Tata Kelola Teknologi Informasi dan Komunikasi di Lingkungan Kementerian Keuangan.
Relevan terhadap
Investasi TIK dilaksanakan untuk mendukung proses bisnis di lingkungan Kementerian Keuangan.
Investasi TIK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh:
Unit TIK Pusat; dan
Unit TIK Eselon I atau Unit TIK Non Eselon. ( -11 - (3) Investasi TIK oleh Unit TIK Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilaksanakan dalam mendukung penyediaan perangkat TIK yang digunakan oleh lebih dari 1 ( satu) Unit di Lingkungan Kementerian Keuangan dan/ a tau Layanan Bersama;
Investasi TIK oleh Unit TIK Eselon I atau Unit TIK Non Eselon sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilaksanakan dalam mendukung penyediaan perangkat TIK yang digunakan hanya oleh 1 ( satu) Unit di lingkungan Kementerian Keuangan.
Investasi TIK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan didahului adanya kajian kebutuhan untuk setiap investasi TIK.
Kajian kebutuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) meliputi namun tidak terbatas pada Kerangka Acuan Kerja ( KAK) , analisis manfaat biaya (Benefit Cost Analysis)) dan kajian hasil perbandingan investasi seJenls.
Dukungan Pengembangan Panas Bumi Melalui Penggunaan Dana Pembiayaan Infrastruktur Sektor Panas Bumi pada Perusahaan Perseroan (Persero) PT Sarana Mult ...
Relevan terhadap
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Dana Pembiayaan Infrastruktur Sektor Panas Bumi yang selanjutnya disebut Dana PISP adalah kerangka pendanaan yang dibentuk secara khusus oleh Menteri Keuangan sebagai sarana untuk mendukung terselenggaranya penyediaan infrastruktur sektor panas bumi.
Panas Bumi adalah sumber energi panas yang terkandung di dalam air panas, uap air, serta batuan bersama mineral ikutan dan gas lainnya yang secara genetik tidak dapat dipisahkan dalam suatu sistem panas bumi sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di bidang Panas Bumi.
Badan Usaha Milik Negara yang selanjutnya disingkat BUMN adalah badan usaha sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Badan Usaha Milik Negara.
BUMN Panas Bumi adalah BUMN yang didirikan dengan tujuan untuk melakukan pengusahaan Panas Bumi untuk pemanfaatan tidak langsung.
Badan Usaha Panas Bumi adalah badan usaha yang berbentuk perseroan terbatas yang didirikan berdasarkan hukum Republik Indonesia dengan tujuan untuk melakukan pengusahaan Panas Bumi untuk pemanfaatan tidak langsung.
Badan Usaha Penerima Manfaat Dukungan Eksplorasi adalah pemenang lelang dan/atau Badan Usaha Panas Bumi yang didirikan oleh pemenang lelang, yang mendapatkan manfaat berupa ketersediaan data dan informasi Panas Bumi yang kredibel dari pelaksanaan penyediaan dukungan eksplorasi.
Dana Awal adalah dana penyertaan modal negara yang berasal dari fasilitas dana Panas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 232/PMK.06/2015 tentang Pelaksanaan Pengalihan Investasi Pemerintah dalam Pusat Investasi Pemerintah Menjadi Penyertaan Modal Negara pada Perusahaan Perseroan (Persero) PT Sarana Multi Infrastruktur.
Data dan Informasi Panas Bumi adalah semua fakta, petunjuk, indikasi dan informasi terkait Panas Bumi sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang- undangan di bidang Panas Bumi.
Debitur Publik adalah BUMN Panas Bumi, BUMN di bidang energi dan/atau Badan Usaha Panas Bumi yang seluruh atau mayoritas sahamnya dimiliki oleh BUMN Panas Bumi atau BUMN di bidang energi.
Debitur Swasta adalah Badan Usaha Panas Bumi yang bukan merupakan Debitur Publik.
Dukungan Pengembangan Panas Bumi adalah salah satu bentuk fasilitas yang disediakan oleh Menteri Keuangan untuk memitigasi risiko ( de-risking facility ) yang menghambat partisipasi badan usaha dalam penyediaan infrastruktur sektor Panas Bumi.
Eksplorasi adalah rangkaian kegiatan yang meliputi penyelidikan geologi, geofisika, geokimia, pengeboran uji, dan pengeboran sumur eksplorasi yang bertujuan untuk memperoleh informasi geologi bawah permukaan guna menemukan dan mendapatkan perkiraan cadangan panas bumi sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di bidang Panas Bumi.
Dukungan Eksplorasi adalah Dukungan Pengembangan Panas Bumi yang disediakan dalam rangka mendapatkan Data dan Informasi Panas Bumi yang diperlukan untuk penyiapan dan pelelangan wilayah kerja.
Izin Panas Bumi adalah izin untuk melakukan pengusahaan Panas Bumi untuk pemanfaatan tidak langsung pada wilayah kerja tertentu sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di bidang Panas Bumi.
Wilayah Kerja Panas Bumi yang selanjutnya disebut Wilayah Kerja adalah wilayah dengan batas-batas koordinat tertentu yang digunakan untuk pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Tidak Langsung sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang- undangan di bidang Panas Bumi.
Pelelangan Wilayah Kerja adalah metode penawaran Wilayah Kerja untuk mendapatkan Pemenang Lelang sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang- undangan di bidang Panas Bumi yang dilakukan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dengan menggunakan Data dan Informasi Panas Bumi yang dihasilkan dari pelaksanaan Dukungan Eksplorasi yang telah dinyatakan layak oleh pihak independen.
Pemenang Lelang adalah pihak yang ditetapkan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral sebagai pemenang dari Pelelangan Wilayah Kerja sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang Panas Bumi.
Kegagalan Lelang adalah kondisi ketika Pelelangan Wilayah Kerja tidak dapat dilaksanakan atau tidak dapat menghasilkan badan usaha Pemenang Lelang yang bukan merupakan akibat dari ketidaklayakan Data dan Informasi Panas Bumi yang dihasilkan dari Dukungan Eksplorasi.
Kerja Sama Pendanaan adalah kerja sama dalam rangka penyediaan Dana PISP untuk membiayai penyediaan dan pelaksanaan Dukungan Pengembangan Panas Bumi.
Kompensasi Penugasan Dukungan Eksplorasi adalah kompensasi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan mengenai penugasan khusus BUMN dalam peraturan perundang-undangan mengenai BUMN, untuk pelaksanaan Penugasan Dukungan Eksplorasi.
Kompensasi Penugasan Pembiayaan Eksplorasi adalah kompensasi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan mengenai penugasan khusus BUMN dalam peraturan perundang-undangan mengenai BUMN, untuk pelaksanaan Penugasan Pembiayaan Eksplorasi.
Pemanfaatan Tidak Langsung adalah kegiatan pengusahaan pemanfaatan Panas Bumi dengan melalui proses pengubahan energi panas dan/atau fluida menjadi energi listrik sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di bidang Panas Bumi.
Penanggungan Risiko adalah penanggungan atas seluruh atau sebagian dari dampak terjadinya risiko terhadap kinerja dan/atau kesinambungan Dana PISP dan/atau PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero), yang berfungsi sebagai sarana pemulihan terhadap Dana PISP yang telah digunakan.
Penugasan Dukungan Eksplorasi adalah penugasan khusus sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai BUMN untuk menyediakan dan melaksanakan Dukungan Eksplorasi.
Penugasan Pembiayaan Eksplorasi adalah penugasan khusus sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai BUMN untuk menyediakan Pembiayaan Eksplorasi.
Perjanjian Dukungan Eksplorasi adalah perjanjian yang dibuat dalam rangka pelaksanaan Penugasan Dukungan Eksplorasi.
Perjanjian Kerja Sama Pendanaan adalah perjanjian yang dibuat dalam rangka pelaksanaan Kerja Sama Pendanaan.
Perjanjian Pembiayaan Eksplorasi adalah perjanjian yang dibuat dalam rangka pelaksanaan Penugasan Pembiayaan Eksplorasi.
Perjanjian Pembayaran Kompensasi Penugasan Dukungan Eksplorasi adalah perjanjian yang dibuat dalam rangka pelaksanaan pembayaran Kompensasi Penugasan Dukungan Eksplorasi.
Perjanjian Penanggungan Risiko adalah perjanjian yang dibuat dalam rangka melaksanakan Penanggungan Risiko.
Perusahaan Perseroan (Persero) PT Sarana Multi Infrastruktur yang selanjutnya disebut PT SMI adalah BUMN yang didirikan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2007 tentang Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia untuk Pendirian Perusahaan Perseroan (Persero) di Bidang Pembiayaan Infrastruktur sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2007 tentang Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia untuk Pendirian Perusahaan Perseroan (Persero) di Bidang Pembiayaan Infrastruktur.
Perusahaan Perseroan (Persero) PT Geo Dipa Energi yang selanjutnya disebut PT GDE adalah BUMN yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 2011 tentang Penetapan PT Geo Dipa Energi sebagai Perusahaan Perseroan (Persero) PT Geo Dipa Energi.
Perusahaan Perseroan (Persero) PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia yang selanjutnya disebut PT PII adalah BUMN yang didirikan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2009 tentang Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia untuk Pendirian Perusahaan Perseroan (Persero) di Bidang Penjaminan Infrastruktur sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2009 tentang Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia untuk Pendirian Perusahaan Perseroan (Persero) di Bidang Penjaminan Infrastruktur.
Pembiayaan Eksplorasi adalah Dukungan Pengembangan Panas Bumi berupa pemberian pinjaman dan/atau bentuk pembiayaan lainnya dalam rangka penyiapan studi kelayakan.
Studi Kelayakan adalah kajian untuk memperoleh informasi secara terperinci terhadap seluruh aspek yang berkaitan untuk menentukan kelayakan teknis, ekonomis, dan lingkungan atas suatu rencana usaha dan/atau kegiatan Pemanfaatan Tidak Langsung yang diusulkan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di bidang Panas Bumi.
Survei Pendahuluan adalah kegiatan yang meliputi pengumpulan, analisis dan penyajian data yang berhubungan dengan informasi kondisi geologi, geofisika dan geokimia, serta survei landaian suhu apabila diperlukan, untuk memperkirakan letak serta ada atau tidaknya sumber daya Panas Bumi sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di bidang Panas Bumi.
Wilayah Terbuka Panas Bumi yang selanjutnya disebut Wilayah Terbuka adalah wilayah yang diduga memiliki potensi Panas Bumi di luar batas-batas koordinat Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di bidang Panas Bumi.
Menteri adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko yang selanjutnya disebut Direktur Jenderal adalah pejabat pimpinan tinggi madya di lingkungan Kementerian Keuangan yang menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pengelolaan pembiayaan dan risiko keuangan negara.
Komite Bersama adalah komite yang dibentuk oleh Menteri untuk menunjang kelancaran pengelolaan Dana PISP dan/atau penyediaan Dukungan Pengembangan Panas Bumi.
Petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional di Bidang Keuangan Negara
Pengelolaan Keuangan Daerah
Relevan terhadap
Rancangan Perkada tentang APBD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 ayat (2) memuat lampiran yang terdiri atas:
ringkasan APBD;
ringkasan penjabaran APBD sampai dengan rincian obyek;
ringkasan APBD menurut Urusan Pemerintahan daerah dan organisasi;
rincian APBD menurut Urusan Pemerintahan daerah, organisasi, Program, Kegiatan, kelompok, jenis, obyek, rincian obyek pendapatan, belanja, dan Pembiayaan;
rekapitulasi dan kesesuaian belanja menurut Urusan Pemerintahan daerah, organisasi, Program, dan Kegiatan;
rekapitulasi Belanja Daerah untuk keselarasan dan keterpaduan Urusan Pemerintahan daerah dan fungsi dalam kerangka pengelolaan keuangan negara;
daftar jumlah pegawai per golongan dan per jabatan;
daftar Piutang Daerah;
daftar penyertaan modal daerah dan investasi daerah lainnya;
daftar perkiraan penambahan dan pengurangan aset tetap daerah;
daftar perkiraan penambahan dan pengurangan aset lain-lain;
daftar Kegiatan tahun anggaran sebelumnya yang belum diselesaikan dan dianggarkan kembali dalam tahun anggaran ini;
daftar Dana Cadangan;
daftar Pinjaman Daerah;
daftar nama penerima, alamat penerima, dan besaran hibah; dan
daftar nama penerima, alamat penerima, dan besaran bantuan sosial.
PPKD menyusun rancangan Perda tentang APBD dan dokumen pendukung berdasarkan RKA SKPD yang telah disempurnakan oleh kepala SKPD.
Rancangan Perda tentang APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat lampiran paling sedikit terdiri atas:
ringkasan APBD yang diklasifikasi menurut kelompok dan jenis pendapatan, belanja, dan Pembiayaan;
ringkasan APBD menurut Urusan Pemerintahan daerah dan organisasi;
rincian APBD menurut Urusan Pemerintahan daerah, organisasi, Program, Kegiatan, kelompok, jenis pendapatan, belanja, dan Pembiayaan;
rekapitulasi belanja dan kesesuaian menurut Urusan Pemerintahan daerah, organisasi, Program, dan Kegiatan;
rekapitulasi Belanja Daerah untuk keselarasan dan keterpaduan Urusan Pemerintahan daerah dan fungsi dalam kerangka pengelolaan keuangan negara;
daftar jumlah pegawai per golongan dan per jabatan;
daftar Piutang Daerah;
daftar penyertaan modal daerah dan investasi daerah lainnya;
daftar perkiraan penambahan dan pengurangan aset tetap daerah;
daftar perkiraan penambahan dan pengurangan aset lain-lain;
daftar Kegiatan tahun anggaran sebelumnya yang belum diselesaikan dan dianggarkan kembali dalam tahun anggaran yang direncanakan;
daftar Dana Cadangan; dan
daftar Pinjaman Daerah.
Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas nota keuangan dan rancangan Perkada tentang penjabaran APBD.
Rancangan Perkada tentang penjabaran APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memuat lampiran paling sedikit terdiri atas:
ringkasan penjabaran APBD yang diklasifikasi menurut kelompok, jenis, obyek, dan rincian obyek Pendapatan, Belanja, dan Pembiayaan;
penjabaran APBD menurut Urusan Pemerintahan daerah, organisasi, Program, Kegiatan, kelompok, jenis, obyek, rincian obyek pendapatan, belanja, dan Pembiayaan;
daftar nama penerima, alamat penerima, dan besaran hibah; dan
daftar nama penerima, alamat penerima, dan besaran bantuan sosial.
PPKD menyusun rancangan Perda tentang perubahan APBD dan dokumen pendukung berdasarkan RKA SKPD dan perubahan DPA SKPD yang telah disempurnakan oleh kepala SKPD.
Rancangan Perda tentang perubahan APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat lampiran paling sedikit terdiri atas:
ringkasan APBD yang diklasifikasi menurut kelompok dan jenis pendapatan, belanja, dan Pembiayaan;
ringkasan APBD menurut Urusan Pemerintahan daerah dan organisasi;
rincian APBD menurut Urusan Pemerintahan daerah, organisasi, Program, Kegiatan, kelompok, jenis pendapatan, belanja, dan Pembiayaan;
rekapitulasi Belanja Daerah dan kesesuaian menurut Urusan Pemerintahan daerah, organisasi, Program, dan Kegiatan;
rekapitulasi Belanja Daerah untuk keselarasan dan keterpaduan Urusan Pemerintahan daerah dan fungsi dalam kerangka pengelolaan keuangan negara;
daftar jumlah pegawai per golongan dan per jabatan;
daftar Piutang Daerah;
daftar penyertaan modal daerah dan investasi daerah lainnya;
daftar perkiraan penambahan dan pengurangan aset tetap daerah;
daftar perkiraan penambahan dan pengurangan aset lain-lain;
daftar Kegiatan tahun anggaran sebelumnya yang belum diselesaikan dan dianggarkan kembali dalam tahun anggaran berkenaan;
daftar Dana Cadangan daerah; dan
daftar Pinjaman Daerah.
Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas nota keuangan dan rancangan Perkada tentang penjabaran perubahan APBD.
Rancangan Perkada tentang penjabaran perubahan APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memuat lampiran paling sedikit terdiri atas:
ringkasan penjabaran perubahan APBD yang diklasifikasi menurut jenis, obyek, dan rincian obyek pendapatan, belanja, dan Pembiayaan;
penjabaran perubahan APBD menurut Urusan Pemerintahan daerah, organisasi, Program, Kegiatan, jenis, obyek, rincian obyek pendapatan, belanja, dan Pembiayaan;
daftar nama penerima, alamat penerima, dan besaran hibah; dan
daftar nama penerima, alamat penerima, dan besaran bantuan sosial.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2022
Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran
Relevan terhadap
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku:
Pasal 26, Pasal 28, Pasal 29,Pasal 34 sampai dengan Pasal 37, Pasal 47 ayat (1), Pasal 51 sampai dengan Pasal 54, Pasal 61, dan Pasal 71 sampai dengan Pasal 77 Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi (Lembaran Negara Repubtik Indonesia Tahun 2000 Nomor 107, Tambahan l,embaran Negara Republik Indonesia Nomor 398O);
Pasal 1 angka 13, Pasal 8 ayat (2), Pasal lO ayat (2),, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 17, Pasal 19 sampai dengan Pasal 25, Pasal 27 sampai dengan Pasal 31, dan Pasal 35 Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 20OO tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2OO0 Nomor 1O8, Tambahan l,embaran Negara Republik Indonesia Nomor 3981);
Pasal c e Pasal 7 ayat (a) dan Pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraarl Penyiaran Lembaga Penyiaran Publik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2OO5 Nomor 28, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor aa85l; Pasal 1 angka 2, Pasal 2, Pasal 11 ayat (1), Pasal 35, dan Pasal 36 Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor a566); Pasal I angka 2, Pasal 2, dan Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Komunitas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor a567); Pasal I angka 2, Pasal 11 ayat (1), dan Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Berlangganan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor l2g,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor a568); Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2Ol3 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2OO9 tentang Pos (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5403), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 1O2 pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah mengenai Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini. Pasal 103 Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar d f g Agar setiap pengundangan penempatannya Indonesia. orang mengetahuinya, memerintahkan Peraturan Pemerintah ini dengan dalam L,embaran Negara RePublik Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 2 Februari 2O2L JOKO WIDODO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 2 Februari2O2T MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, YASONNA H. LAOLY PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2O2I TENTANG POS, TELEKOMUNIKASI, DAN PENYIARAN UMUM pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun lg45 mengamanatkan bahwa tujuan pembentukan Negara Republik Indonesia adalah mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, makmur, yang merata, baik materiel maupun spiritual. Sejalan dengan tujuan i.r"Ibrt, Pasal 28F Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun lg45 menentukan bahwa "setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, *.rrgoLh, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluian yang tersedia.", oleh karena itu negara perlu melakukan berbagai upaya .t"r- tindakan untuk memenuhi hak-hak warga negara untuk Uirt<omunikasi dan memperoleh informasi. Pemenuhan hak untuk berkomunikasi dan memp"rol"h informasi pada prinsipnya merLlpakan salah satu aspek penting dalam pembangUnan nasional yang dilaksanakan dalam kerangka transformasi digital Indonesia. Transformasi digital Indonesia akan membawa Indonesia menjadi bangsa yang lebih tangguh di masa depan, dengan fokus pada:
percepatan perluasan akses dan peningkatan infrastruktur digital dan penyediaan laYanan internet;
percepatan perluasan dan peningkatan layanan Pos dan logistik dalam mendukung ekonomi digital dan layanan keuangan yang inklusif;
penyiapan road.map transformasi digital di sektor-sektor strategis, baik p"a" ".kto. pemerintahan, layanan publik, bantuan sosial, pendidikan, kesehatan, perdagangan, industri, maupun Penyiaran;
percepatan integrasi pusat data nasional;
penyiapan kebutuhan sumber daya manusia talenta digital; dan
penyiapan yang berkaitan dengan regulasi terkait skema pendanaan dan pembiayaan transformasi digital nasional. I Sektor Sektor pos, Telekomunikasi dan Penyiaran memiliki nilai sangat strategis karena menjadi pilar utama pada saat Indonesia memasuki transf6rmasi digital dan *.rri^di tulang punggung ekonomi digital nasional. Melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2o2o tentang cipta Kerja serta peraturan Pemerintah ini, ada 3 (tiga) hal fundamental yang mempengaruhi percepatan transformasi digital Indonesia, yakni menembus kebuntuan iegulasi implementasi penghentian siaran analog dan beralih ke digital (inalog Suitch 061/A5C/I paling lambat tanggal 2 November 2022' pencejahan inefisilnsi Spettrum Frekuensi Radio, dan optimalisasi infrastruktur pasif. Untuk mendukung pelaksanaan kebijakan transformasi digital Indonesia dan ekonom-i digit.t dimaksud, diperlukan perubahan dan penyempurnaan peraturan pelaksanaan dari Undang-undang Nomor 38 Tahun 2oog tentang Pos, Undang-undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2OO2 tentang Penyiaran. Perubahan peraturan pelaksanaan tersebut merupakan bagian dari amanat Undang-undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentang cipta Kerja yang mengubah ketiga Undang-Undang tersebut' Peraturan Pemerintah ini meliputi pengaturan terkait:
PenyelenggaraanPos;
Penyelenggaraan Telekomunikasi;
Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio; dan
Penyelenggaraan PenYiaran. II. PASAL DEMI PASAL
Penyelenggaraan Penataan Ruang
Relevan terhadap
RDTR KPN mengacu pada RTR KSN. Perumusan RDTR KPN memperhatikan:
rencana pembangunan ^jangka ^panjang nasional;
rencana pembangunan ^jangka menengah nasional. c. perkembangan permasalahan wilayah serta hasil pengkajian implikasi penataan ruang kawasan perbatasan negara;
optimasi pemanfaatan ruang darat, ruang ^laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi;
kriteria pemanfaatan pulau-pulau kecil ^sesuai dengan ketentuan peraturan ^perundang- undangan; dan
rencana tata ruang wilayah kabupaten dan/atau rencana tata ruang wilayah kota terkait. RDTR KPN paling sedikit memuat:
tujuan penataan wilayah ^perencanaan;
rencana Struktur Ruang;
rencana Pola Ruang;
ketentuan Pemanfaatan Ruang; dan
peraturan zonasi. RDTR KPN menjadi actran untuk:
pen5rusunan rencana pembangunan ^jangka panjang daerah provinsi dan kabupaten/kota terkait;
b. pen5rusunan rencana pembangunan ^jangka menengah daerah provinsi dan kabupaten/kota terkait;
Pemanfaatan Ruang dan Pengendalian Pemanfaatan Ruang;
perwujudan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan antarsektor; dan
penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi. (5) RDTR KPN dituangkan ke dalam peta dengan tingkat ketelitian skala 1 :
proses penyusunan RDTR KPN;
pelibatan peran Masyarakat di tingkat kabupaten/kota dalam penyusunan RDTR KPN; dan
pembahasan rancangan RDTR KPN oleh Pemangku Kepentingan. (2) Proses pen)rusunan RDTR . KPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan melalui tahapan:
persiapan penyusunan meliputi:
penyusunan kerangka acuan kerja;
penentuan metodologi yang diguhakan; dan
penetapan wilayah perencanaan RDTR KPN. b. pengurnpulan data paling sedikit:
data wilayah administrasi;
data dan informasi kependudukan;
data dan informasi bidang pertanahan; PFTES IDEN REPUBLIK INDONESIA 4. data dan informasi kebencanaan; dan
peta dasar dan peta tematik yang dibutuhkan. c. pengolahan data dan analisis paling sedikit:
anaiisis daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup; dan
analisis mencakup aspek sosial, ekonomi, budaya, pertahanan dan keamanan. d. perumusan konsepsi RDTR KPN; dan
pen5rusunan rancangan peraturan presiden tentang RDTR KPN. (3) Peta dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hurr-rf b angka 5 merupakan peta rupabumi Indonesia danf atau peta dasar lainnya. (4) Peta Rupabumi Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan peta termutakhir dan telah ditetapkan oleh kepala badan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang informasi geospasial. Pasal 53 Menteri dan kepala badan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang penanaman modal wajib mengintegrasikan RDTR KPN dalam bentuk digital ke dalam sistem OSS. Paragraf 7 Pen5rusunan Rencana Detail Tata Ruang KabupatenlKota Pasal 54 (1) Pen5rusunan RDTR kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf f dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota.
Penyusunan. (21 Pen5rusunan RDTR kabupaten/kota dilaksanakan sesuai dengan norrna, standar, prosedur, dan kriteria yang diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 55 (l) Penyusunan RDTR kabupaten/kota dapat mencakup kawasan dengan karakteristik perkotaan, karakteristik perdesaan, serta kawasan lintas kabupaten/kota. (21 Kawasan dengan karakteristik perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kawasan ^' yang memiliki fungsi utama kegiatan ekonomi, lingkungan hidup, sosial, dan budaya dengan karakteristik perkotaan. (3) Kawasan dengan karakteristik perdesaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kawasan yang memiliki fungsi utama kegiatan ekonomi, lingkungan hidup, sosial, dan budaya dengan karakteristik perdesaan. (4) Kawasan lintas kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang secara fungsional terdapat di lebih dari 1 (satu) wilayah kabupaten/kota yang berbatasan, penyusunan RDTR dimaksud dilaksanakan secara terintegrasi oleh Pemerintah Daerah kabupate n I kota terkait. (5) RDTR sebagaimana dimaksud pada ayat . (4) ditetapkan dengan peraturan kepala daerah kabupaten/ kota sesuai wilayah administrasinya. Pasal 56 (1) RDTR kabupaten/kota mengacu pada rencana tata ruang wilayah kabupaten/ kota. (21 RDTR kabupaten/kota memperhalikan:
rencana pembangunan ^jangka panjang daerah kabupaten/kota;
rencana pembangunan ^jangka menengah daerah kabupaten/kota;
perkembangan permasalahan wilayah serta hasil pengkajian implikasi penataan ruang kabupaten/kota;
optimasi pemanfaatan ruang darat, ruang laut, ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi; dan
kriteria pemanfaatan pulau-pulau kecil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. (3) RDTR kabupaten/kota paling sedikit memuat:
tujuan penataan wilayah perencanaan;
rencana Struktur Ruang;
rencana Pola Ruang;
ketentuan Pemanfaatan Ruang; dan
peraturan zonasi. (4) RDTR kabupaten/kota nrenjadi acuan unt'-rk:
pen5rusunan rencana pembangunan ^jangka panjang daerah kabupate n I kota;
pen5rusunan rencana pembangunan ^jangka menengah daerah kabupaten/ kota;
Pemanfaatan Ruang dan Pengendalian Pemanfaatan Ruang;
perwujudan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan antarsektor; dan
penetapan lokasi dan fungsi rueng untuk investasi. (5) RDTR kabupaten/kota dituangkan ke dalam peta dengan tingkat ketelitiarr skala 1:
KSN dari sudut kepentingan pendayagunaan sumber daya alam dan/atau teknologi tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (21 huruf d ditetapkan dengan kriteria:
kawasan yang memiliki fungsi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;
kawasan yang memiliki sumber daya alam strategis;
kawasan yang memiliki fungsi sebagai pusat pemanfaatan dan pengembangan teknologi dan industri kedirgantaraan / kelautan ;
kawasan yang memiliki fungsi sebagai pusat pengendalian tenaga atom dan nuklir; dan/atau
kawasan yang memiliki fungsi sebagai lokasi dan posisi geografis penggunaan teknologi kedirgantaraanf kelautan dan teknologi tinggi strategis lainnya. Pasal 34 KSN dari sudut kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (21hurrrf e ditetapkan dengan kriteria:
kawasanperlindungankeanekaragamanhayati;
kawasan lindung yang ditetapkan bagi perlindungan ekosistem, flora, fauna, dan/atau biota laut yang hampir punah atau diperkirakan akan punah yang harus dilindungi dan/atau dilestarikan;
kawasan yang memberikan perlindungan keseimbangan tata guna air yang setiap tahun berpeluang menimbulkan kerugian;
kawasan yang memberikan perlindungan terhadap keseimbangan iklim makro;
kawasan yang menuntut prioritas tinggi peningkatan kualitas lingkungan hidup;
kawasan rawan bencana alam;
kawasan yang berupa taman bumi; dan/atau
kawasan yang sangat menentukan dalam perubahan rona alam dan mempunyai dampak luas terhadap kelangsungan kehidupan. Pasal 35 (1) RTR KSN mengacu pada:
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional;
RTR pulau/kepulauan; dan
RZ KAW. (21 RTR KSN memperhatikan:
rencana pembangunan jangka panjang nasional;
rencana pembangunan jangka menengah nasional;
wawasan nusantara dan ketahanan nasional;
perkembangan permasalahan regional dan global serta hasil pengkajian implikasi penataan ruang nasional;
upaya pemerataan pembangunan dan pertumbuhan serta stabilitas ekonomi;
keselarasan aspirasi pembangunan nasional dan pembangunan daerah;
kondisi dan potensi sosial Masyarakat;
neraca h. neraca penatagunaan tanah dan neraca penatagunaan sumber daya air;
optimasi pemanfaatan rrrang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi; dan
rencana tata ruang wilayah provinsi, rencana tata ruang wilayah kabupaten, danf atau rencana tata ruang wilayah kota terkait. (3) RTR KSN paling sedikit memuat a. tujuan, kebijakan, dan strategi Penataan Ruang KSN;
rencana Struktur Ruang KSN yang meliputi rencana sistem pusat permukiman dan rencana sistem jaringan prasarana;
rencana Pola Ruang KSN yang meliputi Kawasan Lindung yang memiliki nilai strategis nasional termasuk Kawasan Konservasi di Laut, dan Kawasan Budi Daya yang memiliki nilai strategis nasional termasuk Kawasan Pemanfaatan Umum;
alur migrasi biota laut;
arahan Pemanfaatan Ruang yang berisi indikasi program utama jangka menengah lima tahunan;
strategi kebijakan pengembangan KSN;
arahan Pengendalian Pemanfaatan Ruang KSN yang berisi indikasi arahan zonasi sistem nasional, arahan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang, arahan insentif dan disinsentif, serta arahan sanksi; dan
arahan kebijakan pemntukan ruang pada sempadan pantai, sungai, situ, danau, embung, waduk, dan mata air. (4) RTR KSN menjadi acuan untuk:
penJrusunan rencana tata ruang wilayah provinsi;
pen5rusunan rencana tata ruang wilayah kabupaten;
pen5rusunan rencana tata ruang wilayah kota;
pen5rusunan rencana pembangunan jangka panjang nasional;
pen5rusunan rencana pembangunan jangka menengah nasional;
Pemanfaatan Ruang dan Pengendalian Pemanfaatan Ruang di wilayah nasional;
perwujudan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan perkembangan antarwilayah provinsi, dan/atau keserasian antarsektor; dan
penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi. (5) RTR KSN dituangkan ke dalam peta dengan tingkat ketelitian skala 1 :
proses penyusunan RTR KSN;
pelibatan peran Masyarakat dalam pen)rusunan RTR KSN; dan
pembahasan rancangan RTR KSN oleh Pemangku Kepentingan. (2) Proses penJrusunan RTR KSN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan melalui tahapan:
persiapan penJrusunan meliputi:
penyusunan kerangka acuan kerja; dan
penetapan metodologi yang digunakan.
pengumpulan data paling sedikit:
data wilayah administrasi;
data dan informasi kependudukan;
data dan informasi bidang pertanahan;
data dan informasi kebencanaan;
data dan informasi kelautan; dan
peta dasar dan peta tematik yang dibutuhkan. c. pengolahan data dan analisis paling sedikit:
analisis potensi dan permasalahan regional dan global; dan
analisis daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup yang terintegrasi dengan kajian lingkungan hidup strategis. d. perumusan konsepsi RTR KSN; dan
Pen5rusunan rancangan Peraturan Presiden tentang RTR KSN. (3) Peta dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (21 huruf b angka 6 merupakan peta rupabumi Indonesia dan/atau peta dasar lainnya. (41 Peta Rupabumi Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan peta termutakhir dan telah ditetapkan oleh kepala badan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang informasi geospasial. (5) Peta dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mencantumkan garis pantai yang terdiri atas:
garis pantai yang ditetapkan oleh badan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang informasi geospasial; dan
garis pantai sesuai kebutuhan RTR yang digambarkan dengan simbol dan/atau warna khusus.
Ketentuan (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan integrasi kajian lingkungan hidup strategis dalam pen5rusunan RTR KSN sebagaimana dimaksud pada ayat (21 huruf c angka 2 diatur dengan Peraturan Menteri. Paragraf 4 Pen5rusunan Rencan a Zonasi Kawasan Antarwilayah Pasal 37 (1) PenSrusunan RZ KAW sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf c dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan. (2) RZ KAW meliputi:
rencana zonasi teluk;
rencana zonasi selat; dan
rencana zonasi Laut. (3) Teluk, selat, dan Laut sebagaimana dimaksud pada ayat (21 merupakan kawasan yang berada pada perairan pedalaman yang ber-upa Laut pedalaman, perairan kepulauan, dan/atau Laut teritorial yang berada di wilayah lintas provinsi. (4) Penamaan dan letak geografis teluk, selat, dan Laut sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan pada peta Laut Indonesia dan/atau peta rupabumi Indonesia. (5) Peta Rupabumi Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan peta termutakhir dan telah ditetapkan oleh kepala badan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang informasi geospasial. (6) Wilayah perencanaan RZ KAW meliputi satu kesatuan wilayah teluk, selat, atau Laut.
Tata Cara Pengelolaan Aset pada Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam ...
Relevan terhadap
Mitra KSP ditetapkan melalui tender, kecuali untuk Aset yang bersifat khusus dapat dilakukan penunjukan langsung.
Aset yang bersifat khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki kriteria:
mempunyai spesifikasi tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
dikerjasamakan dalam investasi yang berdasarkan perjanjian hubungan bilateral antar negara;
bersifat rahasia dalam kerangka pertahanan negara;
mempunyai konstruksi dan spesifikasi yang harus dengan perizinan khusus;
dalam rangka menjalankan tugas negara;
dalam rangka proyek kerja sama;
memiliki tingkat kompleksitas khusus, seperti bandar udara, pelabuhan laut, kilang, instalasi tenaga listrik, dan bendungan/waduk; atau
lainnya berdasarkan penetapan Kepala Badan Pengusahaan setelah memperoleh persetujuan Menteri Keuangan cq. Direktur Jenderal.
Proyek kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf f merupakan penyediaan infrastruktur yang dilakukan melalui perjanjian kerja sama antara Kepala Badan Pengusahaan dan/atau Menteri/Pimpinan Lembaga dengan Badan Usaha Pelaksana atau pemberian izin pengusahaan dari Menteri/Pimpinan Lembaga kepada Badan Usaha Pelaksana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Penunjukan langsung terhadap Aset yang digunakan dalam rangka proyek kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf f dilakukan terhadap pihak yang dipilih sebagai mitra proyek kerja sama sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kerja sama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam penyediaan infrastruktur.
Tata Cara Pengelolaan Aset pada Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam ...
Relevan terhadap
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PENGELOLAAN ASET PADA BADAN PENGUSAHAAN KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN BEBAS BATAM. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Barang Milik Negara yang selanjutnya disingkat BMN adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau berasal dari perolehan lainnya yang sah. 2. Aset adalah seluruh barang milik negara yang dikelola oleh Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam. 3. Aset Dalam Penguasaan Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam yang selanjutnya disingkat ADP adalah Aset yang meliputi tanah dalam bentuk Hak Pengelolaan. 4. Pengelola Barang adalah pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab menetapkan kebijakan dan pedoman serta melakukan pengelolaan BMN. 5. Pengguna Barang adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan BMN. 6. Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam yang selanjutnya disebut Kawasan adalah wilayah sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Be bas Ba tam.
Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Be bas dan Pelabuhan Bebas Batam yang selanjutnya disebut Badan Pengusahaan adalah lembaga/ instansi pemerintah pusat yang dibentuk oleh Dewan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas dengan tugas dan wewenang melaksanakan pengelolaan, pengembangan, dan pembangunan Kawasan sesuai dengan fungsi-fungsi Kawasan. 8. Badan Layanan Umum yang selanjutnya disingkat BLU adalah instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tan pa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas. 9. Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum yang selanjutnya disingkat PPK-BLU adalah pola pengelolaan keuangan yang memberikan fleksibilitas berupa keleluasaan untuk menerapkan praktik bisnis yang sehat untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah mengenai pengelolaan keuangan BLU, sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan keuangan negara pada umumnya. 10. Perencanaan Kebutuhan adalah kegiatan merumuskan rincian kebutuhan BMN untuk menghubungkan pengadaan barang yang telah lalu dengan keadaan yang sedang berj alan se bagai dasar dalam melakukan tindakan yang akan datang. 11. Penggunaan adalah kegiatan yang dilakukan oleh Pengguna Barang dalam mengelola dan menatausahakan Aset yang sesuai dengan tugas dan fungsi Badan Pengusahaan. 12. Penilaian adalah proses kegiatan untuk memberikan suatu opini nilai atas suatu objek penilaian pada saat tertentu. 13. Penilai adalah pihak yang melakukan Penilaian secara independen berdasarkan kompetensi yang dimilikinya. 14. Pemanfaatan adalah pendayagunaan Aset yang tidak digunakan untuk penyelenggaraan tugas dan fungsi kementerian/lembaga dan/atau optimalisasi Aset dengan tidak mengubah status kepemilikan. 15. Sewa adalah Pemanfaatan Aset oleh pihak lain dalam jangka waktu tertentu dan menerima imbalan uang tunai. 16. Pinjam Pakai adalah Pemanfaatan Aset melalui penyerahan penggunaan BMN Badan Pengusahaan kepada pemerintah daerah dalam jangka waktu tertentu tanpa menerima imbalan dan setelah jangka waktu tersebut berakhir diserahkan kembali kepada Badan Pengusahaan.
Kerja Sama Pemanfaatan yang selanjutnya disingkat KSP adalah Pemanfaatan Aset oleh pihak lain dalam jangka waktu tertentu dalam rangka peningkatan penerimaan negara bukan pajak dan sumber pembiayaan lainnya. 18. Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur yang selanjutnya disingkat KSPI adalah Pemanfaatan Aset melalui kerja sama antara pemerintah dan badan usaha untuk kegiatan penyediaan infrastruktur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 19. Kerja Sama Terbatas Untuk Pembiayaan Infrastruktur yang selanjutnya disebut Ketupi adalah Pemanfaatan BMN melalui optimalisasi BMN untuk meningkatkan fungsi operasional BMN guna mendapatkan pendanaan untuk pembiayaan penyediaan infrastruktur lainnya. 20. Penanggung Jawab Proyek Kerja Sama yang selanjutnya disingkat PJPK adalah Kepala Badan Pengusahaan sebagai penanggungjawab proyek kerja sama pada Badan Pengusahaan dalam rangka pelaksanaan kerja sama pemerintah dan badan usaha dalam penyediaan infrastruktur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 21. Badan U saha adalah badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha swasta yang berbentuk perseroan terbatas, badan hukum asing, atau koperasi. 22. Badan Usaha Pelaksana Kerja Sama Pemerintah Dengan Badan Usaha yang selanjutnya disebut Badan Usaha Pelaksana adalah Perseroan Terbatas yang didirikan oleh Badan Usaha pemenang lelang atau ditunjuk langsung. 23. Perubahan Status Aset adalah perubahan status ADP menjadi BMN atau perubahan status BMN menjadi ADP. 24. Pemindahtanganan adalah pengalihan kepemilikan BMN. 25. Penjualan adalah pengalihan kepemilikan BMN kepada pihak lain dengan menerima penggantian dalam bentuk uang. 26. Tukar Menukar adalah pengalihan kepemilikan BMN yang dilakukan antara Badan Pengusahaan dengan pemerintah daerah, badan usaha milik negara/ daerah a tau badan hukum lainnya yang dimiliki negara, dan swasta, dengan menerima penggantian dalam bentuk barang, sekurang- kurangnya dengan nilai seimbang. 27. Hi bah adalah pengalihan kepemilikan BMN dari Badan Pengusahaan kepada pemerintah daerah atau kepada pihak lain, tanpa memperoleh penggantian. 28. Pemusnahan adalah tindakan memusnahkan fisik dan/atau kegunaan BMN. 29. Penghapusan adalah tindakan menghapus BMN dari pembukuan/ daftar barang dengan menerbitkan keputusan dari pejabat yang berwenang untuk membebaskan Badan Pengusahaan dan/atau Pengelola Barang dari tanggung jawab administrasi dan fisik atas BMN.
Penatausahaan adalah rangkaian kegiatan yang meliputi pembukuan, inventarisasi, dan pelaporan Aset sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 31. Inventarisasi adalah kegiatan untuk melakukan pendataan, pencatatan, dan pelaporan hasil pendataan Aset. 32. Penggolongan adalah kegiatan untuk menetapkan Aset secara sistematik ke dalam golongan, bidang, kelompok, sub kelompok, dan sub-sub kelompok. 33. Direktorat Jenderal adalah Direktorat Jenderal di lingkungan Kementerian Keuangan yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pengelolaan BMN. 34. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal di lingkungan Kementerian Keuangan yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pengelolaan BMN. 35. Kepala Kantor Wilayah adalah Kepala Kantor Wilayah pada Direktorat Jenderal yang wilayah kerjanya meliputi wilayah kerja Badan Pengusahaan. 36. Kepala Kantor Pelayanan Keyayaan Negara dan Lelang yang selanjutnya disebut Kepala KPKNL adalah Kepala Kantor Pelayanan pada Direktorat Jenderal yang wilayah kerjanya meliputi wilayah kerja Badan Pengusahaan. 37. Pihak Lain adalah pihak-pihak selain kementerian/ lembaga dan pemerintah daerah. Pasal 2 (1) Ruang lingkup Peraturan Menteri m1 mengatur pelaksanaan pengelolaan Aset pada Badan Pengusahaan, yang meliputi:
BMN; dan
ADP. (2) BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN; dan
barang yang berasal dari perolehan lainnya yang sah meliputi:
barang yang diperoleh dari hi bah/ sumbangan atau yang sejenis;
barang yang diperoleh sebagai pelaksanaan dari perjanjian/kontrak;
barang yang diperoleh sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
barang yang diperoleh berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. (3) BMN yang diperoleh sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b angka 3 termasuk:
barang yang diperoleh dari pendapatan Badan Pengusahaan dan perolehan lainnya yang sah;
barang yang pendanaannya merupakan gabungan antara APBN dan pendapatan Badan Pengusahaan; dan
barang yang berasal dari pengalihan ADP yang tidak diperpanjang pengalokasiannya.
ADP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hurufb meliputi Aset berupa tanah yang berada dalam Kawasan yang tidak ditetapkan sebagai BMN termasuk:
tanah yang belum mendapatkan sertipikat Hak Pengelolaan;
tanah yang sudah mendapatkan sertipikat Hak Pengelolaan; dan
tanah yang berasal dari BMN yang diubah statusnya menjadi ADP. Pasal 3 (1) Badan Pengusahaan mengelola Aset berupa:
BMN berupa:
tanah dan/atau bangunan; dan/atau
selain tanah dan/atau bangunan; dan
ADP berupa tanah. (2) ADP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat:
dikerjasamakan sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri ini; atau
dilakukan pengalokasian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan. BAB II PEJABAT PENGELOLA ASET Pasal 4 (1) Menteri Keuangan selaku bendahara umum negara merupakan Pengelola Barang yang memiliki kewenangan dalam pengelolaan Aset. (2) Dalam pelaksanaan pengelolaan Aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri Keuangan melimpahkan kewenangannya kepada:
Direktur Jenderal dalam bentuk subdelegasi; atau
pejabat di lingkungan Direktorat Jenderal dalam bentuk mandat. (3) Pelimpahan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan. (4) Dalam hal pelimpahan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) belum terakomodir di dalam Keputusan Menteri Keuangan, maka dilaksanakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. (5) Kewenangan subdelegasi pada Direktur Jenderal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilimpahkan kepada pejabat di lingkungan Direktorat Jenderal dalam bentuk mandat. Pasal 5 (1) Kepala Badan Pengusahaan merupakan Pengguna Barang di lingkungan Badan Pengusahaan yang memiliki kewenangan pelaksanaan teknis dan perumusan kebijakan teknis pengelolaan Aset.
Dalam pelaksanaan teknis pengelolaan Aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Badan Pengusahaan dapat melimpahkan kewenangannya kepada pejabat di lingkungan Badan Pengusahaan yang ditunjuk untuk melaksanakan tugas dan fungsi pengelolaan Aset pada Badan Pengusahaan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB III PENGELOLAAN ASET Bagian Kesatu Prinsip Umum Pasal 6 Pengelolaan Aset meliputi:
Perencanaan Kebutuhan dan penganggaran;
pengadaan;
Penggunaan;
Perubahan Status Aset;
Pemanfaatan;
pengalokasian;
pengamanan dan pemeliharaan;
Penilaian;
Pemindahtanganan; J. Pemusnahan;
Penghapusan;
Penatausahaan; dan
pengawasan dan pengendalian. Pasal 7 (1) Aset pada Badan Pengusahaan dilarang untuk diserahkan kepada Pihak Lain sebagai pembayaran atas tagihan kepada pemerintah pusat. (2) Aset pada Badan Pengusahaan tidak dapat dilakukan penyitaan. (3) BMN yang diperlukan bagi penyelenggaraan tugas dan fungsi Badan Pengusahaan dan penyelenggaraan tugas pemerintahan negara tidak dapat dipindahtangankan. (4) BMN dilarang digadaikan atau dijadikan jaminan untuk mendapatkan pinjaman. Bagian Kedua Perencanaan Kebutuhan dan Penganggaran Pasal 8 (1) Perencanaan Kebutuhan BMN disusun dalam rencana bisnis dan anggaran Badan Pengusahaan setelah memperhatikan ketersediaan BMN yang ada serta kemampuan dalam menghimpun pendapatan. (2) Perencanaan Kebutuhan BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada standar barang, standar kebutuhan, dan standar harga/biaya.
Perencanaan Kebutuhan BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan berpedoman pada ketentuan perundang-undangan di bidang pengelolaan BMN. Pasal 9 (1) Standar barang dan standar kebutuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) berpedoman pada ketentuan perundang-undangan di bidang pengelolaan BMN, kecuali ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan c.q. direktur yang membidangi perumusan kebijakan kekayaan negara pada Direktorat J enderal berdasarkan usulan Kepala Badan Pengusahaan. (2) Standar harga/biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) mengacu pada ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang PPK-BLU. Bagian Ketiga Pengadaan Pasal 10 Pengadaan BMN dilaksanakan sesua1 dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagian Keempat Penggunaan Paragraf 1 Umum Pasal 11 (1) Penggunaan Aset dilaksanakan dengan cara:
digunakan sendiri oleh Badan Pengusahaan;
digunakan sementara oleh Pengguna Barang lainnya;
dioperasikan oleh Pihak Lain;
dialihkan status penggunaannya kepada Pengguna Barang lainnya; atau
digunakan bersama dengan kementerian/lembaga lain. (2) BMN yang berada dalam penguasaan Badan Pengusahaan hanya dapat diusulkan untuk dilakukan Penggunaan untuk dioperasikan oleh Pihak Lain, Penggunaan sementara, pengalihan status Penggunaan, atau Penggunaan bersama, setelah memperoleh penetapan status Penggunaan. (3) Penetapan status BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikecualikan atas BMN berupa:
barang persediaan;
konstruksi dalam pengerjaan;
barang yang dari awal pengadaannya direncanakan untuk dihibahkan;
barang yang berasal dari dana dekonsentrasi dan dana penunjang tugas pembantuan, yang direncanakan untuk diserahkan;
bantuan pemerintah yang belum ditetapkan statusnya; dan
aset tetap renovasi. (4) ADP tidak dapat diusulkan untuk dilakukan Penggunaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kecuali telah dilakukan Perubahan Status Aset menjadi BMN. (5) ADP hanya dapat dilakukan pengalokasian atau Pemanfaatan, setelah memperoleh penetapan status ADP. (6) Kementerian/lembaga dapat melakukan pembangunan di atas Aset berupa tanah pada Badan Pengusahaan. Paragraf 2 Penetapan Status Pasal 12 (1) Penetapan status Penggunaan Aset berupa BMN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) dilakukan oleh Menteri Keuangan c.q. Kepala KPKNL. (2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penetapan status Penggunaan BMN dilakukan oleh Kepala Badan Pengusahaan sepanjang BMN berupa selain tanah dan/ a tau bangunan yang berdasarkan peraturan perundang-undangan tidak dipersyaratkan adanya bukti kepemilikan dengan nilai buku sampai dengan Rpl00.000.000,00 (seratus juta rupiah) per unit/ satuan. (3) Ketentuan mengenai persyaratan, tata cara pelaksanaan, prosedur, dan dokumen penetapan status Penggunaan BMN mengikuti ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang pengelolaan BMN. (4) Penetapan status ADP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (5) dilakukan oleh Kepala Badan Pengusahaan. Paragraf 3 Penggunaan Sementara Pasal 13 (1) BMN yang telah ditetapkan status penggunaannya pada Badan Pengusahaan dapat digunakan sementara oleh Pengguna Barang lainnya dalam jangka waktu tertentu tanpa harus mengubah status Penggunaan BMN tersebut. (2) Penggunaan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Kepala Badan Pengusahaan setelah terlebih dahulu memperoleh persetujuan Menteri Keuangan c.q. Kepala KPKNL. (3) Penggunaan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan jangka waktu tidak melampaui batas waktu keberadaan Kawasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Penggunaan sementara yang dilakukan untuk jangka waktu kurang dari 6 (enam) bulan, dilaksanakan oleh Kepala Badan Pengusahaan dan dilaporkan kepada Menteri Keuangan c.q. Kepala KPKNL.
Pada saat jangka waktu Penggunaan sementara telah berakhir, BMN yang digunakan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
digunakan sendiri oleh Badan Pengusahaan;
digunakan sementara oleh Pengguna Barang lainnya; dan/atau
dialihkan status penggunaannya kepada Pengguna Barang lain, berdasarkan usulan dari Kepala Badan Pengusahaan untuk mendapatkan persetujuan Menteri Keuangan c.q. Kepala KPKNL. (6) Pengguna sementara BMN yang menggunakan sementara BMN pada Badan Pengusahaan tidak dapat melakukan penetapan status Penggunaan, Penggunaan untuk dioperasikan Pihak Lain, pengalihan status Penggunaan, Pemanfaatan, Pemindahtanganan, Pemusnahan, dan/atau Penghapusan BMN yang digunakan sementara. (7) Pengguna sementara BMN melakukan pengamanan dan pemeliharaan atas BMN yang digunakan sementara sesuai perjanjian. (8) Pengguna sementara BMN dapat melakukan perubahan atau pengembangan atas BMN yang digunakan sementara berdasarkan persetujuan Kepala Badan Pengusahaan, dengan ketentuan perubahan atau pengembangan terse but tidak mengakibatkan perubahan fungsi dan/atau penurunan nilai BMN. (9) Dalam hal pengguna sementara melakukan perubahan atau pengembangan atas BMN yang digunakan sementara, pengguna sementara menyerahkan hasil perubahan atau pengembangan dimaksud kepada Badan Pengusahaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Paragraf 4 Penggunaan untuk Dioperasikan oleh Pihak Lain Pasal 14 (1) BMN yang telah ditetapkan status penggunaannya pada Badan Pengusahaan dapat dioperasikan oleh Pihak Lain tanpa mengubah status Penggunaan BMN tersebut, dengan ketentuan pengoperasian BMN dimaksudkan untuk menjalankan pelayanan umum sesuai tugas dan fungsi Badan Pengusahaan serta penyelenggaraan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang- undangan. (2) Jangka waktu Penggunaan BMN untuk dioperasikan oleh Pihak Lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
paling lama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang, untuk pengoperasian BMN oleh badan usaha milik negara, koperasi, atau badan hukum lainnya;
paling lama 15 (lima belas) tahun dan dapat diperpanjang, untuk pengoperasian BMN dalam rangka pengelolaan, pemeliharaan, dan pengusahaan sistem penyediaan air minum, termasuk daerah tangkapan air, waduk, bendungan di KPBPB, dan sistem air limbah, serta limbah bahan berbahaya dan beracun;
paling lama 99 (sembilan puluh sembilan) tahun, untuk pengoperasian BMN oleh pemerintah negara lain;
sesuai perjanjian, untuk pengoperasian BMN oleh organisasi internasional; atau
selama lembaga independen yang dibentuk dengan undang-undang melaksanakan tugas dan fungsinya untuk menjalankan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan, untuk pengoperasian BMN oleh lembaga independen yang dibentuk dengan undang-undang, dengan ketentuan tidak melampaui batas waktu keberadaan Kawasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Pengoperasian oleh Pihak Lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Kepala Badan Pengusahaan setelah terlebih dahulu memperoleh persetujuan Menteri Keuangan c.q. Kepala KPKNL. (4) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pengoperasian oleh Pihak Lain yang dilakukan untuk jangka waktu kurang dari 6 (enam) bulan, dilaksanakan oleh Kepala Badan Pengusahaan dan dilaporkan kepada Menteri Keuangan c.q. Kepala KPKNL. (5) Biaya pengamanan dan pemeliharaan BMN selama jangka waktu Penggunaan BMN untuk dioperasikan oleh Pihak Lain dibebankan kepada Pihak Lain yang mengoperasikan BMN. (6) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), biaya pengamanan dan pemeliharaan BMN dapat dibebankan secara keseluruhan atau sebagian kepada Badan Pengusahaan sepanjang pengoperasian dilaksanakan karena penugasan atau kebijakan pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (7) Pihak Lain yang melakukan pengoperasian atas BMN dapat melakukan perubahan atau pengembangan atas BMN yang dioperasikan berdasarkan persetujuan Kepala Badan Pengusahaan, dengan ketentuan perubahan atau pengembangan tersebut tidak mengakibatkan perubahan fungsi dan/atau penurunan nilai BMN. (8) Dalam hal BMN yang dioperasikan oleh Pihak Lain dilakukan perubahan atau pengembangan, hasil perubahan atau pengembangan dimaksud diserahkan kepada Badan Pengusahaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 15 (1) Pihak Lain yang mengoperasikan BMN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) dapat melakukan pungutan kepada masyarakat setelah terlebih dahulu mendapatkan persetujuan Kepala Badan Pengusahaan. (2) Permohonan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Kepala Badan Pengusahaan dengan melampirkan perhitungan estimasi biaya operasional dan besaran pungutan.
Dalam hal pendapatan yang diperoleh setelah dikurangi biaya operasional menghasilkan keuntungan bagi pihak lain yang mengoperasikan BMN, keuntungan tersebut disetor seluruhnya ke rekening Badan Pengusahaan sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan. Pasal 16 (1) Pihak Lain yang mengoperasikan BMN menyampaikan laporan tahunan pelaksanaan pengoperasian BMN kepada Kepala Badan Pengusahaan selama jangka waktu pengoperasian. (2) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada bulan berikutnya setelah periode tahun anggaran berakhir. (3) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penyampaian laporan dilakukan pada akhir jangka waktu pengoperasian BMN sepanjang jangka waktu pengoperasian kurang dari 1 (satu) tahun. (4) Laporan pelaksanaan pengoperasian BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal memuat:
kesesuaian Penggunaan BMN objek pengoperasian sebagaimana ditentukan dalam perjanjian;
pelaksanaan pengamanan dan pemeliharaan atas objek pengoperasian;
kondisi BMN objek pengoperasian; dan
perubahan dan pengembangan yang dilakukan terhadap BMN objek pengoperasian, jika ada. Paragraf 5 Alih Status Penggunaan Pasal 17 (1) BMN yang tidak digunakan lagi oleh Badan Pengusahaan dapat dialihkan status penggunaannya kepada Pengguna Barang lainnya. (2) Pengalihan status Penggunaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Kepala Badan Pengusahaan setelah terlebih dahulu memperoleh persetujuan Menteri Keuangan c.q. Kepala KPKNL. (3) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pengalihan status Penggunaan dilakukan oleh Kepala Badan Pengusahaan dan dilaporkan kepada Menteri Keuangan c.q. Kepala KPKNL sepanjang BMN berupa aset tetap renovasi. Paragraf 6 Pembangunan oleh Kementerian/Lembaga di atas Aset Berupa Tanah pada Badan Pengusahaan Pasal 18 (1) Kementerian/lembaga dapat melakukan pembangunan di atas Aset berupa tanah pada Badan Pengusahaan setelah memperoleh persetujuan Kepala Badan Pengusahaan.
Pembangunan di atas Aset berupa tanah pada Badan Pengusahaan se bagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan perjanjian antara Badan Pengusahaan dan kementerian/lembaga yang melakukan pembangunan. (3) Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) minimal memuat:
dasar perjanjian;
identitas para pihak;
jangka waktu pembangunan;
jenis, jumlah, dan luas objek yang dibangun;
tanggung jawab pembangunan; dan
hak dan kewajiban para pihak. (4) Barang yang diperoleh dari hasil pembangunan di atas Aset berupa tanah pada Badan Pengusahaan dilakukan penetapan status Penggunaan BMN pada kementerian/lembaga yang melakukan pembangunan terse but. (5) BMN hasil pembangunan di atas Aset berupa tanah pada Badan Pengusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan Penatausahaan oleh kementerian/lembaga bersangkutan. (6) BMN hasil pembangunan di atas Aset berupa tanah pada Badan Pengusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat dilakukan Penggunaan, Pemanfaatan, Pemindahtanganan, Pemusnahan, atau Penghapusan dengan persetujuan Menteri Keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan dilaporkan kepada Kepala Badan Pengusahaan. (7) Hasil Pemanfaatan atas BMN hasil pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) menjadi penerimaan pada:
kementerian/lembaga selaku Pengguna Barang sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak; dan/atau
Badan Pengusahaan, sesuai perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (8) BMN hasil pembangunan di atas Aset Badan Pengusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat dilakukan alih status Penggunaan berdasarkan persetujuan Menteri Keuangan c.q. Kepala KPKNL kepada:
Badan Pengusahaan; atau
kementerian/lembaga lain. (9) Dalam hal BMN hasil pembangunan dialihkan status penggunaannya kepada kementerian/ lembaga lain sebagaimana dimaksud pada ayat (8) huruf b, perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan penyesuaian terhadap para pihak. Paragraf 7 Penggunaan Bersama Pasal 19 (1) BMN berupa infrastruktur jalan yang telah ditetapkan status penggunaannya pada Badan Pengusahaan dapat dilakukan Penggunaan bersama dengan kementerian/lembaga yang membidangi urusan jalan nasional dalam jangka waktu tertentu tanpa harus mengubah status Penggunaan BMN tersebut. (2) Penggunaan bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Kepala Badan Pengusahaan setelah terlebih dahulu memperoleh persetujuan Menteri Keuangan c.q. Kepala KPKNL. (3) Persetujuan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterbitkan berdasarkan permohonan Kepala Badan Pengusahaan. (4) Permohonan persetujuan Penggunaan bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan oleh Kepala Badan Pengusahaan yang minimal memuat:
data BMN yang akan digunakan bersama;
Pengguna Barang yang akan menggunakan bersama BMN;
jangka waktu Penggunaan bersama; dan
penjelasan serta pertimbangan Penggunaan bersama BMN. (5) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilengkapi dengan dokumen pendukung berupa:
fotokopi keputusan penetapan status Penggunaan BMN; dan
surat permintaan Penggunaan bersama BMN dari Pengguna Barang yang akan menggunakan bersama BMN kepada Kepala Badan Pengusahaan. (6) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Penggunaan bersama yang dilakukan untuk jangka waktu kurang dari 6 (enam) bulan, dilaksanakan oleh Kepala Badan Pengusahaan dan dilaporkan kepada Menteri Keuangan c.q. Kepala KPKNL. (7) Kepala KPKNL melakukan penelitian atas permohonan Penggunaan bersama BMN yang diajukan oleh Kepala Badan Pengusahaan terhadap kelengkapan dan kesesuaian dokumen yang dipersyaratkan. (8) Dalam hal hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (7) belum mencukupi, Kepala KPKNL dapat:
meminta keterangan kepada Kepala Badan Pengusahaan;dan b. meminta konfirmasi dan klarifikasi kepada Pengguna Barang yang akan menggunakan bersama BMN. (9) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) minimal memuat:
data BMN yang akan digunakan bersama;
Pengguna Barang yang menggunakan bersama BMN;
kewajiban Pengguna Barang yang menggunakan bersama BMN untuk memelihara dan mengamankan BMN yang digunakan bersama;
jangka waktu Penggunaan bersama; dan
kewajiban Pengguna Barang untuk menindaklanjuti persetujuan dengan membuat perjanjian. (10) Dalam hal permohonan Penggunaan bersama tidak disetujui, Menteri Keuangan c.q. Kepala KPKNL memberitahukan secara tertulis kepada Kepala Badan Pengusahaan disertai dengan alasannya. Pasal 20 (1) Penggunaan bersama se bagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dituangkan dalam perjanjian antara Badan Pengusahaan selaku Pengguna Barang dan kementerian/ lembaga yang menggunakan bersama selaku pengguna bersama BMN. (2) Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal memuat:
dasar perjanjian;
identitas para pihak;
jangka waktu Penggunaan bersama;
jenis, jumlah dan luas objek yang digunakan bersama;
tanggung jawab Penggunaan bersama, termasuk tanggung jawab dalam melakukan pengamanan dan pemeliharaan BMN yang digunakan bersama; dan
hak dan kewajiban para pihak. Pasal 21 BMN yang sedang dilakukan Penggunaan bersama tidak dapat dilakukan Pemanfaatan, Pemindahtanganan, Pemusnahan, dan/ a tau Penghapusan BMN yang digunakan bersama, kecuali berdasarkan usulan dari Kepala Badan Pengusahaan. Pasal 22 (1) Pengguna bersama BMN yang menggunakan bersama BMN pada Badan Pengusahaan melakukan pengamanan dan pemeliharaan BMN sesuai perjanjian. (2) Biaya pengamanan dan pemeliharaan terhadap BMN yang digunakan bersama hanya dapat dibebankan pada salah satu pihak untuk setiap kegiatan. (3) Pengguna bersama BMN yang menggunakan bersama BMN pada Badan Pengusahaan, dapat melakukan perubahan atau pengembangan atas BMN yang digunakan bersama berdasarkan:
perjanjian dengan Kepala Badan Pengusahaan; atau
persetujuan Kepala Badan Pengusahaan. (4) Perubahan atau pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan dengan ketentuan tidak mengakibatkan perubahan fungsi dan/atau penurunan nilai BMN. (5) Hasil perubahan atau pengembangan BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diserahkan oleh Pengguna bersama BMN kepada Kepala Badan Pengusahaan. (6) Penyerahan hasil perubahan atau pengembangan BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang akuntansi dan pengelolaan BMN. Bagian Kelima Perubahan Status Aset Paragraf 1 Perubahan Status Aset Berupa Aset Dalam Penguasaan Menjadi Barang Milik Negara Pasal 23 (1) ADP yang akan digunakan untuk kepentingan penyelenggaraan tugas dan fungsi kementerian/lembaga, penyelenggaraan tugas pemerintahan negara, dan/atau pelayanan pada masyarakat dapat diubah statusnya menjadi BMN setelah mendapat persetujuan dari Kepala Badan Pengusahaan. (2) Perubahan Status Aset berupa ADP menjadi BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui penetapan status Penggunaan BMN. (3) ADP yang akan diubah statusnya menjadi BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
tidak sedang dilakukan pengalokasian;
tidak terdapat pembebanan hak tanggungan atau peletakan jaminan/agunan terhadap hak atas tanah atau alokasi tanah di atas ADP; dan
tidak sedang dalam sengketa, baik terhadap ADP maupun hak atas tanah atau alokasi tanah di atas ADP. Paragraf 2 Tata Cara Perubahan Status Aset Berupa Aset Dalam Penguasaan Menjadi Barang Milik Negara Pasal 24 (1) Kepala Badan Pengusahaan memberikan persetujuan atas ADP yang diusulkan untuk menjadi BMN dengan tembusan kepada Menteri Keuangan c.q. Kepala KPKNL. (2) Usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh:
kementerian/lembaga; atau
unit di Badan Pengusahaan yang membutuhkan BMN. (3) Kepala Badan Pengusahaan mengajukan usulan penetapan status Penggunaan BMN pada Badan Pengusahaan atas ADP berdasarkan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Menteri Keuangan c.q. Kepala KPKNL. (4) Kementerian/lembaga mengajukan usulan penetapan status Penggunaan BMN atas ADP berdasarkan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Menteri Keuangan c.q. Kepala KPKNL dengan tembusan kepada Kepala Badan Pengusahaan. (5) Penetapan status Penggunaan BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Penggunaan BMN. Paragraf 3 Perubahan Status Aset Berupa Barang Milik Negara Menjadi Aset Dalam Penguasaan Pasal 25 (1) BMN berupa tanah yang tidak digunakan lagi oleh Badan Pengusahaan dapat diubah statusnya menjadi ADP setelah mendapat persetujuan dari Menteri Keuangan c.q. Kepala KPKNL. (2) Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui keputusan Kepala Badan Pengusahaan. (3) Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan pertimbangan:
sudah tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah atau penataan kota;
diperuntukkan bagi kepentingan umum;
adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan/atau ketentuan perundang-undangan, yangjika status kepemilikannya dipertahankan tidak layak secara ekonomis;
analisis penggunaan tertinggi dan terbaik (highest and best use) dari Kepala Badan Pengusahaan yang menyatakan bahwa tanah tersebut lebih optimal apabila dialihkan menjadi ADP; dan/atau
penyelesaian konflik pertanahan dan penanganan dampak sosial kemasyarakatan dalam rangka pelaksanaan proyek strategis nasional. (4) BMN berupa tanah yang dapat dilakukan Perubahan Status Aset menjadi ADP harus memenuhi kriteria:
sebelumnya berasal dari ADP;
telah ditetapkan status penggunaannya;
bukan merupakan BMN yang telah ditetapkan sebagai cagar budaya; dan
BMN berupa tanah yang:
tidak sedang digunakan/tidak diperlukan dalam rangka pelaksanaan tugas dan fungsi Badan Pengusahaan dan/atau tidak sedang dilakukan pemanfaatan; dan
sudah terdapat rencana peruntukan dan/atau pengalokasiannya. (5) Dalam hal pelaksanaan Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP mengakibatkan timbulnya kebutuhan atas BMN berupa tanah, pelaksanaan Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP dilakukan bersamaan dengan penyiapan tanah ADP yang akan dijadikan BMN. (6) ADP yang disiapkan untuk dijadikan BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3). Paragraf 4 Tata Cara Perubahan Status Aset Berupa Barang Milik Negara Menjadi Aset Dalam Penguasaan Pasal 26 Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dilaksanakan dengan tahapan sebagai berikut:
persiapan;
permohonan;
penelitian;
persetujuan;
penetapan; dan
pelaporan. Pasal 27 (1) Kepala Badan Pengusahaan melakukan persiapan permohonan Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP dengan tahapan sebagai berikut:
membentuk komite aset;
meminta aparat pengawasan intern pemerintah untuk melakukan reviu atas laporan dari komite aset; dan
menyiapkan dokumen permohonan. (2) Komite aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a bersifat ad hoc. (3) Komite aset sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berjumlah ganjil yang minimal beranggotakan perwakilan dari unsur:
unit yang menggunakan/menguasai BMN;
unit yang membidangi pengelolaan ADP;
pelaksana fungsional Pengguna Barang; dan
unit yang membidangi hukum pada Badan Pengusahaan. (4) Komite aset sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melakukan penyiapan permohonan Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP meliputi:
melakukan penelitian data administratif, yaitu:
data tanah, sebagaimana tercantum dalam Kartu Identitas Barang (KIB) meliputi status dan bukti kepemilikan, lokasi, luas, nilai perolehan dan/atau nilai buku;
data penetapan status Penggunaan dan/atau Pemanfaatan;
data dan informasi mengenai perolehan BMN berupa tanah yang akan diubah statusnya menjadi ADP;
data dan informasi mengenai bangunan, sarana prasarana, dan/atau objek lainnya yang berada di atas tanah sebagaimana dimaksud pada angka 1;
rencana peruntukan dan/atau pengalokasian BMN yang akan diubah statusnya menjadi ADP; dan
data ADP yang direncanakan akan dijadikan BMN dalam rangka pemenuhan kebutuhan BMN, jika ada.
melakukan penelitian fisik untuk memeriksa kesesuaian data administratif dengan fisik tanah:
BMN yang akan diusulkan untuk dilakukan Perubahan Status Aset dari BMN menjadi ADP;
ADP yang direncanakan akan dijadikan BMN dalam rangka pemenuhan BMN, jika ada. yang dituangkan dalam berita acara penelitian. c. menyusun kajian Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP meliputi:
Analisis aspek penggunaan tertinggi dan terbaik (highest and best use);
Analisis manfaat dan dampak ekonomi dan sosial; dan
Analisis kebutuhan penyediaan berupa tanah sebagai dampak dari rencana Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP. d. melakukan koordinasi dengan tim penyelesaian konflik pertanahan dan penanganan dampak sosial kemasyarakatan dalam rangka pelaksanaan proyek strategis nasional. e. menyiapkan dokumen yang melatarbelakangi usulan Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP, an tara lain:
dokumen rencana tata ruang wilayah atau penataan kota;
dokumen yang menyatakan/mendukung bahwa Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP diperlukan dalam rangka kepentingan umum;
putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap yang mengakibatkan perlu dilakukannya Perubahan Status Aset berupa BMN;
ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur status BMN tidak layak dipertahankan secara ekonomis; dan / a tau 5. dokumen hasil pelaksanaan tugas/laporan tim penyelesaian konflik pertanahan dan penanganan dampak sosial kemasyarakatan dalam rangka pelaksanaan proyek strategis nasional. f. menyampaikan laporan penyiapan permohonan Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP kepada Kepala Badan Pengusahaan meliputi:
hasil penelitian data administrasi sebagaimana dimaksud pada huruf a;
kajian sebagaimana dimaksud pada huruf c;
dokumen sebagaimana dimaksud pada huruf e; dan
rekomendasi terkait rencana Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP. (5) Kajian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c harus mempertimbangkan:
statistik BMN berupa tanah yang ada;
jumlah BMN berupa tanah; dan
analisis kebutuhan BMN berupa tanah. (6) Dalam hal diperlukan, komite aset sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat melibatkan instansi teknis atau unsur lain yang kompeten.
Dalam hal laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf f merekomendasikan untuk tidak dilakukan Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP, komite aset menyampaikan laporan penyiapan permohonan Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP kepada Kepala Badan Pengusahaan disertai dengan alasannya. (8) Dalam hal laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf f merekomendasikan untuk dilakukan Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP, Kepala Badan Pengusahaan meminta aparat pengawasan intern pemerintah untuk melakukan reviu atas laporan dari komite aset dalam rangka penyiapan permohonan Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP. (9) Dalam hal diperlukan, pelaksanaan reviu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat melibatkan instansi teknis yang kompeten. (10) Kepala Badan Pengusahaan melakukan penelitian atas laporan penyiapan Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP dan hasil reviu aparat pengawasan intern pemerintah sebagai dasar pertimbangan dalam menyiapkan dokumen permohonan Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP. Pasal 28 (1) Dalam hal usulan Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP disertai dengan usulan Perubahan Status Aset berupa tanah ADP menjadi BMN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (5), Kepala Badan Pengusahaan melakukan Perubahan Status Aset berupa ADP menjadi BMN. (2) Pelaksanaan Perubahan Status Aset berupa ADP menjadi BMN se bagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 dan Pasal 24. Pasal 29 (1) Kepala Badan Pengusahaan menyampaikan surat permohonan Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP kepada Menteri Keuangan c.q. Kepala KPKNL. (2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat penjelasan dan pertimbangan usulan Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP dengan disertai:
data administratif;
nilai perolehan dan/atau nilai buku BMN;
rencana peruntukan dan pengalokasiannya;
surat keputusan pembentukan komite aset;
laporan penyiapan permohonan Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP dari komite aset sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (4) huruf f;
hasil reviu aparat pengawasan intern pemerintah; dan
surat pernyataan:
kebenaran materiil objek yang diusulkan;
bahwa BMN yang akan diubah statusnya: a) sebelumnya berasal dari ADP; dan b) tidak sedang digunakan/tidak diperlukan dalam rangka pelaksanaan tugas dan fungsi Badan Pengusahaan dan/atau tidak sedang dilakukan Pemanfaatan. (3) Dalam hal permohonan Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersamaan dengan adanya penyediaan ADP untuk dijadikan BMN, permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disertai juga dengan usulan:
penetapan status Penggunaan; dan
Penilaian; atas ADP yang direncanakan untuk dijadikan BMN. (4) Pengajuan penetapan status Penggunaan dan Penilaian atas ADP yang akan dijadikan BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan BMN. Pasal 30 (1) Kepala KPKNL melakukan penelitian atas permohonan Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP, dengan tahapan:
melakukan penelitian terhadap pemenuhan dokumen persyaratan Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP; dan
melakukan penelitian data administratif. (2) Dalam hal diperlukan, Kepala KPKNL dapat melakukan penelitian fisik BMN yang direncanakan dilakukan Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP dengan memeriksa data administratif yang ada. (3) Dalam hal hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum mencukupi, Kepala KPKNL dapat meminta data dan informasi tambahan kepada Kepala Badan Pengusahaan. Pasal 31 (1) Persetujuan Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP diberikan oleh Menteri Keuangan c.q. Kepala KPKNL dalam bentuk surat persetujuan dengan mendasarkan pada hasil penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30. (2) Surat persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal memuat:
data BMN yang akan diubah statusnya menjadi ADP; dan
tujuan peruntukan dan pengalokasian. (3) Dalam hal Kepala KPKNL tidak menyetujui permohonan Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP, Kepala KPKNL memberitahukan secara tertulis kepada Kepala Badan Pengusahaan disertai dengan alasannya. Pasal 32 (1) Kepala Badan Pengusahaan menerbitkan keputusan Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal surat persetujuan dari Kepala KPKNL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1). (2) Kepala Badan Pengusahaan melakukan reklasifikasi BMN yang diubah statusnya menjadi ADP berdasarkan keputusan Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penatausahaan BMN dan akuntansi pemerintahan. Pasal 33 (1) Kepala Badan Pengusahaan menyampaikan laporan pelaksanaan Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP kepada Kepala KPKNL dengan melampirkan:
surat keputusan Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP;
daftar transaksi reklasifikasi dari BMN menjadi ADP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2); dan
daftar transaksi reklasifikasi dari ADP menjadi BMN, dalam hal Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP disertai dengan adanya ADP yang dijadikan BMN. (2) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 2 (dua) bulan sejak keputusan Perubahan Status Aset berupa BMN menjadi ADP. Bagian Keenam Pemanfaatan Paragraf 1 Umum Pasal 34 (1) Pemanfaatan Aset meliputi:
Sewa;
Pinjam Pakai; C. KSP;
Sewa dalam rangka penyediaan infrastruktur;
KSP dalam rangka penyediaan infrastruktur;
KSPI; dan
Ketupi. (2) Pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan terhadap:
Aset berupa tanah dan/atau bangunan;
Aset berupa sebagian tanah dan/atau bangunan; dan/atau
BMN selain tanah dan/atau bangunan. (3) Bandar udara, pelabuhan, sumber daya air dan limbah, termasuk Aset sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Aset berupa ADP tidak dapat dilakukan Pemanfaatan dalam bentuk Pinjam Pakai dan Ketupi.
Aset yang menjadi objek Pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilarang dijaminkan atau digadaikan. (6) BMN yang berada dalam penguasaan Badan Pengusahaan hanya dapat diusulkan untuk dilakukan Pemanfaatan, setelah memperoleh penetapan status Penggunaan. Pasal 35 (1) Pemanfaatan Aset dilaksanakan oleh Kepala Badan Pengusahaan dan dilaporkan kepada:
Menteri Keuangan c.q. direktur yang membidangi pengelolaan kekayaan negara pada Direktorat J enderal dengan tembusan Kepala KPKNL untuk Pemanfaatan dalam bentuk KSPI dan Ketupi; dan
Menteri Keuangan c.q. Kepala KPKNL untuk Pemanfaatan selain KSPI dan Ketupi. (2) Pemanfaatan tidak mengubah status kepemilikan Aset. (3) Pemanfaatan Aset dilakukan dengan jangka waktu tidak melampaui batas waktu keberadaan Kawasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Pemanfaatan Aset dilaksanakan berdasarkan pertimbangan teknis dengan memperhatikan kepentingan umum. (5) Kepentingan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus merupakan kegiatan yang menyangkut kepentingan bangsa dan negara, masyarakat luas, rakyat banyak/bersama, dan/atau kepentingan pembangunan. (6) Biaya pemeliharaan dan pengamanan Aset yang berkaitan dengan Pemanfaatan Aset dibebankan pada mitra Pemanfaatan Aset. Pasal 36 (1) Pemerintah dapat memberikan fasilitas penyiapan dan pelaksanaan transaksi dalam rangka Pemanfaatan Aset sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan negara. (2) Pemberian fasilitas penyiapan dan pelaksanaan transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan oleh:
Kepala Badan Pengusahaan;
Menteri Keuangan; dan/atau
menteri/pimpinan lembaga lainnya. Pasal 37 (1) Pemanfaatan dalam rangka penyediaan infrastruktur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf d sampai dengan huruf g, dilaksanakan dengan jangka waktu paling lama 50 (lima puluh) tahun sejak perjanjian ditandatangani dan dapat diperpanjang. (2) Jangka waktu Pemanfaatan dalam rangka penyediaan infrastruktur yang dilakukan dalam bentuk Sewa atau KSP dan perpanjangannya ditetapkan oleh Kepala Badan Pengusahaan.
Jangka waktu Pemanfaatan dalam rangka penyediaan infrastruktur yang dilakukan dalam bentuk KSPI dan Ketupi serta perpanjangannya ditetapkan oleh Kepala Badan Pengusahaan, setelah memperoleh persetujuan dari:
Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal untuk Pemanfaatan dengan nilai BMN yang dihitung secara proporsional dari nilai perolehan BMN di atas Rpl00.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah); dan
Menteri Keuangan c.q. direktur yang membidangi pengelolaan kekayaan negara pada Direktorat J enderal untuk Pemanfaatan dengan nilai BMN yang dihitung secara proporsional dari nilai perolehan BMN sampai dengan Rpl00.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). (4) J angka waktu Pemanfaatan dalam rangka penyediaan infrastruktur dan perpanjangannya dituangkan dalam perjanjian. Pasal 38 Perpanjangan jangka waktu untuk Pemanfaatan berupa KSPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf f:
hanya dapat dilakukan apabila terjadi government force majeure, seperti dampak kebijakan pemerintah yang disebabkan oleh terjadinya krisis ekonomi, politik, sosial, dan keamanan; dan
permohonannya diajukan paling lama 6 (enam) bulan setelah government force majeure nyata terjadi.
(2) (3) (4) Pasal 39 Pendapatan yang diperoleh dari digunakan langsung oleh Badan dengan ketentuan peraturan mengenai PPK-BLU. Pemanfaatan dapat Pengusahaan sesuai perundang-undangan Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pendapatan dari Pemanfaatan disetorkan ke BLU yang ditetapkan oleh Pengelola Barang sepanjang Pemanfaatan dilaksanakan dalam bentuk Ketupi. Pendapatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan oleh Kepala Badan Pengusahaan kepada:
Menteri Keuangan c.q. direktur yang membidangi pengelolaan kekayaan negara pada Direktorat J enderal dengan tembusan Kepala KPKNL untuk pendapatan dari KSPI; dan
Menteri Keuangan c.q. Kepala KPKNL untuk pendapatan dari Pemanfaatan BMN selain KSPI. Aset yang diperoleh dari hasil Pemanfaatan menjadi BMN pada Badan Pengusahaan. Paragraf 2 Sewa Pasal 40 (1) Sewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf a dilakukan untuk:
mengoptimalkan daya guna dan hasil guna Aset;
memperoleh fasilitas yang diperlukan dalam rangka menunjang tugas dan fungsi Badan Pengusahaan;
mencegah Aset digunakan oleh pihak lain secara tidak sah; dan / a tau d. pemberian layanan Badan Pengusahaan. (2) Sewa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan terhadap Aset Badan Pengusahaan yang sejak awal perolehannya diperuntukkan bagi pemberian layanan Badan Pengusahaan. Pasal 41 (1) Pihak yang dapat menyewa Aset meliputi:
pemerintah daerah;
badan usaha milik negara;
badan usaha milik daerah;
swasta;
unit penunJang kegiatan penyelenggaraan pemerin tahan / negara;
lembaga independen yang dibentuk dengan peraturan perundang-undangan;dan/atau g. badan hukum lainnya. (2) Selain pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terhadap Aset Badan Pengusahaan yang sejak awal perolehannya diperuntukkan bagi pemberian layanan Badan Pengusahaan dapat dilakukan Sewa kepada pihak sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang PPK-BLU. (3) Pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a menjadi penyewa dalam hal pelaksanaan Sewa tidak diperuntukan bagi pelaksanaan tugas dan fungsi penyelenggaraan pemerin tahan daerah. Pasal 42 Objek Sewa dapat ditawarkan melalui media pemasaran oleh Kepala Badan Pengusahaan. Pasal 43 (1) Sewa dilakukan dengan persetujuan Kepala Badan Pengusahaan. (2) Sewa dilakukan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang. (3) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Sewa dapat dilakukan dalam jangka waktu lebih dari 5 (lima) tahun untuk:
kegiatan dengan karakteristik usaha yang memerlukan waktu Sewa lebih dari 5 (lima) tahun; atau
ditentukan lain dalam Undang-Undang.
Jangka waktu Sewa untuk kegiatan dengan karakteristik usaha yang memerlukan waktu Sewa lebih dari 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, paling lama 10 (sepuluh) tahun dan dapat diperpanjang. (5) Perpanjangan Sewa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan ketentuan jangka waktu tersebut tidak melampaui batas waktu keberadaan Kawasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (6) Penyewa dapat melakukan penerusan Sewa kepada Pihak Lain dengan persetujuan Kepala Badan Pengusahaan. (7) Dalam hal penyewa akan melakukan penerusan Sewa sebagaimana dimaksud pada ayat (6), penyewa dapat menawarkan Aset yang menjadi objek Sewa melalui media pemasaran. Pasal 44 (1) Besaran Sewa ditetapkan oleh Kepala Badan Pengusahaan dengan mempertimbangkan, minimal:
analisis data pasar;
manfaat ekonomi;
manfaat sosial;
dampak ekonomi; dan
dampak sosial. (2) Besaran Sewa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan hasil perkalian dari:
tarif pokok Sewa; dan
faktor penyesuai Sewa. (3) Perhitungan tarif pokok Sewa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, dapat meminta bantuan Penilai. (4) Faktor penyesuai Sewa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b ditetapkan oleh Kepala Badan Pengusahaan dengan mempertimbangkan:
jenis/bentuk kegiatan usaha;
periodesitas Sewa; dan/atau
pertimbangan lainnya dalam kondisi tertentu, meliputi:
penugasan pemerintah sebagaimana tertuang dalam peraturan atau keputusan yang ditetapkan oleh Presiden;
bencana alam;
bencana non alam;
bencana sosial; a tau 5. kondisi lainnya yang ditetapkan oleh Kepala Badan Pengusahaan. (5) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), penetapan tarif Sewa terhadap Aset Badan Pengusahaan yang sejak awal perolehannya diperuntukkan bagi pemberian layanan Badan Pengusahaan mengikuti ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang PPK-BLU. (6) Dalam hal kondisi bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c angka 2, angka 3, dan angka 4, faktor penyesuai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b berlaku sejak ditetapkannya status bencana oleh pemerintah sampai dengan paling lama 2 (dua) tahun sejak status bencana dinyatakan berakhir. Pasal 45 (1) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) calon penyewa dalam Pemanfaatan BMN, Kepala Badan Pengusahaan dapat melakukan pemilihan calon penyewa melalui lelang hak menikmati pada Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang. (2) Besaran Sewa yang ditetapkan oleh Kepala Badan Pengusahaan dapat digunakan sebagai nilai limit pada pelaksanaan lelang hak menikmati sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam rangka pemilihan penyewa. (3) Dalam hal penyewa yang terpilih sebagai pemenang dalam lelang hak menikmati sebagaimana dimaksud pada ayat (2) akan melakukan penerusan Sewa, penyewa dapat menawarkan Aset yang menjadi objek Sewa melalui media pemasaran. Pasal 46 (1) Persetujuan Sewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1) dan persetujuan perpanjangannya dituangkan dalam surat persetujuan atau keputusan Sewa yang minimal memuat:
informasi Aset yang menjadi objek Sewa; dan
data Sewa, minimal memuat data dan informasi mengenai:
besaran Sewa sesuai kondisi dengan kelompok jenis kegiatan usaha dan periodesitas Sewa; dan
jangka waktu, termasuk periode Sewa. (2) Surat persetujuan atau keputusan Sewa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditembuskan kepada Menteri Keuangan c.q. Kepala KPKNL. Pasal 47 (1) Sewa dituangkan dalam perjanjian, yang minimal memuat:
dasar perjanjian;
identitas para pihak yang terikat dalam perjanjian;
jenis dan luas atau jumlah Aset;
besaran Sewa;
jangka waktu Sewa;
peruntukan Sewa;
larangan pendayagunaan Aset diluar peruntukan Sewa;
kewenangan untuk meneruskan Sewa, jika ada;
tanggung jawab penyewa atas biaya operasional dan pemeliharaan selama jangka waktu Sewa; dan
hak dan kewajiban para pihak. (2) Penandatanganan perjanjian pelaksanaan Sewa dilakukan paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal diterbitkannya surat persetujuan atau keputusan oleh Kepala Badan Pengusahaan. (3) Dalam hal perjanjian Sewa belum ditandatangani sampai dengan berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), persetujuan atau keputusan Sewa batal demi hukum.
Kepala Badan Pengusahaan dapat memberikan perpanjangan jangka waktu untuk penandatanganan perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dengan ketentuan usulan perpanjangan diajukan kepada Kepala Badan Pengusahaan sebelum jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir. (5) Perjanjian Sewa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dituangkan dalam akta notariil. Pasal 48 (1) Hasil Sewa merupakan pendapatan Badan Pengusahaan. (2) Hasil Sewa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetor seluruhnya sekaligus ke rekening Badan Pengusahaan. (3) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penyetoran uang Sewa dapat dilakukan secara bertahap dengan persetujuan Kepala Badan Pengusahaan atas Sewa untuk Aset dengan karakteristik/ sifat khusus. Paragraf 3 Pinjam Pakai Pasal 49 (1) Pinjam Pakai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf b dilaksanakan antara Badan Pengusahaan dan pemerintah daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan. (2) Jangka waktu Pinjam Pakai paling lama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang. (3) Peminjam pakai melakukan pengamanan dan pemeliharaan atas BMN yang menjadi objek Pinjam Pakai selamajangka waktu Pinjam Pakai. (4) Peminjam pakai dapat melakukan perubahan atau pengembangan atas BMN yang dipinjampakaikan berdasarkan persetujuan Kepala Badan Pengusahaan, dengan ketentuan perubahan atau pengembangan terse but tidak mengakibatkan perubahan fungsi dan/atau penurunan nilai BMN. (5) Dalam hal BMN yang dipinjampakaikan dilakukan perubahan atau pengembangan, hasil perubahan atau pengembangan dimaksud diserahkan kepada Badan Pengusahaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 50 (1) Persetujuan Pinjam Pakai dituangkan dalam surat persetujuan atau keputusan Pinjam Pakai yang diterbitkan oleh Kepala Badan Pengusahaan minimal memuat:
identitas peminjam pakai;
data objek Pinjam Pakai;
jangka waktu Pinjam Pakai; dan
kewajiban peminjam pakai. (2) Surat persetujuan atau keputusan Pinjam Pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditembuskan kepada Menteri Keuangan c.q. Kepala KPKNL. Pasal 51 (1) Pelaksanaan Pinjam Pakai dituangkan dalam perjanjian antara Badan Pengusahaan dengan peminjam pakai berdasarkan surat persetujuan atau keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1). (2) Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal memuat:
identitas para pihak yang terikat dalam perjanjian;
jenis dan luas atau jumlah BMN yang dipinj ampakaikan;
jangka waktu Pinjam Pakai;
peruntukan Pinjam Pakai;
larangan pendayagunaan Aset selain peruntukan Pinjam Pakai;
tanggung jawab peminjam atas biaya operasional dan pemeliharaan selamajangka waktu Pinjam Pakai; dan
hak dan kewajiban para pihak. Pasal 52 (1) Peminjam pakai menyampaikan laporan tahunan pelaksanaan Pinjam Pakai kepada Kepala Badan Pengusahaan selamajangka waktu Pinjam Pakai. (2) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada bulan berikutnya setelah periode tahun anggaran berakhir. (3) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penyampaian laporan dilakukan pada akhir jangka waktu Pinjam Pakai sepanjang:
jangka waktu Pinjam Pakai kurang dari 1 (satu) tahun; atau
pelaporan untuk tahun terakhir masa Pinjam Pakai. (4) Laporan pelaksanaan Pinjam Pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal memuat:
kesesuaian peruntukan BMN objek Pinjam Pakai sebagaimana ditentukan dalam perjanjian Pinjam Pakai;
pelaksanaan pengamanan dan pemeliharaan atas objek Pinjam Pakai;
kondisi BMN objek Pinjam Pakai; dan
perubahan dan pengembangan yang dilakukan terhadap BMN objek Pinjam Pakai, jika ada. Pasal 53 (1) Pinjam Pakai berakhir dalam hal:
berakhirnya jangka waktu Pinjam Pakai sebagaimana tertuang dalam perjanjian dan tidak dilakukan perpanjangan;
pengakhiran perjanjian Pinjam Pakai secara sepihak oleh Badan Pengusahaan;
berakhirnya perjanjian Pinjam Pakai; atau
ketentuan lain sesuai peraturan perundang-undangan. (2) Pengakhiran Pinjam Pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dapat dilakukan dalam hal peminjam pakai tidak memenuhi kewajiban sebagaimana tertuang dalam perjanjian Pinjam Pakai.
Dalam hal di atas objek Pinjam Pakai terdapat bangunan/ infrastruktur dan/atau barang lainnya yang tidak sesuai perjanjian, peminjam pakai wajib membongkar dan/atau mengosongkan objek Pinjam Pakai sebelum diserahkan kepada Badan Pengusahaan. (4) Peminjam pakai mengembalikan BMN objek Pinjam Pakai kepada Badan Pengusahaan pada saat Pinjam Pakai berakhir sesuai perjanjian. (5) Dalam hal peminjam pakai tidak mengembalikan objek Pinjam Pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Badan Pengusahaan dapat melakukan penghentian, pengosongan, atau penarikan objek Pinjam Pakai tanpa melalui pengadilan dengan terle bih dahulu menyampaikan pemberitahuan/peringatan secara tertµ.lis. Paragraf 4 Kerja Sama Pemanfaatan Pasal 54 (1) KSP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf c dilaksanakan dalam rangka:
mengoptimalkan daya guna dan hasil guna Aset;
meningkatkan pendapatan Badan Pengusahaan; dan/atau
memenuhi biaya operasional, pemeliharaan dan/atau perbaikan yang diperlukan terhadap Aset. (2) KSP dapat dilakukan dengan:
badan usaha milik negara;
badan usaha milik daerah;
badan hukum lainnya; atau
Pihak Lain, kecuali perorangan. (3) KSP dilakukan dengan persetujuan Kepala Badan Pengusahaan. Pasal 55 (1) KSP dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
mitra KSP harus membayar kontribusi tetap kepada Badan Pengusahaan setiap tahun selama jangka waktu pengoperasian yang telah ditetapkan dan pembagian keuntungan hasil KSP;
dalam hal jangka waktu KSP kurang dari 1 (satu) tahun, mitra KSP membayar kontribusi tetap dan pembagian keuntungan berdasarkan perhitungan yang dilakukan oleh Badan Pengusahaan;
besaran pembayaran kontribusi tetap dan pembagian keuntungan hasil KSP ditetapkan dari hasil perhitungan tim yang dibentuk oleh Kepala Badan Pengusahaan;dan d. besaran pembayaran kontribusi tetap dan pembagian keuntungan hasil KSP harus memperoleh penetapan dari Kepala Badan Pengusahaan.
Besaran pembagian keuntungan hasil KSP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan huruf d dapat berbentuk pembagian atas:
keuntungan berupa:
keuntungan bersih;
keuntungan bruto; atau
keuntungan tertentu yang berupa EBIT atau EBITDA. b. pendapatan; atau
arus kas hasil KSP berupa arus kas bersih atau arus kas tambahan (incremental cashfiow). Pasal 56 (1) KSP dilakukan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) tahun dan dapat diperpanjang. (2) Jangka waktu dan perpanjangan jangka waktu KSP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan ketentuan tidak melampaui batas waktu keberadaan Kawasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. (3) Seluruh biaya KSP yang terjadi setelah ditetapkannya mitra KSP menjadi beban mitra KSP. (4) Pemilihan mitra KSP dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan BMN. Pasal 57 (1) Mitra KSP ditetapkan melalui tender, kecuali untuk Aset yang bersifat khusus dapat dilakukan penunjukan langsung. (2) Penunjukan langsung mitra KSP atas Aset yang bersifat khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Kepala Badan Pengusahaan terhadap:
badan usaha milik negara;
badan usaha milik daerah; atau
anak perusahaan badan usaha milik negara yang diperlakukan sama dengan badan usaha milik negara sesuai dengan ketentuan peraturan pemerintah yang mengatur mengenai tata cara penyertaan dan penatausahaan modal negara pada badan usaha milik negara dan perseroan terbatas, yang memiliki bidang clan/ atau wilayah kerja tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Aset yang bersifat khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
Aset yang mempunyai spesifikasi tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
Aset yang memiliki tingkat kompleksitas khusus seperti bandar udara, pelabuhan laut, stasiun kereta api, terminal angkutan umum, kilang, instalasi tenaga listrik, dan bendungan/waduk;
Aset yang dikerjasamakan dalam investasi yang berdasarkan perjanjian hubungan bilateral antar negara;
Aset yang bersifat rahasia dalam kerangka pertahanan negara;
Aset yang mempunyai konstruksi dan spesifikasi yang harus dengan perizinan khusus;
Aset yang dikerjasamakan dalam rangka menjalankan tugas negara; dan
Aset lain yang ditetapkan oleh Kepala Badan Pengusahaan setelah mendapat persetujuan Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal. (4) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penunjukan langsung mitra KSP atas Aset yang bersifat khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh Kepala Badan Pengusahaan terhadap badan usaha se bagaimana dimaksud pada ayat (2) atau badan usaha lainnya sepanjang:
Aset yang dikerjasamakan dalam rangka:
proyek kerja sama sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kerja sama pemerintah dan badan usaha dalam penyediaan infrastruktur;
penyelenggaraan penyiapan kegiatan yang mendadak untuk menindaklanjuti komitmen internasional yang dihadiri oleh Presiden/Wakil Presiden;
Pemanfaatan yang hanya dapat disediakan oleh 1 (satu) pelaku usaha yang mampu; dan/atau
Pemanfaatan yang spesifik dan hanya dapat dilaksanakan oleh pemegang hak paten, atau pihak yang telah mendapat izin dari pemegang hak paten, atau pihak yang menjadi pemenang tender untuk mendapatkan izin dari pemerintah;
Aset yang dikerjasamakan kepada badan usaha yang merupakan pemegang alokasi tanah atau mitra Pemanfaatan Aset yang lokasinya bersebelahan langsung dengan objek yang akan dikerjasamakan dalam rangka:
pengembangan bangunan yang merupakan satu kesatuan sistem konstruksi dan satu kesatuan tanggung jawab atas risiko kegagalan bangunan yang secara keseluruhan tidak dapat direncanakan/ diperhitungkan sebelumnya; dan/atau
penyediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum di lingkungan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang dilaksanakan oleh pemegang alokasi/ mitra Pemanfaatan yang bersangkutan;
Aset yang bersifat rahasia untuk kepentingan negara meliputi intelijen, perlindungan saksi, pengamanan Presiden dan Wakil Presiden, mantan Presiden dan mantan Wakil Presiden beserta keluarganya serta tamu negara setingkat kepala negara/kepala pemerintahan, atau Aset lain bersifat rahasia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan/atau
Aset yang mempunyai nilai buku sebelum penyusutan paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Proyek kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a angka 1 merupakan penyediaan infrastruktur yang dilakukan melalui:
perjanjian kerja sama antara Kepala Badan Pengusahaan dan/atau menteri/pimpinan lembaga dengan Badan Usaha Pelaksana; atau
pemberian izin pengusahaan dari Kepala Badan Pengusahaan dan/atau menteri/ pimpinan lembaga kepada Badan U saha Pelaksana, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (6) Penunjukan langsung mitra KSP terhadap Aset yang digunakan dalam rangka proyek kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a angka 1 dilakukan terhadap pihak yang dipilih sebagai mitra proyek kerja sama sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang kerja sama pemerintah dengan badan usaha dalam penyediaan infrastruktur. Pasal 58 (1) Pemilihan mitra KSP melalui tender sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) diumumkan di:
1 ( satu) media massa nasional, 1 ( satu) media massa lokal, dan/atau 1 (satu) media massa internasional; dan
situs web (website) Badan Pengusahaan. (2) Dalam hal pada pelaksanaan tender sebagaimana dimaksud pada ayat (1) calon mitra KSP yang memasukkan penawaran kurang dari 3 (tiga) peserta, dilakukan pengumuman ulang di:
media massa nasional, media massa lokal, dan/atau media massa internasional; dan
situs web (website) Badan Pengusahaan. (3) Dalam hal setelah pengumuman ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (2):
terdapat minimal 3 (tiga) peserta, proses dilanjutkan dengan tender; atau
calon mitra KSP kurang dari 3 (tiga) peserta, proses dilanjutkan dengan:
seleksi langsung, untuk calon mitra KSP yang hanya 2 (dua) peserta; atau
penunjukan langsung, untuk calon mitra KSP yang hanya 1 ( satu) peserta. Pasal 59 (1) KSP dapat dilaksanakan melalui usulan pemrakarsa. (2) Calon mitra KSP dapat menyusun proposal/ studi kelayakan/ analisis kelayakan bisnis proyek KSP. (3) Calon mitra KSP yang berstatus pemrakarsa/pemohon KSP, dapat diberikan kompensasi:
tambahan nilai sebesar 10% (sepuluh persen) dalam pemilihan mitra;
hak untuk melakukan penawaran terhadap penawar terbaik (right to match), sesuai dengan hasil penilaian dalam proses tender; atau
pembelian prakarsa KSP oleh pemenang tender, termasuk hak kekayaan intelektual yang menyertainya.
Pemberian kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dicantumkan dalam persetujuan Kepala Badan Pengusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (3). Pasal 60 (1) KSP dapat dilakukan untuk mengoperasionalkan Aset Badan Pengusahaan. (2) KSP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk pendayagunaan atau optimalisasi Aset Badan Pengusahaan dalam rangka menghasilkan layanan. (3) KSP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bukan merupakan Penggunaan Aset yang dioperasikan oleh Pihak Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16. (4) Bagian keuntungan yang menjadi bagian mitra KSP yang mengoperasionalkan Aset Badan Pengusahaan dapat ditentukan berdasarkan persentase tertentu dari besaran keuntungan yang diperoleh dalam pelaksanaan KSP. Pasal 61 (1) Persetujuan KSP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (3) dan persetujuan perpanjangannya dituangkan dalam surat persetujuan atau keputusan KSP yang minimal memuat:
informasi Aset yang dilakukan KSP; dan
data KSP, antara lain:
besaran kontribusi tetap dan pembagian keuntungan; dan
jangka waktu, termasuk periode KSP. (2) Surat persetujuan atau keputusan KSP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditembuskan kepada Menteri Keuangan c.q. Kepala KPKNL. Pasal 62 (1) Pelaksanaan KSP dituangkan dalam perjanjian berdasarkan surat persetujuan atau keputusan Kepala Badan Pengusahaan. (2) Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal memuat:
dasar perjanjian;
identitas para pihak yang terikat dalam perjanjian;
jenis dan luas atau jumlah Aset;
besaran kontribusi tetap dan pembagian keuntungan;
jangka waktu KSP;
peruntukan KSP;
larangan pendayagunaan Aset selain peruntukan KSP;
tanggung jawab mitra atas biaya operasional dan pemeliharaan selama jangka waktu KSP; dan
hak dan kewajiban para pihak. (3) Penandatanganan perjanjian pelaksanaan KSP dilakukan paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal diterbitkannya surat persetujuan atau keputusan oleh Kepala Badan Pengusahaan.
Kepala Badan Pengusahaan dapat memberikan persetujuan atas permohonan perpanjanganjangka waktu penandatanganan perjanjian KSP. (5) Dalam hal perjanjian KSP tidak ditandatangani sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) atau ayat (4), surat persetujuan atau keputusan pelaksanaan KSP batal demi hukum, dengan ketentuan usulan perpanjangan diajukan kepada Kepala Badan Pengusahaan sebelum jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berakhir. (6) Perjanjian KSP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dituangkan dalam akta notariil. Pasal 63 (1) Penerimaan negara yang wajib disetorkan mitra KSP selamajangka waktu pengoperasian KSP, terdiri atas:
kontribusi tetap; dan
pembagian keuntungan. (2) Besaran kontribusi tetap dan pembagian keuntungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Kepala Badan Pengusahaan. (3) Besaran kontribusi tetap mempertimbangkan:
nilai wajar / taksiran BMN yang menjadi o bjek KSP; dan
kelayakan bisnis atau kondisi keuangan mitra KSP. (4) Perhitungan besaran kontribusi tetap dapat pula mempertimbangkan manfaat dan dampak ekonomi dan/atau sosial. (5) Besaran kontribusi tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang telah ditentukan, meningkat setiap tahun dihitung berdasarkan kontribusi tetap pertama dengan memperhatikan estimasi tingkat inflasi. (6) Perhitungan pembagian keuntungan dilakukan dengan mempertimbangkan:
nilai investasi pemerintah;
nilai investasi mitra KSP;
kelayakan bisnis mitra; dan
risiko yang ditanggung mitra KSP. (7) Perhitungan pembagian keuntungan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) ditetapkan oleh Kepala Badan Pengusahaan dengan mempertimbangkan hasil perhitungan tim yang dibentuk oleh Kepala Badan Pengusahaan. (8) Dalam rangka perhitungan kontribusi tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan pembagian keuntungan sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Kepala Badan Pengusahaan dapat meminta bantuan Penilai. (9) Cicilan pokok dan biaya yang timbul atas pinjaman mitra KSP dibebankan pada mitra KSP dan tidak diperhitungkan dalam pembagian keuntungan. (10) Besaran nilai investasi pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf a didasarkan pada nilai wajar Aset yang menjadi objek KSP. (11) Besaran nilai investasi mitra KSP sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf b didasarkan pada estimasi investasi dalam proposal KSP. Pasal 64 (1) Dalam hal terdapat perubahan investasi oleh pemerintah, besaran kontribusi tetap dan pembagian keuntungan dapat ditinjau kembali oleh Kepala Badan Pengusahaan. (2) Dalam hal terdapat perubahan realisasi investasi yang dikeluarkan oleh mitra KSP dari estimasi investasi sebagaimana tertuang dalam perjanjian, besaran pembagian keuntungan dapat ditinjau kembali oleh Kepala Badan Pengusahaan. (3) Realisasi investasi mitra KSP sebagaimana dimaksud pada ayat (2), didasarkan pada hasil audit yang dilakukan oleh aparat pengawasan intern pemerintah atau auditor independen. Pasal 65 (1) Dalam kondisi tertentu, Kepala Badan Pengusahaan dapat menetapkan besaran faktor penyesuai untuk kontribusi tetap dengan persentase tertentu, berdasarkan permohonan mitra KSP. (2) Kondisi tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
penugasan pemerintah sebagaimana tertuang dalam peraturan atau keputusan yang ditetapkan oleh Presiden;
bencana alam;
bencana non alam; atau
bencana sosial. (3) Faktor penyesuai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diberikan atas kewajiban pembayaran kontribusi tetap dan/ a tau pembagian keuntungan yang belum dibayarkan oleh mitra. (4) Dalam hal kondisi bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf c, dan huruf d, faktor penyesuai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) berlaku sejak ditetapkannya status bencana oleh pemerintah sampai dengan paling lama 2 (dua) tahun sejak status bencana dinyatakan berakhir. Pasal 66 (1) Pembayaran kontribusi tetap pertama oleh mitra KSP dilakukan paling lama 5 (lima) hari kerja setelah perjanjian KSP ditandatangani. (2) Kepala Badan Pengusahaan dapat memberikan perpanjangan waktu untuk pembayaran kontribusi tetap pertama dengan ketentuan tidak lebih dari 14 (empat belas) hari kerja dan usulan perpanjangan waktu tidak melebihi batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir. (3) Pembayaran kontribusi tetap pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan bukti setor dan disampaikan oleh mitra kepada Kepala Badan Pengusahaan. (4) Dalam hal pembayaran kontribusi tetap pertama tidak dilakukan sesuai batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2), perjanjian KSP dinyatakan batal.
Pembayaran kontribusi tetap berikutnya dilakukan setiap tahun paling lambat sesuai tanggal dan bulan yang dituangkan dalam perjanjian, yang dimulai pada tahun berikutnya sampai dengan berakhirnya perjanjian KSP. (6) Selain kontribusi tetap pertama, pembayaran kontribusi tetap yang dibayar tiap tahun dapat dilakukan secara bertahap dan harus lunas sebelum tanggal jatuh tempo pembayaran kontribusi tetap berikutnya. (7) Kontribusi tetap selama jangka waktu KSP dapat dibayarkan sekaligus di muka, yang besarannya ditentukan oleh Kepala Badan Pengusahaan dengan mempertimbangkan hasil perhitungan tim yang dibentuk oleh Kepala Badan Pengusahaan dan nilai waktu dari uang ( time value of money). (8) Pembagian keuntungan hasil pelaksanaan KSP paling lambat tanggal 30 April tahun berikutnya, dan dilakukan setiap tahun sampai dengan berakhirnya perjanjian KSP. (9) Dalam hal kewajiban pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (8) tidak dipenuhi oleh mitra, Badan Pengusahaan mengenakan sanksi sesuai dengan ketentuan dalam perjanjian dan/atau peraturan perundang-undangan. Pasal 67 (1) Mitra KSP dapat mengajukan permohonan keringanan besaran kontribusi tetap dan pembagian keuntungan yang telah ditetapkan dalam pelaksanaan KSP kepada Kepala Badan Pengusahaan. (2) Permohonan keringanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak dapat berupa:
pengembalian kontribusi tetap dan/atau pembagian keuntungan yang telah dibayarkan oleh mitra KSP; dan/atau
kompensasi pembayaran kontribusi tetap dan/atau pembagian keuntungan yang telah dibayarkan oleh mitra KSP terhadap kewajiban pembayaran berikutnya. (3) Dalam hal permohonan keringanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetujui, dilakukan addendum perjanjian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Pasal 68 (1) Mitra KSP menyerahkan Aset hasil KSP kepada Badan Pengusahaan sesuai perjanjian paling lambat pada saat perj anjian berakhir. (2) Dalam hal dilakukan perpanjangan KSP setelah jangka waktu berakhir, Aset hasil KSP menjadi objek KSP. Paragraf 5 Sewa Dalam Rangka Penyediaan Infrastruktur Pasal 69 (1) Sewa dalam rangka penyediaan infrastruktur dilaksanakan berdasarkan persetujuan Kepala Badan Pengusahaan.
Sewa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan jangka waktu paling lama 50 (lima puluh) tahun sejak perjanjian ditandatangani dan dapat diperpanjang. (3) Sewa dalam rangka penyediaan infrastruktur dapat dilaksanakan untuk infrastruktur sosial, infrastruktur ekonomi, dan infrastruktur lainnya, sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai:
pengelolaan BMN; dan
infrastruktur. (4) Lingkup kegiatan penyediaan infrastruktur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi:
pekerjaan konstruksi untuk membangun atau meningkatkan kemampuan infrastruktur;
kegiatan pengelolaan infrastruktur; dan/atau
pemeliharaan infrastruktur dalam rangka meningkatkan kemanfaatan infrastruktur. (5) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam surat persetujuan atau keputusan Sewa yang minimal memuat:
informasi Aset yang menjadi objek Sewa; dan
data Sewa, antara lain:
besaran Sewa sesuai kondisi dengan kelompok jenis kegiatan usaha dan periodesitas Sewa; dan
jangka waktu, termasuk periode Sewa. (6) Pihak yang dapat menyewa Aset dalam rangka penyediaan infrastruktur berupa Badan Usaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kerja sama pemerintah dengan Badan U saha. (7) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) calon penyewa dalam rangka penyediaan infrastruktur, Kepala Badan Pengusahaan dapat melakukan pemilihan calon penyewa melalui lelang hak menikmati pada Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang. (8) Objek Sewa dalam rangka penyediaan infrastruktur dapat ditawarkan melalui media pemasaran oleh Badan Pengusahaan. Pasal 70 (1) Hasil Sewa Aset dalam rangka penyediaan infrastruktur berupa:
uang Sewa; dan
infrastruktur beserta fasilitasnya dalam rangka penyediaan infrastruktur. (2) Selain hasil sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Badan Pengusahaan dapat menerima hasil Sewa dalam bentuk lainnya sesuai perjanjian. (3) Pembayaran hasil Sewa Aset dalam rangka penyediaan infrastruktur berupa uang Sewa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan pendapatan Badan Pengusahaan dan disetorkan:
secara sekaligus ke rekening Badan Pengusahaan; atau
secara bertahap sesuai perjanjian. (4) Hasil Sewa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan cara pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dituangkan dalam perjanjian.
Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) minimal memuat:
dasar perjanjian;
identitas para pihak yang terikat dalam perjanjian;
jenis dan luas a tau jumlah Aset;
besaran Sewa;
jangka waktu Sewa;
peruntukan Sewa;
larangan pendayagunaan Aset selain peruntukan Sewa dalam rangka penyediaan infrastruktur;
kewenangan untuk meneruskan Sewa, jika ada;
tanggung jawab penyewa atas biaya operasional dan pemeliharaan selamajangka waktu Sewa; dan
hak dan kewajiban para pihak. (6) Penandatanganan perjanjian pelaksanaan Sewa dilakukan paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal diterbitkannya surat persetujuan atau keputusan oleh Kepala Badan Pengusahaan. (7) Dalam hal perjanjian Sewa dalam rangka penyediaan infrastruktur belum ditandatangani sampai dengan berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (6), persetujuan atau keputusan Sewa batal demi hukum. (8) Kepala Badan Pengusahaan dapat memberikan perpanjangan jangka waktu untuk penandatanganan perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (6), dengan ketentuan usulan perpanjangan diajukan kepada Kepala Badan Pengusahaan sebelum jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (6) berakhir. (9) Perjanjian Sewa dalam rangka penyediaan infrastruktur sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat dituangkan dalam akta notariil. Pasal 71 (1) Besaran Sewa dalam rangka penyediaan infrastruktur ditetapkan oleh Kepala Badan Pengusahaan dan dilaporkan kepada Menteri Keuangan c.q. Kepala KPKNL. (2) Besaran Sewa dalam rangka penyediaan infrastruktur merupakan hasil perkalian dari:
tarif pokok Sewa; dan
faktor penyesuai Sewa. (3) Tarif pokok Sewa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a merupakan nilai taksiran yang wajar atas Sewa hasil perhitungan dari tim yang dibentuk oleh Kepala Badan Pengusahaan. (4) Dalam rangka perhitungan tarif pokok sewa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, Kepala Badan Pengusahaan dapat meminta bantuan Penilai. (5) Besaran faktor penyesuai Sewa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b ditetapkan oleh Kepala Badan Pengusahaan dengan mengacu pada besaran yang diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan BMN, dengan mempertimbangkan:
daya beli/kemampuan membayar (ability to pay) masyarakat;
kemauan membayar (willingness to pay) masyarakat; dan/atau
nilai keekonomian, atas masing-masing infrastruktur yang disediakan. (6) Selain pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Kepala Badan Pengusahaan dapat mempertimbangkan kondisi tertentu dalam menetapkan faktor penyesuai Sewa dalam rangka penyediaan infrastruktur meliputi:
penugasan pemerintah sebagaimana tertuang dalam peraturan atau keputusan yang ditetapkan oleh Presiden;
bencana alam;
bencana non alam;
bencana sosial; atau
kondisi lainnya yang ditetapkan oleh Kepala Badan Pengusahaan. (7) Dalam hal kondisi bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf b, huruf c, dan huruf d, faktor penyesuai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b berlaku sejak ditetapkannya status bencana oleh pemerintah sampai dengan paling lama 2 (dua) tahun sejak status bencana dinyatakan berakhir. (8) Dalam hal diperlukan Badan Pengusahaan dapat meminta pertimbangan kepada instansi teknis terkait dalam penentuan besaran faktor penyesuai. (9) Besaran Sewa dalam rangka penyediaan infrastruktur yang ditetapkan oleh Badan Pengusahaan dapat digunakan sebagai nilai limit pada pelaksanaan lelang hak menikmati sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (7) dalam rangka pemilihan penyewa. Paragraf 6 Kerja Sama Pemanfaatan Dalam Rangka Penyediaan Infrastruktur Pasal 72 (1) KSP dalam rangka penyediaan infrastruktur dilakukan berdasarkan persetujuan Kepala Badan Pengusahaan. (2) KSP dalam rangka penyediaan infrastruktur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan jangka waktu paling lama 50 (lima puluh) tahun sejak perjanjian ditandatangani dan dapat diperpanjang. (3) KSP dalam rangka penyediaan infrastruktur dapat dilaksanakan untuk jenis-jenis infrastruktur yang diatur dalam peraturan perundang-undangan mengena1 infrastruktur. (4) Lingkup kegiatan penyediaan infrastruktur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi:
pekerjaan konstruksi untuk membangun atau meningkatkan kemampuan infrastruktur;
kegiatan pengelolaan infrastruktur; dan/atau
pemeliharaan infrastruktur dalam rangka meningkatkan kemanfaatan infrastruktur.
Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam surat persetujuan atau keputusan KSP yang minimal memuat:
informasi Aset yang dilakukan KSP; dan
data KSP, antara lain:
besaran kontribusi tetap dan pembagian keuntungan; dan
jangka waktu, termasuk periode KSP. Pasal 73 (1) KSP dalam rangka penyediaan infrastruktur dapat dilakukan dengan mitra meliputi:
badan usaha milik negara;
badan usaha milik daerah;
badan hukum lainnya; atau
Pihak Lain, kecuali perorangan. (2) Ketentuan mengenai pemilihan mitra KSP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 sampai dengan Pasal 59, mutatis mutandis berlaku untuk pemilihan mitra KSP dalam rangka penyediaan infrastruktur. (3) KSP dalam rangka penyediaan infrastruktur dapat dilaksanakan melalui usulan pemrakarsa. (4) Calon mitra KSP dalam rangka penyediaan infrastruktur dapat menyusun proposal/ studi kelayakan/ analisis kelayakan bisnis proyek KSP dalam rangka penyediaan infrastruktur. (5) Calon mitra KSP dalam rangka penyediaan infrastruktur yang berstatus pemrakarsa/pemohon KSP dalam rangka penyediaan infrastruktur, dapat diberikan kompensasi:
tambahan nilai sebesar 10% (sepuluh persen) dalam pemilihan mitra;
hak untuk melakukan penawaran terhadap penawar terbaik (right to match), sesuai dengan hasil penilaian dalam proses tender; atau
pembelian prakarsa KSP dalam rangka penyediaan infrastruktur oleh pemenang tender, termasuk hak kekayaan intelektual yang menyertainya. (6) Pemberian kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dicantumkan dalam persetujuan Kepala Badan Pengusahaan. Pasal 74 (1) Hasil KSP dalam rangka penyediaan infrastruktur terdiri atas:
penerimaan negara yang harus disetorkan selama jangka waktu KSP dalam rangka penyediaan infrastruktur; dan
infrastruktur beserta fasilitasnya hasil KSP dalam rangka penyediaan infrastruktur. (2) Penerimaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas:
kontribusi tetap; dan
pembagian keuntungan.
Ketentuan mengenai kontribusi tetap dan pembagian keuntungan KSP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 sampai dengan Pasal 67, mutatis mutandis berlaku untuk kontribusi tetap dan pembagian keuntungan KSP dalam rangka penyediaan infrastruktur. (4) Dalam hal mitra KSP dalam rangka penyediaan infrastruktur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 berbentuk badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau anak perusahaan badan usaha milik negara yang diperlakukan sama dengan badan usaha milik negara sesuai dengan ketentuan peraturan pemerintah yang mengatur mengenai tata cara penyertaan dan penatausahaan modal negara pada badan usaha milik negara dan perseroan terbatas, kontribusi tetap dan pembagian keuntungan dapat ditetapkan paling tinggi sebesar 70% (tujuh puluh persen) dari hasil perhitungan tim yang dibentuk oleh Kepala Badan Pengusahaan. (5) Hasil KSP dalam rangka penyediaan infrastruktur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam perjanjian (6) Ketentuan mengenai perjanjian KSP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 mutatis mutandis berlaku untuk perjanjian KSP dalam rangka penyediaan infrastruktur. (7) Mitra KSP dalam rangka penyediaan infrastruktur menyerahkan Aset hasil KSP dalam rangka penyediaan infrastruktur kepada Badan Pengusahaan sesuai perjanjian paling lambat pada saat perjanjian berakhir. (8) Dalam hal dilakukan perpanjangan KSP dalam rangka penyediaan infrastruktur setelah jangka waktu berakhir, Aset hasil KSP dalam rangka penyediaan infrastruktur menjadi objek KSP dalam rangka penyediaan infrastruktur. Paragraf 7 Kerj a Sama Penyediaan Infrastruktur Pasal 75 (1) Kepala Badan Pengusahaan bertindak se bagai penanggung jawab Pemanfaatan Aset sepanjang ditunjuk sebagai PJPK. (2) KSPI dilakukan antara Badan Pengusahaan dan Badan U saha Pelaksana. (3) KSPI sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dengan jangka waktu paling lama 50 (lima puluh) tahun sejak perjanjian ditandatangani dan dapat diperpanjang. (4) Dalam hal yang terpilih menjadi mitra KSPI merupakan badan hukum asing maka badan hukum asing tersebut harus merupakan perseroan terbatas berdasarkan hukum Indonesia sebelum ditetapkan sebagai mitra KSPI. (5) Dalam hal badan hukum asing yang terpilih sebagai mitra KSPI tidak dapat memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4):
badan hukum asing tersebut tidak ditetapkan menjadi mitra KSPI; dan
Badan Pengusahaan melakukan pemilihan ulang mitra KSPI. Pasal 76 (1) KSPI dapat dilakukan terhadap BMN untuk jenis-jenis infrastruktur yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai infrastruktur. (2) Lingkup kegiatan penyediaan infrastruktur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
pekerjaan konstruksi untuk membangun atau meningkatkan kemampuan infrastruktur;
kegiatan pengelolaan infrastruktur; dan/atau
pemeliharaan infrastruktur dalam rangka meningkatkan kemanfaatan infrastruktur. Pasal 77 (1) Pemilihan mitra KSPI dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kerja sama pemerintah dengan Badan U saha dalam penyediaan infrastruktur. (2) Mitra KSPI ditetapkan oleh Kepala Badan Pengusahaan. (3) Mitra KSPI yang telah ditetapkan, selama jangka waktu KSPI:
dilarang menjaminkan, menggadaikan, atau memindahtangankan BMN yang menjadi objek KSPI dan barang hasil KSPI; dan
memelihara objek KSPI dan barang hasil KSPI. (4) Mitra KSPI menyerahkan objek KSPI dan barang hasil KSPI kepada Badan Pengusahaan sesuai perjanjian. (5) Penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dituangkan dalam suatu berita acara. (6) Barang hasil KSPI beserta fasilitasnya menjadi BMN pada Badan Pengusahaan sejak tanggal penyerahannya kepada Badan Pengusahaan sebagaimana tercantum dalam berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (5). Pasal 78 (1) Hasil dari KSPI terdiri atas:
barang hasil KSPI berupa infrastruktur beserta fasilitasnya yang dibangun oleh mitra KSPI; dan
pembagian atas kelebihan keuntungan (clawback) yang diperoleh dari yang ditentukan pada saat perjanjian dimulai, jika ada. (2) Pembagian atas kelebihan keuntungan (clawback) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan pendapatan Badan Pengusahaan dan wajib disetorkan seluruhnya ke rekening Badan Pengusahaan dengan mempertimbangkan keuntungan pada masing-masing proyek. (3) Pembagian atas kelebihan keuntungan (clawback) dapat ditiadakan atas permohonan dari PJPK. (4) Peniadaan pembagian atas kelebihan keuntungan (clawback) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan ketentuan merupakan proyek yang tercantum dalam:
daftar rencana kerja sama pemerintah dan Badan Usaha;
Peraturan Presiden mengena1 percepatan proyek strategis nasional; dan/atau
dokumen Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP). (5) PJPK bertanggungjawab penuh secara formil dan materiil terhadap permohonan peniadaan pembagian atas kelebihan keuntungan (clawback) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dituangkan dalam surat pernyataan. (6) Peniadaan pembagian atas kelebihan keuntungan (clawback) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan terhadap pelaksanaan KSPI yang berjangka waktu paling lama 20 (dua puluh) tahun. Pasal 79 (1) Tahapan pelaksanaan KSPI meliputi:
perencanaan KSPI;
penyiapan KSPI; dan
transaksi KSPI. (2) Tahapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kerja sama pemerintah dengan Badan Usaha dalam penyediaan infrastruktur. Pasal 80 (1) KSPI dilakukan berdasarkan permohonan secara tertulis dari Kepala Badan Pengusahaan kepada Menteri Keuangan. (2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal memuat:
data dan informasi mengenai:
latar belakang permohonan KSPI;
Aset yang diajukan untuk dilakukan KSPI, antara lain jenis, nilai, kuantitas dan lokasi Aset;
rencana peruntukan KSPI;
jangka waktu KSPI; dan
estimasi besaran pembagian atas kelebihan keuntungan ( _clawback); _ dan b. informasi mengenai PJPK, termasuk dasar penetapan/ penunjukannya. (3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampiri dengan:
proposal/ pra studi kelayakan (prefeasibility study) proyek kerja sama;
surat rekomendasi kelayakan proyek kerja sama dari kementerian/ lembaga yang membidangi perencanaan pembangunan nasional;
asli surat pernyataan dari Kepala Badan Pengusahaan yang memuat tanggungjawab atas kebenaran rencana pelaksanaan KSPI; dan
asli surat pernyataan tanggung jawab dari Kepala Badan Pengusahaan atas kebenaran data permohonan Pemanfaatan Aset. Paragraf 8 Kerja Sama Terbatas Untuk Pembiayaan Infrastruktur Pasal 81 (1) Ketupi dilakukan dengan tujuan:
optimalisasi BMN;
meningkatkan fungsi operasional BMN; dan
mendapatkan pendanaan untuk pembiayaan penyediaan infrastruktur. (2) Penerimaan negara atas Ketupi merupakan pendapatan BLU pada Pengelola Barang yang akan digunakan untuk meningkatkan fungsi operasional infrastruktur sejenis atau pembiayaan penyediaan infrastruktur jenis lainnya yang terdapat dalam daftar proyek infrastruktur prioritas dan/atau proyek strategis nasional. Pasal 82 (1) Pihak yang dapat melaksanakan Ketupi meliputi penanggung jawab Pemanfaatan BMN dan BLU pada Pengelola Barang. (2) Kepala Badan Pengusahaan selaku PJPK merupakan penanggung jawab Pemanfaatan BMN. (3) BLU pada Pengelola Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditunjuk atau ditetapkan oleh Pengelola Barang. Pasal 83 (1) Pihak yang dapat menjadi mitra Ketupi meliputi:
badan usaha milik negara;
badan usaha milik daerah;
badan usaha swasta yang berbentuk perseroan terbatas;
badan hukum asing; atau
koperasi. (2) Pemilihan dan penetapan mitra Ketupi dilakukan oleh Badan Pengusahaan selaku penanggung jawab Pemanfaatan BMN dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pembiayaan infrastruktur melalui hak pengelolaan terbatas. Pasal 84 (1) Objek Ketupi meliputi BMN berupa tanah dan/atau bangunan beserta fasilitasnya pada Badan Pengusahaan. (2) Ketupi dapat dilakukan terhadap BMN untuk jenis-jenis infrastruktur yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pembiayaan infrastruktur melalui hak pengelolaan terbatas. (3) Kriteria dan persyaratan BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pembiayaan infrastruktur melalui hak pengelolaan terbatas. Pasal 85 Jangka waktu Ketupi paling lama 50 (lima puluh) tahun sejak perjanjian ditandatangani dan dapat diperpanjang. Pasal 86 (1) Hasil Ketupi berupa:
pembayaran dana di muka (upfront _payment); _ dan b. aset hasil kerja sama. (2) Hasil Ketupi berupa pembayaran dana di muka (upfront payment) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak membatasi hak BLU pada Pengelola Barang untuk memperoleh pembagian kelebihan keuntungan (clawback). (3) Aset hasil Ketupi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b menjadi BMN pada Pengelola Barang sejak diserahterimakan oleh mitra Ketupi kepada BLU pada Pengelola Barang. (4) Pengelolaan dan penggunaan hasil Ketupi dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Paragraf 9 Pengelolaan Aset untuk Bandar Udara, Pelabuhan, Sumber Daya Air, dan Limbah Pasal 87 (1) Badan Pengusahaan menyelenggarakan kegiatan:
pengusahaan Bandar Udara Hang Nadim Batam;
pengusahaan pelabuhan laut di Kawasan; dan
pengelolaan, pemeliharaan, dan pengusahaan sistem penyediaan air minum, termasuk daerah tangkapan air, waduk, bendungan, dan sistem air limbah, serta limbah bahan berbahaya dan beracun di Kawasan. (2) Dalam rangka penyelenggaraan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Badan Pengusahaan membentuk:
badan usaha bandar udara, untuk pengusahaan Bandar Udara Hang Nadim Batam;
badan usaha pelabuhan, untuk pengusahaan pelabuhan laut di Kawasan; dan
badan usaha untuk pengelolaan, pemeliharaan, dan pengusahaan sistem penyediaan air minum, termasuk daerah tangkapan air, waduk, bendungan, dan sistem air limbah, serta limbah bahan berbahaya dan beracun di Kawasan, jika diperlukan. (3) Badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menyelenggarakan kegiatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Penyelenggaraan kegiatan pengusahaan bandar udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikenakan tarif berupa:
tarif jasa kebandarudaraan yang ditetapkan oleh badan usaha bandar udara setelah dikonsultasikan dengan Kepala Badan Pengusahaan dengan berpedoman pada jenis, struktur, golongan, dan mekanisme penetapan tarif jasa kebandarudaraan yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang transportasi; dan
tarif jasa terkait kebandarudaraan yang ditetapkan oleh Kepala Badan Pengusahaan, dengan mempertimbangkan pengaruhnya terhadap daya saing investasi. (5) Penyelenggaraan kegiatan pengusahaan pelabuhan laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dikenakan tarif berupa:
tarif jasa kepelabuhanan yang ditetapkan oleh badan usaha pelabuhan setelah dikonsultasikan dengan Kepala Badan Pengusahaan dengan berpedoman pada jenis, struktur, golongan, dan mekanisme penetapan tarif jasa kepelabuhanan yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang transportasi; dan
tarif jasa terkait kepelabuhanan yang ditetapkan oleh badan usaha pelabuhan setelah mendapat persetujuan Kepala Badan Pengusahaan dengan mempertimbangkan pengaruhnya terhadap daya saing investasi. Pasal 88 (1) Dalam rangka penyelenggaraan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87, Badan Pengusahaan dapat melakukan kerja sama dengan:
badan usaha milik negara;
badan usaha milik daerah;
koperasi;
badan usaha swasta yang berbentuk perseroan terbatas; dan
badan hukum asing. (2) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan:
Pemanfaatan Aset, untuk pengusahaan bandar udara, pelabuhan laut, pengelolaan air limbah; dan
Pemanfaatan dan/atau Penggunaan Aset, untuk pengelolaan, pemeliharaan, dan pengusahaan sistem penyediaan air minum. Paragraf 10 Audit Pemanfaatan Aset Pasal 89 (1) Kepala Badan Pengusahaan dapat meminta auditor independen dan/atau aparat pengawasan intern pemerintah untuk melakukan pemeriksaan/audit atas pelaksanaan Pemanfaatan. (2) Auditor independen dan/ a tau aparat pengawasan intern pemerintah menyampaikan laporan hasil pemeriksaan/ audit kepada Kepala Badan Pengusahaan. (3) Dalam hal berdasarkan laporan hasil pemeriksaan/ audit terdapat hal yang perlu diselesaikan oleh mitra Pemanfaatan, Kepala Badan Pengusahaan menyampaikan hasil pemeriksaan/ audit terse but kepada mitra Pemanfaatan.
Mitra Pemanfaatan menindaklanjuti hasil pemeriksaan/ audit yang disampaikan oleh Kepala Badan Pengusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan melaporkan tindak lanjut terse but kepada Kepala Badan Pengusahaan. (5) Pelaksanaan tindak lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak menunda kewajiban mitra Pemanfaatan yang dimuat dalam perjanjian, termasuk pada kewajiban untuk mengembalikan Aset yang menjadi objek Pemanfaatan. Paragraf 11 Laporan atas Pelaksanaan Pemanfaatan Pasal 90 (1) Kepala Badan Pengusahaan menyampaikan laporan atas pelaksanaan Pemanfaatan Aset kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa laporan semesteran. Bagian Ketujuh Pengalokasian Pasal 91 (1) Kepala Badan Pengusahaan dapat melakukan pengalokasian tanah ADP untukjangka waktu tertentu. (2) Pengalokasian tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditindaklanjuti dengan perjanjian antara Kepala Badan Pengusahaan dan pihak penerima alokasi tanah. (3) Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) minimal memuat:
para pihak;
tanah yang dialokasikan;
hak dan kewajiban para pihak;
kewajiban untuk menyerahkan kembali tanah kepada Badan Pengusahaan pada saat masa pengalokasian tanah berakhir atau waktu lainnya yang diperjanjikan; dan
status kepemilikan bangunan/infrastruktur dan/atau barang lainnya yang berada di atas tanah pada saat masa pengalokasian berakhir. (4) Di atas tanah ADP yang telah berstatus Hak Pengelolaan dan sudah dialokasikan dapat diberikan hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan. (5) Penerima alokasi tanah ADP harus mengembalikan alokasi tanah ADP kepada Badan Pengusahaan pada saat masa pengalokasian tanah berakhir atau sesuai perjanjian.
Masa pengalokasian tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (5) termasuk:
masa perpanjangan pengalokasian tanah; dan/atau
masa perpanjangan atau pembaharuan pemberian hak atas tanah di atas ADP, berdasarkan persetujuan Kepala Badan Pengusahaan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. (7) Pengembalian alokasi tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disertai dengan penyerahan bangunan/ infrastruktur dan/atau barang lainnya yang berada di atas tanah ADP kepada Badan Pengusahaan, kecuali diatur lain dalam perjanjian. (8) Dalam hal penerima alokasi tidak mengembalikan alokasi tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan/atau penyerahan bangunan/infrastruktur dan/atau barang lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Badan Pengusahaan menyampaikan pemberitahuan kepada penerima alokasi untuk mengembalikan alokasi tanah dan menyerahkan bangunan/ infrastruktur dan/atau barang lainnya di atas tanah ADP paling lama 30 (tiga puluh) hari kalender sejak surat diterima. (9) Dalam hal penerima alokasi tidak melakukan pengembalian alokasi tanah ADP dan/atau penyerahan bangunan/ infrastruktur dan / a tau barang lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (8), Badan Pengusahaan dapat:
mencabut alokasi tanah yang diberikan kepada penerima alokasi tanah;
melakukan pembongkaran atas bangunan/ infrastruktur dan/atau barang lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (7); dan/atau
menetapkan bangunan/infrastruktur dan/atau barang lainnya sebagai BMN. (10) Terhadap bongkaran dari hasil pembongkaran sebagaimana dimaksud pada ayat (9) huruf b dapat dilakukan Penggunaan, Pemindahtanganan, Pemusnahan, atau Penghapusan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan BMN. Bagian Kedelapan Pengamanan dan Pemeliharaan Pasal 92 (1) Badan Pengusahaan wajib melakukan pengamanan Aset yang berada dalam penguasaannya. (2) Pengamanan Aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengamanan administrasi, pengamanan fisik, dan pengamanan hukum. (3) Pengamanan BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui pengasuransian. (4) Pengasuransian BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengasuransian BMN. Pasal 93 (1) Aset berupa tanah harus disertipikatkan atas nama Pemerintah Republik Indonesia c.q. Badan Pengusahaan. (2) BMN berupa bangunan dilengkapi dengan bukti kepemilikan atas nama Pemerintah Republik Indonesia c.q. Badan Pengusahaan. (3) Aset selain tanah dan/atau bangunan dilengkapi dengan bukti kepemilikan atas nama Badan Pengusahaan. Pasal 94 Bukti kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 disimpan secara tertib dan aman oleh Badan Pengusahaan. Pasal 95 (1) Badan Pengusahaan bertanggung jawab atas pemeliharaan Aset yang berada dalam penguasaannya. (2) Dalam hal:
BMN digunakan sementara oleh kementerian/lembaga, pemeliharaan menjadi tanggung jawab sepenuhnya dari kemen terian / lembaga pengguna sementara;
BMN yang digunakan sementara oleh kementerian/lembaga dengan jangka waktu kurang dari 6 (enam) bulan, pemeliharaan yang timbul selama jangka waktu Penggunaan sementara dilakukan sesuai dengan kesepakatan antara Badan Pengusahaan dan kemen terian / lem baga bersangku tan;
BMN yang digunakan bersama oleh kemen terian / lembaga, pemeliharaan yang timbul selama jangka waktu Penggunaan bersama dilakukan sesuai dengan kesepakatan antara Badan Pengusahaan dan kementerian/lembaga bersangkutan;
BMN dioperasikan oleh Pihak Lain, pemeliharaari menjadi tanggung jawab sepenuhnya dari Pihak Lain yang mengoperasionalkan;
BMN dioperasikan oleh Pihak Lain berdasarkan penugasan atau kebijakan pemerintah, pemeliharaan yang timbul selama jangka waktu operasional dapat dilakukan oleh Badan Pengusahaan dan/atau bersama Pihak Lain yang mengoperasikan BMN, sepanjang diatur dalam penugasan yang dituangkan dalam perjanjian dan/atau kebijakan pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan;
Aset dilakukan Pemanfaatan, pemeliharaan menjadi tanggung jawab sepenuhnya dari mitra Pemanfaatan bersangkutan; dan
Aset yang dilakukan Pemanfaatan dalam rangka penyediaan infrastruktur, pemeliharaan dapat dilakukan oleh Badan Pengusahaan dan/atau mitra Pemanfaatan sepanjang Aset bersangkutan masih digunakan oleh Badan Pengusahaan untuk mendukung dan/atau menyelenggarakan tugas dan fungsi pemerintahan. Bagian Kesembilan Penilaian Pasal 96 (1) Penilaian BMN dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan BMN dan Penilaian. (2) Penilaian ADP dilakukan dengan mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Penilaian. Bagian Kesepuluh Pemindahtanganan Pasal 97 (1) BMN yang tidak lagi diperlukan bagi penyelenggaraan tugas dan fungsi Badan Pengusahaan dapat dilakukan Pemindahtanganan. (2) Pemindahtanganan dilaksanakan berdasarkan pertimbangan teknis dengan memperhatikan kepentingan negara dan kepentingan umum. (3) BMN yang berada dalam penguasaan Badan Pengusahaan hanya dapat diusulkan untuk dilakukan Pemindahtanganan, setelah memperoleh penetapan status Penggunaan. (4) Pemindahtanganan meliputi:
Penjualan;
Tukar Menukar;
Hibah; atau
penyertaan modal pemerintah pusat. Pasal 98 (1) Pemindahtanganan dilakukan oleh Kepala Badan Pengusahaan setelah memperoleh persetujuan Menteri Keuangan. (2) Pelaksanaan Pemindahtanganan dilaporkan oleh Kepala Badan Pengusahaan kepada Menteri Keuangan paling lama 1 ( satu) bulan setelah selesainya pelaksanaan Pemindahtanganan. Pasal 99 (1) Pemindahtanganan BMN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (1) berupa:
tanah dan/atau bangunan; dan / a tau b. selain tanah dan/atau bangunan yang memiliki nilai lebih dari Rpl00.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah); dilakukan setelah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. (2) Pemindahtanganan BMN berupa tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak memerlukan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, apabila:
sudah tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah atau penataan kota;
harus dihapuskan karena anggaran untuk bangunan pengganti sudah disediakan dalam dokumen penganggaran berupa daftar isian pelaksanaan anggaran, kerangka acuan kerja, rencana kerja dan anggaran kementerian/lembaga, dan/atau petunjuk operasional kegiatan;
diperuntukkan bagi pegawai negeri;
diperuntukkan bagi kepentingan umum; atau
dikuasai negara berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dan/atau berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, yang jika status kepemilikannya dipertahankan tidak layak secara ekonomis. (3) Usul untuk memperoleh persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh Menteri Keuangan. Pasal 100 (1) Pemindahtanganan BMN berupa tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 ayat (2) dilaksanakan dengan ketentuan:
untuk tanah dan/atau bangunan yang berada pada Badan Pengusahaan dengan nilai le bih dari Rpl0.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dilakukan oleh Badan Pengusahaan setelah mendapat persetujuan Presiden;
untuk tanah dan/atau bangunan yang berada pada Badan Pengusahaan dengan nilai sampai dengan Rpl0.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dilakukan oleh Badan Pengusahaan setelah mendapat persetujuan Menteri Keuangan. (2) Usul untuk memperoleh persetujuan Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diajukan oleh Menteri Keuangan. Pasal 101 ((1) Pemindahtanganan BMN selain tanah dan/atau bangunan dilaksanakan dengan ketentuan:
untuk BMN yang berada pada Badan Pengusahaan dengan nilai lebih dari Rpl00.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) dilakukan oleh Badan Pengusahaan setelah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat;
untuk BMN yang berada pada Badan Pengusahaan dengan nilai lebih dari Rpl0.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) sampai dengan Rpl00.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) dilakukan oleh Badan Pengusahaan setelah mendapat persetujuan Presiden;
untuk BMN yang berada pada Badan Pengusahaan dengan nilai sampai dengan Rpl0.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dilakukan oleh Badan Pengusahaan setelah mendapat persetujuan Menteri Keuangan.
U sul untuk memperoleh persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat atau Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b diajukan oleh Menteri Keuangan. Pasal 102 (1) Usul untuk memperoleh persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat atau Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 ayat (3), Pasal 100 ayat (2), dan Pasal 101 ayat (2) diajukan oleh Badan Pengusahaan kepada Menteri Keuangan. (2) Dalam proses memperoleh persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat atau Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri Keuangan dapat meminta penjelasan/klarifikasi/ data tambahan dalam hal diperlukan. Pasal 103 (1) Dikecualikan dari keten tuan se bagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (1), Pemindahtanganan dalam bentuk Penjualan dilakukan oleh Kepala Badan Pengusahaan sepanjang dilakukan terhadap:
BMN berupa selain tanah dan/atau bangunan yang berdasarkan peraturan perundang-undangan tidak dipersyaratkan adanya bukti kepemilikan dengan nilai buku sampai dengan Rpl00.000.000,00 (seratus juta rupiah) per unit/ satuan; atau
bongkaran karena:
perbaikan BMN (renovasi, rehabilitasi, atau restorasi); atau
pembongkaran bangunan/infrastruktur dan/atau barang lainnya di atas ADP yang masa alokasi tanahnya telah berakhir. (2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (1), Pemindahtanganan dalam bentuk Hibah dilakukan oleh Kepala Badan Pengusahaan sepanjang dilakukan terhadap:
BMN yang dari awal perolehan dimaksudkan untuk dihibahkan dalam rangka kegiatan pemerintahan;
BMN berupa selain tanah dan/ a tau bangunan yang berdasarkan peraturan perundang-undangan tidak dipersyaratkan adanya bukti kepemilikan dengan nilai buku sampai dengan Rpl00.000.000,00 (seratus juta rupiah) per unit/ satuan; atau
bongkaran karena:
perbaikan BMN (renovasi, rehabilitasi, atau restorasi); a tau 2. pembongkaran bangunan/infrastruktur dan/atau barang lainnya di atas ADP yang masa alokasi tanahnya telah berakhir. (3) Pelaksanaan Penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaporkan oleh Kepala Badan Pengusahaan kepada Menteri Keuangan paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal pelaksanaan Penjualan dan Hibah. Pasal 104 (1) Penjualan BMN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (4) huruf a dilakukan secara lelang, kecuali dalam hal tertentu. (2) Hal tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) rrieliputi:
BMN yang bersifat khusus, yaitu:
kendaraan perorangan dinas yang dijual kepada pejabat negara, mantan pejabat negara, pegawai aparatur sipil negara, anggota Tentara Nasional Indonesia, a tau anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia atau perorangan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Penjualan BMN berupa kendaraan perorangan dinas; atau
BMN lainnya yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dapat dilakukan Penjualan tanpa melalui lelang;
BMN berupa tanah dan/atau bangunan yang diperuntukkan bagi kepentingan umum;
BMN berupa tanah yang merupakan tanah kavling yang menurut perencanaan awal pengadaannya digunakan untuk pembangunan perumahan pegawai negeri sebagaimana tercantum dalam dokumen penganggaran, antara lain Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga (RKA-KL), kerangka acuan kerja, petunjuk operasional kegiatan, atau Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA), yang diperuntukkan bagi pegawai negeri;
BMN berupa selain tanah dan/ a tau bangunan yang jika dijual secara lelang dapat merusak tata niaga berdasarkan pertimbangan dari instansi yang berwenang;
BMN berupa bangunan yang berdiri di atas tanah Pihak Lain atau pemerintah daerah/ desa yang dijual kepada Pihak Lain atau pemerintah daerah/ desa pemilik tanah tersebut; atau
BMN lainnya yang ditetapkan lebih lanjut oleh Pengelola Barang. Pasal 105 (1) Pemilihan mitra Tukar Menukar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (4) huruf b dilakukan melalui tender. (2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemilihan mitra dapat dilakukan melalui penunjukan langsung terhadap Tukar Menukar:
BMN berupa tanah, atau tanah dan bangunan:
yang dilakukan dengan pemerintah daerah/ desa, pemerintah negara lain, dan/atau Pihak Lain yang mendapatkan penugasan dari pemerintah dalam rangka pelaksanaan kepentingan umum;
untuk menyatukannya dalam 1 (satu) lokasi;
untuk menyesuaikan bentuk BMN berupa tanah agar penggunaannya lebih optimal;
untuk melaksanakan rencana strategis pemerintah; atau
guna mendapatkan/memberikan akses jalan;
BMN berupa bangunan yang berdiri di atas tanah:
Pihak Lain;
BMN yang diajukan untuk diubah statusnya menjadi ADP; atau
BMN selain tanah dan/atau bangunan yang dilakukan dengan:
pemerintah daerah/ desa; atau
Pihak Lain yang mendapatkan penugasan dari pemerintah dalam rangka pelaksanaan kepentingan umum. (3) Penunjukan langsung mitra Tukar Menukar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Kepala Badan Pengusahaan. Pasal 106 (1) Pendapatan yang diperoleh dari Pemindahtanganan merupakan pendapatan negara dan disetorkan seluruhnya ke rekening kas umum negara. (2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pendapatan dari Pemindahtanganan merupakan pendapatan Badan Pengusahaan yang disetorkan ke rekening Badan Pengusahaan dan dapat dikelola langsung oleh Badan Pengusahaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang PKK-BLU sepanjang BMN diperoleh dari pendanaan yang bersumber dari pendapatan operasional Badan Pengusahaan. (3) Pendapatan dari Pemindahtanganan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaporkan oleh Kepala Badan Pengusahaan kepada Menteri Keuangan. Bagian Kesebelas Pemusnahan Pasal 107 (1) Pemusnahan dilakukan apabila:
BMN tidak dapat digunakan, tidak dapat dilakukan Pemanfaatan, dan/atau tidak dapat dilakukan Pemindahtanganan; atau
terdapat alasan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Pemusnahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Kepala Badan Pengusahaan setelah memperoleh persetujuan Menteri Keuangan. (3) Pelaksanaan Pemusnahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dituangkan dalam berita acara yang ditandatangani oleh Kepala Badan Pengusahaan dan dilaporkan kepada Menteri Keuangan. (4) Pemusnahan dilaporkan oleh Kepala Badan Pengusahaan kepada Menteri Keuangan paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal pelaksanaan pemusnahan disertai dengan fotokopi berita acara Pemusnahan. Pasal 108 (1) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 ayat (2), pemusnahan dilakukan oleh Kepala Badan Pengusahaan sepanjang dilakukan terhadap BMN berupa:
persediaan;
aset tetap lainnya berupa hewan, ikan dan tanaman;
selain tanah dan/atau bangunan, yang tidak mempunyai dokumen kepemilikan, dengan nilai perolehan sampai dengan Rpl00.000.000,00 (seratus juta rupiah) per unit/ satuan; atau
bongkaran karena:
perbaikan BMN (renovasi, rehabilitasi, atau restorasi); a tau 2. pembongkaran bangunan/infrastruktur dan/atau barang lainnya di atas ADP yang masa alokasi tanahnya telah berakhir. (2) Pelaksanaan pemusnahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan oleh Kepala Badan Pengusahaan kepada Menteri Keuangan paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal pelaksanaan pemusnahan. Bagian Kedua Belas Penghapusan Pasal 109 (1) Penghapusan pada Badan Pengusahaan meliputi:
Penghapusan dari pembukuan Badan Pengusahaan; dan
Penghapusan dari daftar BMN. (2) Penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Kepala Badan Pengusahaan dalam suatu keputusan, setelah memperoleh persetujuan Menteri Keuangan. (3) Pelaksanaan Penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam berita acara yang ditandatangani oleh Kepala Badan Pengusahaan dan dilaporkan kepada Menteri Keuangan. (4) Penghapusan dilaporkan oleh Kepala Badan Pengusahaan kepada Menteri Keuangan paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal pelaksanaan Penghapusan disertai dengan salinan keputusan Penghapusan dan dokumen terkait lainnya. Pasal 110 (1) Penghapusan dari pembukuan Badan Pengusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 ayat (1) huruf a, dilakukan dalam hal BMN sudah tidak berada dalam penguasaan Badan Pengusahaan, terjadi Pemusnahan, atau sebab-sebab lain yang secara normal dapat diperkirakan wajar menjadi penyebab Penghapusan. (2) Penghapusan dari daftar BMN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 ayat (1) huruf b, dilakukan dalam hal BMN tersebut sudah dilakukan Pemindahtanganan, terjadi pemusnahan, atau karena sebab-sebab lain yang secara normal dapat diperkirakan wajar menjadi penyebab Penghapusan. Pasal 111 (1) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 ayat (2), Penghapusan dilakukan oleh Kepala Badan Pengusahaan sepanJang dilakukan terhadap BMN berupa:
persediaan;
aset tetap lainnya berupa hewan, ikan dan tanaman;
selain tanah dan/atau bangunan, yang tidak mempunyai dokumen kepemilikan, dengan nilai perolehan sampai dengan Rpl00.000.000,00 (seratus juta rupiah) per unit/ satuan. (2) Pelaksanaan Penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan oleh Kepala Badan Pengusahaan kepada Menteri Keuangan paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal pelaksanaan Penghapusan. Bagian Ketiga Belas Penatausahaan Pasal 112 (1) Kepala Badan Pengusahaan melakukan Penatausahaan atas Aset yang berada dalam penguasaannya. (2) Penatausahaan meliputi:
pembukuan;
inventarisasi; dan
pelaporan. (3) Badan Pengusahaan melakukan Penatausahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menurut penggolongan dan kodefikasi BMN. (4) Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c termasuk pelaporan atas pendapatan yang diperoleh dari pengelolaan Aset pada Badan Pengusahaan. (5) Pelaporan atas pendapatan yang diperoleh dari pengelolaan Aset pada Badan Pengusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan setiap bulan kepada Kepala KPKNL dengan tembusan disampaikan kepada Kepala Kantor Wilayah dan direktur yang membidangi perumusan kebijakan kekayaan negara pada Direktorat Jenderal.
Badan Pengusahaan melakukan rekonsiliasi atas pendapatan yang diperoleh dari pengelolaan Aset Badan Pengusahaan dengan Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang setiap triwulan. Pasal 113 (1) Badan Pengusahaan menyajikan Aset berupa BMN dalam laporan sebagai:
aset lancar berupa persediaan;
properti investasi;
aset tetap berupa:
tanah dan/atau bangunan; dan/atau
selain tanah dan/atau bangunan;
aset lainnya berupa:
aset kemitraan;
Aset Tidak Berwujud (ATB); dan/atau
aset yang dihentikan penggunaannya. (2) Termasuk dalam aset tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c untuk BMN yang memenuhi kriteria aset konsesi jasa. (3) Penyajian Aset berupa BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Penatausahaan BMN dan akuntansi pemerintahan. Pasal 114 (1) Badan Pengusahaan menyajikan ADP dalam laporan sebagai aset lainnya, kecuali ditentukan lain oleh standar akuntansi pemerintahan. (2) ADP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disajikan dalam laporan sebesar biaya-biaya yang dikeluarkan dalam rangka perolehan dan pengembangan ADP. (3) Biaya perolehan dan pengembangan ADP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk nilai BMN pada saat diubah statusnya menjadi ADP. (4) Penyajian ADP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang akuntansi pemerintahan. Bagian Keempat Belas Pengawasan dan Pengendalian Pasal 115 (1) Pengawasan dan pengendalian atas pengelolaan Aset dilakukan oleh:
Menteri Keuangan; dan/atau
Kepala Badan Pengusahaan. (2) Pengawasan dan pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan terhadap:
perencanaan kebutuhan dan penganggaran;
pengadaan;
Penggunaan;
Perubahan Status Aset;
Pemanfaatan;
pengamanan dan pemeliharaan;
Penilaian;
Pemindahtanganan;
Pemusnahan; J. Penghapusan; dan
Penatausahaan. (3) Kepala Badan Pengusahaan melakukan pengawasan dan pengendalian terhadap pengelolaan ADP. Pasal 116 Ketentuan mengenai Perencanaan Kebutuhan dan penganggaran, Penggunaan, Pemanfaatan, Pemindahtanganan, Pemusnahan, Penghapusan, Penatausahaan, dan pengawasan dan pengendalian yang belum diatur dalam Peraturan Menteri m1 dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan BMN. BAB IV KETENTUAN PERALIHAN Pasal 117 Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
BMN berupa tanah yang telah diubah statusnya menjadi ADP sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini, harus dimintakan reviu dari aparat pengawasan intern pemerintah untuk kemudian diterbitkan keputusan Perubahan Status Aset sebagai ADP oleh Kepala Badan Pengusahaan;
permohonan Pemanfaatan berupa KSPI yang telah diajukan oleh Kepala Badan Pengusahaan dan belum mendapat persetujuan Menteri Keuangan dilaksanakan berdasarkan Peraturan Menteri ini;
persetujuan Pemanfaatan yang telah diterbitkan oleh Kepala Badan Pengusahaan sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini, dinyatakan tetap berlaku;
persetujuan Pemanfaatan yang telah diterbitkan oleh Kepala Badan Pengusahaan dan belum dilaksanakan, pelaksanaannya dilakukan berdasarkan Peraturan Men teri ini;
permohonan Pemanfaatan yang telah diajukan tetapi belum memperoleh persetujuan Kepala Badan Pengusahaan dilaksanakan berdasarkan Peraturan Menteri ini;
persetujuan pengelolaan selain sebagaimana dimaksud pada huruf b sampai dengan huruf e yang telah diterbitkan oleh Menteri Keuangan, dinyatakan tetap berlaku;
permohonan persetujuan pengelolaan selain sebagaimana dimaksud pada huruf b sampai dengan huruf e yang telah diajukan oleh Kepala Badan Pengusahaan kepada Menteri Keuangan dan belum memperoleh persetujuan Menteri Keuangan dilaksanakan berdasarkan Peraturan Menteri ini; dan
kerja sama pengelolaan Aset yang sedang berlangsung berdasarkan persetujuan atau keputusan Kepala Badan Pengusahaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dinyatakan tetap berlaku. BABV KETENTUAN PENUTUP Pasal 118 ADP yang belum ditetapkan statusnya oleh Kepala Badan Pengusahaan harus sudah ditetapkan statusnya paling lama 3 (tiga) tahun sejak berlakunya Peraturan Menteri ini. Pasal 119 Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 59/PMK.06/2020 tentang Tata Cara Pengelolaan Aset pada Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 550), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 120 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.