JDIHN LogoKemenkeu Logo
  • Dokumen Hukum
    • Peraturan
    • Monografi
    • Artikel Hukum
    • Putusan Pengadilan
  • Informasi
    • Regulasi
      • Infografis Regulasi
      • Simplifikasi Regulasi
      • Direktori Regulasi
      • Video Sosialisasi
      • Kamus Hukum
    • Informasi Penunjang
      • Tarif Bunga
      • Kurs Menteri Keuangan
      • Berita
      • Jurnal HKN
      • Statistik
  • Perihal
    • Tentang Kami
    • Struktur Organisasi
    • Anggota JDIHN
    • Prasyarat
    • Kebijakan Privasi
    • FAQ
    • Website Lama
    • Hubungi Kami
  • Situs Lama
JDIHN LogoKemenkeu Logo
  • Situs Lama

Filter

Jenis Dokumen Hukum
Publikasi
Status
Tajuk Entri Utama
Nomor
Tahun
Tema
Label
Tersedia Konsolidasi
Tersedia Terjemahan

FAQ
Prasyarat
Hubungi Kami
Kemenkeu Logo

Hak Cipta Kementerian Keuangan.

  • Gedung Djuanda I Lantai G Jl. Dr. Wahidin Raya No 1 Jakarta 10710
  • Email:jdih@kemenkeu.go.id
  • Situs JDIH Build No. 12824
JDIH Kemenkeu
  • Profil
  • Struktur Organisasi
  • Berita JDIH
  • Statistik
  • Situs Lama
Tautan JDIH
  • JDIH Nasional
  • Sekretariat Negara
  • Sekretariat Kabinet
  • Kemenko Perekonomian
  • Anggota Lainnya
Temukan Kami
Ditemukan 662 hasil yang relevan dengan "pajak kendaraan bermotor dan anggaran daerah "
Dalam 0.028 detik
Thumbnail
PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN | PEJABAT NEGARA
262/PMK.03/2010

Tata Cara Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 Bagi Pejabat Negara, Pns, Anggota Tni, Anggota Polri, dan Pensiunannya atas Penghasilan yang Menjadi B ...

  • Ditetapkan: 31 Des 2010
  • Diundangkan: 31 Des 2010

Relevan terhadap

MenimbangTutup

bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2010 tentang Tarif Pemotongan dan Pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan yang Menjadi Beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 bagi Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya atas Penghasilan yang Menjadi Beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah; Mengi ngat :

1.

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);

2.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);

3.

Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2010 tentang Tarif Pemotongan dan Pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan yang Menjadi Beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5174);

4.

Keputusan Presiden Nomor 56/P Tahun 2010;

MemutuskanTutup

Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 BAGI PEJABAT NEGARA, PNS, ANGGOTA TNI, ANGGOTA POLRI, DAN PENSIUNANNYA ATAS PENGHASILAN YANG MENJADI BEBAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA ATAU ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH.

Pasal 1Tutup

Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini, yang dimaksud dengan:

1.

Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.

2.

Pajak Penghasilan Pasal 21 yang selanjutnya disebut PPh Pasal 21 adalah pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sebagaimana diatur dalam Pasal 21 Undang-Undang Pajak Penghasilan.

3.

Pejabat Negara adalah Pejabat Negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pokok-Pokok Kepegawaian.

4.

Pegawai Negeri Sipil, yang selanjutnya disingkat PNS, adalah PNS sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pokok-Pokok Kepegawaian.

5.

Anggota Tentara Nasional Indonesia, yang selanjutnya disebut Anggota TNI adalah anggota TNI sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pokok-Pokok Kepegawaian.

6.

Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang selanjutnya disebut Anggota POLRI adalah anggota POLRI sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pokok-Pokok Kepegawaian.

7.

Pensiunan adalah orang pribadi yang menerima atau memperoleh imbalan atas pekerjaan yang dilakukan di masa lalu sebagai Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI atau Anggota POLRI, termasuk janda atau duda dan/atau anak-anaknya.

8.

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.

9.

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, yang selanjutnya disingkat APBD adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Thumbnail
HUKUM KEUANGAN NEGARA | PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
75/PUU-XVIII/2020

Pengujian Formil dan Materiil (Pasal 2 ayat (1), Pasal 6 ayat (12), Pasal 27 dan Pasal 28 Lampiran Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan ...

    Relevan terhadap 3 lainnya

    Pasal 23Tutup
    (1)

    Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang- undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat;

    (2)

    Rancangan anggaran undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah;

    (3)

    Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara yang diusulkan oleh Presiden, Pemerintah menjalankan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun yang lalu.

    4.

    Bahwa sudah menjadi communis opinion doctorum , hakikat atau falsafah Keuangan Publik/Anggaran Negara adalah kedaulatan. Pandangan yang demikian di antaranya dikemukakan oleh Rene Stroum, ‘The constitutional right which a nation possesses to authotixe public revenue and expenditures does not originates from the fact that the members of the nation contribute the payments. This right is based on a loftier idea. The idea of sovereignty’ . Pandangan ini menerangkan bahwa kewenangan negara untuk menetapkan anggaran pendapatan dan belanja bukan semata-mata berangkat dari fakta bahwa masyarakat memiliki kontribusi dengan melakukan pembayaran pajak kepada negara, melainkan berangkat dari hal/idea yang lebih tinggi, yang disebut kedaulatan. Pandangan demikian juga diamini dan dirujuk oleh Prof. Arifin P. Soeria Atmadja, yang mengemukakan bahwa hakikat public revenue 29 and expenditure APBN adalah kedaulatan, bukan yang lain. Apabila yang berdaulat adalah raja, maka rajalah yang berhak sepenuhnya untuk menetapkan APBN, sebaliknya jika rakyat yang berdaulat, maka rakyatlah yang berhak menetapkan APBN;

    5.

    Bahwa sejak negara Indonesia didirikan oleh para pendiri bangsa dan memiliki sebuah konstitusi, sejak itu pula kita mengakui bahwa yang berdaulat adalah rakyat, menurut Pasal (1) ayat (2) UUD 1945 sebelum amandemen. Hal ini bahkan semakin dipertegas dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 setelah amandemen yang menentukan ‘ Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar’. Ketentuan ini merupakan penegasan tentang kedaulatan rakyat dan sekaligus menjadi salah satu asas fundamental dalam hukum tata negara. Jika dalam lapangan politik kedaulatan rakyat sering didengungkan dengan adagium ‘ dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat’, maka dalam konteks anggaran negara, kedaulatan rakyat itu dapat juga didengungkan dengan adagium ‘dari mana sumber uang (pendapatan) dan untuk apa uang digunakan (belanja) harus dilakukan dengan persetujuan rakyat’;

    6.

    Bahwa kedaulatan rakyat terhadap anggaran negara ini selengkapnya dirumuskan dalam Pasal 23 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, sebagaimana telah dikutip dalam uraian angka ‘4’ di atas. Dalam Pasal a quo, kedaulatan rakyat terhadap anggaran negara ini dikonstruksikan menjadi 3 (tiga) bentuk: Pertama, APBN harus ditetapkan dengan undang-undang, bukan jenis Peraturan Perundang-Undangan yang lain; Kedua, APBN harus mendapatkan persetujuan DPR; Kedua, Undang-Undang APBN bersifat periodik (ditetapkan setiap satu tahun);

    7.

    Bahwa Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, huruf ‘a’ angka 2, dan huruf ‘a’ angka 3 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk menetapkan batas defisit dengan dua ketentuan: Pertama, membuka batasan defisit di atas 3% dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB) tanpa batas maksimal; dan , Kedua, pemberlakukan batas defisi di atas 3% dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB) sampai dengan tahun anggaran 2022;

    8.

    Bahwa sekilas materi muatan dalam Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, huruf ‘a’ angka 2, dan huruf ‘a’ angka 3 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 tidak 30 mengatur tentang APBN secara langsung. Akan tetapi jika diselami lebih dalam, pengaturan yang demikian sejatinya telah menjangkau ‘jantungnya’ APBN, karena defisit itu sendiri merupakan selisih kurang dari akumulasi seluruh rencana Pendapatan ( revenue ) dan rencana Pengeluaran ( expenditure );

    9.

    Bahwa pentingnya pos defisit tidak bisa dilepaskan dari perkembangan format postur Undang-Undang APBN, khususnya setelah pengalaman krisis di penghujung tahun 90-an. Sejak APBN Tahun Anggaran 2000, format postur APBN dari yang sebelumnya disusun dalam bentuk T-account diubah menjadi format I-account . Format ini diterapkan untuk menggantikan dan sekaligus sebagai kritik terhadap berbagai kelemahan dari format dan prinsip APBN pada masa Orde Baru. Sebagaimana diketahui, format postur APBN pada masa Orde Baru hanya terdiri dari ‘Rencana Penerimaan/Pendapatan’ dan ‘Rencana Pengeluaran/Belanja’, yang dalam penyusunannya menekankan prinsip ‘berimbang’. Dengan format dan prinsip demikian, penyusunan APBN diupayakan untuk menyeimbangkan antara pos penerimaan dan pos pengeluaran. Mengingat orientasi kebijakan Orde Baru yang menekankan pada konsep pembangunan ( developmentalism ), sering kali penerimaan dalam negeri tidak mencukupi pengeluaran negara/pengeluaran negara lebih besar dari seluruh penerimaan dalam negeri. Maka, dengan prinsip ‘berimbang’, selisih kurang antara penerimaan dan pengeluaran negara tersebut, kemudian dibuat berimbang (sama) melalui ‘pinjaman luar ngeri’. Artinya, prinsip ‘berimbang’ menjadi dasar bagi pemerintah untuk melakukan pinjaman luar negeri, dengan tujuan menyeimbangkan jumlah antara penerimaan dan pengeluaran;

    10.

    Bahwa format dan prinsip yang demikian ternyata dalam sejarah APBN di Indonesia, justru menjadi sumber rentannya APBN terhadap terpaan krisis, khususnya pengalaman krisis ekonomi Indonesia di penghujung kekuasaan Orde Baru. Hal ini dikarenakan format dan prinsip APBN tersebut mengandalkan penerimaan pembangunan yang berasal dari luar negeri. Konsekuensi yang terjadi pada APBN adalah meleburnya pinjaman yang digunakan untuk menutup defisit dalam pos penerimaan, sehingga menjadi tidak jelas, mana sumber daya dan dana yang serta-merta menjadi hak milik negara dan mana sumber dana yang harus dikembalikan. Yang dapat 31 diketahui dari format dan prinsip APBN yang demikian, adalah setiap tahun APBN harus mengeluarkan sejumlah dana untuk membayar cicilan utang luar negeri, baik pokok pinjaman maupun bunganya;

    11.

    Bahwa pengalaman APBN dengan format dan prinsip pada masa Orde Baru, mendorong format/postur APBN kemudian diubah, tepatnya dalam RAPBN tahun anggaran 2000/2001, dari yang sebelumnya menggunakan format T- account menjadi format I-account . Dengan format I-account , postur APBN mengalami pengelompokkan kembali (reklasifikasi) pos-pos pendapatan dan belanja, termasuk pemisahan secara tegas terhadap beberapa komponen pembiayaan anggaran yang selama ini dimasukan kedalam pos-pos pendapatan dan belanja negara. Maka jika dalam format postur APBN masa Orde Baru APBN hanya terdiri dari pos ‘penerimaan’ dan ‘pengeluaran, maka format postur APBN yang terbaru terdiri atas:

    (1)

    Pendapatan;

    (2)

    Belanja;

    (3)

    Keseimbangan Primer;

    (4)

    Surplu/Defisit Anggaran; dan , (5) Pembiayaan;

    12.

    Bahwa format I-account menjadikan APBN berbasis kinerja, yang konsekuensinya adalah anggaran dapat disusun secara defisit atau surplus, bukan disusun untuk mencapai keseimbangan antara penerimaan dan pengeluaran sebagaimana dalam format T-account . Dengan format yang baru, dimaksudkan untuk meningkatkan akuntabilitas, efisiensi, dan transparansi dalam penyusunan dan pelaksanaan APBN. Hal ini menjadi demikian penting, terutama ketika APBN disusun secara defisit. Pos defisit/surplus menceminkan selisih antara akumulasi pendapatan dan belanja. Manakala dalam penyusunan APBN total pendapatan lebih besar dari pada total pos belanja, maka yang terjadi adalah surplus anggaran. Sebaliknya, jika dalam penyusunan APBN total pos pendapatan lebih kecil dari pada total pos belanja, maka yang terjadi adalah anggaran defisit. Ketika anggaran defisit, maka disinilah fungsi pos pembiayaan untuk menutup defisit anggaran tersebut;

    13.

    Bahwa pos defisit dalam APBN memiliki posisi yang penting, sebagai alat untuk mengendalikan agar selisih kurang antara total pendapatan dan belanja tidak terlalu besar. Untuk menghindari telalu besarnya selisih kurang antara total pendapatan dan belanja, maka ditentukan bahwa batas maksimal defisit adalah 3% terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Hal ini sebagaimana ditentukan dalam penjelasan Pasal 12 ayat (3) Undang- 32 Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara: “Defisit anggaran dimaksud dibatasi maksimal 3% dari Produk Domestik Bruto. Jumlah pinjaman dibatasi maksimal 60% dari Produk Domestik Bruto.” __ Artinya, walaupun Pemerintah dimungkinkan untuk menyusun anggaran secara defisit, akan tetapi besaran defisit tersebut tidak bisa dibuat terlalu besar, tetapi ada batasannya, yakni maksimal 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Batasan ini ditentukan agar pos pembiayaan yang akan digunakan dalam menutupi defisit juga tidak semakin membesar, baik yang bersumber dari dalam negeri maupun luar negeri;

    14.

    Bahwa uraian di atas menunjukkan pos defisit yang dibatasi maksimal 3% PDB, sejatinya memiliki posisi yang sama penting dengan pos pendapatan dan pos belanja dalam APBN dengan format I-account . Kedaulatan rakyat terhadap anggaran Negara memiliki nilai yang sama dalam seluruh pos APBN, baik dalam Pos Pendapatan, Pos Belanja, Pos Keseimbangan Primer, Pos Surplu/Defisit Anggaran, dan Pos Pembiayaan. Dalam UU APBN dengan format I-account , pos defisit memiliki posisi yang sangat penting karena beberapa alas an: Pertama, pos defisit mencerminkan selisih kurang antara total seluruh pendapatan dan total seluruh belanja belanja. Sehingga, setiap perubahan pada pos defisit secara langsung seluruh pos dalam APBN, baik Pendapatan, Belanja, Keseimbangan Primer, pos defisit itu sendiri, termasuk pos pembiayaan; Kedua, pos defisit menjadi alat kendali agar selisih kurang antara total seluruh pendapatan dan total seluruh belanja tidak terlalu besar. Apabila selisih kurang antara total seluruh pendapatan dan total seluruh belanja tidak terlalu besar, maka pos pembiayaan juga tidak akan membengkak, terutama pembiayaan terutama yang berasal dari luar negeri. yang dikemudian hari akan menjadi beban bagi APBN di tahun-tahun selanjutnya;

    15.

    Bahwa berdasarkan alasan tentang pentingnya posisi pos defisit dalam sebuah UU APBN dalam format I-account , maka menjadi jelas bahwa norma dalam Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, huruf ‘a’ angka 2, dan huruf ‘a’ angka 3 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020, telah melegitimasi sebuah Perppu untuk mengatur materi muatan APBN yang seharusnya diatur dalam sebuah Undang-Undang, sebagaimana amanat Pasal 23 ayat (1) UUD 1945; 33 16. Dibukanya keran defisit di atas 3% dalam Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, huruf ‘a’ angka 2, dan huruf ‘a’ angka 3 PERPPU Nomor 1 Tahun 2020, akan berimplikasi pada berubahnya hampir seluruh Pos dalam Undang-Undang APBN Tahun Anggaran 2020, terutama Pos Belanja, Pos Keseimbangan Primer, Pos Defisit itu sendiri, dan yang terpenting adalah Pos Pembiayaan. Terlebih ketentuan tentang batas defisit ini tidak hanya mengingat UU APBN Tahun Anggaran 2020, melainkan menjangkau UU APBN Tahun Anggaran 2021 dan UU APBN Tahun Anggaran 2022;

    17.

    Bahwa terhadap UU APBN Tahun Anggaran 2021 dan UU APBN Tahun Anggaran 2022, walaupun produk hukumnya belum ditetapkan, akan tetapi berdasarkan Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, huruf ‘a’ angka 2, dan huruf ‘a’ angka 3 UU Nomor 2 Tahun 2020, maka dapat dipastikan bahwa seluruh Pos dalam APBN Tahun Anggaran dua tahun kedepan dengan sendirinya terikat pada ketentuan tentang batasan defisit di atas 3% yang tanpa batas maksimal itu;

    18.

    Bahwa hal ini secara terang menjelaskan bahwa norma dalam Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, huruf ‘a’ angka 2, dan huruf ‘a’ angka 3 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 secara langsung telah menyusup masuk kedalam materi muatan Undang-Undang APBN, setidaknya untuk 3 (tiga) Tahun Anggaran, dan karenanya adalah jells dan nyata bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 yang mengharuskan APBN ditetapkan dalam sebuah Undang-Undang, bukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

    19.

    Bahwa disamping APBN harus ditetapkan dalam sebuah Undang-Undang dan bukan PERPPU yang kemudian disahkan menjadi Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020, APBN menurut Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 harus mendapatkan persetujuan DPR, sebagai bentuk kedaualatan rakyat terhadap setiap rupiah yang ada dalam APBN. Persetujuan DPR bersifat mutlak dan tidak bisa dikesampingkan dengan alasan apapun;

    20.

    Bahwa demikian pentingnya persetujuan DPR, disebabkan hak anggaran ( budget ) itu sendiri merupakan milik DPR. Itulah sebabnya, dalam penyusunan UU APBN, posisi DPR adalah lebih kuat dan lebih menentukan dari pada Pemerintah. Lebih kuatnya posisi DPR, bahkan ditegaskan dalam Pasal 23 ayat (3) UUD 1945, bahwa apabila DPR tidak menyetujuan Ranncangan Undang-Undang tentang APBN yang diajukan oleh Pemerintah, 34 maka Pemerintah tidak punya pilihan lain, selain menggunakan UU APBN tahun sebelumnya. Hal ini merupakan konsekuensi dari prinsip kedaulatan rakyat yang sejak awal telah ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945;

    21.

    Bahwa dalam ilmu hukum tata negara, persetujuan DPR terhadap UU APBN merupakan sebuah otorisasi (kuasa) yang diberikan kepada pemerintah untuk melakukan pembelanjaan sejumlah uang yang ditentukan dalam UU APBN, serta mencari pendapatan untuk melakukan belanja tersebut. Persetujuan DPR sebagai sebuah otorisasi (kuasa) juga dikemukakan oleh Molenaar, bahwa sebagian besar sarjana hukum di Perancis dan Jerman mengatakan bahwa peretujuan DPR adalah kuasa. Dalam sejarah ketatanegaraan RI, ada keterangan rsmi dari pemerintah yang menyatakan bahwa persetujuan DPR dianggap sebagai ‘kuasa’;

    22.

    Persetujuan DPR terhadap UU APBN merupakan sebuah otorisasi (kuasa) menurut Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, perlu didudukan dalam kaitannya dengan pelaksanaan APBN. Dalam hal ini dipahami bahwa sebagai sebuah otorisasi (kuasa), maka pemerintah memiliki kewajiban untuk memberikan pertanggungjawaban terhadap pelaksanaan UU APBN itu sendiri;

    23.

    Bahwa norma dalam Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, huruf ‘a’ angka 2, dan huruf ‘a’ angka 3 Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 telah menjadikan Persetujuan DPR yang menurut Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 bersifat mutlak , berubah menjadi bersifat relatif . Hal ini disebabkan beberapa alasan:

    a.

    Pasal 2 ayat (1) Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 dirumuskan dengan menggunakan frasa ‘Dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), Pemerintah berwenang’ . Digunakannya frasa ‘pemerintah berwenang’, bermakna bahwa kekuasaan untuk menetapkan batasan defisit anggaran sebagai salah satu pos anggaran yang esensial dalam sisitem APBN dengan format I-account , telah diambil alih menjadi kewenangan eksekutif. Hal ini secara jelas telah mengambil hak mutlak milik DPR oleh cabang kekuasaan eksekutif;

    b.

    Terhadap UU APBN Tahun Anggaran 2020. Bahwa UU APBN TA 2020 yang telah ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2019 35 tentang Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020 dan telah disetujui oleh DPR justru dimentahkan. Sebagaimana telah dikemukakan pada point ‘17’ alasan permohonan, bahwa dibukanya batas defisit di atas 3% berdasarkan Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, huruf ‘a’ angka 2, dan huruf ‘a’ angka 3 Lampiran UU No. 2 Tahun 2020, akan berimplikasi pada berubahnya hampir seluruh Pos dalam Undang- Undang APBN Tahun Anggaran 2020, terutama Pos Belanja, Pos Keseimbangan Primer, Pos Defisit itu sendiri, dan Pos Pembiayaan. Artinya, dengan berlakunya Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, huruf ‘a’ angka 2, dan huruf ‘a’ angka 3 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020, secara terang dan jelas bertentangan dengan Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3), karena telah merubah arti penting persetujuan DPR terhadap UU APBN yang bersifat ‘mutak’ menjadi bersifat ‘relatif’;

    c.

    Terhadap UU APBN Tahun Anggaran 2021 dan UU APBN Tahun Anggaran 2022. Sebagaimana diketahui, bahwa kedua UU APBN Anggaran 2021 dan 2022 belum ada prodak hukumnya. Akan tetapi berdasarkan Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, huruf ‘a’ angka 2, dan huruf ‘a’ angka 3 UU Nomor 2 Tahun 2020, kedua UU APBN yang masih berstatus ius constituendum , dalam penyusunannya dikemudian hari akan terikat pada norma Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, huruf ‘a’ angka 2, dan huruf ‘a’ angka 3 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020, yang secara langsung mempengaruhi seluruh pos anggaran pada APBN. Dengan demikian, persetujuan DPR yang dimaksudkan bersifat ‘mutlak’ menurut Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, jelas dilanggar dan dicederai oleh Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, huruf ‘a’ angka 2, dan huruf ‘a’ angka 3 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020.

    24.

    Bahwa seluruh uraian di atas secara terang dan jelas menunjukkan bahwa norma dalam Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, huruf ‘a’ angka 2, dan huruf ‘a’ angka 3 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 adalah bertentangan dengan Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, dan karenanya adalah beralasan hukum untuk dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi;

    25.

    Bahwa disamping harus ditetapkan dengan sebuah Undang-Undang dan mendaptakan persetujuan DPR, berdasarkan Pasal 23 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945 meneguhkan bahwa UU APBN memiliki karakter atau 36 ‘periodik’, sebuah hal yang membedakannya dengan undang-undang lain pada umumnya. Dalam kaitanya dengan hal tersebut, Goedhart mendefiniskan anggaran negara sebagai; ‘keseluruhan undang-undang yang ditetapkan secara periodik, yang memberikan kekuasaan eksekutif untuk melaksanakan pengeluaran mengenai periode tertentu dan menunjukkan alat pembiayaan yang diperlukan untuk menutup pengeluaran tersebut’. Pandangan Goedhart di atas, menegaskan bahwa unsur periodik merupakan unsur yang terdapat pada seluruh anggaran Negara;

    26.

    Bahwa unsur periodik dimaksud terkandung dalam keseluruhan Pasal 23 ayat (1), (2), dan ayat (3) UUD 1945. Dalam ayat (1) ditentukan bahwa APBN ditetapkan setiap tahun (periodik) dengan undang-undang, artinya ada sifat periodik. Selanjutnya dalam ayat (2) dan ayat (3) secara berturut-turut menentukan bahwa UU APBN harus mendapatkan persetujuan DPR, dan apabila terjadi kondisi di mana DPR tidak menyetujui UU APBN, maka pemerintah harus menggunakan UU APBN tahun sebelumnya. Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 ini semakin meneguhkan unsur ‘periodi’ dalam UU APBN, dimana ada masa berlaku APBN setiap satu tahun;

    27.

    Bahwa norma dalam Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, huruf ‘a’ angka 2, dan huruf ‘a’ angka 3 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 secara jelas menggugurkan karakter periodik dari UU APBN yang diamanatkan oleh Pasal 23 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945. Hal ini dikarenakan dibukanya batasan defisit di atas 3% terhadap PDB, dalam Pasal a quo , adalah diberlakukan terhadap 3 (tiga) tahun anggaran sekaligus, artinya mengikat dan menjangkau tiga Undang-Undang APBN sekaligus. Hal yang demikian jelas menihilkan arti penting unsur periodik Undang-Undang APBN yang harus ditetapkan setiap satu tahun;

    28.

    Bahwa berasarkan uraian di atas, adalah jelas bahwa norma dalam Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, huruf ‘a’ angka 2, dan huruf ‘a’ angka 3 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 adalah bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945 karena3 (tiga) alasan utama yang telah diuraikan sebelumnya, yakni: Pertama, APBN harus ditetapkan dalam jenis peraturan perundang-undangn yang bernama undang-undang, bukan yang lain, termasuk bukan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; Kedua, Undang-Undang APBN harus mendapatkan persetujuan DPR, dan 37 persetujuan DPR bersifat mutlak sebagai pengenjawantahan kedaulatan rakyat terhadap anggaran negara; dan , ketiga, Undang-Undang APBN memiliki unsur periodik, yakni harus ditetapkan setiap satu tahun;

    29.

    Bahwa mengacu pada tiga kriteria dari Undang-Undang APBN sebagai amanat Pasal 23 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945 ini, maka menjadi jelas dan terang bahwa pemberian kewenangan bagi pemerintah untuk menetapkan batas defisit anggaran di atas 3% terhadap PDB berdasarkan;

    30.

    Bahwa disamping bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945, Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, huruf ‘a’ angka 2, dan huruf ‘a’ angka 3 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 berkenaan dengan Kebijakan Keuangan Negara tidak memiliki urgensi dan alasan hukum yang kuat, karena Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara telah mengatur mekanisme pelaksanan APBN dalam keadaan tidak normal atau darurat, tanpa perlu mengeluarkan PERPPU yang memang sama sekali tidak dikenal dalam rezim penyusunan Anggaran Negara/Keuangan Publik yang kemudian dikebut untuk disetujui menjadi UU Nomor 2 Tahun 2020. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang menentukan:

    (3)

    Penyesuaian APBN dengan perkembangan dan/atau perubahan keadaan dibahas bersama DPR dengan Pemerintah Pusat dalam rangka penyusunan prakiraan perubahan atas APBN tahun anggaran yang bersangkutan apabila terjadi:

    a.

    Perkembangan ekonomi makro yang tidak sesuai dengan asusmsi yang digunakan dalam APBN;

    b.

    Perubahan pokok-pokok kebijakan fiskal;

    c.

    Keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran antar unit, organisasi, antar kegiatan, dan antar jenis belanjan;

    d.

    Keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya harus digunakan untuk pembiayaan anggaran yang berjalan;

    (4)

    Dalam keadaan darurat Pemerintah dapat melakukan pengeluaran yang belum tersedia anggarannya, yang selanjutnya diusulkan dalam rencana perubahan APBN dan/atau disampaikan dalam Laporan Realisasi Anggaran; 38 31. Bahwa berdasarkan ketentuan di atas, rezim perundang-undangan di bidang Keuangan Negara telah menyediakan 2 (dua) mekanisme luar biasa dalam pelaksanaan APBN dengan tetap memperhatikan prinsip kedaulatan rakyat yang menjadi esensi Anggaran Negara/Keuangan Publik. Mekanisme atau skema tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, adalah melalui skema Undang-Undang APBNP (Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Perubahan) manakala terjadi keadaan sebagaimana disebutkan dalam huruf ‘a’ sampai dengan huruf ‘d’ Pasal 27 ayat (3) UU Keuangan Negara. Skema ini memberikan jalan bagi Pemerintah untuk melakukan Perubahan UU APBN dalam periode yang sama, denga ketentuan bahwa setiap perubahan harus terlebidahulu mendapatkan Persetujuan DPR sebelum dilaksanakan, artinya pemerintah diberikan peluang untuk melakukan perubahan dalam tahun anggaran berjalan, tanpa mengesampingkan kedaulatan sebagai esensi anggaran negara yang diamanatkan oleh Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, dan sifat periodik (setiap tahun) UU APBN yang diatur dalam Pasal 23 ayat (1) UUD 1945; Kedua, adalah skema yang digunakan dalam keadaan darurat. Dalam skema ini Pemerintah dalam melakukan pergeseran anggaran, termasuk melakukan Belanja (Pengeluaran) untuk keperluan yang tidak ada pagu anggarannya dalam UU APBN periode yang sedang berjalan. Belanja (Pengeluaran) dalam skema darurat ini dapat dilakukan tanpa perlu mendapat persetujuan DPR terlebih dahulu, dengan ketentuan dipersyaratkan adanya keadaan darurat yang mengancam keselamatan jiwa atau keutuhan negara, seperti darurat kesehatan akibat virus Covid-19 yang saat ini dihadapi Indonesia. Persetujuan DPR dapat dimintakan setelah realisasi anggaran dilakukan, untuk kemudian dituangkan dalam UU APBN Perubahan dan/atau dilaporkan dalam Laporan Realisasi Anggaran.

    32.

    Kedua skema Pelaksanaan APBN dalam UU Keuangan Negara ini sejatinya dapat menjadi pilihan pemerintah dalam menghadapi kemungkinan permasalahan perekonomian sebagai akibat dari wabah virus Covid-19. Terlebih berbagai kebijakan keuangan negara yang diatur dalam Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 seperti pergeseran anggaran antar unit, antar organisasi, antar kegiatan, dan antar jenis belanja, serta penggunaan saldo 39 anggaran lebih tahun sebelumnya untuk pembiayaan anggaran yang berjalan, telah diakomodasi oleh UU Keuangan Negara;

    33.

    Satu-satunya yang tidak diakomodir dalam skema ini adalah tentang membuka kemungkinan defisit yang tinggi. Hal ini patut dicurigai sebagai agenda politik anggaran yang disusupkan, agar Pemerintah mendapatkan legitimasi hukum untuk berakrobat dalam menyusun anggaran negara sampai 3 tahun kedepan, khususnya sebagai legitimasi untuk menambah jumlah pinjaman luar negeri yang dianggap sebagai jalan paling rasional untuk melakukan pemulihan ekonomi pasca wabah Covid-19, dengan konsekuensi APBN kita dimasa yang akan datang semakin tergerus dan terbebani untuk melunasi pinjaman luar negeri Indonesia yang semakin membengkak. Terlebih dalam Pasal 27 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 memuat ketentuan yang seolah menciptakan pelindung atau imunitas bagi pelaksanaan Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 untuk kebal dari segala perbuatan melanggara hukum, dan tidak dapat dituntut, baik secara Perdata, Pidana, bahkan tidak bisa diperkarakan di PTUN;

    34.

    Bahwa dari uraian poin sebelumnya menunjukan bahwa dari tiga hal tersebut tidak terpenuhi dengan keluarnya Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020. Sebab yang dibahas dalam Perppu itu adalah tentang masalah keuangan dan anggaran negara. Sementara Anggaran Negara sudah ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Undang-Undang APBN tidak boleh di Perppu, bukan hanya tidak boleh, tetapi haram, dan hanya boleh direvisi dengan melalui APBN Perubahan apalagi kemudian disahkan menjadi UU melalui UU Nomor 2 Tahun 2020. Sehingga alasan Covid-19 menjadi alasan kekosongan hukum karena tidak ada prosedur hukum, juga tidak terpenuhi. Hadirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan yang sangat jelas dan terang untuk dijadikan sebagai dasar hukum dalam mengambil kebijakan penanganan wabah covid-19. Alasan mendesak pun tidak terpenuhi dalam Perppu ini, sebab DPR masih bersidang dan belum memasuki masa reses, bahkan sampai hari ini masih membahas Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja dan pemindahan ibukota negara. Artinya Pemegang Kekuasaan pembentuk undang-undang masih berfungsi dalam menjalankan tugasnya; 40 35. Bahwa berdasarkan uraian di atas, maka disimpulkan bahwa ketentuan dalam Pasal 1 dan Pasal 2 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020, disamping secara terang dan jelas bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945. B.4. Pasal 6 ayat (12) Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 Bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945.

    1.

    Bahwa Pasal 23A UUD 1945 menegaskan bahwa, “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang- undang”. Ketentuan dalam Pasal 23A UUD 1945 secara eksplisit dinyatakan secara tegas bahwa pengaturan tentang pajak dan pungutan-pungutan lain yang sifatnya memaksa dan digunakan untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang. Dengan demikian maka produk hokum yang digunakan untuk mengatur pajak dan pungutan-pungutan lain harus menggunakan undang-undang, dan tidak dalam bentuk lainnya.

    2.

    Bahwa pajak yang sifatnya memaksa tidak bisa diatur dan ditentukan oleh satu lembaga negara saja, melainkan perlu melibatkan lembaga lainnya dalam hal ini adalah DPR dan DPD sebagai representasi dari rakyat. Bila pengaturan pajak yang sifatnya memaksa dan tidak melibatkan lembaga yang merepresentasikan rakyat, maka dapat dipastikan pungutan pajak tersebut bukan atas kehendak rakyat, melainkan lebih pada penggunaan kesewenangan pemerintah.

    3.

    Bahwa setiap penetapan kebijakan pajak dan pungutan lainnya harus melibatkan DPR dan Pemerintah, serta DPD dalam pembahasannya, sedangkan dalam penetapan keputusan atas kebijakan tersebut, merupakan kewenangan DPR dan Pemerintah, dalam hal ini Presiden. Dengan demikian, kebijakan penetapan pajak dan pungutan lain tidak dibenarkan dalam bentuk selain undang-undang;

    4.

    Bahwa dalam ketentuan Pasal 6 ayat (12) Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 menyatakan “Besarnya tarif, dasar pengenaan, dan tata cara penghitungan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan pajak transaksi elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (8) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah”. Ketentuan a quo mengatur mengenai pajak yaitu pajak penghasilan dalam hal besarnya tarif, dasar pengenaan, dan tata cara penghitunganya yang diatur dengan atau berdasarkan 41 Peraturan Pemerintah. Produk hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (12) Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 tentu menyalahi ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 23A UUD 1945, karena pengaturan mengenai pajak dan pungutan-pungutan lainnya dinyatakan secara tegas dalam Pasal 23A UUD 1945 harus menggunakan undang-undang yang disetujui oleh DPR, sedangkan di dalam pengaturan Pasal 6 ayat (12) Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 dinyatakan pengaturan pajak diatur dengan Peraturan Pemerintah. B.5.Pasal 6 ayat (12) Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 Bertentangan dengan Pasal 22D ayat (2) UUD 1945.

    1.

    Bahwa ketentuan Pasal 22D ayat (2) UUD 1945 menentukan “Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama.” Dalam ketentuan Pasal 22D ayat (2) UUD 1945 tersebut diantaranya mengandung makna bahwa DPD diberikan hak dan/atau kewenangan memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak. __ 2. Bahwa dalam ketentuan Pasal 6 ayat (12) Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 yang mengatur perihal pajak ditentukan agar diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. Ketentuan a quo yang merumuskan kebijaan perihal pajak ditentukan agar diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah secara tersirat telah menghilangkan hak dan/atau kewenangan DPD dalam memberikan pertimbangan yang berkaitan dengan pajak.

    3.

    Bahwa oleh karena DPD sebagai lembaga negara yang berfungsi sebagai pengakomodir aspirasi daerah dan/atau kepentingan daerah, maka dalam hal membahas suatu rancangan undang-undang dapat membawa aspirasi daerah dan/atau kepentingan daerah untuk dijadikan sebagai masukan dalam menyusun suatu rancangan undang-undang dengan cara mengikuti pembahasan suatu rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, 42 dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama.

    4.

    Bahwa Pemohon I sampai dengan Pemohon LVII merupakan masyarakat yang juga berkepentingan untuk memajukan daerah mengharapkan agar setiap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan daerah, termasuk perihal pajak, pendidikan dan agama, __ DPD dapat menyuarakannya. Namun demikian ketentuan Pasal 6 ayat (12) Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 telah menutup DPD sebagai representasi dari kepentingan daerah untuk turutserta membahasnya, padahal secara tegas dinyatakan dalam Pasal 22D ayat (2) UUD 1945, DPD hal-hal yang diantaranya berkaitan dengan pajak. Dengan demikian, maka ketentuan Pasal 6 ayat (12) Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 tidak selaras dengan ketentuan Pasal 22D ayat (2) UUD 1945. __ B.6. Pasal 27 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 Bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 23, Pasal 23A, Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.

    1.

    Bahwa Pasal 27 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 pada pokoknya mengatur imunitas antara lain sebagai berikut (1) Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara.

    (2)

    Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perrrndang-undangan.

    (3)

    Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara.

    2.

    Bahwa merujuk kepada Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa “Indonesia adalah negara hukum”. salah satu aspek makna negara hukum 43 adalah adanya pembatasan kekuasaan. Adanya pembatasan kekuasaan Negara dan organ-organ Negara dilakukan dengan cara menerapkan prinsip pembagian kekuasaan secara vertikal atau pemisahan kekuasaan secara horizontal. Sesuai dengan hukum besi kekuasaan, setiap kekuasaan pasti memiliki kecenderungan untuk berkembang menjadi sewenang-wenang, seperti dikemukakan oleh Lord Acton: “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely” . Karena itu, kekuasaan selalu harus dibatasi dengan cara memisah-misahkan kekuasaan ke dalam cabang-cabang yang bersifat ‘checks and balances’ dalam kedudukan yang sederajat dan saling mengimbangi dan mengendalikan satu sama lain. Pembatasan kekuasaan juga dilakukan dengan membagi-bagi kekuasaan ke dalam beberapa organ yang tersusun secara vertical. Dengan begitu, kekuasaan tidak tersentralisasi dan terkonsentrasi dalam satu organ atau satu tangan yang memungkinkan terjadinya kesewenang-wenangan.

    3.

    Bahwa Pasal 27 pada pokoknya mengatur mengenai hak imunnitas. Hak imunitas atau yang dikenal sebagai Sovereign Immunity merupakan turunan dari asumsi kekuasaan klasik di era common law yaitu raja tidak dapat salah (King can do no wrong). Prinsip klasik ini sudah muncul sejak Raja Edward I, yang berbunyi bahwa The Crown of England has not been sueable unless it has specifically consented to suit . Prinsip ini bertentangan dengan maxim utama dalam negara hukum yaitu: no one, not even the government, is above the law . Konsep Imunitas sendiri bahkan menurut Erwin Chemerinsky dalam karyanya yang berjudul “Against Sovereign Immunity” (Stanford Law Review, Vol 53 No 1201, 2001) dinyatakan olehnya bukan merupakan prinsip yang sesuai dengan konstitusionalisme. Bahkan menurutnya, konsep imunitas harus dianggap bukan sebagai prinsip hukum. hal ini sesungguhnya bersesuaian dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, Pasal 27 dan Pasal 28D (1) UUD 1945 yang menentukan bahwa kedudukan setiap orang sama dihadapan hukum. berdasarkan communis opinio doctorum mengenai konsep immunitas yang tidak memiliki basis konstitusional yang jelas dan bertentangan dengan prinsip-prinsip konstitusionalisme maka Pasal 27 UU No. 2 Tahun 2020 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, Pasal 27 dan Pasal 28D (1) UUD 1945.

    4.

    Bahwa Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 yang memungkinkan terjadinya potensi tindak pidana korupsi. Karena dalam pasal itu 44 disebutkan biaya yang dikeluarkan pemerintah selama penanganan pandemi Covid-19 termasuk di dalamnya kebijakan bidang perpajakan keuangan daerah dan pemulihan ekonomi nasional bukan merupakan kerugian negara. Ketentuan ini juga bertentangan dengan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang menyatakan: ‘Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.

    200.

    000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)’. ayat (2) disebutkan ‘Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan’. Selanjutnya, dalam ayat (2) dijelaskan “yang dimaksud dengan ‘keadaan tertentu’ dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku , pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter. ” Ketentuan ini menunjukan bahwa tindak pidana korupsi dalam keadaan bahaya justru mengalami pemberatan bahkan hukuman mati, namun Pasal 27 Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 justru mengeyampingkan dan mengimunitaskan pejabat- pejabat tertentu.

    5.

    Bahwa dalam upaya penagakkan hukum, terdapat maxim Lucius Calpurnius Piso Caesoninus (43 SM) yang nenyatakan bahwa “Fiat justitia ruat coelum” yang artinya tegakkan keadilan walaupun langit akan runtuh. Adagium tersebut dapat dimaknai bahwa dalam kondisi apapun hukum harus menjunjung tinggi kebenaran yang bernalar (orthos logos) dan keadilan, sehingga tidak ada kejadian atau kondisi apapun yang mentolerir ketidakadilan ada dalam rongga- rongga hukum. Ketentuan Pasal 27 Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 memuat suatu rumusan norma yang menjadikan penegakkan hukum tidaklah adil. Sebab di dalam ketentuan Pasal 27 Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 mengandung rumusan norma yang memberikan perlindungan bagi mereka yang berlaku tidak 45 adil atau melakukan sesuatu yang dapat merugikan bangsa dan Negara. Konstruksi yang demikian ini jelas Pasal 27 Lampiran UU No. 2 Tahun 2020 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, Pasal 27 dan Pasal 28D (1) UUD 1945.

    6.

    Bahwa apabila merujuk kepada pasal 23E ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan ”Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri”; selain itua apabila merujuk kepada Pasal 23E ayat (2) UUD 1945 yang menentukan “hasil pemeriksaan keuangan negara diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sesuai dengan kewenangannya” maka apabila merujuk kepada Pasal 27 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 menujukan bahwa Badan Pemeriksa Kekuangan (BPK) yang diberi amanat oleh UUD untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara tidak dapat melakukan melaksanakan pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara dan secara otomatis DPR tidak dapat mengawasi penggunaan anggaran tersebut. Oleh karena itu jelas Pasal 27 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 ini selain melahirkan kebijakan yang berpotensi merugikan negara juga berpotensi melahirkan kebijakan ekonomi yang otoriter, sehingga Pasal 27 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 bertentangan dengan Pasal 23E ayat (2) UUD 1945.

    7.

    Bahwa Pasal 27 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 memiliki isi dan makna yang serupa dengan Pasal 29 Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan yang berbunyi “Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, dan/atau pihak yang melaksanakan tugas sesuai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini tidak dapat dihukum karena telah mengambil keputusan atau kebijakan yang sejalan dengan tugas dan wewenangnya sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini”. Pada saat yang sama Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan juga dianggap memberi wewenang di sangat luar batas kepada Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) dalam menetapkan status bank bermasalah dan penanganannya. KSSK hanya terdiri dari Menteri Keuangan sebagai ketua dan Gubernur BI sebagai anggota. Selain itu, kekuasaan yang sangat mutlak ada pada Menteri Keuangan. Karena kalau terjadi selisih pendapat antara Menteri 46 Keuangan sebagai ketua KSSK dengan anggota KSSK yang lain, maka Menteri Keuangan dapat menetapkan keputusan sendiri. Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan juga dianggap memberi wewenang absolut kepada KSSK untuk menghilangkan fungsi dan wewenang DPR terkait keuangan negara. Karena Menteri Keuangan dapat mengeluarkan uang negara atas nama krisis tanpa minta persetujuan DPR. Padahal kewenangan DPR itu telah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945. Akhirnya dari 10 fraksi yang mengikuti Rapat Paripurna Pada Desember 2008, hanya 4 fraksi yang menyetujui RUU JPSK jadi UU. Fraksi itu adalah Fraksi Demokrat, Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (FPPP), Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) dan Fraksi Partai Damai Sejahtera (FPDS). Sisanya, Fraksi Partai Golongkan Karya (F-Golkar), Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDIP), Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB), Fraksi Partai Amanat nasional (FPAN), Fraksi Bintang Pelopor Demokrasi (FBPD) dan Fraksi Bintang Reformasi (FBR), menolak RUU tersebut menjadi UU. Sekarang terbukti keputusan DPR ketika itu ternyata tepat. Dana pinjaman likuiditas yang diberikan kepada Bank Century ternyata bermasalah. Merugikan keuangan negara. Karena Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan tidak disahkan, maka tidak ada pihak yang kebal hukum. Beberapa pihak yang terlibat merugikan keuangan negara diproses secara hukum. Pengadilan menyatakan mereka bersalah, baik dari Bank Century maupun Bank Indonesia.

    8.

    Bahwa sebagaimana terurai di atas bahwa pemberian hak imunitas sebagaimana dalam Pasal 29 Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan yang kemudian kembali diadopsi dalam Pasal 27 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 berpotensi terjadinya penyalahgunaan wewenang. Selain kasus century yang pernah terjadi, maka kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia pada masa krisis ekonomi tahun 1998 merupakan contoh kelam dari penyalahgunaan keadaan darurat. Ketika itu, Bank Indonesia dikuras untuk menyehatkan perbankan yang katanya mengalami rush tetapi kenyataannya cuma modus dari para pemilik bank untuk mendapatkan dana segar untuk menyelamatkan grup usahanya. Berdasarkan hal tersebut maka Konstruksi yang demikian ini jelas Pasal 27 Lampiran UU 47 Nomor 2 Tahun 2020 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, Pasal 27 dan Pasal 28D (1) UUD 1945.

    9.

    Bahwa berdasarkan uraian di atas, maka disimpulkan bahwa ketentuan dalam Pasal 27 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, Pasal 27 dan Pasal 28D (1) UUD 1945. B.7. Pasal 28 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

    1.

    Bahwa Pasal 28 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 memuat ketentuan yang menyatakan tidak berlakunya 12 undang-undang sepanjang terkait dengan kebijakan yang ditentukan dalam UU Nomor 2 Tahun 2020 tersebut. Ke-12 undang-undang tersebut masih tetap ada dan berlaku, namun sebagian ketentuan pasal-pasal yang terdapat di dalamnya dinyatakan tidak berlaku sepanjang berkaitan dengan kebijakan keuangan negara untuk penanganan penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-I9) dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang ini. Artinya, dengan Perppu ini, ketentuan pasal-pasal yang tersebut dalam ke-12 undang-undang itu ditangguhkan atau dikesampingkan berlakunya untuk sementara waktu, hingga tujuan tercapai atau krisis Covid-9 dinyatakan sudah berakhir.

    2.

    Bahwa 12 ketentuan itu antara lain:

    a.

    ketentuan jangka waktu yang diatur dalam Pasal 11 ayat (21), Pasal 17b ayat (1), Pasal 25 ayat (3), Pasal 26 ayat (1), dan Pasal 36 ayat (1c) Undang- Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 32621 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 49991); 48 b. Pasal 55 ayat (4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Lndonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan undang-undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun l999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 49621;

    c.

    Pasal 12 ayat (3) beserta penjelasannya, Pasal 15 ayat (5), Pasal 22 ayat (3), Pasal 23 ayat (1), Pasal 27 ayat (3), dan Pasal 28 ayat (3) dalam Undang- Undang Nomor 17 Thun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 4286);

    d.

    Pasal 3 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355);

    e.

    Pasal 22 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2004 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 44201 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 49631;

    f.

    Pasal 27 ayat (1) beserta Penjelasannya, Pasal 36, Pasal 83, dan Pasal 107 ayat (2) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438;

    g.

    Pasal 171 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063); 49 h. Pasal 72 ayat (2) beserta penjelasannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5495);

    i.

    Pasal 316 dan Pasal 317 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679;

    j.

    Pasal 177 huruf c angka 2, pasal 180 ayat (6), dan Pasal 182 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 181, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6396);

    k.

    Pasal 20 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5872); dan

    l.

    Pasal 11 ayat (22), Pasal 40, Pasal 42, dan Pasal 46 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2019 tentang Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 nomor 198, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 6410).

    3.

    Bahwa apabila merujuk kepada pengenyampingan yang ke-12 yaitu penangguhan untuk UU APBN, maka ketentuan ini identik dengan perubahan anggaran, yang menyangkut kewenangan DPR untuk menyatakan setuju atau tidaknya. Presiden tidak boleh secara sepihak menentukan sendiri perubahan 50 anggaran itu, hanya karena ada keadaan kegentingan yang memaksa yang ditafsirkan sendiri secara sepihak oleh Presiden. Pasal 28 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 menyatakan menangguhkan berlakunya 11 undang-undang untuk sementara waktu keadaan darurat Covid-19, dan sekaligus mengubah 1 undang-undang, yaitu undang-undang tentang APBN Tahun Anggaran 2020. Ketentuan ini jelas bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), (2), dan ayat (3) UUD 1945.

    4.

    Bahwa Pasal 28 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 jelas menerapkan prinsip metode Omnibus. Apabila merujuk kepada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU- VII/2009 tidak memenuhi tiga unsur dan khususnya unsur “Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai”; UU yang telah ada saat ini sudah mumpuni untuk menyelesaikan persoalan darurat yang dihadapi UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan, UU Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, dan UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Hal ini sesungguhnya sejalan dengan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Darurat Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 ( Covid-19 ). Maka apabila lahirnya Pasal 28 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 yang justru menentukan pengeyampingan (tidak berlakunya) UU tertentu, jelas bertentangan dengan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 juncto Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU- VII/2009.

    5.

    Bahwa apabila merujuk kepada prinsip hukum Islam mengenai masalah batasan darurat yang memperbolehkan sesuatu yang diharamkan ini dikalangan para ulama ahli fiqh dan beberapa pendapat yang maknanya tidak jauh berbeda antara satu dan lainnya diantaranya sebagai berikut:

    a.

    Menurut ulama dari mazhab Hanafi, makna darurat yang menyangkut rasa lapar ialah seandainya seseorang tidak mau mengkonsumsi barang yang diharamkan dikhawatirkan ia bisa meninggal dunia atau setidaknya ada anggota tubuh yang menjadi cacat. Seseorang yang dipaksa akan di bunuh atau dipotong salah satu anggota tubuhnya apabila ia tidak mau memakan atau meminum sesuatu yang diharamkan, itu berarti ia sedang dalam keadaan darurat yang memperbolehkan ia memakan bangkai, karena ia mengkhawatirkan nyawanya atau salah satu anggota tubuhnya. (Abdul 51 Rosyad Sidiq, Fiqh Darurat, Jakarta, Pustaka Azzam, 2001. hal. 31). Dan berdasarkan syariat ia berdosa kalau memang ia tahu bahwa hal itu sebenarnya bisa menggugurkan keharaman. Tetapi kalau memang ia tidak tahu bahwa hal itu merupakan keringanan baginya, ia masih bisa diharapkan tidak berdosa soalnya ia bermaksud menegakkan kebenaran syariat dengan cara tetap menjaga diri untuk tidak mau melanggar keharaman menurut anggapannya. Keharaman menjadi gugur kalau memang pemaksaannya disertai dengan ancaman yang berisiko sangat menyakitkan tetapi kalau ancamanannya tidak terlalu berat seperti hanya akan ditahan selama setahun atau dihukum dengan di ikat namun masih tetap diberi jatah makan dan minum itu berarti ia masih punya pilihan artinya ia tidak sedang dalam keadaan darurat. Firman Allah Swt dalam surat al-Baqarah: 173, Maka barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya serta tidak melampaui batas maka tiada dosa baginya. Melihat ayat di atas, tidak semua keterpaksaan itu membolehkan yang haram, namun keterpaksaan itu dibatasi dengan keterpaksaan yang benar-benar tiada jalan lain kecuali hanya melakukan itu dalam kondisi ini maka semua haram dapat diperbolehkan memakainya, misalkan seorang dihutan tiada makanan sama sekali kecuali ada babi hutan dan bila ia tidak makan menjadi mati, maka babi hutan itu boleh dimakan sebatas keperluannya.

    b.

    Menurut ulama dari mazhab Maliki, darurat yang memperbolehkan mengkonsumsi sesuatu yang diharamkan ialah rasa takut akan keselamatan nyawa baik berdasarkan keyakinan atau sekedar dugaan namun ada juga yang berpendapat darurat ialah menjaga jiwa dari kematian atau dari bahaya yang sangat berat, menurut pendapat di atas hal itu tidak disyaratkan harus menunggu sampai benar-benar menjelang kematian, atau sudah dalam keadaan sakaratul maut , karena makan dalam keadaan seperti itu sudah tidak ada gunanya lagi.

    c.

    Menurut ulama mazhab Syafi’i, sesungguhnya rasa lapar yang teramat sangat itu tidak cukup hanya di atasi dengan memakan bangkai dan sebagainya, seperti halnya ulama-ulama mazhab lain mereka semua sepakat tidak wajib harus menunggu sampai kematian itu sebentar lagi datang. Karena pada saat-saat kritis seperti itu tidak ada gunanya makan bahkan pada sampai batas seperti itu tidak dihalalkan makan karena ia memang tidak 52 ada gunanya. Mereka juga sepakat bahwa seseorang diperbolehkan makan kalau ia mengkhawatirkan dirinya bisa kelaparan, atau tidak kuat berjalan, atau kuat naik kendaraan atau terpisah dari rombongannya atau tersesat dan lain sebagainya, kalau sampai ia tidak makan kekhawatiran seseorang terhadap munculnya penyakit yang menakutkan adalah sama seperti kekhawatiran datangnya kematian, sekalipun ia merasa takut selama sakit.

    d.

    Menurut para ulama dari mazhab Hambali, darurat yang memperbolehkan seseorang memakan sesuatu yang diharamkan adalah yang membuatnya merasa khawatir dan akan mati kalau sampai ia tidak memakannya. Sedangkan menurut Imam Ahmad, apabila seseorang hanya karena tidak mau makan barang yang haram merasa khawatir dirinya bisa kelaparan atau takut tidak kuat berjalan sehingga terpisah dari rombongannya atau tidak kuat naik kendaraan maka ia harus memakannya tanpa dibatasi waktu tertentu. (Abdul Rosyad Sidiq, Fiqh Darurat, Jakarta, Pustaka Azzam, 2001. hal.

    34)

    Tiada keharaman bagi darurat dan tiada kemakmuran bagi kebutuhan . __ (Abdul Rosyad Sidiq, Fiqh Darurat, Jakarta, Pustaka Azzam, 2001. hal. 35). Apabila dua mafsadat bertentangan, maka perhatikan mana yang lebih besar madaratnya dengan memilih yang lebih ringan madaratnya . __ Dari pendapat di atas yang menerangkan tentang batasan atau kriteria darurat yang memperbolehkan seseorang memakan sesuatu yang haram mempunyai pengertian yang mirip. Jadi seperti yang dikatakan oleh Imam Hambali, dharurat ialahlah posisi seseorang yang sudah berada dalam batasan maksimal dan tidak ada alternatif lain jika ia tidak mau mengkonsumsi yang dilarang agama ia bisa mati atau hampir mati. (Muhlis Usman, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, Jakarta, Raja Grafindo Persada, cet. Ke-4, 2002, hal. 134). Atau dikhawatirkan salah satu anggota tubuhnya bisa celaka. Pada dasarnya hal itu karena sesuatu yang diharamkan itu tidak boleh dilakukan dan diterjang kecuali karena ada alasan darurat. Darurat itu pun punya standar sendiri apabila seseorang sampai pada batas yang apabila ia tidak mau mengkonsumsi sesuatu yang diharamkan oleh agama ia bisa mati atau hampir mati. Maka itu artinya ia sudah berada pada batas puncak darurat yang berarti ia boleh memakan sesuatu yang diharamkan. 53 Bahwa apabila merujuk lahirnya Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 khususnya berkenaan dengan lahirnya Pasal 28 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 yang mengeyampingkan 12 undang-undang sekaligus tidak memenuhi keadaan darurat karena diterbitkan melalui Perppu Nomor 1 Tahun 2020 sebelum kemudian disahkan menjadi UU Nomor 2 Tahun 2020. Terlepas dari telah berubahnya Perpu tersebut menjadi UU akan tetapi proses pembentukannya bukan UU yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 juncto Pasal 20 UUD 1945. Oleh sebab itu, adanya Pasal 28 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 justru seolah menyatakan tidak ada instrumen hukum sebagai tidak ada alternatif lain dan dalam kondisi maksimal. Padahal instrumen __ hukum yang ada UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan, UU Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, dan UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana serta Pasal 27 ayat (3) UU Nomor 17 Tahun 2003 telah mengakomodir segala kehendak yang dimaksud dalam UU Nomor 2 Tahun 2020.

    6.

    Bahwa berdasarkan uraian di atas jelas telah Pasal 28 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 berpotensi melahirkan kekuasaan presiden berlebihan yang berpotensi berkembang menjadi kekuasaan absolut dan sewenang-wenang namun berlindung dari kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945. Potensi constitutional dictactorship dalam bentuknya yang negatif akan lebih muncul apabila bentuk pengabaian prinsip-prinsip negara hukum disampingkan dibandingkan merespon keadaan darurat kesehatan dengan mengunakan instrumen hukum yang telah ada yaitu UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan, UU Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, dan UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana serta Pasal 27 ayat (3) UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

    7.

    Bahwa berdasarkan uraian di atas, para Pemohon beranggapan pola constitutional dictactorship dapat dihindari apabila beranggapan Pasal 28 Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 22 ayat (1) __ dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. PETITUM Berdasarkan uraian-uraian sebagaimana disebutkan di atas, izinkanlah para Pemohon meminta kepada yang mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang 54 memeriksa dan mengadili permohonan ini untuk memutuskan hal-hal sebagai berikut:

    1.

    Mengabulkan Permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;

    2.

    Menyatakan Pembentukan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang terhadap UUD 1945 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6516) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

    3.

    Menyatakan Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1, huruf a angka 2, dan huruf a angka 3, Pasal 6 ayat (12), Pasal 27 dan Pasal 28 Lampiran Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional da/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang terhadap UUD 1945 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6516), bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

    4.

    Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya Atau Jika Majelis Hakim Konstitusi Republik Indonesia mempunyai keputusan lain, mohon putusan yang seadil-adilnya, ex aequo et bono. [2.2] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalilnya, Pemohon telah mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-70 sebagai berikut:

    1.

    Bukti P-1 : Fotokopi KTP M. Sirajuddin Syamsuddin; 55 2. Bukti P-2 : Fotokopi KTP dan NPWP Prof. Dr. Sri Edi Swasono;

    3.

    Bukti P-3 : Fotokopi KTP dan NPWP Prof. Dr. HM. Amien Rais, MA;

    4.

    Bukti P-4 : Fotokopi KTP dan NPWP Marwan Batubara;

    5.

    Bukti P-5 : Fotokopi KTP dan NPWP M. Hatta Taliwang;

    6.

    Bukti P-6 : Fotokopi KTP dan NPWP Prof. Dr. Daniel M. Rosyid;

    7.

    Bukti P-7 : Fotokopi KTP dan NPWP Dr. Syamsul Balda, SE., MM., MBA;

    8.

    Bukti P-8 : Fotokopi KTP dan NPWP Dr. Abdullah Hehamahua;

    9.

    Bukti P-9 : Fotokopi KTP dan NPWP Dr. H. MS. Kaban, SE., MSI;

    10.

    Bukti P-10 : Fotokopi KTP dan NPWP Adhie M. Masardi;

    11.

    Bukti P-11 : Fotokopi KTP dan NPWP Dr. Ahmad Redi, SH., MH;

    12.

    Bukti P-12 : Fotokopi KTP dan NPWP Dr. Masri Sitanggang, IR., MP;

    13.

    Bukti P-13 : Fotokopi KTP dan NPWP Ir. Sayuti Asyathri;

    14.

    Bukti P-14 : Fotokopi KTP dan NPWP Roosalina Berlian;

    15.

    Bukti P-15 : Fotokopi KTP dan NPWP Ir. Gunawan Adji MSC;

    16.

    Bukti P-16 : Fotokopi KTP dan NPWP Djoko Edhi Soetjipto;

    17.

    Bukti P-17 : Fotokopi KTP dan NPWP Ir. H. Ansufri Id Sambo;

    18.

    Bukti P-18 : Fotokopi KTP dan NPWP Ir. Bambang Tri Puspito;

    19.

    Bukti P-19 : Fotokopi KTP dan NPWP Slamet Ma’arif;

    20.

    Bukti P-20 : Fotokopi KTP dan NPWP Dr. Imam Addaruqurni MA;

    21.

    Bukti P-21 : Fotokopi KTP dan NPWP Agus Solachul Aam;

    22.

    Bukti P-22 : Fotokopi KTP dan NPWP Auliya Khasanofa;

    23.

    Bukti P-23 : Fotokopi KTP dan NPWP Abdurrahman Syebubakar;

    24.

    Bukti P-24 : Fotokopi KTP dan NPWP M. Ramli Kamidin;

    25.

    Bukti P-25 : Fotokopi KTP Darmayanto;

    26.

    Bukti P-26 : Fotokopi KTP Indra Wardhana;

    27.

    Bukti P-27 : Fotokopi KTP Agus Muhammad Mahsum;

    28.

    Bukti P-28 : Fotokopi KTP Dr. Ma’mun Murod;

    29.

    Bukti P-29 : Fotokopi KTP dan NPWP Ir. Indra Adil;

    30.

    Bukti P-30 : Fotokopi KTP dan NPWP Muslim Arbi;

    31.

    Bukti P-31 : Fotokopi KTP dan NPWP Taufan Maulamin;

    32.

    Bukti P-32 : Fotokopi KTP Bambang Sutedjo;

    33.

    Bukti P-33 : Fotokopi KTP dan NPWP Agung Mozin;

    34.

    Bukti P-34 : Fotokopi KTP dan NPWP Nur Aini;

    35.

    Bukti P-35 : Fotokopi KTP dan NPWP Edy Mulyadi;

    36.

    Bukti P-36 : Fotokopi KTP Abdurrahman Tardjo SH; 56 37. Bukti P-37 : Fotokopi KTP dan NPWP Anhar Nasution SE;

    38.

    Bukti P-38 : Fotokopi KTP dan NPWP Ir. Abdullah Sodik;

    39.

    Bukti P-39 : Fotokopi KTP H. Moh Ismail;

    40.

    Bukti P-40 : Fotokopi KTP dan NPWP Hersubeno Arief;

    41.

    Bukti P-41 : Fotokopi KTP dan NPWP Ir. Irwansyah;

    42.

    Bukti P-42 : Fotokopi KTP Furqan Jurdi;

    43.

    Bukti P-43 : Fotokopi KTP dan NPWP Ibnu Tadji H. Nurwendo;

    44.

    Bukti P-44 : Fotokopi KTP dan NPWP Kisman Latumakulita;

    45.

    Bukti P-45 : Fotokopi KTP Djudju Purwantoro;

    46.

    Bukti P-46 : Fotokopi KTP dan NPWP Burhanuddin;

    47.

    Bukti P-47 : Fotokopi KTP dan NPWP Rina Triningsih;

    48.

    Bukti P-48 : Fotokopi KTP Yogi Yogaswara;

    49.

    Bukti P-49 : Fotokopi KTP Atum SH;

    50.

    Bukti P-50 : Fotokopi KTP dan NPWP M. Mossadeq Nahri;

    51.

    Bukti P-51 : Fotokopi KTP dan NPWP M. Asri Anas;

    52.

    Bukti P-52 : Fotokopi KTP dan NPWP Rukminiwati;

    53.

    Bukti P-53 : Fotokopi KTP dan NPWP Dr. Muh. Mu’inudinillah;

    54.

    Bukti P-54 : Fotokopi KTP dan NPWP Ratna Ningsih Fatimah;

    55.

    Bukti P-55 : Fotokopi KTP dan NPWP Mustaris SH;

    56.

    Bukti P-56 : Fotokopi KTP dan NPWP Narliswandi;

    57.

    Bukti P-57 : Fotokopi KTP Arief Agus Djunarjanto;

    58.

    Bukti P-58 : Fotokopi SK Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor AHU-000252.AH.01.08.TAHUN 2015 tentang Persetujuan Perubahan Badan Hukum Perkumpulan Perkumpulan Persatuan Islam; Fotokopi SK Pimpinan Pusat Persatuan Islam Nomor 0001/B.1-C.1/PP/2015 perihal Tasykil Pimpinan Pusat Persatuan Islam (PP. PERSIS) Masa Jihad 2015-2020;

    59.

    Bukti P-59 : Fotokopi SK Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor AHU-0009540.AH.01.07.TAHUN 2017 tentang Pengesahan Badan Hukum dan Pengurus Wanita Al- Irsyad; Fotokopi SK Pengurus Besar Wanita Al- Irsyad Nomor 025-SK-PBW-1440 tentang Pengesahan dan Pengangkatan Susunan Personalia Pengurus Besar Wanita Al- Irsyad Masa Bakti 1439-1444H/2017-2022M;

    60.

    Bukti P-60 : Fotokopi SK Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor AHU-234.AH.01.08.Tahun 2013 tentang Persetujuan Perubahan Anngaran Dasar; 57 Fotokopi SK Pengurus Besar Pemuda Al- Irsyad Nomor 025/SK/PB/2020 tentang Perubahan Susunan Dan Personalia Pengurus Besar Pemuda Al-Irsyad Masa Bakti 1439-1444 H/ 2017-2022 M;

    61.

    Bukti P-61 : Fotokopi Surat Keterangan Nomor 01-00-00/089/ D.IV.1/IX/2016 Terdaftar Dewan Pimpinan Nasional Amanat Kejujuran Untuk Rakyat (AKURAT INDONESIA);

    62.

    Bukti P-62 : Fotokopi AD/ART Yayasan LBH Catur Bhakti;

    63.

    Bukti P-63 : Fotokopi SK Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor AHU-0000372.AH.01.08.TAHUN 2020 tentang Persetujuan Perubahan Badan Hukum Perkumpulan Perkumpulan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia; Fotokopi SK Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia Nmor 01/SK/KU.i/KAMMI/II2020 tentang Struktur Pengurus Pusat Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (PP KAMMI) Periode 2019-2021;

    64.

    Bukti P-64 : Fotokopi SK Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor AHU-0013162.AH.01.07.TAHUN 2018 tentang Pengesahan Pengesahan Badan Hukum Perkumpulan Wanita Islam; Fotokopi SK Pengurus Pusat Wanita Islam Nomor 015/PP/SKEP/SEK/IV/2018 tentang Penyempurnaan Pengurus Pusat Wanita Islam Periode 2016-2021;

    65.

    Bukti P-65 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional da/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang- Undang terhadap UUD 1945 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6485);

    66.

    Bukti P-66 : Fotokopi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

    67.

    Bukti P-67 : Fotokopi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 23/PUU- XVIII/2020;

    68.

    Bukti P-68 : Fotokopi Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib;

    69.

    Bukti P-69 : Fotokopi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU- VII/2009;

    70.

    Bukti P-70 : Fotokopi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 004/PUU-I/2003. 58 Selain itu, para Pemohon juga mengajukan 2 (dua) orang ahli yang didengar keterangannya di bawah sumpah dalam persidangan secara daring tanggal 7 Desember 2020 yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut.

    1.

    Dr. Ir. H. Muhammad Said Didu, M.Si, IPU Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan disahkan menjadi UU pada Sidang Paripurna DPR pada 12 Mei 2020. Perppu Nomor 2/2020 telah ditandatangani dengan segera oleh Presiden Jokowi menjadi UU Nomor 2/2020 pada 16 Mei 2020. Menurut pemerintah UU Nomor 2/2020 atau UU Korona bertujuan merelaksasi sejumlah peraturan yang berlaku saat ini guna menghadapi Covid-19 dan menjaga stabilitas sistem keuangan. Menkeu Sri Mulyani mengatakan UU korona menjadi landasan hukum agar pemerintah dan otoritas terkait dapat mengambil langkah–langkah luar biasa secara cepat dan akuntabel guna menangani pandemi korona. Ditambahkan, upaya tersebut diperlukan mengingat pandemi Covid-19 bukan hanya masalah kesehatan, tetapi juga masalah kemanusiaan yang berdampak pada aspek sosial, ekonomi, dan mempengaruhi fundamental perekonomian nasional (14/4/2020). Kami menganggap pandemi Covid-19 memang masalah serius menyangkut berbagai aspek kehidupan manusia yang dihadapi bukan saja oleh Indonesia tetapi seluruh negara di dunia. Namun, terlepas dari serius dan mendesaknya mangatasi berbagai permasalahan, kami menilai penanganannya harus tetap dilakukan dalam koridor hukum yang berlaku. Untuk itu, penyelenggara negara, terutama pihak eksekutif yang berada dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) harus tetap tunduk kepada konstitusi dan undang-undang berlaku saat ini. Faktanya, berbagai kalangan telah menanggapi dan menganggap bahwa sejumlah ketentuan dan UU Korona melanggar konstitusi dan bertentangan dengan beberapa undang-undang yang berlaku saat ini. Bahkan Pasal 27 UU No.2/2020 memberi hak impunitas kepada eksekutif dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan terkait Covid-19. Oleh sebab itu, tak heran jika sejumlah kalangan pun 59 telah mengajukan judicial review terhadap UU Korona ke Mahkamah Konstitusi (MK), termasuk Koalisi Masyarakat Penegak Kedaulatan (KMPK). Sejalan dengan hal di atas, kami pun telah diminta oleh KMPK untuk menjadi Saksi Ahli atas gugatan judicial review tersebut. Tujuannya adalah untuk menunjukkan bahwa dalam UU Korona terdapat berbagai hal yang dianggap bermasalah dan bertentangan dengan konstitusi, sehingga UU tersebut seharusnya dibatalkan oleh MK. Terlepas dari banyaknya hal -hal lain yang kami anggap bermasalah dan inskonstitusional dalam UU Nomor 2/2020, sebagian dari permasalahan tersebut kami diuraikan berikut ini.

    1.

    Pembentukan Perppu tidak memenuhi kaidah kegentingan memaksa Pembentukan Perppu/UU Nomor 2/2020 boleh dilakukan saat negara menghadapi kegentingan memaksa. Namun kegentingan memaksa dimaksud, harus memenuhi kaidah dan asas yang diatur dalam UU Nomor 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (P3). Selain itu Perppu tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945, TAP MPR, dan UU lain yang berlaku. Faktanya dasar kegentingan memaksa Perppu Nomor 1/2020 tidak jelas dan tidak memenuhi kaidah UU P3, sehingga seharusnya secara formil UU Korona batal demi hukum.

    2.

    Tidak terdapat uraian jelas bagaimana pendemi Covid-19 diatasi Dalam butir menimbang UU Korona dinyatakan pandemi korona merupakan penyebab ancaman bahaya perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan. Namun dalam isi Perppu berupa kebijakan dan aturan, tidak ditemukan ketentuan jelas bagaimana pandemi diatasi. Perppu/UU Korona justru sangat dominan membahas ketentuan terkait perekonomian dan stabilitas sistem keuangan yang dinilai sarat kepentingan oligarki yang berada di belakang pemerintah.

    3.

    Perppu Nomor 1/2020 melanggar batas defisit dan membuat utang naik tak terkendali. Pasal 23 UUD 1945 tentang hak budget DPR berbunyi: 1) APBN sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan UU dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab _untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; _ 2) Rancangan UU APBN diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama DPR _dengan memperhatikan pertimbangan DPD; _ 3) Apabila DPR tidak menyetujui R-APBN yang diusulkan Presiden, Pemerintah menjalankan APBN tahun yang lalu. 60 Ternyata, Pasal 2 Perppu Nomor 1/2020 memberi kewenangan bagi pemerintah menentukan batas defisit anggaran di atas 3% untuk UU APBN sampai 2022. Kewenangan ini jelas bertentangan dengan sifat dan pola ‘priodik’ UU APBN sesuai Pasal 23 ayat (1) UUD 1945, karena: • Pertama, Pasal 2 Perppu tidak menentukan batas maksimal persentase defisit , sehingga membuka peluang Pemerintah menentukan presentase defisit tanpa batas. Hal ini dapat berimplikasi pada membengkaknya Pos Pembiayaan APBN, termasuk meningkatkan jumlah utang negara yang akan menjadi beban rakyat yang sudah sangat tinggi; • Kedua, persentase PDB tanpa batas berlaku sampai 2022. Artinya ketentuan ini beraku dan mengikat 3 (tiga) UU APBN sekaligus, yakni UU APBN TA 2020, UU APBN TA 2021, dan UU APBN TA 2022. Hal ini secara nyata bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945, yang menentukan bahwa APBN ditetapkan setiap tahun. Bahkan UU APBN 2021 dan 2022 belum ada produk hukumnya, sehingga penetapan APBN setiap tahun sesuai konstitusi menjadi tidak bermakna.

    4.

    Perppu Nomor 1/2020 mengeliminasi Hak DPR menetapkan APBN dan Defisit APBN Pasal 2 Perppu di atas juga bertentangan dengan Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, karena membuka peluang defisit anggaran diatas 3% tanpa batas maksimal dan mengikat. Hal ini secara langsung membatasi kewenangan DPR memberikan persetujuan APBN, khususnya berkenaan dengan defisit anggaran harusnya maksimum 3% PDB. DPR tidak leluasa menggunakan hak, tetapi dipatok dengan batas minimal 3% PBD, tanpa ada batas maksimal. Kewenangan konstitusional DPR dalam menetapkan budget sangat besar dan menentukan seperti tercermin dalam ayat (3) Pasal 23 UUD 1945. Bahkan jika DPR tidak menyetujui suatu RUU APBN, maka Pemerintah harus menggunakan UU APBN tahun sebelumnya. Bagaimana bisa pemerintah melalui Pasal 2 Perppu Nomor 1/2020 melawan konstitusi dan seenaknya menihilkan hak DPR dalam penetapan APBN? Implementasi UU Nomor 2/2020 pro-oligarki kekuasaan adalah terbitnya Perpres Nomor 54/2020 dan Perpres Nomor 72/2020. Kedua Perpres ini berfungsi sebagai APBN-P yang berubah hanya dalam waktu 2 bulan dan telah ditetapkan 61 secara sepihak oleh pemerintah tanpa partisipasi DPR sebagai pemegang hak konstitusional budgeting dan sebagai wakil rakyat untuk memperoleh keadilan dalam pemanfaatan uang negara di APBN. Persetujuan DPR atas APBN sebagai pemegang hak budget dalam konstitusi sangat vital, karena merupakan cermin kedaulatan rakyat. Jika hak budget DPR dieliminasi Perppu Nomor 1/2020, berarti hak dan kedaulatan rakyat pun ikut dihilangkan. Perppu/UU Nomor 2/2020 memang bernuansa oligarkis karena sejak semula direkayasa dan diusulkan pemerintah yang pro oligarki. Artinya pemerintah memilih melindungi oligarki dibanding membela dan melindungi rakyat (lihat Lampiran 1: Melawan Pelumpuhan Hak Budget DPR).

    5.

    Membuka peluang terjadinya moral hazard dan ketidakadilan sesame anak bangsa. Pasal 11 UU Korona tidak mengatur program pemulihan ekonomi melalui pembiayaan investasi pemerintah berupa modal negara (PMN), penempatan dana investasi dan penjaminan secara rinci , sehingga membuka peluang terjadinya moral hazard. Dalam hal ini antara lain diperlukan kejelasan objek, sektor, parameter, mekanisme, lembaga pelaksana, penjaminan dan sasaran strategisnya. Model pemulihan yang tidak jelas dan terbuka seperti ini membuka peluang moral hazard yang tinggi, sehingga dana penjaminan justru potensial dinikmati sejumlah pihak bagian dari oligarki. Peluang moral hazard juga terbuka karena UU Nomor 2/2020 memuat ketentuan (Pasal 22) di mana guna mencegah krisis sistem keuangan, pemerintah dapat membuat program penjaminan di luar program penjaminan simpanan seperti diatur UU LPS. Karena kriteria tak jelas, yang akan dibantu LPS secara full garanteee justru bisa saja bank dan para pengusaha yang kesulitan likuiditas bukan karena pandemi korona. Hal ini akan membuka peluang moral hazard yang kelak akan menjadi beban keuangan negara. Moral hazard pun potensial terjadi karena dihapusnya berbagai ketentuan dalam “ 12 UU yang berlaku saat ini”, seperti ditetapkan dalam Pasal 28 UU Korona. Dengan begitu, banyak peraturan perundangan yang disusun puluhan tahun oleh sejumlah pemerintahan dan DPR sebelumnya, termasuk yang menjadi amanat reformasi, dinyatakan tidak berlaku! Hal ini akan menimbulkan dampak negatif terhadap sistem otorisasi dan tata kelola APBN, keuangan negara dan 62 moneter. Kondisi ini menjadikan kewenangan Presiden sangat besar dan berpotensi menimbulkan abuse of power . Mengingat peran DPR dihilangkan dan pembentukan dan pelaksanaan UU No.2/2020 berada di tangan segelintir orang dalam oligarki kekukasaan yang cenderung pro-pengusaha dan pro-kapitalis, maka ke depan ekonomi dan kehidupan ratusan juta rakyat berada dalam kondisi ketidakadilan dan jauh dari rasa kebersamaan. Indonesia akan berada dalam cengkeraman segelinitr orang dalam oligarki kekuasaan dan para pemilik modal. Pada gilrannya, hal ini akan mengancam kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara Indonesia. Dengan ketentuan Pasal 2 dan Pasal 28 UU Nomor 2/2020 yang inkonstitusional, maka bukannya terhindar atau bebas moral hazard, UU No.2/2020 justru membuka peluang terjadinya moral hazard dalam pelaksanaan berbagai kebijakan dan program yang berpangkal pada UU tersebut. Dalam hal ini dapat dikatakan pemerintah telah mengawali penanganan pandemi Covid-19 dan dampaknya terhadap permasalahan sosial, keuangan dan perekonomian nasional dengan membuat peraturan yang justru sarat moral hazard! Ternyata saat ini peran oligarki penguasa-pengusaha tetap ada, dan bahkan semakin exist dibanding masa lalu. Atas nama Covid-19, APBN ditetapkan dengan jumlah belanja yang semakin besar karena kebutuhan mengamankan kepentingan para pengusaha. Belanja APBN yang besar ditutup dengan utang yang semakin besar dan tanpa kendali. Dalam hal ini, peran pengusaha dalam oligarki kekuasaan bernuansa moral hazard terasa cukup dominan. Ke depan pola kekuasaan bernauansa moral hazard ini akan berdampak pada kehidupan rakyat yang semakin jauh dari rasa keadilan dan kebersamaan yang diamanatkan Pancasila. Ironi dan nestapa tersebut dapat dicegah jika Mahakamah Konstitusi bisa bekerja bebas “intervensi” memutus gugatan judicial review sejumlah elemen publik terhadap UU Nomor 2/2020, fungsi budget DPR dipulihkan, peran BI dan LPS dijalankan sesuai UU, dan krisis diatasi secara berkeadilan sesuai perintah UU PPKSK, serta pengaruh moral hazard dan dominasi pengusaha dalam oligarki kekuasaan dihilangkan.

    6.

    Kerugian negara ratusan triliun Rp menangani krisis keuangan 1997-1998 akan terulang. 63 Belajar dari krisis keuangan 1997-1998 dan krisis ekonomi 2008, Pemerintah dan DPR telah melakukan perbaikan dan membangun sistem keuangan yang siap menghadapi krisis sistem keuangan. Upaya perbaikan meliputi penataan kelembagaan, pembentukan dan amendemen UU Nomor 23/1999 tentang BI, pendirian Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sesuai UU Nomor 24/2004 dan pendirian Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sesuai UU Nomor 21/2011. Dibentuk pula UU Nomor 9/2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK). UU ini dipersiapkan dalam rangka memenuhi kebutuhan payung hukum untuk mengatur upaya pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan. Jika dicermati, UU BI dibentuk dan dirubah agar BI dapat menjadi lembaga otonom, independen, dan bebas dari campur tangan pemerintah dan pihak-pihak lain, sehingga pengendalian moneter dapat dilakukan efektif dan efisien. Begitu juga dengan UU-UU tentang LPS, OJK dan PPKSK yang dibentuk dalam upaya mewujudkan stabilitas sistem keuangan yang kuat mencegah dan menangani krisis sistem keuangan, termasuk mencegah moral hazard. UU PPKSK Nomor 9/2016 secara spesifik mengatur prinsip-prinsip dalam pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan yang tidak diatur sebelumnya. UU PPKSK mengatur skema bail-in dalam penanganan bank sistemik dengan mengoptimalkan kemampuan bank baik melalui penambahan modal maupun pengubahan utang atau investasi menjadi penyertaan. Saling keterkaitan sektor jasa keuangan menuntut kebijakan makroprudensial yang bersifat melengkapi kebijakan mikroprudensial dan pengawasan sektor keuangan terintegrasi. Ternyata, meskipun berbagai perangkat dan peraturan mengantisipasi dan menangani krisis ekonomi dan keuangan telah tersedia, pemerintahan Jokowi tidak menggubris dan justru dengan sengaja mengeliminasinya! Secara khusus, pemerintah sengaja mengeliminasi peran UU PPKSK dalam Pasal 28 (poin 11) UU Nomor 2/2020. Padahal, berbagai perangkat tersebut disusun setelah belajar dari dampak negatif penanganan krisis eknomi dan keuangan masa lalu. Saat itu penanganan krisis sangat merugikan keuangan negara, dan penyebab utamanya adalah prilaku moral hazard penyelenggara negara dan para pengusaha. Prilaku pemerintah seperti di atas jelas menunjukkan sikap yang lebih berpihak kepada pengusaha yang menjadi bagian oligarki kekuasaan. Karena itu, tak heran jika UU Nomor 2/2020 lebih banyak memuat ketentuan menangani 64 kepentingan pengusaha dan penyelamatan sistem keuangan dan perbankan. Segelintir pengusaha memperoleh bagian yang besar, termasuk insentif fiskal dan pemotongan pajak, sedang ratusan juta rakyat justru tidak mendapat bagian dan penanganan memadai serta berkeadilan dalam hal keselamatan dan jaring pengaman sosial. Kita telah melihat dan merasakan prilaku moral hazard telah mewaranai dan sangat menentukan kehidupan rakyat di masa lalu dengan perekonomian dan beban utang yang sangat besar. Megaskandal BLBI telah meninggalkan utang negara Rp 640 triliun dan akan menjadi beban APBN dan beban rakyat hingga tahun 2033, itu pun jika pokok utang dilunasi. Megaskandal ini tidak dapat dituntaskan meskipun telah ditangani oleh 4 periode pemerintahan, terutama karena kuatnya pengaruh oligarki pengidap moral hazard (lihat Lampiran 2: UU Korona Nomor 2/2020: Melanjutkan Ketidakadilan Modus Megaskandal BLBI). Lampiran 1 Melawan Pelumpuhan DPR Dalam UU Korona Nomor 2/2020! UU Nomor 2/2020 adalah tentang Penetapan Perppu Nomor 1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan. UU Nomor 2/2020 diyakini melanggar konstitusi karena bertentangan dengan konstitusi. Salah satu pelanggaran terfatal, dilumpuhkannya hak budget DPR dalam Pasal 23 UUD 1945:

    1)

    APBN sebagai wujud pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan UU dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat;

    2)

    RUU APBN diajukan Presiden untuk dibahas bersama DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD;

    3)

    Apabila DPR tidak menyetujui R-APBN yang diusulkan Presiden, Pemerintah menjalankan APBN tahun lalu. Tulisan ini membahas ketentuan UU Nomor 2/2020 yang melanggar konstitusi. Dibahas juga motif yang diyakini ada di balik pelanggaran, terutama Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 12 ayat (2). Pertama , pada Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 2/2020 disebutkan pemerintah berwenang menetapkan batasan defisit:

    1)

    melampaui 3% dari PDB selama masa penanganan COVID-19 dan/atau untuk menghadapi ancaman membahayakan perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan paling lama sampai 2022;

    2)

    sejak 2023 besaran defisit akan kembali menjadi paling tinggi sebesar 3% dari PDB; dan, 3) penyesuaian besaran defisit dilakukan bertahap. 65 Pasal 2 UU Nomor 2/2020 bertentangan dengan Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, karena meskipun defisit APBN perlu dinaikkan melebihi 3% dari PDB, DPR sama sekali tidak dilibatkan menentukan batas defisit tersebut. Padahal, persetujuan DPR atas APBN sebagai pemegang hak konstitusional budgeting merupakan cermin kedaulatan rakyat. Jika hak budegt dieliminasi, maka kedaulatan rakyat menentukan APBN pun hilang! Dengan hilangnya hak DPR menentukan defisit, maka nilai maksimum defisit menjadi terbuka tanpa batas. Nilai belanja APBN yang hanya terpusat di tangan pemerintah pun akan ditetapkan nyaris tanpa kontrol. Sehingga, APBN dapat dialokasikan pada program-program pro pengusaha, pro oligarki, tidak prioritas, dan berpotensi moral hazard. Atas nama korona, stabilitas ekonomi dan keuangan, APBN yang sebagian besar ditutup dengan menambah beban utang rakyat, berpotensi diselewengkan dan dikorupsi! Kedua, pada Pasal 12 ayat 2 UU Nomor 2/2020 dinyatakan perubahan postur dan/atau rincian APBN dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara hanya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres). Ini mempertegas niat buruk pemerintah menetapkan APBN secara tunggal, sekaligus menjadi alat menyingkirkan DPR ikut membahas APBN. Pemerintah telah bertindak inskonstitusional dan menghalalkan segala cara. Padahal pada Pasal 23 UUD 1945 disebutkan kedudukan dan status APBN adalah UU yang ditetapkan setiap tahun. RAPBN harus diajukan Presiden untuk dibahas dan disetujui DPR. Dengan pembahasan, terjadi proses check and balances dan APBN dapat pula dialokasikan sesuai prioritas. Ironis, DPR malah menyambut baik UU Korona yang telah melucuti haknya. Terlepas partisipasi DPR dan DPD dalam menetapkan budget mungkin dapat mengurangi kecepatan mengambil keputusan, konstitusi telah menjamin bahwa kedua lembaga memiliki hak ikut membahas dan menetapkan APBN dan APBN-P setiap tahun. Kondisi memaksa yang dipakai melegalkan eliminasi hak DPR seperti diatur Pasal 2 dan Pasal 12 UU Nomor 2/2020 merupakan perbuatan illegal sarat moral hazad. Menurut logika, tidak mungkin konstitusi dibuat sedemikian rupa sehingga ketentuan di dalamnya conflicting satu sama lain, atau bisa saling meniadakan hanya karena adanya satu sebab, seperti kegentingan memaksa Pasal 22 UUD 66 1945. Karena itu banyak kalangan telah menggugat UU Nomor 2/2020 ke Mahkamah Konstitusi, termasuk KMPK. Faktanya, dengan telah ditetapkannya Perppu Nomor 2020 menjadi UU Nomor 2/2020 pada 16 Mei 2020, pemerintah telah menerbitkan Perpres tentang Perubahan UU APBN 2020, yang selama ini dikenal sebagai UU APBN-P sebanyak dua kali, yaitu Perpres Nomor 54/2020 pada 3 April 2020 dan Perpres Nomor 72/2020 pada 24 Juni 2020. Kedua Perpres diterbitkan sewenang-wenang oleh pemerintah dalam kurun waktu tidak sampai 3 bulan, tanpa keterlibatan DPR. Dari kedua Perpres diperoleh biaya penanganan pendemi korona naik dari Rp 405 triliun menjadi Rp 695 triliun. Dana dukuangan bidang usaha (Rp 430T) lebih besar dibanding kesehatan dan jaring pengaman sosial (Rp 291T). Sedangkan defisit APBN naik dari Rp 852 triliun (3,07%) jadi Rp 1039 triliun (6,34%). Karena pandemi, penerimaan negara turun cukup besar dan belanja naik signifikan, sehingga defisit ditutup dengan utang, Rp 1220 triliun. Dalam kondisi keuangan negara yang demikian memprihatinkan, dan mestinya dibahas seluruh lembaga terkait, keputusan justru diambil oleh hanya segelintir pejabat pemerintah. Patut diduga sejumlah lembaga non pemerintah, pengusaha dan konglomerat ikut terlibat mempengaruhi Perpres guna mengamankan kepentingan. DPR sengaja dilumpuhkan agar agenda oligarki yang diduga sarat moral hazard berlangsung mulus. Jika dicermati lebih lanjut, beberapa skandal yang muncul belakangan ini dapat mengkonfirmasi kuatnya peran oligarki dan nuansa moral hazard dalam penyusunan Perpres Nomor 54/2020 atau Nomor 72/2020. Salah satu contoh adalah tentang Program Kartu Prakerja, yang semula mendapat alokasi anggaran berdasar Perpres Nomor 36/2020. Karena banyak protes publik dan temuan penyelewengan KPK, landasan hukum berubah jadi Perpres Nomor 76/2020. Padahal, menjadikan Perpres sebagai landasan legal tanpa adanya rujukan UU merupakan pelanggaran hukum serius. Terjadi rekayasa busuk: uang yang seharusnya diberikan secara utuh kepada rakyat, sebagian malah diberikan tanpa lelang pada 8 provider mitra penyedia pelatihan dengan anggaran Rp1 juta per orang, untuk 5,6 juta orang. Empat di antara provider adalah PMA. Melalui Perpres Nomor 76/2020, pemerintah memaksakan agar sebagian anggaran program dapat dinikmati mitra pelatihan yang sebagian berlatar belakang oligarki! 67 Artinya, program yang berkedok merakyat sebetulnya ditunggangi kepentingan oligarki berburu rente. Padahal modul pelatihan dapat diakses cuma- cuma di internet atau lembaga milik pemerintah. Jika ada empati terhadap penderitaan rakyat terdampak pandemi dan temuan KPK diperhatikan, maka tanpa dituntut program wajar berhenti. Namun karena matinya empati, niat korupsi dan status kebal hukum UU Nomor 2/2020, maka program tetap dilanjutkan. Kasus lain adalah tentang perubahan peran LPS yang wewenangnya ditingkatkan sepihak sesuai PP Nomor 33/2020 melebihi ketentuan dalam UU Nomor 4/2004 tentang LPS. Dengan itu, LPS dapat dimanfaatkan membail-out bank-bank atau perusahaan bermasalah. Pemanfaatan ini akan berjalan lancar karena minimnya prosedur/syarat rujukan dan transparansi. Cara ini mirip megaskandal BLBI, negara menolong bank dan bisnis para pengusaha bermasalah melalui proses yang sarat moral hazard, sehingga mewariskan beban utang besar pada rakyat. Berikutnya adalah pemanfaatan APBN untuk membantu pengusaha melalui dana yang dialokasikan sebagai bantuan UMKM sebesar Rp 123,46 triliun sesuai PP No.23/2020 tentang Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Dana telah diserahkan secara simbolis Rp 1 triliun oleh Presiden Jokowi pada 23 Juli 2020 di Istana Negara. Hal yang dikhawatirkan adalah siapa dan bagaimana cara, syarat serta prosedur bantuan dijalankan, yang minim pengawasan. Konsultasi dan pengawasan oleh DPR tidak optimal, sedangkan dasar kebijakan, peraturan operasional dan syarat pelaksanaan belum tersedia komprehensif dan berpotensi moral hazard. Sehingga, sebagian dana bantuan UMKM dapat berfungsi menjadi dana talangan bagi bank atau kredit macet, termasuk sektor propeti dan kredit lainnya. Padahal kredit macet timbul bukan karena pandemi, tetapi akibat pelanggaran aturan, ignorance, penyimpangan, kegiatan spekulatif, dll. Besarnya dana talangan dapat membesar karena motif untuk luar UMKM. Dalam PP Nomor 23/2020 disebutkan bank peserta meenyediakan dana penyangga liquiditas bagi bank pelaksana yakni bank umum konvensional dan bank syariah. Selain itu bank peserta dapat bertindak sebagai bank pelaksana berfungsi merestrukturisasi kredit dan pembiayaan. Mekanisme seperti ini dapat dianggap sebagai pola talangan atau bailout bank atas nama bantuan UMKM. Bantuan ini 68 tidak mengacu persyaratan kondisi darurat tetapi pada kondisi normal, sehingga bank lebih leluasa mengeruk dana UMKM. Akhirnya, dana bantuan UMKM dapat lebih banyak dinikmati pengusaha besar oligarkis dibanding UMKM. Uraian di atas telah memperlihatkan bagaimana UU Nomor 2/2020 disusun untuk membuka jalan bagi penggunaan APBN pro oligarki yang bernuansa moral hazard. Praktek seperti ini sudah biasa dilakukan para pengusaha berpengalaman dalam berbagai kasus, terutama megaskandal BLBI. Para veteran perampok BLBI ini sangat berpengaruh dan berhasil mengintervensi penguasa untuk menerbitkan Inpres Nomor 8/2002, tentang release and discharge. Dalam buku Skandal BLBI (2008) mantan Menko Ekuin Kwik Kian Gie menceritakan pengalaman betapa kuatnya pengaruh para konglomerat bersama menteri pro-oligarki membahas penyelesaian kasus BLBI pada November- Desember 2002: Ada seorang menteri yang mengatakan supaya jangan main-main dengan para pengusaha pengutang BLBI itu, karena mereka para konglomerat yang sudah bermain di Hongkong dan Singapura dengan jaringannya yang luas. Jadi, mereka sudah merupakan perusahaan multinasional. Akhirnya para konglomerat perampok BLBI memang mendapat status bebas pidana korupsi dari pemerintah yang pro pengusaha melalui Inpres Nomor 8/2002. Mereka ini sekarang tetap berkibar sebagai bagian dari oligarki kekuasaan dan bahkan tumbuh lebih besar. Saat ini, ikatan oligarki penguasa-pengusaha jauh lebih erat dan menentukan dibanding Era Megawati. Buktinya, karpet merah kebijakan dan peraturan bahkan sudah dipersiapkan sejak awal untuk memuluskan agenda para konglomerat, sebelum adanya program! Pada Era Jokowi yang mengusung UU Nomor 2/2020, segalanya mudah bagi oligarki, termasuk melumpuhkan DPR. Bahkan yang dilumpuhkan pun malah senang. Rakyat tak perlu buang waktu untuk heran. Mari bangkit untuk melawan. Lampiran 2 UU Korona Nomor 2/2020: Melanjutkan Ketidakadilan Modus Megaskandal BLBI Salah satu ketentuan yang berpotensi merugikan rakyat dalam UU Korona No.2/2020 adalah tentang perubahan kewenangan Bank Indonesia (BI). Pasal 16 69 (1) UU Korona antara lain memberi BI kewenangan untuk: (a) memberikan pinjaman likuiditas jangka pendek atau pembiayaan likuiditas jangka pendek berdasarkan prinsip syariah kepada Bank Sistemik atau bank selain Bank Sistemik; (b) memberikan Pinjaman Likuiditas Khusus kepada Bank Sistemik yang mengalami kesulitan likuiditas dan tidak memenuhi persyaratan pemberian pinjaman likuiditas jangka pendek atau pembiayaan likuiditas jangka pendek berdasarkan prinsip syariah yang dijamin oleh Pemerintah dan diberikan berdasarkan Keputusan KSSK; dan (d) membeli/repo surat berharga negara yang dimiliki Lembaga Penjamin Simpanan untuk biaya penanganan permasalahan solvabilitas Bank Sistemik dan bank selain Bank Sistemik. Ketentuan Pasal 16 (1) UU Korona membuka peluang terjadinya penyelamatan sektor keuangan melalui skema pemberian dana talangan atau bail- out oleh negara. Kebijakan seperti ini tentu tidak adil bagi seluruh rakyat. Segelintir orang atau pemilik bank memperoleh bantuan khusus negara atas nama penyelamatan sektor keuangan dalam kondisi mayoritas rakyat sedang menderita, yang justru jauh lebih layak memperoleh bantuan. Apalagi jika bank-bank tersebut bermasalah akibat berbagai pelanggaran aturan dan prilaku moral hazard para pemilik. Di sisi lain, guna menyelamatkan sektor keuangan yang diakui dapat berdampak sistemik, tersedia mekanisme lebih adil, yaitu melalui skema bail-in. Dalam skema bail-in, pemegang saham atau group bisnis dalam suatu konglomerasi dapat saling bantu menyelamatkan sektor bisnis yang bermasalah. Ketentuan tentang mekanisme bail-in ini pun telah diatur dalam UU No. 9/2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK). Para pemilik pemilik bank umumnya konglomerat yang berbisnis dibanyak sektor, sehingga akan mampu dan berkeadilan menerapkan skema bail-in . Namun langkah ini diabaikan. Skema bail-out berpotensi melahirkan skandal penyimpangan kekuasaan keuangan negara atas penanganan krisis yang menimbulkan biaya sangat besar bagi negara. Megaskandal BLBI akibat krisis ekonomi 1997-1998 telah membuat negara menanggung beban Rp640.9 triliun, terdiri dari BLBI Rp144,5 triliun, program penjaminan Rp53,8 triliun, penjaminan Bank Exim Rp 20 triliun dan obligasi rekap perbankan Rp422,6 triliun. Beban negara ini harus ditanggung rakyat secara keseluruhan melalui beban pajak dan inflasi yang berkelanjutan hingga sekarang. 70 Ternyata sebagian besar pengusaha dan konglomerat penikmat kebijakan zolim fasilitas BLBI (termasuk obligasi rekap) saat ini bukan saja survive tetapi bahkan tumbuh jauh lebih besar. Posisi mereka sebagai bagian dari oligarki kekuasaan tetap memperoleh berbabagi fasilitas dan hak istimewa dari pemerintah seperti terjadi sebelumnya, sehingga mereka dapat menguasai dan mencengkeram berbagai sektor ekonomi dan keuangan nasional. Bahkan sebagian konglomerat telah merambah sektor sosial dan politik, sehingga dapat mempengaruhi pembuatan aneka kebijakan, undang-undang dan peraturan pro oligarki, seperti UU No. 2/2020. Kombinasi sejumlah ketentuan dalam UU Korona No. 2/2020, yakni Pasal 16 terkait bail-out, Pasal 20 tentang peran LPS, Pasal 22 tentang penjaminan dan Pasal 28 terkait eliminasi ketentuan dalam 12 UU berlaku, akan berpotensi lahirnya kebijakan penjaminan penuh simpanan nasabah kaya ( blanket guarantee ). Di samping tidak adil, berbagai ketentuan tersebut berpotensi memunculkan moral hazard , termasuk oleh pejabat negara, sehingga dapat menimbulkan terulangnya megaskandal BLBI. Pada Pasal 20 UU No. 2/2020 LPS diberikan kewenangan merumuskan dan melaksanakan kebijakan penjaminan simpanan untuk kelompok nasabah dengan mempertimbangkan sumber dana dan/atau peruntukkan simpanan serta besaran nilai yang dijamin bagi kelompok nasabah tersebut yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pada pasal 22 disebutkan guna mencegah krisis sistem keuangan, pemerintah dapat menyelenggarakan program penjaminan di luar program penjaminan simpanan yang diatur dalam UU tentang LPS. Dengan skema penjaminan penuh ( full guarantee ) maka simpanan konglomerat di perbankan seluruhnya dijamin pemerintah yang berpotensi moral hazard . Menurut BPK tindakan moral hazard penguasa, pengusaha dan konglomerat yang mengkorupsi uang negara pada megaskandal BLBI dilakukan dalam berbagai modus. Laporan BPK No. 06/VII/2000 menyimpulkan terjadi berbagai tindak pidana, sehingga para pelakunya harus diproses secara hukum sebagai berikut: • Penggunaan BLBI di luar kepentingan yang telah ditentukan (yaitu untuk pembayaran dana nasabah), seperti untuk melunasi pinjaman dan kewajiban pembayaran yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya, membayar utang kepada kelompok usahanya sendiri, transaksi surat berharga, melunasi dana 71 pihak ketiga yang melanggar ketentuan, membiayai kontrak derivatif baru, membiayai ekspansi kredit, membiayai investasi dalam bentuk aktiva tetap, dan membiayai overhead (biaya operasional bank). Total penyimpangan yang terjadi adalah senilai R84,84 triliun) atau 58,70% dari jumlah BLBI yang dikucurkan per 29 Januari 1999 (sebesar Rp144,5 triliun); • Pelanggaran BMPK (Batas Maksimum Pemberian Kredit), yaitu nilai maksimum kredit yang dapat dikucurkan perbankan pada kelompok usaha sendiri. Pelanggaran BMPK sesuai dengan Pasal 49 ayat (2) jo Pasal 50 juncto Pasal 50 A UU Nomor 10 Tahun 1998, merupakan tindak pidana yang harus diproses hukum; • Pemberian fasilitas oleh BI yang mengizinkan perbankan untuk tetap mengikuti proses kliring walaupun rekening gironya di BI telah bersaldo negatif; • Penggelembungan nilai aset oleh para obligor BLBI untuk menutupi kewajiban yang harus dilunasi dalam skema pola Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham. Salim Group , misalnya, menyatakan nilai seluruh aset yang diserahkan pada 1998 adalah Rp 52 triliun (hal ini diterima oleh konsultan BPPN, yakni Lehman Brothers, PT Danareksa, dan PT Bahana tanpa financial due diligence lebih dulu). Namun, audit PricewaterhouseCoopers pada 2000 ternyata menemukan nilai aset Salim hanya berkisar Rp12 triliun-Rp20 triliun. Temuan BPK di atas menunjukkan tindakan moral hazard dalam megaskandal BLBI, di samping oleh para konglomerat, juga dilakukan pejabat negara baik di BI maupun lembaga terkait lain. BPK juga menemukan berbagai pelanggaran oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) sebagai berikut: • Mengonversi BLBI bank-bank take-over (BTO) menjadi penyertaan modal sementara (PMS); • Mengalihkan utang ke bank pemegang saham pengendali melalui pola penyelesaian kewajiban pemegang saham pengendali (PKPS), dengan menandatangani APU; • Memerankan diri sebagai agen dari pihak penerima bantuan dari pada sebagai wakil pemerintah yang berhak menarik bantuan likuiditas yang telah diberikan; • Aset yang dibayarkan berdasar pengakuan penerima BLBI jauh di atas nilai berlaku. Salah satu contoh, aset tambak udang Dipasena, Lampung milik 72 Sjamsul Nursalim diserahkan kepada BPPN dengan nilai Rp20 triliun. Padahal menurut perhitungan Menko Ekiun masa itu, Kwik Kian Gie, nilai pasar tambak Dipasena hanya Rp 2 triliun • Dalam menjual aset yang dibayarkan penerima bantuan dalam rangka mengonversi aktiva tetap menjadi uang kas kerap jauh di bawah nilai pasar. Kasus BLBI merupakan megaskandal karena menyangkut jumlah dana sangat besar, Rp 640 triliun. Para konglomerat penerima BLBI masa orde baru menguasai perekonomian nasional dari hulu sampai hilir. Ternyata saat ini, dominasi mereka bukan hanya pada sektor ekonomi dan keuangan, tetapi juga merambah hampir seluruh aspek kehidupan. Kalau dulu mereka berhasil mempengaruhi pemerintahan Megawati menerbitkan Inpres No. 8/2002 agar bebas pidana, maka pada pemerintahan Jokowi, cengekraman mereka semakin kuat, sehingga mampu berperan dalam pembentukan UU No. 2/2020 yang berpotensi lebih menyengsarakan rakyat. Akibat megaskandal BLBI yang membuat besarnya beban utang negara, maka guna membayar bunga utang, setiap tahun pemerintah harus mengurangi beberapa pos anggaran untuk sektor-sektor mendasar kehidupan rakyat, termasuk untuk pendidikan dan kesehatan. Akibatnya program pos pelayanan terpadu menghilang, biaya berobat naik, atau biaya pendidikan naik dan harga-harga barang/jasa pun naik. Meskipun mungkin terdapat perdebatan atas terjadinya penurunan anggaran kesejahteraan publik di tingkat makro, namun kian beratnya beban hidup menjadikan puluhan juta rakyat tetap hidup susah dan miskin. Salah satu cara untuk mengurangi kemiskinan adalah menegakkan hukum dan keadilan terhadap para koruptor BLBI. Minimal sebagian aset mereka harus disita untuk didistribusikan kepada rakyat melalui mekanisme APBN. Namun, dengan ditetapkannya UU Korona No. 2/2020, kebijakan dan aturan tersebut bukan saja mengulang kesalahan dan kejahatan sarat moral hazard masa lalu yang semakin memihak konglomerat, tetapi malah akan menambah kesengsaraan rakyat dan jumlah orang miskin itu sendiri. Menurut CORE, pada kuartal-2 2020, akibat pendemi korona penduduk miskin Indonesia akan bertambah sesuai skenario moderat 5,1 juta hingga sangat berat 12,2 juta jiwa. Artinya, akhir 2020 jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan menjadi 37,9 juta jiwa (14,35%). Situasi akan semakin parah jika anggaran 73 perlindungan sosial lebih rendah dibanding anggaran pemulihan ekonomi yang ditengarai pro pengusaha, seperti pada megaskandal BLBI. Rakyat pun harus bangkit menolak UU Korona pro oligarki tersebut.

    2.

    Prof. Anthony Budiawan, M.Sc., CMA. PENDAHULUAN Pandemi Corona Virus Disease (Covid-19) menyebabkan pertumbuhan ekonomi turun, baik ekonomi dunia maupun ekonomi Indonesia. Dampak pandemi Covid-19 terhadap ekonomi bisa sangat serius. Pertumbuhan ekonomi bahkan bisa terkontraksi, artinya pertumbuhan negatif atau minus. Dalam krisis pandemi Covid-19, ada dua peristiwa yang terjadi di mana peristiwa satu menyebabkan peristiwa lainnya. Artinya, dalam hal ini, ada hubungan sebab dan akibat yang sangat jelas. Pandemi Covid-19 adalah penyebab, dan penurunan pertumbuhan ekonomi adalah akibat. Bukan sebaliknya. Artinya, peristiwa pandemi Covid-19 menyebabkan peristiwa pertumbuhan ekonomi turun. Oleh karena itu, berapa besar penurunan pertumbuhan ekonomi sangat tergantung dari berapa parah dan berapa lama penyebaran pandemi Covid-19 berlangsung. Semakin lama peristiwa pandemi Covid-19 berlangsung maka semakin dalam penurunan pertumbuhan ekonomi yang terjadi. Sebaliknya, apabila penyebaran pandemi Covid-19 dapat segera teratasi, maka penurunan pertumbuhan ekonomi akan lebih ringan. Artinya, penurunan pertumbuhan ekonomi akan terjadi secara gradual seiring berlangsungnya waktu penyebaran dan penanganan pandemi Covid-19. Hubungan sebab-akibat ini juga dinyatakan secara tegas dalam pertimbangan penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem, selanjutnya disebut Perppu No 1/2020, yang ditetapkan pada 31 Maret 2020. Butir Menimbang pada Perppu No 1/2020 menyatakan:

    a.

    bahwa penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) yang dinyatakan oleh Organisasi Kesehatan Dunia ( World Health Organization ) sebagai pandemi pada sebagian besar negara-negara di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, menunjukkan peningkatan dari waktu ke waktu dan telah menimbulkan korban jiwa, dan kerugian material yang semakin besar, sehingga berimplikasi pada aspek sosial, ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat; 74 b. bahwa implikasi pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) telah berdampak antara lain terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional, penurunan penerimaan negara, dan peningkatan belanja negara dan pembiayaan, sehingga diperlukan berbagai upaya Pemerintah untuk melakukan penyelamatan kesehatan dan perekonomian nasional, dengan fokus pada belanja untuk kesehatan, jaring pengaman sosial (social safety net), serta pemulihan perekonomian termasuk untuk dunia usaha dan masyarakat yang terdampak; Butir Menimbang ini menegaskan bahwa penyebaran Covid-19 merupakan sebab dari perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional. Sedangkan salah satu maksud dan tujuan Perppu Nomor 1/2020 yang tersurat dari judulnya adalah untuk penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Apa yang dimaksud dengan “untuk penanganan pandemi Covid-19” tidak jelas dan tidak diatur sama sekali di dalam Perppu Nomor 1/2020. Tidak ada satu Bab dan Pasal di dalam Perppu Nomor 1/2020 yang mengatur bagaimana menangani Covid-19 yang menjadi sumber permasalahan. Perppu Nomor 1/2020 hanya mengatur tentang penanganan dampak Covid-19 terhadap perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan. Bahwa telah terjadi pandemi Covid-19 yang menimbulkan korban jiwa serta berdampak negatif pada pertumbuhan ekonomi nasional dan kesejahteraan masyarakat adalah sebuah fakta yang tidak terbantahkan. Tetapi, apakah ada hal ihwal kegentingan yang memaksa sehingga Presiden harus menetapkan Perppu Nomor 1/2020 perlu disikapi dan diuji secara lebih hati-hati. Pertama kali diketahui ada pasien terinfeksi Covid-19 di Indonesia pada 2 Maret 2020. Sedangkan pemerintah menetapkan Perppu Nomor 1/2020 pada 31 Maret 2020. Dalam waktu satu bulan, pemerintah menetapkan ada hal ihwal kegentingan yang memaksa sehubungan dengan Covid-19 yang dapat mengancam stabilitas sistem keuangan dan/atau membahayakan perekonomian nasional. Mengingat dampak krisis ekonomi terhadap penurunan ekonomi berlangsung secara gradual, pemerintah seharusnya mempunyai cukup waktu untuk membahas perubahan undang-undang yang perlu diubah bersama DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), misalnya terkait perubahan postur pada anggaran pendapat dan belanja negara, melalui proses normal, melalui pengajuan Rancangan Undang-Undang (RUU). Perlu digaris bawahi, DPR pada tanggal 30 Maret 2020 sudah mulai masuk masa sidang. Menurut pengalaman sebelumnya, pembahasan APBN-P untuk tahun 75 anggaran 2017 hanya memerlukan 24 hari kalender sejak Rancangan APBN-P diterima DPR sampai disetujui, dari 3 Juli 2020 sampai 27 Juli 2007. PANDANGAN UMUM Identifikasi Permasalahan Presiden dapat menetapkan Perppu apabila merasa ada hal ihwal kegentingan yang memaksa atas hal tertentu yang belum ada undang-undangnya, atau ada undang- undangnya tetapi tidak cukup. Dalam hal ini, hal tertentu tersebut adalah kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan nasional. Kemudian, Perppu yang ditetapkan harus disahkan DPR pada masa persidangan berikutnya. Artinya, penetapan Perppu hanya bersifat sementara waktu, yaitu dari tanggal penetapan Perppu sampai tanggal sidang DPR berikutnya. Dalam hal ini, sejak 31 Maret 2020 hingga 12 Mei 2020. Pemerintah khawatir, dalam periode tersebut terjadi permasalahan ekonomi yang tidak bisa ditangani oleh UU yang berlaku, sehingga terdorong menetapkan Perppu. Hal ihwal kegentingan yang memaksa di sini melibatkan dua unsur. Pertama, unsur subjektif Presiden dalam menilai bahwa saat ini tidak ada undang-undang, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai, tentang kebijakan keuangaan negara dan stabilitas sistem keuangan untuk menangani dampak pandemi Covid-19 terhadap perlambatan perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan. Kedua, unsur waktu dan Jumlah di mana dampak pandemi Covid-19 terhadap penurunan pertumbuhan ekonomi dikhawatirkan terjadi dalam waktu cepat, sehingga Presiden tidak bisa menunggu mengubah undang-undang yang dirasa tidak memadai melalui prosedur normal dengan cara mengusulkan Rancangan Undang-Undang kepada DPR untuk dibahas bersama. Krisis Ekonomi Berlangsung Bertahap Perjalanan krisis ekonomi di dunia menunjukkan bahwa krisis ekonomi tidak terjadi secara mendadak bagaikan bencana alam yang bisa mengakibatkan kerusakan seketika. Krisis ekonomi umumnya berlangsung secara bertahap dari waktu ke waktu. Berikut ini diberikan contoh beberapa kasus krisis ekonomi yang dialami Indonesia. Krisis Moneter Asia 1997/1998 krisis moneter Asia berawal dari Thailand pada awal Juli 1997 melalui serangan spekulatif terhadap mata uang baht Thailand, yang kemudian menyebar 76 ke Indonesia, Korea Selatan, Malaysia dan Philipina. Kurs rupiah yang ketika itu menggunakan sistem kurs tetap mendapat serangan spekulatif yang membuat kurs rupiah terdepresiasi tajam. Kurs rupiah terhadap dolar AS pada triwulan III-1997, triwulan IV-1997 dan triwulan I-1998 masing-masing turun 34,5 persen, 69,7 persen dan 56,8 persen: dari Rp 2.431,5 per dolar AS pada 30 Juni 1997 turun menjadi Rp 3.270 per dolar AS pada 30 September 1997, Rp5.550 per dolar AS pada 31 Desember 1997, dan Rp8.000 per dolar AS pada 31 Maret 1998. Krisis sektor finansial berdampak pada perekonomian nasional. Kurs rupiah yang turun tajam membuat banyak perusahaan yang mempunyai utang dalam dolar mengalami gagal bayar dan bangkrut, dan akhirnya menyeret sektor perbankan. Krisis valuta akhirnya menjadi krisis sektor finansial dan krisis ekonomi secara gradual. Pertumbuhan ekonomi pada triwulan III-1997, triwulan IV-1997 dan Triwulan I-1998 masing-masing 5,2 persen, 1,4 persen dan minus 4,9 persen. Indonesia tidak bisa keluar dari krisis valuta ketika itu karena fundamental ekonomi Indonesia sangat lemah. Neraca transaksi berjalan mengalami defisit sangat besar bertahun-tahun lamanya. Dalam kondisi seperti ini, kurs rupiah akan tertekan dan terdepresiasi. Kurs rupiah hanya bisa menguat kalau ada aliran dana (modal atau investasi) asing masuk ke Indonesia untuk membiayai defisit neraca transaksi berjalan tersebut. Aliran dana (modal atau investasi) asing bisa dalam bentuk utang kepada asing (utang luar negeri), penanaman modal asing, atau investasi asing di pasar modal (pasar saham dan pasar surat berharga). Kondisi seperti ini berlangsung cukup lama sehingga uang asing di Indonesia ketika itu terakumulasi sangat besar. Akibatnya, ketika investor dan kreditor asing menarik uangnya kembali secara tiba-tiba maka kurs rupiah terdepresiasi tajam. Dan ini berlanjut terus sampai kondisi cadangan devisa terkuras. Indonesia akhirnya harus mengajukan pinjaman kepada IMF (International Monetary Fund) dan negara asing (bilateral) untuk menutupi keperluan devisa yang ditarik keluar negeri. 77 Krisis Finansial Global 2007/2008 Awal krisis finansial global mulai berkembang sejak April 2007 di sektor kredit perumahan di Amerika Serikat, yang kemudian berkembang menjadi krisis finansial global, meluas ke Eropa dan belahan dunia lainnya pada tahun berikutnya. Pertumbuhan ekonomi dunia mengalami koreksi tajam dari 4,32 persen pada 2007 menjadi 1,85 persen pada 2008 dan minus 1,68 persen pada 2009. Pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat turun tajam dari positif 1,88 persen pada 2007 menjadi minus 0,14 persen pada 2008 dan minus 2,54 persen pada 2009. Pertumbuhan ekonomi Inggris juga turun dari 2,43 persen pada 2007 menjadi minus 0,28 persen pada 2008 dan minus 4,25 persen pada 2009. Pertumbuhan ekonomi Indonesia juga melemah dari 6,35 persen pada 2007 menjadi 6,01 persen pada 2008, dan kemudian menjadi 4,63 persen pada 2009. Tidak terlalu buruk. Meskipun demikian, pemerintah Indonesia menetapkan tiga Perppu hampir bersamaan waktunya untuk mengantisipasi ancaman stabilitas sektor keuangan. Antara lain menetapkan Perppu No 4 tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) pada 15 Oktober 2008, sebagai payung hukum untuk menyelamatkan sektor keuangan dari ancaman krisis keuangan. Penetapan Perppu No 4/2008 sulit dimengerti mengingat waktu penetapan dan sidang DPR berikutnya sangat berdekatan, hanya selisih 2 bulan. Tidak lama setelah penetapan Perppu, Bank Indonesia memberi pinjaman likuiditas kepada Bank Century yang mempunyai masalah likuiditas, dan dianggap sebagai Bank Sistemik. Artinya, permasalahan Bank Century dapat merembet ke bank lainnya yang bisa mengancam stabilitas sistem keuangan, sehingga harus diselamatkan. Tetapi, ternyata penyelamatan Bank Century merugikan keuangan negara, dan pihak yang bersalah dihukum. Perppu Nomor 4/2008 tidak disetujui oleh DPR dalam pembahasan di sidang Paripurna pada 18 Desember 2008. Sepanjang tahun 2009, sektor keuangan Indonesia baik-baik saja. Pertumbuhan ekonomi 2009 juga cukup tinggi, sebesar 4,63 persen. Keputusan DPR tidak mengesahkan Perppu Nomor 4/2008 menjadi UU ternyata tepat. Dua unsur Kegentingan yang memaksa tidak terpenuhi. Ancaman krisis finansial global secara substansi tidak terbukti membuat sektor keuangan Indonesia 78 runtuh dalam waktu singkat. Dalam hal ini dari sejak tanggal penetapan Perppu Nomor 4/2008 pada 15 Oktober 2008 hingga sidang DPR berikutnya pada 18 Desember 2008. Oleh karena itu, pemerintah seharusnya mengajukan Rancangan Undang-Undang untuk mengisi kekosongan undang-undang atau memperbaiki undang-undang yang ada yang dirasakan kurang memadai. Singkatnya, hal ihwal kegentingan yang memaksa tidak terbukti pada krisis finansial global 2007/2008, dan pendapat subyektif Presiden harus disikapi secara hati-hati. Apalagi di dalam Perppu Nomor 4/2008 dimuat pasal-pasal yang mengatur imunitas atau kekebalan hukum para pejabat pemerintah pelaksana Perppu. Pasal imunitas ini seharusnya menjadi bukti ada iktikad tidak baik dalam melaksanakan Perppu tersebut. Hal ini diperkuat dalam kasus penyelamatan Bank Century ternyata terbukti merugikan keuangan negara. PERMASALAHAN HUKUM DALAM PENETAPAN PERPPU NOMOR 1 TAHUN 2020 Kronologis kasus dan penetapan status Covid-19 di Indonesia. Pada 2 Maret 2020 pemerintah mengumumkan ada dua pasien terinfeksi Covid-19. Pada 17 Maret 2020 Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menetapkan Covid-19 sebagai keadaan tertentu darurat bencana wabah penyakit akibat virus Corona dengan durasi sampai 29 Mei 2020. Nampaknya ada perbedaan penetapan status antara Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dengan pemerintah Indonesia. WHO pada 13 Maret 2020 menetapkan Covid-19 sebagai pandemi global. Sedangkan pemerintah Indonesia belum menetapkan status darurat nasional, sebagai tindak lanjut status pandemi global. Pada 31 Maret 2020 pemerintah menetapkan Perppu Nomor 1/2020. Penetapan Perppu Nomor 1/2020 hanya dalam waktu satu bulan setelah kasus pertama Covid-19 diumumkan cukup mengejutkan banyak pihak. Karena sebelumnya pemerintah selalu mengatakan kondisi Indonesia baik-baik saja, dan Indonesia siap menghadapi Covid-19. Mengejutkan karena DPR juga sudah masuk masa persidangan pada 30 Maret 2020 sehingga proses perubahan undang-undang melalui prosedur normal dapat dilakukan. Penetapan Perppu Nomor 1/2020 dirasakan tidak tepat dengan alasan-alasan berikut ini. 79 Covid-19 sebagai Bukan Darurat Nasional Pemerintah tidak pernah menyatakan bahwa Covid-19 merupakan darurat nasional. Oleh karena itu, Covid-19 bukan merupakan bagian dari kegentingan yang memaksa yang menjadi alasan penetapan Perppu Nomor 1/2020. Hal ini diperkuat dengan fakta bahwa tidak ada satu pasal pun di dalam Perppu Nomor 1/2020 yang mengatur penanganan Covid-19. Penetapan Perppu Nomor 1/2020 menjadi tidak tepat karena tanpa ada upaya penanganan Covid-19 secara benar dan secepat-cepatnya sehingga dampak Covid-19 terhadap ekonomi berpotensi semakin memburuk. Akibatnya, biaya untuk menyelamatkan stabilitas sistem keuangan dan perekonomian nasional menjadi tidak menentu. Semakin lama penanganan Covid-19 berlangsung, semakin tinggi biaya krisis ekonomi yang harus ditanggung. Oleh karena itu, pemerintah harus mengintegrasikan kebijakan penanganan Covid- 19 dengan kebijakan ekonomi dengan tujuan memotong mata rantai penyebaran secepat-cepatnya. Ancaman Stabilitas Sistem Keuangan dan Perekonomian Nasional Tidak Tepat sebagai Faktor Kegentingan yang Memaksa Pertama, dalam keadaan mendesak yang mengancam stabilitas sistem keuangan dan perekonomian nasional, pemerintah sudah mempunyai perangkat hukum untuk mengatasi itu, sehingga tidak tepat hal ini dijadikan hal ihwal kegentingan yang memaksa untuk menetapkan Perppu Nomor 1/2020. Untuk mengatasi ancaman stabilitas sistem keuangan dan perekonomian nasional, pemerintah mempunyai undang-undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (UU Nomor 9/2016) yang diundangkan pada 15 April 2016. UU Nomor 9/2016 relatif masih baru untuk dapat menjawab tantangan sistem keuangan terkini. UU Nomor 9/2016 khusus dibuat untuk pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan yang mencakup bidang fiskal, moneter, makroprudensial dan mikroprudensial jasa keuangan, pasar keuangan, infrastruktur keuangan, termasuk sistem pembayaran dan penjaminan simpanan, dan resolusi bank [Pasal 3 ayat (2) UU Nomor 9/2016]. Sesuai Penjelasan atas UU Nomor 9/2016, UU ini dibuat untuk memperbaiki dan membangun sistem keuangan yang tangguh dan siap menghadapi krisis sistem 80 keuangan, berdasarkan pengalaman krisis keuangan 1997-1998 dan krisis keuangan global 2008. Selanjutnya, seperti dikutip dari Penjelasan: “Titik berat Undang-Undang ini terletak pada pencegahan dan penanganan permasalahan bank sistemik sebagai bagian penting dari sistem keuangan. Meskipun demikian, pemantauan, pemeliharaan, dan penanganan permasalahan sistem keuangan dilakukan juga terhadap bidang fiskal, moneter, lembaga jasa keuangan, pasar keuangan, dan infrastruktur keuangan, termasuk sistem pembayaran. Hal ini didasarkan pada dua pertimbangan utama. Pertama, permasalahan bank sistemik dapat menyebabkan gagalnya sistem pembayaran yang mengakibatkan tidak berfungsinya sistem keuangan secara efektif dan berdampak langsung pada jalannya roda perekonomian. Kedua, sebagian besar dana masyarakat saat ini dikelola oleh sektor perbankan, khususnya bank sistemik, dan perlu dijaga keamanannya dari kemungkinan kegagalan bank. Pencegahan dan penanganan permasalahan pasar keuangan dan lembaga jasa keuangan lain dilaksanakan oleh lembaga sesuai dengan wewenang yang diatur dalam Undang-Undang mengenai perbankan, perasuransian, pasar modal, surat utang negara, Lembaga Penjamin Simpanan, Otoritas Jasa Keuangan, dan Bank Indonesia.” Oleh karena itu, pemerintah lebih tepat menggunakan UU Nomor 9/2016 untuk mencegah dan menangani krisis sistem keuangan, sehingga Perppu Nomor 1/2020 tidak tepat untuk menangani ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan. Pasal 6 huruf c UU Nomor 9/2016 menjelaskan bahwa KSSK (Komite Stabilitas Sistem Keuangan) berwenang menetapkan kriteria dan indikator untuk penilaian kondisi Stabilitas Sistem Keuangan. Artinya, pemerintah senantiasa memantau kondisi Stabilitas Sistem Keuangan sehingga dapat mendeteksi kondisi Stabilitas Sistem Keuangan sejak awal dan menyiapkan solusi penanganan yang tepat. Dengan demikian, tidak ada unsur keterdesakan yang dapat dikategorikan kegentingan yang memaksa yang membuat pemerintah menetapkan Perppu Nomor 1/2020. Hingga Perppu Nomor 1/2020 ditetapkan pada 31 Maret 2020, masyarakat tidak mendengar stabilitas sistem keuangan dalam kondisi krisis. Sehingga seharusnya Perppu Nomor 1/2020 tidak memenuhi persyaratan kegentingan yang memaksa. 81 Hal ini diperkuat dengan pernyataan Kepala Eksekutif LPS, salah satu anggota KSSK, pada 20 Maret di media dengan judul Ada Corona, LPS Pastikan Likuiditas Sektor Keuangan RI Aman . ( https: //www.cnbcindonesia.com/market/ ri-aman ). Kemudian, Bank Indonesia, juga sebagai salah satu anggota KSSK, pada 20 Maret 2020 menyatakan Stabilitas sistem keuangan tetap terjaga, meskipun fungsi intermediasi perbankan terus menjadi perhatian . Oleh karena itu, penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 bertentangan dengan pernyataan dua anggota KSSK bahwa stabilitas sistem keuangan dan perekonomian Indonesia masih terjaga dan aman. Dengan kata lain, tidak ada kegentingan memaksa. Penyesuaian Fiskal dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tidak Tepat sebagai Faktor Kegentingan yang Memaksa Kedua, Covid-19 membuat asumsi dasar dan postur APBN 2020 melenceng. Realisasi APBN 2020 diperkirakan akan menyimpang dari target. Oleh karena itu, pemerintah merasa perlu melakukan perubahan APBN untuk tahun anggaran (TA) 2020. Sehubungan dengan Covid-19, pemerintah memilih melakukan perubahan postur APBN (APBN-P) tahun anggaran 2020 melalui penetapan Perppu No 1/2020. Sebenarnya sudah ada mekanisme UU yang mengatur perubahan APBN. Pasal 27 ayat (3) UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (UU Nomor 17/2003) membolehkan pemerintah melakukan penyesuaian APBN dengan kondisi perekonomian terkini. Pasal 27 ayat (4) mengatur kondisi darurat: dalam keadaan darurat pemerintah dapat melakukan pengeluaran yang belum tersedia anggarannya, yang selanjutnya diusulkan dalam rancangan perubahan APBN dan/atau disampaikan dalam Laporan Realisasi Anggaran. UU Nomor 20 Tahun 2019 tentang APBN Tahun Anggaran 2020 (UU Nomor 20/2019) juga memuat mekanisme penyesuaian APBN TA 2020 secara lebih detil, yang harus disampaikan dalam Rancangan Undang-Undang mengenai Perubahan atas UU APBN Tahun Anggaran 2020. Pasal 41 UU Nomor 20/2019 mengatur mekanisme perubahan anggaran dalam keadaan darurat, di mana, dalam hal ini, DPR harus memberikan persetujuan dalam waktu 1 kali 24 jam setelah disampaikan pemerintah. 82 Oleh karena itu, dari unsur waktu, tidak ada alasan yang memadai untuk menetapkan Perppu Nomor 1/2020. Perppu ditetapkan ketika ada kondisi kegentingan yang memaksa, atau darurat. Sedangkan kondisi darurat ini sudah diatur dalam undang-undang tentang Keuangan Negara, khususnya UU Nomor 20/2019, termasuk persetujuan dari DPR yang harus diberikan dalam waktu 1 kali 24 jam. Selanjutnya, pembahasan perubahan APBN juga dapat dilakukan cukup cepat sehingga tidak diperlukan Perppu untuk melakukan perubahan APBN. Hal ini terbukti pada pembahasan Perubahan APBN Tahun Anggaran 2017 yang hanya memerlukan waktu 24 hari kalender. RUU Perubahan APBN diajukan presiden pada 3 Juli 2017 dan disahkan DPR pada 27 Juli 2017. http: //www.anggaran. kemenkeu.go.id/dja/edef-konten-view.asp?id=1291 Untuk dimensi jumlah, alasan kegentingan yang memaksa juga tidak terpenuhi. Target defisit anggaran pada APBN 2020 ditetapkan Rp 307 triliun, atau setara 1,8 persen dari PDB. Menurut UU Keuangan Negara, defisit anggaran boleh mencapai 3 persen dari PDB. Artinya, defisit anggaran pada APBN 2020 bisa ditingkatkan menjadi Rp513 triliun. Jumlah ini seharusnya cukup untuk membiayai APBN hingga RUU Perubahan APBN disahkan melalui prosedur normal. Hal ini juga terbukti, defisit anggaran sampai akhir Juni 2020 hanya Rp257,8 triliun. Jauh lebih rendah dari target defisit anggaran APBN 2020 (Rp307 triliun) maupun target defisit anggaran yang dibolehkan oleh UU (Rp513 triliun). Adapun defisit anggaran sampai Juli dan Agustus 2020 masing-masing Rp330,2 triliun dan Rp500,5 triliun. Masih dalam jangkauan batasan defisit yang dibolehkan menurut UU Keuangan Negara. Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan tidak ada hal ihwal kegentingan yang memaksa yang menjadi prasyarat penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2020. Sebagai konsekuensi, Perppu bisa cacat hukum karena melanggar prasyarat Pasal 22 ayat (1) UUD NRI: Tidak ada kebutuhan mendesak; Tidak ada kekosongan hukum (kecuali batas defisit anggaran 3 persen dari PDB); Kekosongan hukum batas defisit anggaran ini dapat diatasi dengan membuat UU melalui prosedur normal. Bahaya Penetapan Perppu Nomor 1/2020 Terhadap Perekonomian Nasional dan Stabilitas Sistem Keuangan Perubahan APBN 2020 dilakukan melalui penetapan Perppu Nomor 1/2020 untuk tujuan tertentu. Pertama untuk menaikkan batas defisit anggaran maksimal 3 persen dari PDB seperti diatur di dalam UU Nomor 17/2003 tentang Keuangan Negara 83 menjadi defisit anggaran tidak terbatas selama 3 tahun masing-masing untuk anggaran 2020, 2021 dan 2022. Kedua, Perppu Nomor 1/2020 menghapus beberapa pasal dari UU lain seperti tercantum pada pasal 28 butir 1 hingga butir 12. Sedangkan Perppu Nomor 1/2020 akan berlaku permanen setelah disahkan menjadi UU nomor 2 Tahun 2020. Sebagai contoh, • Bank Indonesia boleh seterusnya membeli surat berharga negara di pasar primer akibat Pasal 55 ayat (4) UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang melarang pembelian tersebut dihapus. • APBN tidak perlu lagi terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan dan jenis belanja karena Pasal 15 ayat (5) UU Nomor 17/2003 yang mengharuskan rincian APBN dihapus. • Pemerintah dapat memberikan pinjaman dan/atau hibah kepada pemerintah daerah dan pemerintah/lembaga asing tanpa mendapat persetujuan DPR, karena pasal yang mengatur persetujuan sudah dihapus. • Dan masih banyak lainnya. Begitu juga dengan Pasal 27 Perppu Nomor 1/2020 akan berlaku permanen. Mengakibatkan para pejabat KSSK dan pengguna anggaran APBN tidak bisa dituntut secara perdata maupun pidana serta tidak bisa digugat di peradilan tata usaha negara, dan semua biaya yang telah dikeluarkan dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara. Implikasi Pasal 28 Perppu Nomor 1/2020 Perppu Nomor 1/2020 menghapus banyak pasal-pasal dari berbagai undang- undang lainnya seperti tercantum pada Pasal 28 Perppu Nomor 1/2020. Penghapusan pasal-pasal tersebut mempunyai implikasi bahwa Perppu Nomor 1/2020 berpotensi melanggar undang-undang yang mempunyai hierarki lebih tinggi dari Perppu secara umum, yaitu Undang-Undang Dasar dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR), karena pasal-pasal yang dihapus tersebut sebenarnya penjabaran atau pelaksanaan dari Undang-Undang Dasar atau TAP MPR. 84 Penghapusan pasal-pasal tersebut juga membahayakan perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan. Karena Perppu Nomor 1 Tahun 2020 bukan mengisi kekosongan hukum. Melainkan menghapus peraturan (pasal) terkait ekonomi dan keuangan yang awalnya harmonis menjadi disharmonis. Karena penghapusan peraturan (pasal) tersebut bersifat permanen. PEMBAHASAN PASAL-PASAL PADA PERPPU NOMOR 1 TAHUN 2020 Sehubungan dengan Covid-19, pemerintah perlu menetapkan kebijakan keuangan negara dan kebijakan stabilitas sistem keuangan, yang tertuang dalam Perppu Nomor 1/2020. Di bawah ini membahas pasal-pasal sehubungan dengan kedua kebijakan tersebut dan potensi bertentangan dengan UUD, TAP MPR atau dengan UU lainnya.

    1.

    Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1 Perppu Nomor 1/2020 Pemerintah berwenang menetapkan batasan defisit anggaran melampaui 3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB)...… paling lama sampai dengan berakhirnya Tahun Anggaran 2022. Pendapat Defist anggaran melampaui 3% dari PDB berarti boleh melampaui tanpa batas. Defisit anggaran tanpa batas bisa membahayakan perekonomian nasional dan keuangan negara. Defisit anggaran berarti pemerintah harus menarik utang baru. Utang pemerintah saat ini sudah sangat besar. Pembayaran bunga pinjaman sangat membebani belanja negara, sehingga rakyat dirugikan karena anggaran belanja untuk kepentingan rakyat jauh berkurang. Hal ini bisa bertentangan dengan Pasal 23 UUD NRI agar pemerintah mengelola keuangan negara untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat . Rasio beban bunga terhadap penerimaan pajak tahun 2019 mencapai 17,9 persen. Rasio ini jauh lebih besar dari rasio menurut prinsip kehati-hatian berdasarkan patokan IMF ( International Monetary Fund ) sebesar 10 persen. Kalau penambahan utang pemerintah melonjak tinggi akibat batas defisit dibuat tanpa batas, rasio beban bunga pinjaman terhadap penerimaan pajak akan naik pesat, sehingga dapat membahayakan ketersediaan anggaran belanja negara untuk kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, defisit anggaran boleh melampaui 3 persen dari PDB tidak bisa diterima karena tanpa ada batasan yang jelas yang dapat membahayakan keuangan negara dan perekonomian nasional. 85 Terkait unsur waktu, batasan defisit anggaran dalam persentase tertentu seharusnya hanya terbatas untuk tahun 2020 saja, mengingat kegentingan yang memaksa yang menjadi dasar penetapan Perppu Nomor 1/2020, yaitu Pasal 22 ayat (1) UUD NRI, harus diatasi secepatnya sesuai persyaratan penetapan Perppu. Artinya, Covid-19 seharusnya sudah dapat diatasi dalam tahun ini, sehingga kondisi kegentingan yang memaksa menjadi tidak relevan lagi pada tahun depan, dan oleh karena itu kondisi fiskal APBN bisa menjadi normal kembali. Sementara itu, untuk tahun-tahun berikutnya, pemerintah bisa menempuh cara wajar dalam pembentukan undang-undang sesuai yang diatur Pasal 20 UUD NRI dengan mengajukan rancangan undang-undang apabila merasa perlu mengubah peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini karena masih banyak waktu untuk membuat perubahan undang-undang yang dapat digunakan mulai tahun 2021. Kesimpulan:

    1)

    Defisit anggaran melampaui 3 persen dari PDB selama tiga tahun bertentangan dengan Pasal 22 ayat (1) UUD NRI di mana unsur kegentingan yang memaksa, khususnya dimensi waktu, tidak terpenuhi.

    2)

    Defisit anggaran melampaui 3 persen dari PDB selama tiga tahun tanpa perlu mendapat persetujan DPR bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) UUD NRI di mana APBN harus ditetapkan setiap tahun dengan persetujuan DPR. Penetapan APBN tanpa persetujuan DPR termasuk praktek pengelolaan keuangan negara yang dapat membahayakan perekonomian nasional sehingga unsur untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat tidak terpenuhi seperti dimaksud Pasal 23 ayat (1).

    3)

    Penetapan defisit anggaran tanpa persetujuan DPR melanggar Pasal 20A UUD NRI karena memangkas wewenang DPR yang diberikan UUD: Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. 2. Pasal 2 ayat (1) huruf c Perppu Nomor 1/2020 Pengelolaan anggaran dan keuangan negara sepatutnya harus terinci sampai unit organisasi, fungsi, dan program seperti berulang kali ditegaskan dalam undang- undang lainnya, seperti Pasal 180 ayat (6) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD, Pasal 14 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 86 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2019 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020. Penghapusan pasal-pasal tersebut di atas yang mewajibkan anggaran disusun sampai unit organisasi, fungsi, dan program pada hakekatnya menghalangi peran dan fungsi BPK sebagai pemeriksa keuangan negara yang ditugaskan oleh UUD NRI. Pasal 9 ayat (1) huruf b menyatakan bahwa dalam melaksanakan tugasnya, BPK berwenang meminta keterangan dan/atau dokumen yang wajib diberikan oleh setiap orang, unit organisasi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara; Dengan tidak ada rincian anggaran sampai unit organisasi, fungsi dan program, maka BPK tidak bisa memeriksa setiap pihak yang mengelola keuangan negara, sehingga BPK tidak bisa menjalankan fungsi dan tugasnya sesuai perintah UU BPK dan UUD NRI. __ Di lain pihak, Pasal 11 ayat (5) UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara mewajibkan belanja negara dirinci menurut organisasi, fungsi dan jenis belanja. Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2019 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020 juga mewajibkan Anggaran Belanja Pemerintah Pusat dikelompokkan menurut fungsi, organisasi, dan program. Kedua pasal ini masih berlaku karena tidak dihapus di dalam Perppu Nomor 1/2020. Sebagai tindak lanjut Perppu Nomor 1/2020, pemerintah sudah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020 (Perpres Nomor 54/2020) beserta Lampirannya. Di dalam Postur Perubahan APBN 2020 tersebut, tidak ada rincian anggaran sampai organisasi, fungsi, dan program. Dalam hal ini, pemerintah melalui menteri keuangan mendapat wewenang yang sangat besar sekali, bahkan dapat dikatakan wewenang absolut, dalam menggunakan anggaran. • Hal ini tersurat di dalam Perpres Nomor 54/2020 di mana Menteri Keuangan dapat menetapkan perubahan atas rincian Perubahan Postur APBN TA 2020 (Pasal 3 ayat (2)) secara sepihak, tanpa perlu mendapat persetujuan DPR. Perubahan atas rincian Perubahan Postur APBN TA 2020 tidak sampai unit 87 organisasi, fungsi, dan program mengakibatkan BPK tidak dapat menjalankan fungsi dan tugasnya sebagaimana perintah UUD. Berdasarkan peraturan perundang-undangan, dalam kondisi apapun, pemerintah tidak bisa menghilangkan fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan DPR serta tidak bisa menghilangkan fungsi dan tugas BPK, seperti yang diamanatkan UUD NRI. Kesimpulan:

    1)

    Penghapusan rincian anggaran sampai unit organisasi, fungsi, dan program bertentangan dengan Pasal 20A ayat (1) dan Pasal 23E ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI karena membuat BPK tidak bisa melaksanakan tugasnya sesuai Pasal 9 ayat (3) UU Nomor 15/2006 tentang BPK.

    3.

    Pasal 2 ayat (1) huruf d melakukan tindakan yang berakibat pengeluaran atas beban APBN, yang anggaran untuk membiayai pengeluaran tersebut belum tersedia atau tidak cukup tersedia, serta menentukan proses dan metode pengadaan barang/jasa. Penentuan proses dan metode pengadaan barang dan jasa harus sesuai, dan tidak boleh bertentangan, dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Terkait hal ini, kasus Kartu Prakerja sudah menuai kontroversi dan keresahan di masyarakat. Kartu Prakerja adalah bantuan nontunai dari pemerintah kepada para pihak yang tidak bekerja, atau kepada pihak yang tertarik, untuk digunakan mengikuti pelatihan dengan tujuan meningkatkan kompetensi. Untuk melaksanakan tugas ini, pemerintah bekerja sama dengan rekanan atau mitra untuk pelatihan online (Platform Digital). Kontroversi dan keresahan disebabkan pertama, dari mana sumber anggaran untuk membiayai Kartu Prakerja tersebut. Karena tidak ada rincian anggaran sampai unit organisasi, fungsi dan program akibat dihapus di Perppu Nomor 1/2020, maka BPK akan kesulitan melaksanakan pemeriksaan sampai ke pengelola anggaran sesuai standar pemeriksaan keuangan negara. Kedua, proses pemilihan rekanan atau mitra kerjasama pemerintah dengan 8 platform digital mengandung kontroversi dan tercium aroma KKN yang dilarang di dalam TAP MPR. Kalau pemberian bantuan nontunai adalah hak penerima sesuai kriteria yang ditetapkan, maka pemerintah tidak ada hak lagi untuk mengatur bagaimana penerima atau pemilik nontunai membelanjakan bantuan nontunai 88 tersebut. Terlebih, pemerintah tidak bisa menjalin kerjasama dengan mitra 8 platform dengan mengatasnamakan pihak penerima bantuan nontunai. Perjanjian seperti ini tidak ada dasar hukumnya dan menjadi tidak sah. Kecuali pemerintah mengatakan bantuan nontunai adalah dalam bentuk barang/jasa. Dalam hal ini, pemerintah bisa mengadakan perjanjian kerjasama dengan mitra pemilik 8 platform digital. Sebagai konsekuensi, biaya Kartu Prakerja dan pemilihan mitra dapat diperiksa oleh BPK dan dapat dinilai apakah ada kerugian negara dalam pelaksanaan kerjasama tersebut. Dalam hal ini, mitra juga bisa diperiksa apakah terjadi mark-up yang merugikan keuangan negara. Implikasi Pasal 2 ayat (1) huruf d adalah pemberian wewenang yang sangat besar kepada pemerintah karena dapat melakukan pengeluaran meskipun anggarannya belum cukup tersedia atau tidak tersedia, bahkan dapat menentukan proses dan metode pengadaan barang/jasa. Wewenang yang tidak terkontrol ini bertentangan dengan fungsi DPR seperti tercantum di Pasal 20A ayat (1) UUD NRI dan BPK seperti tercantum di Pasal 23E ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI.

    4.

    Pasal 2 ayat (1) huruf f Pemerintah berwenang menerbitkan Surat Utang Negara dan/atau Surat Berharga Syariah Negara dengan tujuan tertentu khususnya dalam rangka pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) untuk dapat dibeli oleh Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), investor korporasi, dan/atau investor ritel; Di dalam PERPPU 1/2020 harus dijelaskan tujuan tertentu yang di maksud dalam “penerbitan surat utang negara/surat berharga syariah negara dengan tujuan tertentu khususnya dalam rangka pandemi Covid-19”, sehingga tujuan tertentu tersebut tidak berkembang menjadi banyak tujuan tertentu. Pertama, menurut Pasal 55 ayat (4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (UU 23/1999), yang dihapus bersamaan dengan terbitnya PERPPU 1/2020, Bank Indonesia dilarang membeli surat-surat utang negara untuk diri sendiri di pasar primer, kecuali surat utang negara berjangka pendek yang diperlukan oleh Bank Indonesia untuk operasi pengendalian moneter. Pelarangan pembelian surat- surat utang negara oleh BI di pasar primer sangat penting untuk menjaga independensi BI sesuai perintah Pasal 9 Ketetapan MPR Nomor XVI/MPR/1998 (TAP MPR XVI/MPR/1998) dan Pasal 23D UUD NRI. 89 Pasal 9 TAP MPR XVI/1998 berbunyi: Dalam rangka pengelolaan ekonomi keuangan nasional yang sehat. Bank Indonesia sebagai Bank Sentral harus mandiri, bebas dari campur tangan pemerintah dan pihak luar lainnya dan kinerjanya dapat diawasi dan dipertanggungjawabkan. Pasal 23D UUD NRI berbunyi: Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan undang-undang. Pelaksanaan kedua pasal di atas menghasilkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang mandiri, bebas dari campur tangan pemerintah, dan independen. Nilai-nilai tersebut dicapai melalui Pasal 55 ayat (4) UU Nomor 23/1999 tersebut. Yaitu, Bank Indonesia dilarang membeli untuk diri sendiri surat- surat utang negara kecuali di pasar sekunder. Independensi Bank Indonesia dicapai antara lain melalui pemisahan kebijakan moneter dari kebijakan fiskal yang menjadi tujuan utama Pasal 55 ayat (4) UU 23/1999. Penghapusan Pasal 55 ayat (4) di dalam Perppu Nomor 1/2020 membuat BI boleh membeli surat-surat utang negara secara langsung untuk diri sendiri di pasar primer membuat BI menjadi tidak independen lagi. Pembelian surat utang negara di pasar sekunder oleh BI merupakan bagian dari pelaksanaan tugas dalam menjalankan kebijakan moneter. Kalau BI boleh, dan dipaksa, membeli surat utang negara di pasar primer maka BI kehilangan independensi yang dapat membahayakan kebijakan moneter nasional. Pada hakekatnya, penerbitan surat utang negara oleh pemerintah adalah domein kebijakan fiskal. Sedangkan pembelian surat-surat utang negara oleh BI merupakan domein kebijakan moneter. Pembelian surat utang negara oleh BI secara langsung dari pemerintah di pasar primer berarti BI tidak independen lagi dalam menjalankan kebijakan moneternya. Terlebih lagi bahwa batasan defisit anggaran dalam Perppu Nomor 1/2020 dibuat tanpa batas ( melampaui 3% artinya bisa sebesar-besarnya) sehingga membahayakan perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan. Kebijakan moneter yang tidak independen berdampak negatif terhadap perekonomian nasional. 90 Alasan BI hanya boleh beli surat berharga negara di pasar sekunder agar BI dapat membeli surat berharga negara tersebut sesuai kebutuhan dalam melaksanakan kebijakan moneter yang menjadi tanggung jawabnya. Dengan kata lain, sesuai mandat TAP MPR XVI/MPR/1998 dan UUD NRI. Sebagai konsekuensi, Pasal 2 ayat (1) butir f Perppu Nomor 1/2020 merupakan kemunduran luar biasa pada sektor keuangan pasca krisis 1998, dan mengantar kembali ke sistem moneter era Orde Baru yang turut menjadi penyebab utama terjadinya krisis ekonomi 1997/1998 dan timbulnya kasus bermasalah BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia). Peru digaris bawahi, Perppu Nomor 1/2020 memberi dampak BI boleh membeli surat utang negara di pasar primer untuk jangka waktu tidak terbatas, sehingga kebijakan dan peraturan undang-undang ini menjadi permanen. Mengingat Perppu Nomor 1/2020 diterbitkan karena ada kegentingan yang memaksa, maka implikasi kebijakan menjadi permanen bertentangan dengan alasan diterbitkannya Perppu Nomor 1/2020 yang bersifat sementara. Oleh karena itu, Pasal 2 ayat (1) huruf f Perppu No 1/2020 bertentangan dengan Pasal 9 TAP MPR XVI/MPR/1998 dan Pasal 23D UUD NRI.

    5.

    Pasal 2 ayat (1) huruf g Pemerintah berwenang menetapkan sumber-sumber pembiayaan Anggaran yang berasal dari dalam dan/atau luar negeri. Sumber pembiayaan terkait penanganan Covid-19 harusnya diperoleh dari dalam negeri, mengingat utang luar negeri pemerintah khususnya, dan utang luar negeri Indonesia secara keseluruhan, sudah dalam tingkat mengkhawatirkan, dan memberi kontribusi besar terhadap instabilitas sistem keuangan dan moneter dewasa ini. Menurut pedoman IMF, batas utang luar negeri yang aman tidak melebihi 30 persen dari PDB. Rasio utang luar negeri Indonesia meningkat terus, mencapai 36,13 persen dari PDB pada akhir 2019. Rasio utang luar negeri terhadap ekspor juga dalam kondisi mengkhawatirkan, mencapai sekitar 242 persen pada akhir 2019. Yang lebih mengkhawatirkan, rasio ini meningkat tajam dalam satu tahun terakhir, dari 210 persen pada 2018 menjadi 242 persen pada 2019. Peningkatan rasio ini menunjukkan kemampuan Indonesia dalam memenuhi kebutuhan mata uang asing untuk membayar utang luar negeri semakin lemah, dan dapat memicu krisis valuta dan mengakibatkan nilai tukar rupiah terdepresiasi tajam, seperti yang terjadi pada 91 awal April 2020 yang lalu di mana kurs rupiah sempat tembus Rp17.000 per dolar AS, yang merupakan kurs terendah sepanjang masa. Anjloknya kurs rupiah membuat harga impor untuk bahan baku, bahan setengah jadi dan barang modal naik. Oleh karena itu, pembatasan utang luar negeri menjadi sangat penting untuk menyelamatkan perekonomian nasional dan stabilitas moneter di waktu yang akan datang, sesuai BAB IV Butir A angka 2 huruf g TAP MPR X/MPR/1998 dan Pasal 10 TAP MPR XVI/MPR/1998. BAB IV Butir A angka 2 huruf g TAP MPR X/MPR/1998 Membentuk sistem pengawasan dan pemantauan utang luar negeri baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun dunia usaha. Pasal 10 TAP MPR XVI/MPR/1998 Seluruh pinjaman luar negeri Pemerintah harus memperkuat perekonomian nasional dilaksanakan oleh Pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dan dimasukan kedalam rencana anggaran tahunan. Oleh karena itu, pembiayaan anggaran seharusnya dari dalam negeri. Sumber pembiayaan dari luar negeri harus sepertujuan DPR sesuai TAP MPR tersebut di atas. Artinya, Pasal 2 ayat (1) huruf g bertentangan dengan TAP MPR di atas. Belum lama berselang, pemerintah sudah menerbitkan surat utang senilai 4,3 miliar dolar AS pada 7 April 2020. Selain itu, Bank Indonesia sudah mengikat perjanjian fasilitas repo (repurchase agreement Line) dengan lembaga asing the Federal Reserve, Bank Sentral Amerika Serikat, senilai 60 miliar dolar AS. Fasilitas repo adalah semacam fasilitas kredit beragunan jangka pendek. Kedua peristiwa tersebut sudah melanggar kedua TAP MPR di atas serta Pasal 11 ayat (2) UUD NRI, karena harus mendapat persetujuan DPR terlebih dahulu.

    6.

    Pasal 11 Inti Pasal 11 Perpu Nomor 1/2020 adalah pemerintah menjalankan program pemulihan ekonomi nasional, dapat dilaksanakan melalui Penyertaan Modal Negara (PMN), penempatan dana dan/atau investasi Pemerintah, dan/atau kegiatan penjaminan dengan skema yang ditetapkan oleh Pemerintah. PMN dilakukan melalui BUMN yang ditunjuk. Penempatan dana dan/atau investasi Pemerintah dapat dilakukan langsung oleh Pemerintah dan/atau melalui lembaga keuangan, manajer investasi, dan/atau lembaga lain yang ditunjuk. 92 Pasal 24 ayat (7) UU Nomor 17/2003 sudah mengatur, untuk penyelamatan perekonomian nasional, Pemerintah (Pusat) dapat memberikan pinjaman dan/atau melakukan penyertaan modal kepada perusahaan swasta setelah mendapat persetujuan DPR . Oleh karena itu, penyertaan modal atau pinjaman kepada perusahaan swasta tanpa mendapat persetujuan DPR seperti di maksud Pasal 11 Perppu Nomor 1/2020 bertentangan dengan UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Pasal 20A ayat (21) UUD NRI mengenai fungsi pengawasan DPR.

    7.

    Pasal 12 ayat (1) Pelaksanaan kebijakan keuangan negara dan langkah-langkah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 11 dilakukan dengan tetap memperhatikan tata kelola yang baik. “Memperhatikan tata kelola yang baik” tidak berarti dapat menghilangkan tugas pengawasan dan pemeriksaan dari badan yang berwenang sesuai UUD NRI, yaitu DPR RI dan BPK RI. Sebaliknya, Pasal 27 Perppu Nomor 1/2020 yang memberi kekebalan (imunitas) hukum kepada semua pihak yang disebut dalam pasal tersebut jelas menunjukkan intensi tata kelola keuangan yang tidak baik , dan bertentangan dengan muatan materi pasal 12 ayat (1).

    8.

    Pasal 13 Penggunaan anggaran dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara dan langkah-langkah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 12 dilaporkan Pemerintah dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat. Berdasarkan UUD NRI, BPK wajib memeriksa Laporan Keuangan Pemerintah Pusat, serta menyatakan apakah ada kerugian negara akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara. Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 15/2006 tentang BPK BPK menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara. 93 Pasal ini merupakan penjabaran dari Pasal 23E UUD NRI mengenai fungsi dan wewenang BPK sehingga pelanggaran atas Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 15/2006 tentang BPK juga akan melanggar Pasal 23E UUD NRI.

    9.

    Pasal 16 ayat (1) huruf a Bank Indonesia diberikan kewenangan untuk memberikan pinjaman likuiditas jangka pendek atau pembiayaan likuiditas jangka pendek berdasarkan prinsip syariah kepada Bank Sistemik atau bank selain Bank Sistemik. Penyelamatan bank yang mempunyai masalah likuiditas maupun solvabilitas seharusnya menggunakan UU Nomor 9/2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan. Tetapi, Bank Indonesia kemudian memainkan peran lebih aktif terkait pencegahan dan Penanganan krisis sistem keuangan menimbulkan banyak tanda tanya. Tetapi, praktek pemberian pinjaman dan pembiayaan likuiditas seperti dimaksud dalam Perppu Nomor 1/2020 ini bertentangan dengan status independensi Bank Indonesia sesuai amanat Pasal 23D UUD NRI (dan TAP MPR XVI/MPR/1998). Selain itu, praktek pemberian pinjaman dan pembiayaan likuiditas seperti dimaksud dalam Perppu Nomor 1/2020 juga merupakan langkah mundur dalam pengelolaan sektor moneter dan keuangan Indonesia, dan membawa kembali ke dalam praktek Orde Baru di mana Bank Indonesia bisa langsung memberi pinjaman atau pembiayaan likuiditas kepada bank (sistemik atau selain sistemik), yang kemudian berakhir dengan penyalahgunaan BLBI tahun 1998 sebesar Rp138 triliun dari total pinjaman BLBI Rp144,5 triliun. Untuk menjaga agar peristiwa ini tidak terulang, maka dibentuk Lembaga Penjamin Simpanan sebagai lembaga independen untuk menilai dan memutuskan mekanisme pemberian pinjaman kepada bank sistemik maupun tidak sistemik (dan membebankan kepada APBN). Praktek Bank Indonesia kembali ke Orde Baru dapat membahayakan sistem moneter dan keuangan Indonesia sehingga melanggar Pasal 23 ayat (1) UUD NRI.

    10.

    Pasal 16 ayat (1) huruf b Bank Indonesia diberikan kewenangan memberikan Pinjaman Likuiditas Khusus kepada Bank Sistemik yang mengalami kesulitan likuiditas dan tidak memenuhi persyaratan pemberian pinjaman likuiditas jangka pendek atau pembiayaan 94 likuiditas jangka pendek berdasarkan prinsip syariah yang dijamin oleh Pemerintah dan diberikan berdasarkan Keputusan KSSK. Pasal ini mengatur BI dapat memberi pinjaman kepada bank yang pada prinsipnya mempunyai masalah solvabilitas, yaitu keadaan (mendekati) bangkrut . Wewenang ini sangat rawan disalahgunakan seperti peristiwa BLBI 1998 dan Bank Century 2008. Bank Century ketika itu menghadapi masalah solvabilitas tetapi akhirnya dipaksakan untuk diselamatkan dengan mengubah berbagai peraturan. Seperti diketahui bersama, pinjaman likuiditas ini ternyata disalahgunakan dan merugikan keuangan negara. Atas pembelajaran kasus Bank Century 2008 dan kasus BLBI 1998, maka dibuat Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan. Tetapi, UU yang masih relatif baru tersebut tidak digunakan dalam menghadapi ancaman stabilitas sistem keuangan. Hal ini mengundang tanda tanya, dan seharusnya pemerintah konsistem menerapkan UU Nomor 9/2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan. Penyelamatan bank adalah domein kebijakan fiskal, sehingga BI seharusnya tidak ikut campur untuk mempertahankan independensinya. Bank Indonesia hanya dapat memberi pinjaman likuiditas kepada Bank bermasalah dengan membeli surat berharga bank bersangkutan. Pemerintah dapat memberi pinjaman kepada Bank bermasalah melalui penerbitan surat berharga setelah mendapat persetujuan DPR. Bank bermasalah dapat menjual surat berharga negara tersebut kepada Bank Indonesia. Oleh karena itu, Pasal 16 ayat (1) huruf a dan huruf b bertentangan dengan UU yang mewajibkan Bank Indonesia sebagai bank sentral yang independen sesuai amanat Pasal 23D UUD NRI. Untuk menghadapi kondisi krisis perbankan, hal tersebut diatur Pasal 33 UU BI dan UU Nomor 9/2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan.

    11.

    Pasal 16 ayat (1) huruf c Bank Indonesia diberikan kewenangan membeli Surat Utang Negara dan/atau Surat Berharga Syariah Negara berjangka panjang di pasar perdana untuk penanganan permasalahan sistem keuangan yang membahayakan perekonomian nasional, 95 termasuk Surat Utang Negara dan/atau Surat Berharga Syariah Negara yang diterbitkan dengan tujuan tertentu khususnya dalam rangka pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Lihat penjelasan butir 4 di atas untuk Pasal 2 ayat (1) huruf f. Sebenarnya, Pasal 16 ayat (1) huruf c ini juga bertentangan dengan pasal 4 ayat (2) UU Nomor 23/1999 tentang Bank Indonesia yang menjelaskan bahwa Bank Indonesia harus bebas independen dan bebas dari campur tangan pemerintah atau pihak lain. Pasal 4 ayat (2) UU Nomor 23 Tahun 1999 Bank Indonesia adalah lembaga negara yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan Pemerintah dan/atau pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam Undang-undang ini. Berdasarkan uraian diatas, pasal 16 ayat (1) huruf c bertentangan dengan Pasal 4 ayat (2) UU Nomor 23/1999, bertentangan dengan Pasal 9 TAP MPR XVI/MPR/1998 serta bertentangan dengan Pasal 23D UUD NRI, untuk membangun Bank Indonesia yang independen dan bebas campur tangan pemerintah dan/atau pihak lain.

    12.

    Pasal 19 ayat (1) Lihat penjelasan pada butir 9 (Pasal 16 ayat (1) huruf a), butir 10 [Pasal 16 ayat (1) huruf b, butir 11 (Pasal 16 ayat (1) huruf c)] di atas.

    13.

    Pasal 20 ayat (1) huruf b angka 2 dan angka 3 Pasal 20 ayat (1) huruf b angka 2 dan angka 3 yang memberi wewenang LPS untuk menerbitkan surat utang dan meminjam kepada pihak lain bertentangan dengan Pasal 85 UU Nomor 24/2004 tentang LPS yang mengatur: • Dalam hal LPS mengalami kesulitan likuiditas, LPS dapat memperoleh pinjaman dari Pemerintah. • Dalam hal modal LPS kurang dari modal awal, Pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menutup kekurangan tersebut. Pasal 20 ayat (1) huruf b angka 2 dan angka 3 berpotensi menghilangkan wewenang DPR sehingga bertentangan dengan Pasal 20A UUD NRI. 96 Pasal 85 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2004 Dalam hal modal LPS kurang dari modal awal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (1), Pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menutup kekurangan tersebut. Pasal 85 ayat (2) UU Nomor 24 Tahun 2004 Dalam hal LPS mengalami kesulitan likuiditas, LPS dapat memperoleh pinjaman dari Pemerintah.

    14.

    Pasal 27 ayat (1) Pasal 27 ayat (1) Perppu 1/2020 menyatakan bahwa semua biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara. Berdasarkan Pasal 23E ayat (1) UUD NRI, BPK ditugaskan oleh konstitusi untuk memeriksa pengelolaan keuangan negara secara bebas dan mandiri, dalam kondisi apapun termasuk pengelolaan keuangan negara ketika ada bencana alam seperti bencana alam tsunami Aceh atau bencana gempa-tsunami Sulawesi Tengah. Kemudian, BPK harus dapat memberi penilaian dan/atau penetapan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh semua pihak penyelenggara pengelolaan keuangan negara. Hasil pemeriksaan BPK atas pengelolaan keuangan negara harus diserahkan kepada DPR, salah satu alasan karena DPR harus melaksanakan fungsi pengawasan sesuai Pasal 20A ayat (1) UUD NRI. Oleh karena itu, pasal 27 ayat (1) Perppu Nomor 1/2020 bertentangan dengan Pasal 23E dan Pasal 20A UUD NRI. Pasal ini juga bertentangan dengan TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang penyelenggara negara yang bersih dan bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme, khususnya Pasal 3 ayat (3) bahwa upaya pemberantasan tindak pidana korupsi dilakukan secara tegas dengan melaksanakan secara konsisten undang-undang tindak pidana korupsi, dan Pasal 4 yang menegaskan bahwa upaya pemberantasan 97 korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga, dan kroninya maupun pihak swasta/konglomerat, dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak-hak asasi manusia. Pasal 27 ayat (1) bertentangan dengan UU No 31/1999, Pasal 3 ayat (3) dan Pasal 4 TAP MPR XI/MPR 1998, dan Pasal 23E UUD NRI. Pasal 7A UUD NRI secara tegas menyatakan bahkan Presiden dan Wakil Presiden dapat diberhentikan dari jabatannya apabila, antara lain, terlibat korupsi. Artinya pengelolaan keuangan negara harus bersih dan bebas korupsi, sehingga semua biaya harus dapat dipertanggung jawabkan, dan diperiksa oleh BPK.

    15.

    Pasal 27 ayat (2) KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kasus BLBI 1998 dan Bank Century 2008 dapat menjadi pelajaran bahwa di dalam krisis justru pengawasan pengelolaan keuangan negara harus diperketat karena kondisi krisis dapat dimanfaatkan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Pasal 27 ayat (2) terkait erat dengan pasal 27 ayat (1). Kalau Pasal 27 ayat (1) gugur dan BPK dapat melakukan pemeriksaan terhadap semua pihak pengelola anggaran negara, dan BPK dapat menilai atau menetapkan kerugian negara apabila ada, maka Pasal 27 ayat (2) secara otomatis akan gugur juga. Pasal 27 ayat (2) Perppu 1/2020 di atas bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD NRI: Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Pasal ini juga bertentangan dengan Pasal 28D UUD NRI: Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. 98 Pasal ini juga bertentangan dengan UU 31/1999 yang memuat materi bahwa setiap orang , termasuk pegawai negeri dan korporasi, yang melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan. Selanjutnya, moral kekuasaan tidak boleh diserahkan pada niat, itikad ataupun sifat- sifat pribadi seseorang yang kebetulan sedang memegangnya. Iktikad baik tidak bisa membuat seseorang mendapat keistimewaan hukum dan kebal hukum baik secara perdata maupun pidana. Iktikad baik hanya bisa menjadi pertimbangan dalam menetapkan tingkat hukuman.

    16.

    Pasal 27 ayat (3) ….

    17.

    Pasal 28 Pasal 28 angka 1 sampai dengan 12 memuat daftar pasal-pasal yang dihapus di 12 undang-undang lainnya. Penghapusan pasal-pasal di 12 undang-undang tersebut membuat Perppu Nomor 1/2020 bertentangan dengan UUD NRI. Karena undang- undang tersebut merupakan penjabaran atau pelaksanaan dari UUD NRI, baik secara langsung maupun tidak langsung. Sedangkan materi muatan pada pasal- pasal yang dihapus merupakan inti dari penjabaran dan pelaksanaan UUD dimaksud. Misalnya, undang-undang tentang Bank Indonesia merupakan pelaksanaan perintah secara langsung dari Pasal 23D UUD NRI. Undang-Undang tentang Bank Sentral yang kemudian dinamakan Bank Indonesia tidak boleh bertentangan dengan Pasl 23D UUD NRI tersebut. Artinya, Bank Indonesia harus independen, yang independensinya diatur di dalam undang-undang tentang Bank Indonesia (bank sentral) tersebut. 99 Pasal 28 angka 2: Dampak Penghapusan Pasal pada UU Lainnya Penghapuasan Pasal 55 ayat (4) UU Nomor 23/1999 Pasal yang mengatur independensi Bank Indonesia terletak di Pasal 55 ayat (4) dan ayat (5) UU Nomor 23/1999 tentang Bank Indonesia. Yaitu:

    (1)

    Bank Indonesia dilarang membeli untuk diri sendiri surat-surat utang negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kecuali di pasar sekunder.

    (2)

    Perbuatan hukum Bank Indonesia membeli surat utang negara untuk diri sendiri tidak di pasar sekunder sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dinyatakan batal demi hukum. Independensi Bank Indonesia dicapai melalui pemisahan kebijakan moneter dan kebijakan fiskal. Penerbitan surat utang negara (di pasar primer) oleh pemerintah merupakan bagian dari kebijakan fiskal. Sedangkan pembelian surat utang negara di pasar sekunder oleh BI merupakan bagian dari kebijakan moneter Bank Indonesia. Surat utang negara yang beredar di pasar sekunder sudah tidak terkait lagi dengan kebijakan fiskal, tetapi bisa berpengaruh terhadap tingkat suku bunga. Oleh karena itu Bank Indonesia berwenang melakukan pembelian surat utang negara di pasar sekunder untuk memberi pengaruh antara lain terhadap tingkat suku bunga. Penghapusan pasal 55 ayat (4) UU Nomor 23/1999 ini membuat Bank Indonesia tidak independen lagi, karena fungsi moneter Bank Indonesia menjadi bagian dari instrumen kebijakan fiskal pemerintah karena BI dalam kondisi tertentu “dipaksa” membeli surat utang negara di pasar primer (perdana). Oleh karena itu, penghapusan Pasal 55 ayat (4) UU Nomor 23/1999 bertentangan dengan Pasal 23D UUD NRI. Dampak Bank Indonesia boleh seterusnya membeli surat berharga negara di pasar primer akibat Pasal 55 ayat (4) UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang melarang pembelian tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi. Pasal 28 butir 3: Penghapusan Pasal 15 ayat (5), Pasal 22 ayat (3), Pasal 23 ayat (1), Pasal 27 ayat (3), dan Pasal 28 ayat (3) dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 100 Pasal 15 ayat (5) dihapus: APBN yang disetujui oleh DPR terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja. Penghapusan pasal ini mengakibatkan APBN tidak perlu terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja. Sedangkan pengelola anggaran ada di satuan detil sampai unit organisasi, fungsi, program, kegiatan dan jenis belanja. Prosedur pengelolaan anggaran negara juga ada di stauan detil tersebut. Penghapusan pasal ini membuat BPK tidak bisa melaksanakan tugasnya secara bebas dan mandiri sesuai perintah Pasal 23E ayat (1) UUD NRI. Akibatnya, BPK tidak bisa menyerahkan hasil pemeriksaan pengelolaan keuangan negara kepada DPR, DPD atau DPRD, sesuai Pasal 23E ayat (2) UUD NRI. Akibatnya, DPR tidak bisa melakukan fungsi pengawasan yang menjadi tugasnya sesuai Pasal 20A ayat (1) UUD NRI. [2.3] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon, Dewan Perwakilan Rakyat menyampaikan keterangan dalam persidangan secara daring tanggal 15 Oktober 2020 dan menyerahkan keterangan tertulis yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 10 Desember 2020 yang pada pokoknya mengemukakan hal-hal sebagai berikut: A. KEDUDUKAN HUKUM ( LEGAL STANDING ) PARA PEMOHON 1. Kedudukan Hukum ( Legal Standing ) para Pemohon dalam Pengujian Secara Formil Terkait kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon dalam pengujian undang-undang secara formil, DPR RI memberikan pandangan dengan berdasarkan 2 (dua) batasan kerugian konstitusional yang disimpulkan dari Pertimbangan Hukum dalam Putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 27/PUU- VII/2009, yaitu:

    a.

    Para Pemohon merupakan perorangan yang telah melaksanakan hak pilih sebagai pemegang kedaulatan yang telah memberikan kepercayaan dan mandat kepada wakil sebagai fiduciary duty dalam pemilihan umum;

    1)

    Berdasarkan uraian kedudukannya, Pemohon Badan Hukum Perkara 37 dan para Pemohon Badan Hukum Perkara 75 yang merupakan Badan Hukum tentunya tidak memiliki hak dan/atau kewenangan untuk turut serta dalam pemilihan umum. 101 2) Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 34 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, Pemilih adalah Warga Negara Indonesia yang sudah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih, sudah kawin, atau sudah pernah kawin. Oleh karena itu, Pemohon Badan Hukum Perkara 37 dan para Pemohon Badan Hukum Perkara 75 telah jelas tidak dapat membuktikan bahwa telah memberikan kepercayaan dan mandat kepada anggota DPR RI masa keanggotaan periode tahun 2014-2019 karena Pemohon Badan Hukum Perkara 37 dan para Pemohon Badan Hukum Perkara 75 bukanlah perorangan yang telah melaksanakan hak pilih sebagai pemegang kedaulatan yang telah memberikan kepercayaan dan mandat kepada wakil sebagai fiduciary duty dalam pemilihan umum 3) Para Pemohon Perorangan Perkara 37, para Pemohon Perkara 43, dan para Pemohon Perorangan Perkara 75 dalam perbaikan permohonannya tidak memberikan uraian argumentasi sebagai perorangan yang telah melaksanakan hak pilih sebagai pemegang kedaulatan dalam Pemilihan Umum. Selain itu, para Pemohon tersebut diatas juga tidak melampirkan bukti-bukti keikutsertaannya dalam Pemilihan Umum dan menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan anggota DPR RI sebagai bentuk pemberian mandat kepada wakil sebagai fiduciary duty . Hal ini menunjukkan bahwa para Pemohon tersebut tidak memahami kedudukan hukumnya sebagai perseorangan warga negara yang memiliki hak konstitusional sebagai pemberi mandat dalam Pemilihan Umum dan tidak memperhatikan ketentuan dalam pengujian undang-undang secara formil.

    b.

    Para Pemohon mempunyai hubungan pertautan yang langsung dengan Undang-Undang yang dimohonkan 1) Bahwa terkait dengan pengajuan pengujian UU a quo secara formil, para Pemohon secara keseluruhan tidak menguraikan pertautannya. Namun dapat dipahami dalam uraian dalil-dalilnya, para Pemohon hanya menyatakan bahwa UU a quo telah menimbulkan ketidakpastian hukum, melahirkan penafsiran yang ambigu, tidak jelas dan multitafsir serta berpotensi menghambat pemenuhan hak-hak konstitusional para Pemohon dan warga negara pada umumnya. 102 2) Meskipun demikian, para Pemohon tidak memberikan uraian yang berkaitan dengan pertautannya secara langsung terhadap UU a quo yang dimohonkan pengujiannya secara formil. Dengan demikian telah jelas, tidak terdapat keterkaitan secara langsung antara Para Pemohon Perkara 37, para Pemohon Perkara 43, dan para Pemohon Perkara 75 dengan UU a quo, sehingga para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) dalam pengujian formil UU a quo terhadap UUD NRI Tahun 1945. Terhadap kedudukan hukum ( legal standing ) para Pemohon Perkara 37, para Pemohon Perkara 43, dan para Pemohon Perkara 75 dalam pengujian formil, DPR RI memohon kepada Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi agar benar-benar menilai apakah Para Pemohon tersebut memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) dalam pengajuan Permohonan perkara-perkara a quo sesuai dengan parameter kerugian hak dan/atau kerugian konstitusional dalam pengajuan permohonan pengujian formil undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945 sebagaimana disebutkan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dalam Pertimbangan Hukum pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-VII/2009.

    2.

    Kedudukan Hukum ( Legal Standing ) para Pemohon dalam Pengujian Secara Materiil Terkait kedudukan hukum ( legal standing ) para Pemohon dalam pengujian undang-undang secara materiil, DPR RI memberikan pandangan dengan berdasarkan 5 (lima) batasan kerugian konstitusional yang tercantum dalam __ Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011/PUU-V/2007 sebagai berikut:

    a.

    Perkara Nomor 37/PUU-XVIII/2020 Bahwa para Pemohon Perkara 37 mendalilkan memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diatur dalam ketentuan Pasal 23 ayat (1), Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Terhadap hal tersebut, DPR RI menerangkan bahwa ketentuan Pasal 23 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 mengatur mengenai APBN yang jelas-jelas tidak mengatur mengenai hak dan/atau kewenangan Warga Negara. Sehingga ketentuan ini tidak memiliki pertautan hak dan/atau 103 kewenangan konstitusional para Pemohon Perkara 37. Bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon Perkara 37 sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 28C ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 tidak terciderai dengan berlakunya ketentuan pasal-pasal yang dimohonkan pengujiannya karena para Pemohon Perkara 37 tetap dapat memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya. Terkait dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, para Pemohon Perkara 37 juga tetap mendapatkan haknya atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Bahwa Para Pemohon Perkara 37 mendalilkan diri sebagai pembayar pajak ( tax payer ), oleh karenanya DPR RI mengutip pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 40/PUU-XVI/2018 pada paragraf [3.7] sebagai berikut: …menurut Mahkamah, para Pemohon sebagai pembayar pajak (tax payer) tidak serta merta memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam mengajukan setiap permohonan pengujian undang-undang. Para Pemohon dapat memiliki kedudukan hukum (legal standing) apabila para Pemohon dapat menjelaskan adanya keterkaitan logis dan causal verband bahwa pelanggaran hak konstitusional atas berlakunya undang-undang yang diuji adalah dalam kaitannya dengan status para Pemohon sebagai pembayar pajak (tax payer) memang menunjukkan kerugian yang nyata . Dalam permohonan a quo , para Pemohon perkara 37 dituntut bukan hanya sekedar menyatakan dirinya sebagai pembayar pajak ( tax payer ), tetapi terkait statusnya sebagai pembayar pajak harus dijelaskan adanya keterkaitannya secara logis dengan kerugian konstitusional para Pemohon Perkara 37 yang diakibatkan dengan berlakunya pasal-pasal a quo . Terkait dengan ketentuan UUD NRI Tahun 1945 yang oleh para Pemohon perkara 37 dipertentangkan dengan ketentuan dalam UU a quo , para Pemohon perkara 37 tidak mengurai pertautan antara keduanya demikian pula terkait dengan pertautannya dengan para Pemohon perkara 37. Maka semakin tidak jelas adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon terkait dengan pasal-pasal yang dimohonkan pengujian dan keberadaan hubungan sebab akibat ( causal 104 verband ) antara dalil kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon perkara 37 dengan ketentuan pasal-pasal a quo yang dimohonkan pengujiannya.

    b.

    Perkara Nomor 42/PUU-XVIII/2020 Bahwa para Pemohon perkara 42 tidak konsisten dalam menyebutkan batu uji yang digunakan dalam pengujian pasal-pasal a quo dalam uraian kedudukan hukumnya dengan ketentuan UUD NRI Tahun 1945 yang tertulis dalam bagian Pokok Permasalahan. Lebih lanjut, dalam uraian permohonannya, para Pemohon perkara 42 mempertentangkan ketentuan pasal-pasal a quo dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 23 ayat (1), (2), (3), dan Pasal 23A UUD NRI Tahun 1945 yang sama sekali tidak mengatur mengenai hak dan/atau kewenangan konstitusional warga negara. Terkait dengan kerugian hak konstitusionalnya yang dijamin dalam ketentuan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, para Pemohon perkara 42 tidak menguraikan bentuk konkrit (aktual) maupun potensial atas kerugian konstitusional yang didalilkan tersebut dengan diri para Pemohon perkara 42 dan justru para Pemohon Perkara 42 banyak menyampaikan asumsi-asumsi dan kekhawatirannya atas pemberlakuan pasal-pasal a quo terhadap negara yang jelas sangat mengada-ada. Selain itu, para Pemohon perkara 42 tidak dapat menunjukkan adanya pertautan secara langsung dengan ketentuan pasal-pasal a quo sehingga tidak jelas sebab akibat atas dalil kerugian konstitusional yang didalilkan para Pemohon perkara 42 dengan berlakunya ketentuan pasal-pasal a quo .

    c.

    Perkara Nomor 43/PUU-XVIII/2020 Bahwa para Pemohon perkara 43 tersebut masing-masing tidak berdiri dalam posisi yang jelas atas kepentingan siapakah para Pemohon perkara 43 hendak mengemukakan kerugian konstitusionalnya. Selain itu, para Pemohon perkara 43 dalam permohonannya tidak mampu menjelaskan secara spesifik dalam hal apa para Pemohon perkara 43 dirugikan dengan keberlakuan pasal UU a quo tersebut terhadap diri para Pemohon perkara 43 maupun terhadap profesi para Pemohon perkara 43. Bahwa para Pemohon perkara 43 dalam permohonannya tidak mampu menjelaskan secara spesifik dalam hal apa para Pemohon perkara 43 105 dirugikan dengan keberlakuan pasal a quo tersebut terhadap diri para Pemohon perkara 43 maupun terhadap profesi para Pemohon perkara 43 sehingga tidak jelas pula hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian konstitusional yang didalilkan oleh para Pemohon perkara 43 dengan pasal-pasal a quo yang dimohonkan pengujiannya terhadap UUD NRI Tahun 1945.

    d.

    Perkara Nomor 45/PUU-XVIII/2020 Bahwa ketentuan Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 4 ayat (1), Pasal 5 ayat (2), Pasal 20 ayat (1), Pasal 20A ayat (1),Pasal 23, Pasal 23E, Pasal 24, Pasal 24A ayat (1) dan Pasal 27 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang dijadikan batu uji oleh Pemohon perkara 45 tidak mengatur mengenai hak konstitusional warga negara, melainkan mengatur mengenai bentuk dan kedaulatan negara, kekuasaan pemerintah, tugas dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat, hal keuangan negara, kelembagaan BPK, Kekuasaan Kehakiman, tanggung jawab negara dalam mengelola keuangan negara yang ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang untuk dapat dilaksanakan secara terbuka dan untuk kemakmuran rakyat, dan kewajiban warga negara untuk menjunjung hukum dan pemerintahan tanpa terkecuali. Oleh karena itu, tidaklah relevan untuk dijadikan sebagai batu uji dalam Permohonan a quo . Bahwa dalam Permohonan a quo , Pemohon perkara 45 tidak menguraikan kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon perkara 45 yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi. Pemohon perkara 45 hanya menyatakan hak Pemohon sebagai rakyat dalam memantau Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat dan Kekuasaan Kehakiman dapat menjalankan tugas dan fungsinya, tanpa menjelaskan kerugian spesifik apa yang ditimbulkan dari berlakunya ketentuan pasal-pasal a quo . Sehingga jelas kerugian yang didalilkan oleh Pemohon perkara 45 hanya merupakan asumsi tanpa adanya pertautan dengan hak konstitusional Pemohon perkara 45.

    e.

    Perkara Nomor 47/PUU-XVIII/2020 Bahwa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 telah ditetapkan menjadi undang-undang yakni UU a quo , artinya 106 substansi di dalamnya telah dibahas dan disetujui antara Pemerintah bersama dengan DPR dan telah dilakukan sesuai dengan ketentuan Pasal 23 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Bahwa ketentuan Pasal 23 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 tidak mengatur mengenai hak dan/atau kewenangan konstitusional melainkan mengatur mengenai penetapan, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban APBN. Salah satu fungsi yang dimiliki oleh DPR adalah fungsi anggaran dengan tugas dan wewenang berupa pemberian persetujuan atas RUU tentang APBN yang diajukan oleh Presiden. UU APBN tersebut kemudian dilaksanakan secara terbuka oleh Pemerintah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Para Pemohon perkara 47 mendalilkan dengan berlakunya pasal a quo , berpotensi dana desa dihentikan, dengan demikian jelas kerugian yang didalilkan tersebut hanya asumsi para Pemohon perkara 47, karena kenyataannya dana desa tetap ada meskipun selama penanganan pandemi Covid-19 ini besarannya dikurangi karena adanya kebijakan pengalihan mandatory expenses yang diamanatkan oleh UU Desa.

    f.

    Perkara Nomor 49/PUU-XVIII/2020 Bahwa Pemohon Perkara 49 menyatakan memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diatur dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1), (2) dan (3) serta Pasal 23 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 namun dalam uraian Positanya, Pemohon perkara 49 mendalilkan ketentuan pasal a quo bertentangan dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Meskipun demikian, DPR menerangkan bahwa ketentuan Pasal 1 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) serta Pasal 23 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 tidak mengatur mengenai hak dan/atau kewenangan konstitusional warga Negara. Ketentuan Pasal 1 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) serta Pasal 23 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 mengatur mengenai Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik, kedaulatan berada di tangan rakyat, Indonesia adalah Negara hukum dan APBN sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Bahwa Pemohon perkara 49 dalam perbaikan permohonannya menguraikan memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional 107 berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) serta Pasal 23 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang jelas-jelas tidak mengatur mengenai hak dan/atau kewenangan warga negara. Selain itu, Pemohon perkara 49 tidak menguraikan kerugian konsitusionalnya berdasarkan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 dan hanya mendalilkan pasal a quo bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Pemohon perkara 49 juga sama sekali tidak menyampaikan argumentasi tentang pertentangan antara pasal yang dimohonkan pengujian dengan pasal-pasal yang menjadi dasar pengujian dalam UUD NRI Tahun 1945. Oleh karena itu, telah sangat jelas Pemohon perkara 49 tidak memiliki hak dan/atau kewenangan kontitusional yang dirugikan dengan berlakunya UU 2/2020. Bahwa Pemohon perkara 49 dan banyak menguraikan mengenai asumsi- asumsinya atas pengaturan yang terdapat dalam pasal a quo , maka DPR RI menerangkan tidak terdapat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon perkara 49 yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi pada Pemohon perkara 49, maka jelas tidak terdapat hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian.

    g.

    Perkara Nomor 75/PUU-XVIII/2020 Bahwa mayoritas para Pemohon perkara 75 mengajukan kembali Permohonan 51/PUU-XVIII/2020 yang telah ditarik kembali pada tanggal 19 Agustus 2020 dan Mahkamah Konstitusi sudah menerbitkan Ketetapan Putusan Nomor 51/PUU-XVIII/2020 yang diucapkan pada tanggal 27 Agustus 2020. Para Pemohon perkara 75 berdalil bahwa dapat mengajukan kembali permohonan yang telah ditarik sebelumnya tersebut karena sudah dilakukan perubahan dalam isi materi permohonan sehingga tidak mempunyai kesamaan dalam permohonan sebelumnya baik dalam permohonan pengujian formil maupun materiil yang diajukan sehingga Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memeriksa dan mengadilinya. Terhadap dalil tersebut, DPR RI memberikan pandangan bahwa berdasarkan ketentuan dalam Pasal 35 Undang- 108 Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan: ayat (1) “Pemohon dapat menarik kembali Permohonan sebelum atau selama pemeriksaan Mahkamah Konstitusi dilakukan”. ayat (1a) “Dalam hal pemohon menarik kembali Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Panitera Mahkamah Konstitusi menerbitkan Akta Pembatalan Registrasi Permohonan dan memberitahukan kepada Pemohon disertai dengan pengembalian berkas Permohonan”. ayat (2) “Penarikan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan Permohonan tidak dapat diajukan kembali”. Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa Permohonan yang sudah ditarik kembali dan sudah diputus tidak dapat diajukan kembali. Selain itu, setelah melihat isi dari permohonan para Pemohon Perkara 75, baik dari segi formil maupun materiil memiliki materi permohonan yang sama dengan permohonan sebelumnya yang sudah ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi untuk mengabulkan penarikan kembali permohonan perkara Nomor 51/PUU-XVIII/2020 tersebut oleh para Pemohon perkara Nomor 51/PUU-XVIII/2020, yang merupakan mayoritas para Pemohon perkara 75. Walaupun para Pemohon perkara 75 memberikan tambahan batu uji Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), dan Pasal 27 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 namun batu uji Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 tersebut tidak mengatur mengenai hak konstitusional warga negara. Begitupun halnya dengan tambahan batu uji Pasal 27 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, ketentuan yang ada pada UU __ a quo tidak menghalangi para Pemohon perkara 75 untuk mendapatkan hak konstitusionalnya berupa pekerjaan dan penghidupan yang layak. Sehingga tidaklah tepat jika para Pemohon perkara 75 masih mengajukan permohonan yang sama dengan permohonan yang sudah ditarik kembali dan ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi. Bahwa para Pemohon perkara 75 juga mendalilkan diri sebagai pembayar pajak ( tax payer ), oleh karenanya DPR RI mengutip pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 40/PUU-XVI/2018 pada paragraf [3.7] sebagai berikut: 109 …menurut Mahkamah, para Pemohon sebagai pembayar pajak (tax payer) tidak serta merta memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam mengajukan setiap permohonan pengujian undang-undang. Para Pemohon dapat memiliki kedudukan hukum (legal standing) apabila para Pemohon dapat menjelaskan adanya keterkaitan logis dan causal verband bahwa pelanggaran hak konstitusional atas berlakunya undang-undang yang diuji adalah dalam kaitannya dengan status para Pemohon sebagai pembayar pajak (tax payer) memang menunjukkan kerugian yang nyata . Dalam permohonan a quo , para Pemohon perkara 75 dituntut bukan hanya sekedar menyatakan dirinya sebagai pembayar pajak ( tax payer ), tetapi terkait statusnya sebagai pembayar pajak harus dijelaskan adanya keterkaitannya secara logis dengan kerugian konstitusional para Pemohon perkara 75 yang diakibatkan dengan berlakunya pasal-pasal a quo . Bahwa terkait dengan kedudukan hukum ( legal standing ) para Pemohon, DPR RI memberikan pandangan selaras dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XIV/2016 yang diucapkan dalam sidang Pleno MK terbuka untuk umum pada tanggal 15 Juni 2016, yang pada pertimbangan hukum [3.5.2] MK menyatakan bahwa menurut Mahkamah: ... dalam asas hukum dikenal ketentuan umum bahwa tiada kepentingan maka tiada gugatan yang dalam bahasa Perancis dikenal dengan point d’ interest point d’ action dan dalam bahasa Belanda dikenal dengan zonder belang geen rechtsingang. Hal tersebut sama dengan prinsip yang terdapat dalam Reglement op de Rechtsvordering (RV) khususnya Pasal 102 yang menganut ketentuan bahwa “ tiada gugatan tanpa hubungan hukum” ( no action without legal connection ). Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, terhadap kedudukan hukum ( legal standing ) para Pemohon secara materiil, DPR RI menyerahkan sepenuhnya kepada Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilai apakah para Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011/PUU-V/2007 mengenai parameter kerugian konstitusional. 110 B. PANDANGAN UMUM DPR 1. Penyebaran Covid-19 terus meluas di seluruh dunia yang didorong oleh mobilitas manusia. Hingga akhir Februari 2020, penyebaran Covid-19 secara global telah mencapai 86.000 kasus dengan jumlah kematian hampir 3.000 orang. Pandemi Covid-19 yang menyebar secara cepat dan mengancam kesehatan publik, mendorong negara-negara untuk mengambil berbagai langkah pencegahan yang ekstrim. Salah satu langkah kebijakan yang diambil hampir semua negara adalah pelarangan atau pembatasan perjalanan ( travel ban/restriction ), penutupan perbatasan, serta memperketat lalu lintas manusia antar wilayah/negara. Di dalam skala domestik, beberapa negara memberlakukan lockdown yakni penutupan wilayah dan penghentian segala aktivitas publik kecuali yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan pangan dan medis. Physical distancing serta karantina mandiri termasuk dengan memindahkan aktivitas kantor, belajar, dan beribadah di rumah juga diimplementasikan di berbagai negara, termasuk Indonesia. Berbagai kegiatan yang bersifat pengumpulan massa dikurangi atau bahkan dilarang dengan pengawasan ketat dari aparat hukum. Di Indonesia, Pemerintah memberlakukan status Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dan menetapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sejak tanggal 31 Maret 2020. Sebelumnya, Pemerintah juga telah memberlakukan larangan penerbangan termasuk dari dan ke Tiongkok, membentuk Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, memberlakukan kebijakan physical distancing , serta menetapkan status keadaan darurat bencana Covid-19. Berbagai himbauan termasuk menganjurkan dan bahkan melarang masyarakat untuk tidak melakukan pulang kampung termasuk dalam rangka mudik Hari Raya Idul Fitri 1441 Hijriah telah dilakukan. Anjuran untuk meningkatkan pola hidup bersih dan sehat juga terus digencarkan. Penyebaran Covid-19 yang terjadi secara cepat dan eksponensial dikhawatirkan juga tidak dapat diimbangi dengan ketersediaan fasilitas kesehatan serta tenaga medis yang ada, sehingga bisa berujung pada krisis kesehatan. Langkah-langkah tersebut diimplementasikan dengan dasar bahwa kesehatan dan keselamatan masyarakat adalah prioritas. Namun demikian, langkah-langkah 111 tersebut menimbulkan penurunan aktivitas ekonomi yang cukup signifikan.

    2.

    Bentuk perlindungan yang diberikan oleh negara tidak sebatas perlindungan dari ancaman fisik namun juga perlindungan terhadap keseluruhan aspek kehidupan dan keselamatan 269 juta jiwa penduduk Indonesia. Negara harus mampu menjaga ketahanan seluruh elemen bangsa dari segala ancaman yang membahayakan negara dan masyarakat. Dengan segala sumber daya yang ada, kita harus mewujudkan ketahanan negara yang kokoh dari segala ancaman, termasuk ancaman terhadap perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan yang menimbulkan implikasi pada aspek sosial, ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat.

    3.

    Bahwa penyebaran pandemi Covid-19 yang memberikan dampak dan mengancam pertumbuhan ekonomi Indonesia antara lain karena menurunnya penerimaan negara serta ketidakpastian ekonomi global, memerlukan kebijakan dan langkah-langkah luar biasa di bidang keuangan negara termasuk di bidang perpajakan dan keuangan daerah, dan sektor keuangan, yang harus segera diambil Pemerintah dan lembaga-lembaga terkait guna mengatasi kondisi mendesak tersebut dalam rangka penyelamatan kesehatan, perekonomian nasional, dengan fokus pada belanja kesehatan, jaring pengaman sosial (social safety net), serta pemulihan dunia usaha yang terdampak. Oleh karena itu, diperlukan perangkat hukum yang memadai untuk memberikan landasan yang kuat bagi Pemerintah dan lembaga-lembaga terkait untuk pengambilan kebijakan dan langkah-langkah dimaksud.

    4.

    Bahwa berdasarkan ketentuan dalam Pasal 22 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan: “ Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang ”. Mengacu pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009, parameter kegentingan yang memaksa dalam rangka penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang antara lain: - karena adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan _masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang; _ 112 - Undang-Undang yang dibutuhkan belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau tidak memadainya Undang-Undang _yang saat ini ada; dan _ - Kondisi kekosongan hukum yang tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa yang memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan. 5. Bahwa Perppu 1/2020 telah dikeluarkan oleh Presiden pada tanggal 31 Maret 2020 karena keadaan genting dan kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat dan untuk menyelamatkan perekonomian dari krisis yang diprediksi akan terjadi. Bahwa dalam keadaan mendesak tersebut diperlukan pemberian kewenangan bagi Pemerintah diantaranya agar dapat melakukan realokasi dan refocussing anggaran yang sebelumnya telah dialokasikan dalam APBN tahun 2020. Melalui realokasi dan refocussing yang bersifat segera diharapkan dapat segera memulihkan ekonomi dalam rangka mendukung Program Pemulihan Ekonomi Nasional sebagai akibat dari Pandemi Covid-19. 6. Bahwa oleh karenanya ketentuan dalam UU 2/2020 diharapkan dapat memberi fondasi hukum bagi pemerintah terhadap otoritas perbankan dan otoritas keuangan untuk mengambil langkah luar biasa guna menjamin kesehatan masyarakat, menyelamatkan perekonomian nasional, dan stabilitas sistem keuangan sebagaimana diatur UU a quo yang perlu menetapkan kebijakan keuangan negara dan kebijakan stabilitas sistem keuangan diantaranya dengan menetapkan batasan defisit anggaran, melakukan penyesuaian besaran belanja wajib ( mandatory spending ), dan melakukan pergeseran anggaran antarunit organisasi, antarfungsi, dan/atau antar program.

    7.

    Bahwa urgensi sebagai dasar dibentuknya Perppu 1/2020 merupakan pertimbangan subjektif dari Presiden sebagai pihak yang berhak membentuk suatu perppu. Pertimbangan subjektif tersebut perlu untuk dinilai secara objektif oleh rakyat yang direpresentasikan oleh wakilnya, yaitu DPR, sebagaimana yang telah diamanatkan dalam Pasal 22 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Dengan disahkannya Perppu 1/2020 menjadi UU 2/2020, maka DPR sebagai wakil rakyat telah menilai urgensi tersebut merupakan hal yang nyata dan mendesak sehingga perlu 113 memberikan persetujuan atas Perppu 1/2020 untuk menjadi undang- undang sehingga dapat digunakan Pemerintah sebagai dasar hukum yang lebih kuat untuk bereaksi secara cepat menghadap situasi Pandemi Covid-19. C. KETERANGAN DPR TERHADAP PENGUJIAN FORMIL UU 2/2020 Berdasarkan kewenangan MK yang diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, maka batu uji yang digunakan oleh MK untuk melakukan pengujian formil haruslah berdasarkan Pasal 20 UUD NRI Tahun 1945, terutama Pasal 20 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama”. Frasa “ persetujuan bersama” dalam ketentuan tersebut merupakan esensi berlakunya __ asas legalitas sehingga frase “persetujuan bersama” merupakan norma yang sangat fundamental sebagai dasar terbentuknya undang- undang. Jika proses pembentukan undang-undang telah memenuhi unsur legalitas, yakni telah adanya “persetujuan bersama”, dan tidak adanya kegagalan dalam mendapatkan “persetujuan bersama” DPR dan Presiden, maka secara konstitusional undang-undang tersebut menjadi sah secara formil. Sesuai landasan konstitusional kewenangan MK menguji undang- undang terhadap UUD NRI Tahun 1945, maka pengujian undang-undang secara formil hanya dapat dinyatakan cacat prosedur jika telah bertentangan dengan ketentuan Pasal 20 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Namun demikian, jika Yang Mulia Hakim Konstitusi berpendapat lain, maka mohon pertimbangan yang seadil-adilnya, dan DPR tetap bersikap kooperatif dengan menerangkan lebih lanjut hal-hal yang dipermasalahkan oleh para Pemohon dalam pengujian formil.

    1.

    Tanggapan DPR terhadap dalil Para Pemohon Perkara 75 mengenai batasan waktu 45 hari dalam pengujian formil undang-undang harus dikesampingkan karena tidak berdasarkan pada UUD NRI Tahun 1945. a) Bahwa Mahkamah Konstitusi dalam konteks ketatanegaraan Indonesia dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi ( the guardian of constitution ) dan sebagai pengawal demokrasi ( the guardian of 114 democracy ) yang diberikan kewenangan oleh UUD NRI Tahun 1945 untuk dapat menguji undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945. Kewenangan ini diberikan sebagai fungsi Mahkamah Konstitusi dalam menegakkan keadilan konstitusional di tengah kehidupan masyarakat. Namun di sisi lain, Mahkamah Konstitusi juga bertugas mendorong dan menjamin agar konstitusi dihormati dan dilaksanakan oleh semua komponen negara secara konsisten dan bertanggungjawab. b) Bahwa undang-undang bersifat mengikat dan memaksa bagi semua warga negara, sehingga agar dapat dilaksanakan harus diundangkan dalam Lembaran Negara agar setiap orang dianggap mengetahui atas undang-undang tersebut. Hal ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum kepada masyarakat atas keberlakuan suatu undang- undang. c) Bahwa untuk menjamin kepastian hukum, pengujian undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945 diperlukan pembatasan waktu untuk dapat diuji secara formil. Pembatasan waktu ini tidak boleh terlalu lama dari waktu diundangkannya suatu undang-undang dalam Lembaran Negara, karena karakteristik pengujian formil berbeda dengan pengujian materiil yang hanya menguji kata, frasa, ayat dan/atau pasal saja dalam undang-undang atas dasar kerugian konstitusional pemohon. Sedangkan pengujian formil didasarkan atas undang- undang yang merugikan konstitusi yang proses pembentukannya tidak sesuai dengan ketentuan dalam UUD NRI Tahun 1945, sehingga dapat membatalkan keseluruhan undang-undang. d) Bahwa Mahkamah Konstitusi dalam menjaga hal tersebut harus berhati-hati dalam menguji formalitas suatu undang-undang, karena yang menjadi fokus pengujian formil bukanlah atas dasar dalil kerugian pemohon, namun Mahkamah Konstitusi harus mengutamakan keadilan dan kebenaran konstitusional. Mahkamah Konstitusi harus memahami ruh, ide, landasan filosofis, dan suasana kebatinan yang terjadi selama penyusunan undang-undang sehingga dapat memahami urgensi suatu undang-undang harus segera ditetapkan. e) Bahwa Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal konstitusi ( the guardian of constitution ) dan sebagai pengawal demokrasi ( the 115 guardian of democracy ) telah tepat memberikan pembatasan waktu pengujian formil 45 hari setelah suatu undang-undang diundangkan dalam Lembaran Negara dalam menjaga kepastian hukum. Pembatasan ini sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-VII/2009 poin [3.34] yang menyatakan, “Menimbang bahwa terlepas dari putusan dalam pokok permohonan a quo Mahkamah memandang perlu untuk memberikan batasan waktu atau tenggat suatu Undang-Undang dapat diuji secara formil. Pertimbangan pembatasan tenggat ini diperlukan mengingat karakteristik dari pengujian formil berbeda dengan pengujian materiil. Sebuah Undang-Undang yang dibentuk tidak berdasarkan tata cara sebagaimana ditentukan oleh UUD 1945 akan dapat mudah diketahui dibandingkan dengan Undang-Undang yang substansinya bertentangan dengan UUD 1945. Untuk kepastian hukum , sebuah Undang-Undang perlu dapat lebih cepat diketahui statusnya apakah telah dibuat secara sah atau tidak, sebab pengujian secara formil akan menyebabkan Undang-Undang batal sejak awal. Mahkamah memandang bahwa tenggat 45 (empat puluh lima) hari setelah Undang-Undang dimuat dalam Lembaran Negara sebagai waktu yang cukup untuk mengajukan pengujian formil terhadap Undang-Undang; ” f) Bahwa terkait hukum acara pembatasan waktu 45 hari dalam mengajukan pengujian formil di Mahkamah Konstitusi merupakan materi yang seharusnya diatur dalam undang-undang oleh pembentuk undang-undang, namun selama belum diatur dalam undang-undang Mahkamah Konstitusi dapat mengatur hukum acara yang bersifat teknis untuk mengisi kekosongan hukum. Dalam hal ini, UUD NRI Tahun 1945 sebagai Konstitusi tidak mungkin mengatur secara rinci mengenai hal teknis batasan hari seperti yang didalilkan oleh para Pemohon, karena dibutuhkan Undang-Undang lain untuk mengatur mengenai hal tersebut. Sehingga Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan untuk mengatur sendiri hukum acara yang bersifat teknis dalam sidang pengadilan selama belum diatur dalam Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi. g) Bahwa terhadap pengujian perkara Nomor 75/PUU-XVIII/2020 yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi pada tanggal 9 September 2020 sesungguhnya telah melewati batas waktu pengujian formil 45 hari sejak diundangkannya UU a quo , yakni pada tanggal 18 Mei 2020 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134 116 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6516. Oleh karenanya berdasarkan fakta hukum tersebut DPR berpandangan permohonan perkara Nomor 75/PUU-XVIII/2020 tidak memenuhi ketentuan batas waktu 45 hari yang ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi, sehingga sepatutnya Mahkamah Konstitusi menyatakan Permohonan perkara Nomor 75/PUU-XVIII/2020 tidak dapat diterima.

    2.

    Tanggapan DPR terhadap dalil para Pemohon Perkara 37 dan Perkara 75 mengenai prosedur konstitusional pengesahan telah disimpangi dengan tidak adanya keterlibatan DPD. Bahwa para Pemohon perkara 37 dan perkara 75 dalam perbaikan permohonannya mendalilkan tidak adanya keterlibatan DPD dalam pembahasan Perppu yang telah ditetapkan menjadi UU dengan UU 2/2020 bertentangan dengan prinsip negara hukum, prinsip kedaulatan rakyat dan kewenangan legislasi DPD. Terhadap dalil tersebut DPR menerangkan sebagai berikut: a) Bahwa berdasarkan Pasal 20 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 ditentukan kewenangan untuk membentuk undang-undang ada pada DPR. Adapun terkait UUD NRI Tahun 1945 menghendaki bahwa setiap RUU dibahas antara DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama [Pasal 20 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945]. b) Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 22D ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 mengatur bahwa Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang- undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan _daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; _ pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama. c) Bahwa keikutsertaan DPD dalam pembahasan RUU hanya sebatas yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah . Hal ini juga sesuai dengan Pasal 65 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan 117 Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 15 Tahun 2019 (selanjutnya disebut UU 12/2011). d) Bahwa Perppu 1/2020 pada intinya secara garis besar mengatur mengenai kebijakan keuangan negara, apabila dalam pelaksanaannya memiliki dampak terhadap alokasi perimbangan keuangan pemerintah pusat dan pemerintahan daerah, hal itu merupakan konsekuensi bahwa keuangan daerah merupakan bagian dari keuangan negara. Sehingga telah jelas bahwa Perppu tersebut tidak mengatur secara khusus mengenai otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Selain itu UU 2/2020 yang dipermasalahkan oleh Para Pemohon merupakan pengesahan Perppu 1/2020 sehingga pembentuk undang-undang tidak berkewajiban untuk mengikutsertakan DPD dalam pembahasan RUU penetapan Perppu 1/2020 menjadi undang-undang. e) Berdasarkan Pasal 71 huruf d dan Pasal 249 ayat (1) huruf b Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2019 (UU MD3) bahwa DPD ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. RUU Penetapan Perppu 1/2020 menjadi UU tidak memiliki pertautan dengan bidang yang mengharuskan keikutsertaan DPD dalam pembahasannya melainkan mengenai DPR memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan, sehingga DPD tidak memiliki kewenangan untuk ikut membahas RUU tersebut.

    3.

    Tanggapan DPR terhadap dalil para Pemohon perkara 37, para Pemohon perkara 43 dan para Pemohon perkara 75 mengenai rapat virtual yang berpotensi dihadiri tidak secara konkret karena kuorum rapat dibuktikan dengan tandatangan sebelum menghadiri rapat. a) Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, Perppu 1/2020 dibentuk pada intinya untuk melakukan penyelamatan kesehatan dan 118 perekonomian nasional yang terdampak dari Pandemi Covid-19. Bahwa pada saat Perppu 1/2020 tersebut diajukan oleh Pemerintah kepada DPR untuk menjadi undang-undang, negara dalam kondisi darurat bencana yang menimbulkan kepanikan di masyarakat. b) Dalam kondisi demikian, maka DPR sebagai wakil rakyat harus tetap melaksanakan tugasnya untuk membahas Perppu 1/2020 bersama dengan Pemerintah. Bahwa pada saat itu peraturan perundang- undangan yang menjadi dasar hukum pembentuk undang-undang melaksanakan tugasnya masih belum menjangkau penggunaan sarana informasi dan teknologi dalam pembahasan dan pengesahan undang- undang. Hal tersebut disebabkan tidak terprediksinya kondisi yang diakibatkan dari penyebaran Pandemi Covid-19 yang begitu masif dan berdampak pada timbulnya korban jiwa. Adapun pada saat munculnya kasus pertama penyebaran Covid-19 di Indonesia hingga saat ini, Pemerintah telah membuat kebijakan mengenai salah satu upaya penanggulangan penyebaran Pandemi Covid-19 adalah dengan melakukan pembatasan sosial berskala besar dengan mengharuskan tiap orang menjaga jarak. c) Adapun salah satu kebijakan Pemerintah dalam upaya penanggulangan penyebaran pandemi Covid-19 adalah dengan melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang dilaksanakan di beberapa daerah di Indonesia. Sebagai lembaga yang berkedudukan di DKI Jakarta yang juga menerapkan PSBB, maka DPR dan Presiden juga harus mengikuti kebijakan yang telah ditetapkan Pemerintah Daerah tersebut. Meskipun demikian, tugas pokok dan fungsi sebagai lembaga tetap harus berjalan, sehingga sebagai alternatif pelaksanaan rapat dan koordinasi supaya tugas dan fungsi DPR dan Presiden tetap berjalan adalah dengan menggunakan sarana informasi dan teknologi berupa video meeting atau virtual meeting. d) Pada saat kondisi demikian agar tugas pembentukan undang-undang tidak terbengkalai, DPR perlu melakukan terobosan hukum, yaitu dengan menetapkan Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib (Tatib DPR 2020) yang mulai berlaku pada tanggal 2 April 2020. 119 Berdasarkan Tatib DPR 2020 tersebut di dalam ketentuan Pasal 254 ayat (4) dinyatakan bahwa: “ Semua jenis rapat DPR dihadiri oleh Anggota, kecuali dalam keadaan tertentu, yakni keadaan bahaya, kegentingan yang memaksa, keadaan luar biasa, keadaan konflik, bencana alam, dan keadaan tertentu lain yang memastikan adanya urgensi nasional, rapat dapat dilaksanakan secara virtual dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi. ” Dengan menggunakan dasar hukum tersebut, maka DPR melalui Badan Anggaran bersama Pemerintah melakukan Pembahasan Tingkat I UU a quo pada tanggal 4 Mei 2020 dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi melalui rapat virtual. Begitu pun halnya dengan Pembahasan Tingkat II yang menyetujui Perppu 1/2020 menjadi UU pada Rapat Paripurna tanggal 12 Mei 2020 dilaksanakan dengan menggunakan rapat kombinasi secara fisik maupun dengan teknologi informasi dan komunikasi melalui rapat virtual . e) Menanggapi dalil para Pemohon perkara 37, para Pemohon perkara 43 dan para Pemohon perkara 75 tersebut, DPR menerangkan bahwa pelaksanaan rapat yang dihadiri secara virtual telah diatur secara jelas dalam Pasal 279 ayat (6) Tatib DPR 2020 yang menyatakan bahwa: “Dalam hal penandatanganan daftar hadir Anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak dapat dilakukan dan disebabkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 254 ayat (4), kehadiran Anggota dalam semua jenis rapat DPR dilakukan berdasarkan kehadiran secara virtual.” Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 279 ayat (7) Tatib DPR 2020 menyatakan bahwa: “Bukti kehadiran secara virtual sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat dikonfirmasi dan diverifikasi keabsahannya melalui Sekretariat Jenderal DPR.” Oleh karena itu berdasarkan dokumen sebagaimana terlampir dalam Lampiran I, maka Pembahasan Tingkat II yang menyetujui Perppu 1/2020 menjadi UU pada Rapat Paripurna tanggal 12 Mei 2020 yang dilakukan secara virtual tersebut, maka kehadiran pembentuk undang- undang telah memenuhi ketentuan perundang-undangan. f) Oleh karena itu dalil para Pemohon perkara 37, para Pemohon perkara 43 dan para Pemohon perkara 75 tersebut hanya merupakan asumsi karena jelas bahwa pembahasan dan pengesahan undang-undang 120 dengan menggunakan sarana teknologi dan informasi telah memiliki dasar hukum melalui Tatib DPR 2020. Selain itu berdasarkan risalah Rapat Paripurna bahwa dengan Pimpinan DPR memberikan keputusan penetapan Perppu 1/2020 menjadi undang-undang artinya memberikan persetujuan dan juga mengikat anggota yang hadir baik secara fisik dan virtual (non fisik) (Lampiran II) 4. Tanggapan DPR terhadap dalil para Pemohon Perkara 43 mengenai UU 2/2020 tidak memenuhi syarat Pasal 22 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 dan Pasal 52 ayat (1) UU 12/2011 terkait frasa “ persidangan yang berikut ”. a) Bahwa di dalam Rapat Kerja Badan Anggaran DPR RI bersama Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Bank Indonesia, dan Lembaga Penjamin Simpanan tertanggal 4 Mei 2020 bahwa pada saat itu terdapat 9 (sembilan) fraksi yang menyetujui Perppu 1/2020 untuk ditetapkan menjadi undang-undang, hanya fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) yang belum menyatakan persetujuannya. Berdasarkan rapat pada saat itu, DPR RI menerangkan bahwa UU a quo disetujui untuk ditetapkan menjadi undang-undang, dari titik tolak pemikiran bahwa Alinea keempat Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 dinyatakan bahwa tujuan dibentuknya Pemerintahan Negara Indonesia adalah untuk melindungi segenap rakyat Indonesia. Dengan demikian asas keselamatan rakyat Indonesia adalah yang diutamakan, untuk memberikan keyakinan bahwa Perppu 1/2020 tersebut harus dibahas segera dan secepatnya untuk memenuhi asas keselamatan rakyat yang diamanatkan di dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 tersebut. b) Bahwa Perppu 1/2020 merupakan kewenangan yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam kondisi darurat yang bersifat fundamental dan krusial yang berdampak pada stabilitas perekonomian nasional jangka panjang, maka pengaturan hal tersebut perlu untuk diberikan dasar legalitas yang lebih kuat dalam bentuk undang-undang. c) Bahwa DPR selain memiliki fungsi legislasi sebagai pembentuk undang- undang berdasarkan Pasal 20A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, juga memiliki fungsi anggaran. Berkaitan dengan Perppu 1/2020 sebagai peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh pemerintah yang 121 berfokus pada penataan ulang anggaran hingga beberapa tahun ke depan yang tentu saja memiliki dampak terhadap APBN, dimana sesuai dengan UUD NRI Tahun 1945 pembahasan dan pengesahan dalam Perppu 1/2020 menjadi UU sangat memerlukan peran DPR dalam melaksanakan fungsi anggaran sebagai kerangka representasi rakyat. Oleh karena itu, penting bagi DPR untuk segera membahas dan menetapkan Perppu 1/2020 menjadi UU dalam waktu yang cepat karena adanya kebutuhan mendesak yang dapat berdampak terhadap stabilitas perekonomian nasional. d) Dengan adanya situasi pandemi Covid-19 tersebut yang memiliki dampak bukan hanya terhadap kesehatan dan keselamatan rakyat, tetapi juga memiliki dampak terhadap perekonomian negara dalam jangka panjang, oleh karenanya proses penetapan Perppu 1/2020 menjadi UU yang harus dilakukan secepatnya oleh DPR merupakan langkah cepat DPR dalam menghadapi keadaan darurat negara. Keadaan darurat tersebut tetap harus dipahami dalam pandangan yang sesuai dengan alas fakta yang terjadi pada saat keadaan darurat, dan tidak menggunakan parameter dan indikator keadaan normal. Oleh sebab itu, keputusan DPR yang secara cepat mengesahkan Perppu 1/2020 menjadi UU merupakan langkah yang tepat dan mencerminkan asas prosesual bahwa penundaan yang tidak beralasan ( undue delay ) harus dihindarkan, hal ini adalah demi kepentingan negara dan kepentingan umum yang harus dilindungi. e) Hal tersebut menunjukkan bahwa DPR memiliki kesamaan pandangan dengan Pemerintah mengenai adanya kegentingan memaksa dan perlunya kebijakan serta tindakan yang harus segera dilakukan dalam menghadapi pandemi Covid-19. Persetujuan DPR dimaksud menjadikan norma tersebut memenuhi amanat UUD NRI Tahun 1945 dan memberikan kepastian hukum bagi keberlanjutan langkah-langkah Pemerintah dalam penanganan situasi extraordinary pandemi Covid-19, yang telah secara nyata menimbulkan pemburukan ekonomi dan ancaman krisis apabila tidak segera ditangani. Dengan adanya legitimasi tersebut, Pemerintah memiliki fleksibilitas melakukan recovery terhadap situasi dan kondisi perekonomian. Semakin mampu 122 Pemerintah menangani dampak yang ditimbulkan oleh pandemi Covid- 19 seiring dengan perkembangan/perlambatan penyebaran virus ( flattening the curve ), semakin mempercepat negara keluar dari pemburukan ekonomi. D. KETERANGAN DPR TERHADAP PENGUJIAN MATERIIL UU 2/2020 1. Pandangan DPR RI terhadap pengujian judul UU 2/2020:

    a.

    Berdasarkan metode penafsiran secara gramatikal yaitu metode penafsiran melalui pendekatan tatabahasa yang ada pada rumusan UU, dalam memahami UU, tanda baca, diksi, dan pola susunan kalimat sedemikan rupa benar benar diperhatikan. Berdasarkan metode penafsiran tersebut judul Lampiran UU 2/2020 sudah jelas, tidak ambigu, memang yang diatur dalam Lampiran UU 2/2020 ini adalah langkah Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Keuangan dikarenakan adanya pandemi Covid-19 yang saat ini terjadi. Bukan mengatur tentang langkah tindakan Pemerintah untuk menangani Covid-19. Yang menjadi subyek dari judul ini adalah Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Covid-19. Dua subyek tersebut adalah dua hal yang berbeda namun satu kesatuan yang diatur dalam Lampiran UU 2/2020 ini.

    b.

    Judul dan materi muatan sudah sesuai, materi muatan terdiri atas 6 bab yang hampir semuanya mengatur mengenai langkah-langkah kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan yang akan dijalankan pemerintah, dan tidak mengatur mengenai langkah-langkah untuk menangani pandemi Covid-19.

    c.

    Berdasarkan Ketentuan dalam UU 12/2011 Lampiran II Bagian A mengatur bahwa: ● Judul Peraturan Perundang–undangan memuat keterangan mengenai jenis, nomor, tahun pengundangan atau penetapan, dan nama Peraturan Perundang–undangan; ● Judul Peraturan Perundang-undangan ditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang diletakkan di tengah marjin tanpa diakhiri tanda baca; ● Pada nama Peraturan Pemerintah Pengganti Undang–Undang (Perpu) yang ditetapkan menjadi Undang–Undang, ditambahkan 123 kata penetapan di depan judul Peraturan Perundang–undangan yang ditetapkan dan diakhiri dengan frasa menjadi Undang-Undang; Berdasarkan ketentuan tersebut, judul yang tertulis pada UU 2/2020 maupun Perppu 1/2020 yang merupakan lampiran dari UU 2/2020 telah sesuai dengan ketentuan dalam UU 12/2011.

    2.

    Pandangan DPR terhadap materi muatan kebijakan pelebaran defisit anggaran sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UU a quo . __ a. Bahwa sesuai amanat konstitusi, APBN digunakan untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat, namun ketika keadaan darurat karena Covid-19 yang telah secara nyata memberikan dampak pada perekonomian negara seperti saat ini maka penggunaan APBN dapat disesuaikan untuk kepentingan yang lebih besar yaitu menyelamatkan perekonomian negara yang mana hal ini justru untuk menciptakan manfaat yang lebih besar.

    b.

    Implikasi pandemi Covid-19 telah berdampak pula terhadap ancaman semakin memburuknya sistem keuangan yang berisiko pada ketidakstabilan makro ekonomi dan sistem keuangan yang perlu dimitigasi bersama oleh Pemerintah dan lembaga terkait dengan melakukan tindakan antisipasi guna menjaga stabilitas sektor keuangan. Bahwa kedalaman implikasi Covid-19 terhadap perekonomian sulit diukur karena puncak pandemi Covid-19 belum dapat dipastikan waktunya. Implikasi ekonomi yang ditimbulkan oleh Covid-19 terhadap perekonomian sangat dalam sehingga semua skenario perlu disiapkan untuk menghadapi situasi yang paling buruk, bahkan dalam bentuk “ worst case scenario ”. Maka pemerintah dan lembaga terkait perlu mengambil langkah luar biasa dalam rangka penyelamatan perekonomian nasional dengan berbagai kebijakan relaksasi yang berkaitan dengan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dengan melakukan peningkatan belanja untuk kesehatan, jaring pengaman sosial dan pemulihan perekonomian, serta memperkuat kewenangan berbagai lembaga dalam sektor keuangan.

    c.

    Bahwa para Pemohon perkara 37 dan Pemohon perkara 45 mendalilkan UU a quo melampaui dari ruang lingkup yang diatur di dalam Pasal 1 karenanya senyatanya Pasal 2 ayat (1) huruf a justru mengatur dalam 124 jangka waktu sampai dengan 2022 bahkan sampai 2023. Selain itu, negara-negara lain, pemerintahnya tidak diberi kewenangan khusus dalam bidang anggaran selama bertahun-tahun. Terhadap dalil tersebut, DPR berpandangan sebagai berikut:

    1)

    Dalam Lampiran UU 2/2020 tetap terdapat pembatasan-pembatasan yaitu: Pertama, kewenangan menetapkan defisit melampaui 3% dari PDB hanya berlaku paling lama sampai dengan berakhirnya Tahun Anggaran 2022 (dalam jangka waktu kurang lebih 2 tahun atau bisa kurang dari waktu tersebut jika recovery ekonomi dapat berjalan lebih cepat); dan penyesuaian besaran defisit tersebut dilakukan secara bertahap. Sebagai perbandingan dengan negara lain, Amerika Serikat, Australia, Singapura, dan Malaysia telah mengeluarkan stimulus fiskal yang mencapai lebih dari 10% PDB-nya. Amerika Serikat hanya dalam waktu kurang dari 3 bulan menambah utang dengan 3 Triliun US$ yang jumlah tersebut sama dengan jumlah 3 kali PDB Indonesia. ( Lampiran II ). Kedua, pelebaran defisit tersebut tetap dalam koridor jumlah pinjaman yang dapat dilakukan dalam rangka pelaksanaan pelebaran defisit tersebut yaitu di batasi maksimal 60% (enam puluh persen) dari PDB sesuai UU Keuangan Negara 2) Bahwa defisit anggaran yang tidak dapat dihindari tersebut tentunya butuh penanganan sehingga meningkatnya besaran utang negara adalah suatu hal yang pasti terjadi. Solusi ini adalah satu diantara upaya-upaya yang dilakukan oleh Pemerintah selain melakukan penyesuaian besaran belanja wajib, pergeseran anggaran antar unit organisasi, antar fungsi dan/atau antar program dan lain sebagainya sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 2 Lampiran UU 2/2020.

    3)

    Bahwa konsekuensi dari pelebaran defisit tersebut tentunya berdampak pada tahun-tahun berikutnya. Sehingga penentuan atau pembatasan APBN sampai tahun anggaran 2022 merupakan pilihan kebijakan yang logis. Oleh karena itu Pemerintah memberikan prediksi dengan menetapkan batasan defisit anggaran melampaui 3% dari PDB sampai dengan tahun anggaran 2022. Sedangkan pada tahun anggaran 2023, Pemerintah optimis besaran defisit anggaran 125 akan kembali menjadi paling tinggi sebesar 3% dari PDB. Hal ini merupakan optimisme Pemerintah dalam mengupayakan perbaikan kondisi perekonomian dan keuangan nasional. Hal ini harus dipahami oleh para Pemohon a quo mengingat kondisi dan kemampuan setiap negara berikut kebijakan-kebijakan yang diambil tidak dapat disamaratakan karena karakteristik dan tren pertumbuhan perekonomiannya yang juga tidak sama.

    4)

    Bahwa APBN Tahun Anggaran 2021 dan Tahun 2022 dalam lampiran UU 2/2020 ini tidak diatur karena UU APBN Tahun Anggaran 2021 dan Tahun Anggaran 2022 belum disusun dan diundangkan ketika pengundangan UU 2/2020. Dalam penyusunan APBN Tahun Anggaran 2021 dan Tahun Anggaran 2022 tetap diberlakukan mekanisme penyusunan APBN sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan sehingga esensi Pasal 23 UUD NRI Tahun 1945 tetap terjaga.

    5)

    DPR menerangkan pembentukan Perppu merupakan kewenangan konstitusional Presiden sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 22 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Baru selanjutnya diberlakukan ketentuan Pasal 22 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang merupakan kewenangan konstitusional DPR RI untuk memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan atas Perppu yang dibentuk oleh Presiden pada masa sidang yang berikutnya. Karakter hukum UU APBN yang merupakan undang-undang penetapan, berbeda dengan undang-undang pengaturan pada umumnya. Karena sifat hukumnya tersebut, UU APBN sebenarnya merupakan domain pemerintah dalam perumusan dan perencanaannya, yang kemudian membutuhkan hak budget DPR untuk menyetujui atau tidak. Dalam hal kondisi kedaruratan, persetujuan tidak ditempatkan di awal, melainkan sekalian di akhir pelaksanaan dengan maksud terjadinya perubahan konsep hak budget DPR yang sebelumnya menguji pengeluaran negara untuk kebutuhan di tahun berjalan, menjadi menguji pengeluaran negara untuk kemanfataan di tahun berjalan. Keduanya sama-sama tetap menggunakan dan menjalankan hak budget DPR, di mana hak budget keadaan normal, alokasi yang tidak 126 disetujui DPR karena belum menjadi kebutuhan akan dicoret atau ditarik. Sedangkan dalam keadaan darurat, alokasi yang tidak disetujui karena tidak sesuai kemanfaatannya harus dipertanggungjawabkan pemerintah dalam berbagai bentuk, yaitu meminta Badan Pemeriksa Keuangan melakukan pemeriksaan dan melaporkannya kepada DPR, meminta pemerintah melakukan koreksi dan pengembalian sesuai dengan rekomendasi pemeriksaan BPK, atau DPR dapat menggunakan hak yang dimilikinya dalam mengawasi penggunaan APBN keadaan darurat.

    6)

    Selain itu terkait keinginan Pemohon perkara 45 agar RUU APBN Tahun 2021 dibahas Pemerintah dengan DPR RI senyatanya sudah disampaikan Pemerintah dalam rangkaian rapat paripurna tertanggal 12 Mei 2020, 14 Juli 2020, dan 14 Agustus 2020 (Lampiran II, Lampiran III dan lampiran IV). Sebagai tambahan informasi, pada 25 September 2020, Kemenkeu selaku yang mewakili Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyepakati Rancangan Undang-Undang (RUU) Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2021 di Banggar dan Pemerintah bersama DPR telah menyetujui defisit anggaran sebesar 5,7% dari PDB pada Rapat Paripurna DPR tanggal 29 September 2020. Semua fraksi DPR juga menyampaikan bahwa kondisi Covid-19 masih belum memberikan kepastian pada tahun 2021, sehingga Pemerintah dengan pimpinan Banggar dan para anggota Banggar bersama-sama memformulasikan RUU APBN 2021 yang disatu sisi memberikan signal kepada masyarakat, dunia usaha bahwa pemerintah terus melakukan support agar mereka bisa pulih dan bangkit kembali, namun di sisi lain juga memberikan sinyal kehati-hatian, sinyal prudent atau kebijakan dalam menjaga keseluruhan dan keberlangsungan APBN.

    7)

    Oleh karenanya dalil bahwa kewenangan penetapan UU APBN oleh DPR menjadi nihil, (dalam hal ini dalil tersebut juga disampaikan oleh para Pemohon perkara 42) adalah anggapan yang salah. Hal ini disebabkan perubahan mekanismenya saja, yang sebelumnya Hak Budget DPR dilakukan di awal menjadi di akhir setelah diterbitkannya 127 LKPP. Selain itu, dalam memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap penetapan Perppu 1/2020 menjadi undang-undang tersebut, tentunya DPR mengkaji terlebih dahulu urgensi dan implikasi pemberlakuan ketentuan dalam Perppu tersebut sebagai undang-undang sebelum dilakukan penetapan Perppu tersebut sebagai undang-undang. Pengaturan dalam Perppu ini tidak berarti menghilangkan mekanisme persetujuan DPR dalam penetapan UU APBN mengingat UU APBN Tahun Anggaran 2020 telah ditetapkan, dan UU APBN Tahun Anggaran 2021 telah dibahas oleh DPR dan Pemerintah, dan UU APBN Tahun Anggaran 2022 masih belum disusun dan belum diajukan oleh Pemerintah kepada DPR RI.

    3.

    Pandangan DPR terkait penggunaan dana yang bersumber dari Dana Abadi Pendidikan untuk penanganan Pandemi Covid-19, DPR.

    a.

    Akumulasi dana abadi pendidikan yang dimaksud dalam Pasal a quo adalah akumulasi dana abadi dari tahun-tahun sebelumnya dan tidak termasuk porsi dana abadi pendidikan yang dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun berjalan [vide Penjelasan Pasal 2 ayat (1) huruf e UU a quo ].

    b.

    Anggaran dana pendidikan yang sudah dialokasikan dalam UU APBN tahun berjalan tidak termasuk dalam objek yang diatur dalam ketentuan Pasal a quo sehingga kewajiban Pemerintah untuk memenuhi mandatory spending dana pendidikan sebesar 20% tetap dilaksanakan. Oleh karena itu, yang dapat digunakan oleh Pemerintah dalam realokasi penggunaan dana abadi pendidikan dan akumulasi dana pendidikan untuk penanganan Pandemi Covid-19 tidak mengganggu alokasi dana pendidikan yang sudah ditetapkan dalam UU APBN sebesar 20%.

    c.

    Bahwa penggunaan dana abadi sebagai sumber pembiayaan APBN tahun berjalan merupakan salah satu opsi yang dipersiapkan pemerintah dalam penanganan pandemi Covid-19. Opsi tersebut hanya akan dipergunakan apabila seluruh pembiayaan lain yang tersedia tidak memenuhi kebutuhan pembiayaan pemerintah dalam penanganan pandemi Covid-19. Namun demikian, pemanfaatannya akan tetap memperhitungkan efektivitas dan ketepatan dibandingkan dengan surnber-sumber lain yang ada. 128 4. Pandangan DPR terkait kewenangan Pemerintah untuk menerbitkan Surat Utang Negara dan/atau Surat Berharga Syariah Negara dengan tujuan tertentu dan independensi Bank Indonesia a. Bahwa dasar hukum penerbitan SUN adalah Pasal 55 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (selanjutnya di sebut UU BI), yang berketentuan:

    (1)

    Dalam hal Pemerintah akan menerbitkan surat-surat utang negara, Pemerintah wajib terlebih dahulu berkonsultasi dengan Bank Indonesia.

    (2)

    Sebelum menerbitkan surat utang negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah wajib berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat.

    (3)

    Bank Indonesia dapat membantu penerbitan surat-surat utang negara yang diterbitkan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

    (4)

    .... Dalam penerbitan Surat Utang Negara tersebut, terdapat peran DPR dalam mekanisme penerbitan surat utang negara berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (1) dan ayat (3) UU Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara (UU SUN) yang mengatur bahwa Penerbitan Surat Utang Negara harus terlebih dahulu mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat yang diberikan pada saat pengesahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Mekanisme ini harus tetap dilakukan oleh Pemerintah.

    b.

    Dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (UU SBSN) diatur bahwa SBSN diterbitkan dengan tujuan untuk membiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara termasuk membiayai pembangunan proyek. Kewenangan menerbitkan SBSN berada pada Pemerintah dilaksanakan oleh Menteri dapat dilaksanakan secara langsung oleh Pemerintah atau melalui Perusahaan Penerbit SBSN. Dalam hal akan dilakukan penerbitan SBSN untuk tujuan membiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara termasuk membiayai pembangunan proyek, Menteri terlebih dahulu berkoordinasi dengan Bank Indonesia.

    c.

    Ketentuan Pasal 8 UU SBSN mengatur bahwa Penerbitan SBSN harus terlebih dahulu mendapat persetujuan DPR pada saat pengesahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diperhitungkan 129 sebagai bagian dari Nilai Bersih Maksimal Surat Berharga Negara yang akan diterbitkan oleh Pemerintah dalam satu tahun anggaran. Dalam rangka kedaruratan penanganan Covid-19 dan implikasinya terhadap kondisi perekonomian nasional, hal ini juga menjadi pertimbangan Presiden dalam penyusunan Perppu 1/2020 dan penetapannya sebagai undang-undang oleh DPR melalui UU 2/2020. Ketentuan Pasal 8 UU SBSN ini tidak disebutkan dalam ketentuan Pasal 28 lampiran UU 2/2020, sehingga masih berlaku dan harus dilaksanakan oleh Pemerintah.

    d.

    Pasal 2 ayat (1) huruf f, Pasal 16 ayat (1) huruf c, dan Pasal 19 ayat (3) Lampiran UU 2/2020 mengatur bahwa Bl dapat membeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana atau primer. Pengaturan tersebut melengkapi ketentuan Pasal 55 ayat (4) UU Bl yang memberikan kewenangan Bl untuk membeli SUN di pasar primer atau perdana berjangka pendek yang diperlukan oleh Bl untuk operasi pengendalian moneter. Pengaturan pada Pasal 55 ayat (4) UU Bl dimaksudkan untuk menjalankan tugas Bl dalam kondisi normal. Sementara saat ini, Presiden telah memutuskan kondisi kegentingan yang memaksa serta kekosongan hukum karena pandemi Covid-19 sehingga diterbitkan Perppu 1/2020. Dalam mengatasi kondisi tersebut, diperlukan stimulus fiskal yang dapat berimplikasi pada pelebaran defisit APBN. Oleh karena itu, peran Bl perlu diperluas sehingga Bl dapat melakukan pembelian SUN dan/atau SBSN jangka panjang di pasar perdana khususnya dalam rangka penanganan permasalahan sistem keuangan yang membahayakan perekonomian nasional, termasuk SUN dan/atau SBSN yang diterbitkan dengan tujuan tertentu khususnya dalam rangka pandemi Covid-19.

    e.

    Ketentuan dalam Pasal 16 ayat (1) hurut c Lampiran UU 2/2020 dimaksudkan untuk memberikan kelengkapan payung hukum bagi Bl untuk menetapkan dan melaksanakan kebijakan pembelian SUN dan/atau SBSN berjangka panjang di pasar perdana untuk penanganan permasalahan sistem keuangan yang membahayakan perekonomian nasional, termasuk SUN dan/atau SBSN yang diterbitkan dengan tujuan tertentu khususnya dalam rangka pandemi Covid-19. Dengan 130 adanya ketentuan-ketentuan dalam Lampiran UU 2/2020, terbuka ruang baru bagi Bl dalam rnerumuskan dan rnelaksanakan kebijakan moneter melalui pembelian SUN di pasar primer atau perdana, baik yang berjangka pendek maupun panjang, untuk digunakan dalam operasi pengendalian moneter maupun yang diperlukan untuk pemulihan ekonomi nasional.

    f.

    Pembelian SUN dan/atau SBSN oleh Bl di pasar perdana dilakukan untuk membantu pemerintah dalam pemenuhan pembiayaan APBN dan pembiayaan pelaksanaan pemulihan ekonomi nasional termasuk menjaga stabilitas sistem keuangan nasional yang menjadi peran Bl sebagai otoritas moneter dan bukan mengintervensi Bl dalam pelaksanaan tugasnya. Proses untuk membeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana merupakan mandat yang diberikan oleh UU 2/2020 sehingga sama sekali tidak ada intervensi terhadap independensi Bl.

    g.

    Perlu dicermati pula bahwa SUN dan/atau SBSN yang diterbitkan oleh Pemerintah tidak wajib untuk dibeli oleh Bl. Rumusan-rumusan ketentuan dalam Lampiran UU 2/2020 terkait kewenangan Bl untuk membeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana memuat kata "dapat". Penggunaan frasa "dapat" dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) huruf f dan Pasal 19 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 dimaknai bahwa tidak ada unsur kewajiban bagi Bl yang dapat menghilangkan independensi Bl sebagai bank sentral untuk memutuskan pembelian SUN dan/atau SBSN di pasar perdana. Pembelian SUN dan/atau SBSN didasarkan sesuai pertimbangan Bl dalam menjalankan tugasnya.

    h.

    Kewenangan Bl untuk membeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana sebagaimana diatur dalam Lampiran UU 2/2020 dilaksanakan dengan tetap menjaga independensi Bl . Pasal 23D UUD NRI Tahun 1945 juncto Pasal 4 ayat (2) UU Bl telah mengatur bahwa Bl merupakan lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pemerintah dan/atau pihak lain. Pelaksanaan tugas dan wewenang Bl akan tetap berjalan secara efektif dengan berlakunya ketentuan dalam Lampiran UU 2/2020. 131 i. Sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (3) UU a quo , kewenangan tersebut harus memenuhi skema dan mekanisme pembelian yang diatur bersama antara Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia dengan Keputusan Bersama Menteri Keuangan dan Gubernur Bl Nomor 190/KMK.08/2020 dan Nomor 22/4/KEP.GBl/2020 tanggal 16 April 2020 dengan menerapkan prinsip:

    a.

    mengutamakan mekanisme pasar;

    b.

    mempertimbangkan dampaknya terhadap inflasi secara terukur;

    c.

    SUN dan/atau SBSN yang dapat dibeli oleh Bl bersifat tradable dan marketable ; dan

    d.

    Bl sebagai pembeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana merupakan last resort dalam hal kapasitas pasar tidak mampu menyerap dan/atau menyebabkan kenaikan yield yang terlalu tinggi.

    5.

    Pandangan DPR terkait penetapan sumber-sumber pembiayaan Anggaran yang berasal dari dalam dan/atau luar negeri dan pengaturan perubahan postur APBN melalui Peraturan Presiden sebagaimana diatur dalam UU a quo a. Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. Kekuasaan tersebut meliputi kewenangan yang bersifat umum dan kewenangan yang bersifat khusus. Untuk membantu Presiden dalam penyelenggaraan kekuasaan dimaksud, sebagian dari kekuasaan tersebut dikuasakan kepada Menteri Keuangan selaku Pengelola Fiskal dan Wakil Pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan, serta kepada Menteri/Pimpinan Lembaga selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya. Menteri Keuangan sebagai pembantu Presiden dalam bidang keuangan pada hakekatnya adalah Chief Financial Officer (CFO) Pemerintah Republik Indonesia, sementara setiap menteri/pimpinan lembaga pada hakekatnya adalah Chief Operational Officer (COO) untuk suatu bidang tertentu pemerintahan. Prinsip ini perlu dilaksanakan secara konsisten agar terdapat kejelasan dalam pembagian wewenang dan tanggung jawab, terlaksananya mekanisme checks and balances 132 serta untuk mendorong upaya peningkatan profesionalisme dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan. Sub bidang pengelolaan fiskal meliputi fungsi-fungsi pengelolaan kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro, penganggaran, administrasi perpajakan, administrasi kepabeanan, perbendaharaan, dan pengawasan keuangan.

    b.

    Pengecualian Pelaksanaan Kebijakan Keuangan Negara dalam Perppu ini sebagaimana diatur dalam Pasal 12 ayat (2) lampiran UU 2/2020 a quo : “Perubahan postur dan/atau rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara dan langkah-langkah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 11 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden.” Ketentuan tersebut hanya berlaku sepanjang berkaitan dengan kebijakan keuangan negara untuk penanganan penyebaran Covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan berdasarkan Perppu ini (vide Pasal 28 lampiran UU 2/2020). Dalam kondisi kembali normal semua ketentuan dalam UU MD3 berlaku seperti semula termasuk dalam hal mekanisme pembahasan APBN dan APBNP yang harus tetap mendapatkan persetujuan DPR. Selain itu meskipun APBN Perubahan ditetapkan dengan Peraturan Presiden karena situasi yang mendesak berdasarkan Perppu 1/2020 yang selanjutnya menjadi lampiran UU 2/2020, tetapi pertanggungjawaban APBN tetap kepada DPR.

    c.

    Bahwa terkait dengan sumber-sumber pembiayaan negara, Pasal 12 ayat (3) UU Keuangan Negara mengatur bahwa dalam hal anggaran diperkirakan defisit, ditetapkan sumber-sumber pembiayaan untuk menutup defisit tersebut dalam Undang-undang tentang APBN. Dan penjelasan Pasal 12 ayat (3) UU Keuangan Negara tersebut mengatur bahwa jumlah pinjaman dibatasi maksimal 60% dari Produk Domestik Bruto. Ketentuan dalam penjelasan ini juga menjadi bagian yang dinyatakan tidak berlaku dalam Pasal 28 angka 3 lampiran UU 2/2020. Namun pada dasarnya, penetapan sumber-sumber pembiayaan tersebut diperbolehkan hanya saja batasan yang ada dalam 133 penjelasan pasal tersebut tidak diberlakukan selama penanganan Covid-19 ini atau hingga tahun 2021. Selain itu, persebaran Covid-19 yang masif dan cepat ini membutuhkan penanganan cepat namun yang tidak dapat dilaksanakan melalui mekanisme APBN, sehingga telah jelas tidak ada pelanggaran prinsip pengelolaan keuangan negara dan tetap sejalan dengan prinsip negara hukum sebagaimana diatur oleh Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945.

    d.

    Ketentuan Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 sama sekali tidak menghilangkan peran dan fungsi DPR, karena dengan telah disetujui dan ditetapkannya Perppu 1/2020 menjadi UU 2/2020, telah menunjukkan bahwa perubahan postur dan/atau rincian APBN dengan Peraturan Presiden yang diatur dalam ketentuan Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 tersebut telah mendapat persetujuan DPR. Selain itu, dalam pembentukan Peraturan Presiden tentang perubahan postur dan/atau rincian APBN, Pemerintah selalu mengkomunikasikannya dan melakukan pembahasan bersama dengan DPR. DPR dapat memberikan masukan dan rekomendasi kepada Pemerintah terkait postur dan/atau rincian APBN tersebut. Oleh karena itu, Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 __ yang mengatur bahwa perubahan postur dan/atau rincian APBN dilakukan dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden, sama sekali tidak menghilangkan peran dan fungsi DPR. Pengaturan perubahan postur dan/atau rincian APBN dalam ketentuan Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 telah diselaraskan dengan dicabutnya ketentuan Pasal 27 ayat (3) UU Keuangan Negara, Pasal 177 huruf c angka 2 dan Pasal 182 UU MD3, serta Pasal 40 UU APBN 2020 ( vide __ ketentuan Pasal 28 angka 3, 10, dan 12 Lampiran UU 2/2020). Pencabutan berbagai ketentuan yang diatur dalam Pasal 28 angka 3, 10, dan 12 Lampiran UU 2/2020 tersebut, merupakan upaya harmonisasi agar tidak ada dualisme aturan atas satu permasalahan. Dengan demikian, ketentuan Pasal 28 angka 3, 10, dan 12 Lampiran UU 2/2020 telah memberikan kepastian hukum atas pelaksanaan ketentuan Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020, yaitu bahwa perubahan postur dan/atau rincian APBN dilakukan dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden. 134 6. Pandangan DPR Terhadap Kebijakan Di Bidang Keuangan Daerah sebagaimana diatur dalam UU a quo a. Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945, Pemerintah Daerah telah diberikan kewenangan untuk mengatur dan mengurus sendi r i urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda). Penjelasan umum UU Pemda menyatakan bahwa pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah dilaksanakan berdasarkan prinsip negara kesatuan. Dalam negara kesatuan, kedaulatan hanya ada pada pemerintahan negara atau pemerintahan nasional dan tidak terdapat kedaulatan pada pemerintahan daerah. Oleh karena itu, seluas apapun otonomi yang diberikan kepada daerah, tanggung jawab akhir penyelenggaraan pemerintahan daerah akan tetap ada di tangan pemerintah pusat. Untuk itu pemerintahan daerah pada negara kesatuan merupakan satu kesatuan dengan pemerintahan nasional.

    b.

    Kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan oleh daerah merupakan bagian integral dari kebijakan nasional. Pembedanya, terletak pada bagaimana memanfaatkan kearifan, potensi, inovasi, daya saing, dan kreativitas daerah untuk mencapai tujuan nasional tersebut di tingkat lokal yang pada gilirannya akan mendukung pencapaian tujuan nasional secara keseluruhan. Pada kondisi pandemi Covid-19, hal yang perlu diperhatikan dalarn pelaksanaan kebijakan keuangan di daerah adalah kecepatan dan ketepatan untuk menyesuaikan anggaran sehingga tepat sasaran. Lebih lanjut, berdasarkan dengan Pasa l 6 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (UU Keuangan Negara), kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan, telah diserahkan kepada kepada gubernur/ bupati/wali kota untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili Pemerintah Daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan.

    c.

    Namun demikian, dalam pelaksanaannya, penyelenggaraan pemerintahan daerah, termasuk keuangan daerah, dilaksanakan sesuai 135 dengan ketentuan dalam UU Pemda sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015. Dalam ketentuan Pasal 9 ayat (2) UU Pemda disebutkan urusan absolut adalah urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat. Lebih Ianjut dalam ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf e UU Pemda disebutkan jika salah satu urusan pemerintahan absolut tersebut adalah urusan moneter dan fiskal nasional. Dalam menangani pandemi Covid-19 dan menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan, kebijakan yang diterapkan di bidang keuangan negara yang memberikan relaksasi untuk refocusing APBN, sudah seharusnya juga diterapkan pada pemerintahan daerah, khususnya dalam hal relaksasi untuk refocusing APBD. Oleh karena itu, kebersarnaan dan gotong royong oleh pemerintah pusat dan Pemerintah Daerah dapat menuntaskan permasalahan kesehatan dan ekonomi dampak Covid-19.

    d.

    Sesuai ketentuan Pasal 8 UU Pemda, telah diatur bahwa pembinaan dan pengawasan terhadap urusan penyelenggaraan pemerintahan oleh daerah dikoordinasikan oleh Menteri Dalam Negeri. Hal tersebut dapat menjadi landasan Kementerian Dalam Negeri untuk memberikan petunjuk/pedoman tentang keuangan daerah kepada Pemerintah Daerah agar penggunaan realokasil refocusing seragam dan terarah bagi seluruh daerah. Sebagaimana telah diatur dalam Pasal 280 UU Pemda, dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang diserahkan dan/atau ditugaskan, penyelenggara pemerintahan daerah memiliki kewajiban dalam pengelolaan keuangan daerah antara lain meliputi sinkronisasi pencapaian sasaran program daerah dalam APBD dengan program pemerintah pusat.

    e.

    Sejalan dengan hal tersebut, guna mencapai penanganan yang bersifat holistik dan terpadu atas pandemi Covid-19 dan dampaknya, maka diperlukan pula peran daerah melalui APBD. Untuk itu, Pemerintah Daerah diberikan kewenangan untuk melakukan refocusing, perubahan alokasi dan penggunaan APBD. Dalam rangka memberikan pedoman/ guidance kepada Pemerintah Daerah, maka Kemendagri telah menerbitkan Permendagri Nomor 39 Tahun 2020 tentang Pengutamaan 136 Penggunaan Alokasi Anggaran Untuk Kegiatan Tertentu, Perubahan Alokasi dan Penggunaan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah yang mengatur ketentuan umum dan teknis pelaksanaan refocusing, perubahan alokasi, dan penggunaan APBD untuk penanganan pandemi Covid-19 beserta dampaknya di daerah. Dengan demikian, Permendagri tersebut tidak akan mendikte Pemerintah Daerah dalam melakukan refocusing, perubahan alokasi dan penggunaan APBD, melainkan sebatas memberikan petunjuk dan menciptakan keseragaman tindak lanjut kedaruratan dalam melakukan refocusing guna mencapai tujuan nasional. Selain itu, dengan tidak diajukannya pengujian ketentuan Pasal 3 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 oleh Pemohon, maka Pemohon telah menyadari dan rnernahami bahwa pemberian kewenangan kepada daerah untuk melakukan refocusing, perubahan alokasi, dan penggunaan APBD, merupakan kebijakan yang penting dan diperlukan Pemerintah Daerah dalam penanganan dampak Covid-19.

    7.

    Pandangan DPR Terhadap Materi Muatan mengenai “Kebijakan Di Bidang Perpajakan dan Kepabeanan” sebagaimana diatur dalam UU a quo a. Terkait dengan perpajakan, Kementerian keuangan telah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 34/PMK.04/2020 tentang Pemberian Fasilitas Kepabeanan Dan/Atau Cukai Serta Perpajakan Atas Impor Barang Untuk Keperluan Penanganan pandemi Covid-19 sebagaimana telah diubah dengan PMK 83/PMK.04/2020 dengan pertimbangan untuk percepatan pelayanan dalam pemberian fasilitas fiskal atas impor barang yang diperlukan dalarn penanganan pandemi Covid-19, perlu mengatur ketentuan mengenai perlakuan kepabeanan dan/atau cukai serta perpajakan atas impor barang yang diperlukan dalam penanganan pandemi Covid-19. Dalam PMK tersebut diatur atas impor barang untuk keperluan penanganan pandemi Covid-19 diberikan fasilitas kepabeanan dan/atau cukai serta perpajakan berupa: a) pembebasan bea masuk dan/atau cukai; b) tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah; dan c) dibebaskan dari pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22. 137 terhadap jenis barang yang tercantum dalam Lampiran Huruf A PMK tersebut yang dapat dilakukan melalui pusat logistik berikat.

    b.

    Pengaturan Pasal 10 lampiran UU 2/2020 ini tidak bertentangan dengan Pasal 25 dan Pasal 26 UU Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan yang telah diubah dengan UU Nomor 17 Tahun 2006 (UU Kepabeanan). Pengaturan perubahan ketentuan Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26 ayat (1) UU Kepabeanan tersebut dalam rangka penanganan Covid-19 ini tentukan diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan tentu tidak dapat serta merta dianggap kesalahan karena anggapan para Pemohon bahwa ketentuan dalam UU tidak dapat diubah melalui peraturan perundang-undangan yang tidak setara. Hal ini dilakukan karena apa yang terjadi dan butuh penanganan cepat tidak sesuai dan tidak termasuk dalam pengaturan dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26 ayat (1) UU Kepabeanan. Barang- barang tersebut tidak termasuk barang yang dipergunakan untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak termasuk obat-obatan yang pengadaannya menggunakan anggaran keuangan negara.

    c.

    Perubahan ketentuan Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26 ayat (1) UU Kepabeanan tersebut dengan UU perubahan tentu akan memerlukan waktu yang lama mengingat prosedur penyusunan UU beserta tahapan- tahapannya tidak dapat dilakukan dalam waktu singkat. Penentuan ini juga tentunya memperhatikan pengaturan yang ada dalam Pasal 25 ayat (3) UU Kepabeanan yang menyatakan “Ketentuan tentang pembebasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri” dan Pasal 26 ayat (3) UU Kepabeanan yang menyatakan “Ketentuan mengenai pembebasan atau keringanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan Menteri”. Sejalan dengan adanya amanat pengaturan peraturan pelaksanaan UU sebagaimana dalam Pasal 25 ayat (3) dan Pasal 26 ayat (3) UU Kepabeanan, maka hal ini jelas ditujukan untuk simplifikasi proses dalam kondisi yang genting, yang sudah jelas tidak berarti bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 sebagaimana yang telah didalilkan oleh para Pemohon perkara 37. 138 d. Tidak adanya pernyataan Presiden bahwa negara dalam kondisi krisis sehingga tidak diperlukan adanya program stabilitasi perekonomian dan keuangan nasional termasuk pengurangan pajak dan bea masuk barang impor sebagaimana yang dinyatakan para Pemohon perkara 42, hal tersebut tidaklah benar. Dalam berbagai pidatonya, Presiden, DPR dan Menteri keuangan berulang kali menyampaikan kondisi perekonomian nasional dan kekhawatiran apabila tidak dilakukan upaya penanganan segera tanpa perlu menyatakan “Indonesia dalam keadaan krisis” pun keadaan tersebut dirasakan oleh masyarakat secara luas khususnya setelah adanya pandemi Covid-19. Pengurangan pajak dilakukan karena pajak dipungut dari warga negara dan kondisi perekonomian nasional sedang tidak dalam keadaan baik. Hal ini justru akan membebani masyarakat apabila tidak dilakukan pengurangan pajak. Selain itu, kebijakan terkait bea masuk barang impor tidak diberlakukan pada seluruh objek bea masuk melainkan pada alat-alat kesehatan dan obat-obatan yang dibutuhkan oleh masyarakat dalam rangka penanganan pandemi Covid-19. Oleh karenanya, pengaturan dan pengawasan pengelolaan keuangan negara selama masa pandemi Covid-19 ini terlapor secara jelas kepada DPR dan dilaksanakan sesuai dengan asas-asas pengelolaan keuangan negara dan asas-asas umum penyelenggaraan pemerintahan yang baik.

    e.

    Bahwa terkait dalil para Pemohon perkara 37 yang menyatakan bahwa pemberian keringanan pajak tanpa dibarengi dengan adanya larangan PHK tidaklah tepat. DPR menerangkan bahwa pelarangan PHK tidak dapat diberlakukan oleh Pemerintah mengingat kondisi keuangan setiap perusahaan tidak sama satu sama lain berikut besar skalanya. Keringanan pajak tersebut diberikan dengan harapan mampu menstimulus perkembangan perusahaan sehingga besarnyapun tidak akan sama bagi setiap perusahaan tergantung pada skala perusahaan dan bidang usaha perusahaan tersebut. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) mengatur bahwa Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan perintah. Dalam UU Ketenagakerjaan tersebut telah diatur mengenai pemutusan 139 hubungan kerja dan adanya perjanjian kerja. Selain itu, ketenagakerjaan merupakan hubungan perdata antara pekerja dan pemberi kerja/pengusaha.

    f.

    Bahwa terkait dalil para Pemohon perkara 37 mengenai pajak untuk perdagangan melalui sistem elektronik tidak memenuhi unsur kegentingan yang memaksa dan seharusnya diatur dalam undang-undang, DPR menerangkan bahwa:

    1)

    Langkah-langkah pencegahan yang relatif ketat untuk membatasi meluasnya penyebaran pandemi Covid-19 menyebabkan turunnya permintaan atas produk nasional. Dampak selanjutnya, banyak perusahaan yang mengalami kesulitan cash flow sehingga menurunkan kemampuan dalam membayar pajak. Akibatnya, penerimaan perpajakan seperti PPh Badan mengalami penurunan secara signifikan. Berkurangnya aktivitas perdagangan internasional secara signifikan juga mengakibatkan turunnya penerimaan pajak dari impor dan bea masuk. Selain itu, penerimaan perpajakan juga mengalami tekanan dari turunnya harga minyak dunia, bahan mineral, dan CPO yang merupakan komponen penting dalam menghitung PPh migas dan bea keluar. Kinerja penerimaan perpajakan diperkirakan akan melemah pada tahun 2020 dengan tax ratio berpotensi berada di bawah 9 persen, terendah dalam dua dekade terakhir.

    2)

    Menghadapi kondisi perekonomian dan pandemi Covid-19, kebijakan dan strategi perpajakan jangka menengah ditujukan untuk mendorong percepatan pemulihan ekonomi nasional pasca pandemi Covid-19 dan meningkatkan pendapatan negara. Di tengah ketidakpastian akan akhir dari pandemi Covid-19, dukungan terhadap dunia usaha mutlak diperlukan dalam rangka memitigasi dampak ekonomi yang timbul dan mendorong percepatan pemulihan ekonomi nasional. Untuk itu, langkah reformasi perpajakan yang pertama dilakukan adalah dengan memberikan relaksasi perpajakan kepada dunia usaha. Relaksasi perpajakan tersebut dimaksudkan untuk mengurangi beban kegiatan usaha dan membantu meningkatkan kondisi cash flow perusahaan, khususnya selama dan pasca pendemi Covid-19. Perusahaan dapat menggunakan pengurangan atau pembebasan pajak untuk menutupi 140 kenaikan harga bahan input maupun penurunan penjualan sehingga tetap beroperasi secara normal. Efek selanjutnya adalah perusahaan diharapkan tidak melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sehingga karyawan mempunyai gaji untuk memenuhi kebutuhan hidup. Pada gilirannya hal tersebut akan kembali menggairahkan perekonomian nasional, baik dari sisi produksi maupun sisi konsumsi. Melalui penurunan tarif PPh badan, pembebasan PPh impor dan bea masuk sektor tertentu, serta berbagai fasilitas perpajakan lainnya, Pemerintah juga bermaksud meningkatkan daya saing guna mendorong aktivitas investasi sehingga dapat memacu pertumbuhan ekonomi nasional.

    3)

    Dalam rangka meningkatkan pendapatan negara, khususnya penerimaan perpajakan, Pemerintah melakukan upaya perluasan basis pemajakan dan perbaikan administrasi perpajakan. Penambahan objek pajak baru yang dipungut oleh Negara sangat diperlukan dalam rangka meningkatkan tax ratio . Sebagai tahap awal, Pemerintah akan memungut pajak atas Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) atau yang lebih popular dengan sebutan e-commerce . Dalam beberapa tahun terakhir, transaksi online berkembang begitu cepat dan berpotensi menggantikan pasar konvensional. Selain menjadi sumber pendapatan Negara, pemungutan pajak terhadap sektor PMSE juga dimaksudkan untuk memastikan terpenuhinya prinsip pemajakan yang berkeadilan ( fairness) antara semua pelaku usaha dan menciptakan level of playing field yang sama bagi pengusaha di dalam negeri untuk bertahan dan meningkatkan daya saingnya di tengah pandemi Covid-19. Selama ini, pelaku usaha ekonomi digital luar negeri mendapatkan penghasilan secara signifikan dari Indonesia tanpa perlu membayar pajak di Indonesia. Untuk itu, pemajakan atas PMSE diharapkan mampu menjadi sumber penting pendapatan negara mengingat nilai transaksinya yang besar di masa yang akan datang. Dengan demikian, pengaturan objek pajak baru dan mekanisme mekanisme peningkatan efektivitas pajak menjadi hal yang harus dilakukan untuk memenuhi kebutuhan belanja negara yang semakin tinggi dengan kondisi pemasukan negara yang tidak mencukupi. 141 4) Apabila pemajakan terhadap PMSE tidak segera diterapkan di Indonesia maka terjadi kekosongan hukum dan menjadi loopholes untuk penghindaran dan pengelakan pajak yang menyebabkan hilangnya potensi penerimaan pajak. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa akan memerlukan waktu yang cukup lama, apalagi di tengah pandemi Covid-19. Dengan demikian, kebijakan pemajakan PMSE dalam Lampiran UU 2/2020 sangat diperlukan sebagai dasar legal formal pemajakan atas PMSE. Dalam pelaksanaan PMSE tersebut, Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 48/PMK.03/2020 tentang Tata Cara Penunjukan Pemungut, Pemungutan, Dan Penyetoran, Serta Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai Atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud Dan/Atau Jasa Kena Pajak Dari Luar Daerah Pabean Di Dalam Daerah Pabean Melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik. Peraturan tersebut tentunya tidak lepas dari pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2009 dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009. Maka dengan diaturnya PSME dalam Perppu 1/2020 yang keberlakuannya setara dengan Undang-Undang dan telah ditetapkan sebagai Undang- Undang melalui UU 2/2020, maka dalil para Pemohon Perkara 37 mengenai PSME harus diatur dalam undang-undang menjadi tidak beralasan menurut hukum.

    8.

    Pandangan DPR Terhadap Keterbukaan Pemerintah Terhadap Pelaksanaan Kebijakan Keuangan Negara Sebagaimana Diatur dalam Ketentuan UU a quo .

    a.

    Setiap penyelenggara negara wajib mengelola keuangan negara secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Pengelolaan dimaksud dalam UU Keuangan Negara 142 mencakup keseluruhan kegiatan perencanaan, penguasaan, penggunaan, pengawasan, dan pertanggung-jawaban. Oleh karenanya, APBN, perubahan APBN, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN setiap tahun ditetapkan dengan undang-undang. Sedangkan APBD, perubahan APBD, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD setiap tahun ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

    b.

    Dengan ditetapkannya APBN, Perubahan APBN berikut pertanggungjawaban pelaksanaan APBN dalam Undang-Undang dan APBD, perubahan APBD berikut pertangungjawaban pelaksanaan APBD dalam Peraturan daerah, maka berlakulah fiksi hukum dalam masyarakat. Asas Fiksi Hukum beranggapan bahwa ketika suatu peraturan perundang- undangan telah diundangkan maka pada saat itu setiap orang dianggap tahu ( presumption iures de iure ) dan ketentuan tersebut berlaku mengikat sehingga ketidaktahuan seseorang akan hukum tidak dapat membebaskan/memaafkannya dari tuntutan hukum ( ignorantia jurist non excusat ). Keberadaan asas fiksi hukum, telah dinormakan di dalam Penjelasan Pasal 81 ketentuan UU 12/2011 yakni "Dengan diundangkannya Peraturan Perundang-undangan dalam lembaran resmi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini, setiap orang dianggap telah mengetahuinya". Adapun lembaran resmi yang dimaksud di dalam ketentuan Pasal 81 terdiri dari 7 jenis yakni a. Lembaran Negara Republik Indonesia, b.Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, c.Berita Negara Republik Indonesia, d. Tambahan Berita Negara Republik Indonesia, e.Lembaran Daerah, f. Tambahan Lembaran Daerah, atau g. Berita Daerah.

    c.

    Dalam rangka akuntabilitas pengelolaan keuangan negara menteri/ pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota selaku pengguna anggaran/ pengguna barang bertanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan yang ditetapkan dalam Undang-undang tentang APBN/Peraturan Daerah tentang APBD, dari segi manfaat/hasil ( outcome ). Sedangkan Pimpinan unit organisasi kementerian negara/lembaga bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan yang ditetapkan dalam undang-undang tentang APBN, demikian pula Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan yang ditetapkan dalam Peraturan 143 Daerah tentang APBD, dari segi barang dan/atau jasa yang disediakan ( output ).

    d.

    Oleh karena itu, dalam UU Perbendaharaan Negara diatur sanksi yang berlaku bagi menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota, serta Pimpinan unit organisasi kementerian negara/lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah yang terbukti melakukan penyimpangan kebijakan/kegiatan yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang tentang APBN/Peraturan Daerah tentang APBD. Ketentuan sanksi tersebut dimaksudkan sebagai upaya preventif dan represif, serta berfungsi sebagai jaminan atas ditaatinya Undang-undang tentang APBN/Peraturan Daerah tentang APBD yang bersangkutan. Selain itu perlu ditegaskan prinsip yang berlaku universal bahwa barang siapa yang diberi wewenang untuk menerima, menyimpan dan membayar atau menyerahkan uang, surat berharga atau barang milik negara bertanggungjawab secara pribadi atas semua kekurangan yang terjadi dalam pengurusannya. Kewajiban untuk mengganti kerugian keuangan negara oleh para pengelola keuangan negara dimaksud merupakan unsur pengendalian intern yang andal.

    e.

    Anggapan para Pemohon perkara 42 dan para Pemohon perkara 43 atas tidak terjadinya krisis perekonomian karena tidak adanya pernyataan dari Presiden terkait kondisi tersebut, hal ini sungguh tidak beralasan menurut hukum dan justru menunjukkan sikap ketidakpedulian para Pemohon perkara 42 dan para Pemohon perkara 43 atas kondisi negara dan kondisi yang ada dalam masyarakat secara umum. Dengan perkembangan teknologi dan akses berita yang mudah dan luas sekarang ini, informasi mengenai keuangan negara dapat diakses dengan mudah. Hal ini merupakan wujud transparansi pengelolaan keuangan negara karena keuangan negara menyangkut kepentingan publik.

    f.

    Dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dijelaskan bahwa Informasi Publik adalah informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan/atau diterima oleh suatu badan publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara dan/atau penyelenggara dan penyelenggaraan badan publik lainnya yang sesuai dengan Undang-Undang ini serta informasi lain yang 144 berkaitan dengan kepentingan publik. Salah satu asas dalam UU tersebut adalah bahwa setiap Informasi Publik bersifat terbuka dan dapat diakses oleh setiap Pengguna Informasi Publik, kecuali terdapat ketentuan pengecualiannya. Informasi Publik yang dikecualikan bersifat rahasia sesuai dengan undang-undang, kepatutan, dan kepentingan umum didasarkan pada pengujian tentang konsekuensi yang timbul apabila suatu informasi diberikan kepada masyarakat serta setelah dipertimbangkan dengan saksama bahwa menutup Informasi Publik dapat melindungi kepentingan yang lebih besar daripada membukanya atau sebaliknya. Dalam hal ini, keuangan negara merupakan informasi yang tidak dikecualikan dan dengan jelas diatur adanya mekanisme-mekanisme penyampaian informasi keuangan negara dalam UU Keuangan Negara.

    9.

    Pandangan DPR terkait penambahan kewenangan terhadap OJK sebagaimana diatur dalam UU a quo a. Setidaknya terdapat tiga kewenangan OJK dalam UU a quo . Salah satu amanat dari UU 2/2020 seperti yang tercantum dalam Pasal 23 ayat (1) yaitu memberi kewenangan dan pelaksanaan kebijakan OJK untuk memberikan perintah tertulis kepada lembaga jasa keuangan melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, integrasi dan/atau konversi. Langkah tersebut dapat dilakukan apabila diperlukan untuk mengantisipasi krisis jasa keuangan yang dapat membahayakan perekonomian nasional. Dalam menghadapi kondisi penuh risiko saat ini akibat Covid-19 maka daya tahan lembaga jasa keuangan sangat dibutuhkan khususnya dari sisi permodalan. Sehingga, salah satu cara untuk memperkuat daya tahan lembaga jasa keuangan tersebut dilakukan dengan cara penggabungan atau merger. Aksi merger tersebut diperlukan karena terdapat risiko besar akibat Covid-19 yang mengganggu kemampuan pembayaran perusahaan jasa keuangan khususnya perbankan, meskipun saat ini perbankan tetap masih membayarkan bunga deposito kepada nasabah tepat waktu. Di sisi lain, kemampuan membayar debitur atau peminjam dalam kondisi tidak stabil karena perlambatan ekonomi di berbagai sektor. Sehingga, aksi merger tersebut diharapkan dapat memperkuat daya tahan perusahaan jasa keuangan. 145 b. Otoritas Jasa Keuangan mengeluarkan berbagai kebijakan stimulus untuk mengantisipasi dampak pandemi Covid-19 di bidang lembaga jasa keuangan. Sejauh ini, setidaknya OJK telah menerbitkan lima Peraturan OJK (POJK) pada 21 April 2020 sebagai tindak lanjut kewenangan OJK dalam pelaksanaan UU 2/2020 Kebijakan stimulus ini salah satunya adalah Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Corona Virus Disease 2019.

    c.

    Kekhawatiran para Pemohon perkara 37 dan para Pemohon perkara 42 terkait potensi kesewenang-wenangan OJK dalam melaksanakan kewenangannya yang diberikan oleh UU 2/2020 tentunya telah diantisipasi oleh Pemerintah dan OJK dengan adanya pedoman pelaksanaan kewenangan-kewenangan tersebut. Selain itu, bagi OJK selaku pelaksana kewenangan yang diberikan oleh UU 2/2020 juga berlaku ketentuan Asas- Asas Umum Pemerintahan yang Baik sebagaimana diatur dalam UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dan UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.

    10.

    Pandangan DPR terkait pinjaman kepada LPS sebagaimana diatur dalam UU a quo a. Ketentuan Pasal 2 ayat (3) UU LPS, LPS merupakan lembaga yang independen. Sesuai ketentuan tersebut, telah jelas bahwa kedudukan LPS merupakan lembaga independen, bukan merupakan lembaga yang berada di bawah pemerintah. Pemberian kewenangan kepada LPS sebagaimana yang tercantum dalam Lampiran UU 2/2020, pada prinsipnya merupakan kewenangan yang telah diberikan oleh UU LPS, UU OJK , dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (UU PPKSK). Kewenangan yang diberikan kepada LPS sesuai Pasal 20 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 sifatnya lebih mempertegas guna mendukung pelaksanaan fungsi LPS dalam kondisi adanya pandemi Covid-19 dan/atau adanya ancaman perekonomian dan/atau stabilitas sistem keuangan. Kewenangan tersebut sudah jelas melekat dan seharusnya diberikan kepada LPS untuk dapat melaksanakan fungsi LPS sebagaimana diatur dalam UU LPS, yaitu menjamin simpanan nasabah penyimpan dan menjaga stabilitas sistem 146 perbankan. Pemberian kewenangan bagi LPS untuk melaksanakan langkah-langkah penanganan permasalahan stabilitas sistem keuangan juga diiringi dengan wewenang bagi Pemerintah untuk mengatur lebih lanjut pelaksanaan kewenangan tersebut dalam Peraturan Pemerintah [vide Pasal 20 ayat (2) Lampira n UU 2/2020]. Adanya atribusi dan mandat untuk melakukan pengaturan dalam peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dimaksudkan untuk memberikan koridor dalam pelaksanaan kewenangan LPS. Hal tersebut dimaksudkan selain untuk memberikan kepastian hukum, juga untuk menghindari LPS menginterpretasikan kewenangan yang diberikan dalam Lampiran UU 2/2020 secara luas yang dapat mengakibatkan penyalahgunaan wewenang.

    b.

    Berdasarkan UU LPS, fungsi LPS adalah menjamin simpanan nasabah di bank dan turut aktif memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai kewenangannya. Berdasaran ketentuan dalam Pasal 85 ayat (1) UU LPS, dalam hal modal LPS menjadi kurang dari modal awal, Pemerintah dengan persetujuan DPR menutup kekurangan tersebut. Modal awal LPS ditetapkan sekurang-kurangnya Rp 4 triliun dan sebesar-besarnya Rp 8 triliun.

    c.

    UU 2/2020 memberikan kewenangan kepada LPS yang di antaranya adalah melakukan pemeriksaan penanganan dan peningkatan intensitas persiapan Penanganan Bank bersama OJK dan melakukan pemilihan cara penanganan Bank Selain Bank Sistemik yang dinyatakan sebagai Bank Gagal dengan tidak hanya mempertimbangkan perkiraan biaya yang paling rendah ( least cost test ), tetapi juga mempertimbangkan kondisi perekonomian, kompleksitas permasalahan perbankan, kebutuhan waktu penanganan, ketersediaan investor, dan/atau efektivitas penanganan permasalahan Bank.

    d.

    Sehubungan dengan kewenangan tersebut, UU 2/2020 mendelegasikan pengaturan kewenangan dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kewenangan LPS dalam Rangka Melaksanakan Langkah-Langkah Penanganan Permasalahan Stabilitas Sistem Keuangan. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah tersebut, LPS melakukan pemeriksaan bersama dalam rangka persiapan Penanganan 147 Bank dan peningkatan intensitas persiapan Penanganan Bank serta melakukan pemilihan cara penanganan Bank Selain Bank Sistemik yang dinyatakan sebagai Bank Gagal.

    e.

    Berdasarkan kewenangan dimaksud, dalam hal terdapat Bank yang mengalami permasalahan solvabilitas, LPS melakukan pemeriksaan bersama dengan OJK untuk penanganan permasalahan solvabilitas Bank. Disamping itu, selama pemulihan ekonomi sebagai akibat pandemi Covid-19, LPS dapat melakukan penempatan dana pada Bank untuk mengelola dan/atau meningkatkan likuiditas LPS dan/atau mengantisipasi dan/atau melakukan penanganan permasalahan Stabilitas Sistem Keuangan yang dapat menyebabkan terjadinya kegagalan Bank sebagai bagian dari tindakan antisipasi ( forward looking ) LPS untuk menjaga Stabilitas Sistem Keuangan.

    f.

    Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan Nomor 3 Tahun 2020 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kewenangan Lembaga Penjamin Simpanan Dalam Rangka Melaksanakan Langkah-Langkah Penanganan Permasalahan Stabilitas Sistem Keuangan, juga mengatur bahwa untuk penanganan pandemi Covid-19 untuk mengelola dan/atau meningkatkan likuiditas LPS dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan, LPS dalam rangka pengambilan keputusan untuk melakukan penanganan Bank Selain Bank Sistemik yang dinyatakan sebagai Bank Gagal oleh OJK, tidak hanya mempertimbangkan perkiraan biaya yang paling rendah ( least cost test ) tetapi juga dengan mempertimbangkan kondisi perekonomian, kompleksitas permasalahan bank, kebutuhan waktu penanganan, ketersediaan investor, dan/atau efektivitas dalam rangka penanganan permasalahan bank.

    g.

    Berdasarkan ketentuan dalam lampiran UU 2/2020, LPS dapat menaikkan nilai penjaminan simpanan dari saat ini Rp2 miliar per rekening untuk menjamin adanya kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan. LPS juga bisa menambah pembiayaan dengan menerbitkan surat utang. Penambahan pendanaan ini bertujuan untuk membantu LPS apabila mengalami kesulitan likuiditas dalam menangani bank gagal. 148 Pembiayaan dari surat utang merupakan salah satu opsi yang dapat dilakukan LPS untuk menjalankan fungsi penjaminan simpanan maupun penanganan bank berdampak sistemik. Selama ini, LPS mendapatkan pembiayaan dari premi yang dibayarkan dari bank sebesar 0,2 persen per tahun dari rata-rata simpanan. LPS juga bisa mendapatkan biaya dari penanganan bank gagal serta memperoleh pinjaman dari pemerintah apabila modal sudah berada di bawah Rp4 triliun.

    h.

    Resiko pembiayaan yang dikeluarkan untuk stabilitas kondisi perekonomian dan keuangan nasional salah satunya adalah kewajiban kontinjensi pemerintah pusat. Kewajiban kontinjensi merupakan kewajiban potensial bagi Pemerintah yang timbul akibat adanya peristiwa masa lalu dan keberadaannya menjadi pasti dengan terjadinya atau tidak terjadinya suatu peristiwa ( event ), yang tidak sepenuhnya. berada dalam kendali Pemerintah. Kewajiban kontinjensi bersumber dari pemberian dukungan dan/atau jaminan pemerintah atas proyek-proyek infrastruktur; program jaminan sosial nasional; kewajiban Pemerintah untuk menambahkan modal jika modal lembaga keuangan, yaitu Bank Indonesia (BI), Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), dan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI), di bawah jumlah yang diatur dalam Undang-Undang; dan tuntutan hukum kepada Pemerintah.

    i.

    Berbagai opsi pendanaan tambahan ini diperlukan untuk memberikan kepercayaan kepada masyarakat sehingga persoalan solvabilitas bank dapat selesai dengan baik. Oleh karenanya, LPS harus menentramkan masyarakat bahwa dana mereka aman dan mampu memulihkan fungsi intermediasi perbankan. Dengan demikian, kekhawatiran yang didalilkan para Pemohon perkara 42 dalam permohonannya menjadi hal yang tidak benar karena dalam pelaksanaan pemberian pinjaman terhadap LPS jelas akan dikonsultasikan dengan DPR dan keberadaan pengaturan tersebut adalah salah satu upaya yang terbuka bagi pemerintah apabila kondisi perbankan nasional memburuk.

    j.

    Pengaturan dalam Pasal 20 ayat (1) huruf b UU 2/2020 yang menyatakan bahwa LPS diberikan kewenangan untuk melakukan tindakan (i) penjualan/repo SBN yang dimiliki kepada Bank Indonesia; (ii) penerbitan surat utang; (iii) pinjaman kepada pihak lain; dan/atau (iv) pinjaman 149 kepada Pemerintah, dalam hal LPS diperkirakan akan mengalami kesulitan likuiditas untuk penanganan Bank Gagal, selain memberikan alternatif sumber pendanaan bagi LPS yang berlaku, baik untuk Bank Sistemik dan Bank Selain Bank Sistemik juga diharapkan dapat memberikan waktu yang cukup bagi LPS dalam mempersiapkan sumber dana tersebut sebelum terdapat Bank Gagal. Transaksi antara LPS dengan Bl sebagai salah satu langkah untuk pemenuhan likuiditas LPS yang diperluas sehingga LPS selain dapat melakukan penjualan SBN miliknya, juga dapat melakukan transaksi Repo. Selain penjualan dan/atau repo kepada Bl, LPS juga mempunyai alternatif pendanaan berupa pinjaman kepada pihak lain yang dimaksudkan untuk menjaring pihak-pihak (dalam dan/atau luar negeri) yang mempunyai kemampuan pendanaan sehingga tersedia alternatif pendanaan yang lebih luas bagi LPS. Pinjaman LPS dari pihak lain merupakan salah satu opsi untuk menjaga likuiditas sehingga pemanfaatan dana tersebut untuk melaksanakan tugas dan fungsi LPS sebagai lembaga resolusi perbankan dalam hal terdapat Bank Gagal sesuai tata kelola yang diatur dalarn UU LPS.

    11.

    Pandangan DPR terkait dalil para Pemohon mengenai adanya hak imunitas bagi pelaksana kebijakan keuangan dan kerugian yang timbul dari pelaksanaan UU a quo bukan merupakan kerugian negara berdasarkan UU a quo adalah sebagai berikut a. Bahwa dukungan pembiayaan anggaran untuk penanganan Covid-19 yang besar adalah dalam rangka mendukung Program Pemulihan Ekonomi Nasional. Rincian kebutuhan anggaran ini berdampak pada sisi belanja dan juga pendapatan negara dalam APBN 2020. Biaya yang dikeluarkan pemerintah ini adalah biaya ekonomi yang bertujuan untuk penyelamatan negara dari krisis dan tidak bisa dianggap sebagai merupakan kerugian negara. APBN sebagai alat untuk mencapai tujuan negara, digunakan sepenuhnya untuk kepentingan rakyat. Ketika keadaan mendesak dan darurat, maka APBN sebagai alat tersebut dapat disesuaikan penggunaannya untuk menjadi penolong keselamatan negara. Biaya yang dikeluarkan ini disadari tidak akan sepenuhnya kembali dan juga hilangnya potensi penerimaan negara, namun di sisi lain 150 telah timbul manfaat yang lebih besar yaitu pulihnya perekonomian dan dunia usaha sehingga dapat menyelamatkan ekonomi Indonesia. Sehingga biaya yang dikeluarkan tidak bisa disebut sebagai kerugian negara.

    b.

    Biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah ini adalah biaya ekonomi yang bertujuan untuk penyelamatan negara dari krisis dan tidak bisa dianggap sebagai merupakan kerugian negara. APBN sebagai alat untuk mencapai tujuan negara, digunakan sepenuhnya untuk kepentingan rakyat. Ketika keadaan mendesak dan darurat, maka APBN sebagai alat tersebut dapat disesuaikan penggunaanya untuk menjadi penolong keselamatan negara. Biaya yang dikeluarkan ini disadari tidak akan sepenuhnya kembali dan juga hilangnya penerimaan negara, namun di sisi lain telah menimbulkan manfaat yang lebih besar yaitu pulihnya perekonomian dan dunia usaha sehingga dapat menyelamatkan ekonomi Indonesia. Sehingga biaya yang dikeluarkan tidak bisa disebut sebagai kerugian negara. Penggunaan biaya ekonomi ini lah yang disebutkan dalam Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 yang dimaksudkan untuk penyelamatan perekonomian dari krisis sehingga bukan merupakan kerugian negara.

    c.

    Mengutip Pendapat Dr. Dian Puji Nugraha Simatupang dalam tulisannya yang berjudul “Ekuilibrium Kebijakan Keuangan Negara Menghadapi Keadaan Negara Darurat Akibat Penyebaran Covid-19 Dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020”: “Biaya yang telah dialokasikan UU APBN dan/atau realisasi keuangan pemerintah untuk keadaan darurat tidaklah dapat dikategorikan sebagai kerugian negara dengan alasan : Pertama, biaya tersebut dialokasikan dalam UU APBN dan/atau laporan realisasi anggaran sebagai dasar hukum pengeluaran uang sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 2004 j.o. Pasal 27 ayat (4) UU Nomor 17 Tahun 2003; Kedua, biaya tersebut dikeluarkan untuk memenuhi kewajiban pemerintah untuk melindungi segenap tumpah darah rakyat Indonesia atau memenuhi asas kemanfaatan umum (doelmatigheid), dan untuk menghindari situasi dan keadaan yang lebih membahayakan keuangan negara dan perekonomian secara keseluruhan; Ketiga , biaya tersebut tetap diukur dalam satuan yang dikendalikan dan ditetapkan pedomannya oleh pemerintah dengan memperhatikan masukan dari lembaga terkait yang relevan untuk melakukan pengawasan intern. Menyangkut norma dalam Pasal 27 ayat (1) Perpu Nomor 1 Tahun 2020 hakikatnya dimaknai sebagai biaya sebagai sebab terjadinya keadaan darurat uang mempengaruhi stabilitas keuangan negara dan perekonomian nasional. Dalam 151 hukum keuangan publik, hal demikian merupakan biaya resiko yang harus dibebankan ke dalam UU APBN untuk maksud mewujudkan tujuan negara, yaitu melindungi segenap tumpah darah Indonesia. Biaya dalam keadaan darurat merupakan konsekuensi logis dalam upaya mewujudkan tindakan kepemerintahan yang cepat dan luar biasa diperlukan dalam kondisi yang tidak sempurna. Kecepatan dan ketepatan pemerintahan dalam penanganan keadaan darurat Covid-19 tidak dapat menggunakan parameter dan indikator yang biasa karena justru tidak prosesual atau tidak memenuhi ekuilibrium kebijakan keuangan publik jika suatu alas fakta yang berbeda menggunakan syarat prosedur yang normal atau kondisi yang sempurna, padahal alas fakta jelas terdapat perbedaan dan situasi yang darurat.” d. Bahwa dalam memaknai ketentuan Pasal 27 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) Lampiran UU 2/2020 tidak dapat dimaknai secara parsial melainkan harus dimaknai sebagai satu kesatuan. Adanya suatu kerugian keuangan negara, penyalah gunaan kewenangan melalui suatu kebijakan maupun produk hukum lain yang dikeluarkan dalam rangka pelaksanaan UU 2/2020 tetap harus dibuktikan secara hukum dengan parameter yang tentunya tidak bisa disamakan dengan apa yang ada dalam keadaan normal. Adanya frasa “iktikad baik” dan “sesuai peraturan perundang- undangan” merupakan batasan koridor pelaksanaan kewenangan dalam penggunaan keuangan negara dan mengeluarkan suatu produk hukum dalam rangka pelaksanaan UU 2/2020.

    e.

    Bahwa dalam perspektif hukum keuangan publik, kerugian negara adalah “kekurangan uang, surat berharga, dan barang yang nyata dan pasti sebagai akibat perbuatan melawan hukum atau kelalaian,” berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 22 UU Perbendaharaan Negara. Artinya disini kerugian Negara tersebut harus dibuktikan sebagai akibat dari suatu perbuatan yang melawan hukum atau karena kelalaian. Biaya yang telah dialokasikan UU APBN dan/atau realisasi keuangan pemerintah untuk keadaan darurat tidaklah dapat dikatagorikan sebagai kerugian negara dengan alasan: a) biaya tersebut dialokasikan dalam UU APBN dan/atau laporan realisasi anggaran sebagai dasar hukum pengeluaran uang sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) UU Perbendaharaan Negara jo. Pasal 27 ayat (4) UU Keuangan Negara; 152 b) biaya tersebut dikeluarkan untuk memenuhi kewajiban pemerintah untuk melindungi segenap tumpah rakyat Indonesia atau memenuhi asas kemanfaatan umum ( doelmatigheid ), dan untuk menghindari situasi dan keadaan yang lebih membahayakan keuangan negara dan perekonomian nasional secara keseluruhan; c) biaya tersebut tetap diukur dalam satuan yang dikendalikan dan ditetapkan pedomannya oleh pemerintah dengan memperhatikan masukan dari lembaga terkait yang relevan untuk melakukan pengawasan intern;

    f.

    Bahwa di samping itu, makna kerugian negara juga berkaitan dengan administrasi pemerintahan karena dengan adanya Pasal 20 Undang- undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016, kerugian negara juga mempunyai relevansi dengan persoalan hukum administrasi negara dalam hal terjadinya kesalahan administrasi. Bahwa biaya dalam keadaan darurat merupakan konsekuensi logis dalam upaya mewujudkan tindakan kepemerintahan yang cepat dan luar biasa diperlukan dalam kondisi yang tidak sempurna. Kecepatan dan ketepatan pemerintahan dalam penanganan keadaan darurat akibat Covid-19 tidak dapat menggunakan parameter dan indikator yang biasa karena tidak justru tidak prosesual atau tidak memenuhi ekuilibrium kebijakan keuangan publik jika suatu alas fakta yang berbeda menggunakan syarat prosedur yang normal atau kondisi yang sempurna, padahal alas fakta jelas terdapat perbedaan dan situasi yang darurat. Di samping itu, biaya tersebut juga akan sampai pada muaranya untuk diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan juga hasilnya disampaikan kepada DPR untuk memperoleh persetujuan berkaitan dengan manfaatnya dalam LKPP. Dengan demikian, proses dan sistem pembiayaan tersebut tetap akuntabel dan memenuhi asas umum pemerintahan yang baik dalam suatu syarat prosedur yang darurat.

    g.

    Bahwa kewenangan BPK sudah sangat tegas diatur dalam Pasal 23E ayat (1) UUD NRI 1945. Dalam ketentuan peraturan perundang-undangan maka BPK juga diatur dalam UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK sesuai dengan fungsi dan kewenangannya serta dikaitkan pula dengan Bab VIII UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang 153 mengatur bahwa pelaksanaan APBN dan APBD diperiksa oleh BPK sebelum akhirnya Presiden/Kepala Daerah menyampaikan RUU/Perda tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBN/APBD kepada DPR/DPRD. Di samping itu, dalam UU a quo harus dipahami dan dicermati bahwa tidak ada satu pun pasal dalam UU a quo yang mengecualikan atau menghalang-halangi fungsi BPK untuk melakukan audit.

    h.

    Bahwa hal demikian kemudian dilaksanakan dengan iktikad baik bagi pejabat administrasi pemerintahan. Dalam hukum administrasi negara, iktikad baik lebih tepat menggunakan istilah asas-asas umum pemerintahan yang baik. Dalam hal ini pejabat administrasi pemerintahan menjalankan tugas dan wewenangnya sesuai dengan alas hukum dan alas fakta secara memadai, serta keputusan dan kebijakan ditetapkan dengan motivasi untuk melindungi kepentingan umum (bestuurzorg). Dengan kondisi demikian, tepat pelaksanaan tindakan kepemerintahan tersebut tidak menjadi objek keputusan tata usaha negara karena peraturan dasarnya telah berubah, tidak pada peraturan dalam keadaan negara normal. Dengan demikian, keputusan tersebut dikecualikan sebagai objek pengadilan tata usaha negara karena validitasnya didasarkan pada peraturan dasar tersendiri yang dibentuk dalam keadaan darurat.

    i.

    Dalam hal masyarakat atau pihak lain mengajukan keberatan dalam keputusan administrasi pemerintahan dalam masa darurat, dapat menggunakan instrumen administrasi pemerintahan itu sendiri, yang kemudian dapat dilakukan penyelesaian menurut Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2016 tentang Pengenaan Sanksi Administrasi bagi Pejabat Administrasi Pemerintahan dan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2016 tentang Pengenaan Ganti Kerugian oleh Pejabat Bukan Bendahara. Dalam hal keberatan tersebut juga masih ada warga masyarakat dapat mengajukan pengaduan ke DPR dalam rangka pengawasan, sehingga DPR dapat menggunakan seluruh hak yang dimilikinya dalam rangka pengawasan eksternal terhadap tindakan administrasi pemerintahan.

    j.

    Konsep iktikad baik tetap meletakkan pada aspek pengambilan keputusan dan kebijakan tidak mengandung unsur suap, paksaan/ancaman, dan tipuan guna menguntungkan secara melawan hukum. Akan tetapi, jika 154 pengambilan keputusan dan kebijakan disebabkan adanya kesalahan administrasi, tuntutan pidana tidak dapat dilakukan. Konsep iktikad baik dalam konsep hukum administrasi negara menurut Safri Nugraha dimaknai sebagai wujud asas umum pemerintahan yang baik di mana pelaksanaan pemerintahan dijalankan dengan prinsip akuntabilitas dan transparansi yang mendorong sistem pemerintahan berjalan dengan sistem yang jelas dan terukur. Dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik, pengelolaan dan pertanggungjawaban wewenang pemerintahan akan sejalan motivasinya yang layak. Hal ini sejalan dengan ketentuan dalam Pasal 50 KUHP disebutkan bahwa: “Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dipidana" Selain itu dalam Pasal 51 ayat (1) KUHP disebutkan bahwa: “Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana”.

    k.

    Mengutip Pendapat Dr. Dian Puji Nugraha Simatupang dalam tulisannya yang berjudul “Ekuilibrium Kebijakan Keuangan Negara Menghadapi Keadaan Negara Darurat Akibat Penyebaran Covid-19 __ Dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020”: “Adanya norma mengesampingkan tuntutan pidana, gugatan perdata, dan tata usaha negara harus dimaknai secara lengkap adanya syarat itikad baik atau asas-asas umum pemerintahan yang baik dalam hukum administrasi negara. Dengan demikian, ada kejelasan mengenai konsep hukum perdata, hukum administrasi, dan hukum pidana dalam konsep pelaksanaan pengambilan keputusan dan kebijakan dalam kondisi darurat agar pejabat administrasi pemerintahan tidak ragu, cepat, tepat, dan akuntabel untuk melindungi segenap tumpah darah Indonesia ” l. Bahwa ketentuan Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 juga bukan merupakan kekebalan absolut karena dalam ketentuan tersebut mereka terdapat parameter “dengan iktikad tidak baik” dan “tidak sesuai peraturan perundang-undangan”. Asas iktikad baik awalnya adalah suatu asas yang berlaku dibidang hukum perjanjian yang kini telah berkembang dan diterima sebagai asas di bidang-bidang atau cabang- cabang hukum yang lain, baik yang sesama keluarga hukum privat maupun yang merupakan bidang hukum publik. Dalam perkembangan hukum, terdapat prinsip-prinsip umum ataupun asas-asas umum yang 155 dijadikan sebagai sumber hukum sekaligus asas yang mendasari pelaksanaan hukum itu sendiri. Oleh karenanya asas iktikad baik yang tadinya merupakan suatu asas hukum khusus kini telah berkembang menjadi suatu asas hukum umum. Selain asas iktikad baik, juga ada frasa “ tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Ini adalah 2 parameter yang bersifat kumulatif. Artinya semua pejabat pemerintah yang menjalankan ketentuan pasal tersebut harus berdasarkan 2 kriteria ini secara kumulatif.

    m.

    Dalam hukum dikenal suatu adagium yang berbunyi “tiada hukum tanpa pengecualian“ atau dalam bahasa belanda dikenal dengan istilah “ geen recht zonder uit zondering ”. Pengecualian dapat dilakukan sepanjang tidak merugikan pihak-pihak yang terkena aturan tersebut karena hukum ditujukan untuk mengayomi dan mensejahterakan masyarakat (Rosjidi Ranggawidjaja, Ilmu Perundang-undangan, CV Mandar Maju). Dalam kaitannya dengan hak Presiden untuk mengeluarkan Perpu yang berisi langkah-langkah yang luar biasa dalam keadaan yang memang tidak normal maka meskipun dalam suatu Perppu ada materi-materi yang dipandang tidak lazim, mengenyampingkan, atau memberlakukan ketentuan bersifat pengecualian dari apa yang telah diatur maka pengecualian itu dapat saja diberlakukan atau dapat diadakan pengecualian sepanjang diatur batasannya dalam Perppu itu sendiri.

    n.

    Adapun frasa “iktikad baik” adalah apabila dalam melaksanakan tugasnya tidak untuk mencari keuntungan bagi diri sendiri, keluarga, kelompok , dan/atau tindakan lain yang berindikasi korupsi, kolusi, dan/atau nepotisme. Bahwa apabila nantinya terbukti itikad baik tersebut dilanggar maka sudah jelas konsekuensinya yaitu mereka harus ditempuh prosedur hukum karena tindakan tersebut mengatur unsur mens rea (adanya niat jahat atau iktikad tidak baik) dan actus reus (perbuatan yang melanggar). Dengan demikian asas equality before the law dan asas kepastian hukum dalam Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945 tetap terjamin.

    o.

    UU 2/2020 tidak melindungi pejabat negara atau tidak memberikan imunitas kepada pejabat negara. Pasal a quo diperlukan karena para pihak tersebut merupakan orang-orang yang mengambil keputusan 156 penting. Mengutip pandangan Misbakhun selaku Anggota Komisi XI DPR RI dalam program Indonesia Lawyers Club (ILC) 21 April 2020: “Penanganan Covid -19 melalui physical distancing merupakan pukulan yang paling berat bagi masyarakat karena tidak dapat melakukan interaksi sosial dan merupakan pukulan berat bagi perekonomian. Dampak dari pandemi Covid-19 yaitu faktor produksi tidak jalan sedangkan permintaan (demand) tetap ada. Kedalaman implikasi Covid-19 terhadap perekonomian sulit diukur karena puncak pandemi Covid-19 belum bisa dipastikan waktunya. Implikasi ekonomi yang ditimbulkan oleh Covid-19 terhadap perekonomian sangat dalam sehingga semua skenario perlu disiapkan untuk menghadapi situasi yang paling buruk. Sebelum pandemi Covid-19 ini terjadi struktur perekonomian Indonesia tidak dalam kondisi yang sehat. Hal ini karena perekonomian Indonesia sedang menghadapi dampak perang dagang antara China dengan Amerika. Permasalahannya dalam situasi seperti ini, negara dalam keadaan yang tidak normal. Dalam keadaan yang tidak normal tersebut jangan berhadap statistik ekonomi menjadi bagus. Sehingga menghadapi keadaan yang tidak normal tersebut juga harus diselesaikan dengan cara yang tidak normal . Pihak yang paling terdampak oleh pandemi Covid-19 adalah pekerja harian/pekerja lepas (informal) yang pemenuhan biaya hidupnya ditentukan oleh aktivitas harian. Jika tidak keluar maka mereka tidak dapat makan. Pihak yang terdampak selanjutnya adalah para pelaku UMKM dan kelompok kelas menengah. Kehadiran negara dibutuhkan baik oleh rakyat jelata, pelaku UMKM, masyarakat kelas menengah, maupun masyarakat kelas atas sehingga negara tidak boleh membeda-bedakan. Aktivitas sektor produksi yang menjadi berhenti mengakibatkan permintaan menjadi terbatas. Pemerintah harus memanfaatkan ruang ketatanegaraan yang tersedia untuk mengatasi situasi ini karena UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara mempunyai keterbatasan. Untuk memulihkan perekonomian akibat Covid-19, Pemerintah perlu dana untuk membiayai program-program pemerintah. Satu-satunya cara Pemerintah harus berhutang jika SAL dan dana lainnya tidak mencukupi. Hutang bukan tujuan, tetapi hanya sebagai cara agar dapat keluar dari masalah ini. Negara lain juga menggunakan cara yang sama. Anggaran yang disediakan Pemerintah untuk menangani pandemi Covid-19 sebesar 405 Triliun atau sekitar 2,75% dari PDB. Hal yang utama bukan negara berhutang tetapi hutang tersebut dimanfaatkan seperti menolong rakyat jelata .” p. Keberadaan Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 dimaksudkan untuk memberikan confidence bagi pihak yang dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya sesuai Lampiran UU 2/2020 telah didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal ini sejalan dengan prinsip hukum imunitas terbatas bagi negara dan/atau perwakilannya, bukan imunitas absolut sehingga melanggar asas keadilan 157 dan kesamaan dalam hukum dan pemerintahan sebagaimana pemahaman para Pemohon. Dari perspektif teori imunitas, perlindungan hukum yang diberikan dalam Pasal 27 ayat (2) termasuk kategori imunitas terbatas. Teori imunitas terbatas ini memberikan perlindungan/imunitas kepada negara dan perwakilannya terhadap upaya hukum pihak lain baik secara pidana ataupun perdata, sepanjang tindakan yang dilakukan memenuhi syarat dalam hal ini harus beriktikad baik dan menjalankan kewenangan serta kebijakannya sesuai peraturan perundang-undangan. Secara a contrario , imunitas tersebut gugur apabila perbuatan yang dilakukan didasarkan atau terdapat niat jahat ( mens rea ) dan perbuatannya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

    q.

    Sampai dengan saat ini sudah ada UU lain yang mengatur perlindungan hukum kepada otoritas yang berwenang dalam pengambilan kebijakan, contohnya: ● Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan. Dalam Pasal 48 ayat (1) UU disebutkan bahwa kecuali terdapat unsur penyalahgunaan wewenang, anggota KSSK dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, BI, OJK dan LPS tidak dapat dituntut, baik secara perdata maupun pidana atas pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang berdasarkan Undang- Undang PPSK. Hal ini untuk melindungi secara hukum kebijakan yang diambil dalam kondisi krisis yang tentu saja tidak bias disamakan dengan kondisi normal. ● Pasal 22 UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak menyebutkan bahwa Menteri, Wakil Menteri, pegawai Kementerian Keuangan, dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengampunan Pajak, tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut, baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Adapun itikad baik dijelaskan apabila dalam melaksanakan tugasnya tidak untuk mencari keuntungan bagi diri sendiri, keluarga, kelompok, dan/atau tindakan lain yang berindikasi korupsi, kolusi, dan/atau nepotisme. 158 ● UU Bank Indonesia disebutkan dalam Pasal 45 yang berbunyi “Gubernur, Deputi Gubernur, dan/atau pejabat Bank Indonesia tidak dapat dihukum karena telah mengambil keputusan atau kebijakan yang sejalan dengan tugas dan wewenangnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini sepanjang dilakukan dengan iktikad baik”. ● UU Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman dalam Pasal 10 menyatakan bahwa “Dalam rangka pelaksanaan tugas dan wewenangnya, Ombudsman tidak dapat ditangkap, ditahan, diinterogasi, dituntut, atau digugat di muka pengadilan”. ● UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat dalam Pasal 16 menyatakan bahwa Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien dalam sidang pengadilan. ● UU MD3 Perlindungan hukum bagi anggota DPR disebutkan dalam Pasal 224 UU ayat (1) yaitu: Anggota DPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis di dalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPR. Oleh karena itu, pengaturan dalam UU mengenai perlindungan hukum bagi pihak yang menjalankan UU bukanlah hal yang baru, dan dapat dibenarkan selama ada pengaturan mengenai batasan atau kriteria tertentu.

    r.

    Dengan demikian, perlindungan hukum dalam ketentuan Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 diperlukan untuk memberikan kepastian hukum kepada para pengambil kebijakan bahwa tindakan dan keputusan yang diambil dengan iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan akan dilindungi oleh hukum. Dengan demikian tidak ada hak warga negara yang ditangguhkan dalam ketentuan Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020. Bahkan Pasal 49 UU PTUN telah memberikan imunitas atau perlindungan hukum dari sengketa di peradilan tata usaha negara atas tindakan dan/atau keputusan pejabat tata usaha negara yang dilakukan dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan 159 Pasal 49 UU PTUN ini menjadi landasan untuk diadopsi dalam Pasal 27 ayat (3) UU 2/2020. Sebagaimana Majelis Hakim maklumi, ketentuan perlindungan hukum pernah beberapa kali dilakukan pengujian konstitusionalitasnya di Mahkamah Konstitusi (UU Advokat dan UU Pengampunan Pajak). Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi terdapat pertimbangan sebagai berikut: “pihak-pihak yang disebut dalam ketentuan a quo memang sudah seharusnya tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut, baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada itikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” Sebagai best practices , standar internasional yang ditetapkan oleh lembaga keuangan internasional ( Financial Stability Board, Basel Committee on Banking Supervision , dan IMF) juga menetapkan adanya pengaturan perlindungan hukum bagi pengambil dan pelaksana kebijakan di bidang sektor keuangan.

    12.

    Pandangan DPR terkait ketentuan UU yang dinyatakan tidak berlaku sepanjang keterkaitan dengan kebijakan keuangan negara untuk penanganan penyebaran Covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan berdasarkan Perppu sebagaimana dimaksud dalam UU a quo .

    a.

    Bahwa pengaturan Pasal 28 lampiran UU 2/2020, telah sesuai dengan ketentuan Lampiran 137 UU 12/2011 yang mengatur bahwa pada umumnya Ketentuan Penutup memuat ketentuan mengenai:

    a.

    penunjukan organ atau alat kelengkapan yang melaksanakan Peraturan Perundang-undangan;

    b.

    nama singkat Peraturan Perundang- undangan;

    c.

    status Peraturan Perundang-undangan yang sudah ada; dan d. saat mulai berlaku Peraturan Perundang-undangan.

    b.

    Bahwa memang benar bahwa sudah ada beberapa undang-undang yang mungkin dapat menjadi payung hukum penyelesaian masalah yang timbul akibat Covid-19. Hanya saja tidak pula dapat disalahkan, apabila dalam pandangan subjektif Presiden, undang-undang yang telah ada tersebut dianggap belum mampu menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi. Kondisi serupa juga pernah terjadi ketika Presiden menerbitkan beberapa 160 Perppu yang lahir karena tidak memadainya Peraturan Perundang- undangan yang ada, yang kemudian menyimpangi/menyatakan tidak berlaku sebagian materi dari beberapa undang-undang misalnya Perppu Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan menyatakan beberapa ketentuan dalam UU tentang Perbankan dan Perpajakan tidak berlaku sepanjang berkaitan dengan pelaksanaan akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan berdasarkan Perppu tersebut.

    c.

    Bahwa dalam beberapa undang-undang yang ada tersebut memang telah mengatur berbagai dasar kebijakan keuangan negara materi muatan undang-undang yang sudah ada belum mengatur mengenai kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan untuk penanganan pandemi Covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Selain itu, beberapa ketentuan yang terdapat dalam undang- undang tersebut hanya dapat diberlakukan jika negara dalam keadaan normal, bukan dalam kegentingan/keadaan yang memaksa. Oleh karena itu, Pasal 28 Lampiran UU 2/2020 ini tidak memberlakukan beberapa ketentuan dalam undang-undang tersebut sepanjang berkaitan dengan kebijakan keuangan negara untuk penanganan penyebaran Covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan berdasarkan UU 2/2020.

    d.

    Bahwa tidak diberlakukannya ketentuan undang-undang yang disebutkan dalam Pasal 28 Lampiran UU 2/2020 selama pemberlakuan UU 2/2020 dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaan peraturan perundang-undangan dan tidak terjadi disharmoni pengaturan karena adanya dua pengaturan yang berbeda yang mengatur hal yang sama.

    13.

    Pandangan DPR terkait penyesuaian mandatory spending dana desa a. Bahwa terkait dengan permasalahan dana desa yang disampaikan oleh para Pemohon perkara 47, ketentuan Pasal 1 ayat (4) huruf b Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Rincian 161 Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020 (PP 72/2020) tetap menetapkan adanya anggaran Transfer ke Daerah dan Dana Desa sebesar Rp763.925.645.050.000 (tujuh ratus enam puluh tiga triliun sembilan ratus dua puluh lima miliar enam ratus empat puluh lima juta lima puluh ribu rupiah), termasuk tambahan belanja untuk penanganan pandemi Covid-19 sebesar Rp5.000.000.000.000 (lima triliun rupiah). Ketentuan Pasal 3 ayat (4) PP 72/2020 menyatakan bahwa rincian anggaran transfer ke daerah dan dana desa tersebut tercantum dalam Lampiran VI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari PP 72/2020. Dalam Lampiran VI.15 mengenai Rincian Dana Desa Menurut Provinsi/ Kabupaten/Kota Tahun Anggaran 2020 menyatakan bahwa seluruh daerah kabupaten Para Pemohon perkara 47 tetap mendapatkan alokasi dana desa . Berdasarkan ketentuan tersebut maka kekhawatiran para Pemohon perkara 47 tidak beralasan menurut hukum karena ketentuan Pasal a quo tidak menyebabkan dana desa dihentikan dan desa Para Pemohon tetap mendapatkan alokasi dari anggaran belanja negara .

    b.

    Bahwa alokasi dari APBN merupakan salah satu sumber pendapatan desa. Berdasarkan ketentuan Pasal 72 ayat (1) UU Desa pendapatan desa bersumber dari pendapatan asli desa, alokasi APBN, bagian dari hasil pajak daerah dan retribusi daerah kabupaten/kota, alokasi dana desa yang merupakan bagian dari dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota, bantuan keuangan dari APBD Provinsi dan APBD Kabupaten/Kota, hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga, dan lain-lain pendapatan desa yang sah. Dengan banyak sumber pendapatan desa tersebut, maka para Pemohon tidak hanya mengandalkan APBN dan memaksimalkan sumber-sumber pendapatan desa lainnya. Dengan upaya yang maksimal tersebut maka pembangunan yang sudah dicanangkan oleh para Pemohon dan perangkat desa dalam musrenbangdes dan RPJM desa untuk kesejahteraan dan kemakmuran warga desa para Pemohon tetap dapat terealisasikan.

    c.

    Bahwa Pemohon perkara 47 telah salah dalam mengartikan Pasal 28 angka 8 UU 2/2020, karena Dana Desa tidak dihentikan paska disahkannya UU 2/2020, hal ini tercantum dalam Peraturan Menteri Desa, 162 Pembangunan Daerah Tertinggal, Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2020 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2020 (Permendes 7/2020), yang pada bagian menimbangnya menyatakan: “bahwa berdasarkan Undang–Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang–Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disesase 2019 (COVID-19) dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan menjadi Undang–Undang, penggunaan Dana Desa dapat digunakan untuk bantuan langsung tunai kepada miskin di Desa” Pada Pasal 8A ayat (1) Permendes 7/2020 disebutkan bahwa “ Bencana Non-alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf d merupakan bencana yang terjadi sebagai akibat kejadian luar biasa berupa penyebaran penyakit yang mengancam dan/atau menimpa warga masyarakat secara luas atau skala besar, meliputi:

    a.

    Pandemi Corona Virus Diseases 2019” dan pada Pasal 8A ayat (2) Permendes 7/2020 disebutkan bahwa “Penanganan dampak Pandemi Corona Virus Diseases 2019 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat berupa BLT Dana Desa kepada keluarga miskin di Desa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang–undangan . d. Bahwa ketentuan Pasal 28 angka 8 Lampiran UU 2/2020 dimaksudkan untuk menyatakan tidak berlakunya ketentuan mandatory spending alokasi Dana Desa sebesar 10% dari belanja pemerintah pusat, sebagaimana yang disebutkan dalam Penjelasan Pasal 72 ayat (2) UU Desa. Ketidakberlakuan ketentuan mandatory spending dana desa bersifat temporer. Dengan adanya penyesuaian mandatory spending dana desa, Pemerintah dapat memiliki fleksibilitas dalam melakukan refocusing belanja untuk mencegah, menangani, dan memulihkan dampak pandemi Covid-19. Dengan adanya mandat ini maka untuk menjamin fleksibilitas penggunaan dana desa dalam rangka sepanjang masih terdapat kebutuhan untuk penanganan Covid-19 di daerah/desa maka Pasal 72 ayat (2) harus dinyatakan tidak berlaku sehingga tidak terdapat dualisme aturan. Penyesuaian mandatory spending Dana Desa tersebut dimaksudkan agar pelaksanaan program Pemerintah dapat dilakukan lebih 163 efektif, efisien, dan tepat sasaran mengingat penyebaran dampak pandemi Covid-19 bersifat masif di seluruh wilayah Indonesia. Dengan demikian, Dana Desa tidak dihentikan namun dialihkan dalam bentuk Bantuan Langsung Tunai dan program-program Dana Desa dibuat skala prioritas yang bertujuan untuk kesejahteraan dan kemakmuran warga desa bukan untuk pembangunan infrastuktur saja. E. KETERANGAN TAMBAHAN Terkait dengan pertanyaan Yang Mulia Hakim Mahkamah Konstitusi mengenai mekanisme pembahasan Perppu untuk mencapai persetujuan atau pencabutan perppu, DPR RI menerangkan sebagai berikut:

    1.

    Bahwa sebagaimana disampaikan oleh Presiden yang diwakili oleh Menteri Keuangan, pembahasan penetapan perppu menjadi Undang- Undang/pencabutan Perppu Pasal 71 UU 12/2011 diatur:

    (1)

    Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dilaksanakan melalui mekanisme yang sama dengan pembahasan Rancangan Undang-Undang.

    (2)

    Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang dilaksanakan melalui mekanisme khusus yang dikecualikan dari mekanisme pembahasan Rancangan Undang-Undang.

    (3)

    Ketentuan mengenai mekanisme khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dengan tata cara sebagai berikut:

    a.

    Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang diajukan oleh DPR atau Presiden;

    b.

    Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan sebagaimana dimaksud dalam huruf a diajukan pada saat Rapat Paripurna DPR tidak memberikan persetujuan atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang diajukan oleh Presiden; dan c. Pengambilan keputusan persetujuan terhadap Rancangan Undang- Undang tentang Pencabutan sebagaimana dimaksud dalam huruf b dilaksanakan dalam Rapat Paripurna DPR yang sama dengan rapat paripurna penetapan tidak memberikan persetujuan atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut. __ 2. Bahwa berdasarkan ketentuan tersebut diatas, pembahasan suatu rancangan Undang-Undang dilakukan melalui 2 (dua) tingkat pembicaraan (vide Pasal 66 UU 12/2011) yang dilakukan oleh DPR bersama Presiden atau menteri yang ditugasi [vide Pasal 65 ayat (1) UU 164 12/2011] yang diuraikan lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 67-Pasal 70 UU 12/2011.

    3.

    Bahwa pembicaraan tingkat I dilakukan dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat Badan Legislasi, rapat Badan Anggaran, atau rapat Panitia Khusus dengan kegiatan pengantar musyawarah, pembahasan daftar inventarisasi masalah, dan penyampaian pendapat mini.

    4.

    Bahwa dalam pembahasan tingkat I tersebut Pemerintah selaku pihak yang mengajukan RUU Penetapan Perppu menjadi Undang-Undang dan juga pihak yang mengeluarkan Perppu tersebut harus menjelaskan kepada DPR RI dalam rapat pembahasan tingkat I yang pelaksanaannya telah dijelaskan oleh DPR RI dalam keterangan ini. Penjelasan tersebutlah yang menjadi pertimbangan DPR RI untuk menyetujui atau tidak menyetujui Perppu tersebut menjadi Undang-Undang.

    5.

    Bahwa sebagaimana telah disampaikan, Berdasarkan Pasal 71 huruf d dan Pasal 249 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 (UU MD3) bahwa DPD ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. RUU Penetapan Perppu 1/2020 menjadi UU tidak memiliki pertautan dengan bidang yang mengharuskan keikutsertaan DPD dalam pembahasannya melainkan mengenai DPR memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan, sehingga DPD tidak memiliki kewenangan untuk ikut membahas RUU tersebut.

    6.

    Bahwa hal ini juga telah jelas sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang mengatur bahwa Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan yang berikut. Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut. Dalam ketentuan tersebut, tidak diatur bahwa dalam hal penetapan Perppu menjadi Undang-Undang dapat atau bahkan harus mengikutsertakan DPD dalam pembahasannya. 165 Sebaliknya, mengikutsertakan DPD justru menjadi suatu hal yang tidak sesuai dengan apa yang diatur dalam UUD NRI Tahun 1945, UU 12/2011 dan UU MD3. Terkait dengan pertanyaan Yang Mulia Hakim Mahkamah Konstitusi mengenai penetapan Perppu bukan pada “masa sidang yang berikut”, DPR RI menerangkan sebagai berikut: Bahwa sejauh ini DPR belum pernah melakukan penetapan perppu yang dalam masa sidang yang sama atau bukan pada “masa sidang yang berikut”. Setelah dikeluarkannya Perppu 1/2020, Presiden juga telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang yang disahkan pada 4 Mei 2020 dan ditetapkan sebagai Undang-Undang melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang- Undang menjadi Undang-Undang yang disahkan dan diundangkan pada 11 Agustus 2020 pada masa sidang ketiga tahun 2020 yang terhitung pada 15 Juni 2020 hingga 13 Agustus 2020. Sehingga penetapan Perppu 1/2020 menjadi Undang-Undang adalah yang pertama kali dilakukan dengan tidak memenuhi ketentuan “masa sidang yang berikut” mengingat urgensi penetapannya yang harus dilakukan dengan segera. Terkait dengan pertanyaan Yang Mulia Hakim Mahkamah Konstitusi mengenai pembahasan RAPBN 2021 yang kemudian disepakati dalam paripurna pada 29 September 2020, DPR RI menerangkan:

    1.

    Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 13 ayat (1) UU Keuangan Negara, Pemerintah Pusat menyampaikan pokok-pokok kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro tahun anggaran berikutnya kepada Dewan Perwakilan Rakyat selambat-lambatnya pertengahan bulan Mei tahun berjalan. Pasal 15 ayat (1) UU keuangan Negara mengatur bahwa 166 Pemerintah Pusat mengajukan Rancangan Undang-undang tentang APBN, disertai nota keuangan dan dokumen-dokumen pendukungnya kepada Dewan Perwakilan Rakyat pada bulan Agustus tahun sebelumnya. Dan pada ketentuan Pasal 15 ayat (4) dan ayat (6) UU keuangan Negara diatur Pengambilan keputusan oleh Dewan Perwakilan Rakyat mengenai Rancangan Undangundang tentang APBN dilakukan selambat-lambatnya 2 (dua) bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan dilaksanakan dan apabila DPR tidak menyetujui Rancangan Undang-undang tersebut, Pemerintah Pusat dapat melakukan pengeluaran setinggi-tingginya sebesar angka APBN tahun anggaran sebelumnya.

    2.

    Bahwa penyampaian pokok-pokok kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro tahun anggaran tahun 2021 telah disampaikan oleh pemerintah dalam rapat paripurna DPR RI pada dalam rangkaian rapat paripurna tertanggal 12 Mei 2020, 14 Juli 2020, dan 14 Agustus 2020 (Lampiran II, Lampiran III dan Lampiran IV). Sebagai tambahan informasi, pada 25 September 2020, Kemenkeu selaku yang mewakili Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyepakati Rancangan Undang- Undang (RUU) Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2021 di Banggar dan Pemerintah bersama DPR telah menyetujui defisit anggaran sebesar 5,7% dari PDB pada Rapat Paripurna DPR tanggal 29 September 2020.

    3.

    Pembahasan RUU APBN 2021 dilakukan di banggar yang pelaksanaannya disampaikan risalahnya (lampiran V, lampiran VI, lampiran VII) F. RISALAH PEMBAHASAN UU 2/2020 Risalah Pembahasan UU 2/2020 ini terlampir berbagai dokumen pendukung mengenai pembahasan UU 2/2020 sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Keterangan DPR ini. I. PETITUM DPR Bahwa berdasarkan dalil-dalil tersebut di atas, DPR memohon agar kiranya Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Konstitusi memberikan amar putusan sebagai berikut: 167 1. Menyatakan bahwa para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) sehingga permohonan a quo harus dinyatakan tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard );

    2.

    Menolak permohonan a quo untuk seluruhnya;

    3.

    Menerima keterangan DPR RI secara keseluruhan;

    4.

    Menyatakan bahwa proses pembentukan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Dan/Atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134; Tambahan Lembaran Negara Republlik Indonesia Nomor 6516) telah sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan telah memenuhi ketentuan pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana yang diatur dalam Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 183, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6398);

    5.

    Menyatakan Judul, Pasal 1 ayat (3); Pasal 1 ayat (5); Pasal 2; Pasal 3 ayat (2); Pasal 4 ayat (1) huruf a; Pasal 4 ayat (1) huruf d; Pasal 4 ayat (2); Pasal 5 ayat (1) huruf a; Pasal 5 ayat (1) huruf b; Pasal 6; Pasal 7; Pasal 9; Pasal 10 ayat (1); Pasal 10 ayat (2); Pasal 11 ayat (3); Pasal 12 ayat (1);

    Pasal 12Tutup

    ayat (2); Pasal 14; Pasal 16 ayat (1) huruf c; Pasal 19; Pasal 20 ayat (1) huruf b angka (1); Pasal 20 ayat (1) huruf b angka (3); Pasal 20 ayat (1) huruf c; Pasal 22 ayat (1); Pasal 23 ayat (1) huruf a; Pasal 24 ayat (1); Pasal 25; Pasal 26 ayat (1); Pasal 27; Pasal 28 dan Pasal 29 Lampiran Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Dan/Atau dalam Rangka 168 Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134; Tambahan Lembar Negara Republlik Indonesia Nomor 6516) tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tetap memiliki kekuatan hukum mengikat;

    6.

    Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Apabila Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono). [2.4] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon, Presiden menyampaikan keterangan dalam persidangan secara daring pada tanggal 8 Oktober 2020 dan menyerahkan keterangan tertulis yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 8 Oktober 2020 yang pada pokoknya mengemukakan hal- hal sebagai berikut: KETERANGAN PENDAHULUAN ( OPENING STATEMENT) PRESIDEN Sejak Indonesia merdeka pada tahun 1945, para pendiri bangsa ( founding fathers ) telah menentukan salah satu tujuan bernegara ialah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Sebagai perwujudan dari tujuan dimaksud, negara harus selalu hadir dalam setiap kondisi untuk memastikan perlindungan terhadap rakyatnya. Negara harus dapat memastikan adanya jaminan perlindungan bagi seluruh warga baik dalam kondisi normal maupun kondisi tidak normal. Bentuk perlindungan yang diberikan oleh negara tidak sebatas perlindungan dari ancaman fisik namun juga perlindungan terhadap keseluruhan aspek kehidupan dan keselamatan 269 juta jiwa penduduk Indonesia. Negara harus mampu menjaga ketahanan seluruh elemen bangsa dari segala ancaman yang membahayakan negara dan masyarakat. Dengan segala sumber daya yang ada, kita harus mewujudkan ketahanan negara yang kokoh dari segala ancaman, termasuk ancaman terhadap perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan yang menimbulkan implikasi pada aspek sosial, ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat. 169 Pandemi Covid-19 yang kita hadapi saat ini, telah secara nyata menimbulkan dampak signifikan yang mempengaruhi kehidupan sosial dan ekonomi bahkan telah merenggut nyawa rakyat Indonesia. Keberlangsungan pandemi yang tidak dapat ditentukan berakhirnya, secara nyata telah menjadi ancaman terhadap perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Untuk itu, diperlukan gotong royong dari seluruh otoritas di bidang perekonomian dan sektor keuangan dalam menghadapi ancaman tersebut. Legal Standing para Pemohon Pemerintah memahami bahwa penilaian atas legal standing merupakan kewenangan Mahkamah. Namun demikian, memperhatikan dalil para Pemohon yang merasa dilanggar hak konstitusionalnya dengan UU 2/2020 ini, perkenankan Pemerintah menyampaikan bahwa penerbitan UU 2/2020 justru dimaksudkan untuk memberikan perlindungan bagi kehidupan masyarakat yang terancam dengan merebak dan menyebarnya Covid-19 baik terhadap kesehatan, keselamatan maupun kehidupan perekonomian masyarakat. Seluruh kebijakan dalam UU 2/2020 terutama kebijakan di bidang keuangan negara yang telah diimplementasikan saat ini telah didasarkan pada assessment data faktual dampak dan ancaman bagi masyarakat dan negara akibat terpaparnya Indonesia dengan Covid-19. Assessment perlunya upaya penyelamatan masyarakat secara cepat dengan penyiapan bantuan biaya kesehatan dan biaya kehidupan bukan didasarkan pada asumsi, namun merupakan assessment faktual terhadap multiplier effect atas kebijakan pembatasan sosial yang ditetapkan Pemerintah untuk mencegah penyebaran Covid-19. Oleh karena itu, Pemerintah berpendapat bahwa UU 2/2020 sama sekali tidak merugikan hak konstitusional para Pemohon. Dengan demikian, permohonan ini tidak memenuhi 5 (lima) syarat kumulatif terkait kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional untuk mengajukan pengujian undang-undang oleh Mahkamah. Justru sebaliknya, lahirnya UU 2/2020 merupakan upaya pemenuhan hak konstitusional Para Pemohon untuk mendapatkan perlindungan dan penghidupan yang layak pada saat terjadinya keadaan luar biasa akibat pandemi Covid-19. Latar Belakang Penerbitan Perppu 1/2020 Sebelum memberikan keterangan atas UU 2/2020, perlu Pemerintah sampaikan mengenai latar belakang penerbitan Perppu 1/2020. Penyakit akibat virus Covid-19 170 yang muncul sejak Desember 2019 di kota Wuhan Provinsi Hubei RRT, telah menyebar secara cepat, ganas dan luas ke seluruh dunia. Pada bulan Maret 2020, World Health Organization (WHO) menetapkan Covid-19 sebagai pandemi global. Penyebaran Covid-19 hingga akhir Maret 2020 meliputi 205 negara dengan hampir 1 juta kasus penularan dan lebih dari 47 ribu kematian. Di Indonesia, sejak ditemukannya 2 kasus positif infeksi Covid-19 pada awal Maret di Jakarta, penyebaran kemudian terjadi sangat cepat. Lonjakan eksponensial jumlah pasien Covid-19 telah menimbulkan krisis bidang kesehatan di seluruh dunia. Untuk mengurangi kecepatan penyebaran Covid-19, semua negara melakukan langkah pembatasan sosial yang berbagai ragam, dari yang sangat ketat ( total lockdown ), hingga yang bersifat pembatasan sosial secara terbatas ( physical distancing ). Pembatasan sosial yang bertujuan untuk mencegah penyebaran Covid- 19, mengakibatkan terhentinya interaksi dan kegiatan sosial yang menyebabkan perlambatan aktivitas ekonomi terutama di tingkat akar rumput di seluruh dunia. Perekonomian dunia merosot tajam, dari semula diproyeksikan tumbuh 3,3% menjadi kontraksi -3%. Kerugian akibat Covid-19 di seluruh dunia saat itu, diperkirakan mencapai 9 triliun dolar Amerika, atau setara 9 kali (PDB) ekonomi Indonesia. Ancaman tersebut menyebabkan kepanikan di sektor keuangan dalam bentuk masifnya arus modal keluar negara-negara berkembang, yang menyebabkan kejatuhan pasar saham, pasar surat berharga dan pasar valuta asing. Kepanikan global dan merosotnya kegiatan ekonomi, melonjaknya pengangguran dan kebangkrutan jelas dapat mengancam stabilitas sosial, ekonomi dan sistem keuangan suatu negara. Di sisi lain, masifnya penyebaran Covid-19 di tengah peta perekonomian dan sektor keuangan global yang sangat kompleks serta saling terkoneksi satu sama lain menjadikan permasalahan semakin rumit dan dalam. Sementara itu, hingga saat ini vaksin untuk Covid-19 masih dalam proses pengembangan dan masih membutuhkan waktu lebih panjang untuk implementasinya. Kombinasi tersebut menyebabkan ketidakpastian yang dihadapi perekonomian dan sektor keuangan menjadi sangat tinggi sementara tingkat prediktabilitas Covid-19 baik dari sisi dampak maupun waktu penyelesaiannya rendah. Kondisi extraordinary tersebut mendorong berbagai negara untuk melakukan langkah luar biasa dalam menyelamatkan masyarakat dan perekonomian. Negara- negara di berbagai benua baik di Asia, Eropa, Amerika melakukan kebijakan 171 ekspansi fiskal (meningkatkan defisit APBN bahkan hingga mencapai di atas 10% PDB seperti di Amerika Serikat, Singapura, Australia dan Malaysia), kebijakan moneter longgar berupa penurunan suku bunga, memompa likuiditas- quantitative easing , serta melakukan relaksasi regulasi sektor keuangan. Perekonomian Indonesia juga mengalami tekanan sangat berat, pertumbuhan kuartal 1-2020 hanya sebesar 2,97% jauh dibawah rata-rata pertumbuhan selama 5 tahun yang di atas 5%. Dalam periode Januari-Maret 2020, terjadi arus modal keluar dari pasar keuangan Indonesia sebesar Rp148,8 triliun. Hal tersebut mendorong kenaikan yield SUN 10 tahun yang meningkat ke level di atas 8%, IHSG yang melemah tajam hampir 28%. Nilai tukar Rupiah sempat menyentuh level Rp16.600 per dolar Amerika dan mengalami depresiasi hingga angka 17,6% ytd di akhir Maret 2020. Merosotnya kegiatan ekonomi menyebabkan lonjakan pada tingkat pengangguran dan kemiskinan, serta berpotensi meluasnya kebangkrutan perusahaan. Untuk menangani penyebaran Covid-19 dan dampaknya yang mengancam perekonomian dan sistem keuangan, Pemerintah dan otoritas sektor keuangan memandang perlu melakukan langkah extraordinary secara cepat dan signifikan. Pelaksanaan langkah extraordinary dimaksud memerlukan produk hukum yang memadai sebagai dasar pengambilan kebijakan. Setelah melakukan konsultasi dengan beberapa lembaga negara dan mempertimbangkan secara seksama berbagai masukan yang diperoleh, Pemerintah bersama otoritas sektor keuangan berkeyakinan bahwa produk hukum yang paling memadai untuk mengatasi kondisi kegentingan memaksa tersebut adalah Perppu dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945. Dengan kondisi demikian, maka tujuan pembentukan Perppu 1/2020 sesungguhnya adalah sebagai wujud kehadiran Negara dalam rangka menangani permasalahan pandemi Covid-19. Perppu 1/2020 memberikan landasan hukum bagi Pemerintah dalam menetapkan kebijakan dan langkah-langkah extraordinary di bidang keuangan negara maupun tindakan antisipatif ( forward looking ) terhadap ancaman memburuknya perekonomian dan stabilitas sistem keuangan seiring ketidakpastian berakhirnya penyebaran Covid-19. Memperhatikan bahwa terhadap 7 permohonan ini, hampir seluruh pasal dalam Lampiran UU 2/2020 dimohonkan pengujian, Pemerintah akan memberikan keterangan berdasarkan pengelompokan permasalahan yang dikemukakan para 172 Pemohon yaitu:

    (1)

    perlunya persetujuan DPR sebagai fungsi budgeting dan _controlling; _ (2) pengujian formil;

    (3)

    ruang lingkup dan jangka waktu keberlakuan;

    (4)

    kebijakan keuangan negara yang mencakup pelebaran defisit, Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), perpajakan dan kepabeanan, penerbitan SUN dan/atau SBSN, penyesuaian mandatory spending , penggunaan dana abadi pendidikan, kebijakan keuangan daerah (5) pelaksanaan kebijakan keuangan negara;

    (6)

    kebijakan stabilitas sistem keuangan meliputi kewenangan LPS dan OJK;

    (7)

    perlindungan hukum;

    (8)

    harmonisasi UU 2/2020 dengan UU terdampak. Persetujuan DPR Sebagai Fungsi Budgeting Dan Controlling Telah Terpenuhi Meskipun kebijakan dalam Lampiran UU 2/2020 pada awalnya ditetapkan oleh Presiden sebagai pelaksanaan Pasal 22 UUD 1945, dapat Pemerintah sampaikan bahwa dengan penetapan Perppu 1/2020 menjadi UU 2/2020 melalui pembahasan sebagaimana layaknya pembentukan undang-undang, maka kebijakan dalam UU 2/2020 telah mendapatkan persetujuan DPR. Hal tersebut menunjukkan bahwa DPR memiliki kesamaan pandangan dengan Pemerintah mengenai adanya kegentingan memaksa dan perlunya kebijakan serta tindakan yang harus segera dilakukan dalam menghadapi pandemi Covid-19. Persetujuan DPR dimaksud menjadikan norma tersebut memenuhi amanat UUD 1945 dan memberikan kepastian hukum bagi keberlanjutan langkah-langkah Pemerintah dalam penanganan situasi extraordinary pandemi Covid-19, yang telah secara nyata menimbulkan pemburukan ekonomi dan ancaman krisis apabila tidak segera ditangani. Pembentukan UU 2/2020 Secara Formil Telah Sesuai Dengan UUD 1945 Dalam Rangka Pemberian Kepastian Hukum Atas Langkah Kedaruratan Dalam Perppu Sesuai dengan ketentuan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945, Perppu harus mendapat persetujuan DPR setelah diundangkan. Memperhatikan dampak pandemi Covid-19 yang extraordinary , Pemerintah menyadari pentingnya persetujuan DPR segera diperoleh untuk kepastian keberlanjutan langkah-langkah penanganan pandemi Covid-19. Penanganan dampak pandemi Covid-19 terhadap perekonomian nasional memerlukan biaya sangat besar yang tidak tercukupi apabila menggunakan alokasi sesuai APBN TA 2020. Selain itu, diperlukan langkah-langkah extraordinary yang belum diatur kewenangannya dalam undang-undang yang ada. Hal tersebut diperlukan sebagai landasan pemberian dukungan pada bidang kesehatan, 173 perlindungan sosial, UMKM, dan insentif dunia usaha dalam rangka penyelamatan kesehatan masyarakat, perekonomian, dan stabilitas sistem keuangan. Oleh karena itu, pada tanggal 1 April 2020, Pemerintah telah menyampaikan RUU tentang penetapan Perppu 1/2020 menjadi undang-undang kepada DPR. Bahwa pembahasan atas RUU yang disampaikan Pemerintah dilakukan oleh DPR pada masa persidangan yang sama tidak melanggar ketentuan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945. Pemerintah telah meneliti tidak ada larangan untuk melakukan pembahasan pengesahan Perppu dalam masa persidangan yang sama dengan saat pengajuan RUU oleh Pemerintah. Dilaksanakannya pembahasan RUU dalam masa persidangan yang sama (masa persidangan ke-3), menunjukkan bahwa DPR sebagai lembaga wakil rakyat juga menyadari tindakan-tindakan untuk penyelamatan perekonomian nasional harus segera dan secara berkelanjutan dilakukan oleh Pemerintah. Untuk memberikan kepastian hukum, setelah melalui proses pembahasan sesuai tahapan pembentukan undang-undang, pada Rapat Paripurna tanggal 12 Mei 2020, DPR telah memberikan persetujuan pengesahan Perppu 1/2020 menjadi undang-undang. Bahwa dengan demikian, proses persetujuan DPR atas Perppu 1/2020 menjadi UU 2/2020 telah memenuhi formalitas pengesahan Perppu sesuai Pasal 22 ayat (2) UUD 1945. Ruang Lingkup Lampiran UU 2/2020 Tidak Hanya Untuk Penanganan Covid-19 Namun Juga Bersifat Antisipatif ( Forward Looking ) Untuk Mengatasi Ancaman Dampak Covid-19 Di dalam konsiderans Lampiran UU 2/2020 telah diuraikan bahwa pandemi Covid-19 telah menimbulkan efek domino terhadap perlambatan perekonomian. Apabila tidak dilakukan upaya penanggulangan secara cepat dan tepat atas perlambatan tersebut, secara pasti akan terjadi ancaman terhadap stabilitas sistem keuangan. Oleh karena itu, Ruang Lingkup Lampiran UU 2/2020 didesain tidak hanya ditujukan untuk penanganan Covid-19 melainkan juga tindakan antisipatif ( forward looking ) untuk menangani efek domino yang ditimbulkan yaitu ancaman terhadap perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Dengan demikian, untuk menghindari terjadinya krisis ekonomi maupun krisis di sektor keuangan, Lampiran UU 2/2020 juga harus memberi legitimasi bagi Pemerintah untuk melakukan langkah-langkah menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan seiring ketidakpastian berakhirnya Covid-19. 174 Dengan legitimasi tersebut, Pemerintah memiliki fleksibilitas melakukan recovery terhadap situasi dan kondisi perekonomian. Semakin mampu Pemerintah menangani dampak yang ditimbulkan oleh pandemi Covid-19 seiring dengan perkembangan/perlambatan penyebaran virus ( flattening the curve ), semakin mempercepat negara keluar dari pemburukan ekonomi. Perlu Pemerintah sampaikan bahwa sampai saat ini tidak ada negara yang dapat menjamin kapan pandemi Covid-19 akan selesai dan tidak dapat dipastikan pula seberapa dalam perlambatan/pemburukan perekonomian sebagai dampak pandemi Covid-19. Atas dasar tersebut, meskipun dalam beberapa ketentuan terdapat batasan waktu, seperti batasan pelebaran defisit sampai dengan tahun 2020, namun secara utuh, tidak dapat diberikan batasan jangka waktu keberlakuan UU 2/2020 seperti UU Pengampunan Pajak misalnya. Keberlanjutan UU 2/200 ini diperlukan dikarenakan tidak dapat dipastikan seberapa besar dan seberapa lama ancaman perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan terjadi di Indonesia. Semakin lama pandemi Covid-19 berlangsung maka dampaknya pun semakin berat. Peningkatan jumlah kasus penderita Covid-19 saat ini menjadi bukti ketidakpastian yang harus dihadapi. Beberapa Pemerintah Daerah kembali melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) guna menghambat penyebaran Covid-19. Harapan perbaikan pertumbuhan perekonomian menjadi positif di Kuartal III 2020 dari pertumbuhan -5,32% di Kuartal II 2020 diprediksi sangat sulit terwujud bahkan potensi resesi menjadi semakin besar. Dengan norma dalam UU 2/2020 yang memberikan fleksibilitas kepada Pemerintah untuk menentukan kebijakan, Pemerintah memiliki kemampuan untuk melakukan langkah-langkah recovery maupun antisipatif. Untuk menanggulangi peningkatan penyebaran Covid-19 di daerah bulan September lalu, Pemerintah Pusat telah memberikan pinjaman kepada Pemda terdampak dan bantuan langsung kepada masyarakat terdampak. Ketersediaan fasilitas kesehatan pun telah memadai untuk menghadapi peningkatan jumlah penderita. Dengan demikian, jelas bahwa kebijakan yang ditetapkan Pemerintah bersama DPR dalam UU 2/2020 semata-mata bertujuan memberikan legitimasi bagi Pemerintah untuk dapat melakukan langkah-langkah pencegahan negara dari krisis kesehatan dan perekonomian. Pelebaran Defisit Menjadi Pilihan Kebijakan Dalam Rangka Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional Sebagai Respon Atas Penurunan Pendapatan dan Peningkatan Belanja Negara Secara Signifikan 175 Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, untuk menghadapi ancaman perekonomian nasional, Pemerintah memerlukan fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan negara agar penanganan pandemi Covid-19 dapat berjalan optimal. Fleksibilitas tersebut tidak dapat dilakukan apabila Pemerintah hanya berdasar pada ketentuan Undang-Undang yang telah ada sebelum pandemi Covid-19. Salah satu fleksibilitas yang diperlukan oleh Pemerintah adalah terkait dengan penyesuaian besaran defisit anggaran. Pada UU Keuangan Negara, diatur bahwa defisit anggaran dibatasi sebesar 3% dari PDB. Batasan maksimal defisit anggaran sesuai ketentuan tersebut tidak mungkin dipenuhi oleh Pemerintah karena pandemi Covid-19 telah menyebabkan penurunan pada pendapatan negara sekaligus peningkatan belanja negara untuk penanganan Covid-19. Dengan demikian, menjadi suatu keniscayaan untuk melakukan pelebaran defisit anggaran. Kewenangan untuk melakukan pelebaran defisit anggaran di atas 3% tidak dimaksudkan untuk digunakan secara sewenang-wenang. Sebaliknya, hal itu ditujukan untuk memberikan kemampuan Pemerintah dalam menangani krisis kesehatan akibat Covid-19 dan efek domino yang ditimbulkannya. Kemampuan dan fleksibilitas untuk menangani permasalahan di bidang kesehatan, sosial dan ekonomi akan dilakukan secara terukur dan hati-hati, dengan tetap berlandaskan pada asas tata kelola yang baik, akuntabilitas dan transparansi. Untuk itu, Lampiran UU 2/2020 memberi pembatasan-pembatasan pelaksanaan pelebaran defisit yaitu: Pertama, kewenangan menetapkan defisit melampaui 3% dari PDB hanya berlaku paling lama sampai dengan TA 2022. Kedua, pembatasan jumlah pinjaman dalam rangka pembiayaan defisit maksimal 60% dari PDB sesuai UU Keuangan Negara. Perlu Pemerintah sampaikan pula bahwa meskipun UU 2/2020 memberikan fleksibilitas defisit sampai tahun 2022, namun Pemerintah akan melakukan pembahasan penetapan besaran defisit untuk tahun 2021 dan 2022 dengan DPR melalui mekanisme RAPBN. Hal tersebut dilakukan untuk menjaga esensi persetujuan DPR sesuai Pasal 23 UUD 1945 pada pembahasan APBN tahun mendatang. Dalam proses penyusunan UU APBN TA 2021, Pemerintah bersama DPR telah menyetujui d efisit anggaran sebesar 5,7% dari PDB pada Rapat Paripurna DPR tanggal 29 September 2020. Pada APBN 2020, Pemerintah telah menetapkan defisit APBN sebesar 6,34% PDB yang ditetapkan melalui Perpres 72 Tahun 2020. Besaran defisit tersebut telah 176 mengakomodir biaya penanganan Covid-19 dan biaya Pemulihan Ekonomi Nasional sebagai berikut: No. Program Anggaran Realisasi 1. Kesehatan 87,55 T 21,92 T 25% 2. Perlindungan Sosial 203,91 T 157,03 T 77% 3. Insentif Usaha 120,61 T 28,07 T 23,3% 4. UMKM 123,47 T 81,85 T 66,3% 5. Pembiayaan Korporasi 53,6 T 0 0 6. Sektoral dan Pemda 106,05 T 26,61 T 25,1% Total 695,2 T 315,48 T 45,4% Dari jumlah tersebut, porsi terbesar adalah untuk perlindungan sosial untuk menjaga kemampuan ekonomi masyarakat. Diikuti dengan pemberian stimulus bagi UMKM dan insentif usaha, dan dukungan anggaran untuk sektoral dan Pemda. Besaran anggaran program kesehatan meski bukan terbesar, namun sudah diperhitungkan kecukupannya untuk mendukung biaya penanganan Covid-19 (pembelian alat kesehatan seperti APD, Rapid Test, Reagen, penyediaan sarana dan prasarana kesehatan), subsidi Iuran BPJS Kesehatan, insentif tenaga medis, santunan kematian untuk tenaga kesehatan, dan pembebasan pajak serta bea masuk untuk alat kesehatan. Sedangkan anggaran perlindungan sosial digunakan untuk mendukung pelaksanaan Program Keluarga Harapan, Program Kartu Sembako, Program Bantuan Sosial Sembako Jabodetabek, Program Bantuan Sosial Tunai, Program Kartu Prakerja, Subsidi listrik, Bantuan Langsung Tunai Dana Desa. Program insentif usaha ditujukan untuk menjaga keberlanjutan aktivitas usaha masyarakat dalam bentuk pemberian insentif perpajakan. Dalam mendukung UMKM, Pemerintah telah melaksanakan beberapa program diantaranya yaitu pemberian subsidi bunga, penempatan dana untuk restrukturisasi, serta pembiayaan investasi kepada koperasi melalui Lembaga Pengelola Dana Bergulir KUMKM. Program pembiayaan korporasi antara lain dilaksanakan melalui pemberian penyertaan modal negara dan pinjaman kepada BUMN. Program sektoral K/L dan Pemda diantaranya digunakan untuk mendukung program padat 177 karya, pemberian Dana Insentif Daerah untuk pemulihan ekonomi, pariwisata dan pemberian Dana Alokasi Khusus Fisik. Sebagai bentuk optimalisasi pelaksanaan program PEN, Pemerintah telah melakukan reclustering anggaran PEN untuk meningkatkan anggaran bidang kesehatan, perlindungan sosial, dan UMKM. Reclustering anggaran tersebut menunjukkan Pemerintah sangat serius menangani pandemi Covid-19 yang masih terus berlanjut dan berpengaruh sangat signifikan terhadap kesehatan masyarakat dan perekonomian. Sebagai rangkaian program PEN untuk terus menggerakkan perekonomian yang sedang mengalami perlambatan, Pemerintah memandang perlu melakukan upaya- upaya mendorong ekspansi kredit dan penurunan suku bunga kredit perbankan. Untuk itu, Pemerintah sebagai pihak yang memiliki kapasitas pendanaan telah melakukan penempatan dana per 30 September 2020 sebesar Rp61,7 triliun dengan rincian pada Bank Himbara sebesar Rp47,5 triliun, pada 7 BPD sebesar 11,2 triliun, dan pada 3 bank syariah sebesar 3 triliun. Selain itu, Pemerintah melalui PT Sarana Multi Infrastruktur salah satu BUMN Pembiayaan, telah memberikan pinjaman kepada 5 Pemerintah Daerah dengan total komitmen sebesar Rp6,8 triliun (DKI Jakarta senilai Rp3,265 triliun, Jawa Barat senilai Rp1,812 triliun, Banten senilai Rp 851,77 miliar, Sulawesi Utara senilai Rp723,7 miliar, dan Kabupaten Ponorogo senilai Rp200 miliar). Pinjaman tersebut diberikan dalam rangka meningkatkan kapasitas Pemerintah Daerah untuk melaksanakan program-program PEN di daerah masing-masing. Kebijakan Penurunan Tarif Perpajakan Sebagai Insentif Untuk Menjaga Kesehatan Keuangan Perusahaan di Masa Pandemi Covid-19 Dalam UU 2/2020 telah ditetapkan kebijakan untuk menurunkan tarif PPh Wajib Pajak badan dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT) sebagai insentif/dukungan Pemerintah menjaga kelangsungan usaha perusahaan dalam masa pandemi Covid-19. Dampak pandemi Covid-19 hampir menyentuh semua sektor usaha. Dalam perspektif tersebut, insentif perpajakan sangat relevan diberikan ke semua sektor usaha tidak hanya yang bergerak di bidang riset dan pengembangan terkait Covid-19 sebagaimana yang diinginkan para Pemohon. Hal ini secara tidak langsung akan berdampak pada terjaminnya ketersediaan barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat serta mempertahankan lapangan kerja. 178 Pemungutan PMSE Merupakan Upaya Pemerintah Untuk Mengoptimalkan Penerimaan Negara Di Tengah Pandemi Covid-19 Serta Menciptakan Kesetaraan Bagi Pelaku Usaha Dalam Negeri Maupun Luar Negeri Penurunan pendapatan negara secara signifikan akibat pandemi Covid-19 di satu sisi dan adanya akselerasi transformasi digital di sisi lain telah menjadi pertimbangan lahirnya kebijakan penetapan pajak dari sektor Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) dalam UU 2/202020. Basis pajak dari transaksi digital menjadi sangat penting pada saat penerimaan negara menurun sehingga Pemerintah harus menjaga basis pajak tersebut agar tidak tererosi. Selain menjadi sumber pendapatan negara, pemungutan pajak terhadap sektor PMSE juga dimaksudkan untuk memastikan terpenuhinya prinsip pemajakan yang berkeadilan ( fairness ) antara semua pelaku usaha dan menciptakan level of playing field yang sama bagi pengusaha di dalam negeri untuk bertahan dan meningkatkan daya saingnya di tengah pandemi Covid-19. Selama ini, pelaku usaha ekonomi digital luar negeri mendapatkan penghasilan secara signifikan dari Indonesia tanpa perlu membayar pajak di Indonesia. Apabila pemajakan terhadap PMSE tidak segera diterapkan di Indonesia maka terjadi kekosongan hukum dan menjadi loopholes untuk penghindaran dan pengelakan pajak yang menyebabkan hilangnya potensi penerimaan pajak. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat di atasi dengan cara membuat undang- undang secara prosedur biasa akan memerlukan waktu yang cukup lama, apalagi di tengah pandemi Covid-19. Dengan demikian, kebijakan pemajakan PMSE dalam Lampiran UU 2/2020 sangat diperlukan sebagai dasar legal formal pemajakan atas PMSE. Lampiran UU 2/2020 memberikan wewenang atribusi pengenaan besaran tarif dengan Peraturan Pemerintah untuk memenuhi kebutuhan Pemerintah dengan segera dalam situasi mendesak. Pertimbangan serupa juga menjadi pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam memutus uji materiil UU Pajak Penghasilan, yang juga mendelegasikan pengaturan besaran tarif dengan Peraturan Pemerintah. Sebagaimana pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam putusan tersebut, pemberian atribusi merupakan bentuk kebijakan pembentuk undang-undang ( legal policy ) sesuai dengan hukum administrasi negara dan ketentuan UUD 1945. Pemberian wewenang atribusi menetapkan tarif pajak bukanlah hal baru. Ketentuan serupa dapat ditemukan dalam UU Pajak Penghasilan. Dengan demikian, 179 pengaturan mengenai besaran tarif, dasar pengenaan, dan tata cara penghitungan pajak penghasilan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945 sebagaimana yang dipahami oleh para Pemohon. Pengaturan Pembebasan Bea Masuk Oleh Menteri Keuangan Merupakan Pelaksanaan Wewenang Atribusi Yang Bertujuan Menjamin Ketersediaan Alat Kesehatan Untuk Penanganan Covid-19 Untuk menjamin ketersediaan barang impor yang diperlukan dalam penanganan pandemi Covid-19, Pemerintah perlu memiliki fleksibilitas dalam pemberian fasilitas fiskal berupa pembebasan atau keringanan bea masuk. Pasal 10 Lampiran UU 2/2020 telah memberikan wewenang atribusi kepada Menteri Keuangan untuk melakukan perubahan jenis barang yang dapat diberikan fasilitas pembebasan atau keringanan yang secara limitatif ditetapkan dalam UU Kepabeanan. Pemberian wewenang atribusi dalam UU 2/2020 ini sejalan dengan prinsip hukum administrasi negara dalam rangka pemenuhan kebutuhan di tengah adanya kondisi kegentingan memaksa. Selain itu, pemberian wewenang atribusi yang ditetapkan dalam produk hukum UU 2/2020 mempunyai kedudukan yang setara dengan UU Kepabeanan. Dalam pelaksanaannya, Menteri Keuangan selaku penerima wewenang atribusi dalam pemberian fasilitas kepabeanan tidak akan semena-mena menyalahgunakan kewenangan dimaksud. Menteri Keuangan melalui PMK 34/PMK.04/2020 juncto PMK 83/PMK.04/2020 hanya memberikan fasilitas kepabeanan untuk impor barang keperluan penanganan Covid-19. Sesuai Lampiran PMK tersebut, jenis-jenis barang yang diberikan fasilitas adalah test kit dan reagen laboratorium , virus transfer media , obat dan vitamin, peralatan medis, dan alat pelindung diri. Dengan demikian prinsip pemberian fasilitas secara limitatif tetap terjaga. Penerbitan SUN dan/atau SBSN Yang Dapat Dibeli Oleh BI Bertujuan Untuk Menjaga Kesinambungan Fiskal Dalam Menghadapi Pandemi Covid-19 Sesuai Dengan Fungsi BI Dampak pandemi Covid-19 telah menyebabkan pendapatan negara menurun cukup drastic sedangkan anggaran belanja harus ditingkatkan sehingga pelebaran defisit tak terhindarkan. Untuk pembiayaan defisit anggaran, Pemerintah perlu menerbitkan SUN dan/atau SBSN berjangka panjang. Pemberian kewenangan bagi Bank Indonesia untuk membeli SUN dan/atau SBSN berjangka panjang di pasar 180 perdana merupakan salah satu upaya gotong royong organ negara ( burden sharing ) untuk menjaga kesinambungan fiskal dalam rangka mencegah terjadinya krisis ekonomi. Burden sharing antara Pemerintah dan BI diatur dalam Surat Keputusan Bersama antara Menteri Keuangan dan Gubernur BI tanggal 7 Juli 2020. Skema burden sharing dimaksud berupa pembayaran kupon atas SUN dan atau SBSN yang dibeli oleh BI, sesuai tabel berikut: No. Penggunaan Nilai (Rp) Burden Sharing Mekanisme Penerbitan 1. Public Goods 397,56T Ditanggung BI seluruhnya sebesar BI reverse repo rate Private Placement 2. Non-Public Goods 177,03T Ditanggung Pemerintah sebesar BI reverse repo 3 bulan dikurangi 1%, sisanya ditanggung BI Mekanisme market (lelang, Green Shoe Option, Private Placement ) - UMKM 123,46T - Korporasi 53,57T 3. Non-Public Goods Lainnya 328,87T Ditanggung Pemerintah seluruhnya sebesar market rate Di samping pengaturan norma pembelian SUN dan/atau SBSN oleh BI telah dibahas terlebih dahulu sebelum ditetapkan dalam Lampiran UU 2/2020, dengan penetapan secara bersama besaran kupon sebagai burden sharing jelas terlihat bahwa baik dalam perumusan norma maupun implementasinya, independensi BI tetap terjaga. Secara best practices , kebijakan bank sentral untuk membeli surat utang negara dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan juga diimplementasikan oleh negara-negara lain termasuk negara anggota G20. Dalam pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral negara-negara G-20 tanggal 18 Juli 2020 ditekankan bahwa: “Fiscal and monetary policies will continue operating in a complementary way for as long as required. Monetary policy continues to support economic activity and ensure price stability, consistent with central banks’ mandates.” Communique pertemuan dimaksud juga menjelaskan bahwa Bank Sentral G20 Countries telah menunjukkan komitmen untuk membeli surat utang negara dalam 181 rangka menjaga suku bunga jangka panjang agar tetap rendah. Selanjutnya, dalam communique dinyatakan bahwa langkah-langkah yang dilakukan bank sentral terbukti menimbulkan peningkatan signifikan pada likuiditas pasar, membantu meredakan tekanan pada pasar keuangan, dan meminimalkan risiko permasalahan stabilitas sistem keuangan. Penyesuaian Mandatory Spending Dana Desa Tidak Menghapuskan Dana Desa dari APBN 2020 dan Tahun-Tahun Mendatang Pasal 2 ayat (1) huruf b Lampiran UU 2/2020 mengatur mengenai penyesuaian atas pemenuhan belanja wajib ( mandatory spending ), antara lain penyesuaian pemenuhan anggaran Dana Desa sebesar 10% dari dan di luar dana Transfer Daerah, yang diatur dalam Pasal 72 ayat (2) UU Desa. Penyesuaian mandatory spending Dana Desa dimaksudkan agar Pemerintah memiliki fleksibilitas melakukan refocusing belanja untuk mencegah, menangani, dan memulihkan dampak pandemi Covid-19. Sebagai bentuk harmonisasi antara ketentuan penyesuaian mandatory spending dalam UU 2/2020 dan UU Desa, ketentuan Pasal 72 ayat (2) UU Desa beserta Penjelasannya dinyatakan tidak berlaku (vide Pasal 28 angka 8 Lampiran UU 2/2020). Tidak berlakunya ketentuan Pasal 72 ayat (2) UU Desa sama sekali tidak menghapuskan anggaran Dana Desa dari APBN TA 2020 dan tahun-tahun berikutnya, sebagaimana dipahami Para Pemohon. Di TA 2020 dan UU APBN TA 2021, Dana Desa berturut-turut dialokasikan sebesar Rp71,2 T dan Rp72 T. Pemerintah tetap memegang komitmen untuk mendukung pembangunan ekonomi di desa melalui Dana Desa yang diprioritaskan untuk pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa. Perekonomian pedesaan yang kuat merupakan pilar penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional sehingga Pemerintah akan terus mendukung pembangunan pedesaan dan pemberdayaan masyarakat desa. Penggunaan Dana Abadi Tidak Bertentangan Dengan Kewajiban Negara Memenuhi Hak Atas Pendidikan Pembiayaan APBN di masa Pandemi Covid-19 membutuhkan sumber pendanaan yang cepat dan efisien. Dengan kebutuhan tersebut, Pasal 2 ayat (1) huruf e UU 2/2020 mengatur pemanfaatan Saldo Anggaran Lebih, dana abadi dan akumulasi dana abadi pendidikan, dana yang dikelola BLU, dana yang dikuasai negara, serta 182 memanfaatkan pengurangan pembiayaan investasi pada BUMN sebagai sumber pendanaan APBN. Penggunaan dana abadi pendidikan tidak akan bertentangan dengan kewajiban negara memenuhi hak atas pendidikan karena:

    (1)

    hanya akan dipergunakan apabila seluruh pembiayaan lain yang tersedia tidak memenuhi kebutuhan Pemerintah dalam penanganan pandemi Covid-19;

    (2)

    sampai saat ini Pemerintah belum berencana menggunakan dana abadi pendidikan sebagai sumber pendanaan APBN;

    (3)

    apabila dipergunakan, akan menjadi investasi dana abadi pendidikan melalui pembelian SUN dan/atau SBSN yang akan mendapatkan return , bukan sebagai belanja Pemerintah. Pengaturan Refocusing Dan Realokasi Anggaran Melalui Permendagri Tidak Bertentangan Dengan Prinsip Otonomi Daerah Sebagai wujud integrasi kebijakan nasional dan kebijakan daerah, Pasal 3 ayat (1) UU 2/2020 mengatur Pemda melakukan refocusing dan realokasi anggaran daerah dengan prioritas penanganan pandemi Covid-19 beserta dampak sosial ekonominya sesuai kondisi masing-masing daerah. Pada kondisi pandemi Covid-19, kecepatan dan ketepatan dalam penyesuaian anggaran daerah menjadi sangat penting. Untuk itu, Pasal 3 ayat (2) UU 2/2020 memberikan kewenangan kepada Mendagri untuk mengatur mengenai refocusing dan realokasi penggunaan APBD sebagai pedoman bagi seluruh Pemda. Dengan adanya pedoman ini, Pemda dapat segera melakukan penyesuaian anggarannya secara mandiri. Dengan demikian pemberian kewenangan kepada Mendagri tersebut merupakan bentuk pelaksanaan amanat Pasal 8 UU Pemda sebagai pembina dan pengawas pemerintahan daerah, bukan merupakan intervensi Pemerintah Pusat sebagaimana pemahaman para Pemohon. Penetapan Rekening Akun Khusus Belanja Covid-19 dan Penetapan Perpres Rincian APBN Sebagai Wujud Transparansi dan Akuntabilitas Dalam Pelaksanaan Kebijakan Keuangan Negara Pelaksanaan kebijakan keuangan negara dalam Lampiran UU 2/2020 membutuhkan uang negara yang sangat besar dalam kurun waktu yang singkat. Untuk menjamin akuntabilitas dan transparansi, Pasal 12 Lampiran UU 2/2020 menetapkan bahwa seluruh pelaksanaan kebijakan keuangan negara dilakukan dengan tata kelola yang baik. Dalam implementasi tata kelola anggaran terkait Covid-19, Pemerintah telah menetapkan akun khusus belanja Covid-19 dalam Pasal 183 2 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 43 Tahun 2020. Hal ini untuk menjamin seluruh belanja yang terkait dengan penanganan Covid-19 dapat dipantau dan dievaluasi penggunaannya. Selain itu, dalam rangka mencegah terjadinya penyimpangan dalam pelaksanaan anggaran, Pemerintah bekerja sama dengan aparat penegak hukum meliputi Kepolisian RI, Kejaksaan RI, dan KPK untuk melakukan pendampingan Kementerian/Lembaga. Sebagai bentuk transparansi publik, Pemerintah secara rutin menyampaikan perkembangan pelaksanaan kebijakan melalui press conference dan rapat pembahasan dengan DPR. Hal tersebut menunjukkan komitmen Pemerintah untuk terus menerus melaksanakan seluruh kebijakan keuangan yang ditetapkan dalam UU 2/2020 memenuhi prinsip transparansi, akuntabilitas, dan taat peraturan. Dengan demikian, pada dasarnya UU 2/2020 telah sangat memperhatikan harapan Para Pemohon sebagai warga masyarakat. Mempertimbangkan situasi extraordinary akibat pandemi Covid-19, Pasal 12 ayat (2) UU 2/2020 memberikan wewenang atribusi bagi Presiden untuk menetapkan perubahan postur sekaligus rincian APBN melalui Perpres. UU 2/2020 pada dasarnya telah menetapkan kebijakan pelebaran defisit APBN TA 2020 sampai dengan APBN TA 2022. Penetapan ini dilakukan sebagai langkah extraordinary penanganan kegentingan memaksa pandemi Covid-19 berdasarkan Pasal 22 UUD 1945 sekaligus untuk menyesuaikan kebijakan dalam UU APBN TA 2020 yang merupakan pelaksanaan Pasal 23 UUD 1945. Dengan demikian, penetapan pelebaran defisit dalam Lampiran UU 2/2020 sebagai pedoman penyesuaian UU APBN TA 2020 dapat disetarakan dengan UU Perubahan APBN dalam situasi kegentingan memaksa. Amanat perubahan postur dalam Perpres didasarkan situasi yang tidak memungkinkan penetapan melalui proses secara normal. Perlu Pemerintah sampaikan bahwa penetapan postur APBN dalam Perpres hanya dilakukan untuk TA 2020. Untuk TA 2021 dan tahun-tahun berikutnya, Pemerintah akan membahas postur APBN bersama dengan DPR sebagaimana pada kondisi normal sehingga Pemerintah sama sekali tidak menghilangkan peran dan fungsi DPR. Kewenangan LPS Sesuai UU 2/2020 Merupakan Penegasan Kewenangan Yang Telah Diberikan Oleh Undang-undang Terdahulu Untuk Penanganan Kesulitan Likuiditas LPS Dalam Menyelamatkan Bank Gagal dan Menghindarkan Negara Dari Krisis Ekonomi 184 Sebagaimana telah Pemerintah sampaikan, dampak pandemi Covid-19 telah secara nyata menyebabkan pemburukan perekonomian sehingga pertumbuhan ekonomi mengalami kontraksi (minus) 5,32% pada Kuartal II 2020. Pemburukan ekonomi secara pasti akan mempengaruhi stabilitas sektor keuangan. Untuk itu, perlu dilakukan upaya menjaga stabilitas sistem keuangan dengan menjaga keberlangsungan lembaga keuangan baik perbankan maupun non perbankan. Selain itu, untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap sistem keuangan, perlu memperkuat landasan hukum bagi LPS dalam melakukan tindakan antisipasi penanganan permasalahan bank dan resolusi bank gagal baik bank sistemik maupun bank selain bank sistemik. Sampai saat ini, stabilitas sistem keuangan masih terjaga. Namun perlu melakukan kebijakan antisipatif ( forward looking ) dengan menegaskan kembali sumber-sumber pendanaan yang dapat diperoleh LPS untuk menjaga kecukupan likuiditasnya [vide __ Pasal 20 ayat (1) huruf b Lampiran UU 2/2020]. Salah satu sumber pendanaan LPS adalah melakukan melakukan pinjaman kepada pihak lain dan/atau Pemerintah yang juga telah diatur dalam Undang-Undang terdahulu yaitu UU LPS, UU OJK, dan UU PPKSK. Pinjaman kepada pihak lain dimaksudkan untuk menjaring pihak-pihak (dalam dan/atau luar negeri) yang mempunyai kemampuan pendanaan sehingga tersedia alternatif pendanaan yang lebih luas bagi LPS. Hal ini juga sesuai dengan best practice yang dijalankan di negara-negara lain yang memiliki lembaga resolusi perbankan. Pinjaman oleh LPS kepada Pemerintah melalui APBN merupakan jaring ke-4 (terakhir) dari pengaman sistem keuangan (bukan bail-out kepada industri). Peran Pemerintah dalam jaring ke-4 tersebut ditujukan untuk memastikan lembaga/otoritas terkait dapat menjalankan fungsi resolusi secara efektif, sehingga penggunaan dana publik ( taxpayer money ) untuk mengatasi permasalahan perbankan dapat terhindarkan. Pemberian pinjaman kepada LPS dilakukan setelah mendapatkan persetujuan DPR dalam APBN kecuali untuk APBN TA 2020 sebagaimana diatur dalam Pasal 28 angka 12 Lampiran UU 2/2020. Persyaratan persetujuan DPR hanya diberlakukan untuk pinjaman kepada Pemerintah karena bersumber dari APBN dan tidak dipersyaratkan untuk pinjaman LPS kepada pihak lain sebagaimana juga diatur dalam UU terdahulu. Sampai saat ini, LPS masih memiliki kecukupan likuiditas. Pasal 22 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 memberikan kewenangan bagi Pemerintah untuk menyelenggarakan program penjaminan di luar program penjaminan 185 simpanan sebagaimana yang diatur dalam UU LPS. Kebijakan ini merupakan langkah antisipatif ( forward looking ) untuk memberikan legitimasi bagi Pemerintah yang akan dilaksanakan apabila terjadi pemburukan perekonomian yang mengancam stabilitas sistem keuangan. Perlu Pemerintah sampaikan pula bahwa program penjaminan dimaksud bukan merupakan penjaminan terhadap seluruh kewajiban bank, melainkan penjaminan atas Pasar Uang Antar Bank (PUAB) dan kewajiban Bank atas transaksi perdagangan luar negeri ( trade finance ). Perintah Tertulis OJK Sebagai Instrumen Menjaga Keberlangsungan Lembaga Keuangan Dalam Rangka Meningkatkan Resiliensi Sistem Keuangan Pasal 23 ayat (1) juncto Pasal 26 Lampiran UU 2/2020 menegaskan dan memperkuat kewenangan OJK memberikan perintah tertulis kepada lembaga jasa keuangan untuk melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, integrasi dan/atau konversi (P3IK) yang telah diatur dalam UU OJK dan UU PPKSK. Perintah tertulis untuk melakukan P3IK diperlukan untuk meningkatkan resiliensi industri jasa keuangan dan memperkuat sistem keuangan dengan menciptakan struktur perbankan yang kuat, skala usaha yang lebih besar, serta daya saing yang tinggi. Perintah dimaksud bertujuan pula untuk mempercepat penanganan lembaga jasa keuangan yang bermasalah, melindungi nasabah, dan menjaga stabilitas sistem keuangan dalam hal pemegang saham tidak secara sukarela melakukan upaya untuk memperkuat modal. Sebagai upaya paksa kepatuhan lembaga keuangan melaksanakan perintah tertulis OJK tersebut, khususnya dalam situasi pandemi Covid-19 yang mengancam stabilitas sistem keuangan maka ancaman sanksi diperberat dibandingkan sanksi dalam UU OJK. Pemberian sanksi dimaksud merupakan bentuk jaminan kepastian hukum untuk kepentingan umum yang harus dijaga oleh OJK selaku lembaga pengawas jasa keuangan, bukan kesewenang-wenangan sebagaimana pemahaman para Pemohon. Perlindungan Hukum Dalam UU 2/2020 Sebagai Bentuk Kepastian Hukum Bagi Pengambil Kebijakan Dalam Bertindak Sesuai Kewenangannya Keberadaan Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 dimaksudkan untuk memberikan confidence bagi pihak yang dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya sesuai Lampiran UU 2/2020 telah didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal ini sejalan dengan prinsip hukum imunitas 186 terbatas bagi negara dan/atau perwakilannya, bukan imunitas absolut sehingga melanggar asas keadilan dan kesamaan dalam hukum dan pemerintahan sebagaimana pemahaman para Pemohon. Dari perspektif teori imunitas, perlindungan hukum yang diberikan dalam Pasal 27 ayat (2) termasuk kategori imunitas terbatas. Teori imunitas terbatas ini memberikan perlindungan/imunitas kepada negara dan perwakilannya terhadap upaya hukum pihak lain baik secara pidana ataupun perdata, sepanjang tindakan yang dilakukan memenuhi syarat dalam hal ini harus beriktikad baik dan menjalankan kewenangan serta kebijakannya sesuai peraturan perundang-undangan. Secara a contrario , imunitas tersebut gugur apabila perbuatan yang dilakukan didasarkan atau terdapat niat jahat (mens rea) dan perbuatannya bertentangan dengan peraturan perundang- undangan. Teori imunitas ini didasarkan pada prinsip kedaulatan negara, dengan demikian tidak mengherankan ketentuan serupa merupakan hal yang precedented . Di berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain Pasal 50 dan Pasal 51 KUHP, Pasal 48 UU PPKSK, Pasal 22 UU Pengampunan Pajak, Pasal 45 UU Bank Indonesia, Pasal 36A ayat (5) UU KUP, Pasal 10 UU Ombudsman, Pasal 224 ayat (1) UU MD3, Pasal 16 UU Advokat dan Pasal 26 UU BPK mengatur pemberian perlindungan hukum serupa. Dengan demikian, perlindungan hukum dalam ketentuan Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 diperlukan untuk memberikan kepastian hukum kepada para pengambil kebijakan bahwa tindakan dan keputusan yang diambil dengan iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan akan dilindungi oleh hukum. Dengan demikian tidak ada hak warga negara yang ditangguhkan dalam ketentuan Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020. Bahkan Pasal 49 UU PTUN telah memberikan imunitas atau perlindungan hukum dari sengketa di peradilan tata usaha negara atas tindakan dan/atau keputusan pejabat tata usaha negara yang dilakukan dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan Pasal 49 UU PTUN ini menjadi landasan untuk diadopsi dalam Pasal 27 ayat (3) UU 2/2020. Sebagaimana Majelis Hakim maklumi, ketentuan perlindungan hukum pernah beberapa kali dilakukan pengujian konstitusionalitasnya di Mahkamah Konstitusi (UU Advokat dan UU Pengampunan Pajak). Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi terdapat pertimbangan sebagai berikut: 187 “pihak-pihak yang disebut dalam ketentuan a quo memang sudah seharusnya tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut, baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada itikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” Sebagai best practices , standar internasional yang ditetapkan oleh lembaga keuangan internasional ( Financial Stability Board, Basel Committee on Banking Supervision , dan IMF) juga menetapkan adanya pengaturan perlindungan hukum bagi pengambil dan pelaksana kebijakan di bidang sektor keuangan. Berdasarkan fakta-fakta hukum tersebut, bukan suatu kemewahan bagi pembuat kebijakan untuk meminta perlindungan hukum agar dapat menjalankan tugasnya dengan tenang sehingga mendapatkan hasil yang optimal. Pengaturan Pasal 27 ayat (1) UU 2/2020 bahwa biaya yang dikeluarkan dalam rangka pelaksanaan UU 2/2020 bukan merupakan kerugian negara didasarkan pada pertimbangan antisipatif antara lain adanya kondisi bahwa biaya yang dikeluarkan negara dalam melakukan penyelamatan perbankan untuk menjaga stabilitas sistem keuangan tidak sepenuhnya ter- recovery . Di sisi lain, pelaksanaan tugas dan wewenang para pelaksana UU 2/2020 dilandaskan pada iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan sehingga sangat beralasan untuk mendapatkan perlindungan. Hal ini sejalan dengan prinsip dalam keuangan negara yang menjadi pedoman bagi pemeriksa baik BPK maupun APH bahwa terjadinya kerugian negara harus dikaitkan dengan adanya unsur perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai. Hal tersebut mengadopsi asas hukum pidana tidak dapat dipidana tanpa kesalahan ( geen straf zonder schuld ). Dengan demikian, selama kebijakan keuangan negara tidak melawan hukum, maka biaya yang dikeluarkan bukan kerugian negara. Pemberian Kepastian Norma Hukum Melalui Harmonisasi Keberlakuan Norma UU Yang Terdampak Norma dalam UU 2/2020 Lahirnya UU Nomor 2 Tahun 2020 ditujukan untuk mengisi kekosongan hukum atau penyesuaian undang-undang terdahulu dalam rangka penanganan pandemi Covid- 19 dan/atau krisis perekonomian dan/atau sistem keuangan. Dengan demikian, terhadap norma-norma yang dilakukan penyesuaian dalam UU 2/2020 perlu dilakukan harmonisasi agar tidak terjadi dualisme hukum. Norma Pasal 28 Lampiran UU 2/2020 yang berisi pencabutan beberapa ketentuan undang-undang terdahulu akan memberikan kepastian norma hukum yang berlaku untuk penanganan 188 penyebaran Covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Sebagaimana telah dijelaskan, penyesuaian norma-norma tersebut dimungkinkan berdasarkan Hukum Administrasi Negara dalam bentuk pemberian kewenangan atribusi. Selain itu, beberapa norma disesuaikan untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kebutuhan penanganan pandemi Covid-19. Pelaksanaan pemberian kewenangan atribusi dan/atau penyesuaian norma dalam Pasal 28 Lampiran UU 2/2020 tersebut dilakukan dengan memenuhi tata kelola yang baik dan memperhatikan batasan-batasan dalam peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, norma Pasal 28 Lampiran UU 2/2020 didasarkan pada kebutuhan kepastian hukum regulasi yang berlaku, bukan sewenang-wenang sesuai dalil Para Pemohon. Sebelum mengakhiri Keterangan Presiden ini, perkenankan Pemerintah menyampaikan fakta-fakta perbaikan kondisi perekonomian di Kuartal II 2020 sebagai implikasi pelaksanaan kewenangan Pemerintah berdasarkan kebijakan dalam UU 2/2020. Beberapa indikator sektoral telah bergerak ke arah positif pada bulan Juni 2020. Membaiknya perdagangan internasional telah mendorong kinerja perpajakan. Pada sektor riil, konsumsi masyarakat mengalami rebound namun masih lemah. Selain itu, degup ekonomi pada bidang konstruksi mulai naik serta produksi dalam negeri mulai tumbuh. Cadangan devisa juga meningkat didukung dengan penerbitan SBN Valas. Aktivitas ekspor impor juga menunjukkan tren membaik dengan potensi ekspor ke Tiongkok yang mulai tumbuh. Pada sektor moneter dan keuangan, yield SBN kembali ke kondisi awal tahun 2020, likuiditas perbankan terjaga serta inflasi dalam kondisi terkendali. Implementasi program Pemulihan Ekonomi Nasional yang efektif telah menjadi penggerak utama dari pertumbuhan ekonomi. Untuk lebih mempercepat pemulihan ekonomi, Pemerintah juga telah menerbitkan program baru yaitu pemberian insentif bagi pekerja yang berpenghasilan di bawah Rp5 juta/bulan. Mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi Kuartal II 2020 yang terkontraksi (minus) 5,32 persen serta realisasi data perekonomian dan sektor keuangan hingga akhir Kuartal III 2020, optimisme terhadap magnitude perbaikan di paruh kedua tahun 2020 perlu sedikit disesuaikan. Dalam hal ini, kendati masih diyakini bahwa kondisi Kuartal III 2020 akan lebih baik dibandingkan kuartal sebelumnya namun besaran tingkat recovery diperkirakan tidak setinggi perkiraan sebelumnya. 189 Mencermati kondisi tersebut, Pemerintah akan tetap terus antisipatif dan adaptif terhadap perkembangan yang ada termasuk ketidakpastian yang masih akan dihadapi. Dalam hal ini, langkah extraordinary yang koordinatif antara Pemerintah, BI, OJK, dan LPS dalam menjaga stabilitas sistem keuangan dengan menjaga keberlangsungan lembaga keuangan baik perbankan maupun non perbankan akan terus dikalibrasi sesuai dengan perkembangan terkini dan diimplementasikan tanpa keraguan karena telah memiliki landasan hukum yang kuat sebagaimana tertuang dalam Lampiran UU 2/2020. Sebagaimana filsuf berkebangsaan Italia, Cicero, katakan, “ Salus populi suprema lex esto ”, bagi Pemerintah saat ini, keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi bagi suatu negara . Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada Yang Mulia Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan pengujian ( constitutional review ) UU 2/2020 terhadap UUD 1945, dapat memberikan putusan sebagai berikut:

    1.

    Menerima Keterangan Presiden secara keseluruhan;

    2.

    Menyatakan bahwa para Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum ( Legal Standing );

    3.

    Menolak permohonan pengujian Para Pemohon seluruhnya atau setidak- tidaknya menyatakan permohonan pengujian Para Pemohon tidak dapat diterima. KETERANGAN TERTULIS PRESIDEN I. POKOK PERMOHONAN PARA PEMOHON Berdasarkan masing-masing permohonannya, yang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon pada pokoknya adalah: 190 Gambar 1: Matriks Pengujian UU 2/2020 Adapun batu uji yang digunakan oleh para Pemohon dalam permohonannya adalah sebagai berikut: Gambar 2: Batu Uji UUD 1945 Yang Digunakan para Pemohon II. KEDUDUKAN HUKUM ( LEGAL STANDING ) PARA PEMOHON Pemerintah memahami bahwa penilaian atas legal standing merupakan kewenangan Mahkamah. Namun demikian, memperhatikan dalil para Pemohon 191 yang merasa dilanggar hak konstitusionalnya dengan UU 2/2020 ini, perkenankan Pemerintah menyampaikan bahwa penerbitan UU 2/2020 justru dimaksudkan untuk memberikan perlindungan bagi kehidupan masyarakat yang terancam dengan merebak dan menyebarnya Covid-19 baik terhadap kesehatan, keselamatan maupun kehidupan perekonomiannya. Seluruh kebijakan dalam UU 2/2020 terutama kebijakan di bidang keuangan negara yang telah diimplementasikan saat ini telah didasarkan pada assessment data faktual dampak dan ancaman bagi masyarakat dan negara akibat terpaparnya Indonesia dengan Covid-19. Assessment perlunya upaya penyelamatan masyarakat secara cepat dengan penyiapan bantuan biaya kesehatan dan biaya kehidupan bukan didasarkan pada asumsi, namun merupakan assessment faktual terhadap multiplier effect atas kebijakan pembatasan sosial yang ditetapkan Pemerintah untuk mencegah penyebaran Covid-19. Oleh karena itu, Pemerintah berpendapat bahwa UU 2/2020 sama sekali tidak merugikan hak konstitusional para Pemohon dan tidak memenuhi 5 (lima) syarat kumulatif terkait kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional untuk mengajukan pengujian undang-undang oleh Mahkamah. Justru sebaliknya, lahirnya UU 2/2020 merupakan upaya pemenuhan hak konstitusional para Pemohon untuk mendapatkan perlindungan dan penghidupan yang layak di saat terjadinya keadaan luar biasa akibat pandemi Covid-19. Terhadap legal standing para Pemohon perkara Nomor 75/PUU-XVIII/2020, Pemerintah sampaikan bahwa para pihak dalam perkara dimaksud adalah pihak- pihak yang sama dengan perkara Nomor 51/PUU-XVIII/2020 yang telah dilakukan pencabutan sesuai Ketetapan Mahkamah Konstitusi Nomor 51/PUU-XVIII/2020 tanggal 27 Agustus 2020. Bahwa alasan-alasan yang diajukan oleh para Pemohon dalam perkara Nomor 75/PUU-XVIII/2020 sama dengan perkara Nomor 51/PUU- XVIII/2020, hal ini diakui oleh para Pemohon pada sidang pendahuluan tanggal 15 Juli 2020. Oleh karena itu, sesuai ketentuan Pasal 35 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan Amar Ketetapan Perkara Nomor 51/PUU-XVIII/2020 tanggal 27 Agustus 2020, para Pemohon seharusnya tidak dapat mengajukan kembali permohonan a quo . 192 III. KETERANGAN PEMERINTAH TERHADAP MATERI YANG DIMOHONKAN A. LATAR BELAKANG PENERBITAN UU 2/2020 1. Latar Belakang Lampiran UU 2/2020 Penyakit akibat virus Covid-19 yang muncul sejak Januari 2020 di Wuhan Provinsi Hubei RRT, telah menyebar secara cepat dan meluas ke seluruh dunia. Pada bulan Maret 2020, World Health Organization (WHO) menetapkan Covid-19 sebagai pandemi global. Di Indonesia, sejak ditemukannya 2 kasus positif infeksi Covid-19 pada awal Maret di Jakarta, penyebaran terjadi sangat cepat. Lonjakan eksponensial yang sangat cepat dari jumlah pasien akibat Covid-19 telah menimbulkan krisis kesehatan di seluruh dunia. Untuk mengurangi kecepatan penyebaran Covid-19, semua negara melakukan langkah pembatasan sosial dengan berbagai ragam, dari yang sangat ketat ( total lockdown seperti di RRT), hingga yang bersifat pembatasan sosial melalui physical distancing sebagaimana di Indonesia. 160 negara menerapkan penutupan sekolah, dan menerapkan belajar dari rumah. School from home , work from home , dan bahkan ibadah from home juga diterapkan. Pembatasan sosial yang bertujuan untuk mencegah penyebaran Covid-19 telah mengakibatkan terhentinya interaksi dan kegiatan sosial masyarakat. Efek domino yang ditimbulkan telah menyebabkan perlambatan aktivitas ekonomi terutama di tingkat akar rumput di seluruh dunia. Perekonomian dunia merosot tajam, dari semula diproyeksikan tumbuh 3,4% menjadi kontraksi (minus) 3%. Selain itu, IMF juga menyebutkan bahwa ekonomi global akan mengalami resesi terdalam sejak the great depression tahun 1930. Kerugian akibat Covid-19 di seluruh dunia diperkirakan mencapai USD 9 triliun, atau setara 9 kali (PDB) ekonomi Indonesia. Ancaman krisis tersebut menyebabkan kepanikan di sektor keuangan dalam bentuk masifnya arus modal keluar, yang menyebabkan kejatuhan pasar saham, pasar surat berharga dan pasar valuta asing. Di sisi lain, masifnya penyebaran Covid-19 di tengah peta perekonomian dan sektor keuangan global yang sangat kompleks serta saling terkoneksi satu sama lain menjadikan permasalahan semakin rumit dan dalam. Sementara itu, hingga saat ini vaksin untuk Covid-19 masih dalam proses pengembangan dan masih membutuhkan waktu lebih panjang untuk implementasinya. Kombinasi tersebut menyebabkan ketidakpastian yang dihadapi perekonomian dan sektor keuangan 193 menjadi sangat tinggi sementara tingkat prediktabilitas Covid-19 baik dari sisi dampak maupun waktu penyelesaiannya rendah. Kondisi luar biasa ( extraordinary ) tersebut di atas, mendorong berbagai negara melakukan langkah luar biasa untuk menyelamatkan masyarakat dan perekonomian. Negara-negara di berbagai benua baik di Asia, Eropa, Amerika semua melakukan kebijakan ekspansi fiskal (meningkatkan defisit APBN bahkan hingga mencapai diatas 10% PDB seperti di Amerika Serikat, Singapura, Australia dan Malaysia) dan kebijakan moneter (menurunkan suku bunga, memompa likuiditas - quantitative easing ) dan melakukan relaksasi regulasi sektor keuangan. Dapat dikatakan pandemi ini menjadi pelajaran baru bagi seluruh negara dan seluruh pemerintah dalam menyusun kebijakan fiskal untuk mengantisipasi dampak pandemi. Apabila pemerintah terlambat mengantisipasi atau underestimate terhadap dampak pandemi maka akan berbahaya bagi perekonomian nasional yang dapat mengakibatkan krisis ekonomi dan instabilitas sistem keuangan nasional. Perekonomian Indonesia juga mengalami tekanan sangat berat, pertumbuhan kuartal 1-2020 hanya sebesar 2,97% jauh di bawah rata-rata pertumbuhan selama 5 tahun yang di atas 5%. Merosotnya kegiatan ekonomi menyebabkan lonjakan pada tingkat pengangguran. Kondisi tersebut berdampak pada peningkatan kemiskinan. Dalam periode Januari-Maret 2020, terjadi arus modal keluar dari pasar keuangan Indonesia sebesar Rp148,8 triliun, baik di pasar saham, pasar SBN maupun SBI. Hal tersebut mendorong kenaikan yield SUN 10 tahun yang meningkat ke level di atas 8%, IHSG yang melemah tajam hampir 28%. Nilai tukar Rupiah sempat menyentuh level di atas Rp16.600 per dolar Amerika dan terdepresiasi hingga angka 17,6% ytd di akhir Maret 2020. Kepanikan global dan merosotnya kegiatan ekonomi, melonjaknya pengangguran dan kebangkrutan jelas dapat mengancam stabilitas sosial, ekonomi dan sistem keuangan suatu negara. Pemerintah Indonesia juga melakukan langkah yang extraordinary (luar biasa) secara cepat dan signifikan untuk menangani penyebaran Covid-19 dan dampak ancaman sosial, ekonomi dan ancaman sistem keuangan. Tujuannya adalah untuk dapat melakukan berbagai langkah extraordinary untuk pengamanan di bidang kesehatan, perlindungan masyarakat secara luas melalui jaring pengaman sosial, upaya perlindungan dan pemulihan ekonomi serta sistem keuangan. Tidak ada keraguan lagi bahwa pandemi Covid-19 merupakan suatu kegentingan yang memaksa dan menimbulkan daya paksa kepada pemerintah. Kondisi 194 extraordinary akibat pandemi Covid-19 merupakan substitute evidence atau fakta yang tidak perlu dibuktikan. Kondisi yang ditimbulkan menciptakan adanya state of emergency . Dalam keadaan seperti ini, sudah timbul fakta sempurna yang memberikan landasan bahwa keadaan tidak biasa, harus dihadapi dengan hukum yang tidak biasa. Implikasi pandemi ini selain jelas menimbulkan masalah kesehatan namun juga telah menjadi fakta umum ( generally known ) menimbulkan masalah ekonomi dan juga masalah sosial. Oleh karena itu, dari sudut pandang hukum tata negara, kondisi extraordinary akibat pandemi Covid-19 sudah memberikan dasar yang kuat untuk tidak menggunakan hukum yang biasa. Dalam kondisi demikian, pendapat subjektif presiden mengenai kegentingan yang memaksa akibat Covid-19 tidak untuk diperdebatkan ( notoire feiten ). Negara memiliki proportional necessity untuk menjaga stabilitas dan kepentingan rakyat dalam mengatasi kegentingan yang memaksa. Upaya dimaksud belum memiliki landasan hukum/terdapat kekosongan hukum sehingga diperlukan adanya suatu hukum untuk mengatasi kondisi extraordinary akibat pandemi Covid-19. Langkah Pemerintah menerbitkan Perppu 1/2020 pada tanggal 31 Maret 2020 merupakan mandat konstitusi untuk melaksanakan langkah extraordinary dengan tujuan penyelamatan kepentingan masyarakat. Perppu 1/2020 memuat dua kebijakan penting sebagaimana juga dilakukan negara-negara lain, yaitu kebijakan di bidang keuangan negara dan kebijakan di bidang stabilitas sistem keuangan. Kebijakan keuangan negara yang diatur dalam Perppu tersebut meliputi kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, dan kebijakan pembiayaan. Memperhatikan substitute evidence berupa tajamnya penurunan pendapatan negara akibat hampir terhentinya aktivitas ekonomi, sedangkan kebutuhan belanja meningkat tajam dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab negara terhadap masyarakat di masa pandemi Covid-19 maka diperlukan adanya pengaturan mengenai pelebaran defisit anggaran. Melalui Perppu tersebut, batasan defisit anggaran diatur dapat melebihi 3% dari PDB selama masa penanganan pandemi Covid-19 dan/atau menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan paling lama sampai dengan berakhirnya tahun anggaran 2022. Indonesia sama seperti negara-negara lain, mengambil kebijakan pelonggaran defisit dari 1,76% di APBN 2020 menjadi sekitar 6,34 persen dari PDB. Pelonggaran 195 defisit bukanlah merupakan kebijakan yang berdiri sendiri, namun suatu kebijakan yang holistik, dimana Pemerintah secara bersamaan juga melakukan refocusing dan penghematan anggaran dari belanja yang tidak terkait langsung dengan penanganan Covid-19, seperti perjalanan dinas, belanja barang, dan termasuk pembayaran THR tidak diberikan kepada pejabat negara, dan pejabat eselon I dan II. Selanjutnya, Pemerintah telah melakukan tambahan Anggaran belanja sekitar Rp 695,2 Triliun untuk penanganan Covid-19. Tambahan belanja ini dibutuhkan untuk belanja program kesehatan dan pelaksanaan program pemulihan ekonomi nasional. Stimulus fiskal dalam menghadapi Covid-19 yang dikeluarkan Pemerintah baik dari sisi sasaran maupun besarannya akan terus disesuaikan mengikuti dinamika sejauh mana dampak Covid-19 terhadap kehidupan masyarakat dan dunia usaha, namun tetap dilakukan dengan memperhatikan kapasitas fiskal dan kesinambungan fiskal jangka panjang. Perppu 1/2020 memberikan legitimasi dan menjadi landasan hukum bagi Pemerintah serta otoritas terkait untuk mengambil langkah-langkah cepat namun akuntabel untuk perlindungan masyarakat, ekonomi dan stabilitas sistem keuangan sebagai wujud kehadiran Negara dalam penanganan pandemi. Dengan kondisi demikian, maka tujuan pembentukan Perppu 1/2020 sesungguhnya adalah sebagai wujud legitimasi kehadiran Negara dalam rangka menangani permasalahan pandemi Covid-19 maupun tindakan antisipatif ( forward looking ) seiring ketidakpastian berakhirnya pandemi Covid-19. Perppu 1/2020 memberikan landasan hukum bagi Pemerintah dalam menetapkan kebijakan dan langkah- langkah extraordinary di bidang keuangan Negara dan sektor keuangan, dalam rangka penanganan krisis kesehatan, kemanusiaan, ekonomi, dan keuangan sebagai akibat dari pandemi Covid-19.

    2.

    Pengesahan Perppu 1/2020 Menjadi UU 2/2020 Setelah Presiden menetapkan Perppu 1/2020 pada tanggal 31 Maret 2020, Pemerintah pada tanggal 1 April 2020 telah menyampaikan Rancangan Undang- Undang (RUU) tentang Penetapan Perppu 1/2020 menjadi Undang-Undang kepada DPR. Setelah melalui beberapa kali rapat kerja, DPR menyetujui Perppu 1/2020 menjadi undang-undang dalam Rapat Paripurna DPR pada tanggal 12 Mei 2020 sesuai kewenangannya berdasarkan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945. Dengan disetujuinya Perppu 1/2020 menjadi UU 2/2020, menunjukkan bahwa DPR memiliki kesamaan pandangan dengan Pemerintah mengenai adanya kegentingan 196 memaksa dalam menghadapi pandemi Covid-19. Dengan adanya persetujuan DPR dimaksud, telah memberikan kepastian akan keberlanjutan langkah-langkah Pemerintah dalam melakukan penyelamatan kesehatan masyarakat juga menyelamatkan negara dari ancaman krisis perekonomian di tengah situasi extraordinary pandemi Covid-19 yang secara nyata telah menimbulkan pemburukan ekonomi dan ancaman krisis apabila tidak segera ditangani. B. BANTAHAN DALIL-DALIL PARA PEMOHON 1. Keterangan Presiden Atas Uji Formil UU 2/2020 Dalam permohonannya, para Pemohon dalam perkara Nomor 37 dan Nomor 45/PUU-XVIII/2020 menyatakan bahwa UU 2/2020 bertentangan dengan UUD 1945 secara formil karena pembahasan dan penetapannya tidak pada masa sidang berikutnya. Dalil Pemohon tersebut didasarkan pada penafsiran bahwa “persidangan yang berikut” dalam Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 dimaknai sebagai “masa sidang yang berikutnya”. Terhadap dalil Para Pemohon, dapat Pemerintah sampaikan bahwa:

    a.

    Sesuai dengan ketentuan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945, Perppu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan yang berikut.

    b.

    Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (selanjutnya disebut UU 12/2011) yang mengadopsi Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 mengatur bahwa “Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus diajukan ke DPR dalam persidangan yang berikut.” Selanjutnya dalam Penjelasan Pasal 52 ayat (1) UU 12/2011 disebutkan “Yang dimaksud dengan “persidangan yang berikut” adalah masa sidang pertama DPR setelah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ditetapkan. ” c. Berdasarkan ketentuan Pasal 221 ayat (3) Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib (selanjutnya disebut Peraturan Tata Tertib DPR), masa persidangan meliputi masa sidang dan masa reses. Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 13 Peraturan Tata Tertib DPR, masa sidang adalah masa DPR melakukan kegiatan di dalam gedung DPR. Berdasarkan hal-hal tersebut, terdapat penggunaan frasa yang berbeda antara UUD 1945, UU 12/2011 dan Peraturan Tata Tertib DPR, mengenai norma waktu 197 Perppu harus mendapatkan persetujuan DPR. Frasa “Persidangan Yang Berikut” dalam Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 diterjemahkan dalam Penjelasan Pasal 52 ayat (1) UU 12/2011 sebagai masa sidang pertama DPR setelah Perppu ditetapkan. Di samping itu, frasa “Masa Sidang Pertama” tidak ditemukan dalam Peraturan Tata Tertib DPR. Frasa yang digunakan dalam Peraturan Tata Tertib DPR adalah “Masa Persidangan” yang terdiri dari “Masa Sidang” dan “Masa Reses”. Selanjutnya, tahun sidang dibagi dalam 4 masa persidangan (bukan “masa sidang”) yang dimulai tanggal 16 Agustus dan diakhiri pada 15 Agustus tahun berikutnya. Sesuai penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa masa sidang pertama yang dimaksud dalam Penjelasan Pasal 52 merujuk pada penghitungan norma waktu pemberian persetujuan DPR yaitu setelah disampaikannya Perppu oleh Presiden, sehingga tidak dapat dimaknai merujuk pada masa persidangan pertama dari 4 masa persidangan dalam 1 tahun masa sidang yang waktunya adalah di bulan Agustus. Selain itu, dalam konteks kegentingan yang memaksa/ state of emergency terbitnya Perppu, frasa “masa sidang pertama” lebih tepat dimaknai sebagai masa persidangan terdekat/tercepat setelah disampaikannya Perppu oleh Presiden. Prof. Dr. Maria Farida Indrati Soeprapto, S.H., M.H. (Mantan Hakim Mahkamah Konstitusi/Guru Besar Ilmu Perundang-undangan, FHUI) menyatakan Perppu jangka waktunya terbatas (sementara), sehingga secepat mungkin harus dimintakan persetujuan DPR. Oleh karena itu, sesuai dengan ketentuan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 yang mengamanatkan bahwa Perppu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan yang berikut, maka setelah Perppu 1/2020 diundangkan pada tanggal 31 Maret 2020, Pemerintah segera menyampaikan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Penetapan Perppu 1/2020 menjadi Undang-Undang kepada DPR pada tanggal 1 April 2020. Dampak pandemi Covid-19 terhadap perekonomian nasional mengakibatkan diperlukannya dana yang besar untuk memberikan dukungan pada bidang kesehatan, perlindungan sosial, UMKM, dan insentif dunia usaha. Perppu 1/2020 mengatur hal-hal terkait pelebaran defisit anggaran, realokasi dan refocusing anggaran, serta penetapan sumber-sumber pembiayaan. Pelaksanaan kebijakan Perppu 1/2020 sebagai dasar penanganan pandemi Covid-19 maupun ancaman terhadap perekonomian dan stabilitas sistem keuangan yang menyertainya memerlukan pengeluaran yang sangat besar dan 198 berkelanjutan. Kebijakan extraordinary melalui Perppu 1/2020 yang diputuskan oleh Presiden dalam situasi kegentingan memaksa sebagai implementasi hak subjektif Presiden sesuai mandat konstitusi membutuhkan kepastian yang segera untuk keberlanjutan dalam pelaksanaannya sehingga perlu segera mendapat persetujuan DPR sebagai wakil rakyat. Respon DPR yang secara cepat dalam proses pembahasan dan persetujuan Perppu 1/2020 merupakan wujud kesamaan pandangan wakil rakyat atas kondisi kegentingan memaksa yang harus diambil Pemerintah dan untuk memberikan kepastian keberlanjutan kebijakan yang telah ditetapkan Pemerintah dalam Perppu 1/2020. Kebijakan tersebut ditujukan untuk penyelamatan masyarakat dan negara di tengah situasi extraordinary pandemi Covid-19 yang secara nyata telah menimbulkan pemburukan ekonomi dan ancaman krisis apabila tidak segera ditangani. Langkah yang diambil oleh Pemerintah dan DPR tersebut merupakan wujud penyelamatan rakyat sebagaimana adagium “Salus Populi Suprema Lex Esto” dari Cicero yang artinya keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi. Sebagai respon atas situasi kegentingan memaksa dan dengan tujuan perlindungan kepada rakyat dan Negara dalam situasi extraordinary , maka persetujuan DPR atas Perppu 1/2020 menjadi UU yang dilakukan dalam Rapat Paripurna DPR pada tanggal 12 Mei 2020, menurut Pemerintah perlu diapresiasi dan menunjukan ketaatan kepada hukum dan konstitusi sebagaimana amanat Pasal 22 ayat (2) UUD 1945. Terhadap dalil Para Pemohon yang menyatakan bahwa pengambilan keputusan dalam Rapat Paripurna DPR pada tanggal 12 Mei 2020 yang memberikan persetujuan atas RUU Penetapan Perppu 1/2020 menjadi UU tidak memenuhi kuorum karena dilakukan melalui rapat virtual dan tidak dilakukan voting , dapat Pemerintah sampaikan keterangan sebagai berikut:

    a.

    Berdasarkan ketentuan Pasal 232 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya disebut UU MD3), kuorum rapat DPR terpenuhi apabila rapat dihadiri oleh lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah anggota rapat dan terdiri atas lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah fraksi.

    b.

    Rapat Paripurna DPR pada tanggal 12 Mei 2020 yang memberikan persetujuan atas RUU Penetapan Perppu 1/2020 menjadi UU tersebut, dihadiri oleh 438 199 Anggota DPR (355 orang mengikuti secara virtual dan 83 orang hadir secara fisik). Kehadiran secara virtual Anggota DPR dalam Rapat Paripurna tersebut merupakan bentuk ketaatan terhadap kebijakan physical distancing sebagai protokol pencegahan Covid-19 dalam situasi extraordinary dan telah menjadi proses bisnis dalam era new normal di seluruh lembaga/institusi/masyarakat. Dengan demikian, kehadiran secara virtual harus diperlakukan sama dengan kehadiran secara fisik sehingga sekali tidak mengurangi esensi dari pemenuhan kuorum. Dalam kehadiran secara virtual, para Anggota DPR tetap dapat menyampaikan pandangan dan pendapatnya secara bebas dan mandiri. Dengan demikian, Rapat Paripurna DPR pada tanggal 12 Mei 2020 sebagai forum tertinggi persetujuan pengesahan Perpu 1/2020 telah memenuhi kuorum sebagaimana dipersyaratkan UU MD3.

    c.

    Dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 12 Mei 2020 terdapat 1 fraksi yang tidak menyetujui, sedangkan 8 fraksi lainnya menyatakan menyetujui. Dengan demikian, karena hanya 1 fraksi yang tidak menyetujui, Ketua DPR menyatakan penetapan Perppu menjadi UU melalui Surat Keputusan DPR RI Nomor 5/DPR RI/III/2019-2020 tanggal 12 Mei 2020. Terkait dalil para Pemohon yang menyatakan pembahasan penetapan Perppu 1/2020 menjadi UU 2/2020 harus melibatkan DPD, dapat Pemerintah sampaikan bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945, Perppu cukup mendapat persetujuan DPR. Sesuai dengan ketentuan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945, kewenangan untuk memberikan persetujuan atas Perppu ada pada DPR. Namun demikian, baik dalam pelaksanaan Perppu 1/2020 maupun UU 2/2020, Pemerintah tetap melaksanakan konsultasi dengan DPD. Terhadap pengujian formil yang diajukan para Pemohon Perkara Nomor 75/PUU- XVIII/2020, perlu Pemerintah sampaikan bahwa pengujian formil dimaksud telah melewati tenggat waktu 45 (empat puluh lima) hari untuk mengajukan pengujian formil sebagaimana yang dipersyaratkan oleh Mahkamah Konstitusi. Tenggat waktu pengajuan pengujian formil undang-undang berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-VII/2009 tanggal 16 Juni 2010 adalah 45 (empat puluh lima) hari setelah undang-undang disahkan dan dimuat dalam Lembaran Negara RI. 200 2. Keterangan Presiden Atas Uji Materi UU 2/2020 Sebelum menyampaikan keterangan atas dalil-dalil yang diajukan para Pemohon, perlu Pemerintah sampaikan DPR sebagai wakil rakyat, pemegang fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan telah menyetujui seluruh substansi Lampiran UU 2/2020. Oleh karenanya, dalil-dalil para Pemohon yang mempermasalahkan perlunya persetujuan DPR atas beberapa kebijakan dalam Lampiran UU 2/2020 seperti pelebaran defisit anggaran, penerbitan SUN dan/atau SBSN, pengenaan pajak terhadap PMSE, fasilitas pembebasan bea masuk, program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), dan pinjaman LPS kepada Pemerintah sudah tidak relevan lagi untuk dipertentangkan dengan pelaksanaan fungsi DPR. Kebijakan-kebijakan yang diatur dalam Lampiran UU 2/2020 merupakan langkah extraordinary yang diperlukan Pemerintah dalam menghadapi kondisi luar biasa akibat pandemi Covid-19. Oleh karenanya, DPR memahami perlunya dasar hukum bagi Pemerintah untuk mengambil tindakan secara cepat dalam rangka penanganan krisis kesehatan, kemanusiaan, penyelamatan ekonomi dan keuangan sebagai akibat pandemi Covid-19. Dengan demikian, tidak terdapat permasalahan konstitusional atas norma-norma dalam Lampiran UU 2/2020.

    a.

    Ruang Lingkup Lampiran UU 2/2020 Sesuai dengan judul pada Lampiran UU 2/2020, ruang lingkup pengaturan Lampiran UU 2/2020 meliputi kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan terhadap penanganan pandemi Covid-19, ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan ancaman yang membahayakan stabilitas sistem keuangan. Ruang lingkup Lampiran UU 2/2020 tersebut tidak semata-mata hanya penanganan pandemi Covid-19 saja tetapi juga dampak dari pandemi Covid-19 sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya yang sangat mempengaruhi perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan. Dalam konsideran huruf a dan huruf b Lampiran UU 2/2020 dijelaskan bahwa pandemi Covid-19 telah berdampak terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional, penurunan penerimaan negara, dan peningkatan belanja negara dan pembiayaan. Oleh karena itu, diperlukan berbagai upaya Pemerintah untuk melakukan penyelamatan kesehatan dan perekonomian nasional, dengan fokus pada belanja untuk kesehatan, jaring pengaman sosial ( social safety net ), serta 201 pemulihan perekonomian termasuk untuk dunia usaha dan masyarakat yang terdampak. Implikasi pandemi Covid-19 telah berdampak pula terhadap memburuknya sistem keuangan yang ditunjukkan dengan penurunan berbagai aktivitas ekonomi domestik, sehingga perlu dimitigasi bersama oleh Pemerintah dan KSSK untuk melakukan tindakan antisipatif ( forward looking ) guna menjaga stabilitas sektor keuangan. Apabila dicermati, dalam Lampiran UU 2/2020 telah diuraikan efek domino tidak hanya kesehatan tapi juga sektor ekonomi, keuangan dan stabilitas sistem keuangan. Dengan demikian, konsideran dan judul Lampiran UU 2/2020 telah sejalan dan konsisten sehingga tidak ada yang berbeda dengan ruang lingkup Lampiran UU 2/2020. Ketidakpastian penyebaran dan berakhirnya pandemi Covid-19 akan berdampak pada ketidakpastian seberapa dalam pemburukan ekonomi sehingga Pemerintah memerlukan landasan hukum dan fleksibilitas untuk melakukan penyelamatan di bidang kesehatan maupun perekonomian. Oleh karena itu, UU 2/2020 merupakan landasan hukum yang kuat bagi Pemerintah dan lembaga terkait untuk segera mengambil kebijakan dan langkah-langkah guna penanganan pandemi Covid-19 dan/atau menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Kebijakan keuangan negara dalam Lampiran UU 2/2020 pada dasarnya adalah wujud kehadiran negara dalam mengatasi pandemi Covid-19 dan mencegah krisis perekonomian dan sektor keuangan. Selain itu, terhadap dalil para Pemohon perkara Nomor 37/PUU-XVIII/2020 yang meminta UU 2/2020 perlu ada batas waktu berlakunya yaitu sepanjang masa darurat penanganan Covid-19 atau sampai dengan status kedaruratan kesehatan masyarakat akibat Covid-19 dicabut oleh Presiden maka dapat Pemerintah sampaikan bahwa Lampiran UU 2/2020 dimaksudkan untuk penanganan Covid-19 beserta efek domino yang ditimbulkan terhadap perekonomian dan ancaman stabilitas sistem keuangan. Tingkat kedalaman efek domino yang ditimbulkan pandemi Covid-19 tidak dapat diukur secara pasti seiring dengan ketidakpastian berakhirnya pandemi Covid-19. Bahwa dengan ketidakpastian pandemi Covid-19, UU 2/2020 telah mengantisipasi hal tersebut untuk memberikan legitimasi bagi Pemerintah khususnya dalam rangka pemulihan ekonomi yang sangat tergantung kepada kedalaman dampak 202 pemburukan ekonomi yang terjadi namun dalam ketentuan tertentu ada batas waktu berlakunya. Dengan demikian, Pemerintah memiliki fleksibilitas melakukan recovery terhadap situasi dan kondisi perekonomian. Semakin mampu Pemerintah menangani dampak yang ditimbulkan oleh pandemi Covid-19 seiring dengan perkembangan/perlambatan ( flattening the curve ), semakin mempercepat negara keluar dari pemburukan ekonomi akibat pandemi Covid-19. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU 12/2011), tidak ada ketentuan yang mengatur tentang batas akhir berlakunya Perppu. Namun demikian, terkait dengan hal ini dapat Pemerintah sampaikan bahwa secara substansi, kebijakan yang diatur dalam Lampiran UU 2/2020 dibatasi untuk penanganan pandemi Covid-19 dan menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Walaupun UU 2/2020 memberikan fleksibilitas pelaksanaan kebijakan penanganan pandemi Covid-19 dan penyelamatan perekonomian, namun pada prinsipnya Pemerintah secara konsisten menjaga akuntabilitas pelaksanaan anggaran antara lain tercermin dalam penetapan pelebaran defisit. Meskipun terdapat fleksibilitas pelebaran defisit, namun mulai tahun anggaran 2021 Pemerintah akan menyampaikan UU APBN yang di dalamnya juga dibahas mengenai defisit sehingga besaran pelebaran defisit akan ditentukan bersama oleh Pemerintah dan DPR. Perlu Pemerintah sampaikan bahwa sampai saat ini tidak ada negara yang dapat menjamin kapan pandemi Covid-19 akan selesai dan tidak dapat dipastikan pula seberapa dalam perlambatan/pemburukan perekonomian sebagai dampak pandemi Covid-19. Atas dasar tersebut, keberlakuan UU 2/2020 tidak memiliki jangka waktu dikarenakan tidak dapat dipastikan seberapa besar dan seberapa lama ancaman perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan terjadi di Indonesia. Semakin lama pandemi Covid-19 berlangsung maka dampaknya pun semakin berat. Ketidakpastian tersebut terbukti dengan masih adanya peningkatan jumlah kasus penderita Covid-19 saat ini sehingga sebagian Pemerintah Daerah kembali melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Harapan perbaikan perekonomian di Kuartal III 2020 dari -5,32% di Kuartal II 2020 menjadi positif diprediksi tidak mungkin terwujud bahkan potensi resesi menjadi semakin besar. Dengan norma dalam UU 2/2020 yang memberikan fleksibilitas kepada Pemerintah untuk menentukan kebijakan, Pemerintah memiliki kemampuan untuk melakukan 203 langkah-langkah recovery maupun antisipatif. Untuk menanggulangi peningkatan penyebaran Covid-19 di daerah, Pemerintah Pusat telah memberikan pinjaman kepada Pemda terdampak dan bantuan langsung kepada masyarakat terdampak. Ketersediaan fasilitas kesehatan pun telah memadai untuk menghadapi peningkatan jumlah penderita. Dengan demikian, jelas bahwa kebijakan yang ditetapkan Pemerintah bersama DPR dalam UU 2/2020 semata-mata bertujuan memberikan legitimasi bagi Pemerintah untuk dapat melakukan langkah-langkah pencegahan negara dari krisis kesehatan dan perekonomian. Namun demikian, terdapat ketentuan dalam Lampiran UU 2/2020 yang dibatasi masa keberlakuannya, seperti:

    a.

    Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1 dan angka 2 Lampiran UU 2/2020 yang mengatur mengenai pelebaran defisit APBN; __ b. Perpanjangan waktu pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan mengacu pada penetapan periode kahar akibat pandemi Covid-19;

    c.

    Kebijakan stabilitas sistem keuangan yang diatur dalam Lampiran UU 2/2020 bertujuan untuk mengatasi permasalahan pada stabilitas sistem keuangan dan perekonomian akibat dari dampak pandemi Covid-19. Penetapan berakhirnya kondisi stabilitas sistem keuangan dan perekonomian akibat dari dampak pandemi Covid-19 tersebut ditetapkan oleh KSSK sebagaimana tercantum dalam Penjelasan Pasal 15 ayat (1) huruf a Lampiran UU 2/2020.

    b.

    Kebijakan Keuangan Negara 1) Pelebaran Defisit Anggaran dan Program PEN Pelebaran defisit lebih dari 3% PDB merupakan kebijakan yang diambil oleh Pemerintah agar upaya penanganan Covid-19 dapat berjalan efektif dan upaya pemulihan ekonomi serta stabilitas sektor keuangan dapat dipercepat, sehingga upaya pemulihan sosial-ekonomi dalam situasi extraordinary pandemi Covid-19 dapat berjalan optimal. Pelebaran defisit dalam APBN 2020 terutama disebabkan adanya penurunan di sisi pendapatan, dan tambahan kebutuhan belanja yang ditujukan untuk penyelamatan jiwa dan kegiatan dunia usaha. Penurunan di sisi pendapatan yang sangat signifikan terutama dipengaruhi oleh faktor perlambatan pertumbuhan ekonomi, penurunan harga minyak dan komoditas, di samping karena adanya berbagai insentif yang berperan sebagai stimulus bagi perekonomian nasional seperti insentif perpajakan untuk dunia usaha. Sementara itu, kebutuhan belanja negara bertambah terutama disebabkan oleh adanya tambahan belanja 204 untuk penanganan pandemi Covid-19 dan tambahan stimulus untuk kesehatan, social safety net , serta dukungan terhadap dunia usaha dan UMKM. Sebagai upaya penanganan keadaan darurat, pemberian kewenangan pelebaran defisit kepada Pemerintah dalam Perppu 1/2020 didasarkan pada mandat Presiden sebagai Kepala Pemerintahan yang diatur dalam Pasal 22 UUD 1945. Dengan telah disahkannya Perppu 1/2020 menjadi UU 2/2020 maka pelebaran defisit tersebut telah memenuhi ketentuan Pasal 20A ayat (1) dan Pasal 23 UUD 1945. Walaupun UU 2/2020 memberikan fleksibilitas defisit sampai tahun 2022, tetapi pelebaran defisit untuk tahun 2021 dan 2022 akan dibahas bersama DPR melalui mekanisme RAPBN sehingga esensi Pasal 23 UUD 1945 masih terjaga untuk APBN tahun mendatang. Dalam Lampiran UU 2/2020 tetap terdapat pembatasan-pembatasan yaitu: Pertama , kewenangan menetapkan defisit melampaui 3% dari PDB hanya berlaku paling lama sampai dengan berakhirnya Tahun Anggaran 2022 (dalam jangka waktu kurang lebih 2 tahun atau bisa kurang dari waktu tersebut jika recovery ekonomi dapat berjalan lebih cepat); dan penyesuaian besaran defisit tersebut dilakukan secara bertahap. Kedua , pelebaran defisit tersebut tetap dalam koridor jumlah pinjaman yang dapat dilakukan dalam rangka pelaksanaan pelebaran defisit tersebut yaitu dibatasi maksimal 60% (enam puluh persen) dari PDB sesuai UU Keuangan Negara. Pemohon juga mendalilkan Pasal 11 ayat (3) Lampiran UU 2/2020 bertentangan dengan Pasal 23 ayat (2) UUD 1945 karena Pemerintah menetapkan program PEN tanpa terlebih dahulu berkonsultasi dengan DPR. Selain itu, program PEN bersumber dari APBN sehingga Pemerintah tidak dapat melaksanakan PEN tanpa membahas terlebih dahulu dengan DPR yang memiliki fungsi anggaran. Dapat Pemerintah sampaikan bahwa program PEN yang merupakan salah satu materi muatan dalam Perppu 1/2020, telah disampaikan Pemerintah kepada DPR dalam bentuk Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Penetapan Perppu 1/2020 menjadi Undang-Undang. Pemerintah telah menyampaikan RUU Perppu 1/2020 dimaksud kepada DPR pada tanggal 1 April 2020 dan telah dibahas secara intensif bersama dengan DPR dalam Rapat Kerja. Selanjutnya, pada Rapat Paripurna DPR tanggal 12 Mei 2020, DPR telah memberikan persetujuan terhadap RUU Penetapan Perppu 1/2020 menjadi undang-undang tersebut, yang tentunya termasuk pula program PEN dimaksud. 205 Dengan demikian, dalil Pemohon yang menyatakan penetapan batasan defisit anggaran dan penetapan program PEN oleh Pemerintah tanpa persetujuan dari DPR tidak sesuai dengan fakta hukum yang ada. Program PEN yang ditetapkan dalam Pasal 11 Lampiran UU 2/2020 merupakan pendukung dan bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan keuangan negara. Program PEN adalah rangkaian kegiatan untuk pemulihan perekonomian nasional yang merupakan bagian dari kebijakan keuangan negara yang dilaksanakan oleh Pemerintah untuk mempercepat penanganan pandemi Covid-19 dan/atau menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan, serta penyelamatan ekonomi nasional. Program PEN dilaksanakan melalui Penyertaan Modal Negara, penempatan dana dan/atau investasi Pemerintah, dan/atau kegiatan penjaminan dengan skema yang ditetapkan oleh Pemerintah. Sebagai wujud dari tata kelola yang baik dalam pelaksanaan Program PEN tersebut, Pemerintah telah menerbitkan peraturan pelaksanaan berikut:

    1)

    Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional Dalam Rangka Mendukung Kebijakan Keuangan Negara Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease (Covid-19) Dan/Atau Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan Serta Penyelamatan Ekonomi Nasional;

    2)

    Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional Dalam Rangka Mendukung Kebijakan Keuangan Negara Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Dan/Atau Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan Serta Penyelamatan Ekonomi Nasional;

    3)

    Peraturan Menteri Keuangan Nomor 53/PMK.05/2020 tentang Tata Cara Investasi Pemerintah;

    4)

    Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.05/2020 tentang Penempatan Uang Negara Pada Bank Umum Dalam Rangka Percepatan Pemulihan Ekonomi Nasional;

    5)

    Peraturan Menteri Keuangan Nomor 71/PMK.08/2020 tentang Tata Cara Penjaminan Pemerintah Melalui Badan Usaha Penjaminan Yang Ditunjuk Dalam Rangka Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional; 206 6) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 85/PMK.05/2020 tentang Tata Cara Pemberian Subsidi Bunga/Subsidi Margin Untuk Kredit/Pembiayaan Usaha Mikro, Usaha Kecil, Dan Usaha Menengah Dalam Rangka Mendukung Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional;

    7)

    Peraturan Menteri Keuangan Nomor 103/PMK.05/2020 tentang Tata Cara Pengelolaan Rekening Khusus Dalam Rangka Pembiayaan Penanganan Dampak Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan Pemulihan Ekonomi Nasional 8) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 104/PMK.05/2020 tentang Penempatan Dana Pada Bank Peserta Dalam Rangka Program Pemulihan Ekonomi Nasional;

    9)

    Peraturan Menteri Keuangan Nomor 105/PMK.07/2020 tentang Pengelolaan Pinjaman Pemulihan Ekonomi Nasional untuk Pemerintah Daerah. Berdasarkan ketentuan Pasal 21A PP Nomor 43 Tahun 2020, diatur bahwa dalam rangka pelaksanaan kebijakan dan Program PEN, pejabat perbendaharaan dan pejabat yang mengelola Program PEN melaksanakan penyaluran dana dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Program PEN. Dapat Pemerintah sampaikan bahwa proses pelaksanaan PEN, yaitu:

    1)

    Penetapan dasar hukum perubahan APBN dan program PEN a) Program PEN diatur dalam PP 23/2020 sebagai implementasi dari Perppu 1/2020 yang telah disahkan menjadi UU 2/2020. b) Telah dilakukan perubahan Perpres 54/2020 menjadi Perpres 72/2020 untuk menampung kebutuhan pendanaan untuk program PEN senilai Rp 695,2 T (pelebaran defisit dari 5,07% PDB menjadi 6,34% PDB).

    2)

    Berkonsultasi dengan DPR RI Perubahan APBN yang ditetapkan di dalam Perpres 72/2020 telah dibahas dan dikoordinasikan dengan DPR RI (Komisi XI dan Badan Anggaran) termasuk kebutuhan anggaran dan kebijakan Program PEN.

    3)

    Adanya Kerjasama dengan Aparat Penegak Hukum (APH) a) Dengan melakukan komunikasi dan koordinasi dengan APH yaitu KPK, Kepolisian, dan Kejaksaan Agung serta BPK dalam rangka monitoring pelaksanaan PEN. b) Direktorat Litbang KPK telah membentuk 5 (lima) Satuan Tugas (Satgas) untuk memantau perkembangan PEN. 207 c) Kerjasama dengan APH juga turut melibatkan Inspektorat Jenderal Kementerian/Lembaga.

    4)

    Pembentukan Pola Monitoring Proses monitoring dan evaluasi dilakukan secara berjenjang di internal Kementerian Keuangan. Proses monitoring dan evaluasi dimulai kelompok kerja yang dipimpin oleh Pejabat Eselon I yang dilakukan setiap hari, laporan ke Wakil Menteri Keuangan setiap 3 hari dan laporan ke Menteri Keuangan setiap minggu. Dalam setiap jenjang, dibahas perkembangan pelaksanaan program, identifikasi permasalahan, dan perumusan solusi untuk mengakselerasi dan mendorong efektivitas program PEN. Pengawasan PEN diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 75/PMK.09/2020 tentang Pedoman Pengawasan Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional Dalam Rangka Mendukung Kebijakan Keuangan Negara Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Dan/Atau Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan Serta Penyelamatan Ekonomi Nasional. Pemerintah telah menetapkan dan melaksanakan program kesehatan dan kebijakan PEN dengan penyediaan anggaran senilai Rp695,2 triliun, dengan rincian untuk program kesehatan sebesar Rp87,55 triliun dan untuk program PEN dengan total anggaran Rp607,65 T yang terbagi dalam 5 (lima) sektor yaitu perlindungan sosial (Rp203,91 triliun), UMKM (Rp123,47 triliun), Sektoral K/L dan Pemda (Rp106,05 triliun), Pembiayaan Korporasi (Rp53,6 triliun) dan Insentif Usaha (Rp120,61 triliun). Rincian program dan realisasi anggaran program dimaksud per 30 September 2020 adalah sebagai berikut: 208 Gambar 3 : Program Kesehatan dan Pemulihan Ekonomi Nasional Realisasi program PEN telah mengalami akselerasi yang signifikan selama bulan Agustus dan September 2020. Akselerasi tersebut didukung antara lain karena adanya percepatan belanja penanganan Covid-19, percepatan program PEN lainnya (seperti DAK Fisik, DID Pemulihan, dan Prakerja), dan adanya program- program baru yang langsung segera direalisasikan (bantuan produktif UMKM dan subsidi gaji/upah). Per 30 September 2020, progress realisasi belanja program kesehatan mencapai 25% dari pagu anggaran. Rincian realisasi anggaran tersebut adalah sebagai berikut: insentif tenaga kesehatan pusat dan daerah (Rp3,13T), santunan kematian tenaga kesehatan (Rp0,029T), gugus tugas Covid-19 (Rp3,22T), belanja penanganan Covid-19 (Rp11,70T), bantuan iuran JKN (Rp1,19T), dan insentif perpajakan kesehatan (Rp2,66T). Keseluruhan program pada klaster Perlindungan Sosial telah dilaksanakan dengan realisasi mencapai 77% dari pagu per 30 September 2020. Program dengan realisasi belanja paling besar pada periode tersebut adalah Program Keluarga Harapan (PKH) sebesar Rp36,26T, Kartu Sembako sebesar Rp32,4T, Bansos Tunai Non-Jabodetabek sebesar Rp25,54T, Kartu Prakerja sebesar 19,46T, dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) Dana Desa sebesar Rp12,28T. Pada klaster Sektoral Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah, realisasi anggaran mencapai 25,1% dari pagu atau sebesar Rp26,61T per 30 September 209 2020. Realisasi belanja terbesar terserap pada program Padat Karya dengan nilai sebesar Rp13,23T yang menghasilkan output sebanyak 1,97 juta pekerja. Rincian realisasi program lainnnya pada klaster ini adalah sebagai berikut: DID Pemulihan Ekonomi (Rp7T), DAK Fisik (Rp6,83T), Bantuan Operasional Pesantren (Rp2,02T), Perluasan PEN KemenPUPR (Rp0,53T), dan Peta Peluang Investasi (Rp0,0001T). Sebagai bentuk optimalisasi pelaksanaan program PEN, Pemerintah telah melakukan reclustering anggaran PEN untuk meningkatkan anggaran bidang kesehatan, perlindungan sosial, dan UMKM. Alokasi cluster kesehatan semula Rp87,55T menjadi Rp 87,93T, alokasi cluster perlindungan sosial semula Rp203,9T menjadi Rp239,53T dan alokasi cluster UMKM semula Rp123,46T menjadi 128,21T. Reclustering anggaran tersebut menunjukkan Pemerintah sangat serius menangani pandemi Covid-19 yang masih terus berlanjut dan berpengaruh sangat signifikan terhadap kesehatan masyarakat dan perekonomian. Indonesia merupakan negara yang pangsa usahanya didominasi oleh UMKM sehingga keberlangsungan ( sustainability ) usaha UMKM harus tetap dipertahankan. Data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah menunjukkan bahwa pada tahun 2018 terdapat 64.2 juta unit UMKM di Indonesia, yang telah menyumbang 99% pangsa usaha di Indonesia. Sebagian besar UMKM bergantung kepada kegiatan ekonomi harian atau day to day basis untuk mempertahankan keberlangsungan usahanya. Penerapan social and physical distancing menjadi kendala terhadap kegiatan ekonomi UMKM. Dalam rangka memberdayakan keberlangsungan UMKM di tengah pandemi Covid-19, Pemerintah telah melakukan berbagai langkah-langkah strategis, yaitu penempatan dana pada perbankan untuk membantu penyaluran kredit UMKM dan menanggung PPh Final bagi UMKM. Selain itu, Pemerintah juga memberikan subsidi bunga bagi UMKM dengan pagu anggaran sebesar Rp35,3 triliun dengan rincian untuk penerima Kredit Usaha Rakyat (KUR) sebesar Rp5 triliun, Non-KUR Perbankan, BPR, dan Perusahaan Pembiayaan sebesar Rp27,2 triliun, Non-KUR PT Permodalan Nasional Madani (Persero) dan Pegadaian sebesar Rp2,4 triliun, dan sebesar Rp0,7 triliun untuk penerima Non-KUR Koperasi. Insentif kepada UMKM juga diberikan dengan skema pembiayaan investasi kepada Koperasi melalui LPDB KUMKM dengan total alokasi yang sudah dicairkan sebesar Rp1 triliun. Untuk menjamin kredit yang diberikan kepada UMKM, Pemerintah memberikan penjaminan dengan pagu sebesar Rp6 triliun. Pemerintah melalui 210 kementerian/lembaga, BUMN, dan Pemda juga bertindak sebagai penyangga dalam ekosistem UMKM terutama pada tahap pemulihan dan konsolidasi usaha setelah pandemi Covid-19. Dapat Pemerintah sampaikan juga bahwa agar realisasi penanganan Covid-19 dan program PEN dapat terus dipercepat maka Pemerintah telah mempercepat penyelesaian regulasi dan penyederhanaan administrasi, mempercepat implementasi program untuk mendukung keberlangsungan dunia usaha, dan memperkuat komunikasi publik untuk meningkatkan kesadaran publik serta mendapatkan feedback .

    2)

    Kebijakan di Bidang Perpajakan dan Kepabeanan a) Penyesuaian Tarif Pajak Kebijakan penurunan tarif PPh Wajib Pajak badan dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT) merupakan upaya nyata Pemerintah mengurangi beban pengusaha dalam tren global yang mengalami penurunan sehingga sejauh mungkin tidak terjadi PHK. Dengan penurunan tarif PPh Badan dan BUT, maka beban pajak yang ditanggung perusahaan menjadi berkurang, sehingga arus kas dan kesehatan perusahaan dapat bertahan di tengah pandemi Covid-19 dan potensi PHK oleh perusahaan akan berkurang. Insentif pajak ini secara tidak langsung akan berdampak pada terjaminnya ketersediaan barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat serta mempertahankan lapangan kerja. Terhadap dalil Pemohon perkara Nomor 37/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan bahwa pengaturan insentif pajak harus diikuti dengan frasa “dan larangan pemutusan hubungan kerja (PHK)”, dapat Pemerintah sampaikan bahwa pengaturan terkait ketenagakerjaan terutama terkait PHK telah diatur secara jelas dalam UU Ketenagakerjaan. Adanya tambahan frasa “dan larangan pemutusan hubungan kerja (PHK)” dalam ketentuan penyesuaian tarif PPh Badan akan menimbulkan ketidakharmonisan ketentuan dalam UU 2/2020 dengan UU Ketenagakerjaan sehingga justru menimbulkan potensi komplikasi hukum, ketidakadilan dan ketidakpastian hukum bagi seluruh pihak. Selain itu, atas dalil Pemohon perkara Nomor 37/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan bahwa ketentuan Pasal 5 ayat (1) huruf a dan b Lampiran UU 2/2020 harus ditambahkan frasa “ paling tinggi ” sesuai dengan sektor usaha tertentu, perlu Pemerintah sampaikan bahwa apabila mengikuti logika Pemohon dimaksud, maka dibutuhkan pengaturan mengenai kriteria Wajib Pajak dan batas-batas ( range ) 211 besaran tarif PPh yang akan dikenakan. Di samping itu, dalam implementasinya akan sulit untuk menentukan bidang-bidang usaha wajib pajak dan besaran tarif pajak yang akan dikenakan, karena secara faktual sebuah perusahaan dimungkinkan memiliki usaha lintas bidang/lintas sektoral. Dengan demikian, penambahan frasa “ paling tinggi ” yang didalilkan Pemohon akan menimbulkan kesulitan dan kerumitan dalam implementasi pemajakannya dan menimbulkan ketidakpastian hukum. Lebih lanjut, Pemohon perkara Nomor 37/PUU-XVIII/2020 juga berpendapat jika seharusnya pada Pasal 5 ayat (1) huruf a dan b memberikan insentif pajak secara maksimal kepada badan dalam negeri yang bergerak di bidang riset dan pengembangan untuk penanganan Covid-19. Terhadap dalil tersebut, dapat Pemerintah sampaikan bahwa pemberian insentif penurunan PPh badan diberikan kepada seluruh dunia usaha karena tidak dapat dipungkiri jika dampak akibat Covid- 19 dialami oleh semua sektor usaha. Beberapa kebijakan Pemerintah antara lain pembatasan sosial ( social/physical distancing ), pembatasan perjalanan, karantina wilayah, bekerja dari rumah ( work from home ) dan tetap tinggal di rumah ( stay at home ) telah berdampak pada menurunnya aktivitas perekonomian dan merosotnya pertumbuhan bisnis di segala bidang. Oleh karena itu, tarif yang bersifat tunggal, berlaku umum dan universal untuk seluruh wajib pajak badan dalam negeri dan BUT dinilai lebih memberikan jaminan kepastian hukum. Khusus untuk badan dalam negeri yang bergerak di bidang riset dan pengembangan untuk penanganan Covid- 19, Pemerintah telah memberikan fasilitas tambahan yaitu fasilitas pembebasan kepabeanan. b) Perlakuan Perpajakan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) Pandemi Covid-19 memaksa semua orang beraktivitas di rumah seperti work from home, study from home , maupun online shopping sehingga transformasi digital menjadi semakin terakselerasi. Basis pajak dari transaksi digital ini menjadi sangat penting pada saat penerimaan pajak menurun. Oleh karena itu, Pemerintah harus menjaga basis pajak tersebut agar tidak tererosi. Berdasarkan hal tersebut, maka pengaturan mengenai perlakuan perpajakan terhadap PMSE merupakan konsekuensi logis dari adanya pandemi Covid-19. Pengaturan pemajakan PMSE juga penting dan perlu disegerakan mengingat penerimaan negara mengalami penurunan dan diiringi dengan meningkatnya belanja negara dan pembiayaan. Oleh karena itu, Pengaturan pemajakan PMSE 212 dalam UU 2/2020 tidak dapat dipertentangkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006. Mendesaknya kebutuhan penerbitan dasar hukum pemungutan pajak PMSE tersebut juga dikuatkan dengan beberapa pertimbangan, yaitu:

    1)

    Pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah memungkinkan pelaku usaha ekonomi digital luar negeri menikmati fasilitas dan mendapatkan penghasilan dari Indonesia secara signifikan tanpa perlu membayar pajak di Indonesia, sehingga perlu segera dibuat ketentuan yang memastikan terpenuhinya prinsip pemajakan yang berkeadilan ( fairness ) antara semua pelaku usaha, serta menciptakan level playing field yang sama bagi pengusaha untuk bertahan dan meningkatkan daya saingnya di tengah pandemi Covid-19.

    2)

    Besarnya nilai transaksi dan kapitalisasi barang tidak berwujud , perkembangan ekonomi digital di Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang paling cepat dan ukuran pasar paling besar di negara-negara Asia Tenggara, dengan proyeksi nilai kapitalisasi ekonomi sebagaimana digambarkan di bawah ini. Gambar 4: Proyeksi Ukuran Ekonomi Digital Dengan mempertimbangkan besarnya ukuran kapitalisasi ekonomi digital tersebut, terdapat beberapa titik perhatian utama dalam cakupan ekonomi digital. Pertama, adanya isu ketidaksetaraan perlakuan akibat perkembangan ekonomi digital bagi masyarakat suatu yurisdiksi, sebagai contoh negara berkembang seharusnya tidak hanya dijadikan sebagai pasar e-commerce, namun juga harus ikut terlibat sebagai pelaku dalam interaksi ekonomi tersebut. Oleh karena itu, pajak diharapkan menjadi penghambat fiskal terjadinya invasi persaingan lintas yurisdiksi. Kedua, adanya risiko penghindaran pajak dalam skema PMSE, yang dibuktikan secara empiris dengan adanya penggerusan basis pemajakan sebagai 213 konsekuensi pergeseran transaksi yang dilakukan secara konvensional menjadi dilakukan secara elektronik. Lebih spesifik, OECD (2015) mengidentifikasi beberapa isu pergeseran laba dalam skema PMSE untuk menghindari pengenaan pajak di yurisdiksi terjadinya transaksi atau kegiatan ekonomi, antara lain:

    (1)

    menghindari keberadaan sebagai objek pajak (taxable presence) , (2) meminimalkan penghasilan di yurisdiksi pasar dengan cara mengalokasikan penghasilan tersebut ke fungsi, aset atau risiko, dan (3) memaksimalkan biaya atau pengurang penghasilan di yurisdiksi pasar. Dikaitkan dengan aspek ekonomi, kedaulatan , dan strategi untuk melawan praktik penghindaran pajak dalam konteks ekonomi digital, diperlukan perumusan pengenaan pajak yang efisien, terstruktur, komprehensif dan dapat diaplikasikan dalam dinamika evolusi transaksi ekonomi digital (atau PMSE) yang sangat cepat.

    3)

    Saat ini atas penghasilan yang diperoleh dari kegiatan PMSE yang dilakukan oleh Subjek Pajak Dalam Negeri (SPDN) dikenakan PPh sesuai dengan ketentuan Undang-Undang mengenai Pajak Penghasilan. Sementara itu terdapat isu mendasar dalam pemajakan kegiatan PMSE yang dilakukan oleh Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN), di mana secara konseptual, pembagian hak pemajakan masih ditentukan oleh ada tidaknya bentuk usaha tetap (BUT) dengan kriteria keberadaan fisik. Lebih lanjut, OECD (2015) menyatakan bahwa konsep penentuan keberadaan fisik sebagai penghasil laba seharusnya diartikan lebih luas dengan mempertimbangkan kondisi dan lokasi di mana kegiatan ekonomi yang menghasilkan profit dilakukan. Dalam konteks ini, OECD (2015) menyatakan bahwa hak pemajakan dapat ditentukan dengan melihat keberadaan ekonomi yang signifikan yang terkait langsung dengan aktivitas ekonomi di suatu yurisdiksi. Konsep penentuan keberadaan suatu bentuk usaha yang dikaitkan dengan kegiatan riil suatu entitas dalam menciptakan laba pada suatu yurisdiksi menjadi penting, mengingat dengan kemajuan teknologi saat ini, sebuah entitas dimungkinkan untuk memberikan pengaruh yang besar (heavily involved) pada suatu bisnis tanpa harus memiliki fixed place atau dependent agent di suatu tempat.

    4)

    Saat ini pengenaan PPN dan Bea Masuk atas penyerahan barang dan jasa yang dilakukan oleh kegiatan PMSE dipersamakan dengan transaksi konvensional. Subjek pajak yang dikenakan adalah SPDN atau yang melakukan kegiatan usaha 214 di Indonesia. Atas penyerahan barang dan jasa dikenakan PPN sebesar 10% (sepuluh persen) sesuai dengan Undang-Undang mengenai Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Secara keseluruhan, pengaturan yang ada saat ini terkait dengan pemanfaatan Barang Kenapa Pajak (BKP) Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean hanya efektif diterapkan untuk transaksi yang sifatnya Business- to-Business ( B2B ), yakni transaksi yang dilakukan oleh konsumen di Indonesia yang telah menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP). Atas pembayaran PPN atas pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dan/atau JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean bagi PKP merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan. Sementara itu, untuk pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dan/atau JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean yang sifatnya Business- to-Customer (B2C), aspek pengawasan pemenuhan kewajiban perpajakannya belum efektif karena masih menggunakan sistem self-assessment. 5) Adanya potensi penerimaan pajak yang besar. Secara praktis, saat ini barang digital telah masuk ke dalam daerah pabean dan dimanfaatkan, dipakai, dan dimiliki atau dikuasai oleh penduduk di dalam negeri. Beberapa jenis barang yang termasuk dalam definisi barang digital beserta bentuk transaksi, pengiriman, dan perkiraan nilai transaksi dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 1: Proyeksi Ukuran Ekonomi Digital Indonesia TYPE OF GOODS CONVENTIONAL/NOW NOW/FUTURE VAL. IN 2017 (Rp) SHIPMENT TRANSACTION SALE TRANSACTION Software system and Application Recording Media Express Consignment Online Retail Marketplace Online/ Commercial 14,06 T Game, Video, Music Recording Media Express Consignment Online Retail Marketplace Online/ Commercial 0,88 T Film Cinema Recording Media Express Consignment/ import home use Online Retail Bank 7,65 T Software Spesialis (engineerin g, design, etc) Recording Media + Manual installment Express Consignment/ imported together with the hardware Online Retail/ Special Subscription Online/ Bank Instrument 1,77 T 215 Handphon e Software In gadget Express Consignment/ import for home use Imported separately/ electronic Transmission Online 44,75 T Pay TV / Broadcast Rights Satelit Bank Instrument Internet Satelite Bank Instrument/ Commercial 16,49 T Fas OTT and Social Media Recording Media Express Consignment/ import for home use Special Subscription Online/ Commercial 17,07 T Dari tabel tersebut dapat dijelaskan bahwa dari 7 (tujuh) buah poin tersebut, total nilai transaksi dari barang digital mencapai pada angka Rp104,4 triliun. Angka tersebut merupakan gambaran perkiraan pada tahun 2017. Dari total nilai transaksi tersebut, maka potensi dari penerimaan Pajak Pertambahan Nilai mencapai Rp 10,4 triliun dengan menggunakan tarif pajak konsumen sebesar 10% yang berlaku saat ini. Potensi pajak dari PMSE ini dapat semakin besar bila Pemerintah melakukan penarikan PPh perusahaan digital. Sedangkan potensi penerimaan pajak atas kegiatan PMSE dari Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN) pada tahun pajak 2020 sebesar Rp3,45T dan sampai tahun pajak 2024 diperkirakan sebesar Rp6,40 T, yang berasal dari 8 SPLN pelaku ekonomi digital saja, belum untuk keseluruhan pelaku usaha ekonomi digital luar negeri.

    6)

    Bahwa eksistensi pelaku usaha ekonomi digital yang pada umumnya berdomisili di luar negeri menimbulkan kesulitan tersendiri dalam pemajakannya karena regulasi-regulasi yang ada belum mengatur, sehingga terdapat kekosongan hukum dan menjadi celah (loopholes) yang menyebabkan hilangnya potensi penerimaan pajak dalam jumlah besar karena adanya pengelakan pajak. Kekosongan hukum pengaturan tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang melalui proses legislasi karena akan memerlukan waktu yang cukup lama, apalagi di tengah pandemi Covid-19 tentunya proses legislasi pembahasan RUU untuk sampai dengan diundangkan menjadi undang- undang akan mengalami banyak kendala dan perlambatan, sehingga menjadi sangat berdasar apabila Presiden memasukkan pengaturan mengenai pemajakan PMSE tersebut dalam Lampiran UU 2/2020. 216 Berikutnya terkait dengan dalil para Pemohon yang menganggap bahwa pengaturan pajak terhadap PMSE semestinya diatur dalam suatu undang-undang tersendiri dan tidak disisipkan dalam Perppu a quo sesuai dengan Pasal 23A UUD 1945 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 tanggal 19 Desember 2006, Pemerintah dapat memberikan penjelasan sebagai berikut:

    1)

    Berdasarkan pertimbangan putusan Mahkamah Konstitusi, untuk menilai konstitusionalitas pengaturan PMSE dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b, Pasal 4 ayat (2), Pasal 6, dan Pasal 7 Lampiran UU 2/2020 adalah harus dengan melihat substansi norma yang diatur didalamnya dan implikasi atas pengaturan norma tersebut. Sepanjang norma yang diatur didalamnya secara substansial tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan implikasinya tidak mengakibatkan timbulnya hal-hal yang bertentangan dengan UUD 1945, maka pengaturan pajak PMSE dalam Lampiran UU 2/2020 tersebut adalah konstitusional.

    2)

    Lebih lanjut, para Pemohon dalam permohonannya sama sekali tidak mendalilkan substansi norma dari pengaturan pajak PMSE dalam Lampiran UU 2/2020 yang bertentangan dengan UUD 1945. Para Pemohon juga tidak mendalilkan implikasi kerugian nyata yang timbul dan dialaminya dari pengaturan pajak PMSE dalam Lampiran UU 2/2020 yang dinilai bertentangan dengan UUD 1945.

    3)

    Bahwa perlu Pemerintah sampaikan kembali, persetujuan DPR atas Perppu 1/2020 menjadi UU 2/2020 dalam rapat sidang Paripurna DPR tanggal 12 Mei 2020 menunjukkan fungsi legislasi DPR telah digunakan dalam pengaturan pajak PMSE dalam UU 2/2020. Bahwa secara substansial, norma-norma dan implikasi yang timbul dari pengaturan pajak PMSE dalam Lampiran UU 2/2020 justru selaras dan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Hal tersebut dapat Pemerintah jelaskan sebagai berikut:

    1)

    Bahwa norma pengaturan pajak PMSE dalam Lampiran UU 2/2020 secara substansial justru menghadirkan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, karena dengan pengaturan pajak PMSE maka: a) akan menutup celah pengaturan ( loopholes ) yang dapat mengakibatkan timbulnya penghindaran dan pengelakan pajak yang akan menggerus potensi penerimaan pajak yang merugikan penerimaan negara; b) memastikan ketentuan pemajakan berlaku secara adil dan tidak diskriminatif antara Subjek Pajak luar negeri dan Subjek Pajak dalam negeri; 217 c) menciptakan kesetaraan dalam berusaha ( level of playing field ) baik antara pelaku usaha konvensional dan pelaku usaha ekonomi digital maupun antara pelaku usaha ekonomi digital di dalam negeri dan luar negeri; d) memberikan keadilan ( fairness ) antara pelaku usaha perdagangan melalui sistem elektronik. Pengenaan pajak terhadap PMSE juga sudah diadopsi berbagai negara dengan pengaturan yang secara substansi sama, seperti Perancis, India, Spanyol, Australia, Inggris, Italia, Singapura dan Malaysia.

    2)

    Apabila ketentuan mengenai pengaturan pajak PMSE dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b, Pasal 4 ayat (2), Pasal 6, dan Pasal 7 Lampiran UU 2/2020 ini dibatalkan, maka justru tidak ada jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil karena akan muncul kembali kekosongan hukum yang secara langsung berakibat pada hilangnya penerimaan pajak (kerugian penerimaan negara) terutama dalam kondisi saat ini dimana penanganan pandemi Covid-19 membutuhkan biaya yang sangat besar dan karena ketidakpastian kapan pandemi berakhir dan dampak ikutan (multiplier effect) yang ditimbulkan, maka __ kebutuhan biaya/anggaran penanganannya pun sangat mungkin bertambah. c) Pengaturan Besaran Tarif Pajak PMSE Dengan Atau Berdasarkan Peraturan Pemerintah Berkaitan dengan masalah pendelegasian kewenangan, Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., pada intinya berpendapat bahwa kewenangan yang dimiliki oleh suatu lembaga negara dapat berpindah kepada lembaga lain karena pemberian mandat atau karena pelimpahan wewenang ( transfer of power ). Jika kekuasaan yang dilimpahkan itu adalah kekuasaan untuk membentuk suatu peraturan perundang- undangan ( the power of rule making ), maka dengan terjadinya pendelegasian kewenangan regulasi ( delegation of the rule-making power ) tersebut berarti terjadi pula peralihan kewenangan untuk membentuk suatu peraturan perundang- undangan. Hal tersebut berarti pembentuk undang-undang memberikan delegasi kepada Pemerintah untuk mengatur sendiri hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran tugas dan wewenangnya. Lebih lanjut, Prof. Dr. Maria Farida Indrati S, dalam buku ”Ilmu Perundang- Undangan” berpendapat bahwa Peraturan Pemerintah merupakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam suatu undang-undang yang secara tegas disebutkan. Fungsi ini sesuai dengan ketentuan Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 yang menentukan bahwa 218 Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya. Apabila ketentuan dalam undang-undang belum cukup mengatur dan masih diperlukan pengaturan lebih lanjut, maka dapat dilakukan pendelegasian kewenangan pengaturan. Hal ini sejalan dengan Pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 128/PUU-VII/2009: “Bahwa hal tersebut semata-mata untuk memenuhi kebutuhan negara mendapatkan landasan hukum yang diperlukan, karena proses pembentukan peraturan di bawah Undang-Undang lebih cepat dibandingkan proses pembentukan Undang-Undang. Melalui pendelegasian wewenang kepada peraturan yang lebih rendah (delegated regulations), maka tercapainya tujuan (doelmatigheid) untuk memenuhi tuntutan masyarakat menjadi hal yang diutamakan. Pendelegasian wewenang tersebut merupakan hal yang lazim dan dibolehkan dalam penyelenggaraan negara, oleh sebab itu tidak bertentangan dengan hukum.” Pengaturan besaran tarif pajak PMSE dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah bertujuan untuk memberikan fleksibilitas kepada Pemerintah untuk mengikuti perkembangan dunia usaha terutama pada kondisi pandemi Covid-19. Menyadari hal tersebut, maka pengaturan mengenai besaran tarif pajak PMSE dalam Peraturan Pemerintah telah tepat karena akan menciptakan instrumen perpajakan untuk mendorong perekonomian. Lampiran UU 2/2020 memberikan kewenangan atribusi untuk mengatur pengenaan besaran tarif pajak PMSE dengan Peraturan Pemerintah untuk memenuhi kebutuhan Pemerintah dengan segera dalam situasi mendesak. Hal tersebut juga menjadi pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam memutus uji materiil UU Pajak Penghasilan, yang juga mendelegasikan pengaturan besaran tarif pajak dengan Peraturan Pemerintah. Sebagaimana pertimbangan Mahkamah Konstitusi tersebut, pemberian kewenangan atribusi telah sesuai dengan hukum administrasi negara dan ketentuan Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 6 ayat (12) Lampiran UU 2/2020. Pendelegasian wewenang undang-undang untuk mengatur lebih lanjut suatu ketentuan melalui peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya merupakan suatu kebijakan pembentuk undang-undang ( opened legal policy ) sehingga peraturan tersebut dianggap sah dan sesuai dengan UUD 1945. Selain itu, pengaturan lebih lanjut dalam bentuk Peraturan Pemerintah atau peraturan perundang-undangan yang lebih rendah diperlukan Pemerintah untuk menjadi 219 landasan hukum yang lebih rinci dan operasional sekaligus merupakan diskresi yang dibenarkan oleh hukum administrasi. Pengaturan lebih lanjut mengenai besaran tarif pajak dengan Peraturan Pemerintah bukanlah hal yang baru ( precedented ), karena ketentuan serupa dapat ditemukan dalam UU Pajak Penghasilan, yaitu:

    a.

    Pasal 4 ayat 2 huruf e UU Pajak Penghasilan yang menyebutkan bahwa: “Penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final: penghasilan tertentu lainnya, yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah” b. Pasal 17 ayat (7) UU Pajak Penghasilan yang menyebutkan bahwa: “Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan tarif pajak tersendiri atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi sebagaimana tersebut pada ayat (1)” Selain itu, Mahkamah Konstitusi dalam putusan Nomor 47/PUU-XII/2014 telah menolak permohonan uji materi yang pada pokoknya mempersoalkan pendelegasian pengaturan lebih lanjut mengenai objek pajak (jasa lain) dalam Peraturan Menteri Keuangan. Dengan demikian, pendelegasian pengaturan besaran tarif PMSE dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945. Selain itu dapat Pemerintah sampaikan, para Pemohon bukanlah adressat atau subjek hukum dari pengaturan PMSE karena para Pemohon tidak memenuhi kriteria subjek pajak dalam ketentuan Pasal 6 Lampiran UU 2/2020. d) Pemberian Fasilitas Kepabeanan Sebagai upaya Pemerintah menanggulangi pandemi Covid-19 dan juga mengantisipasi terjadinya ancaman di maesa depan yang dapat membahayakan perekonomian nasional, maka fleksibilitas dalam pemberian fasilitas pembebasan atau keringanan bea masuk sangat diperlukan. Ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 9 Lampiran UU 2/2020 merupakan pelaksanaan kekuasaan pemerintahan atas pengelolaan fiskal yang menjadi kewenangan dari Menteri Keuangan berdasarkan ketentuan Pasal 8 UU Keuangan Negara, sehingga tidak bertentangan dengan tugas dan fungsi menteri yang lain. Kewenangan dalam Pasal 9 Lampiran UU 2/2020 tersebut tidak bersifat absolut dan tidak berpotensi terjadi penyalahgunaan wewenang, karena dilakukan dengan tetap memperhatikan tata kelola yang baik dan dilaporkan dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP), sehingga dapat dilakukan audit oleh Badan Pemeriksa 220 Keuangan (BPK). Mekanisme pemberian pembebasan atau keringanan Bea Masuk tersebut dilakukan secara akuntabel dengan tetap mendasarkan pada peraturan lain yang terkait maupun masukan/pertimbangan dari kementerian/lembaga terkait. Bahwa perlu Pemerintah sampaikan kembali, dengan disahkannya Perppu 1/2020 oleh DPR menjadi UU 2/2020 maka secara mutatis mutandis DPR telah memberikan persetujuan kepada Menteri Keuangan dalam melaksanakan kewenangan khusus untuk memberikan fasilitas kepabeanan berupa pembebasan atau keringanan bea masuk dalam rangka penanganan pandemi Covid-19 dan/atau menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian keuangan dan/atau stabilitas sistem keuangan dan bukan untuk impor barang lainnya. Pemberian kewenangan kepada Menteri Keuangan ditetapkan dalam produk hukum yang sama dengan UU Kepabeanan yaitu UU 2/2020. Dengan demikian, pemberian kewenangan tersebut tidaklah menyalahi hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU 12/2011 karena UU Kepabeanan dan UU 2/2020 memiliki tingkat hierarki yang sederajat. Pemberian kewenangan atribusi kepada Menteri Keuangan dimaksud juga telah sesuai dan sejalan dengan ketentuan pasal 12 ayat (1) huruf a UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang antara lain menyebutkan bahwa badan atau pejabat pemerintahan memperoleh wewenang melalui atribusi apabila diatur dalam UUD 1945 dan/atau undang-undang. Dengan memperhatikan domino effect dari Covid-19, maka pengaturan atas barang- barang yang akan diberikan pembebasan bea masuk akan lebih memadai dan responsif jika diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Pengaturan mengenai jenis barang dalam PMK memberikan fleksibilitas bagi pengambil kebijakan dalam menghadapi dinamika serta ketidakpastian akan kebutuhan barang untuk penanganan Covid-19 di dalam negeri. Dapat Pemerintah sampaikan, Menteri Keuangan telah menerbitkan PMK Nomor 34/PMK.04/2020 tentang Pemberian Fasilitas Kepabeanan dan/atau Cukai serta Perpajakan atas Impor Barang untuk Keperluan Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) (PMK 34/2020) pada tanggal 16 April 2020. Pada bagian lampiran butir A PMK 34/2020 telah diatur 73 jenis barang untuk penanganan Covid- 19 yang dibebaskan bea masuknya. Selanjutnya atas PMK 34/2020 telah diubah dengan PMK 83/PMK.04/2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 34/PMK.04/2020 tentang Pemberian Fasilitas Kepabeanan 221 dan/atau Cukai serta Perpajakan atas Impor Barang untuk Keperluan Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) (PMK 83/2020) pada tanggal 6 Juli 2020. Pada lampiran PMK 83/2020 telah mengubah daftar jenis barang yang telah dibebaskan bea masuknya menjadi 49 jenis barang. Hal tersebut telah menunjukkan Menteri Keuangan selaku penerima kewenangan atribusi tidak secara semena- mena menggunakan kewenangan dimaksud karena penerbitan PMK mengenai pemberian fasilitas pembebasan bea masuk selalu dikontrol dengan mempertimbangkan aspek kebutuhan dan dampaknya terhadap kondisi dan situasi nasional.

    3)

    Penerbitan SUN dan/atau SBSN Untuk Dibeli Oleh Bank Indonesia Selain mendukung produktivitas dunia usaha melalui berbagai stimulus, koordinasi moneter-fiskal melalui pembelian Surat Utang Negara (SUN) dan/atau Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) jangka panjang di pasar perdana akan menciptakan stimulus bagi agen ekonomi di tengah perlambatan permintaan agregat dalam rangka menghindarkan terjadinya krisis ekonomi karena dampak pandemi yang berkepanjangan (John Maynard Keynes: Konsep Makroekonomi Sisi Permintaan, 1933). Selanjutnya, Paul A. McCulley, mantan Chief Economist & Managing Director PIMCO menyatakan bahwa keterpaduan kebijakan moneter- fiskal adalah suatu keniscayaan dalam mengatasi permasalahan pada permintaan agregat. Hal ini sejalan dengan pernyataan Ben Bernanke, Chairman of The Fed periode 2006 - 2014 yang mengklaim tentang perlunya perpaduan kebijakan moneter-fiskal sebagai berikut: "Under the current circumstances [of a liquidity trap], greater cooperation for a time between the [monetary] and the fiscal authorities is in no way inconsistent with the independence of central bank[s], any more than cooperation between two independent nations in pursuit of a common objective [or, for that matter, cooperation between central banks and fiscal authorities to facilitate war finance] is inconsistent with the principle of nation sovereignty.” Dampak pandemi Covid-19 di Indonesia telah mengharuskan Pemerintah untuk membiayai penanganan masalah kesehatan dan penyelamatan/pemulihan perekonomian nasional dengan cara antara lain menerbitkan SUN dan/atau SBSN. Di sisi lain, terdapat potensi harga ( yield ) SUN dan/atau SBSN menjadi tinggi/mahal karena Pemerintah dan swasta menawarkan obligasi secara bersamaan untuk memenuhi kebutuhan likuiditas. Dalam kondisi pasar yang dipenuhi penawaran obligasi ( over supply ), pasar berpotensi tidak mampu menyerap seluruh penawaran obligasi sehingga terjadi kondisi crowding out . Akibatnya, suku bunga di pasar, 222 termasuk yield SUN dan/atau SBSN akan menjadi tinggi. Kondisi tersebut akan berdampak langsung terhadap pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Bl dalam mengendalikan suku bunga yang berpengaruh pada pengendalian inflasi dan nilai tukar. Oleh karena itu, kebijakan pembelian SUN dan/atau SBSN di pasar perdana oleh Bank Indonesia sesuai dengan kewenangan yang dimiliki bukan semata-mata untuk membantu pembiayaan Pemerintah melainkan untuk tetap menjaga inflasi yang stabil dan nilai tukar yang wajar sesuai dengan nilai ekonominya. Pemberian kewenangan kepada bank sentral untuk dapat membeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana atau primer dalam rangka menanggulangi dampak pandemi Covid-19 juga telah menjadi praktik bank sentral berbagai negara dengan tetap mengedepankan independensi, penerapan prinsip tata kelola yang baik, dan prudensialitas. Sesuai dengan Communique hasil pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20 Countries pada tanggal 15 April 2020, disepakati Action Plan untuk mendukung perekonomian global dalam menghadapi pandemi Covid-19. Diantara isi Action Plan tersebut, G20 Countries menyatakan komitmen untuk melanjutkan paket moneter yang komprehensif dan menyusun regulasi kebijakan untuk mendukung stabilitas ekonomi dan keuangan. Selain itu, Bank Sentral G20 Countries juga menyatakan bersedia untuk melakukan langkah-langkah untuk mendukung perekonomian dengan menggunakan instrumen yang sesuai dengan kewenangan yang dimiliki. Selanjutnya, dalam pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral negara-negara G-20 tanggal 18 Juli 2020 ditekankan bahwa: “Fiscal and monetary policies will continue operating in a complementary way for as long as required. Monetary policy continues to support economic activity and ensure price stability, consistent with central banks’ mandates.” Communique pertemuan dimaksud juga menjelaskan bahwa Bank Sentral G20 Countries telah menunjukkan komitmen untuk membeli surat utang negara dalam rangka menjaga suku bunga jangka panjang agar tetap rendah. Selanjutnya, dalam communique dinyatakan bahwa langkah-langkah yang dilakukan bank sentral terbukti menimbulkan peningkatan signifikan pada likuiditas pasar, membantu meredakan tekanan pada pasar keuangan, dan meminimalkan risiko permasalahan stabilitas sistem keuangan. Berdasarkan penelitian Bank for International Settlement (BIS) yang dipublikasikan dalam BIS Bulletin tanggal 2 Juni 2020, diketahui bahwa 12 negara emerging market economies (Kolombia, Hungaria, India, Indonesia, Korea, Meksiko, Polandia, 223 Rumania, Filipina, Afrika Selatan, Thailand, dan Turki) menerapkan kebijakan pembelian surat utang negara oleh bank sentral. Kebijakan tersebut dilakukan untuk merespon permasalahan sistem keuangan yang timbul akibat pandemi Covid-19. Dari penelitian tersebut, diperoleh kesimpulan bahwa kebijakan dimaksud telah menimbulkan reaksi positif yaitu penurunan yang signifikan terhadap yield surat utang negara. Reaksi tersebut menunjukkan bahwa program pembelian surat utang negara oleh bank sentral berhasil memulihkan kepercayaan investor dan tidak mengarah pada kenaikan inflasi yang tinggi. Berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2009 (UU BI), tujuan BI adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Kestabilan nilai rupiah merupakan salah satu pilar utama dalam pembangunan ekonomi yang berkelanjutan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia. Guna mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah, Bl menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter antara lain melalui pengendalian jumlah uang beredar dan suku bunga, dengan mempertimbangkan kebijakan umum Pemerintah di bidang perekonomian nasional, termasuk bidang keuangan negara (fiskal) dan perkembangan sektor riil. Pasal 2 ayat (1) huruf f, Pasal 16 ayat (1) huruf c, dan Pasal 19 ayat (3) Lampiran UU 2/2020 mengatur bahwa BI dapat membeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana atau primer. Pengaturan tersebut melengkapi ketentuan Pasal 55 ayat (4) UU Bl yang memberikan kewenangan Bl untuk membeli SUN di pasar primer atau perdana berjangka pendek yang diperlukan oleh Bl untuk operasi pengendalian moneter. Pengaturan pada Pasal 55 ayat (4) UU BI dimaksudkan untuk menjalankan tugas BI dalam kondisi normal. Sementara saat ini, Presiden telah memutuskan kondisi kegentingan yang memaksa serta kekosongan hukum karena pandemi Covid-19 sehingga diterbitkan Perppu 1/2020. Dalam mengatasi kondisi tersebut, diperlukan stimulus fiskal yang dapat berimplikasi pada pelebaran defisit APBN. Oleh karena itu, peran BI perlu diperluas sehingga BI dapat melakukan pembelian SUN dan/atau SBSN jangka panjang di pasar perdana khususnya dalam rangka penanganan permasalahan sistem keuangan yang membahayakan perekonomian nasional, termasuk SUN dan/atau SBSN yang diterbitkan dengan tujuan tertentu khususnya dalam rangka pandemi Covid-19. 224 Ketentuan dalam Pasal 16 ayat (1) huruf c Lampiran UU 2/2020 dimaksudkan untuk memberikan kelengkapan payung hukum bagi Bl untuk menetapkan dan melaksanakan kebijakan pembelian SUN dan/atau SBSN berjangka panjang di pasar perdana untuk penanganan permasalahan sistem keuangan yang membahayakan perekonomian nasional, termasuk SUN dan/atau SBSN yang diterbitkan dengan tujuan tertentu khususnya dalam rangka pandemi Covid-19. Dengan adanya ketentuan-ketentuan dalam Lampiran UU 2/2020, terbuka ruang baru bagi Bl dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan moneter melalui pembelian SUN di pasar primer atau perdana, baik yang berjangka pendek maupun panjang, untuk digunakan dalam operasi pengendalian moneter maupun yang diperlukan untuk pemulihan ekonomi nasional. Pembelian SUN dan/atau SBSN oleh BI di pasar perdana dilakukan untuk membantu pemerintah dalam pemenuhan pembiayaan APBN dan pembiayaan pelaksanaan pemulihan ekonomi nasional termasuk menjaga stabilitas sistem keuangan nasional yang menjadi peran BI sebagai otoritas moneter dan bukan mengintervensi BI dalam pelaksanaan tugasnya. Proses untuk membeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana merupakan mandat yang diberikan oleh UU 2/2020 sehingga sama sekali tidak ada intervensi terhadap independensi BI. Dalam menjalankan tugasnya, BI juga masih membutuhkan kepemilikan SUN dan/atau SBSN dalam jumlah besar karena pemenuhan kebutuhan kepemilikan SUN dan/atau SBSN melalui lelang yang selama ini masih belum cukup menutupi kebutuhan operasi moneter. Kewenangan BI untuk membeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana sebagaimana diatur dalam Lampiran UU 2/2020 dilaksanakan dengan tetap menjaga independensi BI. Pasal 23D UUD 1945 juncto Pasal 4 ayat (2) UU BI telah mengatur bahwa BI merupakan lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pemerintah dan/atau pihak lain. Pelaksanaan tugas dan wewenang BI akan tetap berjalan secara efektif dengan berlakunya ketentuan dalam Lampiran UU 2/2020. BI dan Pemerintah selalu melakukan koordinasi dalam memutuskan jenis, jumlah, dan waktu yang tepat untuk melakukan penerbitan oleh Pemerintah dan pembelian SUN dan/atau SBSN oleh BI dengan mempertimbangkan kebijakan BI dan kebutuhan Pemerintah. Koordinasi tersebut dilaksanakan melalui skema Burden sharing antara Pemerintah dengan BI. Burden sharing antara Pemerintah dan BI 225 diatur dalam Surat Keputusan Bersama antara Menteri Keuangan dan Gubernur BI tanggal 7 Juli 2020. Skema burden sharing dibagi menjadi tiga kategori yaitu yang seluruh kuponnya ditanggung BI, ditanggung bersama Pemerintah dan BI dan ditanggung Pemerintah seluruhnya. Pembayaran kupon sebesar BI reverse rate atas pembelian SUN sebesar Rp397,56T untuk pembiayaan public goods ditanggung seluruhnya oleh BI. SUN untuk pembiayaan non-public goods UMKM sebesar Rp123,46T dan non-public goods Korporasi Rp53,57T ditetapkan bersama BI dan Pemerintah, dan yang ditanggung Pemerintah untuk pembiayaan non-public goods . SUN dan/atau SBSN yang dibeli BI untuk public goods dialokasikan sebesar Rp397,56T dengan suku bunga BI reverse rate ditanggung BI, sedangkan untuk pembiayaan non-public goods UMKM dialokasikan sebesar Rp123,46T dan untuk non-public goods korporasi sebesar Rp 53,57T pembayaran kupon ditanggung pemerintah sebesar BI reverse repo rate 3 bulan dikurangi 1%, dan sisanya ditanggung oleh BI. Untuk non-public goods lainnya, dialokasikan SUN dan/atau SBSN sebesar Rp 328,87T yang kuponnya akan ditanggung seluruhnya oleh Pemerintah sebesar market rate . __ Skema burden sharing dimaksud dapat dijelaskan sesuai gambar berikut: Gambar 5: Skema Burden Sharing antara Pemerintah dan Bank Indonesia Untuk menjamin independensi dalam pelaksanaan tugas BI, Pemerintah juga tetap diwajibkan untuk terlebih dahulu berkonsultasi dengan Bl sebelum menerbitkan SUN dan/atau SBSN sesuai dengan amanat ketentuan Pasal 55 UU BI. Konsultasi tersebut diperlukan agar penerbitan SUN dan/atau SBSN dapat dilakukan secara tepat waktu dan tidak berdampak negatif terhadap kebijakan moneter. 226 Perlu dicermati pula bahwa SUN dan/atau SBSN yang diterbitkan oleh Pemerintah tidak wajib untuk dibeli oleh BI. Rumusan-rumusan ketentuan dalam Lampiran UU 2/2020 terkait kewenangan BI untuk membeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana memuat kata “dapat” . Penggunaan frasa "dapat" dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) huruf f dan Pasal 19 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 dimaknai bahwa tidak ada unsur kewajiban bagi Bl yang dapat menghilangkan independensi Bl sebagai bank sentral untuk memutuskan pembelian SUN dan/atau SBSN di pasar perdana. Pembelian SUN dan/atau SBSN didasarkan sesuai pertimbangan Bl dalam menjalankan tugasnya. Bl tetap memiliki kewenangan penuh dalam menetapkan kebijakan terkait pembelian SUN dan/atau SBSN di pasar perdana dengan mempertimbangkan keseluruhan kebijakan moneter Bl dan kebutuhan pemulihan ekonomi nasional. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa rumusan dan substansi ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) huruf f, Pasal 16 ayat (1) huruf c, dan Pasal 19 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 tetap menjunjung tinggi dan sejalan dengan independensi Bl dalam menjalankan tugasnya. Untuk menjamin adanya harmonisasi dengan peraturan- perundangan yang telah ada sebelumnya, dan untuk mencegah adanya dualisme pengaturan, perlu Pemerintah sampaikan pula bahwa ketentuan Pasal 55 UU BI yang mengatur larangan bagi BI untuk membeli Surat Berharga Negara di pasar perdana dinyatakan tidak berlaku berdasarkan ketentuan Pasal 18 angka 2 Lampiran UU 2/2020. Agar pelaksanaan Lampiran UU 2/2020 serta Keputusan Bersama Menteri Keuangan dan Gubernur BI Nomor 190/KMK.08/2020 dan Nomor 22/4/KEP.GBI/2020 tanggal 16 April 2020 tetap sejalan dengan independensi Bl sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 23D UUD 1945 dan UU Bl, Bl telah menetapkan 2 (dua) aspek governance dalam pelaksanaannya yaitu:

    1)

    Pembelian SUN dan/atau SBSN di pasar perdana oleh Bl diatur dalam suatu Peraturan Dewan Gubernur dengan menerapkan prinsip: a) mengutamakan mekanisme pasar; b) mempertimbangkan dampaknya terhadap inflasi secara terukur; c) SUN dan/atau SBSN yang dapat dibeli oleh Bl bersifat tradable dan marketable ; dan 227 d) Bl sebagai pembeli SUN dan/atau SBSN di pasar perdana merupakan last resort dalam hal kapasitas pasar tidak mampu menyerap dan/atau menyebabkan kenaikan yield yang terlalu tinggi.

    2)

    Penetapan kebijakan ( decision making process ) untuk pembelian SUN dan/atau SBSN berjangka panjang di pasar perdana oleh Bl ditetapkan dalam Rapat Dewan Gubernur yang merupakan forum pengambilan keputusan tertinggi untuk menetapkan kebijakan Bl yang bersifat prinsipil dan strategis sebagaimana diatur dalam Pasal 43 UU Bl. Dengan adanya ketentuan last resort , memperlihatkan bahwa masuknya BI untuk membeli SUN dan/SBSN yang diterbitkan oleh pemerintah merupakan upaya gotong royong organ negara, dalam hal ini pemerintah dan BI, untuk mencegah terjadinya krisis ekonomi.

    4)

    Penyesuaian Mandatory Spending Dana Desa Sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) huruf b Lampiran UU 2/2020, Pemerintah memiliki kewenangan untuk melakukan penyesuaian besaran belanja wajib ( mandatory spending ) sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang- undangan terkait. Dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) huruf b Lampiran UU 2/2020 disebutkan bahwa salah satu mandatory spending yang dapat disesuaikan adalah anggaran Dana Desa sebesar 10% dari dan di luar dana Transfer Daerah, yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa). Sebagai bentuk harmonisasi atas ketentuan tersebut, dalam Pasal 28 angka 8 Lampiran UU 2/2020 diatur bahwa ketentuan Pasal 72 ayat (2) UU Desa beserta Penjelasannya dinyatakan tidak berlaku. Berlakunya ketentuan Pasal 28 angka 8 Lampiran UU/2020 tidak dapat dimaknai bahwa Pemerintah akan menghapuskan alokasi anggaran Dana Desa dari APBN pada tahun 2020 dan tahun-tahun mendatang, sebagaimana dipahami para Pemohon. Di TA 2020 dan UU APBN TA 2021, Dana Desa berturut-turut dialokasikan sebesar Rp71,2 T dan Rp 72 T. Hal ini ditunjukkan dengan tetap dipertahankannya ketentuan Pasal 72 ayat (1) huruf b UU Desa yang mengatur bahwa salah satu sumber pendapatan desa adalah alokasi dari APBN (Dana Desa). Pada prinsipnya, Pemerintah tetap berkomitmen untuk mendukung pelaksanaan pembangunan desa dan menjadikan desa sebagai tonggak pembangunan dengan terus mengalokasikan Dana Desa dalam APBN. 228 Sampai dengan tahun 2020, Dana Desa tetap menjadi sumber penerimaan terbesar dalam APBDesa. Sejak awal implementasinya di tahun 2015, Dana Desa telah membawa perubahan besar bagi kehidupan masyarakat desa terutama pada peningkatan jumlah infrastruktur publik yang sangat signifikan. Dapat Pemerintah sampaikan pula bahwa dalam 5 tahun terakhir, juga terjadi perbaikan rasio gini pedesaan dari 0,34 (2014) menjadi 0,32 (2018). Perbaikan yang sama juga terjadi pada jumlah penduduk miskin pedesaan yang menurun dari 17,7 juta jiwa (2014) menjadi 15,5 juta jiwa (2018). Pada tahun 2020, Pemerintah juga tetap mengalokasikan pagu Dana Desa dalam APBN Tahun Anggaran 2020 walaupun telah dilakukan penyesuaian terhadap besaran alokasinya. Sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2020 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020, Pemerintah telah menyesuaikan pagu Dana Desa yang semula Rp72,0 triliun menjadi Rp71,19 triliun atau turun sebesar Rp810 miliar. Penyesuaian pagu dilakukan dengan mempertimbangkan proyeksi penghematan karena kapasitas penyerapan oleh desa. Perlu Pemerintah jelaskan bahwa ketentuan mengenai Dana Desa sesuai UU Desa yang dirujuk oleh para Pemohon perkara Nomor 47/PUU-XVIII/2020 adalah sebagai berikut:

    a.

    Pasal 72 ayat (1) huruf b UU Desa mengatur bahwa “ Pendapatan Desa bersumber dari alokasi APBN” b. Pasal 72 ayat (2) UU Desa “ alokasi APBN tersebut bersumber dari Belanja Pusat dengan mengefektifkan program yang berbasis desa secara merata dan berkeadilan” c. Penjelasan Pasal 72 ayat (2) “Besaran alokasi anggaran yang peruntukannya langsung ke Desa ditentukan 10% dari dan di luar dana Transfer Daerah (on top) secara bertahap” Ketentuan dalam Pasal 72 ayat (2) UU 6/2014 di atas selanjutnya dinyatakan tidak berlaku sepanjang berkaitan dengan kebijakan keuangan negara untuk pencegahan dan/atau penanganan Covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan sesuai dengan ketentuan pada Pasal 28 angka 8 Lampiran UU 2/2020. 229 Dapat Pemerintah sampaikan bahwa ketentuan Pasal 28 angka 8 Lampiran UU 2/2020 dimaksudkan untuk menyatakan tidak berlakunya ketentuan mandatory spending alokasi Dana Desa sebesar 10% dari belanja pemerintah pusat, sebagaimana yang disebutkan dalam Penjelasan Pasal 72 ayat (2) UU 6/2014. Ketidakberlakuan ketentuan mandatory spending dana desa bersifat temporary . Dengan adanya penyesuaian mandatory spending dana desa, Pemerintah dapat memiliki fleksibilitas dalam melakukan refocusing belanja untuk mencegah, menangani, dan memulihkan dampak pandemi Covid-19. Dengan adanya mandat ini maka untuk menjamin fleksibilitas penggunaan dana desa dalam rangka sepanjang masih terdapat kebutuhan untuk penanganan Covid-19 di daerah/desa maka Pasal 72 ayat (2) harus dinyatakan tidak berlaku sehingga tidak terdapat dualisme aturan. Sebagaimana diketahui, dalam rangka penanganan dan penanggulangan dampak pandemi Covid-19, Pemerintah diberikan diskresi untuk dapat menempatkan program-program berbasis desa pada pos Belanja Pusat (Belanja Kementerian/Lembaga) sepanjang program dimaksud bertujuan untuk penanganan pandemi Covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Berkenaan hal tersebut, kebijakan penggunaan Dana Desa juga diarahkan untuk penanganan Covid-19 dan pemberian Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin terdampak desa. Untuk itu, pemerintah perlu melakukan penyesuaian mandatory spending Dana Desa agar pelaksanaan program Pemerintah dapat dilakukan lebih efektif, efisien, dan tepat sasaran mengingat penyebaran dampak pandemi Covid-19 bersifat masif di seluruh wilayah Indonesia. Terkait dalil para Pemohon yang menyatakan bahwa pemberlakuan Pasal 28 angka 8 Lampiran UU 2/2020 tidak sinkron dengan ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) huruf l Lampiran UU 2/2020, dapat Pemerintah jelaskan bahwa dua pasal tersebut sudah sinkron satu sama lain. Penyesuaian penggunaan dan besaran alokasi Dana Desa dengan pencabutan Pasal 72 ayat (2) UU 6/2014 bertujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dalam upaya penyelamatan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan.

    5)

    Penggunaan Dana Abadi Para Pemohon perkara Nomor 37/PUU-XVIII/2020 dalam dalilnya menyatakan Pemerintah dapat menggunakan dana yang bersumber dari dana abadi pendidikan 230 untuk penanganan Covid-19 sehingga bertentangan dengan esensi dari dana abadi pendidikan. Terkait hal tersebut, dapat Pemerintah sampaikan bahwa ketentuan Pasal 2 ayat (1) huruf e angka 2 UU 2/2020 mengatur bahwa dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara untuk penanganan pandemi Covid-19 dan/atau menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan, Pemerintah berwenang untuk menggunakan anggaran yang bersumber dari dana abadi dan akumulasi dana abadi pendidikan . Bahwa penggunaan dana abadi sebagai sumber pembiayaan APBN tahun berjalan merupakan salah satu opsi yang dipersiapkan pemerintah dalam penanganan pandemi Covid-19. Opsi tersebut hanya akan dipergunakan apabila seluruh pembiayaan lain yang tersedia tidak memenuhi kebutuhan pembiayaan pemerintah dalam penanganan pandemi Covid-19. Namun demikian, pemanfaatannya akan tetap memperhitungkan efektivitas dan ketepatan dibandingkan dengan sumber- sumber lain yang ada. Terkait dengan hal tersebut, hingga saat ini Pemerintah belum berencana menggunakan sumber pembiayaan dari dana abadi dan akumulasi dana abadi pendidikan untuk penanganan Covid-19. Dalam hal akan digunakan, maka penggunaan dana abadi dan akumulasi dana abadi pendidikan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 ayat (1) huruf e angka 2 Lampiran UU 2/2020 dilakukan dengan cara private placement melalui pembelian surat berharga negara. Dengan demikian, dana abadi dan akumulasi dana tersebut tidak akan digunakan sebagai belanja namun lebih kepada investasi melalui pembelian SBN/SBSN tersebut. Berdasarkan penjelasan tersebut maka kekhawatiran Pemohon mengenai penggunaan dana abadi yang bertentangan dengan esensi dari dana pendidikan itu sendiri tidak perlu lagi dipermasalahkan, dikarenakan dana abadi masih tetap utuh dan tidak digunakan sebagai belanja.

    6)

    Kebijakan di Bidang Keuangan Daerah Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 18 UUD 1945, Pemerintah Daerah telah diberikan kewenangan untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi yang seluas- luasnya kepada daerah diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda). Penjelasan umum UU Pemda menyatakan bahwa pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah 231 dilaksanakan berdasarkan prinsip negara kesatuan. Dalam negara kesatuan, kedaulatan hanya ada pada pemerintahan negara atau pemerintahan nasional dan tidak terdapat kedaulatan pada pemerintahan daerah. Oleh karena itu, seluas apapun otonomi yang diberikan kepada daerah, tanggung jawab akhir penyelenggaraan pemerintahan daerah akan tetap ada di tangan pemerintah pusat. Untuk itu pemerintahan daerah pada negara kesatuan merupakan satu kesatuan dengan pemerintahan nasional. Kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan oleh daerah merupakan bagian integral dari kebijakan nasional. Pembedanya, terletak pada bagaimana memanfaatkan kearifan, potensi, inovasi, daya saing, dan kreativitas daerah untuk mencapai tujuan nasional tersebut di tingkat lokal yang pada gilirannya akan mendukung pencapaian tujuan nasional secara keseluruhan. Pada kondisi pandemi Covid-19, hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan kebijakan keuangan di daerah adalah kecepatan dan ketepatan untuk menyesuaikan anggaran sehingga tepat sasaran. Lebih lanjut, berdasarkan dengan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (UU Keuangan Negara), kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan, telah diserahkan kepada kepada gubernur/bupati/wali kota untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili Pemerintah Daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan. Namun demikian, dalam pelaksanaannya, penyelenggaraan pemerintahan daerah, termasuk keuangan daerah, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam UU Pemda sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015. Dalam ketentuan Pasal 9 ayat (2) UU Pemda disebutkan urusan absolut adalah urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat. Lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf e UU Pemda disebutkan jika salah satu urusan pemerintahan absolut tersebut adalah urusan moneter dan fiskal nasional. Dalam menangani pandemi Covid-19 dan menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan, kebijakan yang diterapkan di bidang keuangan negara yang memberikan relaksasi untuk refocusing APBN, sudah seharusnya juga diterapkan pada pemerintahan daerah, khususnya dalam hal relaksasi untuk refocusing APBD. Oleh karena itu, kebersamaan dan gotong royong oleh pemerintah pusat dan Pemerintah Daerah dapat menuntaskan permasalahan kesehatan dan ekonomi dampak Covid-19. 232 Sesuai ketentuan Pasal 8 UU Pemda, telah diatur bahwa pembinaan dan pengawasan terhadap urusan penyelenggaraan pemerintahan oleh daerah dikoordinasikan oleh Menteri Dalam Negeri. Hal tersebut dapat menjadi landasan Kementerian Dalam Negeri untuk memberikan petunjuk/pedoman tentang keuangan daerah kepada Pemerintah Daerah agar penggunaan realokasi/ refocusing seragam dan terarah bagi seluruh daerah. Sebagaimana telah diatur dalam Pasal 280 UU Pemda, dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang diserahkan dan/atau ditugaskan, penyelenggara pemerintahan daerah memiliki kewajiban dalam pengelolaan keuangan daerah antara lain meliputi sinkronisasi pencapaian sasaran program daerah dalam APBD dengan program pemerintah pusat. Sejalan dengan hal tersebut, guna mencapai penanganan yang bersifat holistik dan terpadu atas pandemi Covid-19 dan dampaknya, maka diperlukan pula peran daerah melalui APBD. Untuk itu, Pemerintah Daerah diberikan kewenangan untuk melakukan refocusing , perubahan alokasi dan penggunaan APBD. Dalam rangka memberikan pedoman/ guidance kepada Pemerintah Daerah, maka Kemendagri telah menerbitkan Permendagri Nomor 39 Tahun 2020 tentang Pengutamaan Penggunaan Alokasi Anggaran Untuk Kegiatan Tertentu, Perubahan Alokasi dan Penggunaan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah yang mengatur ketentuan umum dan teknis pelaksanaan refocusing , perubahan alokasi, dan penggunaan APBD untuk penanganan pandemi Covid-19 beserta dampaknya di daerah. Dengan demikian, Permendagri tersebut tidak akan mendikte Pemerintah Daerah dalam melakukan refocusing , perubahan alokasi dan penggunaan APBD, melainkan sebatas memberikan petunjuk dan menciptakan keseragaman tindak lanjut kedaruratan dalam melakukan refocusing guna mencapai tujuan nasional. Selain itu, dengan tidak diajukannya pengujian ketentuan Pasal 3 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 oleh Pemohon, maka Pemohon telah menyadari dan memahami bahwa pemberian kewenangan kepada daerah untuk melakukan refocusing , perubahan alokasi, dan penggunaan APBD, merupakan kebijakan yang penting dan diperlukan Pemerintah Daerah dalam penanganan dampak Covid-19. 233 7) Pelaksanaan Kebijakan Keuangan Negara a) Tata Kelola yang Baik Dalam Pelaksanaan Kebijakan Keuangan Negara Pengambilan keputusan dan penggunaan dana APBN sebagai pelaksanaan Perppu 1/2020 justru dilaksanakan secara terbuka dan menjaga tata kelola yang baik. Sebagai bentuk pertanggungjawaban atas pengelolaan APBN, LKPP yang memuat pelaksanaan kebijakan keuangan negara dalam Perppu 1/2020, juga akan diaudit oleh BPK sesuai kewenangan BPK pada Pasal 6 UU BPK. Atas hasil pemeriksaan dimaksud, akan disampaikan kepada DPR sebagai wakil rakyat sesuai dengan ketentuan Pasal 17 UU Nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Selanjutnya, untuk memastikan bahwa semua instrumen kebijakan keuangan negara berupa Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) difokuskan pada penanganan pandemi Covid-19 dan dampaknya, Pemerintah Daerah juga diwajibkan untuk menyampaikan laporan penggunaan dana/penyesuaian APBD kepada Pemerintah Pusat. Pemerintah Pusat melakukan monitoring atas laporan yang disampaikan Pemerintah Daerah. Dalam hal Pemerintah Daerah tidak menyampaikan laporan penggunaan atau penyesuaian APBD maka Pemerintah Daerah dapat diberikan sanksi berupa penundaan penyaluran atas TKDD tersebut. Dengan demikian, telah jelas bahwa pengelolaan APBN yang didasarkan pada kebijakan dalam Perppu 1/2020 akan tetap dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Sebagai bentuk transparansi atas penggunaan anggaran, Pemerintah juga telah menyampaikan informasi perkembangan penggunaan anggaran kepada masyarakat. Selain itu, Pemerintah telah menyampaikan kepada publik melalui konferensi pers serta memberikan laporan terkait penyerapan anggaran secara rutin kepada DPR. Terhadap dalil Pemohon dalam perkara Nomor 37/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan bahwa Pasal 12 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena pelaksanaan kebijakan keuangan negara tidak menggunakan rekening khusus, dapat Pemerintah sampaikan bahwa dalam tata kelola penganggaran, Pemerintah telah menetapkan akun khusus belanja Covid-19 sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 2 ayat (3) PMK Nomor 43 Tahun 2020 sehingga seluruh belanja yang terkait dengan penanganan Covid-19 dapat dilakukan monitoring penggunaan anggaran 234 penanganan Covid-19. Selain itu, Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara juga telah menerbitkan rekening khusus untuk menampung dan mengelola hasil penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) yang dibeli oleh Bank Indonesia untuk pembiayaan Program PEN sebagaimana diatur dalam PMK Nomor 103/PMK.05/2020 tentang Tata Cara Pengelolaan Rekening Khusus Dalam Rangka Pembiayaan Penanganan Dampak Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID- 19) Dan Pemulihan Ekonomi Nasional dan PMK Nomor 104/PMK.05/2020 tentang Penempatan Dana Pada Bank Peserta Dalam Rangka Program Pemulihan Ekonomi Nasional. Hal ini menunjukkan bahwa Pemerintah telah dan akan terus melakukan upaya-upaya penerapan tata kelola yang baik dalam pelaksanaan kebijakan- kebijakan di bidang keuangan negara. b) Perubahan Postur dan/atau Rincian APBN Diatur Dengan Peraturan Presiden Lampiran UU 2/2020 mengatur hal-hal terkait pelebaran defisit anggaran, realokasi dan refocusing anggaran, serta penetapan sumber-sumber pembiayaan. Lampiran UU 2/2020 secara substansi telah mengatur perubahan/penyesuaian terhadap UU APBN 2020, yang postur dan rinciannya kemudian ditetapkan dalam Peraturan Presiden. Amanat UU 2/2020 untuk menetapkan postur APBN dalam Peraturan Presiden dengan mendasarkan kewenangan atribusi dalam Pasal 22 UUD 1945 karena adanya kondisi mendesak hanya untuk tahun anggaran 2020 yang tidak memungkinkan melalui proses normal. Untuk Tahun Anggaran Tahun 2021, Pemerintah akan membahas postur APBN bersama dengan DPR sebagaimana pada keadaan normal. Ketentuan Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 sama sekali tidak menghilangkan peran dan fungsi DPR, karena dengan telah disetujui dan ditetapkannya Perppu 1/2020 menjadi UU 2/2020, telah menunjukkan bahwa perubahan postur dan/atau rincian APBN dengan Peraturan Presiden yang diatur dalam ketentuan Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 tersebut telah mendapat persetujuan DPR. Selain itu, dalam pembentukan Peraturan Presiden tentang perubahan postur dan/atau rincian APBN, Pemerintah selalu mengkomunikasikannya dan melakukan pembahasan bersama dengan DPR. DPR dapat memberikan masukan dan rekomendasi kepada Pemerintah terkait postur dan/atau rincian APBN tersebut. Oleh karena itu, Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 yang mengatur bahwa perubahan postur dan/atau 235 rincian APBN dilakukan dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden, sama sekali tidak menghilangkan peran dan fungsi DPR. Pengaturan perubahan postur dan/atau rincian APBN dalam ketentuan Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 telah diselaraskan dengan dicabutnya ketentuan Pasal 27 ayat (3) UU Keuangan Negara, Pasal 177 huruf c angka 2 dan Pasal 182 UU MD3, serta Pasal 40 UU APBN 2020 (vide ketentuan Pasal 28 angka 3, 10, dan 12 Lampiran UU 2/2020). Pencabutan berbagai ketentuan yang diatur dalam Pasal 28 angka 3, 10, dan 12 Lampiran UU 2/2020 tersebut, merupakan upaya harmonisasi agar tidak ada dualisme aturan atas satu permasalahan. Dengan demikian, ketentuan Pasal 28 angka 3, 10, dan 12 Lampiran UU 2/2020 telah memberikan kepastian hukum atas pelaksanaan ketentuan Pasal 12 ayat (2) Lampiran UU 2/2020, yaitu bahwa perubahan postur dan/atau rincian APBN dilakukan dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden.

    c.

    Kebijakan Stabilitas Sistem Keuangan Terhadap dalil Para Pemohon perkara Nomor 42/PUU-XVIII/2020 terkait dengan Pasal 14 Lampiran UU 2/2020, dapat Pemerintah jelaskan bahwa Pasal 14 Lampiran UU 2/2020 mengatur kebijakan stabilitas sistem keuangan untuk penanganan permasalahan lembaga keuangan yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan di tengah-tengah kondisi terjadinya pandemi Covid-19. Sebagaimana diketahui, pandemi Covid-19 tidak hanya berdampak pada masalah kesehatan dan keselamatan jiwa manusia namun juga secara nyata menyebabkan pemburukan perekonomian sehingga pertumbuhan ekonomi mengalami kontraksi (minus) 5,32% pada Kuartal II 2020. Pemburukan ekonomi secara pasti akan mempengaruhi stabilitas sektor keuangan sehingga perlu mitigasi bersama oleh Pemerintah melalui koordinasi kebijakan dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Dalam melakukan mitigasi tersebut, Pemerintah bersama dengan BI, OJK, dan LPS sebagai otoritas yang memiliki fungsi masing-masing dalam menjaga stabilitas sistem keuangan perlu menetapkan kebijakan untuk melakukan tindakan antisipasi ( forward looking ) untuk mencegah terjadinya krisis yang mengancam stabilitas sistem keuangan. Mengingat pentingnya stabilitas sistem keuangan yang dapat berdampak terhadap kepercayaan publik dan stabilitas sistem keuangan maka dalam Lampiran UU 2/2020 diatur instrumen untuk upaya penyelamatan. Hal tersebut bertujuan agar 236 tidak menimbulkan efek domino pada sektor keuangan yang dapat mengakibatkan krisis lanjutan dan menambah beban pemerintah. Dapat Pemerintah sampaikan pula bahwa kebijakan stabilitas sistem keuangan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 14 sampai dengan Pasal 26 Lampiran UU 2/2020 disusun bersama oleh Pemerintah, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan dan Lembaga Penjamin Simpanan sesuai dengan kewenangannya. Adapun ketentuan-ketentuan pasal yang terkait dengan kewenangan BI, OJK, dan LPS dirumuskan oleh masing-masing lembaga dan diputuskan dengan memperhatikan batasan kewenangan dan tanggung jawab masing-masing lembaga baik secara individual maupun dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan. Hal ini dapat terlihat dari ketentuan Pasal 18 ayat (4) dan Pasal 19 ayat (3) Lampiran UU 2/2020 yang memberikan amanat kepada Menteri Keuangan dan Gubernur BI untuk secara bersama menyusun ketentuan lebih lanjut.

    1)

    Kewenangan LPS Memperoleh Pinjaman dari Pihak Lain Dapat Pemerintah sampaikan terlebih dahulu bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 (“UU LPS”), LPS merupakan lembaga yang independen. Sesuai ketentuan tersebut, telah jelas bahwa kedudukan LPS merupakan lembaga independen, bukan merupakan lembaga yang berada di bawah pemerintah. Pemberian kewenangan kepada LPS sebagaimana yang tercantum dalam Lampiran UU 2/2020, pada prinsipnya merupakan kewenangan yang telah diberikan oleh UU LPS, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (“UU OJK”), dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (“UU PPKSK”). Kewenangan LPS dalam peraturan perundang-undangan tersebut adalah sebagai berikut:

    1)

    melakukan persiapan penanganan dan peningkatan persiapan intensitas (vide Pasal 21 ayat (1) s.d. ayat (4) UU PPKSK dan Pasal 42 UU OJK);

    2)

    melakukan tindakan terkait pendanaan termasuk dalam hal LPS mengalami kesulitan likuiditas untuk penanganan bank yang mengalami permasalahan solvabilitas (vide Pasal 82 jis. Pasal 85 UU LPS, Pasal 27 UU PPKSK, dan Pasal 42 UU APBN); 237 3) melakukan pengambilan keputusan untuk menyelamatkan atau tidak menyelamatkan bank gagal (vide Pasal 22 jis. Pasal 23 UU LPS dan Pasal 22 UU PPKSK);

    4)

    merumuskan dan melaksanakan kebijakan penjaminan simpanan untuk kelompok nasabah tertentu, dengan mempertimbangkan sumber dana, peruntukan simpanan, serta besaran nilai yang dijamin yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (vide __ Pasal 11 UU LPS). Kewenangan yang diberikan kepada LPS sesuai Pasal 20 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 sifatnya lebih mempertegas guna mendukung pelaksanaan fungsi LPS dalam kondisi adanya pandemi Covid-19 dan/atau adanya ancaman perekonomian dan/atau stabilitas sistem keuangan. Kewenangan tersebut sudah jelas melekat dan seharusnya diberikan kepada LPS untuk dapat melaksanakan fungsi LPS sebagaimana diatur dalam UU LPS, yaitu menjamin simpanan nasabah penyimpan dan menjaga stabilitas sistem perbankan. Pemberian kewenangan bagi LPS untuk melaksanakan langkah-langkah penanganan permasalahan stabilitas sistem keuangan juga diiringi dengan wewenang bagi Pemerintah untuk mengatur lebih lanjut pelaksanaan kewenangan tersebut dalam Peraturan Pemerintah (vide Pasal 20 ayat (2) Lampiran UU 2/2020). Adanya atribusi dan mandat untuk melakukan pengaturan dalam peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dimaksudkan untuk memberikan koridor dalam pelaksanaan kewenangan LPS. Hal tersebut dimaksudkan selain untuk memberikan kepastian hukum, juga untuk menghindari LPS menginterpretasikan kewenangan yang diberikan dalam Lampiran UU 2/2020 secara luas yang dapat mengakibatkan penyalahgunaan wewenang. Berdasarkan Pasal 82 UU LPS, kekayaan LPS dapat berbentuk investasi dan bukan investasi, dimana kekayaan yang berbentuk investasi hanya dapat ditempatkan pada surat berharga yang diterbitkan oleh Pemerintah Indonesia dan/atau Bank Indonesia. Dengan terbitnya UU 2/2020, LPS tidak/belum memastikan berapa jumlah dana yang dibutuhkan dan kapan dana tersebut harus tersedia untuk penanganan bank, baik itu Bank Sistemik maupun bank selain Bank Sistemik. Dengan adanya pemberian tambahan alternatif pendanaan bagi LPS, diharapkan dapat memperluas akses LPS kepada sumber-sumber dana yang relatif cepat dengan jumlah lebih besar dari kas LPS yang tersedia (likuiditas) pada situasi dan kondisi tertentu. 238 Tambahan alternatif pendanaan tersebut juga mengantisipasi kondisi pasar dan industri yang sedang atau berpotensi mengalami turbulensi dimana transaksi LPS dalam jumlah tertentu selain menambah tekanan kepada pasar juga berpotensi menimbulkan kegaduhan khususnya di industri perbankan. Selain itu pasar juga belum tentu mampu menyediakan likuiditas dalam jumlah dan waktu yang sesuai dengan kebutuhan LPS, sehingga LPS berpotensi terpapar risiko likuiditas dan penurunan harga yang signifikan. Oleh karena itu dibutuhkan proses transaksi dengan pihak- pihak yang dianggap mempunyai kemampuan pendanaan yang memadai dalam jumlah dan waktu yang sesuai dengan kebutuhan LPS serta paling sedikit menimbulkan kegaduhan di market dan industri. Pihak yang dianggap dapat memenuhi kebutuhan LPS tersebut salah satunya adalah BI. Transaksi SBN milik LPS secara langsung kepada BI sudah diatur dalam UU PPKSK namun hanya untuk (i) penjualan SBN untuk penanganan Bank Sistemik, baik dalam kondisi normal atau kondisi krisis, dan (ii) untuk penyelesaian Bank Selain Bank Sistemik pada kondisi krisis [vide Pasal 27 ayat (2) juncto Pasal 37 ayat (2) UU PPKSK]. Pengaturan dalam pasal 20 ayat (1) huruf b UU 2/2020 yang menyatakan bahwa LPS diberikan kewenangan untuk melakukan tindakan (i) penjualan/repo SBN yang dimiliki kepada Bank Indonesia; (ii) penerbitan surat utang; (iii) pinjaman kepada pihak lain; dan/atau (iv) pinjaman kepada Pemerintah, dalam hal LPS diperkirakan akan mengalami kesulitan likuiditas untuk penanganan Bank Gagal, selain memberikan alternatif sumber pendanaan bagi LPS yang berlaku, baik untuk Bank Sistemik dan Bank Selain Bank Sistemik juga diharapkan dapat memberikan waktu yang cukup bagi LPS dalam mempersiapkan sumber dana tersebut sebelum terdapat Bank Gagal. Transaksi antara LPS dengan BI sebagai salah satu langkah untuk pemenuhan likuiditas LPS yang diperluas sehingga LPS selain dapat melakukan penjualan SBN miliknya, juga dapat melakukan transaksi Repo. Selain penjualan dan/atau repo kepada BI, LPS juga mempunyai alternatif pendanaan berupa pinjaman kepada pihak lain yang dimaksudkan untuk menjaring pihak-pihak (dalam dan/atau luar negeri) yang mempunyai kemampuan pendanaan sehingga tersedia alternatif pendanaan yang lebih luas bagi LPS. Pinjaman LPS dari pihak lain merupakan salah satu opsi untuk menjaga likuiditas sehingga pemanfaatan dana tersebut untuk 239 melaksanakan tugas dan fungsi LPS sebagai lembaga resolusi perbankan dalam hal terdapat Bank Gagal sesuai tata kelola yang diatur dalam UU LPS. Pinjaman kepada pihak lain dapat dilakukan dengan mempertimbangkan:

    1)

    tidak adanya konflik kepentingan dengan pelaksanaan tugas dan fungsi LPS; dan

    2)

    tidak menimbulkan persepsi negatif dan mengurangi kepercayaan masyarakat kepada LPS. Pemberian kewenangan kepada LPS yang diatur dalam Pasal 20 ayat (1) huruf b angka 1 dan 3 Lampiran UU 2/2020 telah sejalan dengan prinsip-prinsip yang diterbitkan oleh International Association of Deposit Insurers (IADI) yaitu:

    1)

    Core Principles for Effective Deposit Insurance Systems Dalam Principle 9 - Sources and Uses of Funds, dinyatakan sebagai berikut: “The deposit insurer should have readily available funds and all funding mechanisms necessary to ensure prompt reimbursement of depositors’ claims, including assured liquidity funding arrangements. Responsibility for paying the cost of deposit insurance should be borne by banks.” Selanjutnya, dalam angka 4 kriteria esensial dinyatakan sebagai berikut: “Emergency funding arrangements for the deposit insurance system, including pre-arranged and assured sources of liquidity funding, are explicitly set out (or permitted) in law or regulation. Sources may include a funding agreement with the government, the central bank or market borrowing. If market borrowing is used it is not the sole source of funding. The arrangement for emergency liquidity funding is set up in advance, to ensure effective and timely access when required.” 2) Guidance Paper IADI tentang “Enhanced Guidance for Effective Deposit Insurance Systems: Ex Ante Funding” yang diterbitkan Juni 2015 Sources of Funds for Deposit Insurance Systems, External funds – liquidity funding , dinyatakan sebagai berikut: “The predominant source is borrowing from the government. Another option is to seek funding from private sources, for instance through borrowing from commercial lenders or issuing debt securities in the capital market. However, this option is feasible only when market conditions permit. In some cases, syndicated loans from foreign institutions or supranational organizations might be used.” For effectiveness, deposit insurers with the power to borrow or raise funds from public and private sources should consider an appropriate sequencing for funds 240 usage. Internal funds from the deposit insurer’s reserve funds should be used first. If internal funds prove insufficient, financing could also be obtained directly from the market, particularly if the amount to be financed would have a negligible impact on the financial system as a whole.” Dengan demikian, telah jelas bahwa kewenangan kepada LPS yang diatur dalam Pasal 20 ayat (1) huruf b angka 1 dan angka 3 Lampiran UU 2/2020 telah sejalan dengan prinsip-prinsip di atas dimana likuiditas merupakan komponen dalam kerangka pendanaan penjaminan simpanan. Selain itu, kerangka pemenuhan likuiditas penjamin simpanan perlu diatur dalam suatu undang-undang atau peraturan terkait dan pengaturannya harus disusun secara tepat untuk memastikan efektivitas serta dapat diakses secara tepat waktu, ketika dibutuhkan.

    2)

    Kewenangan Pemerintah Untuk Memberikan Pinjaman kepada LPS Sesuai Pasal 20 ayat (1) juncto Pasal 24 ayat (1) Lampiran UU 2/2020, Pemerintah berwenang untuk memberikan pinjaman kepada LPS. Kewenangan Pemerintah tersebut pada prinsipnya telah pula diatur dalam UU LPS dan UU APBN TA 2020. Dalam Pasal 42 UU APBN TA 2020 telah diatur bahwa dalam hal LPS mengalami kesulitan likuiditas, Pemerintah dapat memberikan pinjaman kepada LPS setelah mendapatkan persetujuan dari DPR. Namun demikian, ketentuan pembahasan dengan DPR dalam Pasal 42 UU APBN TA 2020 tersebut dinyatakan tidak berlaku berdasarkan ketentuan Pasal 28 angka 12 Lampiran UU 2/2020. Pembahasan dengan DPR mengenai pemberian pinjaman LPS kepada Pemerintah sesuai Pasal 28 angka 12 UU 2/2020 khusus tahun anggaran 2020 dan sepanjang untuk penanganan pandemi Covid-19 tidak lagi dipersyaratkan termasuk pertimbangan DPD sebagaimana yang didalilkan oleh Pemohon perkara Nomor 42/PUU- XVIII/2020. Berdasarkan Pasal 25 Lampiran UU 2/2020 telah diatur bahwa dilakukan apabila LPS mengalami kesulitan likuiditas yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan sebagai dampak pandemi Covid-19. Dalam kondisi akibat pandemi Covid-19, diperlukan percepatan dan pemenuhan syarat pemberian pinjaman dari Pemerintah kepada LPS sehingga perlu ada relaksasi atas aturan yang berlaku sebelumnya namun tetap dilakukan secara prudent . Pinjaman oleh Pemerintah kepada LPS merupakan opsi terakhir dalam rangka penanganan kesulitan likuiditas LPS dan menghindarkan negara dari krisis ekonomi. Pasal 20 ayat (1) huruf b Lampiran UU 2/2020 mengatur bahwa LPS diberikan 241 kewenangan untuk melakukan tindakan dalam hal diperkirakan akan mengalami kesulitan likuiditas untuk penanganan bank gagal, diantaranya adalah untuk melakukan pinjaman kepada Pemerintah. Pinjaman oleh LPS kepada Pemerintah melalui APBN merupakan jaring ke-4 (terakhir) dari pengaman sistem keuangan (bukan bail-out kepada industri). Peran Pemerintah dalam jaring ke-4 tersebut ditujukan untuk memastikan lembaga/otoritas terkait dapat menjalankan fungsi resolusi secara efektif, sehingga penggunaan dana publik ( taxpayer money ) untuk mengatasi permasalahan perbankan dapat terhindarkan. Opsi untuk melakukan pinjaman kepada Pemerintah tersebut dilakukan sebagai opsi terakhir dalam hal LPS telah melakukan opsi lain namun masih tidak dapat mencukupi kebutuhan likuiditasnya. Sebagaimana telah diatur dalam Pasal 83 s.d. Pasal 85 UU LPS. Berdasarkan ketentuan di atas, terlihat jelas bahwa perlu upaya-upaya yang harus dilakukan terlebih dahulu oleh LPS sebelum dapat meminta pinjaman dari Pemerintah untuk pelaksanaan fungsi dan tugas LPS. Di samping itu, dalam Pasal 27 UU PPKSK juga telah diatur secara jelas bahwa LPS harus menggunakan kekayaan yang dimilikinya terlebih dahulu secara optimal , sebelum menggunakan anggaran Pemerintah. Hal ini juga dipertegas dalam Pasal 39 UU PPKSK yang menyatakan bahwa dalam rangka penanganan krisis melalui Program Restrukturisasi Perbankan, dana yang digunakan LPS diupayakan secara maksimal tidak menggunakan anggaran Pemerintah. Apabila LPS menggunakan opsi terakhir tersebut untuk melakukan tugas dan fungsinya dalam menjamin simpanan bank dan penanganan permasalahan solvabilitas bank, biaya yang dikeluarkan LPS untuk melakukan tugas dan fungsinya tersebut bukanlah merupakan kerugian negara. Hal tersebut secara tegas juga telah dipertimbangkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 27/PUU- XII/2014 yang menyatakan bahwa: “Atas dasar perintah dari Undang-Undang tersebut maka tindakan penjualan saham Bank Gagal oleh LPS tidak dapat dikategorikan sebagai tindakan/perbuatan pidana yang merugikan keuangan negara, selama penjualan saham Bank Gagal dimaksud telah dilakukan secara terbuka dan transparan sebagaimana diatur dalam Pasal 42 ayat (2) UU LPS.” Pemberian pinjaman kepada LPS akan dilakukan dengan memperhatikan tata kelola yang baik dan prinsip-prinsip pemberian pinjaman serta melihat kebutuhan 242 dan kemampuan debitur. Dalam implementasinya, untuk menjaga tata kelola pemberian pinjaman kepada LPS, dalam ketentuan Pasal 22 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kewenangan Lembaga Penjamin Simpanan dalam Rangka Melaksanakan Langkah-Langkah Penanganan Permasalahan Stabilitas Sistem Keuangan, permohonan pinjaman harus disertai informasi bahwa LPS sudah mengupayakan seluruh sumber dana lainnya namun membutuhkan tambahan likuiditas dalam penyelesaian/penanganan Bank Gagal yang membahayakan perekonomian dan sistem keuangan. Berdasarkan dalil-dalil di atas, sangatlah tidak tepat dalil Pemohon pada Perkara Nomor 42/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan bahwa pelaksanaan ketentuan Pasal 20 Lampiran UU 2/2020 menyebabkan kerugian negara. Selain itu, yang dipermasalahkan oleh Pemohon merupakan ranah implementasi bukan masalah konstitusionalitas. Oleh karena itu, sudah sepatutnya pula Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa ketentuan Pasal 20 Lampiran UU 2/2020 tidak bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945.

    3)

    Program Penjaminan Di Luar Program Penjaminan Simpanan Pasal 22 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 memberikan kewenangan bagi Pemerintah untuk menyelenggarakan program penjaminan di luar program penjaminan simpanan sebagaimana yang diatur dalam UU LPS. Ketentuan ini merupakan forward looking untuk memberikan legitimasi bagi Pemerintah dan untuk mengantisipasi apabila terjadi pemburukan perekonomian dan stabilitas sistem keuangan yang dapat mempengaruhi kepercayaan terhadap sektor keuangan sehingga diperlukan ketentuan yang mengatur kewenangan pemerintah untuk menyelenggarakan program penjaminan di luar penjaminan simpanan. Penyelenggaraan program tersebut dimaksudkan untuk mencegah krisis sistem keuangan yang dapat membahayakan perekonomian nasional. Program penjaminan di luar penjaminan simpanan akan dilakukan dengan sangat selektif hanya apabila sangat diperlukan untuk menghindarkan negara dari krisis. Selain itu, kebutuhan penyelenggaraan program penjaminan selain simpanan perlu dipertimbangkan terkait dengan fungsi bank sebagai intermediary . Selain dapat memberikan rasa aman terhadap deposan seperti yang telah diatur dalam UU LPS, program penjaminan di luar program penjaminan simpanan dapat berfungsi menciptakan dan memelihara stabilitas sistem keuangan. 243 Program penjaminan di luar program penjaminan simpanan simpanan bukan merupakan penjaminan terhadap seluruh kewajiban bank, melainkan penjaminan atas pinjaman antar bank (PUAB) dan kewajiban Bank atas transaksi perdagangan luar negeri ( trade finance ). Untuk menghindari kekhawatiran adanya penafsiran yang tidak berdasar terhadap pengaturan dalam Pasal 22 ayat (1) Lampiran UU 2/2020, telah terdapat pengaturan secara khusus di dalam Pasal 22 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 yang mengamanatkan pengaturan lebih lanjut mengenai objek penjaminan serta pihak yang akan menyelenggarakan penjaminan tersebut melalui Peraturan Pemerintah.

    4)

    Kewenangan Otoritas Jasa Keuangan Pasal 23 ayat (1) juncto Pasal 26 Lampiran UU 2/2020 menegaskan dan memperkuat kewenangan OJK dalam memberikan perintah tertulis kepada lembaga jasa keuangan untuk melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, integrasi dan/atau konversi (P3IK) telah diberikan sesuai Pasal 9 UU OJK dan Pasal 19 UU PPKSK. Perintah tertulis merupakan salah satu bentuk pelaksanaan kewenangan OJK sebagai lembaga pengawas untuk mengawasi pemenuhan rasio kecukupan modal dan kecukupan likuiditas ditentukan pada kondisi individual bank. Perintah tertulis untuk melakukan P3IK diperlukan untuk meningkatkan resiliensi industri jasa keuangan dan memperkuat sistem keuangan dengan menciptakan struktur perbankan yang kuat, skala usaha yang lebih besar, serta daya saing yang tinggi. Perintah dimaksud bertujuan pula untuk mempercepat penanganan lembaga jasa keuangan yang bermasalah, melindungi nasabah, dan menjaga stabilitas sistem keuangan dalam hal pemegang saham tidak secara sukarela melakukan upaya untuk memperkuat modal. Kondisi modal dan kecukupan likuiditas tersebut diukur dengan parameter yang diatur dalam peraturan perundang-undangan antara lain POJK 11/POJK.03/2016 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum dan POJK 15/POJK.03/2017 tentang Penetapan Status dan Tindak Lanjut Pengawasan Bank Umum. P3IK merupakan salah satu upaya untuk memperkuat rasio kecukupan modal yang dapat dilakukan atas dasar inisiatif bank dan kantor cabang dari bank asing atau tindakan pengawasan OJK [vide Pasal 2 ayat (2) POJK 41/POJK.03/2019 tentang P3IK Bank Umum]. Dalam hal terdapat permasalahan modal, bank diharapkan dapat melakukan upaya memperkuat modalnya baik melalui penambahan modal secara sukarela dari pemegang saham, melakukan penawaran umum maupun 244 melakukan P3IK. Sebagai bagian dari aksi korporasi, P3IK mengedepankan pada inisiatif bank dan/atau pemegang saham. Pada saat bank mengalami kesulitan keuangan, pemegang saham diharapkan sanggup memperkuat modal bank. Dengan adanya POJK di atas, menunjukkan bahwa tata kelola dalam penerbitan Perintah Tertulis telah diatur dalam POJK sehingga yang dipermasalahkan oleh Pemohon sebenarnya merupakan ranah implementasi bukan masalah konstitusionalitas. Dalam hal pemegang saham tidak secara sukarela melakukan upaya untuk memperkuat modal bank, maka untuk melindungi kepentingan publik nasabah penyimpan, masyarakat dan stabilitas sistem keuangan, OJK sebagai otoritas pengawas dapat memerintahkan bank melakukan P3IK untuk memperkuat modal bank. Hal ini mengingat, dalam konsep penggabungan, pengambilalihan dan/atau integrasi, bank penerima penggabungan, pengambilalihan, dan/atau integrasi tidak harus berada dalam kesulitan keuangan, sehingga diharapkan dapat memperkuat bank yang mengalami kesulitan keuangan dan pada saat yang sama memberikan nilai tambah bagi bank yang melakukan P3IK. Keadaan suatu lembaga jasa keuangan dikatakan mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya apabila berdasarkan penilaian Otoritas Jasa Keuangan, kondisi usaha lembaga jasa keuangan semakin memburuk, antara lain, ditandai dengan menurunnya permodalan, kualitas aset, likuiditas, dan rentabilitas, serta pengelolaan lembaga jasa keuangan yang tidak dilakukan berdasarkan prinsip kehati-hatian dan asas lembaga jasa keuangan yang sehat. Langkah P3IK antara lain ditujukan agar tidak terjadi pencabutan izin usahanya dan/atau tindakan likuidasi dan dalam rangka mempertahankan/menyelamatkan lembaga jasa keuangan sebagai lembaga kepercayaan masyarakat, sehingga aksi korporasi tidak dapat sepenuhnya diserahkan kepada mekanisme keperdataan biasa karena terkait dana masyarakat yang dikelola LJK. Ketentuan pemberian sanksi merupakan upaya ultimum remidium dan memberikan kepastian hukum agar pihak yang diberi perintah tertulis menjalankan upaya untuk penyehatan lembaga jasa keuangan dan mencegah moral hazard sehingga OJK dapat melindungi kepentingan publik yang lebih besar. Dalam permohonannya, Pemohon perkara Nomor 42/PUU-XVIII/2020 hanya mempermasalahkan implementasi bukan masalah konstitusionalitas. Pada penerapannya, sanksi tersebut lebih mungkin untuk ditebus oleh mayoritas industri 245 perbankan dibandingkan dengan tunduk pada perintah tertulis yang diberikan oleh OJK. Untuk mengantisipasi hal tersebut, diperlukan pemberatan atas pasal sanksi pidana atas pelanggaran perintah tertulis OJK untuk melakukan P3IK. Perintah tertulis dalam Lampiran UU 2/2020 diperlukan untuk melakukan tindakan segera apabila terjadi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Selain itu, sebagai upaya paksa kepatuhan lembaga keuangan melaksanakan perintah tertulis, ancaman sanksi pidana dan denda yang lebih berat diperlukan agar LJK yang dikenakan perintah tertulis dapat melaksanakan proses P3IK dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan. Pemberian sanksi dalam Pasal 26 UU Lampiran UU 2/2020 sebenarnya penguatan atas ketentuan Pasal 53 dan Pasal 54 UU OJK. Selain itu, pemberian sanksi merupakan bentuk jaminan kepastian hukum untuk kepentingan umum sehingga tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) juncto Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dengan adanya ketentuan pidana sesuai Pasal 26 Lampiran UU 2/2020, OJK dapat melindungi kepentingan publik yang lebih besar yakni nasabah, kepercayaan masyarakat, sistem perbankan dan stabilitas sistem keuangan dari kerugian yang ditimbulkan akibat tindakan pihak yang dengan sengaja mengabaikan, tidak memenuhi, tidak melaksanakan atau menghambat kewenangan OJK. Kewenangan pemberian sanksi juga sudah ada pada Pasal 53 dan Pasal 54 UU OJK. Selain itu, terhadap dalil Pemohon perkara Nomor 42/PUU-XVIII/2020 yang menyebutkan bahwa OJK dapat melakukan penyimpangan tanpa dapat dikontrol oleh pihak manapun, perlu Pemerintah sampaikan bahwa di era keterbukaan saat ini dan banyaknya institusi pengawas, kontrol dapat dilakukan masyarakat melalui wakil rakyat, aparat penegak hukum, dan lembaga pengawas lainnya sehingga tidak benar bahwa OJK akan melakukan penyalahgunaan wewenang.

    d.

    Perlindungan Hukum Bahwa terhadap dalil para Pemohon yang menyatakan frasa “bukan merupakan kerugian negara” jelas kedudukannya di atas konstitusi sehingga sudah seharusnya dibatalkan karena tidak cocok dalam negara hukum dan demokrasi yang membutuhkan check and balances , dapat Pemerintah sampaikan sebagai berikut:

    a.

    Definisi kerugian negara terdapat dalam beberapa undang-undang, antara lain adalah sebagai berikut: 246 1) Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (“UU BPK”): “Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai .” 2) Pasal 1 angka 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (“UU Perbendaharaan Negara”): “Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai .” b. Berdasarkan definisi di atas, suatu kerugian negara harus terdapat unsur perbuatan melawan hukum . Hal tersebut mengadopsi dari asas hukum pidana tidak dapat dipidana tanpa kesalahan ( geen straf zonder schuld ).

    c.

    Selama kebijakan keuangan negara tidak melawan hukum, maka biaya yang dikeluarkan bukan kerugian negara. Apabila dalam perbuatan/tindakan pelaksana UU 2/2020 ternyata dilakukan secara melawan hukum atau tidak memenuhi syarat dalam ketentuan Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020, maka tentunya mekanisme check and balances tetap dapat berlaku.

    d.

    Lebih lanjut, ketentuan Pasal 27 ayat (1) UU 2/2020 sama sekali tidak menghilangkan wewenang BPK untuk melaksanakan pengawasan dalam rangka pelaksanaan UU 2/2020 ( check and balances tetap terjaga). Dapat Pemerintah sampaikan pengaturan mengenai biaya sebagaimana dalam ketentuan Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 dimaksudkan untuk memperlakukan biaya yang telah dikeluarkan negara dalam melaksanakan kebijakan UU 2/2020 sebagai biaya ekonomi. Hal ini diperlukan mengingat dalam masa pandemi Covid-19, kondisi perekonomian tidak berjalan normal sebagaimana mestinya, sehingga biaya yang dikeluarkan tidak dapat dianggap sebagai kerugian negara. Agar kebijakan dapat tetap dilaksanakan, maka perlu suatu bentuk perlindungan hukum berupa justifikasi bahwa kerugian dimaksud tidak dianggap sebagai kerugian negara melainkan sebagai biaya ekonomi yang dalam proses pelaksanaannya telah dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip tata kelola yang baik. Dalam implementasi UU 2/2020 yang menggunakan biaya dari APBN tidak dapat disebut sebagai kerugian negara karena biaya yang telah dikeluarkan berpotensi tidak dikembalikan dengan nilai yang sama, contoh: 247 a. Terkait insentif pajak badan yang memberikan relaksasi kepada pengusaha agar pengusaha dapat mempertahankan arus kas usahanya. Hal tersebut menyebabkan berkurangnya potensi penerimaan negara dari pajak;

    b.

    Terkait dengan Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang langsung dikucurkan Pemerintah tidak mungkin diharapkan adanya imbal balik atas BLT tersebut karena tujuan dari BLT adalah untuk membantu masyarakat dalam memenuhi kebutuhan sehari-harinya;

    c.

    Terkait program PEN yaitu adanya penitipan sejumlah dana pada bank-bank Himbara (Himpunan Bank Milik Negara) agar dapat melakukan restrukturisasi kredit nasabahnya sehingga aset-aset para nasabahnya tidak sampai dieksekusi.

    d.

    Terkait dengan fasilitas pembebasan bea masuk yang sekiranya juga mengurangi penerimaan negara dari Bea dan Cukai, namun tidak dapat dikategorikan sebagai kerugian negara karena pembebasan bea masuk tersebut diimplementasikan terhadap barang-barang tertentu seperti alat medis, APD, hand sanitizer , masker dsb yang merupakan barang-barang krusial dan sangat diperlukan Pemerintah dalam menangani pandemi Covid-19.

    e.

    Terkait dengan pengeluaran dana yang dikeluarkan LPS tidak semata-mata hanya mempertimbangkan least cost test (Pasal 20 ayat (1) huruf c Lampiran UU 2/2020), namun juga mempertimbangkan aspek ekonomi serta aspek psikologis masyarakat. Terkait dengan contoh-contoh kebijakan di atas, apabila dalam pelaksanaannya terdapat pihak yang melakukan kecurangan dalam bentuk penyalahgunaan wewenang maka yang bertanggung jawab adalah pihak pada tingkat teknis pelaksana kebijakan yang melakukan kecurangan tersebut dan bukan Pemerintah selaku pengambil kebijakan terkait. Tujuan dari pencantuman Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 bukan dimaksudkan untuk memberikan imunitas absolut, namun lebih kepada memberikan confidence bagi pelaksana Lampiran UU 2/2020 dalam kerangka hukum dan sistem hukum yang akan melindunginya dalam pelaksanaan tugas dan kewenangan berdasarkan Lampiran UU 2/2020. Perlindungan hukum yang diberikan dalam Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 telah sesuai dengan prinsip hukum imunitas terbatas bahwa pejabat/pegawai yang beriktikad baik dan bertindak sesuai dengan peraturan perundang-undangan tidak dapat dituntut secara pidana maupun perdata. Bahwa adanya iktikad baik 248 mencerminkan tidak adanya unsur mens rea yang menjadi dasar tuntutan pidana. Selain itu, perbuatan yang dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan tentu merupakan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan. Dalam kondisi extraordinary seperti saat ini membutuhkan kebijakan extraordinary pula untuk mengatasi keadaan kegentingan memaksa, sehingga menjadi suatu kewajaran apabila para pengambil kebijakan diberikan kepastian hukum bahwa tindakan yang telah dilakukannya untuk menjalankan peraturan perundang-undangan dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan serta didasarkan pada iktikad baik sudah sepatutnya mendapat jaminan tidak dapat dituntut secara pidana dan digugat dalam gugatan perdata. Dalil Pemohon yang menyatakan bahwa Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 memberikan perlindungan bagi mereka yang berlaku tidak adil atau melakukan sesuatu yang dapat merugikan bangsa dan negara, merupakan tuduhan tanpa bukti. Situasi pandemi Covid-19 merupakan dilema policy bagi Pemerintah. Dalam kondisi ini, Pemerintah dihadapkan pada pilihan harus menunggu situasi menjadi masalah besar untuk menyelamatkan masyarakat dengan berpegang pada ketentuan yang ada atau harus bergerak cepat menangani kondisi yang tidak normal dengan risiko tuduhan karena membutuhkan kebijakan dan langkah extraordinary . Adanya ketentuan tata kelola yang baik di dalam UU 2/2020 justru menunjukkan bahwa UU 2/2020 tidak akan dapat disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Pembahasan dalam pengambilan keputusan dibutuhkan secara terbuka dengan up and down segala risikonya. Apabila pengeluaran negara pada masa pandemi Covid-19 dianggap merugikan negara, maka tidak akan ada pejabat yang berani mengambil langkah-langkah kebijakan extraordinary meskipun dengan tujuan untuk menyelamatkan negara, masyarakat dan ekonomi. Ketentuan Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 bukan merupakan suatu hal yang baru ( precedented ) namun justru telah ada ketentuan-ketentuan serupa dan telah diterima baik oleh Pembentuk Undang-Undang maupun Mahkamah Konstitusi dalam putusan uji materi pasal-pasal serupa. Preseden pengaturan perlindungan hukum juga terdapat di berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain:

    a.

    Pasal 50 dan 51 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP);

    b.

    Pasal 48 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (UU PPKSK); 249 c. Pasal 22 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak (UU Pengampunan Pajak);

    d.

    Pasal 45 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia;

    e.

    Pasal 36A ayat (5) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;

    f.

    Pasal 10 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia;

    g.

    Pasal 224 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;

    h.

    Pasal 16 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat; dan

    i.

    Pasal 26 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan. Bahwa terhadap dalil para Pemohon yang menyatakan bahwa pemberlakuan Pasal 27 ayat (3) Lampiran UU 2/2020 telah mengesampingkan fungsi peradilan tata usaha negara, dapat Pemerintah sampaikan bahwa ketentuan serupa telah diatur dalam Pasal 49 UU PTUN. Dalam ketentuan tersebut diatur bahwa PTUN tidak berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa TUN dalam hal keputusan dikeluarkan dalam keadaan bahaya, bencana alam, atau keadaan luar biasa dan dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum. Pengaturan tersebut telah sejalan dengan rumusan yang diatur dalam Pasal 27 ayat (3) Lampiran UU 2/2020 yang menyatakan bahwa segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan UU 2/2020 bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada PTUN. Oleh karena itu, rumusan dalam Pasal 27 ayat (3) Lampiran UU 2/2020 sejatinya telah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia. Bahwa diantara ketentuan di atas, juga telah terdapat ketentuan pasal yang diuji di Mahkamah Konstitusi yaitu Pasal 16 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 26/PUU-XI/2013, Mahkamah Konstitusi mengoreksi rumusan Pasal 16 UU Advokat yang semula berbunyi: 250 “Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien dalam sidang pengadilan.” diubah menjadi: “Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien di dalam maupun di luar sidang pengadilan.” Putusan Mahkamah Konstitusi di atas semakin memperkuat bahwa rumusan ketentuan perlindungan hukum dalam Lampiran UU 2/2020 memang telah benar sesuai dengan hukum yaitu untuk melindungi pelaksana UU 2/2020 yang telah beriktikad baik dalam menjalankan tugasnya. Putusan ini juga menjadi salah satu bukti bahwa dalam keadaan normal saja dibutuhkan adanya pasal perlindungan hukum, apalagi dalam keadaan kegentingan memaksa. Selain Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 26/PUU-XI/2013, Mahkamah juga pernah menguji Pasal 16 UU Advokat dalam perkara Nomor 52/PUU-XVI/2018 yang di dalam putusan perkara tersebut, Mahkamah memberikan pertimbangan sebagai berikut: “hak imunitas Advokat yang dijamin dan dilindungi dalam UU 18/2003 tidak serta-merta membuat Advokat menjadi kebal terhadap hukum. Karena hak imunitas tersebut digantungkan kepada apakah profesinya dilakukan berdasarkan iktikad baik atau tidak. Dalam Penjelasan Pasal 16 UU 18/2003 dinyatakan, “Yang dimaksud dengan iktikad baik adalah menjalankan tugas profesinya demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk membela kepentingan kliennya”. Maka dengan demikian pengertian iktikad baik yang diberikan dalam Penjelasan Pasal 16 UU 18/2003 mensyaratkan dalam membela kepentingan kliennya pun Advokat harus tetap berdasarkan aturan hukum.” Tidak hanya dalam kedua putusan atas Pasal 16 UU Advokat tersebut, Mahkamah bahkan memberikan penafsirannya terhadap frasa iktikad baik dalam Pasal 16 UU Advokat pada pengujian materiil Pasal 21 UU Tipikor yaitu “kata kunci dari rumusan hak imunitas dalam ketentuan ini (Pasal 16 UU Advokat) bukan terletak pada “kepentingan pembelaan Klien” melainkan pada “itikad baik”. Artinya, secara a contrario , imunitas tersebut dengan sendirinya gugur tatkala unsur “itikad baik” dimaksud tidak terpenuhi…Oleh karena itu, tidaklah beralasan mendalilkan inkonstitusionalitas Pasal 21 UU PTPK dengan mendasarkan pada hak imunitas yang dimiliki Advokat sebab norma Undang-Undang a quo sama sekali tidak menggugurkan keberlakuan hak imunitas dimaksud.” 251 Selanjutnya, Mahkamah juga memberikan pertimbangan mengenai perlindungan hukum dalam halaman 407 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 57/PUU-XIV/2016 mengenai uji materi ketentuan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, yang menyatakan bahwa: “Pasal 22 UU 11/2016 selengkapnya berbunyi, “Menteri, Wakil Menteri, pegawai Kementerian Keuangan, dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengampunan Pajak, tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut, baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Sesungguhnya, tanpa ada Pasal 22 UU 11/2016 ini pun pihak-pihak yang disebut dalam ketentuan a quo memang sudah seharusnya tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut, baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada itikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Berdasarkan pertimbangan Mahkamah dalam putusan-putusan di atas, dengan menggunakan metode penafsiran hukum argumentum per analogiam, maka sesungguhnya apa yang dirumuskan dalam Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 adalah konstitusional. Sangat tidak beralasan apabila para Pemohon mendalilkan inkonstitusionalitas Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 dengan mendasarkan pada asas equality before the law karena pada dasarnya hak imunitas yang dimiliki oleh pengambil kebijakan dalam Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 sama sekali tidak menghilangkan asas equality before the law tersebut. Equality before the law merupakan konsep yang sangat universal (berlaku di mana saja) dan tekstual bagi hukum. Secara universal, Equality Before the Law sudah menjadi prinsip hukum dan kenegaraan yang mensyaratkan adanya hukum dan diberlakukan bagi setiap orang. Sedangkan secara tekstual, Equality Before the Law tertulis dalam induk aturan hukum yang menegaskan bahwa aturan hukum berlaku bagi semua orang di tempat hukum tersebut berlaku. Sebaliknya, dari sisi hukum, bisa dilihat bahwa hukum tidak membiarkan dirinya hanya untuk menguntungkan sejumlah pihak tanpa alasan yang sah di muka hukum. Jika ada pengecualian maka hal tersebut mengkhianati konsep hukum. Bahwa prinsip Equality Before the Law dituangkan dalam ketentuan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan “ segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Pada dasarnya, prinsip Equality Before the Law diterapkan oleh aparat penegak hukum yang artinya siapapun yang berhadapan 252 dengan aparat penegak hukum harus diperlakukan secara sama oleh penegak hukum dengan tidak membeda-bedakan status dan kedudukan. Pada dasarnya, siapapun yang bertindak dengan iktikad baik dan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan tidaklah dapat dituntut secara hukum. Bahkan dalam ketentuan Pasal 51 ayat (2) KUHP menyatakan pelaksanaan perintah yang dijalankan dengan iktikad baik tidak dapat dipidana. UU 2/2020 menegaskan prinsip tersebut dalam ketentuan pasalnya untuk memberikan ketenangan bagi pelaksana UU 2/2020 yang sudah memenuhi 2 (dua) syarat dalam Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 tersebut agar dapat bertindak secara cepat, tepat, dan tetap sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan meskipun didesak oleh kondisi yang tidak normal sehingga memerlukan tindakan segera. Sebaliknya, siapapun yang melakukan apapun dengan iktikad tidak baik dan melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan haruslah dituntut secara hukum. Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 secara a contrario juga mengakomodir prinsip tersebut yang artinya apabila pelaksana UU 2/2020 dalam bertindak ternyata tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, maka dirinya dapat dituntut secara perdata maupun pidana. Dengan demikian, dalil para Pemohon yang menyatakan ketentuan Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 tidak memenuhi asas equality before the law merupakan dalil yang tidak berdasar karena telah jelas bahwa Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 tidak membuat pelaksana UU 2/2020 menjadi kebal hukum. Apabila pelaksana UU 2/2020 telah memenuhi kedua syarat dalam Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 yaitu dengan iktikad baik bertindak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan, maka dirinya berhak mendapat perlindungan hukum. Sebaliknya apabila yang bersangkutan melakukan tindakan dengan iktikad tidak baik dan melanggar ketentuan perundang-undangan, maka yang bersangkutan dapat dituntut secara perdata dan pidana. Dalam beberapa permohonan pengujian terhadap UU 2/2020, terdapat anggapan bahwa diberikannya “kekebalan hukum” dari tuntutan perdata dan pidana dalam Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 hanya mendasarkan pada ada/tidaknya iktikad baik dari pelaksana UU 2/2020. Namun, apabila dibaca secara utuh, syarat untuk tidak dapat dituntut secara perdata dan pidana ada 2 (dua) yaitu:

    a.

    mempunyai iktikad baik; dan 253 b. tindakannya harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kedua syarat tersebut bersifat kumulatif yang artinya apabila salah satu syaratnya tidak terpenuhi, maka pejabat pelaksana UU 2/2020 dapat dituntut secara perdata dan pidana. Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 juga telah memenuhi asas hukum pidana tidak dapat dipidana tanpa kesalahan ( geen straf zonder schuld ) yang artinya apabila tidak ada kesalahan, maka seseorang tidak mungkin dapat dipidana. Dalam hal pelaksana UU 2/2020 bertindak dengan iktikad baik dan sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan, maka dapat disimpulkan bahwa yang bersangkutan tidak mempunyai kesalahan dan tidak dapat dipidana. Pengaturan hal tersebut terdapat pula dalam ketentuan peraturan perundang- undangan yang secara tegas mengatur norma yang memberikan jaminan kepastian dan perlindungan hukum bagi pegawai yang melaksanakan tugas karena perintah undang-undang, yaitu dalam Pasal 50 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang KUHP yang berbunyi: “ barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dipidana ”. Selanjutnya di dalam Pasal 51 KUHP dinyatakan bahwa “barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana. Perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah, dengan iktikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya”. Bahwa Para Pemohon juga mendalilkan Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 meniadakan pembuktian iktikad baik oleh lembaga peradilan. Terhadap dalil ini, dapat ditanggapi sebagai berikut:

    1.

    Dalam teori pidana, sebuah tindak pidana dibangun atas 2 (dua) unsur penting yaitu 1) unsur objektif yaitu perbuatan yang melanggar ketentuan hukum pidana ( actus reus ) dan 2) unsur subjektif yaitu sikap batin/niat pelaku ketika melakukan tindak pidana (niat jahat/ mens rea ).

    2.

    Bahwa yang dibuktikan oleh lembaga peradilan adalah ada/tidaknya niat untuk melakukan perbuatan yang dilarang (iktikad tidak baik/ mens rea ), bukan pembuktian dari ada/tidaknya iktikad baik.

    3.

    Pintu masuk bagi lembaga peradilan untuk menilai ada/tidaknya mens rea terkait dengan pelaksanaan UU 2/2020 adalah pada ada/tidaknya suatu perbuatan yang 254 dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dimana hal tersebut telah diatur di dalam Pasal 27 Lampiran UU 2/2020.

    4.

    Ketentuan Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 sama sekali tidak meniadakan kewenangan lembaga peradilan untuk menilai ada/tidaknya mens rea karena Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 telah mengatur secara tegas bahwa ada 2 (dua) syarat kumulatif dalam pemberian perlindungan hukum dari tuntutan perdata dan pidana. Selain itu, perlu dipertimbangkan juga bahwa pemberian perlindungan dari tuntutan perdata dan pidana merupakan penghargaan yang diberikan negara kepada pelaksana UU 2/2020 karena telah dengan iktikad baik dan sangat berhati-hati melakukan tugasnya dengan tidak melanggar ketentuan peraturan perundang- undangan di saat segala tindakannya diperlukan untuk memberikan penanganan yang cepat, tepat dan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan dalam menciptakan stabilitas keuangan pada saat kondisi perekonomian Indonesia melemah sejak pandemi Covid-19 dan memerlukan tindakan sangat segera. Perlu Pemerintah sampaikan pula bahwa pengaturan mengenai perlindungan hukum bagi pengambil dan pelaksana kebijakan di bidang sektor keuangan telah sesuai dengan standar internasional. Financial Stability Board (FSB) pada tanggal 15 April 2014 menyampaikan bahwa salah satu Key Attributes of Effective Resolution Regimes for Financial Institutions adalah adanya perlindungan hukum bagi otoritas dan personilnya yang beriktikad baik dalam menjalankan tugasnya. Pada poin 2.5 Key Attributes of Effective Resolution Regimes for Financial Institutions , FSB menyatakan sebagai berikut: “The resolution authority and its staff should be protected against liability for actions taken and omissions made while discharging their duties in the exercise of resolution powers in good faith, including actions in support of foreign resolution proceedings.” Di samping itu, Basel Committee on Banking Supervision pada September 2012 juga menetapkan Core Principles for Effective Banking Supervision , yang salah satu isinya menyampaikan perlunya perlindungan hukum bagi pengawas bank yang menjalankan tugas dengan iktikad baik. Menurut Basel Committee , perlindungan hukum diberikan dalam bentuk perlindungan terhadap gugatan/tuntutan hukum dan perlindungan atas kerugian yang ditimbulkan dalam pelaksanaan kebijakan. Hal tersebut dinyatakan sebagai berikut: 255 “Laws provide protection to the supervisor and its staff against lawsuits for actions taken and/or omissions made while discharging their duties in good faith. The supervisor and its staff are adequately protected against the costs of defending their actions and/or omissions made while discharging their duties in good faith. ” Dalam konteks pengaturan mengenai perlindungan hukum bagi pengambil dan pelaksana kebijakan bidang sektor keuangan di Indonesia, sesuai dengan hasil Financial System Stability Assessment yang dilaksanakan oleh International Monetary Fund pada tahun 2016-2017, diperoleh hasil bahwa: “Inadequate legal protection creates a risk of crisis management decisions being delayed or even avoided due to concerns over potential liability. Although the PPKSK Law has strengthened legal protection across the agencies involved in crisis management, further strengthening is needed, including in the relevant agencies’ laws, to provide legal protection to the extent advocated in the Key Attributes (and BCP and ICP). The main shortcomings in the PPKSK Law are that the test for legal protection is “misuse of authority” rather than “good faith”, that it applies only to actions taken in situations of near-crisis or crisis, and it does not extend to the institution itself and persons acting on its behalf.” Berdasarkan hasil penilaian di atas, jelas bahwa perlindungan hukum bagi pengambil dan pelaksana kebijakan di sektor keuangan yang telah ada sebelumnya dirasa masih belum memadai sehingga masih diperlukan penguatan. Oleh karena itu, pengaturan perlindungan hukum sebagaimana diatur pada Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 pada hakikatnya telah sesuai dengan standar internasional dan dibutuhkan sebagai penguatan atas pengaturan yang telah ada sebelumnya. Dengan adanya perlindungan hukum sesuai dengan Pasal 27 Lampiran UU 2/2020, pengambil kebijakan dapat mengambil keputusan terbaik yang dilandasi dengan iktikad baik dan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Apabila ternyata dalam pelaksanaan UU 2/2020 tersebut terdapat pihak yang tidak beriktikad baik dan menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka pihak tersebut tidak dapat menggunakan perlindungan hukum berdasarkan ketentuan pasal ini. Di dalam penegakan hukum, adanya iktikad buruk ( mens rea ) secara pidana atau adanya perbuatan melanggar hukum secara perdata harus dapat dibuktikan terlebih dahulu. Prinsip dasar pembuktian secara perdata adalah actori incumbit onus probandi artinya siapa yang menuntut maka dia yang membuktikan. Dalam hukum pidana juga dikenal asas bahwa tuduhan yang tidak dapat dibuktikan dalam proses persidangan tidak akan melahirkan keputusan yang memenuhi tuntutan (vide Pasal 66 KUHAP). Prinsip penegakan hukum tersebut telah sejalan dengan Pasal 14 256 ICCPR, bahwa setiap orang yang dituntut/digugat harus diberikan kesempatan untuk disidangkan dalam peradilan yang adil dan terbuka. Tindakan dapat dikenakan hukuman sesuai hukum pidana jika memenuhi unsur mens rea dan actus reus . Dalam hal ini yang disalahkan secara hukum bukan UU 2/2020 atau pembuatnya, melainkan pejabat dan pembonceng yang melakukan pelanggaran atasnya. Substansi Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 bukan penilaian subjektif melainkan sudah diakui dalam berbagai pengaturan dan sudah diuji oleh Mahkamah Konstitusi. Pemerintah juga telah membuktikan adanya iktikad baik dalam penerbitan UU 2/2020 yaitu dengan memperluas cakupan bantuan sosial, menanggung biaya pemeriksaan kesehatan, memberikan insentif bagi tenaga medis, memberikan Bantuan Langsung Tunai, dan stimulus fiskal dunia usaha. Dalam melaksanakan UU 2/2020, baik prosesnya maupun landasan hukumnya telah dilaksanakan dengan iktikad baik dan sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan. Dari segi proses, berbagai kebutuhan belanja dan pembiayaan sebagai dampak Covid-19 telah dibahas di berbagai tataran pemerintahan, mulai dari internal Kemenkeu, Rapat Koordinasi pada tingkat Menteri Perekonomian, maupun pada Sidang Kabinet. Oleh karena itu, prosesnya sangat transparan dengan iktikad baik dan tidak dilakukan secara tersembunyi. Selain itu, pelaksanaan UU 2/2020 juga berdasar peraturan perundang-undangan yaitu berupa Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Keputusan Presiden, dan Surat Keputusan Bersama. Pemberian perlindungan hukum sesuai Pasal 27 Lampiran UU 2/2020 tidak dapat diartikan bahwa pembuat kebijakan tidak tenang dalam melakukan tugasnya. Bukan suatu kemewahan bagi pembuat kebijakan untuk meminta kepastian hukum namun perlindungan dan kepastian hukum tersebut sangat diperlukan agar pembuat kebijakan dapat menjalankan tugasnya dengan baik dan mendapatkan hasil yang optimal untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dari kebijakan yang telah diambil. Dapat Pemerintah tegaskan pula bahwa sebagai bentuk pertanggungjawaban atas pengelolaan APBN, LKPP yang memuat pelaksanaan kebijakan keuangan negara dalam Lampiran UU 2/2020, juga akan diaudit oleh BPK sesuai kewenangan BPK pada Pasal 6 UU BPK, yang selanjutnya akan disampaikan kepada DPR sebagai wakil rakyat sesuai dengan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. 257 Dengan demikian, telah jelas bahwa pengelolaan APBN yang didasarkan pada kebijakan dalam Lampiran UU 2/2020 akan tetap dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

    e.

    Harmonisasi UU 2/2020 Dengan UU Terdampak Lahirnya Lampiran UU 2/2020 ditujukan untuk mengisi kekosongan hukum atau memerlukan penyesuaian dalam rangka penanganan pandemi Covid-19 dan/atau krisis perekonomian dan/atau sistem keuangan. Oleh karena itu, terhadap norma- norma yang dilakukan penyesuaian dalam Lampiran UU 2/2020 perlu dilakukan harmonisasi agar tidak terjadi dualisme hukum. Norma Pasal 28 Lampiran UU 2/2020 yang berisi pencabutan beberapa ketentuan undang-undang terdahulu akan memberikan kepastian norma hukum yang berlaku untuk penanganan penyebaran Covid-19 dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Sebagaimana telah dijelaskan, penyesuaian norma-norma tersebut dimungkinkan berdasarkan Hukum Administrasi Negara dalam bentuk pemberian kewenangan atribusi. Selain itu, beberapa norma disesuaikan untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kebutuhan penanganan pandemi Covid-19. Pelaksanaan pemberian kewenangan atribusi dan/atau penyesuaian norma dalam Pasal 28 Lampiran UU 2/2020 tersebut dilakukan dengan memenuhi tata kelola yang baik dan memperhatikan batasan-batasan dalam peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, norma Pasal 28 Lampiran UU 2/2020 didasarkan pada kebutuhan kepastian hukum regulasi yang berlaku, bukan yang sewenang-wenang ( constitutional dictatorship ) sesuai dalil para Pemohon. Berdasarkan teori peraturan perundang-undangan, Pasal 28 Lampiran UU 2/2020 berlaku sebagai ketentuan harmonisasi atas ketentuan-ketentuan yang dikesampingkan. Hal tersebut juga didasarkan pada pertimbangan bahwa untuk melakukan kebijakan dan langkah-langkah extraordinary untuk melakukan penanganan permasalahan Covid-19 secara cepat dan penanganan dampaknya yang luar biasa terhadap ancaman perekonomian dan/atau stabilitas sistem keuangan, tidak dapat dilakukan hanya dengan mendasarkan pada undang-undang yang ada sebelum UU 2/2020 yang memang kurang memadai untuk penanganan kepentingan tersebut. 258 Pernyataan Para Pemohon yang menyampaikan bahwa Pasal 28 Lampiran UU 2/2020 menimbulkan kesewenang-wenangan dan constitutional dictatorship adalah pernyataan yang tidak benar dan sangat berlebihan. Pemohon telah salah menafsirkan constitutional dictatorship sebagai tindakan kesewenang-wenangan. Dalam ilmu hukum konstitusi, constitutional dictatorship merupakan kewenangan yang diberikan oleh konstitusi untuk menjaga keberadaan negara demokrasi konstitusional, "No form of government can survive that excludes dictatorship when the life of the nation is at stake" . Lampiran UU 2/2020 diterbitkan dalam kegentingan yang memaksa sebagaimana fakta-fakta yang telah disampaikan sebelumnya, dan merupakan instrumen hukum yang diberikan kepada Presiden untuk mengatasi kondisi kegentingan yang memaksa dengan menerbitkan Perppu. Filosofi constitutional dictatorship yang tersirat pada Pasal 22 UUD 1945 dalam konteks kedaruratan merupakan wujud nyata kehadiran Pemerintah dalam mengatasi kondisi luar biasa akibat pandemi Covid-19 dan bukan merupakan makna negatif sebagai penyelewengan kekuasaan. Dengan ditetapkannya Perppu 1/2020 menjadi UU 2/2020 maka pendapat subjektif Presiden mengenai perlunya penerbitan Perppu sebagai instrumen hukum untuk mengatasi kegentingan yang memaksa telah disetujui DPR sebagai lembaga wakil rakyat. IV. KESIMPULAN Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada Yang Mulia Ketua dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan pengujian ( constitutional review ) UU 2/2020 terhadap UUD 1945, dapat memberikan putusan sebagai berikut: • Menerima Keterangan Presiden secara keseluruhan; • Menyatakan bahwa para Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum ( Legal Standing ); • Menolak permohonan pengujian para Pemohon seluruhnya atau setidak- tidaknya menyatakan permohonan pengujian para Pemohon tidak dapat diterima ( niet ontvankelijk verklaard ). Selain itu, Presiden juga mengajukan 3 (tiga) orang ahli yang didengar keterangannya di bawah sumpah dalam persidangan secara daring tanggal 29 April 2021 dan menyerahkan keterangan tertulis dari 3 (tiga) orang ahli yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut. 259 1. Dr. Maruarar Siahaan, S.H. Kondisi negara -seperti halnya masyarakat umumnya dan manusia orang per orang – tidak selalu berada dalam keadaan biasa ( state of normalcy ), dalam arti selalu ada pengelolaan kehidupan yang memerlukan hal yang berbeda dari yang biasa sehingga memerlukan upaya khusus secara berbeda dari proses dan prosedur yang biasa dilakukan baik dalam pencapaian tujuan sehari-hari maupun dalam program yang direncanakan untuk tujuan tertentu. Kehidupan masyarakat yang di atur oleh negara melalui sistem pemerintahan dan hokum dalam mengatur interaksi kepentingan anggota dan korporasi atau kelompok satu dengan yang lain, tunduk pada aturan perundang-undangan. Negara yang memerlukan pengorganisasian kekuasaan untuk memungkinkan adanya upaya paksa ketika terjadi hal-hal yang membutuhkan, ditentukan dengan sistem yang diatur dalam masing-masing konstitusi negara. Di samping menyusun lembaga dengan masing-masing kekuasaan yang relevan dalam mencapai suatu tujuan bersama, dan hubungannya satu dengan lain, serta hubungan kekuasaan lembaga negara dengan warganegaranya dalam penyelenggaran negara untuk kepentingan umum, dalam keadaan teratur dan normal atau kondisi yang aman, di dalam mana hubungan- hubungan hukum yang terjadi dapat ditata berdasar ketentuan hukum yang berlaku secara biasa. Ketika terjadi konflik kepentingan, mekanisme hukum yang tersedia dapat menyelesaikannya secara teratur dengan dukungan kekuasaan negara yang ada untuk memaksakan sanksi hukum dalam kerangka mengembalikan keseimbangan seperti semula. Pengaturan dan operasionalisasi penyelenggaraan negara berdasar kekuasaan negara yang ada akan berlangsung secara biasa dalam proses penyelenggaraan kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat. Hukum dan kekuasaan yang dipergunakan adalah hukum dalam keadaan normal ( state of normalcy). Akan tetapi ketika muncul bahaya dalam bentuk yang tidak biasa, yang mendatangkan ancaman bagi keselamatan negara dan rakyatnya, baik karena magnitude bahaya yang mengancam maupun akibat-akibatnya, di mana keadaan tidak dapat diatasi secara baik dengan instrumen kekuasaan dan hukum yang ada, maka dalam sejarah kehidupan hukum dan tata negara secara universal dalam perjalanannya, ada masanya keadaan harus diatasi dengan instrumen dan kewenangan (kekuasaan negara) secara berbeda, untuk mengatasi keadaan bahaya yang mengancam, baik untuk keselamatan negara, maupun keselamatan 260 warganegara. Dalam hal terjadi suatu keadaan demikian yang secara luar biasa menyimpang dari keadaan normal, jawaban dan instrumen yang dipergunakan harus memberikan ruang gerak yang juga luar biasa bagi pemimpin negara, untuk dapat mengatasi keadaan bahaya secara tepat waktu dan dengan metode yang tepat. Kecepatan dalam pengambilan keputusan merupakan keniscayaan, yang senantiasa membutuhkan penyimpangan dari prosedur-prosedur dan instrumen yang digunakan dalam keadaan normal. Keadaan yang membawa situasi darurat, tidak dapat dijawab dengan hukum yang berlaku dalam keadaan normal, melainkan harus menggunakan hukum dalam keadaan tidak normal karena kondisi yang membahayakan negara dan rakyat harus dijawab juga dengan hukum yang berlaku dan dibutuhkan dalam keadaan darurat ( state of emergency). Paradigma yang harus menjadi pemahaman bersama ini, merupakan titik tolak yang digunakan dalam melihat dalil-dalil permohonan judicial review yang berlangsung sekarang ini. Covid -19 Adalah Keadaan Bahaya Yang Mengancam Dunia Beberapa permohonan Judicial Review terhadap Perpu Nomor 1 Tahun 2020 dan kemudian setelah disahkannya Perpu tersebut pengujian dilakukan terhadap Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020, serta komentar beberapa aktivis dan tokoh nasional, yang menganggap Perpu Nomor 1 Tahun 2020 sebagai kesewenang- wenangan dari Presiden RI Jokowi, Perpu mana kemudian telah disetujui oleh DPR menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020, sesungguhnya merupakan pendapat yang sungguh keliru. Langkah untuk mengeluarkan Perpu Nomor 1/2020 yang merupakan kewenangan Presiden yang sah dalam UUD 1945, dan kewenangan yang diberikan secara konstitusional tersebut berdasarkan pandangan subjektif seorang Presiden, sesungguhnya telah diobjektivisir dengan melihat kondisi pandemik yang terjadi secara global meliputi negara-negara besar dan yang maju maupun tidak maju, sebagai keadaan yang di beberapa negara bahkan disebut sebagai keadaan darurat. Kondisi darurat tidak dapat dijawab dengan hukum normal, bahkan di negara yang berdasarkan hukum dan konstitusi yang menjadi kampiun demokrasi sekalipun. Tampaknya kita di Indonesia juga harus memperhatikan perkembangan yang terjadi di Mesir, Perancis dan Hongaria. Hongaria dan Perancis, dan boleh jadi harus menoleh pada keunggulan kediktatoran Romawi, ketika Parlemen Hongaria dan Perancis menyetujui pemberian kekuasaan besar bagi Perdana Menteri dan Presiden Mesir untuk mengeluarkan dekrit dan hukum tanpa persetujuan parlemen 261 untuk menggunakan kekuasaan luar biasa dalam menanggapi pandemic tersebut, termasuk mengeluarkan aturan tanpa persetujuan parlemen dengan aturan mana dimuat sanksi berupa hukuman penjara bagi yang mengeluarkan disinformasi tentang epidemi atau mengganggu upaya-upaya untuk menahan penyebaran virus corona. Meskipun hal tersebut mendapat kritikan dari Presiden Uni Eropah, Parlemen Hongaria dan Pemerintah Perancis menolak kritikan tersebut dengan mengatakan bahwa undang-undang baru tersebut disesuaikan dengan kebutuhan khusus untuk mengatasi pandemik. Perkembangan itu menunjukkan perlunya aturan yang tegas, keras dan cenderung otoriter dalam kerangka memaksakan ketertiban dan kecepatan penanganan pencegahan penyebaran pandemik, yang memerlukan pengorbanan semua pihak termasuk mengesampingkan perlindungan HAM secara ideal dan sempurna untuk sementara. Di antara kritikan yang dilontarkan terhadap kekuasaan besar eksekutif tersebut, disebutkan perlunya tinjauan yang teratur, proporsional serta adanya batas waktu. Ini merujuk pada syarat-syarat tentang apa yang disebut sebagai kediktatoran konstitusional sebagai suatu kekuasaan yang diatur dalam konstitusi dengan syarat-syarat yang cukup untuk mengendalikan dampaknya yang negatif terhadap demokrasi dan rule of law. Melihat kritikan yang muncul dari Komisi Uni Eropa dan hal yang sama terjadi di tanah air setelah diberbitkannya Perpu Nomor 1 Tahun 2020, yang disusul dengan Permohonan judicial review Perppu tersebut dalam perkara a quo, maka dalam sejarah dan praktek ketatanegaran kemudian memang kita mnegetahui suatu keinginan dan kebutuhan mempertahankan kekuasaan luar biasa dalam kondisi genting atau darurat, dengan pengaturan-pengaturan dalam konstitusi dan dengan nomenclatur yang berbeda terhadap kekuasaan, yang diperlukan mengatasi keadaan darurat atau genting. Kondisi luar biasa pasti membutuhkan kewenangan untuk melakukan tindakan luar biasa. Ketika pertama kali kita mendengar tentang meledaknya virus covid-19 dan daya sebar yang luar biasa cepat, pada awalnya – bahkan sekarang, juga banyak yang skpetis, dan menganggap hal tersebut adalah keadaan biasa saja, dan dampaknya di anggap dibesar-besarkan, bahkan ada menganggap hoax . Pandemi Covid sudah barang tentu bukanlah hal yang biasa atau kondisi normal. Tidak perlu pembuktian lagi tentang hal itu dengan sifatnya yang meliputi dunia, yang menimbulkan ancaman terhadap keselamatan warganegara bangsa-bangsa 262 dengan angka kematian yang tinggi luar biasa dan - sampai saat Perpu disahkan dan sampai bulan Desember 2020, belum ditemukan vaccine atau obat yang dapat mengatasinya. Angka kematian yang dapat dimonitor dari informasi resmi maupun tidak resmi, dalam siaran TV, kita misalnya melihat di Amerika Serikat saja sampai bulan Januari 2021, korban meninggal lebih dari 300.000 (tiga ratus ribu), dan di Indonesia, angka kematian terakhir sebelum dimulai suntikan vaccine pertama diatas 20.000, (dua puluh ribu jiwa). Angka-angka itu lebih menakutkan lagi jika kita amati korban kematian di Italia, Inggeris, Irlandia, Jerman, Perancis Spanyol dan lain-lain. Kalau diperbandingkan dengan korban perang dunia ke II, Amerika dan sekutu-sekutunya hemat saya tidak mengalami korban sampai 300 (tiga ratus) batalyon tentara yang gugur dalam pertempuran. Pandemi corona karenanya melibihi ancaman perang dunia Ke II, dilihat dari korban manusia. Jika dilihat dari implikasinya yang timbul secara luas dalam seluruh bidang kehidupan, baik di bidang kesehatan, Pendidikan, kehidupan sosial, bidang ekonomi dalam kegiatan produksi dan perdagangan telah berdampak pada lapangan kerja dan kebangkrutan usaha-usaha, sehingga ancaman yang dihadapi adalah suatu keadaan yang sifatnya luar biasa. Terjadi perang tetapi melawan musuh yang tidak terlihat, sehingga menyebabkan manusia menjadi sasaran empuk yang mudah dibidik musuh, dan keberdayaan kita hanya pada disiplin pemakaian masker, cuci tangan dan jaga jarak, yang seyogianya dilaksanakan dengan langkah tegas dan keras dan tindakan yang luar biasa. Oleh karena sifat ancaman dan bahaya yang dihadapi sedemikian rupa, sehingga banyak langkah yang bersifat luar biasa perlu dilakukan untuk pencegahan, untuk penanganan baik yang telah terkena covid, maupun masyarakat luas yang terdampak dalam kehidupan yang membutuhkan dukungan darurat, telah mengakibatkan dampak yang timbul di bidang ekonomi, keuangan, dan sosial, bahkan boleh jadi politik. Menurut hemat saya telah menjadi notoir feit yang tidak perlu pembuktian lebih lanjut, bagaimana daerah yang tergantung pada tourisme, mengalami “kebangkrutan” karena mendadak kebijakan pembatasan gerak manusia secara global, memukul industri perhotelan, industri pariwisata, dan akibatnya penganguran yang menyedihkan, yang bagi karyawan tertentu tanpa dukungan tabungan dan pendapatan yang pokok harus menghidupi keluarganya. Semua hal itu membutuhkan langkah cepat dan pengerahan keuangan negara, yang harus diberi landasan hukum yang baru sesuai dengan kondisi yang dihadapi, 263 sebagaimana amanat konstitusi kita bahwa negara harus hadir “untuk melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia”. Keadaan Darurat Dalam Konstitusi Tiap konstitusi masing-masing negara akan menentukan keadaan tidak normal tersebut secara berjenjang, dengan kekuasaan yang dilimpahkan kepada penyelenggara negara secara berbeda-beda, sesuai dengan tingkat keadaan yang di hadapi. Dalam hal terjadi suatu keadaan yang tidak biasa yang membutuhkan tindakan untuk melawan hal yang tidak biasa tersebut yang mengancam eksistensi negara, kehidupan anggota masyarakat ataupun kehidupan masyarakat sebagai kepentingan umum yang menyeluruh bahkan mencakup kelangsungan kehidupan bersama yang disusun dalam organisasi negara, maka diperlukan juga tindakan atau langkah dari penyelenggara negara yang tidak biasa untuk melawan ancaman, mengatasi keadaan yang tidak biasa untuk dapat mengembalikan kekeadaan yang normal tersebut. Ketika serangan terorisme bertubi-tubi di Amerika dan perlu menyatakan keadaan bahaya yang membutuhkan emergency power bagi kepala pemerintahan untuk bertindak, maka tidak selalu tersedia kewenangan emergency tersebut dalam sistem konstitusi Amerika Serikat. Sehingga karenanya Bruce Ackerman menyatakan: “Designing a constitutional regime for a limited state of emergency is a tricky business…The paradigm case for emergency powers has been an imminent threat to the very existence of the state, which necessitates empowering the executive to take extraordinary measures”. Tetapi tindakan-tindakan yang luar biasa demikian harus senantiasa ada dalam bentuk yang integral dengan sistem hukum yang berlaku sebagaimana diatur dalam konstitusi. Konstitusi sebagaimana disebut di atas sudah mengatur dalam kerangka kekuasaan yang ditentukan kekuasaan atau kewenangan yang mungkin dibutuhkan untuk melaksanakan fungsi dan kewajiban-kewajibannya. Pada saat yang sama pembatasan dan larangan konstitusional maupun perlindungan yang diberikan dalam kerangka hak-hak perorangan atau individu senantiasa juga diperlakukan tidak hanya dalam keadaan biasa tetapi juga dalam keadaan luar biasa. Ketika Amerika masih mencari bentuk yang pas untuk emergency power terrsebut dalam menghadapi krisis terorisme, yang karena paradigma checks and balance dan separation of powers yang agak ketat dalam aturan konstitusi Amerika, maka Indonesia sudah sejak zaman Konstitusi RIS, UUD Sementara, UUD 1945 264 sebelum dan sesudah perubahan, secara lugas telah menyediakan kekuasaan dalam keadaan daruurat yang diberikan pada Presiden, meskipun terjadi perubahan-perubahan Undang-Undang Dasar atau Konstitusi. Pengalaman sejarah sejak masa penjajahan dan setelah kemerdekaan yang mengalami keadaan bahaya dari perspektif perang, bahaya perang, yang sering kali dilihat dalam konteks istilah SOB ( Staat van Oorlog en beleg) yaitu keadaan perang dan bahaya serangan, yang awalnya termuat dalam Koninklijke Besluit -semacam undang-undang tertanggal 13 September 1939 Nomor 32 (Stb 1939-5820 dan mulai berlaku 15 April 1940. Undang-Undang tersebut memberi wewenang kepada Gubernur Jenderal untuk mengambil 2 (dua) tindakan darurat, yaitu (i) menyatakan wilayah Hindia Belanda seluruhnya atau sebagian “ in staat van oorlog (keadaan perang) dan (ii) menyatakan wilayah Indonesia dalam keadaan in staat van beleg (dalam keadaan terkurung oleh musuh). Undang-Undang ini memberikan kewenangan yang memungkinkan perubahan hokum tatanegara biasa menjadi hokum tatanegara istimewa yang mengalihkan kekuasaan pemerintahan sipil kepada pemerintahan militer . Hal ini terjadi karena keadaan di mana terjadi perang atau timbulnya bahaya perang ( staat van oorlog ), sehingga apabila keamanan negara berada dalam bahaya karena huru hara atau karena pemerintahan sipil kocar kacir akibat malapetaka, kekuasaan pemerintahan sipil dialihkan kepada pemerintahan militer, yang memiliki prosedur dan tatacara yang membutuhkan komando secara disiplin militer yang tegas. Setelah kemerdekaan RI pada tanggal 17 Augustus 1945, karena undang-undang yang disebut dalam Pasal 12 UUD 1945 belum ada, maka waktu itu Peraturan SOB tersebut terus diperlakukan. Tetapi kemudian DPR membentuk Undang-Undang mengenai keadaan bahaya tanggal 17 Desember 1957 seperti halnya Peraturan SOB yang juga mengenal keadaan bahaya dalam 2 tingkatan, di mana tingkat kesatu dinamakan “keadaan darurat” dan tingkat kedua disebut “keadaan perang”. Keadaan darurat dalam Undang-Undang Nomor 74 tahun 1957 mengenal tiga tingkatan keadaan darurat yaitu (i) keadaan darurat sipil, (ii) keadaan darurat militer”, dan (iii) Keadaan darurat perang. Undang-Undang Keadaan bahaya ini berlaku sampai 16 Desember 1959, yang kemudian telah di dasarkan pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959 tentang keadaan bahaya. Sampai saat ini, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959 belum dicabut, akan tetapi kondisi dan kelembagaan yang disebut didalamnya, setelah perubahan UUD 1945 telah mengalami perubahan, 265 menjadi tidak relevan, sehingga sesungguhnya sudah sejak awal reformasi harus direvisi. Karena kenyataan perkembangan sejarah dan nomenklatur kolonial yang ketika itu masih melekat, telah menyebabkan Pasal 12 dan undang-undang keadaan darurat yang diperintahkan Pasal 12 UUD 1945 menjadi terlupakan, sehingga ketika diperlukan saat ini suatu produk hukum Perpu yang memiliki karakter, dasar hukum dan akibat hukum yang berbeda dari Pasal 22 serta praktek Perpu yang tidak memperhitungkan hal tersebut, telah mengakibatkan keadaan yang terjadi sekarang dengan Perpu Nomor 1 Tahun 2020 yang kemudian sesuai dengan ketentuan UUD 1945 diharuskan untuk mendapat persetujuan DPR pada sidang berikutnya, menjadikannya sedikit banyak dilemmatis, karena keadaan yang tidak biasa yang disebut dalam keadaan krisis dalam arti bahaya dan ancaman kedaruratan akan keselamatan jiwa dalam jumlah besar dan dalam wilayah yang luas, kemudian ditangani seperti dalam keadaan normal atau biasa ( state of normalcy) Perpu tersebut disahkan menjadi undang-undang, dan memasuki sistem hukum dalam keadaan normal karena abnormalcy telah terhapus dengan dijadikannya Perpu jadi undang-undang. Setelah proklamasi kemerdekaan dan sesudah tercapainya secara relative stabilitas pemerintahan serta hilangnya ancaman perpecahan dan pemberontakan meskipun sesungguhnya tidak benar, karena yang berubah hanya bentuk dan karakteristiknya, maka kewenangan tersebut agak terlupakan dan dipahami sebagai sesuatu yang berbeda. Terutama karena Pengertian Pasal 12 UUD 1945 tentang kekuasaan Presiden untuk menyatakan keadaan bahaya, yang kemudian syarat- syarat dan akibat keadaan bahaya diatur dalam Undang-Undang, maka keadaan yang diatur dalam undang-undang itu, tentu bukan keadaan yang diatur undang- undang sebagai keadaan normal ( state of normalcy) melainkan dalam keadaan darurat atau bahaya dengan kegentingan memaksa, yang hemat kami, outputnya bukan Perpu berdasarkan Pasal 22, melainkan keadaan darurat yang merupakan bagian dari kegentingan memaksa yang timbul karena keadaan bahaya, yang outputnya dalam Undang-Undang Dasar Sementara dan UUD RIS, disebut dengan istilah yang berbeda yaitu Undang-Undang Darurat . Kekosongan pengaturan yang sesuai karena lupa menjabarkan Pasal 12 tentang “keadaan bahaya” dalam UUD 1945, kemudian menyebabkan kesalah pahaman yang agaknya boleh jadi menimbulkan masalah konstitusionalitas normanya, sebagaimana kita saksikan di 266 media social. Perpu Nomor 1/2020 yang dikeluarkan dengan berdasarkan kondisi ancaman serangan Covid-19, oleh WHO dinyatakan sebagai pandemic, sesungguhnya terjadi secara global dan dengan bukti tingkat kematian yang sangat tinggi akibat serangan Covid-19 sebagaimana telah disebut diatas, sehingga secara objektif negara memang berada dalam keadaan bahaya, yang mengancam kehidupan manusia dan boleh jadi mengancam kelangsungan kehidupan negara akibat krisis ekonomi yang timbul serta dampak ikutannya. Meskipun demikian, masih ada pihak yang mungkin hanya melihatnya dari segi pertarungan politik, karena pemahaman konstitusi yang kurang cermat dan lengkap, sehingga boleh jadi mengakibat krisis konstitusi yang berbahaya. Dengan kata lain kekuasaan apapun yang boleh secara sah digunakan menurut konstitusi untuk menghadapi ancaman keadaan yang luar biasa, tidak akan mengurangi ruang lingkup jaminan-jaminan konstitusional yang ada, meskipun dalam keadaan yang tidak biasa tersebut perlindungan hak-hak individu dan hak asasi boleh jadi harus ditunda pemberlakuannya , karena suatu keadaan yang berbahaya atau genting yang menimbulkan keadaan memaksa untuk bertindak mengatasi keadaan tersebut beserta akibat-akibatnya secara luar biasa. Dalam keadaan seperti itu, diperlukan seorang pemimpin yang harus mampu bertindak dalam keadaan yang segera, sehingga konsep-konsep hukum yang innovatif untuk mengatasi keadaan yang luar biasa tersebut juga boleh jadi dibutuhkan. Asumsi pembedaan kondisi dan keyakinan akan kemampuan kita untuk memisahkan keadaan genting dan krisis dari keadaan normal, langkah kontra terorisme dari aturan hokum dan norma yang biasa (?), mengandung arti bahwa tindakan melawan kegentingan atau keadaan darurat bukan ditujukan kepada kita, melainkan terhadap ancaman keselamatan masyarakat dan bahkan negara tersebut. Penerapan secara membabi buta model-model keadaan yang tidak biasa, dalam jangka panjang akan menimbulkan ketidak stabilan terhadap prinsip-prinsip fundamental seperti rule of law , perlindungkan atas hak-hak dan kebebasan yang berlaku. Models of Accomodation Seorang penulis mengatakan bahwa wacana tentang rezim keadaan darurat dalam masyarakat demokratis hampir secara tetap diatur dengan model-model yang dikelompokkan menurut satu teori umum yang disebut “ models of accomodations”. Semua model tersebut menerima satu tingkat akomodasi bagi tekanan yang 267 terjadi/dilakukan terhadap negara pada saat keadaan darurat, sementara pada waktu yang sama, sebanyak mungkin mempertahankan prinsip dan norma hokum yang normal. Menurut model-model akomodasi tersebut, ketika satu negara dihadapkan kepada keadaan darurat, maka struktur hukum dan bahkan struktur konstitusionalnya agak dilonggarkan dan barangkali bahkan ditangguhkan ( keberlakuannya ) sebagian. Kompromi ini yang memungkinkan kelangsungan dianutnya asas rule of law dan nilai-nilai dasar demokrasi, ketika negara diberikan kewenangan yang cukup untuk menahan puting beliung yang ditimbulkan oleh krisis yang mengancam kehidupan negara dan keselamatan warganya. A. Constitutional Dictatorship in State of Emergency Gross dan Fionuala memasukkan dalam jenis akomodasi ini kedikatoran Romawi dalam bagian akomodasi klasik, yang diperkenalkan di zaman Romawi dengan mana satu lembaga darurat yang diakui dan instrument pemerintahan yang dibangun dalam kerangka konstitusional. Lembaga ini dipuja oleh Niccolo Machiavelli sebagai lembaga yang dipandang dimasukkan diantara penyebab kebesaran suatu kekaisaran yang adidaya. Kediktatoran konstitusional Romawi dilihat sebagai kegeniusan politik Romawi yang dapat menyelesaikan masalah yang sulit dalam kekuasaan darurat yang tidak ada bandingnya dalam sejarah. Sesungguhnya kediktatoran konstitusional adalah satu model dengan mana suatu negara demokrasi dapat berhasil dalam perang semesta dan masih dapat mempertahankan sifat demokratisnya dengan menggunakan prinsip kediktatoran konstitusional. Kediktatoran konstitusional disusun berdasarkan pengalaman dan atribut kedikatoran Romawi. Pemecahan Romawi atas masalah kekuasaan darurat dipuji sebagai yang paling berhasil dari semua sistem pemerintahan darurat yang dikenal. Unsur-unsur pokok kediktatoran Romawi yang paling terkenal itu adalah:

    1.

    sifatnya yang sementara ( temporary character );

    2.

    pengakuan akan sifat khusus ( exceptional ) dari keadaan darurat;

    3.

    pengangkatan seorang diktator sesuai dengan bentuk bentuk konstitusional yang khusus, yang memisahkan mereka yang menyatakan keadaan darurat, dan mereka yang menjalankan kekuasaan darurat;

    4.

    pengangkatan dikator untuk tujuan yang terinci dan terbatas, dan tujuan akhir mempertahankan tertib konstitusi katimbang mengganti atau mengubahnya, sering diangap meletakkan pedoman dasar bagi regiem darurat konstitusional di zaman modern. 268 Pada zaman modern sekarang, ketika krisis negara-negara secara global yang timbul karena pandemi virus corona, Hongaria dan Perancis tampaknya menoleh pada keunggulan kediktatoran Romawi, ketika Parlemen Hongaria dan Perancis menyetujui pemberian kekuasaan besar bagi Perdana Menteri dan/atau Presiden untuk mengeluarkan dekrit dan hokum tanpa persetujuan parlemen untuk menggunakan kekuasaan luar biasa dalam menanggapi pandemik tersebut, termasuk mengeluarkan aturan tanpa persetujuan parlemen dengan aturan mana dimuat juga hukuman penjara bagi yang mengeluarkan disinformasi tentang epidemi atau mengganggu upaya-upaya untuk menahan penyebaran virus corona. Meskipun hal tersebut mendapat kritikan dari Presiden Uni Eropah, Parlemen Hongaria dan Pemerintah Perancis menolak kritikan tersebut dengan mengatakan bahwa undang-undang baru tersebut disesuaikan dengan kebutuhan khusus untuk mengatasi pandemi. Perkembangan itu menunjukkan perlunya aturan yang tegas, keras dan cenderung otoriter dalam kerangka memaksakan ketertiban dan kecepatan penanganan pencegahan penyebaran pandemik, yang memerlukan pengorbanan semua pihak termasuk mengesampingkan perlindungan HAM secara ideal dan sempurna untuk sementara. Di antara kritikan yang dilontarkan terhadap kekuasaan besar eksekutif tersebut, disebut perlunya tinjauan yang teratur, proporsional serta adanya batas waktu. Ini merujuk pada syarat-syarat tentang apa yang disebut sebagai kediktatoran konstitusional sebagai suatu kekuasaan yang diatur dalam konstitusi dengan syarat-syarat yang cukup untuk mengendalikan dampak negative terhadap demokrasi dan rule of law. Melihat kritikan yang muncul dari Komisi Uni Eropa dan hal yang sama terjadi di tanah air setelah diberbitkannya Perpu Nomor 1 Tahun 2020, yang disusul dengan Permohonan Judicial Review Perpu tersebut dalam perkara JR yang telah dinyatakan gugur dengan disetujuinya Perpu menjadi undang-undang a quo, maka dalam sejarah dan praktek ketatanegaraan kemudian ternyata memang terdapat suatu keinginan dan kebutuhan mempertahankan kekuasaan luar biasa dalam kondisi genting dan bahaya atau darurat, dengan pengaturan-pengaturan dalam konstitusi dan nomenclatur yang berbeda terhadap kekuasaan yang diperlukan mengatasi keadaan darurat, bahaya atau genting tersebut. __ 269 B. State of Siege Model klasik berikut yang disebut oleh Gross dan Fionnuala, adalah state of siege , yang berasal dari sistem hukum kontinental, khususnya Perancis, sebagai mekanisme untuk mengurus keadaan krisis yang ekstrim. Dikatakan bahwa instrumen mengatasi krisis jenis ini sangat dekat dengan teori kediktatoran konstitusional. Keadaan genting dalam state of siege ini tidak menggambarkan adanya keadaan di mana hukum dibatalkan sementara, tetapi gagasan dasar kondisi ini adalah adanya keadaan darurat yang dapat diantisipasi dan tindakan untuk mengatasinya dapat dibentuk secara awal dengan menciptakan aturan hokum yang komprehensif, kerangka hukum yang lengkap menentukan dan merumuskan langkah/tindakan yang harus diambil untuk mengontrol atau mengakhiri tiap keadaan darurat. Untuk mengatur lebih jauh state of siege tersebut, Konstitusi Perancis Republik Kedua tahun 1848 mengadopsi Pasal 106, yang mengatur penerbitan pernyataan state of siege , pengakhiran, dan akibat hukum keadaan darurat tersebut. Akan tetapi patut diingat bahwa menurut Konstitusi Perancis tahun 1878 state of siege hanya dapat dinyatakan dengan undang-undang dan hanya “dalam hal bahaya yang mengancam dari perang dari luar atau pemberontakan dalam negeri’. Pernyataan state of siege harus ditentukan jangka waktu berlakunya, dan ketika jangka waktu yang disebutkan berakhir, state of siege juga berakhir. Hal itu hanya dibatasi terhadap keadaan yang sangat luar biasa. Kewenangan untuk menyatakan state of siege tersebut hanya berada pada parlemen, termasuk untuk mengakhiri keadaan darurat luar biasa tersebut baik sebahagian atau seluruhnya sebelum masa yang ditentukan dalam pernyataan sebelumnya, dengan deklarasi yang dikeluarkan kemudian. Pengertian yang dianut pada waktu itu bahwa masa berlaku state of siege tersebut relative singkat dan sangat terbatas. Tambahan lagi pernyataan state of siege harus menentukan bagian wailayah negara dimana berlaku state of siege. Ketika state of siege telah dinyatakan maka semua kewenangan untuk “memelihara ketertiban” dialihkan secara menyeluruh kepada pihak militer. Penguasa sipil tetap memegang fungsi dan kewenangan lainnya, dan pengadilan militer akan melaksanakan kewenangan atas tiap pelanggaran yang menyangkut keamanan dan ketertiban Republik serta pelanggaran terhadap konstitusi, kemanan dan ketertiban umum. 270 Terdapat dua hal yang tidak termasuk dalam sistem ini yaitu:

    1.

    Regiem state of siege tidak melimpahkan kewenangan pembuatan undang- undang kepada eksekutif; dan

    2.

    State of siege tidak mengakibatkan perubahan mendasar dalam hubungan pembuat undang-undang dengan eksekutif, atau antara pemerintahan sipil dan militer, dan militer tetap tunduk kepada pengarahan dan instruksi dari menteri- menteri. Dengan kata lain, meskipun ada pengalihan kewenangan memelihara ketertiban dan kewenangan lain, militer dan sipil bekerja bahu membahu selama keadaan perang, meskipun secara umum militer tetap sebagai hakim terakhir atas masalah kepolisian dan keamanan. C. Martial Law-Darurat Militer Jenis keadaan darurat semacam ini merupakan instrumen keadaan darurat dalam sistem common law , yang digunakan mengatur dengan keputusan eksekutif yang memberi kewenangan kepada pemerintah untuk menentukan dengan keputusannya untuk mengambil langkah-langkah yang dipandang perlu untuk mempertahankan negara dan menyatakan keadaan darurat dalam masa permusuhan. Keputusan-keputusan dalam keadaan darurat demikian dipandang memiliki kekuatan yang sama dengan undang-undang. Keadaan Bahaya atau Kegentingan Yang Memaksa Republik yang ideal harus memiliki lembaga emergency , ketika menghadapi ancaman dan bahaya yang luar biasa, ketika pembuatan keputusan yang normal sangat lambat untuk mengatasi secara efektif krisis yang mengancam. Banyak negara konstitusional modern memuat secara tegas dan terkadang sangat rinci ketentuan-ketentuan tentang keadaan darurat. Meskipun banyak dipergunakan negara di masa modern, akan tetapi beberapa negara seperti Amerika Serikat, Jepang dan Belgia, hampir tidak mengenal rujukan kepada keadaan darurat dan kekuasaan darurat. Konstitusi Amerika hanya secara tidak langsung merujuk kepada kedaruratan tersebut dalam Pasal 1 ayat (9) kalimat kelima belas (15) yang memberikan kekuasaan kepada Kongres “memanggil wajib militer untuk melaksanakan undang-undang Negara Federal, memadamkan pemberontakan dan menahan invasi”. Sedang Pasal 1 ayat (9) Kalimat Kedua yang menyatakan bahwa Hak istimewa Habeas Corpus tidak boleh ditangguhkan kecuali keamanan umum membutuhkan ketika terjadi pemberontakan atau invasi. Dan meskipun disebut dalam pasal-pasal lain tentang perang dan masa perang, tidak ada kewenangan 271 khusus yang diberikan kepada cabang eksekutif dalam keadaan mendesak demikian. Constitutional Necessity Ketika aturan yang memberikan kewenangan menyangkut keadaan darurat tidak termuat dalam konstitusi, orang mencoba untuk mempertegas kewenangan darurat yang tersedia bagi pemerintah untuk menghadapi kegentingan secara khusus dalam struktur konstitusi adalah dengan beralih kepada prinsip kebutuhan ( principle of necessity ) baik sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri atau sebagai cita-hukum ( rechtsidee ) yang menjadi sumber aturan (meta-rule) dari konstruksi konstitusi. Dalam kedua pandangan tersebut “kebutuhan ( necessity )” berlaku sebagai prinsip konstitusi yang dapat mengesahkan hal yang sebaliknya tidak sah bahkan inkonstitusional. Necessity , menciptakan hukum konstitusi yang baru dengan cara menyimpang dari, dan bertentangan dengan, norma konstitusi yang ada, atau dia membentuk konstruksi konstitusi dengan cara yang baru. Untuk melihat aplikasi necessity dan meta - rule constitutional construction ini, dapat kita lihat perkembangan jurisprudensi atau case law sebagaimana secara bertahap memberikan kewenangan dalam keadaan darurat dalam putusan Mahkamah Agung Amerika Serikat, tentang kewenangan memanggil wajib militer dan kedudukan wajib militer tersebut dalam keadaan perang di bawah perintah Presiden Amerika Serikat sebagai Panglima Angkatan Perang. Pasal 2, ayat 2 Kalimat Pertama, berbunyi: “ The President shall be Commander in Chief…of the Militia of the several States, when called into the actual Service of the United States…” Pada tahun 1792, Congres membuat Undang-Undang, yang memberi izin kepada Presiden memanggil milisi utuk memadamkan pemberontakan. Kewenangan ini awalnya dibatasi pada kejadian yang tidak dapat ditangani oleh Pengadilan atau Polisi dalam tugasnya. Undang-undang itu juga menyatakan bahwa hakim harus lebih dahulu menyatakan keadaan diluar kewenangan kekuasaan yang sah dan menyatakan bahwa Presiden harus memperingatkan pemberontak untuk mengakhiri kegiatannya sebelum menyatakan wajib militer. Ketika perang tahun 1812, Presiden James Madison memanggil wajib miter, tetapi Negara Bagian New England menentang perang dan kewenangan Presiden serta mengancam akan memisahkan diri. Mahkamah Agung Negara Bagian Massachuset mengeluarkan pendapat hokum yang menyatakan bahwa Gubernur atau Panglima Perang Negara 272 Bagian mempunyai kewenangan ekslusif untuk menyatakan keadaa darurat dan memanggil milisi. Keputusan ini secara efektif diakui sebagai kewenangan veto Gubernur atas penggunaan milisi masing-masing negara bagian. Pasal 1 ayat (8) kalimat 15 dan Pasal II ayat (2) kalimat Pertama Konstitusi Amerika menyatakan secara khusus memberi kewenangan, masing-masing kepada Kongres dan Presiden, kekuasaan untuk memanggil milisi dalam tugas aktif pada Amerika Serikat. Menjawab argument kewenangan negara bagian, James Monroe menyatakan bahwa ketika milisi dipanggil untuk tugas negara (Federal) Amerika Serikat, semua kewenangan negara bagian atas milisi berakhir. Tahun 1872 Mahkamah Agung Amerika Serikat dalam perkara Martin v Mott, dalam putusan yang ditulis oleh Hakim Joseph Story menyatakan, “ Semua hakim MA berpendapat bahwa kewenangan untuk menentukan apakah terdapat keadaan darurat, dimiliki secara ekslusif oleh Presiden, dan keputusannya mengikat semua orang”. __ Kemudian tahun 1849 dalam perkara Luther v Borden, MA menyatakan bahwa bukan hanya keputusan Presiden memanggil milisi sebagai jawaban atas keadaan darurat tidak memerlukan persetujuan eksekutif negara bagian, juga keputusan Presiden demikian juga tidak tunduk pada judicial review . Tahun 1980, Gubernur-gubernur Negara Bagian kembali menentang kewenangan Presiden tersebut, dan mengemukakan bahwa merupakan hak prerogative mereka untuk memberikan persetujuan. Sebagai akibatnya Kongres mengeluarkan Amendemen Montgomery yang melarang Gubernur untuk menggunakan persetujuan bagi National Guard yang bertugas di luar Amerika Serikat. Kemudian ada JR yang menyatakan bahwa Mongomery Amendment inkonstitusional, tetapi akhirnya Mahkamah Agung Amerika Serikat menyatakan supremasi kewenangan Presiden atas operasi milisi ketika dipanggil untuk menjalani tugas negara, dan Mahkamah Agung juga menyatakan bahwa Gubernur negara bagian tidak dapat memveto penggunaan milisi negara bagian ketika dipanggil oleh negara sesuai dengan Kewenangan Konstitusional Kongres dan kewenangan konstitusional Presiden. Keadaan Bahaya dan Kegentingan Memaksa Kondisi Negara dalam krisis tentu wajar membutuhkan penanganan yang tidak biasa. Dikatakan bahwa instrumen mengatasi krisis jenis tertentu yang mengancam wilayah, masyarakat dan negara, membutuhkan langkah cepat dan keras, yang sangat dekat dengan teori kediktatoran konstitusional. Keadaan genting 273 dalam state of exigencies ( keadaan genting) __ ini menggambarkan adanya keadaan di mana hukum perlu sementara berada dalam prosedur yang tidak biasa untuk memungkinkan diambil langkah-langkah yang tidak terhambat oleh prosedur- prosedur biasa. Gagasan dasar kondisi ini adalah adanya keadaan darurat yang dapat diantisipasi dan tindakan yang mengatasinya dapat dibentuk secara awal dengan menciptakan aturan hukum yang komprehensif, kerangka hukum yang lengkap untuk menentukan dan merumuskan langkah/tindakan yang harus diambil untuk mengontrol atau mengakhiri tiap keadaan darurat atau genting. “Dalam hal bahaya yang mengancam akibat perang dari luar atau pemberontakan dalam negeri’, kerusuhan social yang berskala besar, membutuhkan kewenangan yang tidak biasa seperti yang telah disebutkan. Pernyataan genting dan memberikan kewenangan untuk mengambil langkah- langkah yang berada di luar ketentuan hukum yang biasa, menunjukkan perlunya aturan yang tegas, keras dan cenderung otoriter dalam kerangka memaksakan ketertiban dan kecepatan penanganan pencegahan penyebaran pandemik, yang juga memerlukan pengorbanan semua pihak termasuk mengesampingkan perlindungan HAM secara ideal dan sempurna untuk sementara. Oleh karena itu memang harus ditentukan jangka waktu berlakunya, dan ketika jangka waktu yang disebutkan berakhir, yaitu kegentingan yang disebut memaksa tersebut berakhir, maka berakhir juga pemberian kewenangan secara luar biasa tersebut kepada Presiden. Hal itu hanya dibatasi terhadap keadaan yang sangat luar biasa. Dasar Pembentukan Perpu Dalam sejarah kehidupan negara kita disebutkan bahwa pada masa pemerintahan SBY, dalam masa 10 (sepuluh) tahun, Presiden SBY mengeluarkan Perpu terbanyak, dengan jumlah Perpu. Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 menyatakan “Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”. __ Pengertian hal ihkwal kegentingan yang memaksa tersebut telah diperjelas oleh MK dengan merumuskan syarat-syarat yang disebut dalam Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 sebagai dasar untuk “hal ikhwal kegentingan yang memaksa” yaitu:

    1.

    Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang; 274 2. Undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada, sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai;

    3.

    Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang dengan prosedur biasa karena akan membutuhkan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan mendesak tersebut perlu kepastian hukum untuk diselesaikan. Landasan hukum yang dipergunakan untuk membentuk Perpu yang disebut seluruhnya adalah karena adanya “kegentingan memaksa”, __ yang kemudian dilandaskan pada 3 (tiga) hal yang disebut dalam putusan MK tersebut, sehingga timbul pertanyaan apakah dalam keadaan seperti ancaman dan bahaya yang timbul akibat keadaan darurat karena potensi serangan baik yang bersifat militer, dalam arti ancaman invasi kekuatan asing, ancaman pemberontakan atau pergolakan dalam negeri yang berpotensi menghancurkan kesatuan dan integrasi bangsa dan negara baik secara ideologis maupun secara geografis, yang berpotensi juga terhadap keutuhan wilayah dan keamanan jiwa dan raga, termasuk terhadap ancaman pandemic yang membahayakan nyawa dalam skala besar dan dampak social, politik, dan ekonomi yang luas, UUD 1945 memiliki landasan hukum lain yang boleh juga menyebabkan dipergunakannya kebijakan pemerintahan yang didasarkan pada suatu peraturan perundang-undangan. Pandemi Covid sudah barang tentu bukanlah hal yang biasa atau kondisi normal, yang secara umum boleh dikategorikan dalam keadaan genting, yang memaksa penyelenggara pemerintahan untuk mengambil langkah-langkah yang cepat dan tidak biasa dalam kerangka memenuhi amanat konstitusi “untuk melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia”. Tetapi dengan bukti angka-angka kematian yang timbul dari covid-19, apakah “kegentingan memaksa” yang disebut dalam Pasal 22 sama dengan “keadaan bahaya” yang disebut dalam Pasal 12 UUD 1945. Tidak perlu pembuktian lebih lanjut tentang keadaan bahaya, kegentingan memaksa, state of emergency yang terjadi karena hal itu dengan sifatnya yang meliputi dunia, termasuk dengan pernyataan WHO tentang Pandemi-Covid 19 dengan angka kematian yang tinggi dan belum ada obat yang dapat mengatasinya (sampai akhir 2020). Terlebih lagi dengan pernyataan para ahli tentang kemungkinan mutasi virus yang diprediksi secara keilmuan mengakibatkan jenis yang berbeda yang boleh jadi tidak dapat dihambat dengan suatu jenis vaccine tertetu saja. Oleh karenanya banyak langkah yang harus dilakukan secara cepat 275 untuk perawatan dan pengobatan serta pencegahan, yang menjadi kewajiban negara secara konstitusional untuk melindungi segenap bangsa, mengakibatkan dampak beban keuangan yang sangat besar yang berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi, pengurangan pendapatan negara, pengangguran dan kebangkrutan, dan bahkan jika tidak tertangani secara baik kemungkinan boleh jadi berkembang kearah krisis politik. Semua hal itu membutuhkan langkah cepat dan pengerahan keuangan negara, yang harus diberi landasan hukum yang baru sesuai dengan kondisi yang dihadapi. Kondisi yang terjadi sekarang, pasti memenuhi bunyi Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang menyebut bahwa dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, dengan 3 (kondisi) yang disebut dalam putusan MK tersebut, sehingga Presiden berhak mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang. Tetapi kondisi yang dihadapi sekarang ini dalam hal Pandemi covid-19, jauh lebih besar dari sekedar kegentingan yang disebut dalam Pasal 22 UUD 1945, karena unsur ancaman dan korban yang secara riil sudah demikian besar, yang potensinya berkembang masih berlanjut, yang juga mengancam penyelenggara negara dan petugas kesehatan itu sendiri. Hal-hal ini tidak perlu terjadi dalam hal kegentingan memaksa yang diatasi dengan Perpu berdasarkan Pasal 22 UUD 1945. Oleh karena kondisi yang sedemikian besar ancaman dan bahayanya, sehingga negara sebenarnya berada dalam keadaan bahaya atau darurat , maka landasan yang dipergunakan tidak cukup hanya Pasal 22 UUD 1945, seperti halnya pengalaman perjalanan Negara Republik Indonesia. Dalam keadaan bahaya yang masih mengancam seperti saat ini, Pasal 12 UUD 1945 juga seharusnya digunakan bersama-sama Pasal 22 atau mungkin lebih tepat dikaitkan dengan Pasal 22, jika kondisi ini adalah keadaan bahaya yang dimaksud. Dalam pengalaman di bawah UUD Sementara Republik Indonesia maupun UUD 1945 sebelum Dekrit Presiden 5 juli 1959, dan sebelum Perubahan tahun 1999, masing-masing kita mengenal adanya Undang-Undang Darurat dan Undang-Undang Keadaan Bahaya yang berlaku sampai 16 Desember 1959, yang kemudian telah didasarkan pada Undang- Undang Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya. Sesungguhnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009, dalam pertimbangannya secara ringkas sebenarnya telah merujuk pada Pasal 12 UUD 1945, dengan menyatakan bahwa “keadaan bahaya” yang disebut dalam Pasal 12 UUD 1945 menjadi suatu bagian dari “kegentingan memaksa” dalam Pasal 276 22 UUD 1945 dengan pernyataan bahwa “pengertian kegentingan yang memaksa tidak dimaknai sebatas hanya adanya bahaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 UUD 1945. Memang benar bahwa keadaan bahaya sebagaimana dimaksud oleh Pasal 12 UUD 1945 dapat menyebabkan proses pembentukan undang-undang secara biasa atau normal tidak dapat dilaksanakan, namun keadaan bahaya bukanlah satu-satunya keadaan yang dapat menyebabkan timbulnya kegentingan yang memaksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945. Yang menjadi pertanyaan yang harus dapat dijawab apakah norma yang dilahirkan atas dasar Perpu yang timbul sebagai bagian sistem hukum yang bersifat darurat ( state of emergency and law in crisis) yang sesungguhnya sementara mentolerir penyimpangan konstitusi, dan ketika disetujui sebagai undang-undang, menjadi masuk dalam bagian sistem hukum yang bersifat normal (state of normalcy ) Inilah sesungguhnya yang menjadi masalah utama ketika kita berbicara tentang pengujian UU Nomor 2 Tahun 2020 yang berasal dari Perpu Nomor 1 Tahun 2020. Berdasarkan keadaan darurat yang menjadi dasar pembentukan Perpu sebagai law in time of crisis, yang mentolerir penyimpangan beberapa prinsip konstitusi dan rule of law, tetapi ketika mendapat persetujuan DPR menjadi undang-undang, kemudian dijadikan bagian dari sistem hukum keadaan normal? __ Pasti jawabannya tidak. Keadaan darurat dan law in time of crisis seperti halnya suatu constitutional dictatorship , memiliki batasan waktu, ketika state of emergency telah berakhir maka law in crisis yang abnormal membutuhkan tindakan pengakhiran. Dasar Hukum Perpu. Secara khusus, AB Kusuma menyebut dengan to the point , Perppu harus didasarkan pada Pasal 12 dan Pasal 22 UUD 1945, meskipun keluar dari pakem, dan meskipun ada semantic confusion (kerancuan istilah). Dari Tahun `1945 sampai tahun 2020 Perpu yang dikeluarkan hanya didasarkan pada Pasal 22 saja, kecuali Perpu nomor 23 tahun 1959 yang didasakan pada Pasal 12 dan 22. Dari Pasal 12 dirumuskan ketentuan bahwa Presiden dapat menyatakan negara dalam keadaan bahaya dengan tingkat keadaan “darurat sispil”, atau “darurat militer atau “keadaan perang”. Dan Pasal 22 untuk memenuhi “kekosongan hukum”. Mengingat Perpu 1 Tahun 2020 mempunyai ciri “negara dalam keadaan bahaya”, maka seharusnya dipakai Pasal 12, maka Perpu harus menyatakan bahwa dasarnya Pasal 12 dan 22, harus dideklarasikan, harus berlaku untuk sementara, harus memuat apa saja kekuasaan istimewa untuk menangguhkan atau membatasi 277 fundamental rights dan prinsip pemerintahan yang demokratis. Dan harus memuat pengawasan dari Lembaga judicial. Mengingat ketentuan itu tidak tercantum, maka dapat disimpulkan bahwa Perpu Nomor 1/2020 yang menjadi UU Nomor 2 Tahun 2020, inkonstitusional. Sebagai perbandingan T Ginsburg menulis di Harvard Law Review April 2020 yang menyatakan: “ bila negara dalam emergency law, maka perlu diupayakan agar tidak terjadi abuse of powers dengan mengadakan ketentuan _:

    1.

    _ Providing for legislative and judicial oversight for the executive, 2. Limiting exceptional measures to those strictly necessary, 3. Ensuring that such powersendures only for the duration of outbreak. Nyatanya tidak ada ketentuan di dalam Perppu bahwa judiciary boleh melakukan oversight. Yang ada kebalikannya. Bahwa anggota KKSK kebal hukum dengan pernyataan bahwa: anggota KKSK tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana, serta ”segala tindakan…bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan ke PTUN. Dan di Perppu ada ketentuan bahwa deficit dapat melampaui 3 persen selama 3 tahun (sampai tahun 2023), padahal ada ketentuan dalam UUD bahwa APBN ditetapkan setiap tahun dengan persetujuan DPR. Hal itu jelas melanggar konstitusi dan ada batas waktu berlakunya yang harus mendapat persetujuan DPR. Demikian pula penerbitan SUN (apalagi dengan Tenor 50 Tahun) melanggar Pasal 11 UUD. Hukum Tata Negara darurat bersifat dinamis. Di Belanda, nama dan istilah banyak berubah. Konsep juga berubah emergency law (staatsnoodrecht ) terdiri dari Coordinatiewet Uitzonderingstoestanden Oorlogswet door Nederland, dan Wet Buitengewone Bevoegheden Burgelijk Gezag . HTN Darurat terdiri dari “limited state of emergency” , dan general state of emergency . Istilah Maria Law tidak lagi digunakan. Mungkin Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara bisa menemukan istilah, ump HTN Darurat Ringan untuk yang berdasar Pasal 22, dan HTN darurat Berat berdasarkan Pasal 12 UUD 1945. Di India, emergency provision tercantum di Pasal 352 (yang dapat menangguhkan fundamental rights) sampai Pasal 360 ( provision as financial emergency ) yang dapat menurunkan gaji ASN. Di Amerika, menurut Emergency Act 1976 Presiden memiliki “ statutory powers ”, dengan mana Presiden dapat membuat emergency law untuk hal yang dipandangnya penting, kecuali menangguhkan habeas corpus . Syaratnya Presiden harus mendeklarasikan kekuasaan apa yang akan dipergunakan dan berlaku selama satu tahun. Dapat diperpanjang berkali-kali asalkan disetujui congress . 278 Konstitusionalitas Undang-Undang Nomor 2/2020 juncto Perpu Nomor 1/2020 Salah satu keberatan besar dalam judicial review yang diajukan terhadap Perpu Nomor 1 Tahun 2020 yang telah disahkan menjadi undang-undang Nomor 2 Tahun 2020 adaalah Pasal 27 dan Pasal 28 Undang-Undang a quo . Pasal 28 Perppu Nomor 1 Tahun 2020 yang telah disetujui menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020, menyatakan bahwa pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku maka “beberapa pengaturan yang sebelumnya telah diatur oleh Undang-Undang lainnya, dinyatakan tidak berlaku sepanjang berkaitan dengan kebijakan keuangan Negara untuk penenganan penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan berdasarkan Perppu ini.” Pemberlakukan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 mengubah beberapa pengaturan yang sebelumnya telah diatur oleh Undang-Undang lainnya yang terkait dengan kebijakan keuangan Negara dan stabilitas sistem keuangan yang meliputi:

    1.

    Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2009;

    2.

    Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009, 3. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara;

    4.

    Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara;

    5.

    Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009;

    6.

    Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat. Ruang lingkup perubahan tersebut dapat diklasifikasi dalam 12 (dua belas) kelompok bidang regulasi, dengan diberlakukannya Perppu Nomor 1 Tahun 2020 secara umum, sebagai berikut: a) Bidang Perpajakan, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Perppu Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menjadi Undang-Undang. 279 1) Perpanjangan batas waktu hingga dua bulan atas pengembalian kelebihan pajak;

    2)

    Perpanjangan batas waktu atas penerbitan Surat Ketepan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak sampai dengan 16 bulan;

    3)

    Perpanjangan batas waktu pengajuan keberatan sampai dengan Sembilan bulan;

    4)

    Perpanjangan batas waktu penyelesaian keputusan atas keberatan Wajib Pajak hingga 18 bulan sejak tanggal surat keberatan diterima; dan

    5)

    Perpanjangan batas waktu penerbitan surat keputusan atas permohonan pengurangan atau pembatalan atau penghapusan sanksi administrasi, pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak yang tidak benar, pembatalan hasil pemeriksaan hingga 12 bulan. b) Bidang Perbankan, yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Perppu ini memberikan kewenangan bagi Bank Indonesia untuk membeli membeli Surat Utang Negara (SUN) dan/atau Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) berjangka panjang di pasar perdana. Pengaturan sebelumnya dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia disebutkan bahwa Bank Indonesia dilarang membeli untuk diri sendiri surat-surat utang Negara, kecuali di pasar skunder. Kewenagan tersebut diberikan untuk membantu pemerintah jika pasar tidak dapat menyerap SUN dan/atau SBSN yang tertebitkan pemerintah, sehingga dapat menjaga suku bunga tidak terlalu tinggi, serta untuk membantu likuiditas pemerintah dalam penanganan pandemic Covid-19. c) Bidang Keuangan Negara, yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

    1)

    Perubahan pengaturan tentang batas maksimum deficit anggaran, sebagai antisipasi terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional, penurunan penerimaan Negara, dan peningkatan belanja Negara dan pembiayaan;

    2)

    Pemerintah dapat melakukan pergeseran anggaran antarunit organisasi, antarfungsi dan/atau antarprogram tanpa persetujuan DPR;

    3)

    Pemberian kewenangan penuh kepada pemerintah untuk memberikan hibah kepada pemerintah daerah tanpa memerlukan persetujuan DPR; 280 4) Pemberian hibah kepada LPS sebagai kewenangan pemerintah tanpa memerlukan persetujuan DPR; dan

    5)

    Penerimaan pembiayan untuk menangulangi Defisit pada APBD dengan menggunakan si LPA Tahun yang lalu masih dimungkinkan. d) Bidang Perbendaharaan Negara, yang sebelumnya diatur oleh Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Perubahan ketentuan ini berkaitan dengan ketentuan dalam Pasal 27 ayat (4) juncto Pasal 28 ayat (4) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang mengatur pada prinsipnya bahwa dalam keadaan darurat Pemerintah/Pemrintah Daerah dapat melakukan pengeluaran yang belum tersedia anggaranya, yang selanjutnya diusulkan dalan rancangan perubahan APBN dan/atau disampaikan dalam Laporan Realisasi Anggaran. e) Bidang Penjaminan Simpanan, yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penetapan Perppu Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan Menjadi Undang-Undang.

    1)

    Pelebaran kriteria pertimbangan dalam pengambilan keputusan untuk menyelamatkan atau tidak menyelamatkan suatu Bank; dan

    2)

    LPS sekurang-kurangnya melakukan perhitungan atas perkiraan biaya penyelamatan dan perkiraan biaya tidak melakukan penyelamatan Bank Gagal. Apabila LPS mengalami kesulitan likuiditas maka LPS dapat memperoleh pinjaman dari pemerintah. f) Bidang Pertimbangan Keuangan, yang sebelumnya diatur oleh Undang- Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Pertimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

    1)

    Pengaturan sebelumnya ada batas minimal alokasi DAU dalam APBN dan kemudian diatur menjadi tidak ada batas minimal alokasi DAU dalam APBN;

    2)

    Penetapan batasan deficit anggaran yang awalnya ada maksimum deficit menjadi tidak ada maksimum deficit. Melalui Perppu Nomor 1 Tahun 2020 Pemerintah berencana menambah alokasi belanja dan pembiayaan dalam APBN 2020 sebesar Rp. 405,1 Trilyun. Konsekuensi dari naiknya belanja Negara adalah deficit APBN yang bertambah hingga 5,07% dari produk domestic bruto (PDB); 281 3) Terdapat perbedaan antara Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 dengan Perppu terkait sangsi berupa penundaan atas penyaluran Dana Perimbangan menjadi tidak ada pengenaan sanksi; dan

    4)

    Terdapat perbedaan antara Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 dengan Perppu terkait waktu pemberlakuan DAU. g) Bidang Kesehatan, yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan. Ketentuan sesuai Undang-Undang Kesehatan terdapat alokasi minimal 5% untuk bidang kesehatan dari APBN sedangkan dalam Perppu dimungkinkan adanya tambahan belanja dan pembiayaan APBN 2020 sehingga alokasi yang diberikan untuk bidang kesehatan akan lebih besar dari yang diatur oleh Undang-Undang Kesehatan dalam rangka penanggulangan pandemik Covid- 19. h) Bidang Desa, yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Dana yang seharusnya wajib dialokasikan untuk pembangunan desa sebesar 10% dalam Undang-Undang Desa menjadi dilakukan penyesuaian alokasi Dana Desa, antara lain berupa penyesuaian pagu anggaran Dana Desa. Hal ini terkait dengan pengutamaan penggunaan Dana Desa, yang dapat digunakan antara lain untuk bantuan langsung tunai kepada penduduk miskin di desa dan kegiatan penanganan pandemik Covid-19. i) Bidang Pemerintah Daerah, yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pemerintah Daerah.

    1)

    Syarat perubahan APBD dicabut sehingga dengan adanya Perppu dimungkinkan penggunaan anggaran mendahului perubahan dalam APBD. Pemerintah daerah dapat melakukan pengeluaran anggaran terkait penenganan Covit-19 dan dampaknya meskipun mendahului pembahasan atau pengesahan APBD-P 2020, sehingga hanya merubah Peraturan Kepala Daerah (Perkada) tentang penjabaran APBD TA 2020; dan

    2)

    Kewenangan DPRD dialihkan kepada Kepala Daerah dilakukan dalam rangka percepatan penggunaan dana dari APBD untuk penanganan Covid- 19. 282 j) Bidang Kelembagaan MPR, DPR, DPD, dan DPRD, yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD. Perppu ini mengatur perubahan kebijakan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 terkait perubahan APBN dapat dilakukan melalui perubahan postur dan rincian APBN sehingga tidak memerlukan persetujuan DPR. k) Bidang Pencegahan dan Penangganan Krisis Sistem Keuangan, yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan.

    1)

    Perubahaqn ruang lingkup pernilaian yang dilakukan oleh OJK dan Bank Indonesia sehingga mencakup Bank sistemik dan Bank selain Bank sistemik; dan 2) Tidak ada keharusan adanya agunan dalam pemberian pinjaman likuiditas jangka pendek atau pembiayaan likuiditas jangka pendek berdasarkan prinsip syariah. l) Bidang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2019 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

    1)

    Pemerintah diberikan kewenangan untuk melakukan penyesuaian besaran belanja wajib ( mandatory spending );

    2)

    Pemerintah diberikan kewenangan untuk melakukan perubahan APBN tanpa harus melakukan pembahasan bersama DPR melalui perubahan postur dan rincian APBN;

    3)

    Pemerintah diberikan kewenangan untuk penggunaan atas dana-dana tersebut dalam penanganan Covid-19 tanpa memerlukan ketetapan Meteri Keuangan dan tanpa kewajiban pelaporan dalam APBN;

    4)

    Pemerintah diberikan kewenangan untuk mengeluarkan kewajiban baru seperti mengalokasikan tambahan belanja dan pembiayaan APBN-TA 2020 untuk penenganan Covid-19 yang memerlukan fleksibilitas. Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang APBN harus dirubah yaitu ketentuan terkait syarat peruntukan, perlunya ketetapan Menkeu tentang penggunaan SAL, Kewenangan DPR, syarat pinjaman kuantitatif, sumber dana dan penetapan tingkat kemiskinana; 283 5) Pemerintah diberikan fleksibilitas dalam melaksanaan APBN karena tidak ada target berupa angka yang ditentukan; dan

    6)

    Tidak lagi diatur mengenai pelaporan dalam APBN-P tahun berjalan atau dalam LKPP, dalam hal terjadi pemberian pinjaman. Dan dalam rangka mengakomodir amanat Perppu Nomor 1 Tahun 2020, maka diperlukan peraturan pelaksanaan yang mengatur lebih rinci untuk menjamin implementasi Perppu secara konsisten dan efektif. Perppu Nomor 1 Tahun 2020 mengamanatkan adanya peraturan pelaksanaan sebagai berikut: a) 7 (tujuh) Peraturan Pemerintah, sesuai amanat pada Pasal 5 ayat (3), Pasal 6 ayat (12), Pasal 11 ayat (7), Pasal 15 ayat (3). Pasal 20 ayat (1), Pasal 20 ayat (2), Pasal 22 ayat (1); b) 1 (satu) Peraturan Presiden, sesuai amanat pada Pasal 12 ayat (2); c) 1 (satu) Peraturan BI, sesuai amanat pada Pasal 16 ayat (2); d) 1 (satu) Peraturan OJK, sesuai amanat pada Pasal 23 ayat (2); e) 2 (dua) Peraturan Bersama Menteri Keuangan dan Bank Indonesia, sesuai amanat pada Pasal 18 ayat (4) dan Pasal 19 ayat (3); f) 7 (tujuh) Peraturan Menteri Keuangan sesuai amanat pada Pasal 2 ayat (2), Pasal 6 ayat (13), Pasal 7 ayat (7), Pasal 10 ayat (1), Pasal 10 ayat (2), dan Pasal 24 ayat (2); dan g) 1 (satu) Peraturan Menteri Dalam Negeri sesuai amanat pada Pasal 3 ayat (2). Kita dapat melihat luas ruang lingkup dampak diterbitkannya Perpu Nomor 1 Tahun 2020 dalam peraturan perundang-undangan di bidangan keuangan dan kesehatan, sehingga melahirkan keberatan yang diuatarakan dalam argument judicial review yang diajukan. Akan tetapi justru dalam keadaan darurat dan krisis yang membutuhkan gerakan cepat dalam mengambil langkah-langkah untuk mengatasi keadaan krisis dan dampaknya terhadap kehidupan sosial, politik, ekonomi masyarakat, konstitusi memberi keleluasaan untuk mengambil langkah tersebut. Justru untuk menghadapi kondisi bahaya atau darurat dan genting demikian, konstitusi menyediakan dasar hukum bertindak untuk membentuk hukum mengatasi krisis dan keadaan darurat. Demikian juga kesan yang ditimbulkan bahwa Pasal 27 memberi impunitas pada koruptor, sesungguhnya tidak benar. Kalau dibaca secara cermat Pasal 27 ayat (1) Perpu yang menyatakan bahwa para pejabat yang disebut dalam pasal tersebut, dalam rangka melaksanakan Perpu 1/2020 tidak dapat dituntut secara 284 pidana dan perdata, adalah jikalau dalam menjalankan tugasnya di dasarkan pada itikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan merupakan amanat yang tegas, agar tidak terjadi kriminalisasi terhadap Pejabat yang disebutkan jika mereka telah melakukan tugas berdasar undang-undang dan secara itikad baik. Itikad baik tersebut diartikan sebagai pelaksanaan tugas secara jujur. Ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak pidana korupsi merumuskan unsur melawan hukum, merugikan keuangan negara dan menguntungkan orang lain, jika dipenuhi baru dapat dituntut kedepan peradilan. Mungkin juga pesan lain, karena selama ini, terjadi mengabaikan doktrin hukum pidana yang disebut dengan ultimum remedium atau hukum pidana sebagai upaya hukum terakhir maka secara tidak perlu sesungguhnya hal itu telah dituliskan. Biarlah Hukum Tata Usaha Negara dulu menyelesaikan masalah hukumnya kalau ada pelanggaran dan kalau ada kerugian yang timbul karena pelanggaran atau kelalaian yang dilakukan, maka akan dituntut untuk dikembalikan secara administrasi. Pasal 27 ayat (2) adalah justru merupakan keadaan yang diperlukan untuk menghindari kemacetan karena adanya gugatan-gugatan yang mungkin diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara yang dapat menghambat langkah-langkah yang memerlukan kecepatan mengatasi keadaan genting dan bahkan kadang-kadang darurat, karena adanya perintah penangguhan pelaksanaan keputusan TUN dalam Perpu yang mungkin diperintahkan Hakim. Tetapi tidak berarti hukum pidana dalam noodstaatsrecht dikesampingkan, melainkan hanya soal momentum yang diminta untuk dipahami oleh penegak hukum. Secara khusus AB. Kusuma yang mengkritisi tulisan Machfud di Jawa Pos mengecewakan, bahkan bernada “juristerij”, dengan menyatakan bahwa Pasal 27 memberikan kekebalan hukum tidak tepat, karena disitu dikatakan bahwa yang tidak bisa dituntut adalah para pejabat yang melakukan tugasnya dengan baik dan berdasar peraturan perundang-undangan. Machfud MD berpendapat bahwa soal Mens Rea dan Actus Reus adalah merupakan bidang hukum pidana bukan ranah HTN. AB. Kusuma berpendapat, Perppu adalah ranah HTN sehingga Pasal 27 dapat melindungi oknum yang akan menyalahgunakan kekuasaan dengan menyatakan “saya beriktikad baik”. Lepas dari perbedaan pandangan tersebut, dan sesungguhnya tanpa memperdebatkannya secara panjang lebar, kita dapat merujuk saja kepada kasus Menteri Sosial dan beberapa pejabat lain serta pengusaha yang 285 berkolusi telah ditangkap, ditahan dan diajukan kedepan persidangan pengadilan dengan tuduhan korupsi. Hal ini menjadi bukti kongkrit bahwa tidak terjadi impunitas. Jenis Perpu Yang Tidak Dikenal Perbedaannya. Kami menyetujui pandangan Jimly Asshidiqie yang menyatakan perlunya dibedakan Perpu yang dimaksudkan sebagai aturan Undang-Undang yang akan berlaku selanjutnya setelah disetujui oleh DPR sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 22 ayat (2) dan (3) yang mewajibkan Perpu disampaikan kepada DPR pada persidangan berikut untuk mendapat persetujuan, dan adanya kemungkinan Perpu tidak disetujui sehingga Perpu harus dicabut. Ini adalah bagian dari pengawasan DPR, yang sesungguhnya dalam masa darurat juga berlaku ketika kewenangan Presiden dalam keadaan bahaya dan darurat itu dipergunakan. Pasal 22 ayat (2) dan (3) UUD 1945 adalah bagian pengawasan. Tetapi ketika seperti disebutkan agar Perpu Nomor 1 Tahun 2020 ini jangan dulu diajukan ke DPR dan dicari kesepakatan untuk tidak dibahas, maka potensi Presiden melanggar konstitusi menjadi terbuka, kalau dengan sengaja tidak mengajukan Perpu ke DPR dalam sidang berikut, sebagai bagian kewenangan konstitusional DPR dalam pengawasan. Memang Perpu sederajat dengan Undang-undang, dan boleh mengatur segala bidang yang diatur dengan undang-undang, asal saja memenuhi syarat “kegentingan yang memaksa”, yang tidak diartikan sekedar sebagai adanya undang-undang Darurat, tetapi selain keadaan mendesak dan segera, Perpu diadakan untuk penyelenggaraan pemerintahan secara luas yaitu seluruh penyelenggara negara atau terbatas pada penyelenggaraan administrasi negara. Cakupan yang luas dalam sejarah tatanegara kita berdasar pengalaman UUDS 1950 pernah dibuat Undang-Undang Darurat DRT Nomor 7 Tahun 1955 menyangkut Tindak Pidana Ekonomi, yang juga memuat hokum formil maupun hokum materiil. Pembatasan waktu sesungguhnya terkandung dalam Pasal 22 ayat (2) UUD 1945, yaitu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan berikut. Pengertian sidang berikut, diartikan sesuai dengan pembagian masa sidang dalam setahun, sehingga ketika Perpu dibentuk, maka sidang setelah terbitnya Perpu merupakan time frame bahwa Perpu harus diajukan ke DPR untuk mendapat persetujuan atau tidak. Persoalan, bagaimana jikalau Perpu tidak diajukan ke DPR pada sidang berikutnya? Sudah barang tentu terdapat masalah konstitusi dalam hal ini, yang merupakan kegagalan memenuhi amanat konstitusi dalam Pasal 22 ayat (2). Bagir Manan menyatakan bahwa Perpu yang tidak diajukan ke DPR pada masa 286 sidang berikut, harus dianggap tidak mempunyai kekuatan berlaku yang disebut dalam UUD, sebagai pemahaman yang tidak berlaku lagi karena melampaui waktu, yang sangat penting untuk mencegah mempermanenkan kedaruratan yang merupakan pembenaran penyimpangan dari suatu sistem normal. Dikatakan lebih jauh lagi, bahwa DPR juga harus mengambil inisiatif agar Perpu diajukan ke DPR untuk memenuhi kewenangan konstitusional DPR dalam bidang pengawasan. Tetapi dengan melihat pembedaan yang diperlukan tentang Perpu yang didasarkan pada Pasal 22 UUD 1945 dengan Perpu yang didasarkan pada Pasal 12 UUD 1945, justru menjadi persoalan apakah Perpu itu harus disahkan menjadi undang- undang sehingga menjadi bagian dari sistem hukum dalam kondisi normal, atau seharusnya dengan berlalunya suatu waktu tertentu ancaman bahaya telah berlalu, Perpu tersebut sebagai hukum dalam kondisi abnormal-darurat atau keadaan bahaya - harus dicabut dan tidak memasuki sistem hukum yang normal. Ini berarti bahwa dalam Perpu tersebut harus dimuat masa berlaku, yang merujuk pada waktu tertentu atau berakhirnya “bahaya” yang menjadi dasar dikeluarkannya Perpu. Pandangan ini memiliki alasan yang masuk akal, jika kita berpendapat bahwa Perpu yang dibentuk atas dasar Pasal 22 UUD 1945 tidak dibedakan dengan Perpu yang disebut dalam Pasal 12 UUD 1945, dalam keadaan Bahaya. Output Pasal 12 boleh jadi adalah Undang-Undang Darurat seperti disebut dalam kalimat kedua pasal tersebut. Tetapi ketika kita membaca sejarah pengaturan konstitusi kita sejak Konstitusi RIS dan IS sebelum merdeka yang mengacu pada “bahaya” yang disebut dalam literatur dan perbandingan hokum, sesungguhnya “bahaya” merupakan salah satu keadaan yang menimbulkan “kegentingan memaksa dan kedaruratan”, yang mencakup perang, ancaman pemberontakan, pengepungan, bencana alam, yang menghendaki tindakan cepat untuk melindungi warganegara dan keutuhan negara serta eksistensinya. Kalimat “Hal ikhwal kegentingan memaksa” adalah suatu hal ihkwal yang mencakup seluruh keadaan yang disebut dalam Pasal 12, UUD 1945, serta diterjemahkan dalam UU Nomor 23 Tahun 1959 yang merupakan penyesuaian dari UU Nomor 74 Tahun 1957 dari dasar konstitusi yang berbeda. Oleh karenanya output Pasal 12 sebagai kewenangan Presiden tidak mungkin berbentuk undang-undang , terutama karena kewenangan legislative merupakan hak DPR dan kewenangan mengajukan RUU untuk dibahas bersama, outputnya adalah Undang-Undang sebagai hasil persetujuan bersama. Dalam hal 287 Undang-Undang Dasar 1945, kondisi bahaya dalam Pasal 12 terlupakan dimuat sebagai dasar, maka jenis Produk dalam state of emergency tetap adalah Perpu , yang materi muatannya adalah materi muatan undang-undang. Oleh karenanya, untuk mencegah kekacauan yang mungkin timbul karena kekurangan dasar hokum yang tepat dan mencegah adanya keberlakuan Pasal 22 tentang jangka waktu pengajuan ke DPR pada sidang berikut yang jika tidak dipenuhi, menyebabkan Perpu tidak memiliki kekuatan hukum lagi (meskipun pendapat tersebut masih perlu diperdebatkan) , maka Perpu jenis kewenangan darurat ( emergency power ) Presiden, tetap diajukan kepada DPR untuk memperoleh persetujuan, karena akibat hokum tidak menyetujui atau menyetujui dapat menimbulkan komplikasi karena suatu kedaruratan, tetapi secara jelas dan tegas harus memuat batasan waktu atau berlaku sampai kedaruaratan telah berakhir . Perpu ex Pasal 22 jika disetujui DPR dalam sidang berikut menjadi undang-undang, akan berakibat undang-undang tersebut akan berlaku secara permanen. Tetapi bagaimana untuk menerimanya sebagai suatu Perpu in sui generis , yang unik dan hal ikhwal kegentingan memaksa secara inherent mengandung keadaan bahaya dan kedaruratan sebagaimana dimaksud Pasal 12 UUD 1945. Interpretasi dalam bentuk konstitusionalitas bersyarat yang telah menjadi kewenangan negative legislation yang kemudian dalam keadaan genting boleh bergerak kearah positive legislation sesuai dengan jurisprudensi MK, dapat memberikan beberapa syarat terhadap norma yang dipermasalahkan sehingga dimaknai dalam batasan-batasan yang dikenal dalam konstruksi konstitusional dan constitutional necessity sebagai meta-rules. Kesimpulan. Berdasarkan seluruh uraian di atas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut ini:

    1.

    Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 sebagai hasil persetujuan DPR terhadap Perpu Nomor 1 Tahun 2020, memenuhi syarat konstitusionalitas yang disebut dalam UUD 1945 tentang kegentingan yang memaksa dan keadaan bahaya;

    2.

    Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dalam UUD 1945 sesungguhnya harus dibedakan antara Perpu berdasar Pasal 12 UUD 1945 yang dikeluarkan dalam “keadaan bahaya sebagai kegentingan memaksa” yang harus diajukan ke DPR pada sidang berikut untuk memperoleh persetujuan, dan Perpu yang tidak disetujui harus dicabut; 288 3. Bahwa Perpu yang boleh lahir atas dasar Pasal 12 UUD 1945, adalah Perpu yang lahir karena adanya keadaan bahaya, sebagai suatu keadaan yang dinyatakan oleh Presiden, dan boleh diikuti oleh lahirnya Perpu sebagai kekuasaan yang diberikan mengatasi keadaan bahaya yang timbul yang mengancam keselamatan rakyat, mengancam keadaan social ekonomi secara umum yang dapat juga menimbulkan krisis disegala bidang yang mengancam eksistensi negara, sebagai bagian dari kegentingan memaksa dalam Pasal 22 UUD 1945;

    4.

    Kegentingan memaksa dengan 3 kriteria yang dirumuskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009, dapat merupakan dasar bagi mengeluarkan Perpu atas dasar Pasal 22 UUD 1945, tetapi tidak cukup untuk mengeluarkan Perpu berdasar Pasal 22, ketika ancaman dan bahaya yang timbul jelas sedemikian rupa sehingga kematian, kebangkrutan, krisis multi dimensi yang dapat mengancam eksistensi negara negara sendiri, yang jauh lebih ekstrim dari “keadaan yang genting” yang memaksa Presiden mengeluarkan Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang.

    5.

    Undang-Undang yang menjabarkan keadaan bahaya yang disebut dalam Pasal 12 UUD 1945, harus dibentuk oleh Pembuat Undang-Undang, sehingga ketika timbul keadaan bahaya yang disebut Pasal 12 UUD 1945 dapat diketahui secara sama ukuran-ukuran yang dipergunakan menanggulangi keadaan bahaya, sesuai dengan tingkat bahaya yang dihadapi;

    6.

    Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Pengesahan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease (Covid 19) adalah konstitusional sepanjang dimaknai bahwa Undang-Undang tersebut berlaku sampai dengan berakhirnya Pandemi Covid berdasar pernyataan Pemerintah.

    2.

    Dr. Muhammad Chatib Basri, S.E., M.Ec. • Paparan terkait dengan peran APBN dalam pemulihan ekonomi. • Isu yang dibahas terkait dengan tiga hal yaitu pertama, bagaimana dampak Covid-19 bagi perekonomian dunia? Kedua, bagaimana dampaknya terhadap perekonomian Indonesia? Ketiga, menjawab pertanyaan mengapa fiscal stimulus atau pelebaran deficit itu dibutuhkan untuk mengatasi situasi ini? 289 • Sesuatu yang terjadi dalam kondisi pandemic ini adalah hal yang luar biasa, tingkat kematian yang luar biasa, jumlah infected cases atau yang tertular yang jumlahnya luar biasa dan terus meningkat. • Akibat dari Covid-19 ini maka pemerintah berbagai negara harus mengambil tindakan yang di luar normal atau kebiasaan. Mengapa hal tersebut harus dilakukan? Hal ini dikarenakan untuk mengatasi pandemic, cara mengatasinya adalah meminta agar orang menghindari kerumunan, menghindari aktivitas atau menjaga jarak atau yang di negara kita dikenal dengan istilah Pembatasan Sosial Bersekala Besar (PSBB). • Implikasi dari PSBB ini adalah meminta orang untuk tinggal di rumah. Padahal kita tahu esensi dari aktivitas ekonomi adalah aktifitas pasar dan pasar per definisi adalah tempat bertemunya orang untuk mempertukarkan barang dan jasa, baik secara fisik maupun secara virtual. Tetapi dalam kasus ini karena orang diminta untuk tidak berinteraksi, maka aktifitas pasar kolaps di seluruh dunia, kecuali yang bisa dilakukan secara virtual. • Indonesia relative mampu menghadapi dampak yang sebegitu besar, dikatakan relative karena memang tetap terjadi kontraksi ekonomi. Indonesia tidak sebaik Vietnam yang membukukan pertumbuhan positif 2,9% di tahun 2020 atau seperti Tiongkok yang punya pertumbuhan positif 2,3% atau Korea Selatan yang -1%. Sedangkan Indonesia tahun lalu mengalami pertumbuhan negative 2,1%, meskipun demikian masih lebih baik daripada Rusia, Amerika, Jerman, Malaysia dan Singapura. Hal ini disebabkan karena Indonesia tidak menerapkan lockdown secara ketat seperti yang dilakukan beberapa negara. • Pertanyaan penting adalah bagaimana dampak Covid-19 ini terhadap Indonesia? Ahli akan menggunakan data dengan membandingkan kondisi pra Covid dengan kondisi Covid. Ahli menerangkan penjelasannya dengan menggunakan diagram. • Terdapat 3 kelompok pendapatan yaitu pekerja dengan gaji tetap, wirausaha dan sektor informal. Golongan yang paling terdampak akibat covid ini adalah sector informal, pendapatan mereka turun 30%. Sedangkan wirausaha pendapatannya turun 8%, sedangkan pekerja dengan gaji tetap cenderung tidak terdampak kecuali mereka yang kehilangan pekerjaan. • Kelompok dari sektor informal ini adalah kelompok yang rentan, pendapatan menengah kebawah, perempuan dan anak-anak.oleh karena itu menurut Ahli 290 hal yang utama harus dilakukan oleh Pemerintah adalah memberikan bantuan tunai atau cash transfer yaitu mengkompensasi ketika orang tinggal di rumah. • Akibat dari pandemi ini adalah tingkat pengangguran terbuka naik dari 5,28% menjadi 7,07%. Tingkat kemiskinan naik dari 9,22% menjadi 10,19%, meskipun angka ini bersifat relative karena di Indonesia ini orang yang menganggur itu akan bekerja apa saja demi mempertahankan kehidupan sehingga datanya tidak terdapat disini. Selain itu, hal ini dibuktikan dengan rasio tabungan terhadap total pendapatan untuk kelompok pengeluaran. Kelompok menengah bawah cenderung membelanjakan tabungannya untuk biaya konsumsi, sedangkan kelompok menengah atas justru tabungannya meningkat karena golongan menengah atas hanya membelanjakan kebutuhan esensialnya, sehingga akan munculnya ketimpangan pendapatan. • Dari segi pertumbuhan PDB, Indonesia sudah mencapai titik pertumbuhan terendah pada triwulan II Tahun 2020 yaitu minus 5,3% dan selanjutnya Indonesia masih mengalami konstraksi namun lebih kecil yaitu 3,49% sehingga perkiraan ahli pada triwulan I 2021 kita mungkin masih mengalami kontraksi minus 0,5% dan baru akan positif pada triwulan II tahun 2021. • Apabila kelompok pendapatan menengah mendapatkan bantuan social dari pemerintah, akan menimbulkan peningkatan belanja mereka, sedangkan golongan menengah atas tidak mendapatkan bantuan pemerintah namun mereka memiliki tabungan. Program dari stimulus viskal berhasil mendorong belanja dari kelompok menengah bawah tetapi tidak menengah atas, karena kelompok menangah atas akan tergantung dari kemampuan pemerintah mengatasi pandemic karena konsumsi mereka itu berkaitan dengan mobilitas, traveling, entertainment dan lain sebagainya. • Apa yang akan terjadi jika kemudian aktivitas ekonomi mengalami penurunan dengan kontraksi yang terjadi? Logika sederhana jika aktivitas ekonomi menurun, maka return atau balas jasa dari aktivitas sektor itu juga akan mengalami pertumbuhan negatif, perusahaan mengalami kerugian. Jika perusahaan mengalami kerugian, maka dia berisiko tidak bisa membayar kreditnya kepada perbankan, maka meningkatlah yang disebut sebagai non- performing loan. 291 • Perppu yang menjadi UU 2/2020 ini memfokuskan kepada tiga hal, pertama, adalah alokasi belanja untuk kesehatan, kedua, adalah alokasi belanja untuk bantuan social, dan ketiga, adalah dukungan untuk UMKM karena ini adalah bagian dari stimulus akibat dari kebijakan yang dilakukan untuk menambah alokasi belanja di dalam sector kesehatan di dalam perlindungan sosial, memberikan BLT dan segala macam, restrukturisasi di dalam UMKM ini. • Dapat dibayangkan jika tidak ada fiscal stimulus maka pembalikan ekonomi atau economic turneral tidak akan terjadi pada triwulan ketiga, mungkin saat ini kita akan berada di dalam situasi yang lebih parah, sehingga ahli mengatakan bahwa dalam situasi yang genting seperti sekarang, maka batas deficit 3% harus diperlebar dengan tujuan untuk menolong kelompok menengah ke bawah, untuk belanja kesehatan, dan UMKM. • Bahwa pemulihan ekonomi di sini totalnya Rp579,78 triliun realisasinya 83,4%. Bahwa yang paling besar itu adalah bantuan sosial Rp220,4 triliun, dukungan UMKM Rp112,4 triliun, dan kemudian diikuti oleh kesehatan, pembiayaan korporasi realisasinya Rp60,7 triliun, belum terlalu meningkat insentif dunia usaha. Ekspansi belanja perlindungan sosial secara tunai termasuk PKH, insentif kartu praperja, bansos tunai, sembako, pengeluaran konsumsi pemerintah termasuk bantuan UMKM, belanja pegawai, belanja barang operasional, bantuan pemerintah, dan belanja modal termasuk pembangun sarpras kesehatan, pengadaan tanah PSN, dan pengadaan peralatan hankam, dan pembangunan irigasi. • Indonesia adalah negara bukan produsen vaksin. Kemampuan Indonesia memulihkan ekonomi akan sangat tergantung dari kemampuan kita mengatasi pandemi. Karena porsi terbesar dari belanja masyarakat adalah yang menengah atas. Menengah atas tidak mau belanja selama pandeminya masih ada. Mereka tidak ada mobilitas. Karena itu, solusinya hanya dua hal kita mengembalikan mobilitas. Caranya adalah satu, dengan menerapkan protokol kesehatan dengan ketat. Kedua, vaksin. • Jika Indonesia memiliki disiplin seperti yang ada di China, Vietnam, Singapura, maka mungkin role dari vaksin tidak sepenting yang kita hadapi sekarang. Lihat bagaimana negara seperti Australia proses vaksinnya relatif lambat karena mereka mempu membuat kasusnya sangat kecil, Singapura zero cases sekarang, proses vaksinnya bisa lambat. Tetapi dalam kasus di 292 Indonesia protokol kesehatan enforcement-nya masih sangat sulit, maka hal tersebut akan sangat tergantung kepada vaksin. Di dalam konteks vaksin, Indonesia adalah 10 besar negara dengan vaksin tertinggi, di antara negara non-produsen, kita empat besar. • Terdapat persoalan saat ini karena ada risiko dari gelombang ketiga, maka semua negara mengatakan mereka tidak lagi mau mengekspor vaksinnya karena untuk mengantisipasi kebutuhan domestiknya. Di dalam konteks ini, maka ada persoalan, kalau persediaan vaksin terbatas, maka pemulihan ekonomi juga akan terbatas. Karena itulah role dari fiskal stimulus menjadi sangat penting untuk memastikan, untuk men-secure bahwa vaksinnya ada. • Ahli menunjukkan jika berbicara mengenai fiskal defisit, sebetulnya angka 6,1%, buat Indonesia hal tersebut relatif kecil, dibandingkan dengan Filipina 7,6%, China apalagi bila dibandingkan dengan Australia 10,6%, Singapura 13,9%, dan Amerika 15,2% dari GDP. • Indonesia hanya bisa mengatasi pandemi kalau vaksin gratis. Mungkin kita harus bicara mengenai PCR yang mungkin masih relatif mahal, ini yang harus kita pikirkan. Kalau permintaan sudah ada, baru kita bicara mengenai penjaminan kredit, program yang dilakukan oleh pemerintah sekarang, subsidi bunga, dan sebagainya 3. Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum • Keterangan Ahli yang penulis sampaikan ini terdiri dari 3 (tiga) bagian sesuai dengan permintaan Keterangan Ahli yang disampaikan kepada ahli melalui Surat Kepala Biro Advokasi Kementerian Keuangan RI No. S-212/SJ.4/2020 tertanggal 03 Desember 2020 perihal Permohonan Sebagai Ahli Pemerintah Dalam Rangka Pengujian UU Nomor 2 Tahun 2020 di Mahkamah Konstitusi, sebagai berikut:

    (1)

    . Wewenang Presiden untuk melakukan diskresi dengan penetapan Perppu;

    (2)

    . Wewenang Pemerintah yang menetapkan perubahan postur APBN melalui Perpres dan pelebaran defisit anggaran karena perlunya fleksibilitas untuk menghadapi kondisi akibat pandemi Covid-19; dan (3). Penjelasan perbandingan pengaturan dan tata kelola keuangan negara di negara lain dalam menghadapi pandemi Covid-19. • Pertama, Wewenang Presiden untuk melakukan diskresi dengan penetapan Perppu. Norma-norma konstitusional dalam UUD Negara RI 1945 disusun untuk dilaksanakan untuk mewujudkan ketertiban hukum dan kepastian 293 hukum serta dalam rangka penyelenggaraan kekuasaan negara dalam keadaan stabil/normal. Hal yang sama juga berlaku untuk pengaturan yang terdapat dalam norma Hukum Administrasi Negara umum ( algemene wet bestuursrecht ) yang diatur dalam UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan serta implementasinya dimaksudkan untuk mewujudkan ketertiban hukum dan kepastian hukum serta dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan dalam keadaan negara yang stabil/normal. • Kehidupan kenegaraan yang dinamis dan berbagai permasalahan sosial, politik, hukum, kesehatan, serta berbagai faktor dalam kehidupan bangsa dan negara bisa saja menyebabkan terjadinya keadaan krisis atau darurat ( extra- ordinary ), yang kiranya harus dihadapi/ditangani juga dengan cara-cara yang bersifat darurat ( extra-ordinary ). Hal itulah yang menjadi pertimbangan bagi pembentuk UUD Negara RI 1945 mengatur kewenangan untuk menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Sehubungan dengan Perppu, Pasal 22 UUD Negara RI 1945 mengatur bahwa:

    (1)

    Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang;

    (2)

    Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut; dan

    (3)

    Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut. Pasal 11 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah melalui UU Nomor 15 Tahun 2019 mengatur bahwa materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sama dengan materi muatan Undang-Undang. Pasal 1 angka 4 UU Nomor 12 Tahun 2011 juga mendefinisikan bahwa Peraturan Pemerintah Penggati Undang-Undang merupakan Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa. • Kewenangan pembentukan Perppu oleh Presiden sebagaimana diatur pada Pasal 22 UUD Negara RI 1945 tersebut merupakan kewenangan atributif yang diberikan kepada Presiden selaku kepala pemerintahan yang didasarkan atas kewenangan diskresi secara konstitusional sebagaimana diatur dalam UUD Negara RI 1945. Penetapan Perppu didasarkan atas pertimbangan subyektif Presiden mengacu pada parameter obyektif dalam penyelenggaraan pemerintahan. Parameter obyektif untuk penggunaan 294 kewenangan diskresi konstitusional tersebut pernah diberikan melalui Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 138/PUU-VII/2009, yang terdiri dari:

    (1)

    . Karena adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang;

    (2)

    . Undang-Undang yang dibutuhkan belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau tidak memadainya Undang-Undang yang saat ini ada; dan

    (3)

    . Kondisi kekosongan hukum yang tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa yang memerlukan waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan. • Peraturan yang ditetapkan untuk menyelenggarkan kegiatan negara dan pemerintahan dalam keadaan darurat itu pada hakikatnya merupakan “ martial law ” atau “ emergency legislation ”. Jika dipandang dari segi isinya peraturan tersebut merupakan legislative act atau Undang-undang, tetapi karena keadaan darurat tidak memungkinkan untuk membahasnya bersama- sama dengan parlemen (DPR). Presiden selaku kepala pemerintahan ( the chief of executive ) menetapkannya secara sepihak didasarkan atas pertimbangan subyektif dan obyektif tanpa didahului oleh persetujuan parlemen (DPR) yaitu dalam bentuk peraturan khusus yang disebut “martial law”, “ emergency law ”, atau “ emergency legislation ”. • Perppu ditetapkan sehubungan dengan adanya keadaan genting yang memaksa. Pengertian “kegentingan yang memaksa” sebagai suatu keadaan darurat dan tidak hanya terbatas pada ancaman bahaya atas keamanan, keutuhan negara, atau ketertiban umum. Dalam prakteknya dapat dikategorikan sebagai kegentingan yang memaksa, misalnya krisis di bidang ekonomi, bencana alam, ataupun keadaan yang memerlukan pengaturan lain setingkat Undang-undang. Jadi, pangertian “hal ihwal kegentingan yang memaksa” bukan hanya dimaknai sebagai keadaan mendesak, tetapi dapat diartikan lebih luas dari sekedar keadaan bahaya (Jimly Asshiddiqie, Pokok- Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, hal. 355). Bahkan, jika mengacu S.E Viner, yang dikutip oleh Jimly Asshiddiqie, ukuran untuk menetapkan Perppu juga lebih longgar, karena walaupun tidak terdapat keadaan darurat, tetapi ada kepentingan internal pemerintahan, sudah memenuhi syarat untuk dapat ditempuh dengan penerbitan Perppu sebagai landasan hukum. 295 • S.E Viner membedakan keadaan darurat ke dalam (3) tiga kategori yaitu:

    a.

    Keadaan darurat karena perang ( State of War , atau State of Defence ), yaitu keadaan perang bersenjata;

    b.

    Keadaan darurat karena ketegangan ( State of Tension ) termasuk pengertian bencana alam ataupun ketegangan sosial karena peristiwa politik;

    c.

    Keadaan darurat karena kepentingan internal pemerintahan yang memaksa ( innere notstand ). Meskipun tidak terdapat keadaan darurat, tetapi ada kepentingan internal pemerintahan, maka, sudah dapat dilakukan penerbitan Perppu sebagai landasan hukum. • Ditinjau dari perspektif teori Hukum Administrasi Negara, konsep mengenai diskresi tersebut jika mengacu pada pendapat NM. Spelt dan JBJM Ten Berge dalam buku “ Inleiding Het Vergunningsrecht ”, diskresi ( freies ermessen ) pemerintah dibedakan menjadi 2 (dua) kategori kebebasan, yaitu: kebebasan kebijaksanaan ( beleidsvrijheid ) dan kebebasan penilaian ( beordelingsvrijheid ). Kebebasan kebijaksanaan ( beleidsvrijheid ) terdapat manakala peraturan perundang-undangan memberikan wewenang tertentu kepada organ pemerintah, namun organ pemerintah tersebut bebas untuk menggunakan atau tidak menggunakannya, meskipun pada kondisi tertentu syarat-syarat penggunaannya telah terpenuhi secara sah. Sedangkan kebebasan penilaian ( beordelingsvrijheid ) terdapat manakala menurut hukum organ pemerintah diberikan kewenangan untuk menilai secara mandiri dan eksklusif terpenuhi atau tidaknya secara sah syarat-syarat penggunaan wewenang. Pada hakikatnya, wewenang diskresi penetapan Perppu lebih mendekati kategori kebebasan kebijaksanaan ( beleidsvrijheid ) sejak telah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009. • Dalam perspektif norma Hukum Administrasi Negara umum ( algemene wet bestuursrehct ), kewenangan diskresi juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Pasal 1 angka 9 UU Nomor 30 Tahun 2014 mengatur pengertian diskresi adalah Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan. 296 • Pasal 22 ayat (2) UU Nomor 30 Tahun 2014 mengatur tujuan penggunaan diskresi pejabat pemerintahan yang meliputi:

    a.

    melancarkan penyelenggaraan pemerintahan;

    b.

    mengisi kekosongan hukum;

    c.

    memberikan kepastian hukum; dan

    d.

    mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum. Jika mengacu pada latar belakang dan pertimbangan penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 yang telah disetujui DPR dan diundangkan menjadi UU Nomor 2 Tahun 2020 yang menjadi obyek permohonan pengujian dari para pemohon, kiranya telah memenuhi tujuan dari penggunaan diskresi pemerintahan. Hal itu sebagaimana terlihat dari pertimbangan hukum dari UU Nomor 2 Tahun 2020 yang menyatakan bahwa: (a). bahwa penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) yang dinyatakan oleh Organisasi Kesehatan Dunia ( World Health Organization ) sebagai pandemi pada sebagian besar negara-negara di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, menunjukkan peningkatan dari waktu ke waktu dan telah menimbulkan korban jiwa, serta kerugian material yang semakin besar, sehingga berimplikasi pada aspek sosial, ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat; (b). bahwa implikasi pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) telah berdampak antara lain terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional, penurunan penerimaan negara, dan peningkatan belanja negara dan pembiayaan, sehingga diperlukan berbagai upaya Pemerintah untuk melakukan penyelamatan kesehatan dan perekonomian nasional, dengan fokus pada belanja untuk kesehatan, jaring pengaman sosial ( social safety net ), serta pemulihan perekonomian termasuk untuk dunia usaha dan masyarakat yang terdampak;

    (3)

    . bahwa implikasi pandemi Corona Virus Disease 20l9 (Covid-19) telah berdampak pula terhadap memburuknya sistem keuangan yang ditunjukkan dengan penurunan berbagai aktivitas ekonomi domestik sehingga perlu dimitigasi bersama oleh Pemerintah dan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) untuk melakukan tindakan antisipasi ( forward looking ) dalam rangka menjaga stabilitas sektor keuangan; (d). bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, Pemerintah dan lembaga terkait perlu segera mengambil kebijakan dan langkah-langkah luar biasa dalam rangka penyelamatan perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan melalui berbagai kebijakan relaksasi yang berkaitan dengan 297 pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) khususnya dengan melakukan peningkatan belanja untuk kesehatan, pengeluaran untuk jaring pengaman sosial ( social safety net ), dan pemulihan perekonomian, serta memperkuat kewenangan berbagai lembaga dalam sektor keuangan; (e). bahwa kondisi sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, telah memenuhi parameter sebagai kegentingan memaksa yang memberikan kewenangan kepada Presiden untuk menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; (f). bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, serta guna memberikan landasan hukum yang kuat bagi Pemerintah dan lembaga terkait untuk mengambil kebijakan dan langkah-langkah tersebut dalam waktu yang sangat segera, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan. Konsiderasi tersebut kiranya telah menunjukkan dipenuhinya asas kecermatan ( the principle of carefullness ), asas motivasi dari kebijakan pejabat pemerintahan ( the principle of motivation ), kebijaksanaan ( sapientia ), asas penyelenggaraan kepentingan umum, asas kehati-hatian dan kewajiban untuk memberikan argumentasi dari kebijakan yang diambil oleh pejabat pemerintahan (cq Presiden RI) ( the duty to give reasons ). 298 Gambar 1 Konstruksi Pemikiran Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 (Lampiran UU Nomor 2 Tahun 2020 • Kedua, wewenang Pemerintah yang menetapkan perubahan postur APBN melalui Perpres dan pelebaran defisit anggaran karena perlunya fleksibilitas untuk menghadapi kondisi akibat pandemi Covid-19. UU No. 2 Tahun 2020 telah memberikan seperangkat wewenang ( bevoegdheiden ) kepada Pemerintah untuk menetapkan kebijakan keuangan negara dan kebijakan stabilitas sistem keuangan [vide Pasal 1 ayat (3)], Pemerintah diberikan wewenang untuk [vide Pasal 2 ayat (1)]:

    a.

    menetapkan batasan defisit anggaran, dengan ketentuan sebagai berikut:

    1.

    melampaui 3 % (tiga persen) dari Produk Domestik Bruto (PDB) selama masa penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau untuk menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan paling lama sampai dengan berakhirnya Tahun Anggaran 2022;

    2.

    sejak Tahun Anggaran 2023 besaran defisit akan kembali menjadi paling tinggi sebesar 3% (tiga persen) dari Produk Domestik Bruto (PDB); dan

    3.

    penyesuaian besaran defisit sebagaimana dimaksud pada angka 1 menjadi sebagaimana dimaksud pada angka 2 dilakukan secara bertahap;

    b.

    melakukan penyesuaian besaran belanja wajib ( mandatory spending ) sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan terkait;

    c.

    melakukan pergeseran anggaran antarunit organisasi, antarfungsi, dan/atau antarprogram;

    d.

    melakukan tindakan yang berakibat pengeluaran Penetapan Perppu "dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa" Diskresi Konstitusional (Pasal 22 UUD Negara RI 1945) Landasan Perppu No. 1 Tahun 2020 (Lampiran UU No. 2 Tahun 2020) kebebasan kebijaksanaan ( beleidsvrijheid ) Syarat Obyektif Diskresi konstitusional Penetapan Perppu dalam Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009. kebebasan kebijaksanaan ( beleidsvrijheid ) dalam pertimbangan penetapan Perppu No. 1 Tahun 2020 Landasan prinsip Perppu No. 1 Tahun 2020 Asas kecermatan ( the principle of carefullness ), asas motivasi dari kebijakan pejabat pemerintahan ( the principle of motivation ), kebijaksanaan ( sapientia ), asas penyelenggaraan kepentingan umum, asas kehati-hatian dan kewajiban untuk memberikan argumentasi dari kebijakan yang diambil oleh pejabat pemerintahan (cq Presiden RI) ( the duty to giving reasons ) 299 atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yang anggaran untuk membiayai pengeluaran tersebut belum tersedia atau tidak cukup tersedia, serta menentukan proses dan metode pengadaan barang /jasa;

    e.

    menggunakan anggaran yang bersumber dari:

    1.

    Sisa Anggaran Lebih (SAL);

    2.

    dana abadi dan akumulasi dana abadi pendidikan;

    3.

    dana yang dikuasai negara dengan kriteria tertentu;

    4.

    dana yang dikelola oleh Badan Layanan Umum; dan/atau dana yang berasal dari pengurangan Penyertaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN);

    f.

    menerbitkan Surat Utang Negara dan/atau Surat Berharga Syariah Negara dengan tujuan tertentu khususnya dalam rangka pandemi Corona Virus Disease 20I9 (Covid-l9) untuk dapat dibeli oleh Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), investor korporasi, danf atau investor ritel;

    g.

    menetapkan sumber-sumber pembiayaan Anggaran yang berasal dari dalarn danf atau luar negeri;

    h.

    memberikan pinjaman kepada Lembaga Penjamin Simpanan;

    i.

    melakukan pengutamaan penggunaan alokasi anggaran untuk kegiatan tertentu ( refocussing ), penyesuaian alokasi, dan/atau pemotongan/penundaan penyaluran anggaran Transfer ke Daerah dan Dana Desa, dengan kriteria tertentu;

    j.

    memberikan hibah kepada Pemerintah Daerah; dan/atau

    k.

    melakukan penyederhanaan mekanisme dan simplifikasi dokumen di bidang keuangan negara. • Guna melaksanakan wewenang pemerintahan yang diatribusikan oleh Perppu No. 1 Tahun 2020 (UU No. 2 Tahun 2020) tersebut sementara UU APBN yang ada sebagai dasar pembiayaan kebijakan di bidang keuangan tersebut adalah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2019 tentang APBN Tahun 2020 yang pelaksanaannya didasarkan Pepres No. 78 Tahun 2019 tentang Rincian APBN Tahun 2020. Maka, diperlukan dasar hukum untuk menyesuaikan bagi dasar pembiayaan kebijakan keuangan berdasarkan Perpres No. 1 Tahun 2020 tersebut Pemerintah di ranah operasional dengan mengacu pada Perppu No. 1 Tahun 2020 (UU No. 2 Tahun 2020) perlu diberikan kewenangan untuk melakukan penyesuaian pelaksanaan UU APBN melalui perubahan postur dan/atau rincian APBN. Pasal 12 ayat (2) Perppu No. 1 Tahun 2020 kemudian memberikan delegasi kewenangan pengaturan operasional terhadap pemerintah untuk melakukan perubahan postur dan/atau rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 300 dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara dan langkahlangkah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 11 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden. • Dasar wewenang perubahan postur dan/atau rincian APBN tersebut tetap mengacu pada prinsip negara hukum yaitu:

    (1)

    . Perubahan postur dan/atau rincian APBN tersebut lahir berdasarkan kewenangan diskresi konstitusional berdasarkan Perppu No. 1 Tahun 2020 (UU No. 2 Tahun 2020);

    (2)

    . Perubahan postur itu dilakukan berdasarkan produk hukum yang setara dengan kewenangan pengaturan mengenai rincian APBN berdasarkan Peraturan Presiden;

    (3)

    . Pertanggungjawaban pelaksanaan APBN tetap dilakukan melalui sistem pertanggungjawaban pelaksanaan APBN sebagaimana diatur pada Pasal 30 UU No. 17 Tahun 2003. Hal ini disebabkan atas alasan:

    (1)

    . Dalam keadaan darurat diperlukan kecepatan bertindak untuk mengatasi kondisi darurat secara cepat dan tepat tanpa meninggalkan landasan negara hukum (asas rechtsmatigheid van het bestuur) ;

    (2)

    . Perubahan postur APBN dan/atau rincian APBN berada di ranah kewenangan penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan prinsip fleksibilitas APBN dalam rangka menghadapi kondisi darurat. Justru disinilah esensi dari penggunaan wewenang diskresi konstitusional sebagai landasan dari penetapan Perppu No. 1 Tahun 2020 (UU No. 2 Tahun 2020). Hal itulah yang menjadi argumentasi mengenai dikeluarkannya Pepres No. 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan APBN Tahun Anggaran 2020 guna melaksanakan Pasal 12 ayat (2) Perppu No. 1 Tahun 2020 (UU No. 2 Tahun 2020). • Perubahan postur APBN dan/atau rincian APBN melalui Perpres No. 54 Tahun 2020 dengan demikian memenuhi asas negara hukum karena didasarkan wewenang pengaturan melalui Pasal 12 ayat (2) Perppu No. 1 Tahun 2020 (UU No. 2 Tahun 2020) dan sekaligus merupakan landasan hukum ( legal framework ) bagi diskresi kebijakan implementasi APBN dalam kondisi darurat bencana non alam Covid-19. Kondisi ini dapat digambarkan berikut ini. 301 Gambar 2 Perbandingan Kebijakan Rincian APBN Dalam Kondisi Normal dan Darurat • Mengingat landasan faktual yang dihadapi negara di masa Pandemi Covid- 19 adalah keadaan memaksa atau di luar keadaan normal, tindakan pemerintahan juga dilakukan berlandaskan pada cara-cara yang luar biasa ( extraordinary ) dengan tujuan melindungi kepentingan umum ( public interest ). Oleh karena itu, negara kemudian menetapkan secara khusus masa waktu, prosedur dan syarat, serta subtansi tertentu dalam melaksanakan situasi darurat dengan mengesampingkan beberapa ketentuan yang berlaku umum pada situasi normal. Upaya mengesampingkan beberapa ketentuan yang berlaku umum tersebut bukan dimaksudkan untuk diberlakukan secara terus menerus, sehingga menjadi peraturan regular. Namun, sebagai peraturan yang akan diberlakukan pada masa yang ditentukan pada peraturan tersebut disertai dengan syarat dan prosedur, serta subtansi pelaksanaannnya secara khusus. • Ditinjau dari perspektif hukum administrasi negara, pemberlakuan secara khusus peraturan perundang-undangan dalam keadaan darurat menjadi sah ( rechtsmatig ) sejauh memenuhi landasan faktual yang memadai dan negara memprioritaskan kemanfaatan umum ( doelmatigheid ) yang diperoleh bagi masyarakat dengan penerapan peraturan yang bersifat darurat tersebut. Dengan demikian, keadaan darurat tetap harus dipahami dalam konteks Dalam Kondisi Normal UU No. 20 Tahun 2019 tentang APBN Tahun 2020 Perpres No. 78 TAhun 2019 tentang Rincian APBN Dalam Keadaan Darurat Perppu No. 1 Tahun 2020 (UU No. 2 Tahun 2020) Perpres No. 54 Tahun 2020 sebagai landasan Perubahan Postur dan/atau Rincian APBN 302 pandangan yang sesuai dengan landasan faktual yang terjadi pada saat keadaan darurat dan tidak menggunakan parameter dan indikator keadaan normal. • Lahirnya Perppu No. 1 Tahun 2020 (UU No. 2 Tahun 2020) sesungguhnya juga berkaitan dengan upaya untuk mengefektifkan implementasi berbagai ketentuan dalam UU No. 17 Tahun 2003 guna mendukung upaya mengatasi kondisi darurat kesehatan dan ekonomi akibat Pandemi Covid 19 yang tidak dapat dipisahkan dari berbagai kebijakan pemerintah yang lain dalam upaya penanganan kondisi darurat bencana non alam itu. • Keppres No. 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) . Keppres No. 11 Tahun 2020 menyebutkan dua hal pokok:

    (1)

    Menetapkan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) sebagai jenis penyakit yang menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dan (2) Menetapkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) di lndonesia yang wajib dilakukan upaya penanggulangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sifat kedaruratan masyarakat sebagai landasan kebijakan penanganan Covid-19 diatur dalam UU No. 16 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan sebagai regulasi sektoral yang sudah mengatur sistem penanganan kondisi kedaruratan masyarakat berdasarkan seperangkat kriteria, metode dan proses dalam pelaksanaan kebijakan terkait. • Selain itu, juga berkaitan dengan Keppres RI No. 12 Tahun 2020 Tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Sebagai Bencana Nasional dengan rujukan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular. Berbagai kebijakan tersebut membutuhkan dukungan dana yang sangat besar dan membutuhkan langkah-langkah pengambilan kebijakan yang cepat dan tepat, misalnya untuk pembelian Alat Pelindung Diri (APD) terutama bagi para tenaga medis, pembangunan/perbaikan fasilitas pelayanan kesehatan, dukungan obat-obatan, penggalian sumber-sumber pembiayaan, relaksasi sejumlah penerimaan negara baik dari pajak (tax income) maupun non pajak (non tax income) dengan karakter bencana non alam Pandemi Covid-19, refocussing dan realokasi anggaran dalam APBN, dan seterusnya. 303 • Keadaan darurat negara atau staat van oorlog en beleg (SOB) bisa menyebabkan instrumen-instrumen negara tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Dalam hukum administrasi negara, keadaan darurat negara harus ditetapkan kepala pemerintahan, baik penetapan awal dan akhir waktu darurat, sebagai kehendak pemerintahan kepada warga masyarakat dan seluruh pihak atas situasi yang luar biasa. Penetapan keadaan darurat sebagai kepala pemerintahan dimaksudkan untuk melindungi kepentingan umum dan menjelaskan cara pemerintahan bekerja dalam situasi negara darurat. • Salah satu sektor yang paling terdampak secara siginifikan dengan adanya kondisi darurat kesehatan akibat penyebaran Covid-19 adalah sektor keuangan negara dan perekonomian makro nasional, yang sangat bergantung pada asumsi makro yang dapat diperkirakan. Adanya keadaan darurat akibat penyebaran Covid-19 menyebabkan beberapa asumsi makro yang termuat dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) harus berubah mengikuti kondisi perekonomian global. Antisipasinya adalah dengan menetapkan kebijakan keuangan negara dan perekonomian negara yang sejalan dengan kondisi tersebut (asas fleksibilitas). Keadaan darurat negara ditinjau dari Hukum Administrasi Negara dianggap sebagai keadaan memaksa negara untuk mengambil tindakan kepemerintahan yang perlu dilakukan guna mencapai tujuan yang lebih besar dan lebih diprioritaskan guna melindungi kepentingan umum ( bestuurszorg ). • Perppu No. 1 Tahun 2020 (UU No. 2 Tahun 2020) dimaksudkan sebagai jalan darurat di bidang keuangan negara guna merespons secara cepat ancaman bahaya Covid-19 di berbagai sektor. Berdasarkan alasan itu, Perppu No. 1 Tahun 2020 mengatur sejumlah kebijakan darurat. Pertama, menyangkut objeknya, diatur kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan di bidang pendapatan negara termasuk di bidang perpajakan, belanja negara termasuk di bidang keuangan daerah, dan pembiayaan. Kedua, menyangkut subyeknya, diatur peranan dan interaksi antar aktor kebijakan di bidang fiskal dan moneter yaitu Pemerintah, Pemerintah Daerah, Bank Indonesia, OJK, KSSK dan Lembaga Penjamin Simpanan. Ketiga, dalam menghadapi pandemi Covid-19 kebijakan yang dilakukan pemerintah sesuai dengan keadaan yang dihadapi tidak hanya menyangkut persoalan pengeluaran 304 anggaran negara, namun juga menyangkut relaksasi dan mengatur fleksibilitas/penundaan penerimaan negara baik yang bersumber dari pajak maupun non pajak dan keempat, dalam mengatasi dampak sosial dan ekonomi akibat pandemi Covid-19 juga diperlukan sinergi kebijakan aktor- aktor kebijakan di bidang fiskal dan keuangan. Sehingga, keberadaan Perppu No. 1 Tahun 2020 juga diperlukan untuk lebih mengefektifkan implementasi Pasal 21 UU No. 17 Tahun 2003 yang mengharuskan adanya koordinasi antara Pemerintah dengan Bank Sentral. • Ketiga, perbandingan pengaturan dan tata kelola keuangan negara di negara lain dalam menghadapi pandemi Covid-19. Menghadapi dampak ekonomi akibat Pandemi Covid-19, defisit anggaran Amerika Serikat (AS) sempat melesat 218 persen menjadi US$3,1 triliun hingga akhir September 2020. Kenaikan itu terjadi karena pembengkakan belanja untuk membantu perekonomian di tengah pandemi Covid-19. Guna menutup pelebaran defisit, utang pemerintah AS meningkat menjadi US$26,9 triliun. Angka itu lebih besar dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB) negeri Paman Sam yang susut pada kuartal II lalu ke level di bawah US$20 triliun. Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menandatangani perpanjangan satu minggu dari anggaran yang kedaluwarsa untuk menghindari penutupan pemerintah ( government shutdown ). Kebijakan perpanjangan anggaran ini juga guna memberikan lebih banyak waktu untuk pembicaraan terpisah tentang bantuan penanganan virus corona baru di AS dan Rancangan Undang- Undang (RUU) Anggaran yang menyeluruh. • Jerman pada bulan Maret 2020 juga sempat meluncurkan anggaran darurat yang bertujuan untuk mengendalikan kerugian negara akibat Pandemi Covid- 19. Pemerintah Jerman juga sempat mengalokasikan dana hingga € 750 miliar atau sekitar Rp13 ribu triliun yang dapat dibelanjakan untuk menutupi kerugian sebagai akibat dari pandemi Covid-19. Jumlah itu hampir dua kali lipat dari keseluruhan anggaran tahun 2020 yang sebelumnya disetujui pemerintah federal Jerman. Bagian paling penting dari anggaran darurat ini adalah mengatasi peningkatan biaya pengeluaran perawatan kesehatan yang lebih dari € 3 miliar atau sekitar Rp53 triliun. • Pemerintah Italia menggunakan skema “anggaran lebih” untuk melawan virus corona agar tidak berdampak pada perekonomian negara tersebut. 305 Pemerintah Italia juga menggunakan fleksibilitas anggaran guna mengatasi dampak ekonomi Pandemi Covid-19. Pemerintah Italia juga meningkatkan target defisit anggaran tahun 2020 ini menjadi 2,5 persen dari 2,2 persen saat ini. • Di Perancis ada anggaran pemerintah yang disebut “dana solidaritas”. Anggaran ini digunakan untuk membantu perusahaan dan para pekerjanya. Setidaknya, Prancis mengucurkan total anggaran darurat sebesar € 45 miliar atau sekitar Rp765 triliun (dengan kurs Rp17 ribu). Mereka mengatakan ada €2 miliar atau sekitar Rp34 triliun yang akan dibagikan ke perusahaan, khususnya bagi perusahaan yang 70% aktivitasnya berhenti sebagai dampak Pandemi Covid-19. • Berbagai kebijakan penganggaran di berbagai negara tersebut yang dimaksudkan guna penanganan Pandemi Covid-19 memperlihatkan digunakannya langkah-langkah darurat melalui kebijakan penganggaran di berbagai negara tersebut. Cara-cara yang ditempuh bisa berbeda-beda variasinya, seperti di AS melalui perpanjangan anggaran yang kadaluarsa, Jerman menggunakan skema anggaran darurat, Italia menggunakan skema anggaran lebih dan Perancis juga menggunakan kebijakan penganggaran darurat guna penanganan dampak ekonomi Pandemi Covid-19. Kebijakan keuangan yang bersifat darurat melalui Perppu No. 1 Tahun 2020 (UU No. 2 Tahun 2020) yang dilaksanakan oleh Pemerintah RI merupakan bagian dari strategi global untuk menangani dampak Pandemi Covid-19 secara sistematis, komprehensif dan berkelanjutan. Maka, justifikasi teoretik konstitusional bagi kebijakan melalui Perppu No. 1 Tahun 2020 (UU No. 2 Tahun 2020) sesungguhnya merupakan langkah solidaritas semesta guna mengatasi secara efektif dampak Pandemi Covid 19 yang menimbulkan situasi kedaruratan global dan nasional yang memerlukan kebijakan extraordinary dalam menanganinya. • Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut. Pertama , Kewenangan pembentukan Perppu oleh Presiden sebagaimana diatur pada Pasal 22 UUD Negara RI 1945 tersebut merupakan kewenangan atributif yang diberikan kepada Presiden selaku kepala pemerintahan yang didasarkan atas kewenangan diskresi secara konstitusional sebagaimana diatur dalam UUD Negara RI 1945. Penetapan Perppu didasarkan atas 306 pertimbangan subyektif Presiden mengacu pada parameter obyektif dalam penyelenggaraan pemerintahan. Kedua , dasar wewenang perubahan postur dan/atau rincian APBN berdasarkan Pepres No. 54 Tahun 2020 tetap mengacu pada prinsip negara hukum, yaitu:

    (1)

    . Perubahan postur dan/atau rincian APBN tersebut lahir berdasarkan kewenangan diskresi konstitusional berdasarkan Perppu No. 1 Tahun 2020 (UU No. 2 Tahun 2020);

    (2)

    . Perubahan postur itu dilakukan berdasarkan produk hukum yang setara dengan kewenangan pengaturan mengenai rincian APBN berdasarkan Peraturan Presiden;

    (3)

    . Pertanggungjawaban pelaksanaan APBN tetap dilakukan melalui sistem pertanggungjawaban pelaksanaan APBN sebagaimana diatur pada Pasal 30 UU No. 17 Tahun 2003. Dan ketiga , berbagai kebijakan penganggaran di berbagai negara sebagaimana telah diuraikan di atas yang dimaksudkan guna penanganan Pandemi Covid-19, semua memperlihatkan digunakannya langkah-langkah darurat melalui kebijakan penganggaran di berbagai negara. Kebijakan keuangan negara yang bersifat darurat melalui Perppu No. 1 Tahun 2020 (UU No. 2 Tahun 2020) yang dilaksanakan oleh Pemerintah RI merupakan bagian dari strategi global untuk menangani dampak Pandemi Covid-19 secara sistematis, komprehensif dan berkelanjutan. Maka, justifikasi teoretik konstitusional bagi kebijakan melalui Perppu No. 1 Tahun 2020 (UU No. 2 Tahun 2020), sesungguhnya merupakan langkah solidaritas semesta guna mengatasi secara efektif dampak Pandemi Covid 19 yang menimbulkan situasi kedaruratan global dan nasional yang memerlukan kebijakan extraordinary dalam menanganinya. Selain itu, Pemerintah juga mengajukan 3 (tiga) keterangan tertulis ahli tambahan yang bernama Chandra Hamzah S.H., Prof. Denny Indrayana S.H., LL.M., Ph.D., dan Yunus Husein S.H., LL.M., yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada 3 Juni 2021, yang pada pokoknya menjelaskan sebagai berikut : Pemaknaan Kerugian Negara Dalam Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU 2/2020, terdapat ketentuan yang berbunyi sebagai berikut: “Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di 307 bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara.” Terhadap ketentuan tersebut, dapat Ahli sampaikan bahwa rumusan seperti yang terdapat dalam Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 bukanlah hal baru. Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (“ UU Krisis Sistem Keuangan ”) memiliki kemiripan dalam rumusan pasalnya, sebagai berikut: Pasal 28 ayat (1) UU Krisis Sistem Keuangan “Selisih kurang antara dana hasil penjualan Bank Perantara ditambah hasil likuidasi Bank Sistemik yang telah ditangani permasalahannya dan dana yang dikeluarkan Lembaga Penjamin Simpanan untuk penanganan permasalahan Bank Sistemik, merupakan biaya penanganan permasalahan Bank Sistemik bagi Lembaga Penjamin Simpanan dan bukan merupakan kerugian keuangan negara.” Penjelasan Pasal 28 ayat (1) UU Krisis Sistem Keuangan : “Cukup jelas” Frasa “kerugian negara” setidaknya ditemukan dalam 3 (tiga) undang-undang lainnya, yaitu:

    1.

    Pasal 1 angka 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (“ UU Perbendaharaan Negara ”) “Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.” 2. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (“ UU BPK ”) “Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.” 3. Bagian I Umum Penjelasan Atas Undang-Undang 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“ UU Tipikor ”), sebagai berikut: Paragraf kedua : “Di tengah upaya pembangunan nasional di berbagai bidang, aspirasi masyarakat untuk memberantas korupsi dan bentuk penyimpangan lainnya semakin meningkat, karena dalam kenyataan adanya perbuatan korupsi telah menimbulkan kerugian negara yang sangat besar yang pada gilirannya dapat berdampak pada timbulnya krisis di berbagai bidang.” 308 Dalam UU Perbendaharaan Negara dan UU BPK, dalam pengertian frasa “kerugian negara/daerah”, sudah terkandung unsur “perbuatan melawan hukum”, sudah terkandung sifat jahat dari perbuatan tersebut. Sedangkan pada UU Tipikor, dalam pengertian frasa “kerugian negara” belum terkandung unsur “melawan hukum”, belum terkandung sifat jahat dari perbuatan tersebut. Perbuatan korupsi-nya yang mengandung unsur melawan hukum, bukan kerugian negaranya. Selain dapat disimpulkan berdasarkan Bagian I Penjelasan Umum Atas UU Tipikor sebagaimana telah dikutip pada butir 3 di atas, hal ini juga dapat dilihat dalam rumusan delik Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor sebagai berikut: “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara , dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).” Perbuatan yang dikategorikan sebagai suatu tindak pidana dalam UU Tipikor adalah ”perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi secara melawan hukum ”. Sedangkan, kerugian negara adalah sebagai akibat dari perbuatan (melawan hukum) dimaksud. Jadi, dalam sudut pandang UU Tipikor, “kerugian negara” yang disebabkan perbuatan korupsi (melawan hukum) saja yang merupakan suatu tindak pidana. Konsekuensinya, terdapat dua kategorisasi kerugian negara, sebagaimana diagram sebagai berikut: Apabila menggunakan pengertian ‘’kerugian negara’’ pada UU Tipikor, maka biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK berdasarkan Lampiran UU 2/2020, sepanjang biaya tersebut bukan sebagai akibat dari perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi secara melawan hukum, maka hal tersebut bukan tindak pidana (korupsi) . Kerugian Negara Akibat Perbuatan Melawan Hukum Tindak Pidana Akibat Perbuatan Menurut Hukum Bukan Tindak Pidana 309 Sedangkan, apabila menggunakan pengertian ‘’kerugian negara’’ pada UU BPK dan UU Perbendaharaan Negara, maka biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK berdasarkan Lampiran UU 2/2020, sepanjang biaya tersebut bukan sebagai akibat dari perbuatan melawan hukum, maka hal tersebut bukan kerugian negara . Kewenangan BPK/BPKP Untuk Memeriksa Adanya Kerugian Negara Dalam Pelaksanaan Lampiran UU 2/2020 Terkait dengan frasa ‘’kerugian negara’’, berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (“ UU BPK ”), Badan Pemeriksa Keuangan memiliki kewenangan sebagai berikut: Pasal 10 UU BPK : “(1) BPK menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola Badan Usaha Milik Negara/ Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara.

    (2)

    Penilaian kerugian keuangan negara dan/atau penetapan pihak yang berkewajiban membayar ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan BPK.

    (3)

    Untuk menjamin pelaksanaan pembayaran ganti kerugian, BPK berwenang memantau:

    a.

    penyelesaian ganti kerugian negara/daerah yang ditetapkan oleh Pemerintah terhadap pegawai negeri bukan bendahara dan pejabat lain;

    b.

    pelaksanaan pengenaan ganti kerugian negara/daerah kepada bendahara, pengelola Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara yang telah ditetapkan oleh BPK; dan

    c.

    pelaksanaan pengenaan ganti kerugian negara/daerah yang ditetapkan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.” Pasal 11 UU BPK: “BPK dapat memberikan:

    a.

    pendapat kepada DPR, DPD, DPRD, Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah, Lembaga Negara Lain, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, Yayasan, dan lembaga atau badan lain, yang diperlukan karena sifat pekerjaannya;

    b.

    pertimbangan atas penyelesaian kerugian negara/daerah yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah; dan/atau

    c.

    keterangan ahli dalam proses peradilan mengenai kerugian negara/daerah .” 310 Sedangkan berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 192 Tahun 2014 tentang Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (“ Perpres BPKP ”), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, memiliki kewenangan sebagai berikut: Pasal 3 Perpres BPKP “a....

    b.

    ... c.... d.... e. pengawasan terhadap perencanaan dan pelaksanaan program dan/atau kegiatan yang dapat menghambat kelancaran pembangunan, audit atas penyesuaian harga, audit klaim, audit investigatif terhadap kasus-kasus penyimpangan yang berindikasi merugikan keuangan negara/daerah, audit penghitungan kerugian keuangan negara/daerah , pemberian keterangan ahli, dan upaya pencegahan korupsi; ” Sementara itu, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-X/2012, Mahkamah Konstitusi mempertegas kewenangan BPK dan BPKP terkait dengan kerugian negara sebagaimana dapat dibaca pada halaman 53 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-X/2012 sebagai berikut: “Oleh sebab itu menurut Mahkamah, KPK bukan hanya dapat berkoordinasi dengan BPKP dan BPK dalam rangka pembuktian suatu tindak pidana korupsi, melainkan dapat juga berkoordinasi dengan instansi lain, bahkan bisa membuktikan sendiri di luar temuan BPKP dan BPK, misalnya dengan mengundang ahli atau dengan meminta bahan dari inspektorat jenderal atau badan yang mempunyai fungsi yang sama dengan itu dari masing-masing instansi pemerintah, bahkan dari pihak-pihak lain (termasuk dari perusahaan), yang dapat menunjukkan kebenaran materiil dalam penghitungan kerugian keuangan negara dan/atau dapat membuktikan perkara yang sedang ditanganinya; ” Ketentuan Pasal 27 ayat (1) Lampiran UU 2/2020 tidak menghilangkan kewenangan BPK/BPKP terkait dengan kerugian negara. Oleh karena itu, BPK/BPKP tetap dapat memeriksa adanya kerugian negara dalam pelaksanaan UU 2/2020. Due Process of Law Dalam Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi Terkait Pelaksanaan Kebijakan Sesuai Lampiran UU 2/2020 Pengertian yang dianut UU BPK dan UU Perbendaharaan Negara maupun yang dianut UU Tipikor, ada persamaan diantara ketiganya yaitu adanya unsur ‘’melawan hukum’’. Apabila terpenuhi semua unsur-unsurnya, termasuk unsur ‘’melawan hukum’’, maka terhadap pelakunya tetap dapat diminta pertanggungjawaban melalui proses hukum. 311 Terkait Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020, yang berbunyi sebagai berikut: “Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Bagaimana batasan itikad baik dalam prinsip hukum pidana? Dalam hukum pidana materiil di Indonesia tidak banyak pasal yang menyebutkan tentang “itikad baik”, begitu pula referensi terhadapnya. Hal ini dapat dipahami karena ketentuan pidana lebih banyak mengatur tentang:

    a.

    perbuatan/tindak pidana (unsur objektif/fisik yaitu actus reus ), dan b. sikap batin pelaku ketika melakukan tindak pidana (unsur subjektif/mental yaitu mens rea ). Frasa “itikad baik” ditemukan dalam Pasal 51 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“ KUHPidana ”), sebagai berikut: “ Perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah, dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya.” Pasal 51 ayat (2) KUHPidana ini terdapat dalam KUHPidana Bab III Hal-hal Yang Menghapuskan, Mengurangi, atau Memberatkan Pidana. Seseorang dapat dikatakan tidak beritikad baik apabila pelaku, ketika melakukan tindak pidana, mengetahui atau sepatutnya dapat menduga bahwa perbuatan yang dia lakukan adalah suatu kejahatan (unsur subjektif/mental yaitu mens rea ). Pasal 119 KUHPidana “Barang siapa memberi pondokan kepada orang lain, yang diketahuinya mempunyai niat atau sedang mencoba untuk mengetahui benda-benda rahasia seperti tersebut dalam pasal 113, padahal tidak wenang untuk itu, atau mempunyai niat atau sedang mencoba untuk mengetahui letak, bentuk, susunan, persenjataan, perbekalan, perlengkapan mesiu, atau kekuatan orang dari bangunan pertahanan atau sesuatu hal lain yang bersangkutan dengan kepentingan tentara” Pasal 187 bis KUHPidana “Barang siapa membuat, menerima, berusaha memperoleh, mempunyai persediaan, menyembunyikan, mengangkut atau memasukkan ke Indonesia bahan-bahan, benda-benda atau perkakas-perkakas yang diketahui atau selayaknya harus diduga bahwa diperuntukkan, atau kalau ada kesempatan akan diperuntukkan, untuk menimbulkan ledakan yang membahayakan nyawa orang atau menimbulkan bahaya umum bagi barang, diancam dengan pidana 312 penjara paling lama delapan tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.” Pasal 393 KUHPidana “Barang siapa memasukkan ke Indonesia tanpa tujuan jelas untuk mengeluarkan lagi dan Indonesia, menjual, menawarkan, menyerahkan, membagikan atau mempunyai persediaan untuk dijual atau dibagi-bagikan, barang-barang yang diketahui atau sepatutnya harus diduganya , bahwa pada barangnya itu sendiri atau pada bungkusnya dipakaikan secara palsu, nama, firma atau merek yang menjadi hak orang lain atau untuk menyatakan asalnya barang, nama sebuah tempat tertentu, dengan ditambahkan nama atau firma yang khayal, ataupun pada barangnya sendiri atau pada bungkusnya ditirukan nama, firma atau merek yang demikian sekalipun dengan sedikit perubahan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah”. Pasal 480 KUHPidana “Diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah:

    1.

    barang siapa membeli, menyewa, menukar, menerima gadai, menerima hadiah, atau untuk menarik keuntungan, menjual, menyewakan, menukarkan, menggadaikan, mengangkut, menyimpan atau menyembunyikan sesuatu benda, yang diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa diperoleh dari kejahatan penadahan;

    2.

    barang siapa menarik keuntungan dari hasil sesuatu benda, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduga bahwa diperoleh dari kejahatan.” Dalam delik-delik di atas, dapat dikatakan tidak beritikad baik apabila seseorang yang mengetahui atau sepatutnya dapat menduga bahwa perbuatan yang dia lakukan adalah suatu kejahatan. Khusus untuk Pasal 480 ke-1 KUHP, Mahkamah Agung telah menerbitkan yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 2/Yur/Pid/2018 dan Nomor 3/Yur/Pid/2018 dimana Mahkamah Agung secara konsisten menganggap bahwa tindakan-tindakan yang dikategorikan sebagai “diketahui atau sepatutnya harus diduga diperoleh dari kejahatan” __ adalah:

    a.

    apabila sebuah barang dijual atau dibeli di bawah harga pasar/standar.

    b.

    apabila seseorang membeli kendaraan bermotor tanpa dilengkapi surat-surat kendaraan yang sah. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa seseorang tidak memiliki itikad baik apabila ketika melakukan tindak pidana, mengetahui atau sepatutnya dapat menduga bahwa perbuatan yang dia lakukan adalah suatu kejahatan (unsur subjektif/mental yaitu mens rea ). 313 Ketentuan Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 mengatur perlindungan hukum kepada pihak tertentu. Apakah dalam suatu peraturan perundang- undangan diperbolehkan untuk memberikan perlindungan hukum kepada pihak tertentu? Apakah ketentuan tersebut menghilangkan prinsip equality before the law , khususnya dalam penerapan hukum pidana? Norma yang terkandung dalam Pasal 27 ayat (2) Lampiran UU 2/2020 tersebut bukan hal baru dalam peraturan perundang-undangan. Tercatat ada beberapa peraturan perundang-undangan yang mengandung norma serupa, sebagai berikut:

    a.

    Pasal 16 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat “Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan Klien dalam sidang pengadilan.” b. Pasal 11 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum “Pemberi Bantuan Hukum tidak dapat dituntut secara perdata maupun pidana dalam memberikan Bantuan Hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang dilakukan dengan iktikad baik di dalam maupun di luar sidang pengadilan sesuai Standar Bantuan Hukum berdasarkan peraturan perundang-undangan dan/atau Kode Etik Advokat.” c. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, serbagaimana sudah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 (“ UU MD3 ”) Pasal 57:

    1)

    Anggota MPR mempunyai hak imunitas. 2) Anggota MPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis di dalam sidang atau rapat MPR ataupun di luar sidang atau rapat MPR yang berkaitan dengan wewenang dan tugas MPR.

    Pasal 338Tutup
    1)

    Anggota DPRD provinsi mempunyai hak imunitas. 2) Anggota DPRD provinsi tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis di dalam rapat DPRD provinsi ataupun di luar rapat DPRD provinsi yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPRD provinsi.

    d.

    Pasal 48 ayat (1) UU Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan “Kecuali terdapat unsur penyalahgunaan wewenang, anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan, sekretaris Komite Stabilitas Sistem Keuangan, anggota sekretariat Komite Stabilitas Sistem Keuangan, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan tidak dapat dituntut , baik secara perdata maupun pidana atas pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang berdasarkan Undang-Undang ini.” e. Pasal 22 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak "Menteri, Wakil Menteri, pegawai Kementerian Keuangan, dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengampunan Pajak, tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut , baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan." f. Pasal 6 Lampiran Undang-undang Nomor 9 Tahun 2017 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan;

    1)

    Menteri Keuangan dan/atau pegawai Kementerian Keuangan dalam melaksanakan tugas yang berkaitan dengan pelaksanaan akses dan pertukaran informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan, tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.

    2)

    Pimpinan dan/atau pegawai Otoritas Jasa Keuangan yang memenuhi kewajiban penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a, tidak dapat dituntut secara pidana dan/atau digugat secara perdata.

    3)

    Pimpinan dan/atau pegawai lembaga jasa keuangan, pimpinan dan/atau pegawai lembaga jasa keuangan lainnya, dan pimpinan dan/atau pegawai 315 entitas lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) yang memenuhi kewajiban penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), dan/atau pemberian informasi dan/atau bukti atau keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), tidak dapat dituntut secara pidana dan/atau digugat secara perdata. Terhadap norma yang tercantum dalam beberapa peraturan perundang-undangan tersebut di atas, Mahkamah Konstitusi telah melakukan pengujian dalam beberapa putusannya, antara lain sebagai berikut:

    a.

    Pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 26/PUU-XI/2013, sebagai berikut: “… bahwa ketentuan Pasal 16 UU 18/2003 harus dimaknai advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien di dalam maupun di luar sidang pengadilan; ” b. Pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 57/PUU-XIV/2016 , sebagai berikut: “Sesungguhnya, tanpa ada Pasal 22 UU 11/2016 ini pun pihak-pihak yang disebut dalam ketentuan a quo memang sudah seharusnya tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada itikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Berdasarkan kenyataan bahwa norma tersebut kerap digunakan dalam berbagai peraturan perundang-undangan dan kemudian juga telah diuji oleh Mahkamah Konstitusi, maka secara politik hukum norma tersebut dapat diterima untuk dimuat dalam suatu peraturan perundang-undangan. Tanpa adanya norma tersebut pun, pihak-pihak terkait memang seharusnya tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada itikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Oleh karena itu keberadaan norma tersebut tidak menghilangkan prinsip equality before the law .

    2.

    Prof. Denny Indrayana, S.H., LL.M., Ph.D A. Regulasi Sebagai negara yang menjunjung supremasi hukum, UUD 1945 tentu telah mengatur tindakan yang harus diambil oleh Presiden selaku kepala negara sekaligus kepala pemerintahan dalam hal terjadinya keadaan darurat. Keadaan dimana diperlukan respon yang cepat tanggap untuk menangani kondisi luar biasa 316 ( extraordinary ). Keadaan darurat ini, sebagaimana kita ketahui telah diatur di dalam UUD 1945 dalam dua (2) bentuk, yakni keadaan bahaya dalam Pasal 12 UUD 1945 yang selanjutnya berbunyi: "Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang.” dan kegentingan yang memaksa yang diatur dalam Pasal 22 UUD 1945 menyatakan, “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.” Untuk keadaan bahaya yang dimaksud dalam Pasal 12 UUD 1945, dalam konsep hukum darurat pada dasarnya lebih kepada security approach sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959 yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 52 Tahun 1960. Terkait dengan pembentukan peraturan pemerintah pengganti undang-undang yang dibentuk dalam rangka kegentingan yang memaksa, pada dasarnya belum ada undang-undang yang khusus mengatur “kegentingan yang memaksa” sebagaimana yang dibunyikan di dalam Pasal 22 UUD 1945 tersebut. Akan tetapi, dalam Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan terdapat ketentuan yang mengatur secara teknis prosedur pembentukan peraturan pemerintah pengganti undang- undang menjadi undang-undang. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 22 UUD 1945, maka situasi Pandemi Covid- 19 yang tengah dihadapi oleh Indonesia saat ini menunjukkan adanya kondisi “kegentingan yang memaksa” yang membutuhkan tindakan cepat tanggap dari pemerintah untuk menanggulanginya. Pemerintah memegang peranan penting dalam hal mengambil kebijakan dalam penanganan situasi Pandemi Covid-19 ini. Oleh karenanya, tindakan pemerintah dalam menanggulangi Pandemi Covid-19 tentu diambil bukan tanpa pertimbangan mengingat situasi ini butuh penanganan yang sangat serius. B. Doktrin dan Yurisprudensi Terhadap frasa “kegentingan yang memaksa”, sebelumnya juga telah dikemukakan oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU- 317 VII/2009 terkait pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Mahkamah Konstitusi kemudian memberikan 3 (tiga) parameter yang dapat digunakan untuk menetapkan suatu kegentingan yang memaksa, yaitu:

    1.

    Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang;

    2.

    Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tapi tidak memadai; dan

    3.

    Kekosongan hukum tersebut tidak dapat datasi dengan cara membuat Undang- Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan. Tentu dalam memberikan 3 (tiga) parameter kegentingan yang memaksa melalui putusannya telah mempertimbangkan pula bahwa terdapat irisan antara keadaan bahaya dan kegentingan yang memaksa, dimana dalam kondisi tertentu keadaan bahaya dapat menimbulkan kegentingan yang memaksa meskipun tidak selalu memiliki hubungan antara satu sama lain. Prof. Jimly Asshiddiqie dalam Hukum Tata Negara Darurat mengemukakan bahwa, “Keadaan bahaya yang menimbulkan kegentingan yang memaksa, yaitu:

    (1)

    ancaman yang membahayakan ( dangerous threat );

    (2)

    kebutuhan yang mengharuskan ( reasonable necessity ); dan

    (3)

    keterbatasan waktu ( limited time ) yang tersedia.” Berbeda dengan keadaan bahaya, kegentingan yang memaksa hanya memerlukan kebutuhan yang mengharuskan dan keterbatasan waktu berdasarkan keyakinan Presiden. Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi memberikan 3 (tiga) parameter kegentingan yang memaksa sebagai tolak ukurnya. Prof. Iwa Kusuma Sumantri dalam Ilmu Hukum dan Keadilan menyatakan bahwa, “hukum darurat itu disusun dan berlaku untuk mengatasi kegentingan, atau setidak- tidaknya untuk dijalankan hanya dalam waktu kegentingan itu.” Lebih lanjut Iwa Kusuma Sumantri mengemukakan 5 (lima) syarat dibentuknya undang-undang darurat yakni:

    (1)

    keadaan mendesak;

    (2)

    keamanan membahayakan dan mengancam terwujudnya negara;

    (3)

    untuk mengatasi keadaan dan kesulitan- kesulitan yang timbulkan dari keadaan bahaya itu;

    (4)

    tidak ada kesempatan membahas dengan parlemen; dan

    (5)

    hanya berlaku selama keadaan bahaya. 318 Berdasarkan situasi Pandemi Covid-19 yang tengah terjadi dan norma UUD 1945 yang mengatur kewenangan Presiden dalam konteks kegentingan yang memaksa, apabila dikaitkan dengan situasi Pandemi Covid-19 yang sedang dihadapi Indonesia, maka dapat dikatakan pemerintah telah mengambil langkah penanganan Pandemi Covid-19 sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yakni: a) Mengumumkan bahwa telah terjadi situasi darurat Pademi Covid-19; b) Menetapkan hukum darurat dalam rangka penanganan Covid-19, salah satunya dengan membentuk Perppu 1/2020 yang telah disahkan menjadi UU 2/2020 dan kemudian menjadi objek permohoan saat ini; c) Menyiapkan instrumen hukum lebih lanjut yang berkaitan dengan keadaan darurat yang tengah berlangsung; d) Menerapkan hukum darurat yang telah dibentuk. Dalam pembentukan hukum darurat untuk menangani situasi Pandemi Covid-19 ini, Pemerintah dimungkinkan untuk melakukan diskresi, namun dengan catatan dalam hal ini pemerintah tetap harus memperhatikan ruang dalam hukum darurat yang menimbulkan potensi korupsi . Akuntabilitas dalam hal penggunaan keuangan negara dalam masa Pandemi Covid-19 tetap harus diperhatikan . Terhadap imunitas dalam melaksanakan ketentuan hukum darurat pun Ahli berpendapat tetap diperlukan agar hukum darurat yang telah dibentuk dapat diimplementasikan dengan baik sepanjang imunitas tersebut digunakan dalam kapasitas yang tepat dan bukan berarti tanpa batas . Pengawasan atas penggunaan dan penyaluran anggaran negara dalam hal ini APBN dan APBD yang ditujukan untuk penanganan Pandemi Covid-19 tentu juga tidak boleh dilonggarkan, mengingat penggunaan keuangan negara dalam situasi bencana rentan untuk disalahgunakan dan dikorupsi . Kebijakan Keuangan Negara dalam UU 2/2020 Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, materi muatan UU 2/2020 terkait kebijakan keuangan negara masih menjadi isu di masyarakat. Terhadap permohonan pengujian konstitusionalitas norma UU 2/2020, khususnya mengenai perpajakan dan kepabeanan, secara garis besar, apabila dikelompokkan setidaknya ada 6 (enam) isu yang menjadi perhatian dalam pengujian UU 2/2020, yakni: 319 1. Apakah kebijakan penyesuaian tarif PPh Wajib Pajak Badan Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap tanpa diikuti dengan larangan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) bersifat inkonstitusional? 2. Apakah kebijakan penyesuaian tarif pajak dalam UU 2/2020 yang diberlakukan tidak hanya terhadap wajib pajak badan yang bergerak di bidang riset dan pengembangan penanganan Covid-19 bersifat inkonstitusional? 3. Apakah pengaturan pajak Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (selanjutnya disebut “ PSME ” yang diatur dalam UU 2/2020 memenuhi sifat kedaruratan/kegentingan yang memaksa? 4. Apakah UU 2/2020 yang melimpahkan pengaturan besarnya tarif dasar pengenaan, dan tata cara penghitungan Pajak diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah bersifat inkonstitusional? 5. Apakah pengaturan hak imunitas dalam UU 2/2020 inkonstitusional? 6. Apakah Pasal 27 ayat (1) UU 2/2020 menjadikan hak imunitas bersifat absolut dan inkonstitusional? 1. Konstitusionalitas Kebijakan Penyesuaian Tarif PPh Wajib Pajak Badan Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT) Tanpa Diikuti dengan Larangan Pemutusan Hubungan Kerja Terkait penyesuaian tarif PPh Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap yang tanpa diikuti dengan larangan Pemutusan Hubungan Kerja yang sebagaimana ditetapkan dalam UU 2/2020 harus dipahami secara utuh dan kaitannya dengan kondisi perusahaan dalam situasi Pandemi Covid-19. Lebih lanjut Pasal 4 ayat (1) UU 2/2020 berbunyi sebagai berikut:

    (1)

    Kebijakan di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (4) meliputi:

    a.

    penyesuaian tarif Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap;

    b.

    perlakuan perpajakan dalam kegiatan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik;

    c.

    perpanjangan waktu pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan; dan

    d.

    pemberian kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk memberikan fasilitas kepabeanan berupa pembebasan atau keringanan bea masuk dalam rangka penanganan kondisi darurat serta pemulihan dan penguatan ekonomi nasional. 320 Sementara itu, Pasal 1 ayat (3) dan ayat (4) UU 2/2020 berbunyi, (3) Untuk melaksanakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dalam rangka:

    a.

    penanganan pandemi Corona Disease 2019 (COVID-19); dan/atau

    b.

    menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan.

    (4)

    Kebijakan keuangan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, dan kebijakan pembiayaan.” Berdasarkan ketentuan norma yang terkait dengan Pasal 4 ayat (1) UU 2/2020, jika dicermati dan dipahami secara utuh, maka kebijakan penyesuaian tarif PPh Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap (BUT) yang tidak diikuti dengan larangan Pemutusan Hubungan Kerja tidaklah inkonstitusional. Apabila ketentuan UU 2/2020 mencantumkan norma yang memaksakan larangan PHK, justru menimbulkan ketidakadilan terhadap perusahaan, karena dapat mengakibatkan perusahaan kolaps di masa pandemi. Kolapsnya perusahaan tentu akan berdampak lebih buruk tidak hanya bagi perusahaan terkait, namun juga terhadap para pekerja yang bekerja di perusahaan dan bagi perekonomian nasional. Kebijakan insentif perpajakan berupa penurunan tarif yang diberikan pemerintah kepada Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap, tidak serta merta dapat menjamin dan menjadikan perusahaan tersebut baik secara finansial. Kebijakan insentif perpajakan ini hanya membantu perusahaan di masa pandemi agar tidak terpuruk dan diharapkan masih tetap dapat beroperasi dengan baik serta tetap dapat mempertahankan lapangan kerja bagi pekerjanya. Jika mengkhawatirkan dampak buruk dari tidak disertainya pemberian insentif perpajakan kepada Wajib Pajak badan dalam negeri dan BUT dengan adanya larangan PHK, maka ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan kembali:

    1.

    Bagaimana jika ternyata setelah mendapat insentif pajak, kinerja perusahaan menurun bukan dikarenakan oleh faktor internal perusahaan, seperti resesi ekonomi global, fluktuasi supply and demand ? 2. PHK yang dilaksanakan sesuai tata cara yang telah ditentukan peraturan perundang-undangan dapat dilakukan dalam rangka efisiensi dan restrukturisasi yang justru dapat menyelamatkan perusahaan.

    3.

    Perusahaan besar/BUMN/dan perusahaan lain sebagainya dengan suntikan besar modal asing dan APBN sekalipun (yang bukan sekedar diberikan insentif pajak saja) bisa jatuh pailit, contohnya Merpati, dan BUMN Kertas Leces. 321 4. Pemaksaan larangan PHK dalam UU 2/2020 justru akan menciptakan potensi komplikasi hukum bagi berbagai pihak. Pelu digarisbawahi pula bahwa, dalam menangani situasi Pandemi Covid-19, tanpa adanya larangan PHK bagi pekerja dalam UU 2/2020, sebelumnya telah ada rambu- rambu terkait PHK dan program sosial terkait ketenagakerjaan, yang meliputi:

    1.

    Pemerintah telah berusaha maksimal melalui program bantuan sosial, kartu pra kerja, dan bantuan lain sebagainya sebagai bentuk perlindungan sosial bagi warga negara, bahkan pemerintah telah menganggarkan bantuan subsidi gaji bagi pekerja untuk besaran yang ditentukan pada masa Pandemi Covid-19; dan

    2.

    Terkait dengan PHK, perusahaan tidak serta merta dapat melakukan PHK terhadap pekerja meskipun dalam situasi Pandemi Covid-19, kecuali perusahaan tersebut tutup secara permanen, sebagaimana pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Nomor 19/PUU-IX/2011.

    3.

    Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, selanjutnya disebut “ UU Ketenagakerjaan ”, juga telah mengatur penyelesaian dalam hal terjadi persoalan ketenagakerjaan, mulai dari bipartit hingga Pengadilan Hubungan Industrial. Lebih lanjut, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PUU-IX/2011 terkait uji materi Pasal 164 ayat (3) UU Ketenagakerjaan dalam pertimbangannya memperkuat dasar bahwa PHK dengan alasan efisiensi dampak pandemi tidak serta merta dapat dilakukan dan merupakan pilihan terakhir. PHK merupakan pilihan terakhir sebagai upaya untuk melakukan efisiensi perusahaan setelah sebelumnya dilakukan upaya-upaya yang lain dalam rangka efisiensi tersebut. Berdasarkan hal tersebut, menurut Mahkamah, perusahaan tidak dapat melakukan PHK sebelum menempuh upaya-upaya sebagai berikut:

    a.

    mengurangi upah dan fasilitas pekerja tingkat atas, misalnya manajer dan direktur;

    b.

    mengurangi shift ;

    c.

    membatasi/ menghapuskan kerja lembur;

    d.

    mengurangi jam kerja;

    e.

    mengurangi hari kerja;

    f.

    meliburkan atau merumahkan pekerja/buruh secara bergilir untuk sementara waktu; 322 g. tidak atau memperpanjang kontrak bagi pekerja yang sudah habis masa kontraknya;

    h.

    memberikan pensiun bagi yang sudah memenuhi syarat. Dengan demikian, adanya tambahan frasa “dan larangan pemutusan hubungan kerja (PHK)” dalam ketentuan penyesuaian tarif PPh Badan sebagaimana dalil Pemohon, akan menimbulkan ketidakharmonisan ketentuan dalam UU 2/2020 dengan UU Ketenagakerjaan dan Putusan Mahkamah Konstitusi, sehingga justru menimbulkan potensi komplikasi hukum, ketidakadilan dan ketidakpastian hukum bagi seluruh Pihak.

    2.

    Konstitusionalitas Kebijakan Penyesuaian Tarif Pajak dalam UU 2/2020 Tidak Hanya Diberlakukan Terhadap Wajib Pajak Badan yang Bergerak di Bidang Riset dan Pengembangan Penanganan Covid-19 Sebagaimana kita ketahui bahwa dalam kajian peraturan perpajakan, sulit menentukan bidang-bidang usaha Wajib Pajak dan besaran tarif pajak yang akan dikenakan. Hal ini dikarenakan, secara faktual sebuah perusahaan dimungkinkan memiliki usaha lintas bidang/lintas sektoral, sehingga dalam implementasinya juga akan rumit apabila besaran tarif dikenakan berbeda untuk setiap bidang usaha wajib pajak yang jenisnya sangat beragam. Oleh karena itu, penetapan tarif yang berlaku umum atau universal untuk seluruh Wajib Pajak badan dalam negeri dan badan usaha tetap dinilai lebih memberikan jaminan kepastian hukum yang adil bagi seluruh Wajib Pajak. Diberlakukannya pembedaan tarif pajak berdasarkan sektor usaha Wajib Pajak justru berpotensi menimbulkan diskriminasi dan ketidakadilan. Ketentuan besaran penyesuaian tarif pajak secara universal dalam Pasal 5 ayat (1) UU 2/2020 yang berbunyi, (1) Penyesuaian tarif Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap sebagaimana dimaksud Pasal 4 ayat (1) huruf a berupa penurunan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf b Undang-Undang mengenai Pajak Penghasilan menjadi:

    a.

    sebesar 22% (dua puluh dua persen) yang berlaku pada Tahun Pajak 2020 dan Tahun Pajak 2021; dan

    b.

    sebesar 20% (dua puluh persen) yang mulai berlaku pada Tahun Pajak 2022. dinilai sudah tepat. Apabila pemerintah menerapkan kebijakan kekhususan pengenaan tarif pajak bagi Wajib Pajak badan dalam negeri dan badan usaha tetap bagi bidang usaha riset dan pengembangan penanganan Covid-19 untuk Tahun Pajak 2020 dan 2021, maka secara tidak langsung aturan khusus ini justru berpotensi menguntungkan Wajib Pajak badan dalam negeri dan badan usaha tetap 323 yang bidang usahanya di luar riset dan pengembangan penanganan Covid-19. Artinya, ketika diberlakukan aturan khusus tarif pajak berdasarkan permohonan Pemohon, maka pajak terutang yang harus dibayar oleh Wajib Pajak badan dalam negeri dan badan usaha tetap bisa saja lebih kecil dari pada pajak yang harus dibayar oleh Wajib Pajak badan dalam negeri dan badan usaha tetap yang bergerak di bidang riset dan pengembangan untuk penanganan Covid-19 karena besarannya telah ditentukan dalam UU 2/2020. Dan secara faktual, dampak Pandemi Covid-19 berimbas tidak terbatas untuk sektor/bidang usaha tertentu tetapi bersifat multisektoral, sehingga akan memberikan kepastian hukum yang adil apabila penurunan tarif PPh Badan diberikan kepada seluruh Wajib Pajak badan dalam negeri dan BUT agar mereka mampu bertahan di masa pandemi dan mampu bangkit kembali pasca berakhir Pandemi Covid-19. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa aturan perpajakan secara umum atau universal dan menjadikannya sebagai open legal policy adalah lebih baik, sehingga menghindari diskriminasi dan ketidakadilan dalam penerapan tarif perpajakan. Oleh karena itu, rumusan Pasal 23A UUD 1945 berbunyi, “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.” Konsep Open Legal Policy Meskipun substansinya akan dinilai kurang baik atau bahkan buruk oleh masyarakat, penentuan besaran tarif pajak adalah penjabaran dari Pasal 23A UUD 1945 yang merupakan open legal policy dan Mahkamah Konstitusi tidak dapat membatalkannya. Pengecualian atas open legal policy yang dibuat adalah apabila ketentuan normanya telah nyata-nyata melanggar konstitusi secara intolerable, yakni apabila terdapat muatan yang bersifat sewenang-wenang ( willekeur ) dan melampaui kewenangan ( de tournament de pouvoir ). Konstitusi memberi peluang untuk open legal policy karena konstitusi terkadang tidak memuat suatu aturan yang spesifik dan eksplisit untuk mengatur suatu dasar konstitusionalitas kebijakan publik. Atas dasar inilah, pembuat undang-undang diberikan kewenangan membuat open legal policy untuk kemudian menjabarkannya lebih lanjut dalam suatu undang- undang. Karakteristik open legal policy ditemukan di dalam pasal-pasal UUD 1945 yang mendelegasikan pengaturan mengenai materi muatan lebih lanjut ke dalam undang- 324 undang dengan rumusan “…diatur dalam undang-undang…” dan “…diatur dengan undang-undang.” Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangannya melalui Putusan Nomor 012-016- 019/PUU-VI/2006 menyatakan bahwa frasa “diatur dalam undang-undang (geregeld in de wet), tidak identik dengan diatur dengan undang-undang ( geregeld bij de wet ).” Dalam putusan yang sama Mahkamah juga berpendapat bahwa, “Frasa “diatur dalam undang-undang” tidak serta merta berarti bahwa pembuat undang-undang membuatkan undang-undang tersendiri, yang secara khusus mengatur fungsi- fungsi yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman tersebut, sepanjang pengaturannya termaktub dalam undang-undang (in de wet), bukan dalam peraturan perundang-undangan lainnya.” Sementara itu, frasa “dengan undang- undang, maka sifatnya imperatif, merupakan perintah konstitusi bahwasanya hal sesuatu tersebut hanya dapat secara khusus diatur dengan undang-undang tersendiri.” __ Meskipun konstitusi memberikan peluang open legal policy , perlu diingat pula bahwa konsep open legal policy di dalam konstitusi tentu harus memiliki dasar, motif, tujuan, atau kebutuhan konstitusional untuk menentukan pilihan-pilihan yang akan dibuat. Konsep open legal policy dalam konstitusi ini kemudian juga diperkuat dengan penafsiran Mahkamah Konstitusi melalui putusannya, sebagai berikut: Tabel 1. Konsep Open Legal Policy di Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No Nomor Putusan Pertimbangan Hukum/Amar Putusan 1 26/PUU-VII/2009 terkait Pengujian Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden “Mahkamah dalam fungsinya sebagai pengawal konstitusi tidak mungkin untuk membatalkan undang-undang atau sebagian isinya jikalau norma tersebut merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk undang-undang. ” 2 37-39/PUU-VIII/2010 terkait Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK “Dalam kaitannya dengan kriteria usia, UUD 1945 tidak menentukan batasan usia minimal atau maksimal tertentu sebagai kriteria yang berlaku umum untuk semua jabatan atau aktivitas pemerintahan. Hal itu berarti, UUD 1945 menyerahkan penentuan batasan usia tersebut kepada pembentuk undang-undang untuk mengaturnya. Dengan kata lain, oleh UUD 1945 hal itu dianggap sebagai bagian dari kebijakan hukum (legal policy) pembentuk undang- undang. ” 325 3 6/PUU-III/2005 terkait Pengujian Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah “….yaitu sepanjang pembedaan yang dilakukan tidak didasarkan atas agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, dan keyakinan politik, maka pengusulan melalui partai politik demikian tidak dapat dipandang bertentangan dengan UUD 1945, karena pilihan sistem yang demikian merupakan kebijakan (legal policy) yang tidak dapat diuji kecuali dilakukan secara sewenang-wenang (willekeur) dan melampaui kewenangan pembuat undang-undang (detournement de pouvoir).” 4 5/PUU-V/2007 Pengujian Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah “Alternatif yang dipilih adalah konstitusional, dan penentuan pilihan itu merupakan kebijaksanaan (legal policy) yang menjadi wewenang dari pembentuk undang-undang. Dalam melaksanakan pemilihan kepala daerah “secara demokratis” itu, ternyata pembentuk undang-undang telah mencontoh tata cara pengisian jabatan Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana telah diatur secara rinci dalam UUD 1945. Pilihan yang dijatuhkan oleh pembentuk undang- undang ini adalah konstitusional, sebab adalah suatu kesesatan berpikir (fallacy) jika mencontoh sesuatu yang tercantum dalam konstitusi dinilai sebagai sesuatu yang inkonstitusional.” 5 56/PUU-X/2012 terkait Pengujian Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Perselisihan Hubungan Industrial “ Menurut Mahkamah, UUD 1945 tidak menentukan batas usia untuk semua jabatan hakim. Penentuan batas usia hakim merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy), yang sewaktu-waktu dapat diubah oleh pembentuk undang-undang sesuai dengan tuntutan kebutuhan perkembangan yang ada dan sesuai dengan jenis dan spesifikasi serta kualifikasi jabatan tersebut. Dengan demikian penentuan batas usia sepenuhnya merupakan kewenangan pembentuk undang-undang. ” 6 . 7/PUU-XI/2013 Pengujian Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi “ Terkait dengan pengaturan batasan usia untuk menduduki jabatan publik tertentu dalam undang-undang. DPR mengutip pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam beberapa perkara yang menyatakan bahwa penentuan batasan usia minimal adalah merupakan pilihan kebijakan (legal policy) pembuat undang-undang yang menentukannya. ” 7 30-74/PUU-XII/2014 Pengujian Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan “ Penetapan usia perkawinan yang dalam Undang-Undang Perkawinan merupakan pilihan kebijakan open legal policy pembentuk undang-undang. Bahwa batasan umur sekurang-kurangnya 16 tahun bagi pihak wanita untuk dapat melangsungkan perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) undang-undang bukanlah merupakan persoalan konstitusionalitas norma, melainkan lebih merupakan pilihan kebijakan dari pembentuk undang- undang, sehingga kerugian konstitusionalitas yang didalilkan Pemohon bukanlah merupakan kerugian konstitusional akibat berlakunya norma a quo. ” 8 46/PUU-XII/2014 Pengujian UU 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah “ Penetapan besaran tarif retribusi baik dalam bentuk presentase atau pun jumlah rupiah merupakan kebijakan yang terbuka bagi pemerintah untuk menentukannya (open public policy) . Mahkamah Konstitusi memberikan catatan 326 meski merupakan open legal policy tetapi harus memperhatikan kepastian hukum yang adil, yang meliputi kepastian subjek, objek, besarnya tarif dan waktu pembayaran. ” Dengan demikian, berdasarkan penafsiran Mahkamah Konstitusi dari beberapa putusannya, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa terkait kebijakan yang menyesuaikan besaran tarif pajak terhadap Wajib Pajak badan dalam negeri dan badan usaha tetap di dalam UU 2/2020, justru dimungkinkan dan telah sesuai dengan ketentuan perpajakan yang di dalam Konstitusi ditentukan sebagai open legal policy sepanjang kebijakan penyesuaian tarif tersebut, 1) tidak bertentangan secara nyata dengan UUD 1945;

    2)

    tidak melampaui kewenangan pembentuk undang-undang; dan

    3)

    bukan merupakan penyalahgunaan kewenangan.

    3.

    Pengaturan Pajak PMSE yang Diatur dalam Perppu Memenuhi Kedaruratan/ Kegentingan Memaksa Apabila aspek kedaruratan/kegentingan yang memaksa dalam pengaturan pajak PMSE yang diatur dalam UU 2/2020 diuji konstitusionalitasnya, maka terhadap pengujian norma tersebut dinilai sudah tidak lagi terkait dengan isu konstitusionalitas, melainkan isu legalitas yang berkaitan dengan teknik drafting dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang 15 Tahun 2019. Hal ini dikarenakan, dengan disahkannya Perppu 1/2020 menjadi UU 2/2020, maka dapat diartikan bahwa DPR telah menyetujui materi muatan Perppu 1/2020 menjadi undang-undang. Dengan demikian, menguji konstitusionalitas unsur kegentingan yang memaksa dalam pembentukan UU 2/2020 sudah tidak relevan lagi untuk diajukan. Kemudian, apabila unsur kegentingan yang memaksa dijadikan tolak ukur atau dasar untuk mengajukan pengujian, maka sebelum pemohonan pengujian diajukan perlu ditelaah kembali 3 (tiga) parameter dalam menetapkan kegentingan yang memaksa sebagaimana yang dikemukakan oleh Mahkamah Konstitusi di dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009, yakni:

    1.

    Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang;

    2.

    Undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum , atau ada undang-undang tapi tidak memadai; dan 327 3. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang- undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan . Materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang dalam hal kegentingan yang memaksa pun merupakan hak prerogatif presiden sebagai kepala pemerintahan, sebagaimana bunyi Pasal 22 UUD 1945, “Dalam ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”, __ hingga disetujui dan ditetapkan oleh DPR menjadi undang-undang.

    4.

    Konstitusionalitas Pengaturan Besarnya Tarif, Dasar Pengenaan, dan Tata Cara Penghitungan Pajak Diatur dengan atau Berdasarkan Peraturan Pemerintah Berkaitan dengan masalah pendelegasian kewenangan, Prof. Jimly Asshiddiqie pada intinya berpendapat bahwa kewenangan yang dimiliki oleh suatu lembaga negara dapat berpindah kepada lembaga lain karena pemberian mandat atau karena pelimpahan wewenang (transfer of power). Jika kekuasaan yang dilimpahkan itu adalah kekuasaan untuk membentuk suatu peraturan perundang- undangan (the power of rule making atau law making), maka dengan terjadinya pendelegasian kewenangan regulasi (delegation of the rule-making power) tersebut berarti terjadi pula peralihan kewenangan untuk membuat suatu peraturan perundang-undangan. Hal tersebut berarti bahwa pembentuk Undang-Undang, memberikan delegasi kepada Pemerintah atau Pejabat Pemerintahan untuk mengatur sendiri hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran tugas dan wewenangnya. Pendelegasian kewenangan regulasi (rule-making power) itu dapat pula dilakukan secara bertingkat atau bertahap melalui mekanisme pemberian delegasi yang diberikan oleh pemberi delegasi kepada penerima delegasi, dan penerima delegasi itu kemudian mendelegasikan kembali kewenangan untuk mengatur tersebut pada tahap berikutnya kepada lembaga lain yang lebih rendah. Peraturan pelaksanaan perundang-undangan dinilai memegang peranan yang sangat penting dan bahkan terus berkembang dalam praktik di hampir semua negara hukum modern. Perumus undang-undang pada umumnya lebih memusatkan perhatian pada kerangka kebijakan dan garis-garis besar kebijakan yang penting dalam menjalankan roda dan fungsi pemerintahan sesuai dengan 328 tujuan yang hendak dicapai. Bentuk peraturan pelaksanaan perundang-undangan dapat berupa Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan peraturan lainnya. Bahwa hal tersebut semata-mata untuk memenuhi kebutuhan negara mendapatkan landasan hukum yang diperlukan, karena proses pembentukan peraturan di bawah Undang-Undang lebih cepat dibandingkan proses pembentukan Undang-Undang. Melalui pendelegasian wewenang kepada peraturan yang lebih rendah (delegated regulations) , maka tercapainya tujuan (doelmatigheid) untuk memenuhi tuntutan masyarakat menjadi hal yang diutamakan. Pendelegasian wewenang tersebut merupakan hal yang lazim dan dibolehkan dalam penyelenggaraan negara, oleh sebab itu tidak bertentangan dengan hukum. Undang-undang di bidang perpajakan mendasarkan pada beberapa kebijakan perpajakan sebagaimana yang tercantum dalam Organization for Economic Co- Operation and Development yakni:

    (1)

    netralitas, artinya pajak harus netral dan berlaku adil kepada semua pihak. (2) efisien, yaitu biaya kepatuhan WP dan biaya administrasi pemerintah seminimal mungkin. (3) kepastian dan kesederhanaan, maksudnya peraturan pajak harus jelas dan mudah dipahami sehingga setiap pihak mampu mengantisipasi konsekuensi pajak atas transaksi yang dilakukannya, termasuk mengetahui kapan, dimana, bagaimana, dan berapa pajak yang harus dibayar dan (4) fleksibilitas, artinya sistem pajak harus fleksibel dan dinamis agar selalu dapat menyesuaikan dengan perkembangan bisnis, perdagangan, ekonomi dan teknologi informasi. Dunia usaha selalu berkembang sangat dinamis termasuk di masa Pandemi Covid- 19 di mana transaksi ekonomi digital menjadi berkembang sangat pesat. Oleh karena itu, peraturan perundang-undangan yang melandasinya juga harus bersifat terbuka, agar memiliki fleksibilitas untuk mengikuti perkembangan dunia usaha tersebut sehingga tujuan negara untuk memajukan kesejahteraan umum dapat terpenuhi. Demikian pula dengan tata cara penghitungan yang pada dasarnya bersifat teknis prosedural yang berada dalam lingkup kewenangan pemerintah dalam mengoptimalkan penerimaan negara dari sektor perpajakan, sekaligus sebagai alat uji kepatuhan perpajakan Wajib Pajak, sehingga telah tepat jika mendelegasikan pengaturan mengenai dasar pengenaan, tarif, dan tata cara penghitungan pajak kepada pemerintah untuk diatur dalam Peraturan Pemerintah guna memberikan 329 ruang fleksibilitas bagi Pemerintah dalam menciptakan instrumen perpajakan untuk mendorong tujuan ekonomi. Di Indonesia, sudah menjadi konvensi ketatanegaraan bahwa berbagai undang- undang yang mengatur pajak dan pungutan lain, memberikan mandat atau delegasi wewenang kepada pemerintah untuk membuat peraturan-peraturan pelaksanaan dalam rangka menjalankan norma-norma hukum yang terkandung dalam Undang- Undang tersebut, seperti:

    1)

    Pasal 4 ayat (2) huruf e UU Pajak Penghasilan yang menyebutkan bahwa, “Penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final:

    e.

    penghasilan tertentu lainnya, yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.” 2) Pasal 17 ayat (7) UU Pajak Penghasilan yang menyebutkan bahwa, ”Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan tarif pajak tersendiri atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi sebagaimana tersebut pada ayat (1).” Bahwa kedua pasal dalam UU Pajak Penghasilan tersebut di atas pernah diajukan uji materi di Mahkamah Konstitusi dengan dalil yang sama dengan permohonan uji materi perkara a quo, yaitu dalam perkara uji materi Nomor 128/PUU-VII/2009 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. Dalam pertimbangan putusan yang Menolak permohonan Pemohon tersebut, Mahkamah Konstitusi menyatakan: “Bahwa pendelegasian wewenang Undang-Undang untuk mengatur lebih lanjut oleh peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya adalah suatu kebijakan pembentuk Undang-Undang yakni DPR dengan persetujuan Pemerintah (legal policy), sehingga dari sisi kewenangan kedua lembaga itu tidak ada ketentuan UUD 1945 yang dilanggar, artinya produk hukumnya dianggap sah. Pengaturan lebih lanjut dalam bentuk Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri Keuangan dan Keputusan Direktur Jenderal Pajak, di samping untuk memenuhi kebutuhan Pemerintah dengan segera supaya ada landasan hukum yang lebih rinci dan operasional, sekaligus juga merupakan diskresi yang diberikan oleh Undang-Undang kepada Pemerintah yang dibenarkan oleh hukum administrasi." Dalam perkara uji materi lainnya, Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 47/PUU-XII/2014 pernah memutus menolak permohonan uji materi Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas 330 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan tentang Pajak Penghasilan. Pasal 23 ayat (2): “Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis jasa lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 2 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan” Ketentuan Pasal 23 ayat (2) UU PPh di atas memberikan delegasi pengaturan lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai jenis jasa lain (Objek) yang terutang PPh Pasal 23. Sehubungan dengan pendelegasian tersebut, Mahkamah menyatakan: “Menteri Keuangan tidak diberikan kewenangan untuk menentukan mengenai perpajakan tersebut secara mandiri, melainkan hanya terbatas merinci hal-hal yang telah diatur oleh Undang-Undang a quo . Hal tersebut dimungkinkan oleh karena objek atau kegiatan dimaksud merupakan sesuatu yang berkembang . Sementara itu pembentukan Undang-Undang memerlukan waktu yang cukup lama, sehinga terkadang –bahkan sering- ketinggalan dari apa yang diaturnya. Untuk menutup celah demikian maka dalam hal terkait dengan perkembangan tersebut maka norma yang terdapat pada frasa “jenis jasa lain” tersebut diperlukan; ” Uji materi tersebut pada prinsipnya sama dengan uji materi perkara a quo yang mempersolakan pendelegasian pengaturan lebih lanjut mengenai objek pajak (jasa lain) dalam Peraturan Menteri Keuangan. Dengan demikian, pendelegasian pengaturan besarnya tarif, dasar pengenaan, dan tata cara penghitungan Pajak diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah tidak bertentangan dengan Pasal 23A UUD 1945 . 5. Konstitusionalitas Pengaturan Hak Imunitas dalam UU 2/2020 Konsep Hak Imunitas Pengaturan atas pemberian imunitas melalui peraturan perundang-undangan terhadap subjek tertentu merupakan hal yang dimungkinkan dan tidak bertentangan dengan hukum. Konsep imunitas juga dapat ditemukan dalam beberapa pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi yang dijabarkan melalui tabel berikut, Tabel 2. Konsep Imunitas di Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No Nomor Putusan Pertimbangan Hukum 1 57/PUU-XVI/2016 Pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak “… pelaksanaan Pengampunan Pajak, tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, dilakukan penyidikan, atau dituntut , baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai 331 dengan ketentuan peraturan perundang- undangan .” 2 26/PUU-XI/2013 Pengujian Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat “ Pasal 16 UU 18/2003 merupakan salah satu ketentuan yang mengatur mengenai perlindungan advokat sebagai profesi dalam menjalankan tugas profesinya demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk kepentingan masyarakat pencari keadilan. Perlindungan tersebut antara lain, berupa tidak dapat dituntutnya advokat baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien dalam sidang pengadilan . ” dalam amar putusannya, Mahkamah Konstitusi bahkan memperluas imunitas Advokat yang sebelumnya terbatas hanya di dalam sidang pengadilan, menjadi di dalam maupun di luar sidang pengadilan. 3 7/PUU-XVI/2018 Pengujian Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi “ Kata kunci dari rumusan hak imunitas dalam ketentuan ini bukan terletak pada “kepentingan pembelaan klien” melainkan pada “iktikad baik” . Artinya, secara a contrario, imunitas tersebut dengan sendirinya gugur tatkala unsur “iktikad baik” dimaksud tidak terpenuhi. ” Pada dasarnya, imunitas dalam UU 2/2020 adalah imunitas dengan batasan berupa hanya untuk pelaksanaan UU 2/2020 dan pelaksanaan tersebut harus didasari dengan iktikad baik. Adapun hak imunitas dalam UU 2/2020 diberikan melalui Pasal 27 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU 2/2020 yang berbunyi, (1) Biaya yang timbul dari kebijakan-kebijakan penyelamatan keuangan oleh Pemerintah terkait krisis disebut sebagai bagian dari biaya ekonomi untuk menyelamatkan dari krisis, bukan merupakan kerugian negara.

    (2)

    Pejabat pengambil kebijakan tidak bisa dituntut oleh hukum pidana dan perdata jika dalam melaksanakan tugas didasar pada iktikad baik dan sesuai perundang-undangan.

    (3)

    Segala Tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara. Dengan demikian, pemberian hak imunitas dalam UU 2/2020 bertujuan agar Pemerintah dapat melaksanakan kebijakan yang telah diambil untuk menyelamatkan kondisi negara, dalam hal ini kebijakan keuangan negara dalam kondisi Pandemi Covid-19 berdasarkan UU 2/2020. Konstruksi pengaturan hak imunitas Pemerintah dalam Pasal 27 UU 2/2020 juga sesuai dengan konsep imunitas yang ada, yakni: a) imunitas untuk tidak dituntut secara perdata maupun pidana diberikan hanya berkaitan dengan pelaksanaan UU 2/2020; b) imunitas untuk 332 tidak dituntut secara perdata maupun pidana diberikan jika tugas dilaksanakan didasarkan pada iktikad baik; dan c) harus sesuai dengan ketentuan perundang- undangan. Hak imunitas dinilai perlu diberikan kepada penyelenggara negara dalam rangka menjalankan tugasnya sesuai dengan konsep imunitas yang seharusnya, yakni 1) adanya iktikad baik;

    2)

    sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan

    3)

    memberikan manfaat bagi kepentingan umum. Artinya, hak imunitas yang diberikan kepada penyelenggara negara bukanlah imunitas tanpa batas dan tanpa akuntabilitas. Hak imunitas yang diberikan kepada penyelenggara negara dipagari dengan rambu-rambu iktikad baik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

    6.

    Hak Imunitas dalam Pasal 27 ayat (1) UU 2/2020 Tidaklah Bersifat Absolut dan Tidak Menghilangkan Unsur Kerugian Negara Sebagaimana yang telah dijabarkan sebelumnya bahwa, konstruksi hak imunitas dalam Pasal 27 UU 2/2020 adalah hak imunitas yang memiliki batasan iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Apabila Pasal 27 ayat (1) UU 2/2020 dinilai telah menghilangkan unsur esensial tindak pidana korupsi, yakni “adanya kerugian negara” sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, selanjutnya disebut UU Tipikor , maka perlu ditelaah pula definisi kerugian negara yang menjadi unsur esensial tindak pidana korupsi dalam Pasal 1 angka 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, selanjutnya disebut UU Perbendaharaan Negara . Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor “ Setiap orang yang secara melawan hukum __ melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara… ”

    Thumbnail
    Tidak Berlaku
    KEGIATAN USAHA | PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA
    PP 96 TAHUN 2021

    Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara

    • Ditetapkan: 09 Sep 2021
    • Diundangkan: 09 Sep 2021

    Relevan terhadap

    Pasal 107Tutup
    (1)

    Pemegang IUPK tahap kegiatan Operasi Produksi dapat mengambil dan menggunakan batuan yang terdapat di dalarn WIUPK untuk menunjang kegiatan Usaha Pertambangan. (21 Dalam mengambil dan menggunakan batuan sebagainrana dimaksud pada ayat (1) pemegang IUPK tahap kegiatan Operasi Produk.si wajib:

    a.

    melaporkan pengambilarr dan penggunaan batuan kepada Peinerintah Daeiah kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya; dan

    b.

    mernbayar pajak daerah sesuai dengan ketentuan peraturan pc1 i: n r-lerng-undangan. Paragraf7 . Paragraf ^'7 Perpanjangan Tahap Kegiatan Eksplorasi Izin Usaha Perlambangan Khusus Pasal l08 (1) Pemegang IUPK dapat diberikan persetujuan perpanjangan tahap kegiatan Eksplorasi selama 1 (satu) tahun setiap kali perpanjangan oleh Menteri setelah memenuhi persyaratan. (21 Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

    a.

    surat permohonan;

    b.

    kajian kendala berdasarkan kriteria teknis yang ditentukan;

    c.

    rencana kegiatan dan anggaran biaya Eksplorasi jangka panjang yang dijabarkan dalam tiap semester selama ^jangka waktu oermohonan perpanjangan; dan

    d.

    menempatkan jaminan kesungguhan pelaksanaan kegratan Eksplorasi pada bank pemerintah. (3) Permohonan perpanjangan jangka waktlr kegiatan Eksplorasi diajukan kepada Menteri, paling lambat dalam jangka 'uvaktu 45 (empat puluh lima) hari kalender sebelum ^jangka waktu kegiatan Eksplorasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 berakhir. (4) Menteri dapat menolak permohonan perpanjangan jangka waktu kegiatan Eksplorasi dalam hal berdasarkan hasil evaluasi, pernegang IUPK tidak memenuhi persvaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (5) Penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus disampaikan kepada pemegang IUPK paiing lambat sebelum ^jangka waktu kegiatan Eksplorasi berakhir. (5) Ketentuan lebih ianjut mengenai pemberian jangka waktu perpanjangan tahap kegiatan Eksplorasi ,diatur dalam Peraturan Menteri. Paragraf B Paragraf 8 Perpanjangan Tahap Kegiatan Operasi Produksi Izin Usaha Pertarnbangan Khusus Pasal 109 (1) Jangka waktu kegiatan Operasi Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 huruf a clan huruf b dapat diberikan perpanjangan dengan ketentuan:

    a.

    untuk Pertambangan Mineral logam sebanyak 2 (dua) kali masing-masing 10 (sepuluh) tahun; dan

    b.

    untuk Pertambang,an Batubara sebanyak 2 (dua) kali masing-masing 10 (sepuluh) tahun. , (21 Jangka r,vaktu kegiatan Operasi Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 huruf c dan huruf d yang terintegrasi dengan fasilitas Pengolahan dan/atau Pemurnian sebagaimana dimaksud dalam Pasal gg huruf c atau terintegrasi dengan kegiatan Pengembangan danlatau Pemanlaatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 huruf d dapat diberikan perpanjangan selama 10 (sepuluh) tahun setiap kali perpanjangan. (3) Dalam hal IUPK dimiliki oleh BUMN, jangka waktu kegiatan Operasi Produksi dapat diberikan perpanjangan selama 10 (seputruh) tahun setiap kali perpanjangarr. (41 Permohonan perpanjangan jangka 'x,aktu kegiatan Operasi Produksi untuk Pertambangan Mineral logam atau Batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2i, dan ayat (3) diajukan kepada Menteri paling cepat dalam jangka u,aktu 5 (lima) tahun atau paling Iambat dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sebelum berakhirnya jangka waktu kegiatan Operasi Produksi. (5) Perpanjangan jangka waktu kegiatan Operasi Produksi untuk Pertambangan Mineral logam atau Batubara sebagairrrana dimaksud pada ayat (4) diberikan dengan jangka waktu sesuai sisa jangka waktu IUPK dan sesuai jangka rvaktu perpanjangan. (6) Permohonan perpanjangan jangka waktu kegiatan Operasi Produksi sebagairrrana dimaksud pada ayat (4) paling seo.ikit harus dilengkapi:

    a.

    peta dan batas koordinat wilayah;

    b.

    bukti pelunasan iuran tetap dan iuran produksi 3 (tiga) tahun terakhir;

    c.

    surat keterarrgan fiskal sesuai dengan ketentuan peraturan perLlnciang-undangan di bidang perpalakan;

    d.

    rencana kerja seiama rnasa perpanjanga.n;

    e.

    laporan aktrir kegiatan Operasi Produksi;

    f.

    laporau pelaksanaan pengelolaan lingkungan dan reklamasi; dan

    g.

    nera.ca sumber daya dan cadangan. (7) Menteri memberikan persetujuan permohonan perpanjangan jangka waktu kegiatan Operasi Produksi berdasarkan hasil evaluasi terhadap permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan terhadap kinerja Operasi Produksi, dalam jangka waktu paling lambat sebelum kegiatan Operasi Produksi berakhir. (8) Menteri dapat menolak permohonan perpanjangan jangka waktrr kegiatan Operasi Produksi berdasarkan hasil evaluasi terhadap permohonan sebagaimana dineaksucl pada ayat (6) dan kinerja Operasi Produksi. (9) Penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) harus disampaikan kepada pemegang IUPK disertai dengan alasan penolakan dalam jangka '*,aktu paling lambat sebelurn kegiatan Operasi Produksi berakhir. Pasal 1 10 Pemberian perpanjangan jangka waktu kegiatan Operasi Produksi sebagaimana dimaksrid dalam Pasal 109 ayat (1) harus mempertimbarrgkan jurr'rlah sumber daya dan/atau cadangan sesuai laporan Studi Kelayakan yang disetujui oleh Menteri. Pasal 1 1 1 (1) Kegiatan Operasi Produksi yang terintegrasi dengan fasilitas Pengolahan dan/atau Pemurnian atau Pengembangan dan/atau Pemanfa-atan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 ayat l2l harus mernenuhi kritena:

    a.

    untuk komoclitas Mineral logam terdiri atas:

    i.

    kegiatan Penqolahan dan/atau Pemurnian dilakukan olr: h Badan Usaha pemegang IUPK yang melakukan Penaarbangan; dan

    2.

    memiliki 2. memiliki ketersediaan cadangan untuk memenrrhi kebututran operasional fasilitas Pengolahan dan/atau Pemurnian. b. untuk komoditas Batubara terdiri atas: , 1. kegiatan Pengembangan dan/atau Pemanfaatan dilakukan oleh badan usaha pemegang IUPK yang melakukan Penambangan;

    2.

    memiliki ketersediaan cadangan untuk memenuhi kebutuhan operasional fasilitas kegiatan Pengembangan dan/atau Pemanfaatan; dan

    3.

    memenuhi ketentuan jenis Pengembangan danTatau Pemanfaatan Batubara dan/atau batasan minirnr-rm persentase jumlah Batubara yang diproduksi untuk kegiatan Pengembangan danlatau Pemanfaatan yang ditetapkan oleh Menteri. (21 Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria kegiatan Operasi Produksi yang terintegrasi dengan fasilitas Pengolahan dan/atau Pemurnian atau kegiatan Pengembangan dan/atau Pemanfaatan sebagaimana drmaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri. Pasal 1 12 Dalam hal pemegang IUPK tahap kegiatan Operasi Produksi untuk komoditas Batubara melakukan kegiatan Pengembangan Batubara da.lam bentuk gasifikasi Batubara (coal gasification) termasuk gasifikasi Batubara bawah tanah (underground coal gasificatiorr) atau pencairan Batubara (coal liquefaction), berlaku ketentuan sebagai berikut:

    a.

    kegiatan pengembangan Batubara yang menghasilkan produk anta-ra (i.ntermediate product) dilakukan berdasarkan IUPK tahap kegiatan Operasi Produksi sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini; dan Pasal 1 L3 .

    Thumbnail
    PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK | JENIS DAN TARIF
    PP 28 TAHUN 2019

    Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia ...

    • Ditetapkan: 18 Apr 2019
    • Diundangkan: 18 Apr 2019

    Relevan terhadap

    Pasal 12Tutup

    Cukup ^jelas PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA LAMPIRAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2019 TENTANG JENIS DAN TARIF ATAS JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK YANG BERLAKU PADA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA JENIS DAN TARIF ATAS JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK YANG BERLAKU PADA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA NO. JENIS PNBP SATUAN TARIF I PELAYANAN JASA HUKUM A. BADAN HUKUM 1 Persetujuan Pemakaian Nama Perseroan Terbatas per persetujuan Rp 100.000,00 2 Pengesahan Badan Hukum Perseroan Terbatas a. Modal Dasar banyak Rp25.000.000,00 Puluh Lima Rupiah) paling (Dua Juta per permohonan Rp 200.000,00 b. Modal Dasar lebih dari Rp25.000.000,00 (Dua Puluh Lima Juta Rupiah) sampai dengan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (Satu Miliar Rupiah) per permohonan Rp 500.000,00 c. Moda1 PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -2- NO. JENIS PNBP SATUAN TARIF c. Modal Dasar lebih dari Rp1.0O0.000.000,00 (Satu Miliar Rupiah) per permohonan Rp 1.000.000,00 3 Persetujuan Pemakaian Nama dan Pengesahan Badan Hukum Perseroan Terbatas a. Modal Dasar banyak Rp25.000.000,00 Puluh Lima Rupiah) paling (Dua Juta per permohonan Rp 300.000,00 b. Modal Dasar lebih dari Rp25.000.000,00 (Dua Puluh Lima Juta Rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (Satu Miliar Rupiah) per permohonan Rp 600.000,00 c. Modal Dasar lebih dari Rp 1.000.000.000,00 (Satu Miliar Rupiah) per permohonan Rp 1.100.000,00 4 Persetujuan Perubahan Anggaran Dasar Perseroan Terbatas per permohonan Rp 1.000.000,00 5 Pemberitahuan Perubahan Anggaran Dasar Perseroan Terbatas per surat pemberitahuan a. Modal Dasar banyak Rp25.000.000,00 Puluh Lima Rupiah) paling (Dua Juta per surat pemberitahuan 150.000,00 Rp PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -3- NO. JENIS PNBP SATUAN TARIF b. Modal Dasar lebih ^dari Rp25.000.000,00 ^(Dua Puluh Lima Juta Rupiah) sampai dengan paling banYak Rp1.000.000.000,00 (Satu Miliar RuPiah) per surat pemberitahuan Rp 200.000,00 c. Modal Dasar lebih ^dari Rp 1.000.000.000,00 (Satu Miliar RuPiah) per surat pemberitahuan Rp 250.000,00 6 Pemberitahuan Perubahan Data Perseroan Terbatas a. Modal Dasar banyak Rp25.000.000,00 Puluh Lima Rupiah) paling (Dua Juta per surat pemberitahuan Rp 150.000,00 b. Modal Dasar lebih ^dari Rp25.O00.000,00 ^(Dua Puluh Lima Juta Rupiah) sampai dengan paling banYak Rp1.O00.000.000,00 (Satu Miliar RuPiah) per surat pemberitahuan Rp 200.000,00 c. Modal Dasar lebih ^dari Rp 1.000.000.000,00 (Satu Miliar RuPiah) per surat pemberitahuan Rp 250.000,00 7 Pemberitahuan Perubahan Anggaran Dasar Perseroan Terbatas dan Data Perseroan Terbatas a. Modal ^. PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -4- NO JENIS PNBP SATUAN TARIF a. Modal Dasar banyak Rp25.000.O00,00 Puluh Lima Rupiah) paling (Dua Juta per surat pemberitahuan Rp 150.000,00 b. Modal Dasar lebih dari Rp25.000.000,00 (Dua Puluh Lima Juta Rupiah) sampai dengan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (Satu Miliar Rupiah) per surat pemberitahuan Rp 200.000,00 c. Modal Dasar lebih dari Rp1.000.000.000,00 (Satu Miliar Rupiah) per surat pemberitahuan Rp 250.000,00 8. Pemberitahuan Pembubaran Perseroan Terbatas Tahap Pertama per surat pemberitahuan Rp 250.000,00 9 Pemberian Salinan Keputusan Menteri Mengenai Pengesahan Badan Hukum Perseroan Terbatas yang Hilang atau Rusak per surat keputusan Rp 1.000.000,00 10. Pemberian Salinan Keputusan Menteri Mengenai Persetujuan Perubahan Anggaran Dasar Perseroan Terbatas ^yang Hilang atau Rusak per surat keputusan Rp 1.000.000,00 1 1. Pemberian PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -5- NO. JENIS PNBP SATUAN TARIF 11. Pemberian Salinan Pemberitahuan Perubahan Anggaran Dasar Perseroan Terbatas yang Hilang atau Rusak per surat pemberitahuan Rp 250.000,00 12. Pemberian Salinan Pemberitahuan Perubahan Data Perseroan Terbatas yang Hilang atau Rusak per surat pemberitahuan Rp 250.000,00 13. Pemberian Salinan Pemberitahuan Perubahan Anggaran Dasar Perseroan Terbatas dan Data Perseroan Terbatas Yang Hilang atau Rusak per surat pemberitahuan Rp 250.000,00 14. Informasi tentang ^Data Perseroan Terbatas dalam Daftar Perseroan Terbatas per permohonan per perseroan terbatas Rp 500.000,00 15. Pencarian/Unduh ^(Searchl Downloadl Data Perseroan Terbatas Secara Online per pencarian Rp 50.000,00 16. Persetujuan ^Pemakaian Nama Perkumpulan per persetujuan Rp 100.000,00 17. Pengesahan Akta Pendirian Perkumpulan per permohonan Rp 250.000,00 18. Persetujuan Anggaran Perkumpulan Perubahan Dasar per permohonan Rp 250.000,00 19. Pemberian Salinan Keputusan Menteri Mengenai Pengesahan Perkumpulan yang Hilang atau Rusak per surat keputusan 250.000,00 Rp 20. Pemberian . ^. PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -6- NO. JENIS PNBP SATUAN TARIF 20. Pemberian Salinan Keputusan Menteri Mengenai Persetujuan Perubahan Anggaran Dasar Perkumpulan yang Hilang atau Rusak per surat keputusan Rp 250.000,00 21. Perbaikan Isian Perseroan Terbatas Data per dokumen Rp 250.000,00 22. Perbaikan Isian Data Yayasan dan Perkumpulan per dokumen Rp 100.000,00 23. lnformasi tentang Perkumpulan Data per permohonan per perkumpulan Rp 200.000,00 24. Pencarian/Unduh (Searchl Downloadl Data Perkumpulan Secara Online per pencarlan Rp 50.000,00 25. Persetujuan Nama Yayasan Pemakaian per persetujuan Rp 100.000,oo 26. Pengesahan Akta Pendirian Yayasan a. Kekayaan yang Dipisahkan mulai dari Rp10.000.00O,00 (Sepuluh Juta Rupiah) sampai dengan paling banyak Rp25.000.000,00 (Dua Puluh Lima Juta Rupiah) per permohonan Rp 200.000,00 b. Kekayaan PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -7 - NO. JENIS PNBP SATUAN TARIF b. Kekayaan yang Dipisahkan lebih dari Rp 25.0OO.0OO,00 (Dua Puluh Lima Juta Rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 1.O00.000.000,00 (Satu Miliar Rupiah) per permohonan Rp 300.000,00 c. Kekayaan yang Dipisahkan lebih dari Rp 1.000.000.000,00 (Satu Miliar Rupiah) per permohonan Rp 500.000,00 27. Persetujuan Perubahan Anggaran Dasar Yayasan per permohonan Rp 250.000,00 28. Pemberitahuan Perubahan Anggaran Dasar Yayasan per permohonan Rp 100.000,00 29. Pemberitahuan Perubahan Data Yayasan per surat pemberitahuan Rp 100.000,00 30. Pemberian Salinan Keputusan Menteri Mengenai Pengesahan Yayasan yang Hilang atau Rusak per surat keputusan Rp 250.000,00 31. Pemberian Salinan Keputusan Menteri Mengenai Persetujuan Perubahan Anggaran Dasar Yayasan yang Hilang atau Rusak per surat keputusan Rp 250.000,00 32. Informasi Yayasan Yayasan tentang dalam Data Daftar per permohonan per yayasan 200.000,00 Rp 33. Pencairan . ^. PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -8- NO JENIS PNBP SATUAN TARIF 33. Pencarian/Unduh (Searchl Downloadl Data Yayasan Secara Online per pencarlan Rp 50.000,00 34. Permohonan Pemblokiran Data Perseroan Terbatas, Yayasan, dan Perkumpulan per permohonan Rp 1.000.000,00 35. Permohonan Buka Pemblokiran Data Perseroan Terbatas, Yayasan, dan Perkumpulan per permohonan Rp 500.000,00 36. Pemberitahuan Gadai Saham Perseroan Terbatas per permohonan Rp 500.000,00 B. PERDATA UMUM 1 Legalisasi Tanda yang Tercantum Dokumen Tangan dalam per dokumen Rp 50.000,00 2 Persetujuan Penggunaan Ahli Hukum Warga Negara Asing yang Dipekerjakan pada Kantor Konsultan Hukum Indonesia per orang per tahun Rp 17.000.000,00 3 Persetujuan Perpanjangan Penggunaan Ahli Hukum Warga Negara Asing yang Dipekerjakan pada Kantor Konsultan Hukum Indonesia per orang per tahun Rp 17.000.000,00 4 Permohonan Calon Tersumpah Pengajuan Penerjemah per permohonan Rp 500.000,00 Pengangkatan Penerjemah Tersumpah 5 per orang Rp 2.OO0.000,O0 PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -9 - NO. JENIS PNBP SATUAN TARIF 6 Penyumpahan Penerjemah Tersumpah per orang Rp 2.500.000,00 C. NOTARIAT 1. Permohonan Akses:

    a.

    Pengangkatan Notaris per permohonan Rp 200.000,00 b. Perpindahan Notaris per permohonan Rp 200.000,00 2. Pengangkatan Notaris per orang Rp 1.000.000,00 3 Pengangkatan Pindahan Notaris a. Kategori Daerah A per orang Rp 1O0.000.000,0O b. Kategori Daerah B per orang Rp 50.000.000,00 c Kategori Daerah C per orang Rp 25.000.000,00 d. Kategori Daerah D per orang Rp 1.500.000,00 4 Pemberian Penggantian Surat Keputusan Menteri tentang Pengangkatan Notaris Karena Hilang atau Rusak per orang Rp 1.000.000,00 5 Perpanjangan Jabatan Notaris Masa a. Kategori Daerah A per orang Rp 25.000.000,00 b. Kategori Daerah B per orang Rp 25.000.000,00 c. Kategori Daerah C per orang Rp 15.000.000,00 d. Kategori PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -10- NO. JENIS PNBP SATUAN TARIF d. Kategori Daerah D per orang Rp 7.500.000,00 6 Persetujuan Data (Nama Notaris Perubahan dan Gelar) per permohonan Rp 250.000,00 7 Pelantikan Penyumpahan dan a. Notaris Baru per orang Rp 2.500.000,00 b. Notaris Pengganti per orang Rp 2.500.000,00 c. Notaris Pindahan per orang Rp 2.500.000,00 8 Penerbitan Blanko Cuti Notaris Sertifikat Jabatan per orang Rp 250.000,o0 9 Pencarian/Unduh (Searchl Dounloadl Data Protokol Notaris Secara Online per pencanan Rp 50.000,00 10. Permohonan Penambahan Akses a. Notaris Pengganti per orang Rp 200.000,00 b. Karyawan Kantor Notaris per orang Rp 200.000,00 D. HARTA PENINGGALAN 1 Pelaporan Bulanan Wasiat Terdaftar Secara Online per akta Rp 100.000,00 Pemberian Keterangan Wasiat 2 Surat per surat keterangan wasiat 500.000,00 Rp 3. Pemberian PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA - 11- NO JENIS PNBP SATUAN TARIF 3 Pemberian Salinan Keterangan Wasiat Hilang atau Rusak Surat yang per salinan Rp 500.000,00 4 Informasi Data Secara Online Wasiat per dokumen Rp 250.000,00 5 Permohonan Tanda Terdaftar Sebagai Kurator dan Pengurus per orang per 5 tahun Rp 5.000.000,00 6. Persetujuan Perpanjangan Tanda Terdaftar Sebagai Kurator dan Pengurus per orang per 5 tahun Rp 10.000.000,00 7 Penerbitan Keterangan Sementara Pengurus Surat Perpanjangan Kurator dan per orang Rp 1.000.000,00 8. Pemberian Salinan Tanda Terdaftar Sebagai Kurator dan Pengurus yang Hilang atau Rusak per orang Rp 5.000.000,00 9 Pencarian/Unduh Dounloadl Data Secara Online (Searchl Kurator per pencanan Rp 50.000,00 10. Pemberian Berita Acara dan Salinan Surat a. Berita Penyumpahan Acara 1) Penyumpahan Wali Tidak Ada Harta per berita acara Rp 0,00 2l Penyumpahan Wali yang Ada Harta per berita acara 100.000,00 Rp PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -L2- NO. JENIS PNBP SATUAN TARIF 3) Penyumpahan Pengampuan per berita acara Rp 200.000,00 b. Pembuatan Berita Acara Kehamilan per berita acara Rp 50.000,00 c. Salinan Surat 1) Berita Acara Penghadapan per berita acara Rp 20.000,00 2l Berita Acara Pencatatan Harta Peninggalan/Harta Persekutuan, Harta Kekayaan per berita acara Rp 20.000,00 3) Berita Acara Pembuatan Penyumpahan per berita acara Rp 20.000,00 4) Surat Keterangan Hak Waris per surat keterangan Rp 20.000,00 5) Keterangan Persetujuan kepada Wali/Pengampu untuk Menjual Harta Peninggalan/ Kekayaan per surat keterangan Rp 100.000,00 6) Berita Kehamilan Acara per berita acara Rp 20.000,00 11. Pendaftaran Akta Wasiat per akta Rp 200.000,00 12. Berita Acara Pembukaan dan Pembacaan Wasiat Tertutup/Rahasia per wasiat 500.000,00 Rp 13. Pembuatan. . ^. PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA _ 13_ NO. JENIS PNBP SATUAN TARIF 13. Pembuatan Surat Keterangan Hak Waris per surat Rp 200.000,00 14. Surat Keterangan Persetujuan kePada Wali/Pengampu untuk Menjual Harta Peninggalan/Kekayaan per surat Rp 200.000,00 15. Penjualan dan Penyelesaian Harta Kekayaan Ketidakhadiran, Tidak Terurus, dan Kepailitan a. Penjualan Harta Kekayaan Barang TetaP dan/atau Barang Bergerak per budel 2,5o/o dari Hasil Penjualan b. Penyelesaian Kekayaan dalam hal Harta Soluent 1) Balai Harta Peninggalan Selaku Pelaksana Wali Sementara atau pelaksana Harta Tak Terurus atau Pelaksana Ketidakhadiran per budel 7o/o dari Jumlah Harta Peninggalan 2l Balai PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -t4- NO JENIS PNBP SATUAN TARIF 2) Balai Harta Peninggalan Selaku Pengurus dan Pengelola Harta Kekayaan Ketidakhadiran atau Harta Peninggalan Tidak Terurus dan Pengurusan Berakhir Sebelum Batas Waktu Penyelesaian per budel 3,5o/o dari Jumlah Seluruh Kekayaan lHarta Peninggalan 3) Balai Harta Peninggalan Selaku Wali Pengawas per budel 3,75o/o dari Jumlah Seluruh Harta Peninggalan dan l,5o/o dari Jumlah Hutang Peninggalan 4l Balai Harta Peninggalan Selaku Wali Pengawas dan Pengurusan Berakhir Sebelum Waktunya per budel 2o/o dari Jumlah Kekayaan 16. Kepailitan a. Dalam Hal Berakhir Perdamaian: Kepailitan dengan 1) Nilai Utang sampai dengan RpSO.000.000.O00,00 (Lima Puluh Miliar Rupiah) per budel 5% dari Nilai Utang yang Harus Dibayar PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -15- NO JENIS PNBP SATUAN TARIF 2) Nilai Utang di atas Rp50.000.000.000,0 0 (Lima Puluh Miliar Rupiah) sampai dengan Rp250.000.000.0o0, 00 (Dua Ratus Lima Puluh Miliar Rupiah) per budel 3o/o dari Nilai Utang yang Harus Dibayar 3) Nilai Utang di atas Rp250.000.000.000, O0 (Dua Ratus Lima Puluh Miliar Rupiah) sarnpai dengan Rp50O.000.000.000, 00 (Lima Ratus Miliar Rupiah) per budel 2o/o dari Nilai Utang yang Harus Dibayar 4l Nilai utang di atas Rp500.000.000.000, 0O (Lima Ratus Miliar Rupiah) per budel lVo dari Nilai Utang yang Harus Dibayar b. Dalam Hal Berakhir Pemberesan: Kepailitan dengan 1) Nilai Hasil Pemberesan sampai dengan RpSO.OOO.O00.000,0 O (Lima Puluh Miliar Rupiah) per budel 7,5o/o dari Nilai Hasil Pemberesan di Luar Utang PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -t6- NO. JENIS PNBP SATUAN TARIF 2) Nilai Hasil Pemberesan di atas Rp50.O00.000.00O,0 O (Lima Puluh Miliar Rupiah) sampai dengan Rp25O.000.000.000, 0O (Dua Ratus Lima Puluh Miliar Rupiah) per budel 5,5o/o dari Nilai Hasil Pemberesan di Luar Utang 3) Nilai Hasil Pemberesan di atas Rp250.0oo.00o.000, O0 (Dua Ratus lima Puluh Miliar Rupiah) sampai dengan Rp500.o00.000.000, 00 (Lima Ratus Miliar Rupiah) per budel 3,5o/o dari Nilai Hasil Pemberesan di Luar Utang a) Nilai Hasil Pemberesan di atas Rp500.000.000.000, 00 (Lima Ratus Miliar Rupiah) per budel 2o/o dari Nilai Hasil Pemberesan di Luar Utang c. Dalam Hal Pernyataan Pailit Dibatalkan di Tingkat Kasasi atau Peninjauan Kembali (PK) Besarnya Imbalan Kurator Negara (BHP) Dibebankan Kepada Pemohon Pernyataan Pailit atau kepada Pemohon dan Debitur dalam Perbandingan yang Ditetapkan oleh Majelis Hakim per budel I ^o/o dari Harta Debitur Apabila Debitur sebagai Pemohon atau lo/o dart Tagihan Apabila Kreditur sebagai Pemohon PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -t7- NO JENIS PNBP SATUAN TARIF d. Penjualan Harta ^yang Dikuasai oleh Kreditur Lain atau Kreditur Pemegang Jaminan Kebendaan per budel lo/o dari Hasil Penjualan e. Penyerahan Uang Pihak Ketiga setelah 30 Tahun per budel lOOo/o dari Uang Pihak Ketiga yang Ditetapkan Pengadilan Negeri untuk Diserahkan ke Kas Negara E. FIDUSIA 1 Pendaftaran Fidusia Jaminan a. Untuk Nilai Penjaminan sampai dengan Rp50.000.000,00 (Lima Puluh Juta Rupiah) per sertifikat Rp 50.000,00 b. Untuk Nilai Penjaminan di atas Rp50.000.000,00 (Lima Puluh Juta Rupiah) sampai dengan Rp100.O00.000,00 (Seratus Juta Rupiah) per sertifikat c. Untuk Nilai Penjaminan di atas Rp1OO.0OO.O00,00 (Seratus Juta Rupiah) sampai dengan Rp250.0O0.000,00 (Dua Ratus Lima Puluh Juta Rupiah) per sertifikat Rp 200.000,00 Rp 100.000,00 PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA 18 NO. JENIS PNBP SATUAN TARIF d. Untuk Nilai Penjaminan di atas Rp250.000.0O0,0O (Dua Ratus Lima Puluh Juta Rupiah) sampai dengan Rp500.000.000,00 (Lima Ratus Juta Rupiah) per sertifikat Rp 450.000,00 e. Untuk Nilai Penjaminan di atas Rp5O0.000.000,00 (Lima Ratus Juta Rupiah) sampai dengan Rp1.000.O00.000,00 (Satu Miliar Rupiah) per sertifikat Rp 850.000,00 f. Untuk Penjaminan di atas Rp 1.000.000.00O,00 (Satu Miliar Rupiah) sampai dengan Rp100.0O0.000.000,00 (Seratus Miliar Rupiah) per sertifikat Rp 1.800.000,00 g. Untuk Penjaminan di atas Rp1O0.000.000.000,00 (Seratus Miliar Rupiah) sampai dengan Rp500.O00.000.000,00 (Lima Ratus Miliar Rupiah) per sertifikat Rp 3.500.000,00 h. Untuk atas Penjaminan di Rp5O0.000.O00.0O0,00 (Lima Ratus Miliar Rupiah) sampai dengan Rp 1 .000.000.000.000,0 0 (Satu Triliun Rupiah) per sertifikat Rp 6.800.000,00 PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -19- NO. JENIS PNBP SATUAN TARIF i. Untuk Penjaminan di atas Rp 1 .000.0O0.O00.000,0 0 (Satu Triliun Rupiah) per sertifikat Rp 13.300.000,00 2 Permohonan Perubahan Hal yang Tercantum dalam Sertifikat Jaminan Fidusia per permohonan Rp 250.000,00 3 Pencarian/Unduh Dounloadl Data Secara Online (Searchl Fidusia per pencanan Rp 50.000,00 4 Perbaikan Data Fidusia sesuai Akta yang Bukan Merupakan Nilai Nominal Jaminan per permohonan Rp 50.000,00 F PENGAMBILAN SIDIK JARI UNTUK DIRUMUS 1 Pemberian Keterangan Rumusan dan Identifikasi Sidik Jari Secara Elektronik atau Nonelektronik per orang Rp 50.000,00 2 Permintaan Perumusan Sidik Jari yang Insidentil per orang Rp 50.000,00 G. PARTAI POLITIK 1 Pengesahan Badan Hukum Partai Politik per permohonan Rp 100.000.000,00 2 Perubahan Kepengurusan Partai Politik per permohonan Rp 5.000.000,00 3 Perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Badan Hukum Partai Politik per permohonan Rp 5.000.000,00 4. Pemberian. PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -20' NO. JENIS PNBP SATUAN TARIF 4 Pemberian Salinan Keputusan Menteri Mengenai Pengesahan Badan Hukum Partai Politik yang Hilang atau Rusak per permohonan Rp 5.000.000,00 5 Pemberian Salinan Keputusan Menteri Mengenai Persetujuan Perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Badan Hukum Partai Politik yang Hilang atau Rusak per permohonan Rp 5.000.000,00 6 Pemberian Salinan Keputusan Menteri Mengenai Perubahan Kepengurusan Partai Politik yang hilang atau rusak per permohonan Rp 5.000.000,00 7 Pencarian I Unduh (searchl Dounload) Data Partai Politik Secara Online per pencarlan Rp 50.000,00 H. PEWARGANEGARAAN 1. Pewarganegaraanf Naturalisasi Berdasarkan Permohonan Warga Negara Asing a Perwarganegaraan bagi anak kawin campur atau anak yang lahir di negara lus soli yang tidak memperoleh kewarganegaraan RI Per Permohonan Rp 5.OO0.00O,00 b. Pewarganegaraan PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -21 - NO. JENIS PNBP SATUAN TARIF b. Pewarganegaraan ^bagi anak berkewarganegaraan ganda yang tidak menyatakan memilih menjadi warga negara Indonesia atau tidak menyatakan salah satu kewarganegaraannya Per Permohonan Rp 5.000.000,00 c Pewarganegaraan berdasarkan permohonan dari Warga Negara Asing Per Permohonan Rp 50.000.000,00 2 Pewarganegaraan Berdasarkan Perkawinan per permohonan Rp 15.000.000,00 3 Pemberian Salinan Keputusan Menteri Mengenai Pewarganegaraan Berdasarkan Perkawinan yang Salinannya Rusak atau Hilang per permohonan Rp 1.000.000,00 4 Pewarganegaraan ^Bagi Orang Asing yang Telah Bedasa kepada Negara atau dengan Alasan Untuk Kepentingan Negara per permohonan Rp 2.500.000,00 5 Pencarian/Unduh (Searchl Downloadl Data Pewarganegaraan Secara Online per pencarlan Rp 50.000,00 I. STATUS KEWARGANEGARAAN 1 Permohonan untuk Memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia Bagi Anak Berdasarkart Perkawinan Campuran per permohonan Rp 1.000.000,00 2. Permohonan PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -22- NO. JENIS PNBP SATUAN TARIF 2 Permohonan Salinan Keputusan Menteri Mengenai Kewarganegaraan RePublik Indonesia Bagi ^Anak Berdasarkan Perkawinan Campuran per permohonan Rp 1.000.000,00 3 Permohonan Memilih Kewarganegaraan Republik Indonesia Bagi Anak Berkewarganegaraan Ganda per permohonan Rp 1.000.000,00 4 Permohonan Salinan Keputusan Menteri tentang Menyatakan Memilih Kewarganegaraan ^Bagi Anak Berkewarganegaraan Ganda per permohonan Rp 1.000.000,00 5 Permohonan Memperoleh Kembali Kewarganegaraan Indonesia per permohonan Rp 1.000.000,00 6 Permohonan Salinan Keputusan Menteri tentang Memperoleh Kembali Kewarganegaraan Indonesia per permohonan Rp 1.000.000,00 7 Surat Keterangan tentang Kehilangan Kewarganegaraan Indonesia per permohonan Rp 500.o00,00 8. Permohonan PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -23- NO JENIS PNBP SATUAN TARIF 8 Permohonan Surat Keputusan tentang Kehilangan Kewarganegaraan atas Permohonan Sendiri kepada Presiden Republik Indonesia per permohonan Rp 1.000.000,00 9 Permohonan Surat Keputusan tentang TetaP Menjadi Warga Negara lndonesia per permohonan Rp 1.000.000,00 10. Pemberian Salinan Surat Keputusan tentang TetaP Menjadi Warga Negara Indonesia per permohonan Rp 1.000.000,00 11. Pencarian/Unduh Doutnload) Kewarganegaraan Online (Searchl Data Secara per pencarlan Rp 50.000,00 J PEI{YIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL Pencarian/Unduh (Searchl Dounload) Data Penyidik Pegawai Negeri Sipil Secara Online per pencarlan Rp 50.000,00 K. BADAN USAHA NON BADAN HUKUM 1 Persetujuan Pemakaian Nama Persekutuan Komanditer (Commanditaire Vennootschap) Per Persetujuan Rp 50.ooo,oo PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -24- NO JENIS PNBP SATUAN TARIF 2 Pendaftaran Akta Pendirian Persekutuan Komanditer (Commanditaire Vennootschapl Per Permohonan Rp 100.000,00 3 Pendaftaran Perubahan Anggaran Dasar Persekutuan Komanditer (Commanditaire Vennootschap) Per Permohonan Rp 100.000,00 4 Pemberitahuan Pembubaran Persekutuan Komanditer (Commanditaire Vennootsclwpl Per Surat Pemberitahuan Rp 50.000,00 5 Persetujuan Pemakaian Nama Persekutuan ^Firma Per Persetujuan Rp 50.000,oo 6 Pendaftaran Akta Pendirian Persekutuan Firma Per Permohonan Rp 100.000,00 7 Pendaftaran Perubahan Anggaran Dasar Persekutuan Firma Per Permohonan Rp 100.000,00 8 Pemberitahuan Pembubaran Persekutuan Firma Per Surat Pemberitahuan Rp 50.000,00 9 Persetujuan Pemakaian Nama Persekutuan Perdata Per Persetujuan Rp 50.000,00 10. Pendaftaran Akta ^Pendirian Persekutuan Perdata Per Permohonan Rp 100.000,oo 11. Pendaftaran Perubahan Anggaran Dasar Persekutuan Perdata Per Permohonan Rp 100.000,00 12. Pemberitahuan ^. PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -25' NO JENIS PNBP SATUAN TARIF 12. Pemberitahuan Pembubaran Persekutuan Perdata Per Surat Pemberitahuan Rp 50.000,00 II PENDIDIKAN DAN ^PELATIHAN Pendidikan dan Pelatihan ^Jabatan Fungsional Perancang ^Peraturan Perundang-undangan ^(Minimal ^25 Orang) selama 75 hari per orang Rp 39.500.000,00 III PELAYANAN KEIMIGRASIAN A DOKUMEN PERJALANAN REPUBLIK INDONESIA 1. Paspor Biasa 48 Halaman per permohonan Rp 350.000,00 2 Paspor Biasa 48 Halaman Elektronik per permohonan Rp 650.000,00 3 Surat Pedalanan Laksana Paspor untuk WNI per permohonan Rp 100.000,00 4 Surat Perjalanan Laksana Paspor untuk Orang ^Asing per permohonan Rp 150.000,00 5 Layanan PercePatan Paspor Selesai Pada Hari yang Sama per permohonan Rp 1.000.000,00 B. VISA 1. Visa Kunjungan a. Visa Kunjungan ^sekali Perjalanan per permohonan 50.00 US$ PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -26- NO JENIS PNBP SATUAN TARIF b. Visa Kunjungan Beberapa Kali Perjalanan Dihitung Per Tahun per permohonan US$ 110.00 c. Visa Kunjungan ^Saat Kedatangan per permohonan Rp 500.000,00 2. Visa Tinggal Terbatas a. Visa Tinggal Terbatas per permohonan US$ 150.00 b. Visa Tinggal Terbatas Saat Kedatangan per permohonan Rp 700.000,00 3 Persetujuan Visa Direktur Jenderal Imigrasi per permohonan Rp 200.000,00 C. IZIN KEIMIGRASIAN 1. Izin Kunjungan a. Pemberian Kunjungan Berlaku 30 hari lzin Masa per permohonan Rp 500.000,00 b. Perpanjangan Kunjungan Berlaku 30 hari Izin Masa per permohonan Rp 500.000,00 c. Perpanjangan Kunjungan Berlaku 60 hari lzin Masa per permohonan Rp 750.000,00 2. Izin Tinggal Terbatas a. Izin Tinggal Terbatas Saat Kedatangan per permohonan 750.000,00 Rp b.Izin PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -27 - NO JENIS PNBP SATUAN TARIF b. lzin Tinggal Terbatas Masa Berlaku Paling Lama 6 (Enam) Bulan per permohonan Rp 1.000.000,00 c. Izin Tinggal Terbatas Masa Berlaku Paling Lama 1 (Satu) Tahun per permohonan Rp 1.500.000,00 d. lzin Tinggal Terbatas Masa Berlaku Paling Lama 2 (Dua) Tahun per permohonan Rp 2.000.000,00 e. lzin Tinggal Terbatas Khusus Masa Berlaku Paling Lama 5 (lima) Tahun Khusus ^pada Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) per permohonan Rp 5.000.000,00 f. Pesetujuan lzin Tinggal Terbatas Untuk Pekerja di Perairan Indonesia per permohonan Rp 1.000.000,00 g. Teraan lzin Tinggal Terbatas Untuk Pekerja di Perairan Indonesia per permohonan Rp 300.000,00 3. Izin Tinggal Tetap a. Pemberian lzin Tinggal Tetap Masa Berlaku 5 (Lima) Tahun per permohonan Rp 5.000.000,00 b. Perpanjangan lzin Tinggal Tetap Masa Berlaku 5 (Lima) Tahun per permohonan Rp 5.000.000,00 c. Perpanjangan Tinggal Tetap Jangka Waktu Tidak Terbatas lzin untuk yang per permohonan Rp 10.200.000,00 4.lzin PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA - 28' NO. JENIS PNBP SATUAN TARIF 4 lzin Masuk Kembali ^(Re- Entry Permit) a. lzin Masuk Kembali Masa Berlaku Paling Lama 6 (Enam) Bulan per permohonan Rp 600.000,00 b. lzin Masuk Kembali Masa Berlaku Paling Lama 1 (Satu) Tahun per permohonan Rp 1.000.000,00 c. Izin Masuk Kembali Masa Berlaku Paling Lama 2 (Dua) Tahun per permohonan Rp 1.750.000,00 d. lzin Masuk Kembali Masa Berlaku 5 (Lima) Tahun Khusus ^pada Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) per permohonan Rp 3.250.000,00 D. PNBP KEIMIGRASIAN LAINNYA 1. Biaya Beban a. Orang Asing ^yang Berada di Wilayah Indonesia Melampaui Waktu Tidak lebih dari 60 (Enam Puluh) Hari dari lzin Keimigrasian yang Diberikan per hari Rp 1.000.000,00 b. Penanggung Jawab Alat Angkut yang Tidak Memenuhi Pasal 18 Ayat (1) Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2OIl tentang Keimigrasian per alat angkut Rp 50.000.000,00 c Penanggung PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -29- NO. JENIS PNBP SATUAN TARIF c. Penanggung Jawab Alat Angkut yang Mengangkut Penumpang yang Tidak Memiliki Dokumen Keimigrasian yang Sah dan Berlaku per alat angkut Rp 50.000.000,00 d. Biaya Beban Paspor Hilang per buku Rp 1.000.000,00 e. Biaya Beban Paspor Rusak per buku Rp 500.000,00 f. Biaya Beban Kartu Izin Tinggal Tetap Hilang per kartu Rp 1.000.000,00 g. Biaya Beban KPP APEC Hilang/Rusak per kartu Rp 1.000.000,00 2. Smart Card per permohonan Rp 1.500.000,00 3 Kartu Perjalanan Pebisnis Asia Pacific Economic Cooperation (KPP APEC)/APEC Busfness Trauel Card (ABTC) a. Permohonan Baru KPP APEC per permohonan Rp 2.500.o00,00 b. Penggantian KPP APEC per permohonan Rp 2.500.000,00 4 Fasilitas Keimigrasian (Afidavit) Bagi Anak Berkewarganegaraan Ganda per permohonan Rp 400.000,00 Surat Keimigrasian 5 Keterangan per permohonan 3.000.000,00 Rp PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -30- NO JENIS PNBP SATUAN TARIF IV PELAYANAN INTELEKTUAL KEKAYAAN A HAK CIPTA DAN DESAIN INDUSTRI I Permohonan Pencatatan Ciptaan dan/atau Produk Hak Terkait a Usaha Mikro, Usaha Kecil, Lembaga Pendidikan, dan Lembaga Penelitian dan Pengembangan Pemerintah 1) Secara Elektronik (onlinel per permohonan Rp 200.000,00 2l Secara Nonelektronik (manual) per permohonan Rp 250.000,00 b. Umum 1) Secara Elektronik (online) per permohonan Rp 400.000,00 2) Secara Nonelektronik (manual) per permohonan Rp 500.000,00 2 Permohonan Pencatatan Ciptaan Program Komputer a. Usaha Mikro, Usaha Kecil, Lembaga Pendidikan, dan Lembaga Penelitian dan Pengembangan Pemerintah 1) Secara PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -31 - NO JENIS PNBP SATUAN TARIF 1) Secara Elektronik (onlinel per permohonan Rp 300.000,00 2l Secara Nonelektronik (manual) per permohonan Rp 350.000,00 b. Umum 1) Secara Elektronik (online) per permohonan Rp 600.000,00 2l Secara Nonelektronik (manual) per permohonan Rp 700.000,00 3. Permohonan Pencatatan Pengalihan Hak atas Ciptaan dan/atau Produk Hak Terkait yang Tercatat dalam Daftar Umum Ciptaan per nomor daftar Rp 200.000,00 4. Permohonan Perubahan Nama dan Alamat PenciPta dan/atau Pemilik Hak Terkait yang Tercatat dalam Daftar Umum Ciptaan per nomor daftar Rp 150.000,00 5 Permohonan Petikan Tiap Pencatatan Ciptaan dan/atau Produk Hak Terkait dalam Daftar Umum Ciptaan per nomor daftar Rp 150.000,o0 Permohonan Salinan Surat Pencatatan Ciptaan dan/atau Produk Hak Terkait 6 per nomor daftar 150.000,00 Rp 7. Pencatatan PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -32- NO JENIS PNBP SATUAN TARIF 7 Pencatatan Lisensi atas Ciptaan dan/atau Produk Hak Terkait per permohonan Rp 200.000,00 8 Permohonan Keterangan Tertulis Mengenai Ciptaan dan/atau Produk Hak Terkait yang Tercatat dalam Daftar Umum Ciptaan per permohonan Rp 150.000,00 9 Permohonan Perbaikan Data Permohonan Pencatatan Ciptaan dan/atau Produk Hak Terkait Atas Kesalahan Pemohon (Secara Elektronik atau Nonelektronik) per permohonan hak cipta Rp 150.000,00 10. Permohonan Koreksi Surat Pencatatan Ciptaan dan/atau Produk Hak Terkait Atas Kesalahan Pemohon (Secara Elektronik atau Nonelektronik) per nomor daftar Rp 150.000,00 11. Permohonan Penerbitan lzin Operasional Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) Pencipta dan/atau Hak Terkait Bidang Musik dan Lagu per permohonan Rp 10.000.000,00 12. Permohonan Penerbitan lzir. Operasional Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) Selain Musik dan Lagu per permohonan Rp 5.000.000,00 13. Permohonan PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -33- NO. JENIS PNBP SATUAN TARIF 13. Permohonan Pendaftaran Desain Industri a. Usaha Mikro, Usaha Kecil, Lembaga Pendidikan, dan Lembaga Penelitian dan Pengembangan Pemerintah 1) Secara Elektronik (online) a) Satu industri Desain per permohonan Rp 250.000,00 b) Satu Kesatuan Desain (Set) per permohonan Rp 550.000,00 2) Secara Nonelektronik (Manuatl a) Satu industri Desain per permohonan Rp 300.000,00 b) Satu Kesatuan Desain (Set) per permohonan Rp 600.000,00 b. Umum 1) Secara Elektronik (onlinel a) Satu industri Desain per permohonan Rp 800.000,00 b) Satu Kesatuan Desain (Set) per permohonan 1.250.000,00 Rp 2) Secara PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -34- NO. JENIS PNBP SATUAN TARIF 2) Secara Nonelektronik (Manuatl a) Satu industri Desain per permohonan Rp 1.000.000,00 b) Satu Kesatuan Desain (Set) per permohonan Rp 1.500.000,00 L4. Pengajuan Keberatan atas Permohonan Desain Industri yang Diumumkan a Usaha Mikro, Usaha Kecil, Lembaga Pendidikan, dan Lembaga Penelitian dan Pengembangan Pemerintah per permohonan Rp 150.000,00 b. Umum per permohonan Rp 500.000,00 15. Permohonan Daftar Umum Industri Petikan Desain per nomor daftar Rp 150.000,00 16. Permohonan Dokumen Prioritas Desain Industri per permohonan desain industri Rp 150.000,00 L7. Permohonan Salinan Sertifikat Desain Industri per nomor daftar Rp 200.000,00 18. Pencatatan Pengalihan Hak Desain Industri a. Usaha Mikro, Usaha Kecil, Lembaga Pendidikan, dan Lembaga Penelitian dan Pengembangan Pemerintah per nomor daftar Rp 200.000,oo b. Umum PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -35- NO JENIS PNBP SATUAN TARIF b. Umum per nomor daftar Rp 600.000,00 19. Pencatatan Perjanjian Lisensi Desain Industri per nomor daftar Rp 1.O00.000,00 20. Perubahan Nama dan/atau Alamat Pemegang Hak Desain Industri a. Usaha Mikro, Usaha Kecil, Lembaga Pendidikan, dan Lembaga Penelitian dan Pengembangan Pemerintah per nomor daftar Rp 100.000,00 b. Umum per nomor daftar Rp 300.000,00 21. Pembatalan Industri Desain a Usaha Mikro, Usaha Kecil, Lembaga Pendidikan, dan Lembaga Penelitian dan Pengembangan Pemerintah per permohonan Rp 0 00 b. Umum per permohonan Rp 200.000,00 22. Permohonan Pengumuman Industri Penundaan Desain a. Usaha Mikro, Usaha Kecil, Lembaga Pendidikan, dan Lembaga Penelitian dan Pengembangan Pemerintah per permohonan Rp 0,00 b. Umum PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -36- NO. JENIS PNBP SATUAN TARIF b. Umum per permohonan Rp 400.000,00 23. Pengajuan Keberatan atas Putusan Penolakan Permohonan Desain Industri yang Ditolak Berdasarkan Pasal 2 dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri a Usaha Mikro, Usaha Kecil, Lembaga Pendidikan, dan Lembaga Penelitian dan Pengembangan Pemerintah per permohonan Rp 200.000,00 b. Umum 1) Satu Industri Desain per permohonan Rp 1.000.000,00 2l Satu Kesatuan Desain (Set) per permohonan Rp 1.500.000,00 24. Permohonan Keterangan Tertulis Mengenai Desain Industri Terdaftar per nomor daftar Rp 300.000,00 25. Permohonan Perbaikan Data Permohonan Desain Industri Atas Kesalahan Pemohon (Secara Elektronik atau Nonelektronik) per permohonan Rp 250.000,00 26. Permohonan PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -37 - NO JENIS PNBP SATUAN TARIF 26. Permohonan Perbaikan (Updatel Data Desain Industri Terdaftar Atas Kesalahan Pemohon (Secara Elektronik atau Nonelektronik) per nomor daftar Rp 400.000,00 B PATEN, DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU, DAN RAHASIA DAGANG 1 Permohonan (maksimal 10 (sepuluh) klaim per permohonan) a. Permohonan Paten 1) Usaha Mikro, Usaha Kecil, Lembaga Pendidikan, dan Lembaga Penelitian dan Pengembangan Pemerintah a) Secara Elektronik (onlinel per permohonan Rp 350.000,00 b) Secara Nonelektronik (manual) per permohonan Rp 450.000,00 2) Umum a) Secara Elektronik (online) per permohonan Rp 1.250.000,oo b) Secara Nonelektronik (manual) per permohonan 1.500.000,o0 Rp PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -38- NO JENIS PNBP SATUAN TARIF b Permohonan Sederhana Paten 1) Usaha Mikro, Usaha Kecil, Lembaga Pendidikan, dan Lembaga Penelitian dan Pengembangan Pemerintah a) Secara Elektronik (online) per permohonan Rp 200.000,00 b) Secara Nonelektronik (manual) per permohonan Rp 250.000,o0 2) Umum a) Secara Elektronik (online) per permohonan Rp 800.000,00 b) Secara Nonelektronik (manual) per permohonan Rp 1.250.000,00 2 Biaya Kelebihan Setiap Klaim lebih dari 10 (sepuluh) per klaim Rp 75.O00,00 3 Tambahan Biaya Deskripsi Permohonan yang lebih dari 30 (Tiga Puluh) Halaman per lembar Rp 15.000,00 Biaya Perpanjangan Waktu Pemenuhan Persyaratan dan Kelengkapan Permohonan 4 per permohonan 400.000,00 Rp 5. Percepatan PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -39- NO. JENIS PNBP SATUAN TARIF 5 Percepatan Pengumuman yang Dilaksanakan Segera Setelah 6 (enam) Bulan per permohonan Rp 400.000,00 6 Permohonan Perubahan Data Permohonan Paten atas Kesalahan Pemohon (Secara Elektronik atau Nonelektronik) per permohonan Rp 200.000,00 7 Permohonan Perubahan Data Paten atas Kesalahan Pemohon (Secara Elektronik atau Nonelektronik) per nomor daftar Rp 300.000,00 8 Permohonan Keterangan Terdahulu Surat Pemakai per permohonan Rp 3.000.000,00 9 Permohonan Surat Bukti Hak Prioritas per permohonan Rp 300.000,00 10. Permohonan Surat Keterangan Resmi untuk Memperoleh Contoh Jasad Renik per permohonan Rp 100.000,00 11. Pemeriksaan Substantif a. Permohonan Paten per permohonan Rp 3.O00.000,oo b. Permohonan Sederhana Paten per permohonan Rp 500.000,00 L2. Permohonan Percepatan Pemeriksaan Substantif Patent Pro sectttion Highw ag per permohonan Rp 5.000.000,00 PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA 40 NO JENIS PNBP SATUAN TARIF 13. Biaya Perpanjangan ^Waktu Penyampaian TanggaPan dan/atau Pemenuhan Hasil Pemeriksaan Substantif per permohonan Rp 400.000,00 14. Perubahan Permohonan Paten Jenis per permohonan Rp 450.000,00 15. Permohonan terhadap: Banding a. Penolakan Permohonan per permohonan Rp 3.000.000,00 b. Koreksi atas Deskripsi, Klaim, dan/atau Gambar Setelah Permohonan Diberi Paten per permohonan Rp 3.000.000,00 c Keputusan pemberian Paten per permohonan Rp 3.000.000,00 16. Koreksi Sertilikat Kesalahan Permohonan Disampaikan Pemohon atas Data yang oleh per permohonan Rp 500.000,00 17. Permohonan Penghapusan Sebagian Berupa Pengurangan Klaim atas permohonan pemegang Paten per klaim Rp 150.000,00 18. Permohonan Pencatatan Pengalihan Paten per permohonan Rp 700.000,00 19. Pendaftaran Pencatatan Pedanjian Lisensi per permohonan 1.000.000,00 Rp PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -4t- NO JENIS PNBP SATUAN TARIF 20. Permohonan Pencatatan Lisensi Petikan Perjanjian per permohonan Rp 300.000,00 21. Permohonan Lisensi ^Wajib per permohonan Rp 1.000.000,00 22. Permohonan Petikan ^Daftar Umum Paten per permohonan Rp 300.000,00 23. Permohonan Dokumen Paten Salinan per lembar Rp 20.000,00 24. Biaya Permohonan Penelusuran Paten Dalam Negeri per subyek Rp 500.000,00 25. Biaya (Jasa) Tahunan Pemeliharaan Paten a. Usaha Mikro, Usaha Kecil, Lembaga Pendidikan, dan L,embaga Penelitian dan Pengembangan Pemerintah 1) Tahun Ke- 1 (Tahun Pertama Sejak Tanggal Penerimaan Permohonan Paten) a) Dasar per paten Rp 0 00 b) Biaya Klaim Tiap per klaim Rp 0,00 2l Tahun Ke-2 (Tahun Kedua Sejak Tanggal Penerimaan Permohonan Paten) PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -42- NO JENIS PNBP SATUAN TARIF a) Dasar per paten Rp 0,00 b) Biaya Klaim Tiap per klaim Rp 0,00 3) Tahun Ke-3 ^(Tahun Ketiga Sejak Tanggal Penerimaan Permohonan Paten) a) Dasar per paten Rp 0,00 b) Biaya Klaim Tiap per klaim Rp 0,00 4) Tahun Ke-4 (Tahun Keempat Sejak Tanggal Penerimaan Permohonan Paten) a) Dasar per paten Rp 0,00 b) Biaya Klaim Tiap per klaim Rp 0 t 00 5) Tahun Ke-S ^(Tahun Kelima Sejak Tanggal Penerimaan Permohonan Paten) a) Dasar per paten Rp 0,00 b) Biaya Klaim Tiap per klaim Rp 0 , 00 6) Tahun Ke-6 ^(Tahun Keenam Sejak Tanggal Penerimaan Permohonan Paten) a) Dasar per paten 1.500.000,00 Rp b) Biaya NO. JENIS PNBP SATUAN TARIF b) Biaya Klaim Tiap per klaim Rp 150.000,00 7l Tahun Ke-7 (Tahun Ketujuh Sejak Tanggal Penerimaan Permohonan Paten) a) Dasar per paten Rp 2.000.000,00 b) Biaya Tiap K1aim per klaim Rp 200.000,00 8) Tahun Ke-8 (Tahun Kedelapan Sejak Tanggal Penerimaan Permohonan Paten) a) Dasar per paten Rp 2.000.000,00 b) Biaya Tiap Klaim per klaim Rp 200.000,00 9) Tahun Ke-9 (Tahun Kesembilan Sejak Tanggal Penerimaan Permohonan Paten) a) Dasar per paten Rp 2.500.000,00 b) Biaya Tiap Klaim per klaim Rp 250.000,00 10) Tahun Ke-10 (Tahun Kesepuluh Sejak Tanggal Penerimaan Permohonan Paten) a) Dasar per paten 3.500.000,00 Rp b) Biaya PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -44- NO. JENIS PNBP SATUAN TARIF b) Biaya Tiap Klaim per klaim Rp 250.000,00 11) Tahun Ke-11 (Tahun Kesebelas Sejak Tanggal Penerimaan Permohonan Paten) a) Dasar per paten Rp 5.000.000,00 b) Biaya Tiap Klaim per klaim Rp 250.000,00 12) Tahun Ke-12 (Tahun Kedua Belas Sejak Tanggal Penerimaan Permohonan Paten) a) Dasar per paten Rp 5.000.000,00 b) Biaya Tiap Klaim per klaim Rp 250.000,00 13) Tahun Ke-13 (Tahun Ketiga Belas Sejak Tanggal Penerimaan Permohonan Paten) a) Dasar per paten Rp 5.000.000,00 b) Biaya Tiap Klaim per klaim Rp 250.000,00 14) Tahun Ke-14 (Tahun Keempat Belas Sejak Tanggal Penerimaan Permohonan Paten) a) Dasar per paten Rp 5.000.000,00 b) Biaya Tiap Klaim per klaim 250.000,00 Rp 15) Tahun NO JENIS PNBP SATUAN TARIF 15) Tahun Ke- 15 (Tahun Kelima Belas Sejak Tanggal Penerimaan Permohonan Paten) a) Dasar per paten Rp 5.000.000,00 b) Biaya Tiap Klaim per klaim Rp 250.000,00 16) Tahun Ke-16 (Tahun Keenam Belas Sejak Tanggal Penerimaan Permohonan Paten) a) Dasar per paten Rp 5.000.o00,00 b) Biaya Tiap Klaim per klaim Rp 250.000,00 17) Tahun Ke-17 (Tahun Ketujuh Belas Sejak Tanggal Penerimaan Permohonan Paten) a) Dasar per paten Rp 5.000.000,00 b) Biaya Tiap Klaim per klaim Rp 250.000,00 18) Tahun Ke-18 (Tahun Kedelapan Belas Sejak Tanggal Penerimaan Permohonan Paten) a) Dasar per paten Rp 5.000.000,00 b) Biaya Tiap Klaim per klaim 250.000,00 Rp PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA 46 NO JENIS PNBP SATUAN TARIF 19) Tahun Ke-19 (Tahun Kesembilan Belas Sejak Tanggal Penerimaan Permohonan Paten) a) Dasar per paten Rp 5.000.000,00 b) Biaya Tiap Klaim per klaim Rp 250.000,00 20) Tahun Ke-20 (Tahun Kedua Puluh Sejak Tanggal Penerimaan Permohonan Paten) a) Dasar per paten Rp 5.000.000,00 b) Biaya Tiap Klaim per klaim Rp 250.000,00 b. Umum 1) Tahun Ke-l (Tahun Pertama Sejak Tanggal Penerimaan Permohonan Paten) a) Dasar per paten Rp 1.000.000,00 b) Biaya Tiap Klaim per klaim Rp 75.000,00 2) Tahun Ke-2 (Tahun Kedua Sejak Tanggal Penerimaan Permohonan Paten) a) Dasar per paten Rp 1.000.000,00 b) Biaya Tiap Klaim per klaim 75.000,00 Rp PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -47 - NO JENIS PNBP SATUAN TARIF 3) Tahun Ke-3 (Tahun Ketiga Sejak Tanggal Penerimaan Permohonan Paten) a) Dasar per paten Rp 1.000.000,00 b) Biaya Tiap Klaim per klaim Rp 75.000,00 4l Tahun Ke-4 (Tahun Keempat Sejak Tanggal Penerimaan Permohonan Paten) a) Dasar per paten Rp 1.250.000,00 b) Biaya Tiap Klaim per klaim Rp 100.000,00 5) Tahun Ke-5 (Tahun Kelima Sejak Tanggal Penerimaan Permohonan Paten) a) Dasar per paten Rp 1.250.000,00 b) Biaya Tiap Klaim per klaim Rp 100.000,00 6) Tahun Ke-6 (Tahun Keenam Sejak Tanggal Penerimaan Permohonan Paten) a) Dasar per paten Rp 1.750.000,00 b) Biaya Tiap Klaim per klaim Rp 175.000,oo 7l Tahun Ke-7 (Tahun Ketujuh Sejak Tanggal Penerimaan Permohonan Paten) a) Dasar NO. JENIS PNBP SATUAN TARIF a) Dasar per paten per klaim Rp 2.250.OO0,00 b) Biaya Klaim Tiap Rp 225.000,00 8) Tahun Ke-8 (Tahun Kedelapan Sejak Tanggal Penerimaan Permohonan Paten) a) Dasar per paten Rp 2.25O.OO0,00 b) Biaya KIaim Tiap per klaim Rp 225.000,00 9) Tahun Ke-9 (Tahun Kesembilan Sejak Tanggal Penerimaan Permohonan Paten) a) Dasar per paten Rp 3.000.000,00 b) Biaya Klaim Tiap per klaim Rp 300.000,00 1O) Tahun Ke-10 (Tahun Kesepuluh Sejak Tanggal Penerimaan Permohonan Paten) a) Dasar per paten Rp 4.000.000,00 b) Biaya Klaim Tiap per klaim Rp 300.000,00 11) Tahun Ke-l1 (Tahun Kesebelas Sejak Tanggal Penerimaan Permohonan Paten) a) Dasar per paten Rp 6.500.000,00 b) Biaya PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -49- NO. JENIS PNBP SATUAN TARIF b) Biaya Klaim Tiap per klaim Rp 500.000,00 12) Tahun Ke-12 (Tahun Kedua Belas Sejak Tanggal Penerimaan Permohonan Paten) a) Dasar per paten Rp 6.500.000,00 b) Biaya KIaim Tiap per klaim Rp 500.000,00 13) Tahun Ke-13 (Tahun Ketiga Belas Sejak Tanggal Penerimaan Permohonan Paten) a) Dasar per paten Rp 6.500.000,00 b) Biaya Klaim Tiap per klaim Rp 500.000,00 14) Tahun Ke-14 (Tahun Keempat Belas Sejak Tanggal Penerimaan Permohonan Paten) a) Dasar per paten Rp 6.500.000,00 b) Biaya Klaim Tiap per klaim Rp 500.000,o0 15) Tahun Ke-15 (Tahun Kelima Belas Sejak Tanggal Penerimaan Permohonan Paten) a) Dasar per paten 6.500.000,00 Rp b) Biaya PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -50- NO. JENIS PNBP SATUAN TARIF b) Biaya Klaim Tiap per klaim Rp 500.000,00 16) Tahun Ke-16 (Tahun Keenam Belas Sejak Tanggal Penerimaan Permohonan Paten) a) Dasar per paten Rp 6.500.000,00 b) Biaya Klaim Tiap per klaim Rp 500.000,00 17) Tahun Ke-17 (Tahun Ketujuh Belas Sejak Tanggal Penerimaan Permohonan Paten) a) Dasar per paten Rp 6.500.000,00 b) Biaya Klaim Tiap per klaim Rp 500.000,00 18) Tahun Ke-18 (Tahun Kedelapan Belas Sejak Tanggal Penerimaan Permohonan Paten) a) Dasar per paten Rp 6.500.000,00 b) Biaya Klaim Tiap per klaim Rp 500.000,00 19) Tahun Ke-19 (Tahun Kesembilan Belas Sejak Tanggal Penerimaan Permohonan Paten) a) Dasar PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -51 - NO JENIS PNBP SATUAN TARIF a) Dasar per paten Rp 6.500.000,00 b) Biaya Klaim Tiap per klaim Rp 500.000,00 20) Tahun Ke-2O (Tahun Kedua Puluh Sejak Tanggal Penerimaan Permohonan Paten) a) Dasar per paten Rp 6.500.000,00 b) Biaya Klaim Tiap per klaim Rp 500.000,00 26. Biaya (Jasa) Pemeliharaan Sederhana Tahunan Paten a. Usaha Mikro, Usaha Kecil, Lembaga Pendidikan, dan Lembaga Penelitian dan Pengembangan Pemerintah 1) Tahun Ke- 1 (Tahun Pertama Sejak Tanggal Penerimaan Permohonan Paten) a) Dasar per paten Rp 0,00 b) Biaya Klaim Tiap per klaim Rp 0 00 2) Tahun Ke-2 (Tahun Kedua Sejak Tanggal Penerimaan Permohonan Paten) a) Dasar NO JENIS PNBP SATUAN TARIF a) Dasar per paten Rp 0,00 b) Biaya Klaim Tiap per klaim Rp 0,00 3) Tahun Ke-3 (Tahun Ketiga Sejak Tanggal Penerimaan Permohonan Paten) a) Dasar per paten Rp 0,00 b) Biaya Klaim Tiap per klaim Rp 0,o0 4l Tahun Ke-4 (Tahun Keempat Sejak Tanggal Penerimaan Permohonan Paten) a) Dasar per paten Rp 0,00 b) Biaya Klaim Tiap per klaim Rp 0,00 5) Tahun Ke-S (Tahun Kelima Sejak Tanggal Penerimaan Permohonan Paten) a) Dasar per paten Rp 0,00 b) Biaya Klaim Tiap per klaim Rp 0,00 6) Tahun Ke-6 (Tahun Keenam Sejak Tanggal Penerimaan Permohonan Paten) a) Dasar per paten 1.650.000,00 Rp b) Biaya . NO. JENIS PNBP SATUAN TARIF b) Biaya Klaim Tiap per klaim Rp 50.000,00 7) Tahun Ke-7 (Tahun Ketujuh Sejak Tanggal Penerimaan Permohonan Paten) a) Dasar per paten Rp 2.200.oo0,00 b) Biaya Klaim Tiap per klaim Rp 50.000,00 8) Tahun Ke-S (Tahun Kedelapan Sejak Tanggal Penerimaan Permohonan Paten) a) Dasar per paten Rp 2.7 50.OOO,00 b) Biaya Klaim Tiap per klaim Rp 50.000,00 9) Tahun Ke-9 (Tahun Kesembilan Sejak Tanggal Penerimaan Permohonan Paten) a) Dasar per paten Rp 3.300.000,00 b) Biaya Klaim Tiap per klaim Rp 50.000,00 10) Tahun Ke-10 (Tahun Kesepuluh Sejak Tanggal Penerimaan Permohonan Paten) a) Dasar per paten Rp 3.850.000,00 b) Biaya Klaim Tiap per klaim 50.000,o0 Rp b. Umum PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -54- NO JENIS PNBP SATUAN TARIF b. Umum 1) Tahun Ke-l (Tahun Pertama Sejak Tanggal Penerimaan Permohonan Paten) a) Dasar per paten Rp 750.000,00 b) Biaya Klaim Tiap per klaim Rp 50.000,00 2) Tahun Ke-2 (Tahun Kedua Sejak Tanggal Penerimaan Permohonan Paten) a) Dasar per paten Rp 750.000,00 b) Biaya Klaim Tiap per klaim Rp 50.000,00 3) Tahun Ke-3 (Tahun Ketiga Sejak Tanggal Penerimaan Permohonan Paten) a) Dasar per paten Rp 750.000,00 b) Biaya Klaim Tiap per klaim Rp 50.000,00 4) Tahun Ke-4 (Tahun Keempat Sejak Tanggal Penerimaan Permohonan Paten) a) Dasar per paten Rp 750.000,00 b) Biaya Klaim Tiap per klaim 50.000,00 Rp PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -55- NO. JENIS PNBP SATUAN TARIF 5) Tahun Ke-5 (Tahun Kelima Sejak Tanggal Penerimaan Permohonan Paten) a) Dasar per paten Rp 1.250.000,00 b) Biaya Klaim Tiap per klaim Rp 50.000,00 6) Tahun Ke-6 (Tahun Keenam Sejak Tanggal Penerimaan Permohonan Paten) a) Dasar per paten Rp 1.700.000,00 b) Biaya Klaim Tiap per klaim Rp 50.000,00 7) Tahun Ke-7 (Tahun Ketujuh Sejak Tanggal Penerimaan Permohonan Paten) a) Dasar per paten Rp 2.300.000,00 b) Biaya Klaim Tiap per klaim Rp 50.000,00 8) Tahun Ke-8 (Tahun Kedelapan Sejak Tanggal Penerimaan Permohonan Paten) a) Dasar per paten Rp 2.800.000,00 b) Biaya Klaim Tiap per klaim 50.000,00 Rp PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -56- NO. JENIS PNBP SATUAN TARIF 9) Tahun Ke-9 (Tahun Kesembilan Sejak Tanggal Penerimaan Permohonan Paten) a) Dasar per paten Rp 3.500.000,00 b) Biaya Klaim Tiap per klaim Rp 50.000,00 10) Tahun Ke-10 (Tahun Kesepuluh Sejak Tanggal Penerimaan Permohonan Paten) a) Dasar per paten Rp 4.000.000,o0 b) Biaya Klaim Tiap per klaim Rp 50.000,00 27. Tambahan Biaya Tahunan yang Menggunakan Mekanisme Masa Tenggang Waktu Biaya Tahunan ^+ 100% Biaya Tahunan pada Tahun Pelindungan yang Sama 28. Biaya (Jasa) Administrasi Permohonan Paten Melalui Paten Cooperation Treatg (PCr) per permohonan Rp 1.000.000,00 Rp 5.000.000,00 29. Denda Keterlambatan Permohonan Paten Melalui PCT Fase Nasional Paling Lambat 3 Bulan dikarenakan Unsur Ketidaksengajaan (Unintentional and Do Care) per permohonan 30. Permohonan PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -57 - NO. JENIS PNBP SATUAN TARIF 30. Permohonan Pendaftaran Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu a. Usaha Mikro Usaha Kecil dan per permohonan Rp 400.000,00 b. Umum per permohonan Rp 700.000,00 31. Permohonan Petikan Daftar Umum Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu per permohonan Rp 200.000,00 32. Permohonan Salinan Sertifikat Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu a. Usaha Mikro Usaha Kecil dan per permohonan Rp 100.000,00 b. Umum per permohonan Rp 200.000,00 33. Pencatatan Pengalihan Hak Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu a. Usaha Mikro Usaha Kecil dan per permohonan Rp 250.000,00 b. Umum per permohonan Rp 500.000,00 34. Pencatatan Perjanjian Lisensi Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu a Usaha Mikro Usaha Kecil dan per permohonan Rp 150.000,00 b. Umum per permohonan 250.000,00 Rp 35. Perubahan. ^. NO JENIS PNBP SATUAN TARIF 35. Perubahan Nama dan atau Alamat Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu a. Usaha Mikro Usaha Kecil dan per permohonan Rp 150.000,00 b. Umum per permohonan Rp 250.000,00 36. Pembatalan Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu a Usaha Mikro Usaha Kecil dan per permohonan Rp 0,00 b. Umum per permohonan Rp 200.000,00 37. Pencatatan Pengalihan Hak Rahasia Dagang a. Usaha Mikro Usaha Kecil dan per permohonan Rp 200.o00,00 b. Umum per permohonan Rp 400.000,00 38. Pencatatan Perjanjian Lisensi Rahasia Dagang a Usaha Mikro Usaha Kecil dan per permohonan Rp 150.000,00 b. Umum per permohonan Rp 250.000,00 C MEREK DAN GEOGRAFIS INDIKASI 1. Permohonan Pendaftaran Merek yang diajukan oleh: Usaha Mikro Usaha Kecil a dan PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -59- NO JENIS PNBP SATUAN TARIF 1) Secara (online) Elektronik per kelas Rp 500.000,00 2) Nonelektronik (Manual) per kelas Rp 600.000,00 b. Umum 1) Secara Elektronik (online) per kelas Rp 1.800.000,00 2) Nonelektronik (Manual) per kelas Rp 2.000.000,00 2. Permohonan pendaftaran Merek Internasional berdasarkan Protokol Madrid a Permohonan pendaftaran Merek Internasional Per Kelas CHF t44 b. Perpanjangan Perlindungan Merek lnternasional 1) Dalam ^jangka waktu 6 bulan sebelum atau sampai dengan berakhirnya perlindungan Merek Per Kelas CHF 180 2l Dalam ^jangka waktu 6 bulan setelah berakhirnya perlindungan Merek Per Kelas CHF 360 c. Transformasi Merek Internasional menjadi Merek nasional Per Kelas 2.000.000,00 Rp d. Penggantian PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -60- NO. JENIS PNBP SATUAN TARIF d. Penggantian (Replacement) Merek nasional menjadi merek internasional Per Kelas Rp 1.000.000,00 e Biaya administrasi permohonan pendaftaran Merek Internasional yang berasal dari Indonesia Per permohonan Rp 500.000,00 3. Permohonan Pendaftaran Indikasi Geografis a. Secara (onlinel Elektronik per permohonan Rp 450.000,00 b. Nonelektronik (Manual) per permohonan Rp 500.o00,00 4. Perpanjangan Jangka Waktu Perlindungan Merek a. Dalam Jangka Waktu 6 Bulan Sebelum atau sampai dengan Berakhirnya Perlindungan Merek 1) Usaha Mikro dan Usaha Kecil a) Secara Elektronik (online) per kelas Rp 1.000.000,00 b) Secara Nonelektronik (Manual) per kelas 1.200.000,00 Rp NO. JENIS PNBP SATUAN TARIF 2l Umum a) Secara Elektronik lonlinel per kelas Rp 2.250.OO0,00 b) Secara Nonelektronik (Manual) per kelas Rp 2.500.000,00 b. Dalam Jangka Waktu paling lama 6 bulan setelah Berakhirnya Perlindungan Merek 1 ) Usaha Mikro dan Usaha Kecil a) Secara Elektronik (online) per kelas Rp 2.000.000,00 b) Secara Nonelektronik (Manual) per kelas Rp 2.400.000,00 2l Umum a) Secara Elektronik (onlinel per kelas Rp 4.500.000,00 b) Secara Nonelektronik (Manual) per kelas Rp 5.000.000,00 5. Pengajuan Keberatan atas Permohonan Merek/ Indikasi Geografis per permohonan 1.000.000,00 Rp 6. Permohonan PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -62' NO JENIS PNBP SATUAN TARIF 6. Permohonan Banding Merek/ Indikasi Geografis per permohonan Rp 3.000.000,00 7. Pencatatan Perubahan Nama dan/atau Alamat Pemilik Merek per nomor permohonanl per nomor terdaftar Rp 300.000,00 8. Pencatatan Pengalihan Hak atas Merek per nomor permohonan/ per nomor terdaftar Rp 700.000,00 9. Pencatatan Lisensi Perjanjian per nomor terdaftar Rp 1.000.000,00 10. Permohonan Pencatatan Lisensi Petikan Perjanjian per nomor terdaftar Rp 300.000,00 11. Pencatatan Penghapusan Pendaftaran Merek/ Indikasi Geografi s per nomor terdaftar Rp 200.000,00 12. Pencatatan Perubahan Peraturan Penggunaan Merek Kolektif per nomor terdaftar Rp 300.000,00 13. Permohonan Petikan Resmi Pendaftaran Merek/ Indikasi Geografi s per nomor terdaftar Rp 300.000,00 14. Permohonan Keterangan Tertulis Mengenai Perpanjangan Jangka Waktu Merek Terdaftar per nomor terdaftar Rp 200.000,00 15. Permohonan Tertulis Klasifikasi dan/atau Jasa Keterangan Mengenai Barang per permohonan per kelas 200.000,00 Rp 16. Permohonan PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -63- NO. JENIS PNBP SATUAN TARIF 16. Permohonan Keterangan Tertulis Mengenai Barang dan/atau Jasa Sejenis per permohonan per kelas Rp 200.000,00 17. Perubahan deskripsi Geografis Kesalahan Pemohon Data pada Indikasi karena Penulisan oleh per nomor permohonan Rp 200.000,00 18. Permohonan Perubahan Data Permohonan Merek atau Indikasi Geografis atas Kesalahan Pemohon (Secara Elektronik atau Nonelektronik) per permohonan Rp 200.000,00 19. Permohonan Perubahan Data Merek atau Indikasi Geografis Terdaftar atas Kesalahan Pemohon (Secara Elektronik atau Nonelektronik) per nomor terdaftar Rp 300.000,00 20. Permohonan Prioritas Merek Bukti per nomor permohonan Rp 300.000,00 21. Permohonan Substantif Geografis Pemeriksaan Indikasi per nomor permohonan Rp 1.000.000,00 22. Pencatatan Perubahan Buku Persyaratan Indikasi Geografis per nomor permohonan 200.ooo,o0 Rp 23. Pencatatan PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -64- NO JENIS PNBP SATUAN TARIF 23. Pencatatan Pemakaian Indikasi Geografis per nomor permohonan Rp 750.000,00 D KONSULTAN INTELEKTUAL KEKAYAAN 1 Pendaftaran Konsultan Kekayaan Intelektual per orang Rp 0,00 2 Pengangkatan Konsultan Kekayaan Intelektual per orang Rp 5.OO0.000,00 V PELAYANAN KESEHATAN A RAWAT INAP DAN RAWAT JALAN 1. Administrasi a. Administrasi Inap Rawat per kunjungan Rp 10.000,00 b. Administrasi Jalan Rawat per kunjungan Rp 8.000,00 2. Rawat Inap a. Kelas I per tempat tidur per hari Rp 300.000,00 b. Kelas II per tempat tidur per hari Rp 180.000,00 c. Kelas III per tempat tidur per hari Rp 100.000,00 d. Intensiue Care Unit $CU) per tempat tidur per hari 720.000,00 Rp e. Intermediate PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -65- NO. JENIS PNBP SATUAN TARIF e. Intermediate Care Unit (rMCU) per tempat tidur per hari Rp 520.000,00 f. /solasi per tempat tidur per hari Rp 520.000,00 g. One DaA Care (sampai dengan 12 Jam) per tempat tidur per hari Rp 240.000,00 h. One Day Care (di atas 12 Jam sampai dengan 24 Jam) per tempat tidur per hari Rp 480.000,00 Ruang Bayi I per tempat tidur per hari Rp 100.000,00 j. Inkubator per tempat tidur per hari Rp 80.000,00 k. Ruang Ra*'at Gabung 1) Ruang Rawat Ibu per tempat tidur per hari Rp 200.000,00 2) Ruang Bayi per tempat tidur per hari Rp 100.000,00 3. Rawat Jalan a. Poliklinik Rawat Jalan Spesialis per kunjungan Rp 160.000,00 b. Instalasi/Unit Darurat Gawat 1) Dokter Umum per kunjungan Rp 96.000,00 2) Dokter Spesialis per kunjungan 160.000,00 Rp B. VISITE PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -66- NO. JENIS PNBP SATUAN TARIF B WSITE DOKTER DAN KONSULTASI 1. Visite Rawat Inap a. Kelas I per kunjungan Rp 120.000,00 b. Kelas II per kunjungan Rp 100.000,00 c. Kelas III per kunjungan Rp 60.000,o0 2 Visite di Intensiue Care Unit (rcu) a. Konsulen Sub Spesialis Intensiue Care per kunjungan Rp 400.000,00 b. Konsulen Lainnya Spesialis per kunjungan Rp 240.000,00 c Konsulen Tamu Spesialis per kunjungan Rp 480.000,00 3 Visite di Intermediate Care Unit (IMCU) a Konsulen Sub Spesialis Intensiue Care Unit per kunjungan Rp 240.000,00 b. Konsulen Lainnya Spesialis per kunjungan Rp 160.000,00 4. Konsultasi Gizi a. Rawat Inap 1) Kelas I per konsultasi Rp 56.000,00 2) Kelas II per konsultasi Rp 48.000,00 3) Kelas III per konsultasi 40.000,00 Rp b. Rawat PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -67 - NO. JENIS PNBP SATUAN TARIF b. Rawat Jalan 1) Dewasa per konsultasi Rp 48.000,oo 2) Anak per konsultasi Rp 56.000,00 C. TINDAKAN 1 Tindakan Rawat Inap dan Rawat Jalan a. Vena Sectie per tindakan Rp 400.000,00 b. Water Sealed Drainase (wsD) per tindakan Rp 320.000,00 c. Inhtbasi per tindakan Rp 400.000,00 d. Echo Kardio Graphic (EKG) (t2 Leads) per tindakan Rp 60.000,00 e Pasang Infus Perifer per tindakan Rp 120.000,00 t. Sgringe/ Infusion h.tmp per tindakan Rp 60.000,00 g. Noso Gastric TDbe NGf) per tindakan Rp 120.000,00 h. Monitoring Jantung (5 Parameter: Oz, Tensi, Echo Kardio Graphic (EKG), Respiration Rate, Nadi) per hari Rp 120.000,00 i. Sungkup Oz per tindakan Rp 40.000,00 j. Nebuliz,er per tindakan Rp 72.OOO,OO k. Suction Catheter per tindakan Rp 48.000,00 l. Oral Hggiene per tindakan Rp 80.000,00 m. Perawatan Infus per tindakan 40.000,00 Rp n. Perawatan PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -68- NO. JENIS PNBP SATUAN TARIF n Perawatan Kronis Luka per tindakan Rp 100.000,00 o Pasang Chateter Urine per tindakan Rp 80.000,00 p. Dopler Vaskuler per tindakan Rp 160.000,00 q. Cabut Steril Strip per tindakan Rp 160.000,00 r Suntik Kenacort per tindakan Rp 96.000,00 S. Suntik Adant per tindakan Rp 120.000,00 t Suntik Kalsium/Vitamin per tindakan Rp 48.000,00 u Suntik Musanlar Intra per tindakan Rp 24.000,00 v Suntik Intra Vena per tindakan Rp 40.000,00 w Gula darah sewaktu (GDS) per tindakan Rp 40.000,00 x. Aspirasi Biopsi per tindakan Rp 200.000,00 y. Buginasi Uretra per tindakan Rp 360.000,00 z Ehqinasi Anus per tindakan Rp 240.000,00 aa. Utrasonografi (USG) Urologi 1) Intip (tanpa Print Outl per tindakan Rp 40.000,00 2l Dengan Print Out untuk Ginjal per tindakan 80.000,oo Rp PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -69- NO. JENIS PNBP SATUAN TARIF bb. Jahit Simpul 1) 1-5 Jahitan per tindakan Rp 60.o00,o0 2) 6-10 Jahitan per tindakan Rp 120.000,00 3) ^> 10 Jahitan per tindakan Rp 180.000,00 cc Aff Hecting per tindakan Rp 60.000,00 dd Incisi/Excisi (Benda T\rmor Jinak) per tindakan Rp 400.000,00 ee. Suntik Varises per tindakan Rp 560.000,00 ff. Instilasi Mytomicgn Lewat Catleterke Kandung Kemih per tindakan Rp 160.000,00 oo bb' Pasang Catheter dengan Mandrin per tindakan Rp 160.000,00 hh Injeksi Zoladex/Tapros (Injeksi Kemoterapi Untuk Prostat) per tindakan Rp 80.000,00 ll Ekstrasi Kuku per tindakan Rp 400.000,00 jj. Debridemen per tindakan Rp 320.000,00 kk. Reposisi Tertutup per tindakan Rp 1.600.000,00 11 Pasang Gips Back Slab/ Forslab per tindakan Rp 160.000,00 mm. Uroflowmetri per tindakan Rp 120.000,00 nn Pemasangan Gips per tindakan Rp 240.000,00 oo Lepas Gips Siranler per tindakan 240.000,00 Rp PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA 70 NO JENIS PNBP SATUAN TARIF pp. Suntik Intra Lesi per tindakan Rp 240.000,00 qq. Cabut Wire per tindakan Rp 60.000,00 rr Lepas Catheter per tindakan Rp 40.000,00 SS Resusitasi Kardio htlmoner per tindakan Rp 560.000,00 tt. Oksigen (Oz) maksimum 6 Liter per Menit 1) Pemakaian sampai dengan 6 Jam per tindakan Rp 32.000,00 2) Pemakaian lebih dari 6 Jam sampai dengan 12 Jam per tindakan Rp 48.000,00 3) Pemakaian lebih dari 12 Jam per Hari per tindakan Rp 96.000,00 uu Bilas Lambung per tindakan Rp 76.000,00 w Blader Training per tindakan Rp 85.000,00 ww. Clisma per tindakan Rp 16.000,00 xx. Cukur Gundul per tindakan Rp 80.000,00 vv Melakukan Penis/ Vulua Hygine per tindakan Rp 16.OO0,OO Mengganti Botol Water Sealed Drainase (WSD) zz. per tindakan Rp 20.000,00 aaa. Pengambilan PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -7r- NO. JENIS PNBP SATUAN TARIF aaa. Pengambilan Darah AGD per tindakan Rp 40.000,00 bbb. Perawatan Perianal Fistel per tindakan Rp 40.000,00 ccc. Perawatan lliustomi per tindakan Rp 96.000,00 ddd. Perawatan Catheter per tindakan Rp 68.000,00 eee Perawatan Water Sealed Drainase (wsD) per tindakan Rp 93.000,00 fff. Spoeling Catheter per tindakan Rp 80.000,00 ooo bbD' Spoeling /Vaso Gastric TDbe (NGT) per tindakan Rp 68.000,00 hhh Perawatan Kecil Luka per tindakan Rp 40.000,00 lll Perawatan Sedang Luka per tindakan Rp 60.000,00 JlJ Perawatan Luka Besar dan Sulit per tindakan Rp 128.000,00 kkk Perawatan Besar Luka per tindakan Rp 80.000,00 1u Perawatan Nefrostomi per tindakan Rp 40.000,o0 mmm. Perawatan Sistostomi per tindakan Rp 40.000,00 nnn. Perawatan Urostomi per tindakan Rp 100.00,00 Pemberian Terapi Inj Sub Cutan ooo per tindakan 20.000,00 Rp ppp. Densitometi PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -72- NO JENIS PNBP SATUAN TARIF ppp. Densitometri per tindakan Rp 320.000,00 2 Tindakan Instalasi Gawat Darurat (IGD) a. Pasang Perqttaneus Dilatasional Traceostomy (PDT) per tindakan Rp 3.200.000,00 b. Pemasangan Gips per tindakan Rp 240.000,00 c. Lepas Gips Siranler per tindakan Rp 240.000,00 d. Pasang Traksi Kulit per tindakan Rp 400.000,00 e Pasang Skeletal Traksi per tindakan Rp 1.600.000,00 f. Aff Hecting per tindakan Rp 60.000,00 o b' Incisi/ Excisi (Benda T\rmor) per tindakan Rp 1.600.000,00 h. Perawatan Luka per tindakan Rp 100.000,00 I Ekstraksi Kuku per tindakan Rp 400.000,00 j. Jahit Simpul 1) 1-5 Jahitan per tindakan Rp 60.000,00 21 6-10 Jahitan per tindakan Rp 120.000,00 3) ^>10 Jahitan per tindakan Rp 180.000,00 k. Reposisi Tertutup per tindakan Rp 1.600.000,00 I Pasang Gips Back Slab/ Forslab per tindakan Rp 160.000,00 Gula Darah Sewaktu (GDS) m per tindakan 40.000,00 Rp PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA 73 NO. JENIS PNBP SATUAN TARIF n Observasi Pasien di Gadar 1) Sampai dengan 6 Jam per tindakan Rp 104.000,00 2) Lebih dari 6 Jam sampai dengan 12 Jam per tindakan Rp 160.000,o0 3) Lebih dari 12 Jam per tindakan Rp 320.000,00 o Ventilator 1) Sampai dengan 12 ^jam per tindakan Rp 240.000,00 2) Lebih dari 12 Jam per tindakan Rp 480.000,00 p Vena Sectie per tindakan Rp 1.600.000,00 q Infiibasi per tindakan Rp 400.000,00 r Echo Kardio Graphic (EKG) (t2 Leads) per tindakan Rp 60.000,00 S Pasang Infus Peifer per tindakan Rp 120.000,00 t. Syringe/ Infusion htmp per tindakan Rp 60.000,00 Naso Gastie TUbe (NGr) u per tindakan 120.000,00 Rp PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -74- NO. JENIS PNBP SATUAN TARIF v Monitoring Jantung (5 Parameter: Oz, Tensi, Echo Kardio Graphic (EKG), Respiration Rate, Nadi) per hari Rp 120.000,00 w Sungkup Oz per tindakan Rp 40.000,00 x Nebulizer per tindakan Rp 60.000,00 y. Pasang Catheter Urine per tindakan Rp 80.000,00 z. Suntik Muscular Intra per tindakan Rp 24.000,00 aa. Suntik Intra Vena per tindakan Rp 40.000,00 3 Utrasonografi (USG) Dimensi 4 a. Kelas I per tindakan Rp 520.000,00 b. Kelas II per tindakan Rp 400.000,00 c Kelas III per tindakan Rp 320.000,00 D. MEDICAL CHECK UP 1. Standar (Pria) per orang per paket Rp 720.000,00 2. Standar (Wanita) per paket Rp 800.000,00 3. Uji Kesehatan Karyawan per paket Rp 400.000,00 4. Uji Jantung per paket Rp 560.000,00 Standar Pegawai ke Luar Negeri 5 per paket 960.000,00 Rp E. PENGGUNAAN PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -75- NO. JENIS PNBP SATUAN TARIF E. PENGGUNAAN AMBULANCE 1. Jarak Tempuh a Sampai dengan 10 km paket Rp 96.OO0,00 b 11 km sampai dengan 30 km paket Rp 176.000,00 c 31 km sampai dengan 50 km paket Rp 256.000,00 2 Tambahan per km di atas 50 km per km Rp 9.o00,00 F JASA LAYANAN GIGI DAN MULUT 1 Oral Medicine Diagnosis lOral a. Oral Diagnosis (Pasien Baru) per kunjungan Rp 48.000,00 b Kasus Darurat Gigi (Tidak Termasuk Tindakan yang Dilakukan) per kunjungan Rp 200.000,00 c Konsultasi (Tanpa Dilakukan Tindakan) per kunjungan Rp 160.000,00 d Radiografi Periapikal per lilm Rp 80.000,oo e Radiografi Oklusal per film Rp 80.000,00 f. Ekstra Panoramik Oral per film 120.000,oo Rp g. Perawatan NO JENIS PNBP SATUAN TARIF g b' Perawatan Ulans, Aphtae, Stomatitis per kunjungan Rp 160.000,00 h Perawatan Temporo Mandibular Joint (TMJ), Mgofascial Pain Dgsfunction Sgndrome (MPDS) per kunjungan Rp 160.000,00 Perawatan Neuralgia per kunjungan Rp 240.000,00 J Abses, Perawatan Abses (Konservatif) per kunjungan Rp 200.000,00 k. Diatermi Solux per kunjungan Rp 60.000,00 l. Pemeriksaan Patologi per speslmen Rp 360.000,00 m Pemeriksaan Lengkap (Check Up) Oral Diagnosal Medicine per tindakan Rp 60.000,00 n. Kontrol Kasus Mulut Perawatan Penyakit per tindakan Rp 60.000,00 o Sanitesi Agent Lesi per tindakan Rp 84.000,00 2. Pedodontik a Konsultasi (Tanpa Dilakukan Tindakan) per kunjungan Rp 56.000,00 Tambalan SementaralZink Oxide Eugenol (ZOEI I Deputpin b. per gigi 200.000,oo Rp c. Tambalan 1. PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -77 - NO. JENIS PNBP SATUAN TARIF c Tambalan Komposit Besar per g1g1 Rp 280.000,00 d Tambalan Komposit Kecil per glgl Rp 240.000,00 e Tambalan Ionomer GIass per gigi Rp 240.000,00 f. Tambalan Kompomer per glgl Rp 280.000,00 o b' Pit and Fissure Sealant (F VII) Light Curing (LC) per tindakan Rp 160.000,00 h Pulp Caping lKeping Pulpa per gigi Rp 160.000,00 I Aplikasi Fluor per rahang atas dan rahang bawah Rp 320.000,00 J hilpektomi Akar T\rnggal per grgl Rp 200.000,00 k htlpektomi Ganda Akar per gigi Rp 280.000,00 l. htlpotomii per grgl Rp 400.000,00 m Penambalan Fraktur (Kls I) Gigi Tetap per $91 Rp 240.000,00 Penambalan Fraktur (Kls II) Gigi Tetap n per glgl 400.000,oo Rp o. Penambalan PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA 78 NO JENIS PNBP SATUAN TARIF o Penambalan Fraktur (Kls I) Gigi Sulung per g1g1 Rp 200.000,00 p Penambalan Fraktur (Kls II) Gigi Sulung per gigi Rp 240.000,00 q Penambalan Fraktur (Kls III) Gigi Sulung per glgl Rp 400.000,00 r Penambalan Fraktur (Kls IV) Gigi Sulung per glgl Rp 240.000,00 S. Pengisian Akar Sulung Saluran Tunggal per glgl Rp 320.000,00 t Pengisian Saluran Akar Ganda Sulung per grgr Rp 360.000,00 u Mahkota LogamIStainless Steel Cement per glgl Rp 800.000,00 v Mahkota Seluloid per glgl Rp 560.000,00 w. Crown Loop/ Band Loop per glgl Rp 1.200.000,00 x. Pemasangan Inclined Bite Plane per elemen Rp 1.200.000,00 v Lingual/ Palatal Arch per rahang Rp 1.280.000,00 Alat Ortllo Cekat Fase I z. per rahang Rp 6.400.000,00 aa. Dental PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA 79 SATUAN NO. JENIS PNBP TARIF aa. Dental Health Education (DHE) OP per kunjungan Rp 280.000,00 bb. Alat Ortho Lepas per rahang Rp 1.600.000,00 cc. Splinting Alat Cekat dengan per rahang Rp 1.600.000,00 dd. Scalling gigi per rahang Rp 120.000,00 ee Cabut Gigi Sulung Topikal per g1g1 Rp 240.000,00 ff. Cabut Gigi Sulung dengan Injeksi per $91 Rp 280.000,00 gg. Cabut Gigi Tetap per gigi Rp 400.000,00 hh. Premedikasi per lembar Rp 120.000,00 11 Spece Mainteiner Acrylic per buah Rp 400.000,00 IJ Dental Health Education (DHE) + Oral Prophylaxis Rahang Atas/Rahang Bawah per tindakan Rp 112.000,00 kk. Dental Health Education (DHE) + Oral Prophglaxis + Scalting Rahang Atas/Rahang Bawah per tindakan Rp 160.000,00 Tambalan Fuji IX, FTtji II, Miracle Mix ll per tindakan 136.000,00 Rp mm. Tambalan NO. JENIS PNBP SATUAN TARIF mm Tambalan WarnalGlitter per tindakan Rp 176.000,00 nn Vital Pulpotomi + F x per tindakan Rp 200.000,o0 oo. Mortal htlpotomi + F D( per tindakan Rp 176.000,00 pp. Apexifikasi/ Apexog enesfs per tindakan Rp 132.000,00 qq. Temporary Jacket Crown Acrylic per tindakan Rp 176.000,00 rr Space Maintainer Band/ Crown Loop per tindakan Rp 576.000,00 SS. Plat Orthodonti (Remouablel per rahang Rp 1.600.000,o0 tt. Plat Orthodonti Screw + per tindakan Rp 576.000,o0 uu. Palatal Crib per tindakan Rp 616.000,00 w. Nance per rahang Rp 416.000,00 ww Quad/ ^Bi Appliances Helix per rahang Rp 416.000,00 xx Rapid Palatal Expansion (RPE) per rahang Rp 1.216.000,00 yv Monoblock + Ekps Screw per rahang Rp 576.000,o0 zz. Aktivator/ Bionator per rahang Rp 736.000,00 aaa. Trainer Kelas III per rahang 656.000,00 Rp bbb. Trainer PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -81 - NO JENIS PNBP SATUAN TARIF bbb. Tlainer Kelas I per rahang Rp 496.000,00 ccc Cetak RA/RB per rahang Rp 72.O00,00 ddd. Reparasi Plat Orthodonsi Acrylic per tindakan Rp 60.000,00 eee Reparasi Plat Orthodonsi ^+ Screu.r per tindakan Rp 256.000,00 3. Konservasi a Anesth.esi (Bukan Tindakan Perawatan Saluran Akar/PSA) per ampul Rp 52.500,00 b. Bongkar Restorasi per elemen Rp 105.000,00 c Bongkar Croun/ InlaA/ Onlag per elemen Rp 240.000,00 d Tltmpatan Amalgam 1 Sisi per g1g1 Rp 150.000,00 e Tltmpatan Amalgam 2 Sisi per glgl Rp 180.000,00 f Tltmpatan Amalgam 3 Sisi/ Lebih (Kompleks/ Mesial Oklusal Distal) per glgl Rp 210.000,00 g. GIC II dan IX Kecil per g1g1 150.000,00 Rp h. TUmpatan PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -82- NO. JENIS PNBP SATUAN TARIF h Tilmpatan GIC II dan IX Besar per glgl Rp 180.000,00 I Tltmpatan Resin Magnetic Glass Ionomer Cement (RMGIC) Kecil (GIC Dengan Sinar) per gigi Rp 180.000,00 j Tltmpatan Resin Magnetic Glass Ionomer Cement (RMGIC) Besar (GIC Dengan Sinar) per glgl Rp 210.000,00 k. Tltmpatan Komposit/ Kompomer Cuing) Kecil (Light per glgl Rp 210.000,00 I Tltmpatan Komposit/ Kompomer (Light Curing) Besar per glgl Rp 300.000,00 m. Tltmpatan Onlag Komposit Direk per glgl Rp 510.000,00 n Timpatan Inlay, Onlay Komposit Indirek per g1g1 Rp 900.000,00 o. Tltmpatan Komposit Khusus Estetik Bahan per glgl Rp 450.000,00 Penutupan Ht dan Fisur dengan Komposit p per glgl 180.000,00 Rp q. Inlay . PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -83- NO. JENIS PNBP SATUAN TARIF q Inlag, Onlag Logam Biasa per elemen Rp 720.000,00 r Inlag, Onlag Logam Khusus (Belum Termasuk Harga Logam) per elemen Rp 900.000,00 s Inlag, Porselen Onlag per elemen Rp 1.000.000,00 t. Inlag Targis (Adorol per elemen Rp 900.000,00 u. Labial Veneering Komposit lLayering per elemen Rp 600.000,00 v Labial Porselen Veneering per elemen Rp 1.250.000,00 w. Pin Stabilok per buah Rp 120.000,00 x. Pasak Tuang/ Custom Postcore Inti per gigi Rp 360.000,00 v Pasak Sekrup Ready Made per g1g1 Rp 280.000,00 z. Sementasi Inlag, Onlay/ Crown dengan SIK/ GIC (Sementasi Ulang) per elemen Rp 160.000,00 aa. Sementasi Inlag, Onlag/ Crown dengan Semen Resin/Reftx - 100 (Sementasi Ulang) per elemen Rp 200.000,00 PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -84- NO JENIS PNBP SATUAN TARIF bb. Konsultasi (Tanpa Dilakukan Tindakan) per kunjungan Rp 56.000,00 cc Tambalan Sementara per tindakan Rp 72.OOO,OO dd. Tambalan Amalgam per tindakan Rp 112.000,00 4. Endodontik a. Kaping Pulpa Direk/ Indirek per $91 Rp 200.000,00 b Endodontik Kunjungan T\rnggal 1x Akar per glgl Rp 450.000,00 c Endodontik Kunjungan Ganda 1x Akar per glgl Rp 825.000,00 d Endodontik 1 x Kunjungan dengan Kondisi Khusus (Posisi Sulit/Bengkok) per g1g1 Rp 900.000,00 e Pulpektomil PSA Akar T\rnggal (Kunjungan I) per glgl Rp 240.000,o0 f, Pulpektomil PSA Akar Ganda (Kunjungan I) per g1g1 Rp 360.000,00 Preparasi Saluran Akar T.rnggal (Kunjungan II dst) o b' per glgl 240.000,00 Rp PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -85- NO. JENIS PNBP SATUAN TARIF h Preparasi Saluran Akar Ganda (Kunjungan II dst) per g1g1 Rp 280.000,00 1. Preparasi Saluran Akar Khusus (Akar Bengkok, Posisi sulit) Kunjungan II dst per glgl Rp 360.000,00 j. Retreatment per saluran akar Rp 280.000,00 k. Ganti Obat/Tambalan Sementara Tunggal per g1g1 Rp 200.o00,00 1. Ganti Obat/Tambalan Sementara Ganda per gigi Rp 280.000,00 m. Deuitalisasi Pulpa per g1g1 Rp 200.000,00 n. Pengisian Saluran Akar T\rnggal per glgl Rp 280.000,00 o. Pengisian Saluran Akar Ganda per g1g1 Rp 360.000,00 p. Bleaching Nonvital Gigi per glgr Rp 320.000,00 q Bleaching Gigi Vital Rahang Atas/Rahang Bawah per rahang Rp 1.560.000,00 r Perawatan Absorbsi/PSA dengan MTA per glgl 660.000,00 Rp PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -86- NO. JENIS PNBP SATUAN TARIF S htlpotomi/ Apeksifik asi/ Mumifikasi per kunjungan Rp 200.000,00 t. KontrollPremedikas i per kunjungan Rp 140.000,00 u Tumpatan Sandwich (GIC LC) + per tindakan Rp 184.000,00 v Polishing TUmpatan per tindakan Rp 64.000,00 w. Pin Screw per tindakan Rp 40.o00,00 x Jacket Crown Metal per tindakan Rp 566.400,00 v Jacket Crown Metal Wirron per tindakan Rp 620.000,00 z. Jacket Acrylic Croun per tindakan Rp 276.OOO,OO aa Jacket Crown Metal Acrylic per tindakan Rp 482.000,00 bb Jacket Crown All Porselen per tindakan Rp I .242.OOO,OO cc Jacket Crown Metal Porselen per tindakan Rp 936.000.00 dd Jacket Crotan Porselen Wirron per tindakan Rp 1.356.000,00 ee. Hn Douel per tindakan Rp 376.O00,OO ff. Pin Doutel Wiron per tindakan Rp 476.000,oo gg. Pin Parapost/ Fiber per tindakan 194.000,00 Rp PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -87 - NO. JENIS PNBP SATUAN TARIF hh. Crown Acrylic Proufsons per tindakan Rp 168.000,00 11 Drainase per tindakan Rp 80.000,oo JJ Apeksifikasi T\rnggal per tindakan Rp 120.000,00 kk. Apeksifikasi Ganda per tindakan Rp 144.000,00 11. Fluoridasi/Rahang per tindakan Rp 68.000,00 mm. Pin Fiber/ Resin per tindakan Rp 196.000,00 5. Bedah Endo a. Apikal Kuretase per g1g1 Rp 900.000,00 b Apikoektomi Anterior Gigi per glgl Rp 1.200.000,00 c Apikoektomi Posteior Gigi per gigi Rp 1.800.000,00 d Hemiseksi/ Radisekt omi/ Amputasi Akar per glgr Rp 900.000,00 6. Peiodontik a. Plak Kontrol per kunjungan Rp 160.000,00 b. Scalling Gigi per rahang Rp 120.000,00 c. Kr: ret/ Root Planing per segmen Rp 280.000,00 d. Kuret,/Root Planing per glgl Rp 160.000,00 e Kuret dengan Ties per glgl Rp 360.000,00 f. Ginggiuektomi per segmen 600.000,00 Rp g. Bedah PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -88- NO. JENIS PNBP SATUAN TARIF g. Bedah Flap per segmen Rp 600.000,00 h. Frenektomi per rahang Rp 600.000,00 l. Free Gingiual Graft per gigi Rp 600.000,00 j. Pedicle Graft per $gl Rp 600.000,00 k. Splinting Ligature per segmen Rp 600.000,00 1. Splinting Gigi per reglo Rp 240.000,00 m Splinting Komposite dengan per g1g1 Rp 280.000,00 n Occlusal Adjustment per g1g1 Rp 160.000,o0 o Mouth Guard/ Night Guard per rahang Rp 900.000,00 p Aplikasi Tfeasiolan/ Durafat / ^Desencitizer per gigi Rp 160.000,00 q. Kontrolf Premedikas i per grgl Rp 140.000,00 r Flap dengan GTR per glgl Rp 1.500.000,00 s. Hemiseksi per glgl Rp 900.000,00 t. Amputasi Akar per gigi Rp 900.000,00 Bedah Flap dengan Bone Graft u per segmen 1.750.000,00 Rp v. Obfiirator PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -89- NO. JENIS PNBP SATUAN TARIF v Obfiirator untuk Palatal Graft per segmen Rp 1.200.000,00 w Konsultasi/Pemerik saan Tanpa Tindakan per kunjungan Rp 64.000,00 x. Kontrol Operasi Pasca per tindakan Rp 72.OOO,OO y. Opperanlectomg per tindakan Rp 336.000,00 z. Buka Jahitan per tindakan Rp 64.000,00 7. Prostodontik a Mahkota Jembatan dan 1) Mahkota Metal Keramik per elemen Rp 1.200.000,00 2l Mahkota Akrilik per elemen Rp 720.000,00 3) Mahkota Akrilik dengan Backing Logam per elemen Rp 900.000,00 4l Mahkota Logam Pen: uhllnlag/ Uplag per elemen Rp 750.000,00 5) Emax untuk Gigi Anterior per elemen Rp 2.400.ooo,00 6) Mahkota Ceramic Zirkonia untuk Gigi Anterior per elemen Rp 3.000.000,00 PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -90- NO JENIS PNBP SATUAN TARIF 7l All Porcelin (Zirkonia) Witlt Fiber Reinforced Composite per elemen Rp 3.600.000,00 8) Pasak Sekrup (Sudah Termasuk Built Up Core Gic) per elemen Rp 330.000,00 9) Pasak T\rang per elemen Rp 360.000,00 10) Pasak Fiber per elemen Rp 900.000,00 11) Pin Stabilok per buah Rp 120.000,00 I2l Jembatan dengan Mahkota a) Metal Keramik per unit Rp 1.200,000,0o b) Akrilik per unit Rp 720.000,00 c) Akntik dengan Backing Logam per unit Rp 900.000,00 d) Logam Penuhllnla g/ Uptag per unit Rp 750,000,00 e) Emax untuk Gigi Anterior per unit Rp 2.400.oo0,00 f) Ceramic PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -91 - NO. JENIS PNBP SATUAN TARIF 0 ^Ceramic Zirkonia untuk Gigi Anterior per unit Rp 3.000.000,00 g) All Porcelin (Zirkonia) With Fiber Reinforced Composite per unit Rp 3.600.000,00 13) Sementasi Ulang dengan Semen Resin (Relix - 100)' per elemen Rp 150.000,00 l4l Inlay - Uplag Targis (Adoro) per elemen Rp 900.000,00 15) Inlag Uplog Metal Keramik per elemen Rp 1.200.000,00 16) Reparasi Mahkota Keramik per elemen Rp 600.000.00 l7l Mahkota Lepas (Cementasi Ulang Dengan Sik)/ Gic per elemen Rp 150.000,00 18) Bongkar Crown per elemen Rp 300.000,00 19) Mahkota Sementara (Obseruasi) per elemen Rp 300.000,oo Gigi Sebagian Lepasan Tiruan (Grs) b 1) cTS PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -92- NO JENIS PNBP SATUAN TARIF 1) GTS Logam (Atas/Bawah) Tanpa Elemen Gigi per rahang Rp 1.000.000,o0 2) GTS Logam Unilateral (Saddle) Tanpa Elemen Gigi per rahang Rp 975.000,00 3) GTS Akrilik ^+ Elemen Gigi Pertama per rahang Rp 750.000,00 4) Tambahan per Elemen Gigi Akrilik per elemen Rp 225.000,00 5) Dental D per elemen Rp 1.000.000,00 6) Flexy Denhre ^+ Gigi Pertama per rahang Rp 875.000,00 7) Tambahan Elemen Gigi Flexy Denture per elemen Rp 200.000,00 8) GrS Kombinasi Metal Valplast Tanpa Elemen Gigi per rahang Rp 1.375.000,00 9) Bilateral/ 2 Sadle Rahang per per tindakan Rp 760.000,00 Gigi Tiruan Penuh (GTP) Lepas c 1) GTP PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -93- NO. JENIS PNBP SATUAN TARIF 1) GTP Logam Rahang Atas dan Rahang Bawah per rahang atas dan rahang bawah Rp 2.250.OO0,00 2) GTP Logam Rahang Atas dan Rahang Bawah Kasus Sulit per rahang atas dan rahang bawah Rp 2.7OO.OO0,00 3) GTP Logam Rahang Atas dan Rahang Bawah per rahang Rp 1.200.000,00 4l GTP Logam Rahang Atas dan Rahang Bawah Kasus Sulit per rahang Rp 1.500.o00,00 5) GTP Acrylic Rahang Atas dan Rahang Bawah per rahang atas dan rahang bawah Rp 1.500.000,00 6) cTP Acrylic Rahang Atas dan Rahang Bawah Kasus Sulit per rahang atas dan rahang bawah Rp 2.100.000,00 d GTP Acrylic Rahang Atas dan Rahang Bawah per rahang Rp 1.050.000,00 1) GTP . PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -94- NO. JENIS PNBP SATUAN TARIF 1) cTP Acrylic Rahang Atas dan Rahang Bawah Kasus Sulit per rahang Rp 1.200.000,00 2l GTP Kombinasi Metal - Flexi Denture Rahang Atas dan Rahang Bawah per rahang atas dan rahang bawah Rp 3.300.000,00 3) GTP Kombinasi Metal - Flexi Denhtre Rahang Atas dan Rahang Bawah per rahang Rp 1.800.000,00 e Tindakan Lain untuk Gigi Tiruan 1) Reparasi Gigi Tiruan Akrilik Tanpa Cetak per elemen Rp 250.000,00 2l Reparasi Gigi Tiruan Akrilik dengan Cetak per elemen Rp 350.000,00 3) Tambahan Klamer per elemen Rp 105.000,00 4) Tambahan Elemen Gigi Akrilik per elemen Rp 150.O00,00 5) Relining/ Rebas ing GTP per rahang 350.000,00 Rp PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -95- NO JENIS PNBP SATUAN TARIF 6) Nisht Guard/ Splin TMJ per rahang Rp 750.000,00 7) Splinting Oklusal per rahang Rp 625.000,00 8) Penambahan Basis dengan Soft/ Kooliner per rahang Rp 175.000,00 9) Kontrol/Konsu Itasi (GTS Dibuat di Luar LKG) per kunjungan Rp 150.000,00 10) Penyesuaian Gigi Tiruan/ Dendre Adjusment (Gigi Tiruan Sebagian Dibuat di Luar LKG) per rahang Rp 125.000,00 11) Kontrol/ Konsultasi (Gigi Tiruan Sebagian Dibuat di Luar LKG) Maks Post Insersi 3 Bulan per kunjungan Rp 100.000,00 f. Ma: cilo - Facial 1) Occlusal Guidance (Acrylic) per rahang 750.000,00 Rp PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -96- NO. JENIS PNBP SATUAN TARIF 2l Occlusal Guidance (Logam) per rahang Rp 2.250.OO0,00 3) Feeding Plate per unit Rp 750.000,00 4l Obfitrator (Maksilo Facial) per unit Rp 725.000,00 5) GTL Flexi Bahan Lucitone FRS a) Plat Flexi ^+ 1 Gigi Pertama per tindakan Rp 592.500,00 b) Penambah an Gigi Tiap Elemen per tindakan Rp 108.000,00 6) Bongkar Protlesa Aknhk (1 Bur) per tindakan Rp 100.000,00 7l Bongkar Protlesa Croutn and Bidge (1 Bur) per tindakan Rp 150.000,00 8. Ortodontik a Alat Lepas Ortodontik per paket Rp 2.100.o00,00 Alat Ortodontik Cekat Logam Standart (Rahang Atas dan Rahang Bawah) b per paket 4.750.000,00 Rp c. Alat PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -97 - NO. JENIS PNBP SATUAN TARIF c Alat Ortodontik Cekat Bahan Roth (Rahang Atas dan Rahang Bawah) per paket Rp 5.200.000,00 d Alat Ortodontik Cekat Bahan Composit (Rahang Atas dan Rahang Bawah) per paket Rp 8.400.000,00 e Alat Ortodontik Cekat Bahan Ceramic (Rahang Atas dan Rahang Bawah) per rahang Rp 8.500.000,00 f Alat Ortodontik Cekat Bahan Damonl Kristal (Rahang Atas dan Rahang Bawah) per rahang Rp 12.000.000,00 g. Plat Retainer per rahang Rp 1.400.000,00 h Retainer Cekat dengan Komposit per rahang Rp 1.575.000,00 i Retainer Cekat dengan Bondable Lingual Retainer per rahang Rp 1.750.000,o0 j. Kontrol Alat Cekat per kunjungan Rp 200.000,00 k. Kontrol Alat LePas per kunjungan Rp 140.000,00 1. Headgear Mask Face per rahang Rp 4.200.oo0,00 Reparasi Alat Lepas dengan Cetak m per rahang 420.000,00 Rp n. Ganti. . ^. PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -98- NO. JENIS PNBP SATUAN TARIF n Ganti Braket per buah Rp 120.000,00 o Ganti Ceramic Braket per buah Rp 175.000,00 p. Ganti Band per buah Rp 175.000,00 q. Initial Treatment per rahang Rp 700.000,00 r Debonding Bracket Rahang Atas atau Rahang Bawah per rahang Rp 700.000,00 s Kontrol Emergencg per kunjungan Rp 420.000,00 t. Braket Lepas lebih dari 3 Buah (2 x kontrol) per buah Rp 280.000,00 u Pemasangan Screw Implant Mini per buah Rp 1.050.000,00 v Konsultasi Tanpa Tindakan per kunjungan Rp 66.500,00 w. Actiuator per tindakan Rp 644.000,00 x Orthodonti Fixed Appliance 2 Rahang Lingual per tindakan Rp 15.612.000,00 y. TrainerlTMJ per tindakan Rp 574.000,00 z. Trainer Kls II/Kls III per tindakan Rp 714.000,00 aa Nance Holding Arch per tindakan Rp 434.000,00 Biaya Teknik Gigi Laboratorium 9 a Akrilik l) Partial NO. JENIS PNBP SATUAN TARIF 1) Partial Denhtre ^+ Gigi Pertama per tindakan Rp 76.000,00 2) Tiap Gigi Berikutnya per tindakan Rp 36.000,00 3) F\tll Denfire ^per 1 Rahang per tindakan Rp 296.000,00 4) Jacket Crown Sementara per tindakan Rp 64.000,00 5) Jacket Crown per tindakan Rp 48.000,00 6) Sendok Cetak Perorangan per tindakan Rp 72.OOO,OO b. Flexi 1) Bahan Valplast a) Basis Flexi ^+ 7 Element per tindakan Rp 160.000,00 b) Tiap 1 Gigi Berikutnya per rahang Rp 40.000,00 c) Bilateral/ Free End per unit Rp 192.000,00 2) Bahan Lucitone FRS a) Basis Flexi ^+ 1 Element per tindakan Rp 216.000,00 b) Tiap 1 Gigi Berikutnya per tindakan Rp 48.000,00 c) Bilateral/ Free End per unit 312.O00,00 Rp c. Orthodonsi PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -100- NO JENIS PNBP SATUAN TARIF c Orthodonsi 1) Plat per rahang Rp 96.000,00 2) Plat ^+ Screw Expansi per rahang Rp 128.000,00 d. Reparasi (Akn[k) 1) Patah/Retak per tindakan Rp 56.000,00 2l Penambahan Gigi per elemen Rp 36.000,00 3) Reline per rahang Rp 56.000,00 4) Rebasing Rtll per rahang Rp 96.000,oo 5) Penambahan Klamer per buah Rp 32.000,00 e Croutn and Bridge Porcelain/Keramik l) Jacket Crown per unit Rp 216.000,00 2l Onlay/ Inlay per tindakan Rp 176.000,00 f. Frame Steel/ Metal 1) Stell Saddle per tindakan Rp 216.000,00 2) Steel Bilateral per tindakan Rp 296.000,00 3) Pin Crown Metal per tindakan Rp 72.000,00 4) Jacket Metal Crown per tindakan Rp 112.000,00 5) Onlag/ Inlag Metal per tindakan 104.000,00 Rp G. PENYAKIT PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -101 - NO JENIS PNBP SATUAN TARIF G. PEI\TYAKIT DALAM Tindakan Invasif a Ultrasonografi,/USG Abdomen dan Thyroid 1) Kelas I per tindakan Rp 250.000,00 2l Kelas II per tindakan Rp 220.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 200.000,00 b Biopsi Hepar Guided USG dengan 1) Kelas I per tindakan Rp 2.t76.OO0,00 2) Kelas II per tindakan Rp 1.936.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 1.396.000,00 c Biopsi Ginjal Guided USG dengan 1) Kelas I per tindakan Rp 1.984.000,00 2) Kelas II per tindakan Rp 1.744.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 1.300.000,00 d. Fungsi Asites Guided USG 1) Kelas I per tindakan Rp L .792.OOO,OO 2l Kelas II per tindakan Rp 1.552.000,OO 3) Kelas III per tindakan 1.300.000,00 Rp Aspirasi Limpal USG Abses Ginjal/ Hepar Guided e 1) Kelas I PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -to2- NO. JENIS PNBP SATUAN TARIF 1) Kelas I per tindakan Rp 2.t76.OO0,00 2l Kelas II per tindakan Rp 2.O32.OOO,00 3) Kelas III per tindakan Rp 1.780.000,00 f Pemasangan Double Lumen Catlrcter Akses Hd Dg Guided USG 1) Kelas I per tindakan Rp 1.824.800,00 2) Kelas II per tindakan Rp 2.188.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 1.500.000,00 g. Pemasangan Tunnel Akses Hd Semi Permanen dengan Guided USG 1) Kelas I per tindakan Rp 3.448.000,00 2l Kelas II per tindakan Rp 3.040.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 2.379.600,00 h Pire Needle Aspiration Biopsg (FNAB)i Biopsil Aspirasi Tgroid Guided USG 1) Kelas I per tindakan Rp 674.000,00 2l Kelas II per tindakan Rp 603.100,00 3) Kelas III per tindakan Rp 421.600,00 1. Drainage Catheter Needle Round (DCNR) 1) Kelas I per tindakan Rp 3.136.000,00 2l Kelas II per tindakan 2.896.000,00 Rp PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -103- NO. JENIS PNBP SATUAN TARIF 3) Kelas III per tindakan Rp 2.260.OO0,00 J Perantaneous Transhepatic Biliary Drainage (Tanpa Anestesi ^+ Radiologi) 1) Kelas I per tindakan Rp 6.208.000,00 2l Kelas II per tindakan Rp 5.680.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 5.140.000,00 H TELINGA TENGGOROKAN HIDUNG 1. Audiogram Nada Murni per tindakan Rp 96.000,00 2. Tgmpanometri per tindakan Rp 96.000,00 3. Tes Vestibuler per tindakan Rp 140.000,00 4 Brainstem Response (BERA) Euoked Audiometry per tindakan Rp 276.OOO,OO 5. PemeriksaanFasialis per tindakan Rp 140.000,00 6. Parasentase per tindakan Rp 232.000,00 7. Insisi Abses Retro Aurilula per tindakan Rp 232.000,o0 8 Ekstirpasi Jaringan Granulasi Telinga per tindakan Rp 232.000,oo 9. Biopsi Telinga per tindakan Rp 232.OOO,OO 10. Insisi Abses Perikondrium per tindakan Rp 460.000,00 11. Ekstirpasi Korpus Alineum Telinga per tindakan Rp 184.000,00 12. Serumen Prop per tindakan 96.000,00 Rp 13) Miringobridge PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -104- NO JENIS PNBP SATUAN TARIF 13. Miringobridge per tindakan Rp 460.000,00 14. Laringoscopg Direct per tindakan Rp 320.O00,00 15. Laringoscopg Indirect per tindakan Rp 552.000,00 16. BronchoscopA (Fiber) per tindakan Rp 552.000,00 17. Ekstraksi Korpus Alineum Faring per tindakan Rp 230.000,00 18. Ekstraksi Korpus Alineum Laring per tindakan Rp 552.000,00 19. Insisi Abses Submandibula per tindakan Rp 460.000,00 20. Insisi Abses Peritonsil per tindakan Rp 232.000,00 21. Biopsi Nasofaring NasoendoscopA + per tindakan Rp 460.000,oo 22. Biopsi Rongga Mulut per tindakan Rp 276.OOO,OO 23. Ganti/Cuci KanulTrakea per tindakan Rp 232.000,00 24. Tampon Padat Hidung per tindakan Rp 184.000,00 25. Tampon Belloque per tindakan Rp 460.000,00 26. Irigasi Sinus Maksila per tindakan Rp 460.000,00 27. Ekstraksi Korpus Alineum Hidung per tindakan Rp 184.000,00 28. Biopsi Kanrum NasoendoscopA Nasi per tindakan Rp 460.000,o0 29. Biopsi Kanrum JVasi per tindakan Rp 276.000,OO 30. Tes Alergi per tindakan Rp 232.OOO,OO 31. NasoendoscopA per tindakan 194.000,00 Rp PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -105- NO JENIS PNBP SATUAN TARIF 32. Buka Tampon per tindakan Rp 194.000,00 33. Oto Aanstic Emision (OAE) per tindakan Rp 96.000,00 34. Auditory Steadg Response (ASSR) State per tindakan Rp 480.000,00 35. Paket (Brainstem Electic Response Audiometry (BERA) + Oto Aanstic Emision (OAE) + Auditory Steadg State Response (ASSR) per tindakan Rp 640.000,00 36. Toilet Nasal per tindakan Rp 120.000,00 37. Toilet Telinga per tindakan Rp 120.000,00 38. BronclascopA @iber) per tindakan Rp 640.000,00 I. MATA 1. Pemeriksaan a. Retinometri per tindakan Rp 48.000,00 b. Kampimetri Humpreg per tindakan Rp 160.000,00 c Kampimeti Goldman per tindakan Rp 120.000,00 d. Tonometri Schiotz per tindakan Rp 24.000,00 e Noncontact Tonometry per tindakan Rp 40.000,00 f. Keratometri Biometri dan per tindakan Rp 80.o00,00 g. Autoref per tindakan Rp 40.000,00 h. Opthalmoscope Direct per tindakan Rp 40.000,00 i. Opthalmo scope Indire ct per tindakan 60.000,00 Rp j. Opthalmoscope PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -106- NO. JENIS PNBP SATUAN TARIF J Opthalmoscope Indirect ROP per tindakan Rp 100.000,00 k. AnelTest per tindakan Rp 160.000,00 l. Ultrasonografi (USG) per tindakan Rp 160.000,00 m. Lithiasis per tindakan Rp 80.000,00 n. Epilasi Bulu Mata per mata Rp 80.000,00 o. Ekstraksi Alineum Korpus per tindakan Rp 120.000,00 p. Angkat Jahitan per tindakan Rp 40.000.00 q. Patching per mata Rp 20.000,00 r Irigasi Mata per tindakan Rp 80.000,00 S Optical Coherence Tomography (OCT) per tindakan Rp 600.000,00 t. Retcam per tindakan Rp 600.000,00 u. Gonioskopi per tindakan Rp 60.000,00 v Laser Argon Fotokoagulasi per tindakan Rp 960.000,00 w. Laser Fotokoagalasi Nd Yag per tindakan Rp 960.000,00 2. Tindakan Operasi a Operasi Kecil 1) Kelompok A a) Kelas I per tindakan Rp 840.000,00 b) Kelas II per tindakan 720.000,00 Rp PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -lo7- NO. JENIS PNBP SATUAN TARIF c) Kelas III per tindakan Rp 600.000,00 2l Kelompok B a) Kelas I per tindakan Rp 1.680.000,00 b) Kelas II per tindakan Rp 1.440.000,00 c) Kelas III per tindakan Rp 1.200.000,00 b. Operasi Sedang 1) Kelas I per tindakan Rp 3.400.000,00 2l Kelas II per tindakan Rp 2.900.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 2.400.000,00 c Operasi Besar 1) Kelompok A a) Kelas I per tindakan Rp 5.040.000,00 b) Kelas II per tindakan Rp 4.32O.OO0,00 c) Kelas III per tindakan Rp 3.600.000,00 2) Kelompok B a) Kelas I per tindakan Rp 6.300.000,00 b) Kelas II per tindakan Rp 5.400.000,00 c) Kelas III per tindakan Rp 4.500.000,00 d. Operasi Virektomi Khusus 1) Kelas I per tindakan Rp 9.000.000,00 2l Kelas II per tindakan 7.400.000,00 Rp PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -108- NO. JENIS PNBP SATUAN TARIF 3) Kelas III per tindakan Rp 6.400.000,00 J. KULIT DAN KELAMIN 1. Biopsi Plong a. Kelas I per tindakan Rp 320.000,00 b. Kelas II per tindakan Rp 280.000,00 c. Kelas III per tindakan Rp 240.000,00 2. Biopsi Pisau a. Kelas I per tindakan Rp 400.000,00 b. Kelas II per tindakan Rp 320.000,o0 c. Kelas III per tindakan Rp 280.000,00 3. Cryo Ringan a. Kelas I per tindakan Rp 304.000,00 b. Kelas II per tindakan Rp 240.000,00 c. Kelas III per tindakan Rp 200.000,00 4. Cryo Sedang a. Kelas I per tindakan Rp 480.000,00 b. Kelas II per tindakan Rp 400.000,00 c. Kelas III per tindakan Rp 280.000,00 5. Cryo Berat a. Kelas I per tindakan Rp 560.000,00 b. Kelas II per tindakan 400.000,00 Rp c. Kelas PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -109- NO. JENIS PNBP SATUAN TARIF c. Kelas III per tindakan Rp 280.000,00 6. Insisi a. Kelas I per tindakan Rp 304.000,00 b. Kelas II per tindakan Rp 240.000,00 c. Kelas III per tindakan Rp 200.000,00 7. Electro Cauter (EC) Ringan a. Kelas I per tindakan Rp 304.000,00 b. Kelas II per tindakan Rp 240.000,00 c. Kelas III per tindakan Rp 200.000,o0 8. Electro Cauter (EC) Sedang a. Kelas I per tindakan Rp 560.000,00 b. Kelas II per tindakan Rp 400.000,00 c. Kelas III per tindakan Rp 280.000,00 9. Electro Cauter (EC) Berat a. Kelas I per tindakan Rp 720.000,00 b. Kelas II per tindakan Rp 560.000,00 c. Kelas III per tindakan Rp 400.000,00 10. Bedah Ringan a. Kelas I per tindakan Rp 960.000,00 b. Kelas II per tindakan Rp 800.000,00 c. Kelas III per tindakan 720.000,00 Rp PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA - 110 - NO. JENIS PNBP SATUAN TARIF 11. Bedah Sedang a. Kelas I per tindakan Rp 1.400.000,00 b. Kelas II per tindakan Rp 1.200.000,00 c. Kelas III per tindakan Rp 960.000,00 12. Tes Alergi T\rsuk a. Kelas I per tindakan Rp 480.000,00 b. Kelas II per tindakan Rp 400.000,00 c. Kelas III per tindakan Rp 280.000,00 13. Tes Alergi Tempel a. Kelas I per tindakan Rp 560.000,00 b. Kelas II per tindakan Rp 400.000,00 c. Kelas III per tindakan Rp 280.000,00 14. Laser Ringan a. Kelas I per tindakan Rp 560.000,00 b. Kelas II per tindakan Rp 400.000,00 c. Kelas III per tindakan Rp 280.OOO,00 15. Laser Sedang a. Kelas I per tindakan 800.000,00 Rp PRES I DEN REPUELIK INDONESIA - 111- NO. JENIS PNBP SATUAN TARIF b. Kelas II per tindakan Rp 720,000.00 c. Kelas III per tindakan Rp 560,000.oo 16. Laser Berat a. Kelas I per tindakan Rp 960.000,00 b. Kelas II per tindakan Rp 800.000,00 c. Kelas III per tindakan Rp 720.000,00 17. AFF Jahitan a. Kelas I per tindakan Rp 40.000,00 b. Kelas II per tindakan Rp 36.000,00 c. Kelas III per tindakan Rp 32.000,00 18. Tnkomonas/ Go/ Koh/ Gram a. Kelas I per tindakan Rp 40.000,00 b. Kelas II per tindakan Rp 36.000,00 c. Kelas III per tindakan Rp 32.000,00 19. Jasa Injeksi Kortikosteroid a. Banyak per tindakan Rp 120.000,00 b. Sedang per tindakan Rp 100.000,00 c. Sedikit per tindakan Rp 80.oo0,00 20. Podofilin a. Banyak per tindakan Rp 120.000,00 b. Sedang per tindakan 100.000,00 Rp PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -lr2- NO. JENIS PNBP SATUAN TARIF c. Sedikit per tindakan Rp 80.000,00 21. Chloraethgl Sprag a. Banyak per tindakan Rp 200.000,00 b. Sedang per tindakan Rp 160.000,00 c. Sedikit per tindakan Rp 120.000,00 22. Ekskohleasi a. Banyak per tindakan Rp 240.000,00 b. Sedang per tindakan Rp 200.000,00 c. Sedikit per tindakan Rp 140.000,00 23. Wood's Light a. Kelas I per tindakan Rp 40.000,00 b. Kelas II per tindakan Rp 36.000,00 c. Kelas III per tindakan Rp 32.000,00 24. Basil Tahan Asam (BTA) a. Kelas I per tindakan Rp 40.000,o0 b. Kelas II per tindakan Rp 36.000,00 c. Kelas III per tindakan Rp 32.000,00 25. Facial per tindakan Rp 64.000,00 26. Facial Vit C/ sal per tindakan Rp 96.000,00 27. Peeling AHA/tca sal per tindakan Rp 112.000,00 28. Jessner/Mikro per tindakan 160.000,00 Rp 29. Dermaroler NO. JENIS PNBP SATUAN TARIF 29. Dermaroler per tindakan Rp 2.400.000,00 30. Mesotherapg a Sedang per tindakan Rp 624.000,00 b. Berat per tindakan Rp 720.000,00 31. Botox per tindakan Rp 2.880.000,00 K. NEUROLOGI 1 Electromiographg (Emgl/Maximal Voluntary Contraction (Mcv) a. Kelas I per tindakan Rp 520.000,o0 b. Kelas II per tindakan Rp 440.000,00 c. Kelas III per tindakan Rp 320.000,00 2 Electroencephalogram (EEG) Mapping (4r Chaneltl per tindakan Rp 560.000,00 3 Electroencephalogram (EEG) lI2 Chaneltl per tindakan Rp 200.000,00 4 Injeksi Blok, Injeksi Intra Musculer per tindakan Rp 240.000,00 5 EVOK (Somatosensory Euoked Potential Test (SEP), Motor Sensory Euoked Potential (MEP), Visual Euoked Potential ^(VEP), Brainstem Auditory Euoked Potential (BAEP), CERP) a. Kelas I per tindakan 640.000,00 Rp PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -tt4- NO. JENIS PNBP SATUAN TARIF b. Kelas II per tindakan Rp 520.000,00 c. Kelas III per tindakan Rp 400.000,00 6. Neurobehauior Test a. Kelas I per tindakan Rp 520.000,00 b. Kelas II per tindakan Rp 400.000,00 c. Kelas III per tindakan Rp 300.000,00 7. Akupunktur a. Kelas I per tindakan Rp 188.000,00 b. Kelas II per tindakan Rp 165.600,00 c. Kelas III per tindakan Rp 132.000,00 8. Carotis Dopler a. Kelas I per tindakan Rp 576.000,00 b. Kelas II per tindakan Rp 480.000,00 c. Kelas III per tindakan Rp 384.000,oo 9 Tlanskranial Stimulasi (TMS) Magnetik a. Kelas I per tindakan Rp 984.000,00 b. Kelas II per tindakan Rp 820.000,00 c. Kelas III per tindakan Rp 656.O00,00 L. OBSTETRI DAN GINEKOLOGI 1. TindakanPemeriksaan a. Periksa Hamil per tindakan 140.000,00 Rp b. Periksa PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA - 115 - NO JENIS PNBP SATUAN TARIF b. Periksa Ginekologi per tindakan Rp 160.000,00 c. Pemeriksaan Kolposkopi 1) Kelas I per tindakan Rp 300.000,00 2l Kelas II per tindakan Rp 272.OOO,OO 3) Kelas III per tindakan Rp 256.000,00 d. Secret/ Papsmear 1) Kelas I per tindakan Rp 176.000,00 2) Kelas II per tindakan Rp 160.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 140.000,00 e. Cgro Surgery 1) Kelas I per tindakan Rp 340.000,00 2) Kelas II per tindakan Rp 320.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 300.000,00 f. Mikroluret 1) Kelas I per tindakan Rp 340.000,00 2) Kelas II per tindakan Rp 320.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 300.000,00 g. Inseminasi 1) Kelas I per tindakan Rp 224.OOO,OO 2) Kelas II per tindakan Rp 208.000,00 3) Kelas III per tindakan 192.000,00 Rp PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA - 116 - NO JENIS PNBP SATUAN TARIF h. Hidrotubasi 1) Kelas I per tindakan Rp 272.OOO,OO 2) Kelas II per tindakan Rp 256.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 224.OOO,OO i. Post Coital Test 1) Kelas I per tindakan Rp 192.000,00 2l Kelas II per tindakan Rp 184.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 160.000,00 j. Pasang/Angkat Uterine Deuice (IUD) Intra 1) Kelas I per tindakan Rp 320.000,00 2) Kelas II per tindakan Rp 300.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 272.OOO,OO k. USG Doppler 1) Ke1as I per tindakan Rp 300.000,00 2) Kelas II per tindakan Rp 272.OOO,OO 3) Kelas III per tindakan Rp 256.000,00 l. USG Transuaginal/ Rectal 1) Kelas I per tindakan Rp 240.O00,00 2) Kelas II per tindakan Rp 224.OOO,OO 3) Kelas III per tindakan 208.000,00 Rp m. USG PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -tt7- NO. JENIS PNBP SATUAN TARIF m. USG Abdomen 1) Kelas I per tindakan Rp 192.000,00 2l Kelas II per tindakan Rp 194.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 176.000,00 n. JVon Stress Test ^(NST) dan Cardiotocographg (crG) 1) Kelas I per tindakan Rp 140.000,00 2l Kelas II per tindakan Rp 120.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 100.000,00 o. Non Stress Test ^(NST) dan Optical Coherence Tomographg (OCT) 1) Kelas I per tindakan Rp 280.000,00 2l Kelas II per tindakan Rp 240.000,00 3) Kelas IIi per tindakan Rp 200.000,00 p. Pasang Lamenaria/ Folley Catheter/ Pesaium 1) Kelas I per tindakan Rp 272.OOO,OO 2) Kelas II per tindakan Rp 256.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 208.000,00 2. Tindakan Kebidanan a. Parfits Spontan PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA - 118 - NO JENIS PNBP SATUAN TARIF 1) Kelas I per tindakan Rp 4.920.OO0,00 2) Kelas II per tindakan Rp 4.400.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 3.800.000,00 b. Parfits dengan tindakan 1) Kelas I per tindakan Rp 5.446.400,00 2) Kelas II per tindakan Rp 4.792.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 3.800.000,00 c. Sectio Caesarea 1) Kelas I per tindakan Rp 6.400.000,00 2) Kelas II per tindakan Rp 5.200.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 4.400,000.00 d. Operasi Kecil 1) Kelas I per tindakan Rp 2.652.OO0.00 2) Kelas II per tindakan Rp 2.O76.OO0,00 3) Kelas III per tindakan Rp 1.656.000,00 e. Operasi Sedang 1) Kelas I per tindakan Rp 6.012.000,00 2) Kelas II per tindakan Rp 4.560.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 3.040.000,00 f. Operasi Besar 1) Kelas I per tindakan 9.644.OO0,00 Rp 2) Kelas PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA - 119 - NO. JENIS PNBP SATUAN TARIF 2l Kelas II per tindakan Rp 7.4t2.OO0,00 3) Kelas III per tindakan Rp 5.972.OO0,00 g. Operasi Khusus 1) Kelas I per tindakan Rp 12.688.000,00 2) Kelas II per tindakan Rp 10.456.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 9.t44.OO0,00 M. PARU 1. Spirometri Lengkap a. Kelas I per tindakan Rp 200.000,00 b. Kelas II per tindakan Rp 180.000,00 c. Kelas III per tindakan Rp 160.000,00 2. Peak Flow Meti a. Kelas I per tindakan Rp 68.000,00 b. Kelas II per tindakan Rp 48.000,00 c. Kelas III per tindakan Rp 44.000,00 3 Spirometri + Uji Bronko Dilator (BD) a. Kelas I per tindakan Rp 220.000,00 b. Kelas II per tindakan Rp 192.000,00 c. Kelas III per tindakan Rp 176.000,00 4. Bodgplethgsmograph a. Kelas I per tindakan 1.040.000,00 Rp b. Kelas PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -r20- NO. JENIS PNBP SATUAN TARIF b. Kelas II per tindakan Rp 880.000,00 c. Kelas III per tindakan Rp 760.000,00 5. Astograph a. Kelas I per tindakan Rp 1.040.000,00 b. Kelas II per tindakan Rp 896.000,00 c. Kelas III per tindakan Rp 736.000,00 6. Mantoux Test a. Kelas I per tindakan Rp 144.000,00 b. Kelas II per tindakan Rp 128.000,00 c. Kelas III per tindakan Rp 120.000,00 7 Tlans (rrB) Thorakal Biopsi dengan Fluoroskopi a. Kelas I per tindakan Rp 1.048.000,00 b. Kelas II per findakan Rp 904.000,00 c. Kelas III per tindakan Rp 768.000,00 8 Tlanbroncial Lung Biopsi (rBLB) a. Kelas I per tindakan Rp 2.720.OO0,00 b. Kelas II per tindakan Rp 2.400.oo0,oo c. Kelas III per tindakan 1.520.000,00 Rp Trans Tlarakal Biopsi (TTB) dengan CT Scan 9 PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -L2t- NO JENIS PNBP SATUAN TARIF a. Kelas I per tindakan Rp 1.120.000,00 b. Kelas II per tindakan Rp 1.O00.000,00 c. Kelas III per tindakan Rp 880.000,00 10. Pungsi Pleura a. Kelas I per tindakan Rp 800.000,00 b. Kelas II per tindakan Rp 720.000,00 c. Kelas III per tindakan Rp 560.000,00 1 1. Pungsi Pleura + Biopsi PIeura a. Kelas I per tindakan Rp 1.200.000,00 b. Kelas II per tindakan Rp 1.120.000,00 c. Kelas III per tindakan Rp 960.000,00 12. Pungsi Water (wsD) Pleura Sealed + Mini Drainase a. Kelas I per tindakan Rp 1.160.000,00 b. Kelas II per tindakan Rp 960.000,00 c. Kelas III per tindakan Rp 880.000,00 13. Biopsi Aspirasi Kelenjar a. Kelas I per tindakan Rp 720.000,00 b. Kelas II per tindakan Rp 640.000,00 c. Kelas III per tindakan 480.000,00 Rp 14. Therapg PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -122- NO. JENIS PNBP SATUAN TARIF 14. Therapg Pleurodisis a. Kelas I per tindakan Rp 720.000,o0 b. Kelas II per tindakan Rp 600.000,00 c. Kelas III per tindakan Rp 480.000,00 15. Bronkoskopi ^+ Tindakan a. Kelas I per tindakan Rp 2.720.O00,00 b. Kelas II per tindakan Rp 2.400.000,00 c. Kelas III per tindakan Rp 1.520.000,00 16 Bronkoskopi di Intensiue Care Unit (ICU) a. Kelas I per tindakan Rp 3.200.000,00 b. Kelas II per tindakan Rp 2.880.000,00 c. Kelas III per tindakan Rp 1.912.000,00 17. Torakoskopi a. Kelas I per tindakan Rp 4.880.000,00 b. Kelas II per tindakan Rp 4.480.000,00 c. Kelas III per tindakan Rp 3.720.OO0,O0 N ILMU KESEHATAN ANAK DAN PERINATAL RISIKO TINGGI (IKA DAN PERISTI) 1. Perinatal (Peristi) Risiko Tinggi a. Dokter KonsulenPeristi per tindakan 160.000,00 Rp PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -r23- NO JENIS PNBP SATUAN TARIF b. iVaso Gastric Tibe ^(NGT) per tindakan Rp 80.000,00 c. Intubasi per tindakan Rp 240.000,00 d. Monitoring Jantung ^3 Parameter (Echo Kardio Graphic (EKG), Respiration Rate, Nadi) per hari Rp 80.000,00 e. Sgringe htmp per hari Rp 80.000,00 f. Vena Sectie per tindakan Rp 800.000,00 g. Intra Umbilical per tindakan Rp 200.000,00 h. Infus per tindakan Rp 120.000,00 I Fungsi Lumbal per tindakan Rp 196.000,00 j. Foto Terapi per tindakan Rp 152.O00,00 k. Transfusi T\rkar per tindakan Rp 120.000,00 l. Suction per tindakan Rp 42.400,OO 2. Ilmu Kesehatan Anak a. Infus 1) Kelas I per tindakan Rp 96.000,00 2) Kelas II per tindakan Rp 64.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 56.000,00 b. /Vasogastic Tilbe 1) Kelas I per tindakan Rp 57.600,00 2) Kelas II per tindakan Rp 48.000,00 3) Kelas III per tindakan 43.200,00 Rp c. Infiibasi PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -124- NO. JENIS PNBP SATUAN TARIF c. Infiibasi 1) Kelas I per tindakan Rp 120.000,00 2l Kelas II per tindakan Rp 86.400,00 3) Kelas III per tindakan Rp 72.OOO,OO d. Nebulizer 1) Kelas I per tindakan Rp 48.000,00 2l Kelas II per tindakan Rp 48.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 38.400,00 e. Pungsi Lumbal 1) Kelas I per tindakan Rp 259.200,OO 2) Kelas II per tindakan Rp 249.600,00 3) Kelas III per tindakan Rp 240.000,00 f. Bone Marrow htnchre (BMP) Rp 1) Kelas I per tindakan Rp 264.000,00 2) Kelas II per tindakan Rp 216.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 168.000,00 g. Tes Post Parfitm Depression (PPD) 5 TU 1) Kelas I per tindakan Rp 120.000,00 2l Kelas II per tindakan Rp 86.400,00 3) Kelas III per tindakan 72.000,00 Rp PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -r25- NO JENIS PNBP SATUAN TARIF h. Ganti Darah (Exchange Transfutionl 1) Kelas I per tindakan Rp 1.152.000,00 2) Kelas II per tindakan Rp 1.056.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 960.000,00 I Foto Terapi 1) Kelas I per tindakan Rp 129.600,00 2l Kelas II per tindakan Rp 115.200,00 3) Kelas III per tindakan Rp 100.800,00 j. Kemoterapg 1) Kelas I per tindakan Rp 360.000,00 2) Kelas II per tindakan Rp 336.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 312.000,00 k. Srtction per tindakan Rp 38.400,00 1. Catleter 1) Kelas I per tindakan Rp 81.600,00 2l Kelas II per tindakan Rp 72.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 67.200,OO O. KESEHATAN JIWA 1. Pemeriksaan Kesehatan Jiwa dan Psikologi a. Psikoterapi Individu 1) Kelas I PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -t26- NO. JENIS PNBP SATUAN TARIF 1) Kelas I per tindakan Rp 240.000,00 2) Kelas II per tindakan Rp 220.OOO,OO 3) Kelas III per tindakan Rp 120.000,00 b. Psikoterapi Kelompok 1) Kelas I per tindakan per orang Rp 200.000,00 2) Kelas II per tindakan per orang Rp 160.000,00 3) Kelas III per tindakan per orang Rp 136.000,00 c. Terapi Kejang Listrik Electro Conuultion Tlerapg (ECT) 1) Kelas I per tindakan Rp 200.000,00 2) Kelas II per tindakan Rp 164.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 152.000,00 d. Pemeriksaan Psikometri 1) Kelas I per tindakan Rp 200.000,00 2l Kelas II per tindakan Rp 160.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 120.000,00 e. Hipnoterapi per tindakan Rp 240.O00,00 2. Tarif Pemeriksaan Psikologi a Konsultasi Psikologi per kunjungan Rp 80.000,00 b. Evaluasi/Psikologi per kunjungan 200.000,00 Rp PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -t27- NO. JENIS PNBP SATUAN TARIF c Tes Intelegensia (IQ) per paket per orang Rp 128.000,00 d. Tes Bakat per tindakan Rp 160.000,00 e. Seleksi Sarjana per paket per orang Rp 160.000,00 f. Seleksi Nonsarjana per paket per orang Rp 120.000,00 g. Tes Kematangan Sekolah per paket per orang Rp 160.000,00 h. Psikotest per paket per orang Rp 120.000,00 I Individual (Test ^+ Lap Singkat) per paket per orang Rp 160.000,00 j. Tes Kepribadian per paket per orang Rp 160.000,00 k. Tes Bakat, Minat, lntelegensi per paket per orang Rp 240.000,00 1. Tes Karyawan Lengkap per paket per orang Rp 280.000,00 P. REHABTLITASI MEDIK 1. Fisioterapi a. Terapi Latihan di Rawat Inap 1) Kelas I per tindakan 104.000,00 Rp 2) Kelas PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -t28- NO. JENIS PNBP SATUAN TARIF 2) Kelas II per tindakan Rp 96.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 80.000,o0 b. Terapi Latihan di Rawat Jalan 1) Manual Muscle Test per tindakan Rp 32.000,00 2l Manipulasi/ Massage / ^Exercise per tindakan Rp 40.000,00 c. Terapi Elektrik 1) Standing Table per tindakan Rp 32.000,00 2) Diathermi per tindakan Rp 32.000,00 3) Utra Sound per tindakan Rp 32.000,00 4) Electrical Simulasi per tindakan Rp 32.000,00 5) Transqttaneous Electro Nerue Stimulation (Tens) per tindakan Rp 32.000,00 6) Hot Pack per tindakan Rp 28.000,00 7l Cold Pack per tindakan Rp 28.000,00 8) Traksi Ceruical per tindakan Rp 32.000,00 9) Traksi Lumbal per tindakan Rp 32.000,00 10) Parafin Bath per tindakan Rp 28.000,00 11) Infra Red per tindakan Rp 32.000,00 I2l Utra Violet (UY) per tindakan Rp 32.000,00 13) Oscilator per tindakan 64.000,00 Rp d. Pelayanan. . ^. PRES I DEN REPI.JBLIK INDONESIA -r29- NO JENIS PNBP SATUAN TARIF d. Pelayanan Khusus 1) Sinusitis per tindakan Rp 40.000,00 2l Sinusitis dan T\rba Cathar per paket Rp 60.000,00 3) Adneksitis per tindakan Rp 40.000,00 4l Bell's Palsg per tindakan Rp 80.000,00 5) Stroke (Infra Red Rays (IRR) dan Exercisel per paket Rp 120.000,00 6) Cerebral Palsy Berat per tindakan Rp 72.000,00 7l Cerebral Ringan Palsg per tindakan Rp 60.000,00 8) Manual Lgmph Drainage Vodder (MLDV) Ringan per tindakan Rp 80.000,00 9) Manual Lymph Drainage Vodder (MLDV) Berat per tindakan Rp 120.000,00 10) Nebulizer Obat) (Tanpa per tindakan Rp 32.000,00 11) Nebulizer, Infra Red Rays (IRR), dan Chest Physioterapi per paket Rp 60.000,00 t2l IRR dan Chest Phgsioterapi per paket Rp 40.000,00 13) Paket 2 Modalitas per paket Rp 60.000,00 14) Paket 3 Modalitas per paket 80.000,00 Rp 15) Paket. . ^. NO. JENIS PNBP SATUAN TARIF 15) Paket 4 Modalitas per paket Rp 100.000,00 16) Paket 5 Modalitas per paket Rp 120.000,00 17) Paket 6 Modalitas per paket Rp 160.000,00 18) Paket 7 Modalitas per paket Rp 200.000,00 19) Continuous Passiue Mouement (CPM) per tindakan Rp 64.000,00 e. Fisioterapi Anak 1) Latihan Berat per tindakan Rp 86.400,00 2) Latihan Sedang per tindakan Rp 76.800,00 3) Latihan Ringan per tindakan Rp 62.400,OO 4l Latihan Paru Kondisi per tindakan Rp 62.400,OO f. Hgdroterapi per tindakan Rp 200.000,00 g. Ggmnasium per paket Rp 120.000,00 h. Fitness and Aerobic 1) Anggota (Member) a) Perorangan (1) Per Bulan per paket Rp 144.000,00 (2) Per 3 Bulan per paket Rp 384.000,00 (3) Per 6 Bulan per paket Rp 720.000,00 (4) Per 9 Bulan per paket 1.344.000,00 Rp b) Group PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -131 - NO JENIS PNBP SATUAN TARIF b) Group (1 1 sampai dengan 20 Orang) per kelompok per bulan Rp 120.000,00 c) Group (lebih dari 20 Orang) per kelompok per bulan Rp 115.200,00 2) Nonanggota Member) (Non per orang per kunjungan Rp 19.200,00 l. spa 1) Bodg a) Traditional Massage per paket Rp 57.600,00 b) Massage, Steam, Scntb per paket Rp 86.400,00 c) Massage, Steam, Scrub, Masker Body per paket Rp 115.200,00 d) Massage, Steam, Scrub, Masker Bodg Herbal/ Milk Bath (Complete Bodg Treatment) per paket Rp 144.000,00 e) Complete Bodg ^+ Jaanssi per paket Rp 168.000,00 0 ^Jaanssi per tindakan Rp 38.400,00 g) Woxing Ketiak per tindakan Rp 48.000,00 h) Waxing Kaki per tindakan 76.800,00 Rp PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -t32- NO JENIS PNBP SATUAN TARIF i) Waxing Tangan per tindakan Rp 76.800,00 2) Facial a) Facial Refresher + Masker per paket Rp 49.000,00 b) Facial Antiacne ^+ Masker per paket Rp 67 .200,OO c) Facial Lifting ^+ Masker per paket Rp 86.400,00 d) Totok Wajah per tindakan Rp 28.800,00 e) Totok Wajah ^+ Masker per paket Rp 48.000,00 0 ^Masker ^Mata per tindakan Rp 24.000,00 g) Ear Candle per tindakan Rp 38.400,O0 h) Rahts per tindakan Rp 28.800,00 j. Senam Kelompok per orang per bulan Rp 40.000,00 2. TerapiWicara a. Rawat Inap 1) Kelas I per kunjungan Rp 96.000,00 2l Kelas II per kunjungan Rp 98.000,00 3) Kelas tII per kunjungan Rp 80.000,00 b. Rawat Jalan 1) Dewasa per kunjungan 80.000,00 Rp 2) Anak . PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -133- NO. JENIS PNBP SATUAN TARIF 2) Anak per kunjungan Rp 68.000,00 c. Vital Stim 1) Dengan Latihan per kunjungan Rp 160.000,00 2) Tanpa Latihan per kunjungan Rp 90.000,00 3. Tindakan Okupasi TeraPi a. Ruang Perawatan 1) Kelas I per kunjungan Rp 96.000,00 2l Kelas II per kunjungan Rp 88.000,00 3) Kelas III per kunjungan Rp 80.000,o0 b. Rawat Jalan 1) Dewasa per kunjungan Rp 90.000,00 2l Anak per kunjungan Rp 68.000,00 4. Tindakan Dokter a. Uji Fungsi/Assesment 1) Rawat Inap per tindakan Rp 120.000,00 2l Rawat Jalan per tindakan Rp 90.000,00 b. Tindakan Dokter Sp KFR (Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi) 1) Balance Program per tindakan Rp 80.000,o0 2) Electro MAo Grafi (EMG) BioFeedback per tindakan 90.000,00 Rp PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -L34- NO. JENIS PNBP SATUAN TARIF 3) Electronic Waue (ESwr) Shock Therapg per tindakan Rp 240.000,00 4l Laser a) 1 Titik per tindakan Rp 80.000,00 b) 2 Titik per tindakan Rp 140.000,00 c) 3 Titik per tindakan Rp 200.000,00 5) Laser Gross per tindakan Rp 160.000,00 6) Dry Needle per tindakan Rp 80.000,00 7l Cryotherapy per tindakan Rp 56.000,00 8) Cryotherapg per tindakan Rp 100.000,00 a. ^PATOLOGI ^KLINIK 1. Hematologi a. Hematologi Rutin 1) Kelas I per tindakan Rp 48.000,00 2) Kelas II per tindakan Rp 44.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 40.000,00 4) Rawat Jalan per tindakan Rp 44.000,00 b. Hematologi Lengkap ^(HL) = Hematologi Rutin (HR) ^+ Different Count 1) Kelas I per paket Rp 56.000,00 2l Kelas II per paket 52.000,00 Rp PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -135- NO. JENIS PNBP SATUAN TARIF 3) Kelas III per paket Rp 49.000,00 4l Rawat Jalan per paket Rp 52.000,00 c. Hitung Jenis Leukosit 1) Kelas I per tindakan Rp 24.000,00 2l Kelas II per tindakan Rp 20.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 18.400,00 4l Rawat Jalan per tindakan Rp 20.000,00 d. Laju Endap Darah ^(LED) 1) Kelas I per tindakan Rp 24.OO0,00 2l Kelas [I per tindakan Rp 20.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 18.400,00 4l Rawat Jalan per tindakan Rp 20.000,00 e. Gambaran Darah ^TePi 1) Kelas I per tindakan Rp 88.000,00 2) Kelas II per tindakan Rp 80.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 72.OOO,OO 4l Rawat Jalan per tindakan Rp 80.000,00 f. Gambaran T\rlang Sumsum 1) Kelas I per tindakan Rp 260.000,00 2) Kelas II per tindakan Rp 256.000,00 3) Kelas III per tindakan 252.000,00 Rp PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA - 136- NO. JENIS PNBP SATUAN TARIF 4) Rawat Jalan per tindakan Rp 256.000,00 g. Retikulosit (Hematologi Rutin (HR) ^+ Retik) 1) Kelas I per paket Rp 56.000,00 2l Kelas II per paket Rp 52.000,00 3) Kelas III per paket Rp 48.000,00 4l Rawat Jalan per paket Rp 52.000,00 h. Eosinofil 1) Kelas I per tindakan Rp 56.000,00 2) Kelas II per tindakan Rp 52.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 48.000,00 4) Rawat Jalan per tindakan Rp 52.000,00 I Sel LElLupus Eritematosus 1) Kelas I per tindakan Rp 56.000,00 2) Kelas II per tindakan Rp 56.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 56.000,00 4) Rawat Jalan per tindakan Rp 56.000,00 j. Golongan Darah ABO + Rhesus 1) Kelas I per paket Rp 32.000,00 2) Kelas II per paket Rp 28.000,00 3) Kelas III per paket 24.000,00 Rp PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -t37- NO. JENIS PNBP SATUAN TARIF 4l Rawat Jalan per paket Rp 28.000,00 k. Malaria (Mikroskopik) 1) Kelas I per tindakan Rp 44.000,00 2) Kelas II per tindakan Rp 40.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 36.000,00 4l Rawat Jalan per tindakan Rp 40.000,00 l. Malaria (Rapid) 1) Kelas I per tindakan Rp 160.000,00 2) Kelas II per tindakan Rp 156.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 152.000,00 4l Rawat Jalan per tindakan Rp 156.000,00 m. Filaria (Mikroskopikl 1) Kelas I per tindakan Rp 44.000,00 2l Kelas II per tindakan Rp 40.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 36.000,00 4l Rawat Jalan per tindakan Rp 40.000,00 n. IT Ratio Neutrofil Imatur dan Total 1) Kelas I per tindakan Rp 28.000,o0 2) Kelas II per tindakan Rp 24.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 20.000,00 4) Rawat Jalan per tindakan 24.000,00 Rp o. Analisa PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -138- NO JENIS PNBP SATUAN TARIF o. Analisa Hb High Performance Liryid Chromotographg (HPLC) per tindakan Rp 340.000,00 2. Hemostasis a. Waktu Pendarahan 1) Kelas I per tindakan Rp 22.400,OO 2l Kelas II per tindakan Rp 20.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 17.600,00 4l Rawat Jalan per tindakan Rp 20.000,00 b. Waktu Pembekuan 1) Kelas I per tindakan Rp 22.400,OO 2l Kelas II per tindakan Rp 20.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 17.600,00 4l Rawat Jalan per tindakan Rp 20.000,00 c. hothrombin Time (W) 1) Kelas I per tindakan Rp 92.000,00 2) Kelas II per tindakan Rp 88.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 84.000,00 4l Rawat Jalan per tindakan Rp 88.000,00 d. Anti Prothrombin Time (APTr) 1) Kelas I per tindakan Rp 96.000,00 2) Kelas II per tindakan 88.000,00 Rp 3) Kelas PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -139- NO. JENIS PNBP SATUAN TARIF 3) Kelas III per tindakan Rp 80.000,00 4l Rawat Jalan per tindakan Rp 88.000,00 e. Anti Prothrombin ^(APTT) Miing Studies 1) Kelas I per tindakan Rp 168.000,00 2l Kelas II per tindakan Rp 160.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 152.000,00 4l Rawat Jalan per tindakan Rp 160.000,o0 f. Fibrinogen 1) Kelas I per tindakan Rp 136.000,00 2) Kelas II per tindakan Rp 132.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 128.000,00 4l Rawat Jalan per tindakan Rp 132.000,00 g. D-Dimer 1) Kelas I per tindakan Rp 344.000,00 2l Kelas II per tindakan Rp 336.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 328.000,oo 4l Rawat Jalan per tindakan Rp 336.000,00 h. International Normaliz'ed Ratio (INR) 1) Kelas I per tindakan Rp 92.000,00 2) Kelas II per tindakan 88.000,00 Rp 3) Kelas PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -140- NO JENIS PNBP SATUAN TARIF 3) Kelas III per tindakan Rp 94.000,00 4) Rawat Jalan per tindakan Rp 88.000,00 i. Agregasi Trombosit 1) Kelas I per tindakan Rp 208.000,00 2) Kelas Il per tindakan Rp 200.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 192.000,00 4l Rawat Jalan per tindakan Rp 200.000,00 j. Anti Thrombin 3 per tindakan Rp 280.800,00 3. Analisa Cairan Tubuh a. Analisa Cairan Otak 1) Kelas I per tindakan Rp 216.000,00 2) Kelas II per tindakan Rp 212.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 208.000,00 4l Rawat Jalan per tindakan Rp 2t2.OOO,OO b. Cairan Serosa ^(Analisa Transudat Entdat)/ Pleura 1) Kelas I per tindakan Rp 236.000,00 2l Kelas II per tindakan Rp 232.OOO,OO 3) Kelas III per tindakan Rp 224.OOO,OO 4l Rawat Jalan per tindakan Rp 232.000,00 c. Analisa Cairan Sendi 1) Kelas I per tindakan 104.000,00 Rp PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -141 - NO JENIS PNBP SATUAN TARIF 2) Kelas II per tindakan Rp 100.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 96.000,00 4l Rawat Jalan per tindakan Rp 100.000,00 d. Analisa Sperma/Semen 1) Kelas I per tindakan Rp 144.000,00 2l Kelas II per tindakan Rp 136.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 128.000,00 4) Rawat Jalan per tindakan Rp 136.000,00 4. Kimia a. Bilirubin Total 1) Kelas I per tindakan Rp 32.000,00 2l Kelas II per tindakan Rp 28.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 24.000,00 4) Rawat Jalan per tindakan Rp 28.000,00 b. Bilirubin Direk 1) Kelas I per tindakan Rp 32.000,00 2l Kelas II per tindakan Rp 28.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 24.000,00 4) Rawat Jalan per tindakan Rp 29.000,00 c. Sentm Glutamic Oxalo acetic Trans aminase (sGor) 1) Kelas PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -t42- NO. JENIS PNBP SATUAN TARIF 1) Kelas I per tindakan Rp 32.000,00 2) Kelas II per tindakan Rp 28.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 24.OOO,OO 4) Rawat Jalan per tindakan Rp 28.000,00 d. Serum Glutamic Pgruuic Transaminase (SGPT) 1) Kelas I per tindakan Rp 32.000,00 2l Kelas II per tindakan Rp 28.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 24.000,00 4) Rawat Jalan per tindakan Rp 28.000,00 e. Alkali Posfatase 1) Kelas I per tindakan Rp 41.600,00 2l Kelas II per tindakan Rp 40.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 38.400,00 4l Rawat Jalan per tindakan Rp 40.000,00 f. GammaGT 1) Kelas I per tindakan Rp 52.000,00 2l Kelas II per tindakan Rp 48.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 44.000,00 4l Rawat Jalan per tindakan Rp 48.000,00 g. Cholinesterase 1) Kelas I per tindakan 72.OOO,OO Rp NO JENIS PNBP SATUAN TARIF 2) Kelas II per tindakan Rp 68.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 64.000,00 4l Rawat Jalan per tindakan Rp 68.000,00 h. Protein Total 1) Kelas I per tindakan Rp 34.400,00 2) Kelas II per tindakan Rp 32.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 30.400,00 4l Rawat Jalan per tindakan Rp 32.000,00 i. Albumin 1) Kelas I per tindakan Rp 34.400,00 2l Kelas II per tindakan Rp 32.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 30.400,00 4l Rawat Jalan per tindakan Rp 32.000,00 j. Glukosa Puasa 1) Kelas I per tindakan Rp 24.000,00 2) Kelas II per tindakan Rp 20.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 18.400,00 4) Rawat Jalan per tindakan Rp 20.o00,00 k. Glukosa 2 Jam PP 1) Kelas I per tindakan Rp 24.000,00 2l Kelas II per tindakan 20.o00,00 Rp 3) Kelas PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -144- NO. JENIS PNBP SATUAN TARIF 3) Kelas III per tindakan Rp 18.400,00 4) Rawat Jalan per tindakan Rp 20.000,oo l. Glukosa Sewaktu 1) Kelas I per tindakan Rp 24.000,00 2l Kelas II per tindakan Rp 20.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 18.400,00 4l Rawat Jalan per tindakan Rp 20.000,00 m. Glukosa Rapid per tindakan Rp 20.000,00 n. Test Toleransi Glukosa 1) Kelas I per tindakan Rp 60.000,00 2l Kelas II per tindakan Rp 56.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 52.000,00 4) Rawat Jalan per tindakan Rp 56.000,00 o. Glukosa Kurua Harian 3x 1) Kelas I per tindakan Rp 72.OOO,OO 2l Kelas II per tindakan Rp 60.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 56.000,00 4l Rawat Jalan per tindakan Rp 60.000,00 p. HbAIC 1) Kelas I per tindakan Rp 148.000,00 2l Kelas II per tindakan 140.000,00 Rp 3) Kelas PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -145- NO. JENIS PNBP SATUAN TARIF 3) Kelas III per tindakan Rp 140.000,00 4l Rawat Jalan per tindakan Rp 140.000,00 q. SPE I Protein Elektroforese per tindakan Rp 134.400,00 r. Triglycerid 1) Kelas I per tindakan Rp 36.000,00 2l Kelas II per tindakan Rp 32.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 28.000,00 4) Rawat Jalan per tindakan Rp 32.000,00 s. Total Clwlesterol 1) Kelas I per tindakan Rp 36.000,00 2) Kelas II per tindakan Rp 32.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 28.000,00 4l Rawat Jalan per tindakan Rp 32.000,00 t. High Densitg Lipoprotein (HDL) Cholesterol 1) Kelas I per tindakan Rp 44.000,00 2) Kelas II per tindakan Rp 40.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 36.000,00 4) Rawat Jalan per tindakan Rp 40.000,00 u. Low Densitg Lipoprotein (LDL) Cholesterol 1) Kelas I per tindakan 44.000,00 Rp 2) Kelas NO JENIS PNBP SATUAN TARIF 2) Kelas II per tindakan Rp 40.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 36.000,00 4l Rawat Jalan per tindakan Rp 40.000,00 v. Low Densitg Lipoprotein (LDL) Cholesterol Direk 1) Kelas I per tindakan Rp 64.000,00 2l Kelas II per tindakan Rp 60.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 56.000,00 4l Rawat Jalan per tindakan Rp 60.000,00 w. LpA per tindakan Rp 235.200,00 x. ApoB per tindakan Rp 129.600,00 y. AcetonDarah 1) Kelas I per tindakan Rp 16.000,00 2) Kelas II per tindakan Rp 14.400,00 3) Kelas III per tindakan Rp 12.000,00 4) Rawat Jalan per tindakan Rp 14.400,00 z. Creatine Ptasplwkinase (cPK) 1) Kelas I per tindakan Rp 84.000,00 2l Kelas [I per tindakan Rp 80.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 76.000,00 4l Rawat Jalan per tindakan 80.000,00 Rp aa. Protein PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -t47- NO JENIS PNBP SATUAN TARIF aa. Protein Total 1) Kelas I per tindakan Rp 34.400,00 2l Kelas II per tindakan Rp 32.000,o0 3) Kelas III per tindakan Rp 30.400,00 4) Rawat Jalan per tindakan Rp 32.000,00 bb. Albumin 1) Kelas I per tindakan Rp 34.400,00 2l Kelas II per tindakan Rp 32.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 30.400,00 4l Rawat Jalan per tindakan Rp 32.000,00 cc. Glukosa Puasa 1) Kelas I per tindakan Rp 24.000,00 2) Kelas II per tindakan Rp 20.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 18.400,00 4l Rawat Jalan per tindakan Rp 20.000,00 dd. Glukosa 2 Jam PP 1) Kelas I per tindakan Rp 24.000,00 2l Kelas II per tindakan 20.000,00 Rp NO. JENIS PNBP SATUAN TARIF 3) Kelas III per tindakan Rp 18.400,00 4l Rawat Jalan per tindakan Rp 20.000,00 ee. Glukosa Sewaktu 1) Kelas I per tindakan Rp 24.000,00 2) Kelas II per tindakan Rp 20.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 18.400,00 4) Rawat Jalan per tindakan Rp 20.000,00 ff. Glukosa Rapid per tindakan Rp 20.o00,00 gg. Test Toleransi Glukosa 1) Kelas I per tindakan Rp 60.o00,00 2l Kelas II per tindakan Rp 56.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 52.000,o0 4l Rawat Jalan per tindakan Rp 56.000,00 hh. Glukosa Kurva Harian 3x 1) Kelas I per tindakan Rp 72.OOO,OO 2l Kelas [I per tindakan Rp 104.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 100.000,00 4) Rawat Jalan per tindakan Rp 104.000,00 ii. Asam Laktat 1) Kelas I per tindakan 76.000,00 Rp PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -t49- NO JENIS PNBP SATUAN TARIF 2) Kelas II per tindakan Rp 72.OOO,OO 3) Kelas III per tindakan Rp 72.OOO,OO 4l Rawat Jalan per tindakan Rp 72.OOO,OO ij. ^Natrium ^(Na) 1) Kelas I per tindakan Rp 44.000,00 2) Kelas II per tindakan Rp 40.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 36.000,00 4l Rawat Jalan per tindakan Rp 40.000,00 kk. Kalium (K) 1) Kelas I per tindakan Rp 44.000,00 2l Kelas II per tindakan Rp 40.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 36.000,00 4) Rawat Jalan per tindakan Rp 40.000,00 ll. Chlorida (Cll 1) Kelas I per tindakan Rp 44.000,00 2) Kelas II per tindakan Rp 40.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 36.000,00 4l Rawat Jalan per tindakan Rp 40.000,00 mm.Paket Na, K, Cl 1) Kelas I per paket Rp 112.000,00 2l Kelas II per paket 100.000,00 Rp PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -150- NO. JENIS PNBP SATUAN TARIF 3) Kelas III per paket Rp 96.000,00 4) Rawat Jalan per paket Rp 100.000,00 nn Fosfor Organik 1) Kelas I per tindakan Rp 44.000,00 2l Kelas II per tindakan Rp 40.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 36.000,00 4l Rawat Jalan per tindakan Rp 40.000,00 oo. Magnesium 1) Kelas I per tindakan Rp 44.OO0,00 2l Kelas II per tindakan Rp 40.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 36.000,00 4) Rawat Jalan per tindakan Rp 40.000,o0 pp. Calsium (Ca) 1) Kelas I per tindakan Rp 44.000,00 2l Kelas II per tindakan Rp 40.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 36.000,00 4l Rawat Jalan per tindakan Rp 40.000,00 qq. Calsium lon 1) Kelas I per tindakan Rp 180.000,00 2l Kelas II per tindakan Rp 176.000,00 3) Kelas III per tindakan 172.000,00 Rp 4) Rawat PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -151 - NO JENIS PNBP SATUAN TARIF 4) Rawat Jalan per tindakan Rp 176.000,00 rr. Amilase 1) Kelas I per tindakan Rp 108.000,00 2) Kelas II per tindakan Rp 100.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 88.000,00 4) Rawat Jalan per tindakan Rp 100.000,00 SS Lipase 1) Kelas I per tindakan Rp 108.000,00 2) Kelas II per tindakan Rp 100.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 88.000,00 4) Rawat Jalan per tindakan Rp 100.000,00 tt. Serum /ron ^(SI) 1) Kelas I per tindakan Rp 68.000,00 2l Kelas II per tindakan Rp 64.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 60.000,00 4l Rawat Jalan per tindakan Rp 64.000,00 uu. Total lron Binding Capacity (T.IBC) 1) Kelas I per tindakan Rp go.ooo,oo 2) Kelas II per tindakan Rp 72.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 68.000,o0 4l Rawat Jalan per tindakan 72.OOO,OO Rp 5. Imuno PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -t52- NO. JENIS PNBP SATUAN TARIF 5. ImunoSerologi a. Hepatitis B Enuelope Antigen (HbeAg) 1) Kelas I per tindakan Rp 296.000,00 2) Kelas II per tindakan Rp 292.OOO,OO 3) Kelas III per tindakan Rp 29t .200,oo 4l Rawat Jalan per tindakan Rp 292.OOO,OO b Hepatitis B Surface Antigen (HbsAg) Rapid 1) Kelas I per tindakan Rp 48.000,oo 2) Kelas II per tindakan Rp 44.O00,00 3) Kelas III per tindakan Rp 40.000,00 4) Rawat Jalan per tindakan Rp 44.000,00 c Hepatitis B Surface Antigen Enzgme-Linked Fluorescent Assay (HbsAg) (ELFA) 1) Kelas I per tindakan Rp 104.000,00 2) Kelas II per tindakan Rp 104.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 100.000,00 4) Rawat Jalan per tindakan Rp 104.000,00 d. Anti HBs Rapid 1) Kelas I per tindakan Rp 100.000,00 2l Kelas II per tindakan 96.000,00 Rp NO JENIS PNBP SATUAN TARIF 3) Kelas III per tindakan Rp 92.000,00 4) Rawat Jalan per tindakan Rp 96.000,00 e Anti Kuantitatif/Titer HBs 1) Kelas I per tindakan Rp 160.000,00 2) Kelas II per tindakan Rp 156.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 156.000,00 4) Rawat Jalan per tindakan Rp 156.000,00 f. AntiHBc (ELFA) 1) Kelas I per tindakan Rp 196.000,00 2) Kelas II per tindakan Rp 192.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 192.000,00 4l Rawat Jalan per tindakan Rp 192.000,00 g. Anti Antibodg Hepatitis B Core Immunoglobulin M (HBc IgM) per tindakan Rp 372.000,00 h Anti Double Stranded Deoxytribonucleic Acid AntilDs DNA per tindakan Rp 327.200,OO 1. Anti Hepatitis VintslAnti HCV C 1) Kelas I per tindakan Rp 132.000,00 2l Kelas II per tindakan Rp 128.000,00 3) Kelas III per tindakan 124.000,00 Rp 4) Rawat PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -154- NO JENIS PNBP SATUAN TARIF 4l Rawat Jalan per tindakan Rp 128.000,00 j Anti Hepatitis Virus/ Anti HAV A per tindakan Rp 288.800,00 k. Anti Hepatitis A Virus Immunoglobulin M I Anti HAV IgM per tindakan Rp 260.000,00 I Anti-Hepatitis B Enuelope Antibodg/Anti HBe per tindakan Rp 358.400,00 m. Hepatitis B Vints Deoxytribonucleic AcidlHBV DNA (Real- Time PCR) per tindakan Rp 1.512.000,00 n. Hepatitis C RNA/HCV RNA Virus per tindakan Rp 1.932.000,00 o Huntan Immunodeficiencg Vints RNA/HIV- 1 RNA per tindakan Rp 1.008.000,00 p. TriiodothgroninelT3 1) Kelas I per tindakan Rp 196.000,00 2l Kelas II per tindakan Rp 192.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 192.000,00 4) Rawat Jalan per tindakan Rp 192.000,o0 q. Called ThgroxinelT4 1) Kelas I per tindakan Rp 184.000,00 2l Kelas II per tindakan 180.000,00 Rp NO JENIS PNBP SATUAN TARIF 3) Kelas III per tindakan Rp 180.000,00 4) Rawat Jalan per tindakan Rp 180.000,00 r Free TriiodothyroninelVl3 per tindakan Rp 243.200,OO S Free Thgroxine lVl4 Called per tindakan Rp 209.600,00 t. Thyroid Stimulating Hormone Sensitr//TSHs per tindakan Rp 163.200,00 u. Thgroid Stimulating Hormone NeonafiislTSH Neonatus per tindakan Rp 156.800,00 v Tiroglobulin per tindakan Rp 297.600,00 w Anti Toxoplasma Immunoglobulin G I Anti Toxoplasma IgG per tindakan Rp 186.400,00 x Anti Toxoplasma Immunoglobulin M I Anti Toxoplasma IgM per tindakan Rp 186.400,00 v Auiditas Toxoplasma Immunoglobulin GlAuiditas Anti IgG Anti Toxo per tindakan Rp 293.600,00 z Auiditas Cgto Megalo Virtts Immunoglobulin G/Aviditas Anti CMV IgG per tindakan Rp 256.800,OO NO JENIS PNBP SATUAN TARIF aa. Anti Rtbella Immunoglobulin G I Anti RubellalgG per tindakan Rp 201.600,00 bb. Anti Rubella Immunoglobulin M I Anti RtbellalgM per tindakan Rp 256.000,00 cc. Anti CMV IgG per tindakan Rp 188.800,00 dd. Antf CMV IgM per tindakan Rp 264.000,o0 ee. Anti Herpes Simplex Vints 7 Immunoglobulin G I Anti HSV- 1 IgG per tindakan Rp 207.200,oo ff. Anti Herpes Simplex Vints 1 Immunoglobulin MlAnti HSV- 1 IgM per tindakan Rp 207.200,oo gg. Anti Herpes Simplex Virus 2 Immunoglobulin G lAnti HSV-2 IgG per tindakan Rp 192.800,00 hh. Anti Herpes Simplex Vints 2 Immunoglobulin MlAnti HSV-2 IgM per tindakan Rp 192.800,00 11 Cardiolipin Antibodies Immunoglobulin G/ACA IgG per tindakan Rp 420.800,00 i,. ^Cardiolipin ^Antibodies Immunoglobulin M/ACA IgM per tindakan Rp 420.800,00 kk. Treponema Pallidum H ae m ag g lutinatio n/ TPH A PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -157- NO. JENIS PNBP SATUAN TARIF 1) Ke1as I per tindakan Rp 56.000,00 2l Kelas II per tindakan Rp 52.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 48.000,00 4) Rawat Jalan per tindakan Rp 52.000,00 11 Venereal Disease Reasearch Laboratory (VDRLI I Rapid Plasma Reagin 1) Kelas I per tindakan Rp 44.000,00 2) Kelas II per tindakan Rp 40.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 36.000,00 4) Rawat Jalan per tindakan Rp 40.000,00 mm. Antis treptoly sin ^(ASTO) 1) Kelas I per tindakan Rp 60.000,00 2) Kelas II per tindakan Rp 56.O00,O0 3) Kelas III per tindakan Rp 52.000,00 4) Rawat Jalan per tindakan Rp 56.000,00 nn. Faktor Rheumatoid 1) Kelas I per tindakan Rp 56.000,00 2) Kelas II per tindakan Rp 52.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 48.000,00 4) Rawat Jalan per tindakan 52.000,00 Rp oo. Anti NO. JENIS PNBP SATUAN TARIF oo. Anti Dengue Immunoglobulin G I Anti Dengue IgG per tindakan Rp 149.600,00 pp. Anti Dengue Immunoglobulin M I Anti Dengue IgM per tindakan Rp 150.000,00 qq. Dengue Non Stntctural Protein l/Dengue NSl Antigen 1) Kelas I per tindakan Rp 232.OOO,OO 2l Kelas II per tindakan Rp 228.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 228.000,00 4l Rawat Jalan per tindakan Rp 228.000,00 rr Anti Human Immunodeficiencg Vints (HIV) Rapid 1) Kelas I per tindakan Rp 104.000,00 2) Kelas II per tindakan Rp 96.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 88.000,00 4l Rawat Jalan per tindakan Rp 96.000,00 SS Anti Human Immunodeficiencg Vints (HIV) Enzgme-Linked Fluorescent Assay (ELFA) 1) Kelas I per tindakan Rp 232.000,00 2) Kelas Il per tindakan 224.OOO,OO Rp PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -159- NO. JENIS PNBP SATUAN TARIF 3) Kelas III per tindakan Rp 216.000,00 4) Rawat Jalan per tindakan Rp 224.OOO,OO tt Cluster of Dfferentiation 4lcD4 1) Kelas I per tindakan Rp 176.000,00 2l Kelas II per tindakan Rp 168.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 160.000,00 4) Rawat Jalan per tindakan Rp 168.000,00 uu. Cluster of Differentiation 8/CD8 1) Kelas I per tindakan Rp 176.000,00 2) Kelas II per tindakan Rp 168.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 160.000,00 4l Rawat Jalan per tindakan Rp 160.000,00 w. WIDAL 1) Kelas I per tindakan Rp 60.000,00 2l Kelas II per tindakan Rp 56.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 52.000,00 4) Rawat Jalan per tindakan Rp 56.000,00 ww. C-Reactiue Protein Semi Kuantitatif/CRP Semi Kuantitatif 1) Kelas I per tindakan 72.OOO,OO Rp 2) Kelas NO. JENIS PNBP SATUAN TARIF 2l Kelas II per tindakan Rp 68.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 68.000,00 4l Rawat Jalan per tindakan Rp 68.000,00 x>(. C-Reactiue ^Protein Kuantitatif/CRP Kuantitatif 1) Kelas I per tindakan Rp 152.000,00 2) Kelas II per tindakan Rp 144.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 136.000,00 4l Rawat Jalan per tindakan Rp 144.000,00 yy. High-Sensitiuitg C' Reactiue ProteinlHS-C Reaktiue Protein 1) Kelas I per tindakan Rp 168.000,00 2l Kelas II per tindakan Rp 164.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 164.000,00 4l Rawat Jalan per tindakan Rp 164.000,00 zz Creatine Kinase- MBICKMB Massa 1) Kelas I per tindakan Rp 232.000,00 2l Kelas II per tindakan Rp 224.OOO,OO 3) Kelas III per tindakan Rp 224.OOO,OO 4) Rawat Jalan per tindakan 224.OOO,OO Rp aaa. Troponin T 1) Kelas. . ^. PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -161 - NO JENIS PNBP SATUAN TARIF 1) Kelas I per tindakan Rp 216.000,00 2l Kelas II per tindakan Rp 208.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 200.000,00 4) Rawat Jalan per tindakan Rp 208.000,00 bbb. Troponin / ^(ELFA) 1) Kelas I per tindakan Rp 376.000,00 2) Kelas II per tindakan Rp 368.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 360.000,00 4l Rawat Jalan per tindakan Rp 368.000,00 ccc. AntiTB llgG TB 1) Kelas I per tindakan Rp 156.000,00 2) Kelas II per tindakan Rp 152.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 148.000,00 4l Rawat Jalan per tindakan Rp 152.000,00 ddd. Anti Salmonella TgphiiIgM 1) Kelas I per tindakan Rp 208.O00,o0 2) Kelas II per tindakan Rp 204.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 200.o00,oo 4) Rawat Jalan per tindakan Rp 204.000,00 Procalcitonfn (PCT) eee.

    1)

    Kelas I per tindakan 424.OOO,OO Rp 2) Kelas NO JENIS PNBP SATUAN TARIF 2) Kelas II per tindakan Rp 416.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 400.000,00 4l Rawat Jalan per tindakan Rp 416.000,00 fff. Ferritin 1) Kelas I per tindakan Rp 152.000,00 2l Kelas II per tindakan Rp 148.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 148.000,00 4) Rawat Jalan per tindakan Rp 148.000,00 ggg. Testosteron per tindakan Rp 252.000,00 hhh. HCG Serum 1) Kelas I per tindakan Rp 292.OOO,OO 2l Kelas II per tindakan Rp 288.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 288.000,00 4) Rawat Jalan per tindakan Rp 288.000,00 iii. C3 Komplemen per tindakan Rp 316.800,00 iij. C4 KomPlemen per tindakan Rp 316.800,00 kkk. Immunoglobulin TotalllgB Total E per tindakan Rp 222.400,oo il Anti NeutroPhil Cytoplasmic ^(ANCA) per tindakan Rp 176.000,oo mmm. Anti Nuclear ^Antibodg (ANA) per tindakan 436.800,00 Rp 6. Petanda NO JENIS PNBP SATUAN TARIF 6. Petanda T.rmor a. Alpha Fetoprotein ^(AFP) 1) Kelas I per tindakan Rp 184.000,00 2l Kelas II per tindakan Rp 176.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 168.000,00 4) Rawat Jalan per tindakan Rp 176.000,00 b. Carcinoembryonic ^Antigen (cEA) 1) Kelas I per tindakan Rp 184.000,00 2l Kelas II per tindakan Rp 176.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 176.000,00 4l Rawat Jalan per tindakan Rp 176.000,00 c. Prastate Specific Antigen (PSA) 1) Kelas I per tindakan Rp 248.000,00 2) Kelas II per tindakan Rp 240.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 232.000,00 4l Rawat Jalan per tindakan Rp 240.000,00 d. Cancer AntigenlCA ^125 1) Kelas I per tindakan Rp 394.400,00 2) Kelas II per tindakan Rp 394.400,00 3) Kelas III per tindakan 394.400,00 Rp PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -164- NO. JENIS PNBP SATUAN TARIF 4) Rawat Jalan per tindakan Rp 394.400,00 e. Cancer Antigen CA 19-9 per tindakan Rp 403.200,00 f. Cancer Antigen CA 15-3 per tindakan Rp 369.600,00 g. Cancer Antigen CA 72-4 per tindakan Rp 516.800,00 h. Cgfra2l-l per tindakan Rp 332.000,00 7. Analisa Batu Ginjal per tindakan Rp 155.200,00 8. Analisa Batu Empedu per tindakan Rp 82.400,00 9. Mikrobiologi a. Kulfir Darah (BACTEC) 1) Kelas I per tindakan Rp 272.OOO,OO 2l Kelas II per tindakan Rp 264.OOO,OO 3) Kelas III per tindakan Rp 256.000,00 4) Rawat Jalan per tindakan Rp 264.OOO,OO b. Kulfitr Darah (CLSI) 1) Kelas I per tindakan Rp 392.000,00 2l Kelas II per tindakan Rp 384.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 376.000,00 4) Rawat Jalan per tindakan Rp 384.000,00 c. KularUrine 1) Kelas I per tindakan Rp 224.OOO,OO 2l Kelas II per tindakan 216.000,00 Rp 3) Kelas NO. JENIS PNBP SATUAN TARIF 3) Kelas III per tindakan Rp 208.000,00 4l Rawat Jalan per tindakan Rp 216.O00,00 d. Kultur Sputum 1) Kelas I per tindakan Rp 248.000,00 2) Kelas II per tindakan Rp 240.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 232.000,00 4) Rawat Jalan per tindakan Rp 240.000,00 e. Kulfiir h,ts 1) Kelas I per tindakan Rp 248.000,o0 2l Kelas II per tindakan Rp 240.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 232.000,00 4) Rawat Jalan per tindakan Rp 240.000,00 f. Kulfiir Tenggorok Sekret/ Swab 1) Kelas I per tindakan Rp 248.000,00 2) Kelas II per tindakan Rp 240.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 232.000,00 4) Rawat Jalan per tindakan Rp 240.000,00 o b' Kulhtr Biakan SS Tinja/ Gaal/ 1) Kelas I per tindakan Rp 272.OOO,OO 2) Kelas II per tindakan 264.000,00 Rp 3) Kelas. . ^. NO JENIS PNBP SATUAN TARIF 3) Kelas III per tindakan Rp 256.000,00 4) Rawat Jalan per tindakan Rp 264.000,00 h. Kultur Cairan ^Tubuh (BACTEC) 1) Kelas I per tindakan Rp 272.OOO,OO 2) Kelas II per tindakan Rp 264.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 256.000,00 4) Rawat Jalan per tindakan Rp 264.000,00 i. Kulfir Jamur 1) Kelas I per tindakan Rp 88.000,00 2) Kelas II per tindakan Rp 80.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 80.000,00 4) Rawat Jalan per tindakan Rp 80.000,00 j. KulturBTA 1) Kelas I per tindakan Rp 176.000,00 2) Kelas II per tindakan Rp 168.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 160.000,00 4l Rawat Jalan per tindakan Rp 168.000,00 k. KulfirAnaerob/Lain-lain 1) Kelas I per tindakan Rp 312.000,00 2l Kelas II per tindakan Rp 304.000,00 3) Kelas III per tindakan 296.000,00 Rp 4) Rawat . ^. NO JENIS PNBP SATUAN TARIF 4) Rawat Jalan per tindakan Rp 304.000,00 1. Preparat Gram 1) Kelas I per tindakan Rp 44.000,00 2) Kelas II per tindakan Rp 40.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 36.000,00 4) Rawat Jalan per tindakan Rp 40.000,00 m. DirekDifteri 1) Kelas I per tindakan Rp 44.000,00 2l Kelas II per tindakan Rp 40.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 36.O00,00 4l Rawat Jalan per tindakan Rp 40.000,00 n. Tlichomonas 1) Kelas I per tindakan Rp 44.000,00 2l Kelas II per tindakan Rp 40.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 36.000,00 4l Rawat Jalan per tindakan Rp 40.000,00 o Candidal Jamur/SPora 1) Kelas I per tindakan per tindakan Rp 44.000,00 2) Kelas II Rp 40.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 36.000,00 4l Rawat Jalan per tindakan 40.000,00 Rp p. Giemso NO JENIS PNBP SATUAN TARIF p. Giemsa 1) Kelas I per tindakan Rp 44.000,00 2l Kelas II per tindakan Rp 40.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 36.000,00 4l Rawat Jalan per tindakan Rp 40.000,00 q. Preparat Bakteri Tahan Asam (BTA) 1) Kelas I per tindakan Rp 44.000,00 2) Kelas II per tindakan Rp 40.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 36.000,00 4) Rawat Jalan per tindakan Rp 40.000,00 r Pemeriksaan Vagfnosis (BV) Bakterial 1) Kelas I per tindakan Rp 44.000,00 2l Kelas II per tindakan Rp 40.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 36.000,00 4l Rawat Jalan per tindakan Rp 40.000,00 lO.Urinalisa a. Urine Rutin 1) Kelas I per tindakan Rp 32.000,00 2l Kelas II per tindakan Rp 28.000,00 3) Kelas III per tindakan 24.000,00 Rp PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -t69- NO. JENIS PNBP SATUAN TARIF 4) Rawat Jalan per tindakan Rp 28.000,00 b. PH (Derajat Keasaman) 1) Kelas I per tindakan Rp 14.400,00 2l Kelas II per tindakan Rp 12.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 9.600,00 4l Rawat Jalan per tindakan Rp 12.000,00 c. Protein 1) Kelas I per tindakan Rp 14.400,00 2) Kelas II per tindakan Rp 12.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 9.600,o0 4) Rawat Jalan per tindakan Rp 12.000,o0 d. Glukosa 1) Kelas I per tindakan Rp 14.400,00 2) Kelas II per tindakan Rp 12.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 9.600,00 4l Rawat Jalan per tindakan Rp 12.000,00 e. Bilirubin 1) Kelas I per tindakan Rp 14.400,00 2l Kelas II per tindakan Rp 12.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 9.600,00 4) Rawat Jalan per tindakan 12.000,00 Rp f. Aseton . NO JENIS PNBP SATUAN TARIF f. Aseton/Keton 1) Kelas I per tindakan Rp 14.400,00 2l Kelas II per tindakan Rp 12.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 9.600,00 4l Rawat Jalan per tindakan Rp 12.000,00 g. Protein Urine 24 Jam 1) Kelas I per tindakan Rp 32.000,00 2) Kelas II per tindakan Rp 28.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 24.000,00 4) Rawat Jalan per tindakan Rp 28.000,o0 h. Protein Bensc Jones 1) Kelas I per tindakan Rp 40.000,00 2l Kelas II per tindakan Rp 36.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 28.000,00 4l Rawat Jalan per tindakan Rp 36.O00,O0 i. Asam Urat 1) Kelas I per tindakan Rp 32.000,00 2) Kelas II per tindakan 28.000,00 Rp 3) Kelas NO JENIS PNBP SATUAN TARIF 3) Kelas III per tindakan Rp 26.400,OO 4) Rawat Jalan per tindakan Rp 28.O00,OO j. Natrium 1) Kelas I per tindakan Rp 44.000,00 2l Kelas II per tindakan Rp 40.000,00 3) Kelas tII per tindakan Rp 36.000,00 4l Rawat Jalan per tindakan Rp 40.000,00 k. Kalium 1) Kelas I per tindakan Rp 44.000,00 2l Kelas II per tindakan Rp 40.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 36.000,00 4) Rawat Jalan per tindakan Rp 40.000,00 l. Creatinin 1) Kelas I per tindakan Rp 44.000,00 2) Kelas II per tindakan Rp 40.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 36.000,00 4l Rawat Jalan per tindakan Rp 40.000,00 m. Ureum 1) Kelas I per tindakan Rp 32.000,00 2l Kelas II per tindakan Rp 28.000,00 3) Kelas III per tindakan 24.000,00 Rp NO. JENIS PNBP SATUAN TARIF 4l Rawat Jalan per tindakan Rp 28.000,00 n. HCG lest 1) Kelas I per tindakan Rp 36.000,00 2l Kelas II per tindakan Rp 32.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 28.000,00 4l Rawat Jalan per tindakan Rp 32.000,o0 o. Albumin Creatinin ^Ratio 1) Kelas I per tindakan Rp 176.000,00 2l Kelas II per tindakan Rp 168.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 160.000,o0 4) Rawat Jalan per tindakan Rp 168.000,00 p. Napza 1 Parameter 1) Kelas I per tindakan Rp 72.OOO,OO 2l Kelas II per tindakan Rp 68.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 64.000,00 4) Rawat Jalan per tindakan Rp 68.000,00 q. Napza 3 (Amp, MorP, rHC) 1) Kelas I per paket Rp 176.O00,00 2l Kelas II per paket Rp 168.000,00 3) Kelas III per paket Rp 160.000,00 4l Rawat Jalan per paket 168.000,00 Rp NO JENIS PNBP SATUAN TARIF r Napza 6 (Amp, ^Coc, THC, Morp, Meth, Benzl 1) Kelas I per paket Rp 312.000,00 2) Kelas II 3) Kelas III per paket Rp 304.000,00 per paket Rp 296.000,00 4l Rawat Jalan per paket Rp 304.000,00 S Pemeriksaan Narkoba 1) Amp?rctamine ^(AMP) per tindakan Rp 56.000,00 2l Maiyuana ^(THC) per tindakan Rp 56.000,o0 3) Methamplrctamine (MEr) per tindakan Rp 56.000,00 4l Morphine (MOP) per tindakan Rp 56.000,00 5) Cocain (COC) per tindakan Rp 56.000,00 ll.Analisa Tinja a. Tinja Rutin 1) Kelas I per tindakan Rp 56.000,00 2) Kelas II per tindakan Rp 52.000,00 3) Kelas III per tindakan Rp 48.000,00 4) Rawat Jalan per tindakan Rp 52.000,00 b. Darah Samar 1) Kelas I per tindakan Rp 64.000,00 2) Kelas II per tindakan 60.000,00 Rp NO. JENIS PNBP SATUAN TARIF 3) Kelas III per tindakan Rp 52.000,00 4) Rawat Jalan per tindakan Rp 60.000,00 R. PEMERIKSAAN RADIONUKLIR 1. Diagnostik a. Kepala 1) Kelas I per tindakan Rp 116.200,OO 2l Kelas IIlKelas III per tindakan Rp 105.600,00 3) Rawat Jalan per tindakan Rp 105.600,00 b. Thoratc PA/AP 1) Kelas I per tindakan Rp 120.000,00 2l Kelas IIlKelas III per tindakan Rp 100.000,00 3) Rawat Jalan per tindakan Rp 100.000,00 c. ThoraxPA Lat 1) Kelas I per tindakan Rp 147 .900,oo 2l Kelas IllKelas III per tindakan Rp 126.800,00 3) Rawat Jalan per tindakan Rp 126.800,00 d. Thorax Top FotolJaringan Lunak 1) Kelas I per tindakan Rp 120.O00,00 2l Kelas IllKelas III per tindakan Rp 96.000,00 3) Rawat Jalan per tindakan 96.000,o0 Rp e. Foto NO. JENIS PNBP SATUAN TARIF e. Foto Polos Abdomen Floroskopi 1) Kelas I per tindakan Rp 120.000,00 2) Kelas IIlKelas III per tindakan Rp 100.000,00 3) Rawat Jalan per tindakan Rp 100.000,00 f. Abdomen 3 Posisi 1) Kelas I per tindakan Rp 221.800,00 2l Kelas IIlKelas III per tindakan Rp 197.800,00 3) Rawat Jalan per tindakan Rp 197.800,00 g. Pelpis 1) Kelas I per tindakan Rp 120.000,00 2) Kelas IIlKelas III per tindakan Rp 100.000,00 3) Rawat Jalan per tindakan Rp 100.000,00 h. Femurl Humerusl Crurisl Antebrahi 1) Kelas I per tindakan Rp t47.900,oo 2) Kelas IIlKelas III per tindakan Rp 126.800,00 3) Rawat Jalan per tindakan Rp 126.800,00 i. GenulAnklelElbowl Wri.stlPedis/Tangan/ Bahu 1) Kelas I per tindakan Rp 116.200,00 2) Kelas IIlKelas III per tindakan 105.600,00 Rp 3) Rawat PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -t76- NO JENIS PNBP SATUAN TARIF 3) Rawat Jalan per tindakan Rp 105.600,00 j. Solitary Nodule (SPN) htlmonary 1) Kelas I per tindakan Rp 145.000,00 2l Kelas IIlKelas III per tindakan Rp 134.400,00 3) Rawat Jalan per tindakan Rp 134.400,00 k. MastoidlSPN 2 Posisi 1) Kelas I per tindakan Rp 126.800,00 2l Kelas IIlKelas III per tindakan Rp 116.200,00 3) Rawat Jalan per tindakan Rp 116.200,00 l. Vertebra Ceruicalis AP I Lat 1) Kelas I per tindakan Rp 116.200,00 2l Kelas IIlKelas III per tindakan Rp 105.600,00 3) Rawat Jalan per tindakan Rp 105.600,00 m. Vertebra Ceruicalis AP ^+ Lat + Oblik Kanan atau Kiri dan TMJ 1) Kelas I per paket Rp 173.800,00 2l Kelas IIlKelas III per paket Rp 163.200,00 3) Rawat Jalan per paket Rp 163.200,00 n. Vertebra Thoracal AP ^+ Lat 1) Kelas I per paket 139.200,00 Rp PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -177- NO. JENIS PNBP SATUAN TARIF 2l Kelas lllKelas III per paket Rp 115.200,00 3) Rawat Jalan per paket Rp 115.200,00 o. Vertebra Tlwracal AP ^+ Lat + Bending Kanan atau Kiri 1) Kelas I per paket Rp 196.800,00 2) Kelas IIlKelas III per paket Rp 184.400,00 3) Rawat Jalan per paket Rp 184.400,00 p. Vertebra Lumbosacral AP + Lat 1) Kelas I per paket Rp 139.200,00 2) Kelas IIlKelas III per paket Rp 126.800,O0 3) Rawat Jalan per paket Rp 126.800,00 q. Veftebra Lumbosacral AP + LatlOblik KalKi 1) Kelas I per paket Rp 196.800,00 2) Kelas IIlKelas III per paket Rp 184.400,00 3) Rawat Jalan per paket Rp 184.400,00 r. Veftebra Cocggeus AP ^+ Lat 1) Kelas I per paket Rp 116.200,00 2) Kelas IIlKelas III per paket Rp 105.600,00 3) Rawat Jalan per paket 105.600,00 Rp s. Peluimettri PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -r78- NO. JENIS PNBP SATUAN TARIF s. Peluimettri 1) Kelas I per tindakan Rp 139.200,00 2) Kelas IIlKelas III per tindakan Rp 126.800,00 3) Rawat Jalan per tindakan Rp 126.800,00 2. Pemeriksaan Kontras dengan a. Oesophagogram 1) Kelas I per tindakan Rp 320.000,00 2l Kelas IIlKelas III per tindakan Rp 360.000,00 3) Rawat Jalan per tindakan Rp 360.000,00 b. Foto MD/Mag Duodenum 1) Kelas I per tindakan Rp 520.000,00 2l Kelas IIlKelas III per tindakan Rp 360.000,00 3) Rawat Jalan per tindakan Rp 360.000,00 c. Oesophagus Duodenum (OMD) Maag 1) Kelas I per tindakan Rp 600.000,00 2l Kelas lllKelas III per tindakan Rp 490.000,00 3) Rawat Jalan per tindakan Rp 480.000,00 d. Usus Thruoght KecillFollou 1) Kelas I per tindakan Rp 560.700,00 2) Kelas IllKelas III per tindakan 514.600,00 Rp 3) Rawat NO. JENIS PNBP SATUAN TARIF 3) Rawat Jalan per tindakan Rp 514.600,00 e. Colon In Loop 1) Kelas I per tindakan Rp 640.000,00 2) Kelas IllKelas III per tindakan Rp 464.000,00 3) Rawat Jalan per tindakan Rp 464.000,00 f. Appendicogram 1) Kelas I per tindakan Rp 400.000,00 2) Kelas IIlKelas III per tindakan Rp 320.000,00 3) Rawat Jalan per tindakan Rp 320.000,00 g. Cor Analisa 1) Kelas I per tindakan Rp 174.800,00 2l Kelas IIlKelas III per tindakan Rp 150.800,00 3) Rawat Jalan per tindakan Rp 150.800,00 h. Mgelografi Lumbal 1) Kelas I per tindakan Rp 871.700,00 2l Kelas IIlKelas III per tindakan Rp 7 87 .200,OO 3) Rawat Jalan per tindakan Rp 787.200,OO i. Myelografi Centical 1) Kelas I per tindakan Rp 987.900,00 2) Kelas IIlKelas III per tindakan Rp 887.100,00 3) Rawat Jalan per tindakan 887.100,00 Rp j. Blass PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -180- NO JENIS PNBP SATUAN TARIF j. Blass Nier Ouersight (BNO) Intra Venous Pgelography (lVP) 1) Kelas I per tindakan Rp 960.000,00 2) Kelas IIlKelas III per tindakan Rp 729.600,OO 3) Rawat Jalan per tindakan Rp 729.600,OO k. Radiography Pgelography Retrograde (RPG) Satu Sisi 1) Kelas I per tindakan Rp 464.700.OO 2l Kelas IIlKelas III per tindakan Rp 418.600,00 3) Rawat Jalan per tindakan Rp 418.600,00 Radiografi Retrograde Bilateral Pgelographg (RPG) 1) Kelas I per tindakan Rp 697.000,00 2) Kelas lllKelas III per tindakan Rp 626.900,OO 3) Rawat Jalan per tindakan Rp 626.900,00 m. Uretrograft 1) Kelas I per tindakan Rp 640.000,00 2) Kelas IIlKelas III per tindakan Rp 520.000,00 3) Rawat Jalan per tindakan Rp 520.000,00 n. Cgstografi 1) Kelas I per tindakan 480.000,00 Rp 2) Kelas NO JENIS PNBP SATUAN TARIF 2l Kelas IllKelas III per tindakan Rp 400.000,00 3) Rawat Jalan per tindakan Rp 400.000,00 o. Uretocystografi 1) Kelas I per tindakan Rp 580.800,00 2l Kelas lllKelas III per tindakan Rp 523.200,00 3) Rawat Jalan per tindakan Rp 523.200,00 p. Histerosalpingographg (HSG) 1) Kelas I per tindakan Rp 560.000,00 2l Kelas IIlKelas III per tindakan Rp 480.000,00 3) Rawat Jalan per tindakan Rp 480.000,00 q. Fistnlografi 1) Kelas I per tindakan Rp 640.000,00 2) Kelas IIlKelas III per tindakan Rp 480.000,00 3) Rawat Jalan per tindakan Rp 480.000,00 r. Endoscopic Retrograde Cholangio Phancre ato g r aphg ^( E RC ^P) 1) Kelas I per tindakan Rp 464.700,OO 2l Kelas IllKelas III per tindakan Rp 418.600,00 3) Rawat Jalan per tindakan Rp 418.600,00 s. Discografi 1) Kelas I per tindakan 760.000,00 Rp PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -t82- NO JENIS PNBP SATUAN TARIF 2l Kelas IllKelas III per tindakan Rp 680.000,00 3) Rawat Jalan per tindakan Rp 680.000,00 t. Arthografi/ Bronchografi 1) Kelas I per tindakan Rp 290.900,00 2) Kelas II/Kelas III per tindakan Rp 264.000,00 3) Rawat Jalan per tindakan Rp 264.000,00 u. Laringografi 1) Kelas I per tindakan Rp 348.500,00 2) Kelas IIlKelas III per tindakan Rp 314.000,00 3) Rawat Jalan per tindakan Rp 314.000,00 3. Ultrasonografi (USG) a. USG Abdomen Atas 1) Kelas I per tindakan Rp 288.000,00 2) Kelas lllKelas III per tindakan Rp 264.000,00 3) Rawat Jalan per tindakan Rp 264.000,00 b. USG Abdomen Bawah 1) Kelas I per tindakan Rp 288.000,00 2) Kelas IIlKelas III per tindakan Rp 264.000,00 3) Rawat Jalan per tindakan Rp 264.000,00 c. USG Whole Abdomen 1) Kelas I per tindakan 288.000,00 Rp 2) Kelas PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -183- NO JENIS PNBP SATUAN TARIF 2l Kelas IIlKelas III per tindakan Rp 264.000,00 3) Rawat Jalan per tindakan Rp 264.000,00 d. USG Abdomen Bayi 1) Kelas I per tindakan Rp 288.000,00 2l Kelas IIlKelas III per tindakan Rp 264.000,00 3) Rawat Jalan per tindakan Rp 264.000,00 e. USG Ginjal dan Buli (Dewasa dan Anak) 1) Kelas I per paket Rp 240.000,00 2l Kelas IIlKelas III per paket Rp 200.o00,00 3) Rawat Jalan per paket Rp 200.000,00 f. USG Colour Doppler Extrimitas Atas 1 Sisi 1) Kelas I per tindakan Rp 480.000,00 2l Kelas IIlKelas III per tindakan Rp 400.000,00 3) Rawat Jalan per tindakan Rp 400.000,00 g. USG Colour Doppler Ertrimitas Bawah 1 Sisi 1) Kelas I per tindakan Rp 480.000,00 2) Kelas IIlKelas III per tindakan Rp 400.000,00 3) Rawat Jalan per tindakan 400.000,00 Rp h. USG Colour Doppler Carotis NO. JENIS PNBP SATUAN TARIF 1) Kelas I per tindakan Rp 504.000,00 2) Kelas IllKelas III per tindakan Rp 440.000,oo 3) Rawat Jalan per tindakan Rp 440.000,00 i. USG Doppler 1 Lengan 1) Kelas I per tindakan Rp 480.000,00 2) Kelas IIlKelas III per tindakan Rp 400.000,00 3) Rawat Jalan per tindakan Rp 400.000,00 j. USG Doppler 1 Tungkai 1) Kelas I per tindakan Rp 480.000,00 2) Kelas IIlKelas III per tindakan Rp 400.000,oo 3) Rawat Jalan per tindakan Rp 400.000,00 k. USG Muscoloskeletal 1) Kelas I per tindakan Rp 339.200,00 2) Kelas IllKelas III per tindakan Rp 304.000,00 3) Rawat Jalan per tindakan Rp 304.000,00 1. USG Kepala 1) Kelas I per tindakan Rp 307.200,00 2l Kelas IIlKelas III per tindakan Rp 264.000,00 3) Rawat Jalan per tindakan Rp 264.000,00 m. USG Thorax 1 (Marker Propungsl Sisi 1) Kelas I per tindakan 200.000,00 Rp 2) Kelas PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -185- NO JENIS PNBP SATUAN TARIF 2) Kelas IIlKelas III per tindakan Rp 160.000,00 3) Rawat Jalan per tindakan Rp 160.000,oo n. USG Kelas Superfisial 1) Kelas I per tindakan Rp 307.200,00 2l Kelas IIlKelas III per tindakan Rp 264.000,00 3) Rawat Jalan per tindakan Rp 264.OOO,OO o. USG Breast 1) Kelas I per tindakan Rp 307.200,oo 2) Kelas IIlKelas III per tindakan Rp 264.OOO,OO 3) Rawat Jalan per tindakan Rp 264.000,00 p. USG Testis 1) Kelas I per tindakan Rp 307 .200,oo 2l Kelas IllKelas III per tindakan Rp 264.000,00 3) Rawat Jalan per tindakan Rp 264.000,00 q. USG Prostat, Ginjal, dan Buli 1) Kelas I per paket Rp 307.200,00 2l Kelas IllKelas III per paket Rp 264.000,00 3) Rawat Jalan per paket Rp 264.OOO,OO r. USG Parotis 1) Kelas I per tindakan Rp 307.200,oo 2l Kelas IllKelas III per tindakan 264.000,00 Rp PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -186- NO JENIS PNBP SATUAN TARIF 3) Rawat Jalan per tindakan Rp 264.000,00 S USG Thyroid 1) Kelas I per tindakan Rp 307.200,00 2l Kelas IIlKelas III per tindakan Rp 264.000,00 3) Rawat Jalan per tindakan Rp 264.000,00 t USG Abdomen ^+ Kandung Empedu (Fast Test) 1) Kelas I per tindakan Rp 352.000,00 2l Kelas lllKelas III per tindakan Rp 312.000,00 3) Rawat Jalan per tindakan Rp 312.000,00 S. PELAYANAN UNIT VOLUNTERY CONSULTING TEST (VCT) 1. Dokter Konsulen per kunjungan Rp 96.000,00 2. Dokter Umum per kunjungan Rp 48.000,00 3. Konseling Pre per kunjungan Rp 28.000,00 4. Konseling Post per kunjungan Rp 28.000,00 5. Konseling Lanjutan per kunjungan Rp 32.000,00 6. Konseling Gizi per kunjungan Rp 32.000,00 7. Konseling Keluarga per kunjungan Rp 32.000,00 8. Test Elisa per orang per tindakan Rp 216.000,00 9. Konsultasi Obat per kunjungan 32.000,00 Rp T. PENUNJANG PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA -187- NO. JENIS PNBP SATUAN TARIF T. PENUNJANG KHUSUS 1. Laundry a. Intern/ Ertern per kg Rp 5.000,00 b. Kamar Operasi per operasl Rp 22.OOO,OO 2. Tenaga Pengolah Makanan a. Kelas I per paslen per hari Rp 2.600,00 b. Kelas II per paslen per hari Rp 2.300,00 c. Kelas III per paslen per hari Rp 2.000,00 3. Pemulasaran Jenazah a. Pemulasaran Laki - Laki per orang Rp 160.000,00 b. Pemulasaran Wanita per orang Rp 240.000,00 c. Pengkafanan per orang Rp 320.000,00 d. Formalin per orang Rp 480.000,00 e. Penitipan ^jenazah per jenazah per hari Rp 350.000,00 U. PERAWATAN LUKA BAKAR 1. Penggunaan Alat Hubertank per tindakan Rp 48.000,00 2. Perawatan Luka a. Resiko Besar per tindakan 379.200,OO Rp PRES I DEN REPUBLIK INDONESIA - 188- NO. JENIS PNBP SATUAN TARIF b. Resiko Sedang per tindakan Rp 326.400,00 c. Resiko Kecil per tindakan Rp 273.600,OO JOKO WIDODO ttd

    Thumbnail
    HUKUM KEUANGAN NEGARA | PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
    23/PUU-XVIII/2020

    Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 [Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1, angka 2, angka 3, Pasal 27 dan Pasal 28] ...

      Relevan terhadap

      Pasal 28Tutup

      _Pada saat peraturan pemerintah pengganti undang-undang ini mulai berlaku: _ 1. ketentuan jangka waktu yang diatur dalam Pasal 11 ayat (21, Pasal 17b ayat (1), Pasal 25 ayat (3), Pasal 26 ayat (1), dan Pasal 36 ayat (1c) Undang- Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 32621 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 tahun 2oo9 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik 15 Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik _Indonesia Nomor 49991); _ 2. Pasal 55 ayat (4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Lndonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan undang-undang nomor 6 tahun 2009 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang Nomor 2 tahun 2008 tentang perubahan kedua atas undang-undang Nomor 23 tahun l999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2009 Nomor _7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 49621; _ 3. Pasal 12 ayat (3) beserta penjelasannya, Pasal 15 ayat (5), Pasal 22 ayat (3), Pasal 23 ayat (1), Pasal 27 ayat (3), dan Pasal 28 ayat (3) dalam Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2003 nomor 47, Tambahan _Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 4286); _ 4. Pasal 3 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2oo4 nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor _4355); _ 5. Pasal 22 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2004 nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 44201 sebagaimana telah diubah dengan undang-undang nomor 7 tahun 2009 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang- undang Nomor 3 tahun 2008 tentang perubahan atas Undang- Undang Nomor 24 tahun 2oo4 tentang Lembaga Penjamin Simpanan menjadi Undang-Undang (lembaran negara Republik Indonesia tahun 2009 _Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 49631; _ 6. Pasal 27 ayat (1) beserta penjelasannya, Pasal 36, Pasal 83, dan Pasal 107 ayat (2) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran _Negara Republik Indonesia Nomor 4438; _ 7. Pasal 171 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan _Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063); _ 8. Pasal 72 ayat (2) beserta penjelasannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 _Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5495); _ 9. Pasal 316 dan Pasal 317 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara _Republik Indonesia Nomor 5679; _ 10. Pasal 177 huruf c angka 2, pasal 180 ayat (6), dan Pasal 182 Undang- Undang Nomor 17 tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan 16 Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2014 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 5568) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 181, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor _6396); _ 11. Pasal 20 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 70, Tambahan Lembaran _Negara Republik Indonesia Nomor 5872); dan _ 12. Pasal 11 ayat (22), Pasal 40, Pasal 42, dan Pasal 46 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2019 tentang Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 198, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6410), Dinyatakan tidak berlaku sepanjang berkaitan dengan kebijakan keuangan negara untuk penanganan penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-I9) dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang ini. 19. Bahwa berdasarkan pasal-pasal dalam Perppu a quo dan dihubungkan dengan hak konstitusional para Pemohon perseorangan adalah WNI pembayar pajak ( tax payer ) jelas terdapat hubungan sebab akibat terkait dengan penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang salah satu sumbernya adalah pajak, sehingga ketika akan diubah seharusnya melalui mekanisme sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat (1) UUD 1945, serta memperhatikan hak-hak perseorangan WNI para Pembayar pajak khususnya dalam hal ini para Pemohon. Oleh karena itu, menurut para Pemohon, para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) dengan kerugian Konstitusional untuk mengajukan pengujian Pasal 2 ayat (1) huruf 'a' angka 1, angka 2, dan angka 3, dan Pasal 27 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Perpu Nomor 1 Tahun 2020 terhadap __ Pasal 22 ayat (1), Pasal 23 ayat (1), dan Pasal 23A, Pasal 23E ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 2 7 ayat (2), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. __ Alasan Permohonan Pengujian A. Pendahuluan Memasuki 3 bulan penanganan Covid-19 di Indonesia, beragam respon lintas kalangan telah memberikan pengaruh penting dalam tindakan hukum pemerintah. Disaat yang bersamaan, beragam instrumen hukum telah 17 digunakan dalam merespon keadaan bahaya darurat kesehatan ini. Dalam bidang Hukum Tata Negara, tidak hanya dipahami bahwa konstitusi hanya akan mengatur berjalannya negara dalam keadaan normal, namun juga akan mengatur bagaimana negara dalam keadaan darurat. Hal yang menarik adalah instrumen hukum dalam keadaan darurat tidak hanya hukum darurat itu sendiri (baca: Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang) melainkan juga berbagai macam Undang-Undang lain yang dimaksudkan untuk merespon keadaan darurat. Khusus keadaan darurat kesehatan. Instrumen hukum yang tersedia jelas adalah UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Kekarantinaan Kesehatan sendiri adalah upaya mencegah dan menangkal keluar atau masuknya penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat. Karantina Kesehatan sendiri dimaksudkan untuk merespon Kedaruratan Kesehatan Masyarakat. Kedaruratan Kesehatan masyarakat sendiri adalah kejadian kesehatan masyarakat yang bersifat luar biasa dengan ditandai penyebaran penyakit menular dan/atau kejadian yang disebabkan oleh radiasi nuklir, pencemaran biologi, kontaminasi kimia, bioterorisme, dan pangan yang menimbulkan bahaya kesehatan dan berpotensi menyebar lintas wilayah atau lintas negara. Pada tanggal 31 Maret 2020, Presiden telah menetapkan keadaan darurat kesehatan masyarakat melalui Kepres Nomor 11 Tahun 2020. Selain itu, pemerintah juga menerbitkan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan. Selain itu Pemerintah menerbitkan PP Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Para Pemohon setidak-tidaknya mempersoalkan Perpu Nomor 1 Tahun 2020 terhadap tiga hal, yaitu pertama , Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, 2, dan angka 3 Perppu No 1 Tahun 2020 Bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), (2), dan ayat (3) UUD 1945. Pasal-Pasal tersebut secara umum menurut para pemohon menegasikan makna kedaulatan rakyat dalam hakikat public revenue 18 and expenditure APBN. Kedua, Pasal 27 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 23, Pasal 23A, Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Pasal 27 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 menurut para Pemohon telah menciptakan kekuasaan yang melampaui batas dengan cara menjaminkan imunitas bagi para pejabat keuangan dan ini bertentangan dengan prinsip negara hukum dan hak konstitusional pemohon atas kepastian hukum yang adil. Ketiga , Pasal 28 Perppu No 1 Tahun 2020 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 22 Ayat (1) juncto Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU- VII/2009, Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Bahwa pada Pasal 28 Perppu No 1 Tahun 2020, terdapat 12 undang-undang yang beberapa ketentuan yang terdapat di dalamnya dinyatakan tidak berlaku sepanjang terkait dengan kebijakan yang ditentukan dalam Perpu Nomor. 1 Tahun 2020 tersebut. Ke-12 undang-undang tersebut masih tetap ada dan berlaku, tetapi sebagian ketentuan pasal-pasal yang terdapat di dalamnya dinyatakan tidak berlaku sepanjang berkaitan dengan kebijakan keuangan negara untuk penanganan penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-I9) dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang ini. Artinya, dengan Perpu ini, ketentuan pasal-pasal yang tersebut dalam ke-12 undang- undang itu ditangguhkan atau dikesampingkan berlakunya untuk sementara waktu, hingga tujuan tercapai atau krisis Covid-19 dinyatakan sudah berakhir. Ketentuan ini jelas bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU- VII/2009 yang telah menentukan syarat objektif untuk melahirkan perppu. Guna memperluas khazanah, maka diuraikan komparasi kebijakan hukum dalam penanggulangan Covid-19 di berbagai negara yang menurut berapa media internasional dianggap berhasil dan tanggap dalam menanggulangi Covid-19. Dalam konteks ini perbandingan yang dimaksud adalah apakah negara tersebut menggunakan (menerapkan) keadaan dan/atau hukum darurat atau justru mengoptimalisasikan instrumen hukum yang telah ada. Taiwan Sejak tanggal 31 Desember 2019, Pusat Pengendalian Penyakit Taiwan (CDC) telah melaporkan Peraturan Kesehatan Internasional (IHR) di bawah 19 Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan sejak saat itu, Taiwan sudah memprakarsai langkah-langkah pencegahan epidemi COVID-19. Hingga tanggal 19 April 2020, banyak mendorong penggunaan hukum darurat, semacam perppu di Indonesia, sesuai dengan Pasal 2 (3) dari Artikel Tambahan dari Konstitusi Republik Tiongkok Taiwan yang berbunyi: " The president may, by resolution of the Executive Yuan Council, issue emergency decrees and take all necessary measures to avert imminent danger affecting the security of the State or of the people or to cope with any serious financial or economic crisis, the restrictions in Article 43 of the Constitution notwithstanding. However, such decrees shall, within ten days of issuance, be presented to the Legislative Yuan for ratification. Shoulsd the Legislative Yuan withhold ratification, the said emergency decrees shall forthwith cease to be valid.” Namun, hingga saat ini Taiwan masih belum memberlakukan dan menerbitkan keadaan dan hukum darurat. Hal ini ditenggarai oleh tiga alasan, Pertama, Taiwan telah belajar dari pengalaman buruk penanganan SARS tahun 2002, pada masa itu Taiwan menerbitkan UU Darurat Sars yang diberlakukan dari tanggal 15 Maret 2003 hingga 31 Desember 2004. Sejak saat itu kemudian Taiwan memiliki undang-undang pengendalian penyakit menular ( Communicable Disease Control Act ). Undang-Undang ini telah beberapa kali diamandemen dan terakhir tahun 2019, segala macam tindakan kedaruratan kesehatan serta prosedurnya diatur lengkap. Kedua , di tepatnya 13: 56 pada 25 Februari 2020, Parlemen Taiwan telah mengeluarkan Undang-Undang untuk Tindakan Pencegahan, Pertolongan dan Revitalisasi untuk Corona Virus Dieses -19 (selanjutnya disebut UU-Covid 19). Interval antara berlakunya dan diundangkan hanya memakan waktu sekitar 2 jam. Undang-undang ini berlaku mulai 15 Januari 2020 hingga 30 Juni 2021. Setelah tanggal kedaluwarsanya, jangka waktu Undang-Undang ini dapat diperpanjang dengan persetujuan Parlemen. Meskipun tidak ada batasan waktu untuk perpanjangan, UU tersebut tidak mungkin diperpanjang dari pengalaman dalam mengimplementasikan UU SARS. Dalam hal prosedur legislatif dan efektivitas peraturan, Undang-Undang Khusus COVID-19 memiliki efek yang setara dengan penerbitan keputusan darurat. Ketiga, terdapat penafsiran Mahkamah Konstitusi Taiwan dalam Putusan No JY 2002 No. 543, yang menyatakan: “penerapan hukum darurat harus bersifat sontak segera dan detil sehingga tanpa butuh dukungan peraturan tambahan yang bersifat petunjuk teknis.” Selain itu, Mahkamah Konstitusi 20 Taiwan menegaskan bahwa diperlukan adanya ratifikasi parlemen sebelum hukum darurat tersebut dinyatakan berlaku. Jerman Hingga medio April 2020, 120,000 kasus Covid-19 melanda Jerman. Sedari awal Pandemi Covid-19 menerpa perdebatan muncul tentang apakah keadaan darurat dapat diumumkan untuk digunakan. Sesungguhnya Konstitusi federal Jerman ( Grundgesetz ) telah mengatur dan menyediakan pengaturan mengenai kekuasaan dalam keadaan darurat di beberapa pasal seperti Pasal 12a III-VI, 53a, 57a, 87a, 91, dan Pasal 115a. Meskipun tersedia instrumen tersebut, namun sejarah kelam penggunaan kekuasaan darurat menurut konstitusi di Jerman tidak dapat dihindari. Khususnya apa yang pernah terjadi merujuk kepada insiden penggunaan kekuasaan darurat menurut Pasal 48 Konstitusi Weimar pada kasus Kebakaran Reichstag (gedung parlemen) pada tahun 1933. Pada masa itu, Hitler meyakinkan Presiden Von Hindenburg untuk menggunakan Pasal 48 Konstitusi Weimar, yang memberikan kekuasaan diktator presiden kepada Hitler membuat undang-undang untuk semua negara teritorial Jerman. Hitler dan kabinet dengan cepat membuat Keputusan yang lebih permanen dan luas untuk Perlindungan Rakyat dan Negara (dikenal sebagai Keputusan Kebakaran Reichstag ), yang menangguhkan hak untuk berkumpul, kebebasan pers, kebebasan berbicara, dan perlindungan konstitusional lainnya. Apabila merujuk kepada kekuasaan darurat di Jerman menurut Pasal 91 Konstitusi Jerman, maka hanya keadaan darurat internal hanya dapat dideklarasikan apabila “order to avert an imminent danger to the existence or free democratic basic order of the Federation or of a Land”. Kondisi Covid-19 jelas tidak termasuk keadaan mengancam demokrasi, sehingga hingga saat ini tidak ada hukum darurat semacam perppu di Indonesia yang diterbitkan. Namun, meskipun persyaratan untuk deklarasi keadaan darurat internal tidak terpenuhi sebagaimana Pasal 91 Konstitusi Federal Jerman, saat ini Bundeswehr (militer Federal) dikerahkan di 14 dari 16 Länder . Sebagai bagian dari misi sipil, Bundeswehr membantu para dokter, staf perawat, dan peralatan medis yang dibutuhkan. Misi ini didasarkan pada Pasal 35 ayat 1 Konstitusi Federal Jerman yang mengatur tata administrasi dan segala bantuannya dalam keadaaan bencana yang mewajibkan semua federal dan otoritas pertahanan 21 untuk memberikan bantuan administrasi, hukum dan pertanahan. Oleh karena itu, semua otoritas Federasi serta Länder dapat meminta Bundeswehr untuk dukungan teknis-logistik, yang Länder dibutuhkan. Menurut beberapa ahli, saat ini Bundeswehr sedang menjalankan misi terbesarnya sejak didirikan pada tahun 1955. Namun, Artikel 35 ayat (1) Konstitusi Jerman tidak mencakup misi bersenjata, sehingga, bahkan pada masa Covid-19, kompetensi Bundeswehr terbatas. Jerman tidak melahirkan hukum darurat, namun parlemen tetap bekerja seperti biasa dan melahirkan ketentuan-ketentuan yang dimaksudkan untuk melindungi dampak ekonomi Covid-19 seperti penambahkan Pasal 240 dalam Pembukaan KUHPER ( Einführungsgesetz zum Bürgerlichen Gesetzbuche ) Jerman. Pasal ini memuat ketentuan untuk melindungi penyewa yang tidak bisa lagi membayar sewa karena krisis. Secara bersamaan, Bundestag (Parlemen Federal) mengadopsi paket bantuan terbesar dalam sejarah Jerman. Selain itu untuk membangun perlindungan bagi karyawan, wiraswasta dan bisnis dengan menerbitkan bantuan pinjaman baru dengan total sekitar 156 miliar Euro . Korea Selatan Korea Selatan dihitung sebagai salah satu negara yang "sangat terpukul" oleh penyebaran Covid-19 yang muncul dari Wuhan, Cina. Menurut data terbaru Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Korea (KCDC), medio akhir Maret 2020, Korea Selatan telah melaporkan lebih dari 8.900 kasus dan 111 kematian. Namun sejak tanggal 3 Maret 2020, Presiden Korea merasa tidak perlu menetapkan keadaan darurat atau kekuasaan darurat. Tindakan yang justru diambil adalah menunjuk Tim Penanggulangan Bencana dan Keselamatan ( Central Disaster and Safety Countermeasure Headquarters ), dan dukungan dari fasilitas militer cukup untuk mengamankan tempat tidur untuk pasien yang dikonfirmasi Covid-19. Apabila merujuk kepada Konstitusi Korea Selatan, maka dapat dipahami bahwa ada dua jenis keadaan darurat menurut Pasal 76 Konstitusi Korea Selatan dan produk hukumnya yaitu "perintah keuangan darurat" (Pasal 76 (1) Konstitusi Korea Selatan) dan "perintah darurat" (Pasal 76 (2) Korea Selatan) selengkapnya berbunyi sebagai berikut: Art. 76 (1) Konstitusi Korea Selatan: “In time of internal turmoil, external menace, natural calamity or a grave financial or economic crisis […] the President may take in respect to them the minimum necessary financial and economic actions or issue orders having the effect of 22 Act, […] only when […] there is no time to await the convocation of the National Assembly.” : Art. 76 (2) hanya akan diadopsi dalam situasi berikut: “In case of major hostilities affecting national security […] the President may issue orders […] only when […] it is impossible to convene the National Assembly.” Saat ini beberapa regulasi yang berlaku di Korea terkait penangan Covid- 19 antara lain:

      1.

      UU Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Menular, 2. UU Pengelolaan Bencana dan Keselamatan, 3. UU Kekarantinaan, 4. UU Kesehatan Masyarakat Daerah, dan 5. UU Pencegahan Acquired Immunodeficiency Syndrome (UU AIDS) UU Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Menular ( Infectious Disease Control and Prevention Act (IDCPA), No. 14286, diubah pada 2 Desember 2016 dalam bahasa Inggris, dan versi terbaru di Korea, yang telah diamandemen pada 4 Maret 2020) adalah undang-undang paling relevan yang berlaku mengenai wabah COVID-19 yang meledak di Korea Selatan. IDCPA memberikan pemerintah sarana yang sangat spesifik untuk mendistribusikan sumber daya dan memobilisasi dan merangsang berbagai pelaku di seluruh masyarakat dalam upaya untuk memerangi penyebaran penyakit menular. UU lahir dari keterpukulan Korea Selatan akibat mewabahnya penyakit Middle East Respiratory Syndrome (MERS) Tahun 2015 lalu. Pada pokoknya UU ini bahkan mengatur konsekuesni ekonomi yang timbul akibat mewabahnya suatu penyakit. Kanada Hingga saat ini, kanada belum menyatakan keadaan darurat federal dalam hal merujuk kepada UU Darurat Tahun 1985. Setidaknya ada 4 alasan: Pertama, kesehatan adalah yurisdiksi provinsi dalam sistem federal Kanada, dan provinsi telah menggunakan wewenang hukum mereka untuk memaksakan keadaan darurat tingkat provinsi yang hanya bervariasi dalam detail kecil. Kedua, UU federal mengenai Karantina Kesehatan tahun 2005 sudah memberikan kekuasaan darurat yang luas kepada pemerintah. Pada tanggal 25 Maret 2020 Menteri Kesehatan Kanada mengumumkan Perintah Darurat di 23 bawah UU yang mengharuskan setiap orang yang memasuki Kanada melalui udara, laut atau darat diwajibkan mengisolasi diri selama 14 hari untuk memastikan apakah mereka memiliki gejala Covid-19. Hukuman pelanggaran ketentuan tersebut adalah denda hingga $ 750.000 dan/atau penjara hingga enam bulan. Hukuman meningkat bagi siapa saja yang dengan sengaja atau sembrono menyebabkan risiko kematian yang akan segera terjadi atau cedera tubuh yang serius terhadap orang lain yang bertentangan dengan Undang- undang atau peraturan yang dibuat di bawahnya. Ketiga, ada faktor budaya yang berperan. Kanada memiliki sistem kesehatan masyarakat yang berfungsi dengan baik. Tingkat kepercayaan pada para ahli kesehatan masyarakat, sehingga bahkan para perdana menteri provinsi yang telah menggoda dalam beberapa tahun terakhir dengan politik populis gaya Trump namun kehendak tersebut akhirnya diurungkan, Kanada banyak belajar dari pengalaman mereka dalam menghadapi SARS di tahun 2002. Keempat, struktur yuridis __ UU Darurat, dipahami dalam konteks politik dan hukumnya, yang harus membuat pemerintah federal ragu untuk menerapkannya. Pembukaan Undang-Undang ini mencerminkan fakta bahwa undang-undang itu diberlakukan tiga tahun setelah Charter of Rights and Freedoms menjadi bagian dari tatanan konstitusional Kanada: AND WHEREAS the Governor in Council, in taking such special temporary measures, would be subject to the Canadian Charter of Rights and Freedoms … and must have regard to the International Covenant on Civil and Political Rights , particularly with respect to those fundamental rights that are not to be limited or abridged even in a national emergency Undang-Undang ini tidak hanya tunduk pada komitmen penghormatan terhadap hak domestik dan internasional Kanada, tetapi Bagian 3 menetapkan bahwa 'darurat nasional' dapat dinyatakan hanya jika ada 'situasi darurat dan kritis yang bersifat sementara yang: (a) sangat membahayakan kehidupan, kesehatan atau keselamatan warga Kanada dan memiliki proporsi atau sifat seperti melebihi kapasitas atau wewenang provinsi untuk menghadapinya, atau 24 (b) secara serius mengancam kemampuan Pemerintah federal kanada untuk menjaga kedaulatan, keamanan dan integritas wilayah dan itu tidak dapat secara efektif ditangani berdasarkan hukum Kanada lainnya. Jika keadaan darurat diumumkan, maka menjadi 'Keadaan Darurat Kesehatan Masyarakat' yang berakhir pada akhir sembilan puluh hari kecuali jika diteruskan sesuai dengan Undang-Undang. Bagian 8 (3) (a) menyatakan bahwa wewenang berdasarkan Undang-Undang ini akan dilaksanakan atau dilakukan:

      a.

      dengan cara yang tidak mengganggu kemampuan provinsi mana pun untuk mengambil tindakan, berdasarkan Undang-undang parlemen di Provinsi, dan b. dengan pandangan untuk mencapai tindakan secara bersama-sama dengan masing-masing provinsi. Bagian 10 mengatur bahwa Parlemen dapat mencabut deklarasi darurat kesejahteraan publik. Bagian 58 mensyaratkan bahwa penjelasan tentang alasan deklarasi, termasuk konsultasi dengan provinsi (diamanatkan oleh Bagian 14), harus diletakkan di depan kedua Gedung Parlemen dalam waktu tujuh hari duduk dari deklarasi, sementara Bagian 59 mengizinkan sejumlah kecil anggota dari salah satu DPR mengajukan mosi agar deklarasi dicabut. Bagian 62 mensyaratkan bahwa komite bersama dibentuk untuk meninjau 'kinerja tugas dan fungsi sesuai dengan deklarasi darurat'. Singkatnya, UU Keadaan Darurat di Kanada tidak dipilih sebagai instrumen hukum dikarenakan prinsipnya tidak memberikan “kekebalan hukum” dan secara politis dikarenakan pengaturannya yang sangat ketat, lalu keharusan tidak melanggar piagam hak asasi manusia. Selain itu, bagaimana bagi pemerintah Kanada bagaimana konstruksi hukum darurat ketika Parlemen dan pengadilan tidak mampu beroperasi sebagaimana mestinya Bahkan upaya pemerintah federal untuk mengusulkan adanya undang-undang memberikan kekuasaan kepada pemerintah untuk membelanjakan, meminjam, dan pajak tanpa persetujuan Parlemen sampai Desember 2021, urung dilakukan dikarenakan resistensi parlemen yang tinggi di Kanada. Selandia Baru Lain halnya dengan yang terjadi di Selandia Baru, dalam menanggulangi Covid 19. Keadaan darurat nasional telah dinyatakan pada jam 12: 21 PM pada 25 tanggal 25 Maret 2020. Sebelum berbicara mengenai hukum darurat di Selandia baru, maka penting untuk diketahui bahwa di Selandia Baru memiliki panduan (non regulasi) mengenai sistem deteksi darurat Covid-19 berjenjang. Sistem ini memiliki 4 Jenjang (level) yaitu jenjang persiapan (level 1), jenjang meminimalisir (level 2), jenjang pelarangan (level 3) dan jenjang penguncian (level 4). Setiap jenjang ini memiliki dampak dan jangkauan peran pemerintah dalam penanggulangan Covid-19. Sejak Jam 11: 59 PM, 27 April 2020, Pemerintah Selandia Baru telah menetapkan jenjang pelarangan (level 3). Kembali kepada keadaan darurat sebagaimana diuraikan diatas, Ketentuan Keadaan darurat nasional diatur dalam UU Manajemen Pertahanan Sipil Darurat tahun 2002 ( Civil Defence Emergency Management Act 2002). Pasal 8 ayat (1) dan (2) UU UU Manajemen Pertahanan Sipil Darurat mengatur bahwa Perdana Menteri menunjuk Direktur Pertahanan Sipil Darurat yang bertugas untuk mengoordinasikan respons nasional, serta memungkinkannya untuk mengerahkan berbagai arahan darurat dan kekuatan permintaan (yang belum digunakan). Menurut UU Manajemen Pertahan Sipil Darurat Tahun 2002, Keadaan darurat ini perlu diperbarui setiap 7 hari tetapi telah diperbarui sekali dan diharapkan akan berulang kali untuk periode yang signifikan. Sejauh ini keadaan darurat telah terus diperpanjang selama pertama pada 9: 27am tanggal 31 Maret 2020, kedua kalinya pada 9: 25am tanggal 2 April 2020, ketiga kalinya pada 12: 21pm tanggal 8 April 2020, keempat kalinya pada 12: 21pm tanggal 15 April 2020, kelima kalinya, pada 12: 21pm tanggal 22 April 2020, keenam kalinya pada 12: 21pm tanggal 29 April 2020 hingga akan diperpanjang untuk ketujuh kalinya pada 12: 21 pm pada hari Rabu 6 Mei 2020 kecuali dinyatakan sebaliknya. Di saat penerapan UU Manajemen Pertahanan Sipil Darurat tahun 2002, penanggulangan Covid-19 juga dilakukan penerapan UU Kesiapan Penanggulangan Epidemi Tahun 2006 ( Epidemic Preparedness Act 2006). Penggunaan instrumen hukum ini memiliki sejumlah konsekuensi: (a) petugas medis kesehatan diberdayakan untuk menggunakan berbagai kekuasaan darurat khusus; (b) menteri dapat mengaktifkan (dan telah mengaktifkan) sejumlah ketentuan darurat spesifik yang tersebar di seluruh undang-undang jaminan sosial, imigrasi, hukuman dan pembebasan bersyarat; dan (c) menteri dapat mengeluarkan pemberitahuan untuk 'memodifikasi' persyaratan atau 26 pembatasan kekuasaan yang telah diatur dalam undang-undang. Kekuasaan ini merupakan Konvensi kekuasaan Henry VIII, namun sejauh ini hanya diminta sekali. Hal ini disebabkan tradisi waspada terhadap penggunaannya. Berdasarkan Pasal 70 huruf m UU Kesehatan Tahun 1956 sesungguhnya telah mengatur mengenai kewenangan Menteri Kesehatan untuk langsung me- “ lockdown ”. Kewenangan ini termasuk didalamnya mengkarantina tempat- tempat strategis dan vital seperti pertokoan, tempat ibadah, sekolah, namun dikecualikan pengadilan. Bahkan terkait dengan Pasal 70 UU Kesehatan, Polisi diberikan kewenangan khusus berdasarkan Pasal 71A UU Kesehatan dan Pasal 91 UU Manajemen Pertahanan Sipil Darurat untuk membantu, meminta dan mengarahkan dalam penanggulangan darurat kesehatan. Dalam merespon persoalan, ekonomi, Selandia Baru mengeluarkan beberapa kebijakan seperti pertama, stimulus dunia usaha dan kesejahteraan masyarakat senilai $12 Milyar; kedua, Rancangan UU APBN-P yang membolehkan penambahan anggaran penganan Covid-19 senilai $52 Milyar; dan (c) amandemen beberapa perundang-undangan dibidang kesejahteraan seperti sewa-menyewa, keuangan pusat dan daerah, pendidikan and Informasi Publik, untuk mengatasi beberapa masalah mendesak yang disebabkan oleh gangguan Covid-19. Berdasarkan uraian diatas, maka disimpulkan bahwa pada umumnya tidak terdapat negara yang dinyatakan berhasil menggunakan instrumen hukum daruratnya. WHO melalui artikel resminya yang berjudul “ How to budget for COVID-19 response? a rapid scan of budgetary mechanisms in highly affected countries ” penulis, Hélène Barroy, Ding Wang, Claudia Pescetto, and Joseph Kutzin. Mengemukakan bahwa every country must develop specific processes for allocating budget funds to the response . Selanjutnya rekomendasi yang diusulkan antara lain adalah: 1. Using existing budgetary flexibility and exceptional spending procedures to fund first measures 2. Accelerating revision of finance laws to secure a budget for the response through expenditure earmarkin 3. Releasing public funds to frontline service providers timely and facilitating expenditure tracking 27 Berdasarkan rekomendasi yang diusulkan tersebut, diakhir kesimpulannya artikel tersebut menyebutkan Ensuring an appropriate balance between flexibility and accountability is relevant now more than ever under these exceptional circumstances. Governments and legislature need to ensure sufficient budgetary funds, by reprogramming existing spending and earmarking additional funds. Apabila merujuk kepada instrumen hukum yang ada, maka semuanya telah memadai. Apabila menghendaki fleksibilitas untuk merespon dampak Covid-19, maka Pasal 27 ayat (3), dan ayat (4) UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara telah menentukan:

      (3)

      Penyesuaian APBN dengan perkembangan dan/atau perubahan keadaan dibahas bersama DPR dengan Pemerintah Pusat dalam rangka penyusunan prakiraan perubahan atas APBN tahun anggaran yang bersangkutan apabila terjadi:

      a.

      Perkembangan ekonomi makro yang tidak sesuai dengan asusmsi yang digunakan dalam APBN;

      b.

      Perubahan pokok-pokok kebijakan fiskal;

      c.

      Keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran antar unit, organisasi, antar kegiatan, dan antar jenis belanjan;

      d.

      Keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya harus digunakan untuk pembiayaan anggaran yang berjalan;

      (4)

      Dalam keadaan darurat Pemerintah dapat melakukan pengeluaran yang belum tersedia anggarannya, yang selanjutnya diusulkan dalam rencana perubahan APBN dan/atau disampaikan dalam Laporan Realisasi Anggaran; Opsi yang diambil melalui Pasal 2 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 jelas bertentangan dengan hak konstitusional para pemohon melalui DPR untuk membahas setiap rupiah dalam APBN sebagai representasi kedaulatan rakyat. apalagi kemudian, instrumen hukum yang ada saat ini yaitu adalah UU No 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana masih berlaku dan dapat dioptimalkan. Disaat yang bersamaan kehadiran Pasal 27 dan 28 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 telah menunjukan bahwa adanya hak imunitas dan pengenyampingan hukum yang berlaku, ini berdampak kepada dilanggarnya hak konstitusionalitas para Pemohon khususnya Pasal 27 dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Oleh karena itu, selanjutnya dijelaskan secara detil alasan-alasan hukum sebagaimana diurai diatas sebagai berikut: 28 B. Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1, angka 2, angka 3 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 bertentangan dengan Pasal 23 dan Pasal 23A UUD 1945 1. Bahwa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pendemi Corona Virus Disease 2019 (Covid- 19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan, dimaksudkan untuk menanggulangi dampak Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) yang menurut pandangan Pemerintah telah menciptakan keadaan ‘kegentingan yang memaksa’ terhadap 2 (dua) segi kehidupan sekaligus, yakni dalam hal keselamatan Jiwa Warga Negara dan Perekonomian Nasional. Akan tetapi secara materi muatan, Perpu Nomor 1 Tahun 2020 secara spesifik hanya memuat tentang berbagai kebijakan dalam rangka penyelamatan perekonomian Negara, yang secara garis besar terbagi dalam 2 (dua) bentuk, yakni Kebijakan Keuangan Negara disatu sisi dan Stabilitas Sistem Keuangan disisi yang lain;

      2.

      Bahwa salah satu Kebijakan Keuangan Negara yang diatur dalam Perpu Nomor 1 Tahun 2020, adalah memberikan kewenangan bagi pemerintah untuk menetapkan batasan defisit anggaran melampaui 3% (tiga persen) Produk Domestik Bruto (PDB) sampai dengan tahun anggaran 2022, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, 2, dan angka 3: (1) Dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara sebagaimana _dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), Pemerintah berwenang: _ a. Menetapkan batasan defisit anggaran, dengan ketentuan sebagai _berikut: _ 1. Melampaui 3% (tiga persen) dari Produk Domestik Bruto (PDB) selama masa penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID- 19) dan/atau untuk menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan paling _lama samapai dengan berakhirnya Tahun Anggaran 2022; _ 2. Sejak Tahun Anggaran 2023 besaran defisit akan kembali menjadi paling tinggi sebesar 3% (tiga persen) dari Produk Domestik Bruto (PDB); dan , 3. Penyesuaian besaran defisit sebagaimana dimaksud pada angka 1 menjadi sebagaimana dimaksud pada angka 2 dilakukan secara bertahap. 29 3. Bahwa ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, 2, dan angka 3 di atas, adalah bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), (2) dan ayat (3) UUD 1945 yang menentukan: Pasal 23 (1) Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang- undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk _sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; _ (2) Rancangan anggaran undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan _Perwakilan Daerah; _ (3) Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara yang diusulkan oleh Presiden, Pemerintah menjalankan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun yang lalu. 4. Bahwa sudah menjadi communis opinion doctorum , hakikat atau falsafah Keuangan Publik/Anggaran Negara adalah Kedaulatan. Pandangan yang demikian di antaranya dikemukakan oleh Rene Stroum, ‘The constitutional right which a nation possesses to authorize public revenue and expenditures does not originates from the fact that the members of the nation contribute the payments. This right is based on a loftier idea. The idea of sovereignty’ . Pandangan ini menerangkan bahwa kewenangan negara untuk menetapkan anggaran pendapatan dan belanja bukan semata-mata berangkat dari fakta bahwa masyarakat memiliki kontribusi dengan melakukan pembayaran pajak kepada negara, melainkan berangkat dari hal/idea yang lebih tinggi, yang disebut kedaulatan. Pandangan demikian juga diamini dan dirujuk oleh Prof. Arifin P. Soeria Atmadja, yang mengemukakan bahwa hakikat public revenue and expenditure APBN adalah kedaulatan, bukan yang lain. Apabila yang berdaulat adalah raja, maka rajalah yang berhak sepenuhnya untuk menetapkan APBN, sebaliknya jika rakyat yang berdaulat, maka rakyatlah yang berhak menetapkan APBN;

      5.

      Bahwa sejak Negara Indonesia didirikan oleh para Pendiri Bangsa dan memiliki sebuah konstitusi, sejak itu pula kita mengakui bahwa yang berdaulat adalah rakyat, menurut Pasal (1) ayat (2) UUD 1945 sebelum amandemen. Hal ini bahkan semakin dipertegas dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 setelah amandemen yang menentukan ‘Kedaulatan berada di 30 tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar’ . Ketentuan ini merupakan penegasan tentang kedaulatan rakyat dan sekaligus menjadi salah satu asas fundamental dalam hukum tata negara. Jika dalam lapangan politik kedaulatan rakyat sering didengungkan dengan adagium ‘dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat’ , maka dalam konteks anggaran negara, kedaulatan rakyat itu dapat juga didengungkan dengan adagium ‘dari mana sumber uang (pendapatan) dan untuk apa uang digunakan (belanja) harus dilakukan dengan persetujuan rakyat’ ;

      6.

      Bahwa kedaulatan rakyat terhadap anggaran negara ini selengkapnya dirumuskan dalam Pasal 23 ayat (1), (2) dan ayat (3) UUD 1945, sebagaimana telah dikutip dalam uraian angka ‘4’ di atas. Dalam Pasal a quo, kedaulatan rakyat terhadap anggaran negara ini dikonstruksikan menjadi 3 (tiga) bentuk: Pertama, APBN harus ditetapkan dengan Undang- Undang, bukan jenis Peraturan Perundang-Undangan yang lain; Kedua, APBN harus mendapatkan persetujuan DPR; Kedua, Undang-Undang APBN bersifat periodik (ditetapkan setiap satu tahun);

      7.

      Bahwa Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, 2, dan angka 3 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk menetapkan batas defisit dengan dua ketentuan: Pertama, membuka batasan defisit di atas 3% dari Pendapatan Domestik Brotu (PDB) tanpa batas maksimal; dan , Kedua, pemberlakukan batas defisi di atas 3% dari Pendapatan Domestik Brotu (PDB) sampai dengan tahun anggaran 2022;

      8.

      Bahwa sekilas materi muatan dalam Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, 2, dan angka 3 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 tidak mengatur tentang APBN secara langsung. Akan tetapi jika diselami lebih dalam, pengaturan yang demikian sejatinya telah menjangkau ‘jantungnya’ APBN, karena defisit itu sendiri merupakan selisih kurang dari akumulasi seluruh rencana Pendapatan ( revenue ) dan rencana Pengeluaran ( expenditure );

      9.

      Bahwa pentingnya pos defisit tidak bisa dilepaskan dari perkembangan format postur Undang-Undang APBN, khususnya setelah pengalaman krisis di penghujung tahun 90-an. Sejak APBN Tahun Anggaran 2000, format postur APBN dari yang sebelumnya disusun dalam bentuk T-account diubah menjadi format I-account . Format ini diterapkan untuk menggantikan dan sekaligus sebagai kritik terhadap berbagai kelemahan dari format dan 31 prinsip APBN pada masa Orde Baru. Sebagaimana diketahui, format postur APBN pada masa Orde Baru hanya terdiri dari ‘Rencana Penerimaan/Pendapatan’ dan ‘Rencana Pengeluaran/Belanja’, yang dalam penyusunannya menekankan prinsip ‘berimbang’. Dengan format dan prinsip demikian, penyusunan APBN diupayakan untuk menyeimbangkan antara pos penerimaan dan pos pengeluaran. Mengingat orientasi kebijakan Orde Baru yang menekankan pada konsep pembangunan ( developmentalism ), sering kali penerimaan dalam negeri tidak mencukupi pengeluaran negara/pengeluaran negara lebih besar dari seluruh penerimaan dalam negeri. Maka, dengan prinsip ‘berimbang’, selisih kurang antara penerimaan dan pengeluaran negara tersebut, kemudian dibuat berimbang (sama) melalui ‘pinjaman luar ngeri’. Artinya, prinsip ‘berimbang’ menjadi dasar bagi pemerintah untuk melakukan pinjaman luar negeri, dengan tujuan menyeimbangkan jumlah antara penerimaan dan pengeluaran;

      10.

      Bahwa format dan prinsip yang demikian ternyata dalam sejarah APBN di Indonesia, justru menjadi sumber rentannya APBN terhadap terpaan krisis, khususnya pengalaman krisis ekonomi Indonesia di penghujung kekuasaan Orde Baru. Hal ini dikarenakan format dan prinsip APBN tersebut mengandalkan penerimaan pembangunan yang berasal dari luar negeri. Konsekuensi yang terjadi pada APBN adalah meleburnya pinjaman yang digunakan untuk menutup defisit dalam pos penerimaan, sehingga menjadi tidak jelas, mana sumber daya dan dana yang serta-merta menjadi hak milik negara dan mana sumber dana yang harus dikembalikan. Yang dapat diketahui dari format dan prinsip APBN yang demikian, adalah setiap tahun APBN harus mengeluarkan sejumlah dana untuk membayar cicilan utang luar negeri, baik pokok pinjaman maupun bunganya;

      11.

      Bahwa pengalaman APBN dengan format dan prinsip pada masa Orde Baru, mendorong format/postur APBN kemudian diubah, tepatnya dalam RAPBN tahun anggaran 2000/2001, dari yang sebelumnya menggunakan format T-account menjadi format I-account . Dengan format I-account , postur APBN mengalami pengelompokkan kembali (reklasifikasi) pos-pos pendapatan dan belanja, termasuk pemisahan secara tegas terhadap beberapa komponen pembiayaan anggaran yang selama ini dimasukan 32 kedalam pos-pos pendapatan dan belanja negara. Maka jika dalam format postur APBN masa Orde Baru APBN hanya terdiri dari pos ‘penerimaan’ dan ‘pengeluaran, maka format postur APBN yang terbaru terdiri atas:

      (1)

      Pendapatan;

      (2)

      Belanja;

      (3)

      Keseimbangan Primer;

      (4)

      Surplu/Defisit Anggaran; dan , (5) Pembiayaan;

      12.

      Bahwa format I-account menjadikan APBN berbasis kinerja, yang konsekuensinya adalah anggaran dapat disusun secara defisit atau surplus, bukan disusun untuk mencapai keseimbangan antara penerimaan dan pengeluaran sebagaimana dalam format T-account . Dengan format yang baru, dimaksudkan untuk meningkatkan akuntabilitas, efisiensi, dan transparansi dalam penyusunan dan pelaksanaan APBN. Hal ini menjadi demikian penting, terutama ketika APBN disusun secara defisit. Pos defisit/surplus menceminkan selisih antara akumulasi pendapatan dan belanja. Manakala dalam penyusunan APBN total pendapatan lebih besar dari pada total pos belanja, maka yang terjadi adalah surplus anggaran. Sebaliknya, jika dalam penyusunan APBN total pos pendapatan lebih kecil dari pada total pos belanja, maka yang terjadi adalah anggaran defisit. Ketika anggaran defisit, maka disinilah fungsi pos pembiayaan untuk menutup defisit anggaran tersebut;

      13.

      Bahwa pos defisit dalam APBN memiliki posisi yang penting, sebagai alat untuk mengendalikan agar selisih kurang antara total pendapatan dan belanja tidak terlalu besar. Untuk menghindari telalu besarnya selisih kurang antara total pendapatan dan belanja, maka ditentukan bahwa batas maksimal defisit adalah 3% terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Hal ini sebagaimana ditentukan dalam penjelasan Pasal 12 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara: “Defisit anggaran dimaksud dibatasi maksimal 3% dari Produk Domestik Bruto. Jumlah pinjaman dibatasi maksimal 60% dari Produk Domestik Bruto.” Artinya, walaupun Pemerintah dimungkinkan untuk menyusun anggaran secara defisit, akan tetapi besaran defisit tersebut tidak bisa dibuat terlalu besar, tetapi ada batasannya, yakni maksimal 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Batasan ini ditentukan agar pos pembiayaan yang akan digunakan dalam menutupi defisit juga tidak semakin membesar, baik yang bersumber dari dalam negeri maupun luar negeri; __ 33 14. Bahwa uraian di atas menunjukkan pos defisit yang dibatasi maksimal 3% PDB, sejatinya memiliki posisi yang sama penting dengan pos pendapatan dan pos belanja dalam APBN dengan format I-account . Kedaulatan rakyat terhadap anggaran Negara memiliki nilai yang sama dalam seluruh pos APBN, baik dalam Pos Pendapatan, Pos Belanja, Pos Keseimbangan Primer, Pos Surplu/Defisit Anggaran, dan Pos Pembiayaan. Dalam UU APBN dengan format I-account , pos defisit memiliki posisi yang sangat penting karena beberapa alasan: Pertama, pos defisit mencerminkan selisih kurang antara total seluruh pendapatan dan total seluruh belanja belanja. Sehingga, setiap perubahan pada pos defisit secara langsung seluruh pos dalam APBN, baik Pendapatan, Belanja, Keseimbangan Primer, pos defisit itu sendiri, termasuk pos pembiayaan; Kedua, pos defisit menjadi alat kendali agar selisih kurang antara total seluruh pendapatan dan total seluruh belanja tidak terlalu besar. Apabila selisih kurang antara total seluruh pendapatan dan total seluruh belanja tidak terlalu besar, maka pos pembiayaan juga tidak akan membengkak, terutama pembiayaan terutama yang berasal dari luar negeri. yang dikemudian hari akan menjadi beban bagi APBN di tahun-tahun selanjutnya;

      15.

      Bahwa berdasarkan alasan tentang pentingnya posisi pos defisit dalam sebuah UU APBN dalam format I-account , maka menjadi jelas bahwa norma dalam Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, 2, dan angka 3 Perpu Nomor 1 Tahun 2020, telah melegitimasi sebuah Perppu untuk mengatur materi muatan APBN yang seharusnya diatur dalam sebuah Undang-Undang, sebagaimana amanat Pasal 23 ayat (1) UUD 1945;

      16.

      Dibukanya keran defisit di atas 3% dalam Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, 2, dan angka 3 Perpu Nomor 1 Tahun 2020, akan berimplikasi pada berubahnya hampir seluruh Pos dalam Undang-Undang APBN Tahun Anggaran 2020, terutama Pos Belanja, Pos Keseimbangan Primer, Pos Defisit itu sendiri, dan yang terpenting adalah Pos Pembiayaan. Terlebih ketentuan tentang batas defisit ini tidak hanya mengingat UU APBN Tahun Anggaran 2020, melainkan menjangkau UU APBN Tahun Anggaran 2021 dan UU APBN Tahun Anggaran 2022;

      17.

      Bahwa terhadap UU APBN Tahun Anggaran 2021 dan UU APBN Tahun Anggaran 2022, walaupun produk hukumnya belum ditetapkan, akan tetapi 34 berdasarkan Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, 2, dan angka 3 Perppu Nomor 1 Tahun 2020, maka dapat dipastikan bahwa seluruh Pos dalam APBN Tahun Anggaran dua tahun kedapan dengan sendirinya terikat pada ketentuan tentang batasan defisit di atas 3% yang tanpa batas maksimal itu;

      18.

      Bahwa hal ini secara terang menjelaskan bahwa norma dalam Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, 2, dan angka 3 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 secara langsung telah menyusup masuk kedalam materi muatan Undang-Undang APBN, setidaknya untuk 3 (tiga) Tahun Anggaran, dan karenanya adalah jells dan nyata bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 yang mengharuskan APBN ditetapkan dalam sebuah Undang-Undang, bukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

      19.

      Bahwa disamping APBN harus ditetapkan dalam sebuah Undang-Undang dan bukan PERPPU, APBN menurut Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 harus mendapatkan persetujuan DPR, sebagai bentuk kedaualatan rakyat terhadap setiap rupiah yang ada dalam APBN. Persetujuan DPR bersifat mutlak dan tidak bisa dikesampingkan dengan alasan apapun;

      20.

      Bahwa demikian pentingnya persetujuan DPR, disebabkan hak anggaran ( budget ) itu sendiri merupakan milik DPR. Itulah sebabnya, dalam penyusunan UU APBN, posisi DPR adalah lebih kuat dan lebih menentukan dari pada Pemerintah. Lebih kuatnya posisi DPR, bahkan ditegaskan dalam Pasal 23 ayat (3) UUD 1945, bahwa apabila DPR tidak menyetujui Rancangan Undang-Undang tentang APBN yang diajukan oleh Pemerintah, maka Pemerintah tidak punya pilihan lain, selain menggunakan UU APBN tahun sebelumnya. Hal ini merupakan konsekuensi dari prinsip kedaualatn rakyat yang sejak awal telah ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945;

      21.

      Bahwa dalam ilmu hukum tata negara, persetujuan DPR terhadap UU APBN merupakan sebuah otorisasi (kuasa) yang diberikan kepada pemerintah untuk melakukan pembelanjaan sejumlah uang yang ditentukan dalam UU APBN, serta mencari pendapatan untuk melakukan belanja tersebut. Persetujuan DPR sebagai sebuah otorisasi (kuasa) juga dikemukakan oleh Molenaar, bahwa sebagian besar sarjana hukum di Perancis dan Jerman mengatakan bahwa peretujuan DPR adalah kuasa. Dalam sejarah ketatanegaraan RI, ada keterangan rsmi dari pemerintah yang menyatakan bahwa persetujuan DPR dianggap sebagai ‘kuasa’; 35 22. Persetujuan DPR terhadap UU APBN merupakan sebuah otorisasi (kuasa) menurut Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, perlu didudukkan dalam kaitannya dengan pelaksanaan APBN. Dalam hal ini dipahami bahwa sebagai sebuah otorisasi (kuasa), maka pemerintah memiliki kewajiban untuk memberikan pertanggungjawaban terhadap pelaksanaan UU APBN itu sendiri;

      23.

      Bahwa norma dalam Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, 2, dan angka 3 Perppu Nomor 1 Tahun 2020 telah menjadikan Persetujuan DPR yang menurut Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 bersifat mutlak , berubah menjadi bersifat relatif . Hal ini disebabkan beberapa alasan:

      a.

      Pasal 2 ayat (1) Perppu Nomor 1 Tahun 2020 dirumuskan dengan menggunakan frasa ‘Dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), Pemerintah berwenang’ . Digunakannya frasa ‘pemerintah berwenang’, bermakna bahwa kekuasaan untuk menetapkan batasan defisit anggaran sebagai salah satu pos anggaran yang esensial dalam sisitem APBN dengan format I-account , telah diambil alih menjadi kewenangan eksekutif. Hal ini secara jelas telah mengambil hak mutlak milik DPR oleh cabang kekuasaan eksekutif;

      b.

      Terhadap UU APBN Tahun Anggaran 2020. Bahwa UU APBN TA 2020 yang telah ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2019 tentang Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020 dan telah disetujui oleh DPR justru dimentahkan. Sebagaimana telah dikemukakan pada point ‘17’ alasan permohonan, bahwa dibukanya batas defisit di atas 3% berdasarkan Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, 2, dan angka 3 Perpu Nomor 1 Tahun 2020, akan berimplikasi pada berubahnya hampir seluruh Pos dalam Undang- Undang APBN Tahun Anggaran 2020, terutama Pos Belanja, Pos Keseimbangan Primer, Pos Defisit itu sendiri, dan Pos Pembiayaan. Artinya, dengan berlakunya Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, 2, dan angka 3 Perpu Nomor 1 Tahun 2020, secara terang dan jelas bertentangan dengan Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3), karena telah merubah arti penting persetujuan DPR terhadap UU APBN yang bersifat ‘mutak’ menjadi bersifat ‘relatif’; 36 c. Terhadap UU APBN Tahun Anggaran 2021 dan UU APBN Tahun Anggaran 2022. Sebagaimana diketahui, bahwa kedua UU APBN Aanggaran 2021 dan 2022 belum ada prodak hukumnya. Akan tetapi berdasarkan Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, 2, dan angka 3 Perppu Nomor 1 Tahun 2020, kedua UU APBN yang masih berstatus ius constituendum , dalam penyusunannya dikemudian hari akan terikat pada norma Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, angka 2, dan angka 3 Perppu Nomor 1 Tahun 2020, yang secara langsung mempengaruhi seluruh pos anggaran pada APBN. Dengan demikian, persetujuan DPR yang dimaksudkan bersifat ‘mutlak’ menurut Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, jelas dilanggar dan dicederai oleh Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, 2, dan angka 3 Perppu No. 1 Tahun 2020.

      24.

      Bahwa seluruh uraian di atas secara terang dan jelas menunjukkan bahwa norma dalam Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, 2, dan angka 3 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 adalah bertentangan dengan Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, dan karenanya adalah beralasan hukum untuk dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi;

      25.

      Bahwa di samping harus ditetapkan dengan sebuah Undang-Undang dan mendaptakan persetujuan DPR, berdasarkan Pasal 23 ayat (1), (2) dan ayat (3) UUD 1945 meneguhkan bahwa UU APBN memiliki karakter atau ‘periodik’, sebuah hal yang membedakannya dengan Undang-Undang lain pada umumnya. Dalam kaitanya dengan hal tersebut, Goedhart mendefiniskan anggaran Negara sebagai; ‘keseluruhan undang-undang yang ditetapkan secara periodik , yang memberikan kekuasaan eksekutif untuk melaksanakan pengeluaran mengenai periode tertentu dan menunjukkan alat pembiayaan yang diperlukan untuk menutup pengeluaran tersebut’ . Pandangan Goedhart di atas, menegaskan bahwa unsur periodic merupakan unsur yang terdapat pada seluruh anggaran Negara;

      26.

      Bahwa unsur Periodik dimaksud terkandung dalam keseluruhan Pasal 23 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945. Dalam ayat (1) ditentukan bahwa APBN ditetapkan setiap tahun (periodik) dengan Undang-Undang, artinya ada sifat periodik. Selanjutnya dalam ayat (2) dan ayat (3) secara berturut- turut menentukan bahwa UU APBN harus mendapatkan persetujuan DPR, dan apabila terjadi kondisi di mana DPR tidak menyetujui UU APBN, maka 37 pemerintah harus menggunakan UU APBN tahun sebelumnya. Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 ini semakin meneguhkan unsur ‘periodik’ dalam UU APBN, dimana ada masa berlaku APBN setiap satu tahun;

      27.

      Bahwa norma dalam Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, angka 2, dan angka 3 Perppu Nomor 1 Tahun 2020 secara jelas menggugurkan karakter periodik dari UU APBN yang diamanatkan oleh Pasal 23 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945. Hal ini dikarenakan dibukanya batasan defisit di atas 3% terhadap PDB, dalam Pasal a quo , adalah diberlakukan terhadap 3 (tiga) Tahun Anggaran sekaligus, artinya mengikat dan menjangkau tiga Undang-Undang APBN sekaligus. Hal yang demikian jelas menihilkan arti penting unsur periodik Undang-Undang APBN yang harus ditetapkan setiap satu tahun;

      28.

      Bahwa berasarkan uraian di atas, adalah jelas bahwa norma dalam Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, angka 2, dan angka 3 Perppu Nomor 1 Tahun 2020 adalah bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945 karena 3 (tiga) alasan utama yang telah diuraikan sebelumnya, yakni: Pertama, APBN harus ditetapkan dalam jenis Peraturan Perundang- Undangn yang bernama Undang-Undang, bukan yang lain, termasuk bukan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; Kedua, Undang- Undang APBN harus mendapatkan persetujuan DPR, dan persetujuan DPR bersifat mutlak sebagai pengenjawantahan kedaulatan rakyat terhadap anggaran Negara; dan , ketiga, Undang-Undang APBN memiliki unsur periodik, yakni harus ditetapkan setiap satu tahun;

      29.

      Bahwa mengacu pada tiga kriteria dari Undang-Undang APBN sebagai amanat Pasal 23 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945 ini, maka menjadi jelas dan terang bahwa pemberian kewenangan bagi pemerintah untuk menetapkan batas defisit anggaran di atas 3% terhadap PDB berdasarkan;

      30.

      Bahwa disamping bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945, Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka (1), angka (2), dan angka (3) Perppu No. 1 Tahun 2020 berkenaan dengan Kebijakan Keuangan Negara tidak memiliki urgensi dan alasan hukum yang kuat, karena Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara telah mengatur mekanisme pelaksanan APBN dalam keadaan tidak normal atau darurat, tanpa perlu mengeluarkan Perppu yang memang sama sekali tidak dikenal 38 dalam rezim penyusunan Anggaran Negara/Keuangan Publik. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang menentukan:

      (5)

      Penyesuaian APBN dengan perkembangan dan/atau perubahan keadaan dibahas bersama DPR dengan Pemerintah Pusat dalam rangka penyusunan prakiraan perubahan atas APBN tahun anggaran yang bersangkutan apabila terjadi:

      a.

      Perkembangan ekonomi makro yang tidak sesuai dengan asusmsi yang digunakan dalam APBN;

      b.

      Perubahan pokok-pokok kebijakan fiscal;

      c.

      Keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran antar unit, organisasi, antar kegiatan, dan antar jenis belanjan;

      d.

      Keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya harus digunakan untuk pembiayaan anggaran yang berjalan;

      (6)

      Dalam keadaan darurat Pemerintah dapat melakukan pengeluaran yang belum tersedia anggarannya, yang selanjutnya diusulkan dalam rencana perubahan APBN dan/atau disampaikan dalam Laporan Realisasi Anggaran;

      31.

      Bahwa berdasarkan ketentuan diatas, rezim perundang-undangan di bidang Keuangan Negara telah menyediakan 2 (dua) mekanisme luar biasa dalam pelaksanaan APBN dengan tetap memperhatikan prinsip kedaulatan rakyat yang menjadi esensi Anggaran Negara/Keuangan Publik. Mekanisme atau skema tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, adalah melalui skema Undang-Undang APBNP (Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Perubahan) manakala terjadi keadaan sebagaimana disebutkan dalam huruf ‘a’ sampai dengan huruf ‘d’ Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Keuangan Negara. Skema ini memberikan jalan bagi Pemerintah untuk melakukan Perubahan Undang-Undang APBN dalam periode yang sama, denga ketentuan bahwa setiap perubahan harus terlebih dahulu mendapatkan Persetujuan DPR sebelum dilaksanakan, artinya pemerintah diberikan peluang untuk melakukan perubahan dalam tahun anggaran berjalan, tanpa mengesampingkan kedaulatan sebagai 39 esensi anggaran negara yang diamanatkan oleh Pasal 23 ayat (2) dan (3) UUD 1945, dan sifat periodik (setiap tahun) Undang-Undang APBN yang diatur dalam Pasal 23 ayat (1) UUD 1945; Kedua, adalah skema yang digunakan dalam keadaan darurat. Dalam skema ini Pemerintah dalam melakukan pergeseran anggaran, termasuk melakukan Belanja (Pengeluaran) untuk keperluan yang tidak ada pagu anggarannya dalam Undang-Undang APBN periode yang sedang berjalan. Belanja (Pengeluaran) dalam skema darurat ini dapat dilakukan tanpa perlu mendapat persetujuan DPR terlebih dahulu, dengan ketentuan dipersyaratkan adanya keadaan darurat yang mengancam Keselamatan Jiwa atau Keutuhan Negara, seperti Darurat Kesehatan akibat virus Covid- 19 yang saat ini dihadapi Indonesia. Persetujuan DPR dapat dimintakan setelah realisasi anggaran dilakukan, untuk kemudian dituangkan dalam Undang-Undang APBN Perubahan dan/atau dilaporkan dalam Laporan Realisasi Anggaran.

      32.

      Kedua skema Pelaksanaan APBN dalam Undang-Undang Keuangan Negara ini sejatinya dapat menjadi pilihan pemerintah dalam menghadapi kemungkinan permasalahan perekonomian sebagai akibat dari wabah Virus Covid-19. Terlebih berbagai kebijakan keuangan negara yang diatur dalam Perpu Nomor 1 Tahun 2020 seperti pergeseran anggaran antar unit, antar organisasi, antar kegiatan, dan antar jenis belanja, serta penggunaan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya untuk pembiayaan anggaran yang berjalan, telah diakomodasi oleh Undang-Undang Keuangan Negara;

      33.

      Satu-satunya yang tidak diakomodir dalam skema ini adalah tentang membuka kemungkinan defisit yang tinggi. Hal ini patut dicurigai sebagai agenda politik anggaran yang disusupkan, agar Pemerintah mendapatkan legitimasi hukum untuk berakrobat dalam menyususn Anggaran Negara sampai 3 tahun kedepan, khususnya sebagai legitimasi untuk menambah jumlah pinjaman luar negeri yang dianggap sebagai jalan paling rasional untuk melakukan pemulihan ekonomi pasca wabah Covid-19, dengan konsekuensi APBN kita dimasa yang akan datang semakin tergerus dan terbebani untuk melunasi pinjaman luar negeri Indonesia yang semakin membengkak. Terlebih dalam Pasal 27 Perppu Nomor 1 Tahun 2020 memuat ketentuan yang seolah menciptakan pelindung atau imunitas bagi 40 pelaksanaan Perpu untuk kebal dari segala perbuatan melanggar hukum, dan tidak dapat dituntut, baik secara perdata, pidana, bahkan tidak bisa diperkarakan di PTUN;

      34.

      Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009, menyebut ada tiga syarat sebagai parameter adanya “kegentingan yang memaksa” bagi Presiden untuk menetapkan Perppu, yaitu: Pertama , Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang; Kedua, Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai; Ketiga , Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan;

      35.

      Bahwa dari uraian poin sebelumnya menunjukan bahwa dari tiga hal tersebut tidak terpenuhi dengan keluarnya Perpu Nomor 1 tahun 2020. Sebab yang dibahas dalam Perppu itu adalah tentang masalah keuangan dan anggaran negara. Sementara Anggaran Negara sudah ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Undang-Undang APBN tidak boleh di Perppu, bukan hanya tidak boleh, tetapi haram, dan hanya boleh direvisi dengan melalui APBN Perubahan. Sehingga alasan Covid-19 menjadi alasan kekosongan hukum karena tidak ada prosedur hukum, juga tidak terpenuhi. hadirnya Undang-Undang Nomor 6 tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan yang sangat jelas dan terang untuk dijadikan sebagai dasar hukum dalam mengambil kebijakan penanganan wabah Covid-19. Alasan mendesak pun tidak terpenuhi dalam perppu ini. Sebab DPR masih bersidang, belum memasuki masa reses, bahkan sampai hari ini masih membahas Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja dan pemindahan Ibukota Negara. Artinya Pemegang Kekuasaan pembentuk undang-Undang masih berfungsi dalam menjalankan tugasnya;

      36.

      Bahwa berdasarkan uraian di atas, maka disimpulkan bahwa ketentuan dalam Pasal 1 dan Pasal 2 Perpu Nomor 1 Tahun 2020, disamping secara terang dan jelas bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), (2), dan ayat (3) UUD 1945, juga tidak memiliki urgensi kegentingan yang memaksa sebagai 41 prasyarat penerbitkan sebuah Perppu sebagaimana Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009. C. Pasal 27 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 Bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 23, Pasal 23A, Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.

      1.

      Bahwa Pasal 27 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 pada pokoknya mengatur imunitas antara lain sebagai berikut: Pasal 27 (1) Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merrrpakan kerugian negara.

      (2)

      Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perrrndang- undangan.

      (3)

      Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara.

      2.

      Bahwa merujuk kepada Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa “Indonesia adalah negara hukum”. Salah satu aspek makna negara hukum adalah adanya pembatasan kekuasaan. Adanya pembatasan kekuasaan Negara dan organ-organ Negara dilakukan dengan cara menerapkan prinsip pembagian kekuasaan secara vertikal atau pemisahan kekuasaan secara horizontal. Sesuai dengan hukum besi kekuasaan, setiap kekuasaan pasti memiliki kecenderungan untuk berkembang menjadi sewenang- wenang, seperti dikemukakan oleh Lord Acton: “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely” . Karena itu, kekuasaan selalu harus dibatasi dengan cara memisah-misahkan kekuasaan ke dalam cabang- cabang yang bersifat ‘checks and balances’ dalam kedudukan yang sederajat dan saling mengimbangi dan mengendalikan satu sama lain. Pembatasan kekuasaan juga dilakukan dengan membagi-bagi kekuasaan 42 ke dalam beberapa organ yang tersusun secara vertical. Dengan begitu, kekuasaan tidak tersentralisasi dan terkonsentrasi dalam satu organ atau satu tangan yang memungkinkan terjadinya kesewenang-wenangan.

      3.

      Bahwa Pasal 27 pada pokoknya mengatur mengenai hak imunnitas. Hak imunitas atau yang dikenal sebagai Sovereign Immunity merupakan turunan dari asumsi kekuasaan klasik di era Common Law yaitu raja tidak dapat salah ( King can do no wrong ). Prinsip klasik ini sudah muncul sejak Raja Edward I, yang berbunyi bahwa The Crown of England has not been sueable unless it has specifically consented to suit . Prinsip ini bertentangan dengan maxim utama dalam negara hukum yaitu: no one, not even the government, is above the law . Konsep Imunitas sendiri bahkan menurut Erwin Chemerinsky dalam karyanya yang berjudul “Against Sovereign Immunity” (Stanford Law Review, Vol 53 No 1201, 2001) dinyatakan olehnya bukan merupakan prinsip yang sesuai dengan konstitusionalisme. Bahkan menurutnya, konsep imunitas harus dianggap bukan sebagai prinsip hukum. hal ini sesungguhnya bersesuaian dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, Pasal 27 dan Pasal 28D (1) UUD 1945 yang menentukan bahwa kedudukan setiap orang sama dihadapan hukum. berdasarkan communis opinio doctorum mengenai konsep immunitas yang tidak memiliki basis konstitusional yang jelas dan bertentangan dengan prinsip-prinsip konstitusionalisme maka Pasal 27 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, Pasal 27 dan Pasal 28D (1) UUD 1945.

      4.

      Bahwa Pasal 27 ayat 1 yang memungkinkan terjadinya potensi tindak pidana korupsi. Karena dalam pasal itu disebutkan biaya yang dikeluarkan pemerintah selama penanganan pandemi Covid-19 termasuk di dalamnya kebijakan bidang perpajakan keuangan daerah dan pemulihan ekonomi nasional bukan merupakan kerugian negara. Ketentuan ini juga bertentangan dengan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang menyatakan: ‘ Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda 43 paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)’. ayat (2) disebutkan ‘Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan’. Selanjutnya, dalam ayat (2) dijelaskan “yang dimaksud dengan ‘keadaan tertentu’ dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku , pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter. ” Ketentuan ini menunjukan bahwa tindak pidana korupsi dalam keadaan bahaya justru mengalami pemberatan bahkan hukuman mati, namun Pasal 27 Perppu Nomor 1 Tahun 2020 justru mengeyampingkan dan mengimunitaskan pejabat-pejabat tertentu.

      5.

      Bahwa dalam upaya penagakkan hukum, terdapat Maxim Lucius Calpurnius Piso Caesoninus (43 SM) yang menyatakan bahwa “Fiat justitia ruat coelum” yang artinya tegakkan keadilan walaupun langit akan runtuh. Adagium tersebut dapat dimaknai bahwa dalam kondisi apapun hukum harus menjunjung tinggi kebenaran yang bernalar (orthos logos) dan keadilan, sehingga tidak ada kejadian atau kondisi apapun yang mentolerir ketidakadilan ada dalam rongga-rongga hukum. Ketentuan Pasal 27 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 memuat suatu rumusan norma yang menjadikan penegakkan hukum tidaklah adil. Sebab di dalam ketentuan Pasal 27 mengandung rumusan norma yang memberikan perlindungan bagi mereka yang berlaku tidak adil atau melakukan sesuatu yang dapat merugikan bangsa dan Negara. Konstruksi yang demikian ini jelas Pasal 27 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, Pasal 27 dan Pasal 28D (1) UUD 1945.

      6.

      Bahwa apabila merujuk kepada pasal 23E ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan ” Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri” ; selain itua apabila merujuk kepada Pasal 23E ayat (2) UUD 1945 yang menentukan “ hasil pemeriksaan keuangan negara diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan 44 Perwakilan Rakyat Daerah, sesuai dengan kewenangannya” maka apabila merujuk kepada Pasal 27 Perppu Nomor 1 Tahun 2020 menujukan bahwa Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang diberi amanat oleh UUD untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara tidak dapat melakukan melaksanakan pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara dan secara otomatis DPR tidak dapat mengawasi penggunaan anggaran tersebut. Oleh karena itu jelas Pasal 27 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 ini selain melahirkan kebijakan yang berpotensi merugikan negara juga berpotensi melahirkan kebijakan ekonomi yang otoriter, sehingga pasal 27 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 bertentangan dengan Pasal 23E ayat (2) UUD 1945.

      7.

      Bahwa Pasal 27 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 memiliki isi dan makna yang serupa dengan Pasal 29 Perppu Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan yang berbunyi “Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, dan/atau pihak yang melaksanakan tugas sesuai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini tidak dapat dihukum karena telah mengambil keputusan atau kebijakan yang sejalan dengan tugas dan wewenangnya sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini”. Pada saat yang sama Perpu Nomor 4 Tahun 2008 juga dianggap memberi wewenang di sangat luar batas kepada Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) dalam menetapkan status bank bermasalah dan penanganannya. KSSK hanya terdiri dari Menteri Keuangan sebagai ketua dan Gubernur BI sebagai anggota. Selain itu, kekuasaan yang sangat mutlak ada pada Menteri Keuangan. Karena kalau terjadi selisih pendapat antara Menteri Keuangan sebagai ketua KSSK dengan anggota KSSK yang lain, maka Menteri Keuangan dapat menetapkan keputusan sendiri. Perpu Nomor 4 Tahun 2008 juga dianggap memberi wewenang absolut kepada KSSK untuk menghilangkan fungsi dan wewenang DPR terkait keuangan negara. Karena Menteri Keuangan dapat mengeluarkan uang negara atas nama krisis tanpa minta persetujuan DPR. Padahal kewenangan DPR itu telah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945. Akhirnya Dari 10 fraksi yang mengikuti Rapat Paripurna Pada Desember 2008, hanya 4 fraksi yang menyetujui RUU JPSK jadi undang- undang. Fraksi itu adalah Fraksi Demokrat, Fraksi Partai Persatuan 45 Pembangunan (FPPP), Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) dan Fraksi Partai Damai Sejahtera (FPDS). Sisanya, Fraksi Partai Golongkan Karya (F- Golkar), Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDIP), Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB), Fraksi Partai Amanat nasional (FPAN), Fraksi Bintang Pelopor Demokrasi (FBPD) dan Fraksi Bintang Reformasi (FBR), menolak RUU tersebut menjadi undang-undang. Sekarang terbukti keputusan DPR ketika itu ternyata tepat. Dana pinjaman likuiditas yang diberikan kepada Bank Century ternyata bermasalah. Merugikan keuangan negara. Karena Perppu Nomor 4 Tahun 2008 tidak disahkan, maka tidak ada pihak yang kebal hukum. Beberapa pihak yang terlibat merugikan keuangan negara diproses secara hukum. Pengadilan menyatakan mereka bersalah, baik dari Bank Century maupun Bank Indonesia.

      8.

      Bahwa sebagaimana terurai diatas bahwa pemberian hak imunitas sebagaimana dalam Pasal 29 Perpu Nomor 4 Tahun 2008 yang kemudian kembali diadopsi dalam Pasal 27 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 berpotensi terjadinya penyalahgunaan wewenang. Selain kasus century yang pernah terjadi, maka kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia pada masa krisis ekonomi tahun 1998 merupakan contoh kelam dari penyalahgunaan keadaan darurat. Ketika itu, Bank Indonesia dikuras untuk menyehatkan perbankan yang katanya mengalami rush tetapi kenyataannya cuma modus dari para pemilik bank untuk mendapatkan dana segar untuk menyelamatkan grup usahanya. Berdasarkan hal tersebut maka konstruksi yang demikian ini jelas Pasal 27 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, Pasal 27 dan Pasal 28D (1) UUD 1945.

      9.

      Bahwa berdasarkan uraian di atas, maka disimpulkan bahwa ketentuan dalam Pasal 27 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, Pasal 27 dan Pasal 28D (1) UUD 1945. D. Pasal 28 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 juncto Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU- VII/2009 dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

      1.

      Bahwa Pemerintah, dalam hal ini Presiden memiliki hak konstitusional sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 untuk menerbitkan Perpu Nomor 1 Tahun 2020 dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa; 46 2. Bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No 138/PUU- VII/2009, dalam pertimbangan Mahkamah pada halaman 19, telah memberikan kriteria diterbitkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) dan Mahkamah telah berpendapat tiga syarat diperlukan adanya suatu Perpu adalah syarat adanya kegentingan yang memaksa sebagaimana dimaksud oleh Pasal 22 ayat (1) UUD 1945, apabila:

      a.

      Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang;

      b.

      Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai;

      c.

      Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan;

      3.

      Bahwa Pembentukan Perpu sebagaimana ditentukan dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 dibolehkan ketika negara sedang menghadapi keadaan kegentingan yang memaksa. Namun demikian, hal ihwal kegentingan yang memaksa dalam menetapkan Perpu Nomor 1 Tahun 2020 tidak memiliki arah yang jelas, yaitu apakah hal ihwal kegentingan yang memaksa tersebut terkait dengan ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan atau hal ihwal kegentingan yang memaksa tersebut adalah penanganan pandemi Covid-19; Muatan materi Perppu Nomor 1 Tahun 2020 terdiri dari 6 bab, tetapi tidak ada satu bab pun terkait dengan penanganan Pandemi Covid-19: Bab I. Ruang Lingkup Bab II. Kebijakan Keuangan Negara yang terdiri dari (1) Penganggaran dan Pembiayaan (2) Kebijakan di Bidang Keuangan Daerah (3) Kebijakan di bidang Perpajakan (4) Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional (5) Pelaksanaan Kebijakan Keuangan Negara (6) Pelaporan _Bab III. Kebijakan Stabilitas Sistem Keuangan, terdiri dari: _ (1) Kebijakan Stabilitas Sistem Keuangan 47 (2) Kewenangan dan Pelaksanaan Kebijakan oleh Bank Indonesia (3) Kewenangan dan Pelaksanaan Kebijakan oleh Lembaga Penjamin Simpanan (4) Kewenangan dan Pelaksanaan Kebijakan oleh Otoritas Jasa Keuangan (5) Kewenangan dan Pelaksanaan Kebijakan oleh Pemerintah Bab IV. Ketentuan Sanksi Bab V. Ketentuan Penutup. 4. Bahwa Pasal 28 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 justru memuat ketentuan yang menyatakan tidak berlakunya 12 Undang-Undang sepanjang terkait dengan kebijakan yang ditentukan dalam Perpu Nomor 1 Tahun 2020 tersebut. Ke- 12 Undang-Undang tersebut masih tetap ada dan berlaku, namun sebagian ketentuan pasal-pasal yang terdapat di dalamnya dinyatakan tidak berlaku sepanjang berkaitan dengan kebijakan keuangan negara untuk penanganan penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang ini. Artinya, dengan Perpu ini, ketentuan pasal- pasal yang tersebut dalam ke-12 Undang-Undang itu ditangguhkan atau dikesampingkan berlakunya untuk sementara waktu, hingga tujuan tercapai atau krisis Covid-19 dinyatakan sudah berakhir.

      5.

      Bahwa 12 ketentuan itu antara lain:

      a.

      ketentuan jangka waktu yang diatur dalam Pasal 11 ayat (21), Pasal 17b ayat (1), Pasal 25 ayat (3), Pasal 26 ayat (1), dan Pasal 36 ayat (1c) Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 32621 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang- Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 49991); 48 b. Pasal 55 ayat (4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 2 tahun 2008 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 49621;

      c.

      Pasal 12 ayat (3) beserta penjelasannya, Pasal 15 ayat (5), Pasal 22 ayat (3), Pasal 23 ayat (1), Pasal 27 ayat (3), dan Pasal 28 ayat (3) dalam Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 4286);

      d.

      Pasal 3 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2oo4 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355);

      e.

      Pasal 22 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2004 nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 44201 sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan Menjadi Undang-Undang (lembaran negara Republik Indonesia tahun 2009 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 49631;

      f.

      Pasal 27 ayat (1) beserta penjelasannya, Pasal 36, Pasal 83, dan Pasal 107 ayat (2) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438; 49 g. Pasal 171 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063);

      h.

      Pasal 72 ayat (2) beserta penjelasannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5495);

      i.

      Pasal 316 dan Pasal 317 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679;

      j.

      Pasal 177 huruf c angka 2, pasal 180 ayat (6), dan Pasal 182 Undang- Undang Nomor 17 tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2014 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 181, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6396);

      k.

      Pasal 20 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5872); dan

      l.

      Pasal 11 ayat (22), Pasal 40, Pasal 42, dan Pasal 46 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2019 tentang Anggaran Pendapatan Dan Belanja 50 Negara Tahun Anggaran 2020 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 198, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6410).

      6.

      Bahwa apabila merujuk kepada pengenyampingan yang ke-12 yaitu penangguhan untuk Undang-Undang APBN, maka ketentuan ini identik dengan perubahan anggaran, yang menyangkut kewenangan DPR untuk menyatakan setuju atau tidaknya. Presiden tidak boleh secara sepihak menentukan sendiri perubahan anggaran itu, hanya karena ada keadaan kegentingan yang memaksa yang ditafsirkan sendiri secara sepihak oleh Presiden. Pasal 28 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 menyatakan menangguhkan berlakunya 11 Undang-Undang untuk sementara waktu keadaan darurat Covid-19, dan sekaligus mengubah 1 Undang-Undang, yaitu Undang-Undang tentang APBN Tahun Anggaran 2020. Ketentuan ini jelas bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945, juga tidak memiliki urgensi kegentingan yang memaksa sebagai prasyarat penerbitkan sebuah Perppu sebagaimana Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009.

      7.

      Bahwa Pasal 28 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 jelas menerapkan prinsip metode Omnibus. Apabila merujuk kepada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU- VII/2009 tidak memenuhi tiga unsur dan khususnya unsur “ Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum , atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai”; Undang-Undang yang telah ada saat ini sudah mumpuni untuk menyelesaikan persoalan darurat yang dihadapi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan, Undang-Undang No 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, dan Undang-Undang No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Hal ini sesungguhnya sejalan dengan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Penetapan Darurat Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 ( Covid-19 ). Maka apabila lahirnya Pasal 28 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 yang justru menentukan pengeyampingan (tidak berlakunya) Undang-Undang tertentu, jelas bertentangan dengan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 juncto Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU- VII/2009. 51 8. Bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945, Presiden berwenang menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. Namun, Perpu Nomor 1 Tahun 2020 ini ditetapkan hanya dengan mengingat ketentuan Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Artinya, Perpu Nomor 1 Tahun 2020 berada dalam rezim hukum dalam keadaan biasa, bukan rezim hukum keadaan darurat atau keadaan bahaya sebagaimana dimaksud oleh Pasal 12 UUD 1945. Bahkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Karantina Kesehatan, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana juga sama sekali tidak dikaitkan dengan atau dalam rangka pelaksanaan Pasal 12 UUD 1945 itu. Artinya, meskipun materi yang diaturkan berkenaan dengan pengggulangan bencana dan mengenai keadaan darurat kesehatan, tetapi tetap saja keduanya ditetapkan tidak dalam konteks kondisi negara dalam keadaan darurat bahaya sebagaimana sudah ditentukan dalam Pasal 12 UUD 1945. Oleh karena itu lahirnya Pasal 28 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 yang justru menentukan pengeyampingan (tidak berlakunya) Undang-Undang tertentu, jelas bertentangan dengan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 juncto Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU- VII/2009.

      9.

      Apabila merujuk kepada prinsip hukum Islam Mengenai masalah batasan darurat yang memperbolehkan sesuatu yang diharamkan ini dikalangan para ulama ahli fiqh dan beberapa pendapat yang maknanya tidak jauh berbeda antara satu dan lainnya di antaranya sebagai berikut:

      a.

      Menurut ulama dari mazhab Hanafi, makna darurat yang menyangkut rasa lapar ialah seandainya seseorang tidak mau mengkonsumsi barang yang diharamkan dikhawatirkan ia bisa meninggal dunia atau setidaknya ada anggota tubuh yang menjadi cacat. Seseorang yang dipaksa akan dibunuh atau dipotong salah satu anggota tubuhnya apabila ia tidak mau memakan atau meminum sesuatu yang di haramkan, itu berarti ia sedang dalam keadaan darurat yang memperbolehkan ia memakan bangkai, karena ia mengkhawatirkan nyawanya atau salah satu anggota tubuhnya. (Abdul Rosyad Sidiq, Fiqh Darurat, Jakarta, Pustaka Azzam, 2001. hal. 31). Dan berdasarkan syariat ia berdosa kalau memang ia tahu bahwa hal itu 52 sebenarnya bisa menggugurkan keharaman. Tetapi kalau memang ia tidak tahu bahwa hal itu merupakan keringanan baginya, ia masih bisa diharapkan tidak berdosa soalnya ia bermaksud menegakkan kebenaran syariat dengan cara tetap menjaga diri untuk tidak mau melanggar keharaman menurut anggapannya. Keharaman menjadi gugur kalau memang pemaksaannya disertai dengan ancaman yang beresiko sangat menyakitkan tetapi kalau ancamanannya tidak terlalu berat seperti hanya akan ditahan selama setahun atau dihukum dengan di ikat namun masih tetap diberi jatah makan dan minum itu berarti ia masih punya pilihan artinya ia tidak sedang dalam keadaan darurat. Firman Allah Swt dalam surat al- Baqarah: 173, Maka barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya serta tidak melampaui batas maka tiada dosa baginya . Melihat ayat di atas, tidak semua keterpaksaan itu membolehkan yang haram, namun keterpaksaan itu dibatasi dengan keterpaksaan yang benar- benar tiada jalan lain kecuali hanya melakukan itu dalam kondisi ini maka semua haram dapat diperbolehkan memakainya, misalkan seorang di hutan tiada makanan sama sekali kecuali ada babi hutan dan bila ia tidak makan menjadi mati, maka babi hutan itu boleh dimakan sebatas keperluannya.

      b.

      Menurut ulama dari mazhab Maliki, darurat yang memperbolehkan mengkonsumsi sesuatu yang diharamkan ialah rasa takut akan keselamatan nyawa baik berdasarkan keyakinan atau sekadar dugaan namun ada juga yang berpendapat darurat ialah menjaga jiwa dari kematian atau dari bahaya yang sangat berat, menurut pendapat di atas hal itu tidak disyaratkan harus menunggu sampai benar-benar menjelang kematian, atau sudah dalam keadaan sakaratul maut , karena makan dalam keadaan seperti itu sudah tidak ada gunanya lagi.

      c.

      Menurut ulama mazhab Syafi’i, sesungguhnya rasa lapar yang teramat sangat itu tidak cukup hanya diatasi dengan memakan bangkai dan sebagainya, seperti halnya ulama-ulama mazhab lain mereka semua sepakat tidak wajib harus menunggu sampai kematian itu sebentar lagi datang. Karena pada saat-saat kritis seperti itu tidak ada gunanya makan bahkan pada sampai batas seperti itu tidak dihalalkan makan karena ia memang tidak ada gunanya. Mereka juga sepakat bahwa seseorang 53 diperbolehkan makan kalau ia mengkhawatirkan dirinya bisa kelaparan, atau tidak kuat berjalan, atau kuat naik kendaraan atau terpisah dari rombongannya atau tersesat dan lain sebagainya, kalau sampai ia tidak makan kekhawatiran seseorang terhadap munculnya penyakit yang menakutkan adalah sama seperti kekhawatiran datangnya kematian, sekalipun ia merasa takut selama sakit.

      d.

      Menurut para ulama dari mazhab Hambali, darurat yang memperbolehkan seseorang memakan sesuatu yang diharamkan adalah yang membuatnya merasa khawatir dan akan mati kalau sampai ia tidak memakannya. Sedangkan menurut Imam Ahmad, apabila seseorang hanya karena tidak mau makan barang yang haram merasa khawatir dirinya bisa kelaparan atau takut tidak kuat berjalan sehingga terpisah dari rombongannya atau tidak kuat naik kendaraan maka ia harus memakannya tanpa dibatasi waktu tertentu. (Abdul Rosyad Sidiq, Fiqh Darurat, Jakarta, Pustaka Azzam, 2001. hal. 34) Tiada keharaman bagi darurat dan tiada kemakmuran bagi kebutuhan . __ (Abdul Rosyad Sidiq, Fiqh Darurat, Jakarta, Pustaka Azzam, 2001. hal. 35). Apabila dua mafsadat bertentangan, maka perhatikan mana yang lebih besar madaratnya dengan memilih yang lebih ringan madaratnya . __ Dari pendapat di atas yang menerangkan tentang batasan atau kriteria darurat yang memperbolehkan seseorang memakan sesuatu yang haram mempunyai pengertian yang mirip. Jadi seperti yang dikatakan oleh Imam Hambali, dharurat ialahlah posisi seseorang yang sudah berada dalam batasan maksimal dan tidak ada alternatif lain jika ia tidak mau mengkonsumsi yang dilarang agama ia bisa mati atau hampir mati. (Muhlis Usman, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, Jakarta, Raja Grafindo Persada, cet. Ke-4, 2002, hal. 134). Atau dikhawatirkan salah satu anggota tubuhnya bisa celaka. Pada dasarnya hal itu karena sesuatu yang diharamkan itu tidak boleh dilakukan dan diterjang kecuali karena ada alasan darurat. Darurat itu pun punya standar sendiri apabila seseorang sampai pada batas yang apabila ia tidak mau mengkonsumsi sesuatu yang diharamkan oleh agama ia bisa mati atau hampir mati. Maka itu artinya ia sudah berada pada batas puncak darurat yang berarti ia boleh memakan sesuatu yang diharamkan. 54 Bahwa apabila merujuk lahirnya Perpu Nomor 1 Tahun 2020 khususnya berkenaan dengan lahirnya Pasal 28 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 yang mengeyampingkan 12 Undang-Undang sekaligus tidak memenuhi keadaan darurat dikarenakan Pasal 28 justru seolah menyatakan tidak ada instrumen hukum sebagai tidak ada alternatif lain dan dalam kondisi maksimal. Padahal instrumen __ hukum yang ada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana serta Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 telah mengakomodir segala kehendak yang dimaksud dalam Perpu Nomor 1 Tahun 2020.

      10.

      Bahwa berdasarkan uraian diatas jelas telah Pasal 28 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 telah membuat Presiden berlebihan yang berpotensi berkembang menjadi kekuasaan absolut dan sewenang-wenang namun berlindung dari kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945. Potensi constitutional dictactorship dalam bentuknya yang negatif akan lebih muncul apabila bentuk pengabaian prinsip-prinsip negara hukum disampingkan dibandingkan merespon keadaan darurat kesehatan dengan mengunakan instrumen hukum yang telah ada yaitu Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana serta Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara.

      11.

      Bahwa berdasarkan uraian diatas, Para Pemohon beranggapan pola constitutional dictactorship dapat dihindari apabila beranggapan Pasal 28 Perppu Nomor 1 Tahun 2020 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 22 Ayat (1) UUD 1945 juncto Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU- VII/2009 dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Petitum Berdasarkan uraian-uraian sebagaimana disebutkan di atas, izinkanlah para Pemohon meminta kepada yang mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang memeriksa dan mengadili permohonan ini untuk memutuskan hal-hal sebagai berikut:

      1.

      Menerima dan mengabulkan Permohonan para Pemohon untuk Seluruhnya; 55 2. Menyatakan Pasal 2 ayat (1) huruf ‘a’ angka 1, 2, dan angka 3, Pasal 27 dan Pasal 28 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Dan/Atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 8), bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

      3.

      Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. atau Jika Majelis Hakim Konstitusi Republik Indonesia mempunyai keputusan lain, mohon putusan yang seadil-adilnya, ex aequo et bono. [2.2] Menimbang bahwa untuk mendukung dalilnya, para Pemohon telah mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-26 sebagai berikut:

      1.

      Bukti P-1 : KTP M. Sirajuddin Syamsuddin;

      2.

      Bukti P-2 : KTP dan NPWP Prof. Dr. Sri Edi Swasono;

      3.

      Bukti P-3 : KTP dan NPWP Prof. Dr. HM. Amien Rais, MA;

      4.

      Bukti P-4 : KTP dan NPWP Marwan Batubara;

      5.

      Bukti P-5 : KTP dan NPWP M. Hatta Taliwang;

      6.

      Bukti P-6 : KTP dan NPWP Taufan Maulamin;

      7.

      Bukti P-7 : KTP dan NPWP Dr. Syamsulbalda, SE., MM., MBA;

      8.

      Bukti P-8 : KTP dan NPWP Abdurrahman Syebubakar;

      9.

      Bukti P-9 : KTP dan NPWP M. Ramli Kamidin;

      10.

      Bukti P-10 : KTP dan NPWP Dr. H. MS. Kaban, S.E., M.Si.;

      11.

      Bukti P-11 : KTP Darmayanto;

      12.

      Bukti P-12 : KTP dan NPWP Ir. Gunawan Adji, M.Sc.;

      13.

      Bukti P-13 : KTP Indra Wardhana;

      14.

      Bukti P-14 : KTP dan NPWP Abdullah Hehamahua; 56 15. Bukti P-15 : KTP dan NPWP Adhie M. Masardi;

      16.

      Bukti P-16 : KTP Agus Muhammad Mahsum;

      17.

      Bukti P-17 : KTP dan NPWP Dr. Ahmad Redi, S.H., M.H.;

      18.

      Bukti P-18 : KTP Bambang Soetedjo;

      19.

      Bukti P-19 : KTP Dr. Ma’mun Murod;

      20.

      Bukti P-20 : KTP dan NPWP Ir. Indra Adil;

      21.

      Bukti P-21 : KTP dan NPWP Masri Sitanggang, Dr., Ir., MP.;

      22.

      Bukti P-22 : KTP dan NPWP Ir. Sayuti Asyathri;

      23.

      Bukti P-23 : KTP dan NPWP Muslim Arbi;

      24.

      Bukti P-24 : KTP dan NPWP Roosalina Berlian;

      25.

      Bukti P-25 : Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 8) 26. Bukti P-26 : Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. [2.3] Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon tersebut, Presiden diwakili Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan keterangan secara lisan dalam persidangan 20 Mei 2020 yang pada pokoknya mengemukakan bahwa:

      1.

      Dalam Rapat Paripurna ke-15 Masa Sidang III Tahun Sidang 2019-2020, pada Selasa, 12 Mei 2020, DPR memberikan persetujuan terhadap RUU tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2020 Menjadi Undang-Undang;

      2.

      Presiden, pada 16 Mei 2020, menetapkan (menandatangani) RUU tersebut dan selanjutnya diundangkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia pada 18 Mei 2020 sebagai Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam 57 Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134, dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6516). Untuk mendukung keterangannya, Presiden/Pemerintah menyerahkan dokumen berupa surat dari Kementerian Sekretariat Negara Republik Indonesia Nomor B-184/Kemensetneg/D-1/HK.00.02/05/2020, bertanggal 18 Mei 2020 perihal “Permohonan Pengundangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia”, yang ditujukan kepada Menteri Hukum dan HAM up Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM. [2.4] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, segala sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam Berita Acara Persidangan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini.

      3.

      PERTIMBANGAN HUKUM Kewenangan Mahkamah [3.1] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya disebut UU MK), dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076), Mahkamah berwenang, antara lain, mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945; [3.2] Menimbang bahwa oleh karena permohonan para Pemohon adalah pengujian konstitusionalitas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang 58 Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan (selanjutnya disebut Perpu 1/2020) terhadap UUD 1945 maka Mahkamah perlu mengutip kembali Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009, bertanggal 8 Februari 2010, sebagaimana telah dipertimbangkan pula dalam Putusan Nomor 1-2/PUU-XII/2014, bertanggal 13 Februari 2014. Mahkamah dalam Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009 yang dalam pertimbangannya, antara lain, pada paragraf [3.13] menyatakan, “...Perpu _melahirkan norma hukum dan sebagai norma hukum baru akan dapat menimbulkan: _ (a) status hukum baru, (b) hubungan hukum baru, dan (c) akibat hukum baru. Norma hukum tersebut lahir sejak Perpu disahkan dan nasib dari norma hukum tersebut tergantung kepada persetujuan DPR untuk menerima atau menolak norma hukum Perpu, namun demikian sebelum adanya pendapat DPR untuk menolak atau menyetujui Perpu, norma hukum tersebut adalah sah dan berlaku seperti Undang- Undang. Oleh karena dapat menimbulkan norma hukum yang kekuatan mengikatnya sama dengan Undang-Undang maka terhadap norma yang terdapat dalam Perpu tersebut Mahkamah dapat menguji apakah bertentangan secara materiil dengan UUD 1945. Dengan demikian Mahkamah berwenang untuk menguji Perpu terhadap UUD 1945 sebelum adanya penolakan atau persetujuan oleh DPR, dan setelah adanya persetujuan DPR karena Perpu tersebut telah menjadi Undang- Undang”. [3.3] Menimbang bahwa oleh karena permohonan yang diajukan dalam permohonan a quo adalah pengujian konstitusionalitas Perpu 1/2020 yang pada saat pengajuan permohonan dan pada sidang pertama Mahkamah dengan agenda pemeriksaan pendahuluan, Perpu 1/2020 belum disetujui atau tidak disetujui oleh DPR maka Mahkamah berwenang untuk menguji Perpu 1/2020. Kedudukan Hukum para Pemohon [3.4] Menimbang bahwa berkenaan dengan pengujian konstitusionalitas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu), oleh karena Mahkamah telah berpendapat bahwa Mahkamah berwenang menguji konstitusionalitas Perpu maka ketentuan tentang kedudukan hukum para Pemohon dalam pengujian 59 konstitusionalitas undang-undang juga berlaku dalam pengujian konstitusionalitas Perpu; [3.5] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang, yaitu:

      a.

      perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama);

      b.

      kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;

      c.

      badan hukum publik atau privat; atau

      d.

      lembaga negara; Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian undang-undang, in casu Perpu, terhadap UUD 1945 harus menjelaskan terlebih dahulu:

      a.

      kedudukannya sebagai para Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK;

      b.

      ada tidaknya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian dalam kedudukan sebagaimana dimaksud pada huruf a; [3.6] Menimbang bahwa Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 tanggal 20 September 2007 serta putusan-putusan selanjutnya, telah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu:

      a.

      adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;

      b.

      hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh para Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian; 60 c. kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;

      d.

      adanya hubungan sebab-akibat antara kerugian dimaksud dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;

      e.

      adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; [3.7] Menimbang bahwa berdasarkan uraian ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK dan syarat-syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana diuraikan di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan kedudukan hukum para Pemohon sebagai berikut:

      1.

      Bahwa norma Perpu 1/2020 yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya oleh para Pemohon dalam permohonan a quo adalah Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1, angka 2, dan angka 3; Pasal 27; dan Pasal 28 yang menyatakan: Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1, angka 2, dan angka 3 Dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (4), Pemerintah berwenang untuk:

      a.

      menetapkan batasan defisit anggaran, dengan ketentuan sebagai berikut:

      1.

      melampaui 3% (tiga persen) dari Produk Domestik Bruto (PDB) selama masa penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau untuk menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan paling lama sampai dengan berakhirnya Tahun Anggaran 2022;

      2.

      sejak Tahun Anggaran 2023 besaran defisit akan kembali menjadi paling tinggi sebesar 3% (tiga persen) dari Produk Domestik Bruto (PDB); dan

      3.

      penyesuaian besaran defisit sebagaimana dimaksud pada angka 1 menjadi sebagaimana dimaksud pada angka 2 dilakukan secara bertahap.

      Pasal 28Tutup

      Pada saat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini mulai berlaku:

      1.

      Ketentuan jangka waktu yang diatur dalam Pasal 11 ayat (2), Pasal 17B ayat (1), Pasal 25 ayat (3), Pasal 26 ayat (1), dan Pasal 36 ayat (1c) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);

      2.

      Pasal 55 ayat (4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas 62 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962);

      3.

      Pasal 12 ayat (3) beserta penjelasannya, Pasal 15 ayat (5), Pasal 22 ayat (3), Pasal 23 ayat (1), Pasal 27 ayat (3), dan Pasal 28 ayat (3) dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);

      4.

      Pasal 3 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355);

      5.

      Pasal 22 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4420) sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4963);

      6.

      Pasal 27 ayat (1) beserta penjelasannya, Pasal 36, Pasal 83, dan Pasal 107 ayat (2) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438);

      7.

      Pasal 171 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063);

      8.

      Pasal 72 ayat (2) beserta penjelasannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5495); 63 9. Pasal 316 dan Pasal 317 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679);

      10.

      Pasal 177 huruf c angka 2, Pasal 180 ayat (6), dan Pasal 182 Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga atas Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 181, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6396);

      11.

      Pasal 20 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5872); dan

      12.

      Pasal 11 ayat (22), Pasal 40, Pasal 42, dan Pasal 46 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2019 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 198, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6410), dinyatakan tidak berlaku sepanjang berkaitan dengan kebijakan keuangan negara untuk penanganan penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang ini. 64 2. Bahwa para Pemohon mendalilkan sebagai perorangan Warga Negara Indonesia (WNI) pembayar pajak yang mempunyai hak konstitusional sebagaimana diatur dalam, dan dilindungi oleh, Pasal 28D ayat (1) UUD 1945; Hak konstitusional tersebut secara potensial dirugikan oleh terbitnya Perpu 1/2020. Potensi kerugian demikian terjadi karena Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3) Perpu 1/2020 memberikan hak imunitas dan produk hukumnya tidak dapat diuji di pengadilan. Hal demikian menurut para Pemohon bertentangan dengan prinsip persamaan di hadapan hukum dan pemerintahan serta bertentangan dengan hak untuk tidak diperlakuan secara diskriminatif.

      3.

      Bahwa terhadap dalil mengenai kedudukan hukum para Pemohon, Mahkamah menilai para Pemohon, yaitu Pemohon I sampai dengan Pemohon XXIV benar merupakan WNI, yang dibuktikan dengan alat bukti berupa fotokopi kartu tanda penduduk (KTP) masing-masing Pemohon (vide bukti P-1 sampai dengan bukti P-24);

      4.

      Bahwa Pemohon XVIII bernama Bambang Soetedjo telah membuktikan dirinya sebagai WNI (vide bukti P-18) dan nama Pemohon XVIII tercantum dalam Surat Kuasa Khusus bertanggal 13 April 2020, namun Pemohon XVIII tidak menandatangani Surat Kuasa Khusus dimaksud serta tidak pula hadir dalam setiap persidangan. Berdasarkan hal demikian Mahkamah berpendapat Pemohon XVIII tidak memenuhi syarat kehadiran, baik hadir sendiri maupun diwakili oleh kuasa hukum, dan karenanya Pemohon XVIII dinyatakan tidak mempunyai kedudukan hukum untuk turut mengajukan permohonan a quo .

      5.

      Bahwa dalam kaitannya dengan pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah menilai Pemohon I sampai dengan Pemohon XVII, dan Pemohon XIX sampai dengan Pemohon XXIV, mempunyai kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo dengan diwakili oleh kuasa hukum sebagaimana dinyatakan dalam Surat Kuasa Khusus bertanggal 13 April 2020;

      6.

      Bahwa untuk selanjutnya sebutan para Pemohon dalam Putusan ini __ merujuk pada Pemohon I sampai dengan Pemohon XVII, dan Pemohon XIX sampai dengan Pemohon XXIV;

      7.

      Bahwa potensi kerugian konstitusional yang didalilkan para Pemohon, yaitu perbedaan perlakuan di hadapan hukum, menurut Mahkamah memang dapat terjadi karena ketentuan yang dimohonkan para Pemohon memberikan imunitas 65 bagi pihak-pihak atau lembaga tertentu. Potensi pembedaan perlakuan di hadapan hukum demikian tidak akan terjadi manakala ketentuan dalam Perpu 1/2020 yang dimohonkan pengujian dibatalkan oleh Mahkamah atau dimaknai secara berbeda. Hal ini bagi Mahkamah menunjukkan adanya hubungan sebab- akibat antara kerugian konstitusional yang didalilkan para Pemohon dengan ketentuan yang dimohonkan pengujian; Namun potensi terjadinya kerugian demikian tidak berarti bahwa ketentuan yang dimohonkan pengujian selalu dalam posisi bertentangan dengan konstitusi. Hal demikian karena penilaian atau derajat kerugian itu sendiri seringkali subjektif serta dipengaruhi berbagai faktor non-konstitusi. Apalagi perlu diingat bahwa pengujian undang-undang oleh Mahkamah dilakukan menggunakan parameter berupa norma UUD 1945, sehingga penilaian “rugi atau tidak rugi” tidak dapat disandarkan begitu saja pada parameter kerugian yang dikenal sehari-hari. Penilaian kerugian konstitusional harus disandarkan pada parameter berupa konstitusi, sehingga pada akhirnya kesimpulan apakah para Pemohon dirugikan atau tidak oleh suatu norma undang-undang harus ditangguhkan hingga norma undang-undang/peraturan pemerintah pengganti undang-undang dimaksud tuntas diuji konstitusionalitasnya. Dalam fase menunggu hasil pengujian konstitusionalitas demikian, Mahkamah berpendapat cukup apabila para Pemohon dalam pembuktian kedudukan hukum ini dinilai mempunyai potensi dirugikan hak konstitusionalnya oleh norma Perpu 1/2020 yang dimohonkan pengujian;

      8.

      Bahwa berdasarkan pertimbangan hukum demikian, Mahkamah menilai para Pemohon (kecuali Pemohon XVIII) mempunyai kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo ; [3.8] Menimbang bahwa meskipun para Pemohon (kecuali Pemohon XVIII) mempunyai kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo , namun sebelum mempertimbangkan pokok permohonan para Pemohon, Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan fakta hukum baru terkait permohonan pengujian Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1, angka 2, dan angka 3; Pasal 27; dan Pasal 28 Perpu 1/2020 a quo . Fakta hukum baru demikian berupa adanya perubahan status hukum Perpu 1/2020; 66 [3.9] Menimbang bahwa dalam persidangan pemeriksaan pada tanggal 20 Mei 2020 Mahkamah mengagendakan untuk meminta keterangan kepada Presiden dan DPR perihal persetujuan Perpu 1/2020 menjadi undang-undang. Dalam sidang pemeriksaan tersebut kuasa hukum Presiden menerangkan Perpu 1/2020 telah disetujui oleh DPR menjadi undang-undang. Bahwa, menurut kuasa hukum Presiden, Perpu 1/2020 yang mendapat persetujuan DPR untuk menjadi undang-undang dan kemudian telah disahkan oleh Presiden pada tanggal 16 Mei 2020. Selanjutnya, diundangkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia pada tanggal 18 Mei 2020 menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang- Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6516, selanjutnya disebut UU 2/2020). Untuk mendukung keterangan tersebut, kuasa hukum Presiden telah menyerahkan dokumen berupa surat dari Kementerian Sekretariat Negara Republik Indonesia Nomor B-184/Kemensetneg/D-1/HK.00.02/05/2020, bertanggal 18 Mei 2020, perihal “Permohonan Pengundangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia”, yang ditujukan kepada Menteri Hukum dan HAM up Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM. Oleh karena itu, berdasarkan fakta hukum tersebut di atas Mahkamah meyakini bahwa Perpu 1/2020 telah menjadi UU 2/2020; [3.10] Menimbang bahwa dengan diundangkannya UU 2/2020 maka Perpu 1/2020 sudah tidak lagi ada secara hukum. Hal demikian berakibat permohonan para Pemohon yang diajukan untuk pengujian konstitusionalitas Perpu 1/2020 telah kehilangan objek; [3.11] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo dan para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo , namun disebabkan permohonan para Pemohon telah kehilangan objek, maka Mahkamah tidak akan mempertimbangkan pokok 67 permohonan para Pemohon dan hal-hal lain yang terkait dengan permohonan tidak pula dipertimbangkan.

      4.

      KONKLUSI Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan: [4.1] Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo ; [4.2] Pemohon I sampai dengan Pemohon XVII dan Pemohon XIX sampai dengan Pemohon XXIV mempunyai kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo ; [4.3] Pemohon XVIII tidak mempunyai kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo ; [4.4] Permohonan para Pemohon kehilangan objek; [4.5] Pokok permohonan para Pemohon dan hal-hal lain tidak dipertimbangkan. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), d a n Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076).

      5.

      AMAR P U T U S AN Mengadili: Menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima. Demikian diputus dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi, yaitu Anwar Usman, selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto, Wahiduddin Adams, Daniel Yusmic P. Foekh, Arief Hidayat, Enny Nurbaningsih, 68 Manahan M.P. Sitompul, Saldi Isra, dan Suhartoyo, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Senin, tanggal lima belas, bulan Juni, tahun dua ribu dua puluh , yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Selasa, tanggal dua puluh tiga, bulan Juni, tahun dua ribu dua puluh , selesai diucapkan pukul 11.48 WIB , oleh sembilan Hakim Konstitusi, yaitu Anwar Usman, selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto, Wahiduddin Adams, Daniel Yusmic P. Foekh, Arief Hidayat, Enny Nurbaningsih, Manahan M.P. Sitompul, Saldi Isra, dan Suhartoyo, masing-masing sebagai Anggota, dengan dibantu oleh Mardian Wibowo sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh para Pemohon/kuasanya, Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili dan Presiden atau yang mewakili. KETUA, ttd. Anwar Usman ANGGOTA-ANGGOTA, ttd. Aswanto ttd. Wahiduddin Adams ttd. Daniel Yusmic P. Foekh ttd. Arief Hidayat ttd. Enny Nurbaningsih ttd. Manahan M.P. Sitompul 69 ttd. Saldi Isra ttd. Suhartoyo PANITERA PENGGANTI, ttd. Mardian Wibowo

      Thumbnail
      Tidak Berlaku
      PILOTING SISTEM | BIDANG PERBENDAHARAAN
      159/PMK.05/2018

      Pelaksanaan Piloting Sistem Aplikasi Keuangan Tingkat Instansi

      • Ditetapkan: 14 Des 2018
      • Diundangkan: 21 Des 2018

      Relevan terhadap

      Pasal 1Tutup

      Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

      1.

      Sistem Aplikasi Keuangan Tingkat Instansi yang selanjutnya disingkat SAKTI adalah aplikasi yang digunakan untuk mendukung pelaksanaan sistem perbendaharaan dan penganggaran negara pada instansi pemerintah meliputi antara lain modul penganggaran, modul komitmen, modul pembayaran, modul bendahara, modul persediaan, modul aset tetap, modul piutang, serta modul akuntansi dan pelaporan.

      2.

      Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara yang selanjutnya disingkat SPAN adalah bagian dari sistem pengelolaan keuangan negara yang meliputi penetapan proses bisnis dan sistem informasi manajemen perbendaharaan dan anggaran negara terkait manajemen DIPA, penyusunan anggaran, manajemenkas, manajemen komitmen, manajemen pembayaran, manajemen penerimaan, dan manajemen pelaporan.

      3.

      Implementasi SAKTI adalah serangkaian kegiatan untuk menerapkan SAKTI dengan menggunakan sumber daya manusia, proses bisnis, infrastruktur, dan teknologi SAKTI pada Satker Kementerian Negara/Lembaga.

      4.

      Arsip Data Komputer yang selanjutnya disingkat ADK adalah arsip data dalam bentuk softcopy yang disimpan dalam media penyimpanan digital.

      5.

      Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.

      6.

      Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat BUN adalah pejabat yang diberi tugas untuk melaksanakan fungsi bendahara umum negara.

      7.

      Kuasa Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat Kuasa BUN adalah pejabat yang diangkat oleh BUN untuk melaksanakan tugas kebendaharaan dalam rangka pelaksanaan APBN dalam wilayah kerja yang ditetapkan.

      8.

      Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disingkat KPPN adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang memperoleh kuasa dari Bendahara Umum Negara untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsi Bendahara Umum Negara.

      9.

      Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga, yang selanjutnya disingkat RKA-K/L, adalah dokumen rencana keuangan tahunan Kementerian Negara/Lembaga yang disusun menurut Bagian Anggaran Kementerian Negara/Lembaga.

      10.

      Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran yang selanjutnya disingkat DIPA adalah Dokumen Pelaksanaan Anggaran yang digunakan sebagai acuan Pengguna Anggaran dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan sebagai pelaksanaan APBN.

      11.

      Modul Administrasi adalah bagian dari SAKTI yang berfungsi untuk mengelola data referensi dan data user SAKTI.

      12.

      Modul Penganggaran adalah bagian dari SAKTI yang berfungsi untuk Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran sampai dengan penyusunan Dokumen Pelaksanaan Anggaran termasuk di dalamnya proses perencanaan penyerapan anggaran dan penerimaan/pendapatan dalam periode satu tahun anggaran.

      13.

      Modul Komitmen adalah bagian dari SAKTI yang berfungsi untuk pengelolaan aktivitas terkait pencatatan data supplier, kontrak, dan Berita Acara Serah Terima (BAST) dalam rangka pelaksanaan APBN untuk mendukung pengelolaan data pagu, perencanaan kas dan referensi dalam pelaksanaan pembayaran.

      14.

      Modul Bendahara adalah bagian SAKTI yang berfungsi untuk penatausahaan penerimaan dan pengeluaran negara melalui Bendahara.

      15.

      Modul Pembayaran adalah bagian dari SAKTI yang berfungsi untuk pengajuan pembayaran atas beban APBN, pengesahan pendapatan dan belanja, dan pencatatan Surat Perintah Pencairan Dana.

      16.

      Modul Persediaan adalah bagian dari SAKTI yang berfungsi untuk pencatatan transaksi barang persediaan, pembuatan jurnal transaksi, dan pembuatan laporan persediaan.

      17.

      Modul Aset Tetap adalah bagian dari SAKTI yang berfungsi untuk pencatatan dan pelaporan Barang Milik Negara berupa aset tetap dan aset tak berwujud.

      18.

      Modul Piutang adalah bagian dari SAKTI yang berfungsi untuk melakukan penatausahaan transaksi piutang di Satker pengguna SAKTI.

      19.

      Modul Akuntansi dan Pelaporan adalah bagian dari SAKTI yang berfungsi untuk pengintegrasian data jurnal dari semua modul SAKTI dalam rangka penyusunan laporan keuangan.

      20.

      Portal SAKTI adalah adalah aplikasi berbasis web yang mendukung SAKTI, sebagai sarana komunikasi data KPPN antara SAKTI dengan SPAN.

      21.

      Aplikasi Existing adalah aplikasi yang digunakan satuan kerja diluar SPAN, SAKTI, dan aplikasi pendukung SPAN/SAKTI.

      22.

      Entitas Akuntansi adalah unit pemerintahan pengguna anggaran/pengguna barang dan oleh karenanya wajib menyelenggarakan akuntansi dan menyusun laporan keuangan untuk digabungkan pada entitas pelaporan.

      23.

      Entitas Pelaporan adalah unit pemerintahan yang terdiri dari satu atau lebih Entitas Akuntansi yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban berupa laporan keuangan.

      24.

      Instansi adalah sebutan kolektif bagi entitas yang meliputi satuan kerja, kantor wilayah atau yang setingkat, unit eselon I dan Kementerian Negara/Lembaga.

      25.

      Satuan Kerja yang selanjutnya disebut Satker adalah unit organisasi lini Kementerian Negara/Lembaga atau unit organisasi Pemerintah Daerah yang melaksanakan kegiatan Kementerian Negara/Lembaga dan memiliki kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran.

      26.

      Chief of Information Officer yang selanjutnya disingkat CIO adalah suatu jabatan strategis yang memadukan sistem informasi dan teknologi informasi dengan aspek manajemen agar memberikan dukungan maksimal terhadap pencapaian tujuan.

      27.

      Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat PA adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran Kementerian Negara/Lembaga.

      28.

      Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat KPA adalah pejabat yang memperoleh kuasa dari PA untuk melaksanakan sebagian kewenangan dantanggung jawab penggunaan anggaran pada Kementerian Negara/Lembaga yang bersangkutan.

      29.

      Kuasa Pengguna Barang yang selanjutnya disingkat KPB adalah Kepala Satker atau pejabat yang ditunjuk oleh Pengguna Barang untuk menggunakan barang yang berada dalam penguasaannya dengan sebaik-baiknya.

      30.

      Pejabat Pembuat Komitmen yang selanjutnya disingkat PPK adalah pejabat yang melaksanakan kewenangan PA/KPA untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan yang dapat mengakibatkan pengeluaran atas beban APBN.

      31.

      Pejabat Penandatangan SPM yang selanjutnya disingkat PPSPM adalah Pejabat yang diberi kewenangan oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran untuk melakukan pengujian Surat Permintaan Pembayaran yang diterima dari PPK sebagai dasar untuk menerbitkan/menandatangani SPM.

      32.

      Bendahara Pengeluaran adalah orang yang ditunjuk untuk menerima, menyimpan, membayarkan, menatausahakan, dan mempertanggungjawabkan uang untuk keperluan Belanja Negara dalam pelaksanaan APBN pada Kantor/Satker Kementerian Negara/Lembaga.

      33.

      Bendahara Penerimaan adalah orang yang ditunjuk untuk menerima, menyimpan, menyetorkan, menatausahakan, dan mempertanggungjawabkan uang pendapatan negara dalam rangka pelaksanaan APBN pada Kantor/Satker Kementerian Negara/Lembaga.

      34.

      Bendahara Pengeluaran Pembantu adalah orang yang ditunjuk sebagai pembantu bendahara pengeluaran untuk melaksanakan pembayaran kepada yang berhak guna kelancaran pelaksanaan kegiatan tertentu.

      35.

      Surat Permintaan Pembayaran yang selanjutnya disingkat SPP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPK, yang berisi permintaan pembayaran tagihan kepada negara.

      36.

      Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat SPM adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPSPM untuk mencairkan dana yang bersumber dari DIPA.

      37.

      Surat Perintah Pengesahan Pendapatan dan Belanja Badan Layanan Umum yang selanjutnya disingkat SP3B BLU adalah surat perintah yang diterbitkan oleh PPSPM untuk dan atas nama KPA kepada Kuasa Bendahara Umum Negara (Kuasa BUN) untuk mengesahkan pendapatan dan/atau belanja Badan Layanan Umum (BLU) yang sumber dananya berasal dari PNBP yang digunakan langsung.

      38.

      SPM Pengesahan Bea Masuk Ditanggung Pemerintah yang selanjutnya disebut SPM BM-DTP adalah SPM yang diterbitkan oleh unit kerja pada Kementerian Negara/Lembaga yang bertanggung jawab selaku pembina sektor yang diberi kuasa oleh Menteri Keuangan untuk melaksanakan Belanja SubsidiBea Masuk Ditanggung Pemerintah.

      39.

      Surat Perintah Membayar Pengesahan Pajak Ditanggung Pemerintah yang selanjutnya disingkat SPM P-DTP adalah SPM yang diterbitkan oleh PA/Kuasa PAatau pejabatlain yang ditunjuk dalam rangka pengesahan Pajak Ditanggung Pemerintah.

      40.

      Surat Perintah Pengesahan Hibah Langsung yang selanjutnya disingkat SP2HL adalah surat yang diterbitkan oleh PA/Kuasa PA atau pejabat lain yang ditunjuk untuk mengesahkan pembukuan Pendapatan Hibah yang pencairannya tidak melalui Kuasa BUN dan/atau belanja yang bersumber dari hibah yang pencairannya tidak melalui Kuasa BUN.

      41.

      Surat Perintah Pengesahan Pengembalian Pendapatan Hibah Langsung yang selanjutnya disingkat SP4HL adalah surat yang diterbitkan oleh PA/Kuasa PA atau pejabat lain yang ditunjuk untuk mengesahkan pembukuan pengembalian saldo pendapatan hibah langsung kepada pemberi hibah.

      42.

      Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak yang selanjutnya disingkat SPMKP adalah surat perintah dari Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) kepada Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) untuk menerbitkan Surat Perintah Pencairan Dana yang ditujukan kepada Bank Operasional mitra kerja KPPN, sebagai dasar kompensasi Utang Pajak dan/atau dasar pembayaran kembali kelebihan pembayaran pajak kepada Wajib Pajak.

      43.

      Surat Perintah Membayar Kembali Bea Masuk, Denda Administrasi, dan/atau Bunga yang selanjutnya disingkat SPM P-BMDAB adalah surat yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Bea dan Cukai atas nama Menteri Keuangan mengenai pengembalian Bea Masuk, Denda Administrasi, dan/atau Bunga sebagai dasar penerbitan SP2D.

      44.

      Surat Perintah Membayar Kembali Bea Masuk dan/atau Cukai yang selanjutnya disingkat SPM P-BMC adalah surat yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Bea dan Cukai atas nama Menteri Keuangan mengenai pengembalian Bea Masuk dan/atau Cukai.

      45.

      Surat Perintah Membayar Imbalan Bunga yang selanjutnya disingkat SPMIB adalah surat perintah yang diterbitkan oleh Kantor Pelayanan Pajak Pratama untuk membayar imbalan bungakepada Wajib Pajak.

      46.

      Surat Permintaan Penerbitan Aplikasi Penarikan Dana Pembayaran Langsung/Pembiayaan Pendahuluan selanjutnya disingkat SPP APD-PL/PP adalah dokumen yang ditandatangani oleh PA/KPA sebagai dasar bagi Direktorat Jenderal Perbendaharaan c.q. Direktorat Pengelolaan Kas Negara atau KPPN dalam mengajukan permintaan pembayaran kepada Pemberi PHLN.

      47.

      Surat Perintah Pembukuan/Pengesahan yang selanjutnya disingkat SP3 adalah surat perintah yang diterbitkan oleh KPPN selaku Kuasa Bendahara Umum Negara, yang fungsinya dipersamakan sebagai SPM/SP2D, kepada Bank Indonesia dan Satker untuk dibukukan/disahkan sebagai penerimaan dan pengeluaran dalam APBN atas realisasi penarikan PHLN melalui tata cara PL dan/atau L/C.

      48.

      Surat Pemintaan Penerbitan Surat Kuasa Pembebanan L/C yang selanjutnya disingkat SPP SKP-L/C adalah dokumen yang ditandatangani oleh PA/KPA sebagai dasar bagi KPPN yang ditunjuk untuk menerbitkan Surat Kuasa Pembebanan atas penarikan PHLN melalui mekanisme L/C.

      49.

      Surat Perintah Pencairan Dana yang selanjutnya disingkat SP2D adalah surat perintah yang diterbitkan oleh KPPN selaku Kuasa BUN untuk pelaksanaan pengeluaran atas beban APBN berdasarkan SPM.

      50.

      Standar Biaya Keluaran adalah besaran biaya yang ditetapkan untuk menghasilkan keluaran (output)/sub keluaran (sub output).

      51.

      Standar Struktur Biaya adalah batasan komposisi biaya atas suatu keluaran (output)/kegiatan/program tertentu yang ditetapkan oleh menteri keuangan selaku pengelola fiskal.

      52.

      Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah adalah pendekatan penganggaran berdasarkan kebijakan, dengan pengambilan keputusan terhadap kebijakan tersebut dilakukan dalam perspektif lebih dari satu tahun anggaran, dengan mempertimbangkan implikasi biaya akibat keputusan yang bersangkutan pada tahun berikutnya yang dituangkan dalam prakiraan maju.

      53.

      Rencana Penarikan Dana adalah rencana penarikan kebutuhan dana yang ditetapkan oleh Kuasa Pengguna Anggaran untuk pelaksanaan kegiatan Satker dalam periode 1 (satu) tahun yang dituangkan dalam DIPA.

      54.

      Rencana Penerimaan Dana adalah rencana penyetoran penerimaan dalam periode 1 (satu) tahun yang dituangkan dalam DIPA.

      55.

      Basis Data SAKTI yang selanjutnya disebut Database adalah kumpulan data transaksi pada Instansi yang disimpan secara elektronik dan sistematik untuk dapat disajikan kembali dengan menggunakan suatu program guna memperoleh informasi.

      56.

      Pengguna (User) SAKTI yang selanjutnya disebut Pengguna adalah para pihak pada Instansi yang berdasarkan kewenangannya diberikan hak untuk mengoperasikan SAKTI dan tindakannya dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.

      57.

      Administrator adalah pegawai yang diberi kewenangan oleh PA/KPA/Pejabat yang ditunjuk untuk melaksanakan fungsi teknis Administrasi SAKTI.

      58.

      Hak Akses adalah hak yang diberikan untuk melakukan interaksi dengan sistem elektronik.

      59.

      Penerima Akses adalah Pengguna Portal yang diberi hak mengakses Portal sesuai dengan tingkat kewenangan akses yang diberikan.

      60.

      Kode Akses adalah angka, huruf, simbol, karakter lainnya atau kombinasi diantaranya, yang merupakan kunci untuk dapat mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik lainnya.

      61.

      Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan komputer, dan/atau media elektronik lainnya.

      62.

      Tanda Tangan Elektronik adalah tanda tangan yang terdiri atas informasi elektronik yang dilekatkan, terasosiasi, atau terkait dengan informasi elektronik lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi dan autentikasi.

      63.

      Nomor Register Supplier yang selanjutnya disingkat NRS adalah nomor referensi yang diterbitkan oleh SPAN dalam rangka pendaftaran data supplier yang diajukan oleh Satker yang akan dijadikan sebagai identitas bagi supplier SPAN.

      64.

      Nomor Register Kontrak (Commitment Application Number) yang selanjutnya disingkat NRK adalah nomor referensi yang diterbitkan oleh KPPN melalui SPAN atas dasar Request For Commitment (RFC) yang disampaikan oleh Satker.

      65.

      Rekonsiliasi adalah proses pencocokan data transaksi keuangan yang diproses dengan beberapa sistem/subsistem yang berbeda berdasarkan dokumen sumber yang sama.

      66.

      Buku Persediaan adalah laporan yang memuat informasi saldo persediaan dan rincian transaksi persediaan yang mempengaruhi saldo persediaan per kode barang persediaan sampai dengan periode tertentu.

      67.

      Laporan Mutasi Persediaan adalah laporan yang memuat informasi saldo dan mutasi persediaan dalam satu periode tertentu.

      68.

      Barang Milik Negara yang selanjutnya disingkat BMN adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau berasal dari perolehan lainnya yang sah.

      69.

      BMN Konstruksi Dalam Pengerjaan yang selanjutnya disingkat BMN KDP adalah BMN yang proses pembangunan/perolehannya belum selesai sampai dengan periode laporan keuangan.

      70.

      BMN Bersejarah adalah BMN yang karena nilai kultural, lingkungan, pendidikan dan sejarahnya tidak mungkin secara penuh dilambangkan dengan nilai keuangan berdasarkan harga pasar maupun harga perolehannya.

      71.

      BMN Aset Tetap Renovasi yang selanjutnya disingkat BMN ATR adalah renovasi atas aset tetap bukan milik Satker yang memenuhi persyaratan kapitalisasi aset tetap.

      72.

      Barang Milik Pihak Ketiga yang selanjutnya disingkat BMPK adalah barang milik pihak ketiga yang dicatat dalam Modul Aset Tetap.

      73.

      Bantuan Pemerintah Yang Belum Ditetapkan Statusnya, yang selanjutnya disingkat BPYBDS adalah bantuan Pemerintah berupa Barang Milik Negara yang berasal dari APBN, yang telah dioperasikan dan/atau digunakan oleh BUMN berdasarkan Berita Acara Serah Terima dan sampai saat ini tercatat pada laporan keuangan Kementerian Negara/Lembaga atau pada BUMN.

      74.

      Keadaan Kahar (Force Majeure) adalah suatu keadaan di luar kehendak, kendali dan kemampuan pengelola sistem SAKTI seperti terjadinya bencana alam, kebakaran, pemogokan umum, perang (dinyatakan atau tidak dinyatakan), pemberontakan, revolusi, makar, huru-hara, terorisme, sabotase, termasuk kebijakan pemerintah yang mengakibatkan sistem SAKTI tidak berfungsi.

      75.

      Business Continuity Plan yang selanjutnya disingkat BCP adalah pengelolaan proses kelangsungan kegiatan pada saat keadaan darurat dengan tujuan untuk melindungi sistem informasi, memastikan kegiatan dan layanan, dan memastikan pemulihan yang tepat.

      76.

      SAKTI Online adalah SAKTI yang infrastruktur aplikasinya tersimpan pada lokal satker, sedangkan Database terhubung secara daring.

      77.

      Single entry point adalah input data pada suatu modul SAKTI digunakan sebagai input data pada modul SAKTI terkait.

      78.

      Single Database adalah Database SAKTI diletakkan, disimpan dan dipelihara pada satu tempat tertentu dan tidak terpisah-pisah dalam rangka pengintegrasian sistem aplikasi Satker.

      79.

      Basis Akrual adalah basis akuntansi yang mengakui pengaruh transaksi dan peristiwa lainnya pada saat transaksi dan peristiwa itu terjadi, tanpa memperhatikan saat kas atau setara kas diterima atau dibayar.

      80.

      Metode Perpetual adalah metode pengukuran perolehan dan pemakaian persediaan yang dihitung berdasarkan pencatatan jumlah unit yang dipakai, dikalikan nilai per unit sesuai dengan metode penilaian yang digunakan.

      81.

      Dana Titipan adalah dana yang dikelola oleh Bendahara Pengeluaran selain Uang Persediaan dalam rangka pelaksanaan APBN.

      82.

      Surat Bukti Setor yang selanjutnya disingkat SBS adalah tanda bukti penerimaan yang diberikan oleh Bendahara pada penyetor.

      83.

      Dokumen Pendukung adalah semua dokumen yang secara peraturan perundang-undangan menjadi pendukung dan wajib ada sebagai bagian pengajuan sebuah surat, dokumen, formulir, dan segala dokumen resmi lainnya yang diterbitkan oleh Kementerian Negara/Lembaga.

      84.

      Pengelola Barang adalah pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab menetapkan kebijakan dan pedoman serta melakukan pengelolaan Barang Milik Negara.

      85.

      Teknologi Informasi dan Komunikasi yang selanjutnya disebut dengan TIK adalah segala kegiatan yang terkait dengan pemrosesan, manipulasi, pengelolaan, dan pemindahan informasi antar media.

      86.

      Data Center adalah suatu fasilitas yang digunakan untuk menempatkan sistem komputer dan komponen terkaitnya, seperti sistem telekomunikasi dan penyimpanan data.

      Thumbnail
      Tidak Berlaku
      ALOKASI KURANG BAYAR | TAHUN ANGGARAN 2012
      215/PMK.07/2014

      Alokasi Kurang Bayar dan Lebih Bayar Dana Bagi Hasil Pajak Tahun Anggaran 2011 dan Tahun Anggaran 2012. ...

      • Ditetapkan: 03 Des 2014
      • Diundangkan: 03 Des 2014

      Relevan terhadap

      MenimbangTutup
      a.

      bahwa berdasarkan hasil rekonsiliasi perhitungan realisasi alokasi Dana Bagi Hasil Pajak dan realisasi penerimaan pajak terdapat Kurang Bayar dan Lebih Bayar Dana Bagi Hasil Pajak;

      b.

      bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2013 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2014 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2014 telah ditetapkan alokasi Kurang Bayar Dana Bagi Hasil Pajak Tahun Anggaran 2011 dan Tahun Anggaran 2012;

      c.

      bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 32 ayat (8) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 145/PMK.07/2013 tentang Pengalokasian Anggaran Transfer ke Daerah, alokasi Kurang Bayar dan Lebih Bayar Dana Bagi Hasil untuk masing-masing provinsi dan kabupaten/kota ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan;

      d.

      bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Alokasi Kurang Bayar dan Lebih Bayar Dana Bagi Hasil Pajak Tahun Anggaran 2011 dan Tahun Anggaran 2012;

      Pasal 5Tutup
      (1)

      Alokasi Kurang Bayar Dana Bagi Hasil Pajak Bumi dan Bangunan Tahun Anggaran 2012 sebesar Rp16.506.819.828,00 (enam belas miliar lima ratus enam juta delapan ratus sembilan belas ribu delapan ratus dua puluh delapan rupiah), terdiri atas:

      a.

      Alokasi Kurang Bayar Dana Bagi Hasil Pajak Bumi dan Bangunan Bagian Pemerintah Pusat yang dibagikan secara merata kepada seluruh kabupaten dan kota, dan yang dibagikan sebagai Insentif kepada kabupaten dan kota sebesar Rp2.557.561.679,00 (dua miliar lima ratus lima puluh tujuh juta lima ratus enam puluh satu ribu enam ratus tujuh puluh sembilan rupiah);

      b.

      Alokasi Kurang Bayar Dana Bagi Hasil Pajak Bumi dan Bangunan Bagian Daerah sebesar Rp12.867.771.177,00 (dua belas miliar delapan ratus enam puluh tujuh juta tujuh ratus tujuh puluh satu ribu seratus tujuh puluh tujuh rupiah); dan

      c.

      Alokasi Kurang Bayar Dana Bagi Hasil Pajak Bumi dan Bangunan untuk Biaya Pemungutan Bagian Daerah sebesar Rp1.081.846.972,00 (satu miliar delapan puluh satu juta delapan ratus empat puluh enam ribu sembilan ratus tujuh puluh dua rupiah).

      (2)

      Rincian alokasi Kurang Bayar Dana Bagi Hasil Pajak Bumi dan Bangunan Bagian Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a untuk masing-masing kabupaten/kota tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Tahun, No.1852 5 (3) Rincian alokasi Kurang Bayar Dana Bagi Hasil Pajak Bumi dan Bangunan Bagian Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b untuk masing-masing provinsi dan kabupaten/kota tercantum dalam Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

      4.

      Rincian alokasi Kurang Bayar Dana Bagi Hasil Pajak Bumi dan Bangunan untuk Biaya Pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c untuk masing-masing provinsi dan kabupaten/kota tercantum dalam Lampiran VI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

      Thumbnail
      Tidak Berlaku
      BIDANG PERBENDAHARAAN | HUKUM KEUANGAN NEGARA
      234/PMK.05/2020

      Kebijakan Akuntansi Pemerintah Pusat

      • Ditetapkan: 30 Des 2020
      • Diundangkan: 30 Des 2020
      Thumbnail
      Tidak Berlaku
      DAERAH | PETA KAPASITAS FISKAL
      119/PMK.07/2017

      Peta Kapasitas Fiskal Daerah.

      • Ditetapkan: 31 Agu 2017
      • Diundangkan: 31 Agu 2017

      Relevan terhadap

      Pasal 4Tutup
      (1)

      Penghitungan Kapasitas Fiskal Daerah provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a didasarkan pada formula sebagai berikut: KFDi = [Pendapatan] - [Pendapatan Earmarked + Belanja] KFDi = [PAD + DBH + DAU + Otsus + Dais + TPG/Tamsil] - [DTK + PR TDP + DBH SDA TDP + DBH CHT TDP + BBH + BBK + BB + BP] Keterangan: KFD = Kapasitas Fiskal Daerah PAD = Pendapatan Asli Daerah DBH = Dana Bagi Hasil DAU = Dana Alokasi Umum Otsus = Dana Otonomi Khusus Dais = Dana Keistimewaan DIY TPG/Tamsil = Tunjangan Penghasilan Guru/Tambahan Penghasilan DTK = Dana Transfer Khusus PR TDP = Pajak Rokok yang Telah Ditentukan Penggunaannya DBHSDA TDP = DBH Sumber Daya Alam yang Telah Ditentukan Penggunaannya DBHCHT TDP = DBH Cukai Hasil Tembakau yang Telah Ditentukan Penggunaannya BBH = Belanja Bagi Hasil BBK = Belanja Bantuan Keuangan BB = Belanja Bunga BP = Belanja Pegawai (2) Penghitungan Kapasitas Fiskal Daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a didasarkan pada formula sebagai berikut: KFD i = [Penerimaan Umum APBD] - [Penerimaan yang Telah Ditentukan Penggunaannya + Belanja] KFDi = [PAD + BHP + DBH + DAU + Otsus + TPG/Tamsil] - [DTK + PR TDP + DBH DR TDP + DBH CHT TDP + BBH + BH DOB + DD + ADD + Otsus + BP + BB] Keterangan: KFD = Kapasitas Fiskal Daerah PAD = Pendapatan Asli Daerah BHP = Bagi Hasil Provinsi DBH = Dana Bagi Hasil DAU = Dana Alokasi Umum Otsus = Dana Otonomi Khusus TPG/Tamsil = Tunjangan Penghasilan Guru/Tambahan Penghasilan PR TDP = Pajak Rokok yang Telah Ditentukan Penggunaannya DBHDR TDP = DBH Sumber Daya Alam yang Telah Ditentukan Penggunaannya DBHCHT TDP = DBH Cukai Hasil Tembakau yang Telah Ditentukan Penggunaannya BBH = Belanja Bagi Hasil BH DOB = Bagi Hasil untuk Daerah Otonom Baru DD = Dana Desa ADD = Alokasi Dana Desa Otsus = Dana Otonomi Khusus BP = Belanja Pegawai BB = Belanja Bunga (3) Penghitungan indeks Kapasitas Fiskal Daerah provinsi dan indeks Kapasitas Fiskal Daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b didasarkan pada formula sebagai berikut: Keterangan: IKFD i = Indeks Kapasitas Fiskal Daerah KFDi = Kapasitas Fiskal Daerah n = Jumlah provinsi sebanyak 34 (tiga puluh empat) atau kabupaten/kota sebanyak 508 (lima ratus delapan) (4) Penghitungan Kapasitas Fiskal Daerah didasarkan pada data Realisasi APBD Tahun Anggaran 2015 sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan mengenai sistem akuntansi pemerintah.

      (5)

      Penghitungan indeks Kapasitas Fiskal Daerah provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b dilakukan dengan menghitung Kapasitas Fiskal Daerah masing-masing daerah provinsi dibagi dengan rata-rata Kapasitas Fiskal Daerah seluruh daerah provinsi.

      (6)

      Penghitungan indeks Kapasitas Fiskal Daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b dilakukan dengan menghitung Kapasitas Fiskal Daerah masing-masing daerah kabupaten/kota dibagi dengan rata- rata Kapasitas Fiskal Daerah seluruh daerah kabupaten/kota.

      (7)

      Berdasarkan indeks Kapasitas Fiskal Daerah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (5), daerah provinsi dikelompokkan dalam 5 (lima) kategori Kapasitas Fiskal Daerah sebagai berikut:

      a.

      daerah dengan indeks Kapasitas Fiskal Daerah lebih dari atau sama dengan 2,0 (dua koma nol) (IKFD  2,0) merupakan daerah yang termasuk kategori Kapasitas Fiskal Daerah sangat tinggi;

      b.

      daerah dengan indeks Kapasitas Fiskal Daerah antara lebih dari atau sama dengan 1,02 (satu koma nol dua) sampai kurang dari 2,0 (dua koma nol) (1,02 ≤ IKFD < 2,0) merupakan daerah yang termasuk kategori Kapasitas Fiskal Daerah tinggi;

      c.

      daerah dengan indeks Kapasitas Fiskal Daerah antara lebih dari atau sama dengan 0,54 (nol koma lima empat) sampai kurang dari 1,02 (satu koma nol dua) (0,54 ≤ IKFD < 1,02) merupakan daerah yang termasuk kategori Kapasitas Fiskal Daerah sedang;

      d.

      daerah dengan indeks Kapasitas Fiskal Daerah antara lebih dari atau sama dengan 0,36 (nol koma tiga enam) sampai kurang dari 0,54 (nol koma lima empat) (0,36 ≤ IKFD < 0,54) merupakan daerah yang termasuk kategori Kapasitas Fiskal Daerah rendah; dan

      e.

      daerah dengan indeks Kapasitas Fiskal Daerah kurang dari 0,36 (nol koma tiga enam) (IKFD < 0,36) merupakan daerah yang termasuk kategori Kapasitas Fiskal Daerah sangat rendah.

      (8)

      Berdasarkan indeks Kapasitas Fiskal Daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (6), daerah kabupaten/kota dikelompokkan dalam 5 (lima) kategori Kapasitas Fiskal Daerah sebagai berikut:

      a.

      daerah dengan indeks Kapasitas Fiskal Daerah lebih dari atau sama dengan 2,05 (dua koma nol lima) (IKFD  2,5) merupakan daerah yang termasuk kategori Kapasitas Fiskal Daerah sangat tinggi;

      b.

      daerah dengan indeks Kapasitas Fiskal Daerah antara lebih dari atau sama dengan 1,14 (satu koma satu empat) sampai kurang dari 2,05 (dua koma nol lima) (1,14 ≤ IKFD < 2,05) merupakan daerah yang termasuk kategori Kapasitas Fiskal Daerah tinggi;

      c.

      daerah dengan indeks Kapasitas Fiskal Daerah antara lebih dari atau sama dengan 0,72 (nol koma tujuh dua) sampai kurang dari 1,14 (satu koma satu empat) 0,72 ≤ IKFD < 1,14) merupakan daerah yang termasuk kategori Kapasitas Fiskal Daerah sedang;

      d.

      daerah dengan indeks Kapasitas Fiskal Daerah antara lebih dari atau sama dengan 0,53 (nol koma lima tiga) sampai kurang dari 0,72 (nol koma tujuh dua) (0, 53 ≤ IKFD < 0, 72) merupakan daerah yang termasuk kategori Kapasitas Fiskal Daerah rendah; dan

      e.

      daerah dengan indeks Kapasitas Fiskal Daerah kurang dari 0,53 (nol koma lima tiga) (IKFD ≤ 0,53) merupakan daerah yang termasuk kategori Kapasitas Fiskal Daerah sangat rendah.

      Thumbnail
      JARINGAN DOKUMENTASI DAN INFORMASI HUKUM | KEMENTERIAN KEUANGAN
      240/PMK.01/2015

      Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum di Lingkungan Kementerian Keuangan.

      • Ditetapkan: 22 Des 2015
      • Diundangkan: 22 Des 2015
      • 1
      • ...
      • 45
      • 46
      • 47
      • ...
      • 67