Uji materiil terhadap PP 33 tahun 2014 ttg jenis dan tarif atas PNBP yg berasal dari penggunaan kawasan hutan untuk pembangunan di luar kegiatan kehut ...
Relevan terhadap 6 lainnya
Ayat (1) : Tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak ditetapkan dengan memperhatikan dampak pengenaan terhadap masyarakat dan kegiatan usahanya, biaya penyelenggaraan kegiatan Pemerintah sehubungan dengan jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang bersangkutan, dan aspek keadilan dalam pengenaan beban kepada masyarakat. Ayat (2): Tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah yang menetapkan jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang bersangkutan. Penjelasan Pasal 3 Ayat (1) : Tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak perlu ditetapkan dengan pertimbangan secermat mungkin karena hal ini membebani masyarakat. Pertimbangan dampak pengenaan terhadap masyarakat dan kegiatan usahanya, dan beban biaya yang ditanggung pemerintah atas penyelenggaraan kegiatan pelayanan, dan pengaturan oleh pemerintah yang berkaitan langsung dengan jenis penerimaan negara bukan pajak yang bersangkutan serta aspek keadilan yang dimaksudkan agar beban yang wajib ditanggung masyarakat adalah wajar, memberikan kemungkinan perolehan keuntungan atau tidak menghambat kegiatan usaha yang dilakukan masyarakat. Bahwa mempertimbangkan kembali esensi ketentuan Pasal 23A UUD RI dan dihubungkan dengan esensi ketentuan Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) serta penjelasan ketentuan Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 1997 maka dalam merumuskan dan mencantumkan (serta memberlakukan) norma tentang kewajiban pengenaan dan pembayaran PNBP atas penggunaan seluruh area kawasan hutan Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 110 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 111 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 yang dipinjam-pakaikan dan seluruh area perjanjian pinjam pakai kawasan hutan khususnya dalam rangka kegiatan pertambangan sepatutnya memperhatikan norma-norma sebagai berikut:
PNBP dalam rangka kegiatan pertambangan sebagai bentuk pungutan lain yang bersifat memaksa demi kepentingan negara harus dalam bentuk norma Undang-Undang dan bukan dalam bentuk norma Peraturan Pemerintah;
Walaupun dalam ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan ketentuan Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 Tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (selanjutnya disebut “UU Nomor 20 Tahun 1997”) mengatur tentang adanya peluang pengaturan dalam bentuk Peraturan Pemerintah namun berpedoman pada ketentuan Pasal 5 huruf c dan huruf d (dan penjelasan Pasal 5 huruf c dan huruf d) dan ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf g (dan penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf g) UU Nomor 12 Tahun 2011 maka pengaturan tentang pungutan PNBP dalam bentuk Peraturan Pemerintah, secara muatan materi dan hierarki, adalah bertentangan dan tidak didasarkan pada ketaatan asas kesesuaian jenis, hierarki dan materi muatan serta asas dapat dilaksanakan termasuk halnya juga bertentangan asas keadilan. Hal ini didasarkan pada argumentasi-argumentasi sebagai berikut :
1). Menurut asas kesesuaian jenis dan hierarki serta materi muatan yang diatur maka berpedoman pada amanat yang diatur secara tegas dalam ketentuan Pasal 23A UUD RI 1945 dijelaskan bahwa pengaturan PNBP yang dikategorikan sebagai jenis pungutan yang bersifat memaksa diatur dalam bentuk Undang-Undang;
2). Dalam ketentuan Pasal 3 UU Nomor 12 Tahun 2011 menjelaskan secara tegas bahwa dalam penyusunan dan pembentukan Perturan Perundang-Undangan harus berpedoman pada UUD RI 1945 sebagai hukum dasar pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Oleh karena itu, ditinjau dari konsistensi asas hierarki dan materi muatan serta jenisnya, maka walaupun dalam Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 111 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 112 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan ketentuan Pasal 3 ayat (2) UU Nomor 20 Tahun 1997 diberikan peluang pengaturan PNBP dalam bentuk Peraturan Pemerintah maka hal tersebut secara yuridis normatif juga bertentangan dengan norma dasar dalam ketentuan Pasal 23A UUD RI 1945 dan ketentuan Pasal 3 UU Nomor 12 Tahun 2011;
3). Apabila dicermati kembali esensi dalam ketentuan Pasal 45 ayat (1) dan ayat (3) UU Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan (selanjutnya disebut dengan “UU Nomor 41 Tahun 1999”) – sebagai ketentuan khusus ( lex specialis ) dan sektoral yang mengatur secara khusus tentang bidang kehutanan – maka hanya mengatur tentang dua hal pokok, yaitu 1). Adanya kewajiban untuk melakukan reklamasi dan rehabilitasi kepada pemegang Ijin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (selanjutnya disebut “IPPKH”) atas timbulnya kerusakan hutan dari adanya penggunaan kawasan hutan dan 2). Adanya kewajiban pembayaran dana jaminan reklamasi dan rehabilitasi. Dengan demikian, UU Nomor 41 Tahun 1999 secara tegas tidak pernah mengatur dan menyebutkan tentang adanya pengenaan PNBP sebagai kewajiban yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha bidang pertambangan pemegang IPPKH atas timbulnya kerusakan hutan dari adanya penggunaan kawasan hutan. Sebaliknya, UU Nomor 41 Tahun 1999 hanya mengatur dan merekognisi adanya kewajiban yang limitatif bagi pelaku usaha bidang pertambangan pemegang IPPKH yaitu berupa melakukan reklamasi dan rehabilitasi serta membayar dana jaminan reklamasi dan rehabilitasi. oleh karena itu, berdasarkan argumentasi tersebut maka pengenaan dan pengaturan norma kewajiban pembayaran PNBP dalam bentuk Peraturan Pemerintah, telah bertentangan secara filosofis dan yuridis dari segi materi muatan dan hierarkinya.
4). Dalam ketentuan Pasal 45 ayat (1) dan ayat (3) UU Nomor 41 Tahun 1999 telah dijelaskan secara tegas bahwa Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 112 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 113 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 batasan tolok ukur pengenaan kewajiban melakukan reklamasi dan rehabilitasi hanya terbatas pada kawasan hutan yang secara nyata telah timbul kerusakan (limitatif) dan bukan terhadap seluruh kawasan hutan yang dipinjam-pakaikan. Sebaliknya, pengenaan kewajiban PNBP dalam PP RI Nomor 33 Tahun 2014 – yang secara filosofis dan yuridis telah bertentangan dengan asas kesesuaian jenis, hierarki dan materi muatan – tidak didasarkan pada batasan kawasan hutan yang secara nyata telah timbul kerusakan secara limitatif melainkan dikenakan terhadap seluruh kawasan hutan yang dipinjam- pakaikan. Adanya pengenaan dan pengaturan norma kewajiban pembayaran PNBP – yang secara filosofis dan yuridis telah bertentangan dengan asas kesesuaian jenis, hierarki dan materi muatan – terhadap seluruh area kawasan hutan yang dipinjam-pakaikan maka secara sosiologis pasti menimbulkan dampak berupa adanya beban secara ekonoms yang harus ditanggung secara tidak proporsional oleh para pelaku usaha bidang pertambangan pemegang IPPKH yang menggunakan pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan usaha pertambangan (non kegiatan usaha kehutanan). Hal ini tentunya menimbulkan adanya ketidakadilan bagi pelaku usaha bidang pertambangan pemegang IPPKH tersebut dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Adanya dampak berupa tambahan beban secara ekonomis terhadap adanya pengenaan pungutan PNBP yang merupakan pungutan imajiner dan liar serta multi pungutan (dalam hal mana sebidang tanah atau obyek yang sama tidak boleh dikenakan pungutan lebih dari satu pungutan/berkali-kali) – yang secara hierarki tidak pernah diatur dan tidak pernah direkognisi serta bertentangan dengan ketentuan Pasal 45 Ayat (1) dan Ayat (3) UU Nomor 41 Tahun 1999 – bagi para pelaku usaha bidang pertambangan pemegang IPPKH tentunya mengakibatkan bahwa norma yang Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 113 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 114 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 mengatur tentang pengenaan PNBP dalam bentuk Peraturan Pemerintah – in casu ketentuan Pasal 5 ayat (2) huruf b angka 1, Pasal 19 ayat (1) huruf d, Pasal 22 huruf e dan huruf r angka 4 dan Pasal 47 ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf c Permen LHK RI Nomor 50 Tahun 2016 – juga bertentangan dengan asas dapat dilaksanakan dan asas keadilan ; Dasar argumentasi atas Multi Pungutan dijabarkan sebagai berikut : MULTI PUNGUTAN TERHADAP SATU OBJEK (LAHAN) YANG SAMA UNTUK INDUSTRI PERTAMBANGAN PEMEGANG IPPKH No. Jenis Pungutan Dibayar ke Instansi M etode dan Tarif Perhitungan 1 Pajak : PBB Pem erintah Daerah Tahap Eksplorasi On Shore: Dibayar setiap tahun berdasarkan luas lahan dan luas bangunan dikalikan dengan NJOP dan tarif tertentu yang ditetapkan oleh instansi pajak. Tubuh Bum i : Dibayar setiap tahun berdasarkan luas khusus areal potensi/cadangan dikalikan NJOP dan faktor/tarif tertentu yang ditetapkan oleh instansi pajak. Tahap Operasi Produksi On Shore : Dibayar setiap tahun berdasarkan luas lahan dan bangunan dikalikan dengan NJOP dan tarif tertentu yang ditetapkan oleh instansi pajak. Tubuh Bum i : Dibayar setiap tahun berdasarkan hasil produksi tahun sebelum nya dikalikan harga kom oditas setelah dikurangi biaya-biaya sesuai peraturan pajak, kem udian dikalikan faktor kapitalisasi dan faktor/tarif tertentu yang ditetapkan oleh instansi pajak. 2 Pungutan : Dead Rent / Iuran tetap Kem enterian ESDM M etode : Dibayar setiap tahun berdasarkan luas lahan (Ha) dikalikan tariff sesuai tahap kegiatan Tarif : USD 2 atau USD 4/Ha setiap tahun sesuai tahap kegiatan (Eksplorasi atau Operasi Produksi) 3 Pungutan : PNBP-PKH Kem enterian LHK M etode : Dibayar setiap tahun berdasarkan luas lahan sesuai status hutan dan kriteria penggunaan lahan. Tarif A. Hutan Produksi : Rp. 1.750.000 dan Rp. 3.500.000/Ha/Tahun M engikuti kriteria penggunaan lahan Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 114 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 115 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 B. Hutan Lindung : Rp. 2.000.000 dan Rp. 4.000.000/Ha/Tahun M engikuti kriteria penggunaan lahan Kriteria penggunaan lahan: L1 : Areal terganggu untuk bukaan tam bang aktif, sarana prasarana penunjang yang bersifat perm anen dan areal pengem bangan/ penyangga L2 : Areal terganggu yang bersifat tem porer yang secara teknis dapat dilakukan reklam asi L3 : Areal terganggu yang m engalam i kerusakan perm anen yang tidak dapat dilakukan reklam asi secara optim al Form ula perhitungan: L1 : [1 x Rp. 3.500.000 x luas (Ha) areal terganggu untuk tam bang aktif dan sarana prasarana] + [1 x Rp. 1.750.000 x luas (Ha) areal belum digunakan/areal penyangga] L2 : 4 x Rp. 3.500.000 x luas (Ha) areal terganggu bersifat tem porer L3 : 7 x Rp. 3.500.000 x luas (Ha) areal terganggu bersifat perm anen + Kewajiban PNBP PKH = L1 + L2 + L3 2.5). Perumusan dan pemberlakuan norma tentang pengenaan PNBP atas penggunaan seluruh area kawasan hutan yang dipinjam-pakaikan dan seluruh area perjanjian pinjam pakai kawasan hutan khususnya dalam rangka kegiatan pertambangan, secara sosiologis, tidak mencerminkan dan juga bertentangan dengan asas dapat dilaksanakan dan asas keadilan sebagaimana diatur dalam Ketentuan Pasal 5 Huruf c dan Huruf d serta Ketentuan Pasal 6 Ayat (1) Huruf g UU Nomor 12 Tahun 2011. Hal ini dapat dilihat dari adanya reaksi dan tanggapan secara sosiologis dari beberapa pelaku usaha bidang pertambangan melalui Pemohon I dan Pemohon II yang sungguh sangat berkeberatan dengan dikenakannya kewajiban pembayaran PNBP atas penggunaan kawasan hutan yang dipinjam pakai untuk kegiatan pertambangan (non kegiatan kehutanan). Pada kenyataannya, konsekuensi dari adanya pengenaan pungutan PNBP yang merupakan pungutan imajiner dan liar serta multi pungutan – yang Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 115 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 116 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 secara hierarki tidak pernah diatur dan tidak pernah direkognisi serta bertentangan dengan ketentuan Pasal 45 Ayat (1) dan Ayat (3) UU Nomor 41 Tahun 1999 – telah memberikan beban ekonomis yang sangat luar biasa yang harus ditanggung oleh para pelaku usaha bidang pertambangan pemegang IPPKH berupa munculnya multi pungutan dan perlakuan diskriminatif dari adanya pengenaan PNBP tersebut. Adanya beban multi pungutan dan perlakuan diskriminatif tersebut memberikan dampak kerugian yang sangat signifikan bagi para pelaku usaha bidang pertambangan pemegang IPPKH. Hal ini sebagaimana pernah dikemukakan oleh Para Pemohon melalui korespondensi tertulis yang ditujukan kepada Para Termohon dalam rangka pembentukan dan penyusunan Peraturan Pemerintah Tentang PNBP (Bukti P-10A, Bukti P-10B, Bukti P-10C, Bukti P-10D, Bukti P-10E, Bukti P-10F dan Bukti P-10G). Dampak kerugian dari adanya multi pungutan tersebut dapat dilihat dari adanya data yang menjelaskan bahwa sebagian pelaku usaha bidang pertambangan pemegang IPPKH telah melakukan pengembalian kawasan hutan yang dipinjam-pakaikan kepada pihak yang berwenang – in casu kepada Termohon II dan perangkat kelembagaannya – sedangkan sebagian lain dari para pelaku usaha bidang pertambangan pemegang IPPKH juga merasakan kecemasan terhadap adanya potensi berhentinya dan/atau terhambatnya keberlanjutan/ kelangsungan kegiatan usaha sebagai akibat dari besarnya beban finansial yang harus ditanggung dan dibayarkan secara rutin per tahun – termasuk halnya beban atas pungutan imajiner dan liar serta multi pungutan yang bernama PNBP Penggunaan Kawasan Hutan (Bukti P–11A, Bukti P–11B, Bukti P–11C dan Bukti P–11D) . Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 116 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 117 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 Dalam rangka mendukung argumentasi tentang adanya beban multi pungutan dan perlakuan diskriminatif tersebut maka berikut kami berikan uraian ilustrasi dan penjelasannya dalam bentuk kolom matriks dibawah ini : Contoh Ilustrasi Perhitungan PNBP: PT. XYC merupakan Pengguna kawasan hutan produksi untuk bukaan tambang aktif dan sarana prasarana penunjangnya serta area pengembangan dan atau area penyangga :
Luas wilayah perjanjian = 50.000 ha yang operasional tambangnya dari tahun 2008 - 2036, Luas izin pinjam pakai kawasan hutan pada kawasan hutan produksi tahun 2008 - 2011 teridentifikasi = 12.500 ha, dengan rincian:
. Area yang digunakan direncanakan pada tahun pertama adalah sebagai berikut: a) Bukaan tambang aktif, (L1) = 1.400 ha b) Sarana prasarana (jalan, perumahan, sarana pengolahan), (L1) = 800 ha c) Penimbunan material/waste dump, (L2) = 2.400 ha d) Areal Pengembangan/Penyangga, (L1) = 7.900 ha 2) Perhitungan PNBP pada menjelang akhir tambang, dimana area penggunaan kawasan hutan yang mengalami kerusakan permanen atau area L3 yaitu seluas 1400 ha, maka formula PNBP adalah: No. Kriteria Luas (Ha) Tarif (Rp) Jumlah L1 1 Bukaan Tambang Aktif 0 Rp. 3.500.000 Rp. 0 2 Sarana Prasarana 800 Ha Rp. 3.500.000 Rp. 2.800.000.000 3 Areal Pengembangan/Penyangga 7900 Ha Rp. 1.750.000 Rp. 13.825.000.000 Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 117 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 118 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 MATRIK : TABEL PERBANDINGAN TENTANG JENIS KEWAJIBAN YANG DIBEBANKAN KEPADA INDUSTRI KEHUTANAN DAN INDUSTRI PERTAMBANGAN No. Bidang Usaha Peraturan Jenis Kewajiban (Utam a) M etode Perhitungan Ulasan 1 Perusahaan Kehutanan (Pem egang Izin Usaha Pem anfaatan Hutan/IUPH) Undang-Undang Nom or 41 Tahun 1999 Pasal 35 a. Iuran izin usaha b. Provisi Sum ber Daya Hutan c. Dana Reboisasi d. Dana Jam inan Kinerja Luas (Ha) x Tarif dilakukan hanya sekali pada saat izin diberikan Volum e kayu (m 3 ) x Tarif dalam rupiah sesuai realisasi penebangan pohon Volum e kayu (m 3 ) x Tarif dalam US Dollar sesuai realisasi penebangan pohon Jam inan usaha pem anfaatan hutan Pem bayaran tidak berulang Berlaku sam a dengan perusahaan pertambangan Berlaku sam a dengan perusahaan pertambangan Jam inan ini dapat dikem balikan (bukan biaya) TOTAL L 1 Rp. 16.625.000.000 L2 1 Penimbunan Materi/Waste Dump 2400 Ha Rp.3.500.000 Rp. 33.600.000.000 TOTAL L 2 Rp. 33.600.000.000 L3 1 Bukaan tambang yang tidak dapat direklamasi 1400 Ha Rp.3.500.000 Rp. 34.300.000.000 TOTAL PNBP ( L 1, L 2 DAN L3) Rp. 84.525.000.000 Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 118 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 119 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 2 Perusahaan Pertam bangan (Pem egang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan/IPPKH) I.Undang- Undang Nom or 41 Tahun 1999 Pasal 35 dan Peraturan M enteri LHK Nom or P.50/Setjen /Kum .1/6/2016
Ayat 1: Materi muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan asas :
keadilan Penjelasan Pasal 6 Huruf g: Yang dimaksud dengan “asas keadilan” adalah bahwa setiap materi muatan Peraturan Perundang-Undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara. “Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan hukum dasar dalam Peraturan Perundang-Undangan.” Bahwa adapun sifat memaksa dari kewajiban pembayaran dan pengenaan PNBP atas penggunaan seluruh area kawasan hutan yang dipinjam-pakaikan dan seluruh area perjanjian pinjam pakai kawasan hutan khususnya dalam rangka kegiatan pertambangan tersebut dapat dilihat dari hal-hal sebagai berikut: Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 98 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 99 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 1) PNBP yang dikenakan atas seluruh area kawasan hutan yang dipinjam pakai dan seluruh area perjanjian pinjam pakai kawasan hutan yang masih berlaku yang terdiri : L 1, L 2, L3 yang tidak dibayarkan maka dapat dikategorikan sebagai piutang negara macet oleh Termohon II sehingga tetap dapat dilakukan penagihan secara memaksa oleh Termohon II – melalui tata cara yang diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.27/Menlhk/Setjen/Keu- 1/2/2016 Tentang Pedoman Tata Cara Pengurusan Piutang Negara Dari Penerimaan Negara Bukan Pajak Lingkup Kementerian Lingkungan Hidup Dan Kehutanan (selanjutnya disebut “Permen LHK RI Nomor 27 Tahun 2016”); – ( vide Bukti P–8);
Termohon I melalui Termohon II in casu satuan kerja di lingkup Kementerian Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia tetap dapat melakukan penagihan dan peringatan tertulis (somasi) sebanyak tiga kali berturut-turut terhadap PNBP yang dikenakan atas penggunaan seluruh area kawasan hutan yang dipinjam-pakaikan dan seluruh area perjanjian pinjam pakai kawasan hutan yang masih berlaku yang terdiri : L 1, L 2, L3 yang tidak dibayarkan ( Vide ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan ayat (3) Permen LHK RI Nomor 27 Tahun 2016) ; ( Vide Bukti–8);
Apabila setelah dilakukan penagihan dan peringatan tertulis (somasi) sebanyak tiga kali terhadap PNBP yang dikenakan atas penggunaan seluruh area kawasan hutan yang dipinjampakaikan dan seluruh area perjanjian pinjam pakai kawasan hutan yang masih berlaku yang terdiri : L 1, L 2, L 3 yang tidak dibayarkan (yang merupakan piutang negara macet) tersebut, tetap dilakukan penagihan secara memaksa oleh Panitia Urusan Piutang Negara (“PUPN”) melalui Kantor Pelayanan Kekayaan Negara Dan Lelang (“KPKNL”) – setelah adanya penyerahan pengurusan piutang negara macet oleh Satuan Kerja di lingkup Kementerian Kehutanan Republik Indonesia kepada pihak PUPN melalui KPKNL setempat – dengan cara penerbitan Surat Paksa ( vide ketentuan Pasal 138 dan Pasal 139 ayat (1) dan ayat (2) Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 99 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 100 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 128/PMK.06/2007 tentang Pengurusan Piutang Negara sebagaimana yang telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 88/PMK.06/2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 128/PMK.06/2007 tentang Pengurusan Piutang Negara dan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 163/PMK.06/2011 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 128/PMK.06/2007 tentang Pengurusan Piutang Negara Terakhir diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 21/PMK.06/2016 Tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan MenterI Keuangan Nomor 128/PMK.06/2007 Tentang Pengurusan Piutang Negara; ( Vide Bukti-P9) Bahwa selanjutnya, pengenaan dan pemberlakuan norma tentang pengenaan PNBP atas penggunaan seluruh area kawasan hutan yang dipinjam-pakaikan dan seluruh area perjanjian pinjam pakai kawasan hutan khususnya dalam rangka kegiatan pertambangan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 5 ayat (2) huruf b angka 1, Pasal 19 ayat (1) huruf d, Pasal 22 huruf e dan huruf r angka 4 dan Pasal 47 ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf c juga telah bertentangan dengan ketentuan, Pasal 5 huruf c dan huruf d serta ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf g UU Nomor 12 Tahun 2011. Hal ini didasarkan pada argumentasi-argumentasi sebagai berikut:
Berpedoman pada ketentuan Pasal 23A UUD RI 1945 maka jenis pungutan bukan pajak yang bersifat memaksa in casu PNBP, secara muatan dan hierarki, harus diatur dalam bentuk Undang-Undang (UU);
Walaupun dalam ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan ketentuan Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 Tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (selanjutnya disebut “UU Nomor 20 Tahun 1997”) mengatur tentang adanya peluang pengaturan dalam bentuk Peraturan Pemerintah namun berpedoman pada ketentuan Pasal 5 huruf c dan huruf d (dan penjelasan Pasal 5 Huruf C Dan Huruf D) Dan Ketentuan Pasal Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 100 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 101 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 6 ayat (1) huruf g (dan penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf g) UU Nomor 12 Tahun 2011 Maka Pengaturan Tentang Pungutan PNBP dalam bentuk Peraturan Pemerintah, secara muatan materi dan hierarki, adalah bertentangan dan tidak didasarkan pada ketaatan asas kesesuaian jenis, hierarki dan materi muatan serta asas dapat dilaksanakan termasuk halnya juga bertentangan asas keadilan. Hal ini didasarkan pada argumentasi-argumentasi sebagai berikut :
1). Menurut asas kesesuaian jenis dan hierarki serta materi muatan yang diatur maka berpedoman pada amanat yang diatur secara tegas dalam ketentuan Pasal 23A UUD RI 1945 dijelaskan bahwa pengaturan PNBP yang dikategorikan sebagai jenis pungutan yang bersifat memaksa diatur dalam bentuk Undang-Undang ;
2). Dalam ketentuan Pasal 3 UU Nomor 12 Tahun 2011 menjelaskan secara tegas bahwa dalam penyusunan dan pembentukan Peraturan Perundang-Undangan harus berpedoman pada UUD RI 1945 sebagai hukum dasar pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Oleh karena itu, ditinjau dari konsistensi asas hierarki dan materi muatan serta jenisnya, maka walaupun dalam ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan ketentuan Pasal 3 ayat (2) UU Nomor 20 Tahun 1997 diberikan peluang pengaturan PNBP dalam bentuk Peraturan Pemerintah maka hal tersebut secara yuridis normatif juga bertentangan dengan norma dasar dalam ketentuan Pasal 23A UUD RI 1945 dan ketentuan Pasal 3 UU Nomor 12 Tahun 2011;
3). Apabila dicermati kembali esensi dalam ketentuan Pasal 45 ayat (1) dan ayat (3) UU Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan (selanjutnya disebut dengan “UU Nomor 41 Tahun 1999”) – sebagai ketentuan khusus ( lex specialis ) dan sektoral yang mengatur secara khusus tentang bidang kehutanan – maka hanya mengatur tentang dua hal pokok, yaitu 1). Adanya kewajiban untuk melakukan reklamasi dan rehabilitasi kepada pemegang Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 101 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 102 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 Ijin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (selanjutnya disebut “IPPKH”) atas timbulnya kerusakan hutan dari adanya penggunaan kawasan hutan dan 2). Adanya kewajiban pembayaran Dana Jaminan Reklamasi Dan Rehabilitasi. Dengan demikian, UU Nomor 41 Tahun 1999 secara tegas tidak pernah mengatur dan menyebutkan tentang adanya pengenaan PNBP sebagai kewajiban yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha bidang pertambangan pemegang IPPKH atas timbulnya kerusakan hutan dari adanya penggunaan kawasan hutan. Sebaliknya, UU Nomor 41 Tahun 1999 hanya mengatur dan merekognisi adanya kewajiban yang limitatif bagi pelaku usaha bidang pertambangan pemegang IPPKH yaitu berupa melakukan reklamasi dan rehabilitasi serta membayar Dana Jaminan Reklamasi Dan Rehabilitasi. Oleh karena itu, berdasarkan argumentasi tersebut maka pengenaan dan pengaturan norma kewajiban pembayaran PNBP dalam bentuk Peraturan Pemerintah, telah bertentangan secara filosofis dan yuridis dari segi materi muatan dan hierarkinya.
4). Dalam ketentuan Pasal 45 ayat (1) dan ayat (3) UU Nomor 41 Tahun 1999 telah dijelaskan secara tegas bahwa batasan tolok ukur pengenaan kewajiban melakukan reklamasi dan rehabilitasi hanya terbatas pada kawasan hutan yang secara nyata telah timbul kerusakan (limitatif) dan bukan terhadap seluruh kawasan hutan yang dipinjam-pakaikan. Sebaliknya, pengenaan kewajiban PNBP dalam PP RI Nomor 33 Tahun 2014 – yang secara filosofis dan yuridis telah bertentangan dengan asas kesesuaian jenis, hierarki dan materi muatan – tidak didasarkan pada batasan kawasan hutan yang secara nyata telah timbul kerusakan secara limitatif melainkan dikenakan terhadap seluruh kawasan hutan yang dipinjam- pakaikan. Adanya pengenaan dan pengaturan norma kewajiban pembayaran PNBP – yang secara filosofis dan yuridis telah bertentangan dengan asas kesesuaian jenis, Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 102 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 103 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 hierarki dan materi muatan – terhadap seluruh area kawasan hutan yang dipinjam-pakaikan maka secara sosiologis pasti menimbulkan dampak berupa adanya beban secara ekonomis yang harus ditanggung secara tidak proporsional oleh para pelaku usaha bidang pertambangan pemegang IPPKH yang menggunakan pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan usaha pertambangan (non kegiatan usaha kehutanan). Hal ini tentunya menimbulkan adanya ketidakadilan bagi pelaku usaha bidang pertambangan pemegang IPPKH tersebut dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Adanya dampak berupa tambahan beban secara ekonomis terhadap adanya pengenaan pungutan PNBP yang merupakan pungutan imajiner dan liar serta multi pungutan (dalam hal mana sebidang tanah atau obyek yang sama tidak boleh dikenakan pungutan lebih dari satu pungutan/berkali-kali) – yang secara hierarki tidak pernah diatur dan tidak pernah direkognisi serta bertentangan dengan ketentuan Pasal 45 ayat (1) dan ayat (3) UU Nomor 41 Tahun 1999 – bagi para pelaku usaha bidang pertambangan pemegang IPPKH tentunya mengakibatkan bahwa norma yang mengatur tentang pengenaan PNBP dalam bentuk Peraturan Pemerintah – in casu ketentuan Pasal 5 ayat (2) huruf b angka 1, Pasal 19 ayat (1) huruf d, Pasal 22 huruf e dan huruf r angka 4 dan Pasal 47 ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf c Permen LHK RI Nomor 50 Tahun 2016 – juga bertentangan dengan asas dapat dilaksanakan dan asas keadilan; Dasar argumentasi atas Multi Pungutan dijabarkan sebagai berikut: MULTI PUNGUTAN TERHADAP SATU OBJEK (LAHAN) YANG SAMA UNTUK INDUSTRI PERTAMBANGAN PEMEGANG IPPKH Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 103 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 104 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 No. Jenis Pungutan Dibayar ke Instansi M etode dan Tarif Perhitungan 1 Pajak : PBB Pem erintah Daerah Tahap Eksplorasi On Shore: Dibayar setiap tahun berdasarkan luas lahan dan luas bangunan dikalikan dengan NJOP dan tarif tertentu yang ditetapkan oleh instansi pajak. Tubuh Bum i : Dibayar setiap tahun berdasarkan luas khusus areal potensi/cadangan dikalikan NJOP dan faktor/tarif tertentu yang ditetapkan oleh instansi pajak. Tahap Operasi Produksi On Shore : Dibayar setiap tahun berdasarkan luas lahan dan bangunan dikalikan dengan NJOP dan tarif tertentu yang ditetapkan oleh instansi pajak. Tubuh Bum i : Dibayar setiap tahun berdasarkan hasil produksi tahun sebelum nya dikalikan harga kom oditas setelah dikurangi biaya-biaya sesuai peraturan pajak, kem udian dikalikan faktor kapitalisasi dan faktor/tarif tertentu yang ditetapkan oleh instansi pajak. 2 Pungutan : Dead Rent / Iuran tetap Kem enterian ESDM M etode : Dibayar setiap tahun berdasarkan luas lahan (Ha) dikalikan tariff sesuai tahap kegiatan Tarif : USD 2 atau USD 4/Ha setiap tahun sesuai tahap kegiatan (Eksplorasi atau Operasi Produksi) 3 Pungutan : PNBP-PKH Kem enterian LHK M etode : Dibayar setiap tahun berdasarkan luas lahan sesuai status hutan dan kriteria penggunaan lahan. Tarif A. Hutan Produksi : Rp. 1.750.000 dan Rp. 3.500.000/Ha/Tahun M engikuti kriteria penggunaan lahan B. Hutan Lindung : Rp. 2.000.000 dan Rp. 4.000.000/Ha/Tahun M engikuti kriteria penggunaan lahan Kriteria penggunaan lahan: L1 : Areal terganggu untuk bukaan tam bang aktif, sarana prasarana penunjang yang bersifat perm anen dan areal pengem bangan/ penyangga L2 : Areal terganggu yang bersifat tem porer yang secara teknis dapat dilakukan reklam asi L3 : Areal terganggu yang m engalam i kerusakan perm anen yang tidak dapat dilakukan reklam asi secara optim al Form ula perhitungan: L1 : [1 x Rp. 3.500.000 x luas (Ha) areal terganggu untuk tam bang aktif dan sarana prasarana] + [1 x Rp. 1.750.000 x luas (Ha) areal belum digunakan/areal penyangga] L2 : Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 104 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 105 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 4 x Rp. 3.500.000 x luas (Ha) areal terganggu bersifat tem porer L3 : 7 x Rp. 3.500.000 x luas (Ha) areal terganggu bersifat perm anen + Kewajiban PNBP PKH = L1 + L2 + L3 2.5). Perumusan dan pemberlakuan norma tentang pengenaan PNBP atas penggunaan seluruh area kawasan hutan yang dipinjam-pakaikan dan seluruh area perjanjian pinjam pakai kawasan hutan khususnya dalam rangka kegiatan pertambangan, secara sosiologis, tidak mencerminkan dan juga bertentangan dengan asas dapat dilaksanakan dan asas keadilan sebagaimana diatur dalam Ketentuan Pasal 5 Huruf c dan Huruf d serta Ketentuan Pasal 6 Ayat (1) Huruf g UU Nomor 12 Tahun 2011. Hal ini dapat dilihat dari adanya reaksi dan tanggapan secara sosiologis dari beberapa pelaku usaha bidang pertambangan melalui Pemohon I dan Pemohon II yang sungguh sangat berkeberatan dengan dikenakannya kewajiban pembayaran PNBP atas penggunaan kawasan hutan yang dipinjam pakai untuk kegiatan pertambangan (non kegiatan kehutanan). Pada kenyataannya, konsekuensi dari adanya pengenaan pungutan PNBP yang merupakan pungutan imajiner dan liar serta multi pungutan – yang secara hierarki tidak pernah diatur dan tidak pernah direkognisi serta bertentangan dengan ketentuan Pasal 45 ayat (1) dan ayat (3) UU Nomor 41 Tahun 1999 – telah memberikan beban ekonomis yang sangat luar biasa yang harus ditanggung oleh para pelaku usaha bidang pertambangan pemegang IPPKH berupa munculnya multi pungutan dan perlakuan diskriminatif dari adanya pengenaan PNBP tersebut. Adanya beban multi pungutan dan perlakuan diskriminatif tersebut memberikan dampak kerugian yang sangat signifikan bagi para pelaku usaha bidang pertambangan pemegang IPPKH. Hal ini Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 105 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 106 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 sebagaimana pernah dikemukakan oleh para pemohon melalui korespondensi tertulis yang ditujukan kepada Para Termohon dalam rangka pembentukan dan penyusunan Peraturan Pemerintah tentang PNBP (Bukti P-10A, Bukti P-10B, Bukti P-10C, Bukti P-10D, Bukti P-10E, Bukti P-10F dan Bukti P-10G). Dampak kerugian dari adanya multi pungutan tersebut dapat dilihat dari adanya data yang menjelaskan bahwa sebagian pelaku usaha bidang pertambangan pemegang IPPKH telah melakukan pengembalian kawasan hutan yang dipinjam-pakaikan kepada pihak yang berwenang – in casu kepada Termohon II dan perangkat kelembagaannya – sedangkan sebagian lain dari para pelaku usaha bidang pertambangan pemegang IPPKH juga merasakan kecemasan terhadap adanya potensi berhentinya dan/atau terhambatnya keberlanjutan/ kelangsungan kegiatan usaha sebagai akibat dari besarnya beban finansial yang harus ditanggung dan dibayarkan secara rutin per tahun – termasuk halnya beban atas pungutan imajiner dan liar serta multi pungutan yang bernama PNBP penggunaan kawasan hutan (Bukti P–11A, Bukti P–11B, Bukti P–11C dan Bukti P–11D) . Dalam rangka mendukung argumentasi tentang adanya beban multi pungutan dan perlakuan diskriminatif tersebut maka berikut kami berikan uraian ilustrasi dan penjelasannya dalam bentuk kolom matriks dibawah ini: Contoh Ilustrasi Perhitungan PNBP: PT. XYC merupakan Pengguna kawasan hutan produksi untuk bukaan tambang aktif dan sarana prasarana penunjangnya serta area pengembangan dan atau area penyangga:
Luas wilayah perjanjian = 50.000 ha yang operasional tambangnya dari tahun 2008 - 2036, Luas izin pinjam pakai kawasan hutan pada Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 106 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 107 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 kawasan hutan produksi tahun 2008 - 2011 teridentifikasi = 12.500 ha, dengan rincian:
. Area yang digunakan direncanakan pada tahun pertama adalah sebagai berikut: a) Bukaan tambang aktif, (L1) = 1.400 ha b) Sarana prasarana (jalan, perumahan, sarana pengolahan), (L1) = 800 ha c) Penimbunan material/waste dump, (L2) = 2.400 ha d) Areal Pengembangan/Penyangga, (L1) = 7.900 ha 2) Perhitungan PNBP pada menjelang akhir tambang, dimana area penggunaan kawasan hutan yang mengalami kerusakan permanen atau area L3 yaitu seluas 1400 ha, maka formula PNBP adalah: No. Kriteria Luas (Ha) Tarif (Rp) Jumlah L1 1 Bukaan Tambang Aktif 0 Rp. 3.500.000 Rp. 0 2 Sarana Prasarana 800 Ha Rp. 3.500.000 Rp. 2.800.000.000 3 Areal Pengembangan/Penyangga 7900 Ha Rp. 1.750.000 Rp. 13.825.000.000 TOTAL L 1 Rp. 16.625.000.000 L2 1 Penimbunan Materi/Waste Dump 2400 Ha Rp.3.500.000 Rp. 33.600.000.000 TOTAL L 2 Rp. 33.600.000.000 L3 1 Bukaan tambang yang tidak dapat direklamasi 1400 Ha Rp.3.500.000 Rp. 34.300.000.000 TOTAL PNBP ( L 1, L 2 DAN L3) Rp. 84.525.000.000 Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 107 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 108 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 MATRIK : TABEL PERBANDINGAN TENTANG JENIS KEWAJIBAN YANG DIBEBANKAN KEPADA INDUSTRI KEHUTANAN DAN INDUSTRI PERTAMBANGAN No. Bidang Usaha Peraturan Jenis Kewajiban (Utam a) M etode Perhitungan Ulasan 1 Perusahaan Kehutanan (Pem egang Izin Usaha Pem anfaatan Hutan/IUPH) Undang-Undang Nom or 41 Tahun 1999 Pasal 35 a. Iuran izin usaha b. Provisi Sum ber Daya Hutan c. Dana Reboisasi d. Dana Jam inan Kinerja Luas (Ha) x Tarif dilakukan hanya sekali pada saat izin diberikan Volum e kayu (m 3 ) x Tarif dalam rupiah sesuai realisasi penebangan pohon Volum e kayu (m 3 ) x Tarif dalam US Dollar sesuai realisasi penebangan pohon Jam inan usaha pem anfaatan hutan Pem bayaran tidak berulang Berlaku sam a dengan perusahaan pertambangan Berlaku sam a dengan perusahaan pertambangan Jam inan ini dapat dikem balikan (bukan biaya) 2 Perusahaan Pertam bangan (Pem egang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan/IPPKH) I.Undang- Undang Nom or 41 Tahun 1999 Pasal 35 dan Peraturan M enteri LHK Nom or P.50/Setjen /Kum .1/6/2016
Ayat (1) : Tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak ditetapkan dengan memperhatikan dampak pengenaan terhadap masyarakat dan kegiatan usahanya, biaya penyelenggaraan kegiatan Pemerintah sehubungan dengan jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang bersangkutan, dan aspek keadilan dalam pengenaan beban kepada masyarakat. Ayat (2): Tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah yang menetapkan jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang bersangkutan. Penjelasan Pasal 3 Ayat (1): Tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak perlu ditetapkan dengan pertimbangan secermat mungkin karena hal ini membebani masyarakat. Pertimbangan dampak pengenaan terhadap masyarakat dan kegiatan usahanya, dan beban biaya yang ditanggung Pemerintah atas penyelenggaraan kegiatan pelayanan, dan pengaturan oleh Pemerintah yang berkaitan langsung dengan jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang bersangkutan serta aspek keadilan yang dimaksudkan agar beban yang wajib ditanggung masyarakat adalah wajar, memberikan kemungkinan perolehan keuntungan atau tidak menghambat kegiatan usaha yang dilakukan masyarakat. Bahwa mempertimbangkan kembali esensi ketentuan Pasal 23A UUD RI dan dihubungkan dengan esensi pemahaman tentang ketentuan Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) serta penjelasan ketentuan Pasal 3 ayat (1) UU Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 33 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 34 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 Nomor 20 Tahun 1997 maka dalam merumuskan dan mencantumkan (serta memberlakukan) norma tentang pengenaan PNBP atas seluruh area kawasan hutan yang dipinjam-pakaikan dan seluruh area perjanjian pinjam pakai kawasan hutan khususnya dalam rangka kegiatan pertambangan sepatutnya memperhatikan norma-norma sebagai berikut:
PNBP dalam rangka kegiatan pertambangan sebagai bentuk pungutan lain yang bersifat memaksa demi kepentingan negara harus dalam bentuk norma undang-undang dan bukan dalam bentuk norma peraturan pemerintah;
Walaupun dalam ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan ketentuan Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 Tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (selanjutnya disebut “UU Nomor 20 Tahun 1997”) mengatur tentang adanya peluang pengaturan dalam bentuk peraturan pemerintah namun berpedoman pada ketentuan Pasal 5 huruf c dan huruf D (dan penjelasan Pasal 5 huruf c dan huruf D) dan ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf g (dan penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf G) UU Nomor 12 Tahun 2011 maka pengaturan tentang pungutan PNBP dalam bentuk peraturan pemerintah, secara muatan materi dan hierarki, adalah bertentangan dan tidak didasarkan pada ketaatan Asas Kesesuaian Jenis, Hierarki Dan Materi Muatan serta asas dapat dilaksanakan termasuk halnya juga bertentangan Asas Keadilan. hal ini didasarkan pada argumentasi-argumentasi sebagai berikut :
1). Menurut Asas Kesesuaian Jenis Dan Hierarki Serta Materi Muatan yang diatur maka berpedoman pada amanat yang diatur secara tegas dalam ketentuan Pasal 23A UUD RI 1945 dijelaskan bahwa pengaturan PNBP yang dikategorikan sebagai jenis pungutan yang bersifat memaksa diatur dalam bentuk undang-undang;
2). Dalam ketentuan Pasal 3 UU Nomor 12 Tahun 2011 menjelaskan secara tegas bahwa dalam penyusunan dan pembentukan perturan perundang-undangan harus berpedoman pada UUD RI 1945 sebagai hukum dasar pembentukan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, ditinjau dari konsistensi Asas Hierarki Dan Materi Muatan Serta Jenisnya, maka walaupun dalam ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 34 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 35 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 ketentuan Pasal 3 ayat (2) UU Nomor 20 Tahun 1997 diberikan peluang pengaturan PNBP dalam bentuk peraturan pemerintah maka hal tersebut secara yuridis normatif juga bertentangan dengan norma dasar dalam ketentuan Pasal 23A UUD RI 1945 dan ketentuan Pasal 3 Uu Nomor 12 Tahun 2011;
3). Apabila dicermati kembali esensi dalam ketentuan Pasal 45 ayat (1) dan ayat (3) UU Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan (selanjutnya disebut dengan “UU Nomor 41 Tahun 1999”) – sebagai ketentuan khusus ( lex specialis ) dan sektoral yang mengatur secara khusus tentang bidang kehutanan – maka hanya mengatur tentang dua hal pokok, yaitu 1). adanya kewajiban untuk melakukan reklamasi dan rehabilitasi kepada pemegang Ijin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (selanjutnya disebut “IPPKH”) atas timbulnya kerusakan hutan dari adanya penggunaan kawasan hutan dan 2). Adanya kewajiban pembayaran Dana Jaminan Reklamasi Dan Rehabilitasi. Dengan demikian, UU Nomor 41 Tahun 1999 secara tegas tidak pernah mengatur dan menyebutkan tentang adanya pengenaan PNBP sebagai kewajiban yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha bidang pertambangan pemegang IPPKH atas timbulnya kerusakan hutan dari adanya penggunaan kawasan hutan. Sebaliknya, UU Nomor 41 Tahun 1999 hanya mengatur dan merekognisi adanya kewajiban yang limitatif bagi pelaku usaha bidang pertambangan pemegang IPPKH yaitu berupa melakukan reklamasi dan rehabilitasi serta membayar dana jaminan reklamasi dan rehabilitasi. Oleh karena itu, berdasarkan argumentasi tersebut maka pengenaan dan pengaturan norma kewajiban pembayaran PNBP dalam bentuk peraturan pemerintah, telah bertentangan secara filosofis dan yuridis dari segi materi muatan dan hierarkinya.
4). Dalam ketentuan Pasal 45 ayat (1) dan ayat (3) UU Nomor 41 Tahun 1999 telah dijelaskan secara tegas bahwa batasan tolok ukur pengenaan kewajiban melakukan reklamasi dan rehabilitasi hanya terbatas pada kawasan hutan yang secara nyata telah timbul kerusakan (limitatif) dan bukan terhadap Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 35 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 36 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 seluruh kawasan hutan yang dipinjam-pakaikan. sebaliknya, pengenaan kewajiban PNBP dalam PP RI Nomor 33 Tahun 2014 – yang secara filosofis dan yuridis telah bertentangan dengan Asas Kesesuaian Jenis, Hierarki Dan Materi Muatan – tidak didasarkan pada batasan kawasan hutan yang secara nyata telah timbul kerusakan secara limitatif melainkan dikenakan terhadap seluruh kawasan hutan yang dipinjam- pakaikan. Adanya pengenaan dan pengaturan norma kewajiban pembayaran PNBP – yang secara filosofis dan yuridis telah bertentangan dengan Asas Kesesuaian Jenis, Hierarki Dan Materi Muatan – terhadap seluruh area kawasan hutan yang dipinjam-pakaikan maka secara sosiologis pasti menimbulkan dampak berupa adanya beban secara ekonoms yang harus ditanggung secara tidak proporsional oleh para pelaku usaha bidang pertambangan pemegang IPPKH yang menggunakan pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan usaha pertambangan (non kegiatan usaha kehutanan). Hal ini tentunya menimbulkan adanya ketidakadilan bagi pelaku usaha bidang pertambangan pemegang IPPKH tersebut dalam melaksanakan kegiatan usahanya. adanya dampak berupa tambahan beban secara ekonomis terhadap adanya pengenaan pungutan PNBP yang merupakan pungutan imajiner dan liar serta multi pungutan (dalam hal mana sebidang tanah atau obyek yang sama tidak boleh dikenakan pungutan lebih dari satu pungutan/berkali-kali) – yang secara hierarki tidak pernah diatur dan tidak pernah direkognisi serta bertentangan dengan ketentuan Pasal 45 Ayat (1) dan Ayat (3) UU Nomor 41 Tahun 1999 – bagi para pelaku usaha bidang pertambangan pemegang IPPKH tentunya mengakibatkan bahwa norma yang mengatur tentang pengenaan PNBP dalam bentuk peraturan pemerintah – in casu Ketentuan Pasal 1 Ayat 2, Ayat 3 Dan Ayat 5 PP RI Nomor 33 Tahun 2014 Dan Lampiran PP RI Nomor 33 Tahun 2014 Angka 1, Angka 2 Dan Angka 3 PP RI Nomor 33 Tahun 2014 – juga bertentangan dengan asas dapat dilaksanakan dan asas keadilan; Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 36 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 37 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 Dasar argumentasi atas Multi Pungutan dijabarkan sebagai berikut : MULTI PUNGUTAN TERHADAP SATU OBJEK (LAHAN) YANG SAMA UNTUK INDUSTRI PERTAMBANGAN PEMEGANG IPPKH No. Jenis Pungutan Dibayar ke Instansi Metode dan Tarif Perhitungan 1 Pajak : PBB Pemerintah Daerah Tahap Eksplorasi On Shore : Dibayar setiap tahun berdasarkan luas lahan dan luas bangunan dikalikan dengan NJOP dan tarif tertentu yang ditetapkan oleh instansi pajak. Tubuh Bumi : Dibayar setiap tahun berdasarkan luas khusus areal potensi/cadangan dikalikan NJOP dan faktor/tarif tertentu yang ditetapkan oleh instansi pajak. Tahap Operasi Produksi On Shore : Dibayar setiap tahun berdasarkan luas lahan dan bangunan dikalikan dengan NJOP dan tarif tertentu yang ditetapkan oleh instansi pajak. Tubuh Bumi : Dibayar setiap tahun berdasarkan hasil produksi tahun sebelumnya dikalikan harga komoditas setelah dikurangi biaya-biaya sesuai peraturan pajak, kemudian dikalikan faktor kapitalisasi dan faktor/tarif tertentu yang ditetapkan oleh instansi pajak. 2 Pungutan : Dead Rent / Iuran tetap Kementerian ESDM Metode : Dibayar setiap tahun berdasarkan luas lahan (Ha) dikalikan tariff sesuai tahap kegiatan Tarif : USD 2 atau USD 4/Ha setiap tahun sesuai tahap kegiatan (Eksplorasi atau Operasi Produksi) 3 Pungutan : PNBP- PKH Kementerian LHK Metode : Dibayar setiap tahun berdasarkan luas lahan sesuai status hutan dan kriteria penggunaan lahan. Tarif A. Hutan Produksi : Rp. 1.750.000 dan Rp. 3.500.000/Ha/Tahun Mengikuti kriteria penggunaan lahan B. Hutan Lindung : Rp. 2.000.000 dan Rp. 4.000.000/Ha/Tahun Mengikuti kriteria penggunaan lahan Kriteria penggunaan lahan : L1 : Areal terganggu untuk bukaan tambang aktif, sarana prasarana penunjang yang bersifat permanen dan areal pengembangan / penyangga L2 : Areal terganggu yang bersifat temporer yang secara teknis dapat dilakukan reklamasi L3 : Areal terganggu yang mengalami kerusakan permanen yang tidak dapat dilakukan reklamasi secara optimal Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 37 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 38 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 Formula perhitungan : L1 : [1 x Rp. 3.500.000 x luas (Ha) areal terganggu untuk tambang aktif dan sarana prasarana] + [1 x Rp. 1.750.000 x luas (Ha) areal belum digunakan/areal penyangga] L2 : 4 x Rp. 3.500.000 x luas (Ha) areal terganggu bersifat temporer L3 : 7 x Rp. 3.500.000 x luas (Ha) areal terganggu bersifat permanen + Kewajiban PNBP PKH = L1 + L2 + L3 2.5). Perumusan dan pemberlakuan norma tentang pengenaan PNBP atas penggunaan seluruh area kawasan hutan yang dipinjam-pakaikan dan seluruh area perjanjian pinjam pakai kawasan hutan khususnya dalam rangka kegiatan pertambangan, secara sosiologis, tidak mencerminkan dan juga bertentangan dengan asas dapat dilaksanakan dan asas keadilan sebagaimana diatur dalam Ketentuan Pasal 5 Huruf c dan Huruf d serta Ketentuan Pasal 6 Ayat (1) Huruf g UU Nomor 12 Tahun 2011. Hal ini dapat dilihat dari adanya reaksi dan tanggapan secara sosiologis dari beberapa pelaku usaha bidang pertambangan melalui PEMOHON I dan PEMOHON II yang sungguh sangat berkeberatan dengan dikenakannya kewajiban pembayaran PNBP atas penggunaan kawasan hutan yang dipinjam pakai untuk kegiatan pertambangan (non kegiatan kehutanan). Pada kenyataannya, konsekuensi dari adanya pengenaan pungutan PNBP yang merupakan pungutan imajiner dan liar serta multi pungutan – yang secara hierarki tidak pernah diatur dan tidak pernah direkognisi serta bertentangan dengan ketentuan Pasal 45 Ayat (1) dan Ayat (3) UU Nomor 41 Tahun 1999 – telah memberikan beban ekonomis yang sangat luar biasa yang harus ditanggung oleh para pelaku usaha bidang pertambangan pemegang IPPKH berupa munculnya multi pungutan dan perlakuan diskriminatif dari adanya pengenaan PNBP tersebut. Adanya beban multi pungutan dan perlakuan diskriminatif tersebut memberikan Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 38 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 39 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 dampak kerugian yang sangat signifikan bagi para pelaku usaha bidang pertambangan pemegang IPPKH. Hal ini sebagaimana pernah dikemukakan oleh Para Pemohon melalui korespondensi tertulis yang ditujukan kepada Para Termohon dalam rangka pembentukan dan penyusunan peraturan pemerintah tentang PNBP (Bukti P-10A, Bukti P-10B, Bukti P- 10C, Bukti P-10D, Bukti P-10E, Bukti P-10F dan Bukti P-10G). Dampak kerugian dari adanya multi pungutan tersebut dapat dilihat dari adanya data yang menjelaskan bahwa sebagian pelaku usaha bidang pertambangan pemegang IPPKH telah melakukan pengembalian kawasan hutan yang dipinjam- pakaikan kepada pihak yang berwenang – in casu kepada TERMOHON II dan perangkat kelembagaannya – sedangkan sebagian lain dari para pelaku usaha bidang pertambangan pemegang IPPKH juga merasakan kecemasan terhadap adanya potensi berhentinya dan/atau terhambatnya keberlanjutan/kelangsungan kegiatan usaha sebagai akibat dari besarnya beban finansial yang harus ditanggung dan dibayarkan secara rutin per tahun – termasuk halnya beban atas pungutan imajiner dan liar serta multi pungutan yang bernama PNBP Penggunaan Kawasan Hutan (Bukti P–11A, Bukti P–11B, Bukti P–11C dan Bukti P–11D) . Dalam rangka mendukung argumentasi tentang adanya beban multi pungutan dan perlakuan diskriminatif tersebut maka berikut kami berikan uraian ilustrasi dan penjelasannya dalam bentuk kolom matriks dibawah ini: Contoh Ilustrasi Perhitungan PNBP : PT. XYC merupakan Pengguna kawasan hutan produksi untuk bukaan tambang aktif dan sarana prasarana penunjangnya serta area pengembangan dan atau area penyangga :
Luas wilayah perjanjian = 50.000 ha yang operasional tambangnya dari tahun 2008 - 2036, Luas izin pinjam pakai kawasan hutan pada kawasan hutan produksi tahun 2008 - 2011 teridentifikasi = 12.500 ha, dengan rincian: Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 39 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 40 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 1). Area yang digunakan direncanakan pada tahun pertama adalah sebagai berikut: a) Bukaan tambang aktif, (L1) = 1.400 ha b) Sarana prasarana (jalan, perumahan, sarana pengolahan), (L1) = 800 ha c) Penimbunan material/waste dump, (L2) = 2.400 ha d) Areal Pengembangan/Penyangga, (L1) = 7.900 ha 2) Perhitungan PNBP pada menjelang akhir tambang, dimana area penggunaan kawasan hutan yang mengalami kerusakan permanen atau area L3 yaitu seluas 1400 ha, maka formula PNBP adalah: MATRIK : TABEL PERBANDINGAN TENTANG JENIS KEWAJIBAN YANG DIBEBANKAN KEPADA INDUSTRI KEHUTANAN DAN INDUSTRI PERTAMBANGAN No. Bidang Usaha Peraturan Jenis Kewajiban (Utam a) M etode Perhitungan Ulasan 1 Perusahaan Kehutanan (Pem egang Izin Usaha Pem anfaatan Hutan/IUPH) Undang-Undang Nom or 41 Tahun 1999 Pasal 35 a. Iuran izin usaha b. Provisi Sum ber Daya Hutan Luas (Ha) x Tarif dilakukan hanya sekali pada saat izin diberikan Volum e kayu (m 3 ) x Tarif dalam rupiah sesuai realisasi Pem bayaran tidak berulang Berlaku sam a dengan perusahaan pertambangan No. Kriteria Luas (Ha) Tarif (Rp) Jumlah L1 1 Bukaan Tambang Aktif 0 Rp. 3.500.000 Rp. 0 2 Sarana Prasarana 800 Ha Rp. 3.500.000 Rp. 2.800.000.000 3 Areal Pengembangan/Penyangga 7900 Ha Rp. 1.750.000 Rp. 13.825.000.000 TOTAL L 1 Rp. 16.625.000.000 L2 1 Penimbunan Materi/Waste Dump 2400 Ha Rp.3.500.000 Rp. 33.600.000.000 TOTAL L 2 Rp. 33.600.000.000 L3 1 Bukaan tambang yang tidak dapat direklamasi 1400 Ha Rp.3.500.000 Rp. 34.300.000.000 TOTAL PNBP ( L 1, L 2 DAN L3) Rp. 84.525.000.000 Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 40 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 41 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 c. Dana Reboisasi d. Dana Jam inan Kinerja penebangan pohon Volum e kayu (m 3 ) x Tarif dalam US Dollar sesuai realisasi penebangan pohon Jam inan usaha pem anfaatan hutan Berlaku sam a dengan perusahaan pertambangan Jam inan ini dapat dikem balikan (bukan biaya) 2 Perusahaan Pertam bangan (Pem egang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan/IPPKH) I. Undang- Undang Nom or 41 Tahun 1999 Pasal 35 dan Peraturan M enteri LHK Nom or P.50/Setjen /Kum .1/6/20 16Pasal 22 II. Peraturan Pem erintah Nom or 9 Tahun 2012 III. Peraturan a. PNBP Penggunaan Kawasan Hutan b. Provisi Sum ber Daya Hutan c. Dana Reboisasi d. Ganti Rugi Nilai Tegakan hasil rehabilitasi e. Rehabilitasi DAS f. Reklam asi a. Iuran Tetap b. Iuran Produksi/Royalty a. Jam inan Reklam asi Dibayar setiap tahun berdasarkan IPPKH sesuai status hutan dan kriteria penggunaan lahan Volum e kayu (m 3 ) x Tarif dalam rupiah sesuai realisasi penebangan pohon Volum e kayu (m 3 ) x Tarif dalam US Dollar sesuai realisasi penebangan pohon Luas areal tum pang tindih (Ha) dan volum e kayu tegakan (m 3 ) Penanam an seluas IPPKH di luar areal IPPKH M elakukan reklam asi pada areal IPPKH Dibayar setiap tahun berdasarkan luas lahan (Ha) dikalikan tarif tertentu dalam US Dollar sesuai tahap kegiatan yang ditetapkan Pem erintah. Harga kom oditas hasil penjualan setiap ton dikurangi biaya-biaya sesuai peraturan, kem udian dikalikan tarif tertentu yang ditetapkan oleh Pem erintah. Penem patan dana Pem bayaran berulang setiap tahun Berlaku sam a dengan perusahaan kehutanan Berlaku sam a dengan perusahaan kehutanan Kewajiban ini berlaku bila terjadi tum pang tindih dengan areal rehabilitasi Tidak diberlakukan pada perusahaan kehutanan Dilaksanakan pada areal yang telah digunakan Diberlakukan setiap tahun bagi perusahaan pertam bangan. Hasil penjualan dari produksi tam bang juga m erupakan objek dalam perhitungan pem bayaran PBB (tubuh bum i tahap Operasi Produksi) bagi perusahaan pertambangan. - Dilaksanakan Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 41 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 42 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 Pem erintah Nom or 78 Tahun 2010 b. Jam inan Pasca tam bang di m uka setiap tahun sebagai jam inan pelaksanaan reklam asi untuk lokasi kerja tahun berjalan. Penem patan dana di m uka secara bertahap hingga 2 tahun sebelum tam bang berakhir sebagai jam inan pelaksanaan Pasca tam bang. pada areal yang telah digunakan - Jam inan ini dapat dikem balikan (bukan biaya) setelah penem patan dana jam inan untuk tahun berikutnya sesuai dengan lokasi kerja. Jam inan ini dapat dikem balikan (bukan biaya) dalam periode Pascatam bang (3-4 tahun setelah tam bang berakhir).
. Berpedoman pada undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan (selanjutnya disebut “UU Nomor 41 Tahun 1999”), yang berdasarkan kedudukannya, merupakan jenis undang-undang sektoral yang mengatur secara khusus ( lex specialis ) tentang kehutanan dalam arti sistem pengurusan yang bersangkut paut dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu maka pengenaan jenis pungutan yang bersifat memaksa yang diakui dan disebutkan secara tegas adalah Iuran Izin Usaha, Provisi Sumber Daya Hutan, Dana Reboisasi, Dana Jaminan Kinerja Dan Dana Pelestarian Hutan. sedangkan mengenai pungutan PNBP – khususnya untuk penggunaan pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan (kegiatan non kehutanan) – tidak pernah diatur dan juga tidak pernah disebutkan secara jelas dan tegas dalam undang- undang sektoral yang mengatur secara khusus ( lex specialis ) tentang kehutanan in casu Uu Nomor 41 Tahun 1999; (Bukti P-13) 4). Dalam melakukan pembentukan dan penyusunan norma pengenaan PNBP atas seluruh area kawasan hutan yang dipinjam- pakaikan dan seluruh area perjanjian pinjam pakai kawasan hutan khususnya dalam rangka kegiatan pertambangan maka agar memperhatikan tentang dampak sosiologis dari adanya pengenaan terhadap masyarakat dan kegiatan usahanya serta aspek keadilan yang dimaksudkan agar beban yang wajib ditanggung masyarakat – Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 42 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 43 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 in casu pelaku usaha bidang pertambangan pemegang IPPKH – adalah wajar, memberikan kemungkinan perolehan keuntungan atau tidak menghambat kegiatan usaha yang dilakukan masyarakat. Bahwa selain itu, secara sosiologis, pengenaan PNBP atas seluruh area kawasan hutan yang dipinjam-pakaikan dan seluruh area perjanjian pinjam pakai kawasan hutan khususnya dalam rangka kegiatan pertambangan juga tidak memperhatikan aspek dampak pengenaannya terhadap Para Pemohon in casu para anggota dari Para Pemohon yang notabene melaksanakan kegiatan usaha pertambangan yang menggunakan pinjam pakai kawasan hutan dan juga tidak memperhatikan aspek keadilan dalam hal mana tidak adanya kewajaran terhadap beban yang harus ditanggung oleh Para Pemohon in casu para anggota dari Para Pemohon yang notabene merupakan pelaku usaha yang melaksanakan kegiatan usaha pertambangan yang menggunakan pinjam pakai kawasan hutan;
Bahwa pengenaan dan pemberlakuan norma tentang pengenaan PNBP atas seluruh area kawasan hutan yang dipinjam-pakaikan dan seluruh area perjanjian pinjam pakai kawasan hutan khususnya dalam rangka kegiatan pertambangan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1 ayat 2, ayat 3 dan ayat 5 PP RI Nomor 33 Tahun 2014 dan lampiran PP RI Nomor 33 Tahun 2014 angka 1, angka 2 dan angka 3 telah bertentangan dengan UU Nomor 41 Tahun 1999 yang berdasarkan kedudukannya, merupakan jenis undang-undang sektoral yang mengatur secara khusus ( lex specialis ) tentang kehutanan dalam arti sistem pengurusan yang bersangkut paut dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu. Dalam UU Nomor 41 Tahun 1999 – sebagai undang-undang sektoral yang mengatur secara khusus ( lex specialis ) tentang kehutanan – tidak pernah diatur dan juga tidak pernah disebutkan secara jelas dan tegas mengenai adanya PNBP atas penggunaan pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan (kegiatan non kehutanan); Bahwa berpedoman pada alasan-alasan sebagaimana yang kami jelaskan dalam huruf a sampai dengan huruf d di atas dalam hal mana dikarenakan sifat dari PNBP tersebut merupakan pungutan yang bersifat memaksa dan Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 43 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 44 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 dapat ditagih secara memaksa maka pencantuman dan pemberlakuan PNBP sebagai jenis pungutan yang bersifat memaksa dalam norma yang berbentuk Peraturan Pemerintah ( in casu ketentuan ketentuan Pasal 5 ayat (2) huruf b angka 1, Pasal 19 ayat (1) huruf d, Pasal 22 huruf e dan huruf r angka 4 dan Pasal 47 ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf c Permen LHK RI Nomor 50 Tahun 2016) telah merugikan hak PARA PEMOHON in casu para anggota dari PARA PEMOHON; Berdasarkan argumentasi-argumentasi tersebut diatas maka pencantuman dan pemberlakuan norma PNBP sebagai jenis pungutan yang bersifat memaksa menurut ketentuan Pasal 23A UUD RI 1945 tidak dapat diatur dalam bentuk peraturan pemerintah. Adanya pengaturan tentang pencantuman dan pemberlakuan norma PNBP sebagai jenis pungutan yang bersifat memaksa dalam bentuk peraturan menteri merupakan bentuk penyelundupan norma yang mengingkari dan bertentangan dengan ketentuan Pasal 23A UUD RI 1945 yang menjadi hukum dasar atau norma dasar bagi pembentukan peraturan perundang-undangan, ketentuan Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 20 Tahun 1997, Pasal 3 Ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011 dan UU Nomor 41 Tahun 1999; Oleh karena itu, maka ketentuan ketentuan Pasal 1 ayat 2, ayat 3 dan ayat 5 PP RI Nomor 33 Tahun 2014 dan lampiran PP RI Nomor 33 Tahun 2014 angka 1, angka 2 dan angka 3 sangat beralasan secara hukum untuk dapat dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (tidak sah) dan batal demi hukum serta tidak berlaku umum;
Bahwa pengenaan dan pemberlakuan norma tentang pengenaan PNBP atas penggunaan seluruh area kawasan hutan yang dipinjam- pakaikan dan seluruh area perjanjian pinjam pakai kawasan hutan khususnya dalam rangka kegiatan pertambangan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 21 ayat (1) huruf a PP RI Nomor 24 Tahun 2010 telah bertentangan dengan ketentuan Pasal 23A UUD RI PP RI NOM OR 24 TAHUN 2010 BERTENTANGAN DENGAN UNDANG-UNDANG DASAR REPUBLIK INDONESIA 1945, UNDANG-UNDANG NOM OR 20 TAHUN 1997 TENTANG PENERIM AAN NEGARA BUKAN PAJAK, UNDANG-UNDANG NOM OR 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN DAN UNDANG-UNDANG NOM OR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEM BENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN. Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 44 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 45 dari 185 halaman. Putusan Nomor 31 P/HUM/2017 1945, yang secara lengkap berbunyi sebagai berikut : ( Vide Bukti P- 4A) “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang.” Bahwa, mencermati kembali ketentuan Pasal 23A UUD RI 1945 tersebut maka dijelaskan secara tegas bahwa pungutan lain yang bersifat memaksa diatur dengan undang-undang. Apabila dilihat dari esensinya, maka PNBP dapat dikategorikan sebagai jenis pungutan lain yang bersifat memaksa menurut ketentuan Pasal 23A UUD RI 1945 tersebut. Berdasarkan hal tersebut maka, pengaturan mengenai pencantuman dan pengenaan dan pemberlakuan norma tentang pengenaan PNBP atas penggunaan seluruh area kawasan hutan yang dipinjam- pakaikan dan seluruh area perjanjian pinjam pakai kawasan hutan khususnya dalam rangka kegiatan pertambangan sebagai jenis pungutan lain yang bersifat memaksa harus diatur dalam bentuk undang-undang.
Bahwa digunakannya ketentuan Pasal 23A UUD RI 1945 sebagai pedoman untuk pengaturan mengenai pencantuman dan pengenaan dan pemberlakuan norma pengenaan PNBP atas penggunaan seluruh area kawasan hutan yang dipinjam-pakaikan dan seluruh area perjanjian pinjam pakai kawasan hutan khususnya dalam rangka kegiatan pertambangan sebagai jenis pungutan lain yang bersifat memaksa tersebut dalam bentuk undang-undang juga ditegaskan dalam ketentuan Pasal 3 ayat (1) ketentuan Pasal 5 huruf c dan huruf d serta ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (selanjutnya disebut “UU Nomor 12 Tahun 2011”) , yang pada pokoknya berbunyi sebagai berikut : ( Vide Bukti P-7) :
Pengujian UU Nomor 17/2003
Relevan terhadap
• Pasal 2 huruf i Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara juga tidak memberikan kepastian hukum karena Pasal 2 huruf i menyatakan keuangan negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 meliputi i, “Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah.” Semua industri yang berada di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) diperbolehkan mengajukan insentif melalui Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2011 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penambahan Modal di Bidang Usaha Tertentu dan Daerah. Pemerintah juga menjanjikan pembebasan pajak penghasilan bagi karyawan pada industri padat karya. Pajak karyawan yang dari industri padat karya akan dihapus karena ditanggung pemerintah. Pemerintah juga segera mengeluarkan paket kebijakan insentif fiskal untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi domestik di tengah perlambatan ekonomi global yang diproyeksikan berlanjut tahun depan. Pertama, pemberian tax holiday diperbanyak. Kedua, merelaksasi produk tax allowance . Ketiga, pemberian insentif untuk bahan baku setengah jadi yang selama ini banyak diimpor. Insentif direncanakan berupa pengurangan pajak dan pembebasan bea masuk. Keempat, insentif untuk kawasan ekonomi khusus. Kelima, insentif pembebasan pajak pertambahan nilai (PPN) untuk impor buku nonfiksi guna memajukan pendidikan dalam negeri. Keenam, pengurangan pajak penghasilan (PPH) untuk memajukan penelitian dan pengembangan. Ketujuh, insentif untuk eksplorasi minyak dan gas guna mendapat mencapai target peningkatan produksi menjadi 1 juta barel per hari. Jika dihubungkan dengan Pasal 2 huruf i tersebut di atas apakah kekayaan semua perusahaan itu mendapat fasilitas pajak? Yang mendapat fasilitas pajak menjadi keuangan negara? Tentu tidak bukan? • Menurut pendapat saya, untuk adanya kepastian hukum tersebut sebagaimana diamanatkan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sudah tepat kiranya bila Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 2 huruf g dan huruf i Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan negara tidak mempunyai kekuatan hukum. Oleh karena keuangan BUMN bukanlah keuangan negara, maka haruslah dinyatakan pula Pasal 6 ayat (1), Pasal 9 ayat (1) huruf b, dan Pasal 11 huruf a Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
baiknya oleh negara? Jawabannya tentu saja, kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah tersebut wajib dikelola sebaik-baiknya. Walaupun wujudnya telah berubah menjadi saham atau bukti kepemilikan perusahaan pada Perum. - Juga karena keterbatasan kemampuan yang dimiliki oleh pemerintah dan BUMN, untuk melakukan eksplorasi dan pengolahan potensi sumber daya alam tertentu, misalnya di bidang energi dan sumber daya mineral, pemerintah atau BUMN menawarkan bekerja sama dengan perusahaan swasta. Bahkan adakalanya pemerintah membatasi diri hanya sebagai regulator, sedangkan hak berupa ijin pengusahaan sumber daya alam nasional tersebut diberikan kepada perusahaan swasta. Pemberian hak- hak kepada perusahaan swasta untuk mengelola sumber-sumber kekayaan nasional tersebut menjadi potensi penerimaan negara, berupa penerimaan perpajakan dan penerimaan bukan pajak. Dengan demikian, membatasi ruang lingkup pengelolaan keuangan negara hanya sepanjang yang berwujud APBN, adalah mengabaikan sebagian hak dan kewajiban negara yang sangat penting sebagai negara kesejahteraan sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945. - UUD 1945 tidak mendefinisikan ruang lingkup keuangan negara. Tetapi dari filosofi yang dinyatakan dan terkandung dalam Pembukaan dan pasal-pasal UUD 1945 sebagaimana disampaikan sebelumnya jelas bahwa segenap hal-hal yang terkait dengan hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang atau berimplikasi terhadap penambahan dan pengurangan kekayaan negara termasuk cakupan Keuangan Negara. - Untuk menyelenggarakan tugas pemerintahan, negara melalui kementerian negara melakukan berbagai tugas yang dibiayai dari sumber-sumber penerimaan perpajakan maupun sumber-sumber penerimaan lainnya. Namun, tidak semua upaya untuk memajukan kesejahteraan umum dapat dilaksanakan melalui kegiatan kementerian negara. Sebagai wujud tanggung jawab negara untuk meningkatkan kesejahteraan umum, negara sebagai agent of development , adakalanya perlu melakukan kegiatan bisnis. Misalnya usaha pengembangan industri pionir, berisiko tinggi, memerlukan investasi besar, berjangka panjang, Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: sekretariat@mahkamahkonstitusi.go.id
Penetapan Tarif Bea Masuk dalam rangka Persetujuan Perdagangan Bebas ASEAN-Hong Kong Republik Rakyat Tiongkok ...
Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 229/PMK.04/2017 tentang Tata Cara Pengenaan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor Berdasarkan Perjanjian a ...
Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 229/PMK.04/2017 tentang Tata Cara Pengenaan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor Berdasarkan Perjan ...
Tata Cara Pemberian Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-Daerah Tertentu Serta Pengali ...
Relevan terhadap
Kepada Wajib Pajak · badan dalam negeri yang melakukan Penanaman Modal baik Penanaman Modal baru maupun perluasan dari usaha yang telah ada, pada:
Bidang-bidang Usaha Tertentu sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2015 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu; dan/atau
Bidang-bidang Usaha Tertentu dan Daerah-daerah Tertentu sebagaimana tercantum dalam Lampiran II Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2015 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah daerah Tertentu, dapat diberikan fasilitas Pajak Penghasilan.
Fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut: \ nTµ'T'RTRlJSI II . , :
... . . "" t MEf\ITEr\I l\t'J)/\f\IG/\f\I 1̑1: =.r·un1_11: < ll\IDOl\IEʤ: il/\ -3- a. pengurangan penghasilan neto sebesar 30% (tiga puh.ih persen) darijurrilah Penanaman Modru berupa aktiva tetap · berwujud termasuk tanah yang digunakan untuk kegiatan utama usaha, dibebankan selama 6 (enam) tahun masing maslng sebesar 5% (lima persen) per .tahun yang dihitung sejak saat mulc; rl berproduksi secara komersial.
penyusutan yang dipercepat atas . aktiva be'rwuJud dan am01iisasf. yang dipercepat atas aktiva tak.berwujud yang diperoleh dalamrangka Penanaman Mod.al baru dan/atau perluasan · usaha, dengan masa manfaat dan tarif penyusutan serta tarif aJll ortisasi ditetapkan sebagai berikut: 1 . untuk penyusutan · yang dipercepat ·atas aktiva· berwufud: Masa Tarif Penyusutan · Kelompok Aktiva Manfaat Berdasarkan Metode Berwujud Mepjadi Garis Sal do . . Lurus Menurun I. Bukan Bani: i: una: Il . • 100% .Kelompokl 2 tahun 50% (dibebankan sekaiii: i: us) · ·· ^Kelompok ^II 4 tahun 25% 50% Kelompok III 8 tahun 12,5% 25% Kelompok IV 10 tahun 10% 20% II. Bani: i: unan: · ·Permanen · 10 tahun I°O% - Tidak Permanen 5 tahun 20% - ,. www.jdih.kemenkeu.go.id DISTRIBUSI U , :
ʡ .. :
: : .. · .; MENTEl<I l<f'l.JAf\IGAN l'<: E: Pl.Jnl .IIʢ lf\IDOf\JF̒W\ -4- 2. untuk amortisasi ·yang dipercepat atas aktiva tak be rwu 1ud: Kelompok Masa Tarif Amortisasi Aktiva Tak Manfaat 8erdasarkart Metode Berwujud Menjadi Garis Saido Lui: us Menurun Kelompok I 2 tahun 50% 100% (dibebankan sekalii; !us) Kelomook II 4 tahun · 25% 50 % Kelomook III 8 tahun 12,5% 25% Kelomook IV 10 tahun 1 0% 20% c. pengenaa: n Pa jak · Penghasilan atas dividen yang dibayarkan kepada Wajib Pajak luar negert selain bentuk usaha tetap di Indonesia sebesar 10% (sepuluh persen), atau talif yang · lebih rendah menurut perjanjian penghindaran pa jak berganda yang berlaku; dan
kolhpensasi kemgian yang· lebih lama dari 5 (Hrna} tahtin tetapi tidak lebih dari 10 (sepuluh) tahun, dengan ketentuan sebagai betjkut: · 1 . tambahan 1 tahun: apabila Penanaman Modal baru pada bidang usaha yang diatur pada ayat ( l} huruf a dilakukan di kawasan industri dan/atau kawasan berikat;
tambahan 1 tahun.: apabila Wajib . Pajak yang melakukan Penanaman Modal ha.tu mengeluarkan biaya untuk infrastruktur ekonomi dan/atau sosial di lokasi usaha paling sedikit sebesar Rp 10.000. 000.000, 00 (sepuluh rniliar rupiah);
tambahan 1 tahun: apabila menggunakan bahan baku dan/atau komponen hasil. produksi dalam negeli paling sedikit · 70% (tujuh puluh persen} sejak tahun ke 4 (empat); · · . ·ġ . nTQ'T'RTRT T̃T TT I : • t.·· IVIU,ITT: HI 1\L: IJ/\f\ICi/\N I \L-J'l.IUUI\ lhlDONL: '.31/\ -5- 4. tambahan I tahun atau 2 tahun a) fambahan I (satu) tahun apabila mempekerjakan sekurang-kurangnya 500 (lima _ ratus) orang tenaga kerja Indonesia selama 5 (lima) tahun berturut-turut; a tau b) tambahan 2 (dua) tahun apabila mempekerjakan sekurang-kurangnya 1000 (seribu) orang tenaga kerja Indonesia selama 5 (lima) tahun berturut-turut;
tambahan 2 tahun: apabila mengeluarkan biaya penelitian dan pengembangan di dalam negeri dalam rangka pengembangan produk atau efisiensi produksi paling sedikit 5% (Hrna persen) dari jumlah Penanaman Modal dalam jangka waktu 5 (lima) tahun;
taml; >ahan 2 tahun: apabila Penanaman Modal berupa perluasan dari usaha yang telah ada pada Bidang- bidang Usaha Tertentu dan/atau Daerah-daerah Tertentu yang diatur pada ayat (I) huruf a dan/atau huruf b sebagian sumber pembiayaannya berasal dari laba- setelah pajak (earning after tax) Wajib Pa jak pada satu tahun pajak sebelum tahun diterbitkannya izin prinsip perluasari Penanaman Modal; dan/atau DISTRIBl]Sm II. '́:
̂ : MEl'HEf{I l<EUANG/\f\I J\L: F'UHL.11\ lf\IUOJ\IE.tʠIA -6- .
tambahan 2 tahun: apabila melakukan ekspor paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari nilai total penjualan, untuk Penanaman Modal pada bidang-bidang . usaha yang diatur pada ayat . (1) huruf a yang dilakukan di luar kawasan berikat.
Pemberian fasilitas Pa jak Penghasilan sebagaimana pimaksud pada ayat (2) juga diberikan kepada Wajib Pa jak yang atas usula.Il pemberian fasilitas pembebasan atau pengurangan Pa jak" Penghasilan badan sesuai ketentuan . Pasal 29 Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 20 10, ditolak oleh Menteri Keuangan.
Fasilitas Pa jak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d dapat dimanfaatkan sejak berlakunya keputusan persetujuan pemberian fasilitas Pa jak Penghasilan dan Wa jib . Pa jak . memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal.2 ayat (2) huruf d angka 1 , angka 2, angka 3, angka 4, angka 5, angka 6 dai: J./atau angka 7. . · (2) Dalam hal . Wajib Pa jak dapat memenuhi sebagian atau seluruh persyaratan sebagaimana dimaksud . dalam · Pasal 2 ayat (2) huruf d, sehirigga Wajib Pa jak dimaksud dapat memperoleh tambahan jangka waktu kompensasi kerugian yang melebihi dari 5 (Hrna) tahun, besamya tambahan jangka . waktu kompensasi kerugian. yang . diberikan adalali. paling lama untuk jangka waktu 5 (lima) tali.un.
Untuk mendapatkan fasllitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Wajib Pa jak ha.rus menga jukan permohonan tertulis kepada Direktur Jenderal Pa jak.
Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Direktur Jenderal Pa jak setelah melakukan pe1n ^e riksaan lapangan menerbitkan . keputusan tentang penambahan jangka waktu fasilitas kompensasi kerugian.
Permohonan tertulis sebagaimana . dimaksud pada ayat (3) dan keputusan tentang penambiihan jangka. waktu fasilitas kompensasi kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) sesuai format sebagaimana tercantum dala1n Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. · (6) Pemanfaatan fasilitas Pa jak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dengan ketentuan sebagai berikut:
Ketentuan tambali.an I (satu) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d angka: · 1 berlaku untuk . kerugian seluruh tahun pa jak · sepanjang Penanaman Modal ^· baru dilakukan di kawasan industri . dan/atau kawasan berikat dan berakhir saat Wa jib Pa jak tidak lagi memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (I). · DISTRIBUSI II ' :
r. ·· . 1/11.]'fl l'.HI f([l J/.\f\f(; /\l'l f{L'.F'llnl.ll< 11\llJUl'J[: ; f/\ -10- b. Ketentuan tambahan 1 (satu) tahuh sebagailnana dimaks1: 1d dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d angka 2 berlaku untuk kerugian tahun pa jak dicapainya pengeluaran untuk infrasthlktur ekonomi dan sosial di lokasi · usaha paling sedikit sebesar Rplo.000.000; 000,oo (sepuluh ·miliar rupiah).
Ketentuan , tambahan 1 (satu) tahun. sebagaimana ^· dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d angka 3 berlaku: 1 . terhitung sejak tahun pa jak ke 4 (empat) setelah Wa jib Pa jak memperoleh izin Penanainan Modal atau izin perluasan Penanaman Modal dan Wa jib Pa jak bersangkutan menggunakan bahan ^· baku. dan/atau komponen hasil produksi dalam negert paling sedikit 70% (tujtih puluh persen); dan
pada tahun pajak sebelum tahun pa jak ke 4 (empat) setelah Wa jib Pajak melnperoleh · izin Penanamail. Modal . atau izin perluasan Penanai: nan Modal bersangkutan dan Wa jib Pajak menggunakan bahan baku dan/atau komponen hasil produksi dalam negei.·i paling sedikit 70% .(tujuh puluh persen).
' d. Ketentuan tambahan 1 (satu) tahun atau 2 (dua) tahun seb ^a gaimana diniaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d angka 4 berlaku: · 1 . tambahan 1 (sa ^t u) tahun berlaku untuk kerugian pada tahun pa jak setelah Wa jib Pa jak mempekerjakan sekurang-kurangnya 500 (lima rabis) orang tenaga kerja Indonesia selama 5 (Hrna) tahun berturut-turut; a tau 2. tambal1an 2 (dua) tahun berlaku untuk kerugian pada tahun pa jak setelah Wajib Pa jak mempekerjakan sekurang-kurangrtya 1000 (seribu) orang tenaga kerja Indonesia selama 5 (lima) tahun berturut-turut;
tenaga ke1ja Indonesia sebagaimana dimaksud dalain angka l dan angka 2 adalah tenaga ke1ja yang berkewai·ganegaraan Indonesia dan· tercantum dalam Surat Pemberitahuan Pa jak Penghasilan Pasal 2 1 Wa jib Pa jak.
www.jdih.kemenkeu.go.id DTSTRIBUSI II 1 .' . +.·· IVIFf\ITEF-"I l<'.EI JAl\IG/\f\l l'{E: : l: 1UULll< INDOl,IESIA - 1 1 - e. Ketentuan tambahan 2 (dua) tahun · sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d angka 5 berlaku untuk kerugian tahun pa jak saat dicapainya pengeluaran biaya penelitian dan pengembangan di dalam · negeri dalam rangka pengembangan produk atau efisiensi produksi paling sedikit 5% (lima persen) dart jumlah realisasi Penanaman Modal, dalam jangka waktu 5 (lima) tahun.
Keteptuan ^· tambahcin 2 . ^(dua) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d angka 6 berlaku:
Wajib Pajak yang dapat diberikan fasilitas tambahan kompensasi kerugian . sebagaimana dimaksud dalaJ,TI 'Pasal 2 ayat (2) huruf d angka 6 adalah Wa jib Pajak yang memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (l);
sumber . pembiayaan perlQasan Penanaman Modal berasal dart laba setelah pa jak (earning after tax) Wa jib · Pa jak. pada satu tahun. pa jak . sebelum tahun diterbitkannya izin prtnsip perluasan Penanaman Modal;
kerugian yang dapat dibertkan _ fasilitas tainbahan jangka waktu · kompensasi kerugian selama 2 (dua) tahun adalah kerugian fiskal pada tahun pajak saat mulai berproduksi secara komersial atas kegiatan perluasan Penanaman Modal sebagairriana dimaksud pada angka 2);
Ketentuan tambahan 2 · (dua) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d angka 7 berlaku untuk tahun pa jak dilakukannya ekspor paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dart nilai toࢾal penjualan.
Wajib : Pa jak yang melakukan pembukuan secara terpisah atas Penanaman Modal yang mendapatkan fasilitas dan yang tidak mendapatkan fasilitas, penghitungan besarnya kerugian yang mendapat - Jasilitas tambahan jangka waktu kompensasi kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d angka l, angka 2, angka 3, angka 4, angka 5, dan/ a.tau angka ^· . 7 sesuai dengan ·· penghitungan berdasarkan pembukuan secara terpisah · atas Pencinaman Modal yang mendapatkan fasilitas dan yang tidak mendapatkan fasilitas. DISTRIBUSI )I , :
t,_: : . : · .· MEl\ITEl̏I l<ElJ/\NG/\N nFfll IUI .II<. ll\lfH)f'il'.̐: I/\ -12- (8) Dalam hal Wa jib Pajak tidak melakukan pembukuan secara terpisah atas Penanaman Modal yang mendapatkan fasilitas dan yang . tidak mendapatkan fasilitas; besarnya kerugian yang mendapat fasilitas tambahan jangka waktu kompensasi kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d angka 1 , angka 2, angka 3, angka 4, angka 5, dan/atau angka 7 dihitung dengan formula sebagai berikut: BVMF KMF = ------- x TK (BVTF +BVMF} KMF = Kerugian yang mendapat fasilitas Pajak Penghasilan BVMF = Total nilai buku fiskal aktiva tetap yang mendapatkan fasilitas pada akhir tahun· pa jak terjadinya kerugian BVTF = Total nilai buku fiskal aktiva tetap yang tidak mendapatkan fasilitas pada akhir tahun pajak te1jadinya kerugian TK = Total kerugian (9). Besarnya kerugian yang mendapat fasilitas tambahan jangka waktu kompehsasi kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat · (2) huruf d angka 6 • dihitung dengan formula sebagai berikut: KMF BVAT KMF EAT BVAT BVMF = EAT -------· x . TK BVAT = BVMF+ BVTF = Kerugian yang mendapat fasilitas Pa jak Penghasilan = Laba setelah paJak. yang ditanarrikan kembali dalam perluasaii usaha = Total nilai buku fiskal seluruh aktiva tetap = Total J,lilai . bukti fiskal . aktiva tetap yang mendapatkan fasilitas pࢿda akhir tahun pa jak terjadinya kerugian . · ̀ . . nT̍'T'RTRT T̎T TT ' · +.: ^· MEf\ITl: : FʜI l<EU/\l'l(: /\N rʛEPUDLll< lf\IDONH; f/\ -13'- BVI'F = Total nilai buku fiskal aktiva tetap yang tidak mendapatkan fasilitas pada akhir tahun pajak terjadinya kerugian TK = Total kerugiart tahun pa jak saat mulai berproduksi s·ecara komersial Pasal ·8 Permohonan untuk mendapatkan fasilitas Pa jclk Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dia jukan oleh Wa jib Pa jak kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal dan pengajuannya dilakukan sebelum saat mulai berproduksi secara komersial.
Pengujian Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 194 ...
Relevan terhadap 3 lainnya
sehingga para Pemohon telah mendapatkan perlakuan diskriminatof dalam hal pengenaan kewajiban pajak kepada Pemerintah; 24. Selain masalah persamaan kedudukan di hadapan hukum sebagaimana diuraikan dalam alinea di atas, dengan diberlakukannya Pasal 42 ayat (2) huruf i UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah merugikan dan menghilangkan hak konstitusional para Pemohon yang merupakan pengolahraga oleh karena pengolahraga yang berolah di pusat kebugaran harus memikl beban pajak tambahan sementara pengolahraga dengan kegiatan olahraga lain tidak dikenakan beban pajak tambahan tersebut, sehingga para Pemohon telah mendapatkan perlakuan diskriminatif dalam hal pengenaan beban pajak dari Pemerintah; 25. Berdasarkan uraian kedudukan hukum dan kepentingan konstitusional di atas, para Pemohon telah memenuhi ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi. Para Pemohon memiliki legal standing sebagai Pemohon untuk mengajukan uji materil terhadap Pasal 42 ayat (2) huruf i UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah karena telah dilanggar hak konstitusionalnya, yaitu dibedakan kedudukan hukumnya selaku wajib pajak serta diperlakukan diskriminatif selaku wajib pajak; Alasan-alasan hukum Memasukkan pusat kebugaran (fitness center) dalam kategori hiburan merupakan diskriminasi terhadap para pelaku industri yang menyediakan prasarana dan sarana untuk kegiatan olahraga dan karenanya bertentangan dengan Konstitusi Republik Indonesia yang menghendaki adanya perlindungan, kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum 26. Penjelasan Umum dari UU Sistem Keolahragaan Nasional menyatakan bahwa olahraga merupakan bagian dari proses dan pencapaian tujuan pembangunan nasional, sehingga keberadaan dan peranan olahraga dalam kehidupan bermasyarakat harus ditempatkan pada kedudukan yang jelas dalam sistem hukum nasional; 27. Lebih lanjut Penjelasan Umum dari UU Sistem Keolahragaan juga menyatakan bahwa sistem pengelolaan, pembinaan, dan pengembangan keolahragaan nasional diatur dengan semangat kebijakan otonomi daerah guna mewujudkan kemampuan daerah dan masyarakat yang mandiri mengembangkan kegiatan keolahragaan;
Para Pemohon beranggapan ketentuan Pasal 42 ayat (2) huruf i UU PDRD bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28 I ayat (2), dan Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: B. HAK DAN/ATAU KEWENANGAN KONSTITUSIONAL YANG DIANGGAP PARA PEMOHON TELAH DIRUGIKAN OLEH BERLAKUNYA UU PDRD Para Pemohon dalam permohonan a quo mengemukakan bahwa hak konstitusionalnya telah dirugikan dan dilanggar atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran wajar dapat dipastikan terjadi kerugian oleh berlakunya Pasal 42 ayat (2) huruf i UU PDRD pada pokoknya sebagai berikut: 1. Bahwa memasukkan pusat kebugaran (fitness center) dalam kategori hiburan merupakan diskriminasi terhadap pelaku industri yang menyediakan prasarana dan sarana untuk kegiatan olahraga dan karenanya bertentangan dengan konstitusi Republik Indonesia yang menghendaki adanya perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagaimana dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) dan pasal 28 I ayat (2) UUD 1945; 2. Bahwa pengaturan Pasal 42 ayat (2) huruf i UU PDRD menyebabkan tidak semua orang mendapatkan kesempatan yang sama untuk hidup sejahtera lahir dan batin, dan karenanya bertentangan dengan konstitusi Republik Indonesia yang menghendaki adanya persamaan hak bagi setiap orang untuk hidup sejahtera lahir dan batin sebagaimana diakui oleh Pasal 28H ayat (1) UUD 1945; 3. Bahwa Pasal 42 ayat (2) UU PDRD merugikan hak-hak para Pemohon sebagai pengguna pusat kebugaran dan bertentangan dengan program Pemerintah melalui Kementerian Pemuda dan Olahraga untuk memajukan olahraga Indonesia. Pengkategorian pusat kebugaran sebagai suatu hiburan menimbulkan pula kerugian karena pencitraan yang salah dari masyarakat terhadap sifat pusat kebugaran sebagai tempat berolahraga dan bukan tempat hiburan. Hal ini secara tidak langsung menurunkan minat masyarakat untuk berolahraga di pusat kebugaran. Penurunan ini berdampak pada penurunan pendapatan dan berimplikasi pada kelesuan industri pusat kebugaran; 4. Bahwa asas hukum di bidang perpajakan menyatakan bahwa pengenaan pajak ganda terhadap satu objek pajak merupakan suatu hal yang keliru dan memberatkan wajib pajak. Pasal 42 ayat (2) huruf i UU PDRD memnyebabkan
Alasan pokok pemohon Pertama, karena Pasal 42 ayat (2) huruf i UU PDRD mengkategorikan pusat kebugaran ( fitness center ) yang merupakan industri olahraga penyedia prasarana dan sarana untuk kegiatan olahrega ke dalam kategori penyelenggara hiburan; Kedua, Pemohon, mendasarkan kepada Putusan MK Nomor 52/PUU-IX/2011 yang salah satu pertimbangannya, sebagaimana dikutip oleh Pemohon, "...setiap cabang olahraga memang memiliki sifat menghibur, baik menghibur pemainnya ataupun penonton yang menyaksikan. Dengan demikian seharusnya pemungutan pajak hiburan tidak hanya terbatas pada olahraga "golf" semata, melainkan terhadap seluruh cabang olahraga." Ketiga, mendasarkan kepada Pertimbangan MK dalam putusan yang sama "dasar pengenaan pajak, termasuk pajak daerah tidak dapat dilakukan hanya karena adanya kebutuhan untuk pembangunan demi kemaslahatan umum sehingga mencari orang-orang atau bidang pelayanan jasa yang memiliki aspek kemampuan membayar. Pengenaan pajak harus mempertimbangkan segala aspek, termasuk jenis usaha atau kegiatan yang dapat dikenai pajak serta aspek keadilan bagi wajib pajak. Sebagaimana telah diuraikan di atas, golf adalah salah satu jenis olahraga prestasi yang dipertandingkan balk dalam tingkat nasional maupun internasional. Selain itu harus diakui pula bahwa orang bermain golf ada juga yang tidak untuk tujuan prestasi, melainkan untuk tujuan kesehatan, rekreasi, dan lain-lain. Oleh karena itu, golf tidak dapat dikelompokkan sebagai sebuah hiburan semata-mata, sehingga dapat dikenai pajak hiburan." Tanggapan terahadap Dalil Pemohon 1. Pusat kebugaran dilihat dari prasarana dan sarana olahraga yang tersedia sebagian besar untuk kebugaran dan bukan untuk prestasi. Bagi mereka yang menggunakan fasilitas pusat kebugaran dikenakan biaya cukup tinggi dalam bentuk iuran anggota ( member ) ataupun bentuk pembayaran lainnya. Kebanyakan mereka yang memanfaatkan pusat kebugaran tidak semata- mata untuk kebugaran tetapi juga untuk rekreasi, karena itu pengelola pusat kebugaran tidak hanya menyediakan sarana kebugaran tetapi sarana lain (karoke, mini cafe, sauna, makanan dan minuman, sarana Internet, dll)
Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.02/2017 tentang Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negar ...
Uji materiil terhadap PP 74 tahun 2011 tentang tata cara pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan
Relevan terhadap
Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat:
Mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya;
Mengurangkan atau membatalkan surat ketetapan pajak yang tidak benar;
Mengurangkan atau membatalkan Surat Tagihan Pajak sebagai- mana dimaksud dalam Pasal 14 yang tidak benar; atau
Membatalkan hasil pemeriksaan pajak atau surat ketetapan pajak dari hasil pemeriksaan yang dilaksanakan tanpa:
Penyampaian surat pemberitahuan hasil pemeriksaan; atau
Pembahasan akhir hasil pemeriksaan dengan Wajib Pajak. yang mengakibatkan tidak adanya kepastian hukum dan bertentangan dengan asas keadilan, Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Perpajakan a quo tidak sah dan batal demi hukum, memerintahkan Termohon untuk mencabutnya dan menghukum Termohon untuk membayar segala biaya yang timbul dalam perkara ini. Bahwa berdasarkan hal tersebut di atas, maka selanjutnya Pemohon mohon kepada Ketua Mahkamah Agung berkenan memeriksa permohonan keberatan dan memutuskan sebagai berikut:
Menerima dan mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
Menyatakan bahwa pembentukan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Perpajakan tidak memenuhi ketentuan yang berlaku yaitu karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya sehingga mengakibatkan tidak adanya kepastian hukum , asas keadilan dan asas kesesuaian antara jenis, hierarki dan materi muatan sebagaimana tertuang Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 13 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 14 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 dalam Pasal 5 huruf b dan c Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan;
Menyatakan bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Perpajakan Pasal 37 huruf d dan huruf e tidak sah dan batal demi hukum;
Memerintahkan kepada Termohon untuk mencabut Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Perpajakan Pasal 37 huruf d dan huruf e ;
Memerintahkan kepada Panitera Mahkamah Agung untuk mengirimkan petikan putusan ini kepada Sekretaris Negara untuk dicantumkan dalam Lembaran Berita Negara;
Menghukum Termohon untuk membayar segala biaya yang timbul dalam perkara ini; DAN/ATAU : Apabila Yang Mulia Majelis Hakim Agung berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya ( ex aequo et bono ); Menimbang, bahwa untuk mendukung dalil-dalil permohonannya, Pemohon telah mengajukan surat-surat bukti berupa:
Fotokopi Akta Notaris Haji Syarif Siangan Tanudjaja, SH., Notaris Jakarta (BuktiP-1);
Fotokopi KTP atas nama Hartono Sohor (BuktiP-2) ;
Fotokopi Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 201 tentang Tata Cara pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan (BuktiP-3);
Fotokopi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007, tanggal 17 Juli 2007 (BuktiP-4);
Fotokopi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (BuktiP-5);
Fotokopi Bukti Penerimaan Surat Nomor 19-01-2007 (BuktiP-6);
Fotokopi Tanda Terima Pemeriksaan Pajak (BuktiP-7) ;
Fotokopi Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (BuktiP-8);
Fotokopi Surat Tagihan Pajak No.00103/107/09/044/12(BuktiP-9);
Fotokopi Keputusan Direktur Jenderal Pajak No.260/WPJ.21/2013 tentang Penghapusan Sanksi Administrasi AtasSurat Tagihan Pajak Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Karena Permohonan Wajib Pajak (BuktiP-10); Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 14 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 15 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 11. Fotokopi Keputusan Direktur Jenderal Pajak No.KEP-839/WPJ.21/2013 tentang Penghapusan Sanksi Administrasi AtasSurat Tagihan Pajak Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Karena Permohonan Wajib Pajak (BuktiP-11);
Fotokopi Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.54639/PP/M.XIIIA/99/2014 (BuktiP-12);
Fotokopi Surat Peninjauan Kembali (Pertama) No.01/PK/XII/2014(BuktiP- 13);
Fotokopi Surat Peninjauan Kembali (Novum) No.02/PK/III/2015(BuktiP-14); Menimbang, bahwa permohonan keberatan hak uji materiil a quo telah disampaikan kepada Termohon pada tanggal 22 September 2015 berdasarkanSurat Tanda Bukti Penerimaan Jawaban Termohon Atas Permohonan Hak Uji Materiil yang diterima oleh Panitera Muda Tata Usaha Negara Mahkamah Agung Nomor 50/BJT/IX/2015/41 P/HUM/2015 _; _ Menimbang, bahwa terhadap permohonan Pemohon tersebut, Termohon telah mengajukan jawabantertulis pada tanggal 22 September 2015 yang pada pokoknya atas dalil-dalil sebagai berikut: I. POKOK PERMOHONANPEMOHON 1. Bahwa menurut Pemohon, berlakunya ketentuan Pasal 37 huruf d dan huruf e PP No. 74 Tahun 2011 telah membatasi ruang lingkup Pemohon untuk mengajukan pengurangan atau penghapusansanksi administratif atas surat tagihan pajak pertambahan nilai barang dan jasa;
Bahwa menurut Pemohon, ketentuan Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan pada dasarnya telah mengatur kewenangan Direktur Jenderal Pajak yang dapat mengurangkan atau menghapuskansanksi administrasi, akan tetapi pengaturan tersebut telah dikesampingkan oleh ketentuan Pasal 37 huruf d dan huruf e PP No 74 Tahun 2011, sehingga hak wajib pajak untuk dapat mengajukan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi tidak diperoleh;
Bahwa menurut Pemohon, pembentukan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan yang tidak sesuai dengan Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007, tidak memenuhi asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangansebagaimana tertuang Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 15 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 16 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 dalam Pasal 5 huruf b dan c Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan peraturan perundang-undangan;
Bahwa menurut Pemohon, dengan diberlakukannya ketentuan Pasal 37 huruf d dan huruf e PP No. 74 Tahun 2011 telah mengakibatkanPemohon harus membayar apa yang bukan menjadi kewajibannya sebagai wajib pajak; II.PENJELASAN TERMOHON TERHADAPKEDUDUKAN HUKUM ( LEGAL STANDING )PEMOHON. Berkenaan dengan kedudukan hukum ( legal standing/persona standiinjudicio ) dan kepentingan hukum Pemohon dalam perkara a quo , Termohon menyampaikan penjelasan, sebagai berikut : Bahwa ketentuan Pasal 31A ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentangMahkamah Agung, yang berbunyi: "Permohonan sebagaimana dimaksud ayat (1) hanya dapat dilakukan oleh Pihak yang menganggap haknya dirugikan oleh berlakunya peraturanperundang-undangan di bawah undang-undang, yaitu:
Perorangan wargaNegara Indonesia;
Kesatuan Masyarakat Hukum Adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan RepublikIndonesia yang diatur dalam undang-undang; atau
Badan hukum publikatau badan hukum privat; Bahwa ketentuan Pasal 1 ayat (4) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 tentangHak Uji Materiil, berbunyi: "Pemohon keberatan adalah kelompok masyarakat atau perorangan yang mengajukan permohonan keberatan kepada Mahkamah Agung atas berlakunya suatu peraturan perundang-undangan tingkatlebih rendah dari undang-undang"; Ketentuan tersebut mensyaratkan bahwa permohonan keberatan uji materiil dapat diajukan oleh pihak-pihak yang tepat dan adanya kerugian langsung yang diderita oleh pihak-pihak tersebut, dan benar-benar diakibatkankarena berlakunya peraturan perundang-undangan yang dimohonkan uji materi tersebut; Menurut Termohon, Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum didasarkan padaalasan sebagai berikut:
KETIDAK ADANYA KERUGIAN PEMOHON SEBAGAI Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 16 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 17 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 AKIBATBERLAKUNYA PP NO. 74 TAHUN 2011. Bahwa menurut Termohon, pada dasarnya dibentuknya PP No. 74 Tahun2011:
Bertujuan untuk memberikan kemudahan dan kejelasan bagi masyarakat dalam memahami dan memenuhi hak serta kewajiban perpajakan yang sebelumnya diatur dalam PeraturanPemerintah Nomor 80 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Perpajakan;
Bahwa ditetapkannya PP No. 74 Tahun 2011 padadasarnya merupakan bentuk pendelegasian kewenangan sebagaimana diamanatkan dalam ketentuan Pasal 48 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang, yang berbunyi: "hal-hal yang belum cukup diatur dalam undang-undang ini, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah". Bahwa pengaturan tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan dalam PP No. 74 Tahun 2011, telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku in casu berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang PenetapanPeraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang; Bahwa menurut Termohon, terkait dengan adanya kerugian langsung maupun tidak langsung yang diderita oleh Pemohon yang diakibatkan adanya PP No. 74 Tahun 2011 tersebut, Termohon sama sekali tidak melihat adanya hubungan sebab akibat ( causal verband) yaitu antara kerugian yang diderita oleh Pemohon dengan berlakunya PP No. 74 Tahun 2011 dimaksud. Pemohon dalam permohonannya sarna sekali tidak menguraikan secara jelas dan komprehensif mengenai kerugian yang diderita oleh karena Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 17 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 18 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 berlakunya norma yang diuji in casu PP No. 74 Tahun 2011. Pemohon hanya berasumsi memiliki kepentingan hukum untuk mengajukan permohonan judicial review perkara aquo hanya didasarkan bahwa karena upaya Pemohon untuk mengajukan permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi atas surat tagihan pajak pajak pertambahan nilai barang dan jasa ditolak oleh Dirjen Pajak melalui keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP.839/WJP.21/2013 tanggal 27 November 2013. Yang kemudian oleh Pemohon Keputusan Dirjen Pajak tersebut digugat kepengadilan Pajak, yang kemudian oleh Pengadilan pajak gugatan Pemohon tidak dapat dikebulkan. Sehingga menurut Termohon, problematika hukum yang dihadapi oleh Pemohon bukanlah disebabkan keberlakuan PP No. 74 Tahun 2011 melainkan karena adanya penolakan terhadap pengajukan permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi Pemohon oleh Dirjen Pajak melalui keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP.839/WJP.21/2013 tanggal 27 November 2013, maka kerugian yang diderita oleh Pemohon baik langsung maupun tidak langsung bukanlah akibat oleh berlakunya PP No.74 Tahun 2011, dan tidak adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kepentingan hukum Pemohon dengan berlakunya PP No. 74 Tahun 2011;
PERMOHONAN NEBISIN IDEM . Bahwa permohonan yang diajukan oleh Pemohon adalah untuk menguji ketentuan Pasal 37 huruf d dan huruf e Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara PelaksanaanHak ·dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan; Bahwa pengujian terhadap ketentuan Pasal 37 huruf d dan huruf e Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan pernah dilakukan pengujian dalam perkara Nomor 43P/HUM/2012 oleh PT. Best World Indonesia dan telah diputus oleh Mahkamah Agung pada tanggal 6 April2013 dengan amar putusan menolak Permohonan Pemohon; Bahwa dalam alasan-alasan dalam pokok Permohonan yang diajukan oleh PT. Best World Indonesia pada dasarnya sama Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 18 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 19 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 dengan yang diajukan oleh Pemohon yang menganggap bahwa ketentuan Pasal 37 huruf d dan huruf e Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan telahbertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; Dengan demikian menurut Termohon, oleh karena pokok permohonan yang diajukan oleh Pemohon sama dengan pokok permohonan dalam perkara Nomor 43P/HUM/2012, oleh sebab itu Termohon berpendapat permohonan Pemohon _Nebis In Idem; _ __ III.LATAR BELAKANG TERBITNYA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 74 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PELAKSANAANHAK DAN PEMENUHAN KEWAJIBAN PERPAJAKAN. Sebagai gambaran bagi Majelis Hakim Agung yang memeriksa dan mengadili permohonan a quo , kami sampaikan latar belakang pembentukan PP No 74 Tahun 2011 yang diajukan permohonan uji materiil olehPemohon, sebagai berikut:
Undang-Undang di bidang perpajakan memberikan amanat pengaturan kepada peraturan perundang-undangandi bawahnya;
Amanat pengaturan kepada Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri Keuangan yang diberikan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2009 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2009 (untuk selanjutnya disebut sebagai Undang-Undang KUP) merupakan undang-undang yang berisi ketentuan formal yang mengatur mengenai tata cara dan prosedur pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan baik bagi Wajib Pajak maupun petugas pajak. Ketentuan formal ini diberlakukan untuk melaksanakan ketentuan dalam undang-undang pajak material, seperti Undang-Undang Pajak Penghasilan atau Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah; Undang-Undang KUP memberikan amanat kepada Pemerintah selaku lembaga eksekutif yang melaksanakan Undang-Undang Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 19 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 20 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 untuk mengatur lebih lanjut ketentuan dalam Undang-Undang KUP baik melalui Peraturan Pemerintah ataupun PeraturanMenteri Keuangan. Amanat pengaturan kepada Peraturan Pemerintah di dalam Undang-Undang KUP terdapat dalam 3 (tiga) Pasal yang dapat diuraikan sebagai berikut: a) Pasal 35A yangberbunyi : Ayat (1) "Setiap instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain, wajib memberikan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan kepada DirektoratJenderal Pajak yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah dengan memperhatikan ketentuansebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2)"; __ Ayat (2) "Dalam hal data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mencukupi, Direktur Jenderal Pajak berwenang menghimpun data dan informasi untuk kepentingan penerimaan negara yang ketentuannya diatur dengan Peraturan pemerintah dengan memperhatikanketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2)"; b) Pasal 37 yangberbunyi: "Perubahan besarnya imbalan bunga dan sanksi administrasi berupabunga, denda, dan kenaikan, diatur denganPeraturan Pemerintah"; c) Pasal 48 yangberbunyi: "Hal-hal yang belum cukup diatur dalam undang-undang ini, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah"; Amanat pengaturan kepada Peraturan Pemerintah tersebut menunjukkan bahwa Undang-Undang KUP tidak dapat berdiri sendiri melainkan harus ditopang oleh peraturan perundang-undangan di bawahnya. Terkait amanat Pasal 48 Undang-Undang KUP yang menjadi dasar pembentukan PP 74/2011 yang diajukan uji materiil oleh Pemohon, dapat kami sampaikan bahwa meskipun pasal tersebut memberikan kewenangan yang sangat luas kepada Pemerintah untuk mengatur hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-Undang KUP, namun kewenangan tersebut dilakukan dengan tetap memperhatikan asas legalitas serta mengedepankan prinsip keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan yang menjadi Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 20 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 21 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 dasar dalam pembentukan peraturan pemerintah. Selain itu, pengaturan yang dilakukan juga sejalan dengan kebutuhan untuk menyesuaikan proses dan prosedur administrasi perpajakan dengan perubahan yang sangat dinamis dalam masyarakat Wajib Pajak;
Amanat pengaturan kepada peraturan pemerintah dalam undang- undangpajak material; Amanat pengaturan kepada peraturan pemerintah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang KUP dapat ditemukan juga dalam ketentuan undang-undang pajak material seperti Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (untuk selanjutnya disebut Undang- Undang PPh) dan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentangPerubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (untuk selanjutnya disebut Undang-Undang PPN). Bahkan amanat pengaturan yang serupa dengan Pasal 48 Undang- Undang KUP juga ditemukan dalam undang-undang material tersebut, yaitu: a) Pasal 35 Undang-UndangPPh. "Hal-hal yang belum cukup diatur dalam undang-undang ini diatur lebih lanjutdengan Peraturan Pemerintah"; b) Pasal 19 Undang-UndangPPN. "Hal-hal yang belum diatur dalam undang-undang ini diatur lebih lanjut dengan PeraturanPemerintah"; Pengaturan kepada peraturan pemerintah dalam undang-undang material tersebut, khususnya amanat pengaturan terhadap hal-hal yang belum cukup diatur dalam undang-undang melalui Peraturan Pemerintah, menunjukkan bahwa dalam undang-undang di bidang perpajakan pengaturan tersebut memang diperlukan. Pengamanatan pengaturan kepada peraturan pemerintah mengenai hal-hal yang belum cukup diatur dalam undang-undang ditujukan untuk memberikan kemudahan kepada Pemerintah dalam menyesuaikan ketentuan dalam Undang-Undang,sebagai akibat terjadinya perkembangan masyarakat, ekonomi, sosial, budaya dan hukum itu sendiri tanpa harus mengubah Undang-Undang, namun tetap berpegang pada asas kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan, termasuk asas-asas hukum atau prinsip- Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 21 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 22 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 prinsip hukum yang berlaku umum. Hal ini didasarkan pada pertimbangan waktu yang lebih singkat dalam pembentukan Peraturan Pemerintah dibandingkan dengan waktu yang diperlukan dalam pembentukan Undang-Undang. Dengan demikian, Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaan Pasal 48 Undang-Undang KUP seperti halnya peraturan pemerintah sebagai pelaksanaan Undang- Undang PPh dan Undang-Undang PPN, berfungsi sebagai pelengkap yang merupakan satu kesatuan dengan Undang-Undang KUPitu sendiri;
Fungsi PP 74/2011 sebagai pelengkap Undang-Undang Meskipun sarna-sarna memberikan amanat untuk pengaturan kepada Peraturan Pemerintah, namun amanat pengaturan kepada Peraturan Pemerintah yang terdapat dalam Pasal 37 dan Pasal 48 Undang-Undang KUP memiliki karakteristik tersendiri. Hal tersebut dapatdijelaskan sebagai berikut:
Fungsi pengaturan dalam Peraturan Pemerintah berdasarkan Pasal 37 Undang-Undang KUP Pasal 37 Undang-Undang KUP jelas mengatur bahwa Pemerintah diberi kewenangan untuk mengubah besaran sanksi administrasi dan besaran imbalan bunga melalui Peraturan Pemerintah tanpa harus mengubah Undang-Undang. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun perubahan besaran sanksi atau besaran imbalan bunga diatur dalam Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaan Pasal 37, namun hal inimempunyai makna bahwa pengaturan besaran sanksi administrasi dan besaran imbalan bunga tersebut secara substansial mempunyai kedudukan yang sama dengan pengaturan dalam Undang-Undang. Oleh karena itu, Peraturan Pemerintah amanat Pasal 37 Undang-Undang KUP tersebut harus dipandang sebagai pengganti (substitusi) dari pasal- pasal dalam Undang-Undang KUP yang mengatur mengenai besarnya sanksi administrasi dan besarnya imbalan bunga;
Fungsi Pengaturan dalam Peraturan Pemerintah berdasarkan Pasal 48 Undang-UndangKUP. Hal demikian berlaku juga untuk Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaan Pasal 48 Undang-Undang KUP. Sebagaimana bunyi dari ketentuan Pasal 48 Undang-Undang KUP tersebut di atas, ketentuan Pasal 48 tersebut dimaksudkan untuk memberikan exit Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 22 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 23 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 strategy (jalan keluar) kepada Pemerintah untuk segera menyesuaikan ketentuan yang belum cukup diatur dalam Undang- Undang sebagai akibat adanya perkembangan masyarakat, ekonomi, sosial, budaya dan hukum itu sendiri. Seperti diketahui bahwa perkembangan hukum di bidang perpajakan termasukperkembangan administrasi perpajakan berlangsung sangat dinamis seiring dengan perkembangan teknologi, perkembangan sosial-budaya, dampak globalisasi (praktek perpajakan negara lain) yang memerlukan penyesuaian ketentuan secara cepat; Itulah sebabnya, terhadap ketentuan Pasal 48 Undang-Undang KUP, sejak Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sampai dengan perubahan terakhir dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tidak pernah dilakukan peru bahan, mengingat materi yang telah diatur dalam Undang-Undang KUP masih sangat mungkin berkembang sehingga penyesuaian terhadap materi tersebut tidak harus dilakukan dengan mengubah Undang-Undang. Ketentuan Pasal 48 Undang-Undang KUP juga dimaksudkan untuk menjaga kelenturan pengaturan yang dilakukan oleh Undang-Undang dalam rangka mengantisipasi demikiancepatnyaperubahan-perubahan yang terjadi di bidang perpajakan; Oleh karena itu, Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaan Pasal 48 UU KUP berfungsi sebagai pelengkap UU KUP yang harus dipandang sebagai satu kesatuan dengan undang-undang induknya, yaitu Undang-Undang KUP itu sendiri. Hal ini sejalan dengan bunyi penjelasan Pasal 48 Undang-Undang KUPyang menyatakan: "Untuk menampung hal-hal yang belum cukup diatur mengenai tata cara atau kelengkapan yang materinya sudah dicantumkan dalam Undang-undang ini, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Dengan demikian akan lebih mudah mengadakan penyesuaian pelaksanaanUndang-Undang ini dan tata carayang diperlukan"; Dari penjelasan ini terlihat bahwa berbeda dengan anggapan Pemohon bahwa seharusnya PP 74/2011 hanya berisi tata cara dan bukannya materi, Pasal 48 Undang-Undang KUP justru Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 23 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 24 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 memberikan ruang untuk mengatur kelengkapan yang materinya sudah dicantumkan dalam Undang-Undang KUP kepada Peraturan Pemerintah, termasukdiantaranya materi tentang hat-hat yang masih belum jelas dan belum cukup diatur;
Latar Belakang PembentukanPP 74/2011:
Pembentukan Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2007 sebagai pelaksanaan Pasal 48 Undang-Undang KUP Dalam rangka memberikan kemudahan dan kejelasan bagi masyarakat untuk memahami dan memenuhi hak dan kewajiban perpajakannya, Pemerintah memandang perludiberikan suatu kepastian hukum dalam melaksanakan ketentuan umum dan tata cara perpajakan dengan mengatur ketentuan umum tersebut dalam suatu Peraturan Pemerintah; Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Perpajakan Berdasarkan Undang- Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir denganUndang-Undang Nomor 28 Tahun 2007, merupakan Peraturan Pemerintah yang pertama kali dibentuk untuk melaksanakan amanat Pasal 48 Undang-Undang KUP. Dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2007, celah-celah yang timbul dalam sistem administrasi perpajakan karena belum cukup pengaturan dalam Undang-Undang KUP, misalnya pada permasalahan tata cara pemeriksaan, tata cara penetapan pajak yang tidak atau kurang dibayar, tata cara pemberian imbalan bunga, serta tata cara upaya hukum dapat terjawab karena pengaturan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2007mengisikekosongan yang belum cukup diatur dalam Undang- Undang KUP. Peraturan Pemerintah tersebut disusun dengan tetap mendasarkan pada prinsip kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan;
Pembentukan PP 74/2011 sebagai pengganti Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun2007; Seiring dengan perkembangan hukum dan masyarakat khususnya di bidang perpajakan, serta untuk menyelaraskan dengan Undang- Undang PPh dan Undang-Undang PPN dipandang perlu untuk Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 24 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 25 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 melakukan penggantian Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2007. Penggantian Peraturan Pemerintah Nomor80 Tahun 2007 dilakukan dengan menerbitkan PP 74/2011; PP 74/2011 juga dibuat agar lebih memberikan kejelasan dan kepastian hukum bagi Wajib Pajak, fiskus, maupun hakim Pengadilan Pajak dalam pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan. Permasalahan dalam ketentuan formal di bidang perpajakan yang selama ini menimbulkankeragu-raguan disempurnakan melalui PP 74/2011; Penyempurnaan materi dalam PP 74/2011 adalah antaralain:
Penyempurnaan ketentuan yang terkait tata cara pendaftaran dan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak sertapengukuhan dan pencabutan Pengusaha Kena Pajak;
Penyempurnaan ketentuan yang terkait dengan tata cara pembetulan Surat Pemberitahuan, dan pengungkapanketidak- benaran;
Penyempurnaan ketentuan yang terkait dengan tata cara penetapan berdasarkanketerangan lain;
Penyempurnaan ketentuan yang terkait dengan jalur-jalur upaya hukum yang dapat ditempuholeh Wajib Pajak;
Penyempurnaan ketentuan yang terkait dengan tata cara pemberian imbalanbunga;
Penyempurnaan ketentuan mengenai tata cara pembukuan dan pemeriksaan terhadap WajibPajak;
Penyempurnaan ketentuan mengenai tata cara Pemeriksaan Bukti Permulaan dan penghentian penyidikan;dan h. Penyempurnaan ketentuan yang terkait dengan aspek perpajakan internasional ( Mutual Agreement Procedure, Exchange of Information ,dan Advance Pricing Agreement );
Pembentukan PP 74/2011 sebagai suatukeniscayaan. Berdasarkan uraian latar belakang pembentukan Peraturan Pemerintah tersebut di atas, terlihat bahwa pembentukan PP 74/2011 sebagai pelaksanaan Pasal 48 Undang-Undang KUP, didasarkan pada kebutuhan masyarakat akan keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan dalam pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan yang merupakan hal yang tidak dapat Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 25 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 26 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 ditawar-tawar lagi. Termasuk dalam kepastian hukum tersebut adalah pengaturan terhadap pasal-pasal yang dapat menimbulkan perbedaan penafsiran termasuk pengaturan Pasaf 37 PP 74/2011 yang menjelaskan Pasal 23 ayat (2) huruf c yang diajukanpermohonan uji materiil oleh Pemohon. Dengan pengaturan terhadap ketentuan dalam Undang-Undang KUP yang dapat menimbulkan perbedaan penafsiran tersebut dalam PP 74/2011, permasalahan ketidakpastian hukum dalam mencari keadilan dapat teratasi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pembentukan PP 74/2011 yangmenggantikan Peraturan Pemerintah Nomor80 Tahun 2007 merupakan suatu keniscayaan dalam menyikapi perubahan ekonomi, sosial, sosial dan budaya hukum khususnya yang terkat dengan bidang perpajakan, di samping untuk memberikan kepastian hukum dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan dari Wajib Pajak; IV.JAWABAN TERMOHONTERHADAP POKOK PERMOHONANPEMOHON;
Termohon tidak sependapat dengan anggapan/argumentasi Pemohon dalam permohonannya yangmenyatakan : Bahwa menurut Pemohon, berlakunya ketentuan Pasal 37 huruf d dan huruf ePP No. 74 Tahun 2011 telah membatasi ruang lingkup pemohon untuk mengajukan pengurangan atau penghapusan sanksi administratif atas surattagihan pajak pertambahan nilai barangdan jasa; Terhadap alasan/anggapan Pemohon di atas, Termohon memberikan penjelasan sebagaiberikut :
Kewenangan penerbitan Surat Ketetapan Pajak oleh Direktur Jenderal Pajak dan jalur upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak Sebelum menanggapi dalil-dalil yang diajukan Pemohon terhadap Pasal 37 PP 74/2011, perlu kiranya disampaikan filosofi yang dibangun oleh Undang-Undang KUP khususnya yang terkait dengan kewenangan Direktur Jenderal Pajak untuk menerbitkan surat ketetapan pajak dan upaya hukum yang dapatdilakukan oleh Wajib Pajak terkait dengan penetapan tersebut;
Kewenangan DJP untuk menerbitkan Surat ketetapan Pajak berdasarkan Undang-UndangKUP. Dalam sistem perpajakan yang dianut di Indonesia, Wajib Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 26 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 27 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 Pajak diberi kepercayaan penuh untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan sendiri kewajiban perpajakannya ( self assessment ). Hal ini sebagaimana telah diatur dalam Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang KUP yangberbunyi: "Setiap Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak"; __ Dengan pemberian kepercayaan tersebut, pajak yang dilaporkan oleh Wajib Pajak dianggap benar dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Hal ini sejalan dengan bunyi Pasal 12 ayat (2) Undang- Undang KUP sebagai berikut: "Jumlah Pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan yang disampaikan oleh Wajib Pajak adalah jumlah pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undanganperpajakan"; Sistem self assessment menuntut kejujuran Wajib Pajak dalam membayar dan melaporkan jumlah pajak yang terutang. Apabila Wajib Pajak membayar dan melaporkan jumlah pajak yang terutang sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, terhadap Wajib Pajak tidak akandiambil tindakan penegakan hukum. Namun, apabila Direktur Jenderal Pajak mendapatkan bukti jumlah pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan tidak benar, Direktur Jenderal Pajak memiliki kewenangan menetapkan jumlah pajak yang terutang sesuai dengankewenangan yang diberikan olehPasal 12 ayat (3) Undang-Undang KUP; Penetapan jumlah pajak yang terutang oleh Direktur Jenderal Pajak dilakukan berdasarkan kewenangan Direktur Jenderal Pajak untuk menerbitkan surat ketetapan pajak, Adapun kewenangan penerbitan surat ketetapan pajak yang dimiliki oleh Direktur Jenderal Pajak, dapat diuraikan sebagaiberikut: a) Pasal 13 Undang-UndangKUP: Ayat (1): Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 27 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 28 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dalam hal-hal sebagaiberikut:
Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain pajak yang terutang tidak atau kurangdibayar;
Apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) dan setelah ditegursecara tertuiis tidak disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran; __ c. Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain mengenai Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah ternyata tidak seharusnya dikompensasikanselisih lebih pajak atau tidak seharusnya dikenai tarif 0% (nol persen); __ d. Apabila kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 atau Pasal 29 tidak dipenuhi sehingga tidak dapat diketahui besarnyapajak yang terutang;atau __ e. Apabila kepada Wajib Pajak diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan sebagaimanadimaksud dalam Pasal 2 ayat (4a). b) Pasal 15 Undang-UndangKUP: Ayat (1): Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dalam jangka waktu 5(lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak apabila ditemukan data baru yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang setelah dilakukan tindakan pemeriksaan dalam rangka penerbitanSurat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan; c) Pasal 17 Undang-UndangKUP: Ayat (1): Direktur Jenderal Pajak, setelah melakukan pemeriksaan, menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar apabila jumlahkredit pajak atau jumlah pajak yang Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 28 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 29 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 dibayar lebih besar daripada jumlah pajakyang terutang; __ d) Pasal 17A Undang-UndangKUP: Ayat (1): Direktur Jenderal Pajak, setelah melakukan pemeriksaan, menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Nihil apabila jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar sama dengan jumlah pajak yang terutang, atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak atau tidak ada pembayaranpajak; Pemberian kewenangan kepada Direktur Jenderal Pajakuntuk menerbitkan ketetapan pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 13, Pasal 15, Pasal 17, dan Pasal 17A Undang-Undang KUP pada dasarnya adalah untuk memastikan bahwa Wajib Pajak melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya dengan tepat dan benar sebagaimana yang dimaksudkan dalam ketentuan perundangan-undangan dibidang per- pajakan. Namun demikian, dalam menerbitkan surat ketetapan pajak tersebut, Direktur Jenderal Pajak tidak dapat sewenang- wenangmelainkan tetap harus sesuai dengan prosedur atau tata cara dalam rangka penerbitan surat ketetapan pajak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang KUP dan peraturan pelaksanaannya; Demikian juga, penetapan jumlah pajak yang terutang dalam surat ketetapan pajak tersebut, juga harus sesuai dengan ketentuan material (Undang-Undang PPh dan Undang- UndangPPN); Oleh karena itu, dalam hal surat ketetapan pajak yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak tidak sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh Undang-Undang KUP, Wajib Pajak dapat mengajukan upaya hukum terkait dengan tidak dipenuhinya prosedur tersebut. Demikian halnya, dalam hal jumlah pajak yang terutang dalam surat ketetapan pajak tidak disetujui oleh Wajib Pajak, Wajib Pajak juga dapat mengajukan upaya hukum terkait dengan jumlah pajak yang terutang tersebut. Upaya hukum terkait dengan prosedur penerbitan surat ketetapan pajak dan upaya hukum terkait dengan jumlah pajak yang terutangdalam surat ketetapan pajak tersebut Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 29 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 30 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 merupakan 2 (dua) jalur upaya hukum yang berbeda, sehingga tidak dapat dicampuradukkan dalam implementasinya;
Skema upaya hukum dalam Undang-Undang KUP atas Surat KetetapanPajak; Sebagaimana telah diuraikan pada bagian sebelumnya bahwa terdapat 2 (dua) jalur upaya hukum yang dapat ditempuh oleh Wajib Pajak, terkait dengan surat ketetapan pajak yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak. Hal ini disebabkan terdapat 2 (dua) kemungkinansengketa yang terjadi akibat diterbitkannya produk hukum berupa surat ketetapan pajak, yaitu: a) Adanya kemungkinan sengketa yang terkait dengan jumlah pajak yang terutang dalam surat ketetapanpajak; b) Adanya kemungkinan sengketa terkait dengan prosedur penerbitan surat ketetapanpajak; Untuk memperjelas 2 (dua) jenis sengketa dan upaya hukum terkait dengan sengketa tersebut, dapat diuraikan hal-hal sebagaiberikut: a)Sengketa dan upaya hukum terkait dengan jumlah pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak Penerbitan surat ketetapan pajak oleh Direktur Jenderaf Pajak dilakukan berdasarkan hasil verifikasi atau hasil pemeriksaan. Sesuai dengan Pasal 29 Undang-Undang KUP, Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji pemenuhan kewajibanperpajakan Wajib Pajak. Pelaksanaan pemeriksaan dimaksudkan dalam rangka pengawasan kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dari Wajib Pajak; Sebagaimana telah diuraikan di atas, Wajib Pajak diberikan kepercayaan penuh dalam menghitung, membayar, dan melaporkan pajaknya. Namun demikian, kebenaran pemenuhan kewajiban perpajakan tersebut tentunya perlu diuji dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang ada, khususnya undang-undang pajak material seperti Undang- Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 30 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 31 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 Undang PPh atau Undang-Undang PPN.Apabila pemenuhan kewajiban perpajakan sudah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, maka tidak akan ada koreksi pajak yang terutang yang menjadi sengketa. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa tidak jarang petugas pajak melakukan koreksi yang diakibatkan baik karena perbedaan pemahaman akan undang-undang perpajakan maupun karena ketidakpatuhan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, sehingga menyebabkan terjadinya sengketa; Atas koreksi tersebut Wajib Pajak bisa menyetujui atau tidak menyetujui. Dalam hal Wajib Pajak menyetujui jumlah pajak yang terutang, Wajib Pajak harus membayar jumlah pajak yang terutang; Dalam hal tidak menyetujui tidak diwajibkan untuk membayar, dan dapat mengajukanupaya hukum; Dalam hal Wajib Pajak tidak setuju dengan jumlah pajak terutang yang ditetapkan Direktur Jenderal Pajak, Wajib Pajak dapat mengajukan upaya hukum sebagaiberikut:
Pembetulan Berdasarkan Pasal 16 UUKUP. Pembetulan dilaksanakan untuk menjalankan tugas pemerintahan yang baik sehingga apabila dalam surat ketetapan pajak terdapat kesalahan atau kekeliruanperlu dibetulkan sebagaimana mestinya; Oleh karena itu, apabila terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung, atau kesalahan penerapan per- aturan perundang-undangan baik yang ditemukan oleh Direktur Jenderal Pajak maupun yang ditemukan oleh Wajib Pajak, kesalahan tersebut harus dibetulkan baik secara jabatan atau berdasarkan permohonan Wajib Pajak; Ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan telah mengatur 18 (delapan belas) produk hukum yang dapat dibenarkan,meliputi: a) Surat ketetapan pajak yang meliputi Surat Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 31 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 32 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil, dan Surat Ketetapan PajakLebih Bayar; b) Surat TagihanPajak; c) Surat KeputusanPembetulan; d) Surat KeputusanKeberatan; e) Surat Keputusan Pengurangan SanksiAdministrasi; f) Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi; g) Sura! Keputusan Pengurangan KetetapanPajak; h) Surat Keputusan Pembatalan KetetapanPajak; i) Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan KelebihanPajak; j) Surat Keputusan PemberianImbalan Bunga; k) Surat Pemberitahuan PajakTerhutang; I) Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi danBangunan; m)Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi danBangunan; n) Surat Keputusan Pemberian Pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan; atau
Surat Keputusan Pengurangan Denda Pajak Bumi danBangunan; Luasnya cakupan produk hukum yang dapat dibetulkan tersebut menunjukkan bahwa Wajib Pajak juga diberikan kesempatan yang luas untuk mengajukan upaya hukum terkait kesalahan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Oleh karena itu, sebelum mengajukan upaya hukum yang lain, sepanjang terkait dengan kesalahan yang termasuk dalam ruang lingkup Pembetulan, Wajib Pajak seharusnya menempuh upaya hukumPembetulan; Sebagaimana diatur dalam Pasal 16 UU KUP, pembetulan dilakukan apabila terjadi kesalahan atau kekeliruan sebagaiakibat dari:
Kesalahan tulis, antara lain kesalahan berupa Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 32 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 33 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak, nomor surat ketetapan pajak, jenis pajak, Masa Pajak atau Tahun Pajak, dan tanggal jatuhtempo;
Kesalahan hitung, antara lain kesalahan yang berasal dari penjumlahan dan/atau pengurangan dan/atau perkalian dan/atau pembagian suatu bilangan. Termasuk dalam pengertian kesalahan hitung adalah kesalahan akibat diterbitkannya suratketetapan pajak, SK Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali atas Masa Pajak atau Tahun Pajak lain yang mempengaruhi Masa Pajak atau Tahun Pajaklain; atau 3) Kekeliruan dalam penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan, yaitu kekeliruan dalam penerapan tarif, kekeliruan penerapan persentase Norma Penghitungan Penghasilan Neto, kekeliruan penerapan sanksi administrasi, kekeliruan Penghasilan Tidak Kena Pajak,kekeliruan penghitungan Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan, dan kekeliruan dalampengkreditan pajak; Dalam ketentuan Pasal 16 Undang-Undang KUP, diatur bahwa upaya pembetulan dapat dilakukan berulang kali sepanjangmasih terdapat kesalahan dalam surat ketetapan pajak dimaksud. Hal ini didasarkan pada prinsip bahwa apabila terjadi suatu kekeliruan atau kesalahan, maka dengan sendirinya harus dilakukan pembetulan ( ipso jure ). Misalnya terhadap surat ketetapan pajak yang yang diajukan permohonan pembetulan dan telah diterbitkan Surat Keputusan Pembetulan, maka terhadap surat ketetapan pajak tersebut masih dapat dilakukan upaya hukum pembetulan, keberatan, pengurangan ketetapan pajak, atau pembatalan ketetapan, dan dapat pula diajukan pengurangan maupun Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 33 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 34 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 penghapusan sanksi administrasi. Bahkan apabila terhadap surat ketetapan pajak tersebut tidak dilakukan penyampaian hasil pemeriksaan dan atau pembahasan akhir dengan Wajib Pajak, tetap dapat dilakukan pembatalan surat ketetapan pajak. Prinsip ipso jure tersebut berlaku pula secara mutatis mutandis terhadap produk hukum lainnya yang diterbitkan Surat Keputusan Pembetulan oleh Direktur Jenderal Pajak;
Keberatan, Banding, dan Peninjauan kembali sebagai upaya penyelesaian sengketa perpajakan melalui proseslitigasi; Dalam hal terdapat perbedaan pendapat yang menjadi sengketa antara Wajib Pajak dengan Direktur Jenderal Pajak mengenai jumlah pajak yang terutang dalam surat ketetapan pajak, Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 25 dan Pasal 26 Undang-Undang KUP. Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak merupakan upaya penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi.Dalam proses keberatan, pihak yang mengadili adalahsekaligus pihak yang ber- sengketa, yaitu Direktur Jenderal Pajak. Dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak berposisi sebagai lembaga pengadil semu atau yang juga dikenal sebagai quasi peradilan ( quasi judicial ) yang menjalankan fungsi yudikatif dan eksekutif; Sebelum mengajukan keberatan, Wajib Pajak diharuskan untuk membayar pajak yang terutang dalam surat ketetapan pajak paling sedikit sebesar yang telah disetujui dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan atau verifikasi. Jumlah pembayaran pajak yang terutang sebelum pengajuan keberatan akan menentukan jumlah sanksi yang akan dikenakankepada Wajib Pajak apabila berdasarkan hasil Keputusan Keberatan atau Putusan Banding Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 34 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 35 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 jumlah pajak yang terutang lebih besar daripada jumlah yang telah dibayar sebelum pengajuan keberatan. Akan tetapi perlu diingat bahwa apabila Wajib Pajak yakin dengan jumlah pajak yang terutang yang disetujuinya, maka seharusnya tidak perlu terdapat kekhawatiranakan pengenaan sanksi tersebut karena hal tersebut akan terbukti dalam proses keberatan atau dalam proses banding. Hal ini memperlihatkan bahwa bahkan sebelum pengajuan upaya penyelesaian sengketa, Wajib Pajak masih diberikan keleluasaan pembayaran oleh Direktur Jenderal Pajak; Direktur Jenderal Pajak harus mengambil keputusan atas permohonan keberatan Wajib Pajak dalam jangka waktu 12 bulan sejak permohonan diterima secara lengkap. Keputusan Direktur Jenderal Pajak atas keberatan dapat berupa mengabulkan seluruhnya atau sebagian, menolak atau menambah besarnya jumlah pajak yang masih harus dibayar.Apabila berdasarkan keputusan keberatan terdapat jumlah kekurangan pajak yang belum dibayar sebelum pengajuankeberatan dilakukan, maka Wajib Pajak dikenai sanksi 50% dari pajak yang kurang dibayar tersebut; Dalam proses penyelesaian sengketa melalui proses keberatan, dapat terjadi bahwa hasil keputusan keberatan tidak memuaskan Wajib Pajak. Dalam hal Wajib Pajak tidak puas terhadap hasil Keputusan Keberatan, Wajib Pajak dapat mengajukan Banding hanya kepada PengadilanPajak; Proses banding di Pengadilan Pajak merupakan upaya penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi murni dimana pihak yang mengadili adalah hakim Pengadilan Pajak, yang merupakan pihak di luar pihak yang bersengketa. Hasil Putusan Pengadilan Pajak dapat berupa menolak, mengabulkan sebagian Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 35 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 36 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 atau seluruhnya, menambah Pajak yang harus dibayar, atau menyatakan tidak dapat diterima atas permohonanbanding; Mengingat bahwa Putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan akhir dan mempunyai kekuatan hukum tetap, terhadap Putusan Banding dari Pengadilan Pajak tidak dapat diajukan upaya hukum baik berupa tidak dapat lagi diajukan Gugatan, Banding, atau Kasasi. Apabila berdasarkan Putusan Banding terdapat jumlah kekurangan pajak yang belum dibayarsebelum pengajuan keberatan dilakukan, maka Wajib Pajak dikenai sanksi 100% dari pajak yang kurang dibayar tersebut; Namun demikian, salah satu pihak yang bersengketa, baik WajibPajak atau Direktur Jenderal Pajak berdasarkan alasan-alasan tertentu berikut dapat mengajukan upaya hukum luar biasa berupa permohonan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung. Alasan-alasan tersebut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang PengadilanPajak adalah:
Apabila putusan Pengadilan Pajak didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yangkemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu;
Apabila terdapat bukti tertulis baru yang penting dan bersifat menentukan, yang apabila diketahui pada tahap persidangan di Pengadilan Pajak akan menghasilkanputusan yang berbeda;
Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut, kecuali yang diputus berdasarkan Pasal 80 ayat (1) hurufb dan c;
Apabila mengenai suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab- Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 36 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 37 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 sebabnya;atau e. Apabila terdapat suatu putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yangberlaku; Pengajuan Peninjauan Kembali atas Putusan Banding dari Pengadilan Pajak kepada Mahkamah Agung tidak menghalangi eksekusi Putusan Banding. Hal ini didasarkan kembali pada prinsip bahwa Putusan Banding adalah Putusan yang bersifat final danmengikat; Namun demikian, hal ini tidak berarti bahwa Putusan Mahkamah Agung atas Peninjauan Kembali atas Putusan Banding Pengadilan Pajak tidak memiliki kekuatan hukum, karena Undang-Undang KUP telah mengatur bahwa Putusan Mahkamah Agung atas Peninjauan Kembali atas Putusan Banding Pengadilan Pajakmerupakan dasar penagihan pajak apabila berdasarkan Putusan Mahkamah Agung atas Peninjauan Kembali atas Putusan Banding Pengadilan Pajak terdapat kekurangan pembayaran pajak, atau merupakan dasar pengembalian pajak yang terutang apabila berdasarkan Putusan Mahkamah Agung atas Peninjauan Kembali atas Putusan Banding Pengadilan Pajak terdapat kelebihan pembayaran pajak; Jalur upaya hukum melalui proses litigasi yang telah disediakan bagi Wajib Pajak yang tidak menyetujui jumlah pajak yang terutang menunjukkan bahwa Wajib Pajak diberikan akses penuh untuk mencari keadilan terkait jumlah pajak yang terutang. Oleh karena itu menjadi tidak beralasan apabila ada pihak yang berpendapat bahwa peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan menghalangi upaya Wajib Pajak untuk mencari keadilan. Hal yang sesungguhnya terjadi adalah pembagian klaster upaya hukum yaitu jalur terkait prosedural penerbitan surat ketetapan Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 37 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 38 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 pajak dan jalur terkait jumlah pajak yang terutang. Pembagian ini bertujuan untuk kepastian hukum agar Wajib Pajak mengajukan upaya hukum sesuai dengan jenis sengketa;
Pengurangan atau Pembatalan Surat Ketetapan Pajak sebagai upaya penyelesaian sengketa perpajakan nonlitigasi; Dalam hal Wajib Pajak tidak menyetujui jumlah pajak yang terutang yang terdapat dalam surat ketetapan pajak, selain dapat menggunakan jalur upaya penyelesaian sengketa melalui proseslitigasi, Wajib Pajak juga diberikan kesempatan untuk mengajukan upaya penyelesaian sengketa non litigasi berupa permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar. Permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar dapat diajukan oleh Wajib Pajak paling banyak 2 (dua) kali. Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permohonan diterima harus menerbitkan Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak atau Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak. Surat keputusan dimaksud berisi keputusan berupa mengabulkan seluruhnya atau sebagian, atau menolak permohonan Wajib Pajak; Berkenaan dengan hal tersebut di atas dapat kami sampaikan bahwa pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang disengketakan merupakan bentuk ordonansi keadilan yang dapat ditempuh oleh Wajib Pajak yang berakhir pada Direktur Jenderal Pajak. Dalam hal Wajib Pajak mendapat keputusan pertama atas pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak dan Wajib Pajak merasabelum memperoleh keadilan, maka Wajib Pajak dapat menyampaikan permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang kedua. Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 38 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 39 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 Keputusan yang diambil oleh Direktur Jenderal Pajak merupakan keputusan final atas jumlah pajak terutang yang disengketakan; Pengajuan salah satu upaya penyelesaian sengketa, berupa keberatan atau permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar akan menegasikan kesempatan pengajuan upaya penyelesaiansengketa yang lain; Oleh karena itu Wajib Pajak hanya dapat mengajukan permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidakbenar apabila Wajib Pajak tidak mengajukan keberatan atau mengajukan keberatan tetapi tidak dipertimbangkan oleh Direktur Jenderal Pajak. Demikian pula Wajib Pajak hanya dapat mengajukan keberatan apabila tidak pengajukan permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar; Penegasian kesempatan pengajuan upaya penyelesaian sengketa antara satu dengan yang lain ini dikarenakan pokok yang menjadi sengketa adalah sarna tetapi jalur yang disediakan berbeda. Melalui jalur litigasi, Wajib Pajak diberikan kesempatan untuk mencari keadilan sampai kepada Mahkamah Agung, sedangkan apabila Wajib Pajak memilih jalur non- litigasi, upaya pencarian keadilan berhenti sampai Direktur Jenderal Pajak. Oleh karena itu sangat penting bagi Wajib Pajak untuk menentukan jenis upaya hukum mana yang akan ditempuh agar Wajib Pajak tidak dengan sesukanya dalam menempuh upaya hukum yang malahan menimbulkan ketidakpastian hukum dalam sistem administrasi perpajakan; Akan tetapi perlu disadari pula bahwa pengajuan permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar merupakan jalur upaya hukum terhadap jumlah pajak yang terutang, Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 39 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 40 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 sehingga apabila masih terdapat sengketa terkait prosedur penerbitan surat ketetapan pajak, Wajib Pajak masih diberikan kesempatan mengajukan upaya hukum terhadap surat ketetapan pajak yang tidak sesuai prosedurtersebut; Masing-masing pilihan pengajuan upaya penyelesaian sengketa memiliki kelebihan dan kekurangannya sendiri. Dalam upaya penyelesaian sengketa melalui proses litigasi, jalur yang disediakan kepada Wajib Pajak relatif lebih panjang, akan tetapi hasil keputusannya dapat menambah jumlah pajak yang terutang yang tercantum dalam surat ketetapan pajak, bahkan disertai sanksi baik 50% dalam keberatan ataupun 100% dalam banding. Sedangkan apabila mengajukan upaya penyelesaian non-litigasi berupa pengajuan permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar, maka waktu yang dibutuhkan relatif lebih singkat dan hasilnya tidak mungkin menambah jumlah pajak yang terutang yang tercantum dalam surat ketetapan pajak serta terhadap Wajib Pajak tidak dikenai sanksi, tetapi kekurangannya adalah terhadap keputusan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar tidak dapat diajukan upaya hukum lanjutan selain pengajuan permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang kedua, sehingga jalur upaya hukum non-litigasi menjadi relatif singkat; Dari uraian tersebut, menjadi jelas bahwa Pemerintah menyediakan jalur upaya hukum yang dapat dipilih oleh Wajib Pajak. Pilihan yang diberikan oleh Pemerintah tersebut, memiliki konsekuensinya masing-masing. Konsekuensi yang paling nyata adalah jumlah uang yang harus dikeluarkan oleh Wajib Pajak untuk membayar pajak yang terutang beserta sanksi administrasinya. Namun demikian, hal tersebut Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 40 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 41 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 kembali berpulang kepada kejujuran Wajib Pajakdalam menghitung, melapor, dan menyetorkan pajak yang terutang; Apabila Wajib Pajak telah yakin menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang dalam SPT secara benar maka seharusnya Wajib Pajak tidak perlu gentar dalam mengajukan upaya hukum terkait surat ketetapan pajak dari hasil pemeriksaan atau verifikasi, karena Pemerintah melalui paraturannya di Direktorat Jenderal Pajak tidak akan mencari-cari cara untuk merugikan Wajib Pajak melainkan akan bekerja secara profesional sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang berlaku. Cara-cara yang ditempuh oleh Wajib Pajak untuk memperpanjang upaya hukum yang dapat dilaksanakan yang berarti juga menunda kewajiban pembayaran pajak menunjukkan bahwa sebenarnya Wajib Pajak tidak yakin dengan kebenaran penqhrtunqan, pembayaran, serta pelaporan ajaknya atau malahan mencari segala upaya agar kewajiban membayar pajak tertunda atau bahkan tidak harus dipenuhi. Pemerintah sangat yakin bahwa Majelis Hakim Agung Yang Mulia selain menjunjung tinggi prinsip keadilan, juga menjunjung tinggi prinsip kepastian hukum dalam memutus perkara a quo sehingga akan dapat melihat bahwa esensi pengaturan Pasal 37 yang diajukan uji materiil kepada Mahkamah Agung adalah untuk menciptakan kepastian hukum, agar Wajib Pajak tidak menghindari kewajiban perpajakannya dengan menempuh sega/a upaya hukum yang bahkan tidak sesuai dengan jalur yang telah disediakan Pemerintah. Demikian pula kiranya Majelis Hakim Agung dapat memper- timbangkan fakta bahwa peranan pajak dalam penerimaan negara yang sangat signifikan, sehingga upaya penundaan pembayaran pajak atau bahkan Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 41 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 42 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 upaya penghindaran pajak yang dilakukan oleh Wajib Pajak termasuk uji materiil Pasal 37 huruf b, d, e, f, g, dan h Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 yang diajukan oleh Pemohon berpotensi mengganggu penerimaan negara; b) Upaya hukum atas Surat Ketetapan Pajak yang penerbitannya tidak sesuai denganprosedur. Dalam hal Wajib Pajak tidak setuju dengan jumlah pajak terutang yang ditetapkan Direktur Jenderal Pajak, Wajib Pajak dapat mengajukan upaya hukum sebagaiberikut:
Gugatan kepada PengadilanPajak. Undang-Undang KUP dan PP 74/2011 memberikan hak kepadaWP untuk menggugat surat ketetapan pajak yang terbit tidak sesuai prosedur, hal tersebut diaturantara lain: Pasal 23 ayat (2) huruf d Undang-UndangKUP: "Penerbitan surat ketetapan pajak atau 5urat Keputusan Keberatan yang dalam penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang telah diatur dalam ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan hanya dapat diajukankepada badan peradilan pajak"; Pasal 38 ayat (1) PP74/2011: "Surat ketetapan pajak yang penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara penerbitan yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang perpajakan dapat diajukan gugatan kepada badan peradilan pajak sebagaimana dimaksud dalamPasal 23 ayat (2) huruf d Undang- Undang"; Pengajuan gugatan atas surat ketetapan pajak tersebut tidak menghilangkan hak Wajib Pajak untuk tetap mengajukan upaya hukum atas jumlah pajak yang terutang. Perlu kiranya menjadi perhatian Majelis Hakim Yang Mulia, bahwa sepanjang menyangkut materi maka Putusan Gugatan tidak dapat Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 42 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 43 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 ditindaklanjuti oleh Direktur Jenderal Pajak. Hal ini dikarenakan Putusan Gugatan tidak termasuk produk hukum yang menjadi dasar pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana telahdiatur dalam Pasal 11 ayat (1) dan ayat 2 (dua) Undang-Undang KUP, sehingga apabila Pengadilan Pajak melalui Putusan Gugatan kemudian menetapkan terjadi kelebihan pembayaran pajak, kelebihan pembayaran pajak tersebut tidak dapat dikembalikan oleh Direktur Jenderal Pajak; Demikian pula, apabila Putusan Gugatan menetapkan terjadi kekurangan pembayaran pajak, Direktur Jenderal Pajak juga tidak dapat menagih kekurangan pembayaran pajak karena Putusan Gugatan tidak termasuk produk hukum yang menjadi dasar penagihan sebagaimana telah diatur dalam Pasal 18 Undang-Undang KUP.
Pengajuan pembatalan Surat Ketetapan Pajak yang dilaksanakan tanpa penyampaian surat pemberi- tahuan hasil pemeriksaan atau verifikasi atau tanpa dilakukan pembahasan akhir hasil pemeriksaanatau verifikasipajak kepada Direktur Jenderal Pajak sebagaimanaSelain dapat mengajukan gugatan terhadap surat ketetapan pajak yang terbit tidak sesuai dengan prosedur, apabila terkait dengan tidak disampaikannya surat pemberitahuan hasil pemeriksaan atau verifikasi atau tidak dilakukannya pembahasan akhir hasil pemeriksaan atau verifikasi, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pembatalan ketetapandiatur dalam Pasal 36 ayat (1) huruf d Undang-Undang KUP. Melalui permohonan ini, Wajib Pajak dapat langsung mendapatkan haknya atas prosedur yang belum dilaksanakan dalam penerbitan surat ketetapan pajak tanpa harus melalui proses litigasi yang relatif lebih memakan waktu dan biaya; Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 43 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 44 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 P ermohonan ini dapat diajukan 1 (satu) kali dan harus diberikan keputusan oleh Direktur Jenderal Pajak paling lama 6 (enam) bulan sejak permohonanditerima secara lengkap; Untuk memudahkan Majelis Hakim Yang Mulia dalam mendalami skema upaya hukum yang dapat ditempuh olehWajib Pajak, berikut ini digambarkan skema visual sebagai berikut: SURAT KETETAPAN PAJAK MATERI PROSEDUR PASAL 36 PASAL 36 AYAT (1) PASAL 16 PASAL 25 huruf b PASAL 23 HURUF d (PEMBETULAN) (KEBERATAN) (PENGURANGAN DAN (GUGATAN) (PEMBATALAN SKP TIDAK PEMBATALAN SKP) SESUAI PROSEDUR) Dapat Diajukan BANDING PROSES BERHENTI PENINJAUAN KEMBALI PROSES BERHENTI Berkali-kali DI DIP DI DIP PENINJAUAN KEMBALI Upaya-upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak tersebut menunjukkan bahwa Wajib Pajak diberikan kesempatan yang luas untuk mencari keadilan, dan harus dipilih sesuai dengan jenis sengketa dan dengan mempertimbangkan konsekuensi dari masing-masing pilihan upaya hukum yang diambil. Oleh karena itu, dalam pengajuan upaya hukum, Wajib Pajak harus meyakini terlebih dahulu kebenaran penghitungan, pembayaran, dan pelaporan pajaknya sehingga upaya hukum yang dilakukan oleh Wajib Pajak tidak menjadisarana untuk coba-coba dalam menunda atau menghindari kewajiban perpajakannya;
Termohon tidak sependapat dengan anggapan/argumentasi Pemohon dalam permohonannyayang menyatakan : Bahwa menurut Pemohon, ketentuan Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 44 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 45 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan pada dasarnya telah mengatur kewenangan Direktur Jenderal Pajak yang dapat mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi, akan tetapi pengaturan tersebut telah dikesampingkan oleh ketentuan Pasal 37 huruf d dan huruf e PP No. 74 Tahun 2011, sehingga hak wajib pajak untuk dapat mengajukan penguranganatau penghapusan sanksi administrasi tidak diperoleh Terhadap alasan/anggapan Pemohon di atas, Termohon memberikan penjelasan sebagai berikut : Sebagaimana telah disebutkan di atas, Pasal 48 Undang-Undang KUP tidak hanya mengamanatkan pengaturan mengenai tata cara, tetapi juga kelengkapan yang materinya telah diatur dalam Undang-Undang KUP. Dengan menyitir bahwa Pasal 48 hanya mengamanatkan tata cara sehingga pengaturan hal-hal di luar tata cara bertentangan dengan Undang-Undang, menunjukkan bahwa Pemohon tidak memiliki pemahaman penuh terhadap ketentuan Pasal 48 atau bahkan mungkin sedang berusaha untuk menyesatkan pemahaman Majelis Hakim Agung Yang Mulia. Namun demikian, Pemerintah sangat yakin Majelis Hakim Agung Yang Mulia juga memahami bahwa Pasal 48 Undang- Undang KUP yang menjadi dasar pembentukan PP 74/2011 memberikan kewenangan untuk mengatur tidak hanya tata cara melainkan juga memberikan kewenangan untuk mengatur materi yang belum cukup lengkap diatur dalam Undang-Undang KUP. Setelah memahami bahwa Peraturan Pemerintah pelaksanaan Pasal 48 Undang-Undang KUP diberikan kewenangan untuk mengatur materi yang belum cukup lengkap diatur dalam Undang-Undang KUP, selanjutnya Pemerintah akan menguraikan mengapa Pasal 23 ayat (2) huruf c Undang-Undang KUP perlu diatur dengan Pasal 37 PP 74/2011. Hal-hal yang dapat diajukan gugatan telah diatur dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang KUP, yang berbunyi: "Gugatan Wajib Pajak atau PenanggungPajak terhadap:
pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau Pengumuman Lelang; __ b. keputusan pencegahan dalam rangkapenagihan pajak; __ c. keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 45 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 46 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 perpajakan, selain yang ditetapkan dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26; atau
penerbitan surat ketetapan pajak atau Surat Keputusan Keberatan yang dalam penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang telah diatur dalam ketentuan peraturan perundang- undanganperpajakan hanya dapat diajukan kepada badan peradilan pajak"; Pasal 23 ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf d Undang-Undang KUP mengatur secara jelas mengenai hal-hal apa saja yang dapat diajukan gugatan ke Pengadilan Pajak. Namun Pasal 23 ayat (2) huruf c Undang-Undang KUP belum cukup memberikan kejelasan tentang produk hukum yang dapat diajukan gugatan sehubungan dengan keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan. Oleh karena itu, untuk memberikan kepastian dan kejelasan hukum baik bagi Wajib Pajak dan petugas pajak, maka perlu diatur lebih lanjut bagaimana perlakuan secara hukum terhadap Pasal 23 ayat (2) huruf c tersebut; Berdasarkan pengaturan dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang KUP, hal-hal yang dapat diajukan gugatan terkait dengan Pasal 23 ayat (2) huruf a,huruf b, dan huruf d adalah terkait dengan prosedur. Oleh karena itu keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan yang dapat diajukan gugatan sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat (2) huruf c,juga harus dipandang yang terkait dengan prosedur. Oleh karena itu, untuk menjalankan amanat Pasal 48 Undang-Undang KUP yang mengatur bahwa terhadap hal-hal yang belum cukup diatur dalam undang-undang ini, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Maka terhadap Pasal 23 ayat (2)huruf c Undang- Undang KUP diatur dengan ketentuanPasal 37 PP 74/2011, yang berbunyi: "Keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan yang diajukan gugatan kepada Badan Peradilan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) huruf c Undang-Undang, meliputi keputusan yang diterbitkan olehDirektur Jenderal Pajakselain:
surat ketetapan pajak yang penerbitannya telah sesuai dengan prosedur atau tatacara penerbitan;
Surat KeputusanPembetulan; __ Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 46 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 47 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 c. Surat Keputusan Keberatan yang telah sesuai dengan prosedur atau tata carapenerbitan; __ d. Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi;
Surat Keputusan PenghapusanSanksi Administrasi; __ f. Surat Keputusan PenguranganKetetapan Pajak;
Surat Keputusan Pembatalan KetetapanPajak; dan
Surat Keputusan Pengembalian PendahuluanKelebihan Pajak; Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, dapat disimpulkan hal-hal sebagaiberikut:
Surat Ketetapan Pajak yang penerbitannya telah sesuai dengan prosedur atau tata carapenerbitan; Sebagaimana telah dipaparkan di atas, gugatan hanya terkait prosedur saja. Oleh karena itu, surat ketetapan pajak yang penerbitannya telah sesuai dengan prosedur atau tata cara penerbitan, tidak dapat diajukan gugatan. Sebaliknya, Surat ketetapan pajak yang penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara penerbitan dapat diajukan gugatan berdasarkan Pasal 23 ayat(2) huruf d. Apabila Wajib Pajak tidak setuju dengan jumlah pajak terutang dalam surat ketetapan pajak yang telah diterbitkan sesuai dengan prosedur, Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan, banding, sampai dengan Peninjauan Kembali atau mengajukan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yangtidak benar;
Surat KeputusanPembetulan; Surat keputusan pembetulan diterbitkan berdasarkan permohonan maupun karena jabatan apabila terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung, atau kesalahan penerapan ketentuan peraturan perundang- undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 Undang-Undang KUP. Kekeliruan-kekeliruan yang dilakukan pembetulan tersebut merupakan kekekeliruan yang tidak bersifat sengketa. Oleh karena itu, Surat Keputusan Pembetulan tidak dapat diajukan gugatan oleh Wajib Pajak. Selanjutnya, permohonan pembetulan juga tidak dibatasi oleh Undang-Undang sehingga Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pembetulan setiap kali terdapat/menemukan kesalahan. Bahkan diatur bahwa terhadap surat ketetapan pajak yang dilakukan pembetulan dan wajib pajak Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 47 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 48 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 mempersengketakan jumlah pajak yang terutang dalam Surat Keputusan pembetulan tersebut, Wajib Pajak masih memiliki hak untuk mengajukan upaya hukum pembetulan, keberatan, pengurangan ketetapan pajak, atau pembatalan ketetapan, dan dapat pula diajukan pengurangan maupun penghapusan sanksi administrasi. Bahkan apabila terhadap surat ketetapan pajak tersebut tidak dilakukan penyampaian hasil pemeriksaandan atau pembahasan akhir dengan Wajib Pajak, tetap dapat dilakukan pembatalan Surat Ketetapan Pajak. Hal ini berlaku pula secara mutatis mutandis terhadap produk hukum lainnya yang diterbitkan Surat Keputusan Pembetulan oleh Direktur Jenderal Pajak;
Surat Keputusan Keberatan yang telah sesuai dengan prosedur atau tata carapenerbitan; Sebagaimana telah dipaparkan di atas, bahwa upaya hukum gugatan hanya dapat diajukan terkait prosedur. Oleh karena itu, Surat Keputusan Keberatan yang penerbitannya telah sesuai dengan prosedur atau tata cara penerbitan tidak dapat diajukan gugatan. Sebaliknya, Surat Keputusan Keberatan yang penerbitannya tidak sesuai prosedur sesuai dengan prosedur atau tata cara penerbitan dapat diajukan gugatan berdasarkan Pasal 23 ayat (2) huruf d Undang-UndangKUP; Apabila Wajib Pajak tidak setuju dengan jumlah pajak terutang dalam Surat Keputusan Keberatan yang telah diterbitkan sesuai dengan prosedur, Wajib Pajak dapat mengajukan bandingsampai dengan Peninjauan Kembali;
Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi danSuratKeputusanPenghapusanSanksiAdministrasi; Berdasarkan Pasal 36 ayat (1) huruf a Undang-Undang KUP, Direktur Jenderal Pajak dapat mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karenakesalahannya; Dari bunyi Pasal 36 ayat (1) huruf a Undang-Undang KUP di atas, secara tersirat dapat dimaknai bahwa pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi dilakukan atas sanksi yang sudah Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 48 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 49 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 benar namun Wajib Pajak meminta "derma" atau "belas kasihan" kepada Direktur Jenderal Pajak untuk dikurangkan atau dihapuskan karena keadaan tertentu. Dengan kata lain, pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi tersebut merupakan wewenang mutlak Direktur Jenderal Pajak sehingga tidak relevan apabila diajukan gugatan. Selain itu, Undang-Undang KUP memberikan kesempatan kepada Wajib Pajak untuk mengajukan sebanyak 2 (dua)kali; Apabila sanksi administrasi yang terdapat dalam Surat Tagihan Pajak tidak benar, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengurangan atau pembatalan Surat Tagihan Pajak yang tidak benar berdasarkan Pasal 36 ayat (1) huruf c. Apabila sanksi administrasi yang terdapat dalam Surat Ketetapan Pajak tidak benar, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengurangan atau pembatalan Surat Ketetapan Pajak yang tidak benar berdasarkan Pasal 36 ayat (1) huruf b;
Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak dan Surat Keputusan PembatalanKetetapan Pajak; Apabila Wajib Pajak tidak setuju dengan jumlah pajak terutang dalam Surat Ketetapan Pajak yang telah diterbitkan sesuai dengan prosedur, Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan, banding, sampai dengan Peninjauan Kembali atau mengajukan pengurangan atau pembatalan Surat Ketetapan Pajak yangtidak benar; Berdasarkan Pasal 36 ayat (1) huruf b Undang-Undang KUP, Direktur Jenderal Pajak dapat mengurangkan atau menghapuskan Surat Ketetapan Pajak yang tidak benar. Pengertian tidak benar di sini adalah terkait dengan jumlah pajak yang terutang. Permohonan pengurangan atau penghapusan surat ketetapan yang tidak benar diputuskan oleh Direktur Jenderal Pajak dan tidak dapat diajukan upaya hukum kepada lembaga lain di luar Direktorat Jenderal Pajak. Akan tetapi perlu diperhatikan juga bahwa terhadap Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak dan Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak masih dapat diajukanupaya hukum pembatalan. Keberatan dan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak merupakan dua jalur terpisah (alternatif). Artinya, apabila Wajib Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 49 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 50 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 Pajak sudah mengajukan keberatan maka tidak boleh mengajukan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak. Sebaliknya, apabila Wajib Pajak sudah mengajukan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak maka tidak boleh mengajukan keberatan. Keduanya memiliki kedudukan yang sama dalam kaitannya memutuskan pajak yang terutang dalam surat ketetapanpajak; Pengurangan atau pembatalan pajak berdasarkan Pasal 36 ayat (1) huruf b Undang-Undang KUP disebut ordonansi keadilan (Sisi keadilan Pasal 36 (1) hurufb)karena:
Tidak terdapat keputusan yang menambah pajak yangterutang;
Buku, catatan, atau dokumen yang tidak diberikan pada saat pemeriksaan tetapi diberikan dala proses penyelesaian pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar juga dapat dipertimbangkanoleh Direktur Jenderal Pajak; Oleh karena pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar mengadili pajak yang terutang dalam surat ketetapan pajak, maka tidak relevan apabila Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak atau Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak diajukan gugatan. Apabila Wajib Pajak tidak setuju dengan jumlah pajak terutang yang telah diputuskan dalam Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak atau Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Wajib Pajak masih dapat mengajukan lagi permohonankepada Direktur Jenderal Pajak;
Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak Berdasarkan Pasal 17C Undang-Undang KUP, Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan penelitian atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari Wajib Pajak dengan kriteria tertentu, menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak paling lama 3 (tiga) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak Penghasilan, dan paling lama 1 (satu) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk PajakPertambahan Nilai; Output dari penelitian tersebut adalah menerima atau menolak pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak. Apabila Direktur Jenderal Pajak menerima permohonan Wajib Pajak maka Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 50 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 51 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 pengembalian kelebihan pembayaran pajak diproses berdasarkan Pasal 17C Undang-Undang dan diterbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak. Dalam proses penelitian pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak, tidak terdapat koreksi yang dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak, sehingga Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak murni berdasarkan jumlah yang dimohonkan oleh Wajib Pajak, sehingga tidak mengandung sengketadidalamnya; Berdasarkan hal tersebut tidak relevan jika Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak diajukan gugatan kepada PengadilanPajak; Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa:
Berdasarkan amanat dalam Pasal 48 Undang-Undang KUP, bahwa hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-Undang akan diatur oleh Peraturan Pemerintah, maka PP 74/2011 yang menjalankan amanat tersebut sudah sangat jelas diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat. Meskipun Pemohon berpandangan bahwa PP 74/2011 tidak dapat mengatur selain materi, tetapi dari penjelasan Pasal 48 terlihat bahwa Pasal 48 juga memberi kewenangan untuk mengatur kelengkapan yang belum cukup diatur dalam Undang-Undang KUP. Pemberian kewenangan pengaturan materi tersebut melegitimasi pengaturan materi dalam PP 74/2011 yang melengkapi Undang-Undang KUP;
Pasal 37 huruf d dan huruf e PP 74/2011 merupakan pengaturan lebih lanjut mengenai materi yang diatur dalam Pasal 23 ayat (2) huruf c Undang-Undang KUP, sehingga Wajib Pajak mendapatkan kejelasan dan kepastian hukum mengenai jalur-jalur upaya hukum yang dapat ditempuh. Dengan kata lain tidak terdapat pertentangan antara materi dalam Pasal 37 huruf d dan huruf e PP 74/2011 dengan materi dalam Pasal 23 ayat (2) huruf c Undang-Undang KUP, sebagaimana disebutkan dalampendapat Pemohon;
Termohon tidak sependapat dengan anggapan/argumentasi Pemohon dalam permohonannya yangmenyatakan : Bahwa menurut Pemohon, pembentukan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan yang tidak sesuai dengan Pasal 36 ayat (1) Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 51 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 52 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007, tidak memenuhi asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana tertuang dalam Pasal 5 huruf b dan c Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; Terhadap alasan/anggapan Pemohon di atas, Termohon memberikan penjelasansebagai berikut : Bahwa menurut Termohon, terhadap argumentasi Pemohon yang menyatakan bahwa pembentukan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan bertentangan dengan Pasal 5 huruf b dan c Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah tidak berdasar dan mengada- ada, karena pembentukan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 telah sesuai dengan ketentuan Pasal 48 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang; Sehingga PP No 74 Tahun 2011 pada dasarnya merupakan bentuk pendelegasian kewenangan sebagaimana diamanatkan dalam ketentuan Pasal 48 Undang-Undang Nomor 6 Tahun1983;
Termohon tidak sependapat dengan anggapan/argumentasi Pemohon dalam permohonannya yangmenyatakan : Bahwa menurut Pemohon, dengan diberlakukannya ketentuan Pasal 37 huruf d dan huruf e PP No 74 Tahun 2011 telah mengakibatkan Pemohon harus membayar apa yang bukanmenjadi kewajibannya sebagai wajib pajak; Terhadap alasan/anggapan Pemohon di atas, Termohon memberikan penjelasansebagai berikut : Bahwa terhadap argumentasi Pemohon yang menyatakan bahwa dengan diberlakukannya ketentuan Pasal 37 huruf d dan huruf e PP No 74 Tahun 2011 telah mengakibatkan Pemohon harus membayar apa yang bukan menjadi kewajibannya sebagai wajib pajak, menurut Termohon adalah tidak berdasar dan mengada-ada, karena pada dasarnya tidak ada pembayaran yang harus di bayarkan oleh Pemohon Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 52 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 53 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 di luar kewajiban Pemohon sebagaiwajib pajak; Surat Keputusan Pengurangan atau Pembatalan Ketetapan Pajak atas Surat Ketetapan Pajak masih dapatdibetulkan; Pasal 16 Undang-Undang KUP telah mengatur bahwa Surat Keputusan Pengurangan Atau Pembatalan Ketetapan Pajak merupakan salah satu produk hukum yang dapat dibetulkan oleh Direktur Jenderal Pajak, baik atas permohonan Wajib Pajak atau karena jabatan. Pengaturan ini dilandaskanpada prinsip bahwaPembetulan dilakukan terhadap kesalahan yang bersifat manusiawi yang tidak mengandung sengketa antara Wajib Pajak dengan Direktur Jenderal Pajak, sehingga apabila masih terdapat kesalahan, Surat Keputusan Pengurangan Atau Pembatalan Ketetapan Pajak tersebut masih dapat dibetulkan; Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak (SKPPKP) Pasal 17C dan Pasal 170 Tidak Mengakibatkan Wajib Pajak Kehilangan Hak Untuk Mengajukan UpayaHukum : a) Latar belakang pengembalian pendahuluan kelebihan pajak sebagai fasilitas percepatanrestitusi; Pada prinsipnya pengembalian kelebihan pembayaran pajak harus dilakukan berdasarkan pemeriksaan, sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (1) dan Pasal 178 UU KUP; Pasal 17 ayat (1) "Direktur Jenderal Pajak, setelah melakukan pemeriksaan, menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar apabila jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar lebihbesar daripada jumlah pajak yang terutang"; Pengembalian kelebihan pembayaran pajak berdasarkan Pasal 17 ayat (1) dilakukan berdasarkan atas hasil pemeriksaan terhadap Surat Pemberitahuan yang tidak menyatakan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak. Pemeriksaan dalam rangka pengembalian ini dilakukan dalam jangka waktu 6-8 bulan dalam hal pemeriksaan dilakukan dengan pemeriksaam kantoratau dalam jangka waktu 8-10 bulan dalam hal dilakukan dengan pemeriksaanlapangan; Pasal 178ayat (1) "Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak, selain permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari Wajib Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 53 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 54 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C dan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 170, harus menerbitkan surat ketetapan pajak paling lama 12 (dua belas) bulan sejak surat permohonan diterima secaralengkap" Pengembalian kelebihan pembayaran pajak berdasarkan Pasal 178 ayat (1) dilakukan berdasarkan atas hasil pemeriksaan terhadap Surat Pemberitahuan yang menyatakan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak. Dalam hal Wajib Pajak memohon pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud Pasal 17B UU KUP maka Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar harus diterbitkan paling lama 12 (dua belas) bulan sejak surat permohonan diterima lengkap; Namun demikian, jangka waktu pemeriksaan sebagaimana dimaksud Pasal 17 ayat (1) atau jangka waktu penerbitan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud Pasal 17B ayat (1) dipandang tidak cukup mengakomodasi kepentingan masyarakat Wajib Pajak yang menginginkan proses restitusi dilakukan dalam jangka waktu yang lebih singkat. Oleh karena itu, dengan memperhatikan aspirasi masyarakat Wajib Pajak tersebut, Pemerintah memberikan fasilitas pengembalian pendahuluan dilakukan untuk Wajib Pajak tertentu yang memiliki tingkat kepatuhan pembayaran dan pelaporan pajak yang baik. Pengembalian pendahuluan berdasarkan Pasal 17C dan Pasal 17D dilakukan dalam jangka waktu yang lebih singkat dibandingkan dengan restitusiberdasarkan Pasal 17 ayat (1) dan Pasal 17B ayat (1), yaitu 3 (tiga) bulan untuk Pajak Penghasilan dan 1 (satu) bulan untuk PajakPertambahan Nilai. Oleh karena itu pengembalian pendahuluan kelebihan pajak harus dipandang sebagai fasilitas percepatan restitusi yang diberikan oleh Pemerintah dalam rangka memberikan pelayanan dan kemudahan kepada masyarakat; b) Ilustrasi permohonan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak sebagaimana diatur Pasal 17C dan Pasal 17D Undang- UndangKUP; Untuk memperjelas proses pengembalian pendahuluan kelebihan pajak, kami sampaikan ilustrasisebagai berikut: Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 54 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 55 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 Wajib Pajak yang telah ditetapkan sebagai Wajib Pajak dengan kriteria tertentu sebagaimana diatur Pasal 17C atau Wajib Pajak yang telah ditetapkan sebagai Wajib Pajak Persyaratan Tertentu sebagaimana diatur dengan Pasal 17D mengajukan permohonan pengembalian pendahuluan sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta Rupiah) dengan membubuhkan tanda pada Surat Pemberitahuan (SPT). Berdasarkan permohonan tersebut, Kantor Pelayanan Pajak melakukan penelitian untuk menguji kebenaran terjadinyakelebihan pembayaran pajak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta Rupiah) tersebut. Apabila berdasarkan penelitian terbukti terjadi kelebihan pembayaran pajak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta Rupiah), terhadap permohonan Wajib Pajak diterbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan KelebihanPajak (SKPPKP). Namun apabila berdasarkan penelitian terbukti kelebihan pembayaran pajak kurang atau lebih dari jumlah Rp100.000.000,00 (seratus juta Rupiah), permohonan Wajib Pajak tidak diberikan, tetapi Wajib Pajak masih dapat membetulkanSPT tersebut. c) Terbitnya SKPPKP menunjukkan bahwa seluruh permohonan restitusi WajibPajak dikabulkan; Sebagaimana telah dicontohkan dalam ilustrasi di atas, SKPPKP terbit hanya apabila berdasarkan hasil penelitian terbukti terdapat kelebihan pembayaran pajak sebesar yang diajukan oleh Wajib Pajak. Oleh karena itu apabila SKPPKP terbit, seharusnya tidak terjadi sengketa karena SKPPKP terbit sesuai dengan permohonanWajib Pajak; d) SKPPKP masih dapat dibetulkan dengan kuasa Pasal 16 UU KUP Pasal 16 UU KUP telah mengatur bahwa Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak merupakan salah satu produk hukum yang dapat dibetulkan oleh Direktur Jenderal Pajak, baik atas permohonan Wajib Pajak atau karena jabatan. Pengaturan ini dilandaskan pada prinsip bahwa Pembetulan dilakukan terhadap kesalahan yang bersifat manusiawi yang tidak mengandung sengketa antara Wajib Pajak dengan Direktur Jenderal Pajak, sehingga apabila masih terdapat kesalahan,Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak tersebut Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 55 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 56 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 masih dapat dtbetulkan. Hal ini menunjukkan bahwameskipun SKPPKP hanya dapat terbit sesuai dengan permohonan Wajib Pajak, Pemerintah masih menyediakan upaya yang dapat dilakukan apabila masih terdapat kesalahan baik kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kesalahan penerapan peraturan perundang- undangan; e) Penerbitan SKPPKP tidak mungkin dan tidak perlu disengketakan Berdasarkan uraian di atas, didapatkan gambaran bahwa SKPPKPditerbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak sesuai dengan jumlah yang diajukan oleh Wajib Pajak dan terhadap SKPPKP tersebut masih dapat diajukan Pembetulan. Oleh karena itu, sebenarnya tidak mungkin terjadi sengketa atas penerbitan SKPPKP. Sengketa hanya mungkin terjadi apabila SKPPKP tidak terbit. Seandainyapun SKPPKP tidak terbit, Wajib Pajak masih dapat membetulkan SPT yang menjadi dasar permohonannya tersebut. Dengan demikian apabila SKPPKP diterbitkan seharusnya tidak terjadi sengketa dan tidak perlu disengketakan;
Kekhawatiran Pemohon bahwa produk upaya hukum yang diajukan uji materiil tidak dapat lagi atau kehilangan hak untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan Pajak adalah tidakberalasan; Sebagaimana telah dijelaskan secara gamblang di atas, bahwa setiap upaya hukum memiliki karakteristik tersendiri berdasar- kan jenis sengketanya dan memiliki konsekuensimasing- masing; Misalnya, jika terhadap Wajib Pajak telah dilakukan pemeriksaan dan kemudian diterbitkan produk hukum Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagai hasil pemeriksaan tersebut, apabila Wajib Pajak kemudian tidak setuju dengan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar tersebut, UU KUP memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada Wajib Pajak untuk mengajukan upaya hukum( point d'interet point d'action ). Berdasarkan UU KUP, kesempatan yang seluas- luasnya bagi Wajib Pajak untuk mengajukan upaya hukum dapat berupa permohonan pembetulan sebagaimana diatur dalam Pasal 16 UU KUP, pengajuan keberatan sebagaimana Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 56 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 57 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 diatur dalam Pasal 25 UU KUP, dan upaya hukum Pasal 36 UU KUP yang berupa: permohonan pengurangan ketetapan pajak, permohonan pembatalan ketetapan, permohonan pengurangan maupun permohonan. penghapusan sanksi administrasi, bahkan apabila Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dimaksud tidak dilakukan penyampaian hasil pemeriksaan dan atau pembahasan akhir dengan Wajib Pajak, dapat dilakukan pembatalan Surat Ketetapan PajakKurang Bayar; Upaya hukum yang dipilih Wajib Pajak sangat tergantung pada ketidakpuasan Wajib Pajak dalam hal apa dan bagaimana pertimbangan Wajib Pajak atas konsekuensi dari upaya hukum Wajib Pajak. Misalnya jika upaya hukum yang ditempuh Wajib Pajak adalah keberatan, maka konsekuensi Wajib Pajak antara adalah harus melunasi jumlah pajak yang disetujui pada waktu akhir sebelum mengajukan keberatan, jumlah pajak yang tidak disetujui pada waktu pembahasan akhir belum menjadi utang pajak sehingga tidak dilakukan penagihan pajak dengan surat paksa, dan jika berdasarkan SK Keberatan terdapat pajak yang masih harus dibayar maka atas jumlah tersebut harus dilunasi Wajib Pajak dengan ditambah sanksi administrasi 50% (lima puluh persen) dari pajak yang masih harus dibayar; Hal ini berbeda, jika langkah upaya hukum yang ditempuh Wajib Pajak adalah mengajukan pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak. Jika upaya hukum yang ditempuh Wajib Pajak adalah mengajukan pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak, maka konsekuensi Wajib Pajak antara lain adalah harus melunasi jumlah pajak yang masih harus dibayar yang tercantum dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, baik jumlah itu disetujui atau tidak disetujui pada waktu pembahasan akhir sebelum Wajib Pajak mengajukan pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak, paling lama 1 (satu) bulan sejak diterbitkan. Jumlah pajak yang disetujui maupun tidak disetujui pada waktu pembahasan akhir telah menjadi utang pajak. Dengan demikian, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar tersebut harus dilunasi paling lama 1 (satu) bulan sejak diterbitkan dan bila tidak dilunasi dilakukan penagihan pajak Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 57 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 58 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 dengan surat paksa. Hanya saja terhadap Wajib Pajak tidak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) dari pajak yang masih harus dlbayar, tetapi dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan yang dihitung 1 (satu) bulan sejak Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar diterbitkan; Konsekuensi yang hampir sama, jika upaya hukum yang ditempuh adalah mengajukan upaya hukum pembetulan sebagaimana diatur dalam Pasal 16 UU KUP. Konsekuensi Wajib Pajak antara lain adalah harus melunasi jumlah pajak yang masih harus dibayar yang tercantum dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, baik jumlah itu disetujui atau tidak disetujui pada waktu pembahasan akhir sebelum Wajib Pajak mengajukan pembetulan Pasal 16 UU KUP, paling lama 1 (satu) bulan sejak diterbitkan. Jumlah pajakyang disetujui maupun tidak disetujui pada waktu pembahasan akhir telah menjadi utang pajak. Dengan demikian, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar tersebut harus dilunasi paling lama 1 (satu) bulan sejak diterbitkan dan bila tidak dilunasi dilakukan penagihan pajak dengan surat paksa. Hanya saja terhadap Wajib Pajak tidak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) dari pajak yang masih harus dibayar, tetapi dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan yang dihitung 1 (satu) bulan sejak Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar diterbitkan; Berdasarkan contoh uraian di atas, maka Wajib Pajak harus memilih jalur yang akan ditempuh dan menyadari konsekuensi- nya, dan bukannya mencoba semua upaya hukum walaupun tidak sesuai dengan jenis sengketanya hanya untuk menunda atau bahkan menghindari kewajibanperpajakannya; Gugatan sebagai jalur upaya hukum yang telah disediakan untuk jenis sengketa yang terkait dengan prosedur penerbitan surat ketetapan pajak, tidak dapat digunakan sebagai upaya hukum untuk jenis sengketa materi terkait jumlah pajak yang terutang. Apabila hal tersebut tetap dilakukan dan dikabulkan oleh Pengadilan Pajak, yang selanjutnya berdampak pada Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 58 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 59 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 kelebihan pembayaran pajak, maka putusan tersebut justru akan merugikan Wajib Pajak karena Wajib Pajaktidak dapat mendapatkan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang dimohonkannya. Hal ini dikarenakan, berdasarkan Pasal 11 UU KUP, Putusan Gugatan bukan merupakan salah satu produk hukum yang menjadi dasar pengembalian kelebihan pem- bayaran pajak; PERTIMBANGAN HUKUM Menimbang, bahwa maksud dan tujuan permohonan keberatan hak uji materiil dari Pemohon adalah sebagaimana tersebut di atas; Menimbang, bahwa yang menjadi objek permohonan keberatan hak uji materiil Pemohon adalah Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Perpajakan; Menimbang, bahwa objek permohonan Hak Uji Materiil merupakan peraturan perundang-undangan yang secara hierarkhis berada di bawah Undang-Undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, sehingga Mahkamah Agung berwenang untuk melakukan pengujian terhadap objek permohonan _a quo; _ Menimbang, bahwa sebelum Mahkamah Agung mempertimbangkan tentang substansi permohonan yang diajukan Pemohon, maka terlebih dahulu akan dipertimbangkan apakah permohonan a quo memenuhi persyaratan formal, yaitu apakah Pemohon mempunyai kepentingan untuk mengajukan permohonan keberatan hak uji materiil, sehingga Pemohon mempunyai kedudukan hukum ( legal standing) dalam permohonan a quo sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 A ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan Pasal 1 ayat (4) dan Pasal 2 ayat (4) Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 01 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil; Menimbang, bahwa Pemohon adalah badan hukum publik yang mempunyai perhatian yang intens terhadap dunia usaha di bidang otomotif. Pemohon kerap memberikan dukungan, usulan dan saran terhadap para pemangku kepentingan ( stakeholder) di bidang usaha dan bisnis untuk kemajuan dunia otomotif di Indonesia khususnya wilayah Jabodetabek. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Pemohon itu sejatinya merupakan upaya untuk berpartisipasi dalam pembangunan yakni menciptakan lapangan kerja Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 59 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 60 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 bagi masyarakat, guna mencapai salah satu tujuan Negara yaitu memajukan kesejahteraan umum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara; Menimbang, bahwa Pemohon adalah pembayar pajak dalam setiap transaksi yang dilakukannya, Pemohon merasa sangat dirugikan dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Perpajakan Pasal 37 huruf d dan huruf e yang berakibat mengharuskan Pemohon untuk membayar apa yang bukan menjadi kewajibannya sebagai wajib pajak atau dengan kata lain Pemohon sebagai wajib pajak dikenakan pajak yang bukan merupakan kewajiban warga Negara kepada Negara secara adil dan tidak manusiawi karena tidak dapat menggunakan haknya sebagai wajib pajak; Menimbang, bahwa dengan demikian sebagai badan hukum Publik mempunyai kepentingan dan legal standing dalam pengajuan Hak Uji Materiil a quo , sebagaimana dimaksud Pasal 1 ayat 4 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 dan Pasal 31 A ayat 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung; Menimbang, bahwa selanjutnya Majelis akan mempertimbangkan tentang substansi objek permohonan Hak Uji Materiil _a quo; _ Menimbang, bahwa substansi objek permohonan uji materiil ini sudah pernah diajukan (nebis in idem) dalam perkara Nomor 73 P/HUM/2013 dengan amar putusan mengabulkan permohonan keberatan hak uji materiil dari Pemohon. Oleh karena peraturan yang digugat mengatur materi yang sama dengan peraturan yang telah diputusan dalam Putusan Nomor 73 P/HUM/2013, maka gugatan a quo harus dinyatakan nebis in idem dan oleh karenanya harus dinyatakan tidak dapat diterima; Menimbang, bahwa oleh karena permohonan keberatan hak uji materiil dari Pemohon dinyatakan tidak dapat diterima, maka Pemohon dihukum untuk membayar biaya perkara, dan oleh karenanya terhadap substansi permohonan a quo tidak perlu dipertimbangkan lagi; Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil, serta peraturan perundang-undangan lain yang terkait; Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 60 hkama ahkamah Agung Repub ahkamah Agung Republik Indonesia mah Agung Republik Indonesia blik Indonesi Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id Halaman 61 dari 61 halaman. Putusan Nomor 41 P/HUM/2015 MENGADILI, Menyatakan permohonan keberatan hak uji materiil dari Pemohon: HARTONO SOHOR tersebut tidak dapat diterima; Menghukum Pemohon untuk membayar biaya perkara sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta Rupiah); Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung pada hari Selasa, tanggal 20 Oktober 2015 , oleh Dr. H. Imam Soebechi, SH., MH., Ketua Muda Urusan Lingkungan Peradilan Tata Usaha , yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Majelis, Is Sudaryono, SH., MH. dan Dr. Irfan Fachruddin, SH., CN., Hakim- Hakim Agung sebagai Anggota Majelis, dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari itu jugaoleh Ketua Majelis beserta Hakim-Hakim Anggota Majelis tersebut dan dibantu oleh Rafmiwan Murianeti, SH., MH., Panitera Pengganti dengan tidak dihadiri oleh para pihak; Anggota Majelis: Ketua Majelis, ttd. ttd. Is Sudaryono, SH., MH. Dr. H. Imam Soebechi, SH. MH. ttd. Dr. Irfan Fachruddin, SH., CN. Panitera-Pengganti : ttd. Rafmiwan Murianeti, SH. MH. Biaya-biaya :
M e t e r a i……. Rp 6.000,00 2. R e d a k s i…... Rp 5.000,00 3.Administrasi…... Rp 989.000,00 Jumlah : Rp1.000.000,00 Untuk Salinan MAHKAMAH AGUNG RI.
n. Panitera Panitera Muda Tata Usaha Negara ( ASHADI, SH ) NIP. : 220 000 754 Disclaimer Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N _Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui : _ Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 61
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Kete ...