Biro KLI Kementerian Keuangan
Relevan terhadap
Opini Teks Ariza Ayu Ramadhani, pegawai Biro KLI Sekretariat Jenderal *Tulisan ini merupakan pandangan pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan/perspektif institusi tempat penulis bekerja. MEDIAKEUANGAN 36 Potensi Pertumbuhan Ekonomi PELAJARAN DARI PANDEMI UNTUK S ebelum COVID-19, sejarah mencatat kemunculan empat pandemi selama abad ke-21 yaitu N1H1 atau flu burung di tahun 2009, SARS di tahun 2002, MERS di tahun 2012 dan Ebola di tahun 2013 – 2014. Dari kelima pandemi tersebut, tingkat fatalitas COVID-19 memang bukan yang tertinggi, tapi yang paling mudah menular dari manusia ke manusia sehingga persebarannya sangat cepat. Dari data WHO, sejak Desember 2019 sampai Juni 2020 tercatat 7,69 juta kasus COVID-19 di seluruh dunia. Negara-negara yang terjangkit wabah COVID-19 mulanya mengalami krisis kesehatan yang selanjutnya menjalar ke krisis ekonomi dan berpotensi menuju ke krisis sektor keuangan. Adanya wabah yang sangat mudah menular dari manusia ke manusia menyebabkan negara harus membuat kebijakan pembatasan aktivitas fisik seperti bekerja, sekolah, dan rekreasi yang berarti juga menghentikan aktivitas ekonomi. Di Indonesia, pembatasan fisik ini menyebabkan pertumbuhan ekonomi di kuartal I/2020 hanya sebesar 2,97%. Sebagai perbandingan, pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal yang sama di tahun 2019 adalah sebesar 5,19%. Hantaman krisis diprediksi paling berat terjadi di kuartal kedua dengan pertumbuhan ekonomi di bawah nol. Studi yang dilakukan Simon Wren- Lewis, Ekonom Universitas Oxford, menunjukkan bahwa dampak terbesar dari pandemi terhadap ekonomi diprediksi terjadi selama 3 sampai 6 bulan dengan penurunan pertumbuhan ekonomi kurang lebih sebesar lima persen (5%). Setelah periode tersebut, pertumbuhan ekonomi akan kembali melaju (bounce-back) . Oleh karena itu, di samping terus menangani COVID-19 baik dari sisi kesehatan maupun dampaknya terhadap masyarakat, kita dapat bersiap untuk memetik pelajaran dari COVID-19 ini untuk mendorong laju pertumbuhan ekonomi di masa depan. Human Capital Studi mengenai teori Pertumbuhan Ekonomi Endogenous menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi suatu negara lebih ditentukan oleh sumber daya manusia ( human capital ) dan inovasi yang dilakukan di dalam sebuah sistem perekonomian melalui research and development (R&D). Teori ini pertama kali muncul di tahun 1962 yang terus menjadi perhatian para ekonom hingga saat ini. Sebelum pandemi COVID-19, berbagai universitas terbaik di dunia telah banyak membuka kelas daring. Kita juga mengenal platform belajar seperti coursera atau udemy untuk meningkatkan kemampuan melalui kelas daring baik berbayar maupun tidak berbayar. Kelas-kelas ini memberikan kesempatan kepada pesertanya untuk belajar dari para profesor atau ahli terkemuka dari universitas atau institusi terbaik di dunia dengan harapan memperkecil gap ilmu pengetahuan. Di masa pandemi COVID-19, adanya kebijakan pembatasan fisik memaksa sekolah-sekolah untuk menyelenggarakan pembelajaran daring, kantor-kantor untuk tetap beroperasi dengan pegawai yang bekerja dari rumah, dan komunikasi yang dilakukan tanpa kegiatan tatap muka. Kondisi ini memaksa banyak orang untuk beradaptasi dengan cepat, menyamankan diri dengan pertemuan- pertemuan virtual termasuk webinar, briefing , dan training yang sangat berdampak pada akselerasi sharing knowledge antar manusia dan antar institusi yang seolah tanpa batas. Nyatanya, produktivitas organisasi tetap terjaga atau bahkan meningkat dengan adanya work from home (WFH) ini. CEO Twitter, misalnya, memberlakukan WFH selama-lamanya karena kinerja perusahaannya tidak terganggu dengan keterpaksaan WFH selama pandemi. Kondisi ini seharusnya dapat dimanfaatkan untuk mengurangi kesenjangan informasi dan kesempatan, misalnya antara masyarakat perkotaan- perdesaan. Program peningkatan kualitas SDM perdesaan misalnya melalui Dana Desa, dapat difokuskan untuk memberikan edukasi mengenai pelatihan-pelatihan daring yang bisa diakses. Meningkatnya kualitas sumber daya manusia diharapkan dapat menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi di tahun-tahun mendatang. Inovasi Inovasi dapat tercipta melalui sumber daya manusia yang berkualitas, seperti yang telah dijelaskan pada poin sebelumnya, dan juga melalui perkembangan teknologi. Berbeda dengan inovasi berupa penemuan- penemuan baru seperti yang terjadi berabad-abad lalu, beberapa ekonom dunia mempercayai bahwa inovasi yang terjadi saat ini dapat disebut sebagai “ creative destruction ” yang berarti melakukan perbaikan dan peningkatan atas hal-hal yang sebenarnya sudah ada. Argumentasi ini pertama kali dicetuskan oleh ekonom Austria, Joseph Schumpeter (1942) dan diperbaharui oleh banyak ekonom hingga saat ini. Di Indonesia, 60 persen tenaga kerja diserap oleh Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Di masa pandemi ini, UMKM atau SME termasuk golongan yang paling terdampak COVID-19. Menurut beberapa studi, UMKM yang memanfaatkan teknologi dalam usahanya, terbukti lebih kuat dalam menghadapi guncangan eksternal. Hal ini mungkin terjadi karena penggunaan teknologi dapat berarti administrasi yang lebih tertata, pembukuan yang tertib, pemasaran melalui marketplace , sehingga memungkinkan usaha tersebut tetap bertahan di masa pembatasan fisik seperti saat ini. Setelah pandemi berakhir, perusahaan-perusahaan besar di bidang teknologi informasi dan juga start-up unicorn dapat mendukung pemulihan ekonomi dan bahkan mendorong pertumbuhan ekonomi melalui digitalisasi UMKM baik dengan memberikan dukungan berupa modal, infrastruktur atau berbagi keahlian yang spesifik untuk tujuan tersebut. Melalui UMKM yang kuat, angka pengangguran berkurang, penerimaan negara bertambah, sehingga pertumbuhan ekonomi juga meningkat. Untuk menjadikan human capital dan inovasi sebagai motor penggerak pertumbuhan ekonomi Indonesia, diperlukan poin ketiga, yaitu perubahan pola pikir. Pola pikir bahwa akses terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi harus dibuka untuk semua golongan masyarakat. Upaya ini perlu mendapatkan perhatian baik dari regulator (pemerintah) maupun dari universitas-universitas terbaik dan juga perusahaan-perusahaan besar agar ketimpangan pendidikan dan keahlian tidak semakin melebar di Indonesia. Ilustrasi A. Wirananda
Biro KLI Kementerian Keuangan
Relevan terhadap
Opini Perdagangan Internasional dan Kebijakan Fiskal *Tulisan ini merupakan pandangan pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan/perspektif institusi tempat penulis bekerja. Teks Subagio Effendii, pegawai Tugas Belajar di University of Technology Sydney, MEDIAKEUANGAN 40 W abah pandemi COVID-19, selain menciptakan krisis kesehatan global, telah menimbulkan disrupsi yang masif pada tatanan perdagangan internasional. Dari sisi penawaran (supply), upaya lockdown dan working from home mengakibatkan berkurangnya tenaga kerja yang terlibat dalam aktivitas produksi (labor shortage). Upaya ini juga mengharuskan pemerintah untuk menutup pelabuhan air dan udara yang menghambat distribusi barang antarnegara. Laporan International Air Transport Association menunjukan penurunan kuantitas transportasi kargo internasional sampai dengan bulan Maret 2020 sebesar 23 persen secara year-on-year dengan estimasi kerugian mencapai US$1,6 miliar. Lebih lanjut, kebijakan negara untuk menerapkan pembatasan ekspor __ (export restrictions) demi melindungi pasokan domestik turut menambah kompleksitas permasalahan. World Trade Organization (WTO) mencatat 80 negara, termasuk di dalamnya negara- negara yang menjadi ‘lumbung’ pangan dunia, seperti Rusia, Vietnam, dan Argentina, serta otoritas kepabeanan telah menerapkan export restrictions atas perlengkapan medis, bahan pangan, dan kertas toilet. Dari sisi permintaan ( demand ) , perubahan preferensi konsumsi akibat COVID-19 menyebabkan mismatch antara permintaan dan penawaran. Untuk makanan, misalnya, studi terbaru dari Food and Agriculture Organization menemukan peningkatan minat konsumen terhadap produk makanan yang memiliki cangkang atau kulit serta dikemas dengan rapat. Bahkan, konsumen di beberapa negara tidak segan untuk menolak produk makanan yang berasal dari Tiongkok. Selain itu, upaya lockdown mengharuskan pemerintah untuk menutup pasar tradisional sehingga membatasi akses konsumen terhadap bahan pangan yang mengakibatkan peningkatan food waste. Permasalahan ganda pada supply dan demand menyebabkan penurunan kuantitas perdagangan internasional secara signifikan. WTO mengestimasi penurunan perdagangan tahun ini mencapai 13 persen hingga 32 persen (setara US$8 triliun) terutama di sektor jasa komersial dan barang dengan supply chain yang kompleks. Di samping itu, secara fundamental, disrupsi ini juga membuat premis comparative advantage (David Ricardo, 1817) yang menjadi fondasi ekonomi pasar dan perdagangan internasional menjadi diragukan validitasnya. Premis klasik yang berargumen bahwa social welfare akan optimal jika negara melakukan spesialisasi dengan memproduksi barang yang memiliki opportunity cost terendah sesuai ketersediaan faktor produksi serta membeli kebutuhan lainnya di pasar internasional, nampaknya hanya absah bila mekanisme perdagangan internasional tidak terdisrupsi. Sebaliknya, dalam kondisi terjadi supply and demand shocks , semua negara akan berusaha memproduksi seluruh kebutuhannya di dalam negeri dan sedapat mungkin membatasi ekspor produknya ke luar negeri. Beberapa negara berkembang di Afrika dan Amerika Latin bahkan telah mengadopsi konsep Food Sovereignty and Solidarity yang memberikan hak konstitusional kepada rakyat untuk menentukan pilihan produksi dan konsumsi pangan yang terbaik termasuk penerapan sistem agrikultur yang sesuai dengan sumber daya dan kearifan lokal. Dalam konsep ini, bahan pangan ditempatkan sebagai bagian dari solidaritas kemanusiaan, bukan komoditas komersial sehingga terbebas dari semua ketentuan ekonomi pasar dan perdagangan internasional. Indonesia telah mengadopsi konsepsi kedaulatan pangan dalam Undang- Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan namun belum diterapkan secara holistik. Disrupsi perdagangan internasional juga membuat upaya untuk menjaga daya beli masyarakat di masa resesi menjadi problematik. Harus diakui Indonesia masih sangat bergantung pada impor untuk memenuhi kebutuhan yang esensial di masa pandemi seperti pangan, energi, obat-obatan, dan perlengkapan kesehatan. Badan Pusat Statistik mencatat total impor minyak bumi, beras, gandum, daging, dan kedelai pada tahun 2019 masing- masing mencapai 40.926; 444; 10.692; 262; dan 2.670 ribu ton. Kelangkaan barang esensial di pasar domestik akibat terganggunya impor tentunya akan memicu supply-push inflations yang memukul daya beli masyarakat. Bahkan, jika berkelanjutan, masalah ini dapat memicu konflik sosial yang membuat ‘ongkos’ penanganan pandemi menjadi semakin tinggi. Oleh karenanya, pemerintah perlu segera melakukan langkah strategis untuk memitigasi dampak disrupsi perdagangan sekaligus mencegah krisis kesehatan berkembang menjadi krisis pangan. Dari perspektif kebijakan fiskal, pemerintah telah berupaya mendorong peningkatan pasokan pangan domestik dengan memasukkan industri pertanian, pengolahan bahan pangan, perdagangan, dan jasa penunjang pertanian dalam daftar penerima insentif pajak sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan DISRUPSI Nomor 44/PMK.03/2020. Kelompok petani skala kecil juga mendapatkan fasilitas penundaan angsuran pokok dan subsidi bunga atas pinjaman usaha selama enam bulan. Upaya selanjutnya, otoritas fiskal dapat merelaksasi pungutan bea masuk serta pajak impor lainnya atas produk esensial dan menggunakan instrumen kebijakan fiskal, setelah berkoordinasi dengan otoritas perdagangan, sebagai bargaining chips untuk mengafirmasi komitmen para mitra dagang di kawasan, terutama negara-negara produsen bahan pangan seperti Australia, Thailand, Vietnam, dan Myanmar, untuk tetap memberikan akses pasar dan tidak melakukan export restrictions di masa pandemi. Ilustrasi A. Wirananda
MEDIAKEUANGAN 18 Laporan Utama PEMULIHAN DALAM TIAP LINI KEHIDUPAN Teks Dimach Putra Tiap pagi Mujilah mengayuh sepedanya membelah kota Yogyakarta. Nenek berusia 66 tahun ini sehari-hari bekerja sebagai buruh cuci dan setrika rumah tangga. Ada dan tiada wabah baginya sama saja. Yang penting tiap hari ia bisa menerima upah demi menyambung hidupnya. S uatu pagi di Bulan Mei Mbah Jilah, begitu ia akrab dipanggil, bagai mendapat durian runtuh. Pak pos datang alih-alih membawakannya surat, malah memberi amplop berisi uang. Segepok uang sebanyak Rp1,8 juta itu merupakan Bantuan Sosial Tunai (BST). Para penerima BST menerima Rp600 ribu per bulan selama tiga bulan. Rupanya pihak RT/RW-lah yang memasukkan Mbah Jilah sebagai salah satu calon penerima bantuan. “Awalnya kaget, wong saya ndak tau apa-apa langsung dapat uang,” tutur Mbah Jilah. BST merupakan salah satu bentuk bantuan yang diberikan pemerintah melalui Kementerian Sosial dalam melindungi rakyatnya dari dampak ekonomi yang ditimbulkan pandemi COVID-19. Selain BST, ada juga Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan pemberian paket sembako dan banyak jenis bantuan lainnya yang penyalurannya diserahkan Kementerian/Lembaga yang telah ditunjuk. Fungsi bantuan-bantuan ini bisa diibaratkan sebagai jaring pengaman bagi masyarakat rentan seperti Mbah Jilah. Supaya berkeadilan, pihak RT/ RW sebagai pihak pendata awal harus jujur dan selektif. Para calon penerima bantuan adalah meraka yang belum pernah mendapat bantuan program lain agar tidak tumpang tindih. Tujuan dari pemberian program bantuan ini adalah guna menjaga daya beli masyarakat di masa pandemi. Namun bagi Mujilah, uang sebanyak itu tak mungkin langsung ia habiskan. Sebagian ia tabung untuk berjaga, kalau-kalau wabah ini tak kunjung cepat pergi dan kondisinya bakal semakin membuatnya terancam kehilangan mata pencahariannya. Agar perekonomian tetap bergerak Sebagai penggerak roda ekonomi di tingkat bawah, para pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) layak menjadi penerima manfaat program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Pemerintah telah menyiapkan skema subsidi bunga dan keringanan pembayaran pokok pinjaman sebesar total Rp35,28 triliun untuk 60,66 juta rekening pelaku UMKM agar bertahan di tengah pandemi. Kementerian Keuangan telah mengeluarkan produk kebijakan terkait pemberian subsidi bunga/subsidi margin bagi pelaku UMKM dalam mendukung pelaksanaan program PEN. Yang terbaru Menteri Keuangan mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 85/PMK.05/2020 untuk merevisi PMK 65/PMK.05/2020 agar fasilitas subsidi bunga dari pemerintah lebih mudah lagi untuk diakses para pelaku UMKM. Mereka tak perlu lagi melakukan registrasi untuk mendapat subsidi bunga. Beragam kemudahan bagi para pelaku UMKM ini kian digalakkan. Pelaku UMKM telah banyak yang berhasil mendapat bantuan pemerintah. Namun ruang untuk perbaikan masih sangat diperlukan. Hermawati Setyorini, Ketua Asosiasi UMKM AKU MANDIRI menyayangkan kurang masifnya sosialisasi tentang kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Ia mengaku mengetahui informasi tersebut dari berita di televisi. Baru setelah berhasil mencoba sendiri, ia membagikan pengalamannya ke seluruh anggotanya di penjuru Indonesia. ” Mbok yha kami para asosiasi UMKM ini digandeng dalam sosialisasi. Tolong jelaskan kepada kami dengan bahasa sederhana hingga paham. Nanti kami bisa bantu sebarkan lebih luas lagi lewat jejaring yang kami punya,” tawar Hermawati. Suntikan bagi sang pahlawan Tak hanya peduli pada golongan masyarakat ekonomi lemah saja, Pemerintah juga menunjukkan perhatiannya bagi para tenaga kesehatan (nakes). Para pejuang di garda terdepan ini telah bertaruh nyawa sejak kasus pertama COVID-19 muncul di tanah air. Melalui Kementerian Kesehatan (Kemenkes), pemerintah telah mengatur syarat, besaran insentif, dan mekanisme penyalurannya bagi para tenaga kesehatan yang langsung menangani COVID-19. “Iya kami semua telah didaftarkan oleh RS ke Kemenkes untuk mendapat insentif itu sejak April lalu, tapi belum ada realisasi apapun,” ungkap dr. Tulus Sp.PD, Koordinator Tim Penanganan COVID-19 RS. Al Islam Bandung. Proses verifikasi dan perhitungan yang lambat menjadi alasan yang dilontarkan tiap kali Tulus menanyakan progres penyaluran insentif bagi sejawat nakes yang ia koordinir. “Sebenarnya kami tidak terlalu berharap sejak awal muncul wacana ini. Tapi jika memang benar-benar dapat ya rezeki namanya,” ucapnya. Tulus sadar bahwa ada berlapis birokrasi yang harus dipenetrasi hingga sampai akhirnya insentif tersebut turun ke para nakes. Ia pun sadar akan hierarki rujukan pasien ke rumah sakit. Setidaknya kabar bahwa nakes di rumah sakit rujukan utama sudah mulai menerima hak mereka cukup menyejukkan baginya. Bagaimanapun Tulus dan sejawatnya sadar bahwa tanggung jawab utamanya adalah menyelamatkan nyawa para pasien. Pemerintah tak begitu saja membuang badan melihat para nakes yang legowo meski belum menerima haknya. Presiden Joko Widodo pada Sidang Kabinet Paripurna Juni 2020 tampak meluapkan kekecewaannya karena penyerapan dana kesehatan baru sebesar 1,53 persen dari 75 triliun yang telah dianggarkan. Sejak kejadian itu, Kemenkes telah mengeluarkan Keputusan Menteri Kesehatan Hk.01.07/ Menkes392/2020 yang merevisi keputusan sebelumnya. Saat ini insentif bagi nakes sudah bisa diminta langsung dari Dinas Pengelolaan Keuangan Daerah (DPKD) apabila telah diverifikasi oleh Dinas Kesehatan. Kebijakan tersebut diharapkan mampu mempercepat penyaluran insentif bagi nakes yang berhak seperti dr. Tulus dan para sejawatnya. Sebagai penggerak roda ekonomi di tingkat bawah, para pelaku UMKM layak menjadi penerima manfaat program PEN. Foto Resha Aditya P