembang menjadi suatu asas hukum umum. Selain asas iktikad baik, juga ada frasa “ tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Ini adalah 2 parameter yang bersifat kumulatif. Artinya semua pejabat pemerintah yang menjalankan ketentuan pasal tersebut harus berdasarkan 2 kriteria ini secara kumulatif.
Dalam hukum dikenal suatu adagium yang berbunyi “tiada hukum tanpa pengecualian“ atau dalam bahasa belanda dikenal dengan istilah “ geen recht zonder uit zondering ”. Pengecualian dapat dilakukan sepanjang tidak merugikan pihak-pihak yang terkena aturan tersebut karena hukum ditujukan untuk mengayomi dan mensejahterakan masyarakat (Rosjidi Ranggawidjaja, Ilmu Perundang-undangan, CV Mandar Maju). Dalam kaitannya dengan hak Presiden untuk mengeluarkan Perpu yang berisi langkah-langkah yang luar biasa dalam keadaan yang memang tidak normal maka meskipun dalam suatu Perppu ada materi-materi yang dipandang tidak lazim, mengenyampingkan, atau memberlakukan ketentuan bersifat pengecualian dari apa yang telah diatur maka pengecualian itu dapat saja diberlakukan atau dapat diadakan pengecualian sepanjang diatur batasannya dalam Perppu itu sendiri.
Adapun frasa “iktikad baik” adalah apabila dalam melaksanakan tugasnya tidak untuk mencari keuntungan bagi diri sendiri, keluarga, kelompok , dan/atau tindakan lain yang berindikasi korupsi, kolusi, dan/atau nepotisme. Bahwa apabila nantinya terbukti itikad baik tersebut dilanggar maka sudah jelas konsekuensinya yaitu mereka harus ditempuh prosedur hukum karena tindakan tersebut mengatur unsur mens rea (adanya niat jahat atau iktikad tidak baik) dan actus reus (perbuatan yang melanggar). Dengan demikian asas equality before the law dan asas kepastian hukum dalam Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945 tetap terjamin.
UU 2/2020 tidak melindungi pejabat negara atau tidak memberikan imunitas kepada pejabat negara. Pasal a quo diperlukan karena para pihak tersebut merupakan orang-orang yang mengambil keputusan 156 penting. Mengutip pandangan Misbakhun selaku Anggota Komisi XI DPR RI dalam program Indonesia Lawyers Club (ILC) 21 April 2020: “Penanganan Covid -19 melalui physical distancing merupakan pukulan yang paling berat bagi masyarakat karena tidak dapat melakukan interaksi sosial dan merupakan pukulan berat bagi perekonomian. Dampak dari pandemi Covid-19 yaitu faktor produksi tidak jalan sedangkan permintaan (demand) tetap ada. Kedalaman implikasi Covid-19 terhadap perekonomian sulit diukur karena puncak pandemi Covid-19 belum bisa dipastikan waktunya. Implikasi ekonomi yang ditimbulkan oleh Covid-19 terhadap perekonomian sangat dalam sehingga semua skenario perlu disiapkan untuk menghadapi situasi yang paling buruk. Sebelum pandemi Covid-19 ini terjadi struktur perekonomian Indonesia tidak dalam kondisi yang sehat. Hal ini karena perekonomian Indonesia sedang menghadapi dampak perang dagang antara China dengan Amerika. Permasalahannya dalam situasi seperti ini, negara dalam keadaan yang tidak normal. Dalam keadaan yang tidak normal tersebut jangan berhadap statistik ekonomi menjadi bagus. Sehingga menghadapi keadaan yang tidak normal tersebut juga harus diselesaikan dengan cara yang tidak normal . Pihak yang paling terdampak oleh pandemi Covid-19 adalah pekerja harian/pekerja lepas (informal) yang pemenuhan biaya hidupnya ditentukan oleh aktivitas harian. Jika tidak keluar maka mereka tidak dapat makan. Pihak yang terdampak selanjutnya adalah para pelaku UMKM dan kelompok kelas menengah. Kehadiran negara dibutuhkan baik oleh rakyat jelata, pelaku UMKM, masyarakat kelas menengah, maupun masyarakat kelas atas sehingga negara tidak boleh membeda-bedakan. Aktivitas sektor produksi yang menjadi berhenti mengakibatkan permintaan menjadi terbatas. Pemerintah harus memanfaatkan ruang ketatanegaraan yang tersedia untuk mengatasi situasi ini karena UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara mempunyai keterbatasan. Untuk memulihkan perekonomian akibat Covid-19, Pemerintah perlu dana untuk membiayai program-program pemerintah. Satu-satunya cara Pemerintah harus berhutang jika SAL dan dana lainnya tidak mencukupi. Hutang bukan tujuan, tetapi hanya sebagai cara agar dapat keluar dari masalah ini. Negara lain juga menggunakan cara yang sama. Anggaran yang disediakan Pemerintah untuk menangani pandemi Covid-19 sebesar 405 Triliun atau sekitar 2,75% dari PDB. Hal yang utama bukan negara berhutang tetapi hutang tersebut dimanfaatkan seperti menolong rakyat jelata .” p. Keberadaan Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 dimaksudkan untuk memberikan confidence bagi pihak yang dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya sesuai Lampiran UU 2/2020 telah didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal ini sejalan dengan prinsip hukum imunitas terbatas bagi negara dan/atau perwakilannya, bukan imunitas absolut sehingga melanggar asas keadilan 157 dan kesamaan dalam hukum dan pemerintahan sebagaimana pemahaman para Pemohon. Dari perspektif teori imunitas, perlindungan hukum yang diberikan dalam Pasal 27 ayat (2) termasuk kategori imunitas terbatas. Teori imunitas terbatas ini memberikan perlindungan/imunitas kepada negara dan perwakilannya terhadap upaya hukum pihak lain baik secara pidana ataupun perdata, sepanjang tindakan yang dilakukan memenuhi syarat dalam hal ini harus beriktikad baik dan menjalankan kewenangan serta kebijakannya sesuai peraturan perundang-undangan. Secara a contrario , imunitas tersebut gugur apabila perbuatan yang dilakukan didasarkan atau terdapat niat jahat ( mens rea ) dan perbuatannya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Sampai dengan saat ini sudah ada UU lain yang mengatur perlindungan hukum kepada otoritas yang berwenang dalam pengambilan kebijakan, contohnya: ● Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan. Dalam Pasal 48 ayat (1) UU disebutkan bahwa kecuali terdapat unsur penyalahgunaan wewenang, anggota KSSK dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, BI, OJK dan LPS tidak dapat dituntut, baik secara perdata maupun pidana atas pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang berdasarkan Undang- Undang PPSK. Hal ini untuk melindungi secara hukum kebijakan yang diambil dalam kondisi krisis yang tentu saja tidak bias disamakan dengan kondisi normal. ● Pasal 22 UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak menyebutkan bahwa Menteri, Wakil Menteri, pegawai Kementerian Keuangan, dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengampunan Pajak, tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut, baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Adapun itikad baik dijelaskan apabila dalam melaksanakan tugasnya tidak untuk mencari keuntungan bagi diri sendiri, keluarga, kelompok, dan/atau tindakan lain yang berindikasi korupsi, kolusi, dan/atau nepotisme. 158 ● UU Bank Indonesia disebutkan dalam Pasal 45 yang berbunyi “Gubernur, Deputi Gubernur, dan/atau pejabat Bank Indonesia tidak dapat dihukum karena telah mengambil keputusan atau kebijakan yang sejalan dengan tugas dan wewenangnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini sepanjang dilakukan dengan iktikad baik”. ● UU Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman dalam Pasal 10 menyatakan bahwa “Dalam rangka pelaksanaan tugas dan wewenangnya, Ombudsman tidak dapat ditangkap, ditahan, diinterogasi, dituntut, atau digugat di muka pengadilan”. ● UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat dalam Pasal 16 menyatakan bahwa Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien dalam sidang pengadilan. ● UU MD3 Perlindungan hukum bagi anggota DPR disebutkan dalam Pasal 224 UU ayat (1) yaitu: Anggota DPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis di dalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPR. Oleh karena itu, pengaturan dalam UU mengenai perlindungan hukum bagi pihak yang menjalankan UU bukanlah hal yang baru, dan dapat dibenarkan selama ada pengaturan mengenai batasan atau kriteria tertentu.
Dengan demikian, perlindungan hukum dalam ketentuan Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 diperlukan untuk memberikan kepastian hukum kepada para pengambil kebijakan bahwa tindakan dan keputusan yang diambil dengan iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan akan dilindungi oleh hukum. Dengan demikian tidak ada hak warga negara yang ditangguhkan dalam ketentuan Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020. Bahkan Pasal 49 UU PTUN telah memberikan imunitas atau perlindungan hukum dari sengketa di peradilan tata usaha negara atas tindakan dan/atau keputusan pejabat tata usaha negara yang dilakukan dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan 159 Pasal 49 UU PTUN ini menjadi landasan untuk diadopsi dalam Pasal 27 ayat (3) UU 2/2020. Sebagaimana Majelis Hakim maklumi, ketentuan perlindungan hukum pernah beberapa kali dilakukan pengujian konstitusionalitasnya di Mahkamah Konstitusi (UU Advokat dan UU Pengampunan Pajak). Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi terdapat pertimbangan sebagai berikut: “pihak-pihak yang disebut dalam ketentuan a quo memang sudah seharusnya tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut, baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada itikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” Sebagai best practices , standar internasional yang ditetapkan oleh lembaga keuangan internasional ( Financial Stability Board, Basel Committee on Banking Supervision , dan IMF) juga menetapkan adanya pengaturan perlindungan hukum bagi pengambil dan pelaksana kebijakan di bidang sektor keuangan.
Pandangan DPR terkait ketentuan UU yang dinyatakan tidak berlaku sepanjang keterkaitan dengan kebijakan keuangan negara untuk penanganan penyebaran Covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan berdasarkan Perppu sebagaimana dimaksud dalam UU a quo .
Bahwa pengaturan Pasal 28 lampiran UU 2/2020, telah sesuai dengan ketentuan Lampiran 137 UU 12/2011 yang mengatur bahwa pada umumnya Ketentuan Penutup memuat ketentuan mengenai:
penunjukan organ atau alat kelengkapan yang melaksanakan Peraturan Perundang-undangan;
nama singkat Peraturan Perundang- undangan;
status Peraturan Perundang-undangan yang sudah ada; dan d. saat mulai berlaku Peraturan Perundang-undangan.
Bahwa memang benar bahwa sudah ada beberapa undang-undang yang mungkin dapat menjadi payung hukum penyelesaian masalah yang timbul akibat Covid-19. Hanya saja tidak pula dapat disalahkan, apabila dalam pandangan subjektif Presiden, undang-undang yang telah ada tersebut dianggap belum mampu menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi. Kondisi serupa juga pernah terjadi ketika Presiden menerbitkan beberapa 160 Perppu yang lahir karena tidak memadainya Peraturan Perundang- undangan yang ada, yang kemudian menyimpangi/menyatakan tidak berlaku sebagian materi dari beberapa undang-undang misalnya Perppu Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan menyatakan beberapa ketentuan dalam UU tentang Perbankan dan Perpajakan tidak berlaku sepanjang berkaitan dengan pelaksanaan akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan berdasarkan Perppu tersebut.
Bahwa dalam beberapa undang-undang yang ada tersebut memang telah mengatur berbagai dasar kebijakan keuangan negara materi muatan undang-undang yang sudah ada belum mengatur mengenai kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan untuk penanganan pandemi Covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Selain itu, beberapa ketentuan yang terdapat dalam undang- undang tersebut hanya dapat diberlakukan jika negara dalam keadaan normal, bukan dalam kegentingan/keadaan yang memaksa. Oleh karena itu, Pasal 28 Lampiran UU 2/2020 ini tidak memberlakukan beberapa ketentuan dalam undang-undang tersebut sepanjang berkaitan dengan kebijakan keuangan negara untuk penanganan penyebaran Covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan berdasarkan UU 2/2020.
Bahwa tidak diberlakukannya ketentuan undang-undang yang disebutkan dalam Pasal 28 Lampiran UU 2/2020 selama pemberlakuan UU 2/2020 dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaan peraturan perundang-undangan dan tidak terjadi disharmoni pengaturan karena adanya dua pengaturan yang berbeda yang mengatur hal yang sama.
Pandangan DPR terkait penyesuaian mandatory spending dana desa a. Bahwa terkait dengan permasalahan dana desa yang disampaikan oleh para Pemohon perkara 47, ketentuan Pasal 1 ayat (4) huruf b Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Rincian 161 Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020 (PP 72/2020) tetap menetapkan adanya anggaran Transfer ke Daerah dan Dana Desa sebesar Rp763.925.645.050.000 (tujuh ratus enam puluh tiga triliun sembilan ratus dua puluh lima miliar enam ratus empat puluh lima juta lima puluh ribu rupiah), termasuk tambahan belanja untuk penanganan pandemi Covid-19 sebesar Rp5.000.000.000.000 (lima triliun rupiah). Ketentuan Pasal 3 ayat (4) PP 72/2020 menyatakan bahwa rincian anggaran transfer ke daerah dan dana desa tersebut tercantum dalam Lampiran VI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari PP 72/2020. Dalam Lampiran VI.15 mengenai Rincian Dana Desa Menurut Provinsi/ Kabupaten/Kota Tahun Anggaran 2020 menyatakan bahwa seluruh daerah kabupaten Para Pemohon perkara 47 tetap mendapatkan alokasi dana desa . Berdasarkan ketentuan tersebut maka kekhawatiran para Pemohon perkara 47 tidak beralasan menurut hukum karena ketentuan Pasal a quo tidak menyebabkan dana desa dihentikan dan desa Para Pemohon tetap mendapatkan alokasi dari anggaran belanja negara .
Bahwa alokasi dari APBN merupakan salah satu sumber pendapatan desa. Berdasarkan ketentuan Pasal 72 ayat (1) UU Desa pendapatan desa bersumber dari pendapatan asli desa, alokasi APBN, bagian dari hasil pajak daerah dan retribusi daerah kabupaten/kota, alokasi dana desa yang merupakan bagian dari dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota, bantuan keuangan dari APBD Provinsi dan APBD Kabupaten/Kota, hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga, dan lain-lain pendapatan desa yang sah. Dengan banyak sumber pendapatan desa tersebut, maka para Pemohon tidak hanya mengandalkan APBN dan memaksimalkan sumber-sumber pendapatan desa lainnya. Dengan upaya yang maksimal tersebut maka pembangunan yang sudah dicanangkan oleh para Pemohon dan perangkat desa dalam musrenbangdes dan RPJM desa untuk kesejahteraan dan kemakmuran warga desa para Pemohon tetap dapat terealisasikan.
Bahwa Pemohon perkara 47 telah salah dalam mengartikan Pasal 28 angka 8 UU 2/2020, karena Dana Desa tidak dihentikan paska disahkannya UU 2/2020, hal ini tercantum dalam Peraturan Menteri Desa, 162 Pembangunan Daerah Tertinggal, Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2020 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2020 (Permendes 7/2020), yang pada bagian menimbangnya menyatakan: “bahwa berdasarkan Undang–Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang–Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disesase 2019 (COVID-19) dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan menjadi Undang–Undang, penggunaan Dana Desa dapat digunakan untuk bantuan langsung tunai kepada miskin di Desa” Pada Pasal 8A ayat (1) Permendes 7/2020 disebutkan bahwa “ Bencana Non-alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf d merupakan bencana yang terjadi sebagai akibat kejadian luar biasa berupa penyebaran penyakit yang mengancam dan/atau menimpa warga masyarakat secara luas atau skala besar, meliputi:
Pandemi Corona Virus Diseases 2019” dan pada Pasal 8A ayat (2) Permendes 7/2020 disebutkan bahwa “Penanganan dampak Pandemi Corona Virus Diseases 2019 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat berupa BLT Dana Desa kepada keluarga miskin di Desa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang–undangan . d. Bahwa ketentuan Pasal 28 angka 8 Lampiran UU 2/2020 dimaksudkan untuk menyatakan tidak berlakunya ketentuan mandatory spending alokasi Dana Desa sebesar 10% dari belanja pemerintah pusat, sebagaimana yang disebutkan dalam Penjelasan Pasal 72 ayat (2) UU Desa. Ketidakberlakuan ketentuan mandatory spending dana desa bersifat temporer. Dengan adanya penyesuaian mandatory spending dana desa, Pemerintah dapat memiliki fleksibilitas dalam melakukan refocusing belanja untuk mencegah, menangani, dan memulihkan dampak pandemi Covid-19. Dengan adanya mandat ini maka untuk menjamin fleksibilitas penggunaan dana desa dalam rangka sepanjang masih terdapat kebutuhan untuk penanganan Covid-19 di daerah/desa maka Pasal 72 ayat (2) harus dinyatakan tidak berlaku sehingga tidak terdapat dualisme aturan. Penyesuaian mandatory spending Dana Desa tersebut dimaksudkan agar pelaksanaan program Pemerintah dapat dilakukan lebih 163 efektif, efisien, dan tepat sasaran mengingat penyebaran dampak pandemi Covid-19 bersifat masif di seluruh wilayah Indonesia. Dengan demikian, Dana Desa tidak dihentikan namun dialihkan dalam bentuk Bantuan Langsung Tunai dan program-program Dana Desa dibuat skala prioritas yang bertujuan untuk kesejahteraan dan kemakmuran warga desa bukan untuk pembangunan infrastuktur saja. E. KETERANGAN TAMBAHAN Terkait dengan pertanyaan Yang Mulia Hakim Mahkamah Konstitusi mengenai mekanisme pembahasan Perppu untuk mencapai persetujuan atau pencabutan perppu, DPR RI menerangkan sebagai berikut:
Bahwa sebagaimana disampaikan oleh Presiden yang diwakili oleh Menteri Keuangan, pembahasan penetapan perppu menjadi Undang- Undang/pencabutan Perppu Pasal 71 UU 12/2011 diatur:
Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dilaksanakan melalui mekanisme yang sama dengan pembahasan Rancangan Undang-Undang.
Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang dilaksanakan melalui mekanisme khusus yang dikecualikan dari mekanisme pembahasan Rancangan Undang-Undang.
Ketentuan mengenai mekanisme khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dengan tata cara sebagai berikut:
Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang diajukan oleh DPR atau Presiden;
Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan sebagaimana dimaksud dalam huruf a diajukan pada saat Rapat Paripurna DPR tidak memberikan persetujuan atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang diajukan oleh Presiden; dan c. Pengambilan keputusan persetujuan terhadap Rancangan Undang- Undang tentang Pencabutan sebagaimana dimaksud dalam huruf b dilaksanakan dalam Rapat Paripurna DPR yang sama dengan rapat paripurna penetapan tidak memberikan persetujuan atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut. __ 2. Bahwa berdasarkan ketentuan tersebut diatas, pembahasan suatu rancangan Undang-Undang dilakukan melalui 2 (dua) tingkat pembicaraan (vide Pasal 66 UU 12/2011) yang dilakukan oleh DPR bersama Presiden atau menteri yang ditugasi [vide Pasal 65 ayat (1) UU 164 12/2011] yang diuraikan lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 67-Pasal 70 UU 12/2011.
Bahwa pembicaraan tingkat I dilakukan dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat Badan Legislasi, rapat Badan Anggaran, atau rapat Panitia Khusus dengan kegiatan pengantar musyawarah, pembahasan daftar inventarisasi masalah, dan penyampaian pendapat mini.
Bahwa dalam pembahasan tingkat I tersebut Pemerintah selaku pihak yang mengajukan RUU Penetapan Perppu menjadi Undang-Undang dan juga pihak yang mengeluarkan Perppu tersebut harus menjelaskan kepada DPR RI dalam rapat pembahasan tingkat I yang pelaksanaannya telah dijelaskan oleh DPR RI dalam keterangan ini. Penjelasan tersebutlah yang menjadi pertimbangan DPR RI untuk menyetujui atau tidak menyetujui Perppu tersebut menjadi Undang-Undang.
Bahwa sebagaimana telah disampaikan, Berdasarkan Pasal 71 huruf d dan Pasal 249 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 (UU MD3) bahwa DPD ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. RUU Penetapan Perppu 1/2020 menjadi UU tidak memiliki pertautan dengan bidang yang mengharuskan keikutsertaan DPD dalam pembahasannya melainkan mengenai DPR memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan, sehingga DPD tidak memiliki kewenangan untuk ikut membahas RUU tersebut.
Bahwa hal ini juga telah jelas sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang mengatur bahwa Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan yang berikut. Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut. Dalam ketentuan tersebut, tidak diatur bahwa dalam hal penetapan Perppu menjadi Undang-Undang dapat atau bahkan harus mengikutsertakan DPD dalam pembahasannya. 165 Sebaliknya, mengikutsertakan DPD justru menjadi suatu hal yang tidak sesuai dengan apa yang diatur dalam UUD NRI Tahun 1945, UU 12/2011 dan UU MD3. Terkait dengan pertanyaan Yang Mulia Hakim Mahkamah Konstitusi mengenai penetapan Perppu bukan pada “masa sidang yang berikut”, DPR RI menerangkan sebagai berikut: Bahwa sejauh ini DPR belum pernah melakukan penetapan perppu yang dalam masa sidang yang sama atau bukan pada “masa sidang yang berikut”. Setelah dikeluarkannya Perppu 1/2020, Presiden juga telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang yang disahkan pada 4 Mei 2020 dan ditetapkan sebagai Undang-Undang melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang- Undang menjadi Undang-Undang yang disahkan dan diundangkan pada 11 Agustus 2020 pada masa sidang ketiga tahun 2020 yang terhitung pada 15 Juni 2020 hingga 13 Agustus 2020. Sehingga penetapan Perppu 1/2020 menjadi Undang-Undang adalah yang pertama kali dilakukan dengan tidak memenuhi ketentuan “masa sidang yang berikut” mengingat urgensi penetapannya yang harus dilakukan dengan segera. Terkait dengan pertanyaan Yang Mulia Hakim Mahkamah Konstitusi mengenai pembahasan RAPBN 2021 yang kemudian disepakati dalam paripurna pada 29 September 2020, DPR RI menerangkan:
Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 13 ayat (1) UU Keuangan Negara, Pemerintah Pusat menyampaikan pokok-pokok kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro tahun anggaran berikutnya kepada Dewan Perwakilan Rakyat selambat-lambatnya pertengahan bulan Mei tahun berjalan. Pasal 15 ayat (1) UU keuangan Negara mengatur bahwa 166 Pemerintah Pusat mengajukan Rancangan Undang-undang tentang APBN, disertai nota keuangan dan dokumen-dokumen pendukungnya kepada Dewan Perwakilan Rakyat pada bulan Agustus tahun sebelumnya. Dan pada ketentuan Pasal 15 ayat (4) dan ayat (6) UU keuangan Negara diatur Pengambilan keputusan oleh Dewan Perwakilan Rakyat mengenai Rancangan Undangundang tentang APBN dilakukan selambat-lambatnya 2 (dua) bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan dilaksanakan dan apabila DPR tidak menyetujui Rancangan Undang-undang tersebut, Pemerintah Pusat dapat melakukan pengeluaran setinggi-tingginya sebesar angka APBN tahun anggaran sebelumnya.
Bahwa penyampaian pokok-pokok kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro tahun anggaran tahun 2021 telah disampaikan oleh pemerintah dalam rapat paripurna DPR RI pada dalam rangkaian rapat paripurna tertanggal 12 Mei 2020, 14 Juli 2020, dan 14 Agustus 2020 (Lampiran II, Lampiran III dan Lampiran IV). Sebagai tambahan informasi, pada 25 September 2020, Kemenkeu selaku yang mewakili Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyepakati Rancangan Undang- Undang (RUU) Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2021 di Banggar dan Pemerintah bersama DPR telah menyetujui defisit anggaran sebesar 5,7% dari PDB pada Rapat Paripurna DPR tanggal 29 September 2020.
Pembahasan RUU APBN 2021 dilakukan di banggar yang pelaksanaannya disampaikan risalahnya (lampiran V, lampiran VI, lampiran VII) F. RISALAH PEMBAHASAN UU 2/2020 Risalah Pembahasan UU 2/2020 ini terlampir berbagai dokumen pendukung mengenai pembahasan UU 2/2020 sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Keterangan DPR ini. I. PETITUM DPR Bahwa berdasarkan dalil-dalil tersebut di atas, DPR memohon agar kiranya Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Konstitusi memberikan amar putusan sebagai berikut: 167 1. Menyatakan bahwa para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) sehingga permohonan a quo harus dinyatakan tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard );
Menolak permohonan a quo untuk seluruhnya;
Menerima keterangan DPR RI secara keseluruhan;
Menyatakan bahwa proses pembentukan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Dan/Atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134; Tambahan Lembaran Negara Republlik Indonesia Nomor 6516) telah sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan telah memenuhi ketentuan pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana yang diatur dalam Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 183, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6398);
Menyatakan Judul, Pasal 1 ayat (3); Pasal 1 ayat (5); Pasal 2; Pasal 3 ayat (2); Pasal 4 ayat (1) huruf a; Pasal 4 ayat (1) huruf d; Pasal 4 ayat (2); Pasal 5 ayat (1) huruf a; Pasal 5 ayat (1) huruf b; Pasal 6; Pasal 7; Pasal 9; Pasal 10 ayat (1); Pasal 10 ayat (2); Pasal 11 ayat (3); Pasal 12 ayat (1);
Pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuanga ...
Relevan terhadap
ayat (1) huruf b angka (1); Pasal 20 ayat (1) huruf b angka (3); Pasal 20 ayat (1) huruf c; Pasal 22 ayat (1); Pasal 23 ayat (1) huruf a; Pasal 24 ayat (1); Pasal 25; Pasal 26 ayat (1); Pasal 27; Pasal 28 dan Pasal 29 Lampiran UU 2/2020 yang berketentuan sebagai berikut: Judul Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang. Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 1 ayat (5) (3) Untuk melaksanakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) _sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dalam rangka: _ a. _penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID- 191; _ dan/atau b. menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan, perlu __ menetapkan kebijakan keuangan negara dan kebijakan stabilitas sistem keuangan (5) Kebijakan stabilitas sistem keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi kebijakan untuk penanganan permasalahan lembaga keuangan yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Pasal 2 (1) Dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara sebagaimana _dimaksud dalam Pasal 1 ayat (4), Pemerintah berwenang untuk: _ a. menetapkan batasan defisit anggaran, dengan ketentuan sebagai _berikut: _ 1. melampaui 3% (tiga persen) dari Produk Domestik Bruto (PDB) selama masa penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID- 19) dan/atau untuk menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan paling _lama sampai dengan berakhirnya Tahun Anggaran 2022; _ 2. sejak Tahun Anggaran 2023 besaran defisit akan kembali menjadi paling tinggi sebesar 3% (tiga persen) dari Produk Domestik Bruto _(PDB); dan
penyesuaian besaran defisit sebagaimana dimaksud_ 102 pada angka 1 menjadi sebagaimana dimaksud pada angka 2 dilakukan secara bertahap. 3. Penyesuaian besaran defisit sebagaimana dimaksud pada angka 1 menjadi sebagaimana dimakud pada angka 2 dilakukan secara bertahap. b. melakukan penyesuaian besaran belanja wajib (mandatory spending) sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang- _undangan terkait; _ c. melakukan pergeseran anggaran antar unit organisasi, antarfungsi, _dan/atau antarprogram; _ d. melakukan tindakan yang berakibat pengeluaran atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yang anggaran untuk membiayai pengeluaran tersebut belum tersedia atau tidak cukup tersedia, serta menentukan proses dan metode pengadaan _barang/jasa; _ _e. menggunakan anggaran yang bersumber dari: _ _1. Sisa Anggaran Lebih (SAL); _ _2. dana abadi dan akumulasi dana abadipendidikan; _ _3. dana yang dikuasai negara dengan kriteriatertentu; _ _4. dana yang dikelola oleh Badan Layanan Umum; dan/atau _ 5. dana yang berasal dari pengurangan PenyertaanModal Negara _pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN); _ f. menerbitkan Surat Utang Negara dan/atau Surat Berharga Syariah Negara dengan tujuan tertentu khususnya dalam rangka pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-l9) untuk dapat dibeli oleh Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), investor korporasi, _dan/atau investor ritel; _ g. menetapkan sumber-sumber pembiayaan Anggaran yang berasal _dari dalarn dan/atau luar negeri; _ _h. memberikan pinjaman kepada Lembaga PenjaminSimpanan; _ i. melakukan pengutamaan penggunaan alokasi anggaran untuk kegiatan tertentu (refoansing), penyesuaian alokasi, dan/atau pemotongan/penundaan penyaluran anggaran Transfer ke Daerah _dan Dana Desa, dengan kriteria tertentu; _ _j. memberikan hibah kepada Pemerintah Daerah; dan/atau _ k. melakukan penyederhanaan mekanisme dan simplifikasi dokumen di bidang keuangan negara (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kebijakan keuangan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. Pasal 3 ayat (2) Ketentuan mengenai pengutamaan penggunaan alokasi anggaran untuk kegiatan tertentu (refocusing), perubahan alokasi, dan penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri. __ __ __ 103 Pasal 4 ayat (1) huruf a dan huruf d (1) Kebijakan di bidang perpajakan sebagaimana dimaksuddalam Pasal 1 _ayat (4) meliputi: _ a. penyesuaian tarif Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan dalam negeri _dan bentuk usaha tetap; _ b. _…; _ c. _…; _ d. pemberian kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk memberikan fasilitas kepabeanan berupapembebasan atau keringanan bea masuk dalam rangka penanganan kondisi darurat serta pemulihan dan penguatan ekonomi nasional. Pasal 4 ayat (2) (2) Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan perdagangan yang transaksinya dilakukan melalui serangkaian perangkat dan prosedur elektronik. Pasal 5 ayat (1) huruf a dan huruf b (1) Penyesuaian tarif Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap sebagaimanadimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a berupa penurunan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf b Undang-Undang _mengenai Pajak Penghasilan menjadi: _ a. sebesar 22% (dua puluh dua persen) yang berlaku pada Tahun Pajak _2020 dan Tahun Pajak 2021; dan _ b. sebesar 20% (dua puluh persen) yang mulai berlaku pada Tahun Pajak 2022. Pasal 6 (1) Perlakuan perpajakan dalam kegiatan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) _huruf b berupa: _ a. pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean melalui _PerdaganganMelalui Sistem Elektronik (PMSE); dan _ b. pengenaan Pajak Penghasilan atau pajak transaksi elektronik atas kegiatan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) yang dilakukan oleh subjek pajak luar negeri yang memenuhi ketentuan kehadiran ekonomi signifikan (2) Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a mengikuti ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. (3) Pajak Pertambahan Nilai yang dikenakan atas pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujuddan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean didalam Daerah Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipungut, disetorkan, dan dilaporkan oleh pedagang luar negeri, 104 penyedia jasa luar negeri, Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) luar negeri, dan/atau Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) dalamnegeri, yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan. (4) Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan pelaku usaha penyedia sarana komunikasi elektronik yang digunakan untuk transaksi perdagangan. (5) Pedagang luar negeri atau penyedia jasa luar negerisebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan orangpribadi atau badan yang bertempat tinggal ataubertempat kedudukan di luar Daerah Pabean yangmelakukan transaksi dengan pembeli barang ataupenerima jasa di dalam Daerah Pabean melalui system elektronik. (6) Pedagang luar negeri, penyedia jasa luar negeri, dan/atau Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) luar negeri yang memenuhi ketentuan kehadiran ekonomi signifikan dapat diperlakukan sebagai bentuk usaha tetap dan dikenakan Pajak Penghasilan. (7) Ketentuan kehadiran ekonomi signifikan sebagaimana dimaksud pada _ayat (6) berupa: _ a. peredaran bruto konsolidasi grup usaha sampai dengan jumlah _tertentu; _ _b. penjualan di Indonesia sampai dengan jumlah tertentu; dan/atau _ c. pengguna aktif media digital di Indonesia sampaidengan jumlah tertentu. (8) Dalam hal penetapan sebagai bentuk usaha tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tidak dapat dilakukan karena penerapan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak, pedagang luar negeri, penyedia jasa luar negeri, dan/atau Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) luar negeri yang memenuhi ketentuan kehadiran ekonomi signifikan, dikenakan pajak transaksi elektronik. (9) Pajak transaksi elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dikenakan atas transaksi penjualan barangdan/atau jasa dari luar Indonesia melalui PerdaganganMelalui Sistem Elektronik (PMSE) kepada pembeli atau pengguna di Indonesia yang dilakukan oleh subjekpajak luar negeri, baik secara langsung maupun melalui Penyelenggara Perdagangan Melalui SistemElektronik (PPMSE) luar negeri. (10) Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) atau pajak transaksi elektronik sebagaimana dimaksudpada ayat (8) dibayar dan dilaporkan oleh pedagang luar negeri, penyedia jasa luar negeri, dan/atau Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) luar negeri. (11) Pedagang luar negeri, penyedia jasa luar negeri,dan/atau Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) luar negeri sebagaimana dimaksudpada ayat (3) dan ayat (10), dapat menunjuk perwakilan yang berkedudukan di Indonesia untuk memungut, menyetorkan, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilaiyang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan/atau 105 untuk memenuhi kewajiban Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) atau pajak transaksi elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (8). (12) Besarnya tarif, dasar pengenaan, dan tata cara penghitungan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan pajak transaksi elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (8) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. _(13) Ketentuan lebih lanjut mengenai: _ a. tata cara penunjukan, pemungutan, danpenyetoran, serta pelaporan _Pajak PertambahanNilai sebagaimana dimaksud pada ayat (3); _ b. kehadiran ekonomi signifikan sebagaimanadimaksud pada ayat (7), tata cara pembayaran dan pelaporan Pajak Penghasilan atau pajak _transaksielektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (10); dan _ c. tata cara penunjukan perwakilan sebagaimanadimaksud pada ayat (11), diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. Pasal 7 (1) Pedagang luar negeri, penyedia jasa luar negeri,Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) luar negeri, dan/atau PenyelenggaraPerdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) dalam negeri yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimanadimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) dan pedagang luar negeri, penyedia jasa luar negeri, dan/atau Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) luar negeri yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (10), dikenai sanksi administratif sesuai dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009. (2) Ketentuan mengenai penetapan, penagihan, dan upayahukum atas pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean didalam Daerah Pabean melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) serta pengenaan Pajak Penghasilan atau pajak transaksi elektronik atas subjekpajak luar negeri yang memenuhi ketentuan kehadiran ekonomi signifikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, dilaksanakan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 76 Tahun 2009. (3) Terhadap pelaku kegiatan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), selain dikenai sanksi administratif juga dikenai sanksi berupa pemutusan akses setelah diberi teguran. (4) Pemutusan akses sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) atau Pasal 6 ayat (10) tidak dipenuhi sampai dengan batas waktu yang ditentukan dalam teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (3). (5) Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika berwenang untuk melakukan pemutusan akses berdasarkan permintaan Menteri Keuangan. 106 (6) Ketentuan mengenai tata cara pemutusan akses sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang informasi dan transaksi elektronik. (7) _Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara: _ a. _pemberian teguran sebagaimana dimaksud padaayat (3); dan _ b. permintaan pemutusan akses sebagaimana dimaksud pada ayat (5), diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan Pasal 9 Menteri Keuangan memiliki kewenangan untuk memberikan fasilitas kepabeanan berupa pembebasan atau keringanan bea masuk dalam _rangka: _ _a. penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19); dan/atau _ b. menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan Pasal 10 (1) Perubahan atas barang impor yang diberikan pembebasan bea masuk berdasarkan tujuan pemakaiannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995, diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. (2) Perubahan atas barang impor yang dapat diberikan pembebasan atau keringanan bea masuk berdasarkan tujuan pemakaiannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995, diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. Pasal 11 ayat (3) Program pemulihan ekonomi nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat dilaksanakan melalui Penyertaan Modal Negara, penempatan dana dan/atau investasi Pemerintah, dan/atau kegiatan penjaminan dengan skema yang ditetapkan oleh Pemerintah. Pasal 12 (1) Pelaksanaan kebijakan keuangan negara dan langkah-langkah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 11 dilakukan dengan tetap memperhatikan tata kelola yang baik. (2) Perubahan postur dan/atau rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara dan langkah-langkah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 11 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden. Pasal 14 Dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan ditengah-tengah kondisi terjadinya pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau untuk 107 menghadapi ancaman krisis ekonomi dan/atau stabilitas sistem keuangan, perlu menetapkan kebijakan stabilitas sistem keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (5). Pasal 16 ayat (1) huruf c (1) Untuk mendukung pelaksanaan kewenangan KSSK dalam rangka penanganan permasalahan stabilitas sistem keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1), Bank Indonesia diberikan _kewenangan untuk: _ c. membeli Surat Utang Negara dan/atau Surat Berharga Syariah Negara berjangka panjang dipasar perdana untuk penanganan permasalahan sistem keuangan yang membahayakan perekonomian nasional, termasuk Surat Utang Negara dan/atau Surat Berharga Syariah Negara yang diterbitkan dengan tujuan tertentu khususnya _dalam rangka pandemi Corona Virus Disease 2019 (covid- 19); _ Pasal 19 (1) Bank Indonesia dapat membeli Surat Utang Negara dan/atau Surat Berharga Syariah Negara berjangka panjang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf c di pasar perdana yang diperuntukkan sebagai sumber pendanaan bagi Pemerintah. (2) Sumber pendanaan bagi Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipergunakan dalam rangka pemulihan ekonomi nasional termasuk menjaga kesinambungan pengelolaan keuangan negara, memberikan pinjaman dan penambahan modal kepada Lembaga Penjamin Simpanan, serta pendanaan untuk restrukturisasi perbankan pada saat krisis. Pasal 20 ayat (1) huruf b angka (1) dan angka (3) dan Pasal 20 ayat (1) huruf c (1) Untuk mendukung pelaksanaan kewenangan KSSK dalam rangka penanganan permasalahan stabilitas sistem keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1), Lembaga Penjamin Simpanan _diberikan kewenangan untuk: _ b. _melakukan tindakan: _ 1. penjualan/repo Surat Berharga Negara yang dimiliki kepada Bank _Indonesia; _ _ _3. pinjaman kepada pihak lain; dan/atau _ 4..... dalam hal Lembaga Penjamin Simpanan diperkirakan akan mengalami kesulitan likuiditas untuk penanganan bank gagal. c. melakukan pengambilan keputusan untuk melakukan atau tidak melakukan penyelamatan bank selain Bank Sistemik yang dinyatakan sebagai bank gagal dengan mempertimbangkan antara lain kondisi perekonomian, kompleksitas permasalahan bank, kebutuhan waktu penanganan, ketersediaan investor, dan/atau efektivitas penanganan permasalahan bank serta tidak hanya mempertimbangkan perkiraan _biaya yang paling rendah (least cost test); _ 108 Pasal 22 ayat (1) (1) Untuk mencegah krisis sistem keuangan yang membahayakan perekonomian nasional, Pemerintah dapat menyelenggarakan program penjaminan di luar program penjaminan simpanan sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang mengenai lembaga penjamin simpanan. Pasal 23 ayat (1) huruf a (1) Untuk mendukung pelaksanaan kewenangan KSSK dalam rangka penanganan permasalahan stabilitas sistem keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan diberikan _kewenangan untuk: _ a. memberikan perintah tertulis kepada lembaga jasa keuangan untuk melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, integrasi dan/atau konversi Pasal 24 ayat (1) (1) Untuk mendukung pelaksanaan kewenangan KSSK dalam rangka penanganan permasalahan stabilitas sistem keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1), Pemerintah diberikan kewenangan untuk memberikan pinjaman kepada Lembaga Penjamin Simpanan. Pasal 25 Pemberian pinjaman oleh Pemerintah kepada Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dilakukan dalam hal Lembaga Penjamin Simpanan mengaiami kesulitan likuiditas yang membahayakan perekonomian dan sistem keuangan sebagai dampak pandemi Corona Virus Disease (COVID-19). Pasal 26 ayat (1) (1) Setiap orang yang dengan sengaja mengabaikan, tidak memenuhi, tidak melaksanakan atau menghambat pelaksanaan kewenangan Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf a, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) atau pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 300.000.000.000,00 (tiga ratus miliar rupiah). Pasal 27 1. Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan dibidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara. 2. Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti 109 Undang-Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 3. Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara. Pasal 28 Pada saat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini mulai _berlaku: _ 1. ketentuan jangka waktu yang diatur dalam Pasal 1 1 ayat (2), Pasal l7B ayat (1), Pasal 25 ayat (3), Pasal 26 ayat (1), dan Pasal 36 ayat (1c) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran _Negara Republik Indonesia Nomor 4999); _ 2. Pasal 55 ayat (4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik _Indonesia Nomor 4962); _ 3. Pasal 12 ayat (3) beserta penjelasannya, Pasal 15 ayat (5), Pasal 22 ayat (3), Pasal 23 ayat (1), Pasal 27 ayat (3), dan Pasal 28 ayal (3) dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan _Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286); _ 4. Pasal 3 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor _4355); _ 5. Pasal 22 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4420) sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik _Indonesia Nomor 4963); _ 110 6. Pasal 27 ayat (1) beserta penjelasannya, Pasal 36, Pasal 83, dan Pasal 107 ayat (2) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, _Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438); _ 7. Pasal 171 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, _Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063); _ 8. Pasal 72 ayat (2) beserta penjelasannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 _Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5495); _ 9. Pasal 316 dan Pasal 317 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan _Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679); _ 10. Pasal 177 huruf c angka 2, Pasal 180 ayat (6), dan Pasal 182 Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Ralryat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 181, Tambahan Lembaran _Negara Republik Indonesia Nomor 6396); _ 11. Pasal 20 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 70, Tambahan _Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5872); dan _ 12. Pasal 11 ayat (22), Pasal 40, Pasal 42, dan Pasal 46 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2019 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 198, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6410), dinyatakan tidak berlaku sepanjang berkaitan dengan kebijakan keuangan negara untuk penanganan penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID- 19) dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini. Pasal 29 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. 111 Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Bahwa pasal-pasal UUD NRI Tahun 1945 yang dijadikan batu uji adalah Pasal 1, Pasal 4 ayat (1), Pasal 5 ayat (2), Pasal 18 ayat (2) dan (3), Pasal 20A, Pasal 20A ayat (1), Pasal 22, Pasal 22 ayat (1), Pasal 22D ayat (2), Pasal 23, Pasal 23A, Pasal 23C, Pasal 23D, Pasal 23E, Pasal 24, Pasal 24A ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan (2), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28H ayat (1), Pasal 28I ayat (2) dan Pasal 31 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. II. Keterangan DPR RI Dengan ini DPR RI menyampaikan keterangan terhadap permohonan pengujian materiil UU 2/2020 terhadap UUD NRI Tahun 1945 dalam Perkara nomor 37, 42, 43, 45, 47, 49 dan 75/PUU-XVIII/2020 sebagai berikut: A. Kedudukan Hukum ( Legal Standing ) Para Pemohon 1. Kedudukan Hukum (Legal Standing) Para Pemohon dalam Pengujian Secara Formil Terkait kedudukan hukum (legal standing) Para Pemohon dalam pengujian undang-undang secara formil, DPR RI memberikan pandangan dengan berdasarkan 2 (dua) batasan kerugian konstitusional yang disimpulkan dari Pertimbangan Hukum dalam Putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 27/PUU-VII/2009, yaitu:
Para Pemohon merupakan perorangan yang telah melaksanakan hak pilih sebagai pemegang kedaulatan yang telah memberikan kepercayaan dan mandat kepada wakil sebagai fiduciary duty dalam pemilihan umum;
Berdasarkan uraian kedudukannya, Pemohon Badan Hukum Perkara 37 dan Para Pemohon Badan Hukum Perkara 75 yang merupakan Badan Hukum tentunya tidak memiliki hak dan/atau kewenangan untuk turut serta dalam pemilihan umum.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 34 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, Pemilih adalah Warga Negara Indonesia yang sudah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih, sudah kawin, atau sudah pernah kawin. Oleh karena itu, Pemohon Badan 112 Hukum Perkara 37 dan Para Pemohon Badan Hukum Perkara 75 telah jelas tidak dapat membuktikan bahwa telah memberikan kepercayaan dan mandat kepada anggota DPR RI masa keanggotaan periode tahun 2014-2019 karena Pemohon Badan Hukum Perkara 37 dan Para Pemohon Badan Hukum Perkara 75 bukanlah perorangan yang telah melaksanakan hak pilih sebagai pemegang kedaulatan yang telah memberikan kepercayaan dan mandat kepada wakil sebagai fiduciary duty dalam pemilihan umum.
Para Pemohon Perorangan Perkara 37, Para Pemohon Perkara 43, dan Para Pemohon Perorangan Perkara 75 dalam perbaikan permohonannya tidak memberikan uraian argumentasi sebagai perorangan yang telah melaksanakan hak pilih sebagai pemegang kedaulatan dalam Pemilihan Umum. Selain itu, Para Pemohon tersebut diatas juga tidak melampirkan bukti-bukti keikutsertaannya dalam Pemilihan Umum dan menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan anggota DPR RI sebagai bentuk pemberian mandat kepada wakil sebagai fiduciary duty . Hal ini menunjukkan bahwa Para Pemohon tersebut tidak memahami kedudukan hukumnya sebagai perseorangan warga negara yang memiliki hak konstitusional sebagai pemberi mandat dalam Pemilihan Umum dan tidak memperhatikan ketentuan dalam pengujian undang-undang secara formil.
Para Pemohon mempunyai hubungan pertautan yang langsung dengan Undang-Undang yang dimohonkan.
Bahwa terkait dengan pengajuan pengujian UU a quo secara formil, Para Pemohon secara keseluruhan tidak menguraikan pertautannya. Namun dapat dipahami dalam uraian dalil-dalilnya, Para Pemohon hanya menyatakan bahwa UU a quo telah menimbulkan ketidakpastian hukum, melahirkan penafsiran yang ambigu, tidak jelas dan multi tafsir serta berpotensi menghambat pemenuhan hak-hak konstitusional Para Pemohon dan warga negara pada umumnya.
Meskipun demikian, Para Pemohon tidak memberikan uraian yang berkaitan dengan pertautannya secara langsung terhadap UU a quo 113 yang dimohonkan pengujiannya secara formil. Dengan demikian telah jelas, tidak terdapat keterkaitan secara langsung antara Para Pemohon Perkara 37, Para Pemohon Perkara 43, dan Para Pemohon Perkara 75 dengan UU a quo, sehingga Para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) dalam pengujian formil UU a quo terhadap UUD NRI Tahun 1945. Terhadap kedudukan hukum ( legal standing ) Para Pemohon Perkara 37, Para Pemohon Perkara 43, dan Para Pemohon Perkara 75 dalam pengujian formil, DPR RI memohon kepada Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi agar benar-benar menilai apakah Para Pemohon tersebut memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) dalam pengajuan Permohonan perkara-perkara a quo sesuai dengan parameter kerugian hak dan/atau kerugian konstitusional dalam pengajuan permohonan pengujian formil undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945 sebagaimana disebutkan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dalam Pertimbangan Hukum pada Putusan Nomor 27/PUU-VII/2009.
Kedudukan Hukum ( Legal Standing ) Para Pemohon dalam Pengujian Secara Materiil Terkait kedudukan hukum ( legal standing ) Para Pemohon dalam pengujian undang-undang secara materiil, DPR RI memberikan pandangan dengan berdasarkan 5 (lima) batasan kerugian konstitusional yang tercantum dalam __ Putusan Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Perkara Nomor 011/PUU-V/2007 sebagai berikut:
Perkara Nomor 37/PUU-XVIII/2020 Bahwa Para Pemohon Perkara 37 mendalilkan memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diatur dalam ketentuan Pasal 23 ayat (1), Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Terhadap hal tersebut, DPR RI menerangkan bahwa ketentuan Pasal 23 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 mengatur mengenai APBN yang jelas-jelas tidak mengatur mengenai hak dan/atau kewenangan Warga Negara. Sehingga ketentuan ini tidak memiliki pertautan hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon Perkara 37. Bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon Perkara 37 sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 28C ayat (2) UUD NRI 114 Tahun 1945 tidak terciderai dengan berlakunya ketentuan pasal-pasal yang dimohonkan pengujiannya karena Para Pemohon Perkara 37 tetap dapat memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya. Terkait dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, Para Pemohon Perkara 37 juga tetap mendapatkan haknya atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Bahwa Para Pemohon Perkara 37 mendalilkan diri sebagai pembayar pajak ( tax payer ), oleh karenanya DPR RI mengutip pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 40/PUU- XVI/2018 pada Paragraf [3.7] sebagai berikut: …menurut Mahkamah, para Pemohon sebagai pembayar pajak (tax payer) tidak serta merta memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam mengajukan setiap permohonan pengujian undang-undang. Para Pemohon dapat memiliki kedudukan hukum (legal standing) apabila para Pemohon dapat menjelaskan adanya keterkaitan logis dan causal verband bahwa pelanggaran hak konstitusional atas berlakunya undang-undang yang diuji adalah dalam kaitannya dengan status para Pemohon sebagai pembayar pajak (tax payer) memang menunjukkan kerugian yang nyata . Dalam permohonan a quo , Para Pemohon Perkara 37 dituntut bukan hanya sekedar menyatakan dirinya sebagai pembayar pajak ( tax payer ), tetapi terkait statusnya sebagai pembayar pajak harus dijelaskan adanya keterkaitannya secara logis dengan kerugian konstitusional Para Pemohon Perkara 37 yang diakibatkan dengan berlakunya pasal-pasal a quo . Terkait dengan ketentuan UUD NRI Tahun 1945 yang oleh Para Pemohon Perkara 37 dipertentangkan dengan ketentuan dalam UU a quo , Para Pemohon Perkara 37 tidak mengurai pertautan antara keduanya demikian pula terkait dengan pertautannya dengan Para Pemohon Perkara 37. Maka semakin tidak jelas adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon terkait dengan pasal-pasal yang dimohonkan pengujian dan keberadaan hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara dalil kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon Perkara 37 dengan ketentuan pasal-pasal a quo yang dimohonkan pengujiannya. 115 b. Perkara Nomor 42/PUU-XVIII/2020 Bahwa Para Pemohon Perkara 42 tidak konsisten dalam menyebutkan batu uji yang digunakan dalam pengujian pasal-pasal a quo dalam uraian kedudukan hukumnya dengan ketentuan UUD NRI Tahun 1945 yang tertulis dalam bagian Pokok Permasalahan. Lebih lanjut, dalam uraian permohonannya, Para Pemohon Perkara 42 mempertentangkan ketentuan pasal-pasal a quo dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 23 ayat (1), (2), (3), dan Pasal 23A UUD NRI Tahun 1945 yang sama sekali tidak mengatur mengenai hak dan/atau kewenangan konstitusional warga negara. Terkait dengan kerugian hak konstitusionalnya yang dijamin dalam ketentuan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, Para Pemohon Perkara 42 tidak menguraikan bentuk konkret (aktual) maupun potensial atas kerugian konstitusional yang didalilkan tersebut dengan diri Para Pemohon Perkara 42 dan justru Para Pemohon Perkara 42 banyak menyampaikan asumsi-asumsi dan kekhawatirannya atas pemberlakuan pasal-pasal a quo terhadap negara yang jelas sangat mengada-ada. Selain itu, Para Pemohon Perkara 42 tidak dapat menunjukkan adanya pertautan secara langsung dengan ketentuan pasal-pasal a quo sehingga tidak jelas sebab akibat atas dalil kerugian konstitusional yang didalilkan Para Pemohon Perkara 42 dengan berlakunya ketentuan pasal-pasal a quo .
Perkara Nomor Perkara 43/PUU-XVIII/2020 Bahwa Para Pemohon Perkara 43 tersebut masing-masing tidak berdiri dalam posisi yang jelas atas kepentingan siapakah Para Pemohon Perkara 43 hendak mengemukakan kerugian konstitusionalnya. Selain itu, Para Pemohon Perkara 43 dalam permohonannya tidak mampu menjelaskan secara spesifik dalam hal apa Para Pemohon Perkara 43 dirugikan dengan keberlakuan pasal UU a quo tersebut terhadap diri Para Pemohon Perkara 43 maupun terhadap profesi Para Pemohon Perkara 43. Bahwa Para Pemohon Perkara 43 dalam permohonannya tidak mampu menjelaskan secara spesifik dalam hal apa Para Pemohon Perkara 43 dirugikan dengan keberlakuan pasal a quo tersebut 116 terhadap diri Para Pemohon Perkara 43 maupun terhadap profesi Para Pemohon Perkara 43 sehingga tidak jelas pula hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian konstitusional yang didalilkan oleh Para Pemohon Perkara 43 dengan pasal-pasal a quo yang dimohonkan pengujiannya terhadap UUD NRI Tahun 1945.
Perkara Nomor Perkara 45/PUU-XVIII/2020 Bahwa ketentuan Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 4 ayat (1), Pasal 5 ayat (2), Pasal 20 ayat (1), Pasal 20A ayat (1),Pasal 23, Pasal 23E, Pasal 24, Pasal 24A ayat (1) dan Pasal 27 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang dijadikan batu uji oleh Pemohon Perkara 45 tidak mengatur mengenai hak konstitusional warga negara, melainkan mengatur mengenai bentuk dan kedaulatan negara, kekuasaan pemerintah, tugas dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat, hal keuangan negara, kelembagaan BPK, Kekuasaan Kehakiman, tanggung jawab negara dalam mengelola keuangan negara yang ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang untuk dapat dilaksanakan secara terbuka dan untuk kemakmuran rakyat, dan kewajiban warga negara untuk menjunjung hukum dan pemerintahan tanpa terkecuali. Oleh karena itu tidaklah relevan untuk dijadikan sebagai batu uji dalam Permohonan a quo . Bahwa dalam Permohonan a quo , Pemohon Perkara 45 tidak menguraikan kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon Perkara 45 yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi. Pemohon Perkara 45 hanya menyatakan hak Pemohon sebagai rakyat dalam memantau Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat dan Kekuasaan Kehakiman dapat menjalankan tugas dan fungsinya, tanpa menjelaskan kerugian spesifik apa yang ditimbulkan dari berlakunya ketentuan pasal-pasal a quo . Sehingga jelas kerugian yang didalilkan oleh Pemohon Perkara 45 hanya merupakan asumsi tanpa adanya pertautan dengan hak konstitusional Pemohon Perkara 45. 117 e. Perkara Nomor Perkara 47/PUU-XVIII/2020 Bahwa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 telah ditetapkan menjadi undang-undang yakni UU a quo , artinya substansi di dalamnya telah dibahas dan disetujui antara Pemerintah bersama dengan DPR dan telah dilakukan sesuai dengan ketentuan Pasal 23 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Bahwa ketentuan Pasal 23 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 tidak mengatur mengenai hak dan/atau kewenangan konstitusional melainkan mengatur mengenai penetapan, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban APBN. Salah satu fungsi yang dimiliki oleh DPR adalah fungsi anggaran dengan tugas dan wewenang berupa pemberian persetujuan atas RUU tentang APBN yang diajukan oleh Presiden. UU APBN tersebut kemudian dilaksanakan secara terbuka oleh Pemerintah untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat. Para Pemohon Perkara 47 mendalilkan dengan berlakunya pasal a quo , berpotensi dana desa dihentikan, dengan demikian jelas kerugian yang didalilkan tersebut hanya asumsi Para Pemohon Perkara 47, karena kenyataannya dana desa tetap ada meskipun selama penanganan pandemi Covid-19 ini besarannya dikurangi karena adanya kebijakan pengalihan mandatory expenses yang diamanatkan oleh UU Desa.
Perkara Nomor Perkara 49/PUU-XVIII/2020 Bahwa Pemohon Perkara 49 menyatakan memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diatur dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1), (2) dan (3) serta Pasal 23 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 namun dalam uraian Positanya, Pemohon Perkara 49 mendalilkan ketentuan pasal a quo bertentangan dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Meskipun demikian, DPR menerangkan bahwa ketentuan Pasal 1 ayat (1), (2) dan (3) serta Pasal 23 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 tidak mengatur mengenai hak dan/atau kewenangan konstitusional warga Negara. Ketentuan Pasal 1 ayat (1), (2) dan (3) serta Pasal 23 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 mengatur mengenai Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik, kedaulatan berada di tangan rakyat, Indonesia adalah Negara hukum 118 dan APBN sebagai wujud dari pengelolaan keuangan Negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Bahwa Pemohon Perkara 49 dalam perbaikan permohonannya menguraikan memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (1), (2) dan (3) serta Pasal 23 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang jelas-jelas tidak mengatur mengenai hak dan/atau kewenangan warga Negara. Selain itu, Pemohon Perkara 49 tidak menguraikan kerugian konsitusionalnya berdasarkan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 dan hanya mendalilkan pasal a quo bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Pemohon Perkara 49 juga sama sekali tidak menyampaikan argumentasi tentang pertentangan antara pasal yang dimohonkan pengujian dengan pasal-pasal yang menjadi dasar pengujian dalam UUD NRI Tahun 1945. Oleh karena itu, telah sangat jelas Pemohon Perkara 49 tidak memiliki hak dan/atau kewenangan kontitusional yang dirugikan dengan berlakunya UU 2/2020. Bahwa Pemohon Perkara 49 dan banyak menguraikan mengenai asumsi-asumsinya atas pengaturan yang terdapat dalam pasal a quo , maka DPR RI menerangkan tidak terdapat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon Perkara 49 yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi pada Pemohon Perkara 49, maka jelas tidak terdapat hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian dan berlakunya undang- undang yang dimohonkan pengujian.
Perkara Nomor Perkara 75/PUU-XVIII/2020 Bahwa mayoritas Para Pemohon Perkara 75 mengajukan kembali Permohonan 51/PUU-XVIII/2020 yang telah ditarik kembali pada tanggal 19 Agustus 2020 dan Mahkamah Konstitusi sudah menerbitkan Ketetapan Putusan Nomor 51/PUU-XVIII/2020 yang diucapkan pada tanggal 27 Agustus 2020. Para Pemohon Perkara 75 berdalil bahwa dapat mengajukan kembali permohonan yang telah 119 ditarik sebelumnya tersebut karena sudah dilakukan perubahan dalam isi materi permohonan sehingga tidak mempunyai kesamaan dalam permohonan sebelumnya baik dalam permohonan pengujian formil maupun materiil yang diajukan sehingga Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memeriksa dan mengadilinya. Terhadap dalil tersebut, DPR RI memberikan pandangan bahwa berdasarkan ketentuan dalam Pasal 35 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan: ayat (1) “Pemohon dapat menarik kembali Permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan”. ayat (1a) “Dalam hal pemohon menarik kembali Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Panitera Mahkamah Konstitusi menerbitkan Akta Pembatalan Registrasi Permohonan dan memberitahukan kepada Pemohon disertai dengan pengembalian berkas Permohonan”. ayat (2) “Penarikan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan Permohonan tidak dapat diajukan kembali”. Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa Permohonan yang sudah ditarik kembali dan sudah diputus tidak dapat diajukan kembali. Selain itu, setelah melihat isi dari permohonan Para Pemohon Perkara 75, baik dari segi formil maupun materiil memiliki materi permohonan yang sama dengan permohonan sebelumnya yang sudah ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi untuk mengabulkan penarikan kembali permohonan perkara 51/PUU- XVIII/2020 tersebut oleh Para Pemohon perkara 51/PUU-XVIII/2020, yang merupakan mayoritas Para Pemohon Perkara 75. Walaupun Para Pemohon Perkara 75 memberikan tambahan batu uji Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), dan Pasal 27 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 namun batu uji Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 tersebut tidak mengatur mengenai hak konstitusional warga negara. Begitupun halnya dengan tambahan batu uji Pasal 27 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, ketentuan yang ada pada UU a quo tidak menghalangi Para Pemohon Perkara 75 untuk mendapatkan hak 120 konstitusionalnya berupa pekerjaan dan penghidupan yang layak. Sehingga tidaklah tepat jika Para Pemohon Perkara 75 masih mengajukan permohonan yang sama dengan permohonan yang sudah ditarik kembali dan ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi. Bahwa Para Pemohon Perkara 75 juga mendalilkan diri sebagai pembayar pajak ( tax payer ), oleh karenanya DPR RI mengutip pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 40/PUU-XVI/2018 pada Paragraf [3.7] sebagai berikut: …menurut Mahkamah, para Pemohon sebagai pembayar pajak (tax payer) tidak serta merta memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam mengajukan setiap permohonan pengujian undang-undang. Para Pemohon dapat memiliki kedudukan hukum (legal standing) apabila para Pemohon dapat menjelaskan adanya keterkaitan logis dan causal verband bahwa pelanggaran hak konstitusional atas berlakunya undang-undang yang diuji adalah dalam kaitannya dengan status para Pemohon sebagai pembayar pajak (tax payer) memang menunjukkan kerugian yang nyata . Dalam permohonan a quo , Para Pemohon Perkara 75 dituntut bukan hanya sekedar menyatakan dirinya sebagai pembayar pajak ( tax payer ), tetapi terkait statusnya sebagai pembayar pajak harus dijelaskan adanya keterkaitannya secara logis dengan kerugian konstitusional Para Pemohon Perkara 75 yang diakibatkan dengan berlakunya pasal-pasal a quo . Bahwa terkait dengan kedudukan hukum ( legal standing ) Para Pemohon, DPR RI memberikan pandangan selaras dengan Putusan MK Nomor 22/PUU-XIV/2016 yang diucapkan dalam sidang Pleno MK terbuka untuk umum pada tanggal 15 Juni 2016, yang pada pertimbangan hukum [3.5.2] MK menyatakan bahwa menurut Mahkamah: ... dalam asas hukum dikenal ketentuan umum bahwa tiada kepentingan maka tiada gugatan yang dalam bahasa Perancis dikenal dengan point d’ interest point d’ action dan dalam bahasa Belanda dikenal dengan zonder belang geen rechtsingang. Hal tersebut sama dengan prinsip yang terdapat dalam Reglement op de Rechtsvordering (RV) khususnya Pasal 102 yang menganut ketentuan bahwa “ tiada gugatan tanpa hubungan hukum” ( no action without legal connection ). Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, terhadap kedudukan hukum ( legal standing ) Para Pemohon secara materiil, DPR RI menyerahkan sepenuhnya kepada Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi untuk 121 mempertimbangkan dan menilai apakah Para Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi dan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan perkara Nomor 011/PUU-V/2007 mengenai parameter kerugian konstitusional. B. Pandangan Umum DPR 1. Penyebaran COVID-19 terus meluas di seluruh dunia yang didorong oleh mobilitas manusia. Hingga akhir Februari 2020, penyebaran COVID-19 secara global telah mencapai 86.000 kasus dengan jumlah kematian hampir 3.000 orang. Pandemi COVID-19 yang menyebar secara cepat dan mengancam kesehatan publik, mendorong negara-negara untuk mengambil berbagai langkah pencegahan yang ekstrim. Salah satu langkah kebijakan yang diambil hampir semua negara adalah pelarangan atau pembatasan perjalanan ( travel ban/restriction ), penutupan perbatasan, serta memperketat lalu lintas manusia antar wilayah/negara. Di dalam skala domestik, beberapa negara memberlakukan lockdown yakni penutupan wilayah dan penghentian segala aktivitas publik kecuali yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan pangan dan medis. Physical distancing serta karantina mandiri termasuk dengan memindahkan aktivitas kantor, belajar, dan beribadah di rumah juga diimplementasikan di berbagai negara, termasuk Indonesia. Berbagai kegiatan yang bersifat pengumpulan massa dikurangi atau bahkan dilarang dengan pengawasan ketat dari aparat hukum. Di Indonesia, Pemerintah memberlakukan status Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dan menetapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sejak tanggal 31 Maret 2020. Sebelumnya, Pemerintah juga telah memberlakukan larangan penerbangan termasuk dari dan ke Tiongkok, membentuk Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, memberlakukan kebijakan physical distancing , serta menetapkan status keadaan darurat bencana COVID-19. Berbagai himbauan termasuk menganjurkan dan bahkan melarang masyarakat untuk tidak melakukan pulang kampung termasuk dalam rangka mudik Hari Raya Idul Fitri 1441 Hijriah telah dilakukan. Anjuran untuk meningkatkan pola hidup bersih dan 122 sehat juga terus digencarkan. Penyebaran COVID-19 yang terjadi secara cepat dan eksponensial dikhawatirkan juga tidak dapat diimbangi dengan ketersediaan fasilitas kesehatan serta tenaga medis yang ada, sehingga bisa berujung pada krisis kesehatan. Langkah-langkah tersebut diimplementasikan dengan dasar bahwa kesehatan dan keselamatan masyarakat adalah prioritas. Namun demikian, langkah-langkah tersebut menimbulkan penurunan aktivitas ekonomi yang cukup signifikan.
Bentuk perlindungan yang diberikan oleh negara tidak sebatas perlindungan dari ancaman fisik namun juga perlindungan terhadap keseluruhan aspek kehidupan dan keselamatan 269 juta jiwa penduduk Indonesia. Negara harus mampu menjaga ketahanan seluruh elemen bangsa dari segala ancaman yang membahayakan negara dan masyarakat. Dengan segala sumber daya yang ada, kita harus mewujudkan ketahanan negara yang kokoh dari segala ancaman, termasuk ancaman terhadap perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan yang menimbulkan implikasi pada aspek sosial, ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat.
Bahwa penyebaran pandemi COVID-19 yang memberikan dampak dan mengancam pertumbuhan ekonomi Indonesia antara lain karena menurunnya penerimaan negara serta ketidakpastian ekonomi global, memerlukan kebijakan dan langkah-langkah luar biasa di bidang keuangan negara termasuk di bidang perpajakan dan keuangan daerah, dan sektor keuangan, yang harus segera diambil Pemerintah dan lembaga-lembaga terkait guna mengatasi kondisi mendesak tersebut dalam rangka penyelamatan kesehatan, perekonomian nasional, dengan fokus pada belanja kesehatan, jaring pengaman sosial (social safety net), serta pemulihan dunia usaha yang terdampak. Oleh karena itu, diperlukan perangkat hukum yang memadai untuk memberikan landasan yang kuat bagi Pemerintah dan lembaga-lembaga terkait untuk pengambilan kebijakan dan langkah-langkah dimaksud.
Bahwa berdasarkan ketentuan dalam Pasal 22 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan: “ Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang ”. 123 Mengacu pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009, parameter kegentingan yang memaksa dalam rangka penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang antara lain: - karena adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan _masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang; _ - Undang-Undang yang dibutuhkan belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau tidak memadainya Undang-Undang yang _saat ini ada; dan _ - Kondisi kekosongan hukum yang tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa yang memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan. 5. Bahwa Perppu 1/2020 telah dikeluarkan oleh Presiden pada tanggal 31 Maret 2020 karena keadaan genting dan kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat dan untuk menyelamatkan perekonomian dari krisis yang diprediksi akan terjadi. Bahwa dalam keadaan mendesak tersebut diperlukan pemberian kewenangan bagi Pemerintah diantaranya agar dapat melakukan realokasi dan refocussing anggaran yang sebelumnya telah dialokasikan dalam APBN tahun 2020. Melalui realokasi dan refocussing yang bersifat segera diharapkan dapat segera memulihkan ekonomi dalam rangka mendukung Program Pemulihan Ekonomi Nasional sebagai akibat dari Pandemi Covid-19. 6. Bahwa oleh karenanya ketentuan dalam UU 2/2020 diharapkan dapat memberi fondasi hukum bagi pemerintah terhadap otoritas perbankan dan otoritas keuangan untuk mengambil langkah luar biasa guna menjamin kesehatan masyarakat, menyelamatkan perekonomian nasional, dan stabilitas sistem keuangan sebagaimana diatur UU a quo yang perlu menetapkan kebijakan keuangan negara dan kebijakan stabilitas sistem keuangan diantaranya dengan menetapkan batasan defisit anggaran, melakukan penyesuaian besaran belanja wajib ( mandatory spending ), dan melakukan pergeseran anggaran antarunit organisasi, antarfungsi, dan/atau antarprogram.
Bahwa urgensi sebagai dasar dibentuknya Perppu 1/2020 merupakan pertimbangan subjektif dari Presiden sebagai pihak yang berhak membentuk suatu perppu. Pertimbangan subjektif tersebut perlu untuk dinilai secara objektif oleh rakyat yang direpresentasikan oleh wakilnya, yaitu DPR, sebagaimana yang telah diamanatkan dalam Pasal 22 ayat (2) 124 UUD NRI Tahun 1945. Dengan disahkannya Perppu 1/2020 menjadi UU 2/2020, maka DPR sebagai wakil rakyat telah menilai urgensi tersebut merupakan hal yang nyata dan mendesak sehingga perlu memberikan persetujuan atas Perppu 1/2020 untuk menjadi undang-undang sehingga dapat digunakan Pemerintah sebagai dasar hukum yang lebih kuat untuk bereaksi secara cepat menghadap situasi Pandemi Covid-19. C. Keterangan DPR Terhadap Pengujian Formil UU 2/2020 Berdasarkan kewenangan MK yang diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, maka batu uji yang digunakan oleh MK untuk melakukan pengujian formil haruslah berdasarkan Pasal 20 UUD NRI Tahun 1945, terutama Pasal 20 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “ Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama” . Frasa “ persetujuan bersama” dalam ketentuan tersebut merupakan esensi berlakunya __ asas legalitas sehingga frase “ persetujuan bersama ” merupakan norma yang sangat fundamental sebagai dasar terbentuknya undang- undang. Jika proses pembentukan undang-undang telah memenuhi unsur legalitas, yakni telah adanya “ persetujuan bersama ”, dan tidak adanya kegagalan dalam mendapatkan “ persetujuan bersama ” DPR dan Presiden, maka secara konstitusional undang-undang tersebut menjadi sah secara formil. Sesuai landasan konstitusional kewenangan MK menguji undang- undang terhadap UUD NRI Tahun 1945, maka pengujian undang-undang secara formil hanya dapat dinyatakan cacat prosedur jika telah bertentangan dengan ketentuan Pasal 20 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Namun demikian, jika Yang Mulia Hakim Konstitusi berpendapat lain, maka mohon pertimbangan yang seadil-adilnya, dan DPR tetap bersikap kooperatif dengan menerangkan lebih lanjut hal-hal yang dipermasalahkan oleh Para Pemohon dalam pengujian formil. 125 1. Tanggapan DPR terhadap dalil Para Pemohon Perkara 75 mengenai batasan waktu 45 hari dalam pengujian formil undang-undang harus dikesampingkan karena tidak berdasarkan pada UUD NRI Tahun 1945. a) Bahwa Mahkamah Konstitusi dalam konteks ketatanegaraan Indonesia dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi ( the guardian of constitution ) dan sebagai pengawal demokrasi ( the guardian of democracy ) yang diberikan kewenangan oleh UUD NRI Tahun 1945 untuk dapat menguji undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945. Kewenangan ini diberikan sebagai fungsi Mahkamah Konstitusi dalam menegakkan keadilan konstitusional di tengah kehidupan masyarakat. Namun di sisi lain, Mahkamah Konstitusi juga bertugas mendorong dan menjamin agar konstitusi dihormati dan dilaksanakan oleh semua komponen negara secara konsisten dan bertanggungjawab. b) Bahwa undang-undang bersifat mengikat dan memaksa bagi semua warga negara, sehingga agar dapat dilaksanakan harus diundangkan dalam Lembaran Negara agar setiap orang dianggap mengetahui atas undang-undang tersebut. Hal ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum kepada masyarakat atas keberlakuan suatu undang- undang. c) Bahwa untuk menjamin kepastian hukum, pengujian undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945 diperlukan pembatasan waktu untuk dapat diuji secara formil. Pembatasan waktu ini tidak boleh terlalu lama dari waktu diundangkannya suatu undang-undang dalam Lembaran Negara, karena karakteristik pengujian formil berbeda dengan pengujian materiil yang hanya menguji kata, frasa, ayat dan/atau pasal saja dalam undang-undang atas dasar kerugian konstitusional pemohon. Sedangkan pengujian formil didasarkan atas undang- undang yang merugikan konstitusi yang proses pembentukannya tidak sesuai dengan ketentuan dalam UUD NRI Tahun 1945, sehingga dapat membatalkan keseluruhan undang-undang. d) Bahwa Mahkamah Konstitusi dalam menjaga hal tersebut harus berhati-hati dalam menguji formalitas suatu undang-undang, karena yang menjadi fokus pengujian formil bukanlah atas dasar dalil kerugian 126 pemohon, namun Mahkamah Konstitusi harus mengutamakan keadilan dan kebenaran konstitusional. Mahkamah Konstitusi harus memahami ruh, ide, landasan filosofis, dan suasana kebatinan yang terjadi selama penyusunan undang-undang sehingga dapat memahami urgensi suatu undang-undang harus segera ditetapkan. e) Bahwa Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal konstitusi ( the guardian of constitution ) dan sebagai pengawal demokrasi ( the guardian of democracy ) telah tepat memberikan pembatasan waktu pengujian formil 45 hari setelah suatu undang-undang diundangkan dalam Lembaran Negara dalam menjaga kepastian hukum. Pembatasan ini sebagaimana Putusan Nomor 27/PUU-VII/2009 Paragraf [3.34] yang menyatakan, “ Menimbang bahwa terlepas dari putusan dalam pokok permohonan a quo Mahkamah memandang perlu untuk memberikan batasan waktu atau tenggat suatu Undang-Undang dapat diuji secara formil. Pertimbangan pembatasan tenggat ini diperlukan mengingat karakteristik dari pengujian formil berbeda dengan pengujian materiil. Sebuah Undang-Undang yang dibentuk tidak berdasarkan tata cara sebagaimana ditentukan oleh UUD 1945 akan dapat mudah diketahui dibandingkan dengan Undang-Undang yang substansinya bertentangan dengan UUD 1945. Untuk kepastian hukum , sebuah Undang- Undang perlu dapat lebih cepat diketahui statusnya apakah telah dibuat secara sah atau tidak, sebab pengujian secara formil akan menyebabkan Undang-Undang batal sejak awal. Mahkamah memandang bahwa tenggat 45 (empat puluh lima) hari setelah Undang-Undang dimuat dalam Lembaran Negara sebagai waktu yang cukup untuk mengajukan pengujian formil terhadap Undang-Undang; ” f) Bahwa terkait hukum acara pembatasan waktu 45 hari dalam mengajukan pengujian formil di Mahkamah Konstitusi merupakan materi yang seharusnya diatur dalam undang-undang oleh pembentuk undang-undang, namun selama belum diatur dalam undang-undang Mahkamah Konstitusi dapat mengatur hukum acara yang bersifat teknis untuk mengisi kekosongan hukum. Dalam hal ini, UUD NRI Tahun 1945 sebagai Konstitusi tidak mungkin mengatur secara rinci mengenai hal teknis batasan hari seperti yang didalilkan oleh Para Pemohon, karena dibutuhkan Undang-Undang lain untuk mengatur mengenai hal tersebut. Sehingga Mahkamah Konstitusi memiliki 127 kewenangan untuk mengatur sendiri hukum acara yang bersifat teknis dalam sidang pengadilan selama belum diatur dalam Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi. g) Bahwa terhadap pengujian perkara nomor 75/PUU-XVIII/2020 yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi pada tanggal 9 September 2020 sesungguhnya telah melewati batas waktu pengujian formil 45 hari sejak diundangkannya UU a quo , yakni pada tanggal 18 Mei 2020 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6516. Oleh karenanya berdasarkan fakta hukum tersebut DPR berpandangan permohonan Perkara nomor 75/PUU-XVIII/2020 tidak memenuhi ketentuan batas waktu 45 hari yang ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi, sehingga sepatutnya Mahkamah Konstitusi menyatakan Permohonan 75/PUU-XVIII/2020 tidak dapat diterima.
Tanggapan DPR terhadap dalil Para Pemohon Perkara 37 dan Perkara 75 mengenai prosedur konstitusional pengesahan telah disimpangi dengan tidak adanya keterlibatan DPD. Bahwa Para Pemohon Perkara 37 dan Perkara 75 dalam perbaikan permohonannya mendalilkan tidak adanya keterlibatan DPD dalam pembahasan Perppu yang telah ditetapkan menjadi UU dengan UU 2/2020 bertentangan dengan prinsip negara hukum, prinsip kedaulatan rakyat dan kewenangan legislasi DPD. Terhadap dalil tersebut DPR menerangkan sebagai berikut: a) Bahwa berdasarkan Pasal 20 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 ditentukan kewenangan untuk membentuk undang-undang ada pada DPR. Adapun terkait UUD NRI Tahun 1945 menghendaki bahwa setiap RUU dibahas antara DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama (Pasal 20 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945). b) Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 22D ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 mengatur bahwa Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang- undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya _ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; _ 128 serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama. c) Bahwa keikutsertaan DPD dalam pembahasan RUU hanya sebatas yang berkaitan dengan _otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; _ pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Hal ini juga sesuai dengan Pasal 65 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 15 Tahun 2019 (selanjutnya disebut UU 12/2011). d) Bahwa Perppu 1/2020 pada intinya secara garis besar mengatur mengenai kebijakan keuangan negara, apabila dalam pelaksanaannya memiliki dampak terhadap alokasi perimbangan keuangan pemerintah pusat dan pemerintahan daerah, hal itu merupakan konsekuensi bahwa keuangan daerah merupakan bagian dari keuangan negara. Sehingga telah jelas bahwa Perppu tersebut tidak mengatur secara khusus mengenai _otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; _ pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah . Selain itu UU 2/2020 yang dipermasalahkan oleh Para Pemohon merupakan pengesahan Perppu 1/2020 sehingga pembentuk undang-undang tidak berkewajiban untuk mengikutsertakan DPD dalam pembahasan RUU penetapan Perppu 1/2020 menjadi undang-undang. e) Berdasarkan Pasal 71 huruf d dan Pasal 249 ayat (1) huruf b Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2019 (UU MD3) bahwa DPD ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan _daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; _ pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah . RUU Penetapan Perppu 1/2020 menjadi UU tidak memiliki pertautan dengan bidang 129 yang mengharuskan keikutsertaan DPD dalam pembahasannya melainkan mengenai DPR memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan, sehingga DPD tidak memiliki kewenangan untuk ikut membahas RUU tersebut.
Tanggapan DPR terhadap dalil Para Pemohon Perkara 37, Para Pemohon Perkara 43 dan Para Pemohon Perkara 75 mengenai rapat virtual yang berpotensi dihadiri tidak secara konkret karena kuorum rapat dibuktikan dengan tandatangan sebelum menghadiri rapat. a) Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, Perppu 1/2020 dibentuk pada intinya untuk melakukan penyelamatan kesehatan dan perekonomian nasional yang terdampak dari Pandemi Covid-19 . Bahwa pada saat Perppu 1/2020 tersebut diajukan oleh Pemerintah kepada DPR untuk menjadi undang-undang, negara dalam kondisi darurat bencana yang menimbulkan kepanikan di masyarakat. b) Dalam kondisi demikian, maka DPR sebagai wakil rakyat harus tetap melaksanakan tugasnya untuk membahas Perppu 1/2020 bersama dengan Pemerintah. Bahwa pada saat itu peraturan perundang- undangan yang menjadi dasar hukum pembentuk undang-undang melaksanakan tugasnya masih belum menjangkau penggunaan sarana informasi dan teknologi dalam pembahasan dan pengesahan undang-undang. Hal tersebut disebabkan tidak terprediksinya kondisi yang diakibatkan dari penyebaran Pandemi Covid-19 yang begitu masif dan berdampak pada timbulnya korban jiwa. Adapun pada saat munculnya kasus pertama penyebaran Covid-19 di Indonesia hingga saat ini, Pemerintah telah membuat kebijakan mengenai salah satu upaya penanggulangan penyebaran Pandemi Covid-19 adalah dengan melakukan pembatasan sosial berskala besar dengan mengharuskan tiap orang menjaga jarak. c) Adapun salah satu kebijakan Pemerintah dalam upaya penanggulangan penyebaran pandemi Covid-19 adalah dengan melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang dilaksanakan di beberapa daerah di Indonesia. Sebagai lembaga yang berkedudukan di DKI Jakarta yang juga menerapkan PSBB, maka DPR dan Presiden juga harus mengikuti kebijakan yang telah ditetapkan 130 Pemerintah Daerah tersebut. Meskipun demikian, tugas pokok dan fungsi sebagai lembaga tetap harus berjalan, sehingga sebagai alternatif pelaksanaan rapat dan koordinasi supaya tugas dan fungsi DPR dan Presiden tetap berjalan adalah dengan menggunakan sarana informasi dan teknologi berupa video meeting atau virtual meeting. d) Pada saat kondisi demikian agar tugas pembentukan undang-undang tidak terbengkalai, DPR perlu melakukan terobosan hukum, yaitu dengan menetapkan Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib (Tatib DPR 2020) yang mulai berlaku pada tanggal 2 April 2020. Berdasarkan Tatib DPR 2020 tersebut di dalam ketentuan Pasal 254 ayat (4) dinyatakan bahwa: “ Semua jenis rapat DPR dihadiri oleh Anggota, kecuali dalam keadaan tertentu, yakni keadaan bahaya, kegentingan yang memaksa, keadaan luar biasa, keadaan konflik, bencana alam, dan keadaan tertentu lain yang memastikan adanya urgensi nasional, rapat dapat dilaksanakan secara virtual dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi. ” Dengan menggunakan dasar hukum tersebut, maka DPR melalui Badan Anggaran bersama Pemerintah melakukan Pembahasan Tingkat I UU a quo pada tanggal 4 Mei 2020 dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi melalui rapat virtual. Begitu pun halnya dengan Pembahasan Tingkat II yang menyetujui Perppu 1/2020 menjadi UU pada Rapat Paripurna tanggal 12 Mei 2020 dilaksanakan dengan menggunakan rapat kombinasi secara fisik maupun dengan teknologi informasi dan komunikasi melalui rapat virtual . e) Menanggapi dalil Para Pemohon Perkara 37, Para Pemohon Perkara 43 dan Para Pemohon Perkara 75 tersebut, DPR menerangkan bahwa pelaksanaan rapat yang dihadiri secara virtual telah diatur secara jelas dalam Pasal 279 ayat (6) Tatib DPR 2020 yang menyatakan bahwa: “ Dalam hal penandatanganan daftar hadir Anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak dapat dilakukan dan disebabkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 254 ayat (4), kehadiran Anggota dalam semua jenis rapat DPR dilakukan berdasarkan kehadiran secara virtual. ” Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 279 ayat (7) Tatib DPR 2020 menyatakan bahwa: 131 “ Bukti kehadiran secara virtual sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat dikonfirmasi dan diverifikasi keabsahannya melalui Sekretariat Jenderal DPR. ” Oleh karena itu berdasarkan dokumen sebagaimana terlampir dalam Lampiran I, maka Pembahasan Tingkat II yang menyetujui Perppu 1/2020 menjadi UU pada Rapat Paripurna tanggal 12 Mei 2020 yang dilakukan secara virtual tersebut, maka kehadiran pembentuk undang- undang telah memenuhi ketentuan perundang-undangan. f) Oleh karena itu dalil Para Pemohon Perkara 37, Para Pemohon Perkara 43 dan Para Pemohon Perkara 75 tersebut hanya merupakan asumsi karena jelas bahwa pembahasan dan pengesahan undang- undang dengan menggunakan sarana teknologi dan informasi telah memiliki dasar hukum melalui Tatib DPR 2020. Selain itu berdasarkan risalah Rapat Paripurna bahwa dengan Pimpinan DPR memberikan keputusan penetapan Perppu 1/2020 menjadi undang-undang artinya memberikan persetujuan dan juga mengikat anggota yang hadir baik secara fisik dan virtual (non fisik) (Lampiran II) 4. Tanggapan DPR terhadap dalil Para Pemohon Perkara 43 mengenai UU 2/2020 tidak memenuhi syarat Pasal 22 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 dan Pasal 52 ayat (1) UU 12/2011 terkait frasa “ persidangan yang berikut ”. a) Bahwa di dalam Rapat Kerja Badan Anggaran DPR RI bersama Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Bank Indonesia, dan Lembaga Penjamin Simpanan tertanggal 4 Mei 2020 bahwa pada saat itu terdapat 9 (sembilan) fraksi yang menyetujui Perppu 1/2020 untuk ditetapkan menjadi undang-undang, hanya fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) yang belum menyatakan persetujuannya. Berdasarkan rapat pada saat itu, DPR RI menerangkan bahwa UU a quo disetujui untuk ditetapkan menjadi undang-undang, dari titik tolak pemikiran bahwa Alinea keempat Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 dinyatakan bahwa tujuan dibentuknya Pemerintahan Negara Indonesia adalah untuk melindungi segenap rakyat Indonesia. Dengan demikian asas keselamatan rakyat Indonesia adalah yang diutamakan, untuk memberikan keyakinan bahwa Perppu 1/2020 tersebut harus dibahas 132 segera dan secepatnya untuk memenuhi asas keselamatan rakyat yang diamanatkan di dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 tersebut. b) Bahwa Perppu 1/2020 merupakan kewenangan yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam kondisi darurat yang bersifat fundamental dan krusial yang berdampak pada stabilitas perekonomian nasional jangka panjang, maka pengaturan hal tersebut perlu untuk diberikan dasar legalitas yang lebih kuat dalam bentuk undang-undang. c) Bahwa DPR selain memiliki fungsi legislasi sebagai pembentuk undang-undang berdasarkan Pasal 20A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, juga memiliki fungsi anggaran. Berkaitan dengan Perppu 1/2020 sebagai peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh pemerintah yang berfokus pada penataan ulang anggaran hingga beberapa tahun ke depan yang tentu saja memiliki dampak terhadap APBN, dimana sesuai dengan UUD NRI Tahun 1945 pembahasan dan pengesahan dalam Perppu 1/2020 menjadi UU sangat memerlukan peran DPR dalam melaksanakan fungsi anggaran sebagai kerangka representasi rakyat. Oleh karena itu, penting bagi DPR untuk segera membahas dan menetapkan Perppu 1/2020 menjadi UU dalam waktu yang cepat karena adanya kebutuhan mendesak yang dapat berdampak terhadap stabilitas perekonomian nasional. d) Dengan adanya situasi pandemi Covid-19 tersebut yang memiliki dampak bukan hanya terhadap kesehatan dan keselamatan rakyat, tetapi juga memiliki dampak terhadap perekonomian negara dalam jangka panjang, oleh karenanya proses penetapan Perppu 1/2020 menjadi UU yang harus dilakukan secepatnya oleh DPR merupakan langkah cepat DPR dalam menghadapi keadaan darurat negara. Keadaan darurat tersebut tetap harus dipahami dalam pandangan yang sesuai dengan alas fakta yang terjadi pada saat keadaan darurat, dan tidak menggunakan parameter dan indikator keadaan normal. Oleh sebab itu, keputusan DPR yang secara cepat mengesahkan Perppu 1/2020 menjadi UU merupakan langkah yang tepat dan mencerminkan asas prosesual bahwa penundaan yang tidak beralasan ( undue delay ) 133 harus dihindarkan, hal ini adalah demi kepentingan negara dan kepentingan umum yang harus dilindungi. e) Hal tersebut menunjukkan bahwa DPR memiliki kesamaan pandangan dengan Pemerintah mengenai adanya kegentingan memaksa dan perlunya kebijakan serta tindakan yang harus segera dilakukan dalam menghadapi pandemi Covid-19. Persetujuan DPR dimaksud menjadikan norma tersebut memenuhi amanat UUD NRI Tahun 1945 dan memberikan kepastian hukum bagi keberlanjutan langkah-langkah Pemerintah dalam penanganan situasi extraordinary pandemi Covid- 19, yang telah secara nyata menimbulkan pemburukan ekonomi dan ancaman krisis apabila tidak segera ditangani. Dengan adanya legitimasi tersebut, Pemerintah memiliki fleksibilitas melakukan recovery terhadap situasi dan kondisi perekonomian. Semakin mampu Pemerintah menangani dampak yang ditimbulkan oleh pandemi Covid- 19 seiring dengan perkembangan/perlambatan penyebaran virus ( flattening the curve ), semakin mempercepat negara keluar dari pemburukan ekonomi. D. Keterangan DPR Terhadap Pengujian Materiil UU 2/2020 1. Pandangan DPR RI terhadap pengujian judul UU 2/2020:
Berdasarkan metode penafsiran secara gramatikal yaitu metode penafsiran melalui pendekatan tatabahasa yang ada pada rumusan UU, dalam memahami UU, tanda baca, diksi, dan pola susunan kalimat sedemikan rupa benar benar diperhatikan. Berdasarkan metode penafsiran tersebut judul Lampiran UU 2/2020 sudah jelas, tidak ambigu, memang yang diatur dalam Lampiran UU 2/2020 ini adalah langkah Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Keuangan dikarenakan adanya pandemi Covid 19 yang saat ini terjadi. Bukan mengatur tentang langkah tindakan Pemerintah untuk menangani Covid 19. Yang menjadi subyek dari judul ini adalah Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Covid-19. Dua subyek tersebut adalah dua hal yang berbeda namun satu kesatuan yang diatur dalam Lampiran UU 2/2020 ini.
Judul dan materi muatan sudah sesuai, materi muatan terdiri atas 6 bab yang hampir semuanya mengatur mengenai langkah-langkah 134 kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan yang akan dijalankan pemerintah, dan tidak mengatur mengenai langkah-langkah untuk menangani pandemi Covid-19.
Berdasarkan Ketentuan dalam UU 12/2011 Lampiran II Bagian A mengatur bahwa: ● Judul Peraturan Perundang–undangan memuat keterangan mengenai jenis, nomor, tahun pengundangan atau penetapan, dan nama Peraturan Perundang–undangan; ● Judul Peraturan Perundang-undangan ditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang diletakkan di tengah marjin tanpa diakhiri tanda baca; ● Pada nama Peraturan Pemerintah Pengganti Undang–Undang (Perpu) yang ditetapkan menjadi Undang–Undang, ditambahkan kata penetapan di depan judul Peraturan Perundang–undangan yang ditetapkan dan diakhiri dengan frasa menjadi Undang-Undang; Berdasarkan ketentuan tersebut, judul yang tertulis pada UU 2/2020 maupun Perppu 1/2020 yang merupakan lampiran dari UU 2/2020 telah sesuai dengan ketentuan dalam UU 12/2011.
Pandangan DPR terhadap materi muatan kebijakan pelebaran defisit anggaran sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UU a quo . __ a. Bahwa sesuai amanat konstitusi, APBN digunakan untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat, namun ketika keadaan darurat karena Covid-19 yang telah secara nyata memberikan dampak pada perekonomian negara seperti saat ini maka penggunaan APBN dapat disesuaikan untuk kepentingan yang lebih besar yaitu menyelamatkan perekonomian negara yang mana hal ini justru untuk menciptakan manfaat yang lebih besar.
Implikasi pandemi Covid-19 telah berdampak pula terhadap ancaman semakin memburuknya sistem keuangan yang berisiko pada ketidakstabilan makro ekonomi dan sistem keuangan yang perlu dimitigasi bersama oleh Pemerintah dan lembaga terkait dengan melakukan tindakan antisipasi guna menjaga stabilitas sektor keuangan. Bahwa kedalaman implikasi Covid-19 terhadap perekonomian sulit diukur karena puncak pandemi Covid-19 belum dapat dipastikan 135 waktunya. Implikasi ekonomi yang ditimbulkan oleh Covid-19 terhadap perekonomian sangat dalam sehingga semua skenario perlu disiapkan untuk menghadapi situasi yang paling buruk, bahkan dalam bentuk “ worst case scenario ”. Maka pemerintah dan lembaga terkait perlu mengambil langkah luar biasa dalam rangka penyelamatan perekonomian nasional dengan berbagai kebijakan relaksasi yang berkaitan dengan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dengan melakukan peningkatan belanja untuk kesehatan, jaring pengaman sosial dan pemulihan perekonomian, serta memperkuat kewenangan berbagai lembaga dalam sektor keuangan.
Bahwa Para Pemohon Perkara 37 dan Pemohon Perkara 45 mendalilkan UU a quo melampaui dari ruang lingkup yang diatur di dalam Pasal 1 karenanya senyatanya Pasal 2 ayat (1) huruf a justru mengatur dalam jangka waktu sampai dengan 2022 bahkan sampai 2023. Selain itu, negara-negara lain, pemerintahnya tidak diberi kewenangan khusus dalam bidang anggaran selama bertahun-tahun. Terhadap dalil tersebut, DPR berpandangan sebagai berikut:
Dalam Lampiran UU 2/2020 tetap terdapat pembatasan- pembatasan yaitu: Pertama, kewenangan menetapkan defisit melampaui 3% dari PDB hanya berlaku paling lama sampai dengan berakhirnya Tahun Anggaran 2022 (dalam jangka waktu kurang lebih 2 tahun atau bisa kurang dari waktu tersebut jika recovery ekonomi dapat berjalan lebih cepat); dan penyesuaian besaran defisit tersebut dilakukan secara bertahap. Sebagai perbandingan dengan negara lain, Amerika Serikat, Australia, Singapura, dan Malaysia telah mengeluarkan stimulus fiskal yang mencapai lebih dari 10% PDB-nya. Amerika Serikat hanya dalam waktu kurang dari 3 bulan menambah utang dengan 3 Triliun US$ yang jumlah tersebut sama dengan jumlah 3 kali PDB Indonesia. (Lampiran II). Kedua , pelebaran defisit tersebut tetap dalam koridor jumlah pinjaman yang dapat dilakukan dalam rangka pelaksanaan pelebaran defisit tersebut yaitu di batasi maksimal 60% (enam puluh persen) dari PDB sesuai UU Keuangan Negara 136 2) Bahwa defisit anggaran yang tidak dapat dihindari tersebut tentunya butuh penanganan sehingga meningkatnya besaran utang negara adalah suatu hal yang pasti terjadi. Solusi ini adalah satu diantara upaya-upaya yang dilakukan oleh Pemerintah selain melakukan penyesuaian besaran belanja wajib, pergeseran anggaran antar unit organisasi, antar fungsi dan/atau antar program dan lain sebagainya sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 2 Lampiran UU 2/2020.
Bahwa konsekuensi dari pelebaran defisit tersebut tentunya berdampak pada tahun-tahun berikutnya. Sehingga penentuan atau pembatasan APBN sampai tahun anggaran 2022 merupakan pilihan kebijakan yang logis. Oleh karena itu, Pemerintah memberikan prediksi dengan menetapkan batasan defisit anggaran melampaui 3% dari PDB sampai dengan tahun anggaran 2022. Sedangkan pada tahun anggaran 2023, Pemerintah optimis besaran defisit anggaran akan kembali menjadi paling tinggi sebesar 3% dari PDB. Hal ini merupakan optimisme Pemerintah dalam mengupayakan perbaikan kondisi perekonomian dan keuangan nasional. Hal ini harus dipahami oleh Para Pemohon a quo mengingat kondisi dan kemampuan setiap negara berikut kebijakan-kebijakan yang diambil tidak dapat disamaratakan karena karakteristik dan tren pertumbuhan perekonomiannya yang juga tidak sama.
Bahwa APBN Tahun Anggaran 2021 dan Tahun 2022 dalam lampiran UU 2/2020 ini tidak diatur karena UU APBN Tahun Anggaran 2021 dan Tahun Anggaran 2022 belum disusun dan diundangkan ketika pengundangan UU 2/2020. Dalam penyusunan APBN Tahun Anggaran 2021 dan Tahun Anggaran 2022 tetap diberlakukan mekanisme penyusunan APBN sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan sehingga esensi Pasal 23 UUD NRI Tahun 1945 tetap terjaga.
DPR menerangkan pembentukan Perppu merupakan kewenangan konstitusional Presiden sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 22 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Baru selanjutnya diberlakukan 137 ketentuan Pasal 22 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang merupakan kewenangan konstitusional DPR RI untuk memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan atas Perppu yang dibentuk oleh Presiden pada masa sidang yang berikutnya. Karakter hukum UU APBN yang merupakan undang-undang penetapan, berbeda dengan undang-undang pengaturan pada umumnya. Karena sifat hukumnya tersebut, UU APBN sebenarnya merupakan domain pemerintah dalam perumusan dan perencanaannya, yang kemudian membutuhkan hak budget DPR untuk menyetujui atau tidak. Dalam hal kondisi kedaruratan, persetujuan tidak ditempatkan di awal, melainkan sekalian di akhir pelaksanaan dengan maksud terjadinya perubahan konsep hak budget DPR yang sebelumnya menguji pengeluaran negara untuk kebutuhan di tahun berjalan, menjadi menguji pengeluaran negara untuk kemanfataan di tahun berjalan. Keduanya sama-sama tetap menggunakan dan menjalankan hak budget DPR, di mana hak budget keadaan normal, alokasi yang tidak disetujui DPR karena belum menjadi kebutuhan akan dicoret atau ditarik. Sedangkan dalam keadaan darurat, alokasi yang tidak disetujui karena tidak sesuai kemanfaatannya harus dipertanggungjawabkan pemerintah dalam berbagai bentuk, yaitu meminta Badan Pemeriksa Keuangan melakukan pemeriksaan dan melaporkannya kepada DPR, meminta pemerintah melakukan koreksi dan pengembalian sesuai dengan rekomendasi pemeriksaan BPK, atau DPR dapat menggunakan hak yang dimilikinya dalam mengawasi penggunaan APBN keadaan darurat.
Selain itu terkait keinginan Pemohon Perkara 45 agar RUU APBN Tahun 2021 dibahas Pemerintah dengan DPR RI senyatanya sudah disampaikan Pemerintah dalam rangkaian rapat paripurna tertanggal 12 Mei 2020, 14 Juli 2020, dan 14 Agustus 2020 (Lampiran II, Lampiran III dan lampiran IV). Sebagai tambahan informasi, pada 25 September 2020, Kemenkeu selaku yang mewakili Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyepakati Rancangan Undang-Undang (RUU) Anggaran 138 Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2021 di Banggar dan Pemerintah bersama DPR telah menyetujui defisit anggaran sebesar 5,7% dari PDB pada Rapat Paripurna DPR tanggal 29 September 2020. Semua fraksi DPR juga menyampaikan bahwa kondisi Covid-19 masih belum memberikan kepastian pada tahun 2021, sehingga Pemerintah dengan pimpinan Banggar dan para anggota Banggar bersama-sama memformulasikan RUU APBN 2021 yang disatu sisi memberikan signal kepada masyarakat, dunia usaha bahwa pemerintah terus melakukan support agar mereka bisa pulih dan bangkit kembali, namun di sisi lain juga memberikan sinyal kehati-hatian, sinyal prudent atau kebijakan dalam menjaga keseluruhan dan keberlangsungan APBN.
Oleh karenanya dalil bahwa kewenangan penetapan UU APBN oleh DPR menjadi nihil, (dalam hal ini dalil tersebut juga disampaikan oleh Para Pemohon Perkara 42) adalah anggapan yang salah. Hal ini disebabkan perubahan mekanismenya saja, yang sebelumnya Hak Budget DPR dilakukan di awal menjadi di akhir setelah diterbitkannya LKPP. Selain itu, dalam memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap penetapan Perppu 1/2020 menjadi undang-undang tersebut, tentunya DPR mengkaji terlebih dahulu urgensi dan implikasi pemberlakuan ketentuan dalam Perppu tersebut sebagai undang-undang sebelum dilakukan penetapan Perppu tersebut sebagai undang-undang. Pengaturan dalam Perppu ini tidak berarti menghilangkan mekanisme persetujuan DPR dalam penetapan UU APBN mengingat UU APBN Tahun Anggaran 2020 telah ditetapkan, dan UU APBN Tahun Anggaran 2021 telah dibahas oleh DPR dan Pemerintah, dan UU APBN Tahun Anggaran 2022 masih belum disusun dan belum diajukan oleh Pemerintah kepada DPR RI.
Pandangan DPR terkait penggunaan dana yang bersumber dari Dana Abadi Pendidikan untuk penanganan Pandemi Covid-19, DPR.
Akumulasi dana abadi pendidikan yang dimaksud dalam Pasal a quo adalah akumulasi dana abadi dari tahun-tahun sebelumnya dan tidak 139 termasuk porsi dana abadi pendidikan yang dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun berjalan ( vide Penjelasan Pasal 2 ayat (1) huruf e UU a quo ).
Anggaran dana pendidikan yang sudah dialokasikan dalam UU APBN tahun berjalan tidak termasuk dalam objek yang diatur dalam ketentuan Pasal a quo sehingga kewajiban Pemerintah untuk memenuhi mandatory spending dana pendidikan sebesar 20% tetap dilaksanakan. Oleh karena itu yang dapat digunakan oleh Pemerintah dalam realokasi penggunaan dana abadi pendidikan dan akumulasi dana pendidikan untuk penanganan Pandemi Covid-19 tidak mengganggu alokasi dana pendidikan yang sudah ditetapkan dalam UU APBN sebesar 20%.
Bahwa penggunaan dana abadi sebagai sumber pembiayaan APBN tahun berjalan merupakan salah satu opsi yang dipersiapkan pemerintah dalam penanganan pandemi Covid-19. Opsi tersebut hanya akan dipergunakan apabila seluruh pembiayaan lain yang tersedia tidak memenuhi kebutuhan pembiayaan pemerintah dalam penanganan pandemi Covid-19. Namun demikian, pemanfaatannya akan tetap memperhitungkan efektivitas dan ketepatan dibandingkan dengan surnber-sumber lain yang ada.
Pandangan DPR terkait kewenangan Pemerintah untuk menerbitkan Surat Utang Negara dan/atau Surat Berharga Syariah Negara dengan tujuan tertentu dan independensi Bank Indonesia a. Bahwa dasar hukum penerbitan SUN adalah Pasal 55 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (selanjutnya di sebut UU BI), yang berketentuan: ( 1) Dalam hal Pemerintah akan menerbitkan surat-surat utang negara, Pemerintah wajib terlebih dahulu berkonsultasi dengan Bank Indonesia. (2) Sebelum menerbitkan surat utang negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah wajib berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat. (3 ) Bank Indonesia dapat membantu penerbitan surat-surat utang negara yang diterbitkan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Dalam penerbitan Surat Utang Negara tersebut, terdapat peran DPR dalam mekanisme penerbitan surat utang negara berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (1) dan ayat (3) UU Nomor 24 Tahun 2002 140 tentang Surat Utang Negara (UU SUN) yang mengatur bahwa Penerbitan Surat Utang Negara harus terlebih dahulu mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat yang diberikan pada saat pengesahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Mekanisme ini harus tetap dilakukan oleh Pemerintah.
Dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (UU SBSN) diatur bahwa SBSN diterbitkan dengan tujuan untuk membiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara termasuk membiayai pembangunan proyek. Kewenangan menerbitkan SBSN berada pada Pemerintah dilaksanakan oleh Menteri dapat dilaksanakan secara langsung oleh Pemerintah atau melalui Perusahaan Penerbit SBSN. Dalam hal akan dilakukan penerbitan SBSN untuk tujuan membiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara termasuk membiayai pembangunan proyek, Menteri terlebih dahulu berkoordinasi dengan Bank Indonesia.
Ketentuan Pasal 8 UU SBSN mengatur bahwa Penerbitan SBSN harus terlebih dahulu mendapat persetujuan DPR pada saat pengesahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diperhitungkan sebagai bagian dari Nilai Bersih Maksimal Surat Berharga Negara yang akan diterbitkan oleh Pemerintah dalam satu tahun anggaran. Dalam rangka kedaruratan penanganan Covid-19 dan implikasinya terhadap kondisi perekonomian nasional, hal ini juga menjadi pertimbangan Presiden dalam penyusunan Perppu 1/2020 dan penetapannya sebagai undang-undang oleh DPR melalui UU 2/2020. Ketentuan Pasal 8 UU SBSN ini tidak disebutkan dalam ketentuan Pasal 28 lampiran UU 2/2020, sehingga masih berlaku dan harus dilaksanakan oleh Pemerintah.
Pasal 2 ayat (1) huruf f, Pasal 16 ayat (1) huruf c, dan Pasal 19 ayat (3) Lampiran UU 2/2020 mengatur bahwa Bl dapat membeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana atau primer. Pengaturan tersebut melengkapi ketentuan Pasal 55 ayat (4) UU Bl yang memberikan kewenangan Bl untuk membeli SUN di pasar primer atau perdana berjangka pendek yang diperlukan oleh Bl untuk operasi pengendalian moneter. Pengaturan pada Pasal 55 ayat (4) UU Bl dimaksudkan untuk 141 menjalankan tugas Bl dalam kondisi normal. Sementara saat ini, Presiden telah memutuskan kondisi kegentingan yang memaksa serta kekosongan hukum karena pandemi Covid-19 sehingga diterbitkan Perppu 1/2020. Dalarn mengatasi kondisi tersebut, diperlukan stimulus fiskal yang dapat berimplikasi pada pelebaran defisit APBN. Oleh karena itu, peran Bl perlu diperluas sehingga Bl dapat melakukan pembelian SUN dan/atau SBSN jangka panjang di pasar perdana khususnya dalam rangka penanganan permasalahan sistem keuangan yang membahayakan perekonomian nasional, termasuk SUN dan/atau SBSN yang diterbitkan dengan tujuan tertentu khususnya dalam rangka pandemi Covid-19.
Ketentuan dalam Pasal 16 ayat (1) hurut c Lampiran UU 2/2020 dimaksudkan untuk memberikan kelengkapan payung hukum bagi Bl untuk menetapkan dan melaksanakan kebijakan pembelian SUN dan/atau SBSN berjangka panjang di pasar perdana untuk penanganan permasalahan sistem keuangan yang membahayakan perekonomian nasional, termasuk SUN dan/atau SBSN yang diterbitkan dengan tujuan tertentu khususnya dalam rangka pandemi Covid-19. Dengan adanya ketentuan-ketentuan dalam Lampiran UU 2/2020, terbuka ruang baru bagi Bl dalam rnerumuskan dan rnelaksanakan kebijakan moneter melalui pembelian SUN di pasar primer atau perdana, baik yang berjangka pendek maupun panjang, untuk digunakan dalam operasi pengendalian moneter maupun yang diperlukan untuk pemulihan ekonomi nasional.
Pembelian SUN dan/atau SBSN oleh Bl di pasar perdana dilakukan untuk membantu pemerintah dalam pemenuhan pembiayaan APBN dan pembiayaan pelaksanaan pemulihan ekonomi nasional termasuk menjaga stabilitas sistem keuangan nasional yang menjadi peran Bl sebagai otoritas moneter dan bukan mengintervensi Bl dalam pelaksanaan tugasnya. Proses untuk membeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana merupakan mandat yang diberikan oleh UU 2/2020 sehingga sama sekali tidak ada intervensi terhadap independensi Bl.
Perlu dicermati pula bahwa SUN dan/atau SBSN yang diterbitkan oleh Pemerintah tidak wajib untuk dibeli oleh Bl. Rumusan-rumusan 142 ketentuan dalam Lampiran UU 2/2020 terkait kewenangan Bl untuk membeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana memuat kata "dapat". Penggunaan frasa "dapat" dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) huruf f dan Pasal 19 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 dimaknai bahwa tidak ada unsur kewajiban bagi Bl yang dapat menghilangkan independensi Bl sebagai bank sentral untuk memutuskan pembelian SUN dan/atau SBSN di pasar perdana. Pembelian SUN dan/atau SBSN didasarkan sesuai pertimbangan Bl dalam menjalankan tugasnya.
Kewenangan Bl untuk membeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana sebagaimana diatur dalam Lampiran UU 2/2020 dilaksanakan dengan tetap menjaga independensi Bl. Pasal 23D UUD NRI Tahun 1945 jo. Pasal 4 ayat (2) UU Bl telah mengatur bahwa Bl merupakan lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pemerintah dan/atau pihak lain. Pelaksanaan tugas dan wewenang Bl akan tetap berjalan secara efektif dengan berlakunya ketentuan dalam Lampiran UU 2/2020.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (3) UU a quo , kewenangan tersebut harus memenuhi skema dan mekanisme pembelian yang diatur bersama antara Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia dengan Keputusan Bersama Menteri Keuangan dan Gubernur Bl Nomor 190/KMK.08/2020 dan Nomor 22/4/KEP.GBl/2020 tanggal 16 April 2020 dengan menerapkan prinsip:
mengutamakan mekanisme pasar;
mempertimbangkan dampaknya terhadap inflasi secara terukur;
SUN dan/atau SBSN yang dapat dibeli oleh Bl bersifat tradable dan marketable ; dan
Bl sebagai pembeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana merupakan last resort dalam hal kapasitas pasar tidak mampu menyerap dan/atau menyebabkan kenaikan yield yang terlalu tinggi. 143 5. Pandangan DPR terkait penetapan sumber-sumber pembiayaan Anggaran yang berasal dari dalam dan/atau luar negeri dan pengaturan perubahan postur APBN melalui Peraturan Presiden sebagaimana diatur dalam UU a quo a. Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. Kekuasaan tersebut meliputi kewenangan yang bersifat umum dan kewenangan yang bersifat khusus. Untuk membantu Presiden dalam penyelenggaraan kekuasaan dimaksud, sebagian dari kekuasaan tersebut dikuasakan kepada Menteri Keuangan selaku Pengelola Fiskal dan Wakil Pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan, serta kepada Menteri/Pimpinan Lembaga selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya. Menteri Keuangan sebagai pembantu Presiden dalam bidang keuangan pada hakekatnya adalah Chief Financial Officer (CFO) Pemerintah Republik Indonesia, sementara setiap menteri/pimpinan lembaga pada hakekatnya adalah Chief Operational Officer (COO) untuk suatu bidang tertentu pemerintahan. Prinsip ini perlu dilaksanakan secara konsisten agar terdapat kejelasan dalam pembagian wewenang dan tanggung jawab, terlaksananya mekanisme checks and balances serta untuk mendorong upaya peningkatan profesionalisme dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan. Sub bidang pengelolaan fiskal meliputi fungsi-fungsi pengelolaan kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro, penganggaran, administrasi perpajakan, administrasi kepabeanan, perbendaharaan, dan pengawasan keuangan.
Pengecualian Pelaksanaan Kebijakan Keuangan Negara dalam Perppu ini sebagaimana diatur dalam Pasal 12 ayat (2) lampiran UU 2/2020 a quo : “ Perubahan postur dan/atau rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara dan langkah-langkah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 11 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden.” 144 Ketentuan tersebut hanya berlaku sepanjang berkaitan dengan kebijakan keuangan negara untuk penanganan penyebaran Covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan berdasarkan Perppu ini ( Vide Pasal 28 lampiran UU 2/2020). Dalam kondisi kembali normal semua ketentuan dalam UU MD3 berlaku seperti semula termasuk dalam hal mekanisme pembahasan APBN dan APBNP yang harus tetap mendapatkan persetujuan DPR. Selain itu meskipun APBN Perubahan ditetapkan dengan Peraturan Presiden karena situasi yang mendesak berdasarkan Perppu 1/2020 yang selanjutnya menjadi lampiran UU 2/2020, tetapi pertanggungjawaban APBN tetap kepada DPR.
Bahwa terkait dengan sumber-sumber pembiayaan negara, Pasal 12 ayat (3) UU Keuangan Negara mengatur bahwa dalam hal anggaran diperkirakan defisit, ditetapkan sumber-sumber pembiayaan untuk menutup defisit tersebut dalam Undang-undang tentang APBN. Dan penjelasan Pasal 12 ayat (3) UU Keuangan Negara tersebut mengatur bahwa jumlah pinjaman dibatasi maksimal 60% dari Produk Domestik Bruto. Ketentuan dalam penjelasan ini juga menjadi bagian yang dinyatakan tidak berlaku dalam Pasal 28 angka 3 lampiran UU 2/2020. Namun pada dasarnya, penetapan sumber-sumber pembiayaan tersebut diperbolehkan hanya saja batasan yang ada dalam penjelasan pasal tersebut tidak diberlakukan selama penanganan Covid-19 ini atau hingga tahun 2021. Selain itu, persebaran Covid-19 yang masif dan cepat ini membutuhkan penanganan cepat namun yang tidak dapat dilaksanakan melalui mekanisme APBN, sehingga telah jelas tidak ada pelanggaran prinsip pengelolaan keuangan negara dan tetap sejalan dengan prinsip negara hukum sebagaimana diatur oleh Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945.
Ketentuan Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 sama sekali tidak menghilangkan peran dan fungsi DPR, karena dengan telah disetujui dan ditetapkannya Perppu1/2020 menjadi UU 2/2020, telah menunjukkan bahwa perubahan postur dan/atau rincian APBN dengan Peraturan Presiden yang diatur dalam ketentuan Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 145 2/2020 tersebut telah mendapat persetujuan DPR. Selain itu, dalam pembentukan Peraturan Presiden tentang perubahan postur dan/atau rincian APBN, Pemerintah selalu mengkomunikasikannya dan melakukan pembahasan bersama dengan DPR. DPR dapat memberikan masukan dan rekomendasi kepada Pemerintah terkait postur dan/atau rincian APBN tersebut. Oleh karena itu, Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 __ yang mengatur bahwa perubahan postur dan/atau rincian APBN dilakukan dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden, sama sekali tidak menghilangkan peran dan fungsi DPR. Pengaturan perubahan postur dan/atau rincian APBN dalam ketentuan Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 telah diselaraskan dengan dicabutnya ketentuan Pasal 27 ayat (3) UU Keuangan Negara, Pasal 177 huruf c angka 2 dan Pasal 182 UU MD3, serta Pasal 40 UU APBN 2020 (vide ketentuan Pasal 28 angka 3, 10, dan 12 Lampiran UU 2/2020). Pencabutan berbagai ketentuan yang diatur dalam Pasal 28 angka 3, 10, dan 12 Lampiran UU 2/2020 tersebut, merupakan upaya harmonisasi agar tidak ada dualisme aturan atas satu permasalahan. Dengan demikian, ketentuan Pasal 28 angka 3, 10, dan 12 Lampiran UU 2/2020 telah memberikan kepastian hukum atas pelaksanaan ketentuan Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020, yaitu bahwa perubahan postur dan/atau rincian APBN dilakukan dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden.
Pandangan DPR Terhadap Kebijakan Di Bidang Keuangan Daerah sebagaimana diatur dalam UU a quo a. Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945, Pemerintah Daerah telah diberikan kewenangan untuk mengatur dan mengurus sendi r i urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda). Penjelasan umum UU Pemda menyatakan bahwa pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah dilaksanakan berdasarkan prinsip negara kesatuan. Dalam negara kesatuan, kedaulatan hanya ada pada pemerintahan negara atau pemerintahan nasional dan tidak terdapat kedaulatan pada pemerintahan daerah. Oleh karena itu, seluas apapun otonomi yang 146 diberikan kepada daerah, tanggung jawab akhir penyelenggaraan pemerintahan daerah akan tetap ada di tangan pemerintah pusat. Untuk itu pemerintahan daerah pada negara kesatuan merupakan satu kesatuan dengan pemerintahan nasional.
Kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan oleh daerah merupakan bagian integral dari kebijakan nasional. Pembedanya, terletak pada bagaimana memanfaatkan kearifan, potensi, inovasi, daya saing, dan kreativitas daerah untuk mencapai tujuan nasional tersebut di tingkat lokal yang pada gilirannya akan mendukung pencapaian tujuan nasional secara keseluruhan. Pada kondisi pandemi Covid-19, hal yang perlu diperhatikan dalarn pelaksanaan kebijakan keuangan di daerah adalah kecepatan dan ketepatan untuk menyesuaikan anggaran sehingga tepat sasaran. Lebih lanjut, berdasarkan dengan Pasa l 6 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (UU Keuangan Negara), kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan, telah diserahkan kepada kepada gubernur/bupati/wali kota untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili Pemerintah Daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan.
Namun demikian, dalam pelaksanaannya, penyelenggaraan pemerintahan daerah, termasuk keuangan daerah, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam UU Pemda sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015. Dalam ketentuan Pasal 9 ayat (2) UU Pemda disebutkan urusan absolut adalah urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat. Lebih Ianjut dalam ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf e UU Pemda disebutkan jika salah satu urusan pemerintahan absolut tersebut adalah urusan moneter dan fiskal nasional. Dalam menangani pandemi Covid-19 dan menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan, kebijakan yang diterapkan di bidang keuangan negara yang memberikan relaksasi untuk refocusing APBN, sudah seharusnya juga diterapkan pada pemerintahan daerah, khususnya dalam hal relaksasi untuk refocusing APBD. Oleh karena itu, kebersarnaan dan gotong royong oleh 147 pemerintah pusat dan Pemerintah Daerah dapat menuntaskan permasalahan kesehatan dan ekonomi dampak Covid-19.
Sesuai ketentuan Pasal 8 UU Pemda, telah diatur bahwa pembinaan dan pengawasan terhadap urusan penyelenggaraan pemerintahan oleh daerah dikoordinasikan oleh Menteri Dalam Negeri. Hal tersebut dapat menjadi landasan Kementerian Dalam Negeri untuk memberikan petunjuk/pedoman tentang keuangan daerah kepada Pemerintah Daerah agar penggunaan realokasil refocusing seragam dan terarah bagi seluruh daerah. Sebagaimana telah diatur dalam Pasal 280 UU Pemda, dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang diserahkan dan/atau ditugaskan, penyelenggara pemerintahan daerah memiliki kewajiban dalam pengelolaan keuangan daerah antara lain meliputi sinkronisasi pencapaian sasaran program daerah dalam APBD dengan program pemerintah pusat.
Sejalan dengan hal tersebut, guna mencapai penanganan yang bersifat holistik dan terpadu atas pandemi Covid-19 dan dampaknya, maka diperlukan pula peran daerah melalui APBD. Untuk itu, Pemerintah Daerah diberikan kewenangan untuk melakukan refocusing, perubahan alokasi dan penggunaan APBD. Dalam rangka memberikan pedoman/guidance kepada Pemerintah Daerah, maka Kemendagri telah menerbitkan Permendagri Nomor 39 Tahun 2020 tentang Pengutamaan Penggunaan Alokasi Anggaran Untuk Kegiatan Tertentu, Perubahan Alokasi dan Penggunaan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah yang mengatur ketentuan umum dan teknis pelaksanaan refocusing, perubahan alokasi, dan penggunaan APBD untuk penanganan pandemi Covid-19 beserta dampaknya di daerah. Dengan demikian, Permendagri tersebut tidak akan mendikte Pemerintah Daerah dalam melakukan refocusing, perubahan alokasi dan penggunaan APBD, melainkan sebatas memberikan petunjuk dan menciptakan keseragaman tindak lanjut kedaruratan dalam melakukan refocusing guna mencapai tujuan nasional. Selain itu, dengan tidak diajukannya pengujian ketentuan Pasal 3 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 oleh Pemohon, maka Pemohon telah menyadari dan rnernahami bahwa pemberian kewenangan kepada daerah untuk melakukan refocusing, perubahan alokasi, dan 148 penggunaan APBD, merupakan kebijakan yang penting dan diperlukan Pemerintah Daerah dalam penanganan dampak Covid-19.
Pandangan DPR Terhadap Materi Muatan mengenai “Kebijakan Di Bidang Perpajakan dan Kepabeanan” sebagaimana diatur dalam UU a quo a. Terkait dengan perpajakan, Kementerian keuangan telah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 34/PMK.04/2020 tentang Pemberian Fasilitas Kepabeanan Dan/Atau Cukai Serta Perpajakan Atas Impor Barang Untuk Keperluan Penanganan pandemi Covid-19 sebagaimana telah diubah dengan PMK 83/PMK.04/2020 dengan pertimbangan untuk percepatan pelayanan dalam pemberian fasilitas fiskal atas impor barang yang diperlukan dalarn penanganan pandemi Covid-19, perlu mengatur ketentuan mengenai perlakuan kepabeanan dan/atau cukai serta perpajakan atas impor barang yang diperlukan dalam penanganan pandemi Covid-19. Dalam PMK tersebut diatur Atas impor barang untuk keperluan penanganan pandemi Covid-19 diberikan fasilitas kepabeanan dan/atau cukai serta perpajakan berupa: a) pembebasan bea masuk dan/atau cukai; b) tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah; dan c) dibebaskan dari pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22. terhadap jenis barang yang tercantum dalam Lampiran Huruf A PMK tersebut yang dapat dilakukan melalui pusat logistik berikat.
Pengaturan Pasal 10 lampiran UU 2/2020 ini tidak bertentangan dengan Pasal 25 dan Pasal 26 UU Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan yang telah diubah dengan UU Nomor 17 Tahun 2006 (UU Kepabeanan). Pengaturan perubahan ketentuan Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26 ayat (1) UU Kepabeanan tersebut dalam rangka penanganan Covid-19 ini tentukan diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan tentu tidak dapat serta merta dianggap kesalahan karena anggapan Para Pemohon bahwa ketentuan dalam UU tidak dapat diubah melalui peraturan perundang-undangan yang tidak setara. Hal ini dilakukan karena apa yang terjadi dan butuh penanganan cepat tidak sesuai dan tidak termasuk dalam pengaturan dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26 ayat 149 (1) UU Kepabeanan. Barang-barang tersebut tidak termasuk barang yang dipergunakan untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak termasuk obat-obatan yang pengadaannya menggunakan anggaran keuangan negara.
Perubahan ketentuan Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26 ayat (1) UU Kepabeanan tersebut dengan UU perubahan tentu akan memerlukan waktu yang lama mengingat prosedur penyusunan UU beserta tahapan- tahapannya tidak dapat dilakukan dalam waktu singkat. Penentuan ini juga tentunya memperhatikan pengaturan yang ada dalam Pasal 25 ayat (3) UU Kepabeanan yang menyatakan “ Ketentuan tentang pembebasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri ” dan Pasal 26 ayat (3) UU Kepabeanan yang menyatakan “ Ketentuan mengenai pembebasan atau keringanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan Menteri”. Sejalan dengan adanya amanat pengaturan peraturan pelaksanaan UU sebagaimana dalam Pasal 25 ayat (3) dan Pasal 26 ayat (3) UU Kepabeanan, maka hal ini jelas ditujukan untuk simplifikasi proses dalam kondisi yang genting, yang sudah jelas tidak berarti bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 sebagaimana yang telah didalilkan oleh Para Pemohon Perkara 37.
Tidak adanya pernyataan Presiden bahwa negara dalam kondisi krisis sehingga tidak diperlukan adanya program stabilitasi perekonomian dan keuangan nasional termasuk pengurangan pajak dan bea masuk barang impor sebagaimana yang dinyatakan Para Pemohon Perkara 42, hal tersebut tidaklah benar. Dalam berbagai pidatonya, Presiden, DPR dan Menteri keuangan berulang kali menyampaikan kondisi perekonomian nasional dan kekhawatiran apabila tidak dilakukan upaya penanganan segera tanpa perlu menyatakan “Indonesia dalam keadaan krisis” pun keadaan tersebut dirasakan oleh masyarakat secara luas khususnya setelah adanya pandemi Covid-19. Pengurangan pajak dilakukan karena pajak dipungut dari warga negara dan kondisi perekonomian nasional sedang tidak dalam keadaan baik. Hal ini justru akan membebani masyarakat apabila tidak dilakukan pengurangan pajak. Selain itu, 150 kebijakan terkait bea masuk barang impor tidak diberlakukan pada seluruh objek bea masuk melainkan pada alat-alat kesehatan dan obat- obatan yang dibutuhkan oleh masyarakat dalam rangka penanganan pandemi Covid-19. Oleh karenanya, pengaturan dan pengawasan pengelolaan keuangan negara selama masa pandemi Covid-19 ini terlapor secara jelas kepada DPR dan dilaksanakan sesuai dengan asas- asas pengelolaan keuangan negara dan asas-asas umum penyelenggaraan pemerintahan yang baik.
Bahwa terkait dalil Para Pemohon Perkara 37 yang menyatakan bahwa pemberian keringanan pajak tanpa dibarengi dengan adanya larangan PHK tidaklah tepat. DPR menerangkan bahwa pelarangan PHK tidak dapat diberlakukan oleh Pemerintah mengingat kondisi keuangan setiap perusahaan tidak sama satu sama lain berikut besar skalanya. Keringanan pajak tersebut diberikan dengan harapan mampu menstimulus perkembangan perusahaan sehingga besarnyapun tidak akan sama bagi setiap perusahaan tergantung pada skala perusahaan dan bidang usaha perusahaan tersebut. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) mengatur bahwa Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan perintah. Dalam UU Ketenagakerjaan tersebut telah diatur mengenai pemutusan hubungan kerja dan adanya perjanjian kerja. Selain itu, ketenagakerjaan merupakan hubungan perdata antara pekerja dan pemberi kerja/pengusaha.
Bahwa terkait dalil Para Pemohon Perkara 37 mengenai pajak untuk perdagangan melalui sistem elektronik tidak memenuhi unsur kegentingan yang memaksa dan seharusnya diatur dalam undang- undang, DPR menerangkan bahwa:
Langkah-langkah pencegahan yang relatif ketat untuk membatasi meluasnya penyebaran pandemi Covid-19 menyebabkan turunnya permintaan atas produk nasional. Dampak selanjutnya, banyak perusahaan yang mengalami kesulitan cash flow sehingga menurunkan kemampuan dalam membayar pajak. Akibatnya, penerimaan perpajakan seperti PPh Badan mengalami penurunan 151 secara signifikan. Berkurangnya aktivitas perdagangan internasional secara signifikan juga mengakibatkan turunnya penerimaan pajak dari impor dan bea masuk. Selain itu, penerimaan perpajakan juga mengalami tekanan dari turunnya harga minyak dunia, bahan mineral, dan CPO yang merupakan komponen penting dalam menghitung PPh migas dan bea keluar. Kinerja penerimaan perpajakan diperkirakan akan melemah pada tahun 2020 dengan tax ratio berpotensi berada di bawah 9 persen, terendah dalam dua dekade terakhir.
Menghadapi kondisi perekonomian dan pandemi Covid-19, kebijakan dan strategi perpajakan jangka menengah ditujukan untuk mendorong percepatan pemulihan ekonomi nasional pasca pandemi Covid-19 dan meningkatkan pendapatan negara. Di tengah ketidakpastian akan akhir dari pandemi Covid-19, dukungan terhadap dunia usaha mutlak diperlukan dalam rangka memitigasi dampak ekonomi yang timbul dan mendorong percepatan pemulihan ekonomi nasional. Untuk itu, langkah reformasi perpajakan yang pertama dilakukan adalah dengan memberikan relaksasi perpajakan kepada dunia usaha. Relaksasi perpajakan tersebut dimaksudkan untuk mengurangi beban kegiatan usaha dan membantu meningkatkan kondisi cash flow perusahaan, khususnya selama dan pasca pendemi Covid-19. Perusahaan dapat menggunakan pengurangan atau pembebasan pajak untuk menutupi kenaikan harga bahan input maupun penurunan penjualan sehingga tetap beroperasi secara normal. Efek selanjutnya adalah perusahaan diharapkan tidak melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sehingga karyawan mempunyai gaji untuk memenuhi kebutuhan hidup. Pada gilirannya hal tersebut akan kembali menggairahkan perekonomian nasional, baik dari sisi produksi maupun sisi konsumsi. Melalui penurunan tarif PPh badan, pembebasan PPh impor dan bea masuk sektor tertentu, serta berbagai fasilitas perpajakan lainnya, Pemerintah juga bermaksud meningkatkan daya saing guna mendorong aktivitas investasi sehingga dapat memacu pertumbuhan ekonomi nasional. 152 3) Dalam rangka meningkatkan pendapatan negara, khususnya penerimaan perpajakan, Pemerintah melakukan upaya perluasan basis pemajakan dan perbaikan administrasi perpajakan. Penambahan objek pajak baru yang dipungut oleh Negara sangat diperlukan dalam rangka meningkatkan tax ratio . Sebagai tahap awal, Pemerintah akan memungut pajak atas Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) atau yang lebih popular dengan sebutan e-commerce . Dalam beberapa tahun terakhir, transaksi online berkembang begitu cepat dan berpotensi menggantikan pasar konvensional. Selain menjadi sumber pendapatan Negara, pemungutan pajak terhadap sektor PMSE juga dimaksudkan untuk memastikan terpenuhinya prinsip pemajakan yang berkeadilan ( fairness) antara semua pelaku usaha dan menciptakan level of playing field yang sama bagi pengusaha di dalam negeri untuk bertahan dan meningkatkan daya saingnya di tengah pandemi Covid-19. Selama ini, pelaku usaha ekonomi digital luar negeri mendapatkan penghasilan secara signifikan dari Indonesia tanpa perlu membayar pajak di Indonesia. Untuk itu, pemajakan atas PMSE diharapkan mampu menjadi sumber penting pendapatan negara mengingat nilai transaksinya yang besar di masa yang akan datang. Dengan demikian pengaturan obyek pajak baru dan mekanisme mekanisme peningkatan efektifitas pajak menjadi hal yang harus dilakukan untuk memenuhi kebutuhan belanja negara yang semakin tinggi dengan kondisi pemasukan negara yang tidak mencukupi.
Apabila pemajakan terhadap PMSE tidak segera diterapkan di Indonesia maka terjadi kekosongan hukum dan menjadi loopholes untuk penghindaran dan pengelakan pajak yang menyebabkan hilangnya potensi penerimaan pajak. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa akan memerlukan waktu yang cukup lama, apalagi di tengah pandemi Covid-19. Dengan demikian, kebijakan pemajakan PMSE dalam Lampiran UU 2/2020 sangat diperlukan sebagai dasar legal formal pemajakan atas PMSE. Dalam 153 pelaksanaan PMSE tersebut, Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 48/PMK.03/2020 tentang Tata Cara Penunjukan Pemungut, Pemungutan, Dan Penyetoran, Serta Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai Atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud Dan/Atau Jasa Kena Pajak Dari Luar Daerah Pabean Di Dalam Daerah Pabean Melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik. Peraturan tersebut tentunya tidak lepas dari pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009. Maka dengan diaturnya PSME dalam Perppu 1/2020 yang keberlakuannya setara dengan Undang-Undang dan telah ditetapkan sebagai Undang-Undang melalui UU 2/2020, maka dalil Para Pemohon Perkara 37 mengenai PSME harus diatur dalam undang-undang menjadi tidak beralasan menurut hukum.
Pandangan DPR Terhadap Keterbukaan Pemerintah Terhadap Pelaksanaan Kebijakan Keuangan Negara Sebagaimana Diatur dalam Ketentuan UU a quo .
Setiap penyelenggara negara wajib mengelola keuangan negara secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Pengelolaan dimaksud dalam UU Keuangan Negara mencakup keseluruhan kegiatan perencanaan, penguasaan, penggunaan, pengawasan, dan pertanggung-jawaban. Oleh karenanya, APBN, perubahan APBN, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN setiap tahun ditetapkan dengan undang-undang. Sedangkan APBD, perubahan APBD, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD setiap tahun ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Dengan ditetapkannya APBN, Perubahan APBN berikut pertanggungjawaban pelaksanaan APBN dalam Undang-Undang dan 154 APBD, perubahan APBD berikut pertangungjawaban pelaksanaan APBD dalam Peraturan daerah, maka berlakulah fiksi hukum dalam masyarakat. Asas Fiksi Hukum beranggapan bahwa ketika suatu peraturan perundang- undangan telah diundangkan maka pada saat itu setiap orang dianggap tahu ( presumption iures de iure ) dan ketentuan tersebut berlaku mengikat sehingga ketidaktahuan seseorang akan hukum tidak dapat membebaskan/memaafkannya dari tuntutan hukum ( ignorantia jurist non excusat ). Keberadaan asas fiksi hukum, telah dinormakan di dalam penjelasan Pasal 81 ketentuan UU 12/2011 yakni " Dengan diundangkannya Peraturan Perundang-undangan dalam lembaran resmi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini, setiap orang dianggap telah mengetahuinya ". Adapun lembaran resmi yang dimaksud di dalam ketentuan Pasal 81 terdiri dari 7 jenis yakni a. Lembaran Negara Republik Indonesia, b.Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, c.Berita Negara Republik Indonesia, d. Tambahan Berita Negara Republik Indonesia, e.Lembaran Daerah, f. Tambahan Lembaran Daerah, atau g. Berita Daerah.
Dalam rangka akuntabilitas pengelolaan keuangan negara menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota selaku pengguna anggaran/pengguna barang bertanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan yang ditetapkan dalam Undang-undang tentang APBN/Peraturan Daerah tentang APBD, dari segi manfaat/hasil ( outcome ). Sedangkan Pimpinan unit organisasi kementerian negara/lembaga bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan yang ditetapkan dalam undang-undang tentang APBN, demikian pula Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah tentang APBD, dari segi barang dan/atau jasa yang disediakan ( output ).
Oleh karena itu, dalam UU Perbendaharaan Negara diatur sanksi yang berlaku bagi menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota, serta Pimpinan unit organisasi kementerian negara/lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah yang terbukti melakukan penyimpangan kebijakan/kegiatan yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang tentang APBN/Peraturan Daerah tentang APBD. Ketentuan sanksi tersebut 155 dimaksudkan sebagai upaya preventif dan represif, serta berfungsi sebagai jaminan atas ditaatinya Undang-undang tentang APBN/Peraturan Daerah tentang APBD yang bersangkutan. Selain itu perlu ditegaskan prinsip yang berlaku universal bahwa barang siapa yang diberi wewenang untuk menerima, menyimpan dan membayar atau menyerahkan uang, surat berharga atau barang milik negara bertanggungjawab secara pribadi atas semua kekurangan yang terjadi dalam pengurusannya. Kewajiban untuk mengganti kerugian keuangan negara oleh para pengelola keuangan negara dimaksud merupakan unsur pengendalian intern yang andal.
Anggapan Para Pemohon Perkara 42 dan Para Pemohon Perkara 43 atas tidak terjadinya krisis perekonomian karena tidak adanya pernyataan dari Presiden terkait kondisi tersebut, hal ini sungguh tidak beralasan menurut hukum dan justru menunjukkan sikap ketidakpedulian Para Pemohon Perkara 42 dan Para Pemohon Perkara 43 atas kondisi negara dan kondisi yang ada dalam masyarakat secara umum. Dengan perkembangan teknologi dan akses berita yang mudah dan luas sekarang ini, informasi mengenai keuangan negara dapat diakses dengan mudah. Hal ini merupakan wujud transparansi pengelolaan keuangan negara karena keuangan negara menyangkut kepentingan publik.
Dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dijelaskan bahwa Informasi Publik adalah informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan/atau diterima oleh suatu badan publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara dan/atau penyelenggara dan penyelenggaraan badan publik lainnya yang sesuai dengan Undang-Undang ini serta informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan publik. Salah satu asas dalam UU tersebut adalah bahwa setiap Informasi Publik bersifat terbuka dan dapat diakses oleh setiap Pengguna Informasi Publik, kecuali terdapat ketentuan pengecualiannya. Informasi Publik yang dikecualikan bersifat rahasia sesuai dengan undang-undang, kepatutan, dan kepentingan umum didasarkan pada pengujian tentang konsekuensi yang timbul apabila suatu informasi diberikan kepada masyarakat serta setelah dipertimbangkan dengan saksama bahwa menutup Informasi Publik dapat melindungi 156 kepentingan yang lebih besar daripada membukanya atau sebaliknya. Dalam hal ini, keuangan negara merupakan informasi yang tidak dikecualikan dan dengan jelas diatur adanya mekanisme-mekanisme penyampaian informasi keuangan negara dalam UU Keuangan Negara.
Pandangan DPR terkait penambahan kewenangan terhadap OJK sebagaimana diatur dalam UU a quo a. Setidaknya terdapat tiga kewenangan OJK dalam UU a quo . Salah satu amanat dari UU 2/2020 seperti yang tercantum dalam Pasal 23 ayat (1) yaitu memberi kewenangan dan pelaksanaan kebijakan OJK untuk memberikan perintah tertulis kepada lembaga jasa keuangan melakukan penggabungan , peleburan, pengambilalihan, integrasi dan/atau konversi . Langkah tersebut dapat dilakukan apabila diperlukan untuk mengantisipasi krisis jasa keuangan yang dapat membahayakan perekonomian nasional. Dalam menghadapi kondisi penuh risiko saat ini akibat Covid-19 maka daya tahan lembaga jasa keuangan sangat dibutuhkan khususnya dari sisi permodalan. Sehingga, salah satu cara untuk memperkuat daya tahan lembaga jasa keuangan tersebut dilakukan dengan cara penggabungan atau merger. Aksi merger tersebut diperlukan karena terdapat risiko besar akibat Covid-19 yang mengganggu kemampuan pembayaran perusahaan jasa keuangan khususnya perbankan, meskipun saat ini perbankan tetap masih membayarkan bunga deposito kepada nasabah tepat waktu. Di sisi lain, kemampuan membayar debitur atau peminjam dalam kondisi tidak stabil karena perlambatan ekonomi di berbagai sektor. Sehingga, aksi merger tersebut diharapkan dapat memperkuat daya tahan perusahaan jasa keuangan.
Otoritas Jasa Keuangan mengeluarkan berbagai kebijakan stimulus untuk mengantisipasi dampak pandemi Covid-19 di bidang lembaga jasa keuangan. Sejauh ini, setidaknya OJK telah menerbitkan lima Peraturan OJK (POJK) pada 21 April 2020 sebagai tindak lanjut kewenangan OJK dalam pelaksanaan UU 2/2020 Kebijakan stimulus ini salah satunya adalah Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Corona Virus Disease 2019. 157 c. Kekhawatiran Para Pemohon Perkara 37 dan Para Pemohon Perkara 42 terkait potensi kesewenang-wenangan OJK dalam melaksanakan kewenangannya yang diberikan oleh UU 2/2020 tentunya telah diantisipasi oleh Pemerintah dan OJK dengan adanya pedoman pelaksanaan kewenangan-kewenangan tersebut. Selain itu, bagi OJK selaku pelaksana kewenangan yang diberikan oleh UU 2/2020 juga berlaku ketentuan Asas- Asas Umum Pemerintahan yang Baik sebagaimana diatur dalam UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dan UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
Pandangan DPR terkait pinjaman kepada LPS sebagaimana diatur dalam UU a quo a. Ketentuan Pasal 2 ayat (3) UU LPS, LPS merupakan lembaga yang independen. Sesuai ketentuan tersebut, telah jelas bahwa kedudukan LPS merupakan lembaga independen, bukan merupakan lembaga yang berada di bawah pemerintah. Pemberian kewenangan kepada LPS sebagaimana yang tercantum dalam Lampiran UU 2/2020, pada prinsipnya merupakan kewenangan yang telah diberikan oleh UU LPS, UU OJK , dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (UU PPKSK). Kewenangan yang diberikan kepada LPS sesuai Pasal 20 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 sifatnya lebih mempertegas guna mendukung pelaksanaan fungsi LPS dalam kondisi adanya pandemi Covid-19 dan/atau adanya ancaman perekonomian dan/atau stabilitas sistem keuangan. Kewenangan tersebut sudah jelas melekat dan seharusnya diberikan kepada LPS untuk dapat melaksanakan fungsi LPS sebagaimana diatur dalam UU LPS, yaitu menjamin simpanan nasabah penyimpan dan menjaga stabilitas sistem perbankan. Pemberian kewenangan bagi LPS untuk melaksanakan langkah-langkah penanganan permasalahan stabilitas sistem keuangan juga diiringi dengan wewenang bagi Pemerintah untuk mengatur lebih lanjut pelaksanaan kewenangan tersebut dalam Peraturan Pemerintah (vide Pasal 20 ayat (2) Lampira n UU 2/2020). Adanya atribusi dan mandat untuk melakukan pengaturan dalam peraturan perundang- undangan di bawah undang-undang dimaksudkan untuk memberikan koridor dalam pelaksanaan kewenangan LPS. Hal tersebut dimaksudkan 158 selain untuk memberikan kepastian hukum, juga untuk menghindari LPS menginterpretasikan kewenangan yang diberikan dalam Lampiran UU 2/2020 secara luas yang dapat mengakibatkan penyalahgunaan wewenang.
Berdasarkan UU LPS, fungsi LPS adalah menjamin simpanan nasabah di bank dan turut aktif memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai kewenangannya. Berdasaran ketentuan dalam Pasal 85 ayat (1) UU LPS, dalam hal modal LPS menjadi kurang dari modal awal, Pemerintah dengan persetujuan DPR menutup kekurangan tersebut. Modal awal LPS ditetapkan sekurang-kurangnya Rp 4 triliun dan sebesar-besarnya Rp 8 triliun.
UU 2/2020 memberikan kewenangan kepada LPS yang di antaranya adalah melakukan pemeriksaan penanganan dan peningkatan intensitas persiapan Penanganan Bank bersama OJK dan melakukan pemilihan cara penanganan Bank Selain Bank Sistemik yang dinyatakan sebagai Bank Gagal dengan tidak hanya mempertimbangkan perkiraan biaya yang paling rendah ( least cost test ), tetapi juga mempertimbangkan kondisi perekonomian, kompleksitas permasalahan perbankan, kebutuhan waktu penanganan, ketersediaan investor, dan/atau efektivitas penanganan permasalahan Bank.
Sehubungan dengan kewenangan tersebut, UU 2/2020 mendelegasikan pengaturan kewenangan dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kewenangan LPS dalam Rangka Melaksanakan Langkah-Langkah Penanganan Permasalahan Stabilitas Sistem Keuangan. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah tersebut, LPS melakukan pemeriksaan bersama dalam rangka persiapan Penanganan Bank dan peningkatan intensitas persiapan Penanganan Bank serta melakukan pemilihan cara penanganan Bank Selain Bank Sistemik yang dinyatakan sebagai Bank Gagal.
Berdasarkan kewenangan dimaksud, dalam hal terdapat Bank yang mengalami permasalahan solvabilitas, LPS melakukan pemeriksaan bersama dengan OJK untuk penanganan permasalahan solvabilitas Bank. Disamping itu, selama pemulihan ekonomi sebagai akibat pandemi Covid-19, LPS dapat melakukan penempatan dana pada Bank untuk 159 mengelola dan/atau meningkatkan likuiditas LPS dan/atau mengantisipasi dan/atau melakukan penanganan permasalahan Stabilitas Sistem Keuangan yang dapat menyebabkan terjadinya kegagalan Bank sebagai bagian dari tindakan antisipasi ( forward looking ) LPS untuk menjaga Stabilitas Sistem Keuangan.
Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan Nomor 3 Tahun 2020 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kewenangan Lembaga Penjamin Simpanan Dalam Rangka Melaksanakan Langkah-Langkah Penanganan Permasalahan Stabilitas Sistem Keuangan, juga mengatur bahwa untuk penanganan pandemi Covid-19 untuk mengelola dan/atau meningkatkan likuiditas LPS dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan, LPS dalam rangka pengambilan keputusan untuk melakukan penanganan Bank Selain Bank Sistemik yang dinyatakan sebagai Bank Gagal oleh OJK, tidak hanya mempertimbangkan perkiraan biaya yang paling rendah ( least cost test ) tetapi juga dengan mempertimbangkan kondisi perekonomian, kompleksitas permasalahan bank, kebutuhan waktu penanganan, ketersediaan investor, dan/atau efektivitas dalam rangka penanganan permasalahan bank.
Berdasarkan ketentuan dalam lampiran UU 2/2020, LPS dapat menaikkan nilai penjaminan simpanan dari saat ini Rp 2 miliar per rekening untuk menjamin adanya kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan. LPS juga bisa menambah pembiayaan dengan menerbitkan surat utang. Penambahan pendanaan ini bertujuan untuk membantu LPS apabila mengalami kesulitan likuiditas dalam menangani bank gagal. Pembiayaan dari surat utang merupakan salah satu opsi yang dapat dilakukan LPS untuk menjalankan fungsi penjaminan simpanan maupun penanganan bank berdampak sistemik. Selama ini, LPS mendapatkan pembiayaan dari premi yang dibayarkan dari bank sebesar 0,2 persen per tahun dari rata-rata simpanan. LPS juga bisa mendapatkan biaya dari penanganan bank gagal serta memperoleh pinjaman dari pemerintah apabila modal sudah berada di bawah Rp 4 triliun. 160 h. Risiko pembiayaan yang dikeluarkan untuk stabilitas kondisi perekonomian dan keuangan nasional salah satunya adalah kewajiban kontinjensi pemerintah pusat. Kewajiban kontinjensi merupakan kewajiban potensial bagi Pemerintah yang timbul akibat adanya peristiwa masa lalu dan keberadaannya menjadi pasti dengan terjadinya atau tidak terjadinya suatu peristiwa ( event ), yang tidak sepenuhnya. berada dalam kendali Pemerintah. Kewajiban kontinjensi bersumber dari pemberian dukungan dan/atau jaminan pemerintah atas proyek-proyek infrastruktur; program jaminan sosial nasional; kewajiban Pemerintah untuk menambahkan modal jika modal lembaga keuangan, yaitu Bank Indonesia (BI), Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), dan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI), di bawah jumlah yang diatur dalam Undang-Undang; dan tuntutan hukum kepada Pemerintah.
Berbagai opsi pendanaan tambahan ini diperlukan untuk memberikan kepercayaan kepada masyarakat sehingga persoalan solvabilitas bank dapat selesai dengan baik. Oleh karenanya, LPS harus menentramkan masyarakat bahwa dana mereka aman dan mampu memulihkan fungsi intermediasi perbankan. Dengan demikian, kekhawatiran yang didalilkan Para Pemohon Perkara 42 dalam permohonannya menjadi hal yang tidak benar karena dalam pelaksanaan pemberian pinjaman terhadap LPS jelas akan dikonsultasikan dengan DPR dan keberadaan pengaturan tersebut adalah salah satu upaya yang terbuka bagi pemerintah apabila kondisi perbankan nasional memburuk.
Pengaturan dalam pasal 20 ayat (1) huruf b UU 2/2020 yang menyatakan bahwa LPS diberikan kewenangan untuk melakukan tindakan (i) penjualan/repo SBN yang dimiliki kepada Bank Indonesia; (ii) penerbitan surat utang; (iii) pinjaman kepada pihak lain; dan/atau (iv) pinjaman kepada Pemerintah, dalam hal LPS diperkirakan akan mengalami kesulitan likuiditas untuk penanganan Bank Gagal, selain memberikan alternatif sumber pendanaan bagi LPS yang berlaku, baik untuk Bank Sistemik dan Bank Selain Bank Sistemik juga diharapkan dapat memberikan waktu yang cukup bagi LPS dalam mempersiapkan sumber dana tersebut sebelum terdapat Bank Gagal. Transaksi antara LPS dengan Bl sebagai salah satu langkah untuk pemenuhan likuiditas LPS 161 yang diperluas sehingga LPS selain dapat melakukan penjualan SBN miliknya, juga dapat melakukan transaksi Repo. Selain penjualan dan/atau repo kepada Bl, LPS juga mempunyai alternatif pendanaan berupa pinjaman kepada pihak lain yang dimaksudkan untuk menjaring pihak-pihak (dalam dan/atau luar negeri) yang mempunyai kemampuan pendanaan sehingga tersedia alternatif pendanaan yang lebih luas bagi LPS. Pinjaman LPS dari pihak lain merupakan salah satu opsi untuk menjaga likuiditas sehingga pemanfaatan dana tersebut untuk melaksanakan tugas dan fungsi LPS sebagai lembaga resolusi perbankan dalam hal terdapat Bank Gagal sesuai tata kelola yang diatur dalarn UU LPS.
Pandangan DPR terkait dalil Para Pemohon mengenai adanya hak imunitas bagi pelaksana kebijakan keuangan dan kerugian yang timbul dari pelaksanaan UU a quo bukan merupakan kerugian negara berdasarkan UU a quo adalah sebagai berikut a. Bahwa dukungan pembiayaan anggaran untuk penanganan Covid-19 yang besar adalah dalam rangka mendukung Program Pemulihan Ekonomi Nasional. Rincian kebutuhan anggaran ini berdampak pada sisi belanja dan juga pendapatan negara dalam APBN 2020. Biaya yang dikeluarkan pemerintah ini adalah biaya ekonomi yang bertujuan untuk penyelamatan negara dari krisis dan tidak bisa dianggap sebagai merupakan kerugian negara. APBN sebagai alat untuk mencapai tujuan negara, digunakan sepenuhnya untuk kepentingan rakyat. Ketika keadaan mendesak dan darurat, maka APBN sebagai alat tersebut dapat disesuaikan penggunaannya untuk menjadi penolong keselamatan negara. Biaya yang dikeluarkan ini disadari tidak akan sepenuhnya kembali dan juga hilangnya potensi penerimaan negara, namun di sisi lain telah timbul manfaat yang lebih besar yaitu pulihnya perekonomian dan dunia usaha sehingga dapat menyelamatkan ekonomi Indonesia. Sehingga biaya yang dikeluarkan tidak bisa disebut sebagai kerugian negara.
Biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah ini adalah biaya ekonomi yang bertujuan untuk penyelamatan negara dari krisis dan tidak bisa dianggap sebagai merupakan kerugian negara. APBN sebagai alat untuk mencapai 162 tujuan negara, digunakan sepenuhnya untuk kepentingan rakyat. Ketika keadaan mendesak dan darurat, maka APBN sebagai alat tersebut dapat disesuaikan penggunaanya untuk menjadi penolong keselamatan negara. Biaya yang dikeluarkan ini disadari tidak akan sepenuhnya kembali dan juga hilangnya penerimaan negara, namun di sisi lain telah menimbulkan manfaat yang lebih besar yaitu pulihnya perekonomian dan dunia usaha sehingga dapat menyelamatkan ekonomi Indonesia. Sehingga biaya yang dikeluarkan tidak bisa disebut sebagai kerugian negara. Penggunaan biaya ekonomi ini lah yang disebutkan dalam Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 yang dimaksudkan untuk penyelamatan perekonomian dari krisis sehingga bukan merupakan kerugian negara.
Mengutip Pendapat Dr. Dian Puji Nugraha Simatupang dalam tulisannya yang berjudul “ Ekuilibrium Kebijakan Keuangan Negara Menghadapi Keadaan Negara Darurat Akibat Penyebaran Covid-19 Dalam Peraturan _Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020”: _ “Biaya yang telah dialokasikan UU APBN dan/atau realisasi keuangan pemerintah untuk keadaan darurat tidaklah dapat dikategorikan sebagai kerugian negara dengan alasan: Pertama, biaya tersebut dialokasikan dalam UU APBN dan/atau laporan realisasi anggaran sebagai dasar hukum pengeluaran uang sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 2004 j.o. Pasal 27 ayat (4) UU Nomor 17 Tahun 2003; Kedua, biaya tersebut dikeluarkan untuk memenuhi kewajiban pemerintah untuk melindungi segenap tumpah darah rakyat Indonesia atau memenuhi asas kemanfaatan umum (doelmatigheid), dan untuk menghindari situasi dan keadaan yang lebih membahayakan keuangan negara dan perekonomian secara keseluruhan; Ketiga, biaya tersebut tetap diukur dalam satuan yang dikendalikan dan ditetapkan pedomannya oleh pemerintah dengan memperhatikan masukan dari lembaga terkait yang relevan untuk melakukan pengawasan intern. Menyangkut norma dalam Pasal 27 ayat (1) Perpu Nomor 1 Tahun 2020 hakikatnya dimaknai sebagai biaya sebagai sebab terjadinya keadaan darurat uang mempengaruhi stabilitas keuangan negara dan perekonomian nasional. Dalam hukum keuangan publik, hal demikian merupakan biaya resiko yang harus dibebankan ke dalam UU APBN untuk maksud mewujudkan tujuan negara, yaitu melindungi segenap tumpah darah Indonesia. Biaya dalam keadaan darurat merupakan konsekuensi logis dalam upaya mewujudkan tindakan kepemerintahan yang cepat dan luar biasa diperlukan dalam kondisi yang tidak sempurna. Kecepatan dan ketepatan pemerintahan dalam penanganan keadaan darurat Covid- 19 tidak dapat menggunakan parameter dan indikator yang biasa karena justru tidak prosesual atau tidak memenuhi ekuilibrium kebijakan keuangan publik jika suatu alas fakta yang berbeda menggunakan syarat prosedur yang normal atau kondisi yang 163 sempurna, padahal alas fakta jelas terdapat perbedaan dan situasi yang darurat.” d. Bahwa dalam memaknai ketentuan Pasal 27 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) Lampiran UU 2/2020 tidak dapat dimaknai secara parsial melainkan harus dimaknai sebagai satu kesatuan. Adanya suatu kerugian keuangan negara, penyalah gunaan kewenangan melalui suatu kebijakan maupun produk hukum lain yang dikeluarkan dalam rangka pelaksanaan UU 2/2020 tetap harus dibuktikan secara hukum dengan parameter yang tentunya tidak bisa disamakan dengan apa yang ada dalam keadaan normal. Adanya frasa “iktikad baik” dan “sesuai peraturan perundang- undangan” merupakan batasan koridor pelaksanaan kewenangan dalam penggunaan keuangan negara dan mengeluarkan suatu produk hukum dalam rangka pelaksanaan UU 2/2020.
Bahwa dalam perspektif hukum keuangan publik, kerugian negara adalah “ kekurangan uang, surat berharga, dan barang yang nyata dan pasti sebagai akibat perbuatan melawan hukum atau kelalaian ,” berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 22 UU Perbendaharaan Negara. Artinya disini kerugian Negara tersebut harus dibuktikan sebagai akibat dari suatu perbuatan yang melawan hukum atau karena kelalaian. Biaya yang telah dialokasikan UU APBN dan/atau realisasi keuangan pemerintah untuk keadaan darurat tidaklah dapat dikatagorikan sebagai kerugian negara dengan alasan: a) biaya tersebut dialokasikan dalam UU APBN dan/atau laporan realisasi anggaran sebagai dasar hukum pengeluaran uang sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) UU Perbendaharaan Negara jo . Pasal 27 ayat (4) UU Keuangan Negara; b) biaya tersebut dikeluarkan untuk memenuhi kewajiban pemerintah untuk melindungi segenap tumpah rakyat Indonesia atau memenuhi asas kemanfaatan umum ( doelmatigheid ), dan untuk menghindari situasi dan keadaan yang lebih membahayakan keuangan negara dan perekonomian nasional secara keseluruhan; c) biaya tersebut tetap diukur dalam satuan yang dikendalikan dan ditetapkan pedomannya oleh pemerintah dengan memperhatikan 164 masukan dari lembaga terkait yang relevan untuk melakukan pengawasan intern;
Bahwa di samping itu, makna kerugian negara juga berkaitan dengan administrasi pemerintahan karena dengan adanya Pasal 20 Undang- undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016, kerugian negara juga mempunyai relevansi dengan persoalan hukum administrasi negara dalam hal terjadinya kesalahan administrasi. Bahwa biaya dalam keadaan darurat merupakan konsekuensi logis dalam upaya mewujudkan tindakan kepemerintahan yang cepat dan luar biasa diperlukan dalam kondisi yang tidak sempurna. Kecepatan dan ketepatan pemerintahan dalam penanganan keadaan darurat akibat Covid-19 tidak dapat menggunakan parameter dan indikator yang biasa karena tidak justru tidak prosesual atau tidak memenuhi ekuilibrium kebijakan keuangan publik jika suatu alas fakta yang berbeda menggunakan syarat prosedur yang normal atau kondisi yang sempurna, padahal alas fakta jelas terdapat perbedaan dan situasi yang darurat. Di samping itu, biaya tersebut juga akan sampai pada muaranya untuk diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan juga hasilnya disampaikan kepada DPR untuk memperoleh persetujuan berkaitan dengan manfaatnya dalam LKPP. Dengan demikian, proses dan sistem pembiayaan tersebut tetap akuntabel dan memenuhi asas umum pemerintahan yang baik dalam suatu syarat prosedur yang darurat.
Bahwa kewenangan BPK sudah sangat tegas diatur dalam Pasal 23E ayat (1) UUD NRI 1945. Dalam ketentuan peraturan perundang-undangan maka BPK juga diatur dalam UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK sesuai dengan fungsi dan kewenangannya serta dikaitkan pula dengan Bab VIII UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang mengatur bahwa pelaksanaan APBN dan APBD diperiksa oleh BPK sebelum akhirnya Presiden/Kepala Daerah menyampaikan RUU/Perda tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBN/APBD kepada DPR/DPRD. Di samping itu, dalam UU a quo harus dipahami dan dicermati bahwa tidak ada satu pun pasal dalam UU a quo yang 165 mengecualikan atau menghalang-halangi fungsi BPK untuk melakukan audit.
Bahwa hal demikian kemudian dilaksanakan dengan iktikad baik bagi pejabat administrasi pemerintahan. Dalam hukum administrasi negara, iktikad baik lebih tepat menggunakan istilah asas-asas umum pemerintahan yang baik. Dalam hal ini pejabat administrasi pemerintahan menjalankan tugas dan wewenangnya sesuai dengan alas hukum dan alas fakta secara memadai, serta keputusan dan kebijakan ditetapkan dengan motivasi untuk melindungi kepentingan umum ( bestuurzorg ). Dengan kondisi demikian, tepat pelaksanaan tindakan kepemerintahan tersebut tidak menjadi objek keputusan tata usaha negara karena peraturan dasarnya telah berubah, tidak pada peraturan dalam keadaan negara normal. Dengan demikian, keputusan tersebut dikecualikan sebagai objek pengadilan tata usaha negara karena validitasnya didasarkan pada peraturan dasar tersendiri yang dibentuk dalam keadaan darurat.
Dalam hal masyarakat atau pihak lain mengajukan keberatan dalam keputusan administrasi pemerintahan dalam masa darurat, dapat menggunakan instrumen administrasi pemerintahan itu sendiri, yang kemudian dapat dilakukan penyelesaian menurut Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2016 tentang Pengenaan Sanksi Administrasi bagi Pejabat Administrasi Pemerintahan dan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2016 tentang Pengenaan Ganti Kerugian oleh Pejabat Bukan Bendahara. Dalam hal keberatan tersebut juga masih ada warga masyarakat dapat mengajukan pengaduan ke DPR dalam rangka pengawasan, sehingga DPR dapat menggunakan seluruh hak yang dimilikinya dalam rangka pengawasan eksternal terhadap tindakan administrasi pemerintahan.
Konsep iktikad baik tetap meletakkan pada aspek pengambilan keputusan dan kebijakan tidak mengandung unsur suap, paksaan/ancaman, dan tipuan guna menguntungkan secara melawan hukum. Akan tetapi, jika pengambilan keputusan dan kebijakan disebabkan adanya kesalahan administrasi, tuntutan pidana tidak dapat dilakukan. Konsep iktikad baik dalam konsep hukum administrasi negara menurut Safri Nugraha 166 dimaknai sebagai wujud asas umum pemerintahan yang baik di mana pelaksanaan pemerintahan dijalankan dengan prinsip akuntabilitas dan transparansi yang mendorong sistem pemerintahan berjalan dengan sistem yang jelas dan terukur. Dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik, pengelolaan dan pertanggungjawaban wewenang pemerintahan akan sejalan motivasinya yang layak. Hal ini sejalan dengan ketentuan dalam Pasal 50 KUHP disebutkan bahwa: “Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dipidana" Selain itu dalam pasal 51 ayat 1 KUHP disebutkan bahwa: “barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana”. k. Mengutip Pendapat Dr. Dian Puji Nugraha Simatupang dalam tulisannya yang berjudul “ Ekuilibrium Kebijakan Keuangan Negara Menghadapi __ Keadaan Negara Darurat Akibat Penyebaran Covid-19 Dalam Peraturan _Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020”: _ “ Adanya norma mengesampingkan tuntutan pidana, gugatan perdata, dan tata usaha negara harus dimaknai secara lengkap adanya syarat itikad baik atau asas-asas umum pemerintahan yang baik dalam hukum administrasi negara. Dengan demikian, ada kejelasan mengenai konsep hukum perdata, hukum administrasi, dan hukum pidana dalam konsep pelaksanaan pengambilan keputusan dan kebijakan dalam kondisi darurat agar pejabat administrasi pemerintahan tidak ragu, cepat, tepat, dan akuntabel untuk melindungi segenap tumpah darah Indonesia.” l. Bahwa ketentuan Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 juga bukan merupakan kekebalan absolut karena dalam ketentuan tersebut mereka terdapat parameter “dengan iktikad tidak baik” dan “tidak sesuai peraturan perundang-undangan”. Asas iktikad baik awalnya adalah suatu asas yang berlaku dibidang hukum perjanjian yang kini telah berkembang dan diterima sebagai asas di bidang-bidang atau cabang-cabang hukum yang lain, baik yang sesama keluarga hukum privat maupun yang merupakan bidang hukum publik. Dalam perkembangan hukum, terdapat prinsip- prinsip umum ataupun asas-asas umum yang dijadikan sebagai sumber hukum sekaligus asas yang mendasari pelaksanaan hukum itu sendiri. Oleh karenanya asas iktikad baik yang tadinya merupakan suatu asas 167 hukum khusus kini telah berkembang menjadi suatu asas hukum umum. Selain asas iktikad baik, juga ada frasa “tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Ini adalah 2 parameter yang bersifat kumulatif. Artinya semua pejabat pemerintah yang menjalankan ketentuan pasal tersebut harus berdasarkan 2 kriteria ini secara kumulatif.
Dalam hukum dikenal suatu adagium yang berbunyi “tiada hukum tanpa pengecualian“ atau dalam bahasa belanda dikenal dengan istilah “ geen recht zonder uit zondering ”. Pengecualian dapat dilakukan sepanjang tidak merugikan pihak-pihak yang terkena aturan tersebut karena hukum ditujukan untuk mengayomi dan mensejahterakan masyarakat ( Rosjidi Ranggawidjaja, Ilmu Perundang-undangan, CV Mandar Maju ). Dalam kaitannya dengan hak Presiden untuk mengeluarkan Perpu yang berisi langkah-langkah yang luar biasa dalam keadaan yang memang tidak normal maka meskipun dalam suatu Perpu ada materi-materi yang dipandang tidak lazim, mengenyampingkan, atau memberlakukan ketentuan bersifat pengecualian dari apa yang telah diatur maka pengecualian itu dapat saja diberlakukan atau dapat diadakan pengecualian sepanjang diatur batasannya dalam Perpu itu sendiri.
Adapun frasa “iktikad baik” adalah apabila dalam melaksanakan tugasnya tidak untuk mencari keuntungan bagi diri sendiri, keluarga, kelompok, dan/atau tindakan lain yang berindikasi korupsi, kolusi, dan/atau nepotisme. Bahwa apabila nantinya terbukti iktikad baik tersebut dilanggar maka sudah jelas konsekuensinya yaitu mereka harus ditempuh prosedur hukum karena tindakan tersebut mengatur unsur mens rea (adanya niat jahat atau iktikad tidak baik) dan actus reus (perbuatan yang melanggar). Dengan demikian asas equality before the law dan asas kepastian hukum dalam Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945 tetap terjamin.
UU 2/2020 tidak melindungi pejabat negara atau tidak memberikan imunitas kepada pejabat negara. Pasal a quo diperlukan karena para pihak tersebut merupakan orang-orang yang mengambil keputusan penting. Mengutip pandangan Misbakhun selaku Anggota Komisi XI DPR RI dalam program Indonesia Lawyers Club (ILC) 21 April 2020: “ Penanganan Covid -19 melalui physical distancing merupakan pukulan yang paling berat bagi masyarakat karena tidak dapat melakukan interaksi sosial dan merupakan pukulan berat bagi 168 perekonomian. Dampak dari pandemi Covid-19 yaitu faktor produksi tidak jalan sedangkan permintaan (demand) tetap ada. Kedalaman implikasi Covid-19 terhadap perekonomian sulit diukur karena puncak pandemi Covid-19 belum bisa dipastikan waktunya. Implikasi ekonomi yang ditimbulkan oleh Covid-19 terhadap perekonomian sangat dalam sehingga semua skenario perlu disiapkan untuk menghadapi situasi yang paling buruk. Sebelum pandemi Covid-19 ini terjadi struktur perekonomian Indonesia tidak dalam kondisi yang sehat. Hal ini karena perekonomian Indonesia sedang menghadapi dampak perang dagang antara China dengan Amerika. Permasalahannya dalam situasi seperti ini, negara dalam keadaan yang tidak normal. Dalam keadaan yang tidak normal tersebut jangan berhadap statistik ekonomi menjadi bagus. Sehingga menghadapi keadaan yang tidak normal tersebut juga harus diselesaikan dengan cara yang tidak normal. Pihak yang paling terdampak oleh pandemi Covid-19 adalah pekerja harian/pekerja lepas (informal) yang pemenuhan biaya hidupnya ditentukan oleh aktivitas harian. Jika tidak keluar maka mereka tidak dapat makan. Pihak yang terdampak selanjutnya adalah para pelaku UMKM dan kelompok kelas menengah. Kehadiran negara dibutuhkan baik oleh rakyat jelata, pelaku UMKM, masyarakat kelas menengah, maupun masyarakat kelas atas sehingga negara tidak boleh membeda-bedakan. Aktivitas sektor produksi yang menjadi berhenti mengakibatkan permintaan menjadi terbatas. Pemerintah harus memanfaatkan ruang ketatanegaraan yang tersedia untuk mengatasi situasi ini karena UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara mempunyai keterbatasan. Untuk memulihkan perekonomian akibat Covid-19, Pemerintah perlu dana untuk membiayai program- program pemerintah. Satu-satunya cara Pemerintah harus berhutang jika SAL dan dana lainnya tidak mencukupi. Hutang bukan tujuan, tetapi hanya sebagai cara agar dapat keluar dari masalah ini. Negara lain juga menggunakan cara yang sama. Anggaran yang disediakan Pemerintah untuk menangani pandemi Covid-19 sebesar 405 Triliun atau sekitar 2,75% dari PDB. Hal yang utama bukan negara berhutang tetapi hutang tersebut dimanfaatkan seperti menolong rakyat jelata.” p. Keberadaan Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 dimaksudkan untuk memberikan confidence bagi pihak yang dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya sesuai Lampiran UU 2/2020 telah didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal ini sejalan dengan prinsip hukum imunitas terbatas bagi negara dan/atau perwakilannya, bukan imunitas absolut sehingga melanggar asas keadilan dan kesamaan dalam hukum dan pemerintahan sebagaimana pemahaman Para Pemohon. Dari perspektif teori imunitas, perlindungan hukum yang diberikan dalam Pasal 27 ayat (2) termasuk kategori imunitas terbatas. Teori imunitas terbatas ini memberikan perlindungan/imunitas kepada negara dan perwakilannya terhadap upaya hukum pihak lain baik 169 secara pidana ataupun perdata, sepanjang tindakan yang dilakukan memenuhi syarat dalam hal ini harus beriktikad baik dan menjalankan kewenangan serta kebijakannya sesuai peraturan perundang-undangan. Secara a contrario , imunitas tersebut gugur apabila perbuatan yang dilakukan didasarkan atau terdapat niat jahat ( mens rea ) dan perbuatannya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Sampai dengan saat ini sudah ada UU lain yang mengatur perlindungan hukum kepada otoritas yang berwenang dalam pengambilan kebijakan, contohnya: ● Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan. Dalam Pasal 48 ayat (1) UU disebutkan bahwa kecuali terdapat unsur penyalahgunaan wewenang, anggota KSSK dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, BI, OJK dan LPS tidak dapat dituntut, baik secara perdata maupun pidana atas pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang berdasarkan Undang-Undang PPSK. Hal ini untuk melindungi secara hukum kebijakan yang diambil dalam kondisi krisis yang tentu saja tidak bias disamakan dengan kondisi normal. ● Pasal 22 UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak menyebutkan bahwa Menteri, Wakil Menteri, pegawai Kementerian Keuangan, dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengampunan Pajak, tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut, baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Adapun itikad baik dijelaskan apabila dalam melaksanakan tugasnya tidak untuk mencari keuntungan bagi diri sendiri, keluarga, kelompok, dan/atau tindakan lain yang berindikasi korupsi, kolusi, dan/atau nepotisme. ● UU Bank Indonesia disebutkan dalam Pasal 45 yang berbunyi “Gubernur, Deputi Gubernur, dan/atau pejabat Bank Indonesia tidak dapat dihukum karena telah mengambil keputusan atau kebijakan yang sejalan dengan tugas dan wewenangnya sebagaimana 170 dimaksud dalam undang-undang ini sepanjang dilakukan dengan iktikad baik”. ● UU Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman dalam Pasal 10 menyatakan bahwa “Dalam rangka pelaksanaan tugas dan wewenangnya, Ombudsman tidak dapat ditangkap, ditahan, diinterogasi, dituntut, atau digugat di muka pengadilan”. ● UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat dalam Pasal 16 menyatakan bahwa Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien dalam sidang pengadilan. ● UU MD3 Perlindungan hukum bagi anggota DPR disebutkan dalam Pasal 224 UU ayat (1) yaitu: Anggota DPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis di dalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPR. Oleh karena itu pengaturan dalam UU mengenai perlindungan hukum bagi pihak yang menjalankan UU bukanlah hal yang baru, dan dapat dibenarkan selama ada pengaturan mengenai batasan atau kriteria tertentu.
Dengan demikian, perlindungan hukum dalam ketentuan Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 diperlukan untuk memberikan kepastian hukum kepada para pengambil kebijakan bahwa tindakan dan keputusan yang diambil dengan iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan akan dilindungi oleh hukum. Dengan demikian tidak ada hak warga negara yang ditangguhkan dalam ketentuan Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020. Bahkan Pasal 49 UU PTUN telah memberikan imunitas atau perlindungan hukum dari sengketa di peradilan tata usaha negara atas tindakan dan/atau keputusan pejabat tata usaha negara yang dilakukan dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan Pasal 49 UU PTUN ini menjadi landasan untuk diadopsi dalam Pasal 27 ayat (3) UU 2/2020. Sebagaimana Majelis Hakim maklumi, ketentuan perlindungan hukum pernah beberapa kali dilakukan pengujian 171 konstitusionalitasnya di Mahkamah Konstitusi (UU Advokat dan UU Pengampunan Pajak). Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi terdapat pertimbangan sebagai berikut: “ pihak-pihak yang disebut dalam ketentuan a quo memang sudah seharusnya tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut, baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada itikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” Sebagai best practices , standar internasional yang ditetapkan oleh lembaga keuangan internasional ( Financial Stability Board, Basel Committee on Banking Supervision , dan IMF) juga menetapkan adanya pengaturan perlindungan hukum bagi pengambil dan pelaksana kebijakan di bidang sektor keuangan.
Pandangan DPR terkait ketentuan UU yang dinyatakan tidak berlaku sepanjang keterkaitan dengan kebijakan keuangan negara untuk penanganan penyebaran Covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan berdasarkan Perppu sebagaimana dimaksud dalam UU a quo .
Bahwa pengaturan Pasal 28 lampiran UU 2/2020, telah sesuai dengan ketentuan Lampiran 137 UU 12/2011 yang mengatur bahwa pada umumnya Ketentuan Penutup memuat ketentuan mengenai:
penunjukan organ atau alat kelengkapan yang melaksanakan Peraturan Perundang-undangan;
nama singkat Peraturan Perundang-undangan;
status Peraturan Perundang-undangan yang sudah ada; dan
saat mulai berlaku Peraturan Perundang-undangan.
Bahwa memang benar bahwa sudah ada beberapa undang-undang yang mungkin dapat menjadi payung hukum penyelesaian masalah yang timbul akibat COVID-19. Hanya saja tidak pula dapat disalahkan, apabila dalam pandangan subjektif Presiden, undang-undang yang telah ada tersebut dianggap belum mampu menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi. Kondisi serupa juga pernah terjadi ketika Presiden menerbitkan beberapa Perppu yang lahir karena tidak memadainya Peraturan Peundang- undangan yang ada, yang kemudian menyimpangi/menyatakan tidak berlaku sebagian materi dari beberapa undang-undang misalnya Perppu 172 Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan menyatakan beberapa ketentuan dalam UU tentang Perbankan dan Perpajakan tidak berlaku sepanjang berkaitan dengan pelaksanaan akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan berdasarkan Perppu tersebut.
Bahwa dalam beberapa undang-undang yang ada tersebut memang telah mengatur berbagai dasar kebijakan keuangan negara materi muatan undang-undang yang sudah ada belum mengatur mengenai kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan untuk penanganan pandemi Covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Selain itu, beberapa ketentuan yang terdapat dalam undang- undang tersebut hanya dapat diberlakukan jika negara dalam keadaan normal, bukan dalam kegentingan/keadaan yang memaksa. Oleh karena itu, Pasal 28 lampiran UU 2/2020 ini tidak memberlakukan beberapa ketentuan dalam undang-undang tersebut sepanjang berkaitan dengan kebijakan keuangan negara untuk penanganan penyebaran Covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan berdasarkan UU 2/2020.
Bahwa tidak diberlakukannya ketentuan undang-undang yang disebutkan dalam Pasal 28 lampiran UU 2/2020 selama pemberlakuan UU 2/2020 dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaan peraturan perundang-undangan dan tidak terjadi disharmoni pengaturan karena adanya dua pengaturan yang berbeda yang mengatur hal yang sama.
Pandangan DPR terkait penyesuaian mandatory spending dana desa a. Bahwa terkait dengan permasalahan dana desa yang disampaikan oleh Para Pemohon Perkara 47, ketentuan Pasal 1 ayat (4) huruf b Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020 (PP 72/2020) tetap menetapkan adanya anggaran Transfer ke Daerah dan Dana Desa sebesar Rp763.925.645.050.000 (tujuh ratus enam puluh tiga 173 triliun sembilan ratus dua puluh lima miliar enam ratus empat puluh lima juta lima puluh ribu rupiah), termasuk tambahan belanja untuk penanganan pandemi Covid-19 sebesar Rp5.000.000.000.000 (lima triliun rupiah). Ketentuan Pasal 3 ayat (4) PP 72/2020 menyatakan bahwa rincian anggaran transfer ke daerah dan dana desa tersebut tercantum dalam Lampiran VI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari PP 72/2020. Dalam Lampiran VI.15 mengenai Rincian Dana Desa Menurut Provinsi/Kabupaten/Kota Tahun Anggaran 2020 menyatakan bahwa seluruh daerah kabupaten Para Pemohon Perkara 47 tetap mendapatkan alokasi dana desa. Berdasarkan ketentuan tersebut maka kekhawatiran Para Pemohon Perkara 47 tidak beralasan menurut hukum karena ketentuan Pasal a quo tidak menyebabkan dana desa dihentikan dan desa Para Pemohon tetap mendapatkan alokasi dari anggaran belanja negara.
Bahwa alokasi dari APBN merupakan salah satu sumber pendapatan desa. Berdasarkan ketentuan Pasal 72 ayat (1) UU Desa pendapatan desa bersumber dari pendapatan asli desa, alokasi APBN, bagian dari hasil pajak daerah dan retribusi daerah kabupaten/kota, alokasi dana desa yang merupakan bagian dari dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota, bantuan keuangan dari APBD Provinsi dan APBD Kabupaten/Kota, hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga, dan lain-lain pendapatan desa yang sah. Dengan banyak sumber pendapatan desa tersebut, maka Para Pemohon tidak hanya mengandalkan APBN dan memaksimalkan sumber-sumber pendapatan desa lainnya. Dengan upaya yang maksimal tersebut maka pembangunan yang sudah dicanangkan oleh para Pemohon dan perangkat desa dalam musrenbangdes dan RPJM desa untuk kesejahteraan dan kemakmuran warga desa Para Pemohon tetap dapat terealisasikan.
Bahwa pemohon perkara 47 telah salah dalam mengartikan Pasal 28 angka 8 UU 2/2020, karena Dana Desa tidak dihentikan paska disahkannya UU 2/2020, hal ini tercantum dalam Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2020 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 174 2020 (Permendes 7/2020), yang pada bagian menimbangnya menyatakan: “bahwa berdasarkan Undang–Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang–Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disesase 2019 (COVID-19) dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan menjadi Undang–Undang, penggunaan Dana Desa dapat digunakan untuk bantuan langsung tunai kepada miskin di Desa” Pada Pasal 8A ayat (1) Permendes 7/2020 disebutkan bahwa “Bencana Non-alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf d merupakan bencana yang terjadi sebagai akibat kejadian luar biasa berupa penyebaran penyakit yang mengancam dan/atau menimpa warga _masyarakat secara luas atau skala besar, meliputi:
Pandemi Corona_ Virus Diseases 2019” dan pada Pasal 8A ayat (2) Permendes 7/2020 disebutkan bahwa “Penanganan dampak Pandemi Corona Virus Diseases 2019 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat berupa BLT Dana Desa kepada keluarga miskin di Desa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang–undangan. d. Bahwa ketentuan Pasal 28 angka 8 Lampiran UU 2/2020 dimaksudkan untuk menyatakan tidak berlakunya ketentuan mandatory spending alokasi Dana Desa sebesar 10% dari belanja pemerintah pusat, sebagaimana yang disebutkan dalam Penjelasan Pasal 72 ayat (2) UU Desa. Ketidakberlakuan ketentuan mandatory spending dana desa bersifat temporer. Dengan adanya penyesuaian mandatory spending dana desa, Pemerintah dapat memiliki fleksibilitas dalam melakukan refocusing belanja untuk mencegah, menangani, dan memulihkan dampak pandemi Covid-19. Dengan adanya mandat ini maka untuk menjamin fleksibilitas penggunaan dana desa dalam rangka sepanjang masih terdapat kebutuhan untuk penanganan Covid-19 di daerah/desa maka Pasal 72 ayat (2) harus dinyatakan tidak berlaku sehingga tidak terdapat dualisme aturan. Penyesuaian mandatory spending Dana Desa tersebut dimaksudkan agar pelaksanaan program Pemerintah dapat dilakukan lebih efektif, efisien, dan tepat sasaran mengingat penyebaran dampak pandemi Covid-19 bersifat masif di seluruh wilayah Indonesia. 175 Dengan demikian Dana Desa tidak dihentikan namun dialihkan dalam bentuk Bantuan Langsung Tunai dan program–program Dana Desa dibuat skala prioritas yang bertujuan untuk kesejahteraan dan kemakmuran warga desa bukan untuk pembangunan infrastuktur saja. E. Keterangan Tambahan Terkait dengan pertanyaan Yang Mulia Hakim Mahkamah Konstitusi mengenai mekanisme pembahasan perppu untuk mencapai persetujuan atau pencabutan Perppu, DPR RI menerangkan sebagai berikut:
Bahwa sebagaimana disampaikan oleh Presiden yang diwakili oleh Menteri Keuangan, pembahasan penetapan Perppu menjadi Undang- Undang/pencabutan perppu Pasal 71 UU 12/2011 diatur: (1) Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dilaksanakan melalui mekanisme yang sama dengan pembahasan Rancangan Undang-Undang. (2) Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang dilaksanakan melalui mekanisme khusus yang dikecualikan dari mekanisme pembahasan Rancangan Undang-Undang. (3) Ketentuan mengenai mekanisme khusus sebagaimana dimaksud _pada ayat (2) dilaksanakan dengan tata cara sebagai berikut: _ a. Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang diajukan oleh DPR atau _Presiden; _ b. Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan sebagaimana dimaksud dalam huruf a diajukan pada saat Rapat Paripurna DPR tidak memberikan persetujuan atas Peraturan Pemerintah _Pengganti Undang-Undang yang diajukan oleh Presiden; dan _ c. Pengambilan keputusan persetujuan terhadap Rancangan Undang- Undang tentang Pencabutan sebagaimana dimaksud dalam huruf b dilaksanakan dalam Rapat Paripurna DPR yang sama dengan rapat paripurna penetapan tidak memberikan persetujuan atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut. 2. Bahwa berdasarkan ketentuan tersebut diatas, pembahasan suatu rancangan Undang-Undang dilakukan melalui 2 (dua) tingkat pembicaraan (vide Pasal 66 UU 12/2011) yang dilakukan oleh DPR bersama Presiden atau menteri yang ditugasi (vide Pasal 65 ayat (1) UU 12/2011) yang diuraikan lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 67 - Pasal 70 UU 12/2011). 176 3. Bahwa pembicaraan tingkat I dilakukan dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat Badan Legislasi, rapat Badan Anggaran, atau rapat Panitia Khusus dengan kegiatan pengantar musyawarah, pembahasan daftar inventarisasi masalah, dan penyampaian pendapat mini.
Bahwa dalam pembahasan tingkat I tersebut Pemerintah selaku pihak yang mengajukan RUU Penetapan Perppu menjadi Undang-Undang dan juga pihak yang mengeluarkan Perppu tersebut harus menjelaskan kepada DPR RI dalam rapat pembahasan tingkat I yang pelaksanaannya telah dijelaskan oleh DPR RI dalam keterangan ini. Penjelasan tersebutlah yang menjadi pertimbangan DPR RI untuk menyetujui atau tidak menyetujui Perppu tersebut menjadi Undang-Undang.
Bahwa sebagaimana telah disampaikan, Berdasarkan Pasal 71 huruf d dan Pasal 249 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 (UU MD3) bahwa DPD ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. RUU Penetapan Perppu 1/2020 menjadi UU tidak memiliki pertautan dengan bidang yang mengharuskan keikutsertaan DPD dalam pembahasannya melainkan mengenai DPR memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan, sehingga DPD tidak memiliki kewenangan untuk ikut membahas RUU tersebut.
Bahwa hal ini juga telah jelas sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang mengatur bahwa Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan yang berikut. Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut. Dalam ketentuan tersebut, tidak diatur bahwa dalam hal penetapan Perppu menjadi Undang-Undang dapat atau bahkan harus mengikutsertakan DPD dalam pembahasannya. Sebaliknya, mengikutsertakan DPD justru menjadi suatu hal yang tidak 177 sesuai dengan apa yang diatur dalam UUD NRI Tahun 1945, UU 12/2011 dan UU MD3. Terkait dengan pertanyaan Yang Mulia Hakim Mahkamah Konstitusi mengenai penetapan Perppu bukan pada “masa sidang yang berikut”, DPR RI menerangkan sebagai berikut: Bahwa sejauh ini DPR belum pernah melakukan penetapan perppu yang dalam masa sidang yang sama atau bukan pada “masa sidang yang berikut”. Setelah dikeluarkannya Perppu 1/2020, Presiden juga telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang yang disahkan pada 4 Mei 2020 dan ditetapkan sebagai Undang-Undang melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang- Undang menjadi Undang-Undang yang disahkan dan diundangkan pada 11 Agustus 2020 pada masa sidang ketiga tahun 2020 yang terhitung pada 15 Juni 2020 hingga 13 Agustus 2020. Sehingga penetapan Perppu 1/2020 menjadi Undang-Undang adalah yang pertama kali dilakukan dengan tidak memenuhi ketentuan “masa sidang yang berikut” mengingat urgensi penetapannya yang harus dilakukan dengan segera. Terkait dengan pertanyaan Yang Mulia Hakim Mahkamah Konstitusi mengenai pembahasan RAPBN 2021 yang kemudian disepakati dalam paripurna pada 29 September 2020, DPR RI menerangkan:
Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 13 ayat (1) UU Keuangan Negara, Pemerintah Pusat menyampaikan pokok-pokok kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro tahun anggaran berikutnya kepada Dewan Perwakilan Rakyat selambat-lambatnya pertengahan bulan Mei tahun berjalan. Pasal 15 ayat (1) UU keuangan Negara mengatur bahwa 178 Pemerintah Pusat mengajukan Rancangan Undang-undang tentang APBN, disertai nota keuangan dan dokumen-dokumen pendukungnya kepada Dewan Perwakilan Rakyat pada bulan Agustus tahun sebelumnya. Dan pada ketentuan Pasal 15 ayat (4) dan ayat (6) UU keuangan Negara diatur Pengambilan keputusan oleh Dewan Perwakilan Rakyat mengenai Rancangan Undangundang tentang APBN dilakukan selambat-lambatnya 2 (dua) bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan dilaksanakan dan apabila DPR tidak menyetujui Rancangan Undang-undang tersebut, Pemerintah Pusat dapat melakukan pengeluaran setinggi-tingginya sebesar angka APBN tahun anggaran sebelumnya.
Bahwa penyampaian pokok-pokok kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro tahun anggaran tahun 2021 telah disampaikan oleh pemerintah dalam rapat paripurna DPR RI pada dalam rangkaian rapat paripurna tertanggal 12 Mei 2020, 14 Juli 2020, dan 14 Agustus 2020 (Lampiran II, Lampiran III dan Lampiran IV). Sebagai tambahan informasi, pada 25 September 2020, Kemenkeu selaku yang mewakili Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyepakati Rancangan Undang- Undang (RUU) Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2021 di Banggar dan Pemerintah bersama DPR telah menyetujui defisit anggaran sebesar 5,7% dari PDB pada Rapat Paripurna DPR tanggal 29 September 2020.
Pembahasan RUU APBN 2021 dilakukan di banggar yang pelaksanaannya disampaikan risalahnya (lampiran V, lampiran VI, lampiran VII) F. Risalah Pembahasan UU 2/2020 Risalah Pembahasan UU 2/2020 ini terlampir berbagai dokumen pendukung mengenai pembahasan UU 2/2020 sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Keterangan DPR ini. III. Petitum DPR Bahwa berdasarkan dalil-dalil tersebut di atas, DPR memohon agar kiranya Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Konstitusi memberikan amar putusan sebagai berikut: 179 1. Menyatakan bahwa Para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) sehingga permohonan a quo harus dinyatakan tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard );
Menolak permohonan a quo untuk seluruhnya;
Menerima keterangan DPR RI secara keseluruhan;
Menyatakan bahwa proses pembentukan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134; Tambahan Lembaran Negara Republlik Indonesia Nomor 6516) telah sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan telah memenuhi ketentuan pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana yang diatur dalam Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 183, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6398);
Menyatakan Judul, Pasal 1 ayat (3); Pasal 1 ayat (5); Pasal 2; Pasal 3 ayat (2); Pasal 4 ayat (1) huruf a; Pasal 4 ayat (1) huruf d; Pasal 4 ayat (2); Pasal 5 ayat (1) huruf a; Pasal 5 ayat (1) huruf b; Pasal 6; Pasal 7; Pasal 9; Pasal 10 ayat (1); Pasal 10 ayat (2); Pasal 11 ayat (3); Pasal 12 ayat (1);
Pengujian Materiil dan Formil Lampiran Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2 ...
Relevan terhadap
ayat (1) huruf b angka (1); Pasal 20 ayat (1) huruf b angka (3); Pasal 20 ayat (1) huruf c; Pasal 22 ayat (1); Pasal 23 ayat (1) huruf a; Pasal 24 ayat (1); Pasal 25; Pasal 26 ayat (1); Pasal 27; Pasal 28 dan Pasal 29 Lampiran UU 2/2020 yang berketentuan sebagai berikut: Judul Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang. Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 1 ayat (5) (3) Untuk melaksanakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) _sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dalam rangka: _ a. _penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID- 191; _ dan/atau b. menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan, perlu __ menetapkan kebijakan keuangan negara dan kebijakan stabilitas sistem keuangan (5) Kebijakan stabilitas sistem keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi kebijakan untuk penanganan permasalahan lembaga keuangan yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Pasal 2 (1) Dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara sebagaimana _dimaksud dalam Pasal 1 ayat (4), Pemerintah berwenang untuk: _ a. menetapkan batasan defisit anggaran, dengan ketentuan sebagai _berikut: _ 1. melampaui 3% (tiga persen) dari Produk Domestik Bruto (PDB) selama masa penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID- 19) dan/atau untuk menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan paling _lama sampai dengan berakhirnya Tahun Anggaran 2022; _ 2. sejak Tahun Anggaran 2023 besaran defisit akan kembali menjadi paling tinggi sebesar 3% (tiga persen) dari Produk Domestik Bruto _(PDB); dan
penyesuaian besaran defisit sebagaimana dimaksud_ pada angka 1 menjadi sebagaimana dimaksud pada angka 2 dilakukan secara bertahap. 3. Penyesuaian besaran defisit sebagaimana dimaksud pada angka 1 menjadi sebagaimana dimakud pada angka 2 dilakukan secara bertahap. b. melakukan penyesuaian besaran belanja wajib (mandatory spending) sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang- _undangan terkait; _ 20 c. melakukan pergeseran anggaran antar unit organisasi, antarfungsi, _dan/atau antarprogram; _ d. melakukan tindakan yang berakibat pengeluaran atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yang anggaran untuk membiayai pengeluaran tersebut belum tersedia atau tidak cukup tersedia, serta menentukan proses dan metode pengadaan _barang/jasa; _ _e. menggunakan anggaran yang bersumber dari: _ _1. Sisa Anggaran Lebih (SAL); _ _2. dana abadi dan akumulasi dana abadipendidikan; _ _3. dana yang dikuasai negara dengan kriteriatertentu; _ _4. dana yang dikelola oleh Badan Layanan Umum; dan/atau _ 5. dana yang berasal dari pengurangan PenyertaanModal Negara _pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN); _ f. menerbitkan Surat Utang Negara dan/atau Surat Berharga Syariah Negara dengan tujuan tertentu khususnya dalam rangka pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-l9) untuk dapat dibeli oleh Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), investor korporasi, _dan/atau investor ritel; _ g. menetapkan sumber-sumber pembiayaan Anggaran yang berasal _dari dalarn dan/atau luar negeri; _ _h. memberikan pinjaman kepada Lembaga PenjaminSimpanan; _ i. melakukan pengutamaan penggunaan alokasi anggaran untuk kegiatan tertentu (refoansing), penyesuaian alokasi, dan/atau pemotongan/penundaan penyaluran anggaran Transfer ke Daerah _dan Dana Desa, dengan kriteria tertentu; _ _j. memberikan hibah kepada Pemerintah Daerah; dan/atau _ k. melakukan penyederhanaan mekanisme dan simplifikasi dokumen di bidang keuangan negara (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kebijakan keuangan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. Pasal 3 ayat (2) Ketentuan mengenai pengutamaan penggunaan alokasi anggaran untuk kegiatan tertentu (refocusing), perubahan alokasi, dan penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri. Pasal 4 ayat (1) huruf a dan huruf d (1) Kebijakan di bidang perpajakan sebagaimana dimaksuddalam Pasal 1 _ayat (4) meliputi: _ a. penyesuaian tarif Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan dalam negeri _dan bentuk usaha tetap; _ b. _…; _ c. _…; _ d. pemberian kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk memberikan fasilitas kepabeanan berupapembebasan atau keringanan bea masuk dalam rangka penanganan kondisi darurat serta pemulihan dan penguatan ekonomi nasional. 21 Pasal 4 ayat (2) (2) Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan perdagangan yang transaksinya dilakukan melalui serangkaian perangkat dan prosedur elektronik. Pasal 5 ayat (1) huruf a dan huruf b (1) Penyesuaian tarif Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap sebagaimanadimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a berupa penurunan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf b Undang-Undang _mengenai Pajak Penghasilan menjadi: _ a. sebesar 22% (dua puluh dua persen) yang berlaku pada Tahun Pajak _2020 dan Tahun Pajak 2021; dan _ b. sebesar 20% (dua puluh persen) yang mulai berlaku pada Tahun Pajak 2022. Pasal 6 (1) Perlakuan perpajakan dalam kegiatan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) _huruf b berupa: _ a. pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean melalui _PerdaganganMelalui Sistem Elektronik (PMSE); dan _ b. pengenaan Pajak Penghasilan atau pajak transaksi elektronik atas kegiatan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) yang dilakukan oleh subjek pajak luar negeri yang memenuhi ketentuan kehadiran ekonomi signifikan (2) Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a mengikuti ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. (3) Pajak Pertambahan Nilai yang dikenakan atas pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujuddan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean didalam Daerah Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipungut, disetorkan, dan dilaporkan oleh pedagang luar negeri, penyedia jasa luar negeri, Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) luar negeri, dan/atau Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) dalamnegeri, yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan. (4) Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan pelaku usaha penyedia sarana komunikasi elektronik yang digunakan untuk transaksi perdagangan. (5) Pedagang luar negeri atau penyedia jasa luar negerisebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan orangpribadi atau badan yang bertempat tinggal ataubertempat kedudukan di luar Daerah Pabean 22 yangmelakukan transaksi dengan pembeli barang ataupenerima jasa di dalam Daerah Pabean melalui system elektronik. (6) Pedagang luar negeri, penyedia jasa luar negeri, dan/atau Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) luar negeri yang memenuhi ketentuan kehadiran ekonomi signifikan dapat diperlakukan sebagai bentuk usaha tetap dan dikenakan Pajak Penghasilan. (7) Ketentuan kehadiran ekonomi signifikan sebagaimana dimaksud pada _ayat (6) berupa: _ a. peredaran bruto konsolidasi grup usaha sampai dengan jumlah _tertentu; _ _b. penjualan di Indonesia sampai dengan jumlah tertentu; dan/atau _ c. pengguna aktif media digital di Indonesia sampaidengan jumlah tertentu. (8) Dalam hal penetapan sebagai bentuk usaha tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tidak dapat dilakukan karena penerapan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak, pedagang luar negeri, penyedia jasa luar negeri, dan/atau Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) luar negeri yang memenuhi ketentuan kehadiran ekonomi signifikan, dikenakan pajak transaksi elektronik. (9) Pajak transaksi elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dikenakan atas transaksi penjualan barangdan/atau jasa dari luar Indonesia melalui PerdaganganMelalui Sistem Elektronik (PMSE) kepada pembeli atau pengguna di Indonesia yang dilakukan oleh subjekpajak luar negeri, baik secara langsung maupun melalui Penyelenggara Perdagangan Melalui SistemElektronik (PPMSE) luar negeri. (10) Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) atau pajak transaksi elektronik sebagaimana dimaksudpada ayat (8) dibayar dan dilaporkan oleh pedagang luar negeri, penyedia jasa luar negeri, dan/atau Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) luar negeri. (11) Pedagang luar negeri, penyedia jasa luar negeri,dan/atau Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) luar negeri sebagaimana dimaksudpada ayat (3) dan ayat (10), dapat menunjuk perwakilan yang berkedudukan di Indonesia untuk memungut, menyetorkan, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilaiyang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan/atau untuk memenuhi kewajiban Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) atau pajak transaksi elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (8). (12) Besarnya tarif, dasar pengenaan, dan tata cara penghitungan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan pajak transaksi elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (8) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. _(13) Ketentuan lebih lanjut mengenai: _ a. tata cara penunjukan, pemungutan, danpenyetoran, serta pelaporan _Pajak PertambahanNilai sebagaimana dimaksud pada ayat (3); _ 23 b. kehadiran ekonomi signifikan sebagaimanadimaksud pada ayat (7), tata cara pembayaran dan pelaporan Pajak Penghasilan atau pajak _transaksielektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (10); dan _ c. tata cara penunjukan perwakilan sebagaimanadimaksud pada ayat (11), diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. Pasal 7 (1) Pedagang luar negeri, penyedia jasa luar negeri,Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) luar negeri, dan/atau PenyelenggaraPerdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) dalam negeri yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimanadimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) dan pedagang luar negeri, penyedia jasa luar negeri, dan/atau Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) luar negeri yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (10), dikenai sanksi administratif sesuai dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009. (2) Ketentuan mengenai penetapan, penagihan, dan upayahukum atas pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean didalam Daerah Pabean melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) serta pengenaan Pajak Penghasilan atau pajak transaksi elektronik atas subjekpajak luar negeri yang memenuhi ketentuan kehadiran ekonomi signifikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, dilaksanakan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 76 Tahun 2009. (3) Terhadap pelaku kegiatan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), selain dikenai sanksi administratif juga dikenai sanksi berupa pemutusan akses setelah diberi teguran. (4) Pemutusan akses sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) atau Pasal 6 ayat (10) tidak dipenuhi sampai dengan batas waktu yang ditentukan dalam teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (3). (5) Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika berwenang untuk melakukan pemutusan akses berdasarkan permintaan Menteri Keuangan. (6) Ketentuan mengenai tata cara pemutusan akses sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang informasi dan transaksi elektronik. (7) _Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara: _ a. _pemberian teguran sebagaimana dimaksud padaayat (3); dan _ b. permintaan pemutusan akses sebagaimana dimaksud pada ayat (5), diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan __ 24 Pasal 9 Menteri Keuangan memiliki kewenangan untuk memberikan fasilitas kepabeanan berupa pembebasan atau keringanan bea masuk dalam _rangka: _ _a. penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19); dan/atau _ b. menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan Pasal 10 (1) Perubahan atas barang impor yang diberikan pembebasan bea masuk berdasarkan tujuan pemakaiannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995, diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. (2) Perubahan atas barang impor yang dapat diberikan pembebasan atau keringanan bea masuk berdasarkan tujuan pemakaiannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995, diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. Pasal 11 ayat (3) Program pemulihan ekonomi nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat dilaksanakan melalui Penyertaan Modal Negara, penempatan dana dan/atau investasi Pemerintah, dan/atau kegiatan penjaminan dengan skema yang ditetapkan oleh Pemerintah. Pasal 12 (1) Pelaksanaan kebijakan keuangan negara dan langkah-langkah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 11 dilakukan dengan tetap memperhatikan tata kelola yang baik. (2) Perubahan postur dan/atau rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara dan langkah-langkah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 11 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden. Pasal 14 Dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan ditengah-tengah kondisi terjadinya pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau untuk menghadapi ancaman krisis ekonomi dan/atau stabilitas sistem keuangan, perlu menetapkan kebijakan stabilitas sistem keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (5). Pasal 16 ayat (1) huruf c (1) Untuk mendukung pelaksanaan kewenangan KSSK dalam rangka penanganan permasalahan stabilitas sistem keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1), Bank Indonesia diberikan _kewenangan untuk: _ 25 c. membeli Surat Utang Negara dan/atau Surat Berharga Syariah Negara berjangka panjang dipasar perdana untuk penanganan permasalahan sistem keuangan yang membahayakan perekonomian nasional, termasuk Surat Utang Negara dan/atau Surat Berharga Syariah Negara yang diterbitkan dengan tujuan tertentu khususnya _dalam rangka pandemi Corona Virus Disease 2019 (covid- 19); _ Pasal 19 (1) Bank Indonesia dapat membeli Surat Utang Negara dan/atau Surat Berharga Syariah Negara berjangka panjang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf c di pasar perdana yang diperuntukkan sebagai sumber pendanaan bagi Pemerintah. (2) Sumber pendanaan bagi Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipergunakan dalam rangka pemulihan ekonomi nasional termasuk menjaga kesinambungan pengelolaan keuangan negara, memberikan pinjaman dan penambahan modal kepada Lembaga Penjamin Simpanan, serta pendanaan untuk restrukturisasi perbankan pada saat krisis. Pasal 20 ayat (1) huruf b angka (1) dan angka (3) dan Pasal 20 ayat (1) huruf c (1) Untuk mendukung pelaksanaan kewenangan KSSK dalam rangka penanganan permasalahan stabilitas sistem keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1), Lembaga Penjamin Simpanan _diberikan kewenangan untuk: _ b. _melakukan tindakan: _ 1. penjualan/repo Surat Berharga Negara yang dimiliki kepada Bank _Indonesia; _ _2....; _ _3. pinjaman kepada pihak lain; dan/atau _ 4..... dalam hal Lembaga Penjamin Simpanan diperkirakan akan mengalami kesulitan likuiditas untuk penanganan bank gagal. c. melakukan pengambilan keputusan untuk melakukan atau tidak melakukan penyelamatan bank selain Bank Sistemik yang dinyatakan sebagai bank gagal dengan mempertimbangkan antara lain kondisi perekonomian, kompleksitas permasalahan bank, kebutuhan waktu penanganan, ketersediaan investor, dan/atau efektivitas penanganan permasalahan bank serta tidak hanya mempertimbangkan perkiraan _biaya yang paling rendah (least cost test); _ Pasal 22 ayat (1) (1) Untuk mencegah krisis sistem keuangan yang membahayakan perekonomian nasional, Pemerintah dapat menyelenggarakan program penjaminan di luar program penjaminan simpanan sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang mengenai lembaga penjamin simpanan. __ 26 Pasal 23 ayat (1) huruf a (1) Untuk mendukung pelaksanaan kewenangan KSSK dalam rangka penanganan permasalahan stabilitas sistem keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan diberikan _kewenangan untuk: _ a. memberikan perintah tertulis kepada lembaga jasa keuangan untuk melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, integrasi dan/atau konversi Pasal 24 ayat (1) (1) Untuk mendukung pelaksanaan kewenangan KSSK dalam rangka penanganan permasalahan stabilitas sistem keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1), Pemerintah diberikan kewenangan untuk memberikan pinjaman kepada Lembaga Penjamin Simpanan. Pasal 25 Pemberian pinjaman oleh Pemerintah kepada Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dilakukan dalam hal Lembaga Penjamin Simpanan mengaiami kesulitan likuiditas yang membahayakan perekonomian dan sistem keuangan sebagai dampak pandemi Corona Virus Disease (COVID-19). Pasal 26 ayat (1) (1) Setiap orang yang dengan sengaja mengabaikan, tidak memenuhi, tidak melaksanakan atau menghambat pelaksanaan kewenangan Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf a, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) atau pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 300.000.000.000,00 (tiga ratus miliar rupiah). Pasal 27 1. Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan dibidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara. 2. Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 3. Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara. 27 Pasal 28 Pada saat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini mulai _berlaku: _ 1. ketentuan jangka waktu yang diatur dalam Pasal 1 1 ayat (2), Pasal l7B ayat (1), Pasal 25 ayat (3), Pasal 26 ayat (1), dan Pasal 36 ayat (1c) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran _Negara Republik Indonesia Nomor 4999); _ 2. Pasal 55 ayat (4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik _Indonesia Nomor 4962); _ 3. Pasal 12 ayat (3) beserta penjelasannya, Pasal 15 ayat (5), Pasal 22 ayat (3), Pasal 23 ayat (1), Pasal 27 ayat (3), dan Pasal 28 ayal (3) dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan _Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286); _ 4. Pasal 3 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor _4355); _ 5. Pasal 22 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4420) sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik _Indonesia Nomor 4963); _ 6. Pasal 27 ayat (1) beserta penjelasannya, Pasal 36, Pasal 83, dan Pasal 107 ayat (2) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, _Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438); _ 28 7. Pasal 171 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, _Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063); _ 8. Pasal 72 ayat (2) beserta penjelasannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 _Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5495); _ 9. Pasal 316 dan Pasal 317 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan _Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679); _ 10. Pasal 177 huruf c angka 2, Pasal 180 ayat (6), dan Pasal 182 Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Ralryat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 181, Tambahan Lembaran _Negara Republik Indonesia Nomor 6396); _ 11. Pasal 20 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 70, Tambahan _Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5872); dan _ 12. Pasal 11 ayat (22), Pasal 40, Pasal 42, dan Pasal 46 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2019 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 198, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6410), dinyatakan tidak berlaku sepanjang berkaitan dengan kebijakan keuangan negara untuk penanganan penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID- 19) dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini. Pasal 29 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Bahwa pasal-pasal UUD NRI Tahun 1945 yang dijadikan batu uji adalah Pasal 1, Pasal 4 ayat (1), Pasal 5 ayat (2), Pasal 18 ayat (2) dan (3), Pasal 20A, Pasal 29 20A ayat (1), Pasal 22, Pasal 22 ayat (1), Pasal 22D ayat (2), Pasal 23, Pasal 23A, Pasal 23C, Pasal 23D, Pasal 23E, Pasal 24, Pasal 24A ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan (2), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28H ayat (1), Pasal 28I ayat (2) dan Pasal 31 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. II. Keterangan DPR RI Dengan ini DPR RI menyampaikan keterangan terhadap permohonan pengujian materiil UU 2/2020 terhadap UUD NRI Tahun 1945 dalam Perkara nomor 37, 42, 43, 45, 47, 49 dan 75/PUU-XVIII/2020 sebagai berikut: A. Kedudukan Hukum ( Legal Standing ) Para Pemohon 1. Kedudukan Hukum (Legal Standing) Para Pemohon dalam Pengujian Secara Formil Terkait kedudukan hukum (legal standing) Para Pemohon dalam pengujian undang-undang secara formil, DPR RI memberikan pandangan dengan berdasarkan 2 (dua) batasan kerugian konstitusional yang disimpulkan dari Pertimbangan Hukum dalam Putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 27/PUU-VII/2009, yaitu:
Para Pemohon merupakan perorangan yang telah melaksanakan hak pilih sebagai pemegang kedaulatan yang telah memberikan kepercayaan dan mandat kepada wakil sebagai fiduciary duty dalam pemilihan umum;
Berdasarkan uraian kedudukannya, Pemohon Badan Hukum Perkara 37 dan Para Pemohon Badan Hukum Perkara 75 yang merupakan Badan Hukum tentunya tidak memiliki hak dan/atau kewenangan untuk turut serta dalam pemilihan umum.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 34 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, Pemilih adalah Warga Negara Indonesia yang sudah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih, sudah kawin, atau sudah pernah kawin. Oleh karena itu, Pemohon Badan Hukum Perkara 37 dan Para Pemohon Badan Hukum Perkara 75 telah jelas tidak dapat membuktikan bahwa telah memberikan kepercayaan dan mandat kepada anggota DPR RI masa keanggotaan periode tahun 2014-2019 karena Pemohon Badan Hukum Perkara 37 dan Para Pemohon Badan Hukum Perkara 75 30 bukanlah perorangan yang telah melaksanakan hak pilih sebagai pemegang kedaulatan yang telah memberikan kepercayaan dan mandat kepada wakil sebagai fiduciary duty dalam pemilihan umum.
Para Pemohon Perorangan Perkara 37, Para Pemohon Perkara 43, dan Para Pemohon Perorangan Perkara 75 dalam perbaikan permohonannya tidak memberikan uraian argumentasi sebagai perorangan yang telah melaksanakan hak pilih sebagai pemegang kedaulatan dalam Pemilihan Umum. Selain itu, Para Pemohon tersebut diatas juga tidak melampirkan bukti-bukti keikutsertaannya dalam Pemilihan Umum dan menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan anggota DPR RI sebagai bentuk pemberian mandat kepada wakil sebagai fiduciary duty . Hal ini menunjukkan bahwa Para Pemohon tersebut tidak memahami kedudukan hukumnya sebagai perseorangan warga negara yang memiliki hak konstitusional sebagai pemberi mandat dalam Pemilihan Umum dan tidak memperhatikan ketentuan dalam pengujian undang-undang secara formil.
Para Pemohon mempunyai hubungan pertautan yang langsung dengan Undang-Undang yang dimohonkan.
Bahwa terkait dengan pengajuan pengujian UU a quo secara formil, Para Pemohon secara keseluruhan tidak menguraikan pertautannya. Namun dapat dipahami dalam uraian dalil-dalilnya, Para Pemohon hanya menyatakan bahwa UU a quo telah menimbulkan ketidakpastian hukum, melahirkan penafsiran yang ambigu, tidak jelas dan multi tafsir serta berpotensi menghambat pemenuhan hak-hak konstitusional Para Pemohon dan warga negara pada umumnya.
Meskipun demikian, Para Pemohon tidak memberikan uraian yang berkaitan dengan pertautannya secara langsung terhadap UU a quo yang dimohonkan pengujiannya secara formil. Dengan demikian telah jelas, tidak terdapat keterkaitan secara langsung antara Para Pemohon Perkara 37, Para Pemohon Perkara 43, dan Para Pemohon Perkara 75 dengan UU a quo, sehingga Para Pemohon 31 tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) dalam pengujian formil UU a quo terhadap UUD NRI Tahun 1945. Terhadap kedudukan hukum ( legal standing ) Para Pemohon Perkara 37, Para Pemohon Perkara 43, dan Para Pemohon Perkara 75 dalam pengujian formil, DPR RI memohon kepada Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi agar benar-benar menilai apakah Para Pemohon tersebut memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) dalam pengajuan Permohonan perkara-perkara a quo sesuai dengan parameter kerugian hak dan/atau kerugian konstitusional dalam pengajuan permohonan pengujian formil undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945 sebagaimana disebutkan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dalam Pertimbangan Hukum pada Putusan Nomor 27/PUU-VII/2009.
Kedudukan Hukum ( Legal Standing ) Para Pemohon dalam Pengujian Secara Materiil Terkait kedudukan hukum ( legal standing ) Para Pemohon dalam pengujian undang-undang secara materiil, DPR RI memberikan pandangan dengan berdasarkan 5 (lima) batasan kerugian konstitusional yang tercantum dalam __ Putusan Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Perkara Nomor 011/PUU-V/2007 sebagai berikut:
Perkara Nomor 37/PUU-XVIII/2020 Bahwa Para Pemohon Perkara 37 mendalilkan memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diatur dalam ketentuan Pasal 23 ayat (1), Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Terhadap hal tersebut, DPR RI menerangkan bahwa ketentuan Pasal 23 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 mengatur mengenai APBN yang jelas-jelas tidak mengatur mengenai hak dan/atau kewenangan Warga Negara. Sehingga ketentuan ini tidak memiliki pertautan hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon Perkara 37. Bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon Perkara 37 sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 28C ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 tidak terciderai dengan berlakunya ketentuan pasal-pasal yang dimohonkan pengujiannya karena Para Pemohon Perkara 37 tetap dapat memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan 32 negaranya. Terkait dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, Para Pemohon Perkara 37 juga tetap mendapatkan haknya atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Bahwa Para Pemohon Perkara 37 mendalilkan diri sebagai pembayar pajak ( tax payer ), oleh karenanya DPR RI mengutip pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 40/PUU- XVI/2018 pada Paragraf [3.7] sebagai berikut: …menurut Mahkamah, para Pemohon sebagai pembayar pajak (tax payer) tidak serta merta memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam mengajukan setiap permohonan pengujian undang-undang. Para Pemohon dapat memiliki kedudukan hukum (legal standing) apabila para Pemohon dapat menjelaskan adanya keterkaitan logis dan causal verband bahwa pelanggaran hak konstitusional atas berlakunya undang-undang yang diuji adalah dalam kaitannya dengan status para Pemohon sebagai pembayar pajak (tax payer) memang menunjukkan kerugian yang nyata . Dalam permohonan a quo , Para Pemohon Perkara 37 dituntut bukan hanya sekedar menyatakan dirinya sebagai pembayar pajak ( tax payer ), tetapi terkait statusnya sebagai pembayar pajak harus dijelaskan adanya keterkaitannya secara logis dengan kerugian konstitusional Para Pemohon Perkara 37 yang diakibatkan dengan berlakunya pasal-pasal a quo . Terkait dengan ketentuan UUD NRI Tahun 1945 yang oleh Para Pemohon Perkara 37 dipertentangkan dengan ketentuan dalam UU a quo , Para Pemohon Perkara 37 tidak mengurai pertautan antara keduanya demikian pula terkait dengan pertautannya dengan Para Pemohon Perkara 37. Maka semakin tidak jelas adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon terkait dengan pasal-pasal yang dimohonkan pengujian dan keberadaan hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara dalil kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon Perkara 37 dengan ketentuan pasal-pasal a quo yang dimohonkan pengujiannya.
Perkara Nomor 42/PUU-XVIII/2020 Bahwa Para Pemohon Perkara 42 tidak konsisten dalam menyebutkan batu uji yang digunakan dalam pengujian pasal-pasal a quo dalam uraian kedudukan hukumnya dengan ketentuan UUD NRI Tahun 1945 33 yang tertulis dalam bagian Pokok Permasalahan. Lebih lanjut, dalam uraian permohonannya, Para Pemohon Perkara 42 mempertentangkan ketentuan pasal-pasal a quo dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 23 ayat (1), (2), (3), dan Pasal 23A UUD NRI Tahun 1945 yang sama sekali tidak mengatur mengenai hak dan/atau kewenangan konstitusional warga negara. Terkait dengan kerugian hak konstitusionalnya yang dijamin dalam ketentuan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, Para Pemohon Perkara 42 tidak menguraikan bentuk konkret (aktual) maupun potensial atas kerugian konstitusional yang didalilkan tersebut dengan diri Para Pemohon Perkara 42 dan justru Para Pemohon Perkara 42 banyak menyampaikan asumsi-asumsi dan kekhawatirannya atas pemberlakuan pasal-pasal a quo terhadap negara yang jelas sangat mengada-ada. Selain itu, Para Pemohon Perkara 42 tidak dapat menunjukkan adanya pertautan secara langsung dengan ketentuan pasal-pasal a quo sehingga tidak jelas sebab akibat atas dalil kerugian konstitusional yang didalilkan Para Pemohon Perkara 42 dengan berlakunya ketentuan pasal-pasal a quo .
Perkara Nomor Perkara 43/PUU-XVIII/2020 Bahwa Para Pemohon Perkara 43 tersebut masing-masing tidak berdiri dalam posisi yang jelas atas kepentingan siapakah Para Pemohon Perkara 43 hendak mengemukakan kerugian konstitusionalnya. Selain itu, Para Pemohon Perkara 43 dalam permohonannya tidak mampu menjelaskan secara spesifik dalam hal apa Para Pemohon Perkara 43 dirugikan dengan keberlakuan pasal UU a quo tersebut terhadap diri Para Pemohon Perkara 43 maupun terhadap profesi Para Pemohon Perkara 43. Bahwa Para Pemohon Perkara 43 dalam permohonannya tidak mampu menjelaskan secara spesifik dalam hal apa Para Pemohon Perkara 43 dirugikan dengan keberlakuan pasal a quo tersebut terhadap diri Para Pemohon Perkara 43 maupun terhadap profesi Para Pemohon Perkara 43 sehingga tidak jelas pula hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian konstitusional yang didalilkan 34 oleh Para Pemohon Perkara 43 dengan pasal-pasal a quo yang dimohonkan pengujiannya terhadap UUD NRI Tahun 1945.
Perkara Nomor Perkara 45/PUU-XVIII/2020 Bahwa ketentuan Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 4 ayat (1), Pasal 5 ayat (2), Pasal 20 ayat (1), Pasal 20A ayat (1),Pasal 23, Pasal 23E, Pasal 24, Pasal 24A ayat (1) dan Pasal 27 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang dijadikan batu uji oleh Pemohon Perkara 45 tidak mengatur mengenai hak konstitusional warga negara, melainkan mengatur mengenai bentuk dan kedaulatan negara, kekuasaan pemerintah, tugas dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat, hal keuangan negara, kelembagaan BPK, Kekuasaan Kehakiman, tanggung jawab negara dalam mengelola keuangan negara yang ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang untuk dapat dilaksanakan secara terbuka dan untuk kemakmuran rakyat, dan kewajiban warga negara untuk menjunjung hukum dan pemerintahan tanpa terkecuali. Oleh karena itu tidaklah relevan untuk dijadikan sebagai batu uji dalam Permohonan a quo . Bahwa dalam Permohonan a quo , Pemohon Perkara 45 tidak menguraikan kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon Perkara 45 yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi. Pemohon Perkara 45 hanya menyatakan hak Pemohon sebagai rakyat dalam memantau Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat dan Kekuasaan Kehakiman dapat menjalankan tugas dan fungsinya, tanpa menjelaskan kerugian spesifik apa yang ditimbulkan dari berlakunya ketentuan pasal-pasal a quo . Sehingga jelas kerugian yang didalilkan oleh Pemohon Perkara 45 hanya merupakan asumsi tanpa adanya pertautan dengan hak konstitusional Pemohon Perkara 45.
Perkara Nomor Perkara 47/PUU-XVIII/2020 Bahwa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 telah ditetapkan menjadi undang-undang yakni UU a quo , artinya substansi di dalamnya telah dibahas dan disetujui antara Pemerintah bersama dengan DPR dan telah dilakukan sesuai dengan 35 ketentuan Pasal 23 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Bahwa ketentuan Pasal 23 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 tidak mengatur mengenai hak dan/atau kewenangan konstitusional melainkan mengatur mengenai penetapan, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban APBN. Salah satu fungsi yang dimiliki oleh DPR adalah fungsi anggaran dengan tugas dan wewenang berupa pemberian persetujuan atas RUU tentang APBN yang diajukan oleh Presiden. UU APBN tersebut kemudian dilaksanakan secara terbuka oleh Pemerintah untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat. Para Pemohon Perkara 47 mendalilkan dengan berlakunya pasal a quo , berpotensi dana desa dihentikan, dengan demikian jelas kerugian yang didalilkan tersebut hanya asumsi Para Pemohon Perkara 47, karena kenyataannya dana desa tetap ada meskipun selama penanganan pandemi Covid-19 ini besarannya dikurangi karena adanya kebijakan pengalihan mandatory expenses yang diamanatkan oleh UU Desa.
Perkara Nomor Perkara 49/PUU-XVIII/2020 Bahwa Pemohon Perkara 49 menyatakan memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diatur dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1), (2) dan (3) serta Pasal 23 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 namun dalam uraian Positanya, Pemohon Perkara 49 mendalilkan ketentuan pasal a quo bertentangan dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Meskipun demikian, DPR menerangkan bahwa ketentuan Pasal 1 ayat (1), (2) dan (3) serta Pasal 23 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 tidak mengatur mengenai hak dan/atau kewenangan konstitusional warga Negara. Ketentuan Pasal 1 ayat (1), (2) dan (3) serta Pasal 23 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 mengatur mengenai Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik, kedaulatan berada di tangan rakyat, Indonesia adalah Negara hukum dan APBN sebagai wujud dari pengelolaan keuangan Negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 36 Bahwa Pemohon Perkara 49 dalam perbaikan permohonannya menguraikan memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (1), (2) dan (3) serta Pasal 23 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang jelas-jelas tidak mengatur mengenai hak dan/atau kewenangan warga Negara. Selain itu, Pemohon Perkara 49 tidak menguraikan kerugian konsitusionalnya berdasarkan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 dan hanya mendalilkan pasal a quo bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Pemohon Perkara 49 juga sama sekali tidak menyampaikan argumentasi tentang pertentangan antara pasal yang dimohonkan pengujian dengan pasal-pasal yang menjadi dasar pengujian dalam UUD NRI Tahun 1945. Oleh karena itu, telah sangat jelas Pemohon Perkara 49 tidak memiliki hak dan/atau kewenangan kontitusional yang dirugikan dengan berlakunya UU 2/2020. Bahwa Pemohon Perkara 49 dan banyak menguraikan mengenai asumsi-asumsinya atas pengaturan yang terdapat dalam pasal a quo , maka DPR RI menerangkan tidak terdapat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon Perkara 49 yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi pada Pemohon Perkara 49, maka jelas tidak terdapat hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian dan berlakunya undang- undang yang dimohonkan pengujian.
Perkara Nomor Perkara 75/PUU-XVIII/2020 Bahwa mayoritas Para Pemohon Perkara 75 mengajukan kembali Permohonan 51/PUU-XVIII/2020 yang telah ditarik kembali pada tanggal 19 Agustus 2020 dan Mahkamah Konstitusi sudah menerbitkan Ketetapan Putusan Nomor 51/PUU-XVIII/2020 yang diucapkan pada tanggal 27 Agustus 2020. Para Pemohon Perkara 75 berdalil bahwa dapat mengajukan kembali permohonan yang telah ditarik sebelumnya tersebut karena sudah dilakukan perubahan dalam isi materi permohonan sehingga tidak mempunyai kesamaan dalam permohonan sebelumnya baik dalam permohonan pengujian formil maupun materiil yang diajukan sehingga Mahkamah Konstitusi 37 berwenang untuk memeriksa dan mengadilinya. Terhadap dalil tersebut, DPR RI memberikan pandangan bahwa berdasarkan ketentuan dalam Pasal 35 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan: ayat (1) “Pemohon dapat menarik kembali Permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan”. ayat (1a) “Dalam hal pemohon menarik kembali Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Panitera Mahkamah Konstitusi menerbitkan Akta Pembatalan Registrasi Permohonan dan memberitahukan kepada Pemohon disertai dengan pengembalian berkas Permohonan”. ayat (2) “Penarikan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan Permohonan tidak dapat diajukan kembali”. Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa Permohonan yang sudah ditarik kembali dan sudah diputus tidak dapat diajukan kembali. Selain itu, setelah melihat isi dari permohonan Para Pemohon Perkara 75, baik dari segi formil maupun materiil memiliki materi permohonan yang sama dengan permohonan sebelumnya yang sudah ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi untuk mengabulkan penarikan kembali permohonan perkara 51/PUU- XVIII/2020 tersebut oleh Para Pemohon perkara 51/PUU-XVIII/2020, yang merupakan mayoritas Para Pemohon Perkara 75. Walaupun Para Pemohon Perkara 75 memberikan tambahan batu uji Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), dan Pasal 27 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 namun batu uji Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 tersebut tidak mengatur mengenai hak konstitusional warga negara. Begitupun halnya dengan tambahan batu uji Pasal 27 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, ketentuan yang ada pada UU a quo tidak menghalangi Para Pemohon Perkara 75 untuk mendapatkan hak konstitusionalnya berupa pekerjaan dan penghidupan yang layak. Sehingga tidaklah tepat jika Para Pemohon Perkara 75 masih mengajukan permohonan yang sama dengan permohonan yang sudah ditarik kembali dan ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi. 38 Bahwa Para Pemohon Perkara 75 juga mendalilkan diri sebagai pembayar pajak ( tax payer ), oleh karenanya DPR RI mengutip pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 40/PUU-XVI/2018 pada Paragraf [3.7] sebagai berikut: …menurut Mahkamah, para Pemohon sebagai pembayar pajak (tax payer) tidak serta merta memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam mengajukan setiap permohonan pengujian undang-undang. Para Pemohon dapat memiliki kedudukan hukum (legal standing) apabila para Pemohon dapat menjelaskan adanya keterkaitan logis dan causal verband bahwa pelanggaran hak konstitusional atas berlakunya undang-undang yang diuji adalah dalam kaitannya dengan status para Pemohon sebagai pembayar pajak (tax payer) memang menunjukkan kerugian yang nyata . Dalam permohonan a quo , Para Pemohon Perkara 75 dituntut bukan hanya sekedar menyatakan dirinya sebagai pembayar pajak ( tax payer ), tetapi terkait statusnya sebagai pembayar pajak harus dijelaskan adanya keterkaitannya secara logis dengan kerugian konstitusional Para Pemohon Perkara 75 yang diakibatkan dengan berlakunya pasal-pasal a quo . Bahwa terkait dengan kedudukan hukum ( legal standing ) Para Pemohon, DPR RI memberikan pandangan selaras dengan Putusan MK Nomor 22/PUU-XIV/2016 yang diucapkan dalam sidang Pleno MK terbuka untuk umum pada tanggal 15 Juni 2016, yang pada pertimbangan hukum [3.5.2] MK menyatakan bahwa menurut Mahkamah: ... dalam asas hukum dikenal ketentuan umum bahwa tiada kepentingan maka tiada gugatan yang dalam bahasa Perancis dikenal dengan point d’ interest point d’ action dan dalam bahasa Belanda dikenal dengan zonder belang geen rechtsingang. Hal tersebut sama dengan prinsip yang terdapat dalam Reglement op de Rechtsvordering (RV) khususnya Pasal 102 yang menganut ketentuan bahwa “ tiada gugatan tanpa hubungan hukum” ( no action without legal connection ). Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, terhadap kedudukan hukum ( legal standing ) Para Pemohon secara materiil, DPR RI menyerahkan sepenuhnya kepada Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilai apakah Para Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi dan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan 39 perkara Nomor 011/PUU-V/2007 mengenai parameter kerugian konstitusional. B. Pandangan Umum DPR 1. Penyebaran COVID-19 terus meluas di seluruh dunia yang didorong oleh mobilitas manusia. Hingga akhir Februari 2020, penyebaran COVID-19 secara global telah mencapai 86.000 kasus dengan jumlah kematian hampir 3.000 orang. Pandemi COVID-19 yang menyebar secara cepat dan mengancam kesehatan publik, mendorong negara-negara untuk mengambil berbagai langkah pencegahan yang ekstrim. Salah satu langkah kebijakan yang diambil hampir semua negara adalah pelarangan atau pembatasan perjalanan ( travel ban/restriction ), penutupan perbatasan, serta memperketat lalu lintas manusia antar wilayah/negara. Di dalam skala domestik, beberapa negara memberlakukan lockdown yakni penutupan wilayah dan penghentian segala aktivitas publik kecuali yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan pangan dan medis. Physical distancing serta karantina mandiri termasuk dengan memindahkan aktivitas kantor, belajar, dan beribadah di rumah juga diimplementasikan di berbagai negara, termasuk Indonesia. Berbagai kegiatan yang bersifat pengumpulan massa dikurangi atau bahkan dilarang dengan pengawasan ketat dari aparat hukum. Di Indonesia, Pemerintah memberlakukan status Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dan menetapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sejak tanggal 31 Maret 2020. Sebelumnya, Pemerintah juga telah memberlakukan larangan penerbangan termasuk dari dan ke Tiongkok, membentuk Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, memberlakukan kebijakan physical distancing , serta menetapkan status keadaan darurat bencana COVID-19. Berbagai himbauan termasuk menganjurkan dan bahkan melarang masyarakat untuk tidak melakukan pulang kampung termasuk dalam rangka mudik Hari Raya Idul Fitri 1441 Hijriah telah dilakukan. Anjuran untuk meningkatkan pola hidup bersih dan sehat juga terus digencarkan. Penyebaran COVID-19 yang terjadi secara cepat dan eksponensial dikhawatirkan juga tidak dapat diimbangi dengan ketersediaan fasilitas kesehatan serta tenaga medis yang ada, sehingga bisa berujung pada krisis kesehatan. Langkah-langkah tersebut 40 diimplementasikan dengan dasar bahwa kesehatan dan keselamatan masyarakat adalah prioritas. Namun demikian, langkah-langkah tersebut menimbulkan penurunan aktivitas ekonomi yang cukup signifikan.
Bentuk perlindungan yang diberikan oleh negara tidak sebatas perlindungan dari ancaman fisik namun juga perlindungan terhadap keseluruhan aspek kehidupan dan keselamatan 269 juta jiwa penduduk Indonesia. Negara harus mampu menjaga ketahanan seluruh elemen bangsa dari segala ancaman yang membahayakan negara dan masyarakat. Dengan segala sumber daya yang ada, kita harus mewujudkan ketahanan negara yang kokoh dari segala ancaman, termasuk ancaman terhadap perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan yang menimbulkan implikasi pada aspek sosial, ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat.
Bahwa penyebaran pandemi COVID-19 yang memberikan dampak dan mengancam pertumbuhan ekonomi Indonesia antara lain karena menurunnya penerimaan negara serta ketidakpastian ekonomi global, memerlukan kebijakan dan langkah-langkah luar biasa di bidang keuangan negara termasuk di bidang perpajakan dan keuangan daerah, dan sektor keuangan, yang harus segera diambil Pemerintah dan lembaga-lembaga terkait guna mengatasi kondisi mendesak tersebut dalam rangka penyelamatan kesehatan, perekonomian nasional, dengan fokus pada belanja kesehatan, jaring pengaman sosial (social safety net), serta pemulihan dunia usaha yang terdampak. Oleh karena itu, diperlukan perangkat hukum yang memadai untuk memberikan landasan yang kuat bagi Pemerintah dan lembaga-lembaga terkait untuk pengambilan kebijakan dan langkah-langkah dimaksud.
Bahwa berdasarkan ketentuan dalam Pasal 22 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan: “ Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang ”. Mengacu pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009, parameter kegentingan yang memaksa dalam rangka penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang antara lain: 41 - karena adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan _masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang; _ - Undang-Undang yang dibutuhkan belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau tidak memadainya Undang-Undang yang _saat ini ada; dan _ - Kondisi kekosongan hukum yang tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa yang memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan. 5. Bahwa Perppu 1/2020 telah dikeluarkan oleh Presiden pada tanggal 31 Maret 2020 karena keadaan genting dan kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat dan untuk menyelamatkan perekonomian dari krisis yang diprediksi akan terjadi. Bahwa dalam keadaan mendesak tersebut diperlukan pemberian kewenangan bagi Pemerintah diantaranya agar dapat melakukan realokasi dan refocussing anggaran yang sebelumnya telah dialokasikan dalam APBN tahun 2020. Melalui realokasi dan refocussing yang bersifat segera diharapkan dapat segera memulihkan ekonomi dalam rangka mendukung Program Pemulihan Ekonomi Nasional sebagai akibat dari Pandemi Covid-19. 6. Bahwa oleh karenanya ketentuan dalam UU 2/2020 diharapkan dapat memberi fondasi hukum bagi pemerintah terhadap otoritas perbankan dan otoritas keuangan untuk mengambil langkah luar biasa guna menjamin kesehatan masyarakat, menyelamatkan perekonomian nasional, dan stabilitas sistem keuangan sebagaimana diatur UU a quo yang perlu menetapkan kebijakan keuangan negara dan kebijakan stabilitas sistem keuangan diantaranya dengan menetapkan batasan defisit anggaran, melakukan penyesuaian besaran belanja wajib ( mandatory spending ), dan melakukan pergeseran anggaran antarunit organisasi, antarfungsi, dan/atau antarprogram.
Bahwa urgensi sebagai dasar dibentuknya Perppu 1/2020 merupakan pertimbangan subjektif dari Presiden sebagai pihak yang berhak membentuk suatu perppu. Pertimbangan subjektif tersebut perlu untuk dinilai secara objektif oleh rakyat yang direpresentasikan oleh wakilnya, yaitu DPR, sebagaimana yang telah diamanatkan dalam Pasal 22 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Dengan disahkannya Perppu 1/2020 menjadi UU 2/2020, maka DPR sebagai wakil rakyat telah menilai urgensi tersebut merupakan hal yang nyata dan mendesak sehingga perlu memberikan 42 persetujuan atas Perppu 1/2020 untuk menjadi undang-undang sehingga dapat digunakan Pemerintah sebagai dasar hukum yang lebih kuat untuk bereaksi secara cepat menghadap situasi Pandemi Covid-19. C. Keterangan DPR Terhadap Pengujian Formil UU 2/2020 Berdasarkan kewenangan MK yang diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, maka batu uji yang digunakan oleh MK untuk melakukan pengujian formil haruslah berdasarkan Pasal 20 UUD NRI Tahun 1945, terutama Pasal 20 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “ Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama” . Frasa “ persetujuan bersama” dalam ketentuan tersebut merupakan esensi berlakunya __ asas legalitas sehingga frase “ persetujuan bersama ” merupakan norma yang sangat fundamental sebagai dasar terbentuknya undang- undang. Jika proses pembentukan undang-undang telah memenuhi unsur legalitas, yakni telah adanya “ persetujuan bersama ”, dan tidak adanya kegagalan dalam mendapatkan “ persetujuan bersama ” DPR dan Presiden, maka secara konstitusional undang-undang tersebut menjadi sah secara formil. Sesuai landasan konstitusional kewenangan MK menguji undang- undang terhadap UUD NRI Tahun 1945, maka pengujian undang-undang secara formil hanya dapat dinyatakan cacat prosedur jika telah bertentangan dengan ketentuan Pasal 20 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Namun demikian, jika Yang Mulia Hakim Konstitusi berpendapat lain, maka mohon pertimbangan yang seadil-adilnya, dan DPR tetap bersikap kooperatif dengan menerangkan lebih lanjut hal-hal yang dipermasalahkan oleh Para Pemohon dalam pengujian formil.
Tanggapan DPR terhadap dalil Para Pemohon Perkara 75 mengenai batasan waktu 45 hari dalam pengujian formil undang-undang harus dikesampingkan karena tidak berdasarkan pada UUD NRI Tahun 1945. a) Bahwa Mahkamah Konstitusi dalam konteks ketatanegaraan Indonesia dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi ( the guardian of constitution ) dan sebagai pengawal demokrasi ( the guardian of 43 democracy ) yang diberikan kewenangan oleh UUD NRI Tahun 1945 untuk dapat menguji undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945. Kewenangan ini diberikan sebagai fungsi Mahkamah Konstitusi dalam menegakkan keadilan konstitusional di tengah kehidupan masyarakat. Namun di sisi lain, Mahkamah Konstitusi juga bertugas mendorong dan menjamin agar konstitusi dihormati dan dilaksanakan oleh semua komponen negara secara konsisten dan bertanggungjawab. b) Bahwa undang-undang bersifat mengikat dan memaksa bagi semua warga negara, sehingga agar dapat dilaksanakan harus diundangkan dalam Lembaran Negara agar setiap orang dianggap mengetahui atas undang-undang tersebut. Hal ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum kepada masyarakat atas keberlakuan suatu undang- undang. c) Bahwa untuk menjamin kepastian hukum, pengujian undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945 diperlukan pembatasan waktu untuk dapat diuji secara formil. Pembatasan waktu ini tidak boleh terlalu lama dari waktu diundangkannya suatu undang-undang dalam Lembaran Negara, karena karakteristik pengujian formil berbeda dengan pengujian materiil yang hanya menguji kata, frasa, ayat dan/atau pasal saja dalam undang-undang atas dasar kerugian konstitusional pemohon. Sedangkan pengujian formil didasarkan atas undang- undang yang merugikan konstitusi yang proses pembentukannya tidak sesuai dengan ketentuan dalam UUD NRI Tahun 1945, sehingga dapat membatalkan keseluruhan undang-undang. d) Bahwa Mahkamah Konstitusi dalam menjaga hal tersebut harus berhati-hati dalam menguji formalitas suatu undang-undang, karena yang menjadi fokus pengujian formil bukanlah atas dasar dalil kerugian pemohon, namun Mahkamah Konstitusi harus mengutamakan keadilan dan kebenaran konstitusional. Mahkamah Konstitusi harus memahami ruh, ide, landasan filosofis, dan suasana kebatinan yang terjadi selama penyusunan undang-undang sehingga dapat memahami urgensi suatu undang-undang harus segera ditetapkan. e) Bahwa Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal konstitusi ( the guardian of constitution ) dan sebagai pengawal demokrasi ( the 44 guardian of democracy ) telah tepat memberikan pembatasan waktu pengujian formil 45 hari setelah suatu undang-undang diundangkan dalam Lembaran Negara dalam menjaga kepastian hukum. Pembatasan ini sebagaimana Putusan Nomor 27/PUU-VII/2009 Paragraf [3.34] yang menyatakan, “ Menimbang bahwa terlepas dari putusan dalam pokok permohonan a quo Mahkamah memandang perlu untuk memberikan batasan waktu atau tenggat suatu Undang-Undang dapat diuji secara formil. Pertimbangan pembatasan tenggat ini diperlukan mengingat karakteristik dari pengujian formil berbeda dengan pengujian materiil. Sebuah Undang-Undang yang dibentuk tidak berdasarkan tata cara sebagaimana ditentukan oleh UUD 1945 akan dapat mudah diketahui dibandingkan dengan Undang-Undang yang substansinya bertentangan dengan UUD 1945. Untuk kepastian hukum , sebuah Undang- Undang perlu dapat lebih cepat diketahui statusnya apakah telah dibuat secara sah atau tidak, sebab pengujian secara formil akan menyebabkan Undang-Undang batal sejak awal. Mahkamah memandang bahwa tenggat 45 (empat puluh lima) hari setelah Undang-Undang dimuat dalam Lembaran Negara sebagai waktu yang cukup untuk mengajukan pengujian formil terhadap Undang-Undang; ” f) Bahwa terkait hukum acara pembatasan waktu 45 hari dalam mengajukan pengujian formil di Mahkamah Konstitusi merupakan materi yang seharusnya diatur dalam undang-undang oleh pembentuk undang-undang, namun selama belum diatur dalam undang-undang Mahkamah Konstitusi dapat mengatur hukum acara yang bersifat teknis untuk mengisi kekosongan hukum. Dalam hal ini, UUD NRI Tahun 1945 sebagai Konstitusi tidak mungkin mengatur secara rinci mengenai hal teknis batasan hari seperti yang didalilkan oleh Para Pemohon, karena dibutuhkan Undang-Undang lain untuk mengatur mengenai hal tersebut. Sehingga Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan untuk mengatur sendiri hukum acara yang bersifat teknis dalam sidang pengadilan selama belum diatur dalam Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi. g) Bahwa terhadap pengujian perkara nomor 75/PUU-XVIII/2020 yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi pada tanggal 9 September 2020 sesungguhnya telah melewati batas waktu pengujian formil 45 hari sejak diundangkannya UU a quo , yakni pada tanggal 18 Mei 2020 45 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6516. Oleh karenanya berdasarkan fakta hukum tersebut DPR berpandangan permohonan Perkara nomor 75/PUU-XVIII/2020 tidak memenuhi ketentuan batas waktu 45 hari yang ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi, sehingga sepatutnya Mahkamah Konstitusi menyatakan Permohonan 75/PUU-XVIII/2020 tidak dapat diterima.
Tanggapan DPR terhadap dalil Para Pemohon Perkara 37 dan Perkara 75 mengenai prosedur konstitusional pengesahan telah disimpangi dengan tidak adanya keterlibatan DPD. Bahwa Para Pemohon Perkara 37 dan Perkara 75 dalam perbaikan permohonannya mendalilkan tidak adanya keterlibatan DPD dalam pembahasan Perppu yang telah ditetapkan menjadi UU dengan UU 2/2020 bertentangan dengan prinsip negara hukum, prinsip kedaulatan rakyat dan kewenangan legislasi DPD. Terhadap dalil tersebut DPR menerangkan sebagai berikut: a) Bahwa berdasarkan Pasal 20 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 ditentukan kewenangan untuk membentuk undang-undang ada pada DPR. Adapun terkait UUD NRI Tahun 1945 menghendaki bahwa setiap RUU dibahas antara DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama (Pasal 20 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945). b) Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 22D ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 mengatur bahwa Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang- undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya _ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; _ serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama. c) Bahwa keikutsertaan DPD dalam pembahasan RUU hanya sebatas yang berkaitan dengan _otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; _ pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta 46 perimbangan keuangan pusat dan daerah. Hal ini juga sesuai dengan Pasal 65 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 15 Tahun 2019 (selanjutnya disebut UU 12/2011). d) Bahwa Perppu 1/2020 pada intinya secara garis besar mengatur mengenai kebijakan keuangan negara, apabila dalam pelaksanaannya memiliki dampak terhadap alokasi perimbangan keuangan pemerintah pusat dan pemerintahan daerah, hal itu merupakan konsekuensi bahwa keuangan daerah merupakan bagian dari keuangan negara. Sehingga telah jelas bahwa Perppu tersebut tidak mengatur secara khusus mengenai _otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; _ pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah . Selain itu UU 2/2020 yang dipermasalahkan oleh Para Pemohon merupakan pengesahan Perppu 1/2020 sehingga pembentuk undang-undang tidak berkewajiban untuk mengikutsertakan DPD dalam pembahasan RUU penetapan Perppu 1/2020 menjadi undang-undang. e) Berdasarkan Pasal 71 huruf d dan Pasal 249 ayat (1) huruf b Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2019 (UU MD3) bahwa DPD ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan _daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; _ pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah . RUU Penetapan Perppu 1/2020 menjadi UU tidak memiliki pertautan dengan bidang yang mengharuskan keikutsertaan DPD dalam pembahasannya melainkan mengenai DPR memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan, sehingga DPD tidak memiliki kewenangan untuk ikut membahas RUU tersebut. 47 3. Tanggapan DPR terhadap dalil Para Pemohon Perkara 37, Para Pemohon Perkara 43 dan Para Pemohon Perkara 75 mengenai rapat virtual yang berpotensi dihadiri tidak secara konkret karena kuorum rapat dibuktikan dengan tandatangan sebelum menghadiri rapat. a) Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, Perppu 1/2020 dibentuk pada intinya untuk melakukan penyelamatan kesehatan dan perekonomian nasional yang terdampak dari Pandemi Covid-19 . Bahwa pada saat Perppu 1/2020 tersebut diajukan oleh Pemerintah kepada DPR untuk menjadi undang-undang, negara dalam kondisi darurat bencana yang menimbulkan kepanikan di masyarakat. b) Dalam kondisi demikian, maka DPR sebagai wakil rakyat harus tetap melaksanakan tugasnya untuk membahas Perppu 1/2020 bersama dengan Pemerintah. Bahwa pada saat itu peraturan perundang- undangan yang menjadi dasar hukum pembentuk undang-undang melaksanakan tugasnya masih belum menjangkau penggunaan sarana informasi dan teknologi dalam pembahasan dan pengesahan undang-undang. Hal tersebut disebabkan tidak terprediksinya kondisi yang diakibatkan dari penyebaran Pandemi Covid-19 yang begitu masif dan berdampak pada timbulnya korban jiwa. Adapun pada saat munculnya kasus pertama penyebaran Covid-19 di Indonesia hingga saat ini, Pemerintah telah membuat kebijakan mengenai salah satu upaya penanggulangan penyebaran Pandemi Covid-19 adalah dengan melakukan pembatasan sosial berskala besar dengan mengharuskan tiap orang menjaga jarak. c) Adapun salah satu kebijakan Pemerintah dalam upaya penanggulangan penyebaran pandemi Covid-19 adalah dengan melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang dilaksanakan di beberapa daerah di Indonesia. Sebagai lembaga yang berkedudukan di DKI Jakarta yang juga menerapkan PSBB, maka DPR dan Presiden juga harus mengikuti kebijakan yang telah ditetapkan Pemerintah Daerah tersebut. Meskipun demikian, tugas pokok dan fungsi sebagai lembaga tetap harus berjalan, sehingga sebagai alternatif pelaksanaan rapat dan koordinasi supaya tugas dan fungsi 48 DPR dan Presiden tetap berjalan adalah dengan menggunakan sarana informasi dan teknologi berupa video meeting atau virtual meeting. d) Pada saat kondisi demikian agar tugas pembentukan undang-undang tidak terbengkalai, DPR perlu melakukan terobosan hukum, yaitu dengan menetapkan Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib (Tatib DPR 2020) yang mulai berlaku pada tanggal 2 April 2020. Berdasarkan Tatib DPR 2020 tersebut di dalam ketentuan Pasal 254 ayat (4) dinyatakan bahwa: “ Semua jenis rapat DPR dihadiri oleh Anggota, kecuali dalam keadaan tertentu, yakni keadaan bahaya, kegentingan yang memaksa, keadaan luar biasa, keadaan konflik, bencana alam, dan keadaan tertentu lain yang memastikan adanya urgensi nasional, rapat dapat dilaksanakan secara virtual dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi. ” Dengan menggunakan dasar hukum tersebut, maka DPR melalui Badan Anggaran bersama Pemerintah melakukan Pembahasan Tingkat I UU a quo pada tanggal 4 Mei 2020 dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi melalui rapat virtual. Begitu pun halnya dengan Pembahasan Tingkat II yang menyetujui Perppu 1/2020 menjadi UU pada Rapat Paripurna tanggal 12 Mei 2020 dilaksanakan dengan menggunakan rapat kombinasi secara fisik maupun dengan teknologi informasi dan komunikasi melalui rapat virtual . e) Menanggapi dalil Para Pemohon Perkara 37, Para Pemohon Perkara 43 dan Para Pemohon Perkara 75 tersebut, DPR menerangkan bahwa pelaksanaan rapat yang dihadiri secara virtual telah diatur secara jelas dalam Pasal 279 ayat (6) Tatib DPR 2020 yang menyatakan bahwa: “ Dalam hal penandatanganan daftar hadir Anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak dapat dilakukan dan disebabkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 254 ayat (4), kehadiran Anggota dalam semua jenis rapat DPR dilakukan berdasarkan kehadiran secara virtual. ” Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 279 ayat (7) Tatib DPR 2020 menyatakan bahwa: “ Bukti kehadiran secara virtual sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat dikonfirmasi dan diverifikasi keabsahannya melalui Sekretariat Jenderal DPR. ” 49 Oleh karena itu berdasarkan dokumen sebagaimana terlampir dalam Lampiran I, maka Pembahasan Tingkat II yang menyetujui Perppu 1/2020 menjadi UU pada Rapat Paripurna tanggal 12 Mei 2020 yang dilakukan secara virtual tersebut, maka kehadiran pembentuk undang- undang telah memenuhi ketentuan perundang-undangan. f) Oleh karena itu dalil Para Pemohon Perkara 37, Para Pemohon Perkara 43 dan Para Pemohon Perkara 75 tersebut hanya merupakan asumsi karena jelas bahwa pembahasan dan pengesahan undang- undang dengan menggunakan sarana teknologi dan informasi telah memiliki dasar hukum melalui Tatib DPR 2020. Selain itu berdasarkan risalah Rapat Paripurna bahwa dengan Pimpinan DPR memberikan keputusan penetapan Perppu 1/2020 menjadi undang-undang artinya memberikan persetujuan dan juga mengikat anggota yang hadir baik secara fisik dan virtual (non fisik) (Lampiran II) 4. Tanggapan DPR terhadap dalil Para Pemohon Perkara 43 mengenai UU 2/2020 tidak memenuhi syarat Pasal 22 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 dan Pasal 52 ayat (1) UU 12/2011 terkait frasa “ persidangan yang berikut ”. a) Bahwa di dalam Rapat Kerja Badan Anggaran DPR RI bersama Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Bank Indonesia, dan Lembaga Penjamin Simpanan tertanggal 4 Mei 2020 bahwa pada saat itu terdapat 9 (sembilan) fraksi yang menyetujui Perppu 1/2020 untuk ditetapkan menjadi undang-undang, hanya fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) yang belum menyatakan persetujuannya. Berdasarkan rapat pada saat itu, DPR RI menerangkan bahwa UU a quo disetujui untuk ditetapkan menjadi undang-undang, dari titik tolak pemikiran bahwa Alinea keempat Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 dinyatakan bahwa tujuan dibentuknya Pemerintahan Negara Indonesia adalah untuk melindungi segenap rakyat Indonesia. Dengan demikian asas keselamatan rakyat Indonesia adalah yang diutamakan, untuk memberikan keyakinan bahwa Perppu 1/2020 tersebut harus dibahas segera dan secepatnya untuk memenuhi asas keselamatan rakyat yang diamanatkan di dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 tersebut. 50 b) Bahwa Perppu 1/2020 merupakan kewenangan yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam kondisi darurat yang bersifat fundamental dan krusial yang berdampak pada stabilitas perekonomian nasional jangka panjang, maka pengaturan hal tersebut perlu untuk diberikan dasar legalitas yang lebih kuat dalam bentuk undang-undang. c) Bahwa DPR selain memiliki fungsi legislasi sebagai pembentuk undang-undang berdasarkan Pasal 20A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, juga memiliki fungsi anggaran. Berkaitan dengan Perppu 1/2020 sebagai peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh pemerintah yang berfokus pada penataan ulang anggaran hingga beberapa tahun ke depan yang tentu saja memiliki dampak terhadap APBN, dimana sesuai dengan UUD NRI Tahun 1945 pembahasan dan pengesahan dalam Perppu 1/2020 menjadi UU sangat memerlukan peran DPR dalam melaksanakan fungsi anggaran sebagai kerangka representasi rakyat. Oleh karena itu, penting bagi DPR untuk segera membahas dan menetapkan Perppu 1/2020 menjadi UU dalam waktu yang cepat karena adanya kebutuhan mendesak yang dapat berdampak terhadap stabilitas perekonomian nasional. d) Dengan adanya situasi pandemi Covid-19 tersebut yang memiliki dampak bukan hanya terhadap kesehatan dan keselamatan rakyat, tetapi juga memiliki dampak terhadap perekonomian negara dalam jangka panjang, oleh karenanya proses penetapan Perppu 1/2020 menjadi UU yang harus dilakukan secepatnya oleh DPR merupakan langkah cepat DPR dalam menghadapi keadaan darurat negara. Keadaan darurat tersebut tetap harus dipahami dalam pandangan yang sesuai dengan alas fakta yang terjadi pada saat keadaan darurat, dan tidak menggunakan parameter dan indikator keadaan normal. Oleh sebab itu, keputusan DPR yang secara cepat mengesahkan Perppu 1/2020 menjadi UU merupakan langkah yang tepat dan mencerminkan asas prosesual bahwa penundaan yang tidak beralasan ( undue delay ) harus dihindarkan, hal ini adalah demi kepentingan negara dan kepentingan umum yang harus dilindungi. e) Hal tersebut menunjukkan bahwa DPR memiliki kesamaan pandangan dengan Pemerintah mengenai adanya kegentingan memaksa dan 51 perlunya kebijakan serta tindakan yang harus segera dilakukan dalam menghadapi pandemi Covid-19. Persetujuan DPR dimaksud menjadikan norma tersebut memenuhi amanat UUD NRI Tahun 1945 dan memberikan kepastian hukum bagi keberlanjutan langkah-langkah Pemerintah dalam penanganan situasi extraordinary pandemi Covid- 19, yang telah secara nyata menimbulkan pemburukan ekonomi dan ancaman krisis apabila tidak segera ditangani. Dengan adanya legitimasi tersebut, Pemerintah memiliki fleksibilitas melakukan recovery terhadap situasi dan kondisi perekonomian. Semakin mampu Pemerintah menangani dampak yang ditimbulkan oleh pandemi Covid- 19 seiring dengan perkembangan/perlambatan penyebaran virus ( flattening the curve ), semakin mempercepat negara keluar dari pemburukan ekonomi. D. Keterangan DPR Terhadap Pengujian Materiil UU 2/2020 5. Pandangan DPR RI terhadap pengujian judul UU 2/2020:
Berdasarkan metode penafsiran secara gramatikal yaitu metode penafsiran melalui pendekatan tatabahasa yang ada pada rumusan UU, dalam memahami UU, tanda baca, diksi, dan pola susunan kalimat sedemikan rupa benar benar diperhatikan. Berdasarkan metode penafsiran tersebut judul Lampiran UU 2/2020 sudah jelas, tidak ambigu, memang yang diatur dalam Lampiran UU 2/2020 ini adalah langkah Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Keuangan dikarenakan adanya pandemi Covid 19 yang saat ini terjadi. Bukan mengatur tentang langkah tindakan Pemerintah untuk menangani Covid 19. Yang menjadi subyek dari judul ini adalah Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Covid-19. Dua subyek tersebut adalah dua hal yang berbeda namun satu kesatuan yang diatur dalam Lampiran UU 2/2020 ini.
Judul dan materi muatan sudah sesuai, materi muatan terdiri atas 6 bab yang hampir semuanya mengatur mengenai langkah-langkah kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan yang akan dijalankan pemerintah, dan tidak mengatur mengenai langkah-langkah untuk menangani pandemi Covid-19. 52 c. Berdasarkan Ketentuan dalam UU 12/2011 Lampiran II Bagian A mengatur bahwa: ● Judul Peraturan Perundang–undangan memuat keterangan mengenai jenis, nomor, tahun pengundangan atau penetapan, dan nama Peraturan Perundang–undangan; ● Judul Peraturan Perundang-undangan ditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang diletakkan di tengah marjin tanpa diakhiri tanda baca; ● Pada nama Peraturan Pemerintah Pengganti Undang–Undang (Perpu) yang ditetapkan menjadi Undang–Undang, ditambahkan kata penetapan di depan judul Peraturan Perundang–undangan yang ditetapkan dan diakhiri dengan frasa menjadi Undang-Undang; Berdasarkan ketentuan tersebut, judul yang tertulis pada UU 2/2020 maupun Perppu 1/2020 yang merupakan lampiran dari UU 2/2020 telah sesuai dengan ketentuan dalam UU 12/2011.
Pandangan DPR terhadap materi muatan kebijakan pelebaran defisit anggaran sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UU a quo . __ a. Bahwa sesuai amanat konstitusi, APBN digunakan untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat, namun ketika keadaan darurat karena Covid-19 yang telah secara nyata memberikan dampak pada perekonomian negara seperti saat ini maka penggunaan APBN dapat disesuaikan untuk kepentingan yang lebih besar yaitu menyelamatkan perekonomian negara yang mana hal ini justru untuk menciptakan manfaat yang lebih besar.
Implikasi pandemi Covid-19 telah berdampak pula terhadap ancaman semakin memburuknya sistem keuangan yang berisiko pada ketidakstabilan makro ekonomi dan sistem keuangan yang perlu dimitigasi bersama oleh Pemerintah dan lembaga terkait dengan melakukan tindakan antisipasi guna menjaga stabilitas sektor keuangan. Bahwa kedalaman implikasi Covid-19 terhadap perekonomian sulit diukur karena puncak pandemi Covid-19 belum dapat dipastikan waktunya. Implikasi ekonomi yang ditimbulkan oleh Covid-19 terhadap perekonomian sangat dalam sehingga semua skenario perlu disiapkan untuk menghadapi situasi yang paling buruk, bahkan dalam bentuk 53 “ worst case scenario ”. Maka pemerintah dan lembaga terkait perlu mengambil langkah luar biasa dalam rangka penyelamatan perekonomian nasional dengan berbagai kebijakan relaksasi yang berkaitan dengan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dengan melakukan peningkatan belanja untuk kesehatan, jaring pengaman sosial dan pemulihan perekonomian, serta memperkuat kewenangan berbagai lembaga dalam sektor keuangan.
Bahwa Para Pemohon Perkara 37 dan Pemohon Perkara 45 mendalilkan UU a quo melampaui dari ruang lingkup yang diatur di dalam Pasal 1 karenanya senyatanya Pasal 2 ayat (1) huruf a justru mengatur dalam jangka waktu sampai dengan 2022 bahkan sampai 2023. Selain itu, negara-negara lain, pemerintahnya tidak diberi kewenangan khusus dalam bidang anggaran selama bertahun-tahun. Terhadap dalil tersebut, DPR berpandangan sebagai berikut:
Dalam Lampiran UU 2/2020 tetap terdapat pembatasan- pembatasan yaitu: Pertama, kewenangan menetapkan defisit melampaui 3% dari PDB hanya berlaku paling lama sampai dengan berakhirnya Tahun Anggaran 2022 (dalam jangka waktu kurang lebih 2 tahun atau bisa kurang dari waktu tersebut jika recovery ekonomi dapat berjalan lebih cepat); dan penyesuaian besaran defisit tersebut dilakukan secara bertahap. Sebagai perbandingan dengan negara lain, Amerika Serikat, Australia, Singapura, dan Malaysia telah mengeluarkan stimulus fiskal yang mencapai lebih dari 10% PDB-nya. Amerika Serikat hanya dalam waktu kurang dari 3 bulan menambah utang dengan 3 Triliun US$ yang jumlah tersebut sama dengan jumlah 3 kali PDB Indonesia. (Lampiran II). Kedua , pelebaran defisit tersebut tetap dalam koridor jumlah pinjaman yang dapat dilakukan dalam rangka pelaksanaan pelebaran defisit tersebut yaitu di batasi maksimal 60% (enam puluh persen) dari PDB sesuai UU Keuangan Negara 2) Bahwa defisit anggaran yang tidak dapat dihindari tersebut tentunya butuh penanganan sehingga meningkatnya besaran utang negara adalah suatu hal yang pasti terjadi. Solusi ini adalah satu diantara upaya-upaya yang dilakukan oleh Pemerintah selain 54 melakukan penyesuaian besaran belanja wajib, pergeseran anggaran antar unit organisasi, antar fungsi dan/atau antar program dan lain sebagainya sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 2 Lampiran UU 2/2020.
Bahwa konsekuensi dari pelebaran defisit tersebut tentunya berdampak pada tahun-tahun berikutnya. Sehingga penentuan atau pembatasan APBN sampai tahun anggaran 2022 merupakan pilihan kebijakan yang logis. Oleh karena itu, Pemerintah memberikan prediksi dengan menetapkan batasan defisit anggaran melampaui 3% dari PDB sampai dengan tahun anggaran 2022. Sedangkan pada tahun anggaran 2023, Pemerintah optimis besaran defisit anggaran akan kembali menjadi paling tinggi sebesar 3% dari PDB. Hal ini merupakan optimisme Pemerintah dalam mengupayakan perbaikan kondisi perekonomian dan keuangan nasional. Hal ini harus dipahami oleh Para Pemohon a quo mengingat kondisi dan kemampuan setiap negara berikut kebijakan-kebijakan yang diambil tidak dapat disamaratakan karena karakteristik dan tren pertumbuhan perekonomiannya yang juga tidak sama.
Bahwa APBN Tahun Anggaran 2021 dan Tahun 2022 dalam lampiran UU 2/2020 ini tidak diatur karena UU APBN Tahun Anggaran 2021 dan Tahun Anggaran 2022 belum disusun dan diundangkan ketika pengundangan UU 2/2020. Dalam penyusunan APBN Tahun Anggaran 2021 dan Tahun Anggaran 2022 tetap diberlakukan mekanisme penyusunan APBN sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan sehingga esensi Pasal 23 UUD NRI Tahun 1945 tetap terjaga.
DPR menerangkan pembentukan Perppu merupakan kewenangan konstitusional Presiden sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 22 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Baru selanjutnya diberlakukan ketentuan Pasal 22 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang merupakan kewenangan konstitusional DPR RI untuk memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan atas Perppu yang dibentuk oleh Presiden pada masa sidang yang berikutnya. 55 Karakter hukum UU APBN yang merupakan undang-undang penetapan, berbeda dengan undang-undang pengaturan pada umumnya. Karena sifat hukumnya tersebut, UU APBN sebenarnya merupakan domain pemerintah dalam perumusan dan perencanaannya, yang kemudian membutuhkan hak budget DPR untuk menyetujui atau tidak. Dalam hal kondisi kedaruratan, persetujuan tidak ditempatkan di awal, melainkan sekalian di akhir pelaksanaan dengan maksud terjadinya perubahan konsep hak budget DPR yang sebelumnya menguji pengeluaran negara untuk kebutuhan di tahun berjalan, menjadi menguji pengeluaran negara untuk kemanfataan di tahun berjalan. Keduanya sama-sama tetap menggunakan dan menjalankan hak budget DPR, di mana hak budget keadaan normal, alokasi yang tidak disetujui DPR karena belum menjadi kebutuhan akan dicoret atau ditarik. Sedangkan dalam keadaan darurat, alokasi yang tidak disetujui karena tidak sesuai kemanfaatannya harus dipertanggungjawabkan pemerintah dalam berbagai bentuk, yaitu meminta Badan Pemeriksa Keuangan melakukan pemeriksaan dan melaporkannya kepada DPR, meminta pemerintah melakukan koreksi dan pengembalian sesuai dengan rekomendasi pemeriksaan BPK, atau DPR dapat menggunakan hak yang dimilikinya dalam mengawasi penggunaan APBN keadaan darurat.
Selain itu terkait keinginan Pemohon Perkara 45 agar RUU APBN Tahun 2021 dibahas Pemerintah dengan DPR RI senyatanya sudah disampaikan Pemerintah dalam rangkaian rapat paripurna tertanggal 12 Mei 2020, 14 Juli 2020, dan 14 Agustus 2020 (Lampiran II, Lampiran III dan lampiran IV). Sebagai tambahan informasi, pada 25 September 2020, Kemenkeu selaku yang mewakili Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyepakati Rancangan Undang-Undang (RUU) Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2021 di Banggar dan Pemerintah bersama DPR telah menyetujui defisit anggaran sebesar 5,7% dari PDB pada Rapat Paripurna DPR tanggal 29 September 2020. Semua fraksi DPR juga 56 menyampaikan bahwa kondisi Covid-19 masih belum memberikan kepastian pada tahun 2021, sehingga Pemerintah dengan pimpinan Banggar dan para anggota Banggar bersama-sama memformulasikan RUU APBN 2021 yang disatu sisi memberikan signal kepada masyarakat, dunia usaha bahwa pemerintah terus melakukan support agar mereka bisa pulih dan bangkit kembali, namun di sisi lain juga memberikan sinyal kehati-hatian, sinyal prudent atau kebijakan dalam menjaga keseluruhan dan keberlangsungan APBN.
Oleh karenanya dalil bahwa kewenangan penetapan UU APBN oleh DPR menjadi nihil, (dalam hal ini dalil tersebut juga disampaikan oleh Para Pemohon Perkara 42) adalah anggapan yang salah. Hal ini disebabkan perubahan mekanismenya saja, yang sebelumnya Hak Budget DPR dilakukan di awal menjadi di akhir setelah diterbitkannya LKPP. Selain itu, dalam memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap penetapan Perppu 1/2020 menjadi undang-undang tersebut, tentunya DPR mengkaji terlebih dahulu urgensi dan implikasi pemberlakuan ketentuan dalam Perppu tersebut sebagai undang-undang sebelum dilakukan penetapan Perppu tersebut sebagai undang-undang. Pengaturan dalam Perppu ini tidak berarti menghilangkan mekanisme persetujuan DPR dalam penetapan UU APBN mengingat UU APBN Tahun Anggaran 2020 telah ditetapkan, dan UU APBN Tahun Anggaran 2021 telah dibahas oleh DPR dan Pemerintah, dan UU APBN Tahun Anggaran 2022 masih belum disusun dan belum diajukan oleh Pemerintah kepada DPR RI.
Pandangan DPR terkait penggunaan dana yang bersumber dari Dana Abadi Pendidikan untuk penanganan Pandemi Covid-19, DPR.
Akumulasi dana abadi pendidikan yang dimaksud dalam Pasal a quo adalah akumulasi dana abadi dari tahun-tahun sebelumnya dan tidak termasuk porsi dana abadi pendidikan yang dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun berjalan ( vide Penjelasan Pasal 2 ayat (1) huruf e UU a quo ). 57 b. Anggaran dana pendidikan yang sudah dialokasikan dalam UU APBN tahun berjalan tidak termasuk dalam objek yang diatur dalam ketentuan Pasal a quo sehingga kewajiban Pemerintah untuk memenuhi mandatory spending dana pendidikan sebesar 20% tetap dilaksanakan. Oleh karena itu yang dapat digunakan oleh Pemerintah dalam realokasi penggunaan dana abadi pendidikan dan akumulasi dana pendidikan untuk penanganan Pandemi Covid-19 tidak mengganggu alokasi dana pendidikan yang sudah ditetapkan dalam UU APBN sebesar 20%.
Bahwa penggunaan dana abadi sebagai sumber pembiayaan APBN tahun berjalan merupakan salah satu opsi yang dipersiapkan pemerintah dalam penanganan pandemi Covid-19. Opsi tersebut hanya akan dipergunakan apabila seluruh pembiayaan lain yang tersedia tidak memenuhi kebutuhan pembiayaan pemerintah dalam penanganan pandemi Covid-19. Namun demikian, pemanfaatannya akan tetap memperhitungkan efektivitas dan ketepatan dibandingkan dengan surnber-sumber lain yang ada.
Pandangan DPR terkait kewenangan Pemerintah untuk menerbitkan Surat Utang Negara dan/atau Surat Berharga Syariah Negara dengan tujuan tertentu dan independensi Bank Indonesia a. Bahwa dasar hukum penerbitan SUN adalah Pasal 55 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (selanjutnya di sebut UU BI), yang berketentuan: ( 1) Dalam hal Pemerintah akan menerbitkan surat-surat utang negara, Pemerintah wajib terlebih dahulu berkonsultasi dengan Bank Indonesia. (2) Sebelum menerbitkan surat utang negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah wajib berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat. (3 ) Bank Indonesia dapat membantu penerbitan surat-surat utang negara yang diterbitkan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (4).... Dalam penerbitan Surat Utang Negara tersebut, terdapat peran DPR dalam mekanisme penerbitan surat utang negara berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (1) dan ayat (3) UU Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara (UU SUN) yang mengatur bahwa Penerbitan Surat Utang Negara harus terlebih dahulu mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat yang diberikan pada saat 58 pengesahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Mekanisme ini harus tetap dilakukan oleh Pemerintah.
Dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (UU SBSN) diatur bahwa SBSN diterbitkan dengan tujuan untuk membiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara termasuk membiayai pembangunan proyek. Kewenangan menerbitkan SBSN berada pada Pemerintah dilaksanakan oleh Menteri dapat dilaksanakan secara langsung oleh Pemerintah atau melalui Perusahaan Penerbit SBSN. Dalam hal akan dilakukan penerbitan SBSN untuk tujuan membiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara termasuk membiayai pembangunan proyek, Menteri terlebih dahulu berkoordinasi dengan Bank Indonesia.
Ketentuan Pasal 8 UU SBSN mengatur bahwa Penerbitan SBSN harus terlebih dahulu mendapat persetujuan DPR pada saat pengesahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diperhitungkan sebagai bagian dari Nilai Bersih Maksimal Surat Berharga Negara yang akan diterbitkan oleh Pemerintah dalam satu tahun anggaran. Dalam rangka kedaruratan penanganan Covid-19 dan implikasinya terhadap kondisi perekonomian nasional, hal ini juga menjadi pertimbangan Presiden dalam penyusunan Perppu 1/2020 dan penetapannya sebagai undang-undang oleh DPR melalui UU 2/2020. Ketentuan Pasal 8 UU SBSN ini tidak disebutkan dalam ketentuan Pasal 28 lampiran UU 2/2020, sehingga masih berlaku dan harus dilaksanakan oleh Pemerintah.
Pasal 2 ayat (1) huruf f, Pasal 16 ayat (1) huruf c, dan Pasal 19 ayat (3) Lampiran UU 2/2020 mengatur bahwa Bl dapat membeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana atau primer. Pengaturan tersebut melengkapi ketentuan Pasal 55 ayat (4) UU Bl yang memberikan kewenangan Bl untuk membeli SUN di pasar primer atau perdana berjangka pendek yang diperlukan oleh Bl untuk operasi pengendalian moneter. Pengaturan pada Pasal 55 ayat (4) UU Bl dimaksudkan untuk menjalankan tugas Bl dalam kondisi normal. Sementara saat ini, Presiden telah memutuskan kondisi kegentingan yang memaksa serta kekosongan hukum karena pandemi Covid-19 sehingga diterbitkan 59 Perppu 1/2020. Dalarn mengatasi kondisi tersebut, diperlukan stimulus fiskal yang dapat berimplikasi pada pelebaran defisit APBN. Oleh karena itu, peran Bl perlu diperluas sehingga Bl dapat melakukan pembelian SUN dan/atau SBSN jangka panjang di pasar perdana khususnya dalam rangka penanganan permasalahan sistem keuangan yang membahayakan perekonomian nasional, termasuk SUN dan/atau SBSN yang diterbitkan dengan tujuan tertentu khususnya dalam rangka pandemi Covid-19.
Ketentuan dalam Pasal 16 ayat (1) hurut c Lampiran UU 2/2020 dimaksudkan untuk memberikan kelengkapan payung hukum bagi Bl untuk menetapkan dan melaksanakan kebijakan pembelian SUN dan/atau SBSN berjangka panjang di pasar perdana untuk penanganan permasalahan sistem keuangan yang membahayakan perekonomian nasional, termasuk SUN dan/atau SBSN yang diterbitkan dengan tujuan tertentu khususnya dalam rangka pandemi Covid-19. Dengan adanya ketentuan-ketentuan dalam Lampiran UU 2/2020, terbuka ruang baru bagi Bl dalam rnerumuskan dan rnelaksanakan kebijakan moneter melalui pembelian SUN di pasar primer atau perdana, baik yang berjangka pendek maupun panjang, untuk digunakan dalam operasi pengendalian moneter maupun yang diperlukan untuk pemulihan ekonomi nasional.
Pembelian SUN dan/atau SBSN oleh Bl di pasar perdana dilakukan untuk membantu pemerintah dalam pemenuhan pembiayaan APBN dan pembiayaan pelaksanaan pemulihan ekonomi nasional termasuk menjaga stabilitas sistem keuangan nasional yang menjadi peran Bl sebagai otoritas moneter dan bukan mengintervensi Bl dalam pelaksanaan tugasnya. Proses untuk membeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana merupakan mandat yang diberikan oleh UU 2/2020 sehingga sama sekali tidak ada intervensi terhadap independensi Bl.
Perlu dicermati pula bahwa SUN dan/atau SBSN yang diterbitkan oleh Pemerintah tidak wajib untuk dibeli oleh Bl. Rumusan-rumusan ketentuan dalam Lampiran UU 2/2020 terkait kewenangan Bl untuk membeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana memuat kata "dapat". Penggunaan frasa "dapat" dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) huruf f dan 60 Pasal 19 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 dimaknai bahwa tidak ada unsur kewajiban bagi Bl yang dapat menghilangkan independensi Bl sebagai bank sentral untuk memutuskan pembelian SUN dan/atau SBSN di pasar perdana. Pembelian SUN dan/atau SBSN didasarkan sesuai pertimbangan Bl dalam menjalankan tugasnya.
Kewenangan Bl untuk membeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana sebagaimana diatur dalam Lampiran UU 2/2020 dilaksanakan dengan tetap menjaga independensi Bl. Pasal 23D UUD NRI Tahun 1945 jo. Pasal 4 ayat (2) UU Bl telah mengatur bahwa Bl merupakan lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pemerintah dan/atau pihak lain. Pelaksanaan tugas dan wewenang Bl akan tetap berjalan secara efektif dengan berlakunya ketentuan dalam Lampiran UU 2/2020.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (3) UU a quo , kewenangan tersebut harus memenuhi skema dan mekanisme pembelian yang diatur bersama antara Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia dengan Keputusan Bersama Menteri Keuangan dan Gubernur Bl Nomor 190/KMK.08/2020 dan Nomor 22/4/KEP.GBl/2020 tanggal 16 April 2020 dengan menerapkan prinsip:
mengutamakan mekanisme pasar;
mempertimbangkan dampaknya terhadap inflasi secara terukur;
SUN dan/atau SBSN yang dapat dibeli oleh Bl bersifat tradable dan marketable ; dan
Bl sebagai pembeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana merupakan last resort dalam hal kapasitas pasar tidak mampu menyerap dan/atau menyebabkan kenaikan yield yang terlalu tinggi.
Pandangan DPR terkait penetapan sumber-sumber pembiayaan Anggaran yang berasal dari dalam dan/atau luar negeri dan pengaturan perubahan postur APBN melalui Peraturan Presiden sebagaimana diatur dalam UU a quo a. Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. Kekuasaan tersebut meliputi kewenangan yang bersifat 61 umum dan kewenangan yang bersifat khusus. Untuk membantu Presiden dalam penyelenggaraan kekuasaan dimaksud, sebagian dari kekuasaan tersebut dikuasakan kepada Menteri Keuangan selaku Pengelola Fiskal dan Wakil Pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan, serta kepada Menteri/Pimpinan Lembaga selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya. Menteri Keuangan sebagai pembantu Presiden dalam bidang keuangan pada hakekatnya adalah Chief Financial Officer (CFO) Pemerintah Republik Indonesia, sementara setiap menteri/pimpinan lembaga pada hakekatnya adalah Chief Operational Officer (COO) untuk suatu bidang tertentu pemerintahan. Prinsip ini perlu dilaksanakan secara konsisten agar terdapat kejelasan dalam pembagian wewenang dan tanggung jawab, terlaksananya mekanisme checks and balances serta untuk mendorong upaya peningkatan profesionalisme dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan. Sub bidang pengelolaan fiskal meliputi fungsi-fungsi pengelolaan kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro, penganggaran, administrasi perpajakan, administrasi kepabeanan, perbendaharaan, dan pengawasan keuangan.
Pengecualian Pelaksanaan Kebijakan Keuangan Negara dalam Perppu ini sebagaimana diatur dalam Pasal 12 ayat (2) lampiran UU 2/2020 a quo : “ Perubahan postur dan/atau rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara dan langkah-langkah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 11 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden.” Ketentuan tersebut hanya berlaku sepanjang berkaitan dengan kebijakan keuangan negara untuk penanganan penyebaran Covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan berdasarkan Perppu ini ( Vide Pasal 28 lampiran UU 2/2020). Dalam kondisi kembali normal semua ketentuan dalam UU MD3 berlaku seperti semula termasuk dalam hal mekanisme pembahasan APBN dan APBNP yang harus tetap mendapatkan persetujuan DPR. Selain itu meskipun APBN 62 Perubahan ditetapkan dengan Peraturan Presiden karena situasi yang mendesak berdasarkan Perppu 1/2020 yang selanjutnya menjadi lampiran UU 2/2020, tetapi pertanggungjawaban APBN tetap kepada DPR.
Bahwa terkait dengan sumber-sumber pembiayaan negara, Pasal 12 ayat (3) UU Keuangan Negara mengatur bahwa dalam hal anggaran diperkirakan defisit, ditetapkan sumber-sumber pembiayaan untuk menutup defisit tersebut dalam Undang-undang tentang APBN. Dan penjelasan Pasal 12 ayat (3) UU Keuangan Negara tersebut mengatur bahwa jumlah pinjaman dibatasi maksimal 60% dari Produk Domestik Bruto. Ketentuan dalam penjelasan ini juga menjadi bagian yang dinyatakan tidak berlaku dalam Pasal 28 angka 3 lampiran UU 2/2020. Namun pada dasarnya, penetapan sumber-sumber pembiayaan tersebut diperbolehkan hanya saja batasan yang ada dalam penjelasan pasal tersebut tidak diberlakukan selama penanganan Covid-19 ini atau hingga tahun 2021. Selain itu, persebaran Covid-19 yang masif dan cepat ini membutuhkan penanganan cepat namun yang tidak dapat dilaksanakan melalui mekanisme APBN, sehingga telah jelas tidak ada pelanggaran prinsip pengelolaan keuangan negara dan tetap sejalan dengan prinsip negara hukum sebagaimana diatur oleh Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945.
Ketentuan Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 sama sekali tidak menghilangkan peran dan fungsi DPR, karena dengan telah disetujui dan ditetapkannya Perppu1/2020 menjadi UU 2/2020, telah menunjukkan bahwa perubahan postur dan/atau rincian APBN dengan Peraturan Presiden yang diatur dalam ketentuan Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 tersebut telah mendapat persetujuan DPR. Selain itu, dalam pembentukan Peraturan Presiden tentang perubahan postur dan/atau rincian APBN, Pemerintah selalu mengkomunikasikannya dan melakukan pembahasan bersama dengan DPR. DPR dapat memberikan masukan dan rekomendasi kepada Pemerintah terkait postur dan/atau rincian APBN tersebut. Oleh karena itu, Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 __ yang mengatur bahwa perubahan postur dan/atau rincian APBN dilakukan dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden, sama sekali 63 tidak menghilangkan peran dan fungsi DPR. Pengaturan perubahan postur dan/atau rincian APBN dalam ketentuan Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 telah diselaraskan dengan dicabutnya ketentuan Pasal 27 ayat (3) UU Keuangan Negara, Pasal 177 huruf c angka 2 dan Pasal 182 UU MD3, serta Pasal 40 UU APBN 2020 (vide ketentuan Pasal 28 angka 3, 10, dan 12 Lampiran UU 2/2020). Pencabutan berbagai ketentuan yang diatur dalam Pasal 28 angka 3, 10, dan 12 Lampiran UU 2/2020 tersebut, merupakan upaya harmonisasi agar tidak ada dualisme aturan atas satu permasalahan. Dengan demikian, ketentuan Pasal 28 angka 3, 10, dan 12 Lampiran UU 2/2020 telah memberikan kepastian hukum atas pelaksanaan ketentuan Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020, yaitu bahwa perubahan postur dan/atau rincian APBN dilakukan dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden.
Pandangan DPR Terhadap Kebijakan Di Bidang Keuangan Daerah sebagaimana diatur dalam UU a quo a. Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945, Pemerintah Daerah telah diberikan kewenangan untuk mengatur dan mengurus sendi r i urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda). Penjelasan umum UU Pemda menyatakan bahwa pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah dilaksanakan berdasarkan prinsip negara kesatuan. Dalam negara kesatuan, kedaulatan hanya ada pada pemerintahan negara atau pemerintahan nasional dan tidak terdapat kedaulatan pada pemerintahan daerah. Oleh karena itu, seluas apapun otonomi yang diberikan kepada daerah, tanggung jawab akhir penyelenggaraan pemerintahan daerah akan tetap ada di tangan pemerintah pusat. Untuk itu pemerintahan daerah pada negara kesatuan merupakan satu kesatuan dengan pemerintahan nasional.
Kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan oleh daerah merupakan bagian integral dari kebijakan nasional. Pembedanya, terletak pada bagaimana memanfaatkan kearifan, potensi, inovasi, daya saing, dan kreativitas daerah untuk mencapai tujuan nasional tersebut di tingkat lokal yang 64 pada gilirannya akan mendukung pencapaian tujuan nasional secara keseluruhan. Pada kondisi pandemi Covid-19, hal yang perlu diperhatikan dalarn pelaksanaan kebijakan keuangan di daerah adalah kecepatan dan ketepatan untuk menyesuaikan anggaran sehingga tepat sasaran. Lebih lanjut, berdasarkan dengan Pasa l 6 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (UU Keuangan Negara), kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan, telah diserahkan kepada kepada gubernur/bupati/wali kota untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili Pemerintah Daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan.
Namun demikian, dalam pelaksanaannya, penyelenggaraan pemerintahan daerah, termasuk keuangan daerah, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam UU Pemda sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015. Dalam ketentuan Pasal 9 ayat (2) UU Pemda disebutkan urusan absolut adalah urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat. Lebih Ianjut dalam ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf e UU Pemda disebutkan jika salah satu urusan pemerintahan absolut tersebut adalah urusan moneter dan fiskal nasional. Dalam menangani pandemi Covid-19 dan menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan, kebijakan yang diterapkan di bidang keuangan negara yang memberikan relaksasi untuk refocusing APBN, sudah seharusnya juga diterapkan pada pemerintahan daerah, khususnya dalam hal relaksasi untuk refocusing APBD. Oleh karena itu, kebersarnaan dan gotong royong oleh pemerintah pusat dan Pemerintah Daerah dapat menuntaskan permasalahan kesehatan dan ekonomi dampak Covid-19.
Sesuai ketentuan Pasal 8 UU Pemda, telah diatur bahwa pembinaan dan pengawasan terhadap urusan penyelenggaraan pemerintahan oleh daerah dikoordinasikan oleh Menteri Dalam Negeri. Hal tersebut dapat menjadi landasan Kementerian Dalam Negeri untuk memberikan petunjuk/pedoman tentang keuangan daerah kepada Pemerintah Daerah agar penggunaan realokasil refocusing seragam dan terarah 65 bagi seluruh daerah. Sebagaimana telah diatur dalam Pasal 280 UU Pemda, dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang diserahkan dan/atau ditugaskan, penyelenggara pemerintahan daerah memiliki kewajiban dalam pengelolaan keuangan daerah antara lain meliputi sinkronisasi pencapaian sasaran program daerah dalam APBD dengan program pemerintah pusat.
Sejalan dengan hal tersebut, guna mencapai penanganan yang bersifat holistik dan terpadu atas pandemi Covid-19 dan dampaknya, maka diperlukan pula peran daerah melalui APBD. Untuk itu, Pemerintah Daerah diberikan kewenangan untuk melakukan refocusing, perubahan alokasi dan penggunaan APBD. Dalam rangka memberikan pedoman/guidance kepada Pemerintah Daerah, maka Kemendagri telah menerbitkan Permendagri Nomor 39 Tahun 2020 tentang Pengutamaan Penggunaan Alokasi Anggaran Untuk Kegiatan Tertentu, Perubahan Alokasi dan Penggunaan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah yang mengatur ketentuan umum dan teknis pelaksanaan refocusing, perubahan alokasi, dan penggunaan APBD untuk penanganan pandemi Covid-19 beserta dampaknya di daerah. Dengan demikian, Permendagri tersebut tidak akan mendikte Pemerintah Daerah dalam melakukan refocusing, perubahan alokasi dan penggunaan APBD, melainkan sebatas memberikan petunjuk dan menciptakan keseragaman tindak lanjut kedaruratan dalam melakukan refocusing guna mencapai tujuan nasional. Selain itu, dengan tidak diajukannya pengujian ketentuan Pasal 3 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 oleh Pemohon, maka Pemohon telah menyadari dan rnernahami bahwa pemberian kewenangan kepada daerah untuk melakukan refocusing, perubahan alokasi, dan penggunaan APBD, merupakan kebijakan yang penting dan diperlukan Pemerintah Daerah dalam penanganan dampak Covid-19.
Pandangan DPR Terhadap Materi Muatan mengenai “Kebijakan Di Bidang Perpajakan dan Kepabeanan” sebagaimana diatur dalam UU a quo a. Terkait dengan perpajakan, Kementerian keuangan telah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 34/PMK.04/2020 tentang Pemberian Fasilitas Kepabeanan Dan/Atau Cukai Serta Perpajakan Atas 66 Impor Barang Untuk Keperluan Penanganan pandemi Covid-19 sebagaimana telah diubah dengan PMK 83/PMK.04/2020 dengan pertimbangan untuk percepatan pelayanan dalam pemberian fasilitas fiskal atas impor barang yang diperlukan dalarn penanganan pandemi Covid-19, perlu mengatur ketentuan mengenai perlakuan kepabeanan dan/atau cukai serta perpajakan atas impor barang yang diperlukan dalam penanganan pandemi Covid-19. Dalam PMK tersebut diatur Atas impor barang untuk keperluan penanganan pandemi Covid-19 diberikan fasilitas kepabeanan dan/atau cukai serta perpajakan berupa: a) pembebasan bea masuk dan/atau cukai; b) tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah; dan c) dibebaskan dari pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22. terhadap jenis barang yang tercantum dalam Lampiran Huruf A PMK tersebut yang dapat dilakukan melalui pusat logistik berikat.
Pengaturan Pasal 10 lampiran UU 2/2020 ini tidak bertentangan dengan Pasal 25 dan Pasal 26 UU Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan yang telah diubah dengan UU Nomor 17 Tahun 2006 (UU Kepabeanan). Pengaturan perubahan ketentuan Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26 ayat (1) UU Kepabeanan tersebut dalam rangka penanganan Covid-19 ini tentukan diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan tentu tidak dapat serta merta dianggap kesalahan karena anggapan Para Pemohon bahwa ketentuan dalam UU tidak dapat diubah melalui peraturan perundang-undangan yang tidak setara. Hal ini dilakukan karena apa yang terjadi dan butuh penanganan cepat tidak sesuai dan tidak termasuk dalam pengaturan dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26 ayat (1) UU Kepabeanan. Barang-barang tersebut tidak termasuk barang yang dipergunakan untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak termasuk obat-obatan yang pengadaannya menggunakan anggaran keuangan negara.
Perubahan ketentuan Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26 ayat (1) UU Kepabeanan tersebut dengan UU perubahan tentu akan memerlukan waktu yang lama mengingat prosedur penyusunan UU beserta tahapan- tahapannya tidak dapat dilakukan dalam waktu singkat. Penentuan ini 67 juga tentunya memperhatikan pengaturan yang ada dalam Pasal 25 ayat (3) UU Kepabeanan yang menyatakan “ Ketentuan tentang pembebasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri ” dan Pasal 26 ayat (3) UU Kepabeanan yang menyatakan “ Ketentuan mengenai pembebasan atau keringanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan Menteri”. Sejalan dengan adanya amanat pengaturan peraturan pelaksanaan UU sebagaimana dalam Pasal 25 ayat (3) dan Pasal 26 ayat (3) UU Kepabeanan, maka hal ini jelas ditujukan untuk simplifikasi proses dalam kondisi yang genting, yang sudah jelas tidak berarti bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 sebagaimana yang telah didalilkan oleh Para Pemohon Perkara 37.
Tidak adanya pernyataan Presiden bahwa negara dalam kondisi krisis sehingga tidak diperlukan adanya program stabilitasi perekonomian dan keuangan nasional termasuk pengurangan pajak dan bea masuk barang impor sebagaimana yang dinyatakan Para Pemohon Perkara 42, hal tersebut tidaklah benar. Dalam berbagai pidatonya, Presiden, DPR dan Menteri keuangan berulang kali menyampaikan kondisi perekonomian nasional dan kekhawatiran apabila tidak dilakukan upaya penanganan segera tanpa perlu menyatakan “Indonesia dalam keadaan krisis” pun keadaan tersebut dirasakan oleh masyarakat secara luas khususnya setelah adanya pandemi Covid-19. Pengurangan pajak dilakukan karena pajak dipungut dari warga negara dan kondisi perekonomian nasional sedang tidak dalam keadaan baik. Hal ini justru akan membebani masyarakat apabila tidak dilakukan pengurangan pajak. Selain itu, kebijakan terkait bea masuk barang impor tidak diberlakukan pada seluruh objek bea masuk melainkan pada alat-alat kesehatan dan obat- obatan yang dibutuhkan oleh masyarakat dalam rangka penanganan pandemi Covid-19. Oleh karenanya, pengaturan dan pengawasan pengelolaan keuangan negara selama masa pandemi Covid-19 ini terlapor secara jelas kepada DPR dan dilaksanakan sesuai dengan asas- asas pengelolaan keuangan negara dan asas-asas umum penyelenggaraan pemerintahan yang baik. 68 e. Bahwa terkait dalil Para Pemohon Perkara 37 yang menyatakan bahwa pemberian keringanan pajak tanpa dibarengi dengan adanya larangan PHK tidaklah tepat. DPR menerangkan bahwa pelarangan PHK tidak dapat diberlakukan oleh Pemerintah mengingat kondisi keuangan setiap perusahaan tidak sama satu sama lain berikut besar skalanya. Keringanan pajak tersebut diberikan dengan harapan mampu menstimulus perkembangan perusahaan sehingga besarnyapun tidak akan sama bagi setiap perusahaan tergantung pada skala perusahaan dan bidang usaha perusahaan tersebut. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) mengatur bahwa Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan perintah. Dalam UU Ketenagakerjaan tersebut telah diatur mengenai pemutusan hubungan kerja dan adanya perjanjian kerja. Selain itu, ketenagakerjaan merupakan hubungan perdata antara pekerja dan pemberi kerja/pengusaha.
Bahwa terkait dalil Para Pemohon Perkara 37 mengenai pajak untuk perdagangan melalui sistem elektronik tidak memenuhi unsur kegentingan yang memaksa dan seharusnya diatur dalam undang- undang, DPR menerangkan bahwa:
Langkah-langkah pencegahan yang relatif ketat untuk membatasi meluasnya penyebaran pandemi Covid-19 menyebabkan turunnya permintaan atas produk nasional. Dampak selanjutnya, banyak perusahaan yang mengalami kesulitan cash flow sehingga menurunkan kemampuan dalam membayar pajak. Akibatnya, penerimaan perpajakan seperti PPh Badan mengalami penurunan secara signifikan. Berkurangnya aktivitas perdagangan internasional secara signifikan juga mengakibatkan turunnya penerimaan pajak dari impor dan bea masuk. Selain itu, penerimaan perpajakan juga mengalami tekanan dari turunnya harga minyak dunia, bahan mineral, dan CPO yang merupakan komponen penting dalam menghitung PPh migas dan bea keluar. Kinerja penerimaan perpajakan diperkirakan akan melemah pada 69 tahun 2020 dengan tax ratio berpotensi berada di bawah 9 persen, terendah dalam dua dekade terakhir.
Menghadapi kondisi perekonomian dan pandemi Covid-19, kebijakan dan strategi perpajakan jangka menengah ditujukan untuk mendorong percepatan pemulihan ekonomi nasional pasca pandemi Covid-19 dan meningkatkan pendapatan negara. Di tengah ketidakpastian akan akhir dari pandemi Covid-19, dukungan terhadap dunia usaha mutlak diperlukan dalam rangka memitigasi dampak ekonomi yang timbul dan mendorong percepatan pemulihan ekonomi nasional. Untuk itu, langkah reformasi perpajakan yang pertama dilakukan adalah dengan memberikan relaksasi perpajakan kepada dunia usaha. Relaksasi perpajakan tersebut dimaksudkan untuk mengurangi beban kegiatan usaha dan membantu meningkatkan kondisi cash flow perusahaan, khususnya selama dan pasca pendemi Covid-19. Perusahaan dapat menggunakan pengurangan atau pembebasan pajak untuk menutupi kenaikan harga bahan input maupun penurunan penjualan sehingga tetap beroperasi secara normal. Efek selanjutnya adalah perusahaan diharapkan tidak melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sehingga karyawan mempunyai gaji untuk memenuhi kebutuhan hidup. Pada gilirannya hal tersebut akan kembali menggairahkan perekonomian nasional, baik dari sisi produksi maupun sisi konsumsi. Melalui penurunan tarif PPh badan, pembebasan PPh impor dan bea masuk sektor tertentu, serta berbagai fasilitas perpajakan lainnya, Pemerintah juga bermaksud meningkatkan daya saing guna mendorong aktivitas investasi sehingga dapat memacu pertumbuhan ekonomi nasional.
Dalam rangka meningkatkan pendapatan negara, khususnya penerimaan perpajakan, Pemerintah melakukan upaya perluasan basis pemajakan dan perbaikan administrasi perpajakan. Penambahan objek pajak baru yang dipungut oleh Negara sangat diperlukan dalam rangka meningkatkan tax ratio . Sebagai tahap awal, Pemerintah akan memungut pajak atas Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) atau yang lebih popular dengan sebutan 70 e-commerce . Dalam beberapa tahun terakhir, transaksi online berkembang begitu cepat dan berpotensi menggantikan pasar konvensional. Selain menjadi sumber pendapatan Negara, pemungutan pajak terhadap sektor PMSE juga dimaksudkan untuk memastikan terpenuhinya prinsip pemajakan yang berkeadilan ( fairness) antara semua pelaku usaha dan menciptakan level of playing field yang sama bagi pengusaha di dalam negeri untuk bertahan dan meningkatkan daya saingnya di tengah pandemi Covid-19. Selama ini, pelaku usaha ekonomi digital luar negeri mendapatkan penghasilan secara signifikan dari Indonesia tanpa perlu membayar pajak di Indonesia. Untuk itu, pemajakan atas PMSE diharapkan mampu menjadi sumber penting pendapatan negara mengingat nilai transaksinya yang besar di masa yang akan datang. Dengan demikian pengaturan obyek pajak baru dan mekanisme mekanisme peningkatan efektifitas pajak menjadi hal yang harus dilakukan untuk memenuhi kebutuhan belanja negara yang semakin tinggi dengan kondisi pemasukan negara yang tidak mencukupi.
Apabila pemajakan terhadap PMSE tidak segera diterapkan di Indonesia maka terjadi kekosongan hukum dan menjadi loopholes untuk penghindaran dan pengelakan pajak yang menyebabkan hilangnya potensi penerimaan pajak. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa akan memerlukan waktu yang cukup lama, apalagi di tengah pandemi Covid-19. Dengan demikian, kebijakan pemajakan PMSE dalam Lampiran UU 2/2020 sangat diperlukan sebagai dasar legal formal pemajakan atas PMSE. Dalam pelaksanaan PMSE tersebut, Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 48/PMK.03/2020 tentang Tata Cara Penunjukan Pemungut, Pemungutan, Dan Penyetoran, Serta Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai Atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud Dan/Atau Jasa Kena Pajak Dari Luar Daerah Pabean Di Dalam Daerah Pabean Melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik. Peraturan tersebut tentunya tidak lepas 71 dari pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009. Maka dengan diaturnya PSME dalam Perppu 1/2020 yang keberlakuannya setara dengan Undang-Undang dan telah ditetapkan sebagai Undang-Undang melalui UU 2/2020, maka dalil Para Pemohon Perkara 37 mengenai PSME harus diatur dalam undang-undang menjadi tidak beralasan menurut hukum.
Pandangan DPR Terhadap Keterbukaan Pemerintah Terhadap Pelaksanaan Kebijakan Keuangan Negara Sebagaimana Diatur dalam Ketentuan UU a quo .
Setiap penyelenggara negara wajib mengelola keuangan negara secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Pengelolaan dimaksud dalam UU Keuangan Negara mencakup keseluruhan kegiatan perencanaan, penguasaan, penggunaan, pengawasan, dan pertanggung-jawaban. Oleh karenanya, APBN, perubahan APBN, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN setiap tahun ditetapkan dengan undang-undang. Sedangkan APBD, perubahan APBD, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD setiap tahun ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Dengan ditetapkannya APBN, Perubahan APBN berikut pertanggungjawaban pelaksanaan APBN dalam Undang-Undang dan APBD, perubahan APBD berikut pertangungjawaban pelaksanaan APBD dalam Peraturan daerah, maka berlakulah fiksi hukum dalam masyarakat. Asas Fiksi Hukum beranggapan bahwa ketika suatu peraturan perundang- undangan telah diundangkan maka pada saat itu setiap orang dianggap tahu ( presumption iures de iure ) dan ketentuan tersebut berlaku mengikat sehingga ketidaktahuan seseorang akan hukum tidak dapat membebaskan/memaafkannya dari tuntutan hukum ( ignorantia jurist non 72 excusat ). Keberadaan asas fiksi hukum, telah dinormakan di dalam penjelasan Pasal 81 ketentuan UU 12/2011 yakni " Dengan diundangkannya Peraturan Perundang-undangan dalam lembaran resmi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini, setiap orang dianggap telah mengetahuinya ". Adapun lembaran resmi yang dimaksud di dalam ketentuan Pasal 81 terdiri dari 7 jenis yakni a. Lembaran Negara Republik Indonesia, b.Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, c.Berita Negara Republik Indonesia, d. Tambahan Berita Negara Republik Indonesia, e.Lembaran Daerah, f. Tambahan Lembaran Daerah, atau g. Berita Daerah.
Dalam rangka akuntabilitas pengelolaan keuangan negara menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota selaku pengguna anggaran/pengguna barang bertanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan yang ditetapkan dalam Undang-undang tentang APBN/Peraturan Daerah tentang APBD, dari segi manfaat/hasil ( outcome ). Sedangkan Pimpinan unit organisasi kementerian negara/lembaga bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan yang ditetapkan dalam undang-undang tentang APBN, demikian pula Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah tentang APBD, dari segi barang dan/atau jasa yang disediakan ( output ).
Oleh karena itu, dalam UU Perbendaharaan Negara diatur sanksi yang berlaku bagi menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota, serta Pimpinan unit organisasi kementerian negara/lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah yang terbukti melakukan penyimpangan kebijakan/kegiatan yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang tentang APBN/Peraturan Daerah tentang APBD. Ketentuan sanksi tersebut dimaksudkan sebagai upaya preventif dan represif, serta berfungsi sebagai jaminan atas ditaatinya Undang-undang tentang APBN/Peraturan Daerah tentang APBD yang bersangkutan. Selain itu perlu ditegaskan prinsip yang berlaku universal bahwa barang siapa yang diberi wewenang untuk menerima, menyimpan dan membayar atau menyerahkan uang, surat berharga atau barang milik negara bertanggungjawab secara pribadi atas semua kekurangan yang terjadi dalam pengurusannya. Kewajiban 73 untuk mengganti kerugian keuangan negara oleh para pengelola keuangan negara dimaksud merupakan unsur pengendalian intern yang andal.
Anggapan Para Pemohon Perkara 42 dan Para Pemohon Perkara 43 atas tidak terjadinya krisis perekonomian karena tidak adanya pernyataan dari Presiden terkait kondisi tersebut, hal ini sungguh tidak beralasan menurut hukum dan justru menunjukkan sikap ketidakpedulian Para Pemohon Perkara 42 dan Para Pemohon Perkara 43 atas kondisi negara dan kondisi yang ada dalam masyarakat secara umum. Dengan perkembangan teknologi dan akses berita yang mudah dan luas sekarang ini, informasi mengenai keuangan negara dapat diakses dengan mudah. Hal ini merupakan wujud transparansi pengelolaan keuangan negara karena keuangan negara menyangkut kepentingan publik.
Dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dijelaskan bahwa Informasi Publik adalah informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan/atau diterima oleh suatu badan publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara dan/atau penyelenggara dan penyelenggaraan badan publik lainnya yang sesuai dengan Undang-Undang ini serta informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan publik. Salah satu asas dalam UU tersebut adalah bahwa setiap Informasi Publik bersifat terbuka dan dapat diakses oleh setiap Pengguna Informasi Publik, kecuali terdapat ketentuan pengecualiannya. Informasi Publik yang dikecualikan bersifat rahasia sesuai dengan undang-undang, kepatutan, dan kepentingan umum didasarkan pada pengujian tentang konsekuensi yang timbul apabila suatu informasi diberikan kepada masyarakat serta setelah dipertimbangkan dengan saksama bahwa menutup Informasi Publik dapat melindungi kepentingan yang lebih besar daripada membukanya atau sebaliknya. Dalam hal ini, keuangan negara merupakan informasi yang tidak dikecualikan dan dengan jelas diatur adanya mekanisme-mekanisme penyampaian informasi keuangan negara dalam UU Keuangan Negara. 74 13. Pandangan DPR terkait penambahan kewenangan terhadap OJK sebagaimana diatur dalam UU a quo a. Setidaknya terdapat tiga kewenangan OJK dalam UU a quo . Salah satu amanat dari UU 2/2020 seperti yang tercantum dalam Pasal 23 ayat (1) yaitu memberi kewenangan dan pelaksanaan kebijakan OJK untuk memberikan perintah tertulis kepada lembaga jasa keuangan melakukan penggabungan , peleburan, pengambilalihan, integrasi dan/atau konversi . Langkah tersebut dapat dilakukan apabila diperlukan untuk mengantisipasi krisis jasa keuangan yang dapat membahayakan perekonomian nasional. Dalam menghadapi kondisi penuh risiko saat ini akibat Covid-19 maka daya tahan lembaga jasa keuangan sangat dibutuhkan khususnya dari sisi permodalan. Sehingga, salah satu cara untuk memperkuat daya tahan lembaga jasa keuangan tersebut dilakukan dengan cara penggabungan atau merger. Aksi merger tersebut diperlukan karena terdapat risiko besar akibat Covid-19 yang mengganggu kemampuan pembayaran perusahaan jasa keuangan khususnya perbankan, meskipun saat ini perbankan tetap masih membayarkan bunga deposito kepada nasabah tepat waktu. Di sisi lain, kemampuan membayar debitur atau peminjam dalam kondisi tidak stabil karena perlambatan ekonomi di berbagai sektor. Sehingga, aksi merger tersebut diharapkan dapat memperkuat daya tahan perusahaan jasa keuangan.
Otoritas Jasa Keuangan mengeluarkan berbagai kebijakan stimulus untuk mengantisipasi dampak pandemi Covid-19 di bidang lembaga jasa keuangan. Sejauh ini, setidaknya OJK telah menerbitkan lima Peraturan OJK (POJK) pada 21 April 2020 sebagai tindak lanjut kewenangan OJK dalam pelaksanaan UU 2/2020 Kebijakan stimulus ini salah satunya adalah Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Corona Virus Disease 2019.
Kekhawatiran Para Pemohon Perkara 37 dan Para Pemohon Perkara 42 terkait potensi kesewenang-wenangan OJK dalam melaksanakan kewenangannya yang diberikan oleh UU 2/2020 tentunya telah diantisipasi oleh Pemerintah dan OJK dengan adanya pedoman pelaksanaan kewenangan-kewenangan tersebut. Selain itu, bagi OJK selaku pelaksana 75 kewenangan yang diberikan oleh UU 2/2020 juga berlaku ketentuan Asas- Asas Umum Pemerintahan yang Baik sebagaimana diatur dalam UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dan UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
Pandangan DPR terkait pinjaman kepada LPS sebagaimana diatur dalam UU a quo a. Ketentuan Pasal 2 ayat (3) UU LPS, LPS merupakan lembaga yang independen. Sesuai ketentuan tersebut, telah jelas bahwa kedudukan LPS merupakan lembaga independen, bukan merupakan lembaga yang berada di bawah pemerintah. Pemberian kewenangan kepada LPS sebagaimana yang tercantum dalam Lampiran UU 2/2020, pada prinsipnya merupakan kewenangan yang telah diberikan oleh UU LPS, UU OJK , dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (UU PPKSK). Kewenangan yang diberikan kepada LPS sesuai Pasal 20 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 sifatnya lebih mempertegas guna mendukung pelaksanaan fungsi LPS dalam kondisi adanya pandemi Covid-19 dan/atau adanya ancaman perekonomian dan/atau stabilitas sistem keuangan. Kewenangan tersebut sudah jelas melekat dan seharusnya diberikan kepada LPS untuk dapat melaksanakan fungsi LPS sebagaimana diatur dalam UU LPS, yaitu menjamin simpanan nasabah penyimpan dan menjaga stabilitas sistem perbankan. Pemberian kewenangan bagi LPS untuk melaksanakan langkah-langkah penanganan permasalahan stabilitas sistem keuangan juga diiringi dengan wewenang bagi Pemerintah untuk mengatur lebih lanjut pelaksanaan kewenangan tersebut dalam Peraturan Pemerintah (vide Pasal 20 ayat (2) Lampira n UU 2/2020). Adanya atribusi dan mandat untuk melakukan pengaturan dalam peraturan perundang- undangan di bawah undang-undang dimaksudkan untuk memberikan koridor dalam pelaksanaan kewenangan LPS. Hal tersebut dimaksudkan selain untuk memberikan kepastian hukum, juga untuk menghindari LPS menginterpretasikan kewenangan yang diberikan dalam Lampiran UU 2/2020 secara luas yang dapat mengakibatkan penyalahgunaan wewenang. 76 b. Berdasarkan UU LPS, fungsi LPS adalah menjamin simpanan nasabah di bank dan turut aktif memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai kewenangannya. Berdasaran ketentuan dalam Pasal 85 ayat (1) UU LPS, dalam hal modal LPS menjadi kurang dari modal awal, Pemerintah dengan persetujuan DPR menutup kekurangan tersebut. Modal awal LPS ditetapkan sekurang-kurangnya Rp 4 triliun dan sebesar-besarnya Rp 8 triliun.
UU 2/2020 memberikan kewenangan kepada LPS yang di antaranya adalah melakukan pemeriksaan penanganan dan peningkatan intensitas persiapan Penanganan Bank bersama OJK dan melakukan pemilihan cara penanganan Bank Selain Bank Sistemik yang dinyatakan sebagai Bank Gagal dengan tidak hanya mempertimbangkan perkiraan biaya yang paling rendah ( least cost test ), tetapi juga mempertimbangkan kondisi perekonomian, kompleksitas permasalahan perbankan, kebutuhan waktu penanganan, ketersediaan investor, dan/atau efektivitas penanganan permasalahan Bank.
Sehubungan dengan kewenangan tersebut, UU 2/2020 mendelegasikan pengaturan kewenangan dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kewenangan LPS dalam Rangka Melaksanakan Langkah-Langkah Penanganan Permasalahan Stabilitas Sistem Keuangan. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah tersebut, LPS melakukan pemeriksaan bersama dalam rangka persiapan Penanganan Bank dan peningkatan intensitas persiapan Penanganan Bank serta melakukan pemilihan cara penanganan Bank Selain Bank Sistemik yang dinyatakan sebagai Bank Gagal.
Berdasarkan kewenangan dimaksud, dalam hal terdapat Bank yang mengalami permasalahan solvabilitas, LPS melakukan pemeriksaan bersama dengan OJK untuk penanganan permasalahan solvabilitas Bank. Disamping itu, selama pemulihan ekonomi sebagai akibat pandemi Covid-19, LPS dapat melakukan penempatan dana pada Bank untuk mengelola dan/atau meningkatkan likuiditas LPS dan/atau mengantisipasi dan/atau melakukan penanganan permasalahan Stabilitas Sistem Keuangan yang dapat menyebabkan terjadinya kegagalan Bank sebagai 77 bagian dari tindakan antisipasi ( forward looking ) LPS untuk menjaga Stabilitas Sistem Keuangan.
Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan Nomor 3 Tahun 2020 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kewenangan Lembaga Penjamin Simpanan Dalam Rangka Melaksanakan Langkah-Langkah Penanganan Permasalahan Stabilitas Sistem Keuangan, juga mengatur bahwa untuk penanganan pandemi Covid-19 untuk mengelola dan/atau meningkatkan likuiditas LPS dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan, LPS dalam rangka pengambilan keputusan untuk melakukan penanganan Bank Selain Bank Sistemik yang dinyatakan sebagai Bank Gagal oleh OJK, tidak hanya mempertimbangkan perkiraan biaya yang paling rendah ( least cost test ) tetapi juga dengan mempertimbangkan kondisi perekonomian, kompleksitas permasalahan bank, kebutuhan waktu penanganan, ketersediaan investor, dan/atau efektivitas dalam rangka penanganan permasalahan bank.
Berdasarkan ketentuan dalam lampiran UU 2/2020, LPS dapat menaikkan nilai penjaminan simpanan dari saat ini Rp 2 miliar per rekening untuk menjamin adanya kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan. LPS juga bisa menambah pembiayaan dengan menerbitkan surat utang. Penambahan pendanaan ini bertujuan untuk membantu LPS apabila mengalami kesulitan likuiditas dalam menangani bank gagal. Pembiayaan dari surat utang merupakan salah satu opsi yang dapat dilakukan LPS untuk menjalankan fungsi penjaminan simpanan maupun penanganan bank berdampak sistemik. Selama ini, LPS mendapatkan pembiayaan dari premi yang dibayarkan dari bank sebesar 0,2 persen per tahun dari rata-rata simpanan. LPS juga bisa mendapatkan biaya dari penanganan bank gagal serta memperoleh pinjaman dari pemerintah apabila modal sudah berada di bawah Rp 4 triliun.
Risiko pembiayaan yang dikeluarkan untuk stabilitas kondisi perekonomian dan keuangan nasional salah satunya adalah kewajiban kontinjensi pemerintah pusat. Kewajiban kontinjensi merupakan kewajiban potensial bagi Pemerintah yang timbul akibat adanya peristiwa 78 masa lalu dan keberadaannya menjadi pasti dengan terjadinya atau tidak terjadinya suatu peristiwa ( event ), yang tidak sepenuhnya. berada dalam kendali Pemerintah. Kewajiban kontinjensi bersumber dari pemberian dukungan dan/atau jaminan pemerintah atas proyek-proyek infrastruktur; program jaminan sosial nasional; kewajiban Pemerintah untuk menambahkan modal jika modal lembaga keuangan, yaitu Bank Indonesia (BI), Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), dan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI), di bawah jumlah yang diatur dalam Undang-Undang; dan tuntutan hukum kepada Pemerintah.
Berbagai opsi pendanaan tambahan ini diperlukan untuk memberikan kepercayaan kepada masyarakat sehingga persoalan solvabilitas bank dapat selesai dengan baik. Oleh karenanya, LPS harus menentramkan masyarakat bahwa dana mereka aman dan mampu memulihkan fungsi intermediasi perbankan. Dengan demikian, kekhawatiran yang didalilkan Para Pemohon Perkara 42 dalam permohonannya menjadi hal yang tidak benar karena dalam pelaksanaan pemberian pinjaman terhadap LPS jelas akan dikonsultasikan dengan DPR dan keberadaan pengaturan tersebut adalah salah satu upaya yang terbuka bagi pemerintah apabila kondisi perbankan nasional memburuk.
Pengaturan dalam pasal 20 ayat (1) huruf b UU 2/2020 yang menyatakan bahwa LPS diberikan kewenangan untuk melakukan tindakan (i) penjualan/repo SBN yang dimiliki kepada Bank Indonesia; (ii) penerbitan surat utang; (iii) pinjaman kepada pihak lain; dan/atau (iv) pinjaman kepada Pemerintah, dalam hal LPS diperkirakan akan mengalami kesulitan likuiditas untuk penanganan Bank Gagal, selain memberikan alternatif sumber pendanaan bagi LPS yang berlaku, baik untuk Bank Sistemik dan Bank Selain Bank Sistemik juga diharapkan dapat memberikan waktu yang cukup bagi LPS dalam mempersiapkan sumber dana tersebut sebelum terdapat Bank Gagal. Transaksi antara LPS dengan Bl sebagai salah satu langkah untuk pemenuhan likuiditas LPS yang diperluas sehingga LPS selain dapat melakukan penjualan SBN miliknya, juga dapat melakukan transaksi Repo. Selain penjualan dan/atau repo kepada Bl, LPS juga mempunyai alternatif pendanaan berupa pinjaman kepada pihak lain yang dimaksudkan untuk menjaring 79 pihak-pihak (dalam dan/atau luar negeri) yang mempunyai kemampuan pendanaan sehingga tersedia alternatif pendanaan yang lebih luas bagi LPS. Pinjaman LPS dari pihak lain merupakan salah satu opsi untuk menjaga likuiditas sehingga pemanfaatan dana tersebut untuk melaksanakan tugas dan fungsi LPS sebagai lembaga resolusi perbankan dalam hal terdapat Bank Gagal sesuai tata kelola yang diatur dalarn UU LPS.
Pandangan DPR terkait dalil Para Pemohon mengenai adanya hak imunitas bagi pelaksana kebijakan keuangan dan kerugian yang timbul dari pelaksanaan UU a quo bukan merupakan kerugian negara berdasarkan UU a quo adalah sebagai berikut a. Bahwa dukungan pembiayaan anggaran untuk penanganan Covid-19 yang besar adalah dalam rangka mendukung Program Pemulihan Ekonomi Nasional. Rincian kebutuhan anggaran ini berdampak pada sisi belanja dan juga pendapatan negara dalam APBN 2020. Biaya yang dikeluarkan pemerintah ini adalah biaya ekonomi yang bertujuan untuk penyelamatan negara dari krisis dan tidak bisa dianggap sebagai merupakan kerugian negara. APBN sebagai alat untuk mencapai tujuan negara, digunakan sepenuhnya untuk kepentingan rakyat. Ketika keadaan mendesak dan darurat, maka APBN sebagai alat tersebut dapat disesuaikan penggunaannya untuk menjadi penolong keselamatan negara. Biaya yang dikeluarkan ini disadari tidak akan sepenuhnya kembali dan juga hilangnya potensi penerimaan negara, namun di sisi lain telah timbul manfaat yang lebih besar yaitu pulihnya perekonomian dan dunia usaha sehingga dapat menyelamatkan ekonomi Indonesia. Sehingga biaya yang dikeluarkan tidak bisa disebut sebagai kerugian negara.
Biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah ini adalah biaya ekonomi yang bertujuan untuk penyelamatan negara dari krisis dan tidak bisa dianggap sebagai merupakan kerugian negara. APBN sebagai alat untuk mencapai tujuan negara, digunakan sepenuhnya untuk kepentingan rakyat. Ketika keadaan mendesak dan darurat, maka APBN sebagai alat tersebut dapat disesuaikan penggunaanya untuk menjadi penolong keselamatan negara. Biaya yang dikeluarkan ini disadari tidak akan sepenuhnya kembali dan 80 juga hilangnya penerimaan negara, namun di sisi lain telah menimbulkan manfaat yang lebih besar yaitu pulihnya perekonomian dan dunia usaha sehingga dapat menyelamatkan ekonomi Indonesia. Sehingga biaya yang dikeluarkan tidak bisa disebut sebagai kerugian negara. Penggunaan biaya ekonomi ini lah yang disebutkan dalam Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 yang dimaksudkan untuk penyelamatan perekonomian dari krisis sehingga bukan merupakan kerugian negara.
Mengutip Pendapat Dr. Dian Puji Nugraha Simatupang dalam tulisannya yang berjudul “ Ekuilibrium Kebijakan Keuangan Negara Menghadapi Keadaan Negara Darurat Akibat Penyebaran Covid-19 Dalam Peraturan _Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020”: _ “Biaya yang telah dialokasikan UU APBN dan/atau realisasi keuangan pemerintah untuk keadaan darurat tidaklah dapat dikategorikan sebagai kerugian negara dengan alasan: Pertama, biaya tersebut dialokasikan dalam UU APBN dan/atau laporan realisasi anggaran sebagai dasar hukum pengeluaran uang sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 2004 j.o. Pasal 27 ayat (4) UU Nomor 17 Tahun 2003; Kedua, biaya tersebut dikeluarkan untuk memenuhi kewajiban pemerintah untuk melindungi segenap tumpah darah rakyat Indonesia atau memenuhi asas kemanfaatan umum (doelmatigheid), dan untuk menghindari situasi dan keadaan yang lebih membahayakan keuangan negara dan perekonomian secara keseluruhan; Ketiga, biaya tersebut tetap diukur dalam satuan yang dikendalikan dan ditetapkan pedomannya oleh pemerintah dengan memperhatikan masukan dari lembaga terkait yang relevan untuk melakukan pengawasan intern. Menyangkut norma dalam Pasal 27 ayat (1) Perpu Nomor 1 Tahun 2020 hakikatnya dimaknai sebagai biaya sebagai sebab terjadinya keadaan darurat uang mempengaruhi stabilitas keuangan negara dan perekonomian nasional. Dalam hukum keuangan publik, hal demikian merupakan biaya resiko yang harus dibebankan ke dalam UU APBN untuk maksud mewujudkan tujuan negara, yaitu melindungi segenap tumpah darah Indonesia. Biaya dalam keadaan darurat merupakan konsekuensi logis dalam upaya mewujudkan tindakan kepemerintahan yang cepat dan luar biasa diperlukan dalam kondisi yang tidak sempurna. Kecepatan dan ketepatan pemerintahan dalam penanganan keadaan darurat Covid- 19 tidak dapat menggunakan parameter dan indikator yang biasa karena justru tidak prosesual atau tidak memenuhi ekuilibrium kebijakan keuangan publik jika suatu alas fakta yang berbeda menggunakan syarat prosedur yang normal atau kondisi yang sempurna, padahal alas fakta jelas terdapat perbedaan dan situasi yang darurat.” d. Bahwa dalam memaknai ketentuan Pasal 27 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) Lampiran UU 2/2020 tidak dapat dimaknai secara parsial melainkan 81 harus dimaknai sebagai satu kesatuan. Adanya suatu kerugian keuangan negara, penyalah gunaan kewenangan melalui suatu kebijakan maupun produk hukum lain yang dikeluarkan dalam rangka pelaksanaan UU 2/2020 tetap harus dibuktikan secara hukum dengan parameter yang tentunya tidak bisa disamakan dengan apa yang ada dalam keadaan normal. Adanya frasa “iktikad baik” dan “sesuai peraturan perundang- undangan” merupakan batasan koridor pelaksanaan kewenangan dalam penggunaan keuangan negara dan mengeluarkan suatu produk hukum dalam rangka pelaksanaan UU 2/2020.
Bahwa dalam perspektif hukum keuangan publik, kerugian negara adalah “ kekurangan uang, surat berharga, dan barang yang nyata dan pasti sebagai akibat perbuatan melawan hukum atau kelalaian ,” berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 22 UU Perbendaharaan Negara. Artinya disini kerugian Negara tersebut harus dibuktikan sebagai akibat dari suatu perbuatan yang melawan hukum atau karena kelalaian. Biaya yang telah dialokasikan UU APBN dan/atau realisasi keuangan pemerintah untuk keadaan darurat tidaklah dapat dikatagorikan sebagai kerugian negara dengan alasan: a) biaya tersebut dialokasikan dalam UU APBN dan/atau laporan realisasi anggaran sebagai dasar hukum pengeluaran uang sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) UU Perbendaharaan Negara jo . Pasal 27 ayat (4) UU Keuangan Negara; b) biaya tersebut dikeluarkan untuk memenuhi kewajiban pemerintah untuk melindungi segenap tumpah rakyat Indonesia atau memenuhi asas kemanfaatan umum ( doelmatigheid ), dan untuk menghindari situasi dan keadaan yang lebih membahayakan keuangan negara dan perekonomian nasional secara keseluruhan; c) biaya tersebut tetap diukur dalam satuan yang dikendalikan dan ditetapkan pedomannya oleh pemerintah dengan memperhatikan masukan dari lembaga terkait yang relevan untuk melakukan pengawasan intern;
Bahwa di samping itu, makna kerugian negara juga berkaitan dengan administrasi pemerintahan karena dengan adanya Pasal 20 Undang- 82 undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016, kerugian negara juga mempunyai relevansi dengan persoalan hukum administrasi negara dalam hal terjadinya kesalahan administrasi. Bahwa biaya dalam keadaan darurat merupakan konsekuensi logis dalam upaya mewujudkan tindakan kepemerintahan yang cepat dan luar biasa diperlukan dalam kondisi yang tidak sempurna. Kecepatan dan ketepatan pemerintahan dalam penanganan keadaan darurat akibat Covid-19 tidak dapat menggunakan parameter dan indikator yang biasa karena tidak justru tidak prosesual atau tidak memenuhi ekuilibrium kebijakan keuangan publik jika suatu alas fakta yang berbeda menggunakan syarat prosedur yang normal atau kondisi yang sempurna, padahal alas fakta jelas terdapat perbedaan dan situasi yang darurat. Di samping itu, biaya tersebut juga akan sampai pada muaranya untuk diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan juga hasilnya disampaikan kepada DPR untuk memperoleh persetujuan berkaitan dengan manfaatnya dalam LKPP. Dengan demikian, proses dan sistem pembiayaan tersebut tetap akuntabel dan memenuhi asas umum pemerintahan yang baik dalam suatu syarat prosedur yang darurat.
Bahwa kewenangan BPK sudah sangat tegas diatur dalam Pasal 23E ayat (1) UUD NRI 1945. Dalam ketentuan peraturan perundang-undangan maka BPK juga diatur dalam UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK sesuai dengan fungsi dan kewenangannya serta dikaitkan pula dengan Bab VIII UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang mengatur bahwa pelaksanaan APBN dan APBD diperiksa oleh BPK sebelum akhirnya Presiden/Kepala Daerah menyampaikan RUU/Perda tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBN/APBD kepada DPR/DPRD. Di samping itu, dalam UU a quo harus dipahami dan dicermati bahwa tidak ada satu pun pasal dalam UU a quo yang mengecualikan atau menghalang-halangi fungsi BPK untuk melakukan audit.
Bahwa hal demikian kemudian dilaksanakan dengan iktikad baik bagi pejabat administrasi pemerintahan. Dalam hukum administrasi negara, iktikad baik lebih tepat menggunakan istilah asas-asas umum 83 pemerintahan yang baik. Dalam hal ini pejabat administrasi pemerintahan menjalankan tugas dan wewenangnya sesuai dengan alas hukum dan alas fakta secara memadai, serta keputusan dan kebijakan ditetapkan dengan motivasi untuk melindungi kepentingan umum ( bestuurzorg ). Dengan kondisi demikian, tepat pelaksanaan tindakan kepemerintahan tersebut tidak menjadi objek keputusan tata usaha negara karena peraturan dasarnya telah berubah, tidak pada peraturan dalam keadaan negara normal. Dengan demikian, keputusan tersebut dikecualikan sebagai objek pengadilan tata usaha negara karena validitasnya didasarkan pada peraturan dasar tersendiri yang dibentuk dalam keadaan darurat.
Dalam hal masyarakat atau pihak lain mengajukan keberatan dalam keputusan administrasi pemerintahan dalam masa darurat, dapat menggunakan instrumen administrasi pemerintahan itu sendiri, yang kemudian dapat dilakukan penyelesaian menurut Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2016 tentang Pengenaan Sanksi Administrasi bagi Pejabat Administrasi Pemerintahan dan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2016 tentang Pengenaan Ganti Kerugian oleh Pejabat Bukan Bendahara. Dalam hal keberatan tersebut juga masih ada warga masyarakat dapat mengajukan pengaduan ke DPR dalam rangka pengawasan, sehingga DPR dapat menggunakan seluruh hak yang dimilikinya dalam rangka pengawasan eksternal terhadap tindakan administrasi pemerintahan.
Konsep iktikad baik tetap meletakkan pada aspek pengambilan keputusan dan kebijakan tidak mengandung unsur suap, paksaan/ancaman, dan tipuan guna menguntungkan secara melawan hukum. Akan tetapi, jika pengambilan keputusan dan kebijakan disebabkan adanya kesalahan administrasi, tuntutan pidana tidak dapat dilakukan. Konsep iktikad baik dalam konsep hukum administrasi negara menurut Safri Nugraha dimaknai sebagai wujud asas umum pemerintahan yang baik di mana pelaksanaan pemerintahan dijalankan dengan prinsip akuntabilitas dan transparansi yang mendorong sistem pemerintahan berjalan dengan sistem yang jelas dan terukur. Dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik, pengelolaan dan pertanggungjawaban wewenang 84 pemerintahan akan sejalan motivasinya yang layak. Hal ini sejalan dengan ketentuan dalam Pasal 50 KUHP disebutkan bahwa: “Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dipidana" Selain itu dalam pasal 51 ayat 1 KUHP disebutkan bahwa: “barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana”. k. Mengutip Pendapat Dr. Dian Puji Nugraha Simatupang dalam tulisannya yang berjudul “ Ekuilibrium Kebijakan Keuangan Negara Menghadapi __ Keadaan Negara Darurat Akibat Penyebaran Covid-19 Dalam Peraturan _Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020”: _ “ Adanya norma mengesampingkan tuntutan pidana, gugatan perdata, dan tata usaha negara harus dimaknai secara lengkap adanya syarat itikad baik atau asas-asas umum pemerintahan yang baik dalam hukum administrasi negara. Dengan demikian, ada kejelasan mengenai konsep hukum perdata, hukum administrasi, dan hukum pidana dalam konsep pelaksanaan pengambilan keputusan dan kebijakan dalam kondisi darurat agar pejabat administrasi pemerintahan tidak ragu, cepat, tepat, dan akuntabel untuk melindungi segenap tumpah darah Indonesia.” l. Bahwa ketentuan Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 juga bukan merupakan kekebalan absolut karena dalam ketentuan tersebut mereka terdapat parameter “dengan iktikad tidak baik” dan “tidak sesuai peraturan perundang-undangan”. Asas iktikad baik awalnya adalah suatu asas yang berlaku dibidang hukum perjanjian yang kini telah berkembang dan diterima sebagai asas di bidang-bidang atau cabang-cabang hukum yang lain, baik yang sesama keluarga hukum privat maupun yang merupakan bidang hukum publik. Dalam perkembangan hukum, terdapat prinsip- prinsip umum ataupun asas-asas umum yang dijadikan sebagai sumber hukum sekaligus asas yang mendasari pelaksanaan hukum itu sendiri. Oleh karenanya asas iktikad baik yang tadinya merupakan suatu asas hukum khusus kini telah berkembang menjadi suatu asas hukum umum. Selain asas iktikad baik, juga ada frasa “tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Ini adalah 2 parameter yang bersifat kumulatif. Artinya semua pejabat pemerintah yang menjalankan ketentuan pasal tersebut harus berdasarkan 2 kriteria ini secara kumulatif. 85 m. Dalam hukum dikenal suatu adagium yang berbunyi “tiada hukum tanpa pengecualian“ atau dalam bahasa belanda dikenal dengan istilah “ geen recht zonder uit zondering ”. Pengecualian dapat dilakukan sepanjang tidak merugikan pihak-pihak yang terkena aturan tersebut karena hukum ditujukan untuk mengayomi dan mensejahterakan masyarakat ( Rosjidi Ranggawidjaja, Ilmu Perundang-undangan, CV Mandar Maju ). Dalam kaitannya dengan hak Presiden untuk mengeluarkan Perpu yang berisi langkah-langkah yang luar biasa dalam keadaan yang memang tidak normal maka meskipun dalam suatu Perpu ada materi-materi yang dipandang tidak lazim, mengenyampingkan, atau memberlakukan ketentuan bersifat pengecualian dari apa yang telah diatur maka pengecualian itu dapat saja diberlakukan atau dapat diadakan pengecualian sepanjang diatur batasannya dalam Perpu itu sendiri.
Adapun frasa “iktikad baik” adalah apabila dalam melaksanakan tugasnya tidak untuk mencari keuntungan bagi diri sendiri, keluarga, kelompok, dan/atau tindakan lain yang berindikasi korupsi, kolusi, dan/atau nepotisme. Bahwa apabila nantinya terbukti iktikad baik tersebut dilanggar maka sudah jelas konsekuensinya yaitu mereka harus ditempuh prosedur hukum karena tindakan tersebut mengatur unsur mens rea (adanya niat jahat atau iktikad tidak baik) dan actus reus (perbuatan yang melanggar). Dengan demikian asas equality before the law dan asas kepastian hukum dalam Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945 tetap terjamin.
UU 2/2020 tidak melindungi pejabat negara atau tidak memberikan imunitas kepada pejabat negara. Pasal a quo diperlukan karena para pihak tersebut merupakan orang-orang yang mengambil keputusan penting. Mengutip pandangan Misbakhun selaku Anggota Komisi XI DPR RI dalam program Indonesia Lawyers Club (ILC) 21 April 2020: “ Penanganan Covid -19 melalui physical distancing merupakan pukulan yang paling berat bagi masyarakat karena tidak dapat melakukan interaksi sosial dan merupakan pukulan berat bagi perekonomian. Dampak dari pandemi Covid-19 yaitu faktor produksi tidak jalan sedangkan permintaan (demand) tetap ada. Kedalaman implikasi Covid-19 terhadap perekonomian sulit diukur karena puncak pandemi Covid-19 belum bisa dipastikan waktunya. Implikasi ekonomi yang ditimbulkan oleh Covid-19 terhadap perekonomian sangat dalam sehingga semua skenario perlu disiapkan untuk menghadapi situasi yang paling buruk. Sebelum pandemi Covid-19 ini terjadi struktur perekonomian Indonesia tidak dalam kondisi yang sehat. Hal ini 86 karena perekonomian Indonesia sedang menghadapi dampak perang dagang antara China dengan Amerika. Permasalahannya dalam situasi seperti ini, negara dalam keadaan yang tidak normal. Dalam keadaan yang tidak normal tersebut jangan berhadap statistik ekonomi menjadi bagus. Sehingga menghadapi keadaan yang tidak normal tersebut juga harus diselesaikan dengan cara yang tidak normal. Pihak yang paling terdampak oleh pandemi Covid-19 adalah pekerja harian/pekerja lepas (informal) yang pemenuhan biaya hidupnya ditentukan oleh aktivitas harian. Jika tidak keluar maka mereka tidak dapat makan. Pihak yang terdampak selanjutnya adalah para pelaku UMKM dan kelompok kelas menengah. Kehadiran negara dibutuhkan baik oleh rakyat jelata, pelaku UMKM, masyarakat kelas menengah, maupun masyarakat kelas atas sehingga negara tidak boleh membeda-bedakan. Aktivitas sektor produksi yang menjadi berhenti mengakibatkan permintaan menjadi terbatas. Pemerintah harus memanfaatkan ruang ketatanegaraan yang tersedia untuk mengatasi situasi ini karena UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara mempunyai keterbatasan. Untuk memulihkan perekonomian akibat Covid-19, Pemerintah perlu dana untuk membiayai program- program pemerintah. Satu-satunya cara Pemerintah harus berhutang jika SAL dan dana lainnya tidak mencukupi. Hutang bukan tujuan, tetapi hanya sebagai cara agar dapat keluar dari masalah ini. Negara lain juga menggunakan cara yang sama. Anggaran yang disediakan Pemerintah untuk menangani pandemi Covid-19 sebesar 405 Triliun atau sekitar 2,75% dari PDB. Hal yang utama bukan negara berhutang tetapi hutang tersebut dimanfaatkan seperti menolong rakyat jelata.” p. Keberadaan Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 dimaksudkan untuk memberikan confidence bagi pihak yang dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya sesuai Lampiran UU 2/2020 telah didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal ini sejalan dengan prinsip hukum imunitas terbatas bagi negara dan/atau perwakilannya, bukan imunitas absolut sehingga melanggar asas keadilan dan kesamaan dalam hukum dan pemerintahan sebagaimana pemahaman Para Pemohon. Dari perspektif teori imunitas, perlindungan hukum yang diberikan dalam Pasal 27 ayat (2) termasuk kategori imunitas terbatas. Teori imunitas terbatas ini memberikan perlindungan/imunitas kepada negara dan perwakilannya terhadap upaya hukum pihak lain baik secara pidana ataupun perdata, sepanjang tindakan yang dilakukan memenuhi syarat dalam hal ini harus beriktikad baik dan menjalankan kewenangan serta kebijakannya sesuai peraturan perundang-undangan. Secara a contrario , imunitas tersebut gugur apabila perbuatan yang 87 dilakukan didasarkan atau terdapat niat jahat ( mens rea ) dan perbuatannya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Sampai dengan saat ini sudah ada UU lain yang mengatur perlindungan hukum kepada otoritas yang berwenang dalam pengambilan kebijakan, contohnya: ● Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan. Dalam Pasal 48 ayat (1) UU disebutkan bahwa kecuali terdapat unsur penyalahgunaan wewenang, anggota KSSK dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, BI, OJK dan LPS tidak dapat dituntut, baik secara perdata maupun pidana atas pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang berdasarkan Undang-Undang PPSK. Hal ini untuk melindungi secara hukum kebijakan yang diambil dalam kondisi krisis yang tentu saja tidak bias disamakan dengan kondisi normal. ● Pasal 22 UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak menyebutkan bahwa Menteri, Wakil Menteri, pegawai Kementerian Keuangan, dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengampunan Pajak, tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut, baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Adapun itikad baik dijelaskan apabila dalam melaksanakan tugasnya tidak untuk mencari keuntungan bagi diri sendiri, keluarga, kelompok, dan/atau tindakan lain yang berindikasi korupsi, kolusi, dan/atau nepotisme. ● UU Bank Indonesia disebutkan dalam Pasal 45 yang berbunyi “Gubernur, Deputi Gubernur, dan/atau pejabat Bank Indonesia tidak dapat dihukum karena telah mengambil keputusan atau kebijakan yang sejalan dengan tugas dan wewenangnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini sepanjang dilakukan dengan iktikad baik”. ● UU Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman dalam Pasal 10 menyatakan bahwa “Dalam rangka pelaksanaan tugas dan 88 wewenangnya, Ombudsman tidak dapat ditangkap, ditahan, diinterogasi, dituntut, atau digugat di muka pengadilan”. ● UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat dalam Pasal 16 menyatakan bahwa Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien dalam sidang pengadilan. ● UU MD3 Perlindungan hukum bagi anggota DPR disebutkan dalam Pasal 224 UU ayat (1) yaitu: Anggota DPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis di dalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPR. Oleh karena itu pengaturan dalam UU mengenai perlindungan hukum bagi pihak yang menjalankan UU bukanlah hal yang baru, dan dapat dibenarkan selama ada pengaturan mengenai batasan atau kriteria tertentu.
Dengan demikian, perlindungan hukum dalam ketentuan Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 diperlukan untuk memberikan kepastian hukum kepada para pengambil kebijakan bahwa tindakan dan keputusan yang diambil dengan iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan akan dilindungi oleh hukum. Dengan demikian tidak ada hak warga negara yang ditangguhkan dalam ketentuan Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020. Bahkan Pasal 49 UU PTUN telah memberikan imunitas atau perlindungan hukum dari sengketa di peradilan tata usaha negara atas tindakan dan/atau keputusan pejabat tata usaha negara yang dilakukan dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan Pasal 49 UU PTUN ini menjadi landasan untuk diadopsi dalam Pasal 27 ayat (3) UU 2/2020. Sebagaimana Majelis Hakim maklumi, ketentuan perlindungan hukum pernah beberapa kali dilakukan pengujian konstitusionalitasnya di Mahkamah Konstitusi (UU Advokat dan UU Pengampunan Pajak). Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi terdapat pertimbangan sebagai berikut: “ pihak-pihak yang disebut dalam ketentuan a quo memang sudah seharusnya tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, 89 dilakukan penyidikan, atau dituntut, baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada itikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” Sebagai best practices , standar internasional yang ditetapkan oleh lembaga keuangan internasional ( Financial Stability Board, Basel Committee on Banking Supervision , dan IMF) juga menetapkan adanya pengaturan perlindungan hukum bagi pengambil dan pelaksana kebijakan di bidang sektor keuangan.
Pandangan DPR terkait ketentuan UU yang dinyatakan tidak berlaku sepanjang keterkaitan dengan kebijakan keuangan negara untuk penanganan penyebaran Covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan berdasarkan Perppu sebagaimana dimaksud dalam UU a quo .
Bahwa pengaturan Pasal 28 lampiran UU 2/2020, telah sesuai dengan ketentuan Lampiran 137 UU 12/2011 yang mengatur bahwa pada umumnya Ketentuan Penutup memuat ketentuan mengenai:
penunjukan organ atau alat kelengkapan yang melaksanakan Peraturan Perundang-undangan;
nama singkat Peraturan Perundang-undangan;
status Peraturan Perundang-undangan yang sudah ada; dan
saat mulai berlaku Peraturan Perundang-undangan.
Bahwa memang benar bahwa sudah ada beberapa undang-undang yang mungkin dapat menjadi payung hukum penyelesaian masalah yang timbul akibat COVID-19. Hanya saja tidak pula dapat disalahkan, apabila dalam pandangan subjektif Presiden, undang-undang yang telah ada tersebut dianggap belum mampu menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi. Kondisi serupa juga pernah terjadi ketika Presiden menerbitkan beberapa Perppu yang lahir karena tidak memadainya Peraturan Peundang- undangan yang ada, yang kemudian menyimpangi/menyatakan tidak berlaku sebagian materi dari beberapa undang-undang misalnya Perppu Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan menyatakan beberapa ketentuan dalam UU tentang Perbankan dan Perpajakan tidak berlaku sepanjang berkaitan 90 dengan pelaksanaan akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan berdasarkan Perppu tersebut.
Bahwa dalam beberapa undang-undang yang ada tersebut memang telah mengatur berbagai dasar kebijakan keuangan negara materi muatan undang-undang yang sudah ada belum mengatur mengenai kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan untuk penanganan pandemi Covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Selain itu, beberapa ketentuan yang terdapat dalam undang- undang tersebut hanya dapat diberlakukan jika negara dalam keadaan normal, bukan dalam kegentingan/keadaan yang memaksa. Oleh karena itu, Pasal 28 lampiran UU 2/2020 ini tidak memberlakukan beberapa ketentuan dalam undang-undang tersebut sepanjang berkaitan dengan kebijakan keuangan negara untuk penanganan penyebaran Covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan berdasarkan UU 2/2020.
Bahwa tidak diberlakukannya ketentuan undang-undang yang disebutkan dalam Pasal 28 lampiran UU 2/2020 selama pemberlakuan UU 2/2020 dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaan peraturan perundang-undangan dan tidak terjadi disharmoni pengaturan karena adanya dua pengaturan yang berbeda yang mengatur hal yang sama.
Pandangan DPR terkait penyesuaian mandatory spending dana desa a. Bahwa terkait dengan permasalahan dana desa yang disampaikan oleh Para Pemohon Perkara 47, ketentuan Pasal 1 ayat (4) huruf b Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020 (PP 72/2020) tetap menetapkan adanya anggaran Transfer ke Daerah dan Dana Desa sebesar Rp763.925.645.050.000 (tujuh ratus enam puluh tiga triliun sembilan ratus dua puluh lima miliar enam ratus empat puluh lima juta lima puluh ribu rupiah), termasuk tambahan belanja untuk penanganan pandemi Covid-19 sebesar Rp5.000.000.000.000 (lima 91 triliun rupiah). Ketentuan Pasal 3 ayat (4) PP 72/2020 menyatakan bahwa rincian anggaran transfer ke daerah dan dana desa tersebut tercantum dalam Lampiran VI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari PP 72/2020. Dalam Lampiran VI.15 mengenai Rincian Dana Desa Menurut Provinsi/Kabupaten/Kota Tahun Anggaran 2020 menyatakan bahwa seluruh daerah kabupaten Para Pemohon Perkara 47 tetap mendapatkan alokasi dana desa. Berdasarkan ketentuan tersebut maka kekhawatiran Para Pemohon Perkara 47 tidak beralasan menurut hukum karena ketentuan Pasal a quo tidak menyebabkan dana desa dihentikan dan desa Para Pemohon tetap mendapatkan alokasi dari anggaran belanja negara.
Bahwa alokasi dari APBN merupakan salah satu sumber pendapatan desa. Berdasarkan ketentuan Pasal 72 ayat (1) UU Desa pendapatan desa bersumber dari pendapatan asli desa, alokasi APBN, bagian dari hasil pajak daerah dan retribusi daerah kabupaten/kota, alokasi dana desa yang merupakan bagian dari dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota, bantuan keuangan dari APBD Provinsi dan APBD Kabupaten/Kota, hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga, dan lain-lain pendapatan desa yang sah. Dengan banyak sumber pendapatan desa tersebut, maka Para Pemohon tidak hanya mengandalkan APBN dan memaksimalkan sumber-sumber pendapatan desa lainnya. Dengan upaya yang maksimal tersebut maka pembangunan yang sudah dicanangkan oleh para Pemohon dan perangkat desa dalam musrenbangdes dan RPJM desa untuk kesejahteraan dan kemakmuran warga desa Para Pemohon tetap dapat terealisasikan.
Bahwa pemohon perkara 47 telah salah dalam mengartikan Pasal 28 angka 8 UU 2/2020, karena Dana Desa tidak dihentikan paska disahkannya UU 2/2020, hal ini tercantum dalam Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2020 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2020 (Permendes 7/2020), yang pada bagian menimbangnya menyatakan: “bahwa berdasarkan Undang–Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang–Undang Nomor 92 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disesase 2019 (COVID-19) dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan menjadi Undang–Undang, penggunaan Dana Desa dapat digunakan untuk bantuan langsung tunai kepada miskin di Desa” Pada Pasal 8A ayat (1) Permendes 7/2020 disebutkan bahwa “Bencana Non-alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf d merupakan bencana yang terjadi sebagai akibat kejadian luar biasa berupa penyebaran penyakit yang mengancam dan/atau menimpa warga _masyarakat secara luas atau skala besar, meliputi:
Pandemi Corona_ Virus Diseases 2019” dan pada Pasal 8A ayat (2) Permendes 7/2020 disebutkan bahwa “Penanganan dampak Pandemi Corona Virus Diseases 2019 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat berupa BLT Dana Desa kepada keluarga miskin di Desa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang–undangan. d. Bahwa ketentuan Pasal 28 angka 8 Lampiran UU 2/2020 dimaksudkan untuk menyatakan tidak berlakunya ketentuan mandatory spending alokasi Dana Desa sebesar 10% dari belanja pemerintah pusat, sebagaimana yang disebutkan dalam Penjelasan Pasal 72 ayat (2) UU Desa. Ketidakberlakuan ketentuan mandatory spending dana desa bersifat temporer. Dengan adanya penyesuaian mandatory spending dana desa, Pemerintah dapat memiliki fleksibilitas dalam melakukan refocusing belanja untuk mencegah, menangani, dan memulihkan dampak pandemi Covid-19. Dengan adanya mandat ini maka untuk menjamin fleksibilitas penggunaan dana desa dalam rangka sepanjang masih terdapat kebutuhan untuk penanganan Covid-19 di daerah/desa maka Pasal 72 ayat (2) harus dinyatakan tidak berlaku sehingga tidak terdapat dualisme aturan. Penyesuaian mandatory spending Dana Desa tersebut dimaksudkan agar pelaksanaan program Pemerintah dapat dilakukan lebih efektif, efisien, dan tepat sasaran mengingat penyebaran dampak pandemi Covid-19 bersifat masif di seluruh wilayah Indonesia. Dengan demikian Dana Desa tidak dihentikan namun dialihkan dalam bentuk Bantuan Langsung Tunai dan program–program Dana Desa 93 dibuat skala prioritas yang bertujuan untuk kesejahteraan dan kemakmuran warga desa bukan untuk pembangunan infrastuktur saja. E. Keterangan Tambahan Terkait dengan pertanyaan Yang Mulia Hakim Mahkamah Konstitusi mengenai mekanisme pembahasan perppu untuk mencapai persetujuan atau pencabutan Perppu, DPR RI menerangkan sebagai berikut:
Bahwa sebagaimana disampaikan oleh Presiden yang diwakili oleh Menteri Keuangan, pembahasan penetapan Perppu menjadi Undang- Undang/pencabutan perppu Pasal 71 UU 12/2011 diatur: (1) Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dilaksanakan melalui mekanisme yang sama dengan pembahasan Rancangan Undang-Undang. (2) Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang dilaksanakan melalui mekanisme khusus yang dikecualikan dari mekanisme pembahasan Rancangan Undang-Undang. (3) Ketentuan mengenai mekanisme khusus sebagaimana dimaksud _pada ayat (2) dilaksanakan dengan tata cara sebagai berikut: _ a. Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang diajukan oleh DPR atau _Presiden; _ b. Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan sebagaimana dimaksud dalam huruf a diajukan pada saat Rapat Paripurna DPR tidak memberikan persetujuan atas Peraturan Pemerintah _Pengganti Undang-Undang yang diajukan oleh Presiden; dan _ c. Pengambilan keputusan persetujuan terhadap Rancangan Undang- Undang tentang Pencabutan sebagaimana dimaksud dalam huruf b dilaksanakan dalam Rapat Paripurna DPR yang sama dengan rapat paripurna penetapan tidak memberikan persetujuan atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut. 2. Bahwa berdasarkan ketentuan tersebut diatas, pembahasan suatu rancangan Undang-Undang dilakukan melalui 2 (dua) tingkat pembicaraan (vide Pasal 66 UU 12/2011) yang dilakukan oleh DPR bersama Presiden atau menteri yang ditugasi (vide Pasal 65 ayat (1) UU 12/2011) yang diuraikan lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 67 - Pasal 70 UU 12/2011).
Bahwa pembicaraan tingkat I dilakukan dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat Badan Legislasi, rapat Badan Anggaran, atau 94 rapat Panitia Khusus dengan kegiatan pengantar musyawarah, pembahasan daftar inventarisasi masalah, dan penyampaian pendapat mini.
Bahwa dalam pembahasan tingkat I tersebut Pemerintah selaku pihak yang mengajukan RUU Penetapan Perppu menjadi Undang-Undang dan juga pihak yang mengeluarkan Perppu tersebut harus menjelaskan kepada DPR RI dalam rapat pembahasan tingkat I yang pelaksanaannya telah dijelaskan oleh DPR RI dalam keterangan ini. Penjelasan tersebutlah yang menjadi pertimbangan DPR RI untuk menyetujui atau tidak menyetujui Perppu tersebut menjadi Undang-Undang.
Bahwa sebagaimana telah disampaikan, Berdasarkan Pasal 71 huruf d dan Pasal 249 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 (UU MD3) bahwa DPD ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. RUU Penetapan Perppu 1/2020 menjadi UU tidak memiliki pertautan dengan bidang yang mengharuskan keikutsertaan DPD dalam pembahasannya melainkan mengenai DPR memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan, sehingga DPD tidak memiliki kewenangan untuk ikut membahas RUU tersebut.
Bahwa hal ini juga telah jelas sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang mengatur bahwa Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan yang berikut. Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut. Dalam ketentuan tersebut, tidak diatur bahwa dalam hal penetapan Perppu menjadi Undang-Undang dapat atau bahkan harus mengikutsertakan DPD dalam pembahasannya. Sebaliknya, mengikutsertakan DPD justru menjadi suatu hal yang tidak sesuai dengan apa yang diatur dalam UUD NRI Tahun 1945, UU 12/2011 dan UU MD3. 95 Terkait dengan pertanyaan Yang Mulia Hakim Mahkamah Konstitusi mengenai penetapan Perppu bukan pada “masa sidang yang berikut”, DPR RI menerangkan sebagai berikut: Bahwa sejauh ini DPR belum pernah melakukan penetapan perppu yang dalam masa sidang yang sama atau bukan pada “masa sidang yang berikut”. Setelah dikeluarkannya Perppu 1/2020, Presiden juga telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang yang disahkan pada 4 Mei 2020 dan ditetapkan sebagai Undang-Undang melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang- Undang menjadi Undang-Undang yang disahkan dan diundangkan pada 11 Agustus 2020 pada masa sidang ketiga tahun 2020 yang terhitung pada 15 Juni 2020 hingga 13 Agustus 2020. Sehingga penetapan Perppu 1/2020 menjadi Undang-Undang adalah yang pertama kali dilakukan dengan tidak memenuhi ketentuan “masa sidang yang berikut” mengingat urgensi penetapannya yang harus dilakukan dengan segera. Terkait dengan pertanyaan Yang Mulia Hakim Mahkamah Konstitusi mengenai pembahasan RAPBN 2021 yang kemudian disepakati dalam paripurna pada 29 September 2020, DPR RI menerangkan:
Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 13 ayat (1) UU Keuangan Negara, Pemerintah Pusat menyampaikan pokok-pokok kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro tahun anggaran berikutnya kepada Dewan Perwakilan Rakyat selambat-lambatnya pertengahan bulan Mei tahun berjalan. Pasal 15 ayat (1) UU keuangan Negara mengatur bahwa Pemerintah Pusat mengajukan Rancangan Undang-undang tentang APBN, disertai nota keuangan dan dokumen-dokumen pendukungnya kepada Dewan Perwakilan Rakyat pada bulan Agustus tahun 96 sebelumnya. Dan pada ketentuan Pasal 15 ayat (4) dan ayat (6) UU keuangan Negara diatur Pengambilan keputusan oleh Dewan Perwakilan Rakyat mengenai Rancangan Undangundang tentang APBN dilakukan selambat-lambatnya 2 (dua) bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan dilaksanakan dan apabila DPR tidak menyetujui Rancangan Undang-undang tersebut, Pemerintah Pusat dapat melakukan pengeluaran setinggi-tingginya sebesar angka APBN tahun anggaran sebelumnya.
Bahwa penyampaian pokok-pokok kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro tahun anggaran tahun 2021 telah disampaikan oleh pemerintah dalam rapat paripurna DPR RI pada dalam rangkaian rapat paripurna tertanggal 12 Mei 2020, 14 Juli 2020, dan 14 Agustus 2020 (Lampiran II, Lampiran III dan Lampiran IV). Sebagai tambahan informasi, pada 25 September 2020, Kemenkeu selaku yang mewakili Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyepakati Rancangan Undang- Undang (RUU) Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2021 di Banggar dan Pemerintah bersama DPR telah menyetujui defisit anggaran sebesar 5,7% dari PDB pada Rapat Paripurna DPR tanggal 29 September 2020.
Pembahasan RUU APBN 2021 dilakukan di banggar yang pelaksanaannya disampaikan risalahnya (lampiran V, lampiran VI, lampiran VII) F. Risalah Pembahasan UU 2/2020 Risalah Pembahasan UU 2/2020 ini terlampir berbagai dokumen pendukung mengenai pembahasan UU 2/2020 sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Keterangan DPR ini. III. Petitum DPR Bahwa berdasarkan dalil-dalil tersebut di atas, DPR memohon agar kiranya Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Konstitusi memberikan amar putusan sebagai berikut:
Menyatakan bahwa Para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) sehingga permohonan a quo harus dinyatakan tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard ); 97 2. Menolak permohonan a quo untuk seluruhnya;
Menerima keterangan DPR RI secara keseluruhan;
Menyatakan bahwa proses pembentukan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134; Tambahan Lembaran Negara Republlik Indonesia Nomor 6516) telah sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan telah memenuhi ketentuan pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana yang diatur dalam Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 183, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6398);
Menyatakan Judul, Pasal 1 ayat (3); Pasal 1 ayat (5); Pasal 2; Pasal 3 ayat (2); Pasal 4 ayat (1) huruf a; Pasal 4 ayat (1) huruf d; Pasal 4 ayat (2); Pasal 5 ayat (1) huruf a; Pasal 5 ayat (1) huruf b; Pasal 6; Pasal 7; Pasal 9; Pasal 10 ayat (1); Pasal 10 ayat (2); Pasal 11 ayat (3); Pasal 12 ayat (1);
Uji materi Pasal 2 ayat (6) dan pasal 32 ayat (2) UU Ketentuan Umum Perpajakan
Relevan terhadap
Setelah daftar pembagian penutup menjadi mengikat maka Kreditor memperoleh kembali hak eksekusi terhadap harta Debitor mengenai piutang mereka yang belum dibayar. Berdasarkan pasal-pasal tersebut jika dihubungkan dengan Pasal 32 ayat 106 (1) dan ayat (2) UU KUP maka Kurator sebagai Wakil Wajib Pajak bertanggungjawab secara pribadi dan/atau tanggung renteng atas hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak yang timbul sejak putusan pernyataan pailit diucapkan, proses pemberesan harta pailit hingga saat kepailitan berakhir.
Bahwa dalam konteks Wajib Pajak pailit, Pasal 32 ayat (1) UU KUP mengatur bahwa Wakil Wajib Pajak pailit adalah kurator. Klausul dalam ayat ini dimaknai bahwa dalam hal Wajib Pajak pailit, tindakan penagihan juga ditujukan kepada Kurator, karena mengingat harta Wajib Pajak (dalam pailit) yang menurut undang-undang perpajakan adalah merupakan objek sita, masuk kedalam boedel pailit dan harta pailit tersebut sedang dalam pengurusan dan pemberesan aset oleh Kurator.
Adapun ketetapan-ketetapan pajak yang terbit selama proses pailit atau proses pemberesan harta pailit Wajib Pajak tersebut, tidak masuk ke dalam boedel pailit karena diterbitkan setelah lewat batas akhir pengajuan tagihan, akan tetapi atas utang pajak yang belum terlunasi tersebut, sepanjang belum daluwarsa penagihan, sesuai Pasal 22 UU KUP, maka Direktorat Jenderal Pajak tetap mempunyai kewenangan, sebagaimana diatur dalam UU KUP dan Undang-Undang di bidang perpajakan, untuk melakukan penagihan atas utang pajak baik kepada Penanggung Pajak lainnya misalnya Pengurus.
Dengan demikian, penagihan pajak kepada Wajib Pajak dan/atau Wakil Wajib Pajak dilakukan dengan berdasarkan Undang-Undang di bidang perpajakan yaitu UU KUP dan Undang-Undang di bidang perpajakan yang memang merupakan peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur terkait penagihan pajak. Adapun eksistensi dari UU PT dan UU Kepailitan dan PKPU adalah sebagai Undang-Undang yang mengatur di ranah privat bukan di ranah publik, sehingga seharusnya tidak ada permasalahan hukum terkait Undang-Undang mana yang lebih khusus (lex specialist) diantara UU KUP dengan UU PT serta UU Kepailitan dan PKPU, karena UU KUP mengatur di ranah publik (hak dan kewajiban perpajakan) sedangkan UU PT dan UU Kepailitan dan PKPU mengatur hubungan keperdataan di ranah privat diantara para subjek hukumnya. 107 n. Perlu kita perhatikan bahwa tingkat pembayaran utang pajak melalui proses kepailitan jika dirata-ratakan secara statistik tidak melebihi dari 1,38% selama kurun waktu tahun 20 tahun yaitu semenjak tahun 1999 hingga tahun 2020 (bulan Agustus). Hal ini sebagaimana tercermin dalam tabel di bawah ini: Berdasarkan data pada tabel di atas maka sangat logis dan berdasar jika Direktorat Jenderal Pajak diberikan kewenangan untuk menagihkan pelunasan utang pajak kepada Wakil Wajib Pajak secara pribadi dan/atau secara renteng sebagaimana diatur dalam Pasal 32 ayat (2) UU KUP.
Secara sistematis di dalam UU KUP dan Undang-Undang di bidang perpajakan pun mengatur jaminan bagi terlunasinya utang pajak. Berdasarkan Pasal 18 UU KUP, Surat Tagihan Pajak (STP), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah, merupakan dasar penagihan pajak.
Berdasarkan Pasal 20 ayat (1) UU KUP atas jumlah pajak yang masih harus dibayar, yang berdasarkan STP, SKPKB, serta SKPKBT, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah, yang tidak dibayar oleh Penanggung Pajak 108 sesuai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) atau ayat (3a) UU KUP dilaksanakan penagihan pajak dengan Surat Paksa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Penagihan Pajak adalah serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang yang telah disita.
Penanggung Pajak yang dilakukan tindakan penagihan pajak merujuk pada Pasal 1 angka 28 UU KUP mengatur bahwa Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Dalam hal yang mempunyai utang pajak adalah Wajib Pajak Badan, maka tindakan penagihan dilakukan terhadap Penanggung Pajak yang meliputi:
Badan/perseroan itu sendiri dan 2. Wakil wajib pajak badan oleh pengurus (Direksi, Komisaris, Pemegang Saham dan orang yang nyata-nyata mengambil kebijaksanaan dan/atau keputusan dalam menjalankan perusahaan). II. Penagihan Pajak PT United Coal Indonesia a. Kegiatan penagihan pajak kepada PT United Coal Indonesia dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang memang secara khusus mengatur kewajiban perpajakan yang harus dipenuhi Wajib Pajak baik ketika Wajib Pajak dalam keadaan normal maupun dalam keadaan pailit. Serangkaian kegiatan penagihan pajak yang diatur dalam peraturan tersebut berlaku bagi semua Wajib Pajak dan/atau Wakil Wajib Pajak dengan kondisi apa pun. Upaya hukum yang dapat ditempuh oleh Wajib Pajak dan/atau Wakil Wajib Pajak atas proses penagihan pajak yang dilakukan, juga telah diatur secara khusus dalam peraturan perpajakan yaitu seperti keberatan ke Kantor Wilayah DJP, banding ke Pengadilan Pajak maupun mengajukan gugatan ke Pengadilan Pajak. 109 b. PT United Coal Indonesia dinyatakan pailit berdasarkan Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor: 32/Pdt.Sus.Pailit/2014 /PN.Niaga.JKT.PST tanggal 24 November 2015.
Total Tagihan utang pajak yang diajukan kepada Kurator adalah Rp.
334.542.465,- (empat puluh tiga miliar tiga ratus tiga puluh empat juta lima ratus empat puluh dua ribu empat ratus enam puluh lima rupiah) terdiri dari 35 SKPKB/STP sejumlah Rp. 44.205.348.442,00 (empat puluh empat miliar dua ratus lima juta tiga ratus empat puluh delapan ribu empat ratus empat puluh dua rupiah) yang dikurangi dengan pembayaran yang telah dilakukan Wajib Pajak sejumlah Rp. 870.805.977,00. (delapan ratus tujuh puluh juta delapan ratus lima ribu sembilan ratus tujuh puluh tujuh rupiah) Tagihan utang pajak disampaikan kepada Kurator dengan surat nomor S- 6382/ WPJ.19/KP.01/2015 tanggal 17 Desember 2015. Adapun ke 35 SKPKB/STP tersebut adalah sebagai berikut: No Nomor SKPKB/STP Tanggal SKPKB/ST P Nilai SKPKB/STP (Rp.) Keterangan 1 00007/106/13/091/13 11-Mar-13 286.327.455 STP PPh pasal 25 Angsuran 2 00007/107/13/091/14 28-Jan-14 218.095.841 STP PPN dan Terlambat Lapor 3 00008/107/13/091/14 28-Jan-14 148.070.494 STP PPN dan Terlambat Lapor 4 00009/107/13/091/14 29-Jan-14 133.731.749 STP PPN dan Terlambat Lapor 5 00010/107/13/091/14 29-Jan-14 67.282.203 STP PPN dan Terlambat Lapor 6 00011/107/13/091/14 29-Jan-14 64.805.678 STP PPN dan Terlambat Lapor 7 00017/106/12/091/13 01-Feb-13 291.941.719 STP PPh pasal 25 Angsuran 8 00020/107/12/091/14 29-Jan-14 204.683.426 STP PPN dan Terlambat Lapor 9 00021/106/13/091/13 03-Apr-13 286.327.455 STP PPh pasal 25 Angsuran 10 00022/106/12/091/13 05-Feb-13 297.555.983 STP PPh pasal 25 Angsuran 11 00030/106/12/091/13 05-Feb-13 286.327.455 STP PPh pasal 25 Angsuran 12 00041/106/13/091/13 30-Apr-13 286.327.455 STP PPh pasal 25 Angsuran 13 00073/106/12/091/12 08-Okt-12 436.363.654 STP PPh pasal 25 Angsuran 14 00139/106/12/091/12 03-Des-12 444.855.263 STP PPh pasal 25 Angsuran 15 00049/107/14/091/15 28-May-15 1.500.000 STP PPN dan Terlambat Lapor 16 00002/107/15/091/15 28-May-15 1.000.000 STP PPN dan Terlambat Lapor 110 17 00013/101/15/091/15 28-May-15 300.000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 18 00093/101/14/091/15 28-May-15 1.200.000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 19 00064/101/13/091/15 28-May-15 100.000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 20 00051/107/14/091/15 3-Jun-15 500.000 STP PPN dan Terlambat Lapor 21 00105/106/14/091/15 13-Jul-15 1.000.000 STP PPh pasal 25 Angsuran 22 00183/207/10/091/15 28-Mei-15 1.013.029.486 SKPKB PPN DN 23 00184/207/10/091/15 25-May-15 65.293.500 SKPKB PPN DN 24 00182/207/10/091/15 25-May-15 318.214.632 SKPKB PPN DN 25 00185/207/10/091/15 25-May-15 154.414.672 SKPKB PPN DN 26 00186/207/10/091/15 25-May-15 101.773.778 SKPKB PPN DN 27 00050/103/14/091/15 21-Aug-15 270.903 STP PPh 23 Terlambat Setor dan Terlambat Lapor 28 00051/103/14/091/15 21-Aug-15 206.814 STP PPh 23 Terlambat Setor dan Terlambat Lapor 29 00018/109/10/091/15 10-Dec-15 121.563.538 STP Bunga Penagihan PPN 30 00019/109/10/091/15 10-Dec-15 7.835.220 STP Bunga Penagihan PPN 31 00020/109/10/091/15 10-Dec-15 38.185.756 STP Bunga Penagihan PPN 32 00021/109/10/091/15 10-Dec-15 18.529.761 STP Bunga Penagihan PPN 33 00022/109/10/091/15 10-Dec-15 12.221.853 STP Bunga Penagihan PPN 34 00014/206/13/091/15 16-Dec-15 33.745.131.050 SKPKB PPh 35 00169/207/11/091/15 17-Dec-15 5.150.381.649 SKPKB PPN DN Jumlah Rp.44.205.348.442, 00 d. Total tagihan utang pajak yang diakui oleh Kurator dalam rapat pencocokan piutang dan verifikasi pajak adalah sejumlah yang dajukan oleh KPP, yaitu sebesar Rp.43.334.542.465,- (empat puluh tiga miliar tiga ratus tiga puluh empat juta lima ratus empat puluh dua ribu empat ratus enam puluh lima rupiah) .
Total hasil penjualan harta pailit yang berhasil diperoleh oleh Kurator sebesar Rp.45.436.242.290,00 (empat puluh lima miliar empat ratus tiga puluh enam juta dua ratus empat puluh dua ribu dua ratus sembilan puluh rupiah). Harta Pailit bersih setelah dikurangi biaya kepailitan dan fee kurator adalah sebesar Rp.30.987.247.383,00 (tiga puluh miliar sembilan ratus delapan puluh tujuh juta dua ratus empat puluh tujuh ribu tiga ratus delapan puluh tiga rupiah). Dari harta pailit tersebut jumlah pembagian yang diperoleh KPP Wajib Pajak Besar Satu sebesar Rp.2.549.161.883,00 (dua 111 miliar lima ratus empat puluh Sembilan juta seratus enam puluh satu ribu delapan ratus delapan puluh tiga rupiah), yang kemudian bertambah menjadi Rp.2.677.919.334,00 (dua miliar enam ratus tujuh puluh tujuh juta sembilan ratus sembilan belas ribu tiga ratus tiga puluh empat rupiah), setelah mendapat tambahan atas bunga bank sebesar Rp.128.757.451,00 (seratus dua puluh delapan juta tujuh ratus lima puluh tujuh ribu empat ratus lima puluh satu rupiah). Atas hasil pembagian harta pailit tersebut telah disetor ke kas negara tanggal 23 November 2018.
Pembagian kepada KPP Wajib Pajak Besar Satu sebesar Rp.2.549.161.883,00 (dua miliar lima ratus empat puluh Sembilan juta seratus enam puluh satu ribu delapan ratus delapan puluh tiga rupiah) adalah 5,88% dari nilai seluruh tagihan pajak yang diakui oleh Kurator. Sedangkan Kreditor Separatis PT Bank Mandiri (Persero) Tbk menerima Rp.14.000.000.000,- (empat belas milyar rupiah) atau sebesar 4,99% dari nilai seluruh tagihan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk yang diakui.
Selain menagih utang pajak dalam proses kepailitan melalui Kurator, pada tahun-tahun selama kepailitan berlangsung, KPP Wajib Pajak Besar Satu, berdasarkan Pasal 29 UU KUP, melakukan pemeriksaan pajak atas PT United Coal Indonesia atas kewajiban-kewajiban perpajakannya yang telah timbul dan terutang namun belum dilaporkan dan/atau belum dibayar sebelum PT United Coal Indonesia dinyatakan pailit. Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut, sesuai Pasal 13 ayat (1) UU KUP, diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) dan Surat Tagihan Pajak (STP) dengan rincian sebagai berikut:
Terbit Tahun 2016 SKPKB PPh Badan tahun pajak 2011 Nomor 00026/206/11/091/16 sejumlah Rp.106.535.880.440,00 (seratus enam miliar lima ratus tiga puluh lima juta selapan ratus delapan puluh ribu empat ratus empat puluh rupiah).
Terbit Tahun 2017 sebesar Rp.46.431.017.912,00 (empat puluh enam miliar empat ratus tiga puluh satu juta tujuh belas ribu Sembilan ratus dua belas rupiah) terdiri atas: SKPKB PPN tahun pajak 2012 sebesar Rp.10.427.130.781,00 (sepuluh miliar empat ratus dua puluh tujuh juta serratus tiga puluh 112 ribu tujuh ratus delapan puluh satu rupiah) terdiri 9 ketetapan sebagai berikut: No. SKPKB/STP Tanggal Nilai SKPKB/STP (Rp.) Keterangan 1 00019/107/12/091/17 23-May-17 206,633,351 STP PPN Hasil Pemeriksaan (Pasal 14 ayat 4 UU KUP) 2 00073/207/12/091/17 23-May-17 1,962,892,565 SKPKB PPN Hasil Pemeriksaan 3 00074/207/12/091/17 23-May-17 1,574,459,693 SKPKB PPN 4 00075/207/12/091/17 23-May-17 962,086,542 SKPKB PPN 5 00076/207/12/091/17 23-May-17 880,698,291 SKPKB PPN 6 00077/207/12/091/17 23-May-17 1,327,527,437 SKPKB PPN 7 00078/207/12/091/17 23-May-17 1,189,167,347 SKPKB PPN 8 00079/207/12/091/17 23-May-17 2,301,980,518 SKPKB PPN 9 00080/207/12/091/17 23-May-17 21,685,037 SKPKB PPN SKPKB dan STP PPN, PPh tahun pajak 2013 sebesar Rp.30.072.927.803,00 (tiga puluh miliar tujuh puluh dua juta Sembilan ratus dua puluh tujuh ribu delapan ratus tiga rupiah), yang terdiri dari 16 SKPKB dan 7 STP sebagai berikut: No . SKPKB/STP Tanggal Nilai SKPKB/STP (Rp.) Keterangan 1 00041/107/13/091/17 21-Dec-17 305,336,630 STP PPN 2 00042/107/13/091/17 21-Dec-17 318,060,956 STP PPN 3 00043/107/13/091/17 21-Dec-17 285,464,974 STP PPN 4 00044/107/13/091/17 21-Dec-17 317,116,241 STP PPN 5 00045/107/13/091/17 21-Dec-17 230,517,085 STP PPN 6 00046/107/13/091/17 21-Dec-17 1,177,485,636 STP PPN 7 00003/245/13/091/17 21-Dec-17 796,717,447 SKPKB PPh 8 00021/203/13/091/17 21-Dec-17 246,492,039 SKPKB PPh 9 00030/201/13/091/17 21-Dec-17 308,460,799 SKPKB PPh 10 00031/201/13/091/17 21-Dec-17 505,270,948 SKPKB PPh 11 00014/177/13/091/17 22-Dec-17 53,832,260 STP PPN 12 00018/277/13/091/17 22-Dec-17 398,358,724 STP PPN 13 00081/207/13/091/17 22-Dec-17 1,094,683,598 STP PPN 14 00082/207/13/091/17 22-Dec-17 1,322,364,683 STP PPN 15 00083/207/13/091/17 22-Dec-17 1,130,660,572 STP PPN 16 00084/207/13/091/17 22-Dec-17 960,313,223 STP PPN 17 00085/207/13/091/17 22-Dec-17 1,130,328,722 STP PPN 18 00086/207/13/091/17 22-Dec-17 2,259,491,065 STP PPN 19 00087/207/13/091/17 22-Dec-17 2,353,651,073 STP PPN 20 00088/207/13/091/17 22-Dec-17 2,112,440,811 STP PPN 21 00089/207/13/091/17 22-Dec-17 2,346,660,183 STP PPN 22 00090/207/13/091/17 22-Dec-17 1,705,826,428 STP PPN 23 00091/207/13/091/17 22-Dec-17 8,713,393,706 STP PPN 113 SKPKB dan STP PPN dan PPh tahun Pajak 2014 sebesar Rp.5.908.774.309,00 (lima miliar Sembilan ratus delapan juta tujuh ratus tujuh puluh empat ribu tiga ratus sembilan rupiah), yang terdiri dari 6 SKPKB dan 4 STP sebagai berikut: No. SKPKB/STP Tanggal Nilai SKPKB/STP (Rp.) Keterangan 1 00025/107/14/091/17 21-Dec-17 223,827,822 STP PPN 2 00026/107/14/091/17 21-Dec-17 160,368,482 STP PPN 3 00027/107/14/091/17 21-Dec-17 114,459,301 STP PPN 4 00028/107/14/091/17 21-Dec-17 8,990,527 STP PPN 5 00002/203/14/091/17 21-Dec-17 459,515,248 SKPKB PPh 6 00004/206/14/091/17 21-Dec-17 1,185,031,550 SKPKB PPh 7 00058/207/14/091/17 21-Dec-17 1,656,325,884 SKPKB PPN 8 00059/207/14/091/17 21-Dec-17 1,186,726,765 SKPKB PPN 9 00060/207/14/091/17 21-Dec-17 846,998,830 SKPKB PPN 10 00061/207/14/091/17 21-Dec-17 66,529,900 SKPKB PPN STP Pengawasan atas kewajiban perpajakan berupa pelaporan dan/atau pembayaran pada tahun 2012 sampai dengan tahun 2016 sebesar Rp.22.185.019,00 (dua puluh dua juta seratus delapan puluh lima ribu Sembilan belas rupiah) terdiri dari 77 STP sebagai berikut: No. SKPKB/STP Tanggal Nilai SKPKB/ST P (Rp.) Keterangan 1 00004/103/15/091/17 23-Jan-17 203,186 STP Terlambat Setor 2 00006/103/15/091/17 24-Jan-17 12,596 STP PPh 23 Terlambat Setor 3 00062/101/16/091/17 21-Mar-17 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 4 00063/101/16/091/17 21-Mar-17 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 5 00065/101/16/091/17 21-Mar-17 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 6 00066/101/16/091/17 21-Mar-17 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 7 00067/101/16/091/17 21-Mar-17 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 8 00069/101/16/091/17 21-Mar-17 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 9 00070/101/16/091/17 21-Mar-17 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 10 00072/101/16/091/17 21-Mar-17 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 11 00075/101/16/091/17 22-Mar-17 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 12 00077/101/16/091/17 22-Mar-17 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 13 00079/101/16/091/17 23-Mar-17 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 114 14 00080/101/16/091/17 23-Mar-17 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 15 00034/107/16/091/17 17-Mar-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 16 00035/107/16/091/17 17-Mar-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 17 00036/107/16/091/17 17-Mar-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 18 00037/107/16/091/17 17-Mar-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 19 00038/107/16/091/17 17-Mar-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 20 00039/107/16/091/17 17-Mar-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 21 00040/107/16/091/17 17-Mar-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 22 00041/107/16/091/17 17-Mar-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 23 00042/107/16/091/17 17-Mar-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 24 00043/107/16/091/17 17-Mar-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 25 00044/107/16/091/17 17-Mar-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 26 00045/107/16/091/17 17-Mar-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 27 00020/107/12/091/17 29-May-17 3,513,807 STP PPN DN Terlambat Setor 28 00021/107/12/091/17 31-May-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 29 00003/140/12/091/17 2-Jun-17 170,287 STP PPh Final dan FLN Terlambat Setor 30 00004/140/12/091/17 2-Jun-17 85,143 STP PPh Final dan FLN Terlambat Setor 31 00005/103/12/091/17 2-Jun-17 100,000 STP PPh 23 Terlambat Lapor 32 00005/140/12/091/17 2-Jun-17 100,000 STP PPh Final dan FLN Terlambat Setor 33 00008/103/13/091/17 2-Jun-17 100,000 STP PPh 23 Terlambat Lapor 34 00006/101/12/091/17 6-Jun-17 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 35 00006/140/12/091/17 7-Jun-17 100,000 STP PPh Final dan FLN Terlambat Setor 36 00006/106/13/091/17 6-Jul-17 1,000,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 37 00003/107/13/091/17 10-Jul-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 38 00066/106/16/091/17 8-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 39 00067/106/16/091/17 8-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 40 00068/106/16/091/17 8-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 41 00069/106/16/091/17 8-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 42 00070/106/16/091/17 8-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 115 43 00071/106/16/091/17 8-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 44 00072/106/16/091/17 8-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 45 00073/106/16/091/17 8-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 46 00074/106/16/091/17 8-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 47 00075/106/16/091/17 11-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 48 00076/106/16/091/17 11-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 49 00077/106/16/091/17 11-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 50 00014/106/15/091/17 12-Sep-17 1,000,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 51 00015/106/15/091/17 12-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 52 00016/106/15/091/17 12-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 53 00017/101/15/091/17 12-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 54 00017/106/15/091/17 12-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 55 00018/101/15/091/17 12-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 56 00018/106/15/091/17 12-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 57 00019/101/15/091/17 12-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 58 00019/106/15/091/17 12-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 59 00020/101/15/091/17 12-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 60 00020/106/15/091/17 12-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 61 00021/101/15/091/17 12-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 62 00021/106/15/091/17 12-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 63 00022/101/15/091/17 12-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 64 00022/106/15/091/17 12-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 65 00023/101/15/091/17 12-Sep-17 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 66 00024/101/15/091/17 12-Sep-17 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 67 00025/101/15/091/17 12-Sep-17 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 68 00126/107/15/091/17 12-Sep-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 69 00127/107/15/091/17 12-Sep-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 70 00128/107/15/091/17 12-Sep-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 71 00129/107/15/091/17 12-Sep-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 116 72 00130/107/15/091/17 12-Sep-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 73 00131/107/15/091/17 12-Sep-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 74 00132/107/15/091/17 12-Sep-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 75 00133/107/15/091/17 12-Sep-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 76 00134/107/15/091/17 12-Sep-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 77 00023/106/15/091/17 15-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 3) Terbit Tahun 2018 sebesar Rp.2.200.000,00 (dua juta dua ratus ribu rupiah), yang merupakan STP Pengawasan sebanyak 13 STP sebagai berikut: No. SKPKB/STP Tanggal Nilai SKPKB/STP (Rp.) Keterangan 1 00009/106/16/091/18 25-Jan-18 1,000,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 2 00042/101/17/091/18 6-Feb-18 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 3 00043/101/17/091/18 6-Feb-18 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 4 00044/101/17/091/18 6-Feb-18 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 5 00045/101/17/091/18 6-Feb-18 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 6 00046/101/17/091/18 6-Feb-18 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 7 00047/101/17/091/18 6-Feb-18 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 8 00048/101/17/091/18 6-Feb-18 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 9 00049/101/17/091/18 6-Feb-18 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 10 00050/101/17/091/18 6-Feb-18 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 11 00053/101/17/091/18 7-Feb-18 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 12 00054/101/17/091/18 7-Feb-18 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 13 00056/101/17/091/18 8-Feb-18 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor h. Atas sisa utang pajak yang tidak terbayarkan melalui proses kepailitan dan utang pajak yang ditemukan kemudian berdasarkan pemeriksaan pajak sebagaimana telah disajikan secara detail di atas, maka KPP Wajib Pajak Besar Satu melaksanakan kegiatan penagihan aktif kepada Penanggung Pajak/Wakil Wajib Pajak sesuai peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dengan total pajak terutang sejumlah Rp. 193.625.721.483,00 117 (seratus sembilan puluh tiga miliar enam ratus dua puluh lima juta tujuh ratus dua puluh satu ribu empat ratus delapan puluh tiga rupiah).
Penanggung Pajak menurut Pasal 1 angka 28 UU KUP adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Adapun rangkaian tindakan penagihan pajak yang dilakukan berupa: tindakan persuasif dengan mengundang rapat Penanggung Pajak melalui Undangan penyelesaian tunggakan pajak surat nomor S-1942/WPJ.19/ KP.01/2018 tanggal 11 Mei 2018 dan Undangan penyelesaian tunggakan pajak surat nomor S-1172/WPJ.19/KP.01/2019 tanggal 27 Mei 2019, Surat Teguran dan Surat Paksa, yang ditindaklanjuti dengan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan (SPMP) dengan detil sebagai berikut:
Surat Teguran No. Nomor Surat Teguran Tanggal 1 ST-00023/WPJ .1 9/KP.0104/2017 20-Mar-17 2 ST-00024/WPJ .1 9/KP.0104/2017 20-Mar-17 3 ST-00025/WPJ.19/KP.0104/2017 20-Mar-17 4 ST-00071/WPJ.19/KP.0104/2017 22-May-17 5 ST-00072/WPJ.19/KP.0104/2017 22-May-17 6 ST-00073/WPJ.19/KP.0104/2017 22-May-17 7 ST-00074/W PJ. 19/KP. 0104/20 17 22-May-17 8 ST-00075/WPJ.19/KP.0104/2017 22-May-17 9 ST-00076/WPJ.19/KP.0104/2017 22-May-17 10 ST-00104/WPJ.19/KP.0104/2017 12-Jun-17 11 ST-00138/WPJ. 19/KP.0104/2017 07-Sep-17 12 ST-00 139/WPJ .19/KP.01 04/2017 7-Sep-17 13 ST-00152/WPJ.19/KP.0104/2017 12-Sep-17 14 ST-00153/WPJ. 19/KP.0104/2017 12-Sep-17 15 ST-00235/WPJ .19/KP.01 04/2017 13-Nov-17 16 ST-00236/WPJ .19/KP . 01 04/2017 13-Nov-17 17 ST-00237/WPJ.19/KP.0104/201 7 13-Nov-17 18 ST-00238/WPJ. 1 9/KP.01 04/2017 13-Nov-17 19 ST-00239/WPJ.19/KP.0104/2017 13-Nov-17 20 ST-00240/WPJ.19/KP .0 104/20 17 13-Nov-17 21 ST-00241/WPJ.19/KP.0104/2017 13-Nov-17 22 ST-00242/WPJ. 1 9/KP.0104/2017 13-Nov-17 23 ST-001 35/WPJ .1 9/KP. 01 04/2018 23-Mar-18 24 ST-00136/WPJ.19/KP.0104/2018 23-Mar-18 25 ST-00137/WPJ. 1 9/KP.0104/2018 23-Mar-18 26 ST-00138/WPJ.19/KP.0104/2018 23-Mar-18 118 27 ST-00139/WPJ .1 9/KP. 0104/2018 23-Mar-18 28 ST-001 40/WPJ .19/KP. 01 04/2018 23-Mar-18 29 ST-00141/WPJ. 19/KP.0104/2018 23-Mar-18 30 ST-00142/WPJ .1 9/KP.0104/2018 23-Mar-18 31 ST-00143/WPJ.19/KP.0104/2018 23-Mar-18 32 ST-00144/WPJ. 19/KP.0104/2018 23-Mar-18 2) Surat Paksa dan Surat Perintah Melaksanakan Sita No. Surat Paksa Tanggal Surat Perintah Melaksanakan Sita (SPMP) 1 SP-00472/WPJ.19/KP.0104/2015 14-Dec-15 SIT-00004 /WPJ.19/KP.0104/2019 tanggal 24 Oktober 2019 2 SP-00473/WPJ. 19/KP.0104/2015 14-Dec-15 3 SP-00126/WPJ.19/KP.0104/2017 24-Jul-17 4 SP-00127/WPJ.19/KP.0104/2017 24-Jul-17 5 SP-00128/WPJ.19/KP.0104/2017 24-Jul-17 6 SP-00072/WPJ.19/KP.0104/2018 26-Mar-18 7 SP-00073/WPJ.19/KP.0104/2018 26-Mar-18 8 SP-00074/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 9 SP-00075/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 10 SP-00076/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 11 SP-00077/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 12 SP-00078/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 13 SP-00079/WPJ.19/KP.0104/2018 26-Mar-18 14 SP-00080/WPJ.19/KP.0104/2018 26-Mar-18 15 SP-00081/WPJ.19/KP.0104/2018 26-Mar-18 16 SP-00082/WPJ.19/KP.0104/2018 26-Mar-18 17 SP-00083/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 18 SP-00084/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 19 SP-00085/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 20 SP-00086/WPJ.19/KP.0104/2018 26-Mar-18 21 SP-00129/WPJ.19/KP.0104/2017 24-Jul-17 SIT-00005 /WPJ.19/KP.0104/2019 tanggal 24 Oktober 2019 22 SP-00130/WPJ. 19/KP.0104/2017 24-Jul-17 23 SP-00150/WPJ.19/KP.0104/2017 17-Oct-17 24 SP-00055/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 25 SP-00056/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 26 SP-00057/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 27 SP-00058/WPJ.19/KP.0104/2018 26-Mar-18 28 SP-00059/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 29 SP-00060/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 30 SP-00061/WPJ.19/KP.0104/2018 26-Mar-18 31 SP-00062/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 32 SP-00063/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 33 SP-00064/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 34 SP-00065/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 35 SP-00066/WPJ.19/KP.0104/2018 26-Mar-18 36 SP-00067/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 37 SP-00068/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 119 38 SP-00069/WPJ.19/KP.0104/2018 26-Mar-18 39 SP-00070/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 40 SP-00071/WPJ.19/KP.0104/2018 26-Mar-18 41 SP-00087/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 SIT-00006 /WPJ.19/KP.0104/2019 tanggal 24 Oktober 2019 42 SP-00088/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 43 SP-00249/WPJ.19/KP.0104/2018 15-Oct-18 44 SP-00250/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 45 SP-00251/WPJ.19/KP.0104/2018 15-Oct-18 46 SP-00252/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 47 SP-00253/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 48 SP-00254/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 49 SP-00255/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 50 SP-00256/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 51 SP-00257/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 52 SP-00258/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 53 SP-00259/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 54 SP-00260/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 55 SP-00261/WPJ.19/KP.0104/2018 15-Oct-18 56 SP-00262/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 57 SP-00263/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 58 SP-00264/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 59 SP-00265/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 60 SP-00266/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 61 SP-00267/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 SIT-00007 /WPJ.19/KP.0104/2019 tanggal 24 Oktober 2019 62 SP-00268/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 63 SP-00269/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 64 SP-00270/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 65 SP-00271/WPJ.19/KP.0104/2018 15-Oct-18 66 SP-00272/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 67 SP-00273/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 68 SP-00274/WPJ.19/KP.0104/2018 15-Oct-18 69 SP-00275/WPJ.19/KP.0104/2018 15-Oct-18 70 SP-00276/WPJ.19/KP.0104/2018 15-Oct-18 71 SP-00277/WPJ.19/KP.0104/2018 15-Oct-18 72 SP-00278/WPJ.19/KP.0104/2018 15-Oct-18 73 SP-00279/WPJ.19/KP.0104/2018 15-Oct-18 74 SP-00280/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 75 SP-00281/WPJ.19/KP.0104/2018 15-Oct-18 76 SP-00282/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 77 SP-00283/WPJ.19/KP.0104/2018 15-Oct-18 78 SP-00284/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 79 SP-00285/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 80 SP-00286/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 k. Berdasarkan SPMP tersebut dilakukan pemblokiran rekening Pemohon di Bank BCA melalui surat nomor S-2341/WPJ.19/ KP.01/2019 tanggal 29 Oktober 2019, Pencegahan kepada Penanggung Pajak melalui Keputusan 120 Menteri Keuangan Nomor KMK-613/KM.3/2019 tanggal 15 November 2019 untuk Taufik Surya Darma dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor KMK- 614/KM.3/2019 tanggal 15 November 2019 untuk Herumanto Zaini.
Tindakan penagihan kepada Wakil Wajib Pajak, dalam hal ini Pemohon sebagai Direktur Utama PT United Coal Indonesia, sesuai Pasal 32 ayat (2) UU KUP adalah hal yang logis dan diperlukan. Hal ini terlihat dari total tagihan pajak yang terdiri dari SKPKB dan STP di atas, membuktikan bahwa Pemohon, sebagai Direktur Utama PT United Coal Indonesia, selama mengurus perusahaan tidak menjalankan tugasnya untuk memastikan terlunasinya kewajiban perpajakan PT United Coal Indonesia. Kewajiban perpajakan ini meliputi kegiatan menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan kewajiban perpajakannya dengan benar. Dari rangkaian STP saja terlihat bahwa PT United Coal Indonesia, selama dibawah pengurusan Pemohon, bukan hanya tidak membayar kewajiban perpajakannya dengan benar, bahkan laporan perpajakannya yang rutin pun banyak tidak dilakukan atau terlambat. III. Pengecualian dalam Pasal 32 ayat (2) UU KUP Pada prakteknya, banyak ditemukan modus dari perusahaan untuk menghindari kewajiban membayar utang pajak melalui mekanisme pembuatan akta perubahan perseroan dengan mencantumkan nama pihak-pihak yang sebenarnya tidak pernah menjalankan kepengurusan/mengendalikan perseroan sebagai pengurus perseroan tersebut. Mengacu pada Pasal 32 ayat (2) UU KUP bahwa dalam hal pengurus tersebut dapat membuktikan dan meyakinkan Direktur Jenderal Pajak bahwa yang bersangkutan tidak dapat dimintakan tanggung jawab dalam pelunasan utang pajak perseroan, maka Direktorat Jenderal Pajak berwenang tidak melakukan tindakan penagihan atas utang pajak perseroan tersebut kepada yang bersangkutan. Pembuktian tersebut utamanya dilakukan pengurus yang bersangkutan kepada Direktur Jenderal Pajak, disamping Direktorat Jenderal Pajak juga dapat menghimpun dan menganalisis data dan/atau informasi dari pihak internal maupun eksternal berdasarkan kewenangan yang dimiliki. Dalam praktiknya pembuktian yang dilakukan pengurus yang merasa bukan sebagai Penanggung Pajak antara lain: 121 a. Menyampaikan data dan informasi berupa surat keterangan atau sejenisnya dari pengurus dan pemegang saham yang lain bahwa yang bersangkutan bukan pengurus perseroan dan tidak pernah menjalankan kepengurusan perseroan;
Menyampaikan bukti bahwa yang bersangkutan tidak pernah menerima penghasilan dari perseroan tersebut;dan/atau c. Menyampaikan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang menyatakan bahwa yang bersangkutan bukan pengurus perseroan. Direktorat Jenderal Pajak dalam rangka memverifikasi dan menganalisis informasi, data dan/atau dokumen yang diperoleh dari pengurus yang merasa bukan sebagai Penanggung Pajak tersebut, Direktorat Jenderal Pajak dapat melakukan:
Penelitian Administrasi 1. Menghimpun informasi, data dan/atau dokumen dari pihak internal maupun eksternal. Dari internal Direktorat Jenderal Pajak melakukan pengecekkan dari sistem informasi yang ada meliputi pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT), upaya hukum, intelijen perpajakan, dan data lainnya; Data pihak eksternal diperoleh dari data perseroan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, laporan hasil permintaan keterangan atau informasi dari pihak ketiga (pengurus lainnya, pegawai perseroan, lawan transaksi dan sebagainya) 2. Melakukan analisis terkait informasi, data dan/atau dokumen baik yang diperoleh dari internal Direktorat Jenderal Pajak, pengurus perseroan, maupun pihak ketiga lainnya tersebut;
Menuangkan hasil analisis tersebut dalam Laporan Uraian Penelitian dengan hasil apakah yang bersangkutan sebagai Penanggung Pajak yang bertanggungjawab secara pribadi dan/atau renteng terhadap pelunasan utang pajak perseroan atau sebaliknya b. Melakukan pemeriksaan dalam rangka penagihan pajak ( delinquency audit ) sesuai Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-08/PJ.75/2002 tentang Pemeriksaan Untuk Tujuan Penagihan Pajak ( Delinquency Audit ). 122 1. Pemeriksaan dilakukan oleh petugas pemeriksa pajak untuk memperoleh data dan/atau informasi terkait Penanggung Pajak yang sebenarnya, harta dan upaya hukum;
Dapat dilakukan secara bersama-sama dengan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan atau hanya melalui pemeriksaan untuk tujuan lain;
Dalam pelaksanaan pemeriksaan, tim Pemeriksa Pajak akan melakukan hal-hal sebagai berikut: a) mencari alamat tempat/gudang penyimpanan harta Wajib Pajak/Penanggung Pajak; b) meminjam bukti kepemilikan harta Wajib Pajak/Penanggung Pajak; c) membuat daftar harta Wajib Pajak/Penanggung Pajak yang sesuai dengan kondisi terkini; d) mencari informasi perihal wakil dari Penanggung Pajak, antara lain keluarga, direksi, komisaris dan pemegang saham mayoritas, beserta alamat sesuai dengan bukti identitas terakhir; dan e) melakukan konfirmasi dan permintaan keterangan serta bukti tentang identitas harta Wajib Pajak/Penanggung Pajak berdasarkan Pasal 35 Undang-Undang KUP antara lain kepada: Notaris/PPAT, Badan Pertanahan Nasional (BPN), Pemerintah Daerah, Bank, Kepolisian, dan Konsultan Pajak 4. Hasilnya akan dituangkan dalam Laporan Hasil Pemeriksaan yang menjadi dasar Direktorat Jenderal Pajak untuk menetapkan yang bersangkutan sebagai pengurus yang bertanggung jawab secara pribadi dan/atau renteng dalam pelunasan utang pajak perseroan atau tidak. Proses sebagaimana diuraikan di atas, termasuk ke dalam rangkaian proses penagihan pajak yang diatur dalam beberapa peraturan pelaksanaan di Direktorat Jenderal Pajak diantaranya: a) Keputusan Menteri Keuangan Nomor 563/KMK.04/2000 tentang Pemblokiran dan Penyitaan Harta Kekayaan Penanggung Pajak yang Tersimpan Pada Bank Dalam Rangka Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa. 123 b) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2014 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemblokiran Dan Penyitaan Harta Kekayaan Penanggung Pajak Yang Tersimpan Pada Bank Dalam Rangka Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa. c) Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-08/PJ.75/2002 tentang Pemeriksaan Untuk Tujuan Penagihan Pajak ( Delinquency Audit ). d) Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-15/PJ/2018 tentang Kebijakan Pemeriksaan. e) Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-29/PJ/2012 tentang Kebijakan Penagihan Pajak. f) Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-09/PJ/2020 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pencegahan Dalam Rangka Penagihan Pajak. g) Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor S-20/PJ/2018 tanggal 12 Januari 2018 hal Penegasan dan Pelaksanaan Pemblokiran, Pencegahan dan Penyanderaan. h) Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor Nomor S-234/PJ.04/2018 tanggal 23 April 2018 hal Optimalisasi Tindakan Penagihari sebagai Tindak Lanjut Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor S-20/PJ/2018 perihal Penegasan atas Pelaksanaan Pemblokiran, Pencegahan, dan Penyanderaan. Berdasarkan tahapan-tahapan pelaksanaan penagihan pajak, dan tahapan- tahapan untuk dapat menentukan apakah seseorang dapat dikecualikan atau tidak sebagai Wakil Wajib Pajak yang harus bertanggung jawab secara pribadi dan/atau renteng sebagaimana telah diuraikan di atas, maka terlihat bahwa untuk menentukan kriteria tersebut Direktorat Jenderal Pajak dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya harus melaksanakan segala rangkaian proses secara cermat dan berdasarkan dokumen sumber yang valid dan terpercaya. Dalam hal Wajib Pajak dan/atau Wakil Wajib Pajak merasa keberatan, peraturan perundang-undangan perpajakan telah membuka jalur melakukan upaya hukum yang jelas yaitu melalui proses gugatan ke Pengadilan Pajak, keberatan ke Kantor Wilayah DJP, dan/atau banding ke Pengadilan Pajak. IV. Petitum Berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan 124 pengujian ( constitutional review ) ketentuan Pasal 2 ayat (6) dan Pasal 32 ayat (2) UU KUP terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dapat memberikan putusan sebagai berikut :
Menerima Keterangan Presiden secara keseluruhan;
Menyatakan bahwa Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum ( Legal Standing );
Menolak permohonan pengujian Pemohon seluruhnya atau setidak- tidaknya menyatakan permohonan pengujian Pemohon tidak dapat diterima ( niet onvankelijk verklaard );
Menyatakan Pasal 2 ayat (6) dan Pasal 32 ayat (2) UU KUP tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain mohon kiranya dapat memberikan putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya ( ex aequo et bono ) [2.4] Menimbang bahwa untuk mendukung keterangannya, Presiden/Pemerintah telah mengajukan dokumen (sebagai lampiran) yang diberi tanda PEM-1 sampai dengan PEM-211, di mana Lampiran PEM-1 sampai PEM-36 merupakan rincian tagihan pajak kepada Kurator PT UCI sejumlah Rp.43.334.542.465,- karena Wajib Pajak melakukan pembayaran utang pajak sejumlah Rp.870.805.977,-; Lampiran PEM-37 sampai dengan PEM-169 merupakan tagihan pajak hasil pemeriksaan pajak yang terbit setelah Wajib Pajak PT UCI pailit; serta Lampiran PEM-170 sampai dengan PEM-211 merupakan dokumen yang menunjukkan alur proses penagihan kepada Penanggung Pajak PT UCI. Berikut ini daftar Lampiran dimaksud.
PEM-1 S-6382/WPJ.19/ KP.01/2015 17-Des-15 2. PEM-2 SKP/STP No. 00007/106/13/091/13 11-Mar-13 3. PEM-3 SKP/STP No. 00007/107/13/091/14 28-Jan-14 4. PEM-4 SKP/STP No. 00008/107/13/091/14 28-Jan-14 5. PEM-5 SKP/STP No. 00009/107/13/091/14 29-Jan-14 6. PEM-6 SKP/STP No. 000010/107/13/091/14 29-Jan-14 7. PEM-7 SKP/STP No. 000011/107/13/091/14 29-Jan-14 8. PEM-8 SKP/STP No. 000017/106/12/091/13 01-Feb-13 9. PEM-9 SKP/STP No. 000020/107/12/091/14 29-Jan-14 125 10. PEM-10 SKP/STP No. 000021/106/13/091/13 03-Apr-13 11. PEM-11 SKP/STP No. 000022/106/12/091/13 05-Feb-13 12. PEM-12 SKP/STP No. 000030/106/12/091/13 05-Feb-13 13. PEM-13 SKP/STP No. 000041/106/13/091/13 30-Apr-13 14. PEM-14 SKP/STP No. 000073/106/12/091/12 08-Okt-12 15. PEM-15 SKP/STP No. 00139/106/12/091/12 03-Des-12 16. PEM-16 SKP/STP No. 000049/107/14/091/15 28-Mei-15 17. PEM-17 SKP/STP No. 00002/107/15/091/15 28-Mei-15 18. PEM-18 SKP/STP No. 00013/101/15/091/15 28-Mei-15 19. PEM-19 SKP/STP No. 00093/101/14/091/15 28-Mei-15 20. PEM-20 SKP/STP No. 00064/101/13/091/15 28-Mei-15 21. PEM-21 SKP/STP No. 00051/107/14/091/15 3-Jun-15 22. PEM-22 SKP/STP No. 00105/106/14/091/15 13-Jul-15 23. PEM-23 SKP/STP No. 00182/207/10/091/15 25-Mei-15 24. PEM-24 SKP/STP No. 00183/207/10/091/15 25-Mei-15 25. PEM-25 SKP/STP No. 00184/207/10/091/15 25-Mei-15 26. PEM-26 SKP/STP No. 00185/207/10/091/15 25-Mei-15 27. PEM-27 SKP/STP No. 00186/207/10/091/15 25-Mei-15 28. PEM-28 SKP/STP No. 00050/103/14/091/15 21-Aug-15 29. PEM-29 SKP/STP No. 00051/103/14/091/15 21-Aug-15 30. PEM-30 SKP/STP No. 00018/109/10/091/15 10-Dec-15 31. PEM-31 SKP/STP No. 00019/109/10/091/15 10-Dec-15 32. PEM-32 SKP/STP No. 00020/109/10/091/15 10-Dec-15 33. PEM-33 SKP/STP No. 00021/109/10/091/15 10-Dec-15 34. PEM-34 SKP/STP No. 00022/109/10/091/15 10-Dec-15 35. PEM-35 SKP/STP No. 00014/206/13/091/15 16-Dec-15 36. PEM-36 SKP/STP No. 00169/207/11/091/15 17-Dec-15 37. PEM-37 SKP/STP No. 00026/206/11/091/16 29-Nov-16 38. PEM-38 SKP/STP No. 00019/107/12/091/17 23-Mei-17 39. PEM-39 SKP/STP No. 00073/207/12/091/17 23-Mei-17 40. PEM-40 SKP/STP No. 00074/207/12/091/17 23-Mei-17 41. PEM-41 SKP/STP No. 00075/207/12/091/17 23-Mei-17 42. PEM-42 SKP/STP No. 00076/207/12/091/17 23-Mei-17 126 43. PEM-43 SKP/STP No. 00077/207/12/091/17 23-Mei-17 44. PEM-44 SKP/STP No. 00078/207/12/091/17 23-Mei-17 45. PEM-45 SKP/STP No. 00079/207/12/091/17 23-Mei-17 46. PEM-46 SKP/STP No. 00080/207/12/091/17 23-Mei-17 47. PEM-47 SKP/STP No. 00041/107/13/091/17 21-Dec-17 48. PEM-48 SKP/STP No. 00042/107/13/091/17 21-Dec-17 49. PEM-49 SKP/STP No. 00043/107/13/091/17 21-Dec-17 50. PEM-50 SKP/STP No. 00044/107/13/091/17 21-Dec-17 51. PEM-51 SKP/STP No. 00045/107/13/091/17 21-Dec-17 52. PEM-52 SKP/STP No. 00046/107/13/091/17 21-Dec-17 53. PEM-53 SKP/STP No. 00003/245/13/091/17 21-Dec-17 54. PEM-54 SKP/STP No. 00021/203/13/091/17 21-Dec-17 55. PEM-55 SKP/STP No. 00030/201/13/091/17 21-Dec-17 56. PEM-56 SKP/STP No. 00031/201/13/091/17 21-Dec-17 57. PEM-57 SKP/STP No. 00014/177/13/091/17 22-Dec-17 58. PEM-58 SKP/STP No. 00018/277/13/091/17 22-Dec-17 59. PEM-59 SKP/STP No. 00081/207/13/091/17 22-Dec-17 60. PEM-60 SKP/STP No. 00082/207/13/091/17 22-Dec-17 61. PEM-61 SKP/STP No. 00083/207/13/091/17 22-Dec-17 62. PEM-62 SKP/STP No. 00084/207/13/091/17 22-Dec-17 63. PEM-63 SKP/STP No. 00085/207/13/091/17 22-Dec-17 64. PEM-64 SKP/STP No. 00086/207/13/091/17 22-Dec-17 65. PEM-65 SKP/STP No. 00087/207/13/091/17 22-Dec-17 66. PEM-66 SKP/STP No. 00088/207/13/091/17 22-Dec-17 67. PEM-67 SKP/STP No. 00089/207/13/091/17 22-Dec-17 68. PEM-68 SKP/STP No. 00090/207/13/091/17 22-Dec-17 69. PEM-69 SKP/STP No. 00091/207/13/091/17 22-Dec-17 70. PEM-70 SKP/STP No. 00025/107/14/091/17 21-Dec-17 71. PEM-71 SKP/STP No. 00026/107/14/091/17 21-Dec-17 72. PEM-72 SKP/STP No. 00027/107/14/091/17 21-Dec-17 73. PEM-73 SKP/STP No. 00028/107/14/091/17 21-Dec-17 74. PEM-74 SKP/STP No. 00002/203/14/091/17 21-Dec-17 75. PEM-75 SKP/STP No. 00004/206/14/091/17 21-Dec-17 127 76. PEM-76 SKP/STP No. 00058/207/14/091/17 21-Dec-17 77. PEM-77 SKP/STP No. 00059/207/14/091/17 21-Dec-17 78. PEM-78 SKP/STP No. 00060/207/14/091/17 21-Dec-17 79. PEM-79 SKP/STP No. 00061/207/14/091/17 21-Dec-17 80. PEM-80 SKP/STP No. 00004/103/15/091/17 23-Jan-17 81. PEM-81 SKP/STP No. 00006/103/15/091/17 24-Jan-17 82. PEM-82 SKP/STP No. 00062/101/16/091/17 21-Mar-17 83. PEM-83 SKP/STP No. 00063/101/16/091/17 21-Mar-17 84. PEM-84 SKP/STP No. 00065/101/16/091/17 21-Mar-17 85. PEM-85 SKP/STP No. 00066/101/16/091/17 21-Mar-17 86. PEM-86 SKP/STP No. 00067/101/16/091/17 21-Mar-17 87. PEM-87 SKP/STP No. 00069/101/16/091/17 21-Mar-17 88. PEM-88 SKP/STP No. 00070/101/16/091/17 21-Mar-17 89. PEM-89 SKP/STP No. 00072/101/16/091/17 21-Mar-17 90. PEM-90 SKP/STP No. 00075/101/16/091/17 22-Mar-17 91. PEM-91 SKP/STP No. 00077/101/16/091/17 22-Mar-17 92. PEM-92 SKP/STP No. 00079/101/16/091/17 23-Mar-17 93. PEM-93 SKP/STP No. 00080/101/16/091/17 23-Mar-17 94. PEM-94 SKP/STP No. 00034/107/16/091/17 17-Mar-17 95. PEM-95 SKP/STP No. 00035/107/16/091/17 17-Mar-17 96. PEM-96 SKP/STP No. 00036/107/16/091/17 17-Mar-17 97. PEM-97 SKP/STP No. 00037/107/16/091/17 17-Mar-17 98. PEM-98 SKP/STP No. 00038/107/16/091/17 17-Mar-17 99. PEM-99 SKP/STP No. 00039/107/16/091/17 17-Mar-17 100. PEM-100 SKP/STP No. 00040/107/16/091/17 17-Mar-17 101. PEM-101 SKP/STP No. 00041/107/16/091/17 17-Mar-17 102. PEM-102 SKP/STP No. 00042/107/16/091/17 17-Mar-17 103. PEM-103 SKP/STP No. 00043/107/16/091/17 17-Mar-17 104. PEM-104 SKP/STP No. 00044/107/16/091/17 17-Mar-17 105. PEM-105 SKP/STP No. 00045/107/16/091/17 17-Mar -17 106. PEM-106 SKP/STP No. 00020/107/12/091/17 29-Mei-17 107. PEM-107 SKP/STP No. 00021/107/12/091/17 31-Mei-17 108. PEM-108 SKP/STP No. 00003/140/12/091/17 2-Jun-17 128 109. PEM-109 SKP/STP No. 00004/140/12/091/17 2-Jun-17 110. PEM-110 SKP/STP No. 00005/140/12/091/17 2-Jun-17 111. PEM-111 SKP/STP No. 00005/103/12/091/17 2-Jun-17 112. PEM-112 SKP/STP No. 00008/103/13/091/17 2-Jun-17 113. PEM-113 SKP/STP No. 00006/101/12/091/17 6-Jun-17 114. PEM-114 SKP/STP No. 00006/140/12/091/17 7-Jun-17 115. PEM-115 SKP/STP No. 00006/106/13/091/17 6-Jul-17 116. PEM-116 SKP/STP No. 00003/107/13/091/17 10-Jul-17 117. PEM-117 SKP/STP No. 00066/106/16/091/17 8-Sep-17 118. PEM-118 SKP/STP No. 00067/106/16/091/17 8-Sep-17 119. PEM-119 SKP/STP No. 00068/106/16/091/17 8-Sep-17 120. PEM-120 SKP/STP No. 00069/106/16/091/17 8-Sep-17 121. PEM-121 SKP/STP No. 00070/106/16/091/17 8-Sep-17 122. PEM-122 SKP/STP No. 00071/106/16/091/17 8-Sep-17 123. PEM-123 SKP/STP No. 00072/106/16/091/17 8-Sep-17 124. PEM-124 SKP/STP No. 00073/106/16/091/17 8-Sep-17 125. PEM-125 SKP/STP No. 00074/106/16/091/17 8-Sep-17 126. PEM-126 SKP/STP No. 00075/106/16/091/17 11-Sep-17 127. PEM-127 SKP/STP No. 00076/106/16/091/17 11-Sep-17 128. PEM-128 SKP/STP No. 00077/106/16/091/17 11-Sep-17 129. PEM-129 SKP/STP No. 00014/106/15/091/17 12-Sep-17 130. PEM-130 SKP/STP No. 00015/106/15/091/17 12-Sep-17 131. PEM-131 SKP/STP No. 00016/106/15/091/17 12-Sep-17 132. PEM-132 SKP/STP No. 00017/101/15/091/17 12-Sep-17 133. PEM-133 SKP/STP No. 00017/106/15/091/17 12-Sep-17 134. PEM-134 SKP/STP No. 00018/101/15/091/17 12-Sep-17 135. PEM-135 SKP/STP No. 00018/106/15/091/17 12-Sep-17 136. PEM-136 SKP/STP No. 00019/101/15/091/17 12-Sep-17 137. PEM-137 SKP/STP No. 00019/106/15/091/17 12-Sep-17 138. PEM-138 SKP/STP No. 00020/101/15/091/17 12-Sep-17 139. PEM-139 SKP/STP No. 00020/106/15/091/17 12-Sep-17 140. PEM-140 SKP/STP No. 00021/101/15/091/17 12-Sep-17 141. PEM-141 SKP/STP No. 00021/106/15/091/17 12-Sep-17 129 142. PEM-142 SKP/STP No. 00022/101/15/091/17 12-Sep-17 143. PEM-143 SKP/STP No. 00022/106/15/091/17 12-Sep-17 144. PEM-144 SKP/STP No. 00023/101/15/091/17 12-Sep-17 145. PEM-145 SKP/STP No. 00024/101/15/091/17 12-Sep-17 146. PEM-146 SKP/STP No. 00025/101/15/091/17 12-Sep-17 147. PEM-147 SKP/STP No. 00126/107/15/091/17 12-Sep-17 148. PEM-148 SKP/STP No. 00127/107/15/091/17 12-Sep-17 149. PEM-149 SKP/STP No. 00128/107/15/091/17 12-Sep-17 150. PEM-150 SKP/STP No. 00129/107/15/091/17 12-Sep-17 151. PEM-151 SKP/STP No. 00130/107/15/091/17 12-Sep-17 152. PEM-152 SKP/STP No. 00131/107/15/091/17 12-Sep-17 153. PEM-153 SKP/STP No. 00132/107/15/091/17 12-Sep-17 154. PEM-154 SKP/STP No. 00133/107/15/091/17 12-Sep-17 155. PEM-155 SKP/STP No. 00134/107/15/091/17 12-Sep-17 156. PEM-156 SKP/STP No. 00023/106/15/091/17 15-Sep-17 157. PEM-157 SKP/STP No. 00009/106/16/091/18 25-Jan-18 158. PEM-158 SKP/STP No. 00042/101/17/091/18 6-Feb-18 159. PEM-159 SKP/STP No. 00043/101/17/091/18 6-Feb-18 160. PEM-160 SKP/STP No. 00044/101/17/091/18 6-Feb-18 161. PEM-161 SKP/STP No. 00045/101/17/091/18 6-Feb-18 162. PEM-162 SKP/STP No. 00046/101/17/091/18 6-Feb-18 163. PEM-163 SKP/STP No. 00047/101/17/091/18 6-Feb-18 164. PEM-164 SKP/STP No. 00048/101/17/091/18 6-Feb-18 165. PEM-165 SKP/STP No. 00049/101/17/091/18 6-Feb-18 166. PEM-166 SKP/STP No. 00050/101/17/091/18 6-Feb-18 167. PEM-167 SKP/STP No. 00053/101/17/091/18 7-Feb-18 168. PEM-168 SKP/STP No. 00054/101/17/091/18 7-Feb-18 169. PEM-169 SKP/STP No. 00056/101/17/091/18 8-Feb-18 170. PEM-170 Undangan penyelesaian tunggakan pajak surat nomor S-1942/WPJ.19/ KP.01/2018 11-Mei-18 130 171. PEM-171 Undangan penyelesaian tunggakan pajak surat nomor S-1172/WPJ.19/ KP.01/2019 172. PEM-172 ST-00023/WPJ.19/KP.0104/2017 20-Mar-17 173. PEM-173 ST-00024/WPJ.19/KP.0104/2017 20-Mar-17 174. PEM-174 ST-00025/WPJ.19/KP.0104/2017 20-Mar-17 175. PEM-175 ST-00071/WPJ.19/KP.0104/2017 22-Mei-17 176. PEM-176 ST-00072/WPJ.19/KP.0104/2017 22-Mei-17 177. PEM-177 ST-00073/WPJ.19/KP.0104/2017 22-Mei-17 178. PEM-178 ST-00074/W PJ. 19/KP. 0104/20 17 22-Mei-17 179. PEM-179 ST-00075/WPJ.19/KP.0104/2017 22-Mei-17 180. PEM-180 ST-00076/WPJ.19/KP.0104/2017 22-Mei-17 181. PEM-181 ST-00104/WPJ.19/KP.0104/2017 12-Jun-17 182. PEM-182 ST-00138/WPJ. 19/KP.0104/2017 7-Sep-17 183. PEM-183 ST-00 139/WPJ .19/KP.01 04/2017 7-Sep-17 184. PEM-184 ST-00152/WPJ.19/KP.0104/2017 12-Sep-17 185. PEM-185 ST-00153/WPJ. 19/KP.0104/2017 12-Sep-17 186. PEM-186 ST-00235/WPJ .19/KP.01 04/2017 13-Nov-17 187. PEM-187 ST-00236/WPJ .19/KP.01 04/2017 13-Nov-17 188. PEM-188 ST-00237/WPJ.19/KP.0104/201 7 13-Nov-17 189. PEM-189 ST-00238/WPJ.19/KP.01 04/2017 13-Nov-17 190. PEM-190 ST-00239/WPJ.19/KP.0104/2017 13-Nov-17 191. PEM-191 ST-00240/WPJ.19/KP.0104/20 17 13-Nov-17 192. PEM-192 ST-00241/WPJ.19/KP.0104/2017 13-Nov-17 193. PEM-193 ST-00242/WPJ.19/KP.0104/2017 13-Nov-17 194. PEM-194 ST-00135/WPJ.19/KP. 01 04/2018 23-Mar-18 195. PEM-195 ST-00136/WPJ.19/KP.0104/2018 23-Mar-18 196. PEM-196 ST-00137/WPJ.19/KP.0104/2018 23-Mar-18 197. PEM-197 ST-00138/WPJ.19/KP.0104/2018 23-Mar-18 198. PEM-198 ST-00139/WPJ.19/KP. 0104/2018 23-Mar-18 199. PEM-199 ST-00140/WPJ.19/KP.0104/2018 23-Mar-18 200. PEM-200 ST-00141/WPJ.19/KP.0104/2018 23-Mar-18 201. PEM-201 ST-00142/WPJ.19/KP.0104/2018 23-Mar-18 131 202. PEM-202 ST-00143/WPJ.19/KP.0104/2018 23-Mar-18 203. PEM-203 ST-00144/WPJ.19/KP.0104/2018 23-Mar-18 204. PEM-204 Daftar Surat Paksa yang telah diberitahukan kepada Penaggung Pajak PT United Coal Indonesia 29-Okt-19 205. PEM-205 Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan No. SIT- 00004/WPJ.19/KP.0104/2019 24-Okt-19 206. PEM-206 Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan No. SIT- 00005/WPJ.19/KP.0104/2019 24-Okt-19 207. PEM-207 Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan No. SIT-SKP/STP No. 00006/WPJ.19/KP.0104/2019 24-Okt-19 208. PEM-208 Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan No. SIT-SKP/STP No. 00007/WPJ.19/KP.0104/2019 24-Okt-19 209. PEM-209 S-2341/WPJ.19/KP.01/2019 (Blokir Rekening) 29-Okt-19 210. PEM-210 Keputusan Menteri Keuangan Nomor KMK-613/KM.3/2019 untuk Taufik Surya Darma (Pencegahan) 15-Nov-19 211. PEM-211 Keputusan Menteri Keuangan Nomor KMK-614/KM.3/2019 untuk Herumanto Zaini (Pencegahan) 15-Nov-19 Selain itu Presiden/Pemerintah mengajukan empat orang Ahli. Dua orang Ahli menyampaikan keterangan keterangan lisan di hadapan sidang 14 Oktober 2020, yang dilengkapi keterangan tertulis yaitu Dr. Abdul Anshari Ritonga, S.E., S.H., M.A dan Dr. Teddy Anggoro, S.H., M.H. Adapun dua Ahli lain, yaitu Dr. Dian Puji N Simatupang, S.H., M.H dan Dr. Hendry Julian Noor, S.H., M.Kn., menyampaikan keternagan secara tertulis. Keterngan masing-masing ahli pada pokoknya sebagai berikut. 132 1. Abdul Anshari Ritonga Tentang Pasal 32 ayat (2) UU KUP Sesuai Pasal 32 ayat (2) dan penjelasannya UU KUP, untuk Wajib Pajak Badan, yang bertangggung jawab menjalankan hak dan kewajiban perpajakan atas pembayaran pajak dan pemenuhan kewajiban perpajakan dari Wajib Pajak Badan adalah Pengurus dari Badan tesebut. Tanggung Jawab Pengurus dimaksud adalah tanggung jawab pribadi dan tanggung jawab renteng. Subjek hukum adalah setiap orang yang mempunyai hak dan kewajiban hukum. Menurut Kamus Hukum, subject vaan een recht ; Subjek orang yang berhak; manusia pribadi atau badan hukum yang berhak bertindak atau melakukan perbuatan hukum Pasal 1 angka 2 dan Pasal 2 UU KUP antara lain berbunyi: Subjek hukum pajak terdiri dari orang pribadi dan/atau badan yang memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Berdasarkan sistem self assesment dalam perpajakan yang berlaku di Indonesia, subjek hukum pajak yang memenuhi persyaratan subjektif dan objektif berkewajiban mendaftarkan diri, menghitung dan membayar pajak terhutang, serta melaporkan kewajiban perpajakannya ke Kantor Pajak, Direktorat Jenderal Pajak. Namun, Badan sebagai subjek hukum pajak, secara fisik tidak dapat bertindak, berbuat dan bergerak untuk melakukan kewajiban perpajakannya dimaksud. Pengertian badan sebagai pribadi hukum ( recht person) menurut Teori Badan Hukum pendapat Wolfgang Fiedmann dalam bukunya Legal Theory , dapat dibedakan pengertiannya berdasarkan: i) Teori Fiksi, ii) Teori Konsesi, iii) Teori Organ/Realis dan iv) Teori Kenyataan Juridis. Menurut Teori Fiksi, keberadaan Badan sebagai pribadi hukum ( rechts person ) hanyalah anggapan atau fiksi saja, karena tidak dapat bertindak atau berbuat untuk melaksanakan hak dan kewajiban hukumnya. Oleh karena itu, yang bertindak dan bertanggung jawab memenuhi kewajiban Badan adalah pengurus yang dikuasakan untuk mengurus perusahaan. Pengertian Badan sebagai Wajib Pajak dalam UU Perpajakan adalah menggunakan Teori Fiksi tersebut, seperti yang diatur dalam Pasal 32 ayat (1) huruf a, dan Pasal 32 ayat (2) UU KUP sebagaimana diuraikan di atas. 133 Pasal 1 angka (2) dan Pasal 2 ayat (1) UU KUP memgatur: wajib pajak adalah yang memenuhi persyaratan subjektif dan objektif, yang terdiri dari orang pribadi dan badan. Orang pribadi yang berkewajiban hukum adalah yang cakap hukum. Orang yang tidak cakap hukum seperti orang yang tidak waras, anak-anak yang belum dewasa atau yang dibawah pengampuan, maka tidak dapat berkewajiban hukum. Wajib Pajak adalah Badan atau Badan Hukum yang secara fisik tidak dapat bergerak, bertindak dan berbuat, berati tidak akan dapat melakukan kewajibannya sendiri. Oleh karena Badan yang secara fisik tidak cakap hukum, maka kewajiban perpajakan dari Badan yang yang seharusnya melaksanakan, menjadi tangggung jawab pribadi dan tanggung jawab renteng dari Pengurus. Kewajiban pajak hanya ada apabila ada objeknya (misalnya: ada tambahan kemampuan ekonomi, antara lain berupa penghasilan atau laba, atau ada kewajiban memungut, memotong pajak dan membayarnya ke kas negara) yang ada pajaknya terhutang, tetapi tidak dibayar sebagaimana mestinya oleh Pengurus yang bertanggung jawab. Apabila pada waktunya kewajiban tersebut tidak dilaksanakan sesuai ketentuan yang berlaku, maka akan dapat berdampak ada pajak terhutang yang tidak atau kurang dibayar. Karena kesalahan pengurus yang tidak membayar pajak terhutang dari WP Badan yang diurusnya sebagaimana mestinya, maka kewajiaban membayar hutang pajak tersebut adalah menjadi tanggung jawab pengurus, karena kesalahannya tidak melaksanakan pembayaran sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Badan (secara fisik) tidak dapat dipersalahkan, karena badan itu hanya anggapan (fiksi) saja ada sebagai subjek yang dapat memenuhi kewajiban perpajakannya. Tetapi kenyataannya secara fisik tidak dapat bertindak atau berbuat, tidak bisa menghitung dan tidak dapat bergerak untuk melakukan kewajiabannya sebagai wajib pajak. Maka semua kewajiban Badan tersebut menjadi tanggung jawab sepenuhnya dari pengurus. Pasal 1233 dan Pasal 1234 KUH Perdata mengatur bahwa “ Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena undang-undang adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu atau untuk tidak 134 berbuat sesuatu” . Dengan demikian perikatan berupa badan dan/atau badan hukum adalah subjek hukum perdata yang berhak dan berkewajiban hukum. Objek pajak adalah peristiwa-peristiwa hukum, perbuatan, kejadian dan keadaan terkait hukum yang bersifat perdata yang terukur dan bernilai. Oleh karenanya subjek hukum perdata juga dapat menjadi subjek pajak, dan prinsip- perinsip perdata berupa mediasi dan kompromi juga berlaku dalam hukum pajak, seperti penundaan, pangangsuran, pengurangan pembayaran pajak sesuai ketentuan peraturaan perundang-undangan perpajakan. Pasal inilah yang menjadi dasar penentuan subjek pajak terdiri dari orang pribadi dan badan (sebagai subjek hukum perdata) berupa perikatan dan/atau badan. Subjek pajak yang memenuhi persyaratan objektip menjadi Wajib Pajak yang terdiri dari Wajib Pajak Orang pribadi dan wajib pajak badan. Pasal 1 angka 5 UU 40/2007 tentang Perseroan Terbatas mengatur hal yang sama, yaitu “ Direksi adalah organ perseroan yang berwenang dan bertangggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan sesuai denggan maksud dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan baik didalam maupun diluar pengadilan sesuai dengan ketentuan”. Sekalipun kemudian badan yang diurusnya menjadi pailit atau dibubarkan, tidak akan menghapus kewajibannya melunasi pajak yang terhutang yang sudah ada sebelum pembubaran atau pemailitan tersebut. Dengan alasan antara lain, a) Pajak adalah kewajiban kenegaraan yang bersifat memaksa untuk keperluan negara berdasarkan Undang-undang. b) Timbulnya pajak terhutang adalah karena pengurus tidak meaksanakan kewajiban perpajakannya, memenuhi pembayaran sebagaimana mestinya. c) Seandainya oleh pengurus memenuhi kewajiban perpajakannya sebagaimana mestinya, maka tidak akan ada pajak terhutang yang harus dibayar pada saat perusahaan bubar atau dipailitkan. d) Adanya kewajiban pengurus harus membayar pajak terhutang setelah perusahaan bubar atau pailit, adalah karena kesalahan pengurus sendiri membuat hutang pajak, yang terjadi sebelum perusahaan tersebut bubar atau dipailitkan. Maksud frasa kata/anak kalimat dalam Pasal 32 ayat (2): “ kecu ali apabila dapat membuktikan dan meyakinkan Direktur Jenderal Pajak bahwa mereka dalam kedudukannya benar-benar tidak mungkin untuk dibebani tanggung jawab atas pajak yang terhutang tersebut ” adalah terkait ketentuan Pasal 32 135 ayat (4) dan penjelasannya, yang mengatur pengertian pengurus Badan termasuk orang yang nyata-nyata mempunyai wewenang ikut menentukan kebijaksanaan dan/atau mengambil keputusan dalam menjalankan perusahaan, walaupun orang tersebut tidak tercantum namanya dalam susunan pengurus yang tertera dalam akta pendirian maupun akta perubahan, termasuk Komisaris Perusahaan/Badan dan pemegang saham mayoritas atau pengendali. Misalnya apabila kejadian, pengawas/pemeriksa memutuskan telah terjadi penyimpangan melawan hukum dalam satu kebijakan Pengurus/Direksi dalam melaksanakan perusahaan, kalau sewaktu rapat mengambil keputusan kebijakan yang dinyatakan ada penyimpangan tersebut ada seorang Komisaris perusahaan sebagai penasehat, menyatakan tidak sependapat atau berpendapat lain dan tidak setuju atas kebijakan yang diambil Direksi, maka Komisaris tersebut dapat lepas dari sanksi atas kesalahan dimaksud. Demikian pula dalam kepemimpinan pengurus secara kolektif kolegial, apabila ada salah seorang pengurus yang tidak setuju atau dissenting opinion sewaktu pengambilan keputusan, namun karena sudah jadi keputusan rapat dia juga harus turut menandatanganinya Apabila pelaksanaan keputusan yang diambil dinyatakan salah atau melawan hukum, maka yang bersangkutan lepas dari tangggug jawab akibat kesalahan tersebut. Tentang Pasal 2 ayat (6): Pemberian NPWP sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 6 dan Pasal 2 ayat (1) UU KUP adalah sebagai sarana administrasi perpajakan, yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya. NPWP tersebut diberikan hanya kepada seseorang yang memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai peraturan perundang-undangan perpajakan. Pentingnya identitas NPWP di samping nama wajib pajak, adalah untuk menjamin kepastian bagi Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, bahwa benar pemenuhan perpajakan dilakukan oleh yang bersanggkutan dan untuk yang bersangkutan, agar terhindar dari kemungkinan ada nama yang sama. Juga bagi Wajib Pajak yang mempunyai cabang banyak di alamat yang berbeda, dapat dilakukan memenuhi kewajiban perpajakannya dimana saja 136 untuk diperhitungkan sebagai pemenuhan kewajiban pajak bagi pemilik NPWP yang sama. Penghapusan NPWP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (6), baik karena permohonan Wajib Pajak dan atau karena kewenangan Direktur Jenderal Pajak, adalah berdasarkan ada atau terpenuhinya persyaratan subjektif dan objektif dari seseorang yang akan diberikan atau dicabut NPWP- nya. NPWP tidak ada kaitan dengan jumlah pajak terhutang yang tidak atau belum dibayar, tetapi diberikan semata-mata untuk identitas dalam memenuhi kewajiban perpajakan bagi yang terpenuhi persyaratan subjetif dan objektif yang akan diberikan atau dicabut NPWP-nya. Apabila ditemukan seseorang yang memenuhi persyaratan subjektif, tetapi yang bersangkutan tidak mendaftarkan diri untuk diberikan NPWP, maka dinas (Direktorat Jenderal Pajak) akan memberikan NPWP secara jabatan, tanpa melalui permohonan Wajib Pajak. Atas objek pajak yang ditemukan, akan diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Jabatan atas pajak yang terhutang ditambah dengan dendanya sesuai peraturan perundang-undangan perpajakan. Untuk melakukan pencabutan NPWP harus terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan untuk memastikan bahwa tidak ada lagi kewajiban perpajakannya. Apabila hasil pemeriksaan memutuskan dapat/untuk dicabut NPWP, kemudian belakangan ditemui masih ada objek pajak yang tidak dilaporkan pada saat pemeriksaan, yang masih ada pajak terhutang/yang harus dibayar, maka NPWP akan diterbitkan kembali untuk menagih pajak terhutang. NPWP perusahaan yang dinyatakan pailit, sesuai ketentuan baru dapat dihapuskan apabila sudah tidak ada lagi kewajibann perpajakannya. Kalau masih ada pajak terutang yang belum dibayar, maka NPWP tidak boleh dihapus, karena NPWP tersebut masih diperlukan sebagai sarana untuk membayar pajak. Pemohon menerangkan sejak Perusahaan PT UCI dinyatakan pailit: (i) Pemohon secara hukum tidak lagi dapat bertindak untuk dan atas nama PT UCI dan tidak lagi bertanggung jawab sebagai peribadi atas perusahaan; (ii) semua hak dan kewajiban Direksi (Pemohon) telah beralih kepada Kurator yang ditunjuk; 137 (iii) Pemohon demi hukum tidak dapat lagi dibebani pertanggung jawaban secara pribadi. Ahli menerangkan Pasal 1 angka 5 UU 37/2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU KPKPU) mengatur, “Kurator adalah Balai Harta Peninggalan atau orang perseorangan yang diangkat oleh pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta Debitor Pailit dibawah pengawasan Hakim Pengawas sesuai dengan Undang-undang ini”. Pasal 1 angka 11 berbunyi, “Setiap orang adalah orang peseorangan atau korporasi yang berbentuk badan hukum maupun yang bukan badan hukum”. Pasal 16 ayat (1) UU KPKPU mengatur bahwa tugas dan wewenang Kurator adalah melaksanakan pengurusan dan/atau pemberesan atas harta pailit sejak tanggal putusan pailit diucapkan, meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali. Tugas Kurator terbatas hanya terkait pengurusan dan pemberesan aset debitor yang dinyatakan pailit, untuk digunakan pembayaran hutang debitor atas piutang kreditor. Oleh karena itu, selain tugas Kurator sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) tersebut tidak ada tugas Direksi (Pengurus) yang dialihkan kepada Kurator, dan semua tugas wewenang kecuali terkait pemberesan harta pailit tetap sepenuhnya masih menjadi tangggung jawab Direksi (Pengurus). Tanggung jawab atas pengelolaan perusahaan yang salah, yang menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang terjadi sebelum dipailitkan, tetap menjadi tanggung jawab pengurus yang bersangkutan. Apabila hasil pemberesan Kurator terhadap aset Debitor belum cukup melunasi piutang atau tagihan dari para Kreditor, maka menurut UU 37/2004 tentang Kepailitan, kreditor dan debitor berhak: i) Pasal 204: setelah daftar pembagian penutup menjadi mengikat, maka Kreditor memeroleh kembali hak eksekusi terhadap harta dari Debitor mengenai pitutang mereka yang belum dibayar. ii) Pasal 215, “Setelah berakhirnya kepailitan sebagaimana dimaksud Pasal 166, Pasal 202 dan Pasal 207, maka Debitor atau ahli warisnya berhak mengajukan permohonan reahabilitasi kepada Pengadilan yang telah mengucapkan putusan pernyataan pailit”. 138 iii) Pasal 216, “Permohonan rehabilitasi baik oleh Debitor maupun ahli warisnya tidak akan dikabulkan, kecuali apabila pada surat permohonan tersebut dilampirkan bukti yang menyatakan bahwa semua Kredior yang diakui sudah memperoleh pembayaran secara memuaskan”. __ Terkait tanggung jawab pengurus atas kewajiban perusahaan (Badan) yang menjadi tanggung jawab pengurus sebagai tanggug jawab pribadi dan tanggung jawab renteng (dalam Pasal 32 ayat (2) UU KUP), ketentuan dalam UU 37/2004 tentang KPKPU mengatur bahwa: i) Pasal 23, “Debitor pailit sebagaimana dimaksud Pasal 21 dan Pasal 22 meliputi isteri atau suami dari Debitor Pailit yang menikah dalam persatuan harta”. ii) Pasal 24, “Debitor demi hukum kehilanggan haknya untuk mengguasai dan mengurus kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit, sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan”. Kaitan hak dan kewajiban suatu Badan dengan pemberesan aset dari Badan yang pailit oleh Kurator, hanya terkait pelunasan atas sebagian atau seluruhnya utang Badan sebagai Debitor, sesuai yang ditentukan oleh Kurator dan Hakim Pengawas. Dengan dinyatakannya suatu Badan pailit, tidak berarti hutang Badan tersebut akan terselesaikan seluruhnya setelah selesai Pemberesan budel aset pailit. Apabila masih ada piutang yang belum dilunasi masih terbuka hak Kreditor utk menagihnya lagi (lihat ketentuan Pasal 204 UU KPKPU). Terkait hak Kreditor yang terbuka kembali untuk menagih piutangnya yang belum dilunasi sebagaimana dimaksud Pasal 204 UU KPKPU, maka: i) Untuk Kreditor karena perjanjian (Pasal 1 angka 2 UU KPKU) yang telah menyampaikan semua tagihannya pada saat pencocokan piutang (Pasal 115 UU KPKPU), dan Kurator juga setelah berunding dengan Kreditor telah memasukkan semua piutang tersebut dalam Daftar Piutang (Pasal 116 dan Pasal 117 UU KPKPU); demikian pula Debitor telah menyerahkan daftar semua aset/harta kekayaannya termasuk harta isterinya kepada Kurator (Pasal 21 dan Pasal 23 UU KPKPU), maka apabila ternyata sudah tidak ada lagi aset Debitor, dan Badan/Perusahaan sudah dinyatakan pailit dan/atau bubar sehingga sudah tidak ada kegiatan lagi dan/atau sudah berhenti, secara fisik tidak ada lagi kegiatan, maka penagihan untuk melunasi 139 kekurangan pembayaran piutang yang belum dibayar, sudah tidak dapat lagi dilakukan. Karena pengurus yang sudah tidak aktif lagi tidak dapat diminta atau dipaksa untuk melunasinya. Dengan pengertian lain, pembayaran piutang dari hasil pemberesan aset Debitor oleh Kurator yang menjadi pebayaran atas piutang Kreditor yang meminta untuk dilakukan pailit tersebut. ii) Terhadap utang pajak yang timbul karena Undang-undang (Pasal 1 angka 2 UU KPKU) yang telah terdaftar di Kurator, yang belum semua dilunasi dari hasil pemberesan aset Debitor oleh Kurator, maka atas pajak terutang yang belum dibayar berlaku ketentuan Pasal 204 UU KPKPU dimaksud. Sesuai ketentuan Pasal 32 ayat (1) dan Pasal 32 ayat (2) UU KUP, penagihannya dilakukan kepada Direksi yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak terhutang yang belum dibayar tersebut. Dan tangggung jawab tersebut menjadi tanggung jawab pribadi dan tanggung jawab renteng bagi pengurus, yang dapat ditagih secara paksa, apabila tidak dibayar sesuai ketentuan yang berlaku. Atas pajak terhutang yang tidak atau belum sepenuhnya dibayar, dapat ditagih dengan penagihan paksa berdasarkan UU Penagihan Pajak dengan Surat Paksa Nomor 19 Tahun 2000 (UU PPSP), dengan cara: (i) dengan surat Paksa; apabila hutang masih belum dilunasi, dilakukan penyitaan. Kemudian apabila masih belum dibayar, dilanjutkan dengan pelelangan aset dari penanggung pajak terhutang (Pasal 12 dan Pasal 25 UU PPSP); (ii) Apabila diketahui ada upaya untuk menghindari atau tidak bersedia membayar utang pajak, maka dapat disita uangnya di Bank dengan melakukan pemblokiran atas rekening penaggung pajak di Bank (Pasal 17 UU PPSP); (iii) kalau diketahui ada iktikad tidak baik misalnya, mau menghindar keluar negeri, dapat diusulkan untuk dilakukan pencegahan/ pencekalan kepada yang bersangkutan (Pasal 29 UU PPSP); (iv) kalau utang pajaknya besar dan ada iktikad tidak baik untuk menghindar membayar pajak, misalnya berupaya memindahkan aset, maka dapat dilakukan paksa badan ( gijzeling ) selama 6 bulan dan dapat diperpanjang lagi 6 bulan berikutnya apabila masih tetap belum dibayar, sesuai ketentuan Pasal 33 UU PPSP. 140 Terkait pendapat Pemohon bahwa NPWP Perusahaan yang dinyatakan pailit karena insolven hapus demi hukum, Ahli menjelaskan seperti yang dijelaskan dalam tanggapan Pasal 2 ayat (6) di muka, NPWP diberikan apabila terpenuhi persyaratan subjektif dan objektif, khususnya ada objek pajak yang harus terhutang pajak. NPWP diberikan sebagai sarana administrasi membayar pajak dengan menggunakan identitas NPWP disamping nama wajib pajak. Demikian pula halnya penghapusan NPWP, baru dapat dihapus apabila tidak terpenuhi lagi persyaratan subjektif dan objektif. Sepanjang masih ada objek pajak terhutang dan/atau pajak terhutang yang belum dibayar maka NPWP belum boleh dihapuskan. Terkait pendapat Pemohon yang mengkaitkan dengan ketentuan UU 40/2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT), Penerapan Pasal 97 ayat (3) dan Pasal 97 ayat (5) UU PT (Surat Pemohon/ butir 3.18, butir 3.20 pada “III. Pokok- Pokok dan Alasan-alasan Permohonan” antara lain isinya: setiap angggota Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian perseroan apabila terbukti melakukan kesalahan. Pertanggung-jawaban pribadi tersebut dikecualikan sepanjang anggota Direksi tersebut tidak melakukan kesalahan atau kelalaian, mengurus perseroan sesuai ketentuan hukum, dengan iktikad baik dan hati-hati, tidak memiliki benturan kepentingan, dan telah mengambil Tindakan untuk mencegah timbulnya atau tidak berlanjutnya kerugian. Ketentuan yang sama juga yang diatur dalam Pasal 32 ayat (2) UU KUP: (“apabila dapat membuktikan dalam kedudukannya benar-benar tidak mungkin untuk dibebani tanggung jawab tersebut”), salah satu yang diajukan uji materil oleh Pemohon Sekalipun melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) telah membebaskan Direksi dan Komisaris dari pertanggungjawaban yang dimaksud dalam Pasal 97 ayat (3) dan Pasal 97 ayat (5) dimaksud, hal itu adalah terkait tanggung jawab pengegolaan perusahaan berdasarkan perinsip pengelolaan perusahaan yang baik ( good corporate governance ). Demikian pula Putusan Pengadilan Niaga terkait kepailitan PT UCI, yang tidak menetapkan karena ada kesalahan Direksi (butir 3.25 Surat Pemohon) adalah dalam pengurusan Perusahaan terkait penyebab kepailitan perusahaan. Tetapi terkait hutang pajak 141 yang sudah ada sebelumnya tetapi tidak dilakukan pembayaran, masih tetap terhutang dan menjadi tanggung jawab pengurus. Hutang Pajak hanya dapat hapus atau akan berkurang apabila: (i) dibayar lunas ke kas negara atau di tempat lain/bank yang ditunjuk, (ii) diperhitungkan (dikompensasikan) dengan kelebihan pembayaran pajak yang lain, (iii) melalui pemindahbukuan (PBK) dengan persetujuan Dirjen Pajak, (iv) dibayar dari pemberesan aset Debitur oleh Kurator bagi perusahaan/Badan yang pailit, (v) dengan keputusan instansi berwenang (Direktur Jenderal Pajak) melalui keputusan permohonan keberatan, atau permohonan pembetulan, pengurangan, penghapusan, dan pembatalan sebagaimana diatur Pasal 16 dan Pasal 36 UU KUP, (vi) putusan pegadilan atau putusan peninjauan Kembali di MA, dan (vii) kadaluarsa penagihan. Pajak adalah kewajiban kenegaraan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-undang (Pasal 23A UUD 1945). Hutang pajak adalah kewajiban perusahaan yang terhutang karena memiliki objek pajak kena pajak. Kalau perusaan rugi, atau tidak ada objek pajak yang timbul atau yang dikuasainya untuk dikenakan pajak, maka tidak akan timbul hutang pajak. Oleh karena itu, hutang pajak Badan timbul karena pengurus Badan lalai atau tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana mestinya. Kelalaian atau pelanggaran sengaja dari pengurus yang dapat menimbulkan kerugian negara, dapat dikenakan sanksi denda atau pidana kurungan atau penjara sebagai mana diatur dalam Pasal 38 dan Pasal 39 UU KUP. Pembebasan Direksi (pengurus) sebagaimana dimaksud Pasal 97 ayat (3) dan ayat (5) UU PT, adalah terkait pengelolaan perusahaan berdasarkan pengelolaan perusahaan sesuai prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan yang baik ( good corporate governance ) atas tidak tercapainya Rencana Kerja Perusahaan, yang berdampak rugi atau menurunnya aset atau equity perusahaan. Sepanjang telah dikelola dengan iktikad baik, sesuai prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan yang baik, tidak menyimpang dari ketentuan peraturan yang berlaku, dan tidak ada conflict of interest , maka Pengurus/Direksi dibebaskan dari kegagalan yang telah terjadi. Namun apabila ada kewajiban membayar pajak terhutang yang belum atau kurang dibayar, tetap akan menjadi tanggung jawab pengurus/direksi secara peribadi dan tanggung jawab renteng sebagaimana diatur dalam Pasal 32 ayat (1) dan Pasal 32 ayat (2) UU KUP, 142 sebab timbulnya utang pajak karena kesalahan Pengurus/Direksi yang bersangkutan. Berdasarkan prinsip-prisip Pengelolaan Perusahaan yang baik, yang menjadi aset, liablity atau equity perusahaan yang tercantum dalam neraca kekayaan perusahaan adalah setelah laba kena pajak. Artinya pajak terhutang sudah diperhitungkan telah dibayar, sehingga dikeluarkan dari neraca laba-rugi perusahaan. Oleh karenanya, kalau hutang pajak belum dibayarkan kepada kas negara berarti sepenuhnya menjadi tanggung jawab pengurus yang bertanggung jawab melaksanakannya. Tentang Pemblokiran Rekening Bank dan Pencekalan Pemohon oleh Kantor Imigrasi atas Permintaan Direktur Jenderal Pajak Pemohon mempermasalahkan: i) dilakukannya pencekalan terhadap pemohon oleh Kantor Imigrasi atas permintaan Direktur Jenderal pajak; dan ii) dilakukannya pemblokiran rekening Bank Pemohon di BCA atas permintaan Direktur Jenderal Pajak (butir 2.13; alasan kerugian Kelima dan Keenam dalam surat Pemohon). Sesuai ketentuan Penagihan Pajak berdasarkan UU 19/2000 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa (UU PPSP), terhadap penunggak pajak dapat dilakukan penagihan jika sudah diperingatkan tetapi tidak melunasi utang pajaknya, melalui tindakan melakukan upaya memaksa wajib pajak untuk melakukan pembayaran atas utang pajaknya dengan cara: i) Dilakukan penagihan dengan Surat Paksa sesuai ketentuan Pasal 8 UU PPSP, melalui penyitaan aset penunggak pajak. Apabila tetap tidak dibayar, kemudian menjualnya melalui lelang sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan untuk dipakai pembayar pajaknya yang terhutang. ii) Memblokir rekening Bank Penunggak Pajak, dan selanjutnya meminta pemilik untuk mencairkannnya sesuai ketentuan Pasal 17 ayat (1) UU PPSP, hasil pencairannya untuk melunasi utang pajaknya. iii) Apabila ada iktikad tidak baik dari penunggak pajak, dihawatirkan akan menghindar ke Luar Negeri, maka diusulkan untuk dilakukan pencegahan atau pencekalan sesuai ketentuan Pasal 29 UU PPSP, atau v) Dengan adanya iktikad tidak baik dan/atau atas rekening di Bank yang diblokir tidak bersedia mencairkannya, maka dapat dilakukan paksa badan atau penyanderaan ( gijzeling ) sesuai ketentuan Pasal 33 UU PPSP. 143 Apabila dalam upaya Wajib Pajak menghindari atau menggelapkan pajak terhutang dengan melanggar peraturan perundang-undangan yang menimbulkan kerugian negara yang tergolong tindak pidana, maka dapat dikenakan sanksi pidana sesuai ketentuan antara lain Pasal 39 UU KUP berupa sanksi penjara paling singkat 6 bulan atau paling lama 6 tahun, dengan denda pasing sedikit 2 kali atau paling banyak 4 kali pajak terhutang yang tidak atau kurang dibayar. Penerapan Pasal 32 ayat (2) dan Pasal 2 ayat (6) UU KUP Dengan dilakukan pemblokiran rekening Bank dan pencekalan kepada Pemohon dalam rangka pelaksanaan penagihan pajak, menurut Pemohon telah menimbulkan kerugian konstitusional, ketidakadilan, dan tidak adanya perlindungan hukum, yang mendasari pengajuan materil atas kedua Pasal UU KUP tersebut. Dalam mendukung pendapat Pemohon mengatakan telah terjadi kerugian konstitusional, ketidakadilan dan tidak adanya perlindungan hukum akibat penerapan kedua Pasal UU KUP di atas, Pemohon mengacu “persyaratan moral hukum ( inner morality of law )” dari pendapat Lon Fuller (N.E. Simmonds, 1986:
; (Surat Pemohon: butir 3.4 dan 3.5 pada III. Pokok-pokok dan Alasan- Alasan Permohonan). Ada 8 syarat untuk terpenuhinya kaidah persyaratan moral hukum internal ( inner morality of law ) menurut Lon Fuller, yaitu: i) harus ada aturan ( rules ), ii) harus berlaku ke depan (prospektif), bukan ke belakang (retrospektif), iii) aturan tersebut harus diumumkan, iv) aturan tersebut harus sesuai akal sehat ( intelligible ), v) aturan tidak boleh saling kontradiktif, vi) aturan tersebut harus mungkin diikuti, vii) aturan tidak boleh diubah secara konstan, dan viii) harus ada kesesuaian ( congruence ) antara aturan yang tertulis dengan yang diterapkan oleh penegak hukum. (Surat Pemohon: butir 3.5) Pasal 32 ayat (2) dan Pasal 2 ayat (6) UU KUP ditinjau dari “ inner morality of law” Lon Fuller; dalam materi dan penerapannya dapat dijelaskan antara lain: i) adalah berdasarkan UU KUP dan telah ada dibuat aturan pelaksanaannya; ii) sudah banyak ditemukan Wajib Pajak yang melaksanakan tax planning dalam rangka menghindari pajak, dengan membubarkan atau mempailitkan 144 perusahaan, dan ini masih mungkin terjadi di masa yang akan datang. Maka perlu ditunjuk pengurus yang bertanggung jawab atas utang pajak secara pribadi, yang timbul karena kesalahannya; iii) UU KUP dan peraturan pelaksanaannya telah diumumkan di Lembaran Negara; iv) karena badan sebagai rechts persoon tidak dapat bergerak atau bertindak dan berbuat sendiri, maka harus ada orang pribadi yang membantu melaksanakan kewajibannya yaitu pengurus, dan hal ini sesuai dengan Teori Fiksi dari keberadaan Badan sebagai subjek hukum; v) ketentuan Pasal 32 ayat (2) sinkron dengan Pasal 97 ayat (3) dan ayat (5) UU 40/2004 tentang PT. Pemohon tidak ada mengemukakan apakah ada yang tidak sinkron baik secara horizontal maupun vertikal dengan pasal-pasal tersebut dengan ketentuan yang lain; vi) penerapan kedua Pasal yang diuji sudah berjalan dan banyak dilaksanakan selama ini; vii) sejak diundangkan UU KUP bunyi Pasal 32 ayat (1) dan Pasal 32 ayat (2) tersebut tidak pernah berubah; viii) atas penerapan kedua pasal yang dilakukan uji materil tersebut, sudah ada beberapa wajib pajak menempuh hal yang sama. Pada dasarnya adalah karena merasa berat untuk memikul beban hutang pajak, padahal penyebab timbulnya hutang pajak tersebut adalah karena kesalahannya, seperti halnya yang terjadi dan dihadapi oleh Pemohon ini. Atas ke-8 persyaratan Lon Fuller tersebut, Pemohon tidak ada menyebutkan secara tegas butir yang mana dari ke-8 persyaratan tersebut yang telah membuat/menimbulkan kerugian konstitusionalnya, yang tidak memberikan keadilan dan perlindungan hukum. Dengan demikian menurut Ahli, penerapan Pasal 32 ayat (2) UU KUP yang menunjuk Pemohon sebagai Pengurus/Direktur PT UCI yang berkewajiban melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan termasuk membayar pajak terhutang dari perusahaan PT UCI, adalah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, yang berlaku umum untuk semua pengurus perusahaan/badan. Apabila dalam mengurus/mengendalikan perusahaan Pemohon memenuhi kewajiban membayar semua pajak perusahaan yang terhutang, maka tidak akan ada utang pajak perusahaan yang akan menjadi tanggungan Pemohon secara pribadi. Pemberian NPWP adalah karena ada memiliki objek pajak yang terhutang pajak, dan pencabutan atau penghapusan NPWP dilakukan kalau tidak ada lagi 145 objek pajak yang akan terhutang pajak. Hal ini ketentuan yang berlaku umum tanpa membedakan para penanggung pajak. Dengan penjelasan seperti diuraikan di atas, maka atas penerapan Pasal 32 ayat (2) dan Pasal 2 ayat (6) UU KUP tidak ada yang menimbulkan kerugian konstitusional bagi Pemohon. Undang-undang itu berlaku bagi semua Wajib Pajak dengan kasus yang sama, oleh karenanya tidak ada menimbulkan ketidakadilan bagi pribadi Pemohon dan tidak juga kerugian secara konstitusionsl bagi pribadi yang bersangkutan. Menanggapi Pertanyaan Hakim dan para Pihak ▪ Berdasarkan ketentuan undang-undang, sama halnya dengan wajib pajak yang sudah meninggal, NPWP wajib pajak yang pailit tidak otomatis hilang. ▪ Pasal 2 angka 6 dan Pasal 1 ayat (2) mengatur syarat pemberian nomor pokok adalah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif. Seandainya seseorang belum berstatus wajib pajak, tapi diketahui objeknya memenuhi persyaratan untuk dikenai pajak, dan yang bersangkutan memenuhi persyaratan sebagai subjek pajak, maka petugas pajak akan memberikan NPWP secara jabatan. ▪ Dasar pemberian nomor pokok adalah terpenuhi persyaratan subjektif dan objektif. NPWP dihapus apabila tidak terpenuhi lagi persyaratan subjektif dan objektif, tidak ada subyek pajaknya lagi dan juga tidak ada utang pajaknya. ▪ Terhadap kasus pailit sama perlakuannya dengan manusia yang sudah meninggal ketika ada warisan yang belum terbagi. Warisan yang belum terbagi adalah subjek pengganti. Hal ini hampir sama dengan apabila badan sudah pailit maka nomor pokok yang bernama tetap hidup sebagai pengganti pihak yang harus membayar pajaknya. ▪ Pasal 1 ayat (2) sampai ayat (5) UU Kepailitan mengatur bahwa piutang terjadi karena perjanjian atau pailit karena hukum. ▪ Pajak timbul karena hukum. Pajak adalah kewajiban kenegaraan yang bersifat memaksa untuk keperluan negara. ▪ Dalam hal wajib pajak adalah badan, maka kewajiban membayar pajak sepenuhnya menjadi tanggung jawab pengurus. 146 ▪ Perusahaan dalam perkara in casu mengatakan sudah membayar pajak, dan hal ini disahkan oleh pengurus dalam RUPS, atau pemilik saham dalam RUPS, sudah berdasarkan laba setelah kena pajak. Karena laba dihitung setelah kena pajak, maka pajaknya sudah dikeluarkan. Lalu ke mana pajaknya itu? Atau mungkin ada laporan palsu. ▪ Seharusnya laba sudah kena pajak karena hal itu menjadi landasan membaca deviden. ▪ Laporan palsu mengenai pembayaran pajak diancam Pasal 263 KUHP mengenai pemalsuan, dan ditindaklanjuti Pasal 39 UU Pajak. Di RUPS sudah diputuskan laba kena pajak, tetapi ternyata tidak ada pajaknya. ▪ Atau mungkin pajaknya sudah diperhitungkan dan sudah dikeluarkan, tapi masih ada pada perusahaan. Jika terjadi demikian maka yang salah adalah Pengurus karena pengurus yang mengelolanya. ▪ Kemungkinan lain adalah dana sudah diambil tapi tidak diserahkan kepada kas negara. ▪ Utang perusahaan terdiri dari dua jenis, yaitu utang karena perjanjian dan utang pajak. ▪ Utang perusahaan diklarifikasi dalam prinsip-prinsip perusahaan yang sehat ( good governance ) yang setiap tahun disahkan dalam RUPS bahwa pengurus (direksi dan komisaris) dibebaskan dari pertanggungjawaban. Tetapi tetap pada klausul, yaitu dikecualikan apabila di kemudian hari diketahui ada kesalahan yang membuat terjadinya penyimpangan. ▪ Utang (karena perjanjian) demikian memang tanggung jawab perusahaan yang sudah pailit. Tidak mungkin lagi ada tambahan beban kalau sudah pailit. ▪ Tetapi menyangkut utang pajak tidak demikian. Pajak yang terutang selama 5 tahun tetap boleh ditagih. Oleh karena itu sesudah perusahaan pailit, pajak 5 tahun ke belakang tetap dapat dihitung dan pajaknya tetap akan ditimpakan kepada perusahaan dan siapa penanggung jawab perusahaan (direksi). ▪ Pasal 30 ayat (1) mengatakan utang pajak dapat ditetapkan dalam tempo 5 tahun. Artinya, apabila perusahaan sudah dipailitkan kemudian dihitung pajaknya yang ada saat dia dinyatakan pailit, misalnya baru Rp.40.000.000,- yang dilaporkan terlebih dahulu kepada kurator. Selanjutnya utang pajak yang ada lima tahun sebelumnya tetap dapat ditetapkan dan dapat pula ada tambahan pajak tersebut diberikan kepada kurator lagi untuk dimasukkan 147 sebagai piutang. Namun jika sudah lewat pendaftaran dan tidak masuk daftar piutang kurator, utang pajak tetap harus ditagihkan kepada pihak yang bertanggung jawab. ▪ Tagihan seharusnya ditujukan kepada perusahaan, tapi Pasal 32 ayat (2) menyatakan bahwa yang bertanggung jawab adalah pengurus. ▪ Apabila hasil pemberesan tidak cukup untuk melunasi semua piutang yang masuk pada kurator, maka timbul lagi penagihan kepada yang bersangkutan. ▪ Jika dianggap bahwa perusahaan pailit tidak perlu melunasi utang pajak, maka para pembayar pajak akan berlomba-lomba membuat pelaksanaan demikian dan mendirikan perusahaan baru.
Teddy Anggoro Ahli menyimpulkan Pemohon meminta agar pengecualian yang diatur dalam Pasal 32 ayat (2) UU KUP melingkupi pengurus dalam hal ini direksi PT yang PT tersebut telah dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Adapun terhadap Pasal 2 ayat (6) UU KUP, Pemohon menghendaki agar penghapusan NPWP oleh Direktur Jenderal juga termasuk apabila Wajib Pajak badan telah dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Terkait dengan kesimpulan tersebut, saya setelah membaca dan memahami dengan cermat masing-masing pasal dan petitum Pemohon, maka saya menyampaikan pendapat saya yang terbagi menjadi 8 (delapan) argumentasi sebagai berikut: Konsep Tanggung Jawab Direksi Jika merujuk pada sejarah sejak pertama kali diperkenalkan konsep badan hukum yang disebut Juristic Person maka terdapat dua prinsip yang dipegang teguh dan menjadi dasarnya, yaitu:
Limited Liability , yang artinya pribadi kodrati yang memisahkan kekayaannya untuk menjadi kekayaan pribadi hukum hanya bertanggung jawab sebatas kekayaan yang ia sertakan menjadi kekayaan pribadi hukum tersebut. Prinsip ini berbicara khusus untuk pemegang saham;
Separate Legal Personality , yang artinya pribadi kodrati yang menggerakan atau mempersonifikasi pribadi hukum merupakan subyek hukum yang terpisah dengan dengan pribadi hukum yang digerakan. Dalam teori korporasi, hal ini disebut Agency Relation atau Hubungan Kuasa. Oleh karena 148 itu, sering didengar klausul dalam dokumen hukum, bahwa “direksi bertindak untuk dan atas nama Perseroan Terbatas.” Diperkenalkannya 2 (dua) prinsip tersebut untuk suatu badan usaha dianggap sebagai satu-satunya kontribusi terbesar hukum bagi dunia bisnis dan pedagangan. B. C. Hunt (1936) menyebutnya, “ that brillian intellectual achievement of the Roman lawyers, the juristic person, a subject of rights and liabilities as is a natural person .” Di antara puja-puji akan konsep korporasi yang berhasil menggerakan ekonomi dunia, terselip celah atau lobang ( loophole ) untuk digunakan oleh manusia/pribadi kodrati untuk melakukan perbuatan tercela, curang, merugikan pihak lain, dan menguntungkan dirinya sendiri atau orang yang ia kehendaki untuk untung. Dua contoh masyhur saya sampaikan yang mewakili setiap sistem hukum mayoritas di dunia. Pertama, kasus Enron, sebuah perusahaan energi yang pernah didaulat menjadi The Most Innovative Large Company in America oleh lembaga riset kekayaan ternama Forbes. Direksi dan sharesholder telah melakukan fraud dengan melakukan high risk accounting practice dengan memanfaatkan celah dari sisi akuntansi, mempercantik laporan keuangan dan memanfaatkan special purpose entities untuk memindahkan uang perusahaan. Direksi dan shareholder pada tahun 2001, artinya 19 tahun yang lalu, telah merugikan pemegang sahamnya sebesar $40 Billion, kalau sekarang mencapai 600 Triliun rupiah atau seperempat APBN Indonesia. Kedua, Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) yang merupakan perusahaan dagang milik para pedagang belanda yang diberikan hak istimewa ( octrooi ) oleh kerajaan Belanda, sampai memiliki tentara dan mata uang sendiri serta berdiplomasi dengan negara. Catatan kompas, 12 Juli 2020, menyebutkan pada masa jayanya (periode 1600-1750, adapun masa waktu VOC adalah 200 tahun) VOC bernilai 78 Juta Gulden, kalau sekarang setara 7,9 Triliun US Dollar. Sebagai perbandingan, nilai kongsi dagang Belanda ini setara dengan gabungan PDB Jepang dan Jerman di era modern saat ini. Komparasi lain, menurut Business Insider, yakni VOC setara dengan nilai dari 20 perusahaan dengan kapitalisasi terbesar dunia yang meliputi Apple, Microsoft, Amazon, ExxonMobil, Berkshire Hathaway, Tencent, dan Wells Fargo. Namun mereka bankrupt karena direksi dan pemegang sahamnya yang korup. 149 Kedua contoh di atas menyadarkan para Scholar dan pemikir korporasi untuk menciptakan pengecualian atas dua prinsip mendasar konsep korporasi. Untuk Prinsip Limited Liability , diperkenalkan pengecualian yang disebut own and control doctrine , di Indonesia dikenal dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. 15 Tahun 2019 disebut dengan "Pemilik Manfaat dari Korporasi" atau di negeri anglo-saxon dikenal dalam konsep Beneficiary Ownership . Dimana pemilik belum tentu pengontrol, sedangkan yang bertanggung jawab ( liable ) adalah pengontrol. Adapun prinsip separate legal personality , dikecualikan dengan Piercing the Corporate Veil doctrine . Dimana tanggung jawab direksi dapat dimintakan karena kesalahannya yang didasari itikad tidak baik yang telah menyebabkan kerugian perusahaan dan pihak ketiga. Hal ini dalam undang-undang perseroan terbatas diatur dalam pasal 97 dan 104. Sehubungan dengan apa yang saya sampaikan sebelumnya, bahwa tanggung jawab direksi atas perusahaan yang dia urus adalah suatu hukum yang berlaku di dunia saat ini. Yang mana hal tersebut merupakan hasil perkembangan keilmuan dan praktek korporasi. Business Judgement Rule Merupakan Imunitas Bagi Good Faith and Intra Vires Director Ketika pertanggungjawaban pengurus dituntut oleh pemegang saham atau pihak ketiga yang dirugikan. Maka pihak pengurus dapat dipastikan akan menggunakan doktrin Business Judgement Rule sebagai argumentasi untuk melindungi dirinya dari pertanggungjawaban tersebut. Pada kesempatan ini penting untuk ditegaskan bahwa Business Judgement Rule merupakan imunitas bersyarat bagi seorang direksi, bukan merupakan bentuk bentuk perlindungan total dalam pengertian tidak dapat tersentuh ( untouchable ) dari pertanggung jawaban. Hal ini diartikan oleh Roger LeRoy Miller dan Gaylord A. Jentz (2009) sebagai: “A rule that immunizes corporate management from liability for action that result in corporate losses or damages if the action is undertaken in good faith and are within both the power of the corporation and the authority of management to make.” Artinya pengurus ketika dimintai pertanggungjawaban dia harus membuktikan kepada pengadilan bahwa ia melakukan pengurusan dengan good faith , power of corporation , dan kewenangan yang dimiliki oleh direksi 150 ( intra vires ). Yang ingin saya tekankan adalah, Pertama, direksi harus diperiksa dan membuktikan atas pertanggungjawaban yang dimintakan kepadanya. Kedua, Direksi harus membuktikan bahwa ia tidak memiliki itikad buruk. Ketiga, Direksi harus membuktikan ia intra vires (mengambil keputusan dalam kewenangannya), yang mana kewenangan ini tidak saja berdasarkan peraturan internal perusahaan tetapi peraturan eksternal seperti Peraturan Perundang- undangan. Sehubungan dengan petitum pemohon yang meminta dikecualikan pertanggungjawaban pengurus dalam hal kepailitan tidak lah dibenarkan secara hukum, dan argumentasi yang membawa-bawa doktrin business judgement rule adalah tidak tepat. Karena doktrin tersebut justru menghendaki pengurus untuk diperiksa dan membuktikan itikad baik dan ketaatannya terhadap peraturan yang mengikat dirinya, dalam hal ini peraturan perpajakan. Sehingga tegas, Business Judgement Rule merupakan imunitas atau dalam bahasa Indonesia dipadankan dengan kebal. Kondisi kebal ini harus dibuktikan dengan serangan atau ujian, sebagaimana terjadi pada tubuh manusia ketika terkena infeksi virus ataupun bakteri patogen hingga kemudian tubuh merespon dengan membangun sistem kekebalan. Dalam konteks hukum perusahaan, serangan atau ujian yang dimaksud adalah persidangan atau pemeriksaan. Makna imunitas dalam Business Judgement Rule ini tentu berbeda dengan tidak dapat disentuh atau untouchable sebagaimana dimaksud dalam permohonan pemohon. Memang yang menjadi pertanyaan bagaimana dengan kondisi dimana Perseroan Terbatas pailit. Maka jawabannya adalah sama, tidak ada perbedaan dengan kondisi normal. Karena pailit hanya lah cara pembayaran utang debitur secara kolektif. Penjelasan lebih lengkap mengenai kepailitan akan saya paparkan lebih lanjut di bagian bawah. Pertanggungjawaban Direksi meliputi berbagai jenis Pajak, antara lain Pajak Penghasilan (PPh), meliputi PPh Tahunan Badan, PPh yang dilaporkan secara bulanan/insidentil (masa), dan sebagainya termasuk PPh yang dipotong/dipungut dari karyawan/pihak lain (rumpun withholding tax seperti gaji, honor dan sebagainya), serta Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 151 Direksi sebagai personifikasi Perseroan Terbatas. Dimana Perseroan Terbatas merupakan subyek hukum. Maka setiap kewajiban yang ditetapkan oleh perundang-undangan harus ditaati dan dilaksanakan oleh Perseroan Terbatas tersebut. Bagaimana caranya? Tentu dengan perbuatan direksi untuk dan atas nama Perseroan Terbatas. Sehubungan dengan permohonan uji materi ini. Maka dapat dipastikan bahwa setiap perseroan terbatas di Indonesia selaku Wajib Pajak (yang memenuhi syarat subjektif dan objektif) berkewajiban menghitung, membayar, dan melaporkan pajaknya sendiri, tidak perlu menunggu ketetapan pajak dari fiskus. Mengapa ini ditekankan? Karena ketika perseroan terbatas tidak memenuhi syarat subjektif dan objektif (misalnya tidak memiliki pemasukan atau dalam keadaan merugi), maka pada periode itu undang-undang memberikan kelonggaran untuk pemenuhan kewajiban perpajakannya, misalnya SPT PPh Tahunan menjadi nihil (tidak perlu bayar) dan kerugian dapat dikompensasikan pada periode SPT Tahunan berikutnya. Namun sebaliknya jika perusahaan tersebut memiliki penghasilan dan mendapatkan keuntungan maka timbul kewajiban untuk menghitung, melapor, membayar pajak, dan jika tidak dipenuhi akan menimbulkan sanksi administratif yang dapat terakumulasi seiring waktu. Kewajiban pengurus Perseroan Terbatas tersebut meliputi juga jenis PPh yang dipotong/dipungut dari karyawan/pihak lain (rumpun withholding tax seperti gaji, upah, honorarium, tunjangan, pesangon, uang pensiun, dan sebagainya), serta Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang tetap dikenakan pajaknya walaupun Wajib Pajak mengalami rugi usaha. Dalam jenis pajak ini, negara memberikan amanat kepada Perseroan Terbatas yang diwakili oleh pengurus untuk melaksanakan pemotongan/pemungutan, pelaporan dan pembayaran pajaknya pihak lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Karena itulah, jika jenis pajak yang dipotong/dipungut tadi oleh pengurus sengaja tidak disetorkan kepada kas negara, maka negara memberikan ancaman dengan dijerat tindak pidana sebagaimana dimaksud pada Pasal 39 ayat (1) huruf i UU KUP. Berdasarkan gambaran umum kewajiban perpajakan tersebut, sangat jelas bahwa kewajiban untuk melakukan pemenuhan kewajiban perpajakan Perseroan Terbatas baik yang meliputi berbagai jenis Pajak, antara lain Pajak Penghasilan (PPh), meliputi PPh Tahunan Badan, PPh yang dilaporkan secara 152 bulanan/insidentil (masa), dan sebagainya termasuk PPh yang dipotong/dipungut dari karyawan/pihak lain (rumpun withholding tax seperti gaji, honor dan sebagainya), serta Pajak Pertambahan Nilai (PPN), semuanya adalah tanggung jawab dari Direksi. Jika melihat pada rumusan Pasal 32 ayat (2) UU KUP, maka kewajiban yang sifatnya absolut adalah untuk memastikan kepada direksi baik sendiri- sendiri atau kolegial melakukan pemenuhan kewajiban perpajakan perusahaan sejak pembukuan, menghitung, membayar, dan melaporkan pajaknya secara patuh sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Jika tidak dilaksanakan hal ini akan menjadi utang pajak, timbul sanksi administratif dan konsekuensi lainnya. Demikian juga terhadap kewajiban PPh Tahunan Badan. Berdasarkan pasal 32 ayat (2) UU KUP tersebut, maka secara otomatis Direksi sebagai pengurus wajib melakukan pembukuan, menghitung keuntungan yang didapat selama 1 tahun buku, membayarkan dan melaporkan pajaknya. Jika pengurus kemudian dikecualikan sesuai dengan permohonan pemohon dalam uji materi ini. Maka akan terjadi nanti keadaan dimana direksi tidak dapat dimintai pertanggung jawaban atas kewajiban pembayaran PPh Tahunan Badan ketika Perseroan Terbatas yang ia atau mereka urus dipailitkan. Karena hukum kepailitan mengatur setelah keadaan pailit pengurusan dan pemberesan boedel pailit beralih kepada Kurator. Tetapi tidak mengambil alih tanggung jawab Direksi untuk pemenuhan kewajiban perpajakan Perseroan Terbatas yang diwakilinya tersebut. Jika harta pailit cukup untuk membayar semua hutang, maka tidak akan ada masalah. Tetapi ketika harta pailit tidak cukup, maka sangat logis negara memiliki mekanisme untuk meminta pertanggungjawaban untuk memenuhi kewajiban perpajakan berupa utang pajak yang masih belum dilunasi tersebut kepada Direksi atau pengurus yang bersangkutan. Pertanggungjawaban direksi sesuai dengan UU No. 37 Tahun 2004 Hal yang menjadi krusial dalam permohonan uji materi ini adalah, sejauh apa direksi bertanggung jawab dalam hal Perseroan Terbatas yang dia atau mereka urus jatuh dalam keadaan pailit. Yang pertama harus ditinjau adalah bagaimana UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang mengartikan kepailitan itu. UU mengatur Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan 153 debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas. Lebih lanjut Pasal 69 ayat (1), mengatur Tugas kurator adalah melakukan pengurusan dan/atau pemberesan harta pailit. Sehingga tegas, bahwa yang menjadi lingkup penugasan kurator adalah harta pailit ( boedel pailit). Boedel pailit ini melingkupi aktiva (harta) dan pasiva (utang), tetapi tidak masuk kesalahan dari debitur pailit atau pengurus debitur pailit jika Perseroan Terbatas. Hal ini dapat dilihat pada pasal 26 ayat (1) dan (2), yang berbunyi: "(1) Tuntutan mengenai hak atau kewajiban yang menyangkut harta pailit harus diajukan oleh atau terhadap kurator;
Dalam hal tuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan atau diteruskan oleh atau terhadap debitor pailit maka apabila tuntutan tersebut mengakibatkan suatu penghukuman terhadap Debitor Pailit, penghukuman tersebut tidak mempunyai akibat hukum terhadap harta pailit." Ketentuan ini jelas menegaskan bahwa, utang yang disebabkan kesalahan debitor pailit dan/atau pengurus debitor pailit adalah terpisah tanggung jawabnya dengan boedel pailit yang ada. Lebih tegas lagi, Pasal 3 ayat (1) juncto Penjelasan Pasal 3 ayat (1) UU ini menyebutkan bahwa direksi dapat digugat untuk dimintai pertanggung jawabannya jika kepailitan terjadi sebagai akibat dari kelalaian atau kesalahannya. Hal ini dapat dilakukan kurator jika boedel pailit tidak cukup melunasi hutang-hutangnya. Sehingga perlu dipertegas, adalah salah jika banyak ahli yang berpendapat untuk melihat adanya tanggung jawab direksi maka harus merujuk pada putusan pernyataan pailit yang berkekuatan hukum tetap. Hal ini menunjukan ahli-ahli tersebut tidak ahli di bidang korporasi dan kepailitan, atau sekurang-kurangnya mereka khilaf dalam membaca UU Kepailitan. Yang dengan tegas mengatur bahwa permintaan tanggung jawab direksi adalah upaya hukum yang terpisah dari putusan pernyataan pailit yang telah berkekuatan hukum tetap. Sehingga tidak dapat disimpulkan bahwa "karena putusan penyataan pailit tidak menyebut tanggung jawab direksi, maka direksi tidak dapat dimintai pertanggung jawaban atau tanggung jawabnya telah beralih sepenuhnya kepada kurator". Simpulan tersebut adalah pernyataan yang tidak sesuai dengan hukum kepailitan. 154 Tanggung Jawab Direksi Tidak Berpindah Kepada Kurator, Selain Pengurusan dan Pemberesan Boedel Pailit Pertanyaan berikutnya, mengenai akibat putusan pernyataan pailit terhadap tanggung jawab direksi adalah sesuatu yang harus disampaikan dalam keterangan saya ini agar terang permasalahan ini. Sebelumnya sudah disebutkan bahwa jika merujuk pada tugas Kurator yang diatur dalam Pasal 69 UU Kepailitan dan PKPU dibatasi pada pengurusan dan/atau pemberesan harta pailit. Dimana kewenangan melakukan tugas tersebut menurut Pasal 16 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU muncul sejak putusan pernyataan pailit, meskipun putusan tersebut diajukan Kasasi atau Peninjauan Kembali. Kemudian untuk melihat apakah apakah tanggung jawab direksi termasuk hal-hal yang berpindah atau beralih ke Kurator dengan adanya putusan pernyataan pailit. Kita bisa temukan dalam Pasal 21 UU Kepailitan dan PKPU yang mengatur Akibat Kepailitan, pasal ini menyebutkan Kepailitan meliputi seluruh kekayaan debitor pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan. Jadi tegas sekali, bahwa yang beralih kepada kurator adalah hanya kekayaan. Adapun tanggung jawab atas kesalahan direksi selama pengurusannya, tetap menjadi tanggung jawab direksi tersebut. Harus dibayangkan bahwa undang-undang mengatur tugas kurator sebagai pengumpul harta pailit, penjual harta pailit, dan pembayar utang debitor secara kolektif. Itupun hanya terbatas pada harta pailit yang tersedia. Bukan sebagai pengganti Direksi atau penerima tanggung jawab atas perbuatan direksi sebelum pailit. Tanggung Jawab Direksi Pasca Kepailitan Berakhir tetapi belum dilikuidasi Menjadi pertanyaan berikutnya bagaimana pertanggungjawaban organ perseroan jika kepailitan Perseroan Terbatas telah berakhir, tetapi belum dilikuidasi. Yang pertama harus dijelaskan, bahwa berakhirnya kepailitan menurut Pasal 202 UU Kepailitan dan PKPU adalah setelah dibayarkan jumlah penuh utang kreditur, atau daftar pembagian penutup menjadi mengikat. Sehingga jelas UU Kepailitan dan PKPU, mengatur jika berakhirnya kepailitan hanya 155 disebabkan oleh 2 hal. Pertama utang para kreditur dibayar penuh. Kedua, daftar pembagian penutup menjadi mengikat karena kreditor tidak mendapatkan pembayaran penuh piutangnya. Berakhirnya kepailitan, dimana para kreditor tidak dibayar penuh, menurut Pasal 204 (bagian Keadaan Hukum Debitor Setelah Berakhirnya Pemberesan) menimbulkan konsekuensi kreditor memperoleh kembali hak eksekusi terhadap harta debitor mengenai piutang yang belum dibayar. Hal ini sejalan dengan prinsip umum kebendaan dalam hukum perdata, dimana Pasa 1131 KUHPerdata mengatur bahwa Semua kekayaan debitor, bergerak atau tidak bergerak, yang ada saat ini maupun yang akan datang menjadi jaminan pelunasan hutangnya. Sehingga pada kesempatan ini saya sampaikan bahwa berakhirnya kepailitan perseroan terbatas, sekalipun telah dilikuidasi. Tidak menyebabkan hapusnya sisa piutang kreditur yang belum terbayar lunas dalam proses kepailitan. Ini lah keadilan dalam konteks keperdataan, bahwa utang tidak akan pernah hapus tanpa 3 (tiga) hal, yaitu Pembayaran oleh debitur, Pembebasan oleh Kreditur, dan Daluarsa. Mengenai ketentuan pasal 142 UU PT yang mengatur pembubaran PT salah satunya karena keadaan insolvensi, hal tersebut tidak sesuai dengan pengaturan dalam UU Kepailitan dan PKPU. Karena dalam UU Kepailitan Pasal 178 mengatur keadaan insolvensi adalah suatu keadaan dimana rapat pencocokan piutang tidak ditawarkan rencana perdamaian, rencana perdamaian yang ditawarkan tidak diterima atau pengesahan perdamaian ditolak oleh hakim. Jadi keadaan insolvensi, itu jauh dari istilah bubarnya perseroan. Oleh karena itu, seluruh kepailitan yang berakhir di Indonesia, tidak pernah berakhir dengan likuidasi. Karena kepailitan dan likuidasi di Indonesia adalah 2 perbuatan hukum yang berbeda. Dari penjelasan ini, jika boedel pailit tidak mencukupi untuk membayar penuh seluruh utang. Maka setelah kepailitan berakhir, sisa utang yang belum dibayarkan kepada kreditur tersebut. Dapat ditagihkan kreditur kepada pengurus PT jika belum dilikuidasi, atau jika setelah dilikuidasi, maka kreditur dapat menuntut kepada person dalam organ perseroan, jika ada dasar dan alasan untuk menuntut itu, dalam hal ini tidak dibayarkannya utang kreditor pada 156 masa sebelum jatuh putusan pernyataan pailit adalah karena kesalahan pengurus perusahaan. Hal ini diatur dengan tegas dalam Pasal 104 ayat (2) dan (3) UU PT yang menyebutkan, bahwa dalam hal kepailitan terjadi karena kesalahan atau kelalaian Direksi dan harta pailit tidak cukup untuk membayar seluruh kewajiban Perseroan dalam kepailitan tersebut, setiap anggota Direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas seluruh kewajiban yang tidak terlunasi dari harta pailit tersebut. Bahkan Tanggung jawab tersebut berlaku juga bagi anggota Direksi yang salah atau lalai yang pernah menjabat sebagai anggota Direksi dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan. Sehingga jelas, tidak ada satupun alasan bagi direksi untuk lepas pertanggungjawaban ketika terjadi kepailitan yang mana boedel palit tidak cukup membayar seluruh utang. Kewenangan piercing the corporate veil terhadap Direksi Pada pembahasan awal, telah dijelaskan bahwa tidak ada perlindungan mutlak prinsip separated legal personality kepada pengurus perusahaan yang tidak beritikad baik yang telah menimbulkan kerugian PT. Pertanyaan berikutnya, siapakah yang berwenang untuk menyingkap tabir tanggung jawab terbatas direksi dan dewan komisaris. Berdasarkan pasal 97 ayat (6) dan Pasal 114 ayat (6) UUPT tegas disebutkan Pengadilan. Tetapi ketentuan UUPT ini mengatur gugatan privat dalam hal ini oleh pemegang saham atau pihak ketiga. Adapun piercing the corporate veil pengurus, terkait dengan tuntutan negara atau publik, maka iya tunduk pada ketentuan UU yang mengaturnya. Jika pajak, diatur dalam peraturan perundang- undangan di bidang perpajakan, jika PNBP diatur dalam ketentuan PNBP dan seterusnya. Sehingga keberadaan pasal 32 UU KUP yang mewajibkan pengurus bertanggung jawab, kecuali pengurus tersebut dapat membuktikan kepada Direktur Jenderal Pajak bahwa benar-benar tidak mungkin untuk dibebani tanggung jawab adalah sejalan dengan doktrin piercing the corporate veil. Pasal 32 Tidak Hanya Berbicara Perseroan Terbatas, Tetapi Seluruh Bentuk Usaha 157 Jika melihat permohonan pemohon, dalam kapasitasnya sebagai Direktur suatu PT, yang menghendaki tafsir terhadap pasal 32 yang tidak hanya berbicara tentang PT. maka permohonan tafsir tersebut tidaklah tepat. UU KUP dalam pasal 1 angka 3 mendefiniskan badan bukan semata PT, tetapi sangat luas. Meliputi CV, Firma, Kongsi, Koperasi, Dana Pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, ormas, kontrak investasi kolektif (KIK), dan Bentuk Usaha Tetap (BUT), yang sebagian besar tidak memiliki tanggung jawab terbatas ( limited liability ). Sehingga jika uji materil ini dikabulkan, saya membayangkan bagaimana sulitnya nanti negara menagihkan utang pajak badan. Karena akan ada pengurus firma, CV, Kongsi, ormas, KIK dan BUT yang berdalih mereka tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas utang pajak ketika badan yang mereka urus tersebut pailit, dengan dasar Pasal 32 mengecualikan pertanggungjawaban wakil yang badan usahanya pailit. Padahal tanggung jawab mereka tersebut terhadap badan-badan usaha tersebut adalah tanggung jawab pribadi. Menanggapi Pertanyaan Hakim dan para Pihak ▪ Pengurus dikatakan beriktikad baik dalam konteks business judgment rule jika memenuhi empat kriteria dalam Pasal 97 ayat (5) UU 40/2007 (UU PT), yaitu: ▪ Kerugian bukan karena kesalahan atau kelalaiannya. ▪ Pengurusan dilakukan dengan iktikad baik dan kehati-hatian. Pengurus tidak punya kepentingan terhadap dirinya sendiri; tidak ada benturan kepentingan; tidak ada kepentingan terhadap dirinya sendiri ( have no conflict of interest ). ▪ Berdasarkan kewenangannya ( intra vires ). Kewenangan dalam hal ini adalah ketaatan direksi terhadap peraturan yang dibuat oleh perusahaan terhadap direksi. ▪ Tanggung jawab pengurus yang melanggar, menurut UU PT, akan diminta sampai dengan kerugiannya. ▪ Dalam Putusan Pengadilan mengenai pailit tidak akan ada pernyataan mengenai direksi bersalah atau tidak bersalah. ▪ Pernyataan pailit adalah upaya kreditur untuk mendapatkan pelunasan utang yang jatuh tempo dan dapat ditagih berdasarkan Pasal 21 ayat (2). Dengan demikian putusan pailit hanya akan bicara tentang hal itu saja. 158 ▪ Amerika dan Singapura mempunyai sistem perkreditan atau utang piutang yang sudah ▪ sangat prudent dan hati-hati. Di kedua negara itu dikenal debt forgiveness atau penghapusan utang. Penghapusan utang di Indonesia menjadi otoritas kreditor, sementara debt forgiveness di negara-negara maju diberikan oleh hukum atau undang-undang. ▪ Sehingga sangat mungkin ketika terjadi kepailitan dan pemberesan, ternyata masih ada utang namun direksinya sudah mengurus dengan benar, maka negara harus berperan. ▪ Bagaimana cara memperoleh pelunasan jika direksi bekerja sudah benar? Dalam konteks ini banyak yang tetap memaksakan untuk memeriksa tanggung jawab direksi melalui pengadilan. Banyak kasus kepailitan kemudian menggantung dalam konteks ini. ▪ Pailit digunakan untuk menghindari pajak karena UU Kepailitan menyaratkan bahwa kepailitan tidak harus dalam keadaan tidak mampu bayar, tetapi cukup dengan dua kreditor, yaitu satu kreditor telah jatuh tempo dan dapat ditagih. ▪ Jadi kepailitan ini seperti pisau yang dapat digunakan untuk membereskan utang-utang, namun bisa juga untuk menghindari tanggung jawab. ▪ Bahkan ada tren di mana kepailitan digunakan untuk membeli aset dari lawan bisnisnya dengan harga murah. Karena ketika dengan dua syarat pemailitan yang sangat mudah tadi, lawan atau pesaingnya dipailitkan lantas barang masuk dalam proses penjualan yang harus lelang, kemudian tinggal diatur lelangnya supaya tidak segera laku sehingga dapat dijual dengan harga likuidasi atau harga paling rendah. ▪ Aturan bahwa kurator tidak otomatis menjadi likuidator dipahami dari peraturan Mahkamah Agung tahun 2020. Banyak proses kepailitan yang sudah berakhir, tapi tidak berakhir dengan likuidasi, sehingga memunculkan banyak PT “hantu”. Oleh karena itu Mahkamah Agung menetapkan bahwa kurator nanti akan bertindak sebagai likuidator.
Dian Puji N Simatupang Sehubungan dengan pengujian Pasal 2 ayat (6) dan Pasal 32 ayat (2) UU 6/1983 sebagaimana diubah dengan UU 28/2007, ahli menyampaikan keterangan dari aspek hukum administrasi negara dan keuangan publik mengenai dua hal, yaitu: 159 1. Kewenangan Direktur Jenderal Pajak dalam pengelolaan perpajakan;
Pengaturan khusus dalam perpajakan Kewenangan merupakan kekuasaan publik yang diatur dengan undang- undang, apalagi berkaitan dengan pajak sesuai dengan Pasal 23A UUD 1945 memang harus diatur dengan undang-undang. Pengaturan perpajakan dalam undang-undang merupakan bentuk mandatory regulation , artinya mengenai perpajakan dan pungutan lainnya yang bersifat memaksa tidak lain dan tidak bukan harus diatur dengan undang-undang, dan tidak dengan pengaturan lain di bawah undang-undang. Penggunaan frasa “diatur” undang-undang dalam Pasal 23A UUD NRI 1945 jelas menunjukkan undang-undang perpajakan akan mengatur mengenai kewenangan, syarat prosedur, dan subtansi dalam pelaksanaan kegiatan perpajakan secara menyeluruh. Dalam hal kemudian undang-undang mendelegasikan pengaturan lebih lanjut mengenai wewenang, syarat prosedur, dan substansi pelaksanaan ke dalam peraturan di bawahnya hakikatnya merupakan kebijakan politik hukum yang terbuka ( open legal policy ), yang tidak membuat norma baru atau keadaan baru dalam peraturan di bawahnya. Kewenangan Direktur Jenderal Pajak untuk menghapus nomor pokok wajib pajak (NPWP) dalam hal wajib pajak dilikuidasi karena penghentian atau penggabungan usaha dimaksudkan untuk memberikan keyakinan yang memadai ( reasonable assurance ), setiap tindakan administrasi pemerintahan dalam perpajakan telah dilaksanakan secara khusus untuk memberikan kepastian pada penerimaan negara melalui proses perpajakan. Ikut sertanya Direktur Jenderal Pajak yang berwenang dalam menghapus NPWP bagi wajib __ pajak dilikuidasi karena penghentian atau penggabungan usaha sesuai dengan prinsip yang dianut dalam Pasal 35 UU 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, di mana piutang negara khususnya dari perpajakan mempunyai hak mendahului (hak preferens) dibandingkan hak yang dimiliki lainnya. Dengan demikian, adanya kewenangan dalam Pasal 2 ayat (6) UU 6/1983 sebagaimana diubah dengan UU 28/2007 dimaksudkan memberikan:
keyakinan memadai ( reasonable assurance ) dalam pengambilan tindakan hukum perpajakan yang membawa pengaruh pada penerimaan negara;
bagian dari hak mendahului negara (hak preferen) untuk memastikan piutang pajak tetap dapat dibayarkan sesuai dengan ketentuan; 160 3. memastikan kemungkinan penghapusan dilakukan berdasarkan alas hukum dan alas fakta, dengan prosedur tersendiri dalam ranah hukum publik, yang membedakan dengan prinsip dan konsep dalam ranah hukum privat, khususnya mengenai kepailitan dan pemberesan utang. Diaturnya wewenang Dirjen Pajak dalam memberikan persetujuan atas penghapusan NPWP khusus karena wajib pajak dilikuidasi karena penghentian atau penggabungan usaha memperhatikan prinsip dalam pengenaan perpajakan, salah satunya, adalah keadilan, yaitu dalam hal pengenaan pajak bagi wajib pajak semuanya tanpa kecuali, tetapi dalam keadaan tertentu diberikan tindakan hukum tertentu yang ditetapkan setelah terdapat alas hukum dan alas fakta yang memadai. Adanya wewenang Dirjen Pajak dalam menghapus NPWP sebagai suatu tindakan administrasi pemerintahan dalam kegiatan yang bersifat perdata, khususnya penghentian atau penggabungan usaha dalam teori hukum dinamakan sebagai konsep contrarius actus , yaitu dalam hal ketentuan publik mengatur berbeda beberapa tindakan keperdataan, maka ketentuan publik yang harus ditaati. Kecuali, ketentuan perdatanya, misalnya kepailitan menyatakan tidak berlaku ketentuan publik ini secara tegas-tegas. Dengan diaturnya kewenangan Dirjen Pajak untuk menghapus secara hukum terdapat pengaturan antar-tata hukum di mana kewenangan publik mengatur beberapa prinsip pelaksanaan dalam kegiatan keperdataan. Konsep ini dimungkinkan dengan beberapa alasan:
guna melaksanakan wewenang dan kewajiban pemerintahan atau bestuursdwang , di mana Direktur Jenderal Pajak untuk memperhatikan semua kepentingan secara prosesual, yang kemudian diatur dalam undang- undang sebagai suatu kebijakan politik hukum terbuka ( open legal policy ), yang dimaksudkan guna memberikan keadilan semua tetap ditagihkan pajak, kecuali dengan syarat prosedur publik tertentu dalam kegiatan termasuk hubungan keperdataan;
penggunaan wewenang publik dalam hubungan keperdataan dimaksudkan memberikan keyakinan memadai semua tindakan administrasi pemerintahan perpajakan tetap dapat dilaksanakan tanpa kecuali, tetapi untuk keadaan tertentu dimungkinkan dengan campur tangan kewenangan publik melalui Direktur Jenderal Pajak. 161 Kegiatan penghentian dan penggabungan usaha memang termasuk kegiatan hukum keperdataan, sehingga berlaku prinsip dan ketentuan hukum perdata dalam hal ini hukum perusahaan atau hukum perusahaan. Akan tetapi, kewajiban dalam perpajakan sebagai suatu bentuk bestuursdwang merupakan wewenang publik, sehingga untuk menjembatani antara tindakan hukum keperdataan dan hukum publik perpajakan dilakukan dengan memberikan wewenang kepada Direktur Jenderal Pajak sebagai badan atau pejabat administrasi pemerintahan yang mempunyai wewenang publik. Tim pemberesan atau kurator tidak dapat bertindak dalam ranah hukum publik kecuali undang-undang perpajakan memberikan wewenang delegasian kepadanya untuk dan atas nama Direktur Jenderal Pajak. Dengan demikian, kewenangan Direktur Jenderal Pajak dalam penghapusan NPWP justru tepat secara hukum untuk menghindari adanya kelalaian dalam hak mendahului perpajakan sebagaimana diatur dalam Pasal 35 UU 1/2004 dan peraturan perundang-undangan perpajakan pada umumnya. Dari segi prosedur dan syarat, kewenangan tersebut kemudian dilakukan dengan penetapan standar operasional prosedur dan menggunakan alas hukum dan alas fakta yang prosesual atau berlaku umum untuk siapapun. Mengenai putusan pengadilan niaga yang telah berkekuatan hukum tetap dan menjatuhkan pailit sesuai dengan peraturan perundang-undangan, secara hukum putusan tersebut tidak mengikat ketentuan dan prinsip administrasi pemerintahan yang berlaku umum. Kedudukan badan peradilan dan badan pemerintahan dalam posisi yang seimbang dan tidak saling menegasikan, tetapi mengawasi dan menyeimbangkan ( check and balance ). Dengan demikian, putusan pengadilan niaga yang telah berkekuatan hukum tetap apabila ada yang berkaitan dengan prosedur dalam tindakan administrasi pemerintahan tidak dapat secara serta merta mengesampingkan prosedur dan syarat sebagaimana diatur dalam undang-undang sebagai bentuk bestuursdwang karena menjalankan kewenangan dalam undang-undang. Berkaitan dengan ketentuan Pasal 32 ayat (1) dan (2) UU 6/1983 sebagaimana diubah dengan UU 28/2007 yang menjadikan piutang pajak menjadi tanggung jawab secara pribadi atau renteng atas pembayaran pajak tentu didasarkan pada tanggung jawab mutlak dalam pembayaran pajak yang bersifat preferens tersebut. Dalam hal pembayaran ini akan kemungkinan 162 ditanggung secara pribadi atau renteng tentu akan diatur berdasarkan pada alas hukum dan alas fakta yang memadai dan prosesual. Alas fakta yang memadai dan prosesual merupakan bukti konkret dan faktual yang menunjukkan adanya kausalitas antara pertanggungjawaban korporasi dan pertanggungjawaban pribadi masing-masing dalam kegiatan usaha tersebut. Misalnya, keputusan korporasi yang ditetapkan dan diputus direksi yang menimbulkan penerimaan bagi korporasi, yang kemudian dinikmati korporasi dan pengurusnya merupakan suatu bentuk kausalitas yang memadai dan faktual konkret. Namun, penerapan Pasal 32 UU 6/1983 sebagaimana diubah dengan UU 28/2007 juga disertai dengan pengecualian dalam hal Direktur Jenderal Pajak menemukan bukti yang menyakinkan para pengurus tidak berada dalam tanggung jawab atas pajak terutang tersebut. Hal demikian merupakan bentuk diskresionary decision atau keputusan diskresional yang terikat di mana Direktur Jenderal Pajak dapat membebaskan pengurus dalam hal piutang pajak berdasarkan bukti yang menyakinkan memadai bahwa kedudukannya sebagai pengurus tidak mempunyai kausalitas yang terkait dengan piutang pajaknya. Kewenangan tersebut lazimnya akan diikuti dengan penetapan standar operasional prosedur pengambilan keputusan secara patut dan akuntanbel. Dengan demikian, prosesnya jika keberatan dan banding dapat diajukan ke pengadilan pajak sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Menurut hukum keuangan publik dan perpajakan, beralihnya tanggung jawab pembayaran pajak perusahaan kepada pribadi pengurus merupakan bentuk pengalihan tanggung jawab hukum yang bersifat antisipatif guna menghindari adanya penghindaran pembayaran pajak. Dalam hal ini, pengurus dianggap mengetahui secara langsung dan faktual siapa saja dan di mana saja potensi yang harus dimintakan pembayaran pajak terutang. Dengan demikian, pengurus akan mengupayakan hubungan hukumnya dengan para pihak tersebut untuk membayarkan piutang pajak perusahaan. Konsep pengalihan tanggung jawab hukum yang bersifat antisipatif dilakukan agar ketidakjelasan dalam pembayaran pajak tidak boleh terjadi karena ketiadaan data dan informasi pelacakan pihak yang bertanggung jawab. Dengan demikian, menarik pengurus sebagai pihak yang bertanggung jawab secara pribadi atau rentang 163 dimaksudkan untuk melakukan pengecekan jejak pihak yang harus membayar piutang pajak. Dengan demikian, hal tersebut dilakukan untuk memberikan kepastian terhadap pembayaran piutang pajak sebagai suatu bentuk pajak terutang yang harus dibayarkan secara preferens kepada negara. Di sisi lain, memberikan keyakinan yang memadai semua piutang pajak dapat diselesaikan dan dituntaskan secara transparan dan akuntabel. Berkaitan dengan bestuursdwang dalam pembayaran pajak yang tidak memerlukan pengadilan, hal tersebut sepanjang diatur dalam undang-undang merupakan kekuasaan publik untuk dilaksanakan terlebih dahulu. Dalam hal wajib pajak keberatan dan banding dapat mengajukan ke pengadilan pajak, sebagai suatu bentuk mekanisme check and balance dalam kegiatan penyelenggaraan pemerintahan negara. Pengaturan khusus negara dalam kegiatan perpajakan yang berkaitan dengan kegiatan keperdataan diatur sebagai bagian dari penerapan asas contrarius actus , dalam hal suatu kegiatan keperdataan diatur tunduk pada ketentuan hukum publik, undang-undang harus merumuskan dan mengaturnya dalam suatu undang-undang. Kecuali, undang-undang kegiatan perdata mengatur tegas misalnya, “ketentuan perpajakan mengenai kegiatan perusahaan diatur dan tunduk pada undang-undang ini.” Jika tidak ada pengaturan seperti demikian, tidak dapat mekanisme keperdataan mengesampingkan norma yang diatur dalam peraturan perundang-undangan perpajakan. Dengan demikian, secara teori hukum umum, konsep contrarius actus menghormati sistem hukum publik dan hukum privat, tidak saling menegasikan atau tidak saling menafsirkan atau mencampuradukkan tindakan. Jika hukum publik akan dikesampingkan dalam hukum perdata, ketentuan hukum perdata menegaskan tidak berlakunya hukum publik tersebut dalam ranah hukum perdata ini dengan suatu undang-undang. Demikian juga, hukum publik menegaskan tidak berlakunya hukum perdata dalam ranah hukum publik dengan mengaturnya dalam suatu norma tersendiri. Secara diagramatis dapat digambarkan sebagai berikut. Hukum Publik Hukum Privat Mengesampingkan hukum perdata dengan menormakan dalam undang- undang Mengesampingkan hukum publik dengan mengatur tegas tidak berlakunya 164 ketentuan hukum publik dalam ranah tindakan hukum privat Berdasarkan gambaran tersebut, sekiranya tidak dapat dicampuradukkan prinsip dan norma hukum keperdataan dengan prinsip dan norma hukum perpajakan, mengingat keduanya berada dalam ranah hukumnya masing- masing.
Hendry Julian Noor Harus diakui tidak mudah membaca undang-undang, karena tidak hanya sekedar membaca bunyi kata-katanya saja ( naar de letter van de wet ) tetapi harus mencari arti, makna dan tujuannya [Lihat Sudikno Mertokusumo, 2007, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar , Yogyakarta: Liberty, hlm.50]. Oliver Wendell Holmes (1841-1935) ^ mengatakan bahwa “ the rational study of the law is still to a large extent the study of history. History must be part of the study, because without it we cannot know the precise scope of rules. It is a part of the rational study, because it is the first step toward an enlightened scepticism, that is, towards a deliberate reconsideration of the worth of those rules ” [Lihat Oliver Wendell Holmes, 2009 ( First published in 1897), The Path of the Law, Bedford Massachusetts: The Floating Press-Applewoods Books, hlm.24; Romli Atmasasmita, 2018, Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis , Jakarta: Prenadamedia Group, hlm.15). Pernyataan a quo menunjukkan betapa pentingnya dalam mempelajari hukum adalah juga harus mempelajari sejarah dan pengalaman yang telah dialami oleh bangsa tersebut, tentunya dengan melihat nilai kemaslahatan dari pengalaman dan/atau sejarah tersebut. ^ Berkaitan hal tersebut, salah satu bentuk interpretasi adalah interpretasi historis, yaitu penafsiran makna undang- undang menurut terjadinya dengan jalan meneliti sejarah terjadinya perundang- undangan tersebut. Interpretasi historis juga meliputi sejarah hukum [Lihat Sudikno Mertokusumo, 2001, Penemuan Hukum: Sebuah Pengantar , Yogyakarta: Liberty, hlm.58-59; Anthon Freddy Susanto, 2005, Semiotika Hukum: Dari Dekonstruksi Teks Menuju Progresivitas Makna , Bandung: Refika Aditama, hlm.59). Menurut Pontier, interpretasi sejarah hukum adalah penentuan makna dari formulasi sebuah kaidah hukum dengan mencari pertautan pada penulis-penulis atau secara umum pada konteks kemasyarakatan di masa lampau [Lihat Eddy 165 O.S. Hiariej, 2009, Asas Legalitas dan Penemuan Hukum dalam Hukum Pidana , Jakarta: Erlangga, hlm.77]. Selain itu, interpretasi yang juga penting untuk memahami maksud dan tujuan satu ketentuan hukum, adalah juga interpretasi teleologis. ^ Interpretasi teleologis merupakan penafsiran hakim dengan menafsirkan undang-undang sesuai dengan tujuan pembentuk undang-undang, lebih memperhatikan tujuan dari undang-undang daripada bunyi kata-kata saja. [Lihat Sudikno Mertokusumo, Op.Cit., hlm.61]. Dengan menggunakan interpretasi historis dan teleologis, sejak awal dapat dipahami bahwa pajak digunakan sebagai salah satu instrumen Pemerintah yang sangat penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara guna mewujudkan tujuan negara. Definisi otentik pajak diatur dalam Pasal 1 Angka 1 UU KUP: “ … kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” . Salah satu fungsi pajak adalah sebagai budgeter, di mana pajak merupakan alat atau sumber untuk memasukkan uang sebanyak-banyaknya kepada kas negara yang kemudian digunakan untuk membiayai pengeluaran- pengeluaran negara, termasuk untuk pembangunan dan kesejahteraan masyarakat [Lihat S.F. Marbun, 2012, Hukum Administrasi Negara I, Yogyakarta: FH UII Press, hlm.317; Bdk M. Farouq S, 2018, Hukum Pajak di Indonesia: Suatu Pengantar Ilmu Hukum Terapan di Bidang Perpajakan, Jakarta: Prenadamedia Group, hlm.119; S.F. Marbun dan Moh. Mahfud MD, 2006, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta: Liberty, hlm.135]. Dari sudut pandang hukum administrasi negara, fungsi tersebut relevan dengan konsep good governance dalam aktivitas pelaksanaan fungsi menyelenggarakan kepentingan umum oleh pemerintah, yang juga terkait pula dengan tiga tugas dasar pemerintah [Lihat Philipus M. Hadjon “ Hukum Administrasi sebagai Instrumen Hukum untuk Mewujudkan Good Governance” dalam Philipus M. Hadjon, dkk., 2012, Hukum Administrasi dan Good Governance , Jakarta: Penerbit Universitas Trisaksi, hlm.9], yaitu: Pertama, menjamin keamanan setiap orang dan masyarakat. Kedua, mengelola suatu struktur yang efektif untuk sektor publik, swasta, dan masyarakat. Ketiga, memajukan sasaran ekonomi, sosial dan bidang lainnya 166 dengan kehendak rakyat. Dengan “tugas berat” demikian, hukum pajak dapat dikatakan bagian dari rezim hukum publik. Menurut Korten, dalam sektor ekonomi, tanggung jawab utama pemerintah adalah menyediakan infrastruktur yang diperlukan untuk memajukan perdagangan (kehidupan ekonomi) dan menegakkan hukum yang berkaitan dengan hak atas kekayaan dan kontrak (perjanjian) [Lihat David C. Korten, 1997, When Corporations Rule the World (Bila Korporasi Menguasai Dunia) , Jakarta: Professional Books, hlm.115]. Hal tersebut sebagaimana pendapat Posner, bahwa pasar ekonomi diasumsikan sangat rapuh dan cenderung beroperasi sangat tidak efisien (tidak jelas) jika dibiarkan sendiri dan tanpa ada campur tangan pemerintah [Lihat Richard A. Posner “Theories of Economic Regulation” dalam The Bell Journal of Economics and Management Science , Vol. 5, No. 2, Autumn, 1974, hlm.336). Pembahasan dalam perkara a quo , dapat dikatakan seolah kembali kepada perdebatan klasik yang bahkan mungkin sampai sekarang terus berulang, yaitu ranah hukum manakah yang harus lebih didahulukan untuk kemudian dapat dilaksanakan terlebih dahulu, dalam hal ini apakah rezim hukum publik yang diatur dalam UU KUP, ataukah rezim hukum privat yang dalam hal ini “diwakili” oleh UU PKPU dan UU 40/2007 tentang Perseroan Terbatas. Harus diakui persinggungan antara hukum publik dan hukum privat ini, serta perdebatan di antaranya masih kerap terjadi. Penjelasan ini terlebih dahulu akan dimulai dengan sedikit menguraikan definisi kedua hukum tersebut, meskipun harus diakui bahwa suatu sengketa pendapat yang tidak pernah terurai secara tuntas salah satunya adalah mengenai pemberian batasan atau definisi terhadap suatu pengertian. Selama ilmu pengetahuan terus berkembang, maka sesuai sifat alamiahnya, perdebatan mengenai definisi juga seolah tak akan pernah habis. Pendapat dari Jacobs Israel de Haan dalam bukunya Rechtskundige Significa tersebut , menggambarkan bahwa sangatlah ketat dan sulit untuk merumuskan suatu definisi. Dikatakan oleh Jacobs Israel de Haan: “... het zelfde woordt beeft nooit dezelfden betekenis voor twee menschen, omdat nooit twee menschen met denzelfden aanleg woorden geboren en het zelfde leven hebben beleefd. Dit is zeker juist; het is juist omdat twee menschen nooit indentiekzijn, omdat het twee 167 menschen zijn”, diterjemahkan sebagai berikut: “... perkataan yang sama tidak pernah mempunyai pengertian yang sama untuk dua orang, karena tidak pernah dua orang dilahirkan dengan bakat yang sama dan pengalaman yang sama. Hal ini pasti benar; dan kebenaran ini disebabkan karena dua orang tidak mungkin identik, mengingat adanya dua orang” [Lihat Jacobs Israel de Haan, 1919, Rechtskundige Significa, Amsterdam: N.V. Johannes Muller, hlm.21; dan Arifin P. Soeria Atmadja, 1986, _Mekanisme Pertanggungjawaban Keuangan Negara: _ Suatu Tinjauan Yuridis, Jakarta: Gramedia, hlm.9]. Berdasarkan pendapat Hans Kelsen, hukum privat adalah suatu ranah hukum yang menggambarkan hubungan-hubungan hukum antar subjek-subjek hukum yang sederajat atau memiliki kedudukan yang sama secara hukum. Hubungan hukum privat yang tipikal adalah transaksi hukum, terutama kontrak, sebagai suatu norma individual yang diciptakan melalui kontrak, agar pihak- pihak yang terlibat dalam kontrak tersebut berperilaku secara timbal balik sesuai dengan yang diperjanjikan [Lihat Hans Kelsen, 2015, Pengantar Teori Hukum , Bandung: Nusa Media, hlm.140-141). Sedangkan hukum publik didefinisikan sebagai suatu ranah hukum yang menggambarkan hubungan-hubungan hukum yang mana salah satu subjek hukum yang satu memiliki kedudukan lebih tinggi secara hukum dari pada subjek yang lain, dan yang menjadi tipikal dari ranah hukum ini adalah hubungan antara negara dengan warga negara. Dengan beberapa tipikal berupa adanya petunjuk administratif yang dikeluarkan oleh negara dan norma individual yang dikeluarkan oleh lembaga administratif yang mana hal-hal tersebut dibuat agar penerima petunjuk dan norma tersebut bertindak sesuai dengan petunjuk dan norma administratif tersebut [Lihat Ibid. ]. Sejak lama terdapat perbedaan pendapat di kalangan ahli hukum tentang pembagian hukum publik dan hukum privat. Terdapat beberapa kriteria untuk membedakan dua jenis hukum ini, yaitu pertama , mengenai kepentingan, hukum publik mengatur kepentingan umum/publik dan hukum privat mengatur kepentingan khusus/perdata. Kedua , mengenai cara mempertahankannya, hukum publik dipertahankan oleh pemerintah dan hukum privat oleh perorangan. Ketiga , mengenai asas hukum, hukum publik memuat asas-asas istimewa dan hukum privat memuat asas-asas biasa. Keempat , mengenai hubungan hukum, hukum publik mengatur hubungan secara vertikal 168 (pemerintah dengan warga negara) dan hukum privat mengatur hubungan secara horizontal (antar warga negara). Kelima , mengenai sifat hukum, hukum publik adalah hukum a priori memaksa dan hukum privat tidak a priori memaksa [Lihat E. Utrecht, L.J. van Apeldoorn, N.E. Algra dan H.C.J.G. Jansen, serta Sudikno Mertukusumo dalam Ridwan HR, 2016, Hukum Administrasi Negara , Jakarta: Rajagrafindo Persada, hlm.70]. In casu a quo, pasal-pasal a quo yang tengah diuji dalam sidang yang mulia ini adalah pasal-pasal yang masih memenuhi prinsip-prinsip untuk mewujudkan kepastian hukum, dengan argumentasi sebagai berikut: Pertama Terkait persinggungan antara hukum privat dan hukum pidana sebagai hukum publik ini, pada dasarnya apabila dengan melihat salah satu doktrin, di mana logikanya hukum publik didahulukan dari pada hukum privat sepanjang dimaknai bahwa hukum publik tersebut adalah konstitusi [Lihat Paul Scholten, 1934, Metode Umum Hukum Perdata : diterjemahkan oleh Siti Soemarti Hartono, S.H. Mr. C. Asser, Penuntun dalam Mempelajari Hukum Perdata Belanda , Bagian Umum. Preprint, edition 1, Digital Paul Scholten Project, Amsterdam, Februari 2015, diperoleh dari http: //www.paulscholten.eu/research/ article/indonesian/]. Dengan menggunakan logika penemuan hukum argumentum a contrario serta dengan menginterpretasikan pendapat Bachsan Mustafa yang mengutip Paul Scholten, bahwa apabila hukum publik tidak mengadakan peraturan- peraturan lain, maka di manapun itu hukum perdata diberlakukan sebagai hukum umum, yang apabila di- a contrario -kan, adalah apabila hukum publik mengadakan pengaturan terhadap suatu hal, maka hukum perdata menjadi tidak diberlakukan. Argumentum a contrario adalah penafsiran dengan menggunakan pengertian sebaliknya dari peristiwa konkrit yang dihadapi [Lihat Eddy O.S. Hiariej, 2009, Asas Legalitas dan Penemuan Hukum dalam Hukum Pidana , Jakarta: Penerbit Erlangga, hlm.70; bdk Sudikno Mertokusumo, 2001, Penemuan Hukum: Sebuah Pengantar , Yogyakarta: Liberty, hlm.67 dan 69; ^ Bachsan Mustafa, 1985, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Bandung: Penerbit Alumni, hlm.61]. Pendapat tersebut juga diperkuat oleh Loer, dalam disertasinya yang berjudul Publikrecht tegenover privaatrecht, dirinya menyatakan bahwa negara 169 itu tidak tunduk pada hukum privat, karena pemikiran yang demikian tidaklah logis. Pemikiran tersebut berangkat dari asumsi bahwa negara tidaklah sama dengan rakyat biasa [Lihat Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, 1988, Kedudukan Jaksa dalam Hukum Perdata, Jakarta: PT. Bina Aksara, hlm.57]. Dalam negara hukum, segala sesuatu harus dilakukan menurut hukum ( everything must be done according to law ) yang pada dasarnya negara hukum menentukan bahwa pemerintah harus tunduk pada hukum, bukannya hukum yang harus tunduk pada pemerintah [Lihat H.W.R. Wade, 1971, Administrative Law , Oxford: Clarendon Press, hlm.6; bdk Ridwan HR, Op.Cit. , hlm.21]. ^ Hukum ditempatkan sebagai aturan dalam penyelenggaraan kenegaraan, pemerintahan, dan kemasyarakatan, sementara tujuan hukum itu diantaranya “ ... opgelegd om de samenleving vreedzam, rechtvaardig, en doelmatig te ordenen ”, yang artinya bahwa sasaran dari negara hukum adalah terciptanya kegiatan kenegaraan, pemerintahan, dan kemasyarakatan yang berpijak pada keadilan, kedamaian, dan kebermaknaan [Ridwan HR, Op.Cit. , hlm.22]. Kembali kepada pendapat Paul Scholten tersebut, terkait dengan pajak, Konstitusi Republik Indonesia atau UUD 1945 tepatnya Pasal 23A mengatur: “ Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang” . Ketentuan tersebut memberikan landasan konstitusional perpajakan yang harus diatur dengan undang-undang, yang mana merupakan produk hukum yang dibuat bersama antara pemerintah sebagai perwakilan eksekutif (yang mengurus negara) dengan DPR sebagai pemegang kuasa legislatif yang merupakan perwakilan rakyat. Dengan “kesepakatan bersama” tersebut, maka pada dasarnya telah memberikan legitimasi dan bahkan legalitas bagi pemerintah untuk kemudian “memungut” pajak yang telah disepakati oleh rakyat melalui wakilnya tersebut. Bahkan di Inggris dikenal prinsip ini berbunyi, “ no taxation without respresentation”. Adapun di Amerika, menggunakan prinsip: “ taxation without representation is robbery” [Lihat S.F. Marbun dan Moh. Mahfud MD, Op.Cit. , hlm.132 dan 64; bdk dengan istilah de heerschappij van de wet atau kekuasaan undang-undang yang diterangkan H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt dalam Ridwan H.R., 2003, Hukum Administrasi Negara , Yogyakarta: UII Press, hlm. 81-82]. __ Kenapa penting untuk diatur dalam undang-undang? Karena telah terjadi perubahan konsep pembayaran pajak, yang sebelumnya dilakukan secara 170 sukarela dan bahkan penuh dengan kebanggaan, namun sekarang bahkan butuh upaya paksa untuk agar dapat membayar pajak, oleh karenanya dengan sifat memaksa demikian, maka perlu diatur dalam undang-undang. Fakta lainnya pula adalah bahwa dalam melaksanakan tugas-tugasnya pemerintah bangsa yang modern akan membutuhkan biaya yang sangat besar, di mana pemungutan pajak merupakan salah satu jalannya (Lihat S.F. Marbun dan Moh. Mahfud MD, Op.Cit. , hlm.131-132]. “ Pembenaran ” pemungutan pajak tersebut setidaknya didukung oleh beberapa teori sebagai berikut: Pertama, teori daya pikul (teori untuk dasar memungut pajak yang adil), bahwa setiap orang wajib membayar pajak sesuai dengan daya pikulnya masing-masing. Menurut de Langen, makna teori ini adalah bahwa seluruh penghasilannya dikurangi dengan pengeluaran-pengeluaran yang mutlak untuk kehidupan primer diri sendiri dan keluarganya. Sedangkan Cohen Stuart menganalogikan bahwa daya pikul seseorang sama dengan daya pikul jembatan yang melewati jembatan tersebut, tanpa amblasnya jembatan tersebut. Kedua teori tersebut pada dasarnya menegaskan bahwa seluruh penghasilan seseorang identik dengan kekuatan pikul jembatan, sedangkan pengeluaran-pengeluaran yang mutlak untuk hidup primer disamakan dengan bobot jembatan tersebut [Lihat Rochmat Soemitro dan Dewi Kania Sugiharti, 2004, Asas dan Dasar Perpajakan 1, Bandung: PT Refika Aditama, hlm.28-29]. Kedua, teori daya beli, yang mengibaratkan pajak layaknya pompa yang menyedot daya beli seseorang/anggota masyarakat, yang kemudian dikembalikan lagi kepada masyarakat melalui saluran lain, misalnya perbaikan fasilitas umum dan pelayanan publik. Sehingga, dalam hal ini adalah untuk kesejahteraan masyarakat [Lihat Ibid., hlm.29]. Ketiga , teori kewajiban pajak mutlak, yang berdasar pada orgaantheorie dari Otto von Gierke yang menyatakan bahwa negara itu merupakan satu kesatuan, yang di dalamnya setiap warga negara terikat. Tanpa ada organ atau lembaga tersebut, individu tidak mungkin hidup, sehingga dapat membebani setiap anggota masyarakatnya dengan kewajiban, termasuk membayar pajak [Lihat Ibid., hlm.30]. Keempat, teori pembenaran pajak menurut Pancasila, yang mengandung sifat kekeluargaan dan gotong royong. Pajak di sini dianggap sebagai bentuk 171 gotong royong (tolong-menolong) yang memang merupakan suatu nilai yang hidup dalam masyakarat Indonesia, termasuk nilai kekeluargaan yang membuat setiap orang mempunyai kewajiban untuk saling membantu, mempertahankan, melangsungkan hidup keluarga (negara dan masyarakat). Tegasnya, berdasarkan teori ini, kepentingan umum tersebut dianggap sebagai hak asasi yang dapat mengalahkan kepentingan individu, dengan tetap memberikan kewajiban bagi pemerintah untuk tidak sewenang-wenang, dan harus memungut pajak berdasarkan undang-undang [Lihat Ibid. ]. Dengan berdasarkan teori-teori tersebut dapat dipertegas bahwa ketentuan perpajakan tersebut, khususnya yang diatur dalam UU KUP tersebut telah bersifat konstitusional dan bahkan dapat dibenarkan secara teoretik. Kedua Hutang pajak bersifat memaksa dan mempunyai kedudukan yang bersifat istimewa atau preferen [Lihat M. Farouq S., Op.Cit., hlm.210]. Dalam tataran doktrin, hutang pajak merupakan hutang yang bersifat khusus, berada pada rezim hukum publik, yang tentunya sifatnya berbeda dengan ketentuan dalam bidang hukum perdata, namun dapat menggunakan asas-asas dan prinsip-prinsip hutang-piutang dalam hukum perdata, kecuali jika ditentukan sebaliknya. Oleh karenanya, prinsip yang termuat dalam Pasal 1131 KUHPerdata yang berbunyi bahwa semua barang, baik bergerak atau tidak bergerak yang dimiliki oleh debitur, baik di masa sekarang ataupun masa mendatang menjadi jaminan semua hutang-hutangnya, dan demi hukum, jika debitur berhenti membayar hutangnya, barang-barang miliknya tersebut, melalui proses di muka pengadilan, dapat disita oleh kreditur, dijual di muka umum, dan hasilnya digunakan untuk melunasi hutangnya (Lihat Rochmat Soemitro, 1991, Asas dan Dasar Perpajakan 2, Bandung: PT Eresco, hlm.106-107; bdk Elyta Ras Ginting, 2019, Hukum Kepailitan: Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit, Jakarta: Sinar Grafika, hlm.393-397. Lihat pula M. Farouq S., Op.Cit., hlm.212]. Selanjutnya, dalam hal (ternyata) debitur tersebut memiliki hutang kepada beberapa kreditur, namun karena sifat dan kedudukan khusus dari hutang pajak, maka sebagaimana pula diatur oleh Pasal 21 UU KUP, negara melalui Direktur Jenderal Pajak memiliki hak mendahului untuk melakukan sita 172 atas barang-barang wajib pajak yang menjadi jaminan untuk utang-utangnya tersebut. Hak mendahului negara adalah terhadap hutang pajak, baik mengenai pokok pajak, bunga, denda administrasi, kenaikan dan biaya pengalihan [Lihat Rochmat Soemitro, Asas dan Dasar Perpajakan 2, Op.Cit., hlm.107]. Dapat dipahami bahwa pengaturan demikian ini ditujukan untuk mendahulukan dan/atau memberikan kedudukan utama piutang negara di atas piutang perdata, dengan mengingat bahwa pajak tersebut akan digunakan untuk kepentingan umum dalam hal ini kepentingan kehidupan negara dan bangsa Indonesia agar dapat mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Oleh karenanya, sangat wajar jika kemudian kepentingan umum harus didahulukan dari pada kepentingan pribadi/individu [Lihat Ibid., hlm.108]. Dengan doktrin dan ketentuan yang demikian, apabila hendak menggunakan analogi dalam penyelesaian kasus pajak dengan rezim hukum lain, yakni hukum pidana juga menarik untuk dicermati. Dalam doktrin hukum pidana, hukum pidana pajak disebut sebagai ius singulare karena memiliki sistem norma dan sanksi tersendiri. Bersama-sama dengan hukum pidana militer yang disebut sebagai ius speciale , hukum pidana pajak merupakan hukum pidana khusus tertua di dunia [Lihat Bambang Poernomo, 1984, Pertumbuhan Hukum Penyimpangan Di Luar Kodifikasi Hukum Pidana , Jakarta: Bina Aksara, hlm.19; Sigid Suseno dan Nella Sumika Putri, 2013, Hukum Pidana Indonesia: Perkembangan dan Pembaruan, Bandung: Remaja Rosdakarya, hlm.195]. Bahkan dari segi sanksi, pajak yang diselundupi atau tidak dibayarkan, meskipun atas perbuatan tersebut telah dijatuhi sanksi pidana, namun tidak menghapuskan hutang pajaknya. Suatu perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Wajib Pajak (misalnya tidak taat membayar pajak) dapat merupakan tindak pidana sekaligus merupakan perbuatan melawan hukum di bidang administrasi, misalnya tidak memasukkan surat pemberitahuan atau memasukkan surat pemberitahuan yang diwajibkan oleh undang-undang pajak yang data-datanya tidak benar atau palsu. Dalam hal demikian, sanksi pidana dijatuhkan hanya merupakan hukuman bagi perbuatannya, dan bahkan dijatuhkan sanksi pidana tersebut memperkuat alasan untuk melakukan penelitian mendalam perihal pajak yang seharusnya dibayarkan oleh Wajib 173 Pajak yang tidak taat membayar pajak tersebut dan jika diperlukan juga denda administrasinya. Sanksi pidana merupakan kewenangan pengadilan pidana, sedangkan untuk “penagihan” pembayaran hutang pajak dan sanksi administrasi tersebut tetap merupakan wewenang administrasi pajak, yaitu Direktur Jenderal Pajak yang kemudian menjatuhkan sanksi melalui Kepala Kantor Pelayanan Pajak. Tegasnya, sifat kumulasi antara sanksi pidana dan sanksi administrasi sangatlah dimungkinkan. Lihat Rochmat Soemitro, 1991, Asas dan Dasar Perpajakan 3, PT Eresco, Bandung, hlm. 34-37). Tegasnya, di samping memiliki norma dan sanksi hukum yang mengandung sifat administratif dan pidana, hukum yang mengatur pajak juga didasarkan pada asas-asas yang bersifat ekonomis dan finansial [Eddy O.S. Hiariej, Op.Cit., hlm.191]. Dengan doktrin demikian, dapat dipahami bahwa jika sudah dikenakan sanksi badan dan/atau bahkan sanksi denda pun, yang mana sanksi pidana secara sifatnya adalah mengekang hak asasi manusia, namun juga sama sekali tidak “membebaskan” atau setidaknya “meringankan” wajib pajak terkait dengan kewajiban hutang pajaknya, yang bahkan masih mungkin juga dikenakan sanksi administrasi terhadapnya. Sehingga, alasan pailit dapat dikatakan masih terlalu ringan dibandingkan dengan “sanksi berlapis atau sanksi kumulasi” yang sangat mungkin diterapkan dalam hal tindak pidana pajak. Ketiga Terkait dalil Pemohon bahwa apa yang dia lakukan atas nama business judgement rule seharusnya tidak dapat dipertanggungjawabkan lagi terhadapnya, kiranya perlu dipahami terlebih dahulu bahwa antara perseroan dengan direksi, ada suatu hubungan kepercayaan atau fiduciary relationship [Lihat Prasetio, Penerapan “Business... (Ringkasan Disertasi), Op.Cit. , hlm.2] , yang kemudian melahirkan kewajiban bagi direksi yang lazim disebut dengan istilah fiduciary duty. Fiduciary duty is perhaps the most important concept in the Anglo- American law cooperation. The word "fiduciary" comes from the Latin fides, meaning faith or confidence, and was originally used in the common law to describe the nature of the duties imposed on a trustee. Perhaps because many of the earliest corporation cases involve chari table corporations, courts began 174 to analogize the duties of a director in managing corporate property to the duties of trustee in managing trust property [Lihat Lewis D. Solomon, (et. al), 1994, Policy Materials and Problems , St Paul: West Publishing Co., hlm.672; Jeffrey D. Bauman, 2010, Corporations Law and Policy: Materials and Problems, St Paul: West Publisher, hlm.634]. Terkait fiduciary duty, Bryan A. Garner menyatakan sebagai berikut: Fiduciary duty is a duty of utmost good faith, trust, confidence, and candor owed by a fiduciary to the beneficiary or a duty to act with the highest degree of honesty and loyalty toward another person and in the best interests ofthe other person (such as the duty that one partner owes to another. Apabila diterjemahkan secara bebas dapat dipahami sebagai bahwa fiduciary duty adalah tugas yang harus dipenuhi dengan itikad baik, dapat dipercaya, kesetiaan, dan keterbukaan yang harus diberikan oleh pelaksananya kepada penerima manfaat atau kewajiban untuk bertindak dengan kejujuran dan kesetiaan yang tinggi dan dilakukan demi kepentingan pemberi fiduciary duty tersebut [Bryan A. Garner, 2009, Black’s Law dictionary , Texas: West Group, hlm.581]. Erman Rajagukguk mendefinisikan fiduciary duty direksi sebagai kewajiban direksi dalam menjalankan tugasnya harus berdasarkan kepentingan perusahaan (duty of loyalty) . __ Teori yang juga berkembang di sistem hukum common law ini pada prinsipnya menghendaki pelaksana fiduciary duty untuk tidak terlibat dalam conflict interest, yaitu menempatkan kepentingannya di atas kepentingan korporasi. Pelanggaran terhadap prinsip ini, maka meniadakan doktrin BJR. Artinya direksi yang tidak menjalankan duty of loyalty, tak akan dapat berlindung dibalik doktrin BJR apabila kebijakan yang dibuatnya tersebut membawa kerugian bagi korporasi dan terhadap dirinya dituntut pertanggungjawaban hukum [Lihat Robert W. Hamilton dan Richard D. Freer, 2011, The Law of Corporations in a Nutshell , Minnesota: West Publisher, hlm.171]. Duty of loyalty terbagi 2, yaitu duty to act bona fide in (bahwa direksi melakukan tugas pengurusan dan perwakilan semata-mata hanya untuk kepentingan perseroan) dan duty to exercise power for proper purposes (bahwa kebebasan direksi terbatas pada tujuan dan kepentingan perseroan) dan tindakan tersebut dilakukan dengan kehati-hatian (duty of care) [Lihat 175 Hasbullah F. Sjawie, 2015, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi pada Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Kencana, hlm.186-187 dan hlm.198; Hotasi Nababan, 2012, Jangan Pidanakan Perdata: Menggugat Perkara Sewa Pesawat Merpati , Jakarta: Q Communication, hlm.92]. __ Keduanya merupakan dasar dari fiduciary duty [Jeffrey D. Bauman, Op.Cit., hlm.129; bdk Julian Velasco “How Many Fiduciary Duties Are There in Corporate Law?” dalam Southern California Law Review, Vol.83, 2010, hlm.1232-1233] . Tindakan yang dijalankan dengan penuh kehati-hatian, antara lain tindakan tersebut diambil dengan itikad baik untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan, tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung, dan telah mengambil tindakan untuk mencegah dan berlanjutnya kerugian tersebut [Lihat Hotasi Nababan, Loc.Cit. ]. Sebagaimana dijelaskan oleh Jeffrey D. Bauman, bahwa duty of care menuntut direktur atau direksi dalam bertindak adalah untuk kepentingan terbaik perusahaan dengan tetap berhati-hati dalam mengambil keputusan dan mengawasi urusan perusahaan. Sedangkan duty of loyalty menuntut direktur atau direksi untuk menempatkan kepentingan perusahaan di atas kepentingannya sendiri [ Jeffrey D. Bauman, Loc.Cit. ]. Adapun Hamilton dan Freer menyebutkan bahwa fiduciary duty tersebut mengandung 3 hal utama, yaitu good faith, care, dan loyalty [Lihat Robert W. Hamilton dan Richard D. Freer, Op.Cit., hlm.150] . Berlandas pada fiduciary duty , Direksi dituntut untuk bertindak dengan penuh kepedulian semata untuk kepentingan perseroan ( duty of care ), selalu mendasarkan diri pada itikad baik ( duty of good faith ), penuh kehati-hatian ( duty of prudently ), dan dengan penuh tanggung jawab ( full sense od responsibility ) yang tentunya berlandaskan pada kejujuran, dan hal ini sebenarnya merupakan satu kesatuan dari Tata Kelola Perusahaan Yang Baik atau yang dikenal dengan Good Corporate Governance [Lihat Henry R. Cheeseman, 2001, Business Law: Ethical, International & E-Commerce Environment, New Jersey: Prentice Hall Inc., hlm.759-766; Prasetio , Op.Cit. , hlm.2-3]. __ 176 Kewajiban yang demikian, tiada lain karena dalam dunia usaha (termasuk dalam korporasi), manajer atau direktur dari korporasi tersebut memiliki kewajiban untuk melakukan bisnis. Bahkan dapat dikatakan bahwa pada jabatan direktur akan selalu melekat fiduciary duty. [Lihat Robert W. Hamilton dan Richard D. Freer, Op.Cit., hlm.151]. Mereka (manajer dan direktur) diberikan kewenangan (melalui fiduciary duty tersebut) untuk melakukan hal tersebut (melakukan bisnis), dan harus dipahami bahwa tugas (melalui fiduciary duty tersebut) adalah dilakukan demi kepentingan korporasi [Lihat Ibid .]. Adapun dalam konteks business judgement rule diatur dalam Pasal 97 UU PT: (1) Direksi bertanggung jawab atas pengurusan perseroan sebagaimana _dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1); _ (2) Pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilaksanakan setiap anggota direksi dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab ^ (Penjelasan Pasal 97 ayat (2) Undang-Undang Perseroan Terbatas menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “penuh tanggung jawab” _adalah memperhatikan Perseroan dengan seksama dan tekun); _ (3) Setiap anggota direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud _pada ayat (2); _ (4) Dalam hal direksi terdiri dari 2 (dua) anggota direksi atau lebih, tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku secara tanggung _renteng bagi setiap anggota direksi; _ (5) Anggota direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian _sebagaimana dimaksud pada ayat (3) apabila dapat membuktikan:
_ _Kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;
Telah_ melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk _kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan;
Tidak_ mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung _atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan
Telah_ mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut (Penjelasan Pasal 97 ayat (5) Undang-Undang Perseroan 177 Terbatas menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian” termasuk juga langkah-langkah untuk memperoleh informasi mengenai tindakan pengurusan yang dapat mengakibatkan kerugian, antara lain melalui forum rapat Direksi) _; _ Dengan ketentuan demikian, maka berdasarkan Pasal 97 ayat (2) UU PT, kepengurusan perusahaan yang berada di tangan direksi, haruslah dilakukan dengan berdasarkan itikad baik, bertanggung jawab, dan tujuannya dilakukan kepengurusan perseroan. Apabila tindakan direksi yang menimbulkan kerugian tidak dilandasi itikad baik, maka ia dapat dikategorikan telah melakukan pelanggaran fiduciary duty yang melahirkan tanggung jawab pribadi [Lihat Henrikus Renjaan, 2017, Pentingnya Impelementasi Prinsip Kemandirian Direksi Terhadap Proses Penghapusan Piutang Bank BUMN di Indonesia, Disertasi, Yogyakarta: FH UGM, hlm.78-79; Ridwan Khairandy, 2014, Hukum Perseroan Terbatas, Yogyakarta: UII Press, hlm.304]. Pada Pasal 97 ayat (5) terdapat kata “ Anggota direksi tidak dapat _dipertanggungjawabkan atas kerugian... apabila dapat membuktikan:
..”,_ dengan ketentuaan yang demikian terlihat bahwa konteks pembuktian business judgement rule di Indonesia berbeda secara diameteral dengan di Amerika, di mana pihak yang berkewajiban untuk membuktikan bahwa pengambilan keputusan bisnis dalam hal pengurusan perseroan telah dilakukan dengan itikad baik, penuh kehati-hatian, dan semata untuk kepentingan serta maksud dan tujuan perseroan ada pada pihak direksi, bukan pada orang yang “menggugatnya”. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa beban pembuktian telah dilaksanakannya business judgement rule tersebut ada pada pihak direksi [Lihat Hasbullah F. Sjawie, Op.Cit., hlm.121-122]. Berdasarkan penjelasan di atas, maka terhadap dalil tersebut, dapat diajukan argumentasi penolakan sebagai berikut: Pertama, timbulnya hutang pajak menurut ajaran materiil, hutang pajak timbul karena undang-undang, bukan karena ketetapan fiskus. Sehingga, apabila kemudian sebelum keluarnya ketetapan wajib pajak tersebut meninggal dunia, maka hutang pajak akan beralih kepada ahli warisnya, karena bunyi UU KUP memang mengatur bahwa pajak pendapatan sudah timbul pada permulaan tahun pajak, sehingga (tanpa perlu menunggu adanya ketetapan fiskus) kewajiban pembayaran 178 pajak tersebut telah ada demi hukum [Lihat S.F. Marbun, Op.Cit. , hlm.327; bdk S.F. Marbun dan Moh. Mahfud MD, Op.Cit. , hlm.131-138]. Kedua, sebagaimana keterangan Termohon bahwa secara umum timbulnya utang pajak berbanding lurus dengan tambahan kemampuan ekonomi Wajib Pajak pada saat itu. Apabila Wajib Pajak memperoleh laba, maka serta merta akan terutang pajak, sebaliknya apabila Wajib Pajak merugi maka tidak akan ada utang pajak yang timbul. Oleh karenanya tidak dapat menempatkan alasan ketidakmampuan secara finansial Wajib Pajak saat ini, yang menyebabkan jatuhnya pailit, dengan kemampuan finasial saat munculnya kewajiban perpajakan sebelum terjadinya pailit. Munculnya utang pajak secara umum diakibatkan karena pengurus pada saat itu tidak segera melunasi kewajiban perpajakannya secara self assesment saat syarat subjektif dan objektifnya terpenuhi. Adalah suatu konsekuensi hukum yang wajar dan logis menurut undang-undang di bidang perpajakan jika Pemohon selaku Pengurus/Direktur dimintakan pertanggungjawaban secara pribadi dan tanggung renteng atas utang pajak yang timbul semasa kepengurusannya. Tegasnya, seandainya ketika hutang pajak tersebut timbul Pemohon telah melakukan pengelolaan dengan baik, maka tidak seharusnya hutang pajak tersebut bertumpuk dan sampai harus menjadi tanggung jawab pribadi Pemohon seperti sekarang ini. Kata “kelola” secara gramatikal bermakna mengendalikan atau menyelenggarakan, adapun dalam konteks perusahaan, bermakna menjalankan dan/atau mengurus. Sehingga, kata “pengelolaan” bermakna sebagai proses dan/atau perbuatan dan/atau cara mengelola [Lihat Pusat Bahasa Depdiknas, 2008, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa, hlm.719]. Istilah tersebut diambil dari istilah dari hukum perusahaan berupa beheer van daden (mengurus perseroan), yang dirumuskan secara positif dalam Pasal 92 ayat (1) UU PT: “ Direksi menjalankan pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan ”. Adapun maknanya adalah setiap perbuatan yang perlu atau termasuk golongan perbuatan yang biasa dilakukan untuk mengurus atau memelihara perserikatan perdata [Lihat Prasetio, 2013, Penerapan “ Business Judgement Rule” Dalam Restrukturisasi Transaksi Komersial PT (Persero), Berdasarkan 179 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Ringkasan Disertasi) , Yogyakarta: PDIH FH UGM, hlm.100]. Sebagai penutup, kiranya penting untuk melihat pendapat Rochmat Soemitro, bahwa dalam mengatur perihal perpajakan dalam undang-undang tersebut telah dicantumkan perihal siapa (subjek) yang dikenakan kewajiban pajak, apa (objek) yang dikenakan pajak, dan berapa besarnya (tarif) yang harus dibayarkan, maka menurutnya hal demikian sudah dapat memberikan kepastian hukum dalam menjamin “hak pungut” pajak oleh negara melalui Direktur Jenderal Pajak [Lihat Rochmat Soemitro, 1988, Pajak Ditinjau Dari Segi Hukum, Bandung: Eresco, hlm.1-2]. Jikapun dirasa terjadi ketidakadilan (menurut Wajib Pajak), maka menurutnya saluran hukum untuk mencari keadilan, yaitu baik melalui lembaga surat keberatan maupun melalui surat banding ke Majelis Pertimbangan Pajak [Lihat Rochmat Soemitro dan Dewi Kania Sugiharti, 2004, Asas dan Dasar Perpajakan 1, Bandung: Refika Aditama, hlm.42]. Ahli berkesimpulan bahwa Pasal 32 ayat (2) dan Pasal 2 ayat (6) UU 6/1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan UU 16/2009 (UU KUP) tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. [2.5] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, segala sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam Berita Acara Persidangan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini.
PERTIMBANGAN HUKUM Kewenangan Mahkamah [3.1] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir kali dengan Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 216, Tambahan Lembaran Negara Republik 180 Indonesia Nomor 6554, selanjutnya disebut UU MK), dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076), Mahkamah berwenang, antara lain, mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945; [3.2] Menimbang bahwa oleh karena permohonan Pemohon adalah permohonan untuk menguji konstitusionalitas norma undang-undang, in casu Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999, selanjutnya disebut UU KUP) terhadap Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, maka Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo ; Kedudukan Hukum Pemohon [3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang, yaitu:
perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama);
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
badan hukum publik atau privat; atau
lembaga negara; Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan terlebih dahulu: 181 a. kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK;
ada tidaknya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian dalam kedudukan sebagaimana dimaksud pada huruf a; [3.4] Menimbang bahwa Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 tanggal 20 September 2007 serta putusan-putusan selanjutnya, telah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu:
adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh para Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab-akibat antara kerugian dimaksud dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; [3.5] Menimbang bahwa berdasarkan uraian ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK dan syarat-syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana diuraikan di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan kedudukan hukum Pemohon sebagai berikut:
Bahwa hal yang dimohonkan Pemohon adalah agar: a) Pasal 32 ayat (2) UU UU KUP yang menyatakan, “Wakil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggungjawab secara pribadi dan/atau secara renteng atas pembayaran pajak yang terutang, kecuali apabila dapat membuktikan dan meyakinkan Direktur Jenderal Pajak bahwa mereka dalam kedudukannya benar-benar tidak mungkin untuk dibebani tanggung jawab atas pajak yang terutang tersebut”, dimaknai termasuk pengurus yang 182 badan hukumnya telah dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap; b) Pasal 2 ayat (6) UU KUP yang menyatakan, “Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak apabila:
diajukan permohonan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak oleh Wajib Pajak dan/atau ahli warisnya apabila Wajib Pajak sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan;
Wajib Pajak badan dilikuidasi karena penghentian atau penggabungan usaha;
Wajib Pajak bentuk usaha tetap menghentikan kegiatan usahanya di Indonesia; atau
dianggap perlu oleh Direktur Jenderal Pajak untuk menghapuskan Nomor Pokok Wajib Pajak dari Wajib Pajak yang sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan”, dimaknai Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak termasuk apabila Wajib Pajak badan telah dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Bahwa Pemohon menyatakan memiliki hak konstitusional sebagaimana diatur oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Hak konstitusional tersebut dirugikan oleh ketentuan Pasal 32 ayat (2) dan Pasal 2 ayat (6) UU KUP karena Pemohon sebagai Direktur dan Penanggung Pajak perusahaan (badan hukum), yang perusahaan tersebut telah dinyatakan pailit, tetap dikenai tagihan utang pajak oleh Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak; serta di sisi lain NPWP atas nama Pemohon tidak dihapus oleh Dirjen Pajak meskipun perusahaan yang dikelola Pemohon telah dinyatakan pailit;
Bahwa Pemohon menyatakan diri sebagai Warga Negara Indonesia (vide Lampiran berupa KTP atas nama Pemohon) yang menjadi Direktur dan Penanggung Pajak perusahaan PT United Coal Indonesia (PT. UCI) hingga ketika perusahaan tersebut dinyatakan pailit, yang status hukum pailit demikian berdasar pada Putusan Pengadilan Niaga Jakarta (vide Bukti P-3); 183 5. Bahwa menurut Pemohon, ketentuan Pasal 32 ayat (2) dan Pasal 2 ayat (6) UU KUP mengakibatkan secara faktual Pemohon tetap dikenai tagihan oleh Dirjen Pajak agar melunasi utang pajak PT UCI karena Pemohon adalah Direktur dan Penanggung Pajak PT UCI, padahal PT UCI sendiri telah dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, di mana proses kurasi sudah selesai dilaksanakan oleh kurator;
Bahwa Pemohon sebagai Warga Negara Indonesia dilindungi haknya secara hukum oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, sebagaimana didalilkan Pemohon sendiri dalam permohonannya;
Bahwa anggapan kerugian yang dialami Pemohon, yaitu penagihan utang pajak PT UCI oleh Dirjen Pajak kepada Pemohon, dimungkinkan untuk tidak lagi terjadi ketika Pasal 32 ayat (2) UU KUP yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon dimaknai “termasuk pengurus yang badan hukumnya telah dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap”; demikian pula kerugian bahwa tagihan pajak tersebut, yang dimungkinkan ditujukan Dirjen Pajak kepada Pemohon karena NPWP Pemohon masih aktif padahal PT UCI (sebagai badan hukum yang menggunakan NPWP Pemohon sebagai identitas Wajib Pajak) telah pailit, akan tidak lagi terjadi jika Pasal 2 ayat (6) UU 28/2007 dimaknai Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dilakukan oleh Dirjen Pajak termasuk apabila Wajib Pajak badan telah dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap;
Bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, terlepas dari terbukti atau tidaknya dalil permohonan Pemohon, Mahkamah menilai Pemohon telah dapat menjelaskan adanya hubungan sebab-akibat (kausalitas) antara anggapan kerugian konstitusionalitas yang dijelaskan dengan berlakunya norma yang dimohonkan pengujian, oleh karenanya, Pemohon mempunyai kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam perkara a quo ; [3.6] Menimbang bahwa karena Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo dan Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan. 184 Pokok Permohonan [3.7] Menimbang bahwa dalam mendalilkan inkonstitusionalitas bersyarat Pasal 32 ayat (2) dan Pasal 2 ayat (6) UU KUP Pemohon mengemukakan argumentasi sebagaimana selengkapnya telah dimuat dalam bagian Duduk Perkara yang pada pokoknya sebagai berikut:
Bahwa menurut Pemohon, ketentuan Pasal 32 ayat (2) UU KUP bertentangan dengan UUD 1945 dan merugikan Pemohon karena tetap membebankan pelunasan utang pajak kepada penanggung pajak perusahaan ( in casu Pemohon) meskipun perusahaan dimaksud telah dinyatakan pailit dan sedang dibereskan kurator;
Bahwa menurut Pemohon, ketentuan Pasal 2 ayat (6) UU KUP bertentangan dengan UUD 1945 dan merugikan Pemohon karena tidak menghapus NPWP atas nama perusahaan (di mana penanggung pajak perusahaan, in casu adalah Pemohon) padahal perusahaan tersebut telah dinyatakan pailit dan sedang dilakukan pemberesan oleh kurator. Tidak adanya penghapusan NPWP tersebut mengakibatkan Pemohon ditagih pelunasan utang pajak dan jumlah/nominal utang pajak tersebut terus bertambah;
Bahwa berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, Pemohon memohon agar Mahkamah menyatakan, pertama, Pasal 32 ayat (2) UU KUP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk pengurus yang badan hukumnya telah dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Kedua, Pasal 2 ayat (6) UU KUP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak termasuk apabila Wajib Pajak badan telah dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. [3.8] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalilnya Pemohon mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-14, serta mengajukan dua orang Ahli bernama Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeni, S.H., dan Prof. Dr. Tjip Ismail, S.H., yang keduanya telah didengar keahliannya dalam sidang bertanggal 22 September 2020 serta telah diterima pula keterangan tertulis dari kedua Ahli tersebut. Pemohon juga mengajukan tiga orang Saksi 185 bernama Andrey U Sitanggang , Vychung Chongson , dan Rio Ferry Sihombing , yang telah didengar keterangannya dalam persidangan tanggal 22 September 2020; [3.9] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon tersebut, Dewan Perwakilan Rakyat telah memberikan keterangan secara tertulis bertanggal 18 Agustus 2020, serta menyampaikan keterangan secara lisan (diwakili oleh Anggota DPR bernama Mukhamad Misbakhun ) dalam persidangan tanggal 18 Agustus 2020; [3.10] Menimbang bahwa Presiden juga telah memberikan keterangan terkait permohonan Pemohon berupa dua keterangan tertulis, yaitu Keterangan Presiden tanpa tanggal dan Keterangan Tambahan Presiden tanpa tanggal, September 2020, disertai Lampiran. Presiden telah pula mengajukan 4 (empat) ahli yang keempatnya mengajukan keterangan tertulis, yaitu Dr. Abdul Anshari Ritonga, S.E., S.H., M.A., Dr. Teddy Anggoro, S.H., M.H., Dr. Dian Puji N Simatupang, S.H., M.H., dan Dr. Hendry Julian Noor, S.H., M.Kn. Dua di antara Ahli tersebut, yaitu Dr. Abdul Anshari Ritonga, S.E., S.H., M.A dan Dr. Teddy Anggoro, S.H., M.H., telah pula didengar penjelasannya dalam persidangan tanggal 14 Oktober 2020; [3.11] Menimbang bahwa setelah Mahkamah membaca secara cermat dalil permohonan Pemohon dan alat bukti yang diajukan, isu konstitusionalitas yang harus dipertimbangkan oleh Mahkamah berkenaan dengan permohonan a quo adalah apakah seorang Penanggung Pajak suatu perusahaan (perusahaan sebagai Wajib Pajak Badan) dapat tetap dikenai tagihan pelunasan utang pajak manakala perusahaan bersangkutan telah dinyatakan pailit oleh Pengadilan. Dalam kaitannya dengan itu, Mahkamah harus pula mempertimbangkan apakah bagi Wajib Pajak Badan yang telah dinyatakan pailit, NPWP perusahaan bersangkutan tetap ada sebagaimana ketentuan peraturan perundang-undangan, ataukah undang-undang harus memerintahkan Dirjen Pajak untuk menghapus NPWP demikian sebagaimana dimohonkan Pemohon. [3.12] Menimbang bahwa Mahkamah perlu memberikan pendapat mengenai kejelasan permohonan Pemohon. Secara umum Mahkamah dapat memahami isi permohonan Pemohon, apalagi telah dijelaskan oleh Pemohon serta dijawab oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden, serta telah pula diterangkan oleh para ahli. 186 Namun, jika dibaca terpisah dari posita, rumusan Petitum Nomor 2 dalam permohonan Pemohon memberikan dua pemahaman berbeda, yaitu:
apakah makna “termasuk pengurus yang badan hukumnya telah dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” dimaksudkan Pemohon sebagai perluasan makna kata “Wakil” yang tercantum dalam Pasal 32 ayat (2) UU KUP; atau
apakah makna “termasuk pengurus yang badan hukumnya telah dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” merupakan perluasan makna frasa “mereka dalam kedudukannya benar-benar tidak mungkin untuk dibebani tanggung jawab atas pajak yang terutang tersebut” sebagaimana termaktub dalam Pasal 32 ayat (2) UU KUP. Namun, dengan menghubungkan makna antara Pasal 32 ayat (2) dengan Pasal 32 ayat (1) UU KUP, Mahkamah memahami bahwa makna “termasuk pengurus yang badan hukumnya telah dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” yang dirumuskan Pemohon dalam Petitum Nomor 2 dimaksudkan sebagai perluasan kategori pihak yang tidak dibebani tanggung jawab atas pajak terutang. Dengan kalimat lain, Pemohon memohonkan agar Mahkamah memaknai Pasal 32 ayat (2) antara lain bahwa pengurus badan hukum, yang badan hukumnya telah dinyatakan pailit, tidak dibebani tanggung jawab untuk melunasi pajak terutang; [3.13] Menimbang bahwa NPWP pada dasarnya adalah nomor registrasi atau nomor identitas yang dikeluarkan oleh negara, in casu Dirjen Pajak bagi Wajib Pajak. Menurut Mahkamah, sebagai sebuah identitas, NPWP bukan merupakan hal yang menyebabkan munculnya tagihan pajak. Tagihan pajak atau utang pajak muncul karena aktivitas keuangan yang dilakukan oleh setiap Wajib Pajak baik perorangan atau pun badan hukum, sementara NPWP merupakan identitas yang digunakan sebagai salah satu instrumen untuk menagihkan utang pajak tersebut kepada Wajib Pajak. Artinya, sebenarnya, terhadap tagihan pajak dapat dibebankan, baik pada orang yang memiliki NPWP atau orang yang tidak memiliki NPWP, yang disebabkan adanya perhitungan aktivitas keuangan yang memberikan nilai tambah dan keuntungan kepada Wajib Pajak. NPWP juga bukan merupakan sebuah aktivitas maupun dokumen hukum yang memunculkan status Wajib Pajak. Status 187 Wajib Pajak lahir ketika entitas tertentu, baik perorangan atau pun badan hukum, melakukan kegiatan ekonomi khususnya kegiatan finansial yang menghasilkan nilai lebih/keuntungan. [3.14] Menimbang bahwa dalam kaitannya dengan permohonan Pemohon, seandainya permohonan dikabulkan, yaitu Pasal 32 ayat (2) UU KUP dimaknai “termasuk pengurus yang badan hukumnya telah dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap”, maka NPWP perusahaan (di mana Pemohon bertindak sebagai penanggung pajak) memang akan hapus, namun menurut Mahkamah hapusnya NPWP demikian tidak lantas menghilangkan status perusahaan dan/atau Pemohon sebagai Wajib Pajak. Hal demikian karena status Wajib Pajak timbul bukan karena adanya NPWP melainkan karena terpenuhinya syarat subjektif dan syarat objektif yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU 7/1983); Pasal 2 ayat (1) UU 7/1983 antara lain mengatur bahwa, “(1) Yang menjadi Subyek Pajak adalah:
warisan yang belum terbagi sebagai suatu kesatuan, menggantikan yang berhak;
badan yang terdiri dari perseroan terbatas, perseroan komanditer, badan usaha milik negara dan daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, persekutuan, perseroan atau perkumpulan lainnya, firma, kongsi, perkumpulan koperasi, yayasan atau lembaga, dan bentuk usaha tetap.” Adapun Pasal 4 ayat (1) UU 7/1983 antara lain mengatur bahwa, “(1) Yang menjadi Obyek Pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk di dalamnya:
gaji, upah, komisi, bonus, atau gratifikasi, uang pensiun atau imbalan lainnya untuk pekerjaan yang dilakukan;
honorarium, hadiah undian dan penghargaan;
laba bruto usaha;
keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta, termasuk keuntungan yang diperoleh oleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, anggota, serta karena likuidasi;
penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah diperhitungkan sebagai biaya;
bunga; 188 g. dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, yang, dibayarkan oleh perseroan, pembayaran dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, pembagian Sisa Hasil Usaha koperasi kepada pengurus dan pengembalian Sisa Hasil Usaha koperasi kepada anggota;
royalti;
sewa dari harta;
penerimaan atau perolehan pembayaran berkala”; [3.15] Menimbang bahwa berdasarkan hal demikian, menurut Mahkamah dalam konteks permasalahan konkret yang dihadapi Pemohon, isu konstitusionalitas penghapusan NPWP tidak dapat dipisahkan dari ketentuan Pasal 2 dan Pasal 4 UU 7/1983 yang mengatur mengenai subjek dan objek pajak. Kewajiban bagi Wajib Pajak agar mempunyai NPWP diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU KUP. Ketentuan ini mengatur kewajiban bagi setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi syarat subjektif dan syarat objektif agar mendaftarkan diri kepada Dirjen Pajak yang kemudian kepadanya diberikan NPWP. Sebagaimana diuraikan Mahkamah sebelumnya, kewajiban perpajakan tidak lahir karena terbitnya NPWP, melainkan sejak adanya kegiatan ekonomi yang mengakibatkan adanya suatu pertambahan nilai. Demikian pula apabila Wajib Pajak memperoleh laba maka serta merta akan timbul utang pajak, sebaliknya apabila Wajib Pajak merugi maka tidak akan timbul utang pajak. Konsep teoritis demikian juga ditegaskan oleh Pasal 2 ayat (4a) UU KUP yang menyatakan, “Kewajiban perpajakan bagi Wajib Pajak yang diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau … dimulai sejak saat Wajib Pajak memenuhi persyaratan subjektif dan objektif … ”. Dengan demikian, menurut Mahkamah jika Pemohon berkehendak agar dengan hapusnya NPWP perusahaan di mana Pemohon menjadi penanggung pajak lantas berakibat hapusnya pula kewajiban perpajakan perusahaan bersangkutan, maka hal demikian tidak akan tercapai seandainya pun Mahkamah mengabulkan permohonan Pemohon yaitu menambahkan makna pada Pasal 2 ayat (6) UU KUP agar penghapusan NPWP oleh Dirjen Pajak meliputi juga bagi Wajib Pajak badan yang telah dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap; Dengan kata lain, Mahkamah berpendapat bahwa NPWP, sesuai nama panjangnya yaitu “Nomor Pokok...” sebenarnya lebih tepat dilihat sekadar sebagai sebuah nomor identitas atau angka penanda bagi Wajib Pajak, dan bukan sebuah sumber materiil yang memunculkan suatu kewajiban perpajakan. Menghilangkan 189 atau menghapuskan kewajiban perpajakan, seandainya diperlukan, tidak dapat dilakukan hanya dengan penghapusan nomor pokok wajib pajak atau nomor identitas lain yang berfungsi sama dengan itu; [3.16] Menimbang bahwa selain berkaitan langsung dengan NPWP, permohonan Pemohon menurut Mahkamah sebenarnya hendak mempersoalkan konstitusionalitas penagihan pajak perusahaan kepada Pemohon sebagai penanggung pajak, padahal perusahaan tersebut telah dinyatakan pailit. Untuk menjawab isu konstitusionalitas demikian Mahkamah perlu menguraikan perihal utang perusahaan, jenis pajak, pihak yang membayar pajak perusahaan dan penanggung pajak badan, serta hubungan antara perusahaan dengan pengurus/direksi badan hukum; [3.17] Menimbang bahwa utang perusahaan pada dasarnya merupakan salah satu pilihan sumber pembiayaan perusahaan. Setidaknya, utang dapat dipahami sebagai dua hal, yaitu a) sebagai kewajiban membayar/melunasi yang timbul dari hubungan kontraktual keperdataan di mana satu pihak meminjam dan pihak lainnya meminjamkan, yang hubungan kontraktual ini memunculkan keberadaan debitur dan kreditur; b) kewajiban membayar/melunasi yang timbul sebagai konsekuensi hubungan perpajakan, dalam ranah hukum publik atau hukum administrasi, antara warga negara (termasuk badan hukum) dengan negara, di mana memunculkan status hukum Wajib Pajak dan Pemungut Pajak (Negara diwakili petugas pajak/fiskus); Bahwa secara universal utang dalam konteks yang pertama, yaitu utang sebagai hubungan kontraktual antara dua pihak atau lebih, adalah kewajiban penerima pinjaman (disebut pihak yang berutang atau debitur) kepada pemberi pinjaman (disebut pihak yang berpiutang atau kreditur) untuk mengembalikan atau membayar kembali sejumlah uang/pembiayaan. Sementara utang dalam konteks kedua, yaitu utang pajak adalah kewajiban perseorangan termasuk badan hukum untuk membayar sejumlah uang kepada negara bukan karena negara pernah meminjamkan sejumlah uang/pembiayaan kepada yang bersangkutan sebelumnya, melainkan sebagai pungutan yang diwajibkan oleh negara kepada Wajib Pajak, antara lain, untuk pembiayaan pembangunan negara. [3.18] Menimbang bahwa Pajak merupakan hak konstitusional Negara atas rakyatnya, sebagaimana diatur dalam Pasal 23A UUD 1945 yang menyatakan, 190 “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”. Dengan demikian hak negara untuk memungut pajak adalah hak mutlak yang tidak dapat ditolak. Namun hal demikian tidak lantas negara, melalui fiskus (petugas/instansi pengumpul pajak), dapat bertindak sewenang- wenang dalam menentukan besaran dan tata cara pemungutan pajak. Pasal 23A UUD 1945 di atas menegaskan bahwa “pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa” hanya boleh diterapkan selama ditujukan “untuk keperluan negara”. Pasal a quo juga mengatur bahwa pajak dan pungutan ini harus “diatur dengan undang-undang”. Pengaturan pajak dengan undang-undang tidak lain bertujuan agar setiap pembebanan pajak mendapat persetujuan dari lembaga yang merupakan representasi rakyat (asas no taxation without representation ). [3.19] Menimbang bahwa dalam kaitannya dengan pajak yang dipungut kepada badan hukum, Mahkamah perlu mempertimbangkan juga mengenai apa atau siapa yang dimaksud sebagai badan hukum. Dengan kata lain, Mahkamah melalui Putusan ini perlu memperjelas kembali mengenai badan hukum sebagai subjek hukum dan bagaimana sebuah badan hukum (yang bukan orang atau manusia) dapat menjalankan aktivitas sehari-hari, baik aktivitas hukum maupun yang bukan hukum. Mahkamah memandang bahwa badan hukum merupakan kepanjangan atau perluasan dari kepentingan manusia, baik kepentingan perorangan (individu) maupun kepentingan bersama (kolektif). Bentuk badan hukum mula-mula (tradisional) adalah usaha dagang, koperasi, dan yayasan. Usaha dagang merupakan badan hukum yang dikuasai dan diijalankan oleh perorangan, sementara koperasi dan yayasan merupakan badan usaha yang dikuasai atau dijalankan secara kolektif. Badan hukum yang dikuasai bersama dapat dikatakan pada mulanya merupakan penyatuan individu atau kerjasama individu yang bersifat kontraktual. Kerja sama, yang mulanya hanya melibatkan gabungan individu, selanjutnya oleh hukum diwadahi sebagai sebuah organisasi kerja sama baik kerja sama dalam hal penggabungan modal, penggabungan tenaga, ataupun yang lainnya. Selanjutnya badan hukum berkembang semakin kompleks menjadi perseroan terbatas, bahkan berkembang bentuk perusahaan multinasional dengan karakteristik berbeda; 191 [3.20] Menimbang bahwa badan hukum dengan demikian merupakan sebuah status bagi perhimpunan atau organisasi yang beranggotakan perorangan/individu. Namun, badan hukum bukan-lah individu itu sendiri. Hal istimewa dari status sebuah badan hukum ini adalah bahwa organisasi yang berstatus badan hukum dianggap mempunyai hak dan kewajiban yang relatif sama dengan hak dan kewajiban manusia/orang; Akan tetapi dalam praktiknya hak dan kewajiban badan hukum tentu tidak dapat dilaksanakan/ditunaikan sendiri oleh badan hukum bersangkutan. Hal demikian tidak lain karena badan hukum “hanya” sebuah status dan bukan manusia/orang, sementara kemampuan untuk berpikir, bersikap, maupun bertindak secara fisik hanya dimiliki oleh manusia/orang. Berdasarkan kondisi alamiah demikian, maka badan hukum sebagai sebuah status/organisasi membutuhkan keberadaan manusia/orang untuk mengurus atau menjalankan status/organisasi tersebut. Di titik ini lah kemudian, menurut Mahkamah, muncul keberadaan manusia/orang yang menjadi representasi atau perwakilan dari suatu badan hukum. Selanjutnya hukum (peraturan perundang-undangan) memilah atau mengklasifikasi badan hukum menjadi beberapa bentuk/jenis yang masing-masing jenis mempunyai sebutan atau istilah tertentu bagi pihak yang mewakili badan hukum tersebut. Sebutan demikian antara antara lain direksi, pengurus, pemilik, bendahara, sekutu, dan sebagainya. [3.21] Menimbang bahwa karena badan hukum merupakan sebuah status yang dikonstruksikan dari perorangan/individu, maka prinsip pemajakannya pun mengikuti prinsip pemajakan perorangan. Dalam perpajakan, selain istilah subjek pajak -yang merujuk pada perorangan dan badan- dikenal pula istilah objek pajak. Objek pajak merujuk pada harta yang dikenai pajak, yaitu harta yang berada di bawah penguasaan subjek pajak. Kedua pengertian tersebut menunjukkan bahwa pajak pada dasarnya adalah sebuah pungutan resmi oleh negara yang pungutan demikian mengikuti subjek pajak dan objek pajak; Badan hukum pun wajib mematuhi ketentuan mengenai jenis dan besaran pajak yang diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan mengenai pajak, antara lain baik pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, dan pajak badan. Semua undang-undang yang mengatur jenis dan besaran tarif demikian berlaku mengikat bagi badan hukum sebagai wajib pajak selama undang- 192 undang bersangkutan belum diubah, dibatalkan, atau dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945; Dengan konstruksi bahwa (pungutan) pajak timbul seketika/bersamaan dengan terciptanya nilai lebih (laba atau keuntungan) dari suatu transaksi ekonomi, maka sebenarnya secara logika tidak mungkin ada tagihan pajak yang tidak dapat dibayar. Dengan catatan tidak dapat dibayar di sini diartikan sebagai tidak ada sumber dana untuk melunasinya. Pada praktiknya laba memang tidak selalu seiring dengan ketersediaan cashflow , namun selama masih terdapat laba/keuntungan maka pajak pasti dapat ditunaikan mengingat logika pungutan pajak adalah mengambil sebagian dari keuntungan/penghasilan yang sudah ada/terjadi. Hal ini berbeda dengan logika pungutan yang dikenakan terhadap suatu kegiatan yang baru akan dilakukan, misalnya biaya perijinan; Apalagi sudah sangat jelas di dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU 40/2007), yaitu pada Penjelasan Pasal 70 ayat (1) dijelaskan bahwa, “Yang dimaksud dengan “laba bersih” adalah keuntungan tahun berjalan setelah dikurangi pajak”. Ketentuan lain dalam UU 40/2007, antara lain Pasal 71, menegaskan bahwa laba perusahaan yang dibagikan sebagai dividen kepada pemegang saham adalah laba bersih (bahkan laba bersih setelah disisihkan sebagian sebagai dana cadangan). Kedua ketentuan tersebut merupakan mekanisme kerja yang wajib dilaksanakan bagi sebuah badan hukum, in casu Perseroan Terbatas. Artinya, jika suatu PT telah melaksanakan ketentuan pendirian dan/atau ketentuan operasional PT sebagaimana dirumuskan oleh UU 40/2007, maka menurut penalaran yang wajar seharusnya tidak terjadi kegagalan dalam melunasi/membayar pajak. Berdasarkan hal demikian, Mahkamah berpendapat terjadinya keterlambatan pembayaran pajak oleh wajib pajak adalah ketika pajak ditunda pembayarannya oleh wajib pajak, namun kemudian bagian dari laba atau keuntungan yang seharusnya dibayarkan kepada negara sebagai pajak tersebut terpakai untuk kepentingan lain. Pada akhirnya wajib pajak mengalami kesulitan bahkan tidak mampu melunasi utang pajak atau tagihan pajak; [3.22] Menimbang bahwa di sisi lain Mahkamah perlu menegaskan bahwa pajak tidak boleh dihitung/dikenakan untuk kegiatan perusahaan yang telah dinyatakan pailit dan sedang dalam pemberesan kurator karena perusahaan dalam posisi 193 demikian tentunya tidak sedang beroperasi untuk memperoleh laba/keuntungan, kecuali secara nyata dapat diketahui bahwa masih ada kegiatan perusahaan yang dilakukan atas persetujuan hakim pengawas dan kegiatan demikian mendatangkan kewajiban perpajakan. Mahkamah berpendapat pajak tetap dapat dikenakan atas keuntungan/laba yang telah timbul akibat operasional perusahaan sebelum perusahaan dinyatakan pailit, dan juga dapat dikenakan atas keuntungan yang baru diterima ketika perusahaan telah berstatus pailit. Adalah sangat mungkin sebagian laba atau bahkan keseluruhan laba secara teknis baru diterima perusahaan beberapa saat setelah transaksi terjadi, di mana laba diterima pada saat perusahaan sudah dinyatakan pailit. Berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut, maka terhadap persoalan yang dialami Pemohon yang sesungguhnya, yaitu adanya keberatan atas tagihan pajak badan (perseroan) yang sudah dinyatakan pailit namun penagihannya ditujukan kepada Pemohon sebagai perorangan (mantan pengurus perusahaan sebelum pailit), menurut Mahkamah hal tersebut merupakan permasalahan implementasi dan bukan merupakan persoalan konstitusionalitas norma UU, sehingga bukan menjadi wewenang Mahkamah untuk menilainya. Bahwa berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas berkenaan dengan persoalan inkonstitusionalitas norma Pasal 2 ayat (6) UU KUP adalah tidak beralasan menurut hukum. [3.23] Menimbang bahwa selanjutnya terhadap Pasal 32 ayat (2) UU KUP, sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.12] di atas, Pemohon pada pokoknya memohonkan agar Mahkamah memaknai Pasal 32 ayat (2) antara lain bahwa pengurus badan hukum, yang badan hukumnya telah dinyatakan pailit, tidak dibebani tanggung jawab untuk melunasi pajak terutang. Terhadap permohonan demikian, pertimbangan Mahkamah tidak dapat dilepaskan dari pertimbangan hukum yang telah diuraikan di atas. Dengan konstruksi bahwa seharusnya pajak telah dapat dibayarkan setelah laba/keuntungan diterima, bahkan sebelum laba dibagikan sebagai dividen kepada para pemegang saham, maka menurut Mahkamah tidak ada alasan hukum apapun yang dapat melepaskan tanggung jawab perusahaan akan pajak dimaksud. 194 Bahwa berangkat dari kondisi demikian, maka tidak terbayarkan atau tidak terlunasinya pajak merupakan kelalaian atau kesengajaan dari pengurus, sehingga menjadi tanggung jawab pengurus perusahaan. Tentu saja, secara teknis, ada beberapa faktor eksternal atau peristiwa force majeur yang dapat menggagalkan upaya pembayaran pajak, atau bisa juga terjadi human error berupa kesalahan hitung atas beban pajak yang seharusnya dibayarkan. Namun hal demikian menurut Mahkamah tidak lantas mengakibatkan norma Pasal 32 ayat (2) UU KUP menjadi bertentangan dengan UUD 1945. Bahwa adanya peristiwa di luar kemampuan manusia pada umumnya, yang mungkin menggagalkan upaya pemenuhan kewajiban perpajakan, merupakan kewenangan Dirjen Pajak dan badan peradilan pajak untuk menilainya. Bahkan dalam Pasal 32 ayat (2) UU a quo sudah diberikan pengecualian bahwa wakil wajib pajak tidak bertanggung jawab secara pribadi dan/atau secara tanggung renteng untuk melunasi utang pajak selama “dapat membuktikan dan meyakinkan Direktur Jenderal Pajak bahwa mereka dalam kedudukannya benar-benar tidak mungkin untuk dibebani tanggung jawab atas pajak yang terutang tersebut”; [3.24] Menimbang bahwa untuk menjawab konstitusionalitas norma Pasal 32 ayat (2) UU KUP yang membebankan tanggung jawab pelunasan pajak kepada pengurus, menurut Mahkamah norma a quo harus dibaca secara utuh dengan ketentuan Pasal 32 ayat (1) UU KUP yang mengatur: “Dalam menjalankan hak dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, Wajib Pajak diwakili dalam hal:
badan oleh pengurus;
badan yang dinyatakan pailit oleh kurator;
badan dalam pembubaran oleh orang atau badan yang ditugasi untuk melakukan pemberesan;
badan dalam likuidasi oleh likuidator;
suatu warisan yang belum terbagi oleh salah seorang ahli warisnya, pelaksana wasiatnya atau yang mengurus harta peninggalannya; atau
anak yang belum dewasa atau orang yang berada dalam pengampuan oleh wali atau pengampunya”. Bahwa ketentuan Pasal 32 ayat (1) UU a quo mengatur suatu badan hukum sebagai wajib pajak diwakili oleh: a) pengurus; b) kurator dalam hal badan dinyatakan pailit; c) orang/badan yang ditugaskan melakukan pemberesan dalam hal badan dibubarkan; atau d) likuidator dalam hal badan dilikuidasi. Dengan tetap merujuk pada konstruksi timbulnya pajak dan/atau utang pajak sebagaimana diuraikan di atas, menurut Mahkamah kelalaian atau kesengajaan yang 195 mengakibatkan tidak terbayarkannya pajak secara nalar hanya dapat dimintakan pertanggungjawaban kepada pengurus yang aktif mengurusi badan hukum ketika belum dinyatakan pailit, dibubarkan, atau dilikuidasi. Hal demikian karena pengurus- lah yang memutuskan apakah akan langsung membayar pajak ketika perusahaan memperoleh laba/keuntungan (atau pemasukan lain) atau menunda pembayarannya hingga berujung pada kegagalan membayar pajak. Dengan kata lain, tanggung jawab penyelesaian kewajiban pajak badan ada pada pengurus badan tersebut. Apabila berpijak pada ketentuan Pasal 32 ayat (1) UU a quo, maka penunjukan subjek hukum sebagai wakil adalah sangat tergantung pada subjek hukum utama yang akan diwakilinya. Dalam kasus a quo , terhadap badan yang telah dinyatakan pailit maka tanggung jawab pengurus berpindah kepada wakil badan yang dalam hal ini adalah kurator. Berdasarkan hal demikian, tanpa bermaksud menilai kasus konkret yang dialami Pemohon, Mahkamah berpendapat pemberesan utang-utang badan yang telah dinyatakan pailit terhadap pihak lain haruslah dilakukan oleh kurator bersama- sama dengan penyelesaian/pemberesan kewajiban-kewajiban lainnya. Adapun tanggung jawab yang harus ditanggung oleh pengurus badan sangat tergantung pada sejauh mana kerugian timbul akibat adanya unsur kelalaian atau kesengajaan dari pengurus pada saat masih aktif menjalankan kepengurusan badan yang bersangkutan. Dalam kaitannya dengan mekanisme penyelesaian kerugian yang bermula dari kelalaian atau kesengajaan pengurus, hal demikian bukan merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi; [3.25] Menimbang bahwa Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Menurut Mahkamah Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 berlaku kepada semua orang, dalam hal ini direksi suatu badan hukum mempunyai hak konstitusional untuk memperoleh pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum; dan begitu pula masyarakat serta semua pihak yang mempunyai hubungan (kerja) dengan badan hukum tertentu mempunyai hak konstitusional yang sama pula yaitu memeroleh pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. 196 Bahwa ditetapkannya pengurus sebagai wakil dari suatu wajib pajak berbentuk badan tentunya bertujuan untuk menjamin kepastian bahwa tindakan suatu badan hukum dapat dimintai pertanggungjawaban, setara dengan dijaminnya hak suatu badan hukum untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu demi kepentingan badan hukum dimaksud (yang notabene kepentingan demikian berujung pada kepentingan pengurus dan pemegang saham). Pengurus menjadi pihak utama yang dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan/tindakan suatu badan hukum karena memang dalam keseharian pengurus lah yang menjalankan atau mengoperasikan badan hukum. [3.26] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan hukum demikian, Mahkamah menilai pembebanan tanggung jawab suatu badan hukum (yang tidak dapat bertindak apa-apa tanpa bantuan manusia) kepada seorang atau sekelompok pengurus bukanlah hal yang bertentangan dengan UUD 1945. Demikian pula dalam hal kewajiban perpajakan perusahaan, dengan pertimbangan hukum yang sama Mahkamah berpendapat bahwa ketentuan yang membebankan penyelesaian kewajiban perpajakan suatu badan ( in casu utang pajak perusahaan pailit) kepada pengurus badan yang diwakili oleh kurator adalah bersesuaian dengan UUD 1945. Bahwa persesuaian norma Pasal 32 ayat (2) UU KUP dengan norma UUD 1945 terutama dalam hal memberikan perlindungan dan kepastian hukum yang adil kepada semua pihak yang berinteraksi dengan badan hukum, di mana Pemohon menjadi pengurus badan hukum, sebagaimana diatur Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Menurut Mahkamah, salah satu wujud hak pihak lain yang berinteraksi dengan badan hukum adalah hak Negara untuk menerima pembayaran pajak dari suatu badan hukum tertentu melalui pihak atau orang yang bertindak sebagai pengurus badan hukum tersebut; Bahwa berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas berkenaan dengan persoalan inkonstitusionalitas norma Pasal 32 ayat (2) UU KUP adalah tidak beralasan menurut hukum. [3.27] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, dalil Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya. 197 4. KONKLUSI Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan: [4.1] Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo ; [4.2] Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo ; [4.3] Pokok Permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 216, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6554), dan Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076).
AMAR PUTUSAN Mengadili: Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya. Demikian diputus dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi, yaitu Anwar Usman selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto, Daniel Yusmic P. Foekh, Arief Hidayat, Suhartoyo, Saldi Isra, Wahiduddin Adams, Enny Nurbaningsih, dan Manahan M.P. Sitompul, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Kamis , tanggal dua belas, bulan November , tahun dua ribu dua puluh , yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Kamis , tanggal empat belas, bulan Januari , tahun dua ribu dua puluh satu , selesai diucapkan pukul 10.50 WIB , oleh sembilan Hakim Konstitusi, yaitu Anwar Usman selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto, Daniel Yusmic P. Foekh, Arief Hidayat, Suhartoyo, Saldi Isra, Wahiduddin Adams, Enny Nurbaningsih, dan 198 Manahan M.P. Sitompul, masing-masing sebagai Anggota, dengan dibantu oleh Mardian Wibowo sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh Pemohon atau kuasanya, Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili, dan Presiden atau yang mewakili. KETUA, ttd. Anwar Usman ANGGOTA-ANGGOTA, ttd. Aswanto ttd. Daniel Yusmic P. Foekh ttd. Arief Hidayat ttd. Suhartoyo ttd. Saldi Isra ttd. Wahiduddin Adams ttd. Enny Nurbaningsih ttd. Manahan M.P. Sitompul PANITERA PENGGANTI, ttd. Mardian Wibowo