Pengujian materil Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan dan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang RI No. 15 Tah ...
Relevan terhadap
ayat (2). 52 Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004, standar pemeriksaan merupakan patokan untuk melakukan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Standar pemeriksaan terdiri dari standar umum, standar pelaksanaan, dan standar pelaporan pemeriksaan yang wajib dipedomani oleh BPK dan/atau pemeriksa. Dalam melaksanakan tugas pemeriksaan, BPK telah menyusun standar pemeriksaan pertama kali pada tahun 1995 yang disebut Standar Audit Pemerintahan (SAP). Seiring dengan perubahan UUD Negara RI 1945 dan peraturan perundang-undangan di bidang pemeriksaan, pada Tahun 2007 BPK menyusun standar pemeriksaan dengan nama Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN). Setelah hampir 10 (sepuluh tahun) digunakan sebagai standar pemeriksaan, SPKN 2007 dinilai tidak sesuai lagi dengan perkembangan standar audit internasional, nasional, maupun tuntutan kebutuhan yang berkembang. Oleh karena itu, SPKN 2007 telah dilakukan penyempurnaan. Perkembangan standar pemeriksaan internasional kini mengarah kepada perubahan dari berbasis pengaturan detail ( rule-based standards ) ke pengaturan berbasis prinsip (principle-based standards ). Perkembangan pada tingkat organisasi badan pemeriksa sedunia, INTOSAI telah menerbitkan International Standards of Supreme Audit Institutions (ISSAI) untuk menjadi referensi pengembangan standar bagi anggota INTOSAI. Khusus untuk pemeriksaan keuangan, INTOSAI mengadopsi keseluruhan International Standards on Auditing (ISA) yang diterbitkan oleh International Federation of Accountants (IFAC). Seiring dengan perkembangan standar internasional tersebut, Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) Tahun 2001 yang diberlakukan dalam SPKN 2007, juga mengalami perubahan dengan mengadopsi ISA. Pada awal 2017, saat BPK genap berusia 70 tahun, BPK berhasil menyelesaikan penyempurnaan SPKN 2007 yang selanjutnya ditetapkan menjadi Peraturan BPK Nomor 1 Tahun 2017. Sejak diundangkannya Peraturan BPK ini, SPKN mengikat BPK maupun pihak lain yang melakukan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Dengan SPKN ini, diharapkan hasil pemeriksaan keuangan negara dapat lebih berkualitas. Jika dibandingkan, SPKN 2007 memiliki delapan lampiran, sedangkan hanya terdapat empat lampiran yang tercantum di dalam SPKN 2017. Rincian detail lampiran SPKN 2007 terdiri dari: 53 1) Lampiran I : Pendahuluan Standar Pemeriksaan 2) Lampiran II : Pernyataan Standar Pemeriksaan 01 (Standar Umum) 3) Lampiran III : Pernyataan Standar Pemeriksaan 02 (Standar Pelaksanaan Pemeriksaan Keuangan) 4) Lampiran IV : Pernyataan Standar Pemeriksaan 03 (Standar Pelaporan Pemeriksaan Keuangan) 5) Lampiran V : Pernyataan Standar Pemeriksaan 04 (Standar Pelaksanaan Pemeriksaan Kinerja) 6) Lampiran VI : Pernyataan Standar Pemeriksaan 05 (Standar Pelaporan Pemeriksaan Kinerja) 7) Lampiran VII : Pernyataan Standar Pemeriksaan 06 (Standar Pelaksanaan Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu) 8) Lampiran VIII : Pernyataan Standar Pemeriksaan 07 (Standar Pelaporan Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu) Sedangkan lampiran SPKN 2017 mencakup:
Lampiran I : Kerangka Konseptual Pemeriksaan 2) Lampiran II : PSP 100 – Standar Umum 3) Lampiran III : PSP 200 – Standar Pelaksanaan Pemeriksaan 4) Lampiran IV : PSP 300 - Standar Pelaporan Pemeriksaan. SPKN 2017 tidak melakukan pemisahan antara standar pelaksanaan dan standar pelaporan untuk pemeriksaan keuangan, kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Hal ini karena sesungguhnya ketiga varian pemeriksaan tersebut saling terkait satu dengan yang lain dan tak dapat dipisahkan sebagai suatu sistem pemeriksaan keuangan negara. SPKN berisi persyaratan pemeriksa, mutu pelaksanaan pemeriksaan, dan persyaratan laporan pemeriksaan. Keberadaan isi SPKN tersebut menjadi ukuran mutu pemeriksaan keuangan negara. SPKN dilaksanakan dengan sebuah mekanisme kerja yang terdiri dari pengumpulan bukti, data, pengujian bukti secara objektif. Hal ini dilakukan guna mewujudkan prinsip akuntabilitas publik dalam rangka mendapatkan sebuah hasil yakni meningkatkan kredibilitas dan validitas informasi yang dilaporkan. Hasil ini akan membawa manfaat berupa:
peningkatan mutu pengelolaan;
pemenuhan tanggung jawab keuangan negara; dan 54 3. pengambilan keputusan, yakni dalam melakukan audit laporan keuangan, auditor harus tunduk pada standar pemeriksaan yang telah ditetapkan. Dengan demikian, dapat digarisbawahi bahwa guna melakukan audit atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, standar yang telah ditentukan adalah Standar Pemeriksaan Keuangan Negara yang ditetapkan dengan Peraturan BPK Nomor 1 Tahun 2017. Guna melakukan pemeriksaan atas penggunaan keuangan negara, SPKN 2017 memberlakukan tiga standar, yaitu standar umum, standar pelaksanaan, dan standar pelaporan. Dalam salah satu dalilnya, para Pemohon juga mempertanyakan K/L yang telah memperoleh status WTP namun tetap dikenakan PDTT (contoh: KPK). Para Pemohon mendalilkan hal ini menyebabkan PDTT potensial dijadikan alat abuse of power oleh BPK, yang dapat menghambat proses pengawasan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Negara sehingga merugikan warganegara. Apakah hal ini dapat dijadikan dasar untuk menyatakan adanya kerugian konstitusional yang spesifik? Menurut pendapat ahli hal itu lebih merupakan asumsi, bukan fakta dan tidak ditemukan dalam tujuan maupun celah dalam desain pengaturan norma hukum mengenai penggunaan kewenangan PDTT. Sebaliknya, selama ini PDTT justru dinilai banyak membantu penegak hukum untuk membuktikan terjadi/tidak-nya tindak pidana korupsi (Pengalaman penulis sebagai ahli di berbagai penanganan kasus korupsi oleh para penegak hukum sebagaimana juga terlampir dalam biodata ahli juga menunjukkan hal tersebut). Terkait dengan status WTP yang masih dimungkinkan dilakukannya PDTT, hal itu harus dikaitkan dengan karakteristik dari pemeriksaan keuangan negara, pemeriksaan kinerja dan PDTT. Predikat WTP yang diberikan BPK atas laporan keuangan suatu institusi hanya sebagai tanda, bahwa proses yang disusunnya telah sesuai standar akuntansi yang berlaku. Maka, predikat WTP memang tidak digunakan sebagai jaminan bahwa sebuah lembaga pemerintah bersih dari korupsi atau terjadi pemborosan dalam menyusun anggaran. Predikat yang diberikan BPK memang tak bisa menjadi ukuran suatu lembaga bebas korupsi. Tetapi, predikat itu hanya mencerminkan 4 (empat) hal, yakni pertama , laporan keuangan lembaga yang diperiksa telah sesuai standar akuntansi; kedua , sudah terdapat cukup bukti dalam laporan keuangan; ketiga , telah terdapat sistem pengendalian internal, dan keempat , pengelolaan keuangan negara telah sesuai dengan undang-undang. 55 Selain itu, dalam beberapa kasus tidak semua kasus korupsi akan berpengaruh terhadap laporan keuangan. Misalnya, dalam kasus suap (gratifikasi). Dana suap seringkali berasal dari “kantong/rekening pribadi” pihak penyuap, sehingga bisa jadi tidak/belum terdeteksi oleh BPK. Hal ini juga tidak selalu berpengaruh terhadap laporan keuangan yang disajikan dan diperiksa oleh BPK. Lain halnya, jika dana yang dipergunakan untuk menyuap bersumber dari kas negara/daerah, karena akan berpengaruh terhadap hasil laporan keuangan yang dibuat, sehingga akan membuat BPK lebih mudah dalam mendeteksinya melalui PDTT. Jadi, dapat disimpulkan bahwa hasil laporan audit BPK yang menyatakan opini WTP dapat menggambarkan bahwa tidak adanya tindak pidana korupsi tidak sepenuhnya tepat, karena WTP didapatkan dari hasil pemeriksaan keuangan yang tujuannya adalah untuk mengetahui dan menguji kewajaran suatu laporan keuangan yang dibatasi oleh materi yang diperiksa, standar yang digunakan dan waktu pemeriksaan. Hal itu bukan dimaksudkan untuk menguji apakah ada/tidaknya tindak pidana korupsi. Guna mengetahui ada atau tidaknya tindak pidana korupsi memerlukan jenis pemeriksaan yang berbeda selain pemeriksaan laporan keuangan, yaitu pemeriksaan investigasi atau pemeriksaan forensik yang termasuk dalam kategori Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT). Pemeriksaan keuangan adalah pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pemeriksaan keuangan ini dilakukan oleh BPK dalam rangka memberikan pernyataan opini tentang tingkat kewajaran informasi yang disajikan dalam laporan keuangan pemerintah. Pemeriksaan kinerja adalah pemeriksaan atas aspek ekonomi dan efisiensi, serta pemeriksaan atas aspek efektivitas yang lazim dilakukan bagian kepentingan manajemen oleh aparat pengawasan intern pemerintah. Pasal 23E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan BPK untuk melaksanakan pemeriksaan kinerja pengelolaan keuangan negara. Tujuan pemeriksaan ini adalah untuk mengidentifikasikan hal- hal yang perlu menjadi perhatian lembaga perwakilan. Adapun untuk pemerintah, pemeriksaan kinerja dimaksudkan agar kegiatan yang dibiayai dengan keuangan negara/daerah diselenggarakan secara ekonomis dan efisien, serta memenuhi sasarannya secara efektif. Pemeriksaan dengan tujuan tertentu, adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan tujuan khusus, di luar pemeriksaan 56 keuangan dan pemeriksaan kinerja. Termasuk dalam pemeriksaan tujuan tertentu ini adalah pemeriksaan atas hal-hal lain yang berkaitan dengan keuangan dan pemeriksaan investigatif. Pelaksanaan pemeriksaan sebagaimana dimaksudkan di atas didasarkan pada suatu standar pemeriksaan. Standar dimaksud disusun oleh BPK dengan mempertimbangkan standar di lingkungan profesi audit secara internasional. Sebelum standar dimaksud ditetapkan, BPK mengkonsultasikannya dengan pihak pemerintah dan organisasi profesi di bidang pemeriksaan. Standar Pemeriksaan menurut Pasal 1 angka 13 UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK adalah patokan untuk melakukan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang meliputi standar umum, standar pelaksanaan pemeriksaan, dan standar pelaporan yang wajib dipedomani oleh BPK dan/atau pemeriksa. Upaya untuk mencegah terjadinya abuse of power adalah adanya standar operasional prosedur yang dalam Hukum Administrasi Negara termasuk dalam kategori Hukum Acara Non Sengketa (niet contentieus processrecht ) yang diatur dalam bentuk Standar pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN). Dalam UU Nomor 30 Tahun 2014 hal itu dikategorikan sebagai Standar Operasional Prosedur ( vide Pasal 49). Hal itu menyebabkan tidak memadainya dasar untuk menyatakan adanya kerugian konstitusional yang spesifik, jika asumsi yang digunakan bahwa PDTT potensial digunakan sebagai alat untuk melakukan abuse of power tanpa adanya dukungan data dan riset yang secara representatif mampu menunjukkan bahwa PDTT memang secara faktual cenderung digunakan sebagai alat untuk melakukan abuse of power oleh auditor BPK. Justru sebaliknya, PDTT merupakan instrumen yang efektif untuk membantu penegak hukum dalam mengungkap terjadinya tindak pidana korupsi yang menimbulkan merugikan keuangan negara yang kini menjadi persyaratan mutlak untuk melakukan penegakan hukum di bidang tindak pidana korupsi pasca lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 25/PUU-XIV/2016 Dalam melaksanakan PDTT, sebelum mengambil simpulan berdasarkan pemeriksaan yang dilakukan, pemeriksa harus mendasarkan pada bukti-bukti yang cukup, kompeten dan relevan. Hal ini dimaksudkan agar pemeriksa tidak mengambil simpulan secara sewenang-wenang. Kriteria bukti pemeriksaan dalam PDTT tersebut dijelaskan sebagai berikut:
Cukup Bukti, yaitu harus cukup untuk mendukung simpulan pemeriksaan. Dalam menentukan kecukupan suatu bukti, Pemeriksa harus yakin bahwa bukti yang cukup tersebut dapat memberikan 57 keyakinan seseorang bahwa simpulan telah valid. Apabila dimungkinkan, metode statistik bisa digunakan untuk menentukan kecukupan bukti pemeriksaan;
Kompeten Bukti dianggap kompeten apabila bukti tersebut valid, dapat diandalkan, dan konsisten dengan fakta. Dalam menilai kompetensi suatu bukti, Pemeriksa harus mempertimbangkan beberapa faktor seperti keakuratan, keyakinan, ketepatan waktu, dan keaslian bukti tersebut; dan
Relevan. Bukti dikatakan relevan apabila bukti tersebut memiliki hubungan yang logis dan memiliki arti penting bagi simpulan pemeriksaan yang bersangkutan (Lampiran Keputusan BPK- RI Nomor: 2/K/I-XIII.2/I/2009 Tanggal : 27 Februari 2009); Sebagai komparasi, praktik PDTT juga dilaksanakan di beberapa negara lain melalui kewenangan yang dimiliki oleh lembaga-lembaga audit di beberapa negara. Misalnya, kewenangan dari Government Accountability Office (GAO) di AS yang juga diberikan kewenangan untuk melakukan pemeriksaan investigatif sebagai lembaga pemerintah cabang legislatif yang menyediakan jasa audit, evaluasi dan investigasi untuk Kongres Amerika Serikat. GAO diberikan kewenangan untuk melaksanakan audit atas permintaan congressional committees , subcommittees, atau anggota Congress . Salah satu tugas GAO adalah melakukan investigasi atas tuduhan illegal and improper activities , sama dengan kewenangan BPK untuk melakukan audit investigatif. PDTT juga ditemukan di Singapura, yaitu Special Audits , yang dilakukan oleh Auditor General’s Office (AGO). AGO melaksanakan pemeriksaan terhadap laporan keuangan pemerintah, yang dilaksanakan setiap tahun ( annually ). Selain pemeriksaan terhadap laporan keuangan, AGO juga diberikan kewenangan untuk melakukan audit khusus ( selective audits ) untuk memeriksa kepatuhan public agencies terhadap peraturan perundangundangan dan special audits atas permintaan dari Parlemen. Perlu dijelaskan sekilas proses pemeriksaan yang secara normatif dilaksanakan oleh BPK baik berupa pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja dan PDTT. Penentuan objek pemeriksaan, perencanaan dan pelaksanaan pemeriksaan, penentuan waktu dan metode pemeriksaan, serta penyusunan dan penyajian laporan pemeriksaan dilakukan secara bebas dan mandiri oleh BPK. PDTT dapat bersifat pemeriksaan ( examination ), reviu ( review ), dan prosedur yang disepakati ( agreed-upon procedures ) untuk menerbitkan komunikasi tertulis yang menyatakan suatu simpulan tentang keandalan asersi 58 yang menjadi tanggung jawab pihak lain. Sasaran pemeriksaan dengan tujuan tertentu, dapat mencakup antara lain pemeriksaan atas hal-hal lain di bidang keuangan, pemeriksaan investigatif, dan pemeriksaan atas sistem pengendalian intern pemerintah. Dalam merencanakan tugas pemeriksaan, BPK memperhatikan permintaan, saran, dan pendapat lembaga perwakilan. Selanjutnya, guna membahas permintaan, saran, dan pendapat tersebut, BPK atau lembaga perwakilan dapat mengadakan pertemuan konsultasi. Masih dalam kaitannya dengan perencanaan tugas pemeriksaan tersebut, BPK dapat mempertimbangkan informasi dari pemerintah, bank sentral, dan masyarakat. Dalam menyelenggarakan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, BPK dapat memanfaatkan hasil pemeriksaan aparat pengawasan intern pemerintah. Guna keperluan tersebut, laporan hasil pemeriksaan intern pemerintah wajib disampaikan kepada BPK. Sehubungan dengan pelaksanaan tugas pemeriksaannya, BPK dapat menggunakan pemeriksa dan/atau tenaga ahli dari luar BPK yang bekerja untuk dan atas nama BPK. Kewenangan BPK dalam melaksanakan tugas pemeriksaan tersebut meliputi:
meminta dokumen yang wajib disampaikan oleh pejabat atau pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara;
mengakses semua data yang disimpan di berbagai media, aset, lokasi, dan segala jenis barang atau dokumen dalam penguasaan atau kendali dari entitas yang menjadi objek pemeriksaan atau entitas lain yang dipandang perlu dalam pelaksanaan tugas pemeriksaannya;
melakukan penyegelan tempat penyimpanan uang, barang, dan dokumen pengelolaan keuangan negara;
meminta keterangan kepada seseorang;
memotret, merekam dan/atau mengambil sampel sebagai alat bantu pemeriksaan. Penentuan objek pemeriksaan, perencanaan dan pelaksanaan pemeriksaan, penentuan waktu dan metode pemeriksaan, serta penyusunan dan penyajian laporan pemeriksaan dilakukan secara bebas dan mandiri oleh BPK. Pemeriksa yang bertugas atas nama BPK harus menyusun laporan hasil pemeriksaan setelah pemeriksaan selesai dilakukan. Jika diperlukan, pemeriksa dapat menyusun laporan interim pemeriksaan. Laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah memuat opini. Laporan hasil pemeriksaan atas kinerja memuat temuan, kesimpulan, dan rekomendasi. Laporan hasil 59 pemeriksaan dengan tujuan tertentu memuat kesimpulan. Tanggapan pejabat pemerintah yang bertanggung jawab atas temuan, kesimpulan, dan rekomendasi pemeriksa, dimuat atau dilampirkan pada laporan hasil pemeriksaan. Laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah pusat disampaikan oleh BPK kepada DPR dan DPD selambat-lambatnya 2 (dua) bulan setelah menerima laporan keuangan dari pemerintah pusat. Laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah daerah disampaikan oleh BPK kepada DPRD selambat- lambatnya 2 (dua) bulan setelah menerima laporan keuangan dari pemerintah daerah. Laporan hasil pemeriksaan tersebut disampaikan pula kepada Presiden/ gubernur/bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Laporan hasil pemeriksaan kinerja disampaikan kepada DPR/DPD/DPRD sesuai dengan kewenangannya. Laporan hasil pemeriksaan dengan tujuan tertentu disampaikan kepada DPR/DPD/DPRD sesuai dengan kewenangannya. Laporan hasil pemeriksaan tersebut disampaikan pula kepada Presiden/gubernur/bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Tata cara penyampaian laporan hasil pemeriksaan tersebut diatur bersama oleh BPK dan lembaga perwakilan sesuai dengan kewenangannya. Laporan hasil pemeriksaan yang telah disampaikan kepada lembaga perwakilan, dinyatakan terbuka untuk umum. Laporan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud tidak termasuk laporan yang memuat rahasia negara yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Pejabat wajib menindaklanjuti rekomendasi dalam laporan hasil pemeriksaan. Pejabat wajib memberikan jawaban atau penjelasan kepada BPK tentang tindak lanjut atas rekomendasi dalam laporan hasil pemeriksaan. Jawaban atau penjelasan tersebut disampaikan kepada BPK selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari setelah laporan hasil pemeriksaan diterima. BPK memantau pelaksanaan tindak lanjut hasil pemeriksaan tersebut. Pejabat yang diketahui tidak melaksanakan kewajiban itu dapat dikenai sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang kepegawaian. BPK memberitahukan hasil pemantauan tindak lanjut tersebut kepada lembaga perwakilan dalam hasil pemeriksaan semester. Lembaga perwakilan menindaklanjuti hasil pemeriksaan BPK dengan melakukan pembahasan sesuai dengan kewenangannya. DPR/DPRD meminta penjelasan kepada BPK dalam rangka menindaklanjuti hasil pemeriksaan. DPR/DPRD dapat 60 meminta BPK untuk melakukan pemeriksaan lanjutan. DPR/DPRD dapat meminta Pemerintah untuk melakukan tindak lanjut hasil pemeriksaan tersebut. PDTT sesungguhnya didasarkan atas filosofi dalam pengelolaan keuangan negara. Landasan filosofi dari PDTT adalah untuk mewujudkan kepastian hukum dan kepatuhan dalam penggunaan keuangan negara agar dapat mencegah maupun memulihkan terjadinya kerugian negara. PDTT bertujuan untuk memberikan kesimpulan sesuai dengan pemeriksaan yang ditetapkan (Lampiran 1 Peraturan BPK Nomor 1 Tahun 2017 Kerangka Konseptual angka 18). PDTT diperlukan BPK untuk memastikan terwujudnya tanggung jawab dalam pengelolaan keuangan negara sebagaimana diatur pada Pasal 23E ayat (1) UUD Negara RI 1945 yang wujud pemeriksaannya bisa berupa pemeriksaan kepatuhan dan pemeriksaan investigatif (Lampiran 1 Peraturan BPK Nomor 1 Tahun 2017 Kerangka Konseptual butir 18). Hal yang lebih penting lagi, eksistensi PDTT tersebut sangat urgen untuk mematuhi dan mengefektifkan implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 25/PUU-XIV/2016 yang pada intinya dalam salah satu butir pertimbangannya menyatakan bahwa konsep kerugian negara harus diletakkan dalam konstruksi kerugian yang bersifat aktual (actual loss) bukan lagi kerugian potensial (potential loss ) yang didasarkan atas hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk (vide Bab Pertimbangan Hukum butir 3.10.6). Akhirnya, dapat disimpulkan bahwa kewenangan PDTT BPK harus diletakkan dalam desain yang sinergis-komprehensif terhadap urgensi untuk mewujudkan akurasi, validitas, dan kredibilitas pemeriksaan keuangan negara sebagai konsekuensi dari pengelolaan dan tanggung jawab tentang Keuangan Negara sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 23E UUD Negara RI 1945 dalam memberikan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum bagi warga negara di Indonesia sebagai negara hukum. Dalam hukum terdapat adagium , in eo, quod plus sit, semper inest et minus (di dalam apa yang “lebih” selalu terkandung apa yang “kurang”). PDTT sebagai suatu varian pemeriksaan yang lebih mendalam selalu diperlukan, jika apa yang dilakukan melalui pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja ternyata dinilai masih kurang untuk mencapai tujuan pemeriksaan. Peraturan perundang-undangan ( wet/regeling ) maupun peraturan kebijakan ( beleidsregel ) yang berkaitan dengan PDTT, sesungguhnya telah memberikan konsiderasi dan eksplanasi yang memadai mengenai legitimasi, urgensi, dan signifikansi PDTT 61 sebagai salah satu varian dari rangkaian pemeriksaan keuangan dan kinerja yang tak terpisahkan serta saling melengkapi. Odia restringi et favores convenit ampliari (patutlah mempersempit semua yang merugikan dan memperluas semua yang menguntungkan). Tak ada alasan untuk mempersempit ruang lingkup pemeriksaan keuangan negara dengan menghilangkan PDTT, jika PDTT ternyata lebih besar keuntungannya bagi pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara di negara kita.
Dr. Binsar Hamonangan Simanjuntak Ak, MBA. Pemohon dalam permohonan pengujian ini pada pokoknya menyatakan alasan kerugian konstitusional pemeriksaan dengan tujuan tertentu disebabkan:
kewenangan BPK melaksanakan pemeriksaan dengan tujuan tertentu adalah inkonstitusional karena tidak sesuai dengan wewenang konstitusional dalam UUD NRI 1945;
frasa “tujuan tertentu” tidak memiliki kejelasan tujuan dan kejelasan rumusan, sehingga tidak mencerminkan asas kepastian hukum, sehingga mengakibatkan potensi abuse of power oleh BPK;
sering kali institusi pemerintah sudah mendapatkan status Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) namun tetap dilakukan PDTT. Menjawab argumen permohonan tersebut, izinkan saya mengawalinya dengan menjelaskan adanya teori keagenan ( agency theory ) dalam ilmu manajemen. Teori ini menjelaskan adanya kesenjangan ekspektasi ( expectation gap ) antara manajemen dan pemilik. Untuk mengurangi kesenjangan ekspektasi ini, kedua belah pihak sepakat untuk mempergunakan jasa pemeriksa untuk memberikan nilai tambah atas kredibilitas laporan manajemen dengan diaudit oleh suatu pemeriksa independen. Teori tersebut apabila dikaitkan dengan sistem dalam tata negara Republik Indonesia, khususnya dalam pemeriksaan keuangan negara, Pasal 23E ayat (1) UUD NRI 1945 mengatur:
Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri.
Hasil pemeriksaan keuangan negara diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sesuai dengan kewenangannya. 62 Pasal 23E UUD NRI 1945 ditindaklanjuti dengan UU Nomor 15 Tahun 2004 Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan lingkup pemeriksaan keuangan negara meliputi pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara dan pemeriksaan atas tanggung jawab keuangan negara. Untuk melaksanakan tugas pemeriksaan keuangan negara, Pasal 4 UU Nomor 15 tahun 2004 menyatakan tiga jenis pemeriksaan keuangan negara yaitu pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Diatur pula pemeriksaan keuangan adalah pemeriksaan atas laporan keuangan, pemeriksaan kinerja adalah pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara yang terdiri atas pemeriksaan aspek ekonomi dan efisiensi serta pemeriksaan aspek efektivitas; dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu adalah pemeriksaan yang tidak termasuk dalam pemeriksaan keuangan maupun pemeriksaan kinerja. Dalam penjelasan Pasal 4 ayat (4) UU ini menyebutkan pemeriksaan dengan tujuan tertentu meliputi antara lain pemeriksaan atas hal-hal lain di bidang keuangan, pemeriksaan investigatif, dan pemeriksaan atas sistem pengendalian intern pemerintah. Selanjutnya UU Nomor 15 Tahun 2006 Pasal 6 ayat (3) UU Nomor 15 Tahun 2006 menyebut hal yang sama terkait jenis pemeriksaan BPK yaitu pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Perlu dijelaskan pada dasarnya pemeriksaan keuangan merupakan pemeriksaan yang dilakukan oleh pihak yang kompeten dan independen dan dimaksudkan untuk memberikan keyakinan yang memadai apakah laporan keuangan telah disajikan sesuai dengan standar akuntansi, dalam hal ini jika menyangkut keuangan negara, standar akuntansi yang digunakan adalah Standar Akuntansi Pemerintah. Hasil yang diberikan pemeriksaan keuangan adalah Opini atau pendapat Pemeriksa, dari Wajar Tanpa Pengecualian, Wajar Dengan Pengecualian, Tidak Wajar, dan Tidak Memberikan Pendapat. Untuk memberikan opini ini, Pemeriksa memastikan terpenuhinya empat kriteria dalam pemberian opini pada pemeriksaan keuangan, yaitu:
kesesuaian terhadap Standar Akuntansi Pemerintah, 2. pengungkapan yang cukup, 3. kepatuhan terhadap peraturan, dan;
keandalan Sistem Pengendalian Intern. 63 Dalam melaksanakan tugas wewenangnya tersebut, pemeriksa harus memastikan penugasan sudah didasarkan pada standar pemeriksaan, yang dalam kaitan dengan keuangan Negara, standar pemeriksaan yang digunakan adalah Standar Pemeriksaan Keuangan Negara seperti diamanatkan dalam Peraturan BPK Nomor 1 Tahun 2017. Sementara itu, pemeriksaan kinerja merupakan pemeriksaan yang dilakukan untuk memberikan keyakinan tujuan telah dicapai secara efektif, efisien, dan ekonomis (3E). Ada beberapa nama atau istilah lain dari Pemeriksaan Kinerja, misalnya Pemeriksaan Operasional, Pemeriksaan Manajemen ( management audit ), atau pemeriksaan/audit value for money . Pemeriksaan kinerja akan menghasilkan kesimpulan yang berupa temuan perbandingan antara kondisi atau fakta dibandingkan dengan kriteria, dan rekomendasi untuk memperbaiki temuan tersebut. Dengan demikian, bila rekomendasi ini dipenuhi, tujuan/program/kegiatan pemerintah akan tercapai secara efektif, efisien, dan ekonomis. Pemeriksaan kinerja juga harus dilakukan oleh pihak yang kompeten dan independen dan pemeriksaan harus didasarkan pada standar, yaitu Standar Pemeriksaan Keuangan Negara. Selain kedua jenis pemeriksaan tersebut, dalam sektor publik atau pemerintahan terdapat beberapa jenis pemeriksaan yang dilakukan dalam rangka untuk memberikan keyakinan atas asersi atau pernyataan/representasi dari pihak manajemen. Jenis pemeriksaan yang lain tersebut adalah pemeriksaan investigatif, pemeriksaan ketaatan ( compliance ), pemeriksaan teknologi informasi, pemeriksaan pajak, dan berbagai pemeriksaan khusus untuk memenuhi permintaan pemangku kepentingan ( stakeholder ). Misalnya, pemeriksaan khusus atas pendapatan negara, pemeriksaan khusus atas subsidi, pemeriksaan khusus atas kewajaran tarif jalan tol atau tarif listrik, pemeriksaan khusus atas kewajaran atas pekerjaan tambah kurang dari kontraktor, pemeriksaan khusus atas kewajaran denda bunga, pemeriksaan khusus atas divestasi atau investasi pemerintah, pemeriksaan khusus untuk perhitungan kerugian negara dan berbagai jenis pemeriksaan khusus lainnya. Terkait dengan penugasan yang harus dilakukan BPK dalam melakukan pemeriksaan keuangan negara, dalam hal ini memeriksa pengelolaan keuangan negara dan pertanggungjawaban keuangan negara, sesuai dengan amanat UU Nomor 15 Tahun 2006 Pasal 11 menyatakan, 64 _BPK dapat memberikan: _ a. pendapat kepada DPR, DPD, DPRD, Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah, Lembaga Negara Lain, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, Yayasan, dan lembaga atau _badan lain, yang diperlukan karena sifat pekerjaannya; _ b. pertimbangan atas penyelesaian kerugian negara/daerah yang ditetapkan _oleh Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah; dan/atau _ c. keterangan ahli dalam proses peradilan mengenai kerugian negara/daerah. Selanjutnya, penjelasan Pasal 11 (a) UU No 15 Tahun 2006 tentang BPK menyebutkan Pendapat yang diberikan BPK termasuk perbaikan di bidang pendapatan, pengeluaran, pinjaman, privatisasi, likuidasi, merger, akuisisi, penyertaan modal pemerintah, penjaminan pemerintah, dan bidang lain yang berkaitan dengan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Pasal 11 UU Nomor 15 Tahun 2006 ini cukup kuat untuk menjelaskan bahwa pemeriksa kemungkinan akan menghadapi berbagai penugasan yang pelaksanaannya tidak semata mata hanya menggunakan dua jenis pemeriksaan yaitu pemeriksaan keuangan dan/atau pemeriksaan kinerja. Dengan kata lain, merujuk ke Pasal 11 UU Nomor 15 Tahun 20116, pemberian pendapat ke berbagai stakeholders BPK tidak dapat hanya dilaksanakan dengan dua jenis pemeriksaan yaitu pemeriksaan keuangan atau pemeriksaan kinerja, namun harus digunakan satu jenis pemeriksaan lagi yaitu pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Untuk itu, pengaturan adanya jenis pemeriksaan dengan tujuan tertentu seperti yang diamanatkan dalam Pasal 4 UU Nomor 15 Tahun 2004 dan Pasal 6 UU Nomor 15 Tahun 2006 adalah sudah tepat. Selanjutnya, sama seperti pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja, maka pemeriksaan dengan tujuan tertentu harus dilakukan oleh orang yang kompeten dan independen serta dilaksanakan berdasarkan standar pemeriksaan, dalam hal ini adalah Standar Pemeriksaan Keuangan Negara. Berdasarkan uraian di atas, pemeriksaan dengan tujuan tertentu menurut hemat saya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari tugas dan wewenang BPK guna memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Apabila BPK dibatasi hanya melakukan dua jenis pemeriksaan, yaitu pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja, kuat dugaan saya sebagian hak konstitusional rakyat dalam rangka menjamin keuangan negara untuk sebesar- besar kemakmuran rakyat sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat (1) UUD NRI 1945 akan tercerabut. Hal ini disebabkan pemeriksaan keuangan dan 65 pemeriksaan kinerja masing-masing sudah mempunyai tujuan tersendiri, padahal masih banyak kebutuhan informasi yang benar, kredibel, dan objektif yang dibutuhkan oleh konstituen tapi tidak bisa terlayani oleh pemeriksaan keuangan atau pemeriksaan kinerja. Sebaliknya, optimalisasi pemeriksaan melalui pemeriksaan dengan tujuan tertentu justru akan memberikan informasi yang andal dan teruji setelah dilakukan pemeriksaan tersebut. Sebagai suatu contoh, salah satu bentuk pemeriksaan dengan tujuan tertentu adalah pemeriksaan investigatif guna memperkuat bukti pendukung guna memberikan keyakinan yang memadai adanya dugaan perbuatan tindak pidana korupsi dan/atau kelalaian. Bentuk lain dari PDTT misalnya adalah PDTT dalam rangka untuk menentukan berapa harga perolehan yang objektif atas satu aset negara yang akan di divestasi. Bentuk PDTT lain misalnya adalah penentuan tarif jalan tol, atau penentuan harga pokok bahan baku untuk memproduksi secara masal barang yang menjadi kebutuhan publik. Masih banyak lagi contoh PDTT lainnya yang tentunya publik atau konstituen akan kesulitan memperoleh manfaat dari informasi yang andal dan kredibel serta meyakinkan seandainya jenis pemeriksaan PDTT dihapus dari konstitusi. Berkaitan dengan kemungkinan akan adanya potensi abuse of power karena tidak ada kejelasan tujuan dan kejelasan rumusan, sehingga tidak mencerminkan kepastian hukum pada pemeriksaan dengan tujuan tertentu, menurut pendapat saya adalah tidak tepat apabila telah dibaca keseluruhan norma UU Nomor 15 Tahun 2004 secara utuh, khususnya Pasal 5 UU Nomor 15 Tahun 2004 yang mengatur semua pemeriksaan, termasuk pemeriksaan dengan tujuan tertentu, dilaksanakan berdasarkan standar pemeriksaan, kode etik, dan sistem kendali mutu. Secara tujuan, pemeriksaan yang dilakukan BPK, baik pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, maupun pemeriksaan dengan tujuan tertentu mempunyai kejelasan tujuan, yaitu memberikan keyakinan yang memadai atas berbagai asersi yang diberikan oleh manajemen (dalam hal ini pemerintah) yang dilaksanakan secara independen, serta disampaikan kepada lembaga yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Secara rumusan dan potensi penyalahgunaan wewenang ( abuse of power ), pelaksanaan pemeriksaan dilakukan berdasarkan standar pemeriksaan. Hal demikian menunjukkan pemeriksaan dengan tujuan tertentu bukanlah 66 pemeriksaan yang dilakukan tanpa rumusan jelas dan tanpa adanya alasan. Standar Pemeriksaan yang disusun BPK juga tidak dilakukan sendiri, tetapi juga berkonsultasi dengan Pemerintah sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (2) UU Nomor 15 Tahun 2004. Dalam Peraturan BPK Nomor 1 Tahun 2017 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara , Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu bertujuan untuk memberikan simpulan atas suatu hal yang diperiksa. Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu dapat bersifat: eksaminasi ( examination ), reviu ( review ), atau prosedur yang disepakati ( agreed-upon procedures ). Pemeriksaan dengan tujuan tertentu meliputi, antara lain, pemeriksaan atas hal-hal lain di bidang keuangan, pemeriksaan investigatif, dan pemeriksaan atas sistem pengendalian intern. Apabila pemeriksa melakukan pemeriksaan dengan tujuan tertentu berdasarkan permintaan, BPK harus memastikan melalui komunikasi tertulis yang memadai mengenai sifat pemeriksaan dengan tujuan tertentu adalah telah sesuai dengan permintaan. Diaturnya Standar Pemeriksaan Keuangan Negara merupakan pedoman yang wajib dan harus diikuti dalam melakukan pemeriksaan, khususnya pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Artinya, standar tersebut merupakan rambu- rambu yang jelas dan tegas harus diikuti agar potensi abuse of power tersebut diminimalisasi sekecil mungkin. Rambu-rambu tersebut juga diikuti dengan kepatuhan terhadap kode etik pemeriksa sebagaimana diatur dalam Peraturan BPK Nomor 4 Tahun 2018, dan kemudian juga hasil pemeriksaan BPK harus didasari sistem kendali mutu hasil pemeriksaan seperti diatur dalam Keputusan BPK No 15 Tahun 2015. Berbagai upaya harus dilakukan untuk memastikan semua pemeriksa melaksanakan pemeriksaan sesuai dengan standar pemeriksaan, kode etik, dan sistem kendali mutu. Hal ini untuk mencegah adanya abuse of power tadi. Hal ini mulai dari pembekalan kompetisi bagi para pemeriksa, reviu berjenjang, sampai kepada pemeriksaan intern yang dilakukan oleh Inspektorat Utama BPK. Dalam Standar Pemeriksaan Keuangan Negara, pemeriksa harus dilakukan oleh orang yang kompeten, independen, dan dilaksanakan secara cermat profesi ( due professional care ). Selain itu, dalam Standar Pelaporan Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu, ada keharusan untuk melampirkan tanggapan dari pihak yang diperiksa atas simpulan dari pemeriksa atas hasil 67 pemeriksaan tersebut. Dalam PSP Nomor 300 tentang Standar Pelaporan SPKN dinyatakan Pemeriksa harus memperoleh tanggapan tertulis atas hasil pemeriksaan dari pihak yang bertanggung jawab. Namun demikian, terkait dengan kerahasiaan informasi, dalam PDTT dalam bentuk pemeriksaan investigatif, Pemeriksa tidak meminta tanggapan. Menurut saya adanya kesempatan untuk memberikan dan melampirkan tanggapan dari pihak yang diperiksa merupakan suatu ruang yang memberikan keseimbangan hak bagi pemeriksa dan entitas yang diperiksa, sehingga pemeriksa tidak dapat dengan semena-mena membuat suatu kesimpulan PDTT. Selain internal BPK, secara eksternal BPK sudah lazim ada check and balance , antara lain, pengawasan dari DPR atas kinerja BPK maupun juga masukan dari masyarakat atas hasil pemeriksaan BPK. Khusus masukan dari masyarakat, UU Nomor 15 Tahun 2016 mengamanatkan dibentuknya Majelis Kehormatan Kode Etik untuk memproses masukan dari masyarakat, di mana susunan Majelis Kehormatan Kode Etik ini terdiri dari unsur dari luar BPK dan unsur dari dalam BPK. Terakhir, untuk instrumen pencegahan abuse of power adalah keharusan laporan keuangan BPK diaudit oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) yang independen, dan bisnis proses BPK dilakukan peer review oleh sesama supreme audit dari negara lain. Berkaitan dengan dalil permohonan mengenai institusi pemerintah sudah mendapatkan status Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), tetapi juga dilakukan PDTT. Terhadap hal tersebut perlu ditegaskan kembali tujuan pemeriksaan keuangan adalah untuk memberikan keyakinan yang memadai bahwa laporan keuangan pemerintah telah disajikan sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintah. Dengan demikian, pemeriksaan keuangan tidak ditujukan untuk memberikan keyakinan atas dugaan tindak pidana atau kelalaian atau permintaan spesifik pemangku kepentingan untuk meminta BPK melakukan PDTT. Sedangkan PDTT bertujuan memberi informasi khusus berdasarkan kriteria dan biasanya dilakukan dengan langkah atau prosedur pemeriksaan yang detil dan spesifik atas informasi yang didalami, PDTT dapat dilakukan atas inisiatif BPK dan dapat juga atas permintaan dari eksternal BPK, Dengan demikian, dari segi tujuan dan prosedurnya sudah berbeda satu sama lainnya. 68 Satu hal lagi perbedaan antara kedua jenis pemeriksaan tersebut adalah bukti yang diperoleh dan dianalisis. Dalam pemeriksaan keuangan, bukti dilakukan secara uji petik ( sampling ) dan bukan dari keseluruhan total populasi. Dengan demikian, dalam pemeriksaan keuangan, pemeriksa akan memastikan tidak ada deviasi yang signifikan atau material yang dapat memengaruhi pertimbangan pemeriksa dalam memberikan opini terhadap kewajaran penyajian laporan keuangan. Sedangkan dalam PDTT, terutama dalam PDTT investigatif, pengumpulan bukti dilakukan secara mendalam dan intensif untuk memastikan terjadinya kerugian negara. Hal yang sama juga berlaku buat PDTT non investigatif dengan mempertimbangkan biaya dan manfaat. Patut juga diingat dalam pemeriksaan keuangan, pemeriksa harus mewaspadai apabila terjadi dugaan fraud , namun sekali lagi pemeriksaan tidak dirancang secara khusus untuk mengungkapkan terjadinya fraud . Oleh sebab itu, pemeriksaan yang khusus untuk menyimpulkan ada tidaknya fraud atau kelalaian dilakukan dengan pemeriksaan investigatif sebagai salah satu bentuk dalam pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Terkait kemungkinan adanya dugaan kecurangan ditemui pemeriksa dalam keuangan maupun dalam pemeriksaan kinerja, tidak serta-merta pemeriksa akan melaksanakan pemeriksaan investigatif. Penanggungjawab tim pemeriksaan menurut praktik yang lazim akan memberi catatan agar dugaan terjadinya fraud ini didalami, dan penelitian awal dalam rangka pendalaman dilakukan oleh tim pemeriksa lain yang berbeda dengan tim yang sedang melaksanakan pemeriksaan keuangan atau pemeriksaan kinerja. Sedangkan pemeriksaan keuangan atau pemeriksaan kinerja tetap dilanjutkan sampai penugasan selesai. Temuan pemeriksaan yang mengandung indikasi awal kecurangan disajikan dalam LHP tanpa menjelaskan secara mendetail dugaan kecurangan tersebut. Namun Pemeriksa lebih menitikberatkan penjelasannya kepada dampak temuan tersebut terhadap hal pokok/informasi hal pokok sesuai tujuan pemeriksaan (PSP Nomor 300 par 14 Standar Pelaporan dalam Standar Pemeriksaan Keuangan Negara) Ditegaskan dalam PSP 100 par 24 Standar Umum dalam Standar Pemeriksaan Keuangan Negara bahwa PDTT dalam bentuk pemeriksaan investigatif hanya dilakukan ketika terdapat predikasi yang memadai. Predikasi dapat berasal dari temuan pemeriksaan selain PDTT dalam bentuk pemeriksaan investigatif, informasi pihak internal maupun eksternal BPK. Temuan atau 69 informasi tersebut harus diuji kelayakannya sebelum bisa diterima sebagai predikasi . Menurut praktik yang lazim, keputusan untuk melakukan pemeriksaan investigatif dilakukan setelah melalui proses yang cermat ( due process ). Tim yang yang ditunjuk akan melakukan penelitian awal tentang SIABIDIBA (5 W dan I H) dari kasus yang diteliti (baik yang berasal dari temuan awal pemeriksaan keuangan atau pemeriksaan kinerja, maupun permintaan eksternal). Selanjutnya, setiap tahap harus dilalui berdasarkan pedoman pemeriksaan investigatif, termasuk expose internal dan eksternal (dengan aparat penegak hukum terkait), dan setiap tahapan harus dilandasi SPKN, kode etik, dan sistem kendali mutu. Dengan demikian, dapat digaris bawahi sekali lagi perbedaan antara pemeriksaan keuangan dan PDTT, yaitu pemeriksaan keuangan bertujuan memastikan laporan keuangan yang disajikan dapat dipercaya dan andal sesuai standar akuntansi pemerintah. Sedangkan PDTT investigatif adalah pemeriksaan yang mendalam dengan mengumpulkan seluruh bukti yang terkait untuk memberi keyakinan kuat terjadinya fraud dan sekaligus menyajikan dugaan besarnya kerugian negara. Hasil investigasi ini selanjutnya akan dilakukan penyelidikan dan penyidikan oleh aparat penegak hukum. Sedangkan PDTT non investigatif seperti PDTT atas kelaikan suatu proyek, denda keterlambatan, penetapan dan penyaluran subsidi, bantuan sosial, divestasi atau investasi, dan lain-lain merupakan pemeriksaan yang mendalam baik atas inisiatif BPK namun lebih banyak atas permintaan dari stakeholders . Sehingga tidak heran apabila ada satu entitas yang sudah mendapat opini WTP dalam pemeriksaan keuangan namun dilakukan juga PDTT. Berdasarkan uraian di atas, izinkan saya memberikan empat simpulan dalam keterangan ahli ini, yaitu:
pemeriksaan dengan tujuan tertentu yang dilakukan BPK merupakan bagian dari kewenangan konstitusional BPK sebagaimana diatur dalam Pasal 23E ayat (1) UUD NRI 1945 guna memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara;
frasa “pemeriksaan dengan tujuan tertentu” memiliki kejelasan tujuan dan kejelasan rumusan yang mengandung kepastian hukum dengan diaturnya pelaksanaan pemeriksaan berdasarkan standar pemeriksaan keuangan negara yang disusun BPK dengan berkonsultasi dengan pemerintah, 70 sehingga BPK dan/atau pemeriksa dalam melaksanakan pemeriksaan dengan tujuan tertentu harus dan wajib menggunakan standar tersebut sebagai pedoman dan rambu dalam melaksanakan pemeriksaan, sehingga tujuan dan rumusan pemeriksaan yang dilaksanakan nyata dan pasti berdasarkan standar pemeriksaan tersebut;
agar pemeriksaan dengan tujuan tertentu dapat minimalisasi potensi abuse of power, wewenang pemeriksaan harus berpedoman pada standar pemeriksaan, pelaksanaannya pun terdapat sistem kendali mutu, dan juga adanya kode etik pemeriksa dalam hal kemungkinan terjadinya penyimpangan yang dilakukan pemeriksa;
mengenai institusi pemerintah sudah mendapatkan status Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) namun tetap dilakukan PDTT, hal demikian disebabkan perbedaan atas tujuan, prosedur, dan substansi hasil pemeriksaan. Pemeriksaan keuangan yang melahirkan opini antara lain WTP berbeda dalam tujuan, prosedur, dan substansinya dengan pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Saksi: Sumiyati - Bahwa pemeriksaan dengan tujuan tertentu dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara dan juga Rancangan Undang-Undang BPK, yaitu adanya permintaan dari institusi di luar BPK seperti yang didiskusikan dan disepakati oleh pemerintah secara bersama-sama dengan DPR dan BPK RI; - Bahwa dalam melaksanakan pemeriksaan keuangan negara, BPK RI tidak hanya melaksanakan pemeriksaan dan pemeriksaan kinerja. Namun sebagai lembaga pemeriksa keuangan tertinggi di Indonesia atau dikenal dengan nama Supreme Audit Institutions , BPK dapat melaksanakan pemeriksaan karena ditemukannya suatu permasalahan dalam pemeriksaan keuangan dan/atau pemeriksaan kinerja yang perlu didalami lebih lanjut, ataupun adanya permintaan dari eksternal di luar BPK. Adapun permasalahan yang perlu pemeriksaan lebih lanjut atau permintaan pemeriksaan dari institusi lain, dapat berupa indikasi adanya kerugian negara, kecurangan, atau fraud , dan juga hal- hal lain yang terkait dengan keuangan negara. Dengan memperhatikan berbagai jenis pemeriksaan yang terkait dengan keuangan negara, maka 71 disepakati bersama oleh DPR, Pemerintah, dan BPK RI, tidak digunakan suatu istilah atau jenis pemeriksaan tertentu, namun digunakan nama generik, yaitu pemeriksaan dengan tujuan tertentu, dalam huruf kecil, agar BPK sebagai lembaga pemeriksa tertinggi dapat menjalankan mandat yang diterimanya. - Selain hal tersebut, dalam praktik pemeriksaan rumusan pemeriksaan dengan tujuan tertentu dipilih mengingat dalam international best practice , jenis-jenis pemeriksaan selalu berkembang mengikuti dinamika organisasi atau lingkungan di mana lembaga pemeriksa itu berada. Oleh karena itu, dipilih suatu rumusan yang tidak kaku. Namun demikian, untuk menjaga tata kelola pemeriksaan dengan tujuan tertentu, tetap harus berpedoman pada standar pemeriksaan yang ditetapkan oleh BPK setelah dikonsultasikan kepada Pemerintah. - Untuk mencegah terjadinya abuse of power , Pemerintah dan DPR sepakat untuk menetapkan norma hukum yang mengatur bahwa pemeriksaan dilaksanakan berdasarkan standar pemeriksaan. Standar pemeriksaan yang sekarang diberi nama Standar Pemeriksaan Keuangan Negara atau disingkat SPKN, ditetapkan oleh BPK setelah berkonsultasi dengan Pemerintah. - Kemudian, di Undang-Undang BPK juga menetapkan bahwa BPK harus mempunyai majelis kehormatan kode etik. - Sehubungan dengan adanya intitusi pemerintah yang sudah mendapatkan opini wajar tanpa pengecualian atau WTP, namun tetap dilakukan PDTT, saksi dapat terangkan sebagai berikut. - Opini merupakan pernyataan profesional pemeriksa mengenai kewajaran informasi keuangan, bukan kebenaran informasi yang disajikan dalam laporan keuangan. Laporan keuangan mendapatkan opini WTP jika pemeriksa yakin bahwa tidak terdapat hal yang material yang dapat memengaruhi kewajaran penyajian laporan keuangan. - Bahwa opini WTP ini sesuai dengan yang disepakati, dimasukkan di dalam undang-undang bahwa itu merupakan pernyataan profesional pemeriksa mengenai kewajaran informasi keuangan, yang kriterianya dituangkan juga di dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004. Ini juga didiskusikan dan dihasilkan kriteria secara bersama-sama pada saat dilakukan pembahasan RUU tersebut. 72 - Bahwa saat itu didiskusikan dan dipertanyakan kenapa ada pemeriksaan kinerja? pemeriksaan kinerja dilakukan karena keuangan negara setiap tahunnya dituangkan dalam Undang-Undang APBN, maka pemeriksaan atas pelaksanaan APBN juga didasarkan pada kinerja. Oleh karena itu, dirumuskan pemeriksaan kinerja. - Bahwa kemudian masih ada hal-hal lain yang terkait dengan keuangan negara, namun bukan pemeriksaan keuangan dan bukan pemeriksaan kinerja. Akhirnya, dicarikan varian pemeriksaan yang bisa menampung kebutuhan pemeriksaan tersebut karena bisa muncul dari pemeriksaan BPK sendiri, dan bisa juga berasal dari permintaan apakah lembaga negara lainnya seperti pemerintah atau BPK, atau juga bisa berasal dari pemerintah daerah atau ada informasi yang masuk ke BPK. Mengingat bahwa pemeriksaan atau penugasan permintaan ini bisa berbagai macam, maka akhirnya disepakati bersama, dicarikan rumpunnya. Itulah yang dimasukkan di dalam pemeriksaan dengan tujuan tertentu. - Kemudian inilah kenapa akhirnya muncul bahwa untuk pemeriksaan tujuan tertentu di sini bisa untuk hal-hal yang terkait dengan keuangan. Di situ ada pemeriksaan investigasi atau ada penugasan yang lainnya. Hal tersebutlah yang disepakati. Namun, tetap di dalam menjalankan pemeriksaan mengacu pada standar pemeriksaan yang ditetapkan oleh BPK, namun tetap harus berkonsultasi dengan pemerintah pada saat perumusan standar pemeriksaan tersebut. - Bahwa pada saat itu juga didiskusikan dan dibahas mengenai apabila pada saat BPK menjalankan tugas sebagai pemeriksa keuangan negara ternyata menemukan hal-hal yang ternyata di situ bukan kasus di bidang keuangan negara, misalkan ada kasus pidana kemudian bagaimana langkah yang harus dilakukan oleh BPK. Dari situ akhirnya disepakati bahwa dalam hal diketemukan adanya kasus di luar keuangan negara seperti pidana, maka BPK harus segera melaporkan kasus ini kepada instansi yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan. [2.4] Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon, DPR menyampaikan keterangan lisan di depan persidangan pada tanggal 26 November 2019 dan juga telah menyerahkan keterangan tertulis dan keterangan tertulis 73 tambahan beserta lampirannya yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: I. Ketentuan UU BPK dan __ UU PPTKN yang Dimohonkan Pengujian Materil Terhadap UUD NRI Tahun 1945 Dalam permohonan a quo , para Pemohon __ mengajukan pengujian materiil terhadap Pasal 6 ayat (3) UU BPK dan Pasal 4 ayat (1) UU PPTKN sepanjang frasa “dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu” yang berketentuan sebagai berikut: Pasal 6 ayat (3) UU BPK “Pemeriksaan BPK mencakup pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu” Pasal 4 ayat (1) UU PPTKN “Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 terdiri atas pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, __ dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu” __ Para Pemohon dalam petitumnya memohon agar Pasal 6 ayat (3) UU BPK dan Pasal 4 ayat (1) UU PPTKN terhadap frasa “dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu” diputus bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat dengan alasan bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 23E ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang berketentuan: Pasal 1 ayat (3) “Negara Indonesia adalah negara hukum.” Pasal 23E ayat (1) “Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri.” Pasal 28D ayat (1) “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” __ __ __ __ __ __ 74 II. Keterangan DPR RI A. Kedudukan Hukum ( legal standing ) Para Pemohon Terkait kedudukan hukum ( legal standing ) para Pemohon dalam pengujian UU a quo secara materiil, DPR RI memberikan pandangan dengan berdasarkan 5 (lima) batasan kerugian konstitusional sebagai berikut:
Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon yang diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945 Bahwa Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang dijadikan batu uji oleh para Pemohon tidak mengatur mengenai hak dan/atau kewenangan konstitusional melainkan menegaskan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Selain itu Pasal 23E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang juga dijadikan batu uji oleh Para Pemohon tidak mengatur mengenai hak dan/atau kewenangan konstitusional melainkan mengatur mengenai tugas Badan Pemeriksa Keuangan. Oleh karena itu para Pemohon tidak memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional karena para Pemohon tidak memberikan argumentasi dan tidak membuktikan adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut sebagaimana yang dijamin dalam pasal-pasal a quo UUD NRI Tahun 1945 sebagai batu uji dalam pengujian UU a quo .
Bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon tersebut dianggap oleh para Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji Pasal-pasal a quo mengatur mengenai tugas BPK yang merupakan penjabaran dari ketentuan 23E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, sehingga memberikan kepastian hukum terhadap pengaturan mengenai tugas BPK. Dalam hal ini para Pemohon yang berstatus sebagai Dosen dan Mahasiswa tidak dirugikan hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya, karena tidak terdapat korelasi antara ketentuan pasal-pasal a quo dengan para Pemohon yang bukan Anggota BPK atau pihak yang terdampak dengan berlakunya pasal- pasal a quo. Oleh karena itu tidak ada hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon yang dirugikan dengan berlakunya ketentuan pasal-pasal a quo . 75 c. Bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT) merupakan salah satu penguatan terhadap BPK dalam upaya meningkatkan efektifitas pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Kerugian yang didalilkan para Pemohon terkait dengan anggapan bahwa pengaturan PDTT tidak sesuai dengan pengetahuan dan pemahaman yang dimiliki oleh para Pemohon sesungguhnya bukanlah kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional, melainkan asumsi para Pemohon tanpa ada dasar argumentasi yang jelas. Selain itu dalil yang disampaikan para Pemohon yang menyatakan pelaksanaan PDTT berpotensi disalahgunakan oleh oknum BPK ( vide perbaikan permohonan hal 24), adalah asumsi para Pemohon yang tidak ada pertautannya dengan profesi para Pemohon sebagai Dosen ataupun mahasiswa. Oleh karena itu tidak ada kerugian yang bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi.
Adanya hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional dengan undang-undang yang dimohonkan pengujian Sebagaimana yang telah diuraikan oleh DPR RI dalam poin a, b, c, tersebut di atas, kerugian yang didalilkan oleh para Pemohon bukan merupakan kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon yang dijamin oleh UUD NRI Tahun 1945. Seharusnya para Pemohon perlu untuk mempelajari dan memahami mengenai sistem ketatanegaraan dan perundang-undangan di Indonesia untuk dapat melaksanakan tugasnya sebagai Dosen Hukum Tata Negara dan mahasiswa dengan baik, khususnya mengenai tugas BPK berdasarkan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu sudah dapat dipastikan tidak ada hubungan sebab akibat ( causal verband) antara kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan oleh para Pemohon dengan ketentuan pasal-pasal a quo . 76 e. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi Bahwa karena tidak ada hubungan sebab akibat ( causal verband) maka sudah dapat dipastikan bahwa pengujian ketentuan pasal-pasal a quo tidak akan berdampak apa pun pada para Pemohon. Dengan demikian menjadi tidak relevan lagi bagi Mahkamah Konsitusi untuk memeriksa dan memutus permohonan a quo , karena para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) sehingga sudah sepatutnya Mahkamah Konstitusi tidak mempertimbangkan pokok permohonan para Pemohon. Dengan demikian, PDTT yang mensyaratkan bahwa objek pemeriksaannya adalah lembaga negara bukan orang perorangan, tanpa menihilkan peran mahasiswa dan dosen atau PDTT yang mendasarkan pada objek yang berkaitan dengan keuangan atau objek atau pihak yang berkaitan dengan keuangan negara. Oleh karenanya tidak ada kerugian konstitusional karena para Pemohon tidak secara spesifik menguraikan kerugian konstitusionalnya maupun juga hubungan sebab-akibat antara kerugian yang didalilkan oleh para Pemohon dengan ketentuan pasal- pasal a quo . Sebagai dosen, tugas dosen adalah mentransformasikan, membimbing, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan. Begitupun halnya dengan Pemohon sebagai mahasiswa yang berkewajiban menuntut ilmu, seharusnya tidak mengajukan permohonan ini ke Mahkamah Konstitusi, melainkan dilakukan kajian lebih lanjut sebagai objek riset, skripsi, tesis bahkan disertasi. DPR RI berpandangan seharusnya mekanisme pengujian materiil undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945 diajukan oleh pihak yang benar-benar memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) sebagai pihak yang memiliki genuinitas. Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, terhadap kedudukan hukum ( legal standing ) para Pemohon, DPR RI menyerahkan sepenuhnya kepada Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilai apakah Para Pemohon memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) Undang- Undang tentang Mahkamah Konstitusi dan Putusan Mahkamah Konstitusi 77 Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan perkara Nomor 011/PUU- V/2007 mengenai parameter kerugian konstitusional. B. Pengujian Materiil Pasal-Pasal a quo UU BPK dan UU PPTKN Terhadap UUD NRI Tahun 1945 Terhadap pengujian materiil yang diajukan oleh Para Pemohon, DPR RI memberikan keterangan terkait dengan frasa “..dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu” atau PDTT dalam ketentuan Pasal 6 ayat (3) UU BPK dan Pasal 4 ayat (1) UU PPTKN sebagai berikut:
Keuangan negara merupakan salah satu unsur pokok dalam penyelenggaraan pemerintahan negara dan mempunyai manfaat yang sangat penting guna mewujudkan tujuan negara sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945. Para pembentuk UUD NRI Tahun 1945 menyadari bahwa pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab Pemerintah tentang keuangan negara merupakan kewajiban yang berat, sehingga perlu dibentuk suatu lembaga pemeriksa keuangan negara yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan Pemerintah. Dengan adanya ketentuan Pasal 23E UUD NRI Tahun 1945, telah memperkokoh keberadaan dan kedudukan BPK sebagai satu lembaga negara yang bebas dan mandiri dalam memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab pemerintah tentang keuangan negara. Kemandirian dan kebebasan dari ketergantungan kepada Pemerintah dalam hal kelembagaan, pemeriksaan, dan pelaporan sangat diperlukan oleh BPK agar dapat melaksanakan tugas sebagaimana yang diamanatkan oleh Pasal 23E UUD NRI Tahun 1945. Oleh karena itu, berdasarkan ketentuan Pasal 23G ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang memberikan delegasi kepada pembentuk undang-undang untuk mengatur lebih lanjut mengenai BPK dalam suatu undang-undang, maka dibentuklah UU BPK.
Tugas BPK sebagaimana ketentuan Pasal 23E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 telah dijabarkan dalam ketentuan Pasal 6 ayat (1) UU BPK yang menyatakan “ BPK bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha 78 Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan Negara ”.
Bahwa pembentukan UU PPTKN dan UU BPK memiliki materi muatan yang saling terkait. RUU tentang PPTKN lahir karena memiliki materi muatan yang saling terkait dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (UU Keuangan Negara), Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (UU Perbendaharaan Negara), dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1973 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (UU BPK Lama) ( vide Risalah Rapat Kerja RUU tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, rapat ke-2, rapat kerja ke-1 dengan Menteri Keuangan pada hari Senin tanggal 9 Februari 2004 hal. 9).
Berdasarkan ketentuan Pasal 6 ayat (3) UU BPK dan Pasal 4 ayat (1) UU PPTKN, tugas BPK dalam memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara mencakup:
Pemeriksaan keuangan;
Pemeriksaan kinerja; dan
Pemeriksaan dengan tujuan tertentu.
Sesuai dengan risalah RUU tentang PPTKN, BPK bertugas untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara meliputi pemeriksaan atas laporan keuangan dan pemeriksaan atas hal-hal yang berkaitan dengan keuangan, pemeriksaan kinerja meliputi aspek ekonomis, efisiensi, dan efektifitas, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu yang meliputi pemeriksaan di luar pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja ( vide Risalah Rapat Kerja RUU tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, rapat ke-5, rapat kerja ke-4 dengan Menteri Keuangan pada hari Selasa tanggal 17 Februari 2004, hal 24).
Ketentuan Pasal 4 ayat (4) UU PPTKN menyatakan bahwa pemeriksaan dengan tujuan tertentu adalah pemeriksaan yang tidak termasuk dalam pemeriksaan keuangan dan kinerja. Dalam penjelasannya dinyatakan bahwa pemeriksaan dengan tujuan tertentu meliputi antara lain pemeriksaan atas hal-hal lain di bidang keuangan, pemeriksaan investigatif, dan pemeriksaan atas sistem pengendalian 79 intern pemerintah yang dalam pelaksanaannya, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 6 ayat (2) UU BPK, dilakukan berdasarkan UU PPTKN.
Berdasarkan __ Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) yang tertuang dalam Peraturan BPK Nomor 1 Tahun 2017, PDTT bertujuan untuk memberikan kesimpulan sesuai dengan tujuan pemeriksaan yang ditetapkan. PDTT dapat berbentuk pemeriksaan kepatuhan dan pemerikaan investigatif. Tujuan PDTT dalam bentuk pemeriksaan kepatuhan adalah untuk menilai apakah hal pokok yang diperiksa sesuai (patuh) dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Selain itu, tujuan PDTT dalam bentuk pemeriksaan investigatif adalah untuk mengungkap adanya indikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsur pidana.
Terhadap dalil para Pemohon yang pada intinya menyatakan bahwa tugas PDTT tidak sesuai dengan Pasal 23E UUD NRI Tahun 1945 karena secara gramatikal kewenangan BPK adalah pemeriksaan keuangan dan pemeriksaaan kinerja saja ( vide perbaikan permohonan hal 26), DPR RI memberikan keterangan sebagai berikut:
Berdasarkan Pasal 1 angka 5 dan angka 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan disebutkan bahwa Wewenang adalah hak yang dimiliki oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Sedangkan yang dimaksud dengan Kewenangan adalah kekuasaan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk bertindak dalam ranah hukum publik. Adanya kewenangan yang dimiliki oleh suatu lembaga atau pejabat negara adalah untuk pelaksanaan tugas dan fungsinya.
Dalam pelaksanaan tugas berdasarkan Pasal 6 ayat (1) dan ayat (3) UU BPK, BPK memiliki kewenangan yang diatur dalam Pasal 9 hingga Pasal 11 UU BPK. Bahwa berdasarkan Pasal 12 UU BPK, ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan wewenang tersebut diatur dengan Peraturan BPK. Oleh karena itu, pemahaman para Pemohon yang menganggap ketentuan dalam 80 Pasal 23E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 sebagai “kewenangan” BPK adalah opini yang keliru karena PDTT adalah cakupan, ruang lingkup, dan menjadi bagian daripada tugas BPK.
Frasa tujuan tertentu bersifat teknis yang tidak dapat dijelaskan secara rinci, karena tujuan tertentu adalah tujuan-tujuan yang spesifik yang bersifat khusus dan bersifat mendasar. PDTT tidak bertentangan dengan Pasal 23 UUD NRI Tahun 1946 karena semakin memperkuat peran tujuan audit dalam rangka mengamankan keuangan negara dengan melakukan pendalaman terhadap aspek tertentu di luar pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja.
Makna konstitusionalitas pada dasarnya tidak hanya terbatas pada apa yang tertulis dalam naskah undang-undang dasar. Untuk menafsirkan, menilai atau menguji konstitusionalitas suatu undang- undang terdapat empat indikator penilai, yaitu:
Naskah undang-undang dasar yang resmi dan tertulis;
Dokumen-dokumen tertulis yang terkait erat dengan naskah undang-undang dasar, seperti risalah-risalah;
Nilai-nilai konstitusi yang dalam praktik ketatanegaraan telah dianggap sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari keharusan dan kebiasaan dalam penyelenggaraan kegiatan bernegara; dan 4) Nilai-nilai yang hidup dalam kesadaran kognitif rakyat serta kenyataan perilaku politik dan hukum warga negara yang dianggap sebagai kebiasaan dan keharusan yang ideal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, penafsiran merupakan proses di mana pengadilan mencari kepastian pengertian mengenai peraturan tertentu dari suatu undang-undang. Penafsiran merupakan upaya melalui pengadilan untuk mencari kepastian mengenai apa sesungguhnya yang menjadi kehendak pembentuk undang-undang ( vide Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang , dalam Laporan Hasil Penelitian Penafsiran Konstitusi dalam Pengujian Undang-Undang Terhadap Undang-Undang Dasar, Pusat 81 Penelitian, Pengkajian Perkara dan Pengelolaan Teknologi Informasi dan Komunikasi, Tahun 2016, hal. 12). __ e. Bahwa tiga bentuk penafsiran konstitusi adalah penafsiran historis ( original intent ), penafsiran doktrinal (tekstual dan gramatikal), dan penafsiran responsif. Penafsiran yang seharusnya dihindari adalah cara pendekatan tekstual dari bunyi undang-undang yang secara kaku ( rigid ) tidak dapat mengantisipasi dan menyesuaikan diri dengan tuntutan dan perkembangan masyarakat. ( vide Robert C. Post dan Achmad Sodiki, dalam Laporan Hasil Penelitian Penafsiran Konstitusi dalam Pengujian Undang-Undang Terhadap Undang-Undang Dasar, Pusat Penelitian, Pengkajian Perkara dan Pengelolaan Teknologi Informasi dan Komunikasi, Tahun 2016, halaman 10 dan 11).
Bahwa berdasarkan Risalah RUU PPTKN, salah satu contoh pemeriksaan jenis tertentu adalah dalam hal terjadi pencemaran lingkungan, pemeriksa keuangan harus mencari dan mengidentifikasi penyebab dan akibat yang ditimbulkan dari pencemaran serta biaya yang harus dikeluarkan oleh Negara. Oleh karena itu, hanya terdapat 3 (tiga) jenis pemeriksaan, yaitu finance audit , performance audit , dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Bahwa selain itu BPK juga dapat melakukan PDTT sebagai pemeriksaan lanjutan dari pemeriksaan sebelumnya (pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja) atau menindaklanjuti permintaan dari Aparat Penegak Hukum dalam rangka proses peradilan. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 4 ayat (4), Pasal 7, Pasal 8, dan Pasal 13 UU PPTKN ( vide Rapat Kerja RUU PPTKN Rapat ke-5, Rapat Kerja ke-4 dengan Pemerintah, tanggal 17 Februari 2004).
Oleh karena itu dalil Para Pemohon yang pada intinya menyatakan bahwa tugas PDTT tidak sesuai dengan Pasal 23E UUD NRI Tahun 1945 adalah opini yang tidak berdasar.
Tugas yang diberikan kepada BPK berdasarkan Pasal 23E UUD NRI Tahun 1945 dijabarkan lebih lanjut dalam UU BPK yang merupakan amanat dari Pasal 23G ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang 82 menyatakan bahwa “ Ketentuan lebih lanjut mengenai Badan Pemeriksa Keuangan diatur dengan Undang-Undang ”. Ketentuan tersebut merupakan delegasi kewenangan terbuka ( open legal policy ) kepada pembentuk undang-undang untuk mengatur lebih lanjut mengenai Badan Pemeriksa Keuangan dalam UU BPK, termasuk mengenai cakupan tugas yang diberikan kepada BPK.
DPR RI memberikan keterangan bahwa MK tidak pernah membatalkan undang-undang atau sebagian isinya, jikalau norma tersebut merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk undang-undang, sebagaimana terdapat dalam Pendapat Mahkamah pada point [3.17] Putusan MK Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 yang menyatakan: “..Menimbang bahwa Mahkamah dalam fungsinya sebagai pengawal konstitusi tidak mungkin untuk membatalkan undang- undang atau sebagian isinya, jikalau norma tersebut merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk undang-undang. Meskipun seandainya isi suatu undang-undang dinilai buruk, seperti halnya ketentuan presidential threshold dan pemisahan jadwal Pemilu dalam perkara a quo , Mahkamah tetap tidak dapat membatalkannya, sebab yang dinilai buruk tidak selalu berarti inkonstitusional, kecuali kalau produk legal policy tersebut jelas-jelas melanggar moralitas, rasionalitas dan ketidakadilan yang intolerable . Pandangan hukum yang demikian sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 010/PUU-III/2005 bertanggal 31 Mei 2005 yang menyatakan sepanjang pilihan kebijakan tidak merupakan hal yang melampaui kewenangan pembentuk undang- undang, tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, serta tidak nyata-nyata bertentangan dengan UUD 1945, maka pilihan kebijakan demikian tidak dapat dibatalkan oleh Mahkamah”.
Bahwa open legal policy pembentuk undang-undang yang memberikan tugas kepada BPK yang mencakup salah satunya adalah PDTT ke dalam UU a quo , terbukti telah memberikan manfaat bagi bangsa dan negara karena dapat mengidentifikasi dan mendeteksi kerugian keuangan negara yang terjadi. DPR RI menegaskan bahwa pelaksanaan PDTT tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 karena PDTT tidak diterapkan secara diskriminatif. Pelaksanaan PDTT dilakukan terhadap objek pemeriksaan yang telah diduga terjadi penyalahgunaan keuangan negara, atau ada, atau timbulnya data baru, sehingga dibutuhkan untuk segera diperiksa berdasarkan 83 kewenangan auditor atau terkait dengan permintaan resmi dari DPR RI. Berikut adalah beberapa contoh konkret PDTT yang telah dilakukan oleh BPK:
Berdasarkan Surat DPR RI Nomor KD 01/8104/DPR-RI/X/2010 tanggal 26 Oktober 2010 dan Surat DPR RI Nomor PW 01/4220/DPR-RI/V/2011 tanggal 25 Mei 2011, BPK telah melakukan PDTT atas sektor hulu listrik serta program percepatan pembangkit berbahan bakar batu bara pada PT. Perusahaan Listrik Negara (Persero) (PT. PLN). Dalam laporannya, BPK menemukan penyimpangan yang berpotensi melanggar hukum dan merugikan negara yang dilakukan oleh pihak-pihak terkait. Khusus di sektor energi primer, penyimpangan tersebut mengakibatkan PT. PLN mengalami kerugian Rp 17.900.681,34 juta (tujuh belas triliun sembilan ratus miliar enam ratus delapan puluh satu koma tiga puluh empat juta rupiah) pada tahun 2009, dan Rp 19.698.224,77 juta (sembilan belas triliun enam ratus sembilan puluh delapan miliar dua ratus dua puluh empat koma tujuh puluh tujuh juta rupiah) pada tahun 2010 ( vide Laporan Hasil Pemeriksaan Atas Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu Sektor Hulu Listrik pada PT. Perusahaan Listrik Negara (Persero), Auditorat Keuangan Negara VII Nomor: 30/Auditama VII/PDTT/09/2011 tanggal 16 September 2011);
Panitia Khusus (Pansus) DPR RI atas kasus PT. Pelabuhan Indonesia II (Persero) (PT. Pelindo II) meminta BPK untuk melakukan audit investigasi/PDTT terhadap sejumlah kejanggalan yang ditemukan oleh Pansus DPR RI. Nilai indikasi kerugian negara berasal dari kekurangan upfront fee yang seharusnya diterima oleh PT. Pelindo II dari perpanjangan perjanjian kerja sama pengelolaan dan pengoperasian PT. Jakarta International Container Terminal (JICT), antara PT. Pelindo II dan PT. Hutchinson Port Holding (HPH) berindikasi merugikan negara sebesar Rp 4,08 triliun (empat koma delapan triliun rupiah) ( vide Warta BPK Edisi 07-Vol. VII-Juli 2017, hal 6-15); 84 c. Berdasarkan permintaan DPR RI melalui Surat DPR Nomor PW/5487/DPRRI/IX/2009 tanggal 1 September 2009 perihal Audit Investigatif/Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu Terhadap Bank Century, BPK melakukan audit investigatif/PDTT terhadap PT. Bank Century, Tbk. (Bank Century) ( vide BPK Serahkan Hasil Pemeriksaan Bank Century Ke DPR, 23 November 2009, http: //www.bpk.go.id/news/bpk-serahkan-hasil-pemeriksaan-bank- century-ke-dpr). Hasil pemeriksaan telah diserahkan kepada DPR RI pada tanggal 23 November 2009 yang mengungkap sembilan temuan yang dilakukan pendalaman melalui PDTT lanjutan, tetapi hingga saat ini perkara tersebut masih ditangani oleh KPK dan kami tidak mengetahui perkembangan selanjutnya.
Berdasarkan Surat Ketua DPR RI Nomor: PW.01/3177/DPR RI/IV/2011, tanggal 6 April 2011 yang meminta BPK untuk melakukan pemeriksaan lanjutan dilakukan audit investigatif/PDTT terhadap kasus Bank Century. Hasil pemeriksaan menemukan bahwa terdapat penyaluran penyertaan modal sementara (PMS) kepada Bank Century oleh komite koordinasi (KK) yang kelembagaanya belum dibentuk berdasarkan undang-undang, sehingga penyaluran PMS tersebut tidak memiliki dasar hukum. Total PMS sejumlah Rp. 6.762,36 miliar (enam triliun tujuh ratus enam puluh dua koma tiga puluh enam miliar rupiah) ( vide BPK RI Menyerahkan Laporan Hasil Pemeriksaan Investigasi Lanjutan atas Kasus PT Bank Century, Tbk., Siaran Pers Badan Pemeriksa Keuangan ( online ), 23 Desember 2011, https: //www.bpk.go.id/assets/files/storage/2013/12/file_storage_138 6755982.pdf).
Bahwa terkait dalil para Pemohon yang mempertanyakan mengapa ada lembaga negara yang sudah mendapatkan opini wajar tanpa pengecualian, tetapi tetap dikenakan PDTT, DPR RI memberikan keterangan sebagai berikut: 85 a. Pendapat para Pemohon tersebut menunjukkan kekurangpahaman atau ketidaktahuan para Pemohon terhadap pemeriksaan keuangan yang dilakukan oleh BPK. Opini BPK merupakan pernyataan profesional pemeriksa mengenai kewajaran informasi keuangan yang disajikan dalam laporan keuangan yang disesuaikan dengan standar akutansi pemerintahan (SAP), kepatuhan terhadap peraturan perundang- undangan dan efektifitas sistem pengendalian intern.
Terdapat empat jenis opini yang dapat diberikan oleh BPK, yakni:
opini wajar tanpa pengecualian ( unqualified opinion );
opini wajar dengan pengecualian ( qualified opinion );
opini tidak wajar ( adversed opinion ); dan pernyataan menolak memberikan opini ( disclaimer of opinion ). Makna opini WTP diberikan kepada suatu instansi adalah bahwa laporan keuangan instansi tersebut telah disajikan secara wajar tanpa pengecualian berdasarkan kriteria yang telah ditentukan.
WTP sebagai opini dari BPK bukanlah menjadi jaminan pasti bahwa tidak terdapat pelanggaran pengelolaan keuangan Negara pada lembaga dimaksud, karena yang dinilai hanyalah apakah laporan keuangan sudah disusun dengan wajar selanjutnya dituangkan dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP). Opini WTP merupakan pernyataan mengenai kewajaran informasi keuangan yang disajikan dalam laporan keuangan dan tidak menutup kemungkinan untuk dilakukannya PDTT terhadap instansi tersebut.
Sesuai amanat Pasal 23E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, kepada BPK untuk melakukan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang mencakup seluruh unsur keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, dalam rangka melakukan pemeriksaan atas seluruh unsur keuangan negara tersebut, terdapat tiga jenis pemeriksaan yang dilakukan BPK, yaitu pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, maupun PDTT. Masing-masing jenis pemeriksaan tersebut memiliki tujuan 86 yang berbeda-beda. PDTT adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan tujuan khusus di luar Pemeriksaan Keuangan dan Pemeriksaan Kinerja. Termasuk dalam PDTT ini adalah pemeriksaan atas hal-hal lain yang berkaitan dengan keuangan dan pemeriksaan investigatif yang memuat kesimpulan.
PDTT dapat berupa Pemeriksaan Kepatuhan dan Pemeriksaan Investigatif sebagaimana praktik yang lazim di dunia internasional yang biasa dikenal dengan nama Compliance Audit dan Investigative Audit . Pemeriksaan Kepatuhan merupakan ciri khas dari sektor publik yang membedakannya dengan sektor privat. Pemeriksaan tersebut dilakukan untuk mengevaluasi secara lebih mendalam kepatuhan manajemen sektor publik dalam mengelola sumber daya yang dipercayakan kepadanya, yang mungkin tidak dapat diungkap saat Pemeriksaan Keuangan. Sedangkan Pemeriksaan Investigatif dilakukan untuk mengungkap adanya indikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsur pidana.
Pemerik saan Keuangan dan PDTT memiliki perbedaan tujuan yang berdampak pada perbedaan metode, ruang lingkup, dan fokus kedua pemeriksaan tersebut. Sebagaimana disampaikan sebelumnya, kedua jenis pemeriksaan tersebut merupakan bagian dari pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Sebagai contoh, Pemeriksaan Keuangan memeriksa kewajaran penyajian pertanggungjawaban seluruh penerimaan dan pengeluaran APBN/APBD. Sedangkan PDTT sudah difokuskan pada aspek tertentu, misalnya atas PNBP, belanja barang dan jasa, atau manajemen aset.
Dengan adanya PDTT, BPK berhasil mengungkap banyak kasus penyimpangan dalam pengelolaan keuangan negara, baik di lingkungan pemerintah pusat, pemerintah daerah, dinas-dinas, maupun di lingkungan BUMN. Apabila menghilangkan kewenangan PDTT maka menjadi celah hukum untuk melemahkan pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara yang oleh pembentuk undang-undang, dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan negara yang bersih dan akuntabel. 87 13. DPR RI sebagai lembaga yang mewakili atau merepresentasikan rakyat Indonesia berkepentingan untuk meminta BPK melakukan PDTT berupa pemeriksaan investigatif untuk menyelamatkan keuangan negara sebagai akibat dari perilaku koruptif agar dapat dikembalikan ke kas negara. Hasil PDTT kemudian diproses lebih lanjut melalui upaya hukum untuk dilakukan pemulihan atau pengembalian kerugian negara kepada negara dan para pihak terkait untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Kepentingan DPR RI sebagai repesentasi kepentingan rakyat tersebut merupakan salah satu pelaksanaan dari fungsi pengawasan DPR RI sebagaimana dijamin dan sejalan dengan Konstitusi dalam rangka memastikan bahwa keuangan negara telah dikelola secara transparan, akuntabel, bertanggung jawab, dan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat Indonesia ( vide Pasal 23 UUD NRI Tahun 1945, Pasal 21 ayat (3) UU PPTKN, Pasal 162 ayat (2) Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2014 jo Peraturan DPR RI Nomor 2 Tahun 2018 tentang Tata Tertib). Dengan demikian, DPR RI dapat mengetahui sejauh mana penyimpangan yang terjadi dan besar kerugian negara melalui PDTT yang berbentuk pemeriksaan investigatif. C. Risalah Pembahasan Pasal a quo UU BPK dan UU PPTKN Selain pandangan secara konstitusional, teoritis, dan yuridis, sebagaimana telah diuraikan di atas, DPR RI melampirkan risalah pembahasan UU BPK dan UU PPTKN sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari keterangan DPR RI ini. III. Petitum DPR RI Bahwa berdasarkan keterangan tersebut di atas, DPR RI memohon agar kiranya, Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi memberikan amar putusan sebagai berikut:
Menolak permohonan a quo untuk seluruhnya atau setidak-setidaknya menyatakan permohonan a quo tidak dapat diterima;
Menerima keterangan DPR RI secara keseluruhan;
Menyatakan bahwa frasa “ dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu ” dalam Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (Lembaran Negara Republik 88 Indonesia Tahun 2006 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4654), tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 23E ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tetap memiliki kekuatan hukum mengikat;
Menyatakan bahwa frasa “ dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu ” dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4400), tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 23E ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tetap memiliki kekuatan hukum mengikat. Apabila Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya ( ex aequo et bono ). Keterangan Tambahan Dewan Perwakilan Rakyat I. Kedudukan Hukum ( legal standing ) Terhadap kedudukan hukum Para Pemohon, DPR RI memberikan keterangan tambahan sebagai berikut: Terhadap para Pemohon yang berprofesi sebagai dosen dan mahasiswa di Fakultas Hukum dan aktivis organisasi Mahutama, DPR RI berpandangan bahwa para Pemohon tidak menjelaskan pertautan antara profesi para Pemohon dengan frasa “dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu” (PDTT) dalam UU a quo yang merupakan cakupan tugas BPK. Dalam hal ini para Pemohon tidak dirugikan hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya, karena tidak terdapat pertautan antara ketentuan pasal-pasal a quo dengan para Pemohon yang bukan Anggota BPK dan juga bukan sebagai pihak yang terdampak atas tugas PDTT yang dilakukan oleh BPK . Bahwa para Pemohon sebagai pendidik profesional dan ilmuwan memiliki tugas untuk mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat, serta sebagai anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran seharusnya menggali lebih jauh mengenai pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab 89 keuangan negara dengan lebih komprehensif dan tidak secara parsial. Sebagai sivitas akademika, jika para Pemohon kurang memahami mengenai pemeriksaan dan pengelolaan tanggung jawab keuangan negara, dalam hal ini mengenai PDTT, maka seharusnya terlebih dahulu para Pemohon meminta keterangan dan berdiskusi dengan lembaga negara yang memiliki tugas untuk melaksanakan PDTT, yaitu BPK. Jika para Pemohon telah memperoleh pemahaman secara mendalam mengenai pelaksanaan PDTT, maka justru dapat menunjang profesi para Pemohon sebagai sivitas akademika yang berilmu. Bahwa hak para Pemohon untuk memperoleh pendidikan dan mempunyai kebebasan berpikir, serta untuk menyatakan pikiran dan sikap, tidak terhambat dengan adanya tugas BPK untuk melakukan PDTT. Bahwa kalaupun para Pemohon mengalami kesulitan untuk memahami dasar konstitusionalitas tugas PDTT dimaksud, maka hal tersebut tidak memiliki hubungan sebab akibat antara keberlakuan Pasal 6 ayat (3) UU BPK dan Pasal 4 ayat (1) UU Pemeriksaan Keuangan Negara dengan kerugian konstitusional yang didalilkan Para Pemohon. Hal tersebut sesuai dengan pertimbangan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dalam Putusan MK Nomor 74/PUU-XVI/2018 yang menyatakan: “ … jika pun benar Para Pemohon memiliki hak konstitusional, quod non, kerugian dimaksud tidak memiliki hubungan sebab akibat secara potensial apalagi secara faktual dan aktual oleh berlakunya ketentuan Pasal 2 ayat (1) huruf z dan Penjelasan Pasal 74 UU 8/2010 karena selaku pengajar atau dosen, Pemohon III dan Pemohon IV tetap dapat mengajar di bidangnya masing-masing dan tetap dapat memberikan kontribusi dalam proses perubahan peraturan perundang-undangan, terlebih lagi kerugian yang didalilkan oleh Pemohon III dan Pemohon IV tidak bersifat spesifik (khusus ). “ Bahwa jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang dijadikan batu uji oleh para Pemohon juga tidak memiliki relevansi dengan ketentuan pasal a quo UU BPK dan UU PPTKN apabila dihubungkan dengan profesi para Pemohon. Ketentuan pasal-pasal a quo merupakan penjabaran dari ketentuan Pasal 23E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, sehingga justru memberikan kepastian hukum terhadap pengaturan mengenai tugas BPK untuk memeriksa pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara. 90 Bahwa berdasarkan uraian tersebut, maka nyata-nyata terlihat bahwa para Pemohon tidak memilki kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi yang diakibatkan dari keberlakuan pasal-pasal a quo UU BPK dan UU PPTKN. Selain itu ketentuan pasal-pasal a quo UU BPK dan UU PPTKN juga tidak memiliki hubungan sebab akibat akibat ( causal verband ) dengan kerugian yang didalilkan oleh para Pemohon. Oleh karena itu maka sudah dapat dipastikan bahwa pengujian ketentuan pasal-pasal a quo tidak akan berdampak apa pun pada para Pemohon. Dengan demikian menjadi tidak relevan lagi bagi Mahkamah Konsitusi untuk memeriksa dan memutus permohonan a quo , karena para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum ( legal standing ) sehingga sudah sepatutnya Mahkamah Konstitusi tidak mempertimbangkan pokok permohonan Para Pemohon. __ II. Pengujian Materiil UU BPK dan UU PPTKN Terhadap pengujian materiil UU BPK dan UU PPTKN, DPR RI memberikan keterangan tambahan sebagai berikut: A. Bahwa secara filosofis pembentukan mengenai UU BPK dan UU PPTKN diuraikan sebagai berikut:
Bahwa untuk mewujudkan pengelolaan keuangan negara yang dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat, maka diperlukan pengelolaan keuangan negara yang diselenggarakan secara profesional, independen, terbuka, dan bertanggung jawab. Mengingat pentingnya hal tersebut maka dalam Bab VIII dan Bab VIIIA UUD NRI Tahun 1945 telah diatur prinsip-prinsip dasar pengelolaan keuangan Negara. Sebagai suatu konstitusi yang bersifat filosofis prinsip-prinsip dasar, UUD NRI Tahun 1945 hanya menetapkan secara eksplisit aturan-aturan pokok mengenai pengelolaan keuangan negara yang meliputi salah satunya pemeriksaan tanggung jawab keuangan negara. Selanjutnya, UUD NRI Tahun 1945 mendelegasikan pengaturan penyelenggaraan aturan pokok tersebut ke dalam undang-undang. 91 2. Begitu pentingnya akuntabilitas dalam penyelengaraan pemerintahan, sehingga perlu membentuk undang-undang yang mengatur mengenai ketentuan pokok keuangan negara, perbendaharaan negara, dan pelaksanaan pemeriksaan oleh unsur pengawasan eksternal instansi pemerintah agar jelas cakupan keuangan negara yang diawasi dan tanggung jawab masing-masing pengelola yang terlibat dalam pengelolaan keuangan negara. Bahwa dalam upaya untuk mewujudkan sistem pengelolaan fiskal yang berkesinambungan ( sustainable ) sesuai dengan aturan pokok yang telah ditetapkan dalam UUD NRI Tahun 1945 dan asas umum yang berlaku secara universal dalam penyelenggaraan pemerintahan negara, diperlukan pemeriksaan oleh satu badan pemeriksa keuangan yang bebas dan mandiri, terlepas dari pengaruh dan kekuasaan Pemerintah, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 23E UUD NRI Tahun 1945. Dengan telah dibentuknya UU BPK dan UU PPTKN, maka BPK memiliki landasan operasional yang memadai dalam melaksanakan tugasnya memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilaksanakan oleh instansi pemerintahan. B. Bahwa terkait dalil para Pemohon yang mempertanyakan mengapa ada lembaga negara yang sudah diperiksa oleh BPK dan mendapatkan opini wajar tanpa pengecualian (WTP), tetapi tetap berpotensi untuk dilakukan pemeriksaaan kembali oleh BPK dengan dilakukannya PDTT, DPR RI memberikan keterangan tambahan sebagai berikut:
Pendapat para Pemohon tersebut menunjukkan kekurangpahaman atau ketidaktahuan para Pemohon terhadap pemeriksaan keuangan yang dilakukan oleh BPK. Opini BPK merupakan pernyataan profesional pemeriksa mengenai kewajaran informasi keuangan yang disajikan dalam laporan keuangan yang disesuaikan dengan standar akutansi pemerintahan (SAP), kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan dan efektifitas sistem pengendalian intern.
Terdapat empat jenis opini yang dapat diberikan oleh BPK terhadap instansi yang menjadi objek pemeriksaan, yakni:
opini wajar tanpa 92 pengecualian (unqualified opinion) ;
opini wajar dengan pengecualian (qualified opinion) ;
opini tidak wajar (adversed opinion) ; dan pernyataan menolak memberikan opini (disclaimer of opinion) . Makna opini WTP yang diberikan kepada suatu instansi adalah bahwa laporan keuangan instansi tersebut telah disajikan secara wajar tanpa pengecualian berdasarkan kriteria yang telah ditentukan.
WTP sebagai opini dari BPK bukanlah jaminan pasti bahwa tidak terdapat pelanggaran pengelolaan keuangan negara pada lembaga yang diperiksa, karena yang dinilai hanyalah apakah laporan keuangan sudah disusun dengan wajar, selanjutnya oleh BPK dituangkan dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP). Opini WTP merupakan pernyataan mengenai kewajaran informasi keuangan yang disajikan dalam laporan keuangan dan tidak menutup kemungkinan untuk dilakukannya pemeriksaan lanjutan terhadap instansi tersebut, jika ditemukan adanya indikasi-indikasi pengelolaan keuangan negara yang menimbulkan kerugian negara dan/atau unsur pidana.
Sesuai amanat Pasal 23E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 kepada BPK untuk melakukan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang meliputi seluruh unsur keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, dalam rangka melakukan pemeriksaan atas seluruh unsur keuangan negara tersebut, terdapat tiga jenis pemeriksaan yang dilakukan BPK, yaitu pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan PDTT yang memiliki tujuan dan hasil yang berbeda-beda. PDTT adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan tujuan khusus di luar Pemeriksaan Keuangan dan Pemeriksaan Kinerja. Termasuk dalam PDTT ini adalah pemeriksaan atas hal-hal lain yang berkaitan dengan keuangan dan pemeriksaan investigatif yang memuat kesimpulan. Berdasarkan ketentuan Pasal 16 UU PPTKN, hasil PDTT memuat kesimpulan bukan opini, temuan maupun rekomendasi. 93 5. PDTT dapat berupa Pemeriksaan Kepatuhan dan Pemeriksaan Investigatif sebagaimana praktik yang lazim secara internasional yang dikenal dengan nama Compliance Audit (pemeriksaan kepatuhan) dan Investigative Audit (pemeriksaan investigatif). Pemeriksaan kepatuhan dilakukan untuk memperoleh keyakinan yang memadai terhadap laporan keuangan yang bebas dari kesalahan penyajian. Sesuai dengan SPKN, BPK melakukan pengujian kepatuhan pemerintah pusat terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, kecurangan dan ketidakpatuhan yang berpengaruh langsung serta memeriksa kesesuaian material terhadap penyajian laporan keuangan. Namun pemeriksaan yang dilakukan BPK atas laporan keuangan pemerintah pusat (LKPP) tidak dirancang khusus untuk menyatakan pendapat atas kepatuhan terhadap seluruh peraturan perundang-undangan. Pemeriksaan kepatuhan merupakan ciri khas dari sektor publik yang membedakannya dengan sektor privat. Pemeriksaan tersebut dilakukan untuk mengevaluasi secara lebih mendalam atas kepatuhan manajemen dalam mengelola sumber daya yang dipercayakan kepadanya, yang tidak dapat dicakup saat Pemeriksaan Keuangan. Sedangkan Pemeriksaan Investigatif dilakukan untuk mengungkap adanya indikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsur pidana, yang dilakukan atas inisiatif BPK berdasarkan hasil pemeriksaan sebelumnya atau atas permintaan dari instansi berwenang dan/atau lembaga perwakilan. Apabila dari hasil PDTT BPK menyimpulkan adanya unsur pidana, maka BPK melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pemeriksaan Keuangan dan PDTT memiliki perbedaan tujuan yang berakibat pada perbedaan metode, ruang lingkup, dan fokus kedua pemeriksaan tersebut. Sebagaimana disampaikan sebelumnya, kedua jenis pemeriksaan tersebut merupakan bagian dari pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Sebagai contoh, Pemeriksaan Keuangan memeriksa kewajaran penyajian pertanggungjawaban seluruh penerimaan dan pengeluaran 94 APBN/APBD. Sedangkan PDTT sudah difokuskan pada aspek tertentu, misalnya atas PNBP, belanja barang dan jasa, atau manajemen aset.
Bahwa meskipun BPK telah memberikan opini WTP, namun PDTT atas inisiatif BPK tetap dapat dilaksanakan. Hal tersebut dapat disimulasikan sebagai berikut: • Sebelum memberikan opini, BPK melakukan asersi untuk menguji pernyataan manajemen. Misalnya manajemen menyatakan memiliki piutang sebesar Rp 100 juta (seratus juta rupiah) kepada Pihak X, kemudian BPK melakukan pengujian kesesuaian dengan dokumen- dokumen dan ditemukan bahwa nilai piutang tersebut benar adanya sebesar Rp 100 juta. Oleh karena itu, BPK memberikan opini WTP karena penyajian laporan keuangan telah sesuai dengan bukti-bukti. • Namun mengenai kebijakan pemberian piutang tersebut kepada Pihak X apakah sesuai dengan peraturan perundang-undangan atau tidak, maka BPK dapat melakukan PDTT berupa pemeriksaan kepatuhan.
Dengan adanya PDTT, BPK berhasil mengungkap banyak kasus penyimpangan dalam pengelolaan keuangan negara, baik di lingkungan pemerintah pusat, pemerintah daerah, dinas-dinas, maupun di lingkungan BUMN. Apabila cakupan tugas PDTT yang dimiliki BPK tidak ada, maka menjadi celah hukum untuk melemahkan pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara yang diamanatkan oleh pembentuk undang-undang, dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan negara yang bersih dan akuntabel. Dengan demikian, terhadap para Pemohon yang mempertanyakan mengapa ada lembaga negara yang sudah diperiksa oleh BPK dan mendapatkan opini wajar tanpa pengecualian (WTP), tetapi tetap berpotensi untuk dilakukan pemeriksaaan kembali oleh BPK dengan dilakukannya PDTT, berdasarkan uraian angka 1 sampai dengan angka 8, hal tersebut dilakukan dalam rangka pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara dapat dilakukan mengingat pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja dan PDTT memiliki ruang lingkup yang berbeda dan mekanisme yang tidak sama. 95 C. Terhadap dalil Para Pemohon yang menyatakan PDTT mengakibatkan potensi adanya abuse of power oleh BPK, DPR RI memberikan keterangan tambahan bahwa:
Sesuai dengan kewenangan BPK yang dinyatakan dalam Pasal 9 UU BPK, BPK memiliki kewenangan untuk menentukan objek pemeriksaan, merencanakan, dan melaksanakan pemeriksaan, menentukan waktu dan metode pemeriksaan, serta menyusun dan menyajikan laporan pemeriksaan. Kewenangan ini merupakan wujud independensi BPK sebagai lembaga eksternal audit pemerintah.
Bahwa seluruh pemeriksaan oleh BPK, termasuk PDTT, telah diatur secara ketat pelaksanaannya dengan standar pemeriksaan melalui SPKN yang mengacu pada The Generally Accepted Government Auditing Standards (GAGAS). SPKN yang berlaku pada saat ini ditetapkan oleh Ketua BPK melalui Peraturan BPK RI Nomor 1 Tahun 2017 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara. Selain itu terdapat Peraturan BPK Nomor 4 Tahun 2018 tentang Kode Etik Badan Pemeriksa Keuangan dan Peraturan BPK Nomor 5 Tahun 2018 tentang Majelis Kehormatan Kode Etik Badan Pemeriksa Keuangan. Oleh karena itu, kekhawatiran Para Pemohon mengenai adanya potensi abuse of power dalam pelaksanaan pemeriksaan adalah hal yang tidak berdasar.
Pemeriksaan oleh BPK merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari fungsi pengawasan atas kinerja pemerintahan secara umum, yang dalam hal ini memang menjadi kewenangan DPR RI sebagai wujud keterwakilan politik rakyat dalam kekuasaan negara. Namun demikian, justru karena fungsi pengawasan oleh DPR RI bersifat politis, struktur dan pembagian kekuasaan dalam UUD NRI Tahun 1945 menempatkan BPK, sebagai lembaga yang bebas dan mandiri, yang melakukan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara secara lebih teknis. Karena sifatnya yang teknis, semua jenis pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK baik atas permintaan oleh DPR RI/DPRD atau atas inisiatif BPK sendiri, haruslah dapat dipertanggungjawabkan secara profesional sesuai 96 dengan keilmuan, standar, maupun peraturan-perundangan sebagai dasar hukumnya.
Bahwa permintaan dari DPR RI/DPRD adalah salah satu sumber informasi awal untuk melakukan PDTT, namun tidak menjadi satu- satunya sumber. Hal-hal yang sedang menjadi sorotan publik (ramai di media massa), hasil pemeriksaan sebelumnya, renstra pemerintah, serta amanat undang-undang, juga menjadi pertimbangan BPK ketika memutuskan untuk memeriksa suatu objek. Semua sumber tersebut tentunya tidak serta-merta diputuskan untuk diperiksa tanpa terlebih dulu dilaksanakan suatu kajian awal, terutama apabila yang dimintakan adalah PDTT investigatif.
Kewenangan BPK melakukan PDTT sudah sejalan dengan praktik- praktik yang ada di BPK negara lain. Contoh BPK di negara-negara lain yang melakukan compliance audit (PDTT) sebagai jenis pemeriksaan selain pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja antara lain: SAI European Union , SAI Bulgary , SAI Croatia , SAI Cyprus , SAI Denmark , SAI Estonia , SAI Hungary , SAI Italy , SAI Spain , dan SAI Poland .
Bahwa standar pemeriksaan yang dijadikan rujukan BPK dalam PBPK 1/2017 telah mengadopsi International Standards on Auditing (ISA). Selain itu, BPK sebagai bagian dari organisasi badan pemeriksaan keuangan sedunia yang bernama International Organization of Supreme Audit Institutions (INTOSAI), dalam melaksanakan pemeriksaan juga mengacu pada perkembangan standar pemeriksaan, termasuk International Standards of Supreme Audit Institutions (ISSAI) yang ditetapkan oleh INTOSAI. Dengan adanya acuan standar pemeriksaan yang sama oleh seluruh anggota INTOSAI, memungkinkan untuk dilakukan telaah atas sistem pengendalian mutu BPK oleh Supreme Audit Institution (SAI) negara lain yang menjadi anggota INTOSAI guna menjamin bahwa mutu pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara oleh BPK telah sesuai dengan standar. Hal ini diatur dalam Pasal 33 ayat (1) UU BPK. 97 7. Penyusunan standar pemeriksaan internasional saat ini berubah dari berbasis pengaturan __ detail ( rule based standards ) menjadi berbasis prinsip ( principle based standards) yang dimaksudkan salah satunya agar SPKN lebih fleksibel dalam mengakomodir perubahan- perubahan aturan maupun best practices profesi pemeriksa di dunia, sehingga SPKN yang diberlakukan akan dapat digunakan dalam jangka waktu yang lebih lama __ dan tidak perlu terlalu sering berubah. Dengan demikian, terhadap para Pemohon yang menyatakan PDTT mengakibatkan potensi adanya abuse of power oleh BPK, sebagaimana uraian angka 1 sampai dengan angka 7, maka hal tersebut akan sulit dilakukan oleh pemeriksa BPK dengan adanya peraturan-peraturan yang harus diikuti bagi BPK dalam melaksanakan pemeriksanaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sehingga dalil potensi adanya abuse of power tersebut tidaklah beralasan. D. Mengenai frasa “dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu” dalam Pasal 6 ayat (3) UU 15/2006 dan Pasal 4 ayat (1) UU 15/2004 yang didalilkan oleh Para Pemohon tidak sesuai dengan original intent Pasal 23E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, DPR RI memberikan keterangan tambahan sebagai berikut:
Pembahasan mengenai perubahan BPK itu sudah dimulai sejak Sidang Umum MPR Tahun 1999, namun tidak selesai. Pembahasan rancangan materi perubahan kedua dimulai dalam rapat Badan Pekerja MPR-RI pada akhir tahun 1999, yang diteruskan pembahasannya dalam Panitia Ad Hoc (PAH) I BP-MPR. Banyak hal telah disepakati, namun sampai dengan hasil pembahasan dibawa ke Rapat Paripurna Sidang Tahunan MPR-RI Tahun 2000, ternyata mengenai BPK ini belum dapat diputuskan. Pembahasan mengenai ketentuan BPK baru dapat diselesaikan dalam Sidang MPR RI Tahun 2001, yang menyepakati pengaturan tentang ketentuan BPK sebagai bagian dari Perubahan Ketiga UUD NRI Tahun 1945, dalam suatu Bab tersendiri, yaitu Bab VIIIA, yang terdiri dari 3 (tiga) pasal yaitu Pasal 23E, Pasal 23F dan Pasal 23G. Argumentasi para Pemohon mengenai original intent Pasal 23E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 sebagaimana dimuat dalam permohonannya, hanya mengacu pada 98 pembahasan Perubahan Pertama UUD NRI Tahun 1945 yang dilakukan pada tahun 1999, tanpa memperhatikan pembahasan- pembahasan untuk Perubahan UUD NRI Tahun 1945 selanjutnya.
Pendapat-pendapat individual yang berkembang selama berlangsungnya proses perubahan UUD NRI Tahun 1945, yang sebagian dirujuk oleh Para Pemohon, tidaklah dapat dikatakan sebagai original intent Pasal 23E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Hal ini sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU- XVII/2019 yang menyatakan bahwa: “ Original intent adalah pendapat terakhir yang disepakati, terlepas dari bagaimana kesepakatan itu diperoleh. Lagi pula, secara akademik maupun praktik, original intent tidak selalu dapat dijadikan rujukan yang tepat dalam menafsirkan konstitusi jika konstitusi diharapkan senantiasa mampu menjawab kebutuhan zaman. Sebab, rujukan kepada original intent tidak boleh mengesampingkan tiga aspek penting dalam penafsiran konstitusi, yaitu konstitusi sebagai kesatuan (unity of the constitution), koherensi praktis (practical coherence), dan keberlakuan yang tepat (appropriate working) dari suatu norma konstitusi. ” 3. Berdasarkan Risalah Pembahasan Sidang-Sidang MPR diketahui bahwa penguatan dan pemberdayaan BPK sesuai tuntutan dan harapan masyarakat dilakukan melalui beberapa hal, antara lain:
penegasan kedudukan BPK yang bebas dan mandiri atau terlepas dari pengaruh lembaga tinggi negara lainnya dalam melakukan tugasnya;
penegasan BPK sebagai satu-satunya lembaga pemeriksa keuangan negara (eksternal);
Perluasan ruang lingkup obyek yang diperiksa, yaitu tidak hanya meliputi keuangan negara yang dikelola Pemerintah dalam APBN, namun meliputi pula keuangan negara yang pengelolaannya dipisahkan dari APBN; dan
Perluasan tugas BPK, dalam konteks proses pengelolaan keuangan negara yang diperiksa, dari yang semula hanya memeriksa tanggung jawab keuangan negara ditambah menjadi ‘memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara’. Sehingga BPK tidak sekedar melakukan pemeriksaan atas penyajian laporan keuangan saja, akan tetapi memeriksa seluruh aspek dan proses pengelolaan keuangan negara, termasuk memeriksa keselarasan kebijakan pemerintah dengan arah kebijakan 99 yang ditetapkan dalam Undang-Undang dan dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi dan mewujudkan sistem pengelolaan keuangan negara yang transparan dan akuntabel. Upaya penguatan dan pemberdayaaan BPK tersebut, menghasilkan rumusan perubahan ketentuan tentang BPK dalam UUD NRI Tahun 1945, termasuk yang termuat dalam Pasal 23E ayat (1) yang menentukan “ Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri .” 4. Penegasan pelaksanaan pemeriksaan BPK secara bebas dan mandiri tersebut sejalan dengan Section 5 “ The Lima Declaration of Guidelines on Auditing Precepts ” yang berbunyi sebagai berikut: Section 5. Independence of Supreme Audit Institutions 1. Supreme Audit Institutions can accomplish their tasks objectively and effectively only if they are independent of the audited entity and are protected against outside influence. 2. Although state institutions cannot be absolutely independent because they are part of the state as a whole, Supreme Audit Institutions shall have the functional and organisational independence required to accomplish their tasks. 3. The establishment of Supreme Audit Institutions and the necessary degree of their independence shall be laid down in the Constitution; details may be set out in legislation. Dengan demikian, dalil para Pemohon yang menyatakan bahwa frasa “dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu” dalam ketentuan a quo tidak sesuai dengan original intent Pasal 23E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, merupakan pernyataan yang tidak beralasan dan telah mengabaikan semangat yang justru merupakan original intent dari Pasal 23E ayat UUD NRI Tahun 1945, yang menghendaki BPK sebagai satu-satunya lembaga negara yang bertugas memeriksa seluruh sistem keuangan negara secara bebas dan mandiri, dengan tetap memperhatikan kaidah keilmuan di bidang pemeriksaan keuangan atau audit . E. Bahwa terhadap pertanyaan Yang Mulia Hakim Konstitusi Suhartoyo yang pada intinya menanyakan kepada DPR RI dan BPK mengenai nomenklatur PDTT yang abstrak, tidak konkret, dan mengapa nomenklatur tersebut tidak diubah menjadi pemeriksaan 100 investigatif, DPR RI memberikan keterangan tambahan sebagai berikut:
PDTT meliputi pemeriksaan kepatuhan dan pemeriksan invetigatif. Meskipun baik pemeriksaan kepatuhan dan pemeriksaan investigatif menghasilkan kesimpulan, namun keduanya memiliki tujuan yang berbeda.
Tujuan PDTT dalam bentuk pemeriksaan kepatuhan adalah untuk menilai apakah hal pokok yang diperiksa sesuai (patuh) dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam PDTT dengan bentuk pemeriksaan kepatuhan, apabila pemeriksa mengidentifikasi adanya pertentangan antara beberapa sumber kriteria yang digunakan, pemeriksa harus menganalisis konsekuensi dari adanya pertentangan tersebut. Materialitas juga dipertimbangkan dalam penentuan topik dan kriteria pemeriksaan.
Tujuan PDTT dalam bentuk pemeriksaan investigatif adalah untuk mengungkap adanya indikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsur pidana. PDTT dalam bentuk pemeriksaan investigatif ini hanya dilakukan ketika terdapat predikasi yang memadai. Predikasi adalah keseluruhan dari peristiwa, keadaan pada saat peristiwa itu, dan segala hal yang terkait atau berkaitan yang dapat membawa seseorang yang memiliki akal sehat, profesional, dan memiliki tingkat kehati-hatian, untuk yakin bahwa fraud telah, sedang, atau akan terjadi (PBPK 1/2017 PSP 100 angka 5 huruf v). Sumber predikasi dapat berasal dari temuan pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, maupun pemeriksaan kepatuhan, dan informasi pihak internal maupun eksternal BPK. Dengan merujuk pada cakupan dalam PDTT tersebut, maka jelas bahwa PDTT tidak hanya berupa pemeriksaan investigatif namun juga terdapat pemeriksaan kepatuhan. Pemeriksaan kepatuhan tidak dapat disamaartikan dengan pemeriksaan investigatif karena memiliki tujuan, metode, dan ruang lingkup yang berbeda. Oleh karena itu, DPR RI memberikan keterangan bahwa nomenklatur PDTT dalam pasal-pasal a quo UU BPK dan UU PPTKN tidak dapat diganti dengan nomenklatur pemeriksaan investigatif. 101 F. Bahwa Terhadap Permintaan Yang Mulia Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih atas Risalah Pembahasan RUU BPK dan RUU PPTKN, DPR RI Memberikan Lampiran Risalah Pembahasan RUU BPK dan RUU PPTKN Secara Lengkap Sebagai Lampiran yang tidak Terpisahkan dari keterangan tambahan Ini. III. Petitum DPR RI Bahwa berdasarkan keterangan tambahan tersebut, DPR RI memohon agar kiranya, Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi memberikan amar putusan sebagai berikut:
Menolak permohonan a quo untuk seluruhnya atau setidak-setidaknya menyatakan permohonan a quo tidak dapat diterima;
Menerima keterangan DPR RI secara keseluruhan;
Menyatakan bahwa frasa “ dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu ” dalam Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4654), tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 23E ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tetap memiliki kekuatan hukum mengikat;
Menyatakan bahwa frasa “ dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu ” dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4400), tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 23E ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tetap memiliki kekuatan hukum mengikat. Apabila Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya ( ex aequo et bono ). [2.5] Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon, Pihak Terkait Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyampaikan keterangan lisan di depan persidangan pada tanggal 26 November 2019 dan juga telah menyerahkan 102 keterangan tertulis beserta lampirannya yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: A. Legal Standing Dalam permohonan yang diajukan kepada Mahkamah Konstitusi, Pemohon menyatakan mengalami kerugian konstitusional yang bersifat potensial pasti atas eksistensi frasa "dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu" dalam ketentuan norma a quo dengan alasan antara lain sebagai berikut:
Pasca diundangkannya UU 15/2004, terdapat penambahan kewenangan BPK yakni kewenangan Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (selanjutnya disebut PDTT) yang tidak termasuk dalam Pemeriksaan Keuangan dan Pemeriksaan Kinerja. Kewenangan tersebut dimasukkan dalam UU 15/2006 sehingga inkonstitusional karena tidak sesuai dengan wewenang yang diberikan oleh Pasal 23E ayat (1) UUD 1945. Penambahan kewenangan PDTT menyebabkan timbulnya kerugian konstitusional bagi Pemohon I dan Pemohon II dalam menjalankan tugasnya sebagai akademisi saat harus menjelaskan konstitusionalitas, maksud, dan tujuan PDTT pada saat dilakukan PDTT terhadap suatu lembaga negara padahal lembaga negara itu sudah mendapatkan status Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dan kerugian konstitusionalitas bagi Pemohon III selaku mahasiswa yang mendapatkan penjelasan terkait kedudukan PDTT.
Berdasarkan asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang balk dan asas kepastian hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf a dan huruf f serta Pasal 6 huruf i Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (selanjutnya disingkat UU 12/2011), frasa 'pemeriksaan dengan tujuan tertentu' tidak memiliki kejelasan tujuan dan tidak memiliki kejelasan rumusan; Terhadap alasan-alasan permohonan di atas, BPK berpendapat, sebagai berikut:
Sebagai dosen dan mahasiswa, Pemohon tidak menjelaskan secara spesifik kerugian konstitusional sebagai akibat berlakunya norma a quo, karena tidak ada penjelasan mengenai hubungan sebab akibat (causal verband) antara norma a quo dengan kerugian konstitusional Pemohon dalam memberikan penjelasan dan memahami PDTT. 103 Dalam hal, yaitu seorang pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Sebagai sivitas akademika, pertanyaan-pertanyaan yang timbul mengenai suatu permasalahan, dalam hal ini mengenai PDTT, seyogyanya dijadikan bahan untuk melakukan suatu penelitian. Untuk mendukung hal tersebut, BPK terbuka untuk memberikan penjelasan mengenai PDTT termasuk mengenai standar yang digunakan.
Dalil Pemohon yang menyatakan bahwa rumusan PDTT dalam UU 15/2006 tidak memiliki kejelasan tujuan dan tidak memiliki kejelasan rumusan, sehingga tidak mencerminkan asas kepastian hukum sesuai dengan teknik pembuatan peraturan perundang-undangan dalam UU 12/2011, bukan merupakan masalah konstitusionalitas norma PDTT, namun merupakan hal yang terkait dengan teknik legal drafting sehingga bukan merupakan ranah Mahkamah Konstitusi untuk mengujinya. Dengan demikian, Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum atau legal standing untuk mengajukan permohonan pengujian atas Pasal-Pasal a quo. Oleh karena itu, sudah sepatutnya Mahkamah Konstitusi menyatakan tidak dapat menerima Permohonan a quo. Namun demikian, BPK tetap menyerahkan sepenuhnya kepada Majelis Hakim untuk menilai apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing). Apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat untuk menerima Permohonan a quo, perkenankan BPK menyampaikan penjelasan atas materi perkara sebagaimana dalam bagian di bawah ini. B. Keterangan BPK atas Pokok Permohonan Pemohon Terhadap frasa "dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu" dalam ketentuan a quo yang dimohonkan untuk diuji oleh Pemohon, BPK berpendapat bahwa ketentuan tersebut memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaan tugas pemeriksaan BPK, dengan penjelasan yang akan disampaikan dalam 4 (empat) bagian pokok, yakni pertama penjelasan tentang PDTT dalam pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, kedua penjelasan tentang pengaturan mengenai PDTT dalam Standar Pemeriksaan Keuangan Negara 104 (SPKN), ketiga penjelasan tentang original intent perumusan Pasal 23E ayat (1) UUD 1945, dan keempat __ penjelasan tentang Konstitusionalitas Norma PDTT dalam UU 15/2004 dan UU 15/2006.
PDTT dalam Pemeriksaan atas Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara Terkait dengan pelaksanaan PDTT, Pemohon mempermasalahkan hal-hal berikut:
Pemohon mempertanyakan dasar konstitusional kewenangan PDTT yang dimiliki BPK karena seringkali terhadap instansi Pemerintah yang sudah berkali-kali mendapatkan status Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) masih juga dilakukan PDTT.
Pemohon menyatakan bahwa secara normatif BPK dapat melaksanakan PDTT apabila ada permintaan dari DPR/DPRD untuk melakukan pemeriksaan lanjutan berdasarkan ketentuan Pasal 21 ayat (3) UU 15/2004 yang menyatakan, "DPR/DPRD dapat meminta BPK untuk melakukan pemeriksaan lanjutan." c. Pemohon berpendapat bahwa permintaan DPR/DPRD untuk melakukan pemeriksaan lanjutan dengan menggunakan pilihan PDTT, sangat memiliki tendensi politik dan dapat dijadikan sebagai instrumen yang berpotensi disalahgunakan (abuse of power) karena tidak adanya kejelasan terkait tentang pelaksanaan PDTT dalam UU 15/2004 dan UU 15/2006 dibandingkan dengan jenis pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja, sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) UU 15/2004. Selain itu, ketidakjelasan instrumen wewenang yang diberikan kepada BPK dalam melaksanakan PDTT akan menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil dan dapat berpotensi disalahgunakan oleh "oknum" BPK dalam melaksanakan tugasnya. Terhadap dalil Pemohon tersebut, dapat diberikan keterangan sebagai berikut:
Hubungan Opini atas Laporan Keuangan dengan PDTT 1) Sesuai ketentuan Pasal 23E ayat (1) UUD 1945, BPK diamanatkan untuk melakukan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Pemeriksaan tersebut mencakup seluruh unsur keuangan negara 105 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Dalam rangka melakukan pemeriksaan atas seluruh unsur keuangan negara tersebut, terdapat tiga jenis pemeriksaan yang dilakukan BPK, yaitu pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, maupun PDTT. Masing-masing jenis pemeriksaan tersebut memiliki tujuan yang berbeda- beda, yaitu: a) Pemeriksaan Keuangan, merupakan pemeriksaan atas Laporan Keuangan (LK) yang dilakukan dalam rangka menilai tingkat kewajaran informasi yang disajikan dalam LK Pemerintah. Laporan pemeriksaan ini memuat opini atas LK. b) Pemeriksaan Kinerja, ditujukan untuk memastikan bahwa kegiatan yang dibiayai dengan keuangan negara/daerah diselenggarakan secara ekonomis dan efisien, serta memenuhi sasarannya secara efektif. Laporan pemeriksaan ini memuat temuan, kesimpulan, dan rekomendasi. c) PDTT adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan tujuan khusus di Iuar Pemeriksaan Keuangan dan Pemeriksaan Kinerja. Termasuk dalam PDTT ini adalah pemeriksaan atas hal-hal lain yang berkaitan dengan keuangan dan pemeriksaan investigatif. Laporan pemeriksaan ini memuat kesimpulan.
Opini dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas LK Pemerintah merupakan pernyataan mengenai kewajaran informasi keuangan yang disajikan dalam LK. Terdapat empat jenis opini yang dapat diberikan Pemeriksa, yakni:
opini wajar tanpa pengecualian _(unqualified opinion); _ (2) opini wajar dengan pengecualian _(qualified opinion); _ (3) opini tidak wajar _(adversed opinion); _ dan (4) pernyataan menolak memberikan opini (disclaimer of opinion). Makna opini WTP diberikan kepada suatu instansi adalah bahwa LK instansi tersebut telah disajikan secara wajar tanpa pengecualian berdasarkan kriteria yang telah ditentukan.
PDTT dapat berupa Pemeriksaan Kepatuhan dan Pemeriksaan Investigatif sebagaimana praktik yang lazim di dunia internasional yang biasa dikenal dengan nama Compliance Audit dan Investigative Audit. Pemeriksaan Kepatuhan merupakan ciri khas dari sektor publik yang membedakannya 106 dengan sektor privat. Pemeriksaan tersebut dilakukan untuk mengevaluasi secara lebih mendalam kepatuhan manajemen sektor publik dalam mengelola sumber daya yang dipercayakan kepadanya, yang mungkin tidak dapat di- cover saat Pemeriksaan Keuangan. Sedangkan Pemeriksaan Investigatif dilakukan untuk mengungkap adanya indikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsur pidana.
Pemeriksaan Keuangan dan PDTT memiliki perbedaan tujuan yang berakibat pada perbedaan metode, ruang lingkup, dan fokus kedua pemeriksaan tersebut. Sebagaimana disampaikan sebelumnya, kedua jenis pemeriksaan tersebut merupakan bagian dari pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Sebagai contoh, Pemeriksaan Keuangan memeriksa kewajaran penyajian pertanggungjawaban seluruh penerimaan dan pengeluaran APBN/APBD. Sedangkan PDTT sudah difokuskan pada aspek tertentu, misalnya atas PNBP, belanja barang dan jasa, atau manajemen aset.
Diberikannya opini WTP atas LK suatu instansi tidak menutup kemungkinan untuk dilakukannya PDTT terhadap instansi tersebut, apabila dari hasil Pemeriksaan Keuangan atau dari hasil Pemeriksaan Kinerja terdapat hal yang menurut BPK perlu untuk diperiksa lebih lanjut, termasuk untuk mengungkap adanya kerugian negara. Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa dalil Pemohon yang mempermasalahkan perolehan opini WTP oleh suatu instansi dengan dilaksanakannya PDTT atas instansi tersebut, adalah hal yang tidak relevan.
PDTT Berdasarkan Permintaan 1) Selain pelaksanaan PDTT yang diinisiasi oleh BPK, PDTT juga dapat dilakukan berdasarkan adanya permintaan dari lembaga perwakilan maupun aparat penegak hukum, serta amanat dari undang-undang. Sebagai contoh: a) PDTT atas Pengadaan Alat Kesehatan pada Pemerintah Kota Tangerang Selatan dan Pada Pemerintah Provinsi Banten, dilakukan atas permintaan dari KPK; b) PDTT terkait pembangunan P3SON Hambalang, dilakukan berdasarkan permintaan dari DPR; c) PDTTterkait PT Pelindo, dilakukan berdasarkan permintaan DPR; 107 d) PDTT terkait PT Bank Century, dilakukan berdasarkan permintaan DPR dan KPK; dan e) PDTT atas Laporan Pertanggungjawaban Bantuan Keuangan Partai Politik, dilakukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011.
Sesuai dengan kewenangan BPK yang dinyatakan dalam Pasal 9 UU 15/2006, BPK memiliki kewenangan untuk menentukan objek pemeriksaan, merencanakan, dan melaksanakan pemeriksaan, menentukan waktu dan metode pemeriksaan, serta menyusun dan menyajikan laporan pemeriksaan. Kewenangan ini merupakan wujud independensi BPK sebagai lembaga eksternal audit pemerintah. Permintaan dari DPR menjadi salah satu sumber informasi awal untuk melakukan PDTT, namun tidak menjadi satu-satunya sumber. Hal-hal yang sedang menjadi sorotan publik (ramai di media massa), hasil pemeriksaan sebelumnya, renstra pemerintah, serta amanat undang-undang, juga menjadi pertimbangan BPK ketika memutuskan untuk memeriksa suatu objek. Semua sumber tersebut tentunya tidak serta merta diputuskan untuk diperiksa tanpa terlebih dulu dilaksanakan suatu kajian awal, terutama apabila yang dimintakan adalah PDTT investigatif. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dalil Pemohon yang menyatakan bahwa PDTT hanya dapat dilakukan berdasarkan permintaan lembaga perwakilan, tidak berdasar.
Potensi Abuse of Power dalam Pelaksanaan PDTT oleh BPK Terhadap dalil Pemohon yang menyatakan bahwa PDTT sangat memiliki tendensi politik dan dapat dijadikan sebagai instrumen yang berpotensi disalahgunakan (abuse of power), dapat dijelaskan sebagai berikut:
Pemeriksaan oleh BPK merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari fungsi pengawasan atas kinerja pemerintahan secara umum, yang dalam hal ini memang menjadi domain DPR sebagai wujud keterwakilan politik rakyat dalam kekuasaan negara. Namun demikian, justru karena fungsi pengawasan oleh DPR bersifat politis, struktur dan pembagian kekuasaan dalam UUD 1945 menempatkan BPK, sebagai lembaga yang bebas dan mandiri, yang melakukan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab 108 keuangan negara secara lebih teknis. Karena sifatnya yang teknis, semua jenis pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK baik atas permintaan oleh DPR/DPRD atau atas inisiatif BPK sendiri, haruslah dapat dipertanggungjawabkan secara profesional sesuai dengan keilmuan, standar, maupun peraturan-perundangan sebagai batu ujinya.
Kewenangan BPK melakukan PDTT sudah sejalan dengan praktik-praktik yang ada di BPK negara lain. Contoh BPK di negara-negara lain yang melakukan compliance audit (PDTT) sebagai jenis pemeriksaan selain pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja antara lain: SAI European Union, SAI Bulgary, SAI Croatia, SAI Cyprus, SAI Denmark, SAI Estonia, SAI Hungary, SAI Italy, SAI Spain, dan SAI Poland. 3) Perihal kekhawatiran Pemohon mengenai adanya potensi abuse of power dalam pelaksanaan pemeriksaan, sebenarnya sudah cukup diantisipasi dengan adanya Peraturan BPK tentang SPKN, dan peraturan perundang- undangan lain yang mengatur konsekuensi atas penyalahgunaan kewenangan, antara lain Peraturan BPK Nomor 4 Tahun 2018 tentang Kode Etik Badan Pemeriksa Keuangan dan Peraturan BPK Nomor 5 Tahun 2018 tentang Majelis Kehormatan Kode Etik Badan Pemeriksa Keuangan. __ Dengan demikian, potensi abuse of power yang menjadi kekhawatiran Pemohon sebenarnya bukan merupakan permasalahan konstitusionalitas, melainkan permasalahan yang dapat timbul dalam penerapan norma, sehingga tidak tepat apabila hal tersebut menjadi materi yang dimohonkan untuk diuji oleh Mahkamah Konstitusi.
PDTT dalam Standar Pemeriksaan Keuangan Negara Pemohon mendalilkan bahwa keberadaan kewenangan PDTT dalam ketentuan norma a quo menimbulkan ketidakpastian hukum karena Peraturan BPK Nomor 1 Tahun 2007 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (selanjutnya disingkat PBPK 1/2007) yang secara rigid mengatur teknis pelaksanaan PDTT, telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Sedangkan Peraturan BPK Nomor 1 Tahun 2017 (selanjutnya disingkat PBPK 1/2017) yang merupakan Peraturan pengganti dari PBPK 1/2007, dalam lampirannya tidak lagi memasukkan tentang standar PDTT. Terhadap dalil Pemohon tersebut, dapat diberikan keterangan sebagai berikut:
Dalam melaksanakan tugas dan mewujudkan kemandiriannya, BPK 109 diwajibkan menyusun standar pemeriksaan keuangan negara sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 31 UU 15/2006 dan Pasal 5 UU 15/2004. Standar pemeriksaan merupakan patokan untuk melakukan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang meliputi standar umum, standar pelaksanaan pemeriksaan, dan standar pelaporan yang wajib dipedomani oleh BPK dan/atau pemeriksa. (vide Pasal 1 angka 13 UU 15/2006).
Standar pemeriksaan yang dipergunakan oleh BPK saat ini adalah Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (selanjutnya disingkat SPKN) yang ditetapkan melalui PBPK 1/2017, yang merupakan penyempurnaan standar pemeriksaan sebelumnya, yaitu PBPK 1/2007. Penyempurnaan standar pemeriksaan dilakukan secara berkesinambungan sesuai kebutuhan pelaksanaan pemeriksaan BPK, dengan memperhatikan perkembangan teori pemeriksaan, dinamika masyarakat yang menuntut adanya transparansi dan akuntabilitas, serta kebutuhan akan hasil pemeriksaan yang bernilai tambah.
Penyusunan PBPK 1/2007 dilakukan dengan menggunakan referensi utama The Generally Accepted Government Auditing Standards (GAGAS) Tahun 2003 yang telah direvisi sebanyak dua kali, terakhir pada tahun 2011. PBPK 1/2007 digunakan secara bersama-sama dengan Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) Tahun 2001 yang ditetapkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), khususnya mengenai Pernyataan Standar Audit (PSA) tentang audit keuangan dan perikatan atestasi, kecuali diatur lain dalam PBPK 1/2007.
Standar pemeriksaan yang dijadikan rujukan PBPK 1/2007 mengalami perubahan, dalam hal ini SPAP diubah dengan mengadopsi International Standards on Auditing (ISA). Selain itu, BPK sebagai bagian dari organisasi badan pemeriksaan keuangan sedunia yang bernama International Organization of Supreme Audit Institutions (INTOSAI), dalam melaksanakan pemeriksaan juga harus mengacu pada perkembangan standar pemeriksaan, termasuk International Standards of Supreme Audit Institutions (ISSAI) yang ditetapkan INTOSAI. Dengan adanya acuan standar pemeriksaan yang sama oleh seluruh anggota INTOSAI, memungkinkan untuk dilakukan telaah atas sistem pengendalian mutu BPK oleh Supreme Audit Institution (SAI) negara lain yang menjadi anggota INTOSAI guna menjamin bahwa mutu pemeriksaan pengelolaan dan 110 tanggung jawab keuangan negara oleh BPK telah sesuai dengan standar. Hal ini diatur dalam Pasal 33 ayat (1) UU 15/2006.
Perkembangan standar pemeriksaan internasional saat ini berubah dari berbasis pengaturan detail (rule based standards) menjadi berbasis prinsip (principle based standards). Hal ini diadaptasi oleh BPK dalam pendekatan pengaturan pada PBPK 1/2017 sehingga berdampak pada sistematika pengaturannya. Penyusunan standar yang bersifat principle based salah satunya dimaksudkan agar SPKN lebih fleksibel dalam mengakomodir perubahan-perubahan aturan maupun best practices di dunia profesi pemeriksa, sehingga SPKN akan lebih bersifat long lasting dan tidak perlu terlalu sering berubah.
Perbedaan sistematika dan pendekatan pada PBPK 1/2017 bukan berarti menghilangkan PDTT dari jenis pemeriksaan BPK, namun hanya menyederhanakan penyajian lampiran. PBPK 1/2007 terdiri dari 8 (delapan) lampiran yang mencakup: (vide PBPK 1/2007) 1) Pendahuluan Standar Pemeriksaan;
PSP 01 Standar Umum;
PSP 02 Standar Pelaksanaan Pemeriksaan Keuangan;
PSP 03 Standar Pelaporan Pemeriksaan Keuangan;
PSP 04 Standar Pelaksanaan Pemeriksaan Kinerja;
PSP 05 Standar Pelaporan Pemeriksaan Kinerja;
PSP 06 Standar Pelaksanaan Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu; dan
PSP 07 Standar Pelaporan Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu. Sedangkan PBPK 1/2017 terdiri atas 4 (empat) lampiran, yaitu: (vide PBPK 1/2017) 1) Kerangka Konseptual Kerangka konseptual menjadi acuan bagi pengembangan standar itu sendiri. Dalam hal terdapat permasalahan yang belum diatur dalam standar pemeriksaan, maka pemeriksa mengacu pada kerangka konseptual.
PSP Nomor 100 tentang Standar Umum Standar umum merupakan dasar penerapan standar pelaksanaan dan standar pelaporan secara efektif. Standar umum berlaku untuk semua jenis pemeriksaan, baik pemeriksaan keuangan, kinerja, maupun PDTT. 111 3) PSP Nomor 200 tentang Standar Pelaksanaan Pemeriksaan Standar Pelaksanaan Pemeriksaan disusun untuk memberikan panduan bagi pemeriksa agar: (a) dapat merencanakan pemeriksaan yang berkualitas dan dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif; dan (b) merancang dan melaksanakan prosedur pemeriksaan untuk memperoleh bukti yang cukup dan tepat. PDTT diatur dalam PSP Nomor 200, sebagai contoh, dalam Paragraf 8 huruf e yang menyatakan bahwa tujuan PDTT dalam bentuk pemeriksaan kepatuhan adalah untuk menilai apakah hal pokok yang diperiksa telah sesuai (patuh) dengan ketentuan perundang-undangan. Sedangkan tujuan PDTT dalam bentuk pemeriksaan investigatif adalah untuk mengungkap adanya indikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsur pidana.
PSP Nomor 300 tentang Standar Pelaporan Pemeriksaan. Standar Pelaporan Pemeriksaan disusun untuk memberikan panduan bagi pemeriksa agar dapat: (a) merumuskan suatu kesimpulan hasil pemeriksaan berdasarkan evaluasi atas bukti pemeriksaan yang diperoleh; dan (b) mengomunikasikan hasil pemeriksaan kepada pihak-pihak yang terkait. PSP 300 pada paragraf A13 menyatakan: pada PDTT kepatuhan, unsur temuan yang harus ada adalah kondisi, kriteria, dan akibat. Dari semua penjelasan PSP tersebut, jelas bahwa PDTT tetap diatur dalam SPKN sesuai porsinya, sehingga dapat disimpulkan bahwa PBPK 1/2017 tidak menghilangkan PDTT. SPKN yang diatur dalam PBPK 1/2017 menganut principle based standard sehingga struktur penyajiannya berdasarkan Iangkah- Iangkah pemeriksaan, bukan lagi berdasarkan jenis pemeriksaan. Walaupun PDTT tidak dapat terbaca secara Iangsung pada judul/subjudul/heading, secara substansi PDTT tetap ada dalam PBPK 1/2017 dan bahkan dipertegas mengenai bentuknya. Berdasarkan seluruh uraian tersebut, pernyataan Pemohon bahwa keberadaan kewenangan PDTT dalam ketentuan norma a quo menimbulkan ketidakpastian hukum karena berubahnya Peraturan BPK tentang SPKN, yang menurut Pemohon tidak lagi memuat mengenai PDTT, tidak berdasar dan tidak dapat diterima. 112 3. Original Intent Perumusan Pasal 23E ayat (1) UUD 1945 Bahwa terhadap frasa "dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu" dalam Pasal 6 ayat (3) UU 15/2006 dan Pasal 4 ayat (1) UU 15/2004 yang didalilkan oleh Pemohon tidak sesuai dengan original intent Pasal 23E ayat (1) UUD 1945, dapat diberikan keterangan sebagai berikut:
Penafsiran konstitusi melalui pendekatan original intent harus melihat tujuan para penyusun konstitusi itu sendiri dari berbagai sumber, termasuk pandangan framers of constitution (penyusun konstitusi). Gagasan untuk mengubah ketentuan tentang BPK melalui perubahan UUD 1945 didorong oleh kehendak untuk memperkuat dan memberdayakan Lembaga-lembaga Tinggi Negara, termasuk BPK.
Pembahasan mengenai perubahan BPK itu sendiri sudah dimulai sejak Sidang Umum MPR Tahun 1999, namun tidak selesai. Pembahasan rancangan materi perubahan kedua dimulai dalam rapat Badan Pekerja MPR- RI pada akhir tahun 1999, yang diteruskan pembahasannya dalam Panitia Ad Hoc (PAH) I BP-MPR. Banyak hal telah disepakati, namun sampai dengan hasil pembahasan dibawa ke Rapat Paripurna Sidang Tahunan MPR-RI Tahun 2000, ternyata mengenai BPK ini belum dapat diputuskan. Pembahasan mengenai ketentuan BPK baru dapat diselesaikan dalam Sidang MPR RI Tahun 2001, yang menyepakati pengaturan tentang ketentuan BPK sebagai bagian dari Perubahan Ketiga UUD 1945, dalam suatu Bab tersendiri, yaitu Bab VIIIA, yang terdiri dari 3 (tiga) pasal yaitu Pasal 23E, Pasal 23F dan Pasal 23G. Argumentasi Pemohon mengenai original intent Pasal 23E ayat (1) UUD 1945 sebagaimana dimuat dalam permohonannya, hanya mengacu pada pembahasan Perubahan Pertama UUD 1945 yang dilakukan pada tahun 1999, tanpa memperhatikan pembahasan-pembahasan untuk Perubahan UUD 1945 selanjutnya.
Pendapat-pendapat individual yang berkembang selama berlangsungnya proses perubahan UUD 1945, yang sebagian dirujuk oleh Pemohon, tidaklah dapat dikatakan sebagai original intent Pasal 23E ayat (1) UUD 1945. Hal ini sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-XVII/2019 yang menyatakan bahwa: "Original intent adalah pendapat terakhir yang disepakati, terlepas dari bagaimana kesepakatan itu diperoleh. Lagi pula, secara akademik 113 maupun praktik, original intent tidak selalu dapat dijadikan rujukan yang tepat dalam menafsirkan konstitusi jika konstitusi diharapkan senantiasa mampu menjawab kebutuhan zaman. Sebab, rujukan kepada original intent tidak boleh mengesampingkan tiga aspek penting dalam penafsiran konstitusi, yaitu konstitusi sebagai kesatuan (unity of the constitution), koherensi praktis (practical coherence), dan keberlakuan yang tepat (appropriate working) dari suatu norma konstitusi." d. Berdasarkan Risalah Pembahasan Sidang-Sidang MPR diketahui bahwa penguatan dan pemberdayaan BPK sesuai tuntutan dan harapan masyarakat dilakukan melalui beberapa hal, antara lain:
penegasan kedudukan BPK yang bebas dan mandiri atau terlepas dari pengaruh lembaga tinggi negara lainnya dalam melakukan tugasnya;
penegasan BPK sebagai satu- satunya lembaga pemeriksa keuangan negara (eksternal);
Perluasan ruang lingkup objek yang diperiksa, yaitu tidak hanya meliputi keuangan negara yang dikelola Pemerintah dalam APBN, namun meliputi pula keuangan negara yang pengelolaannya dipisahkan dari APBN; dan
Perluasan tugas BPK, dalam konteks proses pengelolaan keuangan negara yang diperiksa, dari yang semula hanya memeriksa tanggung jawab keuangan negara ditambah menjadi 'memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara'. Sehingga BPK tidak sekedar melakukan pemeriksaan atas penyajian laporan keuangan saja, akan tetapi memeriksa seluruh aspek dan proses pengelolaan keuangan negara, termasuk yang ditujukan untuk memeriksa kesepadanan kebijakan pemerintah dengan arah kebijakan yang ditetapkan dalam Undang-Undang dan dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi, dalam rangka mewujudkan sistem pengelolaan keuangan negara yang transparan dan akuntabel. Upaya penguatan dan pemberdayaaan BPK tersebut, menghasikan rumusan perubahan ketentuan tentang BPK dalam UUD, termasuk yang termuat dalam Pasal 23E ayat (1) yang menentukan "Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri.". Penegasan pelaksanaan pemeriksaan BPK secara bebas dan mandiri tersebut sejalan dengan Section 5 "The Lima Declaration of Guidelines on Auditing Precepts" yang berbunyi sebagai berikut: Section 5. Independence of Supreme Audit Institutions 1. Supreme Audit Institutions can accomplish their tasks objectively and effectively only if they are independent of the audited entity and are 114 protected against outside influence. 2. Although state institutions cannot be absolutely independent because they are part of the state as a whole, Supreme Audit Institutions shall have the functional and organisational independence required to accomplish their tasks. 3. The establishment of Supreme Audit Institutions and the necessary _degree of their independence shall be laid down in the Constitution; _ details may be set out in legislation. e. Bahwa menurut Andi Matalatta dan Jakob Tobing, perumus perubahan UUD 1945, dalam diskusi terbatas dengan BPK pads tanggal 19 November 2019, penguatan dan pemberdayaan BPK dilakukan dalam kerangka checks and balances. Selanjutnya Andi Mattalatta menyatakan, check and balances tersebut antara lain terwujud dalam rumusan Pasal 23E ayat (3) UUD 1945 yang menentukan hasil pemeriksaan BPK ditindaklanjuti oleh lembaga perwakilan dan/atau badan sesuai dengan undang-undang. Hal ini berarti bahwa stakeholder BPK bukan hanya lembaga perwakilan yang berdasarkan Pasal 23E ayat (2) UUD 1945 secara rutin menerima hasil pemeriksaan keuangan, namun juga badan/lembaga negara, yang berdasarkan undang-undang diamanatkan untuk menindaklanjuti hasil pemeriksaan BPK, termasuk aparat penegak hukum, apabila hasil pemeriksaan BPK mengungkap adanya hal-hal yang perlu dilakukan proses penegakan hukum lebih lanjut. Hasil pemeriksaan BPK yang mengungkap hal tersebut disimpulkan melalui PDTT. Dengan demikian, dalil Pemohon yang menyatakan bahwa frasa "dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu" dalam ketentuan a quo tidak sesuai dengan original intent Pasal 23E ayat (1) UUD 1945, merupakan pernyataan yang tidak beralasan dan telah mengabaikan semangat yang justru merupakan original intent dari Pasal 23E ayat (1) UUD 1945, yang menghendaki BPK sebagai satu-satunya lembaga negara yang bertugas memeriksa seluruh sistem keuangan negara secara bebas dan mandiri, dengan tetap memperhatikan kaidah keilmuan di bidang auditing.
Konstitusionalitas Norma PDTT dalam UU 15/2004 dan UU 15/2006 Terhadap konstitusionalitas norma PDTT dalam Pasal 6 ayat (3) UU 15/2006 dan Pasal 4 ayat (1) UU 15/2004 yang dipermasalahkan oleh Pemohon, dapat diberikan keterangan sebagai berikut:
Penafsiran gramatikal yang disebut juga metode penafsiran objektif merupakan cara penafsiran untuk mengetahui makna ketentuan undang- 115 undang dengan menguraikannya menurut bahasa, susunan kata, atau bunyinya. Pasal 23E ayat (1) UUD 1945 menyebutkan "Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri". Dalil Pemohon yang menyatakan bahwa basis kewenangan konstitusional BPK adalah pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara , yang apabila dimaknai secara tekstual gramatikal maka makna dari frasa "pengelolaan dan tanggung jawab tentang Keuangan Negara", yang menjadi wewenang konstitusional BPK adalah kewenangan pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja, menurut kami tidak tepat, tidak memiliki landasan hukum yang jelas, dan merupakan persoalan penafsiran subjektif dari Pemohon, BUKAN persoalan konstitusionalitas ketentuan undang-undang. Jika Pemohon konsisten dengan penafsiran gramatikal, seharusnya frasa "... memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara ..." diartikan sebagai "memeriksa pengelolaan keuangan negara" dan "memeriksa tanggung jawab keuangan negara", BUKAN ditafsirkan sebagai pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja. Dengan demikian patut dipertanyakan metode penafsiran tekstual gramatikal yang dimaksud Pemohon.
Terhadap dalil Pemohon yang menyatakan bahwa frasa "... dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu" inkonstitusional karena telah memperluas kewenangan konstitusional yang telah diberikan secara eksplisit dan limitatif oleh UUD 1945, dengan merujuk pada rumusan mengenai wewenang Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), dan Komisi Yudisial (KY) dalam UUD 1945, BPK berpendapat bahwa dalil Pemohon tersebut tidak tepat dengan penjelasan sebagai berikut:
Pemaknaan Pemohon mengenai PDTT sebagai perluasan kewenangan konstitusional BPK dengan memperbandingkan antara rumusan ketentuan mengenai wewenang BPK dalam Pasal 23E ayat (1) UUD 1945 dengan ketentuan mengenai wewenang MA, MK, dan KY dalam Pasal 24A, 24B, dan 24C UUD 1945 adalah tidak tepat. Wewenang suatu lembaga negara tidak seluruhnya harus diatur dalam konstitusi, namun dapat pula diamanatkan untuk diatur dalam undang- undang, sebagaimana pemikiran/pandangan Prof. Jimly Asshiddiqie 116 mengenai fungsi lembaga/organ, yang menerangkan bahwa dalam UUD 1945 terdapat organ atau lembaga yang nama serta wewenangnya disebut secara eksplisit dan ada pula organ atau lembaga yang wewenangnya sama sekali tidak atau belum disebut secara implisit maupun eksplisit, namun akan diatur dengan peraturan yang Iebih rendah." 2) Pemaknaan Pemohon bahwa PDTT merupakan bentuk wewenang yang inkonstitusional karena tidak dinyatakan secara eksplisit juga merupakan sebuah kekeliruan karena PDTT, sebagaimana halnya pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja yang juga tidak disebut secara eksplisit dalam Pasal 23E ayat (1) UUD 1945, merupakan jenis pemeriksaan, yang pengaturannya memang sudah sepatutnya dilakukan dalam undang-undang dan bukan dalam Undang-Undang Dasar.
Terhadap dalil Pemohon yang mempertanyakan konstitusionalitas PDTT karena penjelasan tentang PDTT tidak diatur dalam UU 15/2006, yang merupakan UU Organik, namun diatur dalam Penjelasan UU 15/2004 (yang merupakan tindak lanjut dari UU 17/2003 dan UU 1/2004), BPK berpendapat bahwa dalil Pemohon tersebut tidak berdasar dengan penjelasan sebagai berikut:
Undang-undang organik adalah undang-undang yang secara eksplisit diperintahkan pembentukannya oleh Undang-Undang Dasar sebagaimana dikemukakan oleh Ahli sebagai berikut: a) Prof. Soehino (ahli hukum tata negara): "Undang-undang organik adalah undang-undang yang dibentuk untuk melaksanakan secara langsung perintah dari ketentuan undang- undang dasar. " b) Prof. Maria Farida Indrati Soeprapto: "Undang-undang organik adalah undang-undang yang substansinya merupakan penjabaran langsung dari delegasi pengaturan yang disebut secara eksplisit dalam UUD 1945." Sementara dalam Black's Law Dictionary disebutkan bahwa Organic Law adalah: "the fundamental law, or constitution, of a state or nation, written or unwritten; that law or system of laws or principles which defines and establishes the organization of its government." 117 Dengan demikian, undang-undang organik dapat diartikan sebagai Pertama, undang-undang yang dibentuk untuk melaksanakan perintah Undang-Undang Dasar yang disebutkan secara tegas; Kedua, undang- undang yang mengatur segala ketentuan yang berhubungan dengan keorganisasian negara.
Pengaturan mengenai kelembagaan serta wewenang suatu lembaga dalam undang-undang yang berbeda, tidak melulu dalam undang-undang organik, merupakan hal yang lazim dalam pembentukan peraturan perundangundangan di Indonesia, sebagai contoh: a) Komisi Pemberantasan Korupsi diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana terakhir telah diubah melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019, sementara mengenai kewenangannya diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. b) Kepolisian Republik Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, sementara pengaturan kewenangannya diatur antara lain dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. c) Dewan Perwakilan Rakyat diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019. Pengaturan mengenai kewenangan DPR diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan, termasuk dalam UU 15/2004 yang menentukan DPR dapat meminta BPK untuk melakukan pemeriksaan (vide Pasal 21 ayat (3) UU 15/2004) dan DPR dapat meminta Pemerintah untuk melakukan tindak lanjut pemeriksaan (vide Pasal 21 ayat (4) UU 15/2004).
Ketentuan mengenai kelembagaan BPK diatur dalam UU 15/2006, sedangkan mengenai pelaksanaan pemeriksaan BPK diatur dalam UU 15/2004. Hal ini sesuai ketentuan Pasal 6 ayat (2) UU 15/2006, yang menentukan bahwa pemeriksaan BPK, termasuk di dalamnya PDTT, 118 dilakukan berdasarkan undang-undang tentang pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.
Ketentuan mengenai pemeriksaan BPK ditegaskan pula dalam undang- undang selain UU 15/2004 dan UU 15/2006, sebagai contoh: a) Pasal 34A Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, yang menyatakan bahwa: "Partai politik wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban penerimaan dan pengeluaran yang bersumber dari bantuan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf c kepada Badan Pemeriksa Keuangan secara berkala 1 (satu) tahun sekali untuk diaudit paling lambat 1 (satu) bulan setelah tahun anggaran berakhir." b) Pasal 71 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara yang menentukan: "Badan Pemeriksa Keuangan berwenang melakukan pemeriksaan terhadap BUMN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan." c) Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang yang menentukan: "Untuk menjamin akuntabilitas pelaksanaan Pencetakan, Pengeluaran, dan Pemusnahan Rupiah, Badan Pemeriksa Keuangan melakukan audit secara periodik." Dengan demikian berdasarkan uraian di atas, pernyataan Pemohon bahwa frasa "dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu" dalam Pasal 6 ayat (3) UU 15/2006 dan Pasal 4 ayat (1) UU 15/2004 inkonstitusional adalah pernyataan yang tidak memiliki dasar pembenar. C. Manfaat PDTT dan Implikasi Dihapuskannya Kewenangan BPK untuk Melakukan PDTT 1. Untuk negara demokrasi seperti Indonesia yang saat ini masih menghadapi perjuangan berat untuk memberantas korupsi, tidak dapat kita pungkiri bahwa PDTT menjadi alat yang sangat penting untuk turut membantu pemerintah dalam memerangi korupsi. Kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan menjadi syarat utama untuk dapat mencapai kinerja pemerintahan yang baik. 119 Segitiga maturitas organisasi yang disusun oleh Government Accountability Office (GAO) membagi peran SAI ke dalam tiga level yaitu: a) oversight, yang ditujukan untuk (1) mendorong upaya pemberantasan korupsi;
meningkatkan transparansi;
menjamin terlaksananya akuntabilitas; dan
meningkatkan ekonomi, efisiensi, etika, nilai keadilan, dan keefektifan; b) insight, yang ditujukan untuk mendalami kebijakan dan masalah publik; dan c) foresight, yang ditujukan untuk membantu masyarakat dan pengambilan keputusan untuk memilih alternatif masa depan. 2. Fakta bahwa Indeks Persepsi Korupsi Indonesia pada angka 38 (skala 0- 100, dengan 100 menunjukkan nilai terbaik), menempatkan Indonesia pada peringkat 4 di tingkat Asean (urutan 1-3 adalah Singapura (85), Brunei (63), Malaysia (47)) dan menempatkan Indonesia pada urutan 89 dari 180 negara di dunia, menunjukkan bahwa Indonesia masih membutuhkan PDTT. Fungsi oversight masih sangat dibutuhkan oleh Indonesia. Namun demikian BPK jugs tetap menjalankan fungsi insight dan foresight-nya melalui pemeriksaan kinerja.
Manfaat lain dari pelaksanaan PDTT adalah terkait dengan subsidi pemerintah dan kepatuhan BUMN sebagai pengelola kekayaan negara yang dipisahkan. Hasil pemeriksaan BPK atas penghitungan dan pembayaran subsidi pemerintah kepada BUMN selama tahun 2016 sampai dengan 2019 adalah sebesar Rp16,25 Triliun. Apabila BPK tidak melakukan pemeriksaan kepatuhan, maka besarnya subsidi yang dibayar selama 4 tahun terakhir akan melebihi dari jumlah tersebut. Selain itu, dari hasil PDTT kepatuhan yang dilakukan oleh BPK selama tahun 2016 sampai dengan Semester 12019, ditemukan ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang dapat mengakibatkan kerugian negara, potensi kerugian, dan kekurangan penerimaan sebesar Rp64,13 triliun. Terhadap sebagian dari temuan tersebut telah ada upaya pengembalian ke kas negara oleh pihak yang bertanggung jawab.
Dihapuskannya norma a quo akan berdampak pada implementasi ketentuan dalam undang-undang lain yang disusun oleh negara, untuk menjamin agar 120 tata kelola keuangan negara dapat dijalankan dengan balk oleh para penyelenggara negara. Beberapa ketentuan yang terpengaruh sebagai konsekuensi jika frasa "dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu" dalam Pasal 6 ayat (3) UU 15/2006 dan Pasal 4 ayat (1) UU 15/2004 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, antara lain: Penjelasan Pasal 4 ayat (4) UU 15/2004 "Pemeriksaan dengan tujuan tertentu meliputi antara lain pemeriksaan atas hal-hal lain di bidang keuangan, pemeriksaan investigatif, dan pemeriksaan atas sistem pengendalian intern pemerintah." Pasal 13 UU 15/2004 "Pemeriksa dapat melaksanakan pemeriksaan investigatif guna mengungkap adanya indikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsur pidana." Pasal 21 ayat (3) UU 15/2004 "DPR/DPRD dapat meminta BPK untuk melakukan pemeriksaan lanjutan." Penjelasan: "Pemeriksaan lanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat ini dapat berupa pemeriksaan hal-hal yang berkaitan dengan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu." Pasal 32 ayat (1) UU 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU 20/2001 "Dalam hal penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil pen yidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan. Penjelasan: Yang dimaksud dengan "secara nyata telah ada kerugian keuangan negara" adalah kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk. Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 _"Portal Politik berkewajiban untuk: _ i. menyampaikan laporan pertanggungjawaban penerimaan dan pengeluaran keuangan yang bersumber dari dana bantuan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah secara berkala 1 (satu) tahun sekali kepada Pemerintah setelah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan; " 121 Berdasarkan seluruh uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa PDTT diperlukan sebagai audit tools untuk mewujudkan pengelolaan keuangan negara yang transparan dan akuntabel. Dihapuskannya norma a quo justru akan menimbulkan celah dalam mewujudkan pengelolaan tersebut, antara lain tidak adanya alat untuk mendeteksi penyimpangan dalam pengelolaan keuangan negara sebagai pendukung upaya pemberantasan tindak pidana korupsi dan pengembalian kerugian negara. D. Petitum Berdasarkan keterangan tersebut di atas, menurut BPK tidak terdapat alasan yang tepat untuk menyatakan bahwa ketentuan Pasal 6 ayat (3) UU 15/2006 dan Pasal 4 ayat (1) UU 15/2004, inkonstitusional atau bertentangan dengan UUD 1945. BPK memohon kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi agar berkenan memberikan Putusan sebagai berikut:
Menerima Keterangan BPK secara keseluruhan;
Menyatakan Pasal 6 ayat (3) UU 15/2006 dan Pasal 4 ayat (1) UU 15/2004 tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 23E ayat (1) UUD 1945;
Menyatakan tidak ada hak konstitusional Pemohon yang dirugikan dengan berlakunya UU 15/2006 dan UU 15/2004.
Menyatakan permohonan Pemohon seluruhnya ditolak atau setidak- tidaknya dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). Namun demikian apabila Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya (ex aequo et bono). Keterangan Tambahan Pihak Terkait: Dalam beberapa sidang pemeriksaan, Yang Mulia Majelis Hakim mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat kami sampaikan sebagai berikut: __ Pertama , pertanyaan dari Yang Mulia Hakim Wahiduddin Adams: Dalam Keterangan BPK disampaikan bahwa PDTT diperlukan sebagai audit tools untuk mewujudkan pengelolaan keuangan negara yang transparan dan akuntabel. Dihapuskannya norma a quo akan menimbulkan celah, antara lain, tidak adanya alat untuk mendeteksi penyimpangan dalam pengelolaan keuangan negara sebagai pendukung upaya pemberantasan tindak pidana 122 korupsi dan pengembalian keuangan negara. Jika norma a quo dihilangkan, bagaimana implikasinya terhadap hasil audit laporan keuangan atau general audit sebagai bukti hukum? Untuk pertanyaan tersebut dapat kami jelaskan bahwa dalam rangka mendukung terwujudnya good governance dalam penyelenggaraan negara, pengelolaan keuangan negara harus diselenggarakan secara profesional, terbuka, dan bertanggung jawab sesuai dengan aturan pokok yang telah ditetapkan dalam UUD 1945. Untuk mewujudkan hal tersebut, perlu dilakukan pemeriksaan oleh BPK terhadap pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK mencakup seluruh unsur keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (selanjutnya disingkat UU 17/2003). Dalam Peraturan BPK Nomor 1 Tahun 2017 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (selanjutnya disingkat PBPK 1/2017) antara lain dijelaskan bahwa pengelolaan keuangan negara meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan pertanggungjawaban. Pemerintah wajib melaksanakan pengelolaan keuangan negara secara tertib, taat pada peraturan perundang- undangan, efisien, ekonomis, efektif, dan transparan, dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Hal inilah yang disebut sebagai tanggung jawab keuangan negara. Terdapat tiga jenis pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK, yaitu Pemeriksaan Keuangan, Pemeriksaan Kinerja, dan Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT). Hal mendasar yang membedakan ketiga jenis pemeriksaan tersebut adalah tujuannya. Pemeriksaan Keuangan bertujuan memberikan pernyataan opini tentang kewajaran informasi yang disajikan dalam Laporan Keuangan (LK) Pemerintah. Pemeriksaan Kinerja bertujuan untuk memastikan bahwa kegiatan yang dibiayai dengan keuangan negara diselenggarakan secara ekonomis dan efisien, serta memenuhi sasarannya secara efektif. PDTT dilakukan dengan tujuan khusus, di luar kedua jenis pemeriksaan yang lain. Perbedaan tujuan antara Pemeriksaan Keuangan dan PDTT berakibat pada perbedaan metode, ruang lingkup, dan fokus kedua pemeriksaan tersebut. Salah satu contoh yang dapat menunjukkan perbedaan kedua jenis pemeriksaan tersebut adalah, Pemeriksaan Keuangan memeriksa kewajaran penyajian pertanggungjawaban seluruh penerimaan dan pengeluaran APBN/APBD. Sementara PDTT sudah difokuskan pada aspek tertentu, misalnya atas PNBP, belanja barang dan jasa, atau manajemen aset. Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas LK Pemerintah memuat opini, yaitu pernyataan mengenai kewajaran informasi keuangan yang disajikan dalam LK. 123 Sedangkan Laporan Hasil PDTT memuat kesimpulan, yaitu simpulan atas kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan (Pemeriksaan Kepatuhan) dan mengenai ada tidaknya indikasi kerugian negara/daerah dan/atau adanya unsur pidana dalam pengelolaan keuangan negara (Pemeriksaan Investigatif). Mengacu pada SPKN, dalam Pemeriksaan Keuangan harus diidentifikasi risiko kecurangan dan dinilai risiko adanya ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang disebabkan oleh kecurangan ( fraud ) dan/atau ketidakpatuhan ( abuse ). Meskipun demikian, selalu ada kemungkinan bahwa fraud dan abuse tidak terdeteksi dalam Pemeriksaan Keuangan akibat kompleksitas permasalahan tersebut. Oleh karena itu, diperlukan PDTT untuk memastikan bahwa kecurangan dan ketidakpatuhan tersebut tidak luput dari pemeriksaan. Dalam praktiknya LHP BPK sering digunakan sebagai alat bukti hukum dalam penanganan perkara-perkara, baik pidana, perdata, maupun tata usaha negara. Kewenangan untuk menentukan dapat tidaknya suatu LHP BPK digunakan sebagai alat bukti hukum sepenuhnya merupakan kewenangan dari penyidik dan majelis hakim. LHP atas LK Pemerintah dan Laporan Hasil PDTT bukan merupakan dua hal yang harus dipertentangkan. LHP atas LK Pemerintah merupakan produk dari Pemeriksaan yang tidak didesain untuk mendalami substansi tertentu, tetapi untuk menilai kewajaran penyajian LK. Sehingga dalam hal LHP atas LK akan dijadikan sebagai alat bukti hukum dalam suatu masalah/kasus tertentu, pada umumnya masih membutuhkan pendalaman lebih lanjut untuk mengungkap fakta yang diperlukan dalam pembuktian hukum. Sementara itu LHP PDTT merupakan produk dari Pemeriksaan yang sudah didesain dari awal untuk mendalami masalah tertentu. Sehingga ketika dari PDTT ditemukan adanya kecurangan ( fraud ) atau ketidakpatuhan yang berimplikasi terhadap keuangan negara, LHP PDTT dapat langsung ditindaklanjuti dan dipergunakan sebagai alat bukti. Dengan demikian, jika norma a quo dihilangkan, maka apabila dari hasil Pemeriksaan atas LK ditemukan adanya hal-hal yang perlu pendalaman, maka BPK tidak memiliki audit tools untuk melakukan hal tersebut. Selanjutnya, pertanyaan dari Yang Mulia Hakim I Dewa Gede Palguna. Pertanyaan pertama: WTP adalah opini setelah pemeriksaan keuangan. Pengertian “pemeriksaan” adalah sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 angka 6 UU 15/2004, yaitu proses identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi yang dilakukan secara independen, objektif, dan profesional berdasarkan standar pemeriksaan untuk menilai kebenaran, kecermatan, kredibilitas, dan keandalan informasi mengenai 124 pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Opini dikeluarkan sudah berdasarkan standar pemeriksaan. Kalau sudah begitu mengapa masih diperlukan PDTT? Apakah ada kekurangcermatan analisis saat menghasilkan WTP? Atas pertanyaan tersebut, dapat kami berikan penjelasan sebagai berikut: Sesuai dengan tujuannya, pemeriksaan keuangan dimaksudkan untuk memberikan opini atas kewajaran penyajian LK dengan menilai kebenaran, kecermatan, kredibilitas, dan keandalan informasi dalam LK. Dalam pemeriksaan atas laporan keuangan ini, BPK menguji apakah asersi atau pernyataan manajemen yang termuat dalam LK entitas telah sesuai dengan standar (SAP). Secara metodologi, asersi yang diuji meliputi beberapa hal:
Asersi tentang keberadaan atau keterjadian ( existence or occurance ), yang berhubungan dengan apakah aktiva atau uang entitas ada pada tanggal tertentu dan apakah transaksi yang dicatat telah terjadi selama periode tertentu.
Asersi tentang kelengkapan ( completeness ), yang berhubungan dengan apakah semua transaksi dan akun yang seharusnya disajikan dalam LK telah dicantumkan di dalamnya.
Asersi tentang hak dan kewajiban ( rights and obligations ), yang berhubungan dengan apakah aktiva merupakan hak entitas dan utang merupakan kewajiban perusahaan pada tanggal tertentu.
Asersi tentang penilaian atau alokasi ( valuation and allocation ), yang berhubungan dengan apakah komponen-komponen aktiva, kewajiban, pendapatan, dan biaya sudah dicantumkan dalam LK pada jumlah yang semestinya.
Asersi tentang penyajian dan pengungkapan ( presentation and disclosure ), yang berhubungan dengan apakah komponen-komponen tertentu LK diklasifikasikan, dijelaskan, dan diungkapkan semestinya. Sebagai ilustrasi, untuk memastikan bahwa pengadaan aset oleh suatu entitas, berupa sebuah gedung telah dicatat secara wajar dalam LK, maka akan dilakukan pemeriksaan atas beberapa hal, yaitu:
apakah secara fisik gedung tersebut ada/nyata ( existance ), (2) apakah pengadaan didukung oleh dokumen yang sah seperti kontrak, kuitansi, berita acara fisik, sertipikat ( completeness, right and obligation ) dan dokumen yang terkait nilai perolehannya ( valuation ), serta (3) apakah pengadaan diungkap secara jelas dan memadai dalam LK, baik terkait lokasi, status, luas, jumlah lantai, dan peruntukan ( disclosure ). Jika hal-hal tersebut telah disajikan dalam LK oleh entitas sesuai dengan pedoman atau standar akuntansi keuangan yang berlaku serta tidak ada 125 kesalahan saji yang sifatnya material, maka atas LK tersebut BPK memberikan opini wajar tanpa pengecualian. Namun apakah entitas tersebut dapat dinyatakan telah patuh terhadap ketentuan pengadaan barang dan jasa? Apakah proses pengadaan gedung tersebut telah dilaksanakan secara fair dan tidak ada unsur persekongkolan? Atau apakah proses penganggaran gedung tersebut dilaksanakan sesuai ketentuan yang ada? LK tidak memberikan informasi- informasi yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Di sinilah diperlukan kehadiran PDTT, yaitu untuk mendalami persoalan substansi masalah yang terjadi beserta sebab dan akibat dengan analisis yang lebih dalam. Dari PDTT dihasilkan laporan yang memuat kesimpulan berupa penilaian mengenai kepatuhan pengadaan aset tersebut terhadap peraturan perundang-undangan, melalui PDTT dalam bentuk compliance audit , atau mengenai ada tidaknya indikasi kerugian negara dan atau penyimpangan yang berindikasi pidana, melalui pemeriksaan investigatif. Penjelasan dan ilustrasi mengenai Pemeriksaan Keuangan dan PDTT tersebut sekaligus dapat meluruskan adanya persepsi yang kurang tepat mengenai issue ketidakcermatan dalam melakukan pemeriksaan keuangan dengan dilakukannya PDTT, khususnya PDTT yang dilakukan berdasarkan rencana pemeriksaan BPK. Dalam hal ini, diberikannya opini WTP atas LK suatu instansi tidak menutup kemungkinan untuk dilakukannya PDTT terhadap instansi tersebut, apabila dari hasil Pemeriksaan Keuangan terdapat hal yang menurut BPK perlu untuk diperiksa lebih lanjut, karena tidak dapat dilakukan dengan menggunakan metode dan standar pemeriksaan LK, dengan waktu yang telah dibatasi pelaksanaannya dengan UU 15/2004. Batas waktu pelaksanaan pemeriksaan keuangan diatur dalam Pasal 17 UU 15/2004, yaitu paling lama 2 (dua) bulan sejak diterimanya laporan keuangan unaudited dari Pemerintah. Dengan demikian, pendalaman atas substansi yang terjadi pada LK seharusnya tidak dapat dilakukan dengan pemeriksaan atas LK. Pemeriksaan LK pada saat ini menggunakan pendekatan Risk-Based Audit , yaitu Audit Berbasis Risiko dengan menggunakan sampling, yaitu pemeriksaan yang memberikan fokus perhatian pada area-area berisiko tinggi karena berbagai keterbatasan yang dihadapi oleh pemeriksa. Penilaian risiko tersebut dilakukan pada tingkat entitas, siklus, kemudian diturunkan pada tingkat akun sehingga pemeriksaan dapat dilaksanakan dengan lebih efektif dan efisien. Pertanyaan kedua: __ Independensi BPK sudah menjadi universal principal. Dalam Lima Declaration ditentukan “The establishment of supreme audit institution and necessary degree of their independence, shall be laid down in the constitution. Detail may 126 be set out in legislation.” Persoalan yang dipersoalkan oleh Pemohon sekarang, ‘whether the detail is against the constitutional or not?’ Dalam hal ini, untuk PDTT atas inisiatif BPK, apakah ada syarat subyektif dan syarat obyektif? Untuk pertanyaan tersebut, ijinkan kami memberikan penjelasan sebagai berikut: Pengaturan mengenai PDTT dalam UU 15/2004, UU 15/2006, dan yang kemudian diatur lebih lanjut dalam PBPK 1/2017 merupakan penjabaran dari cita- cita diadakannya BPK sebagai satu-satunya lembaga pemeriksa keuangan negara. PDTT bukan merupakan satu jenis pemeriksaan yang hanya dikenal di Indonesia. Pengaturan mengenai PDTT dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip universal dan praktik internasional yang dipedomani oleh SAI negara lain. BPK mengadopsi standar di lingkungan profesi audit secara internasional yang dikeluarkan oleh INTOSAI yaitu ISSAI 12: The Value and Benefits of Supreme Audit Institutions (SAIs) – making a difference to the lives of citizens , yang menetapkan 12 prinsip. Dalam prinsip 2 ISSAI 12 ditentukan bahwa SAI atau BPK: PRINCIPLE 2: Carrying out audits to ensure that government and public sector entities are held accountable for their stewardship over, and use of, public resources 1. SAIs should, in accordance with their mandates and applicable _professional standards, conduct any or all of the following: _ _a. Audits of financial and, where relevant, non-financial information; _ _b. Performance audits; _ c. Audits of compliance with the applicable authority. 2. SAIs may also, in accordance with their mandates, perform other types of work, for example judicial review or investigation into the use of public resources or matters where the public interest is at stake. 3. SAIs should respond appropriately, in accordance with their mandates, to the risks of financial impropriety, fraud and corruption. 4. SAIs should submit audit reports, in accordance with their mandates, to the legislature or any other responsible public body, as appropriate. Hal ini berarti fungsi BPK dalam praktiknya di dunia internasional luas dan tidak terbatas hanya pada pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja saja, tetapi termasuk juga pemeriksaan kepatuhan sebagaimana dimuat dalam Prinsip 2 butir 1 c. Selain itu, BPK pun bisa mendapatkan penugasan-penugasan lain seperti di Prinsip 2 butir 2 dan butir 3 dinyatakan bahwa BPK bisa melakukan judicial review (penetapan kerugian negara) or investigation , respond appropriately to the risk of financial impropriety (ketidakpatutan), fraud (kecurangan), and corruption (korupsi). International best practice tersebut terwujud dalam UU 15/2004, UU 15/2006, dan PBPK 1/2017 yang mengatur hal-hal sebagai berikut:
Adopsi pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, pemeriksaan kepatuhan, dan pemeriksaan investigatif. 127 UU 15/2004: Pasal 4 ayat (1): Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 terdiri atas pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Pasal 13: Pemeriksa dapat melaksanakan pemeriksaan investigatif guna mengungkap adanya indikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsur pidana. Penjelasan Umum bagian B 3. Pemeriksaan dengan tujuan tertentu, adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan tujuan khusus, di luar pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja. Termasuk dalam pemeriksaan tujuan tertentu ini adalah pemeriksaan atas hal-hal lain yang berkaitan dengan keuangan dan pemeriksaan investigatif. Pelaksanaan pemeriksaan sebagaimana dimaksudkan di atas didasarkan pada suatu standar pemeriksaan. Standar dimaksud disusun oleh BPK dengan mempertimbangkan standar di lingkungan profesi audit secara internasional. Peraturan BPK No. 1 tahun 2017 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara, dalam Kerangka Konseptual Pemeriksaan, paragraf 18. 18. Jenis pemeriksaan keuangan negara meliputi pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan PDTT. Tujuan suatu pemeriksaan menentukan jenis pemeriksaan. Pemeriksaan keuangan bertujuan untuk memberikan opini atas kewajaran laporan keuangan. Tujuan pemeriksaan kinerja adalah memberikan kesimpulan atas aspek ekonomi, efisiensi dan/atau efektivitas pengelolaan keuangan negara, serta memberikan rekomendasi untuk memperbaiki aspek tersebut. PDTT bertujuan untuk memberikan kesimpulan sesuai dengan tujuan pemeriksaan yang ditetapkan. PDTT dapat berbentuk pemeriksaan kepatuhan dan pemeriksaan investigatif. 2. Adopsi penetapan jumlah kerugian negara UU 15/2006, Pasal 10 ayat (1): BPK menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara. Pelaksanaan semua pemeriksaan dan penugasan-penugasan di atas akan dilakukan oleh BPK sesuai dengan tujuannya, yaitu: 128 1. Guna memberikan opini atas LK Pemerintah Pusat/Daerah sesuai UU 17/2003, BPK melakukan pemeriksaan keuangan;
Apabila BPK melihat ada permasalahan ekonomis, efisiensi, dan efektivitas dalam penyelenggaraan negara, maka BPK akan melakukan pemeriksaan kinerja. Contohnya: BPK telah melaksanakan pemeriksaan kinerja atas efektivitas penanganan perkara pengujian undang-undang di MK dan Pemeriksaan Kinerja atas Pengelolaan Fungsi Penindakan Tindak Pidana Korupsi Tahun 2009 s.d. 2011 di KPK.
Apabila BPK melihat ada permasalahan misalnya terkait pelaksanaan kontrak antara Pemerintah RI dan PT Freeport Indonesia, maka BPK melaksanakan pemeriksaan kepatuhan terhadap kontrak tersebut.
Apabila DPR melihat ada permasalahan seperti masalah di Bank Century, maka DPR meminta BPK melakukan pemeriksaan investigatif kasus Bank Century.
Apabila Aparat Penegak Hukum seperti KPK, Kepolisian, dan Kejaksaan meminta BPK untuk melakukan investigatif dan perhitungan kerugian negara, maka BPK melaksanakan pemeriksaan investigatif dan perhitungan negara, misalnya untuk kasus Hambalang dan PT Asuransi Jiwasraya. Berdasarkan penjelasan tersebut, dalam tataran UU maupun Peraturan BPK yang mengatur mengenai standar pemeriksaan, sangat jelas tidak ada persoalan ketidaksesuaian atau pertentangan antara norma PDTT yang diatur dalam Peraturan Perundang-undangan tersebut dengan norma yang diatur dalam Konstitusi. Dalam konteks pelaksanaan PDTT yang dilakukan berdasarkan rencana pemeriksaan BPK sendiri, dapat kami sampaikan bahwa dilakukannya PDTT tidak dilakukan tanpa terlebih dahulu dilakukan analisa yang memadai. Dalam tataran peraturan yang berlaku internal di lingkungan BPK, yaitu dalam panduan pemeriksaan telah diatur bahwa Program Pemeriksaan memuat antara lain alasan pemeriksaan sebagai dasar BPK untuk melakukan pemeriksaan (Paragraf 27 Bab II Perencanaan Pemeriksaan, Pedoman Manajemen Pemeriksaan (KBPK 5/2015)). Alasan pemeriksaan antara lain adalah hal-hal yang menjadi perhatian publik, prioritas utama Pemerintah, analisa BPK atas tren hasil pemeriksaan BPK beberapa tahun sebelumnya, dan hasil pemeriksaan aparat pengawasan intern pemerintah. Selain itu, dalam Petunjuk Pelaksanaan Pemeriksaan diatur bahwa sebelum melaksanakan PDTT, Pemeriksa harus menjunjung tinggi etika dan objektivitas. Pemeriksa harus berhati-hati untuk tetap bersikap objektif sehingga temuan dan kesimpulan tidak memihak, objektif dalam memilih tujuan pemeriksaan, mengidentifikasi kriteria, dan memastikan bahwa komunikasi dengan pemangku 129 kepentingan tidak mempengaruhi objektivitas BPK. Pemeriksa juga harus mempertimbangkan risiko adanya ketidakpatuhan material sebagai berikut:
kompleksitas ketentuan peraturan perundang-undangan;
kerawanan terjadinya ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang- undangan;
jangka waktu entitas/hal pokok yang diperiksa telah menjadi subjek yang harus patuh terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan; Yang dimaksud dengan jangka waktu entitas yang diperiksa telah menjadi subjek yang harus patuh terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan adalah berapa lama entitas sudah terikat dengan peraturan perundang-undangan. Misalnya, ada peraturan baru tentang kewajiban mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 20% sesuai amandemen UUD. Tapi, Pemerintah pada awalnya sempat hanya menganggarkan sebesar 6%, risiko ketidakpatuhan entitas menjadi tinggi untuk aturan-aturan yang baru ditetapkan. Yang dimaksud dengan hal pokok adalah hal yang diperiksa, misalnya: belanja pendidikan, belanja pegawai, infrastruktur, dan PNBP.
kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan pada tahun- tahun sebelumnya;
dampak potensial ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang- undangan bagi hal pokok yang diperiksa;
tingkat pertimbangan yang digunakan entitas dalam mematuhi peraturan; dan
hasil penilaian risiko pemeriksaan sebelumnya. Pertanyaan ketiga: __ Bagaimana mencegah penyalahgunaan PDTT oleh auditor? (Pencegahan yang sifatnya built-in dalam SOP/Standar Pemeriksaan) Terhadap pertanyaan tersebut, dapat kami sampaikan hal-hal sebagai berikut: Dalam Standar Pemeriksaan BPK diatur mengenai pengendalian mutu pemeriksaan. Pengendalian mutu dilakukan dengan tujuan memastikan bahwa pemeriksaan telah dilakukan dengan mematuhi standar profesi, peraturan yang berlaku, dan LHP yang diterbitkan telah sesuai dengan kondisinya. Pengendalian mutu akan menjamin bahwa seluruh tahapan pemeriksaan dilaksanakan tepat waktu, komprehensif, terdokumentasi memadai, dilaksanakan, dan di -review oleh Pemeriksa yang kompeten secara berjenjang (BAB I Huruf H angka 27 Pedoman Manajemen Pemeriksaan Tahun 2015). Sistem Pengendalian Mutu (SPM) BPK mencakup supervisi, reviu berjenjang, monitoring, dan konsultasi selama proses pemeriksaan. Dengan demikian, pengendalian mutu pemeriksaan BPK telah terintegrasi dalam setiap tahap pemeriksaan melalui penerapan SPM. 130 Untuk menjamin mutu pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK, sesuai Pasal 33 UU 15/2006, BPK ditelaah oleh badan pemeriksa keuangan negara lain yang menjadi anggota organisasi pemeriksa keuangan sedunia yang kompeten. Peer review terhadap BPK RI telah dilakukan beberapa kali, yaitu pada tahun 2004 oleh SAI New Zealand ( Office of the Auditor-General of New Zealand ), tahun 2009 oleh SAI Belanda ( Algemene Rekenkamer ), tahun 2014 oleh SAI Polandia ( Supreme Audit of Poland ), dan tahun 2019 oleh gabungan SAI yang terdiri dari SAI Polandia, SAI Norwegia ( Office of the Auditor General of Norway ), dan SAI Estonia ( The National Audit Office of Estonia ). Secara umum hal-hal yang diperiksa dalam peer review terhadap BPK RI meliputi aspek kelembagaan dan aspek pemeriksaan. PDTT secara khusus dibahas dalam peer review yang dilaksanakan pada tahun 2009, 2014, dan 2019. Dalam BPK Peer Review Report Tahun 2009 antara lain dinyatakan sebagai berikut: “We found that the Special Purpose Audit Manual complies with international standards and applicable laws and regulations...” “However, we found that the manual does not adequately clarify what type of audit should be used when. Owing to the amount of information the manual contains it is also difficult to obtain a clear understanding of the procedural differences between the three types of special purpose audit. We recommend that the manual be restructured to provide planning, fieldwork and reporting information by type of special purpose audit in separate chapters .” Kemudian dalam Peer Review Tahun 2014 rekomendasi terkait PDTT adalah: “Special purpose audits can be a convenient form to integrate various types of audits. It should not be reduced to compliance or fact sheets: systemic and performance conclusions and recommendations should be applied everywhere, where needed and useful.” Menindaklanjuti rekomendasi dari hasil kedua peer review tersebut, BPK melakukan penyempurnaan atas Peraturan BPK Nomor 1 Tahun 2007 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) dengan menetapkan Peraturan BPK Nomor 1 Tahun 2017 yang dipergunakan pula sebagai standar PDTT. Selain itu, BPK juga menyusun pedoman internal bagi para Pemeriksa BPK dalam melakukan PDTT, yang terdiri atas:
Keputusan BPK Nomor 9/K/I-XIII.2/12/2015 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemeriksaan Investigatif dan Penghitungan Kerugian Negara, tanggal 29 Desember 2015; serta b. Keputusan BPK Nomor 3/K/I-XIII.2/5/2018 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemeriksaan Kepatuhan, tanggal 11 Mei 2018. 131 Hasil peer review yang __ terakhir pada tahun 2019 memberikan review yang sangat baik kepada BPK, sebagai berikut: - “As for the BPK’s compliance audit, it can be generally assesses as of high quality”. (Peer Review Report, Executive Summary) - When analysing the sampled compliance audits, the Reviewer found that materiality was mostly assessed by using the value concept – by scoring different observations and, at the end, giving an average score. ( Peer Review Report, Domain B: Internal Governance and Ethics ) __ - On the basis of the sample of compliance audits analysed by the Reviewer it can be stated that the audit teams are composed of persons with different backgrounds, both in auditing and in specific areas, such as road construction and engineering. If audit teams lack certain expertise, experienced experts are hired.” ( Peer Review Report, Domain C: Audit Quality and Reporting ) __ Selain itu, untuk mengatur perilaku pemeriksa, BPK telah mempunyai Kode Etik yang diatur dalam Peraturan BPK Nomor 4 Tahun 2018 tentang Kode Etik Badan Pemeriksa Keuangan dan Peraturan BPK Nomor 5 Tahun 2018 tentang Majelis Kehormatan Kode Etik Badan Pemeriksa Keuangan. Upaya lain untuk menghindari abuse of power adalah dengan menerapkan rotasi pemeriksa secara reguler yang mempertimbangkan kompetensi dan beban tugas yang diemban . Sebagai bentuk checks and balances , LHP PDTT disampaikan kepada Lembaga Perwakilan, pemerintah, dan/atau aparat penegak hukum. Hal ini menandakan bahwa PDTT yang dilakukan BPK akuntabel atau dapat dipertanggungjawabkan. __ Pertanyaan dari Yang Mulia Hakim Enny Nurbaningsih Pertanyaan pertama: _Dalam Penjelasan UU 15/2004: _ “Pemeriksaan dengan tujuan tertentu, adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan tujuan khusus, di luar pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja.” Bagaimana penjelasan mengenai “tujuan tertentu” dan “tujuan khusus” dalam perdebatan penyusunan ketentuan tersebut? Dalam risalah pembahasan yang dibahas adalah pasal dalam batang tubuh dan penjelasan pasalnya, yaitu dalam Pasal 4 ayat (4) UU 15/2004 yang menyatakan bahwa pemeriksaan dengan tujuan tertentu adalah pemeriksaan yang tidak termasuk dalam pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja. Selanjutnya dalam penjelasannya dinyatakan, pemeriksaan dengan tujuan tertentu meliputi antara lain pemeriksaan atas hal-hal lain di bidang keuangan, pemeriksaan investigatif, dan pemeriksaan atas sistem pengendalian intern pemerintah. 132 Kata “khusus” termuat dalam Penjelasan Umum UU 15/2004 yang tidak secara khusus dibahas dalam pembahasan RUU tentang pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Dalam Penjelasan Umum dinyatakan bahwa PDTT adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan tujuan khusus, di luar pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja. Termasuk dalam pemeriksaan tujuan tertentu ini adalah pemeriksaan atas hal-hal lain yang berkaitan dengan keuangan dan pemeriksaan investigatif. Dengan demikian, kata “khusus” dalam Penjelasan Umum UU 15/2004 harus dimaknai sesuai dengan Pasal 4 ayat (4) UU 15/2004. Pertanyaan kedua: __ Apakah ketiga jenis pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK satu sama lain berurutan/berkelindan? Untuk pertanyaan tersebut, dapat sampaikan bahwa: Tiga jenis pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK tidak harus dilakukan secara berurutan. Pada saat yang bersamaan BPK dapat melakukan lebih dari satu jenis pemeriksaan, misalnya Pemeriksaan LK dan Pemeriksaan Kinerja atau Pemeriksaan Kinerja dan PDTT. Namun, bisa juga dilakukan sebagai sebuah pemeriksaan lanjutan, terutama untuk PDTT. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, PDTT sebagai pemeriksaan lanjutan dari pemeriksaan sebelumnya dilakukan apabila terdapat permasalahan yang ditemukan dalam pemeriksaan sebelumnya (keuangan atau kinerja), namun tidak dapat diperdalam dengan mempergunakan metode pemeriksaan keuangan atau kinerja tersebut. Selain sebagai sebuah pemeriksaan lanjutan, PDTT juga bisa dilakukan berdasarkan permintaan dari DPR atau APH, serta berdasarkan rencana pemeriksaan BPK, contohnya PDTT atas entitas berbentuk BUMN yang menurut Undang-Undang, LK-nya diperiksa oleh Akuntan Publik. Penyusunan rencana pemeriksaan dilakukan oleh BPK dengan mempertimbangkan isu pengelolaan keuangan negara yang menjadi perhatian publik, prioritas utama pemerintah, analisa BPK atas tren hasil pemeriksaan BPK beberapa tahun sebelumnya, dan hasil pemeriksaan aparat pengawasan intern pemerintah. Pertanyaan ketiga: WTP bukan merupakan indikator penentu. Bagaimana dalam praktik suatu lembaga sudah mendapat opini WTP tapi masih dilakukan PDTT terhadap lembaga tersebut? Apakah PDTT bisa dilakukan tanpa Pemeriksaan Keuangan dan Pemeriksaan Kinerja? 133 Sebagaimana penjelasan sebelumnya, WTP atau lebih jelasnya Wajar Tanpa Pengecualian, adalah salah satu jenis opini yang dapat diberikan oleh Pemeriksa atas suatu LK untuk menyatakan bahwa kewajaran informasi keuangan yang disajikan dalam laporan tersebut telah sesuai dengan kriteria. Adapun kriteria yang dimaksud untuk pemberian opini ini sesuai penjelasan Pasal 16 ayat (1) UU 15/2004 adalah: kesesuaian dengan standar akuntansi pemerintahan, kecukupan pengungkapan ( adequate disclosures ), kepatuhan terhadap peraturan perundang- undangan, dan efektivitas sistem pengendalian intern. Hal tersebut dapat dimaknai bahwa baik WTP maupun ketiga jenis opini lain yang diberikan oleh Pemeriksa terhadap suatu LK merupakan indikator penentu atas kualitas suatu LK dalam hal kewajaran penyajian informasi keuangannya sesuai dengan standar. Mengulang penjelasan kami sebelumnya, berdasarkan UU 15/2004 dan UU 15/2006, terdapat tiga jenis pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK, yaitu Pemeriksaan Keuangan, Pemeriksaan Kinerja, dan PDTT. Perbedaan mendasar dari ketiga jenis pemeriksaan tersebut adalah pada tujuannya. Tujuan Pemeriksaan Keuangan adalah sebagaimana telah dijelaskan di atas, dengan cara menilai kebenaran, kecermatan, kredibilitas, dan keandalan informasi dalam LK. Pemeriksaan Kinerja adalah untuk memastikan bahwa kegiatan yang dibiayai dengan keuangan negara diselenggarakan secara ekonomis dan efisien, serta memenuhi sasarannya secara efektif, sedangkan PDTT dilakukan dengan tujuan khusus, di luar kedua jenis pemeriksaan yang lain. Perbedaan tujuan antara Pemeriksaan Keuangan dan PDTT berakibat pada perbedaan metode, ruang lingkup, dan fokus kedua pemeriksaan tersebut. Salah satu contohnya adalah pemeriksaan yang dilakukan atas suatu instansi. Untuk menilai kewajaran penyajian pertanggungjawaban seluruh penerimaan dan pengeluaran APBN, dilakukan Pemeriksaan atas LK. Sementara untuk memeriksa secara lebih fokus pada suatu aspek tertentu dalam APBN, dilakukan PDTT. Yang dimaksud dengan aspek tertentu misalnya PNBP, belanja barang dan jasa, atau manajemen aset. Merujuk pada penjelasan kami sebelumnya, diberikannya opini WTP atas LK suatu instansi tidak menutup kemungkinan untuk dilakukannya PDTT terhadap instansi tersebut. Sebagai tambahan contoh, pada saat pemeriksaan LK ditemukan ada ketekoran kas. Atas hal tersebut bendahara telah membuat Surat Keterangan Tanggung Jawab Mutlak (SKTJM) yang dicatat sebagai piutang lain- lain dalam LK dan diungkapkan dalam catatan akuntansi. Secara kewajaran LK, hal ini tidak akan mempengaruhi opini, sehingga instansi tersebut dapat memperoleh opini WTP atas kewajaran penyajian LK-nya. Namun demikian, untuk mengetahui penyebab terjadinya ketekoran kas tersebut harus dilakukan pemeriksaan lebih lanjut melalui PDTT. Harapannya, dengan metode, ruang 134 lingkup, dan fokus pemeriksaan yang berbeda, yaitu soal ketekoran kas, maka akan dapat diperoleh kesimpulan yang lebih jelas mengenai permasalahan tersebut. Contoh di atas memberikan gambaran PDTT sebagai pemeriksaan lanjutan dari pemeriksaan atas suatu LK karena adanya masalah ketekoran kas yang tidak dapat diperdalam dengan menggunakan metode pemeriksaan keuangan. Namun demikian, sesungguhnya tiga jenis pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK tidak harus dilakukan secara berurutan. Selain melakukan PDTT sebagai pemeriksaan lanjutan, BPK dapat melakukan lebih dari satu jenis pemeriksaan pada saat yang bersamaan. Contohnya, Pemeriksaan LK dan Pemeriksaan Kinerja atau Pemeriksaan Kinerja dan PDTT. Selain sebagai sebuah pemeriksaan lanjutan, PDTT juga bisa dilakukan berdasarkan permintaan dari DPR atau APH, serta berdasarkan rencana pemeriksaan BPK. Penyusunan rencana pemeriksaan dilakukan oleh BPK dengan mempertimbangkan isu pengelolaan keuangan negara yang menjadi perhatian publik, prioritas utama pemerintah, analisa BPK atas tren hasil pemeriksaan BPK beberapa tahun sebelumnya, dan hasil pemeriksaan aparat pengawasan intern pemerintah. Pertanyaan keempat: PDTT bisa dilakukan atas inisiatif BPK dan atas permintaan. Dalam praktik seberapa besar jumlah PDTT yang berdasarkan inisiatif BPK dan yang berdasarkan permintaan dari luar? Inisiatif BPK untuk melakukan PDTT dituangkan dalam Rencana Kerja Pemeriksaan (RKP). PDTT yang dilakukan berdasarkan RKP BPK merupakan wujud kemandirian BPK sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 23E ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 2 UU 15/2006. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 6 dan Penjelasan Umum UU 15/2004, yang menyatakan sebagai berikut: Pasal 6: “Penentuan objek pemeriksaan, perencanaan dan pelaksanaan pemeriksaan, penentuan waktu dan metode pemeriksaan, serta penyusunan dan penyajian laporan pemeriksaan dilakukan secara bebas dan mandiri oleh BPK.” Penjelasan Umum Huruf C.: __ “BPK memiliki kebebasan dan kemandirian dalam ketiga tahap pemeriksaan, yakni perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan hasil pemeriksaan. Kebebasan dalam tahap perencanaan mencakup kebebasan dalam menentukan obyek yang akan diperiksa, kecuali pemeriksaan yang obyeknya telah diatur tersendiri dalam undang-undang, atau pemeriksaan berdasarkan permintaan khusus dari lembaga perwakilan.” 135 Berdasarkan data dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, rekapitulasi LHP PDTT BPK yang dilakukan berdasarkan RKP tahunan BPK adalah sebagai berikut: Tahun Jumlah LHP PDTT Total Nilai Penyetoran Selama Proses Pemeriksaan (Rp Juta) Permasalahan Nilai (Rp Juta) RKP 2017 237 3.562 31.704.063,34 80.924,90 2018 286 3.601 10.149.932,92 406.128,47 Semester I 2019 37 734 4.811.962,12 314.927,79 Total 560 7.897 46.665.958,38 801.981,16 Mengacu pada tabel tersebut dapat dijelaskan bahwa sejak tahun 2017 hingga semester I 2019 telah dilakukan 560 PDTT. Dalam pemeriksaan tersebut telah diungkap 7.897 permasalahan senilai total Rp46.665.958,38 juta. Permasalahan yang diungkap terdiri atas permasalahan SPI, ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, serta temuan ketidakhematan, ketidakefisienan, dan ketidakefektifan. Selama proses pemeriksaan, telah dilakukan penyetoran senilai total Rp801.981,16 juta. Selain PDTT yang dilakukan berdasarkan RKP tersebut, BPK juga melakukan PDTT dalam bentuk Pemeriksaan Investigatif (PI) dan Penghitungan Kerugian Negara (PKN) berdasarkan permintaan lembaga perwakilan dan aparat penegak hukum. Pelaksanaan PI dan PKN dalam periode tahun 2017-2019 adalah sebagai berikut: Pemeriksaan Investigatif Tahun 2017 s.d. 2019 Tahun Jumlah LHP Nilai Temuan - Nilai Indikasi Kerugian (Rp) Tindak Lanjut 2017 Perminta an DPR 1 4.081.122.000.000,00 Sudah dimanfaatkan dalam proses penyidikan Perminta an APH (Kepolisi an) 2 68.700.452.556,18 1 LHP (dengan nilai indikasi kerugian Rp21.622.309.000) sudah dimanfaatkan dalam proses penyelidikan dan 1 lainnya (dengan nilai indikasi kerugian Rp47.078.143.556) dalam proses penyidikan Total 3 4.149.822.452.556,18 2018 Perminta an DPR 3 3.631.373.059.942,79 1 LHP (dengan nilai indikasi kerugian Rp1.032.751.449.287) sudah dimanfaatkan dalam proses penyelidikan dan 2 lainnya (dengan nilai indikasi kerugian Rp2.598.621.610.655) dalam proses penyidikan Permintaan APH 549.543.386.637,88 3 LHP (dengan nilai indikasi kerugian Rp50.400.643.908) 136 sudah dimanfaatkan dalam proses penyelidikan dan 6 lainnya (dengan nilai indikasi kerugian Rp499.142.742.729) dalam proses penyidikan - KPK 1 36.694.669.638,00 - Kepolisi an 7 447.184.716.999,88 - Kejaksa an 1 65.664.000.000,00 Total 12 4.180.916.446.580,67 2019 Rencana BPK 2 40.874.981.615,79 Telah dimanfaatkan di tahap penyelidikan Permintaan APH 332.348.240.712,52 Telah dimanfaatkan di tahap penyelidikan - KPK 1 27.385.018.874,00 - Kepolisi an 4 304.963.221.838,52 Total 7 373.223.222.328,10 TOTAL PI 22 8.703.962.121.464,95 Penghitungan Kerugian Negara Tahun 2017 s.d. 2019 Tahun Jumlah LHP Nilai Temuan – Nilai Kerugian (Rp) Tindak Lanjut 2017 - KPK 3 4.611.355.944.853,54 71 LHP (dengan nilai kerugian Rp6.556.425.377.602,65) kasusnya sudah dinyatakan P-21 dan 10 LHP (dengan nilai kerugian Rp94.052.491.336,97) sudah dimanfaatkan di tahap penyidikan - Kepoli sian 48 1.314.535.900.601,39 - Kejaks aan 30 724.586.023.484,69 Total 81 6.650.477.868.939,62 2018 - KPK 2 56.913.570.320,38 61 LHP (dengan nilai kerugian Rp3.225.093.290.692,67) kasusnya sudah dinyatakan P-21 dan 24 LHP (dengan nilai kerugian Rp307.608.435.651,55) sudah dimanfaatkan di tahap penyidikan - Kepolisi an 53 949.712.119.133,24 - Kejaksa an 30 2.526.076.036.890,60 Total 85 3.532.701.726.344,22 2019 - KPK 4 221.402.459.924,98 8 LHP (dengan nilai kerugian Rp780.752.165.635,12) kasusnya sudah dinyatakan P-21 dan 57 LHP (dengan nilai kerugian Rp965.904.120.416,25) sudah dimanfaatkan di tahap penyidikan - Kepolisi an 41 612.078.830.056,73 - Kejaksa an 20 913.174.996.069,66 Total 65 1.746.656.286.051,37 TOTAL PKN 231 11.929.835.881.335,20 137 Dalam kurun tahun 2017-2019, nilai indikasi kerugian yang berhasil diungkap dalam Pemeriksaan Investigatif adalah sebesar Rp8.703.962.121.464,95. Sementara dari PKN, dapat diungkap nilai kerugian negara sebesar Rp11.929.835.881.335,20. Hasil dari PI dan PKN berupa LHP telah ditindaklanjuti dengan proses penegakan hukum oleh APH, baik berupa penyelidikan maupun penyidikan. Selain pengembalian kerugian negara, dari PDTT dapat dilakukan penghematan uang negara melalui mekanisme koreksi subsidi dan koreksi cost recovery dengan data dalam tabel berikut ini: Tahun Koreksi Subsidi Berdasarkan Tahun IHPS (Rp juta) Koreksi Cost Recovery (Rp juta) Total (Rp juta) 2017 2.083.448,63 13.408.146,93 15.491.595,56 2018 2.875.039,51 2.041.700,31 4.916.739,82 Semester I 2019 8.778.654,38 118.016,54 8.896.670,92 Total 13.737.142,52 15.567.863,78 29.305.006,30 Dari data tersebut diketahui bahwa dalam kurun waktu tahun 2017 sampai dengan Semester I 2019, jumlah uang negara yang telah dihemat melalui mekanisme koreksi subsidi adalah sebesar Rp13.737.142,52 juta. Sementara mekanisme koreksi cost recovery telah menghemat uang negara sebesar Rp15.567.863,78 juta. Dengan demikian, total uang negara yang telah dihemat adalah sebesar Rp29.305.006,30 juta. Pertanyaan kelima: Apakah yang dilakukan atas inisiatif BPK adalah untuk PDTT yang belum dilakukan pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja? Karena apa? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, dapat kami sampaikan bahwa sumber pelaksanaan PDTT dapat berasal dari adanya permintaan dari lembaga perwakilan atau APH dan dapat berasal dari rencana pemeriksaan BPK (inisiatif). Rencana pemeriksan tersebut merupakan bentuk kemandirian BPK dalam menentukan objek pemeriksaan. Penyusunan rencana pemeriksaan oleh BPK dilakukan dengan mempertimbangkan antara lain informasi dari LHP sebelumnya (pemeriksaan lanjutan), isu pengelolaan keuangan negara yang menjadi perhatian publik, prioritas utama pemerintah, analisa BPK atas tren hasil pemeriksaan BPK beberapa tahun sebelumnya, dan hasil pemeriksaan aparat pengawasan intern pemerintah. 138 Selanjutnya, pertanyaan dari Yang Mulia Hakim Suhartoyo Pertanyaan pertama: Ini persoalan nomenklatur. Sesungguhnya mengenai PDTT investigatif sudah clear. Hanya persoalannya, apakah tepat bila “rumah”-nya adalah PDTT? Terhadap pertanyaan tersebut dapat kami sampaikan bahwa menurut pendapat kami, tidak ada persoalan nomenklatur dalam perkara uji materi ini. Sebagaimana praktik di dunia internasional yang telah kami sampaikan, selain Pemeriksaan Keuangan dan Pemeriksaan Kinerja juga terdapat Pemeriksaan Kepatuhan dan Pemeriksaan Investigatif. Pemeriksaan Kepatuhan dan Pemeriksaan Investigatif inilah yang dalam UU 15/2004 dan UU 15/2006 disebut sebagai PDTT. Sehingga terminologi PDTT sudah sangat clear diatur dalam kedua UU tersebut. Sejalan dengan hal tersebut, dalam SPKN juga disebutkan bahwa PDTT dapat berbentuk pemeriksaan kepatuhan dan pemeriksaan investigatif. Tujuan pemeriksaan kepatuhan adalah untuk menilai apakah hal pokok ( subject matter ) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (yang digunakan sebagai kriteria). Tujuan pemeriksaan investigatif adalah mengungkap ada tidaknya indikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsur pidana pada pengelolaan keuangan negara. Pertanyaan kedua: Selebihnya selain investigatif, apa yang menjadi substansi PDTT? Kalau tidak clear kenapa tidak diubah menjadi “pemeriksaan investigatif”? Kalau nomenklatur PDTT diubah menjadi jenis pemeriksaan investigatif, apakah kewenangan-kewenangan pemeriksaan yang lain selain investigatif ter-cover atau tidak? Hal ini penting supaya ketentuan tersebut dapat dirapikan MK tanpa mengurangi kewenangan, supaya tidak bias dan supaya tidak ada tarik-menarik antara WTP dan PDTT. Izinkan kami menyampaikan kembali mengenai substansi atau bentuk PDTT yang berupa pemeriksaan kepatuhan dan pemeriksaan investigatif. Meskipun baik pemeriksaan kepatuhan dan pemeriksaan investigatif menghasilkan kesimpulan, namun keduanya mempunyai tujuan yang berbeda. Tujuan PDTT dalam bentuk pemeriksaan kepatuhan adalah untuk menilai apakah hal pokok yang diperiksa sesuai (patuh) dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Aspek pemeriksaan kepatuhan dapat berupa regularity (ketaatan pada kriteria formal, seperti peraturan perundangan dan perjanjian yang relevan) dan/atau propriety (ketaatan pada prinsip umum pelaksanaan tata kelola 139 keuangan yang baik dan perilaku pejabat publik). Lembaga sektor publik dituntut untuk transparan dan akuntabel serta melaksanakan tata kelola dengan baik dalam mengelola dana yang dihimpun dari masyarakat. Masyarakat tidak dapat serta merta mempercayai mutlak pejabat sektor publik dalam memenuhi tanggung jawabnya. Di sinilah pemeriksaan kepatuhan memerankan pola dalam meyakini prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, dan tata kelola yang baik. Tujuan PDTT dalam bentuk pemeriksaan investigatif adalah untuk mengungkap adanya indikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsur pidana. PDTT dalam bentuk pemeriksaan investigatif ini hanya dilakukan ketika terdapat predikasi yang memadai. Predikasi adalah keseluruhan dari peristiwa, keadaan pada saat peristiwa itu, dan segala hal yang terkait atau berkaitan yang dapat membawa seseorang yang memiliki akal sehat, profesional, dan memiliki tingkat kehati-hatian, untuk yakin bahwa fraud telah, sedang atau akan terjadi (PBPK 1/2017 PSP 100 angka 5 huruf v). Sumber predikasi dapat berasal dari temuan pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, maupun pemeriksaan kepatuhan, dan informasi pihak internal maupun eksternal BPK. Sehingga jika PDTT dirapikan hanya menjadi pemeriksaan investigatif, maka substansi PDTT kepatuhan untuk meyakini kesesuaian kegiatan manajemen terhadap peraturan perundang-undangan seperti pengadaan barang dan jasa, pemberian subsidi, dan manajemen aset tidak dapat dilakukan. Pertanyaan ketiga: __ Tadi dijelaskan bahwa ada perbedaan metode dan ruang lingkup. Ini maksudnya seperti apa? Dalam Pelaksanaan Tugasnya BPK dapat melakukan pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja dan PDTT. Pemeriksaan Keuangan adalah pemeriksaan atas LK yang bertujuan untuk memberikan opini atas kewajaran informasi yang disajikan dalam LK berdasarkan standar yang digunakan dalam penyusunan LK. Dalam pemeriksaan keuangan, objek pemeriksaan adalah LK. Kriteria yang digunakan sebagai dasar pemberian opini adalah standar yang digunakan dalam penyusunan LK. Contohnya untuk LK pemerintah pusat, standar yang digunakan adalah Standar Akuntansi Pemerintah (SAP) yang berbasis akrual sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 71 tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintah. Sedangkan dalam pemeriksaan atas LK Bank Indonesia kriteria yang digunakan adalah standar akuntansi yang berlaku bagi Bank Indonesia yang disebut Kebijakan Akuntansi Keuangan Bank Indonesia. Hasil dari pemeriksaan LK adalah opini BPK atas kewajaran penyajian LK yang disusun oleh masing-masing entitas sesuai standar yang berlaku. 140 PDTT adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan tujuan khusus di luar Pemeriksaan Keuangan dan Pemeriksaan Kinerja. Termasuk dalam PDTT ini adalah pemeriksaan atas hal-hal lain yang berkaitan dengan keuangan dan pemeriksaan investigatif. Laporan pemeriksaan ini memuat kesimpulan. PDTT sudah difokuskan pada aspek tertentu, misalnya atas PNBP, belanja barang dan jasa, manajemen aset, atau kepastian terhadap kontrak/perjanjian. Diberikannya opini WTP atas LK suatu instansi tidak menutup kemungkinan untuk dilakukannya PDTT terhadap instansi tersebut, apabila dari hasil Pemeriksaan Keuangan atau dari hasil Pemeriksaan Kinerja terdapat hal yang menurut BPK perlu untuk diperiksa lebih lanjut, termasuk untuk mengungkap adanya kerugian negara. _Kemudian, pertanyaan dari Yang Mulia Hakim Arief Hidayat, sebagai berikut: _ Dalam Permohonan dinyatakan bahwa terdapat ketidakpastian dan berpotensi disalahgunakan. Secara normatif sudah clear bahwa instrumen itu diperlukan. PDTT yang dilakukan berdasarkan undang-undang dan atas permintaan bisa dimengerti. Tetapi yang atas inisiatif BPK bisa menjadi “pedang bermata dua”. Makna terdalam dari pertanyaan Pemohon itulah yang belum terjawab memang ada di tataran implementasi bisa disalahgunakan. Jadi secara potensial bisa disalahgunakan oleh BPK atau oknum BPK. Bagaimana kontrol terhadap penggunaan yang inisiatif? Mahkamah bisa merapikan tanpa merugikan hak konstitusional warga dan lembaga yang diperiksa. Misalnya saja harus diartikan bahwa yang dinamakan PDTT hanya atas permintaan undang-undang atau lembaga lain. Sehingga yang atas inisiatif BPK itu kita hapuskan. Jelaskan apakah selama ini sudah aman-aman saja atau masih mengandung potensi disalahgunakan? Majelis Hakim telah memiliki pemahaman yang sama mengenai “PDTT yang dilakukan berdasarkan undang-undang dan PDTT atas permintaan lembaga perwakilan atau APH”. Izinkan kami selanjutnya menjelaskan PDTT yang dalam Keterangan BPK sebelumnya disebut dengan ‘inisiatif’. PDTT tersebut kami maksudkan untuk menjelaskan mengenai pelaksanaan PDTT yang bersumber dari Rencana Kerja Pemeriksaan (RKP) BPK. RKP merupakan bentuk kemandirian BPK dalam menentukan objek pemeriksaan sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi. Penyusunan rencana pemeriksaan oleh BPK dilakukan dengan mempertimbangkan antara lain informasi dari LHP sebelumnya (pemeriksaan lanjutan), isu pengelolaan keuangan negara yang menjadi perhatian publik, prioritas utama pemerintah, analisa BPK atas tren hasil pemeriksaan BPK beberapa tahun sebelumnya, dan hasil pemeriksaan aparat pengawasan intern pemerintah. Hal ini sejalan dengan yang telah kami jelaskan 141 pada bagian sebelumnya dalam keterangan tambahan yang menyatakan perlunya Pemeriksa mempertimbangkan risiko adanya ketidakpatuhan. Terkait dengan adanya potensi penyalahgunaan wewenang dalam pelaksanaan PDTT, dalam Standar Pemeriksaan BPK diatur mengenai pengendalian mutu pemeriksaan. Sistem pengendalian mutu BPK mencakup supervisi, reviu berjenjang, monitoring, dan konsultasi selama proses pemeriksaan. Sistem pengendalian itu yang mengendalikan Tim Pemeriksa yang melaksanakan PDTT. Selain itu, sistem pengendalian mutu BPK ditelaah secara internal oleh BPK dan secara berkala ditelaah oleh badan pemeriksa keuangan negara lain yang menjadi anggota organisasi pemeriksa keuangan sedunia ( International Organization of Supreme Audit Institutions /INTOSAI). Penelaahan dapat dilakukan oleh BPK negara lain sesuai ketentuan Pasal 33 UU 15/2006, tentunya karena pelaksanaan pemeriksaan sampai dengan laporan hasil PDTT juga telah mengacu pada standar dan best practices yang berlaku secara internasional dan mendapat predikat sangat baik (sebagaimana telah dijelaskan dalam jawaban atas pertanyaan Majelis Hakim sebelumnya). Selain itu, terkait dengan potensi penyalahgunaan wewenang, BPK telah menegakkan Kode Etik yang diatur dalam Peraturan BPK Nomor 4 Tahun 2018 tentang Kode Etik BPK dan Peraturan BPK Nomor 5 Tahun 2018 tentang Majelis Kehormatan Kode Etik BPK. Upaya lain untuk menghindari abuse of power adalah dengan menerapkan rotasi Pemeriksa secara reguler yang mempertimbangkan kompetensi dan beban tugas yang diemban. Sehingga, secara keseluruhan berdasarkan uraian tersebut, pelaksanaan PDTT dapat berjalan dengan aman dan tidak menjadi “pedang bermata dua”, baik yang atas amanat undang-undang, permintaan lembaga perwakilan dan APH serta atas perencanaan pemeriksaan oleh BPK. Selama ini pelaksanaan PDTT sudah sesuai dengan prosedur/standar dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta berkontribusi positif dalam perbaikan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Kami justru mengkhawatirkan apabila ada perubahan (dalam arti ‘dirapikan’) rumusan atau makna PDTT dalam norma a quo, maka akan dapat menjadikan pemeriksaan di Indonesia berbeda dengan negara-negara lain yang berlaku secara universal. Selain itu pembatasan PDTT hanya dapat dilakukan berdasarkan permintaan lembaga perwakilan dan APH, maka BPK dapat dijadikan sebagai “alat” kepentingan pihak-pihak tertentu yang berpotensi menciderai mekanisme checks and balances serta menciderai independensi BPK. 142 Selain itu, Pihak Terkait menghadirkan satu orang ahli bernama Andi Mattalatta, SH., M.Hum. yang didengar keterangannya di depan persidangan pada tanggal 18 Februari 2020, serta menyerahkan keterangan tertulisnya yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: Ahli: Andi Mattalatta, SH., M.Hum. Pemohon dalam perkara ini mempersoalkan atau mempertanyakan konstitusionalitas kewenangan BPK melakukan PDTT sebagaimana dimaksud karena tidak sesuai dengan original intent Pasal 23E ayat 1 UUD 1945. Sesuai dengan posisi saya sebagai anggota Badan Pekerja MPR RI yang membahas perubahan Undang-Undang Dasar 1945 mulai tahun 1999 sampai dengan tahun 2002, maka keterangan yang akan saya sampaikan di sidang yang mulia ini akan terbatas pada pemahaman saya yang bersumber pada perkembangan pemikiran dan suasana pembahasan perubahan Undang-Undang Dasar 1945. Dari perkembangan pemikiran dan suasana pembahasan itu mudah- mudahan kita dapat menarik kesimpulan atau pemahaman bahwa semangat perubahan Undang-Undang Dasar telah ditindaklanjuti secara tepat dalam menerbitkan ketentuan lanjutannya berupa ketentuan perundang-undangan yang dilakukan oleh pembuat undang undang. Pemahaman akan perkembangan pemikiran dan semangat perubahan Undang-Undang Dasar itu dengan sendirinya juga bisa berguna untuk dijadikan tolok ukur untuk menilai apakah ketentuan lanjutan yang ada dalam Undang-Undang sesuai dengan semangat Undang- Undang Dasar sehingga dianggap konstitusional atau tidak. Seperti diketahui bersama bahwa semangat utama perubahan Undang- Undang Dasar yang dilakukan dalam kurun waktu tahun 1999 sampai dengan tahun 2002 dimaksudkan agar tercipta pengelolaan negara di semua aspek kehidupan yang menjamin arah terwujudnya cita cita nasional yang termuat dalam alenia 4 Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu "melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksaakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial". Masing-masing aspek kehidupan itu dirumuskan prinsip prinsip pencapaiannya dalam pasal-pasal. Ada aspek kehidupan yang hanya 143 mencantumkan prinsip pencapaiannya tanpa menyebut secara eksplisit institusi penanggung jawabnya, karena penyelenggaraannya melibatkan berbagai institusi kenegaraan. Ada pula aspek kehidupan selain menyebut prinsip pengelolaannya juga menyebut institusi penanggung jawabnya karena dianggap strategis sehingga perlu kepastian konstitusionalnya. Aspek kehidupan yang hanya menyebut prinsip pengelolaannya misalnya aspek pengelolaan keuangan negara harus dilaksanakan secara terbuka dan bertanggungjawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (Pasal 23 ayat (1)). Aspek perekonomian, prinsipnya disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan (Pasal 33 ayat (1)) yang penyelenggaraannya berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional (Pasal 33 ayat (4)). Aspek pengelolaan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak serta pengelolaan bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (Pasal 33 ayat (2) dan (3)) dan beberapa contoh lainnya yang tidak kami sebutkan rinci di sini. Pada bagian lain ada pula aspek kehidupan yang selain disebut prinsip pengelolaannya juga disebut institusi penanggung jawabnya karena dianggap strategis dalam kehidupan berbangsa dan benegara sekaligus menegaskan tidak adanya institusi lain selain yang disebutkan dalam Undang-Undang Dasar. Rumusan seperti ini antara lain, untuk menjamin pelaksanaan pengelolaan keuangan negara secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 23, maka diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara (Pasal 23E ayat (1)). Aspek Peradilan dilaksanakan oleh pemangku kekuasaan kehakiman yaitu Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya dan sebuah Mahkamah Konstitusi dengan prinsip kerja yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan (Pasal 24). Aspek pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik 144 Indonesia sebagai kekuatan utama, dan rakyat, sebagai kekuatan pendukung (Pasal 30 ayat (2)). Prinsip-prinsip pengelolaan berbagai aspek kehidupan yang diungkapkan di atas haruslah menjiwai rumusan norma-norma lanjutan dalam ketentuan perundang-undangan di bawah Undang Undang Dasar serta menjamin kemudahan perwujudannya dalam implementasi. Bukan justru sebaliknya mempersulit implementasinya. Setelah mengungkapkan beberapa prinsip muatan dalam Perubahan Undang-Undang Dasar, kini perkenankan saya fokus pada materi perkara yang sedang dipermasalahkan dalam perkara ini yaitu apakah kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan untuk melakukan Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu memiliki pijakan konstitusi sehingga konstitusional atau tidak. Dalam Undang-Undang Dasar hasil perubahan, tidak ada lagi Lembaga Negara yang memegang dan melaksanakan kewenangannya tanpa pembatasan atau kontrol termasuk Lembaga Majelis Permusyawaratan yang sebelumnya memiliki kekuasaan tak terbatas sesuai penjelasan Undang-Undang Dasar sebelum perubahan. Sekarang Majelis Permusyawaratan Rakyat, kewenangannya hanya yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar. Pembatasan kewenangan dan prinsip pengawasan dalam bentuk checks and balances ini merupakan salah satu wujud semangat pengelolaan negara modern yang dianut oleh Undang- Undang Dasar kita. Lembaga Komisi Yudisial misalnya diciptakan untuk menjadi salah satu alat kontrol dunia peradilan dengan kewenangan mengusulkan hakim agung dan kewenangan lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Lembaga Pemerintahan Daerah diperkuat untuk mencegah lahirnya sentralisasi pemerintahan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang majemuk. Lembaga Dewan Perwakilan Daerah dibentuk untuk menjadi mitra kerja Dewan Perwakilan Rakyat untuk fungsi legislasi dan pengawasan bidang-bidang pemerintahan tertentu. Demikian juga dengan Badan Pemeriksa Keuangan yang tadinya penempatannya dalam Undang-Undang Dasar hanya merupakan salah satu ayat dari pasal keuangan sehingga menggambarkan bahwa fungsi pengawasan dan pemeriksaan dalam pengelolaan keuangan negara bukanlah hal yang penting. Searah dengan semangat pengelolaan keuangan negara yang pelaksanaanya harus terbuka dan bertanggungjawab yang diamanatkan oleh perubahan Undang- 145 Undang Dasar maka institusi pengawas dan pemeriksanyapun, dalam hal ini Badan Pemeriksa Keuangan, harus pula ditingkatkan posisi dan perannya. Peningkatan posisi dan peran Badan Pemeriksa Keuangan itu oleh Undang- Undang Dasar dimaksudkan agar ada jaminan bahwa pengelolaan keuangan negara dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat. Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam pembahasan perubahan Undang- Undang Dasar yang dimulai sejak tahun 1999 telah membahas seluruh materi, termasuk di dalamnya pembahasan tentang Badan Pemeriksa Keuangan. Namun demikian, karena keterbatasan waktu yang dikaitkan dengan sekuen materi maka rumusan baru tentang Badan Pemeriksa Keuangan dan yang berkaitan dengannya baru dapat disepakati pada tahun sidang 2001 setelah melalui pembahasan selama tiga tahun masa sidang. Lamanya pembahasan tentang Badan Pemeriksa Keuangan menunjukkan betapa Majelis Permusyawaratan Rakyat yang membahas perubahan Undang-Undang Dasar memberi perhatian yang sangat serius tentang fungsi dan peran Badan Pemeriksa Keuangan dalam memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara agar betul-betul untuk sebesar-besamya kemakmuran rakyat. Semangat untuk meningkatkan fungsi dan peran pemeriksaan pengelolaan keuangan negara mungkin juga dipengaruhi oleh banyaknya kebocoran dan beratnya beban keuangan negara yang harus ditanggung akibat pengelolaan keuangan negara yang tidak prudent saat itu. Peningkatan posisi, fungsi dan peran Badan Pemeriksa Keuangan dalam pengelolaan keuangan negara yang ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar Negara RI 1945 diwujudkan dalam:
Penempatannya dalam sebuah bab tersendiri. Sebelum perubahan Undang-Undang Dasar penempatan Badan Pemeriksa Keuangan merupakan bagian dari hal keuangan negara dengan menempatkannya sebagai salah satu ayat dalam bab dan pasal tentang keuangan. Penempatan yang demikian ini seolah-olah urusan pemeriksaan keuangan negara bukan hal yang teramat penting. Berangkat dari pemikiran dan semangat keterbukaan pengelolaan keuangan negara dan semangat untuk melahirkan tata kelola pemerintahan yang bersih maka saat itu fungsi pemeriksaan dan pengawasan menjadi penting sehingga institusi yang bertanggungjawab di bidang ini harus juga ditingkatkan bobot kehadirannya. 146 Dengan pertimbangan itu maka Badan Pemeriksa Keuangan oleh Undang- Undang Dasar ditempatkan dalam bab tersendiri terpisah dari bab tentang Keuangan. Dengan Bab tersendiri itu maka kehadiran Badan Pemeriksa Keuangan dan fungsinya menyinari dan menyemangati seluruh aspek kehidupan yang diatur dalam Undang-Undang Dasar.
Penegasan kedudukan BPK yang bebas dan mandiri dalam melaksanakan tugasnya. Sebagai sebuah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugasnya disadari akan banyak kepentingan yang mengitarinya, maka sejak awal perubahan Undang-Undang Dasar sudah membentenginya dengan kebebasan dari intervensi cabang kekuasaan lain. Bahkan dalam perubahan Undang-Undang Dasar mengamanatkan dukungan sumber daya untuk BPK agar mandiri dalam rnelaksanakan tugasnya. Suatu norma yang tidak ada sebelum perubahan Undang-Undang Dasar.
Penegasan bahwa BPK merupakan satu-satunya lembaga negara pemeriksa keuangan negara. Hal ini mengandung makna bahwa lembaga tunggal di luar cabang kekuasaan eksekutif ini konsekwensinya juga memangku kewenangan tunggal dalam merumuskan sistem dan mekanisme pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Dalam hal ini tentu termasuk pemeriksaan yang bersifat rutin dan umum terhadap laporan keuangan lembaga-lembaga negara dan pemerintahan lainnya serta pemeriksaan yang bersifat khusus sesuai kaidah-kaidah pemeriksaan pengelolaan keuangan negara.
Hasil pemeriksaan ditujukan tidak terbatas pada lembaga perwakilan. Sebagaimana diketahui bersama bahwa sebelum perubahan Undang-Undang Dasar, hasil pemeriksaan BPK itu diberikan ke Dewan Perwakilan Rakyat. Selanjutnya bergantung Dewan Perwakilan Rakyat apakah akan menjadikannya bahan pengambilan keputusan atau perumusan kebijakan politik di DPR atau tidak. Tidak mengherankan bila saat itu ada yang menyandingkan posisi BPK sebagai alat bantu DPR dan posisi DPA sebagai alat bantu semata dari Presiden. Dengan semangat membangun akuntabilitas pengelolaan keuangan negara maka perubahan Undang-Undang Dasar tidak hanya mengarahkan hasil pemeriksaan itu diberikan ke lembaga perwakilan 147 tetapi juga ke badan lain sesuai Undang-Undang disertai kewajiban untuk menindaklanjutinya (pasal 23E ayat (3)). Dari pesan Undang-Undang Dasar ini tersirat pengertian bahwa ada pemeriksaan rutin yang sifatnya mandatory yang disampaikan ke lembaga perwakilan dan ada juga pemeriksaan ad hoc yang sifatnya tidak mandatory . Pemeriksaan rutin merupakan pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara yang menjadi kewenangan dan tanggung jawab presiden sebagai kepala pemerintahan dalam bentuk laporan keuangan dalam waktu tertentu untuk menilai apakah sudah sesuai dengan kaidah-kaidah akuntansi. Pada masa sekarang kita mengenal kesesuaian dengan kaidah akuntansi sebagai kewajaran laporan keuangan. Sedang pemeriksaan ad hoc atau tidak rutin merupakan pemeriksaan untuk menilai penggunaan dan atau pengelolaan keuangan negara apakah dilaksanakan secara efisien dan efektif, sesuai dengan aturan perundang-undangan, dan tidak ada penyimpangan. Pemeriksaan rutin sifatnya mandatory atau wajib sudah ditentukan oleh undang-undang, sedang pemeriksaan ad hoc atau tidak rutin merupakan pemeriksaan atas kegiatan atau program yang berasal dari insiatif Badan Pemeriksa Keuangan sesuai kewenangannya atau bisa merupakan permintaan lembaga perwakilan, penegak hukum, serta lembaga lain dan atau masukan masyarakat. Pada perkembangannya, pemeriksaan demikian dinyatakan oleh pembuat undang-undang sebagai pemeriksaan kinerja dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Dengan frasa "hasil pemeriksaan tersebut ditindaklanjuti" maka BPK diberi pula kewenangan untuk memantau tindak lanjut pemeriksaan itu yang dilakukan oleh lembaga perwakilan maupun badan lainnya.
Pengembangan tugas BPK menyangkut proses pengelolaan keuangan negara yang diperiksa. Semula sebelum perubahan Undang-Undang Dasar, cakupan pemeriksaan hanya menyangkut tanggung jawab keuangan negara, berkembang setelah perubahan Undang-Undang Dasar menjadi memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara. Pemeriksaan atas tanggung jawab keuangan negara merupakan pemeriksaan atas laporan keuangan yang dibuat pemerintah. Dengan demikian setelah perubahan Undang-Undang Dasar, Badan Pemeriksa Keuangan tidak sekedar memeriksa laporan keuangan yang 148 disajikan, tetapi juga memeriksa seluruh aspek pengelolaan keuangan negara, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga pelaporannya. Jika di masa lalu, pemeriksaan hanya bersifat post audit atau memeriksa laporan keuangan, maka pada waktu pembahasan perubahan Undang-undang Dasar, Badan Pekerja MPR menyepakati bahwa Badan Pemeriksa Keuangan juga memeriksa sejak proses anggaran dibuat atau dikenal dengan preaudit. Maksudnya agar Badan Pemeriksa Keuangan tidak hanya memeriksa setelah kerugian terjadi, namun bisa mencegah kerugian terjadi. Setelah perubahan Undang-Undang Dasar, pemeriksaan BPK tidak hanya menilai kesesuaiannya dengan kaidah akuntansi, namun termasuk memeriksa kesepadanan kebijakan pemerintah dengan arah kebijakan yang ditetapkan dalam Undang-Undang dalam rangka mewujudkan sistem pengelolaan keuangan negara yang terbuka dan bertanggungjawab.
Peningkatan kedudukan, fungsi, dan tugas BPK dalam kerangka menciptakan check and balances antar lembaga negara. Lembaga-lembaga sebagaimana ditetapkan dalam perubahan UUD 1945 diatur kewenangannya dalam rangka checks and balances (saling mengawasi dan mengimbangi) sepanjang diperlukan. Oleh karena itu semua lembaga negara dimaksud memiliki kedudukan yang sejajar dalam melaksanakan fungsinya masing-masing. BPK disebut sebagai pemegang kekuasaan auditif, merupakan lembaga negara yang bebas dan mandiri, serta memiliki fungsi yang telah diperluas pula. Fungsi BPK meliputi “memeriksa” pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara dari semua lembaga yang menggunakan uang APBN maupun APBD, BUMN/BUMD, dan lain-lain badan, dalam pengertian keuangan negara. Kebebasan dan kemandirian BPK tidak lepas dari keterkaitannya dengan fungsi DPR di bidang legislasi, anggaran, dan pengawasan. Demikian halnya dengan fungsi Presiden di bidang legislasi dan eksekutif. Misalnya dalam pembuatan UU Tentang BPK, UU Tentang Keuangan Negara, UU Tentang Perbendaharaan Negara, UU Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara termasuk penyusunan RUU-APBN oleh Presiden kemudian dibahas dengan DPR untuk mendapatkan persetujuan bersama menjadi UU. Di dalam UU APBN tersebut termasuk berapa anggaran belanja yang dibutuhkan BPK. Bagaimana penggunaan 149 anggaran BPK di tahun sebelumnya dan keperluan pembiayaan kegiatan BPK di tahun anggaran yang bersangkutan. Semua itu berpengaruh pula pada kelancaran kerja BPK dalam mengimplementasi ketentuan dalam UUD 1945. Dengan demikian tidak ada lembaga negara yang bebas sebebasnya atau mandiri tanpa keterkaitan dengan fungsi lembaga lainnya. Demikian halnya hubungan BPK dengan DPD. Walaupun DPD tidak sepenuhnya melaksanakan fungsi seperti halnya DPR, namun DPD juga ikut mengawasi BPK. Melalui mekanisme check and balances tersebut, pembahasan perubahan UUD 1945 sudah memperhitungkan pencegahan suatu lembaga negara melakukan abuse of power dengan memanfaatkan kewenangan yang diberikan. Jika ada abuse of power pasti ada lembaga negara yang lain yang akan mecegah atau mengoreksinya. Demikianlah, sebagai negara hukum yang demokratis, semua lembaga negara melaksanakan fungsi dan tugasnya atas dasar ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Peraturan perundang-undangan dimaksud harus mengatur terselenggaranya mekanisme checks and balances antarlembaga negara serta menjamin kemajuan hak asasi manusia dan peradilan yang bebas. Terkait kekuasaan auditif yang dilaksanakan oleh BPK, peraturan perundang- undangan kemudian mengatur ketentuan pemeriksaan harus dilaksanakan berdasar standar pemeriksaan dan pedoman pemeriksaan lainnya yang mengacu pada standar pemeriksaan yang berlaku umum, harus berdasarkan kode etik, ada pengawasan internal di BPK sendiri, pekerjaan BPK harus di- review oleh pihak lain yaitu BPK negara lain, dan ada pengawasan dari DPR dan DPD. Semua aturan ini untuk mencegah tindakan semena-mena atau terjadinya abuse of power oleh BPK dalam melaksanakan kewenangannya. Apalagi dalam situasi keterbukaan informasi publik sekarang ini sangat sulit bagi lembaga publik untuk lepas dari kontrol atau pemantauan masyarakat. Saya sebagai anggota Badan Pekerja yang turut membahas perubahan UUD 1945 menilai hal-hal yang diatur dalam peraturan perundang-undangan telah sejalan dengan maksud dan substansi yang diatur dalam perubahan UUD.
Undang-Undang Dasar sudah barang tentu hanya memuat kaidah-kaidah dasar tentang sesuatu hal. Tidaklah mungkin urusan-urusan tekhnis seperti jenis pemeriksaan diatur dalam Undang-Undang Dasar. Selain karena sifatnya 150 teknis tentu juga Undang-Undang Dasar memberi ruang pengembangan sistem pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara itu sesuai kaidah-kaidah ilmu pengetahuan dan praktik sehari-hari. Untuk mengakomodir itu dirumuskanlah norma yang memungkinkan pengembangan yang sesuai dengan arahan Undang-Undang Dasar. Rumusan itu dimuat dalam Pasal 23G ayat 2 yang berbunyi: “Ketentuan lebih lanjut mengenai Badan Pemeriksa Keuangan diatur dengan Undang-Undang.” Sebagai akhir penjelasan ini saya ingin menegaskan hal-hal sebagai berikut:
Sesuai dengan prinsip-prinsip perubahan Undang-Undang Dasar dan pintu pengembangan yang disiapkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam pasal 23G ayat 2, maka lahirlah Undang-Undang Nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan yang di dalam kedua Undang-Undang itu mengatur tentang kewenangan BPK untuk melakukan Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu.
Kehadiran kewenangan BPK untuk melakukan Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu adalah konstitusional karena merupakan bagian dari semangat penguatan fungsi BPK yang diemban dalam perubahan Undang-Undang Dasar yang pengaturannya diperintahkan oleh pasal 23G ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945. PDTT bersama dengan pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja yang diatur dalam kedua UU tersebut kesemuanya dalam rangka untuk melaksanakan tugas dan fungsi BPK guna memastikan pengelolaan keuangan negara dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Demikianlah keterangan dari seorang pelaku perubahan Undang-Undang Dasar yang dilaksanakan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia sejak tahun 1999 sampai dengan tahun sidang 2002. [2.6] Menimbang bahwa Presiden dan Pihak Terkait BPK menyerahkan kesimpulan yang masing-masing diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 24 Februari 2020 yang pada pokoknya Presiden dan Pihak Terkait BPK tetap pada pendiriannya; 151 [2.7] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, segala sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam Berita Acara Persidangan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini.
PERTIMBANGAN HUKUM Kewenangan Mahkamah [3.1] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 216, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6554, selanjutnya disebut UU MK), Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076), Mahkamah berwenang, antara lain, mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang- Undang terhadap UUD 1945; [3.2] Menimbang bahwa oleh karena permohonan Pemohon adalah permohonan untuk menguji konstitusionalitas norma undang-undang, in casu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 4654, selanjutnya disebut UU 15/2006) dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4400, selanjutnya disebut UU 15/2004) terhadap UUD 1945, maka Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo ; Kedudukan Hukum Pemohon [3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang 152 terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu Undang-Undang, yaitu:
perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama);
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
badan hukum publik atau privat; atau
lembaga negara; Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan terlebih dahulu:
kedudukannya sebagai para Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK;
ada tidaknya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian dalam kedudukan sebagaimana dimaksud pada huruf a; [3.4] Menimbang bahwa Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 tanggal 20 September 2007 serta putusan-putusan selanjutnya, telah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu:
adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh para Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab-akibat antara kerugian dimaksud dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; 153 [3.5] Menimbang bahwa berdasarkan uraian ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK dan syarat-syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana diuraikan di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan kedudukan hukum para Pemohon sebagai berikut:
Bahwa norma undang-undang yang dimohonkan pengujiannnya dalam permohonan a quo adalah Pasal 6 ayat (3) UU 15/2006 dan Pasal 4 ayat (1) UU 15/2004 yang rumusannya masing-masing adalah sebagai berikut:
Pasal 6 ayat (3) UU 15/2006: Pemeriksaan BPK mencakup pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu.
Pasal 4 ayat (1) UU 15/2004: Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 terdiri atas pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu.
Bahwa para Pemohon dalam kualifikasinya sebagai perseorangan warga negara Indonesia masing-masing menerangkan sebagai berikut:
Pemohon I, Ibnu Sina Chandranegara , adalah pembayar pajak yang berprofesi sebagai dosen di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta yang mengajar mata kuliah Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (vide bukti P-4 sampai dengan Bukti P-6) yang juga aktif dalam organisasi Masyarakat Hukum Tata Negara Muhammadiyah (MAHUTAMA) yang menjabat sebagai Divisi Riset, Jurnal dan Publikasi Ilmiah (vide Bukti P-12).
Pemohon II, Auliya Khasanofa, adalah pembayar pajak yang berprofesi sebagai dosen di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Tangerang yang mengajar mata kuliah Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (vide bukti P-7 sampai dengan bukti P-9) yang juga aktif dalam organisasi Masyarakat Hukum Tata Negara Muhammadiyah (MAHUTAMA) yang menjabat sebagai Sekretaris Jenderal (vide bukti P-12).
Pemohon III, Kexia Goutama, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara (vide bukti P-10 sampai dengan bukti P-11).
Bahwa para Pemohon yang menganggap hak konstitusionalnya dijamin dan dilindungi oleh Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 berpotensi dirugikan oleh berlakunya norma Undang-Undang yang 154 dimohonkan pengujian dengan argumentasi yang pada pokoknya sebagai berikut:
Bahwa menurut Pemohon I dan Pemohon II wewenang konstitusional Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 23E ayat (1) UUD 1945 adalah untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Hal tersebut haruslah dimaknai secara terbatas hanya mencakup pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja sebagaimana kewenangan utama BPK yang diberikan oleh undang-undang. Artinya tidak dapat dilakukan penambahan kewenangan di luar dari wewenang yang diberikan oleh UUD 1945. Namun dalam perjalanannya pasca diundangkannya UU 15/2004, terdapat penambahan kewenangan yang diberikan kepada BPK yakni kewenangan Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (selanjutnya disebut PDTT) di mana kewenangan PDTT tersebut adalah kewenangan yang tidak termasuk dalam Pemeriksaan Keuangan dan Pemeriksaan Kinerja (vide Pasal 4 ayat (4) dan Penjelasan Umum huruf B angka 3 UU 15/2004). Kemudian kewenangan tersebut dimasukan ke dalam UU 15/2006 yang secara konstitusional kewenangan tersebut inkonstitusional karena tidak sesuai dengan wewenang konstitusional yang diberikan oleh Pasal 23E ayat (1) UUD 1945.
Bahwa frasa “tujuan tertentu” dalam Pasal 6 ayat (3) UU 15/2006 dan Pasal 4 ayat (1) UU 15/2004 tidak memiliki kejelasan tujuan dan tidak memiliki kejelasan rumusan, sehingga tidak mencerminkan asas kepastian hukum yang seharusnya dipenuhi suatu materi muatan peraturan perundang- undangan. Hal tersebut mengakibatkan terjadinya potensi abuse of power yang dapat disalahgunakan oleh institusi BPK dalam melaksanakan kewenangannya terhadap seluruh lembaga negara dalam menjalankan roda pemerintahan, sehingga potensi tersebut dapat menghambat jalannya proses pengawasan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Apabila hal tersebut terjadi, maka setiap tidak berjalannya fungsi pemerintahan maka yang paling dirugikan adalah warga negara. Inilah yang kemudian menyebabkan timbulnya kerugian konstitusional bagi Pemohon I dan Pemohon II karena mengalami kesulitan dalam menjalankan tugasnya sebagai akademisi saat harus menjelaskan terkait konstitusionalitas PDTT serta maksud dan tujuan PDTT kepada publik maupun kepada Mahasiswa 155 di tempat mereka mengajar pada saat ada peristiwa PDTT kepada suatu instansi/lembaga padahal instansi/lembaga tersebut sudah mendapatkan Status Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) saat sebelumnya dilakukan pemeriksaan keuangan maupun pemeriksaan kinerja.
Bahwa menurut Pemohon I dan Pemohon II jika dalam penyelenggaraan negara terjadi penyimpangan pelaksanaan tugas dan kewenangan dari lembaga-lembaga negara, maka warga negara adalah pihak yang paling dirugikan. Karena ketidakberfungsian lembaga negara dengan baik menyebabkan sia-sianya amanat/penyerahan kedaulatan yang diberikan rakyat kepada organ-organ negara;
Bahwa menurut Pemohon III dengan adanya PDTT dalam sistem pemeriksaan yang berada di BPK sangat merugikan Pemohon III, karena Pemohon III mengalami kesulitan dalam memahami kedudukan PDTT akibat masuknya PDTT dalam ketentuan norma a quo namun setelah dipelajari lebih lanjut tidak ada penjelasan yang dapat memberikan pemahaman yang komprehensif berkenaan dengan PDTT. [3.6] Menimbang bahwa setelah Mahkamah memeriksa secara cermat uraian para Pemohon dalam menjelaskan kedudukan hukumnya, khususnya berkenaan dengan kerugian hak konstitusional yang didalilkan, ternyata bahwa dalil kerugian hak konstitusional dimaksud berkait erat dengan pokok permohonan. Oleh karena itu perihal kedudukan hukum para Pemohon baru dapat diketahui apabila Mahkamah terlebih dahulu memeriksa pokok permohonan. Dengan demikian, Mahkamah akan mempertimbangkan kedudukan hukum para Pemohon tersebut bersama-sama dengan pokok permohonan. [3.7] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo dan kedudukan hukum para Pemohon akan dipertimbangkan bersama-sama dengan pokok permohonan, maka selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan. Pokok Permohonan [3.8] Menimbang bahwa dalam mendalilkan inkonstitusionalitas Pasal 4 ayat (1) UU 15/2004 dan Pasal 6 ayat (3) UU 15/2006, para Pemohon mengemukakan 156 argumentasi sebagaimana selengkapnya telah dimuat dalam bagian Duduk Perkara yang pada pokoknya sebagai berikut:
Bahwa para Pemohon membuka argumentasi dalam dalil permohonannya dengan terlebih dahulu menguraikan secara ringkas mengenai kewenangan BPK yaitu memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan Lembaga atau badan lainnya yang mengelola keuangan negara beserta dasar hukum kewenangannya;
Bahwa selanjutnya para Pemohon menguraikan mengenai kewenangan BPK dalam hal melakukan PDTT sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (3) UU 15/2006 dan Pasal 4 ayat (1) UU 15/2004 yang menurut para Pemohon memiliki tendensi politik dan dapat dijadikan sebagai instrumen yang berpotensi disalahgunakan karena tidak adanya kejelasan terkait tentang pelaksanaan PDTT sehingga akan menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil dan dapat berpotensi disalahgunakan oleh “oknum” BPK dalam melaksanakan tugasnya.
Bahwa menurut para Pemohon kewenangan PDTT yang dimiliki oleh BPK sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 6 ayat (3) UU 15/2006 dan Pasal 4 ayat (1) UU 15/2004 merupakan kewenangan pemeriksaan di luar __ pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja __ sebagaimana dinyatakan dalam huruf B angka 3 pada bagian Penjelasan UU 15/2004 bertentangan dengan Pasal 23E ayat (1) UUD 1945 karena merupakan bentuk penambahan kewenangan yang telah diatur secara limitatif dalam ketentuan norma Pasal 23E ayat (1) UUD 1945. Selain itu, ketentuan mengenai PDTT juga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena tidak memberikan kepastian hukum sebagaimana menjadi prinsip utama dalam negara hukum (Pasal 1 ayat (3) UUD 1945) karena tidak memiliki kejelasan makna PDTT maupun ketentuan yang menjadi batasan dapat dilakukannya PDTT terhadap institusi/lembaga atas pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara.
Bahwa berdasarkan dalil para Pemohon tersebut, para Pemohon memohon kepada Mahkamah agar frasa “dan Pemeriksaan dengan tujuan tertentu” __ dalam Pasal 6 ayat (3) UU 15/2006 dan dalam Pasal 4 ayat (1) UU 15/2004 dinyatakan bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. 157 [3.9] Menimbang bahwa untuk mendukung permohonannya, para Pemohon telah mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-12 sebagaimana termuat lengkap pada bagian Duduk Perkara. [3.10] Menimbang bahwa terhadap permohonan a quo DPR telah mengajukan keterangan DPR yang disampaikan dalam persidangan pada tanggal 26 November 2019 dan juga menyerahkan keterangan tertulis dan keterangan tertulis tambahan beserta lampirannya yang diterima di Kepaniteraan pada tanggal tanggal 27 Januari 2020 (sebagaimana selengkapnya termuat dalam bagian Duduk Perkara). [3.11] Menimbang bahwa terhadap permohonan a quo Presiden telah mengajukan keterangan Presiden yang disampaikan dalam persidangan pada tanggal 11 November 2019 dan juga menyerahkan keterangan tertulis dan keterangan tertulis tambahan yang masing-masing diterima di Kepaniteraan pada tanggal 15 November 2019 dan tanggal 23 Januari 2020, serta mengajukan dua orang ahli yang bernama Dr. W. Riawan Tjandra, SH., M.Hum., dan Dr. Binsar Hamonangan Simanjuntak, Ak., MBA., serta saksi yang bernama Sumiyati (sebagaimana selengkapnya termuat dalam bagian Duduk Perkara). [3.12] Menimbang bahwa terhadap permohonan a quo Pihak Terkait Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah mengajukan keterangan yang disampaikan dalam persidangan pada tanggal 26 November 2019 dan juga menyerahkan keterangan tertulis dan keterangan tertulis tambahan beserta lampirannya yang masing-masing diterima di Kepaniteraan pada tanggal 26 November 2019, tanggal 14 Februari 2020 dan tanggal 18 Februari 2020, serta mengajukan ahli yang bernama Andi Mattalatta, SH., M.Hum. (sebagaimana selengkapnya termuat dalam bagian Duduk Perkara). [3.13] Menimbang bahwa setelah membaca secara saksama argumentasi yang dikemukakan dalam permohonan para Pemohon serta memeriksa bukti-bukti yang diajukan, masalah konstitusional yang harus dipertimbangkan Mahkamah adalah apakah benar PDTT sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 ayat (3) UU 15/2006 dan dalam Pasal 4 ayat (1) UU 15/2004 tidak memberikan kepastian hukum yang adil, sebagaimana didalilkan oleh para Pemohon, terutama apabila 158 dilekatkan dalam konteks memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sebagaimana termaktub dalam Pasal 23E ayat (1) UUD 1945. [3.14] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih jauh persoalan dimaksud, Mahkamah terlebih dahulu mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: [3.14.1] Bahwa sebagai hukum dasar, UUD 1945 telah mengatur sedemikian rupa tujuan yang hendak dicapai dengan membentuk negara Indonesia. Dalam hal ini, Alinea IV Pembukaan UUD 1945 antara lain menyatakan bahwa membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Guna mencapai tujuan dimaksud, keuangan negara merupakan salah satu faktor penting yang diatur dalam UUD 1945. Berkenaan dengan hal itu, Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Karena itu, salah satu perwujudan dari tata kelola pemerintahan yang baik, termasuk pengelolaan keuangan negara, adalah pelaksanaan pembangunan yang tepat sasaran dan memberikan dampak nyata bagi kesejahteraan masyarakat. Dalam mewujudkan pengelolaan keuangan negara yang terbuka dan bertanggung jawab guna sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, diperlukan pengelolaan keuangan negara yang profesional, terbuka dan bertanggung jawab agar tidak terjadi penyimpangan yang merugikan keuangan negara. Berangkat dari hal tersebut, kehadiran lembaga pemeriksa keuangan negara menjadi sebuah keniscayaan. Sebagaimana halnya hukum dasar negara- negara yang menempatkan makna penting pengelolaan keuangan negara yang terbuka dan akuntabel, UUD 1945 pun telah mengatur keberadaan badan pemeriksa keuangan yang bebas dan mandiri, serta terlepas dari pengaruh kekuasaan lainnya yang berlaku secara universal dalam penyelenggaraan pemerintahan negara. 159 [3.14.2] Bahwa aturan pokok yang mengatur mengenai perlunya dibentuk Badan Pemeriksa Keuangan untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara serta untuk mewujudkan pengelolaan negara yang tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, ekonomis, efisien, efektif, dan transparan, serta bertanggung jawab, Pasal 23E ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri”. Ihwal pengelolaan dimaksud, diktum menimbang huruf a UU 15/2004 menyatakan bahwa untuk mendukung keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan negara, keuangan negara wajib dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, ekonomis, efisien, efektif, dan transparan, serta bertanggung jawab dengan memerhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Lebih lanjut, untuk mewujudkan pengelolaan keuangan negara sebagaimana dimaksud, perlu dilakukan pemeriksaan berdasarkan standar pemeriksaan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang bebas dan mandiri. Tidak hanya dalam UU 15/2004, semangat yang sama dipertegas kembali dalam diktum menimbang huruf a dan huruf b UU 15/2006 yang menyatakan:
bahwa keuangan negara merupakan salah satu unsur pokok dalam penyelenggaraan pemerintahan negara dan mempunyai manfaat yang sangat penting guna mewujudkan tujuan negara untuk mencapai masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
bahwa untuk tercapainya tujuan negara sebagaimana dimaksud pada huruf a, pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara memerlukan suatu lembaga pemeriksa yang bebas, mandiri, dan profesional untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. [3.14.3] Bahwa dari aturan tersebut sudah jelas tujuan utama dari dibentuknya BPK adalah untuk meningkatkan manfaat hasil pemeriksaan dalam rangka untuk mendorong pengelolaan keuangan negara guna mencapai tujuan negara dengan melakukan pemeriksaan yang berkualitas melalui proses identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi yang dilakukan secara independen, objektif, dan profesional sesuai standar pemeriksaan untuk menilai kebenaran, kecermatan, kredibilitas, dan keandalan informasi mengenai pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Artinya, BPK merupakan garda terdepan dalam mengawasi pertanggungjawaban pengelolaan keuangan negara dengan mengawal jalannya 160 keuangan negara dan menutup kemungkinan terjadinya korupsi dan penyalahgunaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara (vide Pasal 6 UU 15/2006). [3.14.4] Bahwa sebagaimana diatur dalam UU 15/2004, luas lingkup pemeriksaan BPK meliputi pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara dan pemeriksaan atas tanggung jawab keuangan negara yang terdiri atas pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Pemeriksaan keuangan adalah pemeriksaan atas laporan keuangan, sedangkan pemeriksaan kinerja adalah pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara yang terdiri atas pemeriksaan aspek ekonomi dan efisiensi serta pemeriksaan aspek efektifitas. Adapun PDTT adalah pemeriksaan yang tidak termasuk dalam pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja (vide Pasal 4 ayat (1) UU 15/2004 dan Pasal 6 ayat (3) UU 15/2006); [3.14.5] Bahwa apabila diletakkan dalam konteks pemeriksaan tanggung jawab pengelolaan keuangan negara, PDTT berupa pemeriksaan atas hal-hal lain yang berkaitan dengan kepatuhan dan pemeriksaan investigatif. Pemeriksaan kepatuhan dilakukan untuk mengevaluasi secara lebih mendalam kepatuhan manajemen sektor publik dalam mengelola sumber daya yang dipercayakan kepadanya, yang belum diketahui dan tidak tercakup saat pemeriksaan keuangan. Adapun pemeriksaan investigatif dilakukan untuk mengungkap adanya indikasi kerugian negara. Dengan demikian, kewenangan PDTT dimaksudkan memberi ruang kepada BPK untuk melakukan pemeriksaan secara lebih menyeluruh dan mendalam terhadap pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara, yang mungkin belum ditemukan adanya kesalahan dan penyimpangan keuangan negara melalui pemeriksaan keuangan, yang dikenal dengan pemeriksaan atas Laporan Keuangan Kementerian Lembaga (LKKL), Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP), Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) maupun melalui Pemeriksaan Kinerja. Melalui PDTT, BPK antara lain dapat melakukan pemeriksaan investigatif guna mengungkap adanya indikasi kerugian negara dan/atau bahkan unsur pidana. 161 [3.15] Menimbang bahwa berdasarkan uraian di atas, merujuk Penjelasan UU 15/2004, “pemeriksaan dengan tujuan tertentu” (PDTT), adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan tujuan khusus, di luar pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja. Termasuk dalam pemeriksaan tujuan tertentu ini adalah pemeriksaan atas hal-hal lain yang berkaitan dengan keuangan dan pemeriksaan investigatif. Pemeriksaan dengan tujuan tertentu ini dapat dilakukan untuk memperjelas pembuktian ada atau tidaknya penyalahgunaan keuangan negara atau tindak pidana korupsi guna menelisik kemungkinan adanya kerugian keuangan negara ( state loss ), maka dalam batas penalaran yang wajar, PDTT menjadi lebih fleksibel. Karena, tidak ada kriteria yang jelas dan transparan yang dapat diketahui oleh institusi/lembaga yang diperiksa, dibandingkan dengan “pemeriksaan keuangan” dan “pemeriksaan kinerja” . Oleh karenanya, menjadi dapat dipahami jika terdapat pandangan bahwa fleksibilitas tersebut membuka ruang kemungkinan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan ( abuse of power ) oleh BPK dalam melaksanakan tugasnya. Kemungkinan tersebut pun dikemukakan para Pemohon dalam permohonan a quo . Terlebih lagi, ditambahkan para Pemohon, terdapat fakta sejumlah instansi yang telah mendapat opini wajar tanpa pengecualian (WTP) masih memungkinkan dilakukan PDTT. Kemungkinan tersebut dapat terjadi karena opini WTP dimaksud hanyalah mengenai tingkat kewajaran informasi yang disajikan dalam laporan keuangan pemerintah dengan mempertimbangkan aspek kesesuaian dengan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), kecukupan pengungkapan sesuai dengan pengungkapan yang diatur dalam SAP, kepatuhan terhadap peraturan perundang- undangan, dan efektivitas sistem pengendalian internal. Artinya, WTP bukanlah menjadi predikat pasti bahwa tidak terdapat pelanggaran pengelolaan keuangan negara pada institusi/lembaga dimaksud, karena yang dinilai hanyalah apakah laporan keuangan sudah disusun dengan wajar. Oleh karena itu pemberian opini WTP atas laporan keuangan kepada suatu institusi/lembaga tidak menutup kemungkinan dilakukannya PDTT terhadap institusi/lembaga tersebut apabila dari hasil pemeriksaan keuangan atau dari hasil pemeriksaan kinerja terdapat hal yang menurut BPK perlu untuk diperiksa lebih lanjut termasuk untuk mengungkap adanya kerugian negara. 162 [3.16] Menimbang bahwa kemungkinan sebagaimana dikemukakan di atas pun telah disadari oleh pembentuk undang-undang, sehingga untuk melakukan PDTT, BPK diwajibkan menyusun standar pemeriksaan keuangan negara sebagaimana diatur dalam Pasal 31 UU 15/2006 dan Pasal 5 UU 15/2004. Standar pemeriksaan yang dipergunakan oleh BPK saat ini adalah Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) yang ditetapkan melalui Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Nomor 1 Tahun 2017 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (PBPK 1/2017). Penyempurnaan standar pemeriksaan dilakukan secara berkesinambungan sesuai kebutuhan pelaksanaan pemeriksaan BPK, dengan memerhatikan perkembangan teori pemeriksaan, dinamika masyarakat yang menuntut adanya transparansi dan akuntabilitas, serta kebutuhan akan hasil pemeriksaan yang bernilai tambah. Namun demikian, karena PDTT merupakan pemeriksaan khusus yang diperlukan jika ditemukan adanya indikasi terjadinya kerugian negara dengan tujuan pemeriksaan untuk menemukan fakta dan bukti adanya indikasi terjadinya kerugian negara, maka standar pemeriksaan sebagaimana dikemukakan di atas dirasakan masih belum cukup. Dalam hal ini, untuk mencegah kemungkinan penyalahgunaan wewenang ( abuse of power ) atau kesalahan dalam menggunakan wewenang ( misuse of power ) dalam pengelolaan keuangan negara, Mahkamah perlu menekankan bahwa kemungkinan untuk bisa dilakukannya PDTT terhadap suatu institusi/lembaga harus didasarkan pada keputusan BPK sebagai suatu lembaga dan tidak diputuskan oleh orang per orang baik oleh auditor maupun oleh seorang anggota BPK tetapi melalui mekanisme yang harus diputuskan oleh BPK sebagai suatu lembaga yang bersifat kolektif kolegial. Terlebih lagi, putusan secara institusional tersebut harus diambil untuk PDTT bagi institusi/lembaga yang telah diberikan status opini WTP oleh BPK. Dengan keputusan demikian, pada satu sisi, BPK menjadi lebih berhati-hati dalam memberikan status opini WTP dan, di sisi lain, status opini tertinggi tersebut tidak mudah tergerus oleh hasil pemeriksaan PDTT yang dilakukan sebagai kelanjutan dari pemeriksaan sebelumnya. Sehingga dengan demikian, sebagai salah satu bentuk pemeriksaan yang dimiliki BPK dapat dilaksanakan untuk memeriksa pengelolaan tanggung jawab tentang keuangan negara sesuai dengan amanat Pasal 23E ayat (1) UUD 1945. 163 [3.17] Menimbang bahwa setelah Mahkamah mempertimbangkan keberadaan PDTT sebagai salah satu bentuk pemeriksaan pengelolaan tanggung jawab keuangan negara dan sebelum sampai pada kesimpulan, dikarenakan kerugian hak konstitusional para Pemohon belum ditentukan sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.6] dan Paragraf [3.7] di atas, maka berdasarkan pertimbangan Mahkamah terhadap substansi atau norma undang-undang yang dimohonkan pengujian, sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.14] sampai dengan Paragraf [3.16] di atas, Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan kedudukan hukum para Pemohon dalam kualifikasinya sebagai perseorangan warga negara Indonesia yang berprofesi sebagai dosen pada perguruan tinggi (Pemohon I dan Pemohon II) dan bergabung dalam organisasi Masyarakat Hukum Tata Negara Muhammadiyah (MAHUTAMA), serta yang berstatus sebagai mahasiswa (Pemohon III) apakah menderita kerugian hak konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 UU MK. Terhadap kedudukan hukum para Pemohon tersebut Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: [3.17.1] Bahwa sebagaimana pertimbangan Mahkamah di atas, yang menjadi lingkup pemeriksaan BPK adalah pemeriksaan keuangan negara meliputi pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara dan pemeriksaan atas tanggung jawab keuangan negara yang terdiri atas pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu dalam rangka mengawal jalannya keuangan negara dan menutup kemungkinan terjadinya korupsi dan penyalahgunaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara (vide UU 15/2004 dan UU 15/2006). Apabila dilihat dari ruang lingkup pemeriksaan BPK tersebut sudah jelas adalah institusi/lembaga yang mengelola keuangan negara yaitu Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara. Sedangkan, bila dilihat dari profesi/status para Pemohon yaitu dosen pada 164 perguruan tinggi dan mahasiswa yang tidak berkaitan dengan pengelolaan keuangan negara yang merupakan ruang lingkup pemeriksaan BPK sehingga tidak terdapat hubungan sebab akibat ( causal verband ) antara anggapan kerugian konstitusional para Pemohon yang berprofesi/berstatus sebagai dosen pada perguruan tinggi dan mahasiswa dengan berlakunya Pasal 4 ayat (1) UU 15/2004 dan Pasal 6 ayat (3) UU 15/2006 yang dimohonkan pengujian. Sementara itu berkaitan dengan Pemohon I dan Pemohon II yang menerangkan dirinya sebagai pembayar pajak, menurut Mahkamah, hal tersebut justru PDTT memberikan perlindungan kepada Pemohon I dan Pemohon II sebagai pembayar pajak dan hal ini semakin menguatkan bahwa tidak ada hubungan kausalitas antara anggapan kerugian konstitusionalitas yang didalilkan Pemohon I dan Pemohon II dengan berlakunya norma a quo. [3.17.2] Bahwa dari uraian tersebut di atas, menurut Mahkamah, yang nyata- nyata maupun potensial dirugikan oleh berlakunya norma undang-undang yang dimohonkan pengujian adalah institusi/lembaga yang melaksanakan pengelolaan keuangan negara sebagai ruang lingkup pemeriksaan BPK. Dengan demikian, dalam kualifikasi para Pemohon sebagai dosen perguruan tinggi dan Mahasiswa, Mahkamah berpendapat para Pemohon tidak mengalami kerugian hak konstitusional sehingga para Pemohon dalam kualifikasi ini, tidak mempunyai kedudukan hukum dalam permohonan a quo . [3.18] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut di atas Mahkamah berpendapat para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo. Seandainyapun para Pemohon memiliki kedudukan hukum, quod non , telah ternyata bahwa norma Undang-Undang yang dimohonkan pengujiannya masih diperlukan untuk melaksanakan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sebagai upaya untuk menjaga agar hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK dapat dipertanggungjawabkan menurut peraturan perundang-undangan secara tepat dan benar. Oleh karena itu permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum. 165 4. KONKLUSI Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan: [4.1] Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan _a quo; _ [4.2] Para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo ; [4.3] Andai pun para Pemohon memiliki kedudukan hukum quod non , permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 216, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6554), dan Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076);
AMAR PUTUSAN Mengadili: Menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima. Demikian diputus dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Anwar Usman, selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto, Arief Hidayat, Saldi Isra, Manahan M.P. Sitompul, Daniel Yusmic P. Foekh, Enny Nurbaningsih, Suhartoyo, dan Wahiduddin Adams, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Senin , tanggal dua belas , bulan Oktober , tahun dua ribu dua puluh , yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Senin , tanggal dua puluh enam , bulan Oktober , tahun dua ribu dua puluh , selesai diucapkan pukul 11.21 WIB , oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu Anwar Usman, selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto, Arief Hidayat, Saldi Isra, Manahan M.P. Sitompul, Daniel Yusmic P. Foekh, Enny Nurbaningsih, 166 Suhartoyo, dan Wahiduddin Adams, masing-masing sebagai Anggota, dengan dibantu oleh Saiful Anwar sebagai Panitera Pengganti, dengan dihadiri oleh para Pemohon, Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili, Presiden atau yang mewakili, dan Pihak Terkait atau yang mewakili. KETUA, ttd. Anwar Usman ANGGOTA-ANGGOTA, ttd. Aswanto ttd. Arief Hidayat ttd. Saldi Isra ttd. Manahan M.P. Sitompul ttd. Daniel Yusmic P. Foekh ttd. Enny Nurbaningsih ttd. Suhartoyo ttd. Wahiduddin Adams PANITERA PENGGANTI, ttd. Saiful Anwar
Standar, Uji, dan Pengembangan Kompetensi Jabatan Fungsional Penilai Pemerintah
Pengujuan UU no. 11 tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak (Pasal 1 angka 1 dan angka 7, Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 ayat (1), Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6 ...
Pengujuan UU no. 11 tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak (Pasal 1 angka 1, Pasal 3 ayat (3), Pasal 4, Pasal 21 ayat (2), Pasal 22, dan pasal ayat (2 ...
Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 234/PMK.01/2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan. ...
Uji materi Pasal 2 ayat (6) dan pasal 32 ayat (2) UU Ketentuan Umum Perpajakan
Relevan terhadap
Setelah daftar pembagian penutup menjadi mengikat maka Kreditor memperoleh kembali hak eksekusi terhadap harta Debitor mengenai piutang mereka yang belum dibayar. Berdasarkan pasal-pasal tersebut jika dihubungkan dengan Pasal 32 ayat 106 (1) dan ayat (2) UU KUP maka Kurator sebagai Wakil Wajib Pajak bertanggungjawab secara pribadi dan/atau tanggung renteng atas hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak yang timbul sejak putusan pernyataan pailit diucapkan, proses pemberesan harta pailit hingga saat kepailitan berakhir.
Bahwa dalam konteks Wajib Pajak pailit, Pasal 32 ayat (1) UU KUP mengatur bahwa Wakil Wajib Pajak pailit adalah kurator. Klausul dalam ayat ini dimaknai bahwa dalam hal Wajib Pajak pailit, tindakan penagihan juga ditujukan kepada Kurator, karena mengingat harta Wajib Pajak (dalam pailit) yang menurut undang-undang perpajakan adalah merupakan objek sita, masuk kedalam boedel pailit dan harta pailit tersebut sedang dalam pengurusan dan pemberesan aset oleh Kurator.
Adapun ketetapan-ketetapan pajak yang terbit selama proses pailit atau proses pemberesan harta pailit Wajib Pajak tersebut, tidak masuk ke dalam boedel pailit karena diterbitkan setelah lewat batas akhir pengajuan tagihan, akan tetapi atas utang pajak yang belum terlunasi tersebut, sepanjang belum daluwarsa penagihan, sesuai Pasal 22 UU KUP, maka Direktorat Jenderal Pajak tetap mempunyai kewenangan, sebagaimana diatur dalam UU KUP dan Undang-Undang di bidang perpajakan, untuk melakukan penagihan atas utang pajak baik kepada Penanggung Pajak lainnya misalnya Pengurus.
Dengan demikian, penagihan pajak kepada Wajib Pajak dan/atau Wakil Wajib Pajak dilakukan dengan berdasarkan Undang-Undang di bidang perpajakan yaitu UU KUP dan Undang-Undang di bidang perpajakan yang memang merupakan peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur terkait penagihan pajak. Adapun eksistensi dari UU PT dan UU Kepailitan dan PKPU adalah sebagai Undang-Undang yang mengatur di ranah privat bukan di ranah publik, sehingga seharusnya tidak ada permasalahan hukum terkait Undang-Undang mana yang lebih khusus (lex specialist) diantara UU KUP dengan UU PT serta UU Kepailitan dan PKPU, karena UU KUP mengatur di ranah publik (hak dan kewajiban perpajakan) sedangkan UU PT dan UU Kepailitan dan PKPU mengatur hubungan keperdataan di ranah privat diantara para subjek hukumnya. 107 n. Perlu kita perhatikan bahwa tingkat pembayaran utang pajak melalui proses kepailitan jika dirata-ratakan secara statistik tidak melebihi dari 1,38% selama kurun waktu tahun 20 tahun yaitu semenjak tahun 1999 hingga tahun 2020 (bulan Agustus). Hal ini sebagaimana tercermin dalam tabel di bawah ini: Berdasarkan data pada tabel di atas maka sangat logis dan berdasar jika Direktorat Jenderal Pajak diberikan kewenangan untuk menagihkan pelunasan utang pajak kepada Wakil Wajib Pajak secara pribadi dan/atau secara renteng sebagaimana diatur dalam Pasal 32 ayat (2) UU KUP.
Secara sistematis di dalam UU KUP dan Undang-Undang di bidang perpajakan pun mengatur jaminan bagi terlunasinya utang pajak. Berdasarkan Pasal 18 UU KUP, Surat Tagihan Pajak (STP), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah, merupakan dasar penagihan pajak.
Berdasarkan Pasal 20 ayat (1) UU KUP atas jumlah pajak yang masih harus dibayar, yang berdasarkan STP, SKPKB, serta SKPKBT, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah, yang tidak dibayar oleh Penanggung Pajak 108 sesuai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) atau ayat (3a) UU KUP dilaksanakan penagihan pajak dengan Surat Paksa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Penagihan Pajak adalah serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang yang telah disita.
Penanggung Pajak yang dilakukan tindakan penagihan pajak merujuk pada Pasal 1 angka 28 UU KUP mengatur bahwa Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Dalam hal yang mempunyai utang pajak adalah Wajib Pajak Badan, maka tindakan penagihan dilakukan terhadap Penanggung Pajak yang meliputi:
Badan/perseroan itu sendiri dan 2. Wakil wajib pajak badan oleh pengurus (Direksi, Komisaris, Pemegang Saham dan orang yang nyata-nyata mengambil kebijaksanaan dan/atau keputusan dalam menjalankan perusahaan). II. Penagihan Pajak PT United Coal Indonesia a. Kegiatan penagihan pajak kepada PT United Coal Indonesia dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang memang secara khusus mengatur kewajiban perpajakan yang harus dipenuhi Wajib Pajak baik ketika Wajib Pajak dalam keadaan normal maupun dalam keadaan pailit. Serangkaian kegiatan penagihan pajak yang diatur dalam peraturan tersebut berlaku bagi semua Wajib Pajak dan/atau Wakil Wajib Pajak dengan kondisi apa pun. Upaya hukum yang dapat ditempuh oleh Wajib Pajak dan/atau Wakil Wajib Pajak atas proses penagihan pajak yang dilakukan, juga telah diatur secara khusus dalam peraturan perpajakan yaitu seperti keberatan ke Kantor Wilayah DJP, banding ke Pengadilan Pajak maupun mengajukan gugatan ke Pengadilan Pajak. 109 b. PT United Coal Indonesia dinyatakan pailit berdasarkan Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor: 32/Pdt.Sus.Pailit/2014 /PN.Niaga.JKT.PST tanggal 24 November 2015.
Total Tagihan utang pajak yang diajukan kepada Kurator adalah Rp.
334.542.465,- (empat puluh tiga miliar tiga ratus tiga puluh empat juta lima ratus empat puluh dua ribu empat ratus enam puluh lima rupiah) terdiri dari 35 SKPKB/STP sejumlah Rp. 44.205.348.442,00 (empat puluh empat miliar dua ratus lima juta tiga ratus empat puluh delapan ribu empat ratus empat puluh dua rupiah) yang dikurangi dengan pembayaran yang telah dilakukan Wajib Pajak sejumlah Rp. 870.805.977,00. (delapan ratus tujuh puluh juta delapan ratus lima ribu sembilan ratus tujuh puluh tujuh rupiah) Tagihan utang pajak disampaikan kepada Kurator dengan surat nomor S- 6382/ WPJ.19/KP.01/2015 tanggal 17 Desember 2015. Adapun ke 35 SKPKB/STP tersebut adalah sebagai berikut: No Nomor SKPKB/STP Tanggal SKPKB/ST P Nilai SKPKB/STP (Rp.) Keterangan 1 00007/106/13/091/13 11-Mar-13 286.327.455 STP PPh pasal 25 Angsuran 2 00007/107/13/091/14 28-Jan-14 218.095.841 STP PPN dan Terlambat Lapor 3 00008/107/13/091/14 28-Jan-14 148.070.494 STP PPN dan Terlambat Lapor 4 00009/107/13/091/14 29-Jan-14 133.731.749 STP PPN dan Terlambat Lapor 5 00010/107/13/091/14 29-Jan-14 67.282.203 STP PPN dan Terlambat Lapor 6 00011/107/13/091/14 29-Jan-14 64.805.678 STP PPN dan Terlambat Lapor 7 00017/106/12/091/13 01-Feb-13 291.941.719 STP PPh pasal 25 Angsuran 8 00020/107/12/091/14 29-Jan-14 204.683.426 STP PPN dan Terlambat Lapor 9 00021/106/13/091/13 03-Apr-13 286.327.455 STP PPh pasal 25 Angsuran 10 00022/106/12/091/13 05-Feb-13 297.555.983 STP PPh pasal 25 Angsuran 11 00030/106/12/091/13 05-Feb-13 286.327.455 STP PPh pasal 25 Angsuran 12 00041/106/13/091/13 30-Apr-13 286.327.455 STP PPh pasal 25 Angsuran 13 00073/106/12/091/12 08-Okt-12 436.363.654 STP PPh pasal 25 Angsuran 14 00139/106/12/091/12 03-Des-12 444.855.263 STP PPh pasal 25 Angsuran 15 00049/107/14/091/15 28-May-15 1.500.000 STP PPN dan Terlambat Lapor 16 00002/107/15/091/15 28-May-15 1.000.000 STP PPN dan Terlambat Lapor 110 17 00013/101/15/091/15 28-May-15 300.000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 18 00093/101/14/091/15 28-May-15 1.200.000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 19 00064/101/13/091/15 28-May-15 100.000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 20 00051/107/14/091/15 3-Jun-15 500.000 STP PPN dan Terlambat Lapor 21 00105/106/14/091/15 13-Jul-15 1.000.000 STP PPh pasal 25 Angsuran 22 00183/207/10/091/15 28-Mei-15 1.013.029.486 SKPKB PPN DN 23 00184/207/10/091/15 25-May-15 65.293.500 SKPKB PPN DN 24 00182/207/10/091/15 25-May-15 318.214.632 SKPKB PPN DN 25 00185/207/10/091/15 25-May-15 154.414.672 SKPKB PPN DN 26 00186/207/10/091/15 25-May-15 101.773.778 SKPKB PPN DN 27 00050/103/14/091/15 21-Aug-15 270.903 STP PPh 23 Terlambat Setor dan Terlambat Lapor 28 00051/103/14/091/15 21-Aug-15 206.814 STP PPh 23 Terlambat Setor dan Terlambat Lapor 29 00018/109/10/091/15 10-Dec-15 121.563.538 STP Bunga Penagihan PPN 30 00019/109/10/091/15 10-Dec-15 7.835.220 STP Bunga Penagihan PPN 31 00020/109/10/091/15 10-Dec-15 38.185.756 STP Bunga Penagihan PPN 32 00021/109/10/091/15 10-Dec-15 18.529.761 STP Bunga Penagihan PPN 33 00022/109/10/091/15 10-Dec-15 12.221.853 STP Bunga Penagihan PPN 34 00014/206/13/091/15 16-Dec-15 33.745.131.050 SKPKB PPh 35 00169/207/11/091/15 17-Dec-15 5.150.381.649 SKPKB PPN DN Jumlah Rp.44.205.348.442, 00 d. Total tagihan utang pajak yang diakui oleh Kurator dalam rapat pencocokan piutang dan verifikasi pajak adalah sejumlah yang dajukan oleh KPP, yaitu sebesar Rp.43.334.542.465,- (empat puluh tiga miliar tiga ratus tiga puluh empat juta lima ratus empat puluh dua ribu empat ratus enam puluh lima rupiah) .
Total hasil penjualan harta pailit yang berhasil diperoleh oleh Kurator sebesar Rp.45.436.242.290,00 (empat puluh lima miliar empat ratus tiga puluh enam juta dua ratus empat puluh dua ribu dua ratus sembilan puluh rupiah). Harta Pailit bersih setelah dikurangi biaya kepailitan dan fee kurator adalah sebesar Rp.30.987.247.383,00 (tiga puluh miliar sembilan ratus delapan puluh tujuh juta dua ratus empat puluh tujuh ribu tiga ratus delapan puluh tiga rupiah). Dari harta pailit tersebut jumlah pembagian yang diperoleh KPP Wajib Pajak Besar Satu sebesar Rp.2.549.161.883,00 (dua 111 miliar lima ratus empat puluh Sembilan juta seratus enam puluh satu ribu delapan ratus delapan puluh tiga rupiah), yang kemudian bertambah menjadi Rp.2.677.919.334,00 (dua miliar enam ratus tujuh puluh tujuh juta sembilan ratus sembilan belas ribu tiga ratus tiga puluh empat rupiah), setelah mendapat tambahan atas bunga bank sebesar Rp.128.757.451,00 (seratus dua puluh delapan juta tujuh ratus lima puluh tujuh ribu empat ratus lima puluh satu rupiah). Atas hasil pembagian harta pailit tersebut telah disetor ke kas negara tanggal 23 November 2018.
Pembagian kepada KPP Wajib Pajak Besar Satu sebesar Rp.2.549.161.883,00 (dua miliar lima ratus empat puluh Sembilan juta seratus enam puluh satu ribu delapan ratus delapan puluh tiga rupiah) adalah 5,88% dari nilai seluruh tagihan pajak yang diakui oleh Kurator. Sedangkan Kreditor Separatis PT Bank Mandiri (Persero) Tbk menerima Rp.14.000.000.000,- (empat belas milyar rupiah) atau sebesar 4,99% dari nilai seluruh tagihan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk yang diakui.
Selain menagih utang pajak dalam proses kepailitan melalui Kurator, pada tahun-tahun selama kepailitan berlangsung, KPP Wajib Pajak Besar Satu, berdasarkan Pasal 29 UU KUP, melakukan pemeriksaan pajak atas PT United Coal Indonesia atas kewajiban-kewajiban perpajakannya yang telah timbul dan terutang namun belum dilaporkan dan/atau belum dibayar sebelum PT United Coal Indonesia dinyatakan pailit. Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut, sesuai Pasal 13 ayat (1) UU KUP, diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) dan Surat Tagihan Pajak (STP) dengan rincian sebagai berikut:
Terbit Tahun 2016 SKPKB PPh Badan tahun pajak 2011 Nomor 00026/206/11/091/16 sejumlah Rp.106.535.880.440,00 (seratus enam miliar lima ratus tiga puluh lima juta selapan ratus delapan puluh ribu empat ratus empat puluh rupiah).
Terbit Tahun 2017 sebesar Rp.46.431.017.912,00 (empat puluh enam miliar empat ratus tiga puluh satu juta tujuh belas ribu Sembilan ratus dua belas rupiah) terdiri atas: SKPKB PPN tahun pajak 2012 sebesar Rp.10.427.130.781,00 (sepuluh miliar empat ratus dua puluh tujuh juta serratus tiga puluh 112 ribu tujuh ratus delapan puluh satu rupiah) terdiri 9 ketetapan sebagai berikut: No. SKPKB/STP Tanggal Nilai SKPKB/STP (Rp.) Keterangan 1 00019/107/12/091/17 23-May-17 206,633,351 STP PPN Hasil Pemeriksaan (Pasal 14 ayat 4 UU KUP) 2 00073/207/12/091/17 23-May-17 1,962,892,565 SKPKB PPN Hasil Pemeriksaan 3 00074/207/12/091/17 23-May-17 1,574,459,693 SKPKB PPN 4 00075/207/12/091/17 23-May-17 962,086,542 SKPKB PPN 5 00076/207/12/091/17 23-May-17 880,698,291 SKPKB PPN 6 00077/207/12/091/17 23-May-17 1,327,527,437 SKPKB PPN 7 00078/207/12/091/17 23-May-17 1,189,167,347 SKPKB PPN 8 00079/207/12/091/17 23-May-17 2,301,980,518 SKPKB PPN 9 00080/207/12/091/17 23-May-17 21,685,037 SKPKB PPN SKPKB dan STP PPN, PPh tahun pajak 2013 sebesar Rp.30.072.927.803,00 (tiga puluh miliar tujuh puluh dua juta Sembilan ratus dua puluh tujuh ribu delapan ratus tiga rupiah), yang terdiri dari 16 SKPKB dan 7 STP sebagai berikut: No . SKPKB/STP Tanggal Nilai SKPKB/STP (Rp.) Keterangan 1 00041/107/13/091/17 21-Dec-17 305,336,630 STP PPN 2 00042/107/13/091/17 21-Dec-17 318,060,956 STP PPN 3 00043/107/13/091/17 21-Dec-17 285,464,974 STP PPN 4 00044/107/13/091/17 21-Dec-17 317,116,241 STP PPN 5 00045/107/13/091/17 21-Dec-17 230,517,085 STP PPN 6 00046/107/13/091/17 21-Dec-17 1,177,485,636 STP PPN 7 00003/245/13/091/17 21-Dec-17 796,717,447 SKPKB PPh 8 00021/203/13/091/17 21-Dec-17 246,492,039 SKPKB PPh 9 00030/201/13/091/17 21-Dec-17 308,460,799 SKPKB PPh 10 00031/201/13/091/17 21-Dec-17 505,270,948 SKPKB PPh 11 00014/177/13/091/17 22-Dec-17 53,832,260 STP PPN 12 00018/277/13/091/17 22-Dec-17 398,358,724 STP PPN 13 00081/207/13/091/17 22-Dec-17 1,094,683,598 STP PPN 14 00082/207/13/091/17 22-Dec-17 1,322,364,683 STP PPN 15 00083/207/13/091/17 22-Dec-17 1,130,660,572 STP PPN 16 00084/207/13/091/17 22-Dec-17 960,313,223 STP PPN 17 00085/207/13/091/17 22-Dec-17 1,130,328,722 STP PPN 18 00086/207/13/091/17 22-Dec-17 2,259,491,065 STP PPN 19 00087/207/13/091/17 22-Dec-17 2,353,651,073 STP PPN 20 00088/207/13/091/17 22-Dec-17 2,112,440,811 STP PPN 21 00089/207/13/091/17 22-Dec-17 2,346,660,183 STP PPN 22 00090/207/13/091/17 22-Dec-17 1,705,826,428 STP PPN 23 00091/207/13/091/17 22-Dec-17 8,713,393,706 STP PPN 113 SKPKB dan STP PPN dan PPh tahun Pajak 2014 sebesar Rp.5.908.774.309,00 (lima miliar Sembilan ratus delapan juta tujuh ratus tujuh puluh empat ribu tiga ratus sembilan rupiah), yang terdiri dari 6 SKPKB dan 4 STP sebagai berikut: No. SKPKB/STP Tanggal Nilai SKPKB/STP (Rp.) Keterangan 1 00025/107/14/091/17 21-Dec-17 223,827,822 STP PPN 2 00026/107/14/091/17 21-Dec-17 160,368,482 STP PPN 3 00027/107/14/091/17 21-Dec-17 114,459,301 STP PPN 4 00028/107/14/091/17 21-Dec-17 8,990,527 STP PPN 5 00002/203/14/091/17 21-Dec-17 459,515,248 SKPKB PPh 6 00004/206/14/091/17 21-Dec-17 1,185,031,550 SKPKB PPh 7 00058/207/14/091/17 21-Dec-17 1,656,325,884 SKPKB PPN 8 00059/207/14/091/17 21-Dec-17 1,186,726,765 SKPKB PPN 9 00060/207/14/091/17 21-Dec-17 846,998,830 SKPKB PPN 10 00061/207/14/091/17 21-Dec-17 66,529,900 SKPKB PPN STP Pengawasan atas kewajiban perpajakan berupa pelaporan dan/atau pembayaran pada tahun 2012 sampai dengan tahun 2016 sebesar Rp.22.185.019,00 (dua puluh dua juta seratus delapan puluh lima ribu Sembilan belas rupiah) terdiri dari 77 STP sebagai berikut: No. SKPKB/STP Tanggal Nilai SKPKB/ST P (Rp.) Keterangan 1 00004/103/15/091/17 23-Jan-17 203,186 STP Terlambat Setor 2 00006/103/15/091/17 24-Jan-17 12,596 STP PPh 23 Terlambat Setor 3 00062/101/16/091/17 21-Mar-17 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 4 00063/101/16/091/17 21-Mar-17 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 5 00065/101/16/091/17 21-Mar-17 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 6 00066/101/16/091/17 21-Mar-17 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 7 00067/101/16/091/17 21-Mar-17 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 8 00069/101/16/091/17 21-Mar-17 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 9 00070/101/16/091/17 21-Mar-17 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 10 00072/101/16/091/17 21-Mar-17 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 11 00075/101/16/091/17 22-Mar-17 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 12 00077/101/16/091/17 22-Mar-17 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 13 00079/101/16/091/17 23-Mar-17 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 114 14 00080/101/16/091/17 23-Mar-17 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 15 00034/107/16/091/17 17-Mar-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 16 00035/107/16/091/17 17-Mar-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 17 00036/107/16/091/17 17-Mar-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 18 00037/107/16/091/17 17-Mar-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 19 00038/107/16/091/17 17-Mar-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 20 00039/107/16/091/17 17-Mar-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 21 00040/107/16/091/17 17-Mar-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 22 00041/107/16/091/17 17-Mar-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 23 00042/107/16/091/17 17-Mar-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 24 00043/107/16/091/17 17-Mar-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 25 00044/107/16/091/17 17-Mar-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 26 00045/107/16/091/17 17-Mar-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 27 00020/107/12/091/17 29-May-17 3,513,807 STP PPN DN Terlambat Setor 28 00021/107/12/091/17 31-May-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 29 00003/140/12/091/17 2-Jun-17 170,287 STP PPh Final dan FLN Terlambat Setor 30 00004/140/12/091/17 2-Jun-17 85,143 STP PPh Final dan FLN Terlambat Setor 31 00005/103/12/091/17 2-Jun-17 100,000 STP PPh 23 Terlambat Lapor 32 00005/140/12/091/17 2-Jun-17 100,000 STP PPh Final dan FLN Terlambat Setor 33 00008/103/13/091/17 2-Jun-17 100,000 STP PPh 23 Terlambat Lapor 34 00006/101/12/091/17 6-Jun-17 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 35 00006/140/12/091/17 7-Jun-17 100,000 STP PPh Final dan FLN Terlambat Setor 36 00006/106/13/091/17 6-Jul-17 1,000,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 37 00003/107/13/091/17 10-Jul-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 38 00066/106/16/091/17 8-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 39 00067/106/16/091/17 8-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 40 00068/106/16/091/17 8-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 41 00069/106/16/091/17 8-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 42 00070/106/16/091/17 8-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 115 43 00071/106/16/091/17 8-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 44 00072/106/16/091/17 8-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 45 00073/106/16/091/17 8-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 46 00074/106/16/091/17 8-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 47 00075/106/16/091/17 11-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 48 00076/106/16/091/17 11-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 49 00077/106/16/091/17 11-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 50 00014/106/15/091/17 12-Sep-17 1,000,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 51 00015/106/15/091/17 12-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 52 00016/106/15/091/17 12-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 53 00017/101/15/091/17 12-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 54 00017/106/15/091/17 12-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 55 00018/101/15/091/17 12-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 56 00018/106/15/091/17 12-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 57 00019/101/15/091/17 12-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 58 00019/106/15/091/17 12-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 59 00020/101/15/091/17 12-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 60 00020/106/15/091/17 12-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 61 00021/101/15/091/17 12-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 62 00021/106/15/091/17 12-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 63 00022/101/15/091/17 12-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 64 00022/106/15/091/17 12-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 65 00023/101/15/091/17 12-Sep-17 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 66 00024/101/15/091/17 12-Sep-17 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 67 00025/101/15/091/17 12-Sep-17 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 68 00126/107/15/091/17 12-Sep-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 69 00127/107/15/091/17 12-Sep-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 70 00128/107/15/091/17 12-Sep-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 71 00129/107/15/091/17 12-Sep-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 116 72 00130/107/15/091/17 12-Sep-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 73 00131/107/15/091/17 12-Sep-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 74 00132/107/15/091/17 12-Sep-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 75 00133/107/15/091/17 12-Sep-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 76 00134/107/15/091/17 12-Sep-17 500,000 STP PPN DN Terlambat Lapor 77 00023/106/15/091/17 15-Sep-17 100,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 3) Terbit Tahun 2018 sebesar Rp.2.200.000,00 (dua juta dua ratus ribu rupiah), yang merupakan STP Pengawasan sebanyak 13 STP sebagai berikut: No. SKPKB/STP Tanggal Nilai SKPKB/STP (Rp.) Keterangan 1 00009/106/16/091/18 25-Jan-18 1,000,000 STP PPh Ps.25/29 Terlambat Lapor 2 00042/101/17/091/18 6-Feb-18 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 3 00043/101/17/091/18 6-Feb-18 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 4 00044/101/17/091/18 6-Feb-18 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 5 00045/101/17/091/18 6-Feb-18 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 6 00046/101/17/091/18 6-Feb-18 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 7 00047/101/17/091/18 6-Feb-18 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 8 00048/101/17/091/18 6-Feb-18 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 9 00049/101/17/091/18 6-Feb-18 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 10 00050/101/17/091/18 6-Feb-18 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 11 00053/101/17/091/18 7-Feb-18 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 12 00054/101/17/091/18 7-Feb-18 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor 13 00056/101/17/091/18 8-Feb-18 100,000 STP PPh 21 Terlambat Lapor h. Atas sisa utang pajak yang tidak terbayarkan melalui proses kepailitan dan utang pajak yang ditemukan kemudian berdasarkan pemeriksaan pajak sebagaimana telah disajikan secara detail di atas, maka KPP Wajib Pajak Besar Satu melaksanakan kegiatan penagihan aktif kepada Penanggung Pajak/Wakil Wajib Pajak sesuai peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dengan total pajak terutang sejumlah Rp. 193.625.721.483,00 117 (seratus sembilan puluh tiga miliar enam ratus dua puluh lima juta tujuh ratus dua puluh satu ribu empat ratus delapan puluh tiga rupiah).
Penanggung Pajak menurut Pasal 1 angka 28 UU KUP adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Adapun rangkaian tindakan penagihan pajak yang dilakukan berupa: tindakan persuasif dengan mengundang rapat Penanggung Pajak melalui Undangan penyelesaian tunggakan pajak surat nomor S-1942/WPJ.19/ KP.01/2018 tanggal 11 Mei 2018 dan Undangan penyelesaian tunggakan pajak surat nomor S-1172/WPJ.19/KP.01/2019 tanggal 27 Mei 2019, Surat Teguran dan Surat Paksa, yang ditindaklanjuti dengan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan (SPMP) dengan detil sebagai berikut:
Surat Teguran No. Nomor Surat Teguran Tanggal 1 ST-00023/WPJ .1 9/KP.0104/2017 20-Mar-17 2 ST-00024/WPJ .1 9/KP.0104/2017 20-Mar-17 3 ST-00025/WPJ.19/KP.0104/2017 20-Mar-17 4 ST-00071/WPJ.19/KP.0104/2017 22-May-17 5 ST-00072/WPJ.19/KP.0104/2017 22-May-17 6 ST-00073/WPJ.19/KP.0104/2017 22-May-17 7 ST-00074/W PJ. 19/KP. 0104/20 17 22-May-17 8 ST-00075/WPJ.19/KP.0104/2017 22-May-17 9 ST-00076/WPJ.19/KP.0104/2017 22-May-17 10 ST-00104/WPJ.19/KP.0104/2017 12-Jun-17 11 ST-00138/WPJ. 19/KP.0104/2017 07-Sep-17 12 ST-00 139/WPJ .19/KP.01 04/2017 7-Sep-17 13 ST-00152/WPJ.19/KP.0104/2017 12-Sep-17 14 ST-00153/WPJ. 19/KP.0104/2017 12-Sep-17 15 ST-00235/WPJ .19/KP.01 04/2017 13-Nov-17 16 ST-00236/WPJ .19/KP . 01 04/2017 13-Nov-17 17 ST-00237/WPJ.19/KP.0104/201 7 13-Nov-17 18 ST-00238/WPJ. 1 9/KP.01 04/2017 13-Nov-17 19 ST-00239/WPJ.19/KP.0104/2017 13-Nov-17 20 ST-00240/WPJ.19/KP .0 104/20 17 13-Nov-17 21 ST-00241/WPJ.19/KP.0104/2017 13-Nov-17 22 ST-00242/WPJ. 1 9/KP.0104/2017 13-Nov-17 23 ST-001 35/WPJ .1 9/KP. 01 04/2018 23-Mar-18 24 ST-00136/WPJ.19/KP.0104/2018 23-Mar-18 25 ST-00137/WPJ. 1 9/KP.0104/2018 23-Mar-18 26 ST-00138/WPJ.19/KP.0104/2018 23-Mar-18 118 27 ST-00139/WPJ .1 9/KP. 0104/2018 23-Mar-18 28 ST-001 40/WPJ .19/KP. 01 04/2018 23-Mar-18 29 ST-00141/WPJ. 19/KP.0104/2018 23-Mar-18 30 ST-00142/WPJ .1 9/KP.0104/2018 23-Mar-18 31 ST-00143/WPJ.19/KP.0104/2018 23-Mar-18 32 ST-00144/WPJ. 19/KP.0104/2018 23-Mar-18 2) Surat Paksa dan Surat Perintah Melaksanakan Sita No. Surat Paksa Tanggal Surat Perintah Melaksanakan Sita (SPMP) 1 SP-00472/WPJ.19/KP.0104/2015 14-Dec-15 SIT-00004 /WPJ.19/KP.0104/2019 tanggal 24 Oktober 2019 2 SP-00473/WPJ. 19/KP.0104/2015 14-Dec-15 3 SP-00126/WPJ.19/KP.0104/2017 24-Jul-17 4 SP-00127/WPJ.19/KP.0104/2017 24-Jul-17 5 SP-00128/WPJ.19/KP.0104/2017 24-Jul-17 6 SP-00072/WPJ.19/KP.0104/2018 26-Mar-18 7 SP-00073/WPJ.19/KP.0104/2018 26-Mar-18 8 SP-00074/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 9 SP-00075/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 10 SP-00076/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 11 SP-00077/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 12 SP-00078/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 13 SP-00079/WPJ.19/KP.0104/2018 26-Mar-18 14 SP-00080/WPJ.19/KP.0104/2018 26-Mar-18 15 SP-00081/WPJ.19/KP.0104/2018 26-Mar-18 16 SP-00082/WPJ.19/KP.0104/2018 26-Mar-18 17 SP-00083/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 18 SP-00084/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 19 SP-00085/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 20 SP-00086/WPJ.19/KP.0104/2018 26-Mar-18 21 SP-00129/WPJ.19/KP.0104/2017 24-Jul-17 SIT-00005 /WPJ.19/KP.0104/2019 tanggal 24 Oktober 2019 22 SP-00130/WPJ. 19/KP.0104/2017 24-Jul-17 23 SP-00150/WPJ.19/KP.0104/2017 17-Oct-17 24 SP-00055/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 25 SP-00056/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 26 SP-00057/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 27 SP-00058/WPJ.19/KP.0104/2018 26-Mar-18 28 SP-00059/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 29 SP-00060/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 30 SP-00061/WPJ.19/KP.0104/2018 26-Mar-18 31 SP-00062/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 32 SP-00063/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 33 SP-00064/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 34 SP-00065/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 35 SP-00066/WPJ.19/KP.0104/2018 26-Mar-18 36 SP-00067/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 37 SP-00068/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 119 38 SP-00069/WPJ.19/KP.0104/2018 26-Mar-18 39 SP-00070/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 40 SP-00071/WPJ.19/KP.0104/2018 26-Mar-18 41 SP-00087/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 SIT-00006 /WPJ.19/KP.0104/2019 tanggal 24 Oktober 2019 42 SP-00088/WPJ. 19/KP.0104/2018 26-Mar-18 43 SP-00249/WPJ.19/KP.0104/2018 15-Oct-18 44 SP-00250/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 45 SP-00251/WPJ.19/KP.0104/2018 15-Oct-18 46 SP-00252/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 47 SP-00253/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 48 SP-00254/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 49 SP-00255/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 50 SP-00256/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 51 SP-00257/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 52 SP-00258/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 53 SP-00259/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 54 SP-00260/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 55 SP-00261/WPJ.19/KP.0104/2018 15-Oct-18 56 SP-00262/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 57 SP-00263/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 58 SP-00264/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 59 SP-00265/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 60 SP-00266/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 61 SP-00267/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 SIT-00007 /WPJ.19/KP.0104/2019 tanggal 24 Oktober 2019 62 SP-00268/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 63 SP-00269/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 64 SP-00270/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 65 SP-00271/WPJ.19/KP.0104/2018 15-Oct-18 66 SP-00272/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 67 SP-00273/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 68 SP-00274/WPJ.19/KP.0104/2018 15-Oct-18 69 SP-00275/WPJ.19/KP.0104/2018 15-Oct-18 70 SP-00276/WPJ.19/KP.0104/2018 15-Oct-18 71 SP-00277/WPJ.19/KP.0104/2018 15-Oct-18 72 SP-00278/WPJ.19/KP.0104/2018 15-Oct-18 73 SP-00279/WPJ.19/KP.0104/2018 15-Oct-18 74 SP-00280/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 75 SP-00281/WPJ.19/KP.0104/2018 15-Oct-18 76 SP-00282/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 77 SP-00283/WPJ.19/KP.0104/2018 15-Oct-18 78 SP-00284/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 79 SP-00285/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 80 SP-00286/WPJ. 19/KP.0104/2018 15-Oct-18 k. Berdasarkan SPMP tersebut dilakukan pemblokiran rekening Pemohon di Bank BCA melalui surat nomor S-2341/WPJ.19/ KP.01/2019 tanggal 29 Oktober 2019, Pencegahan kepada Penanggung Pajak melalui Keputusan 120 Menteri Keuangan Nomor KMK-613/KM.3/2019 tanggal 15 November 2019 untuk Taufik Surya Darma dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor KMK- 614/KM.3/2019 tanggal 15 November 2019 untuk Herumanto Zaini.
Tindakan penagihan kepada Wakil Wajib Pajak, dalam hal ini Pemohon sebagai Direktur Utama PT United Coal Indonesia, sesuai Pasal 32 ayat (2) UU KUP adalah hal yang logis dan diperlukan. Hal ini terlihat dari total tagihan pajak yang terdiri dari SKPKB dan STP di atas, membuktikan bahwa Pemohon, sebagai Direktur Utama PT United Coal Indonesia, selama mengurus perusahaan tidak menjalankan tugasnya untuk memastikan terlunasinya kewajiban perpajakan PT United Coal Indonesia. Kewajiban perpajakan ini meliputi kegiatan menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan kewajiban perpajakannya dengan benar. Dari rangkaian STP saja terlihat bahwa PT United Coal Indonesia, selama dibawah pengurusan Pemohon, bukan hanya tidak membayar kewajiban perpajakannya dengan benar, bahkan laporan perpajakannya yang rutin pun banyak tidak dilakukan atau terlambat. III. Pengecualian dalam Pasal 32 ayat (2) UU KUP Pada prakteknya, banyak ditemukan modus dari perusahaan untuk menghindari kewajiban membayar utang pajak melalui mekanisme pembuatan akta perubahan perseroan dengan mencantumkan nama pihak-pihak yang sebenarnya tidak pernah menjalankan kepengurusan/mengendalikan perseroan sebagai pengurus perseroan tersebut. Mengacu pada Pasal 32 ayat (2) UU KUP bahwa dalam hal pengurus tersebut dapat membuktikan dan meyakinkan Direktur Jenderal Pajak bahwa yang bersangkutan tidak dapat dimintakan tanggung jawab dalam pelunasan utang pajak perseroan, maka Direktorat Jenderal Pajak berwenang tidak melakukan tindakan penagihan atas utang pajak perseroan tersebut kepada yang bersangkutan. Pembuktian tersebut utamanya dilakukan pengurus yang bersangkutan kepada Direktur Jenderal Pajak, disamping Direktorat Jenderal Pajak juga dapat menghimpun dan menganalisis data dan/atau informasi dari pihak internal maupun eksternal berdasarkan kewenangan yang dimiliki. Dalam praktiknya pembuktian yang dilakukan pengurus yang merasa bukan sebagai Penanggung Pajak antara lain: 121 a. Menyampaikan data dan informasi berupa surat keterangan atau sejenisnya dari pengurus dan pemegang saham yang lain bahwa yang bersangkutan bukan pengurus perseroan dan tidak pernah menjalankan kepengurusan perseroan;
Menyampaikan bukti bahwa yang bersangkutan tidak pernah menerima penghasilan dari perseroan tersebut;dan/atau c. Menyampaikan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang menyatakan bahwa yang bersangkutan bukan pengurus perseroan. Direktorat Jenderal Pajak dalam rangka memverifikasi dan menganalisis informasi, data dan/atau dokumen yang diperoleh dari pengurus yang merasa bukan sebagai Penanggung Pajak tersebut, Direktorat Jenderal Pajak dapat melakukan:
Penelitian Administrasi 1. Menghimpun informasi, data dan/atau dokumen dari pihak internal maupun eksternal. Dari internal Direktorat Jenderal Pajak melakukan pengecekkan dari sistem informasi yang ada meliputi pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT), upaya hukum, intelijen perpajakan, dan data lainnya; Data pihak eksternal diperoleh dari data perseroan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, laporan hasil permintaan keterangan atau informasi dari pihak ketiga (pengurus lainnya, pegawai perseroan, lawan transaksi dan sebagainya) 2. Melakukan analisis terkait informasi, data dan/atau dokumen baik yang diperoleh dari internal Direktorat Jenderal Pajak, pengurus perseroan, maupun pihak ketiga lainnya tersebut;
Menuangkan hasil analisis tersebut dalam Laporan Uraian Penelitian dengan hasil apakah yang bersangkutan sebagai Penanggung Pajak yang bertanggungjawab secara pribadi dan/atau renteng terhadap pelunasan utang pajak perseroan atau sebaliknya b. Melakukan pemeriksaan dalam rangka penagihan pajak ( delinquency audit ) sesuai Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-08/PJ.75/2002 tentang Pemeriksaan Untuk Tujuan Penagihan Pajak ( Delinquency Audit ). 122 1. Pemeriksaan dilakukan oleh petugas pemeriksa pajak untuk memperoleh data dan/atau informasi terkait Penanggung Pajak yang sebenarnya, harta dan upaya hukum;
Dapat dilakukan secara bersama-sama dengan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan atau hanya melalui pemeriksaan untuk tujuan lain;
Dalam pelaksanaan pemeriksaan, tim Pemeriksa Pajak akan melakukan hal-hal sebagai berikut: a) mencari alamat tempat/gudang penyimpanan harta Wajib Pajak/Penanggung Pajak; b) meminjam bukti kepemilikan harta Wajib Pajak/Penanggung Pajak; c) membuat daftar harta Wajib Pajak/Penanggung Pajak yang sesuai dengan kondisi terkini; d) mencari informasi perihal wakil dari Penanggung Pajak, antara lain keluarga, direksi, komisaris dan pemegang saham mayoritas, beserta alamat sesuai dengan bukti identitas terakhir; dan e) melakukan konfirmasi dan permintaan keterangan serta bukti tentang identitas harta Wajib Pajak/Penanggung Pajak berdasarkan Pasal 35 Undang-Undang KUP antara lain kepada: Notaris/PPAT, Badan Pertanahan Nasional (BPN), Pemerintah Daerah, Bank, Kepolisian, dan Konsultan Pajak 4. Hasilnya akan dituangkan dalam Laporan Hasil Pemeriksaan yang menjadi dasar Direktorat Jenderal Pajak untuk menetapkan yang bersangkutan sebagai pengurus yang bertanggung jawab secara pribadi dan/atau renteng dalam pelunasan utang pajak perseroan atau tidak. Proses sebagaimana diuraikan di atas, termasuk ke dalam rangkaian proses penagihan pajak yang diatur dalam beberapa peraturan pelaksanaan di Direktorat Jenderal Pajak diantaranya: a) Keputusan Menteri Keuangan Nomor 563/KMK.04/2000 tentang Pemblokiran dan Penyitaan Harta Kekayaan Penanggung Pajak yang Tersimpan Pada Bank Dalam Rangka Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa. 123 b) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2014 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemblokiran Dan Penyitaan Harta Kekayaan Penanggung Pajak Yang Tersimpan Pada Bank Dalam Rangka Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa. c) Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-08/PJ.75/2002 tentang Pemeriksaan Untuk Tujuan Penagihan Pajak ( Delinquency Audit ). d) Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-15/PJ/2018 tentang Kebijakan Pemeriksaan. e) Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-29/PJ/2012 tentang Kebijakan Penagihan Pajak. f) Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-09/PJ/2020 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pencegahan Dalam Rangka Penagihan Pajak. g) Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor S-20/PJ/2018 tanggal 12 Januari 2018 hal Penegasan dan Pelaksanaan Pemblokiran, Pencegahan dan Penyanderaan. h) Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor Nomor S-234/PJ.04/2018 tanggal 23 April 2018 hal Optimalisasi Tindakan Penagihari sebagai Tindak Lanjut Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor S-20/PJ/2018 perihal Penegasan atas Pelaksanaan Pemblokiran, Pencegahan, dan Penyanderaan. Berdasarkan tahapan-tahapan pelaksanaan penagihan pajak, dan tahapan- tahapan untuk dapat menentukan apakah seseorang dapat dikecualikan atau tidak sebagai Wakil Wajib Pajak yang harus bertanggung jawab secara pribadi dan/atau renteng sebagaimana telah diuraikan di atas, maka terlihat bahwa untuk menentukan kriteria tersebut Direktorat Jenderal Pajak dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya harus melaksanakan segala rangkaian proses secara cermat dan berdasarkan dokumen sumber yang valid dan terpercaya. Dalam hal Wajib Pajak dan/atau Wakil Wajib Pajak merasa keberatan, peraturan perundang-undangan perpajakan telah membuka jalur melakukan upaya hukum yang jelas yaitu melalui proses gugatan ke Pengadilan Pajak, keberatan ke Kantor Wilayah DJP, dan/atau banding ke Pengadilan Pajak. IV. Petitum Berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan 124 pengujian ( constitutional review ) ketentuan Pasal 2 ayat (6) dan Pasal 32 ayat (2) UU KUP terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dapat memberikan putusan sebagai berikut :
Menerima Keterangan Presiden secara keseluruhan;
Menyatakan bahwa Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum ( Legal Standing );
Menolak permohonan pengujian Pemohon seluruhnya atau setidak- tidaknya menyatakan permohonan pengujian Pemohon tidak dapat diterima ( niet onvankelijk verklaard );
Menyatakan Pasal 2 ayat (6) dan Pasal 32 ayat (2) UU KUP tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain mohon kiranya dapat memberikan putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya ( ex aequo et bono ) [2.4] Menimbang bahwa untuk mendukung keterangannya, Presiden/Pemerintah telah mengajukan dokumen (sebagai lampiran) yang diberi tanda PEM-1 sampai dengan PEM-211, di mana Lampiran PEM-1 sampai PEM-36 merupakan rincian tagihan pajak kepada Kurator PT UCI sejumlah Rp.43.334.542.465,- karena Wajib Pajak melakukan pembayaran utang pajak sejumlah Rp.870.805.977,-; Lampiran PEM-37 sampai dengan PEM-169 merupakan tagihan pajak hasil pemeriksaan pajak yang terbit setelah Wajib Pajak PT UCI pailit; serta Lampiran PEM-170 sampai dengan PEM-211 merupakan dokumen yang menunjukkan alur proses penagihan kepada Penanggung Pajak PT UCI. Berikut ini daftar Lampiran dimaksud.
PEM-1 S-6382/WPJ.19/ KP.01/2015 17-Des-15 2. PEM-2 SKP/STP No. 00007/106/13/091/13 11-Mar-13 3. PEM-3 SKP/STP No. 00007/107/13/091/14 28-Jan-14 4. PEM-4 SKP/STP No. 00008/107/13/091/14 28-Jan-14 5. PEM-5 SKP/STP No. 00009/107/13/091/14 29-Jan-14 6. PEM-6 SKP/STP No. 000010/107/13/091/14 29-Jan-14 7. PEM-7 SKP/STP No. 000011/107/13/091/14 29-Jan-14 8. PEM-8 SKP/STP No. 000017/106/12/091/13 01-Feb-13 9. PEM-9 SKP/STP No. 000020/107/12/091/14 29-Jan-14 125 10. PEM-10 SKP/STP No. 000021/106/13/091/13 03-Apr-13 11. PEM-11 SKP/STP No. 000022/106/12/091/13 05-Feb-13 12. PEM-12 SKP/STP No. 000030/106/12/091/13 05-Feb-13 13. PEM-13 SKP/STP No. 000041/106/13/091/13 30-Apr-13 14. PEM-14 SKP/STP No. 000073/106/12/091/12 08-Okt-12 15. PEM-15 SKP/STP No. 00139/106/12/091/12 03-Des-12 16. PEM-16 SKP/STP No. 000049/107/14/091/15 28-Mei-15 17. PEM-17 SKP/STP No. 00002/107/15/091/15 28-Mei-15 18. PEM-18 SKP/STP No. 00013/101/15/091/15 28-Mei-15 19. PEM-19 SKP/STP No. 00093/101/14/091/15 28-Mei-15 20. PEM-20 SKP/STP No. 00064/101/13/091/15 28-Mei-15 21. PEM-21 SKP/STP No. 00051/107/14/091/15 3-Jun-15 22. PEM-22 SKP/STP No. 00105/106/14/091/15 13-Jul-15 23. PEM-23 SKP/STP No. 00182/207/10/091/15 25-Mei-15 24. PEM-24 SKP/STP No. 00183/207/10/091/15 25-Mei-15 25. PEM-25 SKP/STP No. 00184/207/10/091/15 25-Mei-15 26. PEM-26 SKP/STP No. 00185/207/10/091/15 25-Mei-15 27. PEM-27 SKP/STP No. 00186/207/10/091/15 25-Mei-15 28. PEM-28 SKP/STP No. 00050/103/14/091/15 21-Aug-15 29. PEM-29 SKP/STP No. 00051/103/14/091/15 21-Aug-15 30. PEM-30 SKP/STP No. 00018/109/10/091/15 10-Dec-15 31. PEM-31 SKP/STP No. 00019/109/10/091/15 10-Dec-15 32. PEM-32 SKP/STP No. 00020/109/10/091/15 10-Dec-15 33. PEM-33 SKP/STP No. 00021/109/10/091/15 10-Dec-15 34. PEM-34 SKP/STP No. 00022/109/10/091/15 10-Dec-15 35. PEM-35 SKP/STP No. 00014/206/13/091/15 16-Dec-15 36. PEM-36 SKP/STP No. 00169/207/11/091/15 17-Dec-15 37. PEM-37 SKP/STP No. 00026/206/11/091/16 29-Nov-16 38. PEM-38 SKP/STP No. 00019/107/12/091/17 23-Mei-17 39. PEM-39 SKP/STP No. 00073/207/12/091/17 23-Mei-17 40. PEM-40 SKP/STP No. 00074/207/12/091/17 23-Mei-17 41. PEM-41 SKP/STP No. 00075/207/12/091/17 23-Mei-17 42. PEM-42 SKP/STP No. 00076/207/12/091/17 23-Mei-17 126 43. PEM-43 SKP/STP No. 00077/207/12/091/17 23-Mei-17 44. PEM-44 SKP/STP No. 00078/207/12/091/17 23-Mei-17 45. PEM-45 SKP/STP No. 00079/207/12/091/17 23-Mei-17 46. PEM-46 SKP/STP No. 00080/207/12/091/17 23-Mei-17 47. PEM-47 SKP/STP No. 00041/107/13/091/17 21-Dec-17 48. PEM-48 SKP/STP No. 00042/107/13/091/17 21-Dec-17 49. PEM-49 SKP/STP No. 00043/107/13/091/17 21-Dec-17 50. PEM-50 SKP/STP No. 00044/107/13/091/17 21-Dec-17 51. PEM-51 SKP/STP No. 00045/107/13/091/17 21-Dec-17 52. PEM-52 SKP/STP No. 00046/107/13/091/17 21-Dec-17 53. PEM-53 SKP/STP No. 00003/245/13/091/17 21-Dec-17 54. PEM-54 SKP/STP No. 00021/203/13/091/17 21-Dec-17 55. PEM-55 SKP/STP No. 00030/201/13/091/17 21-Dec-17 56. PEM-56 SKP/STP No. 00031/201/13/091/17 21-Dec-17 57. PEM-57 SKP/STP No. 00014/177/13/091/17 22-Dec-17 58. PEM-58 SKP/STP No. 00018/277/13/091/17 22-Dec-17 59. PEM-59 SKP/STP No. 00081/207/13/091/17 22-Dec-17 60. PEM-60 SKP/STP No. 00082/207/13/091/17 22-Dec-17 61. PEM-61 SKP/STP No. 00083/207/13/091/17 22-Dec-17 62. PEM-62 SKP/STP No. 00084/207/13/091/17 22-Dec-17 63. PEM-63 SKP/STP No. 00085/207/13/091/17 22-Dec-17 64. PEM-64 SKP/STP No. 00086/207/13/091/17 22-Dec-17 65. PEM-65 SKP/STP No. 00087/207/13/091/17 22-Dec-17 66. PEM-66 SKP/STP No. 00088/207/13/091/17 22-Dec-17 67. PEM-67 SKP/STP No. 00089/207/13/091/17 22-Dec-17 68. PEM-68 SKP/STP No. 00090/207/13/091/17 22-Dec-17 69. PEM-69 SKP/STP No. 00091/207/13/091/17 22-Dec-17 70. PEM-70 SKP/STP No. 00025/107/14/091/17 21-Dec-17 71. PEM-71 SKP/STP No. 00026/107/14/091/17 21-Dec-17 72. PEM-72 SKP/STP No. 00027/107/14/091/17 21-Dec-17 73. PEM-73 SKP/STP No. 00028/107/14/091/17 21-Dec-17 74. PEM-74 SKP/STP No. 00002/203/14/091/17 21-Dec-17 75. PEM-75 SKP/STP No. 00004/206/14/091/17 21-Dec-17 127 76. PEM-76 SKP/STP No. 00058/207/14/091/17 21-Dec-17 77. PEM-77 SKP/STP No. 00059/207/14/091/17 21-Dec-17 78. PEM-78 SKP/STP No. 00060/207/14/091/17 21-Dec-17 79. PEM-79 SKP/STP No. 00061/207/14/091/17 21-Dec-17 80. PEM-80 SKP/STP No. 00004/103/15/091/17 23-Jan-17 81. PEM-81 SKP/STP No. 00006/103/15/091/17 24-Jan-17 82. PEM-82 SKP/STP No. 00062/101/16/091/17 21-Mar-17 83. PEM-83 SKP/STP No. 00063/101/16/091/17 21-Mar-17 84. PEM-84 SKP/STP No. 00065/101/16/091/17 21-Mar-17 85. PEM-85 SKP/STP No. 00066/101/16/091/17 21-Mar-17 86. PEM-86 SKP/STP No. 00067/101/16/091/17 21-Mar-17 87. PEM-87 SKP/STP No. 00069/101/16/091/17 21-Mar-17 88. PEM-88 SKP/STP No. 00070/101/16/091/17 21-Mar-17 89. PEM-89 SKP/STP No. 00072/101/16/091/17 21-Mar-17 90. PEM-90 SKP/STP No. 00075/101/16/091/17 22-Mar-17 91. PEM-91 SKP/STP No. 00077/101/16/091/17 22-Mar-17 92. PEM-92 SKP/STP No. 00079/101/16/091/17 23-Mar-17 93. PEM-93 SKP/STP No. 00080/101/16/091/17 23-Mar-17 94. PEM-94 SKP/STP No. 00034/107/16/091/17 17-Mar-17 95. PEM-95 SKP/STP No. 00035/107/16/091/17 17-Mar-17 96. PEM-96 SKP/STP No. 00036/107/16/091/17 17-Mar-17 97. PEM-97 SKP/STP No. 00037/107/16/091/17 17-Mar-17 98. PEM-98 SKP/STP No. 00038/107/16/091/17 17-Mar-17 99. PEM-99 SKP/STP No. 00039/107/16/091/17 17-Mar-17 100. PEM-100 SKP/STP No. 00040/107/16/091/17 17-Mar-17 101. PEM-101 SKP/STP No. 00041/107/16/091/17 17-Mar-17 102. PEM-102 SKP/STP No. 00042/107/16/091/17 17-Mar-17 103. PEM-103 SKP/STP No. 00043/107/16/091/17 17-Mar-17 104. PEM-104 SKP/STP No. 00044/107/16/091/17 17-Mar-17 105. PEM-105 SKP/STP No. 00045/107/16/091/17 17-Mar -17 106. PEM-106 SKP/STP No. 00020/107/12/091/17 29-Mei-17 107. PEM-107 SKP/STP No. 00021/107/12/091/17 31-Mei-17 108. PEM-108 SKP/STP No. 00003/140/12/091/17 2-Jun-17 128 109. PEM-109 SKP/STP No. 00004/140/12/091/17 2-Jun-17 110. PEM-110 SKP/STP No. 00005/140/12/091/17 2-Jun-17 111. PEM-111 SKP/STP No. 00005/103/12/091/17 2-Jun-17 112. PEM-112 SKP/STP No. 00008/103/13/091/17 2-Jun-17 113. PEM-113 SKP/STP No. 00006/101/12/091/17 6-Jun-17 114. PEM-114 SKP/STP No. 00006/140/12/091/17 7-Jun-17 115. PEM-115 SKP/STP No. 00006/106/13/091/17 6-Jul-17 116. PEM-116 SKP/STP No. 00003/107/13/091/17 10-Jul-17 117. PEM-117 SKP/STP No. 00066/106/16/091/17 8-Sep-17 118. PEM-118 SKP/STP No. 00067/106/16/091/17 8-Sep-17 119. PEM-119 SKP/STP No. 00068/106/16/091/17 8-Sep-17 120. PEM-120 SKP/STP No. 00069/106/16/091/17 8-Sep-17 121. PEM-121 SKP/STP No. 00070/106/16/091/17 8-Sep-17 122. PEM-122 SKP/STP No. 00071/106/16/091/17 8-Sep-17 123. PEM-123 SKP/STP No. 00072/106/16/091/17 8-Sep-17 124. PEM-124 SKP/STP No. 00073/106/16/091/17 8-Sep-17 125. PEM-125 SKP/STP No. 00074/106/16/091/17 8-Sep-17 126. PEM-126 SKP/STP No. 00075/106/16/091/17 11-Sep-17 127. PEM-127 SKP/STP No. 00076/106/16/091/17 11-Sep-17 128. PEM-128 SKP/STP No. 00077/106/16/091/17 11-Sep-17 129. PEM-129 SKP/STP No. 00014/106/15/091/17 12-Sep-17 130. PEM-130 SKP/STP No. 00015/106/15/091/17 12-Sep-17 131. PEM-131 SKP/STP No. 00016/106/15/091/17 12-Sep-17 132. PEM-132 SKP/STP No. 00017/101/15/091/17 12-Sep-17 133. PEM-133 SKP/STP No. 00017/106/15/091/17 12-Sep-17 134. PEM-134 SKP/STP No. 00018/101/15/091/17 12-Sep-17 135. PEM-135 SKP/STP No. 00018/106/15/091/17 12-Sep-17 136. PEM-136 SKP/STP No. 00019/101/15/091/17 12-Sep-17 137. PEM-137 SKP/STP No. 00019/106/15/091/17 12-Sep-17 138. PEM-138 SKP/STP No. 00020/101/15/091/17 12-Sep-17 139. PEM-139 SKP/STP No. 00020/106/15/091/17 12-Sep-17 140. PEM-140 SKP/STP No. 00021/101/15/091/17 12-Sep-17 141. PEM-141 SKP/STP No. 00021/106/15/091/17 12-Sep-17 129 142. PEM-142 SKP/STP No. 00022/101/15/091/17 12-Sep-17 143. PEM-143 SKP/STP No. 00022/106/15/091/17 12-Sep-17 144. PEM-144 SKP/STP No. 00023/101/15/091/17 12-Sep-17 145. PEM-145 SKP/STP No. 00024/101/15/091/17 12-Sep-17 146. PEM-146 SKP/STP No. 00025/101/15/091/17 12-Sep-17 147. PEM-147 SKP/STP No. 00126/107/15/091/17 12-Sep-17 148. PEM-148 SKP/STP No. 00127/107/15/091/17 12-Sep-17 149. PEM-149 SKP/STP No. 00128/107/15/091/17 12-Sep-17 150. PEM-150 SKP/STP No. 00129/107/15/091/17 12-Sep-17 151. PEM-151 SKP/STP No. 00130/107/15/091/17 12-Sep-17 152. PEM-152 SKP/STP No. 00131/107/15/091/17 12-Sep-17 153. PEM-153 SKP/STP No. 00132/107/15/091/17 12-Sep-17 154. PEM-154 SKP/STP No. 00133/107/15/091/17 12-Sep-17 155. PEM-155 SKP/STP No. 00134/107/15/091/17 12-Sep-17 156. PEM-156 SKP/STP No. 00023/106/15/091/17 15-Sep-17 157. PEM-157 SKP/STP No. 00009/106/16/091/18 25-Jan-18 158. PEM-158 SKP/STP No. 00042/101/17/091/18 6-Feb-18 159. PEM-159 SKP/STP No. 00043/101/17/091/18 6-Feb-18 160. PEM-160 SKP/STP No. 00044/101/17/091/18 6-Feb-18 161. PEM-161 SKP/STP No. 00045/101/17/091/18 6-Feb-18 162. PEM-162 SKP/STP No. 00046/101/17/091/18 6-Feb-18 163. PEM-163 SKP/STP No. 00047/101/17/091/18 6-Feb-18 164. PEM-164 SKP/STP No. 00048/101/17/091/18 6-Feb-18 165. PEM-165 SKP/STP No. 00049/101/17/091/18 6-Feb-18 166. PEM-166 SKP/STP No. 00050/101/17/091/18 6-Feb-18 167. PEM-167 SKP/STP No. 00053/101/17/091/18 7-Feb-18 168. PEM-168 SKP/STP No. 00054/101/17/091/18 7-Feb-18 169. PEM-169 SKP/STP No. 00056/101/17/091/18 8-Feb-18 170. PEM-170 Undangan penyelesaian tunggakan pajak surat nomor S-1942/WPJ.19/ KP.01/2018 11-Mei-18 130 171. PEM-171 Undangan penyelesaian tunggakan pajak surat nomor S-1172/WPJ.19/ KP.01/2019 172. PEM-172 ST-00023/WPJ.19/KP.0104/2017 20-Mar-17 173. PEM-173 ST-00024/WPJ.19/KP.0104/2017 20-Mar-17 174. PEM-174 ST-00025/WPJ.19/KP.0104/2017 20-Mar-17 175. PEM-175 ST-00071/WPJ.19/KP.0104/2017 22-Mei-17 176. PEM-176 ST-00072/WPJ.19/KP.0104/2017 22-Mei-17 177. PEM-177 ST-00073/WPJ.19/KP.0104/2017 22-Mei-17 178. PEM-178 ST-00074/W PJ. 19/KP. 0104/20 17 22-Mei-17 179. PEM-179 ST-00075/WPJ.19/KP.0104/2017 22-Mei-17 180. PEM-180 ST-00076/WPJ.19/KP.0104/2017 22-Mei-17 181. PEM-181 ST-00104/WPJ.19/KP.0104/2017 12-Jun-17 182. PEM-182 ST-00138/WPJ. 19/KP.0104/2017 7-Sep-17 183. PEM-183 ST-00 139/WPJ .19/KP.01 04/2017 7-Sep-17 184. PEM-184 ST-00152/WPJ.19/KP.0104/2017 12-Sep-17 185. PEM-185 ST-00153/WPJ. 19/KP.0104/2017 12-Sep-17 186. PEM-186 ST-00235/WPJ .19/KP.01 04/2017 13-Nov-17 187. PEM-187 ST-00236/WPJ .19/KP.01 04/2017 13-Nov-17 188. PEM-188 ST-00237/WPJ.19/KP.0104/201 7 13-Nov-17 189. PEM-189 ST-00238/WPJ.19/KP.01 04/2017 13-Nov-17 190. PEM-190 ST-00239/WPJ.19/KP.0104/2017 13-Nov-17 191. PEM-191 ST-00240/WPJ.19/KP.0104/20 17 13-Nov-17 192. PEM-192 ST-00241/WPJ.19/KP.0104/2017 13-Nov-17 193. PEM-193 ST-00242/WPJ.19/KP.0104/2017 13-Nov-17 194. PEM-194 ST-00135/WPJ.19/KP. 01 04/2018 23-Mar-18 195. PEM-195 ST-00136/WPJ.19/KP.0104/2018 23-Mar-18 196. PEM-196 ST-00137/WPJ.19/KP.0104/2018 23-Mar-18 197. PEM-197 ST-00138/WPJ.19/KP.0104/2018 23-Mar-18 198. PEM-198 ST-00139/WPJ.19/KP. 0104/2018 23-Mar-18 199. PEM-199 ST-00140/WPJ.19/KP.0104/2018 23-Mar-18 200. PEM-200 ST-00141/WPJ.19/KP.0104/2018 23-Mar-18 201. PEM-201 ST-00142/WPJ.19/KP.0104/2018 23-Mar-18 131 202. PEM-202 ST-00143/WPJ.19/KP.0104/2018 23-Mar-18 203. PEM-203 ST-00144/WPJ.19/KP.0104/2018 23-Mar-18 204. PEM-204 Daftar Surat Paksa yang telah diberitahukan kepada Penaggung Pajak PT United Coal Indonesia 29-Okt-19 205. PEM-205 Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan No. SIT- 00004/WPJ.19/KP.0104/2019 24-Okt-19 206. PEM-206 Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan No. SIT- 00005/WPJ.19/KP.0104/2019 24-Okt-19 207. PEM-207 Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan No. SIT-SKP/STP No. 00006/WPJ.19/KP.0104/2019 24-Okt-19 208. PEM-208 Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan No. SIT-SKP/STP No. 00007/WPJ.19/KP.0104/2019 24-Okt-19 209. PEM-209 S-2341/WPJ.19/KP.01/2019 (Blokir Rekening) 29-Okt-19 210. PEM-210 Keputusan Menteri Keuangan Nomor KMK-613/KM.3/2019 untuk Taufik Surya Darma (Pencegahan) 15-Nov-19 211. PEM-211 Keputusan Menteri Keuangan Nomor KMK-614/KM.3/2019 untuk Herumanto Zaini (Pencegahan) 15-Nov-19 Selain itu Presiden/Pemerintah mengajukan empat orang Ahli. Dua orang Ahli menyampaikan keterangan keterangan lisan di hadapan sidang 14 Oktober 2020, yang dilengkapi keterangan tertulis yaitu Dr. Abdul Anshari Ritonga, S.E., S.H., M.A dan Dr. Teddy Anggoro, S.H., M.H. Adapun dua Ahli lain, yaitu Dr. Dian Puji N Simatupang, S.H., M.H dan Dr. Hendry Julian Noor, S.H., M.Kn., menyampaikan keternagan secara tertulis. Keterngan masing-masing ahli pada pokoknya sebagai berikut. 132 1. Abdul Anshari Ritonga Tentang Pasal 32 ayat (2) UU KUP Sesuai Pasal 32 ayat (2) dan penjelasannya UU KUP, untuk Wajib Pajak Badan, yang bertangggung jawab menjalankan hak dan kewajiban perpajakan atas pembayaran pajak dan pemenuhan kewajiban perpajakan dari Wajib Pajak Badan adalah Pengurus dari Badan tesebut. Tanggung Jawab Pengurus dimaksud adalah tanggung jawab pribadi dan tanggung jawab renteng. Subjek hukum adalah setiap orang yang mempunyai hak dan kewajiban hukum. Menurut Kamus Hukum, subject vaan een recht ; Subjek orang yang berhak; manusia pribadi atau badan hukum yang berhak bertindak atau melakukan perbuatan hukum Pasal 1 angka 2 dan Pasal 2 UU KUP antara lain berbunyi: Subjek hukum pajak terdiri dari orang pribadi dan/atau badan yang memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Berdasarkan sistem self assesment dalam perpajakan yang berlaku di Indonesia, subjek hukum pajak yang memenuhi persyaratan subjektif dan objektif berkewajiban mendaftarkan diri, menghitung dan membayar pajak terhutang, serta melaporkan kewajiban perpajakannya ke Kantor Pajak, Direktorat Jenderal Pajak. Namun, Badan sebagai subjek hukum pajak, secara fisik tidak dapat bertindak, berbuat dan bergerak untuk melakukan kewajiban perpajakannya dimaksud. Pengertian badan sebagai pribadi hukum ( recht person) menurut Teori Badan Hukum pendapat Wolfgang Fiedmann dalam bukunya Legal Theory , dapat dibedakan pengertiannya berdasarkan: i) Teori Fiksi, ii) Teori Konsesi, iii) Teori Organ/Realis dan iv) Teori Kenyataan Juridis. Menurut Teori Fiksi, keberadaan Badan sebagai pribadi hukum ( rechts person ) hanyalah anggapan atau fiksi saja, karena tidak dapat bertindak atau berbuat untuk melaksanakan hak dan kewajiban hukumnya. Oleh karena itu, yang bertindak dan bertanggung jawab memenuhi kewajiban Badan adalah pengurus yang dikuasakan untuk mengurus perusahaan. Pengertian Badan sebagai Wajib Pajak dalam UU Perpajakan adalah menggunakan Teori Fiksi tersebut, seperti yang diatur dalam Pasal 32 ayat (1) huruf a, dan Pasal 32 ayat (2) UU KUP sebagaimana diuraikan di atas. 133 Pasal 1 angka (2) dan Pasal 2 ayat (1) UU KUP memgatur: wajib pajak adalah yang memenuhi persyaratan subjektif dan objektif, yang terdiri dari orang pribadi dan badan. Orang pribadi yang berkewajiban hukum adalah yang cakap hukum. Orang yang tidak cakap hukum seperti orang yang tidak waras, anak-anak yang belum dewasa atau yang dibawah pengampuan, maka tidak dapat berkewajiban hukum. Wajib Pajak adalah Badan atau Badan Hukum yang secara fisik tidak dapat bergerak, bertindak dan berbuat, berati tidak akan dapat melakukan kewajibannya sendiri. Oleh karena Badan yang secara fisik tidak cakap hukum, maka kewajiban perpajakan dari Badan yang yang seharusnya melaksanakan, menjadi tangggung jawab pribadi dan tanggung jawab renteng dari Pengurus. Kewajiban pajak hanya ada apabila ada objeknya (misalnya: ada tambahan kemampuan ekonomi, antara lain berupa penghasilan atau laba, atau ada kewajiban memungut, memotong pajak dan membayarnya ke kas negara) yang ada pajaknya terhutang, tetapi tidak dibayar sebagaimana mestinya oleh Pengurus yang bertanggung jawab. Apabila pada waktunya kewajiban tersebut tidak dilaksanakan sesuai ketentuan yang berlaku, maka akan dapat berdampak ada pajak terhutang yang tidak atau kurang dibayar. Karena kesalahan pengurus yang tidak membayar pajak terhutang dari WP Badan yang diurusnya sebagaimana mestinya, maka kewajiaban membayar hutang pajak tersebut adalah menjadi tanggung jawab pengurus, karena kesalahannya tidak melaksanakan pembayaran sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Badan (secara fisik) tidak dapat dipersalahkan, karena badan itu hanya anggapan (fiksi) saja ada sebagai subjek yang dapat memenuhi kewajiban perpajakannya. Tetapi kenyataannya secara fisik tidak dapat bertindak atau berbuat, tidak bisa menghitung dan tidak dapat bergerak untuk melakukan kewajiabannya sebagai wajib pajak. Maka semua kewajiban Badan tersebut menjadi tanggung jawab sepenuhnya dari pengurus. Pasal 1233 dan Pasal 1234 KUH Perdata mengatur bahwa “ Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena undang-undang adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu atau untuk tidak 134 berbuat sesuatu” . Dengan demikian perikatan berupa badan dan/atau badan hukum adalah subjek hukum perdata yang berhak dan berkewajiban hukum. Objek pajak adalah peristiwa-peristiwa hukum, perbuatan, kejadian dan keadaan terkait hukum yang bersifat perdata yang terukur dan bernilai. Oleh karenanya subjek hukum perdata juga dapat menjadi subjek pajak, dan prinsip- perinsip perdata berupa mediasi dan kompromi juga berlaku dalam hukum pajak, seperti penundaan, pangangsuran, pengurangan pembayaran pajak sesuai ketentuan peraturaan perundang-undangan perpajakan. Pasal inilah yang menjadi dasar penentuan subjek pajak terdiri dari orang pribadi dan badan (sebagai subjek hukum perdata) berupa perikatan dan/atau badan. Subjek pajak yang memenuhi persyaratan objektip menjadi Wajib Pajak yang terdiri dari Wajib Pajak Orang pribadi dan wajib pajak badan. Pasal 1 angka 5 UU 40/2007 tentang Perseroan Terbatas mengatur hal yang sama, yaitu “ Direksi adalah organ perseroan yang berwenang dan bertangggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan sesuai denggan maksud dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan baik didalam maupun diluar pengadilan sesuai dengan ketentuan”. Sekalipun kemudian badan yang diurusnya menjadi pailit atau dibubarkan, tidak akan menghapus kewajibannya melunasi pajak yang terhutang yang sudah ada sebelum pembubaran atau pemailitan tersebut. Dengan alasan antara lain, a) Pajak adalah kewajiban kenegaraan yang bersifat memaksa untuk keperluan negara berdasarkan Undang-undang. b) Timbulnya pajak terhutang adalah karena pengurus tidak meaksanakan kewajiban perpajakannya, memenuhi pembayaran sebagaimana mestinya. c) Seandainya oleh pengurus memenuhi kewajiban perpajakannya sebagaimana mestinya, maka tidak akan ada pajak terhutang yang harus dibayar pada saat perusahaan bubar atau dipailitkan. d) Adanya kewajiban pengurus harus membayar pajak terhutang setelah perusahaan bubar atau pailit, adalah karena kesalahan pengurus sendiri membuat hutang pajak, yang terjadi sebelum perusahaan tersebut bubar atau dipailitkan. Maksud frasa kata/anak kalimat dalam Pasal 32 ayat (2): “ kecu ali apabila dapat membuktikan dan meyakinkan Direktur Jenderal Pajak bahwa mereka dalam kedudukannya benar-benar tidak mungkin untuk dibebani tanggung jawab atas pajak yang terhutang tersebut ” adalah terkait ketentuan Pasal 32 135 ayat (4) dan penjelasannya, yang mengatur pengertian pengurus Badan termasuk orang yang nyata-nyata mempunyai wewenang ikut menentukan kebijaksanaan dan/atau mengambil keputusan dalam menjalankan perusahaan, walaupun orang tersebut tidak tercantum namanya dalam susunan pengurus yang tertera dalam akta pendirian maupun akta perubahan, termasuk Komisaris Perusahaan/Badan dan pemegang saham mayoritas atau pengendali. Misalnya apabila kejadian, pengawas/pemeriksa memutuskan telah terjadi penyimpangan melawan hukum dalam satu kebijakan Pengurus/Direksi dalam melaksanakan perusahaan, kalau sewaktu rapat mengambil keputusan kebijakan yang dinyatakan ada penyimpangan tersebut ada seorang Komisaris perusahaan sebagai penasehat, menyatakan tidak sependapat atau berpendapat lain dan tidak setuju atas kebijakan yang diambil Direksi, maka Komisaris tersebut dapat lepas dari sanksi atas kesalahan dimaksud. Demikian pula dalam kepemimpinan pengurus secara kolektif kolegial, apabila ada salah seorang pengurus yang tidak setuju atau dissenting opinion sewaktu pengambilan keputusan, namun karena sudah jadi keputusan rapat dia juga harus turut menandatanganinya Apabila pelaksanaan keputusan yang diambil dinyatakan salah atau melawan hukum, maka yang bersangkutan lepas dari tangggug jawab akibat kesalahan tersebut. Tentang Pasal 2 ayat (6): Pemberian NPWP sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 6 dan Pasal 2 ayat (1) UU KUP adalah sebagai sarana administrasi perpajakan, yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya. NPWP tersebut diberikan hanya kepada seseorang yang memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai peraturan perundang-undangan perpajakan. Pentingnya identitas NPWP di samping nama wajib pajak, adalah untuk menjamin kepastian bagi Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, bahwa benar pemenuhan perpajakan dilakukan oleh yang bersanggkutan dan untuk yang bersangkutan, agar terhindar dari kemungkinan ada nama yang sama. Juga bagi Wajib Pajak yang mempunyai cabang banyak di alamat yang berbeda, dapat dilakukan memenuhi kewajiban perpajakannya dimana saja 136 untuk diperhitungkan sebagai pemenuhan kewajiban pajak bagi pemilik NPWP yang sama. Penghapusan NPWP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (6), baik karena permohonan Wajib Pajak dan atau karena kewenangan Direktur Jenderal Pajak, adalah berdasarkan ada atau terpenuhinya persyaratan subjektif dan objektif dari seseorang yang akan diberikan atau dicabut NPWP- nya. NPWP tidak ada kaitan dengan jumlah pajak terhutang yang tidak atau belum dibayar, tetapi diberikan semata-mata untuk identitas dalam memenuhi kewajiban perpajakan bagi yang terpenuhi persyaratan subjetif dan objektif yang akan diberikan atau dicabut NPWP-nya. Apabila ditemukan seseorang yang memenuhi persyaratan subjektif, tetapi yang bersangkutan tidak mendaftarkan diri untuk diberikan NPWP, maka dinas (Direktorat Jenderal Pajak) akan memberikan NPWP secara jabatan, tanpa melalui permohonan Wajib Pajak. Atas objek pajak yang ditemukan, akan diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Jabatan atas pajak yang terhutang ditambah dengan dendanya sesuai peraturan perundang-undangan perpajakan. Untuk melakukan pencabutan NPWP harus terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan untuk memastikan bahwa tidak ada lagi kewajiban perpajakannya. Apabila hasil pemeriksaan memutuskan dapat/untuk dicabut NPWP, kemudian belakangan ditemui masih ada objek pajak yang tidak dilaporkan pada saat pemeriksaan, yang masih ada pajak terhutang/yang harus dibayar, maka NPWP akan diterbitkan kembali untuk menagih pajak terhutang. NPWP perusahaan yang dinyatakan pailit, sesuai ketentuan baru dapat dihapuskan apabila sudah tidak ada lagi kewajibann perpajakannya. Kalau masih ada pajak terutang yang belum dibayar, maka NPWP tidak boleh dihapus, karena NPWP tersebut masih diperlukan sebagai sarana untuk membayar pajak. Pemohon menerangkan sejak Perusahaan PT UCI dinyatakan pailit: (i) Pemohon secara hukum tidak lagi dapat bertindak untuk dan atas nama PT UCI dan tidak lagi bertanggung jawab sebagai peribadi atas perusahaan; (ii) semua hak dan kewajiban Direksi (Pemohon) telah beralih kepada Kurator yang ditunjuk; 137 (iii) Pemohon demi hukum tidak dapat lagi dibebani pertanggung jawaban secara pribadi. Ahli menerangkan Pasal 1 angka 5 UU 37/2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU KPKPU) mengatur, “Kurator adalah Balai Harta Peninggalan atau orang perseorangan yang diangkat oleh pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta Debitor Pailit dibawah pengawasan Hakim Pengawas sesuai dengan Undang-undang ini”. Pasal 1 angka 11 berbunyi, “Setiap orang adalah orang peseorangan atau korporasi yang berbentuk badan hukum maupun yang bukan badan hukum”. Pasal 16 ayat (1) UU KPKPU mengatur bahwa tugas dan wewenang Kurator adalah melaksanakan pengurusan dan/atau pemberesan atas harta pailit sejak tanggal putusan pailit diucapkan, meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali. Tugas Kurator terbatas hanya terkait pengurusan dan pemberesan aset debitor yang dinyatakan pailit, untuk digunakan pembayaran hutang debitor atas piutang kreditor. Oleh karena itu, selain tugas Kurator sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) tersebut tidak ada tugas Direksi (Pengurus) yang dialihkan kepada Kurator, dan semua tugas wewenang kecuali terkait pemberesan harta pailit tetap sepenuhnya masih menjadi tangggung jawab Direksi (Pengurus). Tanggung jawab atas pengelolaan perusahaan yang salah, yang menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang terjadi sebelum dipailitkan, tetap menjadi tanggung jawab pengurus yang bersangkutan. Apabila hasil pemberesan Kurator terhadap aset Debitor belum cukup melunasi piutang atau tagihan dari para Kreditor, maka menurut UU 37/2004 tentang Kepailitan, kreditor dan debitor berhak: i) Pasal 204: setelah daftar pembagian penutup menjadi mengikat, maka Kreditor memeroleh kembali hak eksekusi terhadap harta dari Debitor mengenai pitutang mereka yang belum dibayar. ii) Pasal 215, “Setelah berakhirnya kepailitan sebagaimana dimaksud Pasal 166, Pasal 202 dan Pasal 207, maka Debitor atau ahli warisnya berhak mengajukan permohonan reahabilitasi kepada Pengadilan yang telah mengucapkan putusan pernyataan pailit”. 138 iii) Pasal 216, “Permohonan rehabilitasi baik oleh Debitor maupun ahli warisnya tidak akan dikabulkan, kecuali apabila pada surat permohonan tersebut dilampirkan bukti yang menyatakan bahwa semua Kredior yang diakui sudah memperoleh pembayaran secara memuaskan”. __ Terkait tanggung jawab pengurus atas kewajiban perusahaan (Badan) yang menjadi tanggung jawab pengurus sebagai tanggug jawab pribadi dan tanggung jawab renteng (dalam Pasal 32 ayat (2) UU KUP), ketentuan dalam UU 37/2004 tentang KPKPU mengatur bahwa: i) Pasal 23, “Debitor pailit sebagaimana dimaksud Pasal 21 dan Pasal 22 meliputi isteri atau suami dari Debitor Pailit yang menikah dalam persatuan harta”. ii) Pasal 24, “Debitor demi hukum kehilanggan haknya untuk mengguasai dan mengurus kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit, sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan”. Kaitan hak dan kewajiban suatu Badan dengan pemberesan aset dari Badan yang pailit oleh Kurator, hanya terkait pelunasan atas sebagian atau seluruhnya utang Badan sebagai Debitor, sesuai yang ditentukan oleh Kurator dan Hakim Pengawas. Dengan dinyatakannya suatu Badan pailit, tidak berarti hutang Badan tersebut akan terselesaikan seluruhnya setelah selesai Pemberesan budel aset pailit. Apabila masih ada piutang yang belum dilunasi masih terbuka hak Kreditor utk menagihnya lagi (lihat ketentuan Pasal 204 UU KPKPU). Terkait hak Kreditor yang terbuka kembali untuk menagih piutangnya yang belum dilunasi sebagaimana dimaksud Pasal 204 UU KPKPU, maka: i) Untuk Kreditor karena perjanjian (Pasal 1 angka 2 UU KPKU) yang telah menyampaikan semua tagihannya pada saat pencocokan piutang (Pasal 115 UU KPKPU), dan Kurator juga setelah berunding dengan Kreditor telah memasukkan semua piutang tersebut dalam Daftar Piutang (Pasal 116 dan Pasal 117 UU KPKPU); demikian pula Debitor telah menyerahkan daftar semua aset/harta kekayaannya termasuk harta isterinya kepada Kurator (Pasal 21 dan Pasal 23 UU KPKPU), maka apabila ternyata sudah tidak ada lagi aset Debitor, dan Badan/Perusahaan sudah dinyatakan pailit dan/atau bubar sehingga sudah tidak ada kegiatan lagi dan/atau sudah berhenti, secara fisik tidak ada lagi kegiatan, maka penagihan untuk melunasi 139 kekurangan pembayaran piutang yang belum dibayar, sudah tidak dapat lagi dilakukan. Karena pengurus yang sudah tidak aktif lagi tidak dapat diminta atau dipaksa untuk melunasinya. Dengan pengertian lain, pembayaran piutang dari hasil pemberesan aset Debitor oleh Kurator yang menjadi pebayaran atas piutang Kreditor yang meminta untuk dilakukan pailit tersebut. ii) Terhadap utang pajak yang timbul karena Undang-undang (Pasal 1 angka 2 UU KPKU) yang telah terdaftar di Kurator, yang belum semua dilunasi dari hasil pemberesan aset Debitor oleh Kurator, maka atas pajak terutang yang belum dibayar berlaku ketentuan Pasal 204 UU KPKPU dimaksud. Sesuai ketentuan Pasal 32 ayat (1) dan Pasal 32 ayat (2) UU KUP, penagihannya dilakukan kepada Direksi yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak terhutang yang belum dibayar tersebut. Dan tangggung jawab tersebut menjadi tanggung jawab pribadi dan tanggung jawab renteng bagi pengurus, yang dapat ditagih secara paksa, apabila tidak dibayar sesuai ketentuan yang berlaku. Atas pajak terhutang yang tidak atau belum sepenuhnya dibayar, dapat ditagih dengan penagihan paksa berdasarkan UU Penagihan Pajak dengan Surat Paksa Nomor 19 Tahun 2000 (UU PPSP), dengan cara: (i) dengan surat Paksa; apabila hutang masih belum dilunasi, dilakukan penyitaan. Kemudian apabila masih belum dibayar, dilanjutkan dengan pelelangan aset dari penanggung pajak terhutang (Pasal 12 dan Pasal 25 UU PPSP); (ii) Apabila diketahui ada upaya untuk menghindari atau tidak bersedia membayar utang pajak, maka dapat disita uangnya di Bank dengan melakukan pemblokiran atas rekening penaggung pajak di Bank (Pasal 17 UU PPSP); (iii) kalau diketahui ada iktikad tidak baik misalnya, mau menghindar keluar negeri, dapat diusulkan untuk dilakukan pencegahan/ pencekalan kepada yang bersangkutan (Pasal 29 UU PPSP); (iv) kalau utang pajaknya besar dan ada iktikad tidak baik untuk menghindar membayar pajak, misalnya berupaya memindahkan aset, maka dapat dilakukan paksa badan ( gijzeling ) selama 6 bulan dan dapat diperpanjang lagi 6 bulan berikutnya apabila masih tetap belum dibayar, sesuai ketentuan Pasal 33 UU PPSP. 140 Terkait pendapat Pemohon bahwa NPWP Perusahaan yang dinyatakan pailit karena insolven hapus demi hukum, Ahli menjelaskan seperti yang dijelaskan dalam tanggapan Pasal 2 ayat (6) di muka, NPWP diberikan apabila terpenuhi persyaratan subjektif dan objektif, khususnya ada objek pajak yang harus terhutang pajak. NPWP diberikan sebagai sarana administrasi membayar pajak dengan menggunakan identitas NPWP disamping nama wajib pajak. Demikian pula halnya penghapusan NPWP, baru dapat dihapus apabila tidak terpenuhi lagi persyaratan subjektif dan objektif. Sepanjang masih ada objek pajak terhutang dan/atau pajak terhutang yang belum dibayar maka NPWP belum boleh dihapuskan. Terkait pendapat Pemohon yang mengkaitkan dengan ketentuan UU 40/2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT), Penerapan Pasal 97 ayat (3) dan Pasal 97 ayat (5) UU PT (Surat Pemohon/ butir 3.18, butir 3.20 pada “III. Pokok- Pokok dan Alasan-alasan Permohonan” antara lain isinya: setiap angggota Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian perseroan apabila terbukti melakukan kesalahan. Pertanggung-jawaban pribadi tersebut dikecualikan sepanjang anggota Direksi tersebut tidak melakukan kesalahan atau kelalaian, mengurus perseroan sesuai ketentuan hukum, dengan iktikad baik dan hati-hati, tidak memiliki benturan kepentingan, dan telah mengambil Tindakan untuk mencegah timbulnya atau tidak berlanjutnya kerugian. Ketentuan yang sama juga yang diatur dalam Pasal 32 ayat (2) UU KUP: (“apabila dapat membuktikan dalam kedudukannya benar-benar tidak mungkin untuk dibebani tanggung jawab tersebut”), salah satu yang diajukan uji materil oleh Pemohon Sekalipun melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) telah membebaskan Direksi dan Komisaris dari pertanggungjawaban yang dimaksud dalam Pasal 97 ayat (3) dan Pasal 97 ayat (5) dimaksud, hal itu adalah terkait tanggung jawab pengegolaan perusahaan berdasarkan perinsip pengelolaan perusahaan yang baik ( good corporate governance ). Demikian pula Putusan Pengadilan Niaga terkait kepailitan PT UCI, yang tidak menetapkan karena ada kesalahan Direksi (butir 3.25 Surat Pemohon) adalah dalam pengurusan Perusahaan terkait penyebab kepailitan perusahaan. Tetapi terkait hutang pajak 141 yang sudah ada sebelumnya tetapi tidak dilakukan pembayaran, masih tetap terhutang dan menjadi tanggung jawab pengurus. Hutang Pajak hanya dapat hapus atau akan berkurang apabila: (i) dibayar lunas ke kas negara atau di tempat lain/bank yang ditunjuk, (ii) diperhitungkan (dikompensasikan) dengan kelebihan pembayaran pajak yang lain, (iii) melalui pemindahbukuan (PBK) dengan persetujuan Dirjen Pajak, (iv) dibayar dari pemberesan aset Debitur oleh Kurator bagi perusahaan/Badan yang pailit, (v) dengan keputusan instansi berwenang (Direktur Jenderal Pajak) melalui keputusan permohonan keberatan, atau permohonan pembetulan, pengurangan, penghapusan, dan pembatalan sebagaimana diatur Pasal 16 dan Pasal 36 UU KUP, (vi) putusan pegadilan atau putusan peninjauan Kembali di MA, dan (vii) kadaluarsa penagihan. Pajak adalah kewajiban kenegaraan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-undang (Pasal 23A UUD 1945). Hutang pajak adalah kewajiban perusahaan yang terhutang karena memiliki objek pajak kena pajak. Kalau perusaan rugi, atau tidak ada objek pajak yang timbul atau yang dikuasainya untuk dikenakan pajak, maka tidak akan timbul hutang pajak. Oleh karena itu, hutang pajak Badan timbul karena pengurus Badan lalai atau tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana mestinya. Kelalaian atau pelanggaran sengaja dari pengurus yang dapat menimbulkan kerugian negara, dapat dikenakan sanksi denda atau pidana kurungan atau penjara sebagai mana diatur dalam Pasal 38 dan Pasal 39 UU KUP. Pembebasan Direksi (pengurus) sebagaimana dimaksud Pasal 97 ayat (3) dan ayat (5) UU PT, adalah terkait pengelolaan perusahaan berdasarkan pengelolaan perusahaan sesuai prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan yang baik ( good corporate governance ) atas tidak tercapainya Rencana Kerja Perusahaan, yang berdampak rugi atau menurunnya aset atau equity perusahaan. Sepanjang telah dikelola dengan iktikad baik, sesuai prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan yang baik, tidak menyimpang dari ketentuan peraturan yang berlaku, dan tidak ada conflict of interest , maka Pengurus/Direksi dibebaskan dari kegagalan yang telah terjadi. Namun apabila ada kewajiban membayar pajak terhutang yang belum atau kurang dibayar, tetap akan menjadi tanggung jawab pengurus/direksi secara peribadi dan tanggung jawab renteng sebagaimana diatur dalam Pasal 32 ayat (1) dan Pasal 32 ayat (2) UU KUP, 142 sebab timbulnya utang pajak karena kesalahan Pengurus/Direksi yang bersangkutan. Berdasarkan prinsip-prisip Pengelolaan Perusahaan yang baik, yang menjadi aset, liablity atau equity perusahaan yang tercantum dalam neraca kekayaan perusahaan adalah setelah laba kena pajak. Artinya pajak terhutang sudah diperhitungkan telah dibayar, sehingga dikeluarkan dari neraca laba-rugi perusahaan. Oleh karenanya, kalau hutang pajak belum dibayarkan kepada kas negara berarti sepenuhnya menjadi tanggung jawab pengurus yang bertanggung jawab melaksanakannya. Tentang Pemblokiran Rekening Bank dan Pencekalan Pemohon oleh Kantor Imigrasi atas Permintaan Direktur Jenderal Pajak Pemohon mempermasalahkan: i) dilakukannya pencekalan terhadap pemohon oleh Kantor Imigrasi atas permintaan Direktur Jenderal pajak; dan ii) dilakukannya pemblokiran rekening Bank Pemohon di BCA atas permintaan Direktur Jenderal Pajak (butir 2.13; alasan kerugian Kelima dan Keenam dalam surat Pemohon). Sesuai ketentuan Penagihan Pajak berdasarkan UU 19/2000 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa (UU PPSP), terhadap penunggak pajak dapat dilakukan penagihan jika sudah diperingatkan tetapi tidak melunasi utang pajaknya, melalui tindakan melakukan upaya memaksa wajib pajak untuk melakukan pembayaran atas utang pajaknya dengan cara: i) Dilakukan penagihan dengan Surat Paksa sesuai ketentuan Pasal 8 UU PPSP, melalui penyitaan aset penunggak pajak. Apabila tetap tidak dibayar, kemudian menjualnya melalui lelang sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan untuk dipakai pembayar pajaknya yang terhutang. ii) Memblokir rekening Bank Penunggak Pajak, dan selanjutnya meminta pemilik untuk mencairkannnya sesuai ketentuan Pasal 17 ayat (1) UU PPSP, hasil pencairannya untuk melunasi utang pajaknya. iii) Apabila ada iktikad tidak baik dari penunggak pajak, dihawatirkan akan menghindar ke Luar Negeri, maka diusulkan untuk dilakukan pencegahan atau pencekalan sesuai ketentuan Pasal 29 UU PPSP, atau v) Dengan adanya iktikad tidak baik dan/atau atas rekening di Bank yang diblokir tidak bersedia mencairkannya, maka dapat dilakukan paksa badan atau penyanderaan ( gijzeling ) sesuai ketentuan Pasal 33 UU PPSP. 143 Apabila dalam upaya Wajib Pajak menghindari atau menggelapkan pajak terhutang dengan melanggar peraturan perundang-undangan yang menimbulkan kerugian negara yang tergolong tindak pidana, maka dapat dikenakan sanksi pidana sesuai ketentuan antara lain Pasal 39 UU KUP berupa sanksi penjara paling singkat 6 bulan atau paling lama 6 tahun, dengan denda pasing sedikit 2 kali atau paling banyak 4 kali pajak terhutang yang tidak atau kurang dibayar. Penerapan Pasal 32 ayat (2) dan Pasal 2 ayat (6) UU KUP Dengan dilakukan pemblokiran rekening Bank dan pencekalan kepada Pemohon dalam rangka pelaksanaan penagihan pajak, menurut Pemohon telah menimbulkan kerugian konstitusional, ketidakadilan, dan tidak adanya perlindungan hukum, yang mendasari pengajuan materil atas kedua Pasal UU KUP tersebut. Dalam mendukung pendapat Pemohon mengatakan telah terjadi kerugian konstitusional, ketidakadilan dan tidak adanya perlindungan hukum akibat penerapan kedua Pasal UU KUP di atas, Pemohon mengacu “persyaratan moral hukum ( inner morality of law )” dari pendapat Lon Fuller (N.E. Simmonds, 1986:
; (Surat Pemohon: butir 3.4 dan 3.5 pada III. Pokok-pokok dan Alasan- Alasan Permohonan). Ada 8 syarat untuk terpenuhinya kaidah persyaratan moral hukum internal ( inner morality of law ) menurut Lon Fuller, yaitu: i) harus ada aturan ( rules ), ii) harus berlaku ke depan (prospektif), bukan ke belakang (retrospektif), iii) aturan tersebut harus diumumkan, iv) aturan tersebut harus sesuai akal sehat ( intelligible ), v) aturan tidak boleh saling kontradiktif, vi) aturan tersebut harus mungkin diikuti, vii) aturan tidak boleh diubah secara konstan, dan viii) harus ada kesesuaian ( congruence ) antara aturan yang tertulis dengan yang diterapkan oleh penegak hukum. (Surat Pemohon: butir 3.5) Pasal 32 ayat (2) dan Pasal 2 ayat (6) UU KUP ditinjau dari “ inner morality of law” Lon Fuller; dalam materi dan penerapannya dapat dijelaskan antara lain: i) adalah berdasarkan UU KUP dan telah ada dibuat aturan pelaksanaannya; ii) sudah banyak ditemukan Wajib Pajak yang melaksanakan tax planning dalam rangka menghindari pajak, dengan membubarkan atau mempailitkan 144 perusahaan, dan ini masih mungkin terjadi di masa yang akan datang. Maka perlu ditunjuk pengurus yang bertanggung jawab atas utang pajak secara pribadi, yang timbul karena kesalahannya; iii) UU KUP dan peraturan pelaksanaannya telah diumumkan di Lembaran Negara; iv) karena badan sebagai rechts persoon tidak dapat bergerak atau bertindak dan berbuat sendiri, maka harus ada orang pribadi yang membantu melaksanakan kewajibannya yaitu pengurus, dan hal ini sesuai dengan Teori Fiksi dari keberadaan Badan sebagai subjek hukum; v) ketentuan Pasal 32 ayat (2) sinkron dengan Pasal 97 ayat (3) dan ayat (5) UU 40/2004 tentang PT. Pemohon tidak ada mengemukakan apakah ada yang tidak sinkron baik secara horizontal maupun vertikal dengan pasal-pasal tersebut dengan ketentuan yang lain; vi) penerapan kedua Pasal yang diuji sudah berjalan dan banyak dilaksanakan selama ini; vii) sejak diundangkan UU KUP bunyi Pasal 32 ayat (1) dan Pasal 32 ayat (2) tersebut tidak pernah berubah; viii) atas penerapan kedua pasal yang dilakukan uji materil tersebut, sudah ada beberapa wajib pajak menempuh hal yang sama. Pada dasarnya adalah karena merasa berat untuk memikul beban hutang pajak, padahal penyebab timbulnya hutang pajak tersebut adalah karena kesalahannya, seperti halnya yang terjadi dan dihadapi oleh Pemohon ini. Atas ke-8 persyaratan Lon Fuller tersebut, Pemohon tidak ada menyebutkan secara tegas butir yang mana dari ke-8 persyaratan tersebut yang telah membuat/menimbulkan kerugian konstitusionalnya, yang tidak memberikan keadilan dan perlindungan hukum. Dengan demikian menurut Ahli, penerapan Pasal 32 ayat (2) UU KUP yang menunjuk Pemohon sebagai Pengurus/Direktur PT UCI yang berkewajiban melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan termasuk membayar pajak terhutang dari perusahaan PT UCI, adalah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, yang berlaku umum untuk semua pengurus perusahaan/badan. Apabila dalam mengurus/mengendalikan perusahaan Pemohon memenuhi kewajiban membayar semua pajak perusahaan yang terhutang, maka tidak akan ada utang pajak perusahaan yang akan menjadi tanggungan Pemohon secara pribadi. Pemberian NPWP adalah karena ada memiliki objek pajak yang terhutang pajak, dan pencabutan atau penghapusan NPWP dilakukan kalau tidak ada lagi 145 objek pajak yang akan terhutang pajak. Hal ini ketentuan yang berlaku umum tanpa membedakan para penanggung pajak. Dengan penjelasan seperti diuraikan di atas, maka atas penerapan Pasal 32 ayat (2) dan Pasal 2 ayat (6) UU KUP tidak ada yang menimbulkan kerugian konstitusional bagi Pemohon. Undang-undang itu berlaku bagi semua Wajib Pajak dengan kasus yang sama, oleh karenanya tidak ada menimbulkan ketidakadilan bagi pribadi Pemohon dan tidak juga kerugian secara konstitusionsl bagi pribadi yang bersangkutan. Menanggapi Pertanyaan Hakim dan para Pihak ▪ Berdasarkan ketentuan undang-undang, sama halnya dengan wajib pajak yang sudah meninggal, NPWP wajib pajak yang pailit tidak otomatis hilang. ▪ Pasal 2 angka 6 dan Pasal 1 ayat (2) mengatur syarat pemberian nomor pokok adalah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif. Seandainya seseorang belum berstatus wajib pajak, tapi diketahui objeknya memenuhi persyaratan untuk dikenai pajak, dan yang bersangkutan memenuhi persyaratan sebagai subjek pajak, maka petugas pajak akan memberikan NPWP secara jabatan. ▪ Dasar pemberian nomor pokok adalah terpenuhi persyaratan subjektif dan objektif. NPWP dihapus apabila tidak terpenuhi lagi persyaratan subjektif dan objektif, tidak ada subyek pajaknya lagi dan juga tidak ada utang pajaknya. ▪ Terhadap kasus pailit sama perlakuannya dengan manusia yang sudah meninggal ketika ada warisan yang belum terbagi. Warisan yang belum terbagi adalah subjek pengganti. Hal ini hampir sama dengan apabila badan sudah pailit maka nomor pokok yang bernama tetap hidup sebagai pengganti pihak yang harus membayar pajaknya. ▪ Pasal 1 ayat (2) sampai ayat (5) UU Kepailitan mengatur bahwa piutang terjadi karena perjanjian atau pailit karena hukum. ▪ Pajak timbul karena hukum. Pajak adalah kewajiban kenegaraan yang bersifat memaksa untuk keperluan negara. ▪ Dalam hal wajib pajak adalah badan, maka kewajiban membayar pajak sepenuhnya menjadi tanggung jawab pengurus. 146 ▪ Perusahaan dalam perkara in casu mengatakan sudah membayar pajak, dan hal ini disahkan oleh pengurus dalam RUPS, atau pemilik saham dalam RUPS, sudah berdasarkan laba setelah kena pajak. Karena laba dihitung setelah kena pajak, maka pajaknya sudah dikeluarkan. Lalu ke mana pajaknya itu? Atau mungkin ada laporan palsu. ▪ Seharusnya laba sudah kena pajak karena hal itu menjadi landasan membaca deviden. ▪ Laporan palsu mengenai pembayaran pajak diancam Pasal 263 KUHP mengenai pemalsuan, dan ditindaklanjuti Pasal 39 UU Pajak. Di RUPS sudah diputuskan laba kena pajak, tetapi ternyata tidak ada pajaknya. ▪ Atau mungkin pajaknya sudah diperhitungkan dan sudah dikeluarkan, tapi masih ada pada perusahaan. Jika terjadi demikian maka yang salah adalah Pengurus karena pengurus yang mengelolanya. ▪ Kemungkinan lain adalah dana sudah diambil tapi tidak diserahkan kepada kas negara. ▪ Utang perusahaan terdiri dari dua jenis, yaitu utang karena perjanjian dan utang pajak. ▪ Utang perusahaan diklarifikasi dalam prinsip-prinsip perusahaan yang sehat ( good governance ) yang setiap tahun disahkan dalam RUPS bahwa pengurus (direksi dan komisaris) dibebaskan dari pertanggungjawaban. Tetapi tetap pada klausul, yaitu dikecualikan apabila di kemudian hari diketahui ada kesalahan yang membuat terjadinya penyimpangan. ▪ Utang (karena perjanjian) demikian memang tanggung jawab perusahaan yang sudah pailit. Tidak mungkin lagi ada tambahan beban kalau sudah pailit. ▪ Tetapi menyangkut utang pajak tidak demikian. Pajak yang terutang selama 5 tahun tetap boleh ditagih. Oleh karena itu sesudah perusahaan pailit, pajak 5 tahun ke belakang tetap dapat dihitung dan pajaknya tetap akan ditimpakan kepada perusahaan dan siapa penanggung jawab perusahaan (direksi). ▪ Pasal 30 ayat (1) mengatakan utang pajak dapat ditetapkan dalam tempo 5 tahun. Artinya, apabila perusahaan sudah dipailitkan kemudian dihitung pajaknya yang ada saat dia dinyatakan pailit, misalnya baru Rp.40.000.000,- yang dilaporkan terlebih dahulu kepada kurator. Selanjutnya utang pajak yang ada lima tahun sebelumnya tetap dapat ditetapkan dan dapat pula ada tambahan pajak tersebut diberikan kepada kurator lagi untuk dimasukkan 147 sebagai piutang. Namun jika sudah lewat pendaftaran dan tidak masuk daftar piutang kurator, utang pajak tetap harus ditagihkan kepada pihak yang bertanggung jawab. ▪ Tagihan seharusnya ditujukan kepada perusahaan, tapi Pasal 32 ayat (2) menyatakan bahwa yang bertanggung jawab adalah pengurus. ▪ Apabila hasil pemberesan tidak cukup untuk melunasi semua piutang yang masuk pada kurator, maka timbul lagi penagihan kepada yang bersangkutan. ▪ Jika dianggap bahwa perusahaan pailit tidak perlu melunasi utang pajak, maka para pembayar pajak akan berlomba-lomba membuat pelaksanaan demikian dan mendirikan perusahaan baru.
Teddy Anggoro Ahli menyimpulkan Pemohon meminta agar pengecualian yang diatur dalam Pasal 32 ayat (2) UU KUP melingkupi pengurus dalam hal ini direksi PT yang PT tersebut telah dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Adapun terhadap Pasal 2 ayat (6) UU KUP, Pemohon menghendaki agar penghapusan NPWP oleh Direktur Jenderal juga termasuk apabila Wajib Pajak badan telah dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Terkait dengan kesimpulan tersebut, saya setelah membaca dan memahami dengan cermat masing-masing pasal dan petitum Pemohon, maka saya menyampaikan pendapat saya yang terbagi menjadi 8 (delapan) argumentasi sebagai berikut: Konsep Tanggung Jawab Direksi Jika merujuk pada sejarah sejak pertama kali diperkenalkan konsep badan hukum yang disebut Juristic Person maka terdapat dua prinsip yang dipegang teguh dan menjadi dasarnya, yaitu:
Limited Liability , yang artinya pribadi kodrati yang memisahkan kekayaannya untuk menjadi kekayaan pribadi hukum hanya bertanggung jawab sebatas kekayaan yang ia sertakan menjadi kekayaan pribadi hukum tersebut. Prinsip ini berbicara khusus untuk pemegang saham;
Separate Legal Personality , yang artinya pribadi kodrati yang menggerakan atau mempersonifikasi pribadi hukum merupakan subyek hukum yang terpisah dengan dengan pribadi hukum yang digerakan. Dalam teori korporasi, hal ini disebut Agency Relation atau Hubungan Kuasa. Oleh karena 148 itu, sering didengar klausul dalam dokumen hukum, bahwa “direksi bertindak untuk dan atas nama Perseroan Terbatas.” Diperkenalkannya 2 (dua) prinsip tersebut untuk suatu badan usaha dianggap sebagai satu-satunya kontribusi terbesar hukum bagi dunia bisnis dan pedagangan. B. C. Hunt (1936) menyebutnya, “ that brillian intellectual achievement of the Roman lawyers, the juristic person, a subject of rights and liabilities as is a natural person .” Di antara puja-puji akan konsep korporasi yang berhasil menggerakan ekonomi dunia, terselip celah atau lobang ( loophole ) untuk digunakan oleh manusia/pribadi kodrati untuk melakukan perbuatan tercela, curang, merugikan pihak lain, dan menguntungkan dirinya sendiri atau orang yang ia kehendaki untuk untung. Dua contoh masyhur saya sampaikan yang mewakili setiap sistem hukum mayoritas di dunia. Pertama, kasus Enron, sebuah perusahaan energi yang pernah didaulat menjadi The Most Innovative Large Company in America oleh lembaga riset kekayaan ternama Forbes. Direksi dan sharesholder telah melakukan fraud dengan melakukan high risk accounting practice dengan memanfaatkan celah dari sisi akuntansi, mempercantik laporan keuangan dan memanfaatkan special purpose entities untuk memindahkan uang perusahaan. Direksi dan shareholder pada tahun 2001, artinya 19 tahun yang lalu, telah merugikan pemegang sahamnya sebesar $40 Billion, kalau sekarang mencapai 600 Triliun rupiah atau seperempat APBN Indonesia. Kedua, Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) yang merupakan perusahaan dagang milik para pedagang belanda yang diberikan hak istimewa ( octrooi ) oleh kerajaan Belanda, sampai memiliki tentara dan mata uang sendiri serta berdiplomasi dengan negara. Catatan kompas, 12 Juli 2020, menyebutkan pada masa jayanya (periode 1600-1750, adapun masa waktu VOC adalah 200 tahun) VOC bernilai 78 Juta Gulden, kalau sekarang setara 7,9 Triliun US Dollar. Sebagai perbandingan, nilai kongsi dagang Belanda ini setara dengan gabungan PDB Jepang dan Jerman di era modern saat ini. Komparasi lain, menurut Business Insider, yakni VOC setara dengan nilai dari 20 perusahaan dengan kapitalisasi terbesar dunia yang meliputi Apple, Microsoft, Amazon, ExxonMobil, Berkshire Hathaway, Tencent, dan Wells Fargo. Namun mereka bankrupt karena direksi dan pemegang sahamnya yang korup. 149 Kedua contoh di atas menyadarkan para Scholar dan pemikir korporasi untuk menciptakan pengecualian atas dua prinsip mendasar konsep korporasi. Untuk Prinsip Limited Liability , diperkenalkan pengecualian yang disebut own and control doctrine , di Indonesia dikenal dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. 15 Tahun 2019 disebut dengan "Pemilik Manfaat dari Korporasi" atau di negeri anglo-saxon dikenal dalam konsep Beneficiary Ownership . Dimana pemilik belum tentu pengontrol, sedangkan yang bertanggung jawab ( liable ) adalah pengontrol. Adapun prinsip separate legal personality , dikecualikan dengan Piercing the Corporate Veil doctrine . Dimana tanggung jawab direksi dapat dimintakan karena kesalahannya yang didasari itikad tidak baik yang telah menyebabkan kerugian perusahaan dan pihak ketiga. Hal ini dalam undang-undang perseroan terbatas diatur dalam pasal 97 dan 104. Sehubungan dengan apa yang saya sampaikan sebelumnya, bahwa tanggung jawab direksi atas perusahaan yang dia urus adalah suatu hukum yang berlaku di dunia saat ini. Yang mana hal tersebut merupakan hasil perkembangan keilmuan dan praktek korporasi. Business Judgement Rule Merupakan Imunitas Bagi Good Faith and Intra Vires Director Ketika pertanggungjawaban pengurus dituntut oleh pemegang saham atau pihak ketiga yang dirugikan. Maka pihak pengurus dapat dipastikan akan menggunakan doktrin Business Judgement Rule sebagai argumentasi untuk melindungi dirinya dari pertanggungjawaban tersebut. Pada kesempatan ini penting untuk ditegaskan bahwa Business Judgement Rule merupakan imunitas bersyarat bagi seorang direksi, bukan merupakan bentuk bentuk perlindungan total dalam pengertian tidak dapat tersentuh ( untouchable ) dari pertanggung jawaban. Hal ini diartikan oleh Roger LeRoy Miller dan Gaylord A. Jentz (2009) sebagai: “A rule that immunizes corporate management from liability for action that result in corporate losses or damages if the action is undertaken in good faith and are within both the power of the corporation and the authority of management to make.” Artinya pengurus ketika dimintai pertanggungjawaban dia harus membuktikan kepada pengadilan bahwa ia melakukan pengurusan dengan good faith , power of corporation , dan kewenangan yang dimiliki oleh direksi 150 ( intra vires ). Yang ingin saya tekankan adalah, Pertama, direksi harus diperiksa dan membuktikan atas pertanggungjawaban yang dimintakan kepadanya. Kedua, Direksi harus membuktikan bahwa ia tidak memiliki itikad buruk. Ketiga, Direksi harus membuktikan ia intra vires (mengambil keputusan dalam kewenangannya), yang mana kewenangan ini tidak saja berdasarkan peraturan internal perusahaan tetapi peraturan eksternal seperti Peraturan Perundang- undangan. Sehubungan dengan petitum pemohon yang meminta dikecualikan pertanggungjawaban pengurus dalam hal kepailitan tidak lah dibenarkan secara hukum, dan argumentasi yang membawa-bawa doktrin business judgement rule adalah tidak tepat. Karena doktrin tersebut justru menghendaki pengurus untuk diperiksa dan membuktikan itikad baik dan ketaatannya terhadap peraturan yang mengikat dirinya, dalam hal ini peraturan perpajakan. Sehingga tegas, Business Judgement Rule merupakan imunitas atau dalam bahasa Indonesia dipadankan dengan kebal. Kondisi kebal ini harus dibuktikan dengan serangan atau ujian, sebagaimana terjadi pada tubuh manusia ketika terkena infeksi virus ataupun bakteri patogen hingga kemudian tubuh merespon dengan membangun sistem kekebalan. Dalam konteks hukum perusahaan, serangan atau ujian yang dimaksud adalah persidangan atau pemeriksaan. Makna imunitas dalam Business Judgement Rule ini tentu berbeda dengan tidak dapat disentuh atau untouchable sebagaimana dimaksud dalam permohonan pemohon. Memang yang menjadi pertanyaan bagaimana dengan kondisi dimana Perseroan Terbatas pailit. Maka jawabannya adalah sama, tidak ada perbedaan dengan kondisi normal. Karena pailit hanya lah cara pembayaran utang debitur secara kolektif. Penjelasan lebih lengkap mengenai kepailitan akan saya paparkan lebih lanjut di bagian bawah. Pertanggungjawaban Direksi meliputi berbagai jenis Pajak, antara lain Pajak Penghasilan (PPh), meliputi PPh Tahunan Badan, PPh yang dilaporkan secara bulanan/insidentil (masa), dan sebagainya termasuk PPh yang dipotong/dipungut dari karyawan/pihak lain (rumpun withholding tax seperti gaji, honor dan sebagainya), serta Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 151 Direksi sebagai personifikasi Perseroan Terbatas. Dimana Perseroan Terbatas merupakan subyek hukum. Maka setiap kewajiban yang ditetapkan oleh perundang-undangan harus ditaati dan dilaksanakan oleh Perseroan Terbatas tersebut. Bagaimana caranya? Tentu dengan perbuatan direksi untuk dan atas nama Perseroan Terbatas. Sehubungan dengan permohonan uji materi ini. Maka dapat dipastikan bahwa setiap perseroan terbatas di Indonesia selaku Wajib Pajak (yang memenuhi syarat subjektif dan objektif) berkewajiban menghitung, membayar, dan melaporkan pajaknya sendiri, tidak perlu menunggu ketetapan pajak dari fiskus. Mengapa ini ditekankan? Karena ketika perseroan terbatas tidak memenuhi syarat subjektif dan objektif (misalnya tidak memiliki pemasukan atau dalam keadaan merugi), maka pada periode itu undang-undang memberikan kelonggaran untuk pemenuhan kewajiban perpajakannya, misalnya SPT PPh Tahunan menjadi nihil (tidak perlu bayar) dan kerugian dapat dikompensasikan pada periode SPT Tahunan berikutnya. Namun sebaliknya jika perusahaan tersebut memiliki penghasilan dan mendapatkan keuntungan maka timbul kewajiban untuk menghitung, melapor, membayar pajak, dan jika tidak dipenuhi akan menimbulkan sanksi administratif yang dapat terakumulasi seiring waktu. Kewajiban pengurus Perseroan Terbatas tersebut meliputi juga jenis PPh yang dipotong/dipungut dari karyawan/pihak lain (rumpun withholding tax seperti gaji, upah, honorarium, tunjangan, pesangon, uang pensiun, dan sebagainya), serta Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang tetap dikenakan pajaknya walaupun Wajib Pajak mengalami rugi usaha. Dalam jenis pajak ini, negara memberikan amanat kepada Perseroan Terbatas yang diwakili oleh pengurus untuk melaksanakan pemotongan/pemungutan, pelaporan dan pembayaran pajaknya pihak lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Karena itulah, jika jenis pajak yang dipotong/dipungut tadi oleh pengurus sengaja tidak disetorkan kepada kas negara, maka negara memberikan ancaman dengan dijerat tindak pidana sebagaimana dimaksud pada Pasal 39 ayat (1) huruf i UU KUP. Berdasarkan gambaran umum kewajiban perpajakan tersebut, sangat jelas bahwa kewajiban untuk melakukan pemenuhan kewajiban perpajakan Perseroan Terbatas baik yang meliputi berbagai jenis Pajak, antara lain Pajak Penghasilan (PPh), meliputi PPh Tahunan Badan, PPh yang dilaporkan secara 152 bulanan/insidentil (masa), dan sebagainya termasuk PPh yang dipotong/dipungut dari karyawan/pihak lain (rumpun withholding tax seperti gaji, honor dan sebagainya), serta Pajak Pertambahan Nilai (PPN), semuanya adalah tanggung jawab dari Direksi. Jika melihat pada rumusan Pasal 32 ayat (2) UU KUP, maka kewajiban yang sifatnya absolut adalah untuk memastikan kepada direksi baik sendiri- sendiri atau kolegial melakukan pemenuhan kewajiban perpajakan perusahaan sejak pembukuan, menghitung, membayar, dan melaporkan pajaknya secara patuh sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Jika tidak dilaksanakan hal ini akan menjadi utang pajak, timbul sanksi administratif dan konsekuensi lainnya. Demikian juga terhadap kewajiban PPh Tahunan Badan. Berdasarkan pasal 32 ayat (2) UU KUP tersebut, maka secara otomatis Direksi sebagai pengurus wajib melakukan pembukuan, menghitung keuntungan yang didapat selama 1 tahun buku, membayarkan dan melaporkan pajaknya. Jika pengurus kemudian dikecualikan sesuai dengan permohonan pemohon dalam uji materi ini. Maka akan terjadi nanti keadaan dimana direksi tidak dapat dimintai pertanggung jawaban atas kewajiban pembayaran PPh Tahunan Badan ketika Perseroan Terbatas yang ia atau mereka urus dipailitkan. Karena hukum kepailitan mengatur setelah keadaan pailit pengurusan dan pemberesan boedel pailit beralih kepada Kurator. Tetapi tidak mengambil alih tanggung jawab Direksi untuk pemenuhan kewajiban perpajakan Perseroan Terbatas yang diwakilinya tersebut. Jika harta pailit cukup untuk membayar semua hutang, maka tidak akan ada masalah. Tetapi ketika harta pailit tidak cukup, maka sangat logis negara memiliki mekanisme untuk meminta pertanggungjawaban untuk memenuhi kewajiban perpajakan berupa utang pajak yang masih belum dilunasi tersebut kepada Direksi atau pengurus yang bersangkutan. Pertanggungjawaban direksi sesuai dengan UU No. 37 Tahun 2004 Hal yang menjadi krusial dalam permohonan uji materi ini adalah, sejauh apa direksi bertanggung jawab dalam hal Perseroan Terbatas yang dia atau mereka urus jatuh dalam keadaan pailit. Yang pertama harus ditinjau adalah bagaimana UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang mengartikan kepailitan itu. UU mengatur Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan 153 debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas. Lebih lanjut Pasal 69 ayat (1), mengatur Tugas kurator adalah melakukan pengurusan dan/atau pemberesan harta pailit. Sehingga tegas, bahwa yang menjadi lingkup penugasan kurator adalah harta pailit ( boedel pailit). Boedel pailit ini melingkupi aktiva (harta) dan pasiva (utang), tetapi tidak masuk kesalahan dari debitur pailit atau pengurus debitur pailit jika Perseroan Terbatas. Hal ini dapat dilihat pada pasal 26 ayat (1) dan (2), yang berbunyi: "(1) Tuntutan mengenai hak atau kewajiban yang menyangkut harta pailit harus diajukan oleh atau terhadap kurator;
Dalam hal tuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan atau diteruskan oleh atau terhadap debitor pailit maka apabila tuntutan tersebut mengakibatkan suatu penghukuman terhadap Debitor Pailit, penghukuman tersebut tidak mempunyai akibat hukum terhadap harta pailit." Ketentuan ini jelas menegaskan bahwa, utang yang disebabkan kesalahan debitor pailit dan/atau pengurus debitor pailit adalah terpisah tanggung jawabnya dengan boedel pailit yang ada. Lebih tegas lagi, Pasal 3 ayat (1) juncto Penjelasan Pasal 3 ayat (1) UU ini menyebutkan bahwa direksi dapat digugat untuk dimintai pertanggung jawabannya jika kepailitan terjadi sebagai akibat dari kelalaian atau kesalahannya. Hal ini dapat dilakukan kurator jika boedel pailit tidak cukup melunasi hutang-hutangnya. Sehingga perlu dipertegas, adalah salah jika banyak ahli yang berpendapat untuk melihat adanya tanggung jawab direksi maka harus merujuk pada putusan pernyataan pailit yang berkekuatan hukum tetap. Hal ini menunjukan ahli-ahli tersebut tidak ahli di bidang korporasi dan kepailitan, atau sekurang-kurangnya mereka khilaf dalam membaca UU Kepailitan. Yang dengan tegas mengatur bahwa permintaan tanggung jawab direksi adalah upaya hukum yang terpisah dari putusan pernyataan pailit yang telah berkekuatan hukum tetap. Sehingga tidak dapat disimpulkan bahwa "karena putusan penyataan pailit tidak menyebut tanggung jawab direksi, maka direksi tidak dapat dimintai pertanggung jawaban atau tanggung jawabnya telah beralih sepenuhnya kepada kurator". Simpulan tersebut adalah pernyataan yang tidak sesuai dengan hukum kepailitan. 154 Tanggung Jawab Direksi Tidak Berpindah Kepada Kurator, Selain Pengurusan dan Pemberesan Boedel Pailit Pertanyaan berikutnya, mengenai akibat putusan pernyataan pailit terhadap tanggung jawab direksi adalah sesuatu yang harus disampaikan dalam keterangan saya ini agar terang permasalahan ini. Sebelumnya sudah disebutkan bahwa jika merujuk pada tugas Kurator yang diatur dalam Pasal 69 UU Kepailitan dan PKPU dibatasi pada pengurusan dan/atau pemberesan harta pailit. Dimana kewenangan melakukan tugas tersebut menurut Pasal 16 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU muncul sejak putusan pernyataan pailit, meskipun putusan tersebut diajukan Kasasi atau Peninjauan Kembali. Kemudian untuk melihat apakah apakah tanggung jawab direksi termasuk hal-hal yang berpindah atau beralih ke Kurator dengan adanya putusan pernyataan pailit. Kita bisa temukan dalam Pasal 21 UU Kepailitan dan PKPU yang mengatur Akibat Kepailitan, pasal ini menyebutkan Kepailitan meliputi seluruh kekayaan debitor pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan. Jadi tegas sekali, bahwa yang beralih kepada kurator adalah hanya kekayaan. Adapun tanggung jawab atas kesalahan direksi selama pengurusannya, tetap menjadi tanggung jawab direksi tersebut. Harus dibayangkan bahwa undang-undang mengatur tugas kurator sebagai pengumpul harta pailit, penjual harta pailit, dan pembayar utang debitor secara kolektif. Itupun hanya terbatas pada harta pailit yang tersedia. Bukan sebagai pengganti Direksi atau penerima tanggung jawab atas perbuatan direksi sebelum pailit. Tanggung Jawab Direksi Pasca Kepailitan Berakhir tetapi belum dilikuidasi Menjadi pertanyaan berikutnya bagaimana pertanggungjawaban organ perseroan jika kepailitan Perseroan Terbatas telah berakhir, tetapi belum dilikuidasi. Yang pertama harus dijelaskan, bahwa berakhirnya kepailitan menurut Pasal 202 UU Kepailitan dan PKPU adalah setelah dibayarkan jumlah penuh utang kreditur, atau daftar pembagian penutup menjadi mengikat. Sehingga jelas UU Kepailitan dan PKPU, mengatur jika berakhirnya kepailitan hanya 155 disebabkan oleh 2 hal. Pertama utang para kreditur dibayar penuh. Kedua, daftar pembagian penutup menjadi mengikat karena kreditor tidak mendapatkan pembayaran penuh piutangnya. Berakhirnya kepailitan, dimana para kreditor tidak dibayar penuh, menurut Pasal 204 (bagian Keadaan Hukum Debitor Setelah Berakhirnya Pemberesan) menimbulkan konsekuensi kreditor memperoleh kembali hak eksekusi terhadap harta debitor mengenai piutang yang belum dibayar. Hal ini sejalan dengan prinsip umum kebendaan dalam hukum perdata, dimana Pasa 1131 KUHPerdata mengatur bahwa Semua kekayaan debitor, bergerak atau tidak bergerak, yang ada saat ini maupun yang akan datang menjadi jaminan pelunasan hutangnya. Sehingga pada kesempatan ini saya sampaikan bahwa berakhirnya kepailitan perseroan terbatas, sekalipun telah dilikuidasi. Tidak menyebabkan hapusnya sisa piutang kreditur yang belum terbayar lunas dalam proses kepailitan. Ini lah keadilan dalam konteks keperdataan, bahwa utang tidak akan pernah hapus tanpa 3 (tiga) hal, yaitu Pembayaran oleh debitur, Pembebasan oleh Kreditur, dan Daluarsa. Mengenai ketentuan pasal 142 UU PT yang mengatur pembubaran PT salah satunya karena keadaan insolvensi, hal tersebut tidak sesuai dengan pengaturan dalam UU Kepailitan dan PKPU. Karena dalam UU Kepailitan Pasal 178 mengatur keadaan insolvensi adalah suatu keadaan dimana rapat pencocokan piutang tidak ditawarkan rencana perdamaian, rencana perdamaian yang ditawarkan tidak diterima atau pengesahan perdamaian ditolak oleh hakim. Jadi keadaan insolvensi, itu jauh dari istilah bubarnya perseroan. Oleh karena itu, seluruh kepailitan yang berakhir di Indonesia, tidak pernah berakhir dengan likuidasi. Karena kepailitan dan likuidasi di Indonesia adalah 2 perbuatan hukum yang berbeda. Dari penjelasan ini, jika boedel pailit tidak mencukupi untuk membayar penuh seluruh utang. Maka setelah kepailitan berakhir, sisa utang yang belum dibayarkan kepada kreditur tersebut. Dapat ditagihkan kreditur kepada pengurus PT jika belum dilikuidasi, atau jika setelah dilikuidasi, maka kreditur dapat menuntut kepada person dalam organ perseroan, jika ada dasar dan alasan untuk menuntut itu, dalam hal ini tidak dibayarkannya utang kreditor pada 156 masa sebelum jatuh putusan pernyataan pailit adalah karena kesalahan pengurus perusahaan. Hal ini diatur dengan tegas dalam Pasal 104 ayat (2) dan (3) UU PT yang menyebutkan, bahwa dalam hal kepailitan terjadi karena kesalahan atau kelalaian Direksi dan harta pailit tidak cukup untuk membayar seluruh kewajiban Perseroan dalam kepailitan tersebut, setiap anggota Direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas seluruh kewajiban yang tidak terlunasi dari harta pailit tersebut. Bahkan Tanggung jawab tersebut berlaku juga bagi anggota Direksi yang salah atau lalai yang pernah menjabat sebagai anggota Direksi dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan. Sehingga jelas, tidak ada satupun alasan bagi direksi untuk lepas pertanggungjawaban ketika terjadi kepailitan yang mana boedel palit tidak cukup membayar seluruh utang. Kewenangan piercing the corporate veil terhadap Direksi Pada pembahasan awal, telah dijelaskan bahwa tidak ada perlindungan mutlak prinsip separated legal personality kepada pengurus perusahaan yang tidak beritikad baik yang telah menimbulkan kerugian PT. Pertanyaan berikutnya, siapakah yang berwenang untuk menyingkap tabir tanggung jawab terbatas direksi dan dewan komisaris. Berdasarkan pasal 97 ayat (6) dan Pasal 114 ayat (6) UUPT tegas disebutkan Pengadilan. Tetapi ketentuan UUPT ini mengatur gugatan privat dalam hal ini oleh pemegang saham atau pihak ketiga. Adapun piercing the corporate veil pengurus, terkait dengan tuntutan negara atau publik, maka iya tunduk pada ketentuan UU yang mengaturnya. Jika pajak, diatur dalam peraturan perundang- undangan di bidang perpajakan, jika PNBP diatur dalam ketentuan PNBP dan seterusnya. Sehingga keberadaan pasal 32 UU KUP yang mewajibkan pengurus bertanggung jawab, kecuali pengurus tersebut dapat membuktikan kepada Direktur Jenderal Pajak bahwa benar-benar tidak mungkin untuk dibebani tanggung jawab adalah sejalan dengan doktrin piercing the corporate veil. Pasal 32 Tidak Hanya Berbicara Perseroan Terbatas, Tetapi Seluruh Bentuk Usaha 157 Jika melihat permohonan pemohon, dalam kapasitasnya sebagai Direktur suatu PT, yang menghendaki tafsir terhadap pasal 32 yang tidak hanya berbicara tentang PT. maka permohonan tafsir tersebut tidaklah tepat. UU KUP dalam pasal 1 angka 3 mendefiniskan badan bukan semata PT, tetapi sangat luas. Meliputi CV, Firma, Kongsi, Koperasi, Dana Pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, ormas, kontrak investasi kolektif (KIK), dan Bentuk Usaha Tetap (BUT), yang sebagian besar tidak memiliki tanggung jawab terbatas ( limited liability ). Sehingga jika uji materil ini dikabulkan, saya membayangkan bagaimana sulitnya nanti negara menagihkan utang pajak badan. Karena akan ada pengurus firma, CV, Kongsi, ormas, KIK dan BUT yang berdalih mereka tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas utang pajak ketika badan yang mereka urus tersebut pailit, dengan dasar Pasal 32 mengecualikan pertanggungjawaban wakil yang badan usahanya pailit. Padahal tanggung jawab mereka tersebut terhadap badan-badan usaha tersebut adalah tanggung jawab pribadi. Menanggapi Pertanyaan Hakim dan para Pihak ▪ Pengurus dikatakan beriktikad baik dalam konteks business judgment rule jika memenuhi empat kriteria dalam Pasal 97 ayat (5) UU 40/2007 (UU PT), yaitu: ▪ Kerugian bukan karena kesalahan atau kelalaiannya. ▪ Pengurusan dilakukan dengan iktikad baik dan kehati-hatian. Pengurus tidak punya kepentingan terhadap dirinya sendiri; tidak ada benturan kepentingan; tidak ada kepentingan terhadap dirinya sendiri ( have no conflict of interest ). ▪ Berdasarkan kewenangannya ( intra vires ). Kewenangan dalam hal ini adalah ketaatan direksi terhadap peraturan yang dibuat oleh perusahaan terhadap direksi. ▪ Tanggung jawab pengurus yang melanggar, menurut UU PT, akan diminta sampai dengan kerugiannya. ▪ Dalam Putusan Pengadilan mengenai pailit tidak akan ada pernyataan mengenai direksi bersalah atau tidak bersalah. ▪ Pernyataan pailit adalah upaya kreditur untuk mendapatkan pelunasan utang yang jatuh tempo dan dapat ditagih berdasarkan Pasal 21 ayat (2). Dengan demikian putusan pailit hanya akan bicara tentang hal itu saja. 158 ▪ Amerika dan Singapura mempunyai sistem perkreditan atau utang piutang yang sudah ▪ sangat prudent dan hati-hati. Di kedua negara itu dikenal debt forgiveness atau penghapusan utang. Penghapusan utang di Indonesia menjadi otoritas kreditor, sementara debt forgiveness di negara-negara maju diberikan oleh hukum atau undang-undang. ▪ Sehingga sangat mungkin ketika terjadi kepailitan dan pemberesan, ternyata masih ada utang namun direksinya sudah mengurus dengan benar, maka negara harus berperan. ▪ Bagaimana cara memperoleh pelunasan jika direksi bekerja sudah benar? Dalam konteks ini banyak yang tetap memaksakan untuk memeriksa tanggung jawab direksi melalui pengadilan. Banyak kasus kepailitan kemudian menggantung dalam konteks ini. ▪ Pailit digunakan untuk menghindari pajak karena UU Kepailitan menyaratkan bahwa kepailitan tidak harus dalam keadaan tidak mampu bayar, tetapi cukup dengan dua kreditor, yaitu satu kreditor telah jatuh tempo dan dapat ditagih. ▪ Jadi kepailitan ini seperti pisau yang dapat digunakan untuk membereskan utang-utang, namun bisa juga untuk menghindari tanggung jawab. ▪ Bahkan ada tren di mana kepailitan digunakan untuk membeli aset dari lawan bisnisnya dengan harga murah. Karena ketika dengan dua syarat pemailitan yang sangat mudah tadi, lawan atau pesaingnya dipailitkan lantas barang masuk dalam proses penjualan yang harus lelang, kemudian tinggal diatur lelangnya supaya tidak segera laku sehingga dapat dijual dengan harga likuidasi atau harga paling rendah. ▪ Aturan bahwa kurator tidak otomatis menjadi likuidator dipahami dari peraturan Mahkamah Agung tahun 2020. Banyak proses kepailitan yang sudah berakhir, tapi tidak berakhir dengan likuidasi, sehingga memunculkan banyak PT “hantu”. Oleh karena itu Mahkamah Agung menetapkan bahwa kurator nanti akan bertindak sebagai likuidator.
Dian Puji N Simatupang Sehubungan dengan pengujian Pasal 2 ayat (6) dan Pasal 32 ayat (2) UU 6/1983 sebagaimana diubah dengan UU 28/2007, ahli menyampaikan keterangan dari aspek hukum administrasi negara dan keuangan publik mengenai dua hal, yaitu: 159 1. Kewenangan Direktur Jenderal Pajak dalam pengelolaan perpajakan;
Pengaturan khusus dalam perpajakan Kewenangan merupakan kekuasaan publik yang diatur dengan undang- undang, apalagi berkaitan dengan pajak sesuai dengan Pasal 23A UUD 1945 memang harus diatur dengan undang-undang. Pengaturan perpajakan dalam undang-undang merupakan bentuk mandatory regulation , artinya mengenai perpajakan dan pungutan lainnya yang bersifat memaksa tidak lain dan tidak bukan harus diatur dengan undang-undang, dan tidak dengan pengaturan lain di bawah undang-undang. Penggunaan frasa “diatur” undang-undang dalam Pasal 23A UUD NRI 1945 jelas menunjukkan undang-undang perpajakan akan mengatur mengenai kewenangan, syarat prosedur, dan subtansi dalam pelaksanaan kegiatan perpajakan secara menyeluruh. Dalam hal kemudian undang-undang mendelegasikan pengaturan lebih lanjut mengenai wewenang, syarat prosedur, dan substansi pelaksanaan ke dalam peraturan di bawahnya hakikatnya merupakan kebijakan politik hukum yang terbuka ( open legal policy ), yang tidak membuat norma baru atau keadaan baru dalam peraturan di bawahnya. Kewenangan Direktur Jenderal Pajak untuk menghapus nomor pokok wajib pajak (NPWP) dalam hal wajib pajak dilikuidasi karena penghentian atau penggabungan usaha dimaksudkan untuk memberikan keyakinan yang memadai ( reasonable assurance ), setiap tindakan administrasi pemerintahan dalam perpajakan telah dilaksanakan secara khusus untuk memberikan kepastian pada penerimaan negara melalui proses perpajakan. Ikut sertanya Direktur Jenderal Pajak yang berwenang dalam menghapus NPWP bagi wajib __ pajak dilikuidasi karena penghentian atau penggabungan usaha sesuai dengan prinsip yang dianut dalam Pasal 35 UU 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, di mana piutang negara khususnya dari perpajakan mempunyai hak mendahului (hak preferens) dibandingkan hak yang dimiliki lainnya. Dengan demikian, adanya kewenangan dalam Pasal 2 ayat (6) UU 6/1983 sebagaimana diubah dengan UU 28/2007 dimaksudkan memberikan:
keyakinan memadai ( reasonable assurance ) dalam pengambilan tindakan hukum perpajakan yang membawa pengaruh pada penerimaan negara;
bagian dari hak mendahului negara (hak preferen) untuk memastikan piutang pajak tetap dapat dibayarkan sesuai dengan ketentuan; 160 3. memastikan kemungkinan penghapusan dilakukan berdasarkan alas hukum dan alas fakta, dengan prosedur tersendiri dalam ranah hukum publik, yang membedakan dengan prinsip dan konsep dalam ranah hukum privat, khususnya mengenai kepailitan dan pemberesan utang. Diaturnya wewenang Dirjen Pajak dalam memberikan persetujuan atas penghapusan NPWP khusus karena wajib pajak dilikuidasi karena penghentian atau penggabungan usaha memperhatikan prinsip dalam pengenaan perpajakan, salah satunya, adalah keadilan, yaitu dalam hal pengenaan pajak bagi wajib pajak semuanya tanpa kecuali, tetapi dalam keadaan tertentu diberikan tindakan hukum tertentu yang ditetapkan setelah terdapat alas hukum dan alas fakta yang memadai. Adanya wewenang Dirjen Pajak dalam menghapus NPWP sebagai suatu tindakan administrasi pemerintahan dalam kegiatan yang bersifat perdata, khususnya penghentian atau penggabungan usaha dalam teori hukum dinamakan sebagai konsep contrarius actus , yaitu dalam hal ketentuan publik mengatur berbeda beberapa tindakan keperdataan, maka ketentuan publik yang harus ditaati. Kecuali, ketentuan perdatanya, misalnya kepailitan menyatakan tidak berlaku ketentuan publik ini secara tegas-tegas. Dengan diaturnya kewenangan Dirjen Pajak untuk menghapus secara hukum terdapat pengaturan antar-tata hukum di mana kewenangan publik mengatur beberapa prinsip pelaksanaan dalam kegiatan keperdataan. Konsep ini dimungkinkan dengan beberapa alasan:
guna melaksanakan wewenang dan kewajiban pemerintahan atau bestuursdwang , di mana Direktur Jenderal Pajak untuk memperhatikan semua kepentingan secara prosesual, yang kemudian diatur dalam undang- undang sebagai suatu kebijakan politik hukum terbuka ( open legal policy ), yang dimaksudkan guna memberikan keadilan semua tetap ditagihkan pajak, kecuali dengan syarat prosedur publik tertentu dalam kegiatan termasuk hubungan keperdataan;
penggunaan wewenang publik dalam hubungan keperdataan dimaksudkan memberikan keyakinan memadai semua tindakan administrasi pemerintahan perpajakan tetap dapat dilaksanakan tanpa kecuali, tetapi untuk keadaan tertentu dimungkinkan dengan campur tangan kewenangan publik melalui Direktur Jenderal Pajak. 161 Kegiatan penghentian dan penggabungan usaha memang termasuk kegiatan hukum keperdataan, sehingga berlaku prinsip dan ketentuan hukum perdata dalam hal ini hukum perusahaan atau hukum perusahaan. Akan tetapi, kewajiban dalam perpajakan sebagai suatu bentuk bestuursdwang merupakan wewenang publik, sehingga untuk menjembatani antara tindakan hukum keperdataan dan hukum publik perpajakan dilakukan dengan memberikan wewenang kepada Direktur Jenderal Pajak sebagai badan atau pejabat administrasi pemerintahan yang mempunyai wewenang publik. Tim pemberesan atau kurator tidak dapat bertindak dalam ranah hukum publik kecuali undang-undang perpajakan memberikan wewenang delegasian kepadanya untuk dan atas nama Direktur Jenderal Pajak. Dengan demikian, kewenangan Direktur Jenderal Pajak dalam penghapusan NPWP justru tepat secara hukum untuk menghindari adanya kelalaian dalam hak mendahului perpajakan sebagaimana diatur dalam Pasal 35 UU 1/2004 dan peraturan perundang-undangan perpajakan pada umumnya. Dari segi prosedur dan syarat, kewenangan tersebut kemudian dilakukan dengan penetapan standar operasional prosedur dan menggunakan alas hukum dan alas fakta yang prosesual atau berlaku umum untuk siapapun. Mengenai putusan pengadilan niaga yang telah berkekuatan hukum tetap dan menjatuhkan pailit sesuai dengan peraturan perundang-undangan, secara hukum putusan tersebut tidak mengikat ketentuan dan prinsip administrasi pemerintahan yang berlaku umum. Kedudukan badan peradilan dan badan pemerintahan dalam posisi yang seimbang dan tidak saling menegasikan, tetapi mengawasi dan menyeimbangkan ( check and balance ). Dengan demikian, putusan pengadilan niaga yang telah berkekuatan hukum tetap apabila ada yang berkaitan dengan prosedur dalam tindakan administrasi pemerintahan tidak dapat secara serta merta mengesampingkan prosedur dan syarat sebagaimana diatur dalam undang-undang sebagai bentuk bestuursdwang karena menjalankan kewenangan dalam undang-undang. Berkaitan dengan ketentuan Pasal 32 ayat (1) dan (2) UU 6/1983 sebagaimana diubah dengan UU 28/2007 yang menjadikan piutang pajak menjadi tanggung jawab secara pribadi atau renteng atas pembayaran pajak tentu didasarkan pada tanggung jawab mutlak dalam pembayaran pajak yang bersifat preferens tersebut. Dalam hal pembayaran ini akan kemungkinan 162 ditanggung secara pribadi atau renteng tentu akan diatur berdasarkan pada alas hukum dan alas fakta yang memadai dan prosesual. Alas fakta yang memadai dan prosesual merupakan bukti konkret dan faktual yang menunjukkan adanya kausalitas antara pertanggungjawaban korporasi dan pertanggungjawaban pribadi masing-masing dalam kegiatan usaha tersebut. Misalnya, keputusan korporasi yang ditetapkan dan diputus direksi yang menimbulkan penerimaan bagi korporasi, yang kemudian dinikmati korporasi dan pengurusnya merupakan suatu bentuk kausalitas yang memadai dan faktual konkret. Namun, penerapan Pasal 32 UU 6/1983 sebagaimana diubah dengan UU 28/2007 juga disertai dengan pengecualian dalam hal Direktur Jenderal Pajak menemukan bukti yang menyakinkan para pengurus tidak berada dalam tanggung jawab atas pajak terutang tersebut. Hal demikian merupakan bentuk diskresionary decision atau keputusan diskresional yang terikat di mana Direktur Jenderal Pajak dapat membebaskan pengurus dalam hal piutang pajak berdasarkan bukti yang menyakinkan memadai bahwa kedudukannya sebagai pengurus tidak mempunyai kausalitas yang terkait dengan piutang pajaknya. Kewenangan tersebut lazimnya akan diikuti dengan penetapan standar operasional prosedur pengambilan keputusan secara patut dan akuntanbel. Dengan demikian, prosesnya jika keberatan dan banding dapat diajukan ke pengadilan pajak sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Menurut hukum keuangan publik dan perpajakan, beralihnya tanggung jawab pembayaran pajak perusahaan kepada pribadi pengurus merupakan bentuk pengalihan tanggung jawab hukum yang bersifat antisipatif guna menghindari adanya penghindaran pembayaran pajak. Dalam hal ini, pengurus dianggap mengetahui secara langsung dan faktual siapa saja dan di mana saja potensi yang harus dimintakan pembayaran pajak terutang. Dengan demikian, pengurus akan mengupayakan hubungan hukumnya dengan para pihak tersebut untuk membayarkan piutang pajak perusahaan. Konsep pengalihan tanggung jawab hukum yang bersifat antisipatif dilakukan agar ketidakjelasan dalam pembayaran pajak tidak boleh terjadi karena ketiadaan data dan informasi pelacakan pihak yang bertanggung jawab. Dengan demikian, menarik pengurus sebagai pihak yang bertanggung jawab secara pribadi atau rentang 163 dimaksudkan untuk melakukan pengecekan jejak pihak yang harus membayar piutang pajak. Dengan demikian, hal tersebut dilakukan untuk memberikan kepastian terhadap pembayaran piutang pajak sebagai suatu bentuk pajak terutang yang harus dibayarkan secara preferens kepada negara. Di sisi lain, memberikan keyakinan yang memadai semua piutang pajak dapat diselesaikan dan dituntaskan secara transparan dan akuntabel. Berkaitan dengan bestuursdwang dalam pembayaran pajak yang tidak memerlukan pengadilan, hal tersebut sepanjang diatur dalam undang-undang merupakan kekuasaan publik untuk dilaksanakan terlebih dahulu. Dalam hal wajib pajak keberatan dan banding dapat mengajukan ke pengadilan pajak, sebagai suatu bentuk mekanisme check and balance dalam kegiatan penyelenggaraan pemerintahan negara. Pengaturan khusus negara dalam kegiatan perpajakan yang berkaitan dengan kegiatan keperdataan diatur sebagai bagian dari penerapan asas contrarius actus , dalam hal suatu kegiatan keperdataan diatur tunduk pada ketentuan hukum publik, undang-undang harus merumuskan dan mengaturnya dalam suatu undang-undang. Kecuali, undang-undang kegiatan perdata mengatur tegas misalnya, “ketentuan perpajakan mengenai kegiatan perusahaan diatur dan tunduk pada undang-undang ini.” Jika tidak ada pengaturan seperti demikian, tidak dapat mekanisme keperdataan mengesampingkan norma yang diatur dalam peraturan perundang-undangan perpajakan. Dengan demikian, secara teori hukum umum, konsep contrarius actus menghormati sistem hukum publik dan hukum privat, tidak saling menegasikan atau tidak saling menafsirkan atau mencampuradukkan tindakan. Jika hukum publik akan dikesampingkan dalam hukum perdata, ketentuan hukum perdata menegaskan tidak berlakunya hukum publik tersebut dalam ranah hukum perdata ini dengan suatu undang-undang. Demikian juga, hukum publik menegaskan tidak berlakunya hukum perdata dalam ranah hukum publik dengan mengaturnya dalam suatu norma tersendiri. Secara diagramatis dapat digambarkan sebagai berikut. Hukum Publik Hukum Privat Mengesampingkan hukum perdata dengan menormakan dalam undang- undang Mengesampingkan hukum publik dengan mengatur tegas tidak berlakunya 164 ketentuan hukum publik dalam ranah tindakan hukum privat Berdasarkan gambaran tersebut, sekiranya tidak dapat dicampuradukkan prinsip dan norma hukum keperdataan dengan prinsip dan norma hukum perpajakan, mengingat keduanya berada dalam ranah hukumnya masing- masing.
Hendry Julian Noor Harus diakui tidak mudah membaca undang-undang, karena tidak hanya sekedar membaca bunyi kata-katanya saja ( naar de letter van de wet ) tetapi harus mencari arti, makna dan tujuannya [Lihat Sudikno Mertokusumo, 2007, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar , Yogyakarta: Liberty, hlm.50]. Oliver Wendell Holmes (1841-1935) ^ mengatakan bahwa “ the rational study of the law is still to a large extent the study of history. History must be part of the study, because without it we cannot know the precise scope of rules. It is a part of the rational study, because it is the first step toward an enlightened scepticism, that is, towards a deliberate reconsideration of the worth of those rules ” [Lihat Oliver Wendell Holmes, 2009 ( First published in 1897), The Path of the Law, Bedford Massachusetts: The Floating Press-Applewoods Books, hlm.24; Romli Atmasasmita, 2018, Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis , Jakarta: Prenadamedia Group, hlm.15). Pernyataan a quo menunjukkan betapa pentingnya dalam mempelajari hukum adalah juga harus mempelajari sejarah dan pengalaman yang telah dialami oleh bangsa tersebut, tentunya dengan melihat nilai kemaslahatan dari pengalaman dan/atau sejarah tersebut. ^ Berkaitan hal tersebut, salah satu bentuk interpretasi adalah interpretasi historis, yaitu penafsiran makna undang- undang menurut terjadinya dengan jalan meneliti sejarah terjadinya perundang- undangan tersebut. Interpretasi historis juga meliputi sejarah hukum [Lihat Sudikno Mertokusumo, 2001, Penemuan Hukum: Sebuah Pengantar , Yogyakarta: Liberty, hlm.58-59; Anthon Freddy Susanto, 2005, Semiotika Hukum: Dari Dekonstruksi Teks Menuju Progresivitas Makna , Bandung: Refika Aditama, hlm.59). Menurut Pontier, interpretasi sejarah hukum adalah penentuan makna dari formulasi sebuah kaidah hukum dengan mencari pertautan pada penulis-penulis atau secara umum pada konteks kemasyarakatan di masa lampau [Lihat Eddy 165 O.S. Hiariej, 2009, Asas Legalitas dan Penemuan Hukum dalam Hukum Pidana , Jakarta: Erlangga, hlm.77]. Selain itu, interpretasi yang juga penting untuk memahami maksud dan tujuan satu ketentuan hukum, adalah juga interpretasi teleologis. ^ Interpretasi teleologis merupakan penafsiran hakim dengan menafsirkan undang-undang sesuai dengan tujuan pembentuk undang-undang, lebih memperhatikan tujuan dari undang-undang daripada bunyi kata-kata saja. [Lihat Sudikno Mertokusumo, Op.Cit., hlm.61]. Dengan menggunakan interpretasi historis dan teleologis, sejak awal dapat dipahami bahwa pajak digunakan sebagai salah satu instrumen Pemerintah yang sangat penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara guna mewujudkan tujuan negara. Definisi otentik pajak diatur dalam Pasal 1 Angka 1 UU KUP: “ … kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” . Salah satu fungsi pajak adalah sebagai budgeter, di mana pajak merupakan alat atau sumber untuk memasukkan uang sebanyak-banyaknya kepada kas negara yang kemudian digunakan untuk membiayai pengeluaran- pengeluaran negara, termasuk untuk pembangunan dan kesejahteraan masyarakat [Lihat S.F. Marbun, 2012, Hukum Administrasi Negara I, Yogyakarta: FH UII Press, hlm.317; Bdk M. Farouq S, 2018, Hukum Pajak di Indonesia: Suatu Pengantar Ilmu Hukum Terapan di Bidang Perpajakan, Jakarta: Prenadamedia Group, hlm.119; S.F. Marbun dan Moh. Mahfud MD, 2006, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta: Liberty, hlm.135]. Dari sudut pandang hukum administrasi negara, fungsi tersebut relevan dengan konsep good governance dalam aktivitas pelaksanaan fungsi menyelenggarakan kepentingan umum oleh pemerintah, yang juga terkait pula dengan tiga tugas dasar pemerintah [Lihat Philipus M. Hadjon “ Hukum Administrasi sebagai Instrumen Hukum untuk Mewujudkan Good Governance” dalam Philipus M. Hadjon, dkk., 2012, Hukum Administrasi dan Good Governance , Jakarta: Penerbit Universitas Trisaksi, hlm.9], yaitu: Pertama, menjamin keamanan setiap orang dan masyarakat. Kedua, mengelola suatu struktur yang efektif untuk sektor publik, swasta, dan masyarakat. Ketiga, memajukan sasaran ekonomi, sosial dan bidang lainnya 166 dengan kehendak rakyat. Dengan “tugas berat” demikian, hukum pajak dapat dikatakan bagian dari rezim hukum publik. Menurut Korten, dalam sektor ekonomi, tanggung jawab utama pemerintah adalah menyediakan infrastruktur yang diperlukan untuk memajukan perdagangan (kehidupan ekonomi) dan menegakkan hukum yang berkaitan dengan hak atas kekayaan dan kontrak (perjanjian) [Lihat David C. Korten, 1997, When Corporations Rule the World (Bila Korporasi Menguasai Dunia) , Jakarta: Professional Books, hlm.115]. Hal tersebut sebagaimana pendapat Posner, bahwa pasar ekonomi diasumsikan sangat rapuh dan cenderung beroperasi sangat tidak efisien (tidak jelas) jika dibiarkan sendiri dan tanpa ada campur tangan pemerintah [Lihat Richard A. Posner “Theories of Economic Regulation” dalam The Bell Journal of Economics and Management Science , Vol. 5, No. 2, Autumn, 1974, hlm.336). Pembahasan dalam perkara a quo , dapat dikatakan seolah kembali kepada perdebatan klasik yang bahkan mungkin sampai sekarang terus berulang, yaitu ranah hukum manakah yang harus lebih didahulukan untuk kemudian dapat dilaksanakan terlebih dahulu, dalam hal ini apakah rezim hukum publik yang diatur dalam UU KUP, ataukah rezim hukum privat yang dalam hal ini “diwakili” oleh UU PKPU dan UU 40/2007 tentang Perseroan Terbatas. Harus diakui persinggungan antara hukum publik dan hukum privat ini, serta perdebatan di antaranya masih kerap terjadi. Penjelasan ini terlebih dahulu akan dimulai dengan sedikit menguraikan definisi kedua hukum tersebut, meskipun harus diakui bahwa suatu sengketa pendapat yang tidak pernah terurai secara tuntas salah satunya adalah mengenai pemberian batasan atau definisi terhadap suatu pengertian. Selama ilmu pengetahuan terus berkembang, maka sesuai sifat alamiahnya, perdebatan mengenai definisi juga seolah tak akan pernah habis. Pendapat dari Jacobs Israel de Haan dalam bukunya Rechtskundige Significa tersebut , menggambarkan bahwa sangatlah ketat dan sulit untuk merumuskan suatu definisi. Dikatakan oleh Jacobs Israel de Haan: “... het zelfde woordt beeft nooit dezelfden betekenis voor twee menschen, omdat nooit twee menschen met denzelfden aanleg woorden geboren en het zelfde leven hebben beleefd. Dit is zeker juist; het is juist omdat twee menschen nooit indentiekzijn, omdat het twee 167 menschen zijn”, diterjemahkan sebagai berikut: “... perkataan yang sama tidak pernah mempunyai pengertian yang sama untuk dua orang, karena tidak pernah dua orang dilahirkan dengan bakat yang sama dan pengalaman yang sama. Hal ini pasti benar; dan kebenaran ini disebabkan karena dua orang tidak mungkin identik, mengingat adanya dua orang” [Lihat Jacobs Israel de Haan, 1919, Rechtskundige Significa, Amsterdam: N.V. Johannes Muller, hlm.21; dan Arifin P. Soeria Atmadja, 1986, _Mekanisme Pertanggungjawaban Keuangan Negara: _ Suatu Tinjauan Yuridis, Jakarta: Gramedia, hlm.9]. Berdasarkan pendapat Hans Kelsen, hukum privat adalah suatu ranah hukum yang menggambarkan hubungan-hubungan hukum antar subjek-subjek hukum yang sederajat atau memiliki kedudukan yang sama secara hukum. Hubungan hukum privat yang tipikal adalah transaksi hukum, terutama kontrak, sebagai suatu norma individual yang diciptakan melalui kontrak, agar pihak- pihak yang terlibat dalam kontrak tersebut berperilaku secara timbal balik sesuai dengan yang diperjanjikan [Lihat Hans Kelsen, 2015, Pengantar Teori Hukum , Bandung: Nusa Media, hlm.140-141). Sedangkan hukum publik didefinisikan sebagai suatu ranah hukum yang menggambarkan hubungan-hubungan hukum yang mana salah satu subjek hukum yang satu memiliki kedudukan lebih tinggi secara hukum dari pada subjek yang lain, dan yang menjadi tipikal dari ranah hukum ini adalah hubungan antara negara dengan warga negara. Dengan beberapa tipikal berupa adanya petunjuk administratif yang dikeluarkan oleh negara dan norma individual yang dikeluarkan oleh lembaga administratif yang mana hal-hal tersebut dibuat agar penerima petunjuk dan norma tersebut bertindak sesuai dengan petunjuk dan norma administratif tersebut [Lihat Ibid. ]. Sejak lama terdapat perbedaan pendapat di kalangan ahli hukum tentang pembagian hukum publik dan hukum privat. Terdapat beberapa kriteria untuk membedakan dua jenis hukum ini, yaitu pertama , mengenai kepentingan, hukum publik mengatur kepentingan umum/publik dan hukum privat mengatur kepentingan khusus/perdata. Kedua , mengenai cara mempertahankannya, hukum publik dipertahankan oleh pemerintah dan hukum privat oleh perorangan. Ketiga , mengenai asas hukum, hukum publik memuat asas-asas istimewa dan hukum privat memuat asas-asas biasa. Keempat , mengenai hubungan hukum, hukum publik mengatur hubungan secara vertikal 168 (pemerintah dengan warga negara) dan hukum privat mengatur hubungan secara horizontal (antar warga negara). Kelima , mengenai sifat hukum, hukum publik adalah hukum a priori memaksa dan hukum privat tidak a priori memaksa [Lihat E. Utrecht, L.J. van Apeldoorn, N.E. Algra dan H.C.J.G. Jansen, serta Sudikno Mertukusumo dalam Ridwan HR, 2016, Hukum Administrasi Negara , Jakarta: Rajagrafindo Persada, hlm.70]. In casu a quo, pasal-pasal a quo yang tengah diuji dalam sidang yang mulia ini adalah pasal-pasal yang masih memenuhi prinsip-prinsip untuk mewujudkan kepastian hukum, dengan argumentasi sebagai berikut: Pertama Terkait persinggungan antara hukum privat dan hukum pidana sebagai hukum publik ini, pada dasarnya apabila dengan melihat salah satu doktrin, di mana logikanya hukum publik didahulukan dari pada hukum privat sepanjang dimaknai bahwa hukum publik tersebut adalah konstitusi [Lihat Paul Scholten, 1934, Metode Umum Hukum Perdata : diterjemahkan oleh Siti Soemarti Hartono, S.H. Mr. C. Asser, Penuntun dalam Mempelajari Hukum Perdata Belanda , Bagian Umum. Preprint, edition 1, Digital Paul Scholten Project, Amsterdam, Februari 2015, diperoleh dari http: //www.paulscholten.eu/research/ article/indonesian/]. Dengan menggunakan logika penemuan hukum argumentum a contrario serta dengan menginterpretasikan pendapat Bachsan Mustafa yang mengutip Paul Scholten, bahwa apabila hukum publik tidak mengadakan peraturan- peraturan lain, maka di manapun itu hukum perdata diberlakukan sebagai hukum umum, yang apabila di- a contrario -kan, adalah apabila hukum publik mengadakan pengaturan terhadap suatu hal, maka hukum perdata menjadi tidak diberlakukan. Argumentum a contrario adalah penafsiran dengan menggunakan pengertian sebaliknya dari peristiwa konkrit yang dihadapi [Lihat Eddy O.S. Hiariej, 2009, Asas Legalitas dan Penemuan Hukum dalam Hukum Pidana , Jakarta: Penerbit Erlangga, hlm.70; bdk Sudikno Mertokusumo, 2001, Penemuan Hukum: Sebuah Pengantar , Yogyakarta: Liberty, hlm.67 dan 69; ^ Bachsan Mustafa, 1985, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Bandung: Penerbit Alumni, hlm.61]. Pendapat tersebut juga diperkuat oleh Loer, dalam disertasinya yang berjudul Publikrecht tegenover privaatrecht, dirinya menyatakan bahwa negara 169 itu tidak tunduk pada hukum privat, karena pemikiran yang demikian tidaklah logis. Pemikiran tersebut berangkat dari asumsi bahwa negara tidaklah sama dengan rakyat biasa [Lihat Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, 1988, Kedudukan Jaksa dalam Hukum Perdata, Jakarta: PT. Bina Aksara, hlm.57]. Dalam negara hukum, segala sesuatu harus dilakukan menurut hukum ( everything must be done according to law ) yang pada dasarnya negara hukum menentukan bahwa pemerintah harus tunduk pada hukum, bukannya hukum yang harus tunduk pada pemerintah [Lihat H.W.R. Wade, 1971, Administrative Law , Oxford: Clarendon Press, hlm.6; bdk Ridwan HR, Op.Cit. , hlm.21]. ^ Hukum ditempatkan sebagai aturan dalam penyelenggaraan kenegaraan, pemerintahan, dan kemasyarakatan, sementara tujuan hukum itu diantaranya “ ... opgelegd om de samenleving vreedzam, rechtvaardig, en doelmatig te ordenen ”, yang artinya bahwa sasaran dari negara hukum adalah terciptanya kegiatan kenegaraan, pemerintahan, dan kemasyarakatan yang berpijak pada keadilan, kedamaian, dan kebermaknaan [Ridwan HR, Op.Cit. , hlm.22]. Kembali kepada pendapat Paul Scholten tersebut, terkait dengan pajak, Konstitusi Republik Indonesia atau UUD 1945 tepatnya Pasal 23A mengatur: “ Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang” . Ketentuan tersebut memberikan landasan konstitusional perpajakan yang harus diatur dengan undang-undang, yang mana merupakan produk hukum yang dibuat bersama antara pemerintah sebagai perwakilan eksekutif (yang mengurus negara) dengan DPR sebagai pemegang kuasa legislatif yang merupakan perwakilan rakyat. Dengan “kesepakatan bersama” tersebut, maka pada dasarnya telah memberikan legitimasi dan bahkan legalitas bagi pemerintah untuk kemudian “memungut” pajak yang telah disepakati oleh rakyat melalui wakilnya tersebut. Bahkan di Inggris dikenal prinsip ini berbunyi, “ no taxation without respresentation”. Adapun di Amerika, menggunakan prinsip: “ taxation without representation is robbery” [Lihat S.F. Marbun dan Moh. Mahfud MD, Op.Cit. , hlm.132 dan 64; bdk dengan istilah de heerschappij van de wet atau kekuasaan undang-undang yang diterangkan H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt dalam Ridwan H.R., 2003, Hukum Administrasi Negara , Yogyakarta: UII Press, hlm. 81-82]. __ Kenapa penting untuk diatur dalam undang-undang? Karena telah terjadi perubahan konsep pembayaran pajak, yang sebelumnya dilakukan secara 170 sukarela dan bahkan penuh dengan kebanggaan, namun sekarang bahkan butuh upaya paksa untuk agar dapat membayar pajak, oleh karenanya dengan sifat memaksa demikian, maka perlu diatur dalam undang-undang. Fakta lainnya pula adalah bahwa dalam melaksanakan tugas-tugasnya pemerintah bangsa yang modern akan membutuhkan biaya yang sangat besar, di mana pemungutan pajak merupakan salah satu jalannya (Lihat S.F. Marbun dan Moh. Mahfud MD, Op.Cit. , hlm.131-132]. “ Pembenaran ” pemungutan pajak tersebut setidaknya didukung oleh beberapa teori sebagai berikut: Pertama, teori daya pikul (teori untuk dasar memungut pajak yang adil), bahwa setiap orang wajib membayar pajak sesuai dengan daya pikulnya masing-masing. Menurut de Langen, makna teori ini adalah bahwa seluruh penghasilannya dikurangi dengan pengeluaran-pengeluaran yang mutlak untuk kehidupan primer diri sendiri dan keluarganya. Sedangkan Cohen Stuart menganalogikan bahwa daya pikul seseorang sama dengan daya pikul jembatan yang melewati jembatan tersebut, tanpa amblasnya jembatan tersebut. Kedua teori tersebut pada dasarnya menegaskan bahwa seluruh penghasilan seseorang identik dengan kekuatan pikul jembatan, sedangkan pengeluaran-pengeluaran yang mutlak untuk hidup primer disamakan dengan bobot jembatan tersebut [Lihat Rochmat Soemitro dan Dewi Kania Sugiharti, 2004, Asas dan Dasar Perpajakan 1, Bandung: PT Refika Aditama, hlm.28-29]. Kedua, teori daya beli, yang mengibaratkan pajak layaknya pompa yang menyedot daya beli seseorang/anggota masyarakat, yang kemudian dikembalikan lagi kepada masyarakat melalui saluran lain, misalnya perbaikan fasilitas umum dan pelayanan publik. Sehingga, dalam hal ini adalah untuk kesejahteraan masyarakat [Lihat Ibid., hlm.29]. Ketiga , teori kewajiban pajak mutlak, yang berdasar pada orgaantheorie dari Otto von Gierke yang menyatakan bahwa negara itu merupakan satu kesatuan, yang di dalamnya setiap warga negara terikat. Tanpa ada organ atau lembaga tersebut, individu tidak mungkin hidup, sehingga dapat membebani setiap anggota masyarakatnya dengan kewajiban, termasuk membayar pajak [Lihat Ibid., hlm.30]. Keempat, teori pembenaran pajak menurut Pancasila, yang mengandung sifat kekeluargaan dan gotong royong. Pajak di sini dianggap sebagai bentuk 171 gotong royong (tolong-menolong) yang memang merupakan suatu nilai yang hidup dalam masyakarat Indonesia, termasuk nilai kekeluargaan yang membuat setiap orang mempunyai kewajiban untuk saling membantu, mempertahankan, melangsungkan hidup keluarga (negara dan masyarakat). Tegasnya, berdasarkan teori ini, kepentingan umum tersebut dianggap sebagai hak asasi yang dapat mengalahkan kepentingan individu, dengan tetap memberikan kewajiban bagi pemerintah untuk tidak sewenang-wenang, dan harus memungut pajak berdasarkan undang-undang [Lihat Ibid. ]. Dengan berdasarkan teori-teori tersebut dapat dipertegas bahwa ketentuan perpajakan tersebut, khususnya yang diatur dalam UU KUP tersebut telah bersifat konstitusional dan bahkan dapat dibenarkan secara teoretik. Kedua Hutang pajak bersifat memaksa dan mempunyai kedudukan yang bersifat istimewa atau preferen [Lihat M. Farouq S., Op.Cit., hlm.210]. Dalam tataran doktrin, hutang pajak merupakan hutang yang bersifat khusus, berada pada rezim hukum publik, yang tentunya sifatnya berbeda dengan ketentuan dalam bidang hukum perdata, namun dapat menggunakan asas-asas dan prinsip-prinsip hutang-piutang dalam hukum perdata, kecuali jika ditentukan sebaliknya. Oleh karenanya, prinsip yang termuat dalam Pasal 1131 KUHPerdata yang berbunyi bahwa semua barang, baik bergerak atau tidak bergerak yang dimiliki oleh debitur, baik di masa sekarang ataupun masa mendatang menjadi jaminan semua hutang-hutangnya, dan demi hukum, jika debitur berhenti membayar hutangnya, barang-barang miliknya tersebut, melalui proses di muka pengadilan, dapat disita oleh kreditur, dijual di muka umum, dan hasilnya digunakan untuk melunasi hutangnya (Lihat Rochmat Soemitro, 1991, Asas dan Dasar Perpajakan 2, Bandung: PT Eresco, hlm.106-107; bdk Elyta Ras Ginting, 2019, Hukum Kepailitan: Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit, Jakarta: Sinar Grafika, hlm.393-397. Lihat pula M. Farouq S., Op.Cit., hlm.212]. Selanjutnya, dalam hal (ternyata) debitur tersebut memiliki hutang kepada beberapa kreditur, namun karena sifat dan kedudukan khusus dari hutang pajak, maka sebagaimana pula diatur oleh Pasal 21 UU KUP, negara melalui Direktur Jenderal Pajak memiliki hak mendahului untuk melakukan sita 172 atas barang-barang wajib pajak yang menjadi jaminan untuk utang-utangnya tersebut. Hak mendahului negara adalah terhadap hutang pajak, baik mengenai pokok pajak, bunga, denda administrasi, kenaikan dan biaya pengalihan [Lihat Rochmat Soemitro, Asas dan Dasar Perpajakan 2, Op.Cit., hlm.107]. Dapat dipahami bahwa pengaturan demikian ini ditujukan untuk mendahulukan dan/atau memberikan kedudukan utama piutang negara di atas piutang perdata, dengan mengingat bahwa pajak tersebut akan digunakan untuk kepentingan umum dalam hal ini kepentingan kehidupan negara dan bangsa Indonesia agar dapat mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Oleh karenanya, sangat wajar jika kemudian kepentingan umum harus didahulukan dari pada kepentingan pribadi/individu [Lihat Ibid., hlm.108]. Dengan doktrin dan ketentuan yang demikian, apabila hendak menggunakan analogi dalam penyelesaian kasus pajak dengan rezim hukum lain, yakni hukum pidana juga menarik untuk dicermati. Dalam doktrin hukum pidana, hukum pidana pajak disebut sebagai ius singulare karena memiliki sistem norma dan sanksi tersendiri. Bersama-sama dengan hukum pidana militer yang disebut sebagai ius speciale , hukum pidana pajak merupakan hukum pidana khusus tertua di dunia [Lihat Bambang Poernomo, 1984, Pertumbuhan Hukum Penyimpangan Di Luar Kodifikasi Hukum Pidana , Jakarta: Bina Aksara, hlm.19; Sigid Suseno dan Nella Sumika Putri, 2013, Hukum Pidana Indonesia: Perkembangan dan Pembaruan, Bandung: Remaja Rosdakarya, hlm.195]. Bahkan dari segi sanksi, pajak yang diselundupi atau tidak dibayarkan, meskipun atas perbuatan tersebut telah dijatuhi sanksi pidana, namun tidak menghapuskan hutang pajaknya. Suatu perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Wajib Pajak (misalnya tidak taat membayar pajak) dapat merupakan tindak pidana sekaligus merupakan perbuatan melawan hukum di bidang administrasi, misalnya tidak memasukkan surat pemberitahuan atau memasukkan surat pemberitahuan yang diwajibkan oleh undang-undang pajak yang data-datanya tidak benar atau palsu. Dalam hal demikian, sanksi pidana dijatuhkan hanya merupakan hukuman bagi perbuatannya, dan bahkan dijatuhkan sanksi pidana tersebut memperkuat alasan untuk melakukan penelitian mendalam perihal pajak yang seharusnya dibayarkan oleh Wajib 173 Pajak yang tidak taat membayar pajak tersebut dan jika diperlukan juga denda administrasinya. Sanksi pidana merupakan kewenangan pengadilan pidana, sedangkan untuk “penagihan” pembayaran hutang pajak dan sanksi administrasi tersebut tetap merupakan wewenang administrasi pajak, yaitu Direktur Jenderal Pajak yang kemudian menjatuhkan sanksi melalui Kepala Kantor Pelayanan Pajak. Tegasnya, sifat kumulasi antara sanksi pidana dan sanksi administrasi sangatlah dimungkinkan. Lihat Rochmat Soemitro, 1991, Asas dan Dasar Perpajakan 3, PT Eresco, Bandung, hlm. 34-37). Tegasnya, di samping memiliki norma dan sanksi hukum yang mengandung sifat administratif dan pidana, hukum yang mengatur pajak juga didasarkan pada asas-asas yang bersifat ekonomis dan finansial [Eddy O.S. Hiariej, Op.Cit., hlm.191]. Dengan doktrin demikian, dapat dipahami bahwa jika sudah dikenakan sanksi badan dan/atau bahkan sanksi denda pun, yang mana sanksi pidana secara sifatnya adalah mengekang hak asasi manusia, namun juga sama sekali tidak “membebaskan” atau setidaknya “meringankan” wajib pajak terkait dengan kewajiban hutang pajaknya, yang bahkan masih mungkin juga dikenakan sanksi administrasi terhadapnya. Sehingga, alasan pailit dapat dikatakan masih terlalu ringan dibandingkan dengan “sanksi berlapis atau sanksi kumulasi” yang sangat mungkin diterapkan dalam hal tindak pidana pajak. Ketiga Terkait dalil Pemohon bahwa apa yang dia lakukan atas nama business judgement rule seharusnya tidak dapat dipertanggungjawabkan lagi terhadapnya, kiranya perlu dipahami terlebih dahulu bahwa antara perseroan dengan direksi, ada suatu hubungan kepercayaan atau fiduciary relationship [Lihat Prasetio, Penerapan “Business... (Ringkasan Disertasi), Op.Cit. , hlm.2] , yang kemudian melahirkan kewajiban bagi direksi yang lazim disebut dengan istilah fiduciary duty. Fiduciary duty is perhaps the most important concept in the Anglo- American law cooperation. The word "fiduciary" comes from the Latin fides, meaning faith or confidence, and was originally used in the common law to describe the nature of the duties imposed on a trustee. Perhaps because many of the earliest corporation cases involve chari table corporations, courts began 174 to analogize the duties of a director in managing corporate property to the duties of trustee in managing trust property [Lihat Lewis D. Solomon, (et. al), 1994, Policy Materials and Problems , St Paul: West Publishing Co., hlm.672; Jeffrey D. Bauman, 2010, Corporations Law and Policy: Materials and Problems, St Paul: West Publisher, hlm.634]. Terkait fiduciary duty, Bryan A. Garner menyatakan sebagai berikut: Fiduciary duty is a duty of utmost good faith, trust, confidence, and candor owed by a fiduciary to the beneficiary or a duty to act with the highest degree of honesty and loyalty toward another person and in the best interests ofthe other person (such as the duty that one partner owes to another. Apabila diterjemahkan secara bebas dapat dipahami sebagai bahwa fiduciary duty adalah tugas yang harus dipenuhi dengan itikad baik, dapat dipercaya, kesetiaan, dan keterbukaan yang harus diberikan oleh pelaksananya kepada penerima manfaat atau kewajiban untuk bertindak dengan kejujuran dan kesetiaan yang tinggi dan dilakukan demi kepentingan pemberi fiduciary duty tersebut [Bryan A. Garner, 2009, Black’s Law dictionary , Texas: West Group, hlm.581]. Erman Rajagukguk mendefinisikan fiduciary duty direksi sebagai kewajiban direksi dalam menjalankan tugasnya harus berdasarkan kepentingan perusahaan (duty of loyalty) . __ Teori yang juga berkembang di sistem hukum common law ini pada prinsipnya menghendaki pelaksana fiduciary duty untuk tidak terlibat dalam conflict interest, yaitu menempatkan kepentingannya di atas kepentingan korporasi. Pelanggaran terhadap prinsip ini, maka meniadakan doktrin BJR. Artinya direksi yang tidak menjalankan duty of loyalty, tak akan dapat berlindung dibalik doktrin BJR apabila kebijakan yang dibuatnya tersebut membawa kerugian bagi korporasi dan terhadap dirinya dituntut pertanggungjawaban hukum [Lihat Robert W. Hamilton dan Richard D. Freer, 2011, The Law of Corporations in a Nutshell , Minnesota: West Publisher, hlm.171]. Duty of loyalty terbagi 2, yaitu duty to act bona fide in (bahwa direksi melakukan tugas pengurusan dan perwakilan semata-mata hanya untuk kepentingan perseroan) dan duty to exercise power for proper purposes (bahwa kebebasan direksi terbatas pada tujuan dan kepentingan perseroan) dan tindakan tersebut dilakukan dengan kehati-hatian (duty of care) [Lihat 175 Hasbullah F. Sjawie, 2015, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi pada Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Kencana, hlm.186-187 dan hlm.198; Hotasi Nababan, 2012, Jangan Pidanakan Perdata: Menggugat Perkara Sewa Pesawat Merpati , Jakarta: Q Communication, hlm.92]. __ Keduanya merupakan dasar dari fiduciary duty [Jeffrey D. Bauman, Op.Cit., hlm.129; bdk Julian Velasco “How Many Fiduciary Duties Are There in Corporate Law?” dalam Southern California Law Review, Vol.83, 2010, hlm.1232-1233] . Tindakan yang dijalankan dengan penuh kehati-hatian, antara lain tindakan tersebut diambil dengan itikad baik untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan, tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung, dan telah mengambil tindakan untuk mencegah dan berlanjutnya kerugian tersebut [Lihat Hotasi Nababan, Loc.Cit. ]. Sebagaimana dijelaskan oleh Jeffrey D. Bauman, bahwa duty of care menuntut direktur atau direksi dalam bertindak adalah untuk kepentingan terbaik perusahaan dengan tetap berhati-hati dalam mengambil keputusan dan mengawasi urusan perusahaan. Sedangkan duty of loyalty menuntut direktur atau direksi untuk menempatkan kepentingan perusahaan di atas kepentingannya sendiri [ Jeffrey D. Bauman, Loc.Cit. ]. Adapun Hamilton dan Freer menyebutkan bahwa fiduciary duty tersebut mengandung 3 hal utama, yaitu good faith, care, dan loyalty [Lihat Robert W. Hamilton dan Richard D. Freer, Op.Cit., hlm.150] . Berlandas pada fiduciary duty , Direksi dituntut untuk bertindak dengan penuh kepedulian semata untuk kepentingan perseroan ( duty of care ), selalu mendasarkan diri pada itikad baik ( duty of good faith ), penuh kehati-hatian ( duty of prudently ), dan dengan penuh tanggung jawab ( full sense od responsibility ) yang tentunya berlandaskan pada kejujuran, dan hal ini sebenarnya merupakan satu kesatuan dari Tata Kelola Perusahaan Yang Baik atau yang dikenal dengan Good Corporate Governance [Lihat Henry R. Cheeseman, 2001, Business Law: Ethical, International & E-Commerce Environment, New Jersey: Prentice Hall Inc., hlm.759-766; Prasetio , Op.Cit. , hlm.2-3]. __ 176 Kewajiban yang demikian, tiada lain karena dalam dunia usaha (termasuk dalam korporasi), manajer atau direktur dari korporasi tersebut memiliki kewajiban untuk melakukan bisnis. Bahkan dapat dikatakan bahwa pada jabatan direktur akan selalu melekat fiduciary duty. [Lihat Robert W. Hamilton dan Richard D. Freer, Op.Cit., hlm.151]. Mereka (manajer dan direktur) diberikan kewenangan (melalui fiduciary duty tersebut) untuk melakukan hal tersebut (melakukan bisnis), dan harus dipahami bahwa tugas (melalui fiduciary duty tersebut) adalah dilakukan demi kepentingan korporasi [Lihat Ibid .]. Adapun dalam konteks business judgement rule diatur dalam Pasal 97 UU PT: (1) Direksi bertanggung jawab atas pengurusan perseroan sebagaimana _dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1); _ (2) Pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilaksanakan setiap anggota direksi dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab ^ (Penjelasan Pasal 97 ayat (2) Undang-Undang Perseroan Terbatas menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “penuh tanggung jawab” _adalah memperhatikan Perseroan dengan seksama dan tekun); _ (3) Setiap anggota direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud _pada ayat (2); _ (4) Dalam hal direksi terdiri dari 2 (dua) anggota direksi atau lebih, tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku secara tanggung _renteng bagi setiap anggota direksi; _ (5) Anggota direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian _sebagaimana dimaksud pada ayat (3) apabila dapat membuktikan:
_ _Kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;
Telah_ melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk _kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan;
Tidak_ mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung _atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan
Telah_ mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut (Penjelasan Pasal 97 ayat (5) Undang-Undang Perseroan 177 Terbatas menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian” termasuk juga langkah-langkah untuk memperoleh informasi mengenai tindakan pengurusan yang dapat mengakibatkan kerugian, antara lain melalui forum rapat Direksi) _; _ Dengan ketentuan demikian, maka berdasarkan Pasal 97 ayat (2) UU PT, kepengurusan perusahaan yang berada di tangan direksi, haruslah dilakukan dengan berdasarkan itikad baik, bertanggung jawab, dan tujuannya dilakukan kepengurusan perseroan. Apabila tindakan direksi yang menimbulkan kerugian tidak dilandasi itikad baik, maka ia dapat dikategorikan telah melakukan pelanggaran fiduciary duty yang melahirkan tanggung jawab pribadi [Lihat Henrikus Renjaan, 2017, Pentingnya Impelementasi Prinsip Kemandirian Direksi Terhadap Proses Penghapusan Piutang Bank BUMN di Indonesia, Disertasi, Yogyakarta: FH UGM, hlm.78-79; Ridwan Khairandy, 2014, Hukum Perseroan Terbatas, Yogyakarta: UII Press, hlm.304]. Pada Pasal 97 ayat (5) terdapat kata “ Anggota direksi tidak dapat _dipertanggungjawabkan atas kerugian... apabila dapat membuktikan:
..”,_ dengan ketentuaan yang demikian terlihat bahwa konteks pembuktian business judgement rule di Indonesia berbeda secara diameteral dengan di Amerika, di mana pihak yang berkewajiban untuk membuktikan bahwa pengambilan keputusan bisnis dalam hal pengurusan perseroan telah dilakukan dengan itikad baik, penuh kehati-hatian, dan semata untuk kepentingan serta maksud dan tujuan perseroan ada pada pihak direksi, bukan pada orang yang “menggugatnya”. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa beban pembuktian telah dilaksanakannya business judgement rule tersebut ada pada pihak direksi [Lihat Hasbullah F. Sjawie, Op.Cit., hlm.121-122]. Berdasarkan penjelasan di atas, maka terhadap dalil tersebut, dapat diajukan argumentasi penolakan sebagai berikut: Pertama, timbulnya hutang pajak menurut ajaran materiil, hutang pajak timbul karena undang-undang, bukan karena ketetapan fiskus. Sehingga, apabila kemudian sebelum keluarnya ketetapan wajib pajak tersebut meninggal dunia, maka hutang pajak akan beralih kepada ahli warisnya, karena bunyi UU KUP memang mengatur bahwa pajak pendapatan sudah timbul pada permulaan tahun pajak, sehingga (tanpa perlu menunggu adanya ketetapan fiskus) kewajiban pembayaran 178 pajak tersebut telah ada demi hukum [Lihat S.F. Marbun, Op.Cit. , hlm.327; bdk S.F. Marbun dan Moh. Mahfud MD, Op.Cit. , hlm.131-138]. Kedua, sebagaimana keterangan Termohon bahwa secara umum timbulnya utang pajak berbanding lurus dengan tambahan kemampuan ekonomi Wajib Pajak pada saat itu. Apabila Wajib Pajak memperoleh laba, maka serta merta akan terutang pajak, sebaliknya apabila Wajib Pajak merugi maka tidak akan ada utang pajak yang timbul. Oleh karenanya tidak dapat menempatkan alasan ketidakmampuan secara finansial Wajib Pajak saat ini, yang menyebabkan jatuhnya pailit, dengan kemampuan finasial saat munculnya kewajiban perpajakan sebelum terjadinya pailit. Munculnya utang pajak secara umum diakibatkan karena pengurus pada saat itu tidak segera melunasi kewajiban perpajakannya secara self assesment saat syarat subjektif dan objektifnya terpenuhi. Adalah suatu konsekuensi hukum yang wajar dan logis menurut undang-undang di bidang perpajakan jika Pemohon selaku Pengurus/Direktur dimintakan pertanggungjawaban secara pribadi dan tanggung renteng atas utang pajak yang timbul semasa kepengurusannya. Tegasnya, seandainya ketika hutang pajak tersebut timbul Pemohon telah melakukan pengelolaan dengan baik, maka tidak seharusnya hutang pajak tersebut bertumpuk dan sampai harus menjadi tanggung jawab pribadi Pemohon seperti sekarang ini. Kata “kelola” secara gramatikal bermakna mengendalikan atau menyelenggarakan, adapun dalam konteks perusahaan, bermakna menjalankan dan/atau mengurus. Sehingga, kata “pengelolaan” bermakna sebagai proses dan/atau perbuatan dan/atau cara mengelola [Lihat Pusat Bahasa Depdiknas, 2008, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa, hlm.719]. Istilah tersebut diambil dari istilah dari hukum perusahaan berupa beheer van daden (mengurus perseroan), yang dirumuskan secara positif dalam Pasal 92 ayat (1) UU PT: “ Direksi menjalankan pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan ”. Adapun maknanya adalah setiap perbuatan yang perlu atau termasuk golongan perbuatan yang biasa dilakukan untuk mengurus atau memelihara perserikatan perdata [Lihat Prasetio, 2013, Penerapan “ Business Judgement Rule” Dalam Restrukturisasi Transaksi Komersial PT (Persero), Berdasarkan 179 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Ringkasan Disertasi) , Yogyakarta: PDIH FH UGM, hlm.100]. Sebagai penutup, kiranya penting untuk melihat pendapat Rochmat Soemitro, bahwa dalam mengatur perihal perpajakan dalam undang-undang tersebut telah dicantumkan perihal siapa (subjek) yang dikenakan kewajiban pajak, apa (objek) yang dikenakan pajak, dan berapa besarnya (tarif) yang harus dibayarkan, maka menurutnya hal demikian sudah dapat memberikan kepastian hukum dalam menjamin “hak pungut” pajak oleh negara melalui Direktur Jenderal Pajak [Lihat Rochmat Soemitro, 1988, Pajak Ditinjau Dari Segi Hukum, Bandung: Eresco, hlm.1-2]. Jikapun dirasa terjadi ketidakadilan (menurut Wajib Pajak), maka menurutnya saluran hukum untuk mencari keadilan, yaitu baik melalui lembaga surat keberatan maupun melalui surat banding ke Majelis Pertimbangan Pajak [Lihat Rochmat Soemitro dan Dewi Kania Sugiharti, 2004, Asas dan Dasar Perpajakan 1, Bandung: Refika Aditama, hlm.42]. Ahli berkesimpulan bahwa Pasal 32 ayat (2) dan Pasal 2 ayat (6) UU 6/1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan UU 16/2009 (UU KUP) tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. [2.5] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, segala sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam Berita Acara Persidangan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini.
PERTIMBANGAN HUKUM Kewenangan Mahkamah [3.1] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir kali dengan Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 216, Tambahan Lembaran Negara Republik 180 Indonesia Nomor 6554, selanjutnya disebut UU MK), dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076), Mahkamah berwenang, antara lain, mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945; [3.2] Menimbang bahwa oleh karena permohonan Pemohon adalah permohonan untuk menguji konstitusionalitas norma undang-undang, in casu Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999, selanjutnya disebut UU KUP) terhadap Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, maka Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo ; Kedudukan Hukum Pemohon [3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang, yaitu:
perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama);
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
badan hukum publik atau privat; atau
lembaga negara; Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan terlebih dahulu: 181 a. kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK;
ada tidaknya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian dalam kedudukan sebagaimana dimaksud pada huruf a; [3.4] Menimbang bahwa Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 tanggal 20 September 2007 serta putusan-putusan selanjutnya, telah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi 5 (lima) syarat, yaitu:
adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh para Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab-akibat antara kerugian dimaksud dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; [3.5] Menimbang bahwa berdasarkan uraian ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK dan syarat-syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana diuraikan di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan kedudukan hukum Pemohon sebagai berikut:
Bahwa hal yang dimohonkan Pemohon adalah agar: a) Pasal 32 ayat (2) UU UU KUP yang menyatakan, “Wakil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggungjawab secara pribadi dan/atau secara renteng atas pembayaran pajak yang terutang, kecuali apabila dapat membuktikan dan meyakinkan Direktur Jenderal Pajak bahwa mereka dalam kedudukannya benar-benar tidak mungkin untuk dibebani tanggung jawab atas pajak yang terutang tersebut”, dimaknai termasuk pengurus yang 182 badan hukumnya telah dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap; b) Pasal 2 ayat (6) UU KUP yang menyatakan, “Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak apabila:
diajukan permohonan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak oleh Wajib Pajak dan/atau ahli warisnya apabila Wajib Pajak sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan;
Wajib Pajak badan dilikuidasi karena penghentian atau penggabungan usaha;
Wajib Pajak bentuk usaha tetap menghentikan kegiatan usahanya di Indonesia; atau
dianggap perlu oleh Direktur Jenderal Pajak untuk menghapuskan Nomor Pokok Wajib Pajak dari Wajib Pajak yang sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan”, dimaknai Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak termasuk apabila Wajib Pajak badan telah dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Bahwa Pemohon menyatakan memiliki hak konstitusional sebagaimana diatur oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Hak konstitusional tersebut dirugikan oleh ketentuan Pasal 32 ayat (2) dan Pasal 2 ayat (6) UU KUP karena Pemohon sebagai Direktur dan Penanggung Pajak perusahaan (badan hukum), yang perusahaan tersebut telah dinyatakan pailit, tetap dikenai tagihan utang pajak oleh Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak; serta di sisi lain NPWP atas nama Pemohon tidak dihapus oleh Dirjen Pajak meskipun perusahaan yang dikelola Pemohon telah dinyatakan pailit;
Bahwa Pemohon menyatakan diri sebagai Warga Negara Indonesia (vide Lampiran berupa KTP atas nama Pemohon) yang menjadi Direktur dan Penanggung Pajak perusahaan PT United Coal Indonesia (PT. UCI) hingga ketika perusahaan tersebut dinyatakan pailit, yang status hukum pailit demikian berdasar pada Putusan Pengadilan Niaga Jakarta (vide Bukti P-3); 183 5. Bahwa menurut Pemohon, ketentuan Pasal 32 ayat (2) dan Pasal 2 ayat (6) UU KUP mengakibatkan secara faktual Pemohon tetap dikenai tagihan oleh Dirjen Pajak agar melunasi utang pajak PT UCI karena Pemohon adalah Direktur dan Penanggung Pajak PT UCI, padahal PT UCI sendiri telah dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, di mana proses kurasi sudah selesai dilaksanakan oleh kurator;
Bahwa Pemohon sebagai Warga Negara Indonesia dilindungi haknya secara hukum oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, sebagaimana didalilkan Pemohon sendiri dalam permohonannya;
Bahwa anggapan kerugian yang dialami Pemohon, yaitu penagihan utang pajak PT UCI oleh Dirjen Pajak kepada Pemohon, dimungkinkan untuk tidak lagi terjadi ketika Pasal 32 ayat (2) UU KUP yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon dimaknai “termasuk pengurus yang badan hukumnya telah dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap”; demikian pula kerugian bahwa tagihan pajak tersebut, yang dimungkinkan ditujukan Dirjen Pajak kepada Pemohon karena NPWP Pemohon masih aktif padahal PT UCI (sebagai badan hukum yang menggunakan NPWP Pemohon sebagai identitas Wajib Pajak) telah pailit, akan tidak lagi terjadi jika Pasal 2 ayat (6) UU 28/2007 dimaknai Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dilakukan oleh Dirjen Pajak termasuk apabila Wajib Pajak badan telah dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap;
Bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, terlepas dari terbukti atau tidaknya dalil permohonan Pemohon, Mahkamah menilai Pemohon telah dapat menjelaskan adanya hubungan sebab-akibat (kausalitas) antara anggapan kerugian konstitusionalitas yang dijelaskan dengan berlakunya norma yang dimohonkan pengujian, oleh karenanya, Pemohon mempunyai kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam perkara a quo ; [3.6] Menimbang bahwa karena Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo dan Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan. 184 Pokok Permohonan [3.7] Menimbang bahwa dalam mendalilkan inkonstitusionalitas bersyarat Pasal 32 ayat (2) dan Pasal 2 ayat (6) UU KUP Pemohon mengemukakan argumentasi sebagaimana selengkapnya telah dimuat dalam bagian Duduk Perkara yang pada pokoknya sebagai berikut:
Bahwa menurut Pemohon, ketentuan Pasal 32 ayat (2) UU KUP bertentangan dengan UUD 1945 dan merugikan Pemohon karena tetap membebankan pelunasan utang pajak kepada penanggung pajak perusahaan ( in casu Pemohon) meskipun perusahaan dimaksud telah dinyatakan pailit dan sedang dibereskan kurator;
Bahwa menurut Pemohon, ketentuan Pasal 2 ayat (6) UU KUP bertentangan dengan UUD 1945 dan merugikan Pemohon karena tidak menghapus NPWP atas nama perusahaan (di mana penanggung pajak perusahaan, in casu adalah Pemohon) padahal perusahaan tersebut telah dinyatakan pailit dan sedang dilakukan pemberesan oleh kurator. Tidak adanya penghapusan NPWP tersebut mengakibatkan Pemohon ditagih pelunasan utang pajak dan jumlah/nominal utang pajak tersebut terus bertambah;
Bahwa berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, Pemohon memohon agar Mahkamah menyatakan, pertama, Pasal 32 ayat (2) UU KUP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk pengurus yang badan hukumnya telah dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Kedua, Pasal 2 ayat (6) UU KUP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak termasuk apabila Wajib Pajak badan telah dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. [3.8] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalilnya Pemohon mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-14, serta mengajukan dua orang Ahli bernama Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeni, S.H., dan Prof. Dr. Tjip Ismail, S.H., yang keduanya telah didengar keahliannya dalam sidang bertanggal 22 September 2020 serta telah diterima pula keterangan tertulis dari kedua Ahli tersebut. Pemohon juga mengajukan tiga orang Saksi 185 bernama Andrey U Sitanggang , Vychung Chongson , dan Rio Ferry Sihombing , yang telah didengar keterangannya dalam persidangan tanggal 22 September 2020; [3.9] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon tersebut, Dewan Perwakilan Rakyat telah memberikan keterangan secara tertulis bertanggal 18 Agustus 2020, serta menyampaikan keterangan secara lisan (diwakili oleh Anggota DPR bernama Mukhamad Misbakhun ) dalam persidangan tanggal 18 Agustus 2020; [3.10] Menimbang bahwa Presiden juga telah memberikan keterangan terkait permohonan Pemohon berupa dua keterangan tertulis, yaitu Keterangan Presiden tanpa tanggal dan Keterangan Tambahan Presiden tanpa tanggal, September 2020, disertai Lampiran. Presiden telah pula mengajukan 4 (empat) ahli yang keempatnya mengajukan keterangan tertulis, yaitu Dr. Abdul Anshari Ritonga, S.E., S.H., M.A., Dr. Teddy Anggoro, S.H., M.H., Dr. Dian Puji N Simatupang, S.H., M.H., dan Dr. Hendry Julian Noor, S.H., M.Kn. Dua di antara Ahli tersebut, yaitu Dr. Abdul Anshari Ritonga, S.E., S.H., M.A dan Dr. Teddy Anggoro, S.H., M.H., telah pula didengar penjelasannya dalam persidangan tanggal 14 Oktober 2020; [3.11] Menimbang bahwa setelah Mahkamah membaca secara cermat dalil permohonan Pemohon dan alat bukti yang diajukan, isu konstitusionalitas yang harus dipertimbangkan oleh Mahkamah berkenaan dengan permohonan a quo adalah apakah seorang Penanggung Pajak suatu perusahaan (perusahaan sebagai Wajib Pajak Badan) dapat tetap dikenai tagihan pelunasan utang pajak manakala perusahaan bersangkutan telah dinyatakan pailit oleh Pengadilan. Dalam kaitannya dengan itu, Mahkamah harus pula mempertimbangkan apakah bagi Wajib Pajak Badan yang telah dinyatakan pailit, NPWP perusahaan bersangkutan tetap ada sebagaimana ketentuan peraturan perundang-undangan, ataukah undang-undang harus memerintahkan Dirjen Pajak untuk menghapus NPWP demikian sebagaimana dimohonkan Pemohon. [3.12] Menimbang bahwa Mahkamah perlu memberikan pendapat mengenai kejelasan permohonan Pemohon. Secara umum Mahkamah dapat memahami isi permohonan Pemohon, apalagi telah dijelaskan oleh Pemohon serta dijawab oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden, serta telah pula diterangkan oleh para ahli. 186 Namun, jika dibaca terpisah dari posita, rumusan Petitum Nomor 2 dalam permohonan Pemohon memberikan dua pemahaman berbeda, yaitu:
apakah makna “termasuk pengurus yang badan hukumnya telah dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” dimaksudkan Pemohon sebagai perluasan makna kata “Wakil” yang tercantum dalam Pasal 32 ayat (2) UU KUP; atau
apakah makna “termasuk pengurus yang badan hukumnya telah dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” merupakan perluasan makna frasa “mereka dalam kedudukannya benar-benar tidak mungkin untuk dibebani tanggung jawab atas pajak yang terutang tersebut” sebagaimana termaktub dalam Pasal 32 ayat (2) UU KUP. Namun, dengan menghubungkan makna antara Pasal 32 ayat (2) dengan Pasal 32 ayat (1) UU KUP, Mahkamah memahami bahwa makna “termasuk pengurus yang badan hukumnya telah dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” yang dirumuskan Pemohon dalam Petitum Nomor 2 dimaksudkan sebagai perluasan kategori pihak yang tidak dibebani tanggung jawab atas pajak terutang. Dengan kalimat lain, Pemohon memohonkan agar Mahkamah memaknai Pasal 32 ayat (2) antara lain bahwa pengurus badan hukum, yang badan hukumnya telah dinyatakan pailit, tidak dibebani tanggung jawab untuk melunasi pajak terutang; [3.13] Menimbang bahwa NPWP pada dasarnya adalah nomor registrasi atau nomor identitas yang dikeluarkan oleh negara, in casu Dirjen Pajak bagi Wajib Pajak. Menurut Mahkamah, sebagai sebuah identitas, NPWP bukan merupakan hal yang menyebabkan munculnya tagihan pajak. Tagihan pajak atau utang pajak muncul karena aktivitas keuangan yang dilakukan oleh setiap Wajib Pajak baik perorangan atau pun badan hukum, sementara NPWP merupakan identitas yang digunakan sebagai salah satu instrumen untuk menagihkan utang pajak tersebut kepada Wajib Pajak. Artinya, sebenarnya, terhadap tagihan pajak dapat dibebankan, baik pada orang yang memiliki NPWP atau orang yang tidak memiliki NPWP, yang disebabkan adanya perhitungan aktivitas keuangan yang memberikan nilai tambah dan keuntungan kepada Wajib Pajak. NPWP juga bukan merupakan sebuah aktivitas maupun dokumen hukum yang memunculkan status Wajib Pajak. Status 187 Wajib Pajak lahir ketika entitas tertentu, baik perorangan atau pun badan hukum, melakukan kegiatan ekonomi khususnya kegiatan finansial yang menghasilkan nilai lebih/keuntungan. [3.14] Menimbang bahwa dalam kaitannya dengan permohonan Pemohon, seandainya permohonan dikabulkan, yaitu Pasal 32 ayat (2) UU KUP dimaknai “termasuk pengurus yang badan hukumnya telah dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap”, maka NPWP perusahaan (di mana Pemohon bertindak sebagai penanggung pajak) memang akan hapus, namun menurut Mahkamah hapusnya NPWP demikian tidak lantas menghilangkan status perusahaan dan/atau Pemohon sebagai Wajib Pajak. Hal demikian karena status Wajib Pajak timbul bukan karena adanya NPWP melainkan karena terpenuhinya syarat subjektif dan syarat objektif yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU 7/1983); Pasal 2 ayat (1) UU 7/1983 antara lain mengatur bahwa, “(1) Yang menjadi Subyek Pajak adalah:
warisan yang belum terbagi sebagai suatu kesatuan, menggantikan yang berhak;
badan yang terdiri dari perseroan terbatas, perseroan komanditer, badan usaha milik negara dan daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, persekutuan, perseroan atau perkumpulan lainnya, firma, kongsi, perkumpulan koperasi, yayasan atau lembaga, dan bentuk usaha tetap.” Adapun Pasal 4 ayat (1) UU 7/1983 antara lain mengatur bahwa, “(1) Yang menjadi Obyek Pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk di dalamnya:
gaji, upah, komisi, bonus, atau gratifikasi, uang pensiun atau imbalan lainnya untuk pekerjaan yang dilakukan;
honorarium, hadiah undian dan penghargaan;
laba bruto usaha;
keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta, termasuk keuntungan yang diperoleh oleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, anggota, serta karena likuidasi;
penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah diperhitungkan sebagai biaya;
bunga; 188 g. dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, yang, dibayarkan oleh perseroan, pembayaran dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, pembagian Sisa Hasil Usaha koperasi kepada pengurus dan pengembalian Sisa Hasil Usaha koperasi kepada anggota;
royalti;
sewa dari harta;
penerimaan atau perolehan pembayaran berkala”; [3.15] Menimbang bahwa berdasarkan hal demikian, menurut Mahkamah dalam konteks permasalahan konkret yang dihadapi Pemohon, isu konstitusionalitas penghapusan NPWP tidak dapat dipisahkan dari ketentuan Pasal 2 dan Pasal 4 UU 7/1983 yang mengatur mengenai subjek dan objek pajak. Kewajiban bagi Wajib Pajak agar mempunyai NPWP diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU KUP. Ketentuan ini mengatur kewajiban bagi setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi syarat subjektif dan syarat objektif agar mendaftarkan diri kepada Dirjen Pajak yang kemudian kepadanya diberikan NPWP. Sebagaimana diuraikan Mahkamah sebelumnya, kewajiban perpajakan tidak lahir karena terbitnya NPWP, melainkan sejak adanya kegiatan ekonomi yang mengakibatkan adanya suatu pertambahan nilai. Demikian pula apabila Wajib Pajak memperoleh laba maka serta merta akan timbul utang pajak, sebaliknya apabila Wajib Pajak merugi maka tidak akan timbul utang pajak. Konsep teoritis demikian juga ditegaskan oleh Pasal 2 ayat (4a) UU KUP yang menyatakan, “Kewajiban perpajakan bagi Wajib Pajak yang diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau … dimulai sejak saat Wajib Pajak memenuhi persyaratan subjektif dan objektif … ”. Dengan demikian, menurut Mahkamah jika Pemohon berkehendak agar dengan hapusnya NPWP perusahaan di mana Pemohon menjadi penanggung pajak lantas berakibat hapusnya pula kewajiban perpajakan perusahaan bersangkutan, maka hal demikian tidak akan tercapai seandainya pun Mahkamah mengabulkan permohonan Pemohon yaitu menambahkan makna pada Pasal 2 ayat (6) UU KUP agar penghapusan NPWP oleh Dirjen Pajak meliputi juga bagi Wajib Pajak badan yang telah dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap; Dengan kata lain, Mahkamah berpendapat bahwa NPWP, sesuai nama panjangnya yaitu “Nomor Pokok...” sebenarnya lebih tepat dilihat sekadar sebagai sebuah nomor identitas atau angka penanda bagi Wajib Pajak, dan bukan sebuah sumber materiil yang memunculkan suatu kewajiban perpajakan. Menghilangkan 189 atau menghapuskan kewajiban perpajakan, seandainya diperlukan, tidak dapat dilakukan hanya dengan penghapusan nomor pokok wajib pajak atau nomor identitas lain yang berfungsi sama dengan itu; [3.16] Menimbang bahwa selain berkaitan langsung dengan NPWP, permohonan Pemohon menurut Mahkamah sebenarnya hendak mempersoalkan konstitusionalitas penagihan pajak perusahaan kepada Pemohon sebagai penanggung pajak, padahal perusahaan tersebut telah dinyatakan pailit. Untuk menjawab isu konstitusionalitas demikian Mahkamah perlu menguraikan perihal utang perusahaan, jenis pajak, pihak yang membayar pajak perusahaan dan penanggung pajak badan, serta hubungan antara perusahaan dengan pengurus/direksi badan hukum; [3.17] Menimbang bahwa utang perusahaan pada dasarnya merupakan salah satu pilihan sumber pembiayaan perusahaan. Setidaknya, utang dapat dipahami sebagai dua hal, yaitu a) sebagai kewajiban membayar/melunasi yang timbul dari hubungan kontraktual keperdataan di mana satu pihak meminjam dan pihak lainnya meminjamkan, yang hubungan kontraktual ini memunculkan keberadaan debitur dan kreditur; b) kewajiban membayar/melunasi yang timbul sebagai konsekuensi hubungan perpajakan, dalam ranah hukum publik atau hukum administrasi, antara warga negara (termasuk badan hukum) dengan negara, di mana memunculkan status hukum Wajib Pajak dan Pemungut Pajak (Negara diwakili petugas pajak/fiskus); Bahwa secara universal utang dalam konteks yang pertama, yaitu utang sebagai hubungan kontraktual antara dua pihak atau lebih, adalah kewajiban penerima pinjaman (disebut pihak yang berutang atau debitur) kepada pemberi pinjaman (disebut pihak yang berpiutang atau kreditur) untuk mengembalikan atau membayar kembali sejumlah uang/pembiayaan. Sementara utang dalam konteks kedua, yaitu utang pajak adalah kewajiban perseorangan termasuk badan hukum untuk membayar sejumlah uang kepada negara bukan karena negara pernah meminjamkan sejumlah uang/pembiayaan kepada yang bersangkutan sebelumnya, melainkan sebagai pungutan yang diwajibkan oleh negara kepada Wajib Pajak, antara lain, untuk pembiayaan pembangunan negara. [3.18] Menimbang bahwa Pajak merupakan hak konstitusional Negara atas rakyatnya, sebagaimana diatur dalam Pasal 23A UUD 1945 yang menyatakan, 190 “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”. Dengan demikian hak negara untuk memungut pajak adalah hak mutlak yang tidak dapat ditolak. Namun hal demikian tidak lantas negara, melalui fiskus (petugas/instansi pengumpul pajak), dapat bertindak sewenang- wenang dalam menentukan besaran dan tata cara pemungutan pajak. Pasal 23A UUD 1945 di atas menegaskan bahwa “pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa” hanya boleh diterapkan selama ditujukan “untuk keperluan negara”. Pasal a quo juga mengatur bahwa pajak dan pungutan ini harus “diatur dengan undang-undang”. Pengaturan pajak dengan undang-undang tidak lain bertujuan agar setiap pembebanan pajak mendapat persetujuan dari lembaga yang merupakan representasi rakyat (asas no taxation without representation ). [3.19] Menimbang bahwa dalam kaitannya dengan pajak yang dipungut kepada badan hukum, Mahkamah perlu mempertimbangkan juga mengenai apa atau siapa yang dimaksud sebagai badan hukum. Dengan kata lain, Mahkamah melalui Putusan ini perlu memperjelas kembali mengenai badan hukum sebagai subjek hukum dan bagaimana sebuah badan hukum (yang bukan orang atau manusia) dapat menjalankan aktivitas sehari-hari, baik aktivitas hukum maupun yang bukan hukum. Mahkamah memandang bahwa badan hukum merupakan kepanjangan atau perluasan dari kepentingan manusia, baik kepentingan perorangan (individu) maupun kepentingan bersama (kolektif). Bentuk badan hukum mula-mula (tradisional) adalah usaha dagang, koperasi, dan yayasan. Usaha dagang merupakan badan hukum yang dikuasai dan diijalankan oleh perorangan, sementara koperasi dan yayasan merupakan badan usaha yang dikuasai atau dijalankan secara kolektif. Badan hukum yang dikuasai bersama dapat dikatakan pada mulanya merupakan penyatuan individu atau kerjasama individu yang bersifat kontraktual. Kerja sama, yang mulanya hanya melibatkan gabungan individu, selanjutnya oleh hukum diwadahi sebagai sebuah organisasi kerja sama baik kerja sama dalam hal penggabungan modal, penggabungan tenaga, ataupun yang lainnya. Selanjutnya badan hukum berkembang semakin kompleks menjadi perseroan terbatas, bahkan berkembang bentuk perusahaan multinasional dengan karakteristik berbeda; 191 [3.20] Menimbang bahwa badan hukum dengan demikian merupakan sebuah status bagi perhimpunan atau organisasi yang beranggotakan perorangan/individu. Namun, badan hukum bukan-lah individu itu sendiri. Hal istimewa dari status sebuah badan hukum ini adalah bahwa organisasi yang berstatus badan hukum dianggap mempunyai hak dan kewajiban yang relatif sama dengan hak dan kewajiban manusia/orang; Akan tetapi dalam praktiknya hak dan kewajiban badan hukum tentu tidak dapat dilaksanakan/ditunaikan sendiri oleh badan hukum bersangkutan. Hal demikian tidak lain karena badan hukum “hanya” sebuah status dan bukan manusia/orang, sementara kemampuan untuk berpikir, bersikap, maupun bertindak secara fisik hanya dimiliki oleh manusia/orang. Berdasarkan kondisi alamiah demikian, maka badan hukum sebagai sebuah status/organisasi membutuhkan keberadaan manusia/orang untuk mengurus atau menjalankan status/organisasi tersebut. Di titik ini lah kemudian, menurut Mahkamah, muncul keberadaan manusia/orang yang menjadi representasi atau perwakilan dari suatu badan hukum. Selanjutnya hukum (peraturan perundang-undangan) memilah atau mengklasifikasi badan hukum menjadi beberapa bentuk/jenis yang masing-masing jenis mempunyai sebutan atau istilah tertentu bagi pihak yang mewakili badan hukum tersebut. Sebutan demikian antara antara lain direksi, pengurus, pemilik, bendahara, sekutu, dan sebagainya. [3.21] Menimbang bahwa karena badan hukum merupakan sebuah status yang dikonstruksikan dari perorangan/individu, maka prinsip pemajakannya pun mengikuti prinsip pemajakan perorangan. Dalam perpajakan, selain istilah subjek pajak -yang merujuk pada perorangan dan badan- dikenal pula istilah objek pajak. Objek pajak merujuk pada harta yang dikenai pajak, yaitu harta yang berada di bawah penguasaan subjek pajak. Kedua pengertian tersebut menunjukkan bahwa pajak pada dasarnya adalah sebuah pungutan resmi oleh negara yang pungutan demikian mengikuti subjek pajak dan objek pajak; Badan hukum pun wajib mematuhi ketentuan mengenai jenis dan besaran pajak yang diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan mengenai pajak, antara lain baik pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, dan pajak badan. Semua undang-undang yang mengatur jenis dan besaran tarif demikian berlaku mengikat bagi badan hukum sebagai wajib pajak selama undang- 192 undang bersangkutan belum diubah, dibatalkan, atau dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945; Dengan konstruksi bahwa (pungutan) pajak timbul seketika/bersamaan dengan terciptanya nilai lebih (laba atau keuntungan) dari suatu transaksi ekonomi, maka sebenarnya secara logika tidak mungkin ada tagihan pajak yang tidak dapat dibayar. Dengan catatan tidak dapat dibayar di sini diartikan sebagai tidak ada sumber dana untuk melunasinya. Pada praktiknya laba memang tidak selalu seiring dengan ketersediaan cashflow , namun selama masih terdapat laba/keuntungan maka pajak pasti dapat ditunaikan mengingat logika pungutan pajak adalah mengambil sebagian dari keuntungan/penghasilan yang sudah ada/terjadi. Hal ini berbeda dengan logika pungutan yang dikenakan terhadap suatu kegiatan yang baru akan dilakukan, misalnya biaya perijinan; Apalagi sudah sangat jelas di dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU 40/2007), yaitu pada Penjelasan Pasal 70 ayat (1) dijelaskan bahwa, “Yang dimaksud dengan “laba bersih” adalah keuntungan tahun berjalan setelah dikurangi pajak”. Ketentuan lain dalam UU 40/2007, antara lain Pasal 71, menegaskan bahwa laba perusahaan yang dibagikan sebagai dividen kepada pemegang saham adalah laba bersih (bahkan laba bersih setelah disisihkan sebagian sebagai dana cadangan). Kedua ketentuan tersebut merupakan mekanisme kerja yang wajib dilaksanakan bagi sebuah badan hukum, in casu Perseroan Terbatas. Artinya, jika suatu PT telah melaksanakan ketentuan pendirian dan/atau ketentuan operasional PT sebagaimana dirumuskan oleh UU 40/2007, maka menurut penalaran yang wajar seharusnya tidak terjadi kegagalan dalam melunasi/membayar pajak. Berdasarkan hal demikian, Mahkamah berpendapat terjadinya keterlambatan pembayaran pajak oleh wajib pajak adalah ketika pajak ditunda pembayarannya oleh wajib pajak, namun kemudian bagian dari laba atau keuntungan yang seharusnya dibayarkan kepada negara sebagai pajak tersebut terpakai untuk kepentingan lain. Pada akhirnya wajib pajak mengalami kesulitan bahkan tidak mampu melunasi utang pajak atau tagihan pajak; [3.22] Menimbang bahwa di sisi lain Mahkamah perlu menegaskan bahwa pajak tidak boleh dihitung/dikenakan untuk kegiatan perusahaan yang telah dinyatakan pailit dan sedang dalam pemberesan kurator karena perusahaan dalam posisi 193 demikian tentunya tidak sedang beroperasi untuk memperoleh laba/keuntungan, kecuali secara nyata dapat diketahui bahwa masih ada kegiatan perusahaan yang dilakukan atas persetujuan hakim pengawas dan kegiatan demikian mendatangkan kewajiban perpajakan. Mahkamah berpendapat pajak tetap dapat dikenakan atas keuntungan/laba yang telah timbul akibat operasional perusahaan sebelum perusahaan dinyatakan pailit, dan juga dapat dikenakan atas keuntungan yang baru diterima ketika perusahaan telah berstatus pailit. Adalah sangat mungkin sebagian laba atau bahkan keseluruhan laba secara teknis baru diterima perusahaan beberapa saat setelah transaksi terjadi, di mana laba diterima pada saat perusahaan sudah dinyatakan pailit. Berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut, maka terhadap persoalan yang dialami Pemohon yang sesungguhnya, yaitu adanya keberatan atas tagihan pajak badan (perseroan) yang sudah dinyatakan pailit namun penagihannya ditujukan kepada Pemohon sebagai perorangan (mantan pengurus perusahaan sebelum pailit), menurut Mahkamah hal tersebut merupakan permasalahan implementasi dan bukan merupakan persoalan konstitusionalitas norma UU, sehingga bukan menjadi wewenang Mahkamah untuk menilainya. Bahwa berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas berkenaan dengan persoalan inkonstitusionalitas norma Pasal 2 ayat (6) UU KUP adalah tidak beralasan menurut hukum. [3.23] Menimbang bahwa selanjutnya terhadap Pasal 32 ayat (2) UU KUP, sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.12] di atas, Pemohon pada pokoknya memohonkan agar Mahkamah memaknai Pasal 32 ayat (2) antara lain bahwa pengurus badan hukum, yang badan hukumnya telah dinyatakan pailit, tidak dibebani tanggung jawab untuk melunasi pajak terutang. Terhadap permohonan demikian, pertimbangan Mahkamah tidak dapat dilepaskan dari pertimbangan hukum yang telah diuraikan di atas. Dengan konstruksi bahwa seharusnya pajak telah dapat dibayarkan setelah laba/keuntungan diterima, bahkan sebelum laba dibagikan sebagai dividen kepada para pemegang saham, maka menurut Mahkamah tidak ada alasan hukum apapun yang dapat melepaskan tanggung jawab perusahaan akan pajak dimaksud. 194 Bahwa berangkat dari kondisi demikian, maka tidak terbayarkan atau tidak terlunasinya pajak merupakan kelalaian atau kesengajaan dari pengurus, sehingga menjadi tanggung jawab pengurus perusahaan. Tentu saja, secara teknis, ada beberapa faktor eksternal atau peristiwa force majeur yang dapat menggagalkan upaya pembayaran pajak, atau bisa juga terjadi human error berupa kesalahan hitung atas beban pajak yang seharusnya dibayarkan. Namun hal demikian menurut Mahkamah tidak lantas mengakibatkan norma Pasal 32 ayat (2) UU KUP menjadi bertentangan dengan UUD 1945. Bahwa adanya peristiwa di luar kemampuan manusia pada umumnya, yang mungkin menggagalkan upaya pemenuhan kewajiban perpajakan, merupakan kewenangan Dirjen Pajak dan badan peradilan pajak untuk menilainya. Bahkan dalam Pasal 32 ayat (2) UU a quo sudah diberikan pengecualian bahwa wakil wajib pajak tidak bertanggung jawab secara pribadi dan/atau secara tanggung renteng untuk melunasi utang pajak selama “dapat membuktikan dan meyakinkan Direktur Jenderal Pajak bahwa mereka dalam kedudukannya benar-benar tidak mungkin untuk dibebani tanggung jawab atas pajak yang terutang tersebut”; [3.24] Menimbang bahwa untuk menjawab konstitusionalitas norma Pasal 32 ayat (2) UU KUP yang membebankan tanggung jawab pelunasan pajak kepada pengurus, menurut Mahkamah norma a quo harus dibaca secara utuh dengan ketentuan Pasal 32 ayat (1) UU KUP yang mengatur: “Dalam menjalankan hak dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, Wajib Pajak diwakili dalam hal:
badan oleh pengurus;
badan yang dinyatakan pailit oleh kurator;
badan dalam pembubaran oleh orang atau badan yang ditugasi untuk melakukan pemberesan;
badan dalam likuidasi oleh likuidator;
suatu warisan yang belum terbagi oleh salah seorang ahli warisnya, pelaksana wasiatnya atau yang mengurus harta peninggalannya; atau
anak yang belum dewasa atau orang yang berada dalam pengampuan oleh wali atau pengampunya”. Bahwa ketentuan Pasal 32 ayat (1) UU a quo mengatur suatu badan hukum sebagai wajib pajak diwakili oleh: a) pengurus; b) kurator dalam hal badan dinyatakan pailit; c) orang/badan yang ditugaskan melakukan pemberesan dalam hal badan dibubarkan; atau d) likuidator dalam hal badan dilikuidasi. Dengan tetap merujuk pada konstruksi timbulnya pajak dan/atau utang pajak sebagaimana diuraikan di atas, menurut Mahkamah kelalaian atau kesengajaan yang 195 mengakibatkan tidak terbayarkannya pajak secara nalar hanya dapat dimintakan pertanggungjawaban kepada pengurus yang aktif mengurusi badan hukum ketika belum dinyatakan pailit, dibubarkan, atau dilikuidasi. Hal demikian karena pengurus- lah yang memutuskan apakah akan langsung membayar pajak ketika perusahaan memperoleh laba/keuntungan (atau pemasukan lain) atau menunda pembayarannya hingga berujung pada kegagalan membayar pajak. Dengan kata lain, tanggung jawab penyelesaian kewajiban pajak badan ada pada pengurus badan tersebut. Apabila berpijak pada ketentuan Pasal 32 ayat (1) UU a quo, maka penunjukan subjek hukum sebagai wakil adalah sangat tergantung pada subjek hukum utama yang akan diwakilinya. Dalam kasus a quo , terhadap badan yang telah dinyatakan pailit maka tanggung jawab pengurus berpindah kepada wakil badan yang dalam hal ini adalah kurator. Berdasarkan hal demikian, tanpa bermaksud menilai kasus konkret yang dialami Pemohon, Mahkamah berpendapat pemberesan utang-utang badan yang telah dinyatakan pailit terhadap pihak lain haruslah dilakukan oleh kurator bersama- sama dengan penyelesaian/pemberesan kewajiban-kewajiban lainnya. Adapun tanggung jawab yang harus ditanggung oleh pengurus badan sangat tergantung pada sejauh mana kerugian timbul akibat adanya unsur kelalaian atau kesengajaan dari pengurus pada saat masih aktif menjalankan kepengurusan badan yang bersangkutan. Dalam kaitannya dengan mekanisme penyelesaian kerugian yang bermula dari kelalaian atau kesengajaan pengurus, hal demikian bukan merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi; [3.25] Menimbang bahwa Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Menurut Mahkamah Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 berlaku kepada semua orang, dalam hal ini direksi suatu badan hukum mempunyai hak konstitusional untuk memperoleh pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum; dan begitu pula masyarakat serta semua pihak yang mempunyai hubungan (kerja) dengan badan hukum tertentu mempunyai hak konstitusional yang sama pula yaitu memeroleh pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. 196 Bahwa ditetapkannya pengurus sebagai wakil dari suatu wajib pajak berbentuk badan tentunya bertujuan untuk menjamin kepastian bahwa tindakan suatu badan hukum dapat dimintai pertanggungjawaban, setara dengan dijaminnya hak suatu badan hukum untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu demi kepentingan badan hukum dimaksud (yang notabene kepentingan demikian berujung pada kepentingan pengurus dan pemegang saham). Pengurus menjadi pihak utama yang dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan/tindakan suatu badan hukum karena memang dalam keseharian pengurus lah yang menjalankan atau mengoperasikan badan hukum. [3.26] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan hukum demikian, Mahkamah menilai pembebanan tanggung jawab suatu badan hukum (yang tidak dapat bertindak apa-apa tanpa bantuan manusia) kepada seorang atau sekelompok pengurus bukanlah hal yang bertentangan dengan UUD 1945. Demikian pula dalam hal kewajiban perpajakan perusahaan, dengan pertimbangan hukum yang sama Mahkamah berpendapat bahwa ketentuan yang membebankan penyelesaian kewajiban perpajakan suatu badan ( in casu utang pajak perusahaan pailit) kepada pengurus badan yang diwakili oleh kurator adalah bersesuaian dengan UUD 1945. Bahwa persesuaian norma Pasal 32 ayat (2) UU KUP dengan norma UUD 1945 terutama dalam hal memberikan perlindungan dan kepastian hukum yang adil kepada semua pihak yang berinteraksi dengan badan hukum, di mana Pemohon menjadi pengurus badan hukum, sebagaimana diatur Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Menurut Mahkamah, salah satu wujud hak pihak lain yang berinteraksi dengan badan hukum adalah hak Negara untuk menerima pembayaran pajak dari suatu badan hukum tertentu melalui pihak atau orang yang bertindak sebagai pengurus badan hukum tersebut; Bahwa berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas berkenaan dengan persoalan inkonstitusionalitas norma Pasal 32 ayat (2) UU KUP adalah tidak beralasan menurut hukum. [3.27] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, dalil Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya. 197 4. KONKLUSI Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan: [4.1] Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo ; [4.2] Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo ; [4.3] Pokok Permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 216, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6554), dan Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076).
AMAR PUTUSAN Mengadili: Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya. Demikian diputus dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi, yaitu Anwar Usman selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto, Daniel Yusmic P. Foekh, Arief Hidayat, Suhartoyo, Saldi Isra, Wahiduddin Adams, Enny Nurbaningsih, dan Manahan M.P. Sitompul, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Kamis , tanggal dua belas, bulan November , tahun dua ribu dua puluh , yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Kamis , tanggal empat belas, bulan Januari , tahun dua ribu dua puluh satu , selesai diucapkan pukul 10.50 WIB , oleh sembilan Hakim Konstitusi, yaitu Anwar Usman selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto, Daniel Yusmic P. Foekh, Arief Hidayat, Suhartoyo, Saldi Isra, Wahiduddin Adams, Enny Nurbaningsih, dan 198 Manahan M.P. Sitompul, masing-masing sebagai Anggota, dengan dibantu oleh Mardian Wibowo sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh Pemohon atau kuasanya, Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili, dan Presiden atau yang mewakili. KETUA, ttd. Anwar Usman ANGGOTA-ANGGOTA, ttd. Aswanto ttd. Daniel Yusmic P. Foekh ttd. Arief Hidayat ttd. Suhartoyo ttd. Saldi Isra ttd. Wahiduddin Adams ttd. Enny Nurbaningsih ttd. Manahan M.P. Sitompul PANITERA PENGGANTI, ttd. Mardian Wibowo
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2006.
Pengujian UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang perbendaharaan negara terhadap UUD Negara RI 1945
Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. ...
Relevan terhadap
Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4737 A. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG PENDIDIKAN SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Kebijakan 1. Kebijakan dan Standar 1.a.Penetapan kebijakan nasional pendidikan.
Koordinasi dan sinkronisasi kebijakan operasional dan program pendidikan antar provinsi.
Perencanaan strategis pendidikan nasional.
a.Penetapan kebijakan operasional pendidikan di provinsi sesuai dengan kebijakan nasional.
Koordinasi dan sinkronisasi kebijakan operasional dan program pendidikan antar kabupaten/kota.
Perencanaan strategis pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan nonformal sesuai dengan perencanaan strategis pendidikan nasional.
a. Penetapan kebijakan operasional pendidikan di kabupaten/kota sesuai dengan kebijakan nasional dan provinsi.
Ɇ c. Perencanaan operasional program pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan nonformal sesuai dengan perencanaan strategis tingkat provinsi dan nasional. LAMPIRAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 38 Tahun 2007 TANGGAL : 9 Juli 2007 SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2.a. Pengembangan dan penetapan standar nasional pendidikan (isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan).
Sosialisasi standar nasional pendidikan dan pelaksanaannya pada jenjang pendidikan tinggi.
Penetapan pedoman pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, pendidikan tinggi, dan pendidikan nonformal.
a. Ɇ b. Sosialisasi dan pelaksanaan standar nasional pendidikan di tingkat provinsi.
Koordinasi atas pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan, pengembangan tenaga kependidikan dan penyediaan fasilitas penyelenggaraan pendidikan lintas kabupaten/kota, untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah.
a. Ɇ b. Sosialisasi dan pelaksanaan standar nasional pendidikan di tingkat kabupaten/kota.
Pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan nonformal. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Penetapan kebijakan tentang satuan pendidikan bertaraf internasional dan satuan pendidikan berbasis keunggulan lokal.
a.Pemberian izin pendirian serta pencabutan izin perguruan tinggi.
Pemberian izin pendirian serta pencabutan izin satuan pendidikan dan/atau program studi bertaraf internasional.
Penyelenggaraan dan/atau pengelolaan satuan pendidikan dan/atau program studi bertaraf internasional 4. — 5.a. Ɇ b.— c.Penyelenggaraan dan/atau pengelolaan satuan pendidikan dan/atau program studi bertaraf internasional pada jenjang pendidikan dasar dan menengah.
— 5.a.Pemberian izin pendirian serta pencabutan izin satuan pendidikan dasar, satuan pendidikan menengah dan satuan/penyelenggara pendidikan nonformal.
— c.Penyelenggaraan dan/atau pengelolaan satuan pendidikan sekolah dasar bertaraf internasional. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA d. Ɇ e. Ɇ 6. Pengelolaan dan/atau penyelenggaraan pendidikan tinggi.
Pemantauan dan evaluasi satuan pendidikan bertaraf internasional.
Penyelenggaraan sekolah Indonesia di luar negeri.
Ɇ e. Ɇ 6. Pemberian dukungan sumber daya terhadap penyelenggaraan perguruan tinggi.
Pemantauan dan evaluasi satuan pendidikan bertaraf internasional.
Ɇ d.Pemberian izin pendirian serta pencabutan izin satuan pendidikan dasar dan menengah berbasis keunggulan lokal.
Penyelenggaraan dan/atau pengelolaan pendidikan berbasis keunggulan lokal pada pendidikan dasar dan menengah.
Pemberian dukungan sumber daya terhadap penyelenggaraan perguruan tinggi.
Pemantauan dan evaluasi satuan pendidikan sekolah dasar bertaraf internasional.
Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 9. Pemberian izin pendirian, pencabutan izin penyelenggaraan, dan pembinaan satuan pendidikan Asing di Indonesia.
a. Pengembangan sistem informasi manajemen pendidikan secara nasional. b. Peremajaan data dalam sistem informasi manajemen pendidikan nasional untuk tingkat nasional.
Ɇ 10. a. Ɇ b. Peremajaan data dalam sistem infomasi manajemen pendidikan nasional untuk tingkat provinsi.
Ɇ 10. a. Ɇ b. Peremajaan data dalam sistem infomasi manajemen pendidikan nasional untuk tingkat kabupaten/kota.
Pembiayaan 1.a.Penetapan pedoman pembiayaan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, pendidikan tinggi, pendidikan nonformal.
a. Ɇ 1.a. Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b.Penyediaan bantuan biaya penyelenggaraan pendidikan tinggi sesuai kewenangannya.
Pembiayaan penjaminan mutu satuan pendidikan sesuai kewenangannya.
Penyediaan bantuan biaya penyelenggaraan pendidikan bertaraf internasional sesuai kewenangannya.
Pembiayaan penjaminan mutu satuan pendidikan sesuai kewenangannya.
Penyediaan bantuan biaya penyelenggaraan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan nonformal sesuai kewenangannya.
Pembiayaan penjaminan mutu satuan pendidikan sesuai kewenangannya.
Kurikulum 1.a. Penetapan kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar dan pendidikan menengah.
Sosialisasi kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
a. Koordinasi dan supervisi pengembangan kurikulum tingkat satuan pendidikan pada pendidikan menengah.
Sosialisasi kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
a. Koordinasi dan supervisi pengembangan kurikulum tingkat satuan pendidikan pada pendidikan dasar.
Sosialisasi kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c. Penetapan standar isi dan standar kompetensi lulusan pendidikan dasar dan menengah, dan sosialisasinya.
a.Pengembangan model kurikulum tingkat satuan pendidikan pada pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan nonformal.
Sosialisasi dan fasilitasi implementasi kurikulum tingkat satuan pendidikan.
Pengawasan pelaksanaan kurikulum tingkat satuan pendidikan pada pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Sosialisasi dan implementasi standar isi dan standar kompetensi lulusan pendidikan menengah.
a. Ɇ b.Sosialisasi dan fasilitasi implementasi kurikulum tingkat satuan pendidikan pada pendidikan menengah.
Pengawasan pelaksanaan kurikulum tingkat satuan pendidikan pada pendidikan menengah.
Sosialisasi dan implementasi standar isi dan standar kompetensi lulusan pendidikan dasar.
a. Ɇ b.Sosialisasi dan fasilitasi implementasi kurikulum tingkat satuan pendidikan pada pendidikan anak usia dini dan pendidikan dasar.
Pengawasan pelaksanaan kurikulum tingkat satuan pendidikan pada pendidikan dasar. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Sarana dan Prasarana 1.a.Monitoring dan evaluasi pelaksanaan dan pemenuhan standar nasional sarana dan prasarana pendidikan.
Pengawasan pendayagunaan bantuan sarana dan prasarana pendidikan.
a.Pengawasan terhadap pemenuhan standar nasional sarana dan prasarana pendidikan menengah.
Pengawasan pendayagunaan bantuan sarana dan prasarana pendidikan.
a. Pengawasan terhadap pemenuhan standar nasional sarana dan prasarana pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan nonformal.
Pengawasan pendayagunaan bantuan sarana dan prasarana pendidikan.
a.Penetapan standar dan pengesahan kelayakan buku pelajaran.
Ɇ 2.a. Ɇ b. Pengawasan penggunaan buku pelajaran pendidikan menengah .
a. Ɇ b.Pengawasan penggunaan buku pelajaran pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan nonformal. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Pendidik dan Tenaga Kependidikan 1.a. Perencanaan kebutuhan dan pengadaan pendidik dan tenaga kependidikan secara nasional.
Ɇ 2. Pemindahan pendidik dan tenaga kependidikan PNS antar provinsi.
a. Perencanaan kebutuhan pendidik dan tenaga kependidikan untuk pendidikan bertaraf internasional sesuai kewenangannya.
Pengangkatan dan penempatan pendidik dan tenaga kependidikan PNS untuk satuan pendidikan bertaraf internasional.
Pemindahan pendidik dan tenaga kependidikan PNS antar kabupaten/kota.
a. Perencanaan kebutuhan pendidik dan tenaga kependidikan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan nonformal sesuai kewenangannya.
Pengangkatan dan penempatan pendidik dan tenaga kependidikan PNS untuk pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan nonformal sesuai kewenangannya 2. Pemindahan pendidik dan tenaga kependidikan PNS di kabupaten/ kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Peningkatan kesejahteraan, penghargaan, dan perlindungan pendidik dan tenaga kependidikan.
a. Perencanaan kebutuhan, pengangkatan, dan penempatan pendidik dan tenaga kependidikan bagi unit organisasi di lingkungan departemen yang bertanggungjawab di bidang kependidikan.
Pemberhentian pendidik dan tenaga kependidikan PNS karena pelanggaran peraturan perundang- undangan.
Peningkatan kesejahteraan, penghargaan, dan perlindungan pendidik dan tenaga kependidikan pendidikan bertaraf internasional.
a. Pembinaan dan pengembangan pendidik dan tenaga kependidikan pendidikan bertaraf internasional.
Pemberhentian pendidik dan tenaga kependidikan PNS pada pendidikan bertaraf internasional selain karena alasan pelanggaran peraturan perundang- undangan 3. Peningkatan kesejahteraan, penghargaan, dan perlindungan pendidik dan tenaga kependidikan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan nonformal.
a. Pembinaan dan pengembangan pendidik dan tenaga kependidikan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan nonformal.
Pemberhentian pendidik dan tenaga kependidikan PNS pada pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan nonformal selain karena alasan pelanggaran peraturan perundang-undangan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Ɇ 6. Sertifikasi pendidik.
Pengalokasian tenaga potensial pendidik dan tenaga kependidikan di daerah.
Ɇ 5. Ɇ 6. Ɇ 6. Pengendalian Mutu Pendidikan 1. Penilaian Hasil Belajar 1. Penetapan pedoman, bahan ujian, pengendalian pemeriksaan, dan penetapan kriteria kelulusan ujian nasional.
Pelaksanaan ujian nasional pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan nonformal.
Koordinasi, fasilitasi, monitoring, dan evaluasi pelaksanaan ujian nasional.
Penyediaan blanko ijazah dan/atau sertifikat ujian nasional.
ɔ 2. Membantu pelaksanaan ujian nasional pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan nonformal.
Koordinasi, fasilitasi, monitoring, dan evaluasi pelaksanaan ujian sekolah skala provinsi.
Ɇ 1. ɔ 2. Membantu pelaksanaan ujian nasional pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan nonformal.
Koordinasi, fasilitasi, monitoring, dan evaluasi pelaksanaan ujian sekolah skala kabupaten/kota.
Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Penyediaan biaya penyelenggaraan ujian nasional.
Penyediaan biaya penyelenggaraan ujian sekolah skala provinsi.
Penyediaan biaya penyelenggaraan ujian sekolah skala kabupaten/kota.
Evaluasi 1.a.Penetapan pedoman evaluasi terhadap pengelola, satuan, jalur, jenjang dan jenis pendidikan.
Pelaksanaan evaluasi nasional terhadap pengelola, satuan, jalur, jenjang dan jenis pendidikan.
a.Penetapan pedoman evaluasi pencapaian standar nasional pendidikan.
a. Ɇ b.Pelaksanaan evaluasi pengelola, satuan, jalur, jenjang, dan jenis pendidikan pada pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan nonformal skala provinsi.
a. Ɇ 1.a. Ɇ b.Pelaksanaan evaluasi pengelola, satuan, jalur, jenjang, dan jenis pendidikan pada pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan nonformal skala kabupaten/kota.
a. Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Pelaksanaan evaluasi pencapaian standar nasional pendidikan.
Pelaksanaan evaluasi pencapaian standar nasional pendidikan pada pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan nonformal skala provinsi.
Pelaksanaan evaluasi pencapaian standar nasional pendidikan pada pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan nonformal skala kabupaten/kota.
Akreditasi 1.a.Penetapan pedoman akreditasi pendidikan jalur pendidikan formal dan non formal.
Pelaksanaan akreditasi pendidikan jalur pendidikan formal dan nonformal.
a. Ɇ b. Membantu pemerintah dalam pelaksanaan akreditasi pendidikan dasar dan menengah.
a. Ɇ b. Membantu pemerintah dalam akreditasi pendidikan nonformal.
Penjaminan Mutu 1. Penetapan pedoman penjaminan mutu satuan pendidikan.
a. Supervisi dan fasilitasi satuan pendidikan dalam pelaksanaan penjaminan mutu untuk memenuhi 1. ɔ 2.a. ɔ 1. ɔ 2.a. Supervisi dan fasilitasi satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA standar nasional pendidikan.
Supervisi dan fasilitasi satuan pendidikan bertaraf internasional dalam penjaminan mutu untuk memenuhi standar internasional.
ɔ d. Evaluasi pelaksanaan dan dampak penjaminan mutu satuan pendidikan skala nasional.
Supervisi dan fasilitasi satuan pendidikan bertaraf internasional dalam penjaminan mutu untuk memenuhi standar internasional.
ɔ d. Evaluasi pelaksanaan dan dampak penjaminan mutu satuan pendidikan skala provinsi. nonformal dalam penjaminan mutu untuk memenuhi standar nasional pendidikan.
Supervisi dan fasilitasi satuan pendidikan bertaraf internasional dalam penjaminan mutu untuk memenuhi standar internasional.
Supervisi dan Fasilitasi satuan pendidikan berbasis keunggulan lokal dalam penjaminan mutu.
Evaluasi pelaksanaan dan dampak penjaminan mutu satuan pendidikan skala kabupaten/kota. B. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KESEHATAN SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Upaya Kesehatan 1. Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit 1. Pengelolaan survailans epidemiologi kejadian luar biasa skala nasional.
Pengelolaan pencegahan dan penanggulangan penyakit menular berpotensial wabah, dan yang merupakan komitmen global skala nasional dan internasional.
Pengelolaan pencegahan dan penanggulangan penyakit tidak menular tertentu skala nasional.
Penanggulangan masalah kesehatan akibat bencana dan wabah skala nasional.
Penyelenggaraan survailans epidemiologi, penyelidikan kejadian luar biasa skala provinsi.
Penyelenggaraan pencegahan dan penanggulangan penyakit menular skala provinsi.
Penyelenggaraan pencegahan dan penanggulangan penyakit tidak menular tertentu skala provinsi.
Pengendalian operasional penanggulangan masalah kesehatan akibat bencana dan wabah skala provinsi.
Penyelenggaraan survailans epidemiologi, penyelidikan kejadian luar biasa skala kabupaten/kota.
Penyelenggaraan pencegahan dan penanggulangan penyakit menular skala kabupaten/kota.
Penyelenggaraan pencegahan dan penanggulangan penyakit tidak menular tertentu skala kabupaten/kota.
Penyelenggaraan operasional penanggulangan masalah kesehatan akibat bencana dan wabah skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Pengelolaan karantina kesehatan skala nasional. 5. Ɇ 5. Ɇ 2. Lingkungan Sehat 1. Pengelolaan pencegahan dan penanggulangan pencemaran lingkungan skala nasional.
Ɇ 1. Penyelenggaraan pencegahan dan penanggulangan pencemaran lingkungan skala provinsi.
Ɇ 1. Penyelenggaraan pencegahan dan penanggulangan pencemaran lingkungan skala kabupaten/kota.
Penyehatan lingkungan.
Perbaikan Gizi Masyarakat 1. Pengelolaan survailans kewaspadaan pangan dan gizi buruk skala nasional.
a.Pengelolaan penanggulangan gizi buruk skala nasional.
Ɇ 1. Penyelenggaraan survailans gizi buruk skala provinsi.
a.Pemantauan penanggulangan gizi buruk skala provinsi.
Ɇ 1. Penyelenggaraan survailans gizi buruk skala kabupaten/ kota.
a.Penyelenggaraan penanggulangan gizi buruk skala kabupaten/kota.
Perbaikan gizi keluarga dan masyarakat. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Pelayanan Kesehatan Perorangan dan Masyarakat 1. Pengelolaan pelayanan kesehatan haji skala nasional.
Pengelolaan upaya kesehatan dan rujukan nasional.
Pengelolaan upaya kesehatan pada daerah perbatasan, terpencil, rawan dan kepulauan skala nasional.
Bimbingan dan pengendalian pelayanan kesehatan haji skala provinsi.
Pengelolaan pelayanan kesehatan rujukan sekunder dan tersier tertentu.
Bimbingan dan pengendalian upaya kesehatan pada daerah perbatasan, terpencil, rawan dan kepulauan skala provinsi.
Penyelenggaraan pelayanan kesehatan haji skala kabupaten/kota.
Pengelolaan pelayanan kesehatan dasar dan rujukan sekunder skala kabupaten/kota.
Penyelenggaraan upaya kesehatan pada daerah perbatasan, terpencil, rawan dan kepulauan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Registrasi, akreditasi, sertifikasi sarana kesehatan sesuai peraturan perundang-undangan.
a.Pemberian izin sarana kesehatan tertentu.
Ɇ 4. Registrasi, akreditasi, sertifikasi sarana kesehatan sesuai peraturan perundang-undangan.
a.Pemberian rekomendasi izin sarana kesehatan tertentu yang diberikan oleh pemerintah.
Pemberian izin sarana kesehatan meliputi rumah sakit pemerintah Kelas B non pendidikan, rumah sakit khusus, rumah sakit swasta serta sarana kesehatan penunjang yang setara.
Registrasi, akreditasi, sertifikasi sarana kesehatan sesuai peraturan perundang-undangan.
a. Pemberian rekomendasi izin sarana kesehatan tertentu yang diberikan oleh pemerintah dan provinsi.
Pemberian izin sarana kesehatan meliputi rumah sakit pemerintah Kelas C, Kelas D, rumah sakit swasta yang setara, praktik berkelompok, klinik umum/spesialis, rumah bersalin, SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA klinik dokter keluarga/dokter gigi keluarga, kedokteran komplementer, dan pengobatan tradisional, serta sarana penunjang yang setara.
Pembiayaan Kesehatan 1. Pembiayaan Kesehatan Masyarakat 1.a.Penetapan norma, standar, prosedur dan kriteria bidang jaminan pemeliharaan kesehatan.
Pengelolaan jaminan pemeliharaan kesehatan nasional.
a.Pengelolaan/penyelenggara an, bimbingan, pengendalian jaminan pemeliharaan kesehatan skala provinsi.
Bimbingan dan pengendalian penyelenggaraan jaminan pemeliharaan kesehatan nasional (Tugas Pembantuan).
a.Pengelolaan/penyelenggara- an, jaminan pemeliharaan kesehatan sesuai kondisi lokal.
Penyelenggaraan jaminan pemeliharaan kesehatan nasional (Tugas Pembantuan). SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Sumber Daya Manusia Kesehatan 1. Peningkatan Jumlah, Mutu dan Penyebaran Tenaga Kesehatan 1. Pengelolaan tenaga kesehatan strategis.
Pendayagunaan tenaga kesehatan makro skala nasional.
Pembinaan dan pengawasan pendidikan dan pelatihan (diklat) dan Training Of Trainer (TOT) tenaga kesehatan skala nasional.
Penempatan tenaga kesehatan strategis, pemindahan tenaga tertentu antar kabupaten/kota skala provinsi.
Pendayagunaan tenaga kesehatan skala provinsi.
Pelatihan diklat fungsional dan teknis skala provinsi.
Pemanfaatan tenaga kesehatan strategis.
Pendayagunaan tenaga kesehatan skala kabupaten/kota.
Pelatihan teknis skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Registrasi, akreditasi, sertifikasi tenaga kesehatan skala nasional sesuai peraturan perundang- undangan.
Pemberian izin tenaga kesehatan asing sesuai peraturan perundang-undangan.
Registrasi, akreditasi, sertifikasi tenaga kesehatan tertentu skala provinsi sesuai peraturan perundang-undangan.
Pemberian rekomendasi izin tenaga kesehatan asing.
Registrasi, akreditasi, sertifikasi tenaga kesehatan tertentu skala kabupaten/kota sesuai peraturan perundang- undangan.
Pemberian izin praktik tenaga kesehatan tertentu.
Obat dan Perbekalan Kesehatan 1. Ketersediaan, Pemerataan, Mutu Obat dan Keterjangkauan Harga Obat Serta Perbekalan Kesehatan 1. Penyediaan dan pengelolaan bufferstock obat nasional, alat kesehatan tertentu, reagensia tertentu dan vaksin tertentu skala nasional.
Penyediaan dan pengelolaan bufferstock obat provinsi, alat kesehatan, reagensia dan vaksin lainnya skala provinsi.
Penyediaan dan pengelolaan obat pelayanan kesehatan dasar, alat kesehatan, reagensia dan vaksin skala kabupaten/kota SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2.a.Registrasi, akreditasi, sertifikasi komoditi kesehatan sesuai peraturan perundang-undangan.
— c.— d.— 3.a.Pemberian izin industri komoditi kesehatan, alat kesehatan dan Pedagang Besar Farmasi (PBF).
a.Sertifikasi sarana produksi dan distribusi alat kesehatan, Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga (PKRT) Kelas II.
— c.— d.— 3.a.Pemberian rekomendasi izin industri komoditi kesehatan, PBF dan Pedagang Besar Alat Kesehatan (PBAK).
a.Pengambilan sampling/contoh sediaan farmasi di lapangan.
Pemeriksaan setempat sarana produksi dan distribusi sediaan farmasi.
Pengawasan dan registrasi makanan minuman produksi rumah tangga.
Sertifikasi alat kesehatan dan PKRT Kelas I.
a.Pemberian rekomendasi izin PBF Cabang, PBAK dan Industri Kecil Obat Tradisional (IKOT). SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Ɇ b.Pemberian izin PBF Cabang dan IKOT. b.Pemberian izin apotik, toko obat.
Pemberdayaan Masyarakat 1. Pemberdayaan Individu, Keluarga dan Masyarakat Berperilaku Hidup Sehat dan Pengembangan Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM) 1. Pengelolaan promosi kesehatan skala nasional. 1. Penyelenggaraan promosi kesehatan skala provinsi. 1. Penyelenggaraan promosi kesehatan skala kabupaten/kota.
Manajemen Kesehatan 1. Kebijakan 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria bidang kesehatan.
Bimbingan dan pengendalian norma, standar, prosedur, dan kriteria bidang kesehatan.
Penyelenggaraan, bimbingan dan pengendalian operasionalisasi bidang kesehatan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Penelitian dan Pengembangan Kesehatan 1.a.Pengelolaan penelitian dan pengembangan kesehatan strategis dan terapan, serta penapisan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) kesehatan skala nasional.
Ɇ c. Ɇ 1.a.Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan kesehatan yang mendukung perumusan kebijakan provinsi.
Pengelolaan survei kesehatan daerah (surkesda) skala provinsi.
Pemantauan pemanfaatan Iptek kesehatan skala provinsi.
a.Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan kesehatan yang mendukung perumusan kebijakan kabupaten/kota.
Pengelolaan surkesda skala kabupaten/kota.
Implementasi penapisan Iptek di bidang pelayanan kesehatan skala kabupaten/kota.
Kerjasama Luar Negeri 1. Pengelolaan kerjasama luar negeri di bidang kesehatan skala nasional.
Penyelenggaraan kerjasama luar negeri skala provinsi. 1. Penyelenggaraan kerjasama luar negeri skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Peningkatan Pengawasan dan Akuntabilitas 1. Pembinaan, monitoring, evaluasi dan pengawasan skala nasional.
Pembinaan, monitoring, evaluasi dan pengawasan skala provinsi.
Pembinaan, monitoring, evaluasi dan pengawasan skala kabupaten/kota.
Pengembangan Sistem Informasi Kesehatan (SIK) 1. Pengelolaan dan pengembangan SIK skala nasional dan fasilitasi pengembangan sistem informasi kesehatan daerah.
Pengelolaan SIK skala provinsi. 1. Pengelolaan SIK skala kabupaten/kota. C. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG PEKERJAAN UMUM SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Sumber Daya Air 1. Pengaturan 1. Penetapan kebijakan nasional sumber daya air. 1. Penetapan kebijakan pengelolaan sumber daya air provinsi.
Penetapan kebijakan pengelolaan sumber daya air kabupaten/kota.
Penetapan pola pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional.
Penetapan pola pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota.
Penetapan pola pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota.
Penetapan rencana pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional.
Penetapan rencana pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai kabupaten/kota.
Penetapan rencana pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota.
Penetapan dan pengelolaan kawasan lindung sumber air pada wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional.
Penetapan dan pengelolaan kawasan lindung sumber air pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota.
Penetapan dan pengelolaan kawasan lindung sumber air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Pembentukan Dewan Sumber Daya Air Nasional, wadah koordinasi sumber daya air wilayah sungai lintas provinsi, dan wadah koordinasi sumber daya air wilayah sungai strategis nasional.
Pembentukan wadah koordinasi sumber daya air di tingkat provinsi dan/atau pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota.
Pembentukan wadah koordinasi sumber daya air di tingkat kabupaten/kota dan/atau pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota.
Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) pengelolaan sumber daya air.
— 6. — 7. Penetapan wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota, wilayah sungai lintas kabupaten/kota, wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional.
— 7. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 8. Penetapan status daerah irigasi yang sudah dibangun yang menjadi wewenang dan tanggung jawab Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota.
— 8. — 9. Pengesahan pembentukan komisi irigasi antar provinsi 9. Pembentukan komisi irigasi provinsi dan pengesahan pembentukan komisi irigasi antar kabupaten/kota.
Pembentukan komisi irigasi kabupaten/kota 2. Pembinaan 1. Penetapan dan pemberian izin atas penyediaan, peruntukan, penggunaan, dan pengusahaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional.
Penetapan dan pemberian izin atas penyediaan, peruntukan, penggunaan, dan pengusahaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota.
Penetapan dan pemberian izin atas penyediaan, peruntukan, penggunaan, dan pengusahaan sumber daya air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Penetapan dan pemberian rekomendasi teknis atas penyediaan, peruntukan, penggunaan, dan pengusahaan air tanah pada cekungan air tanah lintas provinsi dan cekungan air tanah lintas negara.
Penetapan dan pemberian rekomendasi teknis atas penyediaan, pengambilan, peruntukan, penggunaan dan pengusahaan air tanah pada cekungan air tanah lintas kabupaten/kota.
Penetapan dan pemberian izin penyediaan, peruntukan, penggunaan, dan pengusahaan air tanah.
Menjaga efektivitas, efisiensi, kualitas, dan ketertiban pelaksanaan pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional.
Menjaga efektivitas, efisiensi, kualitas, dan ketertiban pelaksanaan pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota.
Menjaga efektivitas, efisiensi, kualitas, dan ketertiban pelaksanaan pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota.
Pemberian bantuan teknis dalam pengelolaan sumber daya air kepada provinsi dan kabupaten/kota.
Pemberian bantuan teknis dalam pengelolaan sumber daya air kepada kabupaten/kota.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Fasilitasi penyelesaian sengketa antar provinsi dalam pengelolaan sumber daya air.
Fasilitasi penyelesaian sengketa antar kabupaten/kota dalam pengelolaan sumber daya air.
— 6. Pemberian izin pembangunan, pemanfaatan, pengubahan, dan/atau pembongkaran bangunan dan/atau saluran irigasi pada jaringan irigasi primer dan sekunder dalam daerah irigasi lintas provinsi, daerah irigasi lintas negara, dan daerah irigasi strategis nasional.
Pemberian izin pembangunan, pemanfaatan, pengubahan, dan/atau pembongkaran bangunan dan/atau saluran irigasi pada jaringan irigasi primer dan sekunder dalam daerah irigasi lintas kabupaten/kota.
Pemberian izin pembangunan, pemanfaatan, pengubahan, dan/atau pembongkaran bangunan dan/atau saluran irigasi pada jaringan irigasi primer dan sekunder dalam daerah irigasi yang berada dalam satu kabupaten/kota.
Pemberdayaan para pemilik kepentingan dalam pengelolaan sumber daya air tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota.
Pemberdayaan para pemilik kepentingan dalam pengelolaan sumber daya air tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
Pemberdayaan para pemilik kepentingan dalam pengelolaan sumber daya air tingkat kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 8. Pemberdayaan kelembagaan sumber daya air tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota.
Pemberdayaan kelembagaan sumber daya air tingkat provinsi dan kabupaten/ kota.
Pemberdayaan kelembagaan sumber daya air tingkat kabupaten/kota.
Pembangunan/ Pengelolaan 1. Konservasi sumber daya air pada wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional.
Konservasi sumber daya air pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota.
Konservasi sumber daya air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota.
Pendayagunaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas provinsi,wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional.
Pendayagunaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota.
Pendayagunaan sumber daya air pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota.
Pengendalian daya rusak air yang berdampak skala nasional.
Pengendalian daya rusak air yang berdampak skala provinsi.
Pengendalian daya rusak air yang berdampak skala kabupaten/kota.
Penyelenggaraan sistem informasi sumber daya air tingkat nasional.
Penyelenggaraan sistem informasi sumber daya air tingkat provinsi.
Penyelenggaraan sistem informasi sumber daya air tingkat kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Pembangunan dan peningkatan sistem irigasi primer dan sekunder pada daerah irigasi lintas provinsi, daerah irigasi lintas negara, dan daerah irigasi strategis nasional.
Pembangunan dan peningkatan sistem irigasi primer dan sekunder pada daerah irigasi lintas kabupaten/kota.
Pembangunan dan peningkatan sistem irigasi primer dan sekunder pada daerah irigasi dalam satu kabupaten/kota.
Operasi, pemeliharaan dan rehabilitasi sistem irigasi primer dan sekunder pada daerah irigasi yang luasnya lebih dari 3.000 ha atau pada daerah irigasi lintas provinsi, daerah irigasi lintas negara, dan daerah irigasi strategis nasional.
Operasi, pemeliharaan dan rehabilitasi sistem irigasi primer dan sekunder pada daerah irigasi yang luasnya 1.000 ha sampai dengan 3.000 ha atau pada daerah irigasi yang bersifat lintas kabupaten/kota.
Operasi, pemeliharaan dan rehabilitasi sistem irigasi primer dan sekunder pada daerah irigasi dalam satu kabupaten/kota yang luasnya kurang dari 1.000 ha.
Operasi, pemeliharaan dan rehabilitasi pada sungai, danau, waduk dan pantai pada wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara dan wilayah sungai strategis nasional.
Operasi, pemeliharaan dan rehabilitasi pada sungai, danau, waduk dan pantai pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota.
Operasi, pemeliharaan dan rehabilitasi pada sungai, danau, waduk dan pantai pada wilayah sungai dalam satu kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Pengawasan dan Pengendalian 1. Pengawasan pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai strategis nasional.
Pengawasan pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas kabupaten/kota.
Pengawasan pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai dalam kabupaten/kota.
Bina Marga 1. Pengaturan 1. Pengaturan jalan secara umum:
Pembentukan peraturan perundang-undangan sesuai dengan kewenangannya.
Perumusan kebijakan perencanaan.
Pengendalian penyelenggaraan jalan secara makro.
— a. — b. — c. — 1. — a. — b. — c. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA d. Penetapan norma, standar, prosedur dan kriteria pengaturan jalan.
Pengaturan jalan nasional:
— b.— d. — 2. Pengaturan jalan provinsi:
Perumusan kebijakan penyelenggaraan jalan provinsi berdasarkan kebijakan nasional di bidang jalan.
Penyusunan pedoman operasional penyelenggaraan jalan provinsi dengan memperhatikan keserasian antar wilayah provinsi.
— 2. Pengaturan jalan kabupaten/kota:
Perumusan kebijakan penyelenggaraan jalan kabupaten/desa dan jalan kota berdasarkan kebijakan nasional di bidang jalan dengan memperhatikan keserasian antar daerah dan antar kawasan.
Penyusunan pedoman operasional penyelenggaraan jalan kabupaten/desa dan jalan kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c.Penetapan fungsi jalan arteri dan jalan kolektor yang menghubungkan antar ibukota provinsi dalam sistem jaringan jalan primer.
Penetapan status jalan nasional.
Penyusunan perencanaan umum dan pembiayaan jaringan jalan nasional.
Penetapan fungsi jalan dalam sistem jaringan jalan sekunder dan jalan kolektor yang menghubungkan ibukota provinsi dengan ibukota kabupaten, antar ibukota kabupaten, jalan lokal, dan jalan lingkungan dalam sistem jaringan jalan primer.
Penetapan status jalan provinsi.
Penyusunan perencanaan umum dan pembiayaan jaringan jalan provinsi.
— d.Penetapan status jalan kabupaten/desa dan jalan kota.
Penyusunan perencanaan umum dan pembiayaan jaringan jalan kabupaten/desa dan jalan kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Pengaturan jalan tol:
Perumusan kebijakan perencanaan, penyusunan perencanaan umum, penetapan ruas jalan tol dan pembentukan peraturan perundang- undangan.
Pemberian rekomendasi tarif awal dan penyesuaiannya, serta pengambilalihan jalan tol pada akhir masa konsesi dan pemberian rekomendasi pengoperasian selanjutnya.
— a.— b.— 3. — a.— b.— 2. Pembinaan 1. Pembinaan jalan secara umum dan jalan nasional:
Pengembangan sistem bimbingan, penyuluhan serta pendidikan dan pelatihan di bidang jalan.
Pembinaan jalan provinsi:
— 1. Pembinaan jalan kabupaten/kota:
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Pemberian bimbingan, penyuluhan dan pelatihan para aparatur di bidang jalan.
Pengkajian serta penelitian dan pengembangan teknologi bidang jalan dan yang terkait.
Pemberian fasilitasi penyelesaian sengketa antar provinsi dalam penyelenggaraan jalan.
Penyusunan dan penetapan norma, standar, kriteria dan pedoman pembinaan jalan.
Pemberian bimbingan penyuluhan serta pendidikan dan pelatihan para aparatur penyelenggara jalan provinsi dan aparatur penyelenggara jalan kabupaten/kota.
Pengkajian serta penelitian dan pengembangan teknologi bidang jalan untuk jalan provinsi.
Pemberian fasilitasi penyelesaian sengketa antar kabupaten/kota dalam penyelenggaraan jalan.
— b. Pemberian bimbingan penyuluhan serta pendidikan dan pelatihan para aparatur penyelenggara jalan kabupaten/desa dan jalan kota.
— d. — e. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA f. — 2. Pengembangan teknologi terapan di bidang jalan untuk jalan kabupaten/kota.
Pembinaan jalan tol: Penyusunan pedoman dan standar teknis, pelayanan, pemberdayaan serta penelitian dan pengembangan.
— 2. Pengembangan teknologi terapan di bidang jalan untuk jalan kabupaten/desa dan jalan kota.
— f. Pemberian izin, rekomendasi, dispensasi dan pertimbangan pemanfaatan ruang manfaat jalan, ruang milik jalan, dan ruang pengawasan jalan.
Pengembangan teknologi terapan di bidang jalan untuk jalan kabupaten/desa dan jalan kota.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Pembangunan dan Pengusahaan 1. Pembangunan jalan nasional:
Pembiayaan pembangunan jalan nasional.
Perencanaan teknis, pemrograman dan penganggaran, pengadaan lahan, serta pelaksanaan konstruksi jalan nasional.
Pengoperasian dan pemeliharaan jalan nasional.
Pengembangan dan pengelolaan sistem manajemen jalan nasional.
Pembangunan jalan provinsi:
Pembiayaan pembangunan jalan provinsi.
Perencanaan teknis, pemrograman dan penganggaran, pengadaan lahan, serta pelaksanaan konstruksi jalan provinsi.
Pengoperasian dan pemeliharaan jalan provinsi.
Pengembangan dan pengelolaan sistem manajemen jalan provinsi.
Pembangunan jalan kabupaten/kota:
Pembiayaan pembangunan jalan kabupaten/desa dan jalan kota.
Perencanaan teknis, pemrograman dan penganggaran, pengadaan lahan, serta pelaksanaan konstruksi jalan kabupaten/desa dan jalan kota.
Pengoperasian dan pemeliharaan jalan kabupaten/desa dan jalan kota.
Pengembangan dan pengelolaan manajemen jalan kabupaten desa dan jalan kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pengusahaan jalan tol:
Pengaturan pengusahaan jalan tol meliputi kegiatan pendanaan, perencanaan teknis, pelaksanaan konstruksi, pengoperasian, dan/atau pemeliharaan.
Persiapan pengusahaan jalan tol, pengadaan investasi dan pemberian fasilitas pembebasan tanah.
— a. — b. — 2. — a. — b. — 4. Pengawasan 1. Pengawasan jalan secara umum:
Evaluasi dan pengkajian pelaksanaan kebijakan penyelengaraan jalan.
— a. — 1. — a. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Pengendalian fungsi dan manfaat hasil pembangunan jalan.
Pengawasan jalan nasional:
Evaluasi kinerja penyelenggaraan jalan nasional.
Pengendalian fungsi dan manfaat hasil pembangunan jalan nasional.
Pengawasan jalan tol:
Pemantauan dan evaluasi pengaturan dan pembinaan jalan tol.
— 2. Pengawasan jalan provinsi:
Evaluasi kinerja penyelenggaraan jalan provinsi.
Pengendalian fungsi dan manfaat hasil pembangunan jalan provinsi.
— a. — b. — 2. Pengawasan jalan kabupaten/kota:
Evaluasi kinerja penyelenggaraan jalan kabupaten/desa dan jalan kota.
Pengendalian fungsi dan manfaat hasil pembangunan jalan kabupaten/desa dan jalan kota.
— a. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Pemantauan dan evaluasi pengusahaan jalan tol dan terhadap pelayanan jalan tol.
— b. — 1. Pengaturan 1. Penetapan kebijakan dan strategi nasional pembangunan perkotaan dan perdesaan .
Penetapan kebijakan dan strategi wilayah provinsi dalam pembangunan perkotaan dan perdesaan (mengacu kebijakan nasional).
Penetapan kebijakan dan strategi pembangunan perkotaan dan perdesaan wilayah kabupaten/kota (mengacu kebijakan nasional dan provinsi).
Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengembangan perkotaan dan perdesaan.
Penetapan peraturan daerah provinsi mengenai pengembangan perkotaan dan perdesaan mengacu NSPK nasional.
Penetapan peraturan daerah kabupaten/kota mengenai pengembangan perkotaan dan perdesaan berdasarkan NSPK.
Perkotaan dan Perdesaan 2. Pembinaan 1. Fasilitasi peningkatan kapasitas manajemen pembangunan dan pengelolaan Prasarana dan Sarana (PS) perkotaan dan pedesaan tingkat nasional.
Fasilitasi peningkatan kapasitas manajemen pembangunan dan pengelolaan PS perkotaan dan pedesaan tingkat provinsi.
Fasilitasi peningkatan kapasitas manajemen pembangunan dan pengelolaan PS perkotaan dan pedesaan tingkat kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Fasilitasi pemberdayaan masyarakat dan dunia usaha dalam pembangunan perkotaan dan perdesaan secara nasional.
Fasilitasi pemberdayaan masyarakat dan dunia usaha dalam pembangunan perkotaan dan perdesaan di wilayah provinsi.
Pemberdayaan masyarakat dan dunia usaha dalam pembangunan perkotaan dan perdesaan di wilayah kabupaten/kota.
Pembangunan 1. Fasilitasi perencanaan program pembangunan sarana dan prasarana perkotaan dan perdesaan jangka panjang dan jangka menengah.
Fasilitasi kerjasama/kemitraan tingkat nasional antara pemerintah/daerah dalam pengelolaan dan pembangunan sarana dan prasarana perkotaan dan perdesaan.
Fasilitasi penyiapan program pembangunan sarana dan prasarana perkotaan dan perdesaan jangka panjang dan jangka menengah kota/kabupaten di wilayah.
Fasilitasi kerjasama/ kemitraan antara pemerintah/daerah dalam pengelolaan dan pembangunan sarana dan prasarana perkotaan dan perdesaan di lingkungan provinsi.
Penyiapan program pembangunan sarana dan prasarana perkotaan dan perdesaan jangka panjang dan jangka menengah kabupaten/kota dengan mengacu pada RPJP dan RPJM nasional dan provinsi.
Penyelenggaraan kerjasama/ kemitraan antara pemerintah daerah/dunia usaha/ masyarakat dalam pengelolaan dan pembangunan sarana dan prasarana perkotaan dan perdesaan di lingkungan kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penyelenggaraan pembangunan PS perkotaan dan perdesaan di kawasan strategis nasional.
— 3. Penyelenggaraan pembangunan PS perkotaan dan perdesaan lintas kabupaten/kota di lingkungan wilayah provinsi.
Fasilitasi pembentukan lembaga/badan pengelola pembangunan perkotaan dan perdesaan lintas kabupaten/kota.
Penyelenggaraan pembangunan PS perkotaan dan perdesaan di wilayah kabupaten/kota 4. Pembentukan lembaga/badan pengelola pembangunan perkotaan dan perdesaan di kabupaten/kota.
Pengawasan dan pengendalian program pembangunan dan pengelolaan kawasan perkotaan dan perdesaan secara nasional.
Pengawasan dan pengendalian terhadap pembangunan dan pengelolaan kawasan perkotaan dan perdesaan di provinsi.
Pengawasan dan pengendalian terhadap pelaksanaan pembangunan dan pengelolaan kawasan perkotaan dan perdesaan di kabupaten/kota.
Pengawasan 2. Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK. 2. Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK 2. Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Air Minum 1. Pengaturan 1. Penetapan kebijakan dan strategi nasional pengembangan pelayanan air minum.
Penetapan peraturan daerah provinsi mengenai kebijakan dan strategi pengembangan air minum lintas kabupaten/kota di wilayahnya.
Penetapan peraturan daerah kabupaten/kota mengenai kebijakan dan strategi pengembangan air minum di daerah kabupaten/kota.
Pembentukan Badan Pendukung Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (BPP-SPAM).
— 2. — 3. Penetapan BUMN penyelenggara SPAM lintas provinsi.
Penetapan BUMD provinsi sebagai penyelenggara SPAM lintas kabupaten/kota.
Penetapan BUMD sebagai penyelenggara SPAM di kabupaten/kota.
Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria pelayanan PS air minum secara nasional termasuk penetapan Standar Pelayanan Minimal (SPM).
Penetapan peraturan daerah NSPK pelayanan PS air minum berdasarkan SPM yang disusun pemerintah.
Penetapan peraturan daerah NSPK pelayanan PS air minum berdasarkan SPM yang disusun pemerintah dan provinsi. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Memberikan izin penyelenggaraan pelayanan PS air minum lintas provinsi.
Memberikan izin penyelenggaraan untuk lintas kabupaten/kota.
Memberikan izin penyelenggaraan pengembangan SPAM di wilayahnya.
Penentuan alokasi air baku untuk kebutuhan pengembangan SPAM.
— 6. — 2. Pembinaan 1. Fasilitasi penyelesaian masalah dan permasalahan antar provinsi, yang bersifat khusus, strategis, baik yang bersifat nasional maupun internasional.
Penyelesaian masalah dan permasalahan yang bersifat lintas kabupaten/kota.
Penyelesaian masalah dan permasalahannya di dalam wilayah kabupaten/kota.
Fasilitasi peningkatan kapasitas teknis dan manajemen pelayanan air minum secara nasional.
Peningkatan kapasitas teknis dan manajemen pelayanan air minum di lingkungan wilayah provinsi.
Peningkatan kapasitas teknis dan manajemen pelayanan air minum di wilayah kabupaten/kota termasuk kepada Badan Pengusahaan Pelayanan (operator) BUMD. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penetapan standar kompetensi teknis SDM untuk kelompok ahli dan terampil bidang air minum.
— 3. — 3. Pembangunan 1. Fasilitasi pemenuhan kebutuhan air baku untuk kebutuhan pengembangan SPAM secara nasional.
Penetapan kebutuhan air baku untuk kebutuhan pengembangan SPAM di lingkungan wilayah provinsi.
Penetapan pemenuhan kebutuhan air baku untuk kebutuhan pengembangan SPAM di wilayah kabupaten/kota.
— 2. — 2. Pengembangan SPAM di wilayah kabupaten/kota untuk pemenuhan SPM.
Fasilitasi penyelenggaraan bantuan teknis penyelenggaraan pengembangan SPAM secara nasional.
Fasilitasi penyelenggaraan (bantuan teknis) penyelenggaraan pengembangan SPAM di wilayah provinsi.
Fasilitasi penyelenggaraan (bantuan teknis) kepada kecamatan, pemerintah desa, serta kelompok masyarakat di wilayahnya dalam penyelenggaraan pengembangan SPAM. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Penyusunan rencana induk pengembangan SPAM wilayah pelayanan lintas provinsi.
Penyusunan rencana induk pengembangan SPAM wilayah pelayanan lintas kabupaten/kota setelah berkoordinasi dengan daerah kabupaten/kota.
Penyusunan rencana induk pengembangan SPAM wilayah administrasi kabupaten/kota.
Fasilitasi penyediaan prasarana dan sarana air minum dalam rangka kepentingan strategis nasional.
Penyediaan PS air minum untuk daerah bencana dan daerah rawan air skala provinsi.
Penyediaan PS air minum untuk daerah bencana dan daerah rawan air skala kabupaten/kota.
Penanganan bencana alam tingkat nasional. 6. Penanganan bencana alam tingkat provinsi 6. Penanganan bencana alam tingkat kabupaten/kota.
Pengawasan 1. Pengawasan terhadap seluruh tahapan penyelenggaraan pengembangan SPAM secara nasional.
Pengawasan terhadap seluruh tahapan penyelenggaraan pengembangan SPAM yang berada di wilayah provinsi.
Pengawasan terhadap seluruh tahapan penyelenggaraan pengembangan SPAM yang berada di wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Evaluasi kinerja pelayanan penyelenggaraan pengembangan SPAM secara nasional.
Evaluasi kinerja pelayanan air minum di lingkungan wilayah provinsi.
Evaluasi terhadap penyelenggaraan pengembangan SPAM yang utuh di wilayahnya.
Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK.
Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK.
Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK.
Pengaturan 1. Penetapan kebijakan dan strategi nasional pengembangan PS air limbah.
Penetapan peraturan daerah kebijakan pengembangan PS air limbah di wilayah provinsi mengacu pada kebijakan nasional.
Penetapan peraturan daerah kebijakan pengembangan PS air limbah di wilayah kabupaten/kota mengacu pada kebijakan nasional dan provinsi.
Air Limbah 2. Pembentukan lembaga penyelenggara pelayanan PS air limbah lintas provinsi.
Pembentukan lembaga tingkat provinsi sebagai penyelenggara PS air limbah di wilayah provinsi.
Pembentukan lembaga tingkat kabupaten/kota sebagai penyelenggara PS air limbah di wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria pelayanan PS air limbah secara nasional termasuk SPM.
Penetapan peraturan daerah NSPK berdasarkan SPM yang ditetapkan oleh pemerintah.
Penetapan peraturan daerah berdasarkan NSPK yang ditetapkan oleh pemerintah dan provinsi.
Memberikan izin penyelenggaraan PS air limbah yang bersifat lintas provinsi.
Memberikan izin penyelenggaraan PS air limbah lintas kabupaten/kota.
Memberikan izin penyelenggaraan PS air limbah di wilayah kabupaten/kota.
Penetapan standar kompetensi teknis SDM untuk kelompok ahli dan terampil bidang air limbah.
— 5. — 2. Pembinaan 1. Fasilitasi penyelesaian permasalahan antar provinsi yang bersifat khusus, strategis baik yang bersifat nasional maupun internasional.
Fasilitasi penyelesaian masalah yang bersifat lintas kabupaten/kota.
Penyelesaian masalah pelayanan di lingkungan kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Fasilitasi peran serta dunia usaha tingkat nasional dalam penyelenggaraan pengembangan PS air limbah.
Fasilitasi peran serta dunia usaha dan masyarakat dalam penyelenggaraan pengembangan PS air limbah kabupaten/kota.
Pelaksanaan kerjasama dengan dunia usaha dan masyarakat dalam penyelenggaraan pengembangan PS air limbah kabupaten/kota.
Fasilitasi penyelenggaraan (bantek) pengembangan PS air limbah.
Fasilitasi penyelenggaraan (bantek) pengembangan PS air limbah lintas kabupaten/kota.
Penyelenggaraan (bantek) pada kecamatan, pemerintah desa, serta kelompok masyarakat di wilayahnya dalam penyelenggaraan PS air limbah.
Pembangunan 1. Fasilitasi pengembangan PS air limbah skala kota untuk kota-kota metropolitan dan kota besar dalam rangka kepentingan strategis nasional.
Fasilitasi pengembangan PS air limbah lintas kabupaten/kota di wilayah provinsi.
Penyelenggaraan pembangunan PS air limbah untuk daerah kabupaten/kota dalam rangka memenuhi SPM. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Penyusunan rencana induk pengembangan PS air limbah lintas provinsi.
Penyusunan rencana induk pengembangan PS air limbah lintas kabupaten/kota.
Penyusunan rencana induk pengembangan PS air limbah kabupaten/kota.
Penanganan bencana alam tingkat nasional. 3. Penanganan bencana alam tingkat provinsi. 3. Penanganan bencana alam tingkat lokal (kabupaten/kota).
Pengawasan 1. Pengendalian dan pengawasan atas penyelenggaraan pengembangan PS air limbah.
Melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan PS air limbah di wilayahnya.
Monitoring penyelenggaraan PS air limbah di kabupaten/kota.
Evaluasi atas kinerja pengelolaan PS air limbah secara nasional.
Evaluasi atas kinerja pengelolaan PS air limbah di wilayah provinsi lintas kabupaten/kota.
Evaluasi terhadap penyelenggaraan pengembangan air limbah di kabupaten/kota.
Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK.
Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK.
Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan SPM. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Pengaturan 1. Penetapan kebijakan dan strategi nasional pengembangan PS persampahan.
Penetapan peraturan daerah kebijakan pengembangan PS persampahan lintas kabupaten/kota di wilayah provinsi mengacu pada kebijakan nasional.
Penetapan peraturan daerah kebijakan pengembangan PS persampahan di kabupaten/kota mengacu pada kebijakan nasional dan provinsi.
Penetapan lembaga tingkat nasional penyelenggara pengelolaan persampahan (bila diperlukan).
Penetapan lembaga tingkat provinsi penyelenggara pengelolaan persampahan lintas kabupaten/kota di wilayah provinsi.
Penetapan lembaga tingkat kabupaten/kota penyelenggara pengelolaan persampahan di wilayah kabupaten/kota.
Penetapan NSPK pengelolaan persampahan secara nasional termasuk SPM.
Penetapan peraturan daerah NSPK pengelolaan persampahan mengacu kepada SPM yang ditetapkan oleh pemerintah.
Penetapan peraturan daerah berdasarkan NSPK yang ditetapkan oleh pemerintah dan provinsi.
Persampahan 4. Memberikan izin penyelenggara pengelolaan persampahan lintas provinsi.
Memberikan izin penyelenggara pengelolaan persampahan lintas kabupaten/kota.
Pelayanan perizinan dan pengelolaan persampahan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pembinaan 1. Fasilitasi penyelesaian masalah dan permasalahan antar provinsi.
Fasilitasi penyelesaian masalah dan permasalahan antar kabupaten/kota.
— 2. Peningkatan kapasitas manajemen dan fasilitasi kerjasama pemda/dunia usaha dan masyarakat dalam penyelenggaraan pengembangan PS persampahan.
Peningkatan kapasitas manajemen dan fasilitasi kerjasama pemda/dunia usaha dan masyarakat dalam penyelenggaraan pengembangan PS persampahan lintas kabupaten/kota.
Peningkatan kapasitas manajemen dan fasilitasi kerjasama dunia usaha dan masyarakat dalam penyelenggaraan pengembangan PS persampahan kabupaten/kota.
Fasilitasi bantuan teknis penyelenggaraan pengembangan PS persampahan.
Memberikan bantuan teknis dan pembinaan lintas kabupaten/kota.
Memberikan bantuan teknis kepada kecamatan, pemerintah desa, serta kelompok masyarakat di kabupaten/kota.
Pembangunan 1. Fasilitasi penyelenggaraan dan pembiayaan pembangunan PS persampahan secara nasional (lintas provinsi).
Fasilitasi penyelenggaraan dan pembiayaan pembangunan PS persampahan secara nasional di wilayah provinsi.
Penyelengaraan dan pembiayaan pembangunan PS persampahan di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Penyusunan rencana induk pengembangan PS persampahan lintas provinsi.
Penyusunan rencana induk pengembangan PS persampahan lintas kabupaten/kota.
Penyusunan rencana induk pengembangan PS persampahan kabupaten/kota.
Pengawasan 1. Pengawasan dan pengendalian pengembangan persampahan secara nasional.
Pengawasan dan pengendalian pengembangan persampahan di wilayah provinsi.
Pengawasan terhadap seluruh tahapan pengembangan persampahan di wilayah kabupaten/kota.
Evaluasi kinerja penyelenggaraan PS persampahan secara nasional.
Evaluasi kinerja penyelenggaraan yang bersifat lintas kabupaten/kota.
Evaluasi kinerja penyelenggaraan di wilayah kabupaten/kota.
Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK.
Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK.
Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Pengaturan 1. Penetapan kebijakan dan strategi nasional dalam penyelenggaraan drainase dan pematusan genangan.
Penetapan peraturan daerah kebijakan dan strategi provinsi berdasarkan kebijakan dan strategi nasional.
Penetapan peraturan daerah kebijakan dan strategi kabupaten/kota berdasarkan kebijakan nasional dan provinsi.
Penetapan NSPK penyelenggaraan drainase dan pematusan genangan.
Penetapan peraturan daerah NSPK provinsi berdasarkan SPM yang ditetapkan oleh pemerintah di wilayah provinsi.
Penetapan peraturan daerah NSPK drainase dan pematusan genangan di wilayah kabupaten/kota berdasarkan SPM yang disusun pemerintah pusat dan provinsi.
Pembinaan 1. Fasilitasi bantuan teknis pembangunan, pemeliharaan dan pengelolaan drainase.
Bantuan teknis pembangunan, pemeliharaan dan pengelolaan).
— 7. Drainase 2. Peningkatan kapasitas teknik dan manajemen penyelenggara drainase dan pematusan genangan secara nasional.
Peningkatan kapasitas teknik dan manajemen penyelenggara drainase dan pematusan genangan di wilayah provinsi.
Peningkatan kapasitas teknik dan manajemen penyelenggara drainase dan pematusan genangan di wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Pembangunan 1. Fasilitasi penyelesaian masalah dan permasalahan operasionalisasi sistem drainase dan penanggulangan banjir lintas provinsi.
Fasilitasi penyelesaian masalah dan permasalahan operasionalisasi sistem drainase dan penanggulangan banjir lintas kabupaten/kota.
Penyelesaian masalah dan permasalahan operasionalisasi sistem drainase dan penanggulangan banjir di wilayah kabupaten/kota serta koordinasi dengan daerah sekitarnya.
Fasilitasi penyelenggaraan pembangunan dan pemeliharaan PS drainase dan pengendalian banjir di kawasan khusus dan strategis nasional.
Fasilitasi penyelenggaraan pembangunan dan pemeliharaan PS drainase di wilayah provinsi.
Penyelenggaraan pembangunan dan pemeliharaan PS drainase di wilayah kabupaten/kota.
Fasilitasi penyusunan rencana induk penyelenggaraan prasarana sarana drainase dan pengendalian banjir skala nasional.
Penyusunan rencana induk PS drainase skala regional/lintas daerah.
Penyusunan rencana induk PS drainase skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Pengawasan 1. Evaluasi kinerja penyelenggaraan sistem drainase dan pengendali banjir secara nasional.
Evaluasi di provinsi terhadap penyelenggaraan sistem drainase dan pengendali banjir di wilayah provinsi.
Evaluasi terhadap penyelenggaraan sistem drainase dan pengendali banjir di wilayah kabupaten/kota.
Pengawasan dan pengendalian penyelenggaraan drainase dan pengendalian banjir secara lintas provinsi.
Pengawasan dan pengendalian penyelenggaraan drainase dan pengendalian banjir lintas kabupaten/kota.
Pengawasan dan pengendalian penyelenggaraan drainase dan pengendalian banjir di kabupaten/kota.
Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK.
Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK.
Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 8. Permukiman 1. Kawasan Siap Bangun (Kasiba) dan Lingkungan Siap Bangun (Lisiba) yang berdiri sendiri:
Pengaturan 1. Penetapan kebijakan teknis Kasiba dan Lisiba nasional. 1. Penetapan peraturan daerah kebijakan dan strategi Kasiba/Lisiba di wilayah provinsi.
Penetapan peraturan daerah kebijakan dan strategi Kasiba/Lisiba di wilayah kabupaten/kota.
Penyusunan NSPK Kasiba dan Lisiba secara nasional. 2. Penetapan Peraturan Daerah NSPK Kasiba dan Lisiba di wilayah provinsi.
Penetapan Peraturan Daerah NSPK Kasiba dan Lisiba di wilayah kabupaten/kota.
Pembinaan 1. Fasilitasi peningkatan kapasitas daerah dalam pembangunan Kasiba dan Lisiba.
Fasilitasi peningkatan kapasitas manajemen dalam pembangunan Kasiba dan Lisiba.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Fasilitasi penyelesaian masalah Kasiba/Lisiba yang terkait dengan pelaksanaan kebijakan nasional.
Fasilitasi penyelesaian pembangunan Kasiba/Lisiba antar kabupaten/kota.
— c.Pembangunan 1. Fasilitasi penyelenggaraan pembangunan Kasiba/Lisiba strategis nasional.
Fasilitasi penyelenggaraan pembangunan Kasiba/Lisiba lintas kabupaten/kota.
Penyelenggaraan pembangunan Kasiba/Lisiba di kabupaten/kota.
Fasilitasi kerjasama swasta, masyarakat tingkat nasional dalam pembangunan Kasiba/Lisiba.
Fasilitasi kerjasama swasta, masyarakat tingkat nasional dalam pembangunan Kasiba/Lisiba lintas kabupaten/kota.
Pelaksanaan kerjasama swasta, masyarakat tingkat nasional dalam pembangunan Kasiba/Lisiba.
— 3. Penetapan izin lokasi Kasiba/Lisiba lintas kabupaten/kota.
Penetapan izin lokasi Kasiba/Lisiba di kabupaten/kota.
Pengawasan 1. Pengawasan dan pengendalian kebijakan nasional penyelenggaraan Kasiba dan Lisiba.
Pengawasan pelaksanaan kelayakan program Kasiba dan Lisiba di provinsi.
Pengawasan dan pengendalian penyelenggaraan Kasiba dan Lisiba di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Evaluasi kebijakan nasional penyelenggaraan pembangunan Kasiba dan Lisiba.
Evaluasi penyelenggaraan pembangunan Kasiba dan Lisiba di provinsi.
Evaluasi penyelenggaraan pembangunan Kasiba dan Lisiba di kabupaten/kota.
Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK.
Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK di provinsi.
Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK di kabupaten/kota.
Permukiman Kumuh/ Nelayan:
Pengaturan 1. Penetapan kebijakan nasional tentang penanggulangan permukiman kumuh perkotaan dan nelayan.
— 1. Penetapan peraturan daerah kebijakan dan strategi penanggulangan permukiman kumuh/nelayan di wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Penyusunan NSPK kawasan permukiman. 2. — 2. Penetapan peraturan daerah tentang pencegahan timbulnya permukiman kumuh di wilayah kabupaten/kota.
Pembinaan 1. Fasilitasi peningkatan kapasitas daerah dalam pembangunan dalam penanganan permukiman kumuh secara nasional. (bantuan teknis) 1. Fasilitasi peningkatan kapasitas manajemen dalam penanganan permukiman kumuh di wilayah provinsi.
— c. Pembangunan 1. Fasilitasi program penanganan permukiman kumuh bagi lokasi yang strategis secara nasional.
Fasilitasi penyelenggaraan penanganan permukiman kumuh di wilayahnya.
Penyelenggaraan penanganan kawasan kumuh perkotaan di kabupaten/kota.
Fasilitasi dan bantuan teknis untuk peremajaan/perbaikan permukiman kumuh/nelayan dengan Rumah Susun Sewa (RUSUNAWA).
Fasilitasi peremajaan/ perbaikan permukiman kumuh/nelayan.
Pengelolaan peremajaan/ perbaikan permukiman kumuh/nelayan dengan rusunawa. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA d. Pengawasan 1. Melaksanakan pengawasan dan pengendalian penanganan permukiman kumuh nasional.
— 1. Melaksanakan pengawasan dan pengendalian permukiman kumuh di wilayah kabupaten/kota.
Evaluasi kebijakan nasional penanganan permukiman kumuh.
Monitoring evaluasi pelaksanaan program penanganan permukiman kumuh di wilayahnya.
Evaluasi pelaksanaan program penanganan permukiman kumuh di kabupaten/kota.
Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK .
Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK di provinsi.
Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK di kabupaten/kota.
Pembangunan Kawasan a.Pengaturan 1. Penetapan kebijakan pembangunan kawasan strategis nasional.
— 1. Penetapan peraturan daerah kebijakan dan strategi pembangunan kawasan di wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Penyusunan NSPK pembangunan kawasan strategis nasional.
— 2. Penetapan peraturan daerah NSPK pembangunan kawasan di wilayah kabupaten/kota.
Pembinaan 1. Fasilitasi peningkatan kapasitas daerah dalam pembangunan kawasan strategis nasional.
— 1. — 2. Fasilitasi penyelesaian masalah pembangunan kawasan yang terkait dengan pelaksanaan kebijakan nasional.
Fasilitasi penyelesaian masalah pembangunan kawasan di wilayah provinsi.
— c.Pembangunan 1. Fasilitasi penyelenggaraan pembangunan kawasan strategis nasional.
— 1. Penyelenggaraan pembangunan kawasan strategis nasional.
Pengawasan 1. Pengawasan dan pengendalian pembangunan kawasan strategis nasional.
Pengawasan dan pengendalian pembangunan kawasan di wilayah provinsi.
Melaksanakan pengawasan dan pengendalian pembangunan kawasan di wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Evaluasi kebijakan nasional program pembangunan kawasan nasional.
Evaluasi pelaksanaan program pembangunan kawasan di provinsi.
Evaluasi pelaksanaan program pembangunan kawasan di kabupaten/kota.
Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK.
Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK di provinsi.
Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan NSPK di kabupaten/kota.
Pengaturan 1. Penetapan peraturan perundang-undangan, norma, standar, prosedur dan kriteria/bangunan gedung dan lingkungan 1. Penetapan peraturan daerah Provinsi, mengenai bangunan gedung dan lingkungan mengacu pada norma, standar, prosedur dan kriteria nasional.
Penetapan peraturan daerah kabupaten/kota, mengenai bangunan gedung dan lingkungan mengacu pada norma, standar, prosedur dan kriteria nasional.
Bangunan Gedung dan Lingkungan 2. Penetapan kebijakan dan strategi nasional bangunan gedung dan lingkungan.
Penetapan kebijakan dan strategi wilayah provinsi mengenai bangunan gedung dan lingkungan.
Penetapan kebijakan dan strategi kabupaten/kota mengenai bangunan gedung dan lingkungan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penetapan kebijakan pembangunan dan pengelolaan gedung dan rumah negara.
— 3. Penetapan kelembagaan bangunan gedung di kabupaten/kota.
Penyelenggaraan IMB gedung fungsi khusus. 4. — 4. Penyelenggaraan IMB gedung.
— 5. — 5. Pendataan bangunan gedung.
— 6. — 6. Penetapan persyaratan administrasi dan teknis untuk bangunan gedung adat, semi permanen, darurat, dan bangunan gedung yang dibangun di lokasi bencana.
— 7. — 7. Penyusunan dan penetapan Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL). SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pembinaan 1. Pemberdayaan kepada pemerintah daerah dan penyelenggara bangunan gedung dan lingkungannya.
Pemberdayaan kepada pemerintah daerah dan penyelenggara bangunan gedung dan lingkungannya.
Pemberdayaan kepada masyarakat dalam penyelenggaraan bangunan gedung dan lingkungannya.
Fasilitasi peningkatan kapasitas manajemen dan teknis Pemerintah daerah untuk bangunan gedung dan lingkungan.
Fasilitasi penyelenggaraan bangunan gedung dan lingkungan.
Pemberdayaan masyarakat dalam penyelenggaraan bangunan gedung dan lingkungan.
Pembangunan 1. Fasilitasi bantuan teknis penyelenggaraan bangunan gedung dan lingkungan.
Penyelenggaraan model bangunan gedung dan lingkungan.
Penyelenggaraan bangunan gedung dan lingkungan dengan berbasis pemberdayaan masyarakat.
Pembangunan dan pengelolaan bangunan gedung dan rumah negara yang menjadi aset pemerintah.
Pembangunan dan pengelolaan bangunan gedung dan rumah negara yang menjadi aset pemerintah provinsi.
Pembangunan dan pengelolaan bangunan gedung dan rumah negara yang menjadi aset pemerintah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penetapan status bangunan gedung dan lingkungan yang dilindungi dan dilestarikan yang berskala nasional atau internasional.
Penetapan status bangunan gedung dan lingkungan yang dilindungi dan dilestarikan yang berskala provinsi atau lintas kabupaten/kota.
Penetapan status bangunan gedung dan lingkungan yang dilindungi dan dilestarikan yang berskala lokal.
Pengawasan 1. Pengawasan secara nasional terhadap pelaksanaan peraturan perundang- undangan, pedoman, dan standar teknis bangunan gedung dan lingkungannya, serta gedung dan rumah negara.
Pengawasan secara regional terhadap pelaksanaan peraturan perundang- undangan, pedoman dan standar teknis bangunan gedung dan lingkungannya gedung dan rumah negara.
Pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan, pedoman dan standar teknis dalam penyelenggaraan bangunan gedung dan lingkungannya.
Pengawasan dan penertiban pembangunan dan pemanfaatan bangunan gedung fungsi khusus.
— 2. Pengawasan dan penertiban pembangunan, pemanfaatan, dan pembongkaran bangunan gedung.
Pengawasan dan penertiban pelestarian bangunan gedung dan lingkungan yang 3. Pengawasan dan penertiban pelestarian bangunan gedung dan lingkungan yang 3. Pengawasan dan penertiban pelestarian bangunan gedung dan lingkungan yang SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA dilindungi dan dilestarikan yang berskala nasional atau internasional. dilindungi dan dilestarikan yang berskala provinsi atau lintas kabupaten/kota. dilindungi dan dilestarikan yang berskala lokal.
Jasa Konstruksi 1. Pengaturan 1. Penetapan dan penerapan kebijakan nasional pengembangan usaha, termasuk upaya mendorong kemitraan fungsional sinergis.
Fasilitasi untuk mendapatkan dukungan lembaga keuangan dalam memberikan prioritas pelayanan, kemudahan dan akses untuk memperoleh pendanaan.
Penetapan dan penerapan kebijakan nasional pengembangan penyelenggaraan konstruksi.
Fasilitasi untuk mendapatkan dukungan lembaga pertanggungan dalam memberikan prioritas, 1. Pelaksanaan kebijakan pembinaan jasa konstruksi yang telah ditetapkan.
— 3. — 4. — 1. Pelaksanaan kebijakan pembinaan jasa konstruksi yang telah ditetapkan.
— 3. — 4. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA pelayanan, kemudahan dan akses untuk memperoleh jaminan pertanggungan resiko.
Penetapan dan penerapan kebijakan nasional pengembangan keahlian dan teknik konstruksi.
Penetapan dan penerapan kebijakan nasional pengembangan SDM bidang konstruksi.
— 6. — 5. — 6. — 2. Pemberdayaan 1. Pemberdayaan Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) Nasional serta asosiasi badan usaha dan profesi tingkat nasional.
Peningkatan kemampuan teknologi, sistem informasi, penelitian dan 1. Pengembangan sistem informasi jasa konstruksi dalam wilayah provinsi yang bersangkutan.
Penelitian dan pengembangan jasa konstruksi dalam wilayah 1. Pengembangan sistem informasi jasa konstruksi dalam wilayah kabupaten/kota yang bersangkutan.
Penelitian dan pengembangan jasa konstruksi dalam wilayah SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA pengembangan teknologi bidang konstruksi.
Pemberdayaan penerapan keahlian dan teknik konstruksi kepada LPJK nasional serta asosiasi profesi tingkat nasional.
Perintisan penyelenggaraan pelatihan tenaga terampil konstruksi sebagai model.
Fasilitasi proses sertifikasi tenaga terampil konstruksi.
— provinsi yang bersangkutan.
Pengembangan sumber daya manusia bidang jasa konstruksi di tingkat provinsi.
Peningkatan kemampuan teknologi jasa konstruksi dalam wilayah provinsi yang bersangkutan.
Pelaksanaan pelatihan, bimbingan teknis dan penyuluhan dalam wilayah provinsi.
Pelaksanaan pemberdayaan terhadap LPJK daerah dan asosiasi di provinsi yang bersangkutan. kabupaten/kota yang bersangkutan.
Pengembangan sumber daya manusia bidang jasa konstruksi di tingkat kabupaten/kota.
Peningkatan kemampuan teknologi jasa konstruksi dalam wilayah kabupaten/kota yang bersangkutan 5. Melaksanakan pelatihan, bimbingan teknis dan penyuluhan dalam wilayah kabupaten/kota.
Penerbitan perizinan usaha jasa konstruksi. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Pengawasan 1. Pengawasan guna tertib usaha mengenai persyaratan perizinan dan ketentuan ketenagakerjaan.
Pengawasan terhadap LPJK- Nasional serta asosiasi badan usaha dan profesi tingkat nasional.
Pengawasan guna tertib penyelenggaraan dan tertib pemanfaatan pekerjaan konstruksi (ketentuan keteknikan, K3, keselamatan umum,lingkungan, tata ruang, tata bangunan dan ketentuan lainnya yang berkaitan dengan penyelenggaraan konstruksi).
Pengawasan tata lingkungan yang bersifat lintas kabupaten/kota.
Pengawasan sesuai kewenangannya untuk terpenuhinya tertib penyelenggaraan pekerjaan konstruksi.
Pengawasan terhadap LPJK daerah dan asosiasi di provinsi yang bersangkutan.
Pengawasan tata lingkungan dalam wilayah kabupaten/kota yang bersangkutan.
Pengawasan sesuai kewenangannya untuk terpenuhinya tertib penyelenggaraan pekerjaan konstruksi.
— D. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG PERUMAHAN SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Pembiayaan 1. Pembangunan Baru 1. Penetapan kebijakan, strategi, dan program nasional di bidang pembiayaan perumahan.
Penetapan kebijakan, strategi, dan program provinsi di bidang pembiayaan perumahan.
Penetapan kebijakan, strategi, dan program kabupaten/kota di bidang pembiayaan perumahan.
Penyusunan norma, standar, pedoman, dan manual (NSPM) nasional bidang pembiayaan perumahan.
Penyusunan NSPM provinsi bidang pembiayaan perumahan.
Penyusunan NSPM kabupaten/kota bidang pembiayaan perumahan.
Pengembangan sistem pembiayaan dan instrumen pembiayaan.
Koordinasi penyelenggaraan dan mendorong terciptanya pengaturan instrumen pembiayaan dalam rangka penerapan sistem pembiayaan perumahan.
Pelaksanaan, penerapan dan penyesuaian pengaturan instrumen pembiayaan dalam rangka penerapan sistem pembiayaan.
Fasilitasi bantuan teknis bidang pembiayaan perumahan kepada para pelaku di tingkat nasional.
Fasilitasi bantuan teknis bidang pembiayaan perumahan kepada para pelaku di tingkat provinsi.
Fasilitasi bantuan teknis bidang pembiayaan perumahan kepada para pelaku di tingkat kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Pemberdayaan pelaku pasar dan pasar perumahan di tingkat nasional.
Pemberdayaan pelaku pasar dan pasar perumahan di tingkat provinsi.
Pemberdayaan pelaku pasar dan pasar perumahan di tingkat kabupaten/kota.
Fasilitasi bantuan pembiayaan pembangunan dan pemilikan rumah serta penyelenggaraan rumah sewa.
Fasilitasi bantuan pembiayaan pembangunan dan pemilikan rumah serta penyelenggaraan rumah sewa.
Fasilitasi bantuan pembiayaan pembangunan dan pemilikan rumah serta penyelenggaraan rumah sewa.
Pengendalian penyelenggaraan bidang pembiayaan perumahan di tingkat nasional.
Pengendalian penyelenggaraan bidang pembiayaan perumahan di tingkat provinsi.
Pengendalian penyelenggaraan bidang pembiayaan perumahan di tingkat kabupaten/kota.
Melakukan evaluasi penyelenggaraan bidang pembiayaan perumahan di tingkat nasional.
Melakukan evaluasi penyelenggaraan bidang pembiayaan perumahan di tingkat provinsi.
Melakukan evaluasi penyelenggaraan bidang pembiayaan perumahan di tingkat kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Perbaikan 1. Penetapan kebijakan, strategi, dan program nasional di bidang pembiayaan perumahan.
Penetapan kebijakan, strategi, dan program provinsi di bidang pembiayaan perumahan 1. Penetapan kebijakan, strategi, dan program kabupaten/kota di bidang pembiayaan perumahan.
Penyusunan NSPM nasional bidang pembiayaan perumahan.
Penyusunan NSPM provinsi bidang pembiayaan perumahan.
Penyusunan NSPM kabupaten/kota bidang pembiayaan perumahan.
Pengembangan sistem pembiayaan dan instrumen pembiayaan.
Koordinasi penyelenggaraan dan mendorong terciptanya pengaturan instrumen pembiayaan dalam rangka penerapan sistem pembiayaan perumahan.
Pelaksanaan, penerapan dan penyesuaian pengaturan instrumen pembiayaan dalam rangka penerapan sistem pembiayaan.
Fasilitasi bantuan teknis bidang pembiayaan perumahan kepada para pelaku di tingkat nasional.
Fasilitasi bantuan teknis bidang pembiayaan perumahan kepada para pelaku di tingkat provinsi.
Fasilitasi bantuan bidang pembiayaan perumahan kepada para pelaku di tingkat kabupaten/kota.
Pemberdayaan pelaku pasar dan pasar perumahan di tingkat nasional.
Pemberdayaan pelaku pasar dan pasar perumahan di tingkat provinsi.
Pemberdayaan pelaku pasar dan pasar perumahan di tingkat kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Fasilitasi bantuan pembiayaan perbaikan/pembangunan rumah swadaya milik.
Fasilitasi bantuan pembiayaan perbaikan/pembangunan rumah swadaya milik.
Fasilitasi bantuan pembiayaan perbaikan/pembangunan rumah swadaya milik.
Pengendalian penyelenggaraan bidang pembiayaan perumahan di tingkat nasional.
Pengendalian penyelenggaraan bidang pembiayaan perumahan di tingkat provinsi.
Pengendalian penyelenggaraan bidang pembiayaan perumahan di tingkat kabupaten/kota.
Melakukan evaluasi penyelenggaraan bidang pembiayaan perumahan di tingkat nasional.
Melakukan evaluasi penyelenggaraan bidang pembiyaan perumahan di tingkat provinsi.
Melakukan evaluasi penyelenggaraan bidang pembiayaan perumahan di tingkat kabupaten/kota.
Pembinaan Perumahan Formal 1. Pembangunan Baru 1.a.Penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan.
a.Koordinasi masukan penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan di kabupaten/kota.
a.Memberikan masukan penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b.— b.Koordinasi peninjauan kembali (review) kesesuaian dengan peraturan perundang- undangan bidang perumahan di kabupaten/kota dengan peraturan perundang- undangan terkait.
Peninjauan kembali kesesuaian peraturan perundang-undangan bidang perumahan di kabupaten/kota dengan peraturan perundang- undangan di atasnya.
Perumusan kebijakan dan strategi nasional pembangunan dan pengembangan perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional pembangunan dan pengembangan pada skala provinsi.
Pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional pembangunan dan pengembangan pada skala kabupaten/kota.
Penyusunan pedoman efisiensi pasar dan industri perumahan.
Koordinasi upaya efisensi pasar dan industri perumahan skala provinsi.
Pelaksanaan upaya efisiensi pasar dan industri perumahan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Sosialisasi peraturan perundang-undangan, produk NSPM, serta kebijakan dan Strategi nasional perumahan.
Koordinasi pelaksanaan sosialisasi peraturan perundang-undangan, produk NSPM, serta kebijakan dan strategi nasional perumahan skala provinsi.
Pelaksanaan peraturan perundang-undangan, produk NSPM, serta kebijakan dan strategi nasional perumahan.
Bantuan teknis penyelenggaraan perumahan (basis kawasan, lembaga pendampingan, kelompok masyarakat).
Koordinasi pelaksanaan bantuan teknis penyelenggaraan perumahan.
Pelaksanaan teknis penyelenggaraan perumahan.
Fasilitasi terhadap badan usaha pembangunan perumahan, baik Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), Koperasi, perorangan maupun swasta, yang bergerak di bidang usaha industri bahan bangunan, 6. Pembinaan terhadap badan usaha pembangunan perumahan, baik BUMD, koperasi, perorangan maupun swasta, yang bergerak di bidang usaha industri bahan bangunan, industri komponen bangunan, konsultan, kontraktor dan 6. Memanfaatkan badan usaha pembangunan perumahan, baik BUMN,BUMD, koperasi, perorangan maupun swasta, yang bergerak di bidang usaha industri bahan bangunan, industri komponen banguan, konsultan, kontraktor dan pengembang. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA industri komponen bangunan, konsultan, kontraktor dan pengembang. pengembang.
Penyusunan standar, pedoman dan manual (SPM) perencanaan, pembangunan dan pemeliharaan Prasarana, Sarana, Utilitas (PSU).
Penyusunan pedoman perencanaan, pembangunan dan pemeliharaan PSU lintas kabupaten/kota.
Penyusunan pedoman dan manual perencanaan, pembangunan dan pengelolaan PSU skala kabupaten/kota.
Sosialisasi peraturan perundang-undangan, produk SPM, serta kebijakan dan strategi nasional perumahan.
Koordinasi pelaksanaan sosialisasi peraturan perundang-undangan, produk SPM, serta kebijakan dan strategi nasional perumahan dan provinsi bersangkutan.
Melaksanakan hasil sosialisasi.
Fasilitasi peningkatan kapasitas penyelenggara dan pelaku pembangunan perumahan (pemerintah, swasta dan masyarakat).
Koordinasi pelaksanaan peningkatan kapasitas penyelenggara dan pelaku pembangunan perumahan.
Pelaksanaan kegiatan melalui pelaku pembangunan perumahan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 10. Bantuan teknis penyelenggaraan perumahan (basis kawasan, lembaga pendampingan, kelompok masyarakat).
Koordinasi pelaksanaan bantuan teknis penyelenggaraan perumahan.
Penyelenggaraan perumahan sesuai teknik pembangunan.
Pembinaan terhadap badan usaha pembangunan perumahan, baik BUMN, BUMD, Koperasi, perorangan maupun swasta, yang bergerak di bidang usaha ngunan, industri komponen bangunan, konsultan, kontraktor dan pengembang tingkat nasional.
Pembinaan terhadap badan usaha pembangunan perumahan, baik BUMD, koperasi, perorangan maupun swasta, yang bergerak di bidang usaha industri bahan bangunan, industri komponen bangunan, konsultan, kontraktor dan pengembang di provinsi.
Pembinaan dan kerjasama dengan badan usaha pembangunan perumahan, baik BUMN,BUMD, koperasi, perorangan maupun swasta, yang bergerak di bidang usaha industri bahan bangunan, industri komponen bangunan, konsultan, kontraktor dan pengembang di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 12. Fasilitasi pelaksanaan tindakan turun tangan dalam penyelenggaraan pembangunan perumahan dan PSU yang berdampak regional.
Fasilitasi pelaksanaan tindakan turun tangan dalam penyelenggaraan pembangunan perumahan dan PSU yang berdampak lintas kabupaten/kota.
Fasilitasi pelaksanaan tindakan turun tangan dalam penyelenggaraan pembangunan perumahan dan PSU yang berdampak lokal.
Perumusan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) nasional.
Perumusan RPJP dan RPJM provinsi. 13. Perumusan RPJP dan RPJM kabupaten/kota.
Fasilitasi percepatan pembangunan perumahan secara nasional.
Fasilitasi percepatan pembangunan perumahan skala provinsi.
Fasilitasi percepatan pembangunan perumahan skala kabupaten/kota.
Pengalokasian pendanaan pembangunan Rumah Susun Sewa (Rusunawa) dan Rumah Susun Milik (Rusunami) sebagai stimulan di perkotaan, 15. Pelaksanaan pembangunan Rusunawa dan Rusunami sebagai stimulan di perkotaan, perbatasan internasional, pusat kegiatan 15. Pembangunan Rusunawa dan Rusunami lengkap dengan penyediaan tanah, PSU dan melakukan pengelolaan dan pemeliharaan diperkotaan, perbatasan internasional, SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA perbatasan internasional, pusat kegiatan perdagangan/produksi. perdagangan/produksi dan fasilitasi pengelolaan, pemeliharaan kepada kabupaten/kota. pusat kegiatan, perdagangan/produksi.
Pengalokasian pendanaan pembangunan prasarana, sarana dan utilitas umum sebagai stimulan di RSH, rumah susun (Rusun) dan rumah khusus (Rusus).
Pelaksanaan pembangunan prasarana, sarana dan utilitas umum sebagai stimulan di RSH, Rusun, Rusus dan fasilitasi pengelolaan, pemeliharaan kepada kabupaten/kota.
Pembangunan prasarana, sarana dan utilitas umum sebagai stimulan di RSH, Rusun dan Rusus dengan melaksanakan pengelolaan dan pemeliharaan.
Pengalokasian pendanaan untuk pembangunan rumah contoh (RSH) sebagai stimulan pada daerah terpencil dan uji coba.
Pelaksanaan pembangunan rumah contoh (RSH) sebagai stimulan pada daerah terpencil dan uji coba serta fasilitasi pengelolaan, pemeliharaan kepada kabupaten/kota.
Pembangunan rumah contoh (RSH) sebagai stimulan pada daerah terpencil dan uji coba serta fasilitasi pengelolaan, pemeliharaan kepada kabupaten/kota, penyediaan tanah, PSU umum. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 18. Pengalokasian pendanaan untuk pembangunan rumah untuk korban bencana dan khusus lainnya serta penyiapan depo pada daerah rawan bencana.
Pembangunan rumah untuk korban bencana dan khusus lainnya serta pengelolaan depo dan pendistribusiannya.
Pelaksanaan pembangunan rumah untuk korban bencana dan khusus lainnya serta pengelolaan depo dan pendistribusian logistik penyediaan lahan, pengaturan, pemanfaatan seluruh bantuan.
Perbaikan 1. Perumusan kebijakan dan strategi nasional pembangunan dan pengembangan perumahan.
Perumusan kebijakan dan strategi pembangunan dan pengembangan perumahan skala provinsi.
Perumusan kebijakan dan strategi pembangunan dan pengembangan perumahan skala kabupaten/kota.
Perumusan Standar, Prosedur dan Operasi (SPO) baku penanganan pengungsi akibat bencana nasional (alam maupun konflik sosial).
Perumusan SPO baku penanganan pengungsi akibat bencana skala provinsi.
Pelaksanaan SPO baku penanganan pengungsi akibat bencana skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Perumusan kebijakan Public Service Obligation (PSO) perumahan.
— 3. — 4. Penyusunan SPM perumahan dan PSU pesisir dan pantai serta pulau kecil, khususnya di perbatasan internasional.
Penyusunan SPM perumahan dan PSU pesisir dan pantai serta pulau kecil, khususnya di perbatasan antar kabupaten/kota.
Pelaksanaan SPM perumahan dan PSU pesisir dan pantai serta pulau kecil, di kabupaten/kota.
Penyusunan dan penyelenggaraan skema bantuan perumahan tidak susun, susun, khusus dan PSU.
Koordinasi penetapan sasaran penerima bantuan perumahan dan pengawasannya.
Pelaksanaan dan atau penerima bantuan perumahan.
Penyusunan pedoman pengendalian harga sewa rumah (tidak susun, susun khusus).
Koordinasi pengendalian penetapan harga sewa rumah.
Penetapan harga sewa rumah. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 7. Fasilitasi pembangunan perumahan untuk penampungan pengungsi.
Koordinasi usulan pembangunan perumahan untuk penampungan pengungsi lintas kabupaten/kota.
Pelaksanaan pembangunan perumahan untuk penampungan pengungsi lintas kawasan se- kabupaten/kota.
Pemanfaatan 1. Penyelenggaraan bantuan pembangunan dan kelembagaan perumahan melalui format anggaran khusus (dana dekonsenterasi, dana tugas pembantuan dan dana alokasi khusus).
Koordinasi usulan penerima bantuan pembangunan dan kelembagaan perumahan di provinsi serta penyelenggaraan perumahan dengan dana dekonsentrasi.
Pelaksanaan bantuan pembangunan dan kelembagaan serta penyelenggaraan perumahan dengan dana tugas pembantuan.
Penyelenggaraan bantuan investasi rumah susun untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) rumah khusus, rumah nelayan, perbatasan internasional dan pulau-pulau kecil.
Koordinasi penetapan penerima bantuan investasi rumah susun untuk MBR dan rumah khusus, rumah nelayan, perbatasan internasional dan pulau-pulau kecil.
Pelaksanaan pembangunan rumah susun untuk MBR dan rumah khusus, rumah nelayan, perbatasan internasional dan pulau-pulau kecil. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penyelenggaraan bantuan pembangunan PSU. 3. Koordinasi penetapan penerima bantuan PSU. 3. Pengelolaan PSU bantuan pusat.
Fasilitasi pembentukan kelembagaan perumahan skala nasional.
Fasilitasi pembentukan kelembagaan perumahan skala provinsi.
Pembentukan kelembagaan perumahan kabupaten/kota.
Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional pengembangan perumahan.
Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional pengembangan perumahan di provinsi.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan pembangunan dan pengelolaan perumahan.
Penyusunan SPM pembangunan, penghunian dan pengelolaan perumahan nasional (Rumah Tidak Susun, Rusun, dan Rusus).
Koordinasi penyusunan pedoman pembangunan, penghunian dan pengelolaan perumahan lintas kabupaten/kota.
Penyusunan pedoman dan manual penghunian, dan pengelolaan perumahan setempat dengan acuan umum SPM nasional. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 7. Monitoring dan evaluasi terhadap penghunian dan pengelolaan rusun dan rusus penerima bantuan investasi.
Pengawasan langsung terhadap penghunian dan pengelolaan rusun dan rusus penerima bantuan investasi ke kabupaten/kota.
Pengawasan dan pengendalian pengelolaan rusun dan rusus.
Pembinaan Perumahan Swadaya 1. Pembangunan Baru 1. Perumusan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Perumusan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Perumusan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Penyusunan RPJP dan RPJM nasional tentang perumahan swadaya.
Penyusunan RPJP dan RPJM provinsi tentang perumahan swadaya.
Penyusunan RPJP dan RPJM kabupaten/kota tentang perumahan swadaya.
Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya tingkat nasional.
Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya di provinsi.
Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di tingkat pusat.
Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di pusat.
Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di kabupaten/kota.
Pengkajian kebijakan dan peraturan yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya.
Pengkajian kebijakan dan peraturan daerah provinsi yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya.
Pengkajian kebijakan dan peraturan daerah kabupaten/kota yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pemugaran 1. Perumusan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Perumusan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Perumusan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Penyusunan RPJP dan RPJM nasional perumahan swadaya.
Penyusunan RPJP dan RPJM provinsi perumahan swadaya.
Penyusunan RPJP dan RPJM kabupaten/kota perumahan swadaya.
Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya tingkat nasional.
Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya di provinsi.
Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya di kabupaten/kota.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas 4. Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas 4. Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA pelaku pembangunan perumahan swadaya. pelaku pembangunan perumahan swadaya. pembangunan perumahan swadaya.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi Kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 7. Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di tingkat pusat.
Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di tingkat provinsi.
Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di tingkat kabupaten/kota.
Pengkajian kebijakan dan peraturan yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya.
Pengkajian kebijakan dan peraturan daerah provinsi yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya.
Pengkajian kebijakan dan peraturan daerah kabupaten/kota yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya.
Perbaikan 1. Perumusan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Perumusan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Perumusan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Penyusunan RPJP dan RPJM nasional perumahan swadaya.
Penyusunan RPJP dan RPJM provinsi perumahan swadaya.
Penyusunan RPJP dan RPJM kabupaten/kota perumahan swadaya. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya tingkat nasional.
Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya di provinsi.
Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya di kabupaten/kota.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di tingkat pusat.
Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di provinsi.
Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di kabupaten/kota.
Pengkajian kebijakan dan peraturan yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya.
Pengkajian kebijakan dan peraturan daerah provinsi yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya.
Pengkajian kebijakan dan peraturan daerah kabupaten/kota yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Perluasan 1. Perumusan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Perumusan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Perumusan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Penyusunan RPJP dan RPJM nasional perumahan swadaya.
Penyusunan RPJP dan RPJM provinsi perumahan swadaya.
Penyusunan RPJP dan RPJM kabupaten/kota perumahan swadaya.
Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya tingkat nasional.
Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya tingkat provinsi.
Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya tingkat kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di tingkat pusat.
Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di provinsi.
Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di kabupaten/kota.
Pengkajian kebijakan dan peraturan yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya.
Pengkajian kebijakan dan peraturan daerah provinsi yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya.
Pengkajian kebijakan dan peraturan daerah kabupaten/kota yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Pemeliharaan 1. Perumusan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Perumusan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Perumusan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Penyusunan RPJP dan RPJM nasional perumahan swadaya.
Penyusunan RPJP dan RPJM provinsi perumahan swadaya.
Penyusunan RPJP dan RPJM kabupaten/kota perumahan swadaya.
Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya tingkat nasional.
Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya di provinsi.
Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di tingkat pusat.
Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di provinsi.
Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di kabupaten/kota.
Pengkajian kebijakan dan peraturan yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya.
Pengkajian kebijakan dan peraturan daerah provinsi yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya.
Pengkajian kebijakan dan peraturan daerah kabupaten/kota yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Pemanfaatan 1. Perumusan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Perumusan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Perumusan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Penyusunan RPJP dan RPJM nasional perumahan swadaya.
Penyusunan RPJP dan RPJM provinsi perumahan swadaya.
Penyusunan RPJP dan RPJM kabupaten/kota perumahan swadaya.
Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya tingkat nasional.
Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya di provinsi.
Penyusunan NSPM pembangunan perumahan swadaya di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi provinsi tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi kabupaten/kota tentang lembaga pendukung pembangunan perumahan, pendataan perumahan dan peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan swadaya.
Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di tingkat pusat.
Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di provinsi.
Sosialisasi kebijakan strategi, program dan NSPM pembangunan perumahan swadaya di kabupaten/kota.
Pengkajian kebijakan dan peraturan yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya.
Pengkajian kebijakan dan peraturan daerah provinsi yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya.
Pengkajian kebijakan dan peraturan daerah kabupaten/kota yang terkait dengan pembangunan perumahan swadaya. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Pengembangan Kawasan 1. Sistem Pengembangan Kawasan 1. Penetapan kebijakan dan strategi nasional dan NSPM dalam pengembangan kawasan.
Penetapan kebijakan dan strategi provinsi dalam pengembangan kawasan.
Penetapan kebijakan dan strategi kabupaten/kota dalam pengembangan kawasan.
Penyusunan Rencana Nasional dalam Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Permukiman (RP4- Nasional).
Penyusunan Rencana Provinsi dalam Pembangunan Dan Pengembangan Perumahan dan Permukiman Daerah (RP4D-Provinsi).
Penyusunan Rencana Kabupaten/Kota dalam Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Permukiman Daerah (RP4D-Kabupaten/Kota).
Pembinaan teknis penyusunan RP4D. 3. Pembinaan teknis penyusunan RP4D di wilayahnya.
Pembinaan teknis penyusunan RP4D di wilayahnya.
Fasilitasi dan bantuan teknis penyusunan RP4D. 4. Fasilitasi dan bantuan teknis penyusunan RP4D di wilayahnya.
Penyusunan RP4D di wilayahnya. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional pengembangan kawasan dan RP4D.
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan kebijakan dan strategi pengembangan kawasan dan RP4D skala provinsi.
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan kebijakan dan strategi pengembangan kawasan dan RP4D di skala kabupaten/kota.
Pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional dalam pengembangan kawasan dan penyusunan RP4D.
Pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi pengembangan kawasan dan RP4D di wilayahnya.
Pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi pengembangan kawasan dan RP4D di wilayahnya.
Kawasan Skala Besar 1. Penetapan kebijakan dan strategi nasional dan NSPM dalam penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan skala besar.
Penetapan kebijakan dan strategi provinsi dalam penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan skala besar.
Penetapan kebijakan dan strategi kabupaten/kota dalam penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan skala besar. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pembinaan teknis pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan skala besar.
Pembinaan teknis pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan skala besar di wilayahnya.
Pembinaan teknis pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan skala besar di wilayahnya.
Fasilitasi, bantuan teknis dan bantuan stimulan pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan skala besar.
Fasilitasi, bantuan teknis dan bantuan stimulan pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan skala besar di wilayahnya.
Pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan skala besar di wilayahnya.
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional dalam penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan skala besar.
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan skala besar di wilayahnya.
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan skala besar di wilayahnya. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional dalam penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan skala besar.
Pengendalian pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan khusus di wilayahnya.
Pengendalian pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan skala besar di wilayahnya.
Kawasan Khusus 1. Penetapan kebijakan dan strategi nasional dan NSPM dalam penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan khusus.
Penetapan kebijakan dan strategi provinsi dalam penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan khusus.
Penetapan kebijakan dan strategi kabupaten/kota dalam penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan khusus.
Pembinaan teknis pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan khusus.
Pembinaan teknis pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan skala khusus di wilayahnya.
Pembinaan teknis pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan khusus di wilayahnya. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Fasilitasi, bantuan teknis dan bantuan stimulan pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan khusus.
Fasilitasi, bantuan teknis dan bantuan stimulan pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan khusus di wilayahnya.
Pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan khusus di wilayahnya.
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional dalam penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan khusus.
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan khusus di wilayahnya.
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan khusus di wilayahnya.
Pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional dalam penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan khusus.
Pengendalian pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan khusus di wilayahnya.
Pengendalian pelaksanaan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan kawasan khusus di wilayahnya. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Keterpaduan Prasarana Kawasan 1. Penetapan kebijakan dan strategi nasional dan NSPM dalam penyelenggaraan keterpaduan prasarana kawasan.
Penetapan kebijakan dan strategi provinsi dalam penyelenggaraan keterpaduan prasarana kawasan.
Penetapan kebijakan dan strategi kabupaten/Kota dalam penyelenggaraan keterpaduan prasarana kawasan.
Pembinaan teknis pelaksanaan penyelenggaraan keterpaduan prasarana kawasan.
Pembinaan teknis pelaksanaan penyelenggaraan keterpaduan prasarana kawasan di wilayahnya.
Pembinaan teknis pelaksanaan penyelenggaraan keterpaduan prasarana kawasan di wilayahnya.
Fasilitasi dan bantuan teknis pelaksanaan penyelenggaraan keterpaduan prasarana kawasan.
Fasilitasi dan bantuan teknis pelaksanaan penyelenggaraan keterpaduan prasarana kawasan di wilayahnya.
Pelaksanaan penyelenggaraan keterpaduan prasarana kawasan di wilayahnya.
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan penyelenggaraan keterpaduan prasarana kawasan.
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan penyelenggaraan keterpaduan prasarana kawasan di wilayahnya.
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan penyelenggaraan keterpaduan prasarana kawasan di wilayahnya. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional dalam penyelenggaraan keterpaduan prasarana kawasan.
Pengendalian pelaksanaan penyelenggaraan keterpaduan prasarana kawasan di wilayahnya.
Pengendalian pelaksanaan penyelenggaraan keterpaduan prasarana kawasan di wilayahnya.
Keserasian Kawasan 1. Penetapan kebijakan dan strategi nasional dan NSPM dalam penyelenggaraan keserasian kawasan dan lingkungan hunian berimbang.
Penetapan kebijakan dan strategi provinsi dalam penyelenggaraan keserasian kawasan dan lingkungan hunian berimbang.
Penetapan kebijakan dan strategi kabupaten/kota dalam penyelenggaraan keserasian kawasan dan lingkungan hunian berimbang.
Pembinaan teknis pelaksanaan penyelenggaraan keserasian kawasan dan lingkungan hunian berimbang.
Pembinaan teknis pelaksanaan penyelenggaraan keserasian kawasan dan lingkungan hunian berimbang di wilayahnya.
Pembinaan teknis pelaksanaan penyelenggaraan keserasian kawasan dan lingkungan hunian berimbang di wilayahnya. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Fasilitasi dan bantuan teknis pelaksanaan penyelenggaraan keserasian kawasan dan lingkungan hunian berimbang.
Fasilitasi dan bantuan teknis pelaksanaan penyelenggaraan keserasian kawasan dan lingkungan hunian berimbang di wilayahnya.
Pelaksanaan penyelenggaraan keserasian kawasan dan lingkungan hunian berimbang di wilayahnya.
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional dalam penyelenggaraan keserasian kawasan dan lingkungan hunian berimbang.
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan penyelenggaraan keserasian kawasan dan lingkungan hunian berimbang di wilayahnya.
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan penyelenggaraan keserasian kawasan dan lingkungan hunian berimbang di wilayahnya.
Pengendalian pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional dalam penyelenggaraan keserasian kawasan dan lingkungan hunian berimbang.
Pengendalian pelaksanaan penyelenggaraan keserasian kawasan dan lingkungan hunian berimbang di wilayahnya.
Pengendalian pelaksanaan penyelenggaraan keserasian kawasan dan lingkungan hunian berimbang di wilayahnya. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Pembinaan Hukum, Peraturan Perundang- undangan dan Pertanahan untuk 1. Pembangunan Baru 1. Penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan.
Koordinasi penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang- undangan bidang perumahan di tingkat provinsi.
Pelaksanaan penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan di tingkat kabupaten/kota. Perumahan 2. Evaluasi peraturan perundang-undangan bidang perumahan.
Peninjauan kembali (review) kesesuaian peraturan daerah kabupaten/kota dengan peraturan perundang- undangan terkait di bidang perumahan.
Pelaksanaan kesesuaian peraturan daerah kabupaten/kota dengan peraturan perundang- undangan terkait di bidang perumahan.
Koordinasi dan sosialisasi peraturan perundang- undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan dan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim.
Sosialisasi peraturan perundang-undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim di provinsi.
Pelaksanaan sosialisasi peraturan perundang- undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan.
Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan di provinsi.
Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang- undangan bidang perumahan di kabupaten/kota.
Pengkajian, perumusan kebijakan dan koordinasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di provinsi.
Pelaksanaan kebijakan dan penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di kabupaten/kota.
Fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan.
Koordinasi fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di provinsi.
Pelaksanaan fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di kabupaten/kota.
Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan.
Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan di tingkat provinsi.
Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan di tingkat kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 8. Penyusunan dan sosialisasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan.
Koordinasi dan sosialiasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan tingkat provinsi lintas kabupaten/kota.
Pelaksanaan dan sosialisasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan di kabupaten/kota.
Perumusan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan lintas kabupaten/kota.
Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan di kabupaten/kota.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 11. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Fasilitasi penyelesaian eksternasitas pembangunan perumahan lintas provinsi.
Fasilitasi penyelesaian eksternasitas pembangunan perumahan lintas kabupaten/kota.
Fasilitasi penyelesaian eksternasitas pembangunan perumahan di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pemugaran 1. Penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan.
Koordinasi penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang- undangan bidang perumahan di tingkat provinsi.
Pelaksanaan penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan di tingkat kabupaten/kota.
Evaluasi peraturan perundang-undangan bidang perumahan.
Peninjauan kembali (review) kesesuaian peraturan daerah kabupaten/kota dengan peraturan perundang- undangan terkait di bidang perumahan.
Pelaksanaan kesesuaian peraturan daerah kabupaten/kota dengan peraturan perundang- undangan terkait di bidang perumahan.
Koordinasi dan sosialisasi peraturan perundang- undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan dan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim.
Sosialisasi peraturan perundang-undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim di provinsi.
Pelaksanaan sosialisasi peraturan perundang- undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan kepastin hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan.
Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan di provinsi.
Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang- undangan bidang perumahan di kabupaten/kota.
Pengkajian, perumusan kebijakan dan koordinasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan penangangan masalah dan sengketa bidang perumahan di provinsi.
Pelaksanaan kebijakan dan penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di kabupaten/kota.
Fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan.
Koordinasi fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di provinsi.
Pelaksanaan fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di kabupaten/kota.
Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan.
Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan di tingkat provinsi.
Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan di tingkat Kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 8. Penyusunan dan sosialisasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan.
Koordinasi dan sosialiasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan tingkat provinsi lintas kabupaten/kota.
Pelaksanaan dan sosialisasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan di Kabupaten/kota.
Perumusan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan lintas kabupaten/kota.
Pelaksanaan kebijakan Kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan di kabupaten/kota.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Pelaksanaan kebijakan Kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 11. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan Kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Fasilitasi penyelesaian eksternalitas pembangunan perumahan lintas provinsi.
Fasilitasi penyelesaian eksternalitas pembangunan perumahan lintas kabupaten/kota.
Fasilitasi penyelesaian eksternalitas pembangunan perumahan di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Perbaikan 1. Penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan.
Koordinasi penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang- undangan bidang perumahan di tingkat provinsi.
Pelaksanaan penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan di tingkat kabupaten/kota.
Evaluasi peraturan perundang-undangan bidang perumahan.
Peninjauan kembali (review) kesesuaian peraturan daerah kabupaten/kota dengan peraturan perundang- undangan terkait di bidang perumahan.
Pelaksanaan kesesuaian peraturan daerah kabupaten/kota dengan peraturan perundang- undangan terkait di bidang perumahan.
Koordinasi dan sosialisasi peraturan perundang- undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan dan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim.
Sosialisasi peraturan perundang-undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim di provinsi.
Pelaksanaan sosialisasi peraturan perundang- undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan kepastin hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan.
Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan di provinsi.
Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang- undangan bidang perumahan di kabupaten/kota.
Pengkajian, perumusan kebijakan dan koordinasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di provinsi.
Pelaksanaan kebijakan dan penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di kabupaten/kota.
Fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan.
Koordinasi fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di provinsi.
Pelaksanaan fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di kabupaten/kota.
Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan.
Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan di tingkat provinsi.
Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan di tingkat kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 8. Penyusunan dan sosialisasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan.
Koordinasi dan sosialisasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan tingkat provinsi lintas kabupaten/kota.
Pelaksanaan dan sosialisasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan di kabupaten/kota.
Perumusan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang Pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan lintas kabupaten/kota.
Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan di kabupaten/kota.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 11. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Fasilitasi penyelesaian eksternasitas pembangunan perumahan lintas provinsi.
Fasilitasi penyelesaian eksternasitas pembangunan perumahan lintas kabupaten/kota.
Fasilitasi penyelesaian eksternasitas pembangunan perumahan di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Perluasan 1. Penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan.
Koordinasi penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang- undangan bidang perumahan di tingkat provinsi.
Pelaksanaan penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan di tingkat kabupaten/kota.
Evaluasi peraturan perundang-undangan bidang perumahan.
Peninjauan kembali (review) kesesuaian peraturan daerah kabupaten/kota dengan peraturan perundang- undangan terkait di bidang perumahan.
Pelaksanaan kesesuaian peraturan daerah kabupaten/kota dengan peraturan perundang- undangan terkait di bidang perumahan.
Koordinasi dan sosialisasi peraturan perundang- undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan dan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim.
Sosialisasi peraturan perundang-undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim di provinsi.
Pelaksanaan sosialisasi peraturan perundang- undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan kepastin hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan.
Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan di provinsi.
Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang- undangan bidang perumahan di kabupaten/kota.
Pengkajian, perumusan kebijakan dan koordinasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di provinsi.
Pelaksanaan kebijakan dan penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di kabupaten/kota.
Fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan.
Koordinasi fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di Provinsi.
Pelaksanaan fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di kabupaten/kota.
Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan.
Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan di tingkat provinsi.
Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan di tingkat kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 8. Penyusunan dan sosialisasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan.
Koordinasi dan sosialiasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan tingkat provinsi lintas kabupaten/kota.
Pelaksanaan dan sosialisasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan di kabupaten/kota.
Perumusan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan lintas kabupaten/kota.
Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan di kabupaten/kota.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 11. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Fasilitasi penyelesaian eksternalitas pembangunan perumahan lintas provinsi.
Fasilitasi penyelesaian eksternalitas pembangunan perumahan lintas kabupaten/kota.
Fasilitasi penyelesaian eksternalitas pembangunan perumahan di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Pemeliharaan 1. Penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan.
Koordinasi penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang- undangan bidang perumahan di tingkat provinsi.
Pelaksanaan penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan di tingkat kabupaten/kota.
Evaluasi peraturan perundang-undangan bidang perumahan.
Peninjauan kembali (review) kesesuaian peraturan daerah kabupaten/kota dengan peraturan perundang- undangan terkait di bidang perumahan.
Pelaksanaan kesesuaian peraturan daerah kabupaten/kota dengan peraturan perundang- undangan terkait di bidang perumahan.
Koordinasi dan sosialisasi peraturan perundang- undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan dan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim.
Sosialisasi peraturan perundang-undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim di provinsi.
Pelaksanaan sosialisasi peraturan perundang- undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan kepastin hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan.
Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan di provinsi.
Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang- undangan bidang perumahan di kabupaten/kota.
Pengkajian, perumusan kebijakan dan koordinasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan penangangan masalah dan sengketa bidang perumahan di provinsi.
Pelaksanaan kebijakan dan penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di kabupaten/kota.
Fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan.
Koordinasi fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di provinsi.
Pelaksanaan fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di kabupaten/kota.
Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan.
Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan di tingkat provinsi.
Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan di tingkat kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 8. Penyusunan dan sosialisasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan.
Koordinasi dan sosialiasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan tingkat provinsi lintas kabupaten/kota.
Pelaksanaan dan sosialisasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan di kabupaten/kota.
Perumusan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan lintas kabupaten/kota.
Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan di kabupaten/kota.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 11. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Fasilitasi penyelesaian eksternasitas pembangunan perumahan lintas provinsi.
Fasilitasi penyelesaian eksternasitas pembangunan perumahan lintas kabupaten/kota.
Fasilitasi penyelesaian eksternasitas pembangunan perumahan di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Pemanfaatan 1. Penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan.
Koordinasi penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang- undangan bidang perumahan di tingkat provinsi.
Pelaksanaan penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan di tingkat kabupaten/kota.
Evaluasi peraturan perundang-undangan bidang perumahan.
Peninjauan kembali (review) kesesuaian peraturan daerah kabupaten/kota dengan peraturan perundang- undangan terkait di bidang perumahan.
Pelaksanaan kesesuaian peraturan daerah kabupaten/kota dengan peraturan perundang- undangan terkait di bidang perumahan.
Koordinasi dan sosialisasi peraturan perundang- undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan dan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim.
Sosialisasi peraturan perundang-undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim di provinsi.
Pelaksanaan sosialisasi peraturan perundang- undangan bidang perumahan dalam rangka mewujudkan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam bermukim di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan.
Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan di provinsi.
Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang- undangan bidang perumahan di kabupaten/kota.
Pengkajian, perumusan kebijakan dan koordinasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan dan penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di provinsi.
Pelaksanaan kebijakan dan penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di kabupaten/kota.
Fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan.
Koordinasi fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di provinsi.
Pelaksanaan fasilitasi penanganan masalah dan sengketa bidang perumahan di kabupaten/kota.
Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan.
Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan di tingkat provinsi.
Fasilitasi penyusunan, koordinasi dan sosialisasi NSPM bidang perumahan di tingkat kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 8. Penyusunan dan sosialisasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan.
Koordinasi dan sosialiasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan tingkat provinsi lintas kabupaten/kota.
Pelaksanaan dan sosialisasi NSPM penyediaan lahan untuk pembangunan perumahan di kabupaten/kota.
Perumusan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan Provinsi tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan lintas kabupaten/kota.
Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan di kabupaten/kota.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 11. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pembangunan perumahan yang sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pembangunan perumahan sesuai dengan penataan ruang dan penataan pertanahan.
Fasilitasi penyelesaian eksternasitas pembangunan perumahan lintas provinsi.
Fasilitasi penyelesaian eksternasitas pembangunan perumahan lintas kabupaten/kota.
Fasilitasi penyelesaian eksternasitas pembangunan perumahan di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Pembinaan Teknologi dan Industri 1. Pembangunan Baru 1. Perumusan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan pemanfaatan hasil teknologi bahan bangunan, sosial ekonomi budaya serta PSU pendukung perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pemugaran 1. Perumusan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan pemanfaatan hasil teknologi bahan bangunan, sosial ekonomi budaya serta PSU pendukung perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Perbaikan 1. Perumusan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan pemanfaatan hasil teknologi bahan bangunan, sosial ekonomi budaya serta PSU pendukung perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Pemeliharaan 1. Perumusan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan pemanfaatan hasil teknologi bahan bangunan, sosial ekonomi budaya serta PSU pendukung perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Pemanfaatan 1. Perumusan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan pemanfaatan hasil teknologi bahan bangunan, sosial ekonomi budaya serta PSU pendukung perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil teknologi dan bahan bangunan, sosial ekonomi budaya, serta PSU pendukung perumahan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 7. Pengembangan Pelaku Pembangunan Perumahan, Peranserta Masyarakat dan 1. Pembangunan Baru 1. Perumusan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. Sosial Budaya 2. Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Fasilitasi kemitraan antara pemerintah daerah, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan.
Koordinasi fasilitasi kemitraan antara pemerintah daerah kabupaten/kota, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan.
Melaksanakan kemitraan antara pemerintahan daerah, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan.
Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat.
Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat di tingkat provinsi.
Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pemugaran 1. Perumusan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan .
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Fasilitasi kemitraan antara pemerintah daerah, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan.
Koordinasi fasilitasi kemitraan antara pemerintah daerah kabupaten/kota, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan.
Melaksanakan kemitraan antara pemerintahan daerah, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan.
Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat.
Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat di tingkat provinsi.
Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Perbaikan 1. Perumusan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Fasilitasi kemitraan antara pemerintah daerah, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan.
Koordinasi fasilitasi kemitraan antara pemerintah daerah kabupaten/kota, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan.
Melaksanakan kemitraan antara pemerintahan daerah, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan.
Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat.
Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat di tingkat provinsi.
Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Perluasan 1. Perumusan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Fasilitasi kemitraan antara pemerintah daerah, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan.
Koordinasi fasilitasi kemitraan antara pemerintah daerah kabupaten/kota, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan.
Melaksanakan kemitraan antara pemerintahan daerah, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan.
Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat.
Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat di tingkat provinsi.
Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Pemeliharaan 1. Perumusan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Fasilitasi kemitraan antara pemerintah daerah, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan.
Koordinasi fasilitasi kemitraan antara pemerintah daerah kabupaten/kota, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan.
Melaksanakan kemitraan antara pemerintahan daerah, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan.
Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat.
Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat di tingkat provinsi.
Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Pemanfaatan 1. Perumusan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan provinsi tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan nasional tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Koordinasi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian kebijakan kabupaten/kota tentang pemberdayaan para pelaku pendukung pembangunan perumahan.
Fasilitasi kemitraan antara pemerintah daerah, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan.
Koordinasi fasilitasi kemitraan antara pemerintah daerah kabupaten/kota, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan.
Melaksanakan kemitraan antara pemerintahan daerah, badan usaha, dan kelompok masyarakat dalam pembangunan perumahan.
Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat.
Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat di tingkat provinsi.
Fasilitasi peningkatan kapasitas pelaku pembangunan perumahan pemerintah, swasta dan masyarakat di kabupaten/kota. E. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG PENATAAN RUANG SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Pengaturan 1. Penetapan peraturan perundang- undangan bidang penataan ruang 2. Penetapan Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK) bidang penataan ruang.
Penetapan penataan ruang perairan di luar 12 (dua belas) mil dari garis pantai.
Penetapan kriteria penentuan dan kriteria perubahan fungsi ruang suatu kawasan yang berskala besar dan berdampak penting dalam rangka penyelenggaraan penataan ruang.
Penetapan peraturan daerah bidang penataan ruang tingkat provinsi 2. Penetapan pedoman pelaksanaan NSPK bidang penataan ruang.
Penetapan penataan ruang perairan di luar 4 (empat) mil sampai 12 (dua belas) mil dari garis pantai.
Penetapan kriteria penentuan dan perubahan fungsi ruang kawasan lintas kabupaten/kota dalam rangka penyusunan tata ruang khususnya untuk menjaga keseimbangan ekosistem, sesuai dengan kriteria yang ditentukan oleh pemerintah.
Penetapan peraturan daerah bidang penataan ruang di tingkat kabupaten/kota 2. — 3. Penetapan penataan ruang perairan sampai dengan 4 (empat) mil dari garis pantai.
Penetapan kriteria penentuan dan perubahan fungsi ruang kawasan/lahan wilayah dalam rangka penyelenggaraan penataan ruang. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Penetapan kawasan strategis nasional.
Penetapan kawasan-kawasan andalan.
Penetapan Standar Pelayanan Minimal (SPM) bidang penataan ruang.
Penetapan kawasan strategis provinsi.
Pemberian arahan pengelolaan kawasan andalan sebagai bagian RTRWP.
— 5. Penetapan kawasan strategis kabupaten/kota 6. — 7. — 2. Pembinaan 1. Koordinasi penyelenggaraan penataan ruang pada semua tingkatan wilayah.
Sosialisasi NSPK bidang penataan ruang.
Sosialisasi SPM bidang penataan ruang.
Koordinasi penyelenggaraan penataan ruang wilayah kabupaten/kota.
Sosialisasi NSPK bidang penataan ruang.
Sosialisasi SPM bidang penataan ruang.
— 2. Sosialisasi NSPK bidang penataan ruang.
Sosialisasi SPM bidang penataan ruang. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Pemberian bimbingan, supervisi, dan konsultasi pelaksanaan penataan ruang terhadap pemerintah provinsi dan kabupaten/kota.
Pendidikan dan pelatihan.
Penelitian dan pengembangan.
Pengembangan sistem informasi dan komunikasi penataan ruang nasional.
Penyebarluasan informasi penataan ruang kepada masyarakat.
Pengembangan kesadaran dan tanggungjawab masyarakat.
Koordinasi dan fasilitasi penataan ruang lintas provinsi.
Pemberian bimbingan, supervisi, dan konsultasi pelaksanaan penataan ruang terhadap kabupaten/kota.
Pendidikan dan pelatihan.
Penelitian dan pengembangan.
Pengembangan sistem informasi dan komunikasi penataan ruang provinsi.
Penyebarluasan informasi penataan ruang kepada masyarakat.
Pengembangan kesadaran dan tanggungjawab masyarakat.
Koordinasi dan fasilitasi penataan ruang lintas kabupaten/kota.
— 5. Pendidikan dan pelatihan.
Penelitian dan pengembangan.
Pengembangan sistem informasi dan komunikasi penataan ruang kabupaten/kota.
Penyebarluasan informasi penataan ruang kepada masyarakat.
Pengembangan kesadaran dan tanggungjawab masyarakat.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 11. Pembinaan penataan ruang untuk lintas provinsi. 11.Pembinaan penataan ruang untuk lintas kabupaten/kota. 11. — 3. Pembangunan a. Perencanaan Tata Ruang 1. Penyusunan dan penetapan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN).
Penyusunan dan penetapan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional.
Penetapan rencana detail tata ruang untuk RTRWN b. Pemanfaatan Ruang 1. Penyusunan program dan anggaran nasional di bidang penataan ruang, serta fasilitasi dan koordinasi antar provinsi.
Penyusunan dan penetapan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP).
Penyusunan dan penetapan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Provinsi.
Penetapan rencana detail tata ruang untuk RTRWP.
Penyusunan program dan anggaran provinsi di bidang penataan ruang , serta fasilitasi dan koordinasi antar kabupaten/kota.
Penyusunan dan penetapan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota (RTRWK).
Penyusunan dan penetapan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis kabupaten/kota.
Penetapan rencana detail tata ruang untuk RTRWK.
Penyusunan program dan anggaran kabupaten/kota di bidang penataan ruang. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pemanfaatan kawasan strategis nasional.
— 4. Pemanfaatan kawasan andalan sebagai bagian dari RTRWN 5. Pemanfaatan investasi di kawasan andalan dan kawasan strategis nasional serta kawasan lintas provinsi bekerjasama dengan pemerintah daerah, masyarakat dan dunia usaha.
Pemanfaatan SPM di bidang penataan ruang.
Pemanfaatan kawasan strategis provinsi.
— 4. Pemanfaatan kawasan andalan sebagai bagian dari RTRWP.
Pemanfaatan investasi di kawasan strategis provinsi dan kawasan lintas kabupaten/kota bekerjasama dengan pemerintah daerah, masyarakat dan dunia usaha.
Pemanfaatan SPM di bidang penataan ruang.
Pemanfaatan kawasan strategis kabupaten/kota.
Pemanfaatan NSPK bidang penataan ruang.
Pemanfaatan kawasan andalan sebagai bagian dari RTRWK.
Pemanfaatan investasi di kawasan strategis kabupaten/kota dan kawasan lintas kabupaten/kota bekerjasama dengan pemerintah daerah, masyarakat dan dunia usaha.
Pemanfaatan SPM di bidang penataan ruang. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 7. Penyusunan neraca penatagunaan tanah, neraca penatagunaan sumber daya air, neraca penatagunaan udara, neraca penatagunaan sumberdaya alam lainnya.
Perumusan kebijakan strategis operasionalisasi RTRWN dan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional.
Perumusan program sektoral dalam rangka perwujudan struktur dan pola pemanfaatan ruang wilayah nasional dan kawasan strategis nasional.
— 8. Perumusan kebijakan strategis operasionalisasi RTRWP dan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Provinsi.
Perumusan program sektoral dalam rangka perwujudan struktur dan pola pemanfaatan ruang wilayah provinsi dan kawasan strategis provinsi.
— 8. Perumusan kebijakan strategis operasionalisasi RTRWK dan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis kabupaten/kota.
Perumusan program sektoral dalam rangka perwujudan struktur dan pola pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota dan kawasan strategis kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 10. Pelaksanaan pembangunan sesuai program pemanfaatan ruang wilayah nasional dan kawasan strategis nasional.
Pengendalian Pemanfaatan Ruang.
Pengendalian pemanfaatan ruang wilayah nasional termasuk lintas provinsi.
Pengendalian pemanfaatan ruang kawasan strategis nasional.
Penyusunan peraturan zonasi sebagai pedoman pengendalian pemanfaatan ruang nasional.
Pelaksanaan pembangunan sesuai program pemanfaatan ruang wilayah provinsi dan kawasan strategis provinsi.
Pengendalian pemanfaatan ruang wilayah provinsi termasuk lintas lintas kabupaten/kota.
Pengendalian pemanfaatan ruang kawasan strategis provinsi.
Penyusunan peraturan zonasi sebagai pedoman pengendalian pemanfaatan ruang provinsi.
Pelaksanaan pembangunan sesuai program pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota dan kawasan strategis kabupaten/kota.
Pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota.
Pengendalian pemanfaatan ruang kawasan strategis kabupaten/kota.
Penyusunan peraturan zonasi sebagai pedoman pengendalian pemanfaatan ruang kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Pemberian izin pemanfaatan ruang yang sesuai dengan RTRWN.
Pembatalan izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan RTRWN.
Pengambilalihan kewenangan pemerintah provinsi dalam hal pemerintah provinsi tidak dapat memenuhi SPM di bidang penataan ruang.
Pemberian pertimbangan atau penyelesaian permasalahan penataan ruang yang tidak dapat diselesaikan pada tingkat provinsi.
Pemberian izin pemanfaatan ruang yang sesuai dengan RTRWP.
Pembatalan izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan RTRWP.
Pengambilalihan kewenangan pemerintah kabupaten/kota dalam hal pemerintah kabupaten/kota tidak dapat memenuhi SPM di bidang penataan ruang.
Pemberian pertimbangan atau penyelesaian permasalahan penataan ruang yang tidak dapat diselesaikan pada tingkat kabupaten/kota.
Pemberian izin pemanfaatan ruang yang sesuai dengan RTRWK.
Pembatalan izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan RTRWK.
— 7. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 8. Fasilitasi penyelesaian perselisihan dalam pelaksanaan penataan antara provinsi dengan kabupaten/kota.
— 8. Fasilitasi penyelesaian perselisihan dalam pelaksanaan penataan antar kabupaten/kota.
Pembentukan lembaga yang bertugas melaksanakan pengendalian pemanfaatan ruang tingkat provinsi.
— 9. Pembentukan lembaga yang bertugas melaksanakan pengendalian pemanfaatan ruang tingkat kabupaten/kota.
Pengawasan 1. Pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang di wilayah nasional.
Pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang di wilayah provinsi.
Pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang di wilayah kabupaten/kota.
Pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang di wilayah provinsi.
Pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang di wilayah .
— 1. Pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang di wilayah kabupaten/kota.
— 3. — F. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG PERENCANAAN PEMBANGUNAN SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Perencanaan dan Pengendalian Pembangunan Daerah 1. Perumusan Kebijakan 1.a.Penetapan pedoman dan standar perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian pembangunan daerah.
Ɇ c. Ɇ 2. Penetapan pedoman Standar Pelayanan Minimal (SPM).
a.Penetapan petunjuk pelaksanaan perencanaan pembangunan daerah pada skala provinsi.
Pelaksanaan perencanaan pembangunan daerah provinsi.
Ɇ 2. Pelaksanaan SPM provinsi.
a.Penetapan petunjuk pelaksanaan perencanaan dan pengendalian pembangunan daerah pada skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan perencanaan pembangunan daerah kabupaten/kota.
Penetapan pedoman dan standar perencanaan pembangunan daerah kecamatan/desa.
Pelaksanaan SPM kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penetapan pedoman dan standar pelaksanaan kerjasama pembangunan antar daerah dan antara daerah dengan swasta, dalam dan luar negeri.
Penetapan pedoman dan standar pengelolaan data dan informasi pembangunan daerah skala nasional.
a.Penetapan pedoman dan standar pengelolaan kawasan dan lingkungan perkotaan skala nasional.
— 3. Pelaksanaan kerjasama antara provinsi dengan swasta mengacu pada pedoman yang ditetapkan Pemerintah.
Pelaksanaan pengelolaan data dan informasi pembangunan daerah skala provinsi.
a.Penetapan petunjuk pelaksanaan pengelolaan kawasan dan lingkungan perkotaan skala provinsi.
Pelaksanaan/penjabaran petunjuk pelaksanaan pengelolaan kawasan dan lingkungan perkotaan skala provinsi.
Pelaksanaan kerjasama pembangunan antar daerah kabupaten/kota dan antara daerah kabupaten/kota dengan swasta, dalam dan luar negeri.
Pelaksanaan pengelolaan data dan informasi pembangunan daerah skala kabupaten/kota.
a.Penetapan petunjuk pelaksanaan pengelolaan kawasan dan lingkungan perkotaan skala kabupaten/ kota.
Pelaksanaan petunjuk pelaksanaan pengelolaan kawasan dan lingkungan perkotaan skala kabupaten/ kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6.a.Penetapan pedoman dan standar keserasian pengembangan perkotaan dan perdesaan skala nasional.
Ɇ 7. Penetapan pedoman dan standar manajemen dan kelembagaan pengembangan wilayah dan kawasan skala nasional.
a.Penetapan pedoman dan standar pelayanan perkotaan.
a.Penetapan pedoman dan standar keserasian pengembangan perkotaan dan pedesaan skala provinsi.
Pelaksanaan petunjuk pelaksanaan keserasian pengembangan perkotaan dan kawasan perdesaan skala provinsi.
Penetapan petunjuk pelaksanaan manajemen dan kelembagaan pengembangan wilayah dan kawasan skala provinsi.
a.Penetapan petunjuk pelaksanaan pelayanan perkotaan skala provinsi.
a.Penetapan keserasian pengambangan perkotaan dan perdesaan skala kabupaten/ kota.
Pelaksanaan petunjuk pelaksanaan keserasian pengembangan perkotaan dan kawasan perdesaan skala kabupaten/kota.
Penetapan petunjuk pelaksanaan manajemen dan kelembagaan pengembangan wilayah dan kawasan skala kabupaten/kota.
a.Pelaksanaan pedoman dan standar pelayanan perkotaan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Ɇ 9.a.Penetapan pedoman dan standar pengembangan pembangunan perwilayahan skala nasional.
Ɇ 10. Penetapan pedoman dan standar pengembangan wilayah tertinggal, perbatasan, pesisir dan pulau-pulau kecil skala nasional.
Pelaksanaan petunjuk pelaksanaan pelayanan perkotaan skala provinsi.
a.Penetapan petunjuk pelaksanaan pengembangan pembangunan perwilayahan skala provinsi.
Pelaksanaan pedoman dan standar pengembangan pembangunan perwilayahan skala provinsi.
Pengembangan wilayah tertinggal, perbatasan, pesisir dan pulau-pulau kecil skala provinsi.
Pelaksanaan petunjuk pelaksanaan pelayanan perkotaan skala kabupaten/ kota.
a.Penetapan petunjuk pelaksanaan pengembangan pembangunan perwilayahan skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan pedoman dan standar pengembangan pembangunan perwilayahan skala kabupaten/kota.
Pengembangan wilayah tertinggal, perbatasan, pesisir dan pulau-pulau kecil skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 11. Penetapan pedoman dan standar pengembangan kawasan prioritas, cepat tumbuh dan andalan skala nasional.
Pengembangan kawasan prioritas, cepat tumbuh dan andalan skala provinsi.
Pengembangan kawasan prioritas, cepat tumbuh dan andalan skala kabupaten/ kota.
Bimbingan, Konsultasi dan Koordinasi 1. Koordinasi perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian pembangunan daerah skala nasional.
Bimbingan, supervisi dan konsultasi perencanaan dan pengendalian pembangunan daerah skala nasional.
a.Bimbingan, supervisi dan konsultasi pelaksanaan kerjasama pembangunan antar daerah dan antara daerah dengan swasta, dalam dan luar negeri skala nasional.
Koordinasi perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian pembangunan daerah skala provinsi.
Konsultasi perencanaan dan pengendalian pembangunan daerah skala provinsi.
a.Konsultasi pelaksanaan kerjasama pembangunan antar daerah dan antara daerah dengan swasta, dalam dan luar negeri skala provinsi.
Koordinasi perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian pembangunan daerah skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan konsultasi perencanaan dan pengendalian pembangunan daerah skala kabupaten/kota.
a.Kerjasama pembangunan antar daerah dan antara daerah dengan swasta, dalam dan luar negeri skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Ɇ 4.a.Bimbingan, supervisi dan konsultasi pengelolaan kawasan dan lingkungan perkotaan skala nasional.
Ɇ 5.a.Bimbingan supervisi dan konsultasi pelayanan perkotaan skala nasional.
Ɇ 4.a.Bimbingan, supervisi dan konsultasi pengelolaan kawasan dan lingkungan perkotaan skala provinsi.
Ɇ 5.a.Konsultasi pelayanan perkotaan skala provinsi.
Bimbingan, supervisi dan konsultasi kerjasama pembangunan antar kecamatan/desa dan antara kecamatan/desa dengan swasta, dalam dan luar negeri skala kabupaten/kota.
a.Konsultasi pengelolaan kawasan dan lingkungan perkotaan skala kabupaten/ kota.
Bimbingan, supervisi dan konsultasi pengelolaan kawasan dan lingkungan perkotaan di daerah kecamatan/desa.
a.Konsultasi pelayanan perkotaan skala kabupaten/ kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Ɇ 6.a.Bimbingan, supervisi dan konsultasi keserasian pengembangan perkotaan dan perdesaan skala nasional.
Ɇ 7. Bimbingan, supervisi dan konsultasi pengembangan wilayah tertinggal, pesisir dan pulau-pulau kecil skala nasional.
Ɇ 6.a.Pelaksanaan konsultasi keserasian pengembangan perkotaan dan perdesaan skala provinsi.
Ɇ 7. Pengembangan wilayah tertinggal, pesisir dan pulau- pulau kecil skala provinsi.
Bimbingan, supervisi dan konsultasi pelayanan perkotaan di kecamatan/ desa.
a.Konsultasi keserasian pengembangan perkotaan dan perdesaan skala kabupaten/ kota.
Bimbingan, supervisi dan konsultasi keserasian pengembangan perkotaan dan perdesaan di kecamatan/ desa.
Pengembangan wilayah tertinggal, pesisir dan pulau- pulau kecil skala kabupaten/ kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 8.a.Bimbingan, supervisi dan konsultasi pengembangan kawasan prioritas, cepat tumbuh dan andalan skala nasional.
Ɇ 9.a.Bimbingan, supervisi dan konsultasi terhadap kelembagaan dan manajemen pengembangan wilayah dan kawasan skala nasional.
Ɇ 8.a.Konsultasi pengembangan kawasan prioritas, cepat tumbuh dan andalan skala provinsi.
Ɇ 9.a.Konsultasi terhadap kelembagaan dan manajemen pengembangan wilayah dan kawasan skala provinsi.
Ɇ 8.a.Konsultasi pengembangan kawasan prioritas, cepat tumbuh dan andalan skala kabupaten/kota.
Perencanaan kelembagaan dan manajemen pengembangan wilayah dan kawasan di kecamatan/desa.
a.Konsultasi terhadap kelembagaan dan manajemen pengembangan wilayah dan kawasan skala kabupaten/ kota.
Perencanaan kelembagaan dan manajemen pengembangan wilayah dan kawasan di kecamatan/desa. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Monitoring dan Evaluasi (Monev) 1.a.Monitoring dan evaluasi pelaksanaan pembangunan daerah skala nasional.
Ɇ c. Ɇ 2. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan kerjasama pembangunan antar daerah dan antara daerah dengan swasta, dalam dan luar negeri skala nasional.
a.Pelaksanaan monitoring dan evaluasi pelaksanaan pembangunan daerah skala provinsi.
Ɇ c. Ɇ 2. Pelaksanaan monitoring dan evaluasi pelaksanaan kerjasama pembangunan antar daerah kabupaten/kota dan antara daerah kabupaten/kota dengan swasta, dalam dan luar negeri skala provinsi.
a.Pelaksanaan monitoring dan evaluasi pelaksanaan pembangunan daerah skala kabupaten/kota.
Penetapan petunjuk teknis pembangunan skala kecamatan/desa.
Pelaksanaan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan pembangunan daerah kecamatan/desa.
Pelaksanaan monitoring dan evaluasi pelaksanaan kerjasama pembangunan antar kecamatan/desa dan antara kecamatan/desa dengan swasta, dalam dan luar negeri skala kabupaten/ kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan pengelolaan kawasan dan lingkungan perkotaan skala nasional.
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan pengembangan wilayah tertinggal, pesisir dan pulau-pulau kecil skala nasional.
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan pengembangan kawasan prioritas, cepat tumbuh dan andalan skala nasional.
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan pengelolaan kawasan dan lingkungan perkotaan skala provinsi.
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan pengembangan wilayah tertinggal, pesisir dan pulau-pulau kecil skala provinsi.
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan pengembangan kawasan prioritas, cepat tumbuh dan andalan skala provinsi.
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan pengelolaan kawasan dan lingkungan perkotaan skala kabupaten/ kota.
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan pengembangan wilayah tertinggal, pesisir dan pulau-pulau kecil skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan monitoring dan evaluasi pelaksanaan pengembangan kawasan prioritas, cepat tumbuh dan andalan skala kabupaten/ kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan keserasian pengembangan perkotaan dan kawasan perdesaan skala nasional.
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan terhadap kelembagaan dan manajemen pengembangan wilayah dan kawasan skala nasional.
Pelaksanaan monitoring dan evaluasi pelaksanaan keserasian pengembangan perkotaan dan kawasan perdesaan skala provinsi.
Pelaksanaan monitoring dan evaluasi pelaksanaan terhadap kelembagaan dan manajemen pengembangan wilayah dan kawasan skala provinsi.
Pelaksanaan monitoring dan evaluasi pelaksanaan keserasian pengembangan perkotaan dan kawasan perdesaan skala kabupaten/ kota.
Pelaksanaan monitoring dan evaluasi pelaksanaan terhadap kelembagaan dan manajemen pengembangan wilayah dan kawasan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Perhubungan Darat 1. Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) 1. Pedoman dan penetapan tata cara penyusunan dan penetapan rencana umum jaringan transportasi jalan.
— 1. — 2. Penyusunan dan penetapan rencana umum jaringan transportasi jalan nasional.
Penyusunan dan penetapan rencana umum jaringan transportasi jalan provinsi.
Penyusunan dan penetapan rencana umum jaringan transportasi jalan kabupaten/kota.
Pedoman tata cara penyusunan dan penetapan kelas jalan. 3. — 3. — 4. Pedoman persyaratan penentuan lokasi, rancang bangun, dan penyelenggaraan terminal penumpang.
— 4. — 5. Pedoman tata cara penyusunan dan penetapan jaringan lintas angkutan barang.
— 5. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Penetapan persyaratan teknis dan laik jalan kendaraan bermotor, kereta gandengan dan kereta tempelan.
— 6. — 7. Pedoman penetapan persyaratan teknis dan laik jalan kendaraan tidak bermotor.
— 7. — 8. Pedoman tata cara pelaksanaan pengujian tipe kendaraan bermotor.
— 8. — 9. Pedoman tata cara penerbitan dan pencabutan sertifikat kompetensi penguji kendaraan bermotor.
— 9. — 10. Pedoman persyaratan dan kriteria teknis unit pengujian berkala kendaraan bermotor.
— 10. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 11. Pedoman tata cara pelaksanaan pengujian berkala kendaraan bermotor.
— 11. — 12. Pedoman tata cara pelaksanaan kalibrasi peralatan uji kendaraan bermotor.
— 12. — 13. Pedoman tata cara pelaksanaan pemeriksaaan kendaraan bermotor di jalan.
— 13. — 14. Pedoman dan tata cara pelaksanaan pemeriksaan kendaraan bermotor (STNK dan BPKB).
— 14. — 15. Pedoman persyaratan teknis dan tata cara penyelenggaraan bengkel umum kendaraan bermotor.
— 15. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 16. Pedoman penyelenggaraan angkutan penumpang dengan kendaraan umum.
— 16. — 17. Pedoman penyelenggaraan angkutan barang. 17.— 17. — 18. Pedoman penyelenggaraan angkutan barang berbahaya, alat berat dan peti kemas serta angkutan barang khusus.
— 18. — 19. Pedoman perhitungan tarif angkutan penumpang. 19.— 19. — 20. Pedoman persyaratan teknis, rancang bangun, dan tata cara pengoperasian serta kalibrasi alat penimbangan kendaraan bermotor.
— 20. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 21. Pedoman persyaratan teknis, tata cara, penentuan lokasi, rancang bangun, dan pengoperasian fasilitas parkir untuk umum.
— 21 Pemberian izin penyelenggaraan dan pembangunan fasilitas parkir untuk umum.
Pedoman analisis dampak lalu lintas. 22. — 22. — 23. Pedoman tata cara penggunaan jalan selain untuk kepentingan lalu lintas. 23 — 23. — 24. — 24. Pengawasan dan pengendalian operasional terhadap penggunaan jalan selain untuk kepentingan lalu lintas di jalan nasional dan jalan provinsi.
Pengawasan dan pengendalian operasional terhadap penggunaan jalan selain untuk kepentingan lalu lintas di jalan kabupaten/kota.
Pedoman penyidikan pelanggaran lalu lintas dan angkutan jalan oleh PPNS.
— 25. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 26. Pedoman penyelenggaraan pendidikan dan latihan mengemudi. 26 — 26. Pengawasan penyelenggaraan pendidikan dan latihan mengemudi.
Pedoman penyelenggaraan dan tata cara memperoleh dan pencabutan Surat Izin Mengemudi (SIM).
— 27. — 28. Pedoman tata cara dan persyaratan penerbitan serta pencabutan sertifikat pengemudi angkutan penumpang umum dan barang tertentu.
— 28. — 29. Pedoman pengumpulan, pengolahan dan analisis kecelakaan lalu lintas.
— 29. — 30. Pedoman penyelenggaraan manajemen dan rekayasa lalu lintas.
— 30. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 31. Penetapan lokasi terminal penumpang Tipe A. 31. Penetapan lokasi terminal penumpang Tipe B. 31. Penetapan lokasi terminal penumpang Tipe C.
Penetapan norma, standar, kriteria, dan pengesahan rancang bangun terminal penumpang Tipe A.
Pengesahaan rancang bangun terminal penumpang Tipe B.
Pengesahaan rancang bangun terminal penumpang Tipe C.
Persetujuan pengoperasian terminal penumpang Tipe A. 33.Persetujuan pengoperasian terminal penumpang Tipe B.
Pembangunan pengoperasian terminal penumpang Tipe A, Tipe B, dan Tipe C.
Penetapan norma, standar, kriteria rancang bangun terminal angkutan barang.
— 34. — 35.— 35.— 35. Pembangunan terminal angkutan barang.
— 36.— 36. Pengoperasian terminal angkutan barang. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 37.Pelaksanaan uji tipe dan penerbitan sertifikat uji tipe kendaraan bermotor.
— 37. — 38.Registrasi uji tipe bagi kendaraan bermotor, serta penerbitan dan pencabutan sertifikat registrasi uji tipe bagi kendaraan bermotor yang tipenya sudah mendapatkan sertifikat uji tipe.
— 38. — 39.Penelitian dan pengesahan rancang bangun dan rekayasa kendaraan bermotor untuk karoseri, bak muatan, kereta gandengan, kereta tempelan dan kendaraan bermotor yang dimodifikasi berupa perubahan sumbu dan jarak sumbu.
— 39. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 40.Meregistrasi kendaraan bermotor dan menerbitkan sertifikat registrasi uji tipe bagi kendaraan bermotor yang dibuat berdasarkan rancang bangun yang sudah disahkan.
— 40. — 41.Penerbitan dan pencabutan sertifikat kompetensi penguji dan tanda kualifikasi teknis tenaga penguji.
— 41. — 42.Pembangunan fasilitas dan peralatan uji tipe. 42. — 42. — 43.Akreditasi unit pengujian berkala kendaraan bermotor. 43. — 43. — 44.Penerbitan sertifikat tanda lulus uji tipe. 44. — 44. — 45.Pelaksanaan kalibrasi peralatan uji kendaraan bermotor. 45. — 45. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 46.Akreditasi unit pelaksana pendaftaran kendaraan bermotor.
— 46. — 47.Penyusunan jaringan trayek dan penetapan kebutuhan kendaraan untuk angkutan yang wilayah pelayanannya melebihi satu wilayah provinsi atau lintas batas negara.
Penyusunan jaringan trayek dan penetapan kebutuhan kendaraan untuk angkutan yang wilayah pelayanannya melebihi wilayah kabupaten/kota dalam satu provinsi.
Penyusunan jaringan trayek dan penetapan kebutuhan kendaraan untuk kebutuhan angkutan yang wilayah pelayanannya dalam satu kabupaten/kota.
Penyusunan dan penetapan kelas jalan pada jaringan jalan nasional.
Penyusunan dan penetapan kelas jalan pada jaringan jalan provinsi.
Penyusunan dan penetapan kelas jalan pada jaringan jalan kabupaten/kota.
Pemberian izin trayek angkutan lintas batas negara dan antar kota antar provinsi.
Pemberian izin trayek angkutan antar kota dalam provinsi.
Pemberian izin trayek angkutan perdesaan/angkutan kota.
Penyusunan dan penetapan jaringan lintas angkutan barang pada jaringan jalan nasional.
Penyusunan dan penetapan jaringan lintas angkutan barang pada jaringan jalan provinsi.
Penyusunan dan penetapan jaringan lintas angkutan barang pada jaringan jalan kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 51.Pemberian izin trayek angkutan perkotaan yang wilayah pelayanannya melebihi satu wilayah provinsi.
Pemberian izin trayek angkutan perkotaan yang wilayah pelayanannya melebihi satu wilayah kabupaten/kota dalam satu provinsi.
— 52.Penetapan wilayah operasi dan kebutuhan kendaraan untuk angkutan taksi yang melayani lebih dari satu wilayah provinsi.
Penetapan wilayah operasi dan kebutuhan kendaraan untuk angkutan taksi yang wilayah pelayanannya melebihi kebutuhan kabupaten/kota dalam satu provinsi.
Penetapan wilayah operasi dan kebutuhan kendaraan untuk angkutan taksi yang wilayah pelayanannya dalam satu kabupaten/kota.
Pemberian izin operasi angkutan taksi yang melayani khusus untuk pelayanan ke dan dari tempat tertentu yang memerlukan tingkat pelayanan tinggi/wilayah operasinya lebih dari satu provinsi.
Pemberian izin operasi angkutan taksi yang melayani khusus untuk pelayanan ke dan dari tempat tertentu yang memerlukan tingkat pelayanan tinggi/wilayah operasinya melebihi wilayah kabupaten/kota dalam satu provinsi.
Pemberian izin operasi angkutan taksi yang melayani wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 54.Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria serta pemberian izin operasi angkutan sewa.
Pemberian izin operasi angkutan sewa. 54. Pemberian rekomendasi operasi angkutan sewa.
Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria serta pemberian izin operasi angkutan pariwisata.
Pemberian rekomendasi izin operasi angkutan pariwisata.
Pemberian izin usaha angkutan pariwisata.
Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria pemberian izin usaha angkutan barang.
— 56. Pemberian izin usaha angkutan barang.
Pemberian persetujuan pengangkutan barang berbahaya, beracun dan alat berat.
— 57. — 58.Penetapan tarif dasar penumpang kelas ekonomi antar kota antar provinsi.
Penetapan tarif penumpang kelas ekonomi antar kota dalam provinsi.
Penetapan tarif penumpang kelas ekonomi angkutan dalam kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 59.Penetapan persyaratan teknis dan tata cara penempatan, pengadaan, pemasangan, pemeliharaan dan penghapusan rambu lalu lintas, marka jalan dan alat pemberi isyarat lalu lintas, alat pengendalian dan pengaman pemakai jalan, alat pengawasan dan pengamanan jalan serta fasilitas pendukung di jalan.
— 59. — 60.Penentuan lokasi, pengadaan, pemasangan, pemeliharaan dan penghapusan rambu lalu lintas, marka jalan dan alat pemberi isyarat lalu lintas, alat pengendali dan pengamanan pemakai jalan serta fasilitas pendukung di jalan nasional.
Penentuan lokasi, pengadaan, pemasangan, pemeliharaan dan penghapusan rambu lalu lintas, marka jalan dan alat pemberi isyarat lalu lintas, alat pengendali dan pengamanan pemakai jalan serta fasilitas pendukung di jalan provinsi.
Penentuan lokasi, pengadaan, pemasangan, pemeliharaan dan penghapusan rambu lalu lintas, marka jalan dan alat pemberi isyarat lalu lintas, alat pengendali dan pengamanan pemakai jalan serta fasilitas pendukung di jalan kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 61.Penetapan lokasi alat pengawasan dan pengamanan jalan.
— 61. — 62.Akreditasi unit penimbangan kendaraan bermotor. 62. — 62. — 63.Sertifikasi petugas unit penimbangan kendaraan bermotor.
— 63. — 64.Kalibrasi alat penimbangan kendaraan bermotor. 64. — 64. — 65.Pengawasan terhadap pengoperasian unit penimbangan kendaraan bermotor.
Pengoperasian dan pemeliharaan unit penimbangan kendaraan bermotor.
— 66.Penyelenggaraan manajemen dan rekayasa lalu lintas di jalan nasional.
Penyelenggaraan manajemen dan rekayasa lalu lintas di jalan provinsi.
Penyelenggaraan manajemen dan rekayasa lalu lintas di jalan kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 67.Penyelenggaraan analisis dampak lalu lintas (andalalin) di jalan nasional.
Penyelenggaraan andalalin di jalan provinsi. 67. Penyelenggaraan andalalin di jalan kabupaten/kota.
Sertifikasi kompentensi penilai andalalin. 68. — 68. — 69.Penetapan persyaratan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) bidang LLAJ.
— 69. — 70.Pengusulan pengangkatan dan pemberhentian PPNS bidang LLAJ.
— 70. — 71.Pengawasan pelaksanaan penyidikan bidang LLAJ. 71. — 71. — 72.Penetapan kualifikasi tenaga instruktur sekolah mengemudi. 72. — 72. — 73.Akreditasi pendidikan dan latihan mengemudi. 73. — 73. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 74.Penetapan kualifikasi pengemudi. 74. — 74. — 75.Akreditasi unit pelaksana penerbitan Surat Izin Mengemudi (SIM).
— 75. — 76.Penyelenggaraan pemberian SIM dan pendaftaran kendaraan bermotor.
— 76. — 77.Penyelenggaraan pemberian SIM internasional. 77. — 77. — 78.Akreditasi unit pelaksana penerbitan sertifikat kompetensi pengemudi angkutan penumpang umum dan barang tertentu.
— 78. — 79.Sertifikasi pengemudi angkutan penumpang umum. 79. — 79. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 80.Sertifikasi pengemudi dan pembantu pengemudi kendaraan pengangkut barang berbahaya dan beracun serta barang khusus.
— 80. — 81.Penyelenggaraan pencegahan dan penanggulangan kecelakaan lalu lintas di jalan nasional dan jalan tol.
Penyelenggaraan pencegahan dan penanggulangan kecelakaan lalu lintas di jalan provinsi.
Penyelenggaraan pencegahan dan penanggulangan kecelakaan lalu lintas di jalan kabupaten/kota.
Penelitian dan pelaporan kecelakaan lalu lintas di jalan yang mengakibatkan korban meninggal dunia dan/atau yang menjadi isu nasional.
Penelitian dan pelaporan kecelakaan lalu lintas di jalan yang mengakibatkan korban meninggal dunia dan/atau yang menjadi isu provinsi.
Penelitian dan pelaporan kecelakaan lalu lintas di jalan yang mengakibatkan korban meninggal dunia dan/atau yang menjadi isu kabupaten/kota.
Pedoman persyaratan tenaga auditor keselamatan jalan nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.
— 83. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 84.Pedoman persyaratan tenaga investigator kecelakaan lalu lintas nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.
— 84. — 85.Penerbitan dan pencabutan sertifikat tenaga auditor keselamatan jalan nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.
— 85. — 86.Penerbitan dan pencabutan sertifikat tenaga investigator kecelakaan lalu lintas jalan nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.
— 86. — 87.Penerbitan sertifikat registrasi uji tipe untuk rancang bangun kendaraan bermotor.
— 87. — 88.Pemeriksaan mutu rancang bangun kendaraan bermotor, kereta gandengan dan kereta tempelan.
— 88. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 89.Pengesahan modifikasi kendaraan bermotor dengan tidak mengubah tipe.
— 89. — 90.Penelitian dan penilaian kesesuaian fisik kendaraan bermotor, kereta gandengan, dan kereta tempelan dengan Surat Keputusan (SK) rancang bangun kendaraan bermotor yang diterbitkan oleh pemerintah.
— 90. — 91.Penerbitan surat keterangan bebas uji berkala pertama kali. 91. — 91. — 92.Pengawasan pelaksanaan pengujian berkala kendaraan bermotor.
— 92. Pelaksanaan pengujian berkala kendaraan bermotor.
Penilaian kinerja tenaga penguji berkala kendaraan bermotor. 93. — 93. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 94.Pemeriksaan kendaraan di jalan sesuai kewenangannya. 94. Pemeriksaan kendaraan di jalan sesuai kewenangannya.
Pemeriksaan kendaraan di jalan sesuai kewenangannya.
— 95. Pemberian izin operasi angkutan sewa berdasarkan kuota yang ditetapkan pemerintah.
— 96.— 96. Pengoperasian alat penimbang kendaraan bermotor di jalan.
— 97.Perizinan penggunaan jalan selain untuk kepentingan lalu lintas di jalan nasional kecuali jalan tol.
Perizinan penggunaan jalan selain untuk kepentingan lalu lintas di jalan provinsi.
Perizinan penggunaan jalan selain untuk kepentingan lalu lintas di jalan kabupaten/kota.
Pelaksanaan penyidikan pelanggaran ketentuan pidana Undang-undang tentang LLAJ.
Pelaksanaan penyidikan pelanggaran:
Perda provinsi bidang LLAJ.
Pelaksanaan penyidikan pelanggaran:
Perda kabupaten/kota bidang LLAJ. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Pemenuhan persyaratan teknis dan laik jalan.
Pelanggaran ketentuan pengujian berkala.
Perizinan angkutan umum.
Pemenuhan persyaratan teknis dan laik jalan.
Pelanggaran ketentuan pengujian berkala.
Perizinan angkutan umum.
Pengawasan pemberian SIM, pendaftaran kendaraan bermotor, dan sertifikat pengemudi angkutan penumpang umum dan barang tertentu.
— 99. — 100.Pengumpulan, pengolahan data, dan analisis kecelakaan lalu lintas tingkat nasional.
Pengumpulan, pengolahan data, dan analisis kecelakaan lalu lintas di wilayah provinsi.
Pengumpulan, pengolahan data, dan analisis kecelakaan lalu lintas di wilayah kabupaten/kota.
— 101. — 101.Pelaksanaan pengujian berkala kendaraan bermotor. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 102. — 102. — 102. Pemberian izin usaha bengkel umum kendaraan bemotor.
— 103. — 103. Pemberian izin trayek angkutan kota yang wilayah pelayanannya dalam satu wilayah kabupaten/kota.
— 104. — 104. Penentuan lokasi fasilitas parkir untuk umum di jalan kabupaten/kota.
— 105. — 105. Penentuan lokasi fasilitas parkir untuk umum di jalan kabupaten/kota.
— 106. — 106. Pengoperasian fasilitas parkir untuk umum di jalan kabupaten/kota.
— 107. — 107. Pemberian izin usaha mendirikan pendidikan dan latihan mengemudi. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Lalu Lintas Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (LLASDP) 1. Penyusunan dan penetapan rencana umum jaringan sungai dan danau antar provinsi.
Penyusunan dan penetapan rencana umum jaringan sungai dan danau antar kabupaten/kota dalam provinsi.
Penyusunan dan penetapan rencana umum jaringan sungai dan danau dalam kabupaten/kota.
Penyusunan dan penetapan rencana umum lintas penyeberangan yang terletak pada jaringan jalan nasional, dan antar negara, serta jaringan jalur kereta api nasional dan antar negara.
Penyusunan dan penetapan rencana umum lintas penyeberangan antar kabupaten/kota dalam provinsi yang terletak pada jaringan jalan provinsi.
Penyusunan dan penetapan rencana umum lintas penyeberangan dalam kabupaten/kota yang terletak pada jaringan jalan kabupaten/kota.
Pedoman penetapan lintas penyeberangan. 3. — 3. — 4. Penetapan lintas penyeberangan yang terletak pada jaringan jalan nasional, dan antar negara dan jaringan jalur kereta api dan antar negara.
Penetapan lintas penyeberangan antar kabupaten/kota dalam provinsi yang terletak pada jaringan jalan provinsi.
Penetapan lintas penyeberangan dalam kabupaten/kota yang terletak pada jaringan jalan kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Pedoman rancang bangun kapal Sungai, Danau, dan Penyeberangan (SDP).
— 5. — 6. Pengadaan kapal SDP. 6. Pengadaan kapal SDP. 6. Pengadaan kapal SDP.
Pedoman registrasi kapal sungai dan danau. 7. — 7. — 8. Pedoman pengoperasian kapal SDP. 8. — 8. — 9. Pedoman persyaratan pelayanan kapal SDP. 9. — 9. — 10. Pedoman pemeliharaan/ perawatan kapal SDP. 10.— 10.— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 11. Pedoman tata cara pengawasan terhadap pemberian surat ukur, surat tanda pendaftaran dan tanda pendaftaran, sertifikat kelaikan kapal, sertifikat pengawakan kapal, dan surat tanda kebangsaan kapal sungai dan danau.
— 11.— 12. Pengawasan terhadap pemberian surat ukur, surat tanda pendaftaran dan tanda pendaftaran, sertifikat kelaikan kapal, sertifikat pengawakan kapal, dan surat tanda kebangsaan kapal sungai dan danau 7 GT.
Pengawasan terhadap pemberian surat ukur, surat tanda pendaftaran dan tanda pendaftaran, sertifikat kelaikan kapal, sertifikat pengawakan kapal, dan surat tanda kebangsaan kapal sungai dan danau < 7 GT.
— 13. Pedoman penyelenggaraan pelabuhan SDP. 13.— 13.— 14. Pedoman penetapan lokasi pelabuhan SDP. 14.— 14.— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 15. Penetapan lokasi pelabuhan penyeberangan. 15.Rekomendasi lokasi pelabuhan penyeberangan. 15.Rekomendasi lokasi pelabuhan penyeberangan.
— 16.— 16.Penetapan lokasi pelabuhan sungai dan danau.
Pedoman pembangunan pelabuhan SDP. 17.— 17.— 18. Pembangunan pelabuhan SDP. 18.Pembangunan pelabuhan SDP. 18.Pembangunan pelabuhan SDP.
Penyelenggaraan pelabuhan penyeberangan. 19.— 19.Penyelenggaraan pelabuhan penyeberangan.
Pengawasan penyelenggaraan pelabuhan penyeberangan pada jaringan jalan nasional dan antar negara serta jaringan jalur kereta api nasional dan antar negara.
— 20.— 21. — 21.— 21.Penyelenggaraan pelabuhan sungai dan danau. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 22. Pedoman penyusunan rencana induk, Daerah Lingkungan Kerja (DLKr)/Daerah Lingkungan Kepentingan (DLKp) pelabuhan SDP.
— 22. — 23. — 23.Pemberian rekomendasi rencana induk pelabuhan penyeberangan, DLKr/DLKp yang terletak pada jaringan jalan nasional dan antar negara serta jaringan jalur kereta api.
Pemberian rekomendasi rencana induk, DLKr/DLKp pelabuhan penyeberangan yang terletak pada jaringan jalan provinsi, nasional dan antar negara.
Penetapan rencana induk, DLKr/DLKp pelabuhan Penyeberangan yang terletak pada jaringan jalan nasional dan antar negara serta jaringan jalur kereta api nasional dan antar negara.
Penetapan rencana induk, DLKr/DLKp pelabuhan penyeberangan yang terletak pada jaringan jalan provinsi 24. Penetapan rencana induk, DLKr/DLKp pelabuhan SDP yang terletak pada jaringan jalan kabupaten/kota.
Pedoman sertifikasi pelabuhan SDP. 25.— 25. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 26. Penetapan sertifikasi pelabuhan SDP. 26.— 26. — 27. Pedoman pemeliharaan/ perawatan pelabuhan SDP. 27.— 27. — 28. Pedoman penetapan kelas alur pelayaran sungai dan danau. 28.— 28. — 29. — 29.Penetapan kelas alur pelayaran sungai. 29. — 30. Pedoman tata cara berlalu lintas di sungai dan danau. 30.— 30. — 31. Pedoman perambuan sungai, danau dan penyeberangan. 31.— 31. — 32. Pengadaan, pemasangan dan pemeliharaan rambu penyeberangan.
Pengadaan, pemasangan dan pemeliharaan rambu penyeberangan.
Pengadaan, pemasangan dan pemeliharaan rambu penyeberangan SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 33. — 33.— 33. Izin pembuatan tempat penimbunan kayu (logpon), jaring terapung dan kerambah di sungai dan danau.
Pemetaan alur sungai untuk kebutuhan transportasi. 34.Pemetaan alur sungai lintas kabupaten/kota dalam provinsi untuk kebutuhan transportasi.
Pemetaan alur sungai kabupaten/kota untuk kebutuhan transportasi.
Pembangunan, pemeliharaan, pengerukan alur pelayaran sungai dan danau.
Pembangunan, pemeliharaan, pengerukan alur pelayaran sungai dan danau.
Pembangunan, pemeliharaan, pengerukan alur pelayaran sungai dan danau kabupaten/kota.
— 36.Izin pembangunan prasarana yang melintasi alur sungai dan danau.
— 37. Pedoman penyelenggaraan angkutan SDP. 37.— 37. — 38. Pedoman tarif angkutan SDP. 38.— 38. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 39. Penetapan tarif angkutan penyeberangan kelas ekonomi pada lintas penyeberangan yang terletak pada jaringan jalan nasional dan antar negara, serta jaringan jalur kereta api nasional dan antar negara.
Penetapan tarif angkutan penyeberangan kelas ekonomi pada lintas penyeberangan yang terletak pada jaringan jalan provinsi.
Penetapan tarif angkutan penyeberangan kelas ekonomi pada lintas penyeberangan dalam kabupaten/kota yang terletak pada jaringan jalan kabupaten/kota.
Penetapan tarif angkutan sungai dan danau kelas ekonomi pada lintas antar provinsi dan antar negara.
Penetapan tarif angkutan sungai dan danau kelas ekonomi antar kabupaten/kota dalam provinsi.
Penetapan tarif angkutan sungai dan danau kelas ekonomi dalam kabupaten/kota.
Pengawasan pelaksanaan tarif angkutan SDP pada jaringan jalan nasional dan antar negara.
Pengawasan pelaksanaan tarif angkutan SDP antar kabupaten/kota dalam provinsi yang terletak pada jaringan jalan provinsi.
Pengawasan pelaksanaan tarif angkutan SDP dalam kabupaten/kota yang terletak pada jaringan jalan kabupaten/kota.
Pedoman tarif jasa kepelabuhanan SDP. 42. — 42. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 43. Penetapan tarif jasa pelabuhan SDP yang tidak diusahakan yang dikelola pemerintah.
— 43. Penetapan tarif jasa pelabuhan SDP yang tidak diusahakan yang dikelola kabupaten/kota.
Pedoman/persyaratan pelayanan angkutan SDP. 44. — 44. — 45. Pemberian persetujuan pengoperasian kapal untuk lintas penyeberangan pada jaringan jalan nasional dan antar negara.
Pemberian persetujuan pengoperasian kapal untuk lintas penyeberangan antar kabupaten/kota dalam provinsi pada jaringan jalan provinsi.
Pemberian persetujuan pengoperasian kapal untuk lintas penyeberangan dalam kabupaten/kota pada jaringan jalan kabupaten/kota 46. Pengawasan pengoperasian penyelenggaraan angkutan sungai dan danau.
Pengawasan pengoperasian penyelenggaraan angkutan sungai dan danau.
Pengawasan pengoperasian penyelenggaran angkutan sungai dan danau.
Pengawasan pengoperasian penyelenggaraan angkutan penyeberangan pada lintas antar provinsi dan antar negara.
Pengawasan pengoperasian penyelenggaraan angkutan penyeberangan antar kabupaten/kota dalam provinsi pada jaringan jalan provinsi.
Pengawasan pengoperasian penyelenggaraan angkutan penyeberangan dalam kabupaten/kota pada jaringan jalan kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 48. Pengawasan angkutan barang berbahaya dan khusus melalui angkutan SDP.
Pengawasan angkutan barang berbahaya dan khusus melalui angkutan SDP.
— 2. Perkeretaapian 1. Penetapan rencana induk perkeretaapian nasional. 1. Penetapan rencana induk perkeretaapian provinsi;
Penetapan rencana induk perkeretaapian kabupaten/kota.
Pembinaan yang dilakukan oleh Pemerintah meliputi :
Penetapan sasaran dan arah kebijakan pengembangan sistem perkeretaapian tingkat nasional dan perkeretaapian lokal yang jaringannya melebihi satu provinsi;
Pembinaan yang dilakukan oleh pemerintah provinsi meliputi:
Penetapan sasaran dan arah kebijakan pengembangan sistem perkeretaapian provinsi dan perkeretaapian kabupaten /kota yang jaringannya melebihi wilayah kabupaten /kota;
Pembinaan yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota meliputi :
Penetapan sasaran dan arah kebijakan pengembangan sistem perkeretaapian kabupaten/kota yang jaringannya berada di wilayah kabupaten/kota; SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Penetapan persyaratan, norma, pedoman, standar, kriteria dan prosedur penyelenggaraan perkeretaapian yang berlaku secara nasional;
Pelaksanaan perwujudan pengembangan sistem perkeretaapian tingkat nasional;
Penetapan kompetensi Pejabat yang melaksanakan fungsi di bidang perkeretaapian, pemberian arahan, bimbingan, pelatihan, dan bantuan teknis kepada pemerintah daerah dan masyarakat;dan e. Pengawasan terhadap pelaksanaan norma, persyaratan, pedoman, b. Pemberian arahan, bimbingan, pelatihan dan bantuan teknis kepada kabupaten/kota, pengguna dan penyedia jasa; dan
Pengawasan terhadap pelaksanaan perkeretaapian provinsi.
— e.— b. Pemberian arahan, bimbingan, pelatihan dan bantuan teknis kepada pengguna dan penyedia jasa; dan
Pengawasan terhadap pelaksanaan perkeretaapian kabupaten /kota.
— e. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA standar, kriteria dan prosedur yang dilakukan oleh pemerintah daerah dan masyarakat dan pengawasan terhadap pelaksanaan perwujudan pengembangan sistem perkeretaapian tingkat nasional.
Penetapan persyaratan kelaikan operasi prasarana kereta api umum.
— 3. — 4. Pengusahaan prasarana kereta api umum yang tidak dilaksanakan oleh badan usaha prasarana kereta api.
Pengusahaan prasarana kereta api umum yang tidak dilaksanakan oleh badan usaha prasarana kereta api.
Pengusahaan prasarana kereta api umum yang tidak dilaksanakan oleh badan usaha prasarana kereta api.
Penetapan persyaratan perawatan prasarana kereta api. 5. — 5. — 6. Penetapan persyaratan kelaikan operasi sarana kereta api. 6. — 6. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 7. Penetapan izin penyelenggaraan perkeretaapian khusus yang jaringan jalurnya melebihi wilayah satu provinsi.
Penetapan izin penyelenggaraan perkeretaapian khusus yang jaringan jalurnya melebihi wilayah satu kabupaten/ kota dalam satu provinsi.
Penetapan izin penyelenggaraan perkeretaapian khusus yang jaringan jalurnya dalam kabupaten/kota.
Penetapan jalur kereta api khusus yang jaringan melebihi satu provinsi.
Penetapan jalur kereta api khusus yang jaringan melebihi satu wilayah kabupaten/kota dalam provinsi.
Penetapan jalur kereta api khusus yang jaringan dalam wilayah kabupaten /kota.
Pengujian prasarana kereta api. 9. — 9. — 10. Penetapan akreditasi atau lembaga penguji berkala prasarana kereta api.
— 10. — 11. Pemberian sertifikat prasarana kereta api yang telah dinyatakan lulus uji pertama dan uji berkala.
— 11. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 12. Pemberian sertifikat tenaga tanda kecakapan pengoperasian prasarana kereta api.
— 12. — 13. Penetapan penunjukan badan hukum atau lembaga lain yang menyelenggarakan pendidikan dan/atau pelatihan tenaga pengoperasian prasarana kereta api.
— 13. — 14.Penetapan persyaratan dan kualifikasi tenaga perawatan prasarana kereta api.
— 14. — 15. — 15. Penutupan perlintasan untuk keselamatan perjalanan kereta api dan pemakai jalan perlintasan sebidang yang tidak mempunyai izin dan tidak ada penanggungjawabnya, dilakukan oleh pemilik dan/atau Pemerintah Daerah.
Penutupan perlintasan untuk keselamatan perjalanan kereta api dan pemakai jalan perlintasan sebidang yang tidak mempunyai izin dan tidak ada penanggungjawabnya, dilakukan oleh pemilik dan/atau Pemerintah Daerah. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 16.Pelaksanaan uji pertama dan uji berkala sarana kereta api. 16. — 16. — 17. Pemberian sertifikat kelaikan sarana kereta api yang telah dinyatakan lulus uji pertama dan uji berkala.
— 17. — 18. Pelimpahan wewenang kepada badan usaha atau lembaga untuk melaksanakan pengujian berkala sarana kereta api.
— 18. — 19. Penerbitan sertifikat tenaga penguji sarana kereta api yang memenuhi persyaratan dan kualifikasi tertentu.
— 19. — 20. Penetapan persyaratan perawatan sarana kereta api. 20. — 20. — 21. Penetapan persyaratan dan kualifikasi tenaga perawatan 21. — 21. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA sarana kereta api.
Pemberian sertifikat tanda kecakapan awak kereta api. 22. — 22. — 23. Penunjukan untuk melaksanakan pendidikan dan/atau pelatihan awak sarana kereta api kepada badan hukum atau lembaga 23. — 23. — 24. Penetapan jaringan pelayanan kereta api antar kota lintas batas negara, antar kota melebihi satu provinsi.
Penetapan jaringan pelayanan kereta api antar kota melebihi satu kabupaten/kota dalam satu provinsi.
Penetapan jaringan pelayanan kereta api dalam satu kabupaten/ kota.
Penetapan jaringan pelayanan kereta api perkotaan melampaui satu provinsi.
Penetapan jaringan pelayanan kereta api perkotaan melampaui satu kabupaten/kota dalam satu provinsi.
Penetapan jaringan pelayanan kereta api perkotaan berada dalam kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 26. Penetapan persetujuan angkutan orang dengan menggunakan gerbong kereta api dalam kondisi tertentu.
Penetapan persetujuan angkutan orang dengan menggunakan gerbong kereta api dalam kondisi tertentu yang pengoperasian di dalam wilayah kabupaten/kota dalam satu provinsi.
Penetapan persetujuan angkutan orang dengan menggunakan gerbong kereta api dalam kondisi tertentu yang pengoperasian di dalam wilayah kabupaten/kota.
Pemberian izin usaha kegiatan angkutan orang dan/atau barang dengan kereta api umum.
— 27. — 28. Izin operasi kegiatan angkutan orang dan/atau barang dengan kereta api umum untuk pelayanan angkutan lintas batas negara berdasarkan perjanjian antar negara dan untuk pelayanan angkutan antar kota dan perkotaan yang melintas layanannya melebihi 28. Izin operasi kegiatan angkutan orang dan/atau barang dengan kereta api umum untuk pelayanan angkutan antar kota dan perkotaan yang lintas pelayanannya melebihi satu kabupaten/kota dalam satu provinsi.
Izin operasi kegiatan angkutan orang dan/atau barang dengan kereta api umum untuk pelayanan angkutan antar kota dan perkotaan yang lintas pelayanannya dalam satu kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA satu provinsi.
Penetapan tarif penumpang kereta api dalam hal pelayanan angkutan yang merupakan kebutuhan pokok masyarakat dan pelayanan angkutan yang disediakan untuk pengembangan wilayah, untuk layanan angkutan lintas batas negara berdasarkan perjanjian antar negara dan untuk pelayanan angkutan antar kota dan perkotaan yang lintas pelayanannya melebihi satu provinsi.
Penetapan tarif penumpang kereta api dalam hal pelayanan angkutan yang merupakan kebutuhan pokok masyarakat dan pelayanan angkutan yang disediakan untuk pengembangan wilayah, untuk pelayanan angkutan antar kota dan perkotaan yang lintas pelayanannya melebihi satu kabupaten/kota dalam satu provinsi.
Penetapan tarif penumpang kereta api dalam hal pelayanan angkutan yang merupakan kebutuhan pokok masyarakat dan pelayanan angkutan yang disediakan untuk pengembangan wilayah, untuk pelayanan angkutan antar kota dan perkotaan yang lintas pelayanannya dalam satu kabupaten/kota.
Pembentukan badan untuk pemeriksaan dan penelitian mengenai penyebab setiap kecelakakaan kereta api.
— 30. — 31. Penetapan persyaratan PPNS bidang perkeretaapian. 31. — 31. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 32. Pengangkatan dan pemberhentian PPNS bidang perkeretaapian.
— 32. — 3. Perhubungan Laut 1. Kapal berukuran tonase kotor sama dengan atau lebih dari 7 (GT 7) yang berlayar hanya di perairan daratan (sungai dan danau):
Kapal berukuran tonase kotor sama dengan atau lebih dari 7 (GT 7) yang berlayar hanya di perairan daratan (sungai dan danau):
Kapal berukuran tonase kotor sama dengan atau lebih dari 7 (GT 7) yang berlayar hanya di perairan daratan (sungai dan danau):
Penetapan standar laik air serta pedoman keselamatan kapal.
— a. — b. Penetapan prosedur pengawasan keselamatan kapal.
— b. — c. Pemberian izin pembangunan dan pengadaan kapal di atas GT 300.
Pemberian izin pembangunan dan pengadaan kapal sampai dengan GT 300 ditugaspembantuankan c. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA kepada provinsi.
Pengaturan pengukuran kapal. d. Pelaksanaan pengukuran kapal sampai dengan GT 300 ditugaspembantuankan kepada provinsi.
— e. Pengaturan pendaftaran kapal. e. — e. — f. Pengaturan pas kapal perairan daratan. f. — f. — g. Menetapkan tanda panggilan ( call sign ) kapal. g. — g. — h. — h. Pelaksanaan pengawasan keselamatan kapal.
— i. — i. Pelaksanaan pemeriksaan radio/elektronika kapal.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA j. — j. Pelaksanaan pengukuran kapal. j. — k. — k. Penerbitan pas perairan daratan. k. — l. — l. Pencatatan kapal dalam buku register pas perairan daratan.
— m. — m. Pelaksanaan pemeriksaan konstruksi. m. — n. — n. Pelaksanaan pemeriksaan permesinan kapal.
— o. — o. Penerbitan sertifikat keselamatan kapal. o. — p. — p. Pelaksanaan pemeriksaan perlengkapan kapal.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA q. — q. Penerbitan dokumen pengawakan kapal. q. — r. — r. — r. Pemberian surat izin berlayar.
Kapal berukuran tonase kotor kurang dari 7 (GT <7) yang berlayar hanya di perairan daratan (sungai dan danau):
Kapal berukuran tonase kotor kurang dari 7 (GT <7) yang berlayar hanya di perairan daratan (sungai dan danau):
Kapal berukuran tonase kotor kurang dari 7 (GT <7) yang berlayar hanya di perairan daratan (sungai dan danau):
Penetapan standar laik air serta pedoman keselamatan kapal.
— a. — b. Penetapan prosedur pengawasan keselamatan kapal.
— b. — c. Pengaturan pengukuran kapal. c. — c. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA d. Pengaturan pas kapal perairan daratan. d. — d. — e. — e. Pemberian izin pembangunan dan pengadaan kapal.
— f. — f. — f. Pelaksanaan pengawasan keselamatan kapal.
— g. — g. Pelaksanaan pengukuran kapal.
— h. — h. Penerbitan pas perairan daratan.
— i. — i. Pencatatan kapal dalam buku register pas perairan daratan.
— j. — j. Pelaksanaan pemeriksaan konstruksi kapal. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA k. — k. — k. Pelaksanaan pemeriksaan permesinan kapal.
— l. — l. Pelaksanaan pemeriksaan perlengkapan kapal.
— m. — m. Penerbitan sertifikat keselamatan kapal.
— n. — n. Penerbitan dokumen pengawakan kapal.
— o. — o. Pemberian surat izin berlayar.
Kapal berukuran tonase kotor lebih dari atau sama dengan GT 7 (GT 7) yang berlayar di laut:
Kapal berukuran tonase kotor lebih dari atau sama dengan GT 7 (GT 7) yang berlayar di laut:
Kapal berukuran tonase kotor lebih dari atau sama dengan GT 7 (GT 7) yang berlayar di laut:
Penetapan standar laik air serta pedoman keselamatan kapal.
— a. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Penetapan prosedur pengawasan keselamatan kapal.
— b. — c. Pemberian izin pembangunan dan pengadaan kapal. c. — c. — d. Pengawasan pelaksanaan keselamatan kapal. d. — d. — e. Pelaksanaan pengukuran kapal. e. — e. — f. Pelaksanaan pendaftaran kapal. f. — f. — g. Penetapan tanda panggilan ( call sign ) kapal. g. — g. — h. Penerbitan surat tanda kebangsaan kapal. h. — h. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA i. Pencatatan kapal dalam buku register surat tanda kebangsaan kapal.
— i. — j. Penerbitan pas kecil. j. — j. — k. Pencatatan kapal dalam buku register pas kecil. k. — k. — l. Pelaksanaan pemeriksaan konstruksi kapal. l. — l. — m. Pelaksanaan pemeriksaan permesinan kapal. m. — m. — n. Penerbitan sertifikat keselamatan kapal. n. — n. — o. Pelaksanaan pemeriksaan perlengkapan kapal. o. — o. — p. Pelaksanaan pemeriksaan radio/elektronika kapal. p. — p. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA q. Penerbitan dokumen pengawakan kapal. q. — q. — r. Pemberian surat izin berlayar. r. — r. — 4. Kapal berukuran tonase kotor kurang dari GT 7 (GT < 7) yang berlayar di laut:
Kapal berukuran tonase kotor kurang dari GT 7 (GT < 7) yang berlayar di laut:
Kapal berukuran tonase kotor kurang dari GT 7 (GT < 7) yg berlayar di laut:
Penetapan standar laik air serta pedoman keselamatan kapal.
— a. — b. Penetapan prosedur pengawasan keselamatan kapal.
— b. — c. Pengaturan pengukuran kapal. c. — c. — d. Pengaturan surat tanda kebangsaan kapal (pas kecil). d. — d. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA e. — e. Pemberian izin pembangunan dan pengadaan kapal.
— f. — f. — f. Pelaksanaan pengawasan keselamatan kapal.
g. — g. Pelaksanaan pengukuran kapal.
— h. — h. Penerbitan pas kecil .
— i. — i. Pencatatan kapal dalam buku register pas kecil.
— j. — j. Pelaksanaan pemeriksaan konstruksi kapal.
— k. — k. Pelaksanaan pemeriksaan permesinan kapal.
— l. — l. Penerbitan sertifikat keselamatan kapal. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA m. — m. — m. Pelaksanaan pemeriksaan perlengkapan kapal.
— n. — n. Penerbitan dokumen pengawakan kapal.
Pemberian surat izin berlayar. o. — o. — 5. Persetujuan lokasi pelabuhan laut. 5. — 5. Penetapan penggunaan tanah lokasi pelabuhan laut.
Penetapan rencana induk pelabuhan laut internasional hub, internasional dan nasional.
— 6. — 7. Pengelolaan pelabuhan laut internasional hub, internasional dan nasional lama.
Pengelolaan pelabuhan regional lama. 7. Pengelolaan pelabuhan lokal lama.
Pengelolaan pelabuhan baru yang dibangun oleh pemerintah. 8. Pengelolaan pelabuhan baru yang dibangun oleh provinsi.
Pengelolaan pelabuhan baru yang dibangun oleh kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 9. Penetapan daerah lingkungan kerja dan daerah lingkungan kepentingan pelabuhan laut internasional hub, internasional dan nasional.
— 9. — 10.Penetapan keputusan pelaksanaan pembangunan pelabuhan laut internasional hub, internasional dan nasional.
— 10. — 11.Penetapan keputusan pelaksanaan pengoperasian pelabuhan laut internasional hub, internasional dan nasional.
— 11. — 12.Pertimbangan teknis penambahan dan atau pengembangan fasilitas pokok pelabuhan laut internasional hub, internasional, dan nasional.
— 12. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 13.Penetapan pengoperasian 24 (dua puluh empat) jam pelabuhan laut internasional hub, internasional dan nasional.
— 13. — 14.Penetapan pelabuhan laut untuk melayani angkutan peti kemas. 14. — 14. — 15.Pertimbangan teknis penetapan pelabuhan laut untuk melayani curah kering dan curah cair.
— 15. — 16.Persetujuan pengelolaan Dermaga Untuk Kepentingan Sendiri (DUKS) yang berlokasi di dalam DLKr/DLKp pelabuhan laut internasional hub, internasional dan nasional.
— 16. — 17.Pemberian izin kegiatan pengerukan dan/atau reklamasi di dalam DLKr/DLKp pelabuhan laut internasional hub, 17. — 17. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA internasional dan nasional.
Penetapan pelabuhan yang terbuka bagi perdagangan luar negeri.
— 18. — 19.— 19. Rekomendasi penetapan rencana induk pelabuhan laut internasional hub, internasional dan nasional.
Rekomendasi penetapan rencana induk pelabuhan laut internasional hub, internasional dan nasional.
— 20. Penetapan rencana induk pelabuhan laut regional. 20. — 21.— 21. — 21. Penetapan rencana induk pelabuhan lokal.
— 22. Rekomendasi penetapan lokasi pelabuhan umum. 22. Rekomendasi penetapan lokasi pelabuhan umum.
— 23. Rekomendasi penetapan lokasi pelabuhan khusus. 23. Rekomendasi penetapan lokasi pelabuhan khusus.
— 24. Penetapan keputusan pelaksanaan pembangunan 24. Penetapan keputusan pelaksanaan pembangunan SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA pelabuhan laut regional. pelabuhan laut lokal.
— 25. Penetapan pelaksanaan pembangunan pelabuhan khusus regional.
Penetapan pelaksanaan pembangunan pelabuhan khusus lokal.
— 26. Penetapan keputusan pelaksanaan pengoperasian pelabuhan laut regional.
Penetapan keputusan pelaksanaan pengoperasian pelabuhan laut lokal.
— 27. Penetapan izin pengoperasian pelabuhan khusus regional.
Penetapan izin pengoperasian pelabuhan khusus lokal.
— 28. Rekomendasi penetapan DLKr/DLKp pelabuhan laut internasional hub.
Rekomendasi penetapan DLKr/DLKp pelabuhan laut internasional hub.
— 29. Rekomendasi penetapan DLKr/DLKp pelabuhan laut internasional.
Rekomendasi penetapan DLKr/DLKp pelabuhan laut internasional.
— 30. Rekomendasi penetapan DLKr/DLKp pelabuhan laut nasional.
Rekomendasi penetapan DLKr/DLKp pelabuhan laut nasional. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 31.— 31. — 31. Rekomendasi penetapan DLKr/DLKp pelabuhan laut regional.
— 32. Penetapan DLKr/DLKp pelabuhan laut regional. 32. Penetapan DLKr/DLKp pelabuhan laut lokal.
— 33. Izin kegiatan pengerukan di dalam DLKr/DLKp pelabuhan laut regional.
— 34.— 34. Izin reklamasi di dalam DLKr/DLKp pelabuhan laut regional.
— 35.— 35. Pertimbangan teknis terhadap penambahan dan/atau pengembangan fasilitas pokok pelabuhan laut regional.
— 36.— 36. — 36. Pertimbangan teknis terhadap penambahan dan/atau pengembangan fasilitas pokok SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA pelabuhan laut lokal.
— 37. Penetapan pelayanan operasional 24 (dua puluh empat) jam pelabuhan laut regional.
— 38.— 38. Izin kegiatan pengerukan di wilayah perairan pelabuhan khusus regional.
Izin kegiatan pengerukan di wilayah perairan pelabuhan khusus lokal.
— 39. Izin kegiatan reklamasi di wilayah perairan pelabuhan khusus regional.
Izin kegiatan reklamasi di wilayah perairan pelabuhan khusus lokal.
— 40. Penetapan pelayanan operasional 24 (dua puluh empat) jam pelabuhan khusus regional.
— 41.— 41. Penetapan DUKS di pelabuhan regional. 41. Penetapan DUKS di pelabuhan lokal. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 42.— 42. — 42. Pelaksanaan rancang bangun fasilitas pelabuhan bagi pelabuhan dengan pelayaran lokal (kabupaten/kota).
— 43. — 43. Izin kegiatan pengerukan di dalam DLKr/DLKp pelabuhan laut lokal.
— 44. — 44. Izin kegiatan reklamasi di dalam DLKr/DLKp pelabuhan laut lokal.
— 45. — 45. Penetapan pelayanan operasional 24 (dua puluh empat) jam pelabuhan laut lokal.
— 46. — 46. Penetapan pelayanan operasional 24 (dua puluh empat) jam pelabuhan khusus lokal. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 47.— 47. Rekomendasi penetapan pelabuhan yang terbuka bagi perdagangan luar negeri.
Rekomendasi penetapan pelabuhan yang terbuka bagi perdagangan luar negeri.
— 48. — 48. Penetapan besaran tarif jasa kepelabuhanan pada pelabuhan lokal yang diselenggarakan oleh pemerintah kabupaten/kota.
Izin usaha perusahaan angkutan laut bagi perusahaan yang berdomisili dan beroperasi pada lintas pelabuhan antar provinsi dan internasional.
Izin usaha perusahaan angkutan laut bagi perusahaan yang berdomisili dan beroperasi pada lintas pelabuhan antar kabupaten/kota dalam wilayah provinsi setempat.
Izin usaha perusahaan angkutan laut bagi perusahaan yang berdomisili dan beroperasi pada lintas pelabuhan dalam kabupaten/kota setempat.
— 50. Izin usaha pelayaran rakyat bagi perusahaan yang berdomisili dan beroperasi pada lintas pelabuhan 50. Izin usaha pelayaran rakyat bagi perusahaan yang berdomisili dan beroperasi pada lintas pelabuhan dalam SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA antar kabupaten/kota wilayah kabupaten/kota dalam wilayah provinsi setempat, pelabuhan antar/provinsi dan internasional (lintas batas). setempat.
— 51. Pemberitahuan pembukaan kantor cabang perusahaan angkutan laut nasional yang lingkup kegiatannya melayani lintas pelabuhan antar kabupaten/kota dalam satu provinsi.
Pemberitahuan pembukaan kantor cabang perusahaan angkutan laut nasional yang lingkup kegiatannya melayani lintas pelabuhan dalam satu kabupaten/kota.
— 52. Pemberitahuan pembukaan kantor cabang perusahaan pelayaran rakyat yang lingkup kegiatannya 52. Pemberitahuan pembukaan kantor cabang perusahaan pelayaran rakyat yang lingkup kegiatannya melayani SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA melayani lintas pelabuhan antar kabupaten/kota dalam satu provinsi, lintas pelabuhan antar provinsi serta lintas pelabuhan internasional (lintas batas). lintas pelabuhan dalam satu kabupaten/kota.
— 53. Pelaporan pengoperasian kapal secara tidak tetap dan tidak teratur ( tramper ) bagi perusahaan angkutan laut yang berdomisili dan beroperasi pada lintas pelabuhan antar kabupaten/kota dalam satu provinsi.
Pelaporan pengoperasian kapal secara tidak tetap dan tidak teratur ( tramper ) bagi perusahaan angkutan laut yang berdomisili dan beroperasi pada lintas pelabuhan dalam wilayah kabupaten/kota setempat.
— 54. Pelaporan penempatan kapal dalam trayek tetap dan teratur ( liner ) dan pengoperasian kapal secara 54. Pelaporan penempatan kapal dalam trayek tetap dan teratur ( liner ) dan pengoperasian kapal secara SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA tidak tetap dan tidak teratur ( tramper ) bagi perusahaan pelayaran rakyat yang berdomisili dan beroperasi pada lintas pelabuhan antar kabupaten/kota dalam wilayah provinsi setempat, pelabuhan antar provinsi dan internasional (lintas batas). tidak tetap dan tidak teratur ( tramper ) bagi perusahaan pelayaran rakyat yang berdomisili dan beroperasi pada lintas pelabuhan dalam wilayah kabupaten/kota setempat.
Izin operasi angkutan laut khusus. 55. — 55. — 56. — 56. Izin usaha tally di pelabuhan. 56. Izin usaha tally di pelabuhan.
— 57. Izin usaha bongkar muat barang dari dan ke kapal. 57. Izin usaha bongkar muat barang dari dan ke kapal.
— 58. Izin usaha ekspedisi/ Freight 58. Izin usaha ekspedisi/ Freight Forwarder . SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA Forwarder .
— 59. Izin usaha angkutan perairan pelabuhan. 59. — 60. — 60. Izin usaha penyewaan peralatan angkutan laut/ peralatan penunjang angkutan laut.
— 61. — 61. Izin usaha depo peti kemas. 61. — 62. Penetapan tarif angkutan laut dalam negeri untuk penumpang kelas ekonomi.
— 62. — 63. Penyusunan jaringan trayek angkutan laut dalam negeri. 63. — 63. — 64. Penetapan trayek angkutan laut perintis dan penempatan kapalnya.
— 64. — 65. — 65. — 65. Penetapan lokasi pemasangan dan pemeliharaan alat SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA pengawasan dan alat pengamanan (rambu-rambu), danau dan sungai lintas kabupaten/kota 66. — 66. — 66. Pemberian rekomendasi dalam penerbitan izin usaha dan kegiatan salvage serta persetujuan Pekerjaan Bawah Air (PBA) dan pengawasan kegiatannya dalam kabupaten/kota.
Penetapan perairan pandu luar biasa. 67. — 67. — 68. Penetapan perairan wajib pandu. 68. — 68. — 69. Pelimpahan kewenangan pemanduan. 69. — 69. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Perhubungan Udara 1. Angkutan Udara 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang angkutan udara.
Penerbitan izin usaha angkutan udara niaga.
Penerbitan izin kegiatan angkutan udara.
Penetapan persetujuan rute penerbangan.
— 1. — 2. Pemantauan terhadap pelaksanaan kegiatan izin usaha angkutan udara niaga dan melaporkan ke Pemerintah.
Pemantauan terhadap pelaksanaan kegiatan izin kegiatan angkutan udara dan melaporkan ke pemerintah.
Pemantauan terhadap pelaksanaan kegiatan Jaringan dan Rute Penerbangan dan melaporkan ke pemerintah.
Mengusulan rute penerbangan baru ke dari daerah yang bersangkutan.
— 2. — 3. — 4. — 5. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Persetujuan penambahan atau pengurangan kapasitas angkutan udara rute penerbangan.
— 8. Persetujuan terbang Flight Approval (FA) untuk:
Penerbangan ke dan/dari luar negeri.
Perubahan jadwal penerbangan dalam negeri bagi perusahaan angkutan 6. Pemantauan pelaksanaan persetujuan rute penerbangan dan melaporkan ke pemerintah.
Pemantauan terhadap pelaksanaan persetujuan penambahan atau pengurangan kapasitas angkutan udara dan melaporkan ke pemerintah.
Pemantauan terhadap pelaksanaan persetujuan izin terbang/FA yang dikeluarkan oleh pemerintah dan melaporkan ke pemerintah.
— 7. — 8. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA udara berjadwal.
Penerbangan dalam negeri bagi perusahaan angkutan udara tidak berjadwal antar provinsi dengan pesawat udara di atas 30 tempat duduk.
— 10. — 9. Persetujuan izin terbang/FA perusahaan angkutan udara tidak berjadwal antar kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi dengan pesawat udara di atas 30 tempat duduk dan melaporkan ke Pemerintah.
Pemantauan terhadap pelaksanaan persetujuan izin terbang/FA perusahaan angkutan udara non berjadwal antar kabupaten/kota dalam 1 9. — 10.— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 11. Penetapan tarif angkutan udara (batas atas) dan tarif referensi angkutan udara.
Pemberian Sertifikasi personil petugas pengamanan operator penerbangan.
Sertifikasi personil pasasi. (satu) provinsi dengan pesawat udara diatas 30 tempat duduk dan melaporkan ke pemerintah.
Pemantauan terhadap pelaksanaan tarif angkutan udara (batas atas) dan tarif referensi angkutan udara dan melaporkan ke pemerintah.
Pemantauan terhadap personil petugas pengamanan operator penerbangan dan personil petugas pasasi dan melaporkan ke pemerintah.
— 11.— 12.— 13.— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 14. Penerbitan izin general sales agent .
— 16. — 17. — 18. — 14.Pemantauan terhadap pelaksanaan kegiatan general sales agent dan melaporkan ke pemerintah.
Pemberian izin Ekspedisi Muatan Pesawat Udara (EMPU).
Pemberian arahan dan petunjuk terhadap kegiatan Ekspedisi Muatan Pesawat Udara (EMPU).
Pemantauan, penilaian, dan tindakan korektif terhadap pelaksanaan kegiatan EMPU dan melaporkan kepada pemerintah.
Pengawasan dan pengendalian izin EMPU.
— 15.— 16.— 17.— 18.— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 19. Penetapan standar dan persyaratan peralatan pelayanan keamanan dan keselamatan perusahaan angkutan udara.
Pengawasan dan pengendalian berlakunya standar dan persyaratan peralatan pelayanan keamanan dan keselamatan perusahaan angkutan udara:
Pemeriksaan secara berkala dan insidentil terhadap berlakunya standar dan persyaratan peralatan pelayanan keamanan dan keselamatan perusahaan angkutan udara;
Pemberian rekomendasi atau teguran apabila tidak sesuai dengan standar yang 19.— 20.— 19.— 20.— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA telah ditetapkan;
Pemberian arahan, petunjuk pelaksanaan, bimbingan dan penyuluhan berlakunya standar dan persyaratan peralatan pelayanan keamanan dan keselamatan perusahaan angkutan udara;
— 21.Pengusulan bandar udara yang terbuka untuk melayani angkutan udara ke/dari luar negeri. Pengusulan bandar udara di wilayah kerjanya yang terbuka untuk angkutan udara ke/dari luar negeri disertai alasan dan data 21.— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 22. Penetapan besaran tarif jasa kebandarudaraan pada bandar udara pusat penyebaran dan bandar udara bukan pusat penyebaran yang ruang udara disekitarnya dikendalikan.
Pengawasan tarif jasa kebandarudaraan pada bandar udara pusat penyebaran dan bandar udara bukan pusat penyebaran yang ruang udara di sekitarnya dikendalikan. Pemantauan penilaian dan tindakan korektif terhadap pelaksanaan tarif jasa bandar dukung yang memadai. Mengusulkan penetapan tersebut kepada pemerintah.
— 23.— 22.— 23.— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pesawat Udara udara, bagi bandar udara di wilayah kerjanya. Memberikan laporan secara periodik kepada pemerintah atas hasil kegiatan pengawasan pelaksanaan tarif jasa bandar udara bagi bandar udara di wilayah kerjanya.
Pemberian tindakan korektif terhadap pelanggaran ketentuan-ketentuan di bidang angkutan udara.
Pemberian tanda kebangsaan dan pendaftaran pesawat udara.
— 2. — 1. — 2. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Sertifikasi kelaikan udara.
Sertifikasi tipe pesawat udara.
Sertifikasi tipe validasi pesawat udara.
Sertifikasi tipe tambahan pesawat udara.
Sertifikasi produksi.
Sertifikasi operator pesawat udara.
Sertifikasi pengoperasian pesawat udara.
Sertifikasi perekayasaan produk aeronautika.
Sertifikasi pendaftaran pesawat udara.
— 4. — 5. — 6. — 7. — 8. — 9. — 10. — 11. — 3. — 4. — 5. — 6. — 7. — 8. — 9. — 10. — 11. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 12. Dokumen limitasi produksi.
Sertifikasi distributor produk aeronautika.
Sertifikasi penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan penerbangan (penerbang, teknik, flight engineer, flight operation officer dan awak kabin).
Sertifikasi penerbang.
Sertifikasi teknik.
Sertifikasi juru mesin pesawat udara.
Sertifikasi navigasi pesawat udara.
Sertifikasi awak kabin.
— 13. — 14. — 15. — 16. — 17. — 18. — 19. — 12. — 13. — 14. — 15. — 16. — 17. — 18. — 19. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 20. Sertifikasi personil ahli perawatan pesawat udara.
Sertifikasi personil penunjang operasi pesawat udara/ Flight Operation Officer (FOO).
Sertifikasi Ground Support Equipment (GSE).
Penerbitan izin pengadaan pesawat udara.
Sertifikasi persetujuan izin organisasi perawatan pesawat udara.
Sertifikasi penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan penerbangan (penerbangan, teknik, flight engineer, flight operation officer dan awak 20. — 21. — 22. — 23. — 24. — 25. — 20. — 21. — 22. — 23. — 24. — 25. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA kabin).
Persetujuan rancang bangun komponen pesawat udara.
Persetujuan izin persetujuan rancang bangun perubahan pesawat udara.
Penetapan standar laik udara serta pedoman keselamatan pesawat udara, auditing management keselamatan udara, penyidikan, penanggulangan kecelakaan, bencana pesawat udara. 29. Pemeriksaan dokumen dan persyaratan administrasi pengoperasian pesawat udara sesuai CASR 21 meliputi pemeriksaan FA, C of A,C of R, flight plan , wether forcase , loading cargo , dispach report .
Membantu pelaksanaan ramp 26. — 27. — 28. — 29. — 30. — 26. — 27. — 28. — 29. — 30. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA check dengan persyaratan SDM sebagai berikut: Min. D-II penerbang, teknik pesawat udara, S-1 teknik aeronautika, mesin, umum dan telah mengikuti airworthiness course , mengikuti dasar penerbangan bagi S-1 umum.
Pemeriksaan dokumen dan persyaratan administrasi awak sesuai CASR 61 & 65 meliputi pemeriksaan:
Licensi Captain , Cockpit ;
Lisensi Pramugari dan Pramugara;
Manifest;
Fuel Quantity pesawat udara.
Membantu pelaksanaan ramp 31. — 32. — 31. — 32. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Bandar Udara check dengan persyaratan SDM sebagai berikut:
Min D-II penerbang, D-II teknik pesawat udara, S-1 teknik aeronautika, mesin umum;
Telah mengikuti airworthiness course , mengikuti dasar-dasar penerbangan bagi S-1 umum.
Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang bandar udara.
Penetapan lokasi bandar udara umum.
— 1. — 2. Pemberian rekomendasi penetapan lokasi bandar udara umum.
Pemantauan terhadap 1. — 2. Pemberian rekomendasi penetapan lokasi bandar udara umum.
Pemantauan terhadap SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Penetapan/izin pembangunan bandar udara umum yang melayani pesawat udara 30 tempat duduk.
— pelaksanaan keputusan penetapan lokasi bandar udara umum dan melaporkan ke pemerintah, pada bandar udara yang belum terdapat kantor adbandara.
Pemberian rekomendasi penetapan/izin pembangunan bandar udara umum yang melayani pesawat udara 30 tempat duduk.
Pemantauan terhadap penetapan/izin pembangunan bandar udara umum yang melayani pesawat udara 30 tempat duduk dan melaporkan ke pemerintah pada bandar udara yang belum terdapat kantor pelaksanaan keputusan penetapan lokasi bandar udara umum dan melaporkan ke pemerintah, pada bandar udara yang belum terdapat kantor adbandara.
Penetapan/izin pembangunan bandar udara umum yang melayani pesawat udara < 30 tempat duduk.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Penetapan/izin pembangunan bandar udara khusus yang melayani pesawat udara 30 tempat duduk.
Pemberian sertifikat operasi bandar udara.
Sertifikasi pengatur pergerakan pesawat udara di appron. adbandara.
Pemantauan terhadap pelaksanaan penetapan/izin pembangunan bandar udara khusus yang melayani pesawat udara 30 tempat duduk dan melaporkan kepada pemerintah.
— 8. Pemantauan terhadap pelaksanaan kegiatan pengatur pesawat udara di apron, Pertolongan Kecelakaan Penerbangan- Pemadam Kebakaran (PKP- PK), salvage , pengamanan bandar udara dan GSE, pada bandar udara yang 6. — 7. — 8. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 9. Sertifikasi PKP-PK dan salvage .
Sertifikasi petugas pengamanan bandar udara.
Pemberian sertifikasi personil teknik bandar udara.
Penetapan bandar udara internasional.
Pengunaan bandar udara belum terdapat kantor adbandara.
— 10. — 11. Pemantauan terhadap personil teknik bandar udara dan melaporkan ke pemerintah, pada bandar udara yang belum terdapat kantor adbandara.
Pemantauan terhadap pelaksanaan penetapan bandar udara internasional dan melaporkan ke pemerintah, pada bandar udara yang belum terdapat kantor adbandara.
— 9. — 10. — 11. — 12. — 13. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA khusus untuk umum.
Pembentukan Komite Nasional Fasilitasi (KOMNASFAL) Udara.
Pembentukan Komite Fasilitasi (KOMFAL) bandar udara.
Penetapan batas-batas kawasan keselamatan operasi bandar udara umum yang melayani pesawat udara 30 tempat duduk.
— 14. — 15. Dapat menjadi anggota KOMFAL apabila bandar udara berdekatan dengan wilayah kerjanya.
Pemantauan terhadap pelaksanaan penetapan batas-batas kawasan keselamatan operasi bandar udara umum yang melayani pesawat udara 30 tempat duduk dan melaporkan ke pemerintah, pada bandar udara yang belum terdapat kantor adbandara.
Pemantauan terhadap pelaksanaan penetapan 14. — 15. — 16. — 17. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 18. Pemberian tindakan korektif terhadap pelanggaran ketentuan-ketentuan di bidang bandar udara.
Penetapan standar dan persyaratan peralatan penunjang operasi pesawat udara.
Pengawasan dan pengendalian berlakunya standar dan persyaratan peralatan pengoperasian bandar udara: batas-batas kawasan keselamatan operasi bandar udara umum yang melayani pesawat udara 30 tempat duduk dan melaporkan ke pemerintah, pada bandar udara yang belum terdapat kantor adbandara.
— 19. — 20. — 18. — 19. — 20. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA a. Pemantauan terhadap kelengkapan sertifikat kelayakan operasi peralatan penunjang pelayanan darat pesawat udara.
Penilaian terhadap kemampuan peralatan penunjang operasi bandar udara.
Tindakan korektif terhadap peralatan penunjang operasi bandar udara dengan cara memberikan laporan kepada pemerintah.
Sertifikat kelaikan operasi peralatan penunjang pelayanan darat pesawat udara diterbitkan oleh pemerintah.
— b. — c. — d. — a. — b. — c. — d. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA e. Pelaksanaan pemeriksaan terhadap peralatan pelayanan darat pesawat udara dapat dilaksanakan oleh badan hukum yang memenuhi persyaratan.
Pemberian arahan, petunjuk pelaksanaan, bimbingan dan penyuluhan berlakunya standar dan persyaratan peralatan pengoperasian bandar udara.
Penetapan standar dan persyaratan peralatan pengoperasian bandar udara.
Pengawasan dan pengendalian berlakunya standar dan persyaratan peralatan penunjang operasi pesawat udara:
— f. — 21. — 22. — e. — f. — 21. — 22. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA a. Pemeriksaan secara berkala dan insidentil terhadap berlakunya standar dan persyaratan peralatan penunjang operasi pesawat udara.
Pemberian rekomendasi atau teguran apabila tidak sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.
Pemberian arahan dan petunjuk pelaksanaan berlakunya standar dan persyaratan peralatan penunjang operasi pesawat udara.
Pemberian bimbingan dan penyuluhan terhadap a. — b. — c. — d. — a. — b. — c. — d. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA berlakunya standar dan persyaratan peralatan penunjang operasi pesawat udara.
Pengawasan dan pengendalian berlakunya standar dan persyaratan peralatan pengoperasian bandar udara.
Pemantauan terhadap kelengkapan sertifikat kelayakan operasi peralatan penunjang pelayanan darat pesawat udara.
Penilaian terhadap kemampuan peralatan penunjang operasi bandar udara.
Tindakan korektif terhadap peralatan penunjang operasi bandar udara dengan cara memberikan laporan kepada 23. — a. — b. — c. — 23. — a. — b. — c. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA pemerintah.
Sertifikat kelaikan operasi peralatan penunjang pelayanan darat pesawat udara diterbitkan oleh pemerintah.
Pelaksanaan pemeriksaan terhadap peralatan pelayanan darat pesawat udara dapat dilaksanakan oleh badan hukum yang memenuhi persyaratan.
Pemberian arahan, petunjuk pelaksanaan, bimbingan dan penyuluhan berlakunya standar dan persyaratan peralatan pengoperasian bandar udara.
— d. — e. — f. — 24. Ijin pembangunan bandar udara khusus yang d. — e. — f. — 24. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 25. Penetapan tatanan kebandarudaraan nasional.
Pengawasan dan pengendalian pembangunan bandar udara umum.
Tindakan korektif terhadap penyimpangan rencana melayani pesawat udara dengan kapasitas < 30 (tiga puluh) tempat duduk dan ruang udara disekitarnya tidak dikendalikan dan terletak dalam 2 (dua) kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi, sesuai dengan batas kewenangan wilayahnya. Pemberitahuan pemberian ijin pembangunan bandar udara khusus.
— 26. — 27. — 25. — 26. — 27. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA pembangunan/pengembangan dari ketetapan tatanan kebandarudaraan.
— 29. Pengaturan sistem pendukung penerbangan di bandar udara 28. Pemberian arahan dan petunjuk pelaksanaan kepada penyelenggara bandar udara, serta kantor terkait lainnya tentang tatanan kebandarudaraan dan memberikan perlindungan hukum terhadap lokasi tanah dan/atau perairan serta ruang udara untuk penyelenggaraan bandar udara umum serta pengoperasian bandar udara dalam bentuk Peraturan Pemerintah Daerah.
— 28. — 29. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA (peralatan penunjang penerbangan dan penunjang operasi bandar udara).
Pengawasan dan pengendalian sistem pendukung penerbangan di bandar udara (peralatan penunjang penerbangan dan penunjang operasi bandar udara).
Pemeriksaan secara berkala dan insidentil terhadap sistem pendukung penerbangan di bandar udara (peralatan penunjang penerbangan dan penunjang operasi bandar udara).
Pemberian rekomendasi/ teguran apabila sistem pendukung penerbangan di bandar udara (peralatan penunjang penerbangan dan 30. — 31. — 32. — 30. — 31. — 32. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA penunjang operasi bandar udara) tidak sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.
Pemberian arahan, petunjuk pelaksanaan, bimbingan dan penyuluhan berlakunya sistem pendukung penerbangan di bandar udara (peralatan penunjang penerbangan dan penunjang operasi bandar udara).
Penetapan standar rencana induk bandar udara, Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan (KKOP) di sekitar bandar udara, kawasan kebisingan dan daerah lingkungan kerja di sekitar bandar udara.
— 34. — 33. — 34. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Keselamatan Penerbangan (Kespen) 35. Rekomendasi mendirikan bangunan pada rencana induk bandar udara, KKOP di sekitar bandar udara, kawasan kebisingan di sekitar bandar udara dan DLKr yang telah ditetapkan pada bandar udara pusat penyebaran dan bukan pusat penyebaran yang ruang udara di sekitarnya dikendalikan.
Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang kespen.
Audit terkait dengan sertifikasi operasi bandar udara.
Sertifikasi personil fasilitas/peralatan elektronika dan listrik penerbangan.
— 1. — 2. — 3. Pemantauan terhadap personil fasilitas/peralatan elektonika dan listrik 35. — 1. — 2. — 3. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Sertifikasi fasilitas/peralatan elektronika dan listrik penerbangan.
Sertifikasi fasilitas/peralatan GSE.
Sertifikasi personil navigasi penerbangan. penerbangan dan melaporkan ke pemerintah, pada bandar udara yang belum terdapat kantor adbandara.
Pemantauan terhadap sertifikasi fasilitas/peralatan elektonika dan listrik penerbangan dan melaporkan ke pemerintah, pada bandar udara yang belum terdapat kantor adbandara. 5. Pemantauan terhadap kegiatan GSE dan melaporkan ke pemerintah, pada bandar udara yang belum terdapat kantor adbandara.
— 4. — 5. — 6. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 7. Melakukan pemantauan terhadap personil navigasi penerbangan.
Sertifikasi personil GSE.
Penetapan persetujuan pemberian izin (pengangkutan angkutan bahan dan/atau barang berbahaya).
Penetapan standar persyaratan pengangkutan bahan dan/atau barang berbahaya.
Penetapan/izin operasi bandar 7. — 8. Pemantauan terhadap personil GSE dan melaporkan ke pemerintah, pada bandar udara yang belum terdapat kantor adbandara.
— 10. — 11. Pemantauan terhadap 7. — 8. — 9. — 10. — 11. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA udara umum yang melayani pesawat udara 30 tempat duduk.
Penetapan/izin operasi bandar udara khusus yang melayani pesawat udara 30 tempat duduk.
Penetapan standar operasi prosedur yang terkait dengan pengamanan bandar udara. pelaksanaan penetapan/izin operasi bandar udara umum yang melayani pesawat udara 30 tempat duduk dan melaporkan ke pemerintah, pada bandar udara yang belum terdapat kantor adbandara.
Pemantauan terhadap pelaksanaan penetapan/izin operasi bandar udara khusus yang melayani pesawat udara 30 tempat duduk dan melaporkan ke pemerintah, pada bandar udara yang belum terdapat kantor adbandara.
Pemantauan terhadap pelaksanaan standar operasi prosedur yang 12. — 13. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 14. Penetapan standar dan persyaratan peralatan pelayanan navigasi penerbangan.
Pengawasan dan pengendalian berlakunya standar dan persyaratan peralatan pelayanan navigasi penerbangan:
Pemeriksaan secara berkala dan insidentil terhadap berlakunya standar dan persyaratan peralatan pelayanan navigasi penerbangan. terkait dengan pengamanan bandar udara dan melaporkan ke pemerintah, pada bandar udara yang belum terdapat kantor adbandara.
— 15. — a. — 14. — 15. — a. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Pemberian rekomendasi atau teguran apabila tidak sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.
Pemberian arahan, petunjuk pelaksanaan, bimbingan dan penyuluhan berlakunya standar dan persyaratan peralatan pelayanan navigasi penerbangan.
Penetapan pelayanan navigasi penerbangan di bandar udara.
Sertifikat personil pengangkutan bahan dan/atau barang berbahaya:
Pemerintah melakukan supervisi dalam proses b. — c. — 16. — 17. — a. — b. — c. — 16. — 17. — a. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA pelaksanaan penerbitan sertifikat.
Pemerintah dapat melakukan tindakan korektif (peringatan, pembekuan atau pencabutan) bilamana terdapat pelanggaran dari kewenangan yang diberikan.
Dalam melakukan supervisi pemerintah dapat langsung berhubungan dengan Dinas Perhubungan Provinsi atau personil yang diberikan otorisasi.
Sertifikasi peralatan penunjang operasi pesawat udara.
Sertifikasi peralatan pengoperasian bandar udara.
— c. — 18. — 19. — b. — c. — 18. — 19. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 20. Sertifikasi peralatan pelayanan keamanan dan keselamatan perusahaan angkutan udara.
Sertifikasi personil operasi pesawat udara.
Sertifikasi personil pelayanan pengoperasian bandar udara.
Pemerintah melakukan supervisi dalam proses pelaksanaan penerbitan sertifikat.
Pemerintah dapat melakukan tindakan korektif (peringatan, pembekuan atau pencabutan) bilamana terdapat pelanggaran dari kewenangan yang diberikan.
Dalam melakukan supervisi pemerintah dapat langsung 20. — 21. — 22. — a. — b. — c. — 20. — 21. — 22. — a. — b. — c. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA berhubungan dengan Dinas Provinsi atau Personil yang diberikan otorisasi.
Sertifikasi personil pelayanan keamanan dan keselamatan perusahaan angkutan udara:
Pemerintah melakukan supervisi dalam proses pelaksanaan penerbitan sertifikat.
Pemerintah dapat melakukan tindakan korektif (peringatan, pembekuan atau pencabutan) bilamana terdapat pelanggaran dari kewenangan yang diberikan.
Dalam melakukan supervisi Pemerintah dapat langsung 23. — a. — b. — c. — 23. — a. — b. — c. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA berhubungan dengan Dinas Provinsi atau Personil yang diberikan otorisasi.
Pengesahan program penanggulangan gawat darurat di bandar udara:
Dalam melakukan supervisi Pemerintah dapat langsung berhubungan dengan Dinas Perhubungan Provinsi atau Personil yang diberikan otorisasi.
Personil yang memiliki kualifikasi yang dibuktikan dengan letter of authorization /sertifikat otorisasi pemerintah. Masa berlaku otorisasi 1 tahun dan dapat diperpanjang.
Pengesahan program 24. — a. — b. — 25. — 24. — a. — b. — 25. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA pengamanan bandar udara:
Pemerintah melakukan supervisi dalam proses pelaksanaan pengesahan sertifikat.
Pemerintah dapat melakukan tindakan korektif (peringatan, pembekuan atau pencabutan) bilamana terdapat pelanggaran dari kewenangan yang diberikan.
Dalam melakukan supervisi pemerintah dapat langsung berhubungan dengan Dinas Perhubungan Provinsi atau Personil yang diberikan otorisasi.
Penelitian awal terhadap insiden di appron berdasarkan a. — b. — c. — 26. Membantu kelancaran pemeriksaan pendahuluan a. — b. — c. — 26. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA peraturan pemerintah. kecelakaan pesawat udara:
Membantu kelancaran Tim investigasi dalam pencapaian lokasi kecelakaan.
Membantu kelancaran dalam melaksanakan tugas monitor pesawat udara milik pemerintah dan dalam melaksanakan koordinasi dengan unit terkait.
Membantu kelancaran keimigrasian Tim Investigasi warga asing. H. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG LINGKUNGAN HIDUP SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Pengendalian Dampak Lingkungan 1. Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) 1. Menetapkan kebijakan mengenai pengelolaan Limbah B3 yang antara lain mencakup:
Penetapan Limbah B3 berdasarkan sumber spesifik, karakteristik, Lethal Dose Fifty (LD50), Toxicity Characteristic Leaching Procedure (TCLP), kronis, dan list (daftar).
Penetapan status B3.
Tempat penyimpanan sementara, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan, dan penimbunan limbah B3.
Ɇ a. — b. — c. — 1. Ɇ a. — b. — c. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA d. Notifikasi B3 dan limbah B3.
Pengawasan pengelolaan limbah B3.
Pengawasan pelaksanaan sistem tanggap darurat skala nasional.
Pengawasan penanggulangan kecelakaan pengelolaan limbah B3 skala nasional.
Pengawasan pelaksanaan pengelolaan limbah B3.
Menyelenggarakan registrasi B3.
Pengawasan pengelolaan (B3).
— e. — f. — g. — 2. Pengawasan pelaksanaan pengelolaan limbah B3 skala provinsi.
— 4. — d. — e. — f. — g. — 2. Pengawasan pelaksanaan pengelolaan Limbah B3 skala kabupaten/kota.
— 4. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Memberikan rekomendasi pengangkutan limbah B3.
Izin pengumpulan limbah B3 skala nasional.
Izin pemanfaatan limbah B3.
Izin pengolahan limbah B3.
Izin operasi peralatan pengolahan limbah B3.
Izin operasi penimbunan limbah B3.
Pengawasan pelaksanaan pemulihan akibat pencemaran limbah B3 skala nasional.
— 6. Izin pengumpulan limbah B3 skala provinsi ( sumber limbah lintas kabupaten/kota) kecuali minyak pelumas/oli bekas.
— 8. — 9. — 10. — 11. Pengawasan pelaksanaan pemulihan akibat pencemaran limbah B3 pada skala provinsi.
— 6. Izin pengumpulan limbah B3 pada skala kabupaten/kota kecuali minyak pelumas/oli bekas.
— 8. — 9. — 10. — 11. Pengawasan pelaksanaan pemulihan akibat pencemaran limbah B3 pada skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 12. — 13. — 14. — 15. — 16. Ɇ 12. Rekomendasi izin pengumpulan limbah B3 skala nasional.
Pengawasan pelaksanaan sistem tanggap darurat skala provinsi.
Pengawasan penanggulangan kecelakaan pengelolaan limbah B3 skala provinsi.
— 16. Ɇ 12. — 13. Pengawasan pelaksanaan sistem tanggap darurat skala kabupaten/kota.
Pengawasan penanggulangan kecelakaan pengelolaan limbah B3 kabupaten/kota.
Izin lokasi pengolahan limbah B3.
Izin penyimpanan sementara limbah B3 di industri atau usaha suatu kegiatan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) 1. Pengaturan dan penetapan pedoman penerapan AMDAL dan Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL/ UPL).
Penilaian AMDAL bagi jenis usaha dan/atau kegiatan:
Strategis dan/atau menyangkut pertahanan keamanan negara.
Berlokasi lebih dari satu wilayah provinsi.
Berlokasi di wilayah sengketa dengan negara lain.
Penilaian AMDAL bagi jenis usaha dan/atau kegiatan yang mempunyai dampak penting terhadap lingkungan hidup di provinsi, sesuai dengan standar, norma, dan prosedur yang ditetapkan oleh pemerintah.
Pembinaan dan pengawasan terhadap penilaian AMDAL di kabupaten/kota.
— b. — c. — 1. Penilaian AMDAL bagi jenis usaha dan/atau kegiatan yang mempunyai dampak penting terhadap lingkungan hidup di kabupaten/ kota, sesuai dengan standar, norma, dan prosedur yang ditetapkan oleh pemerintah.
Pemberian rekomendasi UKL dan UPL.
— b. — c. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA d. Berlokasi di wilayah laut di luar kewenangan daerah.
Berlokasi di lintas batas Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pengawasan terhadap pelaksanaan penilaian AMDAL oleh provinsi dan pengawasan terhadap pelaksanaan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup bagi usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi AMDAL dalam rangka uji petik.
Pembinaan terhadap pelaksanaan penilaian AMDAL dan pelaksanaan pengawasan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup yang dilakukan oleh provinsi.
— e. — 3. Pengawasan terhadap pelaksanaan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup bagi jenis usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi AMDAL dalam wilayah provinsi dalam rangka uji petik.
Pengawasan terhadap pelaksanaan pemberian rekomendasi UKL/UPL yang dilakukan oleh kabupaten/kota dalam wilayah Provinsi.
— e. — 3. Pengawasan terhadap pelaksanaan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup bagi jenis usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi AMDAL dalam wilayah kabupaten/kota.
Pengawasan terhadap pelaksanaan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup bagi seluruh jenis usaha dan/atau kegiatan di luar usaha dan/atau kegiatan SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Pembinaan terhadap pelaksanaan pengawasan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup yang dilakukan oleh kabupaten/kota bagi usaha dan/atau yang wajib dilengkapi AMDAL yang menjadi urusan wajib pemerintah.
Pengaturan AMDAL, UKL dan UPL.
Pembinaan terhadap pelaksanaan pengawasan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup yang dilakukan oleh kabupaten/kota bagi jenis usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi AMDAL dan UKL/UPL dalam wilayah provinsi.
Pembinaan terhadap pelaksanaan pemberian rekomendasi UKL/UPL yang dilakukan oleh kabupaten/kota dalam wilayah provinsi. yang wajib dilengkapi AMDAL dalam wilayah kabupaten/kota.
— 6. ² SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air 1. Pengelolaan kualitas air skala nasional dan/atau lintas batas negara.
Penetapan kelas air pada sumber air skala nasional dan/atau merupakan lintas batas wilayah negara.
Koordinasi dan pelaksanaan pemantauan kualitas air pada sumber air skala nasional dan/atau merupakan lintas batas negara.
Pengendalian pencemaran air pada sumber air skala nasional dan/atau lintas batas negara.
Koordinasi pengelolaan kualitas air skala provinsi.
Penetapan kelas air pada sumber air skala provinsi.
Koordinasi pemantauan kualitas air pada sumber air skala provinsi.
Penetapan pengendalian pencemaran air pada sumber air skala provinsi.
Pengelolaan kualitas air skala kabupaten/kota.
Penetapan kelas air pada sumber air skala kabupaten/kota.
Pemantauan kualitas air pada sumber air skala kabupaten/kota.
Pengendalian pencemaran air pada sumber air skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Pengawasan pengendalian pencemaran air skala nasional.
Penetapan baku mutu air lebih ketat dan/atau penambahan parameter pada air skala nasional dan/atau lintas batas negara.
Penerapan paksaan pemerintahan atau uang paksa terhadap pelaksanaan penanggulangan pencemaran air skala nasional pada keadaan darurat dan/atau keadaan yang tidak terduga lainnya.
Pengawasan pelaksanaan pengendalian pencemaran air skala provinsi.
Penetapan baku mutu air lebih ketat dan/atau penambahan parameter dari kriteria mutu air skala provinsi.
Penerapan paksaan pemerintahan atau uang paksa terhadap pelaksanaan penanggulangan pencemaran air skala provinsi pada keadaan darurat dan/atau keadaan yang tidak terduga lainnya skala provinsi.
Pengawasan terhadap penaatan persyaratan yang tercantum dalam izin pembuangan air limbah ke air atau sumber air.
Penerapan paksaan pemerintahan atau uang paksa terhadap pelaksanaan penanggulangan pencemaran air skala kabupaten/kota pada keadaan darurat dan/atau keadaan yang tidak terduga lainnya.
Pengaturan pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 8. Pengaturan pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air.
Pengaturan baku mutu air limbah untuk berbagai kegiatan.
Penetapan baku mutu dan peruntukan sungai lintas provinsi.
Pengaturan pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air skala provinsi.
Penetapan baku mutu air limbah untuk berbagai kegiatan sama atau lebih ketat dari pemerintah.
Pembinaan, pengawasan dan evaluasi pelaksanaan pemberian izin pembuangan limbah cair lintas kabupaten/kota.
Perizinan pembuangan air limbah ke air atau sumber air.
Perizinan pemanfaatan air limbah ke tanah untuk aplikasi pada tanah.
— 4. Pengelolaan Kualitas Udara dan Pengendalian Pencemaran Udara.
Pengelolaan Kualitas Udara skala Nasional dan/atau lintas batas negara.
Penetapan baku mutu udara ambien nasional, kebisingan dan getaran lingkungan.
Ɇ 2. Penetapan baku mutu udara ambien daerah lebih ketat atau sama dengan baku mutu udara ambien nasional.
Ɇ 2. Pemantauan kualitas udara ambien, emisi sumber bergerak dan tidak bergerak skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penetapan baku mutu emisi udara sumber tidak bergerak, ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor lama.
Penetapan baku tingkat kebisingan dan getaran sumber tidak bergerak dan baku tingkat kebisingan kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor lama skala nasional.
Penetapan Indeks Standar Pencemar Udara.
Penetapan status mutu udara ambien daerah.
Penetapan baku mutu emisi udara sumber tidak bergerak, ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor lama dan penetapan baku tingkat kebisingan dan getaran sumber tidak bergerak dan baku tingkat kebisingan kendaraan bermotor lama skala provinsi.
Pelaksanaan koordinasi operasional pengendalian pencemaran udara skala provinsi.
Ɇ 4. Pengujian emisi gas buang dan kebisingan kendaraan bermotor lama secara berkala.
Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Koordinasi dan pelaksanaan pemantauan kualitas udara lintas provinsi atau lintas batas negara atau skala global (asap kebakaran hutan, hujan asam dan gas rumah kaca) skala nasional.
Pengaturan pengelolaan kualitas udara dan pengendalian pencemaran udara skala nasional.
Pengawasan terhadap penaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang dapat menyebabkan terjadinya pencemaran 6. Koordinasi dan pelaksanaan pemantauan kualitas udara skala provinsi.
Pembinaan dan pengawasan baku mutu emisi udara sumber tidak bergerak, ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor lama dan penetapan baku tingkat kebisingan dan getaran sumber tidak bergerak dan baku tingkat kebisingan kendaraan bermotor lama skala provinsi.
Pengawasan terhadap penaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang dapat menyebabkan terjadinya pencemaran udara skala 6. Koordinasi dan pelaksanaan pemantauan kualitas udara skala kabupaten/kota 7. — 8. Pengawasan terhadap penaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang dapat menyebabkan terjadinya SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA udara.
Penetapan standar pengelolaan kualitas udara dalam ruangan. provinsi.
Pemantauan kualitas udara dalam ruangan. pencemaran udara dari sumber bergerak dan tidak bergerak skala kabupaten/kota.
Pemantauan kualitas udara ambien dan dalam ruangan.
Pengendalian Pencemaran dan/atau Kerusakan Pesisir dan Laut 1. Penetapan baku mutu air laut skala nasional.
Penetapan kriteria baku kerusakan lingkungan pesisir dan laut skala nasional.
Pemberian izin dumping ke laut.
Penetapan baku mutu air laut skala provinsi.
Penetapan kriteria baku kerusakan lingkungan pesisir dan laut skala provinsi.
Penetapan lokasi dalam pengelolaan konservasi laut skala provinsi.
Pengaturan terhadap pencegahan pencemaran dan perusakan wilayah pesisir dan laut skala kabupaten/kota.
Pengaturan terhadap pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan wilayah pesisir dan laut skala kabupaten/kota.
Penetapan lokasi untuk pengelolaan konservasi laut. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Koordinasi dalam pengelolaan konservasi laut.
Pengawasan terhadap kegiatan pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan oleh provinsi dan kabupaten/kota.
Pemantauan kualitas lingkungan wilayah pesisir dan laut skala nasional.
Pengaturan pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan wilayah pesisir dan laut yang bersifat lintas provinsi atau lintas negara.
Pengawasan terhadap kegiatan pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan oleh kabupaten/kota.
Pemantauan kualitas lingkungan wilayah pesisir dan laut skala provinsi.
Pengaturan pengendalian pencemaran dan kerusakan wilayah pesisir dan laut skala provinsi.
Penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah provinsi atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah.
Pengawasan penaatan instrumen pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan skala kabupaten/kota. 5. Pemantauan kualitas lingkungan wilayah pesisir dan laut skala kabupaten/kota.
Pengaturan pelaksanaan terhadap monitoring kualitas lingkungan pesisir dan laut skala kabupaten/kota.
Penegakan hukum terhadap peraturan pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan pesisir laut yang dikeluarkan oleh daerah kabupaten/kota atau yang dilimpahkan SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA kewenangannya oleh pemerintah.
Pengendalian Pencemaran dan/atau Kerusakan Tanah Akibat Kebakaran Hutan dan/atau Lahan 1. Penetapan kriteria umum baku kerusakan lingkungan hidup nasional yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan.
Penetapan kriteria teknis baku kerusakan lingkungan hidup nasional yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan.
Pengkoordinasian penanggulangan dampak dan pemulihan dampak lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan skala nasional dan/atau lintas batas negara.
— 2. Penetapan kriteria teknis baku kerusakan lingkungan hidup skala provinsi yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan.
Pengkoordinasian penanggulangan kebakaran hutan dan/atau lahan skala provinsi.
— 2. Penetapan kriteria teknis baku kerusakan lingkungan hidup skala kabupaten/kota yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan.
Penanggulangan kebakaran hutan dan/atau lahan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Pengawasan atas pelaksanaan pengendalian kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan yang berdampak atau diperkirakan dapat berdampak skala nasional.
— 4. Pengawasan atas pengendalian kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan yang berdampak atau diperkirakan dapat berdampak skala provinsi.
Pengendalian kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan yang dampaknya skala provinsi.
Pengawasan atas pengendalian kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan yang berdampak atau diperkirakan dapat berdampak skala kabupaten/kota.
Pengendalian kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan skala kabupaten/kota.
Pengendalian Pencemaran dan/atau Kerusakan Tanah Untuk Kegiatan 1. Penetapan kriteria nasional baku kerusakan lahan dan/atau tanah nasional untuk kegiatan pertanian, perkebunan dan hutan 1. Penetapan kriteria provinsi baku kerusakan lahan dan/atau tanah provinsi untuk kegiatan pertanian, perkebunan dan hutan 1. Penetapan kriteria kabupaten/kota baku kerusakan lahan dan/atau tanah kabupaten/kota untuk SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA Produksi Biomassa tanaman.
— 3. Pengawasan atas pelaksanaan pengendalian kerusakan tanah yang berdampak atau diperkirakan dapat berdampak skala nasional.
Pengaturan pengendalian kerusakan lahan dan/atau tanah untuk produksi biomassa skala nasional. tanaman berdasarkan kriteria baku kerusakan tanah nasional.
— 3. Pengawasan atas pengendalian kerusakan lahan dan/atau tanah akibat kegiatan yang berdampak atau yang diperkirakan dapat berdampak skala provinsi.
Pengaturan pengendalian kerusakan lahan dan/atau tanah untuk produksi biomassa skala provinsi. kegiatan pertanian, perkebunan dan hutan tanaman berdasarkan kriteria baku kerusakan tanah nasional.
Penetapan kondisi lahan dan/atau tanah.
Pengawasan atas pengendalian kerusakan lahan dan/atau tanah akibat kegiatan yang berdampak atau yang diperkirakan dapat berdampak skala kabupaten/kota.
Pengaturan pengendalian kerusakan lahan dan/atau tanah untuk produksi biomassa skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 8. Penanggulangan Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Akibat Bencana 1. Penetapan pedoman mekanisme penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan akibat bencana.
— 3. — 1. Penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan akibat bencana skala provinsi.
Penetapan kawasan yang beresiko rawan bencana.
— 1. Penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan akibat bencana skala kabupaten/kota.
Penetapan kawasan yang beresiko rawan bencana skala kabupaten/kota.
Penetapan kawasan yang beresiko menimbulkan bencana lingkungan skala kabupaten/kota.
Standar Nasional Indonesia (SNI) dan Standar Kompetensi Personil Bidang Lingkungan Hidup 1. Penetapan kebijakan, koordinasi penerapan, pembinaan dan pengawasan umum dalam SNI dan standar kompetensi personil bidang pengelolaan lingkungan hidup.
Pembinaan dan pengawasan penerapan SNI dan standar kompetensi personil bidang pengelolaan lingkungan hidup pada skala provinsi.
Pembinaan dan pengawasan penerapan SNI dan standar kompetensi personil bidang pengelolaan lingkungan hidup pada skala kabupaten/kota.
Pengembangan Perangkat 1. Penetapan kebijakan pengembangan instrumen 1. Penetapan peraturan daerah di bidang penerapan 1. Penetapan peraturan daerah di bidang SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA Ekonomi Lingkungan ekonomi dan pedoman penerapannya dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan.
Pembinaan dan pengawasan penerapan instrumen ekonomi dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan.
— instrumen ekonomi yang bersifat lintas kabupaten/kota dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan.
Pembinaan dan pengawasan penerapan instrumen ekonomi yang bersifat lintas kabupaten/kota dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan.
— penerapan instrumen ekonomi untuk pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan kabupaten/kota.
Pembinaan dan pengawasan penerapan instrumen ekonomi dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan untuk daerah yang bersangkutan.
Penerapan instrumen ekonomi dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan.
Penerapan Sistem Manajemen Lingkungan, Ekolabel, 1. Penetapan kebijakan, koordinasi penerapan, pembinaan dan pengawasan umum sistem manajemen lingkungan, ekolabel, 1. Pembinaan dan pengawasan penerapan sistem manajemen lingkungan, ekolabel, produksi bersih, dan teknologi berwawasan lingkungan yang 1. Pembinaan dan pengawasan penerapan sistem manajemen lingkungan, ekolabel, produksi bersih, dan SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA Produksi Bersih, dan Teknologi Berwawasan Lingkungan produksi bersih, dan teknologi berwawasan lingkungan yang mendukung pola produksi dan konsumsi yang berkelanjutan. mendukung pola produksi dan konsumsi yang berkelanjutan pada skala provinsi. teknologi berwawasan lingkungan yang mendukung pola produksi dan konsumsi yang berkelanjutan pada skala kabupaten/kota.
Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) 1. Penetapan kebijakan diklat di bidang lingkungan hidup.
Penyelenggaraan diklat di bidang lingkungan hidup yang bersifat strategis.
Penetapan kurikulum/materi ajar di bidang lingkungan hidup yang berlaku secara nasional.
Penyelenggaraan diklat di bidang lingkungan hidup sesuai permasalahan lingkungan hidup skala provinsi.
Penetapan kurikulum/materi ajar tambahan di bidang lingkungan hidup sesuai dengan karakteristik dan permasalahan provinsi.
— 1. Evaluasi hasil pelaksanaan diklat di kabupaten/kota.
Penyelenggaraan diklat di bidang lingkungan hidup sesuai permasalahan lingkungan hidup skala kabupaten/kota.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Penetapan pedoman penyelenggaraan diklat. 4. — 4. — 13. Pelayanan Bidang Lingkungan Hidup 1. Penetapan standar pelayanan minimal di bidang pengendalian lingkungan hidup.
Penyelenggaraan pelayanan di bidang pengendalian lingkungan hidup skala provinsi.
Penyelenggaraan pelayanan di bidang pengendalian lingkungan hidup skala kabupaten/kota.
Pembinaan dan Pengawasan atas Penyelenggaraan Otonomi Daerah Bidang Lingkungan 1. Pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah di bidang pengendalian lingkungan hidup.
Pengawasan atas pelaksanaan urusan pemerintahan daerah di bidang pengendalian lingkungan hidup.
Pengawasan terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala daerah di bidang pengendalian lingkungan hidup.
— 2. — 3. — 1. — 2. — 3. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 15. Penegakan Hukum Lingkungan 1. Penegakan hukum lingkungan. 1. Penegakan hukum lingkungan skala provinsi. 1. Penegakan hukum lingkungan skala kabupaten/kota.
Perjanjian Internasional di Bidang Pengendalian Dampak Lingkungan 1. Pelaksanaan komitmen perjanjian internasional di bidang pengendalian dampak lingkungan yang meliputi pengesahan, pemantauan penaatan, serta dokumentasi dan diseminasi.
Pengawasan pengendalian pelaksanaan konvensi dan protokol.
Pelaksanaan dan pemantauan penaatan atas perjanjian internasional di bidang pengendalian dampak lingkungan skala provinsi.
Pemantauan pengendalian pelaksanaan konvensi dan protokol skala provinsi.
Pelaksanaan dan pemantauan penaatan atas perjanjian internasional di bidang pengendalian dampak lingkungan skala kabupaten/kota.
Pemantauan pengendalian pelaksanaan konvensi dan protokol skala kabupaten/kota.
Perubahan Iklim dan Perlindungan Atmosfir 1. Penetapan kebijakan pengendalian dampak perubahan iklim.
Penetapan kebijakan pelaksanaan pengendalian dampak perubahan iklim skala provinsi.
Penetapan kebijakan pelaksanaan pengendalian dampak perubahan iklim skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Penetapan kebijakan perlindungan lapisan ozon dan deposisi asam serta pemantauan.
— 2. Penetapan kebijakan perlindungan lapisan ozon dan pemantauan skala provinsi.
Pemantauan dampak deposisi asam skala provinsi.
Penetapan kebijakan perlindungan lapisan ozon dan pemantauan skala kabupaten/kota.
Pemantauan dampak deposisi asam skala kabupaten/kota.
Laboratorium Lingkungan 1. Penetapan kebijakan di bidang laboratorium lingkungan.
Pembinaan dan pengawasan terhadap laboratorium lingkungan.
Penunjukan laboratorium lingkungan yang telah diakreditasi/direkomendasi untuk melakukan analisis lingkungan.
Pembinaan laboratorium lingkungan.
Penyediaan laboratorium lingkungan sesuai dengan kebutuhan daerah.
— 2. Konservasi Sumber Daya Alam (SDA) 1. Keanekaragaman Hayati 1. Koordinasi dalam perencanaan konservasi keanekaragaman hayati skala nasional.
Koordinasi dalam perencanaan konservasi keanekaragaman hayati skala provinsi.
Koordinasi dalam perencanaan konservasi keanekaragaman hayati skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Penetapan kebijakan konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan keanekaragaman hayati skala nasional.
Penetapan kebijakan pengendalian kemerosotan keanekaragaman hayati skala nasional.
Pemantauan dan pengawasan pelaksanaan konservasi keanekaragaman hayati skala nasional.
Penetapan dan pelaksanaan kebijakan konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan keanekaragaman hayati skala provinsi.
Penetapan dan pelaksanaan pengendalian kemerosotan keanekaragaman hayati skala provinsi.
Pemantauan dan pengawasan pelaksanaan konservasi keanekaragaman hayati skala provinsi.
Penetapan dan pelaksanaan kebijakan konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan keanekaragaman hayati skala kabupaten/kota.
Penetapan dan pelaksanaan pengendalian kemerosotan keanekaragaman hayati skala kabupaten/kota.
Pemantauan dan pengawasan pelaksanaan konservasi keanekaragaman hayati skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Pengaturan dan penyelesaian konflik dalam pemanfaatan keanekaragaman hayati skala nasional.
Pengembangan manajemen sistem informasi dan pengelolaan database keanekaragaman hayati skala nasional.
Penyelesaian konflik dalam pemanfaatan keanekaragaman hayati skala provinsi.
Pengembangan manajemen sistem informasi dan pengelolaan database keanekaragaman hayati skala provinsi.
Penyelesaian konflik dalam pemanfaatan keanekaragaman hayati skala kabupaten/kota.
Pengembangan manajemen sistem informasi dan pengelolaan database keanekaragaman hayati skala kabupaten/kota. I. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG PERTANAHAN SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Izin Lokasi 1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur, dan kriteria izin lokasi.
a. Pemberian izin lokasi lintas provinsi.
Ɇ c. Ɇ d. Ɇ 1. Ɇ 2.a. Penerimaan permohonan dan pemeriksaan kelengkapan persyaratan.
Kompilasi bahan koordinasi.
Pelaksanaan rapat koordinasi.
Pelaksanaan peninjauan lokasi.
Ɇ 2.a. Penerimaan permohonan dan pemeriksaan kelengkapan persyaratan.
Kompilasi bahan koordinasi.
Pelaksanaan rapat koordinasi.
Pelaksanaan peninjauan lokasi. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA e. Ɇ f. Ɇ g. Ɇ h. Pembatalan ijin lokasi atas usulan pemerintah provinsi dengan pertimbangan kepala kantor wilayah BPN provinsi e. Penyiapan berita acara koordinasi berdasarkan pertimbangan teknis pertanahan dari kantor wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) provinsi dan pertimbangan teknis lainnya dari instansi terkait.
Pembuatan peta lokasi sebagai lampiran surat keputusan izin lokasi yang diterbitkan.
Penerbitan surat keputusan izin lokasi.
Pertimbangan dan usulan pencabutan izin dan pembatalan surat keputusan izin lokasi atas usulan kabupaten/kota e. Penyiapan berita acara koordinasi berdasarkan pertimbangan teknis pertanahan dari kantor pertanahan kabupaten/kota dan pertimbangan teknis lainnya dari instansi terkait.
Pembuatan peta lokasi sebagai lampiran surat keputusan izin lokasi yang diterbitkan.
Penerbitan surat keputusan izin lokasi.
Pertimbangan dan usulan pencabutan izin dan pembatalan surat keputusan izin lokasi dengan pertimbangan kepala kantor SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Pembinaan, pengendalian dan monitoring terhadap pelaksanaan izin lokasi. dengan pertimbangan kepala kantor wilayah BPN provinsi;
Monitoring dan pembinaan perolehan tanah.
Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum 1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur, dan kriteria pengadaan tanah untuk kepentingan umum 2. Pengadaan tanah untuk pembangunan lintas provinsi.
Ɇ b. Ɇ 1. Ɇ 2. Pengadaan tanah untuk pembangunan lintas kabupaten/kota.
Penetapan lokasi.
Pembentukan panitia pengadaan tanah sesuai dengan peraturan 1. Ɇ 2.a. Penetapan lokasi.
Pembentukan panitia pengadaan tanah sesuai dengan SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c. Ɇ d. Ɇ e. Ɇ f. Ɇ g. Ɇ h. Ɇ perundang-undangan.
Pelaksanaan penyuluhan.
Pelaksanaan inventarisasi.
Pembentukan Tim Penilai Tanah (khusus DKI).
Penerimaan hasil penaksiran nilai tanah dari Lembaga/Tim Penilai Tanah.
Pelaksanaan musyawarah.
Penetapan bentuk dan besarnya ganti kerugian. peraturan perundang- undangan.
Pelaksanaan penyuluhan.
Pelaksanaan inventarisasi.
Pembentukan Tim Penilai Tanah f. Penerimaan hasil penaksiran nilai tanah dari Lembaga/Tim Penilai Tanah.
Pelaksanaan musyawarah.
Penetapan bentuk dan besarnya ganti kerugian. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA i. Ɇ j. — k. — 3. Pembinaan, pengendalian dan monitoring terhadap pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum.
Pelaksanaan pemberian ganti kerugian.
Penyelesaian sengketa bentuk dan besarnya ganti kerugian.
Pelaksanaan pelepasan hak dan penyerahan tanah di hadapan kepala kantor pertanahan kabupaten/kota.
— i. Pelaksanaan pemberian ganti kerugian.
Penyelesaian sengketa bentuk dan besarnya ganti kerugian.
Pelaksanaan pelepasan hak dan penyerahan tanah di hadapan kepala kantor pertanahan kabupaten/kota.
— 3. Penyelesaian Sengketa Tanah Garapan 1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur, dan kriteria penyelesaian 1. — 1. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA sengketa tanah garapan.
— 2. Penyelesaian sengketa tanah garapan lintas kabupaten/kota dan untuk Provinsi DKI Jakarta:
Penerimaan dan pengkajian laporan pengaduan sengketa tanah garapan.
Penelitian terhadap obyek dan subyek sengketa.
Pencegahan meluasnya dampak sengketa tanah garapan.
Koordinasi dengan instansi terkait untuk menetapkan langkah- langkah 2.a.Penerimaan dan pengkajian laporan pengaduan sengketa tanah garapan.
Penelitian terhadap obyek dan subyek sengketa.
Pencegahan meluasnya dampak sengketa tanah garapan.
Koordinasi dengan kantor pertanahan untuk menetapkan langkah-langkah SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Pembinaan, pengendalian dan monitoring terhadap pelaksanaan penanganan sengketa tanah garapan. penanganannya.
Fasilitasi musyawarah antar pihak yang bersengketa untuk mendapatkan kesepakatan para pihak.
— penanganannya.
Fasilitasi musyawarah antar pihak yang bersengketa untuk mendapatkan kesepakatan para pihak.
Ɇ 4. Penyelesaian Masalah Ganti Kerugian dan Santunan Tanah Untuk Pembangunan 1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur, dan kriteria penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan.
Ɇ 1. Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Ɇ 3. — 4. Pembinaan, pengendalian dan monitoring terhadap pelaksanaan pemberian ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan.
— 3. Penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan.
Pembinaan dan pengawasan pemberian ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan.
Pembentukan tim pengawasan pengendalian.
Penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan.
— 5. Penetapan Subyek dan Obyek Redistribusi Tanah, serta Ganti Kerugian Tanah Kelebihan Maksimum dan Tanah Absentee 1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur, dan kriteria penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah 1. — 1. Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA kelebihan maksimum dan tanah absentee.
a.Pembentukan panitia pertimbangan landreform nasional.
Ɇ c. Ɇ d. Ɇ 2.a. Pembentukan panitia pertimbangan landreform provinsi.
Penyelesaian permasalahan penetapan subyek dan obyek tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee.
— d. — 2.a. Pembentukan panitia pertimbangan landreform dan sekretariat panitia.
Pelaksanaan sidang yang membahas hasil inventarisasi untuk penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee.
Pembuatan hasil sidang dalam berita acara.
Penetapan tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee sebagai obyek SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA e. Ɇ f. Ɇ 3. Pembinaan, pengendalian dan monitoring terhadap pelaksanaan penetapan subyek dan obyek tanah, ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee.
— f. — 3. Pembinaan penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee. landreform berdasarkan hasil sidang panitia.
Penetapan para penerima redistribusi tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee berdasarkan hasil sidang panitia.
Penerbitan surat keputusan subyek dan obyek redistribusi tanah serta ganti kerugian.
Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Penetapan Tanah Ulayat 1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur, dan kriteria penetapan dan penyelesaian masalah tanah ulayat.
Ɇ 1. — 2.a. Pembentukan panitia peneliti lintas kabupaten/kota.
Penelitian dan kompilasi hasil penelitian.
Pelaksanaan dengar pendapat umum dalam rangka penetapan tanah ulayat.
Pengusulan rancangan peraturan daerah provinsi tentang penetapan tanah ulayat.
— 2.a. Pembentukan panitia peneliti.
Penelitian dan kompilasi hasil penelitian.
Pelaksanaan dengar pendapat umum dalam rangka penetapan tanah ulayat.
Pengusulan rancangan peraturan daerah tentang penetapan tanah ulayat. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Pembinaan, pengendalian dan monitoring terhadap pelaksanaan penetapan dan penyelesaian masalah tanah ulayat.
Penanganan masalah tanah ulayat melalui musyawarah dan mufakat.
Ɇ 3. — e. Pengusulan pemetaan dan pencatatan tanah ulayat dalam daftar tanah kepada kantor pertanahan kabupaten/kota.
Penanganan masalah tanah ulayat melalui musyawarah dan mufakat.
— 7. Pemanfaatan dan Penyelesaian Masalah Tanah Kosong 1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur, dan kriteria serta pelaksanaan pembinaan dan pengendalian 1. — 1. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong.
Ɇ 2. Penyelesaian masalah tanah kosong. 2.a. Inventarisasi dan identifikasi tanah kosong untuk pemanfaatan tanaman pangan semusim.
Penetapan bidang- bidang tanah sebagai tanah kosong yang dapat digunakan untuk tanaman pangan semusim bersama dengan pihak lain berdasarkan perjanjian.
Penetapan pihak-pihak yang memerlukan tanah untuk tanaman pangan semusim dengan mengutamakan masyarakat setempat.
Fasilitasi perjanjian SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Pembinaan, pengendalian dan monitoring terhadap pelaksanaan 3. Pembinaan pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong. kerjasama antara pemegang hak tanah dengan pihak yang akan memanfaatkan tanah dihadapan/diketahui oleh kepala desa/lurah dan camat setempat dengan perjanjian untuk dua kali musim tanam.
Penanganan masalah yang timbul dalam pemanfaatan tanah kosong jika salah satu pihak tidak memenuhi kewajiban dalam perjanjian.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong.
Izin Membuka Tanah 1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur, dan kriteria serta pelaksanaan pembinaan dan pengendalian pemberian izin membuka tanah.
— 1. — 2. Penyelesaian permasalahan pemberian izin membuka tanah.
— 2.a. Penerimaan dan pemeriksaan permohonan.
Pemeriksaan lapang dengan memperhatikan kemampuan tanah, status tanah dan Rencana Umum Tata Ruang Wilayah (RTRW) kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Pembinaan, pengendalian dan monitoring terhadap pelaksanaan ijin membuka tanah.
Pengawasan dan pengendalian pemberian izin membuka tanah. (Tugas Pembantuan) c. Penerbitan izin membuka tanah dengan memperhatikan pertimbangan teknis dari kantor pertanahan kabupaten/kota.
Pengawasan dan pengendalian penggunaan izin membuka tanah.
— (Tugas Pembantuan) SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 9. Perencanaan Penggunaan Tanah Wilayah Kabupaten/Kota 1. Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur, dan kriteria perencanaan penggunaan tanah di wilayah kabupaten/kota.
— 1. Perencanaan penggunaan tanah lintas kabupaten/kota yang berbatasan.
— 1. — 2.a. Pembentukan tim koordinasi tingkat kabupaten/kota.
Kompilasi data dan informasi yang terdiri dari :
Peta pola Penatagunaan tanah atau peta wilayah tanah usaha atau peta persediaan tanah dari kantor pertanahan setempat. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2) Rencana Tata Ruang Wilayah.
Rencana pembangunan yang akan menggunakan tanah baik rencana pemerintah, pemerintah kabupaten/kota, maupun investasi swasta.
Analisis kelayakan letak lokasi sesuai dengan ketentuan dan kriteria teknis dari instansi terkait.
Penyiapan draft rencana letak kegiatan penggunaan tanah.
Pelaksanaan rapat koordinasi terhadap draft rencana letak SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA kegiatan penggunaan tanah dengan instansi terkait.
Konsultasi publik untuk memperoleh masukan terhadap draft rencana letak kegiatan penggunaan tanah.
Penyusunan draft final rencana letak kegiatan penggunaan tanah.
Penetapan rencana letak kegiatan penggunaan tanah dalam bentuk peta dan penjelasannya dengan keputusan bupati/walikota.
Sosialisasi tentang rencana letak kegiatan penggunaan tanah kepada instansi terkait. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Pembinaan, pengendalian dan monitoring terhadap pelaksanaan perencanaan penggunaan tanah di wilayah kabupaten/ kota.
— j. Evaluasi dan penyesuaian rencana letak kegiatan penggunaan tanah berdasarkan perubahan RTRW dan perkembangan realisasi pembangunan.
— J. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KEPENDUDUKAN DAN CATATAN SIPIL SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Kebijakan 1. Penetapan kebijakan pendaftaran penduduk skala nasional.
Penetapan norma, standar, prosedur dan kriteria penyelenggaraan pendaftaran penduduk skala nasional.
Penetapan kebijakan pendaftaran penduduk skala provinsi.
— 1. Penetapan kebijakan pendaftaran penduduk skala kabupaten/kota.
— 2. Sosialisasi 1. Fasilitasi, sosialisasi, bimbingan teknis, advokasi, supervisi, dan konsultasi pelaksanaan pendaftaran penduduk dan pemutakhiran data penduduk skala nasional.
Fasilitasi, sosialisasi, bimbingan teknis, advokasi, supervisi, dan konsultasi pelaksanaan pendaftaran penduduk dan pemutakhiran data penduduk skala provinsi.
Fasilitasi, sosialisasi, bimbingan teknis, advokasi, supervisi, dan konsultasi pelaksanaan pendaftaran penduduk skala kabupaten/kota.
Pendaftaran Penduduk 3. Penyelenggaraan 1. Koordinasi penyelenggaraan pendaftaran penduduk skala nasional.
Koordinasi penyelenggaraan pendaftaran penduduk skala provinsi.
Koordinasi penyelenggaraan pendaftaran penduduk skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. — 2. — 2. Penyelenggaraan pelayanan pendaftaran penduduk dalam sistem administrasi kependudukan skala kabupaten/kota, meliputi:
Pencatatan dan pemutakhiran biodata penduduk serta penerbitan Nomor Induk Kependudukan (NIK);
Pendaftaran perubahan alamat;
Pendaftaran pindah datang penduduk dalam wilayah Republik Indonesia;
Pendaftaran Warga Negara Indonesia tinggal sementara;
Pendaftaran pindah datang Antarnegara; SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA f. Pendaftaran penduduk yang tinggal di perbatasan Antarnegara;
Pendataan penduduk rentan Administrasi Kependudukan;
Penerbitan dokumen kependudukan hasil pendaftaran penduduk;
Penatausahaan pendaftaran penduduk.
Pemantauan dan Evaluasi 1. Pemantauan, evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pendaftaran penduduk skala nasional.
Pemantauan, evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pendaftaran penduduk skala provinsi.
Pemantauan, evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pendaftaran penduduk skala kabupaten/kota.
Pembinaan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia 1. Pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia pengelola pendaftaran penduduk skala nasional.
Pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia pengelola pendaftaran penduduk skala provinsi.
Pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia pengelola pendaftaran penduduk skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Pengawasan 1. Pengawasan atas penyelenggaraan pendaftaran penduduk skala nasional.
Pengawasan atas penyelenggaraan pendaftaran penduduk skala provinsi.
Pengawasan atas penyelenggaraan pendaftaran penduduk skala kabupaten/kota.
Kebijakan 1. Penetapan kebijakan pencatatan sipil skala nasional.
Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria penyelenggaraan pencatatan sipil skala nasional.
Penetapan kebijakan pencatatan sipil skala provinsi.
— 1. Penetapan kebijakan pencatatan sipil skala kabupaten/kota.
— 2. Sosialisasi 1. Fasilitasi, sosialisasi, bimbingan teknis, advokasi, supervisi, dan konsultasi pelaksanaan pencatatan sipil skala nasional.
Fasilitasi, sosialisasi, bimbingan teknis, advokasi, supervisi, dan konsultasi pelaksanaan pencatatan sipil skala provinsi.
Fasilitasi, sosialisasi, bimbingan teknis, advokasi, supervisi, dan konsultasi pelaksanaan pencatatan sipil skala kabupaten/kota.
Pencatatan Sipil 3. Penyelenggaraan 1. Koordinasi penyelenggaraan pencatatan sipil skala nasional. 1. Koordinasi penyelenggaraan pencatatan sipil skala provinsi. 1. Koordinasi penyelenggaraan pencatatan sipil skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. — 2. — 2. Penyelenggaraan pelayanan pencatatan sipil dalam sistem administrasi kependudukan skala kabupaten/kota meliputi:
Pencatatan kelahiran;
Pencatatan lahir mati;
Pencatatan perkawinan;
Pencatatan perceraian;
Pencatatan kematian;
Pencatatan pengangkatan anak, pengakuan anak dan pengesahan anak;
Pencatatan perubahan nama;
Pencatatan perubahan status kewarganegaraan; SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA i. Pencatatan peristiwa penting lainnya;
Pencatatan perubahan dan pembatalan akta;
Penerbitan dokumen kependudukan hasil pencatatan sipil;
Penatausahaan dokumen pencatatan sipil.
Pemantauan dan Evaluasi 1. Pemantauan, evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pencatatan sipil skala nasional.
Pemantauan, evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pencatatan sipil skala provinsi.
Pemantauan, evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pencatatan sipil skala kabupaten/kota.
Pembinaan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia 1. Pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia pengelola pencatatan sipil skala nasional.
Pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia pengelola pencatatan sipil skala provinsi.
Pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia pengelola pencatatan sipil skala kabupaten/kota.
Pengawasan 1. Pengawasan atas penyelenggaraan pencatatan sipil skala nasional. 1. Pengawasan atas penyelenggaraan pencatatan sipil skala provinsi.
Pengawasan atas penyelenggaraan pencatatan sipil skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Kebijakan 1. Penetapan kebijakan pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala nasional.
Penetapan norma, standar, prosedur dan kriteria penyelenggaraan pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala nasional.
Penetapan kebijakan pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala provinsi.
— 1. Penetapan kebijakan pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala kabupaten/kota.
— 2. Sosialisasi 1. Fasilitasi, sosialisasi, bimbingan teknis, advokasi, supervisi, dan konsultasi pelaksanaan pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala nasional.
Fasilitasi, sosialisasi, bimbingan teknis, advokasi, supervisi, dan konsultasi pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala provinsi.
Fasilitasi, sosialisasi, bimbingan teknis, advokasi, supervisi, dan konsultasi pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala kabupaten/kota.
Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan 3. Penyelenggaraan 1. Koordinasi penyelenggaraan pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala nasional.
Koordinasi pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala provinsi.
Koordinasi pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pembangunan dan pengembangan jaringan komunikasi data.
— 4. Penyelenggaraan komunikasi data kependudukan skala nasional.
Pembangunan dan pengembangan perangkat lunak.
a.Pembangunan bank data kependudukan nasional.
Pembangunan dan pengembangan jaringan komunikasi data skala provinsi.
Penyediaan perangkat keras dan perlengkapan lainnya serta sarana jaringan komunikasi data di provinsi.
Penyelenggaraan komunikasi data kependudukan skala provinsi.
Pembangunan replikasi data kependudukan di provinsi.
a.Pembangunan bank data kependudukan provinsi.
Pembangunan dan pengembangan jaringan komunikasi data skala kabupaten/kota.
Penyediaan perangkat keras dan perlengkapan lainnya serta jaringan komunikasi data sampai dengan tingkat kecamatan atau kelurahan sebagai tempat pelayanan dokumen penduduk.
Pelaksanaan sistem informasi administrasi kependudukan.
Pembangunan replikasi data kependudukan di kabupaten/kota.
a.Pembangunan bank data kependudukan kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Ɇ 7. — 8. Penyajian dan diseminasi informasi penduduk skala nasional.
a.Perlindungan data pribadi penduduk pada bank data kependudukan nasional.
Ɇ b. Ɇ 7. Ɇ 8. Penyajian dan diseminasi informasi penduduk skala provinsi.
a.Perlindungan data pribadi penduduk pada bank data kependudukan provinsi.
Ɇ b. Pembangunan tempat perekaman data kependudukan di kecamatan.
Perekaman data hasil pelayanan pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil serta pemutakhiran data penduduk menggunakan sistem informasi administrasi kependudukan.
Penyajian dan diseminasi informasi penduduk.
a.Perlindungan data pribadi penduduk pada bank data kependudukan kabupaten/ kota.
Perlindungan data pribadi penduduk dalam proses dan hasil pendaftaran penduduk serta pencatatan sipil. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Pemantauan dan Evaluasi 1. Pemantauan dan evaluasi pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala nasional.
Pemantauan dan evaluasi pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala provinsi.
Pemantauan dan evaluasi pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala kabupaten/kota.
Pembinaan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia 1. Pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia pengelola informasi administrasi kependudukan skala nasional.
Pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia pengelola informasi administrasi kependudukan skala provinsi.
Pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia pengelola informasi administrasi kependudukan skala kabupaten/kota.
Pengawasan 1. Pengawasan atas pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala nasional.
Pengawasan atas pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala provinsi.
Pengawasan atas pengelolaan informasi administrasi kependudukan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Kebijakan 1. Penetapan kebijakan perkembangan kependudukan skala nasional.
Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria penyelenggaraan pengendalian kuantitas, pengembangan kualitas, pengarahan mobilitas dan persebaran penduduk serta perlindungan penduduk skala nasional.
Penetapan kebijakan perkembangan kependudukan skala provinsi.
Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria penyelenggaraan pengendalian kuantitas, pengembangan kualitas, pengarahan mobilitas dan persebaran penduduk serta perlindungan penduduk skala provinsi.
Penetapan kebijakan perkembangan kependudukan skala kabupaten/kota.
Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria penyelenggaraan pengendalian kuantitas, pengembangan kualitas, pengarahan mobilitas dan persebaran penduduk serta perlindungan penduduk skala kabupaten/ kota.
Perkembangan Kependudukan 2. Sosialisasi 1. Sosialisasi dan koordinasi pelaksanaan kebijakan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/penataan persebaran penduduk, perlindungan penduduk serta pembangunan berwawasan kependudukan skala nasional.
Sosialisasi dan koordinasi pelaksanaan kebijakan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/penataan persebaran penduduk, perlindungan penduduk serta pembangunan berwawasan kependudukan skala provinsi.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penyelenggaraan 1. Pengkajian efektivitas kebijakan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/penataan persebaran penduduk dan perlindungan penduduk serta pembangunan berwawasan kependudukan skala nasional.
— 1. Pengkajian efektivitas kebijakan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/penataan persebaran penduduk dan perlindungan penduduk serta pembangunan berwawasan kependudukan skala provinsi.
— 1. Pelaksanaan kebijakan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/ penataan persebaran penduduk, perlindungan penduduk dalam konteks pembangunan berwawasan kependudukan skala kabupaten/kota.
Pembuatan analisis pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/ penataan persebaran penduduk dan perlindungan penduduk serta pembangunan berwawasan kependudukan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. — 4. — 3. — 4. Pelaporan pelaksanaan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/penataan persebaran penduduk, dan perlindungan penduduk dalam konteks pembangunan berwawasan kependudukan skala provinsi.
Koordinasi dan kerjasama antar daerah dalam pelaksanaan kebijakan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/penataan persebaran penduduk, perlindungan penduduk serta pembangunan berwawasan kependudukan.
Pelaporan pelaksanaan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/ penataan persebaran penduduk, dan perlindungan penduduk dalam konteks pembangunan berwawasan kependudukan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Pemantauan dan Evaluasi 1. Pemantauan dan evaluasi kebijakan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/penataan persebaran penduduk, perlindungan penduduk serta pembangunan berwawasan kependudukan skala nasional.
Pemantauan dan evaluasi kebijakan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/penataan persebaran penduduk, perlindungan penduduk serta pembangunan berwawasan kependudukan skala provinsi.
Pemantauan dan evaluasi kebijakan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/penataan persebaran penduduk, perlindungan penduduk serta pembangunan berwawasan kependudukan skala kabupaten/kota.
Pembinaan dan Fasilitasi 1. Pembinaan dan fasilitasi kebijakan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/penataan persebaran penduduk, perlindungan dan penyerasian penduduk dalam konteks pembangunan berwawasan kependudukan skala nasional.
Pembinaan dan pelaksanaan kebijakan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/penataan persebaran penduduk, perlindungan penduduk dalam konteks pembangunan berwawasan kependudukan skala provinsi.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Pengawasan 1. Pengawasan kebijakan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/penataan persebaran penduduk, perlindungan penduduk, dan pembangunan berwawasan kependudukan skala nasional.
Pengawasan kebijakan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/penataan persebaran penduduk, perlindungan penduduk, dan pembangunan berwawasan kependudukan skala provinsi.
Pengawasan kebijakan pengendalian kuantitas penduduk, pengembangan kualitas penduduk, pengarahan mobilitas/penataan persebaran penduduk, perlindungan penduduk, dan pembangunan berwawasan kependudukan skala kabupaten/kota.
Perencanaan Kependudukan 1. Kebijakan 1. Penetapan kebijakan perencanaan kependudukan skala nasional.
Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria indikator kependudukan, proyeksi penduduk dan analisis dampak kependudukan.
Penetapan kebijakan perencanaan kependudukan skala provinsi.
— 1. Penetapan kebijakan perencanaan kependudukan skala kabupaten/kota.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Sosialisasi 1. Fasilitasi dan sosialisasi indikator kependudukan, proyeksi penduduk dan analisis dampak kependudukan, serta penyerasian kebijakan kependudukan skala nasional.
Fasilitasi dan sosialisasi indikator kependudukan, proyeksi penduduk dan analisis dampak kependudukan, serta penyerasian kebijakan kependudukan skala provinsi.
— 3. Penyelenggaraan 1.a.Penyerasian dan harmonisasi kebijakan kependudukan pada tataran horizontal, vertikal, dan diagonal antar lembaga pemerintah dan lembaga non pemerintah pengelola bidang kependudukan skala nasional.
— 1.a.Penyerasian dan harmonisasi kebijakan kependudukan pada tataran horizontal, vertikal, dan diagonal antar lembaga pemerintah dan lembaga non pemerintah pengelola bidang kependudukan skala provinsi.
— 1.a.Penyerasian dan harmonisasi kebijakan kependudukan antar dan dengan lembaga pemerintah dan non pemerintah pada skala kabupaten/kota.
Penyelenggaraan kerjasama dengan organisasi kemasyarakatan dalam rangka tertib administrasi kependudukan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Penetapan dan pengembangan indikator kependudukan, proyeksi penduduk, dan analisis dampak kependudukan skala nasional.
Koordinasi dan sosialisasi hasil penyusunan indikator, proyeksi, dan analisis dampak kependudukan serta kebijakan kependudukan kepada khalayak sasaran skala nasional.
Penilaian dan pelaporan kinerja pembangunan kependudukan secara periodik.
Penetapan indikator kependudukan, proyeksi penduduk, dan analisis dampak kependudukan skala provinsi.
Koordinasi dan sosialisasi hasil penyusunan indikator, proyeksi, dan analisis dampak kependudukan serta kebijakan kependudukan kepada khalayak sasaran skala provinsi.
Penilaian dan pelaporan kinerja pembangunan kependudukan secara periodik.
Penetapan indikator kependudukan, proyeksi penduduk, dan analisis dampak kependudukan skala kabupaten/kota.
Koordinasi dan sosialisasi hasil penyusunan indikator, proyeksi, dan analisis dampak kependudukan serta kebijakan kependudukan kepada khalayak sasaran.
Penilaian dan pelaporan kinerja pembangunan kependudukan secara periodik. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Pendayagunaan informasi atas indikator kependudukan dan analisis dampak kependudukan untuk perencanaan pembangunan berbasis penduduk skala nasional.
Pendayagunaan informasi atas indikator kependudukan dan analisis dampak kependudukan untuk perencanaan pembangunan berbasis penduduk skala provinsi.
Pendayagunaan informasi atas indikator kependudukan dan analisis dampak kependudukan untuk perencanaan pembangunan berbasis penduduk skala kabupaten/kota.
Pemantauan dan Evaluasi 1. Pemantauan, evaluasi, dan pelaporan indikator kependudukan, proyeksi penduduk dan analisis dampak kependudukan, serta penyerasian kebijakan kependudukan skala nasional.
Pemantauan, evaluasi, dan pelaporan indikator kependudukan, proyeksi penduduk dan analisis dampak kependudukan, serta penyerasian kebijakan kependudukan skala provinsi.
Pemantauan, evaluasi, dan pelaporan indikator kependudukan, proyeksi penduduk dan analisis dampak kependudukan, serta penyerasian kebijakan kependudukan skala kabupaten/kota.
Pembinaan 1. Bimbingan teknis, advokasi, fasilitasi, dan sosialisasi indikator kependudukan, proyeksi penduduk dan analisis dampak kependudukan, serta penyerasian kebijakan kependudukan skala nasional.
Bimbingan teknis, advokasi, fasilitasi, dan sosialisasi indikator kependudukan, proyeksi penduduk dan analisis dampak kependudukan, serta penyerasian kebijakan kependudukan skala provinsi.
Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Pengawasan 1. Pengawasan indikator kependudukan, proyeksi penduduk dan analisis dampak kependudukan, serta penyerasian kebijakan kependudukan skala nasional.
Pengawasan indikator kependudukan, proyeksi penduduk dan analisis dampak kependudukan, serta penyerasian kebijakan kependudukan skala provinsi.
Pengawasan indikator kependudukan, proyeksi penduduk dan analisis dampak kependudukan, serta penyerasian kebijakan kependudukan skala kabupaten/kota. K. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN\KOTA 1. Pengarusutamaan Gender (PUG) 1. Kebijakan Pelaksanaan PUG 1. Penetapan kebijakan nasional pelaksanaan PUG.
Koordinasi, fasilitasi, dan mediasi pelaksanaan kebijakan PUG skala nasional.
Penetapan kebijakan daerah pelaksanaan PUG di provinsi.
Koordinasi, fasilitasi dan mediasi pelaksanaan kebijakan PUG skala provinsi.
Penetapan kebijakan daerah pelaksanaan PUG di kabupaten/ kota.
Koordinasi, fasilitasi dan mediasi pelaksanaan PUG skala kabupaten/kota.
Kelembagaan PUG 1. Fasilitasi penguatan kelembagaan dan pengembangan mekanisme PUG pada lembaga pemerintahan, Pusat Studi Wanita (PSW), lembaga penelitian dan pengembangan, lembaga non pemerintah skala nasional.
Fasilitasi penguatan kelembagaan dan pengembangan mekanisme PUG pada lembaga pemerintahan, PSW, lembaga penelitian dan pengembangan, lembaga non pemerintah skala provinsi.
Fasilitasi penguatan kelembagaan dan pengembangan mekanisme PUG pada lembaga pemerintahan, PSW, lembaga penelitian dan pengembangan, lembaga non pemerintah skala kabupaten/ kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN\KOTA 2. Pengembangan dan fasilitasi pelaksanaan kebijakan, program dan kegiatan yang responsif gender skala nasional.
Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan PUG secara nasional dan provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi pelaksanaan kebijakan, program dan kegiatan yang responsif gender skala provinsi.
Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan PUG skala provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi kebijakan, program dan kegiatan yang responsif gender skala kabupaten/kota.
Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan PUG skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan PUG 1. Pemberian bantuan teknis dan fasilitasi pelaksanaan PUG (penetapan panduan umum analisis gender , perencanaan anggaran yang responsif gender , materi Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) PUG) skala nasional.
Pemberian bantuan teknis, fasilitasi pelaksanaan PUG (analisis gender , perencanaan anggaran yang responsif gender , dan pengembangan materi KIE PUG) skala provinsi.
Pelaksanaan analisis gender , perencanaan anggaran yang responsif gender , dan pengembangan materi KIE PUG skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN\KOTA 2. Pelaksanaan PUG yang terkait dengan bidang pembangunan terutama di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) dan politik skala nasional.
Fasilitasi penyediaan data terpilah menurut jenis kelamin skala nasional.
Pelaksanaan PUG yang terkait dengan bidang pembangunan terutama di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum dan HAM dan politik skala provinsi.
Fasilitasi penyediaan data terpilah menurut jenis kelamin skala provinsi.
Pelaksanaan PUG yang terkait dengan bidang pembangunan terutama di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum dan HAM dan politik skala kabupaten/kota.
Fasilitasi penyediaan data terpilah menurut jenis kelamin skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN\KOTA 2. Kualitas Hidup dan Perlindungan Perempuan 1. Kebijakan Kualitas Hidup Perempuan 1.Penetapan kebijakan nasional peningkatan kualitas hidup perempuan yang terkait dengan bidang pembangunan terutama bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum dan HAM, politik, lingkungan, dan sosial budaya skala nasional.
Penyelenggaraan kebijakan provinsi peningkatan kualitas hidup perempuan yang terkait dengan bidang pembangunan terutama bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum dan HAM, politik, lingkungan, dan sosial budaya skala provinsi.
Penyelenggaraan kebijakan kabupaten/kota peningkatan kualitas hidup perempuan yang terkait dengan bidang pembangunan terutama dibidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum dan HAM, politik, lingkungan, dan sosial budaya skala kabupaten/kota.
Pengintegrasian Kebijakan Kualitas Hidup Perempuan 1. Fasilitasi pengintegrasian isu gender dalam kebijakan bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum dan HAM, politik, lingkungan, dan sosial budaya skala nasional.
Fasilitasi pengintegrasian upaya peningkatan kualitas hidup perempuan dalam kebijakan bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum dan HAM, politik, lingkungan, dan sosial budaya skala provinsi.
Pengintegrasian upaya peningkatan kualitas hidup perempuan dalam kebijakan bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum dan HAM, politik, lingkungan, dan sosial budaya skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN\KOTA 3. Koordinasi Pelaksanaan Kebijakan Kualitas Hidup Perempuan 1. Koordinasi pelaksanaan kebijakan kualitas hidup perempuan dalam bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum dan HAM, politik, lingkungan, dan sosial budaya skala nasional.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan kualitas hidup perempuan dalam bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum dan HAM, politik, lingkungan, dan sosial budaya skala provinsi.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan kualitas hidup perempuan dalam bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum dan HAM, politik, lingkungan, dan sosial budaya skala kabupaten/kota.
Kebijakan Perlindungan Perempuan 1. Penetapan kebijakan nasional perlindungan perempuan terutama perlindungan terhadap kekerasan, tenaga kerja perempuan, perempuan lanjut usia dan penyandang cacat, dan perempuan di daerah konflik dan daerah yang terkena bencana.
Penyelengaraan kebijakan provinsi perlindungan perempuan terutama perlindungan terhadap kekerasan, tenaga kerja perempuan, perempuan lanjut usia dan penyandang cacat, dan perempuan di daerah konflik dan daerah yang terkena bencana skala provinsi.
Penyelenggaraan kebijakan kabupaten/kota perlindungan perempuan terutama perlindungan terhadap kekerasan, tenaga kerja perempuan, perempuan lanjut usia dan penyandang cacat, dan perempuan di daerah konflik dan daerah yang terkena bencana skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN\KOTA 5. Pengintegrasian Kebijakan Perlindungan Perempuan 1. Fasilitasi pengintegrasian kebijakan nasional perlindungan perempuan terutama perlindungan terhadap kekerasan, tenaga kerja perempuan, perempuan lanjut usia dan penyandang cacat, dan perempuan di daerah konflik dan daerah yang terkena bencana.
Fasilitasi pengintegrasian kebijakan provinsi perlindungan perempuan terutama perlindungan terhadap kekerasan, tenaga kerja perempuan, perempuan lanjut usia dan penyandang cacat, dan perempuan di daerah konflik dan daerah yang terkena bencana skala provinsi.
Fasilitasi pengintegrasian kebijakan kabupaten/kota perlindungan perempuan terutama perlindungan terhadap kekerasan, tenaga kerja perempuan, perempuan lanjut usia dan penyandang cacat, dan perempuan di daerah konflik dan daerah yang terkena bencana skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN\KOTA 6. Koordinasi Pelaksanaan Kebijakan Perlindungan Perempuan 1. Koordinasi pelaksanaan kebijakan perlindungan perempuan terutama perlindungan terhadap kekerasan, tenaga kerja perempuan, perempuan lanjut usia dan penyandang cacat, dan perempuan di daerah konflik dan daerah yang terkena bencana skala nasional.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan perlindungan perempuan terutama perlindungan terhadap kekerasan, tenaga kerja perempuan, perempuan lanjut usia dan penyandang cacat, dan perempuan di daerah konflik dan daerah yang terkena bencana skala provinsi.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan perlindungan perempuan terutama perlindungan terhadap kekerasan, tenaga kerja perempuan, perempuan lanjut usia dan penyandang cacat, dan perempuan di daerah konflik dan daerah yang terkena bencana skala kabupaten/kota.
Perlindungan Anak 1. Kebijakan Kesejahteraan dan Perlindungan Anak 1. Penetapan kebijakan nasional dalam rangka kesejahteraan dan perlindungan anak.
Ɇ 1. Pelaksanaan kebijakan dalam rangka kesejahteraan dan perlindungan anak skala provinsi.
Penetapan kebijakan daerah tentang kesejahteraan dan perlindungan anak skala provinsi.
Pelaksanaan kebijakan dalam rangka kesejahteraan dan perlindungan anak skala kabupaten/kota.
Penetapan kebijakan daerah untuk kesejahteraan dan perlindungan anak skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN\KOTA 2. Pengintegrasian Hak-Hak Anak dalam Kebijakan dan Program Pembangunan 1. Pengintegrasian hak-hak anak dalam kebijakan dan program pembangunan nasional.
Pengintegrasian hak-hak anak dalam kebijakan dan program pembangunan skala provinsi.
Pengintegrasian hak-hak anak dalam kebijakan dan program pembangunan skala kabupaten/ kota.
Koordinasi Pelaksanaan Kesejahteraan dan Perlindungan Anak 1. Koordinasi pelaksanaan kesejahteraan dan perlindungan anak skala nasional.
Koordinasi pelaksanaan kesejahteraan dan perlindungan anak skala provinsi.
Koordinasi pelaksanaan kesejahteraan dan perlindungan anak skala kabupaten/kota.
Pemberdayaan Lembaga Masyarakat dan Dunia Usaha 1. Penguatan Lembaga/ Organisasi Masyarakat dan Dunia Usaha untuk Pelaksanaan PUG dan Peningkatan Kesejahteraan dan Perlindungan Anak 1. Fasilitasi penguatan lembaga/organisasi masyarakat dan dunia usaha untuk pelaksanaan PUG dan peningkatan kesejahteraan dan perlindungan anak skala nasional.
Fasilitasi penguatan lembaga/organisasi masyarakat dan dunia usaha untuk pelaksanaan PUG dan peningkatan kesejahteraan dan perlindungan anak skala provinsi.
Fasilitasi penguatan lembaga/organisasi masyarakat dan dunia usaha untuk pelaksanaan PUG dan peningkatan kesejahteraan dan perlindungan anak skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN\KOTA 2. Pengembangan dan Penguatan Jaringan Kerja Lembaga Masyarakat dan Dunia Usaha untuk Pelaksanaan PUG, Kesejahteraan dan Perlindungan Anak 1. Fasilitasi pengembangan dan penguatan jaringan kerja lembaga masyarakat dan dunia usaha untuk pelaksanaan PUG, kesejahteraan dan perlindungan anak skala nasional.
Penetapan strategi rekayasa sosial untuk mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) dan perlindungan anak.
Fasilitasi pengembangan dan penguatan jaringan kerja lembaga masyarakat dan dunia usaha untuk pelaksanaan PUG, kesejahteraan dan perlindungan anak skala provinsi.
Fasilitasi lembaga masyarakat untuk melaksanakan rekayasa sosial untuk mewujudkan KKG dan perlindungan anak skala provinsi.
Fasilitasi pengembangan dan penguatan jaringan kerja lembaga masyarakat dan dunia usaha untuk pelaksanaan PUG, kesejahteraan dan perlindungan anak skala kabupaten/kota.
Fasilitasi lembaga masyarakat untuk melaksanakan rekayasa sosial untuk mewujudkan KKG dan perlindungan anak skala kabupaten/kota.
Data dan Informasi Gender dan Anak 1. Data Terpilah menurut Jenis Kelamin dari di Setiap Bidang Terkait 1. Pengembangan dan penetapan kebijakan nasional sistem informasi gender dan anak.
Penjabaran dan penetapan kebijakan sistem informasi gender dan anak skala provinsi dengan merujuk pada kebijakan nasional.
Penjabaran dan penetapan kebijakan sistem informasi gender dan anak skala kabupaten/kota dengan merujuk pada kebijakan nasional. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN\KOTA 2. Data dan Informasi Gender dan Anak 1. Pengembangan dan penyusunan panduan umum, mekanisme pengumpulan, pengolahan, analisis, diseminasi dan dokumentasi sistem informasi gender dan anak.
Advokasi, mediasi dan fasilitasi pelaksanaan sistem infomasi gender dan anak.
Koordinasi pelaksanaan sistem informasi gender dan anak skala provinsi.
Fasilitasi pelaksanaan sistem informasi gender dan anak.
Pelaksanaan pengumpulan, pengolahan dan analisis, pemanfaatan dan penyebarluasan sistem informasi gender dan anak skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan pengumpulan, pengolahan dan analisis, pemanfaatan dan penyebarluasan sistem informasi gender dan anak.
Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) 1. Promosi dan advokasi data dan informasi terpilah menurut jenis kelamin, khusus perempuan dan anak skala nasional.
Kompilasi data terpilah menurut jenis kelamin, khusus perempuan dan anak skala provinsi.
Analisis, pemanfaatan, penyebarluasan dan pendokumentasian data terpilah menurut jenis kelamin, khusus perempuan dan anak skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN\KOTA 2. Kompilasi data terpilah menurut jenis kelamin, khusus perempuan, dan anak skala nasional.
Pengembangan metode analisis gender dan penyusunan model informasi data skala nasional.
Analisis, pemanfaatan dan penyebarluasan, pendokumentasian data terpilah menurut jenis kelamin, khusus perempuan dan anak skala nasional.
Pemantauan dan evaluasi kebijakan dan pelaksanaan pendataan dan sistem informasi gender skala nasional.
Analisis, pemanfaatan dan penyebarluasan, pendokumentasian data terpilah menurut jenis kelamin, khusus perempuan dan anak skala provinsi.
Penyusunan model informasi data (mediasi dan advokasi) skala provinsi.
Pemantauan dan evaluasi serta pelaporan pelaksanaan pendataan dan sistem informasi gender dan anak skala provinsi.
Ɇ 2. Pemantauan dan evaluasi serta pelaporan pelaksanaan pendataan dan sistem informasi gender dan anak skala kabupaten/kota.
Penyusunan model informasi data (mediasi dan advokasi) skala kabupaten/kota.
Ɇ 5. Ɇ L. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KELUARGA BERENCANA DAN KELUARGA SEJAHTERA SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Pelayanan Keluarga Berencana (KB) dan Kesehatan Reproduksi 1. Kebijakan dan Pelaksanaan Jaminan dan Pelayanan KB, Peningkatan Partisipasi Pria, Penanggulangan Masalah Kesehatan Reproduksi, serta Kelangsungan Hidup Ibu, Bayi dan Anak 1.a.Penetapan kebijakan dan pengembangan pelayanan KB, peningkatan partisipasi pria, penanggulangan masalah kesehatan reproduksi, dan kelangsungan hidup ibu, bayi, dan anak skala nasional.
Ɇ 1.a.Penetapan kebijakan jaminan dan pelayanan KB, peningkatan partisipasi pria, penanggulangan masalah kesehatan reproduksi serta kelangsungan hidup ibu, bayi, dan anak skala provinsi.
Pemberian dukungan operasional jaminan dan pelayanan KB, peningkatan partisipasi pria, penanggulangan masalah kesehatan reproduksi, serta kelangsungan hidup ibu, bayi dan anak skala provinsi.
a. Penetapan kebijakan jaminan dan pelayanan KB, peningkatan partisipasi pria, penanggulangan masalah kesehatan reproduksi, serta kelangsungan hidup ibu, bayi, dan anak skala kabupaten/ kota.
Penyelenggaraan dukungan pelayanan rujukan KB dan kesehatan reproduksi, operasionalisasi jaminan dan pelayanan KB, peningkatan partisipasi pria, penanggulangan masalah kesehatan reproduksi, serta kelangsungan hidup ibu, bayi dan anak skala kabupaten/ kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c. Ɇ 2.a.Penetapan pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria dan pengembangan jaminan dan pelayanan KB, peningkatan partisipasi pria, penanggulangan masalah kesehatan reproduksi, serta kelangsungan hidup ibu, bayi dan anak skala nasional.
Ɇ 2.a. Pemberian dukungan pelaksanaan pedoman upaya peningkatan jaminan dan pelayanan KB, peningkatan partisipasi pria, penanggulangan masalah kesehatan reproduksi, serta kelangsungan hidup ibu, bayi dan anak skala provinsi.
Penetapan dan pengembangan jaringan pelayanan KB dan kesehatan reproduksi, termasuk pelayanan KB di rumah sakit skala kabupaten/kota.
a. Penetapan perkiraan sasaran pelayanan KB, sasaran peningkatan perencanaan kehamilan, sasaran peningkatan partisipasi pria, sasaran “ Unmet Need ”, sasaran penanggulangan masalah kesehatan reproduksi, serta sasaran kelangsungan hidup ibu, bayi dan anak skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Ɇ 3.a.Pengelolaan jaminan dan pelayanan KB, peningkatan partisipasi pria, penanggulangan masalah kesehatan reproduksi serta kelangsungan hidup ibu, bayi dan anak skala nasional.
Ɇ b. Ɇ 3.a.Pengelolaan jaminan dan pelayanan KB, peningkatan partisipasi pria, penanggulangan masalah kesehatan reproduksi, serta kelangsungan hidup ibu, bayi dan anak skala provinsi.
Ɇ b. Penyerasian dan penetapan kriteria serta kelayakan tempat pelayanan KB dan kesehatan reproduksi, peningkatan partisipasi pria, penanggulangan masalah kesehatan reproduksi, serta kelangsungan hidup ibu, bayi dan anak skala kabupaten/ kota.
a. Pelaksanaan jaminan dan pelayanan KB, peningkatan partisipasi pria, penanggulangan masalah kesehatan reproduksi, serta kelangsungan hidup ibu, bayi dan anak skala kabupaten/ kota.
Pemantauan tingkat drop out peserta KB. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c. Ɇ d. Ɇ e. Ɇ f. Ɇ g. Ɇ c. Ɇ d. Ɇ e. Ɇ f. Ɇ g. Ɇ c. Pengembangan materi penyelenggaraan jaminan dan pelayanan KB dan pembinaan penyuluh KB.
Perluasan jaringan dan pembinaan pelayanan KB.
Penyelenggaraan dukungan pelayanan rujukan KB dan kesehatan reproduksi.
Penyelenggaraan dan fasilitasi upaya peningkatan kesadaran keluarga berkehidupan seksual yang aman dan memuaskan, terbebas dari HIV/AIDS dan Infeksi Menular Seksual (IMS).
Pembinaan penyuluh KB. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA h. Ɇ 4.a. Penyediaan sarana, alat, obat, dan cara kontrasepsi skala nasional.
Ɇ c. Ɇ h. Ɇ 4.a. Penyediaan sarana, alat, obat, dan cara kontrasepsi skala provinsi.
Ɇ c. Ɇ h. Peningkatan kesetaraan dan keadilan gender terutama partisipasi KB pria dalam pelaksanaan program pelayanan KB dan kesehatan reproduksi.
a. Penyediaan sarana dan prasarana pelayanan kontrasepsi mantap dan kontrasepsi jangka panjang yang lebih terjangkau, aman, berkualitas dan merata skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan distribusi dan pengadaan sarana, alat, obat, dan cara kontrasepsi, dan pelayanannya dengan prioritas keluarga miskin dan kelompok rentan skala kabupaten/kota.
Penjaminan ketersediaan sarana, alat, obat, dan cara kontrasepsi bagi peserta mandiri skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5.a. Penetapan pedoman dan pengembangan model promosi pemenuhan hak-hak reproduksi dan promosi kesehatan reproduksi skala nasional.
Ɇ 5.a. Pemberian dukungan penyelenggaraan promosi pemenuhan hak-hak reproduksi dan promosi kesehatan reproduksi skala provinsi.
Ɇ 5.a. Pelaksanaan promosi pemenuhan hak-hak reproduksi dan promosi kesehatan reproduksi skala kabupaten/ kota.
Pelaksanaan informed choice dan informed consent dalam program KB.
Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR) 1. Kebijakan dan Pelaksanaan KRR dan Perlindungan Hak-Hak Reproduksi 1.a.Penetapan kebijakan dan pengembangan KRR, pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya Narkotika, Alkohol, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA) skala nasional.
Ɇ 1.a.Penetapan kebijakan KRR, pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA skala provinsi.
Pemberian dukungan operasional KRR, pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA skala provinsi.
a. Penetapan kebijakan KRR, pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA skala kabupaten/ kota.
Penyelenggaraan dukungan operasional KRR, pencegahan HIV/AIDS, IMS dan NAPZA skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2.a. Penetapan pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria dan pengembangan KRR, pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA skala nasional.
Ɇ 3.a. Pengelolaan KRR, pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA skala nasional.
a. Fasilitasi pelaksanaan pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria KRR, pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA skala provinsi.
Ɇ 3.a. Pengelolaan KRR, pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA skala provinsi.
a.Penetapan perkiraan sasaran pelayanan KRR, pencegahan HIV/AIDS, IMS dan NAPZA skala kabupaten/kota.
Penyerasian dan penetapan kriteria serta kelayakan tempat pelayanan KRR termasuk pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA skala kabupaten/ kota.
a. Penyelenggaraan pelayanan KRR termasuk pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA skala kabupaten/ kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Ɇ c. Ɇ d. Ɇ e. Ɇ b. Ɇ c. Ɇ d. Ɇ e. Ɇ b. Penyelenggaraan kemitraan pelaksanaan KRR termasuk pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA baik antara sektor pemerintah dengan sektor Lembaga Swadaya Organisasi Masyarakat (LSOM) skala kabupaten/kota.
Penetapan fasilitas pelaksanaan KRR termasuk pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA baik antara sektor pemerintah dengan sektor LSOM skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan KRR termasuk pencegahan HIV/AIDS, IMS dan NAPZA baik antara sektor pemerintah dengan sektor LSOM skala kabupaten/kota.
Penetapan sasaran KRR termasuk pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA f. Ɇ 4. Pengembangan SDM pengelola, pendidik sebaya dan konselor sebaya KRR termasuk pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA baik antara sektor pemerintah dengan sektor LSOM skala nasional.
Ɇ 4. Pendayagunaan SDM pengelola, pendidik sebaya dan konselor sebaya KRR termasuk pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA baik antara sektor pemerintah dengan sektor LSOM skala provinsi. f .Penetapan prioritas kegiatan KRR termasuk pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA skala kabupaten/kota.
Pemanfaatan tenaga SDM pengelola, pendidik sebaya dan konselor sebaya KRR termasuk pencegahan HIV/AIDS, IMS dan bahaya NAPZA baik antara sektor pemerintah dengan sektor LSOM skala kabupaten/kota.
Ketahanan dan Pemberdayaan Keluarga 1. Kebijakan dan Pelaksanaan Pengembangan Ketahanan dan Pemberdayaan Keluarga 1.a.Penetapan kebijakan dan pengembangan ketahanan dan pemberdayaan keluarga skala nasional.
Ɇ 1.a. Penetapan kebijakan dan pengembangan ketahanan dan pemberdayaan keluarga skala provinsi.
Ɇ 1.a. Penetapan kebijakan dan pengembangan ketahanan dan pemberdayaan keluarga skala kabupaten/kota.
Penyelenggaraan dukungan pelayanan ketahanan dan pemberdayaan keluarga skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2.a. Penetapan pedoman, norma, standar, prosedur, kriteria, dan pengembangan ketahanan dan pemberdayaan keluarga skala nasional.
Ɇ 3.a. Pengelolaan ketahanan dan pemberdayaan keluarga skala nasional.
Ɇ 2.a. Fasilitasi pelaksanaan pedoman, norma, standar, prosedur, kriteria, dan pengembangan ketahanan dan pemberdayaan keluarga skala provinsi.
Ɇ 3.a. Pengelolaan operasional ketahanan dan pemberdayaan keluarga skala provinsi.
Ɇ 2.a. Penyerasian penetapan kriteria pengembangan ketahanan dan pemberdayaan keluarga skala kabupaten/kota.
Penetapan sasaran Bina Keluarga Balita (BKB), Bina Keluarga Remaja (BKR), dan Bina Keluarga Lansia (BKL) skala kabupaten/ kota.
a. Penyelenggaraan BKB, BKR, dan BKL termasuk pendidikan pra- melahirkan skala kabupaten/ kota.
Pelaksanaan ketahanan dan pemberdayaan keluarga skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c. Ɇ d. Ɇ e. Ɇ f. Ɇ c. Ɇ d. Ɇ e. Ɇ f. Ɇ c. Pelaksanaan model-model kegiatan ketahanan dan pemberdayaan keluarga skala kabupaten/kota.
Pembinaan teknis peningkatan pengetahuan, keterampilan, kewirausahaan dan manajemen usaha bagi keluarga pra sejahtera dan keluarga sejahtera I alasan ekonomi dalam kelompok Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera (UPPKS) skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan pendampingan/ magang bagi para kader/anggota kelompok UPPKS skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan kemitraan untuk aksesibilitas permodalan, teknologi, dan manajemen serta pemasaran guna peningkatan UPPKS skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA g. Ɇ g. Ɇ g. Peningkatan kualitas lingkungan keluarga skala kabupaten/kota.
Penguatan Pelembagaan Keluarga Kecil Berkualitas 1. Kebijakan dan Pelaksanaan Penguatan Pelembagaan Keluarga Kecil Berkualitas dan Jejaring Program 1.a. Penetapan kebijakan dan pengembangan penguatan pelembagaan keluarga kecil berkualitas dan jejaring program skala nasional.
Ɇ 2.a. Penetapan pedoman, norma, standar, prosedur dan kriteria dan pengembangan penguatan pelembagaan keluarga kecil berkualitas dan jejaring program skala nasional.
a. Penetapan kebijakan dan pengembangan penguatan pelembagaan keluarga kecil berkualitas dan jejaring program skala provinsi.
Ɇ 2.a.Fasilitasi pelaksanaan pedoman, norma, standar, prosedur dan kriteria penguatan pelembagaan keluarga kecil berkualitas dan jejaring program skala provinsi.
a. Penetapan kebijakan dan pengembangan penguatan pelembagaan keluarga kecil berkualitas dan jejaring program skala kabupaten/kota.
Penyelenggaraan dukungan operasional penguatan pelembagaan keluarga kecil berkualitas dan jejaring program skala kabupaten/kota.
a.Penetapan perkiraan sasaran pengembangan penguatan pelembagaan keluarga kecil berkualitas dan jejaring program skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Ɇ c. Ɇ d. Ɇ e. Ɇ f. Ɇ b. Ɇ c. Ɇ d. Ɇ e. Ɇ f. Ɇ b. Pemanfaatan pedoman pelaksanaan penilaian angka kredit jabatan fungsional penyuluh KB.
Penetapan petunjuk teknis pengembangan peran Institusi Masyarakat Pedesaan/Perkotaan (IMP) dalam program KB nasional.
Penetapan formasi dan sosialisasi jabatan fungsional penyuluh KB.
Pendayagunaan pedoman pemberdayaan dan penggerakan institusi masyarakat program KB nasional dalam rangka kemandirian.
Penetapan petunjuk teknis peningkatan peran serta mitra program KB nasional. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. a. Pengelolaan penguatan pelembagaan keluarga kecil berkualitas dan jejaring program skala nasional.
Ɇ c. Ɇ d. Ɇ e. Ɇ 3.a. Pengelolaan operasional penguatan pelembagaan keluarga kecil berkualitas dan jejaring program skala provinsi.
Penyiapan pelaksanaan pengkajian dan pengembangan program KB nasional, serta pemanfaatan hasil kajian dan penelitian.
Ɇ d. Ɇ e. Ɇ 3.a. Pelaksanaan pengelolaan personil, sarana dan prasarana dalam mendukung program KB nasional, termasuk jajaran medis teknis tokoh masyarakat dan tokoh agama.
Penyediaan dan pemberdayaan tenaga fungsional penyuluh KB.
Penyediaan dukungan operasional penyuluh KB.
Penyediaan dukungan operasional IMP dalam program KB nasional.
Pelaksanaan pembinaan teknis IMP dalam program KB nasional. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA f. Ɇ g. Ɇ h. Ɇ i. Ɇ j. Ɇ f. Ɇ g. Ɇ h. Ɇ i. Ɇ j. Ɇ f. Pelaksanaan peningkatan kerjasama dengan mitra kerja program KB nasional dalam rangka kemandirian.
Penyiapan pelaksanaan pengkajian dan pengembangan program KB nasional di kabupaten/kota.
Pemanfaatan hasil kajian dan penelitian.
Pendayagunaan kerjasama jejaring pelatih terutama pelatihan klinis kabupaten/kota.
Pendayagunaan SDM program terlatih, serta perencanaan dan penyiapan kompetensi SDM program yang dibutuhkan kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA k. Ɇ k. Ɇ k. Pendayagunaan bahan pelatihan sesuai dengan kebutuhan program peningkatan kinerja SDM.
Advokasi dan Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) 1. Kebijakan dan Pelaksanaan Advokasi dan KIE 1.a. Penetapan kebijakan dan pengembangan advokasi, KIE, serta konseling program KB nasional.
– 2.a. Penetapan pedoman, norma, standar, prosedur dan kriteria pengembangan advokasi dan KIE skala nasional.
Ɇ 1.a. Penetapan kebijakan dan pengembangan advokasi dan KIE skala provinsi.
Fasilitasi operasional advokasi dan KIE skala provinsi.
a. Fasilitasi pelaksanaan pedoman pengembangan advokasi dan KIE skala nasional.
Ɇ 1.a. Penetapan kebijakan dan pengembangan advokasi dan KIE skala kabupaten/kota.
Penyelenggaraan operasional advokasi KIE skala kabupaten/ kota.
a. Penetapan perkiraan sasaran advokasi dan KIE skala kabupaten/kota.
Penyerasian dan penetapan kriteria advokasi dan KIE skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3.a. Pengelolaan advokasi dan KIE skala nasional.
Ɇ c. Ɇ d. Ɇ 3.a. Pengelolaan pengembangan advokasi dan KIE skala provinsi.
Ɇ c. Ɇ d. Ɇ 3.a. Pelaksanaan advokasi, KIE, serta konseling program KB dan KRR.
Pelaksanaan KIE ketahanan dan pemberdayaan keluarga, penguatan kelembagaan dan jaringan institusi program KB.
Pemanfaatan prototipe program KB/Kesehatan Reproduksi (KR), KRR, ketahanan dan pemberdayaan keluarga, penguatan pelembagaan keluarga kecil berkualitas.
Pelaksanaan promosi KRR termasuk pencegahan HIV/AIDS, IMS, dan bahaya NAPZA dan perlindungan hak-hak reproduksi. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Informasi dan Data Mikro Kependudukan dan Keluarga 1. Kebijakan dan Pelaksanaan Data Mikro Kependudukan dan Keluarga 1.a. Penetapan kebijakan dan pengembangan informasi serta data mikro kependudukan dan keluarga skala nasional.
Ɇ 2.a. Penetapan pedoman, norma, standar, prosedur, kriteria dan pengembangan informasi serta data mikro kependudukan dan keluarga skala nasional.
Ɇ 1.a. Penetapan kebijakan dan pengembangan informasi serta data mikro kependudukan dan keluarga skala provinsi.
Fasilitasi operasional pengelolaan informasi serta data mikro kependudukan dan keluarga skala provinsi.
a. Fasilitasi pelaksanaan pedoman pengembangan informasi dan data mikro kependudukan dan keluarga skala provinsi.
Ɇ 1.a. Penetapan kebijakan dan pengembangan informasi serta data mikro kependudukan dan keluarga skala kabupaten/kota.
Penyelenggaraan informasi serta data mikro kependudukan dan keluarga skala kabupaten/kota.
a. Penetapan perkiraan sasaran pengembangan informasi serta data mikro kependudukan dan keluarga skala kabupaten/kota.
Informasi serta data mikro kependudukan dan keluarga skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3.a. Pengelolaan informasi serta data mikro kependudukan dan keluarga skala nasional.
Ɇ c. Ɇ d. Ɇ e. Ɇ 3.a. Pengelolaan pengembangan informasi serta data mikro kependudukan dan keluarga skala provinsi.
Ɇ c. Ɇ d. Ɇ e. Ɇ 3.a. Pelaksanaan operasional sistem informasi manajemen program KB nasional.
Pemutakhiran, pengolahan, dan penyediaan data mikro kependudukan dan keluarga.
Pengelolaan data dan informasi program KB nasional serta penyiapan sarana dan prasarana.
Pemanfaaan data dan informasi program KB nasional untuk mendukung pembangunan daerah.
Pemanfaatan operasional jaringan komunikasi data dalam pelaksanaan e-government dan melakukan diseminasi informasi. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 7. Keserasian Kebijakan Kependudukan 1. Penyerasian dan Keterpaduan Kebijakan Kependudukan 1. Penetapan kebijakan terpadu antara perkembangan kependudukan (aspek kuantitas, kualitas, dan mobilitas) dengan pembangunan di bidang ekonomi, sosial budaya dan lingkungan.
Pengkajian dan penyempurnaan peraturan perundang- undangan yang mengatur perkembangan dan dinamika kependudukan.
Pelaksanaan kebijakan terpadu antara perkembangan kependudukan (aspek kuantitas, kualitas, dan mobilitas) dengan pembangunan di bidang ekonomi, sosial budaya dan lingkungan.
Pengkajian dan penyempurnaan peraturan daerah yang mengatur perkembangan dan dinamika kependudukan di provinsi.
Penyelenggaraan kebijakan teknis operasional dan pelaksanaan program kependudukan terpadu antara perkembangan kependudukan (aspek kuantitas, kualitas, dan mobilitas) dengan pembangunan di bidang ekonomi, sosial budaya dan lingkungan di daerah kabupaten/kota.
Pengkajian dan penyempurnaan peraturan daerah yang mengatur perkembangan dan dinamika kependudukan di daerah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3.a. Pengelolaan dan penyerasian isu kependudukan ke dalam program pembangunan sektoral dan daerah.
Ɇ 3.a. Penyerasian isu kependudukan ke dalam program pembangunan di provinsi.
Ɇ 3.a. Penyerasian isu kependudukan ke dalam program pembangunan di daerah kabupaten/kota.
Pengkajian dan penyempurnaan peraturan daerah yang mengatur perkembangan dan dinamika kependudukan di daerah kabupaten/kota.
Pembinaan 1. Kebijakan dan Pelaksanaan Pembinaan 1. Pengembangan dan penetapan kebijakan pembinaan, dan penyelenggaraan monitoring, evaluasi, fasilitasi, asistensi, dan supervisi pelaksanaan program KB nasional.
Dukungan pelaksanaan monitoring, evaluasi, asistensi, fasilitasi, dan supervisi pelaksanaan program KB nasional.
Monitoring, evaluasi, asistensi, fasilitasi, dan supervisi pelaksanaan program KB nasional di kabupaten/kota. M. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG SOSIAL SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Kebijakan Bidang Sosial 1. Penetapan kebijakan bidang sosial skala nasional. 1. Penetapan kebijakan bidang sosial skala provinsi mengacu pada kebijakan nasional.
Penetapan kebijakan bidang sosial skala kabupaten/kota mengacu pada kebijakan provinsi dan/atau nasional.
Perencanaan Bidang Sosial 1. Penyusunan perencanaan bidang sosial skala nasional.
Penyusunan perencanaan bidang sosial skala provinsi.
Penyusunan perencanaan bidang sosial skala kabupaten/kota.
Kerjasama Bidang Sosial 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria kerjasama bidang sosial.
Penyelenggaraan kerjasama bidang sosial skala provinsi. 1. Penyelenggaraan kerjasama bidang sosial skala kabupaten/kota.
Pembinaan Bidang Sosial 1. Koordinasi pemerintahan di bidang sosial skala nasional.
Penetapan pedoman dan standarisasi.
Koordinasi pemerintahan di bidang sosial skala provinsi.
Sinkronisasi dan harmonisasi pelaksanaan pedoman dan standarisasi.
Koordinasi pemerintahan di bidang sosial skala kabupaten/kota.
Sinkronisasi dan harmonisasi pelaksanaan pedoman dan standarisasi. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penetapan akreditasi dan sertifikasi.
Pemberian bimbingan, monitoring, supervisi, konsultasi, dan fasilitasi bidang sosial skala nasional.
Pengajuan usulan dan rekomendasi untuk penetapan akreditasi dan sertifikasi.
Pemberian bimbingan, monitoring, supervisi, konsultasi, dan fasilitasi bidang sosial skala provinsi.
Seleksi dan kelengkapan bahan usulan untuk penetapan akreditasi dan sertifikasi.
Pemberian bimbingan, monitoring, supervisi, konsultasi, dan fasilitasi bidang sosial skala kabupaten/kota.
Identifikasi dan Penanganan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial 1. Penetapan jenis dan kriteria sasaran penanggulangan masalah sosial skala nasional.
Identifikasi sasaran penanggulangan masalah sosial skala provinsi.
Identifikasi sasaran penanggulangan masalah sosial skala kabupaten/kota.
Pengembangan dan Pendayagunaan Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) 1. Penetapan pedoman, jenis, standar dan kriteria PSKS skala nasional.
Pengembangan dan pendayagunaan PSKS skala nasional.
Penggalian dan pendayagunaan PSKS skala provinsi.
Pengembangan dan pendayagunaan PSKS skala provinsi.
Penggalian dan pendayagunaan PSKS skala kabupaten/kota.
Pengembangan dan pendayagunaan PSKS skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 7. Pelaksanaan Program/Kegiatan Bidang sosial 1. Pelaksanaan program/ kegiatan bidang sosial meliputi uji coba, percontohan, kerjasama luar negeri, dan penanggulangan masalah sosial skala nasional.
Pelaksanaan program/ kegiatan bidang sosial skala provinsi dan atau kerjasama antar kabupaten/kota.
Pelaksanaan program/ kegiatan bidang sosial skala kabupaten/kota.
Pengawasan Bidang Sosial 1. Pengawasan atas pelaksanaan urusan pemerintahan, dan kebijakan bidang sosial.
Pengawasan atas pelaksanaan urusan pemerintahan bidang sosial, dan kebijakan skala provinsi.
Pengawasan atas pelaksanaan urusan pemerintahan bidang sosial skala kabupaten/ kota.
Pelaporan Pelaksanaan Program di Bidang Sosial 1. Pelaporan pelaksanaan program di bidang sosial skala nasional kepada Presiden.
Pelaporan pelaksanaan program bidang sosial skala provinsi kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri dengan tembusan kepada Menteri Sosial.
Pelaporan pelaksanaan program bidang sosial skala kabupaten/kota kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur dengan tembusan kepada Menteri Sosial. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 10. Sarana dan Prasarana Sosial 1. Penyediaan sarana dan prasarana sosial skala nasional.
Penyediaan sarana dan prasarana sosial skala provinsi.
Penyediaan sarana dan prasarana sosial skala kabupaten/kota.
Pembinaan Tenaga Fungsional Pekerja Sosial 1. Pengangkatan dan pemberhentian pejabat fungsional pekerja sosial skala nasional.
Penyelenggaraan pendidikan profesi pekerjaan sosial skala nasional.
Pendidikan dan pelatihan jabatan fungsional pekerja sosial skala nasional.
Pengangkatan dan pemberhentian pejabat fungsional pekerja sosial skala provinsi.
Pengusulan calon peserta pendidikan profesi pekerjaan sosial skala provinsi.
Pengusulan calon peserta pendidikan dan profesi pekerja sosial skala provinsi.
Pengangkatan dan pemberhentian pejabat fungsional pekerja sosial skala kabupaten/kota.
Pengusulan calon peserta pendidikan profesi pekerjaan sosial skala kabupaten/kota.
Pengusulan calon peserta pendidikan dan pelatihan pekerja sosial skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 12. Sistem Informasi Kesejahteraan Sosial 1. Penetapan pedoman sistem informasi kesejahteraan sosial.
Pengembangan jaringan sistem informasi kesejahteraan sosial skala nasional.
— 2. Pengembangan jaringan sistem informasi kesejahteraan sosial skala provinsi.
— 2. Pengembangan jaringan sistem informasi kesejahteraan sosial skala kabupaten/kota.
Penganugerahan Tanda Kehormatan 1. Pengusulan dan pemberian rekomendasi kepada Presiden untuk penganugerahan satya lencana kebaktian sosial.
Penganugerahan penghargaan Menteri Sosial.
Pengusulan dan pemberian rekomendasi atas usulan penganugerahan satya lencana kebaktian sosial kepada Presiden melalui Menteri Sosial.
Pemberian penghargaan di bidang sosial skala provinsi.
Penyiapan bahan kelengkapan usulan penganugerahan satya lencana kebaktian sosial kepada Presiden melalui Gubernur dan Menteri Sosial.
Pemberian penghargaan di bidang sosial skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Pelestarian Nilai-Nilai 1. Penetapan pedoman pelestarian nilai-nilai kepahlawanan, keperintisan kejuangan dan kesetiakawanan sosial.
Pelestarian nilai-nilai kepahlawanan, keperintisan dan kejuangan serta nilai- nilai kesetiakawanan sosial sesuai pedoman skala provinsi.
Pelestarian nilai-nilai kepahlawanan, keperintisan dan kejuangan serta nilai-nilai kesetiakawanan sosial sesuai pedoman yang ditetapkan oleh pusat atau provinsi skala kabupaten/kota.
Pemeliharaan Taman Makam Pahlawan (TMP) 1. Standarisasi, pemeliharaan, dan perbaikan TMP Nasional.
Pembangunan, perbaikan, pemeliharaan, TMP di provinsi.
Pembangunan, perbaikan, pemeliharaan, TMP di kabupaten/kota.
Pemeliharaan Makam Pahlawan Nasional (MPN) 1. Standarisasi, pemeliharaan dan perbaikan MPN. 1. — 1. — 14. Nilai-nilai Kepahlawanan, Keperintisan Kejuangan dan Kesetiakawanan Sosial 4. Penganugerahan Gelar Pahlawan dan Perintis Kemerdekaan 1. Pengusulan dan pemberian rekomendasi kepada Presiden untuk penetapan dan penganugerahan gelar Pahlawan Nasional dan Perintis Kemerdekaan.
Pemberian rekomendasi atas usulan pengangkatan gelar Pahlawan Nasional dan Perintis Kemerdekaan.
Penyiapan bahan kelengkapan usulan penganugerahan gelar Pahlawan Nasional dan Perintis Kemerdekaan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Penyelenggaraan Peringatan Hari Pahlawan dan Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional 1. Penanggungjawab penyelenggaraan Hari Pahlawan dan Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional.
Penanggungjawab penyelenggaraan Hari Pahlawan dan Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional tingkat provinsi.
Penanggungjawab penyelenggaraan Hari Pahlawan dan Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional tingkat kabupaten/kota.
Penanggulangan Korban Bencana 1. Penetapan pedoman penanggulangan bencana.
Penanggulangan bencana skala dan/atau berdampak nasional.
Penanggulangan korban bencana skala provinsi.
— 1. Penanggulangan korban bencana skala kabupaten/kota.
— 16. Pengumpulan Uang atau Barang (Sumbangan Sosial) 1. Penetapan kebijakan dan pemberian izin pengumpulan uang atau barang skala nasional.
Pengendalian pengumpulan uang atau barang skala nasional.
Pemberian izin pengumpulan uang atau barang skala provinsi.
Pengendalian pengumpulan uang atau barang skala provinsi.
Pemberian izin pengumpulan uang atau barang skala kabupaten/kota.
Pengendalian pengumpulan uang atau barang skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Pengelolaan (penerimaan dan penyaluran) sumbangan sosial masyarakat baik dalam maupun luar negeri.
— 3. — 17. Undian 1. Penetapan kebijakan dan pemberian izin undian skala nasional.
Pengendalian dan pengawasan serta pemantauan pelaksanaan undian di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota.
Pemberian rekomendasi izin undian skala provinsi.
Pengendalian dan pengawasan pelaksanaan undian di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
Pemberian rekomendasi izin undian skala kabupaten/kota bila diperlukan.
Pengendalian dan pelaksanaan undian di tingkat kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 18. Jaminan Sosial bagi Penyandang Cacat Fisik dan Mental, dan Lanjut Usia Tidak Potensial Terlantar, yang berasal dari Masyarakat Rentan dan Tidak Mampu 1. Penetapan pedoman penyelenggaraan jaminan sosial.
Pelaksanaan pemberian jaminan sosial bagi penyandang cacat fisik dan mental, lanjut usia tidak potensial terlantar, yang berasal dari masyarakat rentan dan tidak mampu skala nasional.
— 2. Pelaksanaan dan pengembangan jaminan sosial bagi penyandang cacat fisik dan mental, lanjut usia tidak potensial terlantar yang berasal dari masyarakat rentan dan tidak mampu skala provinsi.
— 2. Pelaksanaan dan pengembangan jaminan sosial bagi penyandang cacat fisik dan mental, lanjut usia tidak potensial terlantar yang berasal dari masyarakat rentan dan tidak mampu skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 19. Pengasuhan dan Pengangkatan Anak 1. Penetapan organisasi sosial/yayasan yang diberi izin untuk pengasuhan anak.
Pemberian izin pengangkatan anak bagi anak yang berada dalam asuhan organisasi sosial antar Warga Negara Indonesia (WNI) dan antara WNI dengan Warga Negara Asing (WNA).
— 2. Pemberian izin pengangkatan anak antar WNI.
— 2. Pemberian rekomendasi pengangkatan anak skala kabupaten/kota. N. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KETRANSMIGRASIAN SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Ketenagakerjaan 1. Kebijakan, Perencanaan, Pembinaan, dan Pengawasan 1. Penetapan dan pelaksanaan kebijakan, pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala nasional.
Pembinaan (pengawasan, pengendalian, monitoring, evaluasi, dan pelaporan) penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala nasional.
Pelaksanaan kebijakan pusat dan penetapan kebijakan daerah serta pelaksanaan strategi penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala provinsi.
Pembinaan (pengawasan, pengendalian, monitoring, evaluasi, dan pelaporan) penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala provinsi.
Pelaksanaan kebijakan pusat dan provinsi, penetapan kebijakan daerah dan pelaksanaan strategi penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala kabupaten/kota.
Pembinaan (pengawasan, pengendalian, monitoring, evaluasi, dan pelaporan) penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Koordinasi dan pengintegrasian penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala nasional.
Penetapan kebijakan, pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria pembentukan kelembagaan/Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) bidang ketenagakerjaan skala nasional.
Perencanaan tenaga kerja nasional, pembinaan perencanaan tenaga kerja daerah provinsi dan kabupaten/kota, 3. Penanggungjawab penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala provinsi.
Pembentukan kelembagaan SKPD bidang ketenagakerjaan di provinsi.
Perencanaan tenaga kerja daerah provinsi, pembinaan perencanaan tenaga kerja mikro, pembinaan dan penyelenggaraan sistem 3. Penanggungjawab penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala kabupaten/kota.
Pembentukan kelembagaan SKPD bidang ketenagakerjaan di kabupaten/kota.
Perencanaan tenaga kerja daerah kabupaten/kota, pembinaan perencanaan tenaga kerja mikro pada instansi/tingkat perusahaan, pembinaan dan penyelenggaraan SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA sektoral, dan mikro serta pembinaan dan pengembangan sistem informasi ketenagakerjaan nasional. informasi ketenagakerjaan, serta pembinaan perencanaan tenaga kerja dan sistem informasi ketenagakerjaan kabupaten/kota skala provinsi. sistem informasi ketenagakerjaan skala kabupaten/kota.
Pembinaan Sumber Daya Manusia (SDM) Aparatur 1. Penetapan kebijakan, pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria monitoring evaluasi pembinaan SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala nasional.
Perencanaan formasi, karir, dan pendidikan dan pelatihan (diklat) 1. Pelaksanaan kebijakan, pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria monitoring evaluasi pembinaan SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala provinsi.
Perencanaan formasi, karir, dan diklat SDM aparatur pelaksana 1. Pelaksanaan kebijakan, pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria monitoring evaluasi pembinaan SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala kabupaten/kota.
Perencanaan formasi, karir, dan diklat SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala nasional. urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan di provinsi. ketenagakerjaan di kabupaten/kota.
Pembinaan, penyelenggaraan, pengawasan, dan pengendalian, serta evaluasi pengembangan SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala nasional.
Penetapan kriteria dan standar pemangku jabatan perangkat daerah yang melaksanakan urusan 3. Pembinaan, penyelenggaraan, pengawasan, dan pengendalian, serta evaluasi pengembangan SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala provinsi.
Pengangkatan dan pemberhentian pejabat perangkat daerah yang menangani bidang ketenagakerjaan skala 3. Pembinaan, penyelenggaraan, pengawasan, pengendalian, serta evaluasi pengembangan SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang ketenagakerjaan skala kabupaten/kota.
Pengangkatan dan pemberhentian pejabat perangkat daerah yang menangani bidang ketenagakerjaan skala SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA pemerintahan bidang ketenagakerjaan.
Pembinaan, pengangkatan, dan pemberhentian pejabat fungsional bidang ketenagakerjaan di instansi pusat. provinsi.
Pembinaan, pengangkatan, dan pemberhentian pejabat fungsional bidang ketenagakerjaan di instansi provinsi. kabupaten/kota.
Pembinaan, pengangkatan, dan pemberhentian pejabat fungsional bidang ketenagakerjaan di instansi kabupaten/kota.
Pembinaan Pelatihan dan Produktivitas Tenaga Kerja 1.a.Standarisasi kompetensi dan penyelenggaraan pelatihan kerja skala nasional.
— 2.a.Standarisasi, pelatihan dan pelaksanaan pengukuran 1.a.Pembinaan dan penyelenggaraan pelatihan kerja skala provinsi.
Pelatihan diseminasi program untuk kabupaten/kota di wilayah provinsi.
a.Pelaksanaan pelatihan dan pengukuran produktivitas skala 1.a.Pembinaan dan penyelenggaraan pelatihan kerja skala kabupaten/kota.
— 2.a.Pelaksanaan pelatihan dan pengukuran produktivitas skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA produktivitas skala nasional.
Pembinaan dan penyelenggaraan kerja sama internasional dalam rangka peningkatan produktivitas. provinsi.
Pelaksanaan program peningkatan produktivitas di wilayah provinsi.
Pelaksanaan program peningkatan produktivitas di wilayah kabupaten/kota.
Pengawasan pelaksanaan perizinan/ pendaftaran lembaga pelatihan kerja serta penerbitan perizinan magang ke luar negeri.
Pengawasan pelaksanaan sertifikasi kompetensi dan akreditasi lembaga 3. Pengawasan pelaksanaan perizinan/ pendaftaran lembaga pelatihan kerja serta penerbitan rekomendasi perizinan magang ke luar negeri.
Pengawasan pelaksanaan sertifikasi kompetensi dan akreditasi lembaga 3. Penyelenggaraan perizinan/ pendaftaran lembaga pelatihan serta pengesahan kontrak/perjanjian magang dalam negeri.
Koordinasi pelaksanaan sertifikasi kompetensi dan akreditasi lembaga pelatihan kerja skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA sertifikasi profesi dan lembaga pelatihan kerja skala nasional. pelatihan kerja skala provinsi.
Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri 1.a.Penyusunan sistem dan penyebarluasan informasi pasar kerja secara nasional.
Pemberian pelayanan informasi pasar kerja dan bimbingan jabatan kepada pencaker dan pengguna tenaga kerja skala nasional.
Pembinaan dan penyusunan sistem pemberdayaan pengantar kerja berskala nasional.
a.Penyusunan sistem dan penyebarluasan informasi pasar kerja di wilayah provinsi.
Pemberian pelayanan informasi pasar kerja dan bimbingan jabatan kepada pencaker dan pengguna tenaga kerja skala provinsi.
Pembinaan, monitoring, evaluasi, dan pendataan jabatan fungsional pengantar kerja tingkat provinsi.
a.Penyebarluasan informasi pasar kerja dan pendaftaran pencari kerja (pencaker) dan lowongan kerja.
Penyusunan, pengolahan dan penganalisisan data pencaker dan data lowongan kerja skala kabupaten/kota.
Pemberian pelayanan informasi pasar kerja, bimbingan jabatan kepada pencaker dan pengguna tenaga kerja skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA d.Monitoring, evaluasi, dan sosialisasi jabatan fungsional pengantar kerja.
Penilaian angka kredit jabatan fungsional pengantar kerja berskala nasional.
— e.Penilaian angka kredit jabatan fungsional pengantar kerja tingkat provinsi.
Pembinaan pejabat fungsional pengantar kerja.
Penilaian angka kredit jabatan fungsional pengantar kerja di wilayah kerja kabupaten/kota.
a. Penerbitan dan pengendalian izin pendirian Lembaga Bursa Kerja/Lembaga Penempatan Tenaga Kerja Swasta (LPTKS) dan Lembaga Penyuluhan dan Bimbingan Jabatan lintas provinsi/berskala nasional.
a. Penerbitan dan pengendalian izin pendirian Lembaga Bursa Kerja/LPTKS dan Lembaga Penyuluhan dan Bimbingan Jabatan skala provinsi.
a.Penerbitan dan pengendalian izin pendirian Lembaga Bursa Kerja/LPTKS dan Lembaga Penyuluhan dan Bimbingan Jabatan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b.— 3. Pemberian rekomendasi kepada swasta dalam penyelenggaraan pameran bursa kerja/ job fair skala nasional.
Penerbitan rekomendasi untuk perizinan pendirian LPTKS dan lembaga penyuluhan dan bimbingan jabatan yang akan melakukan kegiatan skala provinsi.
Pemberian rekomendasi kepada swasta dalam penyelenggaraan pameran bursa kerja/ job fair skala provinsi.
Penerbitan rekomendasi untuk perizinan pendirian LPTKS dan lembaga penyuluhan dan bimbingan jabatan yang akan melakukan kegiatan skala kabupaten/kota.
Pemberikan rekomendasi kepada swasta dalam penyelenggaraan pameran bursa kerja/ job fair skala kabupaten/kota.
Sosialisasi dan evaluasi penempatan tenaga kerja penyandang cacat, lanjut usia (lansia) dan perempuan skala nasional.
Fasilitasi dan pembinaan penempatan bagi pencari kerja penyandang cacat, lansia dan perempuan skala provinsi.
Fasilitasi penempatan bagi pencari kerja penyandang cacat, lansia dan perempuan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5.a.Penerbitan Surat Persetujuan Penempatan (SPP) Antar Kerja Antar Daerah (AKAD) skala nasional.
— 6.a.Penerbitan izin operasional Tenaga Kerja Sukarela (TKS) Luar Negeri, TKS Indonesia, lembaga sukarela luar negeri dan lembaga sukarela Indonesia.
a.Penerbitan SPP AKAD skala provinsi.
— 6.a.Penerbitan rekomendasi izin operasional TKS Luar Negeri, TKS Indonesia, lembaga sukarela Indonesia yang akan beroperasi lebih dari 1 (satu) kabupaten/kota dalam satu provinsi.
a.Penyuluhan, Rekrutmen, seleksi dan pengesahan pengantar kerja, serta penempatan tenaga kerja AKAD/Antar Kerja Lokal (AKL).
Penerbitan SPP AKL skala kabupaten/kota.
a.Penerbitan rekomendasi izin operasional TKS Luar Negeri, TKS Indonesia, lembaga sukarela Indonesia yang akan beroperasi pada 1 (satu) kabupaten/kota.
Pembinaan, pengawasan, dan pengendalian pendayagunaan TKS, b.Pelaksanaan pembinaan, pengendalian, dan pengawasan b.Pelaksanaan pembinaan, pengendalian, dan pengawasan pendayagunaan TKS dan lembaga sukarela skala SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA Tenaga Kerja Mandiri (TKM), dan lembaga sukarela skala nasional.
— 7.a.Pengesahan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) baru.
Pengesahan RPTKA perpanjangan lintas provinsi. pendayagunaan TKS dan lembaga sukarela skala provinsi.
Koordinasi, integrasi dan sinkronisasi program pendayagunaan TKM skala provinsi.
a.— b.Pengesahan RPTKA perpanjangan yang tidak mengandung perubahan jabatan, jumlah orang, dan lokasi kerjanya dalam 1 (satu) wilayah provinsi. kabupaten/kota.
Pendaftaran dan fasilitasi pembentukan TKM.
a.— b.— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c.Pengesahan RPTKA perubahan seperti perubahan jabatan, perubahan lokasi, perubahan jumlah Tenaga Kerja Asing (TKA) dan perubahan kewarganegaraan.
a. Pemberian rekomendasi visa kerja dan penerbitan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA) baru.
Penerbitan IMTA perpanjangan untuk TKA yang lokasi kerjanya lebih dari 1 (satu) wilayah provinsi.
— 8.a. — b.Penerbitan IMTA perpanjangan untuk TKA yang lokasi kerjanya lintas kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi.
— 8.a. — b.Penerbitan IMTA perpanjangan untuk TKA yang lokasi kerjanya dalam wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c.Penyusunan jabatan terbuka atau tertutup bagi TKA.
— c.— 9. Pembinaan dan pengendalian penggunaan TKA skala nasional.
Pembinaan penerapan teknologi tepat guna skala nasional.
Pembinaan model-model perluasan dan pengembangan kesempatan secara nasional antara lain melalui usaha mandiri 9. Monitoring dan evaluasi penggunaan TKA yang lokasi kerjanya lebih dari 1 (satu) kabupaten/kota dalam wilayah provinsi.
Pembinaan dan penerapan teknologi tepat guna skala provinsi.
Koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi pelaksanaan program usaha mandiri dan sektor informal serta program padat karya 9. Monitoring dan evaluasi penggunaan TKA yang lokasi kerjanya dalam wilayah kabupaten/kota yang bersangkutan.
Pelaksanaan pelatihan/bimbingan teknis, penyebarluasan dan penerapan teknologi tepat guna skala kabupaten/kota.
Penyelenggaraan program perluasan kerja melalui bimbingan usaha mandiri dan sektor informal serta program padat karya skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA dan sektor informal, serta program padat karya. skala provinsi.
Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja Luar Negeri 1.a.Pembinaan, pengendalian, dan pengawasan penempatan TKI ke luar negeri.
Pelaksanaan penempatan TKI oleh pemerintah.
Pembuatan perjanjian/pelaksanaan kerjasama bilateral dan multilateral dengan negara-negara penempatan TKI.
a.Monitoring dan evaluasi penempatan TKI ke luar negeri yang berasal dari wilayah provinsi.
— 2. Fasilitasi pelaksanaan perjanjian kerjasama bilateral dan multilateral penempatan TKI yang pelaksanaannya di wilayah provinsi.
a.Pelaksanaan penyuluhan , pendaftaran dan seleksi calon TKI di wilayah kabupaten/kota.
Pengawasan pelaksanaan rekrutmen calon TKI di wilayah kabupaten/kota.
Fasilitasi pelaksanaan perjanjian kerjasama bilateral dan multilateral penempatan TKI yang pelaksanaannya di wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penerbitan Surat Izin Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (SIPPTKIS)/ Surat Izin Usaha Penempatan (SIUP)- Perusahaan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) dan rekomendasi rekrutmen calon TKI serta Penerbitan Surat Izin Pengerahan (SIP).
Verifikasi dokumen TKI, penerbitan Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri (KTKLN), penerbitan rekomendasi paspor TKI yang bersifat khusus dan crash program .
Penerbitan perizinan pendirian kantor cabang di wilayah provinsi dan rekomendasi perpanjangan SIPPTKIS/PPTKIS.
Verifikasi dokumen TKI di wilayah provinsi.
Penerbitan rekomendasi izin pendirian kantor cabang PPTKIS di wilayah kabupaten/kota.
Penerbitan rekomendasi paspor TKI di wilayah kabupaten/kota berdasarkan asal/alamat calon TKI. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Penyelenggaraan Sistem Komputerisasi Terpadu Penempatan TKI di Luar Negeri (SISKO TKLN) dan pengawasan penyetoran dana perlindungan TKI.
a.Penentuan standar perjanjian kerja, penelitian terhadap substansi perjanjian kerja serta pengesahan perjanjian kerja.
— 5. Penyebarluasan sistem informasi penempatan TKI dan pengawasan penyetoran dana perlindungan TKI di wilayah provinsi.
a.Sosialisasi substansi perjanjian kerja penempatan TKI ke luar negeri skala provinsi.
— 5. Penyebarluasan sistem informasi penempatan TKI dan pengawasan penyetoran dana perlindungan TKI di wilayah kabupaten/kota.
a.Sosialisasi terhadap substansi perjanjian kerja penempatan TKI ke luar negeri skala kabupaten/kota.
Penelitian dan pengesahan perjanjian penempatan TKI ke luar negeri. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 7. Penyelenggaraan Pembekalan Akhir Pemberangkatan (PAP) (pelaksanaannya dapat didekonsentrasikan kepada Gubernur).
a.Penyelenggaraan program perlindungan, pembelaan, dan advokasi TKI.
Penentuan standar tempat penampungan calon TKI dan Balai Latihan Kerja Luar Negeri (BLK-LN).
Penetapan standar dan penunjukan lembaga- lembaga yang terkait 7. Fasilitasi penyelenggaraan PAP.
a.Pembinaan, pengawasan penempatan dan perlindungan TKI di wilayah provinsi.
Penerbitan perizinan tempat penampungan di wilayah provinsi.
— 7. — 8.a.Pembinaan, pengawasan, dan monitoring penempatan maupun perlindungan TKI di kabupaten/kota.
Penerbitan rekomendasi perizinan tempat penampungan di wilayah kabupaten/kota.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA dengan program penempatan TKI (lembaga asuransi, perbankan, dan sarana kesehatan).
Fasilitasi kepulangan dan pemulanganTKI secara nasional.
Fasilitasi kepulangan TKI di pelabuhan debarkasi di wilayah provinsi.
Pelayanan kepulangan TKI yang berasal dari kabupaten/kota.
Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja 1.a.Fasilitasi penyusunan serta pengesahan peraturan perusahaan yang skala berlakunya lebih dari satu provinsi.
a.Fasilitasi penyusunan serta pengesahan peraturan perusahaan yang skala berlakunya lebih dari satu kabupaten/kota dalam satu provinsi.
a.Fasilitasi penyusunan serta pengesahan peraturan perusahaan yang skala berlakunya dalam satu wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b.Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama (PKB), yang skala berlakunya lebih dari 1 (satu) wilayah provinsi.
Pencatatan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) pada perusaha- an yang skala berlakunya lebih dari 1 (satu) provinsi.
Pendaftaran PKB, perjanjian pekerjaan antara perusahaan pemberi kerja dengan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang skala berlakunya lebih dari satu wilayah kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi.
Pencatatan PKWT pada perusahaan yang skala berlakunya lebih dari satu kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi.
Pendaftaran PKB, perjanjian pekerjaan antara perusahaan pemberi kerja dengan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang skala berlakunya pada 1 (satu) wilayah kabupaten/kota.
Pencatatan PKWT pada perusahaan yang skala berlakunya dalam 1 (satu) wilayah kabupaten/kota.
a.Pendaftaran Perjanjian Pekerjaan antara Perusahaan Pemberi Kerja dengan 2.a.Pendaftaran Perjanjian Pekerjaan antara Perusahaan Pemberi Kerja dengan 2.a. Penerbitan izin operasional perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang berdomisili di kabupaten/kota dan SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh yang skala berlakunya lebih dari 1 (satu) provinsi.
Penerbitan rekomendasi pencabutan izin operasional perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang skala berlakunya lebih dari 1 (satu) provinsi.
Pencegahan dan penyelesaian perselisih- an hubungan industrial, mogok kerja, dan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh yang skala berlakunya lebih dari 1 (satu) kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi.
Penerbitan rekomendasi pencabutan izin operasional perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang skala berlakunya lebih dari satu kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi.
Pencegahan dan penyelesaian perselisih- an hubungan indus- trial, mogok kerja, dan pendaftaran perjanjian pekerjaan antara perusahaan pemberi kerja dengan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang skala berlakunya dalam 1 (satu) wilayah kabupaten/kota.
Pencabutan izin operasional perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang berdomisili di kabupaten/kota atas rekomendasi pusat dan atau provinsi.
Pencegahan dan penyelesaian perselisihan hubungan industrial, mogok kerja, dan penutupan perusahaan di SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA penutupan perusahaan skala nasional.
Pembinaan SDM dan lembaga penyelesaian perselisihan di luar pengadilan skala nasional.
Koordinasi penyusunan formasi, pendaftaran dan seleksi calon arbiter dan konsiliator, pengangkatan dan pemberhentian serta penerbitan legitimasi mediator, konsiliator, dan arbiter. penutupan perusahaan skala provinsi.
Pembinaan SDM dan lembaga penyelesaian perselisihan di luar pengadilan skala provinsi.
Penyusunan formasi, pendaftaran dan seleksi calon mediator, arbiter, dan konsiliator di wilayah provinsi. wilayah kabupaten/kota.
Pembinaan SDM dan lembaga penyelesaian perselisihan di luar pengadilan skala kabupaten/kota.
Penyusunan dan pengusulan formasi serta melakukan pembinaan mediator, konsiliator, arbiter di wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Pendaftaran dan seleksi calon hakim ad-hoc hubungan industrial pada Mahkamah Agung.
a.Bimbingan aplikasi pengupahan skala nasional.
Penetapan kebijakan pengupahan nasional dan penelaahan terhadap upah minimum yang ditetapkan pemerintah provinsi.
Pendaftaran dan seleksi calon hakim ad-hoc pengadilan hubungan industrial yang wilayahnya meliputi provinsi.
a.Bimbingan aplikasi pengupahan lintas kabupaten/kota dalam satu provinsi.
Penyusunan dan penetapan upah minimum provinsi, kabupaten/kota, dan melaporkan kepada menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
Pendaftaran dan seleksi calon hakim ad-hoc pengadilan hubungan industrial yang wilayahnya meliputi kabupaten/ kota.
a.Bimbingan aplikasi pengupahan di perusahaan skala kabupaten/kota.
Penyusunan dan pengusulan penetapan upah minimum kabupaten/kota kepada gubernur. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 8.a.Koordinasi pembinaan penyelenggaraan jaminan sosial, fasilitas, dan kesejahtaraan tenaga kerja/buruh skala nasional.
— 9. Pembinaan pelaksanaan sistem dan kelembagaan serta pelaku hubungan industrial skala nasional.
a.Koordinasi pembinaan kepesertaan jaminan sosial tenaga kerja skala provinsi.
Koordinasi pembinaan penyelenggaraan fasilitas dan kesejahteraan tenaga kerja skala provinsi.
Pembinaan pelaksanaan sistem dan kelembagaan serta pelaku hubungan industrial skala provinsi.
a.Pembinaan kepesertaan jaminan sosial tenaga kerja di wilayah kabupaten/kota.
Pembinaan penyelenggaraan fasilitas dan kesejahteraan di perusahaan skala kabupaten/kota.
Pembinaan pelaksanaan sistem dan kelembagaan serta pelaku hubungan industrial skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 10. Koordinasi pelaksanaan verifikasi keanggotaan Serikat Pekerja/Serikat Buruh (SP/SB) skala nasional.
Koordinasi hasil pencatatan organisasi pengusaha dan organisasi pekerja/buruh dari provinsi.
Penetapan organisasi pengusaha dan organisasi pekerja/buruh untuk duduk dalam lembaga- lembaga ketenagakerjaan nasional berdasarkan 10. Koordinasi pelaksanaan verifikasi keanggotaan SP/SB skala provinsi.
Koordinasi hasil pencatatan organisasi pengusaha dan organisasi pekerja/buruh skala provinsi dan melaporkannya kepada pemerintah.
Penetapan organisasi pengusaha dan organisasi pekerja/buruh skala provinsi untuk duduk dalam lembaga-lembaga ketenagakerjaan provinsi berdasarkan 10. Verifikasi keanggotaan SP/SB skala kabupaten/kota.
Pencatatan organisasi pengusaha dan organisasi pekerja/buruh skala kabupaten/kota dan melaporkannya kepada provinsi.
Penetapan organisasi pengusaha dan organisasi pekerja/buruh untuk duduk dalam lembaga- lembaga ketenagakerjaan kabupaten/kota berdasarkan hasil verifikasi. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA hasil verifikasi. hasil verifikasi.
Pembinaan Ketenagaker- jaan 1. Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan norma ketenagakerjaan skala nasional.
Pemeriksaan/pengujian terhadap perusahaan dan obyek pengawasan ketenagakerjaan skala nasional.
Penerbitan/rekomendasi (izin) terhadap obyek pengawasan ketenagakerjaan skala nasional.
Penanganan kasus/melakukan penyidikan terhadap 1. Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan norma ketenagakerjaan skala provinsi.
Pemeriksaan/pengujian terhadap perusahaan dan obyek pengawasan ketenagakerjaan skala provinsi.
Penerbitan/rekomendasi (izin) terhadap obyek pengawasan ketenagakerjaan skala provinsi.
Penanganan kasus/melakukan penyidikan terhadap 1. Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan norma ketenagakerjaan skala kabupaten/kota.
Pemeriksaan/pengujian terhadap perusahaan dan obyek pengawasan ketenagakerjaan skala kabupaten/kota.
Penerbitan/rekomendasi (izin) terhadap obyek pengawasan ketenagakerjaan skala kabupaten/kota.
Penanganan kasus/melakukan penyidikan terhadap SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA pengusaha yang melanggar norma ketenagakerjaan skala nasional.
a.Penetapan rencana tahunan audit dan sertifikasi Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3).
— 6. Pengkajian dan perekayasaan bidang norma ketenagakerjaan, hygiene perusahaan, ergonomi, keselamatan dan kesehatan kerja pengusaha yang melanggar norma ketenagakerjaan skala provinsi.
a.Pelaksanaan penerapan SMK3 skala provinsi.
Pelaksanaan koordinasi dan audit SMK3 skala provinsi.
Pengkajian dan perekayasaan bidang norma ketenagakerjaan, hygiene perusahaan, ergonomi, kesehatan dan keselamatan kerja perusahaan dan pengusaha yang melanggar norma ketenagakerjaan skala kabupaten/kota.
a.Pelaksanaan penerapan SMK3 skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan koordinasi dan audit SMK3 skala kabupaten/kota.
Pengkajian dan perekayasaan bidang norma ketenagakerjaan, hygiene perusahaan, ergonomi, keselamatan kerja yang bersifat strategis skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA yang bersifat strategis dan berskala nasional.
Pelayanan dan pelatihan serta pengembangan bidang norma ketenagakerjaan, hygiene perusahaan, ergonomi, keselamatan dan kesehatan kerja yang bersifat strategis dan berskala nasional.
Pemberdayaan fungsi dan kegiatan personil dan kelembagaan pengawasan ketenagakerjaan skala nasional. yang bersifat strategis skala provinsi.
Pelayanan dan pelatihan serta pengembangan bidang norma ketenagakerjaan, keselamatan dan kesehatan kerja yang bersifat strategis skala provinsi.
Pemberdayaan fungsi dan kegiatan personil dan kelembagaan pengawasan ketenagakerjaan skala provinsi.
Pelayanan dan pelatihan serta pengembangan bidang norma ketenagakerjaan, keselamatan dan kesehatan kerja yang bersifat strategis skala kabupaten/kota.
Pemberdayaan fungsi dan kegiatan personil dan kelembagaan pengawasan ketenagakerjaan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 9. Fasilitasi pembinaan pengawasan ketenagakerjaan skala nasional.
Penyelenggaraan ketatalaksanaan pengawasan ketenagakerjaan skala nasional.
a. Penyelenggaraan diklat teknis/fungsional pengawasan ketenagakerjaan.
— 9. Fasilitasi penyelenggaraan pembinaan pengawasan ketenagakerjaan skala provinsi.
Penyelenggaraan ketatalaksanaan pengawasan ketenagakerjaan skala provinsi.
a. Pengusulan calon peserta diklat pengawasan ketenagakerjaan kepada pemerintah.
Bekerjasama dengan pusat menyelenggarakan diklat teknis 9. Fasilitasi pembinaan pengawasan ketenagakerjaan skala kabupaten/kota.
Penyelenggaraan ketatalaksanaan pengawasan ketenagakerjaan skala kabupaten/kota.
a. Pengusulan calon peserta diklat pengawasan ketenagakerjaan kepada pemerintah dan/atau pemerintah provinsi.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 12. Penunjukan, pengangkatan, dan pemberhentian pegawai pengawas ketenagakerjaan.
Penerbitan kartu legitimasi bagi pengawas ketenagakerjaan.
Penerbitan kartu Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) bidang ketenagakerjaan. pengawasan ketenagakerjaan.
Pengusulan calon pegawai pengawas ketenagakerjaan skala provinsi kepada pemerintah.
Pengusulan penerbitan kartu legitimasi bagi pengawas ketenagakerjaan skala provinsi kepada pemerintah.
Pengusulan kartu PPNS bidang ketenaga- kerjaan skala provinsi kepada pemerintah.
Pengusulan calon pegawai pengawas ketenagakerjaan skala kabupaten/kota kepada pemerintah.
Pengusulan penerbitan kartu legitimasi bagi pengawas ketenagakerjaan skala kabupaten/kota kepada pemerintah.
Pengusulan kartu PPNS bidang ketenagakerjaan skala kabupaten/kota kepada pemerintah. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 15. Penetapan sertifikasi, penunjukan, penerbitan lisensi bagi lembaga personil, dan kader ketenagakerjaan.
— 15. — 2. Ketransmigra- sian 1. Kebijakan, Perencanaan, Pembinaan, dan Pengawasan 1. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan, pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian.
Pembinaan (pengawasan, pengendalian, monitoring, evaluasi, dan pelaporan) penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang 1. Pelaksanaan kebijakan pusat dan perumusan kebijakan daerah serta pelaksanaan strategi penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian skala provinsi.
Pengendalian, evaluasi, dan pelaporan penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang ketransmigrasian skala provinsi.
Pelaksanaan kebijakan pusat dan provinsi, perumusan kebijakan daerah dan pelaksanaan strategi penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian skala kabupaten/kota.
Pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang ketransmigrasian skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA ketransmigrasian skala nasional.
Koordinasi dan integrasi penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian skala nasional.
Perumusan kebijakan pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria pembentukan kelembagaan SKPD bidang ketransmigrasian skala nasional.
Sinkronisasi dan pengendalian pelaksanaan urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian skala provinsi.
Pembentukan kelembagaan SKPD bidang ketransmigrasian skala provinsi berdasarkan kebijakan, pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan pemerintah.
Integrasi pelaksanaan urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian skala kabupaten/kota.
Pembentukan kelembagaan SKPD bidang ketransmigrasian skala kabupaten/kota berdasarkan kebijakan, pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan pemerintah. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Perancangan pembangunan transmigrasi nasional, serta pembinaan dan pengembangan sistem informasi ketransmigrasian skala nasional.
Pemberdayaan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian.
Perancangan pembangunan transmigrasi daerah provinsi, serta pembinaan dan penyelenggaraan sistem informasi ketransmigrasian skala provinsi.
Pemberdayaan pemerintah daerah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian skala provinsi.
Perancangan pembangunan transmigrasi daerah kabupaten/kota, serta pembinaan dan penyelenggaraan sistem informasi ketransmigrasian skala kabupaten/kota.
Peningkatan kapasitas pemerintah daerah dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian skala kabupaten/kota.
Pembinaan SDM Aparatur 1. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan, pedoman, norma, standar, prosedur, 1. Pelaksanaan kebijakan, pedoman, norma, standar, prosedur, kriteria, dan monitoring, 1. Pelaksanaan kebijakan, pedoman, norma, standar, prosedur, kriteria, dan monitoring, evaluasi pembinaan SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA kriteria, dan monitoring, evaluasi pembinaan SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian skala nasional.
Perencanaan formasi, karir, dan diklat SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian skala nasional.
Pembinaan, penyelenggaraan, pengawasan, dan pengendalian, serta evaluasi pengembangan SDM aparatur evaluasi pembinaan SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian di pemerintahan daerah provinsi.
Perencanaan formasi, karir, dan diklat SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian di pemerintah daerah provinsi.
Pembinaan, penyelenggaraan, pengawasan, dan pengendalian, serta evaluasi pengembangan SDM aparatur SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian di pemerintah daerah kabupaten/kota.
Perencanaan formasi, karir, dan diklat SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian di pemerintah daerah kabupaten/kota.
Pembinaan, penyelenggaraan, pengawasan, dan pengendalian, serta evaluasi pengembangan SDM aparatur pelaksana urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian di pemerintah SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA pelaksana urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian skala nasional.
Perumusan kriteria dan standar pemangku jabatan perangkat daerah yang melaksanakan urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian.
Pembinaan, pengangkatan, dan pemberhentian pejabat fungsional di bidang ketransmigrasian di instansi pusat. pelaksana urusan pemerintahan bidang ketransmigrasian di pemerintah daerah provinsi.
Pengangkatan dan pemberhentian pejabat perangkat daerah yang menangani bidang ketransmigrasian skala pemerintah daerah provinsi.
Pembinaan, pengangkatan, dan pemberhentian pejabat fungsional di bidang ketransmigrasian instansi provinsi. daerah kabupaten/kota.
Pengangkatan dan pemberhentian pejabat perangkat daerah yang menangani bidang ketransmigrasian skala pemerintah daerah kabupaten/kota.
Pembinaan, pengangkatan, dan pemberhentian pejabat fungsional di bidang ketransmigrasian instansi kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penyiapan Permukiman dan Penempatan 1.a.Perencanaan penyiapan permukiman dan penempatan transmigrasi untuk kepentingan nasional dan daerah.
— 1.a. Pengusulan rencana lokasi pembangunan Wilayah Pengembangan Transmigrasi (WPT) atau Lokasi Permukiman Transmigrasi (LPT) skala provinsi berdasarkan hasil pembahasan dengan pemerintah daerah kabupaten/kota.
Pengusulan rencana pengarahan, perpindahan, dan penempatan transmigrasi skala provinsi berdasarkan hasil pembahasan dengan pemerintah daerah kabupaten/kota.
a.Pengalokasian tanah untuk pembangunan WPT atau LPT di wilayah kabupaten/kota.
Pengusulan rencana lokasi pembangunan WPT atau LPT skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c.— d.— 2.a.Penyediaan tanah untuk pembangunan WPT atau LPT untuk kepentingan nasional dan daerah.
— c.— d.— 2.a.Koordinasi penyediaan tanah untuk pembangunan WPT atau LPT skala provinsi.
— c.Pengusulan rencana kebutuhan SDM untuk mendukung pembangunan WPT atau LPT skala kabupaten/kota.
Pengusulan rencana pengarahan dan perpindahan transmigrasi skala kabupaten/kota.
a.Penyelesaian legalitas tanah untuk rencana pembangunan WPT atau LPT skala kabupaten/kota.
Penetapan alokasi penyediaan tanah untuk rencana pembangunan WPT dan LPT skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penyusunan dan penetapan rencana teknis pembangunan WPT atau LPT dalam rangka kepentingan nasional dan daerah.
Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) ketransmigrasian dalam rangka kepentingan nasional dan daerah.
a.Pengembangan dan pelayanan investasi dan kemitraan dalam rangka pembangunan WPT atau LPT skala nasional dan daerah.
— 3. Pengusulan rancangan rencana teknis pembangunan WPT atau LPT skala provinsi.
KIE ketransmigrasian skala provinsi.
a.Penyediaan informasi pengembangan investasi dalam rangka pembangunan WPT atau LPT skala provinsi.
Mediasi dan koordinasi pelayanan investasi dalam rangka 3. Penyediaan data untuk penyusunan rencana teknis pembangunan WPT atau LPT skala kabupaten/kota.
KIE ketransmigrasian skala kabupaten/kota.
a.Penyediaan informasi pengembangan investasi dalam rangka pembangunan WPT atau LPT skala kabupaten/kota.
Pelayanan investasi dalam rangka pembangunan WPT atau LPT skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6.a.Pengembangan kerjasama antar daerah dalam perpindahan dan penempatan transmigrasi skala nasional.
— 7. Pembangunan WPT atau LPT dalam rangka kepentingan nasional dan daerah.
a.Penyiapan calon transmigran skala nasional. pembangunan WPT atau LPT skala provinsi.
a.Mediasi kerjasama antar daerah dalam perpindahan dan penempatan transmigrasi skala provinsi.
— 7. Koordinasi pelaksanaan pembangunan WPT atau LPT skala provinsi.
a.Koordinasi pelaksanaan penyiapan calon transmigran skala provinsi.
a.Penjajagan kerjasama dengan daerah kabupaten/kota lain.
Pembuatan naskah kerjasama antar daerah dalam perpindahan dan penempatan transmigrasi.
Sinkronisasi pembangunan WPT atau LPT dengan wilayah sekitar skala kabupaten/kota.
a.Pendaftaran dan seleksi calon transmigran skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. — 9. Peningkatan ketrampilan dan keahlian calon transmigran skala nasional.
Fasilitasi perpindahan dan penempatan transmigran skala nasional.
Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan penyiapan permukiman dan penempatan b. — 9. Koordinasi pelaksanaan peningkatan ketrampilan dan keahlian calon transmigran skala provinsi.
Koordinasi pelaksanaan pelayanan perpindahan dan penempatan transmigran skala provinsi.
Pengendalian dan supervisi penyiapan permukiman dan penempatan transmigran skala b.Penetapan status calon transmigran skala kabupaten/kota berdasarkan kriteria pemerintah.
Peningkatan ketrampilan dan keahlian calon transmigran skala kabupaten/kota.
Pelayanan penampungan calon transmigran skala kabupaten/kota.
Pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan penyiapan permukiman dan penempatan transmigran di wilayah SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA transmigran skala nasional. provinsi. kabupaten/kota.
Pengembangan Masyarakat dan Kawasan Transmigrasi 1. Perencanaan pengembangan masyarakat dan kawasan transmigrasi skala nasional.
Peningkatan kapasitas SDM dan masyarakat di WPT atau LPT skala nasional.
Pengembangan usaha masyarakat di WPT atau LPT skala nasional.
Sinkronisasi dan pengusulan rencana pengembangan masyarakat dan kawasan transmigrasi skala provinsi.
Koordinasi pelaksanaan peningkatan kapasitas SDM dan masyarakat di WPT atau LPT skala provinsi.
Koordinasi pelaksanaan pengembangan usaha masyarakat di WPT atau LPT skala provinsi.
Pengusulan rencana pengembangan masyarakat dan kawasan transmigrasi skala kabupaten/kota.
Sinkronisasi peningkatan kapasitas SDM dan masyarakat di WPT atau LPT dengan wilayah sekitar dalam skala kabupaten/kota.
Sinkronisasi pengembangan usaha masyarakat di WPT atau LPT dengan wilayah sekitar dalam skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Pemeliharaan dan pengembangan infrastruktur WPT atau LPT skala nasional.
Penyerasian pengembangan masyarakat dan kawasan WPT atau LPT dengan wilayah sekitar.
a.Evaluasi dan pengukuran tingkat keberhasilan pembangunan transmigrasi dan pengalihan 4. Koordinasi pelaksanaan pemeliharaan dan pengembangan infrastruktur WPT atau LPT skala provinsi.
Koordinasi pelaksanaan penyerasian pengembangan masyarakat dan kawasan WPT atau LPT dengan wilayah sekitar skala provinsi.
a.Koordinasi dan sinkronisasi penyajian data dan informasi tentang perkembangan WPT atau LPT skala provinsi.
Sinkronisasi pemeliharaan dan pengembangan infrastruktur WPT atau LPT dengan wilayah sekitar dalam skala kabupaten/kota.
Sinkronisasi penyerasian pengembangan masyarakat dan kawasan WPT atau LPT dengan wilayah sekitar skala kabupaten/kota.
a.Penyediaan data dan informasi tentang perkembangan WPT dan LPT skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA tanggungjawab pembinaan khusus WPT atau LPT skala nasional.
— 7. Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan pengembangan masyarakat dan kawasan transmigrasi skala nasional.
Pengusulan calon WPT atau LPT yang dapat dialihkan tanggungjawab pembinaan khususnya dalam skala provinsi.
Pengendalian dan supervisi pelaksanaan pengembangan masyarakat dan kawasan transmigrasi skala provinsi.
Pengusulan calon WPT atau LPT yang dapat dialihkan tanggungjawab pembinaan khususnya dalam skala kabupaten/kota.
Pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan pengembangan masyarakat dan kawasan transmigrasi di wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Pengarahan Dan Fasilitasi Perpindahan Transmigrasi 1.a.Fasilitasi, bimbingan teknis, dan pelaksanaan Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) ketransmigrasian skala nasional.
Penyediaan dan pelayanan informasi ketransmigrasian skala nasional.
— 1.a.Fasilitasi, bimbingan teknis, dan pelaksanaan Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) ketransmigrasian skala provinsi.
Penyediaan dan pelayanan informasi ketransmigrasian skala provinsi.
— 1.a.Pelaksanaan Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) ketransmigrasian skala kabupaten/kota.
Penyediaan dan pelayanan informasi ketransmigrasian skala kabupaten/kota.
Peningkatan motivasi perpindahan transmigrasi skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA d.— 2.a.Fasilitasi, bimbingan teknis, dan penyerasian rencana pengarahan dan fasilitasi perpindahan transmigrasi lintas provinsi.
— d.— 2.a.Fasilitasi, bimbingan teknis, penyusunan dan penyerasian rencana pengarahan dan fasilitasi perpindahan transmigrasi skala provinsi.
— d.Penyamaan persepsi, kesepahaman, kesepakatan mengenai pembangunan ketransmigrasian skala kabupaten/kota.
a.Identifikasi dan analisis keserasian penduduk dengan daya dukung alam dan daya tampung lingkungan skala kabupaten/kota.
Pemilihan dan penetapan daerah dan kelompok sasaran perpindahan transmigrasi skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c.— c.— c.Penyusunan rencana pengarahan dan fasilitasi perpindahan transmigrasi skala kabupaten/kota.
Fasilitasi kerjasama perpindahan transmigrasi dan penataan persebaran transmigrasi yang serasi dan seimbang dengan daya dukung alam dan daya tampung skala nasional.
a.Fasilitasi, bimbingan teknis, dan pelayanan perpindahan transmigrasi skala nasional.
Mediasi kerjasama perpindahan transmigrasi dan penataan persebaran transmigrasi yang serasi dan seimbang dengan daya dukung alam dan daya tampung skala provinsi.
a.Fasilitasi, bimbingan teknis, dan pelayanan perpindahan transmigrasi skala provinsi.
Pelaksanaan kerjasama perpindahan transmigrasi dan penataan persebaran transmigrasi yang serasi dan seimbang skala kabupaten/kota.
a.Pelayanan pendaftaran dan seleksi perpindahan transmigrasi dan penataan persebaran transmigrasi. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. — c. — d. — e. — b. — c. — d. — e. — b.Pelayanan pelatihan dalam rangka penyesuaian kompetensi perpindahan transmigrasi.
Pelayanan penampungan, permakanan, kesehatan, perbekalan, dan informasi perpindahan transmigrasi.
Pelayanan pengangkutan dalam proses perpindahan transmigrasi.
Pelayanan dan pengaturan penempatan, adaptasi lingkungan dan konsoliasi penempatan transmigrasi. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan pengarahan dan fasilitasi perpindahan transmigrasi skala nasional.
Pengendalian dan supervisi pelaksanaan pengarahan dan fasilitasi perpindahan transmigrasi skala provinsi.
Pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan pengarahan dan fasilitasi perpindahan transmigrasi di wilayah kabupaten/kota. O. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Kelembagaan Koperasi 1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pembentukan, penggabungan dan peleburan, serta pembubaran koperasi.
a.Pengesahan dan pengumuman akta pendirian koperasi.
— 3. Pengesahan dan perubahan Anggaran Dasar (AD) yang menyangkut penggabungan, pembagian dan perubahan bidang koperasi.
Pelaksanaan kebijakan pembentukan, penggabungan, dan peleburan, serta pembubaran koperasi.
a.Pengesahan pembentukan, penggabungan dan peleburan, serta penetapan pembubaran koperasi lintas kabupaten/kota. (Tugas Pembantuan) b.Fasilitasi pelaksanaan pengesahan dan pengumuman akta pendirian koperasi lintas kabupaten/kota.
Fasilitasi pelaksanaan pengesahan dan perubahan AD yang menyangkut penggabungan, pembagian dan perubahan bidang usaha koperasi lintas kabupaten/kota.
Pelaksanaan kebijakan pembentukan, penggabungan, dan peleburan, serta pembubaran koperasi.
a.Pengesahan pembentukan, penggabungan dan peleburan, serta pembubaran koperasi dalam wilayah kabupaten/kota. (Tugas Pembantuan) b.Fasilitasi pelaksanaan pengesahan dan pengumuman akta pendirian koperasi dalam wilayah kabupaten/kota.
Fasilitasi pelaksanaan pengesahan perubahan AD yang menyangkut penggabungan, pembagian dan perubahan bidang usaha koperasi dalam wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Penetapan pembubaran koperasi.
a.Pembinaan dan Pengawasan Koperasi Simpan Pinjam (KSP) dan Unit Simpan Pinjam (USP) Koperasi di tingkat nasional.
ɔ 4. Fasilitasi pelaksanaan pembubaran koperasi di tingkat provinsi.
a.Pembinaan dan pengawasan KSP dan USP koperasi di tingkat provinsi.
Fasilitasi pelaksanaan tugas dalam pengawasan KSP dan USP Koperasi di tingkat provinsi (Tugas Pembantuan) .
Fasilitasi pelaksanaan pembubaran koperasi di tingkat kabupaten/kota sesuai dengan pedoman pemerintah di tingkat kabupaten/kota.
a.Pembinaan dan pengawasan KSP dan USP koperasi di tingkat kabupaten/kota.
Fasilitasi pelaksanaan tugas dalam pengawasan KSP dan USP Koperasi di tingkat kabupaten/kota (Tugas Pembantuan).
Pemberdayaan Koperasi 1. Penetapan kebijakan pemberdayaan koperasi meliputi:
Prinsip kesehatan dan prinsip kehati-hatian usaha KSP dan USP;
Pelaksanaan kebijakan pemberdayaan koperasi meliputi:
Penciptaan usaha simpan pinjam yang sehat di tingkat provinsi sesuai dengan kebijakan pemerintah;
Pelaksanaan kebijakan pemberdayaan koperasi meliputi:
Penciptaan usaha simpan pinjam yang sehat di tingkat kabupaten/kota sesuai dengan kebijakan pemerintah; SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b.Tata cara penyampaian laporan tahunan bagi KSP dan USP;
Tata cara pembinaan KSP dan USP;
Pembubaran dan penyelesaian akibat pembubaran KSP dan USP;
Pemberian sanksi administratif kepada KSP dan USP yang tidak melaksanakan kewajibannya;
Bimbingan dan penyuluhan koperasi dalam pembuatan laporan tahunan KSP dan USP lintas kabupaten/kota;
Pembinaan KSP dan USP lintas kabupaten/kota;
Fasilitasi pelaksanaan pembubaran dan penyelesaian akibat pembubaran KSP dan USP lintas kabupaten/kota;
Pemberian sanksi administratif kepada KSP dan USP lintas kabupaten/kota yang tidak melaksanakan kewajibannya;
Bimbingan dan penyuluhan koperasi dalam pembuatan laporan tahunan KSP dan USP dalam wilayah kabupaten/kota;
Pembinaan KSP dan USP dalam wilayah kabupaten/kota;
Fasilitasi pelaksanaan pembubaran dan penyelesaian akibat pembubaran KSP dan USP dalam wilayah kabupaten/kota;
Pemberian sanksi administratif kepada KSP dan USP dalam wilayah kabupaten/kota yang tidak melaksanakan kewajibannya; SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pengembangan iklim serta kondisi yang mendorong pertumbuhan dan pemasyarakatan koperasi.
Pemberian bimbingan dan kemudahan koperasi.
Perlindungan kepada koperasi.
Pengembangan iklim serta kondisi yang mendorong pertumbuhan dan pemasyarakatan koperasi dalam wilayah provinsi.
Pemberian bimbingan dan kemudahan koperasi lintas kabupaten/kota.
Perlindungan kepada koperasi dalam wilayah provinsi.
Pengembangan iklim serta kondisi yang mendorong pertumbuhan dan pemasyarakatan koperasi dalam wilayah kabupaten/kota.
Pemberian bimbingan dan kemudahan koperasi dalam wilayah kabupaten/kota.
Perlindungan kepada koperasi dalam wilayah kabupaten/kota.
Pemberdayaan UKM 1. Penetapan kebijakan pemberdayaan UKM dalam penumbuhan iklim usaha bagi usaha kecil di tingkat nasional meliputi:
Pendanaan/penyediaan sumber dana, tata cara dan syarat pemenuhan kebutuhan dana;
Penetapan kebijakan pemberdayaan UKM dalam penumbuhan iklim usaha bagi usaha kecil di tingkat provinsi meliputi:
Pendanaan/penyediaan sumber dana, tata cara dan syarat pemenuhan kebutuhan dana;
Penetapan kebijakan pemberdayaan UKM dalam penumbuhan iklim usaha bagi usaha kecil di tingkat kabupaten/kota meliputi:
Pendanaan/penyediaan sumber dana, tata cara dan syarat pemenuhan kebutuhan dana; SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b.Persaingan;
Prasarana;
Informasi;
Kemitraan;
Perijinan;
Perlindungan.
Pembinaan dan pengembangan usaha kecil di tingkat nasional meliputi:
Produksi;
Pemasaran;
Sumber daya manusia;
Teknologi.
Persaingan;
Prasarana;
Informasi;
Kemitraan;
Perijinan;
Perlindungan.
Pembinaan dan pengembangan usaha kecil di tingkat provinsi meliputi:
Produksi;
Pemasaran;
Sumber daya manusia;
Teknologi.
Persaingan;
Prasarana;
Informasi;
Kemitraan;
Perijinan;
Perlindungan.
Pembinaan dan pengembangan usaha kecil di tingkat kabupaten/kota meliputi:
Produksi;
Pemasaran;
Sumber daya manusia;
Teknologi. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Fasilitasi akses penjaminan dalam penyediaan pembiayaan bagi UKM di tingkat nasional meliputi:
Kredit perbankan;
Penjaminan lembaga bukan bank;
Modal ventura;
Pinjaman dari dana pengasihan sebagai laba BUMN;
Hibah;
Jenis pembiayaan lain.
Fasilitasi akses penjaminan dalam penyediaan pembiayaan bagi UKM di tingkat provinsi meliputi:
Kredit perbankan;
Penjaminan lembaga bukan bank;
Modal ventura;
Pinjaman dari dana pengasihan sebagai laba BUMN;
Hibah;
Jenis pembiayaan lain.
Fasilitasi akses penjaminan dalam penyediaan pembiayaan bagi UKM di tingkat kabupaten/kota meliputi:
Kredit perbankan;
Penjaminan lembaga bukan bank;
Modal ventura;
Pinjaman dari dana pengasihan sebagai laba BUMN;
Hibah;
Jenis pembiayaan lain.
Pengawasan, Monitoring, dan Evaluasi 1. Pengawasan, monitoring, dan evaluasi upaya pemberdayaan koperasi dan UKM.
Pengawasan, monitoring, dan evaluasi upaya pemberdayaan Koperasi dan UKM lintas kabupaten/kota.
Pengawasan, monitoring, dan evaluasi upaya pemberdayaan Koperasi dan UKM dalam wilayah kabupaten/kota. P. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG PENANAMAN MODAL SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Kebijakan Penanaman Modal 1. Kebijakan Penanaman Modal 1. Menyusun dan menetapkan kebijakan pengembangan penanaman modal Indonesia dalam bentuk rencana umum penanaman modal nasional dan rencana strategis nasional sesuai dengan program pembangunan nasional.
Menyusun dan menetapkan kebijakan pengembangan penanaman modal daerah provinsi dalam bentuk rencana umum penanaman modal daerah dan rencana strategis daerah sesuai dengan program pembangunan daerah provinsi, berkoordinasi dengan Pemerintah.
Menyusun dan menetapkan kebijakan pengembangan penanaman modal daerah kabupaten/kota dalam bentuk rencana umum penanaman modal daerah dan rencana strategis daerah sesuai dengan program pembangunan daerah kabupaten/kota, berkoordinasi dengan pemerintah provinsi. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Merumuskan dan menetapkan pedoman, pembinaan, dan pengawasan dalam skala nasional terhadap penyelenggaraan kebijakan dan perencanaan pengembangan penanaman modal.
Mengoordinasikan, merumuskan, menetapkan dan melaksanakan kebijakan nasional dibidang penanaman modal meliputi:
Merumuskan dan menetapkan pedoman, pembinaan, dan pengawasan dalam skala provinsi terhadap penyelenggaraan kebijakan dan perencanaan pengembangan penanaman modal, berkoordinasi dengan Pemerintah.
Mengoordinasikan, merumuskan, menetapkan dan melaksanakan kebijakan daerah provinsi di bidang penanaman modal meliputi:
Merumuskan dan menetapkan pedoman, pembinaan, dan pengawasan dalam skala kabupaten/kota terhadap penyelenggaraan kebijakan dan perencanaan pengembangan penanaman modal, berkoordinasi dengan pemerintah provinsi.
Mengoordinasikan, merumuskan, menetapkan dan melaksanakan kebijakan daerah kabupaten/kota di bidang penanaman modal meliputi: SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA (1) Bidang usaha yang tertutup.
Bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan.
Bidang usaha yang menjadi prioritas tinggi dalam skala nasional.
Penyiapan usulan bidang- bidang usaha yang perlu dipertimbangkan tertutup.
Penyiapan usulan bidang- bidang usaha yang perlu dipertimbangkan terbuka dengan persyaratan.
Penyiapan usulan bidang- bidang usaha yang perlu dipertimbangkan mendapat prioritas tinggi dalam skala provinsi.
Penyiapan usulan bidang-bidang usaha yang perlu dipertimbangkan tertutup.
Penyiapan usulan bidang-bidang usaha yang perlu dipertimbangkan terbuka dengan persyaratan.
Penyiapan usulan bidang-bidang usaha yang perlu dipertimbangkan mendapat prioritas tinggi di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA (4) Penyusunan peta investasi Indonesia, potensi sumber daya nasional termasuk pengusaha mikro, kecil, menengah, koperasi, dan besar.
Usulan pemberian fasilitas fiskal dan non fiskal.
Penyusunan peta investasi daerah provinsi dan potensi sumber daya daerah terdiri dari sumber daya alam, kelembagaan dan sumber daya manusia termasuk pengusaha mikro, kecil, menengah, koperasi, dan besar berdasarkan masukan dari daerah kabupaten/kota.
Usulan dan pemberian fasilitas penanaman modal di luar fasilitas fiskal dan non fiskal nasional yang menjadi (4) Penyusunan peta investasi daerah kabupaten/kota dan identifikasi potensi sumber daya daerah kabupaten/kota terdiri dari sumber daya alam, kelembagaan dan sumber daya manusia termasuk pengusaha mikro, kecil, menengah, koperasi, dan besar.
Usulan dan pemberian insentif penanaman modal di luar faslitas fiskal dan non fiskal nasional yang menjadi SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pelaksanaan Kebijakan Penanaman Modal 1. Kerjasama Penanaman Modal 4. Mengkaji, merumuskan dan menyusun, dan menetapkan kebijakan dan ketentuan peraturan perundang- undangan dibidang penanaman modal.
Mengkaji, merumuskan, menyusun kebijakan, mengoordinasikan dan melaksanakan kerjasama dengan dunia usaha di bidang penanaman modal. kewenangan provinsi.
Menetapkan peraturan daerah provinsi tentang penanaman modal dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku.
Mendorong, melaksanakan, mengajukan usulan materi dan memfasilitasi kerjasama dunia usaha di bidang penanaman modal di tingkat provinsi. kewenangan kabupaten/kota.
Menetapkan peraturan daerah kabupaten/kota tentang penanaman modal dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku.
Melaksanakan, mengajukan usulan materi dan memfasilitasi kerjasama dengan dunia usaha di bidang penanaman modal di tingkat kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Promosi Penanaman Modal 2. Mengkaji, merumuskan, menyusun kebijakan, mengoordinasikan dan melaksanakan kerjasama internasional di bidang penanaman modal.
Mengkaji, merumuskan dan menyusun kebijakan teknis pelaksanaan pemberian bimbingan dan pembinaan dalam promosi penanaman modal.
Mendorong, melaksanakan, mengajukan usulan materi dan memfasilitasi kerjasama internasional di bidang penanaman modal di tingkat provinsi.
Mengkaji, merumuskan, dan menyusun kebijakan teknis pelaksanaan pemberian bimbingan dan pembinaan promosi penanaman modal di tingkat provinsi.
Melaksanakan, mengajukan usulan materi dan memfasilitasi kerjasama internasional di bidang penanaman modal di tingkat kabupaten/kota.
Mengkaji, merumuskan, dan menyusun kebijakan teknis pelaksanaan pemberian bimbingan dan pembinaan promosi penanaman modal di tingkat kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Pelayanan Penanaman Modal 2. Mengoordinasikan dan melaksanakan promosi penanaman modal baik di dalam negeri maupun ke luar negeri.
Mengoordinasikan, mengkaji, merumuskan dan menyusun materi promosi skala nasional.
Mengkaji, merumuskan, dan menyusun pedoman tata cara dan pelaksanaan pelayanan terpadu satu pintu kegiatan penanaman modal.
Mengoordinasikan dan melaksanakan promosi penanaman modal daerah Provinsi baik di dalam negeri maupun ke luar negeri yang melibatkan lebih dari satu kabupaten/kota.
Mengoordinasikan, mengkaji, merumuskan dan menyusun materi promosi skala Provinsi.
Mengkaji, merumuskan, dan menyusun pedoman tata cara dan pelaksanaan pela yananan terpadu satu pintu kegiatan penanaman modal 2. Melaksanakan promosi penanaman modal daerah kabupaten/kota baik di dalam negeri maupun ke luar negeri.
Mengkaji, merumuskan, dan menyusun materi promosi skala kabupaten/kota.
Mengkaji, merumuskan, dan menyusun pedoman tata cara dan pelaksanaan pelayanan terpadu satu pintu kegiatan penanaman SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Melayani dan memfasilitasi:
Penanaman modal terkait dengan sumber daya alam yang tidak terbarukan dengan tingkat resiko kerusakan lingkungan yang tinggi; yang bersifat lintas kabupaten/kota berdasarkan pedoman tata cara dan pelaksanaan pelayanan terpadu satu pintu kegiatan penanaman modal yang ditetapkan oleh Pemerintah.
— modal yang menjadi kewenangan kabupaten/kota berdasarkan pedoman tata cara dan pelaksanaan pelayanan terpadu satu pintu kegiatan penanaman modal yang ditetapkan oleh Pemerintah.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b.Penanaman modal pada bidang industri yang merupakan prioritas tinggi pada skala nasional;
Penanaman modal yang terkait pada fungsi pemersatu dan penghubung antar wilayah atau ruang lingkupnya lintas provinsi;
Penanaman modal yang terkait pada pelaksanaan strategi pertahanan dan keamanan nasional; SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA e.Penanaman modal asing dan penanam modal yang menggunakan modal asing, yang berasal dari pemerintah negara lain, yang didasarkan perjanjian yang dibuat oleh Pemerintah dan pemerintah negara lain; dan
Bidang penanaman modal lain yang menjadi urusan Pemerintah menurut undang-undang. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Pemberian izin usaha kegiatan penanaman modal dan nonperizinan yang menjadi kewenangan Pemerintah.
Melaksanakan pelayanan terpadu satu pintu berdasarkan pendelegasian atau pelimpahan wewenang dari lembaga atau instansi yang memeiliki kewenangan perizinan dan nonperizinan yang menjadi kewenangan Pemerintah.
Pemberian izin usaha kegiatan penanaman modal dan nonperizinan yang menjadi kewenangan provinsi.
Melaksanakan pelayanan terpadu satu pintu berdasarkan pendelegasian atau pelimpahan wewenang dari lembaga atau instansi yang memiliki kewenangan perizinan dan nonperizinan yang menjadi kewenangan provinsi.
Pemberian izin usaha kegiatan penanaman modal dan non perizinan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota.
Melaksanakan pelayanan terpadu satu pintu berdasarkan pendelegasian atau pelimpahan wewenang dari lembaga atau instansi yang memiliki kewenangan perizinan dan nonperizinan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal 5. Pemberian persetujuan fasilitas fiskal nasional, bagi penanaman modal.
Mengkaji, merumuskan, dan menyusun kebijakan teknis pengendalian pelaksanaan penanaman modal skala nasional.
Melaksanakan pemantauan, bimbingan, dan pengawasan pelaksanaan penanaman modal, berkoordinasi dengan pemerintah provinsi atau 5. Pemberian usulan persetujuan fasilitas fiskal nasional, bagi penanaman modal yang menjadi kewenangan provinsi.
Mengkaji, merumuskan, dan menyusun kebijakan teknis pengendalian pelaksanaan penanaman modal di provinsi.
Melaksanakan pemantauan, bimbingan, dan pengawasan berkoordinasi dengan Pemerintah atau pemerintah 5. Pemberian usulan persetujuan fasilitas fiskal nasional, bagi penanaman modal yang menjadi kewenangan kabupaten/kota.
Mengkaji, merumuskan, dan menyusun kebijakan teknis pengendalian pelaksanaan penanaman modal di kabupaten/kota.
Melaksanakan pemantauan, bimbingan, dan pengawasan pelaksanaan penanaman modal, berkoordinasi dengan Pemerintah dan SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Pengelolaan Data dan Sistem Informasi Penanaman Modal pemerintah kabupaten/kota.
Mengkaji, merumuskan, dan menyusun pedoman tata cara pembangunan dan pengembangan sistem informasi penanaman modal skala nasional.
Membangun dan mengembangkan sistem informasi penanaman modal yang terintegrasi dengan sistem informasi penanaman modal pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. kabupaten/kota.
Mengkaji, merumuskan, dan menyusun pedoman tata cara pembangunan dan pengembangan sistem informasi penanaman modal skala provinsi.
Membangun dan mengembangkan sistem informasi penanaman modal yang terintegrasi dengan sistem informasi penanaman modal Pemerintah dan pemerintah kabupaten/kota. pemerintah provinsi.
Mengkaji, merumuskan dan menyusun pedoman tata cara pembangunan dan pengembangan sistem informasi penanaman modal skala kabupaten/kota.
Membangun dan mengembangkan sistem informasi penanaman modal yang terintegrasi dengan sistem informasi penanaman modal Pemerintah dan pemerintah provinsi. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Penyebar- luasan, Pendidikan dan Pelatihan Penanaman Modal 3. Mengoordinasikan pengumpulan dan pengolahan data kegiatan usaha penanaman modal dan realisasi proyek penanaman modal skala nasional.
Memutakhirkan data dan informasi penanaman modal nasional.
Membina dan mengawasi pelaksanaan penanaman modal di tingkat provinsi dan kabupaten/kota di bidang sistem informasi penanaman modal.
Mengumpulkan dan mengolah data kegiatan usaha penanaman modal dan realisasi proyek penanaman modal skala provinsi.
Memutakhirkan data dan informasi penanaman modal daerah.
Membina dan mengawasi pelaksanaan instansi penanaman modal kabupaten/kota di bidang sistem informasi penanaman modal.
Mengumpulkan dan mengolah data kegiatan usaha penanaman modal dan realisasi proyek penanaman modal skala kabupaten/kota.
Memutakhirkan data dan informasi penanaman modal daerah.
Membina dan mengawasi pelaksanaan di bidang sistem informasi penanaman modal. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Mengoordinasikan pelaksanaan sosialisasi atas kebijakan dan perencanaan pengembangan, perjanjian kerjasama internasional di bidang penanaman modal baik kerjasama bilateral, sub regional, regional, dan multilateral, promosi, pemberian pelayanan perizinan, pengendalian pelaksanaan, dan sistem informasi penanaman modal skala nasional kepada aparatur pemerintah dan dunia usaha;
Mengoordinasikan pelaksanaan sosialisasi atas kebijakan dan perencanaan pengembangan, kerjasama luar negeri, promosi, pemberian pelayanan perizinan, pengendalian pelaksanaan, dan sistem informasi penanaman modal skala provinsi kepada aparatur pemerintah dan dunia usaha.
Melaksanakan sosialisasi atas kebijakan dan perencanaan pengembangan, kerjasama luar negeri, promosi, pemberian pelayanan perizinan, pengendalian pelaksanaan, dan sistem informasi penanaman modal skala kabupaten/ kota kepada aparatur pemerintah dan dunia usaha. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Mengoordinasikan dan melaksanakan pendidikan dan pelatihan penanaman modal skala nasional.
Mengoordinasikan dan melaksanakan pendidikan dan pelatihan penanaman modal skala provinsi.
Melaksanakan pendidikan dan pelatihan penanaman modal skala kabupaten/ kota. Q. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Kebijakan Bidang Kebudayaan 1. Kebudayaan 1. Rencana induk pengembangan kebudayaan nasional.
Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di bidang kebudayaan.
Kriteria nasional sistem pemberian penghargaan/anugerah bagi insan/lembaga yang berjasa di bidang kebudayaan.
Rencana induk pengembangan kebudayaan skala provinsi.
Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi mengenai perlindungan HKI bidang kebudayaan.
Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi mengenai kriteria sistem pemberian penghargaan/anugerah bagi insan/lembaga yang berjasa di bidang kebudayaan .
Rencana induk pengembangan kebudayaan skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan kebijakan nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota mengenai perlindungan HKI bidang kebudayaan.
Pelaksanaan kebijakan nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota mengenai kriteria sistem pemberian penghargaan/anugerah bagi insan/lembaga yang berjasa di bidang kebudayaan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Kerjasama luar negeri bidang kebudayaan. 4. Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi mengenai kerja sama luar negeri di bidang kebudayaan skala provinsi.
Pelaksanaan kebijakan nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota mengenai kerja sama luar negeri di bidang kebudayaan skala kabupaten/ kota.
Tradisi 1. Penanaman nilai-nilai tradisi, pembinaan karakter dan pekerti bangsa.
Pembinaan lembaga kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan lembaga adat skala nasional.
Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi di bidang penanaman nilai-nilai tradisi, pembinaan karakter dan pekerti bangsa.
Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi dalam pembinaan lembaga kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan lembaga adat skala provinsi.
Pelaksanaan kebijakan nasional/provinsi serta penetapan kebijakan kabupaten/kota di bidang penanaman nilai-nilai tradisi, pembinaan karakter dan pekerti bangsa.
Pelaksanaan kebijakan nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota dalam pembinaan lembaga kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan lembaga adat skala kabupaten/kota . SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Perfilman 1. Penetapan kebijakan nasional bidang perfilman.
Pemberian izin usaha terhadap pembuatan film oleh tim asing.
Usaha perfilman, yang meliputi produksi, pengedaran, dan penayangan film.
Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan operasional perfilman skala provinsi.
Pemberian izin usaha terhadap pembuatan film oleh tim asing skala provinsi.
Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi di bidang usaha perfilman yang meliputi produksi, pengedaran, penayangan film.
Pelaksanaan kebijakan nasional/provinsi dan penetapan kebijakan operasional perfilman skala kabupaten/kota.
Pemberian izin usaha terhadap pembuatan film oleh tim asing skala kabupaten/kota.
Pemberian perizinan usaha perfilman di bidang pembuatan film, pengedaran film, penjualan dan penyewaan film (VCD, DVD), pertunjukan film (bioskop), pertunjukan film keliling, penayangan film melalui media elektronik, dan tempat hiburan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Standarisasi di bidang profesi, dan teknologi perfilman.
Kerjasama luar negeri di bidang perfilman.
Kebijakan peredaran, pertunjukan dan penayangan film serta rekaman video.
Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi di bidang standarisasi profesi dan teknologi perfilman.
Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi mengenai kerjasama luar negeri di bidang perfilman.
Pengawasan peredaran film dan rekaman video (VCD/DVD) skala provinsi.
Pelaksanaan kebijakan nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota di bidang kegiatan standarisasi profesi dan teknologi perfilman.
Pelaksanaan kebijakan nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota mengenai kerjasama luar negeri di bidang perfilman.
Pengawasan dan pendataan film dan rekaman video yang beredar, perusahaan persewaan dan penjualan rekaman video serta kegiatan evaluasi dan laporan pelaksanaan kebijakan perfilman skala kabupaten/ kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 7. Standarisasi nasional di bidang peningkatan produksi dan apresiasi film.
Monitoring dan evaluasi pengembangan perfilman skala nasional.
Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi mengenai kegiatan standarisasi di bidang peningkatan produksi dan apresiasi film skala provinsi.
Monitoring dan evaluasi pengembangan perfilman skala provinsi.
Pelaksanaan kebijakan nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota mengenai kegiatan standarisasi di bidang peningkatan produksi dan apresiasi film skala kabupaten/ kota.
Monitoring dan evaluasi pengembangan perfilman skala kabupaten/kota.
Kesenian 1. Standarisasi pemberian izin untuk pengiriman dan penerimaan delegasi asing di bidang kesenian.
Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi mengenai standarisasi pemberian izin pengiriman dan penerimaan delegasi asing di bidang kesenian.
Pelaksanaan kebijakan nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota mengenai standarisasi pemberian izin pengiriman dan penerimaan delegasi asing di bidang kesenian. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Izin pengiriman/ penerimaan misi kesenian dalam rangka kerjasama luar negeri skala nasional.
Penetapan kriteria dan prosedur penyelenggaraan festival, pameran, dan lomba tingkat nasional dan internasional.
Standar Pelayanan Minimal (SPM) di bidang kesenian.
Penetapan pedoman dan pemberian penghargaan kepada seniman yang telah berjasa kepada bangsa dan negara.
Penerbitan rekomendasi pengiriman misi kesenian dalam rangka kerjasama luar negeri skala provinsi.
Penetapan kriteria dan prosedur penyelenggaraan festival, pameran, dan lomba tingkat provinsi.
Penerapan dan monitoring implementasi SPM bidang kesenian skala provinsi.
Pemberian penghargaan kepada seniman yang telah berjasa kepada bangsa dan negara skala provinsi.
Penerbitan rekomendasi pengiriman misi kesenian dalam rangka kerjasama luar negeri skala kabupaten/kota.
Penetapan kriteria dan prosedur penyelenggaraan festival, pameran, dan lomba tingkat kabupaten/kota.
Penerapan dan monitoring implementasi SPM bidang kesenian skala kabupaten/ kota.
Pemberian penghargaan kepada seniman yang telah berjasa kepada bangsa dan negara skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Penetapan pedoman penyelenggaraan kegiatan pendidikan dan pelatihan bidang kesenian skala nasional.
Penetapan prosedur perawatan dan pengamanan aset atau benda kesenian (karya seni).
Penetapan pedoman nasional pembentukan dan/atau pengelolaan infrastruktur bidang kesenian (misalnya galeri nasional Indonesia dan pusat kebudayaan Indonesia).
Penyelenggaraan kegiatan pendidikan dan pelatihan kesenian skala provinsi.
Penerapan dan pelaksanaan prosedur perawatan dan pengamanan aset atau benda kesenian (karya seni) skala provinsi.
Pelaksanaan pembentukan dan/atau pengelolaan pusat kegiatan kesenian skala provinsi (misalnya taman budaya).
Penyelenggaraan kegiatan pendidikan dan pelatihan kesenian skala kabupaten/ kota.
Penerapan dan pelaksanaan prosedur perawatan dan pengamanan aset atau benda kesenian (karya seni) skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan pembentukan dan/atau pengelolaan pusat kegiatan kesenian skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 9. Penetapan kebijakan nasional peningkatan bidang apresiasi seni tradisional dan non tradisional.
Perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan kesenian skala nasional.
Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi peningkatan bidang apresiasi seni tradisional dan non tradisional.
Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi dalam rangka perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan kesenian skala provinsi.
Pelaksanaan kebijakan nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota peningkatan bidang apresiasi seni tradisional dan non tradisional.
Pelaksanaan kebijakan nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota dalam rangka perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan kesenian skala kabupaten/kota.
Sejarah 1. Penetapan pedoman penulisan sejarah nasional, sejarah wilayah, sejarah lokal, dan sejarah kebudayaan.
Pelaksanaan pedoman nasional dan penetapan kebijakan provinsi, di bidang penulisan sejarah lokal dan sejarah kebudayaan daerah skala provinsi.
Pelaksanaan pedoman nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota di bidang penulisan sejarah lokal dan sejarah kebudayaan daerah skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Penetapan pedoman pemahaman sejarah nasional, sejarah wilayah, sejarah lokal dan sejarah kebudayaan.
Penetapan pedoman inventarisasi dan dokumentasi sumber sejarah dan publikasi sejarah.
Penetapan pedoman pemberian penghargaan tokoh yang berjasa terhadap pengembangan sejarah tingkat nasional.
Pelaksanaan pedoman nasional dan penetapan kebijakan provinsi di bidang pemahaman sejarah nasional, sejarah wilayah, sejarah lokal dan sejarah kebudayaan daerah.
Pelaksanaan pedoman nasional dan penetapan kebijakan provinsi dan di bidang inventarisasi dan dokumentasi sumber sejarah dan publikasi sejarah.
Pelaksanaan pedoman nasional dan penetapan kebijakan provinsi pemberian penghargaan tokoh yang berjasa terhadap pengembangan sejarah.
Pelaksanaan pedoman nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota di bidang pemahaman sejarah nasional, sejarah wilayah, sejarah lokal dan sejarah kebudayaan daerah.
Pelaksanaan pedoman nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota di bidang inventarisasi dan dokumentasi sumber sejarah dan publikasi sejarah.
Pelaksanaan pedoman nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota pemberian penghargaan tokoh yang berjasa terhadap pengembangan sejarah. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Penetapan pedoman peningkatan pemahaman sejarah dan wawasan kebangsaan.
Penetapan pedoman penanaman nilai-nilai sejarah dan kepahlawanan nasional.
Penetapan pedoman database dan sistem informasi geografi sejarah.
Penetapan pedoman koordinasi dan kemitraan pemetaan sejarah.
Penerapan pedoman peningkatan pemahaman sejarah dan wawasan kebangsaan skala provinsi.
Pelaksanaan pedoman penanaman nilai-nilai sejarah dan kepahlawanan skala provinsi.
Pelaksanaan pedoman nasional dan penetapan kebijakan provinsi mengenai database dan sistem informasi geografi sejarah.
Pelaksanaan pedoman nasional dan penetapan kebijakan provinsi mengenai koordinasi dan kemitraan pemetaan sejarah skala provinsi.
Penerapan pedoman peningkatan pemahaman sejarah dan wawasan kebangsaan skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan pedoman penanaman nilai-nilai sejarah dan kepahlawanan skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan pedoman nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota mengenai database dan sistem informasi geografi sejarah.
Pelaksanaan pedoman nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota mengenai koordinasi dan kemitraan pemetaan sejarah skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 9. Penetapan pedoman penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan (diklat) bidang sejarah.
Pelaksanaan pedoman dan penetapan kebijakan provinsi penyelenggaraan diklat bidang sejarah skala provinsi.
Pelaksanaan pedoman nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota penyelenggaraan diklat bidang sejarah skala kabupaten/kota.
Purbakala 1. Penetapan pedoman pelaksanaan hasil ratifikasi konvensi internasional "Cultural Diversity, Protection on Cultural Landscape, Protection on Cultural and Natural Heritage ".
Penetapan dan pelaksanaan kebijakan perlindungan, pemeliharaan, dan pemanfaatan Benda Cagar Budaya (BCB)/situs skala nasional.
Pelaksanaan pedoman mengenai hasil ratifikasi konvensi internasional "Cultural Diversity, Protection on Cultural Landscape, Protection on Cultural and Natural Heritage" skala provinsi.
Penerapan kebijakan perlindungan, pemeliharaan, dan pemanfaatan BCB/situs skala provinsi.
Pelaksanaan pedoman mengenai hasil ratifikasi konvensi internasional "Cultural Diversity, Protection on Cultural Landscape, Protection on Cultural and Natural Heritage" skala kabupaten/kota.
Penerapan kebijakan perlindungan, pemeliharaan, dan pemanfaatan BCB/situs skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penetapan BCB/situs skala nasional.
Penetapan kebijakan permuseuman.
Penetapan pedoman penelitian arkeologi.
Penetapan pedoman pendirian museum.
Penetapan pedoman hasil pengangkatan peninggalan bawah air sesuai peraturan perundang- undangan.
Penetapan BCB/situs skala provinsi.
Penerapan kebijakan penyelenggaraan dan pengelolaan museum di provinsi.
Penerapan pedoman penelitian arkeologi.
Penerapan pedoman pendirian museum yang dimiliki provinsi.
Penerapan pedoman hasil pengangkatan peninggalan bawah air skala provinsi.
Penetapan BCB/situs skala kabupaten/kota.
Penerapan kebijakan penyelenggaraan dan pengelolaan museum di kabupaten/kota.
Penerapan pedoman penelitian arkeologi.
Penerapan pedoman pendirian museum yang dimiliki kabupaten/kota.
Penerapan pedoman hasil pengangkatan peninggalan bawah air skala kabupaten/ kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pelaksanaan Bidang Kebudayaan 1. Penyelenggaraan 1. Penyelenggaraan perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan kebudayaan skala nasional, meliputi:
Penanaman nilai-nilai tradisi serta pembinaan watak dan pekerti bangsa.
Pembinaan lembaga kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan lembaga adat.
Pengembangan jaringan informasi kebudayaan.
Penyelenggaraan perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan kebudayaan skala provinsi, meliputi:
Penanaman nilai-nilai tradisi serta pembinaan watak dan pekerti bangsa.
Pembinaan lembaga kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan lembaga adat.
Pengembangan jaringan informasi kebudayaan.
Penyelenggaraan perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan kebudayaan skala kabupaten/kota, meliputi:
Penanaman nilai-nilai tradisi serta pembinaan watak dan pekerti bangsa.
Pembinaan lembaga kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan lembaga adat.
Pengembangan jaringan informasi kebudayaan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA d. Peningkatan kemitraan dengan berbagai pihak terkait, lembaga kepercayaan dan lembaga adat.
Advokasi lembaga kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan lembaga adat.
Monitoring dan evaluasi kegiatan skala nasional meliputi:
Pelaksanaan dan hasil kegiatan.
Pengendalian dan pengawasan kegiatan.
Peningkatan kemitraan dengan berbagai pihak terkait, lembaga adat dan masyarakat.
Advokasi lembaga kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan lembaga adat.
Monitoring dan evaluasi kegiatan skala provinsi meliputi:
Pelaksanaan dan hasil kegiatan.
Pengendalian dan pengawasan kegiatan.
Peningkatan kemitraan dengan berbagai pihak terkait, lembaga adat dan masyarakat.
Advokasi lembaga kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan lembaga adat.
Monitoring dan evaluasi kegiatan skala kabupaten/kota meliputi:
Pelaksanaan dan hasil kegiatan.
Pengendalian dan pengawasan kegiatan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c. Pelaksanaan kebijakan nasional, norma dan standar serta pedoman penanaman nilai-nilai budaya bangsa di bidang tradisi pada masyarakat.
Peningkatan apresiasi seni tradisional dan non tradisional tingkat nasional.
Peningkatan produksi, peredaran, ekspor impor, festival, pekan film dan apresiasi film.
Pelaksanaan kebijakan sejarah nasional.
Pelaksanaan kebijakan nasional, norma dan standar serta pedoman penanaman nilai-nilai budaya bangsa di bidang tradisi pada masyarakat.
Pelaksanaan peningkatan apresiasi seni tradisional dan non tradisional tingkat provinsi.
Pelaksanaan peningkatan apresiasi film skala provinsi.
Pelaksanaan kebijakan sejarah daerah skala provinsi.
Pelaksanaan kebijakan nasional, norma dan standar serta pedoman penanaman nilai-nilai budaya bangsa di bidang tradisi pada masyarakat.
Pelaksanaan peningkatan apresiasi seni tradisional dan non tradisional tingkat kabupaten/kota.
Pelaksanaan peningkatan apresiasi film skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan kebijakan sejarah lokal skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penerbitan rekomendasi pembebasan fiskal untuk kegiatan misi kesenian ke luar negeri.
Penyelenggaraan kegiatan revitalisasi dan kajian seni di berbagai daerah untuk kepentingan nasional dan internasional.
Koordinasi kegiatan peningkatan apresiasi seni tradisional dan modern secara nasional.
Koordinasi dan sinkronisasi kebijakan operasional dan program perfilman.
Pengajuan usul rekomendasi pembebasan fiskal untuk kegiatan misi kesenian Indonesia ke luar negeri dari provinsi.
Penyelenggaraan kegiatan revitalisasi dan kajian seni di provinsi.
Penyelenggaraan koordinasi kegiatan peningkatan apresiasi seni tradisional dan modern di provinsi.
Koordinasi dan sinkronisasi kebijakan operasional perfilman skala provinsi.
Pengajuan usul rekomendasi pembebasan fiskal untuk kegiatan misi kesenian Indonesia ke luar negeri dari kabupaten/kota.
Penyelenggaraan kegiatan revitalisasi dan kajian seni di kabupaten/kota.
Penyelenggaraan pembinaan dan pengembangan peningkatan apresiasi seni tradisional dan modern di kabupaten/kota.
Koordinasi dan sinkronisasi kebijakan operasional perfilman skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 7. Penyelenggaraan kegiatan festival pameran dan lomba berskala nasional yang dilaksanakan secara berkala dan berkesinambungan.
Pemberian izin pembuatan film kepada tim produksi asing di Indonesia.
Pemberian rekomendasi penyelenggaraan festival film internasional dan festival film Indonesia.
Koordinasi dan fasilitasi organisasi/lembaga perfilman.
Penapisan dan pengawasan peredaran film dan rekaman video.
Penyelenggaraan kegiatan festival pameran dan lomba secara berjenjang dan berkala di tingkat provinsi.
Koordinasi dan pengawasan pembuatan film oleh tim asing di provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi pelaksanaan kegiatan- kegiatan festival film dan pekan film daerah di provinsi.
Fasilitasi organisasi/lembaga perfilman di provinsi.
Penapisan dan pengawasan peredaran film dan rekaman video di provinsi.
Penyelenggaraan kegiatan festival pameran dan lomba secara berjenjang dan berkala di tingkat kabupaten/kota.
Pengawasan pembuatan film oleh tim asing di kabupaten/ kota.
Pemberian izin pelaksanaan kegiatan-kegiatan festival film dan pekan film di kabupaten/ kota.
Fasilitasi organisasi/lembaga perfilman di kabupaten/kota.
Penapisan dan pengawasan peredaran film dan rekaman video di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 12. Fasilitasi advokasi pengembangan perfilman.
Perizinan membawa BCB keluar wilayah Republik Indonesia.
Penyebarluasan informasi sejarah nasional.
Pemberian penghargaan bidang sejarah tingkat nasional.
Pelaksanaan kongres sejarah tingkat nasional.
Pelaksanaan lawatan sejarah tingkat nasional.
Fasilitasi advokasi pengembangan perfilman di tingkat provinsi.
Perizinan membawa BCB ke luar provinsi.
Penyebarluasan informasi sejarah lokal di provinsi.
Pelaksanaan pemberian penghargaan bidang sejarah lokal di provinsi.
Pelaksanaan kongres sejarah tingkat daerah di provinsi.
Pelaksanaan lawatan sejarah tingkat lokal di provinsi.
Fasilitasi advokasi pengembangan perfilman di tingkat kabupaten/kota.
Perizinan membawa BCB ke luar kabupaten/kota dalam satu provinsi.
Penyebarluasan informasi sejarah lokal di kabupaten/ kota.
Pelaksanaan pemberian penghargaan bidang sejarah lokal di kabupaten/kota.
Pelaksanaan kongres sejarah tingkat daerah di kabupaten/ kota.
Pelaksanaan lawatan sejarah tingkat lokal di kabupaten/ kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 18. Pelaksanaan seminar dalam perspektif sejarah nasional.
Pelaksanaan musyawarah kerja nasional bidang sejarah.
Pengkajian dan penulisan sejarah nasional, sejarah kebudayaan dan sejarah wilayah.
Pemetaan sejarah nasional.
Koordinasi dan kemitraan bidang sejarah antar departemen/kementerian instansi pusat dan antar daerah.
Pelaksanaan seminar/ lokakarya sejarah lokal dalam perspektif nasional di provinsi.
Pelaksanaan musyawarah kerja daerah bidang sejarah skala provinsi.
Pengkajian dan penulisan sejarah daerah dan sejarah kebudayaan daerah di provinsi.
Pemetaan sejarah skala provinsi.
Koordinasi dan kemitraan bidang sejarah di provinsi.
Pelaksanaan seminar/ lokakarya sejarah lokal dalam perspektif nasional di kabupaten/kota.
Pelaksanaan musyawarah kerja daerah bidang sejarah skala kabupaten/kota.
Pengkajian dan penulisan sejarah daerah dan sejarah kebudayaan daerah di kabupaten/kota.
Pemetaan sejarah skala kabupaten/kota.
Koordinasi dan kemitraan bidang sejarah di kabupaten/ kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 23. Penanganan perlindungan, pemeliharaan dan pemanfaatan BCB/situs warisan budaya dunia.
Registrasi BCB/situs dan kawasan skala nasional.
Pengusulan penetapan warisan budaya dunia dan penetapan BCB/situs skala nasional.
Penyelenggaraan kerjasama bidang perlindungan, pemanfaatan BCB/situs peringkat nasional dan warisan budaya dunia skala internasional.
Penanganan perlindungan, pemeliharaan dan pemanfaatan BCB/situs warisan budaya dunia skala provinsi.
Registrasi BCB/situs dan kawasan provinsi.
Pengusulan penetapan BCB/situs nasional kepada pusat dan penetapan BCB/situs skala provinsi.
Penyelenggaraan kerjasama bidang perlindungan, pemeliharaan, pemanfaatan BCB/situs skala provinsi.
Penanganan perlindungan, pemeliharaan dan pemanfaatan BCB/situs warisan budaya dunia skala kabupaten/kota.
Registrasi BCB/situs dan kawasan skala kabupaten/ kota.
Pengusulan penetapan BCB/situs provinsi kepada provinsi dan penetapan BCB/situs skala kabupaten/ kota.
Penyelenggaraan kerjasama bidang perlindungan, pemeliharaan, pemanfaatan BCB/situs skala kabupaten/ kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 27. Koordinasi, dan peningkatan peranserta masyarakat dalam perlindungan, pemeliharaan dan pemanfaatan BCB/situs.
Perizinan survei dan pengangkatan BCB/situs bawah air lebih dari 12 (duabelas) mil laut.
Pengembangan dan pemanfaatan museum nasional.
Registrasi museum dan koleksi.
Penyelenggaraan akreditasi museum.
Koordinasi, dan fasilitasi peningkatan peranserta masyarakat dalam perlindungan pemeliharaan dan pemanfaatan BCB/situs skala provinsi.
Perizinan survei dan pengangkatan BCB/situs di atas 4 (empat) sampai dengan 12 (duabelas) mil laut dari garis pantai atas rekomendasi pemerintah.
Pengembangan dan pemanfaatan museum provinsi.
Registrasi museum dan koleksi di provinsi.
Penyelenggaraan akreditasi museum di provinsi.
Koordinasi, dan fasilitasi, peningkatan peranserta masyarakat dalam perlindungan pemeliharaan dan pemanfaatan BCB/situs skala kabupaten/kota.
Perizinan survei dan pengangkatan BCB/situs bawah air sampai dengan 4 (empat) mil laut dari garis pantai atas rekomendasi pemerintah.
Pengembangan dan pemanfaatan museum kabupaten/kota.
Registrasi museum dan koleksi di kabupaten/kota.
Penyelenggaraan akreditasi museum di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 32. Penambahan dan penyelamatan koleksi museum nasional.
Penambahan dan penyelamatan koleksi museum di provinsi.
Penambahan dan penyelamatan koleksi museum di kabupaten/kota.
Kebijakan Bidang Kepariwisa- taan 1. Kebijakan 1. Penetapan kebijakan:
Rencana Induk Pengembangan Pariwisata (RIPP) nasional.
Pengembangan sistem informasi pariwisata nasional.
Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan skala provinsi:
RIPP provinsi.
Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi dalam pengembangan sistem informasi pariwisata.
Pelaksanaan kebijakan nasional, provinsi dan penetapan kebijakan skala kabupaten/kota:
RIPP kabupaten/kota.
Pelaksanaan kebijakan nasional, provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota dalam pengembangan sistem informasi pariwisata. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c. Standarisasi bidang pariwisata.
Pedoman manajemen pengembangan destinasi pariwisata.
Pedoman pembinaan dan penyelenggaraan izin usaha pariwisata.
Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi dalam penerapan standarisasi bidang pariwisata.
Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan pedoman pengembangan destinasi pariwisata skala provinsi.
Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi dalam pembinaan usaha dan penyelenggaraan usaha pariwisata skala provinsi.
Pelaksanaan kebijakan nasional dan provinsi serta penetapan kebijakan kabupaten/kota dalam penerapan standarisasi bidang pariwisata.
Pelaksanaan kebijakan nasional dan provinsi serta penetapan pedoman pengembangan destinasi pariwisata skala kabupaten/ kota.
Pelaksanaan kebijakan nasional dan provinsi serta penetapan kebijakan dalam pembinaan usaha dan penyelenggaraan usaha pariwisata skala kabupaten/ kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA f. Pedoman perencanaan pemasaran.
Pedoman partisipasi dan penyelenggaraan pameran/ event budaya dan pariwisata.
Pedoman dan penyelenggaraan widya wisata (familiarization trip/tour). i. Pedoman kerjasama pemasaran nasional dan internasional.
Penetapan dan pelaksanaan pedoman perencanaan pemasaran skala provinsi.
Penetapan dan pelaksanaan pedoman partisipasi dan penyelenggaraan pameran/ event budaya dan pariwisata skala provinsi.
Penetapan dan pelaksanaan pedoman dan penyelenggaraan widya wisata skala provinsi.
Penetapan dan pelaksanaan pedoman kerjasama pemasaran skala provinsi.
Penetapan dan pelaksanaan pedoman perencanaan pemasaran skala kabupaten/kota.
Penetapan dan pelaksanaan pedoman partisipasi dan penyelenggaraan pameran/ event budaya dan pariwisata skala kabupaten/ kota.
Penetapan dan pelaksanaan pedoman dan penyelenggaraan widya wisata skala kabupaten/ kota.
Penetapan dan pelaksanaan pedoman kerjasama pemasaran skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pemberian izin usaha pariwisata skala nasional.
Fasilitasi kerjasama internasional pengembangan destinasi pariwisata.
Fasilitasi kerjasama pengembangan destinasi pariwisata skala nasional.
Monitoring dan evaluasi pengembangan pariwisata skala nasional.
Pemberian izin usaha pariwisata skala provinsi.
Pelaksanaan kerjasama internasional pengembangan destinasi pariwisata skala provinsi.
Fasilitasi kerjasama pengembangan destinasi pariwisata skala provinsi.
Monitoring dan evaluasi pengembangan pariwisata skala provinsi.
Pemberian izin usaha pariwisata skala kabupaten/ kota.
Pelaksanaan kerjasama internasional pengembangan destinasi pariwisata skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan kerjasama pengem-bangan destinasi pariwisata skala kabupaten/ kota.
Monitoring dan evaluasi pengembangan pariwisata skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan Bidang Kepariwisa- taan 1. Penyelenggaraan 1. Penyelenggaraan promosi skala nasional dan internasional :
Penyelenggaraan widya wisata (familiarization 1. Penyelenggaraan promosi skala provinsi :
Penyelenggaraan widya wisata skala provinsi serta 1. Penyelenggaraan promosi skala kabupaten/kota:
Penyelenggaraan widya wisata skala kabupaten/kota SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA trip/tour) skala nasional dan internasional.
Penyelenggaraan pameran/ event, roadshow skala nasional.
Pengadaan sarana pemasaran skala nasional/kawasan/ internasional.
Pembentukan perwakilan kantor promosi pariwisata di luar negeri.
Pembentukan pusat pelayanan informasi pariwisata skala nasional. mengirim dan menerima peserta grup widya wisata.
Peserta/penyelenggara pameran/ event, roadshow bekerja sama dengan pemerintah.
Pengadaan sarana pemasaran skala provinsi.
Pembentukan perwakilan kantor promosi pariwisata di dalam negeri skala provinsi.
Penyediaan informasi pariwisata ke pusat pelayanan informasi pariwisata nasional dan pembentukan pusat serta mengirim dan menerima peserta grup widya wisata.
Peserta/penyelenggara pameran/ event, roadshow bekerja sama dengan pemerintah/provinsi.
Pengadaan sarana pemasaran skala kabupaten/ kota.
Pembentukan perwakilan kantor promosi pariwisata di dalam negeri skala kabupaten/kota.
Penyediaan informasi pariwisata ke pusat pelayanan informasi pariwisata provinsi dan pembentukan pusat SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA f. Pelaksanaan event promosi di luar negeri.
Pengembangan sistem informasi pemasaran pariwisata skala nasional.
Penetapan branding pariwisata skala nasional. pelayanan informasi pariwisata skala provinsi.
Pelaksanaan event promosi di luar negeri dengan koordinasi pemerintah.
Pengembangan sistem informasi pemasaran pariwisata skala provinsi.
Penerapan branding pariwisata nasional dan penetapan tagline pariwisata skala provinsi. pelayanan informasi pariwisata skala kabupaten/ kota.
Pelaksanaan event promosi di luar negeri dengan koordinasi pemerintah dan provinsi.
Pengembangan sistem informasi pemasaran pariwisata skala kabupaten/kota.
Penerapan branding pariwisata nasional dan penetapan tagline pariwisata skala kabupaten/ kota.
Kebijakan Bidang Kebudayaan dan Pariwisata 1. Rencana induk pengembangan sumber daya kebudayaan dan pariwisata nasional.
Rencana induk pengembangan sumber daya kebudayaan dan pariwisata skala provinsi.
Rencana induk pengembangan sumber daya kebudayaan dan pariwisata nasional skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Kebijakan pengembangan sumber daya manusia kebudayaan dan pariwisata nasional.
Kebijakan penelitian kebudayaan dan pariwisata nasional.
Rancangan induk penelitian arkeologi nasional.
Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi dalam pengembangan sumber daya manusia kebudayaan dan pariwisata skala provinsi.
Pelaksanaan kebijakan nasional dan penetapan kebijakan provinsi penelitian kebudayaan dan pariwisata skala provinsi.
Pelaksanaan rancangan induk penelitian arkeologi nasional oleh provinsi berkoordinasi dengan Balai Arkeologi.
Pelaksanaan kebijakan nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota dalam pengembangan sumber daya manusia kebudayaan dan pariwisata skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan kebijakan nasional/provinsi dan penetapan kebijakan kabupaten/kota penelitian kebudayaan dan pariwisata skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan rancangan induk penelitian arkeologi nasional oleh kabupaten/kota berkoordinasi dengan Balai Arkeologi. R. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KEPEMUDAAN DAN OLAH RAGA SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Kepemudaan 1. Kebijakan di bidang Kepemudaan 1. Penetapan kebijakan di bidang kepemudaan skala nasional :
Pengembangan keserasian kebijakan dan pemberdayaan.
Pengembangan kemitraan pemerintah dengan masyarakat dalam pembangunan.
Peningkatan peranserta secara lintas bidang dan sektoral.
Pengembangan manajemen, wawasan dan kreativitas.
Penetapan kebijakan di bidang kepemudaan skala provinsi :
Pengembangan keserasian kebijakan dan pemberdayaan.
Pengembangan kemitraan pemerintah dengan masyarakat dalam pembangunan.
Peningkatan peranserta secara lintas bidang dan sektoral.
Pengembangan manajemen, wawasan dan kreativitas.
Penetapan kebijakan di bidang kepemudaan skala kabupaten/kota :
Pengembangan keserasian kebijakan dan pemberdayaan.
Pengembangan kemitraan pemerintah dengan masyarakat dalam pembangunan.
Peningkatan peranserta secara lintas bidang dan sektoral.
Pengembangan manajemen, wawasan dan kreativitas. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA e. Kemitraan dan kewirausahaan.
Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dan keimanan ketaqwaan (IMTAQ).
Peningkatan profesionalisme, kepemimpinan dan kepeloporan.
Pengaturan sistem penganugerahan prestasi.
Peningkatan dan pembangunan prasarana dan sarana.
Pengembangan jaringan dan sistem informasi.
Kemitraan dan kewirausahaan.
Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dan keimanan ketaqwaan (IMTAQ).
Peningkatan profesionalisme, kepemimpinan dan kepeloporan.
Pengaturan sistem penganugerahan prestasi.
Peningkatan prasarana dan sarana.
Pengembangan jaringan dan sistem informasi.
Kemitraan dan kewirausahaan.
Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dan keimanan ketaqwaan (IMTAQ).
Peningkatan profesionalisme, kepemimpinan dan kepeloporan.
Pengaturan sistem penganugerahan prestasi.
Peningkatan prasarana dan sarana.
Pengembangan jaringan dan sistem informasi. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pelaksanaan k. Kriteria dan standarisasi lembaga kepemudaan.
Pembangunan kapasitas dan kompetensi lembaga kepemudaan.
Pencegahan dan perlindungan bahaya distruktif.
Hubungan internasional.
Pelaksanaan kebijakan di bidang kepemudaan skala nasional :
Aktivitas kepemudaan yang berskala nasional dan internasional.
Kriteria dan standarisasi lembaga kepemudaan.
Pembangunan kapasitas dan kompetensi lembaga kepemudaan.
Pencegahan dan perlindungan bahaya distruktif.
Ɇ 1. Pelaksanaan kebijakan di bidang kepemudaan skala provinsi :
Aktivitas kepemudaan yang berskala provinsi.
Kriteria dan standarisasi lembaga kepemudaan.
Pembangunan kapasitas dan kompetensi lembaga kepemudaan.
Pencegahan dan perlindungan bahaya distruktif.
Ɇ 1. Pelaksanaan kebijakan di bidang kepemudaan skala kabupaten/kota :
Aktivitas kepemudaan yang berskala kabupaten/kota, provinsi, nasional dan internasional. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Fasilitasi dan dukungan aktivitas kepemudaan lintas provinsi.
Pembangunan pusat pemberdayaan pemuda berskala nasional.
Pendidikan dan pelatihan kepemudaan tingkat nasional.
Kerjasama antar provinsi dan internasional.
Fasilitasi dan dukungan aktivitas kepemudaan lintas kabupaten/kota.
Pembangunan pusat pemberdayaan pemuda.
Pendidikan dan pelatihan kepemudaan tingkat provinsi.
Kerjasama antar kabupaten/kota skala provinsi, pemerintah dan internasional b. Fasilitasi dan dukungan aktivitas kepemudaan lintas kecamatan skala kabupaten/kota.
Pembangunan pusat pemberdayaan pemuda.
Pendidikan dan pelatihan kepemudaan tingkat kabupaten/kota.
Kerjasama antar kecamatan skala kabupaten/kota, provinsi, pemerintah dan internasional. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Koordinasi 1. Koordinasi bidang kepemudaan skala nasional :
Koordinasi antar Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND).
Koordinasi dengan lembaga non pemerintah.
Koordinasi antar pemerintah dan daerah.
Koordinasi antar negara.
Koordinasi bidang ke- pemudaan skala provinsi :
Koordinasi antar dinas instansi terkait.
Koordinasi dengan lembaga non pemerintah.
Koordinasi antar provinsi dan kabupaten/kota.
Ɇ 1. Koordinasi bidang kepemudaan skala kabupaten/kota :
Koordinasi antar dinas instansi terkait.
Koordinasi dengan lembaga non pemerintah.
Koordinasi antar kecamatan skala kabupaten/kota.
Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Pembinaan dan Pengawasan 1. Pembinaan dan pengawasan di bidang kepemudaan skala nasional:
Pembinaan terhadap organisasi kepemudaan.
Pembinaan terhadap kegiatan kepemudaan.
Pembinaan koordinasi pemerintahan antar susunan pemerintahan di bidang kepemudaan.
Pembinaan, penyusunan pemberian pedoman dan standar pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang kepemudaan.
Pembinaan dan pengawasan di bidang kepemudaan skala provinsi:
Pembinaan terhadap organisasi kepemudaan.
Pembinaan terhadap kegiatan kepemudaan.
Pembinaan koordinasi pemerintahan antar susunan pemerintahan di bidang kepemudaan.
Pembinaan, penyusunan pemberian pedoman dan standar pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang kepemudaan.
Pembinaan dan pengawasan di bidang kepemudaan skala kabupaten/kota:
Pembinaan terhadap organisasi kepemudaan.
Pembinaan terhadap kegiatan kepemudaan.
Pembinaan koordinasi pemerintahan antar susunan pemerintahan di bidang kepemudaan.
Pembinaan, penyusunan pemberian pedoman dan standar pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang kepemudaan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA e. Pembinaan pemberian bimbingan, supervisi dan konsultasi urusan pemerintahan di bidang kepemudaan.
Pembinaan pendidikan dan pelatihan di bidang kepemudaan.
Pembinaan perencanaan, penelitian, pengembangan, pemantauan dan evaluasi pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang kepemudaan.
Pembinaan pemberian bimbingan, supervisi dan konsultasi urusan pemerintahan di bidang kepemudaan.
Pembinaan pendidikan dan pelatihan di bidang kepemudaan.
Pembinaan perencanaan, penelitian, pengembangan, pemantauan dan evaluasi pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang kepemudaan.
Pembinaan pemberian bimbingan, supervisi dan konsultasi urusan pemerintahan di bidang kepemudaan.
Pembinaan pendidikan dan pelatihan di bidang kepemudaan.
Pembinaan perencanaan, penelitian, pengembangan, pemantauan dan evaluasi pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang kepemudaan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Olahraga 1. Kebijakan di Bidang Keolahragaan h. Pengaturan pengawasan terhadap pelaksanaan norma dan standar di bidang kepemudaan.
Penetapan kebijakan di bidang keolahragaan skala nasional :
Pengembangan dan keserasian kebijakan olahraga.
Penyelenggaraan keolahragaan.
Pembinaan dan pengembangan keolahragaan.
Pengelolaan keolahraagaan.
Pengaturan pengawasan terhadap pelaksanaan norma dan standar di bidang kepemudaan.
Penetapan kebijakan di bidang keolahragaan skala provinsi :
Pengembangan dan keserasian kebijakan olahraga.
Penyelenggaraan keolahragaan.
Pembinaan dan pengembangan keolahragaan.
Pengelolaan keolahragaan.
Pengaturan pengawasan terhadap pelaksanaan norma dan standar di bidang kepemudaan.
Penetapan kebijakan di bidang keolahragaan skala kabupaten/kota :
Pengembangan dan keserasian kebijakan olahraga.
Penyelenggaraan keolahragaan.
Pembinaan dan pengembangan keolahragaan.
Pengelolaan keolahragaan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA e. Penyelenggaraan pekan dan kejuaraan olahraga.
Pembangunan dan peningkatan prasarana dan sarana olahraga.
Pendidikan dan pelatihan keolahragaan.
Pendanaan keolahragaan.
Pengembangan IPTEK keolahragaan.
Pengembangan kerjasama dan informasi keolahragaan.
Penyelenggaraan pekan dan kejuaraan olahraga.
Pembangunan dan peningkatan prasarana dan sarana olahraga.
Pendidikan dan pelatihan keolahragaan.
Pendanaan keolahragaan.
Pengembangan IPTEK keolahragaan.
Pengembangan kerjasama dan informasi keolahragaan.
Penyelenggaraan pekan dan kejuaraan olahraga.
Pembangunan dan peningkatan prasarana dan sarana olahraga.
Pendidikan dan pelatihan keolahragaan.
Pendanaan keolahragaan.
Pengembangan IPTEK keolahragaan.
Pengembangan kerjasama dan informasi keolahragaan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA k. Pengembangan kemitraan pemerintah dengan masyarakat dalam pembangunan olahraga.
Peningkatan peranserta secara lintas bidang dan sektoral serta masyarakat.
Pengembangan manajemen olahraga.
Kemitraan industri dan kewirausahaan olahraga.
Pengembangan IPTEK olahraga.
Pengembangan kemitraan pemerintah dengan masyarakat dalam pembangunan olahraga.
Peningkatan peranserta secara lintas bidang dan sektoral serta masyarakat.
Pengembangan manajemen olahraga.
Kemitraan industri dan kewirausahaan olahraga.
Pengembangan IPTEK olahraga.
Pengembangan kemitraan pemerintah dengan masyarakat dalam pembangunan olahraga.
Peningkatan peranserta secara lintas bidang dan sektoral serta masyarakat.
Pengembangan manajemen olahraga.
Kemitraan industri dan kewirausahaan olahraga.
Pengembangan IPTEK olahraga. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA p. Peningkatan profesionalisme atlit, pelatih, manager dan pembina olahraga.
Pembangunan dan pengembangan industri olahraga.
Pengaturan sistem penganugerahan, penghargaan dan kesejahteraan pelaku olahraga.
Pengaturan standarisasi, akreditasi dan sertifikat keolahragaan.
Peningkatan dan pembangunan prasarana dan sarana olahraga.
Peningkatan profesionalisme atlit, pelatih, manager dan pembina olahraga.
Pembangunan dan pengembangan industri olahraga.
Pengaturan sistem penganugerahan, penghargaan dan kesejahteraan pelaku olahraga.
Pengaturan pelaksanaan standarisasi, akreditasi dan sertifikat keolahragaan.
Peningkatan dan pembangunan prasarana dan sarana olahraga.
Peningkatan profesionalisme atlit, pelatih, manager dan pembina olahraga.
Pembangunan dan pengembangan industri olahraga.
Pengaturan sistem penganugerahan, penghargaan dan kesejahteraan pelaku olahraga.
Pengaturan pelaksanaan standarisasi, akreditasi dan sertifikat keolahragaan.
Peningkatan dan pembangunan prasarana dan sarana olahraga. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA u. Pengembangan jaringan dan sistem informasi keolahragaan.
Kriteria lembaga keolahragaan.
Pemberdayaan dan pemasyarakatan olahraga serta peningkatan kebugaran jasmani masyarakat.
Hubungan internasional di bidang keolahragaan.
Pengembangan jaringan dan sistem informasi keolahragaan.
Kriteria lembaga keolahragaan.
Pemberdayaan dan pemasyarakatan olahraga serta peningkatan kebugaran jasmani masyarakat.
Ɇ u. Pengembangan jaringan dan sistem informasi keolahragaan.
Kriteria lembaga keolahragaan.
Pemberdayaan dan pemasyarakatan olahraga serta peningkatan kebugaran jasmani masyarakat.
Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pelaksanaan 1. Pelaksanaan kebijakan di bidang keolahragaan skala nasional :
Aktivitas keolahragaan skala nasional dan internasional.
Fasilitasi dan dukungan aktivitas keolahragaan lintas provinsi.
Kerjasama antar provinsi dan internasional.
Pembangunan dan penyediaan prasarana dan sarana olahraga.
Pelaksanaan kebijakan di bidang keolahragaan skala provinsi :
Aktivitas keolahragaan skala provinsi, nasional dan internasional.
Fasilitasi dan dukungan aktivitas keolahragaan lintas kabupaten/kota.
Kerjasama antar kabupaten/kota skala provinsi, pemerintah dan internasional.
Pembangunan dan penyediaan prasarana dan sarana olahraga.
Pelaksanaan kebijakan di bidang keolahragaan skala kabupaten/kota :
Aktivitas keolahragaan skala kabupaten/kota, provinsi, nasional dan internasional.
Fasilitasi dan dukungan aktivitas keolahragaan lintas kecamatan skala kabupaten/kota.
Kerjasama antar kecamatan skala kabupaten/kota, provinsi, pemerintah dan internasional.
Pembangunan dan penyediaan prasarana dan sarana olahraga. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Koordinasi e. Pendanaan keolahragaan.
Pendidikan dan pelatihan keolahragaan.
Pembangunan sentra pembinaan prestasi olahraga.
Koordinasi bidang keolahragaan skala nasional :
Koordinasi antar Departemen/LPND.
Koordinasi dengan lembaga non pemerintah.
Pendanaan keolahragaan.
Pendidikan dan pelatihan keolahragaan.
Pembangunan sentra pembinaan prestasi olahraga.
Koordinasi bidang keolahragaan skala provinsi:
Koordinasi antar dinas/instansi terkait.
Koordinasi dengan lembaga non pemerintah dan masyarakat.
Pendanaan keolahragaan.
Pendidikan dan pelatihan keolahragaan.
Pembangunan sentra pembinaan prestasi olahraga.
Koordinasi bidang keolahragaan skala kabupaten/kota :
Koordinasi antar dinas/instansi terkait.
Koordinasi dengan lembaga non pemerintah dan masyarakat. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Pembinaan dan Pengawasan c. Koordinasi antara pemerintah dan daerah serta masyarakat.
Koordinasi pihak luar negeri/internasional.
Pembinaan dan pengawasan di bidang keolahragaan skala nasional :
Pembinaan terhadap organisasi keolahragaan.
Pembinaan terhadap kegiatan keolahragaan.
Koordinasi antara provinsi dan kabupaten/kota.
Ɇ 1. Pembinaan dan pengawasan di bidang keolahragaan skala provinsi:
Pembinaan terhadap organisasi keolahragaan.
Pembinaan terhadap kegiatan keolahragaan.
Koordinasi antara kabupaten/kota dan kecamatan.
Ɇ 1. Pembinaan dan pengawasan di bidang keolahragaan skala kabupaten/kota :
Pembinaan terhadap organisasi keolahragaan.
Pembinaan terhadap kegiatan keolahragaan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c. Pembinaan pengelolaan olahraga dan tenaga keolahragaan.
Pembinaan dan pengembangan prestasi olahraga termasuk olahraga unggulan.
Pembinaan koordinasi pemerintahan antar pemerintah/ departemen, LPND dan daerah.
Pembinaan pendidikan dan pelatihan di bidang keolahragaan.
Pembinaan pengelolaan olahraga dan tenaga keolahragaan.
Pembinaan dan pengembangan prestasi olahraga termasuk olahraga unggulan.
Pembinaan koordinasi pemerintahan antar susunan pemerintahan di provinsi.
Pembinaan pendidikan dan pelatihan di bidang keolahragaan.
Pembinaan pengelolaan olahraga dan tenaga keolahragaan.
Pembinaan dan pengembangan prestasi olahraga termasuk olahraga unggulan.
Pembinaan koordinasi pemerintahan antar susunan pemerintahan di kabupaten/ kota.
Pembinaan pendidikan dan pelatihan di bidang keolahragaan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA g. Pembinaan perencanaan, penelitian, pengembangan, pemantauan dan evaluasi pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang keolahragaan.
Pengaturan pengawasan terhadap pelaksanaan norma dan standar di bidang keolahragaan.
Pembinaan dan pengembangan industri olahraga.
Pengawasan terhadap penyelenggaraan olahraga.
Pembinaan perencanaan, penelitian, pengembangan, pemantauan dan evaluasi pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang keolahragaan.
Pengaturan pengawasan terhadap pelaksanaan norma dan standar di bidang keolahragaan.
Pembinaan dan pengembangan industri olahraga.
Pengawasan terhadap penyelenggaraan olahraga. g Pembinaan perencanaan, penelitian, pengembangan, pemantauan dan evaluasi pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang keolahragaan.
Pengaturan pengawasan terhadap pelaksanaan norma dan standar di bidang keolahragaan.
Pembinaan dan pengembangan industri olahraga.
Pengawasan terhadap penyelenggaraan olahraga. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA k. Pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran/dana.
Pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran/dana.
Pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran/dana. S. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KESATUAN BANGSA DAN POLITIK DALAM NEGERI SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Bina Ideologi dan Wawasan Kebangsaan 1. Penetapan Kebijakan Penyelenggaraan Pemerintahan 1. Penetapan kebijakan umum di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala nasional.
Penetapan kebijakan teknis (merujuk kepada kebijakan umum nasional) di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala provinsi.
Penetapan kebijakan operasional (merujuk kepada kebijakan umum nasional dan kebijakan teknis provinsi) di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan Kegiatan 1. Pelaksanaan dan fasilitasi kegiatan di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala nasional.
Pelaksanaan dan fasilitasi kegiatan di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala provinsi.
Pelaksanaan kegiatan di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Pembinaan Penyelenggaraan Pemerintahan 1. Koordinasi dan fasilitasi pembinaan penyelenggaraan pemerintahan (bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian, pemantauan, pengembangan dan evaluasi) di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala nasional.
Koordinasi dan fasilitasi pembinaan penyelenggaraan pemerintahan (bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian, pemantauan, pengembangan dan evaluasi) di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala provinsi.
Pembinaan dan penyelenggaraan pemerintahan di kecamatan, kelurahan, desa dan masyarakat (bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian, pemantauan, pengembangan dan evaluasi) di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala kabupaten/kota.
Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan 1. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan 1. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan 1. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan di kecamatan, kelurahan, desa dan masyarakat di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA skala nasional. penghargaan kebangsaan skala provinsi. nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala kabupaten/kota.
Peningkatan Kapasitas Aparatur 1. Fasilitasi dan peningkatan kapasitas aparatur kesatuan bangsa dan politik (kesbangpol) di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala nasional.
Fasilitasi dan peningkatan kapasitas aparatur kesbangpol di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala provinsi.
Peningkatan kapasitas aparatur kesbangpol di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala kabupaten/kota.
Kewaspadaan Nasional 1. Penetapan Kebijakan Penyelenggaraan Pemerintahan 1. Koordinasi penetapan kebijakan umum di bidang kewaspadaan dini, kerjasama intelijen keamanan (intelkam), bina masyarakat perbatasan dan tenaga kerja, penanganan konflik pemerintahan, 1. Koordinasi penetapan kebijakan teknis (merujuk kepada kebijakan umum nasional) di bidang kewaspadaan dini, kerjasama intelkam, bina masyarakat, perbatasan dan tenaga kerja, penanganan konflik 1. Koordinasi penetapan kebijakan operasional (merujuk kepada kebijakan umum nasional dan kebijakan teknis provinsi) di bidang kewaspadaan dini, kerjasama intelkam, bina masyarakat, perbatasan SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA penanganan konflik sosial, pengawasan orang asing dan lembaga asing skala nasional. pemerintahan, penanganan konflik sosial, pengawasan orang asing dan lembaga asing skala provinsi. dan tenaga kerja, penanganan konflik pemerintahan, penanganan konflik sosial, pengawasan orang asing dan lembaga asing skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan Kegiatan 1. Fasilitasi dan pelaksanaan kegiatan di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala nasional.
Fasilitasi dan pelaksanaan kegiatan di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala provinsi.
Pelaksanaan kegiatan di bidang ketahanan ideologi negara, wawasan kebangsaan, bela negara, nilai-nilai sejarah kebangsaan dan penghargaan kebangsaan skala kabupaten/kota.
Pembinaan Penyelenggaraan Pemerintahan 1. Koordinasi dan fasilitasi pembinaan penyelenggaraan pemerintahan (bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian, pemantauan, pengembangan dan 1. Koordinasi dan fasilitasi pembinaan penyelenggaraan pemerintahan (bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian, pemantauan, pengembangan dan 1. Pembinaan dan penyelenggaraan pemerintahan di kecamatan, kelurahan, desa dan masyarakat (koordinasi, bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian, SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA evaluasi) di bidang kewaspadaan dini, kerjasama intelkam, bina masyarakat, perbatasan dan tenaga kerja, penanganan konflik pemerintahan, penanganan konflik sosial, pengawasan orang asing dan lembaga asing skala nasional. evaluasi) di bidang kewaspadaan dini, kerjasama intelkam, bina masyarakat, perbatasan dan tenaga kerja, penanganan konflik pemerintahan, penanganan konflik sosial, pengawasan orang asing dan lembaga asing skala provinsi. pemantauan, pengembangan dan evaluasi) di bidang kewaspadaan dini, kerjasama intelkam, bina masyarakat, perbatasan dan tenaga kerja, penanganan konflik pemerintahan, penanganan konflik sosial, pengawasan orang asing dan lembaga asing skala kabupaten/kota.
Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan 1. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan di bidang kewaspadaan dini, kerjasama intelkam, bina masyarakat perbatasan dan tenaga kerja, penanganan konflik pemerintahan, penanganan konflik sosial, pengawasan orang asing dan lembaga asing 1. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan di bidang kewaspadaan dini, kerjasama intelkam, bina masyarakat perbatasan dan tenaga kerja, penanganan konflik pemerintahan, penanganan konflik sosial, pengawasan orang asing dan lembaga asing 1. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan di kecamatan, kelurahan, desa dan masyarakat di bidang kewaspadaan dini, kerjasama intelkam, bina masyarakat perbatasan dan tenaga kerja, penanganan konflik pemerintahan, SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA skala nasional. skala provinsi. penanganan konflik sosial, pengawasan orang asing dan lembaga asing skala kabupaten/kota.
Peningkatan Kapasitas Aparatur 1. Fasilitasi dan peningkatan kapasitas aparatur kesbangpol di bidang kewaspadaan dini, kerjasama intelkam, bina masyarakat perbatasan dan tenaga kerja, penanganan konflik pemerintahan, penanganan konflik sosial, pengawasan orang asing dan lembaga asing skala nasional.
Fasilitasi dan peningkatan kapasitas aparatur kesbangpol di bidang kewaspadaan dini, kerjasama intelkam, bina masyarakat perbatasan dan tenaga kerja, penanganan konflik pemerintahan, penanganan konflik sosial, pengawasan orang asing dan lembaga asing skala provinsi.
Peningkatan kapasitas aparatur kesbangpol di bidang kewaspadaan dini, kerjasama intelkam, bina masyarakat, perbatasan dan tenaga kerja, penanganan konflik pemerintahan, penanganan konflik sosial, pengawasan orang asing dan lembaga asing skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Penetapan Kebijakan Penyelenggaraan Pemerintahan 1. Koordinasi penetapan kebijakan umum di bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan, penanganan masalah sosial kemasyarakatan skala nasional.
Koordinasi penetapan kebijakan teknis (merujuk kepada kebijakan umum nasional) di bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan, penanganan masalah sosial kemasyarakatan skala provinsi.
Koordinasi penetapan kebijakan operasional (merujuk kepada kebijakan umum nasional dan kebijakan teknis provinsi) di bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan, penanganan masalah sosial kemasyarakatan skala kabupaten/kota.
Ketahanan Seni, Budaya, Agama dan Kemasyarakatan 2. Pelaksanaan Kegiatan 1. Fasilitasi dan pelaksanaan kegiatan di bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan, penanganan masalah sosial kemasyarakatan 1. Fasilitasi dan pelaksanaan kegiatan di bidang di bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan, penanganan masalah 1. Pelaksanaan kegiatan di bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan, penanganan masalah sosial kemasyarakatan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA skala nasional/ internasional. sosial kemasyarakatan skala provinsi.
Pembinaan Penyelenggaraan Pemerintahan 1. Koordinasi dan fasilitasi pembinaan penyelenggaraan pemerintahan (bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian, pemantauan, pengembangan dan evaluasi) di bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan dan penanganan masalah sosial kemasyarakatan skala nasional.
Koordinasi dan fasilitasi pembinaan penyelenggaraan pemerintahan (bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian, pemantauan, pengembangan dan evaluasi) di bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan dan penanganan masalah sosial kemasyarakatan skala provinsi.
Pembinaan dan penyelenggaraan pemerintahan di kecamatan, kelurahan, desa dan masyarakat (koordinasi, bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian, pemantauan, pengembangan dan evaluasi) di bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan dan penanganan masalah sosial kemasyarakatan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan 1. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan, penanganan masalah sosial kemasyarakatan skala nasional.
Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan, penanganan masalah sosial kemasyarakatan skala provinsi.
Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan di kecamatan, kelurahan, desa dan masyarakat bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan, penanganan masalah sosial kemasyarakatan skala kabupaten/kota.
Peningkatan Kapasitas Aparatur 1. Fasilitasi dan peningkatan kapasitas aparatur kesbangpol di bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan dan penanganan masalah sosial kemasyarakatan 1. Fasilitasi dan peningkatan kapasitas aparatur kesbangpol di bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan dan penanganan masalah sosial kemasyarakatan 1. Peningkatan kapasitas aparatur kesbangpol di bidang ketahanan seni dan budaya, agama dan kepercayaan, pembauran dan akulturasi budaya, organisasi kemasyarakatan dan penanganan masalah sosial kemasyarakatan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA skala nasional. skala provinsi.
Politik Dalam Negeri 1. Penetapan Kebijakan Penyelenggaraan Pemerintahan 1. Koordinasi penetapan kebijakan umum di bidang sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan pendidikan politik, fasilitasi pemilihan umum (pemilu), pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan kepala daerah (pilkada) skala nasional.
Koordinasi penetapan kebijakan teknis (merujuk kepada kebijakan umum nasional) di bidang sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan pendidikan politik, fasilitasi pemilu, pilpres dan pilkada skala provinsi.
Koordinasi penetapan kebijakan operasional (merujuk kepada kebijakan umum nasional dan kebijakan teknis provinsi) sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan pendidikan politik, fasilitasi pemilu, pilpres dan pilkada skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan Kegiatan 1. Fasilitasi dan pelaksanaan kegiatan di bidang sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan 1. Fasilitasi dan pelaksanaan kegiatan di bidang sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan 1. Pelaksanaan kegiatan di bidang sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan pendidikan politik, SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA pendidikan politik, pemilu, pilpres dan pilkada skala nasional. pendidikan politik, pemilu, pilpres dan pilkada skala provinsi. fasilitasi pemilu, pilpres dan pilkada skala kabupaten/kota.
Pembinaan Penyelenggaraan Pemerintahan 1. Koordinasi dan fasilitasi pembinaan penyelenggaraan pemerintahan (bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian, pemantauan, pengembangan dan evaluasi) di bidang sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan pendidikan politik, pemilu, pilpres dan pilkada skala nasional.
Koordinasi dan fasilitasi pembinaan penyelenggaraan pemerintahan (bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian, pemantauan, pengembangan dan evaluasi) di bidang sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan pendidikan politik, pemilu, pilpres dan pilkada skala provinsi.
Pembinaan dan penyelenggaraan pemerintahan di kecamatan, kelurahan, desa dan masyarakat (koordinasi, bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian, pemantauan, pengembangan dan evaluasi) di bidang sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan pendidikan politik, fasilitasi pemilu, pilpres dan pilkada skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan 1. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan bidang sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan pendidikan politik, fasilitasi pemilu, pilpres dan pilkada skala nasional.
Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan bidang kesbangpol dan sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan pendidikan politik, fasilitasi pemilu, pilpres dan pilkada skala provinsi.
Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan di kecamatan, kelurahan, desa dan masyarakat bidang sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan pendidikan politik, fasilitasi pemilu, pilpres dan pilkada skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Peningkatan Kapasitas Aparatur 1. Fasilitasi dan peningkatan kapasitas aparatur kesbangpol di bidang sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan pendidikan politik, pemilu, pilpres dan pilkada skala nasional.
Fasilitasi dan peningkatan kapasitas aparatur kesbangpol di bidang sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan pendidikan politik, pemilu, pilpres dan pilkada skala provinsi.
Peningkatan kapasitas aparatur kesbangpol di bidang sistem dan implementasi politik, kelembagaan politik pemerintahan, kelembagaan partai politik, budaya dan pendidikan politik, fasilitasi pemilu, pilpres dan pilkada skala kabupaten/kota.
Ketahanan Ekonomi 1. Penetapan Kebijakan Penyelenggaraan Pemerintahan 1. Koordinasi penetapan kebijakan umum di bidang ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga usaha ekonomi, kebijakan dan ketahanan organisasi kemasyarakatan (ormas) perekonomian skala 1. Koordinasi penetapan kebijakan teknis (merujuk kepada kebijakan umum nasional) di bidang ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga usaha ekonomi, kebijakan dan ketahanan ormas perekonomian 1. Koordinasi penetapan kebijakan operasional (merujuk kepada kebijakan umum nasional dan kebijakan teknis provinsi) di bidang ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga usaha ekonomi, SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA nasional. skala provinsi. kebijakan dan ketahanan ormas perekonomian skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan Kegiatan 1. Fasilitasi dan pelaksanaan kegiatan di bidang kebijakan dan ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga usaha ekonomi, kebijakan dan ketahanan ormas perekonomian skala nasional/ internasional.
Fasilitasi dan pelaksanaan kegiatan di bidang kebijakan dan ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga usaha ekonomi, kebijakan dan ketahanan ormas perekonomian skala provinsi.
Pelaksanaan kegiatan di bidang kebijakan dan ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga usaha ekonomi, kebijakan dan ketahanan ormas perekonomian skala kabupaten/kota.
Pembinaan Penyelenggaraan Pemerintahan 1. Koordinasi dan fasilitasi pembinaan penyelenggaraan pemerintahan (bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian, pemantauan, 1. Koordinasi dan fasilitasi pembinaan penyelenggaraan pemerintahan (bimbingan, supervisi dan konsultasi, perencanaan, penelitian, pemantauan, 1. Pembinaan dan penyelenggaraan pemerintahan di kecamatan, kelurahan, desa dan masyarakat (koordinasi, bimbingan, supervisi dan konsultasi, SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA pengembangan dan evaluasi) di bidang kebijakan dan ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga usaha ekonomi, kebijakan dan ketahanan ormas perekonomian skala nasional. pengembangan dan evaluasi) di bidang kebijakan dan ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga usaha ekonomi, kebijakan dan ketahanan ormas perekonomian skala provinsi. perencanaan, penelitian, pemantauan, pengembangan dan evaluasi) di bidang kebijakan dan ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga usaha ekonomi, kebijakan dan ketahanan ormas perekonomian skala kabupaten/kota.
Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan 1. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan bidang kebijakan ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga 1. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan bidang kebijakan ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga 1. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan di kecamatan, kelurahan, desa dan masyarakat bidang kebijakan ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA usaha ekonomi, kebijakan dan ketahanan ormas perekonomian skala nasional. usaha ekonomi, kebijakan dan ketahanan ormas perekonomian skala provinsi. perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga usaha ekonomi, kebijakan dan ketahanan ormas perekonomian skala kabupaten/kota.
Peningkatan Kapasitas Aparatur 1. Fasilitasi dan peningkatan kapasitas aparatur kesbangpol di bidang kebijakan dan ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga usaha ekonomi, kebijakan dan ketahanan ormas perekonomian skala nasional.
Fasilitasi dan peningkatan kapasitas aparatur kesbangpol di bidang kebijakan dan ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga usaha ekonomi, kebijakan dan ketahanan ormas perekonomian skala provinsi.
Peningkatan kapasitas aparatur kesbangpol di bidang kebijakan dan ketahanan sumber daya alam, ketahanan perdagangan, investasi, fiskal dan moneter, perilaku masyarakat, kebijakan dan ketahanan lembaga usaha ekonomi, kebijakan dan ketahanan ormas perekonomian skala kabupaten/kota. T. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG OTONOMI DAERAH, PEMERINTAHAN UMUM, ADMINISTRASI KEUANGAN DAERAH, PERANGKAT DAERAH, KEPEGAWAIAN, DAN PERSANDIAN SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Otonomi Daerah 1. Urusan Pemerintahan:
Kebijakan b. Pembinaan, Sosialisasi Bimbingan, Konsultasi, Supervisi, Koordinasi, Monitoring dan Evaluasi serta Pengawasan Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan 1. Penetapan kebijakan nasional pembagian urusan pemerintahan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria penyelenggaraan urusan pemerintahan skala nasional.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria pembinaan, sosialisasi, bimbingan, konsultasi, supervisi, koordinasi, monitoring dan evaluasi serta pengawasan penyelenggaraan urusan pemerintahan.
Ɇ 2. Penetapan kebijakan penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah skala provinsi.
Pelaksanaan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria pembinaan, sosialisasi, bimbingan, konsultasi, supervisi, koordinasi, monitoring dan evaluasi serta pengawasan penyelenggaraan urusan pemerintahan.
Ɇ 2. Penetapan kebijakan penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria pembinaan, sosialisasi, bimbingan, konsultasi, supervisi, koordinasi, monitoring dan evaluasi serta pengawasan penyelenggaraan urusan pemerintahan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c. Harmonisasi d. Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (LPPD) 2. Penyelenggaraan pembinaan, sosialisasi, bimbingan, konsultasi, supervisi, koordinasi, monitoring dan evaluasi serta pengawasan urusan pemerintahan.
— 2. Harmonisasi antar bidang urusan pemerintahan pada masing-masing lintas Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND).
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria LPPD.
Penyelenggaraan pembinaan sosialisasi, bimbingan, konsultasi, supervisi, koordinasi, monitoring dan evaluasi serta pengawasan urusan pemerintahan di wilayah provinsi.
Harmonisasi peraturan daerah dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Harmonisasi antar bidang urusan pemerintahan daerah provinsi dengan pemerintah.dan pemerintahan daerah kabupaten/kota.
Penyusunan LPPD provinsi.
Penyelenggaraan pembinaan sosialisasi, bimbingan, konsultasi, supervisi, koordinasi, monitoring dan evaluasi serta pengawasan urusan pemerintahan di wilayah kabupaten/kota.
Harmonisasi peraturan daerah dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Harmonisasi antar bidang urusan pemerintahan dalam wilayah kabupaten/kota dengan pemerintah dan pemerintahan daerah provinsi.
Penyusunan LPPD kabupaten/kota SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA e. Database 2. Ɇ 3. Evaluasi LPPD skala nasional.
Pengolahan database LPPD skala nasional.
Penyampaian LPPD provinsi kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri.
Evaluasi LPPD kabupaten/kota.
Pengolahan database LPPD skala provinsi.
Penyampaian LPPD kabupaten/kota kepada Menteri Dalam Negeri melalui gubernur.
Ɇ 1. Pengolahan database LPPD skala kabupaten/kota.
Penataan Daerah dan Otonomi Khusus (Otsus):
Kebijakan 1. Penetapan kebijakan penataan daerah dan otsus.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria perubahan batas, nama dan pemindahan ibukota provinsi dan/atau kabupaten.
Pengusulan penataan daerah dan otsus skala provinsi.
Pelaksanaan kebijakan perubahan batas, nama dan/atau pemindahan ibukota provinsi dan/atau kabupaten.
Pengusulan penataan daerah skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan kebijakan perubahan batas, nama dan/atau pemindahan ibukota daerah dalam rangka penataan daerah. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Pembentukan Daerah 3. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria pembentukan, penghapusan dan penggabungan daerah.
Pembentukan, penghapusan dan penggabungan daerah.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria pembentukan kecamatan.
a.Penetapan perubahan batas, nama, dan pemindahan ibukota daerah.
Ɇ 3. Pelaksanaan kebijakan pembentukan, penghapusan dan penggabungan daerah.
Pengusulan pembentukan, penghapusan dan penggabungan daerah.
Evaluasi terhadap rancangan peraturan daerah tentang pembentukan kecamatan.
a.Pengusulan perubahan batas provinsi, nama dan pemindahan ibukota daerah.
Pelaksanaan perubahan batas, nama dan pemindahan ibukota provinsi.
Pelaksanaan kebijakan pembentukan, penghapusan dan penggabungan daerah.
Pengusulan pembentukan, penghapusan dan penggabungan daerah.
Pembentukan kecamatan.
a.Pengusulan perubahan batas kabupaten/kota, nama dan pemindahan ibukota daerah.
Pelaksanaan perubahan batas, nama kabupaten/kota dan pemindahan ibukota kabupaten. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c. Pembinaan, Sosialisasi, Observasi dan Pengkajian Penataan Daerah dan Otsus d. Monitoring dan Evaluasi serta Pengawasan dan Pengendalian Penataan Daerah dan Otsus 1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria pembinaan, sosialisasi, observasi dan pengkajian penyelenggaraan penataan daerah dan otsus.
Penyelenggaraan pembinaan, sosialisasi, observasi dan pengkajian penyelenggaraan penataan daerah dan otsus.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria monitoring dan evaluasi serta pengawasan dan pengendalian penataan daerah dan otsus.
Penyelenggaraan monitoring dan evaluasi penataan daerah dan otsus.
Pelaksanaan kebijakan pembinaan, sosialisasi, observasi dan pengkajian penyelenggaraan penataan daerah dan otsus.
Penyelenggaraan pembinaan, sosialisasi, observasi dan pengkajian penyelenggaraan penataan daerah dan otsus dalam wilayah provinsi.
Ɇ 2. Penyelenggaraan monitoring dan evaluasi penataan daerah dan otsus dalam wilayah provinsi.
Pelaksanaan kebijakan pembinaan, sosialisasi, observasi dan pengkajian penyelenggaraan penataan daerah.
Penyelenggaraan pembinaan, sosialisasi, observasi dan pengkajian penyelenggaraan penataan daerah dan otsus.
Ɇ 2. Penyelenggaraan monitoring dan evaluasi penataan daerah dan otsus dalam wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA e. Pembangunan Sistem ( Database ) Penataan Daerah dan Otsus f. Pelaporan 3. Penyelenggaraan pengawasan dan pengendalian penataan daerah dan otsus.
Pembangunan dan pengelolaan database penataan daerah dan otsus skala nasional.
Ɇ 1. Penetapan pedoman, norma, standar, prosedur dan kriteria laporan penataan daerah dan otsus.
Pengolahan data penataan daerah dan otsus skala nasional.
Penyelenggaraan pengawasan dan pengendalian penataan daerah dan otsus dalam wilayah provinsi.
Pembangunan dan pengelolaan database penataan daerah dan otsus skala provinsi.
Penyampaian data dan informasi penataan daerah skala provinsi ke pemerintah.
Menindaklanjuti pedoman, norma, standar, prosedur dan kriteria laporan penataan daerah dan otsus.
Pengolahan database laporan penataan daerah dan otsus skala provinsi.
Penyelenggaraan pengawasan dan pengendalian penataan daerah dan otsus dalam wilayah kabupaten/kota.
Pembangunan dan pengelolaan database penataan daerah dan otsus skala kabupaten/kota.
Penyampaian data dan informasi penataan daerah skala kabupaten/kota ke provinsi dan pemerintah.
Menindaklanjuti pedoman, norma, standar, prosedur dan kriteria laporan penataan daerah.
Pengolahan database laporan penataan daerah skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penyampaian laporan penataan daerah dan otsus skala nasional kepada Presiden.
Penyampaian laporan penataan daerah dan otsus skala provinsi kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri.
Penyampaian laporan penataan daerah skala kabupaten/kota kepada Menteri Dalam Negeri melalui gubernur.
Fasilitasi Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) dan Hubungan Antar Lembaga (HAL):
DPOD 1. Penetapan norma, standar, prosedur dan kriteria berkaitan dengan DPOD.
Pertimbangan formulasi perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Penyiapan bahan masukan pembentukan, penghapusan dan penggabungan daerah provinsi untuk sidang DPOD.
Penyusunan tata tertib bahan masukan penetapan Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) provinsi bagi sidang DPOD.
Penyiapan bahan masukan pembentukan, penghapusan dan penggabungan daerah kabupaten/kota untuk sidang DPOD.
Penyusunan tata tertib bahan masukan penetapan DAU dan DAK bagi sidang DPOD. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Penyusunan Peraturan Daerah (Perda) c. Fasilitasi Asosiasi Daerah/Badan Kerjasama Daerah 1. Penetapan norma, standar, prosedur dan kriteria berkaitan dengan tata cara penyusunan Perda, Peraturan/Keputusan Kepala Daerah (KDH) dan Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)/Pimpinan DPRD.
Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) provinsi tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), pajak daerah, retribusi daerah dan tata ruang daerah.
Pengawasan Perda provinsi, kabupaten/kota.
Penetapan pembentukan Asosiasi/Badan Kerjasama Daerah.
Penyusunan Perda provinsi.
Pengajuan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) provinsi tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), pajak daerah, retribusi daerah dan tata ruang daerah kepada pemerintah.
Penyampaian Perda kepada pemerintah untuk dievaluasi.
Membentuk Asosiasi/Badan Kerjasama Daerah.
Penyusunan Perda kabupaten/kota.
Pengajuan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) provinsi tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), pajak daerah, retribusi daerah dan tata ruang daerah kepada gubernur.
Menyampaikan Perda kepada pemerintah untuk dievaluasi.
Membentuk Asosiasi Daerah/Badan Kerjasama Daerah. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Fasilitasi Pemberdayaan Asosiasi/Badan Kerjasama Daerah.
Fasilitasi pembentukan Asosiasi Daerah/Badan Kerjasama Daerah membentuk Asosiasi Daerah/Badan Kerjasama kabupaten/kota.
— 4. Pengembangan Kapasitas dan Evaluasi Kinerja Daerah:
Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM) :
Kebijakan (2) Pembinaan 1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria SPM.
Pembinaan penerapan SPM.
Penetapan perencanaan, penganggaran, dan penerapan SPM skala provinsi.
Monitoring dan evaluasi penerapan dan pencapaian SPM skala provinsi.
Penetapan perencanaan, penganggaran, dan penerapan SPM skala kabupaten/kota.
Penerapan SPM kabupaten/ kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah:
Monitoring dan evaluasi penerapan dan pencapaian SPM.
Pengembangan kapasitas penerapan dan pencapaian SPM.
a.Penetapan kebijakan tentang norma, standar, prosedur dan kriteria evaluasi mengenai:
Pengukuran kinerja.
Pengembangan sistem informasi evaluasi.
Kriteria pembinaan evaluasi daerah.
Pelaksanaan evaluasi terhadap provinsi.
Monitoring dan evaluasi penerapan dan pencapaian SPM kabupaten/kota.
Fasilitasi dan supervisi penerapan dan pencapaian SPM kabupaten/kota.
a. Ɇ b. Pelaksanaan evaluasi terhadap kabupaten/kota mengenai:
— 3. — 1.a.— b. Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c. Pengembangan Kapasitas Daerah :
Kebijakan (2) Pelaksanaan 1. Penetapan kerangka nasional pengembangan kapasitas daerah.
Pedoman penyusunan rencana tindak peningkatan kapasitas daerah.
Fasilitasi pelaksanaan kebijakan pengembangan kapasitas daerah.
Pengukuran kinerja.
Pengembangan sistem informasi evaluasi.
Kriteria pembinaan evaluasi daerah.
Penetapan perencanaan dan penganggaran pengembangan kapasitas daerah.
Penetapan rencana tindak peningkatan kapasitas provinsi.
Implementasi rencana tindak peningkatan kapasitas provinsi.
Penetapan perencanaan dan penganggaran pengembangan kapasitas daerah.
Penetapan rencana tindak peningkatan kapasitas kabupaten/kota.
Implementasi rencana tindak peningkatan kapasitas kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA (3) Pembinaan 2. Fasilitasi pedoman penyusunan rencana tindak peningkatan kapasitas daerah.
Monitoring dan evaluasi pengembangan kapasitas provinsi.
Koordinasi nasional pengembangan kapasitas daerah.
Fasilitasi implementasi rencana tindak provinsi.
Monitoring dan evaluasi pengembangan kapasitas kabupaten/kota.
Koordinasi pengembangan kapasitas provinsi.
Fasilitasi implementasi rencana tindak kabupaten/kota.
Ɇ 2. Koordinasi pengembangan kapasitas kabupaten/kota.
Pejabat Negara:
Tata Tertib DPRD:
Kebijakan (2) Pembinaan 1. Penetapan pedoman tata tertib DPRD.
Fasilitasi penyusunan tata tertib DPRD provinsi.
Monitoring dan evaluasi tata tertib DPRD provinsi.
Penetapan pedoman tata tertib DPRD provinsi.
Fasilitasi penyusunan tata tertib DPRD kabupaten/kota.
Monitoring dan evaluasi tata tertib DPRD kabupaten/kota.
Penetapan pedoman tata tertib DPRD kabupaten/kota.
— 2. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Peresmian Pengangkatan dan Pemberhentian Anggota DPRD Provinsi/Kabupaten /Kota.
Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah (KDH) dan Wakil KDH:
Kebijakan (2) Pelaksanaan 1. Peresmian pengangkatan dan pemberhentian anggota DPRD provinsi.
Penetapan Pedoman Tata Cara Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan dan Pemberhentian KDH dan Wakil KDH.
Pengesahan, pengangkatan, dan pemberhentian KDH dan Wakil KDH.
Peresmian pengangkatan dan pemberhentian anggota DPRD kabupaten/kota.
— 1. Fasilitasi pemilihan gubernur dan wakil gubernur.
— 1. — 1. Fasilitasi pemilihan bupati dan wakil bupati/walikota dan wakil walikota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA d. Kedudukan Protokoler dan Keuangan DPRD:
Kebijakan (2) Pembinaan 2. Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan pemilihan KDH dan Wakil KDH.
Penetapan pedoman kedudukan protokoler dan keuangan DPRD.
Fasilitasi penyusunan kedudukan protokoler dan keuangan DPRD provinsi.
Monitoring dan evaluasi kedudukan protokoler dan keuangan DPRD provinsi.
Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan pemilihan bupati dan wakil bupati/walikota dan wakil walikota.
Pelaksanaan pedoman kedudukan protokoler dan keuangan DPRD provinsi.
Fasilitasi penyusunan kedudukan protokoler dan keuangan DPRD kabupaten/kota.
Monitoring dan evaluasi kedudukan protokoler dan keuangan DPRD kabupaten/kota.
— 1. Pelaksanaan pedoman kedudukan protokoler dan keuangan DPRD kabupaten/kota.
Ɇ 2. Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA e. Kedudukan Keuangan KDH dan Wakil KDH:
Kebijakan (2) Pembinaan f. Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) KDH:
Kebijakan (2) Pembinaan 1. Penetapan pedoman kedudukan keuangan KDH dan Wakil KDH.
Fasilitasi kedudukan keuangan gubernur dan wakil gubernur.
Penetapan pedoman LKPJ.
Fasilitasi penyusunan LKPJ gubernur.
Pelaksanaan pedoman kedudukan keuangan gubernur dan wakil gubernur.
Fasilitasi kedudukan keuangan bupati dan wakil bupati/walikota dan wakil walikota.
Pelaksanaan pedoman LKPJ gubernur.
Fasilitasi penyusunan LKPJ bupati/walikota.
Pelaksanaan pedoman kedudukan keuangan bupati dan wakil bupati/walikota dan wakil walikota.
— 1. Pelaksanaan pedoman LKPJ bupati/walikota.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA g. Tugas dan Wewenang serta Kedudukan Keuangan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah :
Kebijakan (2) Pembinaan 2. Monitoring dan evaluasi LKPJ gubernur.
Penetapan pedoman tata cara pelaksanaan tugas dan wewenang serta kedudukan keuangan gubernur sebagai wakil pemerintah.
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan tugas dan wewenang gubernur sebagai wakil pemerintah.
Monitoring dan evaluasi LKPJ bupati/walikota.
Pelaksanaan tugas dan wewenang gubernur sebagai wakil pemerintah.
— 2. — 1. — 1. — 2. Pemerintahan Umum 1. Fasilitasi Dekonsentrasi, Tugas Pembantuan dan Kerjasama: SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA a. Fasilitasi Dekonsentrasi b. Fasilitasi Tugas Pembantuan 1. Penetapan kebijakan nasional penyelenggaraan dekonsentrasi.
Koordinasi dan fasilitasi urusan pemerintahan dalam penyelenggaraan dekonsentrasi.
Ɇ 1. Penetapan kebijakan nasional penyelenggaraan tugas pembantuan.
Gubernur melaksanakan dan melaporkan penyelenggaraan urusan pemerintahan yang didekonsentrasikan.
Gubernur mengkoordinasikan penyelenggaraan urusan pemerintahan di daerah provinsi dan kabupaten/ kota.
Koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan dekonsentrasi di daerah provinsi dan kabupaten/kota.
Pelaksanaan dan pelaporan penyelenggaraan urusan pemerintahan yang ditugaspembantuankan oleh pemerintah.
Ɇ 2. Ɇ 3. Ɇ 1. Pelaksanaan dan pelaporan penyelenggaraan tugas pembantuan oleh pemerintah dan/atau pemerintah provinsi. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c. Fasilitasi Kerjasama Daerah dengan Pihak Ketiga 2. Koordinasi dan fasilitasi urusan pemerintahan yang ditugaspembantuankan kepada provinsi/kabupaten/kota/desa.
Koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan dari provinsi kepada kabupaten/kota/desa.
Penetapan kebijakan nasional di bidang kerjasama dengan pihak ketiga.
Pelaksanaan kerjasama pemerintah dengan pihak ketiga.
Koordinasi dan fasilitasi urusan pemerintahan yang ditugaspembantuankan kepada kabupaten/kota/desa.
Koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan dari kabupaten/kota kepada desa.
Penetapan kebijakan provinsi di bidang kerjasama dengan pihak ketiga.
Pelaksanaan kerjasama provinsi dengan pihak ketiga.
Koordinasi dan fasilitasi urusan pemerintahan yang ditugaspembantuankan kepada desa.
Ɇ 1. Penetapan kebijakan kabupaten/kota di bidang kerjasama dengan pihak ketiga.
Pelaksanaan kerjasama kabupaten/kota dengan pihak ketiga. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA d. Kerjasama Antar Daerah 3. Koordinasi dan fasilitasi kerjasama provinsi dengan pihak ketiga.
Pelaksanaan monitoring dan evaluasi kerjasama provinsi dengan pihak ketiga.
Ɇ 1. Penetapan kebijakan kerjasama antar daerah.
Fasilitasi kerjasama antar provinsi.
Pelaksanaan monitoring dan evaluasi penyelenggaraan kerjasama antar daerah.
Koordinasi dan fasilitasi kerjasama kabupaten/kota dengan pihak ketiga.
Pelaksanaan monitoring dan evaluasi kerjasama kabupaten/kota dengan pihak ketiga.
Pelaporan pelaksanaan kerjasama provinsi dengan pihak ketiga kepada pemerintah.
Pelaksanaan kerjasama antar provinsi.
Fasilitasi kerjasama antar kabupaten/kota.
Pelaksanaan monitoring dan evaluasi kerjasama antar kabupaten/kota.
Ɇ 4. Ɇ 5. Pelaporan pelaksanaan kerjasama pemerintah kabupaten/kota dengan pihak ketiga kepada provinsi.
Pelaksanaan kerjasama antar kabupaten/kota.
Ɇ 3. Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA e. Pembinaan Wilayah 4. Ɇ 1. Penetapan kebijakan harmonisasi hubungan antar susunan pemerintahan.
Koordinasi dan fasilitasi harmonisasi hubungan antar susunan pemerintahan.
Koordinasi dan fasilitasi penyelesaian konflik antar provinsi.
Pelaporan pelaksanaan kerjasama antar provinsi kepada pemerintah.
Penetapan kebijakan harmonisasi hubungan antar susunan pemerintahan di provinsi dengan berpedoman kepada kebijakan pemerintah.
Koordinasi dan fasilitasi harmonisasi hubungan antar kabupaten/kota di wilayahnya.
Koordinasi dan fasilitasi penyelesaian konflik antar kabupaten/kota.
Pelaporan pelaksanaan kerjasama antar kabupaten/kota kepada provinsi.
Penetapan kebijakan harmonisasi hubungan antar susunan pemerintahan di kabupaten/kota dengan berpedoman kepada kebijakan pemerintah dan provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi harmonisasi hubungan antar kecamatan/desa/kelurahan di wilayahnya.
Koordinasi dan fasilitasi penyelesaian konflik antar kecamatan/desa/kelurahan di wilayahnya. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA f. Koordinasi Pelayanan Umum 4. Koordinasi penetapan kebijakan dan fasilitasi usaha kecil dan menengah skala nasional.
Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan urusan pemerintahan sisa.
Koordinasi dan fasilitasi kebijakan nasional dalam bidang pelayanan umum.
Pelaksanaan dan fasilitasi usaha kecil dan menengah skala provinsi.
Penyelenggaraan urusan pemerintahan sisa skala provinsi.
Pelaksanaan pelayanan umum skala provinsi.
Pelaksanaan dan fasilitasi kebijakan usaha kecil dan menengah skala kabupaten/kota.
Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan urusan pemerintahan sisa skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan pelayanan umum skala kabupaten/kota.
Trantibum dan Linmas a. Ketentraman, Ketertiban Umum, dan Perlindungan Masyarakat 1. Penetapan kebijakan nasional dalam bidang: (a) Ɇ 1. Penetapan kebijakan provinsi dengan merujuk kebijakan nasional dalam bidang: (a) Penegakan Perda/Peraturan Kepala Daerah.
Penetapan kebijakan kabupaten/kota dengan merujuk kebijakan nasional dalam bidang: (a) Penegakan Perda/Peraturan Kepala Daerah. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA (b) Ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat. (c) Kepolisipamongprajaan dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). (d) Perlindungan masyarakat.
Pelaksanaan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat skala nasional.
Pembinaan kepolisipamongprajaan dan PPNS.
Pelaksanaan perlindungan masyarakat skala nasional. (b) Ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat. (c) Kepolisipamongprajaan dan PPNS. (d) Perlindungan masyarakat.
Pelaksanaan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat skala provinsi.
Pelaksanaan kepolisipamongprajaan dan PPNS skala provinsi.
Pelaksanaan perlindungan masyarakat skala provinsi. (b) Ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat. (c) Kepolisipamongprajaan dan PPNS. (d) Perlindungan masyarakat.
Pelaksanaan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan kepolisipamongprajaan dan PPNS skala kabupaten/ kota.
Pelaksanaan perlindungan masyarakat skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Koordinasi Perlindungan dan Penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) 3. Wilayah Perbatasan:
Pengelolaan Perbatasan Antar Negara 5. Koordinasi antar instansi terkait.
Koordinasi penegakan HAM skala nasional.
Penetapan kebijakan pengelolaan perbatasan antar negara.
Pelaksanaan pengelolaan perbatasan antar negara.
Koordinasi pengelolaan perbatasan antar negara.
Koordinasi dengan instansi terkait skala provinsi.
Koordinasi penegakan HAM skala provinsi.
– 2. Dukungan pelaksanaan kebijakan pengelolaan perbatasan antar negara.
Dukungan koordinasi antar kabupaten/kota yang berbatasan dengan negara lain.
Koordinasi dengan instansi terkait skala kabupaten/ kota.
Koordinasi penegakan HAM skala kabupaten/kota.
– 2. Dukungan pelaksanaan kebijakan pengelolaan perbatasan antar negara.
Dukungan koordinasi antar kecamatan/desa/kelurahan yang berbatasan dengan negara lain. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Perbatasan Daerah c. Toponimi dan Pemetaan Wilayah 4. Pelaksanaan penyelesaian perselisihan perbatasan antar negara.
Penetapan kebijakan, pelaksanaan, dan penegasan perbatasan daerah.
Penetapan kebijakan toponimi dan pemetaan wilayah.
Pengelolaan toponimi dan pemetaan skala nasional.
Inventarisasi laporan toponimi dan pemetaan.
– 1. Dukungan pelaksanaan penegasan perbatasan provinsi dan kabupaten/kota di wilayah provinsi.
Penetapan kebijakan provinsi mengacu pada kebijakan nasional mengenai toponimi dan pemetaan wilayah provinsi.
Pengelolaan toponimi dan pemetaan skala provinsi.
Inventarisasi dan laporan toponimi dan pemetaan skala provinsi.
Penetapan kebijakan dan pelaksanaan perbatasan kecamatan dan desa/kelurahan di kabupaten/kota.
Penetapan kebijakan kabupaten/kota mengacu pada kebijakan nasional mengenai toponimi dan pemetaan wilayah kabupaten/kota.
Pengelolaan toponimi dan pemetaan skala kabupaten/kota.
Inventarisasi dan laporan toponimi dan pemetaan skala kabupaten/ kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA d. Pengembangan Wilayah Perbatasan e. Penetapan Luas Wilayah 1. Penetapan kebijakan pengembangan wilayah perbatasan.
Pengelolaan pengembangan wilayah perbatasan antar negara dan antar provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi pengembangan wilayah perbatasan antar negara dan antar provinsi.
Penetapan kebijakan luas wilayah.
Koordinasi dan fasilitasi penetapan luas wilayah provinsi, kabupaten/kota.
Penetapan kebijakan pengembangan wilayah perbatasan antar kabu- paten/kota skala provinsi.
Pengelolaan pengembangan wilayah perbatasan skala provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi pengembangan wilayah perbatasan provinsi.
Inventarisasi perubahan luas wilayah provinsi yang diakibatkan oleh alam antara lain delta, abrasi.
Pemetaan luas wilayah sesuai peruntukannya.
Penetapan kebijakan pengembangan wilayah perbatasan skala kabupaten/kota.
Pengelolaan pengembangan wilayah perbatasan skala kabupaten/kota.
Koordinasi dan fasilitasi pengembangan wilayah perbatasan kabupaten/kota.
Inventarisasi perubahan luas wilayah kabupaten/kota yang diakibatkan oleh alam antara lain delta, abrasi.
Pemetaan luas wilayah sesuai peruntukannya. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Kawasan Khusus:
Kawasan Sumber Daya Alam; Kehutanan, Energi dan Sumber Daya Mineral b. Kawasan Sumber Daya Buatan; Pelabuhan, Bandar Udara, Perkebunan, Peternakan, Industri, Pariwisata, Perdagangan, Otorita, Bendungan dan Sejenisnya 1. Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan kawasan sumber daya alam.
Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan kawasan sumber daya buatan.
Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan kawasan sumber daya alam skala provinsi.
Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan kawasan sumber daya buatan skala provinsi.
Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan kawasan sumber daya alam skala kabupaten/kota.
Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan kawasan sumber daya buatan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c. Kawasan Kepentingan Umum; Kawasan Fasilitas Sosial dan Umum d. Kawasan Kelautan dan Kedirgantaraan 1. Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan kawasan kepentingan umum.
Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan kawasan kelautan dan kedirgantaraan.
Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan kawasan kepentingan umum skala provinsi.
Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan kawasan kelautan dan kedirgantaraan skala provinsi.
Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan kawasan kepentingan umum skala kabupaten/kota.
Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan kawasan kelautan dan kedirgantaraan skala kabupaten/kota.
Manajemen Pencegahan dan Penanggulangan Bencana:
Mitigasi Pencegahan Bencana 1. Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan mitigasi/ pencegahan bencana.
Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan mitigasi/pencegahan bencana skala provinsi.
Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan mitigasi/pencegahan bencana skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Penanganan Bencana c. Penanganan Pasca Bencana d. Kelembagaan e. Penanganan Kebakaran 1. Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi pengelolaan penanganan bencana.
Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi penanganan pasca bencana.
Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi kelembagaan penanganan bencana.
Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi penanganan kebakaran.
Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi penanganan bencana skala provinsi.
Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi penanganan pasca bencana skala provinsi.
Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi kelembagaan penanganan bencana skala provinsi.
Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi penanganan kebakaran skala provinsi.
Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi penanganan bencana skala kabupaten/kota.
Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi penanganan pasca bencana skala kabupaten/kota.
Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi kelembagaan penanganan bencana skala kabupaten/ kota.
Penetapan kebijakan, koordinasi, dan fasilitasi penanganan kebakaran skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Organisasi dan Kelembagaan Pengelolaan Keuangan Daerah 1. Penetapan dan fasilitasi pelaksanaan kebijakan organisasi, kelembagaan dan pembinaan sumber daya aparatur pengelola keuangan daerah.
Pelaksanaan penataan organisasi, kelembagaan dan peningkatan kapasitas sumber daya aparatur pengelola keuangan daerah provinsi dan kabupaten/ kota.
Pelaksanaan penataan organisasi, kelembagaan dan peningkatan kapasitas sumber daya aparatur pengelola keuangan daerah kabupaten/kota.
Administrasi Keuangan Daerah 2. Anggaran Daerah 1. Penetapan pedoman rancangan peraturan daerah (Raperda) tentang pokok-pokok pengelolaan keuangan daerah.
Penetapan kebijakan standar satuan harga dan analisis standar belanja daerah.
Penetapan pedoman perencanaan anggaran penanganan urusan pemerintahan provinsi dan kabupaten/ kota.
Penetapan peraturan daerah (Perda) tentang pokok-pokok pengelolaan keuangan daerah.
Penetapan standar satuan harga dan analisis standar belanja daerah provinsi.
Perencanaan anggaran penanganan urusan pemerintahan provinsi.
Penetapan Perda tentang pokok-pokok pengelolaan keuangan daerah.
Penetapan standar satuan harga dan analisis standar belanja daerah kabupaten/kota.
Perencanaan anggaran penanganan urusan pemerintahan kabupaten/ kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Penetapan pedoman penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan perubahan APBD.
Penetapan pedoman evaluasi APBD dan perubahan APBD provinsi.
Evaluasi Raperda tentang APBD, dan perubahan APBD provinsi.
Penetapan kebijakan keseimbangan fiskal antar provinsi.
Penetapan Perda tentang APBD dan perubahan APBD.
Penetapan pedoman evaluasi APBD dan perubahan APBD kabupaten/kota, sesuai dengan pedoman evaluasi yang ditetapkan pemerintah.
Evaluasi Raperda tentang APBD, dan perubahan APBD kabupaten/ kota.
Penetapan kebijakan keseimbangan fiskal antar kabupaten/kota.
Penetapan Perda tentang APBD dan perubahan APBD.
Penetapan pedoman evaluasi Anggaran Pendapatan dan Belanja (APB) Desa, sesuai dengan pedoman evaluasi yang ditetapkan pemerintah.
Evaluasi Rancangan Peraturan Desa (Raperdes) tentang APB Desa.
Penetapan kebijakan keseimbangan fiskal antar desa. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 8. Penetapan kebijakan pendanaan urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab bersama (urusan concurrent ) antara pemerintah dan provinsi.
Penetapan kebijakan pendanaan kerjasama pemerintahan daerah antar provinsi.
Fasilitasi perencanaan dan penganggaran daerah.
Penetapan kebijakan pendanaan urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab bersama (urusan concurrent ) antara provinsi dan kabupaten/ kota.
Penetapan kebijakan pendanaan kerjasama pemerintahan daerah antar kabupaten/kota.
Fasilitasi perencanaan dan penganggaran daerah kabupaten/kota.
Penetapan kebijakan pendanaan urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab bersama (urusan concurrent ) antara kabupaten/kota dan desa.
Penetapan kebijakan pendanaan kerjasama pemerintahan antar desa.
Fasilitasi perencanaan dan penganggaran pemerintahan desa. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Pendapatan dan Investasi Daerah :
Pajak dan Retribusi Daerah 1.a.Penetapan kebijakan umum dan khusus tentang norma, standar, prosedur dan kriteria pengelolaan pajak daerah, retribusi daerah dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) lainnya.
— c.Fasilitasi, supervisi, monitoring dan evaluasi pelaksanaan kebijakan umum dan khusus pajak dan retribusi daerah, serta PAD lainnya.
a.Penetapan kebijakan pengelolaan pajak dan retribusi daerah provinsi.
Pelaksanaan pengelolaan pajak dan retribusi daerah provinsi.
Fasilitasi, supervisi, monitoring dan evaluasi pelaksanaan pajak dan retribusi daerah serta PAD lainnya kabupaten/kota.
a.Penetapan kebijakan pengelolaan pajak dan retribusi daerah kabupaten/kota.
Pelaksanaan pengelolaan pajak dan retribusi daerah kabupaten/ kota.
Fasilitasi, supervisi, monitoring dan evaluasi pelaksanaan retribusi desa. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Investasi dan Aset Daerah 2. Pembinaan dan pengawasan pajak dan retribusi daerah.
Evaluasi Raperda pajak, retribusi daerah provinsi, dan Perda pajak dan retribusi daerah, dan pungutan lainnya provinsi dan kabupaten/kota.
Penetapan kebijakan umum dan khusus tentang norma, standar, prosedur dan kriteria pengelolaan investasi dan aset daerah.
Fasilitasi, monitoring dan evaluasi pelaksanaan kebijakan umum dan khusus tentang pengelolaan investasi dan aset daerah.
Pembinaan dan pengawasan pajak dan retribusi daerah skala provinsi.
Evaluasi Raperda pajak, retribusi daerah dan pungutan lainnya kabupaten/kota.
Penetapan kebijakan pengelolaan investasi dan aset daerah provinsi.
Pelaksanaan pengelolaan investasi dan aset daerah provinsi.
Pembinaan dan pengawasan pajak dan retribusi daerah skala kabupaten/kota.
Evaluasi Raperdes tentang retribusi dan pungutan lainnya.
Penetapan kebijakan pengelolaan investasi dan aset daerah kabupaten/kota.
Pelaksanaan pengelolaan investasi dan aset daerah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dan Lembaga Keuangan Mikro 3. Pembinaan dan pengawasan pengelolaan investasi dan aset daerah provinsi.
Fasilitasi pengelolaan aset daerah pemekaran skala nasional.
Penetapan kebijakan umum dan khusus tentang norma, standar, prosedur dan kriteria pengelolaan BUMD dan lembaga keuangan mikro.
Fasilitasi, monitoring dan evaluasi, pelaksanaan kebijakan umum dan khusus pengelolaan BUMD dan lembaga keuangan mikro.
Pembinaan dan pengawasan pengelolaan investasi dan aset daerah kabupaten/ kota.
Fasilitasi pengelolaan aset daerah pemekaran skala provinsi.
Penetapan kebijakan pengelolaan BUMD dan lembaga keuangan mikro provinsi.
Pelaksanaan pengelolaan BUMD dan lembaga keuangan mikro provinsi.
Pengawasan pengelolaan investasi dan aset daerah kabupaten/kota.
Fasilitasi pengelolaan aset daerah pemekaran skala kabupaten/kota.
Penetapan kebijakan pengelolaan BUMD dan lembaga keuangan mikro kabupaten/kota.
Pelaksanaan pengelolaan BUMD dan lembaga keuangan mikro kabupaten/ kota, serta pembinaan dan pengawasan Badan Usaha Milik Desa. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA d. Pinjaman Daerah 3. Pembinaan dan pengawasan pengelolaan BUMD dan lembaga keuangan mikro provinsi.
Penetapan kebijakan umum tentang norma, standar, prosedur dan kriteria pengelolaan pinjaman dan obligasi daerah, serta Badan Layanan Umum (BLU) daerah.
Fasilitasi, monitoring, evaluasi dan pelaksanaan pinjaman dan obligasi daerah, serta BLU daerah.
Pembinaan dan pengawasan pinjaman dan obligasi daerah, serta BLU provinsi.
Pembinaan dan pengawasan pengelolaan BUMD dan lembaga keuangan mikro kabupaten/kota.
Penetapan kebijakan pengelolaan pinjaman dan obligasi daerah, serta BLU provinsi.
Pelaksanaan pengelolaan pinjaman dan obligasi daerah, serta BLU provinsi.
Pembinaan dan pengawasan pinjaman dan obligasi daerah, serta BLU kabupaten/kota.
Pengawasan pengelolaan BUMD dan lembaga keuangan mikro kabupaten/kota, serta pembinaan dan pengawasan Badan Usaha Milik Desa.
Penetapan kebijakan pengelolaan pinjaman dan obligasi daerah, serta BLU kabupaten/kota.
Pelaksanaan pengelolaan pinjaman dan obligasi daerah, serta BLU kabupaten/kota.
Pengawasan pinjaman dan obligasi daerah, serta BLU kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Dana Perimbangan :
Dana Alokasi Umum (DAU) b. Dana Alokasi Khusus (DAK) 1. Penetapan formula penghitungan alokasi DAU provinsi/kabupaten/kota.
Penetapan pedoman umum pengelolaan DAU.
Monitoring dan evaluasi pengelolaan DAU.
Penetapan kebijakan DAK dan kriteria penghitungannya.
Penghitungan dan penetapan alokasi DAK.
Pengelolaan data dasar penghitungan alokasi DAU provinsi dan koordinasi data dasar penghitungan alokasi DAU kabupaten/kota.
Pengelolaan DAU provinsi.
Pelaporan pengelolaan DAU provinsi, dan monitoring serta evaluasi penggunaan DAU kabupaten/kota.
Usulan program dan kegiatan provinsi untuk didanai dari DAK serta koordinasi usulan DAK kabupaten/kota.
— 1. Pengelolaan data dasar penghitungan alokasi DAU kabupaten/kota.
Pengelolaan DAU kabupaten/ kota.
Pelaporan pengelolaan DAU kabupaten/kota.
Usulan program dan kegiatan kabupaten/kota untuk didanai dari DAK.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c. Dana Bagi Hasil (DBH) 3. Penetapan petunjuk teknis (juknis) pengelolaan DAK.
Monitoring dan evaluasi pengelolaan DAK provinsi dan kabupaten/kota.
Pengendalian dan pengkajian pengelolaan DAK provinsi dan kabupaten/kota 1. Penetapan kebijakan DBH.
Penetapan daerah penghasil Sumber Daya Alam (SDA).
Penghitungan dan penetapan alokasi DBH bagi provinsi dan kabupaten/kota.
Pengelolaan DAK (bagi provinsi yang menerima DAK).
Monitoring dan evaluasi pengelolaan DAK kabupaten/kota.
Pengendalian dan pelaporan pengelolaan DAK.
Penyiapan data realisasi penerima DBH provinsi.
Fasilitasi kabupaten/kota terhadap konflik penentuan daerah penghasil SDA.
Penetapan alokasi DBH di kabupaten/kota.
Pengelolaan DAK (bagi kabupaten/kota yang menerima DAK).
— 5. Pengendalian dan pelaporan pengelolaan DAK.
Penyiapan data realisasi penerima DBH kabupaten/kota.
— 3. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Evaluasi laporan pengelolaan DBH. 4. Pengendalian dan pelaporan pengelolaan DBH. 4. Pengendalian dan pelaporan pengelolaan DBH.
Pelaksanaan, Penatausahaan, Akuntansi dan Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD 1. Penetapan kebijakan norma, standar prosedur dan kriteria pelaksanaan, penatausahaan, akuntansi pengelolaan keuangan daerah dan desa.
Penetapan pedoman penyusunan laporan keuangan daerah/desa dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD provinsi, kabupaten/kota dan APB desa.
Penetapan pedoman evaluasi laporan keuangan dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD provinsi, kabupaten/kota dan APB desa.
Penetapan kebijakan tentang sistem dan prosedur akuntansi pengelolaan keuangan daerah provinsi.
Penyusunan laporan keuangan dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD provinsi.
— 1. Penetapan kebijakan tentang sistem dan prosedur akuntansi pengelolaan keuangan daerah kabupaten/kota dan desa.
Penyusunan laporan keuangan dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kabupaten/kota dan APB desa.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Evaluasi pertanggungjawaban pelaksanaan APBD provinsi.
Penetapan kebijakan laporan keuangan dan pertanggungjawaban pelaksanaan pendanaan urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab bersama (urusan concurrent ).
Fasilitasi penyusunan laporan keuangan dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD dan APB desa.
Evaluasi pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kabupaten/ kota.
Penetapan kebijakan laporan keuangan dan pertanggung-jawaban pelaksanaan pendanaan urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab bersama (urusan concurrent ).
Fasilitasi penyusunan laporan keuangan dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kabupaten/kota.
Evaluasi laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APB desa.
Penetapan kebijakan laporan keuangan dan pertanggungjawaban pelaksanaan pendanaan urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab bersama (urusan concurrent ).
Fasilitasi penyusunan laporan keuangan dan pelaksanaan APB desa. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Perangkat Daerah 1. Kebijakan 1. Penetapan pedoman umum tentang perangkat daerah.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria pembentukan perangkat daerah.
Penetapan pedoman teknis perangkat daerah.
Penetapan pedoman tatalaksana perangkat daerah.
Penetapan pedoman analisis jabatan perangkat daerah.
Pelaksanaan pedoman umum tentang perangkat daerah provinsi.
Pelaksanaan kebijakan pembentukan perangkat daerah skala provinsi.
Pelaksanaan pedoman teknis perangkat daerah provinsi.
Pelaksanaan pedoman tatalaksana perangkat daerah provinsi.
Pelaksanaan pedoman analisis jabatan perangkat daerah provinsi.
Pelaksanaan pedoman umum tentang perangkat daerah kabupaten/kota.
Pelaksanaan kebijakan pembentukan perangkat daerah skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan pedoman teknis perangkat daerah kabupaten/kota.
Pelaksanaan pedoman tatalaksana perangkat daerah kabupaten/kota.
Pelaksanaan pedoman analisis jabatan perangkat daerah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pengembangan Kapasitas 1. Penetapan kebijakan tentang pengembangan kapasitas kelembagaan perangkat daerah.
Koordinasi pelaksanaan pengembangan kapasitas perangkat daerah.
Pelaksanaan pengembangan kapasitas kelembagaan perangkat daerah provinsi.
Koordinasi pelaksanaan pengembangan kapasitas perangkat daerah kabupaten/kota.
Pelaksanaan pengembangan kapasitas kelembagaan perangkat daerah kabupaten/kota.
Pelaksanaan pengembangan kapasitas perangkat daerah.
Fasilitasi 1. Penetapan kebijakan fasilitasi penataan kelembagaan perangkat daerah, yang meliputi pemberian bimbingan, supervisi, pelatihan, dan kerjasama.
Fasilitasi penataan kelembagaan perangkat daerah kabupaten/kota.
— 4. Pembinaan dan Pengendalian 1. Penetapan kebijakan pembinaan dan pengendalian organisasi perangkat daerah.
Pelaksanaan pembinaan dan pengendalian organisasi perangkat daerah provinsi.
Pelaksanaan pembinaan dan pengendalian organisasi perangkat daerah kabupaten/kota.
— 1. Penerapan dan pengendalian organisasi perangkat daerah.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Pembatalan peraturan daerah tentang perangkat daerah. 3. — 3. — 5. Monitoring dan Evaluasi 1. Penetapan kebijakan monitoring dan evaluasi perangkat daerah.
Pelaksanaan monitoring dan evaluasi perangkat daerah provinsi.
Penetapan databas e perangkat daerah skala nasional.
— 2. Pelaksanaan monitoring dan evaluasi perangkat daerah kabupaten/kota.
Koordinasi penyusunan database perangkat daerah skala provinsi.
— 2. Penyediaan bahan monitoring dan evaluasi perangkat daerah.
Penyediaan bahan database perangkat daerah skala kabupaten/kota.
Kepegawaian 1. Formasi Pegawai Negeri Sipil (PNS) 1. Penetapan kebijakan formasi PNS secara nasional setiap tahun anggaran.
Penetapan persetujuan formasi Pegawai Negeri Sipil Pusat (PNSP) di lingkungan Departemen/LPND setiap tahun anggaran.
Penyusunan formasi Pegawai Negeri Sipil Daerah (PNSD) di provinsi setiap tahun anggaran.
Penetapan formasi PNSD di provinsi setiap tahun anggaran.
Penyusunan formasi PNSD di kabupaten/kota setiap tahun anggaran.
Penetapan formasi PNSD di kabupaten/kota setiap tahun anggaran. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penetapan formasi PNSP/Departemen/LPND/ Kesekretaritan lembaga dan Daerah setiap tahun anggaran.
Koordinasi usulan penetapan formasi PNSD di kabupaten/kota setiap tahun anggaran.
Usulan formasi PNSD di kabupaten/kota setiap tahun anggaran.
Pengadaan Pegawai Negeri Sipil (PNS) 1. Penetapan norma, standar, prosedur dan kriteria pengadaan PNS.
Pelaksanaan pengadaan PNSP di lingkungan Departemen/LPND.
Koordinasi pelaksanaan pengadaan PNS secara nasional.
Pelaksanaan pengadaan PNSD Provinsi 2. Usulan penetapan Nomor Induk Pegawai (NIP) 3. Koordinasi pelaksanaan pengadaan PNSD kabupaten/kota.
Pelaksanaan pengadaan PNSD kabupaten/kota 2. Usulan penetapan NIP 3. Ɇ 3. Pengangkatan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) 1. Penetapan norma, standar, prosedur dan kriteria pengangkatan CPNS.
Pelaksanaan pengangkatan CPNSP di lingkungan Departemen/LPND/ Kesekretaritan lembaga.
Pelaksanaan pengangkatan CPNSP di lingkungan provinsi.
Penempatan Calon Pegawai Negeri Sipil Daerah (CPNSD) provinsi.
Penetapan kebijakan pengangkatan CPNSD di lingkungan kabupaten/kota.
Pelaksanaan pengangkatan CPNSP di lingkungan kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Ɇ 3. Pelaksanaan orientasi tugas dan pra jabatan, sepanjang telah memiliki lembaga diklat yang telah terakreditasi.
Pelaksanaan orientasi tugas dan pra jabatan, sepanjang telah memiliki lembaga diklat yang telah terakreditasi.
Pengangkatan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) 1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria pengangkatan CPNS menjadi PNS.
Penetapan CPNSP menjadi PNSP Departemen/LPND/ Kesekretaritan lembaga.
– 4. Penetapan menjadi PNSP dan PNSD bagi CPNSP dan CPNSD yang tewas atau cacat karena dinas 1. Ɇ 2. Penetapan CPNSD menjadi PNSD di lingkungan provinsi.
Koordinasi pelaksanaan pengangkatan CPNSD menjadi PNSD kabupaten/kota.
Ɇ 1. Ɇ 2. Penetapan CPNSD menjadi PNSD di lingkungan kabupaten/kota.
Ɇ 4. Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) 1. Penetapan norma, standar, prosedur dan kriteria diklat jabatan PNS.
Penetapan sertifikasi lembaga diklat pemerintah.
Koordinasi dan pelaksanaan diklat di lingkungan Departemen/LPND/ Kesekretaritan lembaga dan daerah.
Penetapan kebutuhan diklat PNSD provinsi.
Usulan penetapan sertifikasi lembaga diklat provinsi.
Koordinasi dan pelaksanaan diklat skala provinsi.
Penetapan kebutuhan diklat PNSD kabupaten/kota.
Usulan penetapan sertifikasi lembaga diklat kabupaten/ kota.
Pelaksanaan diklat skala kabupaten/kota.
Kenaikan Pangkat 1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria kenaikan pangkat.
a.Penetapan kenaikan pangkat PNSP dan PNSD menjadi gol/ruang I/b s/d IV/b.
Ɇ 2.a.Penetapan kenaikan pangkat PNSD provinsi menjadi gol/ruang I/b s/d IV/b.
Ɇ 2.a.Penetapan kenaikan pangkat PNSD kabupaten/kota menjadi golongan ruang I/b s/d III/d. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Penetapan kenaikan pangkat PNSP dan PNSD menjadi golongan/ruang IV/c, IV/d, dan IV/e.
Koordinasi pelaksanaan kenaikan pangkat di lingkungan Departemen/LPND/ Kesekretaritan lembaga dan daerah.
Penetapan kenaikan pangkat anumerta dan pengabdian.
Penetapan kenaikan pangkat PNSD kabupaten/kota menjadi gol/ruang IV/a dan IV/b.
Koordinasi pelaksanaan kenaikan pangkat di lingkungan kabupaten/kota.
Usulan penetapan kenaikan pangkat PNSD provinsi/kab/kota menjadi golongan ruang IV/c, IV/d, dan IV/e dan kenaikan pangkat anumerta dan pengabdian.
Ɇ 3. Ɇ 4. Usulan penetapan kenaikan pangkat anumerta dan pengabdian.
Pengangkatan, Pemindahan dan Pemberhentian dalam dan dari Jabatan 1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian dalam dan dari jabatan.
Penetapan pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian PNS provinsi dalam dan dari jabatan struktural eselon II kebawah atau jabatan 1. Penetapan pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian PNS kabupaten/kota dalam dan dari jabatan struktural eselon II atau jabatan SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Penetapan pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian dalam dan dari jabatan struktural eselon I PNSP dan PNSD dan jabatan fungsional jenjang utama.
Konsultasi/koordinasi pengangkatan sekda kabupaten/kota 4. Penetapan pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian dalam dan dari jabatan struktural eselon II ke bawah atau jabatan fungsional jenjang setingkat, PNSP fungsional yang jenjangnya setingkat.
a. Penetapan pengangkatan sekretaris daerah kabupaten/kota.
Usulan pengangkatan dan pemberhentian sekda provinsi 3. Usulan konsultasi pengangkatan dan pemberhentian sekda Kabupaten/kota 4. Koordinasi pengangkatan, pemindahan dalam dan dari jabatan struktural eselon II di lingkungan kabupaten/kota. fungsional yang jenjangnya setingkat, kecuali pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian sekda kabupaten/kota.
usulan pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian sekda kabupaten/kota.
Usulan konsultasi pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian eselon II PNS kabupaten/kota 4. Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA Departemen/LPND/ Kesekretariatan lembaga.
Perpindahan Pegawai Negeri Sipil (PNS) Antar Instansi 1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria perpindahan PNS antar instansi.
Penetapan perpindahan PNS antar kabupaten/kota dan antar provinsi.
Penetapan perpindahan PNS provinsi/kabupaten/kota ke Departemen/LPND atau sebaliknya.
Penetapan perpindahan PNSP antar Departemen ke LPND/kesekretariatan lembaga atau sebaliknya.
Penetapan perpindahan PNSD antar kab/kota dalam satu provinsi.
Penetapan perpindahan PNSD dari kabupaten/kota ke provinsi atau sebaliknya dalam satu provinsi.
Penetapan perpindahan PNSD dilingkungan provinsi 4. Ɇ 1. Penetapan perpindahan PNSD kabupaten/kota.
Ɇ 3. Ɇ 4. Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 9. Pemberhentian Sementara dari Jabatan Negeri 1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria pemberhentian sementara dari jabatan negeri.
Penetapan pemberhentian sementara dari jabatan negeri bagi PNS yang menduduki jabatan struktural eselon I, jabatan fungsional jenjang utama, kecuali sekda provinsi.
Penetapan pemberhentian sementara bagi PNSP di lingkungannya yang menduduki jabatan struktural eselon II ke bawah atau jabatan fungsional setingkat.
Penetapan pemberhentian sementara dari jabatan negeri bagi PNSD provinsi yang menduduki jabatan struktural eselon I kebawah dan jabatan struktural eselon II ke bawah dan jabatan fungsional yang setingkat.
Ɇ 3. Ɇ 1. Penetapan pemberhentian sementara dari jabatan negeri bagi semua PNSD di kabupaten/kota.
Ɇ 3. Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 10.Pemberhentian Sementara Pegawai Negeri Sipil (PNS) Akibat Tindak Pidana 1. Pemberhentian sementara PNS untuk golongan IV/c ke atas. 1. Pemberhentian sementara PNSD untuk golongan IV/c ke bawah.
Pemberhentian sementara PNSD untuk golongan III/d ke bawah.
Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) 1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria pemberhentian PNS atau CPNS.
Penetapan pemberhetian PNS dan PNSD golongan ruang IV/c, IV/d dan IV/e.
Penetapan pemberhentian PNS yang tewas, cacat karena dinas atau mencapai batas usia pensiun gol/ruang IV/c, IV/d dan IV/e.
Penetapan pemberhentian PNSD provinsi gol/ruang IV/b ke bawah dan pemberhentian sebagai calon PNSD provinsi.
Penetapan pemberhentian PNSD kabupaten/kota Gol/ruang IV/a s/d IV/b dan pemberhentian dengan hormat sebagai calon PNSD provinsi yang tidak memenuhi syarat diangkat menjadi PNS.
Ɇ 1. Penetapan pemberhentian PNSD kabupaten/kota gol/ruang III/d ke bawah dan pemberhentian sebagai CPNSD kabupaten/kota.
Ɇ 3. Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Penetapan pemberhentian PNSP gol/ruang IV/b ke bawah. pensiun.
Ɇ 4. Ɇ 12.Pemutakhiran Data Pegawai Negeri Sipil (PNS) 1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria pemutakhiran data PNS.
Penyelenggaraan dan pemiliharaan informasi kepegawaian.
Koordinasi pelaksanaan pemutakhiran data PNS secara nasional.
Pelaksanaan pemutakhiran data PNS di provinsi.
– 3. Koordinasi pelaksanaan pemutakhiran data PNS di kabupaten/kota.
Pelaksanaan pemutakhiran data PNSD di kabupaten/ kota.
Ɇ 3. Ɇ 13.Pengawasan dan Pengendalian 1. Penetapan norma, standar, prosedur dan kriteria pengawasan dan pengendalian kepegawaian.
Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian skala provinsi.
Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian.
Koordinasi pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian.
Melakukan tindakan administratif atas pelanggaran pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian.
Koordinasi dalam pelaksanaan tindakan administratif atas pelanggaran pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian.
Koordinasi pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian di lingkungan kabupaten/ kota.
Ɇ 4. Ɇ 5. Ɇ 2. Ɇ 3. Ɇ 4. Ɇ 5. Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Penetapan sangsi terhadap pelanggaran administrasi kepegawaian di daerah.
Ɇ 6. Ɇ 14.Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Manajemen Pegawai Negeri Sipil (PNS) 1. Penetapan norma, standar, prosedur dan kriteria pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan manajemen PNS.
Penyelenggaraan manajemen PNS meliputi perencaan, pengembangan kualitas sumber daya PNS, administrasi kepegawaian, pengawasan dan pengendalian.
Melakukan perumusan kesejahteraan PNS.
Koordinasi pembinaan dan pengawasan manajemen PNSP dan PNSD skala nasional.
Menyelenggarakan pembinaan dan pengawasan manajemen PNS dilingkungan provinsi.
Koordinasi pembinaan dan pengawasan manajemen PNSD skala provinsi.
Ɇ 4. Ɇ 1. Menyelenggarakan pembinaan dan pengawasan manajemen PNS dilingkungan kabupaten/ kota.
Ɇ 3. Ɇ 4. Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Kebijakan 1. Penetapan kebijakan dan pembinaan SDM persandian nasional.
Penetapan kebijakan dan pembinaan peralatan sandi (palsan) nasional.
Penetapan kebijakan dan pembinaan sistem sandi (sissan) nasional.
Penetapan kebijakan dan pembinaan kelembagaan persandian nasional.
Penyelenggaraan pembinaan SDM persandian skala provinsi.
Penyelenggaraan pembinaan palsan skala provinsi.
Penyelenggaraan pembinaan sissan skala provinsi.
Penyelenggaraan pembinaan kelembagaan persandian skala provinsi.
Penyelenggaraan persandian skala kabupaten/kota.
Penyelenggaraan palsan skala kabupaten/kota.
Penyelenggaraan sissan skala kabupaten/kota.
Penyelenggaraan kelembagaan persandian skala kabupaten/kota.
Persandian 2. Pembinaan SDM 1. Perencanaan kebutuhan SDM persandian nasional.
Rekrutmen SDM persandian nasional.
Perencanaan kebutuhan SDM persandian skala provinsi.
Rekrutmen calon SDM persandian skala provinsi.
Perencanaan kebutuhan SDM persandian skala kabupaten/kota.
Rekrutmen calon SDM persandian skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penyelenggaraan diklat sandi skala nasional.
Pemberian akreditasi lembaga diklat sandi:
Pemberian izin penyelenggaraan lembaga diklat sandi.
Persetujuan program diklat sandi.
Persetujuan SDM lermbaga diklat sandi.
Fasilitasi/persetujuan tenaga pengajar dan widyaiswara sandi.
Pemberian/pencabutan sertifikasi profesi/tenaga ahli:
Penentuan standar jabatan persandian.
Penyelenggaraan diklat sandi skala provinsi.
Usulan akreditasi lembaga diklat sandi:
Usulan izin penyelenggaraan lembaga diklat sandi.
Usulan program diklat sandi.
Usulan SDM lembaga diklat sandi.
Usulan persetujuan tenaga pengajar dan widyaiswara sandi.
Usulan sertifikasi profesi/tenaga ahli:
— 3. — 4. — a. — b. — c. — d. — 5. — a. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Penentuan dan penilaian jabatan fungsional (jabfung) sandiman/ Operator Transmisi Sandi (OTS).
Pemberian tanda penghargaan bidang persandian.
Pembinaan dan pengawasan bagi SDM purna tugas.
Pembentukan Tim Penilai Instansi untuk melakukan penilaian terhadap pejabat fungsional sandiman/OTS skala provinsi.
Usulan pemberian tanda penghargaan bidang persandian.
Pembinaan dan pengawasan bagi SDM purna tugas.
Ɇ 6. Usulan pemberian tanda penghargaan bidang persandian.
— 3. Pembinaan Palsan 1. Penentuan standarisasi dan perencanaan kebutuhan palsan skala nasional.
Pengkajian dan uji coba laboratorium dan lapangan.
Perencanaan kebutuhan palsan skala provinsi.
— 1. Perencanaan kebutuhan palsan skala kabupaten/kota.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penyelenggaraan pengadaan palsan melalui karya mandiri dan mitra skala nasional.
Pemeliharaan palsan tingkat II s/d tingkat III.
Penentuan penghapusan palsan skala nasional.
Penyelenggaraan pengadaan palsan melalui karya mandiri dan mitra skala provinsi.
Pemeliharaan palsan tingkat I.
Penghapusan palsan skala provinsi.
Penyelenggaraan pengadaan palsan melalui karya mandiri dan mitra skala kabupaten/kota.
Pemeliharaan palsan tingkat O.
Penghapusan palsan skala kabupaten/kota.
Pembinaan Sissan 1. Penentuan standarisasi dan perencanaan kebutuhan sissan skala nasional.
Penentuan prototype dan uji coba sissan.
Pengadaan sissan untuk jaring persandian nasional.
Penentuan prosedur tetap (protap) penyimpanan sissan skala nasional.
Perencanaan kebutuhan sissan skala provinsi.
— 3. Pengadaan sissan untuk jaring persandian skala provinsi.
Penyelenggaraan protap penyimpanan sissan skala provinsi.
Perencanaan kebutuhan sissan skala kabupaten/kota.
Ɇ 3.Pengadaan sissan untuk jaring persandian skala kabupaten/kota.
Penyelenggaraan protap penyimpanan sissan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Penentuan pemberlakuan/penggantian Sissan jaring persandian skala nasional.
Penentuan penghapusan palsan tingkat pusat.
Penentuan pemberlakuan/penggantian sissan jaring persandian skala provinsi.
Penyiapan palsan tingkat provinsi dan kabupaten/ kota untuk penghapusan.
Penentuan pemberlakuan/penggantian sissan jaring persandian skala kabupaten/kota.
— 5. Pembinaan Kelembagaan 1. Penetapan kebijakan kelembagaan dan pola hubungan komunikasi persandian antara instansi pemerintah.
Penetapan kebijakan pola hubungan komunikasi persandian pemerintah dengan daerah.
Penetapan kebijakan Jaring Komunikasi Sandi (JKS).
— 2. Penyelenggaraan hubungan komunikasi persandian antara pemerintah provinsi dengan pemerintah dan/atau kabupaten/kota.
— 1. — 2. Penyelenggaraan hubungan komunikasi persandian antara pemerintah provinsi dengan pemerintah dan/atau kabupaten/kota.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Pengawasan dan Pengendalian (Wasdal) 1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur dan kriteria wasdal persandian instansi pemerintah dan daerah.
Pengawasan dan pengendalian operasional persandian nasional dan provinsi.
— 2. Pengawasan operasional persandian bidang tertentu kabupaten/kota di wilayahnya.
— 2. — 7. Pengkajian 1. Pengkajian SDM persandian nasional meliputi palsan, sissan, dan kelembagaan persandian nasional.
— 1. — U. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DAN DESA SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Pemerintahan Desa dan Kelurahan 1. Kebijakan 1. Penetapan kebijakan nasional.
Penetapan pedoman, norma, standar, prosedur dan kriteria penyelenggaraan pemerintahan desa dan kelurahan skala nasional.
Penetapan kebijakan daerah skala provinsi.
Penyelenggaraan pemerintahan desa dan kelurahan skala provinsi.
Penetapan kebijakan daerah skala kabupaten/ kota.
Penyelenggaraan pemerintahan desa dan kelurahan skala kabupaten/kota.
Administrasi Pemerintahan Desa dan Kelurahan 1. Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan administrasi pemerintahan desa dan kelurahan skala nasional.
Pembinaan, pengawasan dan supervisi penyelenggaraan administrasi pemerintahan desa dan kelurahan skala nasional.
Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan administrasi pemerintahan desa dan kelurahan skala provinsi.
Pembinaan, pengawasan dan supervisi penyelenggaraan administrasi pemerintahan desa dan kelurahan skala provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan administrasi pemerintahan desa dan kelurahan skala kabupaten/kota.
Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan administrasi pemerintahan desa dan kelurahan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Monitoring dan evaluasi penyelenggaraan administrasi pemerintahan desa dan kelurahan skala nasional.
Data base penyelenggaraan administrasi pemerintahan desa dan kelurahan skala nasional.
Monitoring dan evaluasi serta pelaporan penyelenggaraan administrasi pemerintahan desa dan kelurahan skala provinsi.
Data base penyelenggaraan administrasi pemerintahan desa dan kelurahan skala provinsi.
Monitoring dan evaluasi serta pelaporan penyelenggaraan administrasi pemerintahan desa dan kelurahan skala kabupaten/kota.
Data base penyelenggaraan administrasi pemerintahan desa dan kelurahan skala kabupaten/kota.
Pengembangan Desa dan Kelurahan 1. Penetapan pedoman pembentukan, pemekaran, penggabungan dan penghapusan serta batas desa dan kelurahan skala nasional.
Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan pembentukan, pemekaran, penggabungan dan penghapusan desa dan kelurahan skala nasional.
Fasilitasi pembentukan, pemekaran, penggabungan dan penghapusan, batas desa dan kelurahan skala provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan pembentukan, pemekaran, penggabungan dan penghapusan desa dan kelurahan skala provinsi.
Penyelenggaraan pembentukan, pemekaran, penggabungan dan penghapusan, batas desa dan kelurahan skala kabupaten/kota.
Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan pembentukan, pemekaran, penggabungan dan penghapusan desa dan kelurahan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Pembinaan, pengawasan dan supervisi penyelenggaraan pembentukan, pemekaran, penggabungan dan penghapusan desa dan kelurahan skala nasional.
Monitoring dan evaluasi penyelenggaraan pembentukan, pemekaran, penggabungan dan penghapusan desa dan kelurahan skala nasional.
Pembinaan, pengawasan dan supervisi penyelenggaraan pembentukan, pemekaran, penggabungan dan penghapusan desa dan kelurahan skala provinsi.
Monitoring dan evaluasi serta penyelenggaraan pembentukan, pemekaran, penggabungan dan penghapusan desa dan kelurahan skala provinsi.
Pembinaan, pengawasan dan supervisi penyelenggaraan pembentukan, pemekaran, penggabungan dan penghapusan desa dan kelurahan skala kabupaten/kota.
Monitoring dan evaluasi serta pelaporan penyelenggaraan pembentukan, pemekaran, penggabungan dan penghapusan desa dan kelurahan skala kabupaten/kota.
Badan Permusyawaratan Desa (BPD) 1.a.Penetapan pedoman peran BPD dan kelurahan dalam penyelenggaraan pemerintahan desa.
a.Penetapan pedoman peran BPD dan kelurahan dalam penyelenggaraan pemerintahan desa skala provinsi.
a.Penetapan pedoman peran BPD dan kelurahan dalam penyelenggaraan pemerintahan desa skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b.— 2. Pembinaan, pengawasan, supervisi dan fasilitasi BPD skala nasional.
Monitoring dan evaluasi peran BPD skala nasional.
— 2. Pembinaan, pengawasan, supervisi dan fasilitasi BPD skala provinsi.
Monitoring dan evaluasi serta pelaporan peran BPD skala provinsi.
Penyelenggaraan bimbingan, konsultasi, pelatihan dan pendidikan bagi anggota BPD.
Pembinaan, pengawasan, supervisi dan fasilitasi BPD skala kabupaten/ kota.
Monitoring dan evaluasi serta pelaporan peran BPD skala kabupaten/kota.
Keuangan dan Aset Desa 1. Penetapan pedoman pengelolaan keuangan dan aset desa.
Koordinasi dan fasilitasi pengelolaan keuangan dan aset desa skala nasional.
Penetapan pedoman pengelolaan keuangan dan aset desa skala provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi pengelolaan keuangan dan aset desa skala provinsi.
Penetapan pedoman pengelolaan keuangan dan aset desa skala kabupaten/kota.
Koordinasi dan fasilitasi pengelolaan keuangan dan aset desa skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Pembinaan, pengawasan dan supervisi pengelolaan keuangan dan aset desa skala nasional.
Monitoring dan evaluasi pengelolaan keuangan dan aset desa skala nasional.
Pembinaan, pengawasan dan supervisi pengelolaan keuangan dan aset desa skala provinsi.
Monitoring dan evaluasi serta pelaporan pengelolaan keuangan dan aset desa skala provinsi.
Pembinaan, pengawasan dan supervisi pengelolaan keuangan dan aset desa skala kabupaten/kota.
Monitoring dan evaluasi serta pelaporan pengelolaan keuangan dan aset desa skala kabupaten/kota.
Pengembangan Kapasitas Pemerintah Desa dan Kelurahan 1.a.Penetapan pedoman pengembangan kapasitas pemerintah desa dan kelurahan skala nasional.
— 1.a.Penetapan pedoman pengembangan kapasitas pemerintah desa dan kelurahan skala provinsi.
— 1.a.Penetapan pedoman pengembangan kapasitas pemerintah desa dan kelurahan skala kabupaten/kota.
Penyelenggaraan bimbingan, konsultasi, pelatihan dan pendidikan bagi pemerintah desa dan kelurahan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Koordinasi dan fasilitasi pengembangan kapasitas pemerintah desa dan kelurahan skala nasional.
Monitoring dan evaluasi pengembangan kapasitas pemerintah desa dan kelurahan skala nasional.
Koordinasi dan fasilitasi pengembangan kapasitas pemerintahan desa dan kelurahan skala provinsi.
Monitoring dan evaluasi serta pelaporan pengembangan kapasitas pemerintah desa dan kelurahan skala provinsi.
Pembinaan, pengawasan, supervisi dan fasilitasi pengembangan kapasitas pemerintah desa dan kelurahan skala kabupaten/kota.
Monitoring dan evaluasi serta pelaporan pengembangan kapasitas pemerintah desa dan kelurahan skala kabupaten/kota.
Penguatan Kelembagaan dan Pengembangan Partisipasi Masyarakat 1. Kebijakan 1. Penetapan kebijakan skala nasional.
Penetapan pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang penguatan kelembagaan dan pengembangan partisipasi masyarakat skala nasional.
Penetapan kebijakan daerah skala provinsi.
Penetapan pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang penguatan kelembagaan dan pengembangan partisipasi masyarakat skala provinsi.
Penetapan kebijakan daerah skala kabupaten/ kota.
Penetapan pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang penguatan kelembagaan dan pengembangan partisipasi masyarakat skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pemantapan Data Profil Desa dan Profil Kelurahan 1. Koordinasi dan fasilitasi pemantapan data profil desa dan profil kelurahan skala nasional.
Pembinaan dan supervisi pemantapan data profil desa dan profil kelurahan skala nasional.
Monitoring dan evaluasi penyelenggaraan pemantapan data profil desa dan profil kelurahan skala nasional.
Koordinasi dan fasilitasi pengolahan data profil desa dan profil kelurahan skala provinsi.
Pembinaan dan supervisi pengolahan data profil desa dan profil kelurahan skala provinsi.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan pengolahan data profil desa dan profil kelurahan skala provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi pengolahan data profil desa dan profil kelurahan skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan pegolahan data profil desa dan profil kelurahan skala kabupaten/kota.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan pengolahan data profil desa dan profil kelurahan skala kabupaten/kota.
Penguatan Kelembagaan Masyarakat 1. Koordinasi dan fasilitasi penguatan kelembagaan masyarakat skala nasional.
Pembinaan dan supervisi penguatan kelembagaan masyarakat skala nasional.
Koordinasi dan fasilitasi penguatan kelembagaan masyarakat skala provinsi.
Pembinaan dan supervisi penguatan kelembagaan masyarakat skala provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi penguatan kelembagaan masyarakat skala kabupaten/kota.
Penyelenggaraan penguatan kelembagaan masyarakat skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Monitoring dan evaluasi penguatan kelembagaan masyarakat skala nasional.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan penguatan kelembagaan masyarakat skala provinsi.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan penguatan kelembagaan masyarakat skala kabupaten/kota.
Pelatihan Masyarakat 1. Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan pelatihan masyarakat skala nasional.
Pembinaan dan supervisi penyelenggaraan pelatihan masyarakat skala nasional.
Monitoring dan evaluasi penyelenggaraan pelatihan masyarakat skala nasional.
Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan pelatihan masyarakat skala provinsi.
Pembinaan dan supervisi penyelenggaraan pelatihan masyarakat skala provinsi.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pelatihan masyarakat skala nasional.
Koordinasi dan fasilitasi pelaksanaan pelatihan masyarakat skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan pelatihan masyarakat skala kabupaten/kota.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan pelatihan masyarakat skala kabupaten/kota.
Pengembangan Manajemen Pembangunan Partisipatif 1. Koordinasi dan fasilitasi pengembangan manajemen pembangunan partisipatif masyarakat skala nasional.
Koordinasi dan fasilitasi pengembangan manajemen pembangunan partisipatif masyarakat skala provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi pengembangan manajemen pembangunan partisipatif masyarakat skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pembinaan dan supervisi pemantapan manajemen pembangunan partisipatif masyarakat skala nasional.
Monitoring dan evaluasi pemantapan manajemen pembangunan partisipatif masyarakat skala nasional.
Pembinaan dan supervisi pemantapan manajemen pembangunan partisipatif masyarakat skala provinsi.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan pemantapan manajemen pembangunan partisipatif masyarakat skala provinsi.
Pelaksanaan pengembangan manajemen pembangunan partisipatif masyarakat skala kabupaten/kota.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan pemantapan manajemen pembangunan partisipatif masyarakat skala kabupaten/kota.
Peningkatan Peran Masyarakat dalam Penataan dan Pendayagunaan Ruang Kawasan Perdesaan 1. Koordinasi dan fasilitasi peningkatan peran masyarakat dalam penataan dan pendayagunaan ruang kawasan perdesaan skala nasional.
Pembinaan dan supervisi peningkatan peran masyarakat dalam penataan dan pendayagunaan ruang kawasan perdesaan skala nasional.
Koordinasi dan fasilitasi peningkatan peran masyarakat dalam penataan dan pendayagunaan ruang kawasan perdesaan skala provinsi.
Pembinaan dan supervisi peningkatan peran masyarakat dalam penataan dan pendayagunaan ruang kawasan perdesaan skala provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi peningkatan peran masyarakat dalam penataan dan pendayagunaan ruang kawasan perdesaan skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan peningkatan peran masyarakat dalam penataan dan pendayagunaan ruang kawasan perdesaan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Monitoring dan evaluasi peningkatan peran masyarakat dalam penataan dan pendayagunaan ruang kawasan perdesaan skala nasional.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan peningkatan peran masyarakat dalam penataan dan pendayagunaan ruang kawasan perdesaan skala provinsi.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan peningkatan peran masyarakat dalam penataan dan pendayagunaan ruang kawasan perdesaan skala kabupaten/kota.
Pemberdayaan Adat dan Pengembangan Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat 1. Kebijakan 1. Penetapan kebijakan nasional.
Penetapan pedoman, norma, standar, kriteria dan prosedur di bidang pemberdayaan adat dan pengembangan kehidupan sosial budaya masyarakat skala nasional.
Penetapan kebijakan daerah skala provinsi.
Penetapan pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang pemberdayaan adat dan pengembangan kehidupan sosial budaya masyarakat skala provinsi.
Penetapan kebijakan daerah skala kabupaten/ kota.
Penetapan pedoman, norma, standar, kriteria dan prosedur di bidang pemberdayaan adat dan pengembangan kehidupan sosial budaya masyarakat skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pemberdayaan Adat Istiadat dan Budaya Nusantara 1. Koordinasi dan fasilitasi pemberdayaan adat istiadat dan budaya nusantara skala nasional.
Pembinaan dan supervisi pemberdayaan adat istiadat dan budaya nusantara skala nasional.
Monitoring dan evaluasi pemberdayaan adat istiadat dan budaya nusantara skala nasional.
Koordinasi dan fasilitasi pemberdayaan lembaga adat dan budaya skala provinsi.
Pembinaan dan supervisi pemberdayaan lembaga adat dan budaya skala provinsi.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan pemberdayaan lembaga adat dan budaya skala provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi pemberdayaan lembaga adat dan budaya skala kabupaten/kota.
Pembinaan dan supervisi pemberdayaan lembaga adat dan budaya skala kabupaten/kota.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan pemberdayaan lembaga adat dan budaya skala kabupaten/kota.
Pemberdayaan Perempuan 1. Koordinasi dan fasilitasi pemberdayaan perempuan skala nasional.
Pembinaan dan supervisi pemberdayaan perempuan skala nasional.
Koordinasi dan fasilitasi pelaksanaan pemberdayaan perempuan skala provinsi.
Pembinaan dan supervisi pelaksanaan pemberdayaan perempuan skala provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi pelaksanaan pemberdayaan perempuan skala kabupaten/kota.
Pembinaan dan supervisi pelaksanaan pemberdayaan perempuan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Monitoring dan evaluasi pemberdayaan perempuan skala nasional.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan pemberdayaan perempuan skala provinsi.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan pemberdayaan perempuan skala kabupaten/kota.
Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK) 1. Koordinasi dan fasilitasi PKK skala nasional.
Pembinaan dan supervisi PKK skala nasional.
Monitoring dan evaluasi PKK skala nasional.
Koordinasi dan fasilitasi pelaksanaan PKK skala provinsi.
Pembinaan dan supervisi pelaksanaan PKK skala provinsi.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan PKK skala provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi pelaksanaan gerakan PKK skala kabupaten/kota.
Pembinaan dan supervisi pelaksanaan gerakan PKK skala kabupaten/kota.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan gerakan PKK skala kabupaten/kota.
Peningkatan Kesejahteraan Sosial 1. Koordinasi dan fasilitasi peningkatan kesejahteraan sosial skala nasional.
Pembinaan dan supervisi peningkatan kesejahteraan sosial skala nasional.
Koordinasi dan fasilitasi peningkatan kesejahteraan sosial skala provinsi.
Pembinaan dan supervisi peningkatan kesejahteraan sosial skala provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi pelaksanaan peningkatan kesejahteraan sosial skala kabupaten/kota.
Pembinaan dan supervisi pelaksanaan peningkatan kesejahteraan sosial skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Monitoring dan evaluasi peningkatan kesejahteraan sosial skala nasional.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan peningkatan kesejahteraan sosial skala provinsi.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan peningkatan kesejahteraan sosial skala kabupaten/ kota.
Pengembangan dan Perlindungan Tenaga Kerja 1. Koordinasi dan fasilitasi pengembangan dan perlindungan tenaga kerja skala nasional.
Pembinaan dan supervisi pengembangan dan perlindungan tenaga kerja skala nasional.
Monitoring dan evaluasi pengembangan dan perlindungan tenaga kerja skala nasional.
Koordinasi dan fasilitasi pengembangan dan perlindungan tenaga kerja skala provinsi.
Pembinaan dan supervisi pengembangan dan perlindungan tenaga kerja skala provinsi.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan pengembangan dan perlindungan tenaga kerja skala provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi pelaksanaan perlindungan tenaga kerja skala kabupaten/kota.
Pembinaan dan supervisi pelaksanaan perlindungan tenaga kerja skala kabupaten/kota.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan perlindungan tenaga kerja skala kabupaten/kota.
Pemberdayaan Usaha Ekonomi Masyarakat 1. Kebijakan 1. Penetapan kebijakan nasional. 1. Penetapan kebijakan daerah skala provinsi. 1. Penetapan kebijakan daerah skala kabupaten/ kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Penetapan pedoman, norma, stándar, prosedur dan kriteria pemberdayaan usaha ekonomi masyarakat skala nasional.
Penyelenggaraan pemberdayaan usaha ekonomi masyarakat skala provinsi.
Penyelenggaraan pemberdayaan usaha ekonomi masyarakat skala kabupaten/kota.
Pemberdayaan Ekonomi Penduduk Miskin 1. Koordinasi dan fasilitasi pemberdayaan ekonomi penduduk miskin skala nasional.
Pembinaan dan supervisi pemberdayaan ekonomi penduduk miskin skala nasional.
Monitoring dan evaluasi pemberdayaan ekonomi penduduk miskin skala nasional.
Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan pemberdayaan ekonomi penduduk miskin skala provinsi.
Pembinaan dan supervisi penyelenggaraan pemberdayaan ekonomi penduduk miskin skala provinsi.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pemberdayaan ekonomi penduduk miskin skala provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan pemberdayaan ekonomi penduduk miskin skala kabupaten/kota.
Penyelenggaraan pemberdayaan ekonomi penduduk miskin skala kabupaten/kota.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pemberdayaan ekonomi penduduk miskin skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Pengembangan Usaha Ekonomi Keluarga dan Kelompok Masyarakat 1. Koordinasi dan fasilitasi pengembangan usaha ekonomi keluarga dan kelompok masyarakat skala nasional.
Pembinaan dan supervisi pengembangan usaha ekonomi keluarga dan kelompok masyarakat skala nasional.
Monitoring dan evaluasi pengembangan usaha ekonomi keluarga dan kelompok masyarakat skala nasional.
Koordinasi dan fasilitasi pengembangan usaha ekonomi keluarga dan kelompok masyarakat skala provinsi.
Pembinaan dan supervisi pengembangan usaha ekonomi keluarga dan kelompok masyarakat skala provinsi.
Monitoring evaluasi dan pelaporan pengembangan usaha ekonomi keluarga dan kelompok masyarakat skala provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan pengembangan usaha ekonomi keluarga dan kelompok masyarakat skala kabupaten/kota.
Penyelenggaraan pengembangan usaha ekonomi keluarga dan kelompok masyarakat skala kabupaten/kota.
Monitoring evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pengembangan usaha ekonomi keluarga dan kelompok masyarakat skala kabupaten/ kota.
Pengembangan Lembaga Keuangan Mikro Perdesaan 1. Koordinasi dan fasilitasi pengembangan lembaga keuangan mikro perdesaan skala nasional.
Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan pengembangan lembaga keuangan mikro perdesaan skala provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan pengembangan lembaga keuangan mikro perdesaan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pembinaan dan supervisi pengembangan lembaga keuangan mikro perdesaan skala nasional.
Monitoring dan evaluasi pengembangan lembaga keuangan mikro perdesaan skala nasional.
Pembinaan dan supervisi penyelenggaraan pengembangan lembaga keuangan mikro perdesaan skala provinsi.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pengembangan lembaga keuangan mikro perdesaan skala provinsi.
Penyelenggaraan pengembangan lembaga keuangan mikro perdesaan skala kabupaten/kota.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pengembangan lembaga keuangan mikro perdesaan skala kabupaten/kota.
Pengembangan Produksi dan Pemasaran Hasil Usaha Masyarakat 1. Koordinasi dan fasilitasi pengembangan produksi dan pemasaran hasil usaha masyarakat skala nasional.
Pembinaan dan supervisi pengembangan produksi dan pemasaran hasil usaha masyarakat skala nasional.
Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan pengembangan produksi dan pemasaran hasil usaha masyarakat skala provinsi.
Pembinaan dan supervisi penyelenggaraan pengembangan produksi dan pemasaran hasil usaha masyarakat skala provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan pengembangan produksi dan pemasaran hasil usaha masyarakat skala kabupaten/kota.
Penyelenggaraan pengembangan produksi dan pemasaran hasil usaha masyarakat skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Monitoring dan evaluasi pengembangan produksi dan pemasaran hasil usaha masyarakat skala nasional.
Monitoring evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pengembangan produksi dan pemasaran hasil usaha masyarakat skala provinsi.
Monitoring evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pengembangan produksi dan pemasaran hasil usaha masyarakat skala kabupaten/kota.
Pengembangan Pertanian Pangan dan Peningkatan Ketahanan Pangan Masyarakat 1. Koordinasi dan fasilitasi pengembangan pertanian pangan dan peningkatan ketahanan pangan masyarakat skala nasional.
Pembinaan dan supervisi pengembangan pertanian pangan dan peningkatan ketahanan pangan masyarakat skala nasional.
Koordinasi dan fasilitasi pengembangan pertanian pangan dan peningkatan ketahanan pangan masyarakat skala provinsi.
Pembinaan dan supervisi pengembangan pertanian pangan dan peningkatan ketahanan pangan masyarakat skala provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi penyelenggaraan pengembangan pertanian pangan dan peningkatan ketahanan pangan masyarakat skala kabupaten/kota.
Penyelenggaraan pengembangan pertanian pangan dan peningkatan ketahanan pangan masyarakat skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Monitoring dan evaluasi pengembangan pertanian pangan dan peningkatan ketahanan pangan masyarakat skala nasional.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan pengembangan pertanian pangan dan peningkatan ketahanan pangan masyarakat skala provinsi.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan pengembangan pertanian pangan dan peningkatan ketahanan pangan masyarakat skala kabupaten/kota.
Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Teknologi Tepat Guna 1. Kebijakan 1. Penetapan kebijakan nasional.
Penetapan pedoman, norma, standar, prosedur dan kriteria penyelenggaraan pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam dan teknologi tepat guna skala nasional.
Penetapan kebijakan daerah skala provinsi.
Penyelenggaraan pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam dan teknologi tepat guna skala provinsi.
Penetapan kebijakan daerah skala kabupaten/ kota.
Penyelenggaraan pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam dan teknologi tepat guna skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Fasilitasi Konservasi dan Rehabilitasi Lingkungan 1. Koordinasi dan fasilitasi konservasi dan rehabilitasi lingkungan skala nasional.
Pembinaan, pengawasan dan supervisi konservasi dan rehabilitasi lingkungan skala nasional.
Monitoring dan evaluasi penyelengaraan konservasi dan rehabilitasi lingkungan skala nasional.
Koordinasi dan fasilitasi konservasi dan rehabilitasi lingkungan skala provinsi.
Pembinaan, pengawasan dan supervisi konservasi dan rehabilitasi lingkungan skala provinsi.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan penyelengaraan konservasi dan rehabilitasi lingkungan skala provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi pelaksanaan konservasi dan rehabilitasi lingkungan skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan fasilitasi konservasi dan rehabilitasi lingkungan skala kabupaten/kota.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan fasilitasi konservasi dan rehabilitasi lingkungan lingkup skala kabupaten/ kota.
Fasilitasi Pemanfataan Lahan dan Pesisir Pedesaan 1. Koordinasi dan fasilitasi terhadap fasilitasi pemanfataan lahan dan pesisir pedesaan skala nasional.
Koordinasi dan fasilitasi pemanfataan lahan dan pesisir pedesaan skala provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi pelaksanaan pemanfaatan lahan dan pesisir pedesaan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pembinaan, pengawasan dan supervisi peraturan kebijakan nasional dalam fasilitasi pemanfataan lahan dan pesisir pedesaan skala nasional.
Monitoring dan evaluasi penyelengaraan fasilitasi pemanfataan lahan dan pesisir pedesaan skala nasional.
Pembinaan, pengawasan dan supervisi pelaksanaan pemanfaatan lahan dan pesisir pedesaan skala provinsi.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan penyelengaraan pemanfaatan lahan dan peisisr di pedesaan skala provinsi.
Pelaksanaan pemanfaatan lahan dan pesisir perdesaan skala kabupaten/kota.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan penyelengaraan pemanfaatan lahan dan pesisir pedesaan skala kabupaten/kota.
Fasilitasi Prasarana dan Sarana Pedesaan 1. Koordinasi dan fasilitasi prasarana dan sarana pedesaan serta pemeliharaan air bersih dan penyehatan lingkungan skala nasional.
Koordinasi dan fasilitasi pemeliharaan prasarana dan sarana pedesaan serta pemeliharaan air bersih dan penyehatan lingkungan skala provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi pemeliharaan prasarana dan sarana pedesaan serta pemeliharaan air bersih dan penyehatan lingkungan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pembinaan, pengawasan dan supervisi fasilitasi pemeliharaan prasarana dan sarana pedesaan serta pemeliharaan air bersih dan penyehatan lingkungan skala nasional.
Monitoring dan evaluasi fasilitasi pemeliharaan prasarana dan sarana pedesaan serta pemeliharaan air bersih dan penyehatan lingkungan skala nasional.
Pembinaan, pengawasan dan supervisi pemeliharaan prasarana dan sarana pedesaan serta pemeliharaan air bersih dan penyehatan lingkungan skala provinsi.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan penyelengaraan pemeliharaan prasarana dan sarana pedesaan serta pemeliharaan air bersih dan penyehatan lingkungan skala provinsi.
Pembinaan, pengawasan dan supervisi pemeliharaan prasarana dan sarana pedesaan serta pemeliharaan air bersih dan penyehatan lingkungan skala kabupaten/kota.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan penyelengaraan fasilitasi pemeliharaan prasarana dan sarana pedesaan serta pemeliharaan air bersih dan penyehatan lingkungan skala kabupaten/kota.
Fasilitasi Pemetaan Kebutuhan dan Pengkajian Teknologi Tepat Guna 1. Koordinasi dan fasilitasi pemetaan kebutuhan teknologi tepat guna dan pengkajian teknologi tepat guna skala nasional.
Koordinasi dan fasilitasi pemetaan kebutuhan teknologi tepat guna dan pengkajian teknologi tepat guna skala provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi kebutuhan teknologi teknologi tepat guna skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pembinaan, pengawasan dan supervisi kebutuhan teknologi tepat guna skala nasional.
Monitoring dan evaluasi kebutuhan teknologi tepat guna skala nasional.
Pembinaan dan supervisi kebutuhan teknologi tepat guna skala provinsi.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan kebutuhan teknologi tepat guna skala provinsi.
Pembinaan dan supervisi pemanfaatan teknologi tepat guna skala kabupaten/kota.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan pemanfaatan teknologi tepat guna skala kabupaten/kota.
Pemasyarakatan dan Kerjasama Teknologi Pedesaan 1. Koordinasi dan fasilitasi pemasyarakatan dan kerjasama teknologi pedesaan skala nasional.
Pembinaan, pengawasan dan supervisi pemasyarakatan dan kerjasama teknologi pedesaan skala nasional.
Monitoring dan evaluasi pemasyarakatan dan kerjasama teknologi pedesaan skala nasional.
Koordinasi dan fasilitasi pemasyarakatan dan kerjasama teknologi pedesaan skala provinsi.
Pembinaan, pengawasan dan supervisi pemasyarakatan dan kerjasama teknologi pedesaan skala provinsi.
Monitoring evaluasi dan pelaporan pemasyarakatan dan kerjasama teknologi pedesaan skala provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi pemasyarakatan dan kerjasama teknologi pedesaan skala kabupaten/kota.
Penyelenggaraan pemasyarakatan dan kerjasama teknologi pedesaan skala kabupaten/kota.
Monitoring evaluasi dan pelaporan pemasyarakatan dan kerjasama teknologi pedesaan skala kabupaten/kota. V. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG STATISTIK SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAH DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Statistik Umum 1. Kebijakan 2. Pengawasan, Monitoring dan Evaluasi 3. Fasilitasi dan pembinaan 1. Penetapan pedoman sistem dan prosedur, norma, konsep, definisi, standarisasi, dan ukuran– ukuran.
Pelaksanaan pengawasan, monitoring dan evaluasi penyelenggaraan statistik daerah.
Pelaksanaan fasilitasi dan pembinaan penyelenggaraan statistik daerah.
Penyelenggaraan kerjasama antar lembaga untuk mengembangkan statistik skala provinsi.
Pelaksanaan pengawasan, monitoring dan evaluasi penyelenggaraan statistik skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan fasilitasi dan pembinaan penyelenggaraan statistik skala kabupaten/kota.
Penyelenggaraan kerjasama antar lembaga untuk mengembangkan statistik skala kabupaten/kota.
Ɇ 1. Ɇ 2. Statistik Dasar 1. Statistik dasar meliputi:
Sensus 1. Penyelenggaraan statistik dasar meliputi:
Sensus penduduk (akhiran angka nol).
Pemberian dukungan penyelenggaraan statistik dasar skala provinsi:
Ɇ 1. Pemberian dukungan penyelenggaraan statistik dasar skala kabupaten/kota:
Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAH DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Survei Antar Sensus b. Sensus pertanian (akhiran angka tiga).
Sensus ekonomi (akhiran angka enam).
Penyelenggaraan survei antar sensus:
Survei penduduk antar sensus (akhiran angka lima).
Survei pertanian antar sensus (akhiran angka delapan).
Survei ekonomi antar sensus (akhiran angka satu).
Ɇ c. Ɇ 1. Pemberian dukungan penyelenggaraan survei antar sensus skala provinsi:
Ɇ b. Ɇ c. Ɇ b. Ɇ c. Ɇ 1. Pemberian dukungan penyelenggaraan survei antar sensus skala kabupaten/ kota:
Ɇ b. Ɇ c. Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAH DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c. Survei Berskala Nasional d. Survei Sosial dan Ekonomi 2. Statistik Lintas Sektor Berskala Nasional 1. Penyelenggaraan survei berskala nasional:
Survei-survei bidang ekonomi.
Survei-survei bidang kesejahteraan rakyat.
Penyelenggaraan survei sosial dan ekonomi:
Survei-survei sosial dan ekonomi lain untuk memperoleh indikator- indikator sosial dan ekonomi.
Penyelenggaraan statistik lintas sektor berskala nasional.
Pemberian dukungan survei berskala nasional di tingkat provinsi di bidang ekonomi dan kesejahteraan rakyat:
Ɇ b. Ɇ 1. Pemberian dukungan survei sosial dan ekonomi:
— 1. — 1. Pemberian dukungan survei berskala nasional di tingkat kabupaten/kota di bidang ekonomi dan kesejahteraan rakyat:
Ɇ b. Ɇ 1. Pemberian dukungan survei sosial dan ekonomi:
— 1. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAH DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Statistik Sektoral 1. Koordinasi Statistik Antar Sektoral 1. Koordinasi statistik antar sektoral.
Pelaksanaan fasilitasi dan pembinaan penyelenggaraan statistik sektoral, provinsi dan kabupaten/kota.
Penyelenggaraan statistik sektoral skala provinsi.
— 1. Penyelenggaraan statistik sektoral skala kabupaten/ kota.
— 4. Statistik Khusus 1. Pengembangan Jejaring Statistik Khusus 1. Pengembangan jejaring statistik khusus. 1. Pengembangan jejaring statistik khusus skala provinsi. 1. Pengembangan jejaring statistik khusus skala kabupaten/kota. W. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KEARSIPAN SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Kearsipan 1. Kebijakan 1. Penetapan norma, standar dan pedoman yang berisi kebijakan kearsipan secara nasional, meliputi :
Penetapan norma, standar dan pedoman penyelenggaraan kearsipan di lingkungan provinsi berdasarkan kebijakan kearsipan nasional meliputi :
Penetapan norma, standar dan pedoman penyelenggaraan kearsipan di lingkungan kabupaten/kota berdasarkan kebijakan kearsipan nasional, meliputi :
Penetapan norma, standar dan pedoman yang berisi kebijakan penyelenggaraan kearsipan dinamis secara nasional.
Penetapan peraturan dan kebijakan penyelenggaraan arsip dinamis di lingkungan provinsi sesuai dengan kebijakan nasional.
Penetapan peraturan dan kebijakan penyelenggaraan kearsipan dinamis di lingkungan kabupaten/kota sesuai dengan kebijakan nasional.
Penetapan norma, standar dan pedoman yang berisi kebijakan penyelenggaraan kearsipan secara statis.
Penetapan peraturan dan kebijakan penyelenggaraan kearsipan statis di lingkungan provinsi sesuai dengan kebijakan nasional.
Penetapan peraturan dan kebijakan penyelenggaraan kearsipan statis di lingkungan kabupaten/kota sesuai dengan kebijakan nasional. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c. Penetapan kebijakan dan pengembangan sistem kearsipan secara nasional.
Penetapan peraturan dan kebijakan penyelenggaraan sistem kearsipan di lingkungan provinsi sesuai dengan kebijakan nasional.
Penetapan peraturan dan kebijakan penyelenggaraan sistem kearsipan di lingkungan kabupaten/kota sesuai dengan kebijakan nasional.
Penetapan kebijakan dan pengembangan jaringan kearsipan secara nasional.
Penetapan peraturan dan kebijakan penyelenggaraan jaringan kearsipan di lingkungan provinsi sesuai dengan kebijakan nasional.
Penetapan peraturan dan kebijakan penyelenggaraan jaringan kearsipan di lingkungan kabupaten/kota sesuai dengan kebijakan nasional.
Penetapan kebijakan dan pengembangan sumber daya manusia kearsipan secara nasional.
Penetapan peraturan dan kebijakan pengembangan sumber daya manusia kearsipan di lingkungan provinsi sesuai dengan kebijakan nasional.
Penetapan peraturan dan kebijakan pengembangan sumber daya manusia kearsipan di lingkungan kabupaten/ kota sesuai dengan kebijakan nasional.
Penetapan kebijakan pembentukan dan pengembangan organisasi kearsipan secara nasional.
Penetapan peraturan dan kebijakan pengembangan organisasi kearsipan di lingkungan provinsi sesuai dengan kebijakan nasional.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA g. Penetapan kebijakan di bidang sarana dan prasarana kearsipan secara nasional.
Penetapan peraturan dan kebijakan penggunaan sarana dan prasarana kearsipan di lingkungan provinsi sesuai dengan kebijakan nasional.
Penetapan peraturan dan kebijakan penggunaan sarana dan prasarana kearsipan di lingkungan kabupaten/ kota sesuai dengan kebijakan nasional.
Pembinaan 1. Pembinaan kearsipan terhadap lembaga negara dan badan pemerintahan tingkat pusat, lembaga vertikal, provinsi dan kabupaten/ kota.
Pembinaan kearsipan terhadap perangkat daerah provinsi, badan usaha milik daerah provinsi dan kabupaten/kota.
Pembinaan kearsipan terhadap perangkat daerah kabupaten/kota, badan usaha milik daerah kabupaten/kota, kecamatan dan desa/kelurahan.
Penyelamatan, Pelestarian dan Pengamanan 1. Pemberian persetujuan jadwal retensi arsip. 1. Pemberian persetujuan jadwal retensi arsip kabupaten/kota terhadap arsip yang telah memiliki pedoman retensi.
— 2. Pemberian persetujuan pemusnahan arsip. 2. Pemberian persetujuan pemusnahan arsip kabupaten/kota terhadap arsip yang telah memiliki pedoman retensi.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Pengelolaan arsip statis lembaga negara dan badan pemerintahan tingkat pusat, badan usaha milik negara, perusahaan swasta dan perorangan berskala nasional.
Pengelolaan arsip statis perangkat daerah provinsi, lintas daerah kabupaten/kota, badan usaha milik daerah provinsi serta swasta dan perorangan berskala provinsi.
Pengelolaan arsip statis perangkat daerah kabupaten/kota, badan usaha milik daerah kabupaten/kota, perusahaan swasta dan perorangan berskala kabupaten/kota.
Akreditasi dan Sertifikasi 1. Pemberian akreditasi dan sertifikasi kearsipan. 1. — 1. ³ 5. Pengawasan/Supervisi 1. Pengawasan/supervisi terhadap penyelenggaraan kearsipan lembaga negara dan badan pemerintahan tingkat pusat, lembaga vertikal serta provinsi.
Pengawasan/supervisi terhadap penyelenggaraan kearsipan perangkat daerah provinsi dan lembaga kearsipan kabupaten/kota.
Pengawasan/supervisi terhadap penyelenggaraan kearsipan perangkat daerah kabupaten/kota, kecamatan dan desa/kelurahan.
Pengawasan/supervisi terhadap penyelenggaraan pembinaan kearsipan oleh lembaga kearsipan provinsi.
Pengawasan/supervisi terhadap penyelenggaraan pembinaan oleh lembaga kearsipan kabupaten/kota.
— X. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG PERPUSTAKAAN SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Perpustakaan 1. Kebijakan 1. Penetapan norma, standar dan pedoman yang berisi kebijakan perpustakaan secara nasional, meliputi :
Penetapan norma, standar dan pedoman yang berisi kebijakan penyelenggaraan perpustakaan.
Penetapan norma, standar dan pedoman yang berisi kebijakan dan pengembangan sistem perpustakaan secara nasional.
Penetapan norma, standar dan pedoman yang berisi kebijakan provinsi berpedoman kebijakan nasional, meliputi :
Penetapan peraturan dan kebijakan penyelenggaraan perpustakaan di skala provinsi berdasarkan kebijakan nasional.
Ɇ 1. Penetapan norma, standar dan pedoman yang berisi kebijakan kabupaten/kota berpedoman kebijakan provinsi dan nasional, meliputi :
Penetapan peraturan dan kebijakan penyelenggaraan perpustakaan di skala kabupaten/kota berdasarkan kebijakan nasional.
Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c. Penetapan kebijakan dan pengembangan jaringan perpustakaan secara nasional.
Penetapan kebijakan dan pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) perpustakaan secara nasional.
Penetapan kebijakan pembentukan dan pengembangan organisasi perpustakaan secara nasional.
Penetapan kebijakan di bidang sarana dan prasarana perpustakaan secara nasional.
Penetapan peraturan dan kebijakan penyelenggaraan jaringan perpustakaan skala provinsi sesuai kebijakan nasional.
Penetapan peraturan dan kebijakan pengembangan SDM perpustakaan skala provinsi sesuai kebijakan nasional.
Penetapan peraturan dan kebijakan pengembangan organisasi perpustakaan skala provinsi sesuai kebijakan nasional.
Penetapan paraturan dan kebijakan di bidang sarana dan prasarana perpustakaan skala provinsi sesuai kebijakan nasional.
Penetapan peraturan dan kebijakan penyelenggaraan jaringan perpustakaan skala kabupaten/kota sesuai kebijakan nasional.
Penetapan peraturan dan kebijakan pengembangan SDM perpustakaan skala kabupaten/kota sesuai kebijakan nasional.
Penetapan peraturan dan kebijakan pengembangan organisasi perpustakaan skala kabupaten/kota sesuai kebijakan nasional.
Penetapan dan peraturan kebijakan di bidang sarana dan prasarana perpustakaan skala kabupaten/kota sesuai kebijakan nasional. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pembinaan Teknis Perpustakaan 1. Pembinaan teknis semua jenis perpustakaan :
Pengelolaan perpustakaan sesuai standar.
Pengembangan SDM.
Pengembangan sarana dan prasarana sesuai standar.
Kerjasama dan jaringan perpustakaan.
Pengembangan minat baca.
Pembinaan teknis semua jenis perpustakaan di wilayah provinsi :
Pengelolaan perpustakaan sesuai standar.
Pengembangan SDM.
Pengembangan sarana dan prasarana sesuai standar.
Kerjasama dan jaringan perpustakaan.
Pengembangan minat baca.
Pembinaan teknis semua jenis perpustakaan di wilayah kabupaten/kota :
Pengelolaan perpustakaan sesuai standar.
Pengembangan SDM.
Pengembangan sarana dan prasarana sesuai standar.
Kerjasama dan jaringan perpustakaan.
Pengembangan minat baca.
Penyelamatan dan Pelestarian Koleksi Nasional 1. Penetapan kebijakan pelestarian koleksi nasional. 1. Penetapan kebijakan pelestarian koleksi daerah provinsi berdasarkan kebijakan nasional.
Penetapan kebijakan pelestarian koleksi daerah kabupaten/kota berdasarkan kebijakan nasional. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pelestarian Karya Cetak dan Karya Rekam, terkait koleksi nasional.
Koordinasi pelestarian tingkat nasional, regional, dan internasional.
Pelaksanaan Serah-Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam, terkait koleksi daerah provinsi dan kabupaten/kota.
Koordinasi pelestarian tingkat daerah provinsi.
– 3. Koordinasi pelestarian tingkat daerah kabupaten/kota.
Pengembangan Jabatan Fugsional Pustakawan 1. Penetapan kebijakan pengembangan jabatan fungsional pustakawan secara nasional.
Penetapan kebijakan penilaian angka kredit pustakawan.
Penilaian dan penetapan angka kredit pustakawan madya dan pustakawan utama.
Penetapan peraturan dan kebijakan pengembangan jabatan fungsional pustakawan di skala provinsi sesuai kebijakan nasional.
Ɇ 3. Penilaian dan penetapan angka kredit pustakawan pelaksana sampai dengan pustakawan penyelia dan pustakawan pertama sampai dengan pustakawan muda.
Penetapan peraturan dan kebijakan pengembangan jabatan fungsional pustakawan di skala kabupaten/kota sesuai kebijakan nasional.
Ɇ 3. Penilaian dan penetapan angka kredit pustakawan pelaksana sampai dengan pustakawan penyelia dan pustakawan pertama sampai dengan pustakawan muda. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Penetapan standar kompetensi jabatan fungsional pustakawan.
Ɇ 4. Ɇ 5. Akreditasi Perpustakaan dan Sertifikasi Pustakawan 1. Pemberian akreditasi perpustakaan.
Pemberian sertifikasi pustakawan.
Pemberian akreditasi perpustakaan di wilayah provinsi.
Pemberian sertifikasi pustakawan di wilayah provinsi.
Ɇ 2. Ɇ 6. Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) Teknis dan Fungsional Perpustakaan 1. Pengembangan dan penetapan kurikulum dan modul diklat teknis dan fungsional perpustakaan.
Pemberian akreditasi diklat teknis dan fungsional perpustakaan.
Penyelenggaraan diklat teknis dan fungsional perpustakaan.
Penyelenggaraan diklat teknis dan fungsional perpustakaan.
Ɇ 3. Ɇ 1. Penyelenggaraan diklat teknis dan fungsional perpustakaan.
Ɇ 3. Ɇ Y. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Pos dan Telekomunikasi 1. Pos 1. Perumusan kebijakan di bidang produk dan tarif pos, operasi pos, penyelenggara pos, prangko dan filateli.
— 1. — 2. Perumusan pengaturan norma, kriteria, pedoman dan prosedur di bidang produk dan tarif pos, operasi pos, penyelenggara pos, prangko dan filateli.
— 2. — 3. Pemberian bimbingan teknis bidang produk pos, operasi pos, penyelenggara pos, prangko dan filateli.
— 3. — 4. — 4.— 4. Penyelenggaraan pelayanan pos di perdesaan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. — 5.— 5. Pemberian rekomendasi untuk pendirian kantor pusat jasa titipan.
Pemberian perizinan penyelenggaraan jasa titipan.
Pemberian izin jasa titipan untuk kantor cabang.
Pemberian izin jasa titipan untuk kantor agen.
— 7. Penertiban jasa titipan untuk kantor cabang. 7. Penertiban jasa titipan untuk kantor agen.
Pelaksanaan analisa dan evaluasi penyelenggaraan kegiatan di bidang produk dan tarif pos, operasi pos, penyelenggara pos, prangko dan filateli serta penertiban penyelenggaraan pos dan jasa titipan.
— 8. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Telekomunikasi 1. Perumusan kebijakan di bidang tarif dan sarana telekomunikasi, pelayanan telekomunikasi, operasi telekomunikasi, telekomunikasi khusus dan kewajiban pelayanan universal.
— 1. — 2. Perumusan norma, kriteria, pedoman dan prosedur di bidang tarif dan sarana telekomunikasi, pelayanan telekomunikasi, operasi telekomunikasi, telekomunikasi khusus dan kewajiban pelayanan universal.
— 2. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Pemberian bimbingan teknis di bidang tarif dan sarana telekomunikasi, pelayanan telekomunikasi, operasi telekomunikasi, telekomunikasi khusus dan kewajiban pelayanan universal.
Pemberian bimbingan teknis di bidang sarana telekomunikasi, pelayanan telekomunikasi, kinerja operasi telekomunikasi, telekomunikasi khusus dan kewajiban pelayanan universal skala wilayah.
— 4. Pemberian perizinan penyelenggaraan jaringan telekomunikasi, jasa telekomunikasi, telekomunikasi khusus dan penyelenggaraan kewajiban pelayanan universal.
— 4. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. — 5.Pemberian izin penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk keperluan pemerintah dan badan hukum yang cakupan areanya provinsi sepanjang tidak menggunakan spektrum frekuensi radio.
Pemberian izin penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk keperluan pemerintah dan badan hukum yang cakupan areanya kabupaten/kota sepanjang tidak menggunakan spektrum frekuensi radio.
— 6.Pengawasan layanan jasa telekomunikasi. 6. — 7. — 7. Pemberian rekomendasi terhadap permohonan izin penyelenggaraan jaringan tetap lokal wireline (end to end) cakupan provinsi.
Pemberian rekomendasi terhadap permohonan izin penyelenggaraan jaringan tetap tertutup lokal wireline (end to end) cakupan kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 8. — 8. Koordinasi dalam rangka pembangunan kewajiban pelayanan universal di bidang telekomunikasi.
Pemberian rekomendasi wilayah prioritas untuk pembangunan kewajiban pelayanan universal di bidang telekomunikasi.
— 9. — 9. Pemberian izin terhadap Instalatur Kabel Rumah/Gedung (IKR/G).
Pelaksanaan evaluasi penyelenggaraan kegiatan di bidang tarif dan sarana telekomunikasi, pelayanan telekomunikasi, operasi telekomunikasi, telekomunikasi khusus dan kewajiban pelayanan universal dan teknologi informasi.
Pengawasan/ pengendalian terhadap penyelenggaraan telekomunikasi yang cakupan areanya provinsi.
Pengawasan/pengendalian terhadap penyelenggaraan telekomunikasi yang cakupan areanya kabupaten/kota, pelaksanaan pembangunan telekomunikasi perdesaan, penyelenggaraan warung telekomunikasi, warung seluler atau sejenisnya. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 11. Pemberian Izin Amatir Radio (IAR) dan Izin Penguasaan Perangkat Radio Amatir (IPPRA), termasuk untuk warga negara asing, Izin Komunikasi Radio Antar Penduduk (IKRAP) dan Izin Penguasaan Perangkat Komunikasi Radio Antar Penduduk (IPPKRAP).
— 11. — 12. Pelaksanaan penyelenggaraan ujian amatir radio.
— 12. — 13. — 13. Pemberian izin kantor cabang dan loket pelayanan operator.
Pemberian izin kantor cabang dan loket pelayanan operator. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 14. Pedoman penyelenggaraan warung telekomunikasi/ warung internet/ warung seluler atau sejenisnya.
— 14. — 15. Pedoman panggilan darurat telekomunikasi.
— 15. Penanggung jawab panggilan darurat telekomunikasi.
Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit (Orsat) 1. Perumusan kebijakan di bidang penataan, penetapan, operasi, sarana frekuensi radio dan orsat.
— 1. — 2. Perumusan norma, kriteria, pedoman dan prosedur di bidang penataan, penetapan, operasi, sarana frekuensi radio dan orsat.
— 2. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Pelaksanaan penataan, penetapan, operasi, sarana frekuensi radio dan orsat.
— 3. — 4. Pemberian perizinan penggunaan frekuensi radio dan orsat.
— 4. — 5. Pelaksanaan analisa dan evaluasi di bidang operasi frekuensi radio dan orsat.
— 5. — 6. Perumusan rencana dan alokasi spektrum frekuensi radio dan orsat.
— 6. — 7. Penetapan tabel alokasi spektrum frekuensi radio Indonesia dan orsat.
— 7. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 8. Penyusunan rencana induk frekuensi radio. 8. — 8. — 9. Penyusunan dan penetapan kajian teknis sistem alat dan atau perangkat yang menggunakan frekuensi radio.
— 9. — 10.Penetapkan persetujuan alokasi frekuensi radio (allotment). 10. — 10.— 11.Pelaksanaan koordinasi penggunaan spektrum frekuensi radio dan orsat dalam forum skala bilateral, regional dan internasional.
— 11.— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 12.Perumusan hasil koordinasi forum tersebut untuk dapat dilaksanakan sesuai ketentuan internasional.
— 12.— 13.Penghimpunan dan tindak lanjut pengaduan negara lain tentang adanya gangguan interferensi frekuensi radio yang bersumber dari Indonesia.
— 13.— 14.Tindak lanjut pengaduan adanya interferensi yang bersumber dari negara lain.
— 14.— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 15.Pelaksanaan penetapan (assignment) penggunaan frekuensi radio sesuai alokasi frekuensi radio.
— 15.— 16.Pelaksanaan teknikal analisis. 16.— 16.— 17.Pengelolaan loket penerimaan berkas izin frekuensi radio.
— 17.— 18.Penetapan ketentuan dan persyaratan perizinan frekuensi radio.
— 18.— 19.Pelaksanaan penetapan biaya hak penggunaan frekuensi radio.
— 19.— 20.Penerbitan izin stasiun radio. 20.— 20.— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 21.Pelaksanaan verifikasi izin stasiun radio. 21.— 21.— 22.Pelaksanaan penugasan kepada unit pelaksana teknis untuk monitoring spektrum frekuensi radio.
— 22.— 23.Pelaksanaan inspeksi instalasi alat/perangkat yang menggunakan spektrum dan kesesuaian standarnya.
— 23.— 24.Pelaksanaan penegakan hukum. 24.— 24.— 25.Pelaksanaan rekayasa teknik spektrum. 25.— 25.— 26.Pengelolaan sarana dan prasarana monitoring frekuensi radio dan orsat.
— 26.— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 27.Pengelolaan database frekuensi radio Indonesia.
— 27.— 28.Penetapan peraturan, standar pedoman penggunaan spektrum frekuensi radio dan orsat.
— 28.— 29.Pedoman pembangunan sarana dan prasarana menara telekomunikasi.
— 29.— 30.Penetapan pedoman kriteria pembuatan tower .
— 30.Pemberian Izin Mendirikan Bangunan (IMB) menara telekomunikasi sebagai sarana dan prasarana telekomunikasi.
— 31.Pemberian izin galian untuk keperluan penggelaran kabel telekomunikasi lintas kabupaten/kota atau jalan provinsi.
Pemberian izin galian untuk keperluan penggelaran kabel telekomunikasi dalam satu kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 32.— 32. — 32.Pemberian izin Hinder Ordonantie (Ordonansi Gangguan).
— 33. — 33.Pemberian izin instalansi penangkal petir.
— 34. — 34. Pemberian izin instalansi genset.
Bidang Standarisasi Pos dan Telekomunikasi 1. Perumusan kebijakan di bidang teknik pos dan telekomunikasi, teknik komunikasi radio, pelayanan pos dan telekomunikasi, penerapan standar pos dan telekomunikasi.
— 1. — 2. Perumusan standar di bidang teknik pos dan telekomunikasi, teknik komunikasi radio, pelayanan pos dan telekomunikasi, penerapan standar pos dan telekomunikasi.
— 2. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Pemberian bimbingan teknis di bidang standar pos dan telekomunikasi, standar teknik komunikasi radio, standar pelayanan pos dan telekomunikasi, penerapan standar pos dan telekomunikasi.
Pemberian bimbingan teknis di bidang standar pos dan telekomunikasi, standar teknik komunikasi radio, standar pelayanan pos dan telekomunikasi, penerapan standar pos dan telekomunikasi.
— 4. Pemantauan dan penertiban standar pos dan telekomunikasi.
— 4. — 5. Perumusan persyaratan teknis dan standar pelayanan alat/perangkat pos dan telekomunikasi.
— 5. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Pengawasan penerapan standar teknis dan standar pelayanan alat/perangkat pos dan telekomunikasi skala nasional.
Pengawasan terhadap penerapan standar teknis dan standar pelayanan alat/ perangkat pos dan telekomunikasi skala provinsi.
Pengendalian dan penertiban terhadap pelanggaran standarisasi pos dan telekomunikasi.
Kerjasama standar teknik tingkat internasional.
— 7. — 8. — 8. — 8. Pemberian izin usaha perdagangan alat perangkat telekomunikasi.
Kelembagaan Internasional Pos dan Telekomunikasi 1. Perumusan kebijakan di bidang kelembagaan dan penanganan fora multilateral, regional dan bilateral di bidang pos, telekomunikasi, informatika, standarisasi serta frekuensi radio dan orsat.
— 1. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Perumusan pedoman, norma, kriteria dan prosedur di bidang kelembagaan dan penanganan fora multilateral, regional dan bilateral di bidang pos, telekomunikasi, informatika, standarisasi serta frekuensi radio dan orsat.
— 2. — 3. Pelaksanaan kerjasama kelembagaan multilateral, regional dan bilateral di bidang pos, telekomunikasi informatika, standarisasi serta frekuensi radio dan orsat.
— 3. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. — 4. Fasilitasi pelaksanaan koordinasi penyelenggaraan pos dan telekomunikasi serta penggunaan frekuensi radio di daerah perbatasan dengan negara tetangga.
Fasilitasi pelaksanaan koordinasi penyelenggaraan pos dan telekomunikasi serta penggunaan frekuensi radio di daerah perbatasan dengan negara tetangga.
Pemberian bimbingan teknis dan evaluasi pelaksanaan kebijakan kelembagaan internasional dan kegiatan fora internasional di bidang pos, telekomunikasi informatika, standarisasi serta frekuensi radio dan orsat.
— 5. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Sarana Komunikasi Dan Diseminasi Informasi 1. Penyiaran 1. Penetapan arah kebijakan penyelenggaraan penyiaran dengan mempertimbangkan perkembangan teknologi penyiaran, kecenderungan permintaan pasar, ekonomi, sosial, budaya dan kondisi lingkungan lainnya.
— 1. — 2. Penetapan tata cara dan persyaratan perizinan penyelenggaraan penyiaran.
Evaluasi persyaratan administrasi dan data teknis terhadap permohonan izin penyelenggaraan penyiaran.
— 3. — 3. Pemberian rekomendasi persyaratan administrasi dan kelayakan data teknis terhadap permohonan izin penyelenggaraan televisi.
Pemberian rekomendasi persyaratan administrasi dan kelayakan data teknis terhadap permohonan izin penyelenggaraan radio. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Penerbitan izin penyelenggaraan penyiaran radio dan televisi bagi seluruh lembaga penyiaran.
— 4. Pemberian izin lokasi pembangunan studio dan stasiun pemancar radio dan/atau televisi.
Penetapan pedoman teknis pelaksanaan uji coba siaran radio dan televisi.
— 5. — 6. Penetapan kebijakan pemusatan kepemilikan dan penguasaan lembaga penyiaran swasta dan lembaga penyiaran berlangganan oleh salah satu orang atau satu badan hukum, baik di satu wilayah siaran maupun di beberapa wilayah siaran.
— 6. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 7. Penetapan kebijakan kepemilikan silang antara lembaga penyiaran swasta jasa penyiaran radio, lembaga penyiaran swasta jasa penyiaran televisi, perusahaan media cetak, dan lembaga penyiaran berlangganan baik langsung maupun tidak langsung.
— 7. — 8. Penetapan kebijakan kepemilikan modal asing pada lembaga penyiaran swasta dan lembaga penyiaran berlangganan.
— 8. — 9. Pemetaan usaha penyiaran radio dan televisi.
— 9. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 10.Penetapan wilayah layanan penyiaran radio dan televisi.
— 10. — 11.Pengaturan dan penetapan sistem stasiun jaringan penyiaran radio dan televisi.
— 11. — 12. Penetapan standar teknologi penyiaran radio dan televisi.
— 12. — 13. Penetapan pedoman teknis sarana dan prasarana penyiaran radio dan televisi.
— 13. — 2. Kelembagaan Komunikasi Sosial 1. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi serta pelaksanaan di bidang lembaga media tradisional.
Koordinasi dan fasilitasi pemberdayaan komunikasi sosial skala provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi pemberdayaan komunikasi sosial skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi serta pelaksanaan di bidang lembaga komunikasi perdesaan.
— 2. — 3. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi serta pelaksanaan di bidang lembaga profesi.
— 3. — 4. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi serta pelaksanaan di bidang lembaga pemantau media.
— 4. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Kelembagaan Komunikasi Pemerintah 1. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan, standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi di bidang politik, hukum dan keamanan.
— 1. — 2. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan, standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi di bidang perekonomian.
— 2. — 3. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan, standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi di bidang kesejahteraan rakyat.
— 3. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan, standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi di bidang badan usaha milik negara.
— 4. — 4. Kelembagaan Komunikasi Pemerintah Daerah 1. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan, standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi serta pelaksanaan kerjasama diseminasi informasi dengan lembaga komunikasi pemerintah daerah wilayah I.
— 1. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan, standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi serta pelaksanaan kerjasama diseminasi informasi dengan lembaga komunikasi pemerintah daerah wilayah II.
— 2. — 3. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan, standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi serta pelaksanaan kerjasama diseminasi informasi dengan lembaga komunikasi pemerintah daerah wilayah III.
— 3. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan, standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi serta pelaksanaan kerjasama diseminasi informasi dengan lembaga komunikasi pemerintah daerah wilayah IV.
— 4. — 5. Penerbitan panduan paket informasi nasional.
Koordinasi dan pelaksanaan diseminasi informasi nasional.
Pelaksanaan diseminasi informasi nasional.
Kemitraan Media 1. Perumusan pelaksanaan kebijakan, standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi serta pelaksanaan di bidang kemitraan media radio, media televisi dan media cetak.
— 1. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Perumusan pelaksanaan kebijakan, standarisasi dan bimbingan teknis, evaluasi serta pelaksanaan di bidang kemitraan media komunitas.
Koordinasi dan fasilitasi pengembangan kemitraan media skala provinsi.
Koordinasi dan fasilitasi pengembangan kemitraan media skala kabupaten/kota. Z. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG PERTANIAN DAN KETAHANAN PANGAN SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Lahan Pertanian 1. Penetapan kebijakan, pedoman dan bimbingan pengembangan, rehabilitasi, konservasi, optimasi dan pengendalian lahan pertanian tingkat nasional.
Penetapan kebijakan, pedoman dan bimbingan pengembangan, rehabilitasi, konservasi, optimasi dan pengendalian lahan pertanian tingkat provinsi.
Penetapan kebijakan, pedoman dan bimbingan pengembangan, rehabilitasi, konservasi, optimasi dan pengendalian lahan pertanian tingkat kabupaten/kota.
Penetapan peta pengembangan, rehabilitasi, konservasi, optimasi dan pengendalian lahan pertanian nasional (lintas provinsi).
Penyusunan peta pengembangan, rehabiltasi, konservasi, optimasi dan pengendalian lahan pertanian wilayah provinsi (lintas kabupaten).
Penyusunan peta pengembangan, rehabilitasi, konservasi, optimasi dan pengendalian lahan pertanian wilayah kabupaten/kota.
Pengembangan, rehabilitasi, konservasi, optimasi dan pengendalian lahan pertanian nasional (lintas provinsi).
Pengembangan, rehabilitasi, konservasi, optimasi dan pengendalian lahan pertanian provinsi (lintas kabupaten).
Pengembangan, rehabilitasi, konservasi, optimasi dan pengendalian lahan pertanian wilayah kabupaten/kota.
Tanaman Pangan dan Hortikultura 4. Penetapan dan pengawasan tata ruang dan tata guna lahan pertanian nasional.
Penetapan dan pengawasan tata ruang dan tata guna lahan pertanian wilayah provinsi.
Penetapan dan pengawasan tata ruang dan tata guna lahan pertanian wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5.a. — b. — 6. — 7. — 8. Penetapan sasaran areal tanam nasional.
Penetapan luas baku lahan pertanian yang dapat diusahakan sesuai kemampuan sumberdaya lahan yang ada pada skala nasional .
a. Pemetaan potensi dan pengelolaan lahan pertanian wilayah provinsi.
— 6. Pengaturan dan penerapan kawasan pertanian terpadu wilayah provinsi.
Penetapan sentra komoditas pertanian wilayah provinsi.
Penetapan sasaran areal tanam wilayah provinsi.
Penetapan luas baku lahan pertanian yang dapat diusahakan sesuai kemampuan sumberdaya lahan yang ada pada skala provinsi.
a. Pemetaan potensi dan pengelolaan lahan pertanian wilayah kabupaten/ kota.
Pengembangan lahan pertanian wilayah kabupaten/kota.
Pengaturan dan penerapan kawasan pertanian terpadu wilayah kabupaten/kota.
Penetapan sentra komoditas pertanian wilayah kabupaten/kota.
Penetapan sasaran areal tanam wilayah kabupaten/kota.
Penetapan luas baku lahan pertanian yang dapat diusahakan sesuai kemampuan sumberdaya lahan yang ada pada skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Air Irigasi 1. Penetapan kebijakan, pedoman dan bimbingan pemanfaatan air irigasi.
a. — b.— 3. — 4.a. Penetapan kebijakan pengembangan dan pembinaan pemberdayaan kelembagaan petani pemakai air.
— 1. Bimbingan pengembangan jaringan irigasi.
a. Pemantauan dan evaluasi pemanfaatan air irigasi.
— 3. Bimbingan teknis pengelolaan sumber-sumber air dan air irigasi.
a. Pemantauan dan evaluasi pengembangan dan pembinaan pemberdayaan kelembagaan petani pemakai air.
— 1. Pembangunan dan rehabilitasi pemeliharaan jaringan irigasi di tingkat usaha tani dan desa.
a. Bimbingan dan pengawasan pemanfaatan dan pemeliharaan jaringan irigasi.
Bimbingan dan pengawasan pemanfaatan sumber-sumber air dan air irigasi.
— 4.a. Bimbingan pengembangan dan pemberdayaan Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) dan Perkumpulan Petani Pemakai Air Tanah (P3AT).
Bimbingan dan pelaksanaan konservasi air irigasi. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Penetapan kebijakan dan pengembangan teknologi optimalisasi pengelolaan dan pemanfaatan air untuk usaha tani dan desa.
Pemantauan dan evaluasi pengembangan teknologi optimalisasi pengelolaan air untuk usaha tani.
Bimbingan penerapan teknologi optimalisasi pengelolaan air untuk usaha tani.
Pupuk 1. Penetapan kebijakan dan pedoman penggunaan pupuk.
Pendaftaran dan pengawasan formula pupuk.
a.Penetapan pedoman pengawasan pengadaan, peredaran dan penggunaan pupuk.
— c. — 1. Pemantauan dan evaluasi penggunaan pupuk.
— 3.a.Pengawasan pengadaan, peredaran dan penggunaan pupuk wilayah provinsi.
— c. — 1. Bimbingan penggunaan pupuk.
— 3.a.Pengawasan pengadaan, peredaran dan penggunaan pupuk wilayah kabupaten/kota.
Pengembangan dan pembinaan unit usaha pelayanan pupuk.
Bimbingan penyediaan, penyaluran dan penggunaan pupuk. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. — 5. Penetapan standar mutu pupuk.
Pemantauan dan evaluasi ketersediaan pupuk.
Pengawasan standar mutu pupuk.
Pelaksanaan peringatan dini dan pengamanan terhadap ketersediaan pupuk.
Bimbingan penerapan standar mutu pupuk.
Pestisida 1. Penetapan kebijakan dan pedoman penggunaan pestisida.
Pendaftaran dan pengawasan formula pestisida.
a.Penetapan pedoman pengawasan pengadaan, peredaran dan penggunaan pestisida.
— c. — 1. Pelaksanaan kebijakan penggunaan pestisida wilayah provinsi.
— 3.a.Pengawasan pengadaan, peredaran dan penggunaan pestisida wilayah provinsi.
— c. — 1. Pelaksanaan kebijakan penggunaan pestisida wilayah kabupaten/kota.
— 3.a.Pengawasan pengadaan, peredaran dan penggunaan pestisida wilayah kabupaten/kota.
Pengembangan dan pembinaan unit pelayanan pestisida.
Bimbingan penyediaan, penyaluran dan penggunaan pestisida. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. — 5. Penetapan standar mutu pestisida.
Pemantauan dan evaluasi ketersediaan pestisida.
Pengawasan standar mutu pestisida.
Pelaksanaan peringatan dini dan pengamanan terhadap ketersediaan pestisida.
Bimbingan penerapan standar mutu pestisida.
Alat dan Mesin Pertanian 1. Penetapan kebijakan alat dan mesin pertanian.
— 3. Pendaftaran prototipe alat dan mesin pertanian.
Penetapan standar mutu alat dan mesin pertanian.
Pengujian mutu alat dan mesin pertanian dalam rangka standarisasi.
Pelaksanaan kebijakan alat dan mesin pertanian wilayah provinsi.
Identifikasi dan inventarisasi kebutuhan alat dan mesin pertanian wilayah provinsi.
Penentuan kebutuhan prototipe alat dan mesin pertanian.
Penerapan standar mutu alat dan mesin pertanian.
— 1. Pelaksanaan kebijakan alat dan mesin pertanian wilayah kabupaten/kota.
Identifikasi dan inventarisasi kebutuhan alat dan mesin pertanian di wilayah kabupaten/kota.
Pengembangan alat dan mesin pertanian sesuai standar.
Penerapan standar mutu alat dan mesin pertanian.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6.a.Penetapan pedoman pengawasan produksi, peredaran, penggunaan dan pengujian alat dan mesin pertanian.
— c. — d. — e. — f. — 6.a. Pembinaan dan pengawasan standar mutu alat dan mesin pertanian wilayah provinsi.
— c. — d. — e. — f. — 6.a. Pengawasan standar mutu dan alat mesin pertanian wilayah kabupaten/kota.
Pembinaan dan pengembangan jasa alat dan mesin pertanian.
Pemberian izin pengadaan dan peredaran alat dan mesin pertanian.
Analisis teknis, ekonomis dan sosial budaya alat dan mesin pertanian sesuai kebutuhan lokalita.
Bimbingan penggunaan dan pemeliharaan alat dan mesin pertanian.
Pembinaan dan pengembangan SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA bengkel/pengrajin alat dan mesin pertanian.
Benih Tanaman 1.a.Penetapan kebijakan dan pedoman perbenihan tanaman.
— 2. Pelepasan dan penarikan varietas tanaman.
Pengaturan pemasukan dan pengeluaran benih dari dan keluar wilayah negara RI.
Penetapan standar mutu dan pedoman pengawasan dan sertifikasi benih.
— 1.a.Pemantauan dan evaluasi penerapan pedoman perbenihan tanaman.
Penyusunan kebijakan benih antar lapang.
Identifikasi dan pengembangan varietas unggul lokal.
Pemantauan benih dari luar negeri di wilayah provinsi.
Pengawasan penerapan standar mutu benih wilayah provinsi.
Pengaturan penggunaan benih wilayah provinsi.
a. Bimbingan penerapan pedoman perbenihan tanaman wilayah kabupaten/kota.
Penyusunan kebijakan benih antar lapang wilayah kabupaten/kota.
— 3. Pemantauan benih dari luar negeri di wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan penerapan standar mutu benih wilayah kabupaten/kota.
Pengaturan penggunaan benih wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6.a.— b.— c.— d.— e.— f. — g.— 6.a.Pengawasan dan sertifikasi benih.
— c. — d. — e. — f. — g. — 6.a.Pembinaan dan pengawasan penangkar benih.
Pembinaan dan pengawasan perbanyakan peredaran dan penggunaan benih.
Bimbingan dan pemantauan produksi benih.
Bimbingan penerapan standar teknis perbenihan yang meliputi sarana, tenaga dan metode.
Pemberian izin produksi benih.
Pengujian dan penyebarluasan benih varietas unggul spesifik lokasi.
Perbanyakan dan penyaluran mata tempel dan benih tanaman. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA h.— i. — j. — 7.a.— b.— h. — i. — j. — 7.a.Pembangunan dan pengelolaan balai benih wilayah provinsi.
— h. Pelaksanaan dan bimbingan dan distribusi pohon induk.
Penetapan sentra produksi benih tanaman.
Pengembangan sistem informasi perbenihan.
a.Pembangunan dan pengelolaan balai benih wilayah kabupaten/kota.
Pembinaan dan pengawasan balai benih milik swasta.
Pembiayaan 1.a.Penetapan kebijakan dan pedoman pembiayaan dari lembaga keuangan perbankan, non perbankan dan dana yang bersumber dari masyarakat.
a.Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan pedoman pembiayaan dari lembaga keuangan perbankan, non perbankan dan dana yang bersumber dari masyarakat wilayah provinsi.
a.Bimbingan pengembangan dan pemanfaatan sumber-sumber pembiayaan/kredit agribisnis. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b.— c.— d.— b.— c.— d.— b.Bimbingan penyusunan rencana usaha agribisnis.
Bimbingan pemberdayaan lembaga keuangan mikro pedesaan.
Pengawasan penyaluran, pemanfaatan dan pengendalian kredit wilayah kabupaten/kota.
Perlindungan Tanaman 1. Penetapan kebijakan perlindungan tanaman.
Pengaturan dan penetapan norma dan standar teknis pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) dan analisis mitigasi dampak fenomena iklim.
— 2. Pengamatan, identifikasi, pemetaan, pengendalian dan analisis dampak kerugian OPT/fenomena iklim wilayah provinsi.
— 2. Pengamatan, identifikasi, pemetaan, pengendalian dan analisis dampak kerugian OPT/fenomena iklim wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. — 4. — 5. — 6. — 7. — 3. Bimbingan pemantauan, pengamatan, dan peramalan OPT/fenomena iklim wilayah provinsi.
Penyebaran informasi keadaan serangan OPT/fenomena iklim dan rekomendasi pengendaliannya di wilayah provinsi.
Pemantauan dan pengamatan daerah yang diduga sebagai sumber OPT/fenomena iklim wilayah provinsi.
Penyediaan dukungan pengendalian, eradikasi tanaman dan bagian tanaman wilayah provinsi.
Pemantauan, peramalan, pengendalian dan penanggulangan eksplosi OPT/fenomena iklim wilayah 3. Bimbingan pemantauan, pengamatan, dan peramalan OPT/fenomena iklim wilayah kabupaten/kota.
Penyebaran informasi keadaan serangan OPT/fenomena iklim dan rekomendasi pengendaliannya di wilayah kabupaten/kota.
Pemantauan dan pengamatan daerah yang diduga sebagai sumber OPT/fenomena iklim wilayah kabupaten/kota.
Penyediaan dukungan pengendalian, eradikasi tanaman dan bagian tanaman wilayah kabupaten/kota.
Pemantauan, peramalan, pengendalian dan penanggulangan eksplosi OPT/fenomena iklim wilayah SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 8. Penetapan dan penanggulangan wabah hama dan penyakit tanaman skala nasional. provinsi.
Pengaturan dan pelaksanaan penanggulangan wabah hama dan penyakit tanaman wilayah provinsi. kabupaten/kota.
Pengaturan dan pelaksanaan penanggulangan wabah hama dan penyakit tanaman wilayah kabupaten/kota.
Perizinan Usaha 1. Penetapan pedoman perizinan usaha tanaman pangan dan hortikultura.
— 1. Pemberian izin usaha tanaman pangan dan hortikultura wilayah provinsi.
Pemantauan dan pengawasan izin usaha tanaman pangan dan hortikultura wilayah provinsi.
Pemberian izin usaha tanaman pangan dan hortikultura wilayah kabupaten/kota.
Pemantauan dan pengawasan izin usaha tanaman pangan dan hortikultura wilayah kabupaten/kota.
Teknis Budidaya 1. Penetapan pedoman teknis budidaya tanaman pangan dan hortikultura.
— 1. Bimbingan penerapan pedoman teknis pola tanam, perlakuan terhadap tanaman pangan dan hortikultura wilayah provinsi.
Bimbingan peningkatan mutu hasil tanaman pangan dan hortikultura wilayah provinsi.
Bimbingan penerapan pedoman teknis pola tanam, perlakuan terhadap tanaman pangan dan hortikultura wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan peningkatan mutu hasil tanaman pangan dan hortikultura wilayah SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA kabupaten/kota.
Pembinaan Usaha 1. Penetapan pedoman pembinaan usaha tanaman pangan dan hortikultura.
— 3. — 1. Bimbingan kelembagaan usaha tani, manajemen usaha tani dan pencapaian pola kerjasama usaha tani wilayah provinsi.
Bimbingan pemantauan dan pemeriksaan hygiene dan sanitasi lingkungan usaha tanaman pangan dan hortikultura wilayah provinsi.
Pelaksanaan studi analis mengenai dampak lingkungan (amdal)/Upaya Pengelolaan Lingkungan hidup (UKL)-Upaya Pemantauan Lingkungan hidup (UPL) di bidang tanaman pangan dan hortikultura wilayah provinsi.
Bimbingan kelembagaan usaha tani, manajemen usaha tani dan pencapaian pola kerjasama usaha tani wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pemantauan dan pemeriksaan hygiene dan sanitasi lingkungan usaha tanaman pangan dan hortikultura wilayah kabupaten/kota.
Pelaksanaan studi amdal/UKL- UPL di bidang tanaman pangan dan hortikultura wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. — 5. Penetapan pedoman kompensasi karena eradikasi dan jaminan penghasilan bagi petani yang mengikuti program pemerintah.
Penetapan program kerjasama/kemitraan usaha tanaman pangan dan hortikultura.
Bimbingan pelaksanaan amdal wilayah provinsi.
Bimbingan penerapan pedoman kompensasi karena eradikasi dan jaminan penghasilan bagi petani yang mengikuti program pemerintah wilayah provinsi.
Bimbingan penerapan pedoman/kerjasama kemitraan usaha tanaman pangan dan hortikultura wilayah provinsi.
Bimbingan pelaksanaan amdal wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan penerapan pedoman kompensasi karena eradikasi dan jaminan penghasilan bagi petani yang mengikuti program pemerintah wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan penerapan pedoman/kerjasama kemitraan usaha tanaman pangan dan hortikultura wilayah kabupaten/kota.
Panen, Pasca Panen dan Pengolahan Hasil 1.a.Penetapan kebijakan penanganan panen, pasca panen dan pengolahan hasil tanaman pangan dan hortikultura.
— 1.a.Pemantauan dan evaluasi penanganan panen, pasca panen dan pengolahan hasil tanaman pangan dan hortikultura wilayah provinsi.
Bimbingan peningkatan mutu hasil tanaman pangan dan hortikultura wilayah provinsi.
a.Bimbingan penanganan panen, pasca panen dan pengolahan hasil tanaman pangan dan hortikultura wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan peningkatan mutu hasil tanaman pangan dan hortikultura wilayah SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Penetapan pedoman perkiraan kehilangan tanaman pangan dan hortikultura.
Penetapan standar unit pengolahan, alat transportasi, unit penyimpanan dan kemasan hasil tanaman pangan dan hortikultura.
a.Penetapan pedoman teknologi panen, pasca panen dan pengolahan hasil.
— 2. Bimbingan penghitungan perkiraan kehilangan hasil tanaman pangan dan hortikultura wilayah provinsi.
Pengawasan standar unit pengolahan, alat transportasi, unit penyimpanan dan kemasan hasil tanaman pangan dan hortikultura wilayah provinsi.
a.Penyebarluasan dan pemantauan penerapan teknologi panen, pasca panen dan pengolahan hasil wilayah provinsi.
— kabupaten/kota.
Penghitungan perkiraan kehilangan hasil tanaman pangan dan hortikultura wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan penerapan standar unit pengolahan, alat transportasi, unit penyimpanan dan kemasan hasil tanaman pangan dan hortikultura wilayah kabupaten/kota.
a.Penyebarluasan dan pemantauan penerapan teknologi panen, pasca panen dan pengolahan hasil wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan penerapan teknologi panen, pasca panen dan pengolahan hasil wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 13. Pemasaran 1. Penetapan pedoman pemasaran hasil tanaman pangan dan hortikultura.
Promosi komoditas tanaman pangan dan hortikultura tingkat nasional dan internasional.
Penyebarluasan informasi pasar dalam dan luar negeri.
Penetapan kebijakan harga komoditas tanaman pangan dan hortikultura.
Pemantauan dan evaluasi pemasaran hasil tanaman pangan dan hortikultura wilayah provinsi.
Promosi komoditas tanaman pangan dan hortikultura wilayah provinsi.
Penyebarluasan informasi pasar wilayah provinsi.
Pemantauan dan evaluasi harga komoditas tanaman pangan dan hortikultura wilayah provinsi.
Bimbingan pemasaran hasil tanaman pangan dan hortikultura wilayah kabupaten/kota.
Promosi komoditas tanaman pangan dan hortikultura wilayah kabupaten/kota.
Penyebarluasan informasi pasar wilayah kabupaten/kota.
Pengawasan harga komoditas tanaman pangan dan hortikultura wilayah kabupaten/kota.
Sarana Usaha 1.a. Penetapan kebijakan dan pedoman pengembangan sarana usaha.
— 1.a.Pemantauan dan evaluasi pengembangan sarana usaha wilayah provinsi.
Bimbingan teknis pembangunan dan sarana 1.a.Bimbingan pengembangan sarana usaha wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan teknis pembangunan dan sarana fisik SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA fisik (bangunan) penyimpanan, pengolahan dan pemasaran sarana produksi serta pemasaran hasil tanaman pangan wilayah provinsi. (bangunan) penyimpanan, pengolahan dan pemasaran sarana produksi serta pemasaran hasil tanaman pangan wilayah kabupaten/ kota.
Pengembangan Statistik dan Sistem Informasi Tanaman Pangan dan Hortikultura 1. Penetapan kebijakan dan pedoman perstatistikan tanaman pangan dan hortikultura.
Pembinaan dan pengelolaan data dan statistik serta sistem informasi tanaman pangan dan hortikultura.
Penyusunan statistik tanaman pangan dan hortikultura wilayah provinsi.
Bimbingan penerapan sistem informasi tanaman pangan dan hortikultura wilayah provinsi.
Penyusunan statistik tanaman pangan dan hortikultura wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan penerapan sistem informasi tanaman pangan dan hortikultura wilayah kabupaten/kota.
Pengawasan dan Evaluasi 1. Pengawasan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan, norma, standar, kriteria, pedoman dan prosedur di bidang tanaman pangan dan hortikultura.
— 1. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Perkebunan 1. Lahan Perkebunan 1.a.Penetapan kebijakan, pedoman dan bimbingan pengembangan, rehabilitasi, konservasi, optimasi dan pengendalian lahan perkebunan.
— c. — 2.a.Penetapan dan pengawasan tata ruang dan tata guna lahan perkebunan nasional.
a.Bimbingan dan pengawasan pengembangan, rehabilitasi, konservasi, optimasi dan pengendalian perkebunan.
Penyusunan peta pengembangan, rehabilitasi, konservasi, optimasi dan pengendalian lahan perkebunan.
Pengembangan, rehabilitasi, konservasi, optimasi dan pengendalian lahan perkebunan.
a. Penetapan dan pengawasan tata ruang dan tata guna lahan perkebunan wilayah provinsi.
a.Penetapan kebutuhan dan pengembangan lahan perkebunan wilayah kabupaten/kota.
Penyusunan peta pengembangan, rehabilitasi, konservasi, optimasi, dan pengendalian lahan perkebunan wilayah kabupaten/kota.
Pengembangan, rehabilitasi, konservasi, optimasi dan pengendalian lahan perkebunan wilayah kabupaten/kota.
a.Penetapan dan pengawasan tata ruang dan tata guna lahan perkebunan wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. — c. — d. — e. — 3. Penetapan sasaran areal tanam nasional.
Pemetaan potensi dan pengelolaan lahan perkebunan wilayah provinsi.
— d. Pengaturan dan penerapan kawasan perkebunan terpadu wilayah provinsi.
— 3. Penetapan sasaran areal tanam wilayah provinsi.
Pemetaan potensi dan pengelolaan lahan perkebunan wilayah kabupaten/kota.
Pengembangan lahan perkebunan wilayah kabupaten/kota.
Pengaturan dan penerapan kawasan perkebunan terpadu wilayah kabupaten/kota.
Penetapan sentra komoditas perkebunan wilayah kabupaten/kota.
Penetapan sasaran areal tanam wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pemanfaatan Air Untuk Perkebunan 1.a.Penetapan kebijakan, pedoman, bimbingan dan evaluasi pemanfaatan air untuk perkebunan.
— c. — 2.a.Penetapan kebijakan pengembangan teknologi dan evaluasi pemanfaatan air untuk perkebunan.
— 1.a.Bimbingan pemanfaatan sumber-sumber air untuk perkebunan.
Bimbingan pemanfaatan air permukaan dan air tanah untuk perkebunan.
Pemantauan dan evaluasi pemanfaatan air untuk perkebunan.
a.Bimbingan pengembangan sumber-sumber air untuk perkebunan.
Bimbingan pengembangan teknologi irigasi air permukaan dan air bertekanan untuk perkebunan.
a.Pemanfaatan sumber-sumber air untuk perkebunan.
Pemanfaatan air permukaan dan air tanah untuk perkebunan.
Pemantauan dan evaluasi pemanfaatan air untuk perkebunan.
a.Pengembangan sumber- sumber air untuk perkebunan.
Pengembangan teknologi irigasi air permukaan dan irigasi bertekanan untuk perkebunan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c. — c. Pemantauan dan evaluasi pengembangan air untuk perkebunan.
Pemantauan dan evaluasi pengembangan air untuk perkebunan.
Pupuk 1. Penetapan kebijakan dan pedoman penggunaan pupuk.
Pendaftaran dan pengawasan formula pupuk.
a.Penetapan pedoman pengawasan pengadaan, peredaran dan penggunaan pupuk.
Pemantauan dan evaluasi penggunaan pupuk.
— 3.a.Pengawasan pengadaan, peredaran dan penggunaan pupuk wilayah provinsi.
Bimbingan penggunaan pupuk.
— 3.a.Pengawasan pengadaan, peredaran dan penggunaan pupuk wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. — c. — d. — 4. Penetapan standar mutu pupuk.
— c. — d. Pemantauan dan evaluasi ketersediaan pupuk.
Pengawasan standar mutu pupuk.
Pengembangan dan pembinaan unit usaha pelayanan pupuk.
Bimbingan penyediaan, penyaluran dan penggunaan pupuk.
Pelaksanaan peringatan dini dan pengamanan terhadap ketersediaan pupuk.
Bimbingan penerapan standar mutu pupuk. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Pestisida 1. Penetapan kebijakan dan pedoman penggunaan pestisida.
Pendaftaran dan pengawasan formula pestisida.
a.Penetapan pedoman pengawasan pengadaan, peredaran dan penggunaan pestisida.
— c. — d. — 4. Penetapan standar mutu pestisida.
Pelaksanaan kebijakan penggunaan pestisida wilayah provinsi.
— 3.a.Pengawasan pengadaan, peredaran dan penggunaan pestisida wilayah provinsi.
— c. — d. Pemantauan dan evaluasi ketersediaan pestisida.
Pengawasan standar mutu pestisida.
Pelaksanaan kebijakan penggunaan pestisida wilayah kabupaten/kota.
— 3.a.Pengawasan pengadaan, peredaran dan penggunaan pestisida wilayah kabupaten/kota.
Pengembangan unit usaha pelayanan pestisida.
Bimbingan penyediaan, penyaluran dan penggunaan pestisida.
Pelaksanaan peringatan dini dan pengamanan terhadap ketersediaan pestisida.
Bimbingan penerapan standar mutu pestisida. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Alat dan Mesin Perkebunan 1. Penetapan kebijakan alat dan mesin perkebunan.
— 3. Pendaftaran prototipe alat dan mesin perkebunan.
Penetapan kebijakan standar mutu alat dan mesin perkebunan.
Pengujian mutu alat dan mesin perkebunan dalam rangka standarisasi.
a.Penetapan pedoman pengawasan produksi, peredaran, penggunaan dan pengujian alat dan mesin 1. Pelaksanaan kebijakan alat dan mesin perkebunan wilayah provinsi.
Identifikasi dan inventarisasi kebutuhan alat dan mesin perkebunan wilayah provinsi.
Penentuan kebutuhan prototipe alat dan mesin perkebunan.
Penerapan standar mutu alat dan mesin perkebunan.
— 6.a.Pembinaan dan pengawasan standar mutu alat dan mesin perkebunan wilayah provinsi.
Pelaksanaan kebijakan alat dan mesin perkebunan wilayah kabupaten/kota.
Identifikasi dan inventarisasi kebutuhan alat dan mesin perkebunan wilayah kabupaten/kota.
Pengembangan alat dan mesin perkebunan sesuai standar.
Penerapan standar mutu alat dan mesin perkebunan.
— 6.a.Pengawasan standar mutu dan alat mesin perkebunan wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA perkebunan.
— c. — d. — e. — f. — b. — c. — d. — e. — f. — b. Pembinaan dan pengembangan jasa alat dan mesin perkebunan.
Pemberian izin pengadaan dan peredaran alat dan mesin perkebunan.
Analisis teknis, ekonomis dan sosial budaya alat dan mesin perkebunan sesuai kebutuhan lokalita.
Bimbingan penggunaan dan pemeliharaan alat dan mesin perkebunan.
Pembinaan dan pengembangan bengkel/pengrajin alat dan mesin perkebunan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Benih Perkebunan 1.a.Penetapan kebijakan dan pedoman perbenihan perkebunan.
— 2. Pelepasan dan penarikan varietas perkebunan.
Pengaturan pemasukan dan pengeluaran benih perkebunan dari dan keluar wilayah negara RI.
a.Penetapan standar mutu pengawasan dan sertifikasi benih perkebunan.
a.Pemantauan dan evaluasi penerapan pedoman perbenihan perkebunan.
Penyusunan kebijakan benih perkebunan antar lapang (antar kabupaten).
Identifikasi dan pengembangan varietas unggul lokal.
Pemantauan benih impor wilayah provinsi.
a.Pengawasan penerapan standar mutu benih perkebunan wilayah provinsi.
a.Bimbingan penerapan pedoman perbenihan perkebunan wilayah kabupaten/kota.
Penerapan kebijakan dan pedoman perbenihan perkebunan wilayah kabupaten/kota.
Identifikasi dan pengembangan varietas unggul lokal.
Pemantauan benih impor wilayah kabupaten/kota.
a.Bimbingan penerapan standar mutu benih perkebunan wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. — c. — d. — e. — f. — g. — h. — b. Pengaturan penggunaan benih perkebunan wilayah provinsi.
Pengawasan dan sertifikasi benih perkebunan.
— e. — f. — g. — h. — b. Pengaturan penggunaan benih perkebunan wilayah kabupaten/kota.
Pembinaan dan pengawasan penangkar benih perkebunan.
Pembinaan dan pengawasan perbanyakan peredaran dan penggunaan benih perkebunan.
Bimbingan dan pemantauan produksi benih perkebunan.
Bimbingan penerapan standar teknis perbenihan perkebunan yang meliputi sarana, tenaga dan metode.
Pemberian izin produksi benih perkebunan.
Pengujian dan penyebarluasan benih perkebunan varietas unggul spesifik lokasi. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA i. — j. — k. — l. — m.— n. — i. — j. — k. — l. — m.Pembangunan dan pengelolaan balai benih wilayah provinsi.
— i. Perbanyakan dan penyaluran mata tempel dan benih perkebunan tanaman.
Pelaksanaan dan bimbingan dan distribusi pohon induk.
Penetapan sentra produksi benih perkebunan.
Pengembangan sistem informasi perbenihan perkebunan.
Pembangunan dan pengelolaan balai benih wilayah kabupaten/kota.
Pembinaan dan pengawasan balai benih milik swasta. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 7. Pembiayaan 1.a.Penetapan kebijakan dan pedoman pembiayaan bidang perkebunan dari lembaga keuangan perbankan, non perbankan dan dana yang bersumber dari masyarakat.
— c.— d.— 1.a.Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan pedoman pembiayaan dari lembaga keuangan perbankan, non perbankan dan dana yang bersumber dari masyarakat wilayah provinsi.
— c.— d.— 1.a.Bimbingan pengembangan dan pemanfaatan sumber-sumber pembiayaan/kredit perkebunan.
Bimbingan penyusunan rencana usaha perkebunan.
Bimbingan pemberdayaan lembaga keuangan mikro pedesaan.
Pengawasan penyaluran, pemanfaatan dan pengendalian kredit wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 8. Perlindungan Perkebunan 1. Penetapan kebijakan perlindungan perkebunan.
a.Pengaturan dan penetapan norma dan standar teknis pengendalian OPT dan analisis mitigasi dampak fenomena iklim.
— c. — d. — 1. — 2.a.Pengamatan, identifikasi, pemetaan, pengendalian dan analisis dampak kerugian OPT/fenomena iklim wilayah provinsi.
Bimbingan pemantauan, pengamatan, dan peramalan OPT/fenomena iklim wilayah provinsi.
Penyebaran informasi keadaan serangan OPT/fenomena iklim dan rekomendasi pengendaliannya di wilayah provinsi.
Pemantauan dan pengamatan daerah yang diduga sebagai sumber OPT/fenomena iklim wilayah provinsi.
— 2.a.Pengamatan, identifikasi, pemetaan, pengendalian dan analisis dampak kerugian OPT/fenomena iklim wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pemantauan, pengamatan, dan peramalan OPT/fenomena iklim wilayah kabupaten/kota.
Penyebaran informasi keadaan serangan OPT/fenomena iklim dan rekomendasi pengendaliannya di wilayah kabupaten/kota.
Pemantauan dan pengamatan daerah yang diduga sebagai sumber OPT/fenomena iklim wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA e. — f. — 3. Penetapan dan penanggulangan wabah OPT skala nasional.
Penanganan gangguan usaha perkebunan skala nasional.
Penyediaan dukungan pengendalian, eradikasi tanaman dan bagian tanaman wilayah provinsi.
Pemantauan, peramalan, pengendalian dan penanggulangan eksplosi OPT/fenomena iklim wilayah provinsi.
Pengaturan dan pelaksanaan penanggulangan wabah hama dan penyakit menular tanaman wilayah provinsi.
Penanganan gangguan usaha perkebunan wilayah provinsi.
Penyediaan dukungan pengendalian, eradikasi tanaman dan bagian tanaman wilayah kabupaten/kota.
Pemantauan, peramalan, pengendalian dan penanggulangan eksplosi OPT/fenomena iklim wilayah kabupaten/kota.
Pengaturan dan pelaksanaan penanggulangan wabah hama dan penyakit menular tanaman wilayah kabupaten/kota.
Penanganan gangguan usaha perkebunan wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 9. Perizinan Usaha 1.a.Penetapan pedoman perizinan usaha perkebunan (budidaya dan industri pengolahan).
— 1.a.Pemberian izin usaha perkebunan lintas kabupaten/kota.
Pemantauan dan pengawasan izin usaha perkebunan lintas kabupaten/kota.
a.Pemberian izin usaha perkebunan wilayah kabupaten/kota.
Pemantauan dan pengawasan izin usaha perkebunan di wilayah kabupaten/kota.
Teknis Budidaya 1. Penetapan pedoman teknis budidaya perkebunan. 1. Bimbingan penerapan pedoman teknis budidaya perkebunan wilayah provinsi.
Bimbingan penerapan pedoman teknis budidaya perkebunan wilayah kabupaten/kota.
Pembinaan Usaha 1.a. Penetapan pedoman pembinaan usaha perkebunan.
— 1.a. Bimbingan kelembagaan usaha tani, manajemen usaha tani dan pencapaian pola kerjasama usaha tani wilayah provinsi.
Bimbingan pemantauan dan pemeriksaan hygiene dan sanitasi lingkungan usaha perkebunan wilayah provinsi.
a. Bimbingan kelembagaan usaha tani, manajemen usaha tani dan pencapaian pola kerjasama usaha tani wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pemantauan dan pemeriksaan hygiene dan sanitasi lingkungan usaha perkebunan wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c. — d. — 2. Penetapan program kerjasama/kemitraan usaha perkebunan.
Pelaksanaan studi amdal/UKL- UPL di bidang perkebunan wilayah provinsi.
Bimbingan pelaksanaan amdal wilayah provinsi.
Bimbingan penerapan pedoman/kerjasama kemitraan usaha perkebunan wilayah provinsi.
Pelaksanaan studi amdal/UKL- UPL di bidang perkebunan wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pelaksanaan amdal wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan penerapan pedoman/kerjasama kemitraan usaha perkebunan.
Panen, Pasca Panen dan Pengolahan Hasil 1.a.Penetapan kebijakan penanganan panen, pasca panen dan pengolahan hasil perkebunan.
— 2. Penetapan pedoman perkiraan kehilangan hasil perkebunan.
a.Pemantauan dan evaluasi penanganan panen, pasca panen dan pengolahan hasil perkebunan wilayah provinsi.
Bimbingan peningkatan mutu hasil perkebunan wilayah provinsi.
Bimbingan penghitungan perkiraan kehilangan hasil perkebunan wilayah provinsi.
a.Bimbingan penanganan panen, pasca panen dan pengolahan hasil perkebunan wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan peningkatan mutu hasil perkebunan wilayah kabupaten/kota.
Penghitungan perkiraan kehilangan hasil perkebunan wilayah kabupaten/ kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penetapan standar unit pengolahan, alat transportasi, unit penyimpanan dan kemasan hasil perkebunan.
a.Penetapan pedoman teknologi panen, pasca panen dan pengolahan hasil.
— 3. Pengawasan standar unit pengolahan, alat transportasi, unit penyimpanan dan kemasan hasil perkebunan wilayah provinsi.
a.Penyebarluasan dan pemantauan penerapan teknologi panen, pasca panen dan pengolahan hasil wilayah provinsi.
— 3. Bimbingan penerapan standar unit pengolahan, alat transportasi, unit penyimpanan dan kemasan hasil perkebunan wilayah kabupaten/kota.
a.Penyebarluasan dan pemantauan penerapan teknologi panen, pasca panen dan pengolahan hasil wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan penerapan teknologi panen, pasca panen dan pengolahan hasil wilayah kabupaten/kota.
Pemasaran 1. Penetapan pedoman pemasaran hasil perkebunan.
Promosi komoditas perkebunan tingkat nasional dan internasional.
Pemantauan dan evaluasi pemasaran hasil perkebunan wilayah provinsi.
Promosi komoditas perkebunan wilayah provinsi.
Bimbingan pemasaran hasil perkebunan wilayah kabupaten/kota.
Promosi komoditas perkebunan wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penyebarluasan informasi pasar dalam dan luar negeri.
Penetapan kebijakan harga komoditas perkebunan.
Penyebarluasan informasi pasar wilayah provinsi.
Pemantauan dan evaluasi harga komoditas perkebunan wilayah provinsi.
Penyebarluasan informasi pasar wilayah kabupaten/kota.
Pengawasan harga komoditas perkebunan wilayah kabupaten/kota.
Sarana Usaha 1.a.Penetapan kebijakan dan pedoman pengembangan sarana usaha.
— 1.a.Pemantauan dan evaluasi pengembangan sarana usaha wilayah provinsi.
Bimbingan teknis pembangunan dan sarana fisik (bangunan) penyimpanan, pengolahan dan pemasaran sarana produksi serta pemasaran hasil perkebunan wilayah provinsi.
a.Bimbingan pengembangan sarana usaha wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan teknis pembangunan dan sarana fisik (bangunan) penyimpanan, pengolahan dan pemasaran sarana produksi serta pemasaran hasil perkebunan wilayah kabupaten/kota.
Pengembangan Statistik dan Sistem Informasi Perkebunan 1. Penetapan kebijakan dan pedoman perstatistikan perkebunan.
Pembinaan dan pengelolaan 1. Penyusunan statistik perkebunan wilayah provinsi.
Bimbingan penerapan sistem 1. Penyusunan statistik perkebunan wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan penerapan sistem SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA data dan statistik serta sistem informasi perkebunan. informasi perkebunan wilayah provinsi. informasi perkebunan wilayah kabupaten/kota.
Pengawasan dan Evaluasi 1. Pengawasan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan, norma, standar, kriteria, pedoman dan prosedur di bidang perkebunan.
— 1. — 3. Peternakan dan Kesehatan Hewan 1. Kawasan Peternakan 1. Penetapan pedoman tata cara penetapan dan pengawasan kawasan peternakan.
a.Penetapan peta potensi peternakan.
— c.— 1. Penetapan dan pengawasan kawasan peternakan wilayah provinsi.
a.Penetapan peta potensi peternakan wilayah provinsi.
Penetapan dan pengawasan kawasan peternakan wilayah provinsi.
Penetapan peta potensi peternakan wilayah provinsi.
Penetapan dan pengawasan kawasan peternakan wilayah kabupaten/kota.
a.Penetapan peta potensi peternakan wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan penetapan kawasan industri peternakan rakyat.
Pengembangan lahan hijauan pakan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penetapan pedoman penetapan padang pengembalaan. 3. Penerapan pedoman penetapan padang pengembalaan.
Penetapan padang pengembalaan.
Alat dan Mesin Peternakan dan Kesehatan Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner (Kesmavet) 1.a.Penetapan kebijakan alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet.
— 2. Penetapan pedoman dan standar mutu kebijakan alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet.
a.Penetapan pedoman pengawasan produksi, peredaran, penggunaan dan 1.a. Penerapan kebijakan alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet wilayah provinsi.
Pemantauan, identifikasi dan inventarisasi kebutuhan alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet.
Penerapan standar mutu dan alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan dan Kesmavet wilayah provinsi.
a. Pembinaan dan pengawasan standar mutu alat dan mesin peternakan dan kesehatan 1.a.Penerapan kebijakan alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet wilayah kabupaten/ kota.
Identifikasi dan inventarisasi kebutuhan alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet.
Pengawasan penerapan standar mutu alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet.
a.Pengawasan penerapan standar mutu alat dan mesin peternakan dan kesehatan SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA pengujian alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet.
— c.— d.— hewan dan kesmavet wilayah provinsi.
Penerapan pedoman pengawasan produksi, peredaan, penggunaan dan pengujian alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet wilayah provinsi.
Pembinaan dan pengawasan kebijakan alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet wilayah provinsi.
— hewan dan kesmavet wilayah kabupaten/kota.
Pengawasan produksi, peredaran, penggunaan dan pengujian alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet wilayah kabupaten/kota.
Pembinaan dan pengembangan pelayanan jasa alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet wilayah kabupaten/ kota.
Analisis teknis, ekonomis dan sosial budaya alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan sesuai kebutuhan lokalita wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA e.— f. — g.— h.— e. Penerapan standar dukungan rekayasa teknologi peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet wilayah provinsi.
Pembinaan dan pengawasan penerapan standar teknis alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet wilayah provinsi.
Pembinaan dan pengawasan rekayasa dan pemeliharaan alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet wilayah provinsi.
Pengawasan penerapan teknologi bidang peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet wilayah provinsi.
Bimbingan penggunaan dan pemeliharaan alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet wilayah kabupaten/kota.
Pembinaan dan pengembangan bengkel/ pengrajin alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet kabupaten/kota.
Pelaksanaan temuan-temuan teknologi baru di bidang peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet wilayah kabupaten/kota.
Pelaksanaan kajian, pengenalan dan pengembangan teknologi tepat guna bidang peternakan dan SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA i. — i. Pembinaan kerjasama teknologi bidang peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet wilayah provinsi. kesehatan hewan dan kesmavet wilayah kabupaten/kota.
Pelaksanaan kerjasama dengan lembaga-lembaga teknologi peternakan dan kesehatan hewan dan kesmavet kabupaten/kota.
Pemanfaatan Air untuk Peternakan dan Kesehatan Hewan dan Kesmavet 1. Penetapan pedoman pemanfaatan air untuk usaha peternakan, kesehatan hewan dan kesmavet.
Penetapan kebijakan dan pengembangan teknologi optimalisasi pengelolaan pemanfaatan air untuk usaha peternakan, kesehatan hewan dan kesmavet.
Bimbingan pemanfaatan air untuk usaha peternakan, kesehatan hewan dan kesmavet wilayah provinsi.
Pemantauan dan evaluasi pengembangan teknologi optimalisasi pengelolaan pemanfaatan air untuk usaha peternakan, kesehatan hewan dan kesmavet.
Bimbingan pemanfaatan air untuk usaha peternakan, kesehatan hewan dan kesmavet wilayah kabupaten/ kota. 2. Bimbingan penerapan teknologi optimalisasi pengelolaan pemanfaatan air untuk usaha peternakan, kesehatan hewan dan kesmavet.
Obat hewan, Vaksin, Sera dan Sediaan 1. Penetapan kebijakan obat hewan. 1. Penerapan kebijakan obat hewan wilayah provinsi. 1. Penerapan kebijakan obat hewan wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA Biologis 2. Penerbitan sertifikat Cara Pembuatan Obat Hewan yang Baik (CPOHB).
a.Penetapan standar mutu obat hewan.
— c. — 4. Pengawasan produksi dan peredaran obat hewan di tingkat produsen dan importir.
Penetapan pedoman produksi, peredaran dan penggunaan obat hewan.
Pemetaan identifikasi dan inventarisasi kebutuhan obat hewan wilayah provinsi.
a. Penerapan dan pengawasan standar mutu obat hewan wilayah provinsi.
— c. — 4. Pembinaan dan pengawasan peredaran obat hewan di tingkat distributor.
Pembinaan dan pengawasan peredaran obat hewan di tingkat distributor.
Identifikasi dan inventarisasi kebutuhan obat hewan wilayah kabupaten/kota.
a.Penerapan standar mutu obat hewan wilayah kabupaten/kota.
Pengawasan peredaran dan penggunaan obat hewan tingkat depo, toko, kios dan pengecer obat hewan wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pemakaian obat hewan di tingkat peternak.
Bimbingan peredaran obat hewan tingkat depo, toko, kios dan pengecer obat hewan wilayah kabupaten/kota.
Pemeriksaan, pengadaan, penyimpanan, pemakaian dan peredaran obat hewan wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6.a.Pengujian mutu dan sertifikasi obat hewan.
— c. — d. — e. — f. — 6.a. — b. — c. — d. — e. — f. — 6.a. Pelaksanaan pemeriksaan penanggung jawab wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan penyimpanan dan pemakaian obat hewan.
Pelaksanaan penerbitan perizinan bidang obat hewan wilayah kabupaten/kota.
Pelaksanaan penerbitan penyimpanan mutu dan perubahan bentuk obat hewan wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pelaksanaan pemeriksaan bahan produk asal hewan dari residu obat hewan (daging, telur dan susu) wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pemakaian, penyimpanan, penggunaan sediaan vaksin, sera dan SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA g. — h. — i. — g. — h. — i. — bahan diagnostik biologis untuk hewan wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pelaksanaan pemeriksaan sediaan premik wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pelaksanaan pendaftaran obat hewan tradisional/pabrikan wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan kelembagaan/Asosiasi bidang Obat Hewan (ASOHI) wilayah kabupaten/kota.
Pakan Ternak 1. Penetapan kebijakan pakan ternak.
a.Penetapan pedoman produksi pakan ternak (konsentrat dan 1. Penerapan kebijakan pakan ternak di wilayah provinsi.
a. Bimbingan produksi pakan ternak dan bahan baku 1. Penerapan kebijakan pakan ternak wilayah kabupaten/kota.
a. Bimbingan produksi pakan dan bahan baku pakan ternak SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA hijauan pakan) dan bahan baku pakan.
— 3.a.Penetapan standar mutu pakan ternak.
— c. — 4.a.Penetapan pedoman pengawasan mutu pakan ternak.
— pakan ternak wilayah provinsi.
— 3.a. Penerapan standar mutu pakan ternak wilayah provinsi.
Pembinaan dan pengawasan labelisasi dan sertifikasi pakan ternak wilayah provinsi.
Labelisasi dan sertifikasi mutu pakan ternak.
a. Pengawasan mutu pakan dan bahan baku pakan wilayah provinsi.
Pengadaan, perbanyakan dan penyaluran benih hijauan wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan penerapan teknologi pakan ternak wilayah kabupaten/kota.
a. Bimbingan standar mutu pakan ternak wilayah kabupaten/kota.
— c. — 4.a. Pengawasan mutu pakan ternak wilayah kabupaten/kota.
Pengadaan, perbanyakan dan penyaluran benih hijauan SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c. — d.— e. — f. — g. — pakan wilayah provinsi.
— d. Pembinaan dan pengawasan produksi pakan dan bahan baku pakan wilayah provinsi.
— f. — g. — pakan wilayah kabupaten/kota.
Penyelenggaraan kebun benih hijauan pakan.
Bimbingan pembuatan, penggunaan dan peredaran pakan jadi wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pembuatan, penggunaan dan peredaran pakan konsentrat wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pembuatan, penggunaan dan peredaran pakan tambahan dan pelengkap pengganti (additive and supplement) wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan usaha mini feedmil pedesaan (home industry) SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA h.— i. — j. — k.— l. — h. — i. — j. — k. — l. — wilayah kabupaten/kota.
Pelaksanaan pemeriksaan pakan jadi wilayah kabupaten/kota.
Pelaksanaan pemeriksaan pakan konsentrat wilayah kabupaten/kota.
Pelaksanaan pemeriksaan pakan tambahan dan pengganti (additive and supplement) wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan produksi benih hijauan pakan ternak wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan kerjasama perluasan produksi hijauan pakan ternak wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Bibit Ternak 1.a.Penetapan kebijakan perbibitan ternak.
— 2.a.Penetapan pedoman perbibitan (standar mutu, sertifikasi) dan plasma nutfah.
— c. — d. — 1.a. Penerapan dan pengawasan pelaksanaan kebijakan perbibitan ternak wilayah provinsi.
Penerapan dan pengawasan standar perbibitan ternak wilayah provinsi.
a. Pembinaan dan pengawasan produksi ternak bibit wilayah provinsi.
Penerapan dan pengawasan pedoman perbibitan (standar mutu) wilayah provinsi.
Penetapan sertifikasi dan penetapan standar mutu genetik bibit ternak wilayah provinsi.
— 1.a. — b. — 2.a. Bimbingan seleksi ternak bibit wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan penerapan standar perbibitan dan plasma nutfah wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan registrasi/pencatatan ternak bibit wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pembuatan dan pengesahan silsilah ternak. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Pengaturan pemasukan dan pengeluaran bibit/benih ternak.
a. Produksi ternak bibit murni dan unggul.
— 5. Penetapan pedoman dan pengaturan pengelolaan plasma nutfah peternakan.
a.Produksi semen beku dan embrio ternak bibit unggul.
— 3. Pengawasan peredaran lalu lintas bibit/benih ternak di wilayah provinsi.
a. Penetapan kabupaten/kota sebagai lokasi penyebaran ternak bibit wilayah provinsi.
Penetapan penggunaan bibit unggul wilayah provinsi.
Penerapan kebijakan konservasi (pelestarian) ternak bibit murni dan unggul/plasma nutfah peternakan wilayah provinsi.
a.Pembinaan dan pengadaan semen beku wilayah provinsi.
Pembinaan dan pemantauan pelaksanaan inseminasi buatan, progeny test dan 3. Pengawasan peredaran bibit/benih ternak wilayah kabupaten/kota.
a. Penetapan lokasi dan penyebaran bibit ternak wilayah kabupaten/kota.
Penetapan penggunaan bibit unggul wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pelestarian plasma nutfah peternakan wilayah kabupaten/kota.
a.Pengadaan/produksi dan pengawasan semen beku wilayah kabupaten/kota.
Pelaksanaan inseminasi buatan wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c. — d. — e. — 7.a.Penetapan pedoman pengawasan dan produksi bibit ternak.
— transfer embrio wilayah provinsi.
— d. — e. Pembinaan distribusi mani beku (straw) wilayah provinsi.
a.Pemantauan dan pengawasan penerapan standar teknis mutu bibit Day Old Chick Final Stock wilayah provinsi.
Pemantauan dan pengawasan penerapan standar teknis mutu bibit ternak wilayah c. Bimbingan dan pengawasan pelaksanaan inseminasi buatan oleh masyarakat.
Produksi mani beku ternak lokal (lokal spesifik) wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan produksi mani beku lokal (lokal spesifik) untuk kabupaten/kota.
a.Bimbingan penerapan standar-standar teknis dan sertifikasi perbibitan meliputi sarana, tenaga kerja, mutu dan metode wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan peredaran mutu bibit wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c. — d. — e. — f. — g. — provinsi.
Pengaturan kawasan sumber- sumber bibit dan plasma nutfah wilayah provinsi.
Pembinaan dan pengawasan sertifikasi produksi bibit ternak wilayah provinsi.
Penetapan sertifikasi rekayasa teknologi mutu genetik (inseminasi buatan, embrio transfer) wilayah provinsi.
Penetapan sertifikasi tenaga ahli perbibitan (surat ijin melakukan inseminasi buatan, pemeriksaan kebuntingan, asisten reproduksi) wilayah provinsi.
Pembinaan pembibitan ternak di unit pelaksana teknis dinas c. Pelaksanaan penetapan penyaluran ternak bibit yang dilakukan oleh swasta wilayah kabupaten/kota.
Pelaksanaan registrasi hasil inseminasi buatan wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan kastrasi ternak non bibit wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan perizinan produksi ternak bibit wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pelaksanaan pengadaan dan/atau produksi SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA h. — i. — j. — k. — wilayah provinsi.
Pembinaan dan pengadaan bibit ternak wilayah provinsi.
Pembinaan mutu genetik ternak dengan rekayasa teknologi tepat guna (inseminasi buatan dan embrio transfer) wilayah provinsi.
Penetapan sertifikasi embrio ternak wilayah provinsi.
Penetapan sertifikasi embrio ternak wilayah provinsi. mudigah, alih mudigah serta pemantauan pelaksanaan dan registrasi hasil mudigah wilayah kabupaten/kota.
Pengadaan dan pengawasan bibit ternak wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pelaksanaan inseminasi buatan yang dilakukan oleh swasta wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan sertifikasi pejantan unggul sebagai pemacek wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pemantauan produksi mani beku ternak lokal (lokal spesifik) wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA l. — m.— n. — o. — p. — l. Penetapan sertifikasi produksi benih mani beku wilayah provinsi.
Pembinaan sumber bibit ternak (hasil inseminasi buatan crossing ) wilayah provinsi.
Pembinaan sumber bibit ternak (hasil inseminasi buatan crossing ) wilayah provinsi.
Pembinaan dan pengawasan breeding replacement melalui rearing cool (mempercepat penyediaan bibit) wilayah provinsi.
Pembinaan dan pengawasan penyaringan bibit di kawasan produksi peternakan wilayah provinsi.
Bimbingan pengadaan produksi mani beku ternak produksi dalam negeri wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pelaksanaan penyebaran bibit unggul wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pelaksanaan penyebaran bibit unggul wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pelaksanaan uji reformans recording dan seleksi wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pelaksanaan identifikasi perbibitan wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 7. Pembiayaan 1.a.Penetapan kebijakan dan pedoman pengembangan investasi dan permodalan melalui lembaga perbankan dan non perbankan dan dana yang bersumber dari masyarakat.
— c. — d. — e. — 1.a.Penerapan kebijakan dan pemantauan pengembangan investasi dan kebijakan permodalan melalui lembaga perbankan dan non perbankan wilayah provinsi.
— c. — d. — e. Pengawasan penyaluran, pemanfaatan dan kredit program wilayah provinsi.
a.Penerapan kebijakan dan pedoman pembiayaan dari lembaga keuangan perbankan dan non perbankan wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pengembangan dan pemanfaatan sumber-sumber pembiayaan/kredit program wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan penyusunan rencana usaha agribisnis wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pemberdayaan lembaga keuangan mikro pedesaan wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan dan pengawasan penyaluran, pemanfaatan dan kredit program wilayah SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA f. — f. Pembinaan dan pengawasan penyaluran, pemanfaatan dan kredit program wilayah provinsi. kabupaten/kota.
— 8. Kesehatan Hewan (Keswan), Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewan 1.a.Penetapan kebijakan dan pedoman keswan, kesmavet dan kesejahteraan hewan.
— c. — d. — 1.a.Penerapan kebijakan dan pedoman keswan, kesmavet dan kesejahteraan hewan wilayah provinsi.
Pembinaan dan pengawasan praktek hygiene -sanitasi produsen Produk Asal Hewan (PAH).
Sertifikasi dan surveilans Nomor Kontrol Veteriner (NKV) unit usaha PAH yang memenuhi syarat.
Pengawasan peredaran lalu lintas produk hewan dari/ke wilayah provinsi dan lintas kabupaten/kota.
a.Penerapan kebijakan dan pedoman keswan, kesmavet dan kesejahteraan hewan wilayah kabupaten/kota.
Pembinaan dan pengawasan praktek hygiene -sanitasi pada produsen dan tempat penjajaan PAH.
Monitoring penerapan persyaratan hygiene -sanitasi pada unit usaha PAH yang mendapat NKV.
Pengawasan lalu lintas produk ternak dari/ke wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA e. — f. — g. — 2.a.Pengamatan, penyidikan dan pemetaan penyakit hewan nasional.
— e. Pembinaan penerapan kesejahteraan hewan.
— g. — 2.a.Pengamatan, penyidikan dan pemetaan penyakit hewan wilayah provinsi.
— e. Bimbingan dan penerapan kesejahteraan hewan.
Bimbingan pembangunan dan pengelolaan pasar hewan dan unit-unit pelayanan keswan wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pemantauan dan pengawasan pembangunan dan operasional pasar hewan dan unit-unit pelayanan keswan wilayah kabupaten/kota.
a.Pengamatan, penyidikan dan pemetaan penyakit hewan wilayah kabupaten/kota.
Pengawasan kesehatan masyarakat veteriner. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3.a.Pengaturan dan penetapan norma, standar teknis pelayanan keswan, kesmavet serta kesejahteraan hewan.
— 4. Pembinaan pembangunan dan pengelolaan laboratorium keswan dan laboratorium kesmavet skala nasional.
a.Penetapan dan penanggulangan wabah termasuk zoonosis tertentu berskala nasional.
— 3.a.Penerapan dan pengawasan norma standar teknis pelayanan keswan, kesmavet serta kesejahteraan hewan wilayah provinsi.
— 4. Pembangunan dan pengelolaan laboratorium keswan dan laboratorium kesmavet wilayah provinsi.
a.Penanggulangan wabah dan penyakit hewan menular wilayah provinsi.
Pemantauan dan pengawasan pelaksanaan penanggulangan wabah dan penyakit hewan menular wilayah provinsi.
a.Penerapan dan pengawasan norma, standar teknis pelayanan keswan, kesmavet serta kesejahteraan hewan wilayah kabupaten/kota.
Pengawasan urusan kesejahteraan hewan.
Bimbingan pembangunan dan pengelolaan laboratorium keswan dan laboratorium kesmavet wilayah kabupaten/kota.
a.Penanggulangan wabah dan penyakit hewan menular wilayah kabupaten/kota.
Pemantauan dan pengawasan pelaksanaan penanggulangan wabah dan penyakit hewan menular wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c. — d. — e. — 6. Penetapan standar teknis minimal Rumah Potong Hewan (RPH) dan Rumah Potong Unggas (RPU) keamanan dan mutu produk hewan, laboratorium kesmavet, satuan pelayanan peternakan terpadu, rumah sakit hewan dan pelayanan keswan.
Pencegahan penyakit hewan menular wilayah provinsi.
Penutupan dan pembukaan kembali status daerah wabah tingkat provinsi.
Pengaturan dan pengawasan pelaksanaan pelarangan pemasukan hewan, bahan asal hewan ke/dari wilayah Indonesia antar provinsi di wilayah provinsi.
Penetapan dan identifikasi kebutuhan standar teknis minimal RPH/RPU, keamanan dan mutu produk hewan, laboratorium kesmavet, satuan pelayanan peternakan terpadu, rumah sakit hewan dan pelayanan keswan.
Pencegahan penyakit hewan menular wilayah kabupaten/kota.
Penutupan dan pembukaan kembali status daerah wabah kabupaten/kota.
Pengaturan dan pengawasan pelaksanaan pelarangan pemasukan hewan, bahan asal hewan ke/dari wilayah Indonesia antar provinsi di wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan penerapan dan standar teknis minimal RPH/RPU, keamanan dan mutu produk hewan, laboratorium kesmavet, satuan pelayanan peternakan terpadu, rumah sakit hewan dan pelayanan keswan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 7. Penetapan pedoman pengawasan lalu lintas ternak, produk ternak dan hewan kesayangan.
a.Penetapan pedoman pelayanan keswan.
— c.— 7. Pengawasan lalu lintas ternak, produk ternak dan hewan kesayangan dari/ke wilayah provinsi dan lintas kabupaten/kota.
a.Pembinaan dan pengawasan pelayanan keswan.
— c. — 7. Pengawasan lalu lintas ternak, produk ternak dan hewan kesayangan dari/ke wilayah kabupaten/kota.
a.Bimbingan pelaksanaan unit pelayanan keswan (pos keswan, praktek dokter hewan mandiri, klinik hewan).
Bimbingan dan pelaksanaan pengamatan, pemetaan, pencatatan kejadian dan penanggulangan penyakit hewan.
Bimbingan pelaksanaan penyidikan epidemiologi penyakit hewan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA d.— e.— f. — g.— d. — e. Pembinaan dan pengawasan penerapan standar teknis RPH dan RPU, rumah sakit hewan/unit pelayanan keswan terpadu, pet shop , poultry shop dan distributor obat hewan.
— g. — d. Bimbingan pelayanan kesehatan hewan pada lembaga-lembaga maupun perorangan yang mendapat ijin konservasi satwa liar.
Bimbingan dan pengawasan pelayanan keswan, kesmavet di RPH, tempat pemotongan hewan sementara, tempat pemotongan hewan darurat dan usaha susu.
Bimbingan pengaturan pelayanan kesehatan hewan pada lalu lintas tata niaga hewan (hewan besar, sedang dan kecil).
Bimbingan pelaksanaan sosialisasi dan surveilance Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP). SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA h.— i. — j. — k.— l. — h. Pembinaan dan pengawasan RPH dan RPU.
— j. — k.Pemeriksaan dan pengawasan residu produk pangan asal hewan.
Pembinaan dan sertifikasi pelayanan medik veteriner (dokter hewan praktek, klinik hewan dan rumah sakit hewan).
Bimbingan pelaksanaan standarisasi jagal hewan.
Bimbingan pelaksanaan pelaporan dan pendataan penyakit individual/menular yang mewabah.
Bimbingan pelaksanaan penutupan wilayah pada penyakit hewan yang menular yang mewabah.
Bimbingan pelaksanaan pemeriksaan peredaran produk pangan asal hewan dan pengolahan produk pangan asal hewan.
Bimbingan pelaksanaan dan pengawasan larangan pemotongan ternak betina produktif. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA m. — n.— o.— p.— q.— m. Pembinaan, pengawasan dan pengujian ternak dan bahan asal hewan untuk tujuan ekspor (ternak, daging, susu, hewan kesayangan, hewan liar, dll).
— o. Pembinaan dan pengawasan penyidikan penyakit hewan.
Pembinaan penyidikan dan epidemiologi penyakit hewan, parasit, bakteri, virus dan penyakit hewan lainnya.
Pembinaan pemberantasan dan pencegahan wabah m.Bimbingan pelaksanaan pemantauan penyakit zoonosis.
Bimbingan pelaksaaan peredaran produk pangan asal hewan dan produk hewani non pangan.
Bimbingan pengamatan dan penyidikan epidemiologi penyakit hewan parasit, bakteri, virus dan penyakit hewan lainnya.
— q. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA r. — s.— t. — u. — v.— w. — penyakit hewan menular strategis mewabah.
Pembinaan peramalan wabah penyakit hewan menular wilayah provinsi.
Pembinaan penutupan dan pembukaan kembali wilayah penyakit hewan menular lintas kabupaten/kota.
Pembinaan pembuatan peta situasi penyebaran penyakit hewan di provinsi.
Pembinaan dan pengawasan dan pemantauan penyakit hewan zoonosis.
Pembinaan pelayanan dan pengamanan wilayah terpadu pada kejadian wabah/epidemik.
Pembinaan penerapan r. — s. Penutupan dan pembukaan kembali wilayah penyakit hewan menular skala kabupaten/kota.
— u. — v. — w. Bimbingan penerapan norma, SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA x.— y.— z. — 9.a.Penetapan pedoman dan standar dan sertifikasi pelayanan medik/paramedik veteriner.
— standar teknis pelayanan keswan, kesmavet serta kesejahteraan hewan wilayah provinsi.
— y. — z. — 9.a.Pembinaan dan pelaporan pelayanan medik/paramedik veteriner di lembaga-lembaga pemerintahan dan unit-unit pelayanan medik/paramedik veteriner di tingkat provinsi.
— standar teknis pelayanan keswan, kesmavet serta kesejahteraan hewan wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan dan pengawasan urusan kesejahteraan hewan.
Sertifikasi keswan yang keluar/masuk wilayah kabupaten/kota.
Sertifikasi kesehatan bahan asal hewan yang keluar/masuk wilayah kabupaten/kota.
a.Pelaksanaan pelayanan medik/paramedik veteriner di kabupaten/kota.
Pelaporan pelayanan medik/ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 10.a. Pedoman, standar dan norma penyidikan penyakit hewan.
— c.— 10.a.Pembinaan dan pengawasan penyidikan penyakit hewan.
Pembinaan penyidikan dan epidemiologi penyakit hewan, parasit, bakteri dan penyakit hewan lainnya.
— paramedik veteriner dalam pencegahan dan penanggulangan penyakit hewan menular/non menular, penyakit individual, penyakit parasiter, virus, bakteri, penyakit reproduksi dan gangguan reproduksi.
a.Bimbingan pengamatan dan penyidikan epidemiologi penyakit hewan parasit, bakteri, virus dan penyakit hewan lainnya.
Bimbingan penerapan norma, standar teknis pelayanan kesehatan hewan.
Sertifikasi kesehatan hewan yang keluar/masuk wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 9. Penyebaran dan Pengembangan Peternakan 1.a.Penetapan kebijakan dan pedoman penyebaran dan pengembangan peternakan.
— 2.a.Penetapan pedoman lalu lintas ternak antar daerah.
— c. — 3.a. — 1.a.Penerapan dan pengawasan pelaksanaan kebijakan dan pedoman penyebaran dan pengembangan peternakan wilayah provinsi.
— 2.a.Pemantauan lalu lintas ternak wilayah provinsi.
— c. — 3.a. Pembinaan penetapan pedoman lalu lintas ternak bibit wilayah provinsi.
a.Pelaksanaan kebijakan penyebaran pengembangan peternakan wilayah kabupaten/kota.
Pemantauan penyebaran ternak yang dilakukan swasta wilayah kabupaten/kota.
a.Pemantauan lalu lintas ternak wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan melaksanakan kebijakan penyebaran dan pengembangan peternakan wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pemantauan dan penyebaran ternak yang dilakukan swasta.
a. Bimbingan pelaksanaan penetapan penyebaran ternak wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. — 4. — 5. — 6. — 7. — 8. — b. — 4. — 5. — 6. — 7. — 8. — b. Bimbingan pelaksanaan penetapan penyebaran, registrasi dan redistribusi ternak wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pelaksanaan identifikasi dan seleksi ternak wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pelaksanaan identifikasi calon penggaduh wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pelaksanaan seleksi lokasi.
Bimbingan pelaksanaan seleksi calon penggaduh.
Pelaksanaan identifikasi lokasi terhadap penyebaran ternak. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 9. — 10. — 9. — 10. — 9. Bimbingan pelaksanaan sistem dan pola penyebaran ternak.
Bimbingan pelaksanaan evaluasi pelaporan penyebaran dan pengembangan ternak.
Perizinan/ Rekomendasi 1.a.Penetapan pedoman pendaftaran perijinan usaha peternakan dan kesehatan hewan.
— c. — d. — e. — 1.a.Pembinaan pemberian perizinan usaha di bidang peternakan dan kesehatan hewan di wilayah provinsi.
— c. — d. — e. — 1.a.Pemberian izin usaha budidaya peternakan wilayah kabupaten/kota.
Pemberian izin rumah sakit hewan/pasar hewan.
Pemberian izin praktek dokter hewan.
Pemberian izin laboratorium keswan dan laboratorium kesmavet.
Pendaftaran usaha peternakan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA f. — g. — 2. Penetapan pedoman, norma dan standar pelayanan medik veteriner.
Pendaftaran mutu pakan.
a.Pendaftaran prototipe alat dan mesin peternakan dan keswan.
— f. — g. — 2. Pembinaan dan sertifikasi pelayanan medik veteriner (dokter hewan praktek, klinik hewan dan rumah sakit hewan).
Rekomendasi pendaftaran mutu pakan.
a.Penentuan kebutuhan prototipe alat dan mesin peternakan dan keswan wilayah provinsi.
— f. Pemberian izin usaha RPH/RPU.
Pemantauan dan pengawasan pelaksanaan izin usaha peternakan.
— 3. — 4.a.Pemberian izin pengadaan dan peredaran alat dan mesin peternakan dan keswan wilayah kabupaten/kota.
Pengembangan alat dan mesin peternakan dan keswan sesuai standar wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Pendaftaran obat hewan.
Pemberian izin usaha obat hewan sebagai produsen dan importir.
a.Pemberian izin pemasukan dan pengeluaran bibit ternak dari dan keluar negeri.
— 8.a.Pemberian persetujuan pemasukan hewan dan produk hewan dari luar negeri serta sertifikat pengeluaran dan produk hewan ke luar negeri.
— 5. — 6. Pemberian izin usaha obat hewan sebagai distributor wilayah provinsi.
a.Pemberian izin pengeluaran ternak bibit dan potong dari dan ke wilayah provinsi.
Pemantauan dan rekomendasi pemasukan dan pengeluaran dari dan keluar negeri.
a.Pemberian rekomendasi pemasukan/ pengeluaran hewan/ternak dan produk hewan dari dan antar provinsi/pulau.
— 5. — 6. Pemberian izin usaha obat hewan di tingkat depo, toko, kios dan pengecer obat hewan, poultry shop dan pet shop wilayah kabupaten/kota.
a.— b. Bimbingan dan pemantauan ternak bibit asal impor wilayah kabupaten/ kota.
a.Pemberian surat keterangan asal hewan dan produk hewan.
Pemberian surat keterangan asal/kesehatan bahan asal SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 9. Penetapan instalasi karantina hewan sementara.
Penetapan pedoman usaha budidaya hewan kesayangan.
Penetapan pedoman, standar alat angkut/transportasi produk peternakan.
a.Penetapan pedoman pemberian NKV.
— 9. Pemberian rekomendasi instalasi karantina hewan di wilayah provinsi.
Pembinaan izin usaha budidaya hewan kesayangan wilayah provinsi.
Pembinaan usaha alat angkut/transportasi produk peternakan.
a.Pembinaan dan pemberian NKV untuk unit usaha produk pangan asal hewan wilayah provinsi.
— ternak dan hasil bahan asal ternak.
Pemberian rekomendasi instalasi karantina hewan di wilayah kabupaten/kota.
Pembinaan izin usaha budidaya hewan kesayangan kabupaten/kota.
Pemberian izin usaha alat angkut/transportasi produk peternakan.
a.Bimbingan standar teknis unit usaha produk pangan asal hewan wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pelaksanaan penerapan NKV wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 11.Pembinaan Usaha 1. Penetapan pedoman kerjasama/kemitraan usaha peternakan.
Penerapan dan pengawasan pelaksanaan pedoman kerjasama/kemitraan usaha peternakan wilayah provinsi.
Penerapan dan pengawasan pelaksanaan pedoman kerjasama/kemitraan usaha peternakan wilayah kabupaten/kota.
a.Penetapan pedoman pembinaan usaha peternakan yang meliputi budidaya pembinaan mutu, pengolahan hasil peternakan dan hasil bahan asal hewan, penetapan tarif pemasaran dan kelembagaan usaha.
a.Pembinaan dan pengawasan penerapan standar teknis pembinaan mutu dan pengolahan hasil peternakan dan hasil bahan asal hewan wilayah provinsi.
a.Bimbingan penerapan standar-standar teknis, pembinaan mutu dan pengolahan hasil peternakan wilayah kabupaten/kota.
— b. Pembinaan dan pengawasan lembaga sistem mutu produk peternakan dan hasil bahan asal hewan wilayah provinsi.
Bimbingan pemantauan dan pengawasan lembaga sistem mutu produk peternakan dan hasil bahan asal wilayah kabupaten/kota.
— c. Pembinaan dan pengawasan peningkatan mutu hasil peternakan dan hasil bahan asal hewan wilayah provinsi.
Bimbingan peningkatan mutu hasil peternakan dan hasil bahan asal hewan wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA d. — d. Pembinaan dan pengawasan pengelolaan unit pengolahan alat transportasi, unit penyimpanan hasil bahan asal hewan wilayah provinsi.
Bimbingan pengelolaan unit pengolahan, alat transportasi, unit penyimpanan hasil bahan asal hewan wilayah kabupaten/kota.
— e. Promosi komoditas peternakan wilayah provinsi. e. Promosi komoditas peternakan wilayah kabupaten/kota.
— f. Pembinaan analisis usaha tani dan pemasaran hasil peternakan wilayah provinsi.
Bimbingan analisis usaha tani dan pemasaran hasil peternakan wilayah kabupaten/kota.
— g. Pembinaan kelembagaan usaha tani, manajemen usaha tani dan pencapaian pola kerjasama usaha tani wilayah provinsi.
Bimbingan kelembagaan usaha tani, manajemen usaha tani dan pencapaian pola kerjasama usaha tani wilayah kabupaten/kota.
— h. Pembinaan dan pengawasan penerapan standar teknis peternakan dan kesehatan hewan, pembinaan mutu dan pengelolaan hasil peternakan, h. Bimbingan pelaksanaan standardisasi teknis analisa usaha, pembinaan mutu dan pengolahan hasil serta pemasaran. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA i. — j. — k. — l. — kelembagaan usaha tani, pelayanan dan izin usaha.
— j. Pembinaan dan pengawasan penerapan teknologi panen, pasca panen dan pengolahan hasil peternakan wilayah provinsi.
Pembinaan dan pengawasan pemeriksaan hygiene dan sanitasi lingkungan usaha peternakan wilayah provinsi.
Pembinaan dan pelaksanaan studi amdal/UKL-UPL di bidang peternakan wilayah provinsi.
Pembinaan mutu dan pengelolaan hasil produk olahan peternakan dan keswan.
Bimbingan penerapan teknologi panen, pasca panen dan pengolahan hasil peternakan wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan pemantauan dan pemeriksaan hygiene dan sanitasi lingkungan usaha peternakan wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan dan pelaksanaan studi amdal/UKL-UPL di bidang peternakan wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA m.— m.Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan amdal wilayah provinsi.
Bimbingan pelaksanaan amdal wilayah kabupaten/kota.
Penetapan pedoman kerjasama/kemitraan usaha peternakan.
Pembinaan dan pengawasan penerapan pedoman kerjasama/kemitraan usaha peternakan wilayah provinsi.
Bimbingan penerapan pedoman kerjasama/kemitraan usaha peternakan wilayah kabupaten/kota.
Sarana Usaha 1.a.Penetapan kebijakan, pedoman, norma dan standar sarana usaha.
— 1.a.Bimbingan penerapan pedoman, norma, standar sarana usaha wilayah provinsi.
Bimbingan teknis pembangunan sarana fisik (bangunan), penyimpanan, pengolahan dan pemasaran sarana produksi serta pemasaran hasil peternakan wilayah provinsi.
a.Bimbingan penerapan pedoman, norma, standar sarana usaha wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan teknis pembangunan sarana fisik (bangunan), penyimpanan, pengolahan dan pemasaran sarana produksi serta pemasaran hasil peternakan wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 13. Panen, Pasca Panen dan Pengolahan Hasil 1. Penetapan kebijakan penanganan panen, pasca panen dan pengolahan hasil peternakan.
Penetapan metode perkiraan kehilangan hasil budidaya peternakan.
Penetapan standar unit pengolahan, alat transportasi dan unit penyimpanan dan kemasan hasil peternakan.
a.Penetapan pedoman panen, pasca panen dan pengolahan hasil peternakan.
— 1. Pemantauan dan evaluasi penanganan panen, pasca panen dan pengolahan hasil peternakan wilayah provinsi.
Bimbingan perhitungan perkiraan kehilangan hasil budidaya peternakan wilayah provinsi.
Pengawasan standar unit pengolahan, alat transportasi dan unit penyimpanan dan kemasan hasil peternakan wilayah provinsi.
a.Penyebarluasan dan pemantauan penerapan teknologi panen, pasca panen dan pengolahan hasil peternakan wilayah provinsi.
— 1. Bimbingan penanganan panen, pasca panen dan pengolahan hasil peternakan wilayah kabupaten/kota.
Perhitungan perkiraan kehilangan hasil budidaya peternakan wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan penerapan standar unit pengolahan, alat transportasi dan unit penyimpanan dan kemasan hasil peternakan wilayah kabupaten/kota.
a.Penyebarluasan dan pemantauan penerapan teknologi panen, pasca panen dan pengolahan hasil peternakan wilayah kabupaten/kota.
Bimbingan penerapan teknologi panen, pasca panen SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA dan pengolahan hasil peternakan wilayah kabupaten/kota.
Pemasaran 1. Penetapan pedoman pemasaran hasil peternakan.
Promosi komoditas peternakan nasional dan internasional.
Penyebarluasan informasi pasar dalam dan luar negeri.
Pemantauan dan evaluasi pemasaran hasil peternakan wilayah provinsi.
Promosi komoditas peternakan wilayah provinsi.
Penyebarluasan informasi pasar wilayah provinsi.
Bimbingan pemasaran hasil peternakan wilayah kabupaten/kota.
Promosi komoditas peternakan wilayah kabupaten/kota.
Penyebarluasan informasi pasar wilayah kabupaten/kota.
Pengembangan sistem statistik dan informasi peternakan dan keswan 1. Penetapan kebijakan pengembangan sistem statistik dan informasi peternakan nasional.
Bimbingan penerapan sistem perstatistikan dan informasi peternakan wilayah provinsi.
Penerapan sistem perstatistikan dan informasi peternakan wilayah kabupaten/kota.
Pembinaan dan pengelolaan sistem statistik dan informasi peternakan nasional.
Pengolahan sistem statistik dan informasi peternakan wilayah provinsi.
Pengumpulan, pengolahan dan analisis data peternakan wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penetapan kebijakan dan pedoman perstatistikan peternakan dan keswan nasional.
Pembinaan dan pengawasan penerapan perstatistikan peternakan dan keswan wilayah provinsi.
Bimbingan penerapan perstatistikan peternakan dan keswan wilayah kabupaten/kota.
a.Pembinaan dan pengelolaan sistem statistik dan informasi peternakan dan kesehatan hewan nasional.
a.Pembinaan dan pengawasan penerapan sistem informasi wilayah provinsi.
a.Bimbingan penerapan sistem informasi wilayah kabupaten/kota.
— b. Pembinaan dan pengawasan pengumpulan, pengelolaan, analisis, penyajian dan pelayanan data dan statistik peternakan dan kesehatan hewan wilayah provinsi.
— c. — c. Pembinaan dan pengawasan manajemen pengumpulan, pengolahan data komoditas/produksi peternakan dan sumberdaya strategis lintas kabupaten/kota.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA d. — d. Pembinaan dan pengawasan pengumpulan, pengolahan, analisis, penyajian dan pelayanan data dan statistik komoditas strategis.
— e. — e. Pembinaan dan pengawasan pelayanan informasi pembangunan peternakan dan keswan wilayah provinsi.
— f. — g. — f. Pembinaan dan pengawasan terminal cyber space agribisnis peternakan dan keswan wilayah provinsi.
Pembinaan dan pengawasan pengumpulan, analisis dan informasi kebutuhan produk peternakan dan keswan wilayah provinsi.
— g. — 16. Pengawasan dan Evaluasi 1. Pengawasan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan, norma, standar, kriteria, pedoman dan 1. — 1. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA prosedur di bidang peternakan dan keswan dan kesmavet.
Ketahanan Pangan 1. Ketahanan Pangan 1.a.Pengaturan, pengawasan dan pembinaan peningkatan ketersediaan dan keragaman pangan.
— c. — d. — 2.a.Pengaturan dan koordinasi cadangan pangan pemerintah 1.a.Identifikasi ketersediaan dan keragaman produk pangan.
Identifikasi kebutuhan produksi dan konsumsi masyarakat.
Koordinasi pencegahan dan pengendalian masalah pangan sebagai akibat menurunnya ketersediaan pangan karena berbagai sebab.
— 2.a.Pembinaan cadangan pangan masyarakat.
a.Identifikasi potensi sumberdaya dan produksi pangan serta keragaman konsumsi pangan masyarakat.
Pembinaan peningkatan produksi dan produk pangan berbahan baku lokal.
Pembinaan pengembangan penganekaragaman produk pangan.
Pencegahan dan pengendalian masalah pangan sebagai akibat menurunnya ketersediaan pangan.
a.Identifikasi cadangan pangan masyarakat. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA dan pembinaan cadangan pangan masyarakat.
— c. — 3.a.Pengaturan dan pengawasan peningkatan akses pangan untuk masyarakat miskin dan rawan pangan.
— c. — b. Pengembangan dan pengaturan cadangan pangan pokok tertentu provinsi.
Koordinasi dan pengendalian cadangan pangan pemerintah dan masyarakat.
a.Koordinasi penanganan kerawanan pangan provinsi.
Koordinasi pencegahan dan penanggulangan masalah pangan sebagai akibat menurunnya mutu, gizi dan keamanan pangan.
Pengendalian kerawanan pangan wilayah provinsi.
Pengembangan dan pengaturan cadangan pangan pokok tertentu kabupaten/kota.
Pembinaan dan monitoring cadangan pangan masyarakat.
a.Penanganan dan penyaluran pangan untuk kelompok rawan pangan tingkat kabupaten/kota.
Pencegahan dan penanggulangan masalah pangan sebagai akibat menurunnya mutu, gizi dan keamanan pangan.
Identifikasi kelompok rawan pangan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4.a.Peningkatan infrastruktur distribusi dan koordinasi pengendalian stabilitas harga pangan strategis.
— c. — d. — e. — 4.a.Identifikasi infrastruktur distribusi pangan.
Pengembangan infrastruktur distribusi pangan provinsi dan koordinasi pengembangan infrastruktur provinsi.
Koordinasi pencegahan penurunan akses pangan masyarakat dan peningkatan akses pangan masyarakat.
Informasi harga di provinsi.
Pengembangan jaringan pasar di wilayah provinsi.
a.Identifikasi infrastruktur distribusi pangan kabupaten/kota.
Pengembangan infrastruktur distribusi pangan kabupaten/kota.
Pencegahan dan pengendalian masalah pangan sebagai akibat penurunan akses pangan.
Informasi harga di kabupaten/kota.
Pembangunan pasar untuk produk pangan yang dihasilkan masyarakat kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5.a.Pembinaan peningkatan keragaman konsumsi serta mutu, gizi dan keamanan pangan.
— c. — d. — e. — f. — 5.a.Identifikasi pangan pokok masyarakat.
— c. Pembinaan peningkatan mutu konsumsi masyarakat menuju gizi seimbang berbasis bahan baku lokal.
Pembinaan mutu dan keamanan produk pangan pabrikan di provinsi.
— f. — 5.a.Identifikasi pangan pokok masyarakat.
Peningkatan mutu konsumsi masyarakat.
— d. Pembinaan dan pengawasan mutu dan keamanan produk pangan masyarakat.
Analisis mutu, gizi dan keamanan produk pangan masyarakat.
Analisis mutu dan gizi konsumsi masyarakat. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA g. — 6.a.Fasilitasi peran serta masyarakat dan bekerja sama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
— c. — d. — 7. Pengendalian pemantapan ketahanan pangan nasional.
Pengembangan kelembagaan sertifikasi produk pangan segar dan pabrikan skala kecil/rumah tangga.
a.Identifikasi LSM dan tokoh masyarakat provinsi.
Pengembangan dan fasilitasi forum masyarakat provinsi.
Pengembangan µ trust fund µ provinsi.
Pengalokasian APBD provinsi untuk ketahanan pangan.
Pengumpulan dan analisis informasi ketahanan pangan provinsi.
Pembinaan dan pengawasan produk pangan segar dan pabrikan skala kecil/rumah tangga.
a.Identifikasi LSM dan tokoh masyarakat kabupaten/kota.
Pengembangan dan fasilitasi forum masyarakat kabupaten/kota.
Pengembangan µ trust fund µ di kabupaten/kota.
Pengalokasian APBD kabupaten/kota untuk ketahanan pangan.
Pengumpulan dan analisis informasi ketahanan pangan kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Keamanan Pangan 1. Perumusan standar Batas Minimum Residu (BMR).
Penyusunan modul pelatihan inspektur, fasilitator, Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) keamanan pangan.
Pembinaan sistem manajemen laboratorium uji mutu dan keamanan pangan nasional.
a.Monitoring otoritas kompeten provinsi.
— 1. Pembinaan penerapan standar BMR wilayah provinsi.
Pelatihan inspektur, fasilitator, PPNS keamanan pangan wilayah provinsi.
Pembinaan sistem manajemen laboratorium uji mutu dan keamanan pangan provinsi.
a.Monitoring otoritas kompeten kabupaten/kota.
Pelaksanaan sertifikasi dan pelabelan prima wilayah provinsi.
Penerapan standar BMR wilayah kabupaten/kota.
Pelatihan inspektur, fasilitator, PPNS keamanan pangan wilayah kabupaten/kota.
Pembinaan sistem manajemen laboratorium uji mutu dan keamanan pangan kabupaten/kota.
a.— b. Pelaksanaan sertifikasi dan pelabelan prima wilayah kabupaten/kota.
Penunjang 1. Karantina Pertanian 1. Penetapan kebijakan dan pedoman perkarantinaan pertanian (hewan dan tumbuhan).
— 1. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pelaksanaan perkarantinaan pertanian (hewan dan tumbuhan).
— 2. — 2. Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) Pertanian 1. Penetapan kebijakan SDM pertanian tingkat nasional.
Penetapan persyaratan jabatan pada institusi pertanian.
Perencanaan, pengembangan, mutasi jabatan fungsional (rumpun ilmu hayat dan non rumpun ilmu hayat) nasional.
Pengkajian SDM pertanian.
Penetapan norma, standarisasi kelembagaan pendidikan keahlian pertanian.
Penetapan kebijakan SDM pertanian tingkat provinsi.
Penerapan persyaratan jabatan pada institusi pertanian di wilayah provinsi.
Perencanaan, pengembangan, mutasi jabatan fungsional (rumpun ilmu hayat dan non rumpun ilmu hayat) wilayah provinsi.
— 5. — 1. Penetapan kebijakan SDM pertanian tingkat kabupaten/kota.
Penerapan persyaratan jabatan pada institusi pertanian di wilayah kabupaten/kota.
Perencanaan, pengembangan, mutasi jabatan fungsional (rumpun ilmu hayat dan non rumpun ilmu hayat) di wilayah kabupaten/kota.
— 5. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Penyelenggaraan pendidikan keahlian pertanian.
Penetapan norma, standar dan akreditasi kelembagaan pendidikan keterampilan pertanian.
Penetapan dan pelaksanaan persyaratan, sertifikasi dan akreditasi jabatan tenaga fungsional pendidikan keahlian dan keterampilan pertanian.
Penetapan standar dan prosedur sistem dan metode pendidikan dan keahlian dan keterampilan pertanian.
Penetapan norma dan standar kelembagaan pelatihan pertanian.
Penyelenggaraan pendidikan keterampilan pertanian.
Penerapan norma, standar dan akreditasi kelembagaan pendidikan keterampilan pertanian.
Penetapan sertifikasi dan akreditasi jabatan fungsional pendidikan keterampilan pertanian.
Penerapan standarisasi dan prosedur sistem dan metode pendidikan keterampilan.
Penerapan norma dan standar kelembagaan pelatihan pertanian.
Penyiapan tenaga didik/peserta pendidikan keahlian dan keterampilan.
— 8. — 9. — 10.— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 11. Penyelenggaraan pelatihan keahlian pertanian.
Penetapan dan pelaksanaan persyaratan, sertifikasi dan akreditasi jabatan tenaga fungsional widyaiswara pertanian.
Penetapan standar dan prosedur sistem dan metode pelatihan pertanian.
Penyelenggaraan pelatihan keterampilan pertanian.
Pelaksanaan akreditasi jabatan fungsional widyaiswara.
Perencanaan dan standarisasi dan prosedur sistem dan metode pelatihan pertanian.
— 12.— 13.— 3. Penyuluhan Pertanian 1. Penetapan kebijakan dan pedoman penyuluhan pertanian.
Pembinaan penyelenggaraan penyuluhan pertanian provinsi.
Penetapan, norma dan standar kelembagaan penyuluhan pertanian.
Penerapan kebijakan dan pedoman penyuluhan pertanian.
Pembinaan penyelenggaraan penyuluhan pertanian wilayah kabupaten/kota.
Penetapan kelembagaan penyuluhan pertanian di provinsi sesuai norma dan standar.
Penerapan kebijakan dan pedoman penyuluhan pertanian.
Pembinaan penyelenggaraan penyuluhan pertanian wilayah kecamatan/desa.
Penetapan kelembagaan penyuluhan pertanian di kabupaten/kota sesuai norma dan standar. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Penetapan persyaratan, sertifikasi dan akreditasi jabatan penyuluh pertanian.
a Penetapan standar dan prosedur sistem kerja penyuluhan pertanian.
— 6. Penyelenggaraan penyuluhan pertanian di tingkat nasional.
Penerapan persyaratan, sertifikasi dan akreditasi jabatan penyuluh pertanian.
a Penerapan standar dan prosedur sistem kerja penyuluhan pertanian.
— 6. Penyelenggaraan penyuluhan pertanian di tingkat provinsi.
Penerapan persyaratan, sertifikasi dan akreditasi jabatan penyuluh pertanian.
a Penerapan standar dan prosedur sistem kerja penyuluhan pertanian.
Perencanaan penyuluhan pertanian di tingkat desa, kecamatan dan kabupaten/kota.
Penyelenggaraan penyuluhan pertanian di tingkat kabupaten/kota.
Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pertanian 1. Penetapan kebijakan arah dan prioritas penelitian dan pengembangan pertanian.
Penelitian yang menghasilkan teknologi di bidang pertanian.
— 2. Pemantauan dan pengawasan penerapan teknologi pertanian spesifik lokasi.
— 2. Bimbingan, pendampingan dan pengawasan penerapan teknologi hasil penelitian dan pengkajian. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Pembinaan, supervisi dan fasilitasi pengkajian, diseminasi dan penerapan teknologi/hasil pertanian.
Pembinaan, supervisi dan fasilitasi pengembangan dan penerapan hasil pengkajian teknologi spesifik lokasi.
— 5. Perlindungan Varietas 1. Pengawasan penerapan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di bidang Perlindungan Varietas Tanaman (PVT).
Pengaturan dan pemberian hak PVT kepada penemu varietas baru.
Pemberian nama dan pendaftaran varietas lokal yang sebaran geografisnya meliputi lintas provinsi.
Izin penggunaan varietas lokal untuk pembuatan varietas turunan esensial yang sebaran geografisnya meliputi lintas provinsi.
— 2. — 3. Pemberian nama dan pendaftaran varietas lokal yang sebaran geografisnya meliputi lintas kabupaten/kota.
Izin penggunaan varietas lokal untuk pembuatan varietas turunan esensial yang sebaran geografisnya meliputi lintas kabupaten/kota.
— 2. — 3. Pemberian nama dan pendaftaran varietas lokal yang sebaran geografisnya pada satu kabupaten/kota.
Izin penggunaan varietas lokal untuk pembuatan varietas turunan esensial yang sebaran geografisnya pada satu kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Sumber Daya Genetik (SDG) 1.a.Menetapkan kebijakan pengelolaan (pelestarian dan pemanfaatan) sumber daya genetik yang berkaitan dengan akses dan pembagian keuntungan yang diperoleh dari pemanfaatan SDG secara berkelanjutan.
— 2. Pengaturan pemasukan dan pengeluaran plasma nutfah Convention on International Trade Endanger Species (CITES).
a.Pengaturan pembagian keuntungan yang diperoleh dari pemanfaatan SDG yang terdapat di beberapa kabupaten/kota yang ada di provinsi tersebut.
Pengawasan penyusunan perjanjian akses terhadap pembagian keuntungan dari pemanfaatan SDG yang ada di provinsi tersebut (kalau satu jenis SDG terdapat di beberapa kabupaten/kota).
— 1.a.Pengaturan hasil pembagian keuntungan yang diperoleh untuk konservasi SDG dan kesejahteraan masyarakat.
Pengawasan penyusunan perjanjian akses terhadap pembagian keuntungan dari pemanfaatan SDG yang ada di wilayahnya.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 7. Standarisasi dan Akreditasi 1. Perumusan kebijakan sektor pertanian di bidang standarisasi.
Penyusunan rencana dan penetapan program standarisasi sektor pertanian.
Koordinasi standarisasi nasional sektor pertanian.
Perumusan rancangan Standar Nasional Indonesia (SNI) sektor pertanian melalui konsensus untuk ditetapkan sebagai SNI.
Penetapan pemberlakuan SNI wajib.
Rekomendasi usulan kebijakan sektor pertanian di bidang standarisasi sesuai pengalaman di daerah.
Rekomendasi aspek teknis, sosial dan ekonomi dalam penyusunan rencana dan program standarisasi sektor pertanian.
Koordinasi standarisasi sektor pertanian di provinsi.
Koordinasi pengusulan kebutuhan standar yang akan dirumuskan sesuai kebutuhan daerah.
Rekomendasi aspek teknis, sosial dan bisnis dalam rencana pemberlakuan wajib SNI serta memberikan usulan pemberlakuan wajib SNI.
Rekomendasi usulan kebijakan sektor pertanian di bidang standarisasi sesuai pengalaman di daerah.
Rekomendasi aspek teknis, sosial dan ekonomi dalam penyusunan rencana dan program nasional di bidang standarisasi di daerah.
Koordinasi standarisasi sektor pertanian di kabupaten/kota.
Pengusulan kebutuhan standar yang akan dirumuskan.
Rekomendasi aspek teknis, sosial dan bisnis dalam rencana pemberlakuan wajib SNI serta mengusulkan usulan pemberlakuan wajib SNI. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Fasilitasi kelembagaan sektor pertanian yang akan mengajukan akreditasi.
Penilaian kesesuaian terhadap pemohon akreditasi di sektor pertanian.
Penetapan sistem dan pelaksanaan sertifikasi sektor pertanian.
Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan sistem sertifikasi sektor pertanian.
Pembinaan laboratorium penguji dan lembaga inspeksi dalam lingkungan pertanian.
Pembinaan dan pengawasan lembaga sertifikasi dan 6. Penerapan sistem manajemen mutu kelembagaan dalam rangka proses akreditasi di provinsi.
— 8. Penerapan sistem sertifikasi yang mendukung standarisasi sektor pertanian di provinsi.
— 10. Dukungan pengembangan laboratorium penguji dan lembaga inspeksi sektor pertanian di provinsi.
Kerjasama standarisasi dan penyampaian rekomendasi 6. Penerapan sistem manajemen mutu kelembagaan dalam rangka proses akreditasi di kabupaten/kota.
— 8. Penerapan sistem sertifikasi yang mendukung standarisasi sektor pertanian di kabupaten/kota.
— 10. Pengembangan pembinaan laboratorium penguji dan lembaga inspeksi sektor pertanian di kabupaten/kota.
Kerjasama standarisasi dalam rangka penerapan standar dan SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA laboratorium penguji dalam mendukung penerapan standarisasi di sektor pertanian.
Pengembangan dokumentasi dan informasi standarisasi sektor pertanian.
Menyusun dan melaksanakan program pemasyarakatan standarisasi sektor pertanian.
Penyelenggaraan program pendidikan dan pelatihan standarisasi sektor pertanian. teknis dalam rangka penerapan standar dan peningkatan daya saing produk pertanian.
Fasilitasi penyebaran dokumentasi dan informasi standarisasi sektor pertanian di provinsi.
Fasilitasi pelaksanaan program pemasyarakatan standarisasi di provinsi.
Fasilitasi penyelenggaraan program pendidikan dan pelatihan standarisasi sektor pertanian sesuai kebutuhan di provinsi. peningkatan daya saing produk pertanian.
Fasilitasi penyebaran dokumentasi dan informasi standarisasi sektor pertanian di kabupaten/kota.
Fasilitasi pelaksanaan program pemasyarakatan standarisasi di kabupaten/kota.
Fasilitasi penyelenggaraan program pendidikan dan pelatihan standarisasi sektor pertanian sesuai kebutuhan di kabupaten/kota. AA. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KEHUTANAN SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Inventarisasi Hutan 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria inventarisasi hutan, dan inventarisasi hutan kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, taman buru dan inventarisasi hutan daerah aliran sungai (DAS) skala nasional.
Penyelenggaraan inventarisasi hutan produksi, hutan lindung dan taman hutan raya dan skala DAS lintas kabupaten/kota.
Penyelenggaraan inventarisasi hutan produksi dan hutan lindung dan skala DAS dalam wilayah kabupaten/kota.
Pengukuhan Kawasan Hutan Produksi, Hutan Lindung, Kawasan Pelestarian Alam, Kawasan Suaka Alam dan Taman Buru 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pelaksanaan pengukuhan kawasan hutan produksi, hutan lindung, kawasan pelestarian alam, kawasan suaka alam dan taman buru.
— 1. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penunjukan Kawasan Hutan, Hutan Produksi, Hutan Lindung, Kawasan Pelestarian Alam, Kawasan Suaka Alam dan Taman Buru 1. Pelaksanaan penunjukan kawasan hutan produksi, hutan lindung, kawasan pelestarian alam, kawasan suaka alam dan taman buru.
Pemberian pertimbangan teknis penunjukan kawasan hutan produksi, hutan lindung, kawasan pelestarian alam, kawasan suaka alam dan taman buru.
Pengusulan penunjukan kawasan hutan produksi, hutan lindung, kawasan pelestarian alam, kawasan suaka alam dan taman buru.
Penataan Batas dan Pemetaan Kawasan Hutan Produksi, Hutan Lindung, Kawasan Pelestarian Alam, Kawasan Suaka Alam dan Taman Buru 1. Penyelenggaraan tata batas, penataan dan pemetaan kawasan hutan produksi, hutan lindung, kawasan pelestarian alam, kawasan suaka alam dan taman buru.
— 1. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Penetapan Kawasan Hutan Produksi, Hutan Lindung, Kawasan Pelestarian Alam, Kawasan Suaka Alam dan Taman Buru 1. Pelaksanaan penetapan kawasan hutan produksi, hutan lindung, kawasan pelestarian alam, kawasan suaka alam dan taman buru.
— 1. — 6. Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan penetapan pengelola kawasan hutan dengan tujuan khusus untuk masyarakat hukum adat, penelitian dan pengembangan, pendidikan dan pelatihan kehutanan, lembaga sosial dan keagamaan.
Pengusulan dan pertimbangan teknis pengelolaan kawasan hutan dengan tujuan khusus untuk masyarakat hukum adat, penelitian dan pengembangan, pendidikan dan pelatihan kehutanan, lembaga sosial dan keagamaan untuk skala provinsi.
Pengusulan pengelolaan kawasan hutan dengan tujuan khusus untuk masyarakat hukum adat, penelitian dan pengembangan, pendidikan dan pelatihan kehutanan, lembaga sosial dan keagamaan untuk skala kabupaten/kota dengan pertimbangan gubernur. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 7. Penatagunaan Kawasan Hutan 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria penatagunaan kawasan hutan, pelaksanaan penetapan fungsi, perubahan status dan fungsi hutan serta perubahan hak dari lahan milik menjadi kawasan hutan, pemberian perizinan penggunaan dan tukar menukar kawasan hutan.
Pertimbangan teknis perubahan status dan fungsi hutan, perubahan status dari lahan milik menjadi kawasan hutan, dan penggunaan serta tukar menukar kawasan hutan.
Pengusulan perubahan status dan fungsi hutan dan perubahan status dari lahan milik menjadi kawasan hutan, dan penggunaan serta tukar menukar kawasan hutan.
Pembentukan Wilayah Pengelolaan Hutan 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pelaksanaan penetapan pembentukan wilayah pengelolaan hutan, penetapan wilayah pengelolaan dan institusi wilayah pengelolaan, serta arahan pencadangan.
Pelaksanaan penyusunan rancang bangun, pembentukan dan pengusulan penetapan wilayah pengelolaan hutan lindung dan hutan produksi serta pertimbangan teknis institusi wilayah pengelolaan hutan.
Pertimbangan penyusunan rancang bangun dan pengusulan pembentukan wilayah pengelolaan hutan lindung dan hutan produksi, serta institusi wilayah pengelolaan hutan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 9. Rencana Pengelolaan Jangka Panjang (Dua Puluh Tahunan) Unit Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pengesahan rencana pengelolaan jangka panjang unit KPHP.
Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan jangka panjang unit kesatuan pengelolaan hutan produksi KPHP.
Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan jangka panjang unit KPHP.
Rencana Pengelolaan Jangka Menengah (Lima Tahunan) Unit KPHP 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pengesahan rencana pengelolaan jangka menengah unit KPHP.
Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan jangka menengah unit KPHP.
Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan jangka menengah unit KPHP.
Rencana Pengelolaan Jangka Pendek (Tahunan) Unit KPHP 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria rencana pengelolaan jangka pendek unit KPHP.
Pengesahan rencana pengelolaan jangka pendek unit KPHP.
Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan jangka pendek unit KPHP. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 12. Rencana Kerja Usaha Dua Puluh Tahunan Unit Usaha Pemanfaatan Hutan Produksi 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria dan pengesahan rencana kerja usaha dua puluh tahunan unit usaha pemanfaatan hutan produksi.
Pertimbangan teknis pengesahan rencana kerja usaha dua puluh tahunan unit usaha pemanfaatan hutan produksi.
Pertimbangan teknis pengesahan rencana kerja usaha dua puluh tahunan unit usaha pemanfaatan hutan produksi.
Rencana Pengelolaan Lima Tahunan Unit Usaha Pemanfaatan Hutan Produksi 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pengesahan rencana kerja lima tahunan unit usaha pemanfaatan hutan produksi.
Pertimbangan teknis pengesahan rencana kerja lima tahunan unit pemanfaatan hutan produksi.
Pertimbangan teknis pengesahan rencana kerja lima tahunan unit pemanfaatan hutan produksi.
Rencana Pengelolaan Tahunan (Jangka Pendek) Unit Usaha Pemanfaatan Hutan Produksi 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria rencana pengelolaan tahunan (jangka pendek) unit usaha pemanfaatan hutan produksi.
Penilaian dan pengesahan rencana pengelolaan tahunan (jangka pendek) unit usaha pemanfaatan hutan produksi.
Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan tahunan (jangka pendek) unit usaha pemanfaatan hutan produksi. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 15. Penataan Batas Luar Areal Kerja Unit Usaha Pemanfaatan Hutan Produksi 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pengesahan penataan batas luar areal kerja unit pemanfaatan hutan produksi.
— 1. Pertimbangan teknis untuk pengesahan, koordinasi dan pengawasan pelaksanaan penataan batas luar areal kerja unit pemanfaatan hutan produksi lintas kabupaten/kota.
Pengawasan terhadap pelaksanaan penataan batas luar areal kerja unit pemanfaatan hutan produksi dalam kabupaten/kota 1. Pertimbangan teknis untuk pengesahan, dan pengawasan pelaksanaan penataan batas luar areal kerja unit pemanfaatan hutan produksi dalam kabupaten/kota.
— 16. Rencana Pengelolaan Dua Puluh Tahunan (Jangka Panjang) Unit Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pengesahan rencana pengelolaaan dua puluh tahunan (jangka panjang) unit KPHL.
Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaaan dua puluh tahunan (jangka panjang) unit KPHL.
Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaaan dua puluh tahunan (jangka panjang) unit KPHL. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 17. Rencana Pengelolaan Lima Tahunan (Jangka Menengah) Unit KPHL 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pengesahan rencana pengelolaan lima tahunan (jangka menengah) unit KPHL.
Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan lima tahunan (jangka menengah) unit KPHL.
Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan lima tahunan (jangka menengah) unit KPHL.
Rencana Pengelolaan Tahunan (Jangka Pendek) Unit KPHL 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria rencana pengelolaan tahunan (jangka pendek) unit KPHL.
Pengesahan rencana pengelolaan tahunan (jangka pendek) unit KPHL.
Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan tahunan (jangka pendek) unit KPHL.
Rencana Kerja Usaha (Dua Puluh Tahunan) Unit Usaha Pemanfaatan Hutan Lindung 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pengesahan rencana kerja usaha (dua puluh tahunan) unit usaha pemanfaatan hutan lindung.
Pertimbangan teknis pengesahan rencana kerja usaha (dua puluh tahunan) unit usaha pemanfaatan hutan lindung.
Pertimbangan teknis pengesahan rencana kerja usaha (dua puluh tahunan) unit usaha pemanfaatan hutan lindung. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 20. Rencana Pengelolaan Lima Tahunan (Jangka Menengah) Unit Usaha Pemanfaatan Hutan Lindung 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pengesahan rencana pengelolaan lima tahunan (jangka menengah) unit usaha pemanfaatan hutan lindung.
Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan lima tahunan (jangka menengah) unit usaha pemanfaatan hutan lindung.
Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan lima tahunan (jangka menengah) unit usaha pemanfaatan hutan lindung.
Rencana Pengelolaan Tahunan (Jangka Pendek) Unit Usaha Pemanfaatan Hutan Lindung 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria rencana pengelolaan tahunan (jangka pendek) unit usaha pemanfaatan hutan lindung.
Penilaian dan pengesahan rencana pengelolaan tahunan (jangka pendek) unit usaha pemanfaatan hutan lindung.
Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan tahunan (jangka pendek) unit usaha pemanfaatan hutan lindung.
Penataan Areal Kerja Unit Usaha Pemanfaatan Hutan Lindung 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pengesahan penataan areal kerja unit usaha pemanfaatan hutan lindung.
Pertimbangan teknis pengesahan penataan areal kerja unit usaha pemanfaatan hutan lindung kepada pemerintah 1. Pertimbangan teknis pengesahan penataan areal kerja unit usaha pemanfaatan hutan lindung kepada provinsi. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 23. Rencana Pengelolaan Dua Puluh Tahunan (Jangka Panjang) Unit Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi (KPHK) 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pengesahan rencana pengelolaan dua puluh tahunan (jangka panjang) unit KPHK.
Pertimbangan teknis rencana pengelolaan dua puluh tahunan (jangka panjang) unit KPHK.
Pertimbangan teknis rencana pengelolaan dua puluh tahunan (jangka panjang) unit KPHK.
Rencana Pengelolaan Lima Tahunan (Jangka Menengah) Unit KPHK 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pengesahan rencana pengelolaan lima tahunan (jangka menengah) unit KPHK.
Pertimbangan teknis rencana pengelolaan lima tahunan (jangka menengah) unit KPHK.
Pertimbangan teknis rencana pengelolaan lima tahunan (jangka menengah) unit KPHK.
Rencana Pengelolaan Jangka Pendek (Tahunan) Unit KPHK 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pengesahan rencana pengelolaan jangka pendek (tahunan) unit KPHK.
Pertimbangan teknis rencana pengelolaan jangka pendek (tahunan) unit KPHK.
Pertimbangan teknis rencana pengelolaan jangka pendek (tahunan) unit KPHK. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 26. Rencana Pengelolaan Jangka Panjang (Dua Puluh Tahunan) Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Wisata Alam dan Taman Buru 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan penyusunan serta pengesahan rencana pengelolaan jangka panjang cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman wisata alam dan taman buru.
Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan jangka panjang (dua puluh tahunan) untuk cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman wisata alam dan taman buru skala provinsi.
Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan jangka panjang (dua puluh tahunan) untuk cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman wisata alam dan taman buru skala kabupaten/kota.
Rencana Pengelolaan Jangka Menengah Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Wisata Alam dan Taman Buru 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan penyusunan serta pengesahan rencana pengelolaan jangka menengah untuk cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman wisata alam dan taman buru.
Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan jangka menengah untuk cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman wisata alam dan taman buru skala provinsi.
Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan jangka menengah untuk cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman wisata alam dan taman buru skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 28. Rencana Pengelolaan Jangka Pendek Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Wisata Alam dan Taman Buru 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan penyusunan serta pengesahan rencana pengelolaan jangka pendek untuk cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman wisata alam, dan taman buru.
Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan jangka pendek untuk cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman wisata alam, dan taman buru skala provinsi.
Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan jangka pendek untuk cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman wisata alam dan taman buru skala kabupaten/kota 29. Penataan Blok (Zonasi) Cagar Alam, Suaka Marga Satwa, Taman Nasional, Taman Wisata Alam dan Taman Buru 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pelaksanaan penataan blok (zonasi) cagar alam, suaka marga satwa, taman nasional, taman wisata alam dan taman buru.
— 1. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 30. Pengelolaan Taman Hutan Raya 1. Pengesahan rencana pengelolaan jangka menengah (lima tahunan) dan jangka panjang (dua puluh tahunan).
Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria:
Pemanfaatan taman hutan raya b. Penataan blok c. Rehabilitasi 1. Pengelolaan taman hutan raya, penyusunan rencana pengelolaan (jangka menengah dan jangka panjang) dan pengesahan rencana pengelolaan jangka pendek serta penataan blok (zonasi) dan pemberian perizinan usaha pemanfaatan serta rehabilitasi di taman hutan raya skala provinsi.
— 1. Pengelolaan taman hutan raya, penyusunan rencana pengelolaan dan penataan blok (zonasi) serta pemberian perizinan usaha pariwisata alam dan jasa lingkungan serta rehabilitasi di taman hutan raya skala kabupaten/kota.
— 31. Rencana Kehutanan 1. Penetapan sistem perencanaan kehutanan dan penyusunan rencana-rencana kehutanan tingkat nasional.
Penyusunan rencana-rencana kehutanan tingkat provinsi.
Penyusunan rencana-rencana kehutanan tingkat kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 32. Sistem Informasi Kehutanan (Numerik dan Spasial) 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan penyusunan sistem informasi kehutanan (numerik dan spasial) tingkat nasional.
Penyusunan sistem informasi kehutanan (numerik dan spasial) tingkat provinsi.
Penyusunan sistem informasi kehutanan (numerik dan spasial) tingkat kabupaten/kota.
Pemanfaatan Hasil Hutan pada Hutan Produksi 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, dan pemberian serta perpanjangan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan produksi.
Pertimbangan teknis kepada menteri untuk pemberian dan perpanjangan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan produksi kecuali pada kawasan hutan negara pada wilayah kerja PERUM Perhutani.
Pertimbangan teknis kepada gubernur untuk pemberian dan perpanjangan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu serta pemberian perizinan usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu pada hutan produksi kecuali pada kawasan hutan negara pada wilayah kerja PERUM Perhutani.
Pemungutan Hasil Hutan pada Hutan Produksi 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria pemberian izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu pada hutan produksi.
Pemberian perizinan pemungutan hasil hutan kayu dan pemungutan hasil hutan bukan kayu pada hutan produksi skala provinsi kecuali pada kawasan hutan negara pada wilayah kerja PERUM Perhutani.
Pemberian perizinan pemungutan hasil hutan kayu dan pemungutan hasil hutan bukan kayu pada hutan produksi skala kabupaten/kota kecuali pada kawasan hutan negara pada wilayah kerja PERUM Perhutani. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 35. Pemanfaatan Kawasan Hutan dan Jasa Lingkungan pada Hutan Produksi 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria pemberian izin usaha pemanfaatan kawasan hutan dan jasa lingkungan.
Pemberian izin usaha pemanfaatan kawasan hutan dan jasa lingkungan skala provinsi kecuali pada kawasan hutan negara pada wilayah kerja PERUM Perhutani.
Pemberian izin usaha pemanfaatan kawasan hutan dan jasa lingkungan skala kabupaten/kota kecuali pada kawasan hutan negara pada wilayah kerja PERUM Perhutani.
Industri Pengolahan Hasil Hutan 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria industri primer hasil hutan dan pemberian izin industri primer hasil hutan kayu dengan kapasitas produksi > 6.000 m ^3 .
Pemberian izin industri primer hasil hutan kayu dengan kapasitas produksi 6.000 m ^3 serta pertimbangan teknis izin industri primer dengan kapasitas > 6.000 m ^3 .
Pertimbangan teknis pemberian izin industri primer hasil hutan kayu.
Penatausahaan Hasil Hutan 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pelaksanaan pengaturan penatausahaan hasil hutan.
Pengawasan dan pengendalian penatausahaan hasil hutan skala provinsi.
Pengawasan dan pengendalian penatausahaan hasil hutan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 38. Pemanfaatan Kawasan Hutan pada Hutan Lindung 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan penyelenggaraan perizinan pemanfaatan kawasan hutan dan pemungutan hasil hutan bukan kayu yang tidak dilindungi dan tidak termasuk ke dalam Lampiran (Appendix) Convention on International Trade Endangered Species (CITES) serta pemanfaatan jasa lingkungan skala nasional.
Pemberian perizinan pemanfaatan kawasan hutan dan pemungutan hasil hutan bukan kayu yang tidak dilindungi dan tidak termasuk ke dalam Lampiran (Appendix) CITES, dan pemanfaatan jasa lingkungan skala provinsi kecuali pada kawasan hutan negara pada wilayah kerja PERUM Perhutani.
Pemberian perizinan pemanfaatan kawasan hutan, pemungutan hasil hutan bukan kayu yang tidak dilindungi dan tidak termasuk ke dalam Lampiran (Appendix) CITES, dan pemanfaatan jasa lingkungan skala kabupaten/kota kecuali pada kawasan hutan negara pada wilayah kerja PERUM Perhutani.
Penerimaan Negara Bukan Pajak Bidang Kehutanan 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria, dan pemungutan penerimaan negara bukan pajak.
— 1. Pelaksanaan pemungutan penerimaan negara bukan pajak skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 40. Perencanaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Termasuk Hutan Mangrove 1. Penetapan pola umum, norma, standar, prosedur, dan kriteria rehabilitasi hutan dan lahan serta lahan kritis.
Penetapan lahan kritis skala nasional.
Penyusunan dan penetapan rencana rehabilitasi hutan dan lahan DAS/Sub DAS.
Penetapan rencana pengelolaan rehabilitasi hutan dan lahan, rencana tahunan dan rancangan rehabilitasi hutan pada hutan konservasi kecuali cagar alam dan zona inti taman nasional.
— 2. Penetapan lahan kritis skala provinsi.
Pertimbangan teknis rencana rehabilitasi hutan dan lahan DAS/Sub DAS.
Penetapan rencana pengelolaan rehabilitasi hutan, rencana tahunan dan rancangan rehabilitasi hutan pada taman hutan raya skala provinsi.
— 2. Penetapan lahan kritis skala kabupaten/kota.
Pertimbangan teknis rencana rehabilitasi hutan dan lahan DAS/Sub DAS.
Penetapan rencana pengelolaan, rencana tahunan dan rancangan rehabilitasi hutan pada hutan taman hutan raya skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 41. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai 5. Ɇ 1. Penetapan pola umum, norma, standar, prosedur, dan kriteria pengelolaan DAS, penetapan kriteria dan urutan DAS/Sub DAS prioritas serta penyusunan rencana pengelolaan DAS terpadu.
Penetapan rencana pengelolaan, rencana tahunan dan rancangan rehabilitasi hutan pada hutan produksi, hutan lindung yang tidak dibebani izin pemanfaatan/pengelolaan hutan dan lahan di luar kawasan hutan skala provinsi.
Pertimbangan teknis penyusunan rencana pengelolaan, penyelenggaraan pengelolaan DAS skala provinsi.
Penetapan rencana pengelolaan, rencana tahunan dan rancangan rehabilitasi hutan pada hutan produksi, hutan lindung yang tidak dibebani izin pemanfaatan/pengelolaan hutan dan lahan di luar kawasan hutan skala kabupaten/kota.
Pertimbangan teknis penyusunan rencana pengelolaan, penyelenggaraan pengelolaan DAS skala kabupatan/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 42. Pelaksanaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Termasuk Hutan Mangrove 1. Pelaksanaan rehabilitasi dan pemeliharaan hasil rehabilitasi hutan konservasi kecuali cagar alam dan zona inti taman nasional.
— 1. Pelaksanaan rehabilitasi hutan dan pemeliharaan hasil rehabilitasi hutan pada taman hutan raya skala provinsi.
Pelaksanaan rehabilitasi hutan dan pemeliharaan hasil rehabilitasi hutan pada hutan produksi, hutan lindung yang tidak dibebani izin pemanfaatan/pengelolaan hutan, dan lahan di luar kawasan hutan skala provinsi.
Pelaksanaan rehabilitasi hutan dan pemeliharaan hasil rehabilitasi hutan pada taman hutan raya skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan rehabilitasi hutan dan pemeliharaan hasil rehabilitasi hutan pada hutan produksi, hutan lindung yang tidak dibebani izin pemanfaatan/pengelolaan hutan, dan lahan di luar kawasan hutan skala kabupaten/kota.
Reklamasi Hutan pada Areal yang Dibebani Izin Penggunaan Kawasan Hutan 1. Penyusunan pola umum, norma, standar, prosedur, dan kriteria reklamasi hutan serta penilaian hasil reklamasi hutan.
Pengesahan rencana reklamasi hutan.
Pertimbangan teknis rencana reklamasi dan pemantauan pelaksanaan reklamasi hutan SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 44. Reklamasi Hutan Areal Bencana Alam 1. Penyusunan pola umum, norma, standar, prosedur, dan kriteria reklamasi hutan serta penyelenggaraan reklamasi hutan pada areal bencana alam skala nasional.
Penyusunan rencana dan pelaksanaan reklamasi hutan pada areal bencana alam skala provinsi 1. Penyusunan rencana dan pelaksanaan reklamasi hutan pada areal bencana alam skala kabupaten/kota.
Pemberdayaan Masyarakat Se- tempat di Dalam dan di Sekitar Hutan 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria pemberdayaan masyarakat setempat di dalam dan di sekitar kawasan hutan.
Pemantauan, evaluasi dan fasilitasi pemberdayaan masyarakat setempat di dalam dan di sekitar kawasan hutan.
Bimbingan masyarakat, pengembangan kelembagaan dan usaha serta kemitraan masyarakat setempat di dalam dan di sekitar kawasan hutan.
Pengembangan Hutan Hak dan Aneka Usaha Kehutanan 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengembangan hutan hak dan aneka usaha kehutanan.
Pemantauan, evaluasi dan fasilitasi hutan hak dan aneka usaha kehutanan.
Penyusunan rencana, pembinaan pengelolaan hutan hak dan aneka usaha kehutanan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 47. Hutan Kota 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria hutan kota.
Pembangunan, pengelolaan, pemeliharaan, pemanfaatan, perlindungan dan pengamanan hutan kota (khusus DKI), fasilitasi, pemantauan dan evaluasi hutan kota.
Pembangunan, pengelolaan, pemeliharaan, pemanfaatan, perlindungan dan pengamanan hutan kota.
Perbenihan Tanaman Hutan 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria perbenihan tanaman hutan, penetapan dan pembangunan sumberdaya genetik, pemberian izin ekspor/impor, karantina dan sertifikasi sumber benih dan mutu benih/bibit serta akreditasi lembaga sertifikasi benih/bibit tanaman hutan.
Pertimbangan teknis calon areal sumber daya genetik, pelaksanaan sertifikasi sumber benih dan mutu benih/bibit tanaman hutan.
Inventarisasi dan identifikasi serta pengusulan calon areal sumberdaya genetik, pembinaan penggunaan benih/bibit, pelaksanaan sertifikasi sumber benih dan mutu benih/bibit tanaman hutan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 49. Pengusahaan Pariwisata Alam pada Kawasan Pelestarian Alam, dan Pengusahaan Taman Buru, Areal Buru dan Kebun Buru 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria serta pemberian perizinan usaha pariwisata alam pada kawasan pelestarian alam dan pengusahaan taman buru.
Pertimbangan teknis pengusahaan pariwisata alam dan taman buru serta pemberian perizinan pengusahaan kebun buru skala provinsi.
Pertimbangan teknis pengusahaan pariwisata alam dan taman buru serta pemberian perizinan pengusahaan kebun buru skala kabupaten/kota.
Pengelolaan Kawasan Suaka Alam, Kawasan Pelestarian Alam, dan Taman Buru 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria serta pengelolaan kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam serta taman buru.
— 1. — 51. Pengawetan Tumbuhan dan Satwa Liar 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria serta penyelenggaraan pengawetan tumbuhan dan satwa liar dilindungi dan tidak dilindungi.
— 1. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 52. Pemanfaatan Tumbuhan dan Satwa Liar 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar.
Pemberian perizinan pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi serta pengendalian pemanfaatan tumbuhan satwa liar yang tidak dilindungi skala nasional.
Pengawasan pemberian izin pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi dan tidak termasuk dalam Lampiran (Appendix) CITES.
— 1. Pemberian perizinan pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi dan tidak termasuk dalam Lampiran (Appendix) CITES.
— 53. Lembaga Konservasi 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria serta pemberian perizinan kegiatan lembaga konservasi (antara lain kebun binatang, taman safari).
Pertimbangan teknis izin kegiatan lembaga konservasi (antara lain kebun binatang, taman safari) skala provinsi.
Pertimbangan teknis izin kegiatan lembaga konservasi (antara lain kebun binatang, taman safari) skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 54. Perlindungan Hutan 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria serta penyelenggaraan perlindungan hutan pada hutan negara skala nasional.
Pemberian fasilitasi, bimbingan dan pengawasan dalam kegiatan perlindungan hutan pada hutan yang dibebani hak dan hutan adat skala nasional.
Pelaksanaan perlindungan hutan pada hutan produksi, hutan lindung yang tidak dibebani hak dan hutan adat serta taman hutan raya skala provinsi.
Pemberian fasilitasi, bimbingan dan pengawasan dalam kegiatan perlindungan hutan pada hutan yang dibebani hak dan hutan adat skala provinsi.
Pelaksanaan perlindungan hutan pada hutan produksi, hutan lindung yang tidak dibebani hak dan hutan adat serta taman hutan raya skala kabupaten/kota.
Pemberian fasilitasi, bimbingan dan pengawasan dalam kegiatan perlindungan hutan pada hutan yang dibebani hak dan hutan adat skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 55. Penelitian dan Pengembangan Kehutanan 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria serta penyelenggaraan penelitian dan pengembangan kehutanan, pemberian perizinan penelitian oleh lembaga asing, pemberian perizinan penelitian pada kawasan hutan konservasi dan kawasan hutan dengan tujuan khusus penelitian dan pengembangan, pemantauan dan evaluasi kegiatan penelitian yang dilakukan oleh asing, provinsi dan kabupaten/kota.
Koordinasi dan penyelenggaraan penelitian dan pengembangan kehutanan di tingkat provinsi dan/atau yang memiliki dampak antar kabupaten/kota dan pemberian perizinan penelitian pada hutan produksi dan hutan lindung yang tidak ditetapkan sebagai kawasan hutan dengan tujuan khusus skala provinsi.
Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan kehutanan di tingkat kabupaten/kota dan pemberian perizinan penelitian pada hutan produksi serta hutan lindung yang tidak ditetapkan sebagai kawasan hutan dengan tujuan khusus skala kabupaten/kota.
Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) Kehutanan 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria serta penyelenggaraan diklat teknis dan fungsional kehutanan serta akreditasi lembaga diklat kehutanan.
Pelaksanaan diklat teknis dan fungsional kehutanan skala provinsi.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 57. Penyuluhan Kehutanan 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria serta penyelenggaraan penyuluhan kehutanan.
Penguatan kelembagaan dan penyelenggaraan penyuluhan kehutanan skala provinsi.
Penguatan kelembagaan dan penyelenggaraan penyuluhan kehutanan skala kabupaten/kota.
Pembinaan dan Pengendalian Bidang Kehutanan 1. Koordinasi, bimbingan, supervisi, konsultasi, pemantauan dan evaluasi bidang kehutanan skala nasional.
Koordinasi, bimbingan, supervisi, konsultasi, pemantauan dan evaluasi bidang kehutanan skala provinsi.
Bimbingan, supervisi, konsultasi, pemantauan dan evaluasi bidang kehutanan skala kabupaten/kota.
Pengawasan Bidang Kehutanan 1. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria serta penyelenggaraan pengawasan terhadap tugas dekonsentrasi dan pembantuan, pinjaman dan hibah luar negeri serta efektivitas pelaksanaan pembinaan penyelenggaraan pemerintahan daerah di bidang kehutanan.
Pengawasan terhadap efektivitas pelaksanaan pembinaan penyelenggaraan oleh kabupaten/kota dan kinerja penyelenggara provinsi serta penyelenggaraan oleh kabupaten/kota di bidang kehutanan.
Pengawasan terhadap efektivitas pelaksanaan pembinaan penyelenggaraan oleh desa/masyarakat, kinerja penyelenggara kabupaten/kota dan penyelenggaraan oleh desa/masyarakat di bidang kehutanan. BB. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Mineral, Batu Bara, Panas Bumi, dan Air Tanah 1. Penetapan kebijakan pengelolaan mineral, batubara, panas bumi dan air tanah nasional.
Pembuatan peraturan perundang-undangan di bidang mineral, batubara, panas bumi, dan air tanah.
Pembuatan dan penetapan standar nasional, pedoman, dan kriteria di bidang pengelolaan pertambangan mineral, batubara, panas bumi dan air tanah serta kompetensi kerja pertambangan.
Ɇ 2. Pembuatan peraturan perundang-undangan daerah provinsi di bidang mineral, batubara, panas bumi, dan air tanah.
Ɇ 1. Ɇ 2. Pembuatan peraturan perundang-undangan daerah kabupaten/kota di bidang mineral, batubara, panas bumi, dan air tanah.
Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Penetapan kriteria kawasan pertambangan dan wilayah kerja usaha pertambangan mineral dan batubara serta panas bumi setelah mendapat pertimbangan dan/atau rekomendasi provinsi dan kabupaten/kota.
Penetapan cekungan air tanah setelah mendapat pertimbangan provinsi dan kabupaten/kota.
Pemberian rekomendasi teknis untuk izin pengeboran, izin penggalian dan izin penurapan mata air pada cekungan air tanah lintas provinsi.
Penyusunan data dan informasi usaha pertambangan mineral dan batubara serta panas bumi lintas kabupaten/kota.
Penyusunan data dan informasi cekungan air tanah lintas kabupaten/kota.
Pemberian rekomendasi teknis untuk izin pengeboran, izin penggalian dan izin penurapan mata air pada cekungan air tanah lintas kabupaten/kota.
Penyusunan data dan informasi wilayah kerja usaha pertambangan mineral dan batubara serta panas bumi skala kabupaten/kota.
Penyusunan data dan informasi cekungan air tanah skala kabupaten/kota.
Pemberian rekomendasi teknis untuk izin pengeboran, izin penggalian dan izin penurapan mata air pada cekungan air tanah pada wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 7. Pemberian izin usaha pertambangan mineral dan batubara, panas bumi, pada wilayah lintas provinsi dan di wilayah laut dan di luar 12 (dua belas) mil.
Pemberian izin usaha pertambangan mineral, dan batubara untuk operasi produksi, yang berdampak lingkungan langsung lintas provinsi dan/atau dalam wilayah laut dan di luar 12 (dua belas) mil laut.
Pemberian izin usaha pertambangan mineral, batubara dan panas bumi pada wilayah lintas kabupaten/kota dan paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan.
Pemberian izin usaha pertambangan mineral, dan batubara untuk operasi produksi, yang berdampak lingkungan langsung lintas kabupaten/kota dan paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan.
Pemberian izin usaha pertambangan mineral, batubara dan panas bumi pada wilayah kabupaten/kota dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi.
Pemberian izin usaha pertambangan mineral, dan batubara untuk operasi produksi, yang berdampak lingkungan langsung pada wilayah kabupaten/kota dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 9. Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan izin usaha pertambangan mineral, batubara, dan panas bumi pada wilayah lintas provinsi dan di wilayah laut dan di luar 12 (dua belas) mil.
Pembuatan dan penetapan klasifikasi, kualifikasi serta pedoman usaha jasa pertambangan mineral, batubara, panas bumi dan air tanah.
Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan izin usaha pertambangan mineral, batubara dan panas bumi pada wilayah lintas kabupaten/kota dan paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan.
Ɇ 9. Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan izin usaha pertambangan mineral, batubara dan panas bumi, pada wilayah kabupaten/kota dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi.
Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 11. Pemberian izin badan usaha jasa pertambangan mineral, batubara, dan panas bumi dalam rangka Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) serta yang mempunyai wilayah kerja lintas provinsi.
Pengelolaan, pembinaan dan pengawasan pelaksanaan izin usaha jasa pertambangan mineral, batubara, dan panas bumi dalam rangka penanaman modal.
Pemberian izin badan usaha jasa pertambangan mineral, batubara, dan panas bumi dalam rangka PMA dan PMDN lintas kabupaten/kota.
Pengelolaan, pembinaan dan pengawasan pelaksanaan izin usaha jasa pertambangan mineral, batubara, dan panas bumi dalam rangka penanaman modal lintas kabupaten/kota.
Pemberian izin badan usaha jasa pertambangan mineral, batubara, dan panas bumi dalam rangka PMA dan PMDN di wilayah kabupaten/kota.
Pengelolaan, pembinaan dan pengawasan pelaksanaan izin usaha jasa pertambangan mineral, batubara, dan panas bumi dalam rangka penanaman modal di wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 13. Pembinaan dan pengawasan keselamatan dan kesehatan kerja, lingkungan pertambangan termasuk reklamasi lahan pasca tambang, konservasi dan peningkatan nilai tambah terhadap usaha pertambangan mineral, batubara, dan panas bumi, pada wilayah lintas provinsi atau yang berdampak nasional dan di wilayah laut.
Pembinaan dan pengawasan keselamatan dan kesehatan kerja, lingkungan pertambangan termasuk reklamasi lahan pasca tambang, konservasi dan peningkatan nilai tambah terhadap usaha pertambangan mineral, batubara dan panas bumi, pada wilayah lintas kabupaten/kota atau yang berdampak regional.
Pembinaan dan pengawasan keselamatan dan kesehatan kerja, lingkungan pertambangan termasuk reklamasi lahan pasca tambang, konservasi dan peningkatan nilai tambah terhadap usaha pertambangan mineral, batubara dan panas bumi, pada wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 14. Pembinaan dan pengawasan pengusahaan Kuasa Pertambangan (KP) lintas provinsi, Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang diterbitkan berdasarkan Undang- Undang tentang Ketentuan Pokok-Pokok Pertambangan.
Pembinaan dan pengawasan keselamatan dan kesehatan kerja, lingkungan pertambangan termasuk reklamasi lahan pasca tambang, konservasi dan peningkatan nilai tambah terhadap KK dan PKP2B yang telah 14. Pembinaan dan pengawasan pengusahaan KP lintas kabupaten/kota.
Pembinaan dan pengawasan keselamatan dan kesehatan kerja, lingkungan pertambangan termasuk reklamasi lahan pasca tambang, konservasi dan peningkatan nilai tambah terhadap KP lintas kabupaten/kota.
Pembinaan dan pengawasan pengusahaan KP dalam wilayah kabupaten/kota.
Pembinaan dan pengawasan Keselamatan dan Kesehatan Kerja, lingkungan pertambangan termasuk reklamasi lahan pasca tambang, konservasi dan peningkatan nilai tambah terhadap KP dalam wilayah SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA dikeluarkan berdasarkan Undang-Undang tentang Ketentuan Pokok-Pokok Pertambangan.
Penetapan wilayah konservasi dan pencadangan sumber daya mineral, batubara dan panas bumi nasional serta air tanah.
Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan izin usaha pertambangan mineral, dan batubara untuk operasi produksi, serta panas bumi yang berdampak lingkungan langsung lintas provinsi dan/atau dalam wilayah laut.
Penetapan wilayah konservasi air tanah lintas kabupaten/kota.
Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan izin usaha pertambangan mineral, dan batubara untuk operasi produksi, serta panas bumi yang berdampak lingkungan langsung lintas kabupaten/kota. kabupaten/kota.
Penetapan wilayah konservasi air tanah dalam wilayah kabupaten/kota.
Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan izin usaha pertambangan mineral, dan batubara untuk operasi produksi, serta panas bumi yang berdampak lingkungan langsung dalam wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 18. Pengelolaan, pembinaan, dan pengawasan wilayah kerja KP dan kontrak kerja sama pengusahaan pertambangan panas bumi yang dikeluarkan sebelum diterbitkannya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi yang berdampak nasional.
Penetapan kebijakan batasan produksi mineral, batubara dan panas bumi.
Penetapan kebijakan batasan pemasaran dan pemanfaatan mineral, batubara dan panas bumi.
Ɇ 19. Ɇ 20. Ɇ 18. Ɇ 19. Ɇ 20. Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 21. Penetapan kebijakan kemitraan dan kerjasama serta pengembangan masyarakat dalam pengelolaan mineral, batubara dan panas bumi.
Perumusan dan penetapan tarif iuran tetap dan iuran produksi mineral, batubara dan panas bumi.
Penetapan kebijakan pemanfaatan dan penggunaan dana pengembangan batubara dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Ɇ 22. Ɇ 23. Ɇ 21. Ɇ 22. Ɇ 23. Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 24. Penetapan pedoman nilai perolehan air tanah pada cekungan air tanah lintas provinsi dan lintas negara.
Pengelolaan data dan informasi mineral, batubara, panas bumi dan air tanah serta pengusahaan dan Sistem Informasi Geografis (SIG) wilayah kerja pertambangan nasional.
Penetapan potensi panas bumi dan air tanah serta neraca sumber daya dan cadangan mineral dan batubara nasional.
Penetapan nilai perolehan air tanah pada cekungan air tanah lintas kabupaten/kota.
Pengelolaan data dan informasi mineral, batubara, panas bumi dan air tanah serta pengusahaan dan SIG wilayah kerja pertambangan di wilayah provinsi.
Penetapan potensi panas bumi dan air tanah serta neraca sumber daya dan cadangan mineral dan batubara di wilayah provinsi.
Penetapan nilai perolehan air tanah pada cekungan air tanah dalam wilayah kabupaten/ kota.
Pengelolaan data dan informasi mineral, batubara, panas bumi dan air tanah serta pengusahaan dan SIG wilayah kerja pertambangan di wilayah kabupaten/kota.
Penetapan potensi panas bumi dan air tanah serta neraca sumber daya dan cadangan mineral dan batubara di wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 27. Pengangkatan dan pembinaan inspektur tambang serta pembinaan jabatan fungsional.
Pengangkatan dan pembinaan inspektur tambang serta pembinaan jabatan fungsional provinsi.
Pengangkatan dan pembinaan inspektur tambang serta pembinaan jabatan fungsional kabupaten/kota.
Geologi 1. Penetapan kebijakan nasional bidang geologi.
Pelaksanaan pemetaan geologi dan peta tematik, inventarisasi geologi dan sumber daya mineral, panas bumi, migas, air tanah nasional dan kawasan pengembangan yang bersifat strategis serta pelaksanaan eksplorasi panas bumi.
Penetapan kawasan karst dan kawasan lindung geologi nasional.
Ɇ 2. Pelaksanaan inventarisasi geologi dan sumber daya mineral, batubara, panas bumi, migas dan air tanah pada wilayah provinsi.
Pelaksanaan inventarisasi kawasan karst dan kawasan lindung geologi pada wilayah provinsi.
Ɇ 2. Pelaksanaan inventarisasi geologi dan sumber daya mineral, batubara, panas bumi, migas dan air tanah pada wilayah kabupaten/kota.
Pelaksanaan inventarisasi kawasan karst dan kawasan lindung geologi pada wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Penetapan kriteria pemanfaatan kawasan karst dan kawasan lindung geologi.
Penetapan pedoman, kriteria norma, standar, prosedur geologi, lingkungan geologi, geologi teknik, kebencanaan dan kawasan lingkungan geologi.
Pelaksanaan inventarisasi geologi, lingkungan geologi, geologi teknik, kebencanaan dan kawasan lingkungan geologi secara nasional dan kawasan pengembangan strategis.
Penetapan zonasi pemanfaatan kawasan karst dan kawasan lindung geologi pada wilayah lintas kabupaten/kota.
Penetapan pengelolaan lingkungan geologi, geologi teknik, kawasan rawan bencana dan kawasan lingkungan geologi di wilayah lintas kabupaten/kota.
Pelaksanaan inventarisasi lingkungan geologi, geologi teknik, kawasan rawan bencana dan kawasan lingkungan geologi pada wilayah provinsi.
Penetapan zonasi pemanfaatan kawasan karst dan kawasan lindung geologi pada wilayah kabupaten/kota.
Penetapan pengelolaan lingkungan geologi, geologi teknik, kawasan rawan bencana dan kawasan lingkungan geologi di wilayah kabupaten/kota.
Pelaksanaan inventarisasi lingkungan geologi, geologi teknik, kawasan rawan bencana dan kawasan lingkungan geologi pada wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 7. Penetapan kebijakan dan pengaturan mitigasi bencana geologi serta pedoman pengelolaan kawasan lindung geologi dan kawasan rawan bencana.
Inventarisasi, pemetaan, pemeriksaan, pemantauan, penyelidikan dan penelitian, dan kawasan rawan bencana geologi daerah vital serta strategis dan/atau memiliki dampak nasional.
Pemberian peringatan dini bencana gunung api dan gempa bumi/tsunami dan penetapan langkah- langkah mitigasi untuk bencana geologi.
Pelaksanaan kebijakan mitigasi bencana geologi pada wilayah lintas kabupaten/kota.
Inventarisasi dan pengelolaan, kawasan rawan bencana geologi pada wilayah provinsi dan/atau memiliki dampak lintas kabupaten/kota.
Pelaksanaan koordinasi mitigasi bencana geologi pada wilayah lintas kabupaten/kota.
Pelaksanaan kebijakan mitigasi bencana geologi pada wilayah kabupaten/kota.
Inventarisasi dan pengelolaan, kawasan rawan bencana geologi, pada wilayah kabupaten/kota.
Pelaksanaan koordinasi mitigasi bencana geologi pada wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 10. Pengelolaan data dan informasi bencana geologi.
Pembinaan tenaga fungsional penyelidik bumi nasional dan pengamat gunung api.
Pengelolaan data dan informasi geologi nasional.
Pengelolaan informasi bencana geologi pada wilayah lintas kabupaten/kota.
Pelaksanaan pembinaan fungsional penyelidik bumi nasional pada wilayah provinsi.
Pengelolaan data dan informasi geologi pada wilayah provinsi.
Pengelolaan informasi bencana geologi pada wilayah kabupaten/kota.
Pelaksanaan pembinaan fungsional penyelidik bumi nasional pada wilayah kabupaten/kota.
Pengelolaan data dan informasi geologi pada wilayah kabupaten/kota.
Ketenagalistrikan 1. Penetapan kebijakan pengelolaan energi dan ketenagalistrikan nasional.
Penetapan peraturan perundang-undangan di bidang energi dan ketenagalistrikan.
Ɇ 2. Penetapan peraturan daerah provinsi di bidang energi dan ketenagalistrikan.
Ɇ 2. Penetapan peraturan daerah kabupaten/kota di bidang energi dan ketenagalistrikan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penetapan pedoman, standar dan kriteria pengelolaan energi dan ketenagalistrikan.
Penetapan Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN), dan Jaringan Transmisi Nasional (JTN).
Pemberian izin usaha ketenagalistrikan yang dilakukan Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan (PKUK).
Ɇ 4. Penetapan Rencana Umum Ketenagalistrikan Daerah (RUKD) regional.
Ɇ 3. Ɇ 4. Penetapan Rencana Umum Ketenagalistrikan Daerah (RUKD) kabupaten/kota.
Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Pemberian Izin Usaha Ketenagalistrikan untuk Kepentingan Umum (IUKU) yang sarana maupun energi listriknya lintas provinsi dan usaha penyediaan tenaga listrik yang terhubung ke dalam JTN.
Pengaturan harga jual tenaga listrik untuk konsumen PKUK dan pemegang IUKU yang izin usahanya dikeluarkan oleh pemerintah.
Pengaturan harga jual tenaga listrik kepada PKUK dan pemegang IUKU yang izinnya dikeluarkan oleh pemerintah.
Pemberian IUKU yang sarana maupun energi listriknya lintas kabupaten/kota.
Pengaturan harga jual tenaga listrik untuk konsumen pemegang IUKU yang izin usahanya dikeluarkan oleh provinsi.
Pengaturan harga jual tenaga listrik kepada pemegang IUKU yang izinnya dikeluarkan oleh provinsi.
Pemberian IUKU yang sarana maupun energi listriknya dalam kabupaten/kota.
Pengaturan harga jual tenaga listrik untuk konsumen pemegang IUKU yang izin usahanya dikeluarkan oleh kabupaten/kota.
Pengaturan harga jual tenaga listrik kepada pemegang IUKU yang izinnya dikeluarkan oleh kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 9. Pemberian Izin Usaha penyediaan tenaga listrik untuk Kepentingan Sendiri (IUKS) yang sarana instalasinya mencakup lintas provinsi.
Pemberian persetujuan penjualan kelebihan tenaga listrik oleh pemegang IUKS kepada PKUK dan pemegang IUKU yang izinnya dikeluarkan oleh pemerintah.
Pemberian izin usaha jasa penunjang tenaga listrik bagi badan usaha asing/mayoritas sahamnya dimiliki oleh penanam modal asing.
Pemberian IUKS yang sarana instalasinya mencakup lintas kabupaten/kota.
Pemberian persetujuan penjualan kelebihan tenaga listrik oleh pemegang IUKS kepada pemegang IUKU yang izinnya dikeluarkan oleh provinsi.
Ɇ 9. Pemberian IUKS yang sarana instalasinya dalam kabupaten/kota.
Pemberian persetujuan penjualan kelebihan tenaga listrik oleh pemegang IUKS kepada pemegang IUKU yang izinnya dikeluarkan oleh kabupaten/kota.
Pemberian izin usaha jasa penunjang tenaga listrik bagi badan usaha dalam negeri/mayoritas sahamnya dimiliki oleh penanam modal dalam negeri. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 12. Pembinaaan dan pengawasan pelaksanaan sertifikasi bidang ketenagalistrikan dan pelaksanaan usaha ketenagalistrikan yang izinnya dikeluarkan oleh pemerintah.
Penetapan kebijakan dan penyediaan listrik pedesaan secara nasional.
Pengangkatan dan pembinaan inspektur ketenagalistrikan serta pembinaan jabatan fungsional.
Penetapan pedoman, standar dan kriteria penerangan jalan umum.
Pembinaaan dan pengawasan pelaksanaan usaha ketenagalistrikan yang izinnya diberikan oleh provinsi.
Koordinasi dan penyediaan listrik pedesaan pada wilayah regional.
Pengangkatan dan pembinaan inspektur ketenagalistrikan serta pembinaan jabatan fungsional provinsi.
Ɇ 12. Pembinaaan dan pengawasan pelaksanaan usaha ketenagalistrikan yang izinnya diberikan oleh kabupaten/kota.
Penyediaan listrik pedesaan di wilayah kabupaten/kota.
Pengangkatan dan pembinaan inspektur ketenagalistrikan serta pembinaan jabatan fungsional kabupaten/kota.
Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (Migas) 1. Penetapan mekanisme penyampaian laporan produksi penghitungan (lifting) bagian daerah.
Penetapan wilayah kerja kontrak kerja sama bidang minyak dan gas bumi.
Penetapan standar dan norma untuk izin pembukaan kantor perwakilan perusahaan.
Penghitungan produksi dan realisasi lifting minyak bumi dan gas bumi bersama pemerintah.
Pemberian rekomendasi penggunaan wilayah kerja kontrak kerja sama untuk kegiatan lain di luar kegiatan migas pada lintas kabupaten/kota.
Ɇ 1. Penghitungan produksi dan realisasi lifting minyak bumi dan gas bumi bersama pemerintah.
Pemberian rekomendasi penggunaan wilayah kerja kontrak kerja sama untuk kegiatan lain di luar kegiatan migas pada wilayah kabupaten/kota.
Pemberian izin pembukaan kantor perwakilan perusahaan di sub sektor migas.
Minyak dan Gas Bumi 2. Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi 1. Pemberian izin usaha pada kegiatan usaha hilir minyak dan gas bumi, yang terdiri dari kegiatan usaha pengolahan, pengangkutan, penyimpanan dan niaga.
Pengawasan jumlah armada pengangkut Bahan Bakar Minyak (BBM) di daerah provinsi yang meliputi jumlah armada dan kapasitas pengangkutan BBM.
Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Ɇ 3. Ɇ 4. Ɇ 2. Inventarisasi jumlah badan usaha kegiatan hilir yang beroperasi di daerah provinsi.
Penetapan harga bahan bakar minyak jenis minyak tanah pada tingkat konsumen rumah tangga dan usaha kecil.
Pengawasan pencantuman Nomor Pelumas Terdaftar (NPT) pada pelumas yang beredar di pasaran sesuai peraturan perundang-undangan.
Ɇ 3. Ɇ 4. Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Ɇ 6.a.Pengaturan dan pelaksanaan penyediaan dan pendistribusian BBM di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Ɇ 5. Koordinasi pengawasan pengendalian pendistribusian dan tata niaga bahan bakar minyak dari agen dan pangkalan dan sampai konsumen di wilayah provinsi.
a.Pemantauan dan inventarisasi penyediaan, penyaluran dan kualitas harga BBM serta melakukan analisa dan evaluasi terhadap kebutuhan/penyediaan BBM lintas kabupaten/kota.
Ɇ 5. Pengawasan pengendalian pendistribusian dan tata niaga bahan bakar minyak dari agen dan pangkalan dan sampai konsumen akhir di wilayah kabupaten/kota.
a.Pemantauan dan inventarisasi penyediaan, penyaluran dan kualitas harga BBM serta melakukan analisa dan evaluasi terhadap kebutuhan/penyediaan BBM di wilayah kabupaten/kota.
Pemberian rekomendasi lokasi pendirian kilang dan tempat penyimpanan migas. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c. Ɇ c. Ɇ c.Pemberian izin lokasi pendirian Stasiun Pengisian Bahan Bakar untuk Umum (SPBU).
Kegiatan Usaha Jasa Penunjang Minyak dan Gas Bumi 1. Pemberian rekomendasi Pembelian dan Penggunaan (P2) dan Pemilikan Penguasaan dan Penyimpanan (P3) bahan peledak untuk kegiatan migas.
Pemberian rekomendasi pendirian gudang bahan peledak dalam rangka kegiatan usaha migas di daerah operasi daratan dan di daerah operasi paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan.
Pemberian rekomendasi pendirian gudang bahan peledak dalam rangka kegiatan usaha migas di daerah operasi daratan dan di daerah operasi pada wilayah kabupaten/kota dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan izin usaha penunjang migas.
Pengangkatan dan pembinaan inspektur migas serta pembinaan jabatan fungsional.
Pengawasan terhadap kegiatan usaha perusahaan jasa penunjang minyak dan gas bumi untuk bidang usaha jasa penyediaan komoditi dan jasa boga dan bidang usaha jasa penyediaan material dan peralatan termasuk pelayanan purna jual yang berdomisili di provinsi yang bersangkutan.
Pengangkatan dan pembinaan inspektur migas serta pembinaan jabatan fungsional provinsi.
Ɇ 3. Pengangkatan dan pembinaan inspektur migas serta pembinaan jabatan fungsional kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) 1. Penetapan pedoman dan standar penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan teknis dan fungsional tertentu sektor energi dan sumber daya mineral.
Penetapan pedoman akreditasi bagi lembaga diklat penyelenggara diklat teknis dan fungsional tertentu sektor energi dan sumber daya mineral.
Penetapan standar kurikulum berbasis kompetensi diklat teknis dan fungsional tertentu sektor energi dan sumber daya mineral.
Ɇ 2. Pengusulan lembaga diklat provinsi agar terakreditasi sebagai penyelenggara pendidikan dan pelatihan teknis dan fungsional tertentu sektor energi dan sumber daya mineral.
Ɇ 1. Ɇ 2. Ɇ 3. Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Fasilitasi penyelenggaraan assessment melalui lembaga assessment Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (DESDM) bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) dinas daerah provinsi/kabupaten/ kota.
Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan teknis untuk kepala dinas provinsi dan kabupaten/kota yang mengelola sektor energi dan sumber daya mineral.
Penyertaan dan atau memfasilitasi penyelenggaraan assessment bekerjasama dengan lembaga assessment DESDM.
Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan teknis untuk kepala sub dinas kabupaten/kota dan kepala seksi dinas kabupaten/kota yang mengelola sektor energi dan sumber daya mineral setelah lembaga diklat terakreditasi.
Penyertaan dan atau memfasilitasi penyelenggaraan assessment bekerjasama dengan lembaga assessment DESDM.
Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan teknis sektor energi dan sumber daya mineral bagi perangkat daerah yang mengelola sektor energi dan sumber daya mineral.
Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan teknis sektor energi dan sumber daya mineral bagi perangkat daerah yang mengelola sektor energi dan sumber daya mineral berdasarkan pedoman dan standar penyelenggaraan, kurikulum/silabus dan lembaga diklat terakreditasi.
Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 7. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan fungsional tertentu untuk pengangkatan pertama kali dan jenjang madya inspektur tambang/ minyak dan gas bumi/ ketenagalistrikan/ penyelidik bumi.
Pemberian bimbingan dan konsultasi diklat teknis dan fungsional tertentu di sektor energi dan sumber daya mineral lingkup nasional, provinsi dan kabupaten/kota.
Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan fungsional tertentu untuk pengangkatan pertama kali dan jenjang muda inspektur tambang/ minyak dan gas bumi/ ketenagalistrikan/ penyelidik bumi berdasarkan pedoman dan standar penyelenggaraan, kurikulum/silabus dan lembaga pendidikan dan pelatihan (diklat) terakreditasi.
Pemberian bimbingan dan konsultasi diklat teknis dan fungsional tertentu di sektor energi dan sumber daya mineral lingkup provinsi dan kabupaten/kota.
Ɇ 8. Ɇ SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 9. Koordinasi penyusunan kebutuhan dan penyelenggaraan diklat teknis dan fungsional tertentu sektor energi dan sumber daya mineral dalam skala nasional.
Pembinaan dan pemantauan dan evaluasi lembaga diklat daerah dalam penyelenggaraan diklat sektor ESDM.
Koordinasi penyusunan kebutuhan dan penyelenggaraan diklat teknis dan fungsional tertentu sektor energi dan sumber daya mineral dalam skala provinsi.
Ɇ 9. Penyusunan kebutuhan dan penyelenggaraan diklat teknis dan fungsional tertentu sektor energi dan sumber daya mineral dalam skala kabupaten/kota.
Ɇ CC. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KELAUTAN DAN PERIKANAN SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Kelautan 1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengelolaan sumberdaya kelautan dan ikan di wilayah laut nasional, Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) dan landas kontinen serta sumberdaya alam yang ada di bawahnya meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian dan pengawasan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria penataan ruang laut sesuai dengan peta potensi laut.
Pelaksanaan kebijakan pengelolaan sumberdaya kelautan dan ikan di wilayah laut kewenangan provinsi.
Pelaksanaan dan koordinasi kebijakan penataan ruang laut sesuai dengan peta potensi laut di wilayah laut kewenangan provinsi.
Pelaksanaan kebijakan pengelolaan sumberdaya kelautan dan ikan di wilayah laut kewenangan kabupaten/kota.
Pelaksanaan penataan ruang laut sesuai dengan peta potensi laut di wilayah laut kewenangan kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil termasuk sumberdaya alam yang ada di dalamnya.
Penetapan kebijakan, norma, standar, prosedur, dan kriteria pengawasan dan penegakan hukum di wilayah laut nasional, ZEEI dan landas kontinen.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengelolaan terpadu sumberdaya laut antar daerah.
Pelaksanaan dan koordinasi kebijakan dalam rangka pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil termasuk sumberdaya alam di wilayah laut kewenangan provinsi.
Pelaksanaan pengawasan dan penegakan hukum di wilayah laut kewenangan provinsi dan pemberian informasi apabila terjadi pelanggaran di luar batas kewenangan provinsi.
Pelaksanaan kebijakan pengelolaan terpadu dan pemanfaatan sumberdaya laut antar kabupaten/kota dalam wilayah kewenangan provinsi.
Pelaksanaan kebijakan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil termasuk sumberdaya alam di wilayah laut kewenangan kabupaten/kota.
Pelaksanaan pengawasan dan penegakan hukum di wilayah laut kewenangan kabupaten/kota dan pemberian informasi apabila terjadi pelanggaran di luar batas kewenangan kabupaten/kota.
Koordinasi pengelolaan terpadu dan pemanfaatan sumberdaya laut di wilayah kewenangan kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria perizinan terpadu pengelolaan dan pemanfaatan wilayah laut dan sumberdaya alam yang ada di dalamnya.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pemberdayaan masyarakat pesisir.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria penyerasian riset kelautan meliputi riset, survei dan eksplorasi sumberdaya hayati dan non hayati, teknologi dan pengembangan jasa kelautan.
Pelaksanaan kebijakan perizinan terpadu pengelolaan dan pemanfaatan wilayah laut kewenangan provinsi.
Pelaksanaan kebijakan dalam rangka pemberdayaan masyarakat pesisir antar kabupaten/kota dalam wilayah kewenangan provinsi.
Pelaksanaan dan koordinasi penyerasian riset kelautan di wilayah kewenangan laut provinsi dalam rangka pengembangan jasa kelautan.
Pelaksanaan dan koordinasi perizinan terpadu pengelolaan dan pemanfaatan wilayah laut.
Pemberdayaan masyarakat pesisir di wilayah kewenangan kabupaten/kota.
Pelaksanaan sistem perencanaan dan pemetaan serta riset potensi sumberdaya dalam rangka optimalisasi pemanfaatan sumberdaya kelautan di wilayah kewenangan kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 9. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengelolaan, pemanfaatan dan perlindungan sumberdaya alam kelautan termasuk benda berharga dari kapal tenggelam.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengelolaan dan konservasi sumberdaya alam hayati dan perairan laut.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria peningkatan kapasitas kelembagaan dan Sumberdaya Manusia (SDM) bidang kelautan dan perikanan.
Pelaksanaan pengawasan pemanfaatan benda berharga dari kapal tenggelam berdasarkan wilayah kewenangannya dengan pemerintah dan kabupaten/kota.
Penetapan kebijakan dan pengaturan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut di wilayah laut kewenangan provinsi.
Pelaksanaan kebijakan peningkatan kapasitas kelembagaan dan SDM di bidang kelautan dan perikanan.
Pelaksanaan koordinasi pengawasan dan pemanfaatan benda berharga dari kapal tenggelam berdasarkan wilayah kewenangannya dengan pemerintah dan provinsi.
Pemberian bimbingan teknis pelaksanaan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut di wilayah laut kewenangan kabupaten/kota.
Peningkatan kapasitas kelembagaan dan SDM di bidang kelautan dan perikanan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 12.Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria reklamasi pantai dan mitigasi bencana alam di wilayah pesisir dan laut.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria batas-batas wilayah maritim yang meliputi batas-batas wilayah laut pengelolaan daerah dan batas-batas wilayah laut antar negara.
Pengesahan pemberlakuan perjanjian internasional di bidang kelautan.
Penetapan dan pelaksanaan kebijakan reklamasi pantai dan mitigasi bencana alam di wilayah pesisir dan laut dalam kewenangan provinsi.
Pelaksanaan koordinasi dalam hal pengaturan batas-batas wilayah maritim yang berbatasan dengan wilayah antar negara di perairan laut dalam kewenangan provinsi.
— 12. Pelaksanaan kebijakan reklamasi pantai dan mitigasi bencana alam di wilayah pesisir dan laut dalam kewenangan kabupaten/kota.
Pelaksanaan koordinasi dan kerjasama dengan daerah lain terutama dengan wilayah yang berbatasan dalam rangka pengelolaan laut terpadu.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 15. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pemetaan potensi wilayah dan sumberdaya kelautan nasional.
Pengharmonisasian peraturan pengelolaan wilayah dan sumberdaya laut.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengelolaan wilayah laut di luar 12 (dua belas) mil.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pencegahan pencemaran dan kerusakan sumberdaya ikan serta lingkungannya.
Pelaksanaan dan koordinasi pemetaan potensi sumberdaya kelautan di wilayah perairan laut kewenangan provinsi.
Pelaksanaan penyerasian dan pengharmonisasian pengelolaan wilayah dan sumberdaya laut kewenangan provinsi.
Pelaksanaan dan koordinasi pengelolaan wilayah laut di dalam kewenangan provinsi.
Pelaksanaan dan koordinasi pencegahan pencemaran dan kerusakan sumberdaya ikan serta lingkungannya.
Pelaksanaan pemetaan potensi sumberdaya kelautan di wilayah perairan laut kewenangan kabupaten/kota.
Pelaksanaan penyerasian dan pengharmonisasian pengelolaan wilayah dan sumberdaya laut kewenangan kabupaten/kota.
Pelaksanaan dan koordinasi pengelolaan wilayah laut di dalam kewenangan kabupaten/kota.
Pelaksanaan pencegahan pencemaran dan kerusakan sumberdaya ikan serta lingkungannya. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 19. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria rehabilitasi dan peningkatan sumberdaya ikan serta lingkungannya.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria jenis ikan yang dilarang untuk diperdagangkan, dimasukkan dan dikeluarkan ke dan dari wilayah Republik Indonesia.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria jenis ikan yang dilindungi.
Pelaksanaan kebijakan rehabilitasi dan peningkatan sumberdaya ikan serta lingkungannya antar kabupaten/kota di wilayah laut provinsi.
Pelaksanaan dan koordinasi penetapan jenis ikan yang dilarang untuk diperdagangkan, dimasukkan dan dikeluarkan ke dan dari wilayah Republik Indonesia.
Pelaksanaan dan koordinasi penetapan jenis ikan yang dilindungi.
Pelaksanaan koordinasi antar kabupaten/kota dalam hal pelaksanaan rehabilitasi dan peningkatan sumberdaya ikan serta lingkungannya.
Pelaksanaan penetapan jenis ikan yang dilarang untuk diperdagangkan, dimasukkan dan dikeluarkan ke dan dari wilayah Republik Indonesia.
Pelaksanaan perlindungan jenis ikan yang dilindungi. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 22. Pelaksanaan mitigasi kerusakan lingkungan pesisir dan laut.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengelolaan jasa kelautan dan kemaritiman.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengelolaan dan konservasi plasma nutfah spesifik lokasi.
Pelaksanaan dan koordinasi mitigasi kerusakan lingkungan pesisir dan laut di wilayah laut kewenangan provinsi.
Pelaksanaan koordinasi pengelolaan jasa kelautan dan kemaritiman di wilayah laut kewenangan provinsi.
Pelaksanaan koordinasi pengelolaan dan konservasi plasma nutfah spesifik lokasi di wilayah laut kewenangan provinsi.
Pelaksanaan mitigasi kerusakan lingkungan pesisir dan laut di wilayah laut kewenangan kabupaten/kota.
Pengelolaan jasa kelautan dan kemaritiman di wilayah laut kewenangan kabupaten/kota.
Pengelolaan dan konservasi plasma nutfah spesifik lokasi di wilayah laut kewenangan kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 25. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pemanfaatan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan perairan danau, sungai, rawa dan wilayah perairan lainnya.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria penyusunan zonasi dan tata ruang perairan di wilayah laut nasional.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, kriteria, dan pengelolaan kawasan konservasi perairan dan rehabilitasi perairan di wilayah laut nasional.
Pelaksanaan koordinasi eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan perairan danau, sungai, rawa dan wilayah perairan lainnya di wilayah provinsi.
Pelaksanaan dan koordinasi penyusunan zonasi dan tata ruang perairan dalam wilayah kewenangan provinsi.
Pelaksanaan dan koordinasi pengelolaan kawasan konservasi perairan dan rehabilitasi perairan di wilayah kewenangan provinsi.
Pelaksanaan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan perairan danau, sungai, rawa dan wilayah perairan lainnya di wilayah kabupaten/kota.
Pelaksanaan dan koordinasi penyusunan zonasi dan tata ruang perairan dalam wilayah kewenangan kabupaten/kota.
Pelaksanaan dan koordinasi pengelolaan kawasan konservasi perairan dan rehabilitasi perairan di wilayah kewenangan kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 28. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria perencanaan, pemanfaatan, pengawasan dan pengendalian tata ruang laut nasional.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengelolaan konservasi sumberdaya ikan dan lingkungan sumberdaya ikan di perairan laut nasional dan ZEEI.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria rehabilitasi sumberdaya pesisir, pulau-pulau kecil dan laut.
Perencanaan, pemanfaatan pengawasan dan pengendalian tata ruang laut wilayah kewenangan provinsi.
Pelaksanaan dan koordinasi pengelolaan konservasi sumberdaya ikan dan lingkungan sumberdaya ikan kewenangan provinsi.
Rehabilitasi sumberdaya pesisir, pulau-pulau kecil dan laut di wilayah kewenangan provinsi.
Perencanaan, pemanfaatan pengawasan dan pengendalian tata ruang laut wilayah kewenangan kabupaten/kota.
Pelaksanaan pengelolaan konservasi sumberdaya ikan dan lingkungan sumberdaya ikan kewenangan kabupaten/kota.
Rehabilitasi kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil yang mengalami kerusakan (kawasan mangrove, lamun dan terumbu karang). SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Umum 1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, kriteria dan pelaksanaan perkarantinaan ikan domestik dan internasional.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan skala nasional.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria penyelenggaraan program, pelaksanaan penelitian dan pengembangan teknologi di bidang perikanan.
Perencanaan pembangunan perikanan skala nasional.
— 2. Pelaksanaan dan koordinasi pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dalam wilayah kewenangan provinsi.
Koordinasi penyelenggaraan program, pelaksanaan penelitian dan pengembangan teknologi di bidang perikanan skala provinsi.
Perencanaan pembangunan perikanan skala provinsi.
— 2. Pelaksanaan dan koordinasi pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dalam wilayah kewenangan kabupaten/kota.
Koordinasi penyelenggaraan program, pelaksanaan penelitian dan pengembangan teknologi di bidang perikanan skala kabupaten/kota.
Perencanaan dan pelaksanaan pembangunan perikanan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria akreditasi lembaga sertifikasi sistem mutu hasil perikanan dan fasilitasi teknis.
Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria pola kerjasama pemanfaatan terpadu sumberdaya ikan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria zonasi lahan dan perairan untuk kepentingan perikanan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, kriteria, dan pelaksanaan kerjasama internasional di bidang perikanan skala nasional.
Bimbingan teknis pelaksanaan standarisasi, akreditasi lembaga sertifikasi sistem mutu hasil perikanan.
Bimbingan teknis kerjasama pemanfaatan terpadu sumberdaya ikan antar kabupaten/kota.
Penyusunan zonasi lahan dan perairan untuk kepentingan perikanan dalam wilayah provinsi.
Penyusunan rencana dan pelaksanaan kerjasama internasional bidang perikanan skala provinsi.
Pelaksanaan teknis standarisasi, akreditasi lembaga sertifikasi sistem mutu hasil perikanan.
Pelaksanaan kerjasama pemanfaatan terpadu sumberdaya ikan dalam wilayah kabupaten/kota.
Pemberian bimbingan teknis pelaksanaan penyusunan zonasi lahan dan perairan untuk kepentingan perikanan dalam wilayah kabupaten/kota.
Penyusunan rencana dan pelaksanaan kerjasama internasional bidang perikanan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 9. Pengembangan sistem, pengumpulan, analisis, penyajian dan penyebaran data informasi statistik perikanan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria peningkatan kapasitas kelembagaan dan SDM bidang kelautan dan perikanan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengembangan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Bimbingan dan pelaksanaan pengumpulan, pengolahan, analisis dan penyajian data dan statistik serta informasi bidang perikanan di wilayah laut kewenangan provinsi.
Peningkatan kapasitas kelembagaan dan SDM bidang kelautan dan perikanan.
Koordinasi pelaksanaan kebijakan pengembangan wilayah pesisir dan pulau- pulau kecil.
Pelaksanaan sistem informasi perikanan di wilayah kabupaten/kota.
Pelaksanaan bimbingan teknis dalam peningkatan kapasitas kelembagaan dan SDM bidang kelautan dan perikanan di wilayah kewenangan kabupaten/kota.
Pelaksanaan kebijakan pengembangan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 12. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pelaksanaan penelitian dan pengembangan sumberdaya kelautan dan perikanan.
Peragaan, penyebarluasan dan bimbingan penerapan teknologi perikanan.
Koordinasi pelaksanaan penelitian dan pengembangan sumberdaya kelautan dan perikanan di wilayah perairan kewenangan provinsi.
Peragaan, penyebarluasan dan bimbingan penerapan teknologi perikanan.
Pelaksanaan penelitian dan pengembangan sumberdaya kelautan dan perikanan di wilayah perairan kabupaten/kota.
Peragaan, penyebarluasan dan bimbingan penerapan teknologi perikanan.
Perikanan Tangkap 1. Pengelolaan dan pemanfaatan perikanan di wilayah laut di luar 12 mil.
Estimasi stok ikan nasional dan jumlah tangkapan ikan yang diperbolehkan (JTB).
Pengelolaan dan pemanfaatan perikanan di wilayah laut kewenangan provinsi.
Koordinasi dan pelaksanaan estimasi stok ikan di wilayah perairan kewenangan provinsi.
Pengelolaan dan pemanfaatan perikanan di wilayah laut kewenangan kabupaten/kota.
Koordinasi dan pelaksanaan estimasi stok ikan di wilayah perairan kewenangan kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Fasilitasi kerjasama pengelolaan dan pemanfaatan perikanan antar provinsi.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan plasma nutfah sumberdaya ikan.
Pembuatan dan penyebarluasan peta pola migrasi dan penyebaran ikan di perairan nasional termasuk ZEEI dan landas kontinen.
Fasilitasi kerjasama pengelolaan dan pemanfaatan perikanan antar kabupaten/kota.
Pelaksanaan dan koordinasi perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan plasma nutfah sumberdaya ikan kewenangan provinsi.
Dukungan pembuatan dan penyebarluasan peta pola migrasi dan penyebaran ikan di perairan wilayah kewenangan provinsi.
— 4. Pelaksanaan dan koordinasi perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan plasma nutfah sumberdaya ikan kewenangan kabupaten/kota.
Dukungan pembuatan dan penyebarluasan peta pola migrasi dan penyebaran ikan di perairan wilayah kewenangan kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Pemberian izin penangkapan dan/atau pengangkutan ikan yang menggunakan kapal perikanan berukuran di atas 30 GT dan di bawah 30 GT yang menggunakan tenaga kerja asing.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, kriteria, dan pelaksanaan pungutan perikanan kewenangan pemerintah.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria usaha perikanan tangkap.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pemberdayaan nelayan kecil.
Pemberian izin penangkapan dan/atau pengangkutan ikan yang menggunakan kapal perikanan berukuran di atas 10 GT sampai dengan 30 GT serta tidak menggunakan tenaga kerja asing.
Penetapan kebijakan dan pelaksanaan pungutan perikanan kewenangan provinsi.
Pelaksanaan kebijakan usaha perikanan tangkap dalam wilayah kewenangan provinsi.
Pelaksanaan kebijakan pemberdayaan nelayan kecil.
Pemberian izin penangkapan dan/atau pengangkutan ikan yang menggunakan kapal perikanan sampai dengan 10 GT serta tidak menggunakan tenaga kerja asing.
Penetapan kebijakan dan pelaksanaan pungutan perikanan kewenangan kabupaten/kota.
Pelaksanaan kebijakan usaha perikanan tangkap dalam wilayah kewenangan kabupaten/kota.
Pelaksanaan kebijakan pemberdayaan nelayan kecil. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 10. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria peningkatan kelembagaan dan ketenagakerjaan perikanan tangkap.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria sistem permodalan, promosi, dan investasi di bidang perikanan tangkap.
a.Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria penetapan lokasi pembangunan serta pengelolaan pelabuhan perikanan.
Pelaksanaan kebijakan peningkatan kelembagaan dan ketenagakerjaan perikanan tangkap kewenangan provinsi.
Pelaksanaan kebijakan sistem permodalan, promosi, dan investasi di bidang perikanan tangkap kewenangan provinsi.
a.Pelaksanaan dan koordinasi kebijakan penetapan lokasi pembangunan serta pengelolaan pelabuhan perikanan kewenangan provinsi.
Pelaksanaan kebijakan peningkatan kelembagaan dan ketenagakerjaan perikanan tangkap kewenangan kabupaten/kota.
Pelaksanaan kebijakan sistem permodalan, promosi, dan investasi di bidang perikanan tangkap kewenangan kabupaten/kota.
a.Pelaksanaan dan koordinasi kebijakan penetapan lokasi pembangunan serta pengelolaan pelabuhan perikanan kewenangan kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b. Ɇ 13. Pembangunan dan pengelolaan pelabuhan perikanan pada wilayah perbatasan dengan negara lain.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria operasional dan penempatan Syahbandar di pelabuhan perikanan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pembangunan kapal perikanan.
Ɇ 13. Dukungan pembangunan dan pengelolaan pelabuhan perikanan pada wilayah perbatasan dengan negara lain.
— 15. Pelaksanaan kebijakan pembangunan kapal perikanan.
Pengelolaan dan penyelenggaraan pelelangan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI).
Dukungan pembangunan dan pengelolaan pelabuhan perikanan pada wilayah perbatasan dengan negara lain.
— 15. Pelaksanaan kebijakan pembangunan kapal perikanan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 16. Pelaksanaan pendaftaran kapal perikanan di atas 30 GT.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pembuatan alat penangkapan ikan.
Pemberian persetujuan pengadaan, pembangunan dan pemasukan kapal perikanan dari luar negeri (impor).
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria produktivitas kapal penangkap ikan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria penggunaan peralatan bantu dan penginderaan jauh untuk penangkapan ikan.
Pendaftaran kapal perikanan di atas 10 GT sampai dengan 30 GT.
Pelaksanaan kebijakan pembuatan alat penangkap ikan.
— 19. Dukungan dalam penetapan kebijakan produktivitas kapal penangkap ikan.
Pelaksanaan kebijakan penggunaan peralatan bantu dan penginderaan jauh untuk penangkapan ikan.
Pendaftaran kapal perikanan sampai dengan 10 GT.
Pelaksanaan kebijakan pembuatan alat penangkap ikan.
— 19. Dukungan dalam penetapan kebijakan produktivitas kapal penangkap ikan.
Pelaksanaan kebijakan penggunaan peralatan bantu dan penginderaan jauh untuk penangkapan ikan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 21. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pemeriksaan fisik kapal perikanan serta pelaksanaan pemeriksaan fisik kapal perikanan berukuran di atas 30 GT.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria kelaikan kapal perikanan dan penggunaan alat tangkap ikan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pemanfaatan dan penempatan rumpon di perairan laut nasional.
Pelaksanaan kebijakan pemeriksaaan fisik kapal perikanan berukuran di atas 10 GT sampai dengan 30 GT.
Pelaksanaan kebijakan dan standarisasi kelaikan kapal perikanan dan penggunaan alat tangkap ikan yang menjadi kewenangan provinsi.
Pelaksanaan dan koordinasi kebijakan pemanfaatan dan penempatan rumpon di perairan laut kewenangan provinsi.
Pelaksanaan kebijakan pemeriksaan fisik kapal perikanan berukuran sampai dengan 10 GT.
Pelaksanaan kebijakan dan standarisasi kelaikan kapal perikanan dan penggunaan alat tangkap ikan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota.
Pelaksanaan dan koordinasi kebijakan pemanfaatan dan penempatan rumpon di perairan laut kewenangan kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 24. Rekayasa dan teknologi penangkapan ikan. 24. Dukungan rekayasa dan pelaksanaan teknologi penangkapan ikan.
Dukungan rekayasa dan pelaksanaan teknologi penangkapan ikan.
Perikanan Budidaya 1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pembudidayaan ikan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria produk pembenihan perikanan di air tawar, air payau dan laut.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria mutu benih/induk ikan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria balai benih ikan air tawar, air payau dan laut.
Pelaksanaan kebijakan pembudidayaan ikan.
Pelaksanaan kebijakan produk pembenihan perikanan di air tawar, air payau dan laut.
Pelaksanaan kebijakan mutu benih/induk ikan.
Pelaksanaan kebijakan, pembangunan dan pengelolaan balai benih ikan air tawar, air payau dan laut.
Pelaksanaan kebijakan pembudidayaan ikan.
Pelaksanaan kebijakan produk pembenihan perikanan di air tawar, air payau dan laut.
Pelaksanaan kebijakan mutu benih/induk ikan.
Pelaksanaan kebijakan, pembangunan dan pengelolaan balai benih ikan air tawar, air payau dan laut. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengadaan, penggunaan dan peredaran serta pengawasan obat ikan, bahan kimia, bahan biologis dan pakan ikan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria akreditasi lembaga sertifikasi perbenihan ikan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pembinaan tata pemanfaatan air dan tata lahan pembudidayaan ikan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengelolaan penggunaan sarana dan prasarana pembudidayaan ikan.
Pelaksanaan kebijakan pengadaan, penggunaan dan peredaran serta pengawasan obat ikan, bahan kimia, bahan biologis dan pakan ikan.
Pelaksanaan kebijakan akreditasi lembaga sertifikasi perbenihan ikan.
Pelaksanaan kebijakan pembinaan tata pemanfaatan air dan tata lahan pembudidayaan ikan.
Pelaksanaan kebijakan pengelolaan penggunaan sarana dan prasarana pembudidayaan ikan.
Pelaksanaan kebijakan pengadaan, penggunaan dan peredaran serta pengawasan obat ikan, bahan kimia, bahan biologis dan pakan ikan.
Pelaksanaan kebijakan akreditasi lembaga sertifikasi perbenihan ikan.
Pelaksanaan kebijakan pembinaan tata pemanfaatan air dan tata lahan pembudidayaan ikan.
Pelaksanaan kebijakan pengelolaan penggunaan sarana dan prasarana pembudidayaan ikan. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 9. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria rekomendasi ekspor, impor, induk dan benih ikan.
Penetapan potensi dan alokasi lahan pembudidayaan ikan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria teknis pelepasan dan penarikan varietas induk/benih ikan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria teknis perbanyakan dan pengelolaan induk penjenis, induk dasar dan benih alam.
Pelaksanaan kebijakan rekomendasi ekspor, impor, induk dan benih ikan.
Pelaksanaan potensi dan alokasi lahan pembudidayaan ikan.
Pelaksanaan teknis pelepasan dan penarikan varietas induk/benih ikan.
Pelaksanaan teknis perbanyakan dan pengelolaan induk penjenis, induk dasar dan benih alam.
Pelaksanaan kebijakan rekomendasi ekspor, impor, induk dan benih ikan.
Pelaksanaan potensi dan alokasi lahan pembudidayaan ikan.
Pelaksanaan teknis pelepasan dan penarikan varietas induk/benih ikan.
Pelaksanaan teknis perbanyakan dan pengelolaan induk penjenis, induk dasar dan benih alam. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 13. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria perizinan usaha perikanan serta penerbitan Izin Usaha Perikanan (IUP) di bidang pembudidayaan ikan menggunakan tenaga kerja asing.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pemasukan, pengeluaran, pengadaan, pengedaran dan/atau pemeliharaan ikan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pembudidayaan ikan dan perlindungannya.
Pelaksanaan kebijakan perizinan dan penerbitan IUP di bidang pembudidayaan ikan yang tidak menggunakan tenaga kerja asing di wilayah provinsi.
Pelaksanaan kebijakan pemasukan, pengeluaran, pengadaan, pengedaran dan/atau pemeliharaan ikan.
Pelaksanaan kebijakan pembudidayaan ikan dan perlindungannya.
Pelaksanaan kebijakan perizinan dan penerbitan IUP di bidang pembudidayaan ikan yang tidak menggunakan tenaga kerja asing di wilayah kabupaten/kota.
Pelaksanaan kebijakan pemasukan, pengeluaran, pengadaan, pengedaran dan/atau pemeliharaan ikan.
Pelaksanaan kebijakan pembudidayaan ikan dan perlindungannya SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 16. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengawasan alat pengangkut, unit penyimpanan hasil produksi budidaya ikan dan unit pengelolaan kesehatan ikan dan lingkungannya serta pelaksanaan pengelolaan kesehatan ikan dan lingkungannya.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria wabah dan wilayah wabah penyakit ikan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria sistem informasi benih ikan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria teknologi pembudidayaan ikan.
Pelaksanaan kebijakan pengawasan alat pengangkut, unit penyimpanan hasil produksi budidaya ikan dan unit pengelolaan kesehatan ikan dan lingkungannya serta pelaksanaan pengelolaan kesehatan ikan dan lingkungannya.
Koordinasi dan pelaksanaan kebijakan wabah dan wilayah wabah penyakit ikan.
Koordinasi dan pelaksanaan sistem informasi benih ikan lintas kabupaten/kota.
Koordinasi dan pelaksanaan teknologi pembudidayaan ikan.
Pelaksanaan kebijakan pengawasan alat pengangkut, unit penyimpanan hasil produksi budidaya ikan dan unit pengelolaan kesehatan ikan dan lingkungannya serta pelaksanaan pengelolaan kesehatan ikan dan lingkungannya.
Koordinasi dan pelaksanaan kebijakan wabah dan wilayah wabah penyakit ikan.
Pelaksanaan sistem informasi benih ikan di wilayah kabupaten/kota.
Pelaksanaan teknologi pembudidayaan ikan spesifik lokasi. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 20. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria higienitas dan sanitasi lingkungan usaha pembudidayaan ikan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria kerja sama kemitraan usaha pembudidayaan ikan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria keramba jaring apung.
Koordinasi dan pelaksanaan kebijakan higienitas dan sanitasi lingkungan usaha pembudidayaan ikan.
Koordinasi dan pelaksanaan kebijakan kerja sama kemitraan usaha pembudidayaan ikan.
Pelaksanaan kebijakan keramba jaring apung di perairan umum lintas kabupaten/kota dan wilayah laut kewenangan provinsi.
Pemberian bimbingan, pemantauan dan pemeriksaan higienitas dan sanitasi lingkungan usaha pembudidayaan ikan.
Pembinaan dan pengembangan kerja sama kemitraan usaha pembudidayaan ikan.
Pelaksanaan kebijakan keramba jaring apung di perairan umum dan wilayah laut kewenangan kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Pengawasan dan Pengendalian 1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengawasan pemanfaatan dan perlindungan plasma nutfah perikanan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengawasan perbenihan, pembudidayaan ikan dan sistem pengendalian hama dan penyakit ikan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pembinaan, pemantauan dan pengawasan lembaga sertifikasi perbenihan ikan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengawasan mutu benih dan induk, pakan ikan, obat ikan dan bahan bakunya.
Pengawasan pemanfaatan dan perlindungan plasma nutfah perikanan.
Pengawasan perbenihan, pembudidayaan ikan dan sistem pengendalian hama dan penyakit ikan.
Pembinaan, pemantauan dan pengawasan lembaga sertifikasi perbenihan ikan.
Pengawasan mutu benih dan induk, pakan ikan, obat ikan dan bahan bakunya.
Pengawasan pemanfaatan dan perlindungan plasma nutfah perikanan.
Pengawasan perbenihan, pembudidayaan ikan dan sistem pengendalian hama dan penyakit ikan.
Pembinaan, pemantauan dan pengawasan lembaga sertifikasi perbenihan ikan.
Pengawasan mutu benih dan induk, pakan ikan, obat ikan dan bahan bakunya. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengawasan Penerapan Manajemen Mutu Terpadu (PMMT) atau Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) di unit pengolahan hasil perikanan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengawasan mutu ekspor hasil perikanan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengawasan pemanfaatan dan perlindungan sumberdaya di pulau-pulau kecil.
Pengawasan PMMT atau HACCP di unit pengolahan hasil perikanan.
Pengawasan mutu ekspor hasil perikanan.
Koordinasi pelaksanaan pengawasan pemanfaatan dan perlindungan sumberdaya di pulau- pulau kecil di wilayah kewenangan provinsi.
Pengawasan PMMT atau HACCP di unit pengolahan, alat transportasi dan unit penyimpanan hasil perikanan.
Pemantauan mutu ekspor hasil perikanan.
Pengawasan pemanfaatan dan perlindungan sumberdaya di pulau- pulau kecil di wilayah kewenangan kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 8. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengawasan pemanfaatan sumberdaya ikan di wilayah laut 8. Pengawasan pemanfaatan sumberdaya ikan di wilayah laut kewenangan provinsi.
Pengawasan pemanfaatan sumberdaya ikan di wilayah laut kewenangan kabupaten/kota.
Pengolahan dan Pemasaran 1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengolahan hasil perikanan dan pemasarannya.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pembangunan dan pengelolaan pusat pemasaran ikan.
a.Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria akreditasi pengawasan mutu dan pengolahan hasil perikanan.
Pelaksanaan kebijakan pengolahan hasil perikanan dan pemasarannya.
Pelaksanaan kebijakan pembangunan dan pengelolaan pusat pemasaran ikan.
a.Pelaksanaan kebijakan penerbitan sertifikat kesehatan dan/atau sertifikat mutu terhadap produk perikanan dalam rangka jaminan mutu dan jaminan pangan.
Pelaksanaan kebijakan pengolahan hasil perikanan dan pemasarannya.
Pembangunan, perawatan dan pengelolaan pasar ikan.
a.— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA b.Pembinaan pengujian mutu secara laboratoris terhadap produk hasil perikanan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengendalian mutu di unit pengolahan, alat transportasi dan unit penyimpanan hasil perikanan sesuai prinsip PMMT atau HACCP.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pembangunan dan pengelolaan laboratorium pengujian dan pengolahan mutu hasil perikanan.
Pelaksanaan pengujian mutu secara laboratoris terhadap produk hasil perikanan.
Pelaksanaan kebijakan pengendalian mutu di unit pengolahan, alat transportasi dan unit penyimpanan hasil perikanan sesuai prinsip PMMT atau HACCP.
Pelaksanaan kebijakan pembangunan dan pengelolaan laboratorium pengujian dan pengolahan mutu hasil perikanan.
— 4. Pelaksanaan pengendalian mutu di unit pengolahan, alat transportasi dan unit penyimpanan hasil perikanan sesuai prinsip PMMT atau HACCP.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pengawasan monitoring residu antibiotik dan cemaran mikroba dan bahan berbahaya lainnya serta perairan/lingkungan tempat ikan hidup.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria investasi dan pengembangan usaha hasil perikanan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria perizinan usaha pengolahan dan pemasaran hasil perikanan.
Bimbingan pengawasan monitoring residu antibiotik dan cemaran mikroba dan bahan berbahaya lainnya serta perairan/lingkungan tempat ikan hidup.
Pelaksanaan kebijakan dan bimbingan investasi dan pengembangan usaha hasil perikanan.
Pelaksanaan kebijakan dan bimbingan perizinan usaha pengolahan dan pemasaran hasil perikanan di provinsi.
Pelaksanaan kebijakan pengawasan monitoring residu antibiotik dan cemaran mikroba dan bahan berbahaya lainnya serta perairan/lingkungan tempat ikan hidup.
Pelaksanaan kebijakan investasi dan pengembangan usaha hasil perikanan.
Pelaksanaan kebijakan perizinan usaha pengolahan dan pemasaran hasil perikanan di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 7. Penyuluhan dan Pendidikan 1. Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria pembinaan serta penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan (diklat) fungsional, teknis, keahlian, manajemen dan kepemimpinan di bidang kelautan dan perikanan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria penyuluhan kelautan dan perikanan.
Penetapan kebijakan norma, standar, prosedur, dan kriteria akreditasi dan sertifikasi diklat bidang kelautan dan perikanan.
Pelaksanaan kebijakan pembinaan serta penyelenggaraan diklat fungsional, teknis, keahlian, manajemen dan kepemimpinan bidang kelautan dan perikanan di provinsi.
Pelaksanaan kebijakan dan bimbingan penyuluhan kelautan dan perikanan di provinsi.
Pelaksanaan kebijakan akreditasi dan sertifikasi diklat bidang kelautan dan perikanan di provinsi.
Pelaksanaan kebijakan pembinaan serta penyelenggaraan diklat fungsional, teknis, keahlian, manajemen dan kepemimpinan bidang kelautan dan perikanan di kabupaten/kota.
Pelaksanaan penyuluhan kelautan dan perikanan di kabupaten/kota.
Pelaksanaan kebijakan akreditasi dan sertifikasi diklat bidang kelautan dan perikanan di kabupaten/kota. DD. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG PERDAGANGAN SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Perdagangan Dalam Negeri 1. Penetapan pedoman serta pembinaan dan pengawasan pemberian izin usaha perdagangan (SIUP).
Penetapan pedoman dan fasilitasi serta pemberian izin perdagangan jasa bisnis (survey, broker, properti), jasa distribusi (waralaba, penjualan langsung, keagenan/distributor, perwakilan perusahaan perdagangan asing) dan jasa lainnya di bidang perdagangan tertentu.
Pembinaan dan pengawasan dalam pelaksanaan pemberian izin usaha perdagangan.
Pembinaan dan pengawasan perdagangan jasa bisnis, jasa distribusi dan jasa lainnya di bidang perdagangan di wilayah provinsi.
Pemberian izin usaha perdagangan di wilayah kabupaten/kota.
Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan izin/pendaftaran jasa bisnis dan jasa distribusi di wilayah kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penetapan pedoman, pembinaan dan pengawasan, monitoring dan evaluasi, serta pemberian izin perdagangan barang kategori dalam pengawasan skala nasional (SIUP Minuman Beralkohol golongan B dan C untuk Importir, Distributor dan Subdistributor, SIUP Bahan Berbahaya untuk Distributor, Pengakuan Pedagang Gula dan Kayu antar Pulau, serta komoditi lain yang akan ditetapkan sebagai barang yang perdagangannya diawasi atau diatur tataniaganya).
Pembinaan dan pengawasan, monitoring dan evaluasi serta pemberian izin perdagangan barang kategori dalam pengawasan skala provinsi (SIUP Minuman Beralkohol golongan B dan C untuk Toko Bebas Bea, SIUP Bahan Berbahaya untuk Pengecer dan Rekomendasi SIUP Minuman Beralkohol untuk Distributor dan Subdistributor, Rekomendasi SIUP Bahan Berbahaya untuk Distributor).
Pembinaan dan pengawasan, monitoring dan evaluasi serta pemberian izin perdagangan barang kategori dalam pengawasan skala kabupaten/kota (SIUP Minuman Beralkohol golongan B dan C untuk Pengecer, Penjualan Langsung untuk diminum di tempat, Pengecer dan Penjualan Langsung untuk diminum di tempat untuk Minuman Beralkohol mengandung Rempah sampai dengan 15%, Rekomendasi SIUP Bahan Berbahaya, Rekomendasi Pengakuan Pedagang Kayu antar Pulau). SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Penetapan pedoman, pembinaan Sumber Daya Manusia (SDM), koordinasi, pengendalian, pengawasan penyelenggaraan dan penyajian informasi wajib daftar perusahaan skala nasional.
Penetapan pedoman, pembinaan dan pengawasan, monitoring dan evaluasi serta fasilitasi kegiatan perdagangan di wilayah perbatasan, pedalaman, terpencil dan pulau terluar.
Koordinasi, pengendalian, pengawasan, pelaporan dan penyajian informasi hasil penyelenggaraan wajib daftar perusahaan skala provinsi.
Koordinasi, dukungan pelaksanaan, pembinaan dan pengawasan, fasilitasi, monitoring dan evaluasi kegiatan perdagangan di wilayah perbatasan, pedalaman, terpencil dan pulau terluar di provinsi.
Pengawasan, pelaporan pelaksanaan dan penyelenggaraan serta penyajian informasi pelaksanaan wajib daftar perusahaan skala kabupaten/kota.
Dukungan pelaksanaan, pembinaan dan pengawasan, monitoring dan evaluasi kegiatan perdagangan di daerah perbatasan, pedalaman, terpencil dan pulau terluar di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Penetapan pedoman pembinaan dan pengawasan, pemberian izin, monitoring, evaluasi; pemberian izin sarana perdagangan (pasar/toko modern) dan sarana penunjang perdagangan (jasa pameran, konvensi, dan seminar dagang) tertentu skala nasional dan internasional.
Penetapan pedoman, pembinaan dan pengawasan, monitoring dan evaluasi kegiatan informasi pasar dan stabilisasi harga.
Koordinasi, pembinaan dan pengawasan, monitoring dan evaluasi sarana perdagangan (pasar/toko modern dan gudang) dan persetujuan penyelenggaraan sarana penunjang perdagangan (jasa pameran, konvensi, dan seminar dagang) skala nasional.
Penyelenggaraan, pembinaan dan pengawasan, monitoring dan evaluasi kegiatan informasi pasar dan stabilisasi harga di provinsi.
Pembinaan dan pengawasan, pemberian izin dan rekomendasi skala tertentu, monitoring dan evaluasi sarana perdagangan (pasar/toko modern dan gudang) dan sarana penunjang perdagangan (jasa pameran, konvensi, dan seminar dagang) skala lokal.
Penyelenggaraan, pembinaan dan pengawasan, monitoring dan evaluasi kegiatan informasi pasar dan stabilisasi harga di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 8. Penetapan pedoman, pembinaan dan pengawasan, monitoring dan evaluasi kegiatan peningkatan penggunaan produksi dalam negeri skala nasional.
Penetapan pedoman dan petunjuk teknis pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen.
Sosialisasi, informasi dan publikasi tentang perlindungan konsumen.
Pelayanan dan penanganan penyelesaian sengketa konsumen skala nasional.
Pembinaan dan pengawasan, monitoring dan evaluasi kegiatan peningkatan penggunaan produksi dalam negeri skala provinsi.
Pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen di provinsi.
Sosialisasi, informasi dan publikasi tentang perlindungan konsumen.
Pelayanan dan penanganan penyelesaian sengketa konsumen skala provinsi.
Pembinaan dan pengawasan, monitoring dan evaluasi kegiatan peningkatan penggunaan produksi dalam negeri skala kabupaten/kota.
Pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen di kabupaten/kota.
Sosialisasi, informasi dan publikasi tentang perlindungan konsumen.
Pelayanan dan penanganan penyelesaian sengketa konsumen skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 12.Pembinaan dan Pemberdayaan Motivator dan Mediator Perlindungan Konsumen Skala Nasional.
Fasilitasi operasional Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN).
Fasilitasi pembentukan Perwakilan Badan Perlindungan Konsumen Nasional (PBPKN) provinsi.
Penetapan kebijakan dan pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).
Pembinaan dan Pemberdayaan Motivator dan Mediator Perlindungan Konsumen skala provinsi.
— 14.Koordinasi pembentukan dan fasilitasi operasional PBPKN provinsi.
Koordinasi pembentukan BPSK dengan kabupaten/kota di wilayah provinsi.
Pembinaan dan Pemberdayaan Motivator dan Mediator Perlindungan Konsumen skala kabupaten/kota.
— 14.— 15.Pengusulan pembentukan BPSK di kabupaten/kota kepada pemerintah berkoordinasi dengan provinsi dan fasilitasi operasional BPSK. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 16.Penetapan kebijakan dan petunjuk teknis pembinaan Lembaga Pemberdayaan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM).
Koordinasi dan kerjasama internasional serta lintas sektoral dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen.
Pengkajian dan evaluasi implementasi penyelenggaraan perlindungan konsumen.
Penetapan kebijakan, pedoman, petunjuk pelaksanaan/petunjuk teknis dan atau tatacara pengawasan barang beredar dan jasa.
Koordinasi kegiatan LPKSM dengan kabupaten/kota di wilayah provinsi.
Koordinasi dan kerjasama dengan instansi terkait skala provinsi dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen.
Koordinasi evaluasi implementasi penyelenggaraan perlindungan konsumen.
Pelaksanaan kebijakan, pedoman, petunjuk pelaksanaan/petunjuk teknis pengawasan barang beredar dan jasa.
Pendaftaran dan pengembangan LPKSM.
Koordinasi dan kerjasama dengan instansi terkait skala kabupaten/kota dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen.
Evaluasi implementasi penyelenggaraan perlindungan konsumen.
Pelaksanaan kebijakan, pedoman, petunjuk pelaksanaan/petunjuk teknis pengawasan barang beredar dan jasa. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 20.Pembinaan dan pengawasan barang beredar dan jasa serta penegakan hukum skala nasional.
Koordinasi pengawasan barang beredar dan jasa skala nasional.
Sosialisasi kebijakan pengawasan barang beredar dan jasa skala nasional.
Pembinaan dan pemberdayaan Petugas Pengawas Barang Beredar dan Jasa (PPBJ) skala nasional.
Pembinaan dan pengawasan barang beredar dan jasa serta penegakan hukum skala provinsi.
Koordinasi pelaksanaan pengawasan barang beredar dan jasa skala provinsi.
Sosialisasi kebijakan pengawasan barang beredar dan jasa skala provinsi.
Pembinaan dan pemberdayaan PPBJ skala provinsi.
Pengawasan barang beredar dan jasa serta penegakan hukum skala kabupaten/kota.
Koordinasi pelaksanaan pengawasan barang beredar dan jasa skala kabupaten/kota.
Sosialisasi kebijakan pengawasan barang beredar dan jasa skala kabupaten/kota.
Pembinaan dan pemberdayaan PPBJ skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 24.Pembinaan dan pemberdayaan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perlindungan Konsumen (PPNS-PK) skala nasional.
Penetapan dan penyelenggaraan pendaftaran petunjuk penggunaan (manual) dan kartu jaminan/garansi dalam bahasa Indonesia bagi produk teknologi informasi dan elektronika skala nasional.
Pembinaan dan pemberdayaan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Wajib Daftar Perusahaan (PPNS- WDP) skala nasional.
Pembinaan dan pemberdayaan PPNS-PK skala provinsi.
Koordinasi, penyelenggaraan dan pelaporan pemberian rekomendasi atas pendaftaran petunjuk penggunaan (manual) dan kartu jaminan/garansi dalam bahasa Indonesia bagi produk teknologi informasi dan elektronika skala provinsi.
Pembinaan dan pemberdayaan PPNS-WDP skala provinsi.
Pembinaan dan pemberdayaan PPNS-PK skala kabupaten/kota.
Penyelenggaraan, pelaporan dan rekomendasi atas pendaftaran petunjuk penggunaan (manual) dan kartu jaminan/garansi dalam bahasa Indonesia bagi produk teknologi informasi dan elektronika skala kabupaten/kota.
Pembinaan dan pemberdayaan PPNS- WDP skala kabupaten/ kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 27.Penetapan pedoman dan fasilitasi sistem informasi perdagangan, dan penyusunan potensi usaha di sektor perdagangan skala nasional.
Fasilitasi dan pelaporan pelaksanaan sistem informasi perdagangan dan penyusunan potensi usaha di sektor perdagangan skala provinsi.
Pelaksanaan dan pelaporan sistem informasi perdagangan dan penyusunan potensi usaha di sektor perdagangan skala kabupaten/kota.
Metrologi Legal 1. Penetapan dan pembinaan sistem metrologi legal.
Pembinaan dan pengembangan SDM metrologi legal.
Pembinaan dan pengendalian pembangunan metrologi legal skala provinsi.
Fasilitasi, koordinasi, penyelenggaraan, pengawasan dan pengendalian SDM metrologi skala provinsi.
Fasilitasi dan pelaksanaan kegiatan metrologi legal setelah memperoleh penilaian dari pemerintah yang didasarkan rekomendasi provinsi.
Fasilitasi dan pembinaan serta pengendalian SDM metrologi skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3.a.Pengelolaan dan penilaian standar ukuran dan laboratorium metrologi legal.
Ɇ c. Ɇ 4. Pelaksanaan kegiatan metrologi legal yang memerlukan penanganan khusus.
a.Koordinasi, rekomendasi penilaian standar ukuran dan laboratorium metrologi legal kabupaten/kota.
Pelaksanaan verifikasi standar satuan ukuran milik provinsi dan kabupaten/kota.
Penyelenggaraan interkomparasi skala provinsi.
Koordinasi dan pelaksanaan kegiatan tera dan tera ulang alat-alat Ukur, Takar, Timbang, dan Perlengkapannya (UTTP) di wilayah kabupaten/kota.
a.Fasilitasi standar ukuran dan laboratorium metrologi legal.
Ɇ c. Ɇ 4. Pelayanan tera dan tera ulang UTTP setelah melalui penilaian standar ukuran dan laboratorium metrologi legal oleh pemerintah. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 5. Penyelenggaraan kerjasama internasional metrologi legal.
Fasilitasi penyuluhan dan pengamatan UTTP, Barang Dalam Kemasan Terbungkus (BDKT) dan Satuan Internasional (SI).
Pembinaan dan penerbitan izin tipe UTTP, izin tanda pabrik UTTP.
Fasilitasi dan penyelenggaraan kerjasama metrologi legal skala provinsi.
Fasilitasi dan penyelenggaraan penyuluhan dan pengamatan UTTP, BDKT dan SI.
Koordinasi dan pembinaan pembuat UTTP, importir UTTP dan merekomendasikan pelaksanaan permohonan izin tipe dan izin tanda pabrik serta menerbitkan perpanjangan izin tanda pabrik dan izin reparatir UTTP.
Fasilitasi penyelenggaraan kerjasama metrologi legal skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan penyuluhan dan pengamatan UTTP, BDKT dan SI.
Pembinaan operasional reparatir UTTP. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 8. Pengawasan dan penyidikan tindak pidana Undang- Undang Metrologi Legal (UUML).
Penetapan dan pembinaan sistem metrologi legal untuk pemerintah daerah khusus yang ditunjuk berdasarkan peraturan perundang- undangan.
Pengawasan dan penyidikan tindak pidana UUML.
Daerah Khusus Ibukota Jakarta yang ditunjuk secara khusus oleh undang-undang maka koordinasi, fasilitasi dan penyelenggaraan metrologi legal menjadi urusan provinsi.
Pengawasan dan penyidikan tindak pidana UUML.
— 3. Perdagangan Luar Negeri 1. Penetapan kebijakan dan pedoman, norma, standar, prosedur, dan kriteria bidang ekspor meliputi:
Barang yang diatur ekspornya;
Barang yang diawasi ekspornya;
Penyediaan bahan masukan sebagai bahan pertimbangan perumusan kebijakan bidang ekspor.
Penyediaan bahan masukan sebagai bahan pertimbangan perumusan kebijakan bidang ekspor. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA c. Barang yang dilarang ekspornya.
Koordinasi dan sosialisasi kebijakan bidang ekspor skala nasional.
Pelaksanaan kebijakan bidang ekspor meliputi:
Barang yang diatur ekspornya;
Barang yang diawasi ekspornya;
Barang yang dilarang ekspornya.
Penetapan kebijakan dan pedoman pelaksanaan bidang impor meliputi:
Koordinasi dan sosialisasi kebijakan bidang ekspor skala provinsi.
Monitoring dan pelaporan pelaksanaan kebijakan bidang ekspor.
Penyediaan bahan masukan untuk perumusan kebijakan bidang impor.
Koordinasi dan sosialisasi kebijakan bidang ekspor skala kabupaten/kota.
Monitoring dan pelaporan pelaksanaan kebijakan bidang ekspor.
Penyediaan bahan masukan untuk perumusan kebijakan bidang impor. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA a. Barang yang diatur tata niaganya;
Barang yang dilarang impornya.
Pelaksanaan kebijakan bidang impor meliputi:
Barang yang diatur tata niaganya;
Barang yang dilarang impornya.
Koordinasi dan sosialisasi kebijakan bidang impor skala nasional.
Pengawasan dan pengendalian mutu barang meliputi:
Penyediaan bahan masukan sebagai bahan pertimbangan perumusan kebijakan bidang impor.
Koordinasi dan pelaksanaan kebijakan bidang impor skala provinsi.
Pengambilan contoh, pengujian, inspeksi teknis dan sertifikasi mutu barang meliputi:
Penyediaan bahan masukan sebagai bahan pertimbangan perumusan kebijakan bidang impor.
Koordinasi dan pelaksanaan kebijakan bidang impor skala kabupaten/kota.
Pengambilan contoh, pengujian, inspeksi teknis dan sertifikasi mutu barang meliputi: SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA a. Penetapan kebijakan dan mekanisme pengawasan untuk membuktikan kesesuaian barang terhadap standar;
Penelusuran teknis terhadap penilaian kesesuaian yang dilaksanakan oleh lembaga penguji, inspeksi teknis dan sertifikasi;
Registrasi terhadap lembaga penilaian kesesuaian.
Pengambilan contoh yang dilakukan oleh Petugas Pengambil Contoh (PPC) yang teregistrasi;
Pengujian, inspeksi teknis dan sertifikasi dilakukan oleh lembaga uji, inspeksi teknis, sertifikasi yang terakreditasi dan teregistrasi.
— a. Pengambilan contoh yang dilakukan oleh PPC yang teregistrasi;
Pengujian, inspeksi teknis dan sertifikasi dilakukan oleh lembaga uji, inspeksi teknis, sertifikasi yang terakreditasi dan teregistrasi.
— SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 8. Pembinaan dan pengembangan SDM Penguji Mutu Barang (PMB) meliputi pengaturan, penentuan kriteria, uji kompetensi, registrasi, pendidikan dan latihan, penilaian dan penetapan angka kredit, bimbingan teknis, monitoring dan evaluasi PMB.
Penetapan kebijakan, petunjuk pelaksanaan penerbitan Surat Keterangan Asal (SKA) barang ekspor, penunjukan instansi penerbitan SKA dan penelusuran asal barang, pelatihan dan sertifikasi petugas penandatangan SKA.
Penilaian dan pelaporan angka kredit PMB tingkat provinsi.
Penyediaan bahan masukan untuk perumusan kebijakan penerbitan SKA dan penelusuran asal barang.
Penilaian dan pelaporan angka kredit PMB tingkat kabupaten/kota.
Penyediaan bahan masukan untuk perumusan kebijakan penerbitan SKA dan penelusuran asal barang. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 10.Sosialisasi, evaluasi, penerbitan SKA dan penelusuran asal barang oleh daerah.
Penetapan kebijakan penerbitan Angka Pengenal Importir (API).
Sosialisasi kebijakan, monitoring dan evaluasi penerbitan API.
Sosialisasi, penerbitan dan pelaporan penerbitan SKA penelusuran asal barang di tingkat provinsi yang ditunjuk.
Penerbitan API.
Sosialisasi kebijakan dan pelaporan penerbitan API.
Sosialisasi, penerbitan dan pelaporan penerbitan SKA penelusuran asal barang di tingkat kabupaten/kota yang ditunjuk.
Penyediaan bahan masukan untuk penerbitan API.
Sosialisasi kebijakan dan pelaporan penerbitan API. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 13.Penetapan kebijakan dan fasilitasi ekspor dan impor, sosialisasi, koordinasi pelaksanaan, monitoring dan evaluasi.
Partisipasi dan penetapan kesepakatan dalam sidang komoditi internasional.
Sosialisasi, monitoring dan evaluasi pelaksanaan kesepakatan.
Penyediaan bahan masukan, sosialisasi, fasilitasi, koordinasi pelaksanaan, monitoring dan pelaporan, penyediaan informasi potensi ekspor daerah sebagai bahan pertimbangan perumusan kebijakan.
Penyediaan bahan masukan dalam rangka penetapan kesepakatan dalam sidang komoditi internasional.
Sosialisasi, monitoring dan evaluasi, pelaporan pelaksanaan kesepakatan skala provinsi.
Penyediaan bahan masukan, sosialisasi, fasilitasi, koordinasi pelaksanaan monitoring dan pelaporan, penyediaan informasi potensi ekspor daerah sebagai bahan pertimbangan perumusan kebijakan.
Penyediaan bahan masukan dalam rangka penetapan kesepakatan dalam sidang komoditi internasional.
Sosialisasi, monitoring dan evaluasi, pelaporan pelaksanaan kesepakatan skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 16.Pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang perdagangan luar negeri.
Fasilitasi pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang perdagangan luar negeri.
Fasilitasi pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang perdagangan luar negeri.
Kerjasama Perdagangan Internasional 1. Penetapan kebijakan, kesepakatan, pelaksanaan, koordinasi, sosialisasi, monitoring dan evaluasi kerjasama perdagangan multilateral.
Penetapan kebijakan, kesepakatan, pelaksanaan, koordinasi, sosialisasi, monitoring dan evaluasi kerjasama perdagangan regional seperti: kerjasama Association of South East Asian Nation (ASEAN), Asia Pasific Economic Conference (APEC), Asia Europe Meeting (ASEM), dan kerjasama ekonomi sub regional.
Monitoring dan sosialisasi hasil-hasil kesepakatan kerjasama perdagangan internasional.
Monitoring dan sosialisasi hasil-hasil kesepakatan kerjasama perdagangan internasional dan koordinasi kerjasama ekonomi sub regional.
Monitoring dan sosialisasi hasil-hasil kesepakatan kerjasama perdagangan internasional.
Monitoring dan sosialisasi hasil-hasil kesepakatan kerjasama perdagangan internasional. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Pengaturan, penetapan kebijakan, kesepakatan, pelaksanaan, koordinasi, sosialisasi, monitoring dan evaluasi kerjasama perdagangan bilateral, seperti:
Free Trade Agreement (FTA);
Economic Partnership Agreement (EPA) ;
Comprehensive Trade and Economic Partnership (CTEP);
Comprehensive Economic Partnership (CEP);
Trade and Investment Framework (TIF);
Trade and Investment Council (TIC);
Monitoring dan sosialisasi hasil-hasil kesepakatan kerjasama perdagangan bilateral dan sosialisasi kerjasama perdagangan lintas batas.
Monitoring dan sosialisasi hasil-hasil kesepakatan kerjasama perdagangan bilateral. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA g. Trade and Investment Framework Agreement (TIFA);
Pengaturan, penetapan kebijakan, kesepakatan, pelaksanaan, koordinasi, sosialisasi, monitoring dan evaluasi pengamanan perdagangan meliputi: dumping , subsidi, dan safeguard .
Monitoring dan sosialisasi dumping , subsidi, dan safeguard .
Monitoring dan sosialisasi dumping , subsidi, dan safeguard. 5. Pengembangan Ekspor Nasional 1. Penetapan kebijakan bidang pengembangan ekspor secara nasional.
Pelaksanaan kegiatan pengembangan ekspor skala nasional maupun internasional.
Penyediaan bahan kebijakan pengembangan ekspor skala provinsi.
Pelaksanaan kegiatan pengembangan ekspor skala provinsi.
Penyediaan bahan kebijakan pengembangan ekspor skala kabupaten/kota.
Pelaksanaan kegiatan pengembangan ekspor skala kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Perdagangan Berjangka Komoditi, Alternatif Pembiayaan Sistem Resi Gudang, Pasar Lelang 1. Pembinaan, pengaturan dan pengawasan perdagangan berjangka komoditi.
Pembinaan, pengaturan dan pengawasan sistem resi gudang.
Pembinaan, pengaturan dan pengawasan penyelenggaraan pasar lelang.
Koordinasi dengan aparat penegak hukum dalam penanganan kasus-kasus yang berkaitan dengan perdagangan berjangka komoditi.
Pembinaan komoditas dalam rangka memperoleh akses pembiayaan resi gudang.
Pembinaan, pengaturan dan pengawasan yang bersifat teknis terhadap penyelenggaraan dan pelaku pasar lelang skala provinsi.
Koordinasi dengan aparat penegak hukum dalam penanganan kasus-kasus yang berkaitan dengan perdagangan berjangka komoditi.
Pembinaan komoditas dalam rangka memperoleh akses pembiayaan resi gudang.
Pembinaan, pengaturan dan pengawasan yang bersifat teknis terhadap penyelenggaraan dan pelaku pasar lelang skala kabupaten/kota. EE. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG PERINDUSTRIAN SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Perizinan 1. Penetapan kebijakan Izin Usaha Industri (IUI) dan kawasan industri.
Penerbitan IUI bagi industri yang mengolah dan menghasilkan Bahan Beracun Berbahaya (B3), industri minuman beralkohol, industri teknologi tinggi yang strategis, industri kertas berharga, industri senjata dan amunisi.
Penerbitan IUI yang lokasinya lintas provinsi.
Penerbitan izin kawasan industri yang lokasinya lintas provinsi.
— 2. Penerbitan IUI skala investasi di atas Rp 10 milyar tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.
Penerbitan rekomendasi IUI yang diterbitkan oleh pemerintah.
Penerbitan izin kawasan industri yang lokasinya lintas kabupaten/kota.
— 2. Penerbitan tanda daftar industri dan IUI skala investasi s/d Rp 10 miliar tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.
Penerbitan berita acara pemeriksaan dalam rangka penerbitan IUI oleh pemerintah dan provinsi.
Penerbitan izin usaha kawasan industri yang lokasinya di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Usaha Industri 1. Penetapan bidang usaha industri prioritas nasional, cabang industri yang penting dan strategis bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak.
Penetapan pengelompokan bidang usaha industri atau skala usaha.
Penetapan bidang usaha industri yang terbuka dan tertutup untuk penanaman modal dan yang dicadangkan untuk industri kecil.
Penetapan bidang usaha industri prioritas provinsi.
— 3. — 1. Penetapan bidang usaha industri prioritas kabupaten/kota.
— 3. — 3. Fasilitas Usaha Industri 1. Penetapan kebijakan pemberian fasilitas/insentif fiskal dan moneter dalam rangka pengembangan industri tertentu.
Pemberian fasilitas usaha dalam rangka pengembangan Industri Kecil Menengah (IKM).
— 2. Pemberian fasilitas usaha dalam rangka pengembangan IKM di provinsi.
— 2. Pemberian fasilitas usaha dalam rangka pengembangan IKM di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Perlindung- an Usaha Industri 1. Perumusan kebijakan dan penetapan tarif bea masuk impor.
Perumusan dan penetapan kebijakan perlindungan bagi industri.
— 2. Pemberian perlindungan kepastian berusaha terhadap usaha industri lintas kabupaten/kota.
— 2. Pemberian perlindungan kepastian berusaha terhadap usaha industri di kabupaten/kota.
Perencana- an dan Program 1. Penyusunan rencana jangka panjang pembangunan industri nasional.
Penyusunan Rencana Strategis (Renstra) di bidang industri.
Penyusunan rencana pembangunan tahunan industri nasional.
Penyusunan rencana jangka panjang pembangunan industri provinsi.
Penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) provinsi di bidang industri.
Penyusunan rencana kerja provinsi di bidang industri.
Penyusunan rencana jangka panjang pembangunan industri kabupaten/kota.
Penyusunan RPJM SKPD kabupaten/kota di bidang industri.
Penyusunan rencana kerja kabupaten/kota di bidang industri. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 6. Pemasaran 1. Penetapan kebijakan peningkatan pemasaran produk industri dalam negeri.
Promosi produk industri nasional.
— 2. Promosi produk industri provinsi .
— 2. Promosi produk industri kabupaten/kota.
Teknologi 1. Penetapan kebijakan penelitian, pengembangan dan penerapan teknologi di bidang industri.
Pelaksanaan penelitian, pengembangan dan penerapan teknologi di bidang industri.
— 1. — 2. Pelaksanaan penelitian, pengembangan dan penerapan teknologi di bidang industri di provinsi.
Fasilitasi pemanfaatan hasil penelitian, pengembangan dan penerapan teknologi di bidang industri termasuk lintas kabupaten/kota.
— 2. Pelaksanaan penelitian, pengembangan dan penerapan teknologi di bidang industri di kabupaten/kota.
Fasilitasi pemanfaatan hasil penelitian, pengembangan dan penerapan teknologi di bidang industri. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 4. Sosialisasi hasil penelitian, pengembangan dan penerapan teknologi di bidang industri.
Sosialisasi hasil penelitian, pengembangan dan penerapan teknologi di bidang industri.
Sosialisasi hasil penelitian, pengembangan dan penerapan teknologi di bidang industri.
Standarisasi 1. Penetapan kebijakan standarisasi berdasarkan sistem standarisasi nasional.
Perumusan, fasilitasi penerapan dan pengawasan standar.
Kerjasama nasional, regional dan internasional bidang standarisasi.
— 2. Fasilitasi dan pengawasan terhadap penerapan standar yang akan dikembangkan di provinsi.
Kerjasama bidang standarisasi tingkat provinsi.
— 2. Fasilitasi dan pengawasan terhadap penerapan standar yang akan dikembangkan di kabupaten/kota.
Kerjasama bidang standarisasi tingkat kabupaten/kota.
Sumber Daya Manusia (SDM) 1. Penetapan kebijakan pembinaan dan pengembangan SDM industri dan aparatur pembina industri.
— 1. — SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Penetapan standar kompetensi dan kurikulum pendidikan dan pelatihan (diklat) SDM industri dan aparatur pembina industri.
Pelaksanaan diklat SDM industri dan aparatur pembina industri lintas provinsi.
Penerapan standar kompetensi SDM industri dan aparatur pembina industri di provinsi.
Pelaksanaan diklat SDM industri dan aparatur pembina industri lintas kabupaten/kota.
Penerapan standar kompetensi SDM industri dan aparatur pembina industri di kabupaten/kota.
Pelaksanaan diklat SDM industri dan aparatur pembina industri di kabupaten/kota.
Permodalan 1. Perumusan kebijakan bantuan pendanaan untuk pemberdayaan industri melalui bank dan lembaga keuangan bukan bank.
Fasilitasi akses permodalan bagi industri melalui bank dan lembaga keuangan bukan bank di provinsi.
Fasilitasi akses permodalan bagi industri melalui bank dan lembaga keuangan bukan bank di kabupaten/kota.
Lingkungan Hidup 1. Penetapan kebijakan pembinaan industri yang berwawasan lingkungan dan pengawasan pencemaran yang diakibatkan oleh industri.
Pemberian bantuan teknis kepada kabupaten/kota dalam rangka pencegahan pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh industri.
Pembinaan industri dalam rangka pencegahan pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh industri tingkat kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 2. Fasilitasi kerjasama internasional di bidang industri yang terkait dengan lingkungan hidup.
Monitoring dan evaluasi pelaksanaan pembinaan industri bersih yang dilakukan oleh kabupaten/kota dalam rangka pencegahan pencemaran lingkungan.
Pengawasan terhadap pencemaran lingkungan yang diakibatkan kegiatan industri di kabupaten/kota.
Kerjasama Industri 1. Penetapan kebijakan untuk peningkatan kemitraan antara industri kecil, menengah dan industri besar serta sektor ekonomi lainnya.
Penetapan pola kemitraan antara industri dengan sektor ekonomi lainnya.
Koordinasi dan fasilitasi kemitraan antara industri kecil, menengah dan industri besar serta sektor ekonomi lainnya lintas kabupaten/kota.
Koordinasi dan fasilitasi kerjasama pengembangan industri melalui pola kemitraan usaha lintas kabupaten/kota.
Fasilitasi kemitraan antara industri kecil, menengah dan industri besar serta sektor ekonomi lainnya di kabupaten/kota.
Fasilitasi kerjasama pengembangan industri melalui pola kemitraan usaha di kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 3. Penetapan kebijakan kerjasama luar negeri, kerjasama lintas sektoral dan regional bidang industri.
Koordinasi dan fasilitasi kerjasama luar negeri, kerjasama lintas sektoral dan regional untuk pemberdayaan industri lintas kabupaten/kota.
Pelaksanaan hasil-hasil kerjasama luar negeri, kerjasama lintas sektoral dan regional untuk pemberdayaan industri di kabupaten/kota.
Kelembaga- an 1. Pembinaan asosiasi industri/dewan tingkat nasional dan internasional.
Penetapan kebijakan pengembangan lembaga pendukung/unit pelaksana teknis penelitian dan pengembangan (litbang), diklat dan pelayanan pada IKM.
Pembentukan dan pembinaan unit pelaksana teknis tingkat nasional dan membantu unit pelaksana teknis tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
Pembinaan asosiasi industri/dewan tingkat provinsi.
— 3. Pembentukan dan pembinaan unit pelaksana teknis tingkat provinsi dan membantu unit pelaksana teknis tingkat kabupaten/kota.
Pembinaan asosiasi industri/dewan tingkat kabupaten/kota.
— 3. Pembentukan dan pembinaan unit pelaksana teknis tingkat kabupaten/kota. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 14. Sarana dan Prasarana 1. Penetapan kebijakan pengembangan wilayah-wilayah pusat pertumbuhan industri dan lokasi pembangunan industri termasuk kawasan industri dan sentra industri kecil.
Penyusunan tata ruang provinsi industri dalam rangka pengembangan pusat- pusat industri yang terintegrasi serta koordinasi penyediaan sarana dan prasarana (jalan, air, listrik, telepon, unit pengolahan limbah IKM) untuk industri yang mengacu pada tata ruang nasional.
Penyusunan tata ruang kabupaten/kota industri dalam rangka pengembangan pusat-pusat industri yang terintegrasi serta koordinasi penyediaan sarana dan prasarana (jalan, air, listrik, telepon, unit pengolahan limbah IKM) untuk industri yang mengacu pada tata ruang regional (provinsi).
Informasi Industri 1. Penetapan kebijakan informasi industri.
Penyusunan pedoman dan pengumpulan, analisis dan diseminasi data nasional bidang industri.
— 2. Pengumpulan, analisis dan diseminasi data bidang industri tingkat provinsi dan pelaporan kepada pemerintah.
— 2. Pengumpulan, analisis dan diseminasi data bidang industri tingkat kabupaten/kota dan pelaporan kepada provinsi. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 16. Pengawasan Industri 1. Pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan industri dalam rangka desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan di daerah.
Perumusan sistem, pembinaan dan pengaturan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah di bidang industri.
Pengawasan terhadap pelaksanaan tugas desentralisasi bidang industri tingkat provinsi.
— 1. Pengawasan terhadap pelaksanaan tugas desentralisasi bidang industri tingkat kabupaten/kota.
— 17. Monitoring, Evaluasi, dan Pelaporan 1. Monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang perindustrian nasional.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang perindustrian di provinsi.
Monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang perindustrian di kabupaten/kota. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.02/2017 tentang Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negar ...